X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 22

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga I Jilid 22 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 22

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
BEGITU keras teriakannya, sehingga Liong Ke Toh yang mohon menghadap itu mendengar dari luar pintu, dan diam-diam memaki dalam hati, "Keponakan tak kenal budi, kau sudah lupa siapa yang dulu membantumu naik tahta?"

"Ampuni hamba, Tuanku. Kok-kiu-ong berpesan bahwa dia datang membawa pikiran-pikiran baru...."

"Pikiran baru apa? Paling-paling hanya membuat pikiranku tambah pusing dan akhirnya meledak!" teriak Yong Ceng pula. Sebuah penindih kertas yang terbuat dari batu giok disambarnya dari atas meja, lalu dilemparkan ke dinding hingga berantakan.

Si pelayan tak berani bercuit lagi, ia khawatir kalau jidatnya bakal menjadi sasaran berikutnya. Cepat-cepat dia menyembah kemudian melangkah keluar. Namun sebelum si pelayan melangkahi ambang pintu, Yong Ceng tiba-tiba berubah pikiran, "He, suruh dia masuk!"

"Baik, Tuanku...." kata si pelayan sambil buru-buru keluar, tanpa menunggu perintah itu diubah lagi.

Di luar pintu, dijumpainya Liong Ke Toh yang wajahnya masam, dan si pelayan berkata, "Hong-siang mempersilahkan Ong-ya untuk menghadap."

Kata-katanya terputus ketika tangan Liong Ke Toh tiba-tiba menampar pipinya sambil membentak, "Aku sudah dengar!"

Nah, siapa bilang kaum pelayan tidak berani menghadap Kaisar dengan muka masam. Maka ketika ia melangkah masuk, wajahnya sudah seperti bulan purnama tanggal limabelas. "Hamba datang, Tuanku...." katanya sambil berlutut.

Yong Ceng lebih dulu duduk di kursinya, wajahnyapun dibuat ramah untuk mengimbangi wajah pamannya. Topeng-topeng harus mulai dipasang. “Bangunlah paman, Kedatangan paman benar-benar membuatku agak terhibur." Sambil melirik remukan penindih kertas di kaki dinding, Liong Ke Toh bertanya, "Mudah-mudahan kedatanganku benar-benar menggembirakan Tuanku."

"Tentu saja, paman. Penindih kertas itu dijatuhkan oleh seorang pelayan yang terlalu kasar ketika membersihkan mejaku."

"Sejauh itu terlemparnya, Tuanku?"

Yong Ceng merasa kurang perlumenjawab pertanyaan itu, tanyanya, "Tentunya paman punya keperluan menghadapku?"

"Tuanku, Pun-khong Hwe-shio dan Pun-seng Hwe-shio dari Siau-lim-si datang lagi berkunjung....."

"Hem, pasti mereka membawa lagi tuntutan yang itu-itu juga...."

"Benar, Tuanku. Mereka mohon bertemu dengan Tuanku."

"Paman, apakah paman tidak tahu bahwa kepalaku hampir pecah memikirkan seribu satu urusan? Buat apa kutambah urusanku dengan menemui keledai-keledai gun.... eh, paman-paman guruku itu? Paling-paling mereka hanya akan menuntut janjiku yang dulu, mendesak- desak aku, mengajak berdebat, sampai muak aku rasanya."

Namun Yong Ceng heran ketika melihat Liong Ke Toh malah tersenyum. "Hamba justru menemukan akal setelah melihat kedatangan mereka. Apakah Tuanku sependapat dengan hamba, bahwa Siau-lim-pai adalah sebuah kelompok persilatan yang kuat, yang bisa digunakan untuk saling membinasakan dengan Hwe-liong-pang?"

Wajah Kaisar itu mendadak jadi cerah. Sambil perlahan menepuk jidatnya sendiri, ia berkata, "Ya, kenapa selama ini tak kupikirkan? Kalau Hwe-liong pang dan Siau-lim-pai bisa saling menghancurkan, bukankah kita akan menghemat tenaga?"

Melihat wajah Yong Ceng mulai cerah, Liong Ke Toh ikut senang pula. "Tuanku, kalau Tuanku berkenan, biarlah hamba yang berbicara dengan pendeta-pendeta tua Siau-lim-si itu, nama Tuanku?"

"Baiklah, paman," sahut Yong Ceng yakin akan kelihaian dan kehalusan pamannya ini dalam bersilat lidah, sehingga lawan bicaranya sering tidak sadar bahwa mereka sudah masuk perangkap.

"Terima kasih atas kepercayaan Tuanku kepada hamba. Dan ada satu hal lagi pikiran hamba..."

"Katakan, paman."

"Tuanku tidak perlu kecewa karena gagal menuduh Pangeran In Te gara-gara lenyapnya bukti dan saksi. Hamba sudah menemukan sebuah akal."

Punggung Yong Ceng bergerak meninggalkan sandaran kursinya, urusan Pangeran In Te inilah yang paling merisaukan pikirannya selama ini.

"Tuanku, bukankah di Jing-hai sedang ada pemberontakan kaum Thai-cin-kau dan Hwe-kau? Nah, kirimkan Ni Keng Giau dan pasukannya ke sana untuk menumpas pemberontakan, beri dia Ceng-se Ciang-kun (Panglima Penakluk wilayah barat). Angkatlah Pangeran In Te sebagai pembantu Ni Keng Giau, dengan dalih bahwa Pangeran In Te sudah berpengalaman pernah berperang di Jing hai. Kepada Ni Keng Giau, kita berikan pesan rahasia agar Pangeran In Te diperlakukan seperti Pak Kiong Liong dalam perang di Hek-liong-kang dulu."

Semakin berserilah wajah Yong Ceng, sementara Liong Ke Toh berkata lagi, "Kalau Pangeran In Te gugur di peperangan, tak seorangpun bisa menyalahkan kita. Yang penting, kelak kita sambut pulang jenazahnya dengan upacara kehormatan yang megah, anugerahkan gelar-gelar anumerta, umumkan hari berkabung untuk seluruh wilayah kekaisaran dan sebagainya. Tapi sepucuk duri dalam daging akan hilang dari tubuh kita."

"Tapi aku sedikit khawatir, paman..."

"Khawatir soal apa?"

"Ni Keng Giau sekarang makin besar kepala, aku tidak mempercayainya lagi. Jangan-jangan nanti dia malah bersekutu dengan Pangeran In Te untuk berbalik menghantam aku?"

"Tuanku, Ni Keng Giau itu berlagak, tetapi aku yakin dia masih bisa kita pergunakan, setidak-tidaknya untuk kali ini saja. Hamba yakin, hamba kenal betul wataknya."

Sesaat lamanya Yong Ceng masih ragu-ragu, namun akhirnya dia mengangguk juga. Rasanya tidak ada jalan lain, tidak ada salahnya coba- coba menyerempet bahaya.

"Kalau begitu, hamba mohon diri. Hamba harus segera berbicara kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-si itu."

"Katakan kepada kedua paman guruku itu, bahwa aku sedang kurang enak badan dan mewakilkan pembicaraan kepada paman."

"Hamba paham, Tuanku. Hamba pamit."

"Silahkan, paman."

Kemudian, dengan lihainya Liong Ke Toh berbicara dengan Pun-khong Hwe-shio dan Pun-seng Hwe-sio di tempat lain. la katakan, pihak pemerintah harus memenuhi tuntutan persamaan derajat Bangsa Han itu dengan cara pelahan-lahan, tidak mendadak. Dikemukakannya bahwa keadaan belum aman betul, masih ada golongan-golongan yang menggoncangkan pemerintahan, sebagai buktinya disebut tentang huru-hara Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai yang belum lama berlalu.

Hwe-liong-pang disebutnya pula sebagai sarang pemberontak, karena berani melindungi Pak Kiong Liong dan Pangeran In Tong, yang malah dijadikan murid Ketua Hwe-liong-pang. Liong Ke Toh juga meyakinkan kedua pendeta tua itu, bahwa Kaisar benar-benar menghargai martabat Bangsa Han, buktinya ialah diangkatnya Ni Keng Giau sebagai Panglima Tertinggi. Tetapi untuk mengangkat martabat Bangsa Han seperti yang diusulkan pendeta- pendeta Siau-lim-pai itu, kata Liong Ke Toh harus sabar, karena situasi politik masih gampang tergoncang.

