Sekte Teratai Putih Jilid 12

Sekte Teratai Putih Jilid 12

NAMUN ketika Auyang Hou sadar betapa peranan boneka daiam ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kau, Auyang Hou rasanya bergidik sendiri memandang boneka-boneka itu. Tidak peduli betapapun lucunya bentuk boneka-boneka itu. Rasanya ada sesuatu yang hidup dan berpribadi ikut menatapnya dari dalam mata boneka-boneka itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Nyo Jiok agaknya mengerti apa yang dipikir Auyang Hou, ia menepuk-nepuk pula pundak Auyang Hou sambil berkata, "Jangan hiraukan boneka-boneka itu, mereka tidak akan apa-apa kalau kamu pun tidak usil."

Itulah peringatan terselubung. Auyang Hou cuma mengangguk mengiakan.

"Kamu akan sepuluh hari berada di tempat ini, anak muda..." kata Nyo Jiok pula, "Aku tidak mengawasimu, tetapi ada yang mengawasimu meskipun kamu tidak melihatnya. Kalau kau mencoba-coba lari, jangan salahkan kalau terjadi apa-apa atas dirimu. Pernah ada yang menjadi gila."

Auyang Hou bergidik, dan lagi-lagi ia hanya bisa mengangguk. Hari itu berlalu tanpa terjadi apa-apa, kecuali Auyang Hou mendapat kuliah panjang lebar tentang hebatnya ilmu-ilmu Pek-lian-kau. Mula-mula Auyang Hou memang mendengarkannya dengan setengah hati, sambil pikirannya melayang ke mana-mana. Tetapi lama-lama ia tertarik juga oleh omongan Nyo Jiok. Auyang Hou mulai terpengaruh dan berpikir,

"Belajar ilmu itu yang penting tujuannya untuk kebaikan atau keburukan, tidak perlu mempersalahkan asal-usul ilmu itu dari golongan ini atau itu. Pokoknya asal kelak aku sudah pandai, aku gunakan untuk membela keadilan, menjunjung nama besar keluarga, rasanya takkan ada yang menggugat bahwa ilmuku berasal dari golongan jahat semacam Pek-lian-kau. Lagipula, seandainya aku ingin menolak toh tidak mungkin. Lebih baik menurut, toh cuma sepuluh hari."

Dengan pikiran seperti itu, Auyang Hou pasrah saja. Ketika matahari tenggelam, Si Tukang Pangsit itu meninggalkan rumah kayu itu sebentar, kemudian keluar dengan membawa makanan. Habis makan, Nyo Jiok menghilang pergi entah ke mana.

"Kemana perginya... Guru Nyo tadi?" tanya Auyang Hou kepada Si Tukang Pangsit.

"Beribadah di puncak bukit." sahut Si Tukang Pangsit dingin. Sikapnya yang acuh tak acuh benar-benar berbeda dengan sikapnya kemarin malam, ketika dia menyanjung-nyanjung Auyang Hou sebagai pendekar.

Auyang Hou menarik napas dalam-dalam. Ia tahu nasib dirinya dalam beberapa hari itu bakal tergantung sepenuhnya kepada kedua orang Pek-lian-kau itu. Tiba-tiba saja dalam hatinya berkecamuk rasa rindu yang sangat hebat kepada ibunya, pamannya, saudara-saudaranya, bahkan terhadap Bwee Gin-liong yang sering bertengkar dengannya.

Auyang Hou jadi sungkan mengajak berbicara lagi kepada Si Tukang Pangsit yang langsung saja tidur miring membelakangi Auyang Hou. Tukang Pangsit itu segera mendengkur, bahkan tanpa sungkan-sungkan ia melepaskan kentutnya bertubi-tubi ke arah Auyang Hou. Auyang Hou benar-benar menderita, bukan saja tersiksa oleh suasana seram di dalam rumah kayu maupun di luar, namun juga karena sebagai orang yang gemar bercerita, dia sekarang harus membisu sekian lama, tidak ada yang bisa diajak bercerita.

Akhirnya kantuk pun menyerang Auyang Hou, dan ia pun tertidur pula. Entah berapa lama dia tidur, ketika dia bermimpi boneka-boneka dalam ruangan itu tiba-tiba menjadi hidup semuanya dan menyerang serta mengeroyoknya dengan ganas. Auyang Hou menjerit-jerit ketakutan, tangannya bergerak-gerak menghalau di depan wajahnya, namun halauannya itu tidak berguna.

Boneka-boneka itu terus saja menyerang dengan hebat, bahkan ada yang berubah menjadi rasaksa. Dalam keadaan putus asa, samar-samar Auyang Hou seperti melihat Pamannya dan Kakak tirinya, Liu Yok, berdiri di kejauhan sambil berpeluk tangan menonton saja. Ia berteriak-teriak minta tolong, namun Paman dan Kakaknya diam saja. Dalam mimpinya, Auyang Hou sampai menangis dan menjerit, "Paman, Kakak Yok! Tolong aku! Aku jera berbohong dan membual lagi! Aku jera! Aku berjanji."

Ia terbangun dari tidurnya, ketika Nyo Jiok membangunkannya dengan kasar. Tergagap-gagap Auyang Hou bangun. "A... ada apa?"

"Ikut aku ke puncak bukit!"

"A... apakah sekarang sudah pagi?"

"Sekarang tengah malam."

"Kenapa.... tengah malam?"

"Ini saat yang terbaik. Saat ini roh-roh alam semesta sedang berkumpul di atas bukit, aku merasakan benar kehadiran mereka. Ada roh angin, roh batu, roh gunung..."

"Tidak! Aku tidak mau!" Auyang Hou mencoba meronta, namun alangkah kokohnya cengkeraman Nyo Jiok.

Begitulah, di tengah malam yang dingin itu Auyang Hou tanpa daya diseret ke puncak bukit, untuk diajari mantera-mantera memanggil kekuatan-kekuatan tertentu masuk ke dalam tubuhnya. Nyo Jiok menyebutnya "kekuatan-kekuatan alam” tetapi Auyang Hou merasakan bahwa kekuatan-kekuatan itu berpribadi. Dan setelah mendapat contoh, tiba giliran Auyang Hou untuk mempraktekkannya. Di bawah ancaman bengis Nyo Jiok, Auyang Hou dipaksa melakukan apa yang diajarkan.

Demikianlah, malam demi malam Auyang Hou dibawa ke berbagai tempat, puncak gunung, kelokan sungai, kuburan kuna, pohon besar dan sebagainya. Makin lama Auyang Hou makin tak berdaya melawan, bahkan agak keranjingan juga.

Hari ke tujuh, Nyo Jiok tiba-tiba berkata kepada Auyang Hou, "Belajar suatu kepandaian tanpa mempraktekkannya adalah percuma. Hari ini kita cari sasaran untuk praktek."

Auyang Hou terkejut, "Maksudmu... maksudmu...."

"Aku akan mencarikanmu lawan yang setimpal untuk bertempur."

Auyang Hou berkeringat dingin. Perkara bergaya sebagai pendekar di warung-warung kecil memang boleh dianggap sebagai permainan, tetapi kalau harus berkelahi sungguh-sungguh itu soal lain. Belum pernah ia berkelahi dengan musuh yang benar-benar kuat, meskipun dalam bualannya ia selalu mengaku sudah mengalahkah si ini-itu yang berjulukan hebat-hebat.

Namun Nyo Jiok tidak memberinya kesempatan untuk ragu-ragu. Ditariknya tangan Auyang Hou untuk diajak menuruni bukit, sambil berkata, "Ayo, ikut aku. Kita uji coba sampai di mana ilmumu sekarang."

Telapak-telapak kaki Auyang Hou melangkah dan berusaha mencengkeram tanah, sambil mencoba berdalih, "Rasanya sudah cukup. Bukankah dalam uji coba kemarin malam, aku telah berhasil menumbangkan sebatang pohon dengan sekali pukul?"

"Sekarang, cobalah tumbangkan manusia."

Auyang Hou tidak mampu menolak kehendak "guru"nya itu. Tiba di kaki bukit, matahari cerah bersinar, dan mereka melangkah ke arah kota Han-king, kota dermaga yang mempunyai seribu kenangan bagi Auyang Hou itu. Nyo Jiok tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menjatuhkan bungkusan besar yang dipanggulnya, sambil memerintah. "Pakai itu."

"Apa?" tanya Auyang Hou.

