Menaklukkan Kota Sihir Jilid 15
“APAKAH aku sudah mati, dan sekarang ini aku keluar meninggalkan tubuhku?” Liu Yok bertanya kepada diri sendiri, namun waktu ia menoleh ke arah tubuhnya sendiri maka dilihatnya tubuh itu masih bernapas, dadanya masih bergerak-gerak naik turun biarpun lemah.
Liu Yok tahu dari cerita orang-orang dekatnya, bahwa dia sering melakukan perbuatan-perbuatan di luar wadag1, namun itu terjadi pada waktu ia tidak sadar alias tidur, dan baginya seperti mimpi saja. Tetapi kali ini ia sadar sepenuhnya. Ia dapat bergerak ke mana pun ia kehendaki, tidak ubahnya dengan tubuhnya, hanya saja sekarang terasa lebih ringan dan tidak dapat dihalang-halangi benda-benda kasar.
Kesadarannya yang mengikutinya berkata, “Inilah saatnya suluh-suluh itu memancarkan terang tanpa terhalang buyung tanah liat. Pedang itu berkelebat keluar dari sarungnya, tidak tertutup sarungnya. Tetapi ingat, kau hanyalah pedang di tangan-Nya. Sebatang pedang tidak menggerakkan diri sendiri.”
Liu Yok menengadah khidmat dan memohon, “Pimpin aku.”
Jalan-jalan di kota Lam-koan mulai gelap, cahaya matahari baru saja meninggalkan langit, diganti cahaya lampion-lampion di pinggir-pinggir jalan, atau sekedar obor yang sederhana, sedang di depan rumah orang-orang kaya di “Kota Atas” kerudung lampionnya bukan kertas melainkan kaca, yang waktu itu hanya bisa dibeli di Makao atau Kanton.
Siau Hok-to tengah berjalan dengan wajah yang murung dan hati yang panas, sehingga beberapa orang yang berpapasan dan menyapanya dijawabnya dengan acuh tak acuh. Soalnya, ia baru saja mengunjungi seorang bekas pasiennya. Dulu si bekas pasien ini menderita sakit selama belasan tahun, setelah “diobati” Siau Hok-to dengan ilmu gaibnya, keadaannya membaik.
Tetapi sifatnya pun mengalami perubahan, kabarnya sering mendapat mimpi seram, sering ketakutan sendiri, sering merasa diajak bicara orang-orang yang sudah lama mati, cepat marah, keranjingan ramalan nasib dan ketakutan kalau melanggar pantangan yang ditunjukkan oleh ramalan. Soal “akibat sampingan” seperti itu, Siau Hok-to sebenarnya sudah memperhitungkan sebelumnya.
Siau Hok-to sadar, karena ia “menyembuhkan” pasiennya dengan bantuan kekuatan-kekuatan jahat, maka ia menjual jiwa si pasien dengan bantuan kekuatan-kekuatan jahat, maka ia menjual jiwa si pasien kepada kekuatan-kekuatan jahat itu. Dan tidak aneh kalau kekuatan-kekuatan jahat itu pun “menuntut harganya” atau minta balas jasa. Tentu saja rahasia macam itu tidak Siau Hok-to beritahukan kepada pasien-pasiennya.
Tetapi mantan pasien yang baru saja Siau Hok-to kunjungi itu sekarang kabarnya sedang menghubungi tabib lain, tabib yang mengandalkan sepenuhnya pada pengetahuannya tentang khasiat tetumbuhan. Dan entah mendengar dari mana, keluarga si mantan pasien ini rupanya lama-lama mendengar juga kalau Tabib Siau mempelajari ilmu gaib, maka keluarga si mantan-pasien tidak mau lagi mengobatkan anggota keluarga mereka kepada Tabib Siau.
Tadi sewaktu Siau Hok-to berkunjung, penerimaan mereka juga tidak ramah, membuat Siau Hok-to tidak betah dan cepat-cepat pulang. Inilah yang membuatnya murung dan panas hati. Nama masyhurnya sebagai seorang tabib dan ahli obat- obatan terancam runtuh, sebutannya bakal ditukar dengan “dukun yang mengandalkan setan”.
Tiba-tiba langkah Siau Hok-to tertegun, di sebuah jalan yang sepi ia berpapasan dengan seorang yang bertubuh pendek dan kecil namun berjenggot putih panjang, seorang yang dikenal masyarakat Lam-koan sebagai pemimpin sebuah kelompok topeng-monyet plus akrobat terkenal. Orang itu bukan lain adalah wakil Siau Hok-to sendiri, yaitu Thai Yu-tat. Kedua belah pihak punya perasaan tidak enak satu sama lain belakangan ini.
Thai Yu-tat semakin terang-terangan menunjukkan keinginannya untuk mendepak Siau Hok-to dan menggantikan kedudukannya sebagai ketua cabang, sebaliknya Siau Hok-to pun semakin muak melihat wakilnya yang makin pintar mencari muka kepada Hong Pai-ok untuk menyudutkan posisinya. Namun begitu, waktu keduanya berpapasan, toh saling menyapa meskipun hanya pura-pura.
“Kakak Siau dari mana?” tanya Thai Yu-tat lebih dulu.
“Menengok seorang... pasien.”
“Pasien atau bekas pasien?” pertanyaan Thai Yu-tat menyodok dengan ejekan halus. “Kudengar banyak bekas pasien Kakak yang sekarang berpindah kepada tabib lain?”
Siau Hok-to yang sedang pepat dadanya itu sekarang makin panas, ia membalas, “Rombongan akrobatmu sendiri bagaimana? Kudengar kemarin ada anggota rombonganmu yang terluka parah waktu mendemonstrasikan menusuk lidahnya dengan kawat?”
Wajah Thai Yu-tat memerah, dalihnya, “Memang terjadi demikian. Itu cocok dengan yang dirasakan oleh Kakak Hong, bahwa pengaruh gaib yang kita pupuk bertahun-tahun untuk mencengkeram kota ini, sekarang sudah jauh merosot. Aku dengar ilmu pengobatan Kakak sendiri menurun banyak.”
“Ya, memang.”
Setelah berdalih, Thai Yu-tat sekarang hendak pamer apa yang telah didapatnya, “Meskipun demikian, tanpa yang gaib-gaib pun aku berhasil berbuat sesuatu untuk kepentingan organisasi kita, khususnya dalam persiapan upacara besar mendatang. Aku sudah menangkap Juragan Wan, dan calon pasangan suami isteri yang wanitanya adalah keponakanku sendiri. Mereka bertiga cocok untuk di- jadikan korban dalam upacara kelak. Aku sudah dapat tiga dari delapan belas korban yang diperlukan, Kakak sudah dapat berapa?”
Siau Hok-to bungkam, karena ia memang belum memperoleh satu pun. Sementara Thai Yu-tat terus saja pamer, “Satu hal lagi, Kakak tahu siapa yang berhasil kutangkap kemarin siang?”
“Aku sudah dengar. Liu Yok bukan?”
“Ya, Si Dukun Manchu yang kehebatan sihirnya menggagalkan....” Thai Yu-tat tiba-tiba menghentikan omongannya, kalau dilanjutkan sama dengan meremehkan Hong Pai-ok dan hal itu bisa diadukan oleh Siau Hok-to. “Pokoknya sudah berhasil kutangkap penyebab kekacauan itu. Ternyata dia tidak berarti sama sekali. Begitu gampang tangannya diikat, lalu kubawa ke Kota Bunga Persik, dan kujebloskan ke sel sempit itu.”
“Adik Thai, jangan-jangan kau salah tangkap?”
“Apa maksud Kakak?”
“Yang kau tangkap itu mungkin betul kaki tangan Manchu, tetapi hanya keroconya, bukan pentolannya. Kalau pentolannya mana bisa ditangkap begitu mudah? Setidak-tidaknya pastilah timbul perlawanan hebat lebih dulu, entah perlawanan fisik atau perlawanan gaib.”
Thai Yu-tat termangu, kecurigaan Siau Hok-to itu masuk akal juga dan dia sendiri pun berpikiran begitu. Tetapi kalau mengakuinya terang-terangan, bukankah sama dengan meremehkan hasil kerjanya sendiri? Siau Hok-to agak puas bisa mengecewakan Thai Yu-tat yang sedang sombong-sombongnya itu. Dia pun mengucapkan salam dan berlalu.
