Pedang Jimat Lanang

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Pedang Jimat Lanang Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

BUKIT Lidah Samudera tak jauh dari pantai. Sebagian tanah dan batunya masih bercampur karang laut. Bukit itu tidak terlalu tinggi, hutan-hutannya pun tidak seberapa lebat, namun punya kedamaian tersendiri bagi penghuninya.

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman
Hanya ada satu rumah yang ada di Bukit Lidah Samudera itu. Rumah tersebut dibangun dengan belahan-belahan kayu jati beratap lapisan kulit kayu. Ru-mah tersebut tidak terlalu besar, mempunyai halaman yang luas, mempunyai pepohonan rindang yang teduh. Dari halaman rumah tersebut seseorang dapat memandang lidah-lidah laut yang bergulung menuju pantai. Sungguh indah dinikmati pada. malam bulan purnama.

Tak jauh dari rumah kayu itu, ada gugusan batu yang mirip punggung seekor kerbau. Gugusan batu itu ada di bawah sebuah pohon beringin putih. Di sanalah, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, duduk termenung dari semalaman. Embun pagi yang masih menempel di dedaunan, juga ikut menempel di rambutnya yang berpotongan poni sekeliling kepala.

Lelaki tua itu punya sifat anak-anak yang amat menonjol; polos, jujur, dan tidak secerdas pria lain seusianya. Itulah sebabnya dia dipanggil dengan nama julukan: Bocah Bodoh. Nama aslinya Raden Mas Cola Colo. Dia bukan keturunan raden atau ningrat. Gelar raden mas itu ditambahinya sendiri, karena Bocah Bodoh tidak tahu apa arti gelar raden mas itu. Ia pikir sama dengan arti kata pendekar.

Dari malam sampai pagi Cola Colo masih duduk di batu samping rumahnya. Letaknya agak rendah dari letak rumah kayu itu. Semalaman ia duduk di situ bukan untuk bertapa, walaupun ada di bawah pohon beringin putih. Di situ Bocah Bodoh termenung dengan wajah lucunya yang muram. Ada kesedihan di hati Bocah Bodoh, ada kekecewaan yang menyertai kesedihan itu. Murungnya wajah Cola Colo membuat burung-burung enggan berkicau di pagi hari, sehingga suasana Bukit Lidah Samudera itu sangat lengang.

Yang terdengar hanya desau angin dan debur ombak pantai samar-samar. Kemarin siang, ia habis dimaki-maki ibunya. Dipukuli, diomeli, dituding-tuding dan dibentak-bentak sampai suara Ibunya serak. Sementara itu Bocah Bodoh hanya diam dan menerima apa adanya. Ia tak diberi kesempatan untuk membela diri.

Persoalannya, menurut Cola Colo, adalah persoalan yang sepele. Bocah Bodoh ditugaskan oleh ibunya; Nyai Sembur Maut, untuk mencari Prasasti Tonggak Keramat di Lembah Maut. Kata Ibunya, di sana ada pedang pusaka peninggalan Eyang Tapak Gempur, yaitu guru Nyai Sembur Maut. Entah di sebelah mana pedang itu disimpan oleh Eyang Tapak Gempur, yang jelas ada di sekitar prasasti tersebut.

Bocah Bodoh pun mencari, kebetulan dibantu oleh Pendekar Rajawali Merah, Pendekar Rajawali Putih, dan si Tua Usil. Pedang itu konon punya kesaktian tersendiri, mata pedangnya bisa memanjang sendiri jika disentakkan walau dengan tenaga dalam kecil, bisa bergerak sendiri dalam pertarungan dan yang memegangi hanya mengikuti saja, bisa membunuh lawan melalui bayangan lawan, dan bisa untuk memotong baja karena saking tajamnya.

Tetapi setelah Bocah Bodoh memperoleh pedang tersebut, yang ditemukan di bawah tanah prasasti itu, ternyata pedang tersebut tidak mempunyai kehebatan apa-apa. Pedang jimat Lanang Itu tidak bisa untuk memotong dahan, bahkan tak bisa untuk memotong ranting sebesar jempol kaki. Malah geripis pada bagian tepiannya. Pedang itu adalah pedang biasa yang tidak punya kesaktian apa-apa dan layak dipakai sebagai pajangan atau hiasan dinding saja, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Prasasti Tonggak Keramat)

Tentu saja hal itu sangat mengecewakan hati Bocah Bodoh. Bisa dibayangkan betapa sakit hati Bocah Bodoh; sudah bodoh, dikecewakan. Tentu saja wujud wajahnya semakin simpang siur tak jelas bentuknya. Seribu makian, seribu gerutuan, menyertai perja-lanan pulang Bocah Bodoh yang membawa pedang tanpa kesaktian itu.

Sampai di rumah, ia ditanya oleh ibunya, "Bagaimana anakku Cah Bagus? Apakah kau berhasil peroleh Pedang Jimat Lanang itu, Nak?" sambil sang ibu berseri-seri. Tapi sang anak hanya menunduk dan murung wajahnya. Nyai Sembur Maut jadi curiga dan kembali bertanya,

"Kenapa wajahmu berubah begitu, Nak? Ada apa sebenarnya? Apakah kau gagal menemukan Prasasti Tonggak Keramat?"

Bocah Bodoh gelengkan kepala. Sedikit melirik ibunya dengan dongkol, karena merasa telah ditipu oleh Ibunya dengan cerita muluk-muluk mengenai pedang itu.

"Apakah pedangnya tak berhasil kau temukan?"

Dengan lirih Bocah Bodoh menjawab, "Berhasil."

"Lalu, mana pedang itu?"

"Ku buang," jawabnya lirih lagi.

"Lho...?!" ibunya terbengong agak kaget, juga agak heran. "Kamu Bocah Bodoh apa Bocah Sinting?"

"Habis, Ibu bohongi aku!" Bocah Bodoh makin lancip mulutnya.

"Bohong bagaimana?!"

"Pedang itu tidak punya kesaktian apa-apa. Tidak akan bisa dipakai untuk memotong baja atau membunuh lawan lewat bayangan. Dipakai untuk memotong dahan pohon saja jadi geripis, apa lagi dipakai memotong baja, pasti akan lumer sendiri pedangnya! Pedang itu juga tak bisa menjadi panjang. Kusentakkan dengan tenaga kuat beberapa kail, sampai lenganku pegal sendiri, pedang itu tidak bisa mulur panjang seperti cerita Ibu itu. Kupakai menggores bayangan tubuhku di tanah, nyatanya aku tidak terluka sedikit pun. Aku kecewa, Ibu telah bohongi aku. Susah payah aku mencari pedang itu, bertaruh nyawa dan rambut, tapi hasilnya cuma dapatkan pedang buat perang-perangan!"

Nyai Sembur Maut kala itu hanya memandangi mulut anaknya yang nyerocos dengan bibir meliuk-liuk mirip lintah kawin. Setelah itu, Nyai Sembur Maut termenung sejenak. Ia yakin, anaknya tidak mungkin melaporkan sesuatu yang palsu. Anaknya polos dan jujur, kalau bicara apa adanya. Jadi, Nyai Sembur Maut percaya betul dengan apa yang dikatakan Cola Colo itu.

Kejap berikutnya, Nyai Sembur Maut bertanya dalam kebimbangan, "Apakah... apakah pedang itu berwarna hitam?"

"Iya. Bumbung yang dipakai menyimpan pedang itu juga hitam."

Sedikit tegang wajah Nyai Sembur Maut saat itu. Lalu ia bertanya kembali masih agak bimbang, "Apakah gagangnya lebih panjang dari mata pedangnya sendiri?"

"Tidak kuukur. Yang jelas gagang pedang itu memang panjang, berbentuk bulat seperti bambu kecil. Di ujung gagangnya ada lapisan kuning emas, tapi aku yakin bukan emas. Di gagang itu ada koncer-koncer benang merah."

Mata Nyai Sembur Maut menegang lebar. Nafasnya ditarik dan tertahan. Mulutnya sedikit ternganga, kemudian dia berkata, "Berarti yang kau dapatkan itu bukan Pedang Jimat Lanang! Yang kau dapatkan itu Pedang Istana Intan, milik Eyang Nini Murti, istri dari Eyang Tapak Gempur!"

Bocah Bodoh masih bersungut-sungut cemberut. Ia sepertinya sudah enggan membicarakan pedang tersebut. Ia biarkan ibunya yang lumpuh dan hanya bisa duduk di kursi tanpa roda itu termenung beberapa saat. Bocah Bodoh yang duduk di lantai dengan melonjorkan kaki hanya menggosok-gosok kakinya yang terasa pegal.

"Benar, Cola Colo. Kau berarti mendapatkan Pedang Istana Intan. Dan pedang itu memang bukan pedang sakti. Pedang itu hanya pedang hias yang gunanya untuk menyimpan permata. Di dalam gagang pedang itulah semua permata milik Eyang Nini Murti disimpannya."

Kini Bocah Bodoh itu terperanjat dan memandang Ibunya dengan mulut terbengong. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang didengar. Maka mulut ibunya pun dipandanginya terus tanpa bergerak dan tanpa berkedip.

"Ibu lupa ceritakan pedang itu. Di sekitar Prasasti Tonggak Keramat memang ada dua pedang yang tersimpan di sana; satu Pedang Jimat Lanang milik Eyang Tapak Gempur, dua Pedang Istana Intan milik Eyang Nini Murti. Pedang Istana Intan dulu dihebohkan sudah ditemukan oleh seorang pengelana, tapi ternyata belum. Karenanya Ibu tidak ceritakan tentang pedang itu. Isi gagang pedang itu adalah sejumlah kekayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan. Bisa untuk membangun istana megah. Pedang Istana Intan yang berguna bukan mata pedangnya, melainkan gagangnya. Di situ juga terdapat delapan batu sakti yang bernama Delapan Mata Syiwa! Gunanya bisa untuk membangkitkan orang mati. Kalau dijual, harganya sama dengan harga sebuah kapal besar yang bagus dan megah. Kalau ada delapan batu berarti ada delapan kapal mewah di dalam gagang pedang itu!"

Semakin terperangah mulut Bocah Bodoh yang menatap ibunya tanpa berkedip. Jantung Bocah Bodoh pun berdebar-debar, dan ia sangat tertarik mengikuti cerita sang Ibu. Kemudian, ibunya berkata lagi,

"Pada waktu itu, Eyang Tapak Gempur dan Eyang Nini Murti ingin mengasingkan diri, menjadi petapa yang tidak akan ikut campur lagi dalam urusan dunia. Mereka memang berhasil menjadi orang suci dan meninggal secara moksa keduanya; lenyap tanpa ada jenazahnya dan tanpa ada bekasnya. Sebelum hal itu dilakukan, mereka sepakat untuk menyimpan kedua pedang itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat dan menjadikan bencana di mana-mana. Pedang Istana Intan pun sengaja tidak diberikan kepada siapa-siapa, supaya nilai permata di dalamnya tidak membuat orang menjadi lupa diri dan sesat jalannya. Sedangkan Pedang Jimat Lanang diberikan kepada Ibu dengan pesan; kalau Ibu sudah punya anak dan anak itu sudah mencapai usia lima puluh tahun, tapi Ibu masih tetap hidup, berarti Ibu berjodoh untuk mendapatkan pedang tersebut. Pedang itu boleh untuk Ibu sendiri, boleh untuk anaknya, dan nanti harus diwa-riskan kepada setiap anak pertama dari keturunan-keturunan Ibu."

Nyai Sembur Maut mengusap-usap rambut anaknya yang duduk di lantai samping kirinya. Anak itu dipandangi ketika Nyai Sembur Maut melanjutkan kata-katanya,

"Karena usiamu sudah mencapai lima puluh tahun lewat empat bulan sembilan hari, maka Ibu ingin dapatkan Pedang Jimat Lanang itu. Tapi keadaan Ibu yang lumpuh begini, tidak memungkinkan Ibu pergi ke Prasasti Tonggak Keramat. Jadi kutugaskan kau yang mengambilnya. Ibu tidak ingin memiliki pedang itu, karena usia Ibu sudah sangat tua. Ibu hanya ingin memegang pedang itu sebelum Ibu mati, lalu pedang itu akan menjadi milikmu selamanya. Tapi ternyata yang kau temukan bukan Pedang Jimat Lanang, melainkan Pedang Istana Intan. Ibu tidak marah kalau kau salah ambil. Cuma sekarang, Ibu ingin lihat pedang itu, Cola Colo! Ibu hanya ingin periksa apakah gagangnya masih berisi permata atau sudah dipalsukan orang? Setelah itu, pedang tersebut pun akan menjadi milikmu bersama isinya. Nah, sekarang... mana pedang itu. Jangan kau sembunyikan. Ibu hanya ingin melihatnya saja."

Nyai Sembur Maut memandang Bocah. Bodoh, dan bocah itu juga memandang Ibunya dengan bengong. Sang Ibu menunggu jawaban tapi tak kunjung tiba. Ibunya menganggap jawaban anaknya tadi hanya main-main karena merasa Jengkel. Kini Nyai Sembur Maut ingin dengar lebih jelas lagi jawaban dari anaknya, sehingga ia mengulangi pertanyaannya tadi,

"Mana pedang Itu, Sayang...?!"

Dengan rasa takut dan berdebar-debar Bocah Bodoh menggeleng. Ibunya membentak karena tak sabar, "Mana pedang itu?!"

"Sudah... sudah ku buang!"

"Jangan bercanda kau, Cola Colo! Mana pedang itu?!"

"Sudah... ku buang..."

"Edan!" seru Nyai Sembur Maut. "Dibuang di mana?!"

"Di... di... disana!"

"Di manaaa...?!" teriaknya sambil memuntir telinga Bocah Bodoh.

"Diii., di sana, Ibu! Di jurang dekat Tanah Kulon!" jawab Bocah Bodoh sambil meringis kesakitan merasa telinganya mau putus.

"Bocah edan! Jadi Pedang Istana Intan itu kau buang di jurang Usus Bumi...?!" '

"Aku tidak tahu, Ibu. Ampun, aku tidak tahu itu Jurang Usus Bumi atau Usus Buntu, tapi karena aku jengkel, ku buang saja ke jurang yang ada di Tanah Kulon Itu. Auuh... ampun, Ibu!" rintih Bocah Bodoh.

Jurang Usus Bumi adalah jurang yang paling dalam dan tak bisa dijajaki kedalamannya. Karena itu orang-orang menamakannya Jurang Usus Bumi, karena diduga jurang itu langsung tembus sampai perut bumi. Sudah tentu adalah hal yang tak mungkin untuk mengambil Pedang Istana Intan itu jika sudah dibuang ke jurang tersebut.

Maka, habislah. Bocah Bodoh dihajar ibunya yang naik pitam mendengar pengakuan tersebut. Dari pagi sampai sore, Bocah Bodoh dicubit, dijambak, diplintir kupingnya, ditampar, dan dimaki-maki dengan kata-kata pedas.

Itulah sebabnya, semalaman penuh Cola Colo duduk merenung di bawah pohon beringin putih. Disamping menyesal dan kecewa, juga karena ia dihukum ibunya untuk tidak boleh tidur di dalam rumah. Sekalipun sudah pagi, namun Cola Colo masih malas masuk ke rumah sebelum Ibunya memanggil.

Tiga hari perjalanan pulang dari Lembah Maut memang melelahkan dan membuat mata mengantuk. Tapi setelah dihajar ibunya dan mengetahui apa isi gagang pedang itu, Cola Colo bagaikan kehilangan rasa lelah dan kantuk. Rasa ingin makan pun tak ada, apalagi rasa ingin mandi. Tak ada sama sekali keinginan itu pada diri Bocah Bodoh.

Tubuh tak terlalu pendek berkulit gelap itu se-gera bergerak setelah ia melihat kedatangan seseorang yang langkahnya bagaikan terbang. Dalam sekejap orang itu sudah sampai di depan rumahnya dan me-mandang Cola Colo dengan mata dingin.

Orang itu bertubuh kurus, jangkung, rambutnya putih rata seperti rambut Nyai Sembur Maut. Ia seorang perempuan tua yang sudah berusia banyak, namun masih kelihatan tegar. Mengenakan Jubah ungu dan membawa tongkat yang ujungnya mempunyai tiga mata pisau. Orang itu tak lain adalah Nyai Rajang Demit.

Bocah Bodoh memanggil orang itu dengan sebutan Bibi, sebab dia adalah adik tiri dari Ibunya. Bocah Bodoh ingat, bahwa Nyai Rajang Demit dalam peristiwa di Lembah Maut sudah dihajar oleh Lili; si Pendekar Rajawali Putih itu. Bocah Bodoh menyangka bibinya mati karena melarikan diri sambil membawa luka akibat jurus 'Salju Neraka' milik Lili yang mengandung ratusan jarum itu.

Tapi ternyata Nyai Rajang Demit masih hidup, hanya saja badannya menjadi berbintik-bintik hitam merata sampai pada wajahnya. Bahkan bola matanya pun juga berbintik-bintik hitam. Rupanya Nyai Rajang Demit dapat sembuhkan diri dalam waktu singkat, namun bekasnya tak dapat hilang.

