Kemelut Tahta Naga I Jilid 20
Karya Stevanus S P
UNTUNG ilmu meringankan tubuh Hok Leng Kui cukup hebat, sesuai dengan gelarnya, sehingga dalam keadaan sulit ia masih sempat melompat mundur untuk menyelamatkan posisinya. la lolos, tapi keringat dingin sudah membasahi punggungnya. Pikirnya. "Pantas kalau orang ini kabarnya telah mengalahkan Pak Kiong Liong...."
Dan tiba giliran Kim Seng Pa yang menyerang bertubi-tubi dengan sepasang telapak tangannya yang membawa kekuatan yang menyesakkan napas itu. Tanpa bisa mengharapkan bantuan siapapun, Hok Leng Kui harus menghadapi Kim Seng Pa satu lawan satu.
Sementara itu, Cu Teng Hong yang berpakaian seperti Kaisar itu, setelah berhasil merobohkan beberapa pengawal Yong Ceng, langsung menerjang ke depan Yong Ceng sendiri, sambil berteriak, "Bangsat Manchu, kembalikan istana leluhurku ini!"
Yong Ceng tertawa mengejek, "Istana ini bukan milik leluhurmu, karena sudah dibangun berabad-abad sebelum dinasti Beng didirikan. Siapa yang kuat, dialah yang memiliki istana ini. Dulu kakekku Sun Ti merebut dari kakekmu Cong Ceng dengan senjata, dan sekarang kau juga harus merebut dengan senjata!"
"Baik. Kubunuh kau!" Pedang Cu Teng Hong langsung menyergap ke ulu hati dengan gerakan Kim ke tok-siok (Ayam Emas Mematuk Beras). Ilmu pedang yang dimainkannya ialah Jian-hong kiam-hoat (ilmu Seribu Burung Hong) yang penuh kelincahan dan tipu tipu yang rumit.
Yong Ceng langsung menyambutnya dengan Hok-mo-thung-hoat aliran Siau-lim-pai yang bergaya kuat dan mantap. Toyanya menderu bagaikan baling-baling terhenbus badai.
Demikianlah pertempuran antara dua orang keturunan dari kerajaan-kerajaan yang bermusuhan itu. Pedang dan toya saling menyambar dengan cepat dan kuatnya. Cu Teng Hong Iincah dan indah gerakannya seperti burung hong yang menari-nari di udara, sedangkan Yong Ceng tangkas dan kuat seperti seekor macan tutul yang menerkam mangsanya.
Dalam kacaunya pertempuran itu, Ji Han Lim merasa bahwa rencananya untuk membunuh Yong Ceng mendapat peluang baik. Setelah itu ia tidak peduli apakah tubuhnya akan dicincang para pengawal istana. Maka ia hanya bertempur setengah hati melawan orang-orang Jit-goat pang yang menyerangnya. Sepasang kampaknya hanya digunakan untuk bertahan.
Tapi supaya pengawal-pengawa jubah ungu lainnya tidak curiga, sekali-sekali ia juga berteriak keras memaki orang-orang Jit-goat-pang, supaya kelihatan sungguh-sungguh membela kaisar. Namun dengan gerakan tidak kentara, sambil bertempur dia berceser perlahan mendekati Yong Ceng yang juga tengah sibuk melawan Cu Teng Hong.
Waktu itu, Yong Ceng sudah berhasil mendesak Cu Teng Hong. Hok-mo-thung hoat (Ilmu Toya Penakluk Iblis) yang dimainkannya memang merupakan salah satu ilmu andalan Siau-lim-pai, ditambah lagi, Yong Ceng melatihnya dengan giat setiap hari, maka ilmu pedang Cu Teng Hong tak mampu membendung nya lagi, biarpun "Kaisar" Jit-goat-pang itu sudah memperkuat perlawanannya dengan Hou-jiau-kang tangan kirinya.
Melihat sang "raja" dalam kesulitan, seorang anggota Jit-goat-pang yang bernama Pek-sim Hwe-shio dan bersenjata kiu-goan-to, segera membantunya sambil berseru, "Biar hamba membantu Tuanku membereskan bangsat Manchu ini!"
Lalu goloknya membacok miring ke kepala Yong Ceng. Yong Ceng kaget, melawan Cu Teng Hong sendiri dia masih bisa menang, tapi kalau dikeroyok dua dia terancam bahaya. Sambil rnundur mengelakkan golok Pek-sim Hwe-shio, Yong Ceng melihat sekitarnya untuk mencari bantuan. Ketika melihat Ji Han Lim yang paling dekat, diapun berseru, "Ji Han Lim, bantu aku!"
Yong Ceng sudah mendengar laporan Kim Seng Pa bahwa Ji Han Lim adalah anggota pengawal baru yang “amat setia" sehingga rela membunuh adiknya sendiri. Kini dalam keadaan terancam oleh Cu Teng Hong dan Pek-sim Hweshio, maka Yong Ceng memanggilnya.
"Hamba segera datang, Tuanku" sahut Ji Han Lim. Setelah mendepak seorang anggota Jit-goat-pang yang merintanginya, dia lalu mendekati Yong Ceng. Ketika ia melompat masuk arena, Pek-sim Hweshio menyongsongkan goloknya. Tapi sesuatu yang berada diluar dugaan semua orang pun terjadi. Ji Han Lim ternyata nekad tidak menghiraukan golok Pek-sim Hwe-shio, malah sepasang kampaknya diayunkan sekuat tenaga ke arah Yong Ceng sambil berteriak, "Kaisar lalim, terimalah ajalmu!"
Yong Ceng terkesiap, ia mengangkat toya untuk menangkis kampak, namun tangkisannya kurang bertenaga karena kaget sehingga salah satu kampak Ji Han Lim tetap mengenai pundak Yong Ceng. Ji Han Lim sendiri punggungnya terluka parah oleh golok Pek-sim Hwe-shio.
Tanpa mempedulikan Pek-sim Hwe-shio, Ji Han Lim dengan beringas mengangkat kampaknya lagi untuk membacok Yong Ceng. Namun Toh Jiat Hong cepat menyelamatkan Yong Ceng dengan menerkam ubun-ubun Ji Han Lim dengan jari-jari tangannya yang langsung amblas ke tulang kepala.
Sementara itu, dengan muka merah padam karena murkanya, Yong Ceng melompat mundur sambil mendekap pundaknya yang luka. Teriaknya, "Salah seorang kelompok pengawalku telah mencoba berkhianat!"
Dengan ketakutan Toh Jiat Hong menjawab, "Ampun Tuanku. Kami bersalah sehingga kelompok kami kesusupan seorang pengkhianat! Kami akan menebus kesalahan kami dengan membasmi musuh sebanyak-banyaknya. Sementara tubuh Ji Han Lim terkulai, sebelum nyawanya lepas, ia sempat berbisik lirih sendiri, "Maaf, Pang-cu aku gagal"
Biarpun Ji Han Lim sudah tewas, namun Yong Ceng tetap kecewa kepada kelompok jubah ungu yang selama ini dipercayainya. Dan seluruh kelompok jubah ungu, termasuk Kim Seng Pa, dapat merasakan hal itu. Merasa ngeri akan tertimpa kemurkaan Kaisar, seluruh kelompok jubah ungu bertempur lebih sengit, berusaha membunuh orang-orang Jit-goat-pang sebanyak-banyaknya sebagai wujud "rasa bersalah" mereka.
Di pinggir gelanggang, Yong Ceng membalut luka dibantu oleh Ni Keng Giau. Di sekitarnya berdirilah pengawal-pengawal Gi-cian Si-wi dengan senjata terhunus untuk menjaganya. Kelompok yang dulu di anak-tirikan itu kini kembali mendapat kepercayaannya.
Sementara jago-jago seragam ungu yang hendak '‘menebus dosa" itu semuanya berkelahi seperti banteng luka. Biarpun pihak Jit-goat- pang juga bertempur dengan fanatik, tapi sedikit demi sedikit mereka mulai terdesak oleh Kim Seng Pa dan anak buahnya.
"Tumpas habis tanpa ampun!" gelegar suara Kim Seng Pa menggetarkan seluruh arena, memerintahkan anak buahnya. Kim Seng Pa sendiri mengerahkan jurus-jurus tertinggi dari Liok-hap-ciang-hoatnya. la pernah memuji Ji Han Lim di hadapan Kaisar, tahu-tahu sekarang muncul peristiwa macam ini, apa katanya kelak di hadapan Kaisar?
Dan celakalah Tui-hun-siu Hok Leng Kui yang menjadi penampung kekesalan Kim Seng Pa itu. la terkepung ribuan bayangan telapak tangan, terjeblos dalam pusaran kekuatan yang menghimpit makin menyesakkan. Percuma ia memegang pedang, sebab pedangnya tak pernah lagi bisa diarahkannya dengan benar, seperti sehelai ilalang di angin kencang, senantiasa terguncang pergi oleh kekuatan pukulan lawannya. la juga tidak berani mengandalkan iImu meringankan tubuhnya terangkat dari tanah, ia takkan dapat menginjak tanah lagi. Pasti tubuhnya akan terhempas remuk oleh prahara serangan lawannya.
Di bawah tekanan kuat angin pukulan Kim Seng Pa, Hok Leng Kui mencoba bertahan dengan memutar pedangnya bundar melebar, tapi guncangan tenaga lawan terlalu kuat, sehingga putaran pedangnya mencang- mencong tak keruan. Saat itulah Kim Seng Pa menyergap bagai serigala, telapak tangannya berhasil menebas pergelangan tangan Hok Leng Kui sehingga terdengar gemeretak tulang patah dan pedang yang jatuh ke Iantai.
Karena tak sempat mundur, Hok Leng Kui ayunkan cengkeraman tangan kiri untuk menahan musuh. Tapi ia malah menambah penyakit, sebab tangan kirinya kena tercengkeram dan langsung dipuntir patah oleh Kim Seng Pa. Hok Leng Kui tak tahan untuk tidak melolong seperti anjing kena tendang, lupa martabatnya sebagai guru dari Kaisar Jit-goat-pang.
Lolongannya terhenti setelah Kim Seng Pa menjotos ubun-ubunnya sehingga retak. Cu Teng Hong kaget melihat gurunya mampus, perhatiannya jadi kacau dan akhirnya ia ikut mampus pula karena terobek-robek oleh pinggiran payung hitam Suma Hek-long yang tajam dan di putar kencang.
Teriakan-teriakan "runtuhkan Ceng bangunkan Beng" masih terdengar beberapa kali, namun tidak selantang semula. Setelah melihat pentolan-pentolan mereka tewas satu demi satu, orang-orang Jit-goat-pang jadi kehilangan gairah untuk menyabung nyawa. Namun mereka sudah terlanjur masuk sarang macan, dan mengusik macan-macannya sehingga marah.
Di luar istana, orang orang Jit-goat-pang yang bermunculan di mana-mana dalam jumlah tak terduga itu memang membuat pasukan kerajaan terus kewalahan dan terdesak. Di seluruh kota, di jalan-jalan, lorong-lorong, halaman-halaman rumah, bahkan atap-atap rumah, telah terjadi pertempuran sengit. Pasukan kerajaan dengan gigihnya terus berusaha membendung gerak maju musuh, tapi mereka terus terdesak juga. Sebaliknya orang-orang Jit-goat-pang juga banyak yang jadi korban, tetapi mereka terus menyerbu, mereka sudah membayangkan bahwa istana akan mereka kuasai, dan Kerajaan Beng akan bangkit kembali.
Di saat pasukan pemerintah sudah tergiring sampai pinggiran lapangan Thian-an-bun dekat istana Kaisar, mendadak terdengar dentuman meriam bertubi-tubi menggempur sembilan pintu kota. Pintu-pintu yang dikuasai kaum Jit goat-pang itu terdobrak dari luar, lalu pasukan Tiat-ki-kun anak-buah Ni Keng Giau membanjir masuk kota. Pasukan berkuda sebagai "ujung tombak" dan pasukan jalan kaki menyusul di belakangnya.
Kaum Jit-goat-pang sebenarnya nyaris mutlak menguasai Pak-khia, kecuali istana yang masih dipertahankan dengan gigih oleh pihak pemerintah. Namun semua jalan dan lorong sudah dikuasai pihak Jit-goat-pang, bahkan mereka mulai membersihkan tempat-tempat itu dari sisa-sisa tentara pemerintah yang masih terdapat di situ. Bahkan penduduk yang tidak bersalahpun, asal dicurigai sebagai "antek Manchu" langsung dibabat pula. Penduduk Pak-khia tercengkam kengerian oleh ulah orang-orang Jit-goat pang yang sedang mabuk kemenangan itu.
Namun munculnya pasukan Tiat-ki-kun mengubah keadaan. Pasukan tempur yang garang itu memang tidak berseragam seindah pasukan di ibukota, tampang mereka juga bukan tampan kelimis orang-orang istana, melainkan tampang-tampang medan perang. Dan kegarangan mereka membuat orang-orang Jit-goat-pang merasa bahwa kemenangan yang hampir tergenggam itu tiba-tiba menjauh kembali.
Sepasukan tentara berkuda Tiat-ki-kun mencoba menyusuri sebuah jalan poros yang langsung menuju ke istana, untuk menyelamatkan Kaisar. Bumi bergetar oleh derap ratusan kuda-kuda tegar dengan penunggang-penunggangnya yang perkasa itu. Pihak Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai mencoba menghadang pasukan itu agar tidak mencapai pusat kota yang sudah mereka kuasai.
Sekelompok pemanah, pelempar lembing dan penembak dengan senapan, berjongkok berderet-deret di atas dinding dinding di kedua tepi jalan yang akan dilewati pasukan berkuda itu. Begitu pasukan berkuda muncul, hujan panah, lembing dan peluru menyambut mereka dari sebelah menyebelah jalan.
Beberapa perajurit Tiat-ki-kun roboh dari kuda, tetapi lainnya terus maju dengan mengangkat perisai-perisai mereka. Mereka tidak menggubris hambatan itu, sebab tujuan utama mereka adalah istana Kekaisaran, seperti yang di perintahkan komandan mereka, bukan meladeni orang-orang Jit-goat-pang yang masih bertebaran di mana-mana.
Seorang gembong Jit-goat-pang marah melihat anak-buahnya tak berhasil membendung arus pasukan berkuda itu. la lalu memerintahkan orang-orangnya untuk menghadang turun, dan dia sendiri dengan bersenjata golok Koan-to (Golok Bertangkai Panjang) menerjang ke tengah jalan yang tengah dilewati pasukan berkuda. Putaran golok Koan-tonya yang amat bertenaga segera menjatuhkan beberapa perajurit, bahkan ada yang dipotong sekalian dengan kudanya.
Seorang perwira Tiat-ki-kun bernama Gak Peng Sian yang juga bersenjata golok Koan-to, namun mahir dimainkan di atas kuda, segera menderapkan kudanya untuk menahan amukan tokoh Jit-goat-pang itu. Dua orang yang sama-sama bersenjata golok Koan-to segera terlibat pertempuran sengit, satu di atas kuda dan lainnya berjalan kaki.
Ketika ratusan orang Jit-goat-pang kemudian nekad menghadang ke tengah jalan, pasukan berkuda Tiat-ki-kun memang terhambat sejenak. Tapi ketika pasukan jalan kaki Tiat-ki-kun juga tiba di situ dalam jumlah ribuan orang-orang Jit-goat-pang pun tercerai berai. Sebagian gugur di tempat itu, sebagian lagi melarikan diri lewat lorong-lorong kecil di sekitar jalan raya. Pasukan berkuda, yang sedikit berkurang jumlahnya, segera melanjutkan perjalanan mereka. Dan orang-orang Jit goat-pang yang masuk kelorong-lorong kecil itu menjadi urusan pasukan jalan kaki.
Kedatangan pasukan Tiat-ki-kun menjadi lonceng kematian buat orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai. Mereka tersapu dari seluruh pelosok kota, biarpun sudah melawan dengan gigih. Jalan-jalan yang tadinya dipenuhi orang-orang bersenjata yang berteriak "hancurkan Ceng, bangunkan Beng" kini dijaga ketat oleh perajurit-perajurit kerajaan. Mayat kedua pihak bertebaran di mana-mana.
