PENJARA BERTALI itu cukup luas. Berderet memanjang menghadap ke dalam ruangan goa yang luas itu. Dinding-dinding wanita di dalam kerangkeng besi itu, cukup membuat mereka berjejalan, karena dua ruangan masih kosong. Memang ada tiga kerangkeng di dalam ruangan itu, yang cuma terpisah oleh jeruji besi. Masing-masing satu pintu, dengan rantai gembok yang membelit pada setiap pintu.
Empat orang bertopeng tiba-tiba masuk ke dalam ruangan goa, diikuti seorang lagi yang membawa sesosok tubuh terbungkus jala. Ketika tiba dimuka kerangkeng, segera keempatnya terpecah menjadi dua bagian. Dengan dua ke sisi kanan, dan dua ke sisi kiri, seperti memberi jalan pada orang bertopeng yang berada di belakangnya. Salah seorang yang berdiri dekat sisi kerangkeng itu cepat bergerak untuk membukakan pintu terali besi itu dengan kunci yang selalu dipegangnya. Orang yang memanggul sosok tubuh terbungkus jala itu bertindak masuk, dan segera melemparkan tubuh orang yang terbungkus jala itu ke dalam kerangkeng. Selanjutnya telah bertindak keluar lagi. Dan kembali si penjaga penjara itu merantai pintu, dan menguncinya. Roro tahan sakit pada tubuhnya yang menggabruk ke lantai batu di dalam kerangkeng itu. Sementara belasan pasang mata dari kerangkeng di sebelahnya menatap kearahnya. Perlahan-lahan Roro putar kepalanya untuk memandang keadaan sekelilingnya. Terkejut ia melihat gadis-gadis seusia dengannya tampak tengah tatapkan pandangan kearahnya. Mata yang memancarkan harapan kosong yang gemerlapan terkena cahaya api obor dari kedua sudut dinding ruangan, dimuka kerangkeng itu. Belum beberapa lama antaranya telah dipanggul lagi masuk sesosok tubuh yang terbungkus di dalam jala. Upacara dilakukan seperti tadi, yaitu masuk terlebih dulu empat orang bertopeng, yang memberi jalan lalu sang penjaga penjara membukakan pintu kerangkeng. Selanjutnya sudah melemparkan lagi sosok tubuh yang terbungkus jala itu. Dan kembali sang penjaga merantainya. Roro Centil pentang mata melihat siapa orang yang terbungkus jala seperti dirinya itu. Yang persis menggabruk di sebelah depan tubuhnya. Membelakangi kerangkeng di hadapannya. Ternyata orang itupun tengah pentang mata menatapnya. Begitu orang-orang bertopeng itu beranjak pergi, tiba-tiba tubuh orang disebelahnya itu gulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro, seraya terdengar bisikannya. "Sssst... Aku akan menolongmu... nona Roro..!" Tapi yang diajak bicara cuma kerutkan alis, karena Roro memang tak mengenal gadis disebelahnya. Walaupun ia coba mengingat-ingat sekian banyak wajah yang dikenal akrab maupun di jalanan. Memang ada sekilas ia teringat akan seseorang, yang wajahnya hampir mirip dengannya. Apakah ia saudaranya..? Berfikir sesaat Roro Centil, namun ia sudah perlihatkan senyumnya sambil manggut-manggut dan menyahuti sambil berbisik. "Terimakasih... Eh, siapakah anda...?" Roro sambung bisikannya dengan pertanyaan. Namun gadis di hadapannya sudah tempelkan telunjuk di bibirnya sebagai jawaban, karena pada saat itu ia telah melihat seorang bertopeng yang berujung lancip di bagian atas kepalanya. Entah dari mana munculnya telah berada di ujung ruangan, didepan kerangkeng dengan tongkat kepala tengkorak di tangannya. Itulah sang ketua komplotan Siluman Hitam. Namun Roro belum mengetahui akan siapa adanya orang itu. Pelahan digerakkan kepala untuk melihat ke arahnya dari sela-sela benang jala. Sepintas memang sang Ketua itu mirip dengan hantu saja layaknya. Karena dengan jubah yang serba hitam, serta topeng yang menutupi dan membungkus seluruh kepala sampai kerambut yang cuma tongolkan kedua matanya saja dari kedua lubang pada bagian muka. Tampak ia telah ketukkan tongkatnya pada batu tiga kali, dan terdengar suaranya yang serak bernada bengis. "Mengapa tawanan yang paling istimewa belum juga dibawa masuk...?!" Suara yang santar itu terdengar sampai ke luar goa. Lapat-lapat terdengar seperti suara orang menggerutu, yang didengar oleh Roro dari sebelah dinding bagian belakang penjara. Suasana memang hening, yang tadinya agak ramai dengan suara keluhan dan tangis kecil dari penjara disebelahnya, begitu melihat adanya orang bertopeng lancip ini. "Apakah yang dimaksud Ketua, tawanan yang ini...?" Terdengar suara lapat-lapat itu. "Mungkin juga... kenapa tak dibawa masuk sekalian, malah ditinggal ke belakang!" Gerutu suara lapat-lapat itu. "Paling-paling dia kebelet untuk pergi buang air, makanya ia tinggalkan tawanannya disini, bikin kerjaan buat orang saja..!" Gerutu dari salah seorang lagi. Kemudian kembali hening. Dan selang beberapa saat, tampak salah seorang dari orang bertopeng itu memasuki ruang goa dengan memanggul tubuh seorang gadis lagi. Sudah tentu diawali dengan keempat orang bertopeng yang lebih dulu masuk. Dan seperti tadi upacaranya gadis yang tertotok pingsan itupun dilemparkan masuk ke dalam ruangan atau penjara disebelahnya, yang masih kosong. Inikah tawanan yang dikatakan istimewa itu...? Berfikir Roro. Yang segera ia mengetahui gadis itu tak lain dari Sawitri adanya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil jadi terkejut, dan keluarkan desisan dari mulutnya. "Aiiih... Dia pun tertangkap oleh siluman-siluman keparat di Gunung Butak ini. Entah bagaimana nasib si Tumenggung, dan pemuda bernama Prasetyo itu.." Roro Centil yang memang masih belum dapat membebaskan pengaruh totokan ditubuhnya, segera cepat berfikir. Dan selanjutnya telah berbisik lagi pada si gadis disebelahnya. "Katanya kau mau menolongku... Cepatlah kau bebaskan totokanku...!" "Aku... aku... hihi.. hi..." Tiba-tiba si gadis disebelahnya itu malah tertawa cekikikan. "He...? Kenapa kau? Apanya yang lucu...?" Berkata Roro dengan suara perlahan. Sementara alisnya berkerut, tiba-tiba ia merasa agak mengenali suara tertawa itu. Gadis terbungkus jala itu sudah menyahuti. "Aku memang mau menolongmu, tapi aku sendiri perlu pertolonganmu..." Berbisik si gadis itu. Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi mengkal hatinya. Mau menolong orang, tapi ia sendiri perlu pertolongan orang! Adalah sama dengan bohong...! Memaki Roro dalam hatinya. Akan tetapi ia sudah ajukan pertanyaan. "Hmm, tadi kau belum jawab pertanyaanku siapakah kau sebenarnya, dan dari siapa kau tahu namaku..?!" Desis Roro dengan suara mendesis, karena takut terdengar oleh sang penjaga. Sementara ia dapat lihat si orang bertopeng lancip yang memakai jubah, dengan tongkat kepala tengkorak itu sudah tak kelihatan lagi. Gadis disebelahnya itu cuma tersenyum saja, dan tidak lantas menjawab. Ternyata ia adalah si dara montok yang tengah mengejar kudanya yang terlepas, tadi siang. Dan menabrak jatuh sang Tumenggung Harya Anabrang, di Sulang. Saat itu memang dapat dikatakan sudah menjelang sore. Namun keadaan di dalam ruangan goa itu, masih tetap terang benderang, karena cahaya dari apiapi obor, tetap menyala di kiri-kanan dinding ruangan goa. Waktu makin terus merayap Pegunungan Kapur seperti raksasa yang tengah tidur pulas, disinari cahaya mentari yang sudah mulai condong. Keadaan di ruang atas yang tertutup dengan pintu batu itu, ternyata masih tampak seperti tadi. Tubuh sang gadis itu telah terkulai. Sementara sepasang mata sejak tadi telah terus mengikuti dari sebuah ruang, tepat didepan sang korban untuk sang Dewa api. Itulah sepasang mata dari seorang wanita, yang berumur kira-kira 35 tahun. Tampak ia seperti turut tersiksa dengan melihat kejadian di depan matanya. Tiba-tiba sebuah lubang persegi empat yang panjang dan lebarnya sama telah terbuka dari balik dinding ruangan dimana ia berada. Sesosok tubuh tibatiba muncul dari dalam lubang di dinding itu, yang orang hanya dapat masuk dengan membungkukan tubuh terlebih dulu. Itulah sang Ketua Siluman Hitam yang bertopeng lancip dengan sebuah tongkat berkepala tengkorak berada di tangannya. "Bagaimana dengan persembahan untuk sang Dewa Api itu, nyonya Tumenggung...? Suatu pertunjukkan yang sangat menarik bukan? Ha ha ha., ha.... ha.... Itu baru pertunjukkan yang biasa. Masih ada kelanjutannya. Nanti disaat ia sudah mau sekarat, akan ada lagi satu pertunjukkan yang lebih menegangkan!" Berucap sang Ketua dengan diselingi tertawa sinis. Ternyata wanita di dalam ruangan itu adalah isteri Tumenggung Harya Anabrang. Didalam ruangan itu penuh berceceran uang emas, dan perak. Bahkan tumpukan-tumpukan buntalan dengan berbagai macam perhiasan berserakan di tempat itu. Agaknya ruangan itu adalah tempat penyimpanan Harta Rampokan. "Nah, waktunya telah tiba...! Dewa Api sebentar lagi akan menerimanya sebagai korban!" Berkata sang Ketua. Entah apa yang telah dilakukannya, karena tahu-tahu telah menganga lagi sebuah lubang di dinding ruangan itu. Dan segera saja ia telah melompat ke celah pintu batu yang bergerak itu. Dan selanjutnya, pintu batu itu kembali menutup. Kini sang Ketua Siluman Hitam telah berada di ruangan tempat gadis itu terkulai dengan tangan dan kaki terikat rantai belenggu. Tampak wajah wanita itu terbelatak lagi lebih lebar. Karena dilihatnya sang Ketua Siluman Hitam telah buka jubahnya. Tampak punggungnya yang bertato kepala Tengkorak. Dan ketika ia lepaskan topeng wajahnya, kemudian balikkan tubuhnya. "Hah..!? Kau... kau..." Terdengar suara wanita itu yang seperti terkejut. "Benar...! Aku...! Aku adalah sang suami yang telah kau tinggalkan! Kau tinggalkan, karena aku orang yang miskin dan hina dina. Sehingga tak berharga lagi aku dimatamu...! Dimata seorang terhormat. Dimana kau adalah anak seorang Pendekar Besar...! Aku tak dapat membahagiakanmu, makanya kau pergi delapan belas tahun yang silam. Pergi tanpa kabar berita! Ternyata benih dariku itu kau berikan pada si Maling Sakti. Hingga ia tak menyangka kalau anaknya yang lahir adalah anakku...!" Rupanya kau kurang puas juga dengan suamimu. Entah apa yang membuat kau kurang puas, hingga kudengar kau tinggalkan lagi suamimu. Lima belas tahun aku mencarimu, ternyata kau sudah hidup senang dengan suamimu yang baru. Yaitu si Harya Anabrang! Heh! Seandainya ia tak merusak usahaku di Tanjung Awar-awar beberapa pekan yang lalu, mungkin aku telah dapat melupakan dendam yang berkecamuk belasan tahun itu di dadaku. Aku adalah Ketua dari Komplotan Bajak Laut yang sudah menguasai daerah pesisir pantai Utara itu. Gunung Butak adalah markas besarku..! Aku dapat berbuat apa saja tanpa ada yang dapat menahanku. Aku sudah suruh bakar habis Gedung kebanggaan suamimu. Dan Prasetyo anak dari hasil pelarianmu dengan si Tumenggung itu juga sudah kuterima laporannya. Ia sudah dibunuh dan terbakar mayatnya. Lihatlah... Aku banyak harta. Aku sepuluh kali lipat lebih hebat dari suamimu itu. Ha ha ha... ha ha..." Tampak wajah sang Ketua itu merah padam. "Lihatlah kini sang Dewa Api akan menerima korbannya...!" Berkata laki-laki itu yang sudah seperti bayi yang baru dilahirkan. Saat selanjutnya ia telah geluti sang korban. Panas api seperti menjilat-jilat tubuhnya namun Siluman Hitam tampak tarikan tari maut, diantara peluh dan darah. Manusia dapat lebih kejam dari pada seekor binatang, yang paling buas hanya karena dendam dan sakit hati. Tiba-tiba terdengar teriakannya. "Keparat..!" Dan sebelah lengannya menghantam ke arah lubang di dinding ruangan. Terdengar suara mengerikan. Dan dua sosok tubuh terjungkal kebawah. Sebentar saja ia telah benahi jubahnya. Dan melesat untuk melongok ke lubang jendela. Terlihatlah di bawah sana dua sosok tubuh terkapar di bawah dinding batu Gunung. Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di ruangan bawah. Sang ketua ini cuma perdengarkan dengusan di hidung. Sejenak ia tatap korbannya yang sudah tak bergeming, karena nyawanya telah terbang dari jasadnya. Tanpa berkata apa-apa, ia telah buka belenggu rantai di tangan dan kaki sang korban. Untuk selanjutnya segera ia pondong, dan lemparkan ke dalam lubang berhawa panas itu. Terdengar si wanita terpekik ngeri, melihat kebiadaban orang di hadapannya. Tampak sepasang mata wanita itu sudah bersimbah peluh dan air mata. Bibirnya terkatup. Bahkan ia sudah gigit bibirnya sampai berdarah. Pernyataan laki-laki dihadapannya itu benar-benar mengguncang perasaannya. Terasa ia hampir gila mendengar disebutnya Prasetyo sudah tewas dibunuh, dan dibakar mayatnya berikut gedung suaminya. Tiba-tiba ia berteriak histeris. "Syiwo Langit! Kau bunuhlah aku...! Biar kau puas. Jangan kau siksa aku di ruangan ini...! Bunuhlah aku Syiwo Langit...!" Namun sang Ketua Siluman Hitam itu hanya tertawa sinis. Sepasang matanya memancarkan dendam yang amat luar biasa. "Justru aku tak akan membunuhmu. Karena aku akan tunjukkan lagi di depan matamu satu pertunjukkan serupa...! Aku ingin lihat apakah, kau lebih cinta harta, atau lebih cinta anakmu... Sawitri...!" "Hah!? Apa yang akan kau lakukan lagi dengan anak itu...?" Terkesiap si wanita itu seketika. Ia merasa benar-benar tengah berhadapan dengan seorang iblis. Namun lagi-lagi sang Ketua yang dipanggil Syiwo Langit itu sudah kenakan lagi topeng wajahnya. Dan dengan segera ia sudah gerakkan besi panjang di sisi pintu batu. Segera saja bergerit pintu itu terbuka, dan terlihat undakan batu dibawahnya. * * * * * * *