"Mantel, caping dan pedang. Bukankah itu pakaian kegemaranmu?" sahut Nyo Jiok. "Bedanya sekarang kamu bukan lagi cuma pendekar-pendekaran, tetapi pendekar sungguhan."

Agak malu juga Auyang Hou ketika teringat lagaknya yang dulu-dulu. Namun hatinya terdorong juga untuk memakai "pakaian pendekar"nya itu. Ia pun membuka bungkusan itu dan memakainya, dan sekonyong-konyong ia merasa tubuhnya dirambati getar rangsangan yang aneh, mendadak saja ada semangat yang berkobar-kobar untuk berkelahi. Bahkan untuk membunuh. Keragu-raguan yang dibawanya dari atas bukit tadi, lenyap mendadak.

Setelah mengenakan caping, mantel dan menjinjing pedangnya, ia merasa lebih hebat, alangkah gagahnya saat itu, dan pantaslah rasanya untuk masuk rimba persilatan dan mengangkat nama tinggi-tinggi. Agar julukan Siauw-pek-him benar-benar dikenal orang, bukan sekedar di-bualkan di hadapan seorang tukang bakmi yang mendengarkannya sampai mengantuk.

Nyo Jiok tertawa menyeringai sambil menatap Auyang Hou, "Kau gagah sekali, Anak muda. Nah, berjalanlah di depan, aku puluhan langkah di belakangmu."

"Kenapa tidak berjalan bersama-sama saja?"

"Masa seorang pendekar jalannya harus ditemani, seperti anak kecil yang digandeng ibunya di tengah pasar? Nah, cepatlah, cari lawan untuk menguji ilmumu sebelum naik ke tingkatan ilmu yang berikutnya..."

"Siapa yang harus aku lawan?"

"Siapa saja, di Han-king sebagai kota dermaga, tentu banyak orang yang kau anggap pantas untuk dilawan."

Auyang Hou mengangguk, rangsangan dalam jiwanya makin kuat. Mereka pun masuk kota Han-king, tetapi tidak dari arah dermaga. Auyang Hou berjalan puluhan langkah di depan Nyo Jiok, Nyo Jiok sendiri punya tampang menyeramkan, wajahnya seperti mayat, untuk menghindari diri dari perhatian orang-orang ramai di jalanan, ia memakai tudung bambu pula.

Karena itu, orang-orang memang lebih tertarik kepada Auyang Hou yang melangkah dengan gagah, sedikit dibuat-buat, dengan mantel melambai di belakang pundaknya dan caping menutup kepalanya dan pedang yang dijinjingnya. Orang-orang di jalanan yang punya perasaan tajam, merasakan adanya semacam semangat yang menakutkan terpancar dari tubuh Auyang Hou, sehingga mereka minggir.

Beberapa saat Auyang Hou belum menemukan "lawan" meskipun rangsangan dalam jiwanya terus meningkat. Namun tidak lama kemudian, Auyang Hou melihat ada tiga orang lelaki keluar sempoyongan dari sebuah warung. Mereka bertubuh tegap dan berpakaian seragam dari sebuah Piau-hang (perusahaan pengawalan) yang terkenal di kawasan Kang-pek (sebelah utara Sungai Tiang-kang). Yaitu Tiong-gi Piau- hang. Lambangnya ialah gambar hati berwarna emas di baju mereka.

Auyang Hou mendengar semacam suara dalam dirinya, "Mereka bertiga adalah korban-korbanmu yang pertama."

Menuruti rangsangan jiwanya, Auyang Hou sengaja melencengkan langkahnya sehingga menabrak ketiga orang itu. Dan seperti sudah ada yang mengatur, tiga orang itu langsung marah, "He, bangsat, jalanmu pakai mata atau tidak?"

Yang seorang lagi juga membentak, "Memangnya kalau sudah berdandan macam pendekar begitu, lalu seenaknya menakut-nakuti orang lain?"

"Ya, jaman sekarang memang banyak orang-orang tidak becus namun penuh lagak. Berdandan aneh-aneh, lalu mengharap orang lain ketakutan, padahal bisanya ya cuma membual."

Memang seolah-olah ada "sutradara tak terlihat" yang mengatur kata ketiga orang itu, sehingga kata-kata mereka seperti minyak menyiram api, pas mengenai bagian yang dianggap paling memalukan oleh Auyang Hou. Dilengkapi pula dengan rangsang asing yang dalam dirinya, Auyang Hou digiring ke suatu sikap untuk membunuh sebagai satu-satunya jalan.

Berbarengan pula dalam angan-angan Auyang Hou muncul sebuah adegan yang pernah dilihatnya di kota Se-shia, adegan pertarungan berdarah antara dua jagoan. Auyang Hou sudah lama mendambakan suatu kali akan meniru gaya dari seorang jagoan itu, dan sekaranglah kesempatannya.

Maka ia pun menjiplak mentah-mentah baik gaya maupun ucapan sang jagoan yang pernah dilihatnya. Ia mundur selangkah lalu berdiri dengan kaki renggang, ucapannya dingin, "Cabut senjata kalian. Supaya aku jangan sampai membunuh orang yang tak bersenjata."

Ketiga orang itu berhenti cengengesan, agaknya mereka mulai merasakan sesuatu yang gawat akan terjadi. Bahkan tiba-tiba saja mereka merasakan sesuatu yang menyeramkan. Tetapi ketiga lelaki itu adalah para pengawal bayaran yang biasa melakukan perjalanan-perjalanan berbahaya, belasan kali mengadu nyawa dengan perampok, karena itu mereka juga tidak asing dengan kekerasan.

Hanya saja, sekali ini mereka merasakan ada sesuatu yang menakutkan terpancar dari sosok Auyang Hou. Mereka tidak takut menyabung nyawa, tetapi taruhannya setimpal atau tidak? Apakah setimpal taruhannya kalau menyabung nyawa hanya karena perkara kecil, yaitu bersenggolan di jalan yang ramai?

Karena itu, salah seorang dari ketiga pengawal bayaran itu cepat-cepat berusaha. mendinginkan suasana, "Ah, anak muda, buat apa saling bunuh hanya karena perkara sepele ini? Kalau kau anggap kata-kata kami tadi kelewat kasar, baiklah, kami akan minta maaf. Nah, sudah puas?"

Saat itu yang menguasai Auyang Hou adalah rangsangan aneh yang asing itu, semacam nafsu membunuh yang tak terkendali dan membutuhkan pelampiasan. Karena itu Auyang Hou menjawab dengan dingin, "Cabut pedangmu, atau aku terpaksa membunuh orang-orang tak bersenjata?"

Ketiga pengawal bayaran itu terkesiap. Salah seorang, yang paling berangasan, mendengus, "Anak muda, kau keterlaluan dalam memojokkan kami bertiga. Masa hanya soal...."

"Kalian sudah menghina aku. Menghina Si Beruang Putih Kecil Auyang Hou, karena itu kalian harus mati dan tidak ada jalan lain. Melawan atau tidak melawan."

Ketiga orang pengawal bayaran itu saling bertukar pandang sejenak, bertukar anggukan, lalu mereka mengambil posisi menyebar sambil menghunus senjata-senjata mereka. Dua orang bersenjata pedang, seorang bersenjata golok.

"Bagus, aku puas membunuh kalian kalau kalian melawan, makin gigih makin baik...." Auyang Hou tertawa terkekeh-kekeh seram, meskipun kepribadian sejatinya yang tersembunyi di dalam sebenarnya heran, dari mana ia bisa belajar tertawa seperti itu?

Sementara orang-orang di jalan sudah mulai minggir semua, menonton dari kejauhan saja, takut kena senjata nyasar. Rangsangan aneh dalam diri Auyang Hou kemudian meledak dalam tindakan. Tubuhnya ringan saja melejit ke depan, sambil menyabetkan pedangnya ke arah lawannya yang berdiri di tengah. Sungguh, baik lompatannya maupun sabetan pedangnya belum pernah sehebat itu dilakukan oleh Auyang Hou biarpun ia sudah sering latihan. Kali ini tubuhnya maupun ayunan tangannya serasa ada yang mendorong dan memperkuatnya.

Lawan yang di tengah itu bersenjata golok. Ia adalah pengawal kawakan yang berpengalaman belasan tahun. Meskipun kaget karena hebatnya sergapan Auyang Hou, namun dia sempat melangkah mundur sambil menangkiskan goloknya. Ia merasa tangannya bergetar hebat ketika senjatanya berbenturan dengan senjata Auyang Hou.

