Perserikatan Naga Api Jilid 38Karya : Stevanus S.P |
Kiau Bun-han agaknya terpisah dari kelompok teman-temannya, karena ia bagaikan terhisap oleh "pusaran" pasukan musuh yang melibatkan dan memisahkannya dari teman-temannya. Bagaikan harimau luka, ia mengamuk seorang diri di tengah gelombang pasukan lawan. Pedangnya membacok sana bacok sini, tikam sana tikam sini, namun tak banyak hasilnya.
Sebab prajurit-prajurit Kerajaan Beng semuanya memakai baju sisik besi, dan bersenjatakan pedang serta perisai, atau senjata panjang jenis lain seperti tombak atau kaitan. Ketinggian ilmu Kiau Bun-han nyaris percuma dalam kepungan prajurit-prajurit yang sudah terbiasa bekerja sama secara rapi dan ketat itu. Jika ia mendesak prajurit yang di depan, maka serempak prajurit-prajurit yang di samping dan di belakangnya menusukkan senjata-senjata mereka. Jika Kiau Bun-han berhasil melukai atau merobohkan seorang prajurit, maka di tubuhnya sendiripun tentu lukanya bertambah. la bagaikan seekor harimau yang meronta-ronta terjebak oleh kubangan lumpur terapung, makin meronta makin tenggelam, percumalah kekuatannya selama ini. Pada saat itu, sekelompok murid Hoa-san-pay dengan nekad berusana menerjang dari luar kepungan, ingin menolong guru mereka. Tapi kepungan itu terlalu tebal, murid-murid Hoa-san-pay yang tidak seberapa jumlahnya itupun satu persatu berguguran tanpa arti sebelum bisa mencapai tempat gurunya. Di saat keadaan Kiau Bun-han sudah seperti telur di ujung tanduk itu, tiba-tiba di sebelah sana terlihat sebatang golok bulan sabit berkelebatan kian-kemari diiringi sorak-sorai sekeiompok orang. Ternyata tidak jauh dari situ, Auyang Siau-pa bersama sekelompok anggota Hwe-liong-pang juga tengah terkepung. Tapi keadaan Auyang Siau-pa lebih baik dari Kiau Bun-han sebab ia tidak seorang diri. Tadinya Kiau Bun-han mendapat harapan ketika melihat ada sekelompok orang yang mendatanginya, namun setelah tahu bahwa kelompok itu adalah orang Hwe-liong-pang, apalagi dipimpin oleh Auyang Siau-pa yang baru tadi malam bertempur dengannya, maka Kiau Bun-han membatalkan niatnya untuk berteriak minta tolong. Ia lebih suka mampus berkeping-keping dicincang senjata lawan daripada harus minta tolong kepada orang Hwe-liong-pang. Tak terduga, biarpun ia tidak berteriak, Auyang Siau-pa sudah melihat pula keadaan bekas lawannya itu. Bukannya meninggalkan Kiau Bun-han seorang diri di tengah kepungan lawan, Auyang Siau-pa ternyata justru membawa kelompoknya untuk mendekati tempat Kiau Bun-han itu. Dengan Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa sebagai "ujung tombak", kelompok Hwe-liong-pang itu mendesak barisan dan berusaha membuka jalan ke arah Kiau Bun-han. Yu Ling-hoa berpikiran cerdik, ia tahu bahwa pihaknya mengalami kesulitan untuk melukai prajurit-prajurit lawan karena banyaknya, juga karena baju sisik besi dan perisai prajurit-prajurit itu, tapi Yu Ling-hoa melihat bahwa bagian kaki para prajurit itu tidak terlindung oleh baju sisik besi. Karena itu, Yu Ling-hoa menggulingkan dirinya, sepasang perisai tajam Gun-goan-painya berputar kencang, dan tiga orang prajurit yang terdepan segera menjerit ngeri, terjungkal roboh karena betisnya terbabat sepasang senjata Yu Ling-hoa itu. Melihat hal itu, Auyang Siau-pa berteriak gembira, "Akal bagus, saudara Yu!" Dia bukan cuma memuji, tapi juga langsung meniru cara Yu Ling-hoa itu. Meskipun tidak begitu mahir, Auyang Siau-pa mampu juga memainkan Te-tong-to (ilmu golok yang dimainkan sambil bergulingan di tanah). Maka diapun segera berguling-guling seperti Yu Ling-hoa, membabati kaki prajurit-prajurit Kerajaan, membuat barisan depan Tentara Kerajaan itu menjadi