Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P. Serial Helian Kong seri Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 14

Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 14

Mereka bertarung seganas serigala-serigala kelaparan, maju lurus ke depan dan hanya ada dua yang bisa menghentikan langkah maju mereka. Yaitu perintah komandan mereka, dan kematian.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

“Tahan mereka!” komandan-komandan Pelangi Kuning meneriaki anak buahnya.

Pertempuran pun berkobar hebat di luar kota San-hai-koan. Pasukan Pelangi Kuning benar-benar menerima kejutan Itu dengan mental yang tidak siap. Mereka baru saja membayangkan kemenangan, dan tahu-tahu di hadapan mereka mengamuk lawan-lawan seperti macan kelaparan ini.

Barisan belakang pasukan Pelangi Kuning belum tahu apa yang terjadi di depan. Mereka terus saja mendesak-desak ke depan atas perintah komandan-komandan mereka. Mereka heran ketika barisan depan mereka seolah-olah macet, bahkan mulai terdesak mundur dengan agak kacau.

“He, apa yang terjadi di depan?”

“Seperti terdengar pertempuran...”

“Pertempuran siapa melawan siapa?”

“Mungkinkah tikus-tikus di San-hai-koan itu jadi nekad lalu keluar dari benteng mereka?”

“Kalau demikian, itu kebetulan sekali. Mereka cari penyakit. Kita habisi mereka, kalau mereka tidak mengandalkan bedil-bedil itu...”

“Kelihatannya tidak. Tidak terdengar suaranya...”

“Tetapi teman-teman kita yang di depan kok kelihatannya tidak dapat menanggulangi musuh?"

Namun akhirnya laporan dari garis depan pun sampai ke bagian-bagian pasukan yang paling belakang sekalipun. Semua benar-benar tidak menduga ini terjadi. Tanpa persiapan mental apa-apa, tiba-tiba saja mereka harus berhadapan dengan pasukan Manchu.

Pasukan yang punya reputasi merebut Korea dari tangan Jepang. Komandan-komandan Pelangi Kuning mencoba mengatur barisan, memantapkan perlawanan, menimbulkan keberanian para prajurit.

Tetapi desakan pasukan Manchu begitu hebat, tidak lama kemudian garis terdepan pasukan Pelangi Kuning dipatahkan, lalu pasukan Manchu menerjang ke garis kedua. Pasukan Pelangi Kuning harus bertahan mati-matian, sambil mundur terus segaris demi segaris.

Ketika laporan itu sampai kepada Jenderal Lau, wajah berseri-seri Sang Jenderal kontan berubah menjadi agak pucat. Ia tak percaya kupingnya sendiri.

“Gilakah kau? Atau matamu sudah rusak?" bentaknya kepada perwira yang melapor itu.

Perwira itu menjawab hormat, "Benar, Jenderal..."

"Sejak tadi kuteropong dari tempat ini, kenapa tidak kelihatan tanda-tanda pasukan Manchu? Tidak ada bendera mereka?”

“Mereka tidak memakai bendera, Jenderal. Mereka muncul begitu saja dari pintu-pintu San-hai-koan...”

“Berapa jumlah musuh?”

“Belum dapat diperkirakan, Jenderal.”

“Keadaan pasukan kita?”

“Mungkin... mungkin ... prajurit-prajurit kita belum pulih kagetnya, Jenderal..."

Jenderal Lau sudah hapal gaya bahasa perwira-perwira bawahannya. Ungkapan itu bermakna keadaannya tidak begitu baik. Sementara itu, di kejauhan terdengar sorak. Entah sorak pasukan yang mana. Jenderal Lau kembali meneropong di atas kudanya. Kali ini dilihatnya bendera-bendera pasukannya bergerak makin dekat ke arahnya. Ini berarti pasukannya terdesak.

Dan bagaimanapun geramnya, mulutnya harus mengakui kenyataan itu, "Pasukan kita mendapat kesulitan..."

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Jenderal?" tanya seorang perwira pembantunya, yang tidak pernah beranjak dari sebelahnya dan sering dimintai nasehatnya.

“Menurutmu bagaimana?" Jenderal Lau balik bertanya. Dalam keadaan terjepit, seperti biasa, penyakit bingung Lau Cong-bin kambuh.

Perwiranya menyahut tenang, "Jenderal, aku rasa dalam keadaan semacam ini, tidak baik kita ngotot di sini. Semangat prajurit sedang tidak siap. Baru saja mereka menyangka akan merebut San-hai-koan, dan tiba-tiba harus menghadapi kenyataan yang jauh berlawanan dengan bayangan semula. Prajurit yang bernyali paling besar dan paling teguh jiwanya pun tidak dapat berbuat maksimal menghadapi kejadian seperti ini.

"Daripada banyak korban jatuh yang akan mengurangi kekuatan kita, lebih baik kita mundur dulu. Kita bisa siapkan pertahanan yang memadai, dan apabila semangat para prajurit sudah pulih, apalagi kalau bala bantuan kita sudah tiba, kita bukan hanya akan bertahan tetapi menyerang balik dan mengusir kembaliorang-orang Manchu, bahkan kalau perlu mengejarnya sampai ke kampung halaman mereka di L iau-tong..."

Jenderal Lau yang sedang buntu otaknya itu cuma bisa mengangguk-angguk. Perwira terdekatnya itu lalu berkata, "Apakah sekarang aba-aba mundur itu diberikan?"

Kali ini Lau Cong-bin melotot, "Apakah kau gila? Aku belum bersiap-siap dan tiba-tiba saja mundur dengan ujung tombak musuh hanya sejengkal di belakang punggung kita?”

“Maksud... maksud Jenderal?”

“Biarkan orang-orang kita tetap bertempur dulu menahan musuh, sementara kita bersiap-siap. Nanti setelah kita mundur cukup jauh, baru perintahkan pasukan untuk mundur lewat isyarat panah berbunyi...”

“O... begitu?"

Begitulah Lau Cong-bin dan pengawal-pengawal cantiknya berbenah diri, dan selama berbenah Lau Cong-bin tidak henti-hentinya mengutuk dan membentak-bentak.

Tidak lama kemudian, berderaplah serombongan kuda menuju ke arah kota Pak-khia, menjauhi gelanggang pertempuran. Setelah cukup jauh, sehingga waktu menoleh ke belakang tidak lagi melihat pertempuran, kecuali sayup-sayup suaranya, barulah Jenderal Lau memerintahkan seorang perwiranya untuk menarik pasukan.

Perwira itu melepaskan sebatang panah bersuara. Panah itu akan bersambung-sambung beberapa kali sampai ke medan pertempuran. Ketika itu pasukan Pelangi Kuning sudah terdesak mundur berulang kali. Meskipun belum sampai pecah tercerai-berai menjadi pasukan-pasukan kecil, masih mengelompok dalam pasukan besar, namun gerak setiap bagian dari pasukan besar itu sudah tidak kompak lagi. Masing-masing bagian bertindak menuruti komandannya masing-masing.

Ketika "perintah jarak jauh" Jenderal Lau tiba, berupa perintah mundur, barulah seluruh pasukan itu kembali terkendali di bawah satu komando dan mulai gerak mundur. Pemanah-pemanah dan pelempar-pelempar lembing segera mengambil tugasnya. Dengan hujan panah dan lembing, mereka menghujani pasukan Manchu, mencarikan peluang mundur buat prajurit-prajurit Pelangi Kuning.

Pasukan Pelangi Kuning pun mundur seperti gelombang yang surut, memisahkan diri dari lawan-lawan mereka yang garang. Teman-teman yang luka-luka yang sempat dibawa mundur pun dibawa mundur, yang tidak terpaksa ditinggal.

Prajurit-prajurit Manchu mengejar puluhan langkah sambil mengangkat tameng-tameng mereka, mereka terus mengejar dengan berani. Bahkan prajurit-prajurit yang terpisah dari teman-temannya pun kelihatan tidak ragu-ragu terus menerjang ke depan, tidak menoleh-noleh ke kiri atau ke kanan mencari teman di dekat mereka atau tidak.

Sorot mata mereka beringas dan dingin, mau tidak mau membuat sebagian dari prajurit-prajurit Pelangi Kuning jeri. Meskipun dalam pasukan Pelangi Kuning pun tidak kurang jumlahnya prajurit-prajurit bernyali besar. Sampai terdengar suara aba-aba dari pihak Manchu, menghentikan gerak maju beringas prajurit-prajurit mereka.

