Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 29

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 29 (Tamat)
Sonny Ogawa

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 29

Kata Ou Hin kepada para bangsawan, "Aku hanya ingin menyelamatkan Sri Baginda dan tidak ambil pusing dengan Tuan-tuan. Kalian mau ikut mengungsi atau tinggal di Pak-khia, terserah kalian! Tapi yang mau ikut harus tunduk kepada peraturanku!"

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Habis berkata demikian, Ou Hin memberi hormat kepada Kaisar dan berkata, "Maafkan kekasaran hamba, Tuanku, karena harus memburu waktu. Saat ini gelombang baru pasukan musuh sedang bergerak ke posisi-posisi mereka untuk memblokir kota. Menurut laporan Helian Kong yang baru saja menemui hamba, pintu kota Ceng-yang-mui masih ada kemungkinan dilewati untuk menyelamatkan tuanku.

"Helian Kong, Kongsun Hui dan Song Liong sedang menggerakan pasukan gabungan mereka menuju sebelah luar Ceng-yang-mui untuk menyambut kita dari luar, Tapi kalau kita berlambat-lambatan, pasukan pemberontak keburu akan menutup jalan keluar kita!"

Kaisar nampak masih bimbang juga, sehingga Ou Hin diam-diam jadi kesal akan kelambatannya. Untunglah Permaisuri Ciu dan Puteri Tiang-ping segera ikut mendesak, sehingga barulah Kaisar berkata dengan sedih, "Baiklah. Kita akan tinggalkan istana dan kota ini, seperti gelandangan yang kena gusur."

"Yah, apa boleh buat...." Hibur Puteri Tiang-ping. "Di selatan masih ada kekuatan pasukan kita yang cukup besar, dari sana akan kita rebut kembali kota ini kelak."

Dan para bangsawan yang tadinya rewel sekarang serempak berkata bagaikan paduan suara, "Kami ikut."

Dengan garang Ou Hin menatap mereka dan berkata, "Bagus. Aku beri waktu satu sulutan hio-batang, dan semua yang akan ikut harus sudah siap di sini! Berpakaian seperti orang jelata dan tidak boleh menyolok! Satu sulutan hio!"

Para bangsawan kembali protes, "Mana cukup waktunya? Kami kan harus menyiapkan banyak kereta, joli, gerobak, kuda untuk membawa barang-barang kami yang masih ketinggalan di kediaman kami."

Tapi Ou Hin tidak menggubris. Ia ambii hio untuk disulut ujungnya dan dipegangi seorang prajurit. Katanya tegas, "Satu sulutan hio atau tidak ikut!"

Terpengaruh sikap tegas itu, para bangsawan segera berlari-larian bubar meninggalkan tempat itu, begitu tergesa-gesanya sampai hormat kepada kaisar mereka lakukan sembarangan saja sikapnya. Ada yang langkahnya tersandung ambang pintu sehingga terjerembab, ada yang didorong rekannya sehingga mencebur kolam.

Maklum, tubuh mereka gendut-gendut karena kebanyakan pesta dan jarang berolah raga, gerak-gerik mereka biasanya juga lembut, sebab "makin lembut akan makin kelihatan ningrat". Kini diharuskan bergerak cepat, tidak heran kalau mereka jadi saling tubruk.

Keluarga Kaisar dan hamba-hamba yang terdekat pun segera sibuk menyiapkan pengungsian. Di mana-mana orang ribut, saling memanggil, saling menanyakan di mana barang yang mau dibawa.

Sementara menunggu selesainya persiapan itu, Ou Hin ingin meninjau suasana kota, sekali lagi. Sebab di kejauhan terdengar dentuman meriam makin gencar, sorak-sorai pertempuran juga makin merata. Untung juga jenderal tua ini tidak punya keluarga di Pak-khia. Semua keluarganya tinggal di Thian-cin.

Ketika Ou Hin hendak melompat ke atas kudanya di depan istana, dilihatnya rombongan keluarga Siangkoan sudah datang, diikuti beberapa hamba setia yang bersenjata. Siangkoan Hi naik joli dan berpakaian sederhana.

"Ou Goan-swe, apakah kami terlambat?" tanya Siangkoan Hi sambil keluar dari tandu.

Ou Hin tertawa sambil menjawab, "Malah terlalu cepat. Bangsawan-bangsawan brengsek itu sekarang belum selesai membungkus emas berlian mereka."

Siangkoan Hi tertawa kecut, "Aku kuatir terlambat, sebab dari rumahku aku kemari dengan mencoba lewat Jalan Bokhud yang terdekat, namun jalanan itu macet, penuh prajurit. Kudengar kabar dari mereka bahwa gerbang kota Soan-bu-mui sudah bobol, sekarang kaum Pelangi Kuning sudah mendesak ke jalan Ciok-sian, dan tentara kita tei desak."

Berdesir darah Ou Hin. Satu dari sembilan gerbang kota sudah bobol, gagal dipertahankan, kaum Pelangi Kuning telah masuk kota. Pertempuran bukan lagi di luar kota, namun sudah di dalam kota! la cepat menaiki kudanya dan memacunya ke arah jalan Ciok-sian, para peng awalnya sampai tercecer di belakang karena Ou Hin habis-habisan menyabet pantat kudanya.

Para prajurit di jalanan memberi jalan. Di mana-mana obor dinyalakan sehingga keadaan terang benderang di mana-mana. Semua prajurit sudah di luar tangsi, siap bertempur. Makin dekat ke jalan Ciok-sian, makin pepat jalannya, dan makin jelas suara pertempuran, ribuan orang.

Cepat Ou Hin turun dari kuda, sebab ia tidak dapat lagi menunggangi kuda saking sesaknya jalanan. Melihat sebuah rumah berloteng di pinggir jalan, Ou Hin lalu mengetuk pintu rumah, dan ketika si pemilik rumah keluar, Ou Hin bilang ia akan meminjam loteng rumahnya sebentar agar bisa mengawasi ke kejauhan.

Melihat Ou Hin berseragam panglima dan diikuti belasan pengawal, si empunya rumah tak berani menolak. Ou Hin segera masuk rumah itu dan langsung naik ke tingkat atas, dan dari situ terlihatlah pemandangan yang mengecilkan hati. Di jalanan sekitar gerbang kota Soan-hui-mui sudah berkobar pertempuran sengit, manusia bersenjata berjejal-jejal di mana-mana.

Ribuan laskar Pelangi Kuning sekuat tenaga berusaha mendesak pasukan kerajaan yang menghalangi jalan mereka. Sedang prajurit-prajurit kerajaan dengan gigihnya berusaha menahan agar kaum Pelangi Kuning tidak menyebar ke mana-mana. Laskar Pelangi Kuning juga berusaha naik ketembok kota lewat tangga batu, dan mendapat perlawanan para prajurit pula.

Di kawasan kota itu, teriakan aba-aba kedua pihak campur aduk dengan jerit kematian, saling memaki, dan ribuan senjata yang berayun-ayun gemerlapan berbenturan di bawah cahaya api. Korban tak terhitung lagi, ada yang masih belum mati dan merintih-rintih, namun tidak dihiraukan. Mereka dilompati, atau bahkan diinjak begitu saja.

Kemudian muncul pasukan pemanah dipihak kerajaan, yang langsung memanjat ke atas atap-atap rumah di sekitar arena pertempuran. Lalu dari situ mereka menghujankan panah ke arah orang-orang Pelangi Kuning, namun orang-orang Pelangi Kuning juga memanjat ke atap-atap rumah di seberang dan balas memanah.

Untuk sesaat pertempuran di sebelah dalam gerbang kota Soan-bu-mui itu kelihatan seimbang. Di tengah-tengah laskar Pelangi Kuning, Ou Hin melihat ada bendera besar berhuruf "Lau", maka tahulah ia bahwa laskar pembobol Soan-bu-mui ini adalah laskar Lau Cong-bin, si gembong Pelangi Kuning yang ternyata berhasil mendahului Li Giam maupun Gu Kim-sing menginjakkan kaki di Pak-khia.

Ou Hin teringat urusan utamanya menyelamatkan Kaisar, yang harus secepatnya dilakukan sebelum kaum Pelangi Kuning menyumbat semua jalanan kota. Karena itulah ia segera meninggalkan tempat itu bersama pengawal-pengawalnya untuk kembali ke istana. Mungkin batang hio yang disulutnya tadi hampir habis.

Ketika lewat sebuah jalan, tiba-tiba nampak seorang lelaki berlari-lari di jalanan sambil mengibar-ngibarkan bendera kuning, suaranya lantang, "He, penduduk Pak-khia! Joan-ong sudah datang! Sambutlah pembebasmu! Angkat senjata untuk melawan penindas! Sambut Joan-ong sang pembebas! Sambut Joan-ong sang pembebas!"

Darah Ou Hin mendidih melihat ulah orang ini. Kudanya diterjangkan ke arah orang itu sambil menyabetkan golok Ceng-liong-tonya. Orang itu kaget dan berusaha menangkis dengan tangkai benderanya tapi tangkai kayu itu tak bisa menahan golok Ou Hin. Orang itupun roboh, darahnya membasahi bendera kuningnya.

Ternyata orang-orang semacam itu ada di mana-mana, menghasut penduduk, dan sebagian dari mereka mendapat sambutan penduduk. Banyak orang yang terbakar hatinya, lalu mengikatkan kain kuning di kepala mereka atau dikalungkan ke leher.

Yang tidak punya ikat kepala ya merobek taplak meja, tirai jendela, robekan baju atau apa saja, pokoknya kain kuning. Lalu dengan senjata di tangan keluarlah mereka dari rumah-rumah untuk mencari orang-orang yang juga bertanda kain kuning.

Maka segera terbentuklah kelompok-kelompok macam itu dengan cepatnya di seluruh kota. Banyak di antara mereka yang bertindak demikian bukan karena mendukung kaum Pelangi Kuning, melainkan sekedar ikut-ikutan arus dan mencari keuntungan.