kalang-kabut. Seorang thong-leng (Perwira Rendah) di pihak Tentara Kerajaan segera memberi perintah, "Gunakan senjata panjang! Yang bersenjata tombak dan kaitan maju ke depan!" Tapi Yu Ling-hoa dan Auyang Siau-pa tidak mau kehilangan kesempatan baik itu, mereka terus mendesak maju dengan jarak pendek, sehingga musuh yang bersenjata panjang pun sulit menyelamatkan kaki mereka dari babatan senjata sepasang jago Hwe-liong-pang itu. Anak buah Hwe-liong-pang lainnya mengikuti di belakang kedua pemimpin itu. Yang merasa bisa bergulingan sambil bergulingan, namun yang tidak bisa juga tetap bertempur dengan ganasnya. Sebaliknya di pihak Tentara Kerajaan, biarpun juga ada perwira-perwira yang bisa bersilat bergulingan, tapi pakaian besi dan topi besi mereka sangat mengganggu gerakannya. Tidak lama kemudian, Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa berhasil menerobos sampai ke tempat Kiau Bun-han yang tengah terkepung. Tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itu masih juga bertempur dengan garangnya, biarpun pakaiannya telah menjadi merah oleh darah, darah musuh dan darahnya sendiri. Ketika melihat Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa mendekatinya, Kiau Bun-han berteriak, "Aku tidak sudi menerima belas kasihanmu!" Auyang Siau-pa tertawa dingin dan menyahut, "Hemm, siapa hendak mengasihimu, tapi menantangmu, kalau kau memang berani cobalah berusaha untuk tetap hidup agar kelak kita dapat mengukur ilmu lagi! Tapi kalau kau takut, silahkan mati konyol di sini, mungkin lebih baik dari pada tubuhmu terbelah oleh golokku!" Hati Kiau Bun-han bagaikan terbakar oleh "tantangan" Auyang Siau-pa itu. Teriaknya, "Siapa sudi mati konyol di sini oleh penjilat-penjilat pantat Cong-ceng dan Co Hua-sun ini? Aku akan keluar dari kepungan ini dan tetap hidup!" Diam-diam Auyang Siau-pa gembira bercampur kagum melihat sikap Kiau Bun-han itu. Gembira karena pancingannya untuk membakar semangat tokoh Hoa-san-pay itu ternyata mengena dan berarti mengobarkan kembali semangatnya untuk berjuang, juga kagum tokoh keras kepala dari Hoa-san-pay ini tidak menunjukkan ketakutannya sedikitpun biarpun terkurung seorang diri di tengah-tengah musuh itu, sikapnya tetap saja garang seperti sehari-harinya. Diam-diam Auyang Siau-pa membatin dalam hatinya, "Sebagai sahabat atau sebagai musuh, orang she Kiau ini cukup berharga." Biarpun di lubuk hatinya sudah mengagumi kejantanan Kiau Bun-han, tapi dalam sikap luarnya Auyang Siau-Pa masih berusaha membakar lebih hebat lagi hati "musuh"-nya itu dengan kata-kata yang menusuk, "Kalau kau ingin hidup, bertempurlah bersama kami, jangan cuma berteriak-teriak saja! Kau kira dengan berteriak-teriak saja maka musuhmu akan mundur sendiri?" Kiau Bun-han justru tertawa terbahak-bahak, "Bangsat Hwe-liong-pang, pintar juga kau membakar hatiku. Ayo kita bertanding siapa yang lebih banyak mengganyang cecurut-cecurutnya Cong-ceng ini!" Begitulah, dua orang lelaki jantan yang tadi malam masih berhadapan sengit dengan lawan mati hidup itu, kini bahu membahu mencoba membedah kepungan Tentara Kerajaan. Kadang-kadang mereka saling menyelamatkan apabila salah seorang terancam bahaya, dan tidak lupa... saling memaki! Meskipun demikian, perlahan-lahan di lubuk hati kedua bekas musuh itu timbul juga saling mengagumi dan menghormati keberanian masing-masing, sedang perasaan bermusuhan semakin tipis. Akhirnya kedua orang itu bersama kelompok Auyang Siau-pa lainnya, berhasil juga lolos dari kepungan dan bergabung dengan kelompok gabungan Hwe-liong-pang dan berbagai perguruan, yang terus terdesak mundur ke atas bukit itu. Tapi dalam gerakan meloloskan diri itupun regu kecil