Gelang Kemala Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 01 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 01

Bangsa Mancu merupakan bangsa yang gagah berani dan sepak terjang mereka ketika menaklukkan dan menguasai seluruh Cina sungguh menakjubkan. Sulit untuk dapat dipercaya bahwa bangsa yang dibandingkan dengan jumlah rakyat bangsa yang dijajahnya itu amat kecil dapat berkembang sedemikian cepatnya. Semua itu karena mereka memiliki pemimpin-pemimpin yang pandai.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Dimulai dari Raja Nurhacu yang dalam tahun 1616 mulai bangkit, dalam beberapa tahun saja menguasai seluruh Mancuria. Kemudian dalam tahun 1637, dengan bantuan bangsa Mongolia merebut Korea. Penggantinya adalah Kaisar Abahai yang rnenggerakkan pasukannya ke selatan, menyerbu Shantung dan bahkan mendekati Peking.

Dalam usaha ini, Kaisar Abahai meninggal dan karena puteranya masih amat muda, maka kekuasaan dipegang oleh saudaranya, Pangeran Dorgan. Kerajaan Beng waktu itu amat lemahnya dan biarpun ada beberapa orang panglimanya berusaha untuk menahan gelombang serangan bangsa Mancu, namun usaha itu sia-sia belaka. Peking diduduki dan bangsa Mancu mendirikan dinasti Ceng.

Ketika Kaisar Kang Hsi (1663-1722) bertahta, Kaisar Mancu ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang amat bijaksana sekali. Bintang Kerajaan Ceng naik dengan pesat di bawah pemerintahannya. Pemerintah Mancu berusaha keras untuk membaurkan diri dengan rakyat yang dijajahnya.

Memang, pemerintah ini memaksa rakyat untuk memelihara rambut mereka menjadi panjang dan menguncir rambut itu seperti kebiasaan bangsa Mancu, bahkan juga mengharuskan penduduk pribumi berpakaian seperti mereka.

Akan tetapi di lain pihak mereka sendiri, mereka menyesuaikan diri dengan kebiasaan bangsa pribumi. Bahkan dalam banyak hal bangsa Mancu bersikap lebih Cina daripada bangsa pribumi Cina sendiri!

Di rumah pun mereka berbahasa Cina, mendidik anak-anak mereka dengan kebudayaan Cina. Bukan itu saja, kaum cendekiawan, para cerdik pandai di seluruh Tiongkok diundang dan ditawari kedudukan di pemerintahan sehingga lima puluh persen dari para pejabat tinggi dan menengah di Peking dan daerahnya terdiri dari bangsa pribumi.

Di selatan, jumlah pejabat pribumi ada dua puluh lima prosen dari jumlah seluruh pejabat. Kaum terpelajar ahli sastra dan ahli silat semua dipersilakan menduduki jabatan penting. Banyak kaum cerdik pandai berbondong datang memenuhi undangan dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah itu.

Hal ini tidaklah mengherankan. Sejak dipegang Kaisar Kang Hsi, pemerintah telah melakukan banyak hal yang menarik hati rakyat jelata yang dijajah. Para penjahat dan pemberontak dibasmi bersih sehingga negara menjadi aman dan ini menyenangkan hati rakyat. Juga pemerintah Mancu pandai mengambil hati para bangsawan Beng, dan para tuan tanah dan pedagang.

Tidak terjadi perampasan tanah. Milik mereka sama sekali tidak diganggu dan ini menumbuhkan kepercayaan dari rakyat kepada pemerintah yang baru itu. juga korupsi dan penyuapan, suatu kebiasaan buruk yang sudah dikenal rakyat selama kekuasaan Beng memegang pemerintahan, diberantas.

Pemerintah menyusun pemerintahan yang sehat dan jujur di kota raja Peking, bebas dari pengaruh golongan-golongan yang suka mencari keuntungan sendiri dan saling berebutan pengaruh dan kekuasaan. Inilah yang dulu melemahkan pemerintah Beng.

Karena pandainya para pimpinan Mancu menyusun pemerintahan yang hebat dan jujur, juga memberantas kejahatan, mengundang dan memberi kedudukan kepada pribumi yang pandai-pandai, maka sebentar saja rakyat mulai lupa bahwa mereka dijajah oleh bangsa Mancu!

Apalagi kebudayaan rakyat diserap oleh bangsa Mancu, bahkan para bangsawan Mancu mulai menggunakan nama Cina! Semua ini mendapat sambutan hangat dan rakyat merasa puas.

Kaisar Kang Hsi berhasil menindas gerombolan-gerombolan bersenjata, mengembalikan keamanan. Memang benar bahwa di antara gerombolan ini terdapat patriot-patriot yang berjuang untuk mengusir penjajah, yang menentang pemerintah Mancu demi cintanya pada tanah air dan bangsa, akan tetapi sebagian besar dari gerombolan-gerombolan itu terdiri dari kaum perampok.

Pada umumnya mereka itu mengganggu keamanan dan merugikan kaum bangsawan, pedagang bahkan petani. Karena itu, mereka menyambut dengan gembira ketika pemerintah Mancu menghancurkan mereka, dan hal ini memperkuat pemerintah Man-cu karena kebencian rakyat kepada penjajah Mancu menghilang dengan munculnya kepercayaan bahwa Pemerintah Ceng menguntungkan dan memakmurkan kehidupan mereka.

Kaisar sendiri yang menganjurkan agar para pejabat menyesuaikan diri dan membaur dengan rakyat jelata, mempergunakan kebudayaan Cina yang lebih tinggi itu ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, Anak-anak mereka berbicara berbahasa pribumi sehingga dalam waktu beberapa puluh tahun saja, anak-anak Mancu sudah tidak pandai berbicara bahasa Mancu lagi!

Pemimpin negara yang baik selalu memberi contoh dengan perbuatan, bukan sekedar mengeluarkan perintah saja. Rakyat di manapun juga tidak mudah ditipu dengan slogan kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja keras, para pemimpin harus bekerja keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus lebih dulu berhemat.

Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau para pemimpinnya melakukan penyelewengan, berkorupsi, bagaimana dapat mengharapkan rakyat tertib dan jujur? Para pimpinan Kerajaan Ceng melakukan hal ini, memberi contoh yang baik maka tldak mengherankan apabila pemerintah mereka berjalan baik dan rakyat pun taat kepada mereka.

Setelah pemerintah dipegang oleh Kaisar Kang Hsi selama lima puluh sembilan tahun, Kerajaan Ceng mengalami masa gemilang dan jaya. Walaupun para penggantinya tidak secakap dia memegang pemerintahan, akan tetapi bintang Kerajaan Ceng naik kembali dengar cepatnya ketika pemerintah dikuasai oleh cucunya yang bernama Kian Liong (1736-1796).

Kaisar Kian Liong ini sejak kanak-kanak telah hidup sebagai seorang pemuda pribumi. Pengetahuannya tentang sastra dan kebudayaan Cina amat mendalam dan sejak muda dia gemar berkeliling dan bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar.

Maka tidak mengherankan setelah dia menjadi kaisar, para sastrawan dan para pendekar dengarn senang hati membantunya sehingga pemerintahannya menjadi semakin kuat. Kisah ini terjadi ketika Kaisar Kian Liong berkuasa.

Biarpun keadaan dalam negeri aman, namun jauh di perbatasan terjadi pergerakan-pergerakan. Daerah barat bergolak dan memberontak terhadap kekuasaan Mancu.

Kaisar Kian Liong segera mengirim pasukan besar diperkuat oleh para panglimanya yang terdiri dari ahli silat dan ahli perang, dan daerah barat itu ditundukkan kembali, lalu diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru) yang langsung dimasukkan dalam wilayah kerajaan.

Di Tibet juga timbul kerusuhan dengan adanya serbuan bangsa Gurkha dari Nepal. Kaisar Kian Liong mengirim pasukan besar ke Tibet dan kerusuhan dapat dipadamkan. Bahkan pasukan Mancu melintasi Pegunungan Himalaya dan menyerbu Nepal!

