Dipadang rumput yang sunyi itu, udara malam serasa dingin menggigit tulang. Di langit, bulan sepotong memberi penerangan yang sama sekali tak berarti kepada kelompok penunggang kuda yang sedang melakukan perjalanan malam.
Sebuah rombongan yang cukup besar. Hampir lima puluh orang lelaki yang semuanya menunggang kuda-kuda padang rumput yang tegar-tegar. Mereka melakukan perjalanan sambil membisu, hanya kadangkadang saja bercakap-cakap dalam kata-kata singkat yang "berbau" militer.
Mereka memang serombongan prajurit Kerajaan Manchu. Mereka mempercepat lari kuda mereka ketika melihat kelap-kelip lampu-lampu perkemahan tentara sudah nampak di depan mata.
Ke arah perkemahan itulah mereka menuju. Perkemahan itu adalah sebuah perkemahan besar tentara di garis depan, perkemahan yang berhadapan langsung dengan benteng terdepan musuh yaitu kota San-haikoan, kota benteng paling timur dari deretan raksasa yang dikenal sebagai Ban-ji Tiang-shia (Tembok Besar).
Di seberang Tembok Besar sudah bukan wilayah Man-chu lagi. Tinggal ratusan langkah dari perkemahan, rombongan berkuda itu dihadang oleh serombongan prajurit penjaga yang membawa obor-obor.
“Berhenti!” hardik Si Komandan regu penjaga.
Rombongan berkuda itu pun berhenti dengan patuh..Para penjaga mengangkat tinggi-tinggi obor-obor mereka untuk mencoba mengenali penunggang-penunggang kuda itu. Tetapi wajah para penunggang kuda terlindung bayang-bayang caping yang mereka kenakan, meskipun dari pakaian mereka jelas terlihat kalau mereka adalah prajurit-prajurit Kerajaan Manchu.
“Siapa Tuan-tuan ini, dan menuju ke mana?" tanya Si Komandan regu penjaga.
Penunggang kuda yang paling depan tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan gagang cambuk kuda ia mendorong pinggiran capingnya ke atas, memberi jalan kepada cahaya obor untuk menyoroti wajahnya.
Itulah wajah persegi seorang lelaki berusia kurang lebih setengah abad, dengan mata tajam dan hidung besar, kumis dan jenggotnya yang dipotong pendek itu nampak kaku dan berwarna campuran antara hitam dan putih, rahangnya kokoh kuat.
Secara keseluruhan, raut wajah itu menunjukkan sifat orangnya yang keras dan tegas. Melihat wajah itu, Si Komandan jaga terkejut karena mengenalinya. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut sambil memanggil, "Pangeran!” Maka prajurit-prajurit bawahannya pun ikut berlutut.
Penunggang kuda yang terdepan itu adalah Pangeran Toh Sek-kun yang punya gelar kebangsawanan Wi-ceng-ong, berkedudukan sebagai Panglima Tertinggi di Kerajaan Manchu. Ia adalah paman dari Kaisar Sun-ti yang masih kecil, adik-tiri dari Sit-ceng-ong Toh Ji-kun yang bertindak sebagai Wali Kaisar yang menjalankan pemerintahan sampai dewasanya Kaisar Sun-ti kelak.
Kedudukan Wali Kaisar dan Panglima Tertinggi sengaja dipecah ke tangan dua orang terpisah demi mengamankan Kaisar Sun-ti yang masih kecil. Itu diatur oleh almarhum Kaisar Thai-cong (162-1636), ayah Kaisar Sun-ti dan kakak dari Pangeran Toh Jikun maupun Toh Sek-kun.
Pangeran Toh Sek-kun dari atas kudanya berkata kepada komandan regu penjaga yang masih berlutut itu, "Bangunlah." Komandan itu menjawab, "Hamba mohon maaf akan sikap hamba yang tidak sopan terhadap Pangeran. Hamba benar-benar tidak menduga kalau Pangeran kembali ke perkemahan di saat larut malam begini dari Ibukota Jiat-ho..."
"Tidak apa-apa. Kau menjalankan tugas dengan baik, memeriksa siapa pun yang mendekati perkemahan, tanpa pandang bulu. Nah, sekarang biarkan kami lewat.”
“Silakan, Pangeran." Para penjaga pun minggir, membiarkan rombongan berkuda Pangeran Toh Sek-kun lewat dan menuju ke perkemahan tentara.
Sambil menatap rombongan Pangeran Toh Sek-kun menjauh, seorang prajurit muda yang tergolong kelompok penjaga berdesis, "Beberapa hari yang lalu, utusan-utusan dari Ibukota Jiat-ho memanggil Pangeran, dan Pangeran tergesa-gesa menuju Jiat-ho. Malam ini Pangeran tiba dari Jiat-ho larut malam begini. Nampaknya situasinya semakin meruncing. Agaknya perang sudah di ambang pintu.
Komandannya menjawab, "Menurut perhitungan, kalau kita hendak menyerbu ke selatan, memang sekaranglah saatnya yang tepat. Selagi negeri incaran kita di sebelah selatan Tembok Besar itu belum sempat membenahi keadaan setelah selesainya perang saudara yang merobohkan dinasti Beng dan menegakkan dinasti barunya L i Cu-seng..."
Seorang prajurit bertampang ganas dengan pipi ada bekas luka senjata, berkata, "Bagus. Perang itu yang aku tunggu-tunggu, aku hampir bosan menunggu saja di sini. Aku sudah rindu mencium bau darah seperti di Tiau-sian (Korea) dulu!”
Namun prajurit muda tadi menarik napas dan berkata dengan berat, "Perang. Buat apa kita menjarah kampung-halaman orang lain, sedang kita sendiri punya kampung halaman yang pasti tidak suka kalau dijarah orang lain?”
“Kalau kau tidak senang perang, kenapa jadi prajurit?”
“Aku tidak senang perang, aku dipaksa menjadi tentara. Kampung halamanku terletak di kaki Pegunungan Tiang-pek-san, sekeluarga hidup berkecukupan dengan menggali gin-seng dan menjualnya. Suatu kali kampungku didatangi sekelompok prajurit, lalu pemuda-pemuda yang sehat di kampungku dikumpulkan di suatu tempat, bersama pemuda-pemuda dari kampung-kampung lain. Kami diberi seragam dan dilatih perang. Disuruh menombak perut orang-orangan jerami, memenggal kepala orang-orangan jerami juga, memanah dan melempar lembing, memanjat tembok sambil mengangkat perisai di atas kepala dengan pedang digigit di mulut...”
“Jadi kau belum mengalami perang sungguhan?"
Si prajurit muda berwajah bocah menggeleng. Si prajurit berwajah ganas tertawa, "Nanti dalam perang kamu akan menombak perut orang sungguhan, Nak, bukan orang-orangan jerami. Asyik lho. Kalau kau tarik tombakmu keluar dari perut orang itu, sering-sering usus orang itu ikut brodol keluar. Sekali mengalaminya, kau akan ketagihan, Nak."
Si prajurit berwajah bocah memucat wajahnya, menahan rasa mualnya membayangkan adegan yang diceritakan temannya itu.
Si komandan regu lalu menengahi, "Perang atau tidak bukanlah urusan kita orang-orang bawahan yang cuma menjalankan perintah ini. Lebih baik kita jalankan tugas kita sendiri, meronda."
Sementara itu, beberapa pengawal Pangeran Toh Sek-kun sudah berjalan mendahului untuk menyiapkan segala sesuatunya bagi Pangeran itu.
Maka ketika Pangeran Toh Sek-kun melangkah masuk ke tenda besarnya di tengah-tengah perkemahan itu, kemahnya sudah terang-benderang dan hangat oleh perapian tembaga berkaki tiga. Tempat tidurnya adalah lembaran-lembaran kulit binatang yang ditumpuk berlapis-lapis, merangkap juga tempat ia duduk untuk makan atau bercakap-cakap.
Ketika ia masuk, di atas tumpukan kulit binatang itu sudah ada meja kecil berkaki pendek, dengan mangkuk-mangkuk makanan yang sudah dihangatkan di atasnya. Sambil menikmati makanan itu, Pangeran Toh Sek-kun membayangkan alangkah nyamannya sehabis makan terus tidur sampai pagi.
