Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 11 Karya Stevanus S P

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 11

KETIKA Ho Tong mendengar kabar bahwa Giam Lok sakit keras kemudian sembuh kembali, Ho Tong jadi merasa punya seseorang yang nasibnya lebih kurang sama dengannya, dan ia ingin mengunjungi Giam Lok. Tetapi sejak ia waras kembali, Ho Tong belum pernah berani melangkah keluar dari dinding-dinding rumahnya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Kenyataan bahwa dia pernah menjadi orang gila yang berkeliaran di Seng-tin membuatnya malu dilihat orang. Maka kunjungannya kepada Giam Lok dipilihnya malam hari, ketika jalanan sudah sepi, agar sesedikit mungkin bertemu orang, bahkan kalau mungkin tidak ketemu siapa-siapa. Ia kenakan mantel panjang yang agak butut dengan leher mantel dinaikkan tinggi-tinggi, lalu topi rumput dipakai rendah-rendah dikepalanya.

"Mau ke mana malam-malam begini, A-tong?" tanya Ho Kin yang belum tidur dan masih mengisap pipa tembakau di kursi kesayangannya dekat pintu.

"Ke rumah Giam Lok, Ayah. Kalau ada yang hendak mencariku, tolong jangan diberi tahu, ya?"

"Aku paham perasaanmu. Hati-hatilah."

"Hati-hati? Bukankah katanya gerombolan Beng Hek-hou sudah pergi? Hati-hati terhadap apa?"

Si Ayah kebingungan menjawab, tadi waktu memperingatkan Ho Tong agar hati-hati, ia bicara begitu saja apa yang dikatakan hatinya. Tetapi ketika ditanya anaknya, ia bingung menjelaskannya.

"Ayah, apakah kota masih kurang aman, sehingga Ayah menyuruhku berhati-hati?"

Ho Kin mengepulkan dulu asap tembakaunya, dan menjawab kabur, "Apa salahnya berhati-hati? Siapa tahu masih ada orang jahat berkeliaran di pinggir kota?"

"Baik, Ayah, aku akan berhati-hati." Ho Tong keluar dari pintu depan dan mulai menyusuri lorong-lorong Seng-tin yang gelap dan berkabut tebal. Seperti yang diharapkannya, ia tidak bertemu seorang pun.

Tiba-tiba dalam hati Ho Tong timbul keinginannya untuk tidak langsung menuju ke rumah Giam Lok, melainkan hendak putar-putar kota dulu. Ia ingin melihat-lihat Seng-tin sekarang. Meskipun menurut cerita keluarganya ia berbulan-bulan hilir-mudik di Seng-tin sebagai orang gila, namun selama "jaman gila" itu yang dilihat Ho Tong bukanlah Seng-tin.

Melainkan suatu tempat asing yang menurut Ho Tong gelap terus, tak ada matahari, suatu tempat yang penuh bukit-bukit gersang dan gua-gua yang dihuni mahluk-mahluk aneh atau mahluk-mahluk berdandan bangsawan-bangsawan jaman kuno, dalam gua-gua juga ada manusia-manusia yang dirantai dan diperintah semaunya oleh mahluk-mahluk itu.

Sambil melangkah sendirian di malam gelap itu, Ho Tong menikmati suasana Seng-tian di malam hari. Masih seperti dulu, bangunan-bangunannya dan tempat-tempatnya tidak ada yang berubah sedikit pun, namun Ho Tong merasakan suasananya agak berubah. Terasa ada yang menekan perasaannya, entah apa, Ho Tong tidak bisa menterjemahkannya ke dalam kata-kata yang masuk akal.

Ho Tong juga melihat perbedaan lain, ia melihat kota Seng-tin sekarang penuh bendera-bendera berbagai ukuran dengan tulisan yang aneh-aneh. "Mungkinkah di Seng-tin ini ditempatkan suatu pasukan pemerintah untuk berjaga-jaga agar jangan sampai diduduki gerombolan lagi? Tetapi seluruh keluargaku dalam pembicaraannya tidak sedikit pun menyingung tentang adanya pasukan pemerintah di tempat ini juga, kalau ada perajurit pemerintah di sini, tidak perlu rasanya hampir setiap rumah memasang bendera, tetapi kulihat banyak rumah memasang bendera aneh itu meski dalam ukuran kecil."

"Besok akan kutanyakan kepada orang-orang di rumah," pikir Ho Tong, "Ah, kenapa harus menunggu besok? Barangkali Giam Lok juga tahu."

Setelah melalui beberapa lorong, Ho Tong kemudian melangkah ke rumah Giam Lok. Namun ketika pintu rumah Giam Lok sudah di depan hidungnya, Ho Tong malahan jadi ragu-ragu untuk mengetuk pintu, Soalnya, dari dalam rumah Giam Lok terdengar pertengkaran. Suara yang bertengkar itu ialah suara Giam Lok dan ibunya.

Terdengar suara Nyonya Giam yang melengking tinggi, "Kau sungguh angkuh, A-liok. Kau sudah sembuh, tetapi kau menganggap itu hanya hasil dari semangatmu yang besar, bukan anugerah para dewa, aku tidak menanggung kalau kau bakal menanggung kemarahan yang lebih berat dari para dewa."

Suara Giam Lok pun bernada tinggi emosional, "Kemarahan dewa siapa? Dewa Lui Kong-sim? Yang begitu berkuasa menetapkan, orang bersalah dan menghukumnya?"

Ho Tong sebenarnya ingin mampir, namun setelah mendengar itu lalu tidak jadi mampir. Tetapi ketjka ia baru saja melangkah meninggalkan pintu, didengarnya pintu terbuka dengan keras dari dalam, dan suara Giam Lok, "Aku tidak betah lagi di rumah ini! Rumah penuh tahyul dan omong kosong!"

Dan suara Nyonya Giam dari dalam rumah, "Minggat dari rumah ini, anak keras kepala! Kekeras-kepalaanmu yang tidak mau mengakui para dewa itu bisa menyebabkan rumah ini kena kutuk! Enyah dari sini! Itu lebih baik!"

Lalu Nyonya Giam melangkah ke pintu dan memasang palang pintu di sebelah dalam pintu. Giam Lok kini berada di luar pintu, di tengah malam yang dingin dan berkabut. Dengan masygul ditatapnya pintu rumahnya yang sudah tertutup dari dalam itu.

Sambil menghela napas berat, Giam Lok lalu melangkah pergi sambil mendekapkan tangannya menahan dingin, tetapi langkahnya tertegun ketika melihat sesosok bayangan bermantel panjang dan bertopi berdiri tidak jauh dari pintu rumahnya. Giam Lok terkesiap. "Siapa kau? Mata-mata Lui Kong-sim?"

Ho Tong heran mendengar pertanyaan itu, apakah kota Seng-tin yang dulunya orang-orangnya begitu rukun dan akrab seperti keluarga besar itu, sekarang terbiasa saling memata-matai? Apalagi sesama murid guru silat Ciu Koan, dulu ikatannya melebihi ikatan saudara sedarah, dan baik Giam Lok maupun Lui Kong-sim sama-sama murid dari guru silat itu.

"Kakak Lok, aku... Ho Tong...."

Giam Lok membeku beberapa saat mendengar nama itu, tetapi dia pun sudah mendengar sembuhnya Ho Tong, maka buru-buru dia menyambut teman lama itu, "Saudara Ho! Aku dengar kau sudah sembuh! Selamat!"

Kedua sahabat itu saling menyambut seolah-olah berpisah dari tempat-tempat yang saling berjauhan, padahal selama ini mereka sama-sama di Seng-tin, tetapi komunikasi mereka terputus sekian lama gara-gara Ho Tong gila.

Kata Ho Tong, "Kakak Lok, sebenarnya aku berniat mengunjungimu, dan aku mohon maaf sebesar-besarnya bahwa aku tanpa sengaja telah menangkap pembicaraanmu dengan ibumu. Itu kurang sopan. Aku baru hendak bermaksud meninggalkan tempat ini untuk menunda kunjungan di lain kali saja, tetapi engkau sudah keluar pintu."

Dengan menunduk murung, Giam Lok melangkah menjauhi rumah itu, sambil berkata, "Begitu keraskah suara pertengkaran kami, sehingga kau mendengarnya, Saudara Ho?"

