Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7: Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 14 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

SAAT kedua orang itu seakan seperti telur di ujung tanduk, mendadak terasa ada perubahan pada alam. Awan hitam di langit perlahan-lahan terdorong menyingkir, membuat angkasa raya dengan jutaan bintangnya kembali terbentang menyegarkan pemandangan. Angin dingin yang bertiup mengiris kulit, juga kabut amat tebal, menyingkir pergi. Udara pelan-pelan jadi hangat.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Giam Lok dan Ho Tong dapat merasakan itu, meskipun mereka sedang sibuk. Kemudian menyusul perubahan lain, setelah terangkatnya kabut itu, pelan-pelan "lorong sejuta bendera" yang tadinya seolah-olah tak berujung pangkal dan simpang siur itu pun lenyap entah ke mana.

Yang tertinggal adalah bendera-bendera besar yang memang terpasang di sepanjang dinding rumah almarhum Ciu Koan itu. Selain itu, Giam Lok dan Ho Tong mendapati diri mereka tidak berada di mana-mana, melainkan berada di halaman depan rumah almarhum guru mereka. Pemandangan "bukit dan lembah" tadi juga lenyap.

Giam Lok dan Ho Tong berharap si "manusia bolak-balik" itu pun akan menghilang seperti kabut dan pemandangan palsu lainnya, namun si "manusia bolak-balik" ternyata tidak menghilang. Hanya saja, bersamaan dengan pulihnya pemandangan ke pemandangan normal, maka si "manusia bolak-balik" itu pun kehilangan sebagian besar dari kemampuan tempurnya yang membingungkan tadi. Gerak tangan, kaki dan seluruh tubuhnya kembali tunduk kepada gerak-gerak normal persendian manusia biasa.

Berbarengan dengan itu, Ho Tong juga melihat tombaknya yang terlempar tadi sekarang berada di pojok halaman. Ho Tong melompat keluar dari gelanggang, berlari secepatnya mengambil tombaknya, kemudian bergabung dengan Giam Lok mengeroyok si "manusia bolak-balik".

Kini si "manusia bolak-balik" terdesak hebat oleh kedua anak muda itu. Pakaiannya yang mirip pemain opera hendak naik panggung itu pun membuatnya kerepotan sendiri. Rupanya baik "pakaian wayang"nya maupun kedua topengnya itu dianggap memberi suatu kekuatan hebat, dan sehari-harinya bila dandanan itu sedang tidak dipakai, dandanan itu tidak disimpan dalam kotak begitu saja, melainkan disimpan secara khusus.

Perangkat pakaian dan topeng-topeng serta senjata-senjata itu ditaruh di tempat terhormat dengan sesajian di depannya untuk menjaga khasiatnya. Dan sekarang, entah kenapa pengaruh itu hilang, sehingga dandanan yang harusnya membantu malahan jadi merepotkan.

Giam Lok yang mulai pulih semangatnya, berkata kepada Ho Tong, "Saudara Ho, kita tangkap orang ini dan kita pertontonkan kepada orang-orang Seng-tin siapa dia sebenarnya. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, membuat rumah guru yang kita hormati menjadi rumah hantu-hantuan konyol macam ini."

Bersamaan dengan kata-katanya, tombaknya menyambar-nyambar lebih hebat. Si "manusia bolak-balik" masih melawan dengan sengit, tetapi di balik topengnya berulang kali terdengar desis seperti menahan sakit tak tertahankan, entah kenapa. Tadi waktu persendian tulang-tulangnya bergerak tidak normal, ia tidak mengeluh, sekarang setelah sendi-sendinya normal gerakannya, malahan dia mengeluh kesakitan.

Giam Lok tidak peduli dan terus menyerang, namun Ho Tong merasa berbelas kasihan sehingga ia mengendorkan serangannya. Belas kasihan yang sebenarnya tak beralasan, sebab yang dibelas-kasihani toh adalah seorang yang baru saja hampir mencelakakannya.

Dalam suatu gebrakan yang amat cepat, Giam Lok menggertak lawan dengan ujung tombaknya yang diputar-putar cepat di depan wajah lawan, lalu tangkai tombak menghantam pinggiran lutut si "manusia bolak-balik" sehingga orangnya jatuh. Dengan geram Giam Lok siap melakukan tikaman terakhir, namun geraknya tertahan karena ditahan oleh Ho Tong.

"Jangan, Kakak Giam...."

"Kenapa? Dia hampir membuat kita gila dengan sulap jahatnya!"

"Kakak tahu, orang-orang yang sedang dikuasai kekuatan-kekuatan dari luar dirinya, orang itu pun melakukan apa yang tidak dikehendakinya sendiri. Aku pun sebelum sembuh dulu, pasti ditunggangi kekuatan-kekuatan asing itu untuk melakukan apa yang di luar kehendakku sendiri. Kubayangkan seandainya ada orang yang menuntut ganti rugi kepadaku atas kerusakan-kerusakan yang ku akibatkan dalam ketidak-warasanku dulu."

"Itu beda, Saudara Ho. Kau diguna-guna. Kau menjadi perusak bukan karena kemauanmu sendiri. Sedang orang ini, entah kesurupan atau apa, adalah karena kemauannya sendiri, mungkin ia sengaja melakukan suatu upacara gaib untuk memasukkan kekuatan jahat ke dalam dirinya. Karena itu dia pantas bertanggung jawab!"

Entah memperoleh pikiran dari mana, tiba-tiba saja Ho Tong berkata, "Bisa jadi dia pun tertipu, Kakak Giam. Dia melakukan suatu upacara untuk memperoleh kekuatan gaib yang dikiranya kekuatan suci, kekuatan dewa-dewa, ternyata kekuatan jahat yang memasukinya."

Begitulah, selagi si "manusia bolak-balik" sudah terkapar tak berdaya di tanah dan tinggal menghabisinya dengan sekali tikam, malahan Giam Lok dan Ho Tong berselisih pendapat.

Saat itulah di ambang pintu depan terdengar suara Si Nenek yang sudah dikenal baik oleh Giam Lok maupun Ho Tong, "Maafkan dia. Itulah kekuatan terbesar untuk membebaskannya dari kekuatan asing yang mencengkeramnya."

Giam Lok amat sulit mematuhi permintaan Si Nenek, namun ketika Ho Tong menariknya pergi, ia mengikutinya meskipun sambil sebentar-sebentar menoleh dengan sorot mata gusar kepada si "manusia bolak-balik"."

Si Nenek bergabung dengan kedua pemuda itu, sambil berkata, "Kita pulang. Aku hendak memasak enak untuk kalian."

Giam Lok heran bahwa Si Nenek selalu muncul di saat-saat tidak terduga, dan entah dari mana datangnya bahan-bahan masakannya, ia sudah beberapa kali menyediakan makanan lezat untuk Giam Lok. Begitu pula, malam ini, selagi jiwa Giam Lok masih guncang oleh pengalaman aneh yang baru saja dialaminya tahu-tahu di rumah bekas Ek Yam-lam sudah menanti hidangan lezat, tentu ini menyenangkan.

Sambil berjalan pulang, Ho Tong bertanya, "Nek, apakah Nenek tahu sebabnya kenapa suasana aneh di Seng-tin ini muncul, begitu saja, terutama di bekas kediaman guruku? Dan kenapa tiba-tiba hilang begitu saja?"

Giam Lok heran kepada Ho Tong, urusan "berat" seperti ini kok ditanyakan kepada seorang nenek yang jalannya saja sudah sempoyongan? Namun Si Nenek menjawab juga pertanyaan itu, dengan nada mantap seperti dialah ahlinya,

"Suasana aneh tadi muncul karena dalam rumah bekas kediaman guru kalian ada sekelompok kecil orang yang sedang memusatkan dan menyatukan kekuatan jiwa mereka untuk menghadirkan penguasa-penguasa gaib dari dunia lain ke Seng-tin melalui tubuh mereka. Dan suasana itu menghilang, karena ada manusia sejati yang sadar kedudukan syahnya yang ditentukan Sang Maha Pencipta, membatalkan kehadiran penguasa-penguasa dari dunia lain itu."

"Manusia?" Giam Lok tercengang. "Hanya manusia yang menyingkirkan pengaruh aneh yang menguasai kota tadi?"

