Perserikatan Naga Api Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 38

Karya : Stevanus S.P
HONG-GOAN HWESHIO menjadi penasaran, ibaratnya ikan yang sudah dalam bumbung telah berenang keluar kembali, tapi dia juga menyadari kelemahan pihaknya. Ternyata Hwe-liong-pang hanya melatih anggotanya untuk bertempur perorangan, bahkan secara perorangan rata-rata anggota Hwe-liong-pang lebih kuat dari murid-murid Hoa-san-pay, namun dalam kerjasama kelompok seperti tadi, Hwe-liong-pang tidak bisa apa-apa.

Diam-diam Hong-goan Hweshio berencana dalam hati, "Jika kami benar-benar berniat menumbangkan Cong-ceng, tentu harus berhadapan dengan panglima-panglimanya Kaisar dengan prajurit-prajuritnya yang teratur rapi. Benar bahwa anggota-anggota kami ini dengan latihan selama ini tidak kalah dari para prajurit orang per orang, tapi jika dalam pertempuran besar pasti anggota-anggota kami akan tergilas habis karena tidak biasa bergerak dalam gerakan-gerakan perang. Di kemudian hari hal ini harus mendapat perhatian seperlunya."

Sementara itu, Auyang Siau-pa yang masih tidak terima karena markasnya dibakar itu, telah mengajak kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) yang berjumlah hampir dua ratus orang itu untuk mengejar ke bawah gunung. Hong-goan Hweshio tidak tega membiarkan Auyang Siau-pa memimpin sendirian dalam pengejaran itu, sebab ia tahu bahwa sekuat-kuatnya Auyang Siau-pa namun masih belum melebihi Kiau Bun-han.

Sedang di pihak musuh masih ada tokoh-tokoh kuat lain seperti Yo Ciong-wan yang culas itu, Lim Sin dan Auyang Seng yang meskipun masih muda tapi sudah dapat disejajarkan dengan paman-paman gurunya itu. Terpaksa dengan memanggul senjata Hong-pian-jannya rahib suku Hui itu pun ikut berlari-lari di belakang kelompok Jing-ki-tong itu.

Isyarat pengunduran diri yang dilepaskan oleh Kiau Bun-han dan secara berantai disebarkan ke semua arah itu, terdengar juga oleh pihak Kun-lun-pay yang masih berkutetan di dekat aula melawan kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) di bawah pimpinan In Yong serta Ong Wi-yong itu, juga oleh Go-bi-pay dan Ki-lian-pay bagian-bagian lain.

Memangnya di semua bagian pihak penyerbu telah tertekan hebat, maka "mengalirlah" mereka meninggalkan markas Hwe-liong-pang itu dengan gerakan mundur teratur. Sedang pihak Hwe-liong-pang yang merasa belum puas dengan peristiwa pembakaran itu, terus mengejar ke bawah gunung dipimpin oleh kepala-kepala kelompok masing-masing. Tidak peduli tokoh-tokoh yang paling sabar seperti Kwa Heng atau In Yong sekalipun, kali inipun sama marahnya dan bertekad untuk menangkap Kiau Bun-han dan rekan-rekannya.

Tengah para pendekar berbagai perguruan itu terbirit-birit dlkejar-kejar orang-orang Hwe-liong-pang yang marah, tiba- tiba bersorak-sorailah mereka ketika melihat ke kaki bukit. Saat itu sudah terang tanah, dan di kaki bukit itu nampaklah serombongan orang yang jumlahnya tiga ratus orang lebih sedang bergerak menuju ke atas gunung. Orang-orang itu berseragam campur-aduk, ada yang abu-abu, ada yang coklat, ada yang seperti pendeta Buddha, rahib agama To atau bahkan berpakaian compang-camping seperti pengemis.

Kiranya mereka adalah orang-orang Siau-lim-pay, Bu-tong- pay, Khong-tong-pay, Jing-sia-pay dan sebagainya. Meskipun antara mereka dengan kelompok Kiau Bun-han ada perselisihan pendapat mengenai Hwe-liong-pang, namun ketika mereka tahu rekan-rekan mereka itu diam-diam telah memisahkan diri dan menyerbu sendiri ke Tiau-im-hong mereka tidak sampai hati untuk membiarkannya saja, biarpun perginya rekan-rekan mereka itu tanpa pamit.

Maka merekapun segera menyiapkan diri dan menyusul ke Tiau- im-hong, biarpun kedatangan mereka agak terlambat, sebab orang-orang Hoa-san-pay dan lain-lainnya sudah kalah dan tengah diuber-uber di lereng gunung. Malahan Tiam-jong-pay, salah satu perguruan penyerbu itu, sudah tertumpas habis tidak sisa seorangpun juga.

Cepat-cepat sisa-sisa lima perguruan yang menyerbu Tiau-im-hong itu menggabungkan diri dengan rekan-rekan mereka yang baru datang itu. Di depan barisan pendekar yang baru datang itu, berdirilah Hong-tay Hweshio, tokoh tua Siau-lim-pay itu, wajahnya yang biasanya lembut dan berseri-seri, kini nampak merah padam karena marahnya. Agaknya ia sangat tersinggung oleh tindakan Kiau Bun-han dan kawan-kawannya yang meninggalkan barisan tanpa pamit itu.

Ketika melihat rombongan Kiau Bun-han mendatangi dari depan dengan pakaian yang robek-robek serta keadaan yang babak belur, Hong-tay Hweshio tertawa dingin dan bertanya, "Bagaimana hasil penyerbuan, Ketua Kiau?"

Kiau Bun-han menundukkan kepalanya ketika menatap pandangan tajam dari rahib tua Siau-lim-pay itu, rupanya ia menyadari juga tindakannya yang terburu nafsu itu. Begitu pula ketika rombongan dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Ki-lian-pay juga bergabung, tidak banyak percakapan yang terjadi.

Kemudian bertanyalah Hong-tay Hweshio, "Empat perguruan sudah kembali. Tapi kenapa saudara-saudara kita dari Tiam-jong-pay belum kelihatan juga? Mungkinkah mereka tersesat ke lereng yang lain?"

Dalam pada itu, pihak Hwe-liong-pang tidak berani mengejar terus ketika melihat pihak lawan telah mendapatkan bala bantuan sebanyak itu. Namun pihak Hwe-liong-pang juga tidak sudi muncur dan kalah gertak, apalagi karena mereka berjumlah lebih banyak dan berada di kandang sendiri pula. Dengan beberapa aba-aba dari Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin.

Orang-orang Hwe-liong-pang segera membentuk barisan berjajar di sebuah tempat datar tepat di depan pintu gerbang markas mereka. Jumlah mereka seluruhnya yang hampir seribu orang itu semuanya berseragam hitam, dalam keremangan pagi yang berkabut, mereka nampak seperti deretan hantu-hantu yang bangkit dari liang kuburnya.

Dari ujung ke ujung, mereka berbaris dalam kelompoknya masing-masing, mulai dari Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) pimpinan Oh Yun-kim dengan wakilnya Tiat-ci-eng (Elang Bersayap Besi) Suma Koan, yang tangannya selalu memutar-mutar bandring besinya itu. Kelompok Bendera Kuning (Ui-ki-tong) dipimpin Tiat-jiau-tho-wan (Kera Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng dengan wakilnya Tiat-pi-hek-hou (Macan Hitam Berlengan Baja) Can Bun-hou yang bertangan kosong seperti ketuanya. Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) dipimpin Auyang Siau-pa, si orang Su-coan yang gerakan goloknya seperti kilat itu, didampingi wakilnya Yu Ling-hoa dengan sepasang perisai tajam di tangannya.

Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) di depannya tegaklah In Yong si Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Petir) yang didampingi wakil dan sekaligus adik seperguruannya sendiri, Ong Wi-yong yang berjulukan Hui-long (Serigala Terbang). Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat) dipimpin Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia (Si Malaikat Lo-cia Kecil), karena senjata Ma Hiong adalah sepasang roda kecil dari besi, mirip dengan "kendaraan" malaikat Lo-cia dalam dongeng kuno itu. Ia tidak didampingi wakilnya, sebab wakilnya telah gugur dalam pertempuran tadi malam, dan itu pula sebabnya si malaikat Lo-cia kecil ini nampak merah-padam mukanya dan menatap ke arah barisan kaum pendekar dengan kemarahan meluap.

Kemudian ada Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) dengan Tong-cu nya yang tinggi besar dan perkasa, Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati). Lu Tong-cu Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) dipimpin Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) Kwa Tin-siong, yang wakilnya si Telapak Besi Cu Keng-wan juga telah gugur di tangan Thian-sek Hweshio dari Go-bi-pay.

Yang paling ujung adalah Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dipimpin Siang-po-kay-san (Si Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat, didampingi oleh Sebun Peng, wakilnya yang bergelar Song-kiam (Pedang Perkabungan). Sedang di depan barisan Hwe-liong-pang yang garang dan siap tempur itu, berdirilah empat orang dedengkot mereka. Siangkoan Hong, Lim Hong- pin, Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki.

Kini dua buah kelompok besar telah saling berhadapan di tempat terbuka, masing-masing dengan senjata-senjata terhunus yang siap "disarangkan" ke dada lawannya. Matahari yang kuning keemasan perlahan-lahan naik dan cahayanya yang semakin terang telah membuat kedua pihak yang berhadapan bisa saling memandang wajah masing-masing. Namun yang ada hanyalah wajah-wajah yang hampir sama coraknya, tegang, marah dan penuh nafsu membunuh.

Ketegangan yang mencekam itu dipecahkan oleh geraman Siangkoan Hong bagaikan singa terluka, ia maju dua langkah sambil menuding ke arah Hong-tay Hweshio, "Kaukah pemimpin orang-orang ini, yang sering disebut Hong-tay Hweshio itu?"

Rahib tua Siau-lim itu merangkapkan kedua telapak tangannya dan menjawab dengan sabar, "Benar. Apakah kau Ketua Hwe-liong-pang?"

"Bukan. Tapi selama Ketua tidak dapat menjalankan tugasnya, akulah yang menjalankan pekerjaan sebagai Ketua. Hemm, Hweshio tua, tidak perlu kau berbasa-basi lagi. Kau mengatakan menerima uluran tangan perdamaian kami, tetapi kenapa kau mengirim orang untuk menyerang markas kami selagi kami tidur dan membakar rumah kami pula? Apakah begini biasanya perbuatan orang-orang yang menamakan diri kaum lurus seperti kalian ini? Bukankah ini perbuatan pengecut?"

Diam-diam Hong-tay Hweshio menyesalkan juga perbuatan Kiau Bun-han yang tidak dapat mengendalikan diri itu. Namun sudah tentu dia tidak dapat menegur Kiau Bun-han di hadapan orang banyak seperti itu, sebab tokoh Hoa-san-pay itu akan kehilangan muka, dan bisa menimbulkan perpecahan dalam barisannya sendiri.

Akhirnya dengan menarik napas dalam-dalam Hong-tay Hweshio berkata, "Hiang-cu, dalam keadaan penuh kesalahpahaman dan kecurigaan seperti ini, seorang memang mudah berbuat khilaf. Hiang-cu menanyakan kenapa teman kami menyerang dan membakar markas kalian, tapi kami pun bertanya kepada kalian, kenapa kalian menyerbu dan membakar markas Kay-pang (Golongan pengemis) di kota Lam-tiong beberapa hari yang lalu? Kenapa kalian membunuh belasan murid Cong-lam-pay dan Soat-san-pay di luar kota Jing-toh itu, padahal kalian sedang menawarkan perdamaian dengan kami?"

"Itu bukan perbuatan kami. Hweshio tua, kau tentu sudah tahu bahwa kami terpecah menjadi dua, dan tiap-tiap bagian tidak bertanggung-jawab atas perbuatan bagian yang lainnya. Kami tidak bertanggung-jawab apa yang diperbuat oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya!"

"Hiang-cu, tidak adakah alasan lain yang bisa kau karang selain yang itu-itu juga? Tadinya kami hampir mempercayai kejadian itu, namun selama itu pihak kami ternyata lebih banyak dirugikan, banyak murid-murid kami terbunuh, dan kami tidak bisa minta pertanggungan-jawab siapapun sebab kalian selalu berdalih itu bukan perbuatan kalian. Apakah ini adil? Bukankah seharusnya perbuatan orang yang disebut Te-liong Hiang-cu itu juga menjadi tanggung-jawab kalian? Bukankah kalianlah yang wajib menangkap mereka karena mereka adalah anggota kalian?"

Siangkoan Hong memang bukan orang yang pandai bicara, maka setelah didebat begitu rupa oleh Hong-tay Hweshio, seketika diapun bungkam, hanya mukanya yang menjadi merah padam, dan mulutnya menggumamkan kata-kata "keparat" sampai belasan kali.

Sementara itu Hong-tay Hweshio telah berkata lagi, "Sekarang kami ingin bertanya, bagaimanakah nasib orang-orang Tiam-jong-pay yang datang ke tempat kalian itu? Kenapa mereka belum nampak?"

Siangkoan Hong tertawa dingin, "Hweshio tua, kutanya kau, jika ada orang yang menyerbu dan membakar kuil Siau-lim-si kalian, apa yang kau perbuat terhadap mereka?"

Seketika itu juga berubahlah wajah para pendekar ketika mendengar jawaban itu, mereka mulai mendapat firasat jangan-jangan rekan-rekan Tiam-jong-pay mereka itu telah mendapat musibah. Kim-hian Tojin, tokoh sakti Bu-tong-pay yang berdiri berdampingan dengan Hong-tay Hweshio itu telah melangkah maju, katanya dengan suara tergetar, “Jadi... jadi... mereka telah...”

Siangkoan Hong mendongakkan kepalanya dan tertawa lepas, “Jangan salahkan kami. Kami diserang, dan kami harus membela diri. Pihak kamipun kehilangan beberapa anggota terbaik kami, malahan beberapa Hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok) juga telah gugur.”

Seketika itu gemparlah pihak pendekar itu. Meskipun tidak tegas dikatakan, namun siapapun dapat memastikan bahwa orang-orang Tiam-jong-pay itu telah tertumpas semua. Teriakan kemarahan segera berkumandang di antara rombongan pendekar itu, senjata-senjata sudah dicabut keluar dan diacung-acungkan ke udara. Tapi pihak Hwe-liong-pang juga berbuat serupa sebab mereka pun marah kehilangan beberapa pemimpin mereka.

Sedangkan tokoh-tokoh yang lebih berkepala dingin seperti Hong-tay Hweshio, Kim-hian Tojin, Tiat-sim Tojin dan sebagainya, meskipun mereka juga menyesali kematian orang-orang Tiam-jong-pay, namun secara jujur harus mengakui bahwa pihak Hwe-liong-pang memang berhak mempertahankan markasnya. Dan dalam pertempuran yang manapun juga, kemungkinan untuk gugur sama besarnya dengan kemungkinan untuk tetap hidup. Rasanya terlalu tidak tahu aturan jika menimpakan kesalahan sepenuhnya ke pundak Hwe-liong-pang.

Pada saat ketegangan telah memuncak, dan banjir darah yang dahsyat sudah terancam akan tertumpah di lereng Tiau-im-hong yang cerah itu, tiba-tiba dari kaki bukit terdengar derap kaki kuda yang ramai. Salah seorang penunggang kuda itu berteriak-teriak dari kejauhan, “Tahan senjata! Tahan senjata!”

Dari kaki bukit itu muncullah lima orang berkuda yang dengan tergesa-gesa memacu kudanya ke atas bukit. Dua orang penunggang kuda yang paling depan adalah lelaki, sedang tiga penunggang kuda di belakangnya adalah perempuan semua, namun ketangkasan perempuan-perempuan itu dalam mengendalikan kudanya ternyata tidak kalah dengan kaum lelaki. Setelah orang-orang di lereng melihat wajah para penunggang kuda itu, beberapa orang yang mengenalnya segera berteriak,

“Itulah Tong Wi-hong, pemimpin Tiong-gi Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) di Tay-beng!”

Kemudian yang mengenali salah seorang gadis penunggang kuda itu, berteriak pula, “Itulah Tong Wi-lian, murid Hong-tay Hweshio, gadis yang mampu mengalahkan beberapa orang Tong-cu Hwe-liong-pang dalam pertempuran di Siong-san!”

Setelah penunggang-penunggang kuda itu dekat, pakaian mereka telah menimbulkan keheranan orang-orang di lereng Tiau-im-hong yang telah saling berhadapan itu. Ternyata, baik Tong Wi-hong maupun keempat kawannya, semua berpakaian putih dari kain belacu dan dirangkapi pula dengan baju pendek dari tikar pandan, dan kepala mereka dilibat dengan secarik kain putih. Pakaian berkabung! Sedang mata mereka pun nampak merah bengkak seperti habis menangis.

Begitu tiba di tengah-tengah ketua pihak yang sudah siap tempur itu, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian melompat turun dari kudanya, lalu mendekati ke arah Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio. Tiba-tiba saja kedua kakak beradik she Tong itu telah menjatuhkan diri dan berlutut sampai dahi mereka mengenai tanah, kata Tong Wi-hong dengan suara bergetar mengandung kesedihan, “Pendekar Kiau dan Rahib Thiang-goan yang bijaksana, kami kakak beradik mewakili kakak kami memohonkan maaf sebesar-besarnya dari pihak Hoa-san-pay dan Go-bi-pay....”

Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio saling bertukar pandangan dengan penuh keheranan. Cepat-cepat mereka balas berlutut sambil berkata, “Tong Cong-piau-thau, jika ada urusan harap dibicarakan baik-baik, jangan bersikap sesungkan ini, membuat kami merasa tidak enak saja. Dan siapakah kakakmu yang kau sebut meminta maaf kepada Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu?"

Masih dengan suara serak Wi-hong menyahut, “Kakakku adalah Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang!”

Bagaikan disengat kalajengking, tiba-tiba Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio melompat bangun dari berlututnya. Wajah mereka menjadi merah padam dan tangan mereka telah menggenggam erat-erat hulu pedang mereka. Kiau Bun-han telah membentak bengis, “Hah? Jadi si gila di kuil rusak itu adalah kakakmu? Di mana dia?! Kami harus membalas kematian murid-murid kami yang terbunuh oleh tangan iblisnya!”

Tong Wi-hong dan adiknya tetap tidak bangkit dari berlututnya, tidak peduli pedang Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio setiap saat siap dicabut dari sarungnya dan menebas kepala mereka. Kata Tong Wi-hong dengan kepala tetap tunduk, “Tayhiap berdua tidak perlu membalasnya lagi. Meskipun kakakku membunuh beberapa muridmu, namun ia pun terluka parah gara-gara perkelahiannya dengan kalian di kuil rusak itu....”

Ucapan itu terpotong oleh bentakan Thian-goan Hweshio, "Tidak perlu kau meringankan dosa-dosa kakakmu sendiri! Sekarang lekas tunjukkan di mana dia agar kami dapat menyeretnya ke sini dan menghakimi kesalahannya!"

Kata-kata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio yang sangat memandang rendah Ketua Hwe-liong-pang itu seketika menimbulkan kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang, serentak merekapun mencabut senjata dan berteriak-teriak memaki. Namun Siangkoan Hong belum memerintahkan untuk menyerang, sebab ia sendiripun ingin mendengar berita tentang di mana Ketua dan sekaligus sahabat karibnya sejak kecil itu.

Sementara itu, Tong Wi-hong telah menurunkan sebuah guci yang tadi tergendong di punggungnya, guci yang terbungkus kain putih, lalu jawabnya atas pertanyaan Thian-goan Hweshio tadi, "Dia ada di sini, tay-su. Ini adalah abunya...."

Kembali lereng Tiau-im-hong itu bagaikan gempar. Baik pihak para pendekar maupun pihak Hwe-liong-pang bagaikan tidak percaya mendengarkan dengan telinga mereka sendiri, bahwa Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang telah meninggal dunia! Tong Wi-siang telah meninggal dunia! Ketua Hwe-liong-pang yang menggemparkan dan menggetarkan dunia itu, telah tiada!

Kiau Bun-han sudah menyiapkan cacian berikutnya ke alam Tong Wi-siang, namun akhirnya ditelannya kembali apa yang hampir diucapkannya itu. Bagaimanapun dia adalah seorang pendekar terhormat dan tidak pantas baginya untuk mencaci orang yang sudah meninggal. Namun dengan nada kurang percaya ia masih bertanya juga kepada Wi-hong,

"Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa abu ini benar-benar abu si gi... eh, Ketua Hwe-liong-pang itu? Bagaimana dia mati?"