Sementara itu keadaan di ruang goa dibawa, tangga batu yang tiga ratus undakan itu telah terjadi kericuhan. Kericuhan itu tak lain dari para tawanan wanita yang terkumpul satu kerangkeng. Kiranya seorang tawanan wanita, kembali telah dimasukkan ke penjara berterali besi itu. Walau tidak adanya Sang Ketua. Upacara untuk memasukkan sang tawanan tetap didahului oleh empat orang bertopeng. Hanya gerakan dan susunan barisan orang bertopeng itu amat berbeda dengan yang tadi. Kalau tadi dua orang dari keempat orang pengawal itu kesisi kiri, dan dua lagi ke sisi kanan. Kini keempatnya berdiri berbaris ke sisi kiri semua. Memberi jalan pada seorang kawannya lagi yang memondong seorang gadis berbaju merah. Terkejut Roro, dan awasi wanita itu. "Ah!? Roro Dampit telah tertawan juga..!?" Berkata Roro Centil dalam hati. Sang penjaga penjara agaknya tak memperhatikan akan kejanggalan itu, ia sudah beranjak dari tempatnya berdiri, dan cepat membuka rantai gembok pada pintu penjara yang terisi ke tiga belas wanita itu. Namun begitu si pembawa tawanan memasuki pintu, tiba-tiba keempat orang pengawal itupun turut masuk. Salah seorang dengan gerakan cepat telah merampas kunci di tangannya. Brug..! Sang penjaga tersungkur kedalam karena di dorong oleh salah seorang dari para pengawal itu, yang telah merampas kuncinya. Akibat kejadian itu, tentu saja telah terdengar jeritan ketakutan dari para tawanan wanita sehingga menimbulkan kegaduhan. Salah seorang dari pengawal itu kembali menutup pintu dengan cepat, namun tidak menguncinya. Dan kembali menyuruk masuk ke dalam sehingga kembali terdengar jeritan beberapa wanita. Suasana segera menjadi gaduh. Namun keempat orang pengawal itu, juga si pembawa tawanan dan si penjaga penjara, Sudah terlindung tubuhnya dari luar, oleh karena tertutup oleh ketiga belas wanita itu. Pada saat riuh itu, Roro tiba-tiba dibisiki oleh si dara montok, yang menggulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro Centil. "Sssst...! Cepat kau tolong aku dulu. Nanti aku akan menolongmu melepaskan totokan di tubuhmu..!" Berbisik si dara montok. Lagi-lagi Roro Centil dibuat heran dengan kelakuan orang. Namun sang dara montok itu telah berkata lagi. "Apakah jari-jari tanganmu dapat kau gerakkan..." Roro cepat menjawab. "Kalau jari tangan, aku masih bisa untuk menggerakkannya. Namun kalau tangan dan kaki aku tak dapat menggerakkan. Karena pengaruh totokan orang bertopeng yang menawanku amat aneh. Bahkan aku sedang mencari jalan untuk membukanya..!" Si dara montok sudah menjawab lagi. "Bagus. Yang lainnya tidak begitu perlu. Cepatlah kau gerak-gerakkan jari tanganmu untuk menggelitik tubuhku pada bagian pinggang...!" "Haa...?" Ternganga Roro, mendengar kata-kata si dara montok. Segera saja ia sudah dapat menerka siapa dara montok di hadapannya. "Jadi... jadi kau Joko Sangit...?" Bertanya Roro dengan belalakan matanya. Si dara montok cuma cengar-cengir sambil berkata: "Kalau kau sudah tahu ya sudah... Hi hi hi..." Tertawa sang "dara" yang kenes ayu itu. Tampakkan giginya dari sela-sela jala. "Pencuri kau ya... ? BH ku kau curi. Dan kotak perhiasanku pun kau bawa lari. Kemana kau sembunyikan buntalan pakaianku...? Awas, kalau tidak kau kembalikan tahu rasa kau." Berkata lagi Roro Centil sambil perengutkan wajahnya. "Aiiiiii... Kau sabarlah, sayangku... Semua ini akan ku kembalikan. Tapi cepatlah kau turuti perintahku, kalau kau tak mau dijadikan korban buat si Dewa Api..!" Namun Roro sudah gerakkan jari-jarinya untuk mencubit punggung orang. "Adoooow..! Bukan kusuruh cubit, nona manis... Tapi di gelitik!" Berkata si "dara" montok itu, yang tak lain dari Joko Sangit adanya. Dan detik selanjutnya sudah terdengar sang "dara ayu" itu telah tertawa cekikikan karena pinggangnya di gelitik Roro Centil. Tentu saja suara tertawa gelinya tak begitu kentara, karena disebelahnya tengah terjadi kegaduhan. Kiranya si penjaga penjara itu tengah dikerubuti oleh para wanita tawanan itu sambil berteriak-teriak histeris. Beberapa orang sudah mengetahui kalau kerangkeng itu tidak terkunci lagi, dan sudah berdesakan untuk keluar. Akan tetapi pada saat itu. Enam penjaga ruangan telah berkelebat ke depan penjara. Mereka telah mengetahui akan adanya warga Siluman Hitam palsu yang membuat kericuhan. Segera salah seorang telah keluarkan bentakan. "Heh! Penyaru-penyaru busuk! Kalian telah masuk ke sarang siluman. Akan sulit bagi kalian untuk bisa pergi dengan selamat...!" Namun gadis-gadis tawanan itu sudah menyerbu keluar dengan teriakan-teriakan riuh. Mereka berusaha menyelamatkan diri untuk berlari keluar ruangan. Akan tetapi dengan mudah, keenam penjaga ruangan itu telah bergerak untuk menangkap kembali para tawanannya. Pada saat itulah keempat penyaru itu sudah lepaskan topeng pada wajahnya. Dan menerjang ke enam pengawal pengawal itu. Segera terjadi pertempuran. Sementara si penjaga penjara itu tampak telah tewas. Karena lehernya di jepit oleh sepasang ruyungnya. Dalam kerusuhan itu, ternyata telah membuat kesempatan Joko Sangit yang telah mempergunakan ilmu tertawanya, dapat terlepas dari pengaruh totokan. Yang segera saja dengan cepat ia menjebol jala yang membungkus tubuhnya. Dan cepat ia bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Roro Centil. Yang segera turut meniru Joko Sangit, menjebol jala sutera. Beruntung tidak menemui kesukaran. Roro segera pergunakan tenaganya untuk membuka paksa pintu penjara, dengan menendang pintu terali itu. Yang langsung jebol dengan suara yang berisik. Roro Dampit sudah terdengar berteriak: "Adik Pendekar...! Syukurlah kau telah terbebas..!" Dan iapun menerobos ke luar kerangkeng dengan cepat. Roro Centil cepat menghampiri. Dan akan halnya Roro Dampit, sudah segera memeluknya dengan terharu seraya berbisik. "Adik Pendekar..! Rindu sekali aku padamu, adik.." Roro tepuk-tepuk pundak sahabat baiknya, seraya berucap. "Mana Sentanu...?" Yang segera Roro Dampit palingkan kepala pada pertarungan. Satu suitan nyaring telah ia perdengarkan, dengan memasukkan dua jari tangan kemulutnya. Dan tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang berpakaian hitam itu, segera melompat ke arah mereka. Orang itu memang Sentanu adanya. Segera ia menjura hormat pada Roro Centil. Akan tetapi belum lagi Roro membalas, ia sudah gerakkan tangan untuk menghajar jatuh seorang pembokong di belakangnya. Terdengar teriakan ngeri, dibarengi dengan ambruknya tubuh di belakang lakilaki itu. Jerit dari para wanita yang berhamburan menyelamatkan diri itu, ditambah dengan berisiknya suara beradunya senjata, dan suara bentakan-bentakan, membuat suasana amat gaduh. Dilain saat si dara montok itu, tiba-tiba telah melompat ke dalam ruang yang agak gelap dimuka penjara, dimana di sana ada anak tangga yang menuju ke atas. Namun sebelumnya sempat bisikkan kata-kata pada Roro Centil. "Aku akan lihat ke ruangan atas. Apakah dua orang kawanku berhasil masuk kesana dari luar dinding gunung..!" Roro Centil cuma kerutkan alis, tapi belum ia mengangguk, orangnya sudah melesat ke sana. Akan tetapi, yang Roro lihat adalah telah terjadi ledakan tepat di hadapan si Joko Sangit, dimana ledakan itu telah menimbulkan asap tebal. Sehingga keadaan di ruangan itu dipenuhi asap kabut, yang membuat tidak terlihatnya lagi sosok-sosok tubuh. Dan pada saat selanjutnya terlihat oleh Roro dari kesamaran asap kabut itu, yang bergerak ke arahnya. Orang itu sudah berkata seperti memberi perintah atau petunjuk. "Hayo cepat kau tolongi wanita-wanita yang lainnya untuk mengeluarkan dari ruangan ini..! Aku akan menyelamatkan Sawitri...!" Berkata orang itu. Tersentak Roro Centil begitu melihat orang yang dikenal itu, ialah yang bernama Tunggul. Yaitu yang telah menyelamatkan Sawitri dan Prasetyo. Sementara itu tanpa ada yang mengetahui, sesosok tubuh dengan diam-diam telah menyelinap masuk ke dalam sebuah ruang gelap di dinding goa. Ia telah lepaskan topeng wajahnya, karena mengganggu penglihatan matanya. Didalam ruang itu segera ia dapat lihat sebuah lubang yang hanya pas untuk meloloskan tubuh satu orang. Tampak ia celingukan, sejenak seperti takut perbuatan diketahui orang. Dari seberkas cahaya sinar obor yang menempel di dinding goa itu, yang samar-samar agak menerangi wajahnya, diantara asap yang mulai agak menipis, segera dapat diketahui siapa adanya orang itu. Yang tak lain dari Pragola. Pragola adalah salah seorang dari ketujuh orang bertopeng yang selamat dari pembantaian orang-orang Siluman Hitam, yang dilakukan oleh Tunggul. Yaitu kawannya sendiri yang telah berkhianat. Setelah dirasa keadaan aman, cepat ia loloskan tubuhnya pada lubang sempit itu. Yang segera tampak kembali menutup. TUJUH
RORO CENTIL kali ini tak terkecoh. Ia segera payang dua orang wanita untuk dibawa keluar ruangan. Asap memang kian menipis. Lalu kembali lagi untuk menyambar lagi dua wanita, yang dengan gerakan sebat kembali ia bawa melompat keluar. Sementara Roro Dampit baru saja terbebas dari asap yang menghalangi matanya. Begitu lihat Roro Centil, segera turut berbuat seperti ia. Yang kemudian dituruti juga oleh Sentanu. Segera masing-masing telah dapat mengenali siapa kawan dan siapa lawan. Entah apa yang terjadi. Karena dalam kekacauan itu, sang lawanpun ada juga yang turut membawa seorang gadis untuk dibawa keluar. Tentu saja Roro Centil kerutkan keningnya. Dan biarkan orang lewat di dekatnya. Namun kakinya sudah memain. Dengan sedikit julurkan ujung kakinya, si pembawa gadis itu jatuh tersungkur. Namun sebelum tubuhnya menggabruk mencium tanah, ia telah menyambar tubuh sang gadis terlebih dulu. Keruan saja si pengawal, alias orang Siluman Hitam itu jatuh tersungkur sendirian. Dan ketika ia berusaha untuk bangkit. Dengan satu jejakan kaki Roro Centil membuat tubuhnya terlempar keluar beberapa tombak, dengan perdengarkan teriakan keras. Saat itu Sentanu dan Roro Dampit muncul dengan masing-masing menenteng dua orang wanita pada kedua lengannya. Segera Roro Centil mendahului keluar. Dan lepaskan tubuh gadis di lengannya. Begitu mereka berdua tiba didekatnya Roro Centil segera berkata: "Terimakasih atas bantuan kalian berdua. Namun kumohon, segeralah kalian selamatkan dulu sebahagiaan dari para tawanan ini ke tempat yang aman. Sementara biar aku yang mengurusi yang lainnya...!" Kedua orang suami isteri itu anggukkan kepala. Dan terus berkelebat keluar. Sentanu setengah menyeret dua orang gadis yang diselamatkan itu. Untuk selanjutnya mereka seperti tengah menggiring ternak saja layaknya, menarik dan mengajak mereka untuk selamatkan diri ke tempat yang aman. Gadis-gadis atau wanita-wanita yang tampak kesemuanya masih muda-muda itu, segera berlarian ke satu arah yang di pelopori oleh kedua suami isteri itu. Adapun Roro Centil kembali berkelebat masuk. Tampak dua orang telah bertarung melawan empat orang bertopeng. Sedangkan dua orang lagi telah terkapar bermandikan darah, bercampur dengan tubuh-tubuh beberapa lawan yang berkaparan. Roro yang mengetahui kalau ada empat orang kawan dari Roro Dampit dan Sentanu yang menyamar sebagai anggota komplotan Siluman Hitam itu segera dapat mengenalinya dari topeng yang tak dikenakannya lagi. Namun baru saja ia mau bertindak membantu, sudah didengarnya teriakan si dara montok, yang tak lain dari si Joko Sangit. "Hai Roro, cepat kejar si penculik itu...!" "Siapa....?" Roro sudah berkelebat ke dekat Joko Sangit. "Penculik siapa...?!" Roro Centil mengulangi pertanyaan. "Penculik gadis bernama Sawitri itu...!" Jawab si "dara montok" dengan cepat. Dan ia sudah bergerak mendahului memasuki sebuah celah di dinding goa itu, yang entah sejak kapan telah terbuka. Roro Centil berkelebat mengejar Joko Sangit, dan turut loloskan tubuh pada celah dinding goa. Segera ia sudah lihat kawan di arah depan. "Haiii! Tunggu dulu..!" Teriak Roro. Joko Sangit menoleh sambil hentikan tindakan kakinya. "Apa maumu nona manis...!?" Berkata Joko Sangit, dengan menatap keheranan. Adapun yang ditatapnya juga tampilkan wajah heran. Yang segera saja Roro berujar: "Sawitri telah diselamatkan oleh seseorang bernama Tunggul! Dia adalah kawan, bukan lawan. Karena aku tahu, dia adalah yang pernah menyelamatkan Sawitri dari para penculik gadis itu. Ia memang orang komplotan dari Siluman Hitam. Tapi telah berbalik memusuhi mereka!" Kata-kata Roro terdengar tegas. Membuat Joko Sangit kerutkan keningnya. Tampak ia palingkan kepala ke arah yang akan mengejar. Namun sudah terdengar ia menggerutu. "Huuu..! Makhluknya pun sudah lenyap!" Katanya seperti orang mengeluh. "Kau tidak tahu.. dialah yang telah melemparkan benda yang mengeluarkan asap itu, ketika aku akan ke ruang atas...!" Berkata lagi Joko Sangit. Terhenyak seketika Roro Centil, sejenak ia berfikir dengan kerutkan alis. Lalu berujar: "Sebaiknya kita menyelamatkan dulu wanita-wanita yang lainnya. Dan membantu pertarungan kawan-kawan si wanita berbaju merah itu." Roro hentikan kata-katanya sebentar, dan cepat melanjutkan. "Eh... apakah kau telah mengenal wanita baju merah itu?" Bertanya Roro. "Maksudmu kedua suami isteri itu...?" Sahut Joko Sangit. Roro Centil anggukkan kepala, dengan menatap wajah orang. Karena menduga ia telah mengetahui kedua sejoli itu. Sementara Joko Sangit telah jatuhkan pantatnya diatas batu. "Aku sebenarnya tidak mengenal suami isteri itu, tapi mengetahui rencana yang telah disusunnya. Yaitu mengajak empat orang kawannya untuk menyaru sebagai komplotan Siluman Hitam. Dengan berpura-pura membawa tawanan. Padahal yang dibawa sebagai tawanan itu adalah istrinya sendiri, oleh sang suami. Aku memang ada punya maksud tertentu dengan melibatkan diri masuk ke dalam sarang komplotan Siluman Hitam. Sengaja aku umpankan diri untuk bisa tertawan. Tak dinyana yang menawanku bukan saja menjeratku ke dalam jala, bahkan menotok jalan darah pada tubuhku, hingga aku benar-benar tak dapat berkutik..." Bertutur Joko Sangit. Tapi segera ia sudah sambung kata-katanya. "Oh, ya... Kukembalikan dulu benda milikmu ini..!" Ujarnya, seraya merogoh celah bajunya, dan mengambil sesuatu yang terselip pada ikat pinggangnya, pada bagian perut. Roro plengoskan wajahnya, karena Joko Sangit memang agak keterlaluan, yang menyibak belahan bajunya dari dada sampai ke bawah pusar, untuk merogoh benda itu. Yang rupanya agak merosot ke bawah. Bahkan sepasang penutup payudara itupun terlihat olehnya. Yang karena bentuknya memang mirip dengan yang asli, mau tak mau Roro sempat juga tersenyum. Dalam hatinya diam-diam membathin, pantas ia tidak mengenalinya, karena disamping wajahnya memang berpotongan bulat telur, juga berkulit putih dan halus. Tentu saja mirip wanita. Apalagi ditambahi dengan gincu pemulas bibir, dan warna hitam untuk penambah alis. Juga dengan dada yang montok menonjol. Entah rambut palsunya ia dapat dari mana. Karena setahu Roro, Joko Sangit berambut tidak terlalu panjang. Segera Joko Sangit berikan benda itu, yang ternyata adalah kotak perhiasannya, yang memang lenyap berikut buntalan pakaiannya. Kejadian itu adalah ketika kapal pesiar yang ditumpangi Roro dan Joko Sangit, diserang oleh para perompak di Tanjung Awar-awar. Bahkan ia menduga benda miliknya itu sudah hilang tenggelam, atau turut dirampok oleh para perompak laut waktu itu. Tidak tahunya dicuri, atau mungkin juga diselamatkan oleh Joko Sangit. Tadi sewaktu di dalam kerangkeng, sengaja ia menggertak lakilaki itu, dengan menuduhnya telah mencuri buntalan pakaiannya. Karena berdasarkan Joko Sangit telah memakai BH pemberian Gurunya, yang entah mengapa ia agak malas memakainya. Ternyata benarlah apa yang diduganya, tentu saja diam-diam ia bersyukur, dapat menemukannya kembali. "Yang ini aku tak dapat mengembalikannya sekarang..!" Berkata Joko Sangit, sambil menunjuk ke dadanya. "Nanti aku kembalikan semuanya, dan kuceritakan peristiwanya, hingga kau tidak menuduhku sebagai pencuri... Mau kannnn..?" Lanjutnya, sambil kedipkan sebelah matanya pada Roro Centil. "Iiih... Genitnya minta ampun! Amit-amit..." Berkata Roro Centil sambil tersenyum. Dan dengan cepat tanpa harus periksa lagi isinya. Roro Centil selipkan kotak perhiasan itu ke balik bajunya. Tiba-tiba Joko Sangit cepat berdiri, dan berkata: "Ayo, kita bantu menyelamatkan wanita-wanita itu...!" Seraya beranjak untuk kembali ke celah dinding batu gunung itu. Roro yang memang tadi berniat demikian, jadi teringat kalau pekerjaannya tertunda. Segera merekapun bergerak ke sana. * * * * * * *