Nyai Rajang Demit dekati Bocah Bodoh dari berkata, "Hei, Bodoh! Mana si Lumpuh Keparat itu?!"

"Lumpuh keparat...?! Wah, saya tidak kenal orang itu, Bibi!"

"Maksudku, mana ibumu?!" bentak Nyai Rajang Demit.

"Ooo... Ibu?! Ibu ada di dalam, Bibi. Beliau memang lumpuh tapi tidak sampai keparat, Bibi!"

Plook...! Bocah Bodoh ditendang dan terpental tiga langkah dari tempatnya duduk tadi. Bocah Bodoh memekik lalu mengerang kesakitan. Nyai Rajang Demit menghampirinya, mencengkeram rambut Bocah Bodoh dan ditariknya, sehingga Bocah Bodoh terpaksa harus berdiri supaya rambutnya tidak jebol terlalu banyak. "Panggil ibumu! Lekas...!"

Wuuurrr...! Bocah Bodoh dilemparkan dengan satu tangan. Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Ia menjerit takut dengan suara panjang, lalu jatuh tepat di depan rumahnya.

Brrukkk...!

"Aaauh...!" Bocah Bodoh merintih makin keras dan panjang. Ia berusaha bangun sambil pegangi pinggang belakang yang terasa sakit sekali itu.

Nyai Rajang Demit masih belum puas, ia segera hampiri lagi Bocah Bodoh dengan dua kali lompatan, lalu menendangnya dengan kuat.

Plookkk!

"Aaaooow...!" Bocah Bodoh menjerit kesakitan. Rahangnya terasa mau copot akibat tendangan keras itu,

"Cepat panggil si Lumpuh itu!" bentak Nyai Ranjang Demit.

Tahu-tahu pintu rumah kayu itu menjadi jebol karena diterjang dari dalam. Braasskk...! Nyai Sembur Maut melesat bagaikan terbang bersama kursi bertangan yang terbuat dari besi. Dalam keadaan tetap duduk di kursi yang disebutnya kursi terbang itu, Nyai Sembur Maut memandang adik tirinya dengan sikap menantang. Ia berkata dalam geram kemarahan,

"Kau hanya berani dengan anak kecil, Rajang Demit! Tentu saja anakku kalah denganmu, karena bukan dia tandingan mu, melainkan aku!"

"Melawanmu dan membunuhmu adalah pekerjaan yang mudah bagiku, Sembur Maut! Tapi aku datang bukan dengan maksud membunuhmu. Kalau kau masih bisa kuajak damai, serahkan saja Pedang Jimat Lanang itu padaku. Tak akan aku memusuhi mu lagi, Sembur Maut."

"Kalau pedang itu memang ada padaku, tetap tidak akan ku berikan kepadamu, Rajang Demit. Karena Eyang Guru Tapak Gempur menyerahkan pedang itu kepadaku, bukan kepada mu!"

"Tak usah basa-basi cari alasan macam-macam, serahkan saja pedang itu!" sentak Nyai Rajang Demit.

"Tidak ada Pedang Jimat Lanang di sini, Rajang Demit. Kau hanya ingin menambah permusuhan bagi kita saja!"

"Omong kosong! Aku tahu anakmu itu sudah berhasil mendapatkan Pedang Jimat Lanang dari tem-pat Prasasti Tonggak Keramat itu berada! Kau tak bisa menipuku, Sembur Maut, karena aku ada di sana pada waktu itu!"

"Anakku salah ambil. Yang ia temukan bukan Pedang Jimat Lanang, melainkan Pedang Istana Intan milik Eyang Nini Murti. Itu pun sudah dibuangnya karena dianggap tidak mampu menembus bayangan dan tidak bisa dipakai untuk memotong dahan. Dia tidak tahu apa isi Pedang Istana Intan."

"Hih hik hik hik...! Kau tak bisa menipuku, Sembur Maut. Aku tahu Pedang Istana Intan itu sudah lama ditemukan oleh seorang pengelana dan sudah tidak ada di Lembah Maut! Kau tak perlu mengarang sebuah cerita baru lagi, Sembur Maut!"

Bocah Bodoh segera ikut menyahut, "Betul, Bibi! Ibu tidak bohong. Aku memang menemukan Pedang Istana Intan, tapi sudah...."

"Tutup mulutmu, Anak Monyet! Jangan turut campur urusan orang tua!" hardik Nyai Rajang Demit sambil menuding Bocah Bodoh pakai tongkatnya. Ucapan itu membuat hati Nyai Sembur Maut menjadi panas dan pandangan matanya memancarkan hasrat untuk membunuh adik tirinya yang jahat itu.

Nyai Rajang Demit melirik angker pada Nyai Sembur Maut, kemudian berkata dalam nada dingin, "Kalau kau tak serahkan dalam tiga hitungan, kubunuh kau di atas kursi itu!"

"Apa kau mampu membunuhku?!" tantang Nyai Sembur Maut.

Tantangan itu membuat Nyai Rajang Demit tak sempat menghitung sampai tiga kali. Langsung saja ia menyerang dengan berucap kata, "Kau memang keparat, Sembur Maut! Heaaah...!"

Nyai Rajang Demit melompat sambil mengarahkan ujung tongkatnya yang bawah untuk menumbuk kepala Nyai Sembur Maut. Tetapi, nenek lumpuh itu segera hembuskan semburannya melalui mulut, dan angin badai pun keluar dari mulut tersebut.

Woooss...!

Tubuh Nyai Rajang Demit terpental sampai menghantam pohon dan pohon itu pun retak pada pertengahan batangnya. Buru-buru ia bangkit dan menyentakkan tong-katnya ke depan. Tiga mata pisau itu memancarkan ti-ga larik sinar hitam ke arah dada Nyai Sembur Maut.

Zraaap...!

Dengan cepat Nyai Sembur Maut menghentakkan telapak tangannya ke depan, dan dari telapak tangan itu terpancar sinar hijau membentuk perisai. Sinar hitam tiga larik ditahan dengan sinar hijau, dan mereka saling adu kekuatan, mengerahkan tenaga dalam hingga keduanya sama-sama berpeluh dan bergetar tubuhnya.

Tapi dengan cepat tangan Nyai Sembur Maut berkelebat berputar satu kali dan sinar perisai itu berubah menjadi biru. Pada saat demikian, sinar hitamnya Nyai Rajang Demit menjadi terdesak. Jaraknya kian dekat dengan ujung tongkat. Dan akhirnya sinar hitam itu bagaikan memukul balik pemiliknya setelah tangan Nyai Sembur Maut kian menghentak ke depan dalam satu sentakan kuat.

Drrubbb...! Blaarrr...!

Nyai Rajang Demit kembali terpental dan terguling-guling. Rambutnya yang diriap sedikit terbakar. Namun segera padam setelah dikibaskan satu kali, ia pun cepat-cepat bangkit untuk keluarkan jurus maut lainnya. Tetapi ternyata Nyai Sembur Maut telah bergerak lebih cepat.

Kekuatan tenaga dalamnya mampu membuat ia bersama kursinya terbang dengan cepat. Wuuusss...! Menabrak punggung Nyai Rajang Demit dari belakang. Bruusss...! Orang itu terpental menuruni lereng. Ia memuntahkan darah dari mulutnya saat masih terduduk di tanah.

"Jahanam kau, Sembur Maut!" geramnya dengan mata semakin beringas.

Nyai Sembur Maut memutar gerakan bersama kursinya. Ia tiba di pekarangan depan rumahnya lagi. Tapi Nyai Rajang Demit mengejarnya dengan satu lompatan bersalto tiga kali. Jleeg...! Begitu mendaratkan kaki, tepat di depan kakak tirinya. Lalu, pisau di ujung tongkatnya itu disabetkan ke kiri.

Wuusst...!

Wrrrusss...! Mulut Nyai Sembur Maut keluarkan napas yang memancarkan sinar biru berkelok bagai lidah petir menyambar. Semburan itu selain menangkis gerakan tongkat juga menghantam tiga mata pisau memakai kilatan sinar biru tadi.

Duuaaarr...!

Ledakan terjadi dan membuat tubuh Nyai Rajang Demit terpelanting. Tapi justru gerakan terpelantingnya itu berhasil dimanfaatkan untuk menendangkan kakinya ke belakang. Wuuuttt...! Nyai Sembur Maut tidak menyangka akan datangnya tendangan itu. Namun ia sempat menangkis dengan kedua tangan di silangkan di depan wajah. Hanya saja, karena kuatnya tenaga kaki itu, tangan tersebut kalah menahan, dan akhirnya Nyai Sembur Maut terpelanting ke belakang, terjungkal jatuh bersama kursinya.

Braakkk...!

"lbuuu...!" Bocah Bodoh yang sejak tadi terbengong saja, kini bergegas menolong ibunya. Tetapi tiba-tiba ujung tongkat Nyai Rajang Demit bagian bawahnya menyodok punggung Bocah Bodoh dengan sodokan cepat beruntun tiga kali.

Dug, dug, dug...!

"Uuhg...!" Bocah Bodoh tersentak dan diam se-ketika. Ia telah tertotok jalan darahnya.

"Setan kau, Rajang Demit!" sentak Nyai Sembur Maut sambil berusaha untuk bangkit dengan susah payah, karena kedua kakinya sudah tidak bisa digunakan sama sekali. Dalam keadaan masih terkapar di tanah, Nyai Sembur Maut melihat tiga mata pisau itu dihujamkan ke dadanya. Tetapi dengan cepat ia lepaskan pukulan bercahaya kuning.

Blaarrr...!

Tiga mata pisau Itu pecah menjadi serpihan lembut. Sebagian pukulan bercahaya kuning itu mengenai tangan Nyai Ranjang Demit sehingga tangan itu sempat membekas hangus bagian siku. Melihat keadaannya sudah kalah kuat dengan Nyai Sembur Maut, maka dengan cepatnya tubuh Bocah Bodoh yang diam karena tertotok itu segera disambarnya.

Wuuuttt...!

"Hei, mau kau bawa ke mana anakku itu, Setan!" teriak Nyai Sembur Maut dengan merayap-rayap.

"Pertimbangkan permintaanku tadi, Sembur Maut! Kukembalikan anakmu jika kau mau menukarnya dengan Pedang Jimat Lanang. Pancangkan bendera kuning di depan rumahmu, maka aku tahu kau akan siap menukar anakmu dengan pedang pusaka itu!"

"Tunggu dulu...!"

"Ingat kata-kataku. Kalau dalam dua hari tak ada kabar, anakmu kubunuh dan kukembalikan kepalanya!"

Wesss...! Nyai Rajang Demit berkelebat pergi dengan cepatnya sambil memanggul Bocah Bodoh. Nyai Sembur Maut sempat lepaskan pukulan sambil duduk di tanah, tapi pukulan itu tidak mengenai sasa-ran. Bocah Bodoh tetap dibawa lari untuk dijadikan sandera dan ditukar dengan Pedang Jimat Lanang. Padahal Nyai Sembur Maut memang tidak memiliki pedang pusaka tersebut. Keadaannya yang lumpuh membuat ia tak mampu mengejar anaknya.

* * *

DUA

SEGUMPAL kabut mengikuti kepergian Nyai Rajang Demit dari Bukit Lidah Samudera. Segumpal kabut itu sejak tadi ada di samping rumah kayu Nyai Sembur Maut. Kabut itu bisa melihat jelas pertarungan dan mendengar jelas pula percakapan yang terjadi di rumah kayu itu. Siapa lagi orang yang bisa berubah menjadi kabut jika bukan si Tua Usil, yang secara tak langsung kini menjadi pelayannya Lili. Pendekar Rajawali Putih.

Kedatangan tua Usil ke rumah Bocah Bodoh bukan sesuatu yang tidak disengaja. Ia diutus oleh Yoga dan Lili untuk melihat apakah Bocah Bodoh itu sudah tiba di rumahnya, atau belum. Jika belum, berarti Bocah Bodoh mendapat halangan di perjalanan.

Sesampai di sana Tua Usil melihat Bocah Bodoh termenung di bawah pohon, Ia ingin menggodanya melalui perubahan wujud dirinya menjadi kabut. Tetapi pada saat Tua Usil sudah menjadi kabut, Nyai Rajang Demit muncul dan Tua Usil tak berani dekati Bocah Bodoh. Ia bahkan menjadi penonton setia pertarungan tersebut tanpa diketahui oleh siapa pun.

Maka ketika Bocah Bodoh diculik Nyai Rajang Demit, manusia kabut itu mengikutinya dalam wujud kabut. Dengan begitu, Nyai Rajang Demit tidak mengetahui bahwa pelariannya diikuti oleh seseorang. Tua Usil lakukan hal itu, karena ia ingat pesan Yoga dan Lili sebelum berangkat menengok Bocah Bodoh,

"Jangan lupa, temui lagi ibunya Bocah Bodoh dan sampaikan salamku kepadanya. Katakan murid Dewa Langit Perak ikut hadir di Lembah Maut itu!"

"Baik; Nona Li! Akan saya katakan hal itu."

Yoga menimpali, "Katakan pula kepada Nyai Sembur Maut, bahwa tak sebutir pun permata di dalam pedang itu ada yang hilang!"

Pada saat itulah Lili dan Tua Usil tercengang memandang Yoga. Yang dipandang hanya tersenyum tipis dan bersikap kalem, seakan tidak mengetahui mereka tercengang kaget. Kemudian, Lili segera hampiri Yoga dan menarik pundak Yoga agar menatapnya. "Permata apa maksudmu?!"

"Permata berharga," jawab Yoga sengaja menggoda Lili.

"Iya. Tapi permata bagaimana? Mengapa Tua Usil harus bilang begitu kepada ibunya Bocah Bodoh?!"

"Karena saat kuperiksa pedang itu, aku menemukan permata di dalam gagang pedang!" jawab Pendekar Rajawali Merah yang bertangan buntung itu. Ia bicara tetap dengan kalem dan membuat Lili serta si Tua Usil menjadi makin terkejut.

"Maksud Tuan Yo, lapisan logam kuning di ujung gagangnya itu?" tanya Tua Usil minta penjelasan.

"Lapisan logam kuning emas itu ditutupnya. Dengan memulir tutup itu, aku menemukan gagang pedang berongga dan isinya permata aneka macam, Ada Intan, ada berlian, ada mutiara, ada macam-macamlah! Dan gagang pedang itu terisi penuh. Karena itu jika pedang digerakkan tak menimbulkan suara gemericik."

"Ooohhh...?!" Tua Usil terperangah semakin lebar baik mulut dan matanya, sedangkan gadis yang cantiknya melebihi bidadari itu hanya bisa tertegun dengan mata tak berkedip memandang pendekar tampan.

"Aku sengaja tidak katakan hal itu kepada Bocah Bodoh, sebab aku takut dia akan kegirangan dan menyebarkan berita itu, sehingga nyawanya akan terancam oleh kejahatan orang yang ingin memiliki permata-permata itu."

"Betul juga," gumam Tua Usil, "Apalagi Bocah Bodoh itu memang benar-benar bodoh, tak tahu bahaya mengancamnya."

"Tapi bagaimana kalau Bocah Bodoh sendiri yang serahkan pedang itu kepada orang lain, karena dianggap pedang itu pedang biasa?" tanya Lili tampak sedikit cemas.

"Kita lihat saja," jawab Yoga. "Karenanya, Tua Usil harus lekas berangkat ke rumah Bocah Bodoh. Berusahalah cari tahu, apakah Nyai Sembur Maut menyimpan permata-permata itu atau dia sendiri tidak tahu kalau kehebatan pedang tersebut ada di gagangnya. Jika belum tahu, kasih tahu dia secara pelan-pelan, jangan kedengaran Bocah Bodoh!"

"Dan jika ada yang mengambilnya, mungkin pedang itu diserahkan kepada orang lain oleh Bocah Bodoh, cari tahulah siapa orang yang menerima pedang itu! Jika memang Bocah Bodoh belum tiba di rumah, tugasmu segera mencari dia dan bantu dia jika ada kesulitan apa-apa. Kau bisa gunakan ilmu 'Halimun'-mu, Tua Usil."

"Baik, Nona Li. Tapi... sebenarnya lebih enak lagi kalau saya lakukan tugas ini setelah saya menerima pelajaran berdiri di atas ilalang dari Nona Li!" sambil Tua Usil cengar-cengir.

"Justru tidak sekarang. Sebab jika sekarang kau ku beri pelajaran tentang cara berdiri di atas ilalang, maka kau akan lalai dengan tugasmu, dan setia pada ilalang pasti kau gunakan untuk berdiri di atasnya! Aku tak mau kau lalai dan lengah, Tua Usil!" kata Lili menolak dengan cara halus. Dan Tua Usil hanya mendengus napas kesal, namun segera pergi kerjakan tugas.

Tugas membantu kesulitan Bocah Bodoh. Itulah yang membuat Tua Usil akhirnya tiba di sebuah gubuk, letaknya di atas jurang bertebing curam. Gubuk itu adalah tempat tinggal Nyai Rajang Demit. Di situ ia tinggal sendirian, selalu memperdalam ilmunya pada saat tak ada urusan dengan tokoh-tokoh di rimba persilatan.