"Ya maklum, orang sedang emosi," jawab Ho Tong tak langsung.

Giam Lok menarik napas. "Sudahlah. Nanti kalau akal sehat ibuku sudah kembali, aku bisa bicara baik-baik kepadanya. Sekarang ini, ia sedang dikuasai emosinya, dan juga macam-macam cerita dongeng yang tidak masuk akal. Eh, Saudara Ho, kenapa kau mengunjungiku malam-malam begini?"

"Kakak Lok tahu, aku ini bekas orang... tidak waras. Kalau aku terlihat ada di jalanan oleh warga kota lainnya, terutama anak-anak kecil bagaimana perasaanku? Maka kupilih malam-malam seperti ini untuk mengunjungi Kakak Lok?"

"Ada keperluan tertentu?"

"Tidak, cuma mau ngobrol saja. Sumpek rasanya di rumah terus. Kakak Giam ada waktu?"

"Aku senang ada yang diajak mengobrol, Saudara Ho. Tetapi kau lihat sendiri bahwa aku baru saja diusir dari rumahku. Jadi, kita harus cari tempat dulu."

"Bagaimana kalau rumahku?"

"Tidak, Saudara Ho. Bukankah di rumahmu ada ayah ibumu, kakakmu dan anak isterinya serta adik perempuanmu? Aku ingin bicara lebih leluasa hanya kepadamu, Saudara Ho."

"Jadi di mana?"

Giam Lok memperlambat langkahnya karena sedang berpikir, lalu katanya, "Eh, bagaimana kalau di bekas rumah Kakak Yam-lam?"

"Kenapa Kakak Lok menyebutnya 'bekas rumah'? Memangnya Kakak Lam sendiri ke mana?"

"Kakak Lam sekarang menjadi orang kepercayaan Wong Lu-siok, dia tinggal di rumah bekas perguruan silat kita dulu dan rumahnya yang di pinggiran kota tidak ditempati lagi."

"Kambing-kambingnya?"

"Selama gerombolan Beng Hek-hou menguasai kota ini, kambing-kambingnya habis dijadikan bahan pesta pora gerombolan. Kabarnya pula, untuk memperkuat ilmu sihir hitamnya, Beng Hek-hou setiap hari harus memakan satu jerohan kambing, mentah-mentah."

Ho Tong agak mual. "Kok seperti macan saja?"

"Ilmunya Beng Hek-hou ini namanya saja 'ilmu macan hitam'."

Entah kenapa, pikiran Ho Tong tiba-tiba melayang ke pengalaman anehnya ketika ia "mengembara di tempat asing yang gelap terus" dan di tempat itu penguasanya adalah seekor "macam hitam yang bisa berjalan dan bicara seperti manusia", sebelum Si Macan Hitam itu diambil-alih tempatnya oleh mahluk-mahluk langit yang berdandan seperti para pangeran, puteri bangsawan dan panglima-panglima jaman kuno dan pasukan mahluk-mahluk anehnya.

Tetapi Ho Tong diam saia soal itu, sebab dianggapnya Giam Lok belum tentu bisa menerima ceritanya itu. Kalau didengar dari kata-katanya sejak dulu, Giam Lok ini agaknya orang yang mendewakan akalnya, otaknya, menuntut segala sesuatu harus bisa dijelaskan dengan akalnya sebelum ia mau mempercayainya.

Mereka pun melangkah maju ke rumah kosong bekas kediaman Ek Yam-lam. Tetapi sebelum sampai ke tempat itu, ketika mereka lewat persimpangan antara dua lorong, tiba-tiba Giam Lok menarik tangan Ho Tong untuk buru-buru diajak bersembunyi di semak-semak belukar yang gelap di pinggir jalan. Ho Tong hendak bicara, tetapi mulutnya lebih dulu dibekap oleh telapak tangan Giam Lok yang sambil membisikkan "ssst" ke kuping Ho Tong, menyuruh Ho Tong diam.

Ho Tong tidak melawan, ia mendekam membisu di balik semak-semak bersama Giam Lok. Ternyata, yang membuat Giam Lok bersikap macam itu tak lain adalah serombongan orang yang melangkah dari ujung lorong lain, jumlahnya ada kira-kira lima enam orang. Mereka bicara sambil tertawa-tawa. Ho Tong mengenal salah satu suara itu adalah suara Lui Kong-sim, juga bekas murid Ciu Koan, alias teman seperguruan Ho Tong dan Giam Lok.

"Bukan siapa-siapa, itu suara Kakak Sim." bisik Ho Tong kepada Giam-lok, lalu ia sudah hendak berdiri keluar dari persembunyiannya.

Tetapi Giam Lok menahan pundaknya sambil membisikinya, "Jangan keluar. Nanti kujelaskan."

Ho Tong heran, tetapi menurut. Hanya dalam hatinya membatin. "Kota ini belum berubah bangunan-bangunannya, tetapi orang-orangnya sudah berubah. Apa yang terjadi?"

Sementara Lui Kong-sim dan beberapa temannya itu makin dekat, dan terdengar suara Lui Kong-sim sambil tertawa. "Lagaknya yang garang itu hanya mempan digunakan untuk memeras perempuan tua tak berdaya seperti Bibi Yao. Masa, minta 'uang tutup mulut' kok hampir setiap hari. Tetapi begitu berhadapan dengan kita, dia pun menggigil seperti tikus ketemu kucing."

"Uang yang dikembalikannya itu apakah akan kita kembalikan kepada Bibi Yao?"

Terdengar Lui Kong-sim menjawab, "Tentu. Tetapi kurasa... Bibi Yao akan cukup rela kalau hanya menerima separuhnya saja, dia tetap akan berterima kasih kepada kita yang sudah membebaskan dia dari pemerasan keterlaluan itu."

"Yang separuh buat kita?"

"Yah, masa jerih payah kita tidak dihargai?"

"Kalau begitu, mari kita ke rumahnya Paman Ao, mudah-mudahan dia masih punya persediaan arak yang cukup?"

Mereka melewati tempat persembunyian Ho Tong dan Giam Lok namun tidak memergokinya, suara mereka makin jauh dan menghilang di ujung lorong lain.

Giam Lok dan Ho Tong keluar dari persembunyiannya, dan yang pertama ditanyakan Ho Tong adalah, "Kakak Lok bermusuhan dengan Kakak Sim?"

Giam Lok menarik napas, "Tidak, tetapi memang tidak baik kalau aku bertemu dengannya."

"Kenapa? Kakak Lok dan Kakak Sim dulu berteman akrab."

"Aku cuma kurang cocok dengan kelakuannya belakangan hari ini. Ia menganggap dirinya begitu berkuasa, tanpa ada warga kota yang mengangkatnya, dia mengangkat diri sendiri sebagai penanggung-jawab keamanan kota ini. Ia menghukum siapa saja yang dianggapnya melanggar ajaran suci."

"Ajaran suci? Ajaran apa itu?"

"Waktu kota ini dikuasai Beng Hek-hou dulu, penduduk kota tidak berdaya mengusir Beng Hek-hou yang jauh lebih kuat. Tetapi datanglah Wong Lu-siok yang mengaku dirinya sebagai manusia pilihan yang diutus dari langit untuk memberitakan ajarannya di Seng-tin. Dia memang berhasil mengusir Beng Hek-hou dan gerombolannya. Maka keranjinganlah orang-orang Seng-tin mengikuti ajarannya, termasuk ibuku."

"Ooo, begitu?"

"Ya. Sebagian orang Seng-tin memuja Wong Lu-siok bagaikan dewa, tetapi pendapatku lain. Menurutku, Wong Lu-siok ini hanya sekedar mengambil-alih Seng-tin dari Beng Hek-hou. Jadi Seng-tin sebenarnya tidak bebas. Cuma ganti penguasa. Dulu Beng Hek-hou menguasai kota dengan anak buahnya yang garang-garang, sekarang Wong Lu-siok menguasai dengan ajaran-ajarannya yang membuat semua orang Seng-tin tergila-gila mematuhinya.

"Wong Lu-siok tidak memerlukan anak buah satu orang pun, sekarang sebagian besar orang Seng-tin adalah pengikutnya, dan mau saja diperintahkan untuk menindak sesama warga yang dituduh 'melanggar ajaran suci'. Coba, Saudara Ho, mana yang lebih jahat antara penindasan Beng Hek-hou dengan penindasan Wong Lu-siok?"

