Pedang Asmara Gila

Roro Centil - Pedang Asmara Gila

Karya : Mario Gembala
SATU
“YUURIKO......! YURIKOOO.....!" teriakan itu terdengar santar hingga berkumandang ke seluruh lembah. Tampak seorang gadis berlari dengan terisak menangis dan tubuh terhuyung tanpa perdulikan panggilan terhadapnya. Keadaan pakaiannya tak keruan lagi, yang sudah sobek di sana-sini dan menyingkap di beberapa bagian tubuhnya. Rambutnya kusut masai beruraian dan wajahnya tampak pucat pasi.

"Yurikoooo....!" Kembali suara itu terdengar dibelakangnya. Gadis ini telah berada di sisi samping bukit. Di hadapannya adalah lereng bukit yang terjal. Sesaat dia berpaling ke belakang, lalu menengadah menatap ke atas bukit. Tampak wajahnya berubah tegang. Dan dia sudah gigit bibirnya menahan isak yang tersendat di kerongkongan.

Kemudian dengan cepat gadis ini sudah merayap ke atas lereng bukit terjal itu. Lengannya menggapai dan mencengkeram akar-akar pohon. Lalu mendaki terus untuk cepat tiba di atas. Sementara di dasar lembah, sesosok tubuh laki-laki berteriak-teriak memanggil nama gadis itu dengan berlari ke sana ke mari di antara semak dan pepohonan.

Ternyata dia seorang laki-laki berwajah penuh brewok, bercambang bauk lebat. Rambutnya tergelung di atas yang tertutup sehelai kain sutera berwarna kuning. Usianya berkisar sekitar 50 tahun. Dia bernama Soku Sheba yang mendiami dasar lembah itu.

Sebuah pedang samurai tampak di pinggangnya. Laki-laki ini jelalatkan sepasang matanya ke setiap tempat, mencari-cari kalau-kalau terlihat bayangan tubuh gadis bernama Yuriko itu. Setiap semak di sibakkannya, bahkan di balik bongkah-bongkah batu besar. Akan tetapi tak dijumpai gadis itu sembunyi di sana. Kembali dia berkelebatan mencari-cari sambil berteriak-teriak memanggil nama sang gadis.

Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara yang berkumandang sampai ke telinganya. Suara yang terdengar bercampur isak menyedihkan. Itulah suara Yuriko, yang seperti tengah berdo'a. Apakah yang dilihatnya? Gadis itu berada di atas bukit terjal. Pada lamping batu bukit yang paling sisi sekali. Hah! Apa yang akan dilakukannya...? Sentak hati laki-laki brewok ini yang sudah dapat melihat di mana adanya gadis itu.

"Yurikoo...! Jangan kau lakukan itu! Sadarlah anakku...! Kasihanilah ayahmu! Maafkanlah aku...! Ampunilah kekhilapanku...!" teriak laki-laki ini dengan suara parau mengandung isak. Tampak setitik air bening telah menitik turun ke pipinya.

Akan tetapi sudah terlambat... Gadis itu sudah terjunkan diri ke dasar lembah. Tubuhnya melayang ke bawah dengan derasnya diiringi jerit menyayat hati. Tersentak jantung laki-laki ini, dia sudah berlari dengan cepat untuk memburunya. Akan tetapi sudah terdengar suara tubuh yang jatuh ke dasar lembah. Laki-laki ini berlari mengejar menerjang semak, menerobos ranting yang menghalangi jalan.

Dan tak berapa lama sudah terpampang di hadapannya sebuah pemandangan yang menggiriskan hati. Gadis itu terkapar dengan keadaan tubuh remuk berlumuran darah di atas batu di dasar lembah.... "Yurikooo !" Jeritnya dengan suara parau. Sekejap dia sudah melompat untuk memburu ke arah tubuh gadis itu. Tak lama sudah memeluki tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan menangis terisak-isak bagai anak kecil.

Laki-laki brewok itu cucurkan air mata yang mengalir tiada henti. Sementara angin keras membersit dari arah bukit. Bunga-bunga Sakura yang berwarna seputih salju itu berjatuhan meluruk ke tanah. Seperti juga air mata laki-laki brewok itu yang turun deras membasahi pipinya.

* * * * * * *

Sejak kejadian itu dari arah lembah sering terdengar suara tiupan seruling, yang mengalun dengan nada-nada yang memilukan hati. Ternyata ditiup oleh si laki-laki brewok bernama Soku Sheba itu. Akan tetapi laki-laki itu sudah tidak brewok lagi. Kumis dan jenggotnya yang lebat hitam sudah tercukur bersih. Bahkan rambutnya sudah lenyap. Karena dia sudah menjadi seorang paderi yang berkepala gundul plontos. Dan sejak sepuluh tahun kemudian lembah itu sudah dikenal orang dengan nama Lembah Air mata.

Bangunan rumah tua di dasar lembah itu masih berdiri tegak, walaupun tembok-temboknya sudah rapuh dan penuh lumut. Bila setiap malam bulan purnama akan terlihat seorang laki-laki tua berkepala gundul, tengah meniup serulingnya. Kumis dan jenggotnya tampak panjang terjuntai memutih. Duduk di atas sebongkah batu besar di depan rumah tua itu. Dialah Soku Sheba. Suara serulingnya mengalunkan nada-nada sedih memilukan hati, yang menggugah perasaan bagi setiap orang yang mendengarnya.

Suatu malan purnama, ketika dia tengah asyik mengalunkan suara serulingnya, sesosok tubuh telah berkelebat memasuki halaman rumah tua itu. Gerakannya lincah sekali tak menimbulkan suara. Wajahnya hampir tak terlihat, karena tertutup dengan kain topeng warna hitam. Demikian juga pakaiannya. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat terbuka. Dan mempunyai sorot mata tajam. Tampak dilihatnya Soku Sheba duduk di atas batu. Membelakangi rumah tua yang mempunyai halaman luas, dikelilingi rapat oleh belukar dan pepohonan.

Ternyata penyelundup yang menyatroni rumah tua di dasar lembah itu bertambah dua orang lagi, yang telah berkelebat muncul dari balik semak. Orang yang pertama muncul tadi segera memberi isyarat agar berhati-hati. Rencana untuk memasuki rumah tua secara sembunyi itu memang telah diatur terlebih dulu. Yaitu salah seorang berjaga-jaga mengawasi si kakek peniup seruling. Sementara dua orang lagi segera menyelinap ke belakang rumah tua.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan menyayat hati. Baru saja dua sosok tubuh kawannya itu jejakkan kaki ke batu undakan di belakang rumah tua itu, justru kaki-kaki mereka menyentuh kawat-kawat halus yang terpasang di sana. Entah dari mana munculnya, tahu-tahu puluhan anak panah telah meluruk deras ke arah mereka yang datang dari tiga penjuru. Tak ampun lagi kedua tubuh penyelundup itu sudah terpanggang oleh belasan anak panah. Dan roboh berkelojotan. Sekejap kemudian mereka tewas seketika.

Terkejut si penyelundup berjaga di luar. Dilihatnya si kakek jubah putih peniup suling itu sudah hentikan tiupan serulingnya. Tak ayal lagi dia segera melompat cepat, dan lenyap di balik pepohonan rimbun. Tampak Soku Sheba kerutkan keningnya. Alisnya yang putih itu bergerak menyatu. Sepasang matanya masih terpejam, akan tetapi pada pipinya masih menampakkan bekas-bekas air mata yang mengalir turun.

"Heh!? Ninja-ninja keparat dari mana lagi yang datang menyatroni ke tempatku yang tenang ini...?" gumamnya. Tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat dari atas batu. Ah! Kiranya sepasang kaki kakek itu buntung sebatas lutut, akan tetapi dengan menekan sebelah lengannya ke batu tempat duduknya, tubuhnya sudah melesat seperti terbang. Meluncur cepat bagaikan bayangan hantu putih. Sekejap saja sudah melewati rimbunnya puncak pepohonan yang memagari sekitar rumah tua.

"Berhenti...!" Satu bentakan keras sudah berkumandang di dalam lembah. Mencabik keheningan malam yang mencekam itu. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di hadapan laki-laki baju hitam bertopeng yang mau melarikan diri. Sepasang mata laki-laki di balik topeng itu terbelalak. Akan tetapi lengannya sudah bergerak cepat melemparkan sebuah benda yang dibantingkan ke tanah. Dan... Bhusss...! Asap putih bergumpalan menyebar. Bersamaan dengan lenyapnya asap itu, tubuh si laki-laki topeng hitam itupun melenyap tak berbekas.

"Kurang Ajar...!" Memaki Soku Sheba. Dan tubuhnya pun berkelebatan mencari jejak si penyelundup yang melarikan diri itu. Akan tetapi tak lagi di jumpainya. Sekejap kemudian dia sudah melesat lagi ke arah batu tempat duduknya di depan rumah tua. Agak lama Soku Sheba termangu tak bergeming. Namun sesaat antaranya, lengannya sudah bergerak menempelkan lagi serulingnya ke atas bibir. Tak lama segera terdengar suara seruling yang di tiupnya, mengalunkan nada-nada sedih yang menghanyutkan perasaan...

Suasana sekitar rumah tua itu kembali sunyi seperti tadi. Sementara rembulan semakin merayap di balik awan dan mega. Cuma suara seruling bernada sedih itulah yang terdengar, seperti memadu dengan irama jengkerik dan binatang-binatang malam. Kita ikuti ke mana perginya Ninja yang berhasil melarikan diri itu. Ternyata dia sudah berada jauh di atas lembah. Dan dengan sebat telah berkelebat cepat menuju ke arah utara.

Sesaat dia telah menahan langkahnya. Sayup-sayup telinganya sudah mendengar lagi irama seruling bernada sedih dari dasar lembah. Laki-laki Ninja ini perdengarkan suara menghela napas. Lalu kembali berkelebat ke arah utara. Sekejap sudah melenyap di balik bukit....

* * * * * * *

DUA

"GURU...! Hamba gagal menjalankan tugas." Dua orang kawan yang menyertai hamba telah tewas! Ternyata di sekeliling rumah tua di Lembah Air Mata itu telah dipasangi perangkap...!"

Berkata laki-laki ini di hadapan seorang wanita yang duduk di atas tikar permadani. Wajahnya tak terlihat seluruhnya, karena memakai penutup wajah dari kain tipis dari sutera warna hitam. Cuma sepasang matanya saja yang mempunyai sinar tajam membersit menatap pada laki-laki di hadapannya.

Sinar mata yang seperti bersinar aneh. Karena seperti mengandung kebencian dan kekecewaan mendalam terhadap sang murid. Pakaiannya terbuat dari bahan kain sutera berkembang-kembang warna ungu. Sesuai dengan tradisi pakaian rakyat Jepang pada saat itu, adalah memakai pakaian Kimono yang punya ciri khas tersendiri.

"Hamada...! Kau dengarlah! Aku tak mau mendengar kegagalan itu! Yang kuharapkan adalah hasilnya! Kalau kau cuma pulang untuk melaporkan kegagalan saja, mengapa kau tidak mampus saja sekalian di sana?" Bentak wanita itu dengan suara dingin.

Sebuah lengannya bergerak meraih sebuah kebutan yang terbuat dari buntut kuda dengan gagang dari emas yang berkilauan. Sesaat dia sudah bangkit berdiri, Lalu ucapnya lagi. "Aku telah beri waktu padamu selama tiga pekan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan pedang itu! Nah, silahkan membunuh diri! Berarti kau tak patut menyandang gelar Ninja!"

Setelah berucap demikian, wanita itupun beranjak masuk ke kamarnya. Tercenung laki-laki bernama Hamada ini. Dia sudah tak mengenakan topeng lagi pada wajahnya. Kini terlihatlah wajahnya. Ternyata dia seorang pemuda yang tampan. Beralis tebal. Bermata agak sipit mirip mata burung elang.

Tak lama dia sudah keluar dari ruangan gedung itu dengan kepala menunduk. Lalu menutup lagi pintu ruangan. Dua orang penjaga segera memberinya jalan untuk lewat. Hamada menuruni tangga undakan batu yang memanjang. melintas di tengah kolam. Setelah melewati dua orang penjaga lagi segera telah berada di luar halaman gedung.

"Aku telah memberi waktu padamu selama tiga pekan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan pedang itu! Silahkan kau membunuh diri...! Berarti kau tak patut menyandang gelar ninja!" Kata-kata Miyazaki seperti terngiang lagi di telinganya. Sambil berjalan cepat pemuda ini bergelut sendiri dengan bermacam pikiran di benaknya. "Ah, umurku tinggal tiga pekan lagi...! Bahkan sudah berkurang sehari!" desisnya perlahan.

Pemuda bernama Hamada ini tak mengenakan pakaian hitamnya, akan tetapi berpakaian serba putih dengan sehelai kain tebal berwarna kuning membelit di pinggang. Dadanya dibiarkan terbuka separuh. Tiba-tiba Hamada hentikan langkahnya dan termenung sejenak.

"Hm, sebaiknya aku ke rumah kakek Matsui dulu untuk meminta pendapatnya, sekalian menemui Korisyima... Aku sudah rindu padanya. Serta mengabari kematian Watanabe dan Hirosyi!" Gumam Hamada. Berfikir demikian segera Hamada membelok ke arah timur.

Tak berapa lama setelah melewati deretan rumah para pegawai dari Istana Merak hijau, segera tiba di batas kota. Tiba di tempat yang sunyi ini Hamada segera pergunakan ilmu lari cepatnya agar lekas tiba di tempat tujuan. Saat itu tanpa disadari Hamada telah dibuntuti oleh seseorang yang memakai topi tudung. Di lengannya mencekal tongkat kayu yang ditaruh di atas pundak. Pada ujung tongkat di belakang punggung, tampak sebuah buntalan dari kain yang sudah bertambal. Wajahnya tak begitu kentara karena tertutup topi tudungnya yang lebar hampir melesak menutupi matanya.

Aneh dan misterius gerakan dan langkah kaki orang bertudung ini. Karena hampir setiap tempat tampaknya telah dihapalnya. Hingga dengan memotong jalan, selalu tak berada jauh dari Hamada yang dikuntitnya. Ketika tiba di batas kota, pada jalan yang sunyi itu dilihatnya Hamada sudah berkelebat mempergunakan ilmu lari cepatnya.

Laki-laki bertudung yang misterius ini bergerak ke arah kiri, dan menyelinap ke balik hutan bambu kuning. Dan langkahnya segera dipercepat. Agaknya sengaja mau menerobos untuk memotong jalan. Tak lama dia sudah berada di jalan setapak. Akan tetapi langkah kakinya sesaat sudah merandek terhenti. Sepasang matanya melirik ke sekitarnya yang rimbun dengan pepohonan.

Kecurigaannya memang beralasan. Karena sekejap kemudian beberapa sosok tubuh sudah berkelebatan menghadang, yang muncul dari arah depan, kiri dan kanan. Rata-rata mereka berpakaian seragam warna hijau dengan masing-masing memakai topi tudung kecil berwarna merah. Tahulah laki-laki bertudung lebar ini kalau mereka adalah orang-orang laskar Kerajaan Merak Hijau.

"Hm, apakah maksud kalian menghadang langkahku.? Aku merasa bukan seorang pencuri atau buronan Kerajaan...!" Berkata si laki-laki bertudung. Akan tetapi kelima orang itu masing-masing mencabut pedang Samurainya, dan bergerak mengurung semakin rapat.

Tak ada jawaban dari mereka selain segera menerjang dengan pedang-pedangnya. Terkejut laki-laki bertudung ini. Tentu saja hal itu tak dibiarkan begitu saja. Karena melindungi nyawanya adalah satu kewajiban mutlak. Apalagi dia merasa tak bersalah dan...

Wutt! Wutt! Wuttt...! Trang! Trang...! Trang...!

Ternyata si laki-laki bertudung lebar bukan orang sembarangan. Bahkan tongkat kayunya itu ternyata adalah sebuah tongkat dari baja hitam, Tiga terjangan Samurai itu berhasil ditangkis dengan sebat. Salah seorang yang menabas dari arah belakang terpaksa harus menjerit kesakitan karena tongkat baja si laki-laki bertudung lebar itu telah menyodok ke dadanya. Seketika roboh terjengkang.

Trang...! Bukk...!

Bahkan seorang penyerang kena dihantam pedangnya hingga terlepas. Dan buntalan kainnya telah menggebuk kepala si penyerang itu, hingga tubuhnya berpusing. Lalu roboh tersungkur. Terkejut tiga orang penghadang itu. Serentak segera berlompatan, dan kembali telah mengurungnya.

"Katakan! apakah kesalahanku...!" Membentak laki-laki bertudung itu. Namun lagi-lagi jawabannya adalah serangan ganas ke arah tubuh dan kepalanya.

"Keparat...! Jangan salahkan aku kalau aku terpaksa membela diri!" Teriak laki-laki, bertudung itu dengan geram. Tongkat di lengannya bergerak memutar dibarengi dengan melompat setinggi satu tombak.

Tranggg!

Terperangah ketiga penyerang itu, karena sekaligus pedang mereka telah berpentalan. Belum hilang terkejutnya sepasang kaki si laki-laki bertudung telah berkelebatan cepat sekali.

Des! Des! Dess...!

Tiga tubuh mereka terjungkal roboh diiringi teriakan parau yang hampir bersamaan saling susul. Tampaknya laki-laki ini memang bukan manusia kejam. Karena mereka cuma dihajar saja tanpa menemui kematian. Sekejap laki-laki bertudung itu telah melesat cerah ke arah depan. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk kembali teruskan niatnya menyusul Hamada.

Sementara itu Hamada telah tiba di suatu perkampungan sunyi yang terpencil, setelah membelok ke arah timur. Jalan yang ditempuhnya memang menuju ke timur. Justru si laki-laki bertudung lebar itu telah menunggunya di ujung jalan yang akan dilaluinya.

"He? Siapa orang itu...!" Desis Hamada yang sudah perlambat larinya. Sebelum Hamada melewati laki-laki bertudung itu, laki-laki itu sudah balikkan tubuh, dan berjalan cepat di hadapannya. Entah sengaja entah tidak dari sakunya terjatuh segulung kertas. Cepat sekali jalannya laki-laki bertudung itu, sekejap sudah membelok ke sisi jalan di lereng bukit.

Hamada sudah mau berteriak memberitahukan, akan tetapi segera diurungkan. Seketika segera sudah diingatnya laki-laki barusan pernah dilihatnya di jalan Kota Raja yang ramai. Bahkan sudah dua kali dia melirik memergoki. Akan tetapi Hamada memang tak menyadari kalau diam-diam laki-laki itu memang sengaja menguntitnya. Apakah sengaja mencari tempat sepi untuk memberikan segulung kertas yang seperti sengaja dijatuhkan di hadapannya? Tak ayal cepat dipungutnya gulungan kertas itu. Cepat-cepat dibukanya. Segera terlihat tulisan dengan huruf besar-besar.

Kalau mau menjadi tulen, segeralah datang ke Lembah Pedang. Higei Tanaka si Setan Tanah.

Tercenung sejenak Hamada membaca tulisan itu. Akan tetapi hatinya segera terlonjak girang. Karena justru dia memang sedang kebingungan memikirkan nyawanya yang tinggal tiga pekan lagi. Kalau gagal dia mencuri pedang atas perintah gurunya. Tak ada jalan lain baginya selain membunuh diri. Karena itulah salah satu dari jalan terbaik bagi seorang Ninja. Akan tetapi tiba-tiba sesosok tubuh telah melompat keluar dari balik pagar.

"Eh, apakah yang kau temukan, Hamada.?" Terkejut pemuda ini. Segera sudah mengenali siapa yang datang. Otaknya bekerja cepat mencari akal untuk menyembunyikan gulungan kertas kecil itu. Tiba-tiba terpandang kakinya yang kotor. Barusan di jalan ketika melompati parit, terkena cepretan lumpur.

"Aih, bibi,! dari mana kau? Kakiku kena kotoran kerbau. Kebetulan kutemukan kertas ini di jalan..." Berkata pemuda ini menyahuti.

Seraya gulungan kertas itu sudah digunakan untuk membersihkan lumpur di kakinya. Tentu saja karena Hamada menekannya dengan kuat, kertas itu sudah hancur lusuh. Namun kakinya memang menjadi bersih. Selesai bersihkan kaki, bubuk kertas itu sudah dilemparkannya ke tanah. Dan dengan cengar-cengir tepuk-tepukkan tangan membersihkan sisa-sisa kotoran, seolah tak ada terjadi apa-apa.