Tiba di rumahnya, Siau Hok-to tidak langsung menyantap makan malam yang sudah disediakan oleh pembantu-pembantunya, melainkan langsung ke belakang untuk mendengar-dengarkan kalau ada suara dari ruang bawah tanah, ruang tempat puterinya yang gila itu dikurung. Sunyi. Tidak terdengar apa-apa.
“Menurut yang kudengar dari A-hok, keadaan A-kui terus membaik dari hari ke hari.” renungnya. Tiba-tiba dalam hatinya seperti ada yang berbisik. “Kau gembira melihat perkembangan membaik puterimu, kenapa kau gusar melihat orang lain juga mengalami perkembangan ke arah kesehatan, meski ditangani tabib lain?”
Kepala Siau Hok-to seperti diguyur air dingin mendengar suara itu, suara dari dasar jiwanya yang terdalam. Tiba-tiba muncul keinginannya untuk pergi ke sel penahanan di “Kota Bunga Persik” dan melihat macam apa tampang Si “Dukun Manchu” yang bernama Liu Yok itu.
Usai makan malam, ia langsung menerobos ke “Kota Bunga Persik” lewat pintu belakang rumahnya. Sebagai sopan-santun saja, tentu ia harus lebih dulu menemui Hong Pai-ok yang menghabiskan banyak waktunya untuk bersemedi di altar utama.
Namun waktu dilihatnya Hong Pai-ok memang sedang khusyuk dalam semedinya, Siau Hok-to melewatinya saja dan langsung ke sel-sel bawah tanah. Penjaga-penjaga di sel itu memberi hormat kepada ketua cabang Lam-koan itu, meskipun ketua cabang sedang terguncang pengaruhnya.
“Bagaimana dengan tawanan-tawanan kita?” tanya Siau Hok-to.
“Seperti biasanya, San-cu. Si Pedagang merintih-rintih sambil menawarkan uangnya. Sepasang calon pengantin itu juga mencoba menimbulkan belas kasihan kami. Si Anjing Manchu Oh Tong-peng itu agaknya sudah tidak peduli lagi mati hidupnya, la tidur terus, dan bangun hanya pada waktu makan datang.”
“Tawanan yang datang paling akhir, bagaimana?”
“Yang ini orangnya aneh. Ditaruh dalam sel sempit itu, dia menyanyi-nyanyi gembira, tapi akhirnya berhenti, mungkin karena kelelahan. Kemarin sengaja tidak kami beri makan sehari semalam, atas perintah Kakak Hong, agar tenaganya habis dan nyanyiannya berhenti. Pagi tadi baru kami kirimi makan lagi, tetapi meski dia kelaparan dan kehausan, dia menolak.”
“Apa alasannya?”
“Katanya karena makanan itu bekas ditaruh di altar. Ia bilang tidak mau makan satu cawan dengan dewa-dewa kita.”
Namun soal Liu Yok menguatirkan Si Pengantar makanan dimarahi oleh atasannya tadi, tidak dikatakan kepada Siau Hok-to. Anggota Pek-lian-hwe yang mana pun tidak akan menceritakan bahwa dia telah “beramah-tamah” dengan “anjing Manchu”. Bisa dicap tidak setia kepada perjuangan.
Siau Hok-to kemudian berkata, “Buka pintunya, aku sendiri ingin melihatnya.”
Pintu besi besar dibuka, Siau Hok-to melangkah memasuki lorong remang-remang yang sangat kurang cahayanya itu, diantarkan seorang penjaga. Dibawa langsung ke depan sel sempit yang berisi Liu Yok.
“Buka!” perintah Siau Hok-to.
Pintu dibuka, dan nampaklah tubuh Liu Yok yang tergolek lemah dengan tangan dirantai dan kaki dipasung. Tetapi wajah yang matanya terpejam tidur itu alangkah jernihnya, meskipun pucat di bawah cahaya obor Si Penjaga yang mengantarkan Siau Hok-to. Siau Hok-to heran, orang macam inikah yang menurut katanya Thai Yu-tat telah menggagalkan banyak cengkeraman sihir Pek-lian-hwe atas kota Lam-koan?
Tiba-tiba mata Liu Yok terbuka, dan Siau Hok-to merasa melihat cahaya gemilang jiwa yang sangat bersih terpancar lewat sepasang mata itu. Siau Hok-to harus mengerahkan kebandelannya agar ia tidak kehilangan wibawa atau kelihatan gugup di depan anak kemarin sore yang namanya Liu Yok ini. Toh terasa agak gugup juga. Dan untuk mengendorkan kegugupannya, Siau Hok-to pura-pura menanyakan sesuatu yang sebenarnya amat tidak perlu, “Siapa namamu?”
Seolah untuk menyindir Siau Hok-to, Liu Yok menjawab, “Teman Tuan yang tinggi gemuk dan berewokan itu sudah menanyai aku, namaku Liu Yok.”
“Pekerjaanmu?”
“Menghibur orang sedih, membebaskan orang-orang tertawan.”
Siau Hok-to tertawa, “Kau sendiri terkurung di sini, bagaimana bisa membebaskan orang? Coba bebaskan dirimu sendiri kalau bisa.”
Mendengar kata-kata ejekan itu, Liu Yok tidak tersinggung, malahan tiba-tiba merasa sangat bangga dan berbahagia. Ingat bahwa Gurunya pun pernah diejek orang, “Biarlah Dia menyelamatkan diri-Nya sendiri.” Liu Yok bahagia bahwa ia mengalami apa yang dialami Gurunya. Bukan menjawab ejekan itu, Liu Yok meneruskan jawabannya yang tadi, “...memberitakan datangnya jaman anugerah, menghukum para penindas.”
Lagi-lagi Siau Hok-to tertawa, “Kekuatan hebat apa yang kau miliki sehingga berani bicara sebesar itu?”
“Bukan kekuatanku sendiri, tetapi kekuatan yang dari atas.”
“Kenapa kekuatan dari atasmu itu tidak menolongmu ketika kau tertangkap?”
“Kekuatan itu sedang mengalir melalui aku, melanda benteng para penindas. Kekuatan itu mengalir keluar kalau penghalangnya, yaitu keinginan ragawiku, dikesampingkan.”
Entah kenapa, Siau Hok-to tiba-tiba diselubungi perasaan gentar mendengar kata-kata itu. Kata-kata seorang yang lemah kelaparan dan terbelenggu sehingga hampir tak dapat menggerakkan tubuhnya. Siau Hok-to hampir menyuruh Si Penjaga untuk mengunci kembali pintu sel itu, waktu mendengar Liu Yok bertanya lirih,
“Apakah kau adalah Tabib Siau?”
“Ya, kau kenal aku?”
“Semua orang di Lam-koan mengenalmu.”
“Kau bukan orang Lam-koan. Logat bicaramu logat daerah barat-laut.”
“Aku sudah beberapa hari di Lam-koan.”
“Apa yang mau kau katakan.”
“Tuan Siau akan segera melihat bukti kekuatan yang dari atas itu. Puteri Tuan, Nona A-kui, akan bebas dari cengkeraman penindas-penindasnya.”
Siau Hok-to terkejut. Keadaan puteri-nya yang menyedihkan itu selalu disembunyikan rapat-rapat oleh Siau Hok-to. Bahkan sanak-kerabat dekat serta sahabat-sahabat sesama pentolan Pek-lian-hwe juga tidak ada yang tahu, bagaimana sekarang Liu Yok mengetahuinya? “Bagaimana kau... bisa bicara begitu?”
“Aku kan baru saja mengunjungi dan bercakap- cakap dengannya di ruang kurungannya.”
Siau Hok-to tambah bingung. Liu Yok tahu tentang A-kui dan masalahnya, itu sudah membingung kan. Kemudian kata-kata Liu Yok bahwa ia “baru saja mengunjungi A-kui” juga membingungkannya, bukan kah Liu Yok terbelenggu dan terkurung? Waktu Siau Hok-to menoleh kepada Si Penjaga, Si Penjaga dengan agak gugup membela dirinya.
“Aku tidak melepaskannya biar sedikit pun. Sumpah! Anjing Manchu ini barangkali hanya membual, ingin menanam kecurigaan antara sesama Pek-lian-hwe.”
“Kalian jangan bertengkar!” sergah Liu Yok. “Tuan Siau tidak perlu mencurigai atau memarahi bung penjaga ini. Aku tadi memang keluar sebentar, tetapi tidak dengan cara biasa.”
Si Penjaga yang terlanjur mendongkol itu hanya mendengus dingin, “Dia sengaja membuat aneh omongannya, agar dikira benar-benar sakti.”