Para pendeta itu akhirnya mengangguk-angguk percaya, dan menyatakan bisa memaklumi. Bahkan, ketika Liong Ke Toh membujuk agar pihak Siau lim-pai membujuk pihak Hwe-liong-pang agar menghentikan sikap menentangnya, Pun-khong dan Pun-seng Hwe- shin menyanggupi akan menyumbangkan tenaga, agar ketenangan bisa segera tercapai dan janji Kaisar Yong Ceng bisa segera dipenuhi. Ketika malamnya Liong Ke Toh melaporkan hasil pembicaraan itu kepada Yong Ceng, dia dan Yong Ceng sama-sama puas.

Sedang Pun-khong Hwe-shio dan Pun seng Hwe-shio hari itu juga pulang ke Siong-san. Dengan hati gembira, karena mereka merasa hampir membebaskan Bangsa Han dari diskriminasi, tanpa sadar bahwa mereka sebenarnya hanva diperalat oleh Yong Ceng. Keesokan harinya, di hadapan sidang kerajaan, Yong Ceng mengumumkan bahwa pemberontakan di Jing-hai sudah, gawat.

Untuk itu, Ni Keng Giau diangkat menjadi panglima atas lima ratus ribu perajurit untuk memadamkan pemberon takan. Dengan alasan bahwa Ni Keng Giau belum pernah bertempur di Jing-hai, dan harus didampingi seorang yang sudah berpengalaman, maka ditunjuklah Pangeran In Te untuk ikut berangkat ke Jing-hai pula sebagai "penasehat perang".

Dengan wajah berseri, Ni Keng Giau berlutut menerima perintah itu. Pangeran In Te juga berlutut, namun dengan punggung yang dialiri keringat dingin. la akan berada di tengah-tengah sebuah pasukan besar yang hanya tunduk kepada perintah Ni Keng Giau, padahal Ni Keng Giau adalah orangnya Kaisar Yong Ceng. Pangeran In Te merasa, ia bisa berangkat, tapi entah bisa pulang atau tidak? Namun perintah Kaisar tak bisa di tolak.

Selain perintah yang diumumkan secara terbuka di hadapan sidang, Yong Ceng diam-diam juga memberi sepucuk surat rahasia kepada Ni Keng Giau, yang kelak hanya boleh dibuka setelah sampai ke garis depan di Jing-hai.

Kemudian Kim Seng Pa yang sudah lama "tidak terpakai", kini ditugaskan lagi. Secara diam-diam dan terpisah, Kim Seng Pa dan Toh Jiat Hong diperintah ikut ke Jing-hai untuk mengawasi gerak-gerik Ni Keng Giau dan kalau perlu boleh "mengambil tindakan semestinya". Alangkah gembiranya Kim Seng Pa mendapat kepercayaan itu, ia bersumpah akan menjalankan tugas sebaik baiknya, dan mulai saat itu ia tidak minum arak lagi.

Tetapi dasar Yong Ceng, ia juga kurang mempercayai Kim Seng Pa. Maka disuruhnya lima orang murid Biau Beng Lama untuk ikut pula ke Jing-hai, tugasnya. mengawasi Kim Seng Pa dan Toh Jiat Hong, dan dibekali pula pesan "kalau perlu boleh mengambil tindakan semestinya".

Begitulah, Pangeran In Te diawasi Ni Keng Giau, Ni Keng Giau diawasi Kim Seng Pa. Kim Seng Pa diawasi murid-murid Biau Beng Lama, dan murid-murid Biau Beng Lama di awasi entah siapa lagi. Semuanya, kecuali Pangeran In Te, mendapat pesan "kalau perlu boleh bertindak semestinya".

Setelah suatu hari diadakan upacara Sembahyang Bendera (pai-ki) dan ti-an-ciang (pembagian tugas untuk para panglima bawahan) oleh Ni Keng Giau sendiri, berangkatlah pasukan besar itu dengan megahnya menuju Jing-hai.

Di bawah payung kuning keemasan, Yong Ceng menyaksikan berangkatnya pasukan itu dari atas tembok kota. Di sampingnya, adalah Ibusuri Tek Hai yang ikut menyaksikan, sebab anak kesayangannya, Pangeran In Te, berada dalam barisan itu.

"Mudah-mudahan kau selamat dan pulang kembali dengan membawa kemenangan seperti dulu, anakku....." Ibusuri Tek Huai berbisik kepada angin. Namun sang angin membawa bisikannya ke kuping Yong Ceng.

Yong Ceng menyeringai sambil berkata, "Jangan berkecil hati, ibunda. Kalau Adinda In Te gugur, pasti jenazahnya akan disambut dengan upacara kehormatan dan mendapat gelar gelar."

Kata-kata selanjutnya tidak terdengar lagi oleh Ibusuri Tek Huai, sebab ia kemudian terkulai pingsan. Para dayang-dayang pengiringnya jadi repot mengusungnya ke atas joli.

* * * *

Tiau im-hong, salah satu dari dua 'belas puncak pegunungan Bu-san yang membentengi propinsi Se-cuan. Aula di markas Hwe-liong-pang dalam keadaan, sunyi dan khidmat, biarpun beribu-ribu anggota Hwe-liong-pang berjubel-jubel di dalamnya. Asap dupa dan kayu gaharu melingkupi seluruh ruangan, sebuah altar besar penuh sajian sembah yang akan digunakan di ruangan itu. Di situ sedang dielenggarakan upacara sembahyang untuk memperingati arwah anggota-anggota Hwe-liong-pang yang tewas.

Semua kepala tertunduk, mengenang teman-teman yang gugur, terutama Ji Han Lim yang terbukti kepahlawanannya, biarpun tadinya disangka pengkhianat yang menakluk kepada Yong Ceng. Pada saat yang sama, di kaki gunung nampak dua orang pejalan kaki sedang mendaki ke atas. Yang satu adalah Hui Hai Hwe shio si Lam-ki Tong-cu (pemimpin regu bendera biru) yang baru pulang dari perjalanan. Teman seperjalanannya adalah Thia Hou, utusan Pangeran In Te yang membawa surat untuk Ketua Hwe-liong-pang.

Biarpun tubuh Hui-hai Hwe-shio gemuk seperti gentong, tapi ia melangkah mendaki lereng dengan langkah ringan saja, sedang Thia Hou yang ramping malahan terengah-engah dan mandi keringat. Diam-diam Thia Hou membatin. "orang-orang Hwe-liong-pang memang hebat hebat. Jagoan yang setingkat dengan si gendut pemabuk ini entah berapa banyak nya di antara mereka."

Setelah dekat dengan bangunan markas Hwe-liong-pang, hidung mereka mencium bau asap dupa dan bakaran kayu wangi. Ketika itu, tokoh tokoh Hwe-liong pang satu persatu maju ke depan untuk memberi hormat dan menancapkan dupa-biting di depan papan abu yang bertulis kan pama-nama mereka yang tewas.

Ketika tiba giliran Kiong Wan Peng yang kini giginya ompong dan kupingnya tuli sebelah, akibat hajaran di penjara Yong Ceng, mendapat giliran menancapkan dupa di depan papan abu bertuliskan nama Ji Han Lim, tiba-tiba ia menangis. Maklum, ia bersahabat erat dengan Ji Han Lim, namun ia pernah meludahi muka Ji Han Lim di Taman Cun-hoa di Pak-khia. Kini ia menyesali sikapnya , dan menyesali pula karena tubuh Ji Han Lim tak bisa dibawa pulang karena dihancurkan oleh Yong Ceng.

Tangisan itu segera "menular" kepada banyak orann Hwe-liong-pang lainnya. Lalu kesedihan berubah menjadi kemarahan, sumpah-serapah mengutuk Yong Ceng mulai terdengar, diselingi tekad untuk menumbangkan si Kaisar lalim. Ketika itu, masuklah Hui-hai Hwe-shio dan Thia Hou, yang sempat ikut memberi hormat di depan altar.

Thia Hou tercengang ketika diperkenalkan kepada tokoh-tokoh Hwe-lion-pang, ia mendapati Tok Koh Lui sebagai Tong-cu dari Hui-Liong-tong (Regu Naga Terbang), regu ke sembilan dalam Hwe-liong-pang yang khusus berlatih untuk pertempuran berkuda. Thia Hou dan Tok Koh Lui yang sama-sama bekas Jian- hu-thio dalam pasukan Hui-liong-kun itu-pun berpelukan. Lalu Thia Hou memberi hormat secara perajurit kepada Pak Ki-ong Liong, biarpun keduanya Sudah sama sama menjadi “orang preman”.