Bangsa Gurkha dapat ditundukkan dan dipaksa mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng. Bahkan ketika di Birma memasuki daerah Yunnan bagian barat-daya, Kaisar Kian Liong mengirim pasukan pula untuk menyerbu Birma. Biarpun di perbatasan yang jauh terjadi pergolakan sehingga harus ditundukkan, namun di dalam negeri suasana aman dinikmati oleh rakyat jelata.

Biarpun demikian, masih banyak terdapat pribumi yang menganggap diri mereka bangsa Han dan Kerajaan Ceng adalah Kerajaan Mancu, kerajaan yang menjajah bangsa mereka. Mereka ini diam-diam membenci Pemerintah Ceng.

Di dusun Teng-sia-bun terdapat seorang pendekar bernama Bu Cian. Bu Cian seorang murid perguruan Bu-tong-pai, berusia tiga puluh tahun. Pekerjaannya sebagai pemburu binatang hutan dan dia seorang yang berwatak keras, namun disegani oleh penduduk dusun karena dia bersikap baik sekali kepada semua orang, bahkan suka menolong.

Dan karena adanya pendekar inilah maka keadaan dusun Teng-sia-bun terasa aman, tidak ada penjahat yang berani sembarangan melakukan kejahatan di situ. Kepala dusun juga amat menghormati Bu Cian. Bu Cian sudah hampir dua tahun menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang dusun Teng-sia-bun.

Setelah menikah dengan gadis itu, Bu Cian lalu menetap di dusun itu, hidup berbahagia dengan isteri tercinta. Kebahagiaannya bertambah ketika isterinya melahirkan seorang anak perempuan, tiga bulan yang lalu. Anak itu diberi nama Cin Lan, Bu Cin Lan.

Pada suatu pagi, datanglah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih ke rumah pendekar Bu Cian. Kebetulan pendekar itu berada di rumah dan melihat kedatangan pria itu, dia melompat bangun dan dengan gembira menyambut. Pria itu adalah seorang sahabat baiknya, juga seorang pendekar murid Kun-lun-pai yang berdagang rempa-rempa di kota raja.

Dusun Teng-sia-bun juga terletak tidak jauh dari kota raja Peking. Sahabatnya itu pun tinggal di dusun, yaitu dusun Tung-sin-bun yang letaknya di sebelah barat kota raja. Dari dusunlah rempa-rempa itu dikumpulkan untuk dijual ke kota raja.

"Song-toako, apa kabar? Girang sekali engkau datang berkunjung!" kata Bu Cian setengah berteriak. Mereka saling memberi hormat, ialu saling rangkul.

"Bu-te, lama kita tidak berjumpa, sejak engkau menikah! Sudah dua tahun lebih, betapa cepatnya terbangnya waktu. Dan aku mendengar bahwa engkau mempunyai seorang anak perempuan, karena itu aku sengaja datang hari ini untuk menengokmu dan keluargamu!" kata Song Tek Kwi dengan girang.

Dengan gembira Bu Cian lalu meng-ajak isterl dan anak mereka keluar untuk menemui Song Tek Kwi. Tek Kwi adalah seorang sahabat baik sekali dari Bu Cian, dan ketika mudanya mereka berdua suka berburu bersama.

Dan keduanya adalah orang-orang yang berjiwa patriot, yang merasa tidak suka kepada pemerintah penjajah Mancu. Juga dalam hal ilmu silat keduanya memiliki tingkat yang seimbang, oleh karena itu keduanya dapat menjadi sahabat yang akrab. Melihat anak perempuan Bu Cian, Song Tek Kwi merasa kagum.

"Anakmu sehat, mungil dan manis sekaii!" katanya memuji.

"Aih, engkau terlalu memuji. Dan aku mendengar engkau pun sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Berapa usianya sekarang dan mengapa tidak kauajak dia ke sini?"

"Anak kami sudah setahun usianya, terlalu kecil untuk diajak bepergian tanpa ibunya," jawab Tek Kwi.

Karena girangnya menerima kunjungan sahabat karibnya, Bu Cian lalu menyuruh isterinya menyediakan masakan dan mengajak sahabatnya itu makan minum untuk merayakan pertemuan itu sambil makan minum dengan gembira, dan setelah minum arak cukup banyak, Song Tek Kwi tertawa gembira.

"Ha-ha-ha, pertemuan ini mengingatkan aku akan persahabatan kita yang lalu. Penuh kegembiraan!" katanya.

"Engkau memang sahabatku yang baik, Song-toako," kata Bu Cian.

"Kalau begitu, mengapa kita tidak mengekalkan persahabatan ini menjadi pertalian keluarga? Aku dan isteriku telah mengambil keputusan ketika kami mendengar bahwa engkau mempuhyai seorang anak perempuan. Bu-te, bagaimana pendapatmu dan isterimu kalau kita ikatkan tali perjodohan antara anak kita? Dengan demikian, persahabatan kita tidak akan putus selamanya!"

"Bagus sekali! Aku akan memanggil isteriku untuk mendengarkan usulmu yang amat baik ini!" kata Bu Cian gembira dan dia segera memanggll isterinya.

Karena sudah lama mendengar dari suaminya bahwa Song Tek Kwi adalah seorang sahabat yang amat baik, juga seorang saudagar rempa-rempa yang berhasil, maka mendengar usul perjodohan anaknya itu, isteri Bu Cian juga tidak merasa berkeberatan.

"Kalian setuju? Ha-ha-ha, bagus! Kedatanganku ternyata mendapat sambutan yang baik sekali. Anakku bernama Song Thian Lee, dan siapakah nama anak kalian?"

"Anakku bernama Bu Cin Lan"

Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang kemala dari saku bajunya. "Lihat, aku memang sudah mempersiapkan segalanya. Gelang kemala ini adalah milik isteriku. la menyuruh aku membawanya dengan pesan kalau kalian menyetujui usul perjodohan ini, agar yang sebuah diberikan kepada anak kalian.

"Gelang ini serupa benar tidak mungkin ada gelang lain di dunia ini yang serupa seperti sepasang gelang kemala ini. Nah, ini merupakan tanda pengikat. Biarlah yang sebuah dipakai anakmu, yang sebuah lagi disimpan anakku sebagai tanda bahwa mereka sudah terikat perjodohan."

"Bagus sekali, kami setuju!" kata Bu Cian yang segera menerima pemberian sebuah gelang itu.

Gelang kemala itu merupakan gelang kembar, yang persis sama ukirannya dan bahkan warnanya yang hijau kecoklatan."

Bu Cian menyerahkan gelang itu kepada isterinya yang menerimanya sambil tersenyum girang. Pada saat itu terdengar teriakan suara kanak-kanak di luar rumah, "Paman Bu, toloonggg....!"

Mendengar teriakan ini, Bu Cian dan isterinya berlari keluar, diikuti Song Tek Kwi. Dari luar, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun menerobos masuk dan begitu melihat Bu Cian dia segera menghamplri dan menangis.

"Paman Bu, tolonglah enciku....! Enci Kim dipaksa naik kereta, dibawa pergi orang... tolonglah Paman Bu....!"

Mendengar ini, Bu Cian lalu berlari keluar diikuti Song Tek Kwi. Bu Cian mengenal anak itu dan mengenal pula encinya, seorang gadis manis puteri tetangga sebelah. Begitu dia lari ke rumah sebelah, dia melihat sebuah kereta dan dari dalam kereta itu jelas terdengar tangis seorang wanita.

Cepat dia melompat dan membuka pintu kereta dengan paksa. Dia melihat dua orang pengawal kereta hendak melarangnya, akan tetapi dua kali dia menggerakkan tangannya, dua orang itu terlempar dan dia membuka pintu kereta. Di dalamnya duduk empat orang gadis dusun yang cantik-cantik. Di antara mereka duduk Kim Hong yang menangis, dihibur oleh tiga orang gadis yang lain.

"Kim Hong, hayo keluarlah kalau engkau tidak mau dibawa'" kata Bu Cian sambil membantu gadis itu keluar dan turun dari kereta.