Roro Dampit dan Sentanu membawa para tawanan wanita itu, yang telah dapat diselamatkan ke tempat yang aman. Yang ditujunya adalah desa terdekat. Ketika melewati sebuah tempat, mata si wanita baju merah yang jeli itu dapat melihat sesuatu di sebelah kanannya kirakira tujuh delapan tombak. Ia yang memang berada di bagian belakang, dalam iring-iringan wanita itu, segera bisikkan perintah pada seorang gadis didepannya. "Cepatlah kalian berjalan. Sebentar lagi sudah tiba di desa yang aman!" Yang segera gadis itu kembali berlari menyusul yang lainnya. Sementara ia sendiri berkelebat mendahului, memburu ke tempat Sentanu yang berada di bagian depan. Sebentar kemudian ia telah tiba disana. "Kak Sentanu... Kau teruslah bawa mereka ke tempat yang aman dimuka sana...! Aku akan mengurusi sesuatu dulu. Sebentar aku akan menyusul." Berkata Roro Dampit. Sentanu tampak kerutkan keningnya tapi segera mengangguk. Walau tadinya ia mau bertanya tentang urusan yang akan di selesaikan isterinya itu. Segera saja tubuh Roro Dampit berkelebat cepat kembali ke belakang. Ketika tiba ditempat tadi, ia mengambil jalan memutar dengan mata tetap ia arahkan pada sesuatu yang tergeletak disana, pada jarak tujuh atau delapan tombak itu. Keadaan ditempat itu memang tidak rata, karena ada tempat yang rendah dan tinggi. Ditambah, hari sudah hampir gelap. Tempat tergeletaknya benda dari sesuatu yang mencurigakan itu adalah di bawah lamping batu terjal, sedang pada bagian bawahnya tempat lebat oleh semak dan pepohonan. Dengan gerak kucing mengintai tikus, ia telah tiba di tempat itu, yang dengan merayap sedikit, ia telah raih benda itu. Itulah secarik kain yang sobek. Ia segera palingkan kepala ke beberapa tempat. Dan kembali terlihat sobekan pakaian, di sebelah agak ke bawah. Cepat, namun tanpa menimbulkan suara ia merangkak kesana. Dan benarlah dugaannya. Karena dibalik lamping batu itu sudah terdengar dengus napas yang seperti suara orang habis dikejar setan. Dan memanglah orang itu sendiri setannya. Karena seekor srigala yang tengah mendengus liar tengah menyantap korban. Sepasang kakinya yang berbulu lebat itu bergerak-gerak, membuat Roro Dampit tahan napasnya. Pelahan lahan ia sudah cabut keluar sepasang ruyungnya. Sementara darahnya seperti mendidih melihat kebiadaban makhluk srigala dihadapannya. Tiba-tiba terdengar teriakan yang lemah lalu sepasang kaki pelanduk yang kecil itu tampak bergerak mengejang, lalu terhentak-hentak seperti tengah menahan kesakitan yang amat sangat, atau juga tengah menghadapi sekarat. Tersentak Roro Dampit, ketika melihat sepasang kaki pelanduk itu terkulai. Dan sang srigala tampak bangkit dengan gigi dan taring-taringnya berlepotan darah segar. "Biadab..!" Terdengar teriakan keras Roro Dampit. Dan.... Crep! Sepasang ruyungnya telah meluncur deras dan menancap kedua-duanya pada tengkuk dan punggung sang srigala buas itu hingga menembus ke leher dan dada. Terdengar suara menggerung keras. Hanya sekejap Roro Dampit telah mencabut kembali sepasang ruyungnya. Maka terdengarlah lengkingan sang serigala yang suaranya terdengar bagai mau menembus langit. Dibarengi dengan ambruknya tubuh sang srigala, dengan darah segar berhamburan memuncrat memercik ke atas batu dan semak. Tampak sepasang mata Roro Dampit telah kucurkan air mata, yang meleleh di pipinya. Tapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di belakangnya. Segera ia palingkan kepala untuk melihat. Tampak tiga orang yang berpakaian dan bertopeng hitam telah berdiri berjajar seperti tengah menyaksikan kejadian yang seru itu, dan membiarkannya berlangsung di depan mata. Salah seorang sudah berkata dengan mendengus, tatapan matanya berkilat-kilat. "Heh...! Singa betina ini agaknya lebih baik dibanding dengan seekor kancil yang kemarin kita dapatkan...!" "Betul, sobat...! Aku setuju bila kita ingin permainan yang unik dengan singa liar ini..! Setujuu...?" Berkata seorang lagi sambil membuka topeng wajahnya. Ternyata ia seorang bertampang seram, karena dari bibirnya tersembul dua buah gigi yang mencuat ke atas. Yang dua orang lagi segera ikut membuka topengnya. Segera terlihat. Yang seorang hidungnya somplak sebelah. Sedang seorang lagi lebih seram. Karena ada goresan melintang dari pipi sampai ke ujung dahi. Seperti bekas luka bacokan senjata tajam. Tembusan luka itu sampai melewati biji matanya, yang tampak melejit keluar. Roro Dampit bergidik ngeri melihat wajah-wajah ketiga orang itu. Ia sudah bersiapsiap dengan sepasang ruyungnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Tampak si gigi mencuat mengeluarkan sebuah cambuk dari kulit kerbau. Sedang yang dua orang, satu mengeluarkan tambang yang digulung beberapa lingkaran. Dan satu lagi mengeluarkan clurit, yang tampak berkilat terkena cahaya matahari di ujung bukit. Karena jalan ke atas telah tertutup oleh ketiga orang seram itu, Roro Dampit segera putar tubuh untuk melompat ke bawah. Namun ketiga orang itu dengan serempak telah berkelebatan mengejarnya. "He he he... Mau lari kemana kau singa liar...!" Si hidung somplak yang bersuara di hidung itu lebih dulu mengejarnya. Tiba-tiba gulungan tambangnya meluncur bagaikan tali laso saja yang dipergunakan untuk menjerat kuda liar. Rrrrrt...! Roro Dampit tak menyangka kalau tali itu yang telah meluncur. Karena jalan yang menurun itu agak curam, ia tak bisa leluasa untuk melompat menghindar. Sehingga cuma sebentar saja ia sudah kena terjerat tambang. Dan tanpa ampun lagi tubuhnya telah terbanting ke tanah bergulingan. Ketiga orang itu bagai baru menangkap seekor binatang buruan mengejar hasil buruannya dengan suara tertawa yang tak enak untuk didengar. "Hebat, kau Ludira! Ayo cepat kau ringkus dia..!" Berteriak si gigi mencuat sambil melompat lebih dulu. Roro Dampit dengan menggertak gigi berusaha bangkit, untuk lepaskan tali yang menjerat tubuhnya. Namun satu sabetan cambuk telah membuat ia kembali terjungkal dengan pekikan menyayat. "Iblis keparat..! Lepaskan aku..!" Berteriak Roro Dampit, sambil ayunkan ruyungnya membabat kaki si gigi mencuat. Namun sekali ia lompat, ia telah dapat menghindar. Tiba-tiba.... Rrrrrt..! Kembali tambang laso si hidung somplak menyambar lengannya. Tak ampun lagi Roro Dampi terpekik karena sebelah lengannya yang memegang ruyung telah kena terjerat lagi. Ternyata tambang itu mempunyai dua penjerat pada kedua ujungnya. Belum sempat ia berbuat sesuatu, si hidung somplak telah berkelebat turun untuk selanjutnya ia telah berhasil meringkus Roro Dampit, yang cuma bisa berteriak-teriak dengan wajah pucat pias. Selanjutnya ia telah pondong tubuh sang korban meluncur turun ke bawah, diikuti si muka codet yang tertawa berkakakan. Pada sebatang pohon dibawah lamping bukit itu Roro Dampit di ikat dengan tangan ke belakang. Dan kaki terpentang. Seperti orang tengah menjagal seekor kambing saja layaknya. Bret! Bret! Dua kali tangan si codet bergerak ia telah merobek pakaian si pengantin, yang baru berbulan madu itu. "Tidak..! Tidaaak..! Lepaskan aku!? Lepaskaaaan..!" Roro Dampit berteriak dengan wajah pias. Sementara jantungnya berdetak keras. Ia sudah tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Segera saja air matanya membanjir membasahi kedua pipinya. Tampak ia seperti menyesal, mengapa ia tak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi...? Mengapa...? Mengapa...?! Memekik hatinya. Namun semua itu sudah terlambat. Kenyataan itu telah ia hadapi. Bret..! Kembali satu sentakan tangan si muka codet, telah membuat segala yang menghalangi menjadi agak terang. Dan satu sentakan sekali lagi, dua bukit yang tegak menjulang melambai untuk dijamah petani. Tangan si muka codet sudah mau bergerak lagi untuk membabat habis ranting penghalang. Namun saat itu telah terdengar suara si gigi mencuat untuk menahannya. "Tunggu dulu sobatku..! Cukup dulu sampai di sini. Aku mau lihat kekuatan singa liar ini. He he he., he he..." Segera si muka codet menyingkir. Dan si gigi mencuat telah putar-putarkan cambuknya di udara. Selanjutnya... Ctarrrr...! Terdengar suara keras yang memekakkan telinga. Roro Dampit menjerit histeris, ketika ujung cambuk itu menjilat tubuhnya. Ctarrrr...! Kembali ia menggeliat menahan sakit. Dua garis memanjang tampak terlihat memerah dari leher sampai ke bawah dada dan sebuah lagi menyilang ke sisi. Terdengar si gigi mencuat tertawa berkakakan diikuti kedua kawannya. "Aduuh... kau keterlaluan Trimbil, masa batu pualam yang mahal harganya ini kau coret-coret begini...? Biarlah aku yang menghapusnya..!" Berkata ia sambil leletkan lidah. Roro Dampit terpekik dengan belalakkan mata. Lidah yang terjulur itu ternyata benar-benar telah menghapus semua impian indahnya bersama Sentanu. "Tidaaak..! Tidaaak..! Tidaaak..!" Teriakan Roro Dampit bagaikan auman seekor singa yang mengerung kesakitan. Saat selanjutnya sudah terdengar lagi suara iblis-iblis yang tertawa berkakakan. Diiringi menggeletarnya suara ujung cambuk yang menyentuh kulit. DELAPAN
Pekik mengerikan segera terdengar ketika tubuh Pragola terlempar dari jendela diatas ruang, yang tingginya tiga ratus undakan itu. Walaupun tubuhnya terlapis dengan pelat baja tipis, yang anti bacokan senjata tajam. Namun ia tak dapat menahan terbangnya sang nyawa karena sekejap saja batu-batu terjal dibawah dinding gunung itu telah memangsa tubuhnya yang bagaikan mengkremus mentah-mentah tulang-tulangnya. Tunggul memandang ke bawah dengan geram. Sementara matanya menatap ceceran uang emas dan perak, yang nyaris saja ludes digondol si pencuri licik, yang memang sudah lama mengincar "harta karun" di ruangan itu. Seandainya ia tak memakai jalan-jalan rahasia, yang dapat mencapai arah ke ruang atas, tak nantinya ia dapat memergoki Pragola, yang telah berada di ruangan itu. Dan tengah bergegas mengumpulkan benda-benda berharga! Sementara wanita isteri Tumenggung Harya Anabrang, cuma terpaku bagai patung, berdiri di sudut ruangan. Betapa terkejutnya si wanita ini tadi, ketika mendengar pintu batu berderit. Dan sesosok tubuh telah bergerak masuk ke dalam ruangan tempat ia terkurung, ia mengira yang datang adalah Syiwo Langit. Tapi di luar dugaan, yang muncul itu seorang laki-laki berambut keriting, yang tak lain dari Pragola. Ia tak mengenal laki-laki itu, yang hanya sekejap saja menatap padanya, tapi selanjutnya sepasang matanya telah beralih pada tumpukan harta benda, dan ratusan keping uang mas, yang tercecer dalam ruangan itu. Sepasang mata Pragola jadi bersinar gemerlapan. Bagaikan mau melejit saja biji matanya keluar, ketika kilatan-kilatan uang logam emas dan perak dan tumpukan permata mutu manikam yang menyilaukan pandangannya itu, seperti telah menyihirnya untuk segera meraih dengan tangannya. Seperti hilang akal ia segera meraup keping-keping berharga itu dengan tangan gemetaran. Dan jejalkan pada saku bajunya. Setumpuk perhiasan yang gemerlapan itu cepat ia raup dengan kedua tangannya yang sebelum ia masukkan ke dalam bajunya, telah ia pandang terlebih dulu, seperti tengah mengagumi akan keindahannya. Sehingga ia tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tubuh telah muncul di pintu batu yang masih terbuka. Sesosok tubuh yang memanggul seorang gadis. Yang tak lain dari seorang laki-laki bernama Tunggul. Pelahan-lahan ia kembali menyelinap dari pintu batu itu. Tapi hanya sesaat. karena sudah muncul lagi. Namun tanpa si gadis pada pundaknya. Tiba-tiba sebelah lengannya terjulur menyambar tengkuk Pragola, yang jadi tersentak kaget bagaikan orang terkena Strom saja layaknya. Namun hanya sekejap. Karena sebelah lengan Tunggul kembali telah bergerak untuk menotoknya, sehingga Pragola hanya mampu berteriak tergagap, dengan tubuh tergetar hebat. Seluruh persendian tubuhnya telah lemah lunglai. Brug..! Ia telah bantingkan tubuh Pragola ke lantai, yang sudah tak dapat berkutik lagi dan jatuh menggeloso bagai sehelai kain. Sementara sang isteri Tumenggung cuma bisa katupkan bibir, dengan tubuh gemetar berdiri di sudut ruang. Tampak tubuh Tunggul telah menyelinap kembali ke pintu batu. Yang sekejap kemudian telah kembali lagi dengan memanggul tubuh gadis tadi, yang tak lain adalah Sawitri. Sekali ia menggerakkan tangan untuk menggeser sebuah batu persegi yang menempel di dinding ruangan, pintu itu kembali menutup. Tiba-tiba wanita ini perdengarkan suaranya yang menggeletar menatap siapa gadis yang telah digeletakkan di hadapannya itu, oleh Tunggul. Yang segera ia merangkulnya dengan isak tertahan sementara air matanya mulai lagi menetes, mengalir dari pipinya. Tiba-tiba ia dongakkan kepalanya pada laki-laki berkumis dan berjenggot hitam legam itu untuk menatapnya seraya berkata: "Syiwo Langit...! Apa yang kau mau lakukan pada anakku?" "Hm...! Kau dapat melihatnya nanti nyonya Tumenggung...!" Seraya berkata ia telah kembali gerakkan tangan untuk membuka sebuah lubang pada dinding ruangan. Sebuah lubang yang hanya muat untuk masuk tubuh manusia dengan merangkak. Selanjutnya ia telah seret tubuh Pragola, yang berteriak-teriak bagai orang kesurupan. Namun laki-laki berhati keras, dan berdarah dingin ini mana mau mendengar teriakannya...? Gemerincing uang mas dan perak berhamburan keluar dari saku baju Pragola, yang terus diseretnya hingga ke bawah jendela di dinding ruangan yang berhawa panas itu. Pragola menangis bagai anak kecil. Sesambat memohon ampun. Namun bagaikan seorang yang tuli, Tunggul telah mengangkat tubuh Pragola keatas jendela. Dan tanpa berkedip, ia telah lemparkan tubuhnya keluar. Terdengar teriakan yang menyayat hati. Tubuh Pragola melayang, meluncur deras dari tempat ketinggian itu untuk segera menemui kematiannya. Demikianlah peristiwa yang tadi telah terjadi. Dan saat berikutnya Tunggul sudah melangkah lagi untuk masuk, dan merangkak kedalam ruangan. "Tidak..! Tidaaak..!? Jangan kau lakukan itu pada anakku...! Jangaaaaaan..!" Berteriak wanita itu sekuat-kuatnya sambil memeluki tubuh Sawitri yang tergolek pingsan. Tunggul cuma perdengarkan suara di hidung. Sepasang matanya menatap perempuan itu tak berkedip. Tiba-tiba ia telah perdengarkan suara tertawanya. "Ha ha ha... ha ha ha.... Mengapa kau melarang apa yang akan aku lakukan...? Bukankah kau lebih menyayangi harta dari pada anakmu..? Kau titipkan Sawitri pada orang lain tanpa kau mau mengakui ia adalah anakmu..! Apakah kau merasa telah membesarkannya