Ho Tong ragu-ragu menjawab, sehingga Giam Lok lah yang menjawab pertanyaannya sendiri tadi. "Dulu, ditindas oleh Beng Hek-hou, seluruh warga bersikap sama menghadapi lawan yang sudah jelas. Sekarang ditindas Wong Lu-siok, warga saling mencurigai, lawan tidak jelas, bisa-bisa adalah keluarga kita sendiri. Nah, Saudara Ho, mana yang lebih buruk?"

"Sikap Kakak Lo sendiri bagaimana?"

"Aku akan memperjuangkan kebebasan Seng-tin untuk kedua kalinya. Kali ini perjuangannya lebih berat dan rumit, tidak cukup dengan otot dan senjata, melainkan dengan ajakan agar warga kota kembali menggunakan akal sehatnya. Saudara Ho, kau sudah berkorban besar dalam perjuangan membebaskan kota dari gerombolan Beng Hek-hou dulu, maukah kau berjuang sekali lagi demi kota ini, bersama aku?"

Ho Tong belum pulih benar dari kenangan amat buruknya, sekian bulan menjadi orang gila, dan sekarang ia tidak buru-buru menyambut ajakan Giam Lok itu. Malahan balik bertanya, "Siapa saja sudah setuju untuk bergabung dengan Kakak Lok?"

Giam Lok menarik napas. "Terus terang saja, baru aku sendirian. Tetapi kalau tidak ada yang mau bergabung denganku, aku akan tetap berjuang, biar sendirian. Aku rindukan Seng-tin yang seperti dulu, Saudara Ho. Seng-tin yang ramah, bersuasana kekeluargaan, tidak dibuat-buat. Bukan Seng-tin yang sekarang, saling mencurigai, sok suci, penuh tahyul."

Baru saja Giam Lok bicara begitu, mereka tiba di sebuah rumah berpagar kayu rendah, sehingga orang lewat bisa melihat ke halaman rumah. Giam Lok dan Ho Tong melihat di halaman samping rumah itu ada seorang nyonya pendek gemuk sedang duduk dalam sikap bersemedi di malam gelap, hanya beralas tikar dan diterangi sebatang lilin.

"Lihat." Giam Lok berkata kepada Ho Tong sambil menunjuk kepada Si Nyonya Pendek Gemuk. "Dulu warga kota tidak ada yang aneh-aneh seperti itu, sekarang banyak. Malah, kalau tidak aneh tidak normal."

Ho Tong menjawab, "Aku kira, ini hanya semacam keranjingan akan sesuatu yang sedang jadi mode. Lama-lama juga akan surut sendiri."

"Yang kau sebut 'lama-lama' itu berapa lama, Saudara Ho? Sebulan, dua bulan, setahun?"

Ho Tong tak menjawab, dan Giam Lok meneruskan. "Yang terang, kalau kita tidak bertindak, akan banyak korban jatuh. Contoh, tahukah Saudara Ho bahwa ada pemuda kota ini yang bernama Ciok Yan-bok, yang bunuh diri gara-gara tadinya ia dapat berjalan di api, lalu tidak dapat lagi karena katanya 'tidak disertai lagi oleh Hulubalang Api'?"

Ho Tong kaget. "Hah? Ciok Yan-bok bunuh diri?"

"Dan tahukah Saudara Ho, bahwa di Seng-tin ini sekarang banyak sesama anggota keluarga tega saling menghajar, membunuh, memfitnah, hanya gara-gara ajaran tak masuk akal itu? Korban akan lebih banyak kalau kita tidak bertindak!"

"Apa andalan kekuatan Kakak Lok hingga hendak menentang situasi ini?"

"Semangat dan akal sehat manusia harus dipulihkan. Semangat yang pantang menyerah itulah yang menyembuhkan aku, dan menyembuhkanmu juga, Saudara Ho. Itulah yang harus ditularkan kepada semua warga Seng-tin. Berusaha dengan kekuatan sendiri, tidak bergantung kepada segala macam mahluk tak terlihat."

Ho Tong agak terpengaruh oleh semangat Giam Lok itu. "Tindakan nyatanya apa, Kakak Lok?"

"Kumpulkan orang-orang sepaham, berlatih, susun rencana."

"Aku tertarik, tetapi apakah Kakak Lok mau memberiku waktu untuk berpikir dulu?"

"Tentu...!!"

Di situ mereka berpisah. Giam Lok menuju ke rumah kosong bekas rumah Ek Yam-lam, sementara Ho Tong kembali ke rumahnya dengan sedikit tambahan yang diketahui tentang kota kelahirannya itu.

Besoknya, Giam Lok memulai "kampanye"nya tentang "akal sehat dan semangat manusia" itu dengan muncul di tempat ramai, yaitu pasar. Meskipun masih agak kurus, namun dengan sikap ramah dia menyapa dan menyambut sapaan orang-orang di pasar.

"Eh, kau sudah sembuh, A-liok!" tegur Si Tukang Bakpao. "Benar, Paman."

"Ternyata tindakan kita menangkap Si Gadis Pembawa Kutukan itu adalah tindakan tepat. Buktinya, begitu gadis itu dikurung, penyakitmu lenyap."

"Gadis pembawa kutukan? Siapa?"

"Aku tidak tahu namanya, dia gadis asing yang dalam beberapa hari ini berkeliaran di kota."

"Di mana dia sekarang?"

"Dikurung di kediaman Guru Wong."

"Seng-tin kota beradab, kota yang tahu aturan, tidak boleh kita seenaknya saja menghukum orang dengan alasan yang tidak masuk akal seperti tuduhan 'pembawa kutukan' dan sebagainya."

"Seluruh kota yang memutuskan nasibnya. Kau mau melawan seluruh kota?"

Giam Lok membungkam. Darahnya menggelegak, tetapi otaknya menahan untuk bertindak atau berkata sembarangan. Jangan sampai niatnya untuk "memperjuangkan kemenangan akal sehat" terbentur langkah pertama hanya karena gara-gara salah bicara.

"Aku harus cari teman-teman sepaham dulu, melebarkan pengaruh, baru bisa memperlihatkan sikap." pikirnya.

Di depan Si Tukang Bakpao itu pun Giam Lok ganti haluan. "Kalau memang orang-orang Seng-tin sudah mempertimbangkan matang-matang tindakannya, ya boleh-boleh saja. Eh, Paman, di mana Si A-gun?"

Anak Si Tukang Bakpao itu memang teman lama Giam Lok. Si Tukang Bakpao menjawab dengan bangga. "A-gun terpilih sebagai salah seorang pengawal kota kita ini. Hebat dia sekarang, aku pernah lihat sendiri dia memanjat tangga yang anak tangganya adalah golok-golok yang tajamnya menghadap ke atas. Dia memanjatnya dengan kaki telanjang! Coba, hebat tidak? Guru silat Ciu Koan mana bisa mengajari sampai sehebat itu?"

Giam Lok kurang senang gurunya dibanding-bandingkan. "Ah, Paman, orangnya sudah mati kok masih dibicarakan. Mendiang Guru Ciu juga pernah jadi orang berjasa di kota ini."

"Aku tidak meremehkan kok. Aku cuma ingin kau tahu bahwa kota kita ini sekarang penuh dengan pengawal-pengawal hebat-hebat. Tanpa bermaksud meremehkan almarhum Guru Ciu."

"Sudahlah, sekarang akan kutemui teman-teman lama dulu. Sudah lama tidak ketemu mereka."

"Kalau ketemu anakku A-gun, jangan kaget. Dia agak lain dari dulu."

"Ya, aku tahu. Sekarang dia seorang pengawal yang bisa memanjat tangga golok tanpa terluka, begitukah?"

Wajah Si Tukang Bakpao yang semula bangga menceritakan anak laki-lakinya itu, kini berubah jadi agak murung. "Maksudku... dia sekarang agak pemarah, kadang-kadang orang tuanya pun tak dapat mengetahui apa maunya."