Prajurit-prajurit itu langsung berhenti dengan tertib dan kembali ke barisan masing-masing. Pihak Pelangi Kuning terkesiap melihat disiplin sehebat itu. Ternyata pihak Manchu memang tidak mengejar lagi, namun mereka rupanya juga ingin membawakan "oleh-oleh" buat lawannya yang mundur.

Ratusan prajurit bersenjata senapan tiba-tiba membentuk garis, berjongkok sambil membidikkan senapan-senapan mereka. Senapan di abad tujuh belas itu, setiap pucuknya dioperasikan oleh tiga orang. Satu orang berdiri di depan si pembidik, menggunakan pundaknya untuk ditumpangi laras senapan yang sangat panjang, kemudian si pembidik sendiri, dan di belakangnya ada satu lagi yang tugasnya mengisi kembali senapannya setelah dibidikkan.

Terdengar ratusan senapan meledak bersama, udara segera penuh asap bakaran mesiu. Dan ratusan prajurit Pelangi Kuning yang paling belakang, punggung mereka menjadi sasaran pelilru sehingga terjungkal bergelimpangan. Penembak-penembak senapan Manchu itu menembak beberapa gelombang lagi, sampai prajurit-prajurit Pelangi Kuning sudah di luar jarak tembak mereka.

Dari pintu gerbang San-hai-koan, Bu Sam-kui berkuda keluar bersama beberapa perwiranya, berdampingan dengan seorang panglima Manchu yang bukan lain adalah bekas panglima Kerajaan Beng juga, Ang Seng-tiu, yang dulu adalah atasan Bu Sam-kui.

Mereka berkuda di bawah bendera Kerajaan Beng, sedang bendera Manchu sama sekali tidak ada. Bu Sam-kui berseragam panglima Beng, dan Ang Seng-tiu berseragam perwira Manchu, komplit dengan capingnya. Melihat pasukan Pelangi Kuning sudah mundur jauh, sedangkan pasukan Manchu hampir-hampir utuh jumlahnya, Ang Seng-tiu tertawa dan berkata,

"Maling-maling Pelangi Kuning itu pastilah sudah pecah nyalinya hari ini, melawan pasukan kami yang jauh di atas mereka."

Wajah Bu Sam-kui tidak secerah wajah Ang Seng-tiu, ada beberapa hal yang mengganjal hatinya. Pertama, tentu saja urusan Tan Wanwan. Kedua, melihat kehebatan prajurit-prajurit Manchu yang begitu mudah memukul cerai berai pasukan Pelangi Kuning yang berjumlah jauh lebih besar itu, mau tak mau Bu Sam-kui agak cemas juga.

Agak menyesal kenapa begitu mudah menuruti anjuran "Helian Kong" untuk "meminjam" pasukan Manchu. Bagaimana kalau pasukan segarang ini tiba-tiba saja kerasan di Tiong-goan dan emoh pulang ke Liau-tong di luar Tembok Besar?

Memang "Helian Kong" dan "utusan Su Ko-hoat" menjamin adanya "kekuatan besar dari kawan-kawan seperjuangan di Selatan". Tetapi bukankah "Selatan" itu ribuan li jauhnya dan ada pepatah "air yang jauh sulit menolong api yang dekat"?

Apa pula jaminan lain, yaitu dari pihak Manchu, yang katanya benar-benar hanya ingin membantu tegaknya kembali dinasti Beng,tanpa bermaksud menjajah, sekedar tidak senang "bertetangga" dengan pemerintahan kaum Pelangi Kuning. Tetapi jaminan itu diberikan hanya oleh Ang Seng-tiu yang ternyata dalam jajaran balatentara Manchu kedudukannya tidak terlalu menentukan.

Hari itu Ang Seng-tiu "membuktikan jaminannya" dengan hanya mengirim pasukan tetapi tidak mengibarkan bendera Manchu. Ang Seng-tiu agaknya memahami pikiran Bu Sam-kui, lalu ia menenteram-kannya, "Ada yang menggelisahkanmu, Saudara Bu?”

“Tidak..." Bu Sam-kui coba menutup-nutupinya.

“Percayalah janji kami. Bendera Ngo-jiau Kim-liong-ki (Bendera Naga Berkuku Lima bendera Manchu) takkan pernah berkibar melebihi wilayah kami sendiri yang sekarang..." Ang Seng-tiu meyakinkan.

“... kalau hari ini kami langsung turunkan pasukan terbaik kami ke medan laga, tak ada tujuan lain kecuali memukul pecah semangat musuh, meruntuhkan semangat prajurit-prajuritnya, dengan semangat yang patah maka perlawanan mereka akan merosot jauh dan akan lebih cepat menyelesaikan mereka. Aku pribadi sebagai bekas panglima Beng, rasanya ingin secepatnya kembali melihat Jit-goat-ki berkibar di Pakkhia..."

Bu Sam-kui cuma mengangguk-angguk, seolah-olah kelu. Dalam hatinya masih sibuk menghibur diri sendiri dan menenteramkan pikirannya sendiri. Ada juga sedikit yang melegakan Bu Sam-kui, yaitu ketika melihat dan mengetahui dari mulut Ang Seng-tiu bahwa tidak semua pasukan Manchu sebaik pasukan yang turun ke medan hari ini.

Pasukan yang diterjunkan hari ini memang langsung adalah pasukan paling baik yang ada di antara pasukan Manchu. Dalam siasat perang, pasukan terbaik biasanya "disimpan" dulu untuk pukulan terakhir yang menentukan. Sekarang ternyata pihak Manchu membalik siasat itu.

Pasukan terbaik diterjunkan di "ronde pertama" untuk merontokkan semangat musuh, agar musuh menyangka semua pasukan Manchu yang lain sekualitas dengan pasukan yang terjun hari itu.

“Kalau kelak orang-orang Manchu ini membandel tidak mau kembali ke Liau-tong, mudah-mudahan prajurit-prajuritnya Helian Kong, Su Ko-hoat dan yang lain-lain dapat menandingi kegarangan pasukan ini..." harap Bu Sam-kui dalam hati. la menengadah, menatap Bendera Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari) yang bergoyang lemah, seolah Bu Sam-kui mohon dimaklumi kesulitannya.


Kongsun Koan di pegunungan, menerima berita tentang apa yang terjadi di San-hai-koan itu dengan perasaan bergolak. Antara heran, kecewa, gusar, dan bingung tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bu Sam-kui adalah atasannya, dan atasannya itu telah melakukan sesuatu yang amat sulit dipahami.

“Bagaimana dengan pasukan Pelangi Kuning?" tanya Kongsun Koan kepada si pembawa berita.

"Mereka dalam gerakan mundur ke arah Pak-khia.”

“Apakah mereka tidak berhenti di suatu tempat untuk membangun suatu garis pertahanan yang mantap?"

Si pembawa berita menggeleng, "Aku belum mengetahuinya, Komandan. Ketika aku berangkat ke tempat ini, mereka masih bergerak dan belum ada tanda-tanda berhenti. Agaknya Lau Cong-bin si tolol itu benar-benar pecah nyalinya. Aku sudah minta agar Si A-lok terus mengamati gerakan pasukan itu dan melaporkannya kemari, begitu si tolol Lau Cong-bin berhenti..."

Entah kenapa, tiba-tiba dalam hati Kongsun Koan merasa kasihan kepada Lau Cong-bin. “Jangan sebut dia tolol lagi..." desisnya perlahan. Dalam, hatinya dilanjutkan sendiri, "Mungkin yang paling tolol saat ini adalah panglima kita sendiri, Bu Sam-kui..."

Tetapi itu tidak diucapkannya, ia belum mau memerosotkan kewibawaan Bu Sam-kui sebelum paham benar apa alasannya sampai Bu Sam-kui mendatangkan pasukan Manchu. “Apakah pasukan Manchu itu hebat?”

“Jumlahnya memang tidak bisa dibilang besar, tetapi harus diakui mereka hebat. Kalau tidak hebat, mereka tidak akan mencerai-beraikan pasukan si tol... eh, maksudku, Lau Cong-bin yang jauh lebih banyak."

Kongsun Koan mengepalkan tinjunya, menggeram, "Keputusan mendatangkan pasukan Manchu ini pastilah hasil hasutan si keparat Jai Yong-wan itu. Sejak dulu si Korea bangsat itu selalu memberi keterangan yang menyesatkan kepada Jenderal Bu, dan tak beruntungnya, Jenderal Bu begitu mudah mempercayai dia..."

