X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga I Jilid 11 Karya Stevanus S.P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 11

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Ji Han Lim yang tahu maksud kata-kata Pak Kiong Liong, menjawab, "Aku yakin Pang-cu akan menyambut gembira. Barangkali dunia persilatan harus menyaksikan munculnya kembali Naga Utara dan Harimau Selatan seperti dulu..."

"Ah, kami berdua sudah menjadi kakek-kakek. Barangkali yang bakal muncul hanyalah Naga Sempoyongan dan Harimau Ompong..."

Berjalan sambil berbincang, tak terasa mereka sudah sampai ke lambung gunung. Waktu itulah mendadak dari balik lekuk gunung terdengar suara anak-anak yang sedang membentak-membentak. Pak Kiong Liong kenal suara itu adalah suara cucu-cucunya, tapi terdengar pula suara seorang anak perempuan.

"Tentu anak-anak nakal itu sedang latihan," kata Ji Han Lim. "Goan-swe, kau tidak ingin melihat mereka?"

"Baiklah kulihat mereka. Saudara Ji, kau jalan lebih dulu, nanti aku menyusul ke markas."

"Baik, Goan-swe."

Dengan langkah ringan sambil merunduk-runduk, Pak Kiong Liong diam-diam mendekati suara anak-anak itu. la tidak langsung memperIihatkan diri, melainkan bersembunyi di balik sebatang pohon besar untuk memperhatikan apa yang sedang terjadi. Tempat itu adalah sebuah dataran kecil berlapis rumput, udara segar mengalir sehingga cocok untuk tempat latihan silat.

Pak Kiong Liong tersenyum sendiri melihat seorang bocah lelaki berusia sebelas tahun tengah berlatih silat melawan seorang anak perempuan berusia kira-kira sembilan tahun. Bocah lelaki itu bergerak tangkas dan lincah, serangannya datang beruntun dalam serangkaian jurus dasar yang dikuasainya dengan baik. Kemantapan tenaganya pun nampak cukup berlebih untuk anak-anak seusia dia.

Tetapi bocah perempuan itu pun mencengangkan Pak Kiong Liong. Meskipun kalah tenaga, ia sudah pandai memanfaatkan kelincahannya. la tidak mau membentur tenaga lawannya, tapi lebih suka mengelak dan membalas menyerang se-lincah burung gereja menyambar belalang. Serangannya lebih banyak menggunakan ujung jari daripada kepalanya, dengan sasaran bagian-bagian tubuh yang lemah, ia juga pandai menggunakan tendangan berantai sambil menggeser tubuh, sehingga memaksa si bocah lelaki harus ikut berputar-putar.

Pada suatu kesempatan, gadis cilik itu menendang dada dengan tendangan miring. Si bocah lelaki agak mendoyongkan tubuh ke belakang sambil menepis dengan tangan kiri sementara punggung tinju kanannya dihantamkan ke lutut lawannya. Dalam pertarungan anak-anak kecil, semuanya itu tidak lebih dari adu ketrampilan jurus, kalau jagoan lihai yang melakukannya, pukulan ke tempurung lutut itu bisa meremukkan tulang. Sebagian guru silat juga mengajarkan untuk memukul pergelangan kaki musuh, dengan akibat yang sama, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang merasa lengannya pendek.

Terdengar si gadis cilik berseru, “A-hai, kau ulangi lagi jurus kunomu itu?”

Si bocah A-hai menjaga kalau-kalau si gadis cilik melanjutkan tendangan berantainya dengan Sin-liong-pa-bwe (Naga mengibaskan Ekor), tendangan kekepala. Ternyata dugaannya meleset, lawannya dengan tangkas membungkuk sambil memutar tubuh, menyapu ke arah kuda-kudanya. Kaki A-hai memang kurang kokoh menempel tanah saat itu, karena tubuhnya banyak doyong ke belakang, maka tersapulah ia sehingga roboh.

Sapuan gadis cilik itu juga istimewa, bukan sekedar menyapu tapi juga sedikit "mencongkel" sehingga robohnya lawan lebih hebat daripada kalau disapu secara biasa. Terngata dugaannya meleset, lawannya dengan tangkas membungkuk sambil memutar tubuh, menyapu ke arah kuda-kudanya.

Di balik pohon, Pak Kiong Liong tersenyum melihatnya. Pikirnya, "Nah, tahu rasa sekarang si A-hai. Berulangkali ia sudah kuperingatkan melatih kuda-kudanya agar lebih kokoh, tetapi ia lebih suka latihan aneka ragam jurus aneh-aneh yang banyak melompatnya."

Sementara gaya tempur si gadis cilik mengingatkan Pak Kiong Liong kepada seorang pendekar wanita di masa lampau, bibi Tong Lam Hou yang bernama Tong Wi Lian, adik perempuan Tong Wi Siang si pendiri Hwe-liong-pang. Kalau tokoh itu belum meninggal dunia, tentunya ya sudah tua sekali, sebab Tong Lam Hou saja sudah kakek-kakek seusia Pak Kiong Liong sendiri. Melihat gaya tendangan gadis cilik itu, Pak Kiong iong bertanya dalam hati, mungkinkah gadis itu pernah mendapat ajaran pendekar wanita itu? Siapa pula gadis cilik ini, yang dalam usia sembilan tahun telah menunjukkan bakat dan dasar latihan yang begitu mantap?

Sementara itu si bocah A-hai sudah melompat bangun kembali sambiI menepuk-nepuk celananya yang menjadi kotor oleh tanah. Katanya penasaran, "Kau curang, A-eng, kenapa jurus Sin-liong-pa-bwe mendadak kau rubah dengan menyapu kebawah? Tentu saja aku tidak siap!"

Si gadis cilik A-eng menggeleng-gelengkan kepala sehingga sepasang kuncirnya bergoyang-goyang lucu, sahutnya, "Bukan karena aku curang, tapi karena kau yang tolol! Kalau seorang pendekar bertempur, ia boleh menggunakan gerak tipu apapun untuk memenangkan pertandingan. Jurus yang kupakai tadi tidak harus Sin-liong-pa-bwe. tapi juga boleh Boan-liong-jiau-po (Naga berputar Langkah)!"

Sesaat A-hai terbungkam, namun kemudian masih belum mau mengalah juga. "Baik, anggap saja kali ini kau menang. Tetapi dalam tujuh kali latihan aku menang enam kali dan kau baru satu kali. Jadi secara keseluruhan akulah yang lebih lihai!"

"Tidak bisa!" bantah A-eng, lagi-lagi sepasang kuncirnya bergoyang-goyang. "Mana bisa yang dulu-dulu dihitung semua? Hari ini ya hari ini. Kemarin kau masih lebih lihai menjilat ludahny!”

A-hai menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut pendek kaku itu, dan menggerutu, “Uh, jadi kemenanganku yang kemarin-kemarin itu semuanya tidak dihitung lagi?”

“Ya jelas tidak masuk hitungan, saat ini kemenangan di tanganku, kalau kau ingin menang, harus merebutnya dariku, bukan dengan cara menghitung-hitung yang sudah lewat!”

Pak Kiong Liong hampir tak dapat menahan tertawanya melihat A-hai yang mati kutu menghadadapi A-eng yang bukan cuma lihai tendangannya, tetapi juga lihai mulutnya. Waktu itu dari atas gunung muncul lagi seorang boch lelaki seusia A-hai, bahkan wajah dan potongan tubuhnyapun kembar, sehingga satu-satunya pembeda antara keduanya hanyalah sikapnya yang kelihatan lebih tenang dari A-hai yang keliatan usil itu.

“Kalian bertengkar lagi?” Anak yang baru datang itu langsung menegur dengan gaya kakek-kakek memarahi cucu-cucunya. “Sejak A-eng datang kemari empat hari yang lalu, kuhitung kalian sudah bertengkar tigapuluh empat kali. Bahkan sampai soal kecil semacam melemparkan makanan ikan kekolam pun kalian jadikan bahan pertengkaran!”

“A-hai tidak mengakui kekalahannya.” A-eng mengadu.

“Benar begitu, A-hai?”

“Memang aku kalah kali ini, tetapi mana bias kemenanganku enam kali yang lalu hendak dihapuskan begitu saja?”