"O, begitu?" Giam Lok menjawab ringan. Tahap pertama dari rencananya itu, Giam Lok belum terang-terangan mencari orang-orang sepaham. Ia sekedar "lihat-lihat dulu" sambil memamerkan kesembuhannya kepada orang-orang Seng-tin. Kesembuhan karena "akal sehat" dan "semangat serta harapan yang tidak padam" tanpa campur tangan sesuatu yang bersifat gaib.

Namun sebenarnya dalam hati Giam Lok mulai ragu juga, ia meragukan sendiri keberhasilan niatnya itu. Soalnya, bagaimana hendak meyakinkan orang-orang Seng-tin bahwa hidup ini hanya butuh "akal sehat dan semangat" saja? Sedang di Seng-tin orang-orang sudah terlanjur melihat hal-hal yang tak masuk akal seperti orang berjalan di api, memanjat tangga golok dan sebagainya? Bagaimana menjelaskan itu "menurut akal sehat"? Giam Lok pusing juga.

Namun setengah hari itu Giam Lok habiskan untuk berkeliling Seng-tin. Sejak ia sembuh, ia belum pernah keluar rumah. Ketika lewat di warung barang keramik kepunyaan Ban Ke-liong, Giam Lok melihat banyak orang berjejal-jejal membeli sesuatu dari Ban Ke-liong. Ada yang beli barang jadi, ada yang mengambil pesanan, ada yang baru memesan. Giam Lok berdiri di belakang orang-orang itu dan mendengarkan orang-orang itu.

"Juragan Ban, pesananku sudah jadi? Patung Panglima Teratai Api di latar rumahku harus segera ada pasangannya, Bidadari Api Bertangan Seribu yang muncul di mimpiku," kata seorang nyonya. "Kalau tidak segera dipasangkan, aku kuatir keluargaku akan menanggung kemarahan mahluk-mahluk suci itu."

Terdengar jawaban Ban Ke-liong dari tengah kerumunan, "Jangan kuatir, Nyonya Wan, pesananmu sudah tersedia. Aku sadar betapa pentingnya patung ini bagi keselamatan keluargamu, maka kukerjakan cepat-cepat."

"Biarpun cepat-cepat, tetapi sesaji sesaji dan persyaratan lain tidak dilupakan kan?"

"O, tentu saja tidak, Nyonya. Sesibuk apa pun, aku menyadari pekerjaanku ini bukan pekerjaan biasa lagi, melainkan sudah menjadi pekerjaan yang suci, tugas dari langit, menyangkut kota ini mendatangkan berkah atau malapetaka. Maka pekerjaanku tidak main-main."

Nyonya Pemesan dengan sukacita menerima pesanannya, membayar harganya lalu membawanya pulang dengan khidmat. Patung kecil dari porselin dijunjung lebih tinggi di kepalanya.

Seorang gadis mendesak maju, kepalanya mengenakan penutup untuk menutupi memar-memar bekas hajaran di wajahnya. Sambil mengulurkan segenggam uang, ia berkata, "Paman Ban, beri aku arca 'bidadari penari' untuk kupuja, agar aku bisa menari sebaik teman-temanku."

"Sabar, Nona Yao, coba kucarikan sebentar." kata Ban Ke-liong sambil mencari-cari di rak dagangannya. "...beberapa hari yang lalu aku memang mendapat bisikan gaib, bahwa hari ini akan ada yang datang mencari 'bidadari penari'... nah, ini dia, Nona Yao."

Yao Sin-lan membayar, dan dengan sukacita membawa pulang patung "bidadari menari" itu. Belum lama dia lega karena kakaknya tidak lagi menghajarnya, tetapi setengah hari saja kakaknya sudah berubah kembali. Yao Sin-lan dipaksa kembali menari, dan ketika dalam tariannya ia tidak kesurupan seperti lain-lainnya, kembali kakaknya menuduhnya kurang bersungguh-sungguh. Akhirnya Yao Sin-lan bertekad akan memuja "bidadari menari" untuk mencapai tarian seperti teman-temannya.

Giam Lok beberapa saat agak kaget melihat Yao Sin-lan, melihat wajahnya yang babak belur dan dicobanya hendak ditutupi dengan kerudung yang jadi satu dengan mantelnya. Giam Lok adalah teman seperguruan Yao Kang-beng, tentu saja dia juga kenal Yao Sin-lan.

"Sin-lan, kau kenapa?" tanyanya ketika gadis itu lewat di depannya sambil memeluk patung "bidadari menari"nya.

"Kakak Lok, kudengar kau sakit?"

"Kau lihat, aku sudah sembuh sekarang. Maaf, Sin-lan, kenapa dengan wajahmu?"

Mata Yao Sin-lan menyorotkan rasa sedih dan putus harapan, tapi mulutnya tidak mengutarakan perasaan hatinya. "Tidak apa-apa, Kakak Lok. Cuma terjatuh."

Gadis itu bukan pembohong ulung, maka Giam Lok langsung tahu ia dibohongi. Diam-diam Giam Lok heran, siapa tega menyiksa gadis secantik ini? "Mau kuantar pulang?"

Sorot mata gadis itu menjawab "mau", namun ia tampak takut untuk mengatakan dengan mulutnya. Dan akhirnya dia malahan menggeleng, menolak. Giam Lok tak bisa memaksa, hanya merasa kasihan dalam hati. Ia membuntuti Yao Sin-lan dari jarak beberapa langkah.

Yao Sin-lan melangkah bergegas sambil memeluk arca porselinnya, tetapi di suatu persimpangan dengan lorong lain, tiba-tiba seorang nenek-nenek bungkuk yang berjalan dibantu tongkatnya, muncul secara tiba-tiba, menumbuk Yao Sin-lan. Yao Sin-lan kaget, pegangannya atas patung porselin itu lepas, dan hancur berkepinglah patung itu terbanting di tanah.

Bersamaan dengan remuknya boneka porselin itu, remuk pula harapan Yao Sin-lan. Dalam pikirannya, tanpa bantuan "bidadari penari" ia takkan bisa menari sebaik teman-temannya, berarti juga akan "berlangganan" hajaran kakaknya.

Sementara Si Nenek Bungkuk yang sebelumnya belum pernah terlihat di Seng-tin itu menyeringai memperlihatkan mulutnya yang ompong, katanya, "Maafkan aku, Nona. Apakah Nona terluka?"

Mata Yao Sin-lan menerawang kosong membayangkan nasib buruk yang menghadangnya. Ia membungkam tak menjawab, lalu pandangannya runtuh ke arah kepingan-kepingan boneka porselin di tanah. Si Nenek mengikuti pandangan Yao Sin-lan, lalu katanya dengan perasaan bersalah, "Ooo, aku Si Tua Bangka yang tak tahu diri ini telah memecahkan mainan Nona...."

"Memang nasibku belum saatnya membaik." desis Yao Sin-lan amat lirih.

Cukup mengherankan, bahwa desis lirih yang hampir tak terdengar itu tertangkap oleh telinga Si Nenek Bungkuk yang dalam usia itu umumnya sudah kurang pendengarannya. "Nasib? Apa hubungannya boneka yang hancur itu dengan nasib Nona? Apakah itu boneka keberuntungan?"

"Tanpa boneka itu, aku tak bisa menari sampai memuaskan kakakku. Dan itu berarti aku akan...." tiba-tiba Yao Sin-lang tidak melanjutkan bicaranya, ingat pesan keras, ibunya untuk tidak menyebar-luaskan peristiwa kakak memukul adik itu.

Sorot mata Si Nenek menyorotkan belas kasihan yang mendalam, menyentuh hati, katanya, "Ah, sehebat itukah akibat yang diterima Nona akibat pecahnya boneka ini? Kalau beli lagi, apa masih ada yang jual? Aku masih punya sedikit uang kok." Lalu nenek itu mengeluarkan kantong lusuh yang terselip di ikat pinggangnya dan hendak mengeluarkan beberapa keping uang tembaga yang nilainya tidak seberapa.

Yao Sin-lan memang sedang masygul dan kecewa atas remuknya boneka porselin yang baru saja dibeli itu, namun sikap Si Nenek yang begitu memperhatikannya, bahkan rela kehilangan uangnya yang tinggal sedikit, menyentuh hati Yao Sin-lan, sehingga dia memegangi telapak tangan Si Nenek yang kurus itu, katanya "Tidak apa-apa, Nek, tidak apa-kok. Uang Nenek disimpan saja."