Tetapi semangat militernya membuat ia tidak dapat segera melakukan itu. Ada beban pikiran yang dibawanya dari Jiat-ho, Ibukota Kerajaan Manchu waktu itu, yang harus segera dibicarakan dengan orang kepercayaannya. Maka sehabis makan, ia perintahkan seorang pengawalnya,
"Bangunkan Kun-su (Penasehat Militer) Kat-hu-yong sekarang juga, dan mintalah dia langsung kemari."
Buat para pengawal yang sudah terbiasa dengan tingkah laku Pangeran Toh Sek-kun sehari-hari, bukan hal aneh kalau hanya disuruh memanggil dan membangunkan orang di larut malam seperti itu. Si pengawal hanya menjawab,
"Baik" dan kemudian pergi melaksanakannya.
Lalu sambil menunggu, Pangeran memerintahkan pula untuk menghangatkan arak, untuk menyambut Kat Hu-yong yang bakal datang. Tidak lama kemudian, di luar kemah terdengar langkah orang mendekat dan suara,
"Hamba datang, Pangeran..."
Pangeran Toh Sek-kun menjawab ramah dari dalam kemah, "Silakan masuk, Kun-su. Ada arak hangat buatmu."
Tirai penahan angin di pintu kemah tersibak, masuklah seorang lelaki setengah abad yang bertubuh kurus dan berjenggot jarang, memakai jubah kain hangat yang biasa dipakai orang-orang tua di musim dingin.
Tapi berlawanan dengan tampang dan penampilannya yang mudah mengundang pandangan remeh orang lain, sepasang matanya justru berkilat-kilat tajam, seolah menunjukkan betapa tajam pula otak yang ada di balik tengkorak kepala yang kecil dan memakai topi bulu sederhana itu.
Kat Hu-yong membungkuk member hormat Pangeran Toh Sek-kun, "Selamat datang kembali di perkemahan, Pangeran. Tetapi hamba yakin Pangeran mengundang aku malam-malam begini bukan sekedar karena arak hangat. Pasti ada yang lebih hangat dari arak."
Pangeran Toh Sek-kun tertawa terbahak, "Ha-ha-ha tentunya yang merangsang Kun-su keluar dari selimut Kun-su tentunya juga bukan cuma arak hangat. Memang ada yang lebih hangat dari arak. Nah, silakan duduk."
Kat Hu-yong duduk di atas tumpukan helaihelai kulit binatang berbulu itu, duduk bersebelahan dengan Pangeran Toh Sek-kun diantara meja kecil berkaki pendek itu.
“Urusannya memang cukup penting dan mendesak, Kun-su, tapi bukan berarti kita lalu mengabaikan arak di depan kita. Mari kita minum dulu secawan." Dengan tangannya sendiri Pangeran mengisi cawan Kat Hu-yong, dan cawannya sendiri, lalu mereka minum bersama-sama.
Setelah cawan pertama lewat, Kat Hu-yong tidak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi, "Cukup secawan dulu, Pangeran. Hamba ingin segera mendengar hasil sidang Dewan Kerajaan yang baru saja Pangeran hadiri.”
“Baiklah. Hasil sidang itu hanya aku beritahukan kepada Kun-su dalam satu kalimat kesimpulan. Untuk menyerang ke selatan atau tidak, sepenuhnya tergantung pertimbangan militer, berarti sepenuhnya di tanganku sebab di tangankulah kekuasaan militer itu.”
“Lalu bagaimana keputusan Pangeran sendiri. Menyerang atau tidak?”
“Itu juga tergantung kepadamu, Kun-su.”
“Lho!”
"Sebab Kun-su lah yang punya keterangan paling lengkap tentang situasi negeri yang akan kita serang itu. Aku tidak akan membawa pasukanku ke sana seperti orang-orang buta yang tidak tahu apa-apa sama sekali."
Kat Hu-yong menggangguk-angguk. Ia tahu Pangeran Toh Sek-kun adalah pengikut fanatik "nabi ilmu perang" Sun Cu dengan ujarnya yang terkenal : Kalau mengenal musuh seperti mengenal diri sendiri, dalam seratus pertempuran akan mendapat seratus kemenangan.
Dan Pangeran menanyakan situasi negeri selatan kepada Kat Hu-yong, sebab Kat Hu-yong bukan penasehat yang sekedar main kira-kira dengan teori-teori dari buku saja, melainkan nasehatnya berdasarkan keadaan nyata dari sasarannya.
Kat Hu-yong punya jaringan mata-mata yang rapi dan efektif di negeri musuh, di seberang Tembok Besar. Jaringan mata-mata yang bukan cuma sanggup melapor tetapi juga mempengaruhi. Kat Hu-yong patut berbesar hati, karena sekarang keputusan Pemegang Kekuasaan Militer itu pun akan tergantung kata-katanya.
Namun ia tetap berkata dengan rendah hati, "Pangeran, terlalu berat bagi hamba kalau Pangeran katakan bahwa keputusannya tergantung dari kata-kataku. Hamba hanya akan melaporkan situasinya saja, setelah itu terserahlah apa yang akan Pangeran lakukan.”
“Baik. Nah, mulailah."
"Pangeran, meskipun Li Cu-seng berhasil memenangkan perang dengan merobohkan dinasti Beng dan memaksa Kaisar Cong-ceng menggantung diri di Bukit Bwe-san, namun tidak berarti Li Cu-seng sudah menguasai seluruh bekas wilayah Kerajaan Beng. Ia hanya menguasai separoh yang bagian utaranya saja. Bahkan di bagian utara pun masih ada Bu Samkui di San-hai-koan yang tetap mengibarkan bendera Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari, bendera Kerajaan Beng)....”
“Lalu di bagian selatan?”
“Di bagian selatan masih dikuasai beberapa bangsawan dan jenderal-jenderal Dinasti Beng dengan pasukan masing-masing yang takkan gampang ditundukkan oleh Li Cu-seng.”
“Siapa saja penguasa-penguasa di wilayah selatan itu?”
“Yang keturunan Dinasti Beng antara lain adalah Pangeran Lou-ong yang berkedudukan di kota Siao-hin Propinsi Ciat-kang, lalu ada pula Pangeran Hok-ong di Lam-khia, serta Pangeran Kui-ong di Propinsi Kui-sai.."
"Waduh, meriah juga ya?”
“Masih ada juga bangsawan tetapi yang bukan keturunan raja, misalnya Keluarga Bhok yang berkuasa di Propinsi Hun-lam.”
“Kun-su, kau baru menyebutkan bangsawannya, bagaimana dengan jenderal-jenderalnya? Mereka adalah orang-orang lapangan yang tidak boleh diabaikan kekuatannya....”
“Cukup banyak juga, Pangeran. Ada Jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu, Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan dengan pasukan Thai-se-kun yang terkenal, Jenderal Thio Hong-gan di Ciat-kang, Jenderal Li Teng-kok di Hun-lam, Jenderal The Seng-kong di Hok-kian yang juga mempunyai armada pasukan laut yang kuat dan berpangkalan di Pulau Taiwan....”
“Dan Jenderal Bu Sam-kui di San-hai-koan di depan hidung kita, ya?”
“Betul, Pangeran. Tetapi kekuatan Bu Sam-kui bukan pada kekuatan militernya, melainkan pada kedudukan strategisnya di San-hai-koan. Menurut mata-mata hamba di San-hai-koan, tentara Bu Sam-kui di San-hai-koan tidak lebih dari sepuluh ribu prajurit dengan moril yang sangat rendah.”
“Baiklah, Bu Sam-kui bisa kita bicarakan nanti. Aku ingin tahu lebih banyak tentang sisa-sisa kekuatan Diinasti Beng di wilayah selatan itu. Apakah mereka bersatu?”
