Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

SUARA teriakan gadis itu terhenti ketika lengan si penculik bergerak menotok urat suaranya. Selanjutnya dengan gerakan ringan si penculik berkelebat cepat ke arah hutan rimba di belakang bukit.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Karya Ginanjar

Kecepatan bergerak orang ini memang sangat mengagumkan. Dengan sebat terus menerobos masuk ke dalam hutan rimba. Tak lama bayangan si penculik yang memanggul korbannya dipundak itupun lenyap ditelan rimbunnya pepohonan dan semak belukar...

Ternyata si penculik ini berpikiran cerdik. Dia tak terus merambah hutan rimba. Tapi segera membelok ke arah timur. Dan menuju ke arah muara sungai yang harus melewati bukit berbatu-batu.

Secara kebetulan tampak sebuah perahu ter-tambat di tepi muara. Entah perahu milik siapa. Tak berayal segera laki-laki ini bergerak me-lompat mendekati.

"Bagus, sampan ini agaknya memang disediakan untukku...!" gumamnya dengan tertawa menyeringai.

Ringan sekali gerakannya. Sekali berkelebat dia telah hinggapkan kaki di tengah sampan. Perahu yang agak lumayan besarnya itu hanya bergoyang sedikit. Kemudian dengan sebat dia membaringkan gadis dalam pondongannya ke atas geladak.

Sekali lengannya membetot, putuslah tambang pengikat perahu itu. Kemudian dengan dayung ditangannya dia mendorong sampan ke tengah sungai. Tak lama perahu itupun telah meluncur cepat membelah air menuju ke hilir dan terus ke laut lepas. Dalam beberapa saat saja sudah tak kelihatan lagi....

Pemuda ini tertawa menyeringai. Ternyata dia tak lain dari Sucitro alias Jaka Kumbara. Gadis itu adalah Kuntari yang diculiknya dari pesanggrahan Tongkat Suci. Kini sepasang matanya mulai menampakkan kejalangannya menatap sosok tubuh gadis cantik yang tergolek tak sadarkan diri digeladak perahu.

Dayungnya tak dipergunakan untuk mengayuh lagi, dan membiarkan perahunya terapung-apung tanpa arah dipermainkan gelombang. Sementara sepasang matanya mulai menjalari sosok tubuh gadis dihadapannya.

Menyusuri lekuk liku tubuh sang dara cantik mata membinar-binar. Sekejap kemudian Jaka Kumbara telah meletakkan dayungnya di sisi buritan. Dan melangkah lebar mendekati sang korban.

"Haha... sungguh beruntung aku mendapatkan gadis semanis ini. Jaka Kumbara memang pandai memilih gadis cantik!" berkata dia menggumam memuji dirinya sendiri. Bagaikan seekor serigala yang siap melahap mangsanya, lengan Jaka Kumbara menjulur. Dan...

Bret! bret! Brebeet!

Dalam beberapa kali gerakan saja dia telah membuat pakaian si gadis koyak-koyak. Napas Jaka Kumbara memburu. Hidungnya kembang-kempis. Air liurnya menetes dan matanya jalang membinar-binar merayapi bagian-bagian tubuh sang dara yang membuat darahnya serasa panas bergolak.

Kejap berikutnya dia telah lepaskan pakaian atasnya. Kemudian melepaskan keris yang terselip di ikat pinggang, dan meletakkannya di sisi geladak. Sementara ombak terus mempermainkan perahu mengombang-ambingkan kesana kemari.

Di saat itu, tiba-tiba angin bertiup keras. Cuaca mendadak menjadi gelap. Entah dari mana munculnya tahu-tahu pusaran angin menyapu ombak, hingga perahu itu seketika jadi berputar-putar. Pemuda ini jadi terperanjat melihat kejadian aneh itu. Lengannya cepat menyambar keris pusakanya, lalu berpegang kuat pada sisi badan perahu.

"Apakah yang terjadi?" sentaknya dalam hati. Wajahnya berubah pucat pias. Jaka Kumbara merasa telah berbuat kesalahan, tapi tak tahu kesalahan apakah yang telah dilakukannya, pikirnya dalam benak.

Diiringi kilatan petir yang menyambar-nyambar tiba-tiba terdengar suara tertawa yang membuat berdiri bulu roma. "Hoahaha...haha...haha... Jaka Kumbara, belum saatnya kau mengumbar keinginanmu! Kau harus menunjukkan baktimu terlebih dulu pada Raja Iblis! Kau bakal banyak menghadapi tantangan! Oleh karena itu kau harus menghadap sang Maharaja Iblis untuk menyempurnakan ilmu yang kau miliki...!"

Sepasang mata Jaka Kumbara terbelalak mendengar suara yang membangunkan bulu roma itu. Disamping rasa takut dan khawatir yang luar biasa, pemuda ini segera menjawab.

"Aku...aku bersedia! Aku akan menghadap Raja Iblis! Tapi tunjukkan dimana aku harus menemuinya!" suara lantang Jaka Kumbara membaur diantara deru angin dan deburan ombak.

Tak ada jawaban! Pusaran angin masih membuat perahu itu berputar-putar. Tapi semakin lama semakin perlahan. Cuaca ternyata telah kembali menjadi cerah. Ombak telah menjadi tenang seperti sedia kala. Camar-camar laut tampak mulai terlihat beterbangan diatas permukaan air.

Perahu itu telah berhenti berputar dan terombang-ambing dipermainkan ombak kecil. Sesekali menimbulkan suara gemericik air yang menampar badan perahu. Sosok tubuh gadis itu masih terkapar membugil digeladak.

Akan tetapi aneh! Si pemuda bernama Jaka Kumbara itu tak kelihatan berada di atas perahu. Ya! Jaka Kumbara memang telah lenyap dari perahu itu... Hanya pakaian atasnya saja yang teronggok digeladak.


Sebuah sampan kecil meluncur dari kejauhan mendekati perahu yang terapung-apung ini. Sampan kecil itu dinaiki oleh dua orang kakek dan nenek tua renta yang rambutnya sudah memutih.

Si kakek mengenakan jubah bulu yang dijahit bersambung-sambung dari sejenis binatang pemakan ikan. Sedangkan si nenek pasangannya mengenakan jubah kembang-kembang warna-warni. Sepintas mereka seperti sepasang remaja yang tengah pelesir dengan berperahu menikmati keindahan alam dan laut.

Hanya saja keduanya bukan remaja lagi, tapi sepasang kakek dan nenek yang sudah keriput. Anehnya bukan si kakek yang mendayung perahu, tapi wanita pasangannya yang mempergunakan dayung mengayuh perahu sampan kecil itu.

Sedangkan si kakek enak-enakkan duduk bersila. Yang lebih aneh adalah gerakan mendayung si nenek tua itu. Tampaknya dia cuma sekali dua mengayuh dayungnya, tapi gerakan meluncur sampan kecil itu demikian pesatnya.

Siapa adanya kakek dan nenek berpakaian aneh itu? Ternyata mereka adalah dua orang tokoh Rimba Persilatan. Si kakek adalah seorang tokoh yang bergelar si Cerpelai Sakti. Dan si nenek pasangannya bergelar si Musang Betina Mata Empat. Gelarnya kedengarannya sangat aneh. Tapi diwilayah tenggara nama gelar itu sangat terkenal dan ditakuti para bajak laut.

Yang menjadi perhatian si Musang Betina Mata Empat adalah sebuah perahu yang sejak tadi terapung-apung di tengah laut. Dia dengan sahabatnya yang tengah berperahu menuju ke sebuah pulau diselat tersebut, segera memutar kemudi. Hatinya tertarik untuk mengetahui siapa si pemilik perahu, dan apa yang telah terjadi.

Karena dia melihat adanya kejanggalan pada perahu itu yang terapung-apung di tengah laut seperti tiada yang mengemudikan. Ketika perahu mereka hampir mendekat, si nenek berhenti mengayuh. Perahu itu meluncur terbawa sisa tenaga kayuhan, dan pelahan-lahan makin mendekati.

Laki-laki berjubah bulu telah bangkit berdiri. Kepalanya terjulur untuk melihat isi perahu. Akan tetapi berbeda dengan si nenek. Tubuhnya berkelebat melompat dengan gerakan indah bagaikan burung camar melampaui kepala si Cerpelai Sakti. Gerakannya sangat ringan ketika sepasang kakinya hinggap digeladak perahu.

Baru saja ujung kakinya menyentuh papan perahu, terdengar si nenek berteriak kaget. Sepasang matanya membelalak menatap sosok tubuh yang terge-letak didepannya.

"Ada apa, sobat Musang Betina?" teriak si Cerpelai Sakti mendengar si nenek tersentak seperti orang terkejut. Walaupun dia telah berdiri dan julurkan kepala untuk melihat ke dalam perahu yang terapung itu, tapi karena terhalang tubuh si nenek yang hinggap digeladak perahu itu membelakanginya, pandangan matanya jadi terhalang.

Tak sabar menunggu jawaban si nenek, kakek ini enjot tubuhnya untuk menyusul melompat ke perahu tersebut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara bentakan si nenek membelah udara. Gerakan lengan si nenek yang mengibas itu menyambar tubuh si Cerpelai Sakti yang tengah melambung di udara.

"Kembali ke tempatmu, kakek tua bangka!"

Tentu saja laki-laki tua ini jadi terkejut karena tahu-tahu dia merasakan sambaran angin keras yang menghantam ke arahnya. Mau tak mau dia gunakan sepasang lengannya untuk menangkis serangan.

Plak!

Karena si Cerpelai Sakti tak gunakan tenaga penuh untuk menangkis, tubuhnya terpental balik. Nyaris saja dia tercebur ke laut. Akan tetapi satu tenaga aneh dari sepasang lengannya telah menarik perahu kecil yang ditumpangi itu meluncur mendekat. Hingga dengan aman dia dapat jejakkan kaki lagi diperahunya semula. Seketika wajah si kakek ini berubah merah. Hatinya agak mendongkol dengan perbuatan si nenek kawan seperjalanannya itu.

"Apakah yang kau lihat, nenek peot hingga kau menolak aku untuk turut melihatnya?" teriak si Cerpe-lai Sakti menggembor penasaran.

Gerakan benturan tenaga dalam tadi cukup membuat kaki si nenek bergeser setapak dari tempat berdirinya. Badan perahu yang dipijaknya agak oleng dan bergoyang. Si nenek perdengarkan suara tertawa aneh. Lalu balikkan tubuh ke arah si Cerpelai Sakti.

"Maaf, sobat tua, kukira kau bukanlah seorang kakek mata keranjang makin tua makin jalang, bukan? Di dalam perahu ini ada tergeletak seorang gadis yang kukira dalam keadaan pingsan. Akan tetapi keadaan pakaiannya tidak keruan, dan hampir-hampir tak berpakaian sama sekali. Itulah sebabnya aku melarang kau melihatnya!"

Penjelasan si nenek Musang Betina Mata Empat membuat si Cerpelai Sakti jadi membelalakkan mata karena terkejut. "Oo... pantas...pantas, tanpa hujan angin kau menyerangku, rupanya itulah sebabnya...!" berkata si Cerpelai Sakti dengan manggut-manggutkan kepala.

"Benar, kuharap kau memaafkan sikapku barusan, sobat tua Cerpelai Sakti!" sahut si nenek dengan tersenyum.

"Tak apa! Lalu apa yang harus aku lakukan?" Kakek ini goyang-goyangkan tangannya, seraya jatuhkan pantatnya kembali duduk dilantai papan perahu.

"Kau tunggulah sebentar! Nanti kalau sudah "aman" baru kuperkenankan naik ke perahu ini!" kata si nenek seraya balikkan tubuh dan segera bergegas memeriksa keadaan gadis tersebut. Benarlah, gadis itu hanya pingsan saja. Namun dia mengetahui sang gadis dalam keadaan tertotok.

"Hm, agaknya seseorang telah berniat memperkosanya. Tapi belum sampai terjadi..." gumam si nenek dengan mengerutkan keningnya. Matanya menatap pada seonggok pakaian atas diatas geladak. Disambarnya pakaian atas itu, lalu diperiksanya.

"Bagus, untung ada pakaian ini... bisa dipergunakan untuk menutup tubuhnya!" desis si nenek. Kemudian cepat menutupi bagian tubuh terlarang si gadis. "Entah siapa manusia bejat yang tak tahu adat itu? Untunglah.... gadis ini masih suci. Aku harus segera membuka totokan dan menyadarkannya" pikir si nenek.

Cepat dia julurkan lengannya untuk membuka jalan darah yang tertutup dibeberapa tempat tubuh dara itu. Lalu memijit-mijit tengkuk Kuntari untuk menyadarkannya. Tak lama gadis itupun membuka matanya. Terbelalak mata Kuntari melihat seorang perempuan tua berada dihadapannya.

"Oh, siapa kau?" sentaknya dengan wajah pucat. Ketika dia melihat pakaiannya sobek-sobek dan keadaan tubuhnya sedemikian rupa, dia tersadar akan apa yang telah terjadi. Segera dia teringat bahwa dirinya telah ditotok dan dibawa lari oleh laki-laki yang membuat kerusuhan dipesanggarahan Tongkat Suci. Detik itu juga tiba-tiba dia menjerit histeris, lalu jatuh terkulai tak sadarkan diri...

Si Musang Betina Mata Empat jadi geleng-gelengkan kepala, seraya menghela napas. "Kukira belum saatnya aku menanyakan kejadian yang telah menimpa pada anak ini. Entah siapa bocah perempuan ini...? Sebaiknya kubawa saja keperahuku!" pikir si nenek.

Baju milik Jaka Kumbara segera dikenakan pada tubuh gadis itu. Kemudian si nenek mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya. Ternyata sebuah kain sutera hitam. Kain tersebut lalu dipergunakan untuk membungkus tubuh Kuntari. Setelah selesai cepat dia memondong tubuh si gadis.

"Gadis ini perlu pertolongan, sobat Cerpelai tua! Kita akan membawanya sekalian ketempat tujuan. Aku belum bisa menanyakan apa yang telah terjadi, karena dia pingsan lagi...! Seseorang telah menotoknya!" kata si nenek menatap si Cerpelai Sakti yang tengah memandang ke arahnya.

"Matamu memang tajam, nenek peot. Pantas kau mencurigai perahu yang terapung-apung ini! Entah anak gadis siapa bocah perempuan ini?" kata si kakek Cerpelai Sakti memandang gadis dalam pondongan si nenek setelah wanita tua ini melompat ke perahunya.

"Hm, kini giliran kau yang mengayuh perahu!" berkata si Musang Betina tanpa menanggapi kata-kata kawan seperjalanannya.

"Heheh... heh... baik, aku memang sudah bosan duduk ongkang-ongkang kaki saja!" tertawa si Cerpelai Sakti.

Selesai berkata mendadak tubuhnya mencelat ke udara dengan gerakan salto yang indah. Gerakan ini dilakukan laki-laki tua ini adalah untuk berpindah tempat duduk diburitan perahu. Ilmu meringankan tubuh si Cerpelai Sakti memang tak berada di bawah si nenek.

Dengan ringan kakinya menjejak di lantai pa-pan buritan perahu tanpa menimbulkan goyangan sedikitpun. Tak lama dia telah jatuhkan pantatnya duduk diatas sampan. Dan sesaat antaranya sampan kecil itu telah meluncur pesat bagaikan terbang diatas air...

Si Musang Betina Mata Empat telah pula duduk dengan memondong tubuh dara yang masih tak sadarkan diri ini.


DUA

Jaka Kumbara merasakan tubuhnya melayang pesat di udara. Pandangan matanya nanar dan menjadi gelap. Dia merasakan sekujur tulang persendian tu-buhnya seperti dilolosi. Lemah tanpa tenaga. Akhirnya dia tak tahu apa-apa lagi.

Entah beberapa saat lamanya kemudian, ketika Jaka Kumbara membuka matanya, dia jadi terkejut karena telah berada didalam sebuah gua berbau pengap. Pemuda ini jadi belalakkan matanya memandang kesekeliling yang cuma dinding-dinding batu cadas.

"Hah... dimanakah aku!" sentaknya berdesis. Saat itulah terdengar suara yang berpantulan diiringi suara tertawa menyeramkan dari sekeliling penjuru.

"Jaka Kumbara, disinilah tempat kau bertapa! Lakukanlah tapa selama empat puluh hari empat puluh malam untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang kau miliki!"

Suara itupun lenyap bersamaan dengan lenyapnya pula suara tertawa yang menggidikkan dari sekeliling ruangan goa. Itulah suara-suara tertawa para iblis! Agaknya digoa inilah tempat yang diperuntukkan bagi Jaka Kumbara untuk menyempurnakan ilmunya.

"Terima kasih, pukulun.....hamba akan melaksanakannya, hamba akan melaksanakannya!" sahut Jaka Kumbara alias Sucitro dengan tergagap. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Ketegangan yang amat luar biasa menyelinap dalam hatinya. Jantungnya berdebaran keras. Dan keringat dingin mengembun ditengkuknya.

Ruangan goa itu amat menyeramkan. Batu-batu runcing berbentuk kerucut serta relung-relung goa yang bagaikan ruas tulang didalam rongga perut ular raksasa. Puluhan tulang tengkorak kepala manusia bergeletakan disekitar ruangan. Dan hampir disetiap sudut penuh dengan sarang laba-laba. Sementara suara cicit-cicit kelelawar semakin menambah seramnya suasana didalam goa itu.