Auyang Hou meraung buas dan terus merangsek maju, pedangnya dikibaskan untuk menyingkirkan golok lawannya yang masih menghadang, lalu memperpanjang langkahnya dengan luncuran di tanah untuk menikam ke perut lawannya.

Orang itu hendak mengulangi langkah mundurnya, namun ia kaget sendiri karena merasa sepasang kakinya tiba-tiba dingin dan kaku, seolah-olah terjeblos lubang di musim salju. Gerakan mundurnya jadi agak terhambat. Untuk menghadapi serangan ke perutnya, sekarang ia mau tidak mau tinggal mengandalkan tangkisannya. Tetapi sekali lagi ia terkejut karena tangannya yang memegang golok itu seolah-olah ada yang memeganginya.

Maka jeritannya adalah jeritan putus asa, ketika ia melihat ujung pedang Auyang Hou terus meluncur ke perutnya, bahkan menembusnya. Auyang Hou menyeringai buas, pedangnya yang sudah terbenam di perut lawan pun dihentakkan ke samping seperti orang membedah kasur. Lawannya terkapar di jalanan dengan perut terkoyak lebar, cipratan darahnya sedikit mengenai wajah Auyang Hou, namun dirasakan oleh Auyang Hou sebagai sebuah kenikmatan.

Dua orang pengawal bayaran lainnya terkejut melihat rekan mereka terbantai demikian gampang. Padahal di antara mereka bertiga, rekan bersenjata golok itulah yang paling senior, maka dalam posisi perlawanan tadi Si Rekan senior di tempatkan di tengah, sebagai semacam "koordinator" atau "pusat komando", begitulah. Tak terduga sekarang rekan andalan mereka itulah yang mampus duluan, dan begitu mudahnya.

Kedua orang yang tersisa itu terbenam kemarahan bercampur kegentaran, mereka kebingungan harus berbuat apa. Sementara Auyang Hou sambil menyeringai sudah menghadapi mereka. Salah seorang pengawal bayaran itu cepat mengambil keputusan. Serunya kepada temannya, "Lari!"

Temannya yang sedang kehilangan peganganpun seolah mendapat petunjuk. Mereka berdua segera memutar tubuh dan berlari ke arah yang berbeda. Itulah cara berlari yang pintar, dengan harapan seandainya musuh mengejar maka salah seorang akan bisa lolos, jadi setidak-tidaknya setiap orang memiliki setengah peluang.

Namun dihadang Auyang Hou yang tengah buas-buasnya di bawah pengaruh aneh, peluang keduanya tertutup sama sekali. Auyang Hou menurut saja ketika dalam hatinya muncul perintah agar melemparkan pedang ke arah salah seorang musuh. Sekenanya Auyang Hou melempar pedang, dan pedang itu meluncur lurus dan kuat, langsung menembus punggung salah seorang pengawal bayaran itu.

Kemudian Auyang Hou mengejar kepada seorang lagi. Ketika ia menjejakkan kakinya ke tanah, terkabullah cita-citanya untuk "melompat bagaikan rajawali" dengan mantel berkibar di belakang pundaknya dan ditonton banyak orang. Saat itulah ia benar-benar melakukannya.

Dengan kedua cengkeramannya ia menerkam sepasang pundak Si Pengawal bayaran dari belakang, sehingga roboh tertelungkup. Auyang Hou terus menindih, membuka mulutnya dan menggigit urat besar di leher korbannya. Korbannya berkelojotan sebentar sebelum terdiam selamanya.

Kegeraman Auyang Hou berangsur-angsur reda, dan tiba-tiba dia terkejut sendiri ketika melihat tiga sosok mayat bergelimpangan di sekitarnya. Ketika itulah kepribadian sejatinya muncul ke kesadaran, setelah sebelumnya kesadarannya diselubungi semacam rangsangan atau pengaruh aneh yang memimpin tindak- tanduknya.

Auyang Hou lebih kaget lagi ketika merasakan anyir darah di bibirnya. Ia meludah-ludah dengan gencar sambil mengusap-usap mulutnya, bahkan tak tertahan lagi ia pun muntah-muntah. "Apa yang terjadi? Apa yang telah kulakukan?" ia bertanya kepada diri sendiri dan tidak menemukan jawaban yang mantap.

Ia melihat kerumunan orang di kejauhan, ia bangkit dan mendekati orang-orang itu, namun orang-orang itu lari, bubar ketakutan. "Hei, sebentar, aku hanya ingin bertanya!" Namun tidak ada yang menghiraukannya. Auyang Hou termangu-mangu sendirian, sampai Nyo Jiok mendekatinya dan menepuk pundaknya.

Kata Nyo Jiok dari bawah tudung bambu yang dipakainya untuk menyembunyikan wajah mayatnya, "Bagus, Nak, kamu sudah melakukannya dengan hebat. Mulai sekarang tidak akan ada lagi yang berani meremehkan Si Beruang Putih Kecil Siau-pek- him."

Entah kenapa, setelah rangsangan aneh itu menghilang, Auyang Hou tidak merasa bangga, malahan masygul sekali. la menarik napas sambil berdesis, Benarkah aku yang melakukannya?"

"Ya. Berbanggalah untuk itu. Sekarang marilah kita pulang ke bukit, akan aku tuntun kamu ke tingkatan-tingkatan ilmu yang lebih tinggi."

"Tidak!" sahut Auyang Hou sambil menghentikan langkahnya.

Mata Nyo Jiok menatap tajam dan bengis, katanya dengan datar, "Ayolah anak muda, jangan berhenti melangkah, kamu memang sudah berhasil membunuh ketiga cecunguk itu, namun ketahuilah bahwa kamu masih terlalu lemah untuk membangkang kemauanku. Kamu tahu itu."

Hati Auyang Hou bergetar. Ia pun kembali melangkah di samping Nyo Jiok dengan lesu. Ketika melewati tubuh yang punggungnya tertembus pedang Auyang Hou yang dilemparkan tadi, Nyo Jiok membungkuk, mencabut pedang itu, membersihkannya dengan robekan pakaian orang itu sendiri dan menyodorkannya kepada Auyang Hou. "Ini pedangmu, simpanlah kembali baik-baik."

Tanpa berkata apa-apa Auyang Hou menerima pedang itu dan menyimpannya. Mereka berjalan terus, dan ketika tiba di daerah belukar di luar kota Han-king yang sepi, mereka terkejut karena ada seseorang yang menghadang mereka.

Penghadang itu adalah Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) Mo Hwe, ketua sekte Utara Pek-lian-kau, Kakak seperguruan Hui-heiig-si Nyo Jiok sendiri.

Nyo Jiok terkekeh-kekeh sambil membuka caping bambunya, lalu membungkuk hormat, "Selamat bertemu, Kakak."

Di luar dugaan bahwa Nyo Jiok tidak mendapat balasan yang ramah, malahan kata-kata Mo Hwe seperti mengandung kegusaran hebat ketika bertanya kepada Nyo Jiok, "Adik Nyo, apa yang kamu lakukan atas diri bocah itu selama aku tinggalkan sebentar untuk menyembuhkan luka dalamku?" Sambil bertanya, Mo Hwe juga menunjuk ke arah Auyang Hou.

Nyo Jiok menjawab sambil tetap tertawa-tawa, "Seperti yang dipesankan Kakak melalui Ui Kim-liang. Eh, bagaimana dengan luka dalam Kakak karna pukulan Si Bangsat Sebun Beng itu. Sudah sembuh?"

Nyo Jiok mencoba membelokkan pembicaraan dengan menyebut-nyebut tentang luka dalam itu pula, namun Mo Hwe tidak menggubrisnya dan berkata dengan gusar, "Nyo Jiok! Kau telah berani melebihi dari yang aku perintahkan!"

"Maksud Kakak?"

"Aku memang berpesan kepada Un Kim-liang, untuk menguntit dan menyelidiki Sebun Beng dan keponakannya yang pincang itu, sehingga mereka seolah-olah kebal dari segala macam ilmu gaib kita. Dan aku juga berkata kepada Un Kim-liang, bahwa kalau mau mengetahui kelemahan Sebun Beng dan Liu Yok, bisa dikorek melalui bocah ini..." lagi-lagi Mo Hwe menuding Auyang Hou. "...namun tidak dengan cara mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada bocah ini! Kau sudah melewati batas perintahku, Si Nomor Dua!"