Jenis orang macam ini, antara lain adalah Ting Hoan-wi yang pintar melihat gelagat. Selama ini ia sembunyi di rumah Helian Kong, karena sebagai pengikut Co Hua-sun ia kuatir ditangkap pembenci-pembenci Co Hua-sun. Kini mendengar kaum Pelangi Kuning sudah masuk kota, Ting Hoan-wi cepat-cepat mencari kain kuning untuk diikatkan di kepala.

Sambil membawa pedang lalu turun ke jalan untuk bergabung dengan orang-orang berikat kepala kuning lainnya. Sasaran mereka bukan melawan tentara kerajaan, tapi merampok toko-toko, rumah-rumah orang kaya, gedung-gedung kediaman bangsawan, menguras harta mereka.

Main bunuh dan memperkosa wanita semaunya, sambil tak lupa meneriakkan slogan- slogan "perjuangan". Mereka benar-benar mencari keuntungan sebesar-besarnya selagi kota Pak-khia malam itu seolah-olah tanpa hukum.

Ou Hin sendiri sudah tidak sempat mengacuhkan gerombolan liar yang bermunculan Itu. Sampai pagi pun belum tentu bisa membersihkan mereka, la langsung saja ke istana untuk segera mengungsikan Kaisar Cong- ceng dan keluarganya.

Istana, terutama sekitar bangsal Yang Wan-hu, sudah penuh para bangsawan dan hamba-hamba mereka yang akan ikut mengungsi, pengawalan pun sudah disiapkan, itulah pasukan-pasukan istana yang tetap setia kepada kaisar.

Karena sesaknya tempat itu, untuk berjalan Ou Hin harus mendorong-dorong banyak orang untuk sampai ke depan kaisar. Banyak yang bertubi-tubi menanyakan bagaimana situasi di luar istana, namun Ou Hin tidak menjawab dan berjalan terus.

Sampai di depan Kaisar, Ou Hin berlutut dan berkata, "Tuanku, sebaiknya kita berangkat sekarang, sebelum keadaan jadi makin buruk. Soan-bu-mui sudah bobol dan laskar musuh sudah masuk kota, pasukan-pasukan kita sekuat tenaga masih mencoba menahan mereka agar tidak menyebar ke seluruh kota. Gerombolan-gerombolan liar juga bermunculan dalam kota."

Kaisar menjawab dengan pasrah, "Terserah kepadamu, Goan-swe."

"Hamba siap mengawal Tuanku sekarang juga." Ou Hin segera mengatur pasukannya, sedemikian rupa agar Kaisar mendapat pengawalan terbaik.

Selain itu, masih diperkuat barisan "comotan" yang terdiri pasukan campur-aduk. Setiap kali Ou Hin menemui regu prajurit yang terpisah dari induknya, langsung disuruhnya mereka bergabung dalam pengawalan Kaisar. Demikianlah, di bawah selubung malam yang sesak ketegangan, rombongan itu bergerak meninggalkan istana yang juga disebut Ci-kim- shia (Kota Terlarang) itu, menuju gerbang kota Ceng-yang-mui.

Begitu keluar dari istana, Ou Hin memimpin rombongan itu mencari jalan-jalan yang aman, sedapat mungkin terhindar dari perjumpaan dengan kaum Pelangi Kuning. Untuk memastikan bahwa suatu jalan cukup aman untuk dilewati, Ou Hin menyebar pelopor-pelopor untuk berjalan lebih dulu di depan barisan. Mereka menyamar, dan setiap saat melapor situasi kepada Ou Hin.

Rombongan itu berjumlah besar, namun berjalan dalam kebisuan, kalaupun ada yang berbicara ya cuma bisik-bisik saja. Bisa dimaklumi kalau tidak ada yang berselera untuk menyanyi.

Duduk sendirian dalam tandu yang berbentuk sederhana untuk penyamaran, Kaisar Cong-ceng dikejar rasa bersalahnya. la masygul sekali, merasa bencana ini karena kesalahannya yang terlambat disadari. Dan masih adanya orang seperti Ou Hin yang begitu memperhatikan keselamatannya, membuat Kaisar Cong-ceng merasa terharu. Urusan pengungsian itu ia pasrahkan sepenuhnya kepada Ou Hin, bahkan andaikata gagal pun takkan menyalahkan Ou Hin.

Sementara itu seorang perintis jalan telah balik ke rombongan untuk memberi laporan kepada Ou Hin, "Goan-swe, jangan melewati jalan Tong-hong, ada kekacauan di sana."

Belum lagi Ou Hin menanggapi laporan itu, salah satu bangsawan dalam rombongan itu telah melompat maju dan berteriak panik, "Hah? Ada apa di jalan Tong-hong?"

Dengan kurang bijaksana si pengintai itu menjawab, "Gedung kediaman Paduka Ong agaknya dirampok gerombolan liar, setelah dikuras isinya lalu dibakar."

Jawaban itu keruan saja membuat si Paduka Ong yang bertanya itu menjerit melolong-lolong, "Oh, istanaku.... kekayaanku.... habislah semuanya. Mati aku! Oh Goan-swe, tolong kirim pasukan untuk menyelamatkan tempatku."

Ou Min menjawab dingin, "Harta masih bisa dicari lagi." Lalu perintahnya kepada seluruh rombongan, "Kita pindah jalur, lewat belakang Kuil Matahari dan terus ke gerbang kota Ceng-yang-mui, hindari Jalan Tong-hong."

Si Paduka Ong kaget, "Hah, Jadi tempatku yang sedang dirampok dan dibakar itu akan didiamkan saja? Bagaimana ini, Goan-swe?"

Keruan bangsawan itu kelabakan, karena sebagian besar hartanya masih ditinggal, akan diambil kembali kelak "kalau Pak-khia sudah aman kembali". Kini melihat sikap Ou Hin yang lebih mengutamakan pengungsian Kaisar secepatnya itu, bangsawan itu rasanya seperti hendak gila.

Bangsawan itu berjalan di samping Ou Hin sambil terus-menerus mengguncang-guncangkan pundak Ou Hin sambil meratap, "Bagaimana, Goan-swe? Bagaimana? Selamatkan rumahku."

Bicara soal "hendak gila", sesungguhnya Ou Hin tidak kalah tertekannya dengan Paduka Ong itu, meskipun penyebabnya lain. Karena itu Ou Hin tiba-tiba mendorong tubuh bangsawan itu, lalu golok Ceng-liong-tonya lagi-lagi makan korban. Si Paduka Ong langsung roboh terkapar.

Sikap keras Ou Hin itu karena dalam beberapa hari ini ia lelah lahir batin, kurang tidur, terlalu tegang, lagipula sudah lama ia memendam kejengkelan kepada bangsawan yang serba rewel itu. Maka ia jadi mudah marah, dan lahirlah tindakan kerasnya yang mengejutkan seluruh rombongan.

Kata Ou Hin, "Kalau dia berteriak-teriak terus sepanjang jalan, seluruh rombongan akan terancam bahaya. Nah, siapa lagi mau dibacok?"

Tak ada yang berani bercuit sedikitpun. Apalagi para bangsawan, bahkan Kaisar sendiripun agaknya saat itu takut kepada Ou Hin. Mati hidup rombongan itu tergenggam di tangan panglima tua itu. Memang benar Ou Hin bertindak keras demi keselamatan seluruh rombongan, tapi pembunuhan Paduka Ong itu terasa mengerikan buat kaum yang selama Ini hidup amat nyaman dibentengi hak-hak kebangsawanan itu. Sekarang agaknya Ou Hin tidak menggubris lagi hak hak itu.

"Ayo jalan lagi!" perintah Ou Hin. Rombongan pun berjalan lagi tanpa menggubris tubuh Paduka Ong. Ou Hin menggubah jalur untuk menghindari tempat-tempat yang kacau. Uniuk Itu, laporan para pengintai di depan dijudikan pegangan oleh Ou Hin.

Tetapi Ou Hin tidak tahu bahwa antara pengintai-pengintai itu justru ada seorang anggota Pelangi Kuning yang sudah lama menyusup istana, sering bertugas mengawal gerbang Hou-cai-mui di belakang Istana. Orang yang selama ini termasuk komplotan Tan Wan-wan.

Belum berapa jauh rombongan itu maju lewat route barunya, seorang pengintai terengah-engah berlari mendekati Ou Hin dan berkata, "Goan-swe, tidak mungkin lagi rombongan ini melewati Ceng-yang-mui, sebab gerbang kota sudah bobol dan dibanjiri musuh dari luar kota!"

Itulah laporan yang amat buruk. Rombongan itu sudah berjalan lumayan jauh meninggalkan istana. Ceng-yang-mui tinggal beberapa ruas jalan saja, dan tiba-tiba saja mendapat kabar kalau Ceng-yang-mui tidak bisa dilewati. Dari Ceng-yang-mui memang kedengaran deru pertempuran yang semakin menghebat, membuat gugup banyak orang dalam rombongan itu.

Siangkoan Yan lalu mendekati Ou Hin dan mengemukakan usul, "Goan-swe, kita sudah sampai di sini, apakah harus balik mundur lagi? Bagaimana kalau kita coba terjang saja? Dengan bantuan pasukan suamiku dari luar Ceng-yang-mui, kita pasti akan bisa menembus."

Namun Ou Hin ragu-ragu. "Masalahnya, rombongan ini bukan dipersiapkan untuk bertempur menghadapi musuh yang kuat. Di tengah-tengah kita banyak orang tua, wanita, kanak-kanak yang menjadi beban yang harus kita lindungi. Lebih lebih Kaisar dan keluarganya. Kalau menghadapi gerombolan kecil-kecil kita masih bisa, tapi kalau harus menembus pasukan musuh yang telah mampu merebut Ceng-yang-mui, tidakkah akan membahayakan Kaisar?"

