Pendekar Naga dan Harimau Jilid 24Karya : Stevanus S.P |
Tong Lam-hou terkejut, "Paman, urusan menjadi ketua sebuah perserikatan yang besar seperti Hwe-liong-pang, sesungguhnya aku belum berani memikirkannya. Agaknya tindakan paman sekali ini sudah terlalu jauh. Aku seorang prajurit yang masih terikat kewajiban untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, aku tidak bisa..."
"Jadi kau merasa lebih berharga menjadi seorang perwira yang diperintah-perintah oleh orang lain daripada menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang yang memerintahkan ribuan anggota yang setia kepadamu?" potong Siangkoan Hong. "Dengar, nak, aku bukan seorang yang membeda-bedakan keturunan Manchu atau Han atau setan belang. Tapi aku tidak rela melihat putera kakak seperguruanku, putera Ketua Hwe-liong-pang, seumur hidup hanya akan menjadi seorang perwira yang diperintah oleh orang lain. Hidupmu tidak akan berharga sedikitpun, nak." "Paman, kalau paman..." Tong Lam-hou sebenarnya hendak mendebat ucapan pamannya itu, tapi terpotong oleh datangnya seorang pelayan yang mengatakan bahwa ruangan untuk mereka sudah siap. Kedatangan pelayan itu menyadarkan mereka bahwa mereka sedang berada di pinggir jalan, bukan tempat yang cocok untuk berdebat. Maka Siangkoan Hong dan Tong Lam-houpun segera melangkah mengikuti pelayan rumah penginapan itu untuk menuju kamar mereka, yang ternyata memang cukup bersih. Begitu keduanya berada dalam kamar, perdebatanpun dilanjutkan. Tong Lam-hou meneruskan perkataannya yang tertunda tadi, "Paman, paman harus tahu apa yang mendorongku menjadi seorang prajurit,. Aku melihat orang-orang yang menamakan diri 'pembebas tanah-air’ dari sisa-sisa dinasti Beng itu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Maka aku harus membantu Kerajaan Manchu untuk menertibkan keadaan, membersihkan pengacau-pengacau. Soalnya bukan sekedar diperintah atau memerintah. Dengan kedudukanku sebagai prajurit, aku menertibkan keadaan.” "Jika kau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, nak, kau bisa berbuat lebih banyak lagi untuk menertibkan keadaan. Hwe-liong-pang juga membela rakyat kecil, dan kami pun bermusuhan dengan sisa-sisa dinasti Beng. Bahkan ketika dinasti Beng masih jaya dulu, kami sudah berani menentangnya." "Tetapi orang-orang Hwe-liong-pang yang kulihat sekarang, maaf, juga pengacau-pengacau tak ada bedanya dengan sisa-sisa dinasti Beng itu. Di Hun-lam aku melihat kedua golongan ini bersekutu memusuhi Pakkiong Liong. Dan menurut beberapa orang perwira Ui-ih-kun yang menjaga Penjara Kerajaan ketika tempat itu dibongkar orang, ada pula orang-orang Hwe-Iiong-pang yang ikut serta dalam pembongkaran penjara itu. Bukankah ini berarti orang-orang Hwe-liong-pang-pun juga adalah pengacau-pengacau yang memusuhi pemerintah Kerajaan? Aku harus berpihak kepada pengacau-pengacau?" Wajah Siangkoan Hong menjadi merah padam melihat sikap Tong Lam-hou yang menuduh orang-orang Hwe-liong-pang sebagai pengacau itu. Geramnya, "Kurang ajar kau! Kau mengatakan teman-temanmu sendiri sebagai pengacau? Mereka juga membela rakyat seperti prajurit-prajurit Manchu yang kau banggakan itu. Kalau ada seorang dua orang anggota Hwe-liong-pang yang menyeleweng, apa tidak ada juga prajurit-prajurit Manchu yang menindas rakyat?! Aku tidak ingin kau menutup mata dari semua kenyataan." Tong Lam-hou termangu-mangu mendengar ucapan pamannya itu. Kedengarannya masuk akal juga, tapi hatinya benar benar tidak tertarik sedikitpun untuk menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang. Di dalam Pasukan Naga