“Bagaimana kekalahanmu?”

“Dia menendang dengan Hau-bwe-tui, harusnya dia lanjutkan dengan Sin-liong-pa-bwe seperti biasanya, eh tahu-tahu dia curang merubahnya dengan Boan-Liong-jiau-po, Tentu saja aku tertipu!”

Si bocah yang baru datang itu tertawa dan berkata, “A-hai, watakmu yang mau menang sendiri itu, menurut kata kakek, bisa menutup jalan kemajuanmu sendiri. Orang bertanding silat tentu saja boleh menggunakan tipu, tidak ngotot mempergunakan jurus yang sudah di tebak lawannya. Jika dia ngotot, tandanya dia sendiri yang tolol!"

"A-san, jadi kau malah membela setan kecil itu?"

A-eng kontan berang, "Siapa setan kecil? Kau sendirilah setan kecil tidak tahu malu yang tidak mau mengakui kekalahan!"

Saudara kembar A-hai yang bernama A-san itu cepat menengahi, "Sudah, jangan bertengkar lagi. Kakek menyuruh kalian latihan bersama untuk kemajuan silat kalian, bukan mempertajam mulut dengan saling mencaci-maki. A-hai, kau yang salah, ayo minta maaf kepada A-eng!"

Ketika A-hai melihat A-eng memberengut marah, ia menjadi khawatir kalau "setan kecil" itu benar-benar marah dan tidak mau diajak latihan lagi. Maka diapun akhirnya mengalah dan berkata, "Baiklah. A-eng, aku mengaku kalah. Kau jangan marah."

Waktu itulah Pak Kiong Liong muncul dari persembunyiannya untuk menemui cucu kembarnya yang bernama Tong San Hong dan Tong Hai Long, katanya sambul bertepuk tangan, "Bagus, seorang pendekar sejati berani mengakui kesalahannya dan minta maaf secara jantan. Sam wi Siau-eng-hong (Tiga Pendekar Cilik), terimalah salam hormat Pak Kiong Liong!"

Melihat kakeknya muncul, kedua anak kembar langsung berteriak gembira sambiI berlarian menyerbu Pak Kiong Liong. Sesaat kemudian, mereka sudah bergelayutan di pundak kanan dan kiri Pak Kiong L iong.

Si gadis cilik terlongong sejenak melihat munculnya seorang kakek-kakek yang belum dikenalnya. Melihat kakek itu begitu ramah, mulut jahilnya pun berani mengejek. "Hah, mana ada calon-calon pendekar begitu kolokan minta digendong?"

Serempak Tong San Hong dan Jong Hai Long melompat turun dari gendongan kakeknya karena malu oleh sindiran itu. Tong Hai Long alias A-hai lalu balas mengejek, "Kau sendiri juga sering digendong di punggung kakekmu!'

Tak peduli kata-kata A-hai, si gadis cilik dengan berani langsung bertanya kepada Pak Kiong Liong, "Eh, kakek, tentu kau sudah melihat pertandingan tadi, coba kakek katakan dengan jujur, siapa yang menang? Tapi jangan berat sebelah, mentang-mentang cucunya sendiri yang bertanding!"

Pak Kiong Liong tersenyum, "Kau yang menang, A-eng. Tetapi jangan lengah berlatih, supaya jangan sampai A-hai kelak membalas mengalahkanmu!"

"Jangan khawatir, kakekku terus melatih aku!" sahut A-eng gagah. "Jangan harap A-hai bisa mengalahkan aku lagi!”

Tong Hai Liong menjawab dengan hati yang panas, "Huh, apa kebisaan kakekmu selain memelihara ular, kalajengking, kelabang, kodok beracun dan binatang-binatang menjijikkan lainnya?"

"Setan gundul, kau belum tahu lihainya kakekku. Biarpun kakekmu berdua digabung menjadi satu juga belum tentu menang melawan kakekku."

Makian "setan gundul" untuk A-hai memang cocok, karena rambutnya tercukur begitu pendek sehingga nyaris gundul. Tetapi makian itu menyerempat juga saudara kembarnya yang tak bersalah, sehingga tanpa sadar A-san juga meraba-raba gundulnya.

Selagi "perang mulut" nyaris berkobar lagi, dari atas gunung terdengar suara tertawa terbahak-bahak dan suara seorang tua, "A-eng, jangan menyanjung kelebihan kakekmu yang bobrok ini. Mana bisa kakek dibandingkan dengan Panglima Pasukan Naga Terbang yang terkenal sejak dulu?"

Dari atas gunung nampak dua orang kakek- kakek berusia sebaya dengan Pak Kiong Liong sedang berjalan turun. Kelihatannya mereka masih jauh dan melangkah seenaknya, namun tahu-tahu dalam waktu singkat mereka sudah tiba di tempat itu. Yang satu adalah seorang kakek bertubuh ramping tegap, memakai jubah kain kasar dengan sebuah kantong tembakau tergantung di pinggangnya dan tangan kirinya memegang pipa tembakau yang sebentar-sebentar diisapnya. Dialah ketua Hwe-Liong-Pang. Tong Lam Hou yang terkenal. Kakek satunya lagi bertubuh gemuk, rambut putihnya dibiarkan terurai tanpa dikuncir, wajahnya merah tua dan selalu tertawa-tawa gembira.

A-eng lansung menubruk ke pelukan kakek gendut itu dan merengek manja, “Kakek, tunjukkan kelihaianmu agar setan gundul itu tidak berani mengejek kakek lagi!”

Si kakek gendut tidak menggubris hasutan A- eng, tapi ia langsung membungkuk hormat kepada Pak kiong Goan-swe yang sudah aku kagumi sejak dulu. Di usia senja ini, aku merasa beruntung masih sempat mendapat kehormatan berhadapan muka dengan Goan-swe!”

Bersama gerakan si kakek gendut Pak Kiong Ling tiba-tiba merasa ada tenaga tak berwujud menindih sepasang pundaknya sedemikian kuat, sehingga tubuhnya terhimpit. Padahal jaraknya dengan kakek gendut itu masi lima langkah. Mengertilah dia bahwa si kakek gendut memiliki tenaga dalam yang hebat dan bermaksud mengujinya.

Saling menguji antar jagoan di dunia persilatan memang hal biasa, tak panda usia tua atau muda. Ada yang saling gebrak langsung dengan cara kasar, ada juga cara halus yang biasa antar sesame tokoh berilmu tinggi. Cara kedua itulah yang kini digunakan si kakek gendut untuk menguji Pak Kiong Liong sambil menghormat itu.

Kagum juga Pak Kiong Liong, namun tidak mau ia membiarkan dirinya dirobohkan begitu saja. Ia juga melakukan gerakan menghormat sambil berkata, “Tuan terlalu memuji…”

Dua gelombang tenaga tak berwujud segera saling mendesak di tengah udara. Biarpun keduanya tidak bersentuhan tubuh seujung rambutpun, tetapi kekuatan yang terpancar dari tubuh mereka agaknya cukup untuk melemparkan seekor kerbau sampai belasan langkah.

Beberapa detik kedua orang itu berwajah tegang. Ternyata kemudian tenaga dalam Pak Kiong Liong masih unggul setingkat. Namun ia tidak ingin merobohkan dan membuat si kakek gendut kehilangan muka. Maka ketika tenaganya terasa hampir mendesak roboh lawannya, dia justru perlahan-iahan mengurangi tekanannya.

Si kakek gendut rupanya tahu diri kalau Pak Kiong Liong sedikit mengalah kepadanya, maka diapun mengendorkan tenaganya sambil melompat mundur. Tanah bekas tempatnya berpijak nampak amblas setengah jengkal, padahal tempat itu tanahnya kering dan keras. Tempat berpijak Pak Kiong Liong juga amblas, tetapi tidak lebih dari sejari. Itu bukti kemenangannya bahwa ia tidak terlalu tertekan dalam adu tenaga tadi.

"Aku mengaku kalah!” si kakek gendut tertawa lebar tanpa rasa penasaran. "Pak Kiong Goan-swe, tidak percuma nama besarmu menggetarkan daratan ini, kini mataku benar-benar telah terbuka dari kesombongan yang selama ini menutupiku!"