Tong Lam Hou sendiri menerima surat dari Pangeran In Te, namun tidak langsung dibuka di hadapan anak buahnya yang tengah marah itu. Kemudian Thia Hou menanyakan apakah ayahnya, Thia Kong-kong, sudah tiba di Tiau-im-hong atau belum? Ketika dijawab bahwa ayahnya belum tiba ia menjadi cemas. Dengan seekor kuda pinjaman dari Hwe-liong-pang, ia langsung berangkat kembali ke Pak-khia untuk mencari kabar tentang nasib ayahnya. Dua orang anggauta Hui-liong-tong diperintahkan Tong Lam Hou untuk menemani perjalanannya.

Malam harinya , barulah Tong Lam Hou membaca surat Pangeran In Te itu. Di hadapan Pak Kiong Liong dan tokoh-tokoh tinggi Hwe- liong-pang yang terbatas jumlahnya, dalam sebuah ruang kecil tertutup. Isi surat hanyalah peringatan Pangeran In Te agai Hwe-liong-pang waspada, karena Kaisar Yong Ceng sudah memutuskan untuk menumpas Hwe-liong-pang.

Di bagian akhir suratnya, In Te menitipkan salam buat Pak Kiong Liong, dan menyatakan minta maaf karena dulu telah mengabaikan nasehat- nasehat Pak Kiong Liong, dan akibatnya sekarang Pangeran In Te harus menjadi "burung dalam sangkar" di bangsal Leng-goat- kiong.

Mendengar bagian akhir surat itu dibacakan, Pak Kiong Liong menarik napas sambil berkata, "Aku sudah lama memaafkannya."

Sementara itu, Pangeran In Tong sudah mengepalkan tinjunya dan berkata, "Kalau Kakanda In Ceng ingin menumpas kita, kita sambut tantangannya. Kita tidak boleh bersikap lemah, bukankah begitu, Suhu?"

Beberapa Tong-cu segera bersuara mendukung pernyataan In Tong itu. Tetapi Ketua Hwe-liong-pang tak terpengaruh oleh suasana kemarahan itu. Sambil melipat surat dan memasukkan kekantong bajunya, ia berkata datar, "Harus dipikirkan masak-masak segala tindakan kita, jangan menuruti kemarahan saja."

Perang terbuka memang tidak disukai Tong Lam Hou. Di masa mudanya, ia adalah perajurit yang sudah kenyang melihat kekejaman perang. Karena itu, ia berkata, "Bukan kita yang mengingini perang, namun kita juga berhak membela diri. Karena itu, aku perintahkan kepada semua anggota, bahwa kita hanya bersikap untuk membela diri, namun kularang keras siapapun untuk bertindak lancang diluar perintahku, apalagi menyerang lebih dulu. Paham?"

"Paham," sahut para Tong-cu agak kecewa. "Sebarkan perintahku kepada setiap anggota!"

Yang paling kecewa adalah In Tong. Sebenarnya dia ingin keributan, supaya ada peluang untuk mewujudkan ambisi pribadinya, yang kelak hasilnya akan dinikmatinya sendiri pula. Tetapi diapun tidak mau membantah pesan ketuanya sekaligus gurunya itu.

Hanya Pak Kiong Liong yang diam-diam setuju dan dapat memahami pendirian Ketua Hwe-liong-pang, sahabatnya sejak masih muda itu. Yang dimusuhi Tong Lam Hou bukan Kerajaan Manchu, melainkan kelaliman Yong Ceng pribadi, karena itulah Tong Lam Hou tetap menghindari pertentangan terbuka dengan pihak kerajaan, kecuali untuk mempertahankan Hwe-liong-pang. Ibaratnya, Tong Lam Hou ingin mencongkel sebuah batu bata yang rusak dari sebuah tembok, tetapi jangan sampai merusak temboknya.

Hari hari berikutnya, biarpun perintah Tong Lam Hou hanyalah "bersiap-siap bertahan tanpa menyerang lebih dulu," tapi suasana di Tiau-im-hong sudah mirip suasana perang. Di mana-mana nampak anggota-anggota Hwe-liong-pang berlatih silat dengan giatnya. Semuanya siap menantikan terompet perang yang akan ditiup dari pihak Yong Ceng.

Tak terduga, tanda-tanda serangan pihak kerajaan belum terlihat sama sekali, pihak Hwe-liong-pang malah sudah mendapatkan musuh yang tadinya tidak diduga sama sekali. Siau-lim-pai. Perguruan terkenal yang menjadi sumber nya pendekar-pendekar berbudi luhur, yang selama ini tidak bermusuhan dengan Hwe-liong-pang.

Hari itu ditandai dengan datangnya dua orang berpakaian hitam dan bersabuk biru, tanda anggota Hwe-liong-pang dari regu Bendera Biru, pimpinan Hui Hai Hwe-shio. Wajah dan pakaian mereka penuh debu ketika tiba di Tiau-im-hong, sedangkan sikap mereka tegang dan tergesa-gesa.

Tiba dihadapan Ketua Hwe-liong-pang, keduanya melapor, "Pang-cu, belasan orang anggota kita di kota Yu-pin telah dibunuh orang, berikut semua sanak keluarga mereka. Jumlah korban delapan puluh sembilan j iwa, termasuk wanita, orang tua dan anak-anak."

Mendengar itu, betapapun sabarnya Tong Lam Hou, ia menjadi marah juga. "Keparat! Tak kusangka Yong Ceng demikian keji turun tandan, sampai wanita dan anak-anak pun dibantai."

Kedua anggota Hwe-liong-pang yang melaporkan itu bertukar pandangan sejenak, lalu salah seorang berkata., "Pang-cu, yang membunuh teman-teman kami itu bukanlah orang-orangnya Yong Ceng."

Keruan Tong Lam Hou tercengang. "Lalu siapa?"

"Para pendeta Siauw-lim-pai."

Kali ini Tong Lam Hou benar-benar kaget. Sejak lama dia memang tahu bahwa pihak Siau-lim-pai berselisih paham dengan Hwe-liong- pang tentang ahli waris tahta. Namun hubungan selama ini tetap baik, sesepuh Siau-lim-pai, Pun bu Hwe-shio, juga tetap menjadi sahabat baik Tong Lam Hou. Tak terduga hari itu mendengar kabar macam itu.

Ketika berita pembunuhan di Yu-pin itu terdengar anggaota-anggota Hwe liong-pang lainnya, kemarahan segera menjalar seperti api di onggokan jerami. Para Tong-cu berbondong- bondong menghadap Tong Lam Hou, dipelopori Pangeran In Tong, minta ijin untuk mengambil tindakan balasan ke Siong-san.

“Siau-lim-pai memihak Kakanda Yong Ceng, mentang-mentang Kakanda Yong Ceng adalah murid Pun-bu Hwe-shio!" kata In Tong. "Perbuatan mereka berarti menantang kita, pantas kalau kita gempur!"

Namun Tong Lam Hou tidak menuruti usul itu, tidak peduli para Tong-cu menggerutu kecewa. Hari itu juga, ia menyuruh Hu Se Hiong, Ko Seng Hwe-shio serta anaknya sendiri, Tong Gin Yan, untuk menyelidiki ke kota Yun-pin guna mengumpulkan bukti-bukti lebih meyakin kan. la tidak mau gegabah mengambil sikap terhadap Siau-lim-pai yang merupakan perguruan terhormat.

Namun sudah banyak anggota Hwe-liong- pang yang tak, sabar lagi, apalagi karena mereka dihasut oleh Pangeran In Tong, "Rupanya suhu sudah pikun karena usia tua. Bukti sudah jelas, masih mau mencari bukti yang bagaimana lagi? Buang-buang waktu dan tenaga saja.

"Pang-cu terlalu berhati-hati." sahut Hui Hai Hwe-shio yang juga kurang puas. “Aku khawatir, kalau kita terlalu hati-hati, nantinya akan terlambat bertindak..."

Demikianlah, sambil berperanan sebagai seorang murid yanq berbakti terhadap Tong Lam Hou, dan juga bersemangat membela Hwe- liong-pang. In Tong juga menyebarkan ketidak- puasan. di antara orang-orang Hwe-liong-pang terhadap kepemimpinan Tong Lam Hou.