Au-yang Siau-pa itupun kehilangan beberapa orang anggotanya, bahkan Yu Ling-hoa menderita luka di paha yang cukup parah. Beberapa tokoh berkelahi dengan seimbang, misalnya Te-liong Hiang-cu melawan Siangkoan Hong, atau Tang Kiau-po melawan Hong-goan Hweshio, namun baik Siangkoan Hong maupun Hong-goan Hweshio harus selalu bergerak mundur, mengikuti arus gerakan mundur rekan-rekan mereka, sebab kalau mereka tidak ikut mundur maka mereka akan “tenggelam” dalam pasukan musuh yang membanjir itu. Apabila sudah demikian, biarpun kepandaian mereka setinggi langit juga sulit melawan ribuan prajurit terlatih dengan senjata lengkap itu. Te-liong Hiang-cu dan Tang Kiau-po dengan liciknya mencoba untuk menahan lawan-lawannya itu agar tidak sempat bergerak mundur, tetapi kepandaian mereka yang tidak berselisih jauh dengan lawan-lawan mereka itu membuat mereka gagal menjalankan maksudnya. Matahari sudah naik semakin tinggi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu terdesak semakin ke atas, jumlah mereka juga berkurang terus, kehilangan murid- murid atau anggota-anggota yang secara gagah perkasa bertahan sampai titik darah penghabisan. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu mulai kelelahan menghadapi tekanan musuh yang terus menerus. Sebaliknya pihak Tentara Kerajaan yang mengandalkan jumlah banyak itu dengan cerdik menggunakan siasat berganti-ganti orang untuk menghemat tenaga. Setiap dua sulutan dupa-biting (Hio), gelombang pasukan yang di depan digantikan oleh gelombang di belakangnya yang masih segar, sedang gelombang di depan itu diberi kesempatan menyegarkan diri, untuk nanti kemudian maju kembali bergantian kawan-kawan mereka yang sudah kelelahan. Dengan cara demikian, maka prajurit-prajurit Tentara Kerajaan itu segar terus, biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan kuat. Sebaliknya para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, biarpun merupakan jago-jago tangguh yang biasa melakukan latihan keras, namun menghadapi siasat musuh macam itu mau tak mau mulai kehabisan tenaga juga. Mereka tidak bisa bertempur bergantian seperti musuh, sebab jumlah pasukan mereka yang sedikit. Di tengah-tengah kecamuknya medan laga itu, Tong Wi-hong sambil tetap memanggul guci yang berisi abu kakaknya, bertempur gigih sekali, berdampingan dengan Tong Wi-lian adiknya, Cian Pin dan Ting Bun, juga Tong Hu-jin, ibunya, yang meskipun merupakan perempuan setengah tua namun masih merupakan harimau betina yang garang. Selain itu, baik orang-orang Hwe liong-pang maupun orang-orang berbagai perguruan, terutama dari Soat-san-pay, tidak lepas tangan apabila keluarga Tong itu dalam kesulitan. Orang-orang Soat-san-pay membela mereka sebab Tong Hu-jin dan Tong Wi-hong adalah murid Soat-san-pay, sedang orang-orang Hwe-liong-pang membela keluarga dari mendiang Ketua mereka itu. Nampaknya tidak lama lagi seluruh pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terdesak sampai ke markas Hwe-liong-pang, bahkan akan dijepit terus sampai ke belakang markas yang merupakan lereng-lereng terjal itu. Dalam keadaan sehari-hari, lereng-lereng terjal itu tidak menguatirkan bagi para anggota Hwe-liong-pang, sebab lereng-lereng itulah tempat latihan mereka setiap hari. Tapi saat ini bukan saat latihan. Apabila kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang turun lewat lereng itu, maka Tentara Kerajaan tidak usah menggunakan pedang atau tombak mereka untuk menghabisi lawannya, cukup dengan menggulingkan batu-batu besar dari atas lereng, maka seluruh kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terkubur hidup-hidup di bawah lereng. Pada saat genting