Sekte Teratai Putih Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Episode Sekte Teratai Putih Jilid 08 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Sekte Teratai Putih Jilid 08

Karya : Stevanus S P

YANG disebut "Paman A-hok" itu adalah seorang lelaki setengah baya dengan wajah berbentuk persegi, kumis dan jenggotnya dicukur pendek kaku. Sudah tentu Sun Cu-kiok tidak benar-benar mengenali mayat itu, "Paman A-hok" juga diucapkan sembarangan saja karena teringat bujang tua di gubernuran yang namanya A-hok dan pernah ia cukur alis dan kumisnya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Dengan muka sedih sambil terus pura-pura meratap, Sun Cu-kiok mulai meraba-raba pipi "Paman A-hok" itu. Ia berharap akan meraba pipi yang hangat sebagai bukti kepalsuan mayat itu, ternyata yang dirabanya adalah yang benar-benar dingin seperti pipi mayat umumnya.

Tetapi Sun Cu-kiok masih juga mentertawakannya dalam hati, "Boleh juga lagakmu. Tetapi hari ini harus kubongkar kedok kalian agar tidak dapat lagi menakut-nakuti orang...."

Lalu tangannya dengan gerakan tidak kentara berpindah ke lubang, mencari hembusan napas dari situ. Terasa tidak ada hembusan napas, namun Sun Cu-kiok tetap menaruh tangannya di depan lubang hidung "Paman A-hok" sambil berkata dalam hati, "Ayo, mayat gadungan, ingin kulihat berapa lama kamu pura-pura tidak bernapas."

Namun kedua hwesio serta Si Penggembala Mayat dan pembantunya itu agaknya membaca niat hati Sun Cu-kiok. Hwesio yang lebih tua pun tertawa mengejek, "Nona ini orang aneh juga. Mayat kok dicari hembusan napasnya, ya jelas tidak ada...."

Sun Cu-kiok agak canggung karena akalnya terbongkar. Tetapi ia terus nekad untuk pura-pura mewek-mewek sambil meratap sedih, "Ooo, Paman A-hok, selama ini Paman bersikap baik kepadaku, kenapa Paman meninggalkan aku begini cepat? Ooo, Paman, semoga perjalananmu ke alam baka lancar dan tidak mendapat rintangan...."

Dan tangannya tetap saja di dekat lubang hidung orang itu sambil mendamprat dalam hati, "Ayo bedebah, bernapaslah! Lucuti kedokmu sendiri!"

Tetapi "Paman A-hok" itu tetap saja tidak bernapas setelah sekian lama. Sebuah pikiran menyelinap ke kepala Sun Cu-kiok, "Jangan-jangan yang aku pegang-pegang ini memang mayat sungguhan?"

Namun ingatan lain datang, "Guruku pernah bercerita, bahwa di kalangan persilatan ada ilmu yang namanya Ku-siok-kang (Ilmu Kura-kura Bersembunyi), di mana seseorang yang melatihnya dapat menahan napas cukup lama, misalnya ketika sedang bersembunyi di dalam air untuk menghindari kejaran musuh. Bedebah ini agaknya pernah mempelajari Ku-siok-kang sehingga mampu tidak bernapas sekian lama. Bagus. Tetapi pernah aku mendengar ada ilmu yang membuat jantung berhenti berdetak. Nah, biar aku cek jantungnya...." Telapak tangan Sun Cu-kiok sekarang ditempelkan di dada kiri "Paman A-hok. Tentu saja sambil tetap pura-pura sedih.

Kembali salah seorang hwesio mengejek, "Mencari denyut jantung, Nona?"

Dan memang Sun Cu-kiok tidak berhasil menemukan denyut jantung yang paling lemah sekali pun! Sun Cu-kiok jadi nekad, tanpa mempedulikan suara tawa mengejek dari para pendeta itu, ia menempelkan kupingnya ke dada "Paman Hok" untuk mencoba mendengar denyut jantungnya. Tidak ada!

Kini Sun Cu-kiok hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang mengamuk seperti tambur yang ditabuh seorang pemabuk. Celaka kalau mayat-mayat ini bukan gadungan melainkan mayat-mayat asli! Tadi Sun Cu-kiok dengan gagah bisa berkata "siap menanggung semua resiko" karena hanya menyangka hanya akan bertemu dengan mayat-mayat gadungan, tak tahunya dia bertemu dengan mayat pulang kampung asli.

Padahal menurut kata orang, sekedar bertemu muka saja sudah membawa nasib sial seumur hidup, sekarang Sun Cu-kiok bukan cuma sudah bertemu muka, bahkan sudah memegang-megang pipinya, dadanya dan bahkan menempelkan kupingnya di dada mayat itu! Ancaman kutuk tidak kawin seumur hidup alias jadi perawan tua benar-benar menggentarkan gadis yang biasanya bernyali besar itu!'

Dalam paniknya, Sun Cu-kiok jadi nekad. Untuk berusaha terakhir kalinya membuktikan bahwa mayat itu gadungan, ia mulai mengkitik- kitik bagian rusuk samping mayat itu! Dan yang dikitik-kitik tetap saja diam tak bergeming. Runtuhlah semangat Sun Cu-kiok. Dengan murung ia meninggalkan tempat itu tanpa pamit. Tidak diperdulikannya Si Pendeta yang lebih tua yang mengejek,

"He, Nona belum selesai memeriksa semua mayat-mayat itu! Nona baru memeriksa enam mayat, padahal semuanya ada lima belas. Siapa tahu Nona masih dapat menemukan sanak keluarga Nona yang masih ada napasnya atau masih berdenyut jantungnya atau bahkan masih bisa tertawa kalau dikitik-kitik."

Hwesio yang lebih muda ikut mengejek pula, "Kelak kami akan membantu mendoakan upacara pencukuran rambut sebagai nikoh!"

Setelah Sun Cu-kiok sudah diyakini keluar dari kuil itu, Si Dukun Penggembala mayat itu tiba-tiba berkata perlahan, "Gadis usil itu sudah pergi. Aman."

Kata-kata itu seolah-olah sebuah mantera ajaib saja, sebab tiba-tiba nampak dada mayat- mayat itu mulai naik turun perlahan-lahan, bergelombang sedikit, dan lima belas mayat beku itu mulai bernapas! Bahkan ada yang mulai membuka mata, duduk dan menggeliatkan pinggang yang pegal!

"Siapa perempuan tadi?" tanya seorang "mayat" kepada Si Penggembala mayat dalam bahasa 3epang. "Tadi sempat kulirik sebentar, cantik juga."

"Mayat-mayat" itu tertawa serempak. "Mayat" yang disebelahnya memaki rekannya itu, "Ini barulah mayat mata keranjang."

Sementara Si Penggembala Mayat menjawab dalam bahasa Jepang pula, "Aku tidak tahu dari mana dia. Tahu-tahu datang begitu saja dan ingin memeriksa mayat-mayat. Tetapi dia pasti kecewa."

Kini semua pandangan dialihkan kepada Si Hwesio. Hwesio itu pun menggeleng dan menjawab dengan bahasa Jepang yang kurang fasih, menandakan kalau dia bukan orang Jepang aseli, "Aku juga tidak tahu dari mana dia. Begitu saja dia datang, katanya mau bersembahyang dan melihat-lihat kalau-kalau ada-sanak keluarganya yang mati. Aku sudah berusaha mencegah dengan kata-kata, tetapi gagal. Aku tidak mau mencegah dengan kekerasan, sebab hal itu akan mencurigakan orang. Tetapi sekarang ini, setelah dia memeriksa sendiri, pastilah kecurigaannya sudah berkurang banyak."

Kemudian mayat gadungan "Paman Hok" telah berkata terkekeh-kekeh, "Yang paling beruntung adalah aku. Tangannya yang halus dan lembut tadi sempat mengusap-usap pipiku, meraba-raba hidungku dan badanku, bahkan kepalanya diletakkan di dadaku pula. Ha-ha-ha, kalau aku tidak sedang menyamar sebagai mayat, pastilah kubalas kupeluk dia....ha-ha- ha...."

Orang-orang diruangan itu tertawa semuanya, tetapi Si Penggembala mayat cepat-cepat memperingatkannya dengar suara tertahan, "Ssst, jangan keras-keras, Di balik tembok sebelah itu adalah rumah penginapan yang banyak orangnya. Jangan sampai ada yang mendengar tertawa kalian, lalu curiga dan mengintip kemari."