Giam Lok menjadi begitu bergairah mengetahui urusan itu, sebab ia sendiri adalah penjunjung tinggi "semangat manusia yang mengatasi segala-galanya", maka sekarang mendengar bahwa yang menyingkirkan pengaruh aneh itu bukan dewa, bukan siluman, bukan "panglima langit" tetapi "hanya" manusia. Maka lupalah ia bahwa yang bicara itu juga "hanya" seorang nenek-nenek asing yang belum terlalu dikenalnya, ia langsung mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan,

"Jadi yang menghalau suasana aneh tadi bukannya mahluk gaib melainkan hanya manusia biasa? Siapa dia? Bagaimana caranya? Di mana ia sekarang? Bagaimana ia bisa sampai disebut manusia sejati? Apakah dengan bertapa habis-habisan, menyiksa diri di gunung? Atau apa?"

Sahut Si Nenek, "Yang menghalau suasana gaib tadi adalah sejenis mahluk gaib yang... yang namanya manusia...."

Giam Lok dan Ho Tong sama-sama tercengang, dan tafsiran mereka muncul. Tanya Giam Lok, "Maksudmu, Nek, mahluk gaib yang... dulu pernah jadi manusia semasa hidupnya? Lalu mati dan menjadi arwah?"

Si Nenek menggeleng. "Tidak. Kepercayaan bahwa arwah orang mati masih bisa dihubungi adalah kepercayaan sesat, membuat orang-orang hidup dituntut oleh setan-setan yang menyamar sebagai sanak keluarga yang sudah meninggal. Tidak, Giam Lok, aku tidak bicara tentang arwah orang mati, melainkan tentang manusia yang masih hidup di bumi ini, mereka adalah ciptaan yang gaib. Mereka itu mahluk gaib, tetapi tidak menyadarinya. Bahkan mahluk yang dikaruniai kemuliaan tertinggi di antara mahluk-mahluk ciptaan lainnya. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang diberi kesempatan untuk bertukar isi hati dengan Penciptanya, kesempatan itu bahkan tidak dimiliki oleh mahluk sejenis kami."

Giam Lok dan Ho Tong serempak menghentikan langkah lalu menatap Si Nenek tajam-tajam, tanya mereka hampir serempak, "Jadi... Nenek ini jenis mahluk apa?"

"Yang melayani manusia, tanpa mempengaruhi kebebasan jiwa yang kami layani."

Giam Lok dan Ho Tong berhenti melangkah, terpaku. Si Nenek berhenti melangkah pula. Ketiganya jadi berdiri di tengah jalanan kota Seng-tin yang lengang itu, suasananya tidak menakutkan seperti tadi. Tak ada kabut, tak ada awan hitam tebal di langit, tak ada angin yang bertiup mengiris kulit.

Bahkan, secara serempak tiba-tiba lampion-lampion penerangan yang ditaruh didepan rumah-rumah orang pun menyala kembali. Namun lampion-lampion untuk keperluan lain, yaitu yang digunakan untuk keperluan pemujaan-pemujaan mahluk-mahluk gaib, tetap padam.

Si Nenek menarik tangan Giam Lok dan Ho Tong sambil berkata, "Ayolah, kalian mau membiarkan dingin hidangan yang kusediakan?"

Sambil melangkah mengikuti tarikan Si Nenek, Ho Tong bertanya, "Nek, lalu kami harus memanggil apa dan bersikap bagaimana kepadamu?"

"Jenismu dan jenisku sesama mahluk, semua yang diciptakan, jadi bersikap biasalah."

Ganti Giam Lok bertanya, "Nek, pertanyaan-pertanyaanku tadi masih banyak yang belum dijawab."

"Aku pun belum mempunyai seluruh jawabannya. Aku juga masih belajar dari.... manusia. Tanyakan saja Liu Yok."

Sementara itu, si "manusia bolak-balik" yang terkapar sendirian di halaman rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan itu pun merintih-rintih, "Tolong... tolong... Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, Ciu Bian-li, siapa saja... tolong aku... Aduh, semua persendian tubuhku seperti habis dipelintiri semuanya...."

Rumah itu tetap sunyi, tak ada yang menggubris suaranya. Hanya bau dupa dibakar menyengat memenuhi udara. Terpaksa si "manusia bolak-balik" dengan menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya merayap perlahan-lahan ke dalam rumah yang temaram dengan lilin-lilinnya itu.

Perjalanannya penuh kesengsaraan, meskipun hanya belasan langkah, dan sambil merayap dia juga terus-menerus mendesiskan pujaan sekaligus permohonan kekuatan kepada "ratu langit" dan "bala tentara"nya.

Beringsut-ingsut ia menyeret tubuhnya seperti seekor kadal habis digebuk, menuju ke ruang paling belakang. Ruang yang dulunya adalah Lian-bu-thia (balai latihan silat). Berkali-kali dia juga berteriak memanggil seseorang untuk menolongnya, namun tetap tidak digubris.

Akhirnya, dengan tubuh serasa remuk, setelah hampir dua jam merayap untuk menempuh jarak yang hanya belasan langkah, dia mencapai juga ambang pintu Lian-bu-thia, lalu menyeret tubuh ke dalamnya.

Dalam ruangan yang luas namun gelap itu, dengan patung besar "ratu langit" di ujung ruangan, nampak ada enam orang duduk di lantai, melingkari bentuk rumah-rumahan dan jalan-jalan yang menggambarkan kota Seng-tin. Bukan hanya rumah-rumahnya dan jalan-jalannya, tetapi juga ada patung-patung kecil bertuliskan nama semua orang di Seng-tin.

Keenam orang itu masing-masing memakai topeng yang berbeda-beda. Wajah-wajah yang terlukis di topeng itu adalah wajah-wajah dari tokoh-tokoh "kerajaan langit", ada "pangeran" ada "puteri" ada "panglima" ada "menteri".

Mereka duduk mematung saja dengan tangan tetap saling bergandengan membentuk lingkaran, sedikit pun tidak menggubris "manusia bolak-balik" yang merintih-rintih pilu di depan pintu.

"Kalian kumintai tolong sejak tadi, kenapa Kalian tidak menggubris aku?" protes si "manusia bolak-balik" dari balik topengnya.

Kali ini ia mendapat jawaban, namun bukan jawaban yang membesarkan hati, "Dalam jajaran abdi-abdi sejati kerajaan langit, tidak ada tempat bagi yang lemah dan kalah!"

"Lui Kong-sim, kaukah yang bicara itu?" geram si "manusia bolak-balik" dari ambang pintu. Marah.

Lui Kong-sim menjawab dengan bangga dari balik topengnya, "Ya, akulah Lui Kong-sim. Perajurit bawahan langsung dari penguasa petir dan api!"

Tepat di depan Lui Kong-sim memang ada patung kecil sesosok mahluk berdandan seperti panglima jaman kuno, bersayap dua di punggungnya, mulutnya bertaring, tangan kanan memegangi petir dan tangan kiri memegangi gumpalan api. Patung yang dihadapkan ke arah miniatur Seng-tin. Dan wajah topeng yang dipakai Lui Kong-sim memang persis wajah patung kecilnya.

Si "manusia bolak-balik" melengking gusar, "Lui Kong-sim, apakah kau lupa siapa aku?"

"Tentu saja tidak lupa. Namamu Wong Lu-siok, pernah terpilih menjadi utusan suci Pek-gok-nia (Bukit Buaya Putih) untuk menyebarkan agama Sang Ratu ke seluruh bumi. Tetapi baru sampai di Seng-tin ini, kau sudah menjadi lemah. Kau tidak segera menaklukkan kota ini secara total sehingga seluruh warga kota dalam waktu singkat menjadi pemuja Sang Ratu.

"Kau terlalu lemah, kau lamban bertindak kepada orang-orang yang menentang ajaran yang kau bawa, padahal mereka seharusnya dikutuk habis-habisan agar menemui kemalangan yang paling pedih. Sekarang di kota ini berkeliaran orang macam Liu Yok yang sangat membahayakan kita.

"Karena kegagalanmu itu, Wong Lu-siok, kau sekarang bukan apa-apa. Jangan lagi kau anggap dirimu sebagai utusan suci Sang Ratu Langit. Kau sekarang sama dengan manusia-manusia hina lainnya di bumi, yang melata seperti cacing dalam debu. Sang Ratu sudah memberikan peneguhannya kepadaku!"

"Manusia bolak-balik" yang ternyata adalah Wong Lu-siok itu pun tercenung, tubuhnya menggeletar. Ketakutan hebat melanda jiwanya. Dia pernah melihat sendiri di Bukit Buaya Putih, seperti apa nasib seorang "utusan suci" yang gagal. Orang itu bukan hanya akan digantikan orang lain, melainkan juga akan mengalami penyiksaan raga jiwa seumur hidupnya sampai mati dalam kengerian hebat.

Selain tubuhnya mengalami kesakitan hebat, jiwanya pun akan mengalami ketakutan, kebingungan, kekacauan yang tak keruan asal-usulnya, disiksa habis-habisan sampai matinya. Kini masa tergelap yang amat ditakuti Wong Lu-siok itu sudah di depannya.

