Roro Centil - Tragedi Pulau BerhalaKarya : Mario Gembala |
Kencarupa! Lupakah kau akan ajaran guru kita? Kau telah menempuh jalan sesat Jalan yang kau buat seenak perutmu sendiri! Perbuatanmu melampaui batas kemanusiaan Kau akan mengundang banyak musuh karena perbuatanmu sendiri!" berkata paderi bulat ini yang memanggil si Paderi Mata Seribu dengan nama aslinya.
Ternyata dari pembicaraan si paderi bulat itu, mereka adalah dua orang saudara seperguruan. Peringatan itu ternyata membuat si paderi Mata Seribu justru tertawa terbahak-bahak lebih keras. "Hahahaa... haha... Semua itu sudah kuperhitungkan! Aku memang telah siap untuk menghadapi. Bukankah dengan demikian akan membuat aku mudah menghancurkan mereka? Dan namaku di dunia persilatan akan menjulang tinggi. Partai serta anutan ku semakin menyebar ke seluruh pelosok. Aku akan jadi orang yang paling berkuasa kelak, sesuai dengan cita-citaku!" sumbar si paderi Pulau Berhala dengan suara lantang. "Manusia takabur! Cita-cita gilamu takkan pernah berhasil. Karena kau saat ini harus mampus di tanganku!" bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan mata melotot gusar. Dadanya bergemuruh mendengar apa yang menjadi cita-cita si saudara seperguruan itu. Dewa Angin Puyuh telah keluarkan senjata Kipas Bututnya. Sementara sepasang matanya menatap tak berkedip pada manusia di hadapan dia. Urat-urat tubuhnya tampak menggembung pertanda dia telah menyalurkan segenap kekuatan tenaga dalam untuk melabrak si Paderi Mata Seribu. "Hahaha... aku amat menyayangkan kau ka-kak Kumbara! Walau bagaimana kau adalah bekas kakak seperguruanku. Berpuluh tahun tak berjumpa aku masih merasa kau saudara sendiri. Oleh sebab itulah aku urungkan niatku untuk membunuhmu. Tinggallah kau di pulau ini membantuku!" berkata paderi Mata Seribu menyebut nama asli si paderi Dewa Angin Puyuh dengan sebutan nama Kumbara. "Edan! Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada menjadi manusia sesat sepertimu!" bentak Kumbara dengan suara menggelegar karena kemarahannya. Menerjanglah kakek bulat ini dengan serangan senjatanya. Angin puyuh bergulung-gulung menggebu menghantam si Paderi Mata Seribu. akan tetapi dengan tertawa berkakakan KENCARUPA berkelebat lenyap. Angin Itu terus lewat bergulung menerjang para paderi yang masih berkerumun di belakang Istana. Namun mendadak angin itu lenyap ketika seberkas cahaya merah menghalangi. "Menyingkirlah kalian semua!" terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh melompat di hadapan mereka sesaat setelah lenyapnya cahaya merah barusan. Tiga paderi jubah merah segera telah berdiri di hadapan Kumbara. "Hehehhaha... babi bulat! hadapilah kami. Ketua kami enggan turun tangan untuk membunuhmu!" berkata salah seorang sambil tertawa mengejek. Dan ketiga sosok tubuh paderi jubah merah itu berkelebatan berpencar mengurung si paderi bulat Dewa Angin Puyuh dari tiga penjuru. "Hmmm, apakah kalian yang menamakan diri si Tiga Naga Merah?" bentak Kumbara. Diam-diam dia terkejut juga karena ketiga manusia yang berasal dari Tibet ini bisa berada di wilayah Pulau Jawa bahkan menjadi pengikut si Paderi Mata Seribu! "Benar!" sahut si kurus muka pucat berkumis ceriwis di hadapannya. "Kami telah bergabung dengan sobat kami Kencarupa demi tujuan yang besar dan mulia!" "Bah!? tujuan mulia? Dengan cara-cara sesat yang di luar perikemanusiaan itu kalian katakan tujuan mulia? Hahaha... hahaha..." Dewa Angin Puyuh tertawa berkakakan hingga tubuhnya terguncang-guncang dan air matanya mengalir ke luar. Tertawanya si Dewa Angin Puyuh bukanlah tertawa girang melainkan tertawa yang mengandung kepedihan dan kemarahan yang amat luar biasa mendengar kata-kata si paderi kurus Tiga Naga Merah. Ternyata tertawa si Dewa Angin Puyuh juga mengandung ilmu tenaga dalam dan serangan yang amat dahsyat. Ketiga paderi jubah merah itu mendadak wajahnya berubah pucat. Masing-masing rasakan dadanya menjadi sesak. Telinga mereka seperti dimasuki ribuan semut. Akan tetapi dengan berbareng mereka keluarkan bentakan. Masing-masing satukan lengannya. Tubuh mereka bergetaran. Dan tampak uap merah mengepul dari ubun-ubun kepala. Uap itu membentuk asap yang bergulung-gulung berwarna merah. Yang sekejap kemudian berubah menjadi tiga ekor ular naga. Inilah ilmu Setan Naga Merah yang dikeluarkan dengan terpadu. Ketiga naga ciptaan itu serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh. Sambaran dahsyat dari Tiga Naga Merah ciptaan itu membuat si paderi bulat keluarkan keringat dingin dan hentikan tertawanya. Wuss! Wusss! Whusss...! Kipas bututnya digunakan untuk menerjang. Sementara tubuhnya mendadak memutar seperti gasing. Tiga naga ciptaan terdorong mundur kena hembusan angin kipas yang dahsyat. Akan