Pak Kiong Liong yang berkesan baik atas keterbukaan sikap si kakek gendut, menyahut, "Tuan juga hebat. Tetapi aku ingin mengetahui nama besar Tuan."

Hwe-liong Pang-cu Lam Hou lah yang kemudian memperkenalkan kakek gendut itu , "A-liong, kau tentu pernah mendengar nama Hong Thai Pa dari timur yang berjulukan Cui-poan-siang (Gajah Gemuk Pemabuk)."

Pak Kiong Liong seperti tersedar, "Jadi tuankah ayah angkat Se Bun Beng dari Lok-yang, yang dulu ikut membasmi kelaliman orang-orang Hek-eng-po?"

Si kakek gendut Hong Thai Pa agak nya suka tertawa, sambil menjawab dia-pun tertawa, "Goan-swe jangan terlalu memuji aku, dalam pembasmian Hek-eng-po dulu anak angkatkulah yang lebih besar jasanya."

Si gadis cilik Se-Bun Hong-eng ketika mendengar kakeknya mengaku kalah, keruan saja menjadi penasaran, “Kakek, aku tahu kau tidak kalah. Kau xuma mengalah karena sungkan kepada tuan rumah dan tamunya, benar tidak?”

“Hus! Tegur Hong Thai pa sambil melotot kepada cucunya. “Kau membuat muka kakek tidak bias disembunyikan kemanapun juga.”

Pak Kiong Liong tertawa sambil mengelus kepala Se-bun Hong-eng, “Betul, kami tadi hanya berhasil sama kuat saja.”

Penjelasan Pak Kiong Liong membuat si gadis cilik agak puas. Tetapi melihat Tong Hai Long menyengirkan mulutnya agak mengejek, dipungutnya sebutir batu dan dilemparkannya kearah “setan gundul” itu, untung tidak kena. Tong Lam Hou kemudian mengajak Pak Kiong Long dan Hong Thai Pa kembali ke markas.

Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong adalah dua tokoh yang bersahabat sejak muda, bahkan kemudian berbesanan, dan sama-sama mendapat nama besar pula. Orang persilatan bilang, jaman itu hanyalah Pun-bu Hwe-shio dari Siau-lim-si yang bias menandingi kehebatan kedua kakek itu. Namun Tong Thai Pa juga bukan tokoh sembarangan, biarpun kalah setingkat, dia jagoan dalam gwa-kang (tenaga luar) sehingga dia dijuluki Cui-poan-siang. Namanya cukup disegani di wilayah timur, sehingga iseng-iseng orang menyebutnya “Gajah timur” untuk disejajarkan dengan si Naga Utara Pak Kiong Liong dan Harimau Selatan Tong Lam Hou.

Adapun si gadis cilik Se-bun Hong eng bukan benar-benar cucu Hong Thai Pa, sebab seumur hidupnya Hong Thai pa tidak berkeluarga dan tidak punya anak. Se-bun Hong-eng adalah puterri Bun Beng, murid dan sekaligus anak- angkat Hong Thai Pa, sehingga dianggap cucu oleh Hong Thai Pa. Sambil berjalan ke markas, ketiga kakek sakti itu bercakap-cakap.

“A-Liong,” kata Tong lam Hou yang tetap memanggil nama Pak Kiong Liong dengan panggilannya semasa muda. "Kudengar ada sedikit keributan di Pak-khia, tetapi tidak kudengar jelas bagaimana peristiwa sebenarnya, benarkah begitu?"

"Tajam juga kupingmu. Aku bukan saja terlibat, bahkan sekarang akulah kambing hitam nomor satu dalam pandangan pihak yang berkuasa," sahut Pak Kiong Liong. "Penguasa sekarang, Kaisar Yong Ceng, yang jalan pikirannya pun banyak dipengaruhi oleh Liong Ke Toh, menganggap bahwa aku harus ditumpas sebab merupakan pendukung utama Pangeran In Te yang kini sudah lumpuh kekuatannya."

Tong Lam Hou menarik napas, sementara Hong Thai Pa tidak ikut bicara, hanya memasang kupingnya baik-baik. Pak Kiong Liong lalu menceritakan secara lengkap tetapi ringkas apa yang telah terjadi di Pak-khia, Terhadap Hong Thai Pa yang ikut mendengarkan. iapun tidak menyembunyikan apa-apa.

Wajah Tong Lam Hou mulai berkerut sedih dan geram ketika mendengar tentang musnahnya Pasukan Naga Terbang. "Jadi.... mereka sudah tercerai-berai karena akal licik Yong Ceng dan Ni Keng Giau?"

Pak Kiong Liong menganggukkan kepala. Ikatan batin Tong Lam Hou dengan Pasukan Naga Terbang tidak mudah dihapuskan, sebab di masa mudanya ia pernah menjadi perwira berpangkat Cona-peng dalam pasukan itu, sebelum ia menjadi Ketua Hwe-liong-pang. Banyak suka duka pernah dialaminya bersama pasukan itu, Tong Lam Hou sama rasanya seperti mendengar berita kematian sanak keluarganya.

la bicara sendiri, seolah-olah ditujukan kepada angin pegunungan yang mengusap lembut, “Di masa muda ayahku dulu, Hwe-liong-pang bangkit melawan kelaliman pemerintah Cong Ceng dari Dinasti Beng yang disetir oleh si dorna Co Hua Sun, kini di hari tuaku, agaknya Hwe-liong-pang harus terjun kembali ke arena politik untuk melenyapkan Yong Ceng yang bengis dan dipengaruhi Liong Ke Toh yang tidak kalah busuknyu dengan Co Hua Sun dulu. Ah, kenapa dorna-dorna penyengsara rakyat macam i tu selalu ada di setiap jaman?"

Mendengar kata-kata Tong Lam Hon itu, mekarlah hati Pak Kiong Liong. Kalau Hwe- liong-pang sudah mengambil sikap, bisa diharapkan kekuatan dunia persllatan lain akan mengikutinya, itu berarti ada harapan akan tergalangnya sebuah kekuatan untuk menyelamatkan kekaisaran dari cengkeraman Yong Ceng. Dia juga tahu, Tong Lam Hou bersikap demikian bukan sekedar ingin ikut "ramaii-ramai" karena sudah bosan menyirami bunga atau menaburkan makanan ikan di kolam, melainkan karena dipanggil menyeIamatkan negara dan rakyat.

Tanpa sadar Pak Kiong Liong menggenggam tangan Tong Lam Hou sambil berkata terharu, "Kau tetap seorang perajurit sejati, A-hou. Bukan karena pakaianmu, tapi semangatmu....”

Saat itulah Hong Thai Pa yang diam sejak tadi, tiba-tiba ikut bicara pula, "Aku bukan seorang perajurit, tapi sebagai warga kekaisaran rasanya wajib juga berbuat sesuatu melawan kelaliman. Mudah-mudahan kalian berdua tidak sampai hati meninggalkan aku bertopang dagu kesepian di rumah."

"Maksudmu, Lou-hong (Hong tua)?" Tong Lam Hou heran.

"Kalau Pak Kiong Goan-swe tidak keberatan, aku ingin menyumbangkan tenagaku yang sudah loyo ini supaya berarti juga dalam perjuangan ini."

Pak Kiong Liong tersenyum mendengar itu, "Hong Sian-seng (tuan Hong), kau tidak sayang mengorbankan hari tua mu yang tenteram damai?"

"Huh, tenteram kata Goan-swe? Di rumah anakku di Lok-yang, aku merasa dipenjara. Aku cuma disuruh duduk ongkang-ongkang, sementara menantuku perempuan menyajikan makanan yang enak-enak, dan aku dilarang mengerjakan apa pun, katanya semua pekerjaan sudah dikerjakan pelayan. Kalau mereka merawat aku dengan cara demikian, rasanya sama dengan mengurangi umurku perlahan-lahan.”

Kedua kakek lainnya tertawa sementara Tong Lam Hou berkata, "Eh, Lou hong, jangan tidak tahu berterima kasih separti itu . Anak dan menantu berbuat demikian karena maksud baik, tidak ingin melihat kau bergelandanga sebagai pemabuk di dunia persilatan.”