"Kau bohong, Lui Kong-sim...." desis Wong Lu-siok gusar bercampur takut. Tubuhnya tergeletak di ambang pintu namun lengannya terangkat menuding Lui Kong-sim. "Kau tidak tahu membalas kebaikan, kau kuajak bergabung dalam kegiatan ini, kegiatan menguasai Seng-tin, ternyata kau hendak menjerumuskan aku ke dalam kesengsaraan itu... tidak apa-apa kau ingin menggantikanku, tetapi kumohon... kumohon... jangan biarkan jiwaku memasuki 'sumur hitam' itu...."

Dari kata-katanya itu, Wong Lu-siok rela kehilangan posisinya sebagai orang yang paling dihormati di Seng-tin. Sebenarnya memang sudah lama Wong Lu-siok mulai meragukan ajaran "suci"nya sendiri ketika melihat akibat-akibat buruk yang menimpa penganut-penganutnya sendiri, juga penderitaan hampir tak tertahankan bagi tubuh dan jiwanya setiap kali ia "habis dipakai" oleh penguasa gaib yang manapun juga.

Misalnya malam ini ketika ia dirasuki "panglima kembar" sehingga terpaksa ia menjadi "manusia bolak-balik", maka sesudahnya ia merasakan seluruh persendian tubuhnya amat kesakitan karena habis dipelintir semuanya dengan mengabaikan gerak-gerik alamiah, ketika bertempur dengan Giam Lok dan Ho Tong tadi.

Kemudian Wong Ku-siok juga sudah lama ingin melepaskan diri dari "penugasan dari langit" ini tetapi tidak berani, takut membuat gusar petugas-petugas gaib. Kebetulan kalau ada yang mau menggantikannya, seperti Lui Kong-sim yang sangat berambisi ini. Tetapi yang ditakuti Wong Lu-siok ialah kalau sampai karena kegagalannya itu jiwanya "dimasukkan sumur hitam" sehingga menderita raga dan jiwanya seumur hidupnya.

Lui Kong-sim tertawa bangga, merasa betapa senangnya sekarang ia menguasai nasib orang lain, dan bukan sekedar merasa, melainkan benar-benar mempunyai dukungan kekuatan "dari langit" untuk menjalankan kuasanya itu. Dan orang yang dikuasainya tidak tanggung-tanggung, Wong Lu-siok, yang paling dihormati di kota itu. Sekarang Wong Lu-siok sedang merintih-rintih memohon ampun kepadanya. Diam-diam Lui Kong-sim membatin, "Ah, seandainya seluruh Seng-tin melihat peristiwa ini..."

Kata Lui Kong-sim kemudian, "Wong Lu-siok, kau sudah lupa ketika dulu kau menyakiti hatiku. Sehabis mengusir Beng-Hek-hou dan kau bercokol di kota ini, lalu kau memilih orang-orang untuk membantumu, ternyata kau mengkesampingkan aku begitu saja. Bahkan ketika Giam Lok menolak untuk membantumu, kau lebih senang membiarkan tempat itu kosong daripada diduduki olehku. Hem, malam ini ternyata terbukti bahwa Sang Ratu Langit lebih berkenan kepadaku daripada kepadamu. Nah, mau apa kau sekarang? Kekuatan langitmu sudah dicabut dan dialihkan kepadaku!"

Wong Lu-siok menarik napas. Memang begitulah peraturan dalam sektenya. Siapa yang "diperkenankan ratu langit" dialah yang mengambil-alih kedudukan begitu saja. Orangnya bisa berganti dengan cepat.

Kemudian berkatalah Lui Kong-sim dengan nada memerintah kepada Ek Yam-lam dan Yao Kang-beng, "He, kalian berdua, jebloskan si pecundang ini ke dalam kurungan. Besok akan mulai kuterapkan 'sihir sumur hitam' kepadanya!"

Ek Yam-lam dan Yao Kang-beng merasa gentar. Sebetulnya mereka tidak rela bahwa Lui Kong-simlah yang memerintah mereka sekarang, Lui Kong-sim yang dulu adalah teman sepermainan mereka. Namun tadi ketika mereka bersemedi, dalam suatu penglihatan gaib mereka melihat Lui Kong-sim seolah diguyur cahaya kebiru-biruan dari langit, maka Ek Yam-lam dan Yao Kang-beng tidak berani membantah lagi.

Mereka bangkit, masih mengenakan topeng masing-masing, lalu mengangkat setengah menyeret tubuh Wong Lu-siok untuk dibawa dan dimasukkan ke sebuah ruang kurungan di halaman belakang.

Sementara diseret, Wong Lu-siok makin keras rintihannya karena persendian tulang-tulangnya yang masih sakit sekali, "Aduh... pelan-pelan, Saudara Ek... tubuhku sakit semua...."

Ek Yam-lam yang sekian lama hidup bersama Wong Lu-siok di bekas rumah guru silatnya itu, merasa agak kasihan juga mendengar rintihan Wong Lu-siok yang memelas itu. Ia mencoba bersikap lebih lembut.

Namun Yao Kang-beng bersikap lain. Pemuda ini sedang merasa tidak senang hatinya karena diperintah-perintah oleh Lui Kong-sim. Merasa tidak senang namun tidak berani melawan, maka sekarang ketidak-senangannya dilampiaskan kepada Wong Lu-siok yang sudah kehilangan kekuasaannya "yang dari langit" itu dan jadi orang biasa.

Mendengar rintihan Wong Lu-siok, Yao Kang-beng malahan menyentak dan menyeret Wong Lu-siok lebih keras sehingga jerit kesakitan Wong Lu-siok melengking merobek kesunyian malam.

Ek Yam-lam mengerutkan alis dan menegur temannya, "Saudara Yao, meskipun Guru Wong sudah...."

"Jangan dipanggil 'guru' lagi! Manusia tak berguna ini!" tukas Yao Kang-beng sengit sambil menyentak lengan Wong Lu-siok sekali lagi sehingga Wong Lu-siok kembali menjerit kesakitan. Seluruh tubuhnya masih sakit, namun lengan yang dipegangi Yao Kang-beng sakitnya berlipat.

Ek Yam-lam gusar melihat itu, namun dia hanya bisa menahan diri. "Saudara Yao, meskipun... orang ini sudah gagal, tetapi ingatlah jasanya mengusir Beng Hek-hou Mari kota ini."

Tak terduga sikap Yao Kang-beng kepada Ek Yam-lam pun amat kasar, "Lebih baik kau tutup mulut, Kakak Ek. Tutup mulut sajalah! Kalau kulaporkan kepada Saudara Lui, bisa dicabut seluruh kekuatanmu dan mengikuti nasib orang she Wong ini!"

Darah Ek Yam-lam mendidih, namun sadar benar bahaya yang mengancamnya kalau sampai Lui Kong-sim tidak senang Kepadanya. Ek Yam-lam tahu Yao Kang-beng sedang memendam kesesalan, tetapi tak terduga akan sekasar itu sikapnya. Tetapi ia memilih untuk bungkam.

Tiba di depan pintu tempat pengurungan, Ek Yam-lam membukakan pintu ruang kurungan yang tebal itu. Di dalam gelap sekali, sehingga tak terlihat ada apa di dalamnya. Ek Yam-lam ingat, beberapa waktu yang lalu ke dalam ruang itu dimasukkan seorang "penyihir wanita jahat" bernama Siau Hiang-bwe, setelah disiksa dan dipermalukan habis-habisan dilapangan.

Sejak dimasukkan ke situ, "atas perintah ratu langit" melewati mulut Wong Lu-siok, maka Siau Hiang-bwe tidak diberi makan minum dan tidak pernah dijenguk sedetik pun. Para penghuni rumah itu sudah membayangkan tentu si "penyihir wanita" sudah membusuk di dalamnya. Namun ketika Ek Yam-lam membuka pintu sel itu, kenapa tidak tercium bau busuk?

Tetapi Wong Lu-siok yang akan dijadikan satu sel sempit dengan "sesosok mayat busuk" itu sudah menangis sesenggukan, "Tolong, jangan tempatkan aku di ruangan ini. Arwah Si Penyihir Wanita itu akan menghantuiku terus... tolong... berbelas kasihanlah kepadaku...."

"Maaf, ini perintah, Saudara Lui...."

Kalau Ek Yam-lam masih bersikap sopan, maka Yao Kang-beng dengan kasar menendang punggung Wong Lu-siok sambil membentak, "Jangan banyak mulut, orang she Wong! Nikmati hari-harimu!"