"Nah, bersihlah kakiku...! Tapi ku harus mencucinya lagi dengan air!"

Berkata Hamada dengan wajah berseri, "Eh, bibi...! mari ku bawakan sayuran mu...! Kau pasti baru pulang dari kebun." sambung Hamada lagi, seraya beranjak mendekati wanita setengah umur itu yang menjinjing keranjang sayuran. Si bibi ini cuma tersenyum, dan berikan keranjangnya untuk dibawa Hamada.

"Kau tidak menemui Korisyima dulu?" Bertanya si bibi.

"Dia di mana...?" Terlonjak hati Hamada.

"Ke kebun bunga dekat pancuran...!" Sahut sang bibi.

Hamada jadi agak kikuk. Mau membawakan sayuran itu dulu ke rumah yang tak berapa jauh lagi itu atau menemui Korisyima? Agaknya sang bibi ini sudah mengerti akan kebimbangan pemuda itu. Segera berkata seraya sambar keranjang sayurnya lagi dari tangan Hamada.

"Pergilah...!" Ujarnya dengan tersenyum. Lalu tanpa menunggu jawaban sudah balikkan tubuh untuk beranjak melangkah.

"Ah, terima kasih, bi...!" Teriak Hamada. Seraya sudah melompat pergi menuju ke arah pancuran di belakang bukit. Sementara sang bibi bergegas melangkah membawa keranjang sayurannya untuk cepat tiba di rumah. Akan tetapi langkahnya segera terhenti. Dan kembali balikkan tubuh. Sepasang matanya memandang ke arah kertas lusuh yang sudah lumat, yang dilemparkan Hamada ke sisi jalan itu. Namun cuma sekejap, karena tak lama si bibi ini sudah putarkan lagi tubuhnya dan melangkah cepat agak bergegas.

* * * * * * *

TIGA

SEORANG gadis tampak asyik memetik beberapa tangkai bunga yang beraneka warna di taman bunga yang teratur rapi di tempat itu. Tak jauh di dekat taman pancuran air yang mengalir dari gunung. Gadis ini berwajah cantik dan tampak lincah. Rambutnya terikat dengan pita merah, terbagi dua di kiri dan kanan. Pakaiannya berwarna ungu.

"Korisyima...!" Terdengar satu suara memanggilnya. Dan seorang pemuda telah berada di belakangnya. Ternyata Hamada. Pemuda ini perlihatkan wajah cerah menatap si gadis yang sudah berpaling dengan senyum ceria menyambutnya.

"Hamada...! sudah lebih dari dua bulan kau tak pernah datang...! Kukira kau sudah lupakan aku di desa sunyi ini...!" berkata sang gadis dengan wajah tertunduk. Walaupun tampaknya wajahnya berubah seperti orang kesal, akan tetapi hati gadis ini tak dapat dibohongi. Sesungguhnya teramat girang sekali melihat kedatangan Hamada.

"Ah, banyak tugas yang harus kukerjakan di kota...! Eh, tadi aku berjumpa dengan ibumu. Beliaulah yang memberitahukan kau di sini..." ujar Hamada, yang segera alihkan pembicaraan.

Seraya berkata lengan pemuda ini telah memetik setangkai bunga warna putih. Dan berikan pada Korisyima. Sang gadis tersenyum, lengannya terulur menyambut. Akan tetapi saat itu juga bersyiur angin kencang. Bunga yang baru digenggamnya terlepas jatuh.

"Oh...!" terkesiap gadis itu. Wajahnya berubah pucat. Itulah satu pertanda buruk. Menurut kepercayaan akan terputusnya tali perjodohan mereka.

Hamada juga terkejut heran, karena tahu-tahu ada angin keras yang datang mendadak dari arah sisi bukit. Sepasang matanya sudah beralih ke sana. Tampak tangkai bunga bergoyang. Sekilas masih terlihat sebuah bayangan melintas ke balik semak. Kurang ajar! Pasti ada orang sembunyi di situ! Sentak hati Hamada. Dia sudah ngangakan mulut untuk membentak, akan tetapi segera tertahan karena sudah terdengar suara diiringi munculnya sesosok tubuh dari arah belakang mereka.

"Ah, sayang sekali gadis itu menolak cinta mu, sobat...! Kukira anda memang tak berjodoh dengannya! Tak apalah, masih banyak gadis yang cantik di dunia ini..." berkata orang yang baru muncul itu membuat Hamada segera balikkan tubuh menatapnya.

Bukan hanya Hamada yang terkejut, akan tetapi Korisyima juga terperanjat. Karena segera mengetahui kalau orang yang di hadapannya adalah putera Wali Kota di wilayah itu. Tampak seorang pemuda berpakaian mewah sambil tersenyum menatap Hamada dan Korisyima. Sebelah lengannya mencekal kipas yang digerak-gerakkan mengipasi tubuhnya, dan sebelah lagi diletakkan di belakang punggung. Sikapnya amat jumawa sekali. Di pinggangnya terselip pedang Samurai.

Tentu saja Hamada sudah cepat-cepat menjura hormat dengan bungkukkan tubuh. Demikian juga Korisyima, namun segera menunduk dengan jantung berdetak cepat. Hatinya sudah membatin. "Ah...? Aku merasa ada yang tak beres! Jangan-jangan ibu telah main sandiwara di hadapanku... Mengapa munculnya tepat di saat Hamada kemari...? Dan angin apakah yang meniup begitu keras...?"

Sementara Hamada jadi serba salah. Akhirnya dia mohon diri. Setelah menjura sekali lagi pada lakilaki putera Wali Kota itu, Hamada menatap pada si gadis. Bibirnya sudah bergetar mau mengucapkan katakata, akan tetapi suaranya tersekat di kerongkongannya. Pemuda ini cuma menatap saja sejenak, lalu segera putar tubuh, dan beranjak pergi dengan cepat tinggalkan taman bunga itu. Korisyima terperangah memandangnya. Kakinya sudah melangkah untuk mengejar, dan berteriak.

"Hamada...!" Namun suara itu cuma pelahan keluar dari bibirnya. Suaranya pun terdengar agak serak, karena perasaannya sudah tak keruan rasa. Sekejap saja tubuh Hamada sudah lenyap tak kelihatan lagi terhalang rimbunnya pepohonan. Korisyima tundukkan wajahnya, dan bunga yang terjatuh menggeletak di tanah itu tertatap matanya. Sesaat dia sudah membungkuk untuk memungutnya. Akan tetapi pada saat itu sebuah lengan sudah terjulur, di sertai kata-kata di belakang telinganya.

"Aih, adik manis...! Sudahlah! Bunga itu sudah kotor tak baik dipungut lagi. Kukira bunga ini lebih indah untukmu..." Tiba-tiba jemari lengannya sudah dicekal lengan yang terjulur itu, dan setangkai bunga warna merah segera terkepal di lengannya yang terpaksa dicekalnya, karena saat itu si putera Wali Kota itu dengan cepat memaksa jemari lengannya menekuk, disertai dengan genggaman tangan laki-laki itu.

Tersentak Korisyima. Tak berdaya dia melepaskan bunga itu dari lengannya. Dan pelahan si putera Pembesar Kerajaan itu sudah mengangkatnya bangun berdiri. Seketika gadis ini rasakan wajahnya berubah panas, dan tampakkan rona merah.

"Tuan Muda...! aku... aku..." Belum lagi katakatanya berlanjut sudah terdengar suara berdehem di belakangnya disertai kata-kata.

"Ah, Korisyima, anakku...! Rupanya kau cuma berpura-pura saja di depan ibu! Mengapa tak sedari kemarin kau berterus terang? Ibu amat berbahagia dan beruntung punya menantu Tuan Muda Hatsyi Gato...!"

Tersentak Korisyima mengetahui yang muncul adalah ibunya. Tentu saja hal ini memuat dia jadi serba salah. Akan tetapi sang ibu sudah kembali berkata: "Oh, maafkan Tuan Muda...! Ibu tak tahu anda berada di tempat ini...!"

Dan selanjutnya wanita setengah usia itu telah menjura hormat pada si putera Wali Kota dan cepatcepat beranjak tinggalkan taman bunga.

* * * * * * *

HAMADA tinggalkan taman bunga dekat pancuran itu dengan hati masygul. Betapa tidak. Satu kejadian telah membuat putusnya tali cintanya pada Korisyima. Kejadian barusan di taman bunga tak luput dari mata dan pendengarannya. Karena Hamada diam-diam menyelinap lagi untuk mengintai ke dalam taman. Jelaslah sudah kalau sang bibi telah main sandiwara di hadapannya.

Dan ternyata menginginkan menantu si anak Wali Kota bernama Hatsyi Gato itu. Namun Hamada melihat jelas dari sikap dan air muka Korisyima, bahwa gadis itu tak setuju dengan laki-laki itu. Dia yakin Korisyima masih tetap mencintainya. Akan tetapi Hamada sudah tak perduli lagi akan semua itu. Baginya kini nyawanya adalah lebih penting dari segalanya.

"Aku harus secepatnya menemui Higei Tanaka si Setan Tanah di Lembah Pedang...!" desis pemuda itu pelahan. Dan dia sudah percepat langkah kakinya. Apakah tak sebaiknya aku temui kakek Matsui dulu...? Gumam hati Hamada. Sekonyong-konyong hati pemuda ini jadi bimbang. Tadinya dia sudah mau meneruskan perjalanan ke Lembah Pedang menemui si laki-laki misterius bergelar si Setan Tanah itu. Akan tetapi segera mengambil keputusan untuk menemui si kakek Matsui lebih dulu.

Segera Hamada membelok lagi ke arah selatan. Ternyata Hamada segan melewati rumah si bibi berhati palsu itu. Tujuannya adalah mengambil jalan memutar untuk menemui si kakek Matsui di sebuah pondok yang paling ujung. Sebentar saja Hamada sudah berlari-lari dengan gerakan cepat untuk segera tiba di tempat yang dituju.

Sementara, di benak pemuda ini berkecamuk bermacam pertanyaan mengenai kejadian tadi. Siapakah yang telah gunakan angin pukulan untuk membuat jatuh bunga yang diberikan pada Korisyima? Aneh! Tampaknya kejadian itu seperti sudah sengaja diatur. Dan si bibi itu seperti curiga dengan kertas yang kutemukan...! Aku harus mengetahui apa latar belakang kejadian ini kelak!

Demikianlah! Dengan tekad bulat Hamada berkelebat cepat untuk menemui si kakek Matsui untuk selanjutnya pergi ke Lembah Pedang. Kesempatan untuk menjadi Ninja tulen harus terlaksana demi keselamatan nyawanya.

* * * * * * *

Kakek Matsui adalah seorang tua yang sudah berumur 70 tahun lebih. Kakek ini jarang bicara. Air mukanya tampak selalu muram, seperti sudah enggan menikmati sisa-sisa hidupnya. Bertubuh kurus seperti sudah tinggal kulit membungkus tulang. Matanya cekung ke dalam. Cuma kumis dan jenggotnya saja yang nampak lebat menutupi bibirnya yang hampir tak kelihatan lagi.

Ternyata ke mana pun Hamada pergi telah di mata-matai oleh beberapa sosok tubuh yang bergerak secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika tiba di halaman pondok kakek Matsui. Hamada cepat meniti tangga batu di depan pondok. Tak lama sudah mengetuk pintu.

"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Suara yang terdengar parau.

"Aku, Hamada...!" Pemuda itu sudah mengenali suara kakek tua itu.

"Hm, masuklah...! tak dikunci!" sahut lagi suara dari dalam.

Hamada segera membuka daun pintu dengan menggesernya pelahan. Terdengar bunyi menggerit. Tak lama tubuhnya sudah tersembul ke dalam ruangan itu. Akan tetapi terperangah seketika Hamada ketika melihat si kakek Matsui dalam keadaan terancam jiwanya. Karena sesosok tubuh berpakaian mirip Ninja telah siap menggorok leher kakek tua itu dengan belatinya yang menempel di leher kakek Matsui. Ninja itu berpakaian serba hijau.

Belum lagi hilang terkejutnya tiga sosok tubuh sudah menyergapnya. Cepat sekali. Sekejapan saja Hamada telah kena diringkus. Ternyata mereka juga Ninja-ninja yang berpakaian serba hijau. Tak sempat lagi Hamada berteriak, karena mulutnya sudah segera tertutup oleh kain yang menyumpalnya. Sehelai kain berbau harum segera ditekapkan ke hidungnya. Mengeluh Hamada. Sekejap saja dia sudah terkulai. Telinganya masih mendengar suara derap kaki-kaki kuda mendatangi. Akan tetapi segera lenyap, karena dia sudah tak ingat apa-apa lagi.

Sementara Ninja-Ninja Hijau itu sudah bekerja cepat meringkus si kakek Matsui yang tak bisa berbuat apa-apa. Tak berapa lama dua sosok tubuh sudah dimasukkan para Ninja itu ke dalam kereta. Dua ekor kuda sudah menariknya dengan cepat meninggalkan desa terpencil itu...

* * * * * * *

EMPAT

KEDATANGAN seorang gadis berwajah rupawan dengan rambut yang terurai ke belakang itu telah menjadi perhatian penduduk di sekitar desa itu. Karena cara berpakaiannya berbeda dengan adat penduduk Negeri Sakura. Apalagi melihat dua buah benda membulat yang tergantung di pinggang, serta rantai yang membelit di pinggangnya yang ramping. Membuat mereka segera mengetahui kalau gadis pendatang itu adalah orang asing. Gadis cantik yang sikapnya agak genit itu tak lain dari Roro Centil adanya. Si Pendekar Wanita Rantai Selatan ini entah bagaimana telah berada di satu Negeri yang berpenduduk rata-rata bermata sipit.

"Hm, entah di mana adanya desa Kyusu...! Sudah dua desa kujumpai, tapi penduduk di sini tak mengenal di mana adanya desa itu..." menggumam Roro seraya menyeka keringatnya yang menempel di dahi. Aiii...? Aku lupa! Menurut si kakek Nelayan itu, desa Kyusu terletak di lereng Gunung Bukkyo! Kalau begitu aku harus tanyakan di arah sebelah mana adanya Gunung Bukkyo itu! Berkata Roro dalam hati.

Setelah berpikir demikian, Roro segera gerakkan kakinya melangkah cepat. Menurut penuturan salah seorang penduduk, di sebelah depan ada sebuah desa lagi. Seraya melangkah tak bosan bosannya Roro memperhatikan pemandangan alam sekitarnya, yang amat indah. Bunga-bunga Sakura bertebaran di mana-mana, juga bermacam bunga lainnya yang berwarna warni. Kala itu adalah permulaan musim semi, hingga di setiap tempat daun-daun hijau segar selalu tampak. Juga bermacam bunga bertebaran di sisi jalan.

Setelah melewati sebuah anak sungai dan mendak bukit, segeralah terlihat dari atas sebuah desa yang terpencil. Cuma beberapa wuwungan rumah yang terlihat. Sebenarnya bukit itu adalah batas dari Kota Raja. Dimana waktu itu di sana ada berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Merak Hijau Kerajaan di Negeri Sakura ini di bawah pemerintahan seorang Kaisar. Kira-kira menempuh jalan sepenanakan nasi, karena Roro sengaja berjalan tak gunakan ilmu lari cepat. Segera Roro sudah sampai di mulut desa.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan derap kaki-kaki kuda. Dan kira-kira dua puluh tombak dari hadapannya, muncul sebuah kereta kuda. Roro segera melompat ke sisi. Sepasang matanya memperhatikan kereta kuda itu. Akan tetapi ternyata kereta kuda membelok ke arah timur.

"Aiih, kukira lewat sini...!" gumam Roro yang agak kecewa. Karena ingin tahu apa isi kereta yang dilarikan dengan kencang itu. Yang membuat aneh adalah si kusir kereta, karena berpakaian rapat membungkus semua tubuhnya. Kecuali sepasang matanya saja yang tak ditutupi.

Rasa penasaran Roro membuat diam-diam dia menguntitnya. Kereta kuda mencongklang cepat menuju ke satu tempat tersembunyi ke belakang bukit. Setelah melewati jalan berliku-liku, akhirnya berhenti, Tak lama pintu kereta kuda itu sudah terbuka. Dan tiga sosok tubuh melompat dari dalam. Pakaiannya sama hijau dan tertutup rapat seperti si kusir kereta. Ternyata mengeluarkan dua tubuh manusia. yang terikat, dengan mulut tersumpal kain. Tahulah Roro kalau mereka adalah komplotan penculik.

"Aku harus bebaskan mereka!" desis Roro, yang tak tahu persoalan. Akan tetapi melihat dua orang yang tertawan itu membuat dia merasa harus turun tangan. Tak ayal Roro sudah kelebatkan tubuhnya ke bawah. Dan perdengarkan bentakannya. "Tunggu...! Mau kalian bawa ke mana orangorang itu!"

Tentu saja membuat Ninja-ninja Hijau jadi belalakkan mata menatap seorang gadis asing tahu-tahu muncul di situ. Tampak mereka saling pandang. Saat itu dua orang baru akan memanggul tubuh dua korban yang terikat itu dari atas kereta. Segera mereka berlompatan mengurung Roro setelah salah seorang memberi isyarat. Gerakannya tak menimbulkan suara, membuat Roro cukup kagum. Hm, ingin ku tahu bagaimanakah kehebatan si manusia-manusia hijau ini! Berkata Roro dalam hati. Segera Roro sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Rtrtttttt...!

Tiga utas tali tahu-tahu telah meluncur ke tubuh Roro. Cepat sekali gerakannya. Dan tak diketahui di mana disimpannya tali, karena sekejap sudah meluncur dari lengan-lengan mereka.

"Edan...!?" sentak Roro. Dia sudah gerakkan tubuh untuk menghindar. Untunglah Roro cukup waspada. Namun tak urung dua buah tali telah menjerat kedua lengannya. Terkejut si gadis Pantai Selatan ini. Namun sebelum Ninja-ninja itu berbuat sesuatu, lengan Roro telah bergerak menarik tubuh mereka. Dua tubuh si Ninja Hijau terseret melayang. Keduanya tampak terkesiap kaget. Sebab sekali kedua lengan Roro bergerak menyodok ke arah perut mereka.

Buk! Buk!...!

Dua Ninja Hijau itu terbanting ke tanah dengan mengerang bergulingan. Tiba-tiba Ninja satunya lagi melesat ke arahnya. Dua buah belati berkelebat dengan serangan menyilang menggunting leher. Roro cepat tundukkan kepala. Kakinya melayang menghantam pantat orang.

Dhesss...! Terdengar teriakan Ninja ini. Tubuhnya terbanting ke tanah. Akan tetapi... Bhuss...! Di tempat jatuhnya tampak asap putih membumbung. Dan sekejap tubuh si Ninja Hijau sudah lenyap. Terperangah Roro Centil.

"Edan...!?" lagi-lagi memaki Roro. Namun cepat gadis pendekar ini putarkan tubuh. Enam buah belati meluncur ke arah tiga bagian tubuhnya. Dilontarkan dua orang Ninja Hijau yang tadi roboh kena hantam perutnya. Secepat kilat Roro Centil kibaskan rambutnya.

Whuukkk...!

Sekejap enam buah belati itu sudah berpentalan entah ke mana. Tiba-tiba sebuah benda meluncur ke arah Roro. Tak ayal lengan Roro sudah bergerak menghantamnya. Akan tetapi tiba-tiba...

Bhusss...! Benda yang terhantam itu letupkan asap tebal yang sekejap telah membungkus tubuh Roro. Terkejut gadis ini. Segera Roro tutup pernafasannya. "Asap racun..." desisnya tertahan. Akan tetapi dia sudah terbatuk-batuk. Terlambat sudah. Roro sudah menghisap asap itu. Tubuhnya segera terhuyung, dan jatuh berdebuk ke tanah.

* * * * * * *

Sesosok tubuh berjubah hijau telah berada di tempat itu. Ternyata seorang wanita tua berwajah pucat, dengan alis matanya mencuat ke atas. Rambutnya berwarna merah terurai panjang. Lengannya mencekal sebuah tongkat berbentuk ular. Ditatapnya sosok tubuh yang tergeletak di hadapannya itu. Terdengar suaranya yang bernada dingin.