Hong Thai Pa menyeringai, "Kalau begitu, kenapa kau sendiri sering menggerutu ketika menyiram bunga? Orang-orang muda itu melupakan kita masih punya kekuatan untuk berbuat sesuatu. Dengan adanya peristiwa di Pak-khia, kebetulan, ada alasan untuk meninggalkan rumah dalam waktu agak lama."

"Kalau niat Hong Sian-seng begitu, aku tidak berani menolaknya," kata Pak Kiong Liong kemudian, "Mulai detik ini, Yong Ceng resmi mendapat lawan tiga kakek-kakek ompong...."

"Mudah mudahan gigitan gusi ompong kita masih terasa, bukan sekedar menimbulkan rasa geli.” Ketiga kakek itu tertawa berbareng.

Sementara itu, dari arah markas Hwe-Iiong- pang muncul sekelompok orang menyongsong mereka. Merekalah keluarga dan tokoh-tokoh Hwe-Liong-pang yang ingin mengucapkan selamat datang kepada Pak Kiong Liong, karena mereka sudah mendengar berita dari Ji Han Lim. Rombongan itu didahului sepasang lelaki dan perempuan. Yang lelaki berusia sekitar tigapuluh enam tahun, tegap dan tampan biarpun beberapa helai uban mulai menghiasi rambut bagian atas kupingnya.

Yang perempuan beberapa tahun lebih muda, tubuhnya ramping dan memakai pakaian serba putih yang menjadi kegemarannya sejak muda. Begitu melihat Pak Kiong Liong, wanita berpakaian putih itu langsung menyongsong mendahului dan memeluknya, sambiI berseru, "Ayah!"

Dialah puteri Pak Kiong Liong yang bernama Pak Kiong Eng, yang di kalangan persilatan pernah dijuluki pek-kiong Sian-li (Dewi Naya Putih) dan juga Pek-ma Tok-hing. (Pengembara Tunggal Berkuda Putih) karena tunggangngannya juga seekor kuda berbulu putih yang dinamainya Hui-soat (si Salju Terbang). Kemudian ia menikah dengan Tong Gin yan, putera Ketua Hwe-liong-pang, lelaki gagah yang berjalan di sampingnya tadi.

Pak Kiong Liong memeluk anaknya sambil tertawa, “Eng-ji, kau sudah menjadi ibu dari dua orang anak yang sebentar lagi menginjak usia remaja, kenapa tingkah lakumu masih begini kekanak-kanakan?”

Pak Kiong Eng melepaskan diri dari pelukan ayahnya, dan terlihatlah matanya agak basah karena menangis, sehingga membuat ayahnya heran, “Eh, kau malah menangis juga?Seingatku, kedatanganku yang dulu tidak kau sambut dengan airmata seperti ini….”

Sahut Pak Kiong Eng meluapkan perasaanya, “Ayah, aku amat khawatir mendengar berita simpang-siur dari Pak-Khia tentang pergulatan kekuasaan kaisar dengan Pangeran In Te. Hampir saja aku menyusul ke Pak-Khia.”

Pak Kiong Liong menangguk-angguk paham kenapa anak perempuannya menyam-butnya dengan menangis seperti itu. Sementara itu Pak Kiong Eng berkata lagi, "Aku semakin cemas ketika di beberapa kota diiaporkan adanya plakat-plakat besar di pintu-pintu gerbang kota, berisi pengumuman istana yang menyediakan hadiah besar buat siapapun yang dapat menangkap ayah."

Sang ayah hanya menyeringai kecut. Sementara itu, Tong Gin Yang juga sudah maju memberi hormat kepada mertuanya, disusul oleh tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya. Antara lain dua Hiang-cu (hulubalang), masing-masing adalah Ko Seng Hwe-shio, seorang pendeta yang mahir Liong-siang-kun-hoat (Silat Naga dan Gajah), serta seorang lelaki kurus kering berkulit hangus seperti orang berpenyakit berat, matanya selalu kelihatan mengantuk dan ia tak henti-hentinya mengisap sebatang pipa tembakau berwarna hitam mengkilat.

Namanya Hu Se Hiong julukannya tidak nu nyeramkan tapi malah menggelikan, yaitu Ui-bin-peng-hou (Macan Penyakitan Bermuka Kuning), namun ilmu menotok jalan darahnya sangat lihai. Selain kedua Hiang-cu itu, ada juga delapan Tong-cu (Kepala kelompok) yang semuanya sudah dikenal Pak Kiong Liong.

Tinggal beberapa hari di Tiau-im-hong, membuat Pak Kiong Liong hampir saja terlena oleh ketenteraman tempat itu, tapi ia tidak bisa lupa akan urusan utamanya untuk mencari teman dalam menggulingkan Kaisar Yong Ceng dan meniunjung Pangeran In Te. Maka pada suatu malam, diapun berbicara dengan Tong Lam Hou, Hong Thai Pa, Pak Kiong Eng, Tong Gin Yan serta dua orang Hiang-cu, di sebuah ruangan tertutup.

"Aku tidak ingin melibatkan Hwe-Liong-pang dalam perlawanan terbuka terhadap Kaisar," kata Pak Kiong Liong malam itu. "Akan terlalu banyak korban jatuh. Nyawa setiap anggota Hwe-liong-pang ada harganya, begitu juga nyawa para perajurit yang mau tidak mau ber ada di bawah perintah Yong Ceng. Karena itu, sejauh-jauhnya harus kita hindari jatuhnya korban."

"Lalu apa gunanya kau datang kemari jauh- jauh dari Pak-khia?" tanya Tong lam Hou sambiI menghembuskan asap tembakau dari mulutnya, sehingga ruang an itu nampak berkabut , karena asap tembakau juga keluar dari mulut Ui-bin peng-hou Hu Se-hiong.

Sahut Pak Kiong Liong, "A-hou, aku hanya minta bantuan secara pribadi, juga beberapa orang saudara yang sanggup memikul tugas berat."

"Bantuan pribadi bagaimana?" Pak Kiong Eng bertanya.

"Aku dan beberapa orang dari kita akan menyusup ke istana untuk membebas kan Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai. Kalau terlaksana dengan baik, ku harap Yong Ceng bisa ditekan untuk menyerahkan tahtanya kepada adindanya yang berhak. Jadi tidak perlu dengan gerakan besar-besaran yang mengorban-kan banyak orang."

"Sulit, ayah," kata Pak Kiong Eng. "Ayah sendiri kenal bagaimana watak Yong Ceng. Ayah menghindari pertentangan terbuka, sebaliknya Yong Ceng akan siap mempertahankan kedudukannya dengan keras, tidak peduli berapapun banyak korbannya."

"Tidak, cara ini harus dicoba dulu. Kalau Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai sudah bebas dari cengkeraman Yong Ceng, pengaruhnya akan terasa di seluruh negeri, sebab Pangeran In Te masih punya banyak pendukung setia. Saat itulah Yong Ceng akan kita seret ke meja perundingan untuk menyerahkan kedudukannya dengan cara damai."

Sesaat ruangan itu sunyi, semua-nya mengerutkan alis memikirkan pendapat Pak Kiong Liong itu. Sampai kesunyian dipecahkan oleh suara Tong Lam Hou, "Bagaimana kalau kita ambil jalan langsung saja? Kita masuk istana untuk membunuh Yong Ceng, lalu Pangeran In te akan naik tahta tanpa kesulitan lagi. Dengan demikian korbannya hanya Yong Ceng saja. Mungkin dapat juga di-tambah Liong Ke Toh dan Ni Keng Giau."

Ternyata Pak Kiong Liong menggelengkan kepalanya, "Tidak kalau Yong Ceng mati lalu otomatis Pangeran In Te mendapat haknya yang sah. Saat ini Yong Ceng sudah mengangkat puteranya yang masih remaja, Pangeran Hong Lik, sebagai Putera Mahkota. Kalau ia mati, pendukung-pendukungnya akan menjunjung Hong Lik ke singgasana. Matinya Yong Ceng secara tidak wajar bahkan akan menimbulkan pertentangan terbuka antara pengikut-pengikut Pangeran In Te dengan pendukung-pendukung Hong Lik."