Namun Siau Hok-to yang merasakan semacam pengaruh diri Liu Yok, tidak menaruh perkataan penjaga itu di hatinya. Ia batal pergi, malah bertanya, “Tadi kau menolak makan dan minum, kenapa?”
“Sudah kujelaskan kepada pembawa makanan dan minumannya. Karena makanan itu diambil dari altar dewa-dewa kalian. Dan aku tidak makan sehidangan dengan mereka.”
“Kenapa?”
“Untuk menjaga hubungan baik kita, sebaiknya tidak usah kujelaskan alasannya.”
“Kita tidak ada hubungan baik, bahkan musuh. Jelaskan alasanmu menolak makanan dan minuman itu. Atau mau bunuh diri pelan-pelan dengan cara mogok makan?”
“Aku tetap tidak akan menjelaskan, dan kuanggap kalian bukan musuh, melainkan tawanan-tawanan yang perlu kubebaskan.”
Memang lucu bahwa seorang yang terkurung dan terbelenggu seperti Liu Yok malahan menjanjikan kebebasan kepada orang bebas seperti Siau Hok-to dan orang-orang Pek-lian-hwe lainnya. Siau Hok-to diam-diam membatin, “Kalau aku bicara terlalu lama dengan orang ini, otakku bisa ikut jungkir balik menurut jalan pikirannya. Aku bisa ikut sinting. Hem, Thai Yu-tat salah sasaran rupanya.”
Kali ini Siau Hok-to benar-benar menyuruh Si Penjaga menutup pintu sel dan menguncinya kembali. Lalu meninggalkan tempat itu. Waktu ia tiba kembali di lingkungan rumahnya sendiri dan melangkah di halaman belakangnya, ia melambatkan langkahnya kalau-kalau mendengar suara dari ruang bawah tanah tempat puterinya dikurung.
Ternyata memang ada suara itu. Siau Hok-to hampir-hampir tak percaya kupingnya sendiri, bahwa suara yang didengarnya itu bukan teriakan, tangisan atau caci-maki kotor seperti biasa keluar dari mulut A-kui, melainkan nyanyian lembut. Ya, sebuah nyanyian kanak-kanak yang dulu sering dinyanyikan A-kui sebelum gila.
Nyanyian itu rasanya begitu jauh terkubur di alam bawah sadar Siau Hok-to, dari suatu waktu yang sudah lama di belakangnya. Satu waktu ketika Siau Hok-to masih sering dengan perasaan bahagia memperhatikan puteri kecilnya berlari-lari mengejar kupu-kupu atau memetik bunga sambil menyanyikan lagu itu.
Suatu masa ketika Siau Hok-to masih sebagai tabib kampung kecil-kecilan yang dengan pengetahuannya akan daun-daunan obat-obatan tidak punya tujuan lain dalam hidupnya kecuali menolong sesama yang memerlukan, semampunya.
Ketika ia belum dipacu ambisi untuk menjadi tabib termasyhur, ketika ia belum terperangkap tawaran manis setan untuk mempelajari “ilmu pengobatan gaib” agar lebih hebat lagi, dan ternyata sihir tetap sihir, omong kosong yang membedakan “sihir hitam untuk kejahatan” dengan “sihir putih untuk kebajikan”.
Sihir tetap adalah perangkap besar bagi manusia yang mendambakan jalan pintas. Waktu itu Siau Hok-to berambisi dan melangkah masuk ke dalam perangkap itu, dan harganya ternyata kelewat mahal. Kini di saat pengharapan rasanya sudah tidak ada, nyanyian kanak-kanak itu tiba-tiba terdengar lagi.
Hati Siau Hok-to terkoyak, sebagian tertarik ke kenangan masa lalu yang indah, sebagian lagi merentang ke pengharapan di masa depan yang barangkali sama indahnya, namun mungkinkah itu menjadi nyata? Tetapi kenapa A-kui bernyanyi?
Siau Hok-to tersentak dari berdirinya yang mematung, dihapusnya matanya yang basah, dan tak peduli malam yang sudah larut, ia menuju ke ruang bawah tempat puterinya ia kurung sendiri. Bau busuk dan suasana redup gelap tak dihiraukannya, dan hampir-hampir tak percaya dia melihat puterinya sedang duduk sendirian, menyanyi lagu kanak-kanak itu. Yang keluar dari mulut puterinya adalah suara puterinya sendiri, bukan suara-suara asing.
Melihat ayahnya, A-kui hendak berdiri menyongsong, tetapi ingat keadaannya yang tidak berbusana sama sekali sedang dia bukan gadis kecil lagi, maka dia pun kembali berjongkok malu.
Siau Hok-to makin meluap hatinya, kalau anaknya sudah punya rasa malu kembali, bukankah itu artinya tanda-tanda pulihnya jiwanya? Jiwa yang pernah dijual oleh ayahnya sendiri kepada penguasa-penguasa dunia yang gelap sebagai bayaran kesuksesan sang ayah. Siau Hok-to mencopot jubah luarnya, lewat sela-sela terali besi dia lemparkan jubah itu kepada anaknya sambil berkata, “A-kui, pakai ini dulu.”
Gadis itu memakai jubah luar itu untuk menutupi badannya, kemudian berlari memeluk ayahnya, meskipun ayah dan anak itu tak mungkin leluasa berpelukan karena terali besi di antara mereka. Tetapi mereka bergenggaman tangan, dan sama-sama mengucurkan air mata. “Ayah, aku takut sekali, rasanya bertahun-tahun tidak melihat Ayah.”
Siau Hok-to cuma mengangguk-angguk, tak mampu berkata karena tenggorokannya tersumbat keharuan. Bukan cuma air mata, ingus pun ikut keluar.
“Ayah... jangan tinggalkan aku lagi. Jangan lagi serahkan aku kepada orang-orang bertanduk berjubah hitam itu....”
Siau Hok-to menjawab sesenggukan, “Tidak, A-kui... tidak akan terjadi lagi... maafkan Ayah....”
“Aku sulit melupakan saat-saat itu, Ayah. Ketika aku sedang memetik bunga, tiba-tiba Ayah menarik tanganku dan membawaku kepada orang-orang berjubah hitam itu, Ayah menyerahkan aku kepada mereka dan meninggalkan aku. Aku panggil-panggil Ayah, tetapi Ayah tidak mendengar dan terus makin menjauh. Aku dikurung di tempat gelap, rasanya berabad-abad lamanya. Tiap detik kuharap Ayah datang menolong, namun Ayah tidak datang-datang....”
“Maafkan Ayah... maafkan Ayah...”
Siau Hok-to mempererat pelukannya, meskipun terhalang terali besi. Sebelumnya ia juga kasihan kepada puterinya, tetapi baru sekarang ia bisa membayangkan betapa hebat puterinya terkurung ketakutan dan keputus-asaan, kepribadian aslinya tergenggam total dalam cengkeraman kekuatan-kekuatan dari negeri maut.
“Syukurlah kau bebas sekarang, A-kui ...” kata Siau Hok-to. Mendadak ia teringat kata-kata Liu Yok yang mengaku “sudah mengunjungi A-kui” serta ucapan lainnya “diutus untuk melepaskan orang- orang dari penjara”, Siau Hok-to tiba-tiba berpikir, mungkinkah sembuhnya puterinya ini ada sangkut pautnya dengan Liu Yok?
“A-kui, coba ceritakan kepada Ayah apa yang kau alami dan rasakan sebelum kau pulih seperti ini. Seingatmu saja, Ayah maklum sebelum ini pikiranmu seolah-olah bukan milikmu sendiri.”
“Aku yang terkurung kegelapan, sayup-sayup hanya mendengar suara semacam terompet tanduk di kejauhan tetapi makin dekat. Penyiksa-penyiksaku kelihatannya gentar sekali mendengar suara itu. Lalu ada cahaya menerobos kegelapan, makin terang, dan penyiksa-penyiksaku kabur semua. Begitu saja, Ayah.”
Biarpun penjelasan itu singkat, Siau Hok-to bisa melihat betapa runtut penalarannya, tanda betapa warasnya pikiran A-kui sekarang. Aneh adalah tanggapan dalam hati Siau Hok-to kepada cerita itu. Ia percaya. Dan sekalipun Siau Hok-to adalah pemuja Dewa Cahaya, entah kenapa ia tidak percaya kalau cahaya terang yang dilihat mata batin puterinya itu adalah perwujudan dewa sesembahannya.