"Tetapi tadi Nona bilang, pecahnya patung porselen ini akan mempengaruhi nasib...."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya."

"Kudoakan, mulai sekarang Nona tidak mengalami hal-hal buruk lagi." kata Nenek sambil melangkah pergi. Dari jarak belasan langkah Giam Lok melihat semuanya itu.

Giam Lok kemudian meneruskan langkahnya, ia merasa nampaknya sulit menemukan teman sepaham yang bisa diajak "membebaskan Seng-tin dari pikiran tidak sehat", namun ia tidak berputus asa. Di suatu jalan yang agak ramai, tiba-tiba ia melihat ada sesuatu ribut-ribut di pinggir jalan. Ketika Giam Lok mendekat, ternyata dia melihat A-gun, teman lama Giam Lok, yang kini nampak gagah dengan golok dipinggangnya dan ikat kepala kuning bertuliskan "huruf-huruf suci" di kepalanya.

Tetapi Giam Lok mengerutkan alis melihat teman lamanya itu dengan galak sedang mencaci-maki seorang nenek tua, yang bukan lain adalah nenek tua yang menabrak Yao Sin-lan tadi. Sebenarnya Giam Lok heran juga, nenek ini tadi jalannya kelihatan tertatih-tatih dan maju ke arah lain, kok tahu-tahu Si Nenek sudah ada di depan Giam Lok dan bahkan sudah "bikin perkara" dengan A-gun si anggota regu keamanan kota itu? Padahal Giam Lok juga melangkah cepat dan lebar.

Tetapi, lepas dari keheranannya, Giam Lok merasa wajib melerai pertengkaran itu. Cepat-cepat ia mendekat, dan berkata kepada A-gun, "A-gun, jangan kau marahi orang tua ini. Dia memang sudah tua, penglihatannya barangkali sudah agak kabur, tadi kulihat sendiri dia juga menabrak Yao Sin-lan di gang yang ke arah rumahnya Paman Ban Ke-liong. Jadi maafkan sajalah."

A-gun berkerut alisnya, sahutnya kepada Giam Lok, "Saudara Giam, dia bukan saja menabrakku, bahkan berani menjamah ikat kepala suciku. Ikat kepala ini sudah disembahyangi dan tidak boleh dipegang orang sembarangan."

"Kalau dipegang sembarangan, apa pengaruhnya?" jawab A-gun bangga, "Ikat kepala ini membuat kekuatan dewa-dewa dari langit menghuni tubuhku, sehingga aku mampu memikul tanggung jawab suci untuk mengamankan kota ini. Kalau dijamah tangan sembarang orang, para dewa bisa merasa najis dan tidak mendiamiku lagi."

Giam Lok geleng-geleng kepala sambil berkata, "A-gun, aku tidak peduli apa yang kau percayai, tetapi maafkanlah nenek tua ini. Ia bukan orang Seng-tin, dan dia belum tahu tentang pantangan-pantangan di kota ini. Kita orang-orang Seng-tin sudah turun-temurun terkenal sebagai orang-orang yang ramah."

A-gun mendesah kesal, tetapi di depan banyak warga Seng-tin yang menyaksikan peristiwa itu, dia harus menjaga citra sebagai "prajurit dewa", maka sahutnya, "Baiklah, kumaafkan kali ini. Meskipun aku harus mencuci ikat kepala ini dan menyembahyanginya lagi agar khasiatnya tidak berkurang."

Lalu A-gun melangkah pergi, sementara Giam Lok menanyai Si Nenek. "Nenek belum diapa-apakan olehnya kan?"

Si Nenek yang wajahnya masih ketakutan itu cuma geleng-geleng kepala.

"Nenek bukan orang sini?"

Si Nenek geleng-geleng kepala iagi.

"Nenek tidur di mana?"

Kembali Giam Lok memperoleh gelengan kepala. Giam Lok jadi kasihan. "Kalau Nenek mau, Nenek boleh tinggal di tempat saya. Daripada siang kepanasan dan malam kedinginan."

Kali ini Si Nenek mengangguk-angguk, mimik ketakutan di wajahnya pelan-pelan memudar.

"Ayolah, Nek...." Giam Lok kemudian menggandeng nenek itu menuju ke bekas rumah Ek Yam-lam yang sekarang kosong, yang ditempati Giam Lok setelah Giam Lok diusir ibunya.

Tiba di suatu lorong yang sepi, Nenek itu tiba-tiba berkata, "Siapa namamu, anak baik?"

"Namaku Giam Lok, Nek."

"Kau anak baik, Giam Lok, dan niat hatimu terhadap kota ini pun baik. Tetapi ketahuilah, kau berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang bukan kekuatan alamiah, melainkan kekuatan-kekuatan di atas alamiah. Upaya-upaya baikmu yang bersifat alamiah itu takkan memadai."

Giam Lok tercengang bahwa seorang nenek yang baru saja menggigil ketakutan di depan A-gun, tiba-tiba bisa berkata demikian. Lebih mencengangkan lagi, Si Nenek yang baru hari ini ketemu seolah sudah tahu isi hati Giam Lok, keprihatinan Giam Lok tentang Seng-tin. "Nek, siapakah Nenek ini?"

"Kelak kau akan mengetahuinya, anak baik. Aku datang kemari karena undangan seorang sahabat."

"Sahabatmu tinggal di Seng-tin?"

"Tidak. Hanya mampir di Seng-tin."

"Siapa?"

"Kelak juga akan kuberitahu."

Tiba-tiba saja Giam Lok merasa bahwa nenek ini bukan nenek-nenek "biasa". Entah apanya yang "tidak biasa", Giam Lok belum tahu. Tiba di rumah bekas Ek Yam-lam, Giam Lok berkata, "Ini rumah temanku yang dikosongkan, Nenek boleh tinggal di sini sampai kapan pun Nenek mau. Anggap saja rumah sendiri, Nek."

Si Nenek melihat betapa berantakannya bagian dalam rumah itu, ia lalu geleng-geleng kepala sambil berkata, "Giam Lok, kau anak baik tapi jorok. Masa kau betah diam di rumah seberantakan ini?"

Kata-katanya itu bernada menggerutui, namun menimbulkan rasa hangat di hati Giam Lok, sebab nadanya seperti seorang nenek menggerutui cucu yang disayanginya. Giam Lok jadi merasa punya nenek lagi, yang tidak dimilikinya sejak ia berusia sepuluh tahun. Namun Giam Lok masygul juga, teringat akan ibu kandungnya sendiri yang justru sudah mengusirnya dari rumah.

Tanpa disuruh nenek itu menyelinap ke belakang rumah, entah hendak mengerjakan apa. Giam Lok membiarkannya saja, supaya nenek itu betah.

"Nek, aku beli makanan dulu, ya?" Lalu Giam Lok keluar dari rumah itu, tetapi setelah tiba di jalan, ia bingung sendiri, sebab ia tidak mungkin membeli makanan di mana pun. Soalnya di kantongnya tak ada uang sepeserpun. Ketika ia pergi dari rumah, yang dibawanya hanyalah pakaian yang menempel di badannya.

Selagi Giam Lok kebingungan, Si Nenek menyusul keluar sambil berkata, "Hei, Giam Lok, ini uang Nenek. Bawa...."

Giam Lok menggeleng. "Tidak, Nek. Nenek membutuhkan uang itu."

"Gunanya uang untuk dibelanjakan. Terimalah."

Baru kenal kurang dua jam, antara Giam Lok dan Nenek asing itu seolah sudah terjalin komunikasi dari hati ke hati yang kuat dan aneh, komunikasi yang tidak terlalu membutuhkan kata-kata panjang yang bertele-tele. Giam Lok menerima uang itu, dan Si Nenek berkata,

"Kalau aku boleh usul, belikan saja hadiah yang menyenangkan ibumu, agar hubunganmu dengan ibumu pulih. Soal makanan, tidak ada masalah."

Giam Lok kaget, pikirnya. "Lho, dari mana dia tahu aku ada masalah dengan ibu? Aku belum bercerita...."