Jaka Kumbara mendapatkan keris kutukan iblis masih tergenggam ditangannya. Lengannya tergetar memegang benda itu. Tiba-tiba benda itu lenyap sirna dari tangannya, dan berubah menjadi segumpal asap hitam. Lagi-lagi ia terperangah. Saking terkejutnya, nyaris pemuda itu jatuh pingsan, karena asap hitam itu tahu-tahu telah berubah menjadi sesosok makhluk yang menyeramkan.

Tubuhnya berbulu. Kedua kakinya mirip kaki binatang. Perutnya buncit. Wajahnya sangat menyeramkan. Sepasang matanya bulat besar dan berwarna merah menyala bagai bara api. Rambutnya putih be-riapan bergerak-gerak seperti hidup.

Seringainya menakutkan memperlihatkan gigi-gigi yang runcing. Dan lidah yang terjulur panjang meneteskan lendir. Baunya busuk membuat perut mulas mau muntah. Makhluk ini perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh yang membuat jantung Jaka Kumbara serasa berhenti berdenyut.

"Jaka Kumbara, kau akan memiliki kerismu lagi, bila kau telah selesai bertapa!" berkata makhluk itu. Kemudian makhluk penjelmaan keris Kutukan Iblis itu lenyap sirna.

"Oh., terima kasih, terima kasih, Pukulun...!" kata Jaka Kumbara seraya bersujud. Rasa girang dan takut menjadi satu membuat tubuhnya tergetar dengan sekujur tubuh basah oleh keringat dingin. Demikianlah, si pemuda bernama Jaka Kum-bara itupun bertapa didalam goa itu menjalankan pe-rintah yang diterimanya...


Pagi hari dibulan Maulud itu sangat cerah. Matahari membersit sinarnya yang masih lemah, membuat kilauan-kilauan embun yang melekat di dedaunan bagaikan butir-butir mutiara. Deburan ombak dipesisir pantai Pulau Bali me-nerbitkan irama-irama syahdu diselingi suara bangau dan camar-camar laut yang bersliweran diatas permukaan air.

Pesisir pantai itu jauh dari perkampungan nelayan. Suasana tempat itu kelihatan tenang dan tenteram. Sebuah pondok kayu beratap rumbia dengan tiang-tiang pancang yang panjang terlihat tak jauh dari pantai pasir putih. Sesosok tubuh tampak bergerak membuat lompatan-lompatan diatas karang dan pasir.

Tampaknya seperti tengah berlatih ilmu silat. Siapa dia adanya, tak lain dari seorang gadis berpakaian warna merah jambu. Dia membuat gerakan melompat-lompat dengan sesekali lengannya mengibas atau memukul dengan pukulan kosong.

Selang belasan jurus tampak sang gadis meru-bah gerakan, Tubuhnya meletik indah, sebelah kaki te-rangkat merentang sembilan puluh derajat. Sedang sebelah lagi tegak lurus. Gerakan ini dibarengi dengan teriakan yang menyibak udara. Ternyata sasarannya adalah sebatang pohon kelapa yang sudah tak berdaun lagi.

Whuuuuuk!

Kiranya jurus tendangan ini berisikan tenaga dalam. Karena angin keras segera menyambar ke arah batang pohon nyiur itu.

DUK! Krraaak...! BRRUUUK!

Sangat luar biasa, tanpa kakinya menyentuh sasaran, ternyata batang pohon nyiur itu telah patah berderak dan roboh tumbang. Sementara sang gadis membuat gerakan melompat kebelakang dengan lom-patan salto, dan hinggapkan kaki dengan ringan diatas pasir. Sejenak dara ini termangu-mangu. Tampaknya dia tak menyangka kalau jurus tendangan ini dapat berhasil dengan memuaskan.

Pada saat itulah terdengar suara tertawa terkekeh diiringi munculnya sesosok tubuh dari pintu pondok. "Hihih... hihih... bagus, kau telah berhasil mempergunakan jurus menendang Iblis, muridku! Hebat, hebat! Dalam waktu cuma satu setengah bulan kau telah dapat melakukan dengan sempurna!"

Entah bagaimana berkelebatnya sosok tubuh itu, tahu-tahu telah berada dihadapan si gadis. Ternyata dia seorang nenek tua berjubah putih. Siapa adanya nenek ini tiada lain dari si Musang Betina Mata Empat.

Dan gadis itu tiada lain dari KUNTARI, yang telah ditolong dan dibawa ketempat ini oleh si nenek bersama seorang kakek tua si Cerpelai Sakti. Kuntari terkejut, karena menyangka wanita tua itu tak ada dipondok.

"Aih, guru..., kapan kau kembali!? Bukankah kau mengatakan akan kembali besok sore?" tanya si gadis seraya jatuhkan diri duduk bersimpuh di depan wanita itu.

"Hi...hih... aku membatalkan niatku untuk menemui si Cerpelai tua, karena kupikir dia belum selesai dengan urusannya! Eh. Sejak kapan kau berlatih, sepagi ini sudah berkeringat?" tanya si nenek.

"Sejak shubuh tadi, guru..." sahut Kuntari seraya bangkit berdiri.

"Bocah gendeng, tahukah kau bahwa jurus menendang Iblis itu baru bisa dikuasai kurang lebih selama enam bulan? Tapi kau cuma dalam waktu singkat telah berhasil menguasai!" si nenek geleng-geleng kepala kagum.

"Ah, guru terlalu memuji..." tukas Kuntari tersipu. Tapi diam-diam hatinya girang bukan main. Padahal hampir setengah bulan dia melakukan jurus tendangan itu dengan sasaran batang pohon kelapa itu, tapi jangankan batangnya patah atau hancur. Bergemingpun tidak. Adalah sangat aneh kalau tadi dia bisa menumbangkannya.

"Hm, jurus-jurus pukulan yang terdiri dari tiga belas jurus itupun kulihat kau telah menguasai. Cuma kau mempergunakan tanpa berisikan tenaga dalam!"

"Apakah nama ketiga belas jurus itu, guru?" tanya Kuntari.

"Itulah yang tak bisa kujawab! Karena aku belum memberikan nama jurus-jurus itu!" sahut si nenek sambil memijit-mijit dagunya.

"Aneh, jadi jurus-jurus itu tanpa nama?"

"Hah? Apa katamu? Jurus tanpa nama?" sentak si nenek dengan mata melotot lebar.

"Ya, guru... karena jurus-jurus itu tak bernama, jadi kukatakan tanpa nama?" kata Kuntari dengan menatap heran.

Mendadak si nenek berjingkrak melompat seraya berteriak, dan tertawa terkekeh-kekeh. "Hih...hih... nama yang bagus, nama yang bagus! Kukira itulah nama yang tepat untuk ketiga belas jurus itu!" teriak si Musang Betina Mata Empat.

"Jadi... jadi maksud guru, nama ketiga belas jurus itu adalah jurus tanpa Nama?"

"Benar, benar! Itu yang kumaksudkan. Kau boleh beri nama begitu...!" sahut wanita tua itu dengan tertawa terkekeh.

Kuntari jadi geleng-geleng kepala. "Aiih, kau ini ada-ada saja, guru...!" kata Kuntari dengan tersenyum. Tapi dia setuju dengan nama itu.

"Hm, perasaanku agak lain, muridku... tampaknya bakal terjadi sesuatu. Sayang... padahal setengah bulan lagi adalah giliran si Cerpelai Sakti untuk memberikan jurus-jurus simpanannya padamu!" suara si nenek seperti bergumam walaupun ditujukan pada muridnya.

Kuntari agak melengak, tapi sebelum dia bertanya, si nenek telah menyambung kata-katanya.

"Si Cerpelai tua itu adalah orang yang paling sabar didunia ini. Kelak kalau kau beruntung mendapatkan ilmunya, tak akan semudah itu orang merobohkanmu. Sayang, dia sedang ada urusan. Menurut perhitungan dia sudah tiba kemarin sore..."

"Urusan apakah yang sedang dikerjakannya, guru?" tanya Kuntari.

"Marilah kita duduk didalam pondok, muridku. Mungkin keteranganku ada gunanya buatmu...!" sahut si wanita tua. Lalu balikkan tubuh dan melangkah menuju pondok.

Dengan benak diliputi bermacam pertanyaan, Kuntari mengikuti si nenek. Sikap gurunya yang aneh itu membuat dia tak mengerti. Namun dia tak dapat banyak bertanya. Selain mematuhi perintah sang guru.

Deburan-deburan ombak yang memecah dipantai seperti juga deburan jantungnya. Entah hal apakah yang akan diceritakan si nenek gurunya itu mengenai urusan si Cerpelai Sakti. Dan siapakah sebenarnya si Cerpelai Sakti itu?

TIGA

"Setahun yang lalu seorang pendekar dari pulau Bali bernama I Made Galung telah meminjam senjata pusakanya. I Made Galung adalah keponakan iparnya, atau suami dari keponakannya. Yaitu anak perempuan adik kandung si Cerpelai Sakti!" kata si nenek memulai keterangan.

"Senjata pusaka si Cerpelai Sakti adalah sebuah keris yang terbuat dari besi kuning, yang dinamai Kyai Jaran Goyang. Kabarnya keris itu bisa mengeluarkan suara seperti ringik kuda...! Senjata pusaka itu dipinjam berkenaan adanya suatu wabah penyakit yang mengkhawatirkan didesa Tegalinggah, tempat menetap I Made Galung."

"Akan digunakan untuk apakah keris tersebut? Apa hubungannya dengan wabah penyakit?" tanya Kuntari tak mengerti.

"Menurut keterangan I Made Galung, akan dipergunakan untuk tumbal! Karena menurut seorang dukun sakti dari Klungkung, penyakit itu bisa lenyap dengan tumbal keris besi kuning!"

Kuntari manggut-manggut mengerti. Lalu diam mendengarkan uraian sang guru. Walaupun sebenarnya hatinya bertanya-tanya, penyakit apakah yang sangat aneh obatnya itu?

"Tapi ternyata belakangan baru diketahui, kalau I Made Galung telah diperdayai oleh si dukun dari Klungkung itu yang sengaja menyebarkan penyakit terhadap keluarga I Made Galung. Tujuannya adalah karena dia mengetahui I Made Galung mengikat kekeluargaan dengan orang tanah Jawa.

"Dan salah satunya adalah si Cerpelai Sakti yang menjadi kakak mertua I Made Galung. Kesempatan itu dipergunakan baik-baik. Entah dari mana khabarnya dia mengetahui si Cerpelai Sakti memiliki senjata keris besi kuning. Sudah lama dia menginginkan benda pusaka itu.

"Penyakit yang disebar si dukun itu adalah penyakit aneh, karena dia mempergunakan cara ghaib dengan bantuan setan! Istri I Made Galung diguna-guna menjadi seperti orang hilang ingatan. Dia hanya mau diobati oleh si dukun tua yang bernama Wayan Gde Nepsu itu. Dan menolak diobati oleh siapa saja. Hal itulah yang membuat si Cerpelai tua bingung.

"Tentu saja permintaan si dukun dari Klungkung itu harus diturut, kalau tak mau sang kepona-kannya itu kehilangan jiwa. Apalagi adiknya sangat sekali mengharapkan pertolongannya. Dukun tua itu berjanji akan mengembalikan se-telah Ketut Malini sembuh dari penyakitnya...!"

Si nenek berhenti sebentar. Dia terbatuk-batuk beberapa saat ketika meneguk air kendi yang disediakan Kuntari.

"Lalu bagaimana, guru...?" tanya Kuntari tak sabar. "Dapatkah penyakit Ketut Malini disembuhkan?"

"Itulah yang menjadi persoalan! Karena si dukun itu bukannya mengobati penyakitnya, tapi juga mencicipi tubuhnya!"

"Oh...!?" Kuntari tersentak dengan membelalakkan mata.

"Dukun keparat!" memaki Kuntari dengan gigi gemeretuk.

"Lalu bagaimana selanjutnya, guru?" desak si gadis anak seorang tokoh persilatan bernama Purbayana itu.

"Ketut Malini memang bisa disembuhkan. Akan tetapi sekaligus I Made Galung menceraikan istrinya!"

"Aiih... kasihan pemuda Bali itu...!" berkata hati Kuntari.

"Bagaimana dengan keris pusaka kakek Cerpelai Sakti? Apakah lalu dikembalikan?" tanya Kuntari.

Si nenek menghela napas, lalu menjawab dengan suara agak trenyuh. "Keris pusaka itu menurut Wayan Gde Nepsu hilang tanpa krana, setelah keponakan si Cerpelai Sakti itu sembuh dari penyakitnya. Menurut Wayan Gde Nepsu telah menjadi tebusan atas penyakit Ketut Malini. Si Cerpelai tua tak bisa bilang apa-apa selain menerima kenyataan itu. Tapi I Made Galung merasa tak enak hati pada orang tua itu. Dia berjanji akan menggantinya dengan senjata pusaka lain. Made Galung kemudian menghilang dari pesisir pantai Pulau Bali dan sampai beberapa bulan ini tak ada khabarnya....!"

Kuntari manggut-manggut mendengar penuturan si nenek. "Lalu maksud apakah kakek Cerpelai datang ke pulau Bali ini?"

"Dia akan membawa pulang keponakannya, kembali ke tanah Jawa!"

Kuntari krenyitkan keningnya, lalu berkata. "Ada dua hal yang aku kurang jelas, guru! Pertama, apakah Ketut Malini kemudian menikah dengan dukun dari Klungkung itu? Dan kedua, bukankah I Made Galung mengetahui kalau istrinya telah sengaja diguna-gunai oleh dukun itu, tapi mengapa dia tak ambil tindakan pada manusia itu?"

Nenek tua ini tertawa terkekeh, lalu menjawab. "Aku mana mengetahui urusan I Made Galung? Tapi kukira dengan menceraikan istrinya itulah tindakan tegas yang dilakukannya!"

"Hm, hal ini agaknya masih bisa masuk akal. Mungkin kepergiannya adalah untuk mencari pengganti keris pusaka kakek Cerpelai dengan senjata pusaka lain!" berkata Kuntari dalam hati.

"Mengenai Ketut Malini, walaupun telah menjadi istri atau tidak, si Cerpelai tua harus memaksanya untuk kembali. Karena atas permintaan kedua orang tuanya!"

Barulah Kuntari mengerti apa maksudnya si Cerpelai Sakti itu berangkat ke Klungkung. Disamping memikirkan keadaan orang, diam-diam Kuntari sendiri memikirkan keadaan nasibnya. Selama satu setengah bulan dia berada dipesisir pantai Bali, dia mulai teringat pada manusia bernama JAKA KUMBARA, yang telah menculik dan nyaris memperkosa dirinya itu.

Bahkan laki-laki itupun telah membunuh Purbarini si Srigala Putih Betina alias bibinya. Dan membunuhi belasan anak buah perguruan Tongkat Suci yang diketuai oleh bibi dan pamannya si Srigala Putih Jantan, Pranajaya. Selain itu juga beberapa orang tokoh persilatan yang menjadi tetamu undangan turut menjadi korban ketelengasan manusia itu.

Diam-diam Kuntari bersyukur dapat tertolong oleh si nenek Musang Betina Mata Empat ini yang kemudian mengangkatnya sebagai murid. Ada satu hal yang membuat dia agak heran. Yaitu sikap gurunya. Tampaknya sang guru seperti tegang sejak sebelum memulai percakapan di dalam pondok. Kini dilihatnya ketegangan di wajah si nenek semakin jelas.

Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Ketajaman mata Kuntari ternyata dapat mengetahui kalau diam-diam si nenek tengah mengatur pernapasan. Dan menyalurkan tenaga dalam kesegenap anggota tubuhnya. Jantung gadis ini berdetak keras. Keanehan sikap dan kata kata si nenek tadi diluar pondok segera dapat terjawab.

Karena tiba-tiba si nenek perdengarkan suara menyapa yang ditujukan pada seseorang diluar pondok. "Sobat Cerpelai Tua, kau sudah datang?"

"Kakek Cerpelai Sakti?" sentak Kuntari kerutkan kening, menatap si nenek dengan heran dan memandang keluar pondok.

Saat itu si nenek telah berkelebat melompat keluar dari dalam pondok. Ketika Kuntari menyusul dan sembulkan kepalanya dipintu, tampak si kakek Cerpelai Sakti telah berdiri tegak dihalaman dengan pandangan mata tajam menatap nenek tua dihadapannya. Suasana tampak tegang!

Seperti juga tegangnya hati Kuntari yang menatap kedua orang yang saling berhadapan itu. "Apakah yang terjadi? Mengapa mereka berubah seperti dua orang musuh yang akan mengadu nyawa?" desis si gadis keheranan.

Saat itu si Cerpelai Sakti telah buka suara. Suara yang kedengarannya parau, yang ditujukan pada si nenek tua sahabatnya itu. "Bagus, sungguh tak kukira seujung rambutpun, kalau semua ini adalah kau yang mendalangi! Kau yang menjadi biang keroknya! Sungguh benar-benar tak kusangka...!"

Suara parau si kakek Cerpelai Sakti membelah kesepian pantai, seperti menindih deburan-deburan ombak yang memecah dibatu karang.