Sejak lama memang Kongsun Koan tidak menyukai Jai Yong-wan. Maka sekarang pun dia langsung mendakwa Jai Yong-wan di belakang semuanya ini. Tak terduga, si pembawa berita menggeleng dan berkata,

"Menurut keterangan yang aku kumpulkan dari sana-sini, yang menganjurkanJenderal Bu untuk mengambil keputusan seperti ini adalah Jenderal Helian dan seorang utusan Jenderal Su dari Yang-ciu..."

Kongsun Koan kaget, begitu pula perwiraperwira lain yang mendengarnya. Seperti diketahui, pasukan yang dipimpin Kongsun Koan itu sekarang bergabung dengan pasukannya Helian Kong, dan di antara perwiraperwira itu ada beberapa perwiranya Helian Kong yang sulit mempercayai berita itu.

“Tidak mungkin!” beberapa perwira bawahan Helian Kong menyanggah serempak.

Seorang perwira bawahan Helian Kong menyambung, "Kalau komandan Helian sudah kembali dari Pak-khia, tentu akan sudah berada di sini saat ini. Nyatanya belum...”

“Jangan ngawur kalau bicara!”

Dan berbagai kata-kata lainnya, bahkan ada yang setengah mendamprat. Kongsun Koan cepat mengangkat tangannya, menyuruh yang lain-lainnya diam, dan yang lain-lainnya menurut termasuk perwira-perwiranya Helian Kong,1bagaimanapun, Kongsun Koan adalah komandan pasukan gabungan itu, sebab Helian Kong sudah menitipkan kekuasaan sementara dia pergi ke Pak-khia.

Kongsun Koan menatap si pembawa berita dan bertanya, "Coba bicara yang jelas. Benarkah Komandan Helian Kong yang menganjurkan Jenderal Bu berbuat demikian?"

Si pembawa berita merinding juga ditatap sekian banyak perwira. Agak tergagap ia menjawab, "Begitu yang aku dengar, bukan pendapatku sendiri..."

Kongsun Koan cepat menengahinya dengan bijaksana, "Apa pun yang sudah terjadi, tidak ada gunanya kita berdebat di sini. Kalau benar Komandan Helian mengusulkan tindakan itu kepada Jenderal Bu, tentunya ada pertimbangan yang matang. Kita sekarang perlu bersikap tenang, sambil mengamati setiap perkembangan...”

“Entah kenapa sampai sekarang Komandan Helian belum bergabung dengar kita?"

"Kalau benar dia sudah berada di San-hai-koan, tentu dia menghubungi kita. Tempat ini tidak jauh dari San-hai-koan, meskipun tersembunyi...”

“Mungkin Komandan Helian mendampingi Jenderal Bu. Bagaimanapun, dalam situasi seperti ini Jenderal Bu membutuhkan banyak sumbangan pikiran atau teman untuk menanggung beban pikiran bersama, agar tidak salah langkah..." demikianlah orang-orang itu menduga-duga.

Kongsun Koan tidak ikut berbicara, namun diam-diam menyimpan kecemasan dalam hatinya, bahwa yang bakal menjadi "teman berpikir bersama" Bu Sam-kui itu bukannya Helian Kong, melainkan Jai Yong-wan yang ia curigai sebagai mata-mata Manchu. Kecemasannya tidak tertahan lagi, sehingga tiba-tiba saja ia berkata, "Malam nanti aku akan ke San-hai-koan, menjumpai Jenderal Bu...”

“Menyusup?"

"Tidak. Terang-terangan. Bukankah kaum Pelangi Kuning sudah meninggalkan San-hai-koan?”

“Pimpinan pasukan di sini? Atau pasukan di sini dibawa pulang sekalian ke San-hai-koan?”

“Tidak, tidak. Pasukan tetap di sini, jangan pulang ke San-hai-koan dulu...”

“Kenapa?”

“Aku harus tahu dulu sejelas-jelasnya apa yang terjadi di San-hai-koan.”

“Pimpinan pasukan di sini?" Kongsun Koan menunjuk seorang perwira bawahan Helian Kong yang paling senior, "Kau, Kapten Kwe. Kau pimpin pasukan ini atas nama Komandan Helian.”

“Baik, Komandan Kongsun. Bagaimana dengan tawanan itu?" Yang dimaksud Ong Ling-po, seorang perwira Pelangi Kuning yang sudah beberapa hari menjadi tawanan.

“Perlakukanlah dia baik-baik seperti biasanya, jangan ambil keputusan apa-apa tentang dia sampai Komandan Helian atau aku kembali.”

“Baik," sahut Kwe Peng-hui, si perwira yang diserahi pimpinan.

Ketika matahari tepat berada di puncak, Kongsun Koan meninggalkan pasukan itu. Sendiri, dalam pakaian orang pegunungan. Pedang besarnya digendong di punggungnya, la menuju ke San-hai-koan, tanpa menunggu hari menjadi gelap sebab ia memang ingin terangterangan datang ke San-hai-koan. Baginya, datang ke San-hai-koan sama dengan pulang ke kandang sendiri dan tidak perlu sembunyi-sembunyi.

Meskipun demikian, karena ia hanya berjalan kaki, maka ketika tembok San-hai-koan nampak di depan mata maka hari sudah gelap. Ia melihat beberapa lampion kelap-kelip di atas tembok kota, dan bayangan prajurit-prajurit hilir mudik di atasnya. Yang membuat Kongsun Koan masygul adalah ketika melihat perbandingan jumlah antara prajurit-prajurit San-hai-koan dan prajurit-prajurit Manchu adalah satu banding tiga. Satu prajurit San-hai-koan, tiga prajurit Manchu.

Dari kejauhan pun mudah dikenali dari bentuk topi mereka. Prajurit-prajurit San-hai-koan topinya berbentuk bulat dengan sedikit tepian di sekelilingnya dan lidah kain pelindung tengkuk, seperti umumnya prajurit-prajurit dinasti Beng lainnya. Prajurit-prajurit Manchu topinya berbentuk caping petani, namun terbuat dari rotan, bukan bambu.

Melihat perbandingan jumlah kedua pasukan itu, Kongsun Koan menggerutu, "Orang-orang Manchu ini datang membantu, atau mengambil-alih San-hai-koan? Kalau Jenderal Bu yang malas berpikir itu sampai tidak memperhitungkan masalah ini, memang masih bisa diterima. Tetapi kalau Jenderal Helian yang berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan itu sampai tidak memperhitungkan hal ini, rasanya aneh..."

Biarpun perasaannya kurang tenteram, Kongsun Koan melangkah terus sampai ke2depan pintu gerbang kota, lalu berteriak ke atas tembok, "Heeeiii! Buka pintuuuuu!”

Prajurit-prajurit di atas tembok mendengar, lalu salah seorang prajurit balas berteriak, "Siapa di situ?”

“Aku Kongsun Koan!”

Beberapa prajurit San-hai-koan mengenali suara Kongsun Koan, meskipun tidak melihat siapa yang berdiri di luar pintu kota, sebab amat gelap dan cahaya obor di atas tembok tidak menjangkau ke bawah. Ada kabut malam pula. “Itu Komandan Kongsun, aku kenal suaranya. Cepat buka!”

Dua prajurit sudah bergerak hendak menuruni undakan batu untuk membuka pintu kota, tetapi seorang perwira rendahan Manchu mencegah dalam bahasa Han yang kaku, "Tunggu dulu!”

Prajurit-prajurit San-hai-koan heran. “Tunggu apa lagi? Kami kenal orang yang di luar itu adalah memang perwira kami. Namanya Kongsun Koan. Dia minta dibukai pintu dan kami harus membukanya!”

Perwira Manchu itu menjawab, "Aku yang diserahi tanggung-jawab penjagaan pintu kota ini. Dibukai atau tidak adalah tergantung keputusanku!”

Para prajurit San-hai-koan menjadi kurang senang menghadapi sikap prajurit-prajurit asing itu. “He, ingat kalian sekarang ini sedang berada di mana? San-hai-koan adalah wilayah kami, dan yang berkibar di kota ini juga bendera kami! Apakah urusan membuka pintu saja harus minta ijin kepada kalian?"