Di gubuk itu pula Bocah Bodoh ditawan. Ia tidak ditawan di dalam gubuk, melainkan diikat di sebuah pohon bercabang tinggi. Nyai Rajang Demit tersenyum-senyum saat mengikat tubuh Bocah Bodoh dengan batang pohon besar itu. Ia tak peduli Bocah Bodoh itu menangis ketakutan dan memohon-mohon untuk tidak diperlakukan seperti itu.

"Kau akan kulepaskan kalau kau kasih tahu padaku, pedang itu ada di mana. Disimpan ibumu atau kau sembunyikan sendiri!"

"Aku tidak tahu, Bibi! Sumpah pingsan, aku tidak tahu!"

“Tak mungkin kau tidak mengetahuinya, karena kulihat kemarin, tanah di sekitar tonggak prasasti itu sudah tergali. Pasti pedang itu sudah kau dapatkan."

"Aku mendapatkannya bukan Pedang Jimat Lanang, Bibi. Yang kudapatkan, menurut Ibu, Pedang Istana Intan yang pada bagian gagangnya tersimpan permata dan batu untuk membangkitkan orang mati bernama Delapan Mata Syiwa itu, Bibi!"

Tercengang Nyai Rajang Demit mendengar ucapan itu. ia memang tahu, bahwa Eyang Nini Murti mempunyai Pedang Istana Intan, tapi ia menyangka pedang itu pedang sakti yang masih kalah hebat dibandingkan Pedang Jimat Lanang. Nyai Rajang Demit tidak tahu bahwa pedang itu menyimpan permata di bagian gagangnya, seperti yang dikatakan Bocah Bodoh itu. Karenanya, ia jadi berpikir antara Pedang Jimat Lanang dan Pedang Istana Intan; mana yang ingin diperolehnya?

"Kau tidak bohong pada Bibi, Cola Colo?!"

“Tidak, Bibi. Aku berani bersumpah serapah, bahwa yang kudapatkan dari prasasti itu Pedang Istana Intan, bukan Pedang Jimat Lanang."

"Isinya emas permata?"

"Menurut keterangan Ibu memang begitu. Tapi waktu itu aku tidak memeriksa gagangnya, sehingga tidak tahu kalau gagang pedang itu berisi permata penuh! Lengkap dengan delapan batu sakti itu..."!

"Dan sekarang Pedang istana Intan Itu disimpan oleh ibumu di rumah atau di tempat lain?"

"Ibu tidak menyimpan pedang itu, Bibi. Pedang itu ku buang ke Jurang Usus Bumi, karena aku kecewa bahwa pedang itu tidak mampu untuk memotong dahan, dan menjadi geripis ketika ku tebaskan di pohon. Aku tidak tahu kalau isinya berlian, sehingga dengan jengkel ku buang begitu saja di jurang tersebut!"

Nyai Rajang Demit menyeringai, "Kau bohong! Kau bohong sekali!"

“Tidak, Bibi! Saya tidak sempat bohong!"

Plakkk...!

Pipi Bocah Bodoh ditampar seenaknya saja oleh bibinya sendiri. Kemudian, mata Nyai Rajang Demit itu memancar dengan tajam, menyeramkan buat Bocah Bodoh, sehingga ia tidak berani menatap mata bibinya itu.

"Katakan ada di mana Pedang Istana Intan itu?!"

"Ku buang, Bi! Ku buaaang...!"

"Aku tetap tidak percaya, karena kau anak yang baik, yang selalu menuruti perintah ibumu. Jika ibumu perintahkan bawa pulang itu pedang, maka kau pasti akan membawanya pulang. Tak mungkin kau berani membuangnya ke jurang!"

"Kalau Bibi tidak percaya, silakan Bibi mencarinya sendiri di Jurang Usus Bumi itu!"

Wajah Cola Colo diremas pipinya kanan-kiri oleh tangan Nyai Rajang Demit hingga mulut Cola Colo sampai meruncing. Wajah Nyai Rajang Demit pun mendekat dengan mata lebar dan senyum seringai iblis.

"Dengar, kalau aku mau mencari Pedang Istana Intan, bukan aku sendiri yang turun ke Jurang Usus Bumi itu, tapi kaulah yang akan ku paksa menemukannya kembali. Tapi itu kalau aku percaya bahwa pedang tersebut kau buang ke sana. Ternyata saat ini aku belum percaya dengan pengakuanmu, Bocah Bodoh. Aku tetap berkeyakinan, pedang itu pasti disimpan oleh ibumu di suatu tempat, hanya kalian berdua yang mengetahuinya. Karena itu, kau pilih jujur kepadaku, atau...."

Nyai Rajang Demit dongakkan wajah yang diremasnya itu. Wajah Bocah Bodoh memandang ke atas pohon. Remasan tangan dilepaskan sambil Nyai Rajang Demit berkata, "Pilihan kedua ada di atasmu! Kau lihat binatang hitam loreng yang bergerak-gerak di atas dahan tinggi itu?!"

"Hahhh...?! Ul... ul.. ular?!" Bocah Bodoh terkejut dan menjadi pucat pasi wajahnya. Ular itu melilit di dahan atas, besarnya seukuran satu pahanya sendiri.

"Ular Itu piaraan ku. Ia akan turun kalau hari sudah hampir petang, dan mencari makan sendiri. Kau punya kesempatan sampai senja tiba, menyebutkan di mana pedang itu, atau dimakan ular itu!"

Nyai Rajang Demit tinggalkan Bocah Bodoh dengan senyum keji tersungging di bibirnya. Ia masuk ke pondoknya sebentar, setelah itu keluar lagi dan bergegas pergi. Sebelum pergi tinggalkan tempat Itu, ia berkata kepada Bocah Bodoh,

"Aku pergi sebentar. Secepatnya kembali lagi. Kuharap saat aku kembali, kau sudah punya keputusan untuk selamatkan dirimu dari mulut ular tersebut!"

"Bibi.... Jangan tinggalkan aku sendirian, Bi. Kalau ular itu tahu-tahu lapar bagaimana?"

Tapi Nyai Rajang Demit tidak menggubris kata-kata keponakannya. Seluruh tubuh Bocah Bodoh menjadi gemetaran. Kepalanya sebentar-sebentar menengok ke atas dengan cemas. Ular besar yang melilit di dahan itu bergerak-gerak lamban.

"Ooh... ular, jangan kau turun kemari sebelum aku dilepaskan! Kasihanilah diriku yang sudah tidak punya ayah ini, Ular...!" ucap Bocah Bodoh dengan jantung berdetak-detak karena takutnya.

Tapi ucapan itu seolah-olah justru membuat ular besar warna hitam loreng itu bergerak turun pelan-pelan. Wajah Bocah Bodoh bertambah tegang bercampur sedih. Ia menangis sambil celingak-celinguk mencari seseorang untuk dimintai bantuannya. Tapi tebing jurang itu sepi, tak ada manusia lewat disana.

"Bibiii...!" teriaknya keras-keras, karena ia putuskan untuk membuat perjanjian dengan bibinya. Ia bersedia mencari pedang yang dibuangnya di jurang ketimbang harus mati dicaplok ular besar.

Ternyata teriakan itu justru membuat ular besar makin tergugah dari kemalasannya. Kepala ular yang menjulur-julurkan lidahnya menghadap ke bawah. Ketika Bocah Bodoh mendongak lagi, mata ular itu memandang ke arahnya, dan bergerak lebih cepat dari semula. Ular itu turun merayapi dahan besar.

"Oooh... mati aku kalau begini!" ucap Bocah Bodoh di sela tangisnya yang tak berani keras, karena takut mengagetkan ular. Ia berusaha menyentak-nyentakkan badan supaya ikatannya terlepas. Tapi usaha itu sia-sia. Tali yang digunakan mengikat tubuhnya dengan pohon sepertinya bukan sembarang tali, lebih alot dan lebih keras dart tali biasa.

Sedangkan ular di atas sana makin lama makin turun tempatnya, gerakannya bagaikan terasa betul di tiap denyut nadi Bocah Bodoh, Hal itu yang membuat bocah tua yang bodoh itu menjadi basah kuyup tubuhnya oleh keringat, celananya pun ikut basah kuyup karena rasa takut yang amat mencekam jiwa.

Pada saat itulah segumpal asap merayap di tanah. Makin lama semakin membungkus kaki Bocah Bodoh. Tetapi Bocah Bodoh masih tetap tegang dan berusaha lepaskan diri dari ikatannya sambil menangis, karena ia belum tahu bahwa asap kabut itu adalah si Tua Usil. Ia menganggapnya kabut salah musim, siang-siang di tengah terik matahari muncul dan merayapi bumi. Kalau bukan kabut salah musim, tak mungkin ada, menurut pendapat Bocah Bodoh.

Tetapi tiba-tiba ia merasakan tali pengikat tubuhnya tersendat-sendat. Ia memandang ke atas, ular bergerak terus turun dengan gerakan tak selamban tadi. Kepala ular agaknya mengincar kepala Bocah Bodoh.

"Celaka! Sungguh celaka nasib ku hari ini! Tak mungkin aku mencaplok ular itu sebelum aku dicaplok! Pasti dia lebih dulu mencaplok kepalaku dan... dan... oh, tak dapat kubayangkan kalau aku ditelan ular itu, pasti sangat tak enak hidup di dalam perut ular...!" pikir Bocah Bodoh sambil merasa heran, mengapa tubuhnya diselimuti oleh kabut.

Bocah Bodoh berhenti berceloteh ketika terasa ada bagian tali yang mengendur. Makin tegang hatinya setelah ia rasakan banyak tali mengendur dan kedua tangannya bisa lolos dari ikatan tersebut.

"Hei, kabut ini rupanya telah membantuku melepaskan diri dari ikatan! Kabut aneh..?!" pikirnya dengan terburu-buru menarik-narik tali tersebut.

Ketika tali telah lepas semua. Kabut itu bergerak menjadi satu gugusan, bagai tersedot oleh satu kekuatan dari atas, Zuuuttt...! Berubah menjadi seperti tiang, makin lama makin pudar dan muncul sesosok tubuh berpakaian coklat muda. Bocah Bodoh terkejut karena ia mengenali orang tersebut.

"Tua Usil...?!”

"He he he he...!" Tua Usil tertawa bagai membanggakan diri. "Baru sekarang kau lihat aku berubah jadi kabut, ya?"

"Hebat sekali kau!" Bocah Bodoh menepuk-nepuk pundak Tua Usil. "Kau punya ilmu bisa berubah jadi kabut dan jadi apa lagi?"

"Yah, kadang-kadang jadi pelayan, kadang-kadang jadi bingung, dulu malah pernah menjadi pengemis!" canda Tua Usil.

"Hebat sekali kau? Bisa berubah-ubah begitu?!" Bocah Bodoh tersenyum merasa kagum dan mengang-gap hebat Tua Usil yang bisa berubah-ubah jadi pelayan atau jadi pengemis.

"Sssttt...! Ke mana Nyai Rajang Demit?"

"Dia pergi! Dia menawan ku. Aku mau ditukar dengan pedang. Padahal yang kudapatkan tempo hari itu, ternyata bukan Pedang Jimat Lanang, melainkan...."

"Ya, ya... aku sudah dengar semua percakapan Ibumu dengan Nyai Rajang Demit. Isi gagang pedang itu pun aku sudah tahu dari penjelasan Tuan Yo! Cuma, ku sayangkan kau bertindak ceroboh, membuang pedang itu ke Jurang!"'

"Yah, Itulah kesalahanku!" Bocah Bodoh menghempaskan napas dan bersandar pada pohon dengan rasa sesal. "Aku tidak tahu keistimewaan pedang itu! Kalau waktu Itu Tuan Yo memberitahukan isinya, aku tidak akan buang pedang itu."

"Sudahlah. Sekarang sebaiknya kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Rajang Demit datang, dan... dan..." Tua Usil tegang mendadak. Bocah Bodoh berkerut dahi. Tua Usil memandang atas kepala Bocah Bodoh, dan Bocah Bodoh segera mendongak, ternyata ular besar sudah ada dalam jarak dekat.

Bocah Bodoh terpekik keras, "Wooaawww...!" Ia cepat berlari. Brusss...! Tua Usil ditabraknya.

"Heegh..!" Tua Usil mendelik karena terinjak perutnya.

TIGA

SAMBIL berceloteh tentang kejahatan bibinya, Bocah Bodoh dan Tua Usil melangkah menyusuri sungai. Menurutnya, jalan melalui tepian sungai lebih aman, lebih kecil kemungkinannya bertemu dengan Nyai Rajang Demit. Waktu itu matahari masih meninggi dan sinarnya memancarkan panas yang menyengat kulit.

Langkah mereka tiba-tiba terhenti karena Bocah Bodoh menahan tangan si Tua Usil. Mata Bocah Bodoh memandang ke arah tanggul sungai yang ada Jauh di depannya. Tua Usil cepat bertanya, "Ada apa?"

"Orang-orang Lereng Lawu!" bisik Bocah Bodoh. "Kau lihat tiga orang yang lewat di atas tanggul itu?"

Tua Usil segera memandang arah yang ditunjuk Bocah Bodoh. Ia hanya menggumam sebagai tanda bahwa ia memang melihat apa yang dimaksud Bocah Bodoh. Lalu, Bocah Bodoh tambahkan kata,

"Dua orang lelaki itu anak buah Wali Kubur yang tempo hari ikut hadir di Lembah Maut!"

"Lalu yang perempuan berbaju hijau muda itu siapa?"

"Dia kakaknya Wali Kubur."

"Ah, bukankah Wali Kubur sudah tua? Masa' adiknya setua itu kok kakaknya masih seperti gadis usia dua puluh satu tahun?"

"Kata Ibu, Iblis Mata Genit itu usianya sudah hampir seratus tahun, tapi ia punya ilmu yang bisa membuatnya semuda itu dan secantik bidadari. Hanya saja, kalau dibandingkan dengan Nona Li, ya masih cantik Nona Li."

"Kakaknya Wali Kubur itu yang bernama Iblis Mata Genit?"

"Iya! Kata Ibu, ilmunya lebih tinggi dari Wali Kubur sendiri," Bocah Bodoh menjelaskan dengan rasa bangga karena bisa menggurui.

Tua Usil mencibir, "Ah, biar setinggi apa pun ilmunya, tapi kalau melawan Nona Li, tak bakalan bisa menang. Nona Li bisa berdiri di atas ilalang!" Tua Usil menyombongkan ilmu majikannya.

"Ah, kalau hanya berdiri di atas ilalang aku juga bisa!" Bocah Bodoh tidak mau kalah sombong.

Tua Usil kaget. "Apa betul?!"

"Iya!"

"Aku tak percaya. Berbulan-bulan aku ikut Nona Li, ingin belajar cara berdiri di atas ilalang, tapi sampai hari ini aku belum bisa! Masa' kamu bisa berdiri di atas ilalang? Hanya orang berilmu tinggi yang bisa lakukan begitu!"

"Kau mau bukti kalau aku bisa berdiri di atas ilalang?"

"Buktikan!" Tua Usil agak ngotot. "Nanti kalau memang kau benar-benar bisa berdiri di atas ilalang, aku akan belajar padamu!"

"Akan kubuktikan!" sambil Bocah Bodoh bergegas mendekati ilalang yang tumbuh di bawah tanah tanggul itu. "Tak perlu belajar kepada Nona Li kalau hanya soal begitu! Belajar padaku lebih cepat!"

"Pakai puasa dan bertapa segala?"

“Tak perlu!" jawab Bocah Bodoh. Lalu, ia mencabut beberapa ilalang. Dibawanya beberapa lembar ilalang itu ke sebuah batu. Diletakkannya ilalang itu di atas batu dalam posisi tidur. Kemudian ia naik di atas batu dan menginjak ilalang tersebut.

"Nah, lihat! Beginilah cara berdiri di atas ilalang. Mudah bukan?”

Tua Usil menarik napas dongkol. Ia bertolak pinggang dan berkata kepada Bocah Bodoh yang masih berdiri di atas batu beralaskan daun ilalang, "Hei, kebo hamil pun bisa lakukan hal seperti itu!" Tua Usil bernada ngotot. "Yang ku maksud, berdiri di atas ilalang yang masih tumbuh, dan tanpa alas berpijak apa pun kecuali sebatang ilalang itu!"

"Ooo... kalau itu, ya sulit!" Bocah Bodoh bersungut-sungut. Ia tidak sadar bahwa dengan berdiri di atas batu, maka ia tampak tinggi dan dapat terlihat dari jauh lebih jelas lagi. Dan pada saat itu, salah satu anak buah Wali Kubur segera berseru,

"Hai, lihat...! Itu dia si Bocah Bodoh! Dia pasti tahu di mana gadis cantik yang menyedot ilmunya sang Ketua!"

Suara itu terdengar oleh Bocah Bodoh. Ia menjadi kaget dan menyadari keberadaannya di tempat tinggi. Maka ia buru-buru turun pada saat tiga orang dipihaknya Wali Kubur itu segera berlari ke arahnya.

"Mereka datang kemari?!" Wajah Bocah Bodoh menegang. Dan Tua Usil yang memandang ke arah me-reka bertiga pun menjadi tegang.