Wong Lu-siok terdorong keras ke ruangan gelap itu, dan ia menjerit ketika dalam kegelapan menyentuh sesosok tubuh di pojokan. Detik berikutnya, pintu tebal kembali tertutup dari rumah dan melenyapkan sama sekali segala cahaya dari luar. Wong Lu-siok merasa ditenggelamkan ke dalam cairan tinta yang hitam pekat. Selain persendian tulang-tulangnya sakit semua, sekarang jiwanya disiksa oleh ketakutan hebat.

Tiba-tiba dari pojokan yang gelap itu pun terdengar suara seorang wanita, "Saudara, siapakah kau? Kenapa sampai dijebloskan ke sini?"

Wong Lu-siok membungkam beberapa saat. Sebagai seorang yang sudah biasa berhubungan dengan dunia gaib, Wong Lu-siok tidak takut berhadapan dengan yang namanya arwah, namun kini ia merasa gentar bukan main.

Dan suara perempuan di pojok gelap tadi terdengar lagi, "Siapa kau, Saudara? Kenapa sampai dijebloskan kemari?"

Suara itu ramah, hangat, penuh perhatian, terdengar aneh dalam suasan seperti itu. Mana ada orang yang sudah dikurung belasan hari tanpa makan minum di ruang gelap itu masih bisa bicara? Seandainya masih hidup pun pasti suda sangat lemah dan memikirkan diri sendiri, mana sempat memperhatikan orang lain?

Beberapa saat suara dalam sel gelap itu hanya desah napas Wong Lu-siok yang tersendat-sendat ketakutan. Dan suara wanita dari pojok gelap itu pun terdengar lagi,

"Tadi kudengar orang-orang yang menyeretmu menyebutmu 'orang she Wong', apakah Saudara yang bernama Wong Lu-siok, yang mengajarkan kepercayaan baru kepada orang-orang Seng-tin?"

Bukannya menjawab, Wong Lu-siok malahan balas bertanya, "Siapa kau? Manusia atau hantu?"

"Aku manusia, namaku Siau Hiang-bwe. Tadi ketika kau menubrukku, bukankah yang kau sentuh adalah darah, daging dan bertulang?"

“Manusia hidup, atau arwah?"

"Hidup. Aku masih hidup."

"Tetapi bukankah... sudah belasan hari kau... tidak diberi makan dan minum?"

"Mati hidupku tidak tergantung makan dan minuman jasmani, tetapi tergantung dari Dia Sang Pemelihara hidupku. Dia belum menghendaki aku mati, maka aku pun hidup, dan tak ada yang bisa mengubahnya."

Wong Lu-siok bungkam, dalam hatinya dia merasa aneh bahwa tiba-tiba jiwanya dilanda kegentaran hebat. Wong Lu-siok yang merasa punya "ilmu dewa" itu tidak pernah gentar kepada siluman atau mahluk gaib yang bagaimana pun seramnya, entah kenapa berhadapan dengan seorang gadis yang lemah seperti Siau Hiang-bwe.

Kemudian Wong Lu-siok merasa lebih heran lagi, sebab dalam dirinya timbul perasaan lain, yaitu harapan untuk ditolong. Campuran dua macam perasaan yang seharusnya bertentangan, ada rasa gentar dan ingin menjauhi Siau Hiang-bwe, sekaligus juga ada harapan ingin ditolong dan makin akrab dengan Siau Hiang-bwe.

"Kau yang bernama Wong Lu-siok, apakah dugaanku benar?" tanya Siau Hiang-bwe dalam kegelapan.

Wong Lu-siok gentar membayangkan kemarahan Siau Hiang-bwe kalau sampai tahu bahwa yang ada di depannya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penjeblosan diri Siau Hiang-bwe ke tempat gelap itu. Aneh lagi. Seorang "utusan langit yang punya ilmu dewa" dari Bukit Buaya Putih gentar membayangkan kemarahan seorang gadis lemah yang ketika dianiaya dan dihina orang-orang Seng-tin tidak menunjukkan kehebatan apa-apa, mengalah terus.

Sekian lama Wong Lu-siok membungkam, dan terdengarlah suara Siau Hiang-bwe pula, "Kalau kau benar Wong Lu-siok, kenapa takut mengakuinya di depanku? Takut aku marah?"

"Nona... tidak marah?" tanya Wong Lu-siok takut-takut. Pertanyaan baliknya itu secara tidak langsung sudah mengakui di depan Siau Hiang-bwe bahwa dialah Wong Lu-siok.

"Aku tidak marah kepadamu, kepada... Liu Kong-sim, kepada Nyonya Giam, kepada manusia yang manapun. Aku sangat marah kepada mahluk-mahluk bukan manusia yang hendak merendahkan martabat manusia dengan menunggangi pikiran dan tubuh manusia. Mahluk-mahluk gaib itulah yang harus bersiap-siap menerima kemarahanku."

Dalam hati Wong Lu-siok muncul luapan rasa terima kasih dan syukur, tetapi ketika bibirnya hendak bergerak mengucapkannya, mendadak gigi-giginya Terkatup kuat, rahang-rahangnya menjadi kaku, dan suatu kekuatan iain dalam dirinya mengambii-alih dirinya. Suatu gelombang kemarahan bercampur ketakutan meluap memenuhi dirinya, dan yang terluncur dari mulutnya bukannya ucapan syukur dan terima kasihnya kepada Siau Hiang-bwe, melainkan kata-kata geram,

"Mahluk hina dina! Manusia, mahluk dari debu, apa yang kauandalkan sehingga hendak memarahi penguasa-penguasa di langit yang mengendalikan nasib manusia? Apa yang hendak kau andalkan?"

Waktu itu kesadaran Wong Lu-siok tidak sepenuhnya hilang, meskipun kesadaran itu seolah terdesak minggir oleh suatu kekuatan yang jauh lebih besar. Wong Lu-siok juga mencoba mati-matian mempertahankan kesadarannya agar tidak sepenuhnya diambil-alih. Sikap Wong Lu-siok itu adalah suatu sikap yang selama ini belum pernah dilakukannya.

Biasanya, apabila kekuatan itu muncul, Wong Lu-siok bersikap menyerah dan membiarkan kesadarannya "ditidurkan" ke alam lain, lalu jadilah Wong Lu-siok pribadi yang lain. Raganya masih raga Wong Lu-siok, tetapi jiwa yang menjalankan raga itu sudah bukan jiwa Wong Lu-siok. Itu biasanya. Sekarang justru Wong Lu-siok tidak membiarkan kesadarannya hanyut begitu saja, juga tidak membiarkannya "ditidurkan" begitu saja.

Dalam sisa kesadarannya yang hanya sayup-sayup itulah Wong Lu-siok menemukan bahwa ternyata kemarahan dan sikap permusuhan yang ada dalam dirinya terhadap Siau Hiang-bwe itu bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari kekuatan yang sekarang tampil.

Kekuatan ini yang membenci Siau Hiang-bwe, bukan diri Wong Lu-siok. Sekarang Wong siok cemas bahwa tubuhnya yang dikendalikan oleh pribadi lain itu akan mencelakai Siau Hiang-bwe, namun Wong tak berdaya. Tubuhnya seakan-sudah bukan miliknya sendiri.

Begitu pribadi lain dalam diri Wong Lu Siok itu tampil, udara dalam ruang sempit itu seolah memadat dan mencekik pernapasan, kehadiran pribadi gaib itu begitu terasakan oleh Siau Hiang-bwe, bahkan menekan Siau Hiang-bwe.

Wong Lu-siok mencemaskan nasib Siau Hiang-bwe, namun dari sudut gelap itu terdengar Siau Hiang-bwe berkata dengan tegas, "Aku manusia, yang di anugerahi menjadi mahluk termulia, mengandalkan anugerah Yang Maha Besar untuk menghadapimu, mahluk-mahluk jahat. Matamu pasti bisa menembus melihat ke dalam wadahku dan melihat Siapa yang di dalam aku, nah, pandanglah Dia!"

Wong Lu-siok mendesis dan menggeliat seperti cacing kepanasan. Kesakitan hebat di sendi-sendi tulang Wong Lu-siok menghebat berkali lipat. Kekuatan yang selama ini menghuni Wong Lu-siok, memperbudak Wong Lu-siok, karena sekarang gagal melampiaskan kemarahannya kepada Siau Hiang-bwe, sekarang melampiaskannya kepada Wong Lu-siok. Tidak peduli selama ini Wong Lu-siok sudah memujanya, mengabdinya.

Kini Siau Hiang-bwe lah yang marah, hingga ia membentak, "Jangan menyakiti manusia! Kuperintahkan ini dengan ancaman hukuman yang berat kalau tidak kau patuhi!"