Dengan rasa heran, Giam Lok pergi membawa uang itu. Usul Si Nenek untuk membelanjakan uang itu untuk membelikan hadiah bagi ibunya, terus bergema di hatinya, tetapi tidak terasa sedikit pun adanya unsur memaksa. Kehendak Giam Lok tetap terasa bebas.


Yao Sin-lan tiba di rumahnya dengan hati takut. Tanpa boneka "bidadari penari" ia takkan bisa menari dengan baik dan merasa pasti akan dihajar kakaknya lagi... tetapi entah kenapa, jauh di dasar hatinya tak ada rasa benci atau menyalahkan sedikit pun kepada nenek itu.

Ketika tiba di rumahnya, Yao Sin-lan mengeluh dalam hati melihat teman-temannya, para penari sudah siap di rumahnya, karena memang itulah waktunya latihan menari. Teman-temannya sudah merias diri dan mengenakan pakaian tarian. Yang menggentarkan Yao Sin-lan ialah kakaknya yang duduk dengan angker dengan sepasang mata seolah menyorotkan petir kemarahan menyongsong kedatangan adik perempuannya.

Begitu juga Si Pelatih Tari, seorang perempuan setengah baya, yang sekaligus menjadi "penghubung" dengan dunia gaib dalam urusan menari. Si Pelatih Tari itu sudah memasang bendera-bendera kecil berhuruf aneh dan di sudut-sudut ruangan. Yao Sin-lan sudah pasrah, mau ditempelengi lagi ya tergantung nasib sajalah. Namun merasa perlu untuk menjelaskan.

"Kakak, aku dari tempat Ban Ke-liong membeli arca 'bidadari menari' untuk kupuja agar aku dapat menari sebaik keinginan Kakak, tetapi aku ditabrak seseorang sehingga arca itu jatuh dan remuk. Aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa."

Tiba-tiba dari halaman belalang terdengar suara orang menyapu dengan sapu lidi. Lalu seorang nenek-nenek melangkah tertatih, muncul di pintu ruangan menari yang bersambungan dengan halaman samping itu. Sebelum ada yang tanya, nenek itu langsung berkata, "Tuan Muda, akulah yang tadi menabrak adik Tuan Muda sehingga memecahkan patung porselennya. Segala hukuman patut dijatuhkan kepadaku."

Yao Sin-lan tercengang. Tadi ia sudah berpisahan dengan nenek itu, kenapa tahu-tahu nenek itu muncul di halaman paling dalam dari rumahnya? Apakah nenek ini bisa terbang?

Sementara Yao Kang-beng membentak, "Siapa kau? Belum pernah kulihat kau di sini!"

Si Nenek menjawab, "Tadi kuikuti Nona itu diam-diam, aku kuatir dia disalahkan karena pecahnya patung keramik itu, padahal akulah yang menyebabkannya jatuh. Tadi aku masuk begitu saja, karena pintunya tidak ditutup. Tetapi aku hanya bermaksud menjelaskan, tidak ingin mencuri barang-barang atau apa."

Sebenarnya Yao Sin-lan sudah amat menguatirkan keselamatan nenek itu, mengingat belakangan ini kakaknya sangat pemarah dan begitu tega. Yao Sin-lan pernah melihat sendiri kakaknya menendang sampai pingsan kepada seorang pengemis tua di pasar. Jangan-jangan Si Nenek ini pun akan ditendang?

Ternyata, Yao Kang-beng cuma bilang, "Kalau begitu ya sudahlah. Kau boleh pergi, Nek."

Si Nenek mengangguk-angguk sambil melangkah tertatih-tatih pergi. Menyusul keajaiban berikutnya, ketika Yao Kang-beng berkata pula kepada adiknya, "Adik Lan, kau sudah berusaha sekuatmu, tetapi kejadian ini agaknya merupakan isyarat dari langit bahwa kau tidak terpilih untuk menari bagi para dewa. Kau boleh tidak usah ikut menari."

Inilah yang diharap-harapkan Yao Sin-lan sejak dia sering dipukuli kakaknya. Dulu, terpilih menjadi "penari suci" adalah impiannya, tetapi setelah mengetahui deritanya, ia ingin keluar dari kelompok tari itu namun tidak bisa. Tak terduga hari ini begitu mudahnya ia keluar dan kelornpok itu, hanya gara-gara patung porselennya pecah tertabrak seorang nenek bungkuk yang entah dari mana datangnya.

Latihan menari kemudian dilanjutkan tanpa kehadiran Yao Sin-lan. Para penari sudah menari hampir setengah hari sampai mandi keringat, namun tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil "masuk ke dunia lain". Biasanya, dalam waktu setengah jam saja sudah mulai ada satu dua penari yang menari amat indah tetapi dalam keadaan tak ingat diri.

Kalau si penari sudah usai, biasanya dia akan bercerita bahwa dia baru saja menari di sebuah istana yang indah di langit, dikelilingi mega, dan penonton-penontonnya adalah orang-orang berpakaian bangsawan-bangsawan jaman kuno, tetapi tampangnya serba istimewa. Ada yang tangannya empat, ada yang matanya tiga, ada yang mukanya seperti api menyala, tetapi tidak sedikit pula yang bertampang normal seperti manusia di bumi.

Kemudian kalau tarian dilanjutkan sampai satu dua jam, maka semua penari akan mengalami hal yang sama kecuali Yao Sin-lan. Tetapi kali ini, sampai penari-penarinya mandi keringat, tak satu pun "menari di istana langit" sampai seorang gadis pingsan kelelahan. Latihan tari akhirnya diakhiri dengan kekecewaan besar di antara para penari maupun pelatihnya.

"Apa yang terjadi?" Si Pelatih hampir memekik. "Tak seorang pun dari kalian kemasukan 'penari langit'!"

Para penari berpandangan dengan bingung dan takut, takutnya takut ganda. Takut dihajar Yao Kang-beng, juga takut dimarahi para "penguasa langit".

"Kami sudah bersungguh-sungguh...." kata seorang penari dengan ketakutan. "Kami tidak tahu apa yang tidak beres sehingga sampai begini."

Yao Kang-beng meninggalkan ruangan itu dengan wajah gelap, tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Pada saat yang sama, Ho Tong sedang mandi keringat di bawah matahari. Ia sedang membelah kayu dengan kampaknya, sebanyak-banyaknya, sehabis menimba sumur dan mengisi semua persediaan air sepenuh-penuhnya. Ia bekerja gila-gilaan seperti itu untuk menyingkirkan rasa jemunya. Siang-siang seperti ini, orang-orang muda lainnya sedang berada di luar rumah dan melakukan kegiatan-kegiatan menarik, tetapi Ho Tong tidak berani keluar rumah.

Sebagai bekas orang gila, ia kuatir kalau dilihat orang di jalan akan banyak mentertawakannya dan membicarakannya, terutama anak-anak. Karena itulah Ho Tong tidak berani keluar rumah di siang hari. Dan itu membuatnya kesal, yang dilampiaskannya dengan kerja sekeras-kerasnya.

Rasa kesepiannya bertambah lagi, karena saat itu seisi rumahnya sedang pergi semuanya. Ibunya, kakak ipar perempuannya dan adik perempuannya sedang pergi entah ke mana. Ayahnya mungkin sedang nongkrong di warung teh di ujung jalan, mengobrol dengan orang tua-orang tua seusianya, dan kakak laki-laki Ho Tong yang bekerja sebagai buruh kasar itu pun sedang di luar rumah, menawar-nawarkan tenaganya.

Dua keponakan Ho Tong, anak-anak kakaknya, juga tidak kelihatan batang hidungnya semuanya, kedua orang anak itu pasti sedang bermain-main dengan teman-teman mereka. Ho Tong benar-benar merasa hatinya tertekan, sebelum kayu-kayunya selesai dibelah semua, tiba-tiba kekesalannya meledak dan kapak pembelah kayu itu dilemparkan sekuatnya, melayang melewati halaman samping dan runtuh ke tanah setelah menabrak keras dinding halaman depan.

Dan dari pintu depan pun terdengar suara, "Aduh!"

Ho Tong kaget, mengira lemparan kapaknya itu mengenai orang. Cepat ia lari ke halaman depan dan melihat seorang nenek bungkuk yang belum pernah dilihatnya sudah berdiri di halaman depan rumahnya. "Nek, kau tidak apa-apa?"