"Hm, mana bocah perempuan keponakanmu, sobat Cerpelai tua? Bukankah kau akan membawanya pulang ke tanah Jawa?" tanya si Musang Betina Mata Empat, tanpa mengacuhkan kata-kata laki-laki tua itu.

"Tak usah main sandiwara lagi, nenek peot!" sahut si Cerpelai Sakti mendengus. "Bukankah dia sudah kau bawa pulang beberapa bulan yang lalu? Hm, terima kasih atas kesediaanmu mengantarnya pada orang tuanya. Akan tetapi katakanlah, apa sebenarnya maksudmu dengan sandiwara ini? Apa maksud kepergian I Made Galung? Dan apa sebabnya kau memperalat Wayan Gde Nepsu?"

Pertanyaan si kakek dijawab dengan suara tertawa wanita tua ini terkekeh-kekeh. Lalu sahutnya. "Sobat Cerpelai tua...! Baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Karena kukira telah tiba saatnya aku membuka rahasia! Tapi aku akan bertanya dulu padamu. Apakah yang kau lakukan terhadap Wayan Gde Nepsu?"

"Heh, aku telah mengirim nyawanya ke Neraka!" sahut si kakek datar. Nyata walaupun didalam dada laki-laki tua itu penuh kemarahan, tapi dia tampak seperti bicara biasa saja.

"Bagus, itulah yang memang aku harapkan! Tahukah kau siapakah Wayan Gde Nepsu itu? Dia adalah anak dari perempuan piaraanmu. Perempuan yang kau tergila-gila padanya! Baik, aku buka rahasia! Nah, dengarlah, agar kau ketahui, perempuan yang kau gandrungi itu telah kukirim lebih dulu nyawanya ke Akhirat!"

Pernyataan si Musang Betina Mata Empat membuat mata kakek ini jadi melotot lebar. Seperti mendengar petir disiang hari saja layaknya laki-laki tua ini berseru kaget.

"Dan... agar kau ketahui pula, bahwa I Made Galung adalah anakmu. Anak yang keluar dari rahimku dua puluh tahun yang lalu! Dialah darah dagingmu sendiri!"

Lagi-lagi si Cerpelai Sakti terperangah kaget. Kali ini kakinya melangkah setindak kebelakang secara tak disadari. Jantungnya bergoncang keras. "Benarkah apa yang kau katakan itu, Soramah?" tanya si kakek dengan membelalak. Untuk pertama kalinya sejak dua puluh tahun lebih dia memanggil nama pada perempuan tua itu.

"Hihih...hih... aku mengatakan yang sebenarnya!" sahut si nenek serius. Sinar matanya tajam menatap kakek tua itu.

"Jadi... jadi waktu itu kau... kau hamil?" sentak si Cerpelai Sakti.

"Sangat memalukan bila kita menguak kisah lama itu, Cerpelai tua!" sahut si nenek seraya menengadah menatap langit. "Akan tetapi itulah kenyataannya! Selama ini aku memang sengaja menutup rahasia. Karena aku akan membalas sakit hatiku padamu. Kau masih tetap kuanggap sahabatku, walau dulu kau pernah jadi kekasihku...!

"Kini aku puas sudah, karena manusia-manusia yang kubenci telah mampus! Nah, satu lagi pertanyaanmu yang belum kujawab adalah kepergian I Made Galung. Dia memang telah kusuruh pergi sejauh mungkin. Biarlah dia hidup menjadi seorang pengembara. Dan... kukira wajar kalau dia mewarisi senjata pusaka keris Kyai Jaran Goyang, bukan?"

Tulang-tulang persendian tubuh si Cerpelai Sakti seperti dilolosi mendengar keterangan si nenek. Keringat sebesar-besar kacang menetes didahinya. Suaranya tergetar ketika berkata. "Jadi... jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Musang Betina Mata Empat tertawa terkekeh. Suara tertawa yang terdengar seperti mengiris jantung laki-laki tua itu. Tubuh wanita tua ini bergoyang-goyang. Ternyata dibalik tertawanya, si Musang Betina Mata Empat telah menahan perasaan pedih, dendam, benci dan kemarahan yang menjadi satu. Tiba-tiba dia berhenti tertawa. Wajahnya kelam membesi. Sepasang matanya menatap tajam kakek tua dihadapannya.

"Inilah saatnya kita menentukan siapa diantara kita yang akan menemui kematian! Karena tempat ini memang telah kurencanakan untuk menjadi ajang pertarungan kita!" suara si Musang Betina tua ini seperti menghunjam kejantung laki-laki tua itu. Dia termangu beberapa saat. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah.

"Akan tetapi ada satu syarat yang harus kau penuhi..." kata si nenek tiba-tiba, seraya menoleh pada Kuntari.

"Aku telah mengangkat gadis ini menjadi muridku. Dan aku telah pula mewariskan beberapa jurus ilmu kepandaianku padanya. Permintaanku adalah, bila aku yang akan menemui kematian, jadikanlah dia muridmu!"

"Bagaimana kalau ternyata aku yang tewas?" kata si kakek Cerpelai Sakti dengan suara parau.

Pertanyaan itu membuat wanita tua ini jadi tercenung. "Kalau begitu kau harus mengajarinya beberapa jurus ilmu kepadaianmu padanya terlebih dulu..." kata si nenek lirih.

Ketegangan yang sudah memuncak itu perlahan-lahan sirna. Wanita tua ini ternyata telah menarik kembali kekuatan tenaga dalamnya dikedua lengan dan kaki yang siap dipergunakan untuk menempur si Cerpelai Sakti.

"Untuk sementara pertarungan ini kita tunda..." katanya lirih, lalu balikkan tubuh dan melompat kepintu pondok.

Si Cerpelai Sakti mendadak tertawa tergelak-gelak. Tertawa yang teramat geli hingga kedua matanya sampai mengeluarkan air mata. "Hahaha...hehe.... soal asmara, soal cinta ternyata masih terbawa sampai tua bangka. Kita ini sudah sama-sama hampir pikun, Soramah! Sayang, dulu aku tak mengerti betapa besarnya cintamu terhadapku. Aku dulu memang brutal! Aku masih senang ugal-ugalan. Kini semua yang kumiliki telah habis! Tapi biarlah...! Mungkin tulang-tulang rapuhku masih bisa menghadapimu. Atau kalau kau mengingini kematianku, aku dengan pasrah akan memberikan jiwaku padamu..."

Si nenek merandek menahan langkahnya. Lalu balikkan tubuh dan menatap si Cerpelai Sakti. Ternyata sepasang mata wanita tua ini telah berkaca-kaca. Sejenak dia tertegun memandang laki-laki yang pernah dicintainya itu.

Dua puluh tahun dia memendam rasa cinta itu. Tapi kini perasaan itu telah mati! Dia hanya menunggu saat pertarungan untuk melampiaskan kekecewaan hatinya. Hanya itulah yang bisa menyelesai-kan persoalan.

EMPAT

Benar saja seperti yang dikatakan si nenek Musang Betina Mata Empat. Si Cerpelai Sakti memang seorang yang paling sabar diatas dunia ini. (kata si nenek tentunya). Dengan tekun dia mengajari Kuntari tiga jurus ilmu kepadaiannya yang paling luar biasa. Yaitu pertama jurus Cerpelai Sakti Membongkar Bukit. Kedua jurus Cerpelai Sakti Menyambar Bangau. Ketika jurus Cerpelai Sakti Menggunting Badai.

Ketiga jurus itu adalah jurus yang paling diandalkan si kakek dan yang paling dahsyat. Ketiga jurus ini jarang dipergunakan kalau tak menjumpai lawan yang tinggi ilmunya.

Adalah gadis bernama Kuntari itu nasibnya memang sangat mujur. Tak angin tak hujan tahu-tahu dua orang kakek dan nenek rela memberikan ilmu silatnya. Walaupun dengan melalui persengketaan rumit yang diam-diam terselubung diantara keduanya.

Nasib baik yang muncul secara kebetulan itu tak disia-siakan oleh Kuntari. Dengan sepenuh hati dia mempelajari ketiga jurus si kakek Cerpelai Sakti. Gadis itu seolah-olah menemukan durian runtuh. Secara kebetulan dia berotak cerdas. Bahkan kecerdasannya sangat luar biasa.

Kalau mempelajari jurus-jurus dari si nenek adalah dalam waktu setengah bulan, tapi ketiga jurus si Cerpelai Sakti cuma dikuasai dalam waktu kurang dari satu bulan. Hal itu membuat si kakek jadi terkejut juga terkagum-kagum.

"Luar biasa... anak siapakah kau sebenarnya, bocah bagus?" tanya laki-laki tua itu.

"Ayahku bernama Purbayana. Dalam dunia persilatan ayah dijuluki si Pendekar Sastrawan!" sahut Kuntari.

Si Cerpelai Sakti manggut-manggut, seraya menghela napas. "Uaih, tak kusangka dunia ini penuh kemelut! Aku sendiri telah terlibat dalam kemelut. Setelah kau berhasil mempelajari ketiga jurusku, aku segera akan menghadapi satu pertarungan maut yang agaknya sukar terhindarkan!" kata si kakek dengan tersenyum pedih.

"Kemelut dalam hidup adalah lumrah. Tapi kalau sampai harus terjadi pertumpahan darah memang sangat disesalkan. Apakah tak ada jalan lain selain itu? Kukira sebaiknya kakek mencari jalan damai...!" ujar Kuntari. Entah mengapa dalam hatinya timbul rasa kasihan pada laki-laki tua yang tak mau disebut guru ini.

Baru saja suasana menjadi hening beberapa saat tiba-tiba telah dipecahkan oleh suara batuk-batuk dikejauhan. Ketika Kuntari menoleh, tampak si nenek Musang Betina Mata Empat telah muncul, setelah hampir setengah bulan menghilang dari tempat itu.

"Hihihih... hih... apa katamu, muridku? Kudengar kau menyebut-nyebut jalan damai? Hm, jalan damai itu cuma bisa ditempuh dengan pertarungan. Di akhir pertarungan itulah terletak kedamaian! Dan kedamaian itu lebih langgeng, bukan? Hihih...hih..."

"Ngaco!" desis Kuntari dalam hati. Tapi dia tak bisa bicara apa-apa. Menasihati dua orang kakek dan nenek yang punya pengalaman dan pengetahuan 100 kali lipat dari dirinya yang masih muda belia itu sama dengan segentong air yang dimasukkan ke dalam danau. Ada baiknya dia tak ikut campur. Oleh sebab itu cepat-cepat Kuntari menjura pada gurunya ini.

"Maafkan aku, guru.... aku telah keterlepasan bicara. Sebenarnya aku tak boleh ikut campur urusan kalian orang-orang tua!"

"Ya, ya, sebaiknya memang begitu! Kau memang sudah waktunya angkat kaki dari pulau Bali ini! Dan hari ini adalah hari keberangkatanmu! Kau telah berhasil mendapatkan jurus-jurus ilmu kepandaian kami berdua! Pesanku jangan kau membuat malu nama kami kelak...! Nah aku telah siapkan perahu buatmu dipantai. Lebih cepat kau pergi lebih baik!" berkata si nenek dengan suara tandas.

Sejenak Kuntari menatap wanita tua itu dengan mata mendelong. Sepasang mata yang bening itu mendadak berkaca-kaca. Lalu gadis ini beralih memandang pada si Cerpelai Sakti. Kakek ini cuma bisa tersenyum trenyuh. Dia mengangguk dan berkata lirih.

"Pergilah, itu lebih baik dari pada kau berlama-lama disini...!"

Kuntari mengangguk dengan hati terharu. Tiba-tiba dia menjura di depan kakek itu. "Terima kasih atas semua kebaikan yang telah kau berikan padaku, kakek Cerpelai Sakti".

Lalu dia bangkit berdiri dan jatuhkan diri berlutut di depan si nenek Musang Betina Mata Empat. "Guru...! Semua jasamu akan kuingat selama hayat masih dikandung badan. Terima kasih atas segala kebaikanmu, guru...! Semoga Tuhan akan membalas budi baik kalian! Selamat tinggal, guru..."

Setelah bangkit berdiri dan menatap si kakek Cerpelai sekali lagi, Kuntari balikkan tubuh dan berlari cepat menuju pantai. Benar Saja, sebuah sampan kecil memang telah disediakan untuknya. Itulah sampan yang dipergunakan kedua kakek dan nenek tersebut untuk menyeberang kepesisir pulau Bali itu. Tak ayal dia cepat melompat mendekati.

Setelah memeriksa dayung dan alat-alat dalam perahu, Kuntari cepat mendorongnya dari atas pasir. Tak lama dengan mempergunakan dayungnya untuk mengayuh, sampan kecil itu pun meluncur dipermukaan laut. Makin lama semakin mengecil dan semakin jauh. Akhirnya lenyap...

Suara burung camar dan deburan ombak laut yang memecah dipantai seperti turut mengantar kepergian gadis itu, diikuti pandangan mata kedua kakek dan nenek ini yang siap untuk bertarung mempertaruhkan nyawa.

"CERPELAI TUA! Sudahkah kau siapkan dirimu untuk menghadapi jurus-jurus ilmu pukulanku?" suara si Musang Betina Mata Empat membias udara.

Laki-laki tua dihadapannya tersenyum menjawab. "Aku sudah siap sejak tadi, Soramah...!"

"Heh, kuharap kau tak menyebutku dengan nama itu lagi, Cerpelai tua, seperti juga aku takkan menyebut namamu sebenarnya!"

"Kau masih seperti dulu... aneh, lucu, tegas dan masih bisa kukatakan cantik!" berkata si kakek dengan menggeleng-gelengkan kepala. Matanya memandang perempuan itu dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Edan, geblek! Kambingpun akan tertawa dengar pujianmu terhadap seorang nenek peot macam aku! Sudahlah, Cerpelai tua! Bersiaplah untuk menghadapi seranganku!" kata-kata si nenek diakhiri dengan bentakan santar. Sejak tadi dia telah menyiapkan tenaga untuk menempur laki-laki tua. Kinilah saatnya.

Ternyata nenek inilah yang mengawali serangan. Mendadak tubuhnya melesat. Sepasang lengannya terkembang. Inilah jurus Menangkap Matahari Menggilas Badai. Melihat sambaran sepasang lengan yang membaurkan hawa panas dan dingin itu, tahulah si Cerpelai Sakti kalau si nenek menggunakan jurus tersebut.

"Serangan yang hebat!" puji si kakek. Mulutnya memuji, tapi lengannya bergerak menangkis serangan itu.

PLAKK!

Akibat benturan kedua pasang lengan itu, si Cerpelai Sakti terhuyung lima langkah dan si nenek cuma tiga langkah. Jelaslah dalam segebrakan barusan kalau tenaga dalam si Musang Betina lebih tinggi setingkat dari si Cerpelai Sakti.

Akan tetapi hal itu tak membuat si nenek bergirang, karena justru dia merasa laki-laki tua itu sengaja mengalah. Hal ini menimbulkan kegusaran hatinya, "Cerpelai tua, dulu kau telah mengecewakan aku... apakah kini kau mau membuat aku kecewa untuk kedua kalinya? Jangan sungkan-sungkan! Aku tak ingin ada belas kasihan dalam pertarungan ini!" bentak si nenek.

"Baik, kau bersiaplah!" teriak si Cerpelai Sakti. Mendadak dia gerakkan kedua lengannya memutar membuat lingkaran besar di depan tubuhnya. Terdengar suara tulang-tulangnya yang berkriutan. Inilah pertanda dia tengah menghimpun tenaga dalam.

Melihat demikian, si nenekpun segera mempersiapkan diri mengaliri kedua lengan dan sepasang kakinya dengan tenaga dalam. Hawa panas dan dingin segera membaur disekitar tempat itu.

"Hadapilah jurus Sepasang Cerpelai Menyerbu Langit!" bentak si kakek. Teriakan ini dibarengi dengan berkelebatnya tubuh si kakek ke udara setinggi enam tombak diatas kepala wanita kosen itu.

Mendadak tubuh laki-laki tokoh tua itu lenyap terbungkus jubahnya yang memusing di udara. Dan tiba-tiba menyambar ke arah si nenek yang agak tertegun melihat jurus yang aneh itu. Nenek ini cukup terkejut. Akan tetapi dia telah siap untuk mempergunakan tangan dan kakinya menghantam ke arah si Cerpelai Sakti.

WHUUK! Whuuk! Whuuk!

Tiga serangan beruntun menyambar deras bagaikan hujan air bah. Dan tak dapat dihindari lagi oleh lawannya. Si Cerpelai Sakti terlempar belasan tombak bergulingan. Tubuhnya baru berhenti berguling ketika tercebur ke dalam laut.

Sesaat si Musang Betina ini terperangah. Tak menyangka kalau serangannya akan menemui sasaran. Jurus terakhir yang dipergunakan adalah jurus Menendang Iblis. Sedangkan kedua pukulan lengannya adalah salah satu dari jurus Tanpa Nama.

"Kakang Jumantra...! Oh..." sentaknya lirih secara tak sadar. Setitik air bening menyembul disudut matanya. Dan detik itu juga dia telah melompat untuk memburu ke arah sang korban. Jubah si Cerpelai Sakti tampak terapung-apung dipermukaan laut timbul tenggelam. Hampir separuh jubah tampak berserpihan hangus.

