Ular Betina Selat Madura - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Roro Centil - Ular Betina Selat Madura

Karya : Mario Gembala
SATU
PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, me ninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah ditepi pantai itu. Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan. Rembulan tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai yang indah itu.

Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di perahu pesiar itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah. Dialah si pendayung perahu.

Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah bercengkrama dengan seorang wanita muda berbaju sutera warna hijau. Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya dari sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya yang jenjang.

Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah dadanya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu. Sementara si pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu adalah pegawai dari pesanggrahan "Melati" yang berdiri tegar dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu.

Dia tahu kalau wanita muda dan cantik itu adalah orang baru. Dan bahkan baru malam ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan dia disamping sebagai pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian sang tetamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak ketahuan kemana perginya. Juga pernah ada yang membawa kabur perahu pesiar.

Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak mungkin.

Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap, yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya si gadis pendayung perahu tampak tenang tenang saja bahkan dari mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagu kan nada-nada dalam satu nyanyian.

Sreeek! Sreeek...!

Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditu tupkan. Si wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangan nya mendayung. Kini perahu pesiar itu terombang-ambing perlahan diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan perahu pesiar itu.

"Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru... ah, masih sore begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dima lam hari ini lebih dulu?" berkata si wanita.

"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...! Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!" menyahut si bangsawan. Sementara lengannya telah bergerak membuka kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.

"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan...? Tampaknya kau seperti malu-malu atau takut menghadapiku? Hehehe... jangan begitu, sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melayani suamimu sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuh nya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk.

Akan tetapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut. "Ih, siapa yang tidak takut? Aku baru sekali ini melayani tetamu. Kalau aku takut adalah wajar!" menyahut si wanita.

"Kau masih perawan?" bertanya laki-laki bangsawan itu. Pandangannya semakin nanar melihat kebalik pakaian tembus yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas terpandang kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.

"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat menjamah tubuhku!"

Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita. "Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.

"Dia mati mendadak..."

"Ooooh ...! Serangan penyakit?"

"Tidak! Dia mati dibunuh orang!" sahut si wanita.

Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu. "Kasihan..." ucapnya lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini karena kesepian ...?" pancing laki-laki itu.

"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?" balik bertanya wanita itu.

Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar. "Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."

Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya sema kin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan mata membelalak. Hatinya memaki. "Ooo, laki-laki jalang, pengumbar nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"

Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu tersenyum. Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu. Lalu di alihkan menatap ke laut lepas. Lengannya meraih kendi berisi arak. Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil. Sisa arak dituangkannya kelaut.

Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk di pentang. Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup. Goyangan perahu telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan mata. Dan tak terasa dia telah tertidur sejenak.

Akan tetapi sepasang mata gadis pendayung perahu itu jadi membelalak terbuka. Dan dia terlonjak kaget seperti dipagut ular. Apakah gerangan yang membuat dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar perahu membasahi kakinya. Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga sepertiga bagian.

"Celaka...!? Perahu tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan. Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai pintu perahu.

Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu? Si bangsawan setengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuhnya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur dengan air laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur dan bantal. Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang menjadi "gula-gula" dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke lihatan batang hidungnya.

"Hah!? Apakah yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekali bergerak dia telah melompat kepembaringan. Ketika membalikan tubuh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu saja membuat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar perahu pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang papannya telah ambrol.

"Celaka...!? Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus menyelamatkan diri...!" berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan lain selain harus berenang. Maka...

Byuurrrr...! Wanita itu telah terjun ke air. Selanjutnya dia harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu yang mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun ter paksa ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi.

Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai. Tenaganya serasa hilang terkuras seluruhnya. Ketika dia palingkan muka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.

"Edan! Apakah yang telah terjadi? Apakah perbuatan perempuan bernama Andini itu ataukah ada orang lain yang telah melaku kannya dari bawah air?" menggumam wanita pendayung ini.

Sukar untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong orang berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah melakukan semua itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian itu pada sang Ketua, majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan kena dampratan. Mungkin juga hukuman. Karena dia tahu persis adat sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.

"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber desis. Dan dia segera merayap ke darat. Cahaya rembulan agak remang-remang ketika segumpal awan hitam melintas. Gadis pendayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya tengah dilanda kemelut.

Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah. Sesosok tubuh tahu-tahu berkelebat dihadapannya. Tersentak kaget wanita pendayung perahu ini. Namun dia mengeluh, tubuhnya terkulai serasa lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah menotoknya. Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah memondongnya. Dan melarikannya dengan cepat.

Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng. Apalagi cuaca sedang gelap. Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya sosok tu buh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.

DUA

"Hah!? Kau... Kuntali...?" tersentak si wanita pendayung perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya. Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita pendayung perahu itu.

"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!" menyahut wanita berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.

"Oh, mengapa kau lakukan ini? Kau akan mendapat kesulitan bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah jadinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!" Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.

"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah tinggal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepentingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk melarikan diri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.

"Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani melakukannya. Kau tahu sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pelaku, yaitu kematian!" menyahut Windarti.

Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya dari totokan. "Apa rencanamu kini Kuntali? Dan kita berada diwilayah mana? Pondok siapakah ini?" tanya gadis pendayung perahu itu mem perhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak seberapa lebar, itu.

"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang mengetahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu yang basah itu!" ujar Kun tali seraya buka buntalan yang diambilnya dari sudut ruangan, dan berikan satu setel pakaian untuknya.

"Kau membawa serta pakaianmu?"

"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"

Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya. Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang kawan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya. "Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu pesiar dalam kawalanku itu?"

"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman perahu itu aku mengetahui...!" menyahut Kuntali.

"Hah!? Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?" tanya Windarti dengan terkejut.

Akan tetapi Kuntali hanya tertawa kecil. "Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"

"Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita pendayung.

"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi kawanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pukat Inten yang bergelar si Ular Betina Selat Madura...!"

Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan kawannya itu membuat dia terperangah. "Ular Betina Selat Madura?" desisnya tersentak. "Jadi si perempuan anggota baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu adalah dia?" berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini.

Windarti memang telah mendengar nama gelar yang pernah membuat heboh dikalangan para saudagar di Selat Madura. Wanita berkepandaian tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita tentang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa bulan yang lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak terdengar lagi beritanya.

"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian menjalin persahabatan dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Sementara diam-diam hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Betina itu yang telah membunuh bangsawan tua itu dengan mematahkan lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari bencana. Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pesanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang berada di jalur sesat!

Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi melakukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing. Pesanggrahan itu bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penjahat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk dikirim keperbagai wilayah. Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersembunyi yang melayani pesanan dari perbagai kalangan.

Adapun gadis pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pe sanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua perguruan. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya adalah murid wanita dari Perguruan Cempaka Biru, sebelum adanya Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu tinggi bernama Nini Candra Gumintang. Wanita tua itu menyembunyikan gelarnya pada murid-murid mereka. Hingga tak seorangpun dari para muridnya mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba Hijau.

Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab sejak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen itu. Diantara enam murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seorang adalah murid yang paling tua, bernama Nagasari. Wanita itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling di andalkan oleh sang guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawa hannya.

Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah. Secara tak langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasari. Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya. Hal mana membuat Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat dimana terdapat seorang tabib.

Konon khabarnya tabib itu seorang yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat sekalipun. Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan Nagasari. Dia bernama Beguk Reksasana. Seorang laki-laki bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundur kan diri dari jabatannya.

Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak mem bantu penyembuhan penyakit sang guru dengan memberikan bermacam obat-obatan. Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari semakin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum. Namun hasilnya tiada kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid lainnya menjadi cemas.

Demikianlah, Beguk Reksasana memberi saran untuk membawa sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka. Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah tak berdaya apa-apa. Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup.

Keadaannya sungguh amat mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru di usung. Cuma dua orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga pesanggrahan. Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.

Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Reksasana juga kedua murid laki-laki saudara Seperguruan mereka. Nagasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa sang guru telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar diobati lagi. Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa ke tempat tabib itu. Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut.

"Kita tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau kiranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai dis itu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib saktiitu, sang guru berpulang dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.

Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka. Wajah-wajah duka tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gurunya itu.

"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.

"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat, yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah, kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya beri kan sehelai kertas kulit pada Kuntali.

Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserahkan pada Nagasari. Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah kakak tertua seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wasiat itu tertera tanda-tangan guru mereka.

Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian. Demikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat wasiat itu. Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Namun dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta menyaksikan pemberian surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kuntali, yang selalu dibisikkan pada Windarti. Bahkan kedua laki-laki saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.

Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditutup oleh Nagasari. Dan diganti dengan nama Pesanggrahan Melati. Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut di wilayah utara Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Reksasana yang telah menjadi suami Nagasari.

Pernikahan mereka di langsungkan didepan jenazah Nini Candra Gumintang yang tanpa disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki sau dara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...

TIGA

"KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan dia...?" Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menyelami hati sang kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Sepertinya ada nada "kecemburuan" dari kata-kata yang diucapkan gadis ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung ini.?" Dan persahabatan macam apakah antara kedua saudara seperguruan ini...?

"Windarti...!" terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian. "Jangan khawatir! Kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengannya meraih dagu gadis pendayung itu.

"Sungguhkah ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara hatinya tergetar. Dan terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu. Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.

"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!" suara Windarti mendesah. Pakaian yang baru mau dikenakan itu merosot kembali. Dan... tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali erat-erat.

Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan Kuntali se perti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering mengadakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya.

Kelanjutannya mereka bagaikan "bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai benang melekat ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena mereka tak ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat dengan memperdengarkan desahan-desahannya...

Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka. Dan..., satu suara dingin terdengar mencengkam. "Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?"

Tersentak kedua gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa. Seketika melompat untuk masing-masing menyambar pakaiannya. Dan tertegun menatap keha dapannya, karena sang Ketua alias Nagasari telah berdiri bertolak pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali.

"Cepat kita melarikan diri...!" desis gadis itu.

Brakkk...! lengannya menghantam jendela. Dan detik berikutnya, Kuntali telah mendahului melompat. Tak ayal Windarti segera menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "sahabat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.

"Berhenti! kalian telah terkepung! Lebih baik menyerah. Mungkin hukuman bagi kalian tidak terlalu berat!" Bersamaan dengan suara itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka.

Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembu lan segera diketahui siapa mereka yang menghadang. "Tapak Doro, Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi kami!" membentak Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.

"Hahaha... kami hanya menjalankan perintah Ketua!" menyahut salah seorang dari dua laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka sebatas dada kebawah.

Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa. "Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempat sempatnya kalian mengadakan hubungan. Kalian memang gadis-gadis aneh! mengapa tak menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro.

"Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap kalian. Sayang kalian tak pernah memberi kesempatan...!" timpal Binangun dengan tertawa menyeringai.

Panas rasanya muka Kuntali. Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut. Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat ke dua gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini segera mengejar. Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah di persiapkan.

Wuttt! Krep...! Luncuran tali laso yang memang sudah di kuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Windarti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan Windarti terle pas seketika. Karena dia berada dibagian belakang. Apalagi Windarti dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hingga dia sukar untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan mudah terkena jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Windarti tentu dapat menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.

"Bedebah...!" memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara seperguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang dan jatuh terjerembab bergulingan.

"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali dengan kalap. Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai singa. Tapi... Buk...! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan telak telah lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling guling dia ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan men giris jantung.

"Bocah tak tahu adat! Kuberi kebebasan padamu di Pesanggrahan Melati malah mau melarikan diri...! Kau akan menyesal dengan ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang telah berada ditempat itu.

Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Karena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke digjayaan tinggi. Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokoh tokoh golongan hitam yang menjadi langganan di Pesanggrahan Melati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya. Yaitu yang bergelar si Tiga Dedemit Gunung Siung.

Pucat seketika wajah Kuntali. Belum lagi dia berusaha untuk bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat ke hadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan cepat. Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus oleh Tapak Doro.

"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri kalian kesempatan baik...!" berkata Nagasari dengan tersenyum.

Binangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"

"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami akan menerimanya..."

"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.

"Mengapa, Ketua...?" tanya Tapak Doro. "Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah! kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk mengaturnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibatnya. Seorang langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga mahal telah dibuatnya tenggelam...!"

Diam-diam tersentak kaget Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya. Wajah wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya kesempa tan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Selat Madura yang menjadi sahabatnya itu.

Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu. Akan tetapi mereka jadi serba salah karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya. Juga mereka belum mengambil keputusan siapa yang akan memulai terlebih dulu.

"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah ragu ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari, seraya mengambil tempat duduk diatas sebatang kayu.

"Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera menjatuhkan hukuman mati pada si Kuntali ini!" ujar Nagasari.

"Baik! baik...! Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun serentak.

Segera mereka mengambil keputusan. Ternyata Tapak Doro yang akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang. Maka, tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.

Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos. Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang membe rikan hukuman mati pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang telah memesannya.

Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertu tupkan apa-apa. Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Doro. Tak perlu lagi. Karena gadis itu sudah dalam keadaan tertotok. Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam, namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca.

Sementara Windarti telah menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya. Namun dia tak berdaya. Dan setitik air bening kembali merayap turun membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti meresap ketulang. Dan... batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.

Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai. Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya. Dan lenyapnya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pesanggrahan Melati...

* * * * * * *

EMPAT

Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati te lah diperketat. Tak sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kaki tangan Ketua Pesanggrahan Melati. Terlihat orang-orang yang berkepandaian tinggi simpang-siur membagi tugas. Karena mereka telah mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ke tempat itu.

Didepan Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau. Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan ketiga laki-laki tua yang rata rata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.

"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.

"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya istriku...!" berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera menjura pada ketiga gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan guru semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu memang perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diam diam telah berkomplot dengan dia!"

Tiga Dedemit Gunung Siung manggut-manggut mendengar penuturan muridnya. "Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?" tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit. Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.

"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah di ketahui tempat persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk Reksasana.

Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk Reksasa na segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat. Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggra han di pesisir pantai itu.

Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah Nagasari datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wanita ini beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan cepat sekali dia telah menyergapnya.

Mulutnya dibekap hingga tak mengeluarkan suara. Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai meng gelosoh. Bahkan langsung merokok urat suaranya. Kemudian apakah yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh pakaian penjaga wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.

Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri. Rambutnya yang basah diuraikan. Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi. Tentu saja dengan "bebas" dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya mencari-cari seseorang diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu memasuki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah pintu kamar dibukanya. Tapi kamar itu kosong.

"Heh!? kemanakah Kuntali? Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini pelahan.

Segera dia tutupkan lagi pintu kamar. Lalu dengan gerakan gesit segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua. Tak lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah memang kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari dalam. Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasuk kannya ke dalam pakaiannya. Hingga tampak perutnya agak menggembung.

Tak lama dia telah keluar lagi. Beruntung tak ada seorangpun didalam. Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu. Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar itu terkunci. Namun baginya hal itu bukan halangan. Dengan kunci palsu dimilikinya pintu bisa dibuka.

Sekejap dia sudah melompat ke dalam. Lalu tutupkan pintu dari dalam. Habislah uang dan perhiasan Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu terdengar suara suara diluar kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruan gan Pesanggrahan. Tersentak dara ini. Onggokan terakhir dari perhiasan mahal milik Nagasari cepat diraupnya. Lalu dimasukkan dalam baju. Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut dara ini karena penuh dengan perhiasan dan uang.

"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku kira dia sudah disana..." desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak.

"Haiii!? siapa kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela. Yang membentak tak lain dari Nagasari. Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya. Bahkan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jendela tak ayal dia sudah mengejar. Akan tetapi....

Wukkk! Criinggg...!

Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan diri. Ternyata senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam miliknya yang dihamburkan untuk menyerangnya.

"Bedebah!" memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat untuk mengejar seraya berteriak. "Pencuriii! tangkap dia! tangkaaap...!"

Tentu saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjata senjata ditangan. "Dimana pencurinya!?"

"Pencurinya dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Sebagian lagi menghambur keluar melalui jalan samping, karena teriakan itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari sang Ketua.

"Apa yang terjadi Ketua...?"

"Goblok semua! Cepat kejar! Dia berlari kearah sana! Nagasari sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.

"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!"

"Kepuuung! Bunuuuh...!" berteriak-teriak mereka.

Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul. Melihat banyak anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, sejenak mereka saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk men dahului para anak buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini sepuluh kali lipat dari gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul. Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.

Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata telah kehilangan jejak. "Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan itu?" memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran. "Celaka...! Oh, ludaslah sudah harta bendaku! Dari mana dia bisa masuk kekamarku? Bukan pintu kamarku terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wanita ini dengan tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian waktu memergoki sosok tubuh yang luput dari kejarannya itu.

Berpikir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa lenyap untuk mengejar lebih jauh. Apalagi dia telah kehilangan jejak. Tak tahu lagi kemana larinya orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah meyakinkan siapa adanya orang itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat Madura? Pikirnya.

Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya berkecamuk memikir kan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya. Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi lemari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati. Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai mema kan waktu lebih dari dua tahun. Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba...

"Itu dia...! tangkap! kejaar!"

"Bunuuuh!"

Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orang orangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.

"Goblok! Mata kalian sudah buta semua...? Apakah tak mengenali aku?" membentak Nagasari dengan suara mengeledek.

"Hah!? Ket... Kett... Ketua...?" hampir berbareng mereka melompat mundur dengan suara tertahan.

"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami tak mengenali orang..." menyahut salah seorang dari anak buahnya.

"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!" maki Nagasari dengan mendongkol. Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya. Dan tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang. Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya. Baru saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang menyongsongnya. Langsung lakukan pertanyaan.

"Ada apa Nagasari...? Apakah yang telah terjadi istriku?"

Mendelik sepasang mata wanita ini. "Kau...?! Apa saja kerjamu, kakang...? Sampai tak tahu kejadian ini...?" membentak Nagasari dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"

"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersem bunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk melaksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu, kecuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!" menyahut Beguk Reksasana.

"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar Nagasari dengan mendengus. "Tak tahukah bahwa kamar kita telah kemasukan maling? Oooo... ludaslah semua harta bendaku..." teriak Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk menuju ke arah kamarnya.

Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut. Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat menyimpan uang dan perhiasannya.

"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.

"Ini semua gara-gara kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari seraya putarkan tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.

"Gara-gara aku...? He? Aku tak tahu menahu dengan semua ini! Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan dis ini ada pula tiga orang guru kita...!" bela Beguk Reksasana sang suami.

"Cih! kalau tidak gara-gara kau menerima wanita muda bernama Andini itu untuk bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!" berkata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan pantatnya dipembaringan.

"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu? Dialah si Ular Betina Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan pura pura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya. Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!" semakin ketus kata kata Nagasari yang tetap mempersalahkan suaminya.

"Aku... aku..." Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.

"Sudah. sudah! Sudah!!! tak usah kau mencari-cari alasan! Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita membekuk si Ular Betina keparat itu!" potong Nagasari dengan bentakan ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan... terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal.

Terhenyak Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!" Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan kamar itu...

LIMA

Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat, Windari tergolek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membelalakkan matanya. "Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?" tersentak Windarti berkata dalam hati. Lama dia termangu dengan benak me mutar. Selain berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan se bagai tawanan.

Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia seperti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak. Bahkan ditugaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong untuk berkencan ditengah laut. Tapi kali ini dia tak bisa bebas bergerak. Karena tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso. Bahkan masih dalam keadaan membugil.

Pesanggrahan Melati itu kembali lengang. Karena suara-suara gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara hatinya mulai menduga-duga. "Apakah si manusia misterius yang me namakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dike jar...?"

Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi. Yang terbayang justru kejadian tadi. Kejadian yang telah membuat bulu romanya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa disayat-sayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pelampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun. Dua orang saudara seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Naga sari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.

Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan mereka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, namun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain. Nagasari telah menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian. Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan atas antara pengkhiana tannya.

Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pi pinya. Tak tega dia membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma jeritan pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.

Windarti memang tak mau melihat. Dan tak akan melihat, kare na segera dia telah diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan selanjut nya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki terbelenggu...

Kini keheningan merayapi ruangan itu. Cuma desah napasnya dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga. Sunyi! Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati. Dia telah kehilangan orang yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia telah menempuh jalan salah.

Ya! Tak semustinya dia mencintai sesama jenis. Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya. Namun segalanya terputus sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hidup lagi. Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan tak lekang terkena panas!

"Nagasari...! Tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan puas belum terbalaskan...!" berdesis Windarti dengan sepasang len gan mengepal dalam belenggu. Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di hadapannya.

"Ssssst!" Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut memberi isyarat.

Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan ta jam.

Dan... tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik bajunya. Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini. Bahkan segera membuka totokannya. Selesai itu, si orang ber topeng segera balikkan tubuhnya membelakangi. Tampak lengannya merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan "sesuatu" kearahnya.

Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian. Tentu saja membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira. Tak ayal segera dia beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel pakaian dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai berpakaian?

Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya dengan cepat. Sebentar saja sudah rapih berpakaian. Cepat si orang bertopeng putar tubuh. Lalu beri isyarat untuk mengikutinya. Dengan berindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu. Melompat gesit dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara.

Tiba dibagian belakang Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tangan Windarti. Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Selanjutnya... Whuttt...! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur. Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.

"Guru...!? Oh, guruuu...!" berteriak Windarti dengan tersentak antara terkejut dan girang. Dan menghambur dia untuk kemudian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki seorang wanita tua yang berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak lain dari Nini Candra Gumintang. Sang guru yang dikhabarkan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.

Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua Perguruan Cempaka Biru. Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas sepa sang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau yang dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi Ketua.

Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan Melati. Yang berfungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penam pungan wanita-wanita cantik. Merupakan bisnis besar yang dikelola secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang dan harta benda. Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wanita tua itu. Wanita ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, seraya berkata.

"Sudahlah muridku...! Mari kita berbincang-bincang didalam...!" Lalu paling pada si laki-laki bertopeng itu. "Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"

Tersentak laki-laki bertopeng itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa, guru...!" Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penutup wajahnya. Karena memandangi pertemuan yang mengharukan antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama. Menatap dengan mata mendelong.

Adapun Windarti jadi terlongong mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi setelah melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka topengnya. "Kau..., kau Shidarta...?" sentak Windarti terkejut.

Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, "Marilah kita duduk didalam, Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami ceritakan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku! Tentunya kau menyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi, bukan...?"

"Benar, Shidarta..." menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku serasa mimpi."

"Marilah kita bicara didalam...!" ujar Shidarta seraya menggamit lengan Windarti.

Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah meja. Lalu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar dihadapan sang guru. Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sabar rasanya untuk lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.

"Guru...! Ceritakanlah...! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. Apakah memang Nagasari telah berdusta dengan penuturannya yang mengatakan guru telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...?" Pertanyaan Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.

Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera menjawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ketika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah akibat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membunuhnya.

Nagasari adalah seorang murid terlama dan paling dulu menjadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menurut apa yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan di bawa keseorang tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit.

Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau membunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendiri. Tentu saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu, karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala.

Ternyata kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajahnya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati. Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari Shidarta. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir) Nini Candra Gumintang.

* * * * * * *

LIMA

SHIDARTA memang "menghilang" ketika Beguk Reksasana muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Karena dia telah segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta pada Adipati Donggala mengenai kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat perbuatan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan. Shidarta memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat rahasia mengenai adanya rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama sebenarnya adalah, Tali Wangsa.

Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut. Tentu saja dengan janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan saja untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.

Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri. Hal kejadian itu segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian pihak Kerajaan menetapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui sesosok mayat oleh para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali Wangsa dalam perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam keadaan hancur mukanya. Juga serpihan daging yang sudah hampir hancur membusuk.

Hingga sukar dipastikan apakah benar dia Tali Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pakaian yang dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak lega hati Shidarta mendengar berita itu. Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Nagasari.

Namun dengan nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak. Walau pun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasana tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu. Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang guru keseorang tabib agak membuatnya curiga. Seperti dibisikkan Kuntali padanya.

Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak punya hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana, diam-diam menguntit kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rombongan mereka berangkat.

Sebagai murid termuda. Apalagi masih adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wilayah tempat itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan mengatakan akan cepat kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat berangkat pergi. Tapi diam-diam membelok untuk berlari cepat menyusul pengangkut tandu yang membawa sang guru.

Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang. Yaitu ke sebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.

Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari. Tentu saja saudara seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pesannya untuk ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua orang saja yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah sau dara seperguruan Nagasari.

Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah tak mengenai Shidarta. Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang Kadipaten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya mayat laki-laki itu disungai.

"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasari. Walau kau adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah menjadi murid dari Perguruan Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan patuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu. Sebabnya kau kularang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada satupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau merasa sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu ke sembuhan guru kita, baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian. Tapi cuma kuberi waktu satu bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"

"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!" menyahut Shidarta dengan tundukkan wajahnya.

"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan. Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pada setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah di beri wewenang untuk itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi peringatan.

Shidarta tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk. "Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana, Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu se gera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.

Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit. Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan membiarkan aku pergi begitu saja...!"

Dugaannya benar. Ketika membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok tubuh. Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau me nembus jantung. Bibirnya tampakkan senyum sinis.

Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja. Seperti tak merasa terkejut. Karena justru hal inilah yang diinginkannya. Tetap melang kah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana...? Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?" Shidarta pura-pura bertanya.

Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan dihidung. Lalu menjawab. "Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Biru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan nyawamu...!"

Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa hambar. "Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan kata kata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya dirimu Tali Wangsa! Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam. Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari. Juga kau khawatir aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada seorang buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk mu. Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta dengan lantang.

Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya. Bahkan mau merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki yang pernah di angkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak mengenal budi. Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya.

"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cukup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa apa! Apakah kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun dia tahu siapa aku? Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami berdua telah cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya secara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukatakan itu adalah saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama Lodaya Seta...!"

"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?" membentak Shidarta dengan wajah merah padam.

"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman guru mu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhianat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh ketanganku bila ayahku memaksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar dibelakang Shi darta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri tegak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman iblis!

"Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!" memaki Shidarta dengan wajah berubah bringas. Dan... Srreek! Dia telah mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang perak.

Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa agar membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan ker jaan ini tarik keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selendang sutera warna merah dari balik pakaiannya...

TUJUH

Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat miringkan kepalanya. Karena hawa dingin membersit cepat sekali menebas batang leher dari belakang disaat Shidarta membelakangi. Beguk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah dipersiapkan sejak semula. Disamping nalurinya yang cukup peka.

Akan tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasana membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat. Selendang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang tombak. Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit lengan atau kaki Shidarta. Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terke siap. Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang demikian hebat.

"Hahaha... Shidarta! Lebih baik kau buang senjata kapakmu yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!" mengejek Tali Wangsa.

Menggerung gusar Shidarta. Tiba-tiba dengan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah ke sempatan dia mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas dan menangkis serangan lawan. Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksasana jejakkan kaki! Pemuda itu telah menghantam dadanya dengan telak. Buk...! Terhuyung laki-laki. Sementara Shidarta telah melompat berdiri.

"Jahanam keparat! kubunuh kau...!" membentak dahsyat Shidarta seraya diiringi dengan sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara berdesin membelah udara... Trang! Trang...! Sebat sekali Beguk Reksasana menangkis dengan pedangnya. Ternyata dalam keadaan terhuyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^ untuk menangkis dengan cepat.

"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!" memaki Beguk Reksasana.

Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya yang bergulung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus berbahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana. Terperangah oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk Reksasana lenyap tak ketahuan.

Traannngg...!

Satu benturan keras terdengar. Shidarta terkejut karena rasakan kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara dibela kang leher yang menimbulkan hawa dingin.

"Ah.!?" tersentak kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar Ungu Beguk Reksasana.

Akan tetapi terdengar suara tertawa mengikik dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda ini. Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung kur dua-tiga tombak ke depan.

"Bagus! Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menye ringai tertawa. "Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.

"Sekarang?" tanya Beguk Reksasana setengah bergurau.

"Sekarang...!" sahut Nagasari.

Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha un tuk bangkit. Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah membuat dia terluka dalam. Tampak darah menggelogok berkali-kali dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup. Saat mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah laku kan serangan kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit un tuk membelah batok kepala Shidarta. Sedangkan selendang sutera merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...

Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu. Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa. Dan... Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya. Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat, mendadak lenyap tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Semen tara Nagasari belalakkan mata terperangah.

"Angin apakah yang lewat barusan?" desis Nagasari.

"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.

"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!" gumam Nagasari.

"Yaa...!"

keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menyadarkan.

"Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pusaka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu kita pikirkan...!"

"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.

"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan pembicaraan. Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin meremang. Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Akan tetapi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak mengetahui.

Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula. Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya Seta. Lodaya Seta adalah seorang laki-laki betampang gagah. Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis racun, dia juga pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak buruk.

Dimasa muda Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak di perkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal kejadian itu sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.

Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah menceritakan tentang bekas saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Seta itu. Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup. Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak perempuan saudara seperguruannya itu.

Bahkan dengan diam-diam dikirimnya Nagasari (anak gadisnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang. Yang baru saja mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari mendiang guru. Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta tak pergi jauh. Dia selalu mengintai keadaan dibekas tempat pergurunya itu. Di saat sang guru turun gunung, Lodaya Seta menyatroni lagi pondok perguruannya.

Terkejut Candra Gumintang melihat kedatangan Lodaya Seta. Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali perbuatannya. Tentu saja membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh. Sebenarnya diapun amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri. Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara diam-diam Lodaya seta berbuat keonaran diluar perguruan. Bahkan guru Lodaya Setapun tak mengetahui.

Suatu hari telah berdatangan beberapa tokoh persilatan golongan putih ke pesanggrahan mereka. Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang karena mereka datang mencari Lodaya Seta. Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika diberi izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbua tan jahat. Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya, bahkan juga memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan ak al licik. Yaitu mengkambing hitamkan orang lain dengan perbuatan nya yang telah dilakukan.

Namun akhirnya dia harus mengalami resiko, ketika suatu saat perbuatannya ketahuan. Lodaya Seta melarikan diri. Dengan ilmunya yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar kehilangan jejak. Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan terbongkar. Karena secara tak sengaja Candra Gumintang justru turun gunung. Tujuannya adalah mencari Lodaya Seta untuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan penting atas tita han gurunya.

Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul, yang sedianya akan kembali keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui tempat tinggal Lodaya Seta. Dan mengetahui pula kalau dia salah seorang murid Pendekar tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang Setan pada waktu itu. Tentu saja dengan menyatroninya belasan pendekar itu membuat terkejut Resi Gentayu guru kedua murid itu.

Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Dan hari itu juga Resi Gentayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bahkan mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya Seta. Lalu mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan. Melihat kemunculan Lodaya Seta ke pesanggrahan di puncak gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba salah. Apabi la adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penye salannya.

"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesalahanmu. Dan guru telah mengambil keputusan. Mengapa kau tidak pergi dari sini? Segala tindak-tandukmu kini diluar tanggung jawab guru kita. Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!" berkata Candra Gumintang dengan suara lirih.

"Kakang mbok...! Aku mengerti kau tak bisa berbuat apa apa. Akan tetapi kita telah seperti saudara kandung. Apakah kau tega membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa beliau mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua untuk masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan cita cita guru untuk mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi dengan keluarnya aku dari perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa. Ooo... alangkah menyesalnya aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kembali air matanya mengalir bercucuran.

"Sesal itu sudah terlambat, adik Lodaya...! Dan janganlah kau mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu... Aku sendiri tak mengetahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak pernah menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka itu, ataukah masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan kita. Walaupun seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Karena itu urusan beliau. Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntutnya...!" ujar Candra Gumintang. Candra Gumintang seperti telah menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang sebenarnya menginginkan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk bekalnya. Benar saja...!

"Jadi kau belum menerima apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya Seta. Candra Gumintang menggeleng.

"Baiklah...!"ujar Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan wilayah ini. Tapi kelak suatu saat aku pasti akan mencarimu, kakang mbok!" Setelah berkata demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh. Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Namun sejak itu Lodaya Seta tak pernah muncul. Bahkan sampai wafatnya Resi Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan perguruan Cempaka Biru. Padahal murid pertamanya adalah anak kandung Lodaya Seta. Candra Gumintang memang selama hidupnya tak menikah. Tadinya dia cuma mau menerima murid-murid wanita saja. Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki. Yaitu Tapak Doro, Binangun dan Shidarta.

DELAPAN

Selanjutnya Nini Candra Gumintang berikan penuturannya, bahwa ketika itu dia terkejut melihat kemunculan Lodaya Seta dihadapannya. "Lodaya... jadi kau... kaukah tabib yang akan mengobati penyakitku?" bertanya Nini Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua itu masih bisa mengenali orang dihadapannya.

"Hehehe... benar! Aku Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bilang bahwa aku kelak pasti akan datang untuk menemuimu lagi? Kini sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti telah menerima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!" ujar Lodaya Seta dengan menyeringai.

Lodaya Seta telah berubah jadi seorang kakek bertubuh tegap dengan kumis dan jenggot yang putih lebat. Dikala muda memang Lodaya Seta sudah berewok. Keadaan nya memang tak berubah banyak. Cuma berbeda dari kumis dan jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah. Kulit tubuhnya walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.

"Lodaya...! apakah selama ini kau telah merobah jalan hidupmu menjadi manusia baik-baik?" tanya Nini Candra Gumintang.

"Hehehe... tentu saja...! Bukankah aku menjadi seorang tabib? Aku curahkan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Ku tolong orang lemah tak berdaya tanpa pamrih. Aku tak mengharapkan imbalan apa apa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku membutuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Semua ini untuk kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta.

Nini Candra Gu mintang mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang mata yang sudah memudar sinarnya itu menetes air bening. "Ah... aku bahagia sekali mendengarnya Lodaya... Sudah kuduga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau dia mau. Haiiih! kalau guru masih hidup tentu beliau akan senang mendengarnya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan terharu.

"Kau sudah menikah. Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...? atau, cucumu...?" tanya Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.

"Kau sendiri bagaimana?" balas bertanya. "Apakah kau sudah bersuami?"

Wanita tua itu menggeleng. "Aku masih tetap sendiri sejak dulu. Mungkin aku takkan menikah sampai saat habisnya usia ku...!"

Tabib tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Haiih! kakang mbok! mengapa kau menyia-nyiakan masa mu damu? Kau dulu cantik, ayu... bahkan hatiku pernah "Kepincut" pada mu. Sayang usiamu lebih tua dan kau telah menganggap aku adikmu sendiri..." berkata Lodaya Seta, seraya menghela napas.

Pernyataan Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang terperangah. Akan tetapi tak ditampakkan diwajahnya. Andaikata sejak dulu sebelum Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, niscaya dia bahagia mendengarnya. Dan takkan ditolak cintanya karena memang diam-diam dihati Candra Gumintang pada saat itu memang telah menanam benih "cinta" pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak berani mengutarakannya, disamping telah menganggap Lodaya Seta adiknya sendiri.

Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan dan tingkah laku Lodaya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya perasaannya. Hingga kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah perguruan. Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup. Cintanya seolah karam didasar laut. Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak pernah bersua ini.

Saat itu mendengar pengakuan Lodaya Seta, telah membuat dia terlongong dan tak terasa air matanya semakin membanjir membasahi pipinya yang telah keriput.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Lodaya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak, Lalu cepat cepat menghapus air matanya.

"Oh... ya...! Baiklah akan kukatakan. Aku memang telah menikah. Tapi istriku mati muda disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai seorang anak perempuan. Dialah yang bernama Nagasari. Dan bukankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"

Membelalak mata Candra Gumintang. "Hah!? jadi... jadi Nagasari itu anakmu...?"

"Benar!" sahut Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita tua itu tercenung hingga akhirnya dia berkata.

"Sungguh kau ini manusia aneh, Lodaya...!" Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Justru itulah, kakang mbok, aku ingin kau mengerti tentang aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan guru itu kau berikan padaku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak perempuanku satu-satunya yang amat kusayangi...!"

Sampai disini tiba tiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sampai air matanya bercucuran. "Hihihihi... kau memang pintar, Lodaya...! Tapi aku gembira. Baiklah, akan kuberikan sisa harta pusaka warisan guru itu pada mu..."

Melonjak girang Nagasari yang diam-diam sembunyi mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali Wangsa.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu kakang mbok...!" menyahut Lodaya Seta dengan wajah girang. "Nah, minumlah ini untuk kesehatanmu. Kau harus dirawat disini sekurang-kurangnya satu bulan...!" Lodaya Seta berikan obat ramuan yang telah diramunya tadi dalam mangkuk.

"Terima kasih, adik Lodaya... ujar Candra Gumintang.

Lodaya Seta membantunya untuk duduk. Lalu dekatkan mangkuk berisi obat itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu segera meminumnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta bertanya.

"Dimana kau simpan harta pusaka itu, kakang mbok...?"

"Oh ya...!"* ujar Candra Gumintang yang terbatuk-batuk sesaat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu, lalu diberikan pada Lodaya Seta. "Didalam stagen ini terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bukalah jahitan itu. Didalamnya ada sebuah kertas kulit yang berisi peta dimana harta pusaka itu disimpan!" Ujar wanita tua itu.

Lodaya Seta manggut-manggut gembira. "Ah, sungguh kakang mbok seorang yang berbudi luhur. Juga berhati bersih, membuat aku jadi malu hati...!"

"Aku telah menganggap kau adik kandungku sendiri. Dan bukankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan umat manusia? Kalau aku tak memberikannya, oh... alangkah naifnya aku...!"

"Benar... benar, kakang mbok. Sungguh aku menghargai keluhuran budimu." Lodaya Seta cepat membuka jahitan pada kain stagen itu. Dan mendapatkan secarik kertas kulit berisi sebuah peta. Sampai disini Candra Gumintang menghela napas.

"Apakah guru tidak mencurigai sama sekali pada NagaSari? Juga pada paman Lodaya Seta?" bertanya Windarti.

Nini Candra Gumintang menggeleng. "Sejak jauh-jauh hari aku memang telah membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu itu. Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka Biru. Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat Lodaya Seta!" sahut Wanita tua itu.

"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, guru...?" tanya Windarti.

"Baiklah, aku akan teruskan ceritanya..."

Demikianlah! Nini Candra Gumintang segera tuturkan kelanjutan kisahnya. Ternyata kemudian setelah Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar. Sementara Candra Gumintang semakin redup matanya. Obat ramuan yang diminumnya ternyata tak lain dari obat bius. Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah tidur pulas.

Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk Reksasana tersenyum. Mereka berembuk untuk memulai rencana selanjutnya. Dan bisikan-bisikan itu ternyata tak luput dari pendengaran Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya cuma pura-pura pulas. Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh obat bius.

Kecurigaannya mulai timbul, karena mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari tak mau munculkan diri terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke janggalan ini? Ya, Nagasari memang sering terlihat janggal dalam perbuatan dan tindak-tanduknya. Semua sikap itu melalui menjadi perhatiannya.

"Bagus...! Dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?" tanya Nagasari pada Lodaya Seta. Seusai menceritakan kejadian aneh tentang Shidarta.

"Hm, menurutmu baiknya bagaimana...!" balas bertanya Lodaya Seta.

"Dia telah berikan peta harta pusaka itu padaku tanpa bersusah payah! Apakah kebaikannya akan kita balas dengan kejahatan...?"

"Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap hari diminumnya setiap kali aku membawakan minuman untuknya, telah membuat penyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang sukar untuk di sembuhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah mampu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu saat pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi seandainya semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Terutama Shidarta...! Walau dia masih hidup, tentu akan membocorkan rahasia ini!" ujar Nagasari.

"Jadi sebaik-baiknya langkah yang harus kita tempuh adalah melenyapkannya...!" lanjut ucapan Nagasari.

"Yah! tak ada jalan lain...!" akhirnya Lodaya Seta manggut manggut menyetujui usul Nagasari padahal hati laki-laki tua itu amat menyesali tindakannya. Karena tak menduga akan semudah itu Candra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya. Nasi telah menjadi bubur. Apa mau dikata. Kini tak ada jalan lain selain melenyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.

Akhirnya diambil keputusan, Tapak Doro dan Binangun yang diperintahkan untuk membunuh Nini Candra Gumintang. Kedua orang itu segera datang menghadap ketika mendapat panggilan dari Nagasari yang menemuinya.

"Bawalah wanita tua yang pernah menjadi guru kita ini ketempat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya lemparkan saja ke jurang.

"Baik kakang mbok perintah akan hamba laksanakan, asalkan kakang mbok tak lupa untuk membagi harta pusaka itu...!" menyahut Tapak Doro.

"Hm, jangan khawatir! Aku tak pernah mendustai apa yang telah kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai kalian berdua kalau aku akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat ini saja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang paling aku percaya...!" Sahut Nagasari dengan tersenyum. "Nah! Kerjakanlah!"

"Baik kakang mbok...!" hampir berbareng mereka menyahut. Selanjutnya Tapak Doro dan Binangun segera membawa tubuh Nini Candra Gumintang keluar goa. Bergantian mereka memanggul wanita tua yang dalam keadaan terbius itu. Hingga mereka tiba ditepi jurang yang dalam. Disana mereka berhenti.