“Yah, bentrokan terang-terangan memang tidak atau belum terlihat. Tetapi yang namanya manusia, hamba rasa di antara mereka akan ada juga rasa persaingan untuk melanjutkan kepemimpinan dinasti Beng. Para pangeran itu tentu merasa punya hak. Sedangkan para jenderal itu tentu akan kebingungan menentukan kiblat, mau ikut pangeran yang mana?”
“Atau malahan ada di antara para jenderal itu yang punya ambisi sendiri untuk menjadi cikal-bakal sebuah dinasti yang baru?”
“Masuk akal, Pangeran. Bukankah mereka pun merasa punya kekuatan dan wilayah pengaruhnya masing-masing?"
"Siapa yang paling berpeluang untuk memimpin, menurut pengamatan orang-orangmu, Kun-su?”
“Yang paling kuat kelihatannya hanyalah Pangeran Lou-ong dan Pangeran Hok-ong, meskipun bukan berarti Pangeran Tong-ong dan Pangeran Kui-ong lalu mengkesampingkan ambisinya begitu saja. Namun sampai saat ini mereka masih belum cakar-cakaran, masih pura-pura rukun, begitulah.
"Mereka masih punya cukup otak untuk menggabungkan kekuatan meskipun hanya dalam sebuah persekutuan yang sekedar taktik menghadapi Li Cu-seng yang menguasai belahan utara. Para pangeran itu juga tidak mau bertindak gegabah agar tidak menghilangkan simpati para jenderal yang menguasai pasukan-pasukan yang kuat itu."
Pangeran Toh Sek-kun tertawa dan berkata, "Agaknya isi perut mereka tidak tersembunyi dari kelihaian mata orang-orangmu, Kun-su."
Kat Hu-yong pun tertawa, "Orang-orang hamba adalah cacing-cacing di dalam perut mereka, Pangeran, tanpa mereka sadari.”
“Kalau begitu, tugaskan orang-orangmu untuk semakin mempertajam persaingan antara pangeran-pangeran Dinasti Beng itu. Supaya mereka menjadi lemah.”
“Ampun Pangeran, itu sudah hamba lakukan."
Pangeran Toh Sek-kun tercengang sekejap, lalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya, "Waduh, jadi perintahnya kalah cepat dari pelaksananya ya? Baiklah, aku akan menghormatimu dengan secangkir arak lagi."
Keduanya bersama-sama minum arak dengan riang gembira.
“Nah, Kun-su, kau sudah memberi keterangan memuaskan tentang sisa-sisa Dinasti Beng di Selatan, sekarang bagaimana dengan Li Cu-seng di Utara? Kabarnya dia sedang asyik bermain kaisar-kaisaran dengan gelar siapa?" tanya Pangeran Toh Sek-kun sambil tertawa.
Kat Hu-yong ikut tertawa juga. “Ya begitulah. Orang kampung itu sekarang menamakan diri Kaisar Tiong-ong.”
“Bukan main lagaknya. Tapi baiklah, ceritakan tentang dia. Bukankah sebelum menerjang ke Selatan, kita mau tidak mau haruslah melewati wilayahnya si Kaisar-kaisaran itu?”
“Penyakit lama manusia, Pangeran. Pengikut-pengikut Li Cu-seng itu dulunya ketika masih berjuang selalu menepuk dada dan gembar-gembor menyebut diri pejuang-pejuang pembela rakyat kecil. Tapi begitu mereka menang perang dan Li Cu-seng duduk di tahta, pengikut-pengikutnya seperti Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing segera lupa daratan, menggunakan kekuasaan untuk hidup mewah dan berfoya-foya melebihi bangsawan-bangsawan Dinasti Beng yang dulu mereka kecam kebobrokannya....”
“Kun-su, kau belum menyebut sebuah nama. Nama seseorang yang justru paling besar jasanya dalam perjuangan Li Cu-seng dulu. Nama itu adalah Li Giam."
Mendengar nama itu, mimik memandang remeh di wajah Kat Hu-yong kontan lenyap, bahkan ada perasaan hormatnya kepada orang yang di pihak musuh itu. Rasa hormatnya pun terkandung dalam kata-katanya, "Orang ini barulah prajurit sejati. Semangatnya tidak luntur meskipun sudah mencapai kemenangan. Ia tetap hidup sederhana, berdekatan dengan anak buahnya, dan tetap memberlakukan waktu-waktu latihan yang teratur dan keras terhadap seluruh pasukannya. Li Giam berbeda dengan pejuang-pejuang gadungan semacam Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing.”
“Kalau begitu, kalau kelak kita gerakkan tentara menyeberang Tembok Besar, Li Giam inilah bakal menjadi lawan tangguh kita.”
“Betul, Pangeran.”
“Terus terang tanganku mulai gatal, Kunsu.”
“Maksud Pangeran?"
"Saat ini pasukanku sedang dalam kondisi puncak. Segar, amat terlatih dan bersemangat tinggi. Aku juga punya resimen-resimen yang biarpun berjumlah kecil tetapi pasti akan sanggup membuat kebingungan orang-orang setolol Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing.
"Kita punya Resimen-resimen Gunung orang-orang Korea yang sanggup menempuh perjalanan malam di pegunungan yang asing sekalipun tanpa obor, hanya mengandalkan bintang di langit, dan mereka akan tiba di sasarannya secara tepat.
"Kita juga punya resimen-resimen berkuda orang-orang Mongol yang akan sanggup menyapu pasukan darat musuh di tempat-tempat terbuka. Belum lagi pasukan induk kita yang akan seperti gelombang lautan, akan menyapu seluruh pasukan Li Cu-seng di tempat-tempat yang dilewati, seperti dulu mereka menyapu pasukan Oshido Matsunari dari Korea.
"Sedang di pihak Li Cu-seng pasukannya masih kelelahan sehabis perang menumbangkan dinasti Beng. Pasukan mereka hanyalah prajurit-prajurit amatir yang cuma mengandalkan jumlah besar, namun pasti akan kebingungan menghadapi ketangkasan dan kecerdikan tentara kita.
"Kun-su, rasanya inilah saatnya kita bergerak. Kita terjang dulu Bu Samkui di San-hai-koan, lalu langsung kita tikam jantung Li Cu-seng di Pak-khia. Rasa-rasanya hanya Li Giam yang bakal menguras sedikit perhatian, yang lain-lainnya cuma kantongkantong nasi belaka."
Pangeran Toh Sek-kun menghentikan kata-katanya yang bersemangat itu, ketika melihat Kat Hu-yong menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa, Kun-su?”
“Hamba punya pertimbangan lain. Hamba mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak berkenan di hati Pangeran.”
“Aku selalu senang mendengar pertimbanganmu yang tidak asal mendukung atau sekedar ikut-ikutan saja, Kun-su. Katakanlah.”
“Menurut perbandingan kekuatan militer, hamba percaya bahwa kita dengan gampang akan merebut wilayah dari San-hai-koan sampai Pak-khia dengan suatu serangan gerak-cepat yang mengejutkan. Tapi itu kurang bijaksana. Itu artinya kita masuk ke negeri orang sebagai penjajah asing, dan kita akan mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Tiong-goan yang jumlahnya lebih sepuluh kali lipat dari jumlah rakyat negeri kita.
"Dan kita tidak punya cukup banyak prajurit untuk mempertahankan setiap jengkal tanah yang kita rebut. Bahkan tidak mustahil Li Cu-seng malah akan melupakan permusuhan dengan sisa-sisa dinasti Beng di Selatan dan mereka akan bergabung melawan kita, sebab mereka merasa sebagai sama-sama bangsa Han....”
“Lalu?”
“Alangkah akan lebih ringan perlawanannya terhadap kita, kalau kita masuk ke Tiong-goan karena diundang masuk oleh Bu Sam-kui misalnya. Kita akan masuk seolah-olah hanya sebagai pasukan yang dipinjam untuk menegakkan kembali dinasti Beng.”
“Wah, ini sulit, Kun-su. Mustahil Bu Sam-kui membukakan pintu San-hai-koan untuk mempersilakan kita masuk, sementara saat ini meriam-meriamnya menuding ke hidung kita.”
“Serahkan kepada hamba, Pangeran. Hamba bisa mengaturnya."