"Heh!? Perempuan asing dari manakah? Cepat kalian bawa masuk kedua orang itu!" ujarnya seraya menoleh ke arah empat orang Ninja Hijau yang kembali sudah berada di situ. Yang seorang adalah kusir kereta kuda.

Tak ayal perintah itu sudah dikerjakan. Keempat Ninja itu cepat menggotong dua tubuh terikat itu. Dan dibawa ke sisi dinding bukit. Ternyata pada sisi dinding batu bukit itu telah menjeblak terbuka sebuah celah pintu. Sekejapan saja kedua orang tawanan itu sudah dibawa masuk.

Tak lama seorang Ninja melompat kembali ke dalam kereta. Salah satu lorong di sisi dinding batu bukit itu bergerak menggeser, dan terbuka sebuah lubang besar. Kusir kereta segera keprak kudanya untuk segera masuk ke lorong itu. Begitu telah berada di dalam, pintu lorong yang lebar itu pun kembali menutup.

Selang tak lama si nenek rambut merah berwajah pucat itu sudah memanggul tubuh Roro, dan dibawa berkelebat masuk ke dalam celah dinding bukit Seorang Ninja keluar lagi untuk membersihkan bekasbekas roda kereta dengan sapu jerami. Hingga tak kentara lagi ada tanda-tanda yang mencurigakan di tempat itu. Sesaat si Ninja sudah berkelebat masuk ke celah. Dan pintu batu celah itu kembali menutup. Sekitar tempat itupun kembali sunyi lengang seolah tak pernah ada kejadian apa-apa...

Benarkah Roro Centil semudah itu dipecundangi? Tidak! Percuma Roro menjadi murid si Manusia Banci dari Pantai Selatan yang banyak akalnya. Beberapa pengalaman selama malang-melintang di Rimba Hijau, entah sudah berapa macam racun yang harus dihadapi. Ternyata Roro sengaja pura-pura terjatuh menggeloso seolah pingsan. Padahal seluruh indranya telah disiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan. Asap yang sedikit terendus itu sudah berhasil dikeluarkan dengan mengerahkan hawa murni di tubuhnya. Sekaligus hawa beracun itu sudah lenyap terhembus.

Tentu saja ketika itu Roro sudah menutup semua jalan darah, untuk menjaga kemungkinan sosok tubuh yang memanggul tubuhnya melakukan totokan pada tubuhnya. Akan tetapi Roro merasa lega. karena hal itu tidak dilakukan si nenek muka pucat berambut merah, yang merasa sudah cukup asap itu membius. Sementara di dalam ruangan di dalam celah tebing itu, diam-diam Roro meneliti dengan sudut matanya. Ternyata sebuah ruangan yang lebar berlantai batu. Terdengar suara si nenek Rambut merah itu.

"Masukkan keduanya dalam penjara belakang!" terlihat empat orang Ninja Hijau segera menggotong kedua tubuh untuk segera dibawa ke ruangan belakang.

Akan tetapi sebelum mereka bergerak jauh, Roro sudah gerakkan lengan menotok tubuh si nenek muka pucat dan melompat dari pundak si Rambut Merah itu. Tentu saja hal itu membuat terkesiap wanita itu. Seketika tubuhnya sudah jatuh menggabruk. Sekejap tongkat si nenek sudah berpindah.

"Berhenti...!" teriak Roro, seraya berkelebat dan silangkan tongkatnya menghadang keempat Ninja Hijau. Dan kali ini Roro tak kepalang tanggung. Segera pergunakan gerakan dari jurus Ikan Hiu Menerobos Karang. Tubuhnya berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu keempat Ninja itu sudah roboh bergulingan dengan tubuh tertotok.

Dan kejap berikutnya lengannya sudah bergerak meringkus mereka. Mengikatnya menjadi satu. Selanjutnya sudah melompat lagi ke hadapan si nenek rambut merah. Lengannya bergerak menjambak rambut si wanita tua itu agar bisa ditatap lebih jelas. Akan tetapi... Plash... Ternyata segumpul rambut yang dicekal Roro justru terlepas merosot dari kulit kepala wanita muka pucat itu.

"Heh!. Rupanya kau pakai rambut palsu...! Pasti kaupun pakai kulit muka palsu..." ujar Roro selanjutnya. Seraya lengannya bergerak untuk jambret ke bawah dagu si wanita muka pucat.

Benar saja! Karena segera telah terkelupas wajah wanita tua yang keriput itu. Ternyata wanita itu tak lain dari si bibi berhati busuk, yang telah menipu Hamada. Dialah yang bernama Huyima, karena saat itu sudah terdengar suara si kakek Mitsui yang berteriak kaget. Entah bagaimana sumpal di mulut kakek tua renta itu sudah terlepas. "Huyima...!" Dan selanjutnya ....

Tas! Tas...!

Tiba-tiba lengan kakek tua yang seperti tak bertenaga itu telah bergerak memutuskan tali yang mengikatnya. Sekejap saja dia sudah melompat berdiri. Tentu saja membuat Roro jadi terkejut aneh. Hamada juga terheran dengan membeliakkan sepasang matanya. Ternyata dia sudah sadarkan diri dari pingsannya. Akan tetapi beberapa kali dia gerakkan tangannya memutuskan tali yang mengikat lengan dan kaki, tak membawa hasil.

Si kakek Mitsui kebutkan lengan bajunya. Tali-tali yang mengikat tubuh dan tangan Hamada seketika berlepasan putus, tanpa menyentuh sedikit pun kulit atau pakaian pemuda itu. Cepat-cepat pemuda itu lepaskan sumpal di mulutnya.

"Ah!? Kakek Matsui? Kau... kau..." terkejut Hamada. Karena tak menyangka sedikit pun kalau si kakek tua renta itu mempunyai ilmu kepandaian hebat.

LIMA

“HEHEHE... Hamada! Sudah saatnya aku unjuk gigi! Aku memang sengaja berlagak menjadi orang tua yang sudah dekat ke liang kubur, karena ku ingin menyelidiki siapakah si pemimpin Ninja-ninja Hijau ini!" berkata kakek Matsui dengan tersenyum. Tiba-tiba sudah balikkan tubuh menatap Roro. Ternyata Roro pun tengah menatapnya.

"Ah, gadis asing yang hebat! Terima kasih atas pertolonganmu pada kami, dan bantuanmu menangkap si Ketua Ninja Hijau ini...!" ujar kakek Matsui seraya melangkah dua tindak dan menjura pada Roro.

Cepat-cepat Roro pun balas menjura. "Secara tak sengaja aku melihat kereta kuda di larikan kencang di jalan sunyi di atas bukit. Pertolonganku tak begitu berharga, karena kau orang tua ternyata mampu melepaskan diri. Tentunya kau berilmu tinggi! Cuma saja kau sengaja tak mau bertindak terburu-buru!" berkata Roro sambil tersenyum.

Kakek Matsui perdengarkan tertawanya, seraya kerutkan kening. Lalu ucapnya. "Hm, walaupun bagaimana kau telah berjasa padaku, membuka kedok si wanita Ketua Ninja Hijau ini! Namaku Matsui Namoto, akan tetapi orang sering menyebutku si kakek Matsui. Siapakah gerangan nona? Dan berasal dari mana?" bertanya kakek Matsui setelah perkenalkan diri.

"Namaku Roro! Lengkapnya Roro Centil...! Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di lereng gunung Bukkyo. Tepatnya di desa Kyusu!" Aku berasal dari Pulau Jawa, di wilayah kerajaan Mataram...!" Tutur Roro singkat.

Kakek Matsui tercenung sejenak seraya manggut-manggut. Sementara Hamada sudah loloskan tali yang mengikat kakinya. Tak lama dia sudah beranjak menghampiri kedua orang yang sudah menatapnya itu. "Terimalah hormatku pada anda, nona...! Namaku Hamada! Terima kasih atas bantuanmu menolong kami." berkata Hamada seraya menjura pada Roro.

Terpaksa Roro balas menjura, seraya mengangguk. Diam-diam hatinya memuji akan ketampanan wajah pemuda itu. "Aku Roro Centil...!" ujar Roro seraya tersenyum.

"Baiklah, nanti kita berbincang-bincang lagi! Aku ingin sekali mengetahui siapa gerangan sahabatmu yang berdiam di desa Kyusu di lereng gunung Bukkyo itu! Wanita ini baiknya kau serahkan saja Padaku untuk mengurusnya!" berkata kakek Matsui.

Roro mengangguk seraya melompat ke sisi. Kakek Matsui tatap wajah orang lekat lekat. Sinar matanya membersitkan kemarahan. Dan dia sudah membentak.

"Huyima...! Katakan apa maksudmu dengan semua perbuatanmu ini?"

Wanita itu tundukkan wajahnya. Tubuhnya tak dapat digerakkan, karena totokan Roro Centil amat ampuh sekali. Keringat mengucur deras dari dahinya. Akan tetapi si bibi itu segera cepat menjawab. "Lepaskanlah dulu totokan pada tubuhku ini...!"

Kakek Matsui kerutkan kening sejenak. Lalu berpaling pada Roro. "Nona! Kau bukalah totokanmu!"

"Ssst! Apakah tak kau khawatir dia meloloskan diri?" tanya Hamada dengan menatap pada kakek Matsui.

Akan tetapi Roro sudah tertawa seraya berhihihi... "ingin kulihat, apakah dia dapat melakukannya?" lengan Roro bergerak mengibas. Dan bersyiurlah segelombang angin menerpa tubuh Huyima.

Sekejap saja wanita itu sudah rasakan tubuhnya terbebas dari belenggu totokan. Segera dia melompat bangun. Roro sudah pasang mata untuk segera bertindak bila Huyima berani coba-coba melarikan diri. Akan tetapi si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini menaruh kepercayaan pada si kakek Matsui.

"Paman... kuharap kau tak salah mengerti! Semua ini kulakukan adalah demi keselamatanmu dan keselamatan Hamada!" berkata Huyima yang ternyata di luar dugaan tak melakukan apa-apa.

"Demi keselamatanku...?" sentak Hamada. "Lalu apakah maksudmu dengan kejadian ditaman bunga tadi, bibi?"

"Ah, marilah kalian ikut aku...! Segera akan kuceritakan semuanya! Dan kau paman Matsui! Sudah kuduga kau memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi mengapa kau selalu menyembunyikannya?" seraya berkata Huyima beranjak ke dalam.

"Aku memang sudah mau cuci tangan, Huyima! Tak kukira akhirnya aku terpaksa turut campur dalam masalah ini!"

Tiba-tiba Huyima hentikan langkahnya, dan berpaling menatap Roro Centil. "Hm, anda bernama Roro Centil...? Ah, anda mempunyai banyak akal cerdik! Aku tak merasa malu jatuh di tangan anda, nona...! Aku tak keberatan kalau anda mau mencampuri urusan kami.." ujarnya. "Tolonglah kau bebaskan keempat Ninja murid ku itu! Jangan khawatir! Kita semua orang sendiri!"

Roro menatap sejenak ke arah kakek Matsui, yang segera mengangguk. Tak ayal Roro segera melompat mendekati keempat Ninja Hijau yang telah diikatnya menjadi satu dengan keadaan tumpang tindih. Sekali lengannya bergerak, maka tambang pengikat itu pun putus. Sekaligus Roro bebaskan mereka dari totokannya. Keempat Ninja itu pun segera berlompatan bangun berdiri, seraya satu persatu menjura pada Roro.

Huyima tersenyum, segera gerakkan tangannya memberi isyarat, diiringi kata-kata. "Buka pintu lorong bawah...!"

Keempat Ninja mengangguk dan berlompatan cepat mendahului ke arah ruangan dalam. Diam-diam Hamada heran juga, karena tak menyangka kalau si bibi, ibu Korisyima itu punya murid dari para Ninja Hijau. Dan bahkan menjadi pimpinan mereka. Segera tiga orang sudah mengikuti ke mana Huyima membawa mereka.

Tentu saja Roro tetap waspada, khawatir si wanita itu mengibuli untuk menjebak di dalam ruangan. Sementara Hamada sejak tadi sering memperhatikan Roro dengan pandangan tajam dan kagum. Disamping merasa aneh, karena gadis semuda itu sudah berani melakukan perjalanan jauh hingga menyeberangi lautan.

* * * * * * *

KORISYIMA tundukkan wajahnya semakin dalam dengan hati tak keruan rasa. Sementara lengan Hatsyi Gato sudah menggamit pinggangnya. Tak berdaya gadis ini menolak, ketika lengannya yang telah dicekal pemuda putera Wali Kota itu untuk ditempelkan ke dadanya. Terasa degup jantung Hatsyi Gato berdebaran di kulit lengannya.

"Adik Korisyima! Kau sudah dengar kata-kata ibumu...? Beliau merestui mu dan merestui 'kita'. Aku amat mencintaimu adik Korisyima!" Terdengar suara Hatsyi Gato bernada lembut merayu.

Sebelah lengan pemuda itu mulai merayap ke arah dada... Akan tetapi lengan si gadis telah bergerak menepiskan. Laki-laki kurang ajar...! Memaki Korisyima dalam hati. Hatinya membatin. Heh! Hamada sendiri belum berani melakukan hal ini...! Ah, aku telah terjerat dalam perangkap! Apakah hal ini sengaja diatur oleh ibu?

Tiba-tiba Hatsyi Gato sudah balikkan tubuhnya. Kejap lain sudah memeluki tubuhnya, serta menghujani dengan ciuman-ciuman ke pipinya. Terperangah Korisyima. Namun dia sudah meronta untuk melepaskan diri. Lengannya tiba-tiba melayang...

Plak...! Terkejut Hatsyi Gato. Tamparan itu tepat mengenai pipinya. Merahlah wajah pemuda ini. Seumur dewasa belum pernah dia mendapat tamparan dari seorang gadis. Bahkan selama ini entah sudah berapa gadis yang jatuh dalam pelukannya. Karena sebagai seorang anak Wali Kota, Hatsyi Gato amat dihormati.

Pada detik itu juga Korisyima sudah melarikan diri dengan terisak menutupi wajahnya. Pemuda ini perdengarkan suara dengusan di hidung. Sekejap tubuhnya sudah melompat mengejar. Akan tetapi pada saat itu juga sebuah bayangan berkelebat menghadang. Ternyata sesosok tubuh berpakaian serba hijau, yang tak lain salah seorang dari Ninja Hijau.

"Bedebah! Siapa kau...!" Membentak Hatsyi Gato. Lengannya sudah bergerak menghantam. Akan tetapi dengan gesit Ninja Hijau itu sudah melompat gesit menghindar. Sementara si Ninja cuma berdiri menanti dengan bertolak pinggang.

"Bedebah...! kau minta mampus...!" lagi-lagi Hatsyi Gato sudah menerjang dengan hantaman pukulannya. Akan tetapi si Ninja Hijau kembali melompat menghindarkan diri semakin menjauhi taman. Hal itu membuat si pemuda anak Wali Kota itu semakin berang. Samurainya sudah disentakkan ke luar dari serangkanya. Dan dengan membentak keras segera mengejar manusia yang sengaja mempermainkannya itu.

Kegesitan Ninja Hijau memang dapat di andalkan, karena dia mampu mengelakkan tabasan-tabasan maut pedang samurai Hatsyi Gato. Bahkan tanpa disadari oleh lawannya, dia telah membawa si pemuda itu semakin jauh dari taman. Ketika Hatsyi Gato menerjang lagi dengan tebasan-tebasan mautnya, tiba-tiba Ninja itu lenyap setelah membantingkan sebuah benda yang menimbulkan asap tebal.

Terperangah Hatsyi Gato. Sepasang matanya merah membara. Betapa terhinanya pemuda ini. Setelah tercenung sejenak, segera dia sudah berkelebat pergi untuk angkat kaki dari tempat itu dengan hati memaki panjang-pendek...

* * * * * * *

"Tahukah kalian... bahwa Kaisar Kotsyi Nagoya menginginkan Pedang Pusaka milik Soku Sheba si kakek kaki buntung yang mendiami dasar Lembah Air Mata...!" berkata Huyima.

Mereka sudah duduk di satu ruangan persegi, setelah melewati lorong menuju ke bawah. Ternyata di sini ruangan menjadi terang, dengan adanya sinar matahari yang masuk dari satu lubang di atas langit-langit. Hamada tersentak kaget. Hatinya membatin. Aku diperintah guru untuk mencuri Pedang Pusaka itu. Entah barang Pusaka macam apakah pedang itu hingga Kaisar pun menginginkannya?

"Bahkan bukan Kaisar saja yang menginginkan, akan tetapi juga para Pembesar Kerajaan. Mereka mengirimkan Ninja-Ninja ke Lembah Air Mata untuk mencuri Pedang Pusaka itu." tutur Huyima lebih lanjut.

"Ah, ternyata begitu banyak orang yang menginginkan Pedang Pusaka itu. Mengapa Kaisar tak turun tangan mengerahkan laskar untuk memaksa meminta Pedang Pusaka itu dari tangannya? Atau mengirim utusan agar Soku Sheba menghadap padanya?" bertanya Hamada.

"Hal itu aku tak tahu! Tapi agaknya Kaisar tak mau melakukan kekerasan, karena merusak citranya sebagai kaisar yang diagungkan di wilayah ini...!" menyahut si bibi.

Sementara kakek Matsui tercenung tanpa berkata apa-apa. Terdengar suara helaan nafasnya, seperti merasa hal itu menyesakkan rongga dadanya. "Baiklah! beritamu itu aku terima! Akan tetapi jelaskanlah apa maksudmu menawan kami dengan menyuruh Ninja ninja anak buahmu melakukannya?" tiba-tiba kakek Matsui buka suara. "Dan tampaknya diam-diam kau punya gerakan di bawah tanah, yang secara sembunyi melakukan kegiatan memata-matai orang-orang Kerajaan...!"

Huyima tersenyum seraya menghela napas, lalu katanya dengan nada tegas. "Hm, benar...! Bahkan aku sudah tahu siapa adanya orang yang berikan surat pada Hamada! Bukankah dia bernama Higei Tanaka yang bergelar si Setan Tanah...?" seraya berkata, Huyima berpaling menatap pemuda itu.

Tentu saja Hamada disamping terkejut, juga tersipu, karena segera teringat ketika dia pura-pura membersihkan kakinya yang kena lumpur dengan kertas yang berisi surat singkat dari si Setan Tanah itu. "Kau ternyata banyak mengetahui, bibi...! Aku memang diberi kertas berisi surat itu, untuk aku segera datang ke Lembah Pedang!"

Dan tanpa menutupi lagi, segera Hamada ceritakan tentang kegagalannya mencuri Pedang Pusaka atas perintah gurunya. Juga diceritakan tentang tewasnya dua orang kawannya dalam menjalankan tugas itu.

"Aku cuma diberi waktu tiga pekan! Kalau aku tak berhasil mendapatkan pedang itu, terpaksa aku membunuh diri! Dalam keadaan kalut itulah aku berjumpa dengan si Setan Tanah, Higei Tanaka yang menitahkan ku segera ke Lembah Pedang. Dia menawari ku agar aku dapat menjadi Ninja Tulen maka diperintahkan aku ke sana...!" tutur Hamada.

"Hm, si Setan Tanah itu terlalu sombong! Apakah dia mengira usahanya akan berhasil baik?" berkata si bibi.

Sementara si kakek Matsui tampak sudah buka suara lagi. "Segeralah kau jawab pertanyaanku tadi, Huyima...!" nada suara kakek Matsui ini terdengar ketus, seperti sudah tak sabar mendengar alasan yang bakal dikemukakan Huyima.

Akan tetapi pada saat itu terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Karena lengan Huyima telah tekan sebuah tombol di bawah tempat duduknya. Dan... Bhusss...!

Tahu-tahu lantai persegi empat yang diduduki mereka telah menjeblak terbuka terbelah di bagian tengahnya. Tak ampun tiga tubuh yang duduk di hadapannya telah menggubrus masuk ke dalam lubang. Kecuali lantai tempat duduk Huyima yang masih tetap tak berubah. Dengan tertawa mengikik tiba-tiba Huyima melesat dari tempat duduknya. Tiba-tiba dinding ruangan di belakangnya telah bergerak turun dengan cepat seperti roboh. Itulah sebuah dinding besi tebal. Dan... Bummm...! Lubang barusan itu sudah tertutup rapat oleh dinding besi tebal yang mirip batu goa itu.