Siau Hok-to sampai heran sendiri terhadap pikirannya sendiri itu. Soalnya meski dewa sesembahannya disebut dewa cahaya, namun sama sekali belum pernah memberi cahaya terang dalam hidupnya. Yang sering malahan mengancam dalam mimpi-mimpi atau dalam pemunculan-pemunculan lain. Dalam mimpinya, sering Siau Hok-to melihat dirinya sendiri diseret dan dijerumuskan ke dalam jurang yang dalam dan gelap. Sebutan “Dewa Cahaya” agaknya kurang cocok dengan tindakannya dalam kenyataan.
Malam itu juga, Siau Hok-to membangunkan seisi rumahnya. Ada yang disuruh menyediakan air panas untuk mandi, ada yang disuruh menyediakan pakaian, dan ada yang disuruh membersihkan kamar A-kui yang sekian tahun ditutup dan tidak dipakai.
Meskipun setelah itu semua, Siau Hok-to mulai “langganan” mimpi, di mana ia didatangi dewa sesembahannya dan panglima-panglima perangnya, mengancam agar Siau Hok-to mengembalikan A-kui kepada mereka.
Dalam mimpinya, Siau Hok-to menjawab bahwa bukan dirinya yang merebut A-kui. Si Dewa Cahaya dan panglima-panglimanya dipersilakan merebut kembali A-kui dari pihak yang membebaskan A-kui, dan ternyata Dewa Cahaya serta panglima-panglimanya itu mundur teratur.
Merenungi makna mimpinya itu, Siau Hok-to sampai pada kesimpulan: Si “Dewa Cahaya” ternyata bukanlah yang paling berkuasa. Masih ada yang lebih berkuasa, tetapi entah siapa Siau Hok-to belum tahu.
Kui Tek-lam yang lolos dari kejaran orang-orangnya Thai Yu-tat, punya beban pikirannya sendiri. Ia sangat menguatirkan Liu Yok yang menyerahkan diri begitu saja kepada orang-orang Pek-lian-hwe.
“Memang gila Liu Yok itu.” katanya kepada Cu Tong-liang yang sudah bisa diajak bicara, meskipun masih sangat lemah tubuhnya. “Baik hati ya baik hati, tapi apakah masuk akal kalau kepada musuh pun berbaik hati? Mengulurkan tangannya sendiri untuk dibelenggu?”
Cu Tong-liang menjawab lemah, “Aku pikir, Liu Yok tahu apa yang dilakukannya.”
“Menurut Saudara Cu, apa tujuan dari tindakannya itu?”
“Aku tidak pasti, cara berpikir Liu Yok terlalu aneh buat kita. Aku cuma menduga, Liu Yok sengaja menyerah agar bisa berada di jantung kekuatan sihir Pek-lian-hwe, yang di berbagai tempat diberi nama sandi Kota Bunga Persik. Dari sanalah dia menghantam. Ini perkiraanku.”
“Apakah kita perlu pindah tempat dari sini?”
“Buat apa?”
“Siapa tahu Liu Yok tidak tahan disiksa oleh orang-orang Pek-lian-hwe, lalu dia menunjukkan tempat ini? Padahal keadaan Saudara Cu masih lemah.”
Cu Tong-liang tertawa, “Tidak perlu pindah.”
“Kenapa?”
“Ada teman-teman Liu Yok yang menjaga kita di sini, meski tidak kelihatan.”
“Saudara Cu mulai percaya hal-hal aneh begitu?”
“Kalau sudah mengalami sendiri, mau tidak mau harus percaya. Aku juga sudah mengambil keputusan untuk mengikuti keyakinan Liu Yok. Saudara Kui sendiri bagaimana?”
“Aku pun punya pengalaman aneh dengan seorang temannya Liu Yok. Seorang yang sambil berjalan bisa berubah semakin muda dan semakin muda.” jawab Kui Tek-lam. “Tetapi bagaimanapun aku tetap harus menyelidiki ke kota Lam-koan untuk mencari berita tentang Liu Yok, dan tentang Kakak Oh juga.”
“Pergilah, jangan cemaskan aku di sini. Sebelum pergi, maaf, tolong ambilkan bukunya Liu Yok, aku senang membaca-bacanya.”
Cu Tong-liang memang belum dapat bergerak banyak, maka bungkusan pakaian Liu Yok yang cuma beberapa langkah pun tidak dapat digapainya. Kui Tek-lam menolong mengambilkan buku Liu Yok.
“Apa isinya?” tanyanya kepada Cu Tong-liang. “Apakah pelajaran menangkal ilmu sihir?”
“Kelihatannya bukan. Aku baru baca beberapa lembar, nampaknya kisah yang sudah lama sekali, kisah terjadinya langit, bumi dan benda-benda angkasa.”
“Silakan membaca-baca, Saudara Cu. Aku tinggal dulu.”
Kui Tek-lam kemudian berangkat ke Lam-koan, tentu saja dalam penyamaran. Sekian lama ia berputar-putar, mencoba pasang kuping di sana-sini dan kadang-kadang secara halus coba memancing keterangan tentang orang-orang yang dicemaskannya. Namun ia tidak mendapat keterangan apa-apa, kecuali petunjuk bahwa keduanya mungkin dimasukkan ke “Kota Bunga Persik”.
Tapi di mana letak tempat itu, Kui Tek-lam tidak mengetahuinya, meskipun ia pernah berada di dalamnya, ketika menyelundup sebagai calon anggota Pek-lian-hwe gadungan dulu. Alhasil Kui-tek-lam cuma putar-putar kota dengan sia-sia sampai tubuhnya berkeringat, karena kota Lam-koan saat itu udaranya panas sekali.
Suatu saat, ketika ia berada di sebuah jalan, tiba-tiba ia lihat di depan sana ada seseorang yang sedang dikejar-kejar banyak orang. Yang dikejar itu seorang lelaki setengah baya berjenggot panjang, kalau melihat jubah panjangnya, mudah diterka kalau dia adalah seorang tukang nujum. Rasanya Kui Tek-lam pernah juga melihat orang itu beberapa kali ketika sedang buka praktek di tempat-tempat ramai. Entah kenapa sekarang dikejar-kejar orang banyak?
Wajah Si Ahli Nujum nampak ketakutan, ia berlari sambil menyingsingkan ujung jubahnya di bagian bawah. Namun agaknya ia bukan seorang olah ragawan, larinya tidak cepat, dan sebentar lagi nampaknya akan tersusul oleh pengejar-pengejarnya. Pengejar-pengejarnya terdiri dari bermacam-macam orang, bahkan ada juga seorang nenek-nenek yang larinya tertinggal jauh di belakang.
Kui Tek-lam bertanya kepada seorang penjual makanan di pinggir jalan. “Bukankah yang diuber-uber itu adalah ahli nujum tua itu?”
“Betul.”
“Kenapa dikejar-kejar?”
“Kudengar-dengar, ramalannya semakin banyak ngawurnya, padahal banyak orang mempercayakan langkah penting kehidupannya kepada ramalannya. Misalnya pengusaha yang mau menanam modal, mau buka toko, orang tua mau memilih jodoh dan sebagainya. Dulu Kakek Tong ini ramalannya selalu tepat, entah kenapa sekarang meleset semua. Tentu saja merugikan banyak orang.”
“Kenapa ramalannya gagal?”
“Entahlah. Kata orang, dewa-dewa yang selama ini mendukung ramalannya, banyak yang pindah ke kota lain.”
Kui Tek-lam tertawa, “Kenapa dewa-dewanya pindah? Apakah Si Ahli Nujum ini pelit memberi sesaji?”
Si Penjual Makanan ikut tertawa, “Tidak tahulah.”
Si Ahli Nujum yang sudah kelelahan berlari itu hampir remuk dihajar masa, seandainya Kang Liong dan satu regu pasukannya tidak muncul di situ dan mencegah orang banyak main hakim sendiri kepada Si Ahli Nujum. Orang-orang bisa ditenangkan oleh Kang Liong meskipun dengan susah payah.
Nampaknya wibawa Kang Liong di mata orang-orang Lam-koan pun merosot. Dulu kalau Kang Liong bicara, orang-orang Lam-koan mendengarkannya dengan khidmat dan patuh, seolah-olah mendengar suara seorang dewa.
Sekarang, selagi Kang Liong bicara, orang-orang masih berani berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tinjunya kepada Si Ahli Nujum yang sudah dilindungi para pengiring Kang Liong. Setelah Kang Liong memerintahkan prajurit-prajuritnya bertindak keras, barulah orang-orang penasaran itu mau bubar.