dengan sumbangan-sumbangan pangan yang kau berikan selama ini dengan hartamu...? Dengan harta suamimu, yang kau bangga-banggakan itu...? Heh..! Tidak! Ia besar dan tumbuh dengan sendirinya. Walaupun kau tak berikan sumbangan sepeserpun! Karena Tuhan yang telah membesarkannya..! Ia memang tumbuh karena ia masih ditakdirkan untuk hidup dan menjadi besar..! Tapi ia tumbuh tanpa kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu kandung yang telah menyisihkannya dari gelimang kemewahan. Dan juga telah menyisihkannya dari ayah kandungnya. Semua itu kau lakukan karena ayahnya telah jadi seorang hina papa, sejak musibah menimpa kehidupannya..! Apakah dia harus menyalahkan perang...? Menyalahkan keadaan tanah air..? Menyalahkan Kerajaan..?! Menyalahkan manusia-manusia rakus yang merampok seluruh harta bendanya... hanya karena ia dianggap pemberontak! Padahal semua itu adalah fitnah keji dari seorang pembesar Kerajaan yang berhati srigala berbulu domba. Yang mempergunakan siasat memancing ikan di air keruh, dengan mencari kesempatan dalam kesempitan. Mempergunakan pangkat hanya untuk memperkaya diri sendiri..." Suara Tunggul menggema santar di ruangan itu. Dengan nada yang semakin parau, karena iapun tengah menahan kepedihan yang teramat sangat. Kepedihan dari penderitaan, yang telah merobahnya menjadi seorang yang berhati keras bagaikan batu, dan merobah jiwanya menjadi seorang yang berdarah dingin. "Aku sadar, kalau kau hanya mengejar kemewahan! Mengejar duniawi yang tak ada kepuasannya. Kau bukan mencintai diriku, tapi mencintai hartaku..! Kau tinggalkan aku setelah aku tak punya apa-apa lagi! Kau bawa lari benih dariku untuk kau berikan pada seorang laki-laki yang juga kau cintai karena hartanya. Laki-laki itu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Hingga lahirnya anak yang telah kau beri nama Sawitri. Anak yang dianggap oleh ayahmu si Pendekar Bayangan yang bernama Bayu Seta adalah cucunya, yang mutlak dari hasil pernikahanmu dengan Jarot. Padahal benih itu berasal dariku..! Kau dustai Jarot...! Kau dustai ayahmu..! Kau dustai dirimu sendiri...! Kau tutup rahasia pada Sawitri, siapa ayahnya... siapa ibunya..! Juga kau tutup rahasia itu pada Prasetyo anakmu, hasil dari suamimu si Tumenggung itu. Sehingga kedua bocah itu hampir saja terjerumus untuk saling mencinta..! Kini semua apa yang kau banggakan itu sudah musnah! Suamimu sudah jatuh melarat! Aku telah memberinya berita untuk datang kemari ternyata ia belum memunculkan diri. Akan kusuruh ia saksikan upacara pengorbanan isteri dan anak gadisnya walaupun anak itu adalah anakku. Namun aku tahu ia amat menyayangi Sawitri. Aku tahu semua itu dari Punta. Sayang Punta turut campur urusanku, sehingga terpaksa aku membunuhnya..!" Sampai disini Tunggul hentikan kata-katanya lagi. Tampaknya sepasang matanya merah seperti menyala. Wajahnya yang kaku itu seperti menampilkan kekerasan hatinya. Sementara suara isak tersendat terdengar dari wanita isteri Tumenggung itu yang masih tundukkan wajah dengan memeluk anak gadisnya. Air matanya sejak tadi terus mengalir membasahi pipi, dan jatuh ke dada sang anak. Tiba-tiba Tunggul alias Syiwo Langit telah berkata lagi. "Kini pilihan diantara dua.... Apakah kau lebih cinta anakmu, ataukah lebih mencintai harta benda...? Akan kuberikan semua harta yang ku kumpulkan ini semuanya untukmu. Kau boleh cari lagi si Tumenggung itu, untuk kau teruskan hidup bahagiamu dengannya. Tanpa harus kau takutkan aku mengganggumu. Karena aku tak akan mengganggu walau selembar rambut kalian! Nah berikanlah anakmu. Dan biarkanlah ia kuperbuat sesuka hatiku. Karena dia adalah darah dagingku..!" Berkata Tunggul sambil membungkuk untuk meraih tubuh Sawitri. Akan tetapi si wanita itu telah menjerit histeris. "Tidaaak..! Tidaaaak...! Jangan kau sentuh dia..! Jangan kau pisahkan ia dari sisiku lagi, Syiwo Langit. Ampunilah kasalahanku... Ampunilah dosaku..! Dia anakku...! Dia darah dagingku..! Dia.. dia... anak kita...! Sawitri anak kita..!" Tampak Tunggul kembali berdiri, dan tegak bagai arca, tak bergeming. Kata-kata itu seperti nyanyian indah yang membisik di telinganya. Begitu menyejukkan. Begitu meresap ke dalam kalbu. Alangkah indahnya kata-kata itu..! Membisik hatinya. Kata-kata yang ia dambakan hampir separuh dari hidupnya. Kata-kata yang membuat jiwanya yang panas menggelegak, seperti tersiram air sejuk. "Dia anak kita...! Sawitri anak...!" Suara yang menghiba itu amat menyayat hati, dan berulang-ulang menggema di telinganya. Tegakah ia berbuat senaib itu pada darah dagingnya sendiri...? Tegakah ia lakukan perbuatan terkutuk itu hanya karena untuk membuktikan kekerasan jiwanya. Membuktikan bahwa iapun seorang laki-laki. Yang dapat berbuat apa saja di hadapan bekas isterinya, yang masih syah sebagai isterinya! Yang semua itu harus ditebus oleh pengorbanan sang anak. Pengorbanan yang tidak mutlak. Pengorbanan yang akan membawa murka Tuhan. Karena perbuatan itu adalah perbuatan yang amat terkutuk. Tampak ada air bening menetes dari pelupuk mata Tunggul. Air mata suci yang keluar dari dorongan hati nurani yang masih bersih. Seekor binatang yang paling buas sekalipun tak akan memangsa anaknya sendiri. Namun bila hal itu bisa juga terjadi. Maka manusia itu lebih rendah martabatnya dari pada seekor binatang...! Padahal manusia diciptakan Tuhan adalah sebagai insan yang paling mulia. Melebihi makhluk-makhluk lain yang telah diciptakanNya. Hanya karena dorongan hawa nafsu sajalah, yang membuat manusia lupa akan harkat kemanusiaannya. Hawa nafsu yang datangnya dari Syetan! Dari Iblis! Yang merasuk pada hati manusia. Menguasai akal sehatnya. Sehingga manusia terbuai oleh bisikan-bisikan nafsu lahiriahnya yang sudah ditunggangi oleh para Syetan dan Iblis! Tubuh Tunggul tampak tiba-tiba tergetar hebat. Ia seperti sebuah arca yang sudah mau runtuh ke bumi. Kekerasan hati dan jiwanya tampak luluh. Tulang-tulang persendian lemah, seperti sudah tak kuat untuk menyangga sang tubuh untuk terus berdiri tegak. Dan tiba-tiba saja tubuh Tunggul meluncur turun untuk jatuh menekuk lutut. Kepalanya tertunduk dengan sepasang mata yang terpejam namun penuh bersimbah air mata. Ada suara yang didengarnya. Suara dari seorang wanita yang telah kembali sadar akan kesalahan dan dosanya. Suara yang lembut penuh kasih sayang. "Kakang Syiwo Langit...! Maafkan segala kesalahanku yang telah membuat kau menderita. Membuat jiwa jadi berubah kejam, karena memendam sakit hati dan dendam karena ulahku. Maafkanlah aku kakang..." Dan terasa oleh Tunggul tubuhnya telah dipeluk orang. Karena memang wanita isterinya itu telah memeluknya dengan menciuminya pada wajahnya, sehingga air mata mereka bercampur menjadi satu. Ternyata bukan hanya air mata mereka saja yang menjadi satu, tapi hati merekapun telah kembali bersatu. Tunggul biarkan wajahnya diciumi sepuas hati. Dan biarkan wajahnya menjadi basah bersimbah air mata. Karena ia telah menenangkan segala perasaannya menenangkan hatinya yang berkecamuk oleh berbagai perasaan. Bahagiakah ia? Sedihkah ia...? Tunggul tak tahu akan semua yang ia harus ia ungkapkan. Namun Tunggul bukanlah Tunggul yang berhati bagai batu karang lagi. Bukan pula yang berjiwa telengas dan kejam lagi. Karena semua itu seperti telah terpupus dengan kenyataan yang tak dapat ia bantah. Ia masih mencintai wanita itu. Ia masih mendambakan kasih sayang dan kehidupan bahagia bersama anak yang dikasihinya Sawitri. Dan sekonyong-konyong Tunggul balas memeluknya. Sementara tanpa mereka mengetahui, sang anak sudah sejak tadi pentang mata untuk melihat kejadian di depan matanya. Telinganya sudah sejak tadi mendengar apa yang telah diungkapkan oleh ayahnya. Namun Sawitri memang berhati keras ia bertahan untuk tidak bergeming, dengan menahan perasaan hatinya. Kini melihat kedua orang dihadapannya tengah saling berangkulan, bertangisan. Gadis ini yang sudah sejak tadi melelehkan air mata, tiba-tiba telah perdengarkan teriakannya. "Ibuuuuu.! Ayaaaaah..!" Dan serta merta ia telah bangkit untuk segera memeluk kedua orang tuanya. Yang segera saja ramailah suara orang bertangisan di dalam ruangan itu. Sawitri seperti juga baru sadar dari sebuah mimpi. Karena baru untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dari kedua ayah dan ibunya, yang menangisinya dengan penuh keharuan. Sementara di luar langit yang terlihat dari jendela di dinding ruangan itu tampak memerah. Terlihat begitu indah. Rupanya sang matahari sebentar lagi akan tenggelam seolah untuk sejenak beristirahat. Yang segera menggantikan datangnya malam. Untuk kembali bersinar pada esok pagi. Dimana ia akan berikan sinarnya untuk kehidupan. Untuk ketentraman pada semua makhluk diatas dunia. SEMBILAN
JERITAN-JERITAN parau disengaja itu membuat burung-burung yang sudah mencari tempat untuk tidur didahan-dahan dan ranting pepohonan jadi buyar berhamburan dan berterbangan dengan ketakutan. Suara jeritan itu datangnya dari lamping bukit terjal itu. Tampak tiga orang berpakaian serba hitam dengan wajah wajah seram itu telah terjungkal roboh bermandikan darah. Ternyata saat-saat yang mengerikan buat Roro Dampit, telah terhapus sekejap mata. Dengan munculnya Roro Centil pada saat yang tepat. Sehingga perbuatan terkutuk yang akan menimpa dirinya itu dapat di gagalkan. Roro Centil memapah tubuh Roro Dampit dengan terharu. Beruntung Joko Sangit mau memberikan pakaian wanitanya pada wanita malang itu. Sehingga mereka dapat segera meneruskan langkah untuk menuju desa. Menyusul Sentanu. Dari jauh terlihat Sawitri mengejar mereka. Wajahnya tampak cerah, secerah langit yang masih tampakkan sinar merahnya. Sambil berjalan ia ceritakan pada Roro Centil bahwa keluarganya telah kembali bersatu. Ia telah menemukan kedua orang tuanya yang sebenarnya. Dan ia ada mendengar bahwa harta yang amat banyak, yang dikumpulkan ayahnya yang bernama Tunggul itu akan di bagi-bagikan untuk orang-orang miskin. Tentu saja Roro Centil tertawa gelak-gelak dan peluk tubuh Sawitri. Ia sudah dengar semua kejadian di atas ruangan goa itu dari balik pintu batu. Ia dengarkan bersama Joko Sangit yang tadinya berniat mengangkangi harta itu. Namun bukannya segera merampas harta, bahkan menangis cucurkan air mata. Masih untung ia tidak menangis dengan keluarkan suara. Kalau itu terjadi, bisa jadi Roro bertepuk tangan menyoraki. Walaupun Roro Centil sendiri sudah basah semua pipinya mengalirkan air mata. Karena ia segera tahu siapa mereka. Siapa Sawitri. Yang tak lain adalah masih cucunya si Pendekar Bayangan. Yaitu mertua Gurunya di lereng Gunung Rogojembangan. Namun kini ia mengetahui kalau Sawitri adalah bukan anak dari si Maling Sakti, Gurunya. Melainkan anak dari Tunggul alias Syiwo Langit. Seorang bekas kepala perompak yang bermarkas di Gunung Butak. "Nanti ayah dan ibu akan menyusul kemari, katanya sih besok pagi..!" Berkata Sawitri. Yang disahuti oleh Joko Sangit dengan prengutkan wajahnya. "Aiiih, rupanya sang Dewa Api mau beraduhai dulu dengan sang permaisuri, sehingga ia buru-buru suruh anak gadisnya menyusul kita...!" Tentu saja semua jadi tertawa. Tiba-tiba Roro Centil ajukan pertanyaan pada Sawitri. "Eh, adik..! Bagaimana kalau tiba-tiba ada seorang "jejaka tua" yang mau melamarmu...? Apakah kau terima...?" Berkata Roro Centil sambil melirik pada Joko Sangit. Tentu saja yang dilirik jadi plototkan matanya pada Roro Centil, dengan wajah marah... Karena ia tahu orang tengah menyindirnya. Namun di luar dugaan Sawitri dengan polos telah menyahuti: "Kalau orangnya baik, dan mengerti hati wanita, aku sih setuju saja..." Karuan saja wajah Joko Sangit semakin merah bagai kepiting direbus. Dan kembali terdengar suara tertawa geli, bahkan Roro Dampit yang baru saja terlepas dari musibah ikut tersenyum. Saat selanjutnya mereka sudah mempercepat perjalanan. Sementara beberapa wanita yang sudah terbebas dari cengkeraman orang-orang komplotan Siluman Hitam itu tampak bergegas untuk cepat kembali menemui sanak keluarganya. Beberapa pekan sudah berlalu, sejak lenyapnya komplotan Siluman Hitam di daerah Tambak Boyo dekat Tuban, tampak terlihat seorang laki-laki tua yang berambut kusut dan pakaian compang-camping terlihat sering mondar-mandir di tepi pantai. Orang sudah tak mengenalnya lagi kalau ia adalah bekas seorang bangsawan ternama yang berpangkat Tumenggung. Karena penduduk di sekitar pantai cuma mengenalnya sebagai orang yang sudah hilang ingatan. Yang sering duduk-duduk di tepi pantai atau kadang-kadang berlari-lari seperti tengah memacu kudanya, dengan mempergunakan pelepah daun kelapa sebagai tunggangannya. Dan berteriak-teriak seperti tengah menyerbu musuh. Tetapi kadang-kadang ia tertawa dan menangis seperti anak kecil. Atau berteriak-teriak, dengan berlaritari di tapi pantai. "Api... api.... Cepat selamatkan dirimu anakku..! Cepat lari...! Lari..!" Demikian ia berteriak-teriak, seperti melihat laut bagaikan telah berubah menjadi lautan api. Entah siapa anaknya yang selalu diingatnya itu, tak ada yang tahu. Bila ia sekejap kembali sadar. Ia duduk bersimpuh diatas pasir sambil menangis. Namun sebentar kemudian telah tertawa-tawa kembali seperti orang yang baru menang dalam peperangan. Dialah Tumenggung Harya Anabrang. Seorang manusia yang juga jadi korban dari apa yang namanya Cinta. Korban dari api dendam yang telah membakar Cinta. Dari seorang anak manusia. Takdir adalah takdir...! Yang manusia tak mampu untuk menolaknya. Apapun bisa terjadi di atas dunia ini, selama masih adanya nafsu. Namun nafsu pun tak akan pernah sirna di atas jagat ini seperti juga Cinta. Karena nafsu memang dibutuhkan oleh manusia. Seperti juga manusia membutuhkan Cinta...! Tapi bagi manusia yang mengerti, dan dapat mempergunakan akalnya ia akan dapat selalu mengendalikan hawa nafsunya. Karena dari nafsu yang terkendali, manusia dapat mewujudkan Cinta Kasih yang murni... Yang bebas dari pengaruh hawa nafsu yang telah di tunggangi Syetan. Tiada peperangan yang lebih besar, selain peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Karena Syetan akan terus menggoda hati manusia agar terus mengikuti hawa nafsunya, sampai ia terseret semakin jauh semakin jauh...! Hingga terjerumus ke dalam jurang yang paling dalam. |
Selanjutnya,
|
PENJARA BERTALI itu cukup luas. Berderet memanjang menghadap ke dalam ruangan goa yang luas itu. Dinding-dinding wanita di dalam kerangkeng besi itu, cukup membuat mereka berjejalan, karena dua ruangan masih kosong. Memang ada tiga kerangkeng di dalam ruangan itu, yang cuma terpisah oleh jeruji besi. Masing-masing satu pintu, dengan rantai gembok yang membelit pada setiap pintu.