Siangkoan Yan termangu-mangu. Masygul, bingung, tapi juga bisa memahami alasan Ou Hin itu. Sementara si pelapor itu menambahkan, "Musuh berjumlah kelewat banyak, gerombolan-gerombolan liar dalam kota juga banyak yang bergabung. Sebagian prajurit-prajurit kita yang mengawal Ceng-yang-mui telah kabur menyelamatkan diri sendiri-sendiri."

"Tikus-tikus tak berguna!" Ou Hin meluapkan kesesakan hatinya.

Wanita-wanita dalam rombongan pengungsi itu mulai menangis ketakutan. Mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan tetap terkurung dalam kota, lalu menjadi korban kebuasan orang-orang Pelangi Kuning.

Ou Hin sendiripun amat bingung. Mengubah arah rombongan besar yang berjalan lambat itu tidak gampang, membutuhkan waktu dan perhitungan matang. Susahnya lagi, situasi sudah tak menentu sehingga perhitungan-perhitungan yang bagaimanapun matangnya, mendadak bisa jadi tak berguna.

Kaum Pelangi Kuning bisa muncul di mana saja, dan kalau rombongan itu terus-terusan harus menghindar, boleh jadi hanya akan berputar-putar saja dalam kota Pak-khia sampai entah kapan.

"Ada apa, Goan-swe?" Kaisar bertanya dari dalam tandu. "Kenapa kita berhenti di sini?"

Dengan terpaksa Ou Hin mendekat ke tandu dan menjelaskan kesulitan yang dihadapi. Kaisar pun termangu-mangu mendengarnya. Tiba-tiba berkatalah Kaisar dengan suara amat tenang yang di luar dugaan, lebih tepat disebut amat pasrah, "Kembali saja ke istana kalau semua jalan memang tertutup. Kalau harus mati, biarlah mati di istana leluhurku sendiri."

"Tuanku, janganlah cepat berputus harapan. Biarlah hamba carikan jalan lain...." waktu berkata itu Ou Hin pun sebenarnya sudah hampir putus harapan. Ia kemudian memanggil beberapa pengawal untuk diberi tugas, "Kalian pergilah ke semua arah dan lihat jalan mana yang aman dilewati sampai ke luar kota."

Dalam situasi sesulit itu, perintah itu tak ubahnya seperti, "Cobalah kalian bikin tangga yang tinggi sekali agar bisa untuk mengambil bintang di langit." Maklum, dalam keadaan tenang pun kota Pak-khia membutuhkan banyak waktu buat seorang penunggang kuda untuk bisa memutarinya, karena luasnya.

Apalagi sekarang di semua tempat sedang kacau dan masih juga mereka diperintah "mencari jalan yang masih aman untuk dilewati". Para pelaksana perintah itu pasti akan mengalami hambatan dalam perginya maupun pulangnya. Toh mereka segera berangkat setelah dibentak Ou Hin.

Kemudian, selagi Ou Hin berpikir akan dikemanakan rombongan itu, tiba-tiba dari arah Ceng-yang-mui terdengar dentuman-dentuman meriam, lalu beberapa rumah penduduk di dekat rombongan Ou Hin itu kena bola-bola besi peluru meriam itu sehingga hancur atapnya atau roboh temboknya.

Jerit tangis wanita dan anak-anak dalam rombongan itupun tak bisa lagi disuruh bungkam, biarpun sudah dibentak-bentak atau diancam dengan senjata. Sedang dari rumah-rumah yang terkena peluru meriam itu, penghuninya berhamburan keluar rumah sambil berteriak-teriak panik dan menangis pula.

Kiranya, setelah kaum Pelangi Kuning berhasil merebut gerbang kota Ceng-yang mui, maka meriam-meriam yang ditinggalkan oleh pasukan kerajaan, yang semula moncongnya menghadap keluar kota, sekarang diputar balik menghadap ke kota dan ditembakkan bertubi-tubi tanpa memilih sasaran lagi.

Ou Hin merasa tempat itu tidak aman lagi, bisa kejatuhan peluru meriam dari arah Ceng- yang-mui. Ia menyuruh rombongannya balik ke arah barat dengan mencari jalan mendesak di antara kerumunan penduduk yang tengah meratapi rumah mereka yang hancur.

Melihat derita rakyat, di dalam jolinya Kaisar Cong-ceng ikut menangis biarpun tanpa suara. Memang, ada bedanya antara orang kecil dan orang yang memegang kekuasaan besar. Kalau orang kecil melakukan kesalahan, dengan menangis dan menyesal maka kesalahannya bisa jadi akan banyak berkurang dan bisa diperbaiki.

Kalau orang berkuasa melakukan kesalahan besar, dengan mengucurkan airmata darah pun kecil kemungkinannya untuk memperbaiki kesalahannya. Karena kesalahan besar parah akibatnya.

Sedangkan para bangsawan dalam rombongan itu berpendapat bahwa saat itu tidak ada yang lebih malang dari diri mereka, dan mereka mulai berani menggerutu lagi, "Celaka benar, mau diapakan saja kita ini? Dulu mau pergi dari Pak-khia, dihalang-halangi. Lalu tadi disuruh mengungsi dengan diberi waktu yang begitu sempit, sehingga tak sempat membawa semua barang-barang kita, tapi belum sampai ke luar kota sudah disuruh balik lagi ke pusat kota. Mentang-mentang sedang berkuasa."

"Iya, kakiku sampai hampir patah rasanya...." keluh yang lain.

Maklum, bagi mereka yang jarang bergerak, perjalanan itu benar-benar menyiksa. Ou Hin tidak memperbolehkan mereka naik joli, sebab kalau terlalu banyak joli dalam rombongan itu akan menarik perhatian musuh. Hanya tiga joli dalam rombongan itu.

Satu untuk Kaisar, satu untuk permaisuri, satu lagi untuk Puteri Tiang-ping bersama Putera Mahkota yang masih kecil. Lainnya harus jalan kaki. Dan itu adalah siksaan hampir tak tertanggungkan buat para bangsawan itu, sehingga gerutu dan keluh kesah mulai terdengar lagi.

Ou Hin menjadi agak kesal mendengar suara- suara itu, bentaknya, "Diam! Kalau kalian mau memisahkan diri dari rombongan dan berjalan ke mana saja, silakan! Aku takkan menghalangi! Aku hanya mengawal Sri Baginda dan bukan kalian!"

Para bangsawan pun bungkam. Tapi sudah tentu mereka tak berani memisahkan diri dari rombongan, bisa dicincang oleh gerombolan liar yang bermunculan di mana-mana.

Rombongan itu bergerak menjauhi Ceng- yang-mui. Suara riuhnya pertempuran yang makin dekat, tak terasa memacu langkah mereka. Para bangsawan gendut mulai terengah-engah dan mandi keringat.


Salah seorang sempoyongan, menekan dadanya sendiri sambil menyeringai, "Apa.... apa jalannya... tidak... tidak bisa lebih pelan... sedikit? Aduh...."

Tak ada yang menggubrisnya, malah seluruh rombongan berjalan makin cepat. Dua hamba bangsawan itu lalu memapah tuan mereka dari kiri kanan. Tapi kedua hamba itupun cepat kelelahan karena tuan mereka berbobot seratus kilo lebih. Ketika itulah rombongan tiba-tiba berhenti.

Karena sekelompok orang bersenjata muncul di depan rombongan itu, semuanya berikat kepala kuning. Pemimpin mereka bermuka buas, di wajahnya ada luka menyilang bekas kena senjata, dan tangannya memegang Kau-lian-jio (Tombak Berkait), bentaknya dengan bengis, "Mana Kaisar goblok penghisap darah rakyat itu?"

Orang itu tidak menggunakan kesempatan untuk merampok dan mengisi kantong sendiri, melainkan berani menghadang rombongan Kaisar yang berpeng-awal, menandakan kalau dia adalah anggota Pelangi Kuning sejati, bukan gerombolan liar yang cuma mengail di air keruh.

Ou Hin cepat menyiagakan para pengawal di sekitar Kaisar yang terutama. Namun ia kaget melihat di antara para penghadang itu ada seorang perwira istana yang tadi ditugaskannya sebagai pelopor untuk mencarikan jalan yang aman. Orang itu sekarang malah membawa kawanan Pelangi Kuing untuk menunjukkan rombongan Kaisar.

"Pengkhianat!" geram Ou Hin sambil menuding. "Ternyata kau malah berkhianat di saat seperti ini!"

Orang itu tertawa digin dan berkata, "Bukan pengkhianat, karena aku sudah lima tahun menjadi anggota Pelangi Kuning, dan sudah dua tahun aku mengelabuhi kalian dengan menyusup sebagai pengawal istana. He-he-he...."

Dengan berang Ou Hin mengayunkan goloknya untuk menyabet ke pinggang orang itu dalam gerakan Tiat-so Hengkang (Tali Besi melintang Sungai). Namun orang itu berhasil menangkis dengan pedangnya, biarpun agak terhuyung mundur karena kalah tenaga.

Orang yang bersenjata tombak berkait Kau-lian-jio lalu maju menghadapi Ou Hin, melakukan gerak In-hou-kui-san (Macan Pulang ke Gunung) dibarengi langkah yang berputar membingungkan, mencoba mengait leher Ou Hin. Geraknya tangkas dan mantap, tidak gentar oleh kekuatan Ou Hin.

Ketika Ou Hin menangkis, seketika lengannya tergetar, sedang lawannya terus merangsek maju dengan permainan cepat tombaknya. Ujung tombak kait tajam di leher tombak maupun tangkai tombaknya menimbulkan daya serang hebat yang membuat Ou Hin berulang kali terpaksa mundur.

Kelompok penghadang itu adalah bagian dari pasukannya Li Giam. Waktu itu, Ou Hin baru menerima laporan bahwa pintu gerbang Soan-bu-mui dan Ceng-yang-mui sudah bobol. Namun sebetulnya gerbang-gerbang Ciang-gi-mui, Ce-hoa-mui dan Tong-tit-mui saat itu juga sudah bobol. Pasukan Li Giam dan Gu Kim-sing sudah membanjir masuk kota lewat arahnya masing-masing.