"Kukira kita tak perlu turun tangan membunuhnya terlebih dulu, Binangun!" ujar Tapak Doro. "Toh bila kita lemparkan saja kejurang, tentu dia akan mati!"

"Hm, benar juga pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah, lebih cepat lebih baik. Sebenarnya aku tak tega melakukannya. Akan tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya amat besar bagi kita!" sahut Binangun.

Disaksikan elang dan burung-burung gagak yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binangun siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru mereka dari atas tebing kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga muncul sesosok tubuh berjubah serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat hidup. Berambut putih beriapan.

"Tahan!" sosok tubuh itu keluarkan suara bentakan.

"Heh! Siapa kau...!?" tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja dia lantas urungkan niatnya. Kedua saudara seperguruan ini saling pandang.

"Bagaimana adik Binangun? Apakah sebaiknya kita bikin mampus dulu penghalang ini?" bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk. Dan...

Sreet! Criing...!

Keduanya telah cabut masing-masing senjatanya dari pinggang. "Manusia ataukah hantukah kau? Mengapa menghalangi niat kami?" bentak Tapak Doro.

"Hmm...!" orang itu perdengarkan suara dihidung. Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung menerjang kearah kedua murid perguruan Cempaka Biru itu. Sepasang lengan si Manusia muka mayat itu merentang. Jari-jari tangannya mengembang, siap mencengkeram batok kepala keduanya.

"Awas, adik Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementara dia sendiri segera melompat menghindar. Bahkan senjata golok besarnya membabat kearah pergelangan tangan lawan.

Binangun miringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi berbandulan tiga mata tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan. Suara rantainya bergemerincing. Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si ma nusia muka mayat.

Kembali orang misterius itu perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan salto indah. Dari gerakan menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya. Sepasang lengannya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro dan Binangun.

"Edan...!" maki Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan tiga mata tombak itu lolos. Bahkan dia kini harus hindarkan serangan mendadak yang di luar dugaan.

SEMBILAN

Tapi sebagai murid yang sudah terlatih, tentu saja Binangun masih bisa hindari serangan ganas itu. Bahkan lemparkan tubuhnya kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia kearah si manusia muka mayat. Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat dapat menghindari diri cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung baju dibagian pundak kena tercengkeram sobek.

Terpaksa si manusia muka mayat gagalkan serangan susulannya karena harus menyampok mental senjata rahasia itu dengan jubahnya. Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah. Tampak gusar Tampak Doro. Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan. Kalau sampai terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal untuk membunuh guru mereka.

Lompatan dengan jurus Macan putih Menerkam kijang segera dilakukan. Bahkan golok besarnya sudah melayang ganas untuk menabas pinggang lawan. Gerakan cepat ini seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut. Kembali dia menghindar dengan Lompatan salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus mengejar dan mencecar dengan tabasan-tabasan golok besarnya.

Binangun segera datang membantu dengan sambaran tiga mata tombak dari bandulan rantainya. Terlihat si manusia muka mayat se pertinya terdesak. Dia terus mundur dengan lompatan-lompatan sal tonya. Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang itu. Suatu ketika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata tombak Binangun. Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.

"Keparat! Kau harus mampus! Karena telah memperlambat urusan kami!" bentak Tapak Doro dengan gusar. Semakin menggebu niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya telah ter desak.

Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilangan jejak. Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana. Berlompatan Tapak Doro dan Binangun mencari. Akhirnya mereka memutuskan untuk cepat kembali. Pekerjaan mereka harus segera diselesaikan. Demikianlah. Dengan gerakan cepat mereka segera kembali ke tepi tebing. Dibibir jurang itu masih tampak tergolek tubuh Nini can dra Gumintang.

Sesaat kemudian... "Satu.... dua.... ti...ga!"

Dan dilemparkannya tubuh wanita pendekar tua yang malang itu ke mulut jurang. Tubuhnya melayang ke bawah untuk kemudian lenyap tak kelihatan lagi. Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur dan tertutup kabut.

Tapi tak seorangpun dari dua saudara seperguruan itu yang mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain dari sebatang kayu. Ya, sebatang kayu...! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh berjubah hitam, yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka Mayat yang tadi lenyap dari kejaran Tampak Doro dan Binangun.

Akhirnya kedua laki-laki yang telah menunaikan tugasnya itu, tampak segera bergegas kembali pulang untuk melaporkan hasil pe kerjaannya. Sampai di sini Nini Candra Gumintang mengakhiri kisahnya, yang ditutup dengan kata-kata... "Nah! Itulah sebabnya aku masih hidup sampai saat ini. Karena di tolong seseorang...!"

Windarti termangu-mangu mendengarkan kisah yang dituturkan itu. "Siapakah orang yang telah menolongmu itu, guru...?"

"Entahlah...! Orang itu tak mau memperkenalkan diri. Wajahnya mirip mayat hidup. Kami cuma mengenal dia dengan julukan si Manusia Muka Mayat!"

"Ooooh...!?" Ternganga Windarti.

"Akan tetapi si penolong misterius itu kenal baik dengan adik seperguruanku, si Lodaya Seta.!" ujar nini Candra Gumintang lebih lanjut. "Dan agar kau ketahui lebih jelas... si Ular Betina Selat Madura itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya Seta. Yang telah menyelamatkan nyawaku...!" berkata Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada Windarti.

Lagi-lagi gadis ini tersentak kaget. "Aiiih! jadi demikiankah adanya...?" ucapnya dengan terbelalak matanya. "Kini dimanakah paman Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya palingkan wajahnya menatap pada sang guru dan Shidarta.

"Beliau ada ditempat ini...!" ujar Shidarta.

"Guru...! Bolehkan aku mengajaknya untuk menemui paman guru...?"

"Silahkan Shidarta...! Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular Betina Selat Madura...!"

"Baik, guru...!" menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera bangkit berdiri. Windarti mengikuti.

Shidarta ulurkan lengannya untuk meraih tangan dara itu. "Mari kita ketempat mereka...!"

Windarti mengangguk. Menoleh sejenak memandang pada Nini Candra Gumintang. "Guru...! Aku pergi dulu..."

Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum. "Pergilah Windarti!" ucapnya.

Tak lama dengan bergandengan tangan kedua remaja itu segera keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai dan berdinding papan kayu jati itu. Ternyata Shidarta membawanya ke seberang sungai berair dangkal. Diseberang sungai pada tempat ketinggian, tampak berdiri se buah rumah panggung yang cukup besar.

"Itulah tempat tinggal paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia sudah tak memakai nama Lodaya Seta lagi..."

Windarti manggut-manggut. "Siapakah nama atau gelarnya kini?"

"Beliau memakai nama Ki Dondoman dengan gelar Malaikat Tangan Sebelas...!" sahut Shidarta.

"Ah!? Nama yang aneh dan gelar yang hebat!" puji Windarti.

Ditepi sungai berair dangkal dan jernih itu mereka berhenti sejenak. Shidarta menatap Windarti dalam-dalam seperti mau menelusuri relung hati dara itu. Sementara lengannya masih mencekal jemari tangan Windarti. Darah pemuda ini berdesir, dengan detak jantung yang berdegupan. Terasa dihati laki-laki ini ada rasa bahagia. Sementara yang ditatap jadi serba salah. Dia tak mengerti ada apa dengan sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...?

"Windarti...!" terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengutarakan isi hatiku...?"

"Hm, mengapa tidak? Kita kan saudara seperguruan. Kalau kau punya uneg-uneg dihatimu, katakan saja...!" sahut Windarti dengan termenung heran.

"Aneh!" pikir Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja berhadapan denganku. Apakah tak ada "rasa" dihatinya secuilpun terhadapku?"

"Terima kasih, Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut nya. Selebihnya diam dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa yang akan dikatakannya.

"Katanya kau mau mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Mengapa tak kau paparkan padaku?"

Pertanyaan Windarti membuat Shidarta tersentak. "Oh, ya! ya...! aku... aku sedang berpikir, apakah yang akan ku katakan?" ujar Shidarta tergagap.

"Lho? kok malah berpikir dulu? Langsung saja bicara! Kau tampaknya seperti takut mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku lebih suka orang yang terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg dihatimu...!"

Akhirnya Shidarta bicara juga setelah menelan ludah berkali-kali. "Windarti...! Apakah selama ini tak ada kau simpan nama seorang laki-laki dihatimu?"

"Nama seorang laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti tak mengerti.

"Ya! nama seorang laki-laki yang... yang kau cintai...?" ulang pemuda itu dengan memandang nanar. Sementara hatinya berdegupan tak keruan.

"Tak ada kusimpan nama seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar ta! Walau... ya, walau di pesanggrahan Melati terlalu banyak laki laki!" sahut Windarti yang mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta.

Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega. "Kalau tak ada nama laki-laki yang terukir dihatinya, berarti Windarti belum terjamah tangan laki-laki..." pikir Shidarta. "Windarti...! Tahukah kau bahwa aku... aku telah sejak lama menaruh hati padamu. Waktu kita masih sama-sama di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan sayang pada mu itu masih ada. Kalau kau kurang mengerti, baiklah kujelaskan. Ya, aku sebenarnya amat mencintaimu, Windarti...!" Serasa terbebas uneg-uneg dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata barusan.

Tercenung sesaat Windarti. Walau dihatinya mengadakan pertentangan dengan pernyataan itu, namun naluri kewanitaannya ternyata masih berfungsi. Dia menyadari bahwa satu jalan lurus terbentang dihadapannya. Seperti mendapat tempat direlung hati. Selama ini dia memang menyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali adalah ke tidak wajaran.

Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan dan kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya. Dan, dia merasa genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas jemari tangannya. Sesaat hatinya berdegupan. Entah perasaan apa yang berkecamuk di dadanya. bahagiakah atau dia harus bersedih. Karena segera teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada. Tiba-tiba dadanya bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis di tangan Nagasari.

"Terima kasih atas ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghargai. Dan... aku tak menolak cintamu...!" ujar Windarti dengan mata berkaca-kaca.

"Kau... kau terima cintaku, Windarti?" tanya Shidarta penasaran. Dia seperti mau mendengar pengakuan Windarti lebih jelas.

Dara cantik itu mengangguk. Tanpa ucapan kata-kata. Cuma sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan pandangan nanar.

"Ah, terima kasih, Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya hatiku...!" teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepalanya erat-erat lengan Windarti dan didekapnya ke dada.

"Ehmm...!" satu deheman membuat Shidarta terkejut.

Ketika memandang kedepan, diseberang sungai tampak berdiri sesosok tubuh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari sutera tipis warna hitam, "Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Seta" Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut...

SEPULUH

"Andakah wanita bernama Andini, orang baru dari pesanggrahan Melati yang membunuh bangsawan tua itu?" tanya Windarti setelah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.

"Tidak salah, aku juga yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Julukan itu sebenarnya bukan aku yang menggelari. Tapi orang orang sekitar selat Madura yang menggunakan nama itu untuk menggelariku!" sahut Wanita bersuara merdu itu.

"Perampok Tengik...! kiranya kau bersembunyi disini?" tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. Dan tiga sosok tubuh berloncatan mengurung. Mereka rata-rata berjubah hitam. Tak pelak lagi mereka itu tak lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu tiga orang guru Beguk Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.

"Hihihi... bagus... bagus...! Tanganku memang sudah gatal untuk mengemplang kepala kalian. Sukurlah kalau kalian tahu diri menyusul kemari!" berkata si Ular Betina Selat Madura dengan mengikik tertawa. Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal bahaya maut di depan mata. Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar kata katanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung Siung itu.

Tentu saja membuat Windarti melegak heran. Ingin sekali dia menyaksikan kehebatan wanita muda yang menghebohkan selat Madura itu. Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular Betina bernama Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.

Saat mana terdengar suara tertawa terkekeh. Dan muncul pula sesosok tubuh. Dialah si manusia muka mayat. "Heheheheh... Tiga Dedemit Gunung Siung! Akulah lawanmu...!"

Serentak tiga laki-laki tua berjubah hitam itu balikkan tubuh. Langsung salah seorang membentak. "Huh! Siapakah kau...?"

"Heheheh... aku si Manusia Muka Mayat!"

"Apakah urusanmu dengan persoalan kami? Bocah perempuan edan itu telah merampok harta benda muridku di Pesanggrahan Melati! Apakah kau mau membela maling?" bentak Dedemit Gunung Siung.

"Huuu!? Begitukah? Kudengar muridmu itu adalah pendiri pesanggrahan edan yang menjadi komplotan jual-beli perempuan? Kalau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu itu harta tak halal?" tukas si manusia Muka Mayat.

"Dan perlu kalian ketahui, murid perempuan mu si pendiri pesanggrahan Melati itu adalah anak kandunganku sendiri. Akan tetapi karena perbuatannya membuat malu aku. Juga menyalahi tata tertib serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan mendirikan komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"

Terhenyak seketika si Tiga Dedemit Gunung Siung. Ketiganya saling pandang dengan kawannya sendiri. "Heh! siapakah kau ini sebenarnya?" bertanya salah seorang da ri mereka.

Si manusia Muka Mayat tak menjawab. Akan tetapi ge rakkan tangannya "membuka" kulit wajahnya. Ternyata dia mengenakan semacam topeng kulit manusia. "Nah! Apakah kalian masih mengenali wajahku...?" bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.

"Lodaya Seta...!?" tersentak kaget ketiga manusia ini. Memandang laki-laki tua itu yang tak lain memang Lodaya Seta adanya.

Sementara ditempat persembunyian dua pasang mata menatap dengan membelalak pada laki-laki yang barusan berganti wajah itu. Sekonyong-konyong angin keras menyambar semak belukar dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.

"Heheheh... keluarlah kalian dari tempat sembunyimu, Nagasari! Apakah kau tak mau tanggung jawab dengan perbuatan terkutuk mu?" berkata Ki Dondoman dengan suara dingin mencekam.

Tentu saja membuat dua manusia itu melompat ke luar dengan serempak. Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang sembunyi bersama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Ternyata disaat Beguk Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah kabur dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul. Dalam pelacakan mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka telah sampai ketempat itu.

"A... a... ayah...!? Benarkah kau tak mengakui aku anak kandungmu lagi?" teriak Nagasari dengan suara menggetar hebat.

Laki-laki tua ini menatap tak berkedip dengan sinar mata tajam seperti anak panah yang mau menembus jantung perempuan muda itu. "Aku telah bilang hitam, ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya putih! Apakah aku perlu mengulangi kata-kataku?" membentak Ki Dondoman.

Nagasari mundur dua langkah. Wajahnya tak sedap dipandang. Dadanya tampak turun naik karena menahan gemuruh didadanya. Dari menatap wajah ayahnya, sepasang mata Nagasari beralih pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat Madura itu.

"Heh! kalau begitu keputusan ayah, aku tak dapat menolak. Ayah ternyata telah punya seorang murid perempuan yang menggantikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi sebagai anakmu! Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu pandai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar ayah membenciku...!" berkata Nagasari bercampur isak.

Sementara itu Windarti sejak tadi menatap pada Nagasari dengan tak berkedip. Dengan pancaran mata berapi-api. Sekilas terbayang lagi saat kematian Kuntali, yang sebelum dihabisi nyawanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Tapak Doro dan Binangun. Dendam kesumat di dalam dada dara ini tampaknya sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba dia membentak keras seraya melompat kehadapan Nagasari.

"Perempuan bejat! Hari ini aku akan adu jiwa denganmu...!" Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang ganas. Yang diiringi pekikan-pekikan histeris.

Whuuk! Zeb! Zeb...!

Whuk! Whuk!... Brettt...!

Tersentak Nagasari yang sedang dalam keadaan berduka dengan keputusan sang ayah. Hatinya terasa nyeri karena tak diakui lagi sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu. Ketika serangan mendadak Windari dia agak terperanjat. Namun Nagasari bukanlah wanita yang mudah dijatuhkan. Karena di samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini Candra Gumintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit Gunung Siung.

Namun serangan Windarti yang kalap itu justru membuat Naga sari sukar untuk menduga jurus-jurusnya. Hingga dia berlaku kurang gesit. Sambaran deras dari terjangan Windarti membuat baju lengan nya tersobek. Bahkan kuku dara itu menggores kulitnya hingga ber darah.

"Keparat!" memaki Nagasari. "Kau mau mampus...!" bentaknya menggledek. Dan menerjanglah Nagasari dengan pukulan-pukulan dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih adik seperguruannya itu. Buk...! Satu hantaman telak mengenai dada Windarti, membuat gadis ini terhuyung ke belakang.

"Kau...kau manusia kejam, penipu... kau telah mengelabuiku, mengelabui semua saudara-saudara seperguruan. Bahkan kau telah membunuh Kuntali! Kau racuni guru kita hanya karena ketamakanmu pada harta pusaka milik guru! Apakah kau masih layak untuk hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan penjual wanita! Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa iblismu, keparat...!"

Berteriak-teriak dengan suara lantang dara ini. Bahkan air matanya tampak mengalir turun! Dan, disertai bentakan keras melengking panjang, Windarti kembali menerjang dengan pukulan-pukulan ganasnya. Saat mana Nagasari secepat kilat sambil mengelak telah lakukan serangan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum berbisa. Akan tetapi disaat yang gawat itu, terdengar bentakan keras. Sesosok bayangan berkelebat.

"Awas, Windarti...!" teriakan itu dibarengi dengan mendorong tubuh dara itu. Akan tetapi justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena lurukan jarum-jarum beracun Nagasari. Terdengar jeritan parau dari si Ular Betina Selat Madura, alias Andini. Seketika tubuhnya roboh. Dan berkelojotan ditanah. Tapi sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...

Windarti melompat memburu diiringi Shidarta. Sementara Nagasari telah berkelebat cepat melompat dari situ setelah mencekal lengan Beguk Reksasana. "Cepat! kita pergi dari sini...!" bisik Nagasari. Akan tetapi...

"Bocah murtad! hentikan langkahmu...!" satu bentakan keras dari nada yang dingin mencekam membuat mereka hentikan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun dihadapan mereka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit keluar. Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.

"Hihihi... Nagasari. Dan kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian serahkan diri untuk jadi tawananku. Aku akan serahkan kalian pada hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan hukuman untuk kalian, di Kota Raja!"

Ternganga mulut Nagasari. Pakaian wanita ini amat mirip dengan si Ular Betina Selat Madura yang telah dipastikan tewas terkena serangan senjata rahasia. Akan tetapi jelas dia bukan si Ular Betina itu? Karena wanita yang terkena luruskan senjata rahasianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah wanita ini? pikir Nagasari. Saat mana si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.

"He? Siapakah kau, nona? mengapa kau menyamar jadi murid ku...!"

"Hihihi... akulah si Ular Betina Selat Madura yang asli! Bukan aku yang menyamar jadi murid mu, tapi muridmu itulah yang menyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama Kuntali...?" bertanya wanita ini.

Kata-kata wanita yang lantang ini membuat Windarti dan Shidarta jadi melengak heran. Terlebih lagi Windarti. Karena jelas dia telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari di depan matanya. Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu terdengar jelas. Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman mati buat saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhianat.

Saat mana tiba-tiba berkelebat tubuh nini Candra Gumintang ketempat itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah sentakkan kulit muka dara yang terkapar itu. Dan... segera terpampang wajah Kuntali. Terpekik seketika Windarti Langsung merangkul sosok tubuh yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis meratap pedih...

"Kuntali...! Kun.. tali... oh!? Kiranya kau... kau..." Tak kuat menahan perasaannya, Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadarkan diri. Shidarta jadi kebingungan mengurusi dara itu...

SEBELAS

"MURID MURTAD! Segera kau akan merasakan kematian mu...!" bentak nini Candra Gumintang dengan suara lengkingan parau yang memekakkan telinga. Tubuhnya meluncur bagaikan alap-alap. Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jari-jari mengembang. Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan wanita tua ini. Diiringi sambaran kilat dari selendang sutera warna merah, bagaikan sebatang tombak yang meluncur ke dadanya.

Wukkk! Dhesss...!

Nini Candra Gumintang lakukan salto dengan lengan bersidakep. Ternyata dengan gesit dia telah tarik serangannya. Tahu-tahu sebelah kakinya telah meluncur ke arah dada si penyerang. Terdengar jerit kesakitan. Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana terjengkang roboh bergulingan. Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah tercekal ditangannya. Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah. Langsung melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.

Dhesss...! Darah segar menyemburat keudara. Memercik ke bumi. Dan menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tubuhnya yang telah tanpa kepala lagi.

Terperangah Nagasari. Wajahnya seketika berulah menjadi pucat pias. Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu meluncur pesat mengancam tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu sudah didepan mata! Akan tetapi pada detik itu...

Trangg! Pedang sinar ungu terpental keudara dan menancap tinggi diatas dahan pohon. Ternyata sebutir batu kerikil telah menghantamnya, tepat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu menembus tenggorokan Nagasari.