Empat orang bertopeng tiba-tiba masuk ke dalam ruangan goa, diikuti seorang lagi yang membawa sesosok tubuh terbungkus jala. Ketika tiba dimuka kerangkeng, segera keempatnya terpecah menjadi dua bagian. Dengan dua ke sisi kanan, dan dua ke sisi kiri, seperti memberi jalan pada orang bertopeng yang berada di belakangnya. Salah seorang yang berdiri dekat sisi kerangkeng itu cepat bergerak untuk membukakan pintu terali besi itu dengan kunci yang selalu dipegangnya. Orang yang memanggul sosok tubuh terbungkus jala itu bertindak masuk, dan segera melemparkan tubuh orang yang terbungkus jala itu ke dalam kerangkeng. Selanjutnya telah bertindak keluar lagi. Dan kembali si penjaga penjara itu merantai pintu, dan menguncinya. Roro tahan sakit pada tubuhnya yang menggabruk ke lantai batu di dalam kerangkeng itu. Sementara belasan pasang mata dari kerangkeng di sebelahnya menatap kearahnya. Perlahan-lahan Roro putar kepalanya untuk memandang keadaan sekelilingnya. Terkejut ia melihat gadis-gadis seusia dengannya tampak tengah tatapkan pandangan kearahnya. Mata yang memancarkan harapan kosong yang gemerlapan terkena cahaya api obor dari kedua sudut dinding ruangan, dimuka kerangkeng itu. Belum beberapa lama antaranya telah dipanggul lagi masuk sesosok tubuh yang terbungkus di dalam jala. Upacara dilakukan seperti tadi, yaitu masuk terlebih dulu empat orang bertopeng, yang memberi jalan lalu sang penjaga penjara membukakan pintu kerangkeng. Selanjutnya sudah melemparkan lagi sosok tubuh yang terbungkus jala itu. Dan kembali sang penjaga merantainya. Roro Centil pentang mata melihat siapa orang yang terbungkus jala seperti dirinya itu. Yang persis menggabruk di sebelah depan tubuhnya. Membelakangi kerangkeng di hadapannya. Ternyata orang itupun tengah pentang mata menatapnya. Begitu orang-orang bertopeng itu beranjak pergi, tiba-tiba tubuh orang disebelahnya itu gulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro, seraya terdengar bisikannya. "Sssst... Aku akan menolongmu... nona Roro..!" Tapi yang diajak bicara cuma kerutkan alis, karena Roro memang tak mengenal gadis disebelahnya. Walaupun ia coba mengingat-ingat sekian banyak wajah yang dikenal akrab maupun di jalanan. Memang ada sekilas ia teringat akan seseorang, yang wajahnya hampir mirip dengannya. Apakah ia saudaranya..? Berfikir sesaat Roro Centil, namun ia sudah perlihatkan senyumnya sambil manggut-manggut dan menyahuti sambil berbisik. "Terimakasih... Eh, siapakah anda...?" Roro sambung bisikannya dengan pertanyaan. Namun gadis di hadapannya sudah tempelkan telunjuk di bibirnya sebagai jawaban, karena pada saat itu ia telah melihat seorang bertopeng yang berujung lancip di bagian atas kepalanya. Entah dari mana munculnya telah berada di ujung ruangan, didepan kerangkeng dengan tongkat kepala tengkorak di tangannya. Itulah sang ketua komplotan Siluman Hitam. Namun Roro belum mengetahui akan siapa adanya orang itu. Pelahan digerakkan kepala untuk melihat ke arahnya dari sela-sela benang jala. Sepintas memang sang Ketua itu mirip dengan hantu saja layaknya. Karena dengan jubah yang serba hitam, serta topeng yang menutupi dan membungkus seluruh kepala sampai kerambut yang cuma tongolkan kedua matanya saja dari kedua lubang pada bagian muka. Tampak ia telah ketukkan tongkatnya pada batu tiga kali, dan terdengar suaranya yang serak bernada bengis. "Mengapa tawanan yang paling istimewa belum juga dibawa masuk...?!" Suara yang santar itu terdengar sampai ke luar goa. Lapat-lapat terdengar seperti suara orang menggerutu, yang didengar oleh Roro dari sebelah dinding bagian belakang penjara. Suasana memang hening, yang tadinya agak ramai dengan suara keluhan dan tangis kecil dari penjara disebelahnya, begitu melihat adanya orang bertopeng lancip ini. "Apakah yang dimaksud Ketua, tawanan yang ini...?" Terdengar suara lapat-lapat itu. "Mungkin juga... kenapa tak dibawa masuk sekalian, malah ditinggal ke belakang!" Gerutu suara lapat-lapat itu. "Paling-paling dia kebelet untuk pergi buang air, makanya ia tinggalkan tawanannya disini, bikin kerjaan buat orang saja..!" Gerutu dari salah seorang lagi. Kemudian kembali hening. Dan selang beberapa saat, tampak salah seorang dari orang bertopeng itu memasuki ruang goa dengan memanggul tubuh seorang gadis lagi. Sudah tentu diawali dengan keempat orang bertopeng yang lebih dulu masuk. Dan seperti tadi upacaranya gadis yang tertotok pingsan itupun dilemparkan masuk ke dalam ruangan atau penjara disebelahnya, yang masih kosong. Inikah tawanan yang dikatakan istimewa itu...? Berfikir Roro. Yang segera ia mengetahui gadis itu tak lain dari Sawitri adanya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil jadi terkejut, dan keluarkan desisan dari mulutnya. "Aiiih... Dia pun tertangkap oleh siluman-siluman keparat di Gunung Butak ini. Entah bagaimana nasib si Tumenggung, dan pemuda bernama Prasetyo itu.." Roro Centil yang memang masih belum dapat membebaskan pengaruh totokan ditubuhnya, segera cepat berfikir. Dan selanjutnya telah berbisik lagi pada si gadis disebelahnya. "Katanya kau mau menolongku... Cepatlah kau bebaskan totokanku...!" "Aku... aku... hihi.. hi..." Tiba-tiba si gadis disebelahnya itu malah tertawa cekikikan. "He...? Kenapa kau? Apanya yang lucu...?" Berkata Roro dengan suara perlahan. Sementara alisnya berkerut, tiba-tiba ia merasa agak mengenali suara tertawa itu. Gadis terbungkus jala itu sudah menyahuti. "Aku memang mau menolongmu, tapi aku sendiri perlu pertolonganmu..." Berbisik si gadis itu. Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi mengkal hatinya. Mau menolong orang, tapi ia sendiri perlu pertolongan orang! Adalah sama dengan bohong...! Memaki Roro dalam hatinya. Akan tetapi ia sudah ajukan pertanyaan. "Hmm, tadi kau belum jawab pertanyaanku siapakah kau sebenarnya, dan dari siapa kau tahu namaku..?!" Desis Roro dengan suara mendesis, karena takut terdengar oleh sang penjaga. Sementara ia dapat lihat si orang bertopeng lancip yang memakai jubah, dengan tongkat kepala tengkorak itu sudah tak kelihatan lagi. Gadis disebelahnya itu cuma tersenyum saja, dan tidak lantas menjawab. Ternyata ia adalah si dara montok yang tengah mengejar kudanya yang terlepas, tadi siang. Dan menabrak jatuh sang Tumenggung Harya Anabrang, di Sulang. Saat itu memang dapat dikatakan sudah menjelang sore. Namun keadaan di dalam ruangan goa itu, masih tetap terang benderang, karena cahaya dari apiapi obor, tetap menyala di kiri-kanan dinding ruangan goa. Waktu makin terus merayap Pegunungan Kapur seperti raksasa yang tengah tidur pulas, disinari cahaya mentari yang sudah mulai condong. Keadaan di ruang atas yang tertutup dengan pintu batu itu, ternyata masih tampak seperti tadi. Tubuh sang gadis itu telah terkulai. Sementara sepasang mata sejak tadi telah terus mengikuti dari sebuah ruang, tepat didepan sang korban untuk sang Dewa api. Itulah sepasang mata dari seorang wanita, yang berumur kira-kira 35 tahun. Tampak ia seperti turut tersiksa dengan melihat kejadian di depan matanya. Tiba-tiba sebuah lubang persegi empat yang panjang dan lebarnya sama telah terbuka dari balik dinding ruangan dimana ia berada. Sesosok tubuh tibatiba muncul dari dalam lubang di dinding itu, yang orang hanya dapat masuk dengan membungkukan tubuh terlebih dulu. Itulah sang Ketua Siluman Hitam yang bertopeng lancip dengan sebuah tongkat berkepala tengkorak berada di tangannya. "Bagaimana dengan persembahan untuk sang Dewa Api itu, nyonya Tumenggung...? Suatu pertunjukkan yang sangat menarik bukan? Ha ha ha., ha.... ha.... Itu baru pertunjukkan yang biasa. Masih ada kelanjutannya. Nanti disaat ia sudah mau sekarat, akan ada lagi satu pertunjukkan yang lebih menegangkan!" Berucap sang Ketua dengan diselingi tertawa sinis. Ternyata wanita di dalam ruangan itu adalah isteri Tumenggung Harya Anabrang. Didalam ruangan itu penuh berceceran uang emas, dan perak. Bahkan tumpukan-tumpukan buntalan dengan berbagai macam perhiasan berserakan di tempat itu. Agaknya ruangan itu adalah tempat penyimpanan Harta Rampokan. "Nah, waktunya telah tiba...! Dewa Api sebentar lagi akan menerimanya sebagai korban!" Berkata sang Ketua. Entah apa yang telah dilakukannya, karena tahu-tahu telah menganga lagi sebuah lubang di dinding ruangan itu. Dan segera saja ia telah melompat ke celah pintu batu yang bergerak itu. Dan selanjutnya, pintu batu itu kembali menutup. Kini sang Ketua Siluman Hitam telah berada di ruangan tempat gadis itu terkulai dengan tangan dan kaki terikat rantai belenggu. Tampak wajah wanita itu terbelatak lagi lebih lebar. Karena dilihatnya sang Ketua Siluman Hitam telah buka jubahnya. Tampak punggungnya yang bertato kepala Tengkorak. Dan ketika ia lepaskan topeng wajahnya, kemudian balikkan tubuhnya. "Hah..!? Kau... kau..." Terdengar suara wanita itu yang seperti terkejut. "Benar...! Aku...! Aku adalah sang suami yang telah kau tinggalkan! Kau tinggalkan, karena aku orang yang miskin dan hina dina. Sehingga tak berharga lagi aku dimatamu...! Dimata seorang terhormat. Dimana kau adalah anak seorang Pendekar Besar...! Aku tak dapat membahagiakanmu, makanya kau pergi delapan belas tahun yang silam. Pergi tanpa kabar berita! Ternyata benih dariku itu kau berikan pada si Maling Sakti. Hingga ia tak menyangka kalau anaknya yang lahir adalah anakku...!" Rupanya kau kurang puas juga dengan suamimu. Entah apa yang membuat kau kurang puas, hingga kudengar kau tinggalkan lagi suamimu. Lima belas tahun aku mencarimu, ternyata kau sudah hidup senang dengan suamimu yang baru. Yaitu si Harya Anabrang! Heh! Seandainya ia tak merusak usahaku di Tanjung Awar-awar beberapa pekan yang lalu, mungkin aku telah dapat melupakan dendam yang berkecamuk belasan tahun itu di dadaku. Aku adalah Ketua dari Komplotan Bajak Laut yang sudah menguasai daerah pesisir pantai Utara itu. Gunung Butak adalah markas besarku..! Aku dapat berbuat apa saja tanpa ada yang dapat menahanku. Aku sudah suruh bakar habis Gedung kebanggaan suamimu. Dan Prasetyo anak dari hasil pelarianmu dengan si Tumenggung itu juga sudah kuterima laporannya. Ia sudah dibunuh dan terbakar mayatnya. Lihatlah... Aku banyak harta. Aku sepuluh kali lipat lebih hebat dari suamimu itu. Ha ha ha... ha ha..." Tampak wajah sang Ketua itu merah padam. "Lihatlah kini sang Dewa Api akan menerima korbannya...!" Berkata laki-laki itu yang sudah seperti bayi yang baru dilahirkan. Saat selanjutnya ia telah geluti sang korban. Panas api seperti menjilat-jilat tubuhnya namun Siluman Hitam tampak tarikan tari maut, diantara peluh dan darah. Manusia dapat lebih kejam dari pada seekor binatang, yang paling buas hanya karena dendam dan sakit hati. Tiba-tiba terdengar teriakannya. "Keparat..!" Dan sebelah lengannya menghantam ke arah lubang di dinding ruangan. Terdengar suara mengerikan. Dan dua sosok tubuh terjungkal kebawah. Sebentar saja ia telah benahi jubahnya. Dan melesat untuk melongok ke lubang jendela. Terlihatlah di bawah sana dua sosok tubuh terkapar di bawah dinding batu Gunung. Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di ruangan bawah. Sang ketua ini cuma perdengarkan dengusan di hidung. Sejenak ia tatap korbannya yang sudah tak bergeming, karena nyawanya telah terbang dari jasadnya. Tanpa berkata apa-apa, ia telah buka belenggu rantai di tangan dan kaki sang korban. Untuk selanjutnya segera ia pondong, dan lemparkan ke dalam lubang berhawa panas itu. Terdengar si wanita terpekik ngeri, melihat kebiadaban orang di hadapannya. Tampak sepasang mata wanita itu sudah bersimbah peluh dan air mata. Bibirnya terkatup. Bahkan ia sudah gigit bibirnya sampai berdarah. Pernyataan laki-laki dihadapannya itu benar-benar mengguncang perasaannya. Terasa ia hampir gila mendengar disebutnya Prasetyo sudah tewas dibunuh, dan dibakar mayatnya berikut gedung suaminya. Tiba-tiba ia berteriak histeris. "Syiwo Langit! Kau bunuhlah aku...! Biar kau puas. Jangan kau siksa aku di ruangan ini...! Bunuhlah aku Syiwo Langit...!" Namun sang Ketua Siluman Hitam itu hanya tertawa sinis. Sepasang matanya memancarkan dendam yang amat luar biasa. "Justru aku tak akan membunuhmu. Karena aku akan tunjukkan lagi di depan matamu satu pertunjukkan serupa...! Aku ingin lihat apakah, kau lebih cinta harta, atau lebih cinta anakmu... Sawitri...!" "Hah!? Apa yang akan kau lakukan lagi dengan anak itu...?" Terkesiap si wanita itu seketika. Ia merasa benar-benar tengah berhadapan dengan seorang iblis. Namun lagi-lagi sang Ketua yang dipanggil Syiwo Langit itu sudah kenakan lagi topeng wajahnya. Dan dengan segera ia sudah gerakkan besi panjang di sisi pintu batu. Segera saja bergerit pintu itu terbuka, dan terlihat undakan batu dibawahnya. * * * * * * *