Sementara tokoh-tokoh Jit-goat-pang yang berhasil menerobos sampai keruang pesta, habis tergilas kemarahan Kim Seng Pa dan anak-buahnya. Di bagian lain dari istana, mereka dilumpuhkan oleh para pendeta Ang-ih-kau, dan para pengawal Gi-cian Si-wi maupun Lwe teng Wi-su. Menjelang malam, pertempuran usai, biarpun di beberapa lorong masih terjadi kucing-kucingan antara kedua belah pihak.
Suasana kota Pak-khia berubah mengerikan. Tidak ada penduduk yang berjalan-jalan di luar rumah, semuanya menutup diri dalam rumah sambil menggigil ketakutan. Lampion-lampion indah sudah hancur, "hiasan"nya diganti dengan mayat-mayat yang bergeletakan di sana sini, di antaranya ada yang sudah tidak lengkap lagi dan sulit diketemukan bagian tubuhnya yang hilang.
Pembantaian selesai. Di mana-mana hanya ada mayat, mayat, dan mayat. Di jalan, bersandar tembok, di parit, di emperan toko, di taman. Warna merah kental dicipratkan di mana-mana. Esok harinya, ribuan anggota Jit-goat-pang yang diketemukan terluka atau tertangkap hidup-hidup, oleh Kaisar Yong Ceng dikabulkanlah bagian kedua dari cita-cita mereka, "menjadi hantu Kerajaan Beng". Mereka dipenggal. Lalu batok-batok kepala mereka di jadikan hiasan di sepenjang tepi jalan besar, menggantikan lampion-lampion yang kemarin mereka rusakkan.
Mayat Ji Han Lim diperlakukan paling istimewa. Bukan saja kepalanya di gantung di pintu gerbang, namun tubuhnya dibakar habis dan abunya disebarkan ke parit kotoran. Dengan demikian keinginannya yang pernah diutarakan ke pada Kui Hok untuk dikuburkan di Tiau-im-hong berdampingan dengan kuburan ayahnya dan adiknya, tidak terlaksana.
Namun perajurit perajurit yang menjaga batok kepala itu, malamnya melihat "sesosok hantu terbang" membawa pergi kepala itu. Tak tercegah oleh para perajurit. Para perajurit menyebutnya hantu, sebab bayangan itu bergerak amat cepat, dan pukulan tangannya membawa hawa dingin yang menggigilkan tubuh.
Beberapa hari kemudian, ketenangan diIbukota Kekaisaran itu pulih kembali, meskipun para perajurit masih ke lihatan berjaga-jaga di segala sudut. Dan Kaisar Yong Ceng mengundang pejabat-pejabat tinggi dibidang kemiliteran untuk bersidang di istana. Di aula istana, sudah nampak Peng po Siang-si yang bertubuh kurus dan berambut putih, para Panglima dari semua pasukan, bahkan Biau Beng Lama dan Kim Seng Pa hadir juga.
Ni Keng Giau dengan pakaian kebesarannya sebagai Panglima Tertinggi, seperti biasa, berdiri memisahkan diri dari kelompok orang-orang yang tengah menantikan kehadiran Kaisar itu. Wajahnya tetap dingin dan angkuh, semua hadirin di ruangan itu tidak ada yang di pandangnya sederajat dengannya.
Tak lama kemudian, seorang thaikam (pelayan kebiri) muncul dan berseru, "Hong- siang tiba!"
Para pejabat di aula serempak menekuk lutut, menyambut Kaisar dergan seruan pujian mereka, "Ban-swe! Ban-swe!"
"Bangunlah!" kata Yong Ceng setelah duduk di singgasananya. Gerakan pundaknya masih agak kaku oleh luka bacokan oleh Ji Han Lim belum sembuh benar. Lebih dari itu, amarahnya masih jauh dari reda.
Setelah semuanya bangkit, Yong Ceng berkata, langsung ke persoalannya, "Kita baru saja mengalami peristiwa yang memalukan. Orang-orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai berhasil menyusupkan orang begitu banyak ke Pak-khia, dan mereka nyaris menguasai seluruh kota, termasuk istana ini. Itu karena kelengahan kalian, yang selama ini hanya menganggap mereka sebagai pencoleng-pencoleng kecil yang tidak berbahaya!”
Sidang dibuka dengan menyalahkan bawahan-bawahannya. Semua hadirin menundukkan muka sehingga ruangan sidang itu sunyi mencekam. Kim Seng Pa berdiri di deretan paling belakang, dan mukanya tertunduk paling dalam.
Terdengar lagi suara Yong Ceng, "Selama ini, aku merasa telah kalian nina-bobokkan. Semua laporan hanya menyebut aman, baik-baik dan sebagainya, jauh dari kenyataan sebenarnya. Mulai sekarang, aku tidak mau lagi mendengar laporan macam itu. Laporkan seadanya. Jangan sampai pencoleng-pencoleng kecil tahu-tahu telah tumbuh menjadi kekuatan yang membahayakan kekaisaran!"
Para hadirin masih bungkam. Bernapaspun tidak berani keras-keras, khawatir kalau bernapas terlalu keras akan menimbulkan akibat buruk.
“…… sekarang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai sudah kita lumpuhkan. Tapi masih ada satu kelompok berbahaya di kekaisaran ini!"
Pangeran In Te berdegup jantungnya. Jangan-jangan dirinyalah yang akan dituding sebagai "kelompok berbahaya" itu? Namun yang dituding Kaisar Yong Ceng ternyata bukan dirinya, "Kelompok itu adalah Hwe-liong-pang! Semakin lama mereka semakin berani menantangku!“
Pangeran In Te lega, namun tidak lega sama sekali. Selama ini ia mendengar bahwa di Hwe-liong-pang ada panannya, Pak Kiong Liong, yang masih setia memperjuangkan Pangeran In Te sebagai ahli waris tahta yang sah. In Te khawatir, kalau Hwe-liong-pang dihancurkan, jangan- jangan dirinya sendiripun menyusul disingkirkan kemudian?
Sebuah pikiran muncul di benak In Te, "Rencana ini harus kukabarkan ke pihak Hwe-liong-pang secara diam-diam, agar mereka dapat bersiap-siap menyelamatkan diri..."
Sementara itu, Yong Ceng berkata, "Hwe-liong-pang sudah berani menyelundupkan orang untuk membunuhku, ini tak bisa dimaafkan lagi. Sebenarnya yang patut ditumpas cuma Pak Kiong Liong dan In Tong, namun karena Tong Lam Hou ikut-ikutan dan menyembunyikan buronan-buronanku, dia harus ditumpas pula beserta seluruh Hwe-liong-pang!”
Sesaat ruangan itu tetapi sunyi, sampai Yong Ceng memerintahkan, "Kalian diperkenankan bicara."
Peng-po Siang-si nenoleh diri ke kiri dan kanan, lalu berlutut dan berkata, “Hamba akan melaporkan sesuatu Tuanku...."
“Katakan...!”
“Sepuluh hari yang lalu, datang utusan dari Hok Ciang-kun yang mengawasi Jing-hai. Dalam suratnya, Hok Ciang-kun melaporkan bahwa para pengikut Thai-cin-kau (Kristen Nestorian) dari suku suku Mongol, Hui dan Kazak teelah menberontak di bawah pimpinan Alai Butan, menuntut agar daerah mereka boleh memiliki hukum sendiri. Kalau kita menolak, mereka mengancam lebih suka bergabung dalam kekaisaran Rusia yang seagama dengan mereka, biarpun berlainan sekte. Lalu di Jing-hai Selatan, orang-orang Hwe-kau (Muslin) juga angkat sejata...."
"Laporannya sudah sepuluh hari, kenapa baru kau laporkan sekarang?"
“Karena menjelang hari ulang tahun Tuanku, hamba khawatir akan mengurangi kegembiraan Tuanku….."
Nasbib malang memang datangnya tak bias diperhitungkan. Kata-kata Peng-Po Siang-si itu malah menimbulkan kemaran Yong Ceng. “Penjilat!, kau piker aku tak sanggup berpikir lagi, biarpun menjelang pesta? Bagaimana kau berani menunda sepuluh hari atas laporan yang begitu peting? Bagaimana kalau keadaan di Jing-Hai terlanjur tidak bias dikuasai lagi?”
Merasakan gelagat buruk, buru-buru Peng-po Siang-si menyembah-nyembah sampai jidatnya membentur tanah. “Hamba mohon ampun. Tuanku….hamba hanya bermaksud…."
“Pengawal! Penggal kepala menteri tak berguna ini.!”
Beberapa pengawal masuk dan menyeret menteri yang sial itu. Beberapa panglima dan Menteri cepat-cepat berlutut untuk memohonkan ampun bagi Peng-po Siang-si yang telah mengabdi dengan baik sejak jaman pertengahan pemerintahan Kaisar Khong Hi. Namun Yong Ceng yang sedang marah itu tak menggubris permohonan mereka. Malah mengancam.
"Yang tidak setuju dengan keputusanku tadi, silahkan menyusul sekalian ke neraka. Aku malah merasa bersyukur kalau pemerintahanku bebas dari orang-orang yang lemah dan lamban kerjanya!"
Ni Keng Giau yang tidak ikut memohonkan ampun bagi Peng-po Siang-si itu, langsung mendukung, "Hamba mendukung keputusan Tuanku. Keselamatan kekaisaran memang harus diutamakan. Hukum Besi harus dijalankan kepada musuh musuh kita, kepada rakyat, dan kepada kita sendiri. Kalau Tuanku berkenan, hamba siap berangkat ke Jing-hai untuk menangkap Alai Butan dan memakukannya pada salib, biar nasibnya seperti Guru Agung Thai-cin-kau yang disembah-sembahnya itu."
Kim Seng Pa yang sedang berusaha mendapat kembali kepercayaan Kaisar itupun ikut-ikutan berkata, "Benar. Agama apapun di wilayah kekaisaran, harus menempatkan Tuanku sebagai Putera Langit sebagai sesembahan tertinggi.”
Sebenarnya masih banyak sanjung puja dengan kata-kata muluk yang hendak diucapkan, tetapi melihat Yong Ceng berwajah masam dan tidak menggubrisnya, terpaksa Kim Seng Pa tutup mulut sambil meratap dalam hati.
Sementara itu, Biau Beng Lama nampak cemas. Jing-hai dekat letaknya dengan Tibet yang menjadi pusat Ang-ih-kau. Di kawasan itu penduduk memeluk banyak agama. Selain Thai-cin-kau dan Hwe-kau, juga masih ada Tiau-yang-kau (agama penyembah api) dari Persia, ada Hindu dan Sikh, la khawatir pemberontakan Thai-cin-kau dan Hwe-kau akan merembet ke Tibet, la khawatir Thai-cin-kau akan mendapat kembali pengaruhnya di wilayah barat, seperti di jaman Kerajaan Tong dulu, bahkan sampai di Lhasa, ibukota Tibet, ditempatkan seorang uskup Thai-cin-kau yang dilindungi oleh kaisar Tong-ciu-cong waktu itu. Itu tidak boleh terulang, pikirnya.
Sedang yang dipikirkan In Te lain lagi. Sementara semua orang berbicara, In Te hanya bungkam, namun diam-diam memperhatikan wajah para Panglima. Siapa yang kelihatan tidak puas tetapi tidak berani menentang? Siapa yang kelihatan sebagai penjilat? Dan banyak sikap lain yang terungkap dari wajah mereka. Lalu In Te mencatatnya dalam hati, si ini begini dan si itu begitu. Ini bahan penting untuk langkah-langkah politiknya di kemudian hari.
Sidang kemudian ditutup setelah diambil keputusan, Hwe-liong-pang akan ditumpas dulu, setelah itu barulah pemberontakan di Jlng-hai yang memerlukan persiapan yang lebih matang. Pangeran In Te kemudian bergegas kembaIi ke Leng-goat-kiong, bangsal kediamannya. Tekadnya sudah bulat, akan mengirim berita secara diam-diam kepada Hwe-liong-pang, tapi harus sangat hati-hati, sebab ia tahu dirinya diawasi terus secara diam-diam oleh orang orang kepercayaan Kaisar Yong Ceng.
Ketika masuk bangsalnya, empat pengawal memberi hormat, namun In Te tahu bahwa mereka juga orang-orang Yong Ceng yang bertugas mengawasi dan mengekang tindak-tanduknya. Kepada mereka, In Te berkata, "Salah satu dari kalian, panggilkan Thia Kong-kong (thai-kam she Thia) untukku. Aku ingin bermain siang-ji (catur gajah) dengannya."
Salah seorang pengawal segera menjalankan perintahnya. Seorang pengawal lainnya bertanya dengan hormat, "Di mana Pangeran hendak bermain catur? Supaya hamba bisa mempersiapkan tempat itu..."
Sahut In Te sambil tersenyum ramah, "Biar pelayan-pelayanku saja yang mempersiapkan. Kalian tidak usah repot repot."
Para pengawal saling berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk mengusulkan, "Hamba usulkan, sebaiknya tidak bermain catur di tempat tertutup. Udaranya panas. Sebaiknya di gardu Pek-lian saja, di Sana sejuk...."
In Te tahu. Gardu Pek-lian ada di tengah kolam teratai sebuah tempat terbuka, tanpa dinding, berarti gerak-geriknya selama bermain caturpun akan tetap di awasi. "Kau berani mengatur aku?" geramnya. "Aku ingin bermain di mana saja, itu urusanku!”
Namun si pengawal tetap bandel. "Hamba tidak berani, Pangeran. Tetapi hamba memikul tugas yang tidak bisa di hindari..."
In Te benar-benar merasa terbelenggu. Semua orang masih menghormatinya, pakaiannya masih bagus, namun segala-galanya harus dikekang. la muak dengan belenggu itu, dan bertekad bahwa suatu saat belenggu itu harus dipatahkan. Namun saat itu ia tidak berani menentang terang-terangan, sehingga akhirnya ia berkata, "Baiklah, bersihkan gardu Pek-lian."
"Baiklah, Pangeran."
Tidak lama kemudian Pangeran In Te dan Thia Kong-kong sudah bertempur di papan catur. Seorang pengawal yang kupingnya amat tajam, karena memiliki ilmu Ting-hong-pian-gi (Mendengar Angin membedakan suara), berdiri agak jauh, namun berusaha mendengarkan apa saja yang di bicarakan Pangeran In Te dengan Thia Kong-kong. Tetapi ternyata yang dibicarakan hanya Iangkah-langkah catur, selebihnya hanya suara biji-biji catur yang berkelotakan di atas papan.
Sebenarnya, In Te dan Thia Kong-kong melakukan pembicaraan penting, namun bukan dengan mulut, hanya dengan jari-jari yang menggores-gores tepi papan catur untuk membentuk huruf-huruf bayangan. Itulah sebabnya si pengawal tukang menguping tak mendengar apa-apa. In Te menggoreskan kalimat pertamanya,
"Hwe-liong-pang hendak dihancurkan oleh kakanda Yong Ceng. Mereka harus segera diberi kabar."
Thia Kong-kong ini dulunya adalah pengikut In Te yang setia. Ketika angkatan perang In Te berhasil dilucuti dan In Te menjadi "tawanan terhormat" di istana, Thia Kong-kong alias Thia Bong Ek ikut menyelundup ke istana sebagai thai-kam. Untuk itu, ia harus berkorban dengan kehilangan sepasang "bola" kelakiannya. Tujuannya hanyalah mendampingi Pangeran In Te, sampai kelak berhasil merebut kekuasaan.
Thia Bong Ek memahami tulisan In Te, lalu iapun menggores, "Apa kaitan nya Hwe-liong-pang dengan kita?"
In Te menggores lagi, "Selama Hwe-liong-pang masih ada, Kakanda In Ceng ragu-ragu membunuhku. Kalau Hwe-liong-pang sudah remuk, keselamatanku di istana ini tidak terjamin lagi."
Thia Kong-kong memperlihatkan wajah mengerti, lalu menggoreskan telunjuknya lagi, "Penjagaan di sekitar kita amat ketat. Sulit menyelundupkan orang keluar tanpa diketahui kaki tangan Yong Ceng."
"Bagaimana dengan Heng-san-sam kiam (Tiga Pedang dari Heng-san)?”
"Nampaknya mereka semakin tidak puas kepada Yong Ceng. Ada tanda-tanda bahwa kesetiaan dan kepercayaan mereka mulai luntur. Tapi rasanya mereka belum berani terang-terangan bertindak di luar tugas kelompok pengawal jubah ungu.”