Kedua tokoh Pelangi Kuning itu telah gagal memenangkan sayembara Joan-ong, yang mengatakan bahwa siapa yang lebih dulu memasuki Pak-khia kelak akan menjadi Panglima Tertinggi. Ternyata keduanya gagal, sebab yang masuk kota lebih dulu adalah Lau Cong-bin dari gerbang Soan-bu-mui. Namun demikian, Li Giam dan Gu Kim-sing terus menggempur dengan sengit. Kalau gagal menjadi "juara pertama" mereka akan memperebutkan kedudukan "juara kedua".

Saat itu, dari sembilan pintu kota Pak-khia, lima di antaranya sudah bobol. Sisanya tinggal tunggu waktu, cepat atau lambat, inilah yang belum dilaporkan kepada Ou Hin karena kacaunya keadaan. Sementara rombongan Ou Hin sudah bertempur hebat dangan rombongan penghadang. Ou Hin terdesak hebat oleh lawannya yang tangkas, lengannya sudah kena dikait satu kali sehingga mencucurkan darah.

Melihat kesulitan panglima tua ini, Siangkoan Heng cepat maju dan berseru, "Goan-swe, serahkan kepadaku! Lebih baik Goan-swe bawa junjungan kita ke tempat aman!"

Lalu Siangkoan Heng tangkas menyusup ke tengah dua orang yang bertempur itu sambil mengelebatlebatkan pedangnya. Ketika itu lawan Ou Hin sedang mengancam dengan In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di Mega), yang tak mungkin tertangkis oleh Ou Hin yang sudah kelelahan.

Tapi semuanya tertangkis oleh Siangkoan Heng, yang dengan tangkas bahkan terus merebut kedudukan untuk balik menyerang dengan sabetan beruntun Liong-bun-sam-ko-long (Gelombang Tiga Kali Mendampar Pintu Naga).

Lawannya mundur selangkah memperbaiki posisi, insyaf telah ketemu lawan tangguh. Namun hal itu tidak menyurutkan nafsunya untuk bisa membawa batok kepala kaisar Cong-ceng dan mengaraknya keliling kota.

Sementara Ou Hin berusaha membawa Kaisar dan keluarganya keluar dari kemelut itu. Tapi tidak gampang, karena orang-orang Pelangi Kuning menghalanginya, rupanya mereka sudah tahu kalau salah satu tandu itu berisi Kaisar.

Semula yang menghadang itu memang hanya puluhan orang, namun banyak di antara mereka yang berteriak-teriak memanggil teman, "Kaisar penghisap darah itu ada di sini! Teman-teman, ke sini semua!"

Maka orang-orang Pelangi Kuning membanjiri tempat itu seperti air bah, sehingga pengawal-pengawal Kaisar mendapat pekerjaan amat berat. Orang-orang Pelangi Kuning itu muncul dari lorong-lorong, dari pohon-pohon, dari dalam rumah-rumah di sekitar situ. Jelaslah kalau lama sebelumnya mereka sudah sembunyi di situ, dan kini mereka lalu mengurung rombongan Kaisar.

Perkelahian berkobar menggiriskan hati. Bukan cuma pedang, tombak atau senjata lain yang saling sambar, tetapi panah-panah dan lembing dihujankan ke tengah-tengah rombongan Kaisar sehingga banyak korbannya, tak pandang bulu wanita atau anak-anak.

Ou Hin sendiri sudah seperti seekor singa terluka, tak peduli akan luka-lukanya ia terus bertempur dengan gigih. Bersama sejumlah pengawal yang setia, ia berusaha mencarikan jalan keluar untuk Kaisar dan keluarganya. Topi besinya sudah terpental, rambut putihnya sudah lepas pita pengikatnya sehingga awut-awutan, sebagian tubuhnya basah oleh darah dari lukanya, tapi keselamatan dirinya tidak dihiraukannya, ia terus menerjang paling depan untuk menimbulkan semangat bagi pengawal-pengawal lainnya.

Melihat semangat tempur Ou Hin itu, Siangkoan Hi jadi terharu, desisnya, "Sayang aku tidak bisa bersilat. Kalau bisa, tentu aku akan mendampinginya bertempur."

Lalu menteri tua itu menyuruh Siangkoan Yan yang berdiri di sumpingnya dengan pedang terhunus, "Yan-ji, bantulah Ou Goan-swe menembus rintangan musuh untuk menyelamatkan Kaisar."

Siangkoan Yan ragu-ragu. Dalam keadaan seperti Itu, ia lebih berat akan keselamatan ayahnya daripada Kaisar. Namun ayahnya terus mendesak,

"Cepatlah! Aku takkan mengakui sebagai puteriku, kalau kau lupa berbakti kepada junjungan negara."

Diam-diam Siangkoan Yan kagum juga kepada ayahnya, yang tidak mementingkan diri sendiri di saat tangan maut beterbangan begitu dekat di sekitarnya. Beda dengan para bangsawan yang hebat dalam menyusun pidato-pidato indah, terutama kalau pidatonya sedang menyudutkan orang lain.

Sekarang bukannya mereka membantu meringankan tugas para pengawal, malahan berteriak-teriak kebingungan, lari ke sana ke mari, minta dilindungi paling dulu sambil meneriakkan hak-hak kebangsawanun mereka. Tapi dalam keadaan seperti itu, pengawal mana yang mau menggubris mereka?

Beberapa pengawal "comotan" yang tidak berasal dari pasukan istana, sudah mulai merosot semangatnya. Sekelompok dari mereka tiba-tiba membuang senjata dan berteriak, "Kami menyerah! Jangan bunuh!"

Rupanya mereka menjadi kecut hati melihat teman-teman mereka yang tewas dengan tubuh dicincang dan diinjak-injak, sebagai pelampiasan kebencian orang-orang Pelangi Kuning itu. Tapi para prajurit yang bermaksud menyerah itu kurang tepat memilih waktu.

Mana mungkin orang-orang Pelangi Kuning mau mempertimbangkan penyerahan mereka, selagi mabuk dendam dan kemarahan? Prajurit- prajurit yang meletakkan senjata itu ibarat bunuh diri, mereka digilas tanpa ampun oleh lawan-lawan mereka. Mereka dirobohkan tidak cukup dengan satu bacokan atau tusukan, melainkan dipotong-potong dengan buas dan diinjak-injak pula.

Maka seluruh anggota rombongan Kaisar itu hanya punya satu pilihan, yaitu melawan terus. Tak ada lagi yang punya pikiran untuk menyerah. Kalau ada kesempatan ya lebih baik lari daripada menyerah.

Dalam keadaan seperti itulah Siang-koan Hi justru terus menyuruh Siangkoan Yan membela Kaisar, "Yan-ji, percuma aku hidup terus, kalau gagal mendidik anakku sendiri untuk berbakti kepada Kaisar!"

Karena itulah akhirnya Siangkoan Yan berkata, "Baiklah, ayah. Tapi ayah harap berada dekat keluarga Kaisar, supaya sambil melindungi Kaisar, akupun bisa memperhatikan ayah."

"Baik."

Siangkoan Yan lalu menuntun ayahnya di antara orang-orang yang ribut seperti gabah ditampi itu, didekatkan ke tandu Kaisar. Kemudian Siangkoan Yan maju ke dekat Ou Hin yang mulai kelelahan. Bagaimanapun gagah dan bersemangatnya jenderal tua itu, namun usia tuanya menggerogoti daya tahannya. Kalau Siangkoan Yan tidak keburu menolong, pasti Ou Hin juga akan kebagian giliran diubah jadi daging cacah kaum Pelangi Kuning.

Menghadapi lawan-lawan yang mabuk darah, mau tak mau Siangkoan Yan juga harus bersikap keras, ragu-ragu sedikit saja pastilah dirinya sendiri jadi korban. Begitu si macan betina keluarga Siang-koan ini menunjukkan kepandaian silatnya, segera terlihat hasilnya. Di pihak lawan ternyata tak ada lagi tokoh lain yang layak untuk membendung amukannya.

Orang-orang Pelangi Kuning yang menghadang jalan segera bertumbangan kena pedangnya yang sulit ditangkis karena cepatnya. Para pengawal Kaisar bertambah semangatnya dan segera menekan lebih hebat, maka tekanan musuh di satu sisi segera terasa mengendur. Ou Hin lalu memimpin rombongan Kaisar itu untuk maju mendesak.

Begitulah, rombongan Kaisar itu setapak demi setapak berhasil bergerak maju, meskipun tiap langkah adalah langkah berdarah yang harus melompati mayat-mayat kawan dan lawan. Ou Hin membawa rombogan itu ke arah istana. Mau ke mana lagi kalau keadaan di segala penjuru amat tak menentu dan sulit diperhitungkan?

Ou Hin sudah merencanakan, setelah Kaisar di istana kembali, semua pasukan kerajaan yang berpencaran di seluruh pelosok akan ditarik semua untuk bertahan di istana. Itulah lebih baik daripada berpencaran dan digulung satu demi satu oleh gelombang musuh.

Dan entah sampai kapan bisa bertahan dalam istana, tak ada yang berani menjawab. Masih ada setitik harapan yang timbul tenggelam, yaitu kedatangan pasukan Jenderal Su Ko-hoat dari Yang-ciu. Harapan yang kadang menyala sebentar, kadang padam, lalu menyala lagi sebentar... padam lagi.

Begitulah, rombongan Kaisar yang dipelopori Siangkoan Yan yang terpaksa jadi ganas, sedikit demi sedikit mencari jalan menuju ke istana. Sambil bertempur, toh Siangkoan Yan beberapa kali menoleh ke arah ayahnya. Karena bertempur makin hebat, rombongan Kaisar tak bisa dipertahankan untuk tetap utuh, apalagi dalam rombongan itu juga banyak terdapat yang bukan prajurit, bahkan perempuan, orang tua dan anak-anak.