Tahap pertama rencana In Tong berhasil. Anggota-anggota Hwe-liong-pang mulai banyak yang berkasak-kusuk tentang “kelambanan bertindak” Ketua mereka. lalu Tong Gin Yan juga disebut-sebut "lebih cocok menjadi pertapa suci di puncak gunung dari pada seorang pejuang Hwe-liong-pang”.

Lalu tentang diri In Tong, mulai banyak yang menganggap sebagai "calon pemimpin masa depan" atau "pejuang gigih yang rendah hati biarpun berdarah bangsawan” dan sanjungan- sanjungan lainnya. In Tong puas, la yakin, lambat laun Hwe-liong-pang akan tergenggam olehnya, dan dijadikan modal pertama untuk memupuk kekuatan lebih lanjut, untuk kelak digunakan merebut tahta. Tapi ia menjalankan rencananya dengan hati-hati, tidak tergesa-gesa, setahap demi setahap.

“Kalau rencanaku berhasil, sepuluh tahun lagi pun belum terlambat," pikirnya. “Menjadi Kaisar pada usia limapuluh tahun rasanya tidaklah terlalu lambat.“

Beberapa hari kemudian Tong Gin Yan, Hu Se Hiong dan Ko Seng Hwe-shioi dalang dari Yu-pin untuk melaporkan penyelidikan mereka. Di hadapan Ketua Hwe-liong-pang dan para Tong-cu, Tong Gin Yan berkata, “Ayah, menurut beberapa saksi yang lolos dari pembantaian para pembunuh itu tidak berjubah pendeta melainkan berpakaian hitam dan berkedok muka. Tapi Kelihatan mereka berkepala gundul, dan semuanya bersenjata toya yang dimainkan dalam Hok-mo-tung-hoat (Silat Toya Penakluk Iblis).”

Tong Lam Hou mengerutkan alis, ia masih ragu-ragu orang Siau-lim-pai melakukan perbuatan terkutuk itu. Sekedar kepala gundul dan permainan silat Hok-mo-lung-hoat rasanya bukan bukti yang terlalu meyakinkan. Sebaliknya buat Hek Ki Tong-cu (kepala regu bendera hitam) Oh Kian Keng yang berjulukan Song-bun-siau (Seruling Berkabung), hal itu sudah sangat meyakinkan. Suaranya kalem namun nyata menahan kemarahan,

"Kepala gundul dan memainkan Hok-mo-tung-hoat? Tuduhan ini memberatkan Siau-lim-pai. Kita harus segera bertindak, jangan sampai lebih dulu dipereteli dengan licik oleh pihak Siau-lim-pai."

Jai-k i Tong-cu (kepala regu bendera coklat) Su-ma Hong yang berjulukan Hui-hek-miao (Kucing Hitam Terbang) lalu menyambung "Biasanya para sesepuh Siau-lim-pai bersikap adil, namun dalam urusan-urusan yang tidak menyangkut murid-murid mereka sendiri. Kalau sudah menyangkut orang-orang sendiri, mana bisa bersikap adil lagi? Mereka pasti dendam, karena saudara Jin Han Lim berusaha membunuh Yong Ceng, murid harapan mereka."

Ci-ki Tong-cu (kepala regu bendera ungu) Lu Kan San yang bertubuh tinggi besar dan berjuluk Hui-lo-sat (Raksasa Terbang) itupun berseru kepada Oh Kian Keng, "Saudara Oh, agaknya serulingmu harus dibunyikan lagi."

Memaag Oh-Kian Keng punya kebiasaan, kalau hendak membunuh musuh dia lebih dulu memperdengarkan "lagu pengantar arwah" dengan serulingnya itu. Itulah asal mula julukannya sebagai Song-bun-siau.

Sementara itu, Tong Lam Hou tidak membiarkan anak buahnya menjadi kacau karena mengemukakan pendapat sendiri-sendiri. la mengangkat tangannya, menyuruh mereka diam, dan suasana menjadi sunyi seketika. “Dengar perintahku, jangan bertindak sembarangan sehingga menimbulkan banjir darah dunia persilatan. Sadarilah bahwa Hwe- liong-pang punya banyak teman, begitu juga Siau-lim-pai, kalau keduanya bentrok, akan banyak korban yang menumpahkan darahnya dengan sia-sia."

"Jadi, kita biarkan orang-orang kita digoroki lehernya begitu saja, suhu?" tanya In Tong dengan berani, karena merasa akan mendapat banyak dukungan dari para Tong-cu.

"Kita harus membalas!" kata Hui Hai Hwe-shio, didukung para Tong-cu lainnya.

"Kita akan bertindak, tetapi persoalannya harus.jelas lebih dulu!" suara Ketua Hwe-liong-pang mehgatasi suara ribut. "Besok, aku sendiri akan berangkat ke Siong-san untuk menemui Pun bu Hwe-shio, minta agar dia menindak murid-murid Siau-lim-pai yang melakukan kekejaman di Yu-pin. Aku percaya, Siau-lim-pai sebagai perguruan tua yang masih memiliki peraturan keras atas murid-muridnya yang menyeleweng!"

"Suhu, itu hanya membuang-buang waktu," bantah ln Tong. "Seperti kata saudara Su-ma Hong tadi. Siau-lim-pai sulit diharapkan bertindak adil, sebab Yong Ceng adalah muridnya, mereka akan menutup mata apakah kakanda Yong Ceng seorang jahat atau seorang baik."

"In Tong, buang waktu atau tidak, aku tetap harus berbicara baik-baik lebih dulu dengan Pun-bu Hwe-shio," sahut Tong Lam Hou tegas. "Ini keputusananku. Bubarlah kalian."

Para Tong-cu dengan rasa kesal dalam hati. "Kita harus bersabar sampai kapan?" gerutu Lu Kan San setelah tiba di luar ruangan.

"Kita tunggu hasil pembicaraan Pang-cu dengan Pun-bu Hwe-shio," kata Siang Koan Long meredakan ketidak sabaran rekan- rekannya. "Lagipula, musuh kita yang sebenarnya adalah Yong Ceng, bukan Siau-lim- pai."

"Tapi sekarang Yong Ceng dan Siu-lim-pai adalah sama," Oh Kian Keng bersungut-sungut. "Karena Siau-Iim-pai membabi buta membela muridnya tanpa pandang benar atau salah. Sungguh sayang keharuman nama Siau-lim-pai selama ratusan tahun lebih dinodai oleh angkatan yang sekarang."

Meskipun gerutuan dan ketidak sabaran menjalar di mana-mana, tetapi orang-orang Hwe-liong-pang tetap mematuhi pesan Ketua mereka untuk tidak bertindak di luar perintah. Keesokan harinya, semua Tong-cu berkumpul di depan pintu gerbang untuk mengantarkan keberangkatan Tong Lam Hou ke Siong-san, yang akan ditemani Pak Kiong Liong. Dua ekor kuda sudah disiapkan.

Untuk menunjukkan diri sebagai murid yang baik, In Tong memberi hormat kepada Tong Lam Hou sambil berkata, "Selamat jalan, Suhu. Mudah-mudahan perjalanan Suhu dan Paman Pak Kiong membuahkan hasil yang baik."

Sesaat Pak Kiong Liong menatap tajam ke arah In Tong. Bekas jenderal yang hampir seumur hidupnya di pusat kekuasaan itu tahu, bahwa In Tong adalah sumber dari segala gerutu dan ketidak-puasan yang semakin menghebat diantara anggota Hwe-liong-pang. In Tong lah "mata air” dari "arus bawah tanah yang tidak puas kepada Ketua Hwe-liong pang, dan Pak Kiong Liong tahu apa tujuan In Tong berbuat demikian.

Pak Kiong Liong juga sadar, selama Tong Lam Hou pergi, itu akan merupakan kesempatan terbaik bagi In Tong untuk lebih mempengaruhi anggota-anggota Hwe-liong-pang agar semakin menentang Ketua mereka sendiri. Namun Pak Kiong Liong takkan membiarkan itu terjadi. Karena itu, Pak Kiong Liong tiba-tiba berkata kepada Tong Lam Hou,

"A-hou, sebagai seorang tokoh persilatan terkenal, kau belum mengumumkan bahwa kau telah menerima seorang murid. Bagaimana kalau kali ini kita ajak Pangeran In Tong ke Siong-an, untuk diperkenalkan kepada tokoh-tokoh Siau-lim-pai agar pergaulannya bertambah luas?"