Wi-hong harus menguatkan hati untuk mengulangi lagi kisah yang menyedihkan hati itu lewat bibirnya, "Sehabis berkelahi dengan kalian di kuil tua itu, kakakku itu berhasil kami temukan tapi dalam keadaan luka-luka, selain karena terluka oleh kalian, juga terluka karena pengerahan tenaganya sendiri yang berlebihan. Kami berusaha menyembuhkan, tetapi keadaan jiwanya yang tergoncang karena kehilangan seorang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan juga semangat hidupnya yang runtuh karena keputus-asaan akan kegagalan yang bertubi-tubi, tidak membantu usaha penyembuhan kami itu. Dua malam yang lalu, dalam keadaan sadar dan pikiran yang jernih, tapi tubuh yang sangat lemah, dia telah meninggal dunia setelah menulis dua pucuk surat."

Melihat mimik Tong Wi-hong, agaknya pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memang tidak menipu, apalagi ketika melihat Wi-lian dari tadi hanya menundukkan kepala terus dan menangis. Sedang orang-orang Hwe-liong-pang yang mulai yakin akan pendengaran mereka, sebagian mulai menangis dan sebagian lagi mengertakkan gigi sambil mengepal tinju.

Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio mau tidak mau luruh juga kekerasan hatinya melihat hal itu. Tanya Thian-goan Hweshio, "Dua pucuk surat untuk siapa saja?"

"Sepucuk untuk pihak Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Sepucuk lagi untuk Hwe-liong-pang."

“Mana suratnya?"

Tong Wi-hong segera mengeluarkan dua pucuk surat dari dalam bajunya, yang satu diangsurkannya kepada Thian-goan Hweshio, sedang yang satu lagi diberikannya kepada Siangkoan Hong yang telah berjalan mendekat. Kedua orang itu hampir bersamaan merobek sampul surat dan hampir bersamaan pula membacanya dengan berbisik-bisik.

Selesai membaca surat itu, Thian-goan Hweshio menarik napas panjang dan berkata, "Rupanya kekuasaan takdir sangat terasa. Ketua Hwe-liong-pang saja berani mengorbankan perasaannya untuk minta maaf kepada kita lebih dulu, kenapa kita harus ngotot tak mau memaafkannya?" Lalu disodorkannya surat itu kepada Kiau Bun-han agar tokoh Hoa-san-pay itu membaca pula.

Sedang Tong Wi-hong dan adiknya telah berlutut lagi di hadapan tokoh Go-bi-pay itu, dan kata Wi-hong, "Jika pihak Go-bi-pay dan Hoa-san-pay masih penasaran akan murid-muridnya yang terbunuh oleh kakakku, aku dan adikku bersedia untuk mengganti nyawa mewakili kakakku."

Bahkan kemudian Tong Hu-jin disertai Ting-bun dan Cian Ping telah berlutut pula. Kata janda pendekar Tong Hu-jin, "Jika tay-su sudi menghargai nyawa tuaku, akupun bersedia mengganti nyawa murid-murid kalian yang dibunuh puteraku. Tapi aku mohon hendaklah pesan terakhir anakku agar permusuhan diakhiri itu benar-benar terlaksana, supaya nyawa anakku tenteram di alam baka."

Luluhlah kekerasan hati Thian-goan Hweshio itu. Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya dan mematahkannya menjadi dua potong, serunya dengan suara bergetar, "Jika Ketua Hwe-liong-pang yang sering kucaci-maki sebagai gembong iblis itupun bisa bertindak seluhur ini, masakah aku harus kalah dari padanya? Mulai detik ini, permusuhanku dengan Ketua Hwe-liong-pang kuanggap lenyap seperti patahnya pedang ini, semua murid Go-bi-pay juga kularang untuk memusuhi dan merendahkan namanya! Jika masih ada orang-orang Hwe-liong-pang yang penasaran dan ingin bertempur denganku, aku sanggup melayaninya, tapi tidak ada sangkut-paut lagi dengan permusuhanku dengan Hwe-liong Pang-cu!"

Demikianlah, meskipun hati Thian-goan Hweshio sebenarnya sudah luluh sehabis membaca surat dan juga melihat Tong Hu-jin beserta anak-anak dan calon-calon menantunya itu berlutut di hadapannya, namun sebagai orang berwatak keras maka bicaranyapun keras pula. Ia tidak sudi dianggap takut bermusuhan dengan Hwe-liong Pang-cu dihapuskan, tapi ia masih juga menantang orang Hwe-liong-pang yang masih ingin berkelahi dengannya.

Dalam pada itu, Siangkoan Hong-pun telah selesai membaca surat itu, tiba-tiba menengadah ke langit sambil tertawa bergelak-gelak, namun kemudian tawanya itu berubah jadi semacam jeritan yang memedihkan hati. Dikepalkannya tinjunya ke langit, seakan menuntut kepada Thian, teriaknya, “Tong Wi-siang masih muda dan bercita-cita luhur, adilkah jika ia mati semudah itu? A-siang! Kau membakar semangat juangku, tetapi setelah itu kau tinggalkan kami setengah jalan seperti ini....!"

Mata Siangkoan Hong tiba-tiba berubah jadi beringas, ditatapnya Tong Wi-hong yang memegang guci berisi abu Tong Wi-siang itu, lalu bentak Siangkoan Hong dengan bengisnya, "Berikan kepadaku!"

Wi-hong mengerti bahwa Siangkoan Hong, sahabat kakaknya yang sangat setia itu, tengah terguncang perasaannya, karena dikeluarkannya juga guci itu kepada Siangkoan Hong. Kemudian Siangkoan Hong mengangkat tinggi-tinggi guci itu, serentak orang-orang Hwe-liong-pang meletakkan senjatanya dan berlutut ke arah guci itu dengan khidmat. Teriak Siangkoan Hong,

"He, orang-orang Hwe-liong-pang yang setia, yang telah menatakan diri untuk bertempur bersama Ketuamu yang perkasa, apa yang kau perbuat jika Ketuamu gugur seperti ini?”

Terdengarlah teriakan-teriakan, “Menuntut balas!"

Sementara itu Lim Hong-pin telah membaca pula surat itu, dan ia menjadi cemas ketika melihat ucapan-ucapan Siangkoan Hong bukannya menjurus ke arah perdamaian seperti yang dipesankan oleh Tong Wi-siang, melainkan malah membakar hati anggota-anggota Hwe-liong-pang itu. Karena itu, Lim Hong-pin bertekad untuk membacakan surat itu di hadapan seluruh anggota Hwe-liong-pang, tidak peduli untuk itu dia harus bertentangan dengan Siangkoan Hong sendiri. Tapi pertumpahan darah harus dicegah.

Pada saat orang-orang Hwe-liong-pang yang terbakar hatinya itu sudah bangkit dari berlututnya dan siap menerjang ke arah kaum pendekar, cepat-cepat Lim hong-pin melompat maju sambil mengangkat tinggi-tinggi kertas surat itu, sambil berseru, “Orang-orang Hwe-liong-pang, maukah kalian mendengar pesan terakhir Ketua kalian?”

Orang-orang Hwe-liong-pang itu pun menahan langkahnya. "Kami mau mendengarnya!" teriak mereka.

"Sanggupkah kalian melaksanakan amanat terakhir itu?" tanya Lim Hong-pin lagi.

Disahut oleh para anggota, "Kami sanggup!"

"Apapun pengorbanannya?"

"Ya!" teriak anggota Hwe-liong-pang. “Biarpun kepala kami harus menggelinding di lereng ini dan darah kami tertumpah memerahkan seluruh Tiau-im-hong ini!"

Lim Hong-pin mengangguk-angguk kepalanya, "Bagus! Pesan terakhir ketuamu itu tidak sampai harus dengan kepala terpenggal atau darah tertumpah, tapi justru menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu. Dengarlah Hwe-liong Pang-cu menghendaki kalian meneruskan perjuangan menggulingkan si Kaisar tidak becus Cong-ceng itu....”

"Kami siap!" sambut para anggota.

"... dan menghindari jatuhnya korban yang tidak perlu, pesan Ketua kepada kalian mengatakan bahwa orang-orang Hoa-san-pay, Siau-lim-pay dan lain-lainnya yang berdiri di hadapan kalian adalah bukan musuh kalian! Kuulangi, bukan musuh kalian! Ketua sadar bahwa selama ini para pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu telah mengadu-domba kita dengan mereka. Ketua tidak rela kita menjadi jangkrik-jangkrik aduan yang tolol, sedangkan Te-liong Hiang-cu enak-enak memungut hasil pertentangan ini dan kemudian menggilas habis kita semua!"

Jika seruan untuk menggulingkan kaisar Cong-ceng tadi disambut dengan teriakan-teriakan bersemangat, maka seruan untuk berdamai dengan kaum pendekar ini disambut dengan bungkam dan penuh keragu-raguan. Betapapun juga orang-orang Hwe-liong-pang belum bisa melupakan bahwa baru beberapa saat yang lalu orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan sebagainya itu baru saja membakar markas mereka, dan membunuh rekan-rekan mereka. Darah yang melekat di pedang mereka belum kering. Bagaimana bisa mereka berdamai dengan pembunuhan-pembunuhan teman-teman mereka itu?

Lim Hong-pin yang berusia lebih muda dari Siangkoan Hong, tetapi lebih bijaksana itu, dapat menangkap gejolak hati anggota-anggota Hwe-liong-pang itu. Katanya, "Memang berat, tapi kekonyolan ini tidak boleh berlarut-larut, sebab hal itu berarti kita masuk dalam siasat licik Te-liong Hiang-cu yang lebih dulu ingin menguras tenaga kita, sedangkan dia akan datang kemudian dengan kekuatan yang masih segar. Kalian dapat mengerti bukan? Lebih berharga mana jika kalian mati karena diadu domba, atau mati dalam perjuangan meneruskan cita-cita Ketua kita?”

Kata-kata itu agaknya dapat juga meresap dalam hati para anggota bahkan juga dalam hati Siangkoan Hong yang sekeras batu padas itu, Terdengar Siangkoan Hong menggeram, "Baik. Kita turuti pesan Pang-cu. Tapi aku tidak sudi berdamai dengan bangsat-bangsat munafik itu. Aku menghentikan permusuhan, tapi tidak berkawan dengan mereka. Kami akan berjalan sendiri-sendiri."

Kata-kata Siangkoan Hong itu disambut gembira oleh para anggota. Memang itulah jalan tengah yang paling tepat. Menghentikan permusuhan, tapi juga tidak menjadi kawan. Lim Hong-pin tahu bahwa rekan-rekannya itu masih belum bisa melupakan perbuatan orang-orang Hoa-san-pay yang membakar markas mereka itu. Apa boleh buat, itupun lebih baik daripada berbunuh-bunuhan tanpa akhir yang membawa banyak korban jiwa itu.

"Baiklah, tapi masih ada dua pesan Pang-cu lagi," kata Lim Hong-pin.

Karena Siangkoan Hong sudah membaca surat Wi-siang tadi, maka ia tahu apakah dua pesan yang akan dikatakan lagi oleh Lim Hong-pin itu. Namun dia diam saja dan membiarkan Lim Hong-pin membacakan lagi,

"Kedua pesan tambahan itu adalah, pertama, untuk melanjutkan perjuangan menggulingkan Kaisar Cong-ceng, Ketua mengijinkan kita untuk bergabung dengan Coan-ong Li Cu-seng, tapi ini hanya anjuran Ketua dan bukan suatu keharusan. Yang kedua, kalian harus segera meninggalkan markas ini, sebab tidak lama lagi markas akan diserbu oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya.....”

"Kami tidak gentar!" teriak para anggota.

"Aku mengerti kalian tidak gentar, dan Ketua ketika menulis surat ini tentu juga paham bahwa kalian tidak gentar kepada pengkhianat-pengkhianat Hwe-liong-pang itu. Tapi kalian tidak boleh mati konyol. Bukan karena Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya itu sakti luar biasa tapi karena bangsat itu secara tidak tahu malu telah menjilat Kaisar Cong-ceng, dan berkomplot dengan Panglima Lam-tiong, dan saat ini dia sedang bergerak mengepung tempat ini untuk menumpas kita!"

Berita itu memang mengejutkan. Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang, tapi kaum pendekar dari berbagai perguruan itu. Apalagi ketika Tong Wi-hong juga ikut berkata,

"Ya, itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ketika kami berkuda menuju ke Tiau-im-hong ini, kami melihat sebuah pasukan Kerajaan dalam jumlah besar, bercampur-aduk dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu sedang menuju kemari. Mereka hendak menumpas Hwe-liong-pang, sekaligus menumpas para pendekar untuk membalas dendam atas kekalahan Te-liong Hiang-cu di Siong-san dulu!"

"Bangsat tidak tahu malu!" teriak Kiau Bun-han. "Dia tidak mampu membalas dendam dengan kekuatan sendiri, kenapa dia sudi menjilat pantat para pejabat busuk kaki tangan Cong-ceng itu?”

Yang menyahut adalah Hong-goan Hweshio dari pihak Hwe-liong-pang, "Itulah kelicikannya, dulu kami sudah berkali-kali meyakinkan kalian bahwa kita harus menahan diri dari siasat adu-domba ini. Andaikata kita dapat menahan diri, kejadian buruk hari ini tak akan terjadi...."

Kiau Bun-han melotot dan membentak, "Hweshio sesat, jadi secara tidak langsung hendak kau katakan bahwa kami ini orang-orang tolol yang mudah disogok untuk diadu-domba?"

Hong-goan Hweshio tertawa dingin, "Dalam keadaan sama-sama mengalami bahaya seperti ini, masih perlukah kita berebut siapa pintar siapa tolol? Aku berkata, Kita sama tololnya, kita sama-sama berotak kerbau. Tanpa kecuali!"

Muka Kiau Bun-han menjadi merah padam, tapi Thian-goan Hweshio justru bertepuk tangan sambil berkata, "Ha-ha-ha, sungguh makian yang tepat. Aku, Thian-goan Hweshio, si kerbau tolol dari Go-bi-pay, mengulurkan tangan persahabatan kepada kerbau-kerbau tolol lainnya, siapa mau menerima uluran tanganku ini?"

Tapi tak seorangpun di pihak Hwe-liong-pang yang menyambut ucapan Thian-goan Hweshio itu, sehingga Rahib Go-bi-pay itu menarik napas sedih, "Baiklah, rupanya orang-orang Hwe-liong-pang masih marah kepadaku karena aku telah ikut menyerbu dan membakar tempat kalian."

Dari pihak Hwe-liong-pang, Ling Thian-ki, bekas sahabat Thian-goan Hweshio itulah yang menyahut, "Kau memang tolol. Kedua pihak baru saja saling bunuh penuh kebencian, bagaimana mungkin tawaran tololmu itu bisa diterima sekarang? Jika kau ingin bersahabat dengan kami, sikap bersahabatmu itu harus kau tunjukkan untuk tahun-tahun mendatang dengan perbuatan, bukan dengan ucapan kosong!”

Thian-goan Hweshio mengangguk-angguk tak menjawab, sedang Kiau Bun-han lah yang menyahut dingin, “Jangan besar kepala. Hoa-san-pay tidak akan pernah berkawan dengan kaum sesat tanpa juntrungan seperti kalian, biarpun untuk sementara ini kita tidak akan bertempur!”

Jawaban Ling Thian-ki tidak kalah tajamnya, “Kau juga jangan besar kepala, tawaran persahabatan kami tidak kami tujukan kepada orang-orang sombong dan selalu mengira diri sendiri benar sendiri seperti kau ini, melainkan kepada orang-orang yang dapat melihat kebenaran perjuangan kami! Kau sendiri boleh jadi berilmu tinggi dan bernama besar, tapi kau tidak lebih sampah rongsokan buat kami, sebab kau tidak berani menggunakan kepandaian itu untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat! Kau kalah dengan seorang yang berilmu rendah tapi berani mengamalkan ilmunya itu.”

Kembali muka Kiau Bun-han menjadi merah padam, sambil menghunus pedangnya dia hendak melangkah maju menerjang Ling Thian-ki, dan Ling Thian-ki sendiri agaknya sudah juga siap meladeni tokoh Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Melihat itu, cepat-cepat Tong Wi-hong melompat ketengah-tengah kedua tokoh itu, sambil berkata dengan nada memelas,

“Sudahlah tuan-tuan berdua, belum cukupkah korban yang jatuh hanya karena kesalahpahaman? Masih akan ditambah lagikah nyawa-nyawa yang melayang tanpa arti, sedang musuh bersama kita, Te-liong Hiang-cu, belum meneteskan setitik keringat pun?”

Pada saat sindir-menyindir antara Kiau Bun-han dan Ling Thian-ki itu sudah memuncak dan hampir meledak kembali menjadi pertentangan yang melibatkan anak buah masing-masing, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berkali-kali. Lalu tanah-tanah di lereng-lereng Tiau-im-hong itu bagaikan meledak berhamburan terkena gempuran peluru meriam. Kedua pihak yang tengah bersitegang leher di lereng Tiau-im-hong itu sama-sama terkejut dan menjadi panik. Beberapa orang, dari perguruan-perguruan maupun Hwe-liong-pang, telah terpental tewas kena peluru meriam! Lain-lainnya berlari berpencaran.

Bersamaan itu, di bawah gunung terlihat ada sejumlah besar pasukan Kerajaan Beng tengah mengurung kaki bukit, menyumbat satu-satunya jalan yang menghubungkan bukit itu dengan dunia luar. Yang membuat kedua pihak mendidih darahnya adalah ketika melihat bahwa di depan tentara Kerajaan yang tengah menerjang ke atas bukit itu, ternyata terdapat orang-orang yang mereka benci.

Yaitu Te-liong Hiang-cu yang masih juga memakai topeng tengkoraknya, diiringi oleh pengikut-pengikutnya yang berkepandaian tinggi seperti Ang-mo-coa-ong (Si Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po, Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-Ji, Hwe-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok serta Hek-liong (Si Naga Hitam) Thio Hong-bwe. Selain itu masih ada ratusan anak buah lainnya yang berpakaian hitam-hitam seperti orang Hwe-liong-pang, bahkan mereka juga menamakan diri Hwe-liong-pang pula.

Kecurigaan di pihak kaum pendekar ternyata belum lenyap seluruhnya ketika melihat munculnya pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu bersama-sama tentara pemerintah itu. Biarpun hanya sedikit, masih juga ada dugaan bahwa Hwe-liong-pang tidak benar-benar bermusuhan dengan Te-liong Hiang-cu, melainkan hanya pura-pura untuk menjebak seluruh kaum pendekar dan menumpasnya di lereng Tiau-im-hong itu.

Tapi kecurigaan semacam itu akhirnya lenyap ketika mereka melihat Siangkoan Hong sendiri telah memimpin anak buahnya untuk menyongsong serbuan musuh yang jauh lebih banyak itu dengan beraninya. Para pimpinan Hwe-liong-pang lainnya pun dengan penuh semangat menerjang paling depan, tidak peduli musuh jauh lebih banyak.

Dalam sekejap saja, di kaki bukit Tiau-im-hong itu berkobarlah pertempuran sengit antara Hwe-liong-pang melawan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Beng dengan beberapa perwiranya yang tangguh pula. Kaum pendekar belum turun ke gelanggang, dan dalam kesempatan itu mereka melihat bahwa benar-benar rupanya ada perpecahan di Hwe-liong-pang.

Mereka juga melihat bahwa di antara pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu terdapat orang-orang yang sudah mereka kenal dalam pertempuran di Siong-san dulu, berarti kelompok inilah yang sebenarnya menyerang Siong-san dulu, bukan kelompoknya Siangkoan Hong.

Hong-tay Hweshio bergumam sendiri, “Sekarang terbuktilah bahwa kita benar-benar telah diadu-domba oleh Te-liong Hiang-cu yang agaknya ingin meminjam tangan kita untuk melenyapkan saingannya itu. Kemudian dia sendiri datang dengan kekuatan pinjaman yang masih segar, untuk menumpas habis kita yang tentu dibencinya pula.”

Kiau Bun-han menundukkan kepala, merasa malu atas perbuatannya selama ini, dan akhirnya berkata geram, “Bagus kalau Te-liong Hiang-cu dan kaki tangannya datang kemari. Kita jadikan peristiwa Tiau-im-hong ini sebagai pil pahit kedua baginya setelah di Siong-san dulu.”

Keputusannya diambil, kaum pendekar itupun segera menghunus senjata dan menghambur ke kaki bukit. Tidak menghiraukan peluru-peluru meriam yang masih berdesingan menghantam lereng-lereng bukit, mereka menerjang langsung ke arah pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan Beng.

Sementara itu, dengan penuh kebencian Siangkoan Hong telah menerjang ke arah Te-liong Hiang-cu yang dianggapnya biang-keladi semua kekisruhan belakangan ini. Teriaknya, "Pengkhianat, bagus kau datang untuk mengantar batok kepalamu!"