Ternyata si manusia Muka Mayat alias Lodaya Sete-lah yang melemparkan batu, menangkis serangan. Sekejap si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang. "Sabar, kakang mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"

Selesai berkata tiba-tiba tubuh laki-laki tua itu berbalik. Lengan jubahnya mengibas. Di lain kejap. Nagasari sudah berdiri tak bergeming dengan keadaan tubuh kaku karena urat darahnya telah tertotok. Selanjutnya dengan sekali bergerak ulurkan lengan, tubuh Na gasari telah berpindah ke atas pundaknya. Dan saat berikutnya Ki Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat cepat dari tempat itu.

Melihat kematian Beguk Reksasana, tersentak kaget si Tiga De demit Gunung Siung. Serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Agaknya mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang dibawa pergi oleh Lodaya Seta. Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini Candra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura.

Agaknya mereka bingung mengambil keputusan. Jelas tujuan mereka adalah mengejar si Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang milik Nagasari yang dirampok wanita itu. Akan tetapi melihat kematian Beguk Reksasana (sang murid) membuat mereka jadi amat gusar. Salah seorang rupanya sudah mengambil keputusan.

Tanpa perdengarkan suara, satu dari Tiga Dedemit Gunung Siung telah melejit dari tempatnya berdiri. Senjata ditangannya yang berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing berwarna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan ke punggung Nini Candra Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri ditempat. Seperti belum niat bergerak.

Buk...! Serangan hebat laki-laki jubah hitam yang berewokan ini luar biasa. Jurus serangan yang dipergunakan seperti jurus aneh, karena bisa menyimpan suara. Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu mata lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu Samber Nyawa. Entah tenaga darimana yang telah membentur tubuhnya hingga terlempar keudara setinggi lima-enam tombak. Sambaran angin itupun seperti tak menimbulkan suara pula.

Tubuh si Garpu Samber Nyawa melayang turun dengan kaki terlebih dulu. Akan tetapi dengan tubuh terhuyung limbung. Dan tampak darah menetes dari mulutnya. Untung kedua kawan dengan sigap cepat melompat untuk menyangganya. Tampak wajah si laki-laki brewok ini pucat pias. Sebelah lengannya memegangi dadanya.

"Oh...! Sudah kuduga...!" ujarnya, selesai berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar dari mulutnya.

Kedua pasang mata dua kawan si Brewok ini jadi mengarah na nar pada Si Ular Betina Selat Madura. Sementara Nini Candra Gumintang sendiri seperti terbelalak heran. Pertanda dia tak mengetahui kalau dibokong orang. Sedangkan si wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat Madura itu tampak tersenyum-senyum.

Melihat demikian kuatlah dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gunung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang telah melakukan serangan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam tanpa suara...

"Bedebah tengil! Tolakan tenaga pukulanmu hebat juga!" membentak Gantol Mumet yang berwajah kaku berkulit hitam legam. Serentak kedua tubuh kakek itu telah berkelebat melompat. Sekejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang sang Ular Betina.

"Baik! kalau kau menghendaki mampus duluan. Kebetulan kami juga perlu tahu. Kalau kau mengaku si Ular Betina Selat Madura yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta dan uang di pesanggrahan Melati!" Membentak Gantol Mumet.

"Hihihi... kalau sudah tahu mengapa bertanya...?" dara ini menyahut seenaknya. Tubuhnya bergerak memutar kesana-kemari dengan melangkah pelahan. Bahkan dengan menggendong tangan ke belakang.

Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu jadi mendongkol. Bukan main terhinanya kalau harus "keok" oleh bocah perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi melihat pukulan tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka tampak harus hati-hati.

"Bagus! Kalau begitu urusan akan mudah dibereskan! Segera tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan uang rampokanmu itu, nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta itu tak halal? Kalau kau kangkangi akan percuma saja. Lebih baik kau serahkan pada kami...!" bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jangkung berkumis mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya.

"Hihihi... hihihi... cecurut tua bau apek macam kau mana mempan membujuk aku. Harta tak halal itu bukan mau aku kangkangi sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan! Hitung hitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah "pajak" itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung tikar! Hihihi... hihihi..."

"Kalau begitu kau perlu diringkus...!" bentak Gantol Mumet. Dan setelah memberi isyarat, kedua tokoh golongan hitam itu seren tak menerjang si Ular Betina Selat Madura.

Sambaran-sambaran senjata kedua laki-laki tua itu meluruk menghunjam ke arah dara ini. Bahkan dibarengi pula dengan pukulan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya. Akan tetapi tampak dengan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan melenggang-lenggok genit. Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan tengah menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.

Melengak seketika dua kakek jubah hitam itu. Dalam serangan empat jurus barusan dengan mudah si wanita bergelar Ular Betina Selat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian istimewanya. Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Itulah tanda isyarat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.

Serentak keduanya tiba-tiba melompat mundur. Sementara sesosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang terhenti itu. Ternyata si Garpu Samber Nyawa. Mereka langsung berlompatan untuk bergabung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan senjatanya. Tentu saja hal itu membuat si Ular Betina Selat Madura jadi melengak heran. Saat mana terdengar suara tertawa berkakakan. Di iringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.

"Hebat! hebat...! Sungguh aku si tua bangka ini tak menyangka kalau anda adalah Nona Pendekar Roro Centil...! Mohon maaf atas kekeliruan kami!" Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang tak lain dari Lodaya Seta alias Ki Dondoman, yang bergelar si Malaikat Tangan Sebelas.

"He? kau muncul lagi? Apakah maumu...?" bertanya Ular Betina Selat Madura.

Akan tetapi Lodaya Seta tak menjawab. Dia menoleh pada ketiga kakek tiga berjubah hitam. "Hai?! Mengapa kalian masih berdiri terpaku? Hayo lekas beri penghormatan pada nona Pendekar kita...!" membentak Lodaya Seta.

Tak ayal ketiganya segera menjura pada si Ular Betina Selat Madura. Dan cepat sekali mereka membuka jubah masing-masing. Mengkelet juga kulit muka mereka. Tak lama tiga Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang Perwira Kerajaan. Sementara Lodaya Seta pun segera tanggalkan jubahnya. Selapis kulit muka kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain dari Mahapatih Cakra Bhuana dari Kerajaan Mataram.

Tersentak si Ular Betina melihat dan mengenali orang-orang Kerajaan itu. Terutama pada Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu pada beberapa bulan yang lalu.

"Aiiiih! Kalau begitu percuma sudah aku menutupi rahasiaku...! Selesai sudah petualanganku sebagai si Ular Betina Selat Madura...!" Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu mengkelet kulit wajahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa lagi ka lau bukan memang Roro Centil adanya.

"Kanjeng Gusti Patih...!" ujar Roro sambil menjura hormat. "Segala sepak terjangku di wilayah perairan Selat Madura telah tercium oleh anda. Kini aku serahkan diri padamu. Silahkan memberi hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!" ujar Roro sambil tersenyum.

"Hahahaha... segala sepak terjang anda memang sudah lama di lacak oleh anak-anak buahku dari pihak Kerajaan Mataram. Walau harta-harta haram serta barang selundupan yang kau rampok dari para saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada yang berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya. Hehehe... suatu ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!" berkata Mahapatih Cakra Bhuana.

"Bagaimana kalau aku melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak pikirkan kalau tiba-tiba niatku berubah...?" ujar Roro berseloroh.

"Hahaha... kalau begitu sekarang anda ku tangkap. Selama sepekan anda harus tinggal di tempat kediamanku untuk menerima suguhan kehormatan!"

Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi mengikik tertawa terpingkal-pingkal. Adapun nini Candra Gumitang sejak tadi terlongong mendengarkan percakapan. Melihat siapa adanya si Tiga Dedemit Gunung Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan dibenaknya. Sekali bergerak dia telah melompat kehadapan Mahapatih Cakra Bhuana.

"Maafkan hamba Kanjeng Gusti Mahapatih...! Aku si nenek tua renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon penjelasan...!" berkata wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar Kerajaan itu.

"Segalanya akan anda ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...! Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah yang berbeda jalan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari kebenaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Cakra Bhuana. "Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi mayat, yang perlu kita hormati. Mari kita memakamkannya...!"

* * * * * * *

DUA BELAS

Lima hari kemudian... di Kadipaten Lamongan. Terperangah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu. Setelah selesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa, Mahapatih Cakra Bhuana mengajak mereka semua ke Kadipaten. Kecuali Roro Centil yang mohon diri untuk menyelesaikan urusannya.

Bukan saja nini Candra Gumintang yang terkejut, akan tetapi juga Adipati Donggala, serta semua yang berada ditempat itu. Karena tampak dinding kamar tahanan berlubang besar. Dan Nagasari yang dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...

"Celaka...!? Nagasari telah meloloskan diri...! Apakah yang telah terjadi dengan Lodaya Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan wajah pucat. "Hai pengawal! Apakah kalian tak mengetahui tawanan wanita yang baru masuk itu meloloskan diri?" membentak Adipati Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang bertugas menjaga di sekitar rumah tahanan itu.

"Ampun Gusti, hamba hanya mendengar suara gaduh serta runtuhnya tembok kamar tahanan. Dan, hamba dapati laki-laki tua tahanan kita ini telah terkapar berlumuran darah. Tahanan wanita itu sendiri lenyap!" menyahut salah seorang prajurit seraya menyembah.

"Apakah kalian tak lihat ada orang masuk kemari?"

"Rasaya tidak, Gusti...!" sahut keduanya serempak.

Sementara nini Candra Gumintang telah melompat untuk memeriksa keadaan Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum mati. Luka parah berasal dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada henti.

"Adikku, Lodaya... katakanlah! apa yang terjadi? Siapa yang melakukan perbuatan ini?" bertanya wanita tua ini dengan air mata berkaca-kaca.

"Kau... kakang... mbok...! Oh, bahagia sekali kau datang...! Aku memang merahasiakan tentang diriku...! Sebenarnya Mahapatih Cakra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku memilih mendekam dalam tahanan ini atas permintaanku sendiri. Karena aku merasa berdosa. Aku telah salah memungut anak! Ya, salah yang teramat besar...!" ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Walau cuma senyum kekecewaan.

"Ah...!? Jadi Nagasari bukan anak kandungmu sendiri?" tanya nini Candra Gumintang.

Laki-laki tua itu menggeleng. "Benar, kakang mbok...! Ketika Nagasari mengambil keputusan untuk membunuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk Reksasana alias Tali Wangsa telah menotokku. Kemudian laki-laki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur tubuhku dan menawanku di dalam goa! Untunglah kakang Mahapatih Cakra Bhuana menolongku...!"

Lodaya Seta berikan penjelasan. Tampak dia kelihatan bersemangat. Bahkan merasa agak kuat untuk bicara. Karena diam-diam Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang dialirkan ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekua tan tubuh Lodaya Seta.

Sementara Mahapatih Cakra Bhuana berjongkok disisi laki-laki tua itu. Menatap saudara kembarnya dengan tatapan sedih. Lodaya Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua saudara seperguruannya itu. Lalu lanjutkan kata-katanya.

"Tahukah kau bahwa sebenarnya aku telah menjadi seorang tanpa daksa, kakang mbok...?" berkata Lodaya Seta. "Sejak ilmuku dilenyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai ilmu dasar saja. Aneh! Semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan lenyap sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu pukulan tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!" ujar Lodaya Seta.

Nini Candra Gumintang tersentak kaget. "Jadi selama ini kau tak punya ilmu apa-apa, adik Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lodaya Seta mengangguk.

"Jadi... jadi apakah yang menolongku waktu itu adalah Gusti Kanjeng Mahapatih sendiri...?" tersentak lagi nini Candra Gumintang, seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan itu.

Mahapatih Cakra Bhuana manggut-manggut, tanpa mengucapkan sepatah kata. Bahkan tampak dikedua sudut kelopak mata Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening. Tampak dia sangat berduka sekali dengan musibah itu. "Adik Lodaya Seta... sebaiknya kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk menggotongmu dengan tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.

"Tidak usah, kakang Patih...!" ucap Lodaya Seta dengan lirih.

Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan itu cuma bisa diam membisu dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola segera perintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung di perintahkan mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan tanpa bertanya lagi, segera tarik lengan Windarti dan dibawanya berlari bagaikan terbang, keluar dari halaman gedung Kedipatian.

Gedung tempat kediaman Mahapatih Cakra Bhuana tampak di padati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan upacara pembakaran mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu. Roro Centil tampak berdiri diantara deretan para undangan. Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu rata-rata menundukkan kepala.

Mereka turut bersedih atas tewasnya adik kembar sang Mahapatih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan lagi hidupnya. Dia tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya dihadapan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang di kala mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi hatinya. Karena dia keburu diusir dari perguruan.

Pelaku dari kejadian itu ternyata, masih misterius. Karena Lodaya Seta tak sempat menerangkan siapa pelaku perbuatan terhadap dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya Seta yang memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa, diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun membasahi pipinya...

Asap semakin tebal membumbung keangkasa. Api berkobar menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi abu. Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahlawan yang mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari menempuh jalan sesat untuk kembali menjadi manusia yang berguna patut dihargai.

Sayang cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah jalan. Karena ulah dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh jalan sesat. Dan saat itu juga. Nagasari diputuskan menjadi orang buronan Kerajaan Mataram!

Ketika satu demi satu para tamu undangan telah mengundurkan diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki halaman gedung Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bahkan langsung menerobos pintu gerbang.

Tentu saja membuat para prajurit pengawal penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak. Adipati Donggala yang hadir dan belum pulang dalam upacara itu telah memburunya dengan melompat keluar. Disusul oleh Shidarta dan Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta nini Candra Gumin tang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan.

Langsung Adipati Donggala dan Shidarta beserta prajurit pengawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang berhenti tepat di depan pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati Donggala juga Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam kedua pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat Nagasari. Dan satu lagi berisi ribuan keping emas dan perak, juga bermacam perhiasan yang tak ternilai harganya. Diatas tumpukan uang dalam peti emas itu terdapat secarik ker tas bertulisan besar-besar.

"GUSTI KANJENG MAHAPATIH CAKRA BHUANA...! TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI. SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA KERAJAAN MATARAM...! BAHWA SATU PETI UNTUK DITANAM. DAN SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI KESEJAHTERAAN RAKYAT!"

Pengirim: RORO CENTIL Gelar Sementara (Ular Betna Selat Madura) Telah dicabut...!

Saat para pengawal gaduh menurunkan mayat Nagasari dan peti berisi uang dan harta "pajak" paksaan kiriman dari Roro Centil, justru sang pengirimnya sendiri tengah melangkah melenggang meninggalkan wilayah Kota Raja. Dialah si Ular Betina Selat Madura. Yang telah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang mempermainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau membayar pajak. Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau pembunuh bayaran demi keamanan uang dan hartanya.

Kemunculan si Ular Betina Selat Madura yang mengincar orang-orang berduit. Telah menjadi momok yang menakutkan diwilayah perairan Selat Madura. Terutama dari usaha-usaha tak halal. Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji pekerjaan semuanya saja. Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium oleh si Ular Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar. Akibatnya mereka harus menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan oleh si Ular Betina Selat Madura yang ternyata tak lain dari Roro Centil adanya. Yaitu sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang beradat aneh!

"Nona Pendekar Roro...! Tunggu...!" satu teriakan terdengar. Dan sesosok tubuh berkelebat mengejar.

"Hm, Shidarta...? Ada apakah kau menahan langkahku?" bertanya Roro begitu pemuda tampan ini telah berada dihadapannya.

"Anu... ng..."

"Mau tanya apa?"

"Eh ya, ya...! itu..." menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu... nona... Pendekar Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima kasih pada anda, atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"

Roro tersenyum manggut-manggut. "Hanya itu?"

"Ma... masih ada, nona Pendekar Roro... tapi yang ini bukan pertanyaan saya..." sahut Shidarta, seraya menoleh kebelakang. "Ah, kemanakah anak itu?" terdengar suara Shidarta menggumam.

"Aiiih! siapakah yang kau maksudkan itu Shidarta? Wah, wah...! Kau membawa teman mengapa tak diperkenalkan pada ku...?"

"Dia... dia malu, nona Pendekar..."

"Hmm... mengapa malu?"

"Entahlah, dia enggan berhadapan dengan anda..."

"Oh, ya? He... kau belum sebutkan siapa si "dia" yang kau mak sudkan itu?"

"Eh, maaf, nona Pendekar. Dia maksudku adalah... Windarti..."

"Windarti...? Apakah yang mau ditanyakannya?" tanya Roro dengan kerutkan keningnya. Sementara diam-diam Roro sudah dapat menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena segera dia teringat ketika "nguping" pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidarta. Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali. Ternyata Kuntali yang telah diketahuinya dua kali mati. Ternyata dua kali hidup lagi. Bahkan sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja Windarti melihat sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapannya.

Kejadian itu membuat Windarti tak bisa tidur. Dia memikir ka lau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu. Ketika kasak-kusuk dengan Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk mem bongkar kuburan Kuntali. Benar saja dugaan Roro. Ternyata Shidarta memang mempertanyakan peristiwa kematian Kuntali yang misterius.

"Begitulah perihal yang ditanyakan Windarti, nona Pendekar."

"Hm, panggil saja aku dengan panggilan kakak Roro, Shidarta.”

"Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!" ucap Shidarta agak kaku.

"Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus untukmu. Penjelasan ini cuma pada kau aku katakan. Asalkan kau mau berjanji takkan menceritakan pada Windarti, tentunya..." berkata Roro. "Semua ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mungkin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai "kelainan" pada jiwanya. Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri. Dan pada Kuntali itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta". Hal ini amat berbahaya. Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang salah. Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orang orang dijalan lurus...!" ujar Roro lebih lanjut.

Ternyata Shidarta agaknya sudah mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengarkan dengan serius. "Aku berjanji, takkan menceritakan padanya. Asalkan demi kebaikan dia tentunya..." tukas Shidarta.

"Bagus! Nah dengarkanlah! Sebenarnya... Kuntali telah tewas mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari, ketika dia memperingati Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti yang kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kematian yang aku perbuat untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan ilmuku. Yang dibunuhnya serta diperkosa oleh kedua saudara seperguruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing yang telah kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya adalah suaraku sendiri!" jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya ilmu Malih Raga! Sedangkan kemunculan arwah Kuntali dihadapan Windarti adalah aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok kulit muka yang serupa dengan dia?"

"Benar... benar...!" timpal Shidarta yang telah semakin jelas dengan duduk persoalannya. Penjelasan itu selain membuat Shidarta terperangah, juga membuat dia kagum luar biasa pada Roro.

"Ah, sungguh mataku buta. Tak melihat gunung Mahameru di depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan orang disetiap tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!" berkata Shi darta dengan menatap kagum.

"Hihihi... jangan suka memuji berlebihan! Di atas langit masih ada langit lagi!" ujar Roro. "Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan sudah teramat tinggi, wah, wah...! Bisa-bisa aku dianggap dewa oleh orang! hihihi..."

Shidarta manggut-manggut sambil tersenyum "Benar, kakak Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa begitu tergesa? Aku makin kagum pada kakak Pendekar Roro. Kalau boleh... aku... aku..." pemuda ini tak teruskan lagi kata-katanya.

"Sudahlah! Tugasmu kini adalah membimbing Windarti menjadi seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki berwatak bejat seperti Tali Wangsa. Nah! Aku akan segera berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu, Shidarta. Yaitu... sebelum kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau dahulukan kepentingan orang lain. Bila ternyata orang lain itu memang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"

Selesai bicara, tiba-tiba tubuh Roro melenyap sirna. Hilang tan pa krana seolah tubuhnya telah menyatu dengan angin. Shidarta jadi terperangah dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Ketika memandang ke atas. Terlihat dahan-dahan pohon bergoyangan, seperti baru melintas angin keras. Dan samar-samar hidung Shidarta mencium bau harum semerbak.

"Ah... sungguh seorang Pendekar Wanita yang hebat" gumamnya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi dari tempat itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh mendatangi.

Dialah Windarti...! Pemuda tampan ini tersenyum. Hatinya berkata "Windarti...! Cuma aku yang tahu, bahwa aku tak boleh menceritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh mementingkan diriku lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."

Ternyata memang hanya Shidarta yang mengetahui. Bahkan Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui. Karena rahasia ilmu Malih Raga telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong Nini Candra Gumintang. Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua itu oleh Tapak Doro dan Binangun ke dalam jurang. Roro telah menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang dengan sebatang kayu.

Bagaimanakah nasib Tapak Doro dan Binangun, diakhir kisah ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah Kadipaten Lamongan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki. Tak diketahui siapa pembunuhnya. Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak Doro dan Binangun.
Selanjutnya,

Ular Betina Selat Madura

Roro Centil - Ular Betina Selat Madura

Karya : Mario Gembala
SATU
PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, me ninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah ditepi pantai itu. Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan. Rembulan tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai yang indah itu.

Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di perahu pesiar itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah. Dialah si pendayung perahu.

Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah bercengkrama dengan seorang wanita muda berbaju sutera warna hijau. Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya dari sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya yang jenjang.

Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah dadanya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu. Sementara si pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu adalah pegawai dari pesanggrahan "Melati" yang berdiri tegar dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu.

Dia tahu kalau wanita muda dan cantik itu adalah orang baru. Dan bahkan baru malam ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan dia disamping sebagai pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian sang tetamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak ketahuan kemana perginya. Juga pernah ada yang membawa kabur perahu pesiar.

Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak mungkin.

Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap, yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya si gadis pendayung perahu tampak tenang tenang saja bahkan dari mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagu kan nada-nada dalam satu nyanyian.

Sreeek! Sreeek...!

Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditu tupkan. Si wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangan nya mendayung. Kini perahu pesiar itu terombang-ambing perlahan diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan perahu pesiar itu.

"Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru... ah, masih sore begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dima lam hari ini lebih dulu?" berkata si wanita.

"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...! Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!" menyahut si bangsawan. Sementara lengannya telah bergerak membuka kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.

"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan...? Tampaknya kau seperti malu-malu atau takut menghadapiku? Hehehe... jangan begitu, sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melayani suamimu sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuh nya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk.

Akan tetapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut. "Ih, siapa yang tidak takut? Aku baru sekali ini melayani tetamu. Kalau aku takut adalah wajar!" menyahut si wanita.

"Kau masih perawan?" bertanya laki-laki bangsawan itu. Pandangannya semakin nanar melihat kebalik pakaian tembus yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas terpandang kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.

"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat menjamah tubuhku!"

Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita. "Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.

"Dia mati mendadak..."

"Ooooh ...! Serangan penyakit?"

"Tidak! Dia mati dibunuh orang!" sahut si wanita.

Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu. "Kasihan..." ucapnya lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini karena kesepian ...?" pancing laki-laki itu.

"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?" balik bertanya wanita itu.

Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar. "Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."

Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya sema kin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan mata membelalak. Hatinya memaki. "Ooo, laki-laki jalang, pengumbar nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"

Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu tersenyum. Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu. Lalu di alihkan menatap ke laut lepas. Lengannya meraih kendi berisi arak. Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil. Sisa arak dituangkannya kelaut.

Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk di pentang. Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup. Goyangan perahu telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan mata. Dan tak terasa dia telah tertidur sejenak.

Akan tetapi sepasang mata gadis pendayung perahu itu jadi membelalak terbuka. Dan dia terlonjak kaget seperti dipagut ular. Apakah gerangan yang membuat dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar perahu membasahi kakinya. Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga sepertiga bagian.

"Celaka...!? Perahu tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan. Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai pintu perahu.

Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu? Si bangsawan setengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuhnya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur dengan air laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur dan bantal. Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang menjadi "gula-gula" dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke lihatan batang hidungnya.

"Hah!? Apakah yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekali bergerak dia telah melompat kepembaringan. Ketika membalikan tubuh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu saja membuat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar perahu pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang papannya telah ambrol.

"Celaka...!? Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus menyelamatkan diri...!" berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan lain selain harus berenang. Maka...

Byuurrrr...! Wanita itu telah terjun ke air. Selanjutnya dia harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu yang mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun ter paksa ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi.

Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai. Tenaganya serasa hilang terkuras seluruhnya. Ketika dia palingkan muka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.

"Edan! Apakah yang telah terjadi? Apakah perbuatan perempuan bernama Andini itu ataukah ada orang lain yang telah melaku kannya dari bawah air?" menggumam wanita pendayung ini.

Sukar untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong orang berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah melakukan semua itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian itu pada sang Ketua, majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan kena dampratan. Mungkin juga hukuman. Karena dia tahu persis adat sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.

"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber desis. Dan dia segera merayap ke darat. Cahaya rembulan agak remang-remang ketika segumpal awan hitam melintas. Gadis pendayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya tengah dilanda kemelut.

Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah. Sesosok tubuh tahu-tahu berkelebat dihadapannya. Tersentak kaget wanita pendayung perahu ini. Namun dia mengeluh, tubuhnya terkulai serasa lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah menotoknya. Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah memondongnya. Dan melarikannya dengan cepat.

Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng. Apalagi cuaca sedang gelap. Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya sosok tu buh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.

DUA

"Hah!? Kau... Kuntali...?" tersentak si wanita pendayung perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya. Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita pendayung perahu itu.

"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!" menyahut wanita berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.

"Oh, mengapa kau lakukan ini? Kau akan mendapat kesulitan bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah jadinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!" Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.

"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah tinggal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepentingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk melarikan diri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.

"Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani melakukannya. Kau tahu sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pelaku, yaitu kematian!" menyahut Windarti.

Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya dari totokan. "Apa rencanamu kini Kuntali? Dan kita berada diwilayah mana? Pondok siapakah ini?" tanya gadis pendayung perahu itu mem perhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak seberapa lebar, itu.

"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang mengetahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu yang basah itu!" ujar Kun tali seraya buka buntalan yang diambilnya dari sudut ruangan, dan berikan satu setel pakaian untuknya.

"Kau membawa serta pakaianmu?"

"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"

Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya. Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang kawan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya. "Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu pesiar dalam kawalanku itu?"

"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman perahu itu aku mengetahui...!" menyahut Kuntali.

"Hah!? Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?" tanya Windarti dengan terkejut.

Akan tetapi Kuntali hanya tertawa kecil. "Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"

"Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita pendayung.

"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi kawanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pukat Inten yang bergelar si Ular Betina Selat Madura...!"

Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan kawannya itu membuat dia terperangah. "Ular Betina Selat Madura?" desisnya tersentak. "Jadi si perempuan anggota baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu adalah dia?" berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini.

Windarti memang telah mendengar nama gelar yang pernah membuat heboh dikalangan para saudagar di Selat Madura. Wanita berkepandaian tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita tentang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa bulan yang lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak terdengar lagi beritanya.

"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian menjalin persahabatan dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Sementara diam-diam hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Betina itu yang telah membunuh bangsawan tua itu dengan mematahkan lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari bencana. Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pesanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang berada di jalur sesat!

Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi melakukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing. Pesanggrahan itu bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penjahat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk dikirim keperbagai wilayah. Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersembunyi yang melayani pesanan dari perbagai kalangan.

Adapun gadis pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pe sanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua perguruan. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya adalah murid wanita dari Perguruan Cempaka Biru, sebelum adanya Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu tinggi bernama Nini Candra Gumintang. Wanita tua itu menyembunyikan gelarnya pada murid-murid mereka. Hingga tak seorangpun dari para muridnya mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba Hijau.

Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab sejak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen itu. Diantara enam murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seorang adalah murid yang paling tua, bernama Nagasari. Wanita itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling di andalkan oleh sang guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawa hannya.

Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah. Secara tak langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasari. Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya. Hal mana membuat Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat dimana terdapat seorang tabib.

Konon khabarnya tabib itu seorang yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat sekalipun. Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan Nagasari. Dia bernama Beguk Reksasana. Seorang laki-laki bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundur kan diri dari jabatannya.

Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak mem bantu penyembuhan penyakit sang guru dengan memberikan bermacam obat-obatan. Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari semakin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum. Namun hasilnya tiada kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid lainnya menjadi cemas.

Demikianlah, Beguk Reksasana memberi saran untuk membawa sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka. Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah tak berdaya apa-apa. Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup.

Keadaannya sungguh amat mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru di usung. Cuma dua orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga pesanggrahan. Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.

Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Reksasana juga kedua murid laki-laki saudara Seperguruan mereka. Nagasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa sang guru telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar diobati lagi. Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa ke tempat tabib itu. Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut.

"Kita tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau kiranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai dis itu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib saktiitu, sang guru berpulang dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.

Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka. Wajah-wajah duka tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gurunya itu.

"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.

"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat, yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah, kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya beri kan sehelai kertas kulit pada Kuntali.

Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserahkan pada Nagasari. Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah kakak tertua seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wasiat itu tertera tanda-tangan guru mereka.

Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian. Demikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat wasiat itu. Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Namun dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta menyaksikan pemberian surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kuntali, yang selalu dibisikkan pada Windarti. Bahkan kedua laki-laki saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.

Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditutup oleh Nagasari. Dan diganti dengan nama Pesanggrahan Melati. Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut di wilayah utara Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Reksasana yang telah menjadi suami Nagasari.

Pernikahan mereka di langsungkan didepan jenazah Nini Candra Gumintang yang tanpa disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki sau dara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...

TIGA

"KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan dia...?" Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menyelami hati sang kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Sepertinya ada nada "kecemburuan" dari kata-kata yang diucapkan gadis ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung ini.?" Dan persahabatan macam apakah antara kedua saudara seperguruan ini...?

"Windarti...!" terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian. "Jangan khawatir! Kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengannya meraih dagu gadis pendayung itu.

"Sungguhkah ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara hatinya tergetar. Dan terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu. Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.

"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!" suara Windarti mendesah. Pakaian yang baru mau dikenakan itu merosot kembali. Dan... tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali erat-erat.

Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan Kuntali se perti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering mengadakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya.

Kelanjutannya mereka bagaikan "bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai benang melekat ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena mereka tak ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat dengan memperdengarkan desahan-desahannya...

Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka. Dan..., satu suara dingin terdengar mencengkam. "Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?"

Tersentak kedua gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa. Seketika melompat untuk masing-masing menyambar pakaiannya. Dan tertegun menatap keha dapannya, karena sang Ketua alias Nagasari telah berdiri bertolak pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali.

"Cepat kita melarikan diri...!" desis gadis itu.

Brakkk...! lengannya menghantam jendela. Dan detik berikutnya, Kuntali telah mendahului melompat. Tak ayal Windarti segera menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "sahabat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.

"Berhenti! kalian telah terkepung! Lebih baik menyerah. Mungkin hukuman bagi kalian tidak terlalu berat!" Bersamaan dengan suara itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka.

Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembu lan segera diketahui siapa mereka yang menghadang. "Tapak Doro, Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi kami!" membentak Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.

"Hahaha... kami hanya menjalankan perintah Ketua!" menyahut salah seorang dari dua laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka sebatas dada kebawah.

Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa. "Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempat sempatnya kalian mengadakan hubungan. Kalian memang gadis-gadis aneh! mengapa tak menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro.

"Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap kalian. Sayang kalian tak pernah memberi kesempatan...!" timpal Binangun dengan tertawa menyeringai.

Panas rasanya muka Kuntali. Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut. Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat ke dua gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini segera mengejar. Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah di persiapkan.

Wuttt! Krep...! Luncuran tali laso yang memang sudah di kuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Windarti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan Windarti terle pas seketika. Karena dia berada dibagian belakang. Apalagi Windarti dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hingga dia sukar untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan mudah terkena jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Windarti tentu dapat menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.

"Bedebah...!" memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara seperguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang dan jatuh terjerembab bergulingan.

"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali dengan kalap. Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai singa. Tapi... Buk...! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan telak telah lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling guling dia ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan men giris jantung.

"Bocah tak tahu adat! Kuberi kebebasan padamu di Pesanggrahan Melati malah mau melarikan diri...! Kau akan menyesal dengan ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang telah berada ditempat itu.

Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Karena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke digjayaan tinggi. Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokoh tokoh golongan hitam yang menjadi langganan di Pesanggrahan Melati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya. Yaitu yang bergelar si Tiga Dedemit Gunung Siung.

Pucat seketika wajah Kuntali. Belum lagi dia berusaha untuk bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat ke hadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan cepat. Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus oleh Tapak Doro.

"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri kalian kesempatan baik...!" berkata Nagasari dengan tersenyum.

Binangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"

"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami akan menerimanya..."

"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.

"Mengapa, Ketua...?" tanya Tapak Doro. "Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah! kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk mengaturnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibatnya. Seorang langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga mahal telah dibuatnya tenggelam...!"

Diam-diam tersentak kaget Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya. Wajah wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya kesempa tan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Selat Madura yang menjadi sahabatnya itu.

Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu. Akan tetapi mereka jadi serba salah karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya. Juga mereka belum mengambil keputusan siapa yang akan memulai terlebih dulu.

"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah ragu ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari, seraya mengambil tempat duduk diatas sebatang kayu.

"Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera menjatuhkan hukuman mati pada si Kuntali ini!" ujar Nagasari.

"Baik! baik...! Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun serentak.

Segera mereka mengambil keputusan. Ternyata Tapak Doro yang akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang. Maka, tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.

Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos. Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang membe rikan hukuman mati pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang telah memesannya.

Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertu tupkan apa-apa. Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Doro. Tak perlu lagi. Karena gadis itu sudah dalam keadaan tertotok. Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam, namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca.

Sementara Windarti telah menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya. Namun dia tak berdaya. Dan setitik air bening kembali merayap turun membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti meresap ketulang. Dan... batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.

Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai. Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya. Dan lenyapnya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pesanggrahan Melati...

* * * * * * *

EMPAT

Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati te lah diperketat. Tak sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kaki tangan Ketua Pesanggrahan Melati. Terlihat orang-orang yang berkepandaian tinggi simpang-siur membagi tugas. Karena mereka telah mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ke tempat itu.

Didepan Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau. Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan ketiga laki-laki tua yang rata rata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.

"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.

"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya istriku...!" berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera menjura pada ketiga gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan guru semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu memang perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diam diam telah berkomplot dengan dia!"

Tiga Dedemit Gunung Siung manggut-manggut mendengar penuturan muridnya. "Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?" tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit. Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.

"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah di ketahui tempat persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk Reksasana.

Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk Reksasa na segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat. Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggra han di pesisir pantai itu.

Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah Nagasari datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wanita ini beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan cepat sekali dia telah menyergapnya.

Mulutnya dibekap hingga tak mengeluarkan suara. Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai meng gelosoh. Bahkan langsung merokok urat suaranya. Kemudian apakah yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh pakaian penjaga wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.

Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri. Rambutnya yang basah diuraikan. Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi. Tentu saja dengan "bebas" dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya mencari-cari seseorang diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu memasuki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah pintu kamar dibukanya. Tapi kamar itu kosong.

"Heh!? kemanakah Kuntali? Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini pelahan.

Segera dia tutupkan lagi pintu kamar. Lalu dengan gerakan gesit segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua. Tak lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah memang kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari dalam. Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasuk kannya ke dalam pakaiannya. Hingga tampak perutnya agak menggembung.

Tak lama dia telah keluar lagi. Beruntung tak ada seorangpun didalam. Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu. Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar itu terkunci. Namun baginya hal itu bukan halangan. Dengan kunci palsu dimilikinya pintu bisa dibuka.

Sekejap dia sudah melompat ke dalam. Lalu tutupkan pintu dari dalam. Habislah uang dan perhiasan Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu terdengar suara suara diluar kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruan gan Pesanggrahan. Tersentak dara ini. Onggokan terakhir dari perhiasan mahal milik Nagasari cepat diraupnya. Lalu dimasukkan dalam baju. Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut dara ini karena penuh dengan perhiasan dan uang.

"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku kira dia sudah disana..." desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak.

"Haiii!? siapa kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela. Yang membentak tak lain dari Nagasari. Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya. Bahkan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jendela tak ayal dia sudah mengejar. Akan tetapi....

Wukkk! Criinggg...!

Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan diri. Ternyata senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam miliknya yang dihamburkan untuk menyerangnya.

"Bedebah!" memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat untuk mengejar seraya berteriak. "Pencuriii! tangkap dia! tangkaaap...!"

Tentu saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjata senjata ditangan. "Dimana pencurinya!?"

"Pencurinya dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Sebagian lagi menghambur keluar melalui jalan samping, karena teriakan itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari sang Ketua.

"Apa yang terjadi Ketua...?"

"Goblok semua! Cepat kejar! Dia berlari kearah sana! Nagasari sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.

"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!"

"Kepuuung! Bunuuuh...!" berteriak-teriak mereka.

Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul. Melihat banyak anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, sejenak mereka saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk men dahului para anak buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini sepuluh kali lipat dari gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul. Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.

Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata telah kehilangan jejak. "Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan itu?" memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran. "Celaka...! Oh, ludaslah sudah harta bendaku! Dari mana dia bisa masuk kekamarku? Bukan pintu kamarku terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wanita ini dengan tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian waktu memergoki sosok tubuh yang luput dari kejarannya itu.

Berpikir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa lenyap untuk mengejar lebih jauh. Apalagi dia telah kehilangan jejak. Tak tahu lagi kemana larinya orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah meyakinkan siapa adanya orang itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat Madura? Pikirnya.

Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya berkecamuk memikir kan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya. Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi lemari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati. Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai mema kan waktu lebih dari dua tahun. Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba...

"Itu dia...! tangkap! kejaar!"

"Bunuuuh!"

Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orang orangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.

"Goblok! Mata kalian sudah buta semua...? Apakah tak mengenali aku?" membentak Nagasari dengan suara mengeledek.

"Hah!? Ket... Kett... Ketua...?" hampir berbareng mereka melompat mundur dengan suara tertahan.

"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami tak mengenali orang..." menyahut salah seorang dari anak buahnya.

"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!" maki Nagasari dengan mendongkol. Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya. Dan tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang. Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya. Baru saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang menyongsongnya. Langsung lakukan pertanyaan.

"Ada apa Nagasari...? Apakah yang telah terjadi istriku?"

Mendelik sepasang mata wanita ini. "Kau...?! Apa saja kerjamu, kakang...? Sampai tak tahu kejadian ini...?" membentak Nagasari dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"

"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersem bunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk melaksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu, kecuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!" menyahut Beguk Reksasana.

"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar Nagasari dengan mendengus. "Tak tahukah bahwa kamar kita telah kemasukan maling? Oooo... ludaslah semua harta bendaku..." teriak Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk menuju ke arah kamarnya.

Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut. Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat menyimpan uang dan perhiasannya.

"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.

"Ini semua gara-gara kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari seraya putarkan tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.

"Gara-gara aku...? He? Aku tak tahu menahu dengan semua ini! Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan dis ini ada pula tiga orang guru kita...!" bela Beguk Reksasana sang suami.

"Cih! kalau tidak gara-gara kau menerima wanita muda bernama Andini itu untuk bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!" berkata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan pantatnya dipembaringan.

"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu? Dialah si Ular Betina Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan pura pura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya. Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!" semakin ketus kata kata Nagasari yang tetap mempersalahkan suaminya.

"Aku... aku..." Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.

"Sudah. sudah! Sudah!!! tak usah kau mencari-cari alasan! Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita membekuk si Ular Betina keparat itu!" potong Nagasari dengan bentakan ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan... terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal.

Terhenyak Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!" Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan kamar itu...

LIMA

Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat, Windari tergolek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membelalakkan matanya. "Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?" tersentak Windarti berkata dalam hati. Lama dia termangu dengan benak me mutar. Selain berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan se bagai tawanan.

Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia seperti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak. Bahkan ditugaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong untuk berkencan ditengah laut. Tapi kali ini dia tak bisa bebas bergerak. Karena tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso. Bahkan masih dalam keadaan membugil.

Pesanggrahan Melati itu kembali lengang. Karena suara-suara gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara hatinya mulai menduga-duga. "Apakah si manusia misterius yang me namakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dike jar...?"

Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi. Yang terbayang justru kejadian tadi. Kejadian yang telah membuat bulu romanya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa disayat-sayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pelampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun. Dua orang saudara seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Naga sari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.

Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan mereka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, namun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain. Nagasari telah menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian. Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan atas antara pengkhiana tannya.

Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pi pinya. Tak tega dia membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma jeritan pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.

Windarti memang tak mau melihat. Dan tak akan melihat, kare na segera dia telah diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan selanjut nya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki terbelenggu...

Kini keheningan merayapi ruangan itu. Cuma desah napasnya dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga. Sunyi! Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati. Dia telah kehilangan orang yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia telah menempuh jalan salah.

Ya! Tak semustinya dia mencintai sesama jenis. Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya. Namun segalanya terputus sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hidup lagi. Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan tak lekang terkena panas!

"Nagasari...! Tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan puas belum terbalaskan...!" berdesis Windarti dengan sepasang len gan mengepal dalam belenggu. Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di hadapannya.

"Ssssst!" Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut memberi isyarat.

Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan ta jam.

Dan... tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik bajunya. Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini. Bahkan segera membuka totokannya. Selesai itu, si orang ber topeng segera balikkan tubuhnya membelakangi. Tampak lengannya merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan "sesuatu" kearahnya.

Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian. Tentu saja membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira. Tak ayal segera dia beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel pakaian dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai berpakaian?

Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya dengan cepat. Sebentar saja sudah rapih berpakaian. Cepat si orang bertopeng putar tubuh. Lalu beri isyarat untuk mengikutinya. Dengan berindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu. Melompat gesit dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara.

Tiba dibagian belakang Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tangan Windarti. Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Selanjutnya... Whuttt...! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur. Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.

"Guru...!? Oh, guruuu...!" berteriak Windarti dengan tersentak antara terkejut dan girang. Dan menghambur dia untuk kemudian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki seorang wanita tua yang berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak lain dari Nini Candra Gumintang. Sang guru yang dikhabarkan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.

Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua Perguruan Cempaka Biru. Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas sepa sang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau yang dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi Ketua.

Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan Melati. Yang berfungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penam pungan wanita-wanita cantik. Merupakan bisnis besar yang dikelola secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang dan harta benda. Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wanita tua itu. Wanita ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, seraya berkata.

"Sudahlah muridku...! Mari kita berbincang-bincang didalam...!" Lalu paling pada si laki-laki bertopeng itu. "Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"

Tersentak laki-laki bertopeng itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa, guru...!" Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penutup wajahnya. Karena memandangi pertemuan yang mengharukan antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama. Menatap dengan mata mendelong.

Adapun Windarti jadi terlongong mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi setelah melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka topengnya. "Kau..., kau Shidarta...?" sentak Windarti terkejut.

Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, "Marilah kita duduk didalam, Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami ceritakan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku! Tentunya kau menyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi, bukan...?"

"Benar, Shidarta..." menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku serasa mimpi."

"Marilah kita bicara didalam...!" ujar Shidarta seraya menggamit lengan Windarti.

Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah meja. Lalu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar dihadapan sang guru. Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sabar rasanya untuk lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.

"Guru...! Ceritakanlah...! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. Apakah memang Nagasari telah berdusta dengan penuturannya yang mengatakan guru telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...?" Pertanyaan Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.

Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera menjawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ketika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah akibat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membunuhnya.

Nagasari adalah seorang murid terlama dan paling dulu menjadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menurut apa yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan di bawa keseorang tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit.

Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau membunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendiri. Tentu saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu, karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala.

Ternyata kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajahnya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati. Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari Shidarta. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir) Nini Candra Gumintang.

* * * * * * *

LIMA

SHIDARTA memang "menghilang" ketika Beguk Reksasana muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Karena dia telah segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta pada Adipati Donggala mengenai kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat perbuatan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan. Shidarta memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat rahasia mengenai adanya rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama sebenarnya adalah, Tali Wangsa.

Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut. Tentu saja dengan janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan saja untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.

Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri. Hal kejadian itu segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian pihak Kerajaan menetapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui sesosok mayat oleh para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali Wangsa dalam perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam keadaan hancur mukanya. Juga serpihan daging yang sudah hampir hancur membusuk.

Hingga sukar dipastikan apakah benar dia Tali Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pakaian yang dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak lega hati Shidarta mendengar berita itu. Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Nagasari.

Namun dengan nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak. Walau pun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasana tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu. Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang guru keseorang tabib agak membuatnya curiga. Seperti dibisikkan Kuntali padanya.

Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak punya hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana, diam-diam menguntit kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rombongan mereka berangkat.

Sebagai murid termuda. Apalagi masih adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wilayah tempat itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan mengatakan akan cepat kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat berangkat pergi. Tapi diam-diam membelok untuk berlari cepat menyusul pengangkut tandu yang membawa sang guru.

Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang. Yaitu ke sebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.

Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari. Tentu saja saudara seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pesannya untuk ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua orang saja yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah sau dara seperguruan Nagasari.

Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah tak mengenai Shidarta. Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang Kadipaten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya mayat laki-laki itu disungai.

"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasari. Walau kau adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah menjadi murid dari Perguruan Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan patuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu. Sebabnya kau kularang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada satupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau merasa sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu ke sembuhan guru kita, baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian. Tapi cuma kuberi waktu satu bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"

"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!" menyahut Shidarta dengan tundukkan wajahnya.

"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan. Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pada setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah di beri wewenang untuk itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi peringatan.

Shidarta tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk. "Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana, Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu se gera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.

Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit. Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan membiarkan aku pergi begitu saja...!"

Dugaannya benar. Ketika membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok tubuh. Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau me nembus jantung. Bibirnya tampakkan senyum sinis.

Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja. Seperti tak merasa terkejut. Karena justru hal inilah yang diinginkannya. Tetap melang kah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana...? Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?" Shidarta pura-pura bertanya.

Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan dihidung. Lalu menjawab. "Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Biru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan nyawamu...!"

Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa hambar. "Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan kata kata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya dirimu Tali Wangsa! Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam. Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari. Juga kau khawatir aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada seorang buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk mu. Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta dengan lantang.

Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya. Bahkan mau merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki yang pernah di angkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak mengenal budi. Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya.

"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cukup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa apa! Apakah kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun dia tahu siapa aku? Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami berdua telah cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya secara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukatakan itu adalah saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama Lodaya Seta...!"

"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?" membentak Shidarta dengan wajah merah padam.

"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman guru mu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhianat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh ketanganku bila ayahku memaksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar dibelakang Shi darta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri tegak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman iblis!

"Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!" memaki Shidarta dengan wajah berubah bringas. Dan... Srreek! Dia telah mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang perak.

Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa agar membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan ker jaan ini tarik keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selendang sutera warna merah dari balik pakaiannya...

TUJUH

Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat miringkan kepalanya. Karena hawa dingin membersit cepat sekali menebas batang leher dari belakang disaat Shidarta membelakangi. Beguk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah dipersiapkan sejak semula. Disamping nalurinya yang cukup peka.

Akan tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasana membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat. Selendang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang tombak. Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit lengan atau kaki Shidarta. Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terke siap. Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang demikian hebat.

"Hahaha... Shidarta! Lebih baik kau buang senjata kapakmu yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!" mengejek Tali Wangsa.

Menggerung gusar Shidarta. Tiba-tiba dengan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah ke sempatan dia mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas dan menangkis serangan lawan. Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksasana jejakkan kaki! Pemuda itu telah menghantam dadanya dengan telak. Buk...! Terhuyung laki-laki. Sementara Shidarta telah melompat berdiri.

"Jahanam keparat! kubunuh kau...!" membentak dahsyat Shidarta seraya diiringi dengan sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara berdesin membelah udara... Trang! Trang...! Sebat sekali Beguk Reksasana menangkis dengan pedangnya. Ternyata dalam keadaan terhuyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^ untuk menangkis dengan cepat.

"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!" memaki Beguk Reksasana.

Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya yang bergulung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus berbahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana. Terperangah oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk Reksasana lenyap tak ketahuan.

Traannngg...!

Satu benturan keras terdengar. Shidarta terkejut karena rasakan kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara dibela kang leher yang menimbulkan hawa dingin.

"Ah.!?" tersentak kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar Ungu Beguk Reksasana.

Akan tetapi terdengar suara tertawa mengikik dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda ini. Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung kur dua-tiga tombak ke depan.

"Bagus! Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menye ringai tertawa. "Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.

"Sekarang?" tanya Beguk Reksasana setengah bergurau.

"Sekarang...!" sahut Nagasari.

Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha un tuk bangkit. Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah membuat dia terluka dalam. Tampak darah menggelogok berkali-kali dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup. Saat mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah laku kan serangan kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit un tuk membelah batok kepala Shidarta. Sedangkan selendang sutera merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...

Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu. Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa. Dan... Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya. Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat, mendadak lenyap tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Semen tara Nagasari belalakkan mata terperangah.

"Angin apakah yang lewat barusan?" desis Nagasari.

"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.

"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!" gumam Nagasari.

"Yaa...!"

keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menyadarkan.

"Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pusaka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu kita pikirkan...!"

"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.

"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan pembicaraan. Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin meremang. Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Akan tetapi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak mengetahui.

Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula. Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya Seta. Lodaya Seta adalah seorang laki-laki betampang gagah. Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis racun, dia juga pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak buruk.

Dimasa muda Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak di perkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal kejadian itu sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.

Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah menceritakan tentang bekas saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Seta itu. Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup. Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak perempuan saudara seperguruannya itu.

Bahkan dengan diam-diam dikirimnya Nagasari (anak gadisnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang. Yang baru saja mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari mendiang guru. Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta tak pergi jauh. Dia selalu mengintai keadaan dibekas tempat pergurunya itu. Di saat sang guru turun gunung, Lodaya Seta menyatroni lagi pondok perguruannya.

Terkejut Candra Gumintang melihat kedatangan Lodaya Seta. Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali perbuatannya. Tentu saja membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh. Sebenarnya diapun amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri. Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara diam-diam Lodaya seta berbuat keonaran diluar perguruan. Bahkan guru Lodaya Setapun tak mengetahui.

Suatu hari telah berdatangan beberapa tokoh persilatan golongan putih ke pesanggrahan mereka. Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang karena mereka datang mencari Lodaya Seta. Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika diberi izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbua tan jahat. Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya, bahkan juga memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan ak al licik. Yaitu mengkambing hitamkan orang lain dengan perbuatan nya yang telah dilakukan.

Namun akhirnya dia harus mengalami resiko, ketika suatu saat perbuatannya ketahuan. Lodaya Seta melarikan diri. Dengan ilmunya yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar kehilangan jejak. Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan terbongkar. Karena secara tak sengaja Candra Gumintang justru turun gunung. Tujuannya adalah mencari Lodaya Seta untuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan penting atas tita han gurunya.

Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul, yang sedianya akan kembali keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui tempat tinggal Lodaya Seta. Dan mengetahui pula kalau dia salah seorang murid Pendekar tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang Setan pada waktu itu. Tentu saja dengan menyatroninya belasan pendekar itu membuat terkejut Resi Gentayu guru kedua murid itu.

Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Dan hari itu juga Resi Gentayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bahkan mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya Seta. Lalu mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan. Melihat kemunculan Lodaya Seta ke pesanggrahan di puncak gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba salah. Apabi la adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penye salannya.

"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesalahanmu. Dan guru telah mengambil keputusan. Mengapa kau tidak pergi dari sini? Segala tindak-tandukmu kini diluar tanggung jawab guru kita. Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!" berkata Candra Gumintang dengan suara lirih.

"Kakang mbok...! Aku mengerti kau tak bisa berbuat apa apa. Akan tetapi kita telah seperti saudara kandung. Apakah kau tega membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa beliau mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua untuk masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan cita cita guru untuk mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi dengan keluarnya aku dari perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa. Ooo... alangkah menyesalnya aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kembali air matanya mengalir bercucuran.

"Sesal itu sudah terlambat, adik Lodaya...! Dan janganlah kau mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu... Aku sendiri tak mengetahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak pernah menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka itu, ataukah masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan kita. Walaupun seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Karena itu urusan beliau. Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntutnya...!" ujar Candra Gumintang. Candra Gumintang seperti telah menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang sebenarnya menginginkan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk bekalnya. Benar saja...!

"Jadi kau belum menerima apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya Seta. Candra Gumintang menggeleng.

"Baiklah...!"ujar Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan wilayah ini. Tapi kelak suatu saat aku pasti akan mencarimu, kakang mbok!" Setelah berkata demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh. Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Namun sejak itu Lodaya Seta tak pernah muncul. Bahkan sampai wafatnya Resi Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan perguruan Cempaka Biru. Padahal murid pertamanya adalah anak kandung Lodaya Seta. Candra Gumintang memang selama hidupnya tak menikah. Tadinya dia cuma mau menerima murid-murid wanita saja. Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki. Yaitu Tapak Doro, Binangun dan Shidarta.

DELAPAN

Selanjutnya Nini Candra Gumintang berikan penuturannya, bahwa ketika itu dia terkejut melihat kemunculan Lodaya Seta dihadapannya. "Lodaya... jadi kau... kaukah tabib yang akan mengobati penyakitku?" bertanya Nini Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua itu masih bisa mengenali orang dihadapannya.

"Hehehe... benar! Aku Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bilang bahwa aku kelak pasti akan datang untuk menemuimu lagi? Kini sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti telah menerima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!" ujar Lodaya Seta dengan menyeringai.

Lodaya Seta telah berubah jadi seorang kakek bertubuh tegap dengan kumis dan jenggot yang putih lebat. Dikala muda memang Lodaya Seta sudah berewok. Keadaan nya memang tak berubah banyak. Cuma berbeda dari kumis dan jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah. Kulit tubuhnya walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.

"Lodaya...! apakah selama ini kau telah merobah jalan hidupmu menjadi manusia baik-baik?" tanya Nini Candra Gumintang.

"Hehehe... tentu saja...! Bukankah aku menjadi seorang tabib? Aku curahkan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Ku tolong orang lemah tak berdaya tanpa pamrih. Aku tak mengharapkan imbalan apa apa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku membutuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Semua ini untuk kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta.

Nini Candra Gu mintang mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang mata yang sudah memudar sinarnya itu menetes air bening. "Ah... aku bahagia sekali mendengarnya Lodaya... Sudah kuduga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau dia mau. Haiiih! kalau guru masih hidup tentu beliau akan senang mendengarnya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan terharu.

"Kau sudah menikah. Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...? atau, cucumu...?" tanya Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.

"Kau sendiri bagaimana?" balas bertanya. "Apakah kau sudah bersuami?"

Wanita tua itu menggeleng. "Aku masih tetap sendiri sejak dulu. Mungkin aku takkan menikah sampai saat habisnya usia ku...!"

Tabib tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Haiih! kakang mbok! mengapa kau menyia-nyiakan masa mu damu? Kau dulu cantik, ayu... bahkan hatiku pernah "Kepincut" pada mu. Sayang usiamu lebih tua dan kau telah menganggap aku adikmu sendiri..." berkata Lodaya Seta, seraya menghela napas.

Pernyataan Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang terperangah. Akan tetapi tak ditampakkan diwajahnya. Andaikata sejak dulu sebelum Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, niscaya dia bahagia mendengarnya. Dan takkan ditolak cintanya karena memang diam-diam dihati Candra Gumintang pada saat itu memang telah menanam benih "cinta" pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak berani mengutarakannya, disamping telah menganggap Lodaya Seta adiknya sendiri.

Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan dan tingkah laku Lodaya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya perasaannya. Hingga kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah perguruan. Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup. Cintanya seolah karam didasar laut. Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak pernah bersua ini.

Saat itu mendengar pengakuan Lodaya Seta, telah membuat dia terlongong dan tak terasa air matanya semakin membanjir membasahi pipinya yang telah keriput.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Lodaya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak, Lalu cepat cepat menghapus air matanya.

"Oh... ya...! Baiklah akan kukatakan. Aku memang telah menikah. Tapi istriku mati muda disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai seorang anak perempuan. Dialah yang bernama Nagasari. Dan bukankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"

Membelalak mata Candra Gumintang. "Hah!? jadi... jadi Nagasari itu anakmu...?"

"Benar!" sahut Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita tua itu tercenung hingga akhirnya dia berkata.

"Sungguh kau ini manusia aneh, Lodaya...!" Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Justru itulah, kakang mbok, aku ingin kau mengerti tentang aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan guru itu kau berikan padaku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak perempuanku satu-satunya yang amat kusayangi...!"

Sampai disini tiba tiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sampai air matanya bercucuran. "Hihihihi... kau memang pintar, Lodaya...! Tapi aku gembira. Baiklah, akan kuberikan sisa harta pusaka warisan guru itu pada mu..."

Melonjak girang Nagasari yang diam-diam sembunyi mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali Wangsa.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu kakang mbok...!" menyahut Lodaya Seta dengan wajah girang. "Nah, minumlah ini untuk kesehatanmu. Kau harus dirawat disini sekurang-kurangnya satu bulan...!" Lodaya Seta berikan obat ramuan yang telah diramunya tadi dalam mangkuk.

"Terima kasih, adik Lodaya... ujar Candra Gumintang.

Lodaya Seta membantunya untuk duduk. Lalu dekatkan mangkuk berisi obat itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu segera meminumnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta bertanya.

"Dimana kau simpan harta pusaka itu, kakang mbok...?"

"Oh ya...!"* ujar Candra Gumintang yang terbatuk-batuk sesaat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu, lalu diberikan pada Lodaya Seta. "Didalam stagen ini terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bukalah jahitan itu. Didalamnya ada sebuah kertas kulit yang berisi peta dimana harta pusaka itu disimpan!" Ujar wanita tua itu.

Lodaya Seta manggut-manggut gembira. "Ah, sungguh kakang mbok seorang yang berbudi luhur. Juga berhati bersih, membuat aku jadi malu hati...!"

"Aku telah menganggap kau adik kandungku sendiri. Dan bukankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan umat manusia? Kalau aku tak memberikannya, oh... alangkah naifnya aku...!"

"Benar... benar, kakang mbok. Sungguh aku menghargai keluhuran budimu." Lodaya Seta cepat membuka jahitan pada kain stagen itu. Dan mendapatkan secarik kertas kulit berisi sebuah peta. Sampai disini Candra Gumintang menghela napas.

"Apakah guru tidak mencurigai sama sekali pada NagaSari? Juga pada paman Lodaya Seta?" bertanya Windarti.

Nini Candra Gumintang menggeleng. "Sejak jauh-jauh hari aku memang telah membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu itu. Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka Biru. Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat Lodaya Seta!" sahut Wanita tua itu.

"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, guru...?" tanya Windarti.

"Baiklah, aku akan teruskan ceritanya..."

Demikianlah! Nini Candra Gumintang segera tuturkan kelanjutan kisahnya. Ternyata kemudian setelah Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar. Sementara Candra Gumintang semakin redup matanya. Obat ramuan yang diminumnya ternyata tak lain dari obat bius. Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah tidur pulas.

Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk Reksasana tersenyum. Mereka berembuk untuk memulai rencana selanjutnya. Dan bisikan-bisikan itu ternyata tak luput dari pendengaran Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya cuma pura-pura pulas. Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh obat bius.

Kecurigaannya mulai timbul, karena mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari tak mau munculkan diri terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke janggalan ini? Ya, Nagasari memang sering terlihat janggal dalam perbuatan dan tindak-tanduknya. Semua sikap itu melalui menjadi perhatiannya.

"Bagus...! Dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?" tanya Nagasari pada Lodaya Seta. Seusai menceritakan kejadian aneh tentang Shidarta.

"Hm, menurutmu baiknya bagaimana...!" balas bertanya Lodaya Seta.

"Dia telah berikan peta harta pusaka itu padaku tanpa bersusah payah! Apakah kebaikannya akan kita balas dengan kejahatan...?"

"Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap hari diminumnya setiap kali aku membawakan minuman untuknya, telah membuat penyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang sukar untuk di sembuhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah mampu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu saat pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi seandainya semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Terutama Shidarta...! Walau dia masih hidup, tentu akan membocorkan rahasia ini!" ujar Nagasari.

"Jadi sebaik-baiknya langkah yang harus kita tempuh adalah melenyapkannya...!" lanjut ucapan Nagasari.

"Yah! tak ada jalan lain...!" akhirnya Lodaya Seta manggut manggut menyetujui usul Nagasari padahal hati laki-laki tua itu amat menyesali tindakannya. Karena tak menduga akan semudah itu Candra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya. Nasi telah menjadi bubur. Apa mau dikata. Kini tak ada jalan lain selain melenyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.

Akhirnya diambil keputusan, Tapak Doro dan Binangun yang diperintahkan untuk membunuh Nini Candra Gumintang. Kedua orang itu segera datang menghadap ketika mendapat panggilan dari Nagasari yang menemuinya.

"Bawalah wanita tua yang pernah menjadi guru kita ini ketempat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya lemparkan saja ke jurang.

"Baik kakang mbok perintah akan hamba laksanakan, asalkan kakang mbok tak lupa untuk membagi harta pusaka itu...!" menyahut Tapak Doro.

"Hm, jangan khawatir! Aku tak pernah mendustai apa yang telah kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai kalian berdua kalau aku akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat ini saja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang paling aku percaya...!" Sahut Nagasari dengan tersenyum. "Nah! Kerjakanlah!"

"Baik kakang mbok...!" hampir berbareng mereka menyahut. Selanjutnya Tapak Doro dan Binangun segera membawa tubuh Nini Candra Gumintang keluar goa. Bergantian mereka memanggul wanita tua yang dalam keadaan terbius itu. Hingga mereka tiba ditepi jurang yang dalam. Disana mereka berhenti.