Pangeran Toh Sek-kun merenung sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Selain menggarap Bu Sam-kui, apalagi yang kau rencanakan sebelum pasukan kita bergerak melintasi perbatasan?”
“Melenyapkan Li Giam.”
“Kita kirim pembunuh?”
“Tidak, Pangeran, maaf. Itu terlalu kasar. Itu hanya akan membuat kegiatan kita tersingkap.”
“Bagaimana kalau pembunuh-pembunuh itu kita ambil dari orang luar? Misalnya pembunuh-pembunuh bayaran yang siap melakukan apa saja demi uang? Lalu mereka kita bekali dengan identitas palsu, sebagai pengikut-pengikut dinasti Beng, sehingga kalau mereka terbunuh atau tertangkap pun, mereka tetap tidak menuding kita?”
“Hamba mengusulkan sebuah cara yang lebih halus, Pangeran."
"Bagaimana?”
“Li Giam ini punya bibit permusuhan terhadap Gu Kim-sing. Li Giam merasa bahwa dirinyalah sebetulnya yang sekarang berhak menduduki jabatan Panglima Tertinggi, bukannya Lau Cong-bin. Li Giam menyalahkan Gu Kim-sing untuk kegagalannya itu. Maka kita bisa menyingkirkan Li Giam dengan menggunakan tangan Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin. Ada dua keuntungan. Pertama, tersingkirnya Li Giam itu sendiri. Kedua, dendam terpendam yang pasti akan menghuni orang-orang yang setia kepada Li Giam, sebab Li Giam ini juga banyak pengikutnya.”
“Caranya?"
Lagi-lagi Kat Hu-yong menjawab dengan kalem, "Serahkan saja kepada hamba, kalau Pangeran percaya.”
“Tentu saja aku percaya. Kalau tidak percaya kepadamu, mau kepada siapa lagi? Tetapi masih ada satu pertanyaan yang mengganjal, kalau terjadi keretakan di tubuh pemerintahan Li Cu-seng, jangan-jangan nanti yang memanfaatkannya adalah sisa-sisa dinasti Beng lebih, dulu?"
Kat Hu-yong tertawa, "Tidak akan terjadi seperti itu, Pangeran. Sisa-sisa dinasti Beng yang terbagi dalam berbagai golongan itu sedang terlalu sibuk untuk memperkuat peluang masing-masing terhadap lainnya, mereka tidak cukup cepat untuk memanfaatkan perpecahan di tubuh Li Cu-seng seandainya mereka mengetahuinya. Kitalah yang akan memanfaatkan kesempatan itu lebih dulu.”
“Baiklah. Jadi Kun-su sendiri yang, akan mengerjakan kedua hal ini sekaligus? Mengusahakan agar Bu Sam-kui mengundang kita masuk San-hai-koan, sekaligus menyingkirkan Li Giam dengan meminjam tangan Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin?”
“Hamba akan dibantu orang-orang kepercayaan hamba, baik di San-hai-koan maupun di Pak-khia.”
“Aku percayakan kepadamu dan orang-orangmu."
"Tetapi untuk masalah yang pertama, yaitu mengusahakan Bu Sam-kui mengundang kita, hamba memohon sedikit kerjasama dari Pangeran.”
“Sebutkan.”
“Biarlah Bu Sam-kui tidak lagi memandang kita terlalu bermusuhan. Untuk itu, hamba mohon agar Pangeran menjauhkan pasukan dari San-hai-koan. Mundur beberapa puluh li, supaya Bu Sam-kui mudah diyakinkan akan itikad "baik" kita..."
Pangeran Toh Sek-kun tertawa mendengar Kat Hu-yong memberi tekanan suara yang khusus pada kata "baik" di belakang kata "itikad" tadi. “Baiklah. Kapan Kun-su akan berangkat?”
“Sekarang juga, Pangeran.”
“Padahal saat ini adalah menjelang dini hari yang bukan main dingin hawanya, Kun-su.”
“Tidak jadi soal. Urusan Bu Sam-kui dan Li Giam ini, makin cepat dirampungkan akan makin baik. Bukankah Pangeran sendiri tadi bilang sudah mulai gatal tangan?"
Pangeran Toh Sek-kun tertawa, lalu menuangi cawan-cawan kosong di atas meja itu, sambil berkata, "Aku tidak akan mencegahmu, Kun-su. Aku hanya akan mengucapkan selamat jalan dan selamat bekerja dengan arak."
Kedua sahabat itu mengeringkan beberapa cawan arak lagi, sesudah itu Kat Hu-yong bangkit dan melangkah ke pintu kemah.
Katanya, "Nah, mumpung masih pagi, Pangeran, hamba akan memulai perjalanan hamba."
Pangeran Toh Sek-kun bukan hanya mengantarkan sampai ke depan kemah pribadinya, bahkan sampai ke pintu perkemahan tentara itu. Ketika Kat Hu-yong sudah melangkah menjauh, Toh Sek-kun melangkah lambat-lambat kembali ke kemahnya, tanpa menggubris beberapa prajurit yang berpapasan dan memberi hormat kepadanya. Pikirannya sedang dipenuhi bayangan pasukan besarnya yang berbaris tegap dan megah menyeberangi perbatasan negara tetangga..
Situasi Ibukota Pak-khia berangsur-angsur normal setelah pertempuran dahsyat yang menjatuhkan dinasti Beng, dan menegakkan sebuah pemerintahan baru di bawah pimpinan Li Cu-seng yang sekarang bergelar Kaisar Tiongong.
Di beberapa bagian kota Pak-khia masih nampak bangunan-bangunan yang rusak atau bekas dibakar namun belum sempat diperbaiki. Yang berkeliaran di jalanan kebanyakan bukan orang sipil, melainkan prajurit-prajurit Li Cu-seng yang sebagian sudah berseragam, sebagian lagi masih tanpa pakaian seragam kecuali ikat kepala kuning mereka, seperti ketika masih berjuang dulu.
Tetapi masih sering terlihat prajurit-prajurit pemerintahan baru mendobrak masuk ke sebuah rumah untuk menyeret keluar penghuni rumah, yang dicurigai atau dituduh berdasar laporan bahwa mereka adalah "antek-antek dinasti Beng." Kalau sudah kena tuduhan demikian, hampir mustahil untuk bisa pulang ke rumah dengan selamat.
Kalau tidak digantung, ya dipenggal kepalanya, demi menjaga "kewibawaan" pemerintah yang baru. Hanya orang-orang yang mampu menyogok dalam jumlah besar saja yang dilepaskan setelah ditangkap. Begitulah, pemerintahan baru yang dulu mengaku "berjuang demi rakyat kecil" itu pun sekarang tidak kalah menakutkan dengan pemerintahan lama yang dirobohkan.
Kebijaksanaan tangan besi semacam itu adalah atas perintah Lau Cong-bin yang sekarang berkedudukan sebagai Panglima Tertinggi di bawah pemerintahan Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng. Sebenarnya Kaisar Tiong-ong lebih menyukai Li Giam yang bergaya hidup sederhana dan tetap militan itu sebagai Panglima Tertinggi dalam pemerintahan barunya.
Ketimbang Lau Cong-bin yang terlalu senang main perempuan dan punya harem yang menyimpan puluhan perempuan cantik, hasil "koleksi"nya selama bertahun-tahun. Tetapi Kaisar Tiong-ong tidak dapat menjilat ludahnya sendiri.
Dulu ketika masih berjuang, ia mengucapkan sayembara di depan hulubalang hulubalangnya, bahwa siapa yang paling dulu berhasil menerobos masuk ke dalam Ibukota Pak-khia, dialah yang akan menjadi Panglima Tertinggi dalam pemerintahannya kelak.
Waktu itu, semua orang berani bertaruh bahwa Li Giam-lah yang bakal menjadi Panglima Tertinggi karena pasukannya begitu pesat maju ke Pak-khia. Tak terduga, ketika Li Giam tinggal beberapa langkah ke Pak-khia, ia "disikut" Gu Kim-sing, juga hulubalang Li Cu-seng yang juga ingin memenangkan sayembara.