Keruan In Tong kaget mendengar itu, apakah pamannya itu sudah dapat membaca isi hatinya? Buru-buru ia menjawab dengan tergagap-gagap, "Jangan paman, ilmuku masih terlalu rendah untuk diperkenalkan dengan tokoh-tokoh besar itu. Aku khawatir malah akan merusak nama baik Suhu dan Hwe-liong-pang."

"Pangeran tidak usah berpikir sejauh itu," kata Pak Kiong Liong sambil tertawa. "Ikut sajalah, Pangeran. Pangeran takkan mendapat pengalaman berharga kalau terus mengeram di Tiau-im-hong ini. Bukankah begitu, A-hou?"

Dengan ketajaman perasaannya, samar-samar Tong Lam Hou merasa bahwa Pak Kiong Liong menyembunyikan maksud tertentu di balik kata-katanya itu, tapi entah maksud apa. "Benar, kau ikut kami, In Tong," akhirnya Tong Lam Hou berkata kepada muridnya. Dan kepada seorang anggota Hwe-liong-pang, ia berkata, “Sediakan satu kuda lagi!"

In Tong jadi kebingungan mencari alasan penolakan, la tidak mau kehilangan peluang emas untuk memperkuat pengaruhnya sendiri dan melemahkan pengaruh Ketua Hwe-liong-pang.Tengah dia kebingungan, seekor kuda lagi sudah dituntun keluar oleh anggota Hwe-liong pang tadi. Namun ia masih mencoba untuk mengelak juga, "Kalau aku harus ikut, tentu Suhu dan Paman Pak Kiong Liong akan menunggu lama karena aku belum berkemas-kemas sama sekali. Lebih baik aku tidak....."

Tapi Pak Kiong Liong terus menyudutkannya tak kenal ampun, "Ah, berapa lamanya mempersiapkan beberapa lembar pakaian? Cepatlah Pangeran berkemas..."

Akhirnya sadarlah In Tong bahwa Pak Kiong Liong sudah mencurigainya. Kalau terus menolak, pasti pamannya itu akan semakin curiga. Dalam hati dia mengutuk, tapi wajahnya pura-pura gembira sambil berkata, "Kalau begitu baiklah. Terima kasih untuk kesempatan bagus ini. Harap suhu dan paman menunggu sebentar, aku akan berkemas-kemas."

Orang-orang Hwe-liong-pang menjadi heran melihat In Tong yang salah-tingkah itu. Mulutnya mengucapkan "terima kasih untuk kesempatan bagus", namun mukanya kok seperti pesakitan yang sedang digiring ke tiang gantungan?

Sementara Pak Kiong Liong pun mengeluh dalam hatinya, “Tadinya aku kira dia sudah jera dengan ambisinya yang berlebihan, setelah ia mendekam dua tahun di penjaranya Yong Ceng. Ternyata nafsunya untuk merebut tahta belum juga padam. Aku harus memberinya peringatan-peringatan halus, agar ia membuang jauh-jauh pikiran sesatnya itu.

Setelah In Tong keluar kembali dengan bungkusan bekalnya, dan ketiganya naik di atas kuda, tiba-tiba Pak Kiong Liong berkata lagi, “A-hou, tidakkah kau akan meninggalkan pesan- pesan kepa da Yan-ji atau A-eng?“

Sahut Tong Lam Hou, “Kemarin malam sudah kubicarakan. Yan-jin (anak Yan) akan memimpin Hwe-liong-pang selama aku pergi. Dalam mengambil keputusan-keputusan penting, ia harus berunding dengan para Hiang-cu dan Tong cu."

“Baiklah, akupun ingin berpesan kepadanya.” Lalu Pak Kiong Liong melambai kepada menantunya itu untuk menyuruhnya mendekat. Suara Pak Kiong Liong sengaja agak dikeraskan supaya terdengar oleh In Tong, "Yan-ji, selama memimpin Hwe-liong-pang, kau harus hati-hati. Yang berbahaya bukanlah golok atau tombak yang menyerang dari depan, tetapi....."

"Apakah itu Gak-hu (ayah mertua?"

Ketika itu In Tong sedang melirik ke arah Pak Kiong Liong, dan Pak Kiong Liong juga meliriknya, sambil berkata kepada Tong Gin Yan, "Desas-desus dan bisikan menghasut yang disebarkan secara pengecut, itulah yang lebih berbahaya. Si penyebar hasutan itu ingin me manfaatkan orang banyak bagi kepentingan pribadinya. Paham?"

Tong Gin Yan terkejut, paham maksudnya, namun tidak tahu ditujukan kepada siapa “sentilan" itu. Tapi ia menjawab juga, "Paham, Gak-hu, aku akan berhati-hati..."

Yang berkeringat dingin mendengar tanya jawab itu tentu saja ln Tong sendiri, la sadar bahwa pamannya masih memberi "peringatan halus" kepadanya, belum sampai "peringatan kasar". Agaknya sang paman masih ingin memberinya kesempatan untuk mengubah pikirannya.

Bukannya berubah pikiran, ln Tong diam-diam malah berkata dalam hati , "Awas, kau setan tua. Tunggulah ajalmu....."

Kemudian ketiga orang itupun berangkat meninggalkan Tiau-im-hong. Di lereng gunung, Tong Gin Yan menatap kepergian ayahnya itu dengan firasat kurang enak. Semacam perasaan bahwa ia takkan lagi melihat ayahnya.

"Ah, aku rupanya terlalu dipengaruhi suasana tegang belakangan ini, aku terlalu berpikir yang buruk-buruk ia mencoba menghibur hatinya sendiri. "Dengan latihannya yang tekun selama ini, ayah boleh dianggap sulit ada tandingannya lagi di dunia persilatan. Bahkan Gak-hu dan Kim Seng Pa rasanya juga masih setingkat dibawahnya. Ayah takkan gampang dicelakai orang...."

Mati-matian Tong Gin Yan memerangi perasaan itu. Namun, beratus-ratus kali ia mengantar ayahnya bepergian, perasaan macam itu belum pernah muncul di hatinya.

Sementara itu, di kejauhan, Tong Lam Hou berkata kepada kedua teman seperjalanannya, "Sebaiknya kita sekali lagi periksa ke kota Yu pin. Mungkin ada jejak para pembunuh yang terlewati tidak diperiksa oleh Yan-jin dan kedua Hiang-cu..."

* * * *

Pun-khong Hwe-shio, Pun-seng Hwe-shio, serta lima pendeta angkatan di bawah mereka yang namanya memakai huruf "Ci" juga meninggalkan Siong-san untuk menuju Tiau-im-hong. Mereka hendak memenuhi permintaan Yong-ceng lewat Liong Ke Toh, agar pihak Siau- lim-si segera membujuk Hwe-liong-pang agar segera "menghentikan pengacauan" supaya Yong Ceng dapat segera "memenuhi janji menghapuskan diskriminasi terhadap bangsa Han.

Ketika Pun-khong Hwesio melangkah sampai ke pinggang gunung, tiba-tiba diapun digerakkan oleh perasaan aneh, dan tanpa sadar ia menghentikan langkahnya untuk menengok ke belakang. Dipandangnya wihara Siau-lim yang megah itu, tenang dilingkari pohon-pohon ce mara yang melambai-lambai.

Namun Pun-khong Hwe-shio dijalari perasaan aneh, seakan itulah saat terakhir ia bisa melihat kuil itu. Melihat sikap kakak seperguruannya yang agak aneh, Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah hitam itu merasa heran, lalu bertanya, "Kenapa, Suheng? Dari tadi Suheng berkali-kali menengok ke belakang. Ada kah sesuatu yang kelupaan dibawa, Suheng?"

Sahut Pun-khong Hwesio terus terang, "Aku punya firasat, seakan-akan kepergianku kali ini takkan dapat lagi melihat kuil kita yang tercinta..."

Baik Pun-seng Hwesio maupun lima pendeta lainnya terkesiap mendengarnya. Mereka tahu betapa tajam pengamatan batin Pun-khong Hwe sio, sehingga kalau sampai berkata demikian, tentu getaran batinnya itu bukan sekedar perasaan sambil lalu. "Suheng, benarkah itu?" tanya Pun seng Hwesio dengan wajah berduka.