Kui Tek-lam mencatat peristiwa itu di benaknya, dan ia meneruskan upayanya mencari berita tentang Liu Yok dan Oh Tong-peng. Waktu Kui Tek-lam lewat sebuah rumah judi yang paling besar dan paling ramai di kota itu, ia lihat rumah judi itu sekarang sepi pengunjung. Dari dalam tidak terdengar teriakan ramai orang-orang mengadu untung seperti biasanya.
Si Bandar terduduk bertopang dagu di mejanya, mungkin sambil bertanya-tanya dalam hati, mestikah jimat penglaris yang dipasang di atap pintu masuk itu diganti yang baru, yang lebih ampuh, dengan korban lebih besar?
Di tempat lain, Kui Tek-lam melihat rombongan akrobat plus topeng-monyet yang dipimpin Thai Yu-tat, yang dulunya selalu dikerumuni penonton, sekarang begitu sulit mengumpulkan penonton. Si Penabuh Gembreng sampai habis suaranya ketika berteriak-teriak,
“Penduduk Lam-koan! Saksikan tontonan dahsyat yang belum pernah ada! Saksikan manusia kebal yang sanggup berjalan di atas api membara! Mengiris lidahnya! Tidur di atas golok dan dipukul perutnya! Ayo! Ayo! Saksikan beramai-ramai!”
Namun setiap kali datang satu dua calon penonton, maka satu-satu calon penonton yang sudah datang lebih dulu dan sudah menunggu sejak tadi, beranjak pergi. Begitulah, satu-dua datang, satu-dua pergi, alhasil tak pernah terkumpul penonton yang cukup banyak.
Thai Yu-tat sebagai pimpinan akrobat yang sering menampilkan atraksi-atraksi magis juga, duduk di atas peti kayu tempat peralatan tontonannya, dengan wajah murung. Sambutan sedingin ini belum pernah dialaminya. Namun dia pun sangsi, andaikata penonton terkumpul cukup banyak, apakah ia dan rombongannya bisa menyuguhkan atraksi yang bisa memuaskan penonton? Rasanya dukungan gaib yang bisa terasa olehnya dan anggota rombongannya, hari itu “libur”. Tanpa dukungan gaib itu, mana bisa jalan di atas api? Mana bisa mengiris lidah?
Kui Tek-lam melewatinya terus. Tetapi tiba-tiba sesuatu berkelebat dalam pikirannya. Ahli nujum gagal menujumnya sehingga hampir dikeroyok orang, rumah judi sepi pengunjung, rombongan akrobat yang menampilkan atarksi-atraksi magis tiba-tiba diemohi penonton, tanda-tanda apa ini? Tiba-tiba saja sebuah dugaan muncul di otak Kui Tek-lam, mungkinkah ini hasilnya Liu Yok “meniup sasangkala tanduk domba jantan”?
Pek-lian-hwe mengandalkan topangan ilmu gaib mereka untuk mencengkeram Lam-koan lewat tontonan-tontonan mereka, rumah-tumah judi mereka, orang-orang mereka yang diselundupkan ke dalam pemerintahan seperti Kang Liong, yang dibekali dengan jimat penambah kewibawaan, pendeknya yang serba gaib, tetapi sekarang yang serba gaib itu hampir lenyap pengaruhnya di segala lapangan. Satu-satunya orang yang patut “dicurigai” sebagai dalang dari semuanya ini, hanya Liu Yok.
Hampir-hampir Kui Tek-lam tertawa sendiri memikirkan itu, pikirnya, “Pek-lian-hwe kena batunya sekarang. Tetapi mereka sendiri belum tentu sadar apa yang menyebabkan pengaruh sihir mereka amblas.”
Yang paling menggembirakan Kui Tek-lam ialah, ketika ia sampai ke suatu jalan yang agak sepi, dilihatnya seseorang berjalan dari arah depan ke arahnya. Orang itu melangkah perlahan, sambil tangannya berulangkali memegangi kepalanya seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Dan orang itu bukan lain adalah Lo Lam-hong, rekan Kui Tek-lam yang sekian lama menjadi boneka di tangan Pek-lian-hwe.
Hampir Kui Tek-lam berteriak memanggilnya, namun suatu pikiran lain melintas dan Kui Tek-lam batal memanggilnya. Ia malah menepi, memberi jalan, sambil tetap memperhatikan. Juga tetap waspada, siapa tahu Lo Lam-hong masih dipengaruhi Pek-lian-hwe dan tiba-tiba menyerangnya?
Ketika melihat Kui Tek-lam, Lo Lam-hong melambatkan langkah sambil memperhatikan baik-baik, telunjuknya teracung lama, sementara tangan yang lain memegangi jidatnya membantu memulihkan ingatannya, “Ini... ini... bukankah... Saudara Kui Tek-lam?”
Kui Tek-lam hampir bersorak kegirangan, jawabnya, “Betul. Saudara Lo masih ingat aku?”
“Aku ingat... tapi terus terang saja agak bingung.”
“Apa yang membuatmu bingung?”
“Aku... seperti baru saja melewati suatu saat di mana aku... tidak ingat apa pun yang kulakukan, kukatakan atau kupikirkan.”
“Lalu kenapa Saudara Lo bisa ingat lagi kepadaku?”
“Entahlah, tahu-tahu aku merasa heran kenapa sedang ada di sini, dan waktu melihatmu juga heran karena langsung mengenalmu. Tapi rasanya ada bagian dari waktuku yang hilang.”
Baru saja Kui Tek-lam hendak menerangkan, bahwa “bagian waktu yang hilang” itu adalah saat-saat pikiran Lo Lam-hong dikendalikan oleh orang Pek-lian-hwe, tiba-tiba dari ujung jaian muncul beberapa lelaki bersenjata menghampiri. Orang-orang itu menatap Kui Tek-lam dengan curiga, kemudian salah satu dari mereka berkata kepada Lo Lam-hong.
“Saudara Lo, kenapa kau pergi begitu saja dari pertemuan? Mari kembali ke pertemuan.”
Dengan ketolol-tololan Lo Lam-hong malahan balik bertanya, “Lho, kalian ini siapa? Aku harus kembali ke mana? Pertemuan apa?”
Orang-orang yang menyusul itu saling berpandangan, di tempat itu ada Kui Tek-lam yang mereka anggap orang luar, mereka tidak leluasa berbicara. Mereka cuma mendesak, “soal itu bisa dijelaskan nanti, jangan di sini. Saudara Lo, mari kita pulang dulu.”
Kui Tek-lam sudah tentu tidak membiarkan rekannya ini jatuh kembali ke bawah pengaruh sihir Pek-lian-hwe. Lagi pula, dengan melihat kenyataan-kenyataan yang sedang terjadi di Lam-koan, rasanya Kui Tek-lam tidak gentar lagi terhadap sihir Pek-lian-hwe. Kui Tek-lam punya dugaan kuat bahwa cengkeraman sihir Pek-lian-hwe atas kota Lam-koan sedang dipreteli oleh Liu Yok.
Maka berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-hwe yang menyusul Lo Lam-hong ini, kalau cuma adu jotos saja rasanya Kui Tek-lam tidak gentar menghadapi lima orang ini. Maka berkatalah Kui Tek-lam. “Orang ini temanku, kalau tidak mau diajak harap jangan dipaksa.”
Wajah orang-orang Pek-lian-hwe itu menegang. Mereka semua tahu bahwa Lo Lam-hong ini sebelum menjadi “boneka” Pek-lian-hwe adalah “anjing Manchu”. Kini ada orang yang mengaku sebagai temannya, orang ini pastilah “anjing Manchu” pula.
Orang-orang Pek-lian-hwe itu langsung menunjukkan sikap bermusuhan, mereka agak merenggangkan jarak satu sama lain, siap berkelahi. Yang mukanya ada bekas luka, sebagai pimpinan, berkata, “Aku tidak tahu Tuan ini siapa, tetapi Lo Lam-hong ini milik kami. Kami harus membawanya pulang, harap Tuan jangan ikut campur.”
Kui Tek-lam tertawa, “He, yang kau bicarakan ini manusia, bukan kucing atau kambing. Kalau kambingmu hilang dan kau menemukannya di luar rumah, kau bisa menyeretnya pulang begitu saja. Tetapi manusia punya kemauan sendiri, boleh pergi ke mana kakinya membawanya, dia bukan milik siapa-siapa dan kau tidak boleh membawanya dengan paksa. Itu namanya penculikan dan melanggar hukum!”
“Siapa kau? Apakah kau petugas kerajaan?”
“Aku hanya seorang sahabat baik dari Saudara Lo ini, aku tidak membiarkan sahabatku diculik di depan hidungku!”