bagi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berulang-kali dan bagian belakang dari Tentara Kerajaan pun kelihatan menjadi panik. Seperti diketahui, yang membawa meriam-meriam itu sebenarnya adalah pihak Tentara Kerajaan sendiri, yaitu untuk mempermudah pembasmian orang-orang Hwe-liong-pang. Ketika Tentara Kerajaan mendesak ke atas bukit, maka meriam-meriam itu ditinggal di kaki bukit sebab sulit untuk dibawa naik, dan dijaga oleh seregu prajurit. Kenapa sekarang meriam-meriam itu malah menembaki Tentara Kerajaan sendiri? Lamkiong-Hai adalah pucuk pimpinan dari seluruh Tentara Kerajaan yang menyerbu ke Tiau-im-hong itu, bahkan ia bertanggung-jawab langsung kepada Gubernur Su-coan tentang berhasil atau tidaknya serangan itu, maka biarpun dia sedang berkelahi melawan Ling Thian-ki namun harus membagi perhatiannya untuk keadaan seluruh pasukan. Ketika seorang perwira berteriak kepadanya untuk melaporkan tentang tembakan-tembakan meriam itu, terpaksa Lamkiong Hai melompat mundur melepaskan lawannya. Bentaknya kepada perwira yang melapor itu, "Apakah prajurit-prajurit yang menjaga meriam itu sudah gila atau kesurupan hantu-hantu bukit ini? Kenapa mereka menembaki punggung teman-teman mereka sendiri?" Dengan terengah-engah perwira itu berkata, "Meriam kita... meriam kita telah direbut oleh laskar pemberontak pengikut Li Cu-seng!" "Gila! Apakah prajurit-prajurit penjaga kita tidur semua?" "Tidak Ciang-kun, namun laskar Li Cu-seng yang datang di kaki bukit itu jumlahnya sangat besar, dan kitapun bisa tertumpas di tempat ini apabila tidak segera pergi sebab laskar Li Cu-seng itu pasti akan menutup satu-satunya jalan...." "Tutup mulutmu! Jika kau masih juga berbicara tentang kekalahan kita, kuturunkan pangkatmu tiga tingkat, mengerti?" Perwira itu bungkam, sementara mulut-mulut meriam di kaki bukit masih saja berdentuman menghambur-hamburkan bola-bola besi sebesar kepala anak kecil ke arah bagian belakang Tentara Kerajaan yang semakin panik oleh kejadian "senjata makan tuan" itu. Lamkiong Hai cepat-cepat melompat ke atas sebuah gundukan tanah untuk melihat ke bawah bukit, dan tergetarlah hatinya ketika melihat apa yang tengah berlangsung di kaki bukit itu. Di sana, sebuah pasukan yang berjumlah besar telah menebar di sekeliling kaki bukit, ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari nampak begitu rapatnya bagaikan daun-daun ilalang. Di tengah-tengah pasukan itu nampak sebuah bendera kuning berkibar-kibar megah, dan bertuliskan huruf "Li" dari Li Cu-seng. "Edan! Bangsat! Agaknya si pemberontak she Li itu sendiri yang memimpin pasukannya untuk mengepungku!" gerutu Lamkiong Hai dengan gemas. Selagi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang belum tahu kapan bisa diselesaikan, musuh baru yang sangat kuat telah menunggu di belakang punggungnya. Sebagai Panglima berpengalaman, Lamkiong Hai menyadari bila nekad meneruskan menggempur orang-orang Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya, maka pasukannya sendiripun pada gilirannya akan ditumpas oleh laskar Li Cu-seng. Apalagi meriam-meriam kebanggaan Tentara Kerajaan itu sudah dikuasai oleh Li Cu-seng. Akhirnya Lamkiong Hai memutuskan untuk mengundurkan seluruh pasukannya sebelum hancur sama sekali, lewat lereng selatan yang meskipun agak terjal tetapi juga menguntungkan karena bisa melindungi pasukannya dari moncong-moncong meriam di kaki bukit. Begitulah, tidak lama kemudian terdengarlah teriakan aba-aba Lamkiong Hai kepada seluruh pasukannya, "Mundur lewat lereng selatan!" Waktu itu, baik kaum pendekar maupun orang-orang Hwe-liong-pang telah semakin berkobar semangatnya ketika mendengar tentang kedatangan laskar Li Cu-seng