"Cepat lari! Jangan berurusan dengan mereka!" seru Tua Usil sambil menarik tangan Bocah Bodoh.

Brruk...! Bocah Bodoh jatuh tersungkur karena tangannya terlalu keras ditarik oleh Tua Usil. Ia marah dan membentak, "Hati-hati, Tolol!"

"Ayo, lekas lari!"

"Iya. Lari ya lari, tapi jangan pakal siksa aku begini!" bentak Bocah Bodoh dengan mata mendelik.

Wuuttt...! Jleeg...!

Tahu-tahu gadis cantik bermata indah itu sudah berdiri di depan langkah kedua orang berusia lima puluh tahunan itu. Gadis berpakaian hijau muda yang menyandang pedang panjang di pinggangnya itu tersenyum sinis sambil berkata, "Tak perlu lari, Bocah Bodoh. Ada baiknya kita bincang-bincang sebentar, terutama tentang gadis cantik yang ikut bersama mu di Lembah Maut itu!"

Bocah Bodoh dan Tua Usil sebenarnya ingin melarikan diri lewat jalan lain. Tapi kedua anak buah Wali Kubur sudah mengepung mereka. Akibatnya mereka sama-sama percuma berusaha untuk menghindari tiga orang Perguruan Lereng Lawu Itu.

Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. Ia berharap Tua Usil bertindak melawan Iblis Mata Genit itu, tapi Tua Usil justru memandang wajah-wajah lawannya dengan rasa takut. Karena tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kedua orang tua itu, maka Iblis Mata Genit segera dekati Bocah Bodoh dan meremas dagunya, lalu mengangkat wajah itu supaya menatap ke arahnya,

"Siapa gadis cantik yang melawan adikku; si Wali Kubur itu?!"

"Eh... namanya... namanya Nona Lili. Dia bergelar Pendekar Rajawali... Rajawali... Hitam."

"Putih," sahut Tua Usil membetulkan.

"Ah, kau buta warna. Kulihat rambutnya masih hitam!"

"Iya, tapi namanya Pendekar Rajawali Putih!" bantah Tua Usil.

"O, sekarang rambutnya sudah beruban?"

"Rambutnya masih hitam, tapi nama gelarnya Pendekar Rajawali Putih!"

"Jadi namanya tidak tergantung rambutnya?"

"Cukup!" bentak Iblis Mata Genit. "Aku hanya mau bicarakan soal gadis itu, bukan soal rambut!"

Bocah Bodoh diam ketakutan. Tua Usil masih bersungut-sungut agak jengkel dengan kebodohan Cola Colo, tapi ia juga menjadi takut. Iblis Mata Genit bertolak pinggang saat bertanya kepada Cola Colo,

"Kau tahu, gadis yang kau panggil dengan nama Lili atau Pendekar Rajawali Putih itu telah membuat adikku kehilangan semua ilmunya. Sekarang Wali Kubur seperti bocah baru lahir...."

"Maksudnya, minta nenen segala? Hi hi hi...''

Plookkk...! Bocah Bodoh ditampar kuat-kuat oleh Iblis Mata Genit. Tapi karena ia berhasil merundukkan kepala, maka yang kena tampar wajah Tua Usil yang ada di samping kanannya. Tua Usil langsung terpelanting jatuh. Namun cepat-cepat bangun dan menendang kaki Bocah Bodoh.

Duuhg...!

Tua Usil menggeram, Bocah Bodoh meringis menahan sakit. Iblis Mata Genit berkata, "Bocah Bodoh, gadis bernama Lili itu harus bikin perhitungan denganku. Ia harus bisa kembalikan semua ilmu si Wali Kubur, atau ditebus dengan nyawanya!"

"Ditebus saja. Eh... anu... maksudku... hmrrm... tanyakan saja kepada temannya ini," sambil Bocah Bodoh menuding Tua Usil. "Dia namanya Tua Usil, teman dekatnya Nona Li!"

"Kebetulan sekali. Tunjukkan di mana tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih itu!" kata Iblis Mata Genit kepada Tua Usil.

Hati Tua Usil dongkol kepada Bocah Bodoh. Ia menggerutu dengan bersungut-sungut dan melirik Bocah Bodoh, "Pakai bilang-bilang begitu segala! Akhirnya aku yang kena sasaran! Dasar manusia paling bodoh di dunia! Lain kali...."

Plakkk...! Tiba-tiba datang tamparan keras dari tangan kiri Iblis Mata Genit ke pipi kanan Tua Usil. Pipi itu kena telak. Kerasnya tamparan membuat tubuh Tua Usil terhempas ke samping, tangannya berkelebat mengenai wajah Bocah Bodoh. Plokkk...!

"Akhirnya kena juga aku...," gumam Bocah Bodoh dengan cemberut.

"Tua Usil, cepat katakan di mana aku bisa temui Pendekar Rajawali Putih itu! Katakan!"

"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil bermaksud merahasiakan tempat tinggal Lili, sebab Lili tinggal di rumahnya, dan Tua Usil takut kalau rumahnya menjadi rubuh gara-gara Iblis Mata Genit mengamuk di sana. Terbayang olehnya jika Iblis Mata Genit bertarung dengan Lili, sudah pasti rumahnya akan jebol atau rubuh sama sekali.

"Aku akan menyiksamu kalau kau tak mau tunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih berada!" ancam Iblis Mata Genit kepada Tua Usil. Tapi Tua Usil segera tunjukkan keberaniannya yang sebenarnya hanya sebagai gertakkan saja,...

"Kalau kau mau menyiksaku, kau akan kehilangan nyawamu, Iblis Mata Genit!"

Tua Usil dipandang dengan tajam. Diam-diam jantungnya bergemuruh seperti mau lepas dari dada karena menahan rasa takut.

"Brata, Gandul... paksa dia supaya mengaku!" perintah Iblis Mata Genit kepada kedua murid Wali Kubur itu. Maka, orang yang bernama Brata itu segera bergegas maju, hendak menjambak rambut Tua Usil dari belakang. Tapi kaki Tua Usil segera menjejak bagaikan seekor kuda.

Buuhg...! Kedua kaki Tua Usil mengenai dada Brata dan orang itu tertahan langkahnya, namun tidak rasakan sakit sedikit pun. Tua Usil sendiri langsung jatuh karena menendang seperti kuda. Ketika ia jatuh, orang yang bernama Gandul itu segera melompat dan menginjaknya dengan satu hentakan.

Buuhg...!

"Ngggkkk...!" Tua Usil mendelik, perutnya bagai dipompa hingga seluruh isinya nyaris keluar dari mulut. Bocah Bodoh menggunakan kesempatan untuk lari.

Iblis Mata Genit bergegas mengejar dan berseru, "Tetap di sini kau, Bocah Bodoh!"

Cola Colo tidak hiraukan seruan itu. Ia lekas melompat dan ceburkan diri ke air sungai yang mengalir cukup deras itu. Byuuurr...!

"Bangsat!" geram Iblis Mata Genit, sementara kedua orang yang dibawanya itu sedang menghajar Tua Usil secara bak-buk-bak-buk. Bocah Bodoh hanyut. la baru ingat bahwa dirinya tidak bisa berenang. Sejak dulu ibunya melarang dia bermain di laut ataupun di sungai, sehingga ia tidak pernah bisa berenang.

Akibat kesadarannya yang terlambat itu, Bocah Bodoh gelagapan sambil tangannya menggapai-gapai, tubuhnya timbul tenggelam di permukaan air sungai yang menghanyutkannya. Iblis Mata Genit akhirnya tertawa geli cekikikan melihat nasib Bocah Bodoh.

Beruntung sekali Bocah Bodoh sempat tersangkut pada sebatang kayu yang tadinya terhalang batu, Karena tersentuh tubuh Bocah Bodoh, kayu itu akhirnya bergerak dan terlepas dari batu yang menghalanginya. Bocah Bodoh berusaha berpegangan pada kayu gelondongan itu. Tapi tenaganya sangat lemas, sehingga ia hanya bisa merangkul kayu tersebut sambil berusaha bernapas sebisa-bisanya.

* * *

Bocah Bodoh tak ingat matahari, tak ingat rembulan. Ia hanyut terbawa batang kayu itu semalaman suntuk. Ia tidak tahu arah dan tujuan aliran sungai tersebut. Ia tak mendengar jerit kesakitan si Tua Usil yang dipaksa menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih berada.

Masih beruntung Bocah Bodoh tak mati tenggelam. Masih beruntung aliran sungai itu membawanya ke arah lembah, dan di lembah itu ada sebuah rumah sederhana hampir serupa dengan rumahnya, yaitu terbuat dari belahan-belahan kayu. Rumah tersebut adalah rumah Tua Usil.

Aliran arus sungai tidak sekencang pada saat Bocah Bodoh ceburkan diri pertama kalinya. Arus sungai sudah menjadi pelan dan lamban. Namun masih saja tetap menghanyutkan batang kayu tersebut. Dan di sungai itu, ada sebuah batu besar berbentuk kerucut. Di atas ujung lancipnya batu itu, ada kaki yang berdiri secara bergantian.

* * *

Seseorang melatih diri memainkan jurus-jurus silatnya dengan gunakan satu kaki secara bergantian. Orang tersebut melompat dan meliuk-liuk dalam gaya jurusnya yang sukar ditiru orang. Sementara itu, tak jauh dari orang tersebut, ada pula seseorang yang hanya duduk di atas batu datar, bersila dan pejamkan mata, terpayungi rindangnya dedaunan. Batu itu ada di daratan tepi sungai.

Orang yang duduk bersila itu tak lain adalah seorang gadis cantik yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Putih. Ia mengenakan pakaian merah jambu. Sedangkan orang yang melatih jurus-jurusnya di atas batu runcing itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah, yang punya nama asli Yoga, ia mengenakan pakaian selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya.

Nasib Bocah Bodoh rupanya masih dilindungi. Mata pemuda tampan itu melihat gerakan batang kayu. Mulanya ia tak hiraukan, tapi segera terperanjat setelah menyadari ada tubuh yang tersangkut di batang kayu tersebut. Tubuh itu tengkurap dan dalam keadaan lemas. Pendekar Rajawali Merah cepat sentakkan kakinya dan melompat menyambar tubuh yang terkulai itu.

Wuuttt...! Pyaaakkk...!

"Bocah Bodoh...?!" Yoga terkejut bukan main melihat orang yang disambarnya itu.

Bocah Bodoh segera dibawa ke rumah setelah berhasil disadarkan. Lalu, Bocah Bodoh melaporkan apa yang terjadi atas dirinya,

"Nyai Rajang Demit menculik saya, Tuan Yo. Saya diikat di pohon besar, di atasnya ada ular. Hii...!" Bocah Bodoh bergidik sendiri, lalu ia lanjutkan ceritanya tentang pertarungan Nyai Rajang Demit dengan ibunya. Ia ceritakan pula kemarahan ibunya dan masalah Pedang Istana Intan yang dibuangnya ke Jurang Usus Bumi. Sempat pula ia bercerita tentang penyelamatan yang dilakukan oleh Tua Usil. Setelah Bocah Bodoh bercerita panjang lebar dengan mulutnya miring ke sana kemari, maka Yoga pun segera bertanya,

"Sekarang Tua Usil di mana?"

"O, Iya!" Bocah Bodoh menepak dahinya sendiri. Plakkk...! Lalu, ia berkata lagi, "Maaf, Tuan Yo. Saya lupa, Tuan."

"Lupa bagaimana?" Yoga mulai curiga.

"Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng Lawu!"

"Hah...?!" Yoga kaget, tapi dianggap Bocah Bodoh, Yoga kurang jelas dengan ucapannya tadi. Maka, Bocah Bodoh pun mengulangi jawabannya dengan suara berteriak dekat telinga Yoga,

'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng Lawu...!"

Wuuttt...! Wajah Bocah Bodoh didorong oleh tangan Yoga sambil Yoga bersungut-sungut. "Budek kuping ku!"

"Betul, Tuan. Betul-betul budek. Eh... betul-betul Tua Usil dalam bahaya. Kakaknya si Wali Kubur yang bernama Iblis Mata Genit, memaksa Tua Usil untuk kasih tahu di mana Nona Li berada. Tapi Tua Usil tidak mau kasih tahu tempat di sini! Karena saya takut, saya lari dan menceburkan diri ke sungai. Tua Usil disiksa oleh mereka, tapi saya tak dengar suara jeritannya. Apakah karena Tua Usil dibunuh oleh mereka, atau karena saya pingsan lalu tenggelam, entah-lah!"

"Mengapa Iblis Mata Genit mencari Lili?" tanya Yoga dengan menahan kecemasan memikirkan nasib Tua Usil.

"Iblis Mata Genit mau balas dendam, menuntut agar Nona Li mengembalikan ilmu-ilmunya Wali Kubur. Kalau Nona Li tidak mau, maka Iblis Mata Genit mau bunuh Nona Li!"

Pendekar Rajawali Merah diam sebentar, mengingat pertarungan singkat antara Lili dengan Wali Kubur, yang membuat seluruh ilmunya Wali Kubur lenyap karena dihantam pukulan 'Sirna Jati' oleh Lili. Rupanya sebagai kakak, Iblis Mata Genit tidak rela jika adiknya hidup tanpa ilmu, dan Wali Kubur sendiri tentunya tidak bisa balas menyerang Lili jika tanpa ilmu secuil pun.

Setelah berpikir beberapa saat, Yoga pun bertanya, "Kau tahu di mana letak Perguruan Lereng Lawu, Bocah Bodoh?!"

"Tua Usil pasti tahu, itu kalau dia belum terburu mati!"

"Yang kutanyakan, kau tahu atau tidak letak perguruan itu?"

"O, kalau saya... jelas tidak tahu, Tuan!" jawab Bocah Bodoh seperti merasa tidak bersalah dalam memberi jawaban tadi. Ia segera berkata lagi. "Tapi kalau mau cari Iblis Mata Genit, jangan di Perguruan Lereng Lawu, Tuan. Sebab dia bukan orang Perguruan Lereng Lawu. Dia tidak punya perguruan, seperti Ibu saya juga tidak mau buka perguruan! Dia seorang petualang, kerjanya mondar-mandir seperti mandor bumi!"

Yoga manggut-manggut dan kembali berpikir beberapa saat, setelah itu ia bangkit berdiri dan berkata, "Kita cari dia sekarang juga!"

Pendekar Rajawali Merah bermaksud mengajak Lili untuk selamatkan Tua Usil. Tetapi Lili tidak bisa diganggu jika sedang semadi dan perdalam sebuah ilmu. Pasti dia akan mengamuk jika diganggu oleh persoalan seperti itu. Maka, Pendekar Rajawali Merah pun akhirnya berangkat untuk selamatkan Tua Usil hanya ditemani oleh Cola Colo, si Bocah Bodoh itu.

EMPAT

ATAS usul Bocah Bodoh, mereka melacak kepergian Tua Usil dari tempat pertama kali bertemu dengan Iblis Mata Genit! Bocah Bodoh membawa Yoga ke tanah bawah tanggul tepi sungai itu.

"Nah, di sini kemarin kami disergap Iblis Mata Genit, Tuan! Lihat, masih ada bekas ilalang di atas batu."

"Apa maksud ilalang itu?"

"Tua Usil bicara soal Nona Li yang pandai berdiri di atas ilalang, lalu saya memberinya contoh berdiri di atas ilalang. Tapi menurutnya Nona Li berdiri di atas ilalang yang masih tumbuh dan tanpa alas berpijak sedikit pun, kecuali ilalang itu."

Yoga sudah tidak menghiraukan kata-kata Bocah Bodoh saat ia tahu perkataan itu tak ada hubungannya dengan hilangnya Tua Usil. Yoga pandangi keadaan sekeliling tempat itu. Ia temukan selembar kain hitam berukuran kecil. Yoga mengambil kain itu dan memperhatikan beberapa saat.

Bocah Bodoh berhenti dari bicaranya setelah tahu kata-katanya tak dihiraukan lagi oleh Yoga. Kini ia ikut pandangi kain hitam tersebut dan segera berkata, "Apa di situ bisa terlihat bayangan wajah Tua Usil, Tuan?'" "Tidak. Tapi aku tahu ini kain ikat kepalanya Tua Usil."

"Hah...?!" Bocah Bodoh kaget. "Kalau ikat kepalanya lepas, berarti kepala Tua Usil copot, Tuan?!"

"Ikat kepala bukan berarti tali pengikat kepala supaya tidak copot! Ikat kepala gunanya untuk mengatur rambut bagi yang malas merapikan rambutnya!"

"Ooo...!" Bocah Bodoh manggut-manggut.

Mata Yoga masih memeriksa keadaan sekeliling. Ia sedikit lega karena di sekitar tempat itu tidak terdapat setetes darah, itu tandanya Tua Usil tidak sampai berdarah jika disiksa mereka, dan tidak sampai terbunuh jika menerima amukan Iblis Mata Genit.

Dalam perjalanan selanjutnya, Yoga dan Bocah Bodoh selalu memandangi keadaan sekelilingnya. Celingak-celinguk ke sana-sini mencari kemungkinan arah perginya Iblis Mata Genit. Yang jelas, tak mungkin Tua Usil dilepaskan begitu saja, pasti ikut bersama mereka.