Sementara Kui Tek-lam dan orang-orang Pek-lian-hwe itu bertengkar memperebutkan Lo Lam- hong, maka Lo Lam-hongnya sendiri justru cuma terlongong-longong kebingungan. Namun keadaan pikirannya sudah sangat berbeda dengan sewaktu dikendalikan orang Pek-lian-hwe. Waktu dikendalikan dulu, pikiran Lo Lam-hong seperti membeku dicengkeram pribadi lain yang merasuk dirinya, Lo Lam-hong melakukan apa saja yang masuk ke kupingnya sebagai perintah tanpa dipikir lagi.
Sekarang pikirannya sudah berfungsi biarpun masih agak bingung, dengan kesadarannya itu Lo Lam-hong merasa lebih dekat kepada Kui Tek-lam yang memang sudah bersahabat dengannya selama bertahun-tahun. Sedang orang-orang Pek-lian-hwe ini tidak berbekas sedikit pun dalam ingatannya, meskipun beberapa saat menjadi “teman seperjuangan” di saat pikiran Lo Lam-hong tidak berfungsi.
Dengan pertimbangan ini pulalah Kui Tek-lam berani menantang orang-orang Pek-lian-hwe itu, “Kalau tidak percaya, tanyalah dia, mau ikut aku atau ikut kalian. Kalau dia bilang mau ikut kalian, aku takkan menghalangi dia pergi bersama kalian!”
Orang Pek-lian-hwe itu sadar, kalau Lo Lam-hong disuruh membuat pilihan sendiri selagi pikirannya sudah sadar, tentu akan menolak diajak bergabung kembali dengan Pek-lian-hwe. Mereka jadi terpojok oleh tantangan Kui Tek-lam itu. Maka pimpinan rombongan itu memerintahkan orang- orangnya, “Hajar orang asing yang usil ini!”
Ia memerintah, dan ia sendiri bertindak. Tangannya membuat gerakan menggertak mencakar ke arah mata, namun serangan sesungguhnya adalah kaki kanannya yang meluncur deras ke arah selangkangan Kui Tek-lam. Ia membuka perkelahian dengan gerak tipu yang kejam dan mematikan.
Namun Kui Tek-lam berkelit ke samping, bahkan sempat mengejek, “Sudah lama tanganku gatal untuk melakukan pertarungan yang begini, tanpa dibumbui yang gaib-gaiban.” Ia berkata demikian karena tahu pengaruh gaib Pek-lian-hwe sedang dilumpuhkan.
Orang Pek-lian-hwe itu ternyata justru kurang pintar main sihir, ia lebih banyak mengandalkan otot dan tulangnya. Maka begitu tendangan pertamanya luput, kakinya yang lain menyapu rendah sambil berjongkok dan memutar tubuhnya. Arahnya ialah mata-kaki Kui Tek-lam.
“Biar kuuji seberapa keras tulangnya.” pikir Kui Tek-lam. Ia tidak menghindari sapuan kaki itu, malah memperkuat pijakannya sekuat-kuatnya.
Dua kaki yang sama-sama terlatih itu bertabrakan. Si Orang Pek-lian-hwe berdesis menahan sakit dan bergulingan menjauh. Rasanya seperti menendang batu besar yang tertanam di tanah. Gantian Kui Tek-lam yang menerkam ke arah orang itu, sebelum orang itu selesai bergulingan.
Namun orang itu tidak sendiri, kawan-kawannya tidak tinggal diam. Seorang lainnya yang bertubuh tegap segera memasuki gelanggang dengan melompati tubuh kawannya sendiri yang masih bergulingan, sambil mengayunkan belatinya yang mengkilap ke arah Kui Tek-lam. Orang ke tiga menyerang Kui Tek-lam dengan kayu hitam.
Kui Tek-lam menghentikan tubrukannya ke sasaran pertama, tetapi cepat-cepat merendahkan dirinya, berbarengan dua tangan bersilang pada pergelangan tangan yang saling menempel, menggunting dan menjepit lengan Si Pemegang Belati.
Kui Tek-lam membungkuk sambil menyentakkan tubuh Si Pemegang Belati itu searah dengan tubrukannya sendiri, tubuh Si Pemegang Belati terhempas menghantam Si Pemegang Toya hitam. Bahkan toya hitam itu mengenai jidat Si Pemegang belati yang adalah teman sendiri, dua tubuh itu kemudian terhempas bersama-sama.
“Ayo maju semua, biar tambah ramai!” tantang Kui Tek-lam, karena masih ada dua orang yang belum masuk arena. “Ataukah kalian beraninya cuma dari jauh sambil menusuki boneka dengan jarum?”
Dua anggota Pek-lian-hwe yang belum maju itu sama-sama bertubuh kekar penuh otot, tampang mereka yang mirip menunjukkan kalau mereka bersaudara. Bagaikan sepasang gorila yang marah, mereka maju melangkah perlahan-lahan dengan sepasang tangan terulur ke depan. Agaknya mereka jago dalam soal bergulat dan meringkus orang.
Kui Tek-lam tertawa melihat gaya kedua orang itu, “Kalian mau main gorila-gorilaan?”
Kedua saudara itu menubruk berbareng, tetapi Kui Tek-lam selicin belut menyelinap pergi. Detik berikutnya, sebelum kedua “gorila” itu memperbaiki posisinya, mereka merasa tengkuk mereka ditimpa benda berat, mereka tersungkur dengan mata berkunang-kunang kemudian pingsan. “Benda berat” yang menimpa tengkuk mereka itu bukan lain adalah sepasang tinju Kui Tek-lam.
Begitulah, orang-orang Pek-lian-hwe boleh jago dalam ilmu gaib, namun begitu ilmu gaib mereka lumpuh maka dalam hal ketangkasan fisik mereka begitu cepat dan mudah dihabisi oleh Kui Tek-lam.
Si Pemimpin Rombongan agaknya tahu diri, ia lalu mengajak teman-temannya kabur dengan menggotong dua “gorila” yang pingsan tadi. Kui Tek-lam tidak mengejar, sebab ia ingin mengurus Lo Lam-hong lebih dulu. Selama terjadinya perkelahian tadi, Lo Lam-hong cuma jadi penonton yang tidak mengerti ujung-pangkalnya kenapa mereka berkelahi.
“Mereka sudah lari, Saudara Lo”, kata Kui Tek-lam sambil menepuk pundak Lo Lam-hong.
“Mereka tadi siapa? Wajah mereka seperti pernah kulihat.”
“Jangan pusingkan mereka dulu, segarkan ingatanmu dulu. Sekarang ikutlah aku.”
“Ke mana?”
“Ke tempat persembunyian kami selama ini. Di sana ada Saudara Cu Tong-liang. Ingat?”
“Cu Tong-liang? Ya, rasanya nama itu pernah kukenal. Bahkan kukenal baik.”
“Tentu saja. Dia rekan kita.”
Sambil melangkah bersama-sama, Kui Tek-lam banyak bicara untuk memulihkan pikiran Lo Lam- hong. Dan ini tidak sulit. Ingatan masa lalu Lo Lam- hong bukannya terhapus sama sekali, melainkan selama di bawah pengaruh gaib Pek-lian-hwe ingatannya hanya seolah-olah ditutupi. Dan kini selubung itu seperti dirobek-robek.
Bahkan Lo Lam-hong sudah mulai bisa menanggapi dengan perasaannya. Kalau Kui Tek-lam ceritakan kejadian lucu yang dialami bersama dulu, Lo Lam-hong bisa tertawa, bahkan mengomentari dan melengkapi cerita itu. Pribadinya benar-benar mulai pulih.
Kui Tek-lam lega. Ia ingat rekannya yang satu lagi, Pang Hui-beng, yang disantet Pek-lian-hwe sehingga jadi orang gila yang berkeliaran di kota. Entah bagaimana dengan rekan yang satu itu? Apakah pengaruh sihir yang mengungkungnya juga mulai kendor? Namun seharian itu Kui Tek-lam tidak melihat Pang Hui-beng, meskipun sudah memutari Lam-koan. Maka lebih dulu ia bawa Lo Lam-hong untuk dipertemukan dengan Cu Tong-liang.
Semangat Kui Tek-lam membara, tekadnya di hadapan kedua rekannya itu, “Regu kita akan utuh kembali. Kalau dulu orang-orang Pek-lian-hwe sudah berhasil mencerai-beraikan kita dengan ilmu hitam mereka, ada yang mereka kuasai, ada yang mereka buat gila, ada yang mereka buat lumpuh, sekarang satu demi satu dari kita akan kembali. Kita akan utuh kembali. Kita enam orang waktu berangkat dari Pak-khia, dan kita akan jadi enam kembali.”