“Oh, Kakak kuatir bocah ini akan membocorkan rahasia ilmu kita kepada orang luar?" sahut Nyo Jiok. "Jangan kuatir, Kak. Bocah ini akan aku ajari Sip-pat-hun-hoat-sut (Ilmu Gaib Delapan Belas Arwah), dan Kakak akan tahu sendiri bahwa ilmu kita akan tetap aman, tidak bocor keluar. He-he-he..."

Keruan Mo Hwe kaget. Ilmu yang disebutkan Nyo Jiok tadi adalah ilmu gaib tingkat tinggi milik Pek-lian-kau golongan Utara, tetapi keempat tokoh tertinggi Pek-lian-kau utara, yaitu Kim-mo-long Mo Hwe, Hui-heng-si Nyo Jiok, Pek-coa-sin Oh Jiang yang sudah almarhum serta Hek-wa-koai Mao Pin, tidak berani mempelajarinya meskipun mengerti teorinya.

Sebab ilmu gaib itu besar resikonya, orang bisa menjadi gila, sebab sepenuhnya menyerahkan diri ke bawah kendali roh-roh gaib yang "diundang" masuk ke dalam tubuh. "Syarat" untuk mempelajari ilmu itu ialah dengan terlebih dahulu membunuh delapan belas orang. Orang yang mempelajari ilmu itu memang akan menjadi dahsyat luar biasa, namun sekaligus juga di bawah kendali sepenuhnya dari orang yang mengajarkannya, meskipun dari jarak puluhan li sekalipun.

Mo Hwe paham betul makna kata-kata adik seperguruannya tadi, "ilmu kita akan tetap aman, tidak bocor keluar..." Artinya setelah Auyang Hou selesai diperalat, maka dia bisa diperintahkan untuk membunuh diri dari jarak jauh, sebab jiwanya sepenuhnya dalam cengkeraman orang yang mengajarkan ilmunya, yaitu Nyo Jiok.

Tetapi Mo Hwe yang sekarang sudah sedikit berbeda dengan Mo Hwe beberapa saat yang lalu. Semenjak pertempurannya dengan Sebun Beng, yang berakhir dengan dilepaskannya dirinya begitu saja oleh Sebun Beng, juga sejak melihat "keganjilan" sikap Liu Yok kepadanya, jiwa Mo Hwe sedikit berubah. Ia merasa dirinya mendapat penghargaan sebagai manusia bermartabat, dan meskipun sampai detik itu dia masih penasaran ingin mengetahui "ilmu" Sebun Beng dan Liu Yok.

Namun tanpa maksud mencelakai mereka, juga terhadap Auyang Hou. Itulah sebabnya hatinya meronta, tidak menyetujui ilmu sejahat Sip-pat-hun-hoat-sut diajarkan kepada Auyang Hou, sebab bisa mencelakakan Auyang Hou sendiri.

Sudah tentu ia tidak dapat menyebutkan alasan yang sebenarnya di hadapan Nyo Jiok. Ia tahu, adik seperguruannya ini diam-diam sedang mencari-cari kelemahan dirinya sebagai Cong-cu (Ketua Sekte) untuk disebarluaskan, karena Nyo Jiok sendiri rupanya berambisi menjadi Cong-cu dengan menyingkirkan Mo Hwe.

"Aku melarang kau mengajarkan Sip-pat-hun-hoat-sut kepadanya!" kata Mo Hwe tegas-tegas menggunakan kedudukannya sebagai Cong-cu. "Ini perintahku!"

Tadinya Mo Hwe menyangka, betapa berambisinya Si Nomor Dua ini, tentu takkan berani menentangnya terang-terangan. Ternyata kali ini Mo Hwe keliru. Nyo Jiok malah tertawa cengengesan, sambil bertolak pinggang menjawab, "Tidak! Aku akan mengajarinya. Kau mau apa?"

Mo Hwe terkejut. "He, kau lupa sedang berhadapan dengan siapa?"

"Memangnya dengan siapa?"

"Aku ketuamu, Nyo Jiok! Turuti perintahku!"

"Ha-ha-ha, Ketua apa? Mo Hwe, ketahuilah bahwa kedudukanmu sudah berada di ujung tanduk. Banyak anggota kita sendiri sudah tidak puas akan kepemimpinanmu yang lemah dan tidak menghasilkan apa-apa! Itulah sebabnya Sekte Utara kita terus-terusan kalah di segala bidang dari saudara-saudara dari Lam-cong (Sekte Selatan)! Itu karena ketidak becus-anmu. Dan puncak ketololanmu ialah ketika kau menjalin kerjasama dengan komplotan istana itu, kau membuat Pek-lian-kau golongan Utara hanya sebagai umpan yang tidak memperoleh apa-apa. Kau telah menimbulkan ketidakpuasan anggota-anggota kita sendiri!"

Darah Mo Hwe terasa mendidih ditentang terang-terangan seperti' itu, "Kau benar-benar telah memberontak terang-terangan terhadap pimpinanmu! Apa pun yang kau katakan tentang aku, aku masih tetap ketua yang sah. Dan sekarang aku akan menghukummu!"

"Silakan. Kalau mampu."

Sikap Nyo Jiok yang serba menantang itu membuat kedua tokoh puncak Pek-lian-kau Utara itu ke posisi yang tidak mungkin dipertemukan lagi. Mereka harus bergebrak, yang satu harus mempertahankan kewibawaannya sebagai ketua sekte, yang lain menganggap mendapat kesempatan untuk melenyapkan perintang ambisinya.

Selama ini Nyo Jiok diam-diam terus menambah ilmunya, sampai benar-benar yakin dapat membunuh Mo Hwe, dan niat membunuhnya itu sekarang akan diwujudkan mumpung tidak ada anggota Pek- lian-kau lain yang menyaksikan.

Orang ke tiga yang berada di tempat itu hanyalah Auyang Hou yang masih saja masygul, dan tidak mengerti sebagian besar dari arah pembicaraan kedua tokoh puncak Pek-lian-kau Utara itu. Sementara kedua tokoh itu sudah bersiap-siap. Mereka sama-sama sadar, bahwa mereka tidak mungkin menggunakan ilmu-ilmu gaib dari "tingkat rendahan" yang pasti dengan gampang akan dipunahkan oleh lawan yang sudah saling mengenal, bahkan seperguruan.

Bahkan dalam ilmu-ilmu yang tingkatannya tinggi pun keduanya sudah banyak saling mengenal kekuatan masing-masing karena itu, kedua belah pihak tidak berani gegabah. Kedua belah pihak bahkan sudah siap seandainya perkelahian nanti berjalan dengan cara "normal", artinya perkelahian seperti orang biasa, mengandalkan kerasnya tulang, liatnya kulit, tajamnya mata dan trampilnya otak menganalisa gerak lawan.

Namun Nyo Jiok memutuskan untuk mencoba tipu gaibnya yang sudah cukup lama dipersiapkan untuk mengalahkan Kakak seperguruannya ini, meskipun dalam perkelahian "normal" pun ia takkan gentar. Nyo Jiok meletakkan telapak tangan kiri tegak di depan dada, dua jari tangan kanan, telunjuk dan jari tengah menulis huruf di udara dan tiba-tiba tubuhnya menghilang. Tetapi menghilangnya hanya sedetik, lalu muncul lagi dan menubruk ke arah Mo Hwe.

Mo Hwe tertawa dingin, "He-he-he-he.... Lo-hun-tin (Formasi Pengacau Sukma) yang usang." Dan ia tidak bersikap apa-apa menghadapi tubrukan Nyo Jiok itu, dan nyatanya memang tidak terjadi apa-apa. Tubuh Nyo Jiok yang menubruk itu seperti bayangan saja menembus lewat tubuh Mo Hwe tanpa menimbulkan akibat apa-apa.

Dari tempat berdiri Nyo Jiok tadi kembali muncul sesosok bayangan Nyo Jiok yang menubruk ke arah Mo Hwe. Tetapi lagi-lagi Mo Hwe meremehkannya dan malah menatap waspada ke arah lain, ke arah yang tidak kelihatan apa-apanya oleh mata biasa.

Namun ketika bayangan Nyo Jiok yang menerkam itu sudah dekat, Mo Hwe tiba-tiba sangat kaget, cepat-cepat ia berputar untuk menghadapinya sambil menyilangkan tangan untuk menangkis.

Nyo Jiok tertawa terkekeh, "He-he-he, terlambat, Kakakku yang manis..."

Memang pertahanan Mo Hwe itu terlambat. Jotosan adik seperguruannya yang kali ini bukan sekedar bayangan, mengenai pipi Mo Hwe sehingga terhuyung-huyung hampir jatuh. Sadarlah Mo Hwe bahwa Lo-hun-tin yang dilatih adik seperguruannya ini telah ditingkatkan dan dilatih dengan banyak kombinasi yang sebelumnya belum dikenalnya.