Sepasang mata wanita tua ini memandang tak berkedip. Tiba-tiba wajahnya berubah. Dan detik itu juga tubuhnya meletik ke udara. Terdengar suara bentakan si nenek membelah udara. Dan ketika sepasang lengannya mengibas. Menyambarlah dua gelombang angin dahsyat ke arah batu karang.

BHLARRR!

Batu karang itu hancur menjadi serpihan kecil-kecil yang menebar di udara. Tapi sebuah bayangan sosok tubuh telah melesat terlebih dulu sebelum serangan menyambar batu karang itu.

Ternyata itulah sosok tubuh si Cerpelai Sakti. Barulah si nenek sadar akan kehebatan ilmu Sepasang Cerpelai Menyerbu langit yang dipergunakan laki-laki tua itu. Ternyata yang diserang si nenek adalah jubah yang terbuat dari kulit-kulit Cerpelai itu. Sedangkan tubuhnya sendiri telah meloloskan diri, seperti juga seekor kelomang yang meninggalkan rumah siputnya.

"Hahahe hehehe... tak percuma kau dijuluki si Musang Betina Mata Empat, nenek peot!" si Cerpelai Sakti tertawa tergelak-gelak.

"Huh, kau kira aku seorang anak kecil yang bisa ditipu oleh permainanmu?" mulutnya berkata demikian, tapi diam-diam hati si nenek terkejut. Nyaris saja dia terkecoh dan menyangka si Cerpelai Sakti telah tewas terkena serangan mautnya.

Akan tetapi wanita tua ini tak tahu kalau semua gerak-gerik dirinya tak luput dari pandangan mata si Cerpelai Sakti yang bersembunyi dibalik batu karang. Dia tahu kalau direlung hati perempuan itu masih bersemayam benih-benih cinta yang disembunyikan.

Bahkan setitik air bening dari sepasang mata Si nenek yang berkaca-kaca itu masih sempat terlihat. Walaupun dengan cepat wanita itu menyembunyikan dengan gumpalan rambut yang menutupi matanya.

Cerpelai Sakti gunakan lompatan ringan untuk mendekat. Akan tetapi satu bentakan keras yang diiringi sambaran pukulan dahsyat telah memaksa dia untuk kembali gunakan lompatan menghindar kalau tak mau tubuhnya remuk seperti batu karang tadi.

Kakek yang hanya memakai baju sutera tipis warna hitam ini berhasil menyelamatkan diri, dan hinggapkan kaki diatas batang nyiur yang doyong ke arah laut. Wajah si wanita tua kini berubah merah padam, karena serangannya luput. Kembali dia melompat maju.

Tampak wajahnya semakin kelam. Hawa pembunuhan semakin terasa. Dengan mendengus seperti melepas kedongkolan hatinya, si nenek mulai, menghimpun tenaga dalam lagi, pada sepasang lengan dan kaki.

"Hehe...hehe... jurus Menendang Iblis mu sangat luar biasa, Soramah...! Maafkan aku, karena aku menyebut nama itu. Apakah kau benar-benar mau membunuhku?" bertanya si Cerpelai Sakti.

Suaranya begitu trenyuh kedengaran ditelinga si wanita tua ini. Tiba-tiba hatinya tersentak ketika melihat jelas pada laki-laki tua itu, tampak darah mengalir dari sudut bibirnya. Seketika sadarlah dia kalau si Cerpelai tua telah terkena serangan ketika menangkis serangan jurus Menendang Iblis yang dilakukan beruntun dengan dua jurus pukulan maut.

Saat kejadian itu si Cerpelai telah menyerang terlebih dulu dengan menggunakan jurus Sepasang Cerpelai Menyerbu Langit. Pada pandangan mata, kelihatannya jurus si Cerpelai Sakti lebih unggul. Tapi kenyataannya walaupun si nenek Musang Betina itu terkecoh, ternyata serangan ketiga dari rentetan serangan si nenek, yaitu jurus Menendang Iblis telah berhasil mengenai sasaran. Walaupun tidak terlalu telak.

Kalau si Cerpelai Sakti tak melindungi tubuhnya dengan hawa sakti, tentu jiwanya telah melayang. Kesemuanya itu karena dia terlambat meloloskan baju kulit Cerpelainya.

"Aku memang mau..." membentak si nenek. Keangkuhan hatinya mendadak muncul. Akan tetapi kata-katanya tertahan karena....

LIMA

ENTAH DARI MANA DATANGNYA... tahu-tahu sesosok tubuh telah berada ditempat itu. Kemunculannya membuat si nenek Musang Betina agak terpaku. Dengan mata membelalak dia menatap ke arah orang itu.

Siapa adanya orang ini mereka tiada mengetahui. Si Cerpelai Sakti dengan memegangi dadanya yang terasa nyeri serta pernapasan agak sesak, meneliti perawakan orang ini dari wajah sampai ke kaki.

Keadaan orang ini memang agak lucu dan aneh. Dia muncul dari sebuah lubang diantara celah-celah karang di bawah kakinya, dimana air laut menembus sampai kelubang itu. Tentu saja keadaan tubuh basah kuyup. Karena munculnya secara aneh, tentu saja membuat kedua orang kakek dan nenek itu jadi terheran-heran.

"Eh, dimanakah ini? Dan siapakah kalian dua orang tua?" tanyanya. Ternyata dia seorang laki-laki yang masih berusia muda. Berambut lurus, berwajah gagah. Hidungnya agak besar dengan mata kemerah-merahan. Pemuda ini tak mengenakan baju. Hanya memakai celana pangsi warna hitam yang basah oleh air laut. Disela ikat pinggang kainnya terselip sebuah keris di sisi perut.

Siapakah dia adanya, tiada lain dari Jaka Kumbara alias Sucitro. Entah bagaimana asalnya hingga dia bisa tersembul keluar dari lubang disela karang itu, tepat dihadapan kedua orang kakek dan nenek yang tengah mempertaruhkan jiwanya.

"Hm, sebelum kami mengatakan siapa diri kami, sebutkan dulu siapa kau ini anak muda? Kau muncul dari dasar bumi seperti hantu! Sungguh membuat aku si tua bangka ini jadi terkejut!" berkata si nenek Musang Betina.

Pertanyaan si nenek membuat pemuda ini tertegun sejenak. Tapi segera perdengarkan suara tertawa tergelak-gelak. "Haha... aku memang manusia setengah hantu! Namaku Jaka Kumbara. Ketika aku menyelam ke dalam laut telah terbawa pusaran air yang mengantarkan aku ke dalam lubang di bawah kakiku ini. Nah, begitulah ceritanya. Kini katakan padaku apakah nama daratan ini? Dan siapakah kalian orang-orang tua? Apakah yang tengah kalian lakukan ditempat ini?"

Jawaban Jaka Kumbara membuat si Musang Betina mengerutkan keningnya. "Jaka Kumbara...?" desis si nenek pelahan.

"Hm, siapakah gurumu, anak muda?" tanya si nenek tanpa mengacuhkan pertanyaan orang.

Yang ditanya tertawa menyeringai. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku adalah manusia setengah hantu. Tentu saja guruku adalah hantu alias iblis!"

Bukan saja si Musang Betina Mata Empat yang terheran-heran, akan tetapi juga si Cerpelai Sakti ternganga mendengar jawaban pemuda itu. Akan tetapi wanita tua itu telah membentak marah.

"Bocah sinting, di depan si Musang Betina Mata Empat dan si Cerpelai Sakti kau berani bicara main-main?"

Tak dinyana hentakan wanita tua itu justru awal dari bencana maut. Karena seketika wajah Jaka Kumbara berubah mengelam. Senyumnya lenyap bagai tersapu angin. Sepasang matanya menatap tajam si Musang Betina bagaikan hunjaman yang menusuk jantung.

Wanita tua ini tersentak. Hatinya terasa berdebar kencang. Tak terasa kakinya melangkah mundur setindak. Apa yang terjadi pada Jaka Kumbara gerangan? Ternyata di telinganya telah membisik suara yang membuat darahnya seketika mendidih.

"Jaka Kumbara, takkan ada seorangpun yang kau biarkan menghinamu, kau telah diremehkan! Dan itu adalah pantang bagimu!"

Sementara si Cerpelai Sakti seperti telah mendapat pirasat buruk. Dia melihat burung-burung bangau beterbangan seperti ketakutan. "Bencana apakah yang bakal terjadi?" sentaknya dalam hati.

Wajahnya mendadak berubah pucat. Rasa nyeri pada dadanya seperti lenyap karena terpana dengan keanehan disekitar tempat itu. Tiba-tiba terdengar bentakan Jaka Kumbara menggetarkan jantung.

"Nenek tua sombong! Jadi kau yang bergelar si Musang Betina Mata Empat, dan kawanmu itu si Cerpelai Sakti? Bagus... kiranya kalian adalah tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau yang punya nama besar! Akan kulihat apakah kau mampu mempertahankan nama besar kalian?"

Tentu saja kata-kata pemuda itu bagaikan petir yang menggelegar disiang bolong terdengar ditelinga si Musang Betina ini. Komendongkolan hatinya terhadap si Cerpelai Sakti segera beralih pada pemuda itu.

"Bocah setan! Walaupun kau muncul dari dasar bumi sekalipun aku si Musang Betina tak akan membiarkan nama besarku diinjak-injak oleh sebangsa cecurut air macam kau! Akan kubuat kau terkubur didasar lubang itu untuk selama-lamanya!"

Bentakan ini disusul oleh teriakan mengerung yang mencabik udara. Tubuh wanita itu melesat menerjang Jaka Kumbara. Dan dari sepasang lengannya menyambar dua gelombang angin panas. Akan tetapi saat itu Jaka Kumbara telah mencabut kerisnya yang terselip di sisi perut. Benda itu diacungkan ke atas.

BHLLLAASSSS!

Aneh, gelombang angin dahsyat berhawa panas itu seketika hilang lenyap bagai tersedot ke dalam benda pusaka pemuda itu. Si nenek terkejut, karena tiba-tiba rasakan tenaga dalamnya seperti terkuras lenyap. Dia terhuyung limbung dan jatuh menggelosoh diatas pasir. Akan tetapi cepat bangkit berdiri. Wajahnya berubah pucat pias. Jantungnya berdenyut keras. Dan dengan susah payah dia mencoba menghimpun kembali tenaga dalamnya.

Sementara matanya menatap keris ditangan pemuda itu. Benda sakti macam apakah itu? Sentaknya dalam hati. Akan tetapi keangkuhan hati wanita ini tak membuat dia ciut nyalinya. Dalam waktu sepeminuman teh dia berhasil menghimpun tenaga dalamnya.

"Bocah setan! Siapakah kau sebenarnya?" bentak si Musang Betina. Dia merasa penasaran untuk mengetahui siapa lawannya yang sesungguhnya.

"Heh, sudah kukatakan, namaku Jaka Kumbara! Keris pusaka di tanganku ini telah keluar dari serangkanya, berarti telah tiba saatnya untuk menghirup darah! Kematianmu sudah diambang pintu, orang tua...!" sahut Jaka Kumbara dengan suara dingin.

Tiba-tiba si kakek Cerpelai Sakti melompat ke hadapan pemuda ini. "Anak muda! Kuharap kau bersabar dulu! Aku si Cerpelai Tua dan sahabatku si Musang Betina ini tak mempunyai silang sengketa padamu. Kalau kesalahan ada dipihak kami, sudilah kau memaafkan..." berkata laki-laki tua ini seraya menjura.

"Hm, kaupun harus mampus, aku mencium bahwa bajuku berada ditempat ini. Kalian pasti ada hubungannya dengan seorang gadis yang tertotok pingsan didalam sebuah perahu di tengah laut. Setidak-tidaknya pastilah kalian yang menolongnya!"

"Jadi...jadi kaulah manusia yang telah menculik gadis bernama Kuntari itu dan berniat memperkosanya?" sentak si Cerpelai Sakti hampir berbareng dengan si nenek Musang Betina Mata Empat. Wanita tua ini telah melompat kesamping si kakek Cerpelai.

"Benar! Nah, katakan dimana gadis itu sekarang?" Bertanya dingin Jaka Kumbara. Sepasang matanya bagai mata hantu menatap kedua kakek dan nenek itu. Kedua tokoh tua Rimba Hijau ini tak menjawab. Mereka saling menatap.

"Inilah saatnya kita bersatu....!" berdesis pelahan si Cerpelai Sakti.

Si nenek Musang Betina menatap pada laki-laki bekas kekasihnya. Bibirnya serasa kelu untuk menjawab. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum haru. Dia sadar bahwa manusia yang dihadapinya bukan lawan biasa.

"Ah, seandainya ada keris Kyai Jaran Goyang..." pikir Soramah.

Akan tetapi mereka tak dapat lama-lama terpaku, karena Jaka Kumbara telah membentak keras. "Tua bangka-tua bangka apakah telinga kalian tuli?" Bentakan itu disusul dengan sambaran angin yang menggidikkan ke arah mereka.

Detik itu juga keduanya telah melompat kekanan dan kekiri... Dan bagaikan telah berjanji terlebih dulu, mereka langsung menyerang pemuda itu. Si nenek menghantam dengan pukulan maut ke arah batok kepala lawan dari arah samping kiri, dan si kakek Cerpelai dari samping kanan. Dua jurus pukulan mengandung maut itu dilakukan secara serempak.

Tampaknya akan sukar dihindari oleh lawan yang bagaimana tinggi ilmunya sekalipun. Karena mereka melakukan dengan sangat cepat dan diluar dugaan. Memang... serangan mengenai sasaran, akan tetapi berbareng dengan tibanya kedua serangan itu, mendadak tubuh Jaka Kumbara lenyap dan berubah jadi gumpalan asap hitam.

Kedua kakek dan nenek ini terganga... Dan pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan parau merobek udara. Tahu-tahu si Cerpelai Sakti menjerit panjang. Kedua lengannya memegangi lehernya yang mengucurkan darah. Dia terhuyung-huyung menahan tubuhnya. Lalu terjungkal roboh dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Namun tak lama tubuh laki-laki itupun diam tak bergeming lagi.

Membeliak mata si Musang Betina. Darahnya tersirap. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Seolah tak percaya dia melihat kejadian itu. Tak terasa kakinya melangkah mundur beberapa tindak. Tahulah si Musang Betina Mata Empat kalau dia benar-benar berhadapan dengan manusia setengah hantu atau iblis. Tiba-tiba dia menggembor keras seraya mencabut senjata tusuk konde Emas yang terselip dirambutnya.

"Manusia iblis pengecut... tampakkan dirimu, aku akan adu jiwa denganmu!" Wajah si nenek Musang Betina tampak beringas. Sepasang matanya bercucuran air mata. Bagaikan kalap dia melompat kesana-kemari mencari manusia yang telah membunuh si Cerpelai Sakti.

"Kakang Jumantra...!" teriaknya terisak, seraya melompat ke arah sosok tubuh laki-laki tua yang terkapar tak bergeming lagi itu.

Akan tetapi didetik itulah terdengar suara jeritan si nenek Musang Betina Mata Empat. Tubuhnya terhuyung-huyung. Tahu-tahu darah segar menyembur dari pangkal lehernya. Robohlah wanita malang yang berilmu tinggi ini tanpa dapat melakukan perlawanan sama sekali.

Di saat sekarat lengannya berhasil mencekal pergelangan tangan si Cerpelai Sakti. Digenggamnya lengan sang kekasih erat-erat, dan nyawanya pun melayang...

Jaka Kumbara masukkan keris Kutukan Iblis ke dalam serangkanya yang terselip di sisi perut. Sepa-sang mata iblisnya menatap kedua sosok tubuh kor-ban ketelengasannya itu. Lalu melangkah mendekati. Sesuatu yang bersinar kekuningan menarik perhatiannya, tergeletak tak jauh dari wanita tua itu.

Ternyata tusuk konde Emas si Musang Betina yang belum sempat dipergunakan. Jaka Kumbara bungkukkan tubuh dan memungut benda itu. Setelah diamati sejenak, lalu dimasukkan kesela ikat pinggang kainnya. Kemudian melangkah pelahan menuju pondok di sisi pantai itu dengan langkah kaku....

ENAM

Sebuah perahu besar berlayar gagah membelah ombak mengarungi perairan selat Bali. Perahu itu berbendera kuning dengan gambar seekor burung walet. Seorang laki-laki yang berdiri tegak digeladak paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh kekar. Bercambang bauk lebat. Pada bajunya yang terbelah ba-gian tengahnya nampak bulu-bulu dada yang lebat.

Bagi orang-orang perairan disekitar selat, dengan hanya melihat benderanya telah dapat mengetahui siapa pemilik perahu besar itu. Dialah si Setan Laut, Walet Perkasa. Ternyata laki-laki kekar diatas geladak itulah orangnya. Enam orang anak buahnya adalah termasuk para murid juga anggota si Setan Laut, Walet Perkasa. Perahu layar besar ini juga memiliki belasan orang awak yang berada didaratan.

Sebagai kapal pengangkut barang, nama walet Perkasa sudah terkenal sebagai kapal yang dapat diandalkan keamanannya. Karena para anak buah si Walet Perkasa rata-rata orang yang berilmu tinggi.