Pada saat itu muncul seorang yang berpakaian bangsawan. Usianya sudah empat puluhan tahun dan bangsawan ini menudingkan telunjuknya kepada Bu Cian sambil membentak, "Siapa engkau berani mencampuri urusanku? Hayo suruh naik kembali gadis itu!"

Pada dasarnya Bu Cian memang membenci bangsawan Mancu. Kini melihat bangsawan Mancu bersikap demikian sombong, dia pun menghardik, "Siapapun juga tidak boleh membawa paksa gadis ini."

"Bangsat, tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"

"Tidak peduli siapa. Biar raja iblis sekalipun aku tidak takut dan tetap akan melarang membawa pergi gadis ini de-ngan paksa!" jawab Bu Cian tegas.

Bangsawan itu menjadi marah sekali. Dia menoleh ke belakangnya di mana terdapat selosin orang pengawalnya. "Tangkap dan hajar orang kurang ajar ini!" teriaknya.

Dua belas orang pengawal itu lalu mengepung Bu Cian dan segera serentak menyerangnya dengan pukulan. Akan tetapi Bu Cian melawan dan dalan beberapa menit dia sudah merobohkan empat orang pengawal.

Para pengawal itu menjadi marah dan mereka semua mencabut senjata golok mereka. Melihat Bu Cian dikeroyok dua belas orang yang sudah mencabut senjata, Song Tek Kwi tidak tinggal diam. Dia pun meloncat dan membantu sahabatnya mengamuk.

Amukan dua orang pendekar ini membuat para pengawal kocar-kacir. Biarpun dua orang itu tidak memegang senjata, namun dengan kaki tangan mereka yang ampuh, mereka dapat membuat para pe-ngeroyok jatuh bangun dan sebagian golok mereka telempar!

Melihat ini bangsawan itu menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri, Bu Cian meninggalkan para pengeroyoknya dan sekali meloncat dia sudah dapat mengejar dan mencengkeram tengkuk bangsawan itu. Sekali menampar dengan tangannya, bangsawan itu terpelanting dan bibirnya berdarah.

Bu Cian sudah akan memberi hajaran ketika seorang laki-laki berusia lima puluh tahun menarik bajunya dari belakang. Dia membalik dan melihat bahwa yang menarik bajunya adalah tetangganya, yaitu ayah dari gadis Kim Hong itu.

"Bu-sicu, jangan... jangan pukuli dia....!"

"Akan tetapi dia yang hendak memaksa anak perempuanmu untuk ikut, paman!" bantah Bu Cian.

"Tidak ada paksaan, Sicu. Kami telah menyetujui anak kami dibawa ke kota raja, menjadi selir Pangeran." Bu Cian tertegun.

"Paman sudah setuju....?"

"Tentu saja! Siapa tidak setuju anak perempuannya menjadi selir seorang pangeran? Martabat kami akan terangkat. Hayo, Kim Hong! Cepat naik kembali ke kereta!"

Orang itu membentak kepada anaknya dan gadis itu dengan sesenggukan berjalan menghampiri kereta lalu naik tanpa mengeluarkan sepatah pun kata bantahan. Melihat ini, Bu Cian hanya tertegun dan tidak dapat melarang lagi.

Sementara itu, mendengar percakapan antara sahabatnya dan ayah gadis itu, Song Tek Kwi juga menghentikan amukannya dan para pengawal yang babak belur itu pun mengundurkan diri, merasa jerih terhadap dua orang pendekar yang tangguh itu.

Sang bangsawan yang ternyata adalah seorang pangeran dari kota raja itu mengusap bibirnya yang berdarah dengan saputangan, memandang tajam kepada dua orang pendekar itu. Dia lalu naik pula ke dalam kereta dan berkata kepada para pengawalnya, "Hayo cepat berangkat!"

Kereta pun bergerak pergi dikawal dua belas orang perajurit itu. Bu Cian dan Song Tek Kwi tidak dapat berbuat apa-apa, hanya di dalam hati mereka menyesal mengapa ada orang tua yang menjual anak gadisnya kepada pembesar Mancu!

"Paman, kenapa Paman menjual puteri Paman kepada bangsawan itu?" Bu Cian masih penasaran bertanya kepada tetangganya.

Tetangga itu menghela napas. "Bukan menjual, Sicu, melainkan dengan sukarela kami berikan ketika pangeran itu memilih anak kami sebagai satu di antara para gadis yang terpilih untuk menjadi selir Pangeran. Orang tua mana yang tidak akan menyerahkan puterinya menjadi selir Pangeran? Cucu kami kelak akan menjadi putera dan puteri Pangeran, menjadi bangsawan! Hati siapa tidak akan senang? Sicu terburu nafsu memukuli para pengawal, bahkan memukul sang Pangeran!"

Song Tek Kwi menggandeng tangan sahabatnya diajak pulang. "Sungguh penasaran sekali!" Bu Cian mengomel. "Bangsa kita sudah tidak memiliki harga diri lagi. Begitu saja menyerahkan anak gadisnya menjadi, selir seorang pangeran Mancu!"

"Aih, kenyataan ini memang pahit, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan? Rakyat agaknya sudah lupa bahwa bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang menjajah kita. Akan tetapi aku merasa khawatir, Bu-te. Kita telah melawan pasukan pengawal, bahkan engkau telah memukuli seorang pangeran."

"Aku tidak takut, Song-toako. Para bangsawan Mancu itu memang sudah sepantasnya dihajar!"

"Aku juga tidak takut, Bu-te. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan waspada. Siapa tahu Pangeran itu tidak akan tinggal diam menyudahi urusan itu sampai di sini saja."

"Biarkan dia mau apa! Akan kulayani dia!" kata Bu Cian dengan nada suara penasaran.

Peristiwa itu mendatangkan suasana yang tidak enak dan Song Tek Kwi segera berpamit kepada Bu Cian dan isterinya. Apa yang dikhawatirkan Song Tek Kwi memang menjadi kenyataan. Bahkan kepala dusun Teng-sia-bun yang mendengar akan peristiwa pemukulan terhadap seorang pangeran yang dilakukan oleh Bu Cian, mendatangi pendekar itu dan menyatakan kekhawatirannya.

"Bu-sicu, sebaikhya kalau engkau membawa keluarga meninggalkan dusun ini sebelum terjadi apa-apa. Kami merasa khawatir sekali kalau-kalau pangeran itu akan membalas dendam kepadamu," bujuk Sang Kepala Dusun.

"Apa? Pergi melarikan diri dari anjing itu? Aku tidak akan lari, biar anjing itu menggonggong keras. Kalau dia berani menggigit akan kutendang moncongnya!" jawab Bu Cian yang masih merasa penasaran dan marah kepada pangeran itu.

Kepala dusun itu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dan pergi. Hatinya merasa tidak enak sekali, khawatir kalau-kalau terjadi keributan di dusunnya yang biasanya tenteram dan aman. Gara-gara Pangeran yang mencari gadis-gadis dusun yang manis-manis maka terjadilah keributan ini.

Dan tiga hari kemudian, seorang panglima dengan lima puluh orang perajuritnya, memasuki dusun Teng-sia-bun. Pasukan itu mengepung rumah Bu Cian dan panglima itu, di depan pintu rumah berteriak, lantang, "Atas perintah kejaksaan di kota raja, Bu Cian dinyatakan sebagai pemberontak dan diminta untuk menyerah! Kalau tidak mau menyerah, kami terpaksa menggunakan kekerasan!"

Di dalam rumah terdengar tangis bayi. Bu Cian berdiri dengan pedang di tangan, dirangkul isterinya yang menangis.

"Jangan melawan....! Suamiku, menyerahlah saja dan mintalah ampun kepada Pangeran agar engkau dibebaskan. Aku juga akan mintakan ampun untuku...!" Sang isteri menangis dengan gelisan sekali, tidak mempedulikan puterinya yang menjerit-jerit di atas pembaringan.