Si perwira Manchu menjawab sambil tertawa, "Masalahnya bukan siapa tuan rumah dan siapa tamu, bukan pula masalah bendera apa yang berkibar di sini, melainkan siapa yang kuat di sini! Yang kuat, itulah yang menentukan!"

Situasi jadi tegang seketika. Prajurit-prajurit San-hai-koan tersinggung, namun mereka tidak berdaya. San-hai-koan seolah-olah memang sudah diambil-alih oleh pasukan yang katanya, "hanya membantu" itu. Beberapa saat prajurit-prajurit San-hai-koan di tempat itu seolah-olah terkunci mulutnya.

Sampai salah seorang prajurit yang paling senior di antara kawan-kawannya terpaksa bersuara dengan nada mengalah, "Jadi sekarang, akan kita buka pintunya atau tidak?"

Si perwira Manchu tersenyum penuh kemenangan, "Kita lihat siapa yang datang, kita periksa dia, geledah dia, barulah kita putuskan boleh masuk kota ini atau harus diusir kembali!”

"Yang datang itu Komandan Kongsun, perwira kami...”

“Aku yang memutuskan!”

Prajurit senior San-hai-koan itu pun cuma menarik napas, menahan kejengkelannya. Tetapi ia belum berani mengambil keputusan yang akan menjerumuskan pihaknya ke dalam pertentangan terbuka dengan prajurit-prajurit Manchu itu.

Begitulah, pintu gerbang dibuka. Kong-sun Koan disongsong oleh prajurit-prajurit San-hai-koan dengan prajurit-prajurit Manchu. Prajurit-prajurit San-hai-koan menyambut dengan hangat, tetapi prajurit-prajurit Manchu menggusarkan Kongsun Koan ketika mereka hendak menggeledah Kongsun Koan.

“He, kalian hanya bisa lakukan itu di tanah nenek-moyang kalian di Lian-tong, bukan di sini!” gertak Kongsun Koan sambil melotot.

“Aku perwira di San-hai-koan, prajurit-prajurit ini mengenaliku semua!”

Si perwira rendahan Manchu. itu tak bergeming dalam sikap angkuhnya, "Kamilah yang sekarang bertanggung-jawab untuk keselamatan kota ini, dan kami harus mempertanggung-jawabkannya!”

Keruan kemarahan Kongsun Koan seperti api disiram minyak, ia menoleh kepada prajurit-prajurit San-hai-koan dan berkata, "Benarkah demikian?"

Seorang prajurit San-hai-koan memberanikan menjawab, "Rasanya tidak begitu. Jenderal Ang dari pasukan Manchu sendiri menjamin bahwa pasukan Manchu ini hanya membantu dan bukan mengambil-alih. Kenapa kau menafsirkannya sejauh itu?"

Perwira Manchu itu tertawa dingin, "Hem, memang dulunya kalian yang bertanggung jawab, tetapi sudah terbukti kalian tidak becus menghadapi maling-maling amatiran semacam orang-orang Pelangi Kuning itu, bahkan hampir-hampir saja kota ini jatuh ke tangan mereka kalau tidak kami tolong. Itulah sebabnya sekarang tanggung-jawab keamanan kota ini sekarang di tangan kami!”

"Tidak benar!” hampir serempak belasan prajurit San-hai-koan yang ada di tempat itu menjawab serempak. Tadinya mereka gentar, sekarang ada Kongsm Koan di dekat mereka, mereka jadi berani.

Apa mau dikata, merasa pihaknya jauh lebih kuat, si perwira Manchu tidak mau menggubris suasana. Dengan isyarat ia memerintahkan prajurit-prajurit bawahannya untuk melaksanakan perintahnya yang tadi, menggeledah Kongsun Koan.

Para prajurit Manchu segera hendak mulai menggeledah, tetapi dua di antara mereka mencelat mundur dengan hidung ringsek, dijotos Kongsun Koan. Lalu dua orang lagi menggelosor di tanah karena tendangan beruntun Kongsun Koan.

Si perwira Manchu menjadi gusar dan menjatuhkan perintahnya, "Orang ini jelas pengacau! Dapatkan dia hidup atau mati!”

Para prajurit Manchu tidak lagi menggunakan tangan kosong untuk menangkap, melainkan ujung-ujung senjata merekalah yang berluncuran maju. Kongsun Koan tentu tidak mau dibantai begitu saja, ia melompat mundur sambil menghunus pedangnya yang besar dari gendongannya. Pedang yang gagangnya dipegangi dengan dua tangan.

Ketika pedang itu disapukan melingkar, beberapa pedang prajurit Manchu terbentur dan terlempar lepas dari tangan mereka. Beberapa tangkai tombak yang terbuat dari kayu pun tertabas buntung sehingga yang tertinggal di tangan pemegang-pemegangnya hanyalah semacam tongkat kayu tanpa ujung yang runcing.

“Hayo, tangkap aku kalau mampu!” gertak Kongsun Koan garang sambil memutarkan pedangnya beberapa kali dengan dua tangan.

Deru anginnya membuat obor-obor di pintu kota itu bergoyang hampir padam. Namun prajurit-prajurit Manchu yang dikirim ke San-hai-koan itu adalah prajurit-prajurit pilihan dari pasukan terbaik, mendahului pasukan-pasukan lain. Sekali aba-aba dikeluarkan oleh komandan mereka, mereka akan melaksanakannya dengan taruhan apa saja.

Begitulah, prajurit-prajurit yang kehilangan senjata itu mundur untuk mengambil senjata-senjata baru, sementara yang masih bersenjata menyerbu maju tanpa kenal takut. Nyali mereka tidak bergeming melihat kehebatan Kongsun Koan.

Si komandan Manchu sendiri tidak hanya memerintah, tetapi ikut merangsak maju dengan senjatanya, tombak yang tangkainya bukan kayu melainkan besi. Agaknya dia pun seorang yang bertenaga besar, sehingga nafsu bersaingnya muncul dirangsang pameran kekuatan Kongsun Koan tadi.

Di pintu gerbang itu pun segera terjadi pertempuran. Ternyata si komandan Manchu itu memiliki tenaga yang boleh diandalkan. Berulang kali tombak besinya berhasil menghentikan sapuan pedang besar Kongsun Koan. Prajurit-prajurit bawahannya pun jadi bersemangat.

Mereka tidak tahu kalau Si Komandan Tombak Besi itu pun sebetulnya mengeluh karena sepasang lengannya menjadi sangat pegal gara-gara beberapa kali benturan senjatanya dengan pedang Kongsun Koan tadi. Tetapi tentu saja keadaan itu disembunyikannya, tidak dipertontonkannya kepada prajurit-prajuritnya.

Begitulah, perkelahian di pintu ger bang kota itu makin lama makin sengit. Dan bertambah sengit setelah ada dua orang prajurit Manchu terluka. Salah seorang hampir putus betisnya tersambar pedang Kongsun Koan yang tidak menahan diri lagi.

“Panggil penembak-penembak senapan!” teriak Si Komandan Manchu dengan gusar.

Yang serba salah dalam peristiwa itu adalah prajurit-prajurit asli San-hai-koan. Mereka tidak berani bertindak menentang tingkah-laku prajurit-prajurit asing itu, namun di dalam hati mereka jelas-jelas memihak Kongsun Koan.

Tetapi sebelum korban jiwa jatuh, tiba-tiba dari tengah-tengah kota kelihatan beberapa penunggang kuda berderap mendekat. Kelihatan makin dekat, dan kemudian nampak yang datang itu adalah seorang perwira Manchu yang kedudukannya nampak cukup tinggi kalau dilihat dari seragamnya. Perwira itu berwajah cerah, bersih, masih muda, sepasang alisnya yang tebal membuat ia kelihatan berwibawa.

“Hentikan! teriaknya sambil memacu mudanya mendekat.

Si komandan rendahan Manchu yang masih bertempur itu belum melihat jelas siapa yang datang. Maka ia terus bertempur. Bukan karena tidak mau berhenti, melainkan tidak bisa berhenti sebab serangan Kongsun Koan bertubi-tubi membadai dilandasi kemarahan. Berhenti berarti terpotong oleh pedang Kongsun Koan. Namun tiba-tiba perwira rendahan itu merasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya pun terhempas keluar gelanggang.

Sementara Kongsun Koan yang pedangnya hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja melihat sesosok bayangan melompat masuk ke gelanggang dengan gerakan amat cepat. Ia bahkan tidak melihat jelas bagaimana si perwira rendahan Manchu itu "keluar arena" dengan cara yang agaknya "kurang terhormat" itu.