Maka tak terhindar lagi, rombongan itu jadi berceceran, terpecah-pecah, sebagian terdorong ke sini dan sebagian ke sana dan satu sama lain tidak tahu lagi bagaimana nasib rombongan lainnya. Pertempuran sudah tidak mirip antara dua barisan, namun seperti perkelahian perorangan namun massal. Campur aduk.

Kaum Pelangi Kuning maupun pengawal-pengawal Kaisar sudah sama nekadnya. Di arena, manusia rontok berhamburan seperti laron saja. Di sini tidak ada lagi penakut, semuanya pemberani yang amat terpaksa. Ataukah keberanian membunuh itu sebenarnya juga ujud ketakutan terhadap kematian?

Terdengar aba-aba keras dari pihak Pelangi Kuning, disusul teriakan-teriakan "perjuangan" yang bernada kebencian, dan kaum Pelangi Kuning mendesak makin sengit. Siangkoan Yan yang terbawa arus itu bertempur dengan bersemangat, sehingga maju agak terlalu jauh, dan ketika ia ingat ayahnya lalu menoleh.

Siangkoan Yan pun terkesiap karena nampak ayahnya terpisah dari rombongan. Hanya bersama Siangkoan Heng dan sekelompok pengawal, sedangkan tandu-tandu keluarga istana serta Ou Hin dan sekelompok pengawal lainnya sudah tidak kelihatan, entah "hanyut" ke mana terbawa arus manusia yang saling bunuh itu.

Lebih-lebih rombongan para bangsawan dan keluarganya, sudah sejak tadi mereka tak kelihatan dan tak kedengaran pula suaranya. Siangkoan Yan lalu menerobos musuh untuk mendekati ayahnya, dan bersama dengan Siangkoan Heng mereka melindungi ayah mereka, juga bersama sekelompok pengawal yang gigih.

Di tengah-tengah bahaya itupun si menteri tua Siangkoan Hi masih berteriak kepada seorang komandan pengawal di dekatnya, "Coba cari jalan untuk bergabung dengan Sri baginda! Lindungi Sri Baginda, jangan pedulikan aku!"

"Tidak mungkin menerjang dengan kekerasan!" sahut perwira itu. "Lebih baik cari jalan lain!"

Rombongan Siangkoan Yan itu kemudian mundur, tetapi sekelompok orang Pelangi Kuning memburu dengan penuh kebencian. Siangkoan bersaudara serta beberapa perwira istana dengan kejam menghadang dan menghentikan kejaran itu, sehingga rombongan yang terdapat Siangkoan Hi itu akhirnya berhasil menyelinap ke sebuah gang kampung yang gelap.

Rombongan itu berlari terus, dan akhirnya sampai ke sebuah tempat di mana tidak ada pertempuran. Sesaat semuanya menarik napas lega, biarpun hanya sementara. Yang luka-luka sempat memperhatikan lukanya lebih cermat, dibantu teman-temannya.

Ketika Siangkoan Yan lebih cermat memperhatikan rumah itu, diapun terkesiap. Itulah bagian kota di mana salah satu rumahnya dibeli oleh Puteri Tiang-ping untuk menyembunyikan Tan Wan-wan setelah disingkirkan dari istana. Semakin memperhatikan, semakin merasa yakinlah Siangkoan Yan.

Pintu rumah "penyimpanan" Tan Wan-wan itupun tiba-tiba terbuka dari dalam, muncullah Tan Wan-wan memegang lampion bertangkai. Rupanya Tan Wan-wan mendengar ada suara orang-orang di depan rumah, lalu dia keluar untuk menjenguk. Dan ia terkejut melihat siapa-siapa orang di depan rumah itu.

"Adik Yan...."

Siangkoan Yan pun berkata, "Cici Wan-wan, kami dikejar-kejar oleh...." hampir saja Siangkoan Yan mengatakan "teman-temanmu" tapi lalu digantikannya, "....oleh orang-orang Pelangi Kuning."

Sementara Tan Wan-wan telah memberi hormat pula kepada Siangkoan Hi dan Siangkoan Heng. Lalu katanya, "Rumah ini aman untuk berlindung, ini kepunyaan Puteri Tiang-ping namun tidak banyak yang mengetahuinya, bahkan tetangga-tetangga pun tidak tahu."

Siangkoan Yan tahu bahwa Tan Wan-wan adalah anggota Pelangi Kuning, namun kesannya terhadap Tan Wan-wan jauh berbeda dengan terhadap orang-orang Pelangi Kuning di jalanan yang buas-buas tadi.

Mendengar tawaran itu, Siangkoan Yan pikir, alangkah baiknya kalau ayahnya berlindung dengan aman di tempat itu, daripada dibawa berlari ke sana ke mari dalam suasana terancam oleh kaum Pelangi Kuning. Tapi maukah ayahnya berlindung sementara di situ, karena ayahnya pun sudah tahu siapa Tan Wan-wan sebenarnya?

"Bagaimana, ayah?" Siangkoan Yan menoleh kepada ayahnya yang masih agak terengah-engah. Dan agar ayahnya mau, Siangkoan Yan pun menambahkan, "Ini rumah Puteri Tiang-ping yang belum lama dibelinya secara diam-diam, semua penghuninya pun orang-orang kepercayaan puteri...."

Tetapi Siangkoan Hi masih ragu-ragu, ia agaknya memikirkan tentang diri Kaisar. Tahu apa yang dipikirkan ayahnya, Siangkoan Heng berkata, "Ayah tetaplah di sini bersama adik Yan. Aku akan, berusaha mengetahui bagaimana keadaan Kaisar sekarang."

Setelah mendengar kesanggupan anak Laki-lakinya itu, barulah Siangkoan Hi mengangguk. Maka Siangkoan Hi, Siangkoan Yan serta pengawal-pengawal yang luka-luka pun ditinggal di rumah itu. Sedang Siangkoan Heng bersama sekelompok pengawal istana yang setia kepada Kaisar, berangkat kembali.

Di dalam rumah itu, kedudukan Tan Wan-wan adalah tawanan Puteri Tiang-ping, namun penjaga-penjaganya yang terdiri dari empat perempuan dan tujuh laki-laki, semuanya bersikap baik kepadanya, karena memang dipesan oleh Puteri, asal Tan Wan-wan tidak lari saja.

Tan Wan-wan sendiri kemudian bersungguh-sungguh sibuk ikut mengobati orang-orang yang luka. Sejak beberapa hari ia sudah mendengar kabar pertempuran, sore tadi bahkan didengarnya kalau laskar Pelangi Kuning sudah masuk kota. Ia tahu, itulah saat-saat puncak perjuangan Joan-ong. Mestinya Tan Wan-wan gembira.

Namun ketika didengarnya jerit tangis kaum wanita dan anak-anak, kaum lemah lanpa daya di tengah-tengah benturan dua kekuatan raksasa yang sedang sama-sama kalap itu, Tan Wan-wan merasa tersayat hatinya, la lebih ikut menangis bersama korban-korban itu, daripada ikut bersorak bersama orang-orang Pelangi Kuning, teman-teman seperjuangan selama ini.

Di halaman rumah, Siangkoan Yan berdiri menatap langit yang merah. Kembang-kembang api masih berluncuran di langit kelam, tanda isyarat bagi pasukan-pasukan yang bertempur. Dentuman meriam dan sorak pertempuran tak sekejap pun sepi.

Sulit mengetahui waktu, petugas-petugas yang sering menandai waktu dengan bunyi lonceng dan tambur di menara kota, pasti tidak sempat menjalankan tugasnya. Tapi Siangkoan Yan melihat bulan sudah miring ke arah barat. Berarti tengah malam sudah jauh dilewati, dan saat itu mungkin sudah hampir pagi.

Menjelang fajar, Siangkoan Heng datang dengan melompati tembok, semuanya langsung menanyakan berita di luar sana. Siangkoan Heng menceritakan, Ou Hin berhasil membawa Kaisar dan keluarganya kembali ke istana, kemudian semua pasukan yang tersisa dari seluruh Pak-khia dikumpulkan sedapat-dapatnya untuk pertahanan di sekitar istana dan di dalam istana.

"Bagaimana dengan gerbang-gerbang kota?" tanya Siangkoan Hi.

"Sembilan pintu kota sudah terbuka lebar untuk kaum Pelangi Kuning. Li Cu-seng sudah memasuki kota lewat gerbang Tek-seng-mui."

Wajah Siangkoan Hi kontan menjadi amat sedih, tanyanya pula, "Bagaimana sikap penduduk Pak-khia terhadap kedatangannya?"

Agak lama Siangkoan Heng membungkam, sahutannya kurang meyakinkan, "Aku... aku tidak tahu, ayah."

"Kau tahu tetapi tidak mau mengatakannya padaku!" tiba-tiba Siangkoan Hi menjadi gusar sampai terbatuk-batuk. "Mau kau katakan kepadaku atau tidak?"

Siangkoan Heng menundukkan wajahnya, tidak berani menatap ayahnya ketika menjawab, "Penduduk... menyambut Li Cu-seng... sebagai... sebagai pahlawan pembebas."

Si menteri tua tertatih-tatih memutar tubuh dan melangkah ke kamarnya. Ketika Tan Wan-wan hendak membantu jalannya, orang tua itu dengan kasar menolaknya, tetapi tidak menolak ketika Siangkoan Yan yang menuntunnya. Tidak lama kemudian, dari kamar itu terdengar si menteri tua menangis seperti anak kecil.


Pintu kota Tek-seng-mui terpentang lebar. Dari luar, masuklah pasukan berkuda yang rapi. Tiap penunggangnya berseragam sederhana, namun rapi dan gagah, .semuanya memakai caping kaum tani. Pasukan berkuda itu disusul barisan pembawa bendera yang megah berkibar-kibar. Di tengah-tengah barisan itu nampak seorang lelaki bertubuh kekar.

Wajahnya persegi dengan bentuk rahang kaum petani, alisnya tebal, bibirnya juga tebal, kumis dan jenggotnya pendek serta kasar. Kuda tunggangannya hitam mulus, kepalanya bercaping lebar dan jubahnya sederhana, dari kain kapas tenunan kasar. Begitu melihat orang ini, seketika menggemuruhlah sorak yang dipelopori orang-orang Pelangi Kuning.