Te-liong Hiang-cu menyambut terjangan bekas temannya itu dengan hati-hati pula, sebab dia tahu bahwa ilmu Siangkoan Hong tidak berselisih dengannya sendiri. Keduanya sama-sama pewaris ilmu dari Kitab Bu-san-jit-kui, meskipun secara tidak langsung, sebab Tong Wi-sianglah yang mengajari dan menuntun mereka. Kini kedua bekas sahabat dari An-yang-shia itu terlibat dalam pertempuran mati-matian.

Setiap jago dari masing-masing pihakpun segera menemukan tandingannya masing-masing. Tang Kiau-po yang tengah mengganas dengan tongkat besi berkepala ularnya, serta pukulan Ang-se-jiu (Pukulan Pasir Merah) itu, terhadang oleh musuh lamanya yang bekas rekannya sesama Su-cia, yaitu Hong-goan Hweshio. Biarpun Tang Kiau-po termasuk dalam urutan "Sepuluh Tokoh Sakti" sedangkan Hong-goan Hweshio tidak, itu tidak berarti ilmu Hong-goan Hweshio lebih rendah dari Si Raja Ular dari Thay-san itu.

Tidak tercantumnya nama Hong-goan Hweshio dalam urutan sepuluh besar itu karena sejak belasan tahun yang lalu dia telah pergi ke tempat jauh, ke daerah suku Hui di sebelah barat sana, sehingga namanya pun jarang dikenal orang, kecuali orang-orang yang pernah bersahabat dengannya. Kini, di kaki bukit Tiau-im hong itu terbuktilah bahwa Hong-goan Hweshio tidak kalah tangkas memainkan Hong-pian-jannya dibandingkan Tang Kiau-po memainkan tongkat besi berkepala ularnya.

Sementara itu, rekan Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki juga telah bertemu lawan tangguhnya, yaitu seorang berseragam perwira tinggi Kerajaan Beng yang berjenggot putih dan bersenjata sepasang bola baja bertangkai. Bola baja yang sebesar semangka itu nampaknya ringan saja di tangan perwira berjenggot putih itu, diayun-ayunkannya bagaikan angin badai membuat barisan depan Hwe-liong-pang jadi berantakan.

Ketika Ling Thian-ki melihat amukan perwira jenggot putih itu, ia segera melompat menghadang sambil berseru, "Hebat! Nama besar Tiat-lo-sat (Si Raksasa Besi) Lamkiong Hai dari Jing-toh benar-benar bukan nama kosong belaka. Tapi buat apa seorang pejabat tinggi seperti kau keluyuran sampai ke bukit terpencil ini?"

Ternyata Ling Thian-ki sudah tahu siapakah si perwira berjenggot putih ini. Dia bernama Lamkiong Hai dan merupakan kepala pengawal dari Sun-bu (Gubernur) Su-coan ini. Sebagai wilayah penting yang merupakan "gudang beras", Su-coan harus dijaga oleh pasukan yang terlatih baik, dan regu pengawal gubernurnya pun bukan prajurit-prajurit sembarangan, apalagi Lamkiong Hai adalah pemimpinnya, tentu saja kepandaiannya dapat diandalkan. Ia terkenal dengan tenaga raksasanya, serta permainan sepasang bola bajanya yang dapat menghancurkan kepala musuh itu.

Berhadapan dengan tokoh terkenal ini, Ling Thian-ki tidak berani memandang ringan, maka begitu pertempuran dimulai, dia sudah langsung memakai sepasang pisau pendeknya yang lincah itu. Dengan demikian pertarungan antara kekuatan melawan kelincahanpun segera berkobar di tempat itu, sulit diketahui siapa yang lebih unggul.

Sepasang bola baja Lamkiong Hai berdesing-desing berputaran bagaikan sepasang lebah yang bermain-main di rumpun bunga, namun desingan itu membawa hawa maut yang menggidikkan. Ditunjang dengan kuda-kuda yang kokoh, pinggang yang kuat, serta sepasang lengan yang bertenaga raksasa, Lamkiong Hai benar-benar adalah lawan yang berbahaya.

Tapi Ling Thian-ki dengan sepasang pisaunya juga tidak kalah berbahaya, dia bagaikan segumpal asap saja yang tak dapat tersentuh oleh sepasang bola baja lawannya itu. Desing angin yang menyertai gerakan senjata lawan seakan-akan malah membuatnya semakin lincah, tubuhnya bagaikan seringan bulu yang mengikuti hembusan angin ke manapun bertiup. Tapi "Si Kera Sakti Seribu Lengan" itu bukan cuma berlompatan menghindar, tapi juga menerkam dan menyerap dengan sepasang pisaunya itu.

Mula-mula masih dapat dilihat bagaimana Ling Thian-ki melompat menghindar dan kemudian menyergap bagian pertahanan musuh yang kosong, namun lama kelamaan gerakannya semakin cepat sehingga sulit dibedakan lagi gerakan menghindar dan menyergapnya. Sepasang pisaunyapun berubah bagaikan hujan gerimis yang mencurah ke tubuh lawan dari segala arah, membuat Lamkiong Hai harus mengerahkan tenaga untuk mengetatkan pertahanannya.

Pertarungan satu lawan satu semacam itu tidak terjadi di satu tempat saja, namun di sepanjang garis pertempuran. Pihak gabungan Hwe-liong-pang dan para pendekar berbagai perguruan memang kalah dalam jumlah, boleh dikata hampir-hampir satu dibanding sepuluh atau lima belas, namun jumlah orang-orang berilmu tinggi lebih banyak di pihak Hwe-liong-pang dan para pendekar.

Antara lain Hong-tay Hweshio, Kim-hian Tojin, Bong-san Tojin, ke delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang, Lim Hong-pin dan sebagainya. Di pihak Te-liong Hiang-cu juga terdapat beberapa jago, namun selain jago-jago bawahan Te-liong Hiang-cu juga terdapat beberapa jago, Te-liong Hiang-cu sendiri, tidak banyak jago-jago di pihak Tentara Kerajaan yang dapat diandalkan. Ada juga beberapa perwira yang cukup tangguh, namun mereka bukan tandingan jago-jago Hwe-liong-pang atau jago-jago berbagai perguruan apabila harus dihadapan satu lawan satu.

Dengan demikian, untuk sementara jalannya pertempuran agak seimbang. Pihak Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan unggul menyolok dalam hal jumlah, sedangkan pihak gabungan Hwe-liong-pang dan para pendekar rata-rata unggul dalam kemampuan perorangan. Orang-orang yang berilmu tinggi tetapi tidak mendapat lawan setimpal, mencoba meringankan beban kawan-kawannya dengan jalan “mengambil” lawan lebih dari satu. Hong-tay Hweshio misalnya, ia menghadapi sepuluh orang prajurit yang bekerja sama mengepungnya di bawah pimpinan seorang perwira bersenjata tombak panjang.

Tapi jumlah musuh yang berkali lipat itu akhirnya terasa juga pengaruhnya. Perlahan-lahan kaum pendekar mulai terdesak ke atas bukit. Betapa saktinya mereka, namun menghadapi musuh yang terus membanjir tak habis-habisnya itu, tenaga mereka mulai terperas juga. Apalagi prajurit-prajurit Kerajaan Beng juga bukan cuma keroco-keroco yang sekedar menyodorkan tubuhnya ke ujung senjata musuh, namun cukup terlatih baik.

Beberapa kali Tentara Kerajaan membuat gerakan yang aneh-aneh, barisannya berganti-ganti bentuk dengan tangkasnya, sebentar mendesak, di lain saat mundur sambil membuat gerakan melengkung untuk menjepit, kemudian menebar dan menyerbu dan sebagainya. Orang-orang Hwe-liong-pang serta kaum pendekar yang hanya tangkas dalam pertarungan perorangan tapi sama sekali buta dalam siasat perang, sedikit demi sedikit menjadi kacau balau. Berulang kali mereka terjebak oleh gerakan barisan lawan, sehingga mereka pun semakin terdesak ke atas bukit.

Tapi setelah gabungan antara Hwe-liong-pang dengan kaum pendekar itu mengalami tekanan berat, barulah timbul rasa senasib sepenanggungan di antara meraka. Tadinya mereka masih saling membenci karena kesalah-pahaman selama ini, namun setelah bertempur bersama dan mengalami kesulitan bersama pula, kedua pihak menyadari bahwa tanpa kerjasama yang baik mereka akan digilas hancur oleh Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan. Gugurnya salah satu anggota Hwe-liong-pang atau salah satu murid perguruan-perguruan, berarti bertambah lemahnya seluruh barisan, hal lnl disadari oleh mereka.

Kiau Bun-han agaknya terpisah dari kelompok teman-temannya, karena ia bagaikan terhisap oleh "pusaran" pasukan musuh yang melibatkan dan memisahkannya dari teman-temannya. Bagaikan harimau luka, ia mengamuk seorang diri di tengah gelombang pasukan lawan. Pedangnya membacok sana bacok sini, tikam sana tikam sini, namun tak banyak hasilnya.

Sebab prajurit-prajurit Kerajaan Beng semuanya memakai baju sisik besi, dan bersenjatakan pedang serta perisai, atau senjata panjang jenis lain seperti tombak atau kaitan. Ketinggian ilmu Kiau Bun-han nyaris percuma dalam kepungan prajurit-prajurit yang sudah terbiasa bekerja sama secara rapi dan ketat itu.

Jika ia mendesak prajurit yang di depan, maka serempak prajurit-prajurit yang di samping dan di belakangnya menusukkan senjata-senjata mereka. Jika Kiau Bun-han berhasil melukai atau merobohkan seorang prajurit, maka di tubuhnya sendiripun tentu lukanya bertambah. la bagaikan seekor harimau yang meronta-ronta terjebak oleh kubangan lumpur terapung, makin meronta makin tenggelam, percumalah kekuatannya selama ini.

Pada saat itu, sekelompok murid Hoa-san-pay dengan nekad berusana menerjang dari luar kepungan, ingin menolong guru mereka. Tapi kepungan itu terlalu tebal, murid-murid Hoa-san-pay yang tidak seberapa jumlahnya itupun satu persatu berguguran tanpa arti sebelum bisa mencapai tempat gurunya.

Di saat keadaan Kiau Bun-han sudah seperti telur di ujung tanduk itu, tiba-tiba di sebelah sana terlihat sebatang golok bulan sabit berkelebatan kian-kemari diiringi sorak-sorai sekeiompok orang. Ternyata tidak jauh dari situ, Auyang Siau-pa bersama sekelompok anggota Hwe-liong-pang juga tengah terkepung. Tapi keadaan Auyang Siau-pa lebih baik dari Kiau Bun-han sebab ia tidak seorang diri.

Tadinya Kiau Bun-han mendapat harapan ketika melihat ada sekelompok orang yang mendatanginya, namun setelah tahu bahwa kelompok itu adalah orang Hwe-liong-pang, apalagi dipimpin oleh Auyang Siau-pa yang baru tadi malam bertempur dengannya, maka Kiau Bun-han membatalkan niatnya untuk berteriak minta tolong. Ia lebih suka mampus berkeping-keping dicincang senjata lawan daripada harus minta tolong kepada orang Hwe-liong-pang.

Tak terduga, biarpun ia tidak berteriak, Auyang Siau-pa sudah melihat pula keadaan bekas lawannya itu. Bukannya meninggalkan Kiau Bun-han seorang diri di tengah kepungan lawan, Auyang Siau-pa ternyata justru membawa kelompoknya untuk mendekati tempat Kiau Bun-han itu. Dengan Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa sebagai "ujung tombak", kelompok Hwe-liong-pang itu mendesak barisan dan berusaha membuka jalan ke arah Kiau Bun-han.

Yu Ling-hoa berpikiran cerdik, ia tahu bahwa pihaknya mengalami kesulitan untuk melukai prajurit-prajurit lawan karena banyaknya, juga karena baju sisik besi dan perisai prajurit-prajurit itu, tapi Yu Ling-hoa melihat bahwa bagian kaki para prajurit itu tidak terlindung oleh baju sisik besi. Karena itu, Yu Ling-hoa menggulingkan dirinya, sepasang perisai tajam Gun-goan-painya berputar kencang, dan tiga orang prajurit yang terdepan segera menjerit ngeri, terjungkal roboh karena betisnya terbabat sepasang senjata Yu Ling-hoa itu.

Melihat hal itu, Auyang Siau-pa berteriak gembira, "Akal bagus, saudara Yu!"

Dia bukan cuma memuji, tapi juga langsung meniru cara Yu Ling-hoa itu. Meskipun tidak begitu mahir, Auyang Siau-pa mampu juga memainkan Te-tong-to (ilmu golok yang dimainkan sambil bergulingan di tanah). Maka diapun segera berguling-guling seperti Yu Ling-hoa, membabati kaki prajurit-prajurit Kerajaan, membuat barisan depan Tentara Kerajaan itu menjadi kalang-kabut.

Seorang thong-leng (Perwira Rendah) di pihak Tentara Kerajaan segera memberi perintah, "Gunakan senjata panjang! Yang bersenjata tombak dan kaitan maju ke depan!"

Tapi Yu Ling-hoa dan Auyang Siau-pa tidak mau kehilangan kesempatan baik itu, mereka terus mendesak maju dengan jarak pendek, sehingga musuh yang bersenjata panjang pun sulit menyelamatkan kaki mereka dari babatan senjata sepasang jago Hwe-liong-pang itu. Anak buah Hwe-liong-pang lainnya mengikuti di belakang kedua pemimpin itu.

Yang merasa bisa bergulingan sambil bergulingan, namun yang tidak bisa juga tetap bertempur dengan ganasnya. Sebaliknya di pihak Tentara Kerajaan, biarpun juga ada perwira-perwira yang bisa bersilat bergulingan, tapi pakaian besi dan topi besi mereka sangat mengganggu gerakannya.

Tidak lama kemudian, Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa berhasil menerobos sampai ke tempat Kiau Bun-han yang tengah terkepung. Tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itu masih juga bertempur dengan garangnya, biarpun pakaiannya telah menjadi merah oleh darah, darah musuh dan darahnya sendiri.

Ketika melihat Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa mendekatinya, Kiau Bun-han berteriak, "Aku tidak sudi menerima belas kasihanmu!"

Auyang Siau-pa tertawa dingin dan menyahut, "Hemm, siapa hendak mengasihimu, tapi menantangmu, kalau kau memang berani cobalah berusaha untuk tetap hidup agar kelak kita dapat mengukur ilmu lagi! Tapi kalau kau takut, silahkan mati konyol di sini, mungkin lebih baik dari pada tubuhmu terbelah oleh golokku!"

Hati Kiau Bun-han bagaikan terbakar oleh "tantangan" Auyang Siau-pa itu. Teriaknya, "Siapa sudi mati konyol di sini oleh penjilat-penjilat pantat Cong-ceng dan Co Hua-sun ini? Aku akan keluar dari kepungan ini dan tetap hidup!"

Diam-diam Auyang Siau-pa gembira bercampur kagum melihat sikap Kiau Bun-han itu. Gembira karena pancingannya untuk membakar semangat tokoh Hoa-san-pay itu ternyata mengena dan berarti mengobarkan kembali semangatnya untuk berjuang, juga kagum tokoh keras kepala dari Hoa-san-pay ini tidak menunjukkan ketakutannya sedikitpun biarpun terkurung seorang diri di tengah-tengah musuh itu, sikapnya tetap saja garang seperti sehari-harinya. Diam-diam Auyang Siau-pa membatin dalam hatinya, "Sebagai sahabat atau sebagai musuh, orang she Kiau ini cukup berharga."

Biarpun di lubuk hatinya sudah mengagumi kejantanan Kiau Bun-han, tapi dalam sikap luarnya Auyang Siau-Pa masih berusaha membakar lebih hebat lagi hati "musuh"-nya itu dengan kata-kata yang menusuk, "Kalau kau ingin hidup, bertempurlah bersama kami, jangan cuma berteriak-teriak saja! Kau kira dengan berteriak-teriak saja maka musuhmu akan mundur sendiri?"

Kiau Bun-han justru tertawa terbahak-bahak, "Bangsat Hwe-liong-pang, pintar juga kau membakar hatiku. Ayo kita bertanding siapa yang lebih banyak mengganyang cecurut-cecurutnya Cong-ceng ini!"

Begitulah, dua orang lelaki jantan yang tadi malam masih berhadapan sengit dengan lawan mati hidup itu, kini bahu membahu mencoba membedah kepungan Tentara Kerajaan. Kadang-kadang mereka saling menyelamatkan apabila salah seorang terancam bahaya, dan tidak lupa... saling memaki! Meskipun demikian, perlahan-lahan di lubuk hati kedua bekas musuh itu timbul juga saling mengagumi dan menghormati keberanian masing-masing, sedang perasaan bermusuhan semakin tipis.

Akhirnya kedua orang itu bersama kelompok Auyang Siau-pa lainnya, berhasil juga lolos dari kepungan dan bergabung dengan kelompok gabungan Hwe-liong-pang dan berbagai perguruan, yang terus terdesak mundur ke atas bukit itu. Tapi dalam gerakan meloloskan diri itupun regu kecil Au-yang Siau-pa itupun kehilangan beberapa orang anggotanya, bahkan Yu Ling-hoa menderita luka di paha yang cukup parah.

Beberapa tokoh berkelahi dengan seimbang, misalnya Te-liong Hiang-cu melawan Siangkoan Hong, atau Tang Kiau-po melawan Hong-goan Hweshio, namun baik Siangkoan Hong maupun Hong-goan Hweshio harus selalu bergerak mundur, mengikuti arus gerakan mundur rekan-rekan mereka, sebab kalau mereka tidak ikut mundur maka mereka akan “tenggelam” dalam pasukan musuh yang membanjir itu.

Apabila sudah demikian, biarpun kepandaian mereka setinggi langit juga sulit melawan ribuan prajurit terlatih dengan senjata lengkap itu. Te-liong Hiang-cu dan Tang Kiau-po dengan liciknya mencoba untuk menahan lawan-lawannya itu agar tidak sempat bergerak mundur, tetapi kepandaian mereka yang tidak berselisih jauh dengan lawan-lawan mereka itu membuat mereka gagal menjalankan maksudnya.

Matahari sudah naik semakin tinggi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu terdesak semakin ke atas, jumlah mereka juga berkurang terus, kehilangan murid- murid atau anggota-anggota yang secara gagah perkasa bertahan sampai titik darah penghabisan. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu mulai kelelahan menghadapi tekanan musuh yang terus menerus. Sebaliknya pihak Tentara Kerajaan yang mengandalkan jumlah banyak itu dengan cerdik menggunakan siasat berganti-ganti orang untuk menghemat tenaga.

Setiap dua sulutan dupa-biting (Hio), gelombang pasukan yang di depan digantikan oleh gelombang di belakangnya yang masih segar, sedang gelombang di depan itu diberi kesempatan menyegarkan diri, untuk nanti kemudian maju kembali bergantian kawan-kawan mereka yang sudah kelelahan. Dengan cara demikian, maka prajurit-prajurit Tentara Kerajaan itu segar terus, biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan kuat.

Sebaliknya para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, biarpun merupakan jago-jago tangguh yang biasa melakukan latihan keras, namun menghadapi siasat musuh macam itu mau tak mau mulai kehabisan tenaga juga. Mereka tidak bisa bertempur bergantian seperti musuh, sebab jumlah pasukan mereka yang sedikit.

Di tengah-tengah kecamuknya medan laga itu, Tong Wi-hong sambil tetap memanggul guci yang berisi abu kakaknya, bertempur gigih sekali, berdampingan dengan Tong Wi-lian adiknya, Cian Pin dan Ting Bun, juga Tong Hu-jin, ibunya, yang meskipun merupakan perempuan setengah tua namun masih merupakan harimau betina yang garang.

Selain itu, baik orang-orang Hwe liong-pang maupun orang-orang berbagai perguruan, terutama dari Soat-san-pay, tidak lepas tangan apabila keluarga Tong itu dalam kesulitan. Orang-orang Soat-san-pay membela mereka sebab Tong Hu-jin dan Tong Wi-hong adalah murid Soat-san-pay, sedang orang-orang Hwe-liong-pang membela keluarga dari mendiang Ketua mereka itu.

Nampaknya tidak lama lagi seluruh pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terdesak sampai ke markas Hwe-liong-pang, bahkan akan dijepit terus sampai ke belakang markas yang merupakan lereng-lereng terjal itu. Dalam keadaan sehari-hari, lereng-lereng terjal itu tidak menguatirkan bagi para anggota Hwe-liong-pang, sebab lereng-lereng itulah tempat latihan mereka setiap hari.

Tapi saat ini bukan saat latihan. Apabila kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang turun lewat lereng itu, maka Tentara Kerajaan tidak usah menggunakan pedang atau tombak mereka untuk menghabisi lawannya, cukup dengan menggulingkan batu-batu besar dari atas lereng, maka seluruh kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terkubur hidup-hidup di bawah lereng.