Dan Kongsun Koan sendiri tiba-tiba merasakan pedangnya tidak dapat bergerak lagi, terjepit sepasang telapak tangan yang ditangkupkan! Sekilas ia sempat mengamati orang yang memasuki gelanggang itu.

Seorang punggawa Manchu yang berusia muda dan tampan, senyumnya ramah, usianya sebaya dengan Kongsun Koan sendiri, tetapi kemampuan tempur pribadinya sungguh jauh di atas Kongsun Koan. Namun senyuman di wajah perwira muda itu menggelegakkan darah muda Kongsun Koan.

Ia kumpulkan kekuatan dan semangatnya untuk menarik pedangnya, pedangnya bergerak sedikit dan sepasang lengan panglima Manchu itu bergoyang sedikit, tetapi pedang itu tetap terjepit kuat. Kongsun Koan menarik sekali lagi, namun kali ini justru si panglima melepaskan tangkupan sepasang telapak tangannya sehingga Kongsun Koan pun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Kemudian mengokohkan kembali kuda-kudanya dan siap melabrak kembali.

Ketika itulah si Panglima Manchu yang masih muda itu berkata, "Sabar Saudara Kongsun..."

Kongsun Koan tercengang, "He, kau tahu namaku?”

“Baru saja seorang prajurit San-hai-koan melaporkan keributan di sini ke markas pusat, kebetulan aku sedang du sana, lalu aku kemari untuk membereskan persoalan ini."

Lalu panglima muda itu dengan garang menoleh kepada si perwira rendahan Manchu yang mengkeret seperti tikus di depan kucing. Kata si Panglima muda, "Apakah kau tidak bisa bersikap sebagai tamu yang baik di San-hai-koan ini? Kita di sini diundang, dan harus menghormati Tuan rumah kita!”

Perwira rendahan itu tergagap-gagap, "I... iya... iya...”

“Minta maaflah sebagai prajurit yang berpangkat lebih rendah!”

Perwira rendahan itu berlutut kepada si Panglima muda dengan gaya Manchu. Hanya sebelah kaki yang ditekuk, dan sebelah tangan menekan tanah. “Saya minta maaf, Panglima!”

"Bukan kepadaku, tetapi kepada Komandan Kongsun, kau telah bersikap kurang ajar kepadanya!”

Perwira rendahan Manchu itu merasa berat hatinya harus melakukan itu, tetapi ia tidak berani membangkang. Ia lakukan itu. Keputusan yang diambil panglima Manchu itu memuaskan prajurit-prajurit San-hai-koan.

Tetapi Kongsun Koan diam-diam membuat penilaian tersendiri, "Taktik mengambil hati seperti ini lebih berbahaya daripada sikap kasar si perwira rendahan. Taktik halus ini menyelubungi niat yang sebenarnya dari orangorang Manchu untuk menjajah Tiong-goan, dan banyak orang Tiong-goan yang terbius oleh kedok ini..."

Tetapi saat suasana sudah reda, Kongsun Koan tidak punya alasan untuk ngotot. Ia hanya bertekad dalam hati akan memberi peringatan kepada Bu Sam-kui, nanti kalau sudah berhadapan muka.

Si Panglima muda Manchu itu kemudian memberi hormat kepada Kongsun Koan dan berkata, "Saudara Kongsun, maafkan kelakuan kasar prajurit-prajurit kami. Harap Saudara Kongsun tidak terpengaruh oleh sikapnya. Kami datang ke San-hai-koan ini benar-benar sebagai sahabat yang tahu menghormati Tuan rumahnya. Buktinya, kami siang tadi bertempur tanpa mengibarkan bendera kami sendiri, melainkan kami bertempur di bawah bendera Kerajaan Beng..."

Kongsun Koan cuma mengangguk, tidak berkata sepatah kata pun. Pedangnya yang besar tidak disarungkannya, melainkan dipanggulnya di pundak, sebagaimana kecurigaannya yang juga belum "disarungkan".

Sementara Panglima Manchu itu tetap bersikap ramah, "Kalau Saudara Kongsun ingin bertemu dengan Jenderal Bu, mari, aku akan menemani Saudara. Jenderal Bu menunggu Saudara..."

Kembali Kongsun Koan cuma mengangguk dan melangkah di samping panglima Manchu itu. Sekilas Kongsun Koan sempat melirik ruyung Sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) yang terselip di pinggang panglima Manchu itu. Ruyung itu agaknya terbuat dari perak seluruhnya, atau setidak-tidaknya campuran perak yang cukup banyak.

Meskipun Kongsun Koan terus membungkam, Panglima Manchu itu terus menerus mencoba bersikap ramah, mengajak bercakap-cakap, sepanjang jalan menuju markas. Jalan agak diterangi oleh lampionlampion yang bergantung di depan rumah. Tiba-tiba Kongsun Koan merasa rugi kalau ia yang ditanyai terus, sedang ia sendiri tidak tahu apa-apa untuk lawan bicaranya itu.

Maka ia lalu mencoba "mencairkan" sikapnya, dan bertanya, "Panglima, siapa nama Panglima?"

Si Panglima Manchu merasa gembira karena akhirnya Kongsun Koan mau bersikap lebih ramah, meskipun pedang besarnya tetap dipanggul di pundak dan tidak disarungkan. Panglima Manchu itu menjawab, "Namaku Sek Hong-hua.”

“Panglima Sek, bahasa Han mu fasih sekali. Tidak kaku.”

“Aku pernah beberapa tahun berada di Tiong-goan.”

“Ooo, untuk urusan apa?"

Sudah tentu Sek Hong-hua tidak menjawab bahwa tahun-tahun itu ia, sedang memata-matai Tiong-goan sebagai persiapan penyerbuan Manchu. Inilah jawabannya, "Cari makan. Berdagang obat-obatan, keliling dari satu tempat ke tempat yang lain..."

Dan sudah tentu pula Kongsun tidak menelan mentah-mentah keterangan ini. “Jadi Panglima Sek ini dulunya bukan prajurit?”

“Bukan..." jawab Sek Hong-hua mengambang.

“Berapa tahun sudah jadi prajurit?”

“Baru lebih kurang tiga tahun...”

“Hebat. Baru tiga tahun masuk tentara, sudah jadi panglima.”

“Mungkin karena... karena... yah, ada kenalan keluargaku yang punya kedudukan penting dalam ketentaraan..." lagi-lagi jawaban ini terdengar mengambang di kuping Kongsun Koan.

“Mungkin juga karena ilmu silat Panglima yang hebat..." sambung Kongsun Koan.

“Terima kasih," Sek Hok-hua tanpa sungkan menerima pujian itu.

Mereka pun sampai ke markas yang dijaga. Ternyata penjagaan di situ juga dilakukan oleh pasukan gabungan, prajurit-prajurit Manchu dan prajurit San-hai-koan. Karena Kongsun Koan datang bersama Sek Hong-hua, maka ia tidak mengalami kesulitan. Tidak lama kemudian Kongsun Koan sudah berhadapan dengan Bu Sam-kui di ruang komando.

Tetapi di ruang itu juga ada perwira-perwira tinggi Manchu di samping perwira-perwira tinggi San-hai-koan sendiri. Kedatangan Kongsun Koan disambut gembira oleh rekan-rekannya, sesama perwira San-hai-koan, juga Bu Sam-kui sendiri. Tetapi Kongsun Koan sendiri jadi merasa kurang leluasa berbicara karena adanya perwira-perwira Manchu di ruangan itu.

“Bagus kau datang Saudara Kongsun..." sambut Bu Sam-kui, yang masih menduduki kursinya yang berlapis kulit macan tutul. Kursi yang diduduki hanya oleh orang-orang yang memegang kekuasaan militer tertinggi di San-hai-koan.

Tetapi tetap duduknya Bu Sam-kui bukan jaminan segala sesuatunya beres. Bu Sam-kui duduk di kursi itu, tetapi di seluruh San-hai-koan prajurit-prajurit Manchu berkeliaran bebas dan membuat prajurit-prajurit San-hai-koan rendah diri.

“Benar, Panglima. Aku mendengar tentang apa yang terjadi di sini?”

“Bagaimana yang kau dengar itu?"

Kongsun Koan ragu-ragu menjawab, "Aku dengar... kota ini sudah diambil-alih oleh... oleh..."