Terdengar geram mirip binatang buas dari mulut Wong Lu-siok. Tapi rasa nyeri di sendi-sendi tulangnya menurun sedikit demi sedikit, bahkan hilang sama sekali. Tekanan kekuatan asing yang berusaha menenggelamkan kesadaran Wong Lu-siok pun mengendor.

Diam-diam Wong Lu-siok heran. Kekuatan-kekuatan gaib yang menghuni dirinya ini sering muncul di mimpi Wong Lu-siok menunjukkan kekuasaan dan mereka, menamakan diri "penguasa-penguasa kerajaan langit." Bukan saja dalam mimpi, tetapi dalam kenyataan pun mereka menunjukkan kekuasaan nasib orang-orang yang menentang mereka.

Wong Lu-siok pernah merasa bangga bahwa dia menjadi saluran "kekuatan dewa-dewa" untuk menghukum kekuatan-kekuatan hitam, namun lama kelamaan hati Wong Lu-siok terusik juga melihat korban-korban yang tak seharus dari kekuatan yang bersarang dalam dirinya. Korban-korban dari orang-orang yang disebut "menentang ajaran suci dari Ibu Segala Agama". Biar hati nuraninya terusik, Wong Lu-siok tak berdaya dalam cengkeraman kekuatan-kekuatan aneh dalam dirinya.

Dulunya ia mengira ia akan dapat menguasai kekuatan-kekuatan itu, ternyata kemudian kekuatan-kekuatan itulah yang menguasainya, bahkan Wong Lu-siok disiksa kalau tidak mentaati kemauan penghuni-penghuni gaib dalamnya itu. Sekarang, dalam sel sempit itu Wong Lu-siok dengan terheran-heran menjumpai kenyataan bahwa kekuatan kekuatan dalam dirinya itu tunduk kepada perkataan Siau Hiang-bwe.

Saat itulah kuping Wong Lu-siok mendengar mulutnya sendiri berkata dengan suara Wong Lu-siok, "Nona Siau, cukup. Aku sudah merasa baik. Cukuplah. Terima kasih, aku sudah baik."

Kesadaran aseli Wong Lu-siok sendiri memprotes kata-kata dari mulutnya itu Wong Lu-siok tahu bahwa, itulah bukan perkataannya, meski menggunakan mulutnya dan bersuara persis suaranya. Wong Lu-siok ingin memberitahu Siau Hiang-bwe, tetapi bagaimana bisa kalau mulutnya "sedang dikuasai sesuatu yang lain" sesuatu yang ingin membohongi Siau Hiang-bwe dengan menirukan suara Wong Lu-siok? Ada sekat tebal tak tertembus antara kesadaran Wong Lu-siok dengan kemampuan bicaranya.

Hanya dalam hatinya sendiri Wong Lu-siok dapat menjerit, "Nona Siau, bukan aku yang baru saja bicara, bukan aku! Tolong aku, jangan berhenti menggunakan kekuasaan untuk menangani penghuni-penghuni asing yang sering menyiksa dalam diriku!" Namun Wong Lu-siok tidak berani berharap bahwa Siau Hiang-bwe akan bisa mendengar jeritannya itu, karena jeritan itu hanya dalam hati dan tidak keluar lewat mulut.

Ternyata dalam diri Siau Hiang-bwe sendiri ada suatu bisikan untuk melakukan sesuatu. Dan Siau Hiang-bwe pun menurutinya, katanya kepada "penghuni" Wong Lu-siok, "Jangan bicara dengan menirukan suara Wong Lu-siok. Itu tipuan kalian agar aku berhenti mengusik kalian, sebab kalian tahu bahwa aku tak dapat bertindak apa-apa kalau kalian berlindung di balik kehendak bebas manusia yang kalian huni, tetapi kehendak Wong Lu-siok memihak aku. Selain itu, tipuan menirukan suara orang ini juga sudah menyebabkan banyak orang tersesat mengikuti pimpinan kalian, setan-setan jahat!"

Kembali terdengar geram binatang-binatang buas bercampur aduk lewat mulut yang berbuih. Sementara Wong Lu siok harus mengerahkan tenaga habis-habisan hanya untuk mengangkat tangannya menjangkau topeng-topeng bolak-balik itu dan merenggutnya lepas. Tindakan tanpa kata itu menyatakan penolakan Wong Lu-siok kepada "penguasa-penguasa kerajaan langit" yang pernah disembah dan diabdinya.

Kembali tubuh Wong Lu-siok bergerak oleh amukan penghuni-penghuni dalam dirinya yang gusar karena merasa diusir, merasa "hak bertempat tinggal" mereka mulai diusik, oleh "yang punya rumah" yaitu Wong Lu-siok. Kalau cuma Wong Lu-siok, penghuni-penghuni gaib itu masih bisa mengatasi, bahkan menindas dari menganiaya Wong Lu-siok dari dalam.

Namun Wong Lu-siok sekarang dibantu Siau Hiang-bwe yang tak terlawan oier penghuni-penghuni gaib di dalam Wong Lu-siok. Inilah yang membuat penghuni-penghuni gaib itu gentar namun tak berdaya.

Dalam kegelapan, Siau Hiang-bwe tersenyum lega. Bersyukur, bahwa satu lagi mahluk sejenisnya, manusia, menolak perbudakan oleh mahluk-mahluk lain.


Matahari bersinar cerah, berbeda dengan suasana semalam yang begitu mengerikan. Namun wajah Lui Kong-sim tidak secerah langit, wajah itu justeru gelap, tersaput mendung kemarahan, dan sorot matanya seperti kilat halilintar.

Ketika Lui Kong-sim berteriak memanggil Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, Ciu Bian-li dan Bibi Ciu serta A-kun, maka kelima orang itu pun terbirit-birit memenuhi panggilan itu. Menghadap Lui Kong-sim di ruangan bekas balai latihan silat yang ada patung besar "ratu langit"nya itu. Mereka meninggalkan pekerjaan apa pun, jangan sampai telat, sebab Lui Kong-sim jauh lebih keras dari Wong Lu-siok yang digantikannya.

Begitu masuk ruangan, lebih dulu mereka bersujud sampai jidat mereka menyentuh lantai ke patung besar "ratu langit", setelah itu ke arah Lui Kong-sim yang duduk bersila di atas bantalan, di samping patung besar itu. Tempat duduk Lui Kong-sim itu adalah tempat yang biasanya diduduki Wong Lu-siok. Lui Kong-sim juga mengenakan jubah putih dan pakaian iain yang biasanya dikenakan Wong Lu-siok.

Dengan suara marah Lui Kong-sim berkata, "Semalam ibunda ratu menjumpai aku dalam mimpi, dan beliau menuntut seluruh Seng-tin tunduk mutlak kepadanya. Selama ini kita terlalu sabar terhadap orang-orang yang belum mau tunduk, kita membiarkan mereka begitu saja, tetapi ini tidak akan terjadi lagi selama aku menduduki jabatan sebagai utusannya. Kita harus keras. Manusia-manusia di seluruh Seng-tin harus disadarkan bahwa mereka hanyalah mahluk-mahluk hina tak berdaya yang nasibnya sepenuhnya di tangan para penguasa langit! Dan tindakan tegas itu menuntut pengabdian kita secara mutlak, total, kita harus berani mengorbankan siapa saja, bahkan anggota keluarga kita, yang tidak mentaati ajaran ibunda ratu!"

Kelima orang di depannya duduk dengan sikap tak berani menunjukkan penentangan sedikit pun. Lui Kong-sim kemudian menunjuk kepada Yao Kang-beng. "Kau kumpulkan seluruh pengawal kota, lalu hukumlah mati Pang Se-bun sekeluarga kecuali A-kun, juga janda Giam dan seluruh keluarganya. Ditumpasnya dua keluarga itu akan menjadi contoh bagi seluruh Seng-tin!"

Yao Kang-beng bangkit dan langsung menjalankan tugas itu. A-kun adalah puteri Pang Se-bun, namun ketika mendengar nasib keluarganya diputuskan demikian, dia tetap berwajah dingin, sedikit pun air mukanya tidak berubah. Kemudian Ek Yam-lam juga mendapat tugas. "Kautumpas seluruh keluarga Ho Tong, bawa juga pengawal kota secukupnya. Habis menumpas keluarga Ho, tumpas juga keluarga Yao!"

Berbeda dengan Yao Kang-beng yang dengan sigap bangkit menjalankan perintah, Ek Yam-lam nampak agak ragu menjalankan perintah gilanya itu. Mana bisa menyebarkan "ajaran suci" dengan main tumpas kepada yang tidak sepaham? Namun Ek Yam-lam gentar ketika mata Lui Kong-sim bersorot mengerikan menatap ke arahnya. Ek Yam-lam pun bangkit.