Pada saat genting bagi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berulang-kali dan bagian belakang dari Tentara Kerajaan pun kelihatan menjadi panik. Seperti diketahui, yang membawa meriam-meriam itu sebenarnya adalah pihak Tentara Kerajaan sendiri, yaitu untuk mempermudah pembasmian orang-orang Hwe-liong-pang.

Ketika Tentara Kerajaan mendesak ke atas bukit, maka meriam-meriam itu ditinggal di kaki bukit sebab sulit untuk dibawa naik, dan dijaga oleh seregu prajurit. Kenapa sekarang meriam-meriam itu malah menembaki Tentara Kerajaan sendiri?

Lamkiong-Hai adalah pucuk pimpinan dari seluruh Tentara Kerajaan yang menyerbu ke Tiau-im-hong itu, bahkan ia bertanggung-jawab langsung kepada Gubernur Su-coan tentang berhasil atau tidaknya serangan itu, maka biarpun dia sedang berkelahi melawan Ling Thian-ki namun harus membagi perhatiannya untuk keadaan seluruh pasukan. Ketika seorang perwira berteriak kepadanya untuk melaporkan tentang tembakan-tembakan meriam itu, terpaksa Lamkiong Hai melompat mundur melepaskan lawannya. Bentaknya kepada perwira yang melapor itu,

"Apakah prajurit-prajurit yang menjaga meriam itu sudah gila atau kesurupan hantu-hantu bukit ini? Kenapa mereka menembaki punggung teman-teman mereka sendiri?"

Dengan terengah-engah perwira itu berkata, "Meriam kita... meriam kita telah direbut oleh laskar pemberontak pengikut Li Cu-seng!"

"Gila! Apakah prajurit-prajurit penjaga kita tidur semua?"

"Tidak Ciang-kun, namun laskar Li Cu-seng yang datang di kaki bukit itu jumlahnya sangat besar, dan kitapun bisa tertumpas di tempat ini apabila tidak segera pergi sebab laskar Li Cu-seng itu pasti akan menutup satu-satunya jalan...."

"Tutup mulutmu! Jika kau masih juga berbicara tentang kekalahan kita, kuturunkan pangkatmu tiga tingkat, mengerti?"

Perwira itu bungkam, sementara mulut-mulut meriam di kaki bukit masih saja berdentuman menghambur-hamburkan bola-bola besi sebesar kepala anak kecil ke arah bagian belakang Tentara Kerajaan yang semakin panik oleh kejadian "senjata makan tuan" itu. Lamkiong Hai cepat-cepat melompat ke atas sebuah gundukan tanah untuk melihat ke bawah bukit, dan tergetarlah hatinya ketika melihat apa yang tengah berlangsung di kaki bukit itu.

Di sana, sebuah pasukan yang berjumlah besar telah menebar di sekeliling kaki bukit, ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari nampak begitu rapatnya bagaikan daun-daun ilalang. Di tengah-tengah pasukan itu nampak sebuah bendera kuning berkibar-kibar megah, dan bertuliskan huruf "Li" dari Li Cu-seng.

"Edan! Bangsat! Agaknya si pemberontak she Li itu sendiri yang memimpin pasukannya untuk mengepungku!" gerutu Lamkiong Hai dengan gemas.

Selagi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang belum tahu kapan bisa diselesaikan, musuh baru yang sangat kuat telah menunggu di belakang punggungnya. Sebagai Panglima berpengalaman, Lamkiong Hai menyadari bila nekad meneruskan menggempur orang-orang Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya, maka pasukannya sendiripun pada gilirannya akan ditumpas oleh laskar Li Cu-seng. Apalagi meriam-meriam kebanggaan Tentara Kerajaan itu sudah dikuasai oleh Li Cu-seng.

Akhirnya Lamkiong Hai memutuskan untuk mengundurkan seluruh pasukannya sebelum hancur sama sekali, lewat lereng selatan yang meskipun agak terjal tetapi juga menguntungkan karena bisa melindungi pasukannya dari moncong-moncong meriam di kaki bukit. Begitulah, tidak lama kemudian terdengarlah teriakan aba-aba Lamkiong Hai kepada seluruh pasukannya, "Mundur lewat lereng selatan!"

Waktu itu, baik kaum pendekar maupun orang-orang Hwe-liong-pang telah semakin berkobar semangatnya ketika mendengar tentang kedatangan laskar Li Cu-seng itu. Mereka juga mulai merasakan bahwa tekanan Tentara Kerajaan yang tadinya berat hampir tak tertahan itu perlahan-lahan mengendor, bahkan kemudian Tentara Kerajaan itu sedikit demi sedikit berusaha menciptakan peluang untuk mundur lewat selatan.

Yang sangat penasaran adalah Te-liong Hiang-cu, ia merasa bahwa ia sudah di ambang pintu kemenangan untuk menumpas pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi akhirnya impian kemenangannya itupun berantakan karena ia harus mundur bersama Tentara Kerajaan. Tanpa Tentara Kerajaan, Te-liong Hiang-cu dan komplotannya pasti akan tergulung habis di lereng Tiau-im-hong itu.

Meskipun demikian Te-liong Hiang-cu juga menyadari bahwa pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih cukup kuat itu, kelak di kemudian hari pasti akan menjadi duri-duri dalam daging yang mengganggu ketenteraman hidupnya. Terutama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bekas sahabat-sahabatnya semasa di An-yang-shia itu.

Gerakan mundur Tentara Kerajaan Beng itu ternyata cukup lancar, biarpun mereka masih juga mengalami kejaran laskar Li Cu-seng serta orang-orang Hwe-liong-pang sampai duapuluh li lebih. Orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar segera menghentikan pengejaran mereka ketika Tentara Kerajaan tiba di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh benteng kota, tentu saja mereka tidak berani masuk ke dalam kota, sebab itu berarti membunuh diri. Di dalam kota tentu penuh dengan Tentara Kerajaan.

Meskipun tidak menghilangkan rasa permusuhan sama sekali, tetapi perjuangan bersama yang baru saja dilakukan oleh orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar itu sedikit banyak telah menimbulkan ikatan di antara mereka. Pihak kaum pendekar menyadari kekeliruannya selama ini yang menuduh Hwe-liong-pang sebagai biang penyerbuan ke Siong-san.

Sebaliknya pihak Hwe-liong-pang pun dapat memaklumi sikap bermusuhan dari kaum pendekar selama ini, karena serangan Te-liong Hiang-cu ke Siong-san itu menimbulkan korban jiwa cukup banyak, biarpun Te-liong Hiang-cu sendiri dapat dipukul mundur. Kini, biarpun kedua pihak masih saja berkelompok sendiri-sendiri, namun mereka beristirahat di sebuah hutan kecil, satu sama lain tidak terlalu berjauhan.

Tengah mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda gemuruh dari arah utara, terlihat debu mengepul tinggi dan bendera-bendera aneka warna berkibar-kibar megah. Jelaslah ada sebuah pasukan besar sedang bergerak mendatangi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu segera berloncatan bangkit dengan senjata terhunus.

Tapi mereka merasa lega setelah melihat bahwa di ujung pasukan yang mendatangi itu ada bendera kuning bertuliskan huruf "Li", jelaslah sudah bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak Li Cu-seng yang baru saja menolong mereka dari kepungan Tentara Kerajaan Beng itu.

Pasukan itu dipimpin sendiri oleh Li Cu-seng, si pemimpin pemberontak yang menyebut dirinya sendiri sebagai "Kaisar" itu. Ia adalah seorang lelaki berperawakan sedang tapi tegap, kulitnya yang kecoklat-coklatan menunjukkan bahwa dia berasal dari kalangan bawah, di sekitar mulutnya ada jenggot-jenggot pendek yang tercukur rata dan rapi, pandangan matanya tajam.

Ia mengenakan pakaian ringkas dengan mantel biru, topi bambu dan tangan kanannya mengempit sebatang tombak panjang. Biarpun secara keseluruhan dia nampak sederhana, tapi dari dirinya terpancarlah kewibawaan yang tidak kalah dengan kewibawaan seorang Kaisar tulen.

Begitu tiba di hadapan kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, Li Cu-seng menghentikan kudanya diikuti seluruh pasukannya sebelum orang lain memberi salam, Li Cu-seng lebih dulu memberi salam dengan melintangkan tombaknya setinggi dada, katanya tanpa turun dari kudanya,

"Aku berbahagia sekali bertemu dengan orang-orang gagah di jaman ini, terimalah hormatku.”

Kaum pendekar dan orang-orang Hwe liong-pang itu serentak mengangkat tangan untuk membalas penghormatan itu. Hong-tay Hweshio yang mewakili kaum pendekar segera berkata, "kami juga berbahagia bisa bertemu muka dengan seorang tokoh pembela rakyat kecil, yang namanya termasyhur sampai ke ujung bumi. Seluruh anggota Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan lain-lalnnya menyampaikan salam kepada kepada Tuan."

Sebenarnya, Li Cu-seng biasa dipanggil "Ban-swe-ya" (Paduka Kaisar) oleh pengikut-pengikutnya, namun Hong-tay Hweshio tidak menyebutnya demikian, sebab jika ia menyebut demikian sama dengan mengakui Li Cu-seng sebagai raja, dan ini berarti pemberontakan terang-terangan kepada Kaisar Cong-ceng yang masih bercokol di singgasananya di Pak-khia.

Meskipun Siau-lim-pay tidak jarang bentrok dengan kaum pembesar negeri karena membela rakyat kecil, tapi dalam sejarahnya Siau-lim-pay belum pernah secara terang-terangan memihak dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan. Itu pulalah yang mendasari sikap Hong-tay Hweshio waktu itu.

Beberapa orang "Panglima" bawahan Li Cu-seng nampak mengerutkan alisnya dengan kurang senang, ketika mendengar sebutan Hong-tay Hweshio terhadap "Kaisar" mereka itu. Namun Li Cu-seng sendiri justru bersikap wajar saja, katanya, "Itu sudah kewajiban kita semua untuk menegakkan pemerintahan yang bersih di daratan ini. Saat ini bangsa Manchu tengah mengincar negeri kita ini dari luar Tembok Besar sana, jadi kita membutuhkan pemerintahan yang kuat untuk menghadapi ancaman dari luar ini. Pemerintahan Cong-ceng sekarang ini tidak bisa diandalkan, karena kendali pemerintahan lebih dikuasai oleh dorna Co Hua-sun yang sangat dipercaya oleh Cong-ceng itu. Karena itu, pemerintahan bobrok itu harus disingkirkan secepatnya agar kita bisa segera mengerahkan kekuatan untuk menghadapi ancaman bangsa Manchu dari luar Tembok Besar. Untuk itu, aku membutuhkan bantuan saudara-saudara...."

Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu saling bertukar pandangan ketika mendengar permintaan Li Cu-seng yang terang-terangan mengajak bergabung itu. Bermacam-macam pendapat segera timbul di antara orang-orang itu, ada yang ragu-ragu menerima ajakan itu sebab itu berarti memberontak terang-terangan, tapi ada yang sudah memutuskan dalam hati untuk menerima ajakan itu.

Sebagian besar orang-orang Hwe-liong-pang, yang sudah mendengar pesan terakhir Ketua mereka lewat surat wasiatnya itu, tanpa ragu-ragu segera menyatakan sanggup bergabung dengan Li Cu-seng, mereka menganggap bahwa perjuangan Hwe-liong-pang untuk menggulingkan Cong-ceng itu sejalan dengan perjuangan Li Cu-seng. Tapi ada pula orang Hwe-liong-pang yang masih ragu-ragu, di antaranya adalah Siangkoan Hong. Sambil memberi hormat kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong mengemukakan alasannya,

"Tuan Li, maafkan aku, tapi aku masih punya sebuah kewajiban demi seorang sahabat yang telah tiada, yaitu mencari dan menghukum seorang pengkhianat yang telah membuat Hwe-liong-pang berantakan seperti ini."

Li Cu-seng mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku tidak dapat memaksamu, tuan Siangkoan. Pasukanku adalah pasukan sukarela, meskipun siapapun yang telah bergabung denganku akan dikenakan tata-tertib seperti prajurit pada umumnya. Aku juga sudah mendengar dari beberapa anak buahku, apa yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, dan bagaimana kesalah-pahaman dengan kaum pendekar itu hampir-hampir menghancurkan kedua pihak. Aku paham itu. Tapi, tuan Siangkoan, apakah dendam pribadimu demi sahabat itu kau anggap lebih penting dari perjuangan rakyat yang dalam keadaan mendesak ini?"

Sahut Siangkoan Hong, "Dia bukan cuma sahabat, tapi juga Ketuaku. Dendamku juga bukan dendam pribadi tapi dendam Hwe-liong-pang. Yang akan kubalas juga bukan soal kematian Ketua yang disebabkan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, tapi kehancuran Hwe-liong-pang yang telah ditusuk punggungnya oleh Te-liong Hiang-cu."

"Bukankah tuan Siangkoan tahu bahwa Te-liong Hiang-cu itu sekarang bersembunyi di tengah-tengah tentaranya Cong-ceng? Jika tuan Siangkoan bergabung dengan kami, tentu lebih mudah untuk menghadapinya."

Siangkoan Hong mengangguk dalam-dalam, "Maaf, tuan Li, ini urusan Hwe-liong-pang kami."

Akhirnya Li Cu-seng sadar memang tidak mungkin membujuk Siangkoan Hong yang keras hati itu. Tapi bergabungnya sebagian besar orang Hwe-liong-pang itupun sudah cukup menggembirakannya. Apalagi ketika kemudian Siangkoan Hong sendiri berpesan kepada anggota-anggota Hwe-liong-pang yang telah bergabung itu,

"Saudara-saudaraku, kalian dengan sadar telah memilih untuk meneruskan perjuangan Ketua kita dengan bergabung dengan tuan Li ini. Berhasilnya perjuangan tuan Li sama saja dengan berhasilnya perjuangan Hwe-liong-pang kita, yaitu tumbangnya raja keparat itu, karena itu berjuanglah sepenuh hati di bawah pimpinan tuan Li agar perjuangan kalian mencapai hasil yang gemilang!"

Kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong memberi hormat sekali lagi sambil berkata, "Tuan Li, kami titip anak-anak Hwe-liong-pang kepadamu dan juga titip semangat perjuangan kami. Kami mohon diri!"

Li Cu-seng membalas hormat itu, dan dengan pandangan matanya ia menatap Siangkoan Hong dan sebagian kecil orang Hwe-liong-pang yang masih belum mau bergabung dengannya itu pergi meninggalkan hutan kecil itu.

Sementara itu, betapapun segannya, Siangkoan Hong sempat juga menganggukkan kepalanya kepada Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh pendekar lainnya, yang betapapun juga pernah sehidup-semati dengan Hwe-liong-pang ketika menghadapi Tentara Kerajaan dan Te-liong Hiang-cu itu.

Selain orang-orang Hwe-liong-pang, ternyata sebagian dari orang-orang berbagai perguruan juga bergabung dengan Li Cu-seng. Yang mempelopori penggabungan ini adalah Kiau Bun-han, "Saudara-saudara, kalian lihat sendiri betapa busuknya pemerintahan di Pak-khia, prajurit-prajuritnya bukannya digerakkan untuk menumpas penjahat dan memberi ketenteraman kepada rakyat, malahan digerakkan untuk menggempur kita, orang-orang yang selamanya belum pernah melanggar hukum ini. Ini tidak bisa dibiarkan terus, Cong-ceng harus disingkirkan dari tahtanya!"

Beberapa perguruan yang berlandaskan agama, seperti Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, tidak langsung menyatakan berpihak namun hanya berjanji akan mendukung pemerintahan manapun yang berhasil mensejahterakan rakyat. Meskipun Li Cu-seng kurang puas dengan janji yang tidak tegas itu, namun dia tidak bisa memaksa kaum agama itu untuk ikut dalam barisannya.

Sedangkan Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta calon-calon menantunya itupun tidak dapat bergabung dengan Li Cu-seng, sebab mereka masih dibebani sebuah tugas lain. Yaitu mencari "isteri" Tong Wi-siang yang tengah hamil itu, sesuai dengan pesan terakhir Tong Wi-siang. Selain itu Tong Wi-hong juga masih ditunggu oleh sebuah tugas berat, yaitu memimpin dan mengembangkan perusahaan pengawalan Tiong-gi Piau-hang, warisan dari ayah Cian Ping, yaitu Cian Sin-wi. Dengan demikian merekapun segera mohon diri dari hadapan Li Cu-seng.

Salah seorang pendamping Li Cu-seng itu memandang kepergian orang-orang itu sambil menggerutu, "Huh, orang-orang yang mementingkan urusannya sendiri dan tidak mau tahu dengan kepentingan rakyat."

Li Cu-seng tersenyum saja mendengar gerutuan anak buahnya itu, sambil menepuk pundak orang itu, ia berkata, "Saudara Lau, jika kau merampas kebebasan orang lain yang tidak sependapat denganku, merampasnya dengan kekuatan senjata, lalu apa bedanya antara aku dengan Cong-ceng?"

"Ban-swe-ya terlalu baik hati kepada orang-orang yang mementingkan diri sendiri itu."

Li Cu-seng menjawab, "Aku tidak ingin dalam barisanku ada orang yang berjuang secara terpaksa dan merasa tertekan, sebab orang semacam itu besar kemungkinan akan menusukku dari belakang. Tapi setiap orang dalam barisanku harus menyadari betul-betul, untuk apa mereka bertempur."

"Ban-swe-ya sangat bijaksana."

Sementara itu, Tong Wi-hong dan ibunya serta adiknya terus menerus menelusuri jejak gadis yang bernama Siau-giok, "isteri" Tong Wi-siang itu. Namun dalam keadaan penuh kemelut perabg seperti waktu itu, pekerjaan itu bagaikan mencari jarum di dasar lautan. Arus pengungsi dari segala penjuru benar-benar menyulitkan pelacakan mereka, akhirnya dengan putus asa mereka kembali ke An-yang-shia sambil membawa guci berisi abu Tong Wi-siang itu.

Di kota kecil itu pulalah diselenggarakan perkawinan secara sederhana dengan dua pasang mempelai sekaligus, Tong Wi-hong dengan Cian Ping serta Ting Bun dengan Tong Wi-lian. Betapapun pedihnya hati Tong Hu-jin dalam hari-hari terakhir itu, namun melihat kebahagiaan anak-anaknya akhirnya dia terhibur juga.

Beberapa saat setelah perkawinan itu, Tong Wi-hong bersama isterinya harus meninggalkan An-yang-shia menuju ke Tay-beng, karena di situ sudah ada Tiong-gi Piau-hang tinggalan ayah mertuanya yang memerlukan pimpinannya dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Ting Bun dan isterinya tetap tinggal di An-yang-shia untuk menemani Tong Hu-jin sampai hari tuanya. Sekali-kali mereka keluar rumah untuk berkelana keluar rumah beberapa bulan, mencari jejak Siau-giok dan bayinya tanpa kenal putus-asa, namun gadis Bu-sian-tin itu bagaikan lenyap ditelan bumi saja.

Yang kemudian tidak kedengaran kabar beritanya pula, ialah Siangkoan Hong yang katanya hendak mencari Te-liong Hiang-cu itu. Te-liong Hiang-cu sendiri pun sudah tidak kedengaran beritanya lagi. Dengan demikian baik yang memburu maupun yang diburu sama-sama lenyap tak ketahuan lagi ke mana perginya.

Sementara itu, nama Li Cu-seng semakin lama semakin terangkat tinggi, menjadi pujaan rakyat. Api pemberontakan yang dikobarkannya semakin meluas, pengikutnya semakin banyak, daerah pengaruhnya semakin luas. Akhirnya Li Cu-seng memutuskan bahwa dengan pasukan yang amat kuat dia akan menyerbu Pak-khia, untuk langsung mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan Kaisar Cong-ceng. Satu demi satu Panglima Kerajaan Beng ditaklukkannya, kota demi kota dikuasainya.

Akhirnya pada tanggal 19 bulan ke 3 dari tahun ke 17 pemerintahan Kaisar Cong-ceng, laskar Li Cu-seng membobolkan Kotaraja Pak-khia dan merebut kemenangan. Kaisar Cong-ceng melarikan diri ke bukit Bwe-san, dan di tempat pelariannya itu Kaisar terakhir dinasti Beng itu mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di sebuah pohon. Li Cu-seng naik tahta dan menjadi Kaisar.

Namun demikian, Li Cu-seng masih menghadapi sebuah ancaman baru, yaitu bangsa Manchu di luar perbatasan semakin memperkuat pasukannya dan siap merebut negeri itu. Li Cu-seng bertekad untuk mengatasinya.