"Keparat...! lagi-lagi kita terpedaya...! Huuuh!" memaki Hamada dengan mengeluh. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa mengikik dari atas lubang. Sebuah lubang kecil di bagian atas mengantarkan suara wanita itu sampai ke dasar lubang.

"Hihihi... hihi... hik hik hik... Aku memang mau memasukkan kalian dalam penjara bawah tanah ini, agar tak mengganggu urusanku...! Nah selamat mendekam di lubang ini! Mudah-mudahan kalian masih bisa berumur panjang...!" Setelah perdengarkan tertawanya lagi, suasana kembali lengang. Karena si wanita bernama Huyima itu sudah berkelebat ke luar dari ruangan bawah tanah dalam lorong itu.

"Bedebah...! Manusia busuk...! Kelak akan kau rasai balasanku kalau aku berhasil ke luar dari lubang sialan ini...!" memaki si kakek Matsui. Akan tetapi terkejut laki-laki tua ini karena tak melihat adanya Roro di antara mereka. "He? Ke mana gerangan gadis asing itu?"

Kakek Mitsui jelalatkan matanya lebar-lebar di tempat gelap. Akan tetapi memang tak menampak tubuh lain selain Hamada. Hamada sendiri pun terheran, akan tetapi hatinya terlonjak girang. "Pasti dia berhasil menyelamatkan diri di saat kejadian tadi...!" berkata Hamada.

"Ah, benar dugaan mu itu Hamada...! Gadis asing itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Tampaknya dia sudah banyak pengalaman di luaran. Terbukti bisa sampai ke daratan Negeri kita, berarti bukan seorang gadis sembarangan. Setidak-tidaknya adalah seorang Pendekar Sakti...! Entah siapa gerangan sahabatnya yang berdiam di lereng Gunung Bukkyo!"

ENAM

KEMANAKAH gerangan Roro Centil...? Kalau saja Roro tak memiliki ilmu ajian SARI RAPET yang sudah sejak lama dimilikinya, warisan dari gurunya si Manusia banci pasti sudah ikut terjerumus ke dalam lubang. Akan tetapi Roro memang sudah waspada sejak duduk di lantai persegi empat itu. Dan diam-diam pergunakan ilmu itu untuk membuat tubuhnya menempel pada lantai yang didudukinya. Ilmu Ajian Sari Rapet ini agak mirip dengan ilmu Cecak yang terdapat di negeri Sakura itu. (Roro pernah pergunakan ilmu ini ketika melawan musuhnya, dalam judul Pembalasan si Setan Cengkrong).

Sebelumnya Roro Centil memang telah mengetahui kalau lantai yang diinjaknya adalah kosong pada bagian bawahnya. Karena dengan menjadi murid si Manusia Banci, Roro telah mampu menaklukkan gelombang Pantai Selatan. Baginya sudah dapat membedakan setiap sentuhan kulit kakinya pada tempat yang dipijak.

Untuk masa itu amatlah sulit mencari orang yang mempunyai Ilmu berdiri di atas air. Karena ilmu itu harus dikuasai oleh orang yang bertenaga dalam tinggi. Beruntunglah Roro Centil pernah mewarisi tenaga dalam yang hebat dari Si Dewa Tengkorak, yang telah memberikannya di saat kematian menjemput jago tua golongan hitam itu. (Baca: Empat Iblis Kali Progo).

Ternyata di saat lantai terbelah bagian tengahnya, dan ketiga tubuh mereka meluncur masuk ke lubang. Tubuh Roro Centil masih tetap menempel di tempatnya seperti lengket menjadi satu dengan lantai yang didudukinya. Dan di saat mana Huyama melesat dari tempat duduknya setelah menekan tombol di bawah tempat duduk.

Kemudian dinding besi di belakangnya tahu-tahu menjeblak roboh untuk segera menutup lubang. Pada detik itulah tubuh Roro berkelebat ke atas langit-langit ruangan. Dan menempel di sana. Tentu saja Roro Centil dapat memperhatikan jelas dari atas langit-langit.

Huyama membungkuk membuka sebuah lubang kecil di sudut penutup lubang. Lalu kirimkan suaranya ke bawah. Kalau Roro mau bertindak, saat itu bisa membekuknya lagi. Akan tetapi dia memikir akan mengetahui rahasia tempat itu. Hingga dengan menahan napas Roro tetap berdiam di tempatnya. Hingga sampai si wanita itu berangkat pergi meninggalkan tempat rahasia itu.

Namun Roro tetap menanti dengan sabar sampai suasana aman. Dilihatnya beberapa Ninja bermunculan. Setelah membuka sebuah lorong dengan menekan tombol rahasia, segera mereka memasuki lorong itu dan lenyap. Pintu lorong segera menutup lagi.

"Hm, kini saatnya aku turun..." desis dara Perkasa ini. Akan tetapi begitu kakinya menginjak lantai, sesosok tubuh muncul dari pintu ruangan Terkesiap Roro Centil. Ternyata masih ada seorang Ninja yang ketinggalan. Baru saja Ninja itu mau memasuki lorong rahasia, dan gerakkan tangan menekan tombol, dia telah urungkan niatnya. Dan cepat menoleh....

Namun secepat kilat Roro Centil telah mendahului berkelebat. Lengannya terjulur. Dan sekejap saja si Ninja itu sudah roboh dalam keadaan tertotok. Selanjutnya... Bret! Bret! Roro sudah merobek penutup muka si Ninja. Segera terlihat adanya siapa si Ninja itu. Ternyata seorang wanita! Tentu saja membuat Roro terheran.

"Hihi... kau kini jadi tawananku...! Segera beritahukan di mana tombol pembuka tutup lubang itu!" bentak Roro.

Terperangah Ninja perempuan itu. "Aku aku tak dapat memberitahukan!" berkata si Ninja dengan wajah pucat.

"Hm, ternyata kau keras kepala juga! Aku harus mengorek beberapa keterangan darimu! Kalau kau tetap membungkam jangan katakan aku kejam!" ujar Roro menggertak.

Akan tetapi si Ninja wanita ini cuma plengoskan wajahnya. Roro gerakkan lengannya merogoh sesuatu dari balik pakaiannya. Sekejap sudah tercekal sebuah bumbung bambu bersumbat. Bumbung bambu itu mempunyai lubang udara pada bagian atas sumbat. Brebett...! Sekali lengan Roro menyentak, segera pakaian si Ninja wanita bagian atasnya telah tersobek lebar.

"Ah...!? Mau kau apakah aku?" terperangah si Ninja wanita itu karena sekejap saja sudah menampak separuh bagian tubuhnya.

Terkejut juga Roro Centil karena segera dapatkan dari dalam pakaian belasan pisau kecil, beberapa utas tambang dan benda-benda bulat. Agaknya benda-benda bulat itulah benda yang bila dikeluarkan akan meletup dan mengeluarkan asap tebal. Sepasang payudara yang mungil tak seberapa besar dan putih mulus segera tersembul ke luar.

"Aku akan memaksamu untuk bicara...!" Berkata Roro dengan wajah bengis. Tutup sumbat tabung bambu itu sudah dibuka. Dan dengan enak saja Roro Centil segera tuangkan isinya ke atas dada orang....

"Aaauu...!? aauu...! aauuuh...!" berteriak-teriak si gadis Ninja itu. Karena segera belasan ekor Kala telah merayap di atas dadanya. Akan tetapi tubuhnya memang sudah tak mampu untuk digerakkan.

Sementara Roro terpingkal pingkal geli menyaksikan si gadis Ninja yang ketakutan. Diam-diam Roro jadi teringat pada beberapa tahun yang silam di saat bertemu dengan gurunya ( si Manusia Banci). Dia pun pernah diperlakukan demikian oleh sang guru. Pada waktu itu Roro takutnya bukan main, tak beda dengan ketakutannya si Gadis Ninja itu. Akan tetapi Roro sekarang sudah mengenal baik beberapa jenis binatang berbisa. Bahkan binatang-binatang itu sudah menjadi permainannya.

"Baik...! baik ! aku akan bicara!" teriak si Ninja dengan spontan.

"Hihihi... ! Begitulah baru anak yang baik..." berkata Roro, yang segera raup binatang-binatang berbisa itu untuk masukkan lagi ke dalam bumbung. Lalu selipkan lagi dalam pakaiannya. "Nah! Segera kau tunjukkan cara membuka tutup lubang itu!" perintah Roro.

Si Ninja wanita ini menepati janjinya. Segera beritahukan alat-alat untuk menggerakkan dinding besi. Tak ayal segera Roro tekan satu tombol yang tersembunyi di sudut ruangan. Benar saja. Segera terdengar suara gemuruh di bawah kaki Roro. Dan dinding besi itu bergerak naik kembali ke asalnya. Dan tampak mulut lubang sudah terlihat menganga. Roro perlihatkan senyumnya, dan tiba-tiba sudah melompat menghampiri si Ninja wanita. Tiga utas tambang segera disambungkan menjadi satu. Dan di lain saat Roro Centil sudah lemparkan ujungnya ke dalam lubang serta mengulurnya dengan cepat.

"Cepatlah kalian naik... satu persatu!" teriak Roro.

Kakek Matsui dan Hamada saling pandang dengan tersenyum melihat tali yang sudah menjulur tiba. "Aih, gadis asing itu memang hebat!" puji kakek Matsui. "Kau naiklah duluan, Hamada...!" ujarnya pada Pemuda itu.

Hamada mengangguk. Dan cepat lengannya meraih tambang. Tak lama dia sudah merayap naik. Roro pergunakan ilmu memberatkan tubuh. Hingga dengan berdiri santai menahan tali di atas lubang. Selang sesaat tubuh Hamada telah tersembul keluar. Kejap berikutnya sudah melompat ke sisi lubang.

"Kakek Matsui...! Kini giliran kau...!" teriak Roro. Terasa tambang menegang dan bergerak-gerak. Ternyata kakek Matsui sudah merayap naik. Sekejap antaranya tubuh si kakek itu pun sudah tersembul ke atas. Lalu melompat ke sisi lubang.

"Ah, terima kasih atas pertolonganmu, nona Roro Centil!" berkata kakek Matsui yang segera dituruti oleh Hamada.

"Kita telah berhasil menangkap seorang anak buah si Huyima itu! Lihatlah...!" berkata Roro seraya menunjuk pada si Ninja wanita yang tergolek dengan wajah pias di sudut ruangan. Sekejap saja kakek Matsui dan Hamada sudah beranjak mendekati.

"Suzi...! Kau... kau...?" terperangah Hamada melihat gadis Ninja itu yang dikenalnya.

Akan tetapi gadis Ninja itu sudah tutup kelopak matanya. Terdengar suaranya bernada dingin. "Bunuhlah aku...! Kalian semua sudah selamat dari tempat ini! Dan aku... aku pun sudah tak dapat hidup lagi...!" berkata si Ninja wanita.

"Suzi...! Aku tak mengerti, mengapa kau menjadi seorang Ninja? Apakah maksud bibi Huyima menjebloskan kami ke lubang perangkap bawah tanah ini?" Akan tetapi yang ditanya sudah membungkam. Terdengar suara Roro Centil ikut bicara.

"Hm, Suzikah namamu, adik manis? Kau bicaralah! Aku akan lindungi kau dari hukuman Ketua mu!"

Ninja wanita bernama Suzi itu tak menjawab. Akan tetapi dari sudut kelopak matanya tampak mengalir air bening yang meleleh turun ke pipinya. Roro jadi tertegun. Sejenak sudah memandang pada kakek Matsui dan Hamada berganti-ganti. Terdengar kakek Matsui menghela napas.

Akhirnya gadis Ninja itu membuka mulut juga. Mereka telah berada di sebuah tempat yang tersembunyi. Tempat yang dikenal baik si kakek Matsui di masa dia masih gemar bertualang. Yaitu di pesisir laut yang bernama Selat Kui Tak berapa jauh lagi sudah terlihat puncak Gunung Bukkyo.

Ternyata Suzi memang tak mengetahui apa maksud Huyima menjebloskan mereka ke dalam lubang bawah tanah. Akan tetapi Suzi pernah mendengar wanita itu bergumam sendiri dengan kata-kata demikian:

"Hamada! Hamada! kau tolak jasa baikku, akan tetapi kau memilih kematian! Hm, apakah kau kira niatmu menjadi murid si Setan Tanah akan berhasil? Hihihi... Pedang itu akan jatuh di tanganku sebelum kau atau Ninja-ninja si Setan Tanah itu berhasil mendapatkannya!"

Bagi Roro penuturan itu sudah cukup untuk menjadi bahan memperkuat dugaan. Yaitu Huyima memang bermaksud menahan Hamada agar maksudnya datang ke Lembah Pedang menemui kegagalan. Berarti pemuda itu tak dapat luput dari kematian. Mati menjalankan tugas, ataukah mati membunuh diri sebagai Ninja yang gagal. Akan tetapi mengenai "jasa baik" itulah yang Roro tak mengerti. Dan hal itu haruslah ditanyakan pada Hamada.

Roro yang penasaran melihat sikap Suzi pada Hamada yang selalu tampak dingin membuat Roro lakukan banyak pertanyaan. Tentu saja berhadapan dengan sesama wanita, Suzi tak dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Ternyata Suzi menaruh hati pada Hamada. Akan tetapi Hamada ternyata telah mencintai kakak perempuannya yang bernama Korisyima. Berdasarkan kenyataan itulah, Suzi jadi patah hati. Dan seperti enggan bertemu atau bertatap muka dengan Hamada.

"Aiiih...! Cinta memang terkadang membawa orang bahagia. Akan tetapi terkadang juga membuat orang susah dan menderita!" berkata Roro dengan suara lirih. Mereka cuma duduk bercakap-cakap berdua memandangi air laut. Sementara percakapan di dalam pondok nelayan sahabat kakek Matsui adalah lain lagi. Tampak Hamada dan kakek itu saling berbisik.

"Apakah kakek mengenal baik bibi Huyima?" tanya Hamada.

"Sejak hampir empat tahun aku berdiam di desa itu, perempuan bernama Huyima itu tak kuketahui jelas asal-usulnya. Akan tetapi dia memang sering membawa kedua anak perempuannya bermain ke rumah ku! Bahkan terkadang menitipkannya untuk beberapa hari. Sedangkan dia sendiri tak ku tahu kemana perginya..." Berkata kakek Matsui.

"Setahun belakangan seorang anak gadisnya tak kelihatan muncul. Dialah yang bernama Suzi itu! Bahkan sejak gadis itu menjadi dewasa sudah jarang ke pondok ku termasuk Korisyima...!"

"Siapakah suami bibi Huyima?" Tanya Hamada, yang memang sejak dia berkenalan dengan gadis bernama Korisyima itu tak pernah menanyakan perihal ayahnya.

Kakek Matsui gelengkan kepalanya. "Aku sendiri tak mengetahui! Karena sejak aku menetap di desa itu Huyima sudah berdiam disana. Akan tetapi yang ku tahu kedua anak perempuan itu bukanlah anak kandungnya !" Tutur kakek Matsui.

Tersentak Hamada. Akan tetapi tidak bertanya lagi. Karena segera dilihatnya Roro Centil dan Suzi sudah beranjak masuk.

"Wah... asyik sekali! Hayo, teruskanlah! Kalau kedua anak perempuan si Huyima itu bukan anak kandungnya, lalu anak siapakah...?" Tanya Roro dengan suara agak keras.

Tentu saja membuat Suzi jadi melengak heran. Tiba-tiba dia sudah melompat ke depan si kakek dan Hamada. "Kakek Matsui...! kau pasti mengetahui tentang keluargaku! Katakanlah! Kalau aku bukan anak Huyima, lalu anak siapakah aku?" Tanya Suzi dengan sepasang mata menatap tajam pada sang kakek itu.

Sementara hatinya sudah menyentak kaget. Seperti petir terdengar di siang hari. "Hah!? aku dan kakak Korisyima bukan anak kandungnya...?" Tampak wajah gadis ini sudah berubah pucat.

Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil sudah melompat keluar untuk segera melihat ke arah depan.

"Hahaha... kakek Matsui...! Kedua gadis itu adalah anak Kaisar Kotsyi Nagoya...!" Sesosok tubuh sekejap sudah tiba di depan pondok.

"Siapakah anda?" Tanya Roro memperhatikan wajah orang. Karena laki-laki yang dilihatnya ia mengenakan topi tudung lebar yang melesak menutup hampir sebagian kepalanya. Saat itu dari dalam pondok sudah berlompatan tiga sosok tubuh untuk segera melihat siapa yang datang.

"Setan Tanah...! Kau kiranya yang datang! Hm, pendengaranmu amat tajam! Benarkah apa yang kau katakan itu...?" Berkata kakek Matsui.

Sementara Suzi seperti kebingungan. Sebentar menatap pada si pendatang bertudung lebar, sebentar dialihkan menatap kakek Matsui. Sementara Hamada sudah membeliakkan matanya dengan kaget. Karena segera mengenali orang inilah yang telah memberinya surat rahasia untuk secepatnya datang ke Lembah Pedang.

"Mengapa tidak? Aku adalah bekas Panglima Kerajaan Merak Hijau Kaisar Dotsyi Nagoya adalah pengganti dari Kaisar Kyumamoto! Entah bagaimana tahu-tahu aku dipecat tanpa kesalahan. Ternyata belakangan baru ku tahu kalau aku difitnah telah main gila pada selir Kaisar yang bernama Mitoni Sakeda. Mitoni Sakeda mempunyai seorang pembantu bernama Huyima. Kepada wanita itulah dia menyerahkan kedua anaknya untuk dipelihara. Dia sendiri lenyap entah kemana...!" Tutur Higei Tanaka dengan gamblang.

Kakek Matsui tercenung seketika. Sementara Suzi tiba-tiba melompat ke hadapannya. "Apakah kata katamu dapat dipercaya...?"

Si Setan Tanah ini perdengarkan suara tertawanya. Dengan tersenyum sinis segera gerakkan lengannya mengeluarkan sebuah benda semacam Medali. Pada Medali itu tertulis namanya sebagai Panglima Kerajaan Merak Hijau. Dan tertera tanda tangan Kaisar lama.

TUJUH

TERNYATA Higei Tanaka adalah orang yang mendapat perlakuan buruk dari Kaisar Kotsyi Nagoya. Pedang Pusaka itu adalah milik Kaisar Lama yang telah lenyap. Merupakan sebuah Pedang Pusaka Kerajaan Merak Hijau. Menurut kepercayaan turun temurun dari keluarga Kaisar. Pedang Pusaka itu mempunyai "tuah" yang hebat dengan kemajuan serta keabadian suatu Kerajaan. Benda itu tak boleh hilang.

Ketika Kaisar lama mengundurkan diri, benda Pusaka itu masih berada di tempatnya. Dan merupakan sebuah barang keramat yang tak pernah ada yang berani mengganggunya. Akan tetapi belakangan baru diketahui setelah beberapa peristiwa terjadi di Istana Kerajaan Merak Hijau.

Kaisar Kotsyi Nagoya yang menggantikan Kaisar lama ternyata banyak mengumbar nafsu di Istana. Dengan banyak pelihara selir. Akibatnya karena terlalu sering bersenang-senang Kaisar ini kurang memperhatikan jalannya pemerintahan. Kebanyakan para Pembesar Kerajaan saja yang mengurus Hingga tak diketahui kemana lenyapnya Pedang Pusaka itu.

Kalau saja Kaisar tahu siapa sebenarnya yang mengambil, tentu waktu itu sudah ditangkap. Sementara sejak 10 tahun belakangan ini ada berita yang berasal dari sebuah perusahaan Peti Mati! Rahasia tetaplah rahasia... Akan tetapi kalau sudah bocor, akan segera menyebar kemana-mana. Peristiwa adalah sebagai berikut...

Pada sepuluh tahun yang silam, seorang pegawai dari sebuah Perusahaan Peti Mati menerima pesanan sebuah peti mati yang minta dibuatkan sekuat mungkin. Yaitu dari sejenis kayu yang paling kuat. Si Pemesan berasal dari sebuah tempat yang berada didalam sebuah lembah. Ternyata si pemesan itu bernama Soku Sheba. Pesanan itupun disampaikan pada majikannya.