"Justru karena mereka pengawal, ada peluang untuk keluar dari istana untuk memberi kabar kepada Hwe-liong-pang."
"Namun kalau mereka bertiga keluar serentak, bisa menimbulkan kecurigaan Kaisar dan Kim Seng Pa. Lagipula, belum tentu mereka mau diperintah kita..."
"Bagaimana pikiranmu?"
"Biar hamba coba hubungi anak hamba, yang sering menyamar sebagai penjual pangsit pikulan di dekat gerbang istana. Dulu ia seorang Jian-hu-thio (komandan seribu perajurit) dalam Hi-liong-kun."
"Baiklah. Laksanakan."
Demikianlah mereka "bercakap-cakap" lewat tulisan. Kemudian In Te menulis lagi. "Bisakah kau mengatur pertemuan antara aku dengan Heng-san-sam-kiam?"
"Untuk apa?"
“Aku ingin bicara sendiri dengan mereka, merebut dukungan mereka."
Thia Kong-kong menunjukkan wajah kurang setuju, dan menggoreskan huruf-huruf. "Berbahaya. Sikap Heng-san-sam-kiam belum pasti benar."
Namun In Te menggeleng perlahan, dan jarinya menulis di meja, "Kalau tidak berani masuk sarang macan, mana bisa mendapatkan anak macan? Aku sudah jemu dibelenggu, harus berani menyerempet bahaya untuk mengumpulkan pendukung dan mematahkan belenggu yang memuakkan ini."
Thia Kong-kong tetap nampak kurang setuju. Namun melihat betapa besarnya tekad In Te, akhirnya Thia Kong kong menulis, "Akan hamba usahakan malam ini. Nanti sore hamba beri kabar."
In Te mengangguk dan tersenyum puas. Sebenarnya In Te punya perhitungan juga. la tahu, sebagian pengawal jubah ungu mulai kurang puas terhadap Kaisar, dan mereka itu harus "digarap" secepatnya. Kata pepatah, besi harus ditempa selagi panas membara, bukan setelah dingin kembali.
Permainan catur yang hanya pura-pura itupun selesai, Thia Kong-kong mohon diri. Sorenya dia datang mengabarkan bahwa Heng-san-sam-kiam bersedia berbicara, waktu dan tempatnyapun sudah ditentukan.
Tengah malam, itulah saat pertemuan yang dijanjikan. Tempatnya di gudang tua, salah satu bagian istana yang jarang diinjak seluruh penghuni istana, karena konon tempat itu ada hantunya. Hantu seorang bangsawan Kerajaan Beng yang dulu bunuh diri ketika mendengar bahwa laskar pemberontak Li Cu Seng sudah masuk kota. Tetapi buat In Te, hantu itu tidak lebih menakutkan dari "sangkar emas" yang kini didiaminya.
Dengan pakaian ringkas berwarna hitam, In Te berhasi lolos dari bangsal Leng-goat kiong selagi para pengawal lengah. la langsung menuju ke tempat pertemuan dengan jalan merunduk-runduk, menghindari pertemuan dengan para pengawal istana.
Tiba di gudang tua itu, Thia Kong kong sudah menunggunya. "Hamba di sini, Pangeran..."
"Saudara Thia, apakah Heng-san-sam-kiam sudah datang?"
"Sudah, Pangeran. Dan menurut pengamatan hamba, mereka benar-benar hanya bertiga, dan tidak membawa senjata.”
"Antarkan aku menemui mereka."
Thia Kong-kong segera berjalan mendahului Pangeran In Te melewati tumpukan barang-barang tak berguna lagi. Tidak jarang wajah In Te tersangkut oleh sarang laba-laba. Akhirnya ia berhadapan juga dengan tiga saudara seperguruan dari Heng-san itu, yang berpakaian seragam pengawal. Jian-ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, Lam Thai Hong (Prahara Selatan) Au Yang Kong, serta Hui- kiam-eng (Satria Pedang Terbang) Teng Jiu.
"Selamat malam, Pangeran," mereka bertiga menyambut In Te.
"Selamat malam, para pendekar," sahut In Te. Kata-kata selanjutnya tidak bertele-tele lagi, melainkan langsung ke intinya, "Mari kita bicara jujur tidak dari balik topeng-topeng kita. Kita sudah bersepakat bertemu disini, itu berarti kita sudah menunjukkan sikap, atau setidaknya sebagian sikap kita masing-masing. Setuju?”
Ho Se Liang yang tertua, menjadi juru bicara kelompoknya, "Kami juga bersikap terus-terang, Pangeran. Kami mengharapkan Pangeran akan mengobati kekecewaan kami selama ini, berbeda dengan Kaisar yang sekarang bertahta."
"Apa maksudmu?"
"Sebelum Kaisar naik tahta, ia mengobral janji yang muluk-muluk untuk memperoleh dukungan kami. Tapi setelah ia berkuasa, ia lupa janjinya, bahkan kelihatan tidak senang setiap kali kami mengingatkan janjinya yang dulu."
"Janji apa? Dan apa pula yang dulu kalian harapkan sehingga mendukung Kakanda Yong Ceng?”
"Pemulihan martabat orang Han agar sama dengan orang Manchu," sahut He So Liang tegas. “Kami tidak seperti orang-orang dari Jit-goat-pang atau Pek-lian-kau atau Thian-te-hwe yang bermimpi ingin mendirikan kembali Kerajaan Beng. Itu mustahil. Kami hanya ingin kesederajatan martabat antara Han dan Manchu, bahkan juga seluruh suku-suku penghuni kekaisaran ini. Suasana persaudaraan bukan yang satu di atas yang lainnya. Itu saja, Pangeran."
"Dulu Kakanda Yong Ceng menjanjikannya?"
"Benar, Pangeran. Dulu, ketika Kaisar belum bertahta dan masih mengembara sebagai seorang pendekar bernama Si Liong Cu, kami bersahabat dengannya dan mengagumi tindak-tanduknya yang gagah berani. Ketika kemudian kami ketahui bahwa dia adalah Pangeran In Ceng, dan mohon bantuan dukungan kami, kami menyanggupinya. Sekarang sudah empat tahun dia bertahta, dan janjinya belum ada tanda- anda akan diwujudkan. Kami dan sahabat- sahabat yang dulu mendukungnya, terus terang saja merasa dikecewakan."
"Bagaimana caranya dulu sehingga kalian bisa mendudukkan Kakakku itu sampai ke tahta?"
Ho Se Liang ragu-ragu sejenak untuk berterus-terang, namun akhirnya ia berkata juga, "Kami mohon maaf, Pangeran. Saat itu kami begitu bersemangat mendukung Pangeran Keempat, sehingga kami melakukan suatu kecurangan yang merugikan Pangeran...."
Tubuh In Te gemetar menahan gelombang kemarahannya, sementara Thia Kong kong menyiapkan diri untuk mencegah In Te, khawatir kalau kemarahan Pangeran itu jadi merusak rencana. "Kecurangan bagaimana?"
"Dalam sebuah pertemuan rahasia kelompok kami, Ni Keng Giau mengusulkan supaya Surat Wasiat Sribaginda Khong Hi dicuri dan dibaca, untuk mengetahui siapa Pangeran-pangeran yang akan ditunjuk menggantikan Sribaginda Khong Hi."
Dada Pangeran In Te serasa hampir meledak, namun Thia Kong-kong memegang tangannya dan berbisik, "Tenang, Pangeran. Tenanglah."
In Te mengangguk dan menekan kemarahannya, namun toh suaranya tetap terdengar agak gemetar. "Dan kalian berhasil mencuri Surat Wasiat yang disimpan di Han-lim-pong (ruang perpustakaan istana) dan dijaga ketat oleh pasukan Han-lin-kum itu?”
"Benar, Pangeran!"
"... dan membaca isinya?"
"Benar, Pangeran."
"Siapa nama yang ditunjuk sebagai pengganti Ayahanda di dalam Surat Wasiat itu?"
"Pangeran sendiri, Cap-si Pwe-lek In Te."
Kembali Thia Kong-kon harus memegang tangan In Te dan berbisik membujuk-bujuk, "Tenang, Pangeran. Kalau ingin mereka mendukung Pangeran, jangan mengadili mereka seperti mengadili maling ayam yang tertangkap."
"Aku cukup tenang. Namun dari dulu sudah kurasa adanya kebusukan di balik pergantian pemegang tahta. Kini aku mendengar dengan jelas, bagaimana kecurangan itu berlangsung."
"Kendalikan kemarahan Pangeran, agar calon-calon pendukung Pangeran yakin, bahwa Pangeran akan menjadi seorang penguasa yang lebih bijaksana dari Kaisar yang sekarang...”
"Suatu ketika, kecurangan ini harus diketahui seluruh rakyat. Biar Kakanda Yong Ceng terjungkir dari singgasananya yang dikangkanginya secara tidak syah!'
"Hamba sependapat, Pangeran. Tapi tunggulah waktunya yang tepat, bukan sekarang. Sekarang kedudukan kita masih lemah, kalau kecurangan itu kita umumkan sekarang, sama saja dengan mengundang kantong-kantong kulit Hiat-ti-cu itu beterbangan di atas kepala kita.”
Akhirnya, berhasil juga In Te menguasai diri. Dan Ho Se Liang meneruskan keterangannya, "Lalu Ni Keng Giau menambahkan coretan pada huruf “Cap" (sepuluh) sehingga menjadi "kepada" sehingga bunyi asli Surat. Wasiat itu "tahta diwariskan Cap-si Hong-cu" berubah menjadi "tahta diwariskan kepada Si Hong-cu....”
Lemaslah tubuh In Te mendengar itu, itulah goresan pena yang membuatnya kehilangan segalanya dan kakak keempatnya mendapatkan segalanya. la menyesal, tempo hari ketika mengepung Pak-khia dengan pasukannya yang besar, kenapa tidak langsung menyerbu saja? Kenapa harus masuk perangkap Liong Ke Toh sehingga ikut dalam sembahyang menghormati Ayahandanya? Kenapa ia mencurigai Pak Kiong Liong yang tulus, gara-gara mempercayai ucapan Liong Ke Toh yang mengadu-domba? Nasi sudah jadi bubur. Kini dirinya seperti seekor anak burung dalam genggaman raksasa yang maha kuat, sekali remas saja oleh sang raksasa, ia akan hancur.
"Pangeran, kami katakan semuanya ini, karena kami menaruh kepercayaan kepada Pangeran," kata Ho Se Liang, tanpa tedeng aling- aling. "Kami berharap, kalau kelak Pangeran naik tahta, tuntutan dari jutaan orang Han akan terkabulkan tanpa pertumpahan darah. Kalau orang Han toh harus kecewa lagi, bukan mustahil mereka akan mengangkat senjata...."
Pangeran In Te sebenarnya kurang senang mendengar ucapan yang mengandung gertakan itu. Namun ia menjawab juga, bukan dengan janji yang muluk, "Sam-wi Eng-hiong, kalian tahukah siapa orang yang paling kuhormati setelah Ayahanda Khong Hi sendiri?"
Tentu saja Heng-san-sam-kiam bungkam tak bisa menjawab. Dan In Te melanjutkan, "Itulah pamanku, Pak Kiong Liong. Biar dia hanya paman jauhku, hubunganku bahkan lebih dekat kepadanya daripada kepada Pamanda Liong Ke Toh, adik dari Ibunda Tek Huai. Pamanda Liong Ke Toh adalah seorang yang berpikiran bahwa bangsa Manchu adalah bangsa pemimpin, dan suku-suku lain diletakkan di bawah telapak kaki orang Manchu. Sedang Pamanda Pak Kiong Liong, kalian tahu sendiri bagaimana wataknya."
Kini tiga butir kepala Heng-san-sam-kiam mulai mengangguk-angguk, sementara In Te berkata lagi, "Isteri Paman Pak Kiong Liong ialah seorang Han yang tetap kuhormati sebagai bibiku. Pikiran-pikiran Paman Pak Kiong Liong tentang persatuan Han dan Manchu banyak yang kuambil alih, cocok dengan pikiranku sendiri. Saat ini, sudah saatnya Han dan Manchu melupakan masa silam, dan harus bersatu membela negeri bersama ini. Jangan sampai negeri ini terpecah belah lalu diperebutkan oleh orang Jepang dan Rusia yang sejak lama mengincar negeri ini."
"Baik, Pangeran. Mulai sekarang kita bersekutu dalam satu cita-cita. Bagaimana kalau kita mengangkat sumpah berat?"
"Baik," sahut In Te.
Kemudian, dengan menggunakan gumpalan-gumpalan tanah sebagai dupa, mereka bersumpah kepada Thian-hu Te bo (Bapak Langit dan Ibu Bumi) untuk menguatkan perseketuan mereka. Yang berkhianat akan dikutuk mati dengan tubuh hancur.
Selesai mengangkat sumpah, Ho Se Liang berkata, "Pangeran, biarpun kita telah bersatu hati, namun persekutuan kita harus tetap diselubungi. Karena itu, kalau di hadapan orang lain, kami harus dimaafkan kalau bersikap kurang hormat terhadap Pangeran, apalagi dihadapan Hong-siang..."
"Aku paham. Akupun akan bersikap pura-pura dingin dan acuh tak acuh kepada kalian."
"Hamba sekalian juga paham, Pangeran”
"Sekarang, sebagai teman seperjuangan, aku minta tolong suatu urusan kepada kalian."
"Katakan, Pangeran."
"Tahukah kalian, dalam Sidang Kerajaan pagi tadi, Hwe-liong-pang secara resmi sudah dicap sebagai pemberontak yang harus ditumpas?"
Heng-san-sam-kiam tidak heran lagi. Orang-orang Hwe-liong-pang dua kali telah berani menerobos istana, pertama kali waktu membebaskan tiga bocah yang diculik kaum Hiat-ti-cu, kedua kali waktu membebaskan Kiong Wan Peng dan Siang Koan Long, bertepatan dengan terjadinya huru-hara oleh kaum Jit goat-pang dan Pek-lian-pai. Selain itu, Hwe-liong-pang juga melindungi Pak Kiong Liong dan Pangeran In Tong, dua buronan kerajaan. Apalagi, menurut dugaan Kaisar Yong Ceng, Ji Han Lim sengaja diselundupkan oleh Hwe-Iiong-pang untuk membunuhnya. Tidak heran kalau Yong Ceng hendak menumpasnya.
"Jadi, apakah tugas kami?"
"Harus ada yang pergi ke Tiau-im-hong untuk memberi kabar kepada mereka."
"Maaf, Pangeran. Tiau-im-hong jauh letaknya di propinsi Secuan kami tidak bisa pergi selama itu, atau menimbulkan kecurigaan Kaisar dan Kim Seng Pa."
"Bukan kalian yang pergi, tetapi Thia Kong-kong dan anak lelakinya, lewat dua jalan. Kalau yang satu tertangkap, masih ada satu yang bisa sampai ke Tiau-im-hong. Bantuan kalian dibutuhkan hanya untuk mengeluarkan Thia Kong-kong dari istana, sebab semua pintu keluar-masuk istana sekarang dilipat-gandakan penjagaannya. Kakanda Yong Ceng rupanya takut kebobolan lagi.”
"Gampang kalau hanya itu," sahut Ho Se Liang sambil tertawa. "Besok sehari suntuk, kami bertiga mendapat giliran tugas di pintu Tiau-yang-mui. Thia Kong-kong dan puteranya boleh lewat situ dengan aman."
"Putera Thia Kong-kong memang sudah di luar istana. Jadi besok yang keluar hanya Thia Kong-kong saja."
"Kami janjikan bantuan kami."
"Terima kasih."
Lalu dengan merunduk-runduk, mereka berlima pun berpisah untuk kembali ke bangsal masing-masing.
Siang itu, ketika pintu gerbang Pak-khia terbuka lebar dan arus manusia sedang ramai-ramainya, seorang pemuda berwajah bundar dan penuh senyuman melangkah meninggalkan Pak-khia. Pakaiannya yang terlalu sederhana, maupun sikapnya yang biasa, membuat pemuda itu tidak dicurigai para penjaga pintu.