"Bwe Si, jangan bersikap pengecut! Engkau tahu, aku bukan seorang penakut. Lebih baik engkau pondong anak kita itu, dan kau rawatlah baik-baik anak kita. Aku harus menghajar pasukan itu!" Dia memaksa diri lepas dari rangkulan isterinya lalu melompat keluar dari pintu dan mengamuk dengan pedangnya!

Panglima itu terkena tendangan Bu Cian dan terlempar ke belakang. Dia menjadi marah sekali. "Bunuh pemberontak'"

Dan Bu Cian lalu dikeroyok, Pendekar ini memang gagah perkasa. Dia mengamuk bagaikan seekor harimau dan pedangnya sudah merobohkan beberapa orang. Dengan ilmu pedang "Sin-Kiam-jip-pek-to" atau Pedang Sakti Memasuki Seratus Golok dia mengamuk dan setelah melalui suatu pertempuran yang amat seru, sedikitnya dua belas orang penge-royok telah roboh mandi darah disambar pedangnya!

Akan tetapi pihak musuh terlampau banyak. Apalagi, ilmu golok Panglima itu pun cukup lihai maka akhirnya Bu Cian terkena sambaran golok dan tubuhnya sudah penuh dengan luka-luka. Akan tetapi dia tetap mengamuk. Ketika golok Panglima itu menyambar dan tidak dapat dielakkan lagi, terpaksa dia menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kiri sebatas pergelangan menjadi putus disambar golok.

Akan tetapi pada saat itu, dengan jurus Burung Walet Keluar Guha, pedangnya sudah meluncur ke depan menembusi dada seorang pengeroyok dan kakinya mencuat ke samping menendang dada Panglima itu sehingga untuk kedua kalinya Panglima itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu, tiga batang golok menyambar mengenai tubuh belakang Bu Cian dan robohlah pendekar itu dengan badan mandi darahnya sendiri.

"Suamiku...!!" Lu Bwe Si, sambil menggendong anaknya, tanpa mempedulikan para perajurit, lari dan menubruk tubuh suaminya yang mandi darah. la merintih dan menjerit memanggil suaminya.

Bu Cian membuka matanya. "Bwe Si... jaga... anak kita... baik-baik...." katanya dan tubuh itu pun diam, matanya masih terbuka seolah pendekar itu mati dalam keadaan penasaran.

Lu Bwe Si menjerit dan terguling pingsan. Anak dalam gendongannya juga menjerit-jerit dalam tangisnya. "Bawa perempuan dan anaknya itu. Keluarga pemberontak harus dihadapkan ke pengadilan!" kata Sang Panglima dan tubuh Lu Bwe Si yang pingsan lalu diangkat dan dimasukkan dalam gerobak tahanan yang sedianya diperuntukkan suaminya.

Kepala dusun dipanggil dan oleh panglima diperintahkan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Kemudian, panglima itu membawa pasukannya yang mendorong gerobak tahanan meninggalkan dusun Teng-sia-bun, kembali ke kota raja.

Setibanya di luar kota raja, rombongan pasukan itu bertemu dengan rombongan lain, yaitu selosin pengawal yang mengiringkan sebuah kereta yang indah. Yang berada di dalam kereta itu adalah Pangeran Tang Gi Su, yang hendak berburu binatang di luar kota raja.

Ketika Pangeran Tang Gi Su mendengar tangis wanita dari dalam gerobak tahanan yang dikawal puluhan orang perajurit, dia tertarik sekali dan menyuruh pengawal menghentikan pasukan itu. Panglima pasukan lalu menghampiri kereta dan ketika dia mengetahui siapa yang berada dalam kereta, dia pun berdiri tegak menunggu dengan sikap hormat.

Seorang laki-laki yang jangkung kurus keluar dari dalam kereta. Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya lembut dan tampan berwibawa, matanya bersinar tajam menunjukkan kecerdikannya. Inilah Pangeran Tang Gi Su yang memegang jabatan sebagai seorang pengawas terhadap para pejabat, pembantu Kaisar.

Karena kedudukannya ini, Pangeran Tang Gi Su disegani oleh para pejabat tinggi. Kalau ada pejabat tinggi, yang menyeleweng melakukan penyelewengan dalam tugasnya, maka pangeran inilah yang akan memeriksanya dan kalau bersalah, mengajukannya ke pengadilan di istana yang dipimpin Kaisar sendiri. Panglima pasukan ini cepat memberi hormat kepada Pangeran Tang Gi Su.

"Siapa dalam gerobak tahanan itu dan mengapa ia ditahan?" tanya Sang Pangeran, sambil menghampiri gerobak itu. Dia melihat seorang wanita menggendong bayinya sedang menangis dan hatinya tergerak oleh pemandangan ini.

"la isteri seorang pemberohtak, Pangeran. Pemberontaknya sendiri telah berhasil kami bunuh dan kami menangkap isteri dan anaknya untuk dihadapkan ke pengadilan."

"Di mana ada pemberontak?"

"Di dusun Teng-sia-bun, Pangeran."

"Hemm, berapa banyak jumlah pemberontak?"

"Hanya satu orang, Pangeran."

"Apa? Hanya seorang dan kalian membawa pasukan sekian banyaknya?"

"Pemberontak itu lihai sekali dan kami kehilangan belasan orang perajurit, Pangeran."

"Bagaimana mungkin pemberontakan hanya dilakukan oleh seorang saja? Dalam hal apa dia memberontak?"

"Tiga hari yang lalu, ketika Pangeran Bian Kun mengambil beberapa orang gadis dusun itu untuk dijadikan selir, Pangeran Ban Kun dipukul oleh pemberontak itu, Pangeran. Dia melapor kepada jaksa dan kami diutus menangkap si pemberontak akan tetapi dia, melawan sehingga terjadi pertempuran dan dia tewas."

Mendengar nama Pangeran Bian Kun, Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk. Dia sudah mengenal watak Pangeran yang mata keranjang itu. ”Hemm, pelanggaran itu belum dapat dinamakan pemberontakan. Dan ketika terjadi pertempuran, apakah wanita ini pun ikut bertempur melawan pasukan?"

"Tidak, Pangeran."

"Kalau begitu, mengapa ia ditangkap? Apa kesalahannya? Suaminya itu hanya melawan seorang pangeran, bukan pemberontak. Bebaskan wanita ini dan anaknya!"

"Tetapi, Pangeran...."

"Jangan membantah. Bebaskan dan aku yang bertanggung jawab!"

"Baik, Pangeran." Panglima itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuka gerobak tahanan dan membiarkan Bwe Si keluar menggendong anaknya. Kemudian, atas perintah Sang Pangeran, panglima itu melanjutkan perjalanannya bersama ke kota.

Demikian baikkah hati Pangeran Tang Gi Su? Memang pangeran ini terkenal sebagai seorang yang memegang kedilan dan tegas, akan tetapi dalam hal ini ada sesuatu yang mendorongnya menolong Lu Bwe Si. Ketika dia melongok ke dalam gerobak tahanan, dia melihat wajah Bwee Si dan hatinya tergerak. Timbul perasaan iba dan juga suka sekali kepada wanita yang menjadi ibu muda itu.

Dalam pandang matanya, wajah itu demikian jelita dan patut disayang dan dikasihani, dan bentuk tubuh ibu muda itu dennikian menggairahkan hatinya sehingga dia mengambil keputusan untuk melindungi dan menolong wanita ini!

Kita menganggap bahwa sudah semestinya pertolongan itu berpamrih. Akan tetapi, benarkah itu dapat dinamakan pertolongan kalau berpamrih? Ataukah perbuatan yang dinamakan pertolongan itu bukan sekedar cara untuk mendapatkan pamrih yang diinginkannya?

Pada mulanya, Pangeran Tang Gi Su memang tidak mempunyai keinginan apa-apa sebagai pamrih atas perbuatannya. Dia hanya terdorong rasa iba dan ingin menegakkan keadilan belaka seperti yang sering kali dilakukannya. Akan tetapi begitu dia melihat wajah dan bentuk tubuh Lu Bwee Si timbul keinginan di hatinya untuk memiliki wanita itu dan keinginan itu menjadi pamrih pertolongannya.