Satu Minggu kemudian Peti Mati harus sudah siap. Dan diantarkan ke lembah dimana Soku Sheba berdiam. Pembayaran ternyata telah dilunasi terlebih dulu. Tentu saja Soku Sheba tak menyangka kalau rahasia dia memiliki sebuah Pedang Pusaka akan bocor. Karena salah seorang dari keenam pegawai Perusahaan Peti Mati itu telah melihat dia memasukkan sebuah Pedang Samurai ke dalam Peti Mati, yang diletakkan di atas jenazah.

Keenam orang pegawai Peti Mati itu dimintanya turut membantu menggali lubang di dalam rumah, dan menguburkan jenazah. Jenazah itu adalah seorang gadis yang menurut Soku Sheba adalah anak gadisnya yang mati karena kecelakaan terjatuh dari atas tebing. Dalam perjalanan pulang, keenam orang pegawai Perusahaan Peti Mati itu mengobrol. Tak dinyana telah dikuntit oleh seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan cadar sutera warna hitam. Berkata pegawai yang bertubuh jangkung kekar itu. Dia bernama Sinbei.

"Aku lihat sendiri dengan jelas kalau Pedang itu adalah pedang Mustika ...!" Berkata si pegawai yang melihat Soku Sheba meletakkan Samurainya ke dalam peti mati di atas jenazah puterinya.

"Heh, jangan jangan itu Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang!" Berkata kawannya.

"Entahlah...! Bisa juga demikian...!"

"Hm. kalau hal ini kita laporkan pada Kaisar dan Pedang Mustika itu ternyata benar benar memang Pedang Pusaka milik Kerajaan yang lenyap, kita bakal dapat hadiah besar!" Tukas seorang lagi!"

"Sssst... hentikan bicara kalian. Bagaimana kalau ada yang mendengar pembicaraan kita? Atau diketahui si Soku Sheba sendiri, akan tamatlah" riwayat kita!" Keenam orang ini segera berpaling kesana kemari, khawatir ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. Ternyata keadaan aman. Mereka tak tahu kalau si wanita bercadar hitam telah menyelinap dengan cepat. Akhirnya mereka bicara berbisik-bisik.

"Kita bagi berenam hadiah dari Kaisar nanti..." Bisik salah seorang yang sudah mengkhayal terlalu tinggi.

"Heh, aku tentu harus mendapat bagian yang paling besar, karena aku yang telah melihatnya...!"

"Akan tetapi aku yang mengusulkan untuk melaporkan pada Kaisar...! Justru akulah yang paling banyak mendapat bagian....!" Berkata kawannya yang bertubuh kekar, agak pendek. Dia ini adalah kepala dari para pegawai Perusahaan Peti Mati. Bernama Wakasa.

Si kepala kuli itu plototkan matanya pada Sinbei. Membuat si jangkung kekar ini tersumbat mulutnya. Namun diam-diam hatinya jadi agak mendongkol. Di luar dugaan dia sudah membatin. Hm, kalau tak ada Wakasa, hadiah itu tentu akan dibagi lima. Bagianku tentu akan lebih besar lagi. Cuma dia inilah perintangnya! Kalau yang lainnya sih, akan menurut kuberi berapa saja!

Memikir bakal mendapat hadiah besar, Sinbei sudah merencanakan untuk menyingkirkan Wakasa. Dan rencana itu ternyata sudah siap dikerjakan. Ketika mereka tiba di satu tempat sunyi, Sinbei telah menghunus belatinya dengan diam-diam. Saat itu Sinbei berada di belakang Wakasa. Dan....

Jep! Jrep! Jreppp..!

Sinbei telah hunjamkan belatinya berkali-kali ke punggung Wakasa. Terdengar jeritan Wakasa kesakitan. Sekejap tubuhnya sudah membalik dengan terhuyung. "Hah? kau.... kau..." Kala-katanya tak dapat dilanjutkan lagi, karena dia sudah roboh terguling. Setelah meregang nyawa tak lama Wakasa segera melepaskan nyawanya saat itu juga.

Keempat kawannya jadi berteriak kaget. Akan tetapi Sinbei tertawa menyeringai. "Hahaha. Biarlah dia mati! Aku benci pada kesombongannya selama ini. Bukankah hadiah akan lebih besar kalian terima tanpa si Wakasa ini?" berkata Sinbei.

Tiba-tiba si wanita bercadar sudah melompat ke luar. dari tempat persembunyiannya. Ternyata langsung mendekati Sinbei yang jadi ternganga. "hihihi... kalau dibagi lima bagianmu akan sedikit sekali, sobat! Bagaimana kalau dibagi dua saja....?!" Seraya berkata si wanita itu sudah membuka cadar penutup wajahnya. Ternyata seorang wanita berwajah cantik yang tersenyum pada Sinbei dengan kedipkan matanya genit.

Tentu saja melihat tahu-tahu ada seorang wanita yang bersikap demikian padanya membuat Sinbei jadi berdegupan jantungnya. "Apakah maksud ucapanmu, no... nona...?" Tanya Sinbei tergagap.

Wanita genit itu bisikkan ditelinganya dengan suara berdesis. Degupan jantung Sintei terasa semakin cepat. Bau wewangian segera menyambar hidungnya. Akan tetapi bisikkan itu membuatnya jadi belalakkan matanya. Tak terasa kepalanya sudah mengangguk. Sementara keempat kawannya sudah menyurut mundur.

Dari gerakan si Wanita itu saja mereka sudah tahu kalau wanita itu berkepandaian tinggi. Dan katakata bisikan itu cukup keras untuk didengar mereka. Tahu-tahu si wanita itu sudah kenakan lagi cadar hitamnya, dan melompat ke hadapan keempat laki-laki pegawai Perusahaan Peti Mati itu.

"Heh! Kalian sudah mengetahui hal yang harus dirahasiakan ini, maka kalian berdoalah cepat-cepat. Karena aku akan mengirim nyawa kalian ke Akhirat...!"

Terdengar suara si wanita bercadar dengan suara dingin. Membuat tengkuk ke empat laki-laki ini keluarkan keringat dingin. Ternyata belati Sinbei telah tergenggam di tangan si wanita bercadar itu. Belum lagi mereka sempat berdo'a, tubuh si wanita itu telah berkelebatan. Dan sekejap kemudian sudah terdengar suara jeritan-jeritan menyayat hati diiringi robohnya keempat laki-laki itu. Darah menyemburat, memercik membasahi rerumputan.

Keempat laki-laki itu meregang nyawa dengan mata membeliak. Masing-masing lehernya telah tersayat hampir putus. Di lain kejap keempat tubuh itu sudah terbang nyawanya. Terperangah Sinbei dengan sepasang mata terbelalak tak berkedip. Terasa ngeri juga di melihat kejadian yang cuma sekejap itu. Siapakah wanita yang berilmu tinggi dan telengas ini? Bisik hatinya. Walaupun Sinbei bergirang hati, karena dengan lenyapnya keempat kawannya dia akan menerima hadiah lebih besar.

Namun tak urung hatinya kebat-kebit juga, karena batinnya sudah membisik. Ah, celakalah aku kalau akupun dibunuhnya...! Sekejap saja lenyaplah keinginan mendapatkan hadiah yang diimpikan, karena nyawanya adalah lebih penting dari hadiah sebesar apapun. Apalagi semua itu belum berupa kenyataan.

"Hihihi... jangan khawatir! Nasibmu masih lebih baik dari mereka! Kau tak perlu risaukan dirimu! Bahkan kau akan menerima hadiah lebih besar lagi dari apa yang kau harapkan!" Berkata si wanita bercadar yang sudah beranjak menghampiri. Jep...! Tahu-tahu belati berdarah itu telah menancap di batang pohon. Tepat di sisi telinganya.

"Hm, siapakah namamu?" Tanya si wanita itu dengan menatap tajam pada laki-laki di hadapannya. Tampak tubuh Sinbei gemetaran menatap belati berdarah yang melesak dalam pada batang pohon tempat dia sandarkan tubuhnya.

"Aku... aku... Sinbei..." Sahut Sinbei dengan menunduk. Dahinya mengembun penuh keringat.

"Hm, Sinbei! bantulah aku menguruk kelima mayat kawanmu itu!"

Sinbei cepat-cepat menganggguk, dan beranjak dari tempatnya. Senja itu udara agak lembab. Angin bertiup dari arah lembah menimbulkan hawa dingin. Sekitar lembah itu dicekam kesunyian. Akan tetapi dibalik semak lebat, justru sesosok tubuh membukai pakaiannya. Tergetar tubuh Sinbei menatap apa yang terpampang di hadapannya.

Kalau belum lama berselang bau wewangian yang ditimbulkan dari sosok tubuh wanita itu telah merangsangnya. Kini justru sosok tubuh wanita itu sendiri telah membuat bangkitnya kejantanannya. Kebat-kebit hatinya mendadak sudah lenyap, sirna. Ketika lengan-lengan halus wanita itu mulai membukai kancing bajunya.

Sinbei tak berlaku ayal, karena imannya segera sudah luluh. Beberapa kejap kemudian Sinbei sudah singkirkan pakaiannya dengan gerakan cepat. Selanjutnya... Dua sosok tubuh itu sudah bergelinjangan di atas rerumputan dengan suara dengus nafas saling bersahutan. Rintihan nikmat pun terdengar lirih terbawa hembusan angin yang bertiup dari arah lembah.

Sinbei perdengarkan keluhannya, dan gulingkan tubuhnya direrumputan. Wajahnya menampakkan keletihan .Sementara si wanita itu tampakkan senyuman pada bibirnya. Senyum kepuasan.

"Kau sudah punya istri....?" Tiba-tiba si wanita itu bertanya.

"Ah, aku belum punya cukup bekal cukup untuk memelihara seorang istri...!" Jawab Sinbei dengan tersenyum.

"Siapakah namamu, nona...? Kau mempunyai ilmu tinggi yang mengagumkan. Kalau aku diangkat jadi muridmu, aku tak penasaran!" Berkata Sinbei seraya garuk-garuk kepala.

Tiba-tiba si wanita perdengarkan suara tertawanya. "Kau bersedia menjadi muridku...?" Tanyanya dengan alis dinaikkan. Sinbei anggukan kepalanya. Sementara sepasang matanya masih merayap pada kedua buah benda menggumpal yang belum lagi tertutup.

"Hm, kalau benar-benar kau ingin jadi muridku, kau harus penuhi dulu syaratnya...!" Berkata si wanita.

"Apakah itu...!" Tanya Sinbei.

"Syaratnya adalah nyawamu...!" Menyahut si wanita dengan suara tiba-tiba berubah dingin. Sepasang matanya mendadak bersitkan sinar yang mengandung hawa maut. Terperanjat Sinbei. Sepasang matanya sekejap sudah membeliak.

"Hah!? nya... nyawaku? Ah, nona! Kau bergurau...." Ucap Sinbei dengan hati agak tergetar, seraya perlihatkan senyuman yang agak kaku. Sementara hatinya kembali kebat-kebit. Berguraukah atau betulan kata-kata si wanita itu? Sentak hati Sinbei.

Akan tetapi Sinbei tak sempat berfikir lagi. Karena tiba-tiba dia sudah menjerit parau, dan berkelojotan meregang nyawa. Darah segar memuncrat ke wajahnya. Ternyata lengan si wanita itu telah bergerak menghantam kepalanya. Sesaat Sinbei sudah terkapar tak bernyawa dengan kepala rengat.

"Hihihi... aku sudah tak membutuhkan mu lagi, Sinbei!"

* * * * * * *

DELAPAN

SAPAKAH sebenarnya wanita itu? Dialah Mitoni Sakeda, selir sang Kaisar Kotsyi Nagoya. Ketika tiupan angin dari arah lembah agak reda, sosok tubuh wanita itu sudah berkelebat dari balik rumpun lebat itu. Ternyata sejak lenyapnya sang selir ini, setelah memberikan dua orang bayi perempuan pada pengasuh bayinya bernama Huyima, Mitoni Sakeda bukan lagi selir sang Kaisar yang bodoh, yang bisanya cuma menangis!

Akan tetapi Mitoni Sakeda telah menjadi seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Kemunculannya adalah setelah lenyapnya dia selama beberapa tahun, sejak diusir dari Istana, karena seorang Pembesar Kerajaan telah menuduhnya main gila dengan seorang Panglima Kerajaan bernama Higei Tanaka.

Mitoni Sakeda ternyata menuju ke Lembah tak bernama itu untuk menjumpai Soku Shheba. Penuturan dari Sinbei telah cukup untuk dia mengetahui letak dan tempat rumah Soku Sheba. Bahkan diketahui pula dimana peti mati berisi mayat dan Pedang Pusaka itu dikuburkan.

Tampak seorang laki-laki brewok bertubuh kekar, mondar-mandir di depan rumah terpencil yang tampak sunyi itu. Dengan gerakan lincah, Mitoni Sakeda sudah melompat untuk sembunyi ke balik batu. Tajam sekali pendengaran laki-laki itu. Seketika dia sudah membentak.

"Siapa di situ...!" Terpaksa si wanita itu tak dapat lagi untuk lebih lama sembunyikan diri. Segera dia keluar perlihatkan diri.

"Aku... aku tersesat kemari, paman...! Hari hampir menjelang malam. Sudilah kau menerimaku untuk menumpang menginap?" Berkata Mitoni Sakeda dengan memperlihatkan wajah muram.

Tentu saja Soko Sheba jadi melengak heran. Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh wanita di hadapannya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Hm, kau siapakah...?" Tanya Soku Sheba.

"Namaku Yuriko...!" Sahut Mitoni Sakeda sekenanya.

Akan tetapi membuat si laki-laki brewok itu jadi tersentak kaget. Karena justru nama itu adalah nama anak gadisnya yang baru saja jenazahnya dikuburkan. "Kau bicaralah yang benar, apakah benar kau bernama demikian?" Tanya lagi Soku Sheba. Kesedihannya mendadak sudah memuncak lagi. Nama itu membangkitkan kepedihannya yang belum lagi sirna itu terkoyak lagi.

"Aku.... aku memang bernama Yuriko!" Tegas Mitoni Sakeda yang sudah terlanjur mengucapkan. Sementara diam-diam dia sudah perhatikan perubahan wajah laki-laki brewok itu. Aih, apakah anak gadisnya yang mati itu bernama Yuriko? Pikir Mitoni Sakeda, yang sudah segera menduga demikian.

Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar bentakkan keras. Dan lengan si laki-laki brewok sekejap sudah menjambak rambut Mitoni Sakeda. "Bedebah busuk! Kau penipu...! Yuriko sudah mati...! Yuriko mati karena pedang sialan itu...! Kau...kau hambuslah dari sini!" Sekali lengan Soku Sheba bergerak, terlemparlah tubuh Mitono Sakeda yang menjerit kesakitan. Separuh rambutnya telah jebol dari kulit kepalanya.

Buk...! Tubuhnya sudah terbanting ke tanah, dan jatuh bergulingan. Menyeringai wanita ini menyeringai sakit yang bukan alang kepalang. Sekejap saja sekujur wajahnya telah berlumuran darah, yang mengalir dari kulit kepalanya.

"Keparrrattt...!" Memaki Mitoni Sakeda. Tiba-tiba tubuhnya telah bangkit kembali dan melompat menerjang. Di lengannya telah tergenggam sebuah kebutan dari buntut kuda, bergagang emas yang berkilauan.

Wukk...! Wukk...! Wukk...! Brettt...!

Tiga serangan beruntun segera dilancarkan menghantam ke arah tiga bagian tubuh Soku Sheba. Hebat laki-laki brewok itu, yang segera dapat menghindari serangan ganas Mitoni Sakeda, Akan tetap satu sabetan telah membuat jubahnya sobek berikut terlukanya kulit pundaknya.

Terkejut Soku Sheba, yang sudah perdengarkan teriakan tertahan dan jatuhkan tubuhnya bergulingan. Ketika dia memandang pada pundaknya, segera tampak selarik goresan yang membuat kulit pundaknya pecah-pecah mengalirkan darah. Tiba-tiba dia telah melompat bangkit dengan membentak gusar.

"Kau... kau berani melukaiku Yuriko?" Tanpa sadar dia telah menyebut lagi nama anak gadisnya. Dan wajahnya seketika berubah pucat. "Tidak...! tidaaak...! Yuriko sudah mati...! kau... kau... kubunuh kau perempuan setan...!" Kembali dia membentak hebat.

Buk...! Satu hantaman telak tak dapat dielakkan Mitoni Sakeda. Tubuhnya terjungkal. Beruntung pukulan itu tak seberapa keras. Akan tetapi dari bibir wanita itu sudah mengalirkan darah. Soku Sheba sudah memburunya lagi lengannya terulur untuk mencengkram. Terperangah wanita ini. Hatinya sudah membatin. Matilah aku...! Akan tetapi sebisanya dia cepat gulingkan tubuhnya menghindar.

Brettt...!

Cengkreman Soku Sheba telah merobek pakaiannya sebatas dada. Membuat tersembulnya sepasang buah dada sang wanita itu. Membeliak seketika mata Soku Sheba. Akan tetapi dia sudah menyurut mundur dua tindak. Bibirnya tampak tergetar dan wajahnya kembali berubah pucat pias.

"Ohh.... tidak...! tidaak...! Yuriko...! Yuriko... anakku! maafkanlah ayahmu. Maafkanlah...! Aku.... aku telah berdosa anakku...."

Sesaat sudah terlihat sepasang mata Soku Sheba berkaca-kaca. Dan sudah cucurkan air mata yang membasahi kedua pipinya. Akhirnya laki-laki brewok itu telah jatuhkan diri berlutut dengan tundukkan wajahnya. Sungguh kasihan laki-laki ini, ternyata otaknya sudah tidak waras lagi. Tertegun seketika Mitoni Sakeda. Dia sudah berniat membunuh mati laki-laki itu. Akan tetapi segera diurungkan.

Timbul di hati Mitoni Sakeda untuk mempermainkan Soku Sheba yang telah membuatnya cedera kulit kepalanya, karena separuh rambutnya jebol dicengkeram laki-laki brewok itu. Entah dosa apakah gerangan yang dilakukan Soku Sheba pada anak perempuannya itu, hingga membuat laki-laki ini seperti orang tidak waras. Pikirnya. Akan tetapi dia sudah perdengarkan tertawanya mengikik, walaupun sebenarnya Mitoni Sakeda merasakan sakit bukan main pada kulit kepalanya yang terluka.

"Hihihi... hihihi... baik! baik! aku akan ampuni kesalahanmu, ayah! Akan tetapi sebagai penebus dosamu kau harus membuntungi kedua belah kakimu!" Berkata Mitoni Sakeda dengan suara dingin.

"Membuntungi kedua kakiku...? Bertanya dia.

"Ya!... Dengan cara itu mungkin akan dapat meringankan dosamu...!" Ujar Mitoni Sakeda.

Soku Sheba tiba-tiba tertawa gelak-gelak. "Hahahaha... haha... kalau cuma membutungi sepasang kakiku, aku tak keberatan!" Seraya berkata Soku Sheba telah selonjorkan kedua kakinya. Kedua lengannya terangkat ke atas, dan tampak bergetar, karena Soku Sheba tengah salurkan tenaga dalamnya ke kedua lengan. Sepasang lengannya pun bergerak meluncur ke arah kedua kakinya.

"Tunggu.....!" Satu teriakan telah menggema menyibak keheningan. Akan tetapi sudah terlambat.

Prakkk...! Soku Sheba telah perdengarkan teriakannya yang berbareng dengan suara berderaknya tulang kaki yang hancur. Saat itu sesosok tubuh telah bergerak melompat ke tempat itu, diiringi dengan teriakan tertahan.

"Kakaaak...!" Dan... Wukk! Lengannya sudah bergerak menghantam Mitoni Sakeda. Beruntung wanita itu sudah melompat menghindar.

"Kakak...! Kakak Soku Sheba! Sadarlah apa yang telah kau lakukan?" Teriak si pendatang itu yang ternyata seorang wanita yang usianya hampir tak berbeda jauh dengan Mitoni Sakeda. Lengan wanita itu mengguncang-guncangkan tubuh Soku Sheba, yang segera tersadar setelah membuka matanya. Dan segera mengenali siapa yang datang.

"Ah, adik Miyazaki...! kau... kau menyusul ke tempat ku?"