Sementara itu sebuah perahu sampan kecil yang meluncur pesat di tengah laut telah menarik perhatian laki-laki kekar ini. Teropongnya segera dipergunakan untuk mengetahui lebih jelas.

"Hm, sampan kecil ditumpangi seorang gadis...? Aneh! Baru hari ini aku melihat ada seorang gadis sendirian berani mengarungi perairan selat Bali yang ombaknya cukup ganas!" desisnya terheran-heran. Dua orang anak buahnya segera melompat menghampiri ketika dia memberi isyarat.

"Arahkan perahu ke arah sampan kecil itu! Ingin kulihat lebih dekat, siapa gadis yang berani berlayar seorang diri itu!" perintah si Walet Perkasa, seraya menunjuk ke laut lepas dihadapannya.

"Siap, ketua!" sahut kedua laki-laki itu serempak.

Tak lama tampak perahu layar besar itu beralih arah, dan meluncur cepat membelah permukaan air menyusul perahu kecil dihadapannya. Sementara an-gin laut bertiup cukup kencang membantu menghem-bus layar perahu besar itu. Hingga bagaikan seekor naga air yang meluncur pesat membelah gelombang...

Siapa, adanya gadis itu takkan sukar diterka. Karena tiada lain dari Kuntari. Gadis ini dengan keberanian yang luar biasa mengayuh perahu kecilnya menempuh gelombang untuk menyeberangi selat. Walaupun kekuatan tenaga dalamnya tak sehebat si nenek Musang Betina, tapi dia dapat membuat sampannya meluncur cukup pesat membelah ombak.

Sementara itu perahu layar besar dibelakangnya hampir mendekati dan berhasil menyusulnya dalam waktu singkat. Ternyata Kuntari telah mengetahui kalau dibelakangnya sebuah perahu layar meluncur pesat ke arah perahunya.

"Heh, mau apa perahu layar besar itu menyusulku?" sentak si gadis dalam hati. Terasa ombak tiba-tiba jadi bergelombang besar-besar ketika perahu dibelakangnya tinggal kira-kira 10 tombak.

Ternyata perahu besar itu terus merapat di sisi perahunya. Hati Kuntari semakin resah. Tapi tekadnya telah membaja. Bencana apapun akan dihadapinya demi menjaga kehormatan dirinya. Saat itulah terdengar suara teriakan dari arah perahu tersebut.

"Heeeiii, nona cantik! Apakah tak sebaiknya kau naik keperahuku? Jangan khawatir, aku si Walet Perkasa bersedia mengantar ketempat tujuanmu kalau kau sudi berkenalan denganku!"

Ternyata si Walet Perkasa telah melihat bahwa gadis pemilik sampan kecil itu ternyata seorang gadis manis. Keberanian gadis yang mengagumkan itu membuat dia berhasrat untuk mengenalnya.

Kuntari menoleh dan melihat siapa yang berteriak itu. Dia tercenung beberapa saat, tanpa menjawab. Akan tetapi hatinya membathin. "Hm, aku tak tahu apakah aku bisa mempercayai mulut laki-laki itu? Tapi kalau cuma berkenalan saja aku tak perlu menolak. Bukankah lebih baik aku menumpang perahu besar? Siapa tahu mereka semua orang baik-baik. Apalagi tenangakupun sudah hampir terkuras habis..."

Saat itu Walet Perkasa telah mengulangi kata-katanya, dan mempersilahkan gadis itu pindah perahu.

"Baik, aku terima tawaranmu! Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas kesudian kalian mengantarkan aku!" teriak Kuntari.

Ternyata anak-anak buah Walet Perkasa telah mempersiapkan tali-tali untuk memudahkan sang dara cantik itu pindah ke perahu mereka. Akan tetapi sebelum anak-anak buah laki-laki itu melemparkan tambang-tambang ke perahu sampan itu, Kuntari telah gerakkan tubuhnya melesat terlebih dulu.

Satu lompatan salto ke udara membuat beberapa diantaranya berseru kaget dan kagum. Ringan sekali kaki si gadis ketika injakkan sepasang kakinya dilantai papan perahu, hanya mengeluarkan suara pelahan. Dalam sekejap saja dara cantik itu telah berada diatas perahu mereka.

"Hebat, hebat, hebat! Benar-benar mengagumkan... sungguh mengagumkan sekali!" puji Walet Perkasa dengan mata membelalak.

Segera saja tujuh pasang mata dari para awak kapal termasuk si setan laut Walet Perkasa menatap ke arah Kuntari.

"Kenalkan aku... Walet Perkasa si Setan Laut!" berkata laki-laki kekar bertampang gagah namun agak angker dengan jembrosnya yang lebat itu, seraya menjura.

"Hm, namaku... Kuntari..." kata gadis ini balas menjura. Akan tetapi sejak melompat ke perahu itu Kuntari telah melipat-gandakan kewaspadaan.

"Kemanakah tujuan anda, nona Kuntari?" tanya si pemimpin perahu layar besar itu.

"Aku akan kepantai pulau Jawa, terserah mendarat dimana saja...! Tapi benarkah kau akan mengantarkan aku?" sambung Kuntari. Matanya menatap laki-laki itu seperti ingin melihat lebih jelas apakah pada wajah laki-laki itu ada tanda-tanda yang tersembunyi dibalik keramahannya?

"Ah, dengan senang hati, nona Kuntari..." sahut Walet Perkasa dengan tersenyum. Lalu dia memberi tanda pada keenam anak buah untuk segera jalankan perahu. Tak lama perahu layar itu kembali mengarungi lautan selat dengan gagah, membelah gelombang.

TUJUH

Sementara itu disebuah daratan dekat pantai pulau Jawa tengah terjadi satu huru-hara. Sebuah rumah terbakar hebat oleh amukan api. Tampak orang-orang berlarian panik. Ada yang berteriak-teriak minta tolong sambil menjerit-jerit. Ada yang terpana dengan mata membelalak. Api yang tak diketahui entah datangnya dari mana itu tiba-tiba berkobar membakar sebuah rumah penduduk.

Seorang wanita tua menjerit-jerit menangis dengan air mata bercucuran dan wajah pucat. Lengannya menunjuk-nunjuk ke arah rumah yang terbakar dialah si pemilik rumah itu. "Anakku...! Tolong anakku ada didalam! Cepat tolong...! Mengapa kalian semua diam saja, anakku akan terbakar hangus. Dia tengah sakit! Tolooong...!"

Akan tetapi tak seorangpun yang berani merambas api untuk memasuki rumah itu. Api telah melahap hampir sebagian rumah, dan terlalu berbahaya untuk nekat menolong anak wanita itu.

Pada saat itu seorang pemuda kumal muncul dari sudut desa. Matanya menatap ke arah kebakaran. Ketika mendengar jeritan si wanita yang panik dan menangis berkepanjangan tanpa ada seorangpun yang memperdulikan, dia berkelebat ke arah wanita tua itu.

"Benarkah anakmu ada didalam rumah yang terbakar itu, ibu?" tanyanya.

Melihat kemunculan pemuda itu serta-merta wanita tua itu memeluk kakinya dan menyembah-nyembah dengan meratap tangis. "Benar, tuan.... tolonglah anakku tuan muda anak gadisku sedang sakit. Dia berada dikamarnya. Ketika kejadian kebakaran itu aku baru saja dari ladang. Tahu-tahu api telah besar. Dan... dan..."

Belum habis kata-kata wanita tua itu, si pemuda bertampang kumal itu telah berkelebat lenyap dari hadapan si wanita tua. Tentu saja membuat dia terlolong, karena menyangka orang tadi sebangsa dedemit. Dia tak mengetahui kalau pemuda tadi adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi.

Bagi pandangan mata orang yang berilmu, dapat melihat berkelebatnya sosok tubuh laki-laki itu dengan gerakan pesat menerobos kobaran api. Selang tak lama semua orang yang cuma jadi penonton menyaksikan kebakaran itu terperangah dengan belalakkan mata. Tampak oleh mereka wuwungan rumah roboh ambruk karena tiang-tiang kayunya telah terbakar.

Pada detik itulah si wanita tua pemilik rumah menjerit panjang dan roboh pingsan. Akan tetapi didetik yang sama tampak berkelebat sesosok bayangan tubuh melesat bagaikan bayangan melompat dari kobaran api....

Ternyata dialah si pemuda bertampang kumal itu. Dikedua lengannya tampak memondong sesosok tubuh wanita. Dalam waktu beberapa saat saja dia telah berada di depan wanita tua itu. Melihat wanita tua itu dalam keadaan terkapar pingsan, dia geleng-gelengkan kepala seraya menghela napas. Lalu cepat letakkan gadis dalam pondongannya didekat wanita tua itu.

Dalam waktu singkat belasan orang telah berlarian dan berkerumun disekitar pemuda itu. Mereka ternganga memandang si penolong yang luar biasa itu seolah tak percaya. Gadis itu dalam keadaan tak sadarkan diri. Ujung pakaiannya tampak hangus bekas terbakar api. Pemuda itu cepat bangkit berdiri, lalu memandang berkeliling.

"Tolong kalian rawat ibu dan anak ini..." kata si pemuda kumal.

Beberapa orang cepat mengangguk. "Baik, den... terima kasih atas pertolongan anda...! Bolehkah kami mengetahui siapa gerangan Raden..?"

Akan tetapi pertanyaan laki-laki itu belum lagi mendapat jawaban, yang ditanya telah lenyap dari pandangan mata mereka. Hanya nampak terasa berkelebatnya angin halus menyambar hidung, tahu-tahu pemuda itu telah lenyap...

"Oh...apakah dia itu sebangsa manusia atau... peri? Begitu cepat dia lenyap? Aneh...!?" sentak salah seorang dengan membelalakan mata lebar-lebar.

"Ssst! Sudahlah... jangan sembarangan bicara! Cepat bawa mereka kerumahku! Sebagian mengawasi rumah-rumah yang lain, Jangan sampai api menjalar dan memusnahkan desa kita!" kata seorang laki-laki tua yang telah maklum siapa adanya pemuda penolong itu.

Tak lama kedua ibu dan anak itu telah dipondong untuk dibawa ketempat yang aman dan layak, agar mendapat perawatan. Masih terdengar suara-suara pertanyaan dari mereka yang penasaran.

"Kukira pemuda itu orang biasa...! Tapi dia memiliki ilmu tinggi, tidak seperti kita...!"

"Benar, akupun yakin begitu. Dugaanku dia adalah seorang pendekar gagah yang secara kebetulan lewat didesa kita..."

Yang lainnya manggut-manggut. "Untung ada pendekar itu. Kalau tidak kita akan kehilangan seorang warga desa..."

Suara-suara celoteh mereka semakin lenyap ketika para penduduk tersebut semakin menjauh dari tempat terjadinya kebakaran itu. Sementara rumah yang terbakar itu telah ludes dimakan api...

DELAPAN

Siapakah adanya pendekar muda bertampang kumal mirip orang bangun tidur itu yang menghilang setelah memberikan pertolongan? Dia tak lain dari si Dewa Linglung, alias Nanjar.

Dalam pelacakannya mencari jejak Jaka Kumbara selama hampir dua bulan, telah membawa langkah kakinya kewilayah tersebut. Akan tetapi sampai selama itu dia belum menemukan jejak atau tanda-tanda dimana adanya pemuda pemilik keris Kutukan Iblis itu...

Nanjar melompat turun dari sebatang pohon. Tampak matanya jelalatan memperhatikan sekitarnya. Telinganya dipertajam untuk mendengar suara yang mencurigakan. Ketika tadi dia melompat pergi setelah menolong seorang gadis yang nyaris terbakar. Nanjar melihat berkelebatnya sebuah bayangan ke arah hutan.

Sebagai seorang pendekar yang sudah banyak pengalaman, Nanjar cukup curiga dengan gerakan sosok tubuh itu. Tak ayal dia segera mengejar. Namun didalam hutan yang rimbun itu dia kehilangan jejak...

"Heh, kemana minggatnya orang itu?" desis si Dewa Linglung. Akan tetapi Nanjar tiba-tiba tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Ada orang yang sengaja mengajak aku main kucing-kucingan rupanya. Entah dia bermaksud baik atau jahat? Tapi bagiku tak soal! Akan kulihat, apakah yang diperbuat orang itu selanjutnya kalau aku tak memperdulikannya?"

Dibawah pohon itu sangat teduh, karena pohon besar itu berdaun rindang. Nanjar bersihkan rumput di bawah pohon itu, lalu jatuhkan tubuhnya ke atas rumput. Duduk di bawah pohon rindang ditiup angin sejuk sepoi-sepoi membuat mata Nanjar jadi mengantuk. Setelah beberapa kali menguap, akhirnya si Dewa Linglung membaringkan tubuhnya. Dan selang tak lama telah terdengar dengkurnya menggeros.

Tak jauh dari tempat itu dibalik semak belukar, sepasang mata jeli berbulu lentik memperhatikannya. Siapa adanya orang ini tak lain dari seorang dara jelita berbaju hijau. Agaknya karena warna bajunya inilah yang membuat Nanjar kehilangan jejak. Karena sukar membedakan antara warna baju dan dedaunan.

Melihat Nanjar tertidur menggeros di bawah pohon itu tanpa mencari jejak dirinya, sejenak dia tertegun. Agak lama dia menunggu. Bahkan sampai kesal hatinya karena Nanjar tak juga kunjung bangun. Akhirnya pelahan-lahan dia keluar dari tempat persembunyiannya.

Ternyata dia seorang gadis yang ditaksir baru berusia sekitar enam belas tahun. Raut wajahnya bulat sirih. Bermata jeli dengan bulu-bulu mata yang lentik. Hidungnya mancung dan bibir yang agak tebal me-rekah. Sangat serasi dan sukar untuk mengatakan bahwa dia bukan seorang dara yang cantik.

Dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara, dia terus merayap mendekati. Seekor nyamuk yang mendarat dipipi Nanjar telah mengusik tidurnya sang Dewa Linglung ini. Hingga lengannya bergerak menepuk nyamuk nakal itu.

"Kurang ajar! Berani kau menggangguku? Bah, kuhajar kau!" bentak Nanjar. Dan... Plok! Akan tetapi sang nyamuk cepat melesat terbang. Hingga tangan Nanjar hanya menepuk pipinya sendiri.

Bentakan itu telah mengejutkan gadis ini. Nyaris dia melompat dari tempat sembunyinya, karena dia menyangka Nanjar telah mengetahui kehadirannya. Tapi dia jadi tersenyum menahan geli. Kiranya hanya seekor nyamuk yang telah mengganggu tidurnya. Tak lama sudah terdengar lagi dengkur si Dewa Linglung.

Entah beberapa saat gadis itu memperhatikan Nanjar. Dan entah berapa kali dia menghela napas pelahan. Kalau saja Nanjar dapat mendengar kata-kata dalam hati gadis ini, tentu dia akan tersenyum.

"Aku yakin.... pemuda gagah inilah jodohku! Haih, bagaimana caranya aku berkenalan dengan dia? Kalau tak gara-gara ada asap membumbung yang kulihat dari jauh, dan aku ingin tahu apa yang terjadi... tak nantinya aku bisa berjumpa dengan pemuda ini..."

Lagi-lagi dia menghela napas, dan tundukkan wajahnya ke tanah. Hatinya mendadak tergetar dan jantungnya berdebaran tak keruan rasa bila lama-lama menatap pemuda dihadapannya yang tertidur pulas. Akan tetapi ketika dia mengangkat kembali wajahnya, sepasang mata jeli dara ini jadi terbelalak lebar. Karena pemuda itu tahu-tahu telah lenyap!

"Hah? Kemana perginya dia?" desis si gadis seraya melompat keluar dari semak belukar tempat sembunyinya. Dara ini menoleh kesana-kemari, tapi tak ada tanda-tanda dimana berkelebatnya sosok bayangan pemuda yang dicarinya.

Pada saat itulah tiba-tiba sesosok tubuh melompat dari atas pohon besar diiringi suara tertawa gelak-gelak. "Haha.. ha., siapakah yang kau cari, nona?"

Ternyata Nanjar tak jauh-jauh menghilang. Dia cuma sembunyi diatas dahan pohon tadi. Melihat pemuda itu tiba-tiba muncul dihadapannya, seketika merahlah wajahnya. Apa yang akan dilakukannya? Pergi secepatnya dari tempat itu, atau... Dia tak sempat memikirkan lagi kecuali menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Aneh, tadi kau melarikan diri ketika kukejar. Tapi sekarang kau diam terpaku tak menjawab pertanyaan orang. Siapakah kau sebenarnya, nona? Dan apa yang kau inginkan dariku?" berkata Nanjar dengan menggaruk-garuk tengkuknya.

Pelahan sang dara ini mengangkat wajahnya. Sepasang matanya yang bulat itu kini menatap Nanjar. "Namaku... Gayatri! Bolehkah aku mengetahui namamu, sobat pendekar?" balik bertanya si gadis setelah memperkenalkan diri.

"Hm, namamu bagus, sebagus dan secantik orangnya. Tapi dari mana kau dapat mengatakan aku seorang pendekar? Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat ditempat ini..." sahut Nanjar.