Melihat Mo Hwe terhuyung, Nyo Jiok menerjang langsung dengan tendangan ke arah selangkangan dengan segenap kekuatan dan kecepatannya, tanpa tipu bayangan gaibnya sebab ia begitu yakin bahwa serangan "normal" saja akan bisa menghabisi Kakak seperguruannya saat itu.

Mo Hwe menggulingkan diri di tanah, sambil menyambar tumit kaki Nyo Jiok untuk ditarik dan dirobohkan sekalian. Nyo Jiok terkejut, ia sadar bahwa Kakak seperguruannya sangat mahir dalam jurus bergulingan yang disebut Koan-long-ta-kun (Keledai Malas Bergulingan). Kalau ia yang bukan ahlinya ikut-ikutan bergulingan, sama saja dengan seekor harimau yang boleh garang di darat namun pasti akan kalah kalau bertarung dalam air dengan seekor ikan hiu.

Ia melompat tinggi melompati Kakak seperguruannya untuk menghindarkan tumitnya dari cengkeraman. sambil melayang di udara, Nyo Jiok kembali menggoreskan huruf gaib di udara sehingga tubuhnya lenyap tak keruan arahnya, sebagai gantinya muncul bayangan Nyo Jiok palsu di arah yang berbeda, bahkan di dua tempat sekaligus.

Tetapi Mo Hwe pun tidak tinggal diam dipermainkan demikian, la berhenti bergulingan, sambil berjongkok di tanah dia menggores pula beberapa huruf di tanah sambil berkemak-kemik membaca mantera. Maka bayangan-bayangan palsu Nyo Jiok pun lenyap, sebaliknya Nyo Jiok yang sejati meluncur turun dari atas sebatang pohon, menerkam dengan ganas.

Mo Hwe bukannya melompat berdiri dari jongkoknya, malah ia melentangkan tubuh di tanah, sepasang kakinya berputar di atas tubuh membuat gerakan Siang-liong-lo-hai (Sepasang Naga Mengacau Lautan), sekaligus mengincar untuk "menggunting" patah persendian lutut Nyo Jiok. Nyo Jiok bersalto sambil menggeram sengit.

Demikianlah mereka bertarung, untuk beberapa saat Nyo Jiok tidak lagi bisa mempraktekkan Lo- hun-tinnya yang membuatnya bisa menghilang, muncul atau membuat bayangan palsu seenaknya. Sebab goresan huruf gaib di tanah yang dibuat Mo Hwe tadi agaknya membuat Lo- hun-tinnya terhambat.

Beberapa saat pertempuran berjalan "normal" dengan ketrampilan silat. Namun dalam pertempuran itu, Nyo Jiok berusaha mencuri kesempatan untuk mencoba menghapus huruf buatan Mo Hwe itu dengan telapak kakinya, sedangkan Mo Hwe melindungi hurufnya dengan gigih. Begitulah perkelahian berjalan, campuran antara yang gaib dan "normal".

Demikian sengitnya mereka berlaga, sehingga mereka tidak melihat Auyang Hou diam-diam menggeser menjauhi tempat itu, kemudian kabur sekencang-kencangnya. Bahkan ketika mereka melihat Auyang Hou sudah lenyap, mereka tidak menghentikan pertempuran. Mereka tetap saja saling labrak dengan sengitnya.

Setelah lepas dari cengkeraman Nyo Jiok, setidak-tidaknya begitulah perasaan Auyang Hou, Auyang Hou berpikir keras, akan dikemanakan langkahnya lebih lanjut? Apakah pulang ke Lok-yang, di mana Ibunya dan adik-adiknya tentunya masih berada? Atau ke Se-shia? Atau ke Hong-yang untuk menyusul Pamannya, Liu Yok dan Sun Cu-kiok? Bingung juga Auyang Hou karena selamanya dia belum pernah mengembara seorang diri, apalagi dengan kantong kosong tanpa bekal sama sekali, karena tertinggal di rumah Nyo Jiok.

Auyang Hou membayangkan, kalau menuju Hong-yang mungkin akan bertemu kembali dengan orang-orang Pek-lian-kau, namun kalau tidak ke sana, ia kasihan juga terhadap Pamannya dan Kakak tirinya yang tentu tersiksa pikirannya oleh ulahnya. Akhirnya Auyang Hou memilih untuk menuju Hong-yang, ia siap seandainya didamprat habis-habisan oleh Pamannya.

Begitulah, ia menujukan langkah ke Hong-yang dengan kantong kosong. Untuk makannya, dia minta sedekah di kuil-kuil. Melama beberapa hari, Auyang Hou tidak berani memakai pakaian kegemarannya yang menyolok, yaitu caping, mantel dan pedang. Benda-benda itu bahkan dibungkusnya.

Sepanjang jalan, tidak lelah-lelahnya ia bertanya tentang seorang lelaki yang tinggi besar berusia setengah abad, seorang pemuda yang kakinya pincang dan seorang gadis yang berpakaian serba kuning dan membawa golok Koan-to.

Siang hari itu, ia tiba di sebuah desa yang tidak jauh lagi dari kota Hong-yang. Perutnya sangat lapar, namun setelah ia berjalan keliling kampung itu, ternyata ia tidak menjumpai kuil yang bisa dimintai makan. Ia bingung karena semakin kelaparan, akhirnya di berjalan ke luar desa dan duduk berteduh di bawah sebatang pohon, sambil berharap akan tertidur dan bisa melupakan rasa laparnya.

Tetapi mana bisa ia tidur, sedangkan perutnya melilit-lilit terus. Apalagi, beberapa saat kemudian bumi seolah bergetar oleh hentak belasan ekor kuda tegar yang lewat di tempat itu. Ada serombongan orang berkuda lewat, dan Auyang Hou bergetar hatinya ketika melihat orang-orang itu berseragam Piau-hang (perusahaan ekspedisi) yang tiga orang pengawal bayarannya pernah dibunuhnya di Han-king. Tiong-gi Piau-hang, yang pusatnya ada di kota Tai-beng.

Ketika melihat Auyang Hou yang sedang berbaring di pinggir jalan, seorang penunggang kuda yang agaknya adalah pemimpin rombongan itu, mengangkat tangan, mengisyaratkan agar rombongan berhenti. Lalu dia sendiri menanyai Auyang Hou dari atas kudanya, "Sobat, boleh aku tanya sedikit?"

Dengan degup jantung yang menghebat, Auyang Hou berdiri sambil menatap gambar hati berwarna emas di baju orang yang bertanya itu. "Tentu saja. Mau tanya apa?"

"Apakah kau seorang pengembara?"

Auyang Hou menggeleng. "Tidak. Kebetulan saja aku sedang dalam perjalanan untuk menengok keluargaku di Hong-yang."

"Hem, kebetulan. Orang yang sedang kami buru itu arahnya juga ke kota Hong-yang."

Jantung Auyang Hou berdegup makin kencang. "Siapakah yang sedang Tuan cari?"

"Seorang yang bernama Auyang Hou dan berjuluk Siau-pek-him, demikian ia meninggalkan namanya di telinga orang-orang Han-king, di mana dia membunuh tiga orang kawan kami. Apakah kau melihat atau mendengar dia, sobat?"

Auyang Hou menekan kuat-kuat kegugupannya, dan menggeleng.

"Mungkin kau tidak mendengar namanya, tetapi ada ciri-ciri orang itu yang gampang dikenali. Ia memakai caping bambu, mantel, membawa pedang, dan jalannya agak dibuat-buat seperti sedang main sandiwara. Pernah melihat?"

Tentu saja jawaban Auyang Hou Cuma gelengan. Orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang hanya ingin membalas kematian teman-teman mereka itu pun melanjutkan perjalanan. Auyang Hou sempat menghitung dan melihat jumlah mereka ada lima belas orang, semuanya bertubuh kekar dan berwajah garang.

Diam-diam Auyang Hou menyesal, bahwa ulahnya di Han-king memang benar berhasil melambungkan namanya "Siau-pek-him" yang selama ini didambakannya, tetapi sekaligus juga menimbulkan masalah yang tidak kecil. Ia telah terjeblos oleh masalah balas-membalas di rimba persilatan.

Tiba-tiba di dalam hati Auyang Hou terdengar ada yang bersuara, "Kenapa takut? Kamu bisa membunuh lima belas orang itu semuanya, kalau mau. Dan namamu akan semakin terkenal."