Akhirnya malah Li Giam dan Gu Kim-sing jadi sikut-sikutan sendiri, dan dalam serangan terakhir terhadap Pak-khia, malah Lau Cong-bin yang berhasil memasuki kota Pak-khia paling dulu. Mau tidak mau Li Cu-seng yang kemudian bergelar Kaisar Tiong-ong itu harus menepati janjinya, mengangkat Lau Cong-bin menjadi Panglima Tertinggi.
Begitulah, kebijaksanaan "menegakkan kewibawaan" yang dijalankan Lau Cong-bin itu membuat banyak penduduk Pak-khia mati penasaran karena dihukum mati dengan tuduhan yang kadang-kadang terlalu lemah, atau laporan mengada-ada .dari orang lain yang kebetulan tidak menyenanginya, atau berdasar "hasil penyelidikan" mata-mata pemerintahan baru yang sekedar "mencapai target".
Itulah sebabnya, meskipun di siang hari bolong, jalan-jalan di kota Pak-khia sangat sepi, pintu-pintu tertutup, dan orang-orang yang berlalu-laiang di jalanan sangat sedikit. Yang sering-sering terlihat adalah prajurit-prajurit pemerintahan yang baru. Tetapi ada sebuah warung bakmi di simpan jalan yang setiap harinya tetap saja buka pintu.
Pemilik warung itu dikenal bernama Go Liong, dan bakmi di warungnya terkenal kelezatannya. Sebenarnya, warung itu masih sanggup buka sekian lama tanpa tanda-tanda kebangkrutan, membuat banyak sesama pemilik warung di Pak-khia menjadi heran.
Sebab pengunjung-pengunjung warung Go Liong setiap harinya adalah perwira-perwira pemerintahan baru Kaisar Tiong-ong yang sedang mabuk kemenangan.
Sedikit-sedikit mereka akan mengingatkan orang lain bahwa mereka telah "mempertaruhkan jiwa untuk membebaskan rakyat dari dinasti Beng yang korup", dan untuk itu warung-warung makan harus "menunjukkan rasa terima kasih" mereka dengan menjamu secara gratis "pejuang-pejuang" itu setiap hari di warung mereka.
Jangan coba-coba minta bayaran, atau akan dituduh "antek pemerintah lama" dan kemudian mampus di bawah hukuman mati yang lagi diobral murah. Maka banyak warung makan yang bangkrut dalam waktu singkat, atau yang alih-usaha.
Namun warung Go Liong memang mengherankan orang. Setiap hari warung itu dipenuhi perwira-perwira yang makan minum dengan gratis, namun tidak bangkrut-bangkrut juga.
Herannya lagi, Go Liong kelihatannya tidak menjadi kurang suka dengan kehadiran perwira-perwira itu, malahan setiap pagi ia sudah membuka pintu warungnya dan berdiri di depan pintu untuk menyambut atau mempersilakan mampir perwira-perwira yang lewat.
Maka dalam waktu singkat Go Liong punya banyak kenalan baik di kalangan perwira. Begitu juga siang itu. Go Liong dibantu tiga orang pelayannya sedang sibuk melayani belasan orang perwira yang sedang nongkrong di warungnya.
Dengan wajah tetap berseri-seri, Go Liong dan tiga orang pembantunya hilir mudik meladeni apa saja yang dimaui oleh perwira-perwira itu, asal ada di warungnya. Suasana di warung begitu riuh-rendah. Para perwira sedang bercerita satu sama lain tentang hebatnya pengalaman mereka selama perjuangan dulu.
Yang satu bercerita lebih hebat dari yang lain, satu sama lain tidak mau kalah. Masing-masing mengaku pernah "hampir-hampir mati" dalam perjuangan menumbangkan dinasti Beng. Sambil bicara menggebu-gebu, tentu saja makanan dan minuman gratis yang disediakan Go Liong tidak pernah berhenti mengalir ke perut mereka.
Di antara perwira-perwira yang sedang berlomba membual itu, yang paling menarik perhatian adalah seorang perwira yang dikenal bernama Ang Bik, karena dialah yang paling pintar bercerita dan gayanya selalu menarik.
Ang Bik berusia sekitar 29 tahun, berkumis rapi, agak gemuk dan berkulit bersih, sehingga sebenarnya kurang cocok untuk tampang orang yang sudah "berjuang bertahun-tahun" seperti ceritanya.
Ceritanya juga paling hebat, sehingga orang malah meragukan, ini cerita sungguh-sungguh atau cuma hasil rekaan berdaya khayal tinggi? Tetapi tidak ada orang berani meragukannya terang-terangan, sebab Ang Bik ini berkedudukan sebagai salah seorang staf Jenderal Gu Kim-sing, entah bagaimana prosesnya bisa sampai menduduki jabatan itu, hanya setan yang tahu.
Pernah ada seorang perwira mengeluarkan jawaban yang bernada meragukan cerita Ang Bik ini, biarpun tidak sengaja, dan perwira lancang mulut ini dalam waktu beberapa hari saja sudah turun pangkat menjadi pembersih kandang kuda di tangsi.
Maka orang lain kalau mendengar Ang Bik bercerita, tidak ada yang berani bersikap tidak memperhatikan. Semuanya mengangguk angguk, memberi komentar-komentar pujian, tidak peduli betapa tidak masuk akalnya cerita Ang Bik.
Siang itu, di warungnya Go Liong, Ang Bik sedang bercerita tentang pengalamannya "berada di garis depan" dulu. Cuma ia tidak menyebutkan "garis depan"nya itu di mana dan kapan peristiwanya.
“Kalian pernah melihat rapatnya air hujan?" tanya Ang Bik kepada pendengar-pendengarnya. Tentu saja semua pendengarnya mengangguk.
“Nah," kata Ang Bik lebih lanjut. “Waktu itu, hujan panah yang tertuju ke arahku lebih rapat dari air hujan yang paling deras sekalipun! Bisa dibilang setiap pori-pori di kulitku diincar oleh dua atau tiga panah!”
Beberapa pendengar memeriksa lengannya, ingin tahu seberapa rapat pori-pori kulitnya, lalu mencoba membayangkan adegan yang dikatakan Ang Bik itu, namun sungguh mereka sulit untuk dapat membayangkannya. Tetapi mereka diam daripada turun pangkat menjadi pembersih kandang kuda.
“Tetapi demi keselamatan pasukanku, demi jayanya perjuangan kita, aku tidak menghiraukan hujan panah itu. Aku menerjang terus dengan perisai di tangan kiri dan pedang di tangan kanan yang terus aku putar-putar untuk menghalau panah-panah itu. Aku nekad mendekati ke arah Panglima Kerajaan Beng yang menunggang kuda itu, ia ada di tengah-tengah pengawal-pengawalnya!”
Puji-pujian pun berhamburan. “Saudara Ang sungguh luar biasa, perjuangan saudara patut mendapat penghargaan yang lebih tinggi.”
“Aku bisa membayangkan Panglima Beng itu tentu gemetar di atas pelana kudanya ketika melihat kegagahan Saudara Ang...." Sementara pendengar-pendengarnya memuji-mujinya, Ang Bik pelan-pelan, mengangkat cawannya. Menikmati minuman sekaligus menikmati pujian orang-orang.
Sementara Go Liong si pemilik warung juga ikut memuji-muji, "Kalau bukan karena perjuangan orang-orang semacam Tuan Ang ini, pastilah kami orang-orang kecil ini saat ini masih di bawah pemerintahan dinasti Beng yang korup. Aku berbahagia sekali dapat mewakili rasa terima kasih orang banyak , dengan melayani Tuan-tuan...."
Ang Bik mengangguk-angguk. Tiba-tiba Ang Bik menghentikan gerakan minumnya dan menatap keluar jendela dengan wajah tegang. Matanya menatap seorang wanita muda yang sedang hamil muda, yang melintas di jalanan dengan menjinjing sebuah keranjang belanjaan. Wajah Ang Bik menjadi tegang, sehingga mengherankan perwira-perwira lainnya.
“Ada apa, Saudara Ang? Kok seperti melihat hantu?"