Namun pemuda itu sebenarnya sedang melakukan sesuatu yang amat penting. Dialah anak laki-laki Thia Kong-kong yang bernama Thia Hou, bekas perwira berpangkat Jian-hu-thio bawahan Pak Kiong Liong, dan kini adalah penjual mi pangsit dengan pikulan. Namun dengan senang hati ditinggalkannya pekerjaan, untuk mengantarkan surat Pangeran In Te ke Tiau-im-hong.
Tiba di luar kota, dengan uang bekal pemberian Pangeran In Te lewat Thia Kong-kong, Thia Hou membeli seekor kuda untuk mempercepat perjalanannya sampai ke Tiau-im-hong. Tetapi, sejak ia keluar dari pintu kota Pak khia, sebenarnya ada seorang yang mengikutinya. Ketika Thia Hou membeli kuda, orang itupun ikut membeli kuda untuk menyusul Thia Hou.
Tiba di jalan sepi, orang itu mempercepat kudanya sambil memanggil-manggil, "Saudara Thia! Saudara Thia!"
Thia Hou yang tengah mengemban tugas amat rahasia itupun terkejut, dihentikannya kudanya dan diperhatikannya orang yang memanggil-manggiI itu. Dan ia merasa lega ketika mengenali si penyusul itu adalah juga seorang bekas perwira Hui-liong-kun, berpangkat Jian hu-thio seperti dirinya sendiri. Namanya He Hou Yong.
Dua bekas rekan sepasukan itu segera berjabatan tangan dengan eratnya. Sejak Hui-liong-kun dibubarkan Yong Ceng, kedua orang itu berpencaran mencari hidup sendiri-sendiri, biarpun sama-sama tinggal di Pak-khia, namun kota itu terlalu besar sehingga mereka tidak pernah bertemu. Kini mereka bertemu, mereka kelihatan gembira sekali.
"Aku melihatmu meninggalkan Pak-khia, lalu aku menyusulmu," kata He Hou Yong. "Kebetulan arah perjalanan kita sama. Aku hendak ke kota Wan-cuan. Kau sendiri hendak ke mana?"
Mengingat kerahasiaan tugasnya, Thia Hou ragu-ragu untuk menjawab terus terang. Biarpun He Hou Yong bekas rekannya, namun ia tetap harus berhati-hati kepada siapapun. Melihat kebimbangan Thia Hou, He Hou Yong berkata sambil tertawa, "'Ah, kubatalkan saja pertanyaanku yang tadi. Barangkali apa yang kau kerjakan itu tidak boleh diberitahukan kepada sembarangan orang.“
Sahut Thia Hou, "Terima kasih atas pengertian saudara He Hou. Tetapi bolehlah kita berjalan bersama-sama sampai ke Wan-cuan."
Keduanya lalu berkuda berdampingan, sambil menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. He Hou Yong bercerita tentang pertempuran di Hek-liong-kang melawan balatentara Jepang, di mana Thia Hou kebetulan tidak ikut dalam pertempuran itu.
Ketika ceritanya sampai bagaimana Ni Keng Giau berusaha menjerumuskan Pasukan Hui-liong-kun ke kehancuran, rahang He Hou Yong berkeretak menahan kemarahannya.”Itulah nasib teman-teman kita di Hek-liong-kang, saudara Thia," kata He Hou Yong sambil mengepalkan tinju. "Hui-liong-kun sudah banyak jasanya bagi kekaisaran, tak terduga hancurnya karena dikhianati dari belakang oleh teman sendiri."
Agaknya He Hou Yong begitu geram, sehingga ia mencabut goloknya dan membacok sebatang pohon di pinggir jalan, sehingga kulit pohon itu tergores miring. Melihat He Hou Yong begitu sakit hati kepada Ni Keng Giau, sekilas timbul pikiran Thia Hou untuk mengajak He Hou Yong bergabung kepihaknya. Namun niatnya itu ditundanya dalam hati. Dulu memang He Hou Yong rekannya, tetapi setelah berpisah hampir tiga tahun, siapa tahu?
"Saudara He Hou, sudahlah. Akupun geram mendengar tentang nasib teman-teman kita di Hek-liong-pang, namun kesedihan dan kemarahan yang berlarut-larut, apa gunanya?"
"Memang tidak ada gunanya. Tetapi setiap aku tidur, rasanya terbayang teman-teman kita yang gugur di Hek-liong-pang menampakkan diri, menuntut agar aku membalaskan kematian mereka yang penasaran. Tapi...ah, kekuatan sendiri mana bisa mengemban permintaan teman-temanku itu?"
Menghangatlah darah Thia Hou mendengar ucapun-ucapan rekannya itu, sehingga akhirnya ia berkata, "Saudara He Hou, sebenarnya aku juga tidak tinggal diam saja selama ini. Aku terlibat perjuangan bawah tanah untuk menggulingkan Yong Ceng dari singgasananya, dan kemudian menjunjung Pangeran In Te ke atas tahta."
Sepasang bola mata He Hou Yong bersinar mendengar itu, "He, benarkah itu, saudara Thia? Kalau begitu, semangat perajurit Hui-liong-kun belum padam dalam jiwamu. Hebat. Tetapi, apa saja yang kau lakukan selama ini?"
Karena sudah mulai mempercayai He Hou Yong, Thia Hou menjawab, "Yang kulakukan terlalu kecil artinya dibandingkan dengan tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang secara gagah perkasa menentang kelaliman Yong Ceng. Tapi setidak-tidaknya aku tidak berpangku tangan saja, aku gembira bisa membantu sedikit-sedikit."
"Saudara Thia, kau lebih beruntung daripada aku, sebab kau sudah mendapatkan saluran untuk semangat juangmu," kata He Hou Yong sambil menarik napas. "Sedangkan aku? Ah.... semangatku melonjak-lonjak tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Belum kutemukan saluran untuk kemarahanku kepada Yong Ceng."
"Bergabunglah denganku," kata Thia Hou akhirnya. "Saudara He Hou, maafkan kalau tadi aku berbohong kepadamu, tetapi harap saudara bisa memaklumi kerahasiaan tugas yang sedang kupikul. Tapi sekarang aku tidak ragu-ragu lagi kepadamu."
He Hou Yong menegang wajahnya, namun ia diam saja dan membiarkan Thia Hou terus berbicara. "Saudara He Hou, aku sebenarnya sedang menuju ke Tiau-im-hong..."
"Markas pejuang-pejuang Hwe-liong pang yang gagah berani itu?"
"Benar."
"Saudara Thia, ajaklah aku ke sana. Aku ingin bergabung dengan Hwe-liong-pang dan berjuang bersama. Bukankah kabarnya Goan-swe Pak Kiong Liong juga ada di Sana?"
Tanpa berpikir lagi, Thia Hou mengangguk gembira, merasa mendapat tambahan satu teman seperjuangan. la juga sudah mendengar, sepasukan bekas perajurit Hui-liong-kun di bawah pimpinan Tok Koh Lui juga sudah bergabung dengan Hwe-liong-pang. la membayangkan, alangkah gembiranya pertemuan antara dirinya, Tok Koh Lui dan He Hou Yong, tiga bekas rekan sepasukan, apalagi kalau bertemu dengan Pak Kiong Liong sendiri. Maka merekapun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama kemudian, di tempat di mana He Hou Yong membacok pohon tadi, muncul pula dua lelaki berkuda. Melihat bekas bacokan di batang pohon, mereka berhenti dan memperhatikan sejenak. Lalu salah seorang dari mereka tersenyum sambil berkata, "Bacokannya miring dari kanan atas ke kiri bawah. Hem, bagus. Jejak utusan rahasia Pangeran In Te itu sudah kita ikuti dengan tepat. Bagus, pengacau-pengacau itu memang harus hancur semua. Setelah Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai dilumpuhkan, sekarang Hwe-liong-pang menyusul. Setelah itu, siapa menyusul?"
Orang pertama yang mukanya seperti burung hantu itu berkata, "Setelah Hwe-liong-pang, berikutnya adalah Siau-lim-pai..."
Temannya kaget, "He, jangan sembarangan bicara. Kau dengar dari siapa?"
"Tentu saja dari Hong-siang sendiri. Ketika dia merundingkan hal ini dengan Kok-kiu Liong Ke Toh, aku hadir disana dan ikut mendengarkan."
Temannya itu hampir saja berteriak "gila", namun ditahankannya, sebab itu sama saja dengan memaki kaisar, berat hukumannya kalau sampai dilaporkan. Namun suaranya masih bernada kurang percaya. "Jadi ada rencana untuk menghancurkan Siau-lim-pai juga? Sulit dipercaya. Bukankah Hong-siang dan Jenderal Ni Keng Giau adalah murid-murid Siau-lim-pai? Bukankah Siau-lim-pai juga mendukung Hong-siang naik tahta, dan selama ini juga bersikap tidak mengganggu kekuasaan Hong siang? Kalau Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang hendak dibasmi, itu wajar, sebab mereka menentang pemerintah. Tetapi Siau-lim-pai?"
Orang berwajah burung hantu itu bernama Leng Bun, seorang anggota tingkat tinggi dari kelompok Hiat-ti-cu, sebelumnya adalah seorang begal besar di Ciat-kang. Memang dia sering mendengar perbincangan Kaisar Yong Ceng, lalu dia berlagak kepada teman-temannya bahwa ia sudah "diajak berunding" oleh Kaisar, padahal hanya menguping dari kejauhan.
Kini, terbawa oleh lagak sok tahunya, diapun menjawab panjang lebar, "Hoa Keng-bi, biarpun Siau-lim-pai kelihatannya diam saja, sebenarnya mereka memendam sebuah tuntutan yang sulit dipenuhi oleh Hong-siang. Mereka menuntut agar orang Han dibebaskan dari kewajiban menguncir rambut seperti orang Manchu, nah, mana bisa tuntutan ini dipenuhi? Kalau peraturan itu dihapuskan, antara orang Han dan orang Manchu akan terbelah dengan tajam, kalau satu tuntutan dipenuhi, bagaimana kalau muncul tuntutan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya?"
"Pantas, belakangan ini sering ada pendeta Siau-lim-pai berkunjung kepada Hong-siang."
"Dan Hong-siang sudah jemu akan kunjungan mereka, apalagi kalau selalu membawa tuntutan yang diulang-ulang terus. Karena itu, Hong-siang memutuskan untuk membakar wihara tua di bukit Si-ong-san itu dan menghabisi semua penghuninya."
Leng Bun mengatakan itu dengan ringan saja, seringan orang bercerita tentang kacang goreng atau minum arak saja. Namun Hoa Keng Bi sudah berkeringat dingin punggungnya, biarpun dia sendiri termasuk orang yang berdarah dingin dalam membunuh korbannya, sesuai dengan kedudukannya sebagai anggota Hiat-ti-cu.
Hanya karena jemu menghadapi tuntutan janji yang pernah diucapkannya sendiri, Yong Ceng hendak menumpas perguruannya sendiri, nyawa mereka dianggap nyawa lalat saja. Orang sekejam Hoa Keng Bi toh merasa bergidik juga membayangkan segala tindakan Yong Ceng. Mengabdi Kaisar macam itu ternyata tidak seenak yang dibayangkannya. Rasanya seperti berdekatan dengan seekor macan. Kalau sang macan sedang kenyang dan mengantuk, amanlah dirinya. Tapi kalau sang macan mengaum gusar, celakalah orang-orang di sekitarnya.
Mereka berjalan terus, dan kira-kira tiga li kemudian, ada lagi sebatang pohon di tepi jalan yang diberi goresan sejajar. Si muka burung hantu Leng Bun segera mengartikan tanda itu, "Mereka berdua menginap di kota kecil di depan. Kita harus cari penginapan mereka, lalu menginap di tempat yang sama."
Tanya Hoa Keng Bi, "Apakah akan langsung kita bereskan?"
"Jangan gegabah, lihat-lihat situasi dulu. Yang penting bukan nyawa Thia Hou, melainkan surat Pangeran In Te yang dibawanya, supaya surat itu bisa dijadikan bukti oleh Hong-siang untuk mendakwa Pangeran In Te."
Kembali tengkuk Hoa Keng Bi merinding. Terhadap saudaranya sendiri pun Yong Ceng selalu mencari kesempatan untuk mencelakakannya, apalagi terhadap orang lain. "Lihat-lihat situasai dulu bagaimana?"
"Barangkali In Te mengirim lebih dari satu orang, lewat jalan yang berbeda-beda. Nah, biarkan He Hou Yong dulu berhasil mengorek keterangan dari mulut Thia Hou, siapa saja yang diutus ke Tiau-im-hong, dan lewat jalan mana saja. Setelah jelas, barulah kita bereskan Thia Hou."
Hoa Keng Bi hanya mengangguk-angguk saja. Di kota kecil di depan mereka, hanya ada dua buah penginapan, dan tidak sulit untuk menemukan tempat menginapnya Thia Hou dan He Hou Yong, karena He Hou Yong sudah membuat tanda rahasia di depan pintu.
Kedua algojo Hiat-ti-cu itu berpakaian seperti orang biasa, tidak memakai pakaian ringkas hitam seperti biasanya, sebab pakaian macam itu gampang menarik perhatian. Senjata Hiat-ti-cu mereka juga dikerudungi dengan kain, kalau ditanya orang, mereka jawab saja "sangkar burung". meskipun mereka heran juga, ada sangkar burung kok diberi rantai sepanjang itu? Mereka langsung masuk penginapan, menempati sebuah kamar di halaman belakang, sehingga dapat mengawasi seluruh halaman itu.
Leng Bun dan Hoa Keng Bi melambatkan langkah mereka, ketika melihat He Hou Yong melangkah sendirian di halaman itu. Ketika Leng Bun melihatnya, He Hou Yong mengangguk kecil, lalu melangkah ke bagian paling belakang dari rumah penginapan itu, dekat kandang kuda. Leng Bun dan Hoa Keng Bi mengikuti nya dari jarak tertentu.
Tempat yang dipilih itu penuh bau kotoran kuda, sehingga Leng Bun menggerutu, "Setan alas, kenapa kau pilih tempat macam ini untuk berbicara?"
He Hou Yong berhenti melangkah, lalu berkata sambil tertawa, "Setelah kuperhatikan sejak tadi , justru tempat ini paling aman untuk berbicara."
"Cepat katakan."
"Thia Hou sendirian saja di jalur ini. Tapi ayahnya lewat jalan lain, lewat kota Teng-hong terus Bun-siau, juga membawa surat serupa untuk Ketua Hwe-liong-pang."
"Bagaimana kau bisa mengorek keterangannya sampai demikian jelas?"
"Aku berhasil membuatnya percaya, bahwa aku adalah teman seperjuangannya yang tetap setia kepada Pangeran In Te."
"Dan siapa ayah Thia Hou?"
"Kalian tentu sering melihat orang itu di istana. la seorang Thai-kam tua yang biasa dipanggil Thia Kong-kong, biasa berkeliaran di sekitar bangsal Leng-goat-kiong ."
"Hah? Jadi si tua yang hampir mampus itu juga berani main gila?"
"Menurut penuturan Thia Hou, orang tua itu adalah bekas panglima bawahan Pangeran In Te yang sampai kini tetap setia, tetap memperjuangkan naiknya Pangeran In Te ke tahta."
Hanya itulah yang mereka percakapkan, lalu He Hou Yong kembali ke kamar yang ditempatinya bersama Thia Hou. Sambil menunggu saat yang tepat untuk membunuhnya, lalu merampas surat dari Pangeran In Te untuk Ketua Hwe-liong-pang.
Sementara itu, Leng Bun juga telah memerintahkan Hoa Keng Bi, "Tadi kau sudah dengar sendiri arah perjalanan Thia Kong-kong, nah, sekarang juga berangkat menyusuInya!”
"Tetapi hari sudah gelap, Leng Toako, apakah tidak bisa memberi aku kesempatan istirahat semalam di sini, makan, lalu besok pagi baru aku berangkat?"
"Supaya Thia Kong-kong sempat tiba di Tiau-im-hong?" kata Leng Bun bengis, "Perintahku, berangkat sekarang juga!"
Karena kalah pangkat, apa boleh buat, dengan malas-malasan dia berangkat juga. Pada saat yang sama, Thia Hou tanpa ragu-ragu membeberkan semua keterangan kepada He Hou Yong yang dipercayainya. Bahkan surat Pangeran In Te juga diperlihatkannya, sambil berkata penuh tekanan,
"Salah satu dari aku atau ayahku harus sampai ke Tiau-im-hong untuk menyampaikan surat ini. Saudara He Hou, kalau ada apa-apa atas diriku, jangan pedulikan aku. Kau harus langsung menuju ke Tiau-im-hong untuk menyerahkan surat ini...."