Auyang Hou terkejut, kuatir dirinya kembali terdorong tindakan seperti di Han-king, dia buru-buru membantah, "Tidak. Aku tidak mau membunuh lagi."

Suara dalam hati itu terus mendesak, "Kenapa takut membunuh? Seorang pendekar haruslah tidak berkedip melihat muncratnya darah, mayat yang bergelimpangan, itulah harga yang harus dibayar untuk kemasyhuran namamu..."

"Aku tidak ingin termasyhur."

"Ah, jangan mengingkari diri sendiri. Sejak kau masih remaja dan sering menonton jagoan- jagoan berkelahi di kota Se-shia, kau sudah punya cita-cita ini. Sekarang kesempatannya sudah tersedia, kamu punya kemampuan, tunggu apa lagi? Mumpung mereka belum jauh."

"Tidak! Tidak!" Auyang Hou sampai berteriak untuk membungkam suara dalam hatinya itu. Lalu ia bangkit mengambil bungkusannya, dan melangkah bergegas menjauhi tempat itu. Hatinya yang gundah membuat rasa laparnya terlupakan.

Tengah ia melangkah, tiba-tiba dirasanya ada semacam kabut hitam tipis datang entah dari mana, mengerudungi seluruh tubuhnya, menyesakkan napas. Auyang Hou terkejut. Namun kabut itu muncul hanya kurang dari sedetik, lalu lenyap lagi dan Auyang Hou tidak merasakan apa-apa. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang.

Beberapa langkah lagi, tiba-tiba keinginan kuat Auyang Hou untuk kembali memakai "pakaian kebesaran"nya seperti sudah lupa bahwa pakaian atau dandanan macam itu bisa menimbulkan masalah. Yang diketahuinya saat itu hanyalah, keinginan itu sangat kuat dan rasanya tidak tercegah lagi.

Karena itu, tiba-tiba saja dia masuk ke tempat belukar yang sepi di pinggir jalan, membuka bungkusannya, mengeluarkan caping dan mantelnya untuk dipakai, dan pedangnya dijinjing dengan tangan. Maka ketika ia berada kembali di jalanan, ia sudah berdandan menurut kebiasaan kegemarannya yang dulu.

Dan rangsangan yang pernah dirasakannya di Han-king dulu, keinginan untuk berkelahi dan membunuh yang menyala-nyala, membuat dia lupa segala urusan yang lain. Maka melangkahlah ia ke arah rombongan berkuda Tiong-gi Piau-hang tadi. Langkahnya tak disadarinya makin lama makin cepat, sampai tak disadarinya bahwa dia sudah berjalan sangat cepat, seperti angin dan seolah-olah sepasang kakinya tidak menginjak tanah.

Auyang Hou sendiri tidak merasa apa-apa, kecuali merasa seolah-olah menunggangi angin dan ada yang mendorong dan mengangkat sepasang kakinya. Maka sekali pun ia hanya berjalan kaki, dan orang-orang yang disusulnya itu menunggang kuda, tak lama kemudian Auyang Hou sudah berhasil menyusulnya. Mereka sudah terlihat puluhan langkah di depannya. Auyang Hou mempercepat langkahnya sambil berteriak garang, "He, kalian mencari aku?!"

Orang-orang berkuda itu menoleh, dan terkejut ketika melihat ada yang menyusul mereka dengan gerakan amat cepat. Apalagi karena ciri-cirinya cocok dengan orang yang sedang mereka cari-cari, yang membunuh tiga teman mereka di Han-king. Orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu berteriak saling memperingatkan teman-teman mereka, lalu mereka pun berlompatan turun dari kuda, dengan senjata-senjata sudah terhunus di tangan masing-masing. Sikap dan pancaran mata mereka memperlihatkan dendam kesumat yang menyala.

Auyang Hou menghentikan langkah di depan mereka, dan bertanya dingin, "Tadi kalian menanyakan Siau-pek-him Auyang Hou, nah, sekarang kalian sudah menghadapinya."

Si Pemimpin rombongan agak tercengang ketika mengenali wajah garang di bawah bayangan caping itu adalah wajah dari pengembara muda yang ditanyainya tadi. Bedanya, tadi wajah itu nampak ketolol-tololan, sekarang begitu garang dan sorot matanya mengancam. Namun Si Pemimpin rombongan masih ragu-ragu.

Pimpinan rombongan itu adalah seorang lelaki setengah tua, berjenggot pendek, namun tubuhnya nampak kekar berotot. Ia sudah memegang senjatanya yang berupa Sam-ciat- kun (Ruyung Tiga Ruas) terbuat dari besi, namun senjatanya itu masih dijinjingnya dengan sikap santai.

Katanya, "Sobat muda, aku mengenalimu sebagai orang yang duduk di bawah pohon tadi, dan kau mengaku sama sekali tidak mengetahui siapa Siau-pek-him Auyang Hou. Kenapa sekarang tiba-tiba kau mengaku-aku dirimu sebagai manusia sialan itu?"

"Karena aku memang Siau-pek-him Auyang Hou."

"Jangan main-main lho, Nak, ini urusan berbahaya yang menyangkut mati hidup. Kalau benar kau adalah Siau-pek-him, kenapa tidak bicara dari tadi?"

"Karena tadi pedangku belum haus darah, dan sekarang pedangku mulai merengek haus darah."

Agaknya sikap garang Auyang Hou masih kurang berhasil meyakinkan rombongan Tiong- gi Piau-hang itu. Bahkan ada seorang anggota rombongan yang menguap keras-keras sambil berkata, "Sialan, dikira musuh sungguh-sungguh yang datang, tak tahunya cuma keroco dunia persilatan yang sekedar mau jual tampang. Kakak Wi, tinggal saja yuk. Mendingan cari warung untuk mengisi perut."

Orang itu terkejut, karena Auyang Hou tiba- tiba sudah meraung buas, melompat melewati beberapa orang pengawal bayaran untuk menerkam langsung ke arah orang yang berbicara itu. Pedangnya berkelebat ganas.

Baik orang yang diserang, maupun kawan- kawannya benar-benar tak sempat berbuat apa- apa karena cepatnya Auyang Hou bertindak. Orang yang berbicara tadi tahu-tahu sudah rebah dengan dada terbelah.

Si Pimpinan rombongan yang bernama Wi Kuan-lai terkejut bercampur marah. Tidak menyangka Auyang Hou akan bertindak sedemikian tak kenal kompromi, hanya mendengar omongan yang menyinggung sedikit perasaannya saja terus main bunuh seperti itu.

"Tangkap hidup atau mati!" Wi Kuan-lai memerintahkan anak buahnya, sedang dia sendiri langsung menyabetkan ruyung tiga ruasnya dengan sapuan Thai-bok-liu-soa (Badai di Padang Pasir). Karena senjatanya terbuat dari besi dan berat bobotnya, dan dia sendiri pun bertenaga besar, maka gerakannya menimbulkan deru angin yang dahsyat.

Auyang Hou memutar tubuh berikut pedangnya, suatu tingkat ketangkasan yang pastilah akan mengherankan orang-orang yang tahu kehidupannya sehari-hari di Se-shia maupun di Lok-yang. Semua orang tahu Auyang Hou tidak setangkas itu, dan kini yang bergerak begini tangkas pastilah Auyang Hou "yang lain".

Pedang dan ruyung tiga ruas berbenturan dahsyat, ruas paling ujung dari ruyung Wi Kuan-lai terpental seperti ada yang menggerakkan, melayang deras ke jidat pemiliknya sendiri. Wi Kuan-lai jadi disibukkan oleh senjata pegangannya sendiri, ia miringkan tubuh dan menyambar ruas ujung itu dengan tangan kirinya. Jadi ia memegang dua ruas ujung dengan kedua tangannya.

Namun selagi Wi Kuan-lai harus "menjinakkan" senjatanya sendiri itu, Auyang Hou telah menerkamnya bagaikan serigala kelaparan, dibarengi raungan buas dan ujung pedang yang mendahului luncuran tubuhnya. Wi Kuan-lai yang belum siap benar,tak bisa memberi perlawanan yang memadai, ia hanya bisa menjatuhkan diri bergulingan sehingga pakaiannya kotor, tetapi Auyang Hou terus memburu dengan bacokan-bacokannya yang sengit.