"Kukira kita tak perlu turun tangan membunuhnya terlebih dulu, Binangun!" ujar Tapak Doro. "Toh bila kita lemparkan saja kejurang, tentu dia akan mati!"

"Hm, benar juga pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah, lebih cepat lebih baik. Sebenarnya aku tak tega melakukannya. Akan tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya amat besar bagi kita!" sahut Binangun.

Disaksikan elang dan burung-burung gagak yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binangun siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru mereka dari atas tebing kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga muncul sesosok tubuh berjubah serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat hidup. Berambut putih beriapan.

"Tahan!" sosok tubuh itu keluarkan suara bentakan.

"Heh! Siapa kau...!?" tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja dia lantas urungkan niatnya. Kedua saudara seperguruan ini saling pandang.

"Bagaimana adik Binangun? Apakah sebaiknya kita bikin mampus dulu penghalang ini?" bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk. Dan...

Sreet! Criing...!

Keduanya telah cabut masing-masing senjatanya dari pinggang. "Manusia ataukah hantukah kau? Mengapa menghalangi niat kami?" bentak Tapak Doro.

"Hmm...!" orang itu perdengarkan suara dihidung. Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung menerjang kearah kedua murid perguruan Cempaka Biru itu. Sepasang lengan si Manusia muka mayat itu merentang. Jari-jari tangannya mengembang, siap mencengkeram batok kepala keduanya.

"Awas, adik Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementara dia sendiri segera melompat menghindar. Bahkan senjata golok besarnya membabat kearah pergelangan tangan lawan.

Binangun miringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi berbandulan tiga mata tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan. Suara rantainya bergemerincing. Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si ma nusia muka mayat.

Kembali orang misterius itu perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan salto indah. Dari gerakan menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya. Sepasang lengannya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro dan Binangun.

"Edan...!" maki Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan tiga mata tombak itu lolos. Bahkan dia kini harus hindarkan serangan mendadak yang di luar dugaan.

SEMBILAN

Tapi sebagai murid yang sudah terlatih, tentu saja Binangun masih bisa hindari serangan ganas itu. Bahkan lemparkan tubuhnya kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia kearah si manusia muka mayat. Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat dapat menghindari diri cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung baju dibagian pundak kena tercengkeram sobek.

Terpaksa si manusia muka mayat gagalkan serangan susulannya karena harus menyampok mental senjata rahasia itu dengan jubahnya. Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah. Tampak gusar Tampak Doro. Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan. Kalau sampai terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal untuk membunuh guru mereka.

Lompatan dengan jurus Macan putih Menerkam kijang segera dilakukan. Bahkan golok besarnya sudah melayang ganas untuk menabas pinggang lawan. Gerakan cepat ini seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut. Kembali dia menghindar dengan Lompatan salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus mengejar dan mencecar dengan tabasan-tabasan golok besarnya.

Binangun segera datang membantu dengan sambaran tiga mata tombak dari bandulan rantainya. Terlihat si manusia muka mayat se pertinya terdesak. Dia terus mundur dengan lompatan-lompatan sal tonya. Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang itu. Suatu ketika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata tombak Binangun. Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.

"Keparat! Kau harus mampus! Karena telah memperlambat urusan kami!" bentak Tapak Doro dengan gusar. Semakin menggebu niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya telah ter desak.

Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilangan jejak. Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana. Berlompatan Tapak Doro dan Binangun mencari. Akhirnya mereka memutuskan untuk cepat kembali. Pekerjaan mereka harus segera diselesaikan. Demikianlah. Dengan gerakan cepat mereka segera kembali ke tepi tebing. Dibibir jurang itu masih tampak tergolek tubuh Nini can dra Gumintang.

Sesaat kemudian... "Satu.... dua.... ti...ga!"

Dan dilemparkannya tubuh wanita pendekar tua yang malang itu ke mulut jurang. Tubuhnya melayang ke bawah untuk kemudian lenyap tak kelihatan lagi. Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur dan tertutup kabut.

Tapi tak seorangpun dari dua saudara seperguruan itu yang mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain dari sebatang kayu. Ya, sebatang kayu...! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh berjubah hitam, yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka Mayat yang tadi lenyap dari kejaran Tampak Doro dan Binangun.

Akhirnya kedua laki-laki yang telah menunaikan tugasnya itu, tampak segera bergegas kembali pulang untuk melaporkan hasil pe kerjaannya. Sampai di sini Nini Candra Gumintang mengakhiri kisahnya, yang ditutup dengan kata-kata... "Nah! Itulah sebabnya aku masih hidup sampai saat ini. Karena di tolong seseorang...!"

Windarti termangu-mangu mendengarkan kisah yang dituturkan itu. "Siapakah orang yang telah menolongmu itu, guru...?"

"Entahlah...! Orang itu tak mau memperkenalkan diri. Wajahnya mirip mayat hidup. Kami cuma mengenal dia dengan julukan si Manusia Muka Mayat!"

"Ooooh...!?" Ternganga Windarti.

"Akan tetapi si penolong misterius itu kenal baik dengan adik seperguruanku, si Lodaya Seta.!" ujar nini Candra Gumintang lebih lanjut. "Dan agar kau ketahui lebih jelas... si Ular Betina Selat Madura itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya Seta. Yang telah menyelamatkan nyawaku...!" berkata Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada Windarti.

Lagi-lagi gadis ini tersentak kaget. "Aiiih! jadi demikiankah adanya...?" ucapnya dengan terbelalak matanya. "Kini dimanakah paman Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya palingkan wajahnya menatap pada sang guru dan Shidarta.

"Beliau ada ditempat ini...!" ujar Shidarta.

"Guru...! Bolehkan aku mengajaknya untuk menemui paman guru...?"

"Silahkan Shidarta...! Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular Betina Selat Madura...!"

"Baik, guru...!" menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera bangkit berdiri. Windarti mengikuti.

Shidarta ulurkan lengannya untuk meraih tangan dara itu. "Mari kita ketempat mereka...!"

Windarti mengangguk. Menoleh sejenak memandang pada Nini Candra Gumintang. "Guru...! Aku pergi dulu..."

Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum. "Pergilah Windarti!" ucapnya.

Tak lama dengan bergandengan tangan kedua remaja itu segera keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai dan berdinding papan kayu jati itu. Ternyata Shidarta membawanya ke seberang sungai berair dangkal. Diseberang sungai pada tempat ketinggian, tampak berdiri se buah rumah panggung yang cukup besar.

"Itulah tempat tinggal paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia sudah tak memakai nama Lodaya Seta lagi..."

Windarti manggut-manggut. "Siapakah nama atau gelarnya kini?"

"Beliau memakai nama Ki Dondoman dengan gelar Malaikat Tangan Sebelas...!" sahut Shidarta.

"Ah!? Nama yang aneh dan gelar yang hebat!" puji Windarti.

Ditepi sungai berair dangkal dan jernih itu mereka berhenti sejenak. Shidarta menatap Windarti dalam-dalam seperti mau menelusuri relung hati dara itu. Sementara lengannya masih mencekal jemari tangan Windarti. Darah pemuda ini berdesir, dengan detak jantung yang berdegupan. Terasa dihati laki-laki ini ada rasa bahagia. Sementara yang ditatap jadi serba salah. Dia tak mengerti ada apa dengan sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...?

"Windarti...!" terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengutarakan isi hatiku...?"

"Hm, mengapa tidak? Kita kan saudara seperguruan. Kalau kau punya uneg-uneg dihatimu, katakan saja...!" sahut Windarti dengan termenung heran.

"Aneh!" pikir Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja berhadapan denganku. Apakah tak ada "rasa" dihatinya secuilpun terhadapku?"

"Terima kasih, Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut nya. Selebihnya diam dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa yang akan dikatakannya.

"Katanya kau mau mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Mengapa tak kau paparkan padaku?"

Pertanyaan Windarti membuat Shidarta tersentak. "Oh, ya! ya...! aku... aku sedang berpikir, apakah yang akan ku katakan?" ujar Shidarta tergagap.

"Lho? kok malah berpikir dulu? Langsung saja bicara! Kau tampaknya seperti takut mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku lebih suka orang yang terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg dihatimu...!"

Akhirnya Shidarta bicara juga setelah menelan ludah berkali-kali. "Windarti...! Apakah selama ini tak ada kau simpan nama seorang laki-laki dihatimu?"

"Nama seorang laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti tak mengerti.

"Ya! nama seorang laki-laki yang... yang kau cintai...?" ulang pemuda itu dengan memandang nanar. Sementara hatinya berdegupan tak keruan.

"Tak ada kusimpan nama seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar ta! Walau... ya, walau di pesanggrahan Melati terlalu banyak laki laki!" sahut Windarti yang mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta.

Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega. "Kalau tak ada nama laki-laki yang terukir dihatinya, berarti Windarti belum terjamah tangan laki-laki..." pikir Shidarta. "Windarti...! Tahukah kau bahwa aku... aku telah sejak lama menaruh hati padamu. Waktu kita masih sama-sama di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan sayang pada mu itu masih ada. Kalau kau kurang mengerti, baiklah kujelaskan. Ya, aku sebenarnya amat mencintaimu, Windarti...!" Serasa terbebas uneg-uneg dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata barusan.

Tercenung sesaat Windarti. Walau dihatinya mengadakan pertentangan dengan pernyataan itu, namun naluri kewanitaannya ternyata masih berfungsi. Dia menyadari bahwa satu jalan lurus terbentang dihadapannya. Seperti mendapat tempat direlung hati. Selama ini dia memang menyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali adalah ke tidak wajaran.

Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan dan kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya. Dan, dia merasa genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas jemari tangannya. Sesaat hatinya berdegupan. Entah perasaan apa yang berkecamuk di dadanya. bahagiakah atau dia harus bersedih. Karena segera teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada. Tiba-tiba dadanya bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis di tangan Nagasari.

"Terima kasih atas ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghargai. Dan... aku tak menolak cintamu...!" ujar Windarti dengan mata berkaca-kaca.

"Kau... kau terima cintaku, Windarti?" tanya Shidarta penasaran. Dia seperti mau mendengar pengakuan Windarti lebih jelas.

Dara cantik itu mengangguk. Tanpa ucapan kata-kata. Cuma sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan pandangan nanar.

"Ah, terima kasih, Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya hatiku...!" teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepalanya erat-erat lengan Windarti dan didekapnya ke dada.

"Ehmm...!" satu deheman membuat Shidarta terkejut.

Ketika memandang kedepan, diseberang sungai tampak berdiri sesosok tubuh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari sutera tipis warna hitam, "Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Seta" Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut...

SEPULUH

"Andakah wanita bernama Andini, orang baru dari pesanggrahan Melati yang membunuh bangsawan tua itu?" tanya Windarti setelah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.

"Tidak salah, aku juga yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Julukan itu sebenarnya bukan aku yang menggelari. Tapi orang orang sekitar selat Madura yang menggunakan nama itu untuk menggelariku!" sahut Wanita bersuara merdu itu.

"Perampok Tengik...! kiranya kau bersembunyi disini?" tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. Dan tiga sosok tubuh berloncatan mengurung. Mereka rata-rata berjubah hitam. Tak pelak lagi mereka itu tak lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu tiga orang guru Beguk Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.

"Hihihi... bagus... bagus...! Tanganku memang sudah gatal untuk mengemplang kepala kalian. Sukurlah kalau kalian tahu diri menyusul kemari!" berkata si Ular Betina Selat Madura dengan mengikik tertawa. Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal bahaya maut di depan mata. Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar kata katanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung Siung itu.

Tentu saja membuat Windarti melegak heran. Ingin sekali dia menyaksikan kehebatan wanita muda yang menghebohkan selat Madura itu. Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular Betina bernama Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.

Saat mana terdengar suara tertawa terkekeh. Dan muncul pula sesosok tubuh. Dialah si manusia muka mayat. "Heheheheh... Tiga Dedemit Gunung Siung! Akulah lawanmu...!"

Serentak tiga laki-laki tua berjubah hitam itu balikkan tubuh. Langsung salah seorang membentak. "Huh! Siapakah kau...?"

"Heheheh... aku si Manusia Muka Mayat!"

"Apakah urusanmu dengan persoalan kami? Bocah perempuan edan itu telah merampok harta benda muridku di Pesanggrahan Melati! Apakah kau mau membela maling?" bentak Dedemit Gunung Siung.

"Huuu!? Begitukah? Kudengar muridmu itu adalah pendiri pesanggrahan edan yang menjadi komplotan jual-beli perempuan? Kalau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu itu harta tak halal?" tukas si manusia Muka Mayat.

"Dan perlu kalian ketahui, murid perempuan mu si pendiri pesanggrahan Melati itu adalah anak kandunganku sendiri. Akan tetapi karena perbuatannya membuat malu aku. Juga menyalahi tata tertib serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan mendirikan komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"

Terhenyak seketika si Tiga Dedemit Gunung Siung. Ketiganya saling pandang dengan kawannya sendiri. "Heh! siapakah kau ini sebenarnya?" bertanya salah seorang da ri mereka.

Si manusia Muka Mayat tak menjawab. Akan tetapi ge rakkan tangannya "membuka" kulit wajahnya. Ternyata dia mengenakan semacam topeng kulit manusia. "Nah! Apakah kalian masih mengenali wajahku...?" bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.

"Lodaya Seta...!?" tersentak kaget ketiga manusia ini. Memandang laki-laki tua itu yang tak lain memang Lodaya Seta adanya.

Sementara ditempat persembunyian dua pasang mata menatap dengan membelalak pada laki-laki yang barusan berganti wajah itu. Sekonyong-konyong angin keras menyambar semak belukar dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.

"Heheheh... keluarlah kalian dari tempat sembunyimu, Nagasari! Apakah kau tak mau tanggung jawab dengan perbuatan terkutuk mu?" berkata Ki Dondoman dengan suara dingin mencekam.

Tentu saja membuat dua manusia itu melompat ke luar dengan serempak. Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang sembunyi bersama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Ternyata disaat Beguk Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah kabur dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul. Dalam pelacakan mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka telah sampai ketempat itu.

"A... a... ayah...!? Benarkah kau tak mengakui aku anak kandungmu lagi?" teriak Nagasari dengan suara menggetar hebat.

Laki-laki tua ini menatap tak berkedip dengan sinar mata tajam seperti anak panah yang mau menembus jantung perempuan muda itu. "Aku telah bilang hitam, ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya putih! Apakah aku perlu mengulangi kata-kataku?" membentak Ki Dondoman.

Nagasari mundur dua langkah. Wajahnya tak sedap dipandang. Dadanya tampak turun naik karena menahan gemuruh didadanya. Dari menatap wajah ayahnya, sepasang mata Nagasari beralih pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat Madura itu.

"Heh! kalau begitu keputusan ayah, aku tak dapat menolak. Ayah ternyata telah punya seorang murid perempuan yang menggantikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi sebagai anakmu! Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu pandai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar ayah membenciku...!" berkata Nagasari bercampur isak.

Sementara itu Windarti sejak tadi menatap pada Nagasari dengan tak berkedip. Dengan pancaran mata berapi-api. Sekilas terbayang lagi saat kematian Kuntali, yang sebelum dihabisi nyawanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Tapak Doro dan Binangun. Dendam kesumat di dalam dada dara ini tampaknya sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba dia membentak keras seraya melompat kehadapan Nagasari.

"Perempuan bejat! Hari ini aku akan adu jiwa denganmu...!" Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang ganas. Yang diiringi pekikan-pekikan histeris.

Whuuk! Zeb! Zeb...!

Whuk! Whuk!... Brettt...!

Tersentak Nagasari yang sedang dalam keadaan berduka dengan keputusan sang ayah. Hatinya terasa nyeri karena tak diakui lagi sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu. Ketika serangan mendadak Windari dia agak terperanjat. Namun Nagasari bukanlah wanita yang mudah dijatuhkan. Karena di samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini Candra Gumintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit Gunung Siung.

Namun serangan Windarti yang kalap itu justru membuat Naga sari sukar untuk menduga jurus-jurusnya. Hingga dia berlaku kurang gesit. Sambaran deras dari terjangan Windarti membuat baju lengan nya tersobek. Bahkan kuku dara itu menggores kulitnya hingga ber darah.

"Keparat!" memaki Nagasari. "Kau mau mampus...!" bentaknya menggledek. Dan menerjanglah Nagasari dengan pukulan-pukulan dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih adik seperguruannya itu. Buk...! Satu hantaman telak mengenai dada Windarti, membuat gadis ini terhuyung ke belakang.

"Kau...kau manusia kejam, penipu... kau telah mengelabuiku, mengelabui semua saudara-saudara seperguruan. Bahkan kau telah membunuh Kuntali! Kau racuni guru kita hanya karena ketamakanmu pada harta pusaka milik guru! Apakah kau masih layak untuk hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan penjual wanita! Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa iblismu, keparat...!"

Berteriak-teriak dengan suara lantang dara ini. Bahkan air matanya tampak mengalir turun! Dan, disertai bentakan keras melengking panjang, Windarti kembali menerjang dengan pukulan-pukulan ganasnya. Saat mana Nagasari secepat kilat sambil mengelak telah lakukan serangan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum berbisa. Akan tetapi disaat yang gawat itu, terdengar bentakan keras. Sesosok bayangan berkelebat.

"Awas, Windarti...!" teriakan itu dibarengi dengan mendorong tubuh dara itu. Akan tetapi justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena lurukan jarum-jarum beracun Nagasari. Terdengar jeritan parau dari si Ular Betina Selat Madura, alias Andini. Seketika tubuhnya roboh. Dan berkelojotan ditanah. Tapi sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...

Windarti melompat memburu diiringi Shidarta. Sementara Nagasari telah berkelebat cepat melompat dari situ setelah mencekal lengan Beguk Reksasana. "Cepat! kita pergi dari sini...!" bisik Nagasari. Akan tetapi...

"Bocah murtad! hentikan langkahmu...!" satu bentakan keras dari nada yang dingin mencekam membuat mereka hentikan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun dihadapan mereka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit keluar. Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.

"Hihihi... Nagasari. Dan kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian serahkan diri untuk jadi tawananku. Aku akan serahkan kalian pada hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan hukuman untuk kalian, di Kota Raja!"

Ternganga mulut Nagasari. Pakaian wanita ini amat mirip dengan si Ular Betina Selat Madura yang telah dipastikan tewas terkena serangan senjata rahasia. Akan tetapi jelas dia bukan si Ular Betina itu? Karena wanita yang terkena luruskan senjata rahasianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah wanita ini? pikir Nagasari. Saat mana si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.

"He? Siapakah kau, nona? mengapa kau menyamar jadi murid ku...!"

"Hihihi... akulah si Ular Betina Selat Madura yang asli! Bukan aku yang menyamar jadi murid mu, tapi muridmu itulah yang menyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama Kuntali...?" bertanya wanita ini.

Kata-kata wanita yang lantang ini membuat Windarti dan Shidarta jadi melengak heran. Terlebih lagi Windarti. Karena jelas dia telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari di depan matanya. Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu terdengar jelas. Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman mati buat saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhianat.

Saat mana tiba-tiba berkelebat tubuh nini Candra Gumintang ketempat itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah sentakkan kulit muka dara yang terkapar itu. Dan... segera terpampang wajah Kuntali. Terpekik seketika Windarti Langsung merangkul sosok tubuh yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis meratap pedih...

"Kuntali...! Kun.. tali... oh!? Kiranya kau... kau..." Tak kuat menahan perasaannya, Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadarkan diri. Shidarta jadi kebingungan mengurusi dara itu...

SEBELAS

"MURID MURTAD! Segera kau akan merasakan kematian mu...!" bentak nini Candra Gumintang dengan suara lengkingan parau yang memekakkan telinga. Tubuhnya meluncur bagaikan alap-alap. Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jari-jari mengembang. Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan wanita tua ini. Diiringi sambaran kilat dari selendang sutera warna merah, bagaikan sebatang tombak yang meluncur ke dadanya.

Wukkk! Dhesss...!

Nini Candra Gumintang lakukan salto dengan lengan bersidakep. Ternyata dengan gesit dia telah tarik serangannya. Tahu-tahu sebelah kakinya telah meluncur ke arah dada si penyerang. Terdengar jerit kesakitan. Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana terjengkang roboh bergulingan. Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah tercekal ditangannya. Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah. Langsung melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.

Dhesss...! Darah segar menyemburat keudara. Memercik ke bumi. Dan menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tubuhnya yang telah tanpa kepala lagi.

Terperangah Nagasari. Wajahnya seketika berulah menjadi pucat pias. Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu meluncur pesat mengancam tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu sudah didepan mata! Akan tetapi pada detik itu...

Trangg! Pedang sinar ungu terpental keudara dan menancap tinggi diatas dahan pohon. Ternyata sebutir batu kerikil telah menghantamnya, tepat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu menembus tenggorokan Nagasari.