Tiba-tiba sebuah pohon yang melengkung tersentak tegak dengan timbulnya suara gemerisik. Gusraakkk...! Lalu seutas tali panjang terlihat melesat ke atas.

Wuuttt...! Sreettt...!

"Aaoowww...!" Bocah Bodoh berteriak ketakutan.

Yoga sempat terkejut melihat Bocah Bodoh terayun-ayun di udara dengan satu kaki terjerat tali tersebut. Rupanya Bocah Bodoh terjerat perangkap yang dipasang seseorang, entah dengan maksud mau celakai Bocah Bodoh dan Yoga, atau dengan maksud mau menangkap seekor binatang. Yang jelas, Bocah Bodoh berteriak-teriak dalam keadaan ketakutan. Tubuhnya terayun ke sana-sini, sementara satu kakinya yang tidak terjerat tali itu menendang-nendang tak beraturan.

"Tuan...! Tuan, Yo...! Tolong saya ini! Tolong, Jangan dilihat saja! Saya takut, Tuan!" Bocah Bodoh mau menangis.

Yoga tersenyum geli. Tapi cepat sentakkan jari tengahnya, dan keluarlah selarik sinar merah melesat cepat menghantam tali tersebut.

Clappp...! Tess!

Bruussk...! Bocah Bodoh jatuh dengan wajah mencium tanah. Ia mengaduh lagi lebih keras, membuat Yoga menjadi bertambah geli melihat wajah jeleknya menyeringai dengan sisa rambut menempel.

"Tuan kalau mau tolong saya jangan begitu caranya! Kalau memang tak mau tolong saya, ya sudah! Tinggalkan saja. Jangan malah saya dijatuhkan dari ketinggian begitu!"

"Kamu ini sudah ditolong bukan berterima kasih malah marah?!"

"Habis Tuan menyiksa saya! Puih. puih...!" Bocah Bodoh meludah karena ada rumput dan tanah yang masuk ke mulutnya. Ia segera bangkit sambil membersihkan rumput yang menempel di wajah, lalu tali penjerat itu pun dilepaskan dari kakinya.

Pada saat itu, terdengar suara orang berlari cepat ke arah mereka. Yoga tak sempat bersembunyi. Tapi orang itu segera berhenti dan melangkah dengan berjalan kaki biasa setelah melihat Yoga dan Bocah Bodoh ada di bawah tali penjerat yang sudah putus terbakar.

"O, rupanya kau yang terkena perangkap ku, Bocah Bodoh?!" kata orang berpakaian abu-abu dengan ikat kepala warna kuning. Orang itu berkumis tipis dan pendek, berbadan agak gemuk dan berwajah bulat dengan kulit warna gelap.

"Kau yang memasang jerat itu, Tamboyan?!"

"Ya. Tapi bukan untuk kamu, Bocah Bodoh! Untuk seekor rusa yang sejak kemarin sedang ku buru!" jawab lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.

"Siapa dia, Bocah Bodoh?" bisik Yoga dengan melirik orang itu.

"Dia bernama Tambayon. Saya kenal dia sebagai pemburu. Tapi hati-hati, Tuan... dia dikenal dengan julukan Raja Tipu!"

Yoga manggut-manggut kecil. Raja Tipu memandang Yoga dengan mata sedikit menyipit. Kemudian ia berkata kepada Bocah Bodoh. "Temanmu ini sungguh ganteng, Bocah Bodoh. Berbeda sekali dengan wajahmu; seperti bumi dengan langit. Boleh ku tahu siapa dia?"

Bocah Bodoh menjawab, "Dia Tuan Yo, gelarnya" Pendekar Rajawali Merah Jambu."

"Tidak pakai jambu!" tukas Yoga pelan.

"O, tidak pakai jambu! Tuan Yo sudah bosan dengan jambu, sekarang ia suka kedondong. Hi hi hi...!" Bocah Bodoh jelas-jelas mengajaknya bercanda, tapi Yoga tidak menanggapinya, melainkan justru mengajak berbicara Raja Tipu.

"Apakah kau melihat tiga orang membawa satu tawanan?"

Raja Tipu berkerut dahi, lalu segera menjawab, “Tidak. Aku tidak melihatnya. Tapi kemarin aku melihat satu orang dengan tiga tawanannya!"

Yoga menyipitkan mata pertanda heran. Bocah Bodoh segera berbisik, "Jangan percaya, Tuan. Dia Raja Tipu!"

"Aku bicara yang sebenarnya, Bocah Bodoh. Jangan kau anggap sedang menipu," kata Raja Tipu yang mendengar bisikan itu.

"Yang kami cari orang membawa satu tawanan," kata Bocah Bodoh. "Bukan satu orang membawa tiga tawanan!"

"Tapi yang kulihat kemarin memang satu orang membawa tiga tawanan! Pada waktu itu aku sedang memburu gajah di seberang sana."

"Memburu gajah?!" Bocah Bodoh terperangah heran, "Apakah kau berhasil menangkapnya?"

"Aku terpaksa bertarung dulu dengan gajah itu. Ia ku banting tujuh kali, barulah kepalanya pecah, dan bisa kutangkap!"

Bocah Bodoh terbengong heran, lalu berdecak, "Ck, ck, ck...!" Ia geleng-geleng kepala dan berkata kepada Yoga, "Hebat sekali dia, Tuan. Berani bertarung melawan gajah. Malah dibantingnya sampai tiga kali dan kepala gajah itu pecah! Luar biasa sekali kekuatannya, bukan?"

Yoga hanya tersenyum dan berkata pelan, "Dia Raja Tipu, bukan?"

"O, iya! Dia Raja Tipu, berarti... dia bicara bohong, ya Tuan?"

"Pikirlah sendiri. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita. Jangan sampai kita terlambat."

"Baik, Tuan."

Ketika Bocah Bodoh dan Yoga mau pergi, Raja Tipu sempat bertanya, "Bocah Bodoh, siapa sebenarnya yang sedang kau cari?"

"Iblis Mata Genit! Dia membawa temanku; si Tua Usil namanya. Dia bersama dua anak buah Wali Kubur!"

"Ooo... Iblis Mata Genit?!" Raja Tipu manggut-manggut.

Yoga berkerut dahi, kemudian bertanya, "Apakah kau kenal dengan Iblis Mata Genit?"

"Ya Kenal. Tapi tidak terlalu akrab dengannya."

"Kau tahu di mana tinggalnya?"

"Tahu," jawab Raja Tipu. "Tapi jika kau punya dua sikal untuk kugunakan makan di kedai selama satu hari, aku akan ingat di mana tempat tinggal Iblis Mata Genit. Tapi jika kau tidak punya uang dua sikal, aku tidak akan ingat di mana ia tinggal."

Yoga tersenyum tipis, menyadari sedang diperas. Tapi Bocah Bodoh berbisik, "Berikan dia uang dua sikal, Tuan. Supaya kita cepat peroleh arah menuju tempat tinggal Iblis Mata Genit. Anggap saja upah pertolongannya membantu kita temukan Tua Usil kembali."

Dengan cepat, tanpa diketahui kapan tangan Yoga mengambil uang dari selipan ikat pinggangnya, tahu-tahu dua keping uang dilemparkan oleh Yoga dengan satu sentilan tangan. Taab, taab...! Uang itu cepat ditangkap oleh Raja Tipu. Yoga segera berkata, "Sekarang katakan di mana tempat tinggal Iblis Mata Genit!"

Sambil tersenyum, Raja Tipu berkata, "Berjalanlah menuju barat. Kalian akan temukan bukit yang tak terlalu banyak ditanami oleh pepohonan. Di kaki bukit itu, ada sebuah bangunan bertembok tinggi, seperti benteng. Di sanalah Iblis Mata Genit bersemayam. Ia sekarang menjadi Ketua Perguruan Tengkorak Emas."

"Berapa jauh tempat itu dari sini?"

"Kurang dari setengah hari," jawab Raja Tipu bersungguh-sungguh. "Tapi ada caranya tersendiri untuk bisa bertemu dengan Iblis Mata Genit. Tidak semua orang bisa menemuinya."

"Bagaimana cara menemuinya?" tanya Yoga.

"Tambahkan uang satu sikal lagi, maka akan kuberitahukan bagaimana cara menemuinya!" kata Raja Tipu sambil tersenyum-senyum.

Yoga menghela na-pas dalam-dalam, menahan kejengkelan. "Kalau kau bertele-tele, kau bisa kehilangan kepala, Raja Tipu!"

Raja Tipu tertawakan gertakan Yoga, "Hei, kau tak boleh marah, Tuan Yo! Kau butuh penjelasan dan aku butuh uang. Kita sating tukar kebutuhan itu hal yang wajar di dunia ini."

Bocah Bodoh mencolek pinggang Yoga dan berbisik, "Kasih sajalah!"

Sekali lagi Yoga lemparkan sekeping uang dan segera ditangkap oleh Raja Tipu sambil tersenyum gi-rang. Yoga mendesak tak sabar, "Katakan caranya!"

"Cara menemui Iblis Mata Genit harus bisa kalahkan orang kepercayaannya yang bernama si Setan Sibuk! Kalau kau bisa kalahkan Setan Sibuk, maka Iblis Mata Genit akan muncul dan menanyakan keperluanmu!"

Setelah mendapat keterangan yang dibelinya dengan harga tiga sikal itu, Yoga pun pergi ke arah barat dengan diikuti oleh Bocah Bodoh. Di sana mereka temukan bangunan besar yang dimaksud Raja Tipu tadi. Sebuah bangunan yang menyerupai benteng dengan temboknya warna kusam dan pintu gerbangnya dari kayu jati tebal berbentuk lengkung.

"Pasti itulah tempat Perguruan Tengkorak Emas, Tuan," kata Bocah Bodoh. Yoga hanya meng-gumam tanda membenarkan pendapat Bocah Bodoh. Lalu, terdengar lagi Bocah Bodoh berkata sambil hentikan langkahnya dengan wajah mulai tampak cemas,

"Tuan saja yang temui mereka. Saya tunggu di bawah pohon sebelah sana!"

"Kau takut?"

Bocah Bodoh nyengir. "Iya... takut. He he he he...!"

"Kau harus ikut! Tak perlu takut."

"Mereka pasti orang-orang berilmu tinggi, Tuan. Nama perguruannya saja sudah menyeramkan; Tengkorak Emas! Pasti mereka terdiri dari pasukan tengkorak yang tinggal tulang-belulang itu, Tuan."

Yoga tersenyum dan segera mencekal tangan Bocah Bodoh lalu menariknya dan diajak jalan lagi sambil diberi tahu, "Tengkorak Emas itu hanya sebuah nama! Bukan berarti sekelompok tengkorak bikin perguruan di sana! Jangan salah duga."

Bocah Bodoh tak bisa menolak karena Yoga memaksa harus tetap bersamanya. Maksud Yoga, jangan sampai terjadi sesuatu terhadap diri Bocah Bodoh jika terlalu jauh darinya. Bagaimanapun juga, Yoga merasa bertanggung jawab atas keselamatan Bocah Bodoh, karena dia yang mengajaknya mencari Tua Usil ke situ.

Dua orang penjaga pintu gerbang perguruan yang masih tertutup itu segera saling merapatkan diri menghadang langkah pendekar tampan bertangan buntung itu. Wajah mereka tampak dingin dalam menatap Yoga dan Bocah Bodoh. Sementara itu, Yoga sendiri pamerkan senyum ramahnya kepada mereka, namun tak dapatkan balasan sedikit pun.

"Siapa kau, dan mau apa datang kemari?!" tegur salah seorang penjaga yang bersenjatakan tombak itu.

"Aku Yoga, dan ini temanku; Bocah Bodoh! Aku datang kemari mau bertemu dengan Setan Sibuk!"

"Ada perlu apa?" tanya yang satunya lagi.

"Ada sesuatu yang perlu kubicarakan dengannya," jawab Yoga dengan tetap waspada. Bocah Bodoh pelan-pelan jauhkan diri.

Salah seorang penjaga berkata, "Kami sedang mengadakan pertemuan penting sesama anggota. Tidak seorang pun tamu boleh mengganggu pertemuan itu! Silakan datang lagi besok!"

"Aku harus bertemu Setan Sibuk sekarang juga!"

"Jangan mendesak kami kalau kau tidak ingin mampus!"

"Aku akan mendesaknya terus!"

"Keparat! Heaaah...!"

Kedua pengawal itu sama-sama hujamkan tombaknya ke perut Pendekar Rajawali Merah. Namun seperti seekor Burung Rajawali yang gagah perkasa, Yoga melompat tinggi-tinggi, lalu dengan cepat ia sentakkan kedua kakinya yang ada di pertengahan kedua penjaga tersebut. Dua kaki menyentak bersama ke kanan-kiri.

Praakkk..! Kepala mereka menjadi sasaran telak. Tendangan kaki itu mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat, sehingga kedua penjaga itu tumbang bersama. Kedua penjaga itu sama-sama seperti mimpi mendapat serangan secepat itu. Gerakan Yoga tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Mereka rasakan kepalanya seperti dihantam dengan sebatang pohon kelapa. Keduanya sama-sama mencucurkan darah dari hidung dan telinga. Dan sama-sama memar sekujur tubuhnya.

"Hanya satu jurus saja aku dibuatnya sesakit ini, apalagi dia gunakan dua-tiga jurus. Bisa mati aku," pikir salah seorang. Ia bergegas bangkit sambil menggeliat. Darah yang keluar dari hidung diusap dengan kain lengan bajunya. Matanya memandang Yoga, seakan mengakui kehebatan jurus dan ilmu-ilmunya.

"Baiklah. Tunggu di sini, kami akan memanggil beliau!" kata penjaga yang sudah bangkit lebih dulu. Kemudian ia segera masuk dan Yoga segera hampiri Bocah Bodoh yang menjauh dalam ketakutan. Bocah Bodoh berdiri di bawah pohon, siap-siap untuk melarikan diri jika bahaya mengancam dirinya.

"Mereka bukan tengkorak. Kau tak perlu takut. Kau punya ilmu silat cukup tinggi menurutku. Pasti Ibumu yang mengajarkan."

"Tapi Ibu berpesan, saya hanya boleh gunakan ilmu itu jika dalam keadaan terpepet sekali, Tuan. Ibu juga berpesan, kalau bisa hindari bentrokan dengan seseorang."

"Ibumu benar. Tapi jika punya tujuan baik, namun dianggap jelek dan kita diserang tanpa salah, kita wajib membela diri dengan pergunakan ilmu yang kita miliki! Ayo, ke sana. Jangan takut!"

"Terima kasih, Tuan. Biarkan saya di sini saja."

Penjaga yang tadi masuk itu sekarang keluar lagi dan berseru, "Ketua bersedia menemuimu! Silakan masuk."

"Terima kasih!" jawab Yoga, lalu menarik tangan Bocah Bodoh dan membawanya masuk. Bocah Bodoh melirik dua pengawal yang tadi dirobohkan oleh Yoga. Pengawal itu melotot galak, Bocah Bodoh cepat-cepat tundukkan kepala dengan takut.

Seorang lelaki tua, berusia sekitar tujuh puluh tahun, berkepala gundul, berpakaian seperti biksu dengan kain warna merah, jenggot panjang putih, dan kumis panjang ke bawah warna putih pula, kini se-dang berdiri dengan dipagari oleh beberapa anak buahnya. Ia berdiri di jalanan yang lurus dengan pintu gerbang. Rupanya ia sudah siapkan orang-orangnya untuk mengepung Yoga jika Yoga datang dan bermaksud memusuhinya.

Orang berjenggot putih itulah yang bernama Setan Sibuk. Sedangkan orang di sampingnya yang berbadan kurus mengenakan pakaian coklat tua, agak pendek, rambut lurus pendek dan menyelipkan golok di pinggangnya itu bernama Rangkasok, pendamping setia Setan Sibuk.

Yoga melangkah melewati barisan orang-orang Tengkorak Emas yang masing-masing telah siap dengan senjatanya. Mereka berdiri di kanan-kiri jalan dan membuat Bocah Bodoh semakin berdebar-debar ketakutan. Bocah Bodoh tak berani tatap wajah mereka terlalu lama, karena wajah-wajah itu sungguh menyeramkan bagi Bocah Bodoh. Apalagi jika ia mendengar gemerincing senjata digerakkan, hatinya seperti diiris oleh pisau tajam. Bulu kuduknya merinding semua.

Di depan Setan Sibuk, Yoga berhenti dan menampakkan sikap tegak, tegas, dan tegar. Sekalipun ia hanya mempunyai tangan kanan, namun penampilannya tidak kelihatan loyo dan lesu. Justru mereka menilai Yoga tampak lebih berwibawa daripada Rangkasok sendiri. Setan Sibuk menjulurkan tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka tegak. Rangkasok yang berkumis tipis itu berkata,

"Berhenti sampai di situ!"

Langkah Yoga pun terhenti dalam jarak lima tindak dari Setan Sibuk. Kemudian Setan Sibuk gerakkan tangannya ke samping kanan-kiri, dan memutar-mutar di bawah, menunjuk tanah dan membuka tangan, lalu berhenti sampai di situ. Rangkasok perdengarkan suaranya, "Apa tujuanmu menemui aku di sini! Sebab aku merasa tak pernah melihat kamu!"