Terbang ia merasa bahwa ia sudah mendapat tempatnya yang pas, kenapa harus ditinggalkan untuk mengejar sesuatu yang lain, yang belum tentu cocok dengan dirinya? Maka katanya, "Paman Siangkoan, tidak adakah orang lain selain aku yang bisa menjadi Ketua Hwe-liong-pang? Kenapa harus aku? Aku benar-benar tidak bisa menerima..." "Terlambat kau ucapkan itu," sahut Siangkoan Hong dingin dan tegas. "Kau tidak akan bisa menghindari pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga karena aku sudah menghubungi bekas pengikut-pengikut ayahmu yang masih setia kepadanya, dan mereka semua sudah menyatakan sanggup untuk datang tanggal 15 nanti di puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Untuk menghadiri upacara besar berdirinya kembali Hwe-liong pang dan sekaligus penunjukkanmu sebagai Ketua!" Alangkah terkejutnya Tong Lam-hou mendengar ucapan paman gurunya yang terakhir ini. Ia tahu bahwa pamannya tidak bermaksud jahat kepadanya, bahkan sang paman itu tidak memikirkan sedikitpun kepentingan dirinya sendiri, tapi sikapnya yang kepala batu dan mengatur diri Tong Lam-hou seenaknya tanpa pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga diketahui sendiri oleh Tong-lam-hou itu, membuatnya jengkel. Tong Lam-hou menganggap si paman Siangkoan ini terlalu mencampuri urusan dirinya, bahkan urusan menentukan masa depannya sendiri. "Paman Siangkoan!" kata Tong Lam-hou dengan nada keras. "Paman sudah terlalu jauh mencampuri urusanku, dan menganggapku sebagai boneka yang harus menuruti semua kehendak paman! Aku memutuskan tidak mau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, habis perkara!” Siangkoan Hong tertawa dingin sambil mendekati Tong Lam-hou, katanya, "Habis perkara buat kau, buat aku dan seluruh Hwe-liong-pang belum habis!" Lalu tangannya tiba-tiba menotok beberapa jalan darah Tong Lam-hou, yang membuat tubuh anakmuda itu jadi lumpuh. Lalu diangkatnya tubuh Tong Lam hou dan diletakkan di pembaringan, dan diselimuti seperti menyelimuti seorang bayi yang sangat disayangi, sambil berkata, "Kau harus nampak segar dan sehat dalam upacara besar di puncak Tiau-im-hong nanti. Apa kata orang jika mereka melihat Ketua Hwe-liong-pang berwajah pucat dan kuyu karena kurang tidur?" Sungguh mendongkol sekali rasanya Tong Lam-hou, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Paman Siangkoan-nya itu sudah bertekad bulat untuk mendudukkan dirinya di kursi Ketua Hwe-liong-pang, tidak peduli dirinya sendiri setuju atau tidak. Begitulah, sejak saat itu Tong Lam-hou jadi mirip sebuah boneka besar di tangan Siangkoan Hong. Ia tahu bahwa Siangkoan Hong bermaksud baik, namun kebebasannya yang terkekang membuat Tong Lam-hou amat jengkel. Akhirnya Tong Lam-hou memutuskan untuk berpura-pura menuruti ucapan-ucapan Siangkoan Hong. Apabila Siangkoan Hong berbicara panjang lebar tentang Kehebatan Hwe-liong-pang di masa lalu, maka Tong Lam-hou mencoba bersikap sangat memperhatikan untuk menyenangkan hati Siang-koan Hong. Hari demi hari mereka berjalan terus, semakin dekat ke Tiau-im-hong, dan kecurigaan Siangkoan Hong kepada Tong Lam-houpun berkurang. Dalam beberapa hari terakhir ini nampaknya sang keponakan itu sudah ''menurut", maka totokannyapun tidak seberat beberapa hari yang lalu. Bahkan kadang-kadang Siangkoan Hong mengajak Tong Lam-hou duduk berdampingan di tempat mengemudikan kereta. Bercakap-cakap membicarakan beberapa macam hal, dan Tong Lam-hou. tahu juga bahwa Paman Siangkoan ini tidak selamanya ngawur. Dari bermacam soal yang dibicarakannya, ada seperempatnya yang tidak ngawur. Namun Siangkoan Hong