"Hidup Joan-ong! Hidup Joan-ong! Hidup Joan-ong!"

Seruan itu terus bersambung dibawa angin. Bukan cuma laskar Pelangi Kuning yang bersorak-sorak, namun penduduk di sepanjang jalan yang dilewati "pawai" itupun mau tak mau harus ikut bersorak menyambut sambil melambai-lambai. Berat resikonya kalau tidak berbuat demikian, bisa dituduh oleh calon penguasa baru itu sebagai "begundal dinasti lama" dan hukumannya berat.

"Hidup Joan-ong! Hidup Joan-ong! Hidup Joan-ong!"

Ketika itu sudah tidak ada pertempuran di jalan, tinggal bekas-bekasnya yang mengerikan. Ou Hin telah menarik semua pasukan kerajaan yang tersisa untuk mempertahankan istana, dengan demikian bagian selebihnya dari kota Pak-khia sudah dikuasai kaum Pelangi Kuning.

Namun laskar Pelangi Kuning tidak dapat segera menyerbu ke istana, sebab Ou Hin telah membakar deretan rumah kosong yang sudah disiapkannya. Kobaran api yang dahsyat membentuk garis sekitar istana, menahan majunya laskar Pelangi Kuning.

Laskar Pelangi Kuning tidak sabar mendiamkan api itu sampai padam sendiri, dengan giat mereka menyiraminya dengan air, entah sampai berapa ribu ember, diambilkan dari sumur-sumur penduduk sekitar situ.

Ketika mendengar bahwa Joan-ong Li Cu-seng sudah masuk kota, laskar Pelangi Kuning tambah bersemangat memadamkan api. Baik Li Giam, Gu Kim-sing maupun Lau Cong-bin tidak hanya memberi perintah dari garis belakang, melainkan hilir-mudik di antara laskar yang tengah mengangkut air.

Dalam persaingan antar tiga tokoh Pelangi Kuning itu untuk merebut kedudukan Panglima Tertinggi yang dijanjikan Joan-ong, sudah ketahuan pemenangnya, yaitu Lau Cong-bin yang pertama berhasil memasuki Pak-khia lewat pintu kota Soan-bu-mui. Kini Lau Cong-bin ingin menambah terang bintangnya sebagai orang yang pertama pula merebut istana.

Namun Li Giam dan Gu Kim-sing pun punya ambisi yang sama. Mereka giat memimpin anak buah masing-masing memadamkan api. Dan bersamaan dengan merekahnya fajar, api berhasil disiram padam. Begitu api padam, Gu Kim-sing dengan amat bernapsu melambai-lambaikan pedangnya dan memerintah laskarnya,

"Maju! Rebut istana! hancurkan semua perintang!"

Orang-orangnyapun menyerbu seperti banjir, melompati puing-puing yang masih berasap dan hangat. Yang tidak memakai alas kaki segera melepuh kakinya. Namun Gu Kim-sing terus berteriak-teriak dan tidak suka melihat anak buahnya ada yang mundur atau berhenti.

Lau Cong-bin tidak mau kalah dari rekannya, pasukannya pun menyerbu dari arah lain. Secara pribadi, Lau Cong-bin adalah penggemar wanita cantik, la sudah mendengar kalau wanita istana cantik-cantik, maka diapun memacu laskarnya untuk paling dulu masuk istana demi merebut "harta karun bernyawa" kegemarannya itu.

Demikianlah, dua gelombang laskar Pelangi Kuning menyerbu istana dari dua arah. Pasukan kerajaan di sekitar istana segera menyambut dengan hujan panah dan lembing. Banyak laskar bertumbangan, namun yang di belakang mereka terus mendesak.

Akhirnya laskar Pelangi Kuning menjadi begitu dekat dengan pasukan kerajaan, sehingga para prajurit tak sempat memanah lagi, lalu mereka mengganti busur dan panah dengan pedang atau tombak, pertempuran pun pecah di sekitar istana. Pertarungan yang sengit sekali, sebab laskar Pelangi Kuning berjumlah banyak.

Sedangkan tentara kerajaan sudah seperti binatang buas yang terpojok, berkelahi dengan kalap seperti semalam. Arena itu jadi amat berdarah. Kedua pihak sudah berubah menjadi hewan-hewan tak berakal-budi lagi.

Saat itu Li Giam malah tetap tenang-tenang saja, belum menyuruh maju pasukannya, sehingga Yo Kian-hi yang ada di sebelahnya bertanya, "Goan-swe, kapan kita maju?"

Li Giam tersenyum sambil menjawab, "Siapa yang paling dulu menguasai istana, harus maju di saat yang paling tepat, bukan yang paling dulu."

Yo Kian-hi tercengang, "Kenapa begitu?"

"Karena dalam istana itu masih ada pasukan-pasukan yang tangguh dan belum turun ke lapangan. Kau tentu pernah mendengar nama-nama pasukan seperti Lwe-teng Wi-su (satuan pengawal istana), Gi-cian Si-wi (satuan pengawal Kaisar), Han-lim-kun (pengawal ruang pusaka), Kim-ih Wi-kun (pengawal berbaju benang emas) dan lain-lainnya?"

"Benar, Goan-swe. Mereka adalah pasukan istimewa. Jumlahnya tidak banyak, namun orang-orang pilihan semua dalam hal kemampuan tempur, maupun kesetiaan. Mereka lebih suka mati daripada menyerah. Tapi kita tidak perlu takut kepada mereka, bukankah kita juga sudah lama menyiapkan pasukan khusus yang terdiri dari pesilat-pesilat gagah berani?"

"Ya, kita tidak takut, tapi lebih baik kalau pakai otak sedikit. Biarkan pasukan-pasukan istimewa itu muncul lebih dulu untuk menghadapi Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin. Biar mereka menggigit bagian yang keras, dan kita pilih yang agak lunak saja. Karena itu, jangan buru-buru maju."

Mendengar itu diam-diam Yo Kian-hi memuji dalam hati. Saat itu, dalam pertempuran di sekitar istana sudah nampak ada perubahan, pasukan kerajaan mulai terdesak. Selain kalah jumlah, mereka juga kalah semangat dan kelelahan.

Pasukan kerajaan mulai mundur dikejar laskar Pelangi Kuning, kemudian memasuki pintu-pintu istana yang segera ditutup rapat. Laskar Pelangi Kuning yang ingin memanjat tembok istana, berjatuhan seperti cecak karena dihujani panah dari celah-celah tembok istana bagian atas. Namun Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin yang sedang "berlomba" itu, tak peduli berapapun anak buah mereka yang bakal jatuh menjadi korban.

Mereka memerintahkan terus menggempur, seperti gelombang samudra yang bolak-balik mendampar pasir tepian. Baik anggota-anggota regu pendobrak yang memikul balok besar untuk memecah pintu, maupun yang berusaha memasang tangga di tembok istana, telah banyak yang menjadi korban panah dari atas tembok. Tapi mereka terus maju menggantikan yang mati, maju, maju. Maju lagi, karena pemimpin mereka memerintahkan.

Barisan pemanah Pelangi Kuning mencoba membalas, tetapi kedudukan mereka kurang menguntungkan. Mereka berada di tempat terbuka, sedang lawan-lawan mereka ada di atas tembok yang dilengkapi celah-celah untuk memanah.

Tetapi, biarpun dengan korban amat banyak, akhirnya berhasil juga laskar Gu Kim-sing menghantam pecah salah satu pintu gerbang istana. Disertai sorak gemuruh, berbondong-bondong mereka menyerbu pintu itu.

Namun di balik pintu mereka segera ditahan pasukan-pasukan istimewa istana yang kelasnya di atas prajurit-prajurit biasa. Jadi kemajuan mereka terhambat sementara waktu, sedang yang masih di luar pintu, masih tetap menjadi incaran pemanah-pemanah dari atas tembok.

Dari kejauhan, Li Giam menilai situasi lewat teropongnya, lalu perintahnya, "Sekarang kita maju. Pasukan pelopor lebih dulu."

Ternyata Li Giam punya persiapan jauh lebih matang untuk menembus pertahanan istana berdasarkan laporan-laporan rahasia dari Tan Wan-wan selama ini, ia punya denah lengkap istana, terutama urusan pertahanannya. Maka diapun sudah menyiapkan suatu cara yang tidak harus obral nyawa seperti Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin.

Pasukan pelopor itu adalah seratus orang pilihan, dengan tangan satu membawa tameng lebar, sedang tangan lain membawa senjata andalan mereka yang beraneka ragam. Ada pedang, tombak, golok, ruyung, rantai, kampak, atau tidak membawa apa-apa selain tameng karena orang itu rupanya ahli tempur tangan kosong. Anggota regu juga campur aduk, ada hwesio, tojin, bahkan ada beberapa perempuan. Mereka dipilih dari orang-orang yang sanggup melompat tinggi.

Perintah Li Giam menggerakkan mereka untuk berlari kencang menyeberangi tempat terbuka di luar tembok istana yang belum diserang Gu Kim-sing maupun Lau Cong-bin. Mereka berlari kencang secepat angin, tanpa bersorak. Begitu cepatnya gerak mereka, sehingga para perajurit di atas tembok terlambat menyiapkan "sambutan" untuk mereka. Paling depan dari regu itu adalah kakak beradik seperguruan, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang merasa tidak perlu membawa tameng segala.

Dari atas tembok berluncuran panah-panah, namun karena lebih banyak prajurit yang terlambat, maka hanya belasan batang panah saja yang sempat dilepaskan, dan itupun semuanya gagal mengenai sasaran. Kalau tidak dihadang tameng ya dihindari, malah ada yang ditangkap dengan tangan.

Pada saat para prajurit sedang berteriak saling memperingatkan teman-teman mereka akan datangnya serangan yang nyaris tanpa suara ini, mereka sebenarnya sudah terlambat sekali. Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi telah melambung tinggi melompati tembok seperti dua elang raksasa.