itu. Mereka juga mulai merasakan bahwa tekanan Tentara Kerajaan yang tadinya berat hampir tak tertahan itu perlahan-lahan mengendor, bahkan kemudian Tentara Kerajaan itu sedikit demi sedikit berusaha menciptakan peluang untuk mundur lewat selatan. Yang sangat penasaran adalah Te-liong Hiang-cu, ia merasa bahwa ia sudah di ambang pintu kemenangan untuk menumpas pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi akhirnya impian kemenangannya itupun berantakan karena ia harus mundur bersama Tentara Kerajaan. Tanpa Tentara Kerajaan, Te-liong Hiang-cu dan komplotannya pasti akan tergulung habis di lereng Tiau-im-hong itu. Meskipun demikian Te-liong Hiang-cu juga menyadari bahwa pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih cukup kuat itu, kelak di kemudian hari pasti akan menjadi duri-duri dalam daging yang mengganggu ketenteraman hidupnya. Terutama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bekas sahabat-sahabatnya semasa di An-yang-shia itu. Gerakan mundur Tentara Kerajaan Beng itu ternyata cukup lancar, biarpun mereka masih juga mengalami kejaran laskar Li Cu-seng serta orang-orang Hwe-liong-pang sampai duapuluh li lebih. Orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar segera menghentikan pengejaran mereka ketika Tentara Kerajaan tiba di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh benteng kota, tentu saja mereka tidak berani masuk ke dalam kota, sebab itu berarti membunuh diri. Di dalam kota tentu penuh dengan Tentara Kerajaan. Meskipun tidak menghilangkan rasa permusuhan sama sekali, tetapi perjuangan bersama yang baru saja dilakukan oleh orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar itu sedikit banyak telah menimbulkan ikatan di antara mereka. Pihak kaum pendekar menyadari kekeliruannya selama ini yang menuduh Hwe-liong-pang sebagai biang penyerbuan ke Siong-san. Sebaliknya pihak Hwe-liong-pang pun dapat memaklumi sikap bermusuhan dari kaum pendekar selama ini, karena serangan Te-liong Hiang-cu ke Siong-san itu menimbulkan korban jiwa cukup banyak, biarpun Te-liong Hiang-cu sendiri dapat dipukul mundur. Kini, biarpun kedua pihak masih saja berkelompok sendiri-sendiri, namun mereka beristirahat di sebuah hutan kecil, satu sama lain tidak terlalu berjauhan. Tengah mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda gemuruh dari arah utara, terlihat debu mengepul tinggi dan bendera-bendera aneka warna berkibar-kibar megah. Jelaslah ada sebuah pasukan besar sedang bergerak mendatangi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu segera berloncatan bangkit dengan senjata terhunus. Tapi mereka merasa lega setelah melihat bahwa di ujung pasukan yang mendatangi itu ada bendera kuning bertuliskan huruf "Li", jelaslah sudah bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak Li Cu-seng yang baru saja menolong mereka dari kepungan Tentara Kerajaan Beng itu. Pasukan itu dipimpin sendiri oleh Li Cu-seng, si pemimpin pemberontak yang menyebut dirinya sendiri sebagai "Kaisar" itu. Ia adalah seorang lelaki berperawakan sedang tapi tegap, kulitnya yang kecoklat-coklatan menunjukkan bahwa dia berasal dari kalangan bawah, di sekitar mulutnya ada jenggot-jenggot pendek yang tercukur rata dan rapi, pandangan matanya tajam. Ia mengenakan pakaian ringkas dengan mantel biru, topi bambu dan tangan kanannya mengempit sebatang tombak panjang. Biarpun secara keseluruhan dia nampak sederhana, tapi dari dirinya terpancarlah kewibawaan yang tidak kalah dengan kewibawaan seorang Kaisar tulen. Begitu tiba di hadapan kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, Li Cu-seng menghentikan kudanya diikuti seluruh pasukannya sebelum orang