Dan tiba giliran Kim Seng Pa yang menyerang bertubi-tubi dengan sepasang telapak tangannya yang membawa kekuatan yang menyesakkan napas itu. Tanpa bisa mengharapkan bantuan siapapun, Hok Leng Kui harus menghadapi Kim Seng Pa satu lawan satu.
Sementara itu, Cu Teng Hong yang berpakaian seperti Kaisar itu, setelah berhasil merobohkan beberapa pengawal Yong Ceng, langsung menerjang ke depan Yong Ceng sendiri, sambil berteriak, "Bangsat Manchu, kembalikan istana leluhurku ini!"
Yong Ceng tertawa mengejek, "Istana ini bukan milik leluhurmu, karena sudah dibangun berabad-abad sebelum dinasti Beng didirikan. Siapa yang kuat, dialah yang memiliki istana ini. Dulu kakekku Sun Ti merebut dari kakekmu Cong Ceng dengan senjata, dan sekarang kau juga harus merebut dengan senjata!"
"Baik. Kubunuh kau!" Pedang Cu Teng Hong langsung menyergap ke ulu hati dengan gerakan Kim ke tok-siok (Ayam Emas Mematuk Beras). Ilmu pedang yang dimainkannya ialah Jian-hong kiam-hoat (ilmu Seribu Burung Hong) yang penuh kelincahan dan tipu tipu yang rumit.
Yong Ceng langsung menyambutnya dengan Hok-mo-thung-hoat aliran Siau-lim-pai yang bergaya kuat dan mantap. Toyanya menderu bagaikan baling-baling terhenbus badai.
Demikianlah pertempuran antara dua orang keturunan dari kerajaan-kerajaan yang bermusuhan itu. Pedang dan toya saling menyambar dengan cepat dan kuatnya. Cu Teng Hong Iincah dan indah gerakannya seperti burung hong yang menari-nari di udara, sedangkan Yong Ceng tangkas dan kuat seperti seekor macan tutul yang menerkam mangsanya.
Dalam kacaunya pertempuran itu, Ji Han Lim merasa bahwa rencananya untuk membunuh Yong Ceng mendapat peluang baik. Setelah itu ia tidak peduli apakah tubuhnya akan dicincang para pengawal istana. Maka ia hanya bertempur setengah hati melawan orang-orang Jit-goat pang yang menyerangnya. Sepasang kampaknya hanya digunakan untuk bertahan.
Tapi supaya pengawal-pengawa jubah ungu lainnya tidak curiga, sekali-sekali ia juga berteriak keras memaki orang-orang Jit-goat-pang, supaya kelihatan sungguh-sungguh membela kaisar. Namun dengan gerakan tidak kentara, sambil bertempur dia berceser perlahan mendekati Yong Ceng yang juga tengah sibuk melawan Cu Teng Hong.
Waktu itu, Yong Ceng sudah berhasil mendesak Cu Teng Hong. Hok-mo-thung hoat (Ilmu Toya Penakluk Iblis) yang dimainkannya memang merupakan salah satu ilmu andalan Siau-lim-pai, ditambah lagi, Yong Ceng melatihnya dengan giat setiap hari, maka ilmu pedang Cu Teng Hong tak mampu membendung nya lagi, biarpun "Kaisar" Jit-goat-pang itu sudah memperkuat perlawanannya dengan Hou-jiau-kang tangan kirinya.
Melihat sang "raja" dalam kesulitan, seorang anggota Jit-goat-pang yang bernama Pek-sim Hwe-shio dan bersenjata kiu-goan-to, segera membantunya sambil berseru, "Biar hamba membantu Tuanku membereskan bangsat Manchu ini!"
Lalu goloknya membacok miring ke kepala Yong Ceng. Yong Ceng kaget, melawan Cu Teng Hong sendiri dia masih bisa menang, tapi kalau dikeroyok dua dia terancam bahaya. Sambil rnundur mengelakkan golok Pek-sim Hwe-shio, Yong Ceng melihat sekitarnya untuk mencari bantuan. Ketika melihat Ji Han Lim yang paling dekat, diapun berseru, "Ji Han Lim, bantu aku!"
Yong Ceng sudah mendengar laporan Kim Seng Pa bahwa Ji Han Lim adalah anggota pengawal baru yang “amat setia" sehingga rela membunuh adiknya sendiri. Kini dalam keadaan terancam oleh Cu Teng Hong dan Pek-sim Hweshio, maka Yong Ceng memanggilnya.
"Hamba segera datang, Tuanku" sahut Ji Han Lim. Setelah mendepak seorang anggota Jit-goat-pang yang merintanginya, dia lalu mendekati Yong Ceng. Ketika ia melompat masuk arena, Pek-sim Hweshio menyongsongkan goloknya. Tapi sesuatu yang berada diluar dugaan semua orang pun terjadi. Ji Han Lim ternyata nekad tidak menghiraukan golok Pek-sim Hwe-shio, malah sepasang kampaknya diayunkan sekuat tenaga ke arah Yong Ceng sambil berteriak, "Kaisar lalim, terimalah ajalmu!"
Yong Ceng terkesiap, ia mengangkat toya untuk menangkis kampak, namun tangkisannya kurang bertenaga karena kaget sehingga salah satu kampak Ji Han Lim tetap mengenai pundak Yong Ceng. Ji Han Lim sendiri punggungnya terluka parah oleh golok Pek-sim Hwe-shio.
Tanpa mempedulikan Pek-sim Hwe-shio, Ji Han Lim dengan beringas mengangkat kampaknya lagi untuk membacok Yong Ceng. Namun Toh Jiat Hong cepat menyelamatkan Yong Ceng dengan menerkam ubun-ubun Ji Han Lim dengan jari-jari tangannya yang langsung amblas ke tulang kepala.
Sementara itu, dengan muka merah padam karena murkanya, Yong Ceng melompat mundur sambil mendekap pundaknya yang luka. Teriaknya, "Salah seorang kelompok pengawalku telah mencoba berkhianat!"
Dengan ketakutan Toh Jiat Hong menjawab, "Ampun Tuanku. Kami bersalah sehingga kelompok kami kesusupan seorang pengkhianat! Kami akan menebus kesalahan kami dengan membasmi musuh sebanyak-banyaknya. Sementara tubuh Ji Han Lim terkulai, sebelum nyawanya lepas, ia sempat berbisik lirih sendiri, "Maaf, Pang-cu aku gagal"
Biarpun Ji Han Lim sudah tewas, namun Yong Ceng tetap kecewa kepada kelompok jubah ungu yang selama ini dipercayainya. Dan seluruh kelompok jubah ungu, termasuk Kim Seng Pa, dapat merasakan hal itu. Merasa ngeri akan tertimpa kemurkaan Kaisar, seluruh kelompok jubah ungu bertempur lebih sengit, berusaha membunuh orang-orang Jit-goat-pang sebanyak-banyaknya sebagai wujud "rasa bersalah" mereka.
Di pinggir gelanggang, Yong Ceng membalut luka dibantu oleh Ni Keng Giau. Di sekitarnya berdirilah pengawal-pengawal Gi-cian Si-wi dengan senjata terhunus untuk menjaganya. Kelompok yang dulu di anak-tirikan itu kini kembali mendapat kepercayaannya.
Sementara jago-jago seragam ungu yang hendak '‘menebus dosa" itu semuanya berkelahi seperti banteng luka. Biarpun pihak Jit-goat- pang juga bertempur dengan fanatik, tapi sedikit demi sedikit mereka mulai terdesak oleh Kim Seng Pa dan anak buahnya.
"Tumpas habis tanpa ampun!" gelegar suara Kim Seng Pa menggetarkan seluruh arena, memerintahkan anak buahnya. Kim Seng Pa sendiri mengerahkan jurus-jurus tertinggi dari Liok-hap-ciang-hoatnya. la pernah memuji Ji Han Lim di hadapan Kaisar, tahu-tahu sekarang muncul peristiwa macam ini, apa katanya kelak di hadapan Kaisar?
Dan celakalah Tui-hun-siu Hok Leng Kui yang menjadi penampung kekesalan Kim Seng Pa itu. la terkepung ribuan bayangan telapak tangan, terjeblos dalam pusaran kekuatan yang menghimpit makin menyesakkan. Percuma ia memegang pedang, sebab pedangnya tak pernah lagi bisa diarahkannya dengan benar, seperti sehelai ilalang di angin kencang, senantiasa terguncang pergi oleh kekuatan pukulan lawannya. la juga tidak berani mengandalkan iImu meringankan tubuhnya terangkat dari tanah, ia takkan dapat menginjak tanah lagi. Pasti tubuhnya akan terhempas remuk oleh prahara serangan lawannya.
Di bawah tekanan kuat angin pukulan Kim Seng Pa, Hok Leng Kui mencoba bertahan dengan memutar pedangnya bundar melebar, tapi guncangan tenaga lawan terlalu kuat, sehingga putaran pedangnya mencang- mencong tak keruan. Saat itulah Kim Seng Pa menyergap bagai serigala, telapak tangannya berhasil menebas pergelangan tangan Hok Leng Kui sehingga terdengar gemeretak tulang patah dan pedang yang jatuh ke Iantai.
Karena tak sempat mundur, Hok Leng Kui ayunkan cengkeraman tangan kiri untuk menahan musuh. Tapi ia malah menambah penyakit, sebab tangan kirinya kena tercengkeram dan langsung dipuntir patah oleh Kim Seng Pa. Hok Leng Kui tak tahan untuk tidak melolong seperti anjing kena tendang, lupa martabatnya sebagai guru dari Kaisar Jit-goat-pang.
Lolongannya terhenti setelah Kim Seng Pa menjotos ubun-ubunnya sehingga retak. Cu Teng Hong kaget melihat gurunya mampus, perhatiannya jadi kacau dan akhirnya ia ikut mampus pula karena terobek-robek oleh pinggiran payung hitam Suma Hek-long yang tajam dan di putar kencang.
Teriakan-teriakan "runtuhkan Ceng bangunkan Beng" masih terdengar beberapa kali, namun tidak selantang semula. Setelah melihat pentolan-pentolan mereka tewas satu demi satu, orang-orang Jit-goat-pang jadi kehilangan gairah untuk menyabung nyawa. Namun mereka sudah terlanjur masuk sarang macan, dan mengusik macan-macannya sehingga marah.
Di luar istana, orang orang Jit-goat-pang yang bermunculan di mana-mana dalam jumlah tak terduga itu memang membuat pasukan kerajaan terus kewalahan dan terdesak. Di seluruh kota, di jalan-jalan, lorong-lorong, halaman-halaman rumah, bahkan atap-atap rumah, telah terjadi pertempuran sengit. Pasukan kerajaan dengan gigihnya terus berusaha membendung gerak maju musuh, tapi mereka terus terdesak juga. Sebaliknya orang-orang Jit-goat-pang juga banyak yang jadi korban, tetapi mereka terus menyerbu, mereka sudah membayangkan bahwa istana akan mereka kuasai, dan Kerajaan Beng akan bangkit kembali.
Di saat pasukan pemerintah sudah tergiring sampai pinggiran lapangan Thian-an-bun dekat istana Kaisar, mendadak terdengar dentuman meriam bertubi-tubi menggempur sembilan pintu kota. Pintu-pintu yang dikuasai kaum Jit goat-pang itu terdobrak dari luar, lalu pasukan Tiat-ki-kun anak-buah Ni Keng Giau membanjir masuk kota. Pasukan berkuda sebagai "ujung tombak" dan pasukan jalan kaki menyusul di belakangnya.
Kaum Jit-goat-pang sebenarnya nyaris mutlak menguasai Pak-khia, kecuali istana yang masih dipertahankan dengan gigih oleh pihak pemerintah. Namun semua jalan dan lorong sudah dikuasai pihak Jit-goat-pang, bahkan mereka mulai membersihkan tempat-tempat itu dari sisa-sisa tentara pemerintah yang masih terdapat di situ. Bahkan penduduk yang tidak bersalahpun, asal dicurigai sebagai "antek Manchu" langsung dibabat pula. Penduduk Pak-khia tercengkam kengerian oleh ulah orang-orang Jit-goat pang yang sedang mabuk kemenangan itu.
Namun munculnya pasukan Tiat-ki-kun mengubah keadaan. Pasukan tempur yang garang itu memang tidak berseragam seindah pasukan di ibukota, tampang mereka juga bukan tampan kelimis orang-orang istana, melainkan tampang-tampang medan perang. Dan kegarangan mereka membuat orang-orang Jit-goat-pang merasa bahwa kemenangan yang hampir tergenggam itu tiba-tiba menjauh kembali.
Sepasukan tentara berkuda Tiat-ki-kun mencoba menyusuri sebuah jalan poros yang langsung menuju ke istana, untuk menyelamatkan Kaisar. Bumi bergetar oleh derap ratusan kuda-kuda tegar dengan penunggang-penunggangnya yang perkasa itu. Pihak Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai mencoba menghadang pasukan itu agar tidak mencapai pusat kota yang sudah mereka kuasai.
Sekelompok pemanah, pelempar lembing dan penembak dengan senapan, berjongkok berderet-deret di atas dinding dinding di kedua tepi jalan yang akan dilewati pasukan berkuda itu. Begitu pasukan berkuda muncul, hujan panah, lembing dan peluru menyambut mereka dari sebelah menyebelah jalan.
Beberapa perajurit Tiat-ki-kun roboh dari kuda, tetapi lainnya terus maju dengan mengangkat perisai-perisai mereka. Mereka tidak menggubris hambatan itu, sebab tujuan utama mereka adalah istana Kekaisaran, seperti yang di perintahkan komandan mereka, bukan meladeni orang-orang Jit-goat-pang yang masih bertebaran di mana-mana.
Seorang gembong Jit-goat-pang marah melihat anak-buahnya tak berhasil membendung arus pasukan berkuda itu. la lalu memerintahkan orang-orangnya untuk menghadang turun, dan dia sendiri dengan bersenjata golok Koan-to (Golok Bertangkai Panjang) menerjang ke tengah jalan yang tengah dilewati pasukan berkuda. Putaran golok Koan-tonya yang amat bertenaga segera menjatuhkan beberapa perajurit, bahkan ada yang dipotong sekalian dengan kudanya.
Seorang perwira Tiat-ki-kun bernama Gak Peng Sian yang juga bersenjata golok Koan-to, namun mahir dimainkan di atas kuda, segera menderapkan kudanya untuk menahan amukan tokoh Jit-goat-pang itu. Dua orang yang sama-sama bersenjata golok Koan-to segera terlibat pertempuran sengit, satu di atas kuda dan lainnya berjalan kaki.
Ketika ratusan orang Jit-goat-pang kemudian nekad menghadang ke tengah jalan, pasukan berkuda Tiat-ki-kun memang terhambat sejenak. Tapi ketika pasukan jalan kaki Tiat-ki-kun juga tiba di situ dalam jumlah ribuan orang-orang Jit-goat-pang pun tercerai berai. Sebagian gugur di tempat itu, sebagian lagi melarikan diri lewat lorong-lorong kecil di sekitar jalan raya. Pasukan berkuda, yang sedikit berkurang jumlahnya, segera melanjutkan perjalanan mereka. Dan orang-orang Jit goat-pang yang masuk kelorong-lorong kecil itu menjadi urusan pasukan jalan kaki.
Kedatangan pasukan Tiat-ki-kun menjadi lonceng kematian buat orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai. Mereka tersapu dari seluruh pelosok kota, biarpun sudah melawan dengan gigih. Jalan-jalan yang tadinya dipenuhi orang-orang bersenjata yang berteriak "hancurkan Ceng, bangunkan Beng" kini dijaga ketat oleh perajurit-perajurit kerajaan. Mayat kedua pihak bertebaran di mana-mana.
Sementara tokoh-tokoh Jit-goat-pang yang berhasil menerobos sampai keruang pesta, habis tergilas kemarahan Kim Seng Pa dan anak-buahnya. Di bagian lain dari istana, mereka dilumpuhkan oleh para pendeta Ang-ih-kau, dan para pengawal Gi-cian Si-wi maupun Lwe teng Wi-su. Menjelang malam, pertempuran usai, biarpun di beberapa lorong masih terjadi kucing-kucingan antara kedua belah pihak.