Rupanya Rangkasok bertindak sebagai penerjemah bahasa gerak yang dilakukan oleh Setan Sibuk. Maka Yoga pun segera menjawab, "Aku ingin menantangmu!"

Sraang...! Terdengar bunyi pedang mereka dicabut secara serempak begitu mendengar jawaban Yoga. Suara tersebut mengagetkan Bocah Bodoh, dan membuat Bocah Bodoh gemetar sekujur tubuhnya. Sedangkan Setan Sibuk hanya memandang Yoga dengan mata sedikit menyipit, penuh keheranan dan curiga. Rangkasok yang berada di samping kanan Setan Sibuk itu juga memandang dengan dingin dan siap-siap pegangi gagang goloknya. Sewaktu-waktu siap cabut.

Setan Sibuk kembali gerakkan tangannya ke atas, ke samping, meliuk-liukkan pinggangnya sambil tolak pinggang, lalu jemarinya bergerak-gerak ke depan hidung, menggaruk pipi tiga kali, dan membuka telapak tangannya seperti tadi, Rangkasok baru menerjemahkan bahasa gerak itu,

"Kalau kau ingin menantangku, berarti kau membuang nyawa secara sia-sia. Tapi aku tak mau melayani tantanganmu, kalau kau tidak sebutkan alasanmu menantangku."

Yoga berkata, "Aku harus kalahkan dirimu supaya aku bisa bertemu dengan ketuamu!"

Setan Sibuk menepak kepala, lalu menuding ke tanah. Rangkasok menerjemahkan, "Akulah ketua perguruan di sini!"

Yoga berkerut dahi agak curiga. Ia memandang Bocah Bodoh yang di sebelah kirinya. Bocah Bodoh memandang Yoga namun segera menundukkan wajah, seakan tak mau ikut campur urusan tersebut. Pendekar Rajawali Merah segera berkata, "Bukankah ketua perguruan ini adalah Iblis Mata Genit?!"

Setan Sibuk kerutkan dahi dan telapak tangannya dikibas-kibaskan di depan wajah, lalu Rangkasok menerjemahkan, "Selamat tinggal...." Tiba-tiba Rangkasok ditampar wajahnya oleh Setan Sibuk. Plokk...!

"Oh, bukan. Salah. Maksudnya... maksudnya...," Rangkasok melihat Setan Sibuk, lalu orang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu segera menepak kepalanya sendiri dan menuding tanah, lalu melambaikan tangannya dengan mengguncang-guncangkan ke kanan-kiri.

"Maksudnya... ketua perguruan di sini bukan Iblis Mata Genit, melainkan aku sendiri!"

"Kau tak bisa kelabui aku, Setan Sibuk!"

Setan Sibuk angkat bahu, lalu garuk-garuk kepala. Rangkasok menerjemahkan, Terserah kamu. Yang jelas, jangan menggali kemarahan di kepalaku!"

Plookkk...! Rangkasok ditampar lagi. Setan Sibuk membentak, "Kepalaku sedang gatal, tolol!"

"Ooo... maaf!"

Yoga tersenyum, ingin lebih panjang lagi senyumannya, namun segera ditahan. Ia berkata kepada Setan Sibuk, "Ternyata kau bukan orang bisu, Setan Sibuk. Bicaralah padaku dan layanilah tantanganku. Aku akan mengalahkan kamu."

Setan Sibuk menari-narikan jemarinya di depan wajah, lalu pegang pundak kanan-kiri, membungkuk satu kali, menepak pinggang belakang, menggerak-gerakkan ketiaknya seperti bebek berenang, menepuk pipinya sendiri dan menarik-narik bibirnya tiga kali, kemudian menggerakkan tangannya ke depan, setelah itu membuka telapak tangannya lagi. Rangkasok segera menjelaskan,

"Aku tak akan bicara dengan orang yang bukan muridku dan orang yang ilmunya lebih rendah dariku. Kalau kau bisa mengalahkan aku, akan kugendong kau keliling. bukit ini."'

Plokkk...! Tamparan itu menandakan Rangkasok salah arti. Lalu, ia cepat membetulkan ucapannya, "Maksudnya, kalau kau bisa kalahkan aku, aku akan hormat padamu!"

"Aku tak perlu hormat, yang kuperlukan bertemu dengan Iblis Mata Genit!"

Setan Sibuk hantamkan pukulannya ke tangannya sendiri. Lalu kakinya menghentak ke tanah tiga kali, kedua ketiaknya bergerak-gerak lagi seperti bebek berenang, menuding ke atas, menuding ke bawah, pinggulnya meliuk-liuk sebentar. Brrukkk...! Setan Sibuk jatuh terpelanting oleh gerakkannya yang sibuk sendiri itu.

Rangkasok segera menolong, lalu menerjemahkan arti gerakan tersebut, "Iblis Mata Genit justru musuh kami. Dari dulu sampai sekarang kami masih bermusuhan. Dan aku yakin suatu saat akan bisa membunuhnya lalu aku jatuh...."

Plokkk...!

"O, tidak pakai jatuh," sahut Rangkasok setelah gelagapan karena wajahnya kembali ditampar.

Kata-kata itu membuat Yoga berkerut dahi dan mulai menimbang-nimbang ucapan Raja Tipu. Firasatnya mengatakan, apa yang dijelaskan oleh Setan Sibuk itu memang benar. Yoga ingin ucapkan sesuatu, namun ia melihat Setan Sibuk kembali gerakkan tubuhnya, menuding Yoga, menepuk dada sendiri, melirikkan matanya, tersenyum, dan menarik-narik jenggotnya, akhirnya nyengir sendiri karena terlalu keras menarik jenggot. Setelah itu kedua telapak tangannya dibuka. Rangkasok menerjemahkan,

"Siapa yang bilang kalau Iblis Mata Genit ketua di perguruan Tengkorak Emas ini?"

Pendekar Rajawali Merah menjawab, "Aku dapatkan keterangan itu dari Raja Tipu. Menurutnya, jika mau bertemu dengan Iblis Mata Genit harus mengalahkan Setan Sibuk lebih dulu, baru Iblis Mata Genit akan keluar menemuiku. Padahal aku ada urusan nyawa dengan Iblis Mata Genit."

Setan Sibuk tersenyum dan tepuk tangan satu kali. Lalu mengetuk-ngetuk pelipis pakai jari telunjuk, menuding Yoga, dan meliuk-liukkan kesepuluh jemarinya di depan wajah.

"Kau telah ditipu olehnya," kata Rangkasok menerjemahkan. "Raja Tipu itu bekas pelayannya Iblis Mata Genit. Aku malah ingin bantu dirimu jika bermaksud melawan Iblis Mata Genit."

Setan Sibuk menuding jauh dan menirukan orang sekarat sebentar, lalu menepuk pantat, menepuk paha, garuk-garuk kepala lagi, dan Rangkasok menerjemahkan,

"Kalau kau mau bertemu dengannya, temui dia di Bukit Kematian. Di sanalah ia tinggal dalam sebuah pondok."

Setelah merenungi firasat hatinya, Yoga berkata, "Rasa-rasanya, ucapanmu itu bisa kupercaya. Aku minta maaf, karena diperdaya oleh Raja Tipu, walau untuk itu aku harus kehilangan uang tiga sikal."

Setan Sibuk tertawa tanpa suara. Lalu, ia menjentikkan jarinya hingga berbunyi; klik...! Dan Rangkasok berkata,

"Raja Tipu ingin balas dendam kepada kami, tapi ia tak mampu dan memanfaatkan dirimu dengan mengadu domba seperti itu. Padahal menurutku, kau bisa saja langsung menuju ke arah selatan dan di sana kau bisa temukan Bukit Kematian yang mempunyai tanah peternakan berisi buaya. Karena Iblis Mata Genit gemar memakan daging buaya. Kau tahu, buaya itu ganas dan galak. Kalau...."

Plok...!

"Kepanjangan!" bentak Setan Sibuk setelah menampar wajah Rangkasok.

Hampir saja Yoga bertarung dan bikin masalah terhadap orang yang tidak punya salah apa-apa dengannya. Hati Yoga geram dan gemas terhadap Raja Tipu. Namun akhirnya ia sendiri tertawa membayangkan kepandaian Raja Tipu mengelabuhi dirinya.

Yoga bergegas ke Bukit Kematian sesuai dengan petunjuk Setan Sibuk. Sementara itu, Bocah Bodoh memohon agar beristirahat sebentar di bawah po-hon. Yoga bertanya, "Kenapa istirahat? Capek?"

"Kepala saya pusing melihat simpang siurnya tangan Setan Sibuk tadi, Tuan. Lain kali kalau temui dia jangan ajak sayalah...!"

Yoga hanya tertawa geli melihat Bocah Bodoh bersungut-sungut.

LIMA

PERJALANAN menuju Bukit Kematian memakan waktu sampai malam tiba. Mereka terpaksa bermalam di atas pohon, karena Bocah Bodoh selalu mengeluh kecapekan. Kalau saja Yoga tidak membawa Bocah Bodoh, maka sebelum petang tiba pun Yoga sudah sampai di Bukit Kematian dengan gunakan 'Langkah Bayu', yang mampu bergerak melebihi kecepatan anak panah. Tapi karena ia membawa Bocah Bodoh, dan Bocah Bodoh tidak bisa bergerak secepat itu, maka Yoga, terpaksa mengimbangi kelambanan Bocah Bodoh.

"Aku yakin kau bisa gunakan gerakan cepat! Karena tempo hari aku pernah kehilangan jejak mu waktu mengejar."

"Pesan Ibu, aku tak boleh gunakan gerakan itu kecuali terpepet," jawab Bocah Bodoh.

Yoga hanya hembuskan napas sebagai tanda keluh. Di atas pohon berdahan rapat itu, mereka mencoba untuk merebah dan melepaskan lelah. Sebelum tidur, Yoga sempat bertanya kepada Bocah Bodoh, "Apakah benar Raja Tipu itu bekas pelayannya Iblis Mata Genit?"

"Benar, Tuan."

"Kenapa tidak kau katakan padaku sewaktu jumpa dia?"

"Saya pikir, karena dia sudah bukan pelayan Iblis Mata Genit, maka dia sudah tidak perlu saya sebutkan sebagai pelayan lagi, Tuan."

"Ah, kau memang payah!" keluh Yoga menahan dongkol.

"Dia tidak lagi dipakai oleh Iblis Mata Genit, karena tak pernah mau disuruh mencuri pusaka seseorang."

"Maksudmu, Pusaka Pedang Jimat Lanang?"

"Bukan. Kalau pusaka itu tak akan ada yang bisa mencurinya."

"Mengapa kau yakin begitu?" desak Yoga.

"Karena saya dan Ibu sendiri tidak tahu persis di mana letak pedang itu disimpan. Hanya punya bekal pengetahuan, bahwa pedang itu ada di sekitar Prasasti Tonggak Keramat. Di sebelah mana, kami tidak tahu persis, Tuan. Apalagi orang lain, jelas tak akan tahu!"

"Kalau aku mau, aku bisa menemukan tempatnya."

"Caranya bagaimana, Tuan?"

"Menggunakan firasat ku."

"Firasat itu bentuknya seperti apa, Tuan?"

"Firasat itu kekuatan batin yang menggerakkan hati kita, atau kadang membuat kita tak sadar dalam melakukan sesuatu dan sesuatu itu adalah sebuah kebenaran. Kalau manusia bisa kenali firasatnya sendiri, terbiasa kendalikan firasatnya, maka ia dapat melihat sesuatu yang belum terjadi dan akan terjadi. Firasat itu sering pula digunakan oleh para ahli nujum, peramal, dukun, atau seorang pertapa sakti. Setiap hari sebenarnya kita bergumul dengan bahasa firasat, tapi kita sering tidak menyadari kehadirannya. Sebab antara firasat dengan kata hati, perbedaannya sangat tipis. Firasat dengan nafsu pribadi, juga punya perbedaan sangat tipis. Kadang-kadang firasat berguna untuk mengendalikan nafsu pribadi yang berlebihan. Paham?"

Tak ada suara. Sepi. Yoga kembali berkata, "Kau mengerti kata-kataku Bocah Bodoh?"

"Gggrrr...!"

"Uuh, ngorok!" gerutu Yoga kesal hatinya, sudah bicara panjang-lebar tak tahunya ditinggal tidur Cola Colo. Tapi, lagi-lagi Yoga harus berbesar jiwa, karena ia dapat maklumi kekurangan yang ada pada Cola Colo. Kekurangan itu membuat orang berusia sekitar lima puluh tahun itu menjadi bodoh. Kebodohan sering membuatnya celaka. Dan kebodohan itu juga yang membuat hati Yoga dan Lili iba terhadap nasib Cola Colo, si Bocah Bodoh.

Perjalanan menuju Bukit Kematian ternyata tidak semulus dugaan Bocah Bodoh. Pada saat ia dan Pendekar Rajawali Merah melintasi tanah lapang di tengah hutan, tiba-tiba seberkas sinar hitam melesat ke arah punggung Bocah Bodoh. Pada waktu itu, Bocah Bodoh berjalan berdampingan dengan Yoga. Itu berarti sinar berbahaya tersebut juga datang dari belakang Yoga.

Pendekar Rajawali Merah mempunyai jurus yang bernama 'Sandi Indera'. Ilmu itu yang membuat Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih tak bisa diserang lawan dari belakang. Gerakan nalurinya cepat bertindak. Seperti kala itu, sinar hitam yang melesat itu segera dihantam oleh Yoga dengan menyentakkan telapak tangannya yang memancarkan sinar merah, dan sinar Itulah yang menabrak tepat cahaya hitam hingga terjadi ledakan cukup besar.

Duaaarrr...!

Bocah Bodoh terpental karena gelombang ledakan tersebut. Ia segera menjadi gugup dan lari tunggang-langgang mencari tempat bersembunyi. Karena jauh dari pohon dan dekat dengan gundukan semak ilalang, maka ia masukkan kepalanya ke semak ilalang itu. Gruak...! Tapi kaki dan pantatnya masih terlihat jelas dari luar semak.

Mata pemuda tampan itu segera menatap sekeliling dengan tajam dan cepat. Lalu, ia menangkap gerakan seseorang yang melompat dari pohon ke pohon. Dengan cepat Yoga kirimkan pukulan tangan buntungnya yang keluarkan selarik sinar merah.

Zlaappp...! Blaarrr...!

Pohon yang hendak dipakai melompat orang Itu terhantam sinar merah, langsung pecah menjadi serpihan kayu kecil-kecil. Orang tersebut mau tak mau segera melompat keluar dari kerimbunan pohon.

Jleeg...!

Sepi tercipta seketika. Yoga menatap orang itu dan orang itu menatap angker pada Yoga. Pendekar Rajawali Merah segera kenali orang tersebut yang tak lain adalah Nyai Rajang Demit, karena ia pernah mendengar cerita dari Lili tentang ciri-ciri Nyai Rajang Demit, terutama dari jubah ungunya.

Yoga pun segera tahu, bahwa yang diincar Nyai Rajang Demit adalah Bocah Bodoh. Karena nenek tua itu sudah menculik Bocah Bodoh sebagai sandera tebusan Pedang Jimat Lanang. Pasti nenek tua itu merasa dongkol melihat tawanannya kabur dan ia ingin kembali menawan Bocah Bodoh. Karena itu, matanya segera melirik ke arah pantat Bocah Bodoh yang tersumbul keluar dari balik semak ilalang.

Nyai Rajang Demit segera kibaskan tangannya ke depan, dan meluncurlah sinar hitam lagi ke arah Yoga yang berjumlah lima larik. Sambil begitu, ia menendang batu kecil di arahkan ke pantat Bocah Bodoh. Buuhg...!' Pantat itu terhantam batu dan Bocah Bodoh menjerit sambil tersentak kaget. Tubuhnya terasa ngilu semua.

Pendekar Rajawali Merah tak sempat menolong Bocah Bodoh karena ia sibuk hindari serangan lima larik sinar hitam tersebut. Ia hanya bisa melompat beberapa kali, dan berguling di tanah satu kali. Kemudian cepat berdiri di depan Bocah Bodoh yang meringis kesakitan sambil usap-usap pantatnya itu. Yoga kembali menatap Nyai Rajang Demit tanpa sepatah kata pun.

Kejap berikutnya, Nyai Rajang Demit berseru, "Serahkan bocah itu!"

Yoga membalas, "Untuk apa kau harapkan bocah itu. Kurasa dia tidak tahu apa-apa tentang urusanmu, Nyai Rajang Demit!"

"Hmmm...! Kau tahu namaku, berarti Bocah Bodoh itu sudah banyak cerita tentang diriku!"

"Benar."

"Cola Colo..! Kemari kau!"

"Iiy... iya, Bibi...!" Cola Colo pun melangkah keluar dari balik tubuh Yoga dengan langkahnya megol-megol karena pantatnya sakit. Tetapi tangan Yoga segera meraih pundak Bocah Bodoh dan menariknya.