lain memberi salam, Li Cu-seng lebih dulu memberi salam dengan melintangkan tombaknya setinggi dada, katanya tanpa turun dari kudanya, "Aku berbahagia sekali bertemu dengan orang-orang gagah di jaman ini, terimalah hormatku.” Kaum pendekar dan orang-orang Hwe liong-pang itu serentak mengangkat tangan untuk membalas penghormatan itu. Hong-tay Hweshio yang mewakili kaum pendekar segera berkata, "kami juga berbahagia bisa bertemu muka dengan seorang tokoh pembela rakyat kecil, yang namanya termasyhur sampai ke ujung bumi. Seluruh anggota Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan lain-lalnnya menyampaikan salam kepada kepada Tuan." Sebenarnya, Li Cu-seng biasa dipanggil "Ban-swe-ya" (Paduka Kaisar) oleh pengikut-pengikutnya, namun Hong-tay Hweshio tidak menyebutnya demikian, sebab jika ia menyebut demikian sama dengan mengakui Li Cu-seng sebagai raja, dan ini berarti pemberontakan terang-terangan kepada Kaisar Cong-ceng yang masih bercokol di singgasananya di Pak-khia. Meskipun Siau-lim-pay tidak jarang bentrok dengan kaum pembesar negeri karena membela rakyat kecil, tapi dalam sejarahnya Siau-lim-pay belum pernah secara terang-terangan memihak dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan. Itu pulalah yang mendasari sikap Hong-tay Hweshio waktu itu. Beberapa orang "Panglima" bawahan Li Cu-seng nampak mengerutkan alisnya dengan kurang senang, ketika mendengar sebutan Hong-tay Hweshio terhadap "Kaisar" mereka itu. Namun Li Cu-seng sendiri justru bersikap wajar saja, katanya, "Itu sudah kewajiban kita semua untuk menegakkan pemerintahan yang bersih di daratan ini. Saat ini bangsa Manchu tengah mengincar negeri kita ini dari luar Tembok Besar sana, jadi kita membutuhkan pemerintahan yang kuat untuk menghadapi ancaman dari luar ini. Pemerintahan Cong-ceng sekarang ini tidak bisa diandalkan, karena kendali pemerintahan lebih dikuasai oleh dorna Co Hua-sun yang sangat dipercaya oleh Cong-ceng itu. Karena itu, pemerintahan bobrok itu harus disingkirkan secepatnya agar kita bisa segera mengerahkan kekuatan untuk menghadapi ancaman bangsa Manchu dari luar Tembok Besar. Untuk itu, aku membutuhkan bantuan saudara-saudara...." Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu saling bertukar pandangan ketika mendengar permintaan Li Cu-seng yang terang-terangan mengajak bergabung itu. Bermacam-macam pendapat segera timbul di antara orang-orang itu, ada yang ragu-ragu menerima ajakan itu sebab itu berarti memberontak terang-terangan, tapi ada yang sudah memutuskan dalam hati untuk menerima ajakan itu. Sebagian besar orang-orang Hwe-liong-pang, yang sudah mendengar pesan terakhir Ketua mereka lewat surat wasiatnya itu, tanpa ragu-ragu segera menyatakan sanggup bergabung dengan Li Cu-seng, mereka menganggap bahwa perjuangan Hwe-liong-pang untuk menggulingkan Cong-ceng itu sejalan dengan perjuangan Li Cu-seng. Tapi ada pula orang Hwe-liong-pang yang masih ragu-ragu, di antaranya adalah Siangkoan Hong. Sambil memberi hormat kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong mengemukakan alasannya, "Tuan Li, maafkan aku, tapi aku masih punya sebuah kewajiban demi seorang sahabat yang telah tiada, yaitu mencari dan menghukum seorang pengkhianat yang telah membuat Hwe-liong-pang berantakan seperti ini." Li Cu-seng mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku tidak dapat memaksamu, tuan Siangkoan. Pasukanku adalah pasukan sukarela, meskipun siapapun yang telah bergabung denganku akan dikenakan tata-tertib seperti prajurit pada umumnya. Aku juga sudah mendengar dari beberapa anak buahku, apa yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, dan bagaimana