Terhadap tiga perempuan di depannya, yaitu Ciu Bian-li, Bibi Ciu dan A-kun yang masih kanak-kanak, Lui Kong-sim memerintahkan, "Kalian bertiga dalam satu hari ini harus mengunjungi semua rumah di Seng-tin, rumah demi rumah, jangan ada yang kelewatan. Mintalah agar setiap orang besumpah setia kepada Ibunda Ratu. Mereka harus bersumpah setia dengan mengutuk diri dengan tiga puluh enam macam kutukan. Yang merasa keberatan menjalankan upacara sumpah setia, catat namanya dan laporkan kepadaku. Aku mendukung dengan seluruh kekuatan kerajaan langit dari tempat ini."

Sambil berkata demikian, Lui Kong-sim menunjuk ke miniatur Seng-tin yang tergelar di lantai, lengkap dengan patung-patung kecil yang mewakili penduduk Seng-tin.

Tanpa banyak membantah, ketiga perempuan yang terdiri dari tiga generasi itu pun berangkat menjalankan tugas mereka.

Sepeninggal mereka Lui Kong-sim mengambil patung-patung dari segenap "penguasai langit" yang pernah diajarkan Wong Lu-siok. Ada berpuluh-puluh tokoh-tokoh negeri gaib yang diujudkan dalam patung-patung buatan si tukang keramik Ban Ke-liong, kini patung-patung itu dijajarkan di meja-meja rendah di sebelah kiri-kanan altar.

Ada yang berwajah seram dengan taring dan tanduk, bahkan ekor, ada yang berujud setengah manusia setengah binatang, atau manusia tidak normal dengan tiga kepala dan enam lengan, ada yang gagah dengan pakaian panglima perang jaman kuno, ada yang tampan dan cantik dengan pakaian kebangsawanan, dan beberapa di antaranya bahkan berjubah panjang dengan wajah cerah dengan jenggot putihnya yang memperlihatkan seolah-olah bijaksana.

Lui Kong-sim dengan sikap hormat menaruh patung-patung itu berkeliling miniatur kota, seolah-olah mengepung kota Seng-tin. Kemudian Lui Kong-sim mengambil buku tipis yang berjudul "KiTab Tiga Puluh Enam Kutukan" dan mulai diucapkannya kutuk itu dengan berlagu.

Tak peduli di luar alam semesta sedang bermandi cahaya matahari yang lembut dan hangat, dalam ruangan itu udaranya justeru menurun suhunya, makin dingin dan makin dingin. Bahkan, biarpun jendela-jendela tertutup, tiba-tiba dalam ruangan itu ada angin dingin yang berputar berkeliling ruangan, sampai rambut dan ikat kepala Lui Kong-sim berkibar kencang.

Tetapi Lui Kong-sim tidak berhenti membacakan kutukan, malah makin bersemangat, bahkan kemudian matanya terbalik sehingga kelihatan hanya putihnya saja, sementara mulutnya tidak berhenti melagukan kutukan bagi barang siapa yang menentang Sang "ibunda segala agama", kali ini tidak usah membaca lagi, sebab ia sudah dalam keadaan tidak sadar.

Wajah patung-patung di ruangan itu seolah-olah menjadi hidup, menyeringai dan mendukung terlaksananya kutukan itu.


Di pagi yang cerah itu, di padang ilalang, Liu Yok bersama Cu Tong-liang dan Tabib Kian sedang melangkah santai menuju ke kota Seng-tin. Mereka hendak mengunjungi Pang Se-bun, dan alasan untuk mengunjungi Pang Se-bun itu tidak usah rumit-rumit, cukup sederhana saja yaitu "karena dorongan hati" Liu Yok.

Cu Tong-liang yang sudah beberapa bulan bersama-sama Liu Yok, sudah agak hapal meskipun belum sepenuhnya akan tabiat Liu Yok. Bila sudah menuruti "dorongan hati" maka tak ada alasan yang bagaimanapun masuk akalnya yang bisa membatalkan tindakan Liu Yok.

Begitu pula pagi tadi, begitu bangun tidur, Liu Yok langsung saja berkata, "Hatiku terdorong untuk mengunjungi Pang Se-bun. Aku merasa dia sedang membutuhkan kita."

Hanya itu alasannya, dan berangkatlah mereka bertiga ke Seng-tin. Sambil melangkah di padang ilalang di bawah langit yang biru jernih bermandikan cahaya matahari, Cu Tong-liang mendongak ke langit dan melihat burung-burung beterbangan gembira. Melihal burung-burung itu, tiba-tiba Cu Tong-liang teringat ayat yang baru saja dibacanya pagi tadi di bukunya Liu Yok.

Belakangan ini Cu Tong-liang memang rajin menjalani apa yang dianjurkan Liu Yok, setelah ia merasa dalam hal kerohanian ia tertinggal jauh dari Liu Yok dan Siau Hiang-bwe. Antara lain dengan membaca buku kepunyaan Liu Yok itu, dan apa yang tidak ia ketahui artinya, ia tanyakan kepada Liu Yok.

Begitu pula saat itu, melihat burung-burung di udara, mendadak Cu Tong-liang ingat yang dibacanya pagi tadi, dan bertanya, "Saudara Liu, tadi pagi kubaca di bukumu begini: sebagaimana burung terbang berkelana, demikian pula kutukan-kutukan berkelana mencari tempat hinggap, namun takkan hinggap kalau tidak ada sebab yang kuat. Apa artinya, Saudara Liu?"

"Tidak bisa kita sangkal bahwa ada banyak pengaruh buruk yang siap menerkam siapa pun di muka bumi ini. Pengaruh buruk itu ada yang bisa dikenali sebab-sebabnya secara alamiah, ada yang tidak bisa dilacak penyebabnya secara alamiah. Yang bisa dilacak secara alamiah, misalnya, sebuah warung makan yang kurang laku karena tempatnya jorok, pelayan-pelayannya juga jorok, apalagi kalau masakannya tidak enak.

"Kalau si pemilik warung ingin memajukan warungnya, ia harus membersihkan warungnya, juga pelayan-pelayannya, dan memperbaiki kelezatan hidangannya. Atau orang yang selalu sakit-sakitan karena cara hidupnya yang tidak. sehat. Tetapi ada juga penyebab-penyebab yang sifatnya gaib. Misalnya, seorang pedagang ingin menjatuhkan saingannya, pedagang yang lain.

"Karena cara-cara yang normal tak berhasil, dia lalu minta tolong orang yang berilmu gaib untuk menghancurkan usaha dagang saingannya. Dalam kenyataan sehari-hari, kita dengar banyak cerita tentang seorang penguasa yang baik, tanpa cacad sedikit pun nama baiknya, pelayanannya kepada pelanggan sangat terpuji, barang-barangnya baik dengan harga yang pantas, pokoknya secara normal tak ada kelemahannya setitik pun, eh, tahu-tahu ditinggalkan pelanggan-pelanggannya sampai bangkrut.

"Pelanggan-pelanggannya beralih ke pedagang lain yang kwalitetnya jauh di bawah si pedagang yang baik tadi. Kenapa bisa begitu? Secara normal, akal manusia tak mampu menjawabnya. Tetapi jangan lupa, ada dunia lain, alam lain, selain alam yang terindera dan bisa diurai akal ini. Alam gaib tidak dapat dicerna dengan akal, tetapi dalam diri setiap manusia ada sesuatu yang bisa merasakan keberadaannya.

"Itulah yang mendorong manusia beragama, beribadah, bahkan menjalankan syarat-syarat agama, yang berat demi menenteramkan hatinya sendiri, meskipun secara akal tak berguna. Pengaruh-pengaruh buruk yang tidak alamiah dan tidak dapat dicerna akal inilah yang disebut kutukan. Dan kita bisa mematahkan kutukan-kutukan yang manapun juga, karena kita dianugerahi kuasa itu.

"Ingat yang pernah kukatakan kepada Kakak Liang, barang siapa berpegang teguh di atas batu karang pengakuan iman itu, maka kerajaan maut, artinya bagian dari alam yang paling jahat pun, tidak menguasainya. Bahkan kita ini dikatakan, yang kita ijinkan di alam kasar ini diijinkan juga di alam gaib, yang kita larang di alam kasar juga terlarang di alam gaib."

Tabib Kian yang baru kali ini seterang itu mendengar apa yang diyakini Liu Yok, jadi tercengang. Ia pun nyeletuk bertanya, "Mengijinkan dan melarang di alam gaib? Manusia mengijinkan dan melarang di alam gaib?"