Sementara itu keadaan di ruang goa dibawa, tangga batu yang tiga ratus undakan itu telah terjadi kericuhan. Kericuhan itu tak lain dari para tawanan wanita yang terkumpul satu kerangkeng. Kiranya seorang tawanan wanita, kembali telah dimasukkan ke penjara berterali besi itu. Walau tidak adanya Sang Ketua. Upacara untuk memasukkan sang tawanan tetap didahului oleh empat orang bertopeng. Hanya gerakan dan susunan barisan orang bertopeng itu amat berbeda dengan yang tadi. Kalau tadi dua orang dari keempat orang pengawal itu kesisi kiri, dan dua lagi ke sisi kanan. Kini keempatnya berdiri berbaris ke sisi kiri semua. Memberi jalan pada seorang kawannya lagi yang memondong seorang gadis berbaju merah. Terkejut Roro, dan awasi wanita itu. "Ah!? Roro Dampit telah tertawan juga..!?" Berkata Roro Centil dalam hati. Sang penjaga penjara agaknya tak memperhatikan akan kejanggalan itu, ia sudah beranjak dari tempatnya berdiri, dan cepat membuka rantai gembok pada pintu penjara yang terisi ke tiga belas wanita itu. Namun begitu si pembawa tawanan memasuki pintu, tiba-tiba keempat orang pengawal itupun turut masuk. Salah seorang dengan gerakan cepat telah merampas kunci di tangannya. Brug..! Sang penjaga tersungkur kedalam karena di dorong oleh salah seorang dari para pengawal itu, yang telah merampas kuncinya. Akibat kejadian itu, tentu saja telah terdengar jeritan ketakutan dari para tawanan wanita sehingga menimbulkan kegaduhan. Salah seorang dari pengawal itu kembali menutup pintu dengan cepat, namun tidak menguncinya. Dan kembali menyuruk masuk ke dalam sehingga kembali terdengar jeritan beberapa wanita. Suasana segera menjadi gaduh. Namun keempat orang pengawal itu, juga si pembawa tawanan dan si penjaga penjara, Sudah terlindung tubuhnya dari luar, oleh karena tertutup oleh ketiga belas wanita itu. Pada saat riuh itu, Roro tiba-tiba dibisiki oleh si dara montok, yang menggulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro Centil. "Sssst...! Cepat kau tolong aku dulu. Nanti aku akan menolongmu melepaskan totokan di tubuhmu..!" Berbisik si dara montok. Lagi-lagi Roro Centil dibuat heran dengan kelakuan orang. Namun sang dara montok itu telah berkata lagi. "Apakah jari-jari tanganmu dapat kau gerakkan..." Roro cepat menjawab. "Kalau jari tangan, aku masih bisa untuk menggerakkannya. Namun kalau tangan dan kaki aku tak dapat menggerakkan. Karena pengaruh totokan orang bertopeng yang menawanku amat aneh. Bahkan aku sedang mencari jalan untuk membukanya..!" Si dara montok sudah menjawab lagi. "Bagus. Yang lainnya tidak begitu perlu. Cepatlah kau gerak-gerakkan jari tanganmu untuk menggelitik tubuhku pada bagian pinggang...!" "Haa...?" Ternganga Roro, mendengar kata-kata si dara montok. Segera saja ia sudah dapat menerka siapa dara montok di hadapannya. "Jadi... jadi kau Joko Sangit...?" Bertanya Roro dengan belalakan matanya. Si dara montok cuma cengar-cengir sambil berkata: "Kalau kau sudah tahu ya sudah... Hi hi hi..." Tertawa sang "dara" yang kenes ayu itu. Tampakkan giginya dari sela-sela jala. "Pencuri kau ya... ? BH ku kau curi. Dan kotak perhiasanku pun kau bawa lari. Kemana kau sembunyikan buntalan pakaianku...? Awas, kalau tidak kau kembalikan tahu rasa kau." Berkata lagi Roro Centil sambil perengutkan wajahnya. "Aiiiiii... Kau sabarlah, sayangku... Semua ini akan ku kembalikan. Tapi cepatlah kau turuti perintahku, kalau kau tak mau dijadikan korban buat si Dewa Api..!" Namun Roro sudah gerakkan jari-jarinya untuk mencubit punggung orang. "Adoooow..! Bukan kusuruh cubit, nona manis... Tapi di gelitik!" Berkata si "dara" montok itu, yang tak lain dari Joko Sangit adanya. Dan detik selanjutnya sudah terdengar sang "dara ayu" itu telah tertawa cekikikan karena pinggangnya di gelitik Roro Centil. Tentu saja suara tertawa gelinya tak begitu kentara, karena disebelahnya tengah terjadi kegaduhan. Kiranya si penjaga penjara itu tengah dikerubuti oleh para wanita tawanan itu sambil berteriak-teriak histeris. Beberapa orang sudah mengetahui kalau kerangkeng itu tidak terkunci lagi, dan sudah berdesakan untuk keluar. Akan tetapi pada saat itu. Enam penjaga ruangan telah berkelebat ke depan penjara. Mereka telah mengetahui akan adanya warga Siluman Hitam palsu yang membuat kericuhan. Segera salah seorang telah keluarkan bentakan. "Heh! Penyaru-penyaru busuk! Kalian telah masuk ke sarang siluman. Akan sulit bagi kalian untuk bisa pergi dengan selamat...!" Namun gadis-gadis tawanan itu sudah menyerbu keluar dengan teriakan-teriakan riuh. Mereka berusaha menyelamatkan diri untuk berlari keluar ruangan. Akan tetapi dengan mudah, keenam penjaga ruangan itu telah bergerak untuk menangkap kembali para tawanannya. Pada saat itulah keempat penyaru itu sudah lepaskan topeng pada wajahnya. Dan menerjang ke enam pengawal pengawal itu. Segera terjadi pertempuran. Sementara si penjaga penjara itu tampak telah tewas. Karena lehernya di jepit oleh sepasang ruyungnya. Dalam kerusuhan itu, ternyata telah membuat kesempatan Joko Sangit yang telah mempergunakan ilmu tertawanya, dapat terlepas dari pengaruh totokan. Yang segera saja dengan cepat ia menjebol jala yang membungkus tubuhnya. Dan cepat ia bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Roro Centil. Yang segera turut meniru Joko Sangit, menjebol jala sutera. Beruntung tidak menemui kesukaran. Roro segera pergunakan tenaganya untuk membuka paksa pintu penjara, dengan menendang pintu terali itu. Yang langsung jebol dengan suara yang berisik. Roro Dampit sudah terdengar berteriak: "Adik Pendekar...! Syukurlah kau telah terbebas..!" Dan iapun menerobos ke luar kerangkeng dengan cepat. Roro Centil cepat menghampiri. Dan akan halnya Roro Dampit, sudah segera memeluknya dengan terharu seraya berbisik. "Adik Pendekar..! Rindu sekali aku padamu, adik.." Roro tepuk-tepuk pundak sahabat baiknya, seraya berucap. "Mana Sentanu...?" Yang segera Roro Dampit palingkan kepala pada pertarungan. Satu suitan nyaring telah ia perdengarkan, dengan memasukkan dua jari tangan kemulutnya. Dan tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang berpakaian hitam itu, segera melompat ke arah mereka. Orang itu memang Sentanu adanya. Segera ia menjura hormat pada Roro Centil. Akan tetapi belum lagi Roro membalas, ia sudah gerakkan tangan untuk menghajar jatuh seorang pembokong di belakangnya. Terdengar teriakan ngeri, dibarengi dengan ambruknya tubuh di belakang lakilaki itu. Jerit dari para wanita yang berhamburan menyelamatkan diri itu, ditambah dengan berisiknya suara beradunya senjata, dan suara bentakan-bentakan, membuat suasana amat gaduh. Dilain saat si dara montok itu, tiba-tiba telah melompat ke dalam ruang yang agak gelap dimuka penjara, dimana di sana ada anak tangga yang menuju ke atas. Namun sebelumnya sempat bisikkan kata-kata pada Roro Centil. "Aku akan lihat ke ruangan atas. Apakah dua orang kawanku berhasil masuk kesana dari luar dinding gunung..!" Roro Centil cuma kerutkan alis, tapi belum ia mengangguk, orangnya sudah melesat ke sana. Akan tetapi, yang Roro lihat adalah telah terjadi ledakan tepat di hadapan si Joko Sangit, dimana ledakan itu telah menimbulkan asap tebal. Sehingga keadaan di ruangan itu dipenuhi asap kabut, yang membuat tidak terlihatnya lagi sosok-sosok tubuh. Dan pada saat selanjutnya terlihat oleh Roro dari kesamaran asap kabut itu, yang bergerak ke arahnya. Orang itu sudah berkata seperti memberi perintah atau petunjuk. "Hayo cepat kau tolongi wanita-wanita yang lainnya untuk mengeluarkan dari ruangan ini..! Aku akan menyelamatkan Sawitri...!" Berkata orang itu. Tersentak Roro Centil begitu melihat orang yang dikenal itu, ialah yang bernama Tunggul. Yaitu yang telah menyelamatkan Sawitri dan Prasetyo. Sementara itu tanpa ada yang mengetahui, sesosok tubuh dengan diam-diam telah menyelinap masuk ke dalam sebuah ruang gelap di dinding goa. Ia telah lepaskan topeng wajahnya, karena mengganggu penglihatan matanya. Didalam ruang itu segera ia dapat lihat sebuah lubang yang hanya pas untuk meloloskan tubuh satu orang. Tampak ia celingukan, sejenak seperti takut perbuatan diketahui orang. Dari seberkas cahaya sinar obor yang menempel di dinding goa itu, yang samar-samar agak menerangi wajahnya, diantara asap yang mulai agak menipis, segera dapat diketahui siapa adanya orang itu. Yang tak lain dari Pragola. Pragola adalah salah seorang dari ketujuh orang bertopeng yang selamat dari pembantaian orang-orang Siluman Hitam, yang dilakukan oleh Tunggul. Yaitu kawannya sendiri yang telah berkhianat. Setelah dirasa keadaan aman, cepat ia loloskan tubuhnya pada lubang sempit itu. Yang segera tampak kembali menutup. TUJUH
RORO CENTIL kali ini tak terkecoh. Ia segera payang dua orang wanita untuk dibawa keluar ruangan. Asap memang kian menipis. Lalu kembali lagi untuk menyambar lagi dua wanita, yang dengan gerakan sebat kembali ia bawa melompat keluar. Sementara Roro Dampit baru saja terbebas dari asap yang menghalangi matanya. Begitu lihat Roro Centil, segera turut berbuat seperti ia. Yang kemudian dituruti juga oleh Sentanu. Segera masing-masing telah dapat mengenali siapa kawan dan siapa lawan. Entah apa yang terjadi. Karena dalam kekacauan itu, sang lawanpun ada juga yang turut membawa seorang gadis untuk dibawa keluar. Tentu saja Roro Centil kerutkan keningnya. Dan biarkan orang lewat di dekatnya. Namun kakinya sudah memain. Dengan sedikit julurkan ujung kakinya, si pembawa gadis itu jatuh tersungkur. Namun sebelum tubuhnya menggabruk mencium tanah, ia telah menyambar tubuh sang gadis terlebih dulu. Keruan saja si pengawal, alias orang Siluman Hitam itu jatuh tersungkur sendirian. Dan ketika ia berusaha untuk bangkit. Dengan satu jejakan kaki Roro Centil membuat tubuhnya terlempar keluar beberapa tombak, dengan perdengarkan teriakan keras. Saat itu Sentanu dan Roro Dampit muncul dengan masing-masing menenteng dua orang wanita pada kedua lengannya. Segera Roro Centil mendahului keluar. Dan lepaskan tubuh gadis di lengannya. Begitu mereka berdua tiba didekatnya Roro Centil segera berkata: "Terimakasih atas bantuan kalian berdua. Namun kumohon, segeralah kalian selamatkan dulu sebahagiaan dari para tawanan ini ke tempat yang aman. Sementara biar aku yang mengurusi yang lainnya...!" Kedua orang suami isteri itu anggukkan kepala. Dan terus berkelebat keluar. Sentanu setengah menyeret dua orang gadis yang diselamatkan itu. Untuk selanjutnya mereka seperti tengah menggiring ternak saja layaknya, menarik dan mengajak mereka untuk selamatkan diri ke tempat yang aman. Gadis-gadis atau wanita-wanita yang tampak kesemuanya masih muda-muda itu, segera berlarian ke satu arah yang di pelopori oleh kedua suami isteri itu. Adapun Roro Centil kembali berkelebat masuk. Tampak dua orang telah bertarung melawan empat orang bertopeng. Sedangkan dua orang lagi telah terkapar bermandikan darah, bercampur dengan tubuh-tubuh beberapa lawan yang berkaparan. Roro yang mengetahui kalau ada empat orang kawan dari Roro Dampit dan Sentanu yang menyamar sebagai anggota komplotan Siluman Hitam itu segera dapat mengenalinya dari topeng yang tak dikenakannya lagi. Namun baru saja ia mau bertindak membantu, sudah didengarnya teriakan si dara montok, yang tak lain dari si Joko Sangit. "Hai Roro, cepat kejar si penculik itu...!" "Siapa....?" Roro sudah berkelebat ke dekat Joko Sangit. "Penculik siapa...?!" Roro Centil mengulangi pertanyaan. "Penculik gadis bernama Sawitri itu...!" Jawab si "dara montok" dengan cepat. Dan ia sudah bergerak mendahului memasuki sebuah celah di dinding goa itu, yang entah sejak kapan telah terbuka. Roro Centil berkelebat mengejar Joko Sangit, dan turut loloskan tubuh pada celah dinding goa. Segera ia sudah lihat kawan di arah depan. "Haiii! Tunggu dulu..!" Teriak Roro. Joko Sangit menoleh sambil hentikan tindakan kakinya. "Apa maumu nona manis...!?" Berkata Joko Sangit, dengan menatap keheranan. Adapun yang ditatapnya juga tampilkan wajah heran. Yang segera saja Roro berujar: "Sawitri telah diselamatkan oleh seseorang bernama Tunggul! Dia adalah kawan, bukan lawan. Karena aku tahu, dia adalah yang pernah menyelamatkan Sawitri dari para penculik gadis itu. Ia memang orang komplotan dari Siluman Hitam. Tapi telah berbalik memusuhi mereka!" Kata-kata Roro terdengar tegas. Membuat Joko Sangit kerutkan keningnya. Tampak ia palingkan kepala ke arah yang akan mengejar. Namun sudah terdengar ia menggerutu. "Huuu..! Makhluknya pun sudah lenyap!" Katanya seperti orang mengeluh. "Kau tidak tahu.. dialah yang telah melemparkan benda yang mengeluarkan asap itu, ketika aku akan ke ruang atas...!" Berkata lagi Joko Sangit. Terhenyak seketika Roro Centil, sejenak ia berfikir dengan kerutkan alis. Lalu berujar: "Sebaiknya kita menyelamatkan dulu wanita-wanita yang lainnya. Dan membantu pertarungan kawan-kawan si wanita berbaju merah itu." Roro hentikan kata-katanya sebentar, dan cepat melanjutkan. "Eh... apakah kau telah mengenal wanita baju merah itu?" Bertanya Roro. "Maksudmu kedua suami isteri itu...?" Sahut Joko Sangit. Roro Centil anggukkan kepala, dengan menatap wajah orang. Karena menduga ia telah mengetahui kedua sejoli itu. Sementara Joko Sangit telah jatuhkan pantatnya diatas batu. "Aku sebenarnya tidak mengenal suami isteri itu, tapi mengetahui rencana yang telah disusunnya. Yaitu mengajak empat orang kawannya untuk menyaru sebagai komplotan Siluman Hitam. Dengan berpura-pura membawa tawanan. Padahal yang dibawa sebagai tawanan itu adalah istrinya sendiri, oleh sang suami. Aku memang ada punya maksud tertentu dengan melibatkan diri masuk ke dalam sarang komplotan Siluman Hitam. Sengaja aku umpankan diri untuk bisa tertawan. Tak dinyana yang menawanku bukan saja menjeratku ke dalam jala, bahkan menotok jalan darah pada tubuhku, hingga aku benar-benar tak dapat berkutik..." Bertutur Joko Sangit. Tapi segera ia sudah sambung kata-katanya. "Oh, ya... Kukembalikan dulu benda milikmu ini..!" Ujarnya, seraya merogoh celah bajunya, dan mengambil sesuatu yang terselip pada ikat pinggangnya, pada bagian perut. Roro plengoskan wajahnya, karena Joko Sangit memang agak keterlaluan, yang menyibak belahan bajunya dari dada sampai ke bawah pusar, untuk merogoh benda itu. Yang rupanya agak merosot ke bawah. Bahkan sepasang penutup payudara itupun terlihat olehnya. Yang karena bentuknya memang mirip dengan yang asli, mau tak mau Roro sempat juga tersenyum. Dalam hatinya diam-diam membathin, pantas ia tidak mengenalinya, karena disamping wajahnya memang berpotongan bulat telur, juga berkulit putih dan halus. Tentu saja mirip wanita. Apalagi ditambahi dengan gincu pemulas bibir, dan warna hitam untuk penambah alis. Juga dengan dada yang montok menonjol. Entah rambut palsunya ia dapat dari mana. Karena setahu Roro, Joko Sangit berambut tidak terlalu panjang. Segera Joko Sangit berikan benda itu, yang ternyata adalah kotak perhiasannya, yang memang lenyap berikut buntalan pakaiannya. Kejadian itu adalah ketika kapal pesiar yang ditumpangi Roro dan Joko Sangit, diserang oleh para perompak di Tanjung Awar-awar. Bahkan ia menduga benda miliknya itu sudah hilang tenggelam, atau turut dirampok oleh para perompak laut waktu itu. Tidak tahunya dicuri, atau mungkin juga diselamatkan oleh Joko Sangit. Tadi sewaktu di dalam kerangkeng, sengaja ia menggertak lakilaki itu, dengan menuduhnya telah mencuri buntalan pakaiannya. Karena berdasarkan Joko Sangit telah memakai BH pemberian Gurunya, yang entah mengapa ia agak malas memakainya. Ternyata benarlah apa yang diduganya, tentu saja diam-diam ia bersyukur, dapat menemukannya kembali. "Yang ini aku tak dapat mengembalikannya sekarang..!" Berkata Joko Sangit, sambil menunjuk ke dadanya. "Nanti aku kembalikan semuanya, dan kuceritakan peristiwanya, hingga kau tidak menuduhku sebagai pencuri... Mau kannnn..?" Lanjutnya, sambil kedipkan sebelah matanya pada Roro Centil. "Iiih... Genitnya minta ampun! Amit-amit..." Berkata Roro Centil sambil tersenyum. Dan dengan cepat tanpa harus periksa lagi isinya. Roro Centil selipkan kotak perhiasan itu ke balik bajunya. Tiba-tiba Joko Sangit cepat berdiri, dan berkata: "Ayo, kita bantu menyelamatkan wanita-wanita itu...!" Seraya beranjak untuk kembali ke celah dinding batu gunung itu. Roro yang memang tadi berniat demikian, jadi teringat kalau pekerjaannya tertunda. Segera merekapun bergerak ke sana. * * * * * * *