"Tetapi apa sebenarnya yang masih kurang pada penyamaran kita, sehingga gadis itu mencurigai kita dan memeriksa kita?"

"Padahal bukankah penyamaran kita cukup sempurna? Kita pakai obat pemucat kulit, memakai bau-bauan dari ramuan pengawet mayat sampai kepalaku pusing menciumnya. Bahkan sampai aku sendiri hampir-hampir percaya bahwa aku sudah mati benar-benar. Kok masih ada juga yang mencurigai kita?"

"Yang penting kita harus lebih berhati-hati. Supaya rencana kita tidak gagal. Tidak semua orang setolol yang kita sangka dan mudah saja dikelabui."

"Eh, Arashi, tadi kamu diapakan saja?"

Si "Paman A-hok" yang nama sebenarnya adalah Arashi itu pun menjawab, "Pipi, hidung dan pipiku dipegang-pegang. Lalu dikitik-kitik."

"Wah, komplit juga usahanya untuk membongkar kedok kita. Tetapi setelah jelas-jelas tidak menemukan hembusan napas dan detak jantung, kenapa masih mengkitik-kitik juga?"

Si Hwesio yang sebenarnya adalah orang Cina, menerangkan dengan bahasa Jepangnya yang kedodoran, "Sebab di negeri ini ada ilmu yang disebut Ku-siok-kang, membuat orang mampu untuk tidak bernapas sekian lama. Rupanya gadis itu tadi menyangka Tuan Arashi memiliki ilmu itu, maka ia berusaha meyakinkan dugaannya dengan mencoba memeriksa detak jantung segala."

"He-he-he, gadis itu pasti tidak menyangka kalau kita punya ilmu yang lebih lihai dari Ku-siok-kang. Dengan Ninjitsu kita, kita bukan saja hanya bisa berhenti bernapas, bahkan bisa menyuruh jantung berhenti berdetak."

"Itulah kelebihan ilmu-ilmu kita dibandingkan ilmu-ilmu di daratan ini. Biarpun ilmu-ilmu kita akarnya dari sini, tetapi berkembang lebih subur di negeri kita dan menjadi lebih lihai."

Mendengar kata-kata bernada menyombongkan diri itu, Si Hwesio sebagai "orang daratan" merasa kurang senang, ia menyentil balik, "Memang di kalangan persilatan negeri kami, ilmu semacam Ku-siok-kang atau pura-pura mati atau pura-pura menjadi sebatang pohon dan sebagainya itu kurang berkembang di kalangan para pendekar yang punya harga diri. Yang belajar ilmu-ilmu semacam itu biasanya hanyalah para pencoleng, untuk menyelamatkan diri dari kejaran orang, misalnya sehabis mencuri ayam atau mencuri jemuran...."

Kata-kata itu membuat kelima belas "mayat" itu seketika berwajah tegang. Mereka adalah jago-jago dari kalangan Ninja di Jepang. Ahli dalam hal yang aneh-aneh seperti menyelam di air, menghilang, mengubur diri, menjebak orang, meracuni orang, pura-pura mati, pura-pura menjadi batang pohon atau batu besar, dan sebagainya.

Oleh kalangan "terhormat" di Jepang, yaitu kaum Samurai (perajurit) Yang memegang teguh Bushido (etika ksatria), kaum Ninja ini dianggap sampah, pengecut dan sebagainya karena kepandaian mereka yang aneh-aneh itu. Cara bertempur kaum Ninja dianggap tidak mendatangkan kehormatan oleh kaum Samurai. Kini, kelima belas Ninja itu setelah datang ke negeri Cina, mendapat suara yang senada kontan mereka tersinggung.

Salah seorang Ninja itu berkata, "Ah, ternyata di mana-mana sama saja. Tidak di negeri sendiri tidak di negeri orang, ada saja orang-orang munafik yang menamakan diri kesatria dan menganggap sebersih dewa-dewa di langit, memandang remeh orang-orang semacam kami. Tetapi, mereka juga tidak malu-malu mengundang dan minta tolong kepada orang-orang macam kami bila sedang butuh."

Si Hwesio, yang lebih tua maupun yang lebih muda, jadi tegang mendengar sindiran balik itu. Mereka sudah mengepal tinju, siap melabrak. Mereka yakin bisa menghajar kawanan Ninja itu asal kawanan Ninja itu "tidak aneh-aneh". Si Penggembala Mayat sadar, kalau pertengkaran itu dibiarkan, bisa berlanjut menjadi perkelahian yang memecah belah diri sendiri dan sangat merugikan. Maka berkatalah ia, "Setiap ilmu ada gunanya, menurut situasi-situasi tertentu. Tidak ada gunanya saling merendahkan."

Agaknya Si Penggembala Mayat yang tentu saja juga gadungan karena yang digembalakan juga gadungan, punya wibawa kuat di dalam kelompok itu. Begitu ia bersuara, orang-orang pun tidak berani bertengkar lagi.

Tiba-tiba dari luar ruangan masuk lagi seorang hwesio, di tangannya ada secarik surat kecil dan tipis, kertas macam itu biasanya dijadikan surat kilat, dimasukkan dalam bumbung yang kecil dan ringan untuk diikatkan di kaki seekor burung merpati pos. Semua perhatian teralih kepada orang yang baru datang itu.

"Ada apa?" tanya Si Penggembala mayat sambil turun dari bangkunya dan melangkah mendekat.

"Sudah ada berita. Sasaran kita tinggal seratus li dari sini."

"Bagus. Kita siapkan penghadangan sesuai dengan rencana."

"Apakah kita akan berangkat sekarang?"

"Jangan. Nanti malam saja."

"Kenapa?"

"Bisa menimbulkan kecurigaan pihak lain."

"Ah, siapa yang akan mencurigai rombongan mayat pulang kampung?"

"Jangan gegabah. Buktinya siang ini kita didatangi seorang gadis yang mencurigai kita. Aku yakin, di kota ini sebenarnya bukan cuma satu-dua orang yang sedang mengawasi kita. Kita berangkat nanti malam."

Keputusan Penggembala Mayat sebagai pimpinan tertinggi kelompok itu pun tidak dibantah lagi.

Sementara itu, Sun Cu-kiok meninggalkan kuil itu dalam keadaan bingung. Ia menyangka dirinya telah benar-benar ketemu mayat pulang kampung dan tidak akan kawin seumur hidup. Dalam keadaan bingung, ia ambil kuda kuningnya di istal penginapan sambil membawa goloknya, lalu memacu kudanya keluar kota kecil. Tanpa tujuan.

Tiba di kota kecil itu, ia melihat sebuah bukit kecil, dan seperti orang gila ia memacu kudanya menaiki bukit itu. Tiba di atas bukit, nampak pemandangan di sekitarnya indah sekali. Kota kecil di bawahnya nampak pula. Di tempat seindah itu, tentunya orang akan merasa lega, tetapi Sun Cu-kiok tetap saja murung. Ia lalu turun dari kuda dan duduk melamun sambil memeluk lutut, membiarkan kudanya makan rumput. Sun Cu-kiok lalu membenamkan wajahnya ke antara lutut lututnya dan menangislah ia terisak-isak.

Puteri Gubernur di Ho-lam yang bandel dan seolah- olah tidak ada yang ditakutinya itu, ternyata masih ada juga yang ditakutinya, yaitu tidak kawin seumur hidup. Sekarang, di tempat di mana tak seorang, pun melihatnya, ia tidak malu-malu menangis. Ia ingat Ibunya di Lok- yang, dan membayangkan alangkah lega seandainya bisa menumpahkan isi hatinya kepada ibunya. Di sini ia tidak lagi malu mengakui keterbatasannya sebagai manusia biasa.

Habis menangis, ia merasa perasaannya agak lega, kemudian dicobanya untuk menghibur diri sendiri, "Tidak kawin juga tidak apa-apa. Pokoknya aku akan melakukan perbuatan- perbuatan besar sehingga kelak aku mempunyai nama besar. Buat apa kawin, akhirnya hanya diperbudak oleh suami dan anak-anak dan kerjanya hanya di dapur saja?"

Toh kata-kata hiburan itu terasa terlalu mengada-ada, tetapi dia belum menemukan kata-kata hiburan yang lain. Ia kemudian membersihkan air matanya dan ingusnya yang keluar sedikit. Ia melompat kembali ke pelana kudanya dengan golok Koan-tonya, dan diulanginya lagi kata-katanya sambil berlagak gagah,

"Aku akan melakukan perbuatan-perbuatan besar di kolong langit. Aku tidak butuh suami."