Para jagoan Tiong-gi Piau-hang lainnya tidak membiarkan rekan mereka mendapat kesulitan sendiri. Serempak tiga orang menyerobot maju dari tiga sudut yang berbeda. Dua orang bersenjata pedang, satu orang bersenjata pentung besi. Meskipun sebuah Piau-hang hanyalah suatu usaha dagang, tempat orang-orang dari berbagai perguruan dan golongan sama-sama menyewakan tenaga sebagai pengawal perjalanan demi sesuap nasi.

Tetapi di antara mereka timbul juga ikatan solidaritas yang kuat akibat selama bertahun-tahun sama-sama bekerja, sama-sama mengalami susah dan senang, tolong-menolong menghadapi bahaya di perjalanan. Mereka sakit hati akan kematian sia-sia dari tiga teman mereka di Han-king, dan sekarang bertambah satu orang lagi di sini. Itulah sebabnya tanpa diperintah-perintah lagi, mereka seolah berebutan ingin menghancurkan Auyang Hou.

Auyang Hou meraung dan memutar pedangnya dengan rapat, ada tenaga gaib yang mengaliri gerakannya sehingga dua pedang musuh berhasil dipukul terpental sampai lepas dari tangan pemegangnya masing-masing. Tetapi Si Pemegang pentung besi boleh berbangga, sebab pentung nya lolos dari tangkisan dan agaknya bakal mengenai tengkuk Auyang Hou.

Cuma saja kegirangannya berubah menjadi kekagetan karena pentung besinya yang tidak tertangkis itu tiba-tiba bisa berbelok arah dengan sendirinya dan hanya menggebuk tanah akhirnya. Padahal tidak kelihatan ada apa-apa, kenapa pentungnya bisa berbelok sendiri?

Apalagi ketika Auyang Hou kemudian menikamkan pedangnya ke arahnya. Ia melompat mundur sambil melepaskan pentung besinya, tetapi pundaknya terluka juga. "Teman-teman, berhati-hatilah!" serunya sambil mendekap pundaknya. "Bocah ini agaknya punya ilmu siluman!"

Suasana yang kental mewarnai gelanggang itu adalah suasana dendam dan kebencian, sehingga orang-orang Tiong-gi tiau-hang lainnya tetap saja menyerang bertubi-tubi meskipun sudah mendapat peringatan dari teman mereka. Bahkan Wi Kuan-lai sendiri sudah bangkit dan kembali bertempur.

Begitulah, Auyang Hou menghadapi keroyokan belasan orang lelaki-lelaki tangguh yang sudah kenyang pengalaman dan petualangan kekerasaan. Auyang Hou sendiri boleh dibilang masih sangat hijau, tetapi anehnya dia dapat melawan dengan sangat dahsyat, seperti seekor harimau dikerumuni serigala-serigala buas.

Beberapa saat kemudian terdengar suara daging robek dibarengi jeritan salah seorang Piau-su yang terlempar keluar dari gelanggang dengan perut bedah, korban pedang Auyang Hou. Orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu bertambah gusar, mereka makin bernafsu mencincang Auyang Hou.

Sebenarnya, beberapa orang Tiong-gi Piau-hang yang cukup punya pengalaman tempur akan merasakan adanya ketidakberesan dalam pertempuran itu. Meskipun kalau ditanya apa yang tidak beres, mereka belum tentu bisa menjawab. Cara bertempur Auyang Hou boleh dikata adalah cara bertempur yang kasar dan buas, banyak gerakannya yang tidak cermat dan membuka peluang bagi musuh tanpa bisa dipertahankan.

Peluang-peluang itu tentu saja sering terlihat oleh ketajaman mata orang-orang berpengalaman semacam Wi Kuan-lai dan beberapa yang lain, dan sering mereka menyerang menyerobot peluang itu anehnya, meskipun Auyang Hou tidak dalam posisi yang baik untuk menyelamatkan diri, toh ada-ada saja yang terjadi, sehingga Auyang Hou jadi terselamatkan secara aneh.

Misalnya, suatu ketika Wi Kuan-lai melihat peluang yang sangat bagus, ketika Auyang Hou sedang direpotkan oleh serangan dari tiga penjuru, maka kebetulan Wi Kuan-lai berada di sudut yang bagus untuk menyerangnya dengan peluang besar untuk mengenainya. Wi Kuan-lai pun bertindak, tetapi tiba-tiba saja angin menerbangkan pasir ke arah matanya.

Ketika Wi Kuan-lai memejamkan mata sambil memalingkan wajah, peluang itu pun luput. Malah sebaliknya ada seorang lagi teman Wi Kuan-lai yang tertikam roboh. Perkara aneh lainnya, ialah sering ujung senjata orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu melenceng jauh dari sasaran, padahal mereka bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru belajar memegang senjata.

Kadang-kadang malahan senjata mereka melenceng demikian jauh sampai mengancam teman sendiri, membahayakan teman sendiri. Sempat juga Wi Kuan-lai memikirkan keanehan-keanehan itu, namun dalam suasana kemarahan itu, sulitlah menghentikan pertempuran.

Apalagi saat itu sudah ada tiga orang yang menjadi korban. Darah-darah yang tertumpah itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam hati para pengawal Tiong-gi Piau-hang yang sedang menyala dengan api kemarahan. Sementara para pengawal Tiong-gi Piau-hang sebagai, manusia-manusia biasa mulai berkurang tenaganya karena kelelahan, sehingga serangan-serangan mereka mengendor, betapa pun bernafsunya mereka menyerang.

Tetapi itu tidak berlaku buat Auyang Hou. Auyang Hou kelihatannya tidak kendor sedikit pun. Ia berlompatan kian kemari dengan beringas, mengayun-ayunkan pedangnya dengan gerakan-gerakan setengah ngawur yang tidak banyak variasinya, hanya itu-itu saja, kadang-kadang melompat tinggi di atas kepala lawan-lawannya dan menerkam dengan ganas ke bawah.

Wi Kuan-lai diam-diam mulai menghitung, pihaknya bisa habis menghadapi lawan yang aneh ini. Yang susah sekarang, bagaimana bisa meredakan kawan-kawannya dan mengajaknya pergi dari situ? Meskipun demikian, Wi Kuan-lai sendiri tidak berpeluk tangan. Ia tetap bertempur, dan tidak segan-segan membahayakan diri sendiri dari menyelamatkan teman-temannya.

Ketika itulah dari arah kota Hong-yang tiba-tiba muncul tiga orang penunggang kuda, dua laki-laki dan satu perempuan. Salah satu dari lelaki penunggang kuda itu tampaknya agak ke-tinggalan di belakang, ia kelihatan masih canggung dan belum mahir benar dalam menunggangi kuda.

Ketiga orang yang datang itu bukan lain adalah Sebun Beng, Sun Cu-kiok dan Liu Yok. Sebun Beng sudah beberapa hari berada di kota Hong-yang tanpa menemukan jejak orang-orang Pek-lian-kau. Rupanya pihak Pek-lian-kau sadar kalau musuh sedang berbondong-bondong menyerbunya, maka mereka menyingkir lebih dulu karena merasa kalah kuat.

Biarpun mereka punya ilmu-ilmu gaib, toh itu bukan jaminan bisa menanggulangi musuh- musuh yang demikian banyak dan bukan orang- orang sembarangan semua. Itulah sebabnya Sebun Beng sulit menemui jejak mereka, malahan dia mendengar desas-desus telah pecah permusuhan antara pihak Tiong-gi Piau-hang dengan Auyang Hou.

Tentu saja Sebun Beng tidak percaya, sebab dia tahu Auyang Hou tidak becus apa-apa, paling-paling hanya beberapa jurus kembang pembukaan yang indah dilihat tetapi tidak berdaya gempur.

Namun melihat betapa seriusnya Tiong-gi Piau-hang menyebar orang-orangnya untuk menemukan keponakannya itu, Sebun Beng cemas juga. Ia menduga ada orang yang "menyamar sebagai Auyang Hou" dan melakukan pembunuhan di Han-king untuk memfitnah keponakannya itu, begitulah pemikiran Sebun Beng.

Siang itu, ketika ia berkuda berkeliling di sekitar kota Hong-yang untuk melihat-lihat ka-lau-kalau ada petunjuk, tiba-tiba dilihatnya ada pertempuran di jalanan. Sebun Beng mengenali orang yang mengeroyok itu berseragam para pengawal sewaan dari Tiong-gi Piau-hang.