Roro Dampit dan Sentanu membawa para tawanan wanita itu, yang telah dapat diselamatkan ke tempat yang aman. Yang ditujunya adalah desa terdekat. Ketika melewati sebuah tempat, mata si wanita baju merah yang jeli itu dapat melihat sesuatu di sebelah kanannya kirakira tujuh delapan tombak. Ia yang memang berada di bagian belakang, dalam iring-iringan wanita itu, segera bisikkan perintah pada seorang gadis didepannya. "Cepatlah kalian berjalan. Sebentar lagi sudah tiba di desa yang aman!" Yang segera gadis itu kembali berlari menyusul yang lainnya. Sementara ia sendiri berkelebat mendahului, memburu ke tempat Sentanu yang berada di bagian depan. Sebentar kemudian ia telah tiba disana. "Kak Sentanu... Kau teruslah bawa mereka ke tempat yang aman dimuka sana...! Aku akan mengurusi sesuatu dulu. Sebentar aku akan menyusul." Berkata Roro Dampit. Sentanu tampak kerutkan keningnya tapi segera mengangguk. Walau tadinya ia mau bertanya tentang urusan yang akan di selesaikan isterinya itu. Segera saja tubuh Roro Dampit berkelebat cepat kembali ke belakang. Ketika tiba ditempat tadi, ia mengambil jalan memutar dengan mata tetap ia arahkan pada sesuatu yang tergeletak disana, pada jarak tujuh atau delapan tombak itu. Keadaan ditempat itu memang tidak rata, karena ada tempat yang rendah dan tinggi. Ditambah, hari sudah hampir gelap. Tempat tergeletaknya benda dari sesuatu yang mencurigakan itu adalah di bawah lamping batu terjal, sedang pada bagian bawahnya tempat lebat oleh semak dan pepohonan. Dengan gerak kucing mengintai tikus, ia telah tiba di tempat itu, yang dengan merayap sedikit, ia telah raih benda itu. Itulah secarik kain yang sobek. Ia segera palingkan kepala ke beberapa tempat. Dan kembali terlihat sobekan pakaian, di sebelah agak ke bawah. Cepat, namun tanpa menimbulkan suara ia merangkak kesana. Dan benarlah dugaannya. Karena dibalik lamping batu itu sudah terdengar dengus napas yang seperti suara orang habis dikejar setan. Dan memanglah orang itu sendiri setannya. Karena seekor srigala yang tengah mendengus liar tengah menyantap korban. Sepasang kakinya yang berbulu lebat itu bergerak-gerak, membuat Roro Dampit tahan napasnya. Pelahan lahan ia sudah cabut keluar sepasang ruyungnya. Sementara darahnya seperti mendidih melihat kebiadaban makhluk srigala dihadapannya. Tiba-tiba terdengar teriakan yang lemah lalu sepasang kaki pelanduk yang kecil itu tampak bergerak mengejang, lalu terhentak-hentak seperti tengah menahan kesakitan yang amat sangat, atau juga tengah menghadapi sekarat. Tersentak Roro Dampit, ketika melihat sepasang kaki pelanduk itu terkulai. Dan sang srigala tampak bangkit dengan gigi dan taring-taringnya berlepotan darah segar. "Biadab..!" Terdengar teriakan keras Roro Dampit. Dan.... Crep! Sepasang ruyungnya telah meluncur deras dan menancap kedua-duanya pada tengkuk dan punggung sang srigala buas itu hingga menembus ke leher dan dada. Terdengar suara menggerung keras. Hanya sekejap Roro Dampit telah mencabut kembali sepasang ruyungnya. Maka terdengarlah lengkingan sang serigala yang suaranya terdengar bagai mau menembus langit. Dibarengi dengan ambruknya tubuh sang srigala, dengan darah segar berhamburan memuncrat memercik ke atas batu dan semak. Tampak sepasang mata Roro Dampit telah kucurkan air mata, yang meleleh di pipinya. Tapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di belakangnya. Segera ia palingkan kepala untuk melihat. Tampak tiga orang yang berpakaian dan bertopeng hitam telah berdiri berjajar seperti tengah menyaksikan kejadian yang seru itu, dan membiarkannya berlangsung di depan mata. Salah seorang sudah berkata dengan mendengus, tatapan matanya berkilat-kilat. "Heh...! Singa betina ini agaknya lebih baik dibanding dengan seekor kancil yang kemarin kita dapatkan...!" "Betul, sobat...! Aku setuju bila kita ingin permainan yang unik dengan singa liar ini..! Setujuu...?" Berkata seorang lagi sambil membuka topeng wajahnya. Ternyata ia seorang bertampang seram, karena dari bibirnya tersembul dua buah gigi yang mencuat ke atas. Yang dua orang lagi segera ikut membuka topengnya. Segera terlihat. Yang seorang hidungnya somplak sebelah. Sedang seorang lagi lebih seram. Karena ada goresan melintang dari pipi sampai ke ujung dahi. Seperti bekas luka bacokan senjata tajam. Tembusan luka itu sampai melewati biji matanya, yang tampak melejit keluar. Roro Dampit bergidik ngeri melihat wajah-wajah ketiga orang itu. Ia sudah bersiapsiap dengan sepasang ruyungnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Tampak si gigi mencuat mengeluarkan sebuah cambuk dari kulit kerbau. Sedang yang dua orang, satu mengeluarkan tambang yang digulung beberapa lingkaran. Dan satu lagi mengeluarkan clurit, yang tampak berkilat terkena cahaya matahari di ujung bukit. Karena jalan ke atas telah tertutup oleh ketiga orang seram itu, Roro Dampit segera putar tubuh untuk melompat ke bawah. Namun ketiga orang itu dengan serempak telah berkelebatan mengejarnya. "He he he... Mau lari kemana kau singa liar...!" Si hidung somplak yang bersuara di hidung itu lebih dulu mengejarnya. Tiba-tiba gulungan tambangnya meluncur bagaikan tali laso saja yang dipergunakan untuk menjerat kuda liar. Rrrrrt...! Roro Dampit tak menyangka kalau tali itu yang telah meluncur. Karena jalan yang menurun itu agak curam, ia tak bisa leluasa untuk melompat menghindar. Sehingga cuma sebentar saja ia sudah kena terjerat tambang. Dan tanpa ampun lagi tubuhnya telah terbanting ke tanah bergulingan. Ketiga orang itu bagai baru menangkap seekor binatang buruan mengejar hasil buruannya dengan suara tertawa yang tak enak untuk didengar. "Hebat, kau Ludira! Ayo cepat kau ringkus dia..!" Berteriak si gigi mencuat sambil melompat lebih dulu. Roro Dampit dengan menggertak gigi berusaha bangkit, untuk lepaskan tali yang menjerat tubuhnya. Namun satu sabetan cambuk telah membuat ia kembali terjungkal dengan pekikan menyayat. "Iblis keparat..! Lepaskan aku..!" Berteriak Roro Dampit, sambil ayunkan ruyungnya membabat kaki si gigi mencuat. Namun sekali ia lompat, ia telah dapat menghindar. Tiba-tiba.... Rrrrrt..! Kembali tambang laso si hidung somplak menyambar lengannya. Tak ampun lagi Roro Dampi terpekik karena sebelah lengannya yang memegang ruyung telah kena terjerat lagi. Ternyata tambang itu mempunyai dua penjerat pada kedua ujungnya. Belum sempat ia berbuat sesuatu, si hidung somplak telah berkelebat turun untuk selanjutnya ia telah berhasil meringkus Roro Dampit, yang cuma bisa berteriak-teriak dengan wajah pucat pias. Selanjutnya ia telah pondong tubuh sang korban meluncur turun ke bawah, diikuti si muka codet yang tertawa berkakakan. Pada sebatang pohon dibawah lamping bukit itu Roro Dampit di ikat dengan tangan ke belakang. Dan kaki terpentang. Seperti orang tengah menjagal seekor kambing saja layaknya. Bret! Bret! Dua kali tangan si codet bergerak ia telah merobek pakaian si pengantin, yang baru berbulan madu itu. "Tidak..! Tidaaak..! Lepaskan aku!? Lepaskaaaan..!" Roro Dampit berteriak dengan wajah pias. Sementara jantungnya berdetak keras. Ia sudah tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Segera saja air matanya membanjir membasahi kedua pipinya. Tampak ia seperti menyesal, mengapa ia tak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi...? Mengapa...? Mengapa...?! Memekik hatinya. Namun semua itu sudah terlambat. Kenyataan itu telah ia hadapi. Bret..! Kembali satu sentakan tangan si muka codet, telah membuat segala yang menghalangi menjadi agak terang. Dan satu sentakan sekali lagi, dua bukit yang tegak menjulang melambai untuk dijamah petani. Tangan si muka codet sudah mau bergerak lagi untuk membabat habis ranting penghalang. Namun saat itu telah terdengar suara si gigi mencuat untuk menahannya. "Tunggu dulu sobatku..! Cukup dulu sampai di sini. Aku mau lihat kekuatan singa liar ini. He he he., he he..." Segera si muka codet menyingkir. Dan si gigi mencuat telah putar-putarkan cambuknya di udara. Selanjutnya... Ctarrrr...! Terdengar suara keras yang memekakkan telinga. Roro Dampit menjerit histeris, ketika ujung cambuk itu menjilat tubuhnya. Ctarrrr...! Kembali ia menggeliat menahan sakit. Dua garis memanjang tampak terlihat memerah dari leher sampai ke bawah dada dan sebuah lagi menyilang ke sisi. Terdengar si gigi mencuat tertawa berkakakan diikuti kedua kawannya. "Aduuh... kau keterlaluan Trimbil, masa batu pualam yang mahal harganya ini kau coret-coret begini...? Biarlah aku yang menghapusnya..!" Berkata ia sambil leletkan lidah. Roro Dampit terpekik dengan belalakkan mata. Lidah yang terjulur itu ternyata benar-benar telah menghapus semua impian indahnya bersama Sentanu. "Tidaaak..! Tidaaak..! Tidaaak..!" Teriakan Roro Dampit bagaikan auman seekor singa yang mengerung kesakitan. Saat selanjutnya sudah terdengar lagi suara iblis-iblis yang tertawa berkakakan. Diiringi menggeletarnya suara ujung cambuk yang menyentuh kulit. DELAPAN
Pekik mengerikan segera terdengar ketika tubuh Pragola terlempar dari jendela diatas ruang, yang tingginya tiga ratus undakan itu. Walaupun tubuhnya terlapis dengan pelat baja tipis, yang anti bacokan senjata tajam. Namun ia tak dapat menahan terbangnya sang nyawa karena sekejap saja batu-batu terjal dibawah dinding gunung itu telah memangsa tubuhnya yang bagaikan mengkremus mentah-mentah tulang-tulangnya. Tunggul memandang ke bawah dengan geram. Sementara matanya menatap ceceran uang emas dan perak, yang nyaris saja ludes digondol si pencuri licik, yang memang sudah lama mengincar "harta karun" di ruangan itu. Seandainya ia tak memakai jalan-jalan rahasia, yang dapat mencapai arah ke ruang atas, tak nantinya ia dapat memergoki Pragola, yang telah berada di ruangan itu. Dan tengah bergegas mengumpulkan benda-benda berharga! Sementara wanita isteri Tumenggung Harya Anabrang, cuma terpaku bagai patung, berdiri di sudut ruangan. Betapa terkejutnya si wanita ini tadi, ketika mendengar pintu batu berderit. Dan sesosok tubuh telah bergerak masuk ke dalam ruangan tempat ia terkurung, ia mengira yang datang adalah Syiwo Langit. Tapi di luar dugaan, yang muncul itu seorang laki-laki berambut keriting, yang tak lain dari Pragola. Ia tak mengenal laki-laki itu, yang hanya sekejap saja menatap padanya, tapi selanjutnya sepasang matanya telah beralih pada tumpukan harta benda, dan ratusan keping uang mas, yang tercecer dalam ruangan itu. Sepasang mata Pragola jadi bersinar gemerlapan. Bagaikan mau melejit saja biji matanya keluar, ketika kilatan-kilatan uang logam emas dan perak dan tumpukan permata mutu manikam yang menyilaukan pandangannya itu, seperti telah menyihirnya untuk segera meraih dengan tangannya. Seperti hilang akal ia segera meraup keping-keping berharga itu dengan tangan gemetaran. Dan jejalkan pada saku bajunya. Setumpuk perhiasan yang gemerlapan itu cepat ia raup dengan kedua tangannya yang sebelum ia masukkan ke dalam bajunya, telah ia pandang terlebih dulu, seperti tengah mengagumi akan keindahannya. Sehingga ia tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tubuh telah muncul di pintu batu yang masih terbuka. Sesosok tubuh yang memanggul seorang gadis. Yang tak lain dari seorang laki-laki bernama Tunggul. Pelahan-lahan ia kembali menyelinap dari pintu batu itu. Tapi hanya sesaat. karena sudah muncul lagi. Namun tanpa si gadis pada pundaknya. Tiba-tiba sebelah lengannya terjulur menyambar tengkuk Pragola, yang jadi tersentak kaget bagaikan orang terkena Strom saja layaknya. Namun hanya sekejap. Karena sebelah lengan Tunggul kembali telah bergerak untuk menotoknya, sehingga Pragola hanya mampu berteriak tergagap, dengan tubuh tergetar hebat. Seluruh persendian tubuhnya telah lemah lunglai. Brug..! Ia telah bantingkan tubuh Pragola ke lantai, yang sudah tak dapat berkutik lagi dan jatuh menggeloso bagai sehelai kain. Sementara sang isteri Tumenggung cuma bisa katupkan bibir, dengan tubuh gemetar berdiri di sudut ruang. Tampak tubuh Tunggul telah menyelinap kembali ke pintu batu. Yang sekejap kemudian telah kembali lagi dengan memanggul tubuh gadis tadi, yang tak lain adalah Sawitri. Sekali ia menggerakkan tangan untuk menggeser sebuah batu persegi yang menempel di dinding ruangan, pintu itu kembali menutup. Tiba-tiba wanita ini perdengarkan suaranya yang menggeletar menatap siapa gadis yang telah digeletakkan di hadapannya itu, oleh Tunggul. Yang segera ia merangkulnya dengan isak tertahan sementara air matanya mulai lagi menetes, mengalir dari pipinya. Tiba-tiba ia dongakkan kepalanya pada laki-laki berkumis dan berjenggot hitam legam itu untuk menatapnya seraya berkata: "Syiwo Langit...! Apa yang kau mau lakukan pada anakku?" "Hm...! Kau dapat melihatnya nanti nyonya Tumenggung...!" Seraya berkata ia telah kembali gerakkan tangan untuk membuka sebuah lubang pada dinding ruangan. Sebuah lubang yang hanya muat untuk masuk tubuh manusia dengan merangkak. Selanjutnya ia telah seret tubuh Pragola, yang berteriak-teriak bagai orang kesurupan. Namun laki-laki berhati keras, dan berdarah dingin ini mana mau mendengar teriakannya...? Gemerincing uang mas dan perak berhamburan keluar dari saku baju Pragola, yang terus diseretnya hingga ke bawah jendela di dinding ruangan yang berhawa panas itu. Pragola menangis bagai anak kecil. Sesambat memohon ampun. Namun bagaikan seorang yang tuli, Tunggul telah mengangkat tubuh Pragola keatas jendela. Dan tanpa berkedip, ia telah lemparkan tubuhnya keluar. Terdengar teriakan yang menyayat hati. Tubuh Pragola melayang, meluncur deras dari tempat ketinggian itu untuk segera menemui kematiannya. Demikianlah peristiwa yang tadi telah terjadi. Dan saat berikutnya Tunggul sudah melangkah lagi untuk masuk, dan merangkak kedalam ruangan. "Tidak..! Tidaaak..!? Jangan kau lakukan itu pada anakku...! Jangaaaaaan..!" Berteriak wanita itu sekuat-kuatnya sambil memeluki tubuh Sawitri yang tergolek pingsan. Tunggul cuma perdengarkan suara di hidung. Sepasang matanya menatap perempuan itu tak berkedip. Tiba-tiba ia telah perdengarkan suara tertawanya. "Ha ha ha... ha ha ha.... Mengapa kau melarang apa yang