Tiba-tiba ia melihat di bawah bukit ada penunggang-penunggang kuda yang berkejar-kejaran. Seorang penunggang kuda yang di depan dikejar oleh dua orang penunggang kuda lainnya. Seorang yang di depan itu nampaknya sudah tidak berdaya atau terluka, dia menunggangi kudanya dengan lemah sambil memeluk leher kudanya. Sedang kedua pengejarnya nampak bersemangat.

Dan seperti biasa, sesuai dengan wataknya yang gegabah, Sun Cu-kiok langsung yakin dengan kesimpulannya sendiri, "Pastilah orang yang di depan itu hendak dirampok. Kurang ajar, perampok-perampok itu berani beroperasi di siang hari bolong. Hem, aku harus menolong korban itu...."

Dan kalau Sun Cu-kiok sudah mengambil keputusan yang diembel-embeli "aku harus" maka sesungguhnya sudah tidak ada lagi yang bisa menghalangi dia. Apalagi saat itu jiwanya sedang bergolak dan dikuasai tekad "melakukan perbuatan besar", maka meluncurlah ia bersama kudanya dari atas bukit dengan kecepatan tinggi.

Seperti biasanya, kalau pikirannya sedang keruh, dia memacu kuda kuingnya secara gila-gilaan, tidak peduli lereng bukit itu tidak rata. Untung kuda itu juga sudah terlatih. Kuda kuning Sun Cu-kiok memang mengungguli kuda-kuda lain, termasuk yang sedang berkejaran di kaki bukit itu. Maka tidak lama kemudian Sun Cu-kiok sudah berhasil menyusul mereka.

"Hai perampok-perampok berani mati, berani benar kalian menunjukkan batang hidung di depan Thian-heng Siali (Dewi Keadilan)?" bentak Sun Cu-kiok yang secara spontan menemukan julukan buat dirinya sendiri. Langsung saja dia melintangkan kudanya di depan pengejar-pengejar, dan memberi kesempatan kepada yang dikejar untuk kabur semakin jauh.

Kedua pengejar itu terkejut dan menghentikan kuda. Mereka adalah dua orang laki-laki yang sama sekali tidak bertampang orang-orang jahat. Yang lebih tua berumur sekitar empat puluh tahun, meskipun berewokan, namun berewokannya rapi dan mukanya jernih, memakai jubah panjang berwarna biru langit yang berikat pinggang sutera.

Tangan kirinya mengendalikan kuda, sementara tangan kanannya menggendong sepasang tombak pendek (Siang-kek). Yang muda berusia sekitar dua puluh lima, tampan, berjubah biru dengan ikat pinggang sutera pula, sebatang pedang dan sarungnya digantungkan di pelana kudanya.

Begitu melihat tampang mereka, timbul kebimbangan Sun Cu-kiok di dalam hati, "Lho, tampang orang-orang ini kok tidak seperti tampang orang-orang yang menepuh Jalan Hitam? Jangan-jangan aku salah cegat?"

Tetapi gadis itu juga sudah biasa membuat dalih untuk membenarkan tindakannya. "Ah, jaman sekarang banyak penjahat bertampang orang baik-baik. Tidak mengherankan. Kalau mereka tidak jahat, kenapa mengejar-ngejar orang terluka?" Lagipula, ia sedang membutuhkan perkelahian untuk melampiaskan perasaannya yang sedang pepat.

Si penunggang kuda yang berewokan bertanya dengan sikap yang cukup baik, "Nona yang menamakan diri Dewi Keadilan, ada hubungan apa antara Nona dengan orang yang sedang kami kejar itu, sehingga Nona membelanya?"

"Aku hanya membela sesama manusia yang lemah, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh penjahat-penjahat macam kalian!"

Orang berewokan itu menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas, "Wah, kacau ini. Hitam disangka putih, putih disangka hitam...."

"Aku pasti tidak keliru!" bentak Sun Cu-kiok sambil menerjangkan kudanya ke depan, lalu golok Koan-tonya menyambar dalam gerak lengkung ke atas, seolah-olah hendak membelah tubuh Si Berewokan.

Si Berewokan kaget, bukan saja oleh hebatnya serangan itu melainkan juga oleh watak Si "Dewi Keadilan" yang begitu gampang turun tangan tanpa mempertimbangkan kata-kata orang lain. Namun dia cukup tangkas untuk memalangkan sepasang tombak pendeknya untuk menangkis golok Sun Cu-kiok. Hanya saja, karena gerakannya agak tergesa-gesa, pengerahan tenaganya kurang tersalur dengar baik, sehingga ia hampir terperosot jatuh dari pelana kudanya.

"Tunggu dulu, Nona, kita belum selesai saling menjelaskan...."katanya sambil memperbaiki duduknya di atas pelana.

"Sudah selesai dan sudah jelas!" Suara Cu-kiok ngotot, menyusul gagang golok Koan-tonya dimainkan seperti toya untul menyodok ke pinggang Si Berewokan dengan Oh-liong-boan-jiu (Naga Hitam Melilit Pohon).

Si Berewokan tidak berani menangkis. Ia tahu gadis itu tangkas dan bertenaga besar seperti laki-laki. Lelaki berewokan itu lebih suka melompat turun dari kudanya. Sun Cu-kiok masih penasaran dai hendak menerjang lagi, tetapi kali ini dii melihat gemerlapnya cahaya di depan matanya.

Ternyata Si Pemuda jubah Biru sudah menghadang Sun Cu-kiok, sambil berseru, kepada rekannya yang berewokan, "Kakak Pang, cepat kejar orang tadi. Perempuan liar ini biar urusanku!"

"Baik!" lelaki berewokan itu menjawab sambil melompat kembali ke atas kudanya.

Namun Sun Cu-kiok yang sangat yakin bahwa dirinya mampu menahan dua orang itu sekaligus, tidak membiarkan si Kakak Pang pergi dari situ. Ia melompatkan kudanya sambil mengayun Koan-tonya dan membentak. "Memangnya bisa kabur begitu saja dari depan Dewi Keadilan?"

Kecepatan gerakan golok Sun Cu-kiok sama dengan ketika dulu ia mencukur A-hok si bujang gubernuran. Jarang orang bisa lolos dari serangan itu. Namun terdengar suara dingin Si Pemuda Berjubah Biru, "Kau bukan Dewi Keadilan, melainkan Siluman Betina yang suka usil urusan orang lain!"

Dan golok Sun Cu-kiok tiba-tiba seperti membentur tembok besi tebal, terpental balik, dan punggung golok itu hampir-hampir mengenai jidat Sun Cu-kiok sendiri. Ternyata pemuda berjubah biru itulah yang menyelamatkan rekannya dengan tangkisan pedangnya. Pemuda yang nampaknya lemah-lembut itu, ternyata memiliki tenaga yang hebat. Sun Cu-kiok pun sadar bahwa lawan tangguh sudah di depan mata.

Sementara si lelaki berewokan tadi sudah meneruskan pengejarannya, meskipun yang dikejar sudah lenyap di kelokan kaki bukit. Dua hal yang membuat Sun Cu-kiok gusar adalah lolosnya Si Berewokan, dan ucapan Si Pemuda jubah Biru yang terakhir tadi, yang menyebutnya "siluman betina".

Sun Cu-kiok melompat turun dari kudanya dan menantang, "He, perampok, ayo turun dari kudamu dan bertarung denganku kalau berani!"

Berulang kali dicaci sebagai perampok, pemuda itu mendongkol juga. Pikirnya, "Siapa orang tua dan guru gadis itu? Kenapa tidak dididik baik-baik? Baik sikapnya maupun kata-katanya yang serba gegabah itu bisa mengacaukan banyak urusan. Biar aku beri, hajaran sedikit kepadanya, mudah-mudahan menjadi kebaikan buatnya di kemudian hari." Karena itulah pemuda itu juga melompat turun dari kuda untuk meladeni tantangan Sun Cu-kiok. Tetapi pedangnya malah disarungkan kembali dan ditaruh kembali di pelana kudanya.

"Hei, kita akan bertempur, kenapa kau simpan pedangmu?" Teriak Sun Cu-kiok.

"Tanpa pedang, aku menantikan pengajaranmu, Nona."