masih belum membebaskan Tong Lam-hou sepenuhnya, ia masih punya kekuatiran jangan-jangan sang keponakan yang hendak diangkat sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu nanti kabur di tengah jalan. Karena itu ada sebuah totokan yang tidak dibebaskannya. Meskipun kaki tangan Tong Lam-hou bebas semuanya, bahkan ia dapat pula mengerahkan tenaga dalam untuk bertempur, namun ada salah satu jalan darah yang tidak bisa terbuka totokan-nya, kecuali dibuka oleh Siangkoan Hong sendiri atau oleh orang sealirannya. "Itulah ilmu menotok warisan Bu-san-jit-kui yang lihai," kata Siangkoan Hong setengah menakut-nakuti keponakannya. "Saat ini, di dunia ini yang mahir totokan itu hanya tiga orang. Aku sendiri, Thian-liong Hiangcu, Te-liong Hiangcu dan Kim-liong Hiangcu. Aku jelas tidak akan membebaskanmu sebelum kau mantap menjadi Ketua Hwe-liong-pang. Te-liong Hiangcu juga lebih suka mencekikmu daripada membebaskan totokanku itu, dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-ping sudah menghilang sejak runtuhnya Hwe-liong-pang dulu. Jangan harap kau bisa menemukannya." Tong lam-hou menyeringai mendengar gertakan paman gurunya itu. Tapi ia masih bertanya juga, "Tapi aku merasa tangan dan kakiku bebas, tenaga dalam pun dapat kukerahkan sesuka hati, apa yang menjadi akibat dari totokan paman Siangkoan itu?" Siangkoan Hong tertawa mendengar pertanyaan itu, "Kau ini disebut oleh pasukanmu dengan sebutan Harimau Selatan, untuk membandingkan dirimu dengan Pakkiong Liong si Naga Utara. Tapi dalam pandanganku, kau tak lebih dari seekor anak kambing gemuk yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Jika kau pernah membaca kitab warisan Bu-san-jit-kui beberapa halaman saja, kau akan tahu bahwa ilmu silat yang bermacam-macam dan maha ajaib terdapat dalam kitab itu. Totokanku kepadamu itu hanya terasa akibatnya setiap malam, yaitu setiap tengah malam kau akan tersikasa oleh rasa nyeri di tubuhmu selama setengah peminuman teh. Selama totokan itu belum dibuka, kau akan terus merasakan siksaan tiap tengah malam. Seumur hidup pula kau akan merasakannya. Totokan ajaran Bu-san-Jit-kui ini lain daripada yang lain, ia tidak akan terbuka sendirinya setelah beberapa jam, seperti totokan-totokan biasa lainnya. Itu adalah totokan paling lihai di dunia ini." Tong Lam-hou menjawab, tetapi di dalam hatinya ia tidak percaya kepada pamannya yang dianggap membual itu. Mana ada totokan seperti itu? Dan bukankah selama beberapa malam ini ia tidak mengalami siksaan apapun? Ia hanya tahu bahwa tiap malam paman Siangkoan-nya ini menotok beberapa jalan darahnya, tapi tidak ada rasa siksaan segala. Namun Tong Lam-hou tidak berani menunjukkan rasa tidak percayanya itu, dia hanya memutar otak bagaimana caranya melepaskan diri dari genggaman pamannya ini. Pada suatu hari, kereta itu lewat sebuah tempat yang sepi. Saat itulah tiba-tiba dari pinggir jalan bermuncullah beberpa orang yang berloncatan menghadang di tengah jalan. Jumlahnya ada kira-kira sepuluh orang, terdiri dari macam-macam manusia, ada rahib Buddha, ada imam agama To dan ada pula pengemis yang berpakaian tambal-tambalan. Namun ada pula orang biasa. Dari sekian banyak orang, kesamaan mereka adalah bahwa mereka semuanya bersikap garang dan bermusuhan. Loncatan-loncatan mereka tadi juga menandakan tidak seorangpun di antara mereka yang berilmu rendah. Yang menjadi pemimpin adalah seorang rahib Buddha berkepala gundul dengan alis yang putih dan panjang, tangannya memegang sepasang gelang besar yang terbuat dari emas. Gelang-gelang itu yang satu berukir naga, lainnya