"Ya...! Apakah yang telah terjadi? Dan siapakah wanita itu...? Mengapa kau lakukan hal ini ?" wanita bernama Miyazaki itu adalah adik seperguruan Soku Sheba. Tentu saja dia terkejut mengetahui sang kakak seperguruan telah menghancurkan kedua kakinya.

"Hah!? Ya...! mengapa aku menghancurkan sepasang kakiku sendiri?" Agaknya Soku Sheba baru tersadar dari pengaruh kejiwaannya yang goncang.

"Yuriko...! Yah, Yuriko itulah yang telah menyuruhku...!" Berkata Soku Sheba dengan suara menggeram.

"Yuriko? Mana Yuriko...? Dia bukan anakmu! Siapakah dia...?"

Mitoni Sakeda perdengarkan suara mendesis. "Heh! Aku bukan Yuriko...! Namaku Mitoni Sakeda...! Kakakmu itu telah menjadi kurang waras! Aku memang bersalah telah mendustainya dengan memakai nama Yuriko!"

"Lalu apa maumu ke tempat ini? Aku adalah saudara seperguruannya! Aku bertanggung jawab atas keselamatan dirinya...! Hm, menurut pendengaran ku kalau tidak salah, kaulah orangnya bekas selir Kaisar Kotsyi Nagoya yang telah diusir karena melakukan hubungan gelap dengan seorang Panglima Kerajaan. Kedatanganmu pasti mau mengganggu kakak seperguruanku...!" Berkata Miyazaki dengan suara ketus.

"Hm aku tak kesudian melakukan itu! Dia telah menyerangku tanpa sebab hingga kau lihat sendiri keadaanku! Masih bagus aku tak suruh kakakmu membunuh diri...!" Tukas Mitoni Sakeda dengan tak kalah sengit.

"Sudah...! Biarkanlah dia pergi...! Hm! Ketahuilah, sobat! kakakmu itu telah membunuh anak gadisnya sendiri...! Biarlah dia rasakan akibat perbuatannya!" Teriak Mitoni Sakeda, seraya beranjak melangkah. Hatinya jadi geram, karena niatnya untuk mencuri Pedang telah gagal.

"Tutup mulutmu, perempuan sial...! Hambuslah kau dari sini!" membentak Soku Sheba dengan suara menggeledak. Tubuhnya sudah mau digerakkan melompat. Akan tetapi dia segera mengeluh panjang, karena segera sadar kalau sepasang kakinya telah hancur putus sebatas lutut.

Mitoni Sakeda sudah putar tubuh dan berkelebat pergi... Tentu saja dengan membawa 101 macam kemendongkolan dihatinya. Penuturan Soku Sheba ternyata membuat Miyazaki jadi terperangah. Seperti diketahui Soku Sheba telah kematian istrinya sejak Yuriko berusia lima belas tahun. Tentu saja dapat dirasakan betapa pedihnya hati Soku Sheba. Hingga beberapa bulan sejak kematian sang istri, Soku Sheba mendiami sebuah lembah yang tenang bersama Yuriko anak gadisnya.

Di samping itu Soku Sheba masih merasa penasaran, karena kematian istrinya adalah secara aneh. Yaitu tengah malam mendadak sang istri muntahkan darah hitam yang kental dari mulutnya. Setelah berpesan untuk menjaga Yuriko baik-baik, sang istri pun tewas dengan bibir tampakkan senyuman.

Ternyata di luar sepengetahuan Soku Sheba, yaitu di saat dia tak berada di tempat telah kedatangan seorang wanita yang bernama Fuki Zima. Fuki Zima mengatakan bahwa dia saudara sepupu Soku Sheba. Begitu masuk ruangan sepasang matanya menatap pada sebuah pedang samurai yang tergantung ditembok.

"Ah, pedang yang bagus! Aku tahu pedang itu milik kakak Soku Sheba!"

"Benar...! Itu pedang warisan gurunya...! Berkata istri Soku Sheba. Akhirnya dengan kata-kata manis Fuki Zima sampaikan maksudnya untuk meminjam pedang milik Soku Sheba itu. Sebenarnya istri Soku Sheba tak berani memberikan, akan tetapi wanita itu telah meninggalkan sebuah pedang samurai yang bergagang indah sekali bertatahkan mutiara pada ujungnya. Dan pada mata pedangnya berukiran dua ekor burung Hong.

"Aku tinggalkan pedangku ini sebagai jaminan...! Kakak Soku Sheba pasti akan mengenali pedang ini...!" Istri Soku Sheba tak berani menolak lagi.

Dia sudah percaya penuh pada wanita yang mengaku saudara sepupu suaminya. Apa lagi pedang yang di tinggalkan tampak lebih indah. Merupakan sebuah pedang yang berharga mahal. Demikianlah! wanita bernama Fuki Zima itu segera mohon diri. Yuriko pada waktu itu menanyakan pada ibunya tentang wanita itu. Fuki Zima segera tuturkan siapa dirinya, bahkan wanita itu memeluk Yuriko dengan tersenyum dan berkata lembut.

"Aiih...! namamu Yuriko, bukan...? ah, kau cantik sekali seperti ibumu. Panggillah aku bibi...! Kelak ayahmu akan dapat bercerita tentang bibimu ini...!"

"Selamat jalan, bibi...!" Ujar Yuriko, ketika wanita itu lambaikan tangan padanya dan berkata pada istri Soku Sheba.

"Aku pasti akan datang lagi secepatnya untuk mengembalikan pedang!" Setelah berucap demikian Fuki Zima beranjak pergi dengan langkah cepat. Kedua ibu dan anak itu memperhatikan wanita itu sampai lenyap di tikungan jalan. Sekembalinya Soku Sheba segera sang istri beritahukan kedatangan wanita tadi. Dan serahkan pedang titipannya pada suaminya.

Tercenung Soku Sheba memandang pedang yang indah itu. Wajahnya tampak mengalami perobahan dengan tiba-tiba. Akan tetapi cepat-cepat Soku Sheba menutupinya dengan tersenyum.

"Ah, benarlah dia itu saudara sepupu ku, ma...! Apakah tak datang bersama suaminya?" Ujar Soku Sheba. Padahal di hati laki-laki ini timbul semacam perang batin yang hebat. Ternyata Fuki Zima adalah bekas kekasihnya. Pedang itu adalah pedang lambang cinta kasih mereka, yang diukirkan dengan sepasang burung Hong pada mata pedang.

Soku Sheba pernah berjanji tak akan kawin dengan wanita manapun kecuali dengan Fuki Zima. Tapi kenyataannya Soku Sheba menikah dengan Shintomi. Karena Fuki Zima tak pernah muncul setelah sejak lama dinantinya.

Bahkan Soku Sheba tak mengetahui lagi dimana Fuki Zima berada. Mengapa setelah 15 tahun terlewat Fuki Zima baru muncul...? Sentak Soku Sheba. Dan dia datang cuma meminjam Pedang Pusaka warisan gurunya itu yang tak pernah dipakai.

Semalam-malaman Soku Sheba tak bisa tidur. Tentu saja kegelisahan itu diketahui istrinya. Akan tetapi Shintomi pura-pura tak mengetahui. Tengah malam di saat istrinya tidur lelap, Soku Sheba keluar dengan pelahan menuju ruang tengah. Ternyata menghampiri dinding dimana pedang berukiran burung Hong itu tergantung menggantikan pedang Pusaka miliknya.

Tergetar jantung laki-laki ini ketika melihat pada sepasang burung Hong itu. Seakan terbayang lagi kisah cinta dimana mereka masih memadu kasih pada lima belas tahun yang silam. Tiba-tiba lengannya sudah bergerak memasukkan kembali pedang itu dalam serangkanya.

Soku Sheba ingat sekali, pada gagang pedang telah dibuat sebuah ruang yang dipergunakan untuk menyimpan surat. Jari-jari lengannya telah bergerak memutarkan gagang pedang itu. Benar saja. Dalam rongga gagang pedang itu terdapat segulung kertas kecil. Dengan penerangan lilin di atas meja disudut ruangan, Soku Sheba membaca tulisan pada kertas kecil itu.

"Aku akan mengembalikan pedangmu, tapi aku tak mau datang ke rumahmu! Datanglah ke Lembah Sakura pada malam purnama depan. Aku menantimu...!

Istrimu cantik sekali, Soku Sheba...! Fuki Zima. Berdebar hati Soku Sheba. Akan tetapi cepat-cepat masukkan kertas itu untuk ditelannya segera. Dia amat mengkhawatirkan istrinya mengetahui. Segera Soku Sheba kemasi lagi pedang itu pada tempatnya. Lalu beranjak masuk ke kamarnya. Tersenyum laki-laki ini melihat istrinya masih tidur lelap dengan posisi semula.

Dengan pelahan Soku Sheba kembali rebahkan tubuhnya di samping sang istri yang amat dikasihi itu. Aku tak dapat mengkhianati istriku, akan tetapi aku memang harus menjumpainya untuk menjelaskan duduk perkaranya! Fikir Soku Sheba. Malam purnama yang dijanjikan itupun tiba. Aneh! Justru malam itu Shintomi minta izin menginap dirumah ibunya bersama Yuriko.

Akan tetapi Soku Sheba tak berfikir jauh, segera mengizinkannya. Menjelang kepergian mereka Soku Sheba pun berangkat menuju ke lembah Sakura dengan membawa pedang berukiran sepasang burung Hong itu, dan pertemuan kedua insan yang pernah memadu kasih dan cinta itupun terjadi....

"Kau belum bersuami Fuki Zima...?" Tanya Soku Sheba yang sudah membuka percakapan.

Fuki Zima duduk di atas batu tak bergeming. Dilengannya tercekal pedang Soku Sheba. "Kukira pertanyaan itu tak patut kau lontarkan padaku, Soku Sheba! Bukankah pedang cinta kasih dari kisah asmara kita selalu berada di dekat ku? Pedang itu seolah dirimu sendiri...! Patutkah aku mengkhianatinya? Sepasang burung Hong itu laksana aku dengan kau! Namun kenyataan pahit sudah ku alami. Aku menikah dengan wanita lain!" berkata Fuki Zima dengan suara ketus.

"Maafkanlah aku Fuki...! keadaan sudah terlanjur begini! aku tak dapat mengkhianati istriku!" Berkata Soku Sheba dengan suara lemah tergetar. Sebenarnya Soku Sheba segera akan mengemukakan beberapa alasan hingga dia tak menepati janji kasih yang telah mereka ikrarkan berdua.

Akan tetapi Fuki Zima sudah keluarkan kata-kata sinis. "Heh! Aku bukan datang untuk mengemis cinta mu, Soku Sheba! Aku mau mengembalikan pedang milikmu ini! Aku sudah mengetahui kau menikah sejak 10 tahun yang lalu. Nah, dapat kau bayangkan betapa sakit dan pedihnya hatiku! Tapi aku rela...! Aku rela kau pergi dari sisiku! Semoga kau bahagia dengan kehidupan yang telah kau tempuh itu, Soku Sheba...! Nah kau terimalah pedangmu!" Seraya berkata, Fuki Zima sodorkan pedang samurai yang dipinjamnya pada si laki-laki bekas kekasihnya itu.

SEMBILAN

SOKU SHEBA agak berat menerima pedangnya kembali. Namun dia sudah ulurkan lengannya menyambuti. "Nah, kembalikan pedang titipan ku itu!" Berkata, Fuki Zima dengan nada tak berubah. Sejenak Soku Sheba memperhatikan pedang yang pernah membawa kisah cinta antara mereka berdua itu. Namun segera telah sodorkan pada wanita itu dengan berkata.

"Sekali lagi aku mohon maafmu, Fuki Zima!" Akan tetapi Fuki Zima tertawa sinis seraya menyambuti pedang berukiran sepasang burung Hong itu.

"Hihihi... sudahlah! Di antara kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi! Pedang ini sudah tak mempunyai arti lagi, Soku Sheba!" Seraya berkata tiba-tiba lengan Fuki Zima sudah bergerak membantingkan pedang itu ke atas batu.

Trakkk...! Sekejap pedang yang pernah membawa kisah asmara mereka sudah patah menjadi beberapa bagian. Terkejut Suku Sheba. Akan tetapi wanita itu telah berkata.

"Hmm, pada Pedang Pusaka milikmu yang ku pinjam itu ku ukirkan namaku dan kupindahkan pula lambang sepasang burung Hong sebagai pengganti pedang lama! Nah, kalau kau ingat diriku, kau boleh pandangi gambar sepasang burung Hong itu! Dan akan segera kau ingat aku...! Walaupun aku sudah tak mengharapkan kau lagi! Pedang itu kini kunamakan Pedang Asmara Gila!"

Setelah berkata demikian Fuki Zima berkelebat pergi dengan perdengarkan suara tertawa pedih. Tertawa yang seperti menangis. Sekejap saja tubuhnya telah lenyap di antara rimbunnya pepohonan.

Terperangah Soku Sheba. Terasa hatinya seperti terbawa pergi. Akan tetapi dia sudah menghela napas. Dapat dirasakan betapa wanita itu menanggung siksa karena gagal dalam mengharap kebahagiaan hidup bersama dengan laki-laki yang pernah didambakannya. Terasa lemah lunglai tubuh laki-laki itu. Hatinya membatin.

"Betapa berdosanya aku...! Betapa sucinya cintanya...! Namun segalanya sudah terlanjur." Laki-laki ini perdengarkan helaan nafasnya. Sementara lengannya sudah bergerak perlahan menarik pedang yang dinamai Pedang Asmara Gila oleh Fuki Zima. Benar saja! Pada bilah pedang terdapat ukiran sepasang burung Hong. Akan tetapi burung itu tidak seperti lambang yang dulu. Karena ukiran burung Hong itu masing-masing terpisah dengan kepala sama membelakangi.

Itulah pertanda kisah asmara mereka telah bertolak belakang. Ketika membalik bilah pedangnya, di situ sudah terukir nama Fuki Zima. Termangu-mangu Soku Sheba. Benar saja seperti ucapan bekas kekasihnya itu. Karena segera kisah cinta mereka di masa dahulu telah terbayang kembali di matanya.

Bahkan yang lebih luar biasa adalah. sinar pedang itu telah memancarkan hawa pengaruh cinta berahi yang menggebu-gebu. Terperangah Soku Sheba. Akan tetapi Soku Sheba tak menyadari bahwa pedang itu kini telah terisi semacam ilmu gaib yang mempengaruhi jiwanya. Dengan terengah-engah cepat-cepat Soku Shema masukkan lagi bila pedang itu pada serangkanya.

"Fuki Zima...! Menyesal aku tak mengawini mu.... Fuki Zima.... tahukah kau bahwa cintaku amat besar padamu?" Terdengar bibirnya berdesahan meluncurkan kata-kata.

Dengan membawa berahi yang masih tak kunjung reda, Soku Sheba berkelebat pergi tinggalkan lembah Sakura. Setiba di rumah, barulah dia sadar kalau istri dan anak gadisnya tak ada di rumah. Akan tetapi anehnya sang istri tak lama sudah muncul kembali. Ternyata pada sepertiga malam dia telah batalkan menginap di rumah ibunya.

"Mana Yuriko...?" Tanya Soku Sheba, karena tak melihat anak gadisnya turut serta. "Anak itu teruskan menginap! Biarlah Neneknya amat rindu padanya." Sahut Shitomi pendek.

"Kau... kau mengapa tak jadi menginap?" Tanya Soku Sheba dengan pandangan mata nanar menatap istrinya.

"Ah, tak apa-apa...! Aku takut kau kesepian sendirian di rumah!" Sahut sang istri. Soku Sheba tersenyum. "Ya, biarlah...! Sekali-sekali kita toh perlu mengenang masa pengantin baru..." Ujar Soku Sheba. Shintomi tersenyum seraya masuk ke peraduan.

* * * * * * *

Malam itu Soku Sheba bagaikan seekor kuda jalang yang menjalankan tugasnya dengan napas menggebu-gebu. Akan tetapi dimatanya bukanlah wajah istrinya, melainkan wajah Fuki Zima. Akan tetapi menjelang pagi, ketika Soku Sheba masih tertidur pulas, sang istri terbatuk-batuk hebat dan muntahkan darah kental berwarna hitam. Tentu saja membuat dia terkejut. Dengan panik Soku Sheba berlari ke arah rumah tetangga yang agak berjauhan untuk memberi bantuan menolong istrinya.

Sayang, bermacam pengobatan dilakukan, namun nyawa Shintomi tak dapat tertolong lagi. Akan tetapi sebelum hembuskan napas yang terakhir, sang istri tersenyum menatapnya. Senyum itu begitu pedih terlihat oleh Soku Sheba. Akan tetapi sang istri tak mengucapkan kata-kata lain, selain berpesan agar menjaga Yuriko baikbaik. Sesaat kemudian istri Soku Sheba yang setia itupun lepaskan nyawanya.

Dan sejak Soku Sheba menetap di lembah tak bernama itu, telah terjadi satu peristiwa yang amat terkutuk. Soku Sheba dalam kesepiannya telah kembali loloskan pedang Asmara Gila. Kembali terpandang ukiran sepasang burung Hong. Juga sebuah nama yang terukir di balik bilah pedang itu. Sepasang matanya pun kembali nanar.

Dan Yuriko si anak gadis yang amat disayanginya telah menjadi korban pelampiasan nafsu terkutuknya. Hingga Yuriko dalam keadaan baju terkoyak-koyak dan tubuh lemah lunglai melarikan diri di saat Soku Sheba tertidur menggeros. Yang didesiskan dari mulutnya tak lain dari nama Fuki Zima.

Dan kejadian tragis tak dapat terelakkan lagi. Yuriko membunuh diri dengan melompat dari atas tebing. Terperangah Miyazaki mendengar penuturan Soku Sheba. "Jadi kau... kau telah lakukan perbuatan terkutuk dengan anak gadismu sendiri...?" Berkata Miyazaki seperti menggumam.

Soku Sheba terangguk-angguk dengan cucurkan air mata yang deras mengalir membasahi sepasang pipinya. Sang adik seperguruan cuma bisa menarik napas dengan trenyuh. Jelas bekas kekasih Soku Sheba itu telah sengaja membalas dendam. Pikirnya. Pedang itu telah mengandung satu kekuatan gaib yang menimbulkan berahi. Tumbuh di hati Miyazaki untuk memusnahkan pedang itu. Akan tetapi dia khawatir kekuatan berahi akan menyerangnya.

Akhirnya Miyazaki menetap di Lembah tak bernama itu merawat Soku Sheba. Bahkan beberapa tahun kemudian tempat itu telah dipasangi bermacam jebakan. Karena khawatir ada orang yang mencuri Pedang Asmara Gila. Miyazaki ternyata seorang wanita yang berkepandaian tinggi dan berotak cerdas. Siang malam bekerja tak mengenal lelah untuk membuat bermacam jebakan. Rumah tua itu telah "disulap" Miyazaki menjadi tempat yang angker. Miyazaki tinggalkan Lembah tak bernama itu, setelah merampungkan pembuatan jebakan-jebakan rahasia itu.

Tinggallah Soku Sheba sendiri di rumah tua itu. Dan lembah tak bernama itu pada sepuluh tahun kemudian mempunyai nama yang memang sangat sesuai dengan kenyataan. Yaitu Lembah Air Mata. Karena sering terlihat seorang kakek berjubah putih, duduk di atas batu di depan rumah tua itu sambil meniup serulingnya. Tiupan seruling itu bernada sedih, memilukan hati. Dan akan terlihat wajah kakek tua berkaki buntung itu mencucurkan air mata.

* * * * * * *

SEPULUH

BEBERAPA HARI KEMUDIAN.... Di Lembah Air Mata telah bermunculan puluhan Ninja mengepung rumah tua itu dari perbagai Penjuru. Ninja-Ninja itu berpakaian serba Hijau. Gerakannya cepat sekali. Mereka menggali tanah di malam yang agak gelap itu. Rembulan di langit cuma tinggal sepotong yang memancarkan sinarnya. Awan hitam telah menyelubungi hampir separuhnya.

Kira-kira tiga kali penanak nasi, beberapa Ninja telah berhasil memasuki ruangan dalam. Beberapa kepala bersembulan di beberapa tempat. Mereka memakai topi tudung baja yang berujung lancip. Lengan-lengan mereka memakai cakar besi yang dipergunakan untuk mengeruk tanah. Luar biasa! Mereka dapat selamat dari jebakan senjatasenjata rahasia yang terpasang di sekitar tempat itu.