Dan melihat orang yang sedang dikeroyok itu memakai caping, mantel dan bersenjata pedang, nampak bertempur begitu tangkas, Sebun Beng langsung menebak bahwa orang itulah "yang menyamar sebagai Auyang Hou", sebab Sebun Beng yakin Auyang Hou tidak mungkin bertempur setangkas itu.

Sebun Beng segera memacu kudanya mendekati pertempuran, diikuti Sun Cu-kiok dan Liu Yok. Pikirnya, "Kalau aku bisa meringkus bajingan tengik yang menyamar keponakanku itu dan menanyai siapa yang menyuruhnya berbuat demikian, barangkali banyak perkara rahasia bisa tersingkap."

Makin dekat dengan medan pertempuran itu, makin heran Sebun Beng melihat betapa "mirip"nya orang bercaping itu dengan keponakannya.

Sun Cu-kiok yang berkuda di sebelahnya bertanya, "Paman Sebun, bukankah itu keponakan Paman yang menghilang dari Han-king belasan hari yang lalu?"

Biarpun hatinya sedang tegang, Sebun Beng sempat juga tertawa, "Hampir-hampir aku menyangkanya demikian juga."

"Jadi menurut Paman, dia bukan keponakan Paman?"

"Pasti bukan."

"Kenapa Paman begitu yakin?"

"Lihat saja mayat-mayat yang bergelimpangan itu adalah mayat-mayat para pengawal bayaran dari Tiong-gi Piau-hang. Mereka adalah pengawal-pengawal tangguh, bagaimana keponakanku yang becusnya membual itu bisa membunuh mereka, bahkan satu orang pun takkan bisa..."

Tetapi makin dekat ke gelanggang itu, Sebun Beng sendiri makin meragukan kesehatan matanya sendiri, sebab setelah dekat, dia melihat orang-orang Tiong-gi Piau-hang sedang mengeroyok seorang pemuda yang persis benar-benar dengan Auyang Hou. Ini bukan cuma mirip, tetapi persis!

Liu Yok ikut berkata, "Paman, bukankah itu Adik Hou?"

Kali ini Sebun Beng tidak cepat-cepat membantah, ia sendiri mulai bimbang. Kalau yang sedang dikeroyok itu adalah Auyang Hou, apa iya seorang tidak becus dalam waktu belasan hari saja berubah demikian hebat? Tetapi kalau bukan Auyang Hou, siapa orang yang begitu persis melebihi saudara kembar?

Sementara Sebun Beng masih bimbang, Liu Yok malah dengan yakin sudah berkata, "Paman, itu A-hou. Dia sedang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan jahat yang tidak nampak."

Sebun Beng kemudian berseru ke arah gelanggang, "Berhenti! Teman-teman dari Tiong-gi Piau-hang, berhentilah! Aku adalah Sebun Beng, dari Lok-yang!" Sebun Beng memang punya nama yang cukup terkenal, dan Sebun Beng sekarang mengharapkan kemasyhuran namanya itu akan dapat menghentikan pertempuran.

Wi Kuan-lai dan kawan-kawannya memang pernah mendengar nama itu. Sambil tetap bertempur, Wi Kuan-lai membagi perintah kepada kawan-kawannya, "Hentikan pertempuran sambil tetap saling melindungi!"

Orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu bermaksud menurut, namun alangkah sulitnya sebab Auyang Hou rupanya sama sekali tidak berminat untuk menghentikannya. Ia terus saja mengamuk dengan ganas, menerkam ke sana kemari dengan pedangnya, dan kalau hanya satu pihak saja yang menghentikan pertempuran maka alangkah berbahayanya bagi yang berhenti lebih dulu itu. Akibatnya, pertempuran memang sulit berhenti karena keganasan Auyang Hou.

Sebun Beng dengan ragu-ragu menegur Auyang Hou, "Sobat, muda, aku mohon hentikan dulu senjatamu!"

Dan tidak digubris sama sekali oleh "sobat muda" itu. Malah ketika itu Auyang Hou melambung tinggi dengan gagah, mantelnya berkibar di belakang tubuhnya, pedangnya berkilauan, dan sedang mengejar lawan-lawannya yang sedang mengendorkan tekanan.

Liu Yok tidak tahan lagi, dia tiba-tiba menuding Auyang Hou sambil membentak, "Lepaskan Adikku!"

Aneh. Auyang Hou yang sedang melambung tinggi dengan gagah seperti burung elang itu, tiba-tiba saja ambruk ke bumi dengan gaya konyol, persis seperti seorang yang tidak bisa bersilat sama sekali. Inilah Auyang Hou yang asli. Tetapi ketika itu pertempuran belum berhenti sama sekali. Orang-orang Tiong-gi Piau-hang belum sama sekali menghentikan pertempuran, mereka masih dikuasai amarah yang menyala-nyala, dan inilah yang tidak terpikir oleh Liu Yok ketika dia bertindak.

Melihat Auyang Hou tiba-tiba saja terbanting ke tanah, orang-orang Tiong-gi Piau-hang tidak menyangka lain bahwa "jurus" Auyang Hou itu adalah jurus penyerangan pula. Karena itu orang-orang Tiong-gi Piau-hang tidak menahan senjatanya, mereka terus saja mengayunkan bermacam-macam senjata ke arah tubuh Auyang Hou yang menggeletak di tanah. Auyang Hou yang sedang kehilangan penopang kekuatan-kekuatan dari luar dirinya itu, cuma terbelalak ngeri melihat senjata-senjata meluncur deras ke arah tubuhnya.

"Tahan!" bentak Sebun Beng kaget. Dan karena merasa seruannya tidak bakal digubris, padahal dalam waktu yang hanya sepersekian detik itu nyawa "pemuda yang mirip Auyang Hou" itu bakal terancam, Sebun Beng tidak punya cara lain kecuali melompat ke tengah gelanggang dan langsung bertindak menyelamatkan.

Demikianlah kalau seorang Sebun Beng bertindak, dengan sepasang lengan-lengannya yang kuat dia berhasil menerobos gelanggang dan membuat orang-orang Tiong-gi Piau-hang terhuyung-huyung ke kiri dan kanan. Lalu dia menyambar Auyang Hou untuk dibawa keluar dari gelanggang.

Muka Auyang Hou sudah pucat-pasi ketika tiba di luar gelanggang, bibirnya yang pucat itu terbata-bata menyebut, "Paman...."

Sebun Beng heran bukan kepalang, sebab suara itu adalah suara keponakannya yang dia kenal benar, begitu juga sikapnya yang ketakutan dan gemetar itu. Lalu siapa yang tadi mengamuk dan membantai orang-orang Tiong- gi Piau-hang itu? Diam-diam Sebun Beng merasakan ketidak-beresan di balik semuanya itu.

Sementara itu, orang-orang Tiong-gi Piau-hang dengan gusar telah menghadapi Sebun Beng. Namun Wi Kuan-lai sebagai pimpinan mereka, tetap berusaha bertindak dengan tertib, "Kami dari Tiong-gi Piau-hang sudah lama mendengar nama besar Sebun Taihiap yang terkenal adil dan berjalan di garis kebenaran. Kami mohon dengan hormat agar Tuan menyerahkan pembunuh itu kepada kami."

Sebun Beng tersudut dalam posisi yang serba salah, namun menjawab juga, "Maaf, sobat-sobat dari Tiong-gi Piau-hang, apa yang sudah dilakukan oleh anak muda ini?"

"Dia sudah membunuh tiga orang rekan kami di kota Han-king."

"Oh, soal ini barangkali merupakan kesalah-pahaman belaka, anak muda ini aku kenal...." Sebun Beng tiba-tiba menjadi ragu-ragu sendiri ketika melihat beberapa mayat orang Tiong-gi Piau-hang yang masih bergelimpangan di situ.

Sebenarnya Sebun Beng ingin mengatakan kalau Auyang Hou itu dikenalnya tidak mampu bersilat, sehingga tidak juga bisa membunuh para pengawal bayaran Tiong-gi Piau-hang yang dikenal tangguh-tangguh itu. Namun mayat yang bergelimpangan itu berbicara lain.

"Apa yang akan Tuan katakan?" desak Wi Kuan-lai. "Tiga orang di Han-king dan empat orang di tempat ini, jadi tujuh orang rekan kami telah dibinasakan oleh pemuda yang bernama Auyang Hou dan berjulukan Siau-pek-him, yang sekarang berdiri di sebelah Tuan. Tuan Sebun sebagai orang yang memahami keadilan, coba pikir, tidak pantaskah kalau kami menuntut dia diserahkan kepada kami...?"

Selanjutnya,
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.