tetapi serentak mereka menerjang lagi dari berbagai jurusan. Terjadilah pertarungan seru yang amat luar biasa dan menakutkan. Naga-naga ciptaan itu keluarkan suara dahsyat yang menggetarkan jantung. Paderi bulat seperti sebuah boneka lucu yang jadi permainan tiga ekor ular naga. Dalam saat itu si tiga Paderi Jubah Merah cuma diam tak bergeming dengan membaca manteramantera. Sepasang lengannya mengatup di depan dada. Dewa Angin Puyuh agaknya mulai kewalahan menghadapi ketiga naga. Kipasnya yang menerjang selalu dapat dipukul oleh hempasan ekor-ekor Naga. Namun dengan semangat besar dan kemarahan semakin menjadi, namun dengan perhitungan yang cukup masak dia segera robah jurus-jurus serangannya. Kali ini dia bertarung sambil menjauh. Ketiga naga ciptaan terus mengejar. Sementara itu pada paderi Pulau Berhala mulai menyebar ke setiap tempat. Mereka mengurung arena pertarungan, atau siap menjaga jangan sampai si paderi bulat itu melarikan diri. "Setan alas! kalau begini terus menerus aku akan kehabisan tenaga! Paderi-paderi anak buah si Kencarupa telah mengetahui maksudku! Oh, celakalah aku. Daripada tertawan lebih baik mati!" desis si Dewa Angin Puyuh. Dia melompat menjauh mendekati patung-patung yang bertebaran di pulau itu, akan tetapi sungguh dia tak mengira kalau patung-patung itu mendadak keluarkan asap yang menyemprot ke arah mukanya. "Asap beracun!?" teriak si kakek bulat tertahan dengan terperanjat. Akan tetapi terlambat. Mendadak dia rasakan kepalanya berat. Matanya berkunang-kunang. Dia cuma mendengar suara tertawa berkakakan si Paderi Mata Seribu. Akan tetapi selanjutnya dia sudah tidak Ingat apa-apa lagi, karena dia segera terkulai roboh tak sadarkan diri. Ternyata pada berhala-berhala itu telah dipasangi alat-alat rahasia. Kalau di Pulau Berhala tengah terjadi peristiwaperistiwa tadi, adalah di pantai di sekitar pulau terjadi juga pertarungan seru antara para paderi Pulau Berhala yang berhasil membawa lari wanita yang diculik mereka dengan para paderi pesisir pulau. Mereka adalah para paderi yang telah kehilangan gurunya, yang tak diketahui ke mana perginya. Keberanian luar biasa dari para paderi itu tak membuat mereka patah semangat untuk menggagalkan penculikan para gadis, walau tanpa beradanya guru mereka. Mereka menjaga di pesisir pantai di tempat persembunyian dengan senjata-senjata terhunus. Ketika belasan paderi Pulau Berhala kembali dari menculik untuk menyeberangi ke Pulau Berhala, serentak mereka berlompatan ke luar untuk menerjang paderi-paderi palsu itu. SEPULUH
Pertarungan yang menimbulkan pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Si paderi muda yang menjadi pemimpin penyerbuan itu mengamuk dengan senjata tongkatnya. Lawannya seorang paderi bertubuh kasar dan kekar. Tiga serangan berantai dari serangan tongkat menyambar ke leher lawan, dengan tiga sodokan yang mematikan mengarah nyawa lawan. Pemuda ini tampak gusar karena enam kawannya tewas terbunuh, sedangkan di pihak paderi Pulau Berhala cuma satu yang terluka. Diakui ilmu kepandaian paderi Pulau Berhala memang hebat dan berada dua tingkat di atas kepandaian kawan-kawannya. Trang! Tang! Tang! Terdengar suara dentingan tiga kali lawannya menangkis seraya mengegos dengan senjata tipis seperti dua buah piring tipis terbuat dari baja. "Bocah bau kencur! Kau belajarlah sepuluh tahun lagi untuk melawanku!" teriak si paderi Pulau Berhala. Seraya menangkis, sebuah piring baja tipis itu dilepas ke arah bawah pusar. Suaranya berdesing. Terkejut paderi muda melihat senjata itu. Beberapa inci lagi maka putuslah pinggangnya terkena piring tipis yang berputar bagai gasing itu mengancam nyawanya. Dengan berteriak tertahan dia membanting dirinya ke tanah. Tongkatnya dipakai untuk menangkis. Trak! Tongkat pemuda paderi putus terbabat. Dalam keadaan terperangah itulah seorang paderi Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke punggung. Detik maut itu tak bisa dielakkan lagi. Namun pada saat itu terdengar bentakan hebat disertai satu kilatan mencercah di udara. Paderi pembokong itu menjerit pendek. Darah segar memuncrat. Dan dua potong tubuh yang terbelah menjadi dua menggabruk di tanah. Membelalak mata si paderi muda melihat kejadian Itu. Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar telah terbelah menjadi dua bagian. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang lakilaki muda memegang pedang yang berlumuran darah berpakaian serba putih. Siapa lagi Kalau bukan si Bujang Nan Elok alias Pendekar Selat Karimata, Sambu Ruci. "Paderi-paderi Pulau Berhala keparat! Hari Ini kau tak dapat berbuat sewenang-wenang lagi!" membentak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat. Dan selanjutnya terdengarlah teriakan-teriakan ngeri saling susul. Dalam waktu sekejapan saja tiga belas paderi itu roboh tanpa dapat berkelojotan lagi. Karena tubuh-tubuh mereka telah terpotong menjadi dua bagian. Membelalak mata para paderi penyerang itu yang merasa mendapat pertolongan mendadak di saat mereka hampir putus asa, ketiga melihat si Dewa penolong yang masih berusia muda. Seorang lakilaki gagah dan berwajah tampan. Serta-merta mereka berlompatan menghampiri dan menjura hormat. "Terimakasih atas bantuanmu, sobat. Sudikah anda memperkenalkan diri?" bertanya seorang paderi yang berusia cukup tua. "Namaku Sambu Ruci! Aku datang kemari karena petunjuk seorang paderi tua bernama Wiku Duta Prayoga. Dia dalam keadaan sekarat ketika kujumpai. Sebelum tewas dia mengatakan siapa manusia yang telah mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari Pulau Berhala. Lalu menceritakan tentang adanya paderi-paderi anak buahnya yang berada di pesisir pantai ini. Yang telah disiapkan untuk menggagalkan penculikan para wanita dan menumpas mereka. Apakah kalian adalah murid-murid Ki Duta Prayoga?" Membelalak seketika mata para paderi itu mendengar penuturan Sambu Ruci. "Benar! Beliau guru kami! Ah...!? beliau... te... tewas?!" teriak kaget si paderi muda. "Benar! Aku datang terlambat. Agaknya Ki Duta Prayoga menyerbu sendiri paderi-paderi Pulau Berhala yang melakukan penculikan. Atas petunjuk itu aku cepat mengejar kemari. Sayang aku agak terlambat. Sehingga kawan-kawanmu banyak yang menjadi korban!" berkata Sambu Ruci agak menyesal. "Wah bagaimana anda telah berjasa menyelamatkan nyawa kami. Kami amat berhutang budi pada anda sobat pendekar Sambu Ruci ..." menyahut si paderi tua bernama Lomambha itu dengan menatap girang bercampur sedih. Sudikah anda mengantarkan kami ke tempat jenazah guru kami, agar kami dapat menguburkannya?" ujar Lomambha dengan mata berkaca-kaca. "Tentu saja. Marilah ikut aku!" sahut Sambu Ruci tanpa menolak. Kemunculan Sambu Ruci di pesisir pantai tenggara telah membuat para paderi murid-murid Wiku Duta Prayoga menjadi kagum. Dalam beberapa hari mereka berkabung setelah kematian guru mereka. Ternyata Sambu Ruci memang telah menyelesaikan pelajaran ilmu silatnya dari gurunya yang baru yaitu Ki Balung Putih. Tentu saja Sambu Ruci pergi bersama istrinya Cinderani yang terpaksa dinikahi karena telah berjanji dengan si kakek Ki Balung Putih untuk menolong kakek itu. Cinderani ditinggalkan di desa terdekat tapi cukup jauh dari pantai. Karena Sambu Ruci tak mau mengajak dia. Walaupun sebenarnya Cinderani bersikeras ikut. Oleh sebab itu setelah selesai urusannya membantu para paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta diri. Sementara itu paderi-paderi itu pun segera bubar untuk kembali ke markas. Karena atas pertimbangan Sambu Ruci mereka tak akan kuat menghadapi paderi-paderi Pulau Berhala. Walaupun sebenarnya mereka bersedia korbankan nyawa untuk menyerang ke Pulau Berhala. Sambu Ruci berlari-lari cepat menuju ke desa di mana dia meninggalkan Cinderani. Sementara itu kita beralih pada Roro Centil yang berada di alam gaib. Yaitu di alam negeri Siluman. Dara pendekar Pantai Selatan itu tengah duduk di atas batu besar. Sementara di hadapannya tampak seberkas cahaya biru membentuk sesosok tubuh manusia. Dialah Bagawan Bhama Kosala, kakek guru Roro. Yaitu guru si Manusia Banci Pantai Selatan. "Kau telah mewarisi tiga macam ilmu kedigjayaan dariku, bocah cucuku!” berkata Bagawan Bhama Kosala. "Aku yakin kau akan mempergunakan untuk kebenaran. Akan tetapi kau baru boleh mempergunakan Kalau bertemu lawan Jahat yang amat tangguh! Hanya itulah pesanku!" ujar sang Bagawan. "Terima kasih, kakek guru. Wejanganmu akan selalu kuingat dalam lubuk hati. Apakah aku sudah diizinkan dan boleh ke luar dari alam mu ini kakek guru?" sahut Roro diiringi pertanyaan. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera kembali ke alam manusia. "Satu syarat lagi untukmu cucuku, sebelum kau berangkat pulang!" "Apakah itu, kakek guru?" tanya Roro kebat-kebit. "Tinggalkan sepasang senjatamu itu di sini!" sahut sang Bagawan. "He? Mengapa? Apakah aku harus gunakan tangan kosong tanpa senjata lagi? Padahal senjata itu adalah warisan guruku!" tanya Roro terheran. Cahaya biru itu menjawab dengan tertawa. "Jangan khawatir, aku hanya meminjamnya saja. Nanti bila kau telah ke luar dari alam siluman ini, segera aku kembalikan!" berkata Bagawan Bhama Kosala. "Hihihi.... Kalau begitu aku menurut saja!" sahut Roro seraya loloskan senjata Rantai genitnya. Lalu diletakkan di atas batu. "Nah! pejamkan matamu. Jangan kau buka sebelum ada suara kicau burung di telingamu!" berkata sang Bagawan. Tak menunggu diperintah dua kail, Roro segera turuti perintah itu. Diam-diam dia