“Tujuh!” tukas Cu Tong-liang. “Justru kunci yang menentukan.”
Kui Tek-lam menampar jidatnya sendiri, “Hampir saja kulupakan Liu Yok. Ya, kita jadi bertujuh sekarang!”
Tanya Lo Lam-hong yang ingatannya sudah pulih sebagian besar, “Liu Yok? Liu Yok yang pernah dianjurkan oleh Jenderal Wan, tetapi Saudara Kui tidak jadi membawanya kemari karena dianggap tidak cocok dengan tugas ini?”
Kui Tek-lam mengangguk, “Aku salah besar dengan tidak mengajaknya kemari dulu. Untung akhirnya dia di sini juga.”
“Di mana?”
“Ditangkap Pek-lian-hwe.”
“Kalau begitu, harus kita bebaskan!” kata Lo Lam-hong bersemangat.
Namun Cu Tong-liang berkata, “Tidak usah. Firasatku bilang, Liu Yok akan memperoleh jalannya sendiri untuk keluar.”
Lo Lam-hong heran, “Saudara Cu, sejak kapan omonganmu jadi seperti guru kebatinan begini?”
“Sejak aku tahu apa yang diyakini Liu Yok, tahunya bukan melalui otak atau diajari orang, tetapi dengan pengalamanku sendiri.”
Hong Pai-ok sedang kesal. Bertubi-tubi laporan yang diterimanya tentang mengendornya pengaruh Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan. Bahkan Kang Liong yang biasanya dihormati, sekarang dibantah orang. Yang paling memukul perasaannya ialah waktu mendengar laporan bahwa Lo Lam-hong Si “Anjing Manchu” yang sekian lama dalam genggaman Pek-lian-hwe, tiba-tiba memperoleh pikiran sadarnya kembali dan kabur.
Hong Pai-ok sadar, cengkeraman Pek-lian-hwe atas Lam-koan sudah seperti telur di ujung tanduk. Tanpa pengaruh gaib, Pek-lian-hwe tidak berarti apa-apa di Lam-koan. Biarpun di Lam-koan itu Pek-lian-hwe menyembunyikan lima ribu pucuk senapan, namun anggota Pek-lian-hwe sendiri di Lam-koan tidak lebih seratus orang.
Itu adalah anggota yang benar-benar mengerti tujuan “perjuangan” Pek-lian-hwe dan benar-benar setia, ada jumlah yang lebih banyak, namun mereka hanyalah anggota ikut-ikutan yang pasti tidak tahan uji kalau menghadapi tantangan. Malam itu, kembali tokoh-tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan dikumpulkan di “Kota Bunga Persik” atas perintah Hong Pai-ok.
“Aku sungguh tidak mengerti...” Hong Pai-ok membuka pertemuan itu dengan keluhan. “Si dukun Manchu Liu Yok itu sudah di tangan kita, dan ia hampir mati kelaparan karena sudah tiga hari tiga malam tidak mau makan minum. Tetapi kenapa justru pengaruh gaib kita merosot serentak di seluruh kota Lam-koan? Ahli nujum kita hampir mampus dikeroyok orang, Kang Liong tidak lagi terlalu dipatuhi orang, rumah-rumah judi, rumah-rumah pelacuran dan rumah-rumah madat kita sepi pengunjung dan pemasukan uang pun merosot banyak. Bagaimana ini?”
Kalau Hong Pai-ok saja sudah mengeluh “bagaimana ini”, yang lain pun belum punya pemecahan masalahnya. Siau Hok-to berkata, “Kakak Hong, yang kita tangkap itu barangkali bukan Si Dukun Manchu yang sebenarnya. Mungkin kita salah tangkap. Si dukun yang sebenarnya saat ini barangkali masih aman di suatu tempat di dalam kota atau sekitarnya kota, menyelenggarakan upacara gaibnya untuk menentang pengaruh kita.”
Yang menangkap Liu Yok adalah Thai Yu-tat, maka Thai Yu-tat jadi tersinggung bahwa ia dikatakan salah tangkap. Ia membalas, “Kakak Hong, ajaran pokok dari keyakinan kita adalah : demi keagungan sesembahan kita, kita harus berani berkorban dan mengorbankan apa saja.”
“Benar. Lalu?”
“Nah, kalau ada di antara kita, apalagi seorang pimpinan, sudah tidak lagi memiliki kerelaan berkorban dan mengorbankan, tentu saja sesembahan kita gusar. Tidak heran kalau kita ditinggalkannya. Betul tidak?”
“Siapa yang Saudara Thai maksudkan dengan pimpinan yang tidak lagi memiliki semangat berkorban dan mengorbankan?”
Thai Yu-tat pura-pura gelisah dan tidak segera mengatakannya. Sengaja ia lebih dulu menjawab berbelit-belit, “Aku sungguh tidak berani menyebutkannya, Kakak Hong. Aku khawatir dituduh memfitnah karena mengingini kedudukannya.”
Dengan kata-kata itu, Thai Yu-tat sebenarnya sudah menuding ke arah Siau Hok-to. Semua orang juga tahu, dan semua mata dari peserta pertemuan itu sekarang terarah kepada Siau Hok-to. Siau Hok-to gusar, namun berusaha mengendali kan diri.
“Saudara Thai, bicara saja terang-terangan, apakah aku yang kau maksudkan dengan pimpinan yang tidak lagi mentaati asas pokok ajaran Pek-lian-hwe? Asas pokok yang merupakan jantung kehidupannya Pek-lian-hwe?”
Thai Yu-tat memang sudah bertekad untuk menjatuhkan Siau Hok-to secepatnya, ia merasa sudah mendapat angin dari Hong Pai-ok sebagai orang pusat. Kini ditatapnya mata Siau Hok-to dengan berani dan menjawab, “Aku pikir, orangnya pasti merasa sendiri.”
Siau Hok-to bertambah gusar, “Sebut namanya saja, Saudara Thai. Kalau yang kau maksudkan orangnya adalah aku, aku takkan menyangkal asal kau bisa tunjukkan bukti-buktinya.”
Thai Yu-tat melirik dulu ke arah Hong Pai-ok, dan Hong Pai-ok mengangguk. Maka Thai Yu-tat pun berani menjawab, “Benar. Kakak Siau lah orangnya.”
“Tolong Saudara Thai tunjukkan, dalam hal apa aku tidak mau berkorban demi dewa kita?”
“Selama ini Kakak Siau dikenal sebagai tabib paling hebat ilmu pengobatannya di Lam-koan dan sekitarnya, dan itu adalah salah satu ujung tombak penanam pengaruh Pek-lian-hwe kita di Lam-koan. Aku tanya, Kakak Siau, dari siapakah Kakak memperoleh ilmu pengobatan yang hebat itu?”
“Karena aku berbakti kepada Dewa Cahaya dan ibundanya, Ibu Abadi Tanpa Asal-usul (Bu-seng Lo-bo).”
“Pengorbanan apa yang Kakak berikan kepada sesembahan kita?”
“Anakku satu-satunya, A-kui, aku relakan menjadi kediaman beberapa panglima langit dan pasukan mereka. Kadang-kadang sesembahan kita memberi petunjuk kepadaku, melalui mulut puteriku.”
“Ternyata pengorbananmu tidak ikhlas, Kakak Siau. Kau coba menarik kembali korban yang sudah kau serahkan, inilah yang membuat junjungan kita marah. Dan bukan hanya aku saja yang kena akibatnya, tetapi saudara-saudara yang lain juga!”
“Dalam hal apa aku tidak ikhlas?”
“Kemampuan pengobatan Kakak Siau akhir-akhir ini merosot jauh. Betul tidak?”
Siau Hok-to benar-benar tidak suka dirinya ditanyai seperti pesakitan di depan meja pengadilan. Namun sadar bahwa Thai Yu-tat mendapat dukungan Hong Pai-ok, Siau Hok-to terpaksa menahan diri. Ia ingin menunjukkan dirinya tidak bersalah dengan cara mematahkan semua tuduhan Thai Yu-tat.
Sahutnya, “Benar, aku akui. Aku sendiri heran kenapa bisa begitu. Tapi pengaruh saudara-saudara kita yang lain juga merosot, kenapa cuma aku yang dituduh tidak ikhlas berkorban?”