akan aku lakukan...? Bukankah kau lebih menyayangi harta dari pada anakmu..? Kau titipkan Sawitri pada orang lain tanpa kau mau mengakui ia adalah anakmu..! Apakah kau merasa telah membesarkannya dengan sumbangan-sumbangan pangan yang kau berikan selama ini dengan hartamu...? Dengan harta suamimu, yang kau bangga-banggakan itu...? Heh..! Tidak! Ia besar dan tumbuh dengan sendirinya. Walaupun kau tak berikan sumbangan sepeserpun! Karena Tuhan yang telah membesarkannya..! Ia memang tumbuh karena ia masih ditakdirkan untuk hidup dan menjadi besar..! Tapi ia tumbuh tanpa kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu kandung yang telah menyisihkannya dari gelimang kemewahan. Dan juga telah menyisihkannya dari ayah kandungnya. Semua itu kau lakukan karena ayahnya telah jadi seorang hina papa, sejak musibah menimpa kehidupannya..! Apakah dia harus menyalahkan perang...? Menyalahkan keadaan tanah air..? Menyalahkan Kerajaan..?! Menyalahkan manusia-manusia rakus yang merampok seluruh harta bendanya... hanya karena ia dianggap pemberontak! Padahal semua itu adalah fitnah keji dari seorang pembesar Kerajaan yang berhati srigala berbulu domba. Yang mempergunakan siasat memancing ikan di air keruh, dengan mencari kesempatan dalam kesempitan. Mempergunakan pangkat hanya untuk memperkaya diri sendiri..." Suara Tunggul menggema santar di ruangan itu. Dengan nada yang semakin parau, karena iapun tengah menahan kepedihan yang teramat sangat. Kepedihan dari penderitaan, yang telah merobahnya menjadi seorang yang berhati keras bagaikan batu, dan merobah jiwanya menjadi seorang yang berdarah dingin. "Aku sadar, kalau kau hanya mengejar kemewahan! Mengejar duniawi yang tak ada kepuasannya. Kau bukan mencintai diriku, tapi mencintai hartaku..! Kau tinggalkan aku setelah aku tak punya apa-apa lagi! Kau bawa lari benih dariku untuk kau berikan pada seorang laki-laki yang juga kau cintai karena hartanya. Laki-laki itu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Hingga lahirnya anak yang telah kau beri nama Sawitri. Anak yang dianggap oleh ayahmu si Pendekar Bayangan yang bernama Bayu Seta adalah cucunya, yang mutlak dari hasil pernikahanmu dengan Jarot. Padahal benih itu berasal dariku..! Kau dustai Jarot...! Kau dustai ayahmu..! Kau dustai dirimu sendiri...! Kau tutup rahasia pada Sawitri, siapa ayahnya... siapa ibunya..! Juga kau tutup rahasia itu pada Prasetyo anakmu, hasil dari suamimu si Tumenggung itu. Sehingga kedua bocah itu hampir saja terjerumus untuk saling mencinta..! Kini semua apa yang kau banggakan itu sudah musnah! Suamimu sudah jatuh melarat! Aku telah memberinya berita untuk datang kemari ternyata ia belum memunculkan diri. Akan kusuruh ia saksikan upacara pengorbanan isteri dan anak gadisnya walaupun anak itu adalah anakku. Namun aku tahu ia amat menyayangi Sawitri. Aku tahu semua itu dari Punta. Sayang Punta turut campur urusanku, sehingga terpaksa aku membunuhnya..!" Sampai disini Tunggul hentikan kata-katanya lagi. Tampaknya sepasang matanya merah seperti menyala. Wajahnya yang kaku itu seperti menampilkan kekerasan hatinya. Sementara suara isak tersendat terdengar dari wanita isteri Tumenggung itu yang masih tundukkan wajah dengan memeluk anak gadisnya. Air matanya sejak tadi terus mengalir membasahi pipi, dan jatuh ke dada sang anak. Tiba-tiba Tunggul alias Syiwo Langit telah berkata lagi. "Kini pilihan diantara dua.... Apakah kau lebih cinta anakmu, ataukah lebih mencintai harta benda...? Akan kuberikan semua harta yang ku kumpulkan ini semuanya untukmu. Kau boleh cari lagi si Tumenggung itu, untuk kau teruskan hidup bahagiamu dengannya. Tanpa harus kau takutkan aku mengganggumu. Karena aku tak akan mengganggu walau selembar rambut kalian! Nah berikanlah anakmu. Dan biarkanlah ia kuperbuat sesuka hatiku. Karena dia adalah darah dagingku..!" Berkata Tunggul sambil membungkuk untuk meraih tubuh Sawitri. Akan tetapi si wanita itu telah menjerit histeris. "Tidaaak..! Tidaaaak...! Jangan kau sentuh dia..! Jangan kau pisahkan ia dari sisiku lagi, Syiwo Langit. Ampunilah kasalahanku... Ampunilah dosaku..! Dia anakku...! Dia darah dagingku..! Dia.. dia... anak kita...! Sawitri anak kita..!" Tampak Tunggul kembali berdiri, dan tegak bagai arca, tak bergeming. Kata-kata itu seperti nyanyian indah yang membisik di telinganya. Begitu menyejukkan. Begitu meresap ke dalam kalbu. Alangkah indahnya kata-kata itu..! Membisik hatinya. Kata-kata yang ia dambakan hampir separuh dari hidupnya. Kata-kata yang membuat jiwanya yang panas menggelegak, seperti tersiram air sejuk. "Dia anak kita...! Sawitri anak...!" Suara yang menghiba itu amat menyayat hati, dan berulang-ulang menggema di telinganya. Tegakah ia berbuat senaib itu pada darah dagingnya sendiri...? Tegakah ia lakukan perbuatan terkutuk itu hanya karena untuk membuktikan kekerasan jiwanya. Membuktikan bahwa iapun seorang laki-laki. Yang dapat berbuat apa saja di hadapan bekas isterinya, yang masih syah sebagai isterinya! Yang semua itu harus ditebus oleh pengorbanan sang anak. Pengorbanan yang tidak mutlak. Pengorbanan yang akan membawa murka Tuhan. Karena perbuatan itu adalah perbuatan yang amat terkutuk. Tampak ada air bening menetes dari pelupuk mata Tunggul. Air mata suci yang keluar dari dorongan hati nurani yang masih bersih. Seekor binatang yang paling buas sekalipun tak akan memangsa anaknya sendiri. Namun bila hal itu bisa juga terjadi. Maka manusia itu lebih rendah martabatnya dari pada seekor binatang...! Padahal manusia diciptakan Tuhan adalah sebagai insan yang paling mulia. Melebihi makhluk-makhluk lain yang telah diciptakanNya. Hanya karena dorongan hawa nafsu sajalah, yang membuat manusia lupa akan harkat kemanusiaannya. Hawa nafsu yang datangnya dari Syetan! Dari Iblis! Yang merasuk pada hati manusia. Menguasai akal sehatnya. Sehingga manusia terbuai oleh bisikan-bisikan nafsu lahiriahnya yang sudah ditunggangi oleh para Syetan dan Iblis! Tubuh Tunggul tampak tiba-tiba tergetar hebat. Ia seperti sebuah arca yang sudah mau runtuh ke bumi. Kekerasan hati dan jiwanya tampak luluh. Tulang-tulang persendian lemah, seperti sudah tak kuat untuk menyangga sang tubuh untuk terus berdiri tegak. Dan tiba-tiba saja tubuh Tunggul meluncur turun untuk jatuh menekuk lutut. Kepalanya tertunduk dengan sepasang mata yang terpejam namun penuh bersimbah air mata. Ada suara yang didengarnya. Suara dari seorang wanita yang telah kembali sadar akan kesalahan dan dosanya. Suara yang lembut penuh kasih sayang. "Kakang Syiwo Langit...! Maafkan segala kesalahanku yang telah membuat kau menderita. Membuat jiwa jadi berubah kejam, karena memendam sakit hati dan dendam karena ulahku. Maafkanlah aku kakang..." Dan terasa oleh Tunggul tubuhnya telah dipeluk orang. Karena memang wanita isterinya itu telah memeluknya dengan menciuminya pada wajahnya, sehingga air mata mereka bercampur menjadi satu. Ternyata bukan hanya air mata mereka saja yang menjadi satu, tapi hati merekapun telah kembali bersatu. Tunggul biarkan wajahnya diciumi sepuas hati. Dan biarkan wajahnya menjadi basah bersimbah air mata. Karena ia telah menenangkan segala perasaannya menenangkan hatinya yang berkecamuk oleh berbagai perasaan. Bahagiakah ia? Sedihkah ia...? Tunggul tak tahu akan semua yang ia harus ia ungkapkan. Namun Tunggul bukanlah Tunggul yang berhati bagai batu karang lagi. Bukan pula yang berjiwa telengas dan kejam lagi. Karena semua itu seperti telah terpupus dengan kenyataan yang tak dapat ia bantah. Ia masih mencintai wanita itu. Ia masih mendambakan kasih sayang dan kehidupan bahagia bersama anak yang dikasihinya Sawitri. Dan sekonyong-konyong Tunggul balas memeluknya. Sementara tanpa mereka mengetahui, sang anak sudah sejak tadi pentang mata untuk melihat kejadian di depan matanya. Telinganya sudah sejak tadi mendengar apa yang telah diungkapkan oleh ayahnya. Namun Sawitri memang berhati keras ia bertahan untuk tidak bergeming, dengan menahan perasaan hatinya. Kini melihat kedua orang dihadapannya tengah saling berangkulan, bertangisan. Gadis ini yang sudah sejak tadi melelehkan air mata, tiba-tiba telah perdengarkan teriakannya. "Ibuuuuu.! Ayaaaaah..!" Dan serta merta ia telah bangkit untuk segera memeluk kedua orang tuanya. Yang segera saja ramailah suara orang bertangisan di dalam ruangan itu. Sawitri seperti juga baru sadar dari sebuah mimpi. Karena baru untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dari kedua ayah dan ibunya, yang menangisinya dengan penuh keharuan. Sementara di luar langit yang terlihat dari jendela di dinding ruangan itu tampak memerah. Terlihat begitu indah. Rupanya sang matahari sebentar lagi akan tenggelam seolah untuk sejenak beristirahat. Yang segera menggantikan datangnya malam. Untuk kembali bersinar pada esok pagi. Dimana ia akan berikan sinarnya untuk kehidupan. Untuk ketentraman pada semua makhluk diatas dunia. SEMBILAN
JERITAN-JERITAN parau disengaja itu membuat burung-burung yang sudah mencari tempat untuk tidur didahan-dahan dan ranting pepohonan jadi buyar berhamburan dan berterbangan dengan ketakutan. Suara jeritan itu datangnya dari lamping bukit terjal itu. Tampak tiga orang berpakaian serba hitam dengan wajah wajah seram itu telah terjungkal roboh bermandikan darah. Ternyata saat-saat yang mengerikan buat Roro Dampit, telah terhapus sekejap mata. Dengan munculnya Roro Centil pada saat yang tepat. Sehingga perbuatan terkutuk yang akan menimpa dirinya itu dapat di gagalkan. Roro Centil memapah tubuh Roro Dampit dengan terharu. Beruntung Joko Sangit mau memberikan pakaian wanitanya pada wanita malang itu. Sehingga mereka dapat segera meneruskan langkah untuk menuju desa. Menyusul Sentanu. Dari jauh terlihat Sawitri mengejar mereka. Wajahnya tampak cerah, secerah langit yang masih tampakkan sinar merahnya. Sambil berjalan ia ceritakan pada Roro Centil bahwa keluarganya telah kembali bersatu. Ia telah menemukan kedua orang tuanya yang sebenarnya. Dan ia ada mendengar bahwa harta yang amat banyak, yang dikumpulkan ayahnya yang bernama Tunggul itu akan di bagi-bagikan untuk orang-orang miskin. Tentu saja Roro Centil tertawa gelak-gelak dan peluk tubuh Sawitri. Ia sudah dengar semua kejadian di atas ruangan goa itu dari balik pintu batu. Ia dengarkan bersama Joko Sangit yang tadinya berniat mengangkangi harta itu. Namun bukannya segera merampas harta, bahkan menangis cucurkan air mata. Masih untung ia tidak menangis dengan keluarkan suara. Kalau itu terjadi, bisa jadi Roro bertepuk tangan menyoraki. Walaupun Roro Centil sendiri sudah basah semua pipinya mengalirkan air mata. Karena ia segera tahu siapa mereka. Siapa Sawitri. Yang tak lain adalah masih cucunya si Pendekar Bayangan. Yaitu mertua Gurunya di lereng Gunung Rogojembangan. Namun kini ia mengetahui kalau Sawitri adalah bukan anak dari si Maling Sakti, Gurunya. Melainkan anak dari Tunggul alias Syiwo Langit. Seorang bekas kepala perompak yang bermarkas di Gunung Butak. "Nanti ayah dan ibu akan menyusul kemari, katanya sih besok pagi..!" Berkata Sawitri. Yang disahuti oleh Joko Sangit dengan prengutkan wajahnya. "Aiiih, rupanya sang Dewa Api mau beraduhai dulu dengan sang permaisuri, sehingga ia buru-buru suruh anak gadisnya menyusul kita...!" Tentu saja semua jadi tertawa. Tiba-tiba Roro Centil ajukan pertanyaan pada Sawitri. "Eh, adik..! Bagaimana kalau tiba-tiba ada seorang "jejaka tua" yang mau melamarmu...? Apakah kau terima...?" Berkata Roro Centil sambil melirik pada Joko Sangit. Tentu saja yang dilirik jadi plototkan matanya pada Roro Centil, dengan wajah marah... Karena ia tahu orang tengah menyindirnya. Namun di luar dugaan Sawitri dengan polos telah menyahuti: "Kalau orangnya baik, dan mengerti hati wanita, aku sih setuju saja..." Karuan saja wajah Joko Sangit semakin merah bagai kepiting direbus. Dan kembali terdengar suara tertawa geli, bahkan Roro Dampit yang baru saja terlepas dari musibah ikut tersenyum. Saat selanjutnya mereka sudah mempercepat perjalanan. Sementara beberapa wanita yang sudah terbebas dari cengkeraman orang-orang komplotan Siluman Hitam itu tampak bergegas untuk cepat kembali menemui sanak keluarganya. Beberapa pekan sudah berlalu, sejak lenyapnya komplotan Siluman Hitam di daerah Tambak Boyo dekat Tuban, tampak terlihat seorang laki-laki tua yang berambut kusut dan pakaian compang-camping terlihat sering mondar-mandir di tepi pantai. Orang sudah tak mengenalnya lagi kalau ia adalah bekas seorang bangsawan ternama yang berpangkat Tumenggung. Karena penduduk di sekitar pantai cuma mengenalnya sebagai orang yang sudah hilang ingatan. Yang sering duduk-duduk di tepi pantai atau kadang-kadang berlari-lari seperti tengah memacu kudanya, dengan mempergunakan pelepah daun kelapa sebagai tunggangannya. Dan berteriak-teriak seperti tengah menyerbu musuh. Tetapi kadang-kadang ia tertawa dan menangis seperti anak kecil. Atau berteriak-teriak, dengan berlaritari di tapi pantai. "Api... api.... Cepat selamatkan dirimu anakku..! Cepat lari...! Lari..!" Demikian ia berteriak-teriak, seperti melihat laut bagaikan telah berubah menjadi lautan api. Entah siapa anaknya yang selalu diingatnya itu, tak ada yang tahu. Bila ia sekejap kembali sadar. Ia duduk bersimpuh diatas pasir sambil menangis. Namun sebentar kemudian telah tertawa-tawa kembali seperti orang yang baru menang dalam peperangan. Dialah Tumenggung Harya Anabrang. Seorang manusia yang juga jadi korban dari apa yang namanya Cinta. Korban dari api dendam yang telah membakar Cinta. Dari seorang anak manusia. Takdir adalah takdir...! Yang manusia tak mampu untuk menolaknya. Apapun bisa terjadi di atas dunia ini, selama masih adanya nafsu. Namun nafsu pun tak akan pernah sirna di atas jagat ini seperti juga Cinta. Karena nafsu memang dibutuhkan oleh manusia. Seperti juga manusia membutuhkan Cinta...! Tapi bagi manusia yang mengerti, dan dapat mempergunakan akalnya ia akan dapat selalu mengendalikan hawa nafsunya. Karena dari nafsu yang terkendali, manusia dapat mewujudkan Cinta Kasih yang murni... Yang bebas dari pengaruh hawa nafsu yang telah di tunggangi Syetan. Tiada peperangan yang lebih besar, selain peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Karena Syetan akan terus menggoda hati manusia agar terus mengikuti hawa nafsunya, sampai ia terseret semakin jauh semakin jauh...! Hingga terjerumus ke dalam jurang yang paling dalam. |
Selanjutnya,
|