Si Nenek menggeleng. "Aku hanya kaget. Kau yang melempar kapak itu?"

"Ya, Nek."

"Hati-hati, bisa mengenai orang lho!"

"Aku memang salah, Nek. Karena aku sedang begitu kesal."

"Apa yang membuatmu kesal, anak muda?"

"He, Nenek ini siapa sehingga menanyai aku terus seperti itu?"

"Oh, aku ini diminta oleh seorang teman baik untuk menilik keadaan seorang sahabatnya yang bernama... bernama Ho Tong, begitu. Eh, anak muda, tahu rumah Ho Tong di mana?"

Ho Tong heran, siapa temannya yang menyuruh nenek-nenek begini untuk menjumpainya. Toh dalam hatinya muncul setitik kegembiraan, di saat kekesalannya menumpuk tahu-tahu didatangi seorang suruhan teman. "Nek, aku inilah Ho Tong. Siapa nama temanku yang menyuruh Nenek menjumpaiku itu?"

"Seorang gadis, namanya Siau Hiang-bwe, panggilannya A-kui."

Ho Tong mengerutkan alis. "Belum pernah kukenal nama itu. Aku tidak punya teman wanita bernama itu, bahkan di Seng-tin kurasa juga tidak ada yang bernama demikian."

"Memang dia asalnya dari Lam-koan di tepi Sungai Se-ho. Mungkin kau tidak kenal dia, tetapi dia mengenalmu, pernah mengalami nasib sama denganmu maka ketika tahu kau sembuh dia menyuruhku untuk menemuimu."

Meski masih membingungkan, Ho Tong merasa makin senang juga. Kekesalan yang selama ini seolah menggumpal menyumbat ulu hatinya, perlahan mencair dan akhirnya "menguap" pergi. "Nenek ini disuruh untuk menemuiku untuk apa?"

"Untuk membawakan sebuah cerita, kisah tentang nasib gadis itu dulu."

"Yang kata Nenek tadi, senasib denganku?"

"Benar."

"Senasib bagaimana? Apa yang dialaminya?"

"Pada usia yang masih muda, kira-kira umur dua belas tahun, dia tiba-tiba saja mulai kehilangan pikiran warasnya. Kata orang, dia gila. Penyebabnya, karena ayahnya yang tabib terkenal di Lam-Koan itu ingin lebih hebat lagi ilmu pengobatannya supaya lebih terkenal, dan ayahnya mulai mendukung praktek pengobatannya dengan ilmu gaib. Memang jadi lebih hebat, tetapi Siau Hiang-bwe jadi korban. Hampir delapan tahun dia tak ingat dirinya, tak ingat siapa-siapa, bahkan sering bertelanjang di jalanan."

Ceritanya baru sampai di situ, Ho Tong sudah merasa bahwa penderitaan Siau Hiang-bwe jauh lebih berat dari dirinya. Pertama, Siau Hiang-bwe adalah seorang gadis, perasaannya lebih halus dari lelaki seperti Ho Tong. Entah bagaimana perasaannya waktu dia sembuh dan menyadari apa yang sudah dialaminya selama delapan tahun? Ke dua, Ho Tong menjadi gila karena penyebab yang bagaimanapun patut dibanggakan, yaitu berkorban dalam perjuangan membebaskan Seng-tin dari cengkeraman Beng Hek-hou.

Sedangkan penyebab penderitaan Siau Hiang-bwe benar-benar memalukan dan menimbulkan rasa iba, yaitu dikorbankan oleh ayahnya sendiri, dijadikan tumbal, untuk menambah kejayaan Sang Ayah. Ke tiga, Ho Tong menderita kegilaannya hanya dalam beberapa bulan, sedangkan Siau Hiang-bwe sampai delapan tahun.

Tak terasa Ho Tong menundukkan kepala dan menegur diri sendiri dalam hati. "Alangkah cengengnya aku. Baru mengalami sedikit kesepian saja aku sudah begitu kesal, sampai melempar kapak dan hampir mencelakai orang, padahal penderitaanku belum seberapa dibandingkan Siau Hiang-bwe."

"Lalu bagaimana, Nek?"

"Lebih kurang setahun yang lalu, Siau Hiang-bwe sembuh karena belas kasihan Yang Maha Kuasa, dan karena ada seorang yang rela dirinya menjadi saluran belas kasihan surgawi itu."

"Syukur...." lega sekali Ho Tong mendengar itu, padahal yang namanya Siau Hiang-bwe itu bagaimana tampangnya pun Ho Tong belum tahu.

Si Nenek melanjutkan ceritanya. "Siau Hiang-bwe jadi gadis yang waras kembali, tetapi dia tidak murung dan tidak malu tentang masa lalunya, bahkan dia memanfaatkan itu untuk membangkitkan semangat bagi orang-orang yang pernah senasib dengannya. Hal itu tidak perlu menjadikan mereka malu."

Sekarang Ho Tong mengerti maksud kunjungan nenek itu, tak lain agar Ho Tong bersemangat kembali. Kata Ho Tong, "Nek, terima kasihku untuk Nona Siau. Tetapi dari mana dia mengenal aku? Dia di Lam-koan dan aku di Seng-tin.?"

"Siau Hiang-bwe melakukan perjalanan dan melewati Seng-tin ini, dia melihat keadaanmu ketika masih buruk. Dialah saluran Yang Maha Kuasa bagi kesembuhanmu."

Nenek itu menyodorkan kenyataan begitu saja, tanpa sedikit pun disertai bukti-bukti, namun kata-katanya serasa menyentuh bagian terdalam dari hati Ho Tong. Langsung ia mempercayainya begitu saja, dan menjadi terharu. "Kalau demikian, aku berhutang budi kepada Nona Siau. Inilah jawaban yang kuharapkan selama ini, menjawab keherananku akan kesembuhanku. Di mana Nona Siau sekarang?"

"Saat ini dia belum dapat dijumpai, tetapi ada saatnya dia akan menjumpaimu."

"Kenapa dia?"

Si Nenek sudah hendak beranjak hendak pergi, katanya, "Pokoknya, saat ini belum bisa. Nona Siau pasti akan senang kalau mengetahui bahwa kau tidak patah semangat, tidak menyesali yang sudah terjadi."

"Kalau Nenek bertemu dengannya, katakan bahwa pesannya membuat aku bersemangat kembali. Sekali lagi, ucapan terima kasihku untuknya."

"Baik, sekarang aku pergi dulu." Si Nenek melangkah keluar pintu halaman.

Tiba-tiba Ho Tong teringat bahwa ia belum menanyakan nama dan alamat Si Nenek, cepat-cepat ia menyusul ke luar pintu. Selisihnya dengan Si Nenek hanya tiga empat detik, namun ketika ia tiba di luar maka yang dilihatnya adalah lorong di depan rumahnya yang sepi sampai ke ujung-ujungnya, tidak ada seorang pun. Si Nenek tak kelihatan bayangannya lagi.

"Apakah Nenek tadi seorang pendekar sakti seperti yang pernah diceritakan almarhum guru dulu?" Ho Tong bertanya-tanya dalam hati. "Atau... mahluk gaib yang bukan sejenis manusia?"

Tiba-tiba salah satu pintu di lorong itu terbuka, muncullah tetangga Ho Tong menggandeng seorang anak kecil dan menggandeng anak lainnya yang lebih besar, Ho Tong ingin menghindari pertemuan dengan tetangganya itu, masih minder sebagai bekas orang gila, tetapi tidak sempat lagi, sebab perempuan tetangga itu sudah berkata, "Eh, A-tong."

Ho Tong mau tidak mau membalas sapaan itu. "Kakak Hong...."

Perempuan tetangga itu berkata di luar dugaan Ho Tong, "A-tong, aku harus pergi ke pasar dan nanti pulangnya akan membawa banyak barang belanjaan, aku repot sekali kalau kedua anakku ikut semua. Maukah kau kutitipi A-im, anakku yang besar ini?"

Ho Tong tercengang, tidakkah tetangganya ini sadar bahwa dia menitipkan anaknya kepada seorang yang baru sembuh dari gilanya? Tidakkah ibunya kuatir Si Anak akan dicekik atau dicemplungkan ke sumur? Karena keheranannya itu, Ho Tong tidak menjawab beberapa saat lamanya.