Seorang perwira Manchu yang bisa berbahasa Han segera menyahut mendahului Bu Sam-kui, "Pasti kau dengar kota ini sudah diambil-alih oleh kami, prajurit-prajurit Manchu? Salah sama sekali Kami datang untuk membantu dinasti Beng tegak kembali dengan menghancurkan kaum Pelangi Kuning, setelah itu, kami pulang ke Liau-tong. Kami tidak mau menjajah."

Kongsun Koan hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu, biar sebetulnya dalam hatinya tidak mempercayai. Di tengah-tengah pasukan Manchu yang memenuhi San-hai-koan itu, Kong-sun Koan memutuskan untuk banyak berpura-pura. Ia lalu pura-pura menunjukkan wajah cerah, dan berkata,

"Syukurlah, aku lega mendengar San-hai-koan diselamatkan oleh sobat-sobat dari Liau-tong. Aku memang ingin mendengar penjelasan lengkap dari Jenderal Bu..."

Yang dimaksud Kongsun Koan adalah pembicaraan empat mata dengan Bu Sam-kui. Namun Kongsun Koan mengutuk dalam hati ketika ternyata panglima atasannya itu tidak menangkap maksudnya itu, malah berkata, "Baik, aku akan menjelaskanmu..."

Lalu menyerocoslah Bu Sam-kui, sudah tentu penjelasannya itu disesuaikan dengan kuping perwira-perwira Manchu. Bu Sam-kui tidak menyebut-nyebut tentang Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat" yang menganjurkan Bu Sam-kui "meminjam" pasukan Manchu, kelak kalau jasukan Manchu berniat jahat akan dipaksa keluar dengan "pasukan dari selatan".

Bagian ini, sudah tentu Bu Sam-kui tidak membeberkannya di hadapan perwira-perwira4Manchu. Yang dikatakannya hanyalah "niat tulus" pasukan Manchu menolong San-hai-koan dari kesulitannya.

Sudah tentu Kongsun Koan tidak puas mendengar penjelasan macam itu. la cari akal bagaimana bisa mengajak panglima atasannya itu bicara empat mata. Tiba-tiba dia pun menemukan akal. Dengan berlagak tolol, ia tiba-tiba berkata,

"Aku dengar, sebelum Panglima mengambil keputusan ini, Panglima ditemui oleh..."

Bu Sam-kui kaget, khawatir kalau Kongsun Koan nyerocos terus dan membuat orang-orang Manchu mengetahui soal Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat" itu. Maka cepat-cepat ia memotong perkataan Kongsun Koan, "Hal ini memang perlu penjelasan tersendiri, Saudara Kongsun..."

Lalu Bu Sam-kui menoleh kepada Ang Seng-tiu, bekas atasannya yang sekarang menjadi pemimpin pasukan Manchu yang ada di Sanhai-koan itu. Ang Seng-tiu duduk di kursi yang lebih rendah dari Bu Sam-kui, namun ternyata Bu Sam-kui bernada minta ijin dari Ang Seng-tiu,

"Jenderal Ang, perwira bawahanku ini agaknya perlu aku beri penjelasan tersendiri. Empat mata..."

Adegan ini membuat Kongsun Koan tidak senang. Benarlah dugaannya. Biarpun Bu Sam-kui masih menduduki kursi berlapis kulit macan tutul yang menjadi lambang kekuasaan tertinggi San-hai-koan, ternyata untuk segala sesuatunya ia harus minta ijin dulu kepada Ang Seng-tiu.

Dan ternyata, Ang Seng-tiu yang resminya adalah pimpinan tertinggi pasukan Manchu di San-hai-koan, juga bukan pengambil keputusan yang sebenarnya. Ia menoleh kepada seorang Manchu tak berseragam perwira yang berambut putih dan bermata tajam, berdiri bagaikan patung dan selalu bersedakap. Kulit mukanya kuning hangus seperti perunggu, sorot matanya tajam.

Dari tadi ia tidak berbicara, dan kini sekali berbicara terdengarlah suaranya yang parau dan sama sekali tidak enak di kuping, "Jenderal Bu, kita semua sudah menjadi kawan sekutu dan tidak perlu ada rahasiara-hasiaan di antara kita. Apa yang mau kau katakan, katakan saja di sini. Kita semua adalah orang sendiri..."

Lalu Ang Seng-tiu hanya menabuh gongnya saja, "Betul, Jenderal Bu."

Bu Sam-kui maupun Kongsun Koan jadi serba salah. Mereka cuma saling pandang tak berdaya. Seluruh ruangan tercekam kesunyian dalam kecanggungan. Ada beberapa perwira San-hai-koan di ruangan itu, tetapi mereka pun tidak berani berbicara seperti jengkerik terpijak. Yang kemudian memecah kesunyian, justru adalah perwira muda Sek Hong-hua yang tadi bersama-sama Kongsun Koan dari pintu gerbang.

“Tuan Yim, biar kedua pasukan sudah menjadi sekutu, tetapi bagaimanapun masih ada hal-hal yang hanya bisa dibicarakan di antara orang-orang sepasukan sendiri. Bukankah dalam pasukan kita sendiri, kita juga punya rahasia-rahasia militer yang hanya boleh dibicarakan di kalangan orang-orang tertentu kita yang terbatas jumlahnya? Sebagaimana kita, begitu juga mereka. Apakah kita tidak keterlaluan kalau sebagai tamu malah mengatur tuan rumah? Lalu tamu macam apa kita ini?"

Mengherankan. Sek Hong-hua sebagai perwira tentunya ada di bawah perintah Ang Seng-tiu sebagai panglima. Ang Seng-tiu nampaknya gentar kepada orang yang tidak mengenakan seragam perwira itu, sebagaimana perwira-perwira lainnya.

Ternyata, kata-kata Sek Hong-hua tidak kedengaran sungkan sedikit pun, dan lucunya lagi ternyata si orang she Yim itulah yang malahan kelihatan sungkan kepada Sek Hong-hua.

Dari sini saja sudah cukup membingungkan para perwira San-hai-koan sebagai orang-orang luar, mana yang paling berkuasa dalam pasukan Manchu yang ada di San-hai-koan ini? Yang jelas, siapa pun yang paling berkuasa di antara mereka, nampaknya Bu Sam-kui sebagai pimpinan tertinggi San-hai-koan yang ternyata juga sekedar boneka. Jadi kenyataannya, Bu Sam-kui adalah "bonekanya boneka".

Orang Manchu she Yim itu menjawab Sek Hong-hua dengan hormat, "Perwira Sek, kalau di antara dua sekutu masih tersembunyi rahasia-rahasia yang tidak diungkapkan, persekutuan itu masih rapuh dan gampang dicerai-beraikan. Aku hanya ingin menjaga agar hal ini tidak terjadi antara persekutuan kita dengan sobat-sobat dari San-hai-koan ini..."

Seng Hong-hua ternyata berani tertawa dingin di depan Yim Mo yang disegani Ang Seng-tiu itu, "Kalau begitu, Tuan Yim, untuk baik dan adilnya, pihak San-hai-koan pun harus diberitahu semua rahasia militer kita..."

Kontan Yim Mo tersudut. Wajahnya berubah hebat, begitu juga wajah perwira-perwira tinggi Manchu yang mengetahui rencana sejati pihak Manchu, rencana rahasia yang bahkan tidak banyak diketahui oleh perwira-perwira Manchu yang kebanyakan.

Sek Hong-hua adalah salah seorang yang karena kedudukannya, mengetahui rencana-rahasia itu, sayangnya Sek Hong-hua sendiri secara terbuka menyatakan tidak setuju dengan rencana itu, dan mengatakan bahwa kalau ia sanggup menyimpan rahasia itu bukan karena ia setuju, melainkan karena terikat kepada sumpah prajuritnya.

Kini, di depan perwira-perwira San-hai-koan, Sek Hong-hua tiba-tiba "menyerempet" masalah yang rawan itu, Yim Mo dan para perwira tinggi yang mengetahui rencana-rencana itu pun menjadi khawatir sekali. Khawatir kalau Sek Hong-hua sampai "bocor mulut"-nya. Akhirnya Yim Mo mengalah dan berkata, "Baiklah, kita ijinkan Jenderal Bu..."

Sek Hong-hua menukas gusar, "Jenderal Bu tidak perlu diijinkan siapa-siapa untuk berbuat apa saja di San-hai-koan ini! Ia boleh berbuat sekehendak hatinya, sebab ialah Tuan rumah di San-hai-koan ini, bahkan seandainya dia hendak mengusir kita malam ini juga!”