"Kau terlalu merendah, sobat! Aku melihat sendiri ketika kau menolong seorang gadis yang nyaris terbakar ketika terjadi kebakaran didesa tadi..." tukas si gadis.

"Hm, begitukah? Ya, ya, tak apalah kau menyebutku demikian. Namaku, Nanjar. Memang aku dapat dibilang orang dari golongan kaum persilatan. Kaum Rimba Hijau menjuluki aku si Dewa Linglung!" sahut Nanjar setelah menghela napas.

"Julukan yang aneh, lucu, tapi apakah kau juga seorang yang suka linglung?"

"Kadang-kadang..." sahut Nanjar seenaknya. Diam-diam dia membathin dalam hati. "Gadis ini tampaknya bicara wajar saja. Tak ada tanda-tanda dia berniat tidak baik. Tapi jelas dia bukan gadis sembarangan. Setidak-tidaknya dia murid seorang tokoh silat yang punya nama besar didunia persilatan. Entah siapa gurunya..."

Si gadis tersenyum. Lagi-lagi dia menundukkan wajah. Nanjar kembali bertanya. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa maksudmu sebenarnya? Mengapa tadi berlari ketika aku mengejar?"

"Sebenarnya aku... aku hanya mau berkenalan denganmu. Kukira kau akan mengejar terus. Aku memang mau mengajak kau ketempat tinggalku..." sahut si gadis bernama Gayatri itu.

"Aneh! Apakah ketika terjadi kebakaran didesa, tadi, kau telah berada ditempat itu?"

"Aku baru saja tiba. Asap tebal dari tempat itu terlihat olehku dari jauh, dan aku bergegas untuk melihatnya. Ketika kau mendekati seorang ibu tua yang menangis dan kau mendengarkan keterangannya, aku berada tak jauh dari tempat itu. Tahu-tahu kau telah melompat cepat ke arah rumah yang terbakar, dan berhasil menyelamatkan jiwa anak gadis ibu tua itu.

"Ketika kau pergi sebelum mereka sempat menanyakan dirimu, aku diam-diam membuntutimu. Aneh, aku sendiripun tak tahu, mengapa aku tiba-tiba ingin berkenalan dengan kau. Maka kucari akal agar kau mengejarku. Aku sengaja melintas didepanmu. Benar saja, kaupun mengejar aku.

"Tapi... kau memang aneh. Mendadak kau berhenti memburu aku, dan tertidur pulas di bawah pohon. Rupanya kau... kau sengaja menjebakku agar aku keluar dari tempat persembunyian..." tutur Gayatri dengan tersipu.

Nanjar tertawa geli. Tapi dalam hati diam-diam dia membathin. "Aneh, gadis ini baru berkenalan sudah bicara panjang lebar seperti orang yang sudah lama kenal saja, dan tak sungkan-sungkan bicara. Aku jadi ingin tahu siapa gurunya?"

"Kukira kau tak keberatan bukan untuk singgah ketempatku, sobat Dewa Linglung? Aku ingin memperkenalkan kau pada guruku...!"

"Bagus, aku memang ingin tahu siapa guru gadis cantik seperti kau yang pandai bicara, tapi juga berilmu tinggi. Apakah gurumu perempuan atau laki-laki?" tanya Nanjar.

"Kau lihat saja nanti!" sahut Gayatri, seraya balikkan tubuh dan berkelebat dari tempat itu.

Tak ayal Nanjar segera mengikuti gadis itu. Dalam hati dia membathin lagi. "Walaupun kelihatannya gadis itu berniat baik, tapi aku harus hati-hati karena siapa tahu dia bermaksud menjebakku!"

SEMBILAN

Sementara itu disebuah pantai pesisir pulau Jawa sebelah tenggara sebuah perahu besar berbendera kuning dengan gambar burung Walet membuang sauh. Sebuah perahu kecil diturunkan. Tampak seorang gadis berbaju putih turun ke dalam perahu itu.

Sementara diatas geladak seorang laki-laki jembros berdiri memandang kebawah, ke arah sang gadis. Ternyata dialah si Setan Laut, Walet Perkasa. Saat itu salah seorang dari anak buahnya tiba-tiba mendekati.

"Kakang Walet Perkasa! Akupun akan turun disini saja..." kata laki-laki berperawakan sedang berkulit putih itu.

Sejenak Walet Perkasa menatap laki-laki itu. "I Made Galung! Apakah kau tak jadi ke Madura? Aku baru bisa mengantarmu sekitar satu pekan lagi kalau tak ada halangan, karena aku harus menyelesaikan urusanku. Karena mengantar gadis itu, mungkin tertunda dua atau tertunda dua-tiga hari" kata Walet Perkasa.

"Itulah sebabnya, kakang! Sebenarnya bukan aku tak mau membantumu dikapalmu, tapi... entah mengapa tiba-tiba aku mengurungkan niat ku ke Madura" sahut laki-laki itu.

Walet Perkasa tiba-tiba tersenyum. "Kau tertarik pada gadis itu?" tanyanya berbisik. "Boleh juga kau berkenalan dengannya. Cukup cantik untuk pengganti istrimu...!" bisik laki-laki jembros ini.

"Ah, kakang, aku belum memikirkan itu!" laki-laki ini tersenyum menggeleng.

"Tapi tak ada salahnya kalau kau mengantarkan dia ketempat tujuannya."

"Ya, memang tak ada salahnya..."

"Kalau begitu, baiklah... aku tak dapat menghalangi kemauanmu. Semoga kau dapat menempuh jalan hidupmu dengan lurus!" kata Walet Perkasa seraya menepuk-nepuk pundak laki-laki itu.

Keduanya segera turun ke dalam perahu kecil. Gadis itu memang Kuntari. Dia agak mengkerutkan kening, karena salah seorang anak buah Walet Perkasa turut serta. Ketika perahu kecil itu mulai bergerak meluncur menuju kedaratan, Walet Perkasa berkata.

"Adik Kuntari.... sahabatku ini ingin turun pula di pantai ini. Dia adalah I Made Galung. Aku lupa memperkenalkan padamu. Dia akan menemanimu dalam perjalanan. Mungkin akan mengantar sampai ke tempat tujuanmu..."

Hati Kuntari agak tersentak mendengar nama itu. Karena si nenek Musang Betina Mata Empat pernah menyebut-nyebut nama itu. Akan tetapi dia berusaha menutupi keterkejutannya.

"Oh, kebetulan sekali!" sahut Kuntari dengan tersenyum cerah. "Aku sangat berterima kasih sekali kalau ada yang mau mengantar diriku..." sahut Kuntari tersenyum cerah seraya manggutkan kepala pada I Made Galung.

Laki-laki ini balas menjura, seraya berkata. "Kalau nona tak keberatan..."

"Ah, tentu tidak! Bukankah tadi adik Kuntari telah mengatakan sangat berterima kasih kalau ada yang mau mengantar dan menemaninya dalam perja-lanan. Bukankah begitu, adik Kuntari?" Yang menjawab terlebih dulu adalah si Walet Perkasa.

"Benar, apa yang dikatakan kakak Walet Perkasa!" kata Kuntari dengan tersenyum dan manggutkan kepala. Tak lama perahu kecil itupun menggelosor ditepian pantai berpasir. Kuntari melompat kedarat. Diikuti I Made Galung.

"Nah, selamat jalan dan selamat tinggal adik Kuntari dan kau I Made Galung. Semoga kalian dapat bersahabat dengan akrab". kata Walet Perkasa.

"Terima kasih, kakak Walet Perkasa... kau sungguh sangat baik hati. Entah bagaimana aku harus membalas budimu...!"

Tapi Walet Perkasa cuma lambaikan tangannya dengan tersenyum, lalu cepat mendorong perahu den-gan dayungnya. Dan... sesaat kemudian perahu kecil itu dengan cepat kembali ke arah perahu besar itu. Beberapa saat kemudian tampak perahu layar berbendera kuning dengan gambar burung Walet itupun kembali bergerak meluncur meninggalkan pantai untuk mengarungi lautan.

Keduanya melambai-lambaikan tangan mengiringi kepergian perahu besar itu dengan pandangan mata. Semakin lama semakin jauh dan semakin mengecil. Barulah Kuntari tersadar ketika mendengar sua-ra I Made Galung.

"Kemana tujuanmu, nona Kuntari?"

"Aku... oh, aku sendiri belum menentukan kemana tujuanku. Tapi... tapi baiknya aku menemui seorang sahabat baik guruku. Apakah kau mengetahui arah kemanakah yang menuju kegunung Pendil?" Tanya Kuntari setelah berpikir sejurus.

"Gunung Pendil?" I Made Galung naikkan alis-nya. "Ah, kebetulan sekali! Akupun baru ingat kalau aku juga punya seorang ayah angkat dilereng gunung itu. Dia bernama Ki Lesat! Kalau kesana tujuanmu, tentu tak ada kesukaran bagiku untuk mengantarmu...!" sahut I Made Galung dengan wajah cerah.

"Hebat, serba kebetulan. Mari kita berangkat!" Kuntari hampir berjingkrak karena girangnya. Tentu saja tanpa berayal Kuntari segera mengajak I Made Galung untuk segera mulai melakukan perjalanan.

Dalam waktu singkat keduanya menjadi akrab. Dan dalam perjalanan itu tentu saja keduanya menuturkan masing-masing pengalaman serta asal-usul diri mereka. Kuntari seorang gadis yang masih hijau dalam Rimba Persilatan akhirnya telah bertambah pengalaman. Lagi-lagi sangat kebetulan! Karena I Made Galung adalah anak laki-laki si Musang Betina Mata Empat yang telah menjadi gurunya, walau hanya waktu singkat.

SEPULUH

Dalam perjalanan ke gunung Pendil, I Made Galung menceritakan riwayat hidupnya yang didengarkan Kuntari dengan penuh perhatian. "Jadi yang merawat kau adalah Ki Lesat?" tanya Kuntari.

"Benar! Selain sebagai ayah angkat, juga merangkap sebagai guruku. Aku juga punya seorang adik seperguruan. Dia seorang gadis seusiamu..." kata I Made Galung.

"Oh... aku bisa berkenalan dengannya nanti!" ujar Kuntari girang.

I Made Galung mengangguk. "Tentu, Kuntari. Aku akan memperkenalkannya padamu. Dia tentu senang sekali punya sahabat selincah kau!"

I Made Galung memang telah menyebut nama gadis itu demikian, dan menghilangkan sebutan nona atas permintaan Kuntari. "Kau beruntung mendapat ilmu dari ibuku. Aku anaknya sendiri tak satu juruspun ilmu yang diwariskannya. Tapi aku tak kecewa. Ibuku banyak menderita entah karena apa. Dia sering pergi bertahun-tahun dan jarang sekali menemuiku sampai aku dewasa!" kata I Made Galung.

"Oh...ya, boleh aku mengetahui, siapakah Ketut Malini itu? Benarkah dia istrimu?" tanya Kuntari tiba-tiba.

"Hm, agaknya ibuku telah menceritakan padamu. Sebenarnya Ketut Malini adalah adikku sendiri lain ayah! Ibuku sengaja membuat sandiwara seolah-olah aku telah kawin dengan gadis itu. Bahkan semua orang diselat Bali tak mengetahui urusan yang sebenarnya termasuk sahabatku Walet Perkasa. Karena aku dilarang membuka rahasia itu. Tujuan ibuku adalah agar aku dapat memiliki keris Kyai Jaran Goyang milik pamanku si Cerpelai Sakti!"

Kuntari manggut-manggut. "Lalu siapakah orang yang bernama Wayan Gde Nepsu, seorang dukun sakti dari Klungkung yang juga disebut-sebut ibumu?" tanya Kuntari. Kuntari merasa keterangan si Musang Betina dengan anaknya ini berbeda. Manakah yang benar? I Made Galung tersenyum hambar.

"Wayan Gde Nepsu itulah suami Ketut Malini sebenarnya!" sahut I Made Galung pendek.

Kuntari tersentak. Jelaslah kini permainan sandiwara yang dibuat si Musang Betina Mata Empat itu memang bertujuan untuk merebut keris Kyai Jaran Goyang dari tangan si Cerpelai Sakti. Wanita yang pernah menjadi gurunya itu sengaja tak menceritakan yang sesungguhnya terhadap dia. Namun masih ada satu pertanyaan yang membuat dia penasaran, yaitu mengenai keris pusaka itu.

"Kata ibumu keris pusaka Kyai Jaran Goyang telah lenyap setelah mengobati penyakit Ketut Malini, lalu dimanakah keris itu kini"

"Keris itu ada padaku!" sahut I Made Galung seraya menyibakkan bajunya. "Inilah keris Kyai Jaran Goyang itu!"

"Oh... kalau begitu semua rencana ibumu sungguh sangat matang! Menurut ibumu kepergian si Cerpelai Sakti ke Klungkung adalah untuk memulangkan Ketut Malini kembali pada orang tuanya! Apakah bukan untuk menanyakan keris pusaka itu, dan menuntut tanggung jawab atas hilangnya keris pusaka miliknya?" tanya Malini penasaran.

Laki-laki ini menghela napas, dan tersenyum hambar. Tampak wajahnya diliputi kemurungan. "Semuanya sudah kuketahui! Ibuku memang punya kemelut dengan seseorang yang dicintainya, tapi juga dibencinya! Dialah ayahku! Ayah yang syah, walaupun pada dasarnya kedua orang tuaku belum terikat menjadi suami istri..."

Kemudian I Made Galung menceritakan peristiwa setelah kepergiannya menghilang dari wilayah pantai barat pulau Bali. Ternyata dia masih berada disekitar Kelungkung. Bahkan kemunculan si Cerpelai Sakti pun dia mengetahui, ketika menyatroni tempat kediaman Wayan Gde Nepsu. Laki-laki tua itu marah besar pada si Musang Betina yang telah menipu dirinya, setelah mendengar penuturan Wayan Gde Nepsu yang hanya diperalat oleh wanita sahabatnya itu.

Adanya satu bukti yang ditunjukkan Wayan Gde Nepsu, telah membuat si Cerpelai Sakti percaya dan yakin kalau Wayan Gde Nepsu adalah anak kandungnya sendiri. Adapun Ketut Malini telah dibunuh oleh si Musang Betina Mata Empat. Diketahuinya hal itu adalah karena I Made Galung sendiri yang menemukan mayatnya tergantung didahan pohon, didalam sebuah hutan.

Wayan Gde Nepsu sendiri telah diberi racun yang sangat sukar ada obatnya. Racun itu bekerjanya lambat dan dalam jangka waktu yang ditentukan akan merenggut jiwanya. Saat kematian Wayan Gde Nepsu sangat mengenaskan. Tapi dia telah membeberkan rahasia kebusukan si Musang Betina Mata Empat. Bahkan menghembusnya napas terakhir laki-laki itu telah disaksikan oleh I Made Galung.

"Jadi... si Cerpelai Sakti telah mengetahui keris pusakanya berada ditanganmu?" tanya Kuntari membelalak.

"Benar, bahkan dia merelakan keris itu untuk aku yang mewarisinya!" sahut I Made Galung dengan wajah menampakkan kesedihan.

"Bahkan aku menyaksikan pula pertarungan ibuku dengan si Cerpelai Sakti, dan... akupun mengetahui bahwa laki-laki tua itu ternyata adalah ayahku sendiri!" Kata-kata I Made Galung seperti tersekat dikerongkongannya. Dia mengepal erat kedua lengannya. Hatinya terasa remuk redam mengetahui kemelut keluarganya yang begitu runyam.

Sejenak Kuntari terdiam. Hatinyapun ikut trenyuh mendengar keterangan laki-laki itu. Dia menatap I Made Galung dengan rasa kasihan. Ya, sungguh seorang laki-laki yang patut dikasihani karena menjadi korban api kecemburuan ibunya sendiri.

"Mereka bertarung... dan bertempur untuk mengadu jiwa! Aku tak tahu selanjutnya, karena aku segera pergi dari tempat persembunyianku. Aku tak mau menyaksikan salah satu dari mereka terkapar tak bernyawa..." Demikian akhir dari penuturan I Made Galung. Lalu terdengar dia menghela napas panjang seperti melepaskan beban kepedihan yang menyesak-kan dadanya.

Kuntari pun terdiam tak bertanya apa-apa lagi. Matahari mulai menggelincir ketika mereka tiba dilereng gunung Pendil. Keduanya mempercepat perjalanan. Tujuan I Made Galung adalah mengajak gadis itu ketempat Ki Lesat sang ayah angkatnya...

SEBELAS

Mendaki lereng sepanjang jalan setapak menuju ketempat Ki Lesat agak tertahan-tahan, karena I Made Galung agak lupa arah jalan ketempat sang ayah angkat tersebut. Tiba-tiba cuaca berubah agak mengejutkan. Angin bertiup keras yang diawali oleh hawa dingin menelusup ketulang. Kuntari tersentak dan mendongak kelangit. Dilihatnya awan hitam bergulung-gulung. Cuaca pun berubah gelap.

"Celaka hari mau hujan! Kita harus mencari tempat meneduh!" kata gadis ini.

I Made Galung yang berjalan di depan gadis itu meraba keris Kyai Jaran Goyang dipinggangnya. Dia merasakan ada sesuatu yang ganjil. Karena hidungnya mencium bau amis darah. Sementara kilatan-kilatan petir merobek langit sesaat, memantulkan cahaya yang berkilatan.