"Nyonya, masuklah ke dalam keretaku. Jangan khawatir lagi, kalau ada aku di sampingmu, tak seorang pun akan berani mengganggu selembar rambutmu!" kata pangeran itu sambil menuntun Bwee Si memasuki keretanya.

Setelah duduk di dalam kereta bersama pangeran itu, Bwe Si baru teringat untuk menghaturkan terima kasih. "Hamba menghaturkan terima kasih atas pertolongan Paduka, akan tetapi suami hamba... ahhh....!" Bwe Si lalu menangis sambil memeluk puterinya.

"Jangan menangis, Nyonya. Suamimu telah meninggal dunia ditangisi pun tidak ada gunanya lagi. Engkau harus ingat kepada anakmu. Kalau sampai engkau jatuh sakit, anakmu akan ikut sakit pula. Sekarang engkau ikutlah tinggal d! rumahku...."

"Saya... hamba... ingin pulang, mengurus jenazah suami hamba dan ber-kabung...." Bwe Si terisak.

"Nyonya, kalau engkau kembali ke rumahmu, tentu engkau akan ditangkap lagi oleh perwira itu. Suamimu dituduh pemberontak dan ketahuilah, keluarga pemberontak harus ditangkap pula. Kalau tidak ada aku yang menanggung, apa kau kira dapat dibebaskan demikian mudahnya? Satu-satunya jalan agar engkau tidak ditangkap hanya ikut aku pulang."

Bwe Si menjadi bingung sekali. "Akan tetapi... suamiku... rumahku...."

"Jangan khawatir, Nyonya. Aku akan mengutus orang-orangku untuk mengurus jenazah suamimu, memakamkannya dengan baik-baik dan aku akan menyuruh ambil semua milikmu dari rumahmu. Akan tetapi untuk sementara engkau harus tinggal di rumahku kalau engkau tidak ingin ditangkap lagi."

Bwe Si masih meragu dan pangeran itu berkata, "Ingat, Nyonya harus mengingat akan keselamatan anakmu andaikata Nyonya tidak mempedulikan keselamatan sendiri. Bagaimana nasib anakmi. kalau engkau dihukum? Alangkah sengsaranya, kasihan sekali...."

Bwe Si mendekap puterinya dan menangis. Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali menurut saja diajak pergi ke rumah Pangeran Tang Gi Su. la tidak tahu bahwa ia bagaikan seekor domba gemuk dan muda masuk ke dalam rumah Jagal!


Song Tek Kwi pulang dengan hati yang tidak enak sekali. Dia mengkhawa-tirkan keselamatan sahabatnya. Dan pada keesokan harinya baru dia mendengar berita menyedihkan itu, yaitu tentang diserbunya rumah Bu Cian oleh pasukan yang mengakibatkan matinya sahabatnya itu.

"Celaka, sudah kukhawatirkan hal itu akan terjadi. Kita harus cepat meninggalkan dusun ini, isteriku!" katanya kepada isterinya yang menggendong Song Thian Lee, putera mereka yang baru berusia setahun.

Isteri Song Tek Kwi bernama Kwa Siang dan wanita ini tidaklah lemah seperti Lu Bwe Si. Kwa Siang sejak kecil mempelajari ilmu silat dan setelah menjadi isteri Song Tek Kwi, kepandaiannya bertambah cepat karena ajaran suaminya. Kini ia merupakan seorang wanita yang gagah perkasa dan tangguh ilmu silatnya.

"Suamiku, kenapa kita harus pergi? Siapa yang akan mengancam kita?" tanyanya dengan tenang, sedikit pun tidak menjadi gugup.

"Kemarin Bu Cian menghajar para pengawal pangeran itu bersama aku. Sekarang Bu Cian dibunuh, tentu mereka akan mencari aku pula. Mari kita berkemas dan pergi secepatnya dari tempat ini!"

Suami isteri itu berkemas membawa harta mereka yang ringkas, lalu keduanya, pergi dari dusun itu. Kwa Siang menggendong anaknya, dan suaminya menggendong buntalan besar. Akan tetapi, baru saja mereka tiba di luar dusun, mereka telah berhadapan dengan pasukan yang mengepung mereka!

Kiranya sejak tadi sudah ada pasukan datang ke dusun Tung-sinbun, jumlah mereka lima puluh orang dipimpin oleh dua orang perwira yang bertubuh tinggi besar.

Melihat ini, Song Tek Kwi mencabut pedangnya, juga isterinya, Kwa Siang telah mencabut pedangnya dan memperkuat ikatan gendongan puteranya. Suami isteri ini sudah bertekad untuk membela diri.

"Pemberontak Song Tek Kwi! Lebih baik engkau dan isterimu menyerah untuk kami tangkap dan bawa ke kota raja daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata seorang di antara dua orang perwira itu.

"Aku bukan pemberontak, dan aku tidak akan menyerah!" kata Song Tek Kwi dengan suara lantang. Akan tetapi diam-diam pendekar ini, mengkhawatirkan keadaan puteranya dalam gendongan is-terinya, maka dia lalu berkata kepada isterinya, "Lari! Cepat, selamatkan anak kita."

Kwa Siang tidak takut menghadapi pasukan itu untuk membela suaminya, akan tetapi ia pun memikirkan keselamatan puteranya. Oleh karena itu, seruan suaminya membuat ia bimbang. Ia tidak tega meninggalkan suaminya seorang diri menghadapi pasukan itu, akan tetapi kalau ia tidak pergi, berarti ia mendatangkan bahaya maut bagi anaknya. Mementingkan suaminya, atau anaknya?

Setelah ditimbang-timbang, ia memilih menyelamatkan anaknya. Kalau ia meninggalkan suaminya belum tentu suaminya akan celaka. Mungkin suaminya juga akan dapat membebaskan diri. Akan tetapi kalau ia kukuh membantu suaminya, besar kemungkinan anak dalam gendongan itu akan celaka terkena senjata lawan yang demikian banyaknya.

Sementara itu, mendengar suami yang menganjurkan isterinya untuk melarikan diri itu, dua orang perwira itu lalu memberi aba-aba agar anak buahnya menyerang. Mulailah pengeroyokan terjadi dan suami isteri itu menggerakkan pedangnya melawan mati-matian.

Kwa Siang yang berusaha melarikan diri, menyerang dengan dahsyat ke satu jurusan, membubarkan pengepung di jurusan itu dan merobohkan empat orang. Suaminya juga mengamuk, pedangnya berkelebat seperti angin topan dan enam orang berpelantingan disambar pedangnya.

Melihat kehebatan pendekar yang mereka pandang sebagai pemberontak itu, dua orang perwira lalu mencabut pedang mereka dan keduanya mengeroyok Song Tek Kwi, dibantu pula oleh banyak anak buah. Song Tek Kwi melawan dengan nekat karena yang terutama baginya adalah membiarkan isterinya lolos.

"Siang-mo, pergilah....!" teriaknya dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang mereka yang mengepung isterinya sehingga terbuka jalan bagi Kwa Siang.

"Kwi-ko, jaga dirimu baik-baik!" kata Kwa Siang, lalu wanita ini memutar pedangnya dan ketika pengeroyoknya mundur, ia lalu meloncat jauh. Di depannya sudah ada beberapa orang perajurit lagi dan ia mengamuk lagi. Setelah mendapatkan kesempatan ia nnelompat lagi dan akhirnya ia berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri memasuki hutan.

Melihat ini, Song Tek Kwi menjadl lega sekali dan dia pun mengamuk lebih hebat lagi. Namun, bagaimana mungkin satu orang melawan puluhan orang perajurit, apalagi di situ terdapat dua'orang perwira yang cukup lihai ilmu pedang-nya? Setelah merobohkan belasan orang pengeroyok, akhirnya Song Tek Kwi roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia tewas sebagai seorang gagah perkasa, hal yang selalu diidamkan oleh para pendekar.