Ternyata si manusia Muka Mayat alias Lodaya Sete-lah yang melemparkan batu, menangkis serangan. Sekejap si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang. "Sabar, kakang mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"

Selesai berkata tiba-tiba tubuh laki-laki tua itu berbalik. Lengan jubahnya mengibas. Di lain kejap. Nagasari sudah berdiri tak bergeming dengan keadaan tubuh kaku karena urat darahnya telah tertotok. Selanjutnya dengan sekali bergerak ulurkan lengan, tubuh Na gasari telah berpindah ke atas pundaknya. Dan saat berikutnya Ki Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat cepat dari tempat itu.

Melihat kematian Beguk Reksasana, tersentak kaget si Tiga De demit Gunung Siung. Serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Agaknya mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang dibawa pergi oleh Lodaya Seta. Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini Candra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura.

Agaknya mereka bingung mengambil keputusan. Jelas tujuan mereka adalah mengejar si Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang milik Nagasari yang dirampok wanita itu. Akan tetapi melihat kematian Beguk Reksasana (sang murid) membuat mereka jadi amat gusar. Salah seorang rupanya sudah mengambil keputusan.

Tanpa perdengarkan suara, satu dari Tiga Dedemit Gunung Siung telah melejit dari tempatnya berdiri. Senjata ditangannya yang berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing berwarna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan ke punggung Nini Candra Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri ditempat. Seperti belum niat bergerak.

Buk...! Serangan hebat laki-laki jubah hitam yang berewokan ini luar biasa. Jurus serangan yang dipergunakan seperti jurus aneh, karena bisa menyimpan suara. Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu mata lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu Samber Nyawa. Entah tenaga darimana yang telah membentur tubuhnya hingga terlempar keudara setinggi lima-enam tombak. Sambaran angin itupun seperti tak menimbulkan suara pula.

Tubuh si Garpu Samber Nyawa melayang turun dengan kaki terlebih dulu. Akan tetapi dengan tubuh terhuyung limbung. Dan tampak darah menetes dari mulutnya. Untung kedua kawan dengan sigap cepat melompat untuk menyangganya. Tampak wajah si laki-laki brewok ini pucat pias. Sebelah lengannya memegangi dadanya.

"Oh...! Sudah kuduga...!" ujarnya, selesai berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar dari mulutnya.

Kedua pasang mata dua kawan si Brewok ini jadi mengarah na nar pada Si Ular Betina Selat Madura. Sementara Nini Candra Gumintang sendiri seperti terbelalak heran. Pertanda dia tak mengetahui kalau dibokong orang. Sedangkan si wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat Madura itu tampak tersenyum-senyum.

Melihat demikian kuatlah dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gunung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang telah melakukan serangan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam tanpa suara...

"Bedebah tengil! Tolakan tenaga pukulanmu hebat juga!" membentak Gantol Mumet yang berwajah kaku berkulit hitam legam. Serentak kedua tubuh kakek itu telah berkelebat melompat. Sekejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang sang Ular Betina.

"Baik! kalau kau menghendaki mampus duluan. Kebetulan kami juga perlu tahu. Kalau kau mengaku si Ular Betina Selat Madura yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta dan uang di pesanggrahan Melati!" Membentak Gantol Mumet.

"Hihihi... kalau sudah tahu mengapa bertanya...?" dara ini menyahut seenaknya. Tubuhnya bergerak memutar kesana-kemari dengan melangkah pelahan. Bahkan dengan menggendong tangan ke belakang.

Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu jadi mendongkol. Bukan main terhinanya kalau harus "keok" oleh bocah perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi melihat pukulan tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka tampak harus hati-hati.

"Bagus! Kalau begitu urusan akan mudah dibereskan! Segera tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan uang rampokanmu itu, nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta itu tak halal? Kalau kau kangkangi akan percuma saja. Lebih baik kau serahkan pada kami...!" bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jangkung berkumis mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya.

"Hihihi... hihihi... cecurut tua bau apek macam kau mana mempan membujuk aku. Harta tak halal itu bukan mau aku kangkangi sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan! Hitung hitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah "pajak" itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung tikar! Hihihi... hihihi..."

"Kalau begitu kau perlu diringkus...!" bentak Gantol Mumet. Dan setelah memberi isyarat, kedua tokoh golongan hitam itu seren tak menerjang si Ular Betina Selat Madura.

Sambaran-sambaran senjata kedua laki-laki tua itu meluruk menghunjam ke arah dara ini. Bahkan dibarengi pula dengan pukulan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya. Akan tetapi tampak dengan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan melenggang-lenggok genit. Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan tengah menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.

Melengak seketika dua kakek jubah hitam itu. Dalam serangan empat jurus barusan dengan mudah si wanita bergelar Ular Betina Selat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian istimewanya. Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Itulah tanda isyarat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.

Serentak keduanya tiba-tiba melompat mundur. Sementara sesosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang terhenti itu. Ternyata si Garpu Samber Nyawa. Mereka langsung berlompatan untuk bergabung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan senjatanya. Tentu saja hal itu membuat si Ular Betina Selat Madura jadi melengak heran. Saat mana terdengar suara tertawa berkakakan. Di iringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.

"Hebat! hebat...! Sungguh aku si tua bangka ini tak menyangka kalau anda adalah Nona Pendekar Roro Centil...! Mohon maaf atas kekeliruan kami!" Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang tak lain dari Lodaya Seta alias Ki Dondoman, yang bergelar si Malaikat Tangan Sebelas.

"He? kau muncul lagi? Apakah maumu...?" bertanya Ular Betina Selat Madura.

Akan tetapi Lodaya Seta tak menjawab. Dia menoleh pada ketiga kakek tiga berjubah hitam. "Hai?! Mengapa kalian masih berdiri terpaku? Hayo lekas beri penghormatan pada nona Pendekar kita...!" membentak Lodaya Seta.

Tak ayal ketiganya segera menjura pada si Ular Betina Selat Madura. Dan cepat sekali mereka membuka jubah masing-masing. Mengkelet juga kulit muka mereka. Tak lama tiga Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang Perwira Kerajaan. Sementara Lodaya Seta pun segera tanggalkan jubahnya. Selapis kulit muka kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain dari Mahapatih Cakra Bhuana dari Kerajaan Mataram.

Tersentak si Ular Betina melihat dan mengenali orang-orang Kerajaan itu. Terutama pada Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu pada beberapa bulan yang lalu.

"Aiiiih! Kalau begitu percuma sudah aku menutupi rahasiaku...! Selesai sudah petualanganku sebagai si Ular Betina Selat Madura...!" Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu mengkelet kulit wajahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa lagi ka lau bukan memang Roro Centil adanya.

"Kanjeng Gusti Patih...!" ujar Roro sambil menjura hormat. "Segala sepak terjangku di wilayah perairan Selat Madura telah tercium oleh anda. Kini aku serahkan diri padamu. Silahkan memberi hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!" ujar Roro sambil tersenyum.

"Hahahaha... segala sepak terjang anda memang sudah lama di lacak oleh anak-anak buahku dari pihak Kerajaan Mataram. Walau harta-harta haram serta barang selundupan yang kau rampok dari para saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada yang berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya. Hehehe... suatu ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!" berkata Mahapatih Cakra Bhuana.

"Bagaimana kalau aku melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak pikirkan kalau tiba-tiba niatku berubah...?" ujar Roro berseloroh.

"Hahaha... kalau begitu sekarang anda ku tangkap. Selama sepekan anda harus tinggal di tempat kediamanku untuk menerima suguhan kehormatan!"

Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi mengikik tertawa terpingkal-pingkal. Adapun nini Candra Gumitang sejak tadi terlongong mendengarkan percakapan. Melihat siapa adanya si Tiga Dedemit Gunung Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan dibenaknya. Sekali bergerak dia telah melompat kehadapan Mahapatih Cakra Bhuana.

"Maafkan hamba Kanjeng Gusti Mahapatih...! Aku si nenek tua renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon penjelasan...!" berkata wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar Kerajaan itu.

"Segalanya akan anda ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...! Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah yang berbeda jalan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari kebenaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Cakra Bhuana. "Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi mayat, yang perlu kita hormati. Mari kita memakamkannya...!"

* * * * * * *

DUA BELAS

Lima hari kemudian... di Kadipaten Lamongan. Terperangah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu. Setelah selesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa, Mahapatih Cakra Bhuana mengajak mereka semua ke Kadipaten. Kecuali Roro Centil yang mohon diri untuk menyelesaikan urusannya.

Bukan saja nini Candra Gumintang yang terkejut, akan tetapi juga Adipati Donggala, serta semua yang berada ditempat itu. Karena tampak dinding kamar tahanan berlubang besar. Dan Nagasari yang dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...

"Celaka...!? Nagasari telah meloloskan diri...! Apakah yang telah terjadi dengan Lodaya Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan wajah pucat. "Hai pengawal! Apakah kalian tak mengetahui tawanan wanita yang baru masuk itu meloloskan diri?" membentak Adipati Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang bertugas menjaga di sekitar rumah tahanan itu.

"Ampun Gusti, hamba hanya mendengar suara gaduh serta runtuhnya tembok kamar tahanan. Dan, hamba dapati laki-laki tua tahanan kita ini telah terkapar berlumuran darah. Tahanan wanita itu sendiri lenyap!" menyahut salah seorang prajurit seraya menyembah.

"Apakah kalian tak lihat ada orang masuk kemari?"

"Rasaya tidak, Gusti...!" sahut keduanya serempak.

Sementara nini Candra Gumintang telah melompat untuk memeriksa keadaan Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum mati. Luka parah berasal dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada henti.

"Adikku, Lodaya... katakanlah! apa yang terjadi? Siapa yang melakukan perbuatan ini?" bertanya wanita tua ini dengan air mata berkaca-kaca.

"Kau... kakang... mbok...! Oh, bahagia sekali kau datang...! Aku memang merahasiakan tentang diriku...! Sebenarnya Mahapatih Cakra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku memilih mendekam dalam tahanan ini atas permintaanku sendiri. Karena aku merasa berdosa. Aku telah salah memungut anak! Ya, salah yang teramat besar...!" ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Walau cuma senyum kekecewaan.

"Ah...!? Jadi Nagasari bukan anak kandungmu sendiri?" tanya nini Candra Gumintang.

Laki-laki tua itu menggeleng. "Benar, kakang mbok...! Ketika Nagasari mengambil keputusan untuk membunuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk Reksasana alias Tali Wangsa telah menotokku. Kemudian laki-laki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur tubuhku dan menawanku di dalam goa! Untunglah kakang Mahapatih Cakra Bhuana menolongku...!"

Lodaya Seta berikan penjelasan. Tampak dia kelihatan bersemangat. Bahkan merasa agak kuat untuk bicara. Karena diam-diam Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang dialirkan ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekua tan tubuh Lodaya Seta.

Sementara Mahapatih Cakra Bhuana berjongkok disisi laki-laki tua itu. Menatap saudara kembarnya dengan tatapan sedih. Lodaya Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua saudara seperguruannya itu. Lalu lanjutkan kata-katanya.

"Tahukah kau bahwa sebenarnya aku telah menjadi seorang tanpa daksa, kakang mbok...?" berkata Lodaya Seta. "Sejak ilmuku dilenyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai ilmu dasar saja. Aneh! Semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan lenyap sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu pukulan tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!" ujar Lodaya Seta.

Nini Candra Gumintang tersentak kaget. "Jadi selama ini kau tak punya ilmu apa-apa, adik Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lodaya Seta mengangguk.

"Jadi... jadi apakah yang menolongku waktu itu adalah Gusti Kanjeng Mahapatih sendiri...?" tersentak lagi nini Candra Gumintang, seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan itu.

Mahapatih Cakra Bhuana manggut-manggut, tanpa mengucapkan sepatah kata. Bahkan tampak dikedua sudut kelopak mata Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening. Tampak dia sangat berduka sekali dengan musibah itu. "Adik Lodaya Seta... sebaiknya kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk menggotongmu dengan tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.

"Tidak usah, kakang Patih...!" ucap Lodaya Seta dengan lirih.

Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan itu cuma bisa diam membisu dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola segera perintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung di perintahkan mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan tanpa bertanya lagi, segera tarik lengan Windarti dan dibawanya berlari bagaikan terbang, keluar dari halaman gedung Kedipatian.

Gedung tempat kediaman Mahapatih Cakra Bhuana tampak di padati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan upacara pembakaran mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu. Roro Centil tampak berdiri diantara deretan para undangan. Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu rata-rata menundukkan kepala.

Mereka turut bersedih atas tewasnya adik kembar sang Mahapatih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan lagi hidupnya. Dia tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya dihadapan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang di kala mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi hatinya. Karena dia keburu diusir dari perguruan.

Pelaku dari kejadian itu ternyata, masih misterius. Karena Lodaya Seta tak sempat menerangkan siapa pelaku perbuatan terhadap dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya Seta yang memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa, diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun membasahi pipinya...

Asap semakin tebal membumbung keangkasa. Api berkobar menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi abu. Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahlawan yang mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari menempuh jalan sesat untuk kembali menjadi manusia yang berguna patut dihargai.

Sayang cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah jalan. Karena ulah dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh jalan sesat. Dan saat itu juga. Nagasari diputuskan menjadi orang buronan Kerajaan Mataram!

Ketika satu demi satu para tamu undangan telah mengundurkan diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki halaman gedung Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bahkan langsung menerobos pintu gerbang.

Tentu saja membuat para prajurit pengawal penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak. Adipati Donggala yang hadir dan belum pulang dalam upacara itu telah memburunya dengan melompat keluar. Disusul oleh Shidarta dan Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta nini Candra Gumin tang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan.

Langsung Adipati Donggala dan Shidarta beserta prajurit pengawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang berhenti tepat di depan pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati Donggala juga Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam kedua pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat Nagasari. Dan satu lagi berisi ribuan keping emas dan perak, juga bermacam perhiasan yang tak ternilai harganya. Diatas tumpukan uang dalam peti emas itu terdapat secarik ker tas bertulisan besar-besar.

"GUSTI KANJENG MAHAPATIH CAKRA BHUANA...! TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI. SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA KERAJAAN MATARAM...! BAHWA SATU PETI UNTUK DITANAM. DAN SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI KESEJAHTERAAN RAKYAT!"

Pengirim: RORO CENTIL Gelar Sementara (Ular Betna Selat Madura) Telah dicabut...!

Saat para pengawal gaduh menurunkan mayat Nagasari dan peti berisi uang dan harta "pajak" paksaan kiriman dari Roro Centil, justru sang pengirimnya sendiri tengah melangkah melenggang meninggalkan wilayah Kota Raja. Dialah si Ular Betina Selat Madura. Yang telah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang mempermainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau membayar pajak. Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau pembunuh bayaran demi keamanan uang dan hartanya.

Kemunculan si Ular Betina Selat Madura yang mengincar orang-orang berduit. Telah menjadi momok yang menakutkan diwilayah perairan Selat Madura. Terutama dari usaha-usaha tak halal. Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji pekerjaan semuanya saja. Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium oleh si Ular Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar. Akibatnya mereka harus menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan oleh si Ular Betina Selat Madura yang ternyata tak lain dari Roro Centil adanya. Yaitu sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang beradat aneh!

"Nona Pendekar Roro...! Tunggu...!" satu teriakan terdengar. Dan sesosok tubuh berkelebat mengejar.

"Hm, Shidarta...? Ada apakah kau menahan langkahku?" bertanya Roro begitu pemuda tampan ini telah berada dihadapannya.

"Anu... ng..."

"Mau tanya apa?"

"Eh ya, ya...! itu..." menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu... nona... Pendekar Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima kasih pada anda, atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"

Roro tersenyum manggut-manggut. "Hanya itu?"

"Ma... masih ada, nona Pendekar Roro... tapi yang ini bukan pertanyaan saya..." sahut Shidarta, seraya menoleh kebelakang. "Ah, kemanakah anak itu?" terdengar suara Shidarta menggumam.

"Aiiih! siapakah yang kau maksudkan itu Shidarta? Wah, wah...! Kau membawa teman mengapa tak diperkenalkan pada ku...?"

"Dia... dia malu, nona Pendekar..."

"Hmm... mengapa malu?"

"Entahlah, dia enggan berhadapan dengan anda..."

"Oh, ya? He... kau belum sebutkan siapa si "dia" yang kau mak sudkan itu?"

"Eh, maaf, nona Pendekar. Dia maksudku adalah... Windarti..."

"Windarti...? Apakah yang mau ditanyakannya?" tanya Roro dengan kerutkan keningnya. Sementara diam-diam Roro sudah dapat menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena segera dia teringat ketika "nguping" pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidarta. Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali. Ternyata Kuntali yang telah diketahuinya dua kali mati. Ternyata dua kali hidup lagi. Bahkan sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja Windarti melihat sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapannya.

Kejadian itu membuat Windarti tak bisa tidur. Dia memikir ka lau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu. Ketika kasak-kusuk dengan Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk mem bongkar kuburan Kuntali. Benar saja dugaan Roro. Ternyata Shidarta memang mempertanyakan peristiwa kematian Kuntali yang misterius.

"Begitulah perihal yang ditanyakan Windarti, nona Pendekar."

"Hm, panggil saja aku dengan panggilan kakak Roro, Shidarta.”

"Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!" ucap Shidarta agak kaku.

"Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus untukmu. Penjelasan ini cuma pada kau aku katakan. Asalkan kau mau berjanji takkan menceritakan pada Windarti, tentunya..." berkata Roro. "Semua ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mungkin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai "kelainan" pada jiwanya. Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri. Dan pada Kuntali itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta". Hal ini amat berbahaya. Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang salah. Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orang orang dijalan lurus...!" ujar Roro lebih lanjut.

Ternyata Shidarta agaknya sudah mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengarkan dengan serius. "Aku berjanji, takkan menceritakan padanya. Asalkan demi kebaikan dia tentunya..." tukas Shidarta.

"Bagus! Nah dengarkanlah! Sebenarnya... Kuntali telah tewas mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari, ketika dia memperingati Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti yang kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kematian yang aku perbuat untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan ilmuku. Yang dibunuhnya serta diperkosa oleh kedua saudara seperguruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing yang telah kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya adalah suaraku sendiri!" jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya ilmu Malih Raga! Sedangkan kemunculan arwah Kuntali dihadapan Windarti adalah aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok kulit muka yang serupa dengan dia?"

"Benar... benar...!" timpal Shidarta yang telah semakin jelas dengan duduk persoalannya. Penjelasan itu selain membuat Shidarta terperangah, juga membuat dia kagum luar biasa pada Roro.

"Ah, sungguh mataku buta. Tak melihat gunung Mahameru di depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan orang disetiap tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!" berkata Shi darta dengan menatap kagum.

"Hihihi... jangan suka memuji berlebihan! Di atas langit masih ada langit lagi!" ujar Roro. "Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan sudah teramat tinggi, wah, wah...! Bisa-bisa aku dianggap dewa oleh orang! hihihi..."

Shidarta manggut-manggut sambil tersenyum "Benar, kakak Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa begitu tergesa? Aku makin kagum pada kakak Pendekar Roro. Kalau boleh... aku... aku..." pemuda ini tak teruskan lagi kata-katanya.

"Sudahlah! Tugasmu kini adalah membimbing Windarti menjadi seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki berwatak bejat seperti Tali Wangsa. Nah! Aku akan segera berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu, Shidarta. Yaitu... sebelum kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau dahulukan kepentingan orang lain. Bila ternyata orang lain itu memang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"

Selesai bicara, tiba-tiba tubuh Roro melenyap sirna. Hilang tan pa krana seolah tubuhnya telah menyatu dengan angin. Shidarta jadi terperangah dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Ketika memandang ke atas. Terlihat dahan-dahan pohon bergoyangan, seperti baru melintas angin keras. Dan samar-samar hidung Shidarta mencium bau harum semerbak.

"Ah... sungguh seorang Pendekar Wanita yang hebat" gumamnya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi dari tempat itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh mendatangi.

Dialah Windarti...! Pemuda tampan ini tersenyum. Hatinya berkata "Windarti...! Cuma aku yang tahu, bahwa aku tak boleh menceritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh mementingkan diriku lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."

Ternyata memang hanya Shidarta yang mengetahui. Bahkan Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui. Karena rahasia ilmu Malih Raga telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong Nini Candra Gumintang. Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua itu oleh Tapak Doro dan Binangun ke dalam jurang. Roro telah menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang dengan sebatang kayu.

Bagaimanakah nasib Tapak Doro dan Binangun, diakhir kisah ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah Kadipaten Lamongan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki. Tak diketahui siapa pembunuhnya. Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak Doro dan Binangun.
Selanjutnya,