"Sombong sekali. Tetapi aku pun punya harga diri. Aku juga akan melawanmu dengan tangan kosong." Lalu Sun Cu-kiok menancapkan golok Koan-tonya di tanah.

Begitu berhadapan, Sun Cu-kiok tidak mau repot-repot pasang kuda-kuda dulu dan melakukan beberapa gerak kembangan. Tidak. Langsung saja kakinya menendang ke arah perut, disusul punggung kepalannya hendak mengepret ke hidung lawan dengan gerak tipu Sia-heng-tan-pian (Tubuh Miring Menggantungkan Ruyung).

Gerak Cun Cu-kiok demikian cepat. Gadis itu yakin, salah satu dari hidung atau perut lawan pastilah akan kena oleh tangannya atau kakinya. Syukur kalau kedua-duanya. Namun pemuda jubah biru itu memiringkan tubuhnya dengan enak sambil menggerakkan dua tangan sekaligus buat menepis tangan dan kaki Sun Cu-kiok ke samping. Gerakannya begitu santai, tidak ngotot, toh kaki Sun Cu-kiok tertepis ke samping hingga gadis itu sempoyongan.

Sekalian saja Sun Cu-kiok memutar tubuh untuk menguasai keseimbangan, lalu melancarkan serangkaian tendangan berantai Wan-yoh-tui (Tendangan Bebek) yang menjejak bagian-bagian bawah tubuh lawan beberapa kali berturut-turut. Lawannya melangkah dengan enak dan tendangannya luput semua.

Sun Cu-kiok menjerit jengkel, lalu melompat menerkam wajah Si Pemuda dengan dua tangan terbuka hendak mencengkeram. Itulah gerakan Kim-siam-ko-long (Kodok Emas Bermain di Gelombang).

Pemuda itu berhasil mengelak dengan gaya yang seenaknya dan semakin menjengkelkan. Malah sekarang kedua tangannya ditaruh di punggung. Kata-katanya pun menjengkelkan, "Astaga, anak perawan segalak ini, siapa lelaki yang berani mengambilmu sebagai isteri? Bisa-bisa tidak menikah seumur hidup!"

Itulah kata-kata yang tepat "mengenai" isi hati Sun Cu-kiok saat itu, sehingga kegusarannya meluap-luap dan serangannya semakin ganas. Namun sebenarnya pertempuran itu berjalan tidak wajar. Bukan kedua pihak sama-sama saling menyerang, melainkan hanya Sun Cu-kiok yang menyerang dengan ganas bergelombang.

Sedang lawannya, sambil menggendong tangan hanya mengelak ke sana- sini, kadang-kadang membungkuk atau melompat, atau melangkah santai berputar ke sisi atau ke belakang Sun Cu-kiok dan itu sudah cukup untuk membuat semua serangan Sun Cu-kiok hanya menerpa angin. Kalaupun ada yang disebut "serangan balasan", itu adalah mulut Si Pemuda Baju Biru yang senantiasa mengkritik Sun Cu-kiok kadang-kadang bernada menasehati seperti seorang kakek menasehati cucunya yang nakal.

Sun Cu-kiok yang selama ini bangga dengan kehebatannya, sekarang rasanya ingin menangis saking jengkelnya. Tiba-tiba ia melompat keluar dari gelanggang, bukan untuk mengakhiri pertempuran, melainkan untuk mengambil golok Koan-tonya, lalu melanjutkan pertempuran tanpa memperdulikan lawannya masih bertangan kosong. Di bawah cahaya matahari, kilau goloknya yang mengkilap itu seperti puluhan helai selendang perak yang seolah membungkus tubuhnya dan tubuh lawannya.

"Wah, Sang Dewi Keadilan telah bertindak tidak adil!" ejek pemuda itu sambil mengelak mundur.

"Persetan! Bukankah katamu tadi aku adalah Siluman Betina?" sahut Sun Cu-kiok sengit sambil memburu dengan serangan susulannya.

"Nona, permainan kita ini sudah sampai ke tahap yang berbahaya!"

"Ini bukan main-main, ini pertempuran mati hidup! Kalau kau penasaran, boleh ambil pedangmu!"

"Ah, kalau aku memegang pedang kan malah semakin berbahaya? Biarlah aku tetap bertangan kosong saja."

Sungguh mendongkol Sun Cu-kiok dibuatnya, karena merasa diremehkan. Ia memperhebat serangannya. Si Pemuda Baju Biru lebih berhati-hati sekarang, sebab dia tidak ingin tubuhnya terpotong-potong. Bahkan sekarang ia tidak menggendong tangan lagi, melainkan sudah menggunakan tangannya.

Tapi bukan untuk serangan berbahaya, melainkan hanya untuk menampar punggung golok atau tangkai golok untuk sekedar membelokkan arah golok. Tidak sekali pun ia membalas menyerang tubuh Sun Cu-kiok meskipun banyak kesempatan. Dan meskipun mulutnya tidak cerewet lagi, ia masih kelihatan santai menghadapi "mainan berbahaya"nya Sun Cu-kiok.

Tak terhindari akhirnya Sun Cu-kiok-lah yang lebih dulu mulai kehabisan tenaganya. Gerakannya mulai lambat dan sering tidak cermat. Cahaya berkilauan dari goloknya yang semula seperti kepompong raksasa yang "membungkus" gelanggang pertempuran, sekarang mulai kendor. Namun gadis yang keras hati itu tidak mau menyerah kalah, ia terus memaksakan diri untuk bertempur dengan kegusaran meluap-luap.

Sampai akhirnya golok Koan-tonya yang berat itu benar-benar terjatuh dari tangannya. Kedua tangannya terkulai lemah di samping tubuhnya. Wajahnya mandi keringat, menatap lawannya yang nampak jauh lebih segar.

"Sekarang kau boleh membunuh aku!" tantang Sun Cu-kiok.

Namun pemuda itu melangkah santai ke arah kudanya lalu melompat naik ke atas punggungnya. Katanya tenang, "Aku tidak membunuh orang yang bukan musuh. Nona bukan musuhku. Nonalah yang memusuhi kami tanpa sebab."

Sun Cu-kiok mengakui kebenaran kata-kata orang itu dalam hatinya. Tetapi untuk mengeluarkan pengakuan dari mulutnya, alangkah mustahilnya. Sama dengan menyuruh matahari terbit dari utara ke selatan.

"Nona tidak apa-apa ditinggalkan sendiri di sini?" tanya pemuda itu, sikapnya kali ini seperti sikap seorang kakak terhadap adik yang disayangnya. "Soalnya aku akan terburu-buru pergi...."

Akhirnya keluar juga kata-kata yang bernada agak bersahabat dari mulut Sun Cu-kiok, "Selesaikan urusanmu. Aku tidak apa-apa."

Pemuda itu memacu kudanya. Di kejauhan, sekali lagi ia menoleh ke arah Sun Cu-kiok yang masih berdiri termangu-mangu. Sun Cu-kiok duduk berteduh di bawah sebatang pohon rindang, memulihkan tenaganya sambil merenung. Sekarang ia mulai mengerti kenapa gurunya di Hong-san menyuruhnya berhati-hati berkelana di sungai telaga, sebab banyak orang lebih pandai tetapi tidak kentara kepandaiannya.

Semula Sun Cu-kiok menganggap petuah itu sebagai petuah seorang tua yang penakut, namun sekarang ia merasakan kebenaran nasehat itu. Contohnya dirinya sendiri yang tidak menggubris nasehat itu, maka dalam tempo satu hari saja ia sudah mengalami dua kali menelan pil pahit.

Pertama, tindakan usilnya menyelidiki rombongan orang mati pulang kampung itu akhirnya menghasilkan kegelisahan bahwa dirinya tidak akan menikah seumur hidup. Kedua, tindakan usilnya siang ini yang berlagak sebagai Dewi Keadilan yang akhirnya malah mempermalukan diri sendiri.

Sementara itu, Si Pemuda Berjubah Biru tadi, setelah memacu kudanya, akhirnya berhasil menyusul temannya disebuah persimpangan jalan yang tidak jauh lagi dari kota kecil. "Bagaimana, Kakak Pang?" tanya Pemuda Jubah Biru.

"Aku kehilangan jejak, Saudara Kui. Di tempat ini banyak sekali jejak kuda-kuda dan jejak roda kereta yang bersimpang-siur sebab sudah dekat sebuah kota."