berukir harimau. Yang mendampinginya adalah seorang imam berwajah pucat dan berjubah abu-abu, dengan sebatang pedang tergendong di punggungnya, sementara tangan kirinya memegang hud-tim (kebut pertapa). Siangkoan Hong menarik kuat-kuat tali kendali sehingga keretapun berhenti. Tanpa turun dari kereta, Siangkoan Hong mengangkat tangan di depan dada untuk memberi salam, dan bertanya, "Maaf, saudara-saudara, ada keperluan apa saudara-saudara menghadang jalan kami berdua?" Si rahib bergelang emas itu yang membalas hormat, lalu bertanya dengan nada sehormat mungkin, "Saudara, menurut penyelidikan beberapa orang-orang kami, apakah saudara yang dalam beberapa hari terakhir ini menyebarkan undangan ke puncak Tiau-im-hong pada tanggal limabelas nanti untuk menghadiri pendirian kembali Hwe-liong-pang?" Siangkoan Hong bersikap tenang tanpa terkejut mendengar pertanyaan itu. Memang orang-orang rimba persilatan sering disebut sebagai "bermata seribu dan bertelinga seribu", ada gejolak sekecil apapun dalam dunia persilatan tentu tidak lepas dari penglihatan atau pendengaran mereka dan tersebar luas dengan cepatnya. Begitu pula ulah Siangkoan Hong yang menyebarkan berita akan adanya upacara besar di puncak Tiau-im-hong itu agaknya telah menimbulkan tanggapan. Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang yang menanggapi, melainkan juga orang-orang di luar Hwe-liong-pang. Tanggapan orang-orang di luar Hwe-liong-pang pun bermacam-macam, ada yang bersyukur bahwa Hwe-liong-pang yang pernah jaya itu akan bangkit Kembali, ada yang mengutuk karena masih ingat sakit hatinya terhadap Hwe-liong-pang yang belum juga terhapus oleh jalannya waktu selama berpuluh tahun, dan ada yang acuh tak acuh saja. Dan orang-orang yang menghadang Siangkoan Hong serta Tong Lam-hou kali ini adalah golongan kedua, golongan yang melihat bangkitnya kembali Hwe-liong-pang ibarat melihat bangkitnya kembali sesosok iblis maha ganas dari liang kuburnya. Karena itu, dengan segala jalan maka kebangkitan kembali Hwe-liong-pang harus dicegah. Sahut Siangkoan Hong, "Benar. Memang aku yang menyebarkan undangan. Tetapi seingatku, undangan hanya kuperuntukkan bagi anggota-anggota Hwe-liong-pang saja. Aku tidak berani merepotkan para pendekar dari golongan lain hanya untuk menghadiri upacara kami yang kecil dan tidak berarti. Apakah saudara-saudara ini ada kepentingan dengan hal itu?" Sahut si rahib bergelang emas, "Tentu saja sangat berkepentingan. Di masa lalu, tandang Hwe-liong-pang tidak saja bersangkut-paut dengan para anggota Hwe-liong-pang sendiri, tapi juga menimbulkan gejolak seluruh rimba persilatan, menimbulkan pertentangan dan banjir darah di bukit Siong-san, di lembah Jian-hoa-kok, di markas Tiong-gi Piauhang di Tay-beng dan entah di mana lagi. Itulah yang membuat kami berkepentingan, demi keselamatan seluruh dunia persilatan." Siangkoan Hong mengerutkan alisnya, sahutnya, "Ya, aku masih ingat suasana puluhan tahun yang lalu. Tetapi tay-su (bapak pendeta) tentu juga masih ingat bahwa saat itu ada dua Hwe-liong-pang. Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Ketua yang syah Tong Wi-siang, dan Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Te-liong Hiangcu yang berkhianat. Dan yang membuat kekacauan itu adalah orang-orangnya Te-liong Hiangcu. Segala kesalah-pahaman itu sudah beres, bahkan banyak kaum pendekar yang kemudian bersahabat dengan kami. Mau apa tay-su sekarang mengungkat-ungkit lagi hal yang sudah lalu itu?" Rahib itu tertawa dingin, "Memang ada rekan-rekan kami sendiri yang berlagak sebagai orang-orang berdada lapang, yang