Ang Bik menghembuskan napas dan berusaha bersikap setenang, mungkin. Sambil tersenyum agak dibuat-buat, ia menjawab, "Ah, tidak ada apa-apa kok..."
Namun ia lalu berdiri dari duduknya dan berkata pula, "Aku ada urusan lain yang harus dikerjakan dan harus meninggalkan tempat ini. Hendaknya jangan sampai mengurangi kegembiraan Saudara-saudara, aku pergi dulu." Lalu Ang Bik bergegas melangkah keluar.
Orang-orang di warung itu merasa agak heran. Biasanya Ang Bik betah bercerita lama sekali, tidak peduli pendengarnya menjadi sebal. Sekarang baru saja bercerita beberapa kalimat, kok sudah pergi?
Sementara Go Liong dengan gerak-gerik yang terkendali lalu mengambil mangkuk-mangkuk kotor di atas meja untuk dibawanya sendiri ke belakang. Kali ini ia tidak menyuruh salah seorang pegawainya.
Tiba di bagian belakang warungnya, ia berkata perlahan kepada seorang lelaki yang membelah kayu di halaman belakang, "Ang Bik baru saja menguntit seorang perempuan muda. Cepat kau ikuti Ang Bik dan selidiki perihalnya. Cepat, jangan sampai kehilangan jejak, dia menuju ke sebelah timur."
Si pembelah kayu meletakkan kampaknya dan segera berlalu. Tentu saja keluarnya tidak melalui bagian depan warung, melainkan lewat gang kecil di samping warung. Go Liong kembali ke depan, kembali melayani tamu-tamunya diselingi kata-kata menjilat yang diobral.
Sementara itu, Ang Bik terus menguntit perempuan hamil muda yang membawa keranjang belanjaan itu. Ang Bik membuntutinya dengan hati-hati, dan begitu tegang setiap kali perempuan itu seolah-olah hendak menoleh ke belakang. Tapi untung, perempuan itu tidak pernah benar-benar menoleh ke belakang.
Begitu tegang Ang Bik mengikuti buruannya yang di depan, sehingga ia tidak merasa kalau dirinya sendiri juga dibuntuti oleh si pembelah kayu di warungnya Go Liong itu. Agaknya dalam perkara buntut-membuntuti, si tukang belah kayu jauh lebih mahir dari Ang Bik.
Cara si pembelah kayu nampak jauh lebih tenang dan halus daripada caranya Ang Bik yang seperti maling amatir yang baru pertama kali belajar nyolong. Perempuan muda itu masuk ke sebuah gang, Ang Bik terus membuntutinya, sampai melihat perempuan itu menghilang ke sebuah rumah yang berdinding tinggi, dan satu-satunya pintunya senantiasa tertutup rapat biarpun di siang hari bolong.
“Hem, kiranya di sinilah tempat sembunyinya Siangkoan Yan," geram Ang Bik dalam hati.
“Kalau bisa menangkap mereka, bukan main besarnya jasaku, sebab keluarga Siangkoan adalah keluarga pembesar di jaman dinasti Beng yang sampai sekarang masih dicari-cari. Termasuk buronan kelas kakap. Ternyata mereka masih bersembunyi di dalam kota Pak-khia ini..."
Nafsu Ang Bik akan kenaikan pangkat dan hadiah serta pujian pun menyala dalam hatinya. Namun demi teringat siapa suami dari perempuan itu, hati Ang Bik jadi gentar. Ia tidak segera bertindak. Ia tidak mau terburu-buru "menelan ikan" sehingga "tulang ikan melintang di tenggorokannya".
Beberapa saat Ang Bik hanya mengawasi rumah itu dari kejauhan sambil bersembunyi di balik pohon. Rumah yang diawasinya tetap saja tertutup rapat pintunya dan tidak terdengar suara apa-apa di dalam rumah, namun Ang Bik tetap tidak berani bertindak sembarangan.
“Baik, nanti malam akan aku selidiki sendiri isi rumah itu," akhirnya Ang Bik memutuskan dalam hati, lalu meninggalkan rumah itu.
Setelah Ang Bik pergi, si pembelah kayu yang disuruh Go Liong untuk membuntuti Ang Bik itu pun pergi, setelah lebih dulu menandai letak rumah berdinding tinggi itu. Tiba di warung, orang itu melapor kepada Go Liong di halaman belakang dengan suara perlahan, "Si pembual itu mengikuti seorang wanita hamil muda ke sebuah rumah. Ia nampaknya sangat menaruh perhatian kepada rumah itu."
Sambil mengelap mangkuk yang baru saja dicuci, Go Liong berkata, "Kalau begitu, kita juga harus mengawasi rumah itu siang dan malam. Mungkin akan ada apa-apa yang perlu kita ketahui. Aku perintahkan kau.”
“Baik," Si pembelah kayu cuma menjawab dengan singkat, lalu pergi berlalu.
Kota Pak-khia disungkup malam. Kalau siang hari saja jalan-jalan masih sepi, apalagi di malam hari. Yang masih ada di jalanan hanyalah prajurit-prajurit yang meronda. Orang sipil tidak kelihatan batang hidungnya satu pun. Keluyuran di malam hari sungguh berbahaya, bisa dicurigai dan ditangkap petugas-petugas keamanan dan akhirnya pasti kehilangan nyawa.
Dengan seragam lengkap seorang perwira, untuk mengamankan perjalanannya, Ang Bik meninggalkan rumahnya dan kembali menuju ke rumah berdinding tinggi yang diawasinya siang tadi. Namun di balik pakaian seragamnya, ia memakai pakaian lain yang berwarna hitam dan ringkas, yang disebut Ya-hing-ih (pakaian pejalan malam).
Ternyata Ang Bik tidak langsung menuju ke rumah itu, melainkan mampir di sebuah tempat sepi di tengah-tengah kota. Di tempat itu sudah ada beberapa lelaki berwajah garang yang menunggunya. Ang Bik berbicara secara singkat dengan lelaki-lelaki itu, lalu merogoh kantong dan kelihatannya memberi uang kepada orangorang itu.
Setelah itu, barulah mereka berangkat bersama-sama menuju ke rumah berdinding tinggi itu. Agaknya Ang Bik merasa perlu membawa teman, meski sekedar orang bayaran yang tidak terjamin kesetiaannya, untuk mengamankan tindakannya.
Tiba di salah satu sudut gelap di sekitar rumah berdinding tinggi itu, Ang Bik mencopot seragam perwiranya, sehingga sekarang ia tinggal berpakaian ringkas serba hitam. Bahkan ia melengkapinya dengan sebuah kedok hitam yang menutupi wajahnya.
Sebelum mulai bertindak, sekali lagi ia memesan tiga orang bayaran yang dibawanya, "Ingat, tugas kalian adalah melindungi aku kalau aku terancam bahaya. Sekali lagi, aku tidak menyuruh kalian mempertaruhkan nyawa, cukup apabila aku sudah mendapat kesempatan untuk lari saja. Mengerti?”
“Kami mengerti." Ang Bik lalu membungkus seragam perwiranya dan ditaruh di suatu tempat yang sekiranya harus lari nanti, akan gampang diambilnya. Lalu Ang Bik melompat ke atas dinding rumah yang tinggi itu.
Namun tiga orang pembantu bayarannya tidak mampu melompati dinding setinggi itu. Mereka harus memanjat dinding itu dengan tali yang ujungnya diberi kaitan besi. Di atas dinding, Ang Bik sejenak mengawasi rumah itu. Halaman sudah gelap, di pojok halaman nampak setumpuk kayu bakar.
Namun di jendela-jendela kertas masih terlihat terang dalam rumah. Malah ada suara orang bercakap cakap perlahan. Suara seorang wanita muda dan seorang lelaki tua. Biarpun Ang Bik tidak mendengar suara orang yang ditakutinya, suami dari Siangkoan Yan si wanita hamil muda yang dilihatnya siang tadi, toh jantung Ang Bik berdentang lebih kencang dari biasanya.