Kui Tek Lam, si pemuda jubah biru jadi ikut termangu-mangu. Sementara si berewokan Pang Thian-tong dengan geram berkata, "Ini gara-gara gadis baju kuning yang suka cari perkara tadi, Saudara Kui. Pasti gadis itu adalah komplotannya. Mari kita ringkus gadis itu, dan kita paksa dia mengakui di mana komplotannya besembunyi dan menyiapkan penghadangan."

Namun Kui Tek-lam menggeleng, "Aku rasa percuma, Kakak Pang. Dia itu sebenarnya gadis yang tidak tahu apa-apa. Cuma seorang gadis yang masih hijau pengalaman di rimba persilatan, mungkin baru saja keluar dari pintu perguruan dan sedang getol-getolnya untuk menguji ilmunya."

Pang Thian-tong menarik napas. "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Buruan yang susah payah kita buntuti dari kota Wan-seng, sekarang lenyap begitu saja di depan hidung kita."

"Mau apa lagi? Disesali pun tidak ada gunanya lagi. Lebih baik kita bikin kontak dengan Kakak Oh yang berada kota kecil di depan itu."

Mereka perlahan-lahan menuju ke kota kecil yang di depan mereka. Kota di mana kalau malam hari banyak orang berkeluyuran di balik kedok, sedangkan siang harinya mereka berselubung berbagai penyamaran. Setelah kemarinnya hujan turun begitu dahsyat, maka malam itu cuaca cerah, Bulan dan bintang terapung-apung di samudera warna biru tanpa teganggu mega yang malam itu "libur" dulu. Agaknya setelah menumpahkan airnya habis-habisan, langit butuh waktu untuk mengumpulkannya lagi.

Kota kecil tidak sepi seperti kemarin, melainkan cukup ramai. Di sebuah lapangan di selatan kota terdapat rombongan sandiwara keliling yang sedang mengadakan pertunjukan di sebuah panggung. Di bagian kota, lainnya, juga ada rombongan wayang potehi unjuk kebolehannya, sementara di lapangan lainnya lagi ada rombongan akrobat yang sedang bermain di bawah cahaya beberapa batang obor panjang yang ditancapkan di tanah.

Sun Cu-kiok berjalan kaki meninggalkan penginapannya, menuju ke lapangan di sebelah selatan kota, untuk memenuhi surat undangan yang diterimanya pagi tadi. Dari pimpinan rombongan sandiwara yang menyebut dirinya Cong-peng Oh Tong-san. Sun Cu-kiok tertarik, karena pangkat Cong-peng itu cukup tinggi dalam kemiliteran, juga karena si pengundang sudah tahu kalau dia adalah puteri Gubernur di Ho-lam yang sedang mencari adiknya.

Di bagian depan panggung sandiwara dilapangan itu ramai dengan orang-orang yang sedang berdesakan menonton lakon di panggung. Ketika Sun Cu-kiok baru saja ikut berdesakan di antara orang-orang itu, seorang lelaki tiba-tiba mendekatinya dan langsung bertanya, "Apakah saya berhadapan dengan Nona Sun?"

Sun Cu-kiok menjawab, "Benar."

"Pemimpin kami mohon Nona sudi menemuinya. Jangan takut, kami bukan musuh."

"Biarpun musuh juga aku tidak takut.’’ sahut Sun Cu-kiok yang paling tidak senang kalau dianggap takut. Maka tanpa ragu-ragu ia mengikuti orang itu.

Orang itu berjalan di depan Sun Cu-kiok, kedua lengannya menyibak-nyibakkan orang-orang yang berdesakan dengar gerakan seperti orang menyibak air ketika sedang berenang gaya-katak. Dan Sur Cu-kiok melihat betapa orang-orang pun tersibak dengan mudah dan ringan, semudah menyibakkan tirai.

Sementara itu, seorang penonton yang tadinya berdiri tepat di belakang Sun Cu-kiok sambil makan kwaci, diam-diam memperhatikan dialog singkat antara Sun Cu-kiok dan orang tadi. Si Pemakan kwaci ini lalu menggamit "penonton” lainnya dan membisikinya, "Gadis yang namanya Sun Cu-kiok itu agaknya akan menjadi sekutu rombongan sandiwara gadungan ini...."

"Kalau begitu, dia akan ikut bertanggung jawab untuk terlukanya Adik Cui."

"Sudah. Jangan terlalu membesar-besarkan luka Adik Cui yang tidak begitu parah. Lebih baik kabari Kakak Jing."

"Baik. Kau?"

"Aku akan mencoba mencuri dengar percakapan mereka di belakang panggung."

"Hati-hati."

Mereka berpisah tanpa gerakan menyolok. Saat itu, Sun Cu-kiok yang mengikuti orang itu, sudah tiba di belakang panggung yang ditempati bangunan-bangunan kayu serba darurat untuk anggota rombongan sandiwara. Berbeda dengan bagian depan panggung yang penuh penonton dan penjual makanan, maka di bagian belakang panggung ini justru sepi. Dan penjagaannya ketat. Tentu saja penjagaannya tidak semenyolok penjagaan di kediaman para pejabat tinggi, melainkan terselubung.

Sun Cu-kiok dapat merasakannya. Ia sadar, bukan kebetulan saja beberapa orang anggota rombongan sandiwara yang duduk-duduk di tempat itu, meskipun dengan gaya santai. Ada yang duduk dibangku sambil menaikkan sebelah kakinya sambil makan kacang goreng. Yang lain lagi sedang sibuk menjahit baju kostum sandiwara, namun dengan mata tajam melirik ke segala arah.

Kedatangan Sun Cu-kiok membuat penjaga- penjaga terselubung itu mengangkat wajah dengan waspada. Namun mereka membiarkan saja Sun Cu-kiok lewat, sebab gadis itu berjalan bersama seorang teman mereka. Yang sulit mendekat sudah tentu adalah orang dari kelompok wayang boneka yang mencoba mencuri dengar itu.

Cun Cu-kiok dibawa ke sebuah bangunan kayu kasar yang paling besar. Pintunya ditutup tirai kain. Pengantar Sun Cu-kiok itulah yang masuk lebih dulu. Di dalam, ada sebuah meja dan ada tiga orang duduk menghadap pintu. Sebatang lilin besar menyala di atas meja.

Pengantar Sun Cu-kiok itu lalu melapor dengan hormat, "Cong-peng, Nona Sun sudah datang."

Yang duduk di tengah adalah seorang lelaki setengah abad yang bermuka lebar, dengan wajah memancarkan wibawa, alis dan kumisnya berwarna kelabu, matanya tajam. Sahutnya atas laporan itu, "Silakan dia masuk."

Sun Cu-kiok menyibak tirai pintu dan melangkah masuk. Melihat orang yang duduk di tengah itu, tidak dirasakannya kesan apa pun, kecuali merasa bahwa mata dan alis orang itu pernah dilihatnya. Tapi melihat dua lelaki yang duduk di kiri kanannya, Sun Cu-kiok kaget sehingga berseru, "He, kalian!"

Karena kedua orang itu bukan lain adalah "perampok-perampok" yang siang tadi ditemuinya di kaki bukit di luar kota. Hanya saja, kali ini Si Berewok tidak membawa sepasang tombak pendeknya dan Si Pemuda Jubah Biru juga tidak membawa pedangnya, meskipun jubahnya tetap biru. Kedua lelaki ini pun tercengang ketika mengenali Sun Cu-kiok.

Lelaki yang duduk di tengah telah berdiri memberi hormat, "Aku berterima kasih bahwa Nona Sun memenuhi undanganku tanpa prasangka. Aku minta maaf, bahwa aku telah bertindak kurang sopan dengan mengundang Nona kemari, bukannya aku yang menghadap Nona."

"Tidak jadi soal."

"Silakan duduk, Nona."

Sun Cu-kiok masih was-was juga, dirinya sedang berada di tengah-tengah lawan atau kawan? Tetapi ia membalas hormat juga, lalu mengambil tempat duduk sambil berkata, "Terima kasih. Tuan mengetahui namaku, asal-usulku, bahkan tujuan pengembaraanku, sebaliknya aku sama sekali belum mengenal tuan-tuan bertiga. Aku mohon mengetahui nama Tuan-tuan bertiga."

"Kami tidak keberatan, Nona. Maaf kalau diri kami sepenuhnya belum bisa diterangkan dalam surat yang Nona terima tadi pagi. Tentu Nona sudah membaca bahwa namaku Oh Tong-san dan berpangkat Cong-peng. Sekarang aku tambahkan keterangan, bahwa kami ini adalah prajurit-prajurit rahasia yang langsung di bawah perintah Sri Baginda Kian-liong...."