Si perempuan tetangga salah paham, lalu berkata, "Ah, maaf, agaknya akan merepotkanmu, A-tong. Baiklah, tidak apa-apa."

Ketika itulah di kuping Ho Tong seakan ada yang berbisik, suaranya suara Si Nenek tadi, padahal di sekitar Ho Tong tidak ada siapa-siapa, "Anak muda, inilah kesempatan untuk menunjukkan bahwa kau sudah sembuh dan tidak berbahaya lagi. Ibu itu mempercayakan anaknya kepadamu karena menganggapmu sudah sembuh."

Ho Tong menuruti bisikan itu, lalu berkata, "Kakak Hong, aku mau menemani A-im...."

Dulu sebelum Ho Tong menjadi gila, A-im anak perempuan kecil berumur lima tahun itu memang akrab dengan Ho Tong dan sering dibuatkan mainan-mainan oleh Ho Tong. Kini, begitu mendengar Ho Tong mau bermain dengannya, A-im langsung gembira dan berlari menghambur ke arah Ho Tong.

Ibunya tersenyum, lalu berangkat ke pasar. Sebenarnya dalam hati Si Ibu heran juga kepada diri sendiri, kok berani-beraninya memasrahkan anaknya kepada bekas orang gila? Tetapi ada bisikan lembut yang meyakinkannya bahwa anaknya akan tidak apa-apa bersama Ho Tong.


Giam Lok sedang melangkah dengan uang Si Nenek di kantongnya. Si Nenek berpesan agar Giam Lok membelanjakan uang itu untuk dibelikan oleh-oleh buat ibunya, untuk memperbaiki hubungan dengan ibunya. Namun di tengah jalan, ia menjumpai suatu peristiwa yang mengubah keputusannya. Ketika ia melewati suatu rumah, ia mendengar suara orang perempuan sedang bertengkar sengit.

"Buat apa aku mengutukmu?" lengking seorang perempuan dengan sengit. "Kau ini dan seluruh keluargamu, biarpun tidak kukutuk memang sudah sial dan terkutuk tiga puluh enam keturunan! Sekarang kau cari gara-gara kemari, cari kambing hitam yang bisa kau persalahkan untuk nasib keluargamu!"

Sebagai orang Seng-tin, Giam Lok kenal rumah itu kepunyaan seorang tukang kayu, dan yang sedang melengking tinggi tadi adalah isterinya. Kemudian terdengar suara perempuan lain tak kalah emosinya.

"Ini buktinya! Burung inilah bukti bahwa kau berniat jahat kepadaku! Pantas dalam beberapa hari aku dan anak-anakku merasa tidak enak dalam rumah, sering pusing-pusing, rupanya kau si perempuan dengki ini berusaha mendatangkan bencana ke rumahku! Ini buktinya! Untung Nona A-kun diutus langit untuk memberitahu kami!"

Dulu warga Seng-tin hidup rukun, Giam Lok heran bahwa sekarang orang Seng-tin mudah marah. Ia kenal suara perempuan kedua yang menuduh itu adalah suara Bibi Joan, seorang pembuat kue-kue, seorang janda yang punya anak gadis bernama A-kiam dan anak gadisnya itu bernasib malang karena diperkosa oleh gerombolan Beng Hek-hou. Kebetulan A-kiam adalah pacar Lui Kong-sim, namun Giam Lok tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan mereka setelah pemerkosaan itu.

Giam Lok melangkah mendekat, kalau bisa ingin merukunkan kembali kedua orang itu. Begitu tiba di halaman itu, ia melihat Bibi Joan dan Si Nyonya Rumah sedang berhadapan dengan marah dan saling mendamprat. Sebentar-sebentar Bibi Joan menuding kepada sesuatu di tanah, yang dikatakannya sebagai "benda yang mendatangkan kutukan atas keluargaku" sambil menuduh Si Nyonya Rumahlah yang menguburnya di halaman rumah Bibi Joan.

Ketika Giam Lok memperhatikan "benda pembawa kutukan" itu ternyata adalah seekor bangkai burung yang sudah setengah busuk, sudah banyak semutnya. Burung itu berbulu hitam, dan pada lehernya diikat seutas benang merah. Kalau dilihat banyak tanah yang melekat di tubuh burung itu, agaknya burung itu sudah dikubur beberapa hari dalam tanah, lalu dikeluarkan lagi dari tanah.

Kata Giam Lok, "Maukah kalian mendengarku?"

Kedua orang perempuan itu masih sama-sama panas hatinya, tetapi mereka memberi perhatian juga kepada Giam Lok.

Kata Giam Lok, "Bibi berdua, kalian tidak perlu bertengkar untuk memperdebatkan sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Apa itu kutukan? Tidak ada. Yang penting adalah semangat kita sendiri. Misalnya aku, aku baru saja sakit berat, orang-orang bilang aku kena kutukan, namun aku tak peduli. Aku menjaga agar harapanku tidak padam, semangatku juga tetap menyala, maka sekarang pun aku sembuh."

Kedua perempuan itu Baru saja bertengkar, namun begitu mendengar pendapat Giam Lok itu, aneh, keduanya serempak bersatu menentang Giam Lok.

Kata Bibi Kim si nyonya rumah, "A-liok, kau sembuh bukan oleh semangatmu sendiri, melainkan karena orang yang menyebarkan kutukan atasmu sudah ditangkap dan dikurung, maka kutukannya lenyap dan kau sembuh. Jangan kau coba-coba mengingkari pertolongan dari kekuatan suci yang menjaga kota ini."

Sambung Bibi Joan, "Kukenal ibumu sebagai orang yang sangat beribadah, A-lok, jangan kau menyimpang dari cara hidupnya. Agar selamat."

Giam Lok tercengang, ia tak menyangka kalau kedua perempuan itu "berdamai" begitu cepat. Tetapi bukan "perdamaian" seperti itu yang dikehendaki Giam Lok. Keinginan Giam Lok ialah agar semua orang Seng-tin kembali ke akal sehat mereka dan membuang segala kepercayaannya tentang dunia gaib.

"Bibi berdua, kepercayaan tentang kekuatan-kekuatan gaib itu tidak sehat, tidak benar, bohong...."

"Siapa bilang?" di pintu halaman terdengar suara orang menyahut.

Ketika semua menoleh, nampaklah Lui Kong-sim dan beberapa temannya sudah berdiri di ambang pintu, kemudian tanpa dipersilakan sudah melangkah memasuki halaman. Belakangan ini Lui Kong-sim semakin berpengaruh di Seng-tin, melebihi Pang Se-bun, sejak ia memprakarsai penangkapan dan penghukuman "perempuan pembawa kutuk" Siau Hiang-bwe.

Kaki tangan Lui Kong-sim bahkan menyebarluaskan pendapat bahwa Lui Kong-sim adalah penyelamat Seng-tin "nomor dua" di bawah Wong Lu-siok. Dan banyak orang Seng-tin menerima pendapat yang disebar-luaskan kaki tangan Lui Kong-sim itu.

Sambil menatap Giam Lok, ia berkata, "Saudara Giam, kau mengingkari kenyataan. Ingat ketika kita berempat bersama Saudara Ek Yam-lam dan Yao Kang-beng berada di suatu bukit di tengah padang ilalang karena melarikan diri dari Beng Hek-hou? Ternyata meski sudah jauh dari Seng-tin, kita tetap terkejar oleh sihir Beng Hek-hou. Kita didera kesakitan hebat sehingga kita berempat menggeloser-geloser di tanah seperti empat ekor cacing tanpa daya. Lalu masih ingatkah kau apa yang terjadi?"

Giam Lok membungkam. Tentu saja ia ingat, tetapi mulutnya berat untuk mengucapkannya.

Lui Kong-sim mentertawakan sikap Giam Lok itu. "Ayo jawab, saudara Giam. Atau kau enggan mengakui kenyataan yang tidak sesuai dengan seleramu?. Biarpun tidak sesuai seleramu, tetapi itu tetap kenyataan."

Demikianlah, di halaman rumah Bibi Kim itu tadinya Giam Lok datang untuk melerai pertengkaran, tak terduga malah sekarang Giam Lok terjebak sendiri ke dalam pertengkaran dengan Lui Kong-sim....

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.