“Yang lain-lain itu hanya kena dampak dari ketidak-ikhlasan Kakak. Buktinya, A-kui, puteri Kakak satu-satunya yang Kakak persembahkan hidupnya kepada dewa kita, sekarang sudah tidak lagi menjadi kediaman beberapa panglima langit. Ia sudah hidup wajar seperti orang-orang lain. Ini artinya Kakak sudah mengambil kembali A-kui yang tadinya Kakak serahkan kepada dewa kita, sekarang menjadi milik Kakak kembali. Inilah sumber masalah kita selama ini.”
“Itu tidak benar! Aku tidak pernah bermaksud mengambil kembali puteriku yang sudah kupersembahkan kepada dewa kita! Aku tidak mengambilnya kembali!”
“Lalu, kenapa dia sekarang bukan lagi kediaman bagi beberapa panglima langit?”
Dalam percakapan Pek-lian-hwe, istilah “menjadi kediaman para panglima langit” berarti dirasuki roh-roh jahat alias gila. Namun di kalangan Pek-lian-hwe, orang tua yang mau menyerahkan anaknya untuk “didiami panglima langit” alias gila, mendapat kehormatan besar.
Jawab Siau Hok-to, “Aku terus-terang saja tidak tahu kenapa para panglima langit tidak lagi berkenan mendiami puteriku. Tetapi bukan karena aku tidak rela. Aku tidak pernah lalai beribadah dan memuja junjungan kita.”
“Kakak bilang bukannya tidak rela, tetapi nyatanya para panglima langit kabur.”
“Saudara Thai, kau menyalahkan aku untuk hal ini?” suara Siau Hok-to meninggi bersamaan dengan naiknya emosinya. “Kalau ingin kedudukan pemimpin cabang, ambil saja, aku akan minggir demi kemajuan Pek-lian-hwe kita. Tidak usah menyebar fitnah!”
Keduanya hampir bertengkar, sementara yang lain hanya sebagai pendengar. Kemudian Hong Pai-ok menengahi.
“Diamlah kalian. Bahwa para panglima langit sudah meninggalkan kita, itu bisa kita rasakan. Aku sendiri sudah bersemedi dua malam di depan altar, mencoba mencari hubungan dengan mereka, tetapi sepertinya ada penghalang yang tak bisa dilewati.”
“Ketidak-relaan berkorban dan ketidak setiaan, itulah penghalangnya!” tukas Thai Yu-tat.
Hong Pai-ok berkata pula, “Mungkin Saudara Thai benar. Saudara Siau, untuk memulihkan kekuatan kita di Lam-koan, barangkali Saudara Siau sebagai pimpinan perlu mencontohkan sebuah pengorbanan yang akan menyenangkan dewa-dewa kita dan para panglima langitnya.”
Dengan perasaan was-was Siau Hok-to bertanya, suaranya pun takut-takut, “Apa maksud Kakak Hong?”
“Tadi Saudara Siau bilang, bahwa Saudara tetap merelakan puteri Saudara, dan tidak ingin menarik kembali dia, bukan?”
Siau Hok-to cuma mengangguk, degup jantungnya makin kencang.
“Jadi kalau Saudara Siau rela, apa salahnya kita korbankan puteri Saudara? Pengorbanan ulang, begitulah. Mudah-mudahan bisa menyenangkan dewa-dewa kita.”
Siau Hok-to belum sembuh jiwanya dari deraan rasa bersalah, karena selama bertahun-tahun telah menyediakan puterinya sendiri sebagai “indekos” bagi para panglima langit, dan hidup normal yang dialami puterinya itu baru beberapa hari, bahagia sekali Siau Hok-to menyaksikannya, apakah sekarang puterinya harus diserahkan kembali ke bawah penguasaan dan penganiayaan kekuatan-kekuatan dari alam-maut itu?
Siau Hok-to ragu-ragu sekian lama, sampai Hong Pai-ok mengeraskan suaranya, “Saudara Siau! Aku bertanya kepadamu!”
Siau Hok-to tersentak geragapan, “Tolong... Kakak Hong jelaskan lebih terang.”
“Baik. Relakah puterimu memasuki api suci demi menunjukkan pengabdian total kita kepada junjungan kita!”
“Tetapi puteriku baru saja sembuh.”
“Justru itulah korban yang terbaik dan memuaskan junjungan kita. Kalau anakmu penyakitan, nilai pengorbananmu tentu kurang besar. Lagipula sembuhnya anakmu berarti hilangnya sebuah persembahan bagi junjungan kita, dengan mengorban kannya kembali, kita bisa memulihkan kekuatan kita!”
Lama Siau Hok-to tidak menjawab. Istilah “memasuki api suci” berarti anaknya akan diceburkan hidup-hidup ke dalam tungku api yang menyala didepan patung dewa sesembahannya. Bekas-bekas abunya pun takkan ketinggalan sedikit pun.
“Bagaimana, Saudara Siau?”
“Maaf, Kakak Hong, apa benar cara pengorbanan ini akan menyelesaikan masalah kemerosotan pengaruh kita? Kenapa tidak kita coba dulu... upacara besar dengan delapan belas korban yang kita rencanakan dulu? Usulku, Kakak Hong, jalankan dulu upacara menurut rencana kita dulu. Kita lihat dulu hasilnya bagaimana. Kalau yang itu tidak berhasil, kita pikirkan lagi tindakan berikutnya.”
Thai Yu-tat tertawa mengejek, katanya kepada sekalian orang yang hadir. “Betul tidak dugaanku? Ada ketidak-setiaan, ketidak-patuhan dan ketidak-relaan berkorban dalam tubuh kita sendiri. Bagaimana mungkin kita mengharapkan dewa-dewa dan panglima langit tetap bersama kita?”
Siau Hok-to membantah. “Saudara Thai, masalahnya bukan aku tidak rela, tetapi cuma sekedar pertanyaan: benarkah penghormatan puteriku akan menyelesaikan masalahnya? Aku rela memberikan puteriku, jika masalahnya pasti, misalnya karena kita mendapat petunjuk gaib dari junjungan kita bahwa memang itulah yang dihendaki junjungan kita.
"Petunjuk yang pasti, bukan hanya kira-kira berdasarkan pikiran kita, apalagi kalau pikiran kita sudah dicemari niat untuk saling menjatuhkan demi keuntungan diri sendiri. Kalau dasarnya pengorbanan puteriku hanya kira-kira, mungkin, barangkali, bagaimana kalau puteriku sudah terlanjur jadi abu dan ternyata pengorbanan itu bukan jalan keluarnya? Bukankah puteriku akan mati sia-sia?”
“Kakak Siau, bagaimanapun dengan kata-katamu sendiri Kakak sudah memperlihatkan ketidak-relaan Kakak.”
“Terserahlah anggapan negatifmu, Saudara Thai. Tapi semua orang saksinya, akulah satu-satunya orang di Pek-lian-hwe cabang Lam-koan ini yang mempersembahkan anakku sendiri. Tidak ada yang pengorbanannya sebesar aku.”
“Meskipun pengorbanan besar itu harus ditarik kembali dan membuat para dewa gusar.”
“Aku tidak pernah minta A-kui kembali kepadaku, Itu terjadi dengan sendirinya!”
Begitulah Si Ketua Cabang dan Si Wakil Ketua Cabang yang selalu bertengkar itu. Hong Pai-ok pula yang kembali menengahi, “Saudara Siau, upacara pengorbanan delapan belas manusia penasaran itu agaknya takkan mungkin terlaksana.”
“Kenapa? Jumlah korbannya kurang?”
“Soal jumlah korban bukan masalah besar, kalau perlu kita dapat mengirim regu-regu penculik ke kota-kota lain sehingga jumlahnya genap delapan belas. Bukan itu masalahnya.”
“Jadi apa masalahnya?”
“Beberapa calon korban yang di tangan kita, mereka tidak cocok untuk dikorbankan. Bukankah syarat mutlaknya setiap calon harus penasaran akan kematiannya, sehingga waktu ajalnya di altar pengorbanan mereka akan melepaskan kebencian hebat yang akan bisa menjadi kekuatan yang kita manfaatkan?
"Dulu waktu mereka ditangkap, mereka memang penasaran. Si Pedagang merintih-rintih dan menawarkan uang sogokan untuk bisa dilepaskan, Si Calon Pengantin juga menangis-nangis, membayangkan hari bahagia yang sudah di ambang pintu mendadak sirna dan takkan mereka masuki. Saat itu mereka masih merupakan calon-calon korban yang cocok, tetapi sekarang tidak lagi!”
“Kenapa...?”