Kuntari pun merasa hatinya berdebaran. Hidungnya kembang kempis karena bau amis darah itu mulai tercium olehnya. Dia merasa ada sesuatu ketidak wajaran. Kun-tari mencekal lengan I Made Galung dan menatap laki-laki itu. Sementara I Made Galung sendiri juga menatapnya.

"Ada sesuatu yang aneh...?" tanyanya berbisik.

"Ya, aku mencium bau amis darah...!" desis Kuntari. Diam-diam gadis ini pun mulai waspada, dan mempertajam panca indranya. Sepasang mata Kuntari memutari sekitar tempat itu.

Sebuah dahan yang bergoyang-goyang tertiup angin mendadak patah. Mengejutkan Kuntari ketika jatuh ke tanah, menimbulkan suara berkrosakan. Mendadak gadis ini memekik kaget seraya melompat, karena sebuah benda hitam menggelinding ke arah kakinya. Napas gadis ini tersengal. Wajahnya berubah pucat.

Untunglah I Made Galung telah memburunya. "Ada apa Kuntari?" tanya laki-laki ini, seraya mencekal pergelangan tangan gadis itu.

Gadis ini tak menjawab, kecuali menelan ludah dan jatuhkan kepala didada pemuda itu. Tenggorokannya terasa kering. Yang ditakutinya saat itu adalah apa yang namanya hantu. Namun sebagai seorang gadis persilatan, perasaan itu seketika lenyap. Hatinya kembali tegar. Dan dia telah siap untuk menghadapi apa yang bakal terjadi dengan berdiri tegak disamping I Made Galung.

Sementara itu I Made Galung telah mencabut keris Kyai Jaran Goyang dari pinggangnya. Satu keanehan mendadak kembali muncul, karena tiba-tiba cuaca berangsur-angsur berubah terang. Angin yang bertiup kencang mendadak lenyap. Dilangit tak ada segumpal awan hitampun yang terlihat.

Perubahan cuaca itu membuat mereka menarik napas lega. Akan tetapi kembali Kuntari menjerit kaget. ketika matanya tertatap dua buah benda di sisi semak tak jauh dari ujung kakinya. Membelalak mata I Made Galung, karena melihat dua buah benda itu adalah dua buah kepala manusia...!

Seketika pucatlah wajah laki-laki ini. Dengan membimbing lengan Kuntari, I Made Galung melompat menjauhi tempat itu. Sementara itu... dibalik semak belukar, tampak sesosok tubuh nampak punggungnya saja, karena tengah membungkuk seperti orang yang tengah menghirup sesuatu.

Sepasang kaki tersembul dari semak belukar. Ketika mengangkat kepala, tampak wajah seorang laki-laki yang menyeringai. Mulutnya penuh bertetesan darah segar. Ketika laki-laki ini bangkit berdiri, ternyata dibawahnya tergeletak sesosok tubuh manusia tanpa kepala.

Siapa adanya laki-laki ini tak lain dari Jaka Kumbara. Apa yang sedang dilakukannya adalah menghirup darah manusia yang kepalanya telah dipisahkan dari batang tubuhnya. Tubuh seorang wanita tanpa pakaian selembarpun yang penuh berlepotan darah.

Jaka Kumbara menyeka bibirnya yang berlepotan darah. Keningnya mengernyit, dengan mata agak disipitkan. Ternyata kehadiran dua orang yang memasuki lereng gunung Pendil telah terendus hidungnya. Akan tetapi hatinya tersentak, karena perubahan cuaca barusan seperti ada sesuatu yang mengganggu kekuatan ilmu iblis yang dipergunakannya.

"Hm, akan kulihat siapa manusia konyol yang muncul ditempat ini? Dan berani main-main dengan ilmu warisan iblisku?" kata Jaka Kumbara dalam hati. Sesaat tubuhnya telah melesat bagai asap menembus semak. Dan lenyap tak berbekas.

Tubuh Jaka Kumbara tiba-tiba menjelma lagi, tepat di belakang I Made Galung dan Kuntari yang agak bergegas mempercepat langkah ketempat tujuan. Jaka Kumbara segera mengenali gadis itu. Mendadak wajahnya menyeringai seraya berkata dalam hati.

"Bagus, pucuk dicinta, ulam tiba! Jauh-jauh aku mencari ternyata orang yang kucari muncul sendiri di depan mataku! Hahaha... agaknya dia memang sudah berjodoh untuk jatuh dalam pelukanku!"

"Kali ini kau takkan kulepaskan lagi, Kuntari!" desis Jaka Kumbara.

Bhusss! Tubuh laki-laki inipun lenyap menjadi asap dan lenyap. Angin keras mendadak membersit disamping Kuntari. Gadis ini merasakan ada hawa dingin yang menyambar ke arahnya. Secara reflek dia melompat. Kalau saja dia dapat melihat melalui mata bathin. Akan terlihat si Jaka Kumbara tengah menjulurkan sepasang lengannya untuk memeluk pinggangnya. Jantung Kuntari berdetak keras. Dia merasa ada bahaya yang tak kelihatan oleh mata.

Sementara I Made Galung siap melindungi gadis itu. Sekali gerakkan tangan, keris Kyai Jaran Goyang telah tercekal dilengannya. Satu kekuatan hebat yang tak kelihatan telah tersalur dari cahaya kuning keris pusaka tersebut. Dan hal itu adalah Jaka Kumbara yang dapat merasakannya. Cahaya kuning itu menyilaukan pandangan matanya. Dia terpekik kaget, karena tahu-tahu pipinya seperti kena tampar. Teriakan kaget itu justru memunahkan kekuatan ilmunya. Hal itu diketahui dari bentakan I Made Galung.

"Hai, siapa kau!!?"

Tahulah Jaka Kumbara kalau dirinya telah dapat dilihat oleh mereka. Sebaliknya Kuntari membelalakkan matanya melihat siapa laki-laki itu. "Jaka Kumbara! Manusia terkutuk pembunuh bibiku! Bagus, kau muncul untuk menyerahkan jiwamu!" bentak Kuntari dengan wajah bringas. Detik itu juga dia telah melompat dan mengurung laki-laki itu bersama I Made Galung.

Jaka Kumbara tertawa menyeringai. Matanya jelalatan seperti menguliti tubuh dara dihadapannya. Hasrat yang tak terlaksana dilampiaskan laki-laki ini ketika diatas perahu di tengah laut terhadap gadis itu, membuat Jaka Kumbara menelan ludah.

"Haha... aku memang Jaka Kumbara! Hm, agaknya kau telah punya seorang kawan yang mendampingimu, nona manis? Bagus, ingin kulihat, apakah dia mampu melindungi dirimu?" berkata Jaka Kumbara. Tapi diam-diam hatinya tersentak. Keris ditangan pemuda itu telah menggetarkan kerisnya yang berada dibalik bajunya. Hatinya mendadak agak diliputi kekhawatiran. Jelas tadi hawa panas dan sinar kuning yang aneh telah menyambar ke arahnya ketika laki-laki itu mencabut keris pusakanya.

"Jangan-jangan itulah keris besi kuning..!? Oh, kalau benar, akan celakalah aku!?" pikir Jaka Kumbara. "Aku harus hati-hati. Mudah-mudahan laki-laki itu tak mengetahui keampuhan keris pusakanya...!" Jaka Kumbara tak menunjukkan rasa terkejutnya.

Kuntari tak dapat menahan kemarahannya un-tuk membalas dendam atas kematian bibinya yang dibunuh oleh manusia telengas itu. Tahulah dia kalau lawannya bukanlah lazim seperti manusia lagi, tapi sudah setengah iblis. Bahkan dua kepala manusia tadi tentu korban keganasannya. Setelah memberi tanda pada I Made Galung, detik itu juga dia menerjang...!

"Kubunuh kau manusia iblis!" teriak Kuntari seraya lancarkan serangan ganas menghantam ke arah lawan. I Made Galung ternyata belum bergerak dari tempatnya. Serangan Kuntari mengeluarkan deru yang menggidikkan. Tapi dengan gerakan mengegos Jaka Kumbara berhasil membuat serangan itu luput. Tapi serangan-serangan berikutnya membuat dia terperangah kaget. Nyaris saja dia jadi korban pukulan beruntun sang gadis yang datang secara tiba-tiba.

Jurus-jurus maut Kuntari segera dipergunakan untuk membunuh manusia pembawa malapetaka itu. Akan tetapi anehnya Jaka Kumbara seperti dengan mudah membuat serangan-serangannya lolos. Bahkan lengannya seperti memukul angin. Dan dalam waktu singkat Jaka Kumbara berhasil berada diatas angin. Kini dialah yang terdesak hebat.

Untunglah disaat itu I Made Galung melompat untuk membantu. Kerisnya meluncur menyambar ke arah Jaka Kumbara. Jaka Kumbara tersentak kaget. Lengannya cepat menyambar keris Kutukan Iblis. Akan tetapi sebelum keris Kyai Jaran Goyang berbenturan dengan keris Kutukan Iblis, tiba-tiba tubuh Jaka Kumbara lenyap jadi gumpalan asap. Dan lenyap dari pandangan mata kedua orang dihadapannya.

I Made Galung dan Kuntari terperangah dengan mata membelalak. Tiba-tiba cuaca kembali berubah gelap. Petir diangkasa menyambar-nyambar. Mendadak bumi seperti diguncang gempa. Keduanya terhuyung-huyung dengan panik. Dan detik itulah Jaka Kumbara tiba-tiba muncul di belakang I Made Galung. Satu tendangan keras membuat tubuh laki-laki itu terlempar bergulingan. Keris ditangannya terlempar kesemak belukar.

Kuntari menjerit kaget ketika sepasang tangan berbulu telah memeluk pinggangnya. Gadis ini meronta-ronta untuk melepaskan diri dengan rasa takut yang sangat luar biasa. Makhluk apakah yang telah menyambar pinggangnya?

Ketika dia menengadah, seketika gadis itu menjerit panjang dan terkulai pingsan. Karena seraut wajah yang sangat menyeramkan tampak menyeringai memperlihatkan taring dan lidah yang terjulur panjang. Makhluk ini juga mengeluarkan bau busuk yang sangat memuakkan.

I Made Galung mencoba bangkit berdiri. Namun sebuah tendangan kembali membuat dia terlempar untuk kedua kalinya, Kaki ini dia tak bangkit lagi. Tampak darah menggelogok dari mulutnya. Pemuda ini terkapar tak sadarkan diri.

"Hahaha... bagus, kemarikan gadis itu, sahabatku! Dia harus merasai kelaki-lakianku. Dan., haha.. tentu darahnya pun manis semanis orangnya!

DUA BELAS

Nanjar tersentak melihat tetes-tetes darah segar sepanjang semak belukar. Darahnya tersirap. Hatinya mulai waswas, karena gadis bernama Gayatri yang ditunggu-tunggunya belum menampakkan diri.

Seperti diceritakan tadi, Nanjar tertarik untuk mengetahui guru gadis manis berilmu tinggi yang ditemuinya ketika terjadi kebakaran didesa dimana dia menjejakkan kaki. Gadis itu mengajak dia untuk singgah ditempat kediamannya. Dalam perjalanan setelah berlari-lari menelusuri hutan dijalan setapak, mendadak gadis itu memberi isyarat agar berhenti.

"Tunggulah sebentar sobat Dewa Linglung. Akan kulihat digoa batu tempat guruku bersemedhi. Siapa tahu guruku ada disana, jadi kita tak usah kepondok untuk menemui beliau..."

"Apakah pondokmu masih jauh?" tanya Nanjar.

"Tidak jauh lagi, setelah melewati hutan ini lalu mem-belok ke selatan memutari bukit kecil. Nah di belakang bukit itulah pondok tempat tinggal kami." sahut Gayatri.

"Baiklah, tapi jangan lama-lama!" kata Nanjar.

"Hihi... kau macam anak kecil saja! Apakah kau takut ditinggal sendirian? Sejak belasan tahun aku berdiam dilereng gunung Pendil, belum pernah aku menjumpai hantu!" Gayatri tertawa memperlihatkan sebaris giginya.

"Siapa tahu hantu itu akan muncul disiang hari dan pada saat-saat ini!" gurau Nanjar.

"Jangan ngaco! Justru aku mau melihat guru digoa batu itulah karena aku tak ingin kau terlalu lama menunggu guruku!"

"Haha... kau pintar juga! Ya, sudah... kau berangkatlah!" ujar Nanjar.

"Awas, kau jangan pergi!" ancam gadis itu.

"Tentu tidak, sayangku.." sahut Nanjar sambil tertawa.

Gayatri berkelebat menuruni lereng batu-batu gunung. Lalu lenyap terhalang pepohonan. Nanjar menunggu dan menunggu. Tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Dia menjadi tak sabar untuk berdiam diri lebih lama. Lalu diputuskan untuk menyusul Gayatri.

Alangkah terkejutnya Nanjar ketika menemukan dimuka goa batu seonggok pakaian. Itulah pakaian gadis yang telah sobek-sabek tak keruan. Hatinya tersentak bahwa telah terjadi sesuatu. Dengan nekat namun penuh kewaspadaan Nanjar memeriksa isi goa. Tapi tak dijumpai siapa-siapa.

Akhirnya Nanjar menemukan jejak tetes-tetes darah diantara bebatuan. Dengan jantung berdetak keras, dia segera mengikuti tetes-tetes darah itu. Nanjar yakin gadis itu telah dicelakai orang jahat. Tapi dia tak mengerti, macam apakah tingginya ilmu manusia yang mencelakai Gayatri? Sedangkan dia mengetahui gadis itupun memiliki ilmu kedigjayaan. Tentunya akan terdengar bila terjadi pertarungan.

Tapi kemudian Nanjar sadar, kalau didunia ini banyak macam-ragam kelicikan. Kalau tak kena diperdayai dengan cara busuk tak nantinya Gayatri mudah dirobohkan. Nanjar menduga pasti penjahat keji itu seorang yang berilmu tinggi tapi juga berakal licik!

Tetes-tetes darah itu membawanya kebalik semak belukar. Dan hampir dia berteriak karena terkejut. Karena Nanjar menjumpai sesosok tubuh membugil penuh berlepotan darah terkapar ditanah tanpa kepala. Itulah tubuh seorang wanita. Tubuh siapa lagi kalau bukan tubuh Gayatri? Nanjar masih mengenali gelang akar kayu yang membelit dipergelangan tangan gadis itu.

Tetes tetes darah itu ternyata belum berakhir. Dan baru berakhir ketika Nanjar menjumpai kepala gadis yang malang itu tergolek di sisi jalan setapak. Seketika wajah Nanjar berubah tegang. Yakinlah dia kalau manusia yang dihadapinya sudah bukan manusia lagi, karena teramat sadis.

"Jangan-jangan si Jaka Kumbara!" sentak Nanjar dalam hati. Tak terasa lengan Nanjar bergerak mencekal gagang pedang mustika Naga Merah.


JAKA KUMBARA tertawa menyeringai memandang gadis dalam pondongannya. Sementara si makhluk berbulu itu kembali berubah menjadi asap dan menjelma menjadi keris Kutukan Iblis dalam genggaman tangan pemuda itu. Akan tetapi baru saja Jaka Kumbara mau menindakkan kaki, tiba-tiba terdengar bentakan keras membelah udara.

"Lepaskan gadis itu, manusia iblis." Sesosok bayangan putih berkelebat, dan tahu-tahu telah berdiri tegak dihadapannya. Siapa adanya yang muncul ini tiada lain dari si Dewa Linglung adanya.

Melotot besar mata Jaka Kumbara melihat kemunculan orang yang baru datang ini. "Keparat, siapa kau?" bentaknya sangar.

"Manusia bejat, aku akan menjawab pertanyaanmu kalau kau memperkenalkan dulu siapa dirimu. Dan... kalau tidak salah bukankah gadis itu adalah yang bernama Kuntari, orang perguruan Tongkat Suci?"

Jaka Kumbara tertawa menyeringai. "Haha.. ha., tumben ada gelandangan muda yang nyasar kemari. Baiklah aku akan mengatakan siapa diriku, gelandangan bau apek! Aku bernama JAKA KUMBARA! Orang yang akan merajai dunia persilatan dalam waktu tak lama lagi. Benar, seperti dugaanmu. Gadis ini memang bernama Kuntari yang kuculik dari pesanggrahan Tongkat Suci!"

"Bagus, kalau begitu dugaanku tidak salah kaulah orang yang selama ini kucari-cari! Kau harus kutangkap untuk dibalsem hidup-hidup untuk mummi, dan akan dimuseumkan. Agar kelak para generasi penerus kaum Rimba Hijau dapat mengetahui macam mana tampang si manusia gelandangan bau apek!" berkata Nanjar dengan seenaknya. Walau sebenarnya hatinya cukup tegang menghadapi si pemilik keris Kutukan Iblis.

"Kaulah si gelandangan bau apek!" bentak Jaka Kumbara berang, karena pemuda itu meniru-niru ucapannya.

"Ya, tak apalah... tapi kau kacungnya si gelandangan bau apek! Nah, kita sama-sama bau apek!" kata Nanjar dengan cengar-cengir.

"Keparat, kau mau mampus berani menghinaku?" bentak Jaka Kumbara.