berbalik menjadi sahabat-sahabat Hwe-liong-pang. Tapi kami tidak bisa melupakan apa yang telah menimpa beberapa teman-teman kami yang tewas oleh kekejian kalian. Terserah apakah kami akan dianggap berjiwa sempit atau tidak pemaaf atau sebutan-sebutan lain? pokoknya kami tidak bisa membiarkan Hwe-liong-pang bangkit kembali. Kami tidak ingin gelombang kerusuhan berjangkit pula di rimba persilatan, dan kami harus mencegahnya sebelum itu timbul." Siangkoan Hong menyeringai kecewa? sahutnya, "Tay-su, tidak bisakah tay-su menerima penjelasanku tadi? Segala kekejaman itu dilakukan oleh anak buahnya Te-liong Hiangcu. Bahkan pihak kami sendiri juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencegah kekejaman-kekejaman mereka demi nama baik Hwe-liong-pang." Yang menjawab adalah imam berjubah kelabu yang menggendong pedang itu, "Rasanya sungguh enak melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Tetapi apapun alasannya, kami tetap akan mencegah berdirinya ktembali Hwe-liong-pang. Kucing belang atau kucing hitam tetap akan menerkam tikus, walaupun bulunya berbeda." Wajah Siangkoan Hong mulai mengeras karena sikap sabarnya ditanggapi oleh penghadang-penghadangnya itu dengan cara yang tidak menyenangkan. Dasarnya dia sendiri bukan seorang penyabar, maka sikapnyapun menjadi keras pula, "Percuma saja aku memberi penjelasan dengan susah-payah kepada kalian. Kalian belum jera juga akan pengalaman masa lalu di mana Te-liong Hiangcu mengadu domba antara kita supaya dia sendiri memungut keuntungan. Bukankah adu domba itu hanya membuahkan kerugian di pihak kita masing-masing. Berapa teman-teman kita yang tewas sia-sia di Tiau-im-hong waktu itu? Kini kalian akan mengulangi ketololan yang sama?" Namun sikap para penghadang itu sudah membatu, kebencian mereka terhadap Hwe-liong-pang bukan saja terbentuk selama satu dua hari, tapi selama bertahun-tahun. Sepatah dua patah penjelasan Siangkoan Hong tidak akan melumerkan sikap mereka. "Sudah kami jawab tadi, kucing belang atau kucing hitam tetap akan menangkap tikus," sahut si imam sambil menghunus pedang di punggungnya. "Aku tidak peduli ada berapa macam Hwe-liong pang, pokonya Hwe-liong-pang harus ber-tanggung-jawab atas kematian dua orang saudara seperguruanku duapuluh lima tahun yang lalu." Habis juga kesabaran Siangkoan Hong. Namun sebenarnya diapun mengeluh dalam hati, pertentangan dengan orang-orang dunia persilatan sebenarnya tidak dia kehendaki, sebab pada masa awal kebangkitannya yang kedua itu Hwe-liong-pang membutuhkan sahabat-sahabat, bukan musuh-musuh. Namun yang tidak dikehendaki itulah yang terjadi pada dirinya. Dan Siangkoan Hong dapat menebak siapakah yang berdiri sebagai dalang dari semua kesalah-pahaman itu. Tidak lain tidak bukan tentu Te-liong Hiangcu, sebab Siangkoan Hong sudah hapal dengan cara kerja bekas saudara seperguruannya itu. Cukup dengan desas-desus sedikit, maka orang-orang yang sejak dulu membenci Hwe-liong-pang akan bangkit kembali untuk mengangkat senjata. Dan Te-liong Hiangcu tinggal enak-enak menonton kedua pihak bertarung sampai hancur sendiri. Sambil lalu Siangkoan Hong bertanya, "Hemm, kalian ingin bertempur, baiklah. Tetapi apa yang mendorong kalian bertindak menjegal langkah kami? Sekedar kebencian sisa-sisa berpuluh tahun yang lalu?" Sahut si rahib bergelang emas, "Aku mendengar berita, kalian akan bangkit kembali dan berusaha menguasai dunia persilatan seperti duapuluh lima tahun yang lalu. Kabar ini berasal dari orang yang bisa dipercaya, karena dia adalah Ketua dari sebuah perguruan aliran lurus." "Siapa dia?" tanya