Dua orang perwira lalu mengerahkan para perajuritnya untuk melakukan pengejaran terhadap Kwa Siang, akan tetapi ibu muda itu telah lenyap dan tidak berada lagi dalam hutan itu. Tepaksa pasukan itu lalu kembali membawa teman-teman yang terluka dan menyuruh kepala dusun Tung-sin-bun agar mengerahkan penduduknya untuk mengubur semua jenazah para perajurit.

Jauh dari dusun Tung-sin-bun, dl dalam sebuah hutan di lereng bukit, Kwa Siang duduk memangku puteranya, dan ia menangis terisak-isak. Setelah tadi berhasil melarikan diri, ia tidak segera pergi melainkan mengintai dari dalam hutan, melihat kalau-kalau suaminya akan dapat melarikan diri pula. Akan tetapi apa yang dilihatnya?

Suaminya merobohkan belasan orang perajurit dan kemudian roboh dengan tubuh penuh luka dan tewas di bawah hujan senjata. Terpaksa ia lalu melarikan diri dengan cepat. Yang terngiang dalam telinganya hanyalah pesan terakhir suaminya agar ia menyelamatkan anaknya. Kini, setelah jauh dari tempat itu dan tidak ada lagi yang mengejarnya, wanita itu duduk di atas akar pohon dan menangis dengan sedih, menangisi kematian suaminya.

Baru saja ia masih bersama suaminya, dalam keadaan sehat dan hidup. Dan kini, suaminya telah tewas tanpa ia dapat menolongnya! Kalau saja di situ tidak ada Thian Lee, tidak mungkin ia akan melarikan diri. la tentu akan membela suaminya dan kalau perlu mati bersama suaminya.

"Ohh, suamiku..., anakku....!" la mendekap Thian Lee dan anak itu seolah mengerti kedukaan ibunya dan ikut menangis.

Khawatir kalau tangis puteranya yang nyaring itu akan terdengar orang, Kwa Siang menghentikan tangisnya dan menghibur puterinya sehingga anak itu berhenti menangis. Hancur luluh rasa hati Kwa Siang. Mengapa nasib sedemikian buruknya menimpa dirinya?

Nasib berada di tangan Tuhan dan ditentukan oleh kekuasaan Tuhan. Memang benar. Akan tetapi baik buruknya nasib tergantung dari si manusia sendiri. Manusia diberi peralatan selengkapnya untuk berusaha memperbaiki keadaan dirinya. Tidak mempergunakan segala daya yang ada padanya berarti menyia-nyiakan pemberian anugerah dari Tuhan berupa kehidupan sempurna itu.

Nasib yang menimpa seseorang pasti ada sebabnya dan sebab itu berada di tangan si manusia sendiri. Setiap orang akan memetik buah dari hasil tanamannya sendiri. Karena itu, orang yang mengerti benar akan nikmat ini, selalu menanam bibit yang baik, yaitu melakukan semua perbuatan yang baik sehingga buahnya kelak pun baik.

Sebaliknya, kalau tertimpa suatu peristiwa, menyenangkan atau menyusahkan, tidak akan menyesal karena maklum bahwa semua itu adalah hasil tanamannya sendiri. Wajarlah kalau yang bersalah menerima hukumannya. Mengapa menyesal?

Penyesalan yang perlu kita miltki adalah bertaubat atas kesalahannya dan tidak akan mengulang kembali. Tidak akan menanam bibit yang buruk lagi, melainkan menanam bibit yang baik-baik saja tanpa pamrih, yaitu pamrih untuk kesenangan diri sendiri.

Pamrih adalah harapan mendapatkan sesuatu, dan hanya orang yang mengharapkan mendapat sesuatu sajalah yang akan merasa kecewa. Kecewa kalau yang diharapkan itu tidak tercapai, kemudian menjadi bosan dan tidak puas kalau harapan itu terpenuhi, karena yang diharapkan itu kemudian setelah tercapai tidaklah seindah seperti yang dibayangkan semula.

Duka datang bersama perasaan iba diri. Aku ditinggal, aku kehilangan, aku kesepian, aku dirugikan dan semua kenangan mengenai aku yang dirugikan itulah yang mendatangkan rasa iba diri dan menjurus kepada kedukaan. Duka ini dapat pula memperbesar rasa benci terhadap sesuatu yang rnenjadi penyebab datangnya kerugian itu.

Demikian pula dengan Kwa Siang. Ibu muda ini akhirnya menggendong puteranya dan meninggalkan tempat itu, mendaki bukit dan hatinya penuh dengan duka, penuh dengan dendam. Kalau bisa, ingin ia membunuh semua pangeran Man-cu yang ada! Bahkan menghancurkan kekuasaan penjajah Mancu.

"Kau yang kelak akan melakukannya, Thian Lee. Kelak engkau yang akan membalaskan kematian ayahmu!" bisiknya kepada anaknya sambil memeluk anak itu dan melanjutkan perjalanannya.

Suaminya benar Kalau ia tidak lari, tentu ia akan tewas pula bersama Thian Lee. Dan, kalau hal itu terjadi, siapa yang akan membalaskan sakit hati ini? la harus merawat Thian Lee dan mendidiknya sampai dia kelak menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dapat melaksanakan pembalasan dendam ini. Dengan pikiran itu, langkahnya semakin tegap dan kedukaannya pun terhibur oleh harapan baru.

Biarpun harapan akhirnya mendatangkan kekecewaan atau ketidak-puasan, namun dalam keadaan hati direndam duka, harapan itu menjadi teramat penting. Harapan bagaikan sepucuk obor yang menerangi batin yang sedang digelapkan duka. Dengan adanya harapan, maka timbul semangat baru untuk meninggalkan duka dan menghadapi kehidupan selanjutnya.


Dalam pakaian wanita bangsawan, dengan dandanan rambut digelung ke atas dan dihias tusuk rambut dari emas memang Lu Bwe Si nampak cantik sekali. Cantik lembut dan anggun, memang wanita ini pantas menjadi seorang wanita bangsawan. la tidak dapat menolak semua pemberian Pangeran Tang Gi Su kepadanya berupa pakaian dan perhiasan.

"Engkau telah tinggal di sini, harus menyesuaikan dandananmu agar jangan membikin malu kepadaku, Bwe Si," kata pangeran itu yang kini tidak menyebut nyonya kepadanya, melainkan nama kecilnya.

"Akan tetapi saya bukanlah anggauta keluarga,. saya hanyalah seorang tamu yang sementara tinggal di sini, Pangeran," bantah Lu Bwe Si.

"Bukan hanya tamu sementara, Bwe Si. Ingatlah baik-baik, engkau dapat pergi ke mana kecuali tinggal di sini? Begitu engkau keluar dari perlindunganku, engkau akan ditangkap sebagai seorang keluarga pemberontak."

"Aduh, kalau begitu bagaimana baiknya, Pangeran? Bagaimana dengan diri saya dan anak saya? Apakah selamanya saya tidak dapat memperoleh kebebasan dan selalu menjadi buruan pemerintah?" keluh Lu Bwe Si sambil mendekap anaknya, tidak dapat menangis lagi karena air matanya telah habis ditumpahkan selama satu bulan berada di gedung pangeran itu.

"Tentu saja, selama engkau masih menjadi Nyonya Bu Cian, engkau akan selalu menjadi orang buruan. Kebebasan hanya bisa kau dapatkan di sini, Bwe Si. Dan pemerintah akan menghentikan buruan itu kalau engkau sudah menjadi selirku dan tinggal di sini, menjadi keluargaku."

Bwe Si terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa di balik pertolongan yang diberikan oleh pangeran yang baik hati ini kepadanya tersembunyi niat untuk memperisterinya, untuk mengambilnya sebagai selir! "Akah tetapi, Pangeran. Saya isteri Bu Cian....!"

"Dia sudah mati, Bwe Si."

"Ya, saya adalah seorang janda dan mempunyai seorang anak lagi."

"Apa salahnya. Engkau akan menjadi isteriku, dan anak ini akan menjadi anakku. Namanya Cin Lan, bukan? la akan menjadi Tang Cin Lan, seorang anak pangeran!"