Lalu Oh Tong-san memperkenalkan Si Berewok, "Orang ini adalah Pang Thian-tong, pangkatnya Cam-ciang. Dari pasukan yang sama." Cam-ciang adalah pangkat militer yang setingkat lebih rendah dari Cong-peng. Dan tentang Si Pemuda Baju Biru, "Dan ini adalah Cam-ciang Kui Tek-lam. Tugas kami berempat sama."

"Berempat?" Sun Cu-kiok heran, sebab ia melihat hanya tiga orang di hadapannya.

Oh Tong-san tersenyum, "Oh ya, aku lupa satu lagi. Masih ada satu lagi. Yai-itu Cam-ciang Pun Po-kiao yang kemarin malam sempat bergebrak sejurus dengan Nona. Tubuhnya kurus dan tinggi...."

Maka terbukalah pikiran Sun Cu-kiok, kenapa ia serasa pernah melihat mata dan alis itu, kiranya memang sudah dilihatnya kemarin malam. Hanya saja kemarin malam Oh Tong-san memakai kedok ketika sedang memburu "Adik Cui" dan ketika itu temannya yang jangkung menyerangnya karena menyangka Sun Cu-kiok sebagai "Adik Cui".

Diam-diam Sun Cu-kiok membatin, kalau sampai Kaisar Kian-liong menugaskan seorang Cong-peng dan tiga Cam-ciang dari pasukan rahasia yang dilingkungan istana dikenal juga sebagai Ci-ih Wi-kun (Pasukan Jubah Ungu) yang terkenal sebagai gudangnya jago-jago tangguh, tentunya ada urusan yang cukup penting yang dibebankan ke pundak orang-orang itu.

Kemudian Oh Tong-san berkata kepada Pang Thian-tong dan Kui Tek-lam, "Saudara Pang dan Saudara Kui, inilah Nona Sun Cu-kiok, puteri Paduka Gubernur di Ho-lam."

Pang Thian-tong dan Kui Tek-lam memberi hormat berbareng, "Kami minta maaf, Nona. Siang tadi kami telah bersikap kurang hormat karena belum tahu siapa Nona sebenarnya."

Sun Cu-kiok membalas hormat dengan sikap agak canggung. Sudah jelas kalau dirinyalah yang siang tadi bersalah karena mencari perkara lebih dulu sebagai "Dewi Keadilan". Namun Penyakit Sun Cu-kiok ialah tidak suka mengakui kesalahan melalui mulutnya, jawabannya, ia menimbulkan kesan kedua belah pihak seolah-olah sama-sama bersalah. "Ah, tidak jadi soal. Peristiwa tadi siang adalah kesalahpahaman antara kedua pihak. Tidak apa-apa."

Kui Tek-lam diam-diam menggerutu dalam hati, "Kesalah-pahaman antara kedua pihak dengkulmu. Sudah terang kau yang cari perkara dan terus mengamuk tanpa mau mendengarkan penjelasan kami."

Sementara Oh Tong-san tertawa mendengarnya, "Hei, jadi antara Nona Sun dan Saudara Kui dan Pang ini sudah pernah bertemu?"

Sun Cu-kiok hanya mengangguk canggung. Sementara Kui Tek-lam mengambil kesempatan untuk menyindir Sun Cu-kiok, "Benar, Kakak Oh. Siang tadi kami salah sangka terhadap Nona Sun, dan kami telah menuduh Nona Sun secara membabi-buta sebagai penjahat, kami tutup telinga terhadap penjelasan Nona Sun, untunglah Nona Sun berlapang dada mengasihani kami dan tidak membunuh kami...."

Keruan Sun Cu-kiok melotot jengkel kepada Kui Tek-lam, namun ketika Oh-Tong-san memandangnya maka gadis itu pun mengubah sikapnya. Oh Tong-san tersenyum. Dari Kui Tek-lam ia sudah mendengar laporan tentang kejadian sebenarnya siang tadi.

Sementara itu, Sun Cu-kiok telah bertanya dengan penasaran kepada Oh Tong-san, "Tuan Oh, aku ingin tahu, bagaimana Tuan bisa mengetahui tentang diriku selengkap itu, sedang kita belum pernah bertemu?"

"Dari orang-orangku yang kusebar di mana-mana, antara lain di Lok-yang. Mereka memberi laporan kilat kepadaku bahwa Puteri Sulung Gubernur di Ho-lam sudah turun gunung untuk menemukan adiknya yang diculik orang-orang Pek-lian-kau. Laporan itu lengkap dengan ciri-ciri Nona seperti pakaian serba kuning kuda berbulu kuning dan golok Koan-to."

Sun Cu-kiok mengangguk-angguk katanya dalam hati, "Sungguh, dengan memelihara orang-orang macam ini, Kaisar Kian-liong seolah-olah punya mata dan kuping di mana-mana."

"Tujuan Tuan Oh mengundang aku?" tanya Sun Cu-kiok pula.

"Untuk mengajak bekerja sama, sebab kita sama-sama menghadapi orang Pek-lian-kau, biarpun dalam kepentingan yang berbeda."

Sebenarnya Oh Tong-san telah menerima permintaan rahasia dari Ji Tong-kiam, Panglima di Lok-yang yang juga bekas perwira dari pasukan rahasia ini, agar diam-diam melindungi Sun Cu-kiok yang masih suka bertindak gegabah ini. Namun dalam pesan Ji Tong-kiam juga ditulis tentang watak Sun Cu-kiok yang tinggi hati, itulah sebabnya Oh Tong-san di depan Sun Cu-kiok menghindari pemakaian kata "melindungi" dan diganti dengan "mengajak bekerja sama" supaya Sun Cu-kiok tidak tersinggung.

Sudah tentu melindungi gadis yang membawa kemauannya sendiri itu menjadi beban tambahan Oh Tong-san dan kelompoknya, namun Oh Tong-san tidak sampai hati menolak permintaan Ji Tong-kiam sahabatnya.

Sun Cu-kiok sendiri merasa bangga "diajak kerja sama" oleh pasukan rahasia yang terkenal dan sudah melakukan banyak pekerjaan hebat itu, meskipun pasukan itu jarang muncul di permukaan. Meskipun cuping hidungnya rada kembang-kempis, namun ia berusaha bersikap "Biasa".

"Jadi Tuan-tuan ini juga sedang mengincar Pek-lian-kau?"

"Benar."

"Kalau boleh tahu, untuk urusan apa?"

Oh Tong-san ragu-ragu sekian lama, sehingga Sun Cu-kiok bertanya, "Tuan Oh ragu-ragu aku bukan rekan kerjasama yang baik dan akan membocorkan rahasia operasi Tuan?"

Oh Tong-san menjawab samar-samar, "Nona Sun, bukannya aku tidak mempercayai Nona sebagai rekan kerjasama yang baik, tetapi aku kuatir bahwa Nona akan mengisyaratkannya tanpa sengaja kepada seorang yang belum tentu sehati dengan kita. Kalau rencana operasi ini gagal, Nona Sun Pek-lian yang berada di cengkeraman orang-orang Pek-lian-kau juga terancam jiwanya." Sengaja Oh Tong-san menekankan kata-kata ini untuk lebih "mengikat" Sun Cu-kiok agar tidak sembarangan buka mulut kepada orang lain.

"Aku mengerti. Aku berjanji untuk lebih suka mati daripada bicara dengan orang yang tidak meyakinkan tentang rencana operasi Tuan...." sahut Sun Cu-kiok mantap.

Oh Tong-san menarik napas. "Baiklah, kita akan belajar saling mempercayai. Begini, Nona, kami mencurigai bahwa orang-orang Pek-lian-kau akan kembali menghadang dan merampok rombongan pembawa gaji tiga bulanan untuk seluruh prajurit di Propinsi Ou-lam. Tahun lalu mereka telah melakukannya dengan berhasil, dan tahun ini mereka akan melakukannya lagi."

"Langsung serbu saja markas mereka!" sahut Sun Cu-kiok beringas. "Markas orang-orang Pek-iian-kau itu!"

"Nona tahu letak markas mereka?"

Pertanyaan balik ini membuat Sun Cu-kiok cep-klakep dan malu sendiri akan kegabahannya berbicara. Akhirnya Sun Cu-kiok malahan balas bertanya, "Apakah Tuan Oh tahu?"