Oh Kui-hou serempak menyapukan sepasang cambuk kulitnya yang masing-masing sepanjang tiga meter, dan prajurit-prajurit pemanah di balik tembok, dan banyak dari mereka yang tersapu runtuh babak belur. Kemudian Yo Kian-hi juga "hinggap" di atas tembok, sepasang pedang tebalnya beraksi. Korbannya lebih banyak dari korban kakak seperguruannya.

Kedua saudara seperguruan itu lalu melompat ke bagian dalam tembok istana, disusul pendekar-pendekar pendukung Li Giam lainnya yang telah "beterbangan" melewati tembok tanpa sempat dipanah. Begitu sampai di bagian dalam tembok, mereka segera berkelahi dengan pengawal-pengawal istana, namun anggota kelompok pendobrak itu sempat memecah diri untuk membagi tugas seperti yang direncanakan.

Sepertiga menghadapi pengawal-pengawal istana, sepertiga mencoba "membersihkan" pemanah-pemanah di atas tembok, sepertiga lagi menerobos ke pintu, lalu membuka gerbang istana itu dari sebelah dalam, mementang lebar- lebar. Begitu melihat pintu terbuka, menyerbulah pasukan depan Li Giam ke dalam istana, gelombang demi gelombang.

Demikianlah, apa yang dengan susah payah ingin dicapai Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin, diperoleh Li Giam dengan waktu singkat dan tanpa banyak korban, karena keunggulan dalam rencana dan persiapan. Dan semuanya itu tak lepas dari jasa Tan Wan-wan yang sebelum ini banyak menyelundupkan keterangan tentang keadaan istana.

Li Giam sendiri maju bersama pengawal-pengawal kepercayaannya, membawa tombaknya. Ia tidak ingin menjadi penonton saja sementara anak buahnya menyabung nyawa. Baku hantam pun meledak di dalam istana.

Halaman-halaman, taman-taman, kebun-kebun, bangsal-bangsal, pagoda-pagoda, parit-parit berair bening, jembatan jembatan berukir pun segera jadi porak-poranda semuanya. Bunga-bunga yang lagi mekar penuh harapan, lumat terinjak-injak kaki, patung-patung hiasan taman roboh atau remuk.

Kolam-kolam berair jernih tempat angsa-angsa putih dan ikan Ikan emas biasanya berenang-renang di antara teratai-teratai, menjadi merah dan amis airnya karena dicemplungi tubuh-tubuh dengan luka merah menganga. Pagar-pagar susuran yang terukir halus, kini ditendang roboh begitu saja kalau dianggap penghalang.

Pasukan istana tidak siap karena mendadaknya serangan itu. Begitu gelombang serangan pertama tiba, banyak prajurit istana langsung jadi korban, sedang yang lain-lain terdesak mundur puluhan langkah sambil berusaha menahan musuh.

Tidak lama kemudian, pertempuran beralih dari tempat terbuka ke dalam bangunan-bangunan istana. Terjadi kejar-mengejar di lorong-lorong dalam berlantai mengkilat, sergap-menyergap di antara pintu-pintu ruangan yang sudah copot engselnya karena ditabrak begitu saja.

Melihat itu, Li Giam meneriakkan perintah kepada orang-orangnya, "Musuh yang menyerah cukup diikat saja, jangan dibunuh! Hindarkan kerusakan sebisa-bisanya!"

Perintah yang baik memang. Namun selagi hati terbakar, berapa banyak yang menghiraukan perintah itu? Di saat kebencian menguasai tindakan, berapa banyak yang mau repot-repot mencari tali untuk mengikat tawanan? Dan yang menimbulkan kerusakan itu bukan cuma laskar Pelangi Kuning, tetapi juga pengawal-pengawal istana.

Li Giam sendiri maju paling depan, memainkan tombaknya seperti seekor naga mengamuk, la terus memberi semangat atau perintah kepada orang-orangnya yang terus berhasil mendorong mundur pengawal-pengawal istana. Tidak lama kemudian, pengawal-pengawal istana mendapat bantuan dari bagian dalam, dan perlawanan mereka mulai agak teratur.

Tapi laskar Pelangi Kuning juga terus membanjir dari luar, dan orang-orangnya Li Giam itu mau tidak mau menjadi tandingan tangguh buat pengawal-pengawal istana. Mereka bukan orang-orangnya Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin yang main serbu saja mengandalkan jumlah banyak.

Tak tercegah oleh pasukan istana, pertempuran menyebar makin luas ke bagian-bagian istana lainnya. Kemudian Ou Hin sendiri muncul membawa golok Ceng-liong-tonya. Melihat laskar musuh sudah maju sejauh itu ke dalam istana, Ou Hin terkesiap. Cepat-cepal ia mengatur pertahanan, lalu dia sendiri menghadang Li Giam.

"Kaukah Li Giam, si gembong maling itu?" bentaknya sambil membacok sengit.

Li Giam dengan tangkas memalangkan tombaknya untuk menangkis, lalu balas menikam sambil menjawab, "Li Giam penyelamat tanah air dari pemerintah Kaisar bobrok, bukan gembong maling!"

Dan tombaknya dengan tangkas menyerang berulang kali, memaksa Ou Hin untuk bertahan sementara. Bagaimanapun juga, faktor usia ada pengaruhnya. Ou Hin sudah enam puluh tahun, sedang Li Giam dua puluh tahun lebih muda, tubuhnya juga lebih alot tergembleng keprihatinan dan perjuangannya selama ini. Karena itu, Li Giam segera kelihatan lebih unggul.

Sambil mendesak, Li Giam bertanya, "Tuan tentunya Goan-swe Ou Hin, pahlawan pembela tanah air dalam perang melawan bangsa Manchu di Liau-tung, bawahan Goan-swe Cong-hoan almarhum yang gagah berani. Benar tidak?"

"Kaukah Li Giam, si gembong maling itu?" bentaknya sambil membacok sengit. Sambil bertahan ketat, Ou Hin menjawab dengan keras kepala, "Jangan coba-coba melunakkan hatiku dengan rayuan gombalmu!"

Namun dalam keadaan unggul, Li Giam justru melompat mundur dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku menghormat Goan-swe Wan Cong-hoan dengan setulus hati, bukan sekedar basa-basi."

Sambil berkata demikian, Li Giam melambai memanggil seorang hulubalang Pelangi Kuning yang tengah mengatur anak buahnya belasan langkah daripadanya, "Saudara Thio, kemarilah!"

Orang yang dipanggil itu berusia lima puluh tahun, berewoknya campuran hitam putih, tubuhnya tegap, senjatanya ialah sebuah pentung besar yang ujungnya dihiasi gerigi berderet seperti gigi serigala, makanya disebut Long-ge-pang (Pentung Gigi Serigala). Dia segera melompat mendekat LI Giam.

Begitu melihat orang ini, terkejutlah Ou Hin, "Saudara Thio, kaukah ini?"

Karena Thio Gim ini dulu juga perwira bawahan Jenderal Wan Cong-hoan, bahkan sahabat Ou Hin. Ketika Wan Cong-hoan dihukum mati gara-gara fitnahan Co Hua-sun, Thio Gim menghilang. Dan kini muncul lagi sudah memakai ikat kepala kuning dalam rombongan yang menyerbu istana. Thio Gim pun menjawab, "Benar, inilah aku, saudara Ou. Sehat-sehat sajakah kau selama ini?"

Sesaat tanya jawab itu begitu akrab, keduanya lupa sejenak kalau tengah beradu pasukan sebagai lawan. Namun keduanya cepat sadar kembali di mana masing-masing sedang berpihak saat itu. Kata Ou Hin,

"Saudara Thio, aku sedih melihat kau telah memihak kaum pengacau untuk merobohkan tahta junjunganmu sendiri."

"Hem, junjungan apa? Junjungan berkuping angin yang mudah terpengaruh bisikan kaum kebiri untuk menghukum mati hamba-hambanya yang benar-benar setia? Aku tidak sudi punya junjungan macam itu, saudara Ou. Junjunganku sekarang adalah Joan-ong yang adil. Negeri ini akan kami selamatkan dari tangan junjungan tidak becus itu, supaya tidak terlambat dan keburu direbut bangsa Munchu yang sama-sama kita benci itu. Saudara Ou, lebih baik kau dan orang-orangmu menghentikan perlawanan. Percuma mempertaruhkan nyawa untuk Kaisar goblok yang tidak bisa membedakan antara tukang fitnah dan patriot sejati, kaupun kelak akan kecewa seperti Goan-swe kita Wan Cong-hoan."

"Itukah alasan untuk membenarkan pemberontakanmu?" sahut Ou Hin. "Sekarang istana sudah bersih dari komplotan kotor Co Hua-sun, jadi tidak ada alasanmu untuk berontak kepada Kaisar. Namun kalau kau tetap berontak, kaupun akan diperlakukan sebagai pemberontak!"

Thio Gim geleng-geleng kepala sambil menarik napas, "Itu penyakit sejak dulu, saudara Ou. Segala persoalan kau anggap gampang-gampangan saja. Kau anggap karena Co Hua-sun sudah tidak ada, lalu kau akan berhasil menyulap Kaisar goblok itu menjadi bijaksana, adil dan berwibawa, begitukah? Dia tetap akan mengacaukan negeri ini. Selama orang selemah itu masih bercokol di singgasana, biarpun satu Co Hua-sun kau singkirkan, seribu Co Hua-sun akan tumbuh kembali di sekelilingnya, dan negara akan tetap morat-marit. Karena itu lebih baik saudara Ou membantu Joan-ong mengadakan pembaharuan."

Tapi Ou Hin tidak mau mendengarnya lagi. Golok Ceng-liong-tonya berkelebat menyambar, dan Thio Gim terpaksa membela diri. Maka bertempurlah dua sahabat yang sama-sama bekas bawahan Jenderal Wan Cong-hoan almarhum itu.