"Tapi, Pangeran...."

"Pikirkan baik-baik dan jangan ragu, Bwe Si. Aku cinta padamu. Sejak pertemuan pertama kali aku sudah tertarik sekali kepadamu, kecantikanmu, sikap dan kelembutanmu. Aku ingin engkau selamanya tinggal di sini bersama anakmu, engkau menjadi selirku dan Cin Lan menjadi anakku.

"Sekarang, aku beri waktu semalaman ini. Pikirkanlah baik-baik. Engkau lebih suka keluar dari sini menjadi buruan pemerintah, kalau tertangkap menjadi orang hukuman, mungkin dihukum mati bersama anakmu, atau tinggal di sini menjadi selirku dan anakmu itu menjadi puteri pangeran. Nah, besok pagi-pagi engkau harus sudah mengambil keputusan, mau tinggal di sini atau keluar dari rumah ini!"

Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi Su meninggalkan wanita itu yang mulai menangis sesenggukan sambil mendekap anaknya.

Malam itu teramat menyiksa bagi Bwe Si. Terjadi perang dalam otaknya, dalam hatinya. Baru saja ia ditinggal suaminya, mati dalam keadaan demikian sengsara. Bahkan la tidak diberi kesempatan untuk berkabung atas kematian suami yang dicintanya itu, dan malah dilamar menjadi selir pangeran! Hatinya berontak. Tidak ingin la menjadi selir pangeran atau isteri siapapun juga.

Ia ingin bersetia kepada suaminya sampai matl. Akan tetapi, bagaimana dengan anaknya. Suaminya, dalam saat terakhir pesan kepadanya agar ia menyelamatkan anak mereka dan menjaganya baik-baik kalau ia nekat menolak lamaran llalu harus keluar dari rumah itu, pasti ia ditangkap dan dihukum. Lalu bagaimana dengan anaknya?

"Cin Lan... aahh, Cin Lan, apa yang harus ibu lakukan, Nak....?"

la memeluk, menciumi anaknya sambil menangis. Ia meratapi suaminya seolah minta petunjuk, akan tetapi tiada jawaban. Dan malam rasanya demikian cepat berlalu, tahu tahu sudah terdengar ayam jantan berkeruyuk tanda bahwa pagi telah menJelang tiba.

Dan pagi yang menakutkan itu pun tiba. Dengan hati berdebar-debar Bwe Si menunggu, masih belum dapat mengambil keputusan. Akan tetapi yang jelas, ia tidak ingm melihat anaknya ikut terhukum dan mati. Tidak, ia sendiri tidak takut dihukum, tidak takut menyusul suaminya mati.

Akan tetapi, ia amat takut kalau membayangkan nasib Cin Lan puterinya. Ia rela berbuat apa saja bahkan lebih dari kematian, demi menyelamatkan Cin Lan. Dengan pakaian pagi yang indah, sudah nampak segar habis mandi, Pangeran Tang Gi Su memasuki kamar itu, seorang diri.

Biasanya, kalau pangeran itu datang, Bwe Si pasti menyambutnya dengan salam hormat. Akan tetapi sekali ini Bwe Si tidak dapat bergerak, tidak pula dapat mengeluarkan sepatah pun kata. la terdiam dan memandang pangeran itu bagaikan telah berubah menjadi patung.

Pangeran Tang Gi Su memandangnya dan alisnya berkerut melihat wajah yang pucat, rambut yang kusut dan mata yang agak bengkak kemerahan bekas tangis itu. Dia melangkah maju menghampiri lalu berkata,

"Bwe Si, kenapa engkau menyiksa dirimu sendiri begini rupa? Agaknya semalam engkau tidak tidur! Begitu sulitkah menerimaku sebagai suamimu, Bwe Si? Begitu burukkah rupaku atau kelakuanku bagimu sehingga engkau tidak sudi menjadi isteriku? Engkau memilih dihukum mati daripada hidup sebagai isteriku?"

Akhirnya Bwe Si dapat menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Pangeran, saya tidak takut mati, akan tetapi saya tidak ingin melihat anak saya ikut mati...."

"Jadi... lalu apa jawabanmu terhadap lamaranku? Maukah engkau menjadi isteriku?"

Kembali Bwe Si menghela riapas panjang. "Pangeran, demi keselamatan anakku, aku tidak dapat menolak..."

"Bagus! Untuk sementara engkau boleh menerimaku demi anakmu. Cinta datangnya perlahan-lahan bagi wanita yang berkeadaan sepertimu. Akan tetapi kelak aku mengharapkan cinta itu akan datang padamu terhadap diriku. Nah, mulai hari ini engkau adalah selirku dan Cin Lan adalah anakku.

Dalam keadaan seperti sekarang, air susu mu tidak sehat bagi Cin Lan. Aku tidak ingin melihat anakku menjadi sakit karena minum air susumu. Biarlah wanita pengasuh yang akan menyusuinya dan merawatnya, seperti anak-anakku yang lain. Cin Lan akan menjadi seorang anak yang sehat dan kuat."

Pangeran Tang Gi Su lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu mengutusnya memanggil inang pengasuh yang segera datang. Pangeran berkata, "Rawat baik-baik anakku ini agar ia sehat dan kuat seperti kakak-kakaknya. Ia adalah anakku, mengerti?"

Tergopoh-gopoh inang pengasuh menerima anak itu dari tangan ibunya dan membawanya pergi. Setelah mereka semua pergi, Pangeran Tang Gi Su lalu memegang kedua tangan Bwe Si, mendekatkan mukanya dan mencium dahi yang putih halus terhias anak rambut itu, lalu berkata,

"Nah, sayang. Sekarang engkau tidurlah. Engkau harus mengaso karena semalam engkau tidak tidur, jangan sampai engkau jatuh sakit." Pangeran itu menuntunnya ke pembaringan, mendesaknya untuk rebah dan dia sendiri yang menutupi tubuh Bwe Si dengan sehelai selimut, dengan sikap dan gerakan menyayang sekali.

"Tidurlah, Bwe Si dan senangkan hatimu. Cin Lan berada di tangan pengasuh yang ahli. Engkau dan anakmu aman di sini dan kehidupan yang tenteram bahagia dan terhormat menanti kalian berdua. Tidurlah." Pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintunya dari luar.

Bwe Si menangis. la merasa telah berkhianat terhadap almarhum suaminya. Ia telah menyerahkan dirinya kepada pangeran itu. Akan tetapi ini demi Cin Lan, anak kita, suamiku, demikian bisiknya berulang kali akhirnya ia lalu membayangkan kembal sikap pangeran itu yang demikian rrunyayang dan lembut.

Setelah ia menerima pinangan, pangeran itu tidak segera melampiaskan berahinya kepadanya melainkan bersikap baik dan sopan sekali, amat menyayangnya. Hal ini mengharukan hatinya dan sedikit menghiburnya. la merasa terhormat setelah tadi merasa terhina karena merasa berkhianat terhadap suaminya.

Tidak, ia tidak berkhianat. la melakukan demi keselamatan Cin Lan. Dan pangeran itu pun bukan seorang yang kasar, tidak ingin mengambilnya sebagai selir hanya karena nafsunya, melainkan nampaknya pangeran itu benar-benar cinta kepadanya. Akhirnya, ia pun tertidur nyenyak dan sampai siang hari baru terbangun.

Mulai hari itu, Lu Bwe Si menjadi selir Pangeran Tang Gi Su. Tidak terlalu berat bagi Bwe Si untuk melayani suaminya yang baru karena Sang Pangeran benar-benar bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepadanya. Juga sikap suaminya terhadap Cin Lan nampak begitu menyayang, tidak berbeda dengan anak-anaknya yang lain.

Hal ini lebih-lebih menggembirakan hati Bwe Si sehingga tak lama kemudian, ia sudah melupakan bahwa Cin Lan adalah puteri suaminya yang dahulu. Bahkan sudah jarang teringat kepada mendiang Bu Cian.

Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak mungkin hal itu dalam satu keadaan terus menerus tanpa perubahan. Duka tidak dapat mengekang hati terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan itu sudah terganti oleh perasaan lain.

Karena itu, tidak keliru kalau ada yang mengatakan bahwa pada saat suka menduduki hati, duka sudah antri di belakangnya dan demikian sebaliknya. Suka dan duka lewat bagaikan angin lalu, semua akan terlena oleh Sang Waktu.

Pangeran Tang Gi Su memang mencinta Bwe Si dan lambat laun, belum genap setahun, telah mulai tunnbuh perasaan cinta dalam hati Bwe Si terhadap suaminya yang baru itu. Kini ia tidak lagi melayani suaminya karena terpaksa, demi keselamatan Cin Lan, melainkan dengan gairah yang menggelora karena api cinta kasih mulai menyala dalam dadanya terhadap pangeran yang menjadi suaminya dan yang memberinya segala-galanya itu.

Ia menjadi seorang wanita terhormat, bebas tidak diburu lagi, berkecukupan bahkan mewah. Juga Cin Lan terawat dengan baik, sekarang nampak gemuk dan sehat dan sewaktu-waktu dapat saja memerintahkan pengasuh membawa anaknya kepadanya. Bahagia, itulah yang dirasakan oleh Bwe Si.

Salahkah sikap Bwe Si ini? Kalau ada yang menyalahkannya dan menganggapnya rendah, anggapan seperti itu tidaklah adil. Tidakkah sebagai seorang manusia, Bwe Si juga berhak untuk meraih kebahagiaannya?

Kalau ia mendapatkan itu sebagai isteri muda pangeran, apa salahnya? Suaminya sudah tiada, dan ia dapat pula membahagiakan puterinya, di sampine membahagiakan diri sendiri. Roh suaminya tentu akan senang melihat orang-orang yang dikasihinya itu dalam keadaan bahagia!

Biarpun merasa amat berterima kasih kepada suaminya yang baru, Bwe Si tidak melupakan kenyataan bahwa puterinya itu adalah anak seorang pendekar. Karena itu, setelah Cin Lan berusia lima tahun, di samping memberi pelajaran baca tulis, ia pun memanggil seorang guru silat untuk puterinya.

Dan Pangeran Tang Gi Su juga tidak berkeberatan, apalagi ketika guru silat menyatakan kekagumannya akan bakat ilmu silat yang ada pada diri anak itu. Pangeran Tang Gi Su bahkan mendorong dengan mengundang guru silat yang lebih pandai untuk mengajar puterinya.


Kwa Siang, atau nyonya janda Song Tek Kwi, adalah seorang wanita yang penuh semangat dan pemberani. Biarpun ketika melarikan diri ia tidak membawa banyak bekal karena bekal itu kebanyakan berada dalam buntalan suaminya yang terpaksa ditinggalkan, namun ia tidak takut. Ia mengembara sambil melarikan diri. khawatir kalau-kalau akan dikejar oleh pasukan. Ia berpindah-pindah dari satu ke lain dusun, terus menjauhkan diri dari kota raja sampai jauh ke selatan.

Akhirnya, setahun kemudian ia sudah tiba di tepi Sungai Kuning. la tinggal di sebuah dusun kecil yang dihuni beberapa ratus kepala keluarga yang bekerja sebagai petani dan nelayan. la pun bekerja sebagai nelayan mencari ikan untuk menghidupi dirinya dan Thian Lee, puteranya.

Setelah Thian Lee berusia lima tahun, mulailah ibu muda ini menggembleng puteranya dengan ilmu silat dan betapa girang hatinya melihat bahwa Thian Lee memiliki bakat yang baik sekali. Dalam hidupnya selama ini, banyak terjadi gangguan terhadap dirinya, dari para pria hidung belang dan mata keranjang.

Namun berkat ilmu silatnya, ia menghajar setiap orang laki-laki yang berani kurang ajar kepadanya. Demikian pula di dusun tepi sungai itu, setelah semua penduduk mengetahui bahwa janda muda beranak satu ini pandai ilmu silat, tidak ada se-orang pun berani mengganggunya. Ketika Thian Lee berusia sepuluh tahun, terpaksa Kwa Siang mengajak anaknya menyeberangi sungai dan melarikan diri ke selatan.

Pada suatu hari ia melihat serombongan pasukan lewat di dusun itu dan ia menjadi curiga. Jangan-jangan mereka itu sudah mendengar bahwa ia tinggal di dusun itu! Maka sebelum terjadi sesuatu, diam-diam ia lalu naik perahu menyeberangi sungai dan melarikan diri, membawa segala miliknya berupa pakaian dan sedikit uang yang berhasil ia kumpulkan selama bekerja sebagai nelayan di tepi sungai itu.

Akhirnya ia merasa suka dengan dusun Nan-kiang-jung, sebuah dusun yang makmur karena tanahnya subur dan berada di sebelah selatan Sungai Kuning, di luar kota Lok-yang. Dengan uangnya, Kwa Sing membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah pondok sederhana, lalu mulai hidup bagai petani. Thian Lee sudah berusia sepuluh tahun menjadi seorang anak yang tinggi tegap dan cerdas.

Pada suatu malam, Thian Lee bertanya kepada ibunya, "Ibu, sejak dulu kalau aku bertanya kepada Ibu tentang Ayah, Ibu mengatakan bahwa Ayah telah meninggal dunia. Hatiku merasa penasaran sekali, Ibu. Ibu masih muda, tentu Ayah masih muda pula. Kenapa Ayah telah meninggal dunia di waktu masih muda? Penyakit apakah yang membuat Ayah meninggal dunia di dalam usia muda, Ibu?"

Ditanya demikian Kwa Siang menghela napas panjang, dan ia menarik tangan puteranya, lalu mengelus kepalanya dengan pehuh kasih sayang. "Thian Lee, engkau sekarang sudah berusia sepuluh tahun, agaknya sudah pantas untuk mengetahui segalanya. Duduklah di sini, Anakku, dan dengarkan penuturanku tentang ayahmu."

Thian Lee dtiduk di depan ibunya, wajahnya diangkat dan sepasang mata yang jernih tajam itu friengannati wajah ibunya penuh perhatian. "Ayahmu Song Tek Kwi, adalah seorang pendekar yang masih muda ketika dia meninggal dunia. Dia seorang pendekar, seorang patriot sejati yang tidak dapat tinggal diam kalau terjadi perbuatan sewenang-wenang dari pembesar atau siapapun juga.

"Ketika engkau berusia kurang lebih setahun, pada suatu hari ayahmu pergi berkunjung ke rumah sahabatnya yang bernama Bu Cian di dusun Teng-sia-bun dekat kota raja. Di sana ayahmu bersama Bu Cian telah menghajar seorang pangeran yang melakukan pemaksaan terhadap seorang gadi? yang hendak dijadikan selir.

"Melihat ini, ayahmu dan sahabatnya itu tidak dapat tinggal diam dan menghajar pangeran itu dan para pengawalnya. Peristiwa itu berakibat panjang. Pada keesokan harinya, sejumlah pasukan menyerbu Teng-sia-bun dan membunuh Bu Cian sebagai pemberontak," ibu muda itu berhenti dan menghela napas panjang.

"Lalu bagaimana Ibu? Apa yang terjadi kepada Ayah?"

“Mendengar akan hal itu, ayahmu mengajakku untuk melarikan diri. Aku menggendongmu dan kita melarikan diri dari dusun Tung-si-bun. Akan tetapi di luar dusun itu, kita bertemu rombongan perajurit. Aku dan ayahmu dikeroyok, ayahmu minta agar aku menyelamatkanmu, maka aku lalu melarikan diri sambil menggendongmu.

"Aku sempat mengintai bagaimana keadaan ayahmu. Dia mengamuk, merobohkan belasan orang akan tetapi dia sendiri roboh di bawah hujan senjata para pengeroyok dan tewas dengan gagah perkasa, Demikianlah, Thianlee, ayahmu tewas sebagai seorang pendekar sejati...."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.