"Belum. Itulah sebabnya kami sedang mencarinya."

Kui Tek-lam tiba-tiba angkat bicara, "Siang tadi sebenarnya kami sudah menemukan jejak seorang yang kami curigai sebagai salah seorang dari Cao-shia Pek-lian-kau."

"Cao-shia?" Sun Cu-kiok heran akan istilah itu, yang artinya adalah "sandal jerami".

Kui Tek-lam menerangkannya dengan gaya seorang guru kepada muridnya yang masih ingusan. "Anggota Pek-lian-kau yang bertugas sebagai kurir atau penghubung diberi julukan Sepatu Jerami di kalangan mereka sendiri. Yang sedang kami kejar siang tadi, ketika kami bertemu dengan Nona, adalah seorang Cao-shia Pek-lian-kau yang barangkali bisa menyingkap lebih banyak rencana mereka."

Kembali suaranya itu mengandung nada menyalahkan Sun Cu-kiok meskipun tidak terang-terangan. Sun Cu-kiok jadi sadar betapa kegegabahannya telah menimbulkan kerusakan dan kerugian demikian besar. Dengan lenyapnya kembali jejak Si Sandal jerami siang tadi, kembali mereka harus meraba-raba dalam kegelapan mencari jejak orang-orang Pek-lia-kau.

Untuk "menebus dosa", Sun Cu-kiok menawarkan sebuah usul, "Bagaimana kalau kita amat-amati rombongan wayang boneka itu? Mereka rombongan wayang boneka palsu, patut dicurigai."

Oh Tong-san tersenyum, "Malahan mereka sudah lebih dulu kirim orang untuk mengintai kami, Nona Sun. Semalam mereka mengirim seorang Nona muda yang model rambut maupun potongan badannya persis Nona, tetapi Saudara Jun berhasil melukainya dengan Telapak Pasir Besinya. Kami kejar, kami sempat bertarung dengan kawan-kawannya."

"Lalu bagaimana akhirnya?"

"Kami berpisah tanpa menghasilkan menang atau kalah. Tetapi aku mengambil kesimpulan bahwa mereka bukanlah orang-orang Pek-lian-kau. Mereka sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ilmu gaib seperti yang menjadi ciri Pek-lian-kau?"

"Siapa tahu mereka sengaja tidak menggunakan ilmu gaib mereka untuk menyembunyikan jejak?"

"Entahlah. Tetapi biarpun bukan, mereka harus kita amat-amati juga maksud tertentu dengan menyamar wayang potehi."

"Mungkin mereka juga pihak yang tertarik oleh uang gaji prajurit yang jumlahnya tidak sedikit itu."

"Belum tentu. Saat dan route pengiriman uang itu sangat dirahasiakan. Mungkin rombongan wayang potehi itu adalah kelompok rimba persilatan biasa yang mengincar sasaran lain, tidak ada sangkut pautnya dengan uang gaji prajurit itu."

"Kakak Oh, di kota kecil ini apakah kelompok lain yang mencurigakan?"

"Ada, Saudara Kui. Yaitu sebuah rombongan orang mati pulang kampung yang menginap dikelenteng Seng-hud-si."

"Rombongan akrobat itu?" tanya Sun Cu-kiok.

Oh Tong-san tersenyum dan menjawab, "Itu orang-orang kita juga. Sengaja rombongan ini kupecah dua, kadang-kadang satu sama lain sengaja bertindak tidak bersesuaian atau bahkan seolah-olah bermusuhan. Tujuannya untuk mengacaukan perhitungan pihak-pihak lain yang mengamat-amati kami."

"Cerdik sekali...." puji Sun Cu-kiok dalam hati. Kemudian supaya dirinya pun mendapat pujian, Sun Cu-kiok dengan penuh keyakinan ingin memamerkan prestasinya pula. "Kalau begitu, Tuan Oh, perhatian kita sepenuhnya dipusatkan ke rombongan wayang boneka saja, rombongan orang mati pulang kampung itu tidak perlu digubris!"

"Kenapa?"

"Aku sudah menyelidiki mereka, dan mereka ternyata benar-benar orang-orang mati, tidak pura-pura." di balik nada bangganya, Sun Cu-kiok menyembunyikan rasa masygulnya dalam-dalam mengingat dirinya bakal "tidak menikah seumur hidup".

"Nona sudah memeriksa baik-baik?"

"Tentu saja sudah, kalau belum, mana berani aku katakan kepada Tuan? Bahkan sudah aku periksa hembusan napasnya, detak jantungnya, dan ternyata tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan sudah aku kitik-kitik rusuknya juga diam saja."

Oh Tong-san tertawa. "Nona sungguh bernyali besar."

Namun dasar hari itu Sun Cu-kiok harus ditakdirkan dipermalukan tiga kali, baru saja dia menerima pujian Oh-Tong-san, tiba-tiba tirai pintu tersibak, dan masuklah Jun Po-kiao yang tinggi kurus seperti tiang bendera itu, wajahnya tegang dan berkeringat.

"Kakak Oh...." serunya begitu masuk ke dalam ruangan itu, namun begitu melihat Sun Cu-kiok, dia bungkam dan tidak melanjutkan kata-katanya.

Oh Tong-san cepat-cepat berkata, "Teruskan saja bicaramu, Saudara Jun. Nona Sun Cu-kiok ini adalah Puteri Paduka Gubernur di Ho-lam. Dia sekutu kita."

Jun Po-kiao pun melapor, "Kakak Oh, kuil Seng-hud-si sudah kosong. Rombongan orang mati pulang kampung itu sudah lenyap, juga pendeta-pendetanya!"

Oh Tong-san mengerutkan alis kelabunya dan melirik sekejap ke wajah Sun Cu-kiok, seolah ingin membandingkan laporan mana yang lebih benar? Laporan Sun Cu-kiok yang mengatakan bahwa mayat-mayat itu adalah mayat sungguhan, atau laporan Jun Po-kiao yang mengabarkan mayat-mayat "sungguhan" itu minggat semua?

Sun Cu-kiok masih ngotot dengan pendapatnya. "Kalau rombongan mayat hidup itu berangkat, tentu sudah terdengar gembreng dan teriakan dari pembantu dukun yang berjalan di depan rombongan. Tetapi nyatanya tidak terdengar suara apa-apa?"

Jun Po-kiao sudah menggerakkan bibir hendak membantah, tetapi Oh Tong-san menggerakkan tangan sebagai isyarat agar bawahannya itu diam, lalu memanggil keputusan, "Paling benar kalau kita periksa lagi kelenteng Seng-hud-si!"

"Nona Sun mau ikut?"

"Tentu saja."

Demikianlah, selagi di panggung berlangsung pertunjukkan sandiwara yang ramai, dari bagian belakang panggung mengendap ringan empat sosok bayangan menuju kelenteng Seng-hud-si. Mereka adalah Oh Tong-san, Pang Thian-tong, Kui Tek-lam dan Sun Cu-kiok. Sedang si "tiang-bendera" Jun Po-kiao ditinggalkan di tempat.

Ketika berlari-lari bersama jago-jago bawahan langsung Kiasar Kian-liong itu, Sun Cu-kiok mendapat kesan betapa mereka bukan cuma jago-jago berkelahi yang tangguh, namun juga cermat dalam memperhitungkan setiap langkah. Sun Cu-kiok sudah berpikir, seandainya ia berjalan bersama mereka, akan lebih mudah menemukan jejak penculik- penculik adiknya. Cuma Sun Cu-kiok merasa terlalu gengsi untuk bicara terang-terangan.

Mereka tiba di tujuan, lalu melompati dinding belakang kelenteng Seng-hud-si. Mereka melihat halaman belakang kuil itu sunyi sepi dan gelap, juga ruangan-ruangannya, tidak terdengar suara apa-apa. Sun Cu-kiok agak merinding juga, membayangkan dari kegelapan itu tiba-tiba akan muncul orang-orang bermuka pucat yang jalannya melompat-lompat. Cepat-cepat ia mengusir bayangan angan-angannya sendiri.

Sun Cu-kiok lebih senang bergerombol bersama, namun sayangnya Kui Tek-lam malah mengusulkan kepada Oh Tong-san sebagai pimpinan, "Kakak Oh, bagaimana kalau kita berempat berpencar untuk memeriksa setiap sudut ruangan dengan seksama?"