Jenderal tua itu berhenti sejenak, menyapukan pandangan ke seluruh ruangan untuk menangkap kesan-kesan dari wajah-wajah tegang itu, lalu Melanjutkan, "...dan jangan kaget, Yong Ceng naik tahta didukung juga oleh sejumlah besar pendekar berpengaruh di wilayah Kang-lam, bahkan juga Siau-lim pai."

Seperti yang sudah diduga Pak Ki-ong Liong, semua wajah kelihatan kaget mendengar penjelasan itu. Sulit dipercaya. Siau-lim-pai? Apa kuping mereka tidak salah dengar? Atau Pak Kiong Liong saking bingungnya sudah bisa melantur?

Hong Thai Pa menghembuskan napas keras- keras, kemudian berkata, "Sulit dipercaya, Goan-swe. Ratusan tahun Siau-lim pai memiliki nama harum sebagai sebuah perguruan yang selalu berpihak kepada kebenaran. Mungkinkah sekarang orang-orang Siau-lim-pai mulai membelakangi ajaran leluhur mereka, dan sudah terpikat kemuliaan duniawi yang dijanjikan Yong Ceng?"

"Hong Sian-seng, masalahnya bukan karena orang-orang Siau-lim-pai membelakangi ajaran mereka, tapi karena mereka terlalu mempercayai dan mengharap terlalu banyak kepada Yong Ceng. Bukan mengharap kedudukan dan harta benda, tetapi maaf, mengharap terwujudnya apa yang mereka impikan sebagai persamaan derajat antara orang Manchu dan Han."

Pak Kiong Liong menyelipkan permintaan maafnya, sebab sebagian besar pendengarnya adalah orang Han. Namun ia juga percaya bahwa para pendekar berdada lapang itu takkan mengnmbil sikap berdasar rasa kesukuan belaka, namun demi kemanfaatan bersama seluruh negeri yang terdiri dari berbagai suku itu.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Hu Se Hiong. Sahut Pak Kiong Liong, "Ada riwayatnya, saudara Hu. Dulu Yong Ceng adalah murid Siau-lim-pai, juga Ni Keng Giau. la pernah berjanji, kalau naik tahta dia akan menjunjung martabat orang Han. Itulah yang membuat Siau-lim pai sekarang memihak Yong Ceng, menjaga agar kekuasaannya tidak diutik-utik, karena mengharap Yong Ceng akan memenuhi janjinya."

"Apakah kira-kira Yong Ceng akan melaksanakan janjinya?" tanya Hu Se Hiong lagi Itu pertanyaan singkat tapi "berbahaya", sebab masalah kesukuan masih cukup peka, apalagi antara orang Han dan orang Manchu.

Karena itu, Pak Ki-ong Liong tidak menjawab langsung, melainkan "putar-putar" dulu, "Aku mohon saudara Hu mengingat-ingat semasa pemerintahan Sribaginda Khong Hi, ia pernah menyakiti hati Bangsa Han atau tidak? Tentu saja kecuali terhadap para pengacau, sebab terhadap mereka tidak peduli apakah Han atau Manchu atau Mongol atau Korea atau setan belang, tentu harus ditindak tegas."

Hu Se Hiong terdiam sejenak, baru menyahut, "Belum pernah rasanya. Kaisar Khong Hi malah memajukan kebudayaan Han, antara lain dengan menyusun buku Khong-hi-ji-tian (Kamus Besar Khong Hi) yang terkenal dan amat mendorong terciptanya saling pengertian antara orang Han dan Manchu. Dia juga pernah membebaskan kota Yang-ciu dan Ke-teng tiga tahun tidak membayar pajak, sebagai penyesalan atas peristiwa berdarah dimasa lalu."

Pak Kiong Liong mengangguk-angguk kernudian berkata, "Nah, sekarang silahkan pikir lagi. Apakah garis pemisah Han dan Manchu demikian tajam sehingga tidak mungkin bersaudara? Ingatlah bahwa leluhur kami juga pernah menjadi rakyat dari seorang Kaisar Bangsa Han dari dinasti Tong. Karena itu aku sedih mendengar segelintir orang Han masih mengutik-utik rasa kesukuan untuk mengacau di mana-mana. Mereka merasa terhina karena karus menguncir rambut, tidak ingat bahwa orang Manchu sama sekali tidak tersinggung ketika harus meninggalkan dialek Liao-tong dan berbahasa Han sehari-hari. Tidak ingat juga bahwa Kaisar Khong Hi lahir dari rahim Hau-kong Hong-hou, seorang perempuan Bangsa Han, sehingga percampuran darah sudah terjadi dalam keluarga istana yang sekarang memerintah. Apakah orang Han masih merasa dijajah orang Manchu? Bagaimana kalau orang Manchu juga merasa dijajah orang Han karena Kaisar Khong Hi berdarah campuran Han? Persatuan adalah memberi dan menerima, bukan satu pihak menginjak kepala pihak lainnya..."

Semuanya diam merenungkan kata-ka ta Pak Kiong Liong itu. Setelah merasa "angin baik", barulah Pak Kiong Liong menjawab pertanyaan Hu Se Hiong tadi. “Saudara Hu, janji Yong Ceng itu omong kosong, sebab hakekatnya sekarang ini Manchu dan Han sudah sederajat dan menjadi sekeluarga. Janji itu hanya untuk memanaskan sementara pihak agar mau mendukungnya. Tetapi menurut aku, tidak ada penindasan orang Manchu kepada orang Han. Di beberapa tempat memang ada beberapa pembesar brengsek yang menindas rakyat, tetapi bukankan di jaman Kerajaan Beng dulu juga ada tindakan tercela macam itu, bahkan lebih merajalela? Masalah ini bukan antara suku satu dengan suku lain, melainkan antara yang menindas dan yang tertindas. Kelaliman Yong Ceng juga akan menyengsarakan orang Manchu, bukan orang Han saja."

"Tentang dukungan Siau-lim-pai kepada Yong Ceng?”

"Orang-orang Siau-lim-pai akan kecewa kalau tahu mereka hanya diperalat untuk mengamankan tahta Yong Ceng. Kalau terhadap orang tuanya sendiri pun Yong Ceng dapat bertindak bengis, apa-lagi terhadap orang lain.”

Setelah mengebulkan asap tembakaunya beberapa kali, akhirnya Hu Se Hong menunjukkan sikap. "Aku sependapat dengan Goan-swe. Yang tertindas adalah rakyat Han dan Manchu, yang menindas, juga orang Han dan Manchu, Ni Keng Giau dan Yong Ceng misalnya."

Disambung oleh Ko-seng Hwe-shio, "Garis perjuangan Hwe-liong-pang sejak dulu terhadap penguasa ialah menentu-kan sikap berdasar apakah si penguasa mencintai atau menyengsarakan rakyat, bukan berdasar si penguasa suku ini atau suku itu..."

Sikap kedua Hiang-cu itu agaknya mewakili sikap semuanya. Maka rencana-pun disusun, namun sesuai dengan permintaan Pak Kiong Liong, rencana itu harus tetap menjadi rahasia yang hanya diketahui orang-orang di ruangan pertemuan itu. Sebab Hwe-liong-pang belum ingin menantang Yong Ceng secara terbuka.

"Jadi, siapa saja yang akan kita tentukan berangkat ke Pak-khia untuk membebaskan Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai?" tanya Tong Gin Yan kemudian.

Dengan bersemangat, semuanya menyatakan ingin ikut, seolah-olah pergi ke Pak-khia bukan untuk menentang maut melainkan untuk berpesiar. Tetapi Tiau-im-hong tidak dapat ditinggalkan kosong tanpa pemimpin, maka akhirnya diputuskan yang akan pergi hanya Pak Kiong Liong, Tong Lam Hou dan Hong Thai Pa saja. Sedang si gadis cilik Se-bun Hong-eng untuk sementara akan dititipkan di Tiau-im-hong untuk menemani Tong San Hong dan Tong Hai Long.

"Tetapi jangan lupa mengirim kabar kepada orangtua anak itu di Lok-yang, agar mereka tidak gelisah memikirkan anak mereka yang tidak pulang-pulang," pesan Hong Thai Pa kepada Tong Gin Yan dan isterinya.