Pun-khong Hwesio tertawa melihat wajah duka dari teman-teman seperjalanannya itu. "Kenapa kalian bersikap seperti orang-orang yang belum memahami agama saja? Masih terbelenggu ikatan-ikatan duniawi? Kalau aku segera dibebaskan dari dunia ini, seharusnya kalian mengucapkan selamat kepadaku,."

Pun-seng Hwesio dan lima pendeta lainnya bersama-sama merangkap tangan sambil menggumamkan "Omitohud", tanpa diucapkan pun mereka sama-sama menafsirkan bahwa firasat Pun-khong Hwe shio itu cuma berarti satu m a c a m , yaitu Pun khong Hwesio akan gugur atau meninggal wajar dalam perjalanan itu.

Begitu besar kecintaan pendeta-pendeta itu terhadap kuil tempat mereka menuntut Ilmu silat dan ilmu agama, sehingga ia hanya berani membayangkan kehancuran jiwa-raga sendiri, namun tidak berani membayangkan kehancuran Siau-lim-si. Itulah sebabnya mereka hanya punya satu tafsiran atas firasat Pun-khong Hwesio itu.

Begitulah, mereka melanjutkan perjalanan ke Tiau-im-hong dengan berbekal perasaan macam itu. Mereka membayangkan, di Tiau-im-hong mereka takkan disambut dengan senyum ramah, melainkan dengan ribuan ujung senjata, dan barangkali saat itulah firasat Pun-khong Hwesio akan menjadi kenyataan.

Perjalanan lancer dan pada hari yang kesekian, mereka masuk kota Yu-pin. Di pintu gerbang kota Yu-pin yang ramai, rombongan Siau-lim-si itu berpapasan dengan sekelompok orang berpakaian pendeta pula, berkepala gundul dan memanggul toya. Namun anehnya, dikepala mereka tidak ada sembilan titik bekas sulutan dupa, seperti para hwe-sio umumnya. Ketika berpapasan dengan pendeta-pendeta Siau-lim-pai, orang-orang Itu memberi hormat dengan gugup dan tergesa-gesa, lalu bergegas keluar kota.

Pun-khong Hwesio dan rombongannya tidak terlalu menggubris orang-orang itu. Yang penting ia harus segera sampai di Tiau-im-hong untuk berunding dengan pihak Hwe-liong-pang. Membujuk supaya mereka meninggalkan politik menentang Kaisar.

Di dalam kota Yu-pin, rombongan Pun-khong Hwesio berhasil mendapatkan tempat bermalam di sebuah kuil milik Gobi-pai. Selain seagama, orang-orang Gobi-pai juga sealiran silat dengan orang-orang Siau-lim-pai, sama- sama berasal dari Tat-mo Cou-su. Karena itu, Bu-teng Hwesio, pemimpin wihara itu, dengan gembira menyambut tujuh tamunya dari Siau-lim-pai itu.

Malam harinya, ketika Pun-khong Hweshio berbincang-bincang berdua saja dengan Bu-teng Hweshio di ruangan belakang, Bu-teng Hweshio berkata, "Susiok aku merasa agak heran bahwa belakangan ini kota Yu-pin yang kecil ini tiba-tiba banyak dikunjungi para Suheng dari Siau-lim-pai..."

Pun-khong Hweshio merasa heran. "Rasanya, kami tidak memerintahkan rombongan lain, hanya kami bertujuh inilah yang sedang melakukan perjalanan ke Tiau-im-hong. Apakah benar ada rombongan lain dari kuil kami?"

"Susiok, beberapa hari yang lalu di kota ini muncul sekelompok pendeta yang mengaku dari Siau-lim-si. Anehnya mereka tidak berkunjung kemari, padahal mereka seharusnya mengenal aku sebab selama ini Siau-lim-pai dan Go-bi-pai bersahabat baik. Mereka malah meng inap di Beng-an-lu, penginapan mewah di pusat kota yang...yang ..."

Bu-teng Hweshio bimbang melanjutkan kata-katanya,khawatir akan menyinggung saudara-saudara seagama dari Siau-lim-pai. Tapi Pun-khong Hweshio mendesak, "Ada yang nampak kurang beres? Katakan saja terus terang. Malam harinya, ketika Pun-khong hwe-shio berbincang-bincang berdua saja dengan Bu-teng Hwe-shio di ruangan belakang Bu-teng Hwe-shio berkata,

"Susiok, aku merasa agak heran bahwa belakangan ini kota Yu-pin yang kecil ini tiba-tiba banyak dikunjungi para suhong dari Siau-lim-pai. Terpaksa Bu-teng hweshio melanjutkan keterangnnya, "Aku mohon maaf kalau keteranganku menyinggung pihak Siau lim-pai. Penginapan Beng-an-lu terkenal dengan perempuan-perempuan penghiburnya yang cantik-cantik, kabarnya pandai melayani lelaki..."

Sengaja Bu-teng Hwe-shio memberi tekanan pada kata-kata "kabarnya" itu, sebab kalau tidak, ia khawatir ditanyai oleh Pun-khong Hweshio, "Kenapa kau tahu? Apa pernah kesana?"

Sementara Bu-teng Hweshio berkata terus, "...dan maaf sekali lagi, Susiok, Mereka berkelakuan tidak seperti pendeta, makan- makanan hewani dengan lahap, menenggak arak..."

Alis Pun-khong Hweshio berkerut, la lalu ingat sekelompok "pendeta" yang tadi berpapasan dengan rombongannya di dekat pintu gerbang kota. "Apakah di ubun ubun mereka tidak ada sembilan bekas sulutan dupa?"

"Bagaimana Su-siok sudah mengetahui nya?" Secara ringkas Pun khong Hwe-shio bercerita tentang rombongan yang ditemui tadi. Sementara perasaannya mulai tidak enak, para pendeta gadungan itu tentunya telah melakukan bukan sesuatu yang baik.

Sedangkan Bu-teng Hwe-shio tidak memberi keterangan setengah-setengah, “Lalu malam harinya terjadilah peristiwa hebat. Para pendeta itu menyerbu markas cabang Hwe-liong-pang di kota ini, dan menumpas delapan puluh sembilan jiwa orang Hwe-liong-pang beserta seluruh anggota keluarga mereka...

Kali ini Pun-khong hweshio bukan cuma mengerutkan alis, melainkan tubuhnya sampai bergetar karena goncangan perasaannya. Itu bukan soal ringan, bisa membuka permusuhah terbuka dengan pihak Hwe-liong-pang, yang kemungkinan besar akan dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang akan mengail diair yang keruh.

“Atas peristiwa itu, apakah ada tindakan dari markas pusat Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong?“

“Mereka mengirim tiga orang penyelidik, salah satu diantaranya malahan putera Tong Pang-cu sendiri. Rupanya pihak Hwe-liong-pang tidak mau gegabah ambil tindakan. Tapi patut disayangkan….”

“Bagaimana?”

“Para penyelidik Hwe-liong-pang itu agaknya juga berkesimpulan bahwa pihak Siau-lim-pai patut dicurigai. Sampai hari ini memang belum ada tindakan lain lagi. Tapi entah bagaimana sikap ketua Hwe-liong-pang kalau mendengar laporan mereka?”

“ini pasti didalangi pihak ketiga, yang tidak ingin melihat terwujudnya perdamaian”, geram Pun-khong Hwe-shio. Dalam keadaan marah seperti itu ia tidak Nampak seperti seorang pendeta, melainkan sekedar seorang lelaki tua berkepala gundul dan berjubah abu-abu. “Ini pasti ulang orang-orang Pangeran In Te yang khawatir kalau sampai Hwe-liong-pang terbujuk untuk berdamai dengan pemerintah kerajaan. Pihak Pangeran In Te khawatir kehilangan pendukung yang kuat.”

Sampai detik itupun Pun-khong Hwe-shio tetap tidak berprasangka sedikitpun kepada Yong Ceng, sebaliknya malah menimpakan kesalahan kepundak Pangeran In Te. Tidak mungkin Yong Ceng, pikirnya. Bukankah malah Yong Ceng yang menyuruhnya ke Tiau-im-hong karena katanya “rindu perdamaian"? Dalam anggapan Pun-khong Hweshio, alangkah mulianya hati Yong Ceng, dan alangkah busuk nya hati Pangeran In Te yang terus berusaha mendongkel-dongkel kedudukan kakandanya.