Baku hantam bersenjata sudah menjalar kesegala tempat. Orang-orangnya Li Giam sudah menyebar, ke bagian-bagian istana yang makin dalam. Sia-sia para pengawal istana mencoba menghalangi mereka. Sebab dari luar istana pun laskar Li Giam membanjir masuk tak henti-hentinya, seperti air banjir dari bendungan yang bobol, malah beberapa pintu istana lagi berhasil ditembus.

Para pengawal istana terus menerus terpukul mundur. Di antara para pengawal pun terdapat beberapa jagoan tangguh, namun satu persatu mereka dirontokkan oleh Oh Kui-hou atau Yo Kian-hi atau kawan-kawan mereka. Ketika matahari sudah mencapai puncak langit, kedua pihak sudah kehilangan banyak teman. Korban malang-melintang di mana-mana.

Sementara Ou Hin yang sedang bertarung dengan Thio Gim, tiba-tiba didekati seorang pengawal istana yang berlari-lari sambil melapor dengan kata-kata yang berluncuran gugup, "Goan-swe.... Sri Baginda.... Sri Baginda telah...."

Jantung Ou Hin berdesir hebat, mengira telah terjadi apa-apa dengan Kaisar. Ia lalu melompat mundur meninggalkan Thio Gim dan berlari-lari menuju Yang-wan-hu, tempat keluarga istana berkumpul. Sedang Thio Gim lalu dihadapi seorang perwira istana yang bersenjata sepasang Tiat-cu (Bola Besi Bertangkai Pendek).

Seperti dikejar setan Ou Hin berlari ke Yang-wan-hu, dan kemudian apa yang dilihatnya di situ amat mengejutkannya. Ruang itu penuh tubuh-tubuh bergelimpangan. Antara lain Permaisuri, diantara tubuh selir-selir Kaisar. Nampak pula Puteri Tiang-ping tergeletak dengan sebelah lengan putus. Nampak Puteri itu masih bernapas lemah, matanya terpejam dan wajahnya amat pucat.

"Pemberontak-pemberontak keparat, sungguh kejam kalian!" Ou Hin meluapkan kegusarannya. "Aku akan menumpas kalian sampai orang terakhir!"

Tetapi ketika sekali lagi ia memperhatikan tubuh-tubuh berdarah itu, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Kaisar Cong-ceng dan Putera Mahkota tidak ada di antara mereka. Selagi termangu-mangu, tiba-tiba dari balik penyekat ruangan terdengar suara tertahan. Cepat Ou Hin memutar tubuh dan membentak, "Siapa? Keluar!"

Dari balik penyekat itu muncullah Pek-hong, dayang kesayangan Puteri Tiang-ping, wajahnya penuh air mata dan belum terbebas dari perasaan ngeri. Ia juga menggandeng Putera Mahkota yang masih menangis tertahan-tahan.

"Yang.... yang melakukan ini.... bukan.... bukan.... pemberontak...." tutur Pek-hong di sele-sela isak tangisnya.

"Lalu siapa?"

"Sri Baginda.... sendiri...."

Hampir-hampir tak percaya Ou Hin mendengarnya, "Hah? Sri Baginda sendiri yang melakukannya? Untuk apa?"

Biarpun suaranya masih tidak jelas karena diselingi isak tangis, Pek-hong mulai bertutur. Ketika Kaisar Cong-ceng mendengar kaum Pelangi Kuning telah mengepung istana, bahkan kemudian memasuki istana tanpa terbendung oleh para pengawal, Kaisar menjadi sedih, putus asa, dan mendadak kalap, la lalu mengambil pedang dan membunuh Permaisuri serta selir, karena kuatir, kalau mereka tetap hidup tentu akan dihina habis-habisan oleh kaum Pelangi Kuning, jadi lebih baik dibunuh saja.

Puteri Tiang-ping juga hendak disabet dengan pedang, namun Puteri itu terpeleset karena ruangan itu penuh darah lantainya, sehingga hanya sebelah lengannya yang terbabat putus. Sesudah itu, Kaisar pergi. Sedang Putera Mahkota tidak terbunuh karena cepat-cepat diselamatkan oleh Pek-hong.

Ou Hin seolah kehilangan pikiran dan perasaannya mendengar kisah sehebat itu. Apakah Kaisar sudah miring otaknya sehingga berbuat demikian? "Sekarang Sri Baginda ke mana?" tanya Ou Hin.

"Beliau.... berlari-lari membawa pedang, ke arah bukit Bwe-san."

Ou Hin melompat dan berlari ke arah itu. Sepanjang jalan ia berpapasan dengan pengawal-pengawal yang berlarian ke sana ke mari, komandan-komandan yang berteriak- teriak mengatur anak buahnya, abdi-abdi istana lelaki dan perempuan yang simpang siur sambil menjerit-jerit ketakutan. Pokoknya tak terkata- kan kacaunya istana itu.

Namun semuanya tidak digubris Ou Hin, langkahnya terus dipacu ke arah bukit Bwe-san. Dan ketika ia basah kuyup keringat serta terengah-engah sampai ke tempat itu, yang ditemuinya hanyalah mayat Kaisar Cong-ceng. Menggantung diri di bawah sebuah pohon. Rambutnya awut-awutan, mahkotanya tergeletak di tanah, sudah penyok terinjak-injak. Hati Ou Hin terasa dingin, tenggelam.

Beberapa saat kemudian didengarnya derap langkah berlari-lari mendekatinya. Seorang perwira begitu gugup sampai tidak melihat mayat Kaisar yang tergantung, "Goan-swe, musuh hampir sampai ke Yang-wan-hu. Kita.... kita.... harus bagaimana? Kami menunggu perintah Goan-swe...."

Dengan amat tenang dan pasrah, Ou Hin memerintahkan, "Perintahkan semuanya untuk menyerah, tapi tagih janji Li Giam untuk tidak mengganggu Puteri Tiang-ping dan Putera Mahkota. Mudah-mudahan Li Giam masih punya setitik belas kasihan. Kudengar ia orang baik..."

"Menyerah?" perwira itu tercengang.

"Ya, tak ada gunanya lagi menambah korban. Cepat laksanakan."

Perwira itupun berlari-lari pergi, kembali tak sempat menoleh sekejap pun ke arah mayat Kaisar yang masih bergoyang-goyang tergantung di pohon. Ou Hin kemudian dengan khidmat berlutut di depan tubuh itu, melepas topi perangnya untuk diletakkan di tanah, lalu menyembah beberapa kali. Katanya khidmat,

"Hamba gagal melakukan yang terbaik buat Tuanku, meskipun telah berusaha sebisa-bisa hamba. Hamba yang tidak berguna ini biarlah ikut Tuanku untuk melayani di alam sana."

Dan golok Ceng-liong-to kesayangannya itu sekarang menjadi alat kematiannya sendiri. Dengan mantap tanpa ragu-ragu, ia menebas lehernya sendiri. Dan golok Ceng-liong-to kesayangannya itu sekarang menjadi alat kematiannya sendiri.

Hari itu adalah hari ke tujuh belas, bulan ke tiga dan tahun ke tujuh belas pula dari pemerintahan Kaisar Cong-ceng. Di tahun 1644 Masehi. Joan-ong Li Cu-seng naik tahta dengan gelar Kaisar Tiong-ong. Namun di timur laut masih ada Kerejaan Ceng (Manchu) yang tak pernah padam ambisinya untuk mencaplok wilayah tengah.

Sedang di selatan masih ada bangsawan-bangsawan dan jenderal-jenderal Kerajaan Beng yang didukung angkatan perang yang kuat. Jadi si Kaisar Tiong-ong ini baru menguasai separuh wilayah Tiong-goan, yaitu bagian utaranya saja.

Pada hari penobatannya, seekor burung merpati terbang lepas ke angkasa, dilepas dari sebuah rumah kampung di tengah-tengah Pak-khia. Di kaki sang merpati terikat sebuah bumbung kecil dan ringan, berisi sebuah pesan rahasia. Tentu binatang itu tak sadar bahwa dirinyapun sebetulnya seekor tokoh sejarah. Ia meluncur ke timur laut, lalu menukik turun ke arah kota Jiat-ho. ibu kota Kerajaan Ceng.

Setelah lewat beberapa tangan, pesan rahasia itu sampai ke tangan Pangeran To Ji-kun yang bergelar Sit-ceng-ong, wakil Kaisar Sun-ti yang belum cukup umur untuk menjalankan pemerintahan sendiri.

Begitu menerima pesan rahasia, Pangeran To Ji-kun langsung berangkat meninggalkan Jiat-ho menuju ke perkemahan angkatan perang Wi- ceng-ong To Sek-kun, adiknya, yang letaknya berhadapan tidak jauh dari San-hai-koan, pos tapal batas terdepan Kerajaan Beng yang dijaga Bu Sam-kui.

Rapat lengkap segera diselenggarakan di perkemahan itu. Dihadiri Pangeran To Ji-kun, Pangeran To Sek-kun, Kun-su (Penasehat Militer) Kat Hu-yong dan semua komandan pasukan. Pesan rahasia dari Pak-khia itu dibahas, usul-usul ditampung dan diolah, dan pada larut malam sebuah keputusan pun diambil. Peserta rapat itu bubar kembali.

Pangeran To Ji-kun tidak merasa mengantuk karena semangatnya sedang bergolak. la berjalan keluar kemahnya, matanya menatap jauh ke arah barat daya, seolah-olah ingin melihat kota Pak-khia dari jarak ribuan li.

Tiba-tiba didengarnya bendera Ngo-jiau Kim-liong-ki (Naga Emas Berkuku Lima), bendera Kerajaan Machu, di atas kepalanya itu mengepak-ngepak keras, seolah meronta-ronta kerasukan roh dewa perang yang menunggangi angin malam.

Pangeran To Ji-kun menengadah dan tertawa perlahan, katanya kepada bendera itu, "Sabarlah sobat. Tidak akan lama lagi...."

TAMAT

pilih jilid,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.