"Jangan dekati dia! Kau bisa jadi umpan makanan ular lagi!"

"Oh, iya...!" sentak Bocah Bodoh bagaikan baru sadar bahaya itu. Lalu ia berkata, "Maaf, Bibi...! Saya tidak boleh dekat-dekat Bibi nanti dimakan ular!"

"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku, Orang asing! Itu membuatku muak, dan tak pernah bisa kasih ampun lagi padamu!"

"Kurasa tak perlu! Tapi kalau kau meminta ampun padaku, aku akan mengampunimu, Nyai!"

"Bedebah! Sekarang apa maumu ikut campur urusanku, hah?"

"Hanya sekadar melindungi pihak yang benar! Aku tahu kau menghendaki Bocah Bodoh untuk kau jadikan umpan mendapatkan Pedang Jimat Lanang itu! Dan aku tahu persis, kau bukan pewarisnya!"

"Tak peduli aku pewarisnya atau bukan, siapa halangi aku dalam mendapatkan Pedang Jimat Lanang itu, akan kubunuh tanpa tanggung-tanggung! Jadi, kusarankan kau keluar dari urusanku!"

"Aku melindungi Bocah Bodoh! Jika kau inginkan Pedang Jimat Lanang, carilah sendiri tanpa harus mengorbankan dia!"

"Aku sudah muak dengannya, dan ingin membunuhnya, supaya hatiku puas karena dia berani melarikan diri dari tempatku!"

"Kalau kau ingin bunuh dia, berarti kau harus berhadapan dengan diriku, Nyai Rajang Demit!" kata Yoga dengan tegas dan jelas.

Nyai Rajang Demit menjadi semakin mendidih darahnya. Sekalipun ia sudah tidak mempunyai senjata tongkat lagi, karena sudah dipecahkan oleh ibu Bocah Bodoh itu, namun ia masih tetap tampak liar dan ganas terhadap lawannya.

"Kau memang belum pernah ku rajang dengan jurus 'Pisau Gaib'-ku ini. Heaaah,..!" Nyai Rajang Demit segera menyentakkan kaki dan tubuhnya melesat bagaikan terbang ke arah Yoga.

Sementara itu, Yoga hanya bersifat menunggu serangan datang. Nyai Rajang Demit bersalto satu kali dengan kaki berkelebat menendang Yoga. Namun oleh Yoga kaki itu hanya ditangkis menggunakan lengannya, lalu telapak tangannya menguncup dan berkelebat mematuk tulang lutut lawan dengan gerakan cepat.

Desss...!

"Uhg...!" terdengar suara Nyai Rajang Demit terpekik pelan. Bruukk....! Nyai Rajang Demit tak mampu mendarat dengan kaki tegak, karena lutut yang terkena jurus 'Paruh Rajawali Liar' itu terasa remuk tulang-tulangnya dan sakitnya bukan kepalang. Walau terasa sakit, namun Nyai Rajang Demit masih tetap menyerang Pendekar Rajawali Merah dengan satu kaki berlutut dan kedua tangannya menebas kaki Yoga dalam gerakan memenggal beberapa kali.

Dengan cepat Yoga melompat, lalu kakinya mengibas dalam satu tendangan ke arah wajah Nyai Rajang Demit. Plokkk...! Buugh...! Kaki yang berhasil menendang wajah itu kembali ke belakang sambil mengarahkan tumit ke pelipis lawan. Gerakan kaki yang dinamakan jurus 'Sepak Ganda' itu mempunyai kekuatan tenaga dalam, sehingga kepala Nyai Rajang Demit bagaikan hancur rasanya. Darah keluar dari telinga dan hidung perempuan tua itu. Yoga segera menjauh. Tangan Bocah Bodoh diraihnya agar jangan diam saja berada dalam jarak dekat dengan Nyai Rajang Demit.

Pendekar Rajawali Merah hanya pandangi perempuan tua itu yang semakin banyak keluarkan darah dari lubang hidung dan telinga. Perempuan itu masih tetap berlutut satu kaki sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia bagaikan sedang kumpulkan lagi tenaganya, lalu duduk bersila dengan tangan mengembang dan mata memandang tajam pada Yoga.

Yoga tahu, sebuah pukulan handal akan dilepaskan oleh perempuan jangkung itu. Maka, dengan cepat Yoga sentakkan telapak tangannya yang miring itu ke depan sambil ia pun berlutut satu kaki. Dari ujung jari tangan melesat cahaya merah yang cukup besar dan menghampar cepat, menghantam tubuh Nyai Rajang Demit.

Blarrr...!

Nyai Rajang Demit tak sempat menangkis maupun menghindar. Sinar merah menyilaukan itu bagai menelan tubuhnya lalu melemparkan kuat-kuat. Ia melesat ke belakang dalam keadaan tetap duduk. Begitu cepatnya tubuh itu terlempar, hingga sebatang pohon kecil patah ditabrak punggungnya, dan sebongkah batu pun hancur diterabas punggungnya. Kejap berikutnya, perempuan yang jelas sudah terluka parah itu segera berusaha melarikan diri dengan jatuh bangun.

Pendekar Rajawali Merah biarkan perempuan tua itu larikan diri. Ia segera memperhatikan Bocah Bodoh, ingin katakan sesuatu namun terhenti oleh suara tepukan memanjang. Yoga dan Bocah Bodoh cepat palingkan wajah memandang ke arah tepukan yang ada di atas pohon.

Ternyata dilakukan oleh seorang gadis cantik berwajah imut-imut. Gadis berpakaian biru muda dengan jubah tipis warna kuning itu tak lain adalah Gadis Linglung. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").

"Gadis Linglung...?!" gumam Bocah Bodoh. Tuan Yo masih ingat gadis itu?"

"Ya. Dia juga menghendaki Pusaka Pedang Jimat Lanang."

Gadis Linglung segera turun dari pohon dan hampiri Cola Colo, kemudian menyapa dengan senyum manja, "Hebat sekali kau punya teman, Cola Colo! Boleh aku kenalan dengannya?"

"Bukankah kau telah mengenalnya dan pernah bertemu?"

"O, ya?! Kapan?!"

"Waktu kau desak aku untuk mendapatkan pedang pusaka itu?!"

Gadis Linglung berkerut dahi, berpikir beberapa saat sambil melangkah mondar-mandir dan permainkan bibir dengan tangan kirinya, setelah itu ia menyentak dalam keceriaan, "O, ya! Betul! Dia pendekar tampan yang punya kekasih galak itu! Aku ingat tentang dia! Tapi... Bocah Bodoh, tolong tanyakan siapa namanya?! Aku lupa!" bisik Gadis Linglung sambil melirik Yoga sesekali dalam senyum manjanya.

"Namanya Tuan Yoga; gelarnya Pendekar Rajawali Merah Delima!"

"Tidak pakai delima!" sergah Yoga.

"O, ya! Tidak pakai delima. Catat dalam otakmu, Gadis Linglung!"

'"Ya, ya... akan ku catat ketampanannya itu!" Gadis Linglung bersemangat, namun malu-malu ingin mendekati Yoga. Lalu ia bertanya, "Hendak ke mana kalian berdua, Bocah Bo-doh?"

"Menyerang Iblis Mata Genit. Apa kau mau ikut?"

"Kalau pendekar tampan Itu membolehkan, aku mau Ikut!" jawab Gadis Linglung dengan malu-malu. Yoga hanya tersenyum tipis namun menawan hati.

ENAM
NASIB si Tua Usil cukup menyedihkan. Di wajahnya banyak luka memar akibat pukulan tangan kosong. Bajunya menjadi compang-camping karena robek di sana-sini. Benda keras semacam kayu rotan berduri telah menghantamnya lebih dari delapan puluh tiga kali.

Tentu saja bukan hanya pakaiannya yang robek-robek, melainkan kulit tubuhnya pun mengalami robek membilur sampai pada bagian kakinya. Sekalipun demikian, Tua Usil tetap tak mau tunjukkan di mana Lili berada, dan hal itu membuat Iblis Mata Genit sangat jengkel.

Sekarang hatinya agak lega. Ketika petang tiba dan ia tak sadarkan diri karena berat menahan sik-saan, tahu-tahu ketika ia siuman, keadaannya sudah digantung dengan terjungkir. Kedua kakinya di ikat dengan seutas tali kuat, digantungkan pada sebatang dahan pohon yang melengkung ke bawah.

Waktu Tua Usil sadari keadaannya, dalam hati ia berkata, "Syukurlah mereka berhenti menyiksaku. Lebih baik aku digantung jungkir balik begini ketimbang harus menerima pukulan beberapa kail. Paling tidak, dengan digantung jungkir balik begini, aku ma-sih bisa gunakan pernapasan sejati untuk sembuhkan luka dan hilangkan rasa sakit. Aman sudah kalau begini. Tinggal menunggu lukaku kering dan sakitku hilang, lalu berusaha untuk loloskan diri!"

Kepala yang terjungkir ke bawah dengan tangan berjuntai itu terayun-ayun pelan saat ditiup angin. Tua Usil kerutkan dahi sejenak ketika ia memandang bagian bawahnya, berkilauan cahaya rembulan pada saat itu. Rupanya ia digantung di atas genangan air. Entah air telaga atau air kolam, yang jelas ia rasakan ada percikan air yang menempel di kedua lengannya. Tua Usil tersenyum kecil dan berkata dalam hatinya,

"Andaikata tali itu putus, selamatlah aku. Jatuh ku tidak di tempat yang keras, tapi ke dalam air. Jadi sebaiknya ku ayun-ayunkan saja tubuhku biar tali ini lama-lama putus sendiri."

Namun alangkah terkejutnya Tua Usil setelah mengetahui air bergerak-gerak. Sesuatu yang mirip batang pohon mengambang mendekati ujung tangannya. Benda yang mengambang itu sesekali memantulkan cahaya rembulan. Dan tiba-tiba benda itu melonjak ke atas, air tersibak muncrat, Tua Usil berteriak,

"Uaaawww...!" sambil angkat tubuh melengkung ke atas. Byuurrr...! Benda itu jatuh kembali ke permukaan air, percikannya menyembur hingga membasahi wajah Tua Usil yang melengkung dengan tangan tak berani terjuntai lagi. Wajahnya menjadi tegang manakala ia sadari, bahwa ternyata banyak benda mengambang timbul tenggelam di permukaan air tersebut. Tua Usil segera tahu, bahwa saat itu ia ada di atas kolam peternakan buaya.

Rupanya semakin malam semakin tiba saatnya buaya-buaya itu merasa lapar. Melihat sesuatu yang menggantung di atas kolam, buaya-buaya itu berusaha untuk meraihnya dengan lonjakan-lonjakan kecil. Tapi buat Tua Usil lonjakan itu termasuk maut besar yang mengancam nyawanya setiap saat.

Beruntung sekali tubuhnya bisa sedikit diangkat naik dan melengkung ke atas, sehingga tangan dan kepalanya lolos dari sambaran mulut buaya tersebut. Kecipak ekor buaya pun sesekali membuat jantung Tua Usil bagaikan le-nyap dari dada karena beberapa kali hampir saja tu-buhnya terhantam ekor buaya yang menyabet ganas itu.

"Kalau tahu begini... lebih enak aku dipukuli seperti tadi, daripada harus menghindari mulut buaya dalam keadaan tak bisa banyak bergerak begini, oooh...! Nasib, nasib...!"

Tak ada penjaga di sekitar kolam buaya itu. Iblis Mata Genit juga tak kelihatan di sana. Namun ada sebuah pondok yang mempunyai penerangan di bagian dalamnya. Cahaya lampu minyak itu sempat membias ke permukaan air kolam buaya.

Di dalam pondok itu, Iblis Mata Genit yang cantik itu sedang terlibat perbincangan dengan adiknya yang sudah berwajah tua, yaitu Wali Kubur. Di samping Wali Kubur ada dua orang kepercayaannya yang ikut membicarakan masalah tersebut, yaitu Gandul dan Brata. Dua orang dari Perguruan Lereng Lawu lainnya ada di depan pintu masuk, satu berjaga di serambi, satu berjaga di bagian dalam.

Wali Kubur masih tetap berwajah murung, karena ia telah tidak mempunyai daya apa-apa. Dia merasa sudah tidak pantas menjadi ketua dan guru di Perguruan Lereng Lawu. Saat itu, kedua muridnya yang duduk di samping kanan-kiri dapat saja menghajarnya sewaktu-waktu, karena ilmunya lebih tinggi dari sang Guru yang sudah menjadi polos tanpa ilmu sedikit pun itu. Rasa marahnya kepada Pendekar Rajawali Putih sudah terbungkus dengan rasa malu dan minder.

"Kalau kau tidak bisa memaksa gadis bangsat itu mengembalikan ilmuku, aku lebih baik mati bunuh diri!" kata Wali Kubur kepada kakak perempuannya yang masih tampak muda dan cantik itu.

"Bersabarlah sesaat. Jangan kau patah semangat begitu, Adik Wali Kubur! Aku sedang berusaha memaksa Tua Usil untuk tunjukkan di mana gadis itu tinggal. Pasti dia akan katakan jika kita siksa terus seperti itu."

"Guru harus sabar. Mencari gadis sakti itu tidak semudah mencari seekor ayam hutan," kata Gandul yang ada di samping kirinya.

Wali Kubur hanya bersungut-sungut dan berkata, "Sekarang kau berani menasihatiku, karena kau tahu aku tak akan bisa melawanmu!"

Brata menyahut, "Bukan karena kami ingin menggurui Guru semata-mata, tapi karena kami ingin agar Guru tenang, supaya kami pun bisa berpikir lebih tenang lagi dan bertindak lebih tepat lagi!"

Iblis Mata Genit segera berkata, "Adik Wali Kubur, seandainya gadis itu tak bisa mengembalikan ilmumu, apakah kau bisa merasa lebih puas jika aku membunuhnya dan mempersembahkan kepalanya kepada mu?"

Wali Kubur yang murung menarik napas dan menjawab, "Kalau hanya membunuh dia, lantas apa artinya aku hidup tanpa ilmu?"

Brata menimpali, "Ilmu bisa kita cari lagi, Guru. Nanti saya dan Gandul siap melatih jurus-jurus maut kepada Guru!"

"Kalian ini muridku, masa' aku harus berlatih dan belajar kepada kalian? Apa kata dunia persilatan nanti, jika seorang Guru belajar jurus-jurus maut kepada murid-muridnya?! Malu aku! Malu!"

Wali Kubur seperti orang mau menangis. Ia menundukkan kepala. Nafasnya terasa berat dihela. Iblis Mata Genit memandangnya dengan hati iba. Kemudian gadis itu segera berkata,

"Sebenarnya apa kata Gandul itu memang benar. Dan apa yang dikatakan Brata baru saja itu jauh lebih benar. Kau tak perlu patah semangat, Adik Wali Kubur. Aku masih bisa mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu jika kau bertahan tetap hidup. Yang penting bagaimana kita bikin perhitungan dengan gadis itu! Kita harus tunjukkan kepada gadis itu dan konco-konconya, bahwa aliran silat kita punya harga diri yang tidak bisa dibuat main-main. Jika gadis itu tidak dibunuh, maka aliran kita akan dianggap remeh oleh para tokoh dunia persilatan. Jadi aku memutuskan, gadis itu bisa mengembalikan ilmumu atau tidak, pada akhirnya dia akan mati di tanganku. Dia harus dibunuh!"

"Lalu bagaimana jika Tua Usil itu tidak mau menunjukkan tempat tinggal gadis itu? Bagaimana jika ia tetap bungkam?!"

"Masih ada satu orang lagi yang memungkinkan dapat kita paksa untuk menemukan gadis itu! Orang tersebut adalah Cola Colo!"

"Bocah Bodoh...?! Apa yang dapat kita ha-rapkan dari Bocah Bodoh yang memang berotak bodoh itu? Belum tentu dia ingat dengan gadis itu, karena otaknya yang sangat bodoh itu!"

"Aku yakin, dia pasti tahu dan bisa membawa kita untuk temui gadis itu!" kata Iblis Mata Genit. "Tenangkan jiwamu, tenangkan hatimu. Jangan dulu datang ke perguruan sebelum ilmu mu pulih kembali, nanti kau ditertawakan oleh murid-muridmu! Tidak semua muridmu berjiwa bijak seperti Gandul dan Brata!"

Kembali Wali Kubur tarik napas, lalu berkata sambil memandang kanan-kiri, "Bagaimanapun juga, kalian berdua harus tetap jaga rahasia kelemahan ku ini. Mengerti?"

"Mengerti, Guru!" jawab mereka masih tetap hormat, "Kalau Tua Usil itu terpaksa harus dibunuh, biar aku yang membunuhnya! Tapi terlebih dulu, buat dia tak berdaya dan tak bisa menyerangku!" kata Wali Kubur yang bertambah jengkel hatinya membayangkan kerasnya pendirian Tua Usil yang tak mau sebutkan tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih itu.

"Atau malam ini juga kau ingin Tua Usil menjadi santapan buaya-buaya ku?" kata Iblis Mata Genit. "Jika kau mau, tinggal melepas tali pengikatnya yang ada di batang pohon, maka tubuhnya akan meluncur diterima mulut buaya!"