amat bergirang hati. Karena serasa dia sudah tak betah berdiam di tempat yang asing dan aneh itu. Roro merasa tubuhnya melayang menembus ke awan. Padahal dia tetap berada di atas batu itu. Ketika dia mendengar suara kicau burung, serentak dia buka kelopak matanya. Terkejutlah Roro Centil ketika melihat dia telah berada di alam yang sewajarnya yaitu alam manusia. Tempat itu adalah di sisi hutan rimba di mana telinganya bisa mendengar suara kicau burungburung dari dalam hutan. Akan tetapi anehnya dia masih tetap duduk di atas batu besar. Cuma saja batu itu telah berubah warna. Kalau tadinya dia duduk di atas batu putih bagai pualam, kini Roro duduk di atas batu gunung yang berlumut. Yang amat membuat lebih aneh lagi adalah, sepasang senjata Rantai genitnya itu tak berada di atas batu. Dia jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Namun segera melompat turun untuk menghirup napas lega. "Oh, senang sekali aku telah berada di alam manusia lagi!" berkata Roro sendiri. "Eh, katanya kakek guru akan mengembalikan sepasang senjataku, kapankah akan dikembalikannya?" gumam Roro yang merasa tak betah tanpa membawa senjata. Walaupun jarang dipergunakan namun Roro merasa telah senyawa dengan senjata Rantai genit itu. Dalam keadaan itu lapat-lapat terdengarlah suara gaib Bagawan Bhama Kosala. "Roro Centil, cucuku! Pergunakanlah mata batinmu. Kau periksa lagi ke atas batu yang kau duduki. Aku telah mengembalikan sepasang senjatamu. Akan tetapi dengan bentuk lain yang lebih sempurna, dan lebih hebat. Sesuai dengan keinginan gurumu..!" Tentu saja Roro terkejut. Segera dia gunakan mata batinnya untuk melihat dan memeriksa di atas batu tadi. Benar saja! segera terlihat sepasang senjata Rantai Genit dengan bentuk lain. Benda itu mempunyai rantai lebih halus. Pada bagian ujung gagangnya bertatahkan mutiara. Sedangkan bandulannya tetap merupakan sepasang payudara. Akan tetapi bentuknya lebih kecil. Ketika Roro mau menjamah, mendadak sepasang senjata itu lenyap. "Bocah muridku! Kau telah memiliki aji memindahkan benda tanpa menyentuh. Mengapa tak kau gunakan ajian milikmu itu? Benda itu adalah benda alam gaib. Dia cuma dapat kau simpan di alam gaib pula. Dan bila kau akan mempergunakannya cukuplah dengan membaca mantera, benda senjatamu itu akan sudah berada di tanganmu!" suara gaib itu tiba-tiba kembali terdengar. Roro terkejut, juga kesima. "Ah, sungguh menakjubkan!" seru Roro pelahan tanpa disadari. Petunjuk itu dipatuhi. Dan Roro segera gunakan cara membaca mantera untuk memindahkan benda itu. Ternyata benda itu berubah menjadi sinar kuning emas yang melesat dan membelit ke pinggangnya. Dalam pandang mata gaib, Roro melihat senjata Rantai Genit yang lebih indah dan mungil membelit dengan seksama di pinggangnya. Akan tetapi ketika Roro lepaskan pandangan mata gaibnya, Roro tak menampak apa-apa. Bahkan ketika Roro menjamah untuk menyentuh benda itu, Roro merasa tak menyentuh apa-apa. Sadarlah Roro kalau sepasang senjata Rantai Genit yang baru ini adalah sebentuk senjata gaib. Dia cuma bisa gunakan kalau memang dalam keperluan mendadak. Saking girangnya Roro sampai berjingkrakan dan berteriak-teriak girang. "Oh, terima kasih, kakek guru! Terima kasih, kakek guru yang baik!" teriak Roro berulang-ulang. SEBELAS
CINDERANI duduk di luar pondok dengan hati gelisah. Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak bangun. Matanya liar menatap ke ujung jalan desa. Sementara yang empunya pondok itu cuma memperhatikan dari tadi pada gadis yang hamil muda itu. Namun tak lama dia segera ke luar dari dalam. "Sabarlah, den ayu... Mungkin tak lama lagi suamimu akan segera tiba. Kalau sudah waktunya datang toh akan datang juga...!" ujarnya sambil tersenyum. "Ah, mbok! Aku khawatir ada terjadi sesuatu. Hatiku tak enak...!" sahut Cinderani menyahut. "Berdoalah, semoga suamimu pulang dengan selamat. Wilayah ini memang kurang aman. Sebaiknya kau masuk. Di dalam kau bisa berbaring dengan tak usah cemas. Tak baik bagi kandungan mu." berkata halus wanita tua itu. "Tidak, mbok. Biarlah aku di sini saja!" sahut Cinderani menolak. Matanya masih saja menatap ke ujung jalan desa. Serasa dia tak sabar menanti kedatangan Sambu Ruci. Dan entah mengapa hatinya kini jadi luluh, dan dia mulai merasakan Kalau dia amat mencintai suaminya. Betapa sulit mencari orang seperti Sambu Ruci yang rela menikahinya demi menutup malu gurunya yang sudah dianggap ayah sendiri. Cinderani memang yatim piatu ketika dibawa oleh Ki Balung Putih. Dan lebih dari sepuluh tahun dia bersama si kakek itu. Tiba-tiba matanya membinar melihat sesosok tubuh muncul di ujung jalan desa. Hatinya melonjak girang. "Akhirnya datang juga!" berkata dia dalam hati. Namun dia jadi terheran, karena