Suasana kota Pak-khia berubah mengerikan. Tidak ada penduduk yang berjalan-jalan di luar rumah, semuanya menutup diri dalam rumah sambil menggigil ketakutan. Lampion-lampion indah sudah hancur, "hiasan"nya diganti dengan mayat-mayat yang bergeletakan di sana sini, di antaranya ada yang sudah tidak lengkap lagi dan sulit diketemukan bagian tubuhnya yang hilang.
Pembantaian selesai. Di mana-mana hanya ada mayat, mayat, dan mayat. Di jalan, bersandar tembok, di parit, di emperan toko, di taman. Warna merah kental dicipratkan di mana-mana. Esok harinya, ribuan anggota Jit-goat-pang yang diketemukan terluka atau tertangkap hidup-hidup, oleh Kaisar Yong Ceng dikabulkanlah bagian kedua dari cita-cita mereka, "menjadi hantu Kerajaan Beng". Mereka dipenggal. Lalu batok-batok kepala mereka di jadikan hiasan di sepenjang tepi jalan besar, menggantikan lampion-lampion yang kemarin mereka rusakkan.
Mayat Ji Han Lim diperlakukan paling istimewa. Bukan saja kepalanya di gantung di pintu gerbang, namun tubuhnya dibakar habis dan abunya disebarkan ke parit kotoran. Dengan demikian keinginannya yang pernah diutarakan ke pada Kui Hok untuk dikuburkan di Tiau-im-hong berdampingan dengan kuburan ayahnya dan adiknya, tidak terlaksana.
Namun perajurit perajurit yang menjaga batok kepala itu, malamnya melihat "sesosok hantu terbang" membawa pergi kepala itu. Tak tercegah oleh para perajurit. Para perajurit menyebutnya hantu, sebab bayangan itu bergerak amat cepat, dan pukulan tangannya membawa hawa dingin yang menggigilkan tubuh.
Beberapa hari kemudian, ketenangan diIbukota Kekaisaran itu pulih kembali, meskipun para perajurit masih ke lihatan berjaga-jaga di segala sudut. Dan Kaisar Yong Ceng mengundang pejabat-pejabat tinggi dibidang kemiliteran untuk bersidang di istana. Di aula istana, sudah nampak Peng po Siang-si yang bertubuh kurus dan berambut putih, para Panglima dari semua pasukan, bahkan Biau Beng Lama dan Kim Seng Pa hadir juga.
Ni Keng Giau dengan pakaian kebesarannya sebagai Panglima Tertinggi, seperti biasa, berdiri memisahkan diri dari kelompok orang-orang yang tengah menantikan kehadiran Kaisar itu. Wajahnya tetap dingin dan angkuh, semua hadirin di ruangan itu tidak ada yang di pandangnya sederajat dengannya.
Tak lama kemudian, seorang thaikam (pelayan kebiri) muncul dan berseru, "Hong- siang tiba!"
Para pejabat di aula serempak menekuk lutut, menyambut Kaisar dergan seruan pujian mereka, "Ban-swe! Ban-swe!"
"Bangunlah!" kata Yong Ceng setelah duduk di singgasananya. Gerakan pundaknya masih agak kaku oleh luka bacokan oleh Ji Han Lim belum sembuh benar. Lebih dari itu, amarahnya masih jauh dari reda.
Setelah semuanya bangkit, Yong Ceng berkata, langsung ke persoalannya, "Kita baru saja mengalami peristiwa yang memalukan. Orang-orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai berhasil menyusupkan orang begitu banyak ke Pak-khia, dan mereka nyaris menguasai seluruh kota, termasuk istana ini. Itu karena kelengahan kalian, yang selama ini hanya menganggap mereka sebagai pencoleng-pencoleng kecil yang tidak berbahaya!”
Sidang dibuka dengan menyalahkan bawahan-bawahannya. Semua hadirin menundukkan muka sehingga ruangan sidang itu sunyi mencekam. Kim Seng Pa berdiri di deretan paling belakang, dan mukanya tertunduk paling dalam.
Terdengar lagi suara Yong Ceng, "Selama ini, aku merasa telah kalian nina-bobokkan. Semua laporan hanya menyebut aman, baik-baik dan sebagainya, jauh dari kenyataan sebenarnya. Mulai sekarang, aku tidak mau lagi mendengar laporan macam itu. Laporkan seadanya. Jangan sampai pencoleng-pencoleng kecil tahu-tahu telah tumbuh menjadi kekuatan yang membahayakan kekaisaran!"
Para hadirin masih bungkam. Bernapaspun tidak berani keras-keras, khawatir kalau bernapas terlalu keras akan menimbulkan akibat buruk.
“…… sekarang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai sudah kita lumpuhkan. Tapi masih ada satu kelompok berbahaya di kekaisaran ini!"
Pangeran In Te berdegup jantungnya. Jangan-jangan dirinyalah yang akan dituding sebagai "kelompok berbahaya" itu? Namun yang dituding Kaisar Yong Ceng ternyata bukan dirinya, "Kelompok itu adalah Hwe-liong-pang! Semakin lama mereka semakin berani menantangku!“
Pangeran In Te lega, namun tidak lega sama sekali. Selama ini ia mendengar bahwa di Hwe-liong-pang ada panannya, Pak Kiong Liong, yang masih setia memperjuangkan Pangeran In Te sebagai ahli waris tahta yang sah. In Te khawatir, kalau Hwe-liong-pang dihancurkan, jangan- jangan dirinya sendiripun menyusul disingkirkan kemudian?
Sebuah pikiran muncul di benak In Te, "Rencana ini harus kukabarkan ke pihak Hwe-liong-pang secara diam-diam, agar mereka dapat bersiap-siap menyelamatkan diri..."
Sementara itu, Yong Ceng berkata, "Hwe-liong-pang sudah berani menyelundupkan orang untuk membunuhku, ini tak bisa dimaafkan lagi. Sebenarnya yang patut ditumpas cuma Pak Kiong Liong dan In Tong, namun karena Tong Lam Hou ikut-ikutan dan menyembunyikan buronan-buronanku, dia harus ditumpas pula beserta seluruh Hwe-liong-pang!”
Sesaat ruangan itu tetapi sunyi, sampai Yong Ceng memerintahkan, "Kalian diperkenankan bicara."
Peng-po Siang-si nenoleh diri ke kiri dan kanan, lalu berlutut dan berkata, “Hamba akan melaporkan sesuatu Tuanku...."
“Katakan...!”
“Sepuluh hari yang lalu, datang utusan dari Hok Ciang-kun yang mengawasi Jing-hai. Dalam suratnya, Hok Ciang-kun melaporkan bahwa para pengikut Thai-cin-kau (Kristen Nestorian) dari suku suku Mongol, Hui dan Kazak teelah menberontak di bawah pimpinan Alai Butan, menuntut agar daerah mereka boleh memiliki hukum sendiri. Kalau kita menolak, mereka mengancam lebih suka bergabung dalam kekaisaran Rusia yang seagama dengan mereka, biarpun berlainan sekte. Lalu di Jing-hai Selatan, orang-orang Hwe-kau (Muslin) juga angkat sejata...."
"Laporannya sudah sepuluh hari, kenapa baru kau laporkan sekarang?"
“Karena menjelang hari ulang tahun Tuanku, hamba khawatir akan mengurangi kegembiraan Tuanku….."
Nasbib malang memang datangnya tak bias diperhitungkan. Kata-kata Peng-Po Siang-si itu malah menimbulkan kemaran Yong Ceng. “Penjilat!, kau piker aku tak sanggup berpikir lagi, biarpun menjelang pesta? Bagaimana kau berani menunda sepuluh hari atas laporan yang begitu peting? Bagaimana kalau keadaan di Jing-Hai terlanjur tidak bias dikuasai lagi?”
Merasakan gelagat buruk, buru-buru Peng-po Siang-si menyembah-nyembah sampai jidatnya membentur tanah. “Hamba mohon ampun. Tuanku….hamba hanya bermaksud…."
“Pengawal! Penggal kepala menteri tak berguna ini.!”
Beberapa pengawal masuk dan menyeret menteri yang sial itu. Beberapa panglima dan Menteri cepat-cepat berlutut untuk memohonkan ampun bagi Peng-po Siang-si yang telah mengabdi dengan baik sejak jaman pertengahan pemerintahan Kaisar Khong Hi. Namun Yong Ceng yang sedang marah itu tak menggubris permohonan mereka. Malah mengancam.
"Yang tidak setuju dengan keputusanku tadi, silahkan menyusul sekalian ke neraka. Aku malah merasa bersyukur kalau pemerintahanku bebas dari orang-orang yang lemah dan lamban kerjanya!"
Ni Keng Giau yang tidak ikut memohonkan ampun bagi Peng-po Siang-si itu, langsung mendukung, "Hamba mendukung keputusan Tuanku. Keselamatan kekaisaran memang harus diutamakan. Hukum Besi harus dijalankan kepada musuh musuh kita, kepada rakyat, dan kepada kita sendiri. Kalau Tuanku berkenan, hamba siap berangkat ke Jing-hai untuk menangkap Alai Butan dan memakukannya pada salib, biar nasibnya seperti Guru Agung Thai-cin-kau yang disembah-sembahnya itu."
Kim Seng Pa yang sedang berusaha mendapat kembali kepercayaan Kaisar itupun ikut-ikutan berkata, "Benar. Agama apapun di wilayah kekaisaran, harus menempatkan Tuanku sebagai Putera Langit sebagai sesembahan tertinggi.”
Sebenarnya masih banyak sanjung puja dengan kata-kata muluk yang hendak diucapkan, tetapi melihat Yong Ceng berwajah masam dan tidak menggubrisnya, terpaksa Kim Seng Pa tutup mulut sambil meratap dalam hati.
Sementara itu, Biau Beng Lama nampak cemas. Jing-hai dekat letaknya dengan Tibet yang menjadi pusat Ang-ih-kau. Di kawasan itu penduduk memeluk banyak agama. Selain Thai-cin-kau dan Hwe-kau, juga masih ada Tiau-yang-kau (agama penyembah api) dari Persia, ada Hindu dan Sikh, la khawatir pemberontakan Thai-cin-kau dan Hwe-kau akan merembet ke Tibet, la khawatir Thai-cin-kau akan mendapat kembali pengaruhnya di wilayah barat, seperti di jaman Kerajaan Tong dulu, bahkan sampai di Lhasa, ibukota Tibet, ditempatkan seorang uskup Thai-cin-kau yang dilindungi oleh kaisar Tong-ciu-cong waktu itu. Itu tidak boleh terulang, pikirnya.
Sedang yang dipikirkan In Te lain lagi. Sementara semua orang berbicara, In Te hanya bungkam, namun diam-diam memperhatikan wajah para Panglima. Siapa yang kelihatan tidak puas tetapi tidak berani menentang? Siapa yang kelihatan sebagai penjilat? Dan banyak sikap lain yang terungkap dari wajah mereka. Lalu In Te mencatatnya dalam hati, si ini begini dan si itu begitu. Ini bahan penting untuk langkah-langkah politiknya di kemudian hari.
Sidang kemudian ditutup setelah diambil keputusan, Hwe-liong-pang akan ditumpas dulu, setelah itu barulah pemberontakan di Jlng-hai yang memerlukan persiapan yang lebih matang. Pangeran In Te kemudian bergegas kembaIi ke Leng-goat-kiong, bangsal kediamannya. Tekadnya sudah bulat, akan mengirim berita secara diam-diam kepada Hwe-liong-pang, tapi harus sangat hati-hati, sebab ia tahu dirinya diawasi terus secara diam-diam oleh orang orang kepercayaan Kaisar Yong Ceng.
Ketika masuk bangsalnya, empat pengawal memberi hormat, namun In Te tahu bahwa mereka juga orang-orang Yong Ceng yang bertugas mengawasi dan mengekang tindak-tanduknya. Kepada mereka, In Te berkata, "Salah satu dari kalian, panggilkan Thia Kong-kong (thai-kam she Thia) untukku. Aku ingin bermain siang-ji (catur gajah) dengannya."
Salah seorang pengawal segera menjalankan perintahnya. Seorang pengawal lainnya bertanya dengan hormat, "Di mana Pangeran hendak bermain catur? Supaya hamba bisa mempersiapkan tempat itu..."
Sahut In Te sambil tersenyum ramah, "Biar pelayan-pelayanku saja yang mempersiapkan. Kalian tidak usah repot repot."
Para pengawal saling berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk mengusulkan, "Hamba usulkan, sebaiknya tidak bermain catur di tempat tertutup. Udaranya panas. Sebaiknya di gardu Pek-lian saja, di Sana sejuk...."
In Te tahu. Gardu Pek-lian ada di tengah kolam teratai sebuah tempat terbuka, tanpa dinding, berarti gerak-geriknya selama bermain caturpun akan tetap di awasi. "Kau berani mengatur aku?" geramnya. "Aku ingin bermain di mana saja, itu urusanku!”
Namun si pengawal tetap bandel. "Hamba tidak berani, Pangeran. Tetapi hamba memikul tugas yang tidak bisa di hindari..."
In Te benar-benar merasa terbelenggu. Semua orang masih menghormatinya, pakaiannya masih bagus, namun segala-galanya harus dikekang. la muak dengan belenggu itu, dan bertekad bahwa suatu saat belenggu itu harus dipatahkan. Namun saat itu ia tidak berani menentang terang-terangan, sehingga akhirnya ia berkata, "Baiklah, bersihkan gardu Pek-lian."
"Baiklah, Pangeran."
Tidak lama kemudian Pangeran In Te dan Thia Kong-kong sudah bertempur di papan catur. Seorang pengawal yang kupingnya amat tajam, karena memiliki ilmu Ting-hong-pian-gi (Mendengar Angin membedakan suara), berdiri agak jauh, namun berusaha mendengarkan apa saja yang di bicarakan Pangeran In Te dengan Thia Kong-kong. Tetapi ternyata yang dibicarakan hanya Iangkah-langkah catur, selebihnya hanya suara biji-biji catur yang berkelotakan di atas papan.
Sebenarnya, In Te dan Thia Kong-kong melakukan pembicaraan penting, namun bukan dengan mulut, hanya dengan jari-jari yang menggores-gores tepi papan catur untuk membentuk huruf-huruf bayangan. Itulah sebabnya si pengawal tukang menguping tak mendengar apa-apa. In Te menggoreskan kalimat pertamanya,
"Hwe-liong-pang hendak dihancurkan oleh kakanda Yong Ceng. Mereka harus segera diberi kabar."
Thia Kong-kong ini dulunya adalah pengikut In Te yang setia. Ketika angkatan perang In Te berhasil dilucuti dan In Te menjadi "tawanan terhormat" di istana, Thia Kong-kong alias Thia Bong Ek ikut menyelundup ke istana sebagai thai-kam. Untuk itu, ia harus berkorban dengan kehilangan sepasang "bola" kelakiannya. Tujuannya hanyalah mendampingi Pangeran In Te, sampai kelak berhasil merebut kekuasaan.
Thia Bong Ek memahami tulisan In Te, lalu iapun menggores, "Apa kaitan nya Hwe-liong-pang dengan kita?"
In Te menggores lagi, "Selama Hwe-liong-pang masih ada, Kakanda In Ceng ragu-ragu membunuhku. Kalau Hwe-liong-pang sudah remuk, keselamatanku di istana ini tidak terjamin lagi."
Thia Kong-kong memperlihatkan wajah mengerti, lalu menggoreskan telunjuknya lagi, "Penjagaan di sekitar kita amat ketat. Sulit menyelundupkan orang keluar tanpa diketahui kaki tangan Yong Ceng."
"Bagaimana dengan Heng-san-sam kiam (Tiga Pedang dari Heng-san)?”
"Nampaknya mereka semakin tidak puas kepada Yong Ceng. Ada tanda-tanda bahwa kesetiaan dan kepercayaan mereka mulai luntur. Tapi rasanya mereka belum berani terang-terangan bertindak di luar tugas kelompok pengawal jubah ungu.”
"Justru karena mereka pengawal, ada peluang untuk keluar dari istana untuk memberi kabar kepada Hwe-liong-pang."