Dan untunglah Oh Tong-san berpendapat lain, "Menghadapi kelompok aneh ini, kita jangan berpencaran. Kita harus bahu membahu, siapa tahu mereka punya ilmu gaib. Dan kita harus segera menyalakan api."

Terang Sun Cun-kiok yang setuju paling dulu. Mereka menyalakan puntung-puntung lilin yang berserakan di tanah. Setelah api menyala, mereka melihat tempat itu benar-benar kosong. Sun Cu-kiok mengenali pendapa belakang itu sebagai tempat di mana tadi siang dia memeriksa mayat-mayat, dan sekarang yang dilihatnya di situ hanyalah tikar-tikar dan kulit kwaci yang berserakan. Begitu juga semua ruangan kosong manusia ketika diperiksa, meskipun ada tanda-tanda belum lama dikosongkan.

"Bagaimana, Kakak Oh?" Si Brewokan Pang Thian-tong meminta pendapat Oh Tong-san.

"Kelompok ini mencurigakan. Kita akan mengejarnya, mudah-mudahan bisa kita temukan jejaknya."

"Maaf, Kakak Oh, aku punya pikiran lain," tiba-tiba si pemuda jubah biru Kui Tek-lam berkata.

Dalam kelompok pasukan rahasia Kaisar itu memang sudah biasa bertukar pikiran atau bahkan debat antara atasan dan bawahan sebelum mengambil keputusan. Oh Tong-san pun berkata, "Silakan katakan pendapatmu, Saudara Kui."

Aku khawatir ada pihak yang sedang berusaha memecah-mecah perhatian kita ke segala arah, sehingga kita lengah terhadap tugas utama kita, yaitu mengamankan perjalanan pembawa gaji prajurit itu sampai ke tujuan. Jangan-jangan kelompok mayat gadungan itu sengaja bertindak aneh untuk memancing kita ke arah yang salah?"

"Lalu?"

"Adalah lebih baik kalau kita mendekati saja ke rombongan pembawa gaji prajurit itu. Barangkali saja kita malah bisa berbalik memasang perangkap bagi pihak-pihak yang ingin merampoknya."

Oh Tong-san mengedarkan pandangannya ke wajah Pang Thian-tong dan Sun Cu-kiok, meminta pendapat mereka.

Pak Thian-tong berkata, "Perhitungan Saudara Kui cukup masuk akal. Kita tidak boleh terpancing untuk memperhati kan ini-itu sehingga perhatian ke tugas utama mengendor."

"Pendapatmu, Nona Sun?"

"Kita tidak usah repot-repot mengejar tikus, asal kita tunggui saja ikan asinnya nanti akan kelihatan tikusnya sendiri yang datang mendekat," sahut Sun Cu-kiok. Artinya dia pun mendukung usul Kui Tek-lam tadi.

Oh Tong-san pun dengan lapang dada menyingkirkan pertimbangannya sendiri dan menerima usul mayoritas itu. "Baik. Besok kita bergerak ke timur laut."

Sun Cu-kiok lalu berkata, "Aku gembira bisa bekerja sama dengan Tuan-tuan, dan berharap bisa melanjutkan kerjasama ini, tapi dalam perjalanan nanti, aku akan berjalan sendiri saja agar tidak merepotkan Tuan-tuan. Meskipun di sepanjang perjalanan kita akan tetap tukar-menukar isyarat dan berita."

"Baik," sahut Oh Tong-san sambil mengeluarkan sebuah buku kecil dari kantong jubahnya, diberikan kepada Sun Cu-kiok sambil berkata. "Nona, buku kecil ini berisi cara-cara kita bertukar isyarat atau berita selama operasi ini. Hanya selama operasi ini. Setelah operasi ini selesai, isi buku itu tidak ada artinya lagi. Harap Nona menerimanya."

Sun Cu-kiok menerimanya sambil mengucap terima kasih. Kemudian mereka meninggalkan kelenteng kosong itu ke tempatnya masing-masing. Untuk pulang ke penginapannya, Sun Cu-kiok tinggal melompati tembok samping kuil itu, sebab kuil itu bersebelahan dengan penginapannya.

Esok harinya, kota kecil itu tiba-tiba menjadi sepi kembali. Rombongan sandiwara itu tiba-tiba membongkar panggung dan meninggalkan kota. Begitu pula rombongan akrobat, dan rombongan wayang potehi. Yang membuat penduduk kota kecil bertanya-tanya adalah lenyapnya rombongan "orangmati pulang kampung" begitu saja. Tidak ada yang tahu kapan dan lewat mana berangkatnya, tahu-tahu kuil itu sudah kosong, bahkan pendeta-pendeta kuil itu juga ikut raib semua.


Jauh di sebelah utara kota kecil yang baru saja mendadak ramai lalu mendadak sepi kembali itu, di sebuah jalan pegunungan yang sepi, nampak sebuah rombongan yang cukup besar sedang merambat di jalan pegunungan itu. Di antara lorong pepohonan.

Yang ini agaknya juga rombongan orang mati yang sedang pulang kampung, namun dengan cara normal, tidak melompat-lompatkan mayat dengan bantuan seorang dukun. Tidak. Sebuah keluarga besar agaknya, sebab dalam rombongan itu ada lima puluh orang lelaki dan wanita, tapi anak-anak tidak ada.

Mereka semua berpakaian berkabung, lengkap dengan topi lancip dari kain belacu yang bagian belakangnya "bersayap" menutupi tengkuk. Mereka mengiringi dua buah kereta lelayu yang berisi masing-masing sebuah peti mati besar, dan kereta-kereta itu pun diberi kelambu-kelambu putih dan bunga-bunga kertas berwarna putih atau biru tua.

Apabila berada di tempat-tempat ramai ataupun berpapasan dengan orang lain, rombongan berkabung itu memperlihatkan sikap sedih. Yang lelaki murung, menunduk dan berulang kali menarik napas. Yang perempuan mewek-mewek sambil menepuk-nepuk tubuh peti mati, atau mengusap-usap mata mereka.

Tetapi jika berada di tempat sepi di mana mereka tidak dilihat orang, mereka bersikap biasa, tidak sedikit pun menunjukkan sikap berkabung. Bahkan yang kaum wanitanya ikut bercanda dan tertawanya berkakakan dengan suara besar, teranglah kalau sebenarnya mereka hanya wanita-wanita gadungan alias kaum lelaki yang menyamar sebagai wanita.

Begitu juga saat rombongan itu lewat di jalan pegunungan yang sepi itu. Sebelah kanan pepohonan tinggi, sebelah kiri hamparan ilalang yang setinggi dada. Tetapi pimpinan rombongan agaknya merasakan sesuatu yang agak ganjil di tempat itu. Biasanya di tempat macam itu tentu terdengar suara hewan-hewan liar seperti burung, ayam alas atau kera. Dan jika tidak terdengar apa-apa, biasanya ada sesuatu yang ditakuti hewan-hewan itu.

"Waspadalah," ia memperingatkan seluruh rombongannya. "Dekatlah dengan senjata masing-masing."

Mereka memang membawa senjata-senjata, meskipun disembunyikan menurut caranya masing-masing. Suara percakapan dan sendau-gurau pun terhenti. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik langkah mereka di atas rerumputan dan keriut-keriut roda kereta-kereta pembawa jenazah yang masing-masing ditarik dua ekor kuda. Kereta-kereta itu nampak berat sekali, sehingga jejak rodanya cukup dalam di permukaan tanah.

Pimpinan rombongan berjalan paling depan, sambil menatapkan matanya dengan waspada ke sekitarnya, seolah-olah di baljk setiap helai ilalang pun hendak diketemukannya musuh yang bersembunyi. Namun sekian lama belum terjadi apa-apa.

Tiba-tiba kaki Si Pemimpin rombongan menyentuh sesuatu. Ia berhenti melangkah dan menunduk. Ternyata yang menyentuh kakinya tadi hanyalah sebuah boneka kain sejengkal. Sebuah boneka yang menggambarkan seorang berpakaian ringkas serba hitam dengan pedang yang tentu saja pedang-pedangan di tangannya. Tetapi itu hanya sebuah boneka.

Si Pemimpin rombongan lega. Ia menyepak boneka itu ke pinggir jalan dan melanjutkan langkah. Meskipun dalam hati sempat heran juga, "entah boneka anak desa mana yang hilang di sini, jauh dari tempat tinggal manusia..."

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.