kesalah-pahaman dengan kaum pendekar itu hampir-hampir menghancurkan kedua pihak. Aku paham itu. Tapi, tuan Siangkoan, apakah dendam pribadimu demi sahabat itu kau anggap lebih penting dari perjuangan rakyat yang dalam keadaan mendesak ini?" Sahut Siangkoan Hong, "Dia bukan cuma sahabat, tapi juga Ketuaku. Dendamku juga bukan dendam pribadi tapi dendam Hwe-liong-pang. Yang akan kubalas juga bukan soal kematian Ketua yang disebabkan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, tapi kehancuran Hwe-liong-pang yang telah ditusuk punggungnya oleh Te-liong Hiang-cu." "Bukankah tuan Siangkoan tahu bahwa Te-liong Hiang-cu itu sekarang bersembunyi di tengah-tengah tentaranya Cong-ceng? Jika tuan Siangkoan bergabung dengan kami, tentu lebih mudah untuk menghadapinya." Siangkoan Hong mengangguk dalam-dalam, "Maaf, tuan Li, ini urusan Hwe-liong-pang kami." Akhirnya Li Cu-seng sadar memang tidak mungkin membujuk Siangkoan Hong yang keras hati itu. Tapi bergabungnya sebagian besar orang Hwe-liong-pang itupun sudah cukup menggembirakannya. Apalagi ketika kemudian Siangkoan Hong sendiri berpesan kepada anggota-anggota Hwe-liong-pang yang telah bergabung itu, "Saudara-saudaraku, kalian dengan sadar telah memilih untuk meneruskan perjuangan Ketua kita dengan bergabung dengan tuan Li ini. Berhasilnya perjuangan tuan Li sama saja dengan berhasilnya perjuangan Hwe-liong-pang kita, yaitu tumbangnya raja keparat itu, karena itu berjuanglah sepenuh hati di bawah pimpinan tuan Li agar perjuangan kalian mencapai hasil yang gemilang!" Kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong memberi hormat sekali lagi sambil berkata, "Tuan Li, kami titip anak-anak Hwe-liong-pang kepadamu dan juga titip semangat perjuangan kami. Kami mohon diri!" Li Cu-seng membalas hormat itu, dan dengan pandangan matanya ia menatap Siangkoan Hong dan sebagian kecil orang Hwe-liong-pang yang masih belum mau bergabung dengannya itu pergi meninggalkan hutan kecil itu. Sementara itu, betapapun segannya, Siangkoan Hong sempat juga menganggukkan kepalanya kepada Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh pendekar lainnya, yang betapapun juga pernah sehidup-semati dengan Hwe-liong-pang ketika menghadapi Tentara Kerajaan dan Te-liong Hiang-cu itu. Selain orang-orang Hwe-liong-pang, ternyata sebagian dari orang-orang berbagai perguruan juga bergabung dengan Li Cu-seng. Yang mempelopori penggabungan ini adalah Kiau Bun-han, "Saudara-saudara, kalian lihat sendiri betapa busuknya pemerintahan di Pak-khia, prajurit-prajuritnya bukannya digerakkan untuk menumpas penjahat dan memberi ketenteraman kepada rakyat, malahan digerakkan untuk menggempur kita, orang-orang yang selamanya belum pernah melanggar hukum ini. Ini tidak bisa dibiarkan terus, Cong-ceng harus disingkirkan dari tahtanya!" Beberapa perguruan yang berlandaskan agama, seperti Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, tidak langsung menyatakan berpihak namun hanya berjanji akan mendukung pemerintahan manapun yang berhasil mensejahterakan rakyat. Meskipun Li Cu-seng kurang puas dengan janji yang tidak tegas itu, namun dia tidak bisa memaksa kaum agama itu untuk ikut dalam barisannya. Sedangkan Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta calon-calon menantunya itupun tidak dapat bergabung dengan Li Cu-seng, sebab mereka masih dibebani sebuah tugas lain. Yaitu mencari "isteri" Tong Wi-siang yang tengah hamil itu, sesuai dengan pesan terakhir Tong Wi-siang. Selain itu Tong Wi-hong juga masih ditunggu oleh sebuah tugas berat, yaitu memimpin dan mengembangkan perusahaan pengawalan Tiong-gi Piau-hang, warisan dari ayah Cian Ping, yaitu Cian