Selelah mendengar penjelasan Bu-teng Hwesio, malam itu juga dibangunkannya Pun-seng Hweshio untuk merundingkan hal itu. Memang gawat kalau p rundingan sampai gagal karena pihak Hwe-liong-pang mencurigai Siau-lim-pai. Akhirnya diputuskan, Pun-khong Hweshio dan lima pendeta muda angkatan Ci akan tetap ke Tiau-im-hong, sedangkan Pun-seng Hweshio sendirian akan mencoba mengejar “begundal-begundal In Te" tadi untuk ditangkap dan dibawa ke Tiau-im-hong sebagai bukti bahwa Siau-lim-pai tidak bersalah.

Biarpun seorang pendeta, Pun-seng Hwesio berwatak tidak sabaran. Maka malam itu juga dia keluar dari kota Yu-pin mengejar orang-orang yang seolah menyamar sebagai pendeta-pendeta Siau-lim-si untuk membunuhi orang-orang Hwe-liong-pang.

Malam sudah larut. Kuil pimpinan Bu-teng Hwe-shio itupun sudah sama sunyinya dengan bagian-bagian kota yang lain. Di kamarnya, Pun-khong Hwe-shio tengah duduk bersila untuk menenangkan pikirannya yang bergolak. Belum lagi ketenangan diperolehnya, kupingnya yang tajam tiba-tiba menangkap suara kaki yang amat ringan di atas genteng. Itulah tanda bahwa yang datang bukanlah tokoh sembarangan. Ketika Pendeta tua itu mempertajam lagi pendengarannya, terdengar pula suara kibaran baju dari orang-orang yang melompati tembok, masuk ke dalam kuil.

Pun-khong Hweshio mengurai duduknya dan membatin, "Hem, kalau bukan begundal-begundal Pangeran In Te yang licik, pastilah orang-orang Hwe-liong-Pang yang salah paham..."

Ketika itulah pintu kamarnya di ketuk perlahan dari luar, dan suara lirih Bu-teng Hwe-shio memanggil-manggil, "Susiok...Susiok..."

Pun-khong Hweshio turun dari pembaringan dan membukakan pintu. Dilihat nya Bu-teng Hweshio dengan wajah tegang sudah membawa pedang yang masih dalam sarungnya.

"Susiok, ada tamu-tamu tidak diundang..."

"Aku sudah mendengar langkah mereka diatas genteng. Aku menyesal bahwa kedatangan kami kemari telah melibatkanmu dalam urusan ini..."

"Jangan berkata demikian, Susiok. Siau-lim-pai dan Go-bi-pai berasal dari satu sumber, boleh dikata saudara seperguruan. Kita wajib bahu membahu dalam semua persoalan..."

Sementara itu, pintu di kamar sebelah juga telah terbuka. Lima orang pendeta Siau-lim-si huruf Ci telah keluar semua dengan membawa toya masing-masing. Pun-khong Hweshio lalu berpesan kepada mereka,

"Barangkali yang datang ini hanyalah orang-orang Hwe-liong-pang yang salah paham. Kita akan temui mereka dan coba menjelaskannya, mudah-mudahan mereka dapat mengerti. Kalau terpaksa bertempur hanyalah kalau mempertahankan diri. Mengerti?"

"Mengerti, Susiok," sahut Ci-sian Hweshio, yang usianya paling tua dari lima pendeta angkatan Ci itu.

Sementara itu, dari luar ruangan itu terdengar teriakan, "He, para keledai gundul dari Siau-lim-si! Keluarlah untuk mempertanggung jawabkan kekejaman kalian atas saudara-saudara kami!"

Sebutan "keledai gundul" itu amat kurang ajar. Pun-khong Hweshio adalah sesepuh yang amat dihormati, bukan dilingkungan Siau-lim-pai saja, tapi juga di dunia persilatan. Ketua Hwe-liong-pang sendiripun takkan berani memanggil "keledai gundul" terhadap Pun-khong Hweshio, betapapun marahnya.

Namun Pun-khong Hwe-shio sendiri cukup tenang, "Kendalikan kemarahan kalian. Wajar kalau mereka marah, karena teman-teman mereka terbunuh..."

"Tapi itu bukan perbuatan kita.."

"Itulah yang harus kita jelaskan kepada mereka. Kalau begitu bertemu kita langsung mengangkat senjata, bagaimana kita bisa menjelaskan? Ayo kita temui mereka..."

Diiringi Bu teng Hwesio dan lima pendeta angkatan Ci , Pun-khong Hweshio melangkah ke arah teriakan di halaman belakang tadi. Ternyata orang-orang berseragam Hwe-Iiong-pang yang datang ke kuil itu cukup banyak. Hanya saja, diantara mereka tidak kelihatan Ketua Hwe-Iiong-pang atau anak dan menantunya.

Pun-khong Hweshio memberi hormat lebih dulu dengan telapak tangan dirangkap di depan dada, "Saudara-saudara, rupanya kalian sudah termakan adu domba oleh pihak ke tiga yang tidak mau melihat Siau-lim-pai dan Hwe-liong pang hidup rukun. Saudara-saudara kami persilahkan mengendalikan emosi, marilah kita duduk di dalam untuk berbicara sebagai sahabat-sahabat lama...”

Seorang Hwe-liong-pang yang bertubuh tinggi besar dan membawa tombak panjang, menjawab, "Tidak perlu penjelasan apapun, keledai gundul. Delapan puluh sembilan teman kami sudah menjadi korban kebiadaban kalian, dan kalian masih hendak mengingkari tanggung-jawab? Aku Ci-ki Tong-cu Lu Kan San yang bergelar Hui-io-sat, malam ini bersumpah untuk menggelindingkan kepala-kepala kalian!"

Mendengar pihaknya berulangkali dimaki "keledai gundul", diam-diam Pun khong Hweshio merasa orang-orang Hwe-liong-pang ini agak keterlaluan juga. Namun sebisa-bisanya ia masih menyabarkan diri, "Kalau kami benar-benar terbukti bersalah, kami bersedia dihukum. Tapi biarkan aku lebih dulu bicara dengan Ketua kalian untuk menjernihkan persoalan..."

Lu Kan San menghantamkan tangkai tombaknya ke tanah, sehingga ubin retak dan debu mengepul. "Kau pasti hanya hendak merayu Pangcu agar mendapat belas kasihannya? Tidak bisa! Teman-teman, kita bereskan pendeta-pendeta munafik ini demi kejayaan Hwe-liong-pang kita!“

Orang-orang itu segera menghunus senjata masing-masing, dan tanpa banyak bicara lagi langsung menyerbu kepada para pendeta Siau- lim-pai, termasuk Bu-teng Hweshio yang mereka kira dari Siau-lim-pai juga...

Lu Kan San sendiri langsung menusukkan tombaknya ke arah leher Pun-khong Hweshio dengan gerakan Jiau-hu-mi-loh (tukang kayu menanyakan jalan). Ternyata ia dengan beraninya telah memilih Pun-khong Hwe-shio sebagai lawan dalam pertarungan satu lawan satu.

Pun-khong Hweshio bukan orang sombong yang menganggap ilmunya sendiri terlalu tinggi, dan memandang rendah ilmu orang lain. Tapi ia heran juga melihat keberanian orang itu. Pikirnya, “Apakah Tong Lam Hou tidak pernah menceritakan kepada anak buahnya tentang siapa saja tokoh-tokoh Siau-lim-si?“

Tetapi serangan tombak itu mengejutkannya. Cepat, kuat, tepat dan mengandung gerak tipu lanjutan yang berbahaya. Pun-khong Hweshio mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengibas leher tombak, biarpun lengan bajunya hanya barang ringan, ia yakin dengan tenaga dalamnya akan bisa membuat tombak itu terpental ke samping.

Tak terduga, arah tombak hanya berubah sedikit, malah lengan baju Pun-khong Hweshio terkoyak sedikit. Bahkan tombak itu kemudian diputar untuk ditusukkan lagi kepinggang dengan kekuatan dan kecepatan yang sama.

"Hebat!" pikir Pun-khong Hweshio. "Aku tidak boleh memandang terlalu remeh kepada orang ini!"

Dengan gerak Kong-jiok-kai-peng (Merak membuka sayap), telapak tangan Pun-khong Hweshio membabat ke tangkai tombak, tangan lainnya dengan tipu Kim liong-tam-jiau (naga emas mengulur kuku) untuk mencengkeram ke urat nadi di lengan lawannya sambil sedikit mendoyongkan badan ke depan.