TAMAT
Selanjutnya seri kedua;

Perserikatan Naga Api Jilid 38

Perserikatan Naga Api Jilid 38

Karya : Stevanus S.P
HONG-GOAN HWESHIO menjadi penasaran, ibaratnya ikan yang sudah dalam bumbung telah berenang keluar kembali, tapi dia juga menyadari kelemahan pihaknya. Ternyata Hwe-liong-pang hanya melatih anggotanya untuk bertempur perorangan, bahkan secara perorangan rata-rata anggota Hwe-liong-pang lebih kuat dari murid-murid Hoa-san-pay, namun dalam kerjasama kelompok seperti tadi, Hwe-liong-pang tidak bisa apa-apa.

Diam-diam Hong-goan Hweshio berencana dalam hati, "Jika kami benar-benar berniat menumbangkan Cong-ceng, tentu harus berhadapan dengan panglima-panglimanya Kaisar dengan prajurit-prajuritnya yang teratur rapi. Benar bahwa anggota-anggota kami ini dengan latihan selama ini tidak kalah dari para prajurit orang per orang, tapi jika dalam pertempuran besar pasti anggota-anggota kami akan tergilas habis karena tidak biasa bergerak dalam gerakan-gerakan perang. Di kemudian hari hal ini harus mendapat perhatian seperlunya."

Sementara itu, Auyang Siau-pa yang masih tidak terima karena markasnya dibakar itu, telah mengajak kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) yang berjumlah hampir dua ratus orang itu untuk mengejar ke bawah gunung. Hong-goan Hweshio tidak tega membiarkan Auyang Siau-pa memimpin sendirian dalam pengejaran itu, sebab ia tahu bahwa sekuat-kuatnya Auyang Siau-pa namun masih belum melebihi Kiau Bun-han.

Sedang di pihak musuh masih ada tokoh-tokoh kuat lain seperti Yo Ciong-wan yang culas itu, Lim Sin dan Auyang Seng yang meskipun masih muda tapi sudah dapat disejajarkan dengan paman-paman gurunya itu. Terpaksa dengan memanggul senjata Hong-pian-jannya rahib suku Hui itu pun ikut berlari-lari di belakang kelompok Jing-ki-tong itu.

Isyarat pengunduran diri yang dilepaskan oleh Kiau Bun-han dan secara berantai disebarkan ke semua arah itu, terdengar juga oleh pihak Kun-lun-pay yang masih berkutetan di dekat aula melawan kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) di bawah pimpinan In Yong serta Ong Wi-yong itu, juga oleh Go-bi-pay dan Ki-lian-pay bagian-bagian lain.

Memangnya di semua bagian pihak penyerbu telah tertekan hebat, maka "mengalirlah" mereka meninggalkan markas Hwe-liong-pang itu dengan gerakan mundur teratur. Sedang pihak Hwe-liong-pang yang merasa belum puas dengan peristiwa pembakaran itu, terus mengejar ke bawah gunung dipimpin oleh kepala-kepala kelompok masing-masing. Tidak peduli tokoh-tokoh yang paling sabar seperti Kwa Heng atau In Yong sekalipun, kali inipun sama marahnya dan bertekad untuk menangkap Kiau Bun-han dan rekan-rekannya.

Tengah para pendekar berbagai perguruan itu terbirit-birit dlkejar-kejar orang-orang Hwe-liong-pang yang marah, tiba- tiba bersorak-sorailah mereka ketika melihat ke kaki bukit. Saat itu sudah terang tanah, dan di kaki bukit itu nampaklah serombongan orang yang jumlahnya tiga ratus orang lebih sedang bergerak menuju ke atas gunung. Orang-orang itu berseragam campur-aduk, ada yang abu-abu, ada yang coklat, ada yang seperti pendeta Buddha, rahib agama To atau bahkan berpakaian compang-camping seperti pengemis.

Kiranya mereka adalah orang-orang Siau-lim-pay, Bu-tong- pay, Khong-tong-pay, Jing-sia-pay dan sebagainya. Meskipun antara mereka dengan kelompok Kiau Bun-han ada perselisihan pendapat mengenai Hwe-liong-pang, namun ketika mereka tahu rekan-rekan mereka itu diam-diam telah memisahkan diri dan menyerbu sendiri ke Tiau-im-hong mereka tidak sampai hati untuk membiarkannya saja, biarpun perginya rekan-rekan mereka itu tanpa pamit.

Maka merekapun segera menyiapkan diri dan menyusul ke Tiau- im-hong, biarpun kedatangan mereka agak terlambat, sebab orang-orang Hoa-san-pay dan lain-lainnya sudah kalah dan tengah diuber-uber di lereng gunung. Malahan Tiam-jong-pay, salah satu perguruan penyerbu itu, sudah tertumpas habis tidak sisa seorangpun juga.

Cepat-cepat sisa-sisa lima perguruan yang menyerbu Tiau-im-hong itu menggabungkan diri dengan rekan-rekan mereka yang baru datang itu. Di depan barisan pendekar yang baru datang itu, berdirilah Hong-tay Hweshio, tokoh tua Siau-lim-pay itu, wajahnya yang biasanya lembut dan berseri-seri, kini nampak merah padam karena marahnya. Agaknya ia sangat tersinggung oleh tindakan Kiau Bun-han dan kawan-kawannya yang meninggalkan barisan tanpa pamit itu.

Ketika melihat rombongan Kiau Bun-han mendatangi dari depan dengan pakaian yang robek-robek serta keadaan yang babak belur, Hong-tay Hweshio tertawa dingin dan bertanya, "Bagaimana hasil penyerbuan, Ketua Kiau?"

Kiau Bun-han menundukkan kepalanya ketika menatap pandangan tajam dari rahib tua Siau-lim-pay itu, rupanya ia menyadari juga tindakannya yang terburu nafsu itu. Begitu pula ketika rombongan dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Ki-lian-pay juga bergabung, tidak banyak percakapan yang terjadi.

Kemudian bertanyalah Hong-tay Hweshio, "Empat perguruan sudah kembali. Tapi kenapa saudara-saudara kita dari Tiam-jong-pay belum kelihatan juga? Mungkinkah mereka tersesat ke lereng yang lain?"

Dalam pada itu, pihak Hwe-liong-pang tidak berani mengejar terus ketika melihat pihak lawan telah mendapatkan bala bantuan sebanyak itu. Namun pihak Hwe-liong-pang juga tidak sudi muncur dan kalah gertak, apalagi karena mereka berjumlah lebih banyak dan berada di kandang sendiri pula. Dengan beberapa aba-aba dari Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin.

Orang-orang Hwe-liong-pang segera membentuk barisan berjajar di sebuah tempat datar tepat di depan pintu gerbang markas mereka. Jumlah mereka seluruhnya yang hampir seribu orang itu semuanya berseragam hitam, dalam keremangan pagi yang berkabut, mereka nampak seperti deretan hantu-hantu yang bangkit dari liang kuburnya.

Dari ujung ke ujung, mereka berbaris dalam kelompoknya masing-masing, mulai dari Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) pimpinan Oh Yun-kim dengan wakilnya Tiat-ci-eng (Elang Bersayap Besi) Suma Koan, yang tangannya selalu memutar-mutar bandring besinya itu. Kelompok Bendera Kuning (Ui-ki-tong) dipimpin Tiat-jiau-tho-wan (Kera Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng dengan wakilnya Tiat-pi-hek-hou (Macan Hitam Berlengan Baja) Can Bun-hou yang bertangan kosong seperti ketuanya. Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) dipimpin Auyang Siau-pa, si orang Su-coan yang gerakan goloknya seperti kilat itu, didampingi wakilnya Yu Ling-hoa dengan sepasang perisai tajam di tangannya.

Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) di depannya tegaklah In Yong si Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Petir) yang didampingi wakil dan sekaligus adik seperguruannya sendiri, Ong Wi-yong yang berjulukan Hui-long (Serigala Terbang). Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat) dipimpin Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia (Si Malaikat Lo-cia Kecil), karena senjata Ma Hiong adalah sepasang roda kecil dari besi, mirip dengan "kendaraan" malaikat Lo-cia dalam dongeng kuno itu. Ia tidak didampingi wakilnya, sebab wakilnya telah gugur dalam pertempuran tadi malam, dan itu pula sebabnya si malaikat Lo-cia kecil ini nampak merah-padam mukanya dan menatap ke arah barisan kaum pendekar dengan kemarahan meluap.

Kemudian ada Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) dengan Tong-cu nya yang tinggi besar dan perkasa, Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati). Lu Tong-cu Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) dipimpin Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) Kwa Tin-siong, yang wakilnya si Telapak Besi Cu Keng-wan juga telah gugur di tangan Thian-sek Hweshio dari Go-bi-pay.

Yang paling ujung adalah Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dipimpin Siang-po-kay-san (Si Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat, didampingi oleh Sebun Peng, wakilnya yang bergelar Song-kiam (Pedang Perkabungan). Sedang di depan barisan Hwe-liong-pang yang garang dan siap tempur itu, berdirilah empat orang dedengkot mereka. Siangkoan Hong, Lim Hong- pin, Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki.

Kini dua buah kelompok besar telah saling berhadapan di tempat terbuka, masing-masing dengan senjata-senjata terhunus yang siap "disarangkan" ke dada lawannya. Matahari yang kuning keemasan perlahan-lahan naik dan cahayanya yang semakin terang telah membuat kedua pihak yang berhadapan bisa saling memandang wajah masing-masing. Namun yang ada hanyalah wajah-wajah yang hampir sama coraknya, tegang, marah dan penuh nafsu membunuh.

Ketegangan yang mencekam itu dipecahkan oleh geraman Siangkoan Hong bagaikan singa terluka, ia maju dua langkah sambil menuding ke arah Hong-tay Hweshio, "Kaukah pemimpin orang-orang ini, yang sering disebut Hong-tay Hweshio itu?"

Rahib tua Siau-lim itu merangkapkan kedua telapak tangannya dan menjawab dengan sabar, "Benar. Apakah kau Ketua Hwe-liong-pang?"

"Bukan. Tapi selama Ketua tidak dapat menjalankan tugasnya, akulah yang menjalankan pekerjaan sebagai Ketua. Hemm, Hweshio tua, tidak perlu kau berbasa-basi lagi. Kau mengatakan menerima uluran tangan perdamaian kami, tetapi kenapa kau mengirim orang untuk menyerang markas kami selagi kami tidur dan membakar rumah kami pula? Apakah begini biasanya perbuatan orang-orang yang menamakan diri kaum lurus seperti kalian ini? Bukankah ini perbuatan pengecut?"

Diam-diam Hong-tay Hweshio menyesalkan juga perbuatan Kiau Bun-han yang tidak dapat mengendalikan diri itu. Namun sudah tentu dia tidak dapat menegur Kiau Bun-han di hadapan orang banyak seperti itu, sebab tokoh Hoa-san-pay itu akan kehilangan muka, dan bisa menimbulkan perpecahan dalam barisannya sendiri.

Akhirnya dengan menarik napas dalam-dalam Hong-tay Hweshio berkata, "Hiang-cu, dalam keadaan penuh kesalahpahaman dan kecurigaan seperti ini, seorang memang mudah berbuat khilaf. Hiang-cu menanyakan kenapa teman kami menyerang dan membakar markas kalian, tapi kami pun bertanya kepada kalian, kenapa kalian menyerbu dan membakar markas Kay-pang (Golongan pengemis) di kota Lam-tiong beberapa hari yang lalu? Kenapa kalian membunuh belasan murid Cong-lam-pay dan Soat-san-pay di luar kota Jing-toh itu, padahal kalian sedang menawarkan perdamaian dengan kami?"

"Itu bukan perbuatan kami. Hweshio tua, kau tentu sudah tahu bahwa kami terpecah menjadi dua, dan tiap-tiap bagian tidak bertanggung-jawab atas perbuatan bagian yang lainnya. Kami tidak bertanggung-jawab apa yang diperbuat oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya!"

"Hiang-cu, tidak adakah alasan lain yang bisa kau karang selain yang itu-itu juga? Tadinya kami hampir mempercayai kejadian itu, namun selama itu pihak kami ternyata lebih banyak dirugikan, banyak murid-murid kami terbunuh, dan kami tidak bisa minta pertanggungan-jawab siapapun sebab kalian selalu berdalih itu bukan perbuatan kalian. Apakah ini adil? Bukankah seharusnya perbuatan orang yang disebut Te-liong Hiang-cu itu juga menjadi tanggung-jawab kalian? Bukankah kalianlah yang wajib menangkap mereka karena mereka adalah anggota kalian?"

Siangkoan Hong memang bukan orang yang pandai bicara, maka setelah didebat begitu rupa oleh Hong-tay Hweshio, seketika diapun bungkam, hanya mukanya yang menjadi merah padam, dan mulutnya menggumamkan kata-kata "keparat" sampai belasan kali.

Sementara itu Hong-tay Hweshio telah berkata lagi, "Sekarang kami ingin bertanya, bagaimanakah nasib orang-orang Tiam-jong-pay yang datang ke tempat kalian itu? Kenapa mereka belum nampak?"

Siangkoan Hong tertawa dingin, "Hweshio tua, kutanya kau, jika ada orang yang menyerbu dan membakar kuil Siau-lim-si kalian, apa yang kau perbuat terhadap mereka?"

Seketika itu juga berubahlah wajah para pendekar ketika mendengar jawaban itu, mereka mulai mendapat firasat jangan-jangan rekan-rekan Tiam-jong-pay mereka itu telah mendapat musibah. Kim-hian Tojin, tokoh sakti Bu-tong-pay yang berdiri berdampingan dengan Hong-tay Hweshio itu telah melangkah maju, katanya dengan suara tergetar, “Jadi... jadi... mereka telah...”

Siangkoan Hong mendongakkan kepalanya dan tertawa lepas, “Jangan salahkan kami. Kami diserang, dan kami harus membela diri. Pihak kamipun kehilangan beberapa anggota terbaik kami, malahan beberapa Hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok) juga telah gugur.”

Seketika itu gemparlah pihak pendekar itu. Meskipun tidak tegas dikatakan, namun siapapun dapat memastikan bahwa orang-orang Tiam-jong-pay itu telah tertumpas semua. Teriakan kemarahan segera berkumandang di antara rombongan pendekar itu, senjata-senjata sudah dicabut keluar dan diacung-acungkan ke udara. Tapi pihak Hwe-liong-pang juga berbuat serupa sebab mereka pun marah kehilangan beberapa pemimpin mereka.

Sedangkan tokoh-tokoh yang lebih berkepala dingin seperti Hong-tay Hweshio, Kim-hian Tojin, Tiat-sim Tojin dan sebagainya, meskipun mereka juga menyesali kematian orang-orang Tiam-jong-pay, namun secara jujur harus mengakui bahwa pihak Hwe-liong-pang memang berhak mempertahankan markasnya. Dan dalam pertempuran yang manapun juga, kemungkinan untuk gugur sama besarnya dengan kemungkinan untuk tetap hidup. Rasanya terlalu tidak tahu aturan jika menimpakan kesalahan sepenuhnya ke pundak Hwe-liong-pang.

Pada saat ketegangan telah memuncak, dan banjir darah yang dahsyat sudah terancam akan tertumpah di lereng Tiau-im-hong yang cerah itu, tiba-tiba dari kaki bukit terdengar derap kaki kuda yang ramai. Salah seorang penunggang kuda itu berteriak-teriak dari kejauhan, “Tahan senjata! Tahan senjata!”

Dari kaki bukit itu muncullah lima orang berkuda yang dengan tergesa-gesa memacu kudanya ke atas bukit. Dua orang penunggang kuda yang paling depan adalah lelaki, sedang tiga penunggang kuda di belakangnya adalah perempuan semua, namun ketangkasan perempuan-perempuan itu dalam mengendalikan kudanya ternyata tidak kalah dengan kaum lelaki. Setelah orang-orang di lereng melihat wajah para penunggang kuda itu, beberapa orang yang mengenalnya segera berteriak,

“Itulah Tong Wi-hong, pemimpin Tiong-gi Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) di Tay-beng!”

Kemudian yang mengenali salah seorang gadis penunggang kuda itu, berteriak pula, “Itulah Tong Wi-lian, murid Hong-tay Hweshio, gadis yang mampu mengalahkan beberapa orang Tong-cu Hwe-liong-pang dalam pertempuran di Siong-san!”

Setelah penunggang-penunggang kuda itu dekat, pakaian mereka telah menimbulkan keheranan orang-orang di lereng Tiau-im-hong yang telah saling berhadapan itu. Ternyata, baik Tong Wi-hong maupun keempat kawannya, semua berpakaian putih dari kain belacu dan dirangkapi pula dengan baju pendek dari tikar pandan, dan kepala mereka dilibat dengan secarik kain putih. Pakaian berkabung! Sedang mata mereka pun nampak merah bengkak seperti habis menangis.

Begitu tiba di tengah-tengah ketua pihak yang sudah siap tempur itu, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian melompat turun dari kudanya, lalu mendekati ke arah Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio. Tiba-tiba saja kedua kakak beradik she Tong itu telah menjatuhkan diri dan berlutut sampai dahi mereka mengenai tanah, kata Tong Wi-hong dengan suara bergetar mengandung kesedihan, “Pendekar Kiau dan Rahib Thiang-goan yang bijaksana, kami kakak beradik mewakili kakak kami memohonkan maaf sebesar-besarnya dari pihak Hoa-san-pay dan Go-bi-pay....”

Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio saling bertukar pandangan dengan penuh keheranan. Cepat-cepat mereka balas berlutut sambil berkata, “Tong Cong-piau-thau, jika ada urusan harap dibicarakan baik-baik, jangan bersikap sesungkan ini, membuat kami merasa tidak enak saja. Dan siapakah kakakmu yang kau sebut meminta maaf kepada Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu?"

Masih dengan suara serak Wi-hong menyahut, “Kakakku adalah Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang!”

Bagaikan disengat kalajengking, tiba-tiba Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio melompat bangun dari berlututnya. Wajah mereka menjadi merah padam dan tangan mereka telah menggenggam erat-erat hulu pedang mereka. Kiau Bun-han telah membentak bengis, “Hah? Jadi si gila di kuil rusak itu adalah kakakmu? Di mana dia?! Kami harus membalas kematian murid-murid kami yang terbunuh oleh tangan iblisnya!”

Tong Wi-hong dan adiknya tetap tidak bangkit dari berlututnya, tidak peduli pedang Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio setiap saat siap dicabut dari sarungnya dan menebas kepala mereka. Kata Tong Wi-hong dengan kepala tetap tunduk, “Tayhiap berdua tidak perlu membalasnya lagi. Meskipun kakakku membunuh beberapa muridmu, namun ia pun terluka parah gara-gara perkelahiannya dengan kalian di kuil rusak itu....”

Ucapan itu terpotong oleh bentakan Thian-goan Hweshio, "Tidak perlu kau meringankan dosa-dosa kakakmu sendiri! Sekarang lekas tunjukkan di mana dia agar kami dapat menyeretnya ke sini dan menghakimi kesalahannya!"

Kata-kata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio yang sangat memandang rendah Ketua Hwe-liong-pang itu seketika menimbulkan kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang, serentak merekapun mencabut senjata dan berteriak-teriak memaki. Namun Siangkoan Hong belum memerintahkan untuk menyerang, sebab ia sendiripun ingin mendengar berita tentang di mana Ketua dan sekaligus sahabat karibnya sejak kecil itu.

Sementara itu, Tong Wi-hong telah menurunkan sebuah guci yang tadi tergendong di punggungnya, guci yang terbungkus kain putih, lalu jawabnya atas pertanyaan Thian-goan Hweshio tadi, "Dia ada di sini, tay-su. Ini adalah abunya...."

Kembali lereng Tiau-im-hong itu bagaikan gempar. Baik pihak para pendekar maupun pihak Hwe-liong-pang bagaikan tidak percaya mendengarkan dengan telinga mereka sendiri, bahwa Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang telah meninggal dunia! Tong Wi-siang telah meninggal dunia! Ketua Hwe-liong-pang yang menggemparkan dan menggetarkan dunia itu, telah tiada!

Kiau Bun-han sudah menyiapkan cacian berikutnya ke alam Tong Wi-siang, namun akhirnya ditelannya kembali apa yang hampir diucapkannya itu. Bagaimanapun dia adalah seorang pendekar terhormat dan tidak pantas baginya untuk mencaci orang yang sudah meninggal. Namun dengan nada kurang percaya ia masih bertanya juga kepada Wi-hong,

"Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa abu ini benar-benar abu si gi... eh, Ketua Hwe-liong-pang itu? Bagaimana dia mati?"