"Namun kalau mereka bertiga keluar serentak, bisa menimbulkan kecurigaan Kaisar dan Kim Seng Pa. Lagipula, belum tentu mereka mau diperintah kita..."
"Bagaimana pikiranmu?"
"Biar hamba coba hubungi anak hamba, yang sering menyamar sebagai penjual pangsit pikulan di dekat gerbang istana. Dulu ia seorang Jian-hu-thio (komandan seribu perajurit) dalam Hi-liong-kun."
"Baiklah. Laksanakan."
Demikianlah mereka "bercakap-cakap" lewat tulisan. Kemudian In Te menulis lagi. "Bisakah kau mengatur pertemuan antara aku dengan Heng-san-sam-kiam?"
"Untuk apa?"
“Aku ingin bicara sendiri dengan mereka, merebut dukungan mereka."
Thia Kong-kong menunjukkan wajah kurang setuju, dan menggoreskan huruf-huruf. "Berbahaya. Sikap Heng-san-sam-kiam belum pasti benar."
Namun In Te menggeleng perlahan, dan jarinya menulis di meja, "Kalau tidak berani masuk sarang macan, mana bisa mendapatkan anak macan? Aku sudah jemu dibelenggu, harus berani menyerempet bahaya untuk mengumpulkan pendukung dan mematahkan belenggu yang memuakkan ini."
Thia Kong-kong tetap nampak kurang setuju. Namun melihat betapa besarnya tekad In Te, akhirnya Thia Kong kong menulis, "Akan hamba usahakan malam ini. Nanti sore hamba beri kabar."
In Te mengangguk dan tersenyum puas. Sebenarnya In Te punya perhitungan juga. la tahu, sebagian pengawal jubah ungu mulai kurang puas terhadap Kaisar, dan mereka itu harus "digarap" secepatnya. Kata pepatah, besi harus ditempa selagi panas membara, bukan setelah dingin kembali.
Permainan catur yang hanya pura-pura itupun selesai, Thia Kong-kong mohon diri. Sorenya dia datang mengabarkan bahwa Heng-san-sam-kiam bersedia berbicara, waktu dan tempatnyapun sudah ditentukan.
Tengah malam, itulah saat pertemuan yang dijanjikan. Tempatnya di gudang tua, salah satu bagian istana yang jarang diinjak seluruh penghuni istana, karena konon tempat itu ada hantunya. Hantu seorang bangsawan Kerajaan Beng yang dulu bunuh diri ketika mendengar bahwa laskar pemberontak Li Cu Seng sudah masuk kota. Tetapi buat In Te, hantu itu tidak lebih menakutkan dari "sangkar emas" yang kini didiaminya.
Dengan pakaian ringkas berwarna hitam, In Te berhasi lolos dari bangsal Leng-goat kiong selagi para pengawal lengah. la langsung menuju ke tempat pertemuan dengan jalan merunduk-runduk, menghindari pertemuan dengan para pengawal istana.
Tiba di gudang tua itu, Thia Kong kong sudah menunggunya. "Hamba di sini, Pangeran..."
"Saudara Thia, apakah Heng-san-sam-kiam sudah datang?"
"Sudah, Pangeran. Dan menurut pengamatan hamba, mereka benar-benar hanya bertiga, dan tidak membawa senjata.”
"Antarkan aku menemui mereka."
Thia Kong-kong segera berjalan mendahului Pangeran In Te melewati tumpukan barang-barang tak berguna lagi. Tidak jarang wajah In Te tersangkut oleh sarang laba-laba. Akhirnya ia berhadapan juga dengan tiga saudara seperguruan dari Heng-san itu, yang berpakaian seragam pengawal. Jian-ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, Lam Thai Hong (Prahara Selatan) Au Yang Kong, serta Hui- kiam-eng (Satria Pedang Terbang) Teng Jiu.
"Selamat malam, Pangeran," mereka bertiga menyambut In Te.
"Selamat malam, para pendekar," sahut In Te. Kata-kata selanjutnya tidak bertele-tele lagi, melainkan langsung ke intinya, "Mari kita bicara jujur tidak dari balik topeng-topeng kita. Kita sudah bersepakat bertemu disini, itu berarti kita sudah menunjukkan sikap, atau setidaknya sebagian sikap kita masing-masing. Setuju?”
Ho Se Liang yang tertua, menjadi juru bicara kelompoknya, "Kami juga bersikap terus-terang, Pangeran. Kami mengharapkan Pangeran akan mengobati kekecewaan kami selama ini, berbeda dengan Kaisar yang sekarang bertahta."
"Apa maksudmu?"
"Sebelum Kaisar naik tahta, ia mengobral janji yang muluk-muluk untuk memperoleh dukungan kami. Tapi setelah ia berkuasa, ia lupa janjinya, bahkan kelihatan tidak senang setiap kali kami mengingatkan janjinya yang dulu."
"Janji apa? Dan apa pula yang dulu kalian harapkan sehingga mendukung Kakanda Yong Ceng?”
"Pemulihan martabat orang Han agar sama dengan orang Manchu," sahut He So Liang tegas. “Kami tidak seperti orang-orang dari Jit-goat-pang atau Pek-lian-kau atau Thian-te-hwe yang bermimpi ingin mendirikan kembali Kerajaan Beng. Itu mustahil. Kami hanya ingin kesederajatan martabat antara Han dan Manchu, bahkan juga seluruh suku-suku penghuni kekaisaran ini. Suasana persaudaraan bukan yang satu di atas yang lainnya. Itu saja, Pangeran."
"Dulu Kakanda Yong Ceng menjanjikannya?"
"Benar, Pangeran. Dulu, ketika Kaisar belum bertahta dan masih mengembara sebagai seorang pendekar bernama Si Liong Cu, kami bersahabat dengannya dan mengagumi tindak-tanduknya yang gagah berani. Ketika kemudian kami ketahui bahwa dia adalah Pangeran In Ceng, dan mohon bantuan dukungan kami, kami menyanggupinya. Sekarang sudah empat tahun dia bertahta, dan janjinya belum ada tanda- anda akan diwujudkan. Kami dan sahabat- sahabat yang dulu mendukungnya, terus terang saja merasa dikecewakan."
"Bagaimana caranya dulu sehingga kalian bisa mendudukkan Kakakku itu sampai ke tahta?"
Ho Se Liang ragu-ragu sejenak untuk berterus-terang, namun akhirnya ia berkata juga, "Kami mohon maaf, Pangeran. Saat itu kami begitu bersemangat mendukung Pangeran Keempat, sehingga kami melakukan suatu kecurangan yang merugikan Pangeran...."
Tubuh In Te gemetar menahan gelombang kemarahannya, sementara Thia Kong kong menyiapkan diri untuk mencegah In Te, khawatir kalau kemarahan Pangeran itu jadi merusak rencana. "Kecurangan bagaimana?"
"Dalam sebuah pertemuan rahasia kelompok kami, Ni Keng Giau mengusulkan supaya Surat Wasiat Sribaginda Khong Hi dicuri dan dibaca, untuk mengetahui siapa Pangeran-pangeran yang akan ditunjuk menggantikan Sribaginda Khong Hi."
Dada Pangeran In Te serasa hampir meledak, namun Thia Kong-kong memegang tangannya dan berbisik, "Tenang, Pangeran. Tenanglah."
In Te mengangguk dan menekan kemarahannya, namun toh suaranya tetap terdengar agak gemetar. "Dan kalian berhasil mencuri Surat Wasiat yang disimpan di Han-lim-pong (ruang perpustakaan istana) dan dijaga ketat oleh pasukan Han-lin-kum itu?”
"Benar, Pangeran!"
"... dan membaca isinya?"
"Benar, Pangeran."
"Siapa nama yang ditunjuk sebagai pengganti Ayahanda di dalam Surat Wasiat itu?"
"Pangeran sendiri, Cap-si Pwe-lek In Te."
Kembali Thia Kong-kon harus memegang tangan In Te dan berbisik membujuk-bujuk, "Tenang, Pangeran. Kalau ingin mereka mendukung Pangeran, jangan mengadili mereka seperti mengadili maling ayam yang tertangkap."
"Aku cukup tenang. Namun dari dulu sudah kurasa adanya kebusukan di balik pergantian pemegang tahta. Kini aku mendengar dengan jelas, bagaimana kecurangan itu berlangsung."
"Kendalikan kemarahan Pangeran, agar calon-calon pendukung Pangeran yakin, bahwa Pangeran akan menjadi seorang penguasa yang lebih bijaksana dari Kaisar yang sekarang...”
"Suatu ketika, kecurangan ini harus diketahui seluruh rakyat. Biar Kakanda Yong Ceng terjungkir dari singgasananya yang dikangkanginya secara tidak syah!'
"Hamba sependapat, Pangeran. Tapi tunggulah waktunya yang tepat, bukan sekarang. Sekarang kedudukan kita masih lemah, kalau kecurangan itu kita umumkan sekarang, sama saja dengan mengundang kantong-kantong kulit Hiat-ti-cu itu beterbangan di atas kepala kita.”
Akhirnya, berhasil juga In Te menguasai diri. Dan Ho Se Liang meneruskan keterangannya, "Lalu Ni Keng Giau menambahkan coretan pada huruf “Cap" (sepuluh) sehingga menjadi "kepada" sehingga bunyi asli Surat. Wasiat itu "tahta diwariskan Cap-si Hong-cu" berubah menjadi "tahta diwariskan kepada Si Hong-cu....”
Lemaslah tubuh In Te mendengar itu, itulah goresan pena yang membuatnya kehilangan segalanya dan kakak keempatnya mendapatkan segalanya. la menyesal, tempo hari ketika mengepung Pak-khia dengan pasukannya yang besar, kenapa tidak langsung menyerbu saja? Kenapa harus masuk perangkap Liong Ke Toh sehingga ikut dalam sembahyang menghormati Ayahandanya? Kenapa ia mencurigai Pak Kiong Liong yang tulus, gara-gara mempercayai ucapan Liong Ke Toh yang mengadu-domba? Nasi sudah jadi bubur. Kini dirinya seperti seekor anak burung dalam genggaman raksasa yang maha kuat, sekali remas saja oleh sang raksasa, ia akan hancur.
"Pangeran, kami katakan semuanya ini, karena kami menaruh kepercayaan kepada Pangeran," kata Ho Se Liang, tanpa tedeng aling- aling. "Kami berharap, kalau kelak Pangeran naik tahta, tuntutan dari jutaan orang Han akan terkabulkan tanpa pertumpahan darah. Kalau orang Han toh harus kecewa lagi, bukan mustahil mereka akan mengangkat senjata...."
Pangeran In Te sebenarnya kurang senang mendengar ucapan yang mengandung gertakan itu. Namun ia menjawab juga, bukan dengan janji yang muluk, "Sam-wi Eng-hiong, kalian tahukah siapa orang yang paling kuhormati setelah Ayahanda Khong Hi sendiri?"
Tentu saja Heng-san-sam-kiam bungkam tak bisa menjawab. Dan In Te melanjutkan, "Itulah pamanku, Pak Kiong Liong. Biar dia hanya paman jauhku, hubunganku bahkan lebih dekat kepadanya daripada kepada Pamanda Liong Ke Toh, adik dari Ibunda Tek Huai. Pamanda Liong Ke Toh adalah seorang yang berpikiran bahwa bangsa Manchu adalah bangsa pemimpin, dan suku-suku lain diletakkan di bawah telapak kaki orang Manchu. Sedang Pamanda Pak Kiong Liong, kalian tahu sendiri bagaimana wataknya."
Kini tiga butir kepala Heng-san-sam-kiam mulai mengangguk-angguk, sementara In Te berkata lagi, "Isteri Paman Pak Kiong Liong ialah seorang Han yang tetap kuhormati sebagai bibiku. Pikiran-pikiran Paman Pak Kiong Liong tentang persatuan Han dan Manchu banyak yang kuambil alih, cocok dengan pikiranku sendiri. Saat ini, sudah saatnya Han dan Manchu melupakan masa silam, dan harus bersatu membela negeri bersama ini. Jangan sampai negeri ini terpecah belah lalu diperebutkan oleh orang Jepang dan Rusia yang sejak lama mengincar negeri ini."
"Baik, Pangeran. Mulai sekarang kita bersekutu dalam satu cita-cita. Bagaimana kalau kita mengangkat sumpah berat?"
"Baik," sahut In Te.
Kemudian, dengan menggunakan gumpalan-gumpalan tanah sebagai dupa, mereka bersumpah kepada Thian-hu Te bo (Bapak Langit dan Ibu Bumi) untuk menguatkan perseketuan mereka. Yang berkhianat akan dikutuk mati dengan tubuh hancur.
Selesai mengangkat sumpah, Ho Se Liang berkata, "Pangeran, biarpun kita telah bersatu hati, namun persekutuan kita harus tetap diselubungi. Karena itu, kalau di hadapan orang lain, kami harus dimaafkan kalau bersikap kurang hormat terhadap Pangeran, apalagi dihadapan Hong-siang..."
"Aku paham. Akupun akan bersikap pura-pura dingin dan acuh tak acuh kepada kalian."
"Hamba sekalian juga paham, Pangeran”
"Sekarang, sebagai teman seperjuangan, aku minta tolong suatu urusan kepada kalian."
"Katakan, Pangeran."
"Tahukah kalian, dalam Sidang Kerajaan pagi tadi, Hwe-liong-pang secara resmi sudah dicap sebagai pemberontak yang harus ditumpas?"
Heng-san-sam-kiam tidak heran lagi. Orang-orang Hwe-liong-pang dua kali telah berani menerobos istana, pertama kali waktu membebaskan tiga bocah yang diculik kaum Hiat-ti-cu, kedua kali waktu membebaskan Kiong Wan Peng dan Siang Koan Long, bertepatan dengan terjadinya huru-hara oleh kaum Jit goat-pang dan Pek-lian-pai. Selain itu, Hwe-liong-pang juga melindungi Pak Kiong Liong dan Pangeran In Tong, dua buronan kerajaan. Apalagi, menurut dugaan Kaisar Yong Ceng, Ji Han Lim sengaja diselundupkan oleh Hwe-Iiong-pang untuk membunuhnya. Tidak heran kalau Yong Ceng hendak menumpasnya.
"Jadi, apakah tugas kami?"
"Harus ada yang pergi ke Tiau-im-hong untuk memberi kabar kepada mereka."
"Maaf, Pangeran. Tiau-im-hong jauh letaknya di propinsi Secuan kami tidak bisa pergi selama itu, atau menimbulkan kecurigaan Kaisar dan Kim Seng Pa."
"Bukan kalian yang pergi, tetapi Thia Kong-kong dan anak lelakinya, lewat dua jalan. Kalau yang satu tertangkap, masih ada satu yang bisa sampai ke Tiau-im-hong. Bantuan kalian dibutuhkan hanya untuk mengeluarkan Thia Kong-kong dari istana, sebab semua pintu keluar-masuk istana sekarang dilipat-gandakan penjagaannya. Kakanda Yong Ceng rupanya takut kebobolan lagi.”
"Gampang kalau hanya itu," sahut Ho Se Liang sambil tertawa. "Besok sehari suntuk, kami bertiga mendapat giliran tugas di pintu Tiau-yang-mui. Thia Kong-kong dan puteranya boleh lewat situ dengan aman."
"Putera Thia Kong-kong memang sudah di luar istana. Jadi besok yang keluar hanya Thia Kong-kong saja."
"Kami janjikan bantuan kami."
"Terima kasih."
Lalu dengan merunduk-runduk, mereka berlima pun berpisah untuk kembali ke bangsal masing-masing.
* * * *
Siang itu, ketika pintu gerbang Pak-khia terbuka lebar dan arus manusia sedang ramai-ramainya, seorang pemuda berwajah bundar dan penuh senyuman melangkah meninggalkan Pak-khia. Pakaiannya yang terlalu sederhana, maupun sikapnya yang biasa, membuat pemuda itu tidak dicurigai para penjaga pintu.
Namun pemuda itu sebenarnya sedang melakukan sesuatu yang amat penting. Dialah anak laki-laki Thia Kong-kong yang bernama Thia Hou, bekas perwira berpangkat Jian-hu-thio bawahan Pak Kiong Liong, dan kini adalah penjual mi pangsit dengan pikulan. Namun dengan senang hati ditinggalkannya pekerjaan, untuk mengantarkan surat Pangeran In Te ke Tiau-im-hong.