Sahut Liu Yok, "Kusempitkan sedikit, Paman Kian, bukan semua manusia, tetapi manusia yang dengan rendah hati menyambut anugerah pemulihan Yang Maha Kuasa. Manusia yang tidak menyambut anugerah itu, ya tetap saja dikuasai oleh penguasa-penguasa gaib itu."

"Bukankah alam gaib itu ada penghuninya? Ada penguasa-penguasanya?"

"Tetap saja mereka bertindak hanya atas ijin atau larangan kita."

"Bagaimana dengan orang-orang yang dikuasai kekuatan-kekuatan gaib? Seperti Beng Hek-hou, juga pengawal-pengawal Seng-tin yang dapat berjalan di atas api tanpa luka?"

"Karena mereka menginginkan, bahkan meminta dengan sungguh-sungguh agar kekuatan-kekuatan gaib atau penguasa-penguasanya itu masuk ke tubuh mereka. Ada yang memuja suatu benda keramat, bertapa di tempat angker, dan sebagainya. Manusia mengijinkan, tentu saja penguasa-penguasa gaib masuk dan menguasai hidup mereka. Manusia-manusia ini, mereka bisa mengundang masuk tetapi takkan mampu melepaskan diri dari penguasa-penguasa gaib ini, sebab sudah dikuasai. Bermain-main dengan kuasa-kuasa gaib yang salah adalah jalan satu arah menuju kekelaman abadi."

Tabib Kian berkata, "Untunglah yang menguasai orang-orang Seng-tin itu adalah penguasa-penguasa gaib yang baik, yang pernah menolong rakyat Seng-tin dari cengekeraman Beng Hek-hou."

Tetapi Liu Yok menggelengkan kepala. "Tidak ada penguasa yang gaib yang baik, sebab mereka melakukan penguasaan atas jiwa manusia yang seharusnya bebas memilih. Yang Maha Kuasa sendiri tidak memaksa. Dia mencipta manusia dengan jiwa bebas, bebas memilih apakah akan mengingkari-Nya atau mematuhi-Nya. Kalau mematuhi Dia, bukan mematuhi dalam ketakutan dan keterpaksaan. Tetapi penguasa-penguasa gaib di Seng-tin itu memaksa orang-orang yang dihuninya, dan mereka bukan kekuatan yang baik."

Cu Tong-liang mengangguk-angguk menyetujui. "Benar. Meskipun orang-orang bisa memperoleh kekuatan, kesembuhan, kesaktian, keberuntungan, keawet-mudaan, tetapi mereka tidak bahagia. Terus terang, aku pernah iri dan merasa rendah diri melihat pengawal-pengawal Seng-tin berjalan di atas api tanpa terluka, memanjat tangga golok, menggoreng tangan dan sebagainya.

"Aku semakin merasa tak berguna ketika aku hampir dicabik-cabik Beng Hek-hou yang mengubah wujud menjadi macan jadi-jadian, sedangkan pengawal-pengawal Seng-tin berhasil mengalahkan Beng Hek-hou dengan jurus-jurus yang tidak pernah mereka pelajari, tetapi tiba-tiba saja dapat mereka lakukan dengan dahsyat.

"Tetapi aku juga mulai berkelakuan yang sebagian tidak dari kepribadianku sendiri. Tabiat-tabiat yang bukan sifatku itu makin lama makin kuat dan seperti mendesak, bahkan hendak menguasai sifatku sendiri. Untung aku akhirnya menyadari dan tertolong."

Mereka kemudian sudah tiba di Seng-tin. Udara begitu cerah, tetapi terasa situasinya agak lain. Jalan-jalan dan halaman-halaman nampak lengang.

"Ada apa lagi ini? Setelah kemarin banyak orang Seng-tin tiba-tiba berbaku hantam tanpa sebab-musabab yang jelas?" tanya Cu Tong-liang tanpa mengharapkan jawaban.

Namun Liu Yok menjawabnya, "Aku melihat burung-burung beterbangan di udara, sedang mencari tempat hinggap bukan di pepohonan melainkan di hati manusia."

Ketika mereka bertiga berbelok di sebuah persimpangan, tak terhindari mereka tiba-tiba berpapasan dengan Bibi Ciu, Ciu Bian-li dan A-kun bersama boneka A-hwenya. Bibi Ciu dan Ciu Bian-li mengenakan jubah putih yang bersambungan dengan penudung kepala, sedang A-kun berpakaian serba merah. Sejak ia "bersahabat dengan A-hwe" ia berpakaian meniru sahabat dari alam lain itu.

Ketiga perempuan yang sedang berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjalankan perintah Liu Kong-sim itu pun kaget melihat Tabib Kian bertiga. Namun paling kaget ialah ketika mereka melihat Liu Yok, mata mereka nampak jelalatan ketakutan. Bahkan Bibi Ciu dan Ciu Bian-li yang sama sekali belum pernah melihat Liu Yok pun ketakutan menatap Liu Yok. Ketakutan yang berasal tidak dari mereka sendiri. Mereka segera berbalik dan bergegas-gegas meninggalkan Tabib Kian, tanpa menyapa sepatah pun dan juga tidak lagi menoleh sekejap pun.

"Kenapa mereka?" Tabib Kian heran.

Sahut Liu Yok, "Bukan antara aku dan mereka, sebab saling kenal pun belum. Tetapi antara yang di dalam aku dengan yang di dalam mereka. Yang di dalam mereka merasakan kehadiran yang di dalam aku, jadi menggiring mereka untuk pergi."

Tiba-tiba Cu Tong-liang bertanya, "Saudara Liu, kalau di dalammu ada kekuatan gaib itu, apa bedanya kau dengan orang-orang Seng-tin?"

"Tiga bedanya. Pertama, yang di dalam aku, juga dalam Kakak Liang dan dalam Siau Hiang-bwe itu sama, karena sifatnya Yang Maha Hadir, tidak terpecah-pecah. Satu tetapi hadir di mana-mana, bahkan memenuhi alam semesta ini. Yang di dalam orang-orang Seng-tin itu berbeda-beda dalam tiap orang, sebab mereka tidak maha hadir.

"Ke dua, yang di dalam kita ini Pencipta, sedang yang di dalam orang-orang Seng-tin itu bagaimana saktinya tetaplah mahluk, yang diciptakan. Yang ke tiga, yang di dalam kita ini kemahakuasaannya mutlak tetapi tidak memaksa, tidak menganggap manusia sebagai kuda tunggangan yang bisa dikian-kemarikan semaunya.

"Sebaliknya yang di dalam orang-orang Seng-tin itu kekuasaannya terbatas, tetapi mereka seenaknya saja memperlakukan manusia seperti boneka-boneka wayang di tangan si dalang, menganggap manusia hanya boleh menjalani garis lakon kehidupan masing-masing menurut pakem atau suratan yang ditulis oleh mahluk-mahluk gaib itu.

"Ini sangat merendahkan martabat manusia sebagai mahluk merdeka, yang diangkat jadi raja di bumi, lebih-lebih sebagai citra-diri Sang Maha Pencipta sendiri. Itulah tiga perbedaannya, Kakak Liang."

Cu Tong-liang mengangguk, ia sendiri pernah mengalaminya, terutama yang ke tiga yang dijelaskan Liu Yok itu. Ketika Cu Tong-liang tergoda melihat kehebatan pengawal-pengawal Seng-tin, maka di dasar hati Cu Tong-liang memang ada suara peringatan lembut agar ia tidak tergoda, supaya jangan tergelincir.

Suara itu berwibawa, tetapi tidak memaksa, tidak begitu, saja mengambil-alih kehendak, pikiran dan perasaan Cu Tong-liang. Bahkan ketika Cu Tong-liang menentang suara itu karena tergiur oleh apa-apa yang dimiliki pengawal-pengawal Seng-tin.

Sementara itu, Pang Se-bun dan keluarganya sedang dalam suasana murung karena larinya A-kun dari rumah orang tuanya ke rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan. Minggatnya A-kun itu untuk menentang datangnya Liu Yok ke rumah itu, bahkan ke Seng-tin. Sudah beberapa kali dalam sehari, kemarin, Pang Se-bun mengajak A-kun pulang kembali tetapi A-kun tetap menolak.

Sejak A-kun menjadi "penyampai berita dari alam gaib" melalui "A-hwe"nya, memang kedua orang tuanya sering pusing oleh tingkah A-kun yang aneh, bahkan kadang-kadang begitu menakutkan kedua orang tuanya sendiri. Tetapi pembangkangan kali ini, sampai lari dari rumah, adalah pembangkang yang terbesar. Lebih sulit lagi, di bekas kediaman guru silat Ciu Koan itu A-kun dibela oleh tokoh-tokoh tertinggi dalam sekte yang diajarkan Wong Lu-siok.