"Sialan kau kacung busuk mau mampus berani menghinaku?" balas Nanjar membentak.

Merah padam seketika wajah Jaka Kumbara. Baru untuk pertama kalinya dia dicemooh sedemikian rupa. Tipu daya Nanjar untuk memancing kemarahan Jaka Kumbara berhasil. Pemuda ini melemparkan tubuh Kuntari kesemak belukar. Dan... dengan menggembor marah dia menerjang dengan keris pusakanya. Nanjar telah siap sejak tadi. Sekali lengannya bergerak, pedang mustika Naga Merah telah tergenggam ditangannya.

Trang!

Benturan keras itu memercikkan lelatu api ketika sinar merah membersit dan kedua senjata pusaka itu saling beradu. Diantara percikan lelatu api tampak kepulan uap putih dan hitam di udara.

Nanjar berteriak kaget. Tubuhnya terlempar kebelakang, terdorong oleh satu kekuatan hebat yang tersalur dari badan keris Kutukan Iblis.

Sedangkan Jaka Kumbara pun mengalami akibat yang sama. Dia berteriak kaget. Tubuhnya terasa terdorong oleh arus kuat yang membekukan aliran darahnya. Akibatnya dia terlempar beberapa tombak bergulingan. Akan tetapi cepat dia melompat bangkit berdiri. Untunglah kerisnya tak sampai terlepas dari tangannya.

Sementara Nanjar juga telah melompat berdiri dengan pedang Naga Merah disilangkan di depan dada.

"Heh, ternyata pedangmu juga sebuah pedang pusaka! Bagus! Ingin kulihat apakah kau mampu menghadapi keris Kutukan Iblisku?" berkata Jaka Kumbara dengan wajah membesi.

Pemuda ini tiba-tiba acungkan senjata saktinya ke atas. Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera-mantera. Tampak asap hitam mengepul dari ujung keris. Asap itu mendadak berubah menjadi sesosok makhluk menyeramkan. Makhluk yang menimbulkan bau busuk.

Nanjar terperangah kaget. Akan tetapi dia tak sempat untuk berdiam lebih lama, karena makhluk menyeramkan itu telah menerjang ke arahnya. Sepasang lengannya yang berbulu menyambar tubuh Nanjar.

"Makhluk iblis!" sentak Nanjar seraya melompat menghindar. Pedangnya menabas beberapa kali mengeluarkan suara bersiutan.

Kalau saja tubuh lawannya adalah tubuh kasar dan bukan tubuh makhluk ghaib, tentu akan menjadi beberapa potong. Akan tetapi tabasan itu seperti juga menabas angin. Nanjar terkejut. Bahkan satu sentakan lengan si makhluk berbulu telah membuat dia terlempar bergulingan.

Jaka Kumbara tertawa gelak-gelak. "Hahaha... takkan kubiarkan seorang pendekar macam kau hidup lebih lama!" Selesai mengumbar kata, pemuda inipun melompat mengurung Nanjar yang telah melompat berdiri.

Pada saat itulah terdengar bentakan menggetarkan udara. "Manusia iblis kau telah membunuh muridku?"

Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh dari arah samping, dan segelombang angin keras menghantam Jaka Kumbara. Pemuda ini kibaskan lengannya memapaki serangan lawan.

PLAK!

Tampak uap hitam dan uap putih membaur di udara. Dan bersamaan dengan benturan kedua tenaga dalam itu, terdengar teriakan si penyerang. Tubuh si Penyerang terdorong beberapa langkah terhuyung-huyung. Dari mulutnya mengalir darah. Wajahnya tampak pucat pias.

Itulah wajah seorang kakek bertubuh jangkung berjubah abu-abu yang menyeringai menahan sakit, dengan memegangi dadanya. Siapa adanya laki-laki tua ini tiada lain dari Ki Lesat.

Sementara itu I Made Galung telah mulai sadarkan diri. Dia merasakan dadanya sesak. Punggungnya terasa sakit sampai ketulang. Namun dia cepat melompat bangun, karena melihat pertarungan seru yang berlangsung dihadapannya.

Nanjar gunakan jurus-jurus pukulan dan tabasan pedangnya untuk merobohkan lawannya yang merupakan makhluk aneh menyeramkan. Namun semua serangannya tak berarti apa-apa. Bahkan dia sendiri yang kewalahan menghindarkan diri dari cengkeraman tangan si makhluk berbulu yang terus memburunya kemanapun dia melompat. Apalagi bau busuk yang ditimbulkan dari makhluk itu membuat perutnya mual mau muntah.

Sementara dilain pihak, Ki Lesat telah terlibat lagi dalam pertarungan. Karena Jaka Kumbara terus mencecarnya dengan serangan-serangan mematikan. Untung si kakek ini telah tahu kehebatan lawan. Hingga dia bertarung dengan hati-hati.

Sedangkan Jaka Kumbara sangat bernafsu untuk cepat membunuh lawan. Kembali dia membaca mantera, untuk menam-bah kekuatan dirinya. Selesai membaca mantera, mendadak tubuhnya lenyap jadi gumpalan asap.

"Iblis pengecut, bertarunglah dengan kesatria, jangan dengan ilmu setan!" teriak Ki Lesat menggembor.

Pada saat itu I Made Galung melompat mendekati. "Guru...!" teriak laki-laki ini. Kakek ini balikkan tubuhnya. "I Made Galung anakku.... apakah kau membawa keris Kyai Jaran Goyang?" bisik kakek ini.

"Ya, guru! Tapi senjata itu terpental dari tanganku, ketika aku menempur manusia iblis itu!" sahut I Made Galung dengan wajah pucat.

"Cepat cari benda itu, biar aku yang menghadapi manusia iblis ini!" bisik Ki Lesat. "Dia hanya dapat dikalahkan dengan pusaka besi kuning itu!"

I Made Galung terperangah. Tapi cepat dia menjawab. "Baik, guru..." lalu melompat cepat dari tempat itu. Bersamaan dengan lompatan I Made Galung, terdengar jeritan parau Ki Lesat. Tubuh kakek ini terhuyung-huyung, lalu terjungkal roboh ke tanah.

Dan sosok tubuh Jaka Kumbara kembali muncul ditempat itu, "Hahaha... rupanya kau guru gadis cantik yang nyawanya sudah ku hantar ke Akhirat? Hehe...haha... percuma kau membalas dendam. Kau tak kan dapat mengalahkan si Jaka Kumbara!"

I Made Galung ternyata telah menahan langkah mendengar teriakan gurunya. Melihat nasib sang ayah angkat hatinya ngenas. Ingin dia melabrak manusia iblis itu. Tapi dia harus bisa menahan diri, karena tanpa keris Kyai Jaran Goyang takkan ada artinya. Sama saja dengan mengantar nyawa sia-sia. Cepat dibalikkan tubuh, dan menghilang disemak belukar.

Sementara itu Nanjar terpaksa gunakan lompatan-lompatan jauh untuk menghindari serangan si makhluk berbulu, sambil mencari akal bagaimana caranya membunuh makhluk itu.

Ternyata Jaka Kumbara tak membiarkan I Made Galung meloloskan diri. Dia tersenyum menye-ringai. "Hehe... kau kira semudah itu untuk mencari keris pusaka keparat itu yang sudah lenyap entah kemana?" berdesis pemuda ini.

Tiba-tiba lengannya meraba kepinggang. Sekejap diantara kedua ujung jaringan terjepit sebuah tusuk konde Emas. Itulah tusuk konde si Musang Betina Mata Empat. Tubuhnya berkelebat mengejar dan lengannya mengibas. Benda itu meluncur deras menembus semak, dan... terdengarlah jeritan menyayat hati I Made Galung.

Pemuda ini terjungkal roboh! Tusuk Konde maut itu telah menembus pangkal lehernya. Tubuh pemuda Bali ini mengejang. Lalu kepalanya terkulai. Sesaat kemudian sudah tak bergerak lagi dengan keadaan sekujur tubuh berubah membiru. Siapa mengira kalau tusuk konde Emas itu mengandung racun maut? Dan I Made harus menebus kekalahannya den-gan kematian yang mengenaskan.

Ki Lesat ternyata masih hidup. Dia berusaha bangkit dengan keadaan mengenaskan. Jubahnya bagian dada tampak hangus akibat pukulan Jaka Kumbara yang dilakukan secara licik. Agaknya jeritan kematian I Made Galung sempat terdengar olehnya. Laki-laki tua ini menundukkan wajah. Air matanya menetes.

"Aku harus membunuh manusia iblis itu! Keselamatan manusia akan terancam karena ilmu manusia iblis itu adalah ilmu setan, ilmu sesat..!" berdesis Ki Lesat.

Pandangan matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda yang mengeluarkan sinar kuning disemak-semak tak jauh didekatnya. Mata Ki Lesat membelalak. Mulutnya ternganga. Jantungnya berdetak keras bercampur rasa sakit yang luar biasa.

"Ah.... bukankah itu keris Kyai Jaran Goyang?" sentaknya dalam hati. "Ya, Tuhan.... terima kasih atas kemurahan-MU...!" Tubuh laki-laki ini tergetar. Keringat dingin telah mengucur disekujur tubuh. Dengan mengerahkan segenap kekuatannya Ki Lesat merangkak untuk menjumput keris pusaka itu.

Sementara itu cuaca tiba-tiba berubah. Angin keras kembali bertiup bersiutan. Perubahan cuaca itu membuat, Ki Lesat kerutkan keningnya. Tapi dia tak perduli. Dia harus segera mendapatkan benda itu. Lengannya semakin dekat dan semakin dekat terjulur ke arah keris besi kuning yang terangkut di tengah semak belukar.

Dilain pihak tampak Jaka Kumbara tertawa terbahak-bahak. Kedua lengannya direntangkan ke atas. "Hai para iblis, bantulah aku mencapai kejayaan! Kejahatan harus menang! Demi kepuasanku aku bersedia menghamba padamu, hai para iblis!"

Mendadak awan hitam bergulung-gulung. Terdengarlah suara tertawa menyeramkan dari perbagai penjuru.

Nanjar tersentak kaget. Tengkuknya meremang. Ternyata hal itulah yang membuat dia bernasib naas. Satu hantaman lengan si makhluk berbulu membuat tubuh si Pendekar Naga Merah terlempar bergulingan beberapa tombak. Kalau bukan si Dewa Linglung tentu jiwanya sudah melayang karena entah beberapa kali tubuh dan kepala pemuda ini terbentur batu dan dahan. Dan baru berhenti setelah tubuhnya menghantam pohon sebesar sepemeluk yang nyaris tumbang karena terbongkar akarnya.

Nanjar menyeringai menahan sakit. Sekujur ulang tubuhnya terasa remuk. Untunglah pedang mustika Naga Merah tak terlepas, dan tetap tergenggam ditangannya. Akan tetapi keadaan Nanjar sudah sangat parah. Nanjar merasa bumi berputar membuat mata Nanjar menjadi nanar. Kepalanya terasa berat.

"Ooh... aku pingsan...!" keluh Nanjar. Tubuhnya roboh terkulai. Akan tetapi ternyata dia tidak pingsan. Ketika dia mengangkat kepala, matanya jadi melotot lebar. Apa yang dilihatnya? Ternyata sesosok tubuh tersuruk-suruk merayap mendekati.

Nanjar baru tersadar kalau orang tua inilah yang turut membantu dalam pertarungan menghadapi Jaka Kumbara. Ternyata orang ini tak lain dari Ki Lesat. Dilengannya tercekal keris lekuk tujuh berwarna kuning. Nanjar terperangah ketika kakek yang luka parah itu berkata.

"Tuhan telah mengabulkan do'aku... anak muda. Kau... kau pergunakanlah keris ini untuk membunuh manusia iblis itu..."

Lengan Nanjar menggetar ketika menerima keris itu dan menggenggamnya. Setelah memberikan benda itu, si kakek tersenyum. Matanya menatap Nanjar dengan sayu. Tapi masih nampak memancarkan cahaya harapan. Harapan yang cuma berada diatas pundak pemuda itu.

"Kakek... siapakah kau?" Namun belum sempat menjawab, tubuh kakek ini telah terkulai, dan nyawanya melayang. Nanjar tertegun menatap dengan mata mendelong. Baru saja Nanjar menarik napas, mendadak, makhluk berbulu itu telah menjelma lagi dihadapannya.

Bau busuk yang menusuk hidung nyaris membuat Nanjar benar-benar pingsan. Tapi justru dirinya sedang dalam keadaan gawat. Karena tampak makhluk itu belum puas sebelum membunuhnya. Ternyata semua itu adalah atas perintah Jaka Kumbara. Pemuda ini mengawasi dari jauh. Bahkan gadis bernama Kuntari itu telah berada dalam pondongannya lagi.

Nanjar menggigit bibir. Nyawanya berada diujung rambut. Karena sepasang lengan makhluk itu telah terjulur untuk melumatkan tubuhnya. Detik itulah dengan kekuatan terakhir Nanjar melemparkan keris ditangannya.

Terdengarlah lengkingan yang membangunkan bulu roma. Makhluk itu lenyap menjadi gumpalan asap hitam yang membumbung ke udara. Akan tetapi menyebarkan bau sangit yang menusuk hidung. Sekejap kemudian terjadilah keanehan. Bumi seperti digoncang gempa. Kepala Nanjar terasa semakin berdenyutan. Matanya semakin nanar...

"Nah, kali ini aku benar-benar pingsan..." keluh Nanjar dalam hati. Nanjar merasa tubuhnya bagaikan mengambang. Seluruh tenaganya serasa lenyap sudah.

Akan tetapi jeritan seorang wanita yang terdengar ditelinganya membuat dia kembali membuka mata. "Ah... celaka gadis itu dalam bahaya. Aku... aku tak boleh pingsan. Dia harus diselamatkan dari cengkeraman si Jaka Kumbara. Aku... aku akan adu jiwa dengan manusia iblis itu!"

Nanjar tersadar bahwa bahaya belum lagi habis. Jaka Kumbara si manusia setengah iblis itu masih hidup. Dan tengah mencengkeram seorang gadis yang akan dijadikan korbannya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu kekuatan si Dewa Linglung kembali muncul ketika lengannya menggenggam gagang pedangnya.

"Eh, kemanakah keris sakti itu?" sentak Nanjar ketika teringat pada senjata pusaka pemberian si kakek yang telah tewas mengenaskan itu. Mata Nanjar jelalatan mencari benda pusaka itu. Akan tetapi keris Kyai Jaran Goyang memang telah lenyap.

Tanpa seorangpun yang mengetahui, keris Kyai Jaran Goyang telah lenyap dan berubah menjadi asap tipis berwarna kuning. Asap itu meluncur ke arah pedang mustika Naga Merah. Satu keanehan terjadi. Asap tipis jelmaan dari keris Kyai Jaran Goyang lenyap seperti masuk ke dalam gagang pedang pusaka Naga Merah yang tergeletak ditanah. Kejap selanjutnya Nanjar sudah berlari bagaikan terbang memburu ke arah si gadis.

Apa yang dilakukan Jaka Kumbara? Nyaris leher Kuntari menjadi korban gigitan si manusia setengah iblis ini untuk dihisap darahnya. Karena pemuda itu tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemah lunglai. Musnahnya si makhluk berbulu asal jelmaan keris Kutukan Iblis, berarti lenyap pulalah kekuatan ghaib yang dimiliki Jaka Kumbara alias Sucitro.

Tapi kebiasaan menghisap darah untuk menambah kekuatan tubuhnya masih tetap melekat pada sirkuit syaraf pemuda ini. Di saat dia siap membenamkan taring dan giginya kekulit mulut sang korban, justru saat itulah si gadis tersadar.

Kuntari menjerit seraya meronta dari cengkeraman laki-laki itu. Didetik itulah secercah cahaya merah membilas udara. Mendadak tubuh Jaka Kumbara terjungkal roboh berdebuk ditanah. Darah segar menyiram bumi. Manusia pembawa malapetaka itu tewas tanpa sempat berteriak lagi. Kuntari melompat berdiri. Matanya membelalak menatap pemuda dihadapannya.

"Dewa Linglung...!" teriak girang gadis ini.

"Kuntari.... kau tak apa-apa...?" teriak Nanjar dengan wajah cerah berseri.

"Kak Nanjar! Oh..." detik berikutnya gadis itu telah menghambur dan jatuhkan diri dalam pelukan pemuda itu.

Akan tetapi lagi-lagi si gadis berteriak, karena pemuda yang dipeluknya justru roboh terjengkang. Tentu saja gadis itupun terbawa jatuh menindih tubuh si Dewa Linglung. "Kak Nanjar! Kak Nanjar! Oh... kenapakah kau? Kau... terluka?"

Kuntari mengguncang-guncang tubuh si Dewa Linglung. Nanjar membuka matanya. Dilihatnya gadis itu menatap padanya dengan penuh kekhawatiran, dengan sepasang mata basah berkaca-kaca.

Nanjar menjatuhkan kepalanya didada gadis itu yang segera mendekapnya erat-erat. Mendadak Nanjar mengeluh, matanya tampak meredup. Lalu terkatup. Kepalanya pun terkulai didada sang gadis yang semakin erat mendekapnya.

"Kali ini aku benar-benar mau pingsan...! sekalian istirahat, mumpung ada bantal empuk..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.