Wi-hong harus menguatkan hati untuk mengulangi lagi kisah yang menyedihkan hati itu lewat bibirnya, "Sehabis berkelahi dengan kalian di kuil tua itu, kakakku itu berhasil kami temukan tapi dalam keadaan luka-luka, selain karena terluka oleh kalian, juga terluka karena pengerahan tenaganya sendiri yang berlebihan. Kami berusaha menyembuhkan, tetapi keadaan jiwanya yang tergoncang karena kehilangan seorang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan juga semangat hidupnya yang runtuh karena keputus-asaan akan kegagalan yang bertubi-tubi, tidak membantu usaha penyembuhan kami itu. Dua malam yang lalu, dalam keadaan sadar dan pikiran yang jernih, tapi tubuh yang sangat lemah, dia telah meninggal dunia setelah menulis dua pucuk surat."

Melihat mimik Tong Wi-hong, agaknya pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memang tidak menipu, apalagi ketika melihat Wi-lian dari tadi hanya menundukkan kepala terus dan menangis. Sedang orang-orang Hwe-liong-pang yang mulai yakin akan pendengaran mereka, sebagian mulai menangis dan sebagian lagi mengertakkan gigi sambil mengepal tinju.

Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio mau tidak mau luruh juga kekerasan hatinya melihat hal itu. Tanya Thian-goan Hweshio, "Dua pucuk surat untuk siapa saja?"

"Sepucuk untuk pihak Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Sepucuk lagi untuk Hwe-liong-pang."

“Mana suratnya?"

Tong Wi-hong segera mengeluarkan dua pucuk surat dari dalam bajunya, yang satu diangsurkannya kepada Thian-goan Hweshio, sedang yang satu lagi diberikannya kepada Siangkoan Hong yang telah berjalan mendekat. Kedua orang itu hampir bersamaan merobek sampul surat dan hampir bersamaan pula membacanya dengan berbisik-bisik.

Selesai membaca surat itu, Thian-goan Hweshio menarik napas panjang dan berkata, "Rupanya kekuasaan takdir sangat terasa. Ketua Hwe-liong-pang saja berani mengorbankan perasaannya untuk minta maaf kepada kita lebih dulu, kenapa kita harus ngotot tak mau memaafkannya?" Lalu disodorkannya surat itu kepada Kiau Bun-han agar tokoh Hoa-san-pay itu membaca pula.

Sedang Tong Wi-hong dan adiknya telah berlutut lagi di hadapan tokoh Go-bi-pay itu, dan kata Wi-hong, "Jika pihak Go-bi-pay dan Hoa-san-pay masih penasaran akan murid-muridnya yang terbunuh oleh kakakku, aku dan adikku bersedia untuk mengganti nyawa mewakili kakakku."

Bahkan kemudian Tong Hu-jin disertai Ting-bun dan Cian Ping telah berlutut pula. Kata janda pendekar Tong Hu-jin, "Jika tay-su sudi menghargai nyawa tuaku, akupun bersedia mengganti nyawa murid-murid kalian yang dibunuh puteraku. Tapi aku mohon hendaklah pesan terakhir anakku agar permusuhan diakhiri itu benar-benar terlaksana, supaya nyawa anakku tenteram di alam baka."

Luluhlah kekerasan hati Thian-goan Hweshio itu. Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya dan mematahkannya menjadi dua potong, serunya dengan suara bergetar, "Jika Ketua Hwe-liong-pang yang sering kucaci-maki sebagai gembong iblis itupun bisa bertindak seluhur ini, masakah aku harus kalah dari padanya? Mulai detik ini, permusuhanku dengan Ketua Hwe-liong-pang kuanggap lenyap seperti patahnya pedang ini, semua murid Go-bi-pay juga kularang untuk memusuhi dan merendahkan namanya! Jika masih ada orang-orang Hwe-liong-pang yang penasaran dan ingin bertempur denganku, aku sanggup melayaninya, tapi tidak ada sangkut-paut lagi dengan permusuhanku dengan Hwe-liong Pang-cu!"

Demikianlah, meskipun hati Thian-goan Hweshio sebenarnya sudah luluh sehabis membaca surat dan juga melihat Tong Hu-jin beserta anak-anak dan calon-calon menantunya itu berlutut di hadapannya, namun sebagai orang berwatak keras maka bicaranyapun keras pula. Ia tidak sudi dianggap takut bermusuhan dengan Hwe-liong Pang-cu dihapuskan, tapi ia masih juga menantang orang Hwe-liong-pang yang masih ingin berkelahi dengannya.

Dalam pada itu, Siangkoan Hong-pun telah selesai membaca surat itu, tiba-tiba menengadah ke langit sambil tertawa bergelak-gelak, namun kemudian tawanya itu berubah jadi semacam jeritan yang memedihkan hati. Dikepalkannya tinjunya ke langit, seakan menuntut kepada Thian, teriaknya, “Tong Wi-siang masih muda dan bercita-cita luhur, adilkah jika ia mati semudah itu? A-siang! Kau membakar semangat juangku, tetapi setelah itu kau tinggalkan kami setengah jalan seperti ini....!"

Mata Siangkoan Hong tiba-tiba berubah jadi beringas, ditatapnya Tong Wi-hong yang memegang guci berisi abu Tong Wi-siang itu, lalu bentak Siangkoan Hong dengan bengisnya, "Berikan kepadaku!"

Wi-hong mengerti bahwa Siangkoan Hong, sahabat kakaknya yang sangat setia itu, tengah terguncang perasaannya, karena dikeluarkannya juga guci itu kepada Siangkoan Hong. Kemudian Siangkoan Hong mengangkat tinggi-tinggi guci itu, serentak orang-orang Hwe-liong-pang meletakkan senjatanya dan berlutut ke arah guci itu dengan khidmat. Teriak Siangkoan Hong,

"He, orang-orang Hwe-liong-pang yang setia, yang telah menatakan diri untuk bertempur bersama Ketuamu yang perkasa, apa yang kau perbuat jika Ketuamu gugur seperti ini?”

Terdengarlah teriakan-teriakan, “Menuntut balas!"

Sementara itu Lim Hong-pin telah membaca pula surat itu, dan ia menjadi cemas ketika melihat ucapan-ucapan Siangkoan Hong bukannya menjurus ke arah perdamaian seperti yang dipesankan oleh Tong Wi-siang, melainkan malah membakar hati anggota-anggota Hwe-liong-pang itu. Karena itu, Lim Hong-pin bertekad untuk membacakan surat itu di hadapan seluruh anggota Hwe-liong-pang, tidak peduli untuk itu dia harus bertentangan dengan Siangkoan Hong sendiri. Tapi pertumpahan darah harus dicegah.

Pada saat orang-orang Hwe-liong-pang yang terbakar hatinya itu sudah bangkit dari berlututnya dan siap menerjang ke arah kaum pendekar, cepat-cepat Lim hong-pin melompat maju sambil mengangkat tinggi-tinggi kertas surat itu, sambil berseru, “Orang-orang Hwe-liong-pang, maukah kalian mendengar pesan terakhir Ketua kalian?”

Orang-orang Hwe-liong-pang itu pun menahan langkahnya. "Kami mau mendengarnya!" teriak mereka.

"Sanggupkah kalian melaksanakan amanat terakhir itu?" tanya Lim Hong-pin lagi.

Disahut oleh para anggota, "Kami sanggup!"

"Apapun pengorbanannya?"

"Ya!" teriak anggota Hwe-liong-pang. “Biarpun kepala kami harus menggelinding di lereng ini dan darah kami tertumpah memerahkan seluruh Tiau-im-hong ini!"

Lim Hong-pin mengangguk-angguk kepalanya, "Bagus! Pesan terakhir ketuamu itu tidak sampai harus dengan kepala terpenggal atau darah tertumpah, tapi justru menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu. Dengarlah Hwe-liong Pang-cu menghendaki kalian meneruskan perjuangan menggulingkan si Kaisar tidak becus Cong-ceng itu....”

"Kami siap!" sambut para anggota.

"... dan menghindari jatuhnya korban yang tidak perlu, pesan Ketua kepada kalian mengatakan bahwa orang-orang Hoa-san-pay, Siau-lim-pay dan lain-lainnya yang berdiri di hadapan kalian adalah bukan musuh kalian! Kuulangi, bukan musuh kalian! Ketua sadar bahwa selama ini para pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu telah mengadu-domba kita dengan mereka. Ketua tidak rela kita menjadi jangkrik-jangkrik aduan yang tolol, sedangkan Te-liong Hiang-cu enak-enak memungut hasil pertentangan ini dan kemudian menggilas habis kita semua!"

Jika seruan untuk menggulingkan kaisar Cong-ceng tadi disambut dengan teriakan-teriakan bersemangat, maka seruan untuk berdamai dengan kaum pendekar ini disambut dengan bungkam dan penuh keragu-raguan. Betapapun juga orang-orang Hwe-liong-pang belum bisa melupakan bahwa baru beberapa saat yang lalu orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan sebagainya itu baru saja membakar markas mereka, dan membunuh rekan-rekan mereka. Darah yang melekat di pedang mereka belum kering. Bagaimana bisa mereka berdamai dengan pembunuhan-pembunuhan teman-teman mereka itu?

Lim Hong-pin yang berusia lebih muda dari Siangkoan Hong, tetapi lebih bijaksana itu, dapat menangkap gejolak hati anggota-anggota Hwe-liong-pang itu. Katanya, "Memang berat, tapi kekonyolan ini tidak boleh berlarut-larut, sebab hal itu berarti kita masuk dalam siasat licik Te-liong Hiang-cu yang lebih dulu ingin menguras tenaga kita, sedangkan dia akan datang kemudian dengan kekuatan yang masih segar. Kalian dapat mengerti bukan? Lebih berharga mana jika kalian mati karena diadu domba, atau mati dalam perjuangan meneruskan cita-cita Ketua kita?”

Kata-kata itu agaknya dapat juga meresap dalam hati para anggota bahkan juga dalam hati Siangkoan Hong yang sekeras batu padas itu, Terdengar Siangkoan Hong menggeram, "Baik. Kita turuti pesan Pang-cu. Tapi aku tidak sudi berdamai dengan bangsat-bangsat munafik itu. Aku menghentikan permusuhan, tapi tidak berkawan dengan mereka. Kami akan berjalan sendiri-sendiri."

Kata-kata Siangkoan Hong itu disambut gembira oleh para anggota. Memang itulah jalan tengah yang paling tepat. Menghentikan permusuhan, tapi juga tidak menjadi kawan. Lim Hong-pin tahu bahwa rekan-rekannya itu masih belum bisa melupakan perbuatan orang-orang Hoa-san-pay yang membakar markas mereka itu. Apa boleh buat, itupun lebih baik daripada berbunuh-bunuhan tanpa akhir yang membawa banyak korban jiwa itu.

"Baiklah, tapi masih ada dua pesan Pang-cu lagi," kata Lim Hong-pin.

Karena Siangkoan Hong sudah membaca surat Wi-siang tadi, maka ia tahu apakah dua pesan yang akan dikatakan lagi oleh Lim Hong-pin itu. Namun dia diam saja dan membiarkan Lim Hong-pin membacakan lagi,

"Kedua pesan tambahan itu adalah, pertama, untuk melanjutkan perjuangan menggulingkan Kaisar Cong-ceng, Ketua mengijinkan kita untuk bergabung dengan Coan-ong Li Cu-seng, tapi ini hanya anjuran Ketua dan bukan suatu keharusan. Yang kedua, kalian harus segera meninggalkan markas ini, sebab tidak lama lagi markas akan diserbu oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya.....”

"Kami tidak gentar!" teriak para anggota.

"Aku mengerti kalian tidak gentar, dan Ketua ketika menulis surat ini tentu juga paham bahwa kalian tidak gentar kepada pengkhianat-pengkhianat Hwe-liong-pang itu. Tapi kalian tidak boleh mati konyol. Bukan karena Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya itu sakti luar biasa tapi karena bangsat itu secara tidak tahu malu telah menjilat Kaisar Cong-ceng, dan berkomplot dengan Panglima Lam-tiong, dan saat ini dia sedang bergerak mengepung tempat ini untuk menumpas kita!"

Berita itu memang mengejutkan. Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang, tapi kaum pendekar dari berbagai perguruan itu. Apalagi ketika Tong Wi-hong juga ikut berkata,

"Ya, itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ketika kami berkuda menuju ke Tiau-im-hong ini, kami melihat sebuah pasukan Kerajaan dalam jumlah besar, bercampur-aduk dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu sedang menuju kemari. Mereka hendak menumpas Hwe-liong-pang, sekaligus menumpas para pendekar untuk membalas dendam atas kekalahan Te-liong Hiang-cu di Siong-san dulu!"

"Bangsat tidak tahu malu!" teriak Kiau Bun-han. "Dia tidak mampu membalas dendam dengan kekuatan sendiri, kenapa dia sudi menjilat pantat para pejabat busuk kaki tangan Cong-ceng itu?”

Yang menyahut adalah Hong-goan Hweshio dari pihak Hwe-liong-pang, "Itulah kelicikannya, dulu kami sudah berkali-kali meyakinkan kalian bahwa kita harus menahan diri dari siasat adu-domba ini. Andaikata kita dapat menahan diri, kejadian buruk hari ini tak akan terjadi...."

Kiau Bun-han melotot dan membentak, "Hweshio sesat, jadi secara tidak langsung hendak kau katakan bahwa kami ini orang-orang tolol yang mudah disogok untuk diadu-domba?"

Hong-goan Hweshio tertawa dingin, "Dalam keadaan sama-sama mengalami bahaya seperti ini, masih perlukah kita berebut siapa pintar siapa tolol? Aku berkata, Kita sama tololnya, kita sama-sama berotak kerbau. Tanpa kecuali!"

Muka Kiau Bun-han menjadi merah padam, tapi Thian-goan Hweshio justru bertepuk tangan sambil berkata, "Ha-ha-ha, sungguh makian yang tepat. Aku, Thian-goan Hweshio, si kerbau tolol dari Go-bi-pay, mengulurkan tangan persahabatan kepada kerbau-kerbau tolol lainnya, siapa mau menerima uluran tanganku ini?"

Tapi tak seorangpun di pihak Hwe-liong-pang yang menyambut ucapan Thian-goan Hweshio itu, sehingga Rahib Go-bi-pay itu menarik napas sedih, "Baiklah, rupanya orang-orang Hwe-liong-pang masih marah kepadaku karena aku telah ikut menyerbu dan membakar tempat kalian."

Dari pihak Hwe-liong-pang, Ling Thian-ki, bekas sahabat Thian-goan Hweshio itulah yang menyahut, "Kau memang tolol. Kedua pihak baru saja saling bunuh penuh kebencian, bagaimana mungkin tawaran tololmu itu bisa diterima sekarang? Jika kau ingin bersahabat dengan kami, sikap bersahabatmu itu harus kau tunjukkan untuk tahun-tahun mendatang dengan perbuatan, bukan dengan ucapan kosong!”

Thian-goan Hweshio mengangguk-angguk tak menjawab, sedang Kiau Bun-han lah yang menyahut dingin, “Jangan besar kepala. Hoa-san-pay tidak akan pernah berkawan dengan kaum sesat tanpa juntrungan seperti kalian, biarpun untuk sementara ini kita tidak akan bertempur!”

Jawaban Ling Thian-ki tidak kalah tajamnya, “Kau juga jangan besar kepala, tawaran persahabatan kami tidak kami tujukan kepada orang-orang sombong dan selalu mengira diri sendiri benar sendiri seperti kau ini, melainkan kepada orang-orang yang dapat melihat kebenaran perjuangan kami! Kau sendiri boleh jadi berilmu tinggi dan bernama besar, tapi kau tidak lebih sampah rongsokan buat kami, sebab kau tidak berani menggunakan kepandaian itu untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat! Kau kalah dengan seorang yang berilmu rendah tapi berani mengamalkan ilmunya itu.”

Kembali muka Kiau Bun-han menjadi merah padam, sambil menghunus pedangnya dia hendak melangkah maju menerjang Ling Thian-ki, dan Ling Thian-ki sendiri agaknya sudah juga siap meladeni tokoh Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Melihat itu, cepat-cepat Tong Wi-hong melompat ketengah-tengah kedua tokoh itu, sambil berkata dengan nada memelas,

“Sudahlah tuan-tuan berdua, belum cukupkah korban yang jatuh hanya karena kesalahpahaman? Masih akan ditambah lagikah nyawa-nyawa yang melayang tanpa arti, sedang musuh bersama kita, Te-liong Hiang-cu, belum meneteskan setitik keringat pun?”

Pada saat sindir-menyindir antara Kiau Bun-han dan Ling Thian-ki itu sudah memuncak dan hampir meledak kembali menjadi pertentangan yang melibatkan anak buah masing-masing, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berkali-kali. Lalu tanah-tanah di lereng-lereng Tiau-im-hong itu bagaikan meledak berhamburan terkena gempuran peluru meriam. Kedua pihak yang tengah bersitegang leher di lereng Tiau-im-hong itu sama-sama terkejut dan menjadi panik. Beberapa orang, dari perguruan-perguruan maupun Hwe-liong-pang, telah terpental tewas kena peluru meriam! Lain-lainnya berlari berpencaran.

Bersamaan itu, di bawah gunung terlihat ada sejumlah besar pasukan Kerajaan Beng tengah mengurung kaki bukit, menyumbat satu-satunya jalan yang menghubungkan bukit itu dengan dunia luar. Yang membuat kedua pihak mendidih darahnya adalah ketika melihat bahwa di depan tentara Kerajaan yang tengah menerjang ke atas bukit itu, ternyata terdapat orang-orang yang mereka benci.

Yaitu Te-liong Hiang-cu yang masih juga memakai topeng tengkoraknya, diiringi oleh pengikut-pengikutnya yang berkepandaian tinggi seperti Ang-mo-coa-ong (Si Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po, Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-Ji, Hwe-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok serta Hek-liong (Si Naga Hitam) Thio Hong-bwe. Selain itu masih ada ratusan anak buah lainnya yang berpakaian hitam-hitam seperti orang Hwe-liong-pang, bahkan mereka juga menamakan diri Hwe-liong-pang pula.

Kecurigaan di pihak kaum pendekar ternyata belum lenyap seluruhnya ketika melihat munculnya pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu bersama-sama tentara pemerintah itu. Biarpun hanya sedikit, masih juga ada dugaan bahwa Hwe-liong-pang tidak benar-benar bermusuhan dengan Te-liong Hiang-cu, melainkan hanya pura-pura untuk menjebak seluruh kaum pendekar dan menumpasnya di lereng Tiau-im-hong itu.

Tapi kecurigaan semacam itu akhirnya lenyap ketika mereka melihat Siangkoan Hong sendiri telah memimpin anak buahnya untuk menyongsong serbuan musuh yang jauh lebih banyak itu dengan beraninya. Para pimpinan Hwe-liong-pang lainnya pun dengan penuh semangat menerjang paling depan, tidak peduli musuh jauh lebih banyak.

Dalam sekejap saja, di kaki bukit Tiau-im-hong itu berkobarlah pertempuran sengit antara Hwe-liong-pang melawan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Beng dengan beberapa perwiranya yang tangguh pula. Kaum pendekar belum turun ke gelanggang, dan dalam kesempatan itu mereka melihat bahwa benar-benar rupanya ada perpecahan di Hwe-liong-pang.

Mereka juga melihat bahwa di antara pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu terdapat orang-orang yang sudah mereka kenal dalam pertempuran di Siong-san dulu, berarti kelompok inilah yang sebenarnya menyerang Siong-san dulu, bukan kelompoknya Siangkoan Hong.

Hong-tay Hweshio bergumam sendiri, “Sekarang terbuktilah bahwa kita benar-benar telah diadu-domba oleh Te-liong Hiang-cu yang agaknya ingin meminjam tangan kita untuk melenyapkan saingannya itu. Kemudian dia sendiri datang dengan kekuatan pinjaman yang masih segar, untuk menumpas habis kita yang tentu dibencinya pula.”

Kiau Bun-han menundukkan kepala, merasa malu atas perbuatannya selama ini, dan akhirnya berkata geram, “Bagus kalau Te-liong Hiang-cu dan kaki tangannya datang kemari. Kita jadikan peristiwa Tiau-im-hong ini sebagai pil pahit kedua baginya setelah di Siong-san dulu.”

Keputusannya diambil, kaum pendekar itupun segera menghunus senjata dan menghambur ke kaki bukit. Tidak menghiraukan peluru-peluru meriam yang masih berdesingan menghantam lereng-lereng bukit, mereka menerjang langsung ke arah pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan Beng.

Sementara itu, dengan penuh kebencian Siangkoan Hong telah menerjang ke arah Te-liong Hiang-cu yang dianggapnya biang-keladi semua kekisruhan belakangan ini. Teriaknya, "Pengkhianat, bagus kau datang untuk mengantar batok kepalamu!"