Pang Se-bun sendiri juga tokoh yang dihormati, namun dianggap tokoh yang "kurang teguh" karena dianggap kelewat bersahabat dengan orang-orang di luar keyakinan seperti Cu Tong-liang, Siau Hiang-bwe dan Liu Yok. Berhadapan dengan tokoh-tokoh keras macam Lui Kong-sim, Bibi Ciu, Yao Kang-beng dan sebagainya.

Pang Se-bun tak berdaya membawa pulang A-kun, apalagi memang A-kun sendiri juga tidak mau. Pang Se-bun dan isterinya amat sedih ketika membayangkan sorot mata A-kun kemarin kepada kedua orang tuanya sendiri, yaitu sorot permusuhan dan kebencian yang luar biasa!

"Sebenci itukah A-kun kepada kita?" keluh Nyonya Pang pagi itu sambil mengusap matanya yang bengkak dan merah, karena semalam ia amat sedikit tidurnya karena mengenang puterinya.

Pang Se-bun juga merasa tertekan jiwanya, namun ia coba menghibur isterinya, "Jangan terlalu bersusah hati, Isteriku. Kata Saudara Liu Yok kemarin, yang membenci dan memusuhi kita itu bukanlah pribadi A-kun sendiri, melainkan pribadi-pribadi lain yang menghuni jiwa dan tubuhnya. Kalau A-kun sudah dilepaskan dari cengkeraman kekuatan-kekuatan asing itu, ia akan normal seperti semula."

"Aku tak mengerti. Yang menghuni A-kun itu dulu sering mengaku sebagai dewa-dewa yang datang untuk menolong manusia dari kejahatan siluman-siluman, kenapa dewa-dewa bisa sejahat itu?"

"Aku sendiri bingung. Dulu ketika Beng Hek-hou menguasai kota ini dengan ilmu silatnya, kita kelabakan mencari pertolongan, lalu menemukan Wong Lu-siok yang mengaku ilmunya putih, datang dari langit untuk menolong dan membahagiakan kita, katanya. Tetapi sekarang aku tak tahu harus omong apa...."

"Kata orang asing yang namanya Liu Yok itu, yang dianggap siluman maupun dewa itu sebenarnya sama jahatnya. Sama-sama ingin memperbudak manusia. Apa kau percaya Liu Yok, Suamiku?"

"Aku benar-benar pusing. Jangan-jangan Liu Yok ini datang seperti Wong Lu-siok dulu, kelihatannya mau menolong tetapi ternyata menguasai jiwa dan pikiran orang-orang Seng-tin dengan ajaran barunya? Lalu Seng-tin ini seperti hanya berpindah dari tangan ke tangan, dari kekuatan yang satu ke kekuatan yang lain."

Ketika itulah pelayan masuk dan berkata, "Tuan, Tuan Giam, Tuan Ho dan teman-temannya ingin menemui Tuan... mereka membawa senjata."

Pang Se-bun memegangi kepalanya kuat-kuat seolah takut copot. Urusan minggatnya A-kun belum bertemu jalan keluarnya, tahu-tahu Giam Lok datang beramai-ramai, entah untuk urusan apa? Bawa-bawa senjata segala.

"Tidak kautanyai mereka tentang keperluan menemui aku?" tanya Pang Se-bun kepada pembantunya.

"Sudah kutanya, Tuan, tetapi mereka tidak mau menjawab. Mereka hanya ingin bicara dengan Tuan."

"Ada-ada saja...." keluh Pang Se-bun sambil bangkit dan melangkah hendak menjumpai tamu-tamunya.

Namun isterinya mencegah, "Hati-hati Suamiku. Belakangan ini banyak kejadian tak terduga, menilai orang tidak bisa lagi secara biasa. Misalnya peristiwa kemarin, secara akal sehat tidak mungkin kau menyerang Saudara Cu Tong-liang karena persahabatan dengannya. Tetapi nyatanya kau sudah menyerangnya mati-matian di warung bubur kacang, menganggap dia sebagai Beng Hek-hou. Bukankah ini aneh? Sekarang kita tak dapat menebak apa yang akan terjadi antara kau dengan Giam Lok dan teman-temannya."

"Kalau tidak menemui mereka, lalu harus bagaimana? Bersembunyi? Lari terbirit-birit lewat pintu belakang?"

Nyonya Pang tak dapat mencegah suaminya untuk keluar menemui Giam Lok dan teman-temannya. Di depan pintu, Pang Se-bun menjumpai ada Giam Lok, Ho Tong dan belasan lelaki Seng-tin lainnya yang semuanya sudah ia kenal baik. Sebagian bekas sesama murid almarhum Ciu Koan, sebagian bukan. Yang jelas, semuanya bersenjata dan wajahnya menunjukkan sikap siap berkelahi, tetapi berkelahi dengan siapa?

Dengan berdebar-debar Pang Se-bun bertanya, "Saudara Giam, Saudara Ho, ada apa ini?"

Jawab Giam Lok di luar dugaan, "Kami siap berkelahi di pihak Kakak Pang. Untuk membela Kakak Pang."

"Lho, kok berkelahi di pihakku dan membela aku, memangnya aku mau berkelahi dengan siapa?"

"Lho, Kakak Pang belum tahu? Yao Kang-beng sedang mengumpulkan teman-temannya yang sepaham, yang disebutnya 'pengawal kota' padahal hanyalah penguasa-penguasa kecil yang mengangkat diri sendiri, setelah itu mereka hendak menuju kemari untuk menumpas Kakak Pang sekeluarga. Kami tidak boleh membiarkan dia seenaknya saja menentukan mati hidupnya sesama warga kota!"

Pang Se-bun kaget mendengarnya. "Jadi... Yao Kang-beng sedang...."

"Ya!"

"Kenapa Guru Wong diam saja dan tidak mencegahnya?" Pang Se-bun penasaran. Ia belum tahu bahwa saat itu Wong Lu-siok sudah meringkuk dalam sel karena sudah "dipecat oleh Ratu Langit" dan digantikan Lui Kong-sim yang lebih ganas. "Aku harus menjumpai Guru Wong untuk menanyakan kenapa sampai bisa begini."

"Percuma, Kak, ini bukan saatnya untuk bicara, tetapi untuk bertindak. Yao Kang-beng dan lain-lainnya itu pikirannya sudah terbalik, sudah tidak mungkin diajak bicara baik-baik secara akal waras, mereka hanya bisa memandang segala sesuatu menurut sudut pandangan mereka sendiri. Pandangan orang lain diabaikan."

Baru saja selesai kata-kata Giam Lok, dari ujung lorong sudah muncul Yao Kang-beng bersama belasan temannya yang juga bersenjata. Mereka sudah mengenakan ikat kepala kuning mereka yang ditulisi "huruf langit" yang dipercaya menambah kekuatan mereka.

Bahkan ketika masih berjarak belasan langkah, Yao Kang-beng sudah berteriak garang, "Pang Se-bun, atas nama Ibunda Ratu Langit, serahkan dirimu dan seluruh keluargamu untuk dihukum mati!"

Wajah Pang Se-bun berubah. Sesabar-sabarnya ia, namun Yao Kang-beng mengucapkan kata-kata "hukuman mati" itu dengan enak dan ringan saja seperti orang mau beli kerupuk saja. Sebelum Pang Se-bun menjawab, Giam Lok lah yang menjawab lebih dulu dengan tak kalah kerasnya,

"Aku tahu di ibukota Pak-khia sana ada seorang manusia yang duduk sebagai kaisar, yang dipertuan di negeri ini. Biarpun sulit ditemui, tetapi dia manusia, ada wujudnya. Kalau memberi perintah, ada surat perintahnya. Tetapi yang namanya 'ratu langit' itu mahluk apa? Mana ujudnya? Dan yang namanya panglima-panglima langit' serta 'balatentara langit' itu apa? Ingin kulihat batang hidung mereka. Kalian ini seenaknya saja memutuskan nasib orang dengan hukuman mati berdasarkan sesuatu yang belum tentu ada!"

Sebenarnya dalam hati Giam Lok sendiri pun sudah mulai percaya akan keberadaan dunia lain yang tak terlihat itu serta penghuni-penghuninya yang juga berkegiatan seperti penghuni-pengnuni dunia yang terlihat. Kepercayaan Giam Lok ini muncul sejak peristiwa semalam.

Ketika ia dan Ho Tong terjebak dalam "formasi sejuta bendera" yang ternyata berasal dari alam lain. Tetapi ucapannya di depan Yao Kang-beng ini sekedar untuk menjatuhkan moril Yao Kang-beng dan teman-temannya....

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.