Wajah kuning hangus Yim Mo berubah menjadi ungu, mungkin kalau bagi orang yang normal warna kulitnya, dari warna putih menjadi merah padam tanda menahan amarah. Tetapi ia benar-benar tidak berani berdebat dengan Sek Hong-hua. “Baiklah, baiklah..." katanya terpaksa.

“Jenderal Bu, silakan berbicara empat mata dengan perwira bawahanmu..."

Kongsun Koan yang baru malam itu bertemu dengan Sek Hong-hua, diam-diam heran juga terhadap perwira muda Manchu itu. Pertama ia cuma terkejut akan kehebatannya yang mampu menjepit pedang besarnya hanya dengan sepasang telapak tangannya, lalu keramah-tamahannya, dan sekarang di hadapan para perwira dari kedua pasukan, kembali Kongsun Koan heran akan Sek Honghua dalam dua hal.

Pertama, nampaknya dia disungkani atau disegani oleh tokoh-tokoh pasukan Manchu yang lain biarpun tokoh-tokoh itu kedudukannya lebih tinggi. Kedua, sikapnya yang kelihatannya sangat membela pasukan San-hai-koan dan mengeritik tajam sikap angkuh kawan-kawannya sendiri. Tapi yang paling menggelitik hati Kongsun Koan adalah50 ucapan Sek Hong-hua tentang "rahasia militer kita" tadi.

Sementara itu, Bu Sam-kui telah berdiri. Berusaha bersikap tetap gagah dan seolah-olah tidak dipengaruhi siapa-siapa, ketika ia melangkah meninggalkan ruangan itu. Dengan isyarat tangannya, ia minta Kongsun Koan mengikutinya.

Pada saat yang sama, Yim Mo yang baru saja ditentang secara terbuka oleh Sek Hong-hua itu mengeloyor pergi dari ruangan itu. Tidak minta ijin kepada siapa-siapa, termasuk kepada Ang Seng-tiu yang dianggap pimpinan sekalipun. Ang Seng-tiu mencoba menjaga martabatnya dengan pura-pura tidak melihat.

Bu Sam-kui mengajak Kongsun Koan ke sebuah ruang di belakang markas. Begitu berada di belakang pintu tertutup di ruangan itu, kekesalan Kongsun Koan meledak tak tertahankan lagi,

"Panglima, inikah yang dianggap mereka membantu kita? Omong kosong! Mereka tidak membantu, mereka menguasai kita! Aku sudah merasakan gelagat ini sejak aku memasuki kota ini. Di pintu aku digeledah seperti maling! Dan di ruang depan itu dengan mataku sendiri aku melihat mereka bahkan... mengendalikan Panglima!”

Bu Sam-kui melotot, "Kongsun Koan, begitu tidak bergunakah aku di dalam pandanganmu, sehingga orang-orang liar dari Liau-tong itu bisa menyetir aku, memainkan aku seperti boneka?"

Kongsun Koan menjawab "ya" tetapi hanya dalam hatinya. Di mulutnya ia berkata lain, "...kelihatannya demikian, Panglima..."

"Kau kemari mau mendengarkan penjelasanku, atau ingin memarahi aku?”

“Maaf, Panglima. Maaf..." Kongsun Koan menunduk di hadapan atasannya.

“Duduk," perintah Bu Sam-kui, dan ia sendiri pun menarik sebuah kursi untuk didudukinya. “Aku akan menjelaskan dan kau boleh bertanya dimana perlu, supaya hatimu puas dan mengerti benar-benar apa yang kulakukan ini. Tetapi suaramu jangan keras-keras, siapa tahu ada yang menguping di luar."

Kongsun Koan menahan diri, dan mulailah ia mendengarkan penjelasan Bi Sam-kui. Mulai kedatangan Helian Kong' dan "utusan Su Ko-hoat" dan semua yang dikatakan mereka, yang membuat Bu Sam-kui berani mengambil keputusan mengundang tentara Manchu.

Dan Bu Sam-kui menutup penjelasannya dengan kata-kata, "Aku tidak tolol, aku bisa melihat gelagat bahwa orang-orang Manchu itu agaknya akan susah disuruh keluar lagi dari Tiong-goan. Mereka akan kerasan di Tiong-goan. Tetapi jangan khawatir.

"Aku akan mengadu mereka dengan kaum Pelangi Kuning sehingga kedua pihak babak-belur dan susut kekuatannya, memanfaatkan mereka. Setelah itu kawan-kawan seperjuangan kita di selatan akan membanjir ke utara dan menghabisi mereka semua. Baik sisa-sisa Pelangi Kuning maupun sisa-sisa Manchu yang nekad tidak mau meninggalkan Tiong-goan.

"Tenang sajalah. Kita di San-hai-koan saat ini memang kelihatannya direndahkan, tetapi itu takkan lama. Kita harus melihat dan memperhitungkan jauh ke depan, jangan menuruti emosi atau rasa harga diri yang sempit..."

Kongsun Koan lega mendengar bahwa keputusan Bu Sam-kui untuk mengundang tentara Manchu itu sudah dirundingkan dulu dengan "Helian Kong" dan "utusan Su Ko-hoat". Kongsun Koan kenal Helian Kong sebagai orang yang berpikiran jauh ke depan, berpandangan luas dan penuh perhitungan, berbeda jauh dengan panglima atasannya yang suka gegabah dan pendek akal itu.

“Syukurlah, Panglima. Dapatkah sekarang aku bertemu dengan Panglima Helian?”

“Lho! Kan dia sudah kembali ke pegunungan bergabung dengan pasukanmu?"

"Maksud Panglima...”

“Ya, malam itu setelah dia datang dan berbicara kepadaku, dia langsung pergi, meskipun saat itu larut malam. Aku kira dia sudah sampai ke tempat kalian di pegunungan..."

Saat itu baik Bu Sam-kui maupun Kongsun Koan tiba-tiba secara bersamaan merasakan sesuatu yang tidak enak di hati. Yaitu perkara "Helian Kong" ini. Kalau semula terasa "segala sesuatunya beres", sekarang mendadak terasa urusan ini agak tidak beres.

Keduanya bertatapan, tidak ada yang berani mengemukakan dugaan lebih dulu, sampai akhirnya Bu Sam-kui lah yang berbicara lebih dulu,

"Ah, tidak perlu menjadi tegang dan membayangkan yang buruk-buruk. Barangkali saja Panglima Helian setelah meninggalkan San-hai-koan ini tidak segera pulang ke pasukannya di pegunungan, karena ada urusan penting lainnya..."

Karena Bu Sam-kui sudah membicarakannya dulu, Kongsun Koan berani mengemukakan keraguannya, "Panglima, yakinkah Panglima bahwa yang mengunjungi Panglima malam itu adalah Helian Kong? Benar-benar Helian Kong?”

“He, apa maksudmu dengan pertanyaanmu itu?”

“Yakinkah bahwa yang mengunjungimu malam itu benar-benar Helian Kong?"

"Kau anggap mataku buta, sehingga tidak kenal Helian Kong?”

“Maaf, Panglima, apakah malam itu... Panglima minum arak?" Kongsun Koan bertanya seperti ini sebab tahu kebiasaan panglimanya minum arak banyak-banyak. Dan pengalaman Kongsun Koan sendiri pernah dipeluk dan dicium pipinya oleh Bu Sam-kui dan dipanggil, "Tan Wan-wan kekasihku..." Kalau Bu Sam-kui kebanyakan arak, pohon pun bisa disangka Tan Wan-wan, itulah sebabnya Kongsun Koan bertanya begitu.

Bu Sam-kui kelihatan serba salah sekejap, lalu menjawab, "Sedikit."

Hati Kongsun Koan mulai tidak tenteram. “Sedikit? Seberapa?”

“Kongsun Koan, jangan kurang ajar! Kau sedang berhadapan dengan Panglima atasanmu, kenapa seperti penjaga pasar menanyai copet yang tertangkap di pasar?"

Kongsun Koan buru-buru memberi hormat, "Maaf, Panglima. Tetapi aku... aku benar-benar khawatir..."

"Khawatir panglima mu ini telah menjadi setolol keledai sehingga yang bukan Helian Kong aku sangka Helian Kong, begitu?" Bu Samkui gusar dan menggebrak meja.