"Baik, Paman," sahut suami isteri itu. Mereka memang sahabat baik Se-bun Beng dan Au Yang Siau-hong di Lok-yang. Biarpun "regu penyelamat" Pangeran In Te dan Ibu suri Tek Huai sudah ditetapkan, tapi ketiga kakek itu tidak buru-buru berangkat ke Pak-khia, Mereka masih di Tiau-im-hong beberapa hari lagi untuk mematangkan rencana.

Dalam kesempatan sempit itu, Pak Kiong Liong mencoba menambahkan ilmu silat kepada kedua cucu kembarnya dan Se-bun Hong-eng yang ikut belajar, meskipun tetap dengan anggapan "kakekku nomor satu di dunia". Melihat bakat, kecerdasan dan semangat ketiga bocah itu, Pak Kiong Liong jadi ingat Wan Lui, si bocah dari keluarga pemburu yang tinggal jauh di Tiang-pek-san Sana.

Diam-diam Pak Kiong Liong tersenyum sendiri, membayangkan belasan tahun kemudian di dunia persilatan akan muncul empat pendekar muda yang semuanya mahir Thian-liong-kiam-hoat ajarannya. Wan Lui bahkan bukan cuma menerima Thian-liong-kiam-hoat, tapi juga ilmu-ilmu Pak Kiong Liong lainnya seperti Thian-Iiong-kun-hoat, Liong-jiau-kang yang dahsyat, meskipun harus mempelajarinya hanya dari tulisan, tanpa ditunggui Pak Kiong Liong sendiri.

Tetapi, Pak Kiong Liong yakin, dengan kecerdasan dan keuletan Wan Lui, akan mengantar anak itu mencapai tahap tinggi dalam pelajaran silatnya. Lebih dari itu, Wan Lui menunjukkan watak luhur. Ilmu silat tinggi di tangan seorang berwatak luhur tidak akan menjadi malapetaka bagi sesama, bahkan menjadi anugerah.

Melihat bakat Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng, sekilas timbul juga niat Pak Kiong Liong untuk mengajarkan semua ilmunya, bukan cuma Thain-liong-kiam-hoat. Tetapi niat itu akhirnya dibatalkan sendiri, tidak baik anak-anak itu mempelajari ilmu yang terlalu beraneka ragam. Si bocah kembar bukan saja sudah dilatih ilmu-ilmu oleh Tong Lam Hou, bahkan juga sudah mempelajari banyak ilmu dari tokoh-tokoh Hwe-liong-pang.

Jika Pak Kiong Liong menambahnya lagi, ia khawatir bocah-bocah itu tidak dapat menguasai salah satu dengan matang. Semua bisa, tapi tidak matang, itu percuma. Sedangkan Se-bun Hong-eng juga menguasai macam-macam ilmu pula. Dari kakeknya, dari ibunya yang beraliran Ki-Mon-pal, dan kalau ketambahan Thain-liong-kim-hoat dari Pak Kiong Hong.

Tiga bocah itu di satu pihak dan, Wan Lui dlain pihak, kalau dibandingkan, masing-masing akan memlliki kelebihan sendiri-sendiri. Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng makin unggul dalam keaneka-ragaman ilmu, te- tapi Wan Lui Jelas akan lebih mantap dan matang. Wan Lul ketika ditemukan, Pak Kiong Liong ibarat sebuah buku kosong yang bisa ditulisi atau digambari apa saja. Sedang ketiga bocah itu seperti buku yang hampir penuh, sehingga Pak Kiong Liong cuma bisa "menulis" sedikit di sela-sela yang masih kosong.

Pak Kiong Liong juga tidak lupa melatlh diri sendiri. Hampir setahun latihannya agak terbengkelai karena ia terlibat bermacam urusan di Pak-khia. Dulu ia setingkat dengan Tong Lam Hou, namuun saat itu agaknya Tong Lam Hou sudah selangkah di depan.

Suatu pagi, ketika Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan Hong Thai Pa sedang bercakap-cakap sambil menghirup teh hijau, di sebuah gardu kecil ditengah-tengah kolam ikan yang lebar, dibagian belakang markas Hwe-liong-pang, tiba-tiba seorang anggota Hwe-liong-pang datang menghadap membawa sikap gugup.

"Ada apa?" tanya Tong Lam Hou heran.

Sahut anggota Hwe-liong-pang itu "Pang-cu, A-san, A-hai, dan A-eng ketika bermain-main di lereng gunung yang agak jauh dari markas, telah diculik oleh segerombolan orang berpakaian hitam dan berkedok muka. Beberapa orang rekan kami yang mencoba menyeIamatkan mereka, tewas terkena sejenis senjata aneh....."

"Senjata aneh?"

"Ya. Kantong kulit terbang berantai yang bisa mengambil batok kepala."

"Hiat-ti-cu!" seru Pak Kiong Liong kaget. "Regu algojo Yong Ceng!"

Bukan hanya Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong yang gelisah, tapi juga, Hong Thai Pa, biarpun Se-bun Hong-eng bukan cucunya benar-benar. namun sangat dicintainya seperti cucunya sendiri.

"Kemana larinya penculik-penculik itu?”

"Kami cuma berhasil mengejar sampai ke kaki gunung. Tetapi Siang-pang-cu Tong Gin Yan dan Hu-jin sudah mengejar."

Dalam detik yang bersamaan, tiga kakek yang kehilangan cucu itu telah bergerak cepat. Tubuh mereka melompat langsung keluar gardu di tengah kolam itu, menyeberangi kolam ikan lewat udara dan langsung mengejar ke kaki gunung. Di kaki gunung mereka cuma menjumpai mayat tiga anggota Hwe-liong-pang yang tak berkepala lagi. Anehnya, leher mereka tidak mengeluarkan banyak darah. Ketiga kakek itu berhenti sejenak melihat mayat-mayat itu.

Tong Lam Hou heran melihat luka-luka di leher mayat itu, "Senjata macam apa yang dapat memotong leher orang tanpa banyak keluar darah seperti ini.”

“Mereka korban Hiat-ti-cu (Si Setetes darah)” sahut Pak Kiong Liong.

Di kaki gunung itu jalannya ada tiga jurusan, dan mereka tidak tahu penculik-penculik itu kabur kearah mana. Diam-diam Pak Kiong Liong sangat cemas, bukan saja terhadap nasib ketiga bocah yang diculik, tetapi juga anak-perempuannya dan menantunya yang mengejar entah kearah mana. Suami isteri itu belum melihat bagaimana lihainya cara kerja Hiat-ti-cu yang bisa membunuh dari jarak jauh itu. Selain itu, Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng pasti akan mengalami kesulitan kalau bentrok dengan jagoan-jagoan utamanya Yong Ceng semacam Biau Beng Lama, To Jiat Hong, apalagi Kim Seng Pa. Ilmu Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng belum memadai untuk dihadapkan jago-jago tua itu.

"Bagaimana ini?" tanya Hong Thai Pa melihat jalan tiga jurusan itu.

Pak Kiong Liong cepat mengatur siasat, “Kita berpencar ke tiga arah. Kalau sampa sore belum menemui penculik penculik itu, kita berkumpul Iagi di sini. Kalau bertemu Yan-ji dan Eng-ji, tenangkan mereka dan sekalian ajak mereka pulang. Nyawa ketiga anak itu tidak terancam, sebab tujuan musuh hanya unluk menekan atau memancing aku."

Ketiga kakek itu kemudian bergerak ke tiga jurusan. Gerak tubuh mereka amat cepat, sebab masing-masing telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh demi berhasilnya mengejar para penculik. Demikianlah pengejaran dimulai dengan berbekal sedikit harapan, tetapi sore harinya mereka berkumpul kembali dengan wajah murung dan tegang, semuanya bertangan kosong. Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng juga kembali bersama Hong Thai Pa.

Anak perempuan Pak Kiong Liong itu nampak merah matanya karena menahan tangis, ia mengepalkan tinju dan berkata penuh tekad, "Seujung rambut saja A-san dan A-hai mengalami cidera aku bersumpah akan memotong-motong tubuh Yong Ceng!"

Itulah geraman seekor macan betina yang kehilangan anak-anaknya. Sedangkan Pak Kiong Liong berkata penuh sesal, "Aku menyesali kelengahan ku, seharusnya sudah kuperhitungkan bahwa Yong Ceng tentu mengarahkan pandangannya kemari, sebab tahu bahwa Tiau-im-hong adalah rumahku yang kedua. Gara-gara aku, tiga bocah tak bersalah itu harus menderita."