yang datang; bukanlah Sambu Ruci. Perawakannya dari jauh memang agak mirip. Dia serasa mengenai laki-laki itu yang kian dekat menghampiri pondok. Mendadak darahnya tersirap. Laki-laki itu tak lain dari Somara! "Aha! Selamat berjumpa Cinderani! Apakah kau sudah melupakan aku?" bertanya Somara. Entah bagaimana Cinderani tak tahu, mengapa Somara bisa menjumpainya dan muncul di sini? "Kau... kau mau apa datang kemari? Dari mana kau tahu aku berada di sini? sahut Cinderani gelagapan. "Hehehaha... Sejak kepergian kalian dari tempat guru, aku sudah mengetahui. Dan siapa adanya laki-laki yang menjadi pendamping mu aku pun sudah mengetahui. Aku ke mari mau membawamu, Cinderani!" berkata Somara. "Tidak! Aku telah bersuami. Kau tak berhak membawaku!" sahut Cinderani terkejut. Sementara si mbok melihat kedatangan Somara, buru-buru angkat kaki masuk ke dalam pondok. Wajahnya berubah pucat. Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa. Dia merasa bakal terjadi keributan. Entah siapa orang laki-laki ini? pikirnya diam benak. "Siapa bilang? Aku yang lebih berhak! Anak dalam perutmu yang kau kandung itu adalah anakku!" berkata ketus Somara. Dia nampak gusar. "Kau... kau... memang ayah anak dalam perutku ini, tapi... tapi..." pucat wajah Cinderani. Mulutnya mendadak serasa terkunci tak bisa bicara. Sementara air matanya telah mulai menitik. "Sudahlah! tak ada tapi tapi. Sekarang segera kau ikut aku!" berkata Somara dengan suara berubah lembut. "Demi cintaku padamu dan demi anak kita!" ujarnya lirih. Menggetar tubuh dara cantik ini. Apakah yang harus dia lakukan? Dia benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuat! Namun terluncur juga katakata dari bibirnya dengan suara menggeletar. "Somara! pergilah! tinggalkan aku. Kalau suamiku pulang, kau akan dibunuh! Karena itulah perintah guru!" Mendengar kata-kata Cinderani Somara tertawa terbahak. "Hahaha... Somara bukan anak kecil kemarin yang dapat diperbuat semaunya! Bukan aku takut menghadapi. Tapi saat ini aku perlukan kau, Cinderani! Maka mau tak mau terpaksa aku harus memaksamu!" berkata laki-laki ini. Mendadak wajahnya berubah menjadi keras dan kaku. Sepasang matanya menatap mata Cinderani tak berkedip. Tatapan mata yang menimbulkan hawa dingin mencekam. Cinderani tersurut mundur. Wajah itu menyeringai. Cinderani merasa tubuhnya keluarkan keringat dingin. Tatapan mata Somara, begitu menakutkan. Seperti menembus ke dalam jantung! Dalam keadaan terkesima itulah, lengan Somara berkelebat cepat. Tahu-tahu sudah menotok tubuh Cinderani. Gadis ini merdengarkan keluhan dan terkulai roboh. Namun dengan gerakan cepat, Somara segera merengkuhnya dalam pondongan. Sekejap kemudian dengan gerakan sebat telah berkelebat lenyap dari muka pondok itu. Mbok tua penghuni pondok melototkan mata dengan mulut ternganga. Mulutnya serasa terkunci walaupun dia sudah keluarkan suara untuk berteriak. Namun yang ke luar adalah suara... ah,uh,ah,uh...! Apakah yang dilihat si mbok tua itu? Dalam pandangannya dia melihat sosok tubuh Somara berujud sesosok tubuh menyeramkan mirip seekor lutung besar yang menyeringai menampakkan taringtaringnya, merangkul dan memondong tubuh gadis itu kemudian melarikannya dengan berkelebat cepat sekali. Seketika pandangannya menjadi berkunang-kunang. Rasa takut yang luar biasa menggerayangi benaknya. Jantungnya serasa copot. Detik itu juga dia roboh pingsan tak ingat apa-apa lagi. DUA BELAS
Somara membawa tubuh Cinderani dalam pondongan dengan gerakan cepat. Gerakan larinya seperti hembusan angin! Yang dituju adalah arah ke pantai. Akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadang, disertai bentakan keras. "Somara! Murid durhaka! Berhentilah kau!" Melihat sosok bayangan tubuh manusia berkelebat menghadang, Somara cepat berhenti dengan mendadak. Dan di hadapannya segera terlihat siapa manusianya. Ternyata tiada lain dari KI Balung Putih. "Hm, menyingkirlah kau kakek tua bangka! Kau sudah tak ada urusan lagi denganku!" bentak Somara dengan wajah kaku. "Heh? Menyingkir?" bentak orang tua ini. "Justru kaulah yang harus segera kusingkirkan ke Akhirat. Manusia murtad sepertimu sudah selayaknya mati! Lepaskan dia! Kau tak berhak apa-apa atasnya. Dia telah menikah dengan seorang laki-laki yang juga telah menjadi muridku!" Akan tetapi Somara malah mendengus. "Tua bangka! Siapa bilang demikian? Apakah matamu buta kalau calon bayi yang berada dalam perut Cinderani adalah anakku?" "Persetan!" maki Balung Putih. Kau menzinahinya tanpa menikah! Apakah patut dikatakan syah? Anak itu memang anakmu! Tapi kau tak berhak membawanya pergi karena dia telah menikah dengan orang lain. Dan satu hal lagi adalah aku telah bersumpah untuk membunuhmu!" teriak Ki Balung Putih geram. Betapa