Siangkoan Hong. Rahib bergelang emas itu menggelengkan kepalanya, dan menjawab tegas, "Tidak akan kusebutkan, sebab pihakmu pasti akan membunuhnya untuk membungkam orang yang telah berhasil menelanjangi maksud busuk Hwe-liong-pang itu." Jika menuruti saja kemarahannya, ingin Siangkoan Hong langsung bertempur dan menghajar si Rahib dan kawan-kawannya yang terlihat sangat tengik itu. Tapi rasa tahu Siangkoan Hong akan siapa yang menyebar desas-desus itu lebih kuat dari rasa marahnya. Katanya sambil menarik napas, "Dasar nasib Hwe-liong-pang yang kurang baik. Dua puluh lima tahun yang lalu dimusuhi orang sejagad hanya karena ulah seorang Te-liong Hiangcu dan begundal-begundalnya yang membuat kerusuhan, sekarangpun akan mengalami nasib yang sama pula. Te-liong Hiangcu...Te-liong Hi-angcu, sungguh berbisa mulutmu itu." Imam bersenjata pedang itu agaknya bertabiat lebih keras dari rahib bergelang emas itu. Mendengar keluhan Siangkoan Hong itu maka si rahib membentak, "Jangan mengada-ada. Kau kira kami bertindak hanya berdasarkan kabar angin saja? Dengar baik-baik, yang memberi kisikan bahwa kailan akan mengacau adalah dua orang tokoh terhormat! Mereka adalah..." Si rahib cepat-cepat berteriak mencegah temannya itu, "loyu, jangan sebut nama mereka. Berbahaya buat mereka!" Tapi si imam membantah, "Biar aku sebut, taysu, merekapun bukan pengecut yang hanya berani berbisik-bisik tanpa berani mempertanggung-jawabkan ucapan mereka. Kita berani terang-terangan menghadapi Hwe-liong-pang, kedua orang tokoh terhormat itu tentu berani pula.” Lalu imam itu berkata kepada Siangkkoan Hong, "Yang memberitahu kami adalah He Keng-liang yang menjadi Ketua Ho-lian-pay, serta Yo Ciong-wan si Pedang Kilat dari Hoa-san-pay. Merekalah tokoh-tokoh terhormat, apakah mereka bisa berbohong?" Diam-diam Siangkoan Hong; heran juga. Keduanya memang orang-orang yang mempunyai nama baik di dunia persilatan, pantang sembarangan bicara, kenapa sekarang mereka menyebarkan desas-desus macam itu? Atau barangkali si imam berjubah abu-abu itu sendiri yang bicara tidak benar? Andaikata saja Siangkoan Hong tahu bahwa He Keng-liang Ketua Ho-lian-pay itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri, maka keheranannya tentu akan terhapus. Tapi saat itu Siangkoan Hong belum tahu bahwa saudara seperguruan yang dibencinya itu memiliki seribu satu wajah dalam dunia persilatan. Sementara itu, dengan satu isyarat si imam berjubah kelabu si rahib bergelang emas telah menyiapkan senjata masing-masing, begitu pula delapan orang lainnyapun telah menghunus senjata mereka yang bermacam-macam dan meloncat berpencaran dalam sikap mengepung. Siangkoan Hong menarik napas, "Jadi tidak ada jalan lain kecuali bertempur mengulangi kebodohan kita duapuluh lima tahun yang lalu?" "Masih ada satu jalan," sahut si imam berjubah kelabu. "Jalan apa?" "Tarik kembali semua undangan tentang upacara besar di Tiau-im-hong itu, biarkan Hwe-liong-pang tetap terkubur debu sejarah dan biarkan dunia persilatan tetap tenang dan damai seperti sekarang ini. Dengan demikiai kita tidak perlu berkelahi dan bisa hidup berdampingan secara damai." Siangkoan Hong mengertak gigi. "Imam keras kepala, kau berasal dari perguruan mana?" tanya Siangkoan Hong. Di hadapan sekian banyak rekan-rekannya dari perguruan-perguruan lain, si imam rupanya malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, maka mendengar jawaban Siangkoan Hong itupun dia berkata tegas, "Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, akan bertanggung jawab semua yang telah diperbuatnya....!" |
Selanjutnya;
|