Sin-wi. Dengan demikian merekapun segera mohon diri dari hadapan Li Cu-seng. Salah seorang pendamping Li Cu-seng itu memandang kepergian orang-orang itu sambil menggerutu, "Huh, orang-orang yang mementingkan urusannya sendiri dan tidak mau tahu dengan kepentingan rakyat." Li Cu-seng tersenyum saja mendengar gerutuan anak buahnya itu, sambil menepuk pundak orang itu, ia berkata, "Saudara Lau, jika kau merampas kebebasan orang lain yang tidak sependapat denganku, merampasnya dengan kekuatan senjata, lalu apa bedanya antara aku dengan Cong-ceng?" "Ban-swe-ya terlalu baik hati kepada orang-orang yang mementingkan diri sendiri itu." Li Cu-seng menjawab, "Aku tidak ingin dalam barisanku ada orang yang berjuang secara terpaksa dan merasa tertekan, sebab orang semacam itu besar kemungkinan akan menusukku dari belakang. Tapi setiap orang dalam barisanku harus menyadari betul-betul, untuk apa mereka bertempur." "Ban-swe-ya sangat bijaksana." Sementara itu, Tong Wi-hong dan ibunya serta adiknya terus menerus menelusuri jejak gadis yang bernama Siau-giok, "isteri" Tong Wi-siang itu. Namun dalam keadaan penuh kemelut perabg seperti waktu itu, pekerjaan itu bagaikan mencari jarum di dasar lautan. Arus pengungsi dari segala penjuru benar-benar menyulitkan pelacakan mereka, akhirnya dengan putus asa mereka kembali ke An-yang-shia sambil membawa guci berisi abu Tong Wi-siang itu. Di kota kecil itu pulalah diselenggarakan perkawinan secara sederhana dengan dua pasang mempelai sekaligus, Tong Wi-hong dengan Cian Ping serta Ting Bun dengan Tong Wi-lian. Betapapun pedihnya hati Tong Hu-jin dalam hari-hari terakhir itu, namun melihat kebahagiaan anak-anaknya akhirnya dia terhibur juga. Beberapa saat setelah perkawinan itu, Tong Wi-hong bersama isterinya harus meninggalkan An-yang-shia menuju ke Tay-beng, karena di situ sudah ada Tiong-gi Piau-hang tinggalan ayah mertuanya yang memerlukan pimpinannya dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Ting Bun dan isterinya tetap tinggal di An-yang-shia untuk menemani Tong Hu-jin sampai hari tuanya. Sekali-kali mereka keluar rumah untuk berkelana keluar rumah beberapa bulan, mencari jejak Siau-giok dan bayinya tanpa kenal putus-asa, namun gadis Bu-sian-tin itu bagaikan lenyap ditelan bumi saja. Yang kemudian tidak kedengaran kabar beritanya pula, ialah Siangkoan Hong yang katanya hendak mencari Te-liong Hiang-cu itu. Te-liong Hiang-cu sendiri pun sudah tidak kedengaran beritanya lagi. Dengan demikian baik yang memburu maupun yang diburu sama-sama lenyap tak ketahuan lagi ke mana perginya. Sementara itu, nama Li Cu-seng semakin lama semakin terangkat tinggi, menjadi pujaan rakyat. Api pemberontakan yang dikobarkannya semakin meluas, pengikutnya semakin banyak, daerah pengaruhnya semakin luas. Akhirnya Li Cu-seng memutuskan bahwa dengan pasukan yang amat kuat dia akan menyerbu Pak-khia, untuk langsung mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan Kaisar Cong-ceng. Satu demi satu Panglima Kerajaan Beng ditaklukkannya, kota demi kota dikuasainya. Akhirnya pada tanggal 19 bulan ke 3 dari tahun ke 17 pemerintahan Kaisar Cong-ceng, laskar Li Cu-seng membobolkan Kotaraja Pak-khia dan merebut kemenangan. Kaisar Cong-ceng melarikan diri ke bukit Bwe-san, dan di tempat pelariannya itu Kaisar terakhir dinasti Beng itu mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di sebuah pohon. Li Cu-seng naik tahta dan menjadi Kaisar. Namun demikian, Li Cu-seng masih menghadapi sebuah ancaman baru, yaitu bangsa Manchu di luar perbatasan semakin memperkuat pasukannya dan siap merebut negeri itu. Li Cu-seng bertekad untuk mengatasinya. TAMAT
|
Selanjutnya seri kedua;
|