"Beri kesempatan sampai besok! Siapa tahu siksaan batinnya malam ini membuat pikirannya berubah dan mau antarkan kita untuk temui gadis bangsat itu!" kata Wali Kubur dengan pelan, karena dadanya terasa sesak menahan kemarahan yang tak mampu dilampiaskan.

Suara teriakan Tua Usil masih terdengar sesekali bersamaan dengan gemuruh air yang dihantam ekor-ekor buaya. Wali Kubur sedikit merasa terobati mendengar teriakan-teriakan Tua Usil. Ia jadi punya keinginan untuk membuat Lili diperlakukan seperti Tua Usil, teriakan-teriakannya akan menjadi obat bagi sakit hati Wall Kubur.

Semalaman Tua Usil disiksa oleh ketegangan batin. Tubuhnya pun terasa lelah karena harus menghindari gangguan mulut buaya. Setelah menjelang pagi, ia sedikit bisa tenang. Buaya-buaya itu rupanya yang kelelahan, karena berulangkali gagal menangkap mangsa. Mereka tidur, dan Tua Usil pun tidur, tentunya tetap dalam keadaan tergantung, kaki di atas kepala di bawah.

Plakkk...!

Sebuah pukulan rotan berduri menghantam kaki Tua Usil dan membuat Tua Usil terbangun dari tidurnya. Seorang penjaga malam rupanya iseng dan tak suka melihat Tua Usil tidur nyenyak dalam keadaan tergantung begitu. Penjaga yang sudah merasa ngantuk karena matahari sudah mulai mencuat dari sarangnya Itu, merasa mendapat kesegaran setelah memukul dan mengagetkan Tua Usil. Ia tertawa terbahak-bahak. Tua Usil hanya menggerutu dengan suara tak jelas.

Setelah penjaga itu meninggalkannya, Tua Usil tak bisa tidur lagi. Ia jadi berpikir tentang sesuatu yang selama ini sebenarnya bisa dilakukan tapi karena tegangnya menghadapi siksaan dan menghindari mulut buaya, ia jadi lupa tidak melakukannya. Sebenarnya dari semalam ia sudah bisa lolos, karena dirinya bisa berubah menjadi kabut. Tentu saja tak ada tali yang bisa mengikat kabut. Dengan berubah menjadi kabut, ia bisa meloloskan diri dan berlari meninggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh penjaga di depan pintu rumah.

"Bodoh amat aku ini! Kenapa tidak berubah menjadi kabut sejak semalam? Kenapa baru kutemukan gagasan itu sekarang ini?" pikirnya dengan bersungut-sungut.

Gagasan itu tiba dengan sia-sia. Terlambat. Karena ketika Tua Usil temukan gagasan itu, iblis Mata Genit sedang berjalan menuju tempatnya. Tetapi Tua Usil nekat lakukan perubahan itu dengan gunakan ilmu 'Halimun'-nya. Tubuhnya berasap, makin lama makin tebal, membentuk gumpalan kabut yang mengejutkan Iblis Mata Genit.

"Edan! Rupanya la bisa berubah menjadi kabut?!" pikir Iblis Mata Genit. Ia segera mencabut pedangnya, tapi sosok tubuh Tua Usil sudah seluruhnya berubah menjadi gumpalan asap. Tak akan bisa ditebas memakai pedang tersebut.

Pada waktu Itu, Gandul muncul pula dari dalam rumah, dan melihat kejadian tersebut ia langsung berseru, "Bibi Guru...! Dia berubah menjadi kabut!"

Iblis Mata Genit tak kalah akal. Bukan pedangnya yang digunakan, melainkan sarung pedangnya yang segera dicabut dari pinggang. Lalu, dengan mengeraskan urat-urat tangannya, menahan nafasnya dan menghentakkan kaki ke tanah satu kali, uap kabut itu disedot memakai sarung pedang tersebut. Lubang sarung pedang itu bagai mempunyai tenaga penghisap yang cukup kuat, sehingga ketika disodorkan ke depan, uap kabut tersebut tertarik masuk ke dalam gagang pedang.

Zzzzuuutttt..!! Zleeb...!

Kabut tersedot habis, masuk ke dalam gagang pedang. Iblis Mata Genit segera tancapkan pedangnya ke tanah, tangannya digunakan menutup lubang sarung pedang tersebut.

Teebbb...!

"Mampus kau! Mau lari ke mana kau, hah?!" geram Iblis Mata Genit. Lalu, ia menatap Gandul yang sedang tercengang memperhatikan apa yang dilakukannya. Ia segera berseru keluarkan perintah,

"Ambil kendi di dapur! Kita penjarakan dia ke dalam kendi saja!"

Gandul berlari dengan sedikit panik. Lalu, segera datang lagi dengan membawa kendi. Tempat air minum itu disumpal gulungan rumput pada bagian lubang tempat keluarnya air. Kemudian, Iblis Mata Genit dekatkan mulut sarung pedang ke mulut kendi yang ada di atas. Dengan gerakan tangan seakan menekan sarung pedang, uap kabut jelmaan Tua Usil itu tersembur masuk ke dalam lubang mulut kendi. Terdengar suara Tua Usil yang merintih sedih,

"Ampuuun...! Ampuuun...!" semakin masuk ke dalam kendi, semakin aneh suaranya, "Amplluup…! Apbbbeb...! Appbleeebbb...!"

Rupanya Gandul lupa membuang air dalam kendi tersebut, sehingga Tua Usil seperti orang tenggelam dalam genangan air. Terdengar pula suara air kendi menjadi berkecipak dan bergelembung-gelembung.

"Bluub... bluub... buluub... bluub...!"

Iblis Mata Genit tertawa mengikik panjang. "Hik hik hik...! Matilah kau, Tua Usil! Kau pikir dengan bisa berubah wujud mu menjadi kabut, kau bisa kalahkan Iblis Mata Genit Ini, hah?! Tak mungkin, Tua Usil! Tak mungkin kau bisa kalahkan aku! Dan kau akan ku penjara di dalam kendi ini, sebelum kudengar kau bersedia menunjukkan tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih, kau tak akan kulepaskan dari kendi ini! Hik hik hik...!"

Mulut kendi itu segera ditutup dengan gulungan rumput padat. Disumpal kuat-kuat, sehingga tidak mempunyai celah untuk meresap kabut tersebut. Kendi itu segera disimpan kembali ke dapur oleh Gandul. Sementara itu, Gandul harus segera kembali menemui Iblis Mata Genit untuk menangkap seekor buaya yang akan mereka potong. Seperti apa kata Setan Sibuk kepada Yoga, bahwa Iblis Mata Genit menyukai makanan berupa daging buaya. Itulah sebabnya di samping pondoknya yang terletak dl Bukit Kematian itu, terdapat kolam lebar sebagai tempat peternakan buaya.

Di luar dugaan mereka berdua, Wali Kubur yang baru saja bangun dari tidurnya, akibat mendengar suara gaduh orang menangkap buaya, segera pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Ia kehausan sebab selama tidurnya ia mengorok, dan kerongkongannya menjadi kering.

Wali Kubur sedikit merasa heran melihat kendi tempat air minum itu tersumbat gulungan rumput. Tapi karena rasa haus yang sudah terlalu mengeringkan tenggorokannya itu, Wali Kubur tak mau tahu lagi tentang penyumbat lubang kendi itu. Maka, rumput penyumbat pun dicabutnya, dan ia menenggak air kendi secara terburu-buru.

Wali Kubur tak terlalu menghiraukan melihat air kendi yang terkucur keluar ke mulutnya itu bercampur dengan uap. Ia pikir uap dingin akibat air kendi nyaris mengalami pembekuan. Tapi uap itu semakin banyak tertampung di mulutnya dan akhirnya berubah menjadi kaki orang. Tua Usil bebas dari dalam kendi, langsung kakinya menjejak mulut Wali Kubur sekuat-kuatnya, sepuas-puasnya.

Prookkk...!

"Ouh...!"

Brakkk...! Wali Kubur jatuh dengan mulut hancur, giginya rontok semua di bagian depan. Tua Usil memang sengaja kerahkan semua tenaganya ke telapak kaki pada waktu menjejak mulut itu. Akibatnya, mulut itu seperti dihantam memakai besi sebesar kelapa hijau. Wali Kubur sempat gelagapan sekejap dan segera meraung-raung tak jelas. Sedangkan Tua Usil cepat larikan diri melalui pintu dapur.

"Aooh... aooh...! Aoohhh...!" Wali Kubur keluar dari kamar dan menemui kakak perempuannya.

Iblis Mata Genit dan Gandul tercengang kaget melihat mulut Wali Kubur berlumuran darah. Iblis Mata Genit cepat tinggalkan pekerjaan yang sedang dilakukan, demikian pula Gandul. Mereka berdua segera hampiri Wali Kubur yang tangannya menuding-nuding ke arah hutan ke belakang pondok tersebut.

"Guru...! Apa yang terjadi?!" pekik Gandul waktu itu.

Wali Kubur hanya bisa berkata, "Aoooh... aoooh...!"

"Keparat!" geram Iblis Mata Genit. "Siapa yang telah membuat bibirmu pecah begitu dan gigimu rontok semua, Adik Wali Kubur?!"

"Aoh, aoh, aoh, aaaaooohh...!" Wali Kubur menjelaskan dengan dibantu bahasa gerak. Maka, kedua orang Itu segera mengetahui maksud Wali Kubur, sehingga Gandul berkata kepada Iblis Mata Genit,

"Guru minum air dalam kendi! Yang keluar si Tua Usil itu!"

Iblis Mata Genit naik pitam dan membentak Wali Kubur, "Sekarang di mana si Tua Usil itu?!"

"Aooh... aaooh...!" sahutnya sambil menuding hutan belakang pondok.

"Iya. Jauh ya jauh, tapi larinya ke mana kok kamu bisa bilang jauh?!" sentak Iblis Mata Genit lagi. Akhirnya Wali Kubur menarik tangan Iblis Mata Genit, membawanya bergegas ke belakang rumah, lalu menuding hutan belakang rumah itu,

"Oooh... aoooh...!"

"Jahanam!" geram Iblis Mata Genit. "Gandul, bangunkan Brata! Kita kejar si Tua Usil itu! Pancung kepalanya di tempat!"

Tua Usil lari tunggang-langgang. Sedikit pun tak berani menengok ke belakang. Sebentar pun tak mau berhenti. Rasa takut dan panik membuatnya lari tanpa arah yang pasti. Baginya, yang penting ia harus cepat-cepat menjauhi peternakan buaya itu entah ke arah mana saja. Jika perlu masuk ke dalam sebuah sumur demi selamatkan diri dari kejaran Iblis Mata Genit.

"Sial! Sejak tadi tak kulihat ada sumur?!" gerutunya sambil terus berlari, sedangkan Iblis Mata Genit pun terus mengejar dengan langkah lebih cepat dua kali lipat dibandingkan kecepatan lari Tua Usil. Maka tak heran jika sekali Tua Usil menengok ke belakang, ia sudah melihat gerakan lari dari orang berpakaian hijau. Siapa lagi orang berpakaian hijau muda itu jika bukan Iblis Mata Genit.

Karena takutnya, Tua Usil berlari sambil berteriak-teriak dengan harapan ada orang baik yang mau menolongnya. "Tolooong…! Toloodng...! Tooo... tooo... toloooong...!"

Tak jauh dari tempat itu, Pendekar Rajawali Merah sedang susuri jalan setapak menuju Bukit Kematian. Ia masih didampingi oleh Bocah Bodoh. Ketika mereka mendengar suara teriakan minta tolong, keduanya sama-sama hentikan langkahnya. Mereka saling tatap sebentar, saling menyimak suara samar-samar itu. Kemudian, Yoga berkata pelan bagai bicara pada dirinya sendiri,

"Sepertinya itu jenis suara Tua Usil?!"

"Arahnya di utara, Tuan Yo!" timpal Bocah Bodoh.

"Bukan. Arahnya di selatan! Karena di utara ada bukit, jadi suaranya memantul seperti datang dari utara!"

"Tapi di sebelah selatan juga ada bukit, Tuan Yo!"

Yoga memandang ke utara dan selatan, kedua arah itu memang mempunyai bukit walau tak seberapa tinggi. Akhirnya, Yoga berkata, "Baiklah, kita berpencar! Aku ke selatan dan kau ke utara!"

Bocah Bodoh cemas, lalu berkata, "Sebaiknya saya percaya saja dengan ilmu firasat Tuan Yo. Saya ikut ke selatan saja, Tuan!"

Bocah Bodoh berpikir, "Daripada aku lari sendirian, belum tentu aku bisa menolong orang tersebut. Padahal tempat ini tak seberapa jauh lagi dari Bukit Kematian, Salah-salah aku bisa kepergok Iblis Mata Genit, nyawaku bisa melayang tanpa sungkan-sungkan lagi. Lebih baik aku ikut ke mana saja Tuan Yo pergi!"

* * *

TUJUH

PELARIAN Tua Usil merupakan pelarian yang ulet. Itu karena ia tak mau disiksa di atas peternakan buaya lagi. Ia benar-benar jera mengalami siksaan seperti itu. Karenanya, ia berlari dengan arah berbelok-belok memusingkan pengejarnya. Tanpa disadari ia sudah tiba di sebuah lembah yang ditumbuhi banyak bebatuan dengan jenis tumbuhan pohon yang terhitung jarang. Suara teriakannya sesekali masih terdengar dan menjadi petunjuk bagi Yoga untuk mengikutinya.

Lembah yang banyak terdapat gugusan batu itu tak lain adalah Lembah Maut. Tua Usil terhenti seketika setelah ia sadar dirinya ada di mana. Mata Tua Usil pun cepat memandang batu tonggak setinggi perut yang dikenal dengan nama Prasasti Tonggak Keramat. Tua Usil tercengang sejenak, lalu segera sadar bahwa dirinya terancam kejaran Iblis Mata Genit. Maka, dengan sedikit panik ia mencari batu yang bisa dipakai untuk bersembunyi.

Ketika Iblis Mata Genit tiba di Lembah Maut, Tua Usil sudah tidak terlihat dari pandangan matanya. Sorot pandangan mata penuh kemarahan itu segera menyusuri beberapa tempat di sekelilingnya sambil ia berseru,

"Tua Usil...! Aku tahu kau bersembunyi di sini! Keluarlah sekarang juga sebelum murka ku memuncak! Keluar kau, Tua Usil...!"

Sebongkah batu dihantam dengan kekuatan tenaga dalam yang melesat dari punggung tangan. Zlaappp...! Sinar kelabu menghantam sebongkah batu dan batu itu pecah seketika. Duaarrr....! Tua Usil tak ada di balik batu itu.

Mata gadis bertubuh sekal itu memandangi bukit di atasnya. Lereng dinding bukit, batu-batu besar, pohon, semua di susuri, namun tetap tidak terlihat bayangan mencurigakan yang patut dihampiri. Dinding tebing diperhatikan, dipandangi celah-celahnya, tapi tetap tidak terlihat tanda-tanda orang bersembunyi. Iblis Mata Genit bertambah panas hatinya. Maka, beberapa batu yang ada di situ dihajarnya dengan pukulan jurus-jurus maut. Batu-batu itu saling berhamburan, suara ledakan menghentak menggema bagaikan tiada hentinya.

Tua Usil bersembunyi tepat di balik batu prasasti. Tubuhnya menggigil karena melihat pecahan batu berhamburan bersama bunyi ledakan yang setiap kali membuat jantungnya bagai tersentak copot. Sebongkah batu dari pecahan tersebut melesat jatuh di kakinya. Tuusss...! Jari kelingking kaki terhantam batu itu. Sakitnya bukan main.

Tapi Tua Usil hanya diam, menggigit bajunya kuat-kuat agar mulutnya tidak terpekik kesakitan. Ia jongkok di situ, memperhatikan kelingking kaki kirinya berdarah. Ia memandang dengan sedih, karena tak bisa lepaskan perasaan sakitnya. Matanya pun terpejam kuat ketika luka itu terasa nyut-nyutan sampai di ubun-ubun.

Ketika nyut-nyutan sedikit berkurang, Tua Usil segera buka matanya. Dan ia terkejut bukan kepalang tanggung. Tubuhnya sempat hampir terlonjak kuat, namun kepalanya buru-buru terbentur batu yang menaunginya, sehingga ia menjadi jongkok kembali sambil menyeringai. Karena pada saat ia membuka mata, tahu-tahu seraut wajah sudah ada di depannya ikut jongkok pula. Seraut wajah itu milik Bocah Bodoh, yang segera nyengir geli waktu Tua Usil buka matanya.

"Kampret! Bikin jantungku putus saja kau!" geramnya dalam bisik, tangannya mengepal ingin menghantam wajah cengar-cengir itu.

"Ssstt...! Jangan keras-keras bicaramu nanti didengar Iblis Mata Genit!" bisik Bocah Bodoh.

"Dengan siapa kau kemari?!" bisik Tua Usil sambil masih sesekali menyeringai sakit dan mengusap-usap kepalanya yang terbentur batu.

"Aku datang menolong mu!"

"Yang kutanya, dengan siapa kau kemari?!" geram Tua Usil dengan wajah