Mereka saling memberi isyarat. Segera sudah melihat di mana adanya segunduk tanah yang mempunyai batu nisan bertulisan nama YURIKO. Beberapa orang menyelinap dengan hati-hati untuk menjaga khawatir munculnya si kakek kaki buntung bernama Soku Sheba itu. Tak lama mereka sudah mulai menggali tanah kuburan. Cepat sekali beberapa Ninja itu bekerja.

Tak lama peti mati sudah berhasil terkorek. Kini tinggal lagi membuka tutupnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras. Tiga orang Ninja terjungkal jatuh dengan pekik kematian. Beberapa Ninja segera berlompatan membantu. Ternyata di ruangan itu telah muncul seorang wanita yang memakai cadar hitam penutup muka.

"Keparat...! Kalian tak akan dapat memiliki Pedang Pusaka itu!" Bentaknya. Dan di lengannya sudah tercekal sebuah kebutan bergagang Emas. Dialah guru Hamada. Beberapa lengan sudah muncul dari dalam tanah menarik kakinya. Terkejut wanita bercadar hitam itu. Kebutannya telah bergerak menyambar.

Prakk! Prakkk...!

Tanah menyemburat, dan lengan-lengan Ninja itu putus berpentalan. Belasan pisau tiba-tiba berdesir meluruk ke arahnya. Akan tetapi dengan sebat dia sudah lakukan salto. Lengannya gerakkan kebutannya menghalau.

Jep! Jep! Jep...!

Tiga orang Ninja roboh terkena sambaran balik dari pisau-pisau terbang yang disampoknya. Beberapa Ninja segera lemparkan tali penjerat. Namun belum sempat tali-tali mengenai sasaran, tubuh wanita bercadar itu telah lebih dulu melompat menerjang. Beberapa sosok tubuh kembali terjungkal. Sebat sekali si wanita itu melompat ke dalam lubang. Dua orang Ninja kembali dihajar roboh oleh kebutan mautnya. Lengannya bergerak cepat membuka tutup Peti Mati.

Tampak mayat seorang wanita yang sudah tak berbentuk lagi. Dan Pedang Pusaka itu tergeletak di atasnya. Cepat sekali dia meraihnya. Sekejap sudah berada di tangannya. Dan dengan sebat sudah melompat ke atas menjebolkan atap wuwungan rumah. Terdengar suara bergedubrakan.... Si wanita bercadar itu sudah berada di atas wuwungan. Akan tetapi puluhan anak panah telah meluruk ke arahnya.

Wanita ini segera gunakan senjatanya untuk memukul buyer puluhan anak panah. Dan di lain kejap dia sudah melesat dari wuwungan rumah ke balik semak lebat di bawahnya. Lalu lenyap tak ketahuan lagi ke mana perginya.

"Kejaarrr...!" Terdengar suara teriakan. Dan puluhan Ninja sudah berlompatan mengejarnya.

* * * * * * *

Si wanita bercadar itu pergunakan kelincahannya untuk cepat meninggalkan Lembah Air Mata. Hatinya sudah girang karena Ninja-Ninja Hijau itu takkan dapat mengejarnya. Beberapa saat kemudian dia telah berada di atas bukit. Namun sungguh di luar dugaan. Karena di hadapannya telah berdiri beberapa sosok tubuh yang sudah siap merentangkan busur panah. Siap memanggang tubuhnya. Di tengah-tengah barisan Ninja Hijau itu tegak berdiri si Setan Tanah Higei Tanaka. Lengkap dengan topi tudung lebarnya.

"Hm, serahkan pedang itu!" Berkata Higei Tanaka dengan suara dingin.

Akan tetapi wanita bercadar ini mendenguskan hidungnya. "Huh, kau kira semudah itu Higei Tanaka...? Pedang ini bukanlah Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang itu! Akan tetapi pedang pusaka milik Soku Sheba! Pedang ini mempunyai riwayat tersendiri, yang tak boleh lain orang memilikinya!"

"Akan tetapi baiklah akan aku serahkan padamu, kalau kau suruh orang-orangmu itu pergi!" Ujar si wanita bercadar.

"Hm, baik...! Apakah kau mampu melarikan diri kalau kau berdusta?" Berkata Higei Tanaka. Segera dia tepukkan lengan tiga kali. Sekejap para Ninja Hijau itu berkelebatan lenyap.

Tersenyum si wanita itu. Sepasang matanya jalang menatap pada Higei Tanaka. Kakinya pun beranjak melangkah ke arah laki-laki itu. Sementara Higei Tanaka telah siap-siap menghadapi kalau terjadi sesuatu. Sepasang lengannya mencekal tongkatnya erat-erat.

"Apakah kau percaya kalau kukatakan pedang ini bukan milik Kerajaan?" Tanya wanita itu,

"Hm, Mitoni Sakeda...! Aku perlu bukti untuk melihatnya!" Ucap Higei Tanaka. Wanita ini tampak tatapkan matanya tajam-tajam pada laki-laki di hadapannya. "Heh!? Agaknya kau telah mengetahui siapa diriku...!"

Terkejut wanita ini. Karena sudah belasan tahun dia menyembunyikan diri di Kota Raja, ternyata Higei Tanaka bekas panglima Kerajaan dari Kaisar lama itu mengetahui siapa dirinya.

"Heh! Sudah sejak lama aku mengetahui, perempuan bejat! Kaulah si penyebar fitnah keji, hingga aku dipecat dari jabatanku sebagai Panglima Kerajaan! Hubunganmu dengan Hokaido si Wali Kota itu, kau fitnahkan padaku! Ketahuilah! Si Hokaido itu telah kubunuh mampus! Kedua anakmu Kori Syima dan Suzi telah berada di Lembah Pedang! Mereka tak boleh mengetahui urusan kita. Dan hari ini setelah kau serahkan pedang Pusaka itu, kau harus serahkan pula nyawamu...!" Berkata si Setan Tanah Higei Tanaka yang amat mendendam pada wanita bekas selir Kaisar ini. Akan tetapi wanita itu cuma tersenyum seraya ucapnya lirih.

"Hm, aku sudah mengetahui dari Huyima... si pembantuku itu! Sudahlah, Higei Tanaka...! Kejadian lama itu tak usah kau ungkit lagi! Sebenarnya aku tak main gila pada Hokaido! Aku sebenarnya amat mencintaimu, Higei Tanaka...! Aku adalah wanita malang yang gagal menemukan kebahagiaan! Kehidupanku di Istana sebagai selir tidaklah membahagiakan ku! Selama itu aku mencari dan mencari di manakah letak kebahagiaan itu? Sejak Kaisar mulai tak memperhatikan ku lagi, timbullah niatku untuk minta cerai! Diam-diam aku mencintaimu. Karena kulihat kau tak punya seorang istripun, tak kusangka kalau niatku itu kau tolak mentah-mentah! Aku sengaja memfitnah mu agar kau dipecat. Setelah aku pasti akan dicerai Kaisar. Tujuanku adalah kembali mendekatimu, karena dengan bebasnya aku, kau pasti sudi menjadikan aku istrimu...!" Berkata demikian, tampak sepasang mata Mitoni Sakeda cucurkan air mata.

Membuat Higei Tanaka jadi tercenung. Tak menyangka kalau demikianlah halnya. Sementara Mitoni Sakeda telah teruskan lagi bicaranya. "Pedang Pusaka ini silahkanlah kau periksa...! Bagiku tak keberatan kalau kau ingin memilikinya! Tebusannya pasti amat besar dari Kaisar. Siapa tahu kau bisa memangku jabatan lagi di Kerajaan Merak Hijau...!"

Seraya berkata Mitoni Sakeda lepaskan cadar penutup wajahnya, dan sodorkan gagang pedang pada Higei Tanaka. Agak terpana laki-laki ini melihat wajah Mitoni Sakeda, yang masih tak berubah kecantikannya. Namun lengannya sudah terulur untuk menyambuti Pedang yang disodorkan padanya. Hatinya diamdiam membatin. Hm, kalau benar ini pedang Pusaka Kerajaan, pasti akan ada ukiran burung Merak pada bilah pedangnya! Sekejap Higei Tanaka telah cabut pedang samurai itu dari serangkanya.

Segera membersitlah hawa aneh yang menggetarkan jantung, ketika menatap gambar ukiran sepasang burung Hong yang saling membelakangi. Dan di sebaliknya tertera sebuah name Fuki Zima. Siapakah Fuki Zima...? Sentak hatinya. Jelas pedang itu bukan pedang Pusaka Kerajaan walaupun sarang pedang dan gagangnya amat mirip. Karena ketika masih menjabat sebagai Panglima Kerajaan, Higei Tanaka pernah melihatnya.

"Nama yang tertera di situ adalah namaku, Higei Tanaka...! Sudah kukatakan pedang itu bukanlah pedang Pusaka Kerajaan. itu adalah pedang milik Soku Sheba. Pedang yang membawa kisah cinta kami yang gagal! Pedang itu kunamakan Pedang Asmara Gila...!" Berkata Mitoni Sakeda alias Fuki Zima.

Seraya sudah beranjak mendekati Higei Tanaka. Ketika lengan wanita itu bergerak menyibakkan celah pakaiannya di dada, segera tersembul sepasang payudaranya yang putih. Kedua benda membulat itu bergerak-gerak ketika wanita itu bergerak melangkah kian mendekat. Sepasang mata Higei Tanaka jadi berubah nyalang.

Hawa berahi yang di timbulkan dari pedang yang sudah tersalurkan ilmu gaib yang hebat itu telah merasuk ke otaknya. Tergetar dada laki-laki itu, tak terasa pedang yang di genggamnya sudah terlepas jatuh. Topi tudungnya segera sudah disibakkan. Dan... sepasang lengannya sudah mendekap tubuh wanita itu.

"Fuki Zima... ah, namamu amat indah kedengarannya. Aku... aku menyesal menolakmu menjadi istriku, Fuki Zima...!" Ucapnya dengan suara-suara gemetar. Sepasang matanya mengatup merasakan gesekan tubuh Fuki Zima, yang menggeliat dalam pelukannya. Dan... lengan laki-laki itu sudah menyelusup semakin jauh. Pakaian wanita itupun ditanggalkan helai demi helai bersamaan dengan tanggalnya pakaian Higei Tanaka yang dibenahi lengan halus wanita itu.

"Aku amat mencintaimu Higei Tanaka...." Berkata Fuki Zima dengan suara berdesah.

Tenggorokan Higei Tanaka seperti kering tersumbat. Dan di pondongnya tubuh wanita itu untuk dibaringkan di rerumputan. Sekejap saja Higei Tanaka telah seperti orang kesurupan yang menggeluti tubuh wanita itu dengan hempasan-hempasan tubuhnya  Bergelinjangan tubuh si wanita itu, menggeliat-geliat dengan bibir berdesahan.

Sementara di hati si wanita bernama Fuki Zima alias Mitoni Sakeda itu sudah membatin. Hihihi... akhirnya kau jatuh juga di tanganku, Higei Tanaka yang sombong! Dan direngkuhnya tubuh laki-laki itu untuk melampiaskan segenap kepuasannya.  Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar sebuah bentakan menggeledek! Sebuah bayangan putih berkelebat.

"Fuki Zima...! Kau mampuslah sekarang!" Satu sambaran dahsyat menderu menghantam kedua tubuh yang tengah bergelinjangan itu.

Terperangah Higei Tanaka. Detik itu juga dia sudah gulingkan tubuhnya dengan cepat dari atas tubuh si wanita. Bersamaan dengan itu, terdengar suara berderak keras. Brass...! Dan diiringi teriakan menyayat hati, segera terlihat tubuh Fuki Zima berhamburan isi perutnya terkena hantaman pukulan lengan seseorang. Ketika dia melihat siapa yang datang, ternyata adalah seorang laki-laki tua berkaki buntung termangu-mangu menatap tubuh wanita itu yang sudah lepaskan nyawanya dengan seketika.

Dialah Soku Sheba. Belum lagi Higei Tanaka sempat berbuat sesuatu, lengan si kakek itu sudah menyambar pedang Asmara Gila yang tergeletak di sisi tubuh Fuki Zima. Dan sudah berkelebat melompat ke atas sebuah batu besar. Terdengar suara Srekk...! Dia telah masukkan pedang itu dalam serangkanya. Cepat-cepat Higei Tanaka sambar pakaiannya, dan kenakan dengan cepat. Higei Tanaka sendiri terkejut, dan baru tersadar kalau dia telah lakukan perbuatan di luar kesadarannya.

SEBELAS

"AH, siapakah kau orang tua...? Terima kasih! Kau telah membuat aku sadar walaupun nyaris nyawaku melayang!" Tanya Higei Tanaka.

Laki-laki tua berkaki buntung sebatas lutut itu balikkan tubuhnya, seraya menatap pada Higei Tanaka. Aku Soku Sheba penghuni Lembah Air Mata! Pedang ini benar seperti kata wanita bejat itu! Ini pedang keparat yang harus dimusnahkan! Pedang ini berisi ilmu gaib yang amat dahsyat, yang telah di isi oleh seorang wanita penyihir yang bergelar si Iblis Naga Merah! Wanita ini adalah bekas kekasihku...! Kau lihatlah, wajahnya mengalami perubahan...!" Berkata Soku Sheba.

Pada saat itu telah berkelebat dua buah bayangan ke atas bukit itu, yang perdengarkan teriakannya. "Ibuuuu...!" Sekejap dua sosok tubuh itu sudah berdiri dekat tubuh wanita itu. Akan tetapi seketika mereka jadi terperanjat. Karena sudah memekik heran. "Ah...!? dia bibi Huyima...!" Terperangah kedua gadis itu.

"Dia adalah guruku...!" Terdengar seseorang berkata. Dan sesosok tubuh berkelebat lagi muncul dibarengi sosok tubuh lainnya yang berambut beriapan. Kiranya Hamada yang barusan berkata, dan Roro Centil yang menyusul di belakang. "Ah, ternyata guru ku itu tak lain dari bibi Huyima...!?"

Terdengar lagi pemuda bernama Hamada itu menyambung kata-katanya. Sepasang matanya dapat melihat senjata kebutan dan cadar hitam yang selalu dikenakan wanita itu. Kini barulah dia dapat melihat jelas wajah gurunya, yang selama ini selalu memakai cadar penutup muka.

"Hehehehe.... pantas! pantas dia melarangmu untuk pergi ke Lembah Pedang. Karena kau menolak untuk melayani kehendaknya, bukankah begitu Hamada?" Tiba-tiba muncul pula kakek Mitsui di tempat itu.

Hamada cepat-cepat palingkan wajahnya dengan bersemu merah. Kata-kata kakek itu memang tidak salah. Hamada pernah menolak hasrat gurunya, hingga dia ditugaskan ke Lembah Air Mata untuk mengantar nyawa. Namun beruntung dia selama dari jebakan maut. Akan tetapi sang guru yang ternyata Huyima itu telah menjebloskannya ke dalam lubang bawah tanah bersama-sama dengan kakek Mitsui dan Roro Centil.

Disamping heran, mereka juga merasa ngeri melihat keadaan tubuh wanita itu yang sudah hancur isi perutnya, bahkan hingga sampai sebatas paha. Tentu saja barang terlarang wanita itu tak kelihatan lagi. Korisyima tiba-tiba menekap mukanya, dan telah menangis terisak-isak. Suzi cepat-cepat memeluknya. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar suara Hamada.

"Oh. lihat...! Kulit muka dan tubuhnya telah berubah semua."

Tersentak Korisyima, yang segera lepaskan lagi tekapan lengannya yang menutupi wajahnya. Bukan saja Korisyima yang terbelalak, akan tetapi semua yang berada di situ belalakkan matanya menatap pada tubuh wanita itu. Ternyata kulit tubuh dan muka wanita itu telah berubah lagi menjadi lebih mengerikan. Karena sudah menjadi keriput macam kulit nenek-nenek. Rambutnya pun berubah memutih. Dan wajahnya mirip seorang nenek tua yang mirip tengkorak.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap suara kaki-kaki kuda mendatangi. Ternyata sepasukan laskar Kerajaan yang dipimpin oleh seorang panglima Kerajaan Merak Hijau. Jelas terlihat dari pakaiannya dari seorang penunggang Kuda paling depan. Sebentar saja telah mengurung mereka dari beberapa penjuru.

"Higei Tanaka...! Dan kalian semua yang berada di sini, atas perintah Kaisar kalian ditangkap!" Bentak Panglima Kerajaan itu. Dialah yang bernama Panglima Shogun. Tentu saja mereka semua jadi melongok. Kecuali Higei Tanaka yang sudah melompat ke hadapan Panglima itu.

"Maaf, panglima! Kalau aku mau ditangkap karena telah membunuh Hokaido, aku akan serahkan diriku...! Akan tetapi mereka semua tak mempunyai kesalahan apa-apa. Mengapa harus pula ditangkap...?" Berkata Higei Tanaka.

"Heh! Kau bukan saja telah membunuh Hokaido, Wali Kota itu, akan tetapi juga telah merencanakan pemberontakan...!" Bentak Panglima Shogun dengan wajah gusar. "Dan satu hal lagi. Kau telah mencuri Pedang Pusaka Kerajaan yang lenyap ketika kau dipecat dari jabatanmu oleh Kaisar!" Tambah Panglima itu.

Terkejut Higei Tanaka karena dia tak merasa melakukan hal itu. Akan tetapi baru dia mau menjawab, sudah terdengar suara yang menyambar terlebih dulu disertai bergerak mendekat seekor kuda dengan penunggangnya.

"Heh! manusia busuk...! Ketahuilah! Kami telah menggeledah markasmu di Lembah Pedang! Dan telah kami jumpai Pedang Pusaka Kerajaan ini di kamar mu!"

Ternyata yang bicara adalah seorang pemuda berpakaian mewah yang menyandang samurai di pinggang. Lengannya bergerak menurunkan sebuah pedang terbungkus kain hitam dari punggung. Segera dia sudah membukanya. Pemuda ini tak lain dari HasyiI Gato si anak Wali Kota Hokaido itu.

"Inilah Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang selama lebih dari sepuluh tahun itu! Pantas selama ini Kerajaan tak mengalami kemajuan...! Bahkan banyak musibah terjadi...!"

Sekali lihat saja Higei Tanaka sudah mengetahui kalau benda itu adalah Pedang Pusaka Kerajaan, karena saat itu juga Hatsyi Gato sudah mencabut Pedang Pusaka itu. dan terlihatlah gambar ukiran seekor burung Merak yang tampak seperti menyala terkena sinar bulan. Dengan mendengus Hatsyi Gato segera masukkan lagi pedang itu ke dalam serangka. Dan cepat membuntalnya.

"Higei Tanaka! Kau lihat lambang tanda kekasaran di tanganku ini? Bersujudlah untuk kami ringkus!" Berkata demikian Panglima Shogun keluarkan sebuah medali berukiran Merak terbuat dari emas yang bertatahkan permata warna merah dan hijau.

Lambang itu adalah lambang Kekaisaran. Siapa yang memegang benda itu berarti telah menjadi wakil kaisar. Dan berhak menangkap siapa saja. Terperangah seketika Higei Tanaka. Akan tetapi Higei Tanaka tak mau bersujud. Bahkan bertolak pinggang dengan wajah menampilkan kemarahan.

"Panglima! Kalau aku bersalah, aku rela ditangkap. Akan tetapi kesalahanku cuma membunuh seorang penguasa yang telah menyelundupkan harta kekayaan Kerajaan! Apakah aku dapat dipersalahkan? Dan aku sama sekali, tak pernah menyimpan benda Kerajaan apa pun di Pasanggrahan Lembah Pedang...!"

"Apakah kau mau mungkir dengan bukti di tangan kami?!" Membentak si Panglima dengan menggeledek.

Dan hampir melejit sepasang mata Hatsyi Gato mendengar kata-kata Higei Tanaka. Karena ayahnya dianggap penyelundup harta kekayaan Kerajaan. Namun hatinya sudah tersentak kaget. Hah!? Dari mana dia mengetahui...? Ternyata bukan saja Hatsyi Gato yang terkejut, akan tetapi wajah si Panglima Shogun itupun seketika pucat. Namun cepat nutupi dengan membentak menggeledek.