Tangkas sekali Lu Kan San mundur berputar, sehingga semua gerak Pun-khong Hweshio menemui tempat kosong. Sambil membelakangi lawannya, Lu Kan san menyapukan tangkai tombaknya dari bawah ketiak ke sepasang dengkul Pun-khong Hweshio. Itulah jurus Liong-leng hong-bu (naga melingkar, burung hong menari), jurus ilmu tombak tingkat tinggi.

"Luar biasa!" desis Pun-khong Hweshio sambil melompat mundur karena dengkulnya hampir menjadi korban. "Kalau seorang Tongcu Hwe-liong-pang sehebat ini, dan semua Tongcu lainnya juga setingkat ilmunya dengannya, Hwe-liong-pang patut disebut Pang terkuat didunia persilatan!"

Keseimbangan pertempuran itu memang mengherankan orang-orang di pihak Siau-Iim-pai. Mungkinkah seorang Tongcu Hwe-liong-pang saja bisa bertanding hampir seimbang dengan Pun-khong Hweshio yang ilmunya nomor dua di Siau-lim-pai? Sulit diterima, tapi kenyataannya demikian. Barulah ketika Pun-khong Hweshio bersilat sungguh-sungguh dengan Lo-han kun-hoat, Lu Kan San tampak terdesak. Namun masih tetap nampak kelihatan ilmu tombaknya.

Bayangan tangan Pun-khong Hweshio memenuhi gelanggang, debu dan daun kering di halaman wihara itu sampai terangkat naik oleh desir angin pukulannya yang hebat. Sedang Lu Kan San dengan gigih memutar tombaknya seperti baling-baling dihembus prahara, ujung tombak dan pangkal tombak sama berbahayanya, bahkan kakinya sering menendang juga. Namun ia semakin terdesak juga.

Seorang Hwe-liong-pang lainnya, mencabut seruling besi yang terselip di pinggangnya, lalu melompat mendekati Lu Kan San sambil berseru, "Saudara Lu kita hadapi bersama keledai gundul ini!”

Mendengar orang itu memanggil Lu Kan San dengan "saudara Lu", panggilan sederajat, setidaknya ia seorang Tong-cu juga, dan kepandaiannya mungkin setingkat pula dengan Lu Kan San. Tetapi Ci-sian Hwe-shio, keponakan murid Pun-khong Hwe-shio, takkan membiarkan paman gurunya dikeroyok, maka Ci-sian Hwe-shio nekad menghadang dengan toyanya.

Toya itu dengan jurus Oh-liong-boan-jiu (Naga Hitam Melilit Pohon) menyerampang ke pinggang orang bersenjata seruling itu. Karena Ci-sian Hwe-shio yakin bahwa lawannya tentu selihai Lu Kan San, maka sekali bergerak ia tidak tanggung-tanggung mengerahkan seluruh kekuatannya, sehingga toya itu seolah menghembuskan badai. Ci-sian Hwe-shio mengira lawannya adalah Oh Ki an Keng, Tong-cu Hwe-liong-pang yang dijuluki Seruling Berkabung.

Oh Kian Keng menangkiskan serulingnya, dan terjadilah hal yang mengejutkan. Mengejutkan bukan karena lihainya orang berseruling itu, melainkan justru karena lemahnya. Serulingnya terpental tinggi ke udara, sedang tubuhnya terhuyung dengan muka pucat. Ketika Ci-sian Hwe-shio tambahkan lagi sebuah tendangan, si seruling besi itu langsung pingsan tidak bangun lagi. Hanya butuh dua gebrakan untuk menjatuhkan Orang itu, padahal tadinya Ci-sian Hwe-shio sudah mengira dirinya akan bertempur lama dan berat.

Kemenangan yang terlalu cepat itu malah membuat Ci sian Hwe-shio terlongong-longong heran. Kenapa kepandaian para Tong-cu Hwe-liong-pang begitu tidak merata? Ada Lu Kan San yang sanggup memaksa Pun-khong Hwe-shio memeras keringat, ada juga si orang berseruling yang roboh dalam dua gebrakan oleh Ci- sian Hwe-shio yang kepandaiannya jelas jauh di bawah paman gurunya.

"Apakah orang semacam Ketua Hwe-liong-pang bisa keliru memilih orang untuk dijadikan Tong-cu?" pikirnya tak habis heran.

Sementara itu, seorang Hwe-liong-pang bersenjata Tiat-koai (tongkat melengkung dan tajam) telah membantu Lu Kan-San menghadapi desakan Pun khong Hweshio. Kabarnya tidak satupun Tongcu Hwe-liong-pang bersenjata macam itu, jadi dapat disimpulkan bahwa orang itu cuma anggota biasa. Tak terduga si "anggota biasa" ini malah bertempur lebih hebat dari orang berseruling tadi, dan bersama-sama Lu Kan San dia berhasil mendesak Pun-khong Hweshio.

Kekacauan tingkat ilmu dipihak lawan, membuat pihak Siau-lim-pai kebingungan menentukan lawan. Yang dikira Tongcu ternyata kepandaiannya malah rendah, yang disangka anggota biasa malah berkelahi dengan gesit sekali. Bingung atau tidak bingung, pertempuran berjalan terus. Pihak Siau-lim-pai harus siap menghadapi lawan siapapun yang masuk ke arena.

Melihat Pun-khong Hweshio terdesak, Bu-teng Hweshio bermaksud membantu. Sambil menghunus pedangnya, dia melangkah ke gelanggang dan bermaksud "mengambil" lawan Pun-khong Hwe-shio yang bersenjata Tiat-koai. Selain pedangnya, sarung pedang Bu-teng Hweshio juga merupakan senjata tersendiri, sebab terbuat dari besi tebal yang bisa digunakan sebagai tongkat.

Tapi dua orang Hwe-liong-pang segera menghadang Bu-teng Hwe-shio, keduanya bersenjata masing-masing sepasang, sehingga Bu-teng Hwe-shio harus menghadapi empat senjata. Yang satu bersenjata Siang-hap-to, golok yang pendek dan tipis namun lebar, mirip go lok para penjual daging babi. Yang satu bersenjata sepasang Tiat-pi, trisula bergagang pendek, yang senantiasa berusaha digunakan untuk menjepit serta memuntir pedang Bu-teng Hwe-shio.

Bu-teng Hwe-shio segera meladeni mereka dengan memainkan Tat-mo-kiam-hoat gaya Gobi-pai. Kalau Tat-mo-kiam-hoat Siau-lim-pai bergaya kuat dan mantap, maka gaya Gobi-pai lincah dan cepat. Namanya sama, gayanya berbeda. Sekeliling tubuh Bu-teng Hwe-shio segera penuh cahaya pedang yang berkilat-kilat, bergerak meliuk-liuk bagaikan ular.

Sementara itu, lima pendeta angkatan Ci dari Siau-lim-pai juga sudah bertempur menghadapi orang Hwe-liong-pang yang berjumlah lebih banyak. Secara keseluruhan, dapatlah dikatakan bahwa para pendeta menemui kesulitan meng hadapi lawan lawan mereka. Tidak terkecuali Pun-khong Hwe-shio yang paling lihai.

Ci-sian Hwe-shio melihat, kalau empat saudara seperguruannya bertempur terpisah- pisah, mereka terancam semua. Karena itu, tiba-tiba ia berteriak, "Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!"

Keempat saudara seperguruannya segera berlompatan saling mendekat, lalu terbentuklah Ngo-heng-tin yang bergeraknya berdasarkan sifat-sifat air, api, kayu, logam dan tanah. Dengan ler bentuknya Ngo-heng-tin, gempuran orang Hwe-liong-pang dapat dibendung secara kerjasama, namun para pendeta sendiri-pun tidak gampang untuk menjebol kepungan.

Namun orang orang Hwe-liong-pang terus mengepung. Salah seorang dari mereka berolok-olok, "Kalian punya Ngo-heng-tin, kami punya Kan-loh-tin (barisan menggiring keledai)!"

Maka di tengah gemerincing senjata itu terdengar pula orang-orang Hwe-liong-pang tertawa riuh rendah. Sementara para pendeta menjadi merah padam wajahnya. Sementara itu Pun-khong Hwe-shio masih kurang percaya bahwa dirinya didesak mundur terus oleh keroyokan seorang Tong-cu dan seorang anggota biasa Hwe-liong-pang. Kalau ia dikeroyok dua orang Hiang-cu dan terdesak, itu masih masuk akal, tapi kini....?

Selanjutnya,