"Janqan menyalahkan diri sendiri, Goan- swe," kata Tong Thai Pa yang tidak lagi tertawa- tawa seperti biasa-nya. "Kita semualah yang tidak becus, sehingga musuh berani malang-melintang seenaknya di depan hidung kita!"

"Tenanglah kalian. Kita marah dan kecewa, tetapi tidak perlu kehilangan akal sehat," kata Tong Lam Hou. "Aku sependapat denganmu, A- liong, nyawa anak-anak tidak terancam, sebab tujuan mereka hanyalah menggertak kita yang tua-tua ini meskipun mereka akan sedikit menderita. Sebaiknya kita pulang dulu kemarkas untuk merundingkan langkah-langkah yang lebih terarah."

Lalu merekapun pulang ke markas. Dalam perjalanan pulang, Tong Gin Yan selalu berusaha menenangkan isterinya. Biarpun Pak Kiong Eng seorang pendekar wanita yang bahkan amat tabah menghadapi ancaman maut terhadap nyawanya sendiri, tetapi sebagai seorang ibu. ia jelas tidak tenteram memikirkan kedua anaknya yang dibawa para penculik. Meskipun para pencuiik itu disuruh oleh paman dari anak-anak itu sendiri, Yong Ceng, tetapi Paman yang jahat.

Suasana markas juga diliputi suasana berkabung atas gugurnya tiqa anggota Hwe- liong-pang, apalagi mayat-mayat itu tidak berkepala semuanya. Namun suasana itu tidak berlarut-larut, rencana segera ditetapkan. Seng Hwe-shio akan tetap tinggal di Tiau-im-hong untuk memimpin Hwe-liong-pang sementara Tong Lam Hou pergi.

Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng, bah Hu se Hiong, Ji Han Lim dan Kiong Wan Peng akan mengejar ke Pak-khia lewat jalur utara, sekalian melalui kiok-yang untuk mengabarkan berita sedih itu kepada kedua orangtua Se-bun Hong- eng. Sedangkan tiga kakek-kakek, Juga akan ke Pak-khia namun lewat jalan lain.

Keesokan harinya, begitu fajar menyinsing, dua kelompok yang menuju Pak Khia Itupun berangkat dengan menunggang kuda. Di kakl gunung, sebelum kedua rombongan itu berpisah, mereka sempat saling berpesan untuk tetap saling mengirim berita lewat pihak-pihak bersahabat dengan mereka di dunia persilatan.

Tiga orang kakek berkuda tanpa tergesa- gesa, sebab mereka yakin tiga bocah ? itu takkan dibunuh, hanya digunakan sebagai umpan untuk memancing Pak Kiong Ling meninggalkan Tiau Im-hong. Apa yang tidak diperhitungkan pihak penculik ialah Tong Lam Hou dan Hong Thai pa ikut terpancing pula.

“Sedikit penderitaan buat ketiga bocah itu ada juga baiknya,” kata Tong Lam Hou. “Selama ini mereka hidup terus dibawah perlindungan yang aman, sehingga aku sering khawatir kalau mereka kelak menjadi cengeng. Pengalaman kali ini akan mendidik mereka.”

Pak Kiong liong juga tersenyum dan menjawab, “Akupun berpikir begitu, tapi tidak berani mengucapkan di depan Yan-ji dan Eng-ji. Khawatir kalau mereka menuduhku lebih mementingkan urusan politik daripada keselamatan cucu-cucu ku sendiri…..”

“Ah, kuharap mereka takkan berprasangka sejauh itu.”

Beberapa hari kemudian, mereka masuk kota seng-toh, kota besar dan ramai yang menjadi ibukota propinsi Se-cuan. Dulu ketika Peng-se-ong Bu Sam Kui memberontak kepada kerajaan Manchu. Kota itu hancur oleh peperangan, tetapi kini bekas-bekas kehancuran sudah tidak Nampak lagi. Suasana kehidupan tak berbeda dengan suasana kota- kota besar lainnya.

Ketika ketiga orang tua itu mulai merasa perut mereka keroncongan. Mereka berbelok masuk ke sebuah rumah makan di tepi jalan. Dan sesaat kemudian merekapun sudah menikmati hidangan-hi-dangan lezat. Hong Thai Pa yang sudah dua hari ketagihan arak karena kehabisan, kini memuaskan kegemarannya sehingga wajahnya semakin merah.

Saat itulah muncul seorang hwe-shio berusia muda yang langsung mendekati meja mereka, dengan hormat Hwe-shio itu bertanya, "Apakah aku sedang berhadapan dengan Hwe-liong Pang-cu Tong Lam Hou dan Goan-swe Pak Kiong Liong?"

Hong Thai Pa tidak disapa, namun kakek gendut itu tidak peduli dan meneruskan makan minumnya yang lahap. Sementara Tong Lam Hou telah bertanya kepada hwe-shio itu, "Benar, Siau suhu sendiri siapa?"

‘'Namaku yang tiada artinya ini rasanya tidak perlu tuan-tuan ketahui. Aku hanya menyampaikan undangan dari Su-pek (uwa guru) untuk mengundang Pang-cu sekalian pergi ke wihara Gong-sim-si, dekat pintu gerbang selatan kota ini."

"Siapakah Toa-suhu yang mengundang kami?"

"Pun-khong Hwe-shio dari Siau-lim-si." Nama si pengundang dan asal-usul perguruannya membuat undangan itu terlalu berbobot untuk diremehhkan begitu saja. Sahut Tong Lam Hou kemudian, “kami merasa mendapat kehormatan bahwa pendeta agung Siau-lim-si mengundang kami. Kalau Siau-suhu berkenan menunjukkan jalan, kami akan segera meghadap beliau."

Sementara Hwe-shio muda itu berkata lagi, "Tidak perlu terburu-buru, tuan bertiga. Silahkan tuan-tuan lebih dulu menyelesaikan santapan tuan-tuan.”

Tong Lam Hou paham, kalau pun-khong Hwe-shio mengundangnya tentu ada urusan penting, bukan sekedar mengajak ngobrol. Maka diapun ingin segera menemuinya, "Tidak sopan membiarkan Pun-khong Hwe-shio menunggu terlalu lama. Siau-suhu, kami bisa berangkat sekarang juga."

“Kalau begitu, mari kutunjukkan jalannya.”

Setelah membayar harga makan minum mereka, Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan Hong Thai Pa keluar mengikuti hwe-shio muda itu. Karena si pengantar berjalan kaki, maka Tong Lam Hou bertiga juga tidak menaiki kuda mereka, hanya di tuntun saja.

Gong-sim si adalah sebuah wihara dibagian selatan kota Seng-Toh, berukuran tidak besar dan tidak juga kecil. Letaknya di bagian kota yang tidak terlalu ramai, halamannya ditumbuhi beberapa pohon rindang yang menimbulkan kesan tentram dan juga meredam kebisingan kota Seng-toh. Saat mereka datang, beberapa hwe-sio muda tengah menyapu halaman untuk membersihkan daun-daun kering.

Ketiga tamu diantarkan terus kebagian dalam, setelah kuda meraka diserahkan kepada hwesio muda di halaman depan. Dihalaman tengah, mereka disambut seorang pendeta tua yang berjubah kuning bersih dan berkalung tasbih kayu coklat tua, diiringi dua pendeta tua lainnya. Begitu melihat Tong Lam Hou, ia langsung menyambutnya dengan sikap seorang teman lama.

Pun-Khong Hwe-Shio, pendeta tua itu memperkenalkan kedua adik seperguruannya yang bernama Pun Hoat dan Pun Seng Hwe-shio. Biarpun nama mereka tidak dikenal dunia persilatan, tapi siapapun tahu bahwa tiap pendekar Siau Lim-si tentu membakali diri dengan ilmu silat yang tidak remeh. Siau-Lim-si adalah “kandan naga dan gua harimau” bagi dunia persilatan Tiong-Goan.