Higei Tanaka...! Kau berani melawan perintah Kaisar...?" Dan lengannya sudah terangkat ke atas, serta memberi perintah pada laskarnya. "Pengawal...! Tangkap manusia pemberontak ini...!" Sekejap beberapa belas pengawal sudah melompat dari punggung kuda dengan tombak dan pedang terhunus mengurung Higei Tanaka.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara bentakan keras dari arah belakang Panglima Shogun. "Tunggu...!" Seekor kuda dilarikan dengan cepat, menyeruak dari belakang laskar. Ternyata yang datang adalah Kaisar Kotsyi Nagoya.

Bukan main terperanjatnya Panglima Shogun dan Hatsyi Gato. Seketika wajah mereka jadi pucat. Ternyata Kaisar Hatsyi Gato telah menyaru menjadi salah seorang laskar yang mengikut di belakang Panglima Shogun. Tentu saja dengan membawa lebih dari sepuluh perwira Kerajaan pengawal pribadinya, yang juga menyaru menjadi para laskar golongan prajurit.

"Hm, Panglima Shogun...! Kau takkan dapat menutupi lagi belang mu! Kau telah berkomplot dengan Hokaido untuk berbuat kejahatan! Aku sudah menggrebek tempat rahasia penyimpanan harta kekayaan Kerajaan selundupan mu! Dan kau Hatsyi Gato! Perbuatanmu di luaran telah membuat malu orang-orang Kerajaan! Ayahmu si Hokaido itu pantas mati, karena pedang Pusaka Kerajaan itu dialah yang mencurinya! Kalian diam-diam telah merencanakan pemberontakan menggulingkan Kekuasaanku sebagai Kaisar Kerajaan Merak Hijau! Lemparkan lambang palsumu yang tak berguna itu...!" Berkata Kaisar Kotsyi Nagoya.

Serentak belasan pengawal yang mengurung Higei Tanaka jatuhkan diri berlutut di hadapan Kaisar. Begitu juga para laskar lainnya yang berada di belakang panglima Shogun. Serentak melompat dari kuda, dan berlutut tundukkan kepala. Sebelas orang pengawal pribadi Kaisar segera bangkit setelah mendengar perintah dari Kaisarnya.

"Pengawal pribadiku...! Kalian ringkuslah kedua orang pengkhianat ini...!"

Pucat piaslah wajah Panglima Shogun dan Hatsyi Gato. Namun kedua orang ini telah keprak kudanya, yang segera mencongklang kabur.

"Tangkap mereka hidup atau mati!" Teriak Kaisar memberi perintah.

Keadaan pun berubah panik. Suara ringkik kuda hiruk pikuk berbaur dengan teriakan-teriakan para pengawal yang mengejar kedua pemberontak itu. Di luar dugaan dua orang pengawal telah mendekati Kaisar. Dua buah samurai telah meluncur deras ke arah leher laki-laki Pemimpin Kerajaan itu. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sebuah bayangan merah, dan...

Trang...! Buk! Buk...!

Kedua pedang samurai itu telah terlempar ke udara diiringi jerit kesakitan, dan robohnya kedua pengawal gadungan itu terjengkang dari atas kuda. Terkejut Kaisar Kotsyi Nagoya. Segera di mengetahui nyawanya barusan saja bakal melayang kalau tak ada yang menolong menyelamatkannya. Ternyata Roro Centil bertindak cepat menghantam terjangan kedua pedang samurai yang mengarah menebas leher Kaisar, dengan senjata Rantai Genitnya.

Berbareng dengan menghantam kedua dada pengawal gadungan itu dengan tendangan kaki dan hantaman tinjunya. Untung hantaman itu tak begitu keras. Cuma membuat mereka rasakan dadanya menjadi sesak. Akan tetapi tahu-tahu sepasang lengan gadis Pendekar Pantai Selatan itu telah mencengkeram tengkuk mereka. Dan diseret ke hadapan Kaisar. Beberapa pengawal Pribadi Kaisar cuma menatap dengan tertegun.

"Silahkan Kaisar beri hukuman pada dua orang pengawal gadungan ini!" Berkata Roro seraya menjura.

Di samping terkejut, sang Kaisar ini juga bergirang karena nyawanya telah selamat. Terkejut karena yang menolong menyelamatkan nyawanya adalah seorang gadis asing yang baru sekali ini dilihatnya. "Siapakah namamu gadis asing...? Ah, terima kasih atas bantuan mu!"

"Namaku Roro Centil..."

"Dialah yang bergelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Tuanku Kaisar!" yang namanya terkenal di seantero Pulau Jawa. Bahkan sampai ke Pulau Andalas...!" Tiba-tiba terdengar satu suara dari kejauhan, yang kemudian berkelebat muncul seorang wanita berusia cukup tua. Sikapnya gagah. Mencekal sebuah tongkat berkepala naga berwarna merah.

Terkejut Roro Centil melihat wanita ini. Karena justru wanita inilah yang tengah dicarinya. Yaitu wanita yang berdiam di lereng Gunung Bukkyo. Sepasang mata wanita inipun membersit tajam menatap Roro. Tiba-tiba dia telah kirimkan suara jarak jauh yang menyelusup ke telinga Roro.

"Hihihi... kau wanita pendekar yang hebat, Roro Centil! Berani mengarungi lautan untuk menerima tantanganku...! Kutunggu kau di Lembah Air Mata!" Akan tetapi pada saat itu Soku Sheba telah perdengarkan bentakannya.

"Iblis Naga Merah...! Aku akan adu jiwa denganmu..." Dan tubuh kakek buntung itu telah melompat dari atas batu.

Wukkk...! Sebelah lengannya telah menghantam. Akan tetapi dengan perdengarkan suara dingin si wanita itu telah melesat melambung tinggi dan berjumpalitan di udara.

Hebat...! Memuji Roro dalam hati. Kalau bukan orang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tak mungkin dapat melakukan itu. Karena ujung kaki si wanita itu tak membuat bergoyangnya daun sedikitpun.

"Hihihi... hik hik hik...! Soku Sheba...! Kau telah membunuh muridku, si Fuki Zima itu! Seharusnya aku mencabut nyawamu saat ini juga! Akan tetapi tak apalah, aku kasihan padamu yang sudah terlalu menderita...! Aku masih punya urusan dengan si wanita asing Pendekar Wanita Pantai Selatan itu! Aku tak dapat melayanimu...!" Setelah berkata demikian, tubuh wanita itupun berkelebat lenyap. Akan tetapi Soku Sheba telah melesat untuk mengejarnya.

Melihat demikian Roro Centil pun cepat-cepat menjura pada Kaisar. "Maaf, Kaisar...! Akupun harus pergi."

Belum sempat Kaisar mencegahnya, tubuh Roro Centil sudah berkelebat, lenyap menyusul Soku Sheba. Tercenung sang Kaisar ini, akan tetapi dia sudah palingkan kepalanya menatap kedua pengawal gadungan itu. Ternyata kedua pengawal itu telah tak dapat gerakkan tubuhnya lagi, karena Roro Centil telah menotoknya. Dengan menggeram gusar Kaisar Kotsyi Nagoya cabut pedang samurainya. Dua kali lengannya bergerak menabas. Kepalanya menggelinding lepas dari tubuhnya...

* * * * * * *

Panglima Shogun tak dapat berlari jauh, karena sekejap dia sudah terkepung oleh barisan Ninja anak buah Higei Tanaka. Hingga para perwira Kerajaan itu dapat menyusulnya. Karena merasa tak dapat meloloskan diri lagi. Panglima Shogun telah gunakan pedang samurainya untuk membunuh diri...

Sementara itu Hatsyi Gato telah didapat tersusul oleh si Setan Tanah, Higei Tanaka. Pertarungan pun segera terjadi. Akan tetapi mana Hatsyi Gato mampu menandingi kepandaian Higei Tanaka. Tak lama pemuda hidung belang itu sudah perdengarkan jeritan mautnya. Tubuhnya tembus terpanggang tongkat baja hitam laki-laki bekas panglima Kerajaan itu.

Kaisar Kotsyi Nagoya amat bersuka cita atas bantuan Higei Tanaka, yang telah serahkan pedang Pusaka Kerajaan Merak Hijau padanya. Sementara Higei Tanaka hampir saja membenci pihak Kerajaan, karena ulah si Wali Kota Hokaido yang pernah mencegatnya dengan mempergunakan pengawal Kerajaan untuk membunuhnya.

"Terima kasih Higei Tanaka! Segeralah datang ke Istana! Sudah selayaknya kau menerima jabatanmu kembali...! Selama ini aku telah terkecoh karena kelalaian ku! Hingga si Hokaido dan Panglima Shogun itu nyaris menggulingkan kekuasaanku sebagai Kaisar...!" Berkata Kaisar.

Higei Tanaka menekuk lutut di hadapan Kaisar dengan membungkuk beberapa kali. "Terima kasih, Paduka Kaisar..!" Ucap Higei Tanaka dengan air mata berlinang karena terharu dan bahagianya.

Tak berapa lama pasukan Kerajaan sudah meninggalkan bukit di atas Lembah Air Mata itu dengan bergemuruh. Diiringi dengan pasukan Ninja Hijau yang telah membawa kemenangan gemilang. Higei Tanaka berada di tengah-tengah anak buahnya. Kemanakah gerangan Korisyima, Suzi dan pemuda bernama Hamada itu? Ternyata mereka berada d barisan depan, di samping Kaisar Kotsyi Nagoya dengan masing-masing mengendarai kuda.

DUA BELAS

RORO CENTIL yang memiliki ilmu lari cepat yang amat luar biasa itu sudah dapat bayangan tubuh Soku Sheba. Bahkan di hadapan si kakek kaki buntung yang melompat-lompat pergunakan sebelah lengannya itu telah kelihatan tubuh si wanita bergelar Iblis Naga Merah.

Ternyata di tempat yang terbuka itu si Iblis Naga Merah hentikan gerakan larinya. Agaknya dia memang mencari tempat yang baik untuk bertanding ilmu dengan Roro Centil. Tentu saja dia sudah mengetahui kalau si kakek Soku Sheba itu memburunya. Sesaat laki-laki kaki buntung itu sudah tiba di hadapannya. Tampak di sebelah lengan Soku Sheba masih tergenggam Pedang Asmara Gila.

"Hihi... Soku Sheba! Apakah kau manusia yang tak dapat dikasihani? Kau mengejarku cuma mengantar nyawa saja!" Ucapnya dengan suara dingin.

"Iblis keparat...! Dengan ilmu gaib yang kau isi dalam pedang Pusakaku ini, secara langsung kaulah si penyebab kematian anak gadisku Yuriko!" Bentak Soku Sheba dengan menggeram beringas.

Saat itu Roro Centil sudah tiba pula di tempat itu. Kakek Soku Sheba, biarlah kau wakilkan aku untuk menghajarnya...!" Berkata Roro Centil yang berada di belakang Soku Sheba.

Laki-laki kaki buntung ini tanpa menoleh, luncurkan kata-kata. "Ada permusuhan apakah kau dengannya, gadis asing...?"

"Hihihi... seorang Pendekar kalau ditantang bertarung, walaupun yang menantangnya berada di ujung langit harus dipenuhi!" Berkata Roro. "Nah! Kedatanganku adalah menemuinya untuk menerima tantangannya!"

Melengak Soku Sheba. Namun hatinya diam-diam memuji akan kejantanan si gadis asing itu. Pada saat itu sesosok tubuh telah pula berkelebat ke tempat itu. Ternyata kakek Matsui. "Nona Roro Centil! Jadi diakah yang kau katakan "sahabat"mu itu...?" Bertanya kakek Matsui.

Roro Centil palingkan wajahnya seraya berkata. "Benar kakek Matsui! Aku tak tahu apakah aku harus terkubur di Lembah Air Mata ini, kelak! Tapi ku mohon padamu pada permintaan terakhir ku, sudikah kau mengabulkannya...?" Berkata Roro dengan lakukan pertanyaan aneh. Karena belum apa-apa sudah mau pesan kata-kata.

"Pasti aku kabulkan, Nona Pendekar Roro!" Sahut Kakek Matsui, dengan hati kebat-kebit juga. Khawatir kalau benar-benar si gadis asing yang pernah menolongnya dari lubang bawah tanah itu tewas dalam pertarungan.

"Bagus! Tolong kau pinjam seruling si kakek Soku Sheba ini, dan kau tiupkan seruling mu di atas Kuburan ku sambil menangis selama 100 tahun!" Ujar Roro.

"Ah...!? usiaku saja mungkin tinggal beberapa tahun lagi. Mana mungkin hal itu kulakukan?" Tukas si kakek Mitsui dengan tertawa mengakak terkekeh-kekeh...

Akan tetapi pada saat itu si Iblis Naga Merah telah membentak dengan suara dingin. "Roro Centil...! Kata-katamu membuat kepalaku menjadi besar, akan tetapi mengecilkan jantungku! Kau telah lakukan hinaan yang teramat besar padaku!"

Roro Centil krenyitkan keningnya. "Hihihi... aku berkata apa adanya! Itulah adat orang Jawa! Aku merendahkan diri bukan dengan maksud menghinamu!" Sahut Roro Centil dengan tersenyum jumawa.

Akan tetap si Iblis Naga Merah telah perdengarkan tertawa sinis disertai bentakan keras. "Baik! Sesaat lagi kau benar-benar akan terkubur di Lembah ini! Tak seekor semutpun menangisi kematianmu! Karena setelah kau mampus, kedua kambing-kambing tua itupun akan menyusul kepergianmu ke Akhirat...!"

Selesai berkata wanita itu gerakkan tongkat berkepala Naga Merah itu memutar cepat. Segera segelombang angin bergulung-gulung membersit menerjang ke arah Roro. Soku Sheba cepat menyingkir. Mau tak mau dia harus mengalah untuk menyaksikan pertarungan maut itu.

Roro Centil bentangkan lengannya ke depan menyalurkan tenaga dahsyat untuk menghantam gelombang angin yang menerpanya. Inilah satu jurus dari Pantai Selatan yang dinamakan Taufan Melanda Karang. Hebat akibatnya. Serangkum angin dahsyat telah menerjang gulungan angin yang menggebu itu.

Wusss...! Prakkk! Krakk...! Bummm...!

Si Iblis Naga Merah perdengarkan teriakan tertahan kekuatan gelombang anginnya tak mampu menahan terjangan dahsyat itu. Tubuhnya terlempar walau dia sudah melompat setinggi dua puluh tombak.

Sementara dengan deras, rangkuman angin pukulan Roro terus meluncur menerabas apa yang menghalangi di belakang wanita itu. Tiga bongkah batu besar terungkit lepas berbareng dengan berderaknya beberapa batang pohon besar yang tercabut jebol akarnya. Bagaikan diseret oleh tangan raksasa batu dan pohon itu meluncur menghantam bukit dengan perdengarkan suara berdebum. Batang-batang pohon itu hancur beserpihan berikut bongkah-bongkah batu besar itu, yang beradu dengan bukit di belakangnya.

Saat itu terdengar suara lengkingan yang bagaikan membelah langit. Tubuh Roro Centil melesat dua puluh tombak ke udara, menyusul tubuh si iblis Naga Merah. Sekejap tubuh Roro Centil telah berada di atas tubuh si Iblis Naga Merah yang dalam keadaan terperangah itu. Roro Centil tak berlaku ayal. Sekali lagi dia pertunjukkan kehebatan pukulan Taufan Melanda Karang. Kedua lengannya telah bergerak menghantam.

Wuukkk...! Dhess!

Terdengar jeritan menyayat hati yang cuma sekejap. Karena tubuh si Iblis Naga Merah telah meluncur bagaikan disentakkan tangan raksasa untuk segera amblas ke dasar bumi. Blassh...! Sekejap saja lenyaplah tubuh wanita jagoan Negeri Sakura itu.

Roro Centil melayang ringan, dan jejakkan kaki di sisi lubang bekas amblasnya tubuh lawan tarungnya. Dan terdengar suara helaan nafas wanita Pendekar ini yang pejamkan mata untuk mengatur pernafasannya kembali. Tampak asap tipis bagaikan kabut mengepul dari lengan dan ubun-ubun si Pendekar Perkasa Pantai Selatan.

Tak berapa lama asap kabut itu semakin menipis, kemudian berangsur lenyap. Perlahan dia sudah membuka sepasang matanya. Ternyata di hadapan Roro telah tegak berdiri dua sosok tubuh yang menatapnya dengan terperangah. Dialah Soku Sheba dan si Kakek Matsui.

"Ah...! Hebat! hebat...! Luar biasa...!"

Beberapa kali keluar suara pujian dari mulut si kakek jangkung itu. Sementara itu Soku Sheba telah luncurkan kata-kata dengan suara terharu bercampur girang. Karena ketika berbareng dengan amblasnya tubuh si Iblis Naga Merah, Pedang Asmara Gila mendadak musnah, hancur menjadi debu!

"Terima kasih, nona Pendekar...! Kau telah menolongku memusnahkan Pedang keparat yang telah menghancurkan hidupku itu...!" Segera Soku Sheba perlihatkan sisa debu dari Pedang Asmara Gila di lengannya. Dan sedikit menceritakan riwayat pedang itu pada Roro Centil.

Termangu-mangu gadis pendekar itu dengan bergidik ngeri. Kakek Matsui pun menggeleng-gelengkan kepalanya dengan menarik napas lega. Hatinya membatin. Aih, beruntung aku tak mengalami hal seperti si Soku Sheba. Kalau pedang itu tanpa sengaja aku yang memiliki dan terkena hawa gaib yang menimbulkan berahi itu... Wah, wah.... Apakah yang bakal terjadi? Tak tahulah aku! Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya si Kakek Matsui itu adalah seorang Banci laki-laki.

* * * * * * *

Langit nampak cerah di permulaan musim semi itu. Bunga-bunga Sakura bermekaran di mana-mana. Mengorak senyum menampakkan kesuciannya bagaikan seorang gadis yang masih putih bersih belum pernah terjamah laki-laki.

Roro Centil tinggalkan Istana Kerajaan Merak Hijau dengan meninggalkan kesan yang amat mendalam di hati Kaisar juga penduduk negri Matahari Terbit itu. Dara Perkasa Pantai Selatan ini langkahkan kakinya menuju ke arah pantai. Angin laut membersit menyibakkan rambutnya yang terurai. Dan pada bibir gadis rupawan yang mungil itu, tampak secercah senyum.

"Nona Roro!" Sesosok tubuh telah berlari-lari mengejarnya. Ternyata Hamada. Si Pemuda Ninja yang tampan itu. "Selamat jalan, nona Pendekar...! Ah, mengapa begitu cepat kita berpisah?" Berkata Hamada dengan suara serak parau. Hatinya telah terpaut pada gadis tanah Jawa yang gagah itu.

"Aih, Hamada...! Kalau Tuhan mentakdirkan kita dapat bertemu lagi, mungkin setelah kau punya sembilan cucu, kita bisa bertemu lagi...!" Ujar Roro Centil dengan tersenyum, dan kerlingkan matanya.

"Eh, yang manakah yang akan kau pilih di antara kedua gadis itu? Korisyima atau Suzi...?" Bertanya Roro Centil.

"Ah... ah... entahlah! aku... aku..." Hamada jadi tergagap dengan wajah bersemu merah.

"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-duanya! Ucap Roro.

"Dua-duanya...?" terperangah Hamada.

Akan tetapi Roro Centil telah berkelebat pergi. Sekejap saja telah berada di kejauhan. Tampak oleh Hamada wanita Pendekar itu balikkan tubuhnya. Lengannya menggapai, dan terdengar suaranya sayup-sayup ke telinga Hamada.

"Nah, selamat tinggal Ninja yang gagah...! Sampaikan salamku pada kedua gadismu...!"

Sesaat antaranya tubuh wanita Pendekar Pantai Selatan itupun melesat lagi. Dan lenyap di ujung titik pandangan. Hamada gapaikan lengannya sampai bayangan tubuh Roro Centil tak terlihat lagi. Seakan-akan masih terngiang di telinganya kata-kata wanita Pendekar yang dikagumi itu.

"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-duanya!"

Apakah Hamada akan menjadikan kedua gadis manis itu istrinya? Entahlah...! Yang jelas laki-laki itu sudah langkahkan kakinya untuk kembali ke Istana Merak Hijau. Di kejauhan masih terdengar lapat-lapat suara helaan nafasnya.

Episode selanjutnya,
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.