Tidak terdengarnya suara orang yang ditakutinya itu bukan jaminan bahwa orang itu sedang tidak ada di rumahnya. Di atas dinding, beberapa saat Ang Bik harus menyedot dan menghembuskan napas kuat-kuat untuk menenteramkan debar jantungnya, katanya dalam hati,
"Kalau benar Helian Kong ada di kota ini, pastilah dia sudah lebih dulu mencari aku dan mencekik aku, bukan aku yang mencarinya seperti malam ini. Dia yang begitu membenci pemberontak Li Cu-seng dan begitu setia kepada dinasti Beng, pasti sudah membunuhku begitu melihat aku keluyuran di tempat-tempat umum dengan seragam sebagai bawahannya Li Cu-seng.
"Namun buktinya sampai saat ini aku amanaman saja, artinya Helian Kong tidak ada di kota ini. Entah di mana. Mungkin pergi ke Selatan untuk bergabung dengan sisa-sisa dinasti Beng di sana..." Ang Bik terhibur oleh pikirannya sendiri, dan hatinya pun menjadi agak tenang.
Setelah menarik napas dan menghembuskannya sekali lagi, dia pun melompat turun seringan mungkin ke halaman rumah itu. Beberapa saat ia celingukan, kemudian dengan langkah amat ringan menyeberangi halaman dan mendekati sebuah jendela yang masih kelihatan terang, lalu berjongkok di bawah jendela untuk mendengarkan percakapan di dalam ruangan.
Dalam ruangan itu memang asalnya percakapan antara seorang wanita muda dan lelaki tua. Dan yang pertama didengar oleh Ang Bik di luar adalah suara seorang lelaki tua yang sangat melegakan hati Ang Bik, suara lelaki tua itu bernada menghibur, "Sudahlah, Anak Yan, kita percayakan saja nasib suamimu kepada perlindungan Yang Maha Kuasa.
Meskipun selama ini suamimu tiada kabar beritanya, aku 0 yakin suatu ketika dia akan menghubungi kita. Saat ini barangkali hanya belum sempat, karena penjagaan di kota ini memang terlalu ketat dan suamimu adalah buronan penting bagi pemerintahan yang sekarang...”
“Ya, Ayah..." suara Si wanita muda menjawab sambil sesenggukan menangis.
Sebaliknya Ang Bik di luar jendela menjadi lega bukan main. “He-he-he, ternyata Helian Kong tidak ada di rumah ini, bahkan mungkin juga tidak ada di kota ini. Yang sedang berbicara ini tentulah Siangkoan Yan, isteri Helian Kong, dengan ayahnya, Siangkoan Hi yang bekas menteri Kerajaan Beng. Kalau bisa kutangkap mereka, pastilah jasaku tidak kecil. Mereka buruan-buruan kakap..."
Sementara itu terdengar suara Siangkoan Hi si lelaki tua, "Bicara soal tekanan batin, bukan hanya kau saja yang mengalaminya, Anak Yan. Aku sendiri apakah kau kira merasa nyaman, biarpun selamat, berada di bawah perlindungannya?"
Ang Bik tidak tahu siapa "nya" yang didengarnya itu, ia pasang kuping sekian lama untuk tahu siapa si "nya" itu namun ternyata Siangkoan Hi maupun Siangkoan Yan tidak menyebut namanya. Kedengarannya mereka sungkan menyebut nama itu, dan sedapat-dapatnya menghindari menyebut nama itu. Akhirnya Ang Bik sendiri kehabisan kesabaran, lalu berjingkat-jingkat merunduk ke jendela yang lain.
Jendela itu juga masih kelihatan terang, namun di dalamnya tidak terdengar suara percakapan, hanya di kertas jendela ada bayangan kepala dan pundak seorang wanita yang agaknya sedang menyulam. Ang Bik heran bahwa di rumah itu selain Siangkoan Yan masih ada perempuan lain.
Karena ingin tahu siapa perempuan itu, Ang Bik membasahi ujung telunjuknya dengan air-ludah, lalu melubangi kertas jendela. Dari lubang itulah Ang Bik mengintip. Ia melihat seorang wanita maha jelita sedang duduk menyulam di samping sebuah meja, di bawah penerangan lilin berkerudung kaca. Namun bukan kecantikan wanita itu yang mengejutkan Ang Bik, melainkan karena ia mengenal perempuan cantik itu!
Begitu kaget Ang Bik sampai ia berdesis. Dan malam itu suasana begitu sunyi sehingga desis Ang Bik terdengar oleh perempuan cantik yang sedang menyulam itu. Perempuan itu mengangkat matanya dan melihat sebuah lubang di jendela, dengan sebuah mata lelaki yang garang menatap di balik lubang itu. Perempuan itu kontan menjatuhkan peralatan menyulamnya sambil menjerit.
Sepersekian detik Ang Bik harus membuat perhitungan, apakah akan bertindak saat itu juga untuk meringkus buronan-buronan kelas kakap itu, atau harus lebih dulu memanggil bala bantuan yang memadai? Tetapi kalau lebih dulu ditinggal memanggil bala-bantuan, jangan-jangan nanti "kakap-kakap" ini keburu pindah tempat lairi yang tidak diketahui? Tetapi Ang Bik bukanlah orang yang berani mengambil resiko, maka pilihan kedualah yang diambilnya.
Ia akan mencari bala-bantuan malam itu juga. Mudah-mudahan buruanburuan ini belum sempat pindah tempat. Dengan demikian, Ang Bik memutuskan untuk mundur dulu, setelah mendengar teriakan perempuan cantik yang menyulam tadi. Tetapi jeritan tadi sudah menimbulkan reaksi.
Sebuah jendela yang lain terpentang terbuka didorong dari dalam, seorang lelaki muda melompat keluar sambil memutar-mutar pedangnya di depan tubuh untuk berjaga-jaga kalau-kalau mendapat serangan senjata rahasia. Yang melompat keluar itu adalah Siangkoan Heng, Kakak laki-laki Siang-koan Yan.
Begitu melihat bayangan seorang berkerudung sedang melintasi halaman dengan cepat, Siangkoan Heng memburunya dan membentak, "Tunggu! Setelah mengintip-intip rumah orang, terus hendak kabur begitu saja?" Lalu dengan tangan kirinya yang tidak memegang pedang karena Siangkoan Heng tidak mau melukai orang dari belakang, Siangkoan Heng hendak mencengkeram tengkuk Ang Bik sambil memperingatkan, "Awas serangan!”
Sebagai orang yang dididik secara ksatria, Siangkoan Heng pantang menyerang secara diam-diam. Tak terduga kalau Ang Bik tiba-tiba memutar tubuh, di tangannya sudah tergenggam sebilah belati yang langsung ditikamkan ke arah perut Siangkoan Heng. Siangkoan Heng terkejut menghadapi keganasan buruannya itu, untung ia dengan tangkas segera mengangkat kakinya untuk menendang lengan Ang Bik yang memegang belati itu.
Lengan Ang Bik tertendang ke atas, namun cukup kuat untuk tetap menggenggam kuat-kuat pisau belatinya. Tanpa menurunkan kakinya, Siangkoan Heng mengubah gerakan kakinya untuk menyapu ke samping setinggi pundak. Suatu gerakan yang memerlukan kelenturan otot dan persendian, dan Ang Bik pun kena tendang pundaknya sehingga sempoyongan.
Ang Bik lalu memberi isyarat kepada tiga orang bayarannya agar bergerak. Di atas dinding rumah, tiga orang bayaran itu ragu-ragu juga melihat ketangkasan Siangkoan Heng. Namun demi membayangkan mereka akan menerima hadiah dari Ang Bik, mereka pun berlompatan turun. Dua orang bersenjata golok dan satu orang bersenjata pentung.
Tiga orang bayaran itu segera menghadang Siangkoan Heng, sementara Ang Bik segera kabur melalui pintu setelah membuka palang pintunya, tidak melompati tembok seperti datangnya tadi.
Ketajaman perhitungan Siangkoan Heng memberitahu bahwa "pemegang peranan utama" dalam peristiwa itu adalah Si orang berkedok itu, bukan tiga tukang-kepruk bayaran itu. Tiga tukang kepruk bayaran itu kalau pun berhasil ditangkap dan ditanyai, takkan menghasilkan keterangan yang berarti. Karena itulah Siangkoan Heng ngotot hendak mengejar Ang Bik.