Kongsun Koan cuma menarik napas tanpa menjawab, tetapi kekhawatirannya menghebat bahwa dua orang yang mengaku "Helian Kong" dan "utusan Su Ko-hoat itu jangan-jangan palsu? Agaknya kegusaran si Panglima atasan itu pun hanya untuk menutup-nutupi kecemasannya, cemas bahwa dia sudah dibohongi mentahmentah. Beberapa saat suasana dalam ruangan itu tercekam kesunyian. Hanya suara desir langkah Bu Sam-kui yang gelisah, hilir-mudik di ruangan itu.

“Panglima...”

“Apa?”

“Adalah wajar siapa pun berbuat kekeliruan, kalau sudah terlanjur pun masih bisa dipikirkan caranya memperbaiki ke keli..."

"Tidak! Tidak! Aku tidak keliru!” raung Bu Sam-kui. “Yang datang kepadaku itu benar-benar Helian Kong! Aku tidak keliru!”

Tadi Bu Sam-kui melarang Kongsun Koan berbicara keras-keras, sekarang suaranya sendiri seperti geledek karena kehilangan pengendalian diri, la takut membayangkan dirinya sendiri melakukan kesalahan sebesar itu. Kesalahan yang kalau tidak dapat diperbaikinya, akan membuat dirinya tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianat, penjual tanah-air, mengundang pasukan asing untuk menjajah negeri sendiri. Bu Sam-kui tidak berani membayangkannya.

Kongsun Koan geleng-geleng kepala sendiri. Tiba-tiba ia merasa amat kasihan kepada panglima atasannya itu. Kasihan, bukan benci. Dalam keadaan seperti itu, ternyata masih tersisa sedikit akal sehatnya. Ia tahu, kalau Bu Sam-kui saat itu dituduh dan disalah-salahkan, malah bisa makin nekad dan semuanya jadi berantakan.

Kongsun Koan akhirnya mengambil keputusan untuk membiarkan Bu am-kui tetap demikian, dan ia sendiri akan tetap pura-pura bersikap baik terhadap pihak Manchu agar di kemudian hari masih bisa berhubungan dengan panglima atasannya ini. Akhirnya Kongsun Koan bangkit dari duduknya dan berkata,

"Baiklah, Panglima. Kita harapkan saat ini memang Panglima Helian lah yang dulu datang kemari...”

“Pasti! Aku tidak ragu-ragu lagi!”

"Baiklah... baiklah... aku sekarang minta diri, Panglima. Aku akan kembali ke pasukan kami di pegunungan..."

Bu Sam-kui sudah reda kepanikannya, dan diam-diam merasa malu sendiri telah bersikap demikian kekanak-kanakan, seperti seorang anak kecil yang mati-matian menyangkal baru saja makan permen. Tetapi sekarang ia pun mulai berpikir kembali, dan berpesan kepada Kongsun Koan, "Kongsun Koan, siapa yang memegang komando pasukan di pegunungan itu sekarang?”

“Sesuai dengan surat Panglima yang Panglima titipkan kepada Panglima Helian Kong, aku gabungkan pasukanku dengan pasukan Panglima Helian dan komandannya dia. Aku di bawahnya.”

“Bagus, teruslah begitu. Jangan percaya kalau ada orang yang mengaku-aku dari San-hai-koan membawa perintahku, bahkan seandainya kau kenal dia. Mengerti?"

Pesan itu mengesankan Kongsun Koan, terdengar amat jujur dan bersungguh-sungguh. Lalu ia keluar dari ruangan itu. Melewati ruang depan, dia memberi hormat kepada perwira-perwira Manchu. Dan ketika sampai di pintu depan, ada seorang prajurit San-hai-koan memegangi kendali seekor kuda yang ukuran besar yang tingginya hampir satu meter.

“Kuda ini untukmu, Komandan Kong-sun," kata prajurit itu sambil menyodorkan tali kendalinya.

Kongsun Koan menerimanya. Pikirnya, "Lumayan, berangkatnya jalan kaki, pulangnya naik kuda." Kuda itu memang yang biasa dinaiki Kongsun Koan ketika masih di San-hai-koan dulu, meski bukan kepunyaan pribadi Kongsun Koan. Tetapi guci arak itu mengherankannya, "Apa ini?”

“Kawan-kawan di pegunungan pasti membutuhkannya, untuk menghangatkan badan..." sahut prajurit itu.

Kongsun Koan tidak banyak bicara lagi, segera menaiki kuda itu dan memacunya keluar kota, terus ke pegunungan. Berbeda dengan kedatangannya tadi, kini ia tidak mendapat rintangan apa-apa. Tetapi pikirannya justru lebih gelisah.

Ia meragukan "Helian Kong" yang mendatangi Bu Sam-kui dan mengusulkan agar mengundang tentara Manchu, itu asli atau palsu? Kalau asli, masih ada harapan. Kalau palsu, berarti pasukan di San-hai-koan itu memang sudah tertipu oleh suatu rencana yang rapi. Meskipun bukannya tanpa harapan lagi.

Ketika Kongsun Koan tiba di luar kota San-hai-koan, langit masih gelap, tetapi bintang-bintang' di langit memberi sekelumit cahayanya sehingga Kongsun Koan berani mempercepat lari kudanya tanpa khawatir menabrak pepohonan atau kejeblos parit.

Tiba-tiba Kongsun Koan merasa haus. Tadi di San-hai-koan, ia tidak disuguhi air setetes pun, dan mulai ia datang sudah diliputi ketegangan pikiran dan bahkan sempat "berolah raga" dengan penjaga-penjaga pintu gerbang, sebentar. Tadi tidak terasa, sekarang baru hausnya terasakan, dan ia ingat guci arak yang dibawakan oleh prajurit di Sah-hai-koan tadi.

“Jangan-jangan arak beracun?" ia curiga sebentar, lalu dibantahnya sendiri. “Yang memberikan kepadaku tadi adalah prajurit di San-hai-koan, bukan prajurit Manchu. Pastilah prajurit-prajurit San-hai-koan rindu kepada teman-temannya di pegunungan, apalagi dalam keadaan seperti ini di mana seluruh kota seakan-akan sudah diambil-alih oleh orang-orang Manchu...”

“Biar kucicipi sedikit..." akhirnya Kongsun Koan sambil melambatkan kudanya.

Lalu guci besar yang tergantung di pelana itu dinaikkannya ke pelana dan dibukanya penutupnya dari kertas minyak yang tebal itu. Karena tidak ada cawan, ia angkat guci itu tinggi di atas kepala dengan mulut guci di bawah, mulutnya menganga lebar siap menampung arak yang mengucur keluar. Tetapi tidak setetes arak pun keluar.

Kongsun Koan heran, ia guncang-guncang gucinya dan tetap tidak setetes arak pun yang keluar. Padahal guci itu berat, seperti ada isinya, tapi ternyata tidak keluar setetes arak pun. Di kegelapan malam, ia tidak bisa melihat apa isi guci itu, maka ia meraba ke dalam guci, dan kaget ketika tangannya meraba seperti kepala orang yang ada rambutnya.

Biarpun Kongsun Koan orang peperangan yang sudah terbiasa melihat mayat, bahkan mayat yang tidak utuh, tak urung kaget juga ia. Ia lemparkan guci itu di tanah sehingga pecah. Dan ia melihat ada sesuatu seperti bola menggelundung menjauhi guci yang pecah itu, seperti bola yang ukurannya pas dengan guci itu.

Tetapi selama menggelinding menjauh, bola itu membesar ukurannya, dan Kongsun Koan hampir tak percaya melihat "bola" itu keluar sepasang tangannya dan sepasang kakinya, dan akhirnya berdiri melompat dalam wujud seorang manusia biasa. Berwajah dingin, berkulit kuning hangus seperti perunggu, bersedekap. Yim Mo.

Jantung Kongsun Koan berdegup keras. Ia berhadapan dengan seorang yang mampu melipat tubuhnya sampai bisa masuk ke dalam guci seluruhnya. Kongsun Koan pernah mendengar ada ilmu yang disebut Siu-kut-kang (Ilmu Mengerutkan Tulang).

Sehingga ada yang sampai bisa meneroboskan seluruh tubuhnya lewat lubang yang sempit. Tetapi yang dilakukan Yim Mo ini benar-benar luar biasa, seluruh tubuhnya bisa masuk ke dalam guci...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.