Te-liong Hiang-cu menyambut terjangan bekas temannya itu dengan hati-hati pula, sebab dia tahu bahwa ilmu Siangkoan Hong tidak berselisih dengannya sendiri. Keduanya sama-sama pewaris ilmu dari Kitab Bu-san-jit-kui, meskipun secara tidak langsung, sebab Tong Wi-sianglah yang mengajari dan menuntun mereka. Kini kedua bekas sahabat dari An-yang-shia itu terlibat dalam pertempuran mati-matian.

Setiap jago dari masing-masing pihakpun segera menemukan tandingannya masing-masing. Tang Kiau-po yang tengah mengganas dengan tongkat besi berkepala ularnya, serta pukulan Ang-se-jiu (Pukulan Pasir Merah) itu, terhadang oleh musuh lamanya yang bekas rekannya sesama Su-cia, yaitu Hong-goan Hweshio. Biarpun Tang Kiau-po termasuk dalam urutan "Sepuluh Tokoh Sakti" sedangkan Hong-goan Hweshio tidak, itu tidak berarti ilmu Hong-goan Hweshio lebih rendah dari Si Raja Ular dari Thay-san itu.

Tidak tercantumnya nama Hong-goan Hweshio dalam urutan sepuluh besar itu karena sejak belasan tahun yang lalu dia telah pergi ke tempat jauh, ke daerah suku Hui di sebelah barat sana, sehingga namanya pun jarang dikenal orang, kecuali orang-orang yang pernah bersahabat dengannya. Kini, di kaki bukit Tiau-im hong itu terbuktilah bahwa Hong-goan Hweshio tidak kalah tangkas memainkan Hong-pian-jannya dibandingkan Tang Kiau-po memainkan tongkat besi berkepala ularnya.

Sementara itu, rekan Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki juga telah bertemu lawan tangguhnya, yaitu seorang berseragam perwira tinggi Kerajaan Beng yang berjenggot putih dan bersenjata sepasang bola baja bertangkai. Bola baja yang sebesar semangka itu nampaknya ringan saja di tangan perwira berjenggot putih itu, diayun-ayunkannya bagaikan angin badai membuat barisan depan Hwe-liong-pang jadi berantakan.

Ketika Ling Thian-ki melihat amukan perwira jenggot putih itu, ia segera melompat menghadang sambil berseru, "Hebat! Nama besar Tiat-lo-sat (Si Raksasa Besi) Lamkiong Hai dari Jing-toh benar-benar bukan nama kosong belaka. Tapi buat apa seorang pejabat tinggi seperti kau keluyuran sampai ke bukit terpencil ini?"

Ternyata Ling Thian-ki sudah tahu siapakah si perwira berjenggot putih ini. Dia bernama Lamkiong Hai dan merupakan kepala pengawal dari Sun-bu (Gubernur) Su-coan ini. Sebagai wilayah penting yang merupakan "gudang beras", Su-coan harus dijaga oleh pasukan yang terlatih baik, dan regu pengawal gubernurnya pun bukan prajurit-prajurit sembarangan, apalagi Lamkiong Hai adalah pemimpinnya, tentu saja kepandaiannya dapat diandalkan. Ia terkenal dengan tenaga raksasanya, serta permainan sepasang bola bajanya yang dapat menghancurkan kepala musuh itu.

Berhadapan dengan tokoh terkenal ini, Ling Thian-ki tidak berani memandang ringan, maka begitu pertempuran dimulai, dia sudah langsung memakai sepasang pisau pendeknya yang lincah itu. Dengan demikian pertarungan antara kekuatan melawan kelincahanpun segera berkobar di tempat itu, sulit diketahui siapa yang lebih unggul.

Sepasang bola baja Lamkiong Hai berdesing-desing berputaran bagaikan sepasang lebah yang bermain-main di rumpun bunga, namun desingan itu membawa hawa maut yang menggidikkan. Ditunjang dengan kuda-kuda yang kokoh, pinggang yang kuat, serta sepasang lengan yang bertenaga raksasa, Lamkiong Hai benar-benar adalah lawan yang berbahaya.

Tapi Ling Thian-ki dengan sepasang pisaunya juga tidak kalah berbahaya, dia bagaikan segumpal asap saja yang tak dapat tersentuh oleh sepasang bola baja lawannya itu. Desing angin yang menyertai gerakan senjata lawan seakan-akan malah membuatnya semakin lincah, tubuhnya bagaikan seringan bulu yang mengikuti hembusan angin ke manapun bertiup. Tapi "Si Kera Sakti Seribu Lengan" itu bukan cuma berlompatan menghindar, tapi juga menerkam dan menyerap dengan sepasang pisaunya itu.

Mula-mula masih dapat dilihat bagaimana Ling Thian-ki melompat menghindar dan kemudian menyergap bagian pertahanan musuh yang kosong, namun lama kelamaan gerakannya semakin cepat sehingga sulit dibedakan lagi gerakan menghindar dan menyergapnya. Sepasang pisaunyapun berubah bagaikan hujan gerimis yang mencurah ke tubuh lawan dari segala arah, membuat Lamkiong Hai harus mengerahkan tenaga untuk mengetatkan pertahanannya.

Pertarungan satu lawan satu semacam itu tidak terjadi di satu tempat saja, namun di sepanjang garis pertempuran. Pihak gabungan Hwe-liong-pang dan para pendekar berbagai perguruan memang kalah dalam jumlah, boleh dikata hampir-hampir satu dibanding sepuluh atau lima belas, namun jumlah orang-orang berilmu tinggi lebih banyak di pihak Hwe-liong-pang dan para pendekar.

Antara lain Hong-tay Hweshio, Kim-hian Tojin, Bong-san Tojin, ke delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang, Lim Hong-pin dan sebagainya. Di pihak Te-liong Hiang-cu juga terdapat beberapa jago, namun selain jago-jago bawahan Te-liong Hiang-cu juga terdapat beberapa jago, Te-liong Hiang-cu sendiri, tidak banyak jago-jago di pihak Tentara Kerajaan yang dapat diandalkan. Ada juga beberapa perwira yang cukup tangguh, namun mereka bukan tandingan jago-jago Hwe-liong-pang atau jago-jago berbagai perguruan apabila harus dihadapan satu lawan satu.

Dengan demikian, untuk sementara jalannya pertempuran agak seimbang. Pihak Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan unggul menyolok dalam hal jumlah, sedangkan pihak gabungan Hwe-liong-pang dan para pendekar rata-rata unggul dalam kemampuan perorangan. Orang-orang yang berilmu tinggi tetapi tidak mendapat lawan setimpal, mencoba meringankan beban kawan-kawannya dengan jalan “mengambil” lawan lebih dari satu. Hong-tay Hweshio misalnya, ia menghadapi sepuluh orang prajurit yang bekerja sama mengepungnya di bawah pimpinan seorang perwira bersenjata tombak panjang.

Tapi jumlah musuh yang berkali lipat itu akhirnya terasa juga pengaruhnya. Perlahan-lahan kaum pendekar mulai terdesak ke atas bukit. Betapa saktinya mereka, namun menghadapi musuh yang terus membanjir tak habis-habisnya itu, tenaga mereka mulai terperas juga. Apalagi prajurit-prajurit Kerajaan Beng juga bukan cuma keroco-keroco yang sekedar menyodorkan tubuhnya ke ujung senjata musuh, namun cukup terlatih baik.

Beberapa kali Tentara Kerajaan membuat gerakan yang aneh-aneh, barisannya berganti-ganti bentuk dengan tangkasnya, sebentar mendesak, di lain saat mundur sambil membuat gerakan melengkung untuk menjepit, kemudian menebar dan menyerbu dan sebagainya. Orang-orang Hwe-liong-pang serta kaum pendekar yang hanya tangkas dalam pertarungan perorangan tapi sama sekali buta dalam siasat perang, sedikit demi sedikit menjadi kacau balau. Berulang kali mereka terjebak oleh gerakan barisan lawan, sehingga mereka pun semakin terdesak ke atas bukit.

Tapi setelah gabungan antara Hwe-liong-pang dengan kaum pendekar itu mengalami tekanan berat, barulah timbul rasa senasib sepenanggungan di antara meraka. Tadinya mereka masih saling membenci karena kesalah-pahaman selama ini, namun setelah bertempur bersama dan mengalami kesulitan bersama pula, kedua pihak menyadari bahwa tanpa kerjasama yang baik mereka akan digilas hancur oleh Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan. Gugurnya salah satu anggota Hwe-liong-pang atau salah satu murid perguruan-perguruan, berarti bertambah lemahnya seluruh barisan, hal lnl disadari oleh mereka.

Kiau Bun-han agaknya terpisah dari kelompok teman-temannya, karena ia bagaikan terhisap oleh "pusaran" pasukan musuh yang melibatkan dan memisahkannya dari teman-temannya. Bagaikan harimau luka, ia mengamuk seorang diri di tengah gelombang pasukan lawan. Pedangnya membacok sana bacok sini, tikam sana tikam sini, namun tak banyak hasilnya.

Sebab prajurit-prajurit Kerajaan Beng semuanya memakai baju sisik besi, dan bersenjatakan pedang serta perisai, atau senjata panjang jenis lain seperti tombak atau kaitan. Ketinggian ilmu Kiau Bun-han nyaris percuma dalam kepungan prajurit-prajurit yang sudah terbiasa bekerja sama secara rapi dan ketat itu.

Jika ia mendesak prajurit yang di depan, maka serempak prajurit-prajurit yang di samping dan di belakangnya menusukkan senjata-senjata mereka. Jika Kiau Bun-han berhasil melukai atau merobohkan seorang prajurit, maka di tubuhnya sendiripun tentu lukanya bertambah. la bagaikan seekor harimau yang meronta-ronta terjebak oleh kubangan lumpur terapung, makin meronta makin tenggelam, percumalah kekuatannya selama ini.

Pada saat itu, sekelompok murid Hoa-san-pay dengan nekad berusana menerjang dari luar kepungan, ingin menolong guru mereka. Tapi kepungan itu terlalu tebal, murid-murid Hoa-san-pay yang tidak seberapa jumlahnya itupun satu persatu berguguran tanpa arti sebelum bisa mencapai tempat gurunya.

Di saat keadaan Kiau Bun-han sudah seperti telur di ujung tanduk itu, tiba-tiba di sebelah sana terlihat sebatang golok bulan sabit berkelebatan kian-kemari diiringi sorak-sorai sekeiompok orang. Ternyata tidak jauh dari situ, Auyang Siau-pa bersama sekelompok anggota Hwe-liong-pang juga tengah terkepung. Tapi keadaan Auyang Siau-pa lebih baik dari Kiau Bun-han sebab ia tidak seorang diri.

Tadinya Kiau Bun-han mendapat harapan ketika melihat ada sekelompok orang yang mendatanginya, namun setelah tahu bahwa kelompok itu adalah orang Hwe-liong-pang, apalagi dipimpin oleh Auyang Siau-pa yang baru tadi malam bertempur dengannya, maka Kiau Bun-han membatalkan niatnya untuk berteriak minta tolong. Ia lebih suka mampus berkeping-keping dicincang senjata lawan daripada harus minta tolong kepada orang Hwe-liong-pang.

Tak terduga, biarpun ia tidak berteriak, Auyang Siau-pa sudah melihat pula keadaan bekas lawannya itu. Bukannya meninggalkan Kiau Bun-han seorang diri di tengah kepungan lawan, Auyang Siau-pa ternyata justru membawa kelompoknya untuk mendekati tempat Kiau Bun-han itu. Dengan Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa sebagai "ujung tombak", kelompok Hwe-liong-pang itu mendesak barisan dan berusaha membuka jalan ke arah Kiau Bun-han.

Yu Ling-hoa berpikiran cerdik, ia tahu bahwa pihaknya mengalami kesulitan untuk melukai prajurit-prajurit lawan karena banyaknya, juga karena baju sisik besi dan perisai prajurit-prajurit itu, tapi Yu Ling-hoa melihat bahwa bagian kaki para prajurit itu tidak terlindung oleh baju sisik besi. Karena itu, Yu Ling-hoa menggulingkan dirinya, sepasang perisai tajam Gun-goan-painya berputar kencang, dan tiga orang prajurit yang terdepan segera menjerit ngeri, terjungkal roboh karena betisnya terbabat sepasang senjata Yu Ling-hoa itu.

Melihat hal itu, Auyang Siau-pa berteriak gembira, "Akal bagus, saudara Yu!"

Dia bukan cuma memuji, tapi juga langsung meniru cara Yu Ling-hoa itu. Meskipun tidak begitu mahir, Auyang Siau-pa mampu juga memainkan Te-tong-to (ilmu golok yang dimainkan sambil bergulingan di tanah). Maka diapun segera berguling-guling seperti Yu Ling-hoa, membabati kaki prajurit-prajurit Kerajaan, membuat barisan depan Tentara Kerajaan itu menjadi kalang-kabut.

Seorang thong-leng (Perwira Rendah) di pihak Tentara Kerajaan segera memberi perintah, "Gunakan senjata panjang! Yang bersenjata tombak dan kaitan maju ke depan!"

Tapi Yu Ling-hoa dan Auyang Siau-pa tidak mau kehilangan kesempatan baik itu, mereka terus mendesak maju dengan jarak pendek, sehingga musuh yang bersenjata panjang pun sulit menyelamatkan kaki mereka dari babatan senjata sepasang jago Hwe-liong-pang itu. Anak buah Hwe-liong-pang lainnya mengikuti di belakang kedua pemimpin itu.

Yang merasa bisa bergulingan sambil bergulingan, namun yang tidak bisa juga tetap bertempur dengan ganasnya. Sebaliknya di pihak Tentara Kerajaan, biarpun juga ada perwira-perwira yang bisa bersilat bergulingan, tapi pakaian besi dan topi besi mereka sangat mengganggu gerakannya.

Tidak lama kemudian, Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa berhasil menerobos sampai ke tempat Kiau Bun-han yang tengah terkepung. Tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itu masih juga bertempur dengan garangnya, biarpun pakaiannya telah menjadi merah oleh darah, darah musuh dan darahnya sendiri.

Ketika melihat Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa mendekatinya, Kiau Bun-han berteriak, "Aku tidak sudi menerima belas kasihanmu!"

Auyang Siau-pa tertawa dingin dan menyahut, "Hemm, siapa hendak mengasihimu, tapi menantangmu, kalau kau memang berani cobalah berusaha untuk tetap hidup agar kelak kita dapat mengukur ilmu lagi! Tapi kalau kau takut, silahkan mati konyol di sini, mungkin lebih baik dari pada tubuhmu terbelah oleh golokku!"

Hati Kiau Bun-han bagaikan terbakar oleh "tantangan" Auyang Siau-pa itu. Teriaknya, "Siapa sudi mati konyol di sini oleh penjilat-penjilat pantat Cong-ceng dan Co Hua-sun ini? Aku akan keluar dari kepungan ini dan tetap hidup!"

Diam-diam Auyang Siau-pa gembira bercampur kagum melihat sikap Kiau Bun-han itu. Gembira karena pancingannya untuk membakar semangat tokoh Hoa-san-pay itu ternyata mengena dan berarti mengobarkan kembali semangatnya untuk berjuang, juga kagum tokoh keras kepala dari Hoa-san-pay ini tidak menunjukkan ketakutannya sedikitpun biarpun terkurung seorang diri di tengah-tengah musuh itu, sikapnya tetap saja garang seperti sehari-harinya. Diam-diam Auyang Siau-pa membatin dalam hatinya, "Sebagai sahabat atau sebagai musuh, orang she Kiau ini cukup berharga."

Biarpun di lubuk hatinya sudah mengagumi kejantanan Kiau Bun-han, tapi dalam sikap luarnya Auyang Siau-Pa masih berusaha membakar lebih hebat lagi hati "musuh"-nya itu dengan kata-kata yang menusuk, "Kalau kau ingin hidup, bertempurlah bersama kami, jangan cuma berteriak-teriak saja! Kau kira dengan berteriak-teriak saja maka musuhmu akan mundur sendiri?"

Kiau Bun-han justru tertawa terbahak-bahak, "Bangsat Hwe-liong-pang, pintar juga kau membakar hatiku. Ayo kita bertanding siapa yang lebih banyak mengganyang cecurut-cecurutnya Cong-ceng ini!"

Begitulah, dua orang lelaki jantan yang tadi malam masih berhadapan sengit dengan lawan mati hidup itu, kini bahu membahu mencoba membedah kepungan Tentara Kerajaan. Kadang-kadang mereka saling menyelamatkan apabila salah seorang terancam bahaya, dan tidak lupa... saling memaki! Meskipun demikian, perlahan-lahan di lubuk hati kedua bekas musuh itu timbul juga saling mengagumi dan menghormati keberanian masing-masing, sedang perasaan bermusuhan semakin tipis.

Akhirnya kedua orang itu bersama kelompok Auyang Siau-pa lainnya, berhasil juga lolos dari kepungan dan bergabung dengan kelompok gabungan Hwe-liong-pang dan berbagai perguruan, yang terus terdesak mundur ke atas bukit itu. Tapi dalam gerakan meloloskan diri itupun regu kecil Au-yang Siau-pa itupun kehilangan beberapa orang anggotanya, bahkan Yu Ling-hoa menderita luka di paha yang cukup parah.

Beberapa tokoh berkelahi dengan seimbang, misalnya Te-liong Hiang-cu melawan Siangkoan Hong, atau Tang Kiau-po melawan Hong-goan Hweshio, namun baik Siangkoan Hong maupun Hong-goan Hweshio harus selalu bergerak mundur, mengikuti arus gerakan mundur rekan-rekan mereka, sebab kalau mereka tidak ikut mundur maka mereka akan “tenggelam” dalam pasukan musuh yang membanjir itu.

Apabila sudah demikian, biarpun kepandaian mereka setinggi langit juga sulit melawan ribuan prajurit terlatih dengan senjata lengkap itu. Te-liong Hiang-cu dan Tang Kiau-po dengan liciknya mencoba untuk menahan lawan-lawannya itu agar tidak sempat bergerak mundur, tetapi kepandaian mereka yang tidak berselisih jauh dengan lawan-lawan mereka itu membuat mereka gagal menjalankan maksudnya.

Matahari sudah naik semakin tinggi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu terdesak semakin ke atas, jumlah mereka juga berkurang terus, kehilangan murid- murid atau anggota-anggota yang secara gagah perkasa bertahan sampai titik darah penghabisan. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu mulai kelelahan menghadapi tekanan musuh yang terus menerus. Sebaliknya pihak Tentara Kerajaan yang mengandalkan jumlah banyak itu dengan cerdik menggunakan siasat berganti-ganti orang untuk menghemat tenaga.

Setiap dua sulutan dupa-biting (Hio), gelombang pasukan yang di depan digantikan oleh gelombang di belakangnya yang masih segar, sedang gelombang di depan itu diberi kesempatan menyegarkan diri, untuk nanti kemudian maju kembali bergantian kawan-kawan mereka yang sudah kelelahan. Dengan cara demikian, maka prajurit-prajurit Tentara Kerajaan itu segar terus, biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan kuat.

Sebaliknya para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, biarpun merupakan jago-jago tangguh yang biasa melakukan latihan keras, namun menghadapi siasat musuh macam itu mau tak mau mulai kehabisan tenaga juga. Mereka tidak bisa bertempur bergantian seperti musuh, sebab jumlah pasukan mereka yang sedikit.

Di tengah-tengah kecamuknya medan laga itu, Tong Wi-hong sambil tetap memanggul guci yang berisi abu kakaknya, bertempur gigih sekali, berdampingan dengan Tong Wi-lian adiknya, Cian Pin dan Ting Bun, juga Tong Hu-jin, ibunya, yang meskipun merupakan perempuan setengah tua namun masih merupakan harimau betina yang garang.

Selain itu, baik orang-orang Hwe liong-pang maupun orang-orang berbagai perguruan, terutama dari Soat-san-pay, tidak lepas tangan apabila keluarga Tong itu dalam kesulitan. Orang-orang Soat-san-pay membela mereka sebab Tong Hu-jin dan Tong Wi-hong adalah murid Soat-san-pay, sedang orang-orang Hwe-liong-pang membela keluarga dari mendiang Ketua mereka itu.

Nampaknya tidak lama lagi seluruh pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terdesak sampai ke markas Hwe-liong-pang, bahkan akan dijepit terus sampai ke belakang markas yang merupakan lereng-lereng terjal itu. Dalam keadaan sehari-hari, lereng-lereng terjal itu tidak menguatirkan bagi para anggota Hwe-liong-pang, sebab lereng-lereng itulah tempat latihan mereka setiap hari.

Tapi saat ini bukan saat latihan. Apabila kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang turun lewat lereng itu, maka Tentara Kerajaan tidak usah menggunakan pedang atau tombak mereka untuk menghabisi lawannya, cukup dengan menggulingkan batu-batu besar dari atas lereng, maka seluruh kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terkubur hidup-hidup di bawah lereng.