Tetapi sebuah pentung kayu hitam tiba-tiba melayang ke hidungnya, terpaksa Siangkoan Heng harus menangkis dengan pedangnya. Lalu berturut-turut dua tukang-kepruk lainnya yang bersenjata golok, juga beraksi. Begitulah, jadinya Siangkoan Heng harus berhadapan dengan tiga orang tukang pukul bayaran itu, sedangkan Ang Biknya sendiri sempat kabur.
Kejengkelan Siangkoan Heng ditumpahkan kepada ketiga penghalangnya itu. Ia lalu berkelahi seperti banteng ketaton, dan dalam waktu yang tidak lama, tiga tukang-pukul bayaran itu sudah tergeletak di tanah sambil merintih-rintih kesakitan. Senjata-senjata mereka sudah terlempar dari tangan. Masih untung buat mereka bahwa Siangkoan Heng tidak berniat membunuh mereka.
Sementara itu, Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan juga sudah keluar rumah. Sambil satu tangan menggandeng Ayahnya yang sudah tua, tangan Siangkoan Yan yang lain memegangi pedang. Calon ibu muda itu cukup mampu berkelahi seperti seorang lelaki yang tangkas.
“Ada apa?" tanyanya.
Siangkoan Heng yang ditanya mengalihkan pandangan kepada Tan Wan-wan, Si perempuan amat cantik yang tadi menjerit karena memergoki Ang Bik.
Tan Wan-wan menjawab, "Aku sedang menyulam, ketika mendadak aku mendengar suara lirih seorang lelaki di jendela. Aku menoleh dan kaget melihat sebuah mata mengintip di lubang kertas jendela, lalu aku menjerit."
Kini mata Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan dialihkan kepada Siangkoan Heng, sebab Siangkoan Henglah yang harus meneruskan cerita itu. Siangkoan Heng menjawab, "Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia memakai kedok." Cuma itu jawabannya, dan orang-orang tidak puas mendengar jawaban sesederhana itu.
“Kalau begitu, kita tanyai saja orang-orang ini," Siangkoan Yan menudingkan pedangnya sambil melangkah maju kearah tiga orang tukang-kepruk bayaran yang masih merintihrintih habis dihajar oleh Siangkoan Heng itu. Tiga orang itu merasa agak lega karena yang akan menanyai mereka adalah Si calon ibu muda yang cantik dan kelihatannya tidak berbahaya meskipun tangannya menggenggam pedang.
Tetapi mereka kaget dan gentar begitu Siangkoan Yan bertindak. Siangkoan Yan mendekati seorang yang berewokan yang rintihannya paling keras. Kata Siangkoan Yan sambil tertawa, "He, tubuhmu begitu gagah dan berewokmu begitu lebat, kenapa tidak malu merintih-rintih seperti anak kecil? Jagoan macam apa kamu? Lebih baik aku cukur saja berewokmu....."
Di ujung kata-katanya Siangkoan Yan mengelebatkan pedangnya dengan cepat beberapa kali di wajah orang itu. Orang itu tidak sempat mengelak atau menjerit, tahu-tahu cuma merasakan mukanya dingin. Kelebatan pedang Siangkoan Yan itu kalau dijumlah waktunya tidak lebih dari dua detik.
Namun dalam waktu sesingkat itu si berewok sudah berubah menjadi si kelimis. Rasanya Siangkoan Yan pantas dianggap sebagai pencukur tercepat di dunia. Orang itu gemetar ketakutan. Ia tidak lagi merintih-rintih, dan sebagai gantinya ia terkencing-kencing di dalam celana.
Siangkoan Yan mulai bertanya, "Nah, sekarang jawab dengan baik. Siapa orang yang berkedok tadi?”
“Tid... tidak tahu...”
“Lho, datangnya bersama-sama kok tidak tahu? Apa kau kira aku tidak tega memotong kuping dan hidungmu?"
Si mantan berewokan yang sekarang kelimis itu pun sekarang menangis seperti perempuan, "Aku benar-benar tidak tahu siapa dia, Nyonya. Sumpah. Benar-benar tidak tahu...”
“Wah, rupanya memang sudah bosan punya kuping...."
Siangkoan Yan sudah hendak bertindak, tetapi Siangkoan Heng mencegahnya, "Aku percaya dia benar-benar tidak tahu, Adik Yan.”
“Kenapa Kakak berkesimpulan demikian?”
“Orang berkedok itu lari meninggalkan tempat ini begitu saja. Itu tanda bahwa dia merasa tetap aman di balik kedoknya, biarpun ketiga cecungguk ini tertangkap oleh kita. Kalau ketiga cecunguk ini dianggap tahu tentang dirinya, tentu ketiga orang ini akan dibunuhnya lebih dulu sebelum dia pergi. Itu kebiasaan komplotan-komplotan yang ingin menjaga rahasianya.”
“Tetapi mereka berempat datang bersama-sama.”
“Tidak sulit dijelaskan. Tukang-tukang kepruk kelas kambing seperti tiga orang ini mudah dicari di mana-mana. Melihat sekeping atau dua keping uang saja mereka sudah melotot dan sanggup disuruh melakukan apa saja. Orang berkedok itu mungkin sekedar menyewa mereka."
Tiga orang yang disebut "cecungguk" itu merasa amat senang mendengar kata-kata Siangkoan Heng yang lunak itu. Tidak jadi soal biarpun mereka dimaki sebagai "tukang-tukang kepruk kelas kambing" dan nyatanya memang begitu. Salah seorang lalu berkata tanpa dijawab, "Benar kata-kata Tuan ini. Siang tadi kami didekati oleh perwira itu...”
“Perwira?”
“Ya. Orang berkedok yang melarikan diri tadi berseragam perwira ketika menghubungi kami dan minta bantuan kami untuk urusan ini."
Keempat orang penghuni rumah itu saling berpandangan tanpa kata, namun cukup jelas artinya bahwa mereka merasa tempat itu sudah tidak aman lagi, sudah diketahui orang-orang dari pihak pemerintahan yang baru.
Suara Tan Wan-wan yang lembut memecahkan kesunyian, "Saudara Siangkoan, bagaimana kalau kita biarkan saja orang-orang ini pergi?"
Siangkoan Heng tidak menjawab, cuma menggerakkan kepala untuk mengusir ketiga orang itu. Ketiganya bangkit dengan susah-payah, kemudian meninggalkan tempat itu dengan tertatih-tatih dan susah-payah pula.
Siangkoan Heng kemudian melangkah masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah dingin, nampaknya sangat enggan untuk berkata-kata biarpun hanya sepatah kata dengan Tan Wan-wan.
Siangkoan Yan lah yang kemudian sungkan sendiri terhadap Tan Wan-wan karena sikap kakaknya itu. Katanya, "Maafkan Kakakku, Nona Tan......"
Tan Wan-wan menarik napas, tersenyum pahit dan berkata, "Tidak jadi soal, Adik Yan.
Kakakmu seorang lelaki terhormat, tentu sulit untuk menghargai seorang wanita seperti aku..." Siangkoan Yan tidak sanggup berkata apaapa tentang masa lalu Tan Wan-wan, seorang perempuan cantik yang menggunakan kewanitaannya untuk mengubah jalannya sejarah.
Satu pihak memujinya sebagai wanita tabah yang sanggup mengorbankan apa pun untuk keberhasilan cita-cita yang didukungnya, pihak lain mencacinya sebagai perempuan tidak tahu malu, perempuan yang berpindah-pindah dari satu lelaki ke lelaki yang lain, bahkan pernah menjadi "simpanan" Kaisar Cong-ceng, raja terakhir dinasti Beng yang ditumbangkan oleh Li Cu-seng.
Sementara Tan Wan-wan pun mencoba keluar dari gejolak perasaannya, dan mengusap matanya lalu berkata dengan tabah, "Tempat ini tetap aman. Tempat ini di bawah perlindungan langsung Jenderal Li Giam..."