dia amat membenci laki-laki bekas muridnya itu yang telah diketahui perbuatan bejatnya di luaran, serta telah mencemarkan nama baiknya. "Baiklah Kalau begitu! Kau kira semudah itu kau dapat melakukannya?" berkata jumawa Somara. Dilemparkannya tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas kasihan lagi. Gadis yang sudah tak sadarkan diri itu mengeluh siuman. Akan tetapi kembali pingsan. Kini dia berdiri tegak menatapkan matanya dengan sorot tajam pada kakek tua di hadapannya. Bibirnya tampak komat-kamit. Uap hitampun mengepul di sekujur tubuhnya. Matanya berubah merah. Dan kakek itu menyurut mundur ketika tiba-tiba dia melihat perubahan bentuk tubuh Somara. Karena sekejap kemudian tubuh laki-laki itu telah berubah ujud menjadi gorila yang menyeramkan. Dalam keadaan terperangah Itu tahu-tahu Somara telah menyerangnya dengan hantaman kilat ke arah dada Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Sejak melihat kejadian barusan dia sudah merasa kena pengaruh sorotan mata yang menimbulkan hawa aneh. Hingga menggetarkan jantung. Dia seperti kena tenung! Memanglah demikian, karena Somara telah gunakan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi lawan dengan sorot mata yang membersitkan sinar; mencengkeram. Dan menyerang di saat yang baik itu. Buk! Terdengar benturan keras. Ki Balung Putih terlempar bergulingan. Dia tak mampu mengelak. Namun sempat membentengi dadanya dengan tenaga dalam. Akan tetapi di luar dugaan, tenaga pukulan Somara amat luar biasa. Kakek Itu rasakan dadanya mau pecah. Dan tubuhnya terlempar bergulingan. Namun sebagai jago tua kawakan, dia masih berjumpalitan untuk segera bangkit berdiri lagi. Terperanjat kakek ini ketika melihat jubahnya pada bagian dada telah hangus. Dan sebuah tanda telapak tangan berwarna hitam. Sadarlah dia kalau pukulan itu mengandung racun. "Hahaha... kakek tua bangka! segeralah kau berangkat ke Akhirat!" Diiringi geraman dahsyat, makhluk menyeramkan itu telah menerjang Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Tapi dia segera telah dapat mengkonsentrasikan panca indranya, walau telah terluka akibat pukulan beracun. Terjangan yang mengandung maut itu dapat dihindari. Segera terjadilah pertarungan maut. Suara geraman dan bentakan terdengar membauri sekitar tempat itu. Pada saat itulah sesosok tubuh berkelebat muncul di tempat itu. Ternyata Sambu Ruci. Membelalak mata laki-laki ini melihat Ki Balung Putih sedang bertarung maut dengan seekor makhluk menyeramkan. Akan tetapi segera dia berteriak tertahan melihat sosok tubuh wanita yang tergolek di dekat semak belukar. "Cinderani!?" desisnya terkejut. Dan serta-merta dia telah memburunya. Gadis cantik yang tengah mengandung Itu segera diperiksa. Akan tetapi pucat wajahnya seketika karena Cinderani sudah diam membeku. Nyawa gadis itu telah melayang bersamaan dengan pingsannya ketika dibantingkan ke tanah oleh Somara. Tampak dari sudut bibir gadis itu yang agak terbuka mengalirkan darah kental berwarna hitam. "Pasti pembunuhnya makhluk itu!" geram Sambu Ruci. Mendadak dia telah bangkit berdiri. Dan, sekali sentak pedang pusakanya telah berada dalam genggaman tangannya. "Iblis keparat! kau harus tebus kematian istriku dengan darahmu!" teriak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat melompat. Dan serta-merta dia telah lancarkan serangan ganas bertubi-tubi dengan jurus Pedang Aksara. "Bagus! Sukurlah kau datang membantuku!" teriak Ki Balung Putih yang mulai merasa tenaganya telah mengendur. Di samping usia tuanya, juga dia telah terluka dalam akibat pukulan beracun Somara yang ganas. Menghadapi serbuan dua lawan, tampaknya makhluk itu agak kewalahan. Namun Somara memang bukanlah orang yang berilmu kepalang tanggung. Lagi-lagi dia membaca mantera. Mendadak sepasang matanya menyorotkan cahaya merah membara. Sepasang mata yang menyilaukan itu menghambat serangan kedua guru dan murid itu. Akan tetapi cepat Ki Balung Putih berbisik untuk mengatur siasat. Sambu Ruci mengangguk. Segera mereka berputar-putar mengelilingi makhluk itu dengan sekali-sekali melancarkan serangan. Ki Balung Putih telah memperingati agar jangan menatap pada matanya. Hal demikian berlangsung telah lebih dari empat puluh jurus. Di saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci berteriak keras. Tujuh kilatan pedang berkelebat. Dan terdengarlah suara menggeram yang dahsyat, ketika kilatan-kilatan pedang mengandung maut itu mengenai sasarannya. Tubuh si makhluk itu terbelah menjadi beberapa potong. Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan disertai bermuncratannya darah segar. Dan usus serta isi perut yang terburai. Keduanya menatap dengan tertegun. Keampuhan jurus Pedang Aksara yang telah dipermatang melalui petunjuk Ki Balung Putih, lagi-lagi membuktikan keampuhannya! Baru saja kedua orang itu menghela napas lega. Sebersit cahaya melesat ke udara dari tubuh makhluk itu yang berangsur-angsur berubah menjadi tubuh Somara lagi. Terperangah keduanya melihat kejadian aneh itu. Karena cahaya merah itu adalah sepasang mata manusia! Itulah sepasang mata mayat Somara! Saat mereka terperangah itulah terdengar suara tertawa berkakakan. "Hahahaha. hehehehahaha... kalian takkan dapat membunuhku! Ragaku boleh hancur dan musnah. Tapi ketahuilah! Aku dapat masuk ke raga manusia lain tanpa kesukaran." "Siapa kau sebenarnya manusia Iblis?" teriak Sambu Ruci seraya tersentak dan menyurut mundur. "Akulah si pemilik Pulau Berhala. Alias si Paderi Mata Seribu...!" Selesai berkata, sepasang cahaya merah dari sepasang mata Somara segera meluncur ke udara. Meluruk cepat ke arah laut. Menyeberangi perairan di wilayah tenggara itu untuk segera lenyap. Ke mana lagi tujuannya kalau bukan ke Pulau Berhala! * * * * * * *
Roro Centil baru saja jejakkan kakinya di pantai wilayah tenggara. Bersitan cahaya merah itu lewat di atas kepalanya! Segera tahulah Roro siapa adanya cahaya itu, karena Roro pernah berjumpa dengan si Paderi Mata Seribu. Dara perkasa kita perlihatkan senyuman di bibirnya yang ranum. "Hm, Paderi Mata Seribu! Kini saatnya kau harus lenyap dari muka bumi!" mendesis Pendekar wanita Pantai Selatan atau yang kini dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu. Mendadak tubuh wanita pendekar ini telah merubah bentuk menjadi seekor macan tutul yang luar biasa besarnya. Dengan perdengarkan suara menggeram, makhluk itu melompat ke udara membersit bagaikan angin, mengejar cahaya merah yang menukik lenyap di Pulau Berhala. Saat itu di Pulau Berhala telah terjadi kegaduhan. Kakek bulat alias Paderi gemuk yang bergelar si Dewa Angin Puyuh yang tertawan, ternyata dapat meloloskan diri. Pintu penjara masih terkunci. Tapi orangnya lenyap. Pada lantai batu itu terlihat lubang besar. Ternyata si Dewa Angin Puyuh baru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang di belakang Istana Hitam. Baru saja dia membersihkan tubuhnya yang kotor penuh berlepotan tanah. Mendadak terdengar suara bentakan keras. "He! Babi bulat! Kau takkan dapat meloloskan diri!" Betapa terkejutnya dia melihat si Tiga Naga Merah telah berada di depannya. Menggeram kakek bulat int. Serta merta dia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat. Terjadilah pertarungan hebat. Tapi kali ini Tiga Naga Merah tak diberi kesempatan lagi untuk gunakan ilmu sihirnya. Jeritan maut terdengar ketika dua dari si Tiga Naga Merah melurukkan serangan ganas, tubuh paderi bulat menggelinding bagai bola. Serangan itu lewat bahkan saat sekejap itu dia sudah berada di belakang tubuh kedua lawannya. Tiba-tiba terangkatlah sepasang lengan kakek bundar ini. Angin pukulan Selaksa Petir dilontarkan. Zeoooosss! Prakkkk...! Hancurlah batok kepala si dua manusia jahat itu. Tubuh mereka menghantam tembok istana hingga ambrol! Tanpa bisa pentang suara lagi, kedua manusia itu tewas seketika. Kepalanya hancur jadi bubur! Melihat demikian, sisa seorang lagi dari si Tiga Naga Merah jadi pucat pias. Tak ayal dia segera balikkan tubuh untuk kabur melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring merdu. Dan di tempat itu berkelebat muncul sesosok tubuh. Siapa lagi Kalau bukan si Macan Tutul Betina Pantai Selatan Roro Centil! "Hihihi.... hebat! hebat sekali kau paman bulat! manusia ini serahkan padaku!" berkata Roro. Mendadak Roro rentangkan tangannya. Dari ujung lengannya tiba-tiba membersit cahaya kuning emas ke arah paderi Tibet itu. Bukan main terkejutnya paderi ini karena tahutahu seutas rantai telah membelit lehernya. Itulah senjata Rantai Genit Roro Centil, yang telah dipergunakan untuk pertama kalinya. Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi manusia itu menjerit parau. Jeratan rantai itu membuat dia tak bisa bernapas, hingga lidahnya menjulur ke luar. Lengannya meronta-ronta untuk melepaskan diri. Tapi tak berdaya. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Sesaat antaranya manusia asal Tibet itu pun tewas dengan lidah terjulur, dan mata mendelik ke luar mengerikan. "Hoooii! Kau Roro Centil!? ah! Sungguh girang sekali kau muncul di sini, keponakanku! Hayo mari kita tumpas si Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahuilah dia adalah bekas adik seperguruanku yang murtad dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat!" teriak si paderi bulat dengan berjingkrak kegirangan melihat kemunculan Roro. "Hahaha... kalian cuma mengantar kematian mendatangi Pulau Berhala! Selamat datang pendekar wanita yang hebat!" tiba-tiba terdengar suara si Paderi Mata Seribu membuat suasana seketika berubah tegang! Segera Roro telah melihat sesosok tubuh berjubah hitam. Sosok tubuh kurus berkepala botak yang mempunyai sedikit rambut berkepang di belakang kepala. Memang dialah si Paderi Mata Seribu alias Kencarupa. "Iblis jahanam! Hari Ini kau bertobatlah sebelum kau mampus!" teriak Dewa Angin Puyuh dengan geram. Kemarahannya telah membludak bagaikan air bah. Dia melompat menerjang dengan pukulan Selaksa Petir. Akan tetapi sekali laki-laki kurus itu gerakkan tongkat hitamnya yang berkepala berbentuk ular itu. Mendadak pukulan dahsyat si Dewa Angin Puyuh lenyap bagai disedot masuk ke dalam tongkat. "Hehehe... hahaha... kakang Kumbara! Tak guna ilmu kehebatan yang kau miliki. Dewa pun takkan sanggup menghadapiku!" berkata jumawa si Paderi Mata Seribu. "Manusia sombong! Tidakkah kau mengetahui bahwa kesombonganlah yang akan membawa kejatuhan bagi dirimu sendiri!" berkata Roro dengan ketus. Lengannya terangkat. Meluncurlah dua sinar kuning emas ke arah laki-laki Itu. Satu sinar mengarah ke tongkat, sedangkan satu lagi meluncur ke arah leher. Itulah senjata gaib Rantai Genit Roro Centil. Tersentak Kencarupa melihat sepasang rantai berkilauan kuning emas siap membelit tongkat dan lehernya. Serangan ke arah leher dapat dia egoskan. Tapi serangan ke arah tongkat tak dapat dielakkan lagi. Tongkat pusakanya secepat itu telah terbelit oleh senjata gaib Roro Centil. Ketika itu paderi ini berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terhuyung karena satu tarikan kuat telah membuat tongkatnya terlepas seketika. Belum lagi hilang terkejutnya, sudah terdengar suara... Krrraaaak! Tongkat pusaka yang mengandung kekuatan hebat itu telah hancur diremukkan Roro. Lagi-lagi dia harus melompat menghindar, ketika rantai gaib meluncur lagi untuk membelit lehernya. "Gila! Senjata apakah ini!?" desisnya terperanjat, bibirnya segera membaca mantra-mantra. Akan tetapi Roro pun segera membaca mantera-mantera ajiannya. Terjadilah pertarungan kekuatan batin. Tubuh Kencarupa berubah hitam mengerikan. Sepasang matanya merah menyala bagai bara api. Sementara Roro sendiri telah berganti ujud yang membuat paderi bulat jadi ternganga. Roro Centil tidak menampak sebagai manusia lagi, akan tetapi lebih mirip bagaikan arca. Ya... memang terlihat Roro berubah menjadi sebongkah arca batu yang sudah berlumut! Sementara Rantai Genit telah lenyap di saat terjadi pertarungan adu kekuatan batin ini. Roro merapal ajian Tujuh Aksara Suci. Tubuhnya memang telah berubah menjadi area batu dalam penglihatan mata biasa. Akan tetapi itulah saatnya Roro gunakan ilmu barunya yang didapat dari kakek guru Roro, yaitu Bagawan Bhama Kosala. Hal itu membuat Kencarupa kena dikelabui. Karena dia menyangka Roro telah terkena ilmu tenungnya. Akan tetapi terperangah dia ketika mendadak membersit cahaya putih kemilau dari sepasang area. Dia tersentak untuk menghindar. Namun terlambat... Blarrr....! Terdengar suara dentuman dahsyat. Seketika tubuh si Paderi Mata Seribu hancur jadi arang yang bertebaran. Ilmu Tujuh Aksara Suci bukanlah ilmu hitam. Akan tetapi ilmu yang murni, yang tak mau dikotori. Cahaya putih berkilauan itu adalah cahaya yang menolak datangnya serangan. Hingga tak ampun serangan tenaga batin Kencarupa telah berbalik menghantam pada dirinya sendiri...! Sesaat setelah kejadian itu terdengar suara bergemuruh. Apakah yang terjadi? Istana Hitam di saat hancurnya tubuh Paderi Mata Seribu ternyata runtuh! Suara berderak ditembok yang rengat dan roboh terdengar di sana-sini. Hingga dalam keadaan beberapa saat saja Istana Hitam itu ambruk rusak binasa. Bahkan berhala-berhala yang banyak bertebaran di sekitar pulau itu pun turut hancur. Ternganga si paderi bulat Dewa Angin Puyuh melihat kejadian itu. Dilihatnya puluhan paderi menghindari dari bencana mengerikan itu. Sementara dia sendiri telah melompat menjauh kalau tubuhnya tak mau teruruk reruntuhan! Ketika keadaan sudah pulih dan suasana berubah lengang. Matanya jelalatan ke sekitarnya mencari Roro. Akan tetapi tak dilihatnya lagi gadis pendekar itu. "Aiiiih! Ke mana keponakanku itu?" gumamnya dengan garuk-garuk kepala. Lapat-lapat telinganya mendengar suara tertawa yang lebih mirip dengan suara lengkingan bernada tangisan. Suara itu semakin menjauh, dan akhirnya lenyap. Tertegun Dewa Angin Puyuh mendengarnya, itulah suara Roro Centil. "Ah, ah... dasar pendekar wanita aneh! Ilmunya sungguh luar biasa hebatnya. Sayang... Dia begitu cepat muncul dan begitu cepat menghilang! Dasar pendekar wanita yang aneh!" gerutu si kakek bulat. Namun tak lama dia segera berkelebat ke arah pantai. Menuju kearah perahunya yang disembunyikan di sebelah batu karang. |
Episode selanjutnya,
|