Pada saat genting bagi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berulang-kali dan bagian belakang dari Tentara Kerajaan pun kelihatan menjadi panik. Seperti diketahui, yang membawa meriam-meriam itu sebenarnya adalah pihak Tentara Kerajaan sendiri, yaitu untuk mempermudah pembasmian orang-orang Hwe-liong-pang.

Ketika Tentara Kerajaan mendesak ke atas bukit, maka meriam-meriam itu ditinggal di kaki bukit sebab sulit untuk dibawa naik, dan dijaga oleh seregu prajurit. Kenapa sekarang meriam-meriam itu malah menembaki Tentara Kerajaan sendiri?

Lamkiong-Hai adalah pucuk pimpinan dari seluruh Tentara Kerajaan yang menyerbu ke Tiau-im-hong itu, bahkan ia bertanggung-jawab langsung kepada Gubernur Su-coan tentang berhasil atau tidaknya serangan itu, maka biarpun dia sedang berkelahi melawan Ling Thian-ki namun harus membagi perhatiannya untuk keadaan seluruh pasukan. Ketika seorang perwira berteriak kepadanya untuk melaporkan tentang tembakan-tembakan meriam itu, terpaksa Lamkiong Hai melompat mundur melepaskan lawannya. Bentaknya kepada perwira yang melapor itu,

"Apakah prajurit-prajurit yang menjaga meriam itu sudah gila atau kesurupan hantu-hantu bukit ini? Kenapa mereka menembaki punggung teman-teman mereka sendiri?"

Dengan terengah-engah perwira itu berkata, "Meriam kita... meriam kita telah direbut oleh laskar pemberontak pengikut Li Cu-seng!"

"Gila! Apakah prajurit-prajurit penjaga kita tidur semua?"

"Tidak Ciang-kun, namun laskar Li Cu-seng yang datang di kaki bukit itu jumlahnya sangat besar, dan kitapun bisa tertumpas di tempat ini apabila tidak segera pergi sebab laskar Li Cu-seng itu pasti akan menutup satu-satunya jalan...."

"Tutup mulutmu! Jika kau masih juga berbicara tentang kekalahan kita, kuturunkan pangkatmu tiga tingkat, mengerti?"

Perwira itu bungkam, sementara mulut-mulut meriam di kaki bukit masih saja berdentuman menghambur-hamburkan bola-bola besi sebesar kepala anak kecil ke arah bagian belakang Tentara Kerajaan yang semakin panik oleh kejadian "senjata makan tuan" itu. Lamkiong Hai cepat-cepat melompat ke atas sebuah gundukan tanah untuk melihat ke bawah bukit, dan tergetarlah hatinya ketika melihat apa yang tengah berlangsung di kaki bukit itu.

Di sana, sebuah pasukan yang berjumlah besar telah menebar di sekeliling kaki bukit, ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari nampak begitu rapatnya bagaikan daun-daun ilalang. Di tengah-tengah pasukan itu nampak sebuah bendera kuning berkibar-kibar megah, dan bertuliskan huruf "Li" dari Li Cu-seng.

"Edan! Bangsat! Agaknya si pemberontak she Li itu sendiri yang memimpin pasukannya untuk mengepungku!" gerutu Lamkiong Hai dengan gemas.

Selagi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang belum tahu kapan bisa diselesaikan, musuh baru yang sangat kuat telah menunggu di belakang punggungnya. Sebagai Panglima berpengalaman, Lamkiong Hai menyadari bila nekad meneruskan menggempur orang-orang Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya, maka pasukannya sendiripun pada gilirannya akan ditumpas oleh laskar Li Cu-seng. Apalagi meriam-meriam kebanggaan Tentara Kerajaan itu sudah dikuasai oleh Li Cu-seng.

Akhirnya Lamkiong Hai memutuskan untuk mengundurkan seluruh pasukannya sebelum hancur sama sekali, lewat lereng selatan yang meskipun agak terjal tetapi juga menguntungkan karena bisa melindungi pasukannya dari moncong-moncong meriam di kaki bukit. Begitulah, tidak lama kemudian terdengarlah teriakan aba-aba Lamkiong Hai kepada seluruh pasukannya, "Mundur lewat lereng selatan!"

Waktu itu, baik kaum pendekar maupun orang-orang Hwe-liong-pang telah semakin berkobar semangatnya ketika mendengar tentang kedatangan laskar Li Cu-seng itu. Mereka juga mulai merasakan bahwa tekanan Tentara Kerajaan yang tadinya berat hampir tak tertahan itu perlahan-lahan mengendor, bahkan kemudian Tentara Kerajaan itu sedikit demi sedikit berusaha menciptakan peluang untuk mundur lewat selatan.

Yang sangat penasaran adalah Te-liong Hiang-cu, ia merasa bahwa ia sudah di ambang pintu kemenangan untuk menumpas pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi akhirnya impian kemenangannya itupun berantakan karena ia harus mundur bersama Tentara Kerajaan. Tanpa Tentara Kerajaan, Te-liong Hiang-cu dan komplotannya pasti akan tergulung habis di lereng Tiau-im-hong itu.

Meskipun demikian Te-liong Hiang-cu juga menyadari bahwa pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih cukup kuat itu, kelak di kemudian hari pasti akan menjadi duri-duri dalam daging yang mengganggu ketenteraman hidupnya. Terutama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bekas sahabat-sahabatnya semasa di An-yang-shia itu.

Gerakan mundur Tentara Kerajaan Beng itu ternyata cukup lancar, biarpun mereka masih juga mengalami kejaran laskar Li Cu-seng serta orang-orang Hwe-liong-pang sampai duapuluh li lebih. Orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar segera menghentikan pengejaran mereka ketika Tentara Kerajaan tiba di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh benteng kota, tentu saja mereka tidak berani masuk ke dalam kota, sebab itu berarti membunuh diri. Di dalam kota tentu penuh dengan Tentara Kerajaan.

Meskipun tidak menghilangkan rasa permusuhan sama sekali, tetapi perjuangan bersama yang baru saja dilakukan oleh orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar itu sedikit banyak telah menimbulkan ikatan di antara mereka. Pihak kaum pendekar menyadari kekeliruannya selama ini yang menuduh Hwe-liong-pang sebagai biang penyerbuan ke Siong-san.

Sebaliknya pihak Hwe-liong-pang pun dapat memaklumi sikap bermusuhan dari kaum pendekar selama ini, karena serangan Te-liong Hiang-cu ke Siong-san itu menimbulkan korban jiwa cukup banyak, biarpun Te-liong Hiang-cu sendiri dapat dipukul mundur. Kini, biarpun kedua pihak masih saja berkelompok sendiri-sendiri, namun mereka beristirahat di sebuah hutan kecil, satu sama lain tidak terlalu berjauhan.

Tengah mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda gemuruh dari arah utara, terlihat debu mengepul tinggi dan bendera-bendera aneka warna berkibar-kibar megah. Jelaslah ada sebuah pasukan besar sedang bergerak mendatangi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu segera berloncatan bangkit dengan senjata terhunus.

Tapi mereka merasa lega setelah melihat bahwa di ujung pasukan yang mendatangi itu ada bendera kuning bertuliskan huruf "Li", jelaslah sudah bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak Li Cu-seng yang baru saja menolong mereka dari kepungan Tentara Kerajaan Beng itu.

Pasukan itu dipimpin sendiri oleh Li Cu-seng, si pemimpin pemberontak yang menyebut dirinya sendiri sebagai "Kaisar" itu. Ia adalah seorang lelaki berperawakan sedang tapi tegap, kulitnya yang kecoklat-coklatan menunjukkan bahwa dia berasal dari kalangan bawah, di sekitar mulutnya ada jenggot-jenggot pendek yang tercukur rata dan rapi, pandangan matanya tajam.

Ia mengenakan pakaian ringkas dengan mantel biru, topi bambu dan tangan kanannya mengempit sebatang tombak panjang. Biarpun secara keseluruhan dia nampak sederhana, tapi dari dirinya terpancarlah kewibawaan yang tidak kalah dengan kewibawaan seorang Kaisar tulen.

Begitu tiba di hadapan kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, Li Cu-seng menghentikan kudanya diikuti seluruh pasukannya sebelum orang lain memberi salam, Li Cu-seng lebih dulu memberi salam dengan melintangkan tombaknya setinggi dada, katanya tanpa turun dari kudanya,

"Aku berbahagia sekali bertemu dengan orang-orang gagah di jaman ini, terimalah hormatku.”

Kaum pendekar dan orang-orang Hwe liong-pang itu serentak mengangkat tangan untuk membalas penghormatan itu. Hong-tay Hweshio yang mewakili kaum pendekar segera berkata, "kami juga berbahagia bisa bertemu muka dengan seorang tokoh pembela rakyat kecil, yang namanya termasyhur sampai ke ujung bumi. Seluruh anggota Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan lain-lalnnya menyampaikan salam kepada kepada Tuan."

Sebenarnya, Li Cu-seng biasa dipanggil "Ban-swe-ya" (Paduka Kaisar) oleh pengikut-pengikutnya, namun Hong-tay Hweshio tidak menyebutnya demikian, sebab jika ia menyebut demikian sama dengan mengakui Li Cu-seng sebagai raja, dan ini berarti pemberontakan terang-terangan kepada Kaisar Cong-ceng yang masih bercokol di singgasananya di Pak-khia.

Meskipun Siau-lim-pay tidak jarang bentrok dengan kaum pembesar negeri karena membela rakyat kecil, tapi dalam sejarahnya Siau-lim-pay belum pernah secara terang-terangan memihak dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan. Itu pulalah yang mendasari sikap Hong-tay Hweshio waktu itu.

Beberapa orang "Panglima" bawahan Li Cu-seng nampak mengerutkan alisnya dengan kurang senang, ketika mendengar sebutan Hong-tay Hweshio terhadap "Kaisar" mereka itu. Namun Li Cu-seng sendiri justru bersikap wajar saja, katanya, "Itu sudah kewajiban kita semua untuk menegakkan pemerintahan yang bersih di daratan ini. Saat ini bangsa Manchu tengah mengincar negeri kita ini dari luar Tembok Besar sana, jadi kita membutuhkan pemerintahan yang kuat untuk menghadapi ancaman dari luar ini. Pemerintahan Cong-ceng sekarang ini tidak bisa diandalkan, karena kendali pemerintahan lebih dikuasai oleh dorna Co Hua-sun yang sangat dipercaya oleh Cong-ceng itu. Karena itu, pemerintahan bobrok itu harus disingkirkan secepatnya agar kita bisa segera mengerahkan kekuatan untuk menghadapi ancaman bangsa Manchu dari luar Tembok Besar. Untuk itu, aku membutuhkan bantuan saudara-saudara...."

Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu saling bertukar pandangan ketika mendengar permintaan Li Cu-seng yang terang-terangan mengajak bergabung itu. Bermacam-macam pendapat segera timbul di antara orang-orang itu, ada yang ragu-ragu menerima ajakan itu sebab itu berarti memberontak terang-terangan, tapi ada yang sudah memutuskan dalam hati untuk menerima ajakan itu.

Sebagian besar orang-orang Hwe-liong-pang, yang sudah mendengar pesan terakhir Ketua mereka lewat surat wasiatnya itu, tanpa ragu-ragu segera menyatakan sanggup bergabung dengan Li Cu-seng, mereka menganggap bahwa perjuangan Hwe-liong-pang untuk menggulingkan Cong-ceng itu sejalan dengan perjuangan Li Cu-seng. Tapi ada pula orang Hwe-liong-pang yang masih ragu-ragu, di antaranya adalah Siangkoan Hong. Sambil memberi hormat kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong mengemukakan alasannya,

"Tuan Li, maafkan aku, tapi aku masih punya sebuah kewajiban demi seorang sahabat yang telah tiada, yaitu mencari dan menghukum seorang pengkhianat yang telah membuat Hwe-liong-pang berantakan seperti ini."

Li Cu-seng mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku tidak dapat memaksamu, tuan Siangkoan. Pasukanku adalah pasukan sukarela, meskipun siapapun yang telah bergabung denganku akan dikenakan tata-tertib seperti prajurit pada umumnya. Aku juga sudah mendengar dari beberapa anak buahku, apa yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, dan bagaimana kesalah-pahaman dengan kaum pendekar itu hampir-hampir menghancurkan kedua pihak. Aku paham itu. Tapi, tuan Siangkoan, apakah dendam pribadimu demi sahabat itu kau anggap lebih penting dari perjuangan rakyat yang dalam keadaan mendesak ini?"

Sahut Siangkoan Hong, "Dia bukan cuma sahabat, tapi juga Ketuaku. Dendamku juga bukan dendam pribadi tapi dendam Hwe-liong-pang. Yang akan kubalas juga bukan soal kematian Ketua yang disebabkan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, tapi kehancuran Hwe-liong-pang yang telah ditusuk punggungnya oleh Te-liong Hiang-cu."

"Bukankah tuan Siangkoan tahu bahwa Te-liong Hiang-cu itu sekarang bersembunyi di tengah-tengah tentaranya Cong-ceng? Jika tuan Siangkoan bergabung dengan kami, tentu lebih mudah untuk menghadapinya."

Siangkoan Hong mengangguk dalam-dalam, "Maaf, tuan Li, ini urusan Hwe-liong-pang kami."

Akhirnya Li Cu-seng sadar memang tidak mungkin membujuk Siangkoan Hong yang keras hati itu. Tapi bergabungnya sebagian besar orang Hwe-liong-pang itupun sudah cukup menggembirakannya. Apalagi ketika kemudian Siangkoan Hong sendiri berpesan kepada anggota-anggota Hwe-liong-pang yang telah bergabung itu,

"Saudara-saudaraku, kalian dengan sadar telah memilih untuk meneruskan perjuangan Ketua kita dengan bergabung dengan tuan Li ini. Berhasilnya perjuangan tuan Li sama saja dengan berhasilnya perjuangan Hwe-liong-pang kita, yaitu tumbangnya raja keparat itu, karena itu berjuanglah sepenuh hati di bawah pimpinan tuan Li agar perjuangan kalian mencapai hasil yang gemilang!"

Kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong memberi hormat sekali lagi sambil berkata, "Tuan Li, kami titip anak-anak Hwe-liong-pang kepadamu dan juga titip semangat perjuangan kami. Kami mohon diri!"

Li Cu-seng membalas hormat itu, dan dengan pandangan matanya ia menatap Siangkoan Hong dan sebagian kecil orang Hwe-liong-pang yang masih belum mau bergabung dengannya itu pergi meninggalkan hutan kecil itu.

Sementara itu, betapapun segannya, Siangkoan Hong sempat juga menganggukkan kepalanya kepada Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh pendekar lainnya, yang betapapun juga pernah sehidup-semati dengan Hwe-liong-pang ketika menghadapi Tentara Kerajaan dan Te-liong Hiang-cu itu.

Selain orang-orang Hwe-liong-pang, ternyata sebagian dari orang-orang berbagai perguruan juga bergabung dengan Li Cu-seng. Yang mempelopori penggabungan ini adalah Kiau Bun-han, "Saudara-saudara, kalian lihat sendiri betapa busuknya pemerintahan di Pak-khia, prajurit-prajuritnya bukannya digerakkan untuk menumpas penjahat dan memberi ketenteraman kepada rakyat, malahan digerakkan untuk menggempur kita, orang-orang yang selamanya belum pernah melanggar hukum ini. Ini tidak bisa dibiarkan terus, Cong-ceng harus disingkirkan dari tahtanya!"

Beberapa perguruan yang berlandaskan agama, seperti Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, tidak langsung menyatakan berpihak namun hanya berjanji akan mendukung pemerintahan manapun yang berhasil mensejahterakan rakyat. Meskipun Li Cu-seng kurang puas dengan janji yang tidak tegas itu, namun dia tidak bisa memaksa kaum agama itu untuk ikut dalam barisannya.

Sedangkan Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta calon-calon menantunya itupun tidak dapat bergabung dengan Li Cu-seng, sebab mereka masih dibebani sebuah tugas lain. Yaitu mencari "isteri" Tong Wi-siang yang tengah hamil itu, sesuai dengan pesan terakhir Tong Wi-siang. Selain itu Tong Wi-hong juga masih ditunggu oleh sebuah tugas berat, yaitu memimpin dan mengembangkan perusahaan pengawalan Tiong-gi Piau-hang, warisan dari ayah Cian Ping, yaitu Cian Sin-wi. Dengan demikian merekapun segera mohon diri dari hadapan Li Cu-seng.

Salah seorang pendamping Li Cu-seng itu memandang kepergian orang-orang itu sambil menggerutu, "Huh, orang-orang yang mementingkan urusannya sendiri dan tidak mau tahu dengan kepentingan rakyat."

Li Cu-seng tersenyum saja mendengar gerutuan anak buahnya itu, sambil menepuk pundak orang itu, ia berkata, "Saudara Lau, jika kau merampas kebebasan orang lain yang tidak sependapat denganku, merampasnya dengan kekuatan senjata, lalu apa bedanya antara aku dengan Cong-ceng?"

"Ban-swe-ya terlalu baik hati kepada orang-orang yang mementingkan diri sendiri itu."

Li Cu-seng menjawab, "Aku tidak ingin dalam barisanku ada orang yang berjuang secara terpaksa dan merasa tertekan, sebab orang semacam itu besar kemungkinan akan menusukku dari belakang. Tapi setiap orang dalam barisanku harus menyadari betul-betul, untuk apa mereka bertempur."

"Ban-swe-ya sangat bijaksana."

Sementara itu, Tong Wi-hong dan ibunya serta adiknya terus menerus menelusuri jejak gadis yang bernama Siau-giok, "isteri" Tong Wi-siang itu. Namun dalam keadaan penuh kemelut perabg seperti waktu itu, pekerjaan itu bagaikan mencari jarum di dasar lautan. Arus pengungsi dari segala penjuru benar-benar menyulitkan pelacakan mereka, akhirnya dengan putus asa mereka kembali ke An-yang-shia sambil membawa guci berisi abu Tong Wi-siang itu.

Di kota kecil itu pulalah diselenggarakan perkawinan secara sederhana dengan dua pasang mempelai sekaligus, Tong Wi-hong dengan Cian Ping serta Ting Bun dengan Tong Wi-lian. Betapapun pedihnya hati Tong Hu-jin dalam hari-hari terakhir itu, namun melihat kebahagiaan anak-anaknya akhirnya dia terhibur juga.

Beberapa saat setelah perkawinan itu, Tong Wi-hong bersama isterinya harus meninggalkan An-yang-shia menuju ke Tay-beng, karena di situ sudah ada Tiong-gi Piau-hang tinggalan ayah mertuanya yang memerlukan pimpinannya dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Ting Bun dan isterinya tetap tinggal di An-yang-shia untuk menemani Tong Hu-jin sampai hari tuanya. Sekali-kali mereka keluar rumah untuk berkelana keluar rumah beberapa bulan, mencari jejak Siau-giok dan bayinya tanpa kenal putus-asa, namun gadis Bu-sian-tin itu bagaikan lenyap ditelan bumi saja.

Yang kemudian tidak kedengaran kabar beritanya pula, ialah Siangkoan Hong yang katanya hendak mencari Te-liong Hiang-cu itu. Te-liong Hiang-cu sendiri pun sudah tidak kedengaran beritanya lagi. Dengan demikian baik yang memburu maupun yang diburu sama-sama lenyap tak ketahuan lagi ke mana perginya.

Sementara itu, nama Li Cu-seng semakin lama semakin terangkat tinggi, menjadi pujaan rakyat. Api pemberontakan yang dikobarkannya semakin meluas, pengikutnya semakin banyak, daerah pengaruhnya semakin luas. Akhirnya Li Cu-seng memutuskan bahwa dengan pasukan yang amat kuat dia akan menyerbu Pak-khia, untuk langsung mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan Kaisar Cong-ceng. Satu demi satu Panglima Kerajaan Beng ditaklukkannya, kota demi kota dikuasainya.

Akhirnya pada tanggal 19 bulan ke 3 dari tahun ke 17 pemerintahan Kaisar Cong-ceng, laskar Li Cu-seng membobolkan Kotaraja Pak-khia dan merebut kemenangan. Kaisar Cong-ceng melarikan diri ke bukit Bwe-san, dan di tempat pelariannya itu Kaisar terakhir dinasti Beng itu mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di sebuah pohon. Li Cu-seng naik tahta dan menjadi Kaisar.

Namun demikian, Li Cu-seng masih menghadapi sebuah ancaman baru, yaitu bangsa Manchu di luar perbatasan semakin memperkuat pasukannya dan siap merebut negeri itu. Li Cu-seng bertekad untuk mengatasinya.

TAMAT
Selanjutnya seri kedua;