Ketika Tong Lam Hou memperkenalkan kedua teman seperjalanannya, ketiga pendeta tua itu menunjukkan sikap hangat kepada Tong Thai Pa, sebaliknya bersikap dingin kepada Pak Kiong Liong. Pak Kiong Liong bisa memaklumi sikap itu. Ia adalah pendukung Pangeran In Te, sedang orang-orang Siau-lim-pai adalah pendukung Yong Ceng, biarpun tidak terlibat langsung. Orang-orang Siau-lim-pai menganggap bahwa mendukung Yong Ceng sama saja “Memperjuangkan martabat Bangsa Han” karena mereka semua percaya janji-janji Yong Ceng sebelum naik tahta dulu.

Kini pihak pengundang dan pihak tamu sudah berhadap-hadapan di ruang tengah kuil Gong-sim-si. Sesaat mereka masih saling berbasa-basi, sementara seorang pendeta cilik menyuguhkan teh, Ahirnya tiba juga saatnya Pun-khong Hwe-shio mengatakan maksud sebenarnya,

“Pang-cu, sebelumnya aku mohon maaf kalau kata-kataku menyinggung Pang-cu. Belakangan ini aku mendengerar berita yang agak mencemaskan tentang perubahan sikap Hwe-Liong-Pang yang Pang-cu pimpin.”

Ketika mengucapkan kata “perubahan sikap” pandangan mata Pun-khong Hwe-shio hinggap sejenak di wajah Pak Kiong Liong yang duduk disamping kiri Tong lam Hou.

“Perubahan sikap yang bagaimana Toa-Suhu?” Tong Lam Hou minta ketegasan.

Pun-Khong Hwe-Shio menjawab hati-hati. “Aku memberanikan diri bicara amat terbuka kepada Pang-cu, tak lain karena pihak Siau-lim-pai menganggap Hwe-Lion-pang sebagai teman yang dapat dipercaya. Teman seperjuangan menghadapi kelaliman dimuka bumi dalam menegakkan kesejahteraan rakyat.”

Begitu panjang kalimatnya. Tapi maksud sebenernya belum juga terungkap. Tong Lam Hou mencoba mendengarkan dengan sabari, sebab ia maklum Pun-Khong hwe-shio ingin bicara dengan amat hati-hati. Sedang Pak Kiong LIong mulai merasa kemana arah tujuan kata-kata si pendeta tua. Diteguknya tehnya untuk mengurangi ketegangan hatinya.

Sesaat Pun-Khong Hwe-shio menatap wajah tamu-tamunya sebelum melanjutkan, “Maaf, Pang-cu, aku cemas Hwe-liong-pang akan terbujuk oleh sesuatu pihak yang haus kekuasaan. Sehingga menyeleweng dari garis perjuangan Hwe-lion-pang yangluhur. Sekali lagi maafkan kata-kataku, Pang-cu”

Sebelum Tong lam Hou menyahut Pak Kiong Liong yang tidak sabar lagi itupun telah bertanya dengan tajam, “Pihakmana yang membujuk Hwe-Lion-Pang agar menyeleweng, Toa-suhu?”

Pun-khong Hwe-shio mengalihkan pandangannya kepada Pak Kiong Liong, "Goan-swe, harap Goan-swe tidak marah kalau kuanjurkan kepadamu agar tidak menyeret Hwe-liong-pang dalam pertikaian antar putera-putera Kaisar Khong Hi. Makin banyak yang ikut campur, makin ruwet masalahnya. Bahkan kuanjurkan agar Goan-swe sendiri juga menarik diri saja. Sudah kudengar betapa besar jasa Goan-swe dalam berjuang untuk kesejahteraan negeri, karena itu amatlah bijaksana kalau Goan-swe tidak merusak dengan tanganmu sendiri atas apa yang sudah mapan di kekaisaran ini."

Pak Kiong Liong tidak kaget, sejak tadi memang sudah menduga kesitulah arah bicara Pun-khong Hwe-shio. Tanyanya, "Toa-suhu, jadi sekarang Toa-suhu sudah menjadi juru bicara Yonq Ceng, murid perguruan Toa-suhu itu?"

"Biarpun Yong Ceng murid Siau-lim-pai, aku tidak bicara untuk kepentingan pribadinya, atau untuk kepentingan Siau-lim-pai. Aku bicara atas nama rakyat yang tertindas. Yong Ceng sudah bertahta, berilah kesempatan baginya untuk membuktikan kepemimpinannya yang baik. Janganlah ia terus ditentang, sebab rakyatlah yang akan terkena akibatnya.

Semula Tong Lam Hou yang diajak bicara oleh Pun-khong Hwe-shio, namun kini beralih kepada Pak Kiong Liong. Tong Lam Hou membiarkan saja, sebab ia tahu Pak Kiong Liong lebih menguasai masalahnya, lebih paham seluk-beluknya.

“Toa-suhu," suara Pak Kiong Liong masih bernada hormat, "Percayakah Toa-suhu bahwa Yong Ceng akan menghadiahkan kesejahteraan kepada rakyat? mengharap kebaikan dari orang yang memalsukan Surat Wasiat ayahandanya sendiri, merencanakan kematian ayahandanya sendiri, memenjarakan saudara-saudaranya sendiri, menyandera ibunya sendiri untuk menekan Pangeran In Te, tidakkah itu sama dengan mengharapkan keluarnya gading berharga dari mulut seekor anjing? Toa-suhu minta kami membiarkan iblis itu terus bertahta agar berkesempatan menyebarkan malapetaka ke atas jutaan rakyat?"

"Ucapan Goan-swe berat sebelah dan hanya dari sudut kepentingan pihak yang Goan-swe bela," bantah Pun-khong Hwe-shio. "Dalam perebutan kekuasaan, memang wajar kalau pihak yang kalah selalu menyebarkan berita bohong untuk menjeIek-jelekkan si pemenang. Mana buktinya Yong Ceng merencanakan kematian ayahandanya dan merubah Surat Wasiat? Tak ada bukti, tak ada saksi. Dia memang memenjarakan Pangeran In Gi dan Pangeran In Tong, tapi itu pantas buat kedua Pangeran pembangkang itu. Dia menggunakan siasat untuk mengalahkan Pangeran In Te yang hendak merebut kekuasaan lewat pertumpahan darah itupun pantas. Mana bisa dibilang licik?"

Darah Pak Kiong Liong mulai panas, suaranyapun semakin tajam, “Memang Yong Ceng berhasil melenyapkan bukti dan saksi, sehingga dia kelihatan tetap bersih di mata Toa-suhu. Tetapi aku bukan orang dungu yang mempercayai begitu saja segala desas-desus, aku sudah menyelidiknya sendlri. Aku sudah mengenal watak liciknya sejak dia bocah!"

Kepala gundul Pun-Khong Hwe-Shio bergerak-gerak menjengkelkan Pak Kiong Liong, apalagi kata-katanya, “Sulit dipercaya Yong Ceng melakukan hal-hal seburuk itu. Semua cerita bohong itu pasti disiarkan pengikut-pengikut Pangeran In Te yang kecewa tersingkir dari persaingan. Pun-hoat Sute, coba ceritakan kepada Pak Kiong Goan-Swe bagaimana tingkah laku Yong Ceng selama menjadi murid Siau-Lim-Pai.”

Pun Hoat Hwe-Sho adalah seorang pendeta kurus hingga mirip tengkorak hidup, katanya, “Baik, suheng. Yong Ceng semasa muda dan menyamar dengan nana Si Liong Cu, pernah membunuh seorang pembesar jahat di kota Teng-hong yang menindas penduduk tak peduli pembesar itu berdarah seperti dirinya sendiri. Ia juga membasmi banyak penjahat, mengangkat saudara dengan banyak pendekar aliran lurus di Kang-Lam. Masih banyak perbuatan yang mulia, tak mungkin diceritakan satu persatu.”

Lalu Pun-Khong Hwe-Shio menyambung kata-kata adik seperguruannya. “Semua perbuatan mulia itu adalah perbuatan nyata, bukan hanya kabar angin. Banyak saksi yang masih bisa ditanyai. Sebaliknya kabar tentang membunuh ayahnya dan memalsu Surat Wasiat segala itu tidak ada saksinya. Kalau kita berpikir adil, mana yang lebih patut dipercaya...?"

Selanjutnya,