Tiba di luar kota, dengan uang bekal pemberian Pangeran In Te lewat Thia Kong-kong, Thia Hou membeli seekor kuda untuk mempercepat perjalanannya sampai ke Tiau-im-hong. Tetapi, sejak ia keluar dari pintu kota Pak khia, sebenarnya ada seorang yang mengikutinya. Ketika Thia Hou membeli kuda, orang itupun ikut membeli kuda untuk menyusul Thia Hou.
Tiba di jalan sepi, orang itu mempercepat kudanya sambil memanggil-manggil, "Saudara Thia! Saudara Thia!"
Thia Hou yang tengah mengemban tugas amat rahasia itupun terkejut, dihentikannya kudanya dan diperhatikannya orang yang memanggil-manggiI itu. Dan ia merasa lega ketika mengenali si penyusul itu adalah juga seorang bekas perwira Hui-liong-kun, berpangkat Jian hu-thio seperti dirinya sendiri. Namanya He Hou Yong.
Dua bekas rekan sepasukan itu segera berjabatan tangan dengan eratnya. Sejak Hui-liong-kun dibubarkan Yong Ceng, kedua orang itu berpencaran mencari hidup sendiri-sendiri, biarpun sama-sama tinggal di Pak-khia, namun kota itu terlalu besar sehingga mereka tidak pernah bertemu. Kini mereka bertemu, mereka kelihatan gembira sekali.
"Aku melihatmu meninggalkan Pak-khia, lalu aku menyusulmu," kata He Hou Yong. "Kebetulan arah perjalanan kita sama. Aku hendak ke kota Wan-cuan. Kau sendiri hendak ke mana?"
Mengingat kerahasiaan tugasnya, Thia Hou ragu-ragu untuk menjawab terus terang. Biarpun He Hou Yong bekas rekannya, namun ia tetap harus berhati-hati kepada siapapun. Melihat kebimbangan Thia Hou, He Hou Yong berkata sambil tertawa, "'Ah, kubatalkan saja pertanyaanku yang tadi. Barangkali apa yang kau kerjakan itu tidak boleh diberitahukan kepada sembarangan orang.“
Sahut Thia Hou, "Terima kasih atas pengertian saudara He Hou. Tetapi bolehlah kita berjalan bersama-sama sampai ke Wan-cuan."
Keduanya lalu berkuda berdampingan, sambil menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. He Hou Yong bercerita tentang pertempuran di Hek-liong-kang melawan balatentara Jepang, di mana Thia Hou kebetulan tidak ikut dalam pertempuran itu.
Ketika ceritanya sampai bagaimana Ni Keng Giau berusaha menjerumuskan Pasukan Hui-liong-kun ke kehancuran, rahang He Hou Yong berkeretak menahan kemarahannya.”Itulah nasib teman-teman kita di Hek-liong-kang, saudara Thia," kata He Hou Yong sambil mengepalkan tinju. "Hui-liong-kun sudah banyak jasanya bagi kekaisaran, tak terduga hancurnya karena dikhianati dari belakang oleh teman sendiri."
Agaknya He Hou Yong begitu geram, sehingga ia mencabut goloknya dan membacok sebatang pohon di pinggir jalan, sehingga kulit pohon itu tergores miring. Melihat He Hou Yong begitu sakit hati kepada Ni Keng Giau, sekilas timbul pikiran Thia Hou untuk mengajak He Hou Yong bergabung kepihaknya. Namun niatnya itu ditundanya dalam hati. Dulu memang He Hou Yong rekannya, tetapi setelah berpisah hampir tiga tahun, siapa tahu?
"Saudara He Hou, sudahlah. Akupun geram mendengar tentang nasib teman-teman kita di Hek-liong-pang, namun kesedihan dan kemarahan yang berlarut-larut, apa gunanya?"
"Memang tidak ada gunanya. Tetapi setiap aku tidur, rasanya terbayang teman-teman kita yang gugur di Hek-liong-pang menampakkan diri, menuntut agar aku membalaskan kematian mereka yang penasaran. Tapi...ah, kekuatan sendiri mana bisa mengemban permintaan teman-temanku itu?"
Menghangatlah darah Thia Hou mendengar ucapun-ucapan rekannya itu, sehingga akhirnya ia berkata, "Saudara He Hou, sebenarnya aku juga tidak tinggal diam saja selama ini. Aku terlibat perjuangan bawah tanah untuk menggulingkan Yong Ceng dari singgasananya, dan kemudian menjunjung Pangeran In Te ke atas tahta."
Sepasang bola mata He Hou Yong bersinar mendengar itu, "He, benarkah itu, saudara Thia? Kalau begitu, semangat perajurit Hui-liong-kun belum padam dalam jiwamu. Hebat. Tetapi, apa saja yang kau lakukan selama ini?"
Karena sudah mulai mempercayai He Hou Yong, Thia Hou menjawab, "Yang kulakukan terlalu kecil artinya dibandingkan dengan tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang secara gagah perkasa menentang kelaliman Yong Ceng. Tapi setidak-tidaknya aku tidak berpangku tangan saja, aku gembira bisa membantu sedikit-sedikit."
"Saudara Thia, kau lebih beruntung daripada aku, sebab kau sudah mendapatkan saluran untuk semangat juangmu," kata He Hou Yong sambil menarik napas. "Sedangkan aku? Ah.... semangatku melonjak-lonjak tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Belum kutemukan saluran untuk kemarahanku kepada Yong Ceng."
"Bergabunglah denganku," kata Thia Hou akhirnya. "Saudara He Hou, maafkan kalau tadi aku berbohong kepadamu, tetapi harap saudara bisa memaklumi kerahasiaan tugas yang sedang kupikul. Tapi sekarang aku tidak ragu-ragu lagi kepadamu."
He Hou Yong menegang wajahnya, namun ia diam saja dan membiarkan Thia Hou terus berbicara. "Saudara He Hou, aku sebenarnya sedang menuju ke Tiau-im-hong..."
"Markas pejuang-pejuang Hwe-liong pang yang gagah berani itu?"
"Benar."
"Saudara Thia, ajaklah aku ke sana. Aku ingin bergabung dengan Hwe-liong-pang dan berjuang bersama. Bukankah kabarnya Goan-swe Pak Kiong Liong juga ada di Sana?"
Tanpa berpikir lagi, Thia Hou mengangguk gembira, merasa mendapat tambahan satu teman seperjuangan. la juga sudah mendengar, sepasukan bekas perajurit Hui-liong-kun di bawah pimpinan Tok Koh Lui juga sudah bergabung dengan Hwe-liong-pang. la membayangkan, alangkah gembiranya pertemuan antara dirinya, Tok Koh Lui dan He Hou Yong, tiga bekas rekan sepasukan, apalagi kalau bertemu dengan Pak Kiong Liong sendiri. Maka merekapun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama kemudian, di tempat di mana He Hou Yong membacok pohon tadi, muncul pula dua lelaki berkuda. Melihat bekas bacokan di batang pohon, mereka berhenti dan memperhatikan sejenak. Lalu salah seorang dari mereka tersenyum sambil berkata, "Bacokannya miring dari kanan atas ke kiri bawah. Hem, bagus. Jejak utusan rahasia Pangeran In Te itu sudah kita ikuti dengan tepat. Bagus, pengacau-pengacau itu memang harus hancur semua. Setelah Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai dilumpuhkan, sekarang Hwe-liong-pang menyusul. Setelah itu, siapa menyusul?"
Orang pertama yang mukanya seperti burung hantu itu berkata, "Setelah Hwe-liong-pang, berikutnya adalah Siau-lim-pai..."
Temannya kaget, "He, jangan sembarangan bicara. Kau dengar dari siapa?"
"Tentu saja dari Hong-siang sendiri. Ketika dia merundingkan hal ini dengan Kok-kiu Liong Ke Toh, aku hadir disana dan ikut mendengarkan."
Temannya itu hampir saja berteriak "gila", namun ditahankannya, sebab itu sama saja dengan memaki kaisar, berat hukumannya kalau sampai dilaporkan. Namun suaranya masih bernada kurang percaya. "Jadi ada rencana untuk menghancurkan Siau-lim-pai juga? Sulit dipercaya. Bukankah Hong-siang dan Jenderal Ni Keng Giau adalah murid-murid Siau-lim-pai? Bukankah Siau-lim-pai juga mendukung Hong-siang naik tahta, dan selama ini juga bersikap tidak mengganggu kekuasaan Hong siang? Kalau Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang hendak dibasmi, itu wajar, sebab mereka menentang pemerintah. Tetapi Siau-lim-pai?"
Orang berwajah burung hantu itu bernama Leng Bun, seorang anggota tingkat tinggi dari kelompok Hiat-ti-cu, sebelumnya adalah seorang begal besar di Ciat-kang. Memang dia sering mendengar perbincangan Kaisar Yong Ceng, lalu dia berlagak kepada teman-temannya bahwa ia sudah "diajak berunding" oleh Kaisar, padahal hanya menguping dari kejauhan.
Kini, terbawa oleh lagak sok tahunya, diapun menjawab panjang lebar, "Hoa Keng-bi, biarpun Siau-lim-pai kelihatannya diam saja, sebenarnya mereka memendam sebuah tuntutan yang sulit dipenuhi oleh Hong-siang. Mereka menuntut agar orang Han dibebaskan dari kewajiban menguncir rambut seperti orang Manchu, nah, mana bisa tuntutan ini dipenuhi? Kalau peraturan itu dihapuskan, antara orang Han dan orang Manchu akan terbelah dengan tajam, kalau satu tuntutan dipenuhi, bagaimana kalau muncul tuntutan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya?"
"Pantas, belakangan ini sering ada pendeta Siau-lim-pai berkunjung kepada Hong-siang."
"Dan Hong-siang sudah jemu akan kunjungan mereka, apalagi kalau selalu membawa tuntutan yang diulang-ulang terus. Karena itu, Hong-siang memutuskan untuk membakar wihara tua di bukit Si-ong-san itu dan menghabisi semua penghuninya."
Leng Bun mengatakan itu dengan ringan saja, seringan orang bercerita tentang kacang goreng atau minum arak saja. Namun Hoa Keng Bi sudah berkeringat dingin punggungnya, biarpun dia sendiri termasuk orang yang berdarah dingin dalam membunuh korbannya, sesuai dengan kedudukannya sebagai anggota Hiat-ti-cu.
Hanya karena jemu menghadapi tuntutan janji yang pernah diucapkannya sendiri, Yong Ceng hendak menumpas perguruannya sendiri, nyawa mereka dianggap nyawa lalat saja. Orang sekejam Hoa Keng Bi toh merasa bergidik juga membayangkan segala tindakan Yong Ceng. Mengabdi Kaisar macam itu ternyata tidak seenak yang dibayangkannya. Rasanya seperti berdekatan dengan seekor macan. Kalau sang macan sedang kenyang dan mengantuk, amanlah dirinya. Tapi kalau sang macan mengaum gusar, celakalah orang-orang di sekitarnya.
Mereka berjalan terus, dan kira-kira tiga li kemudian, ada lagi sebatang pohon di tepi jalan yang diberi goresan sejajar. Si muka burung hantu Leng Bun segera mengartikan tanda itu, "Mereka berdua menginap di kota kecil di depan. Kita harus cari penginapan mereka, lalu menginap di tempat yang sama."
Tanya Hoa Keng Bi, "Apakah akan langsung kita bereskan?"
"Jangan gegabah, lihat-lihat situasi dulu. Yang penting bukan nyawa Thia Hou, melainkan surat Pangeran In Te yang dibawanya, supaya surat itu bisa dijadikan bukti oleh Hong-siang untuk mendakwa Pangeran In Te."
Kembali tengkuk Hoa Keng Bi merinding. Terhadap saudaranya sendiri pun Yong Ceng selalu mencari kesempatan untuk mencelakakannya, apalagi terhadap orang lain. "Lihat-lihat situasai dulu bagaimana?"
"Barangkali In Te mengirim lebih dari satu orang, lewat jalan yang berbeda-beda. Nah, biarkan He Hou Yong dulu berhasil mengorek keterangan dari mulut Thia Hou, siapa saja yang diutus ke Tiau-im-hong, dan lewat jalan mana saja. Setelah jelas, barulah kita bereskan Thia Hou."
Hoa Keng Bi hanya mengangguk-angguk saja. Di kota kecil di depan mereka, hanya ada dua buah penginapan, dan tidak sulit untuk menemukan tempat menginapnya Thia Hou dan He Hou Yong, karena He Hou Yong sudah membuat tanda rahasia di depan pintu.
Kedua algojo Hiat-ti-cu itu berpakaian seperti orang biasa, tidak memakai pakaian ringkas hitam seperti biasanya, sebab pakaian macam itu gampang menarik perhatian. Senjata Hiat-ti-cu mereka juga dikerudungi dengan kain, kalau ditanya orang, mereka jawab saja "sangkar burung". meskipun mereka heran juga, ada sangkar burung kok diberi rantai sepanjang itu? Mereka langsung masuk penginapan, menempati sebuah kamar di halaman belakang, sehingga dapat mengawasi seluruh halaman itu.
Leng Bun dan Hoa Keng Bi melambatkan langkah mereka, ketika melihat He Hou Yong melangkah sendirian di halaman itu. Ketika Leng Bun melihatnya, He Hou Yong mengangguk kecil, lalu melangkah ke bagian paling belakang dari rumah penginapan itu, dekat kandang kuda. Leng Bun dan Hoa Keng Bi mengikuti nya dari jarak tertentu.
Tempat yang dipilih itu penuh bau kotoran kuda, sehingga Leng Bun menggerutu, "Setan alas, kenapa kau pilih tempat macam ini untuk berbicara?"
He Hou Yong berhenti melangkah, lalu berkata sambil tertawa, "Setelah kuperhatikan sejak tadi , justru tempat ini paling aman untuk berbicara."
"Cepat katakan."
"Thia Hou sendirian saja di jalur ini. Tapi ayahnya lewat jalan lain, lewat kota Teng-hong terus Bun-siau, juga membawa surat serupa untuk Ketua Hwe-liong-pang."
"Bagaimana kau bisa mengorek keterangannya sampai demikian jelas?"
"Aku berhasil membuatnya percaya, bahwa aku adalah teman seperjuangannya yang tetap setia kepada Pangeran In Te."
"Dan siapa ayah Thia Hou?"
"Kalian tentu sering melihat orang itu di istana. la seorang Thai-kam tua yang biasa dipanggil Thia Kong-kong, biasa berkeliaran di sekitar bangsal Leng-goat-kiong ."
"Hah? Jadi si tua yang hampir mampus itu juga berani main gila?"
"Menurut penuturan Thia Hou, orang tua itu adalah bekas panglima bawahan Pangeran In Te yang sampai kini tetap setia, tetap memperjuangkan naiknya Pangeran In Te ke tahta."
Hanya itulah yang mereka percakapkan, lalu He Hou Yong kembali ke kamar yang ditempatinya bersama Thia Hou. Sambil menunggu saat yang tepat untuk membunuhnya, lalu merampas surat dari Pangeran In Te untuk Ketua Hwe-liong-pang.
Sementara itu, Leng Bun juga telah memerintahkan Hoa Keng Bi, "Tadi kau sudah dengar sendiri arah perjalanan Thia Kong-kong, nah, sekarang juga berangkat menyusuInya!”
"Tetapi hari sudah gelap, Leng Toako, apakah tidak bisa memberi aku kesempatan istirahat semalam di sini, makan, lalu besok pagi baru aku berangkat?"
"Supaya Thia Kong-kong sempat tiba di Tiau-im-hong?" kata Leng Bun bengis, "Perintahku, berangkat sekarang juga!"
Karena kalah pangkat, apa boleh buat, dengan malas-malasan dia berangkat juga. Pada saat yang sama, Thia Hou tanpa ragu-ragu membeberkan semua keterangan kepada He Hou Yong yang dipercayainya. Bahkan surat Pangeran In Te juga diperlihatkannya, sambil berkata penuh tekanan,
"Salah satu dari aku atau ayahku harus sampai ke Tiau-im-hong untuk menyampaikan surat ini. Saudara He Hou, kalau ada apa-apa atas diriku, jangan pedulikan aku. Kau harus langsung menuju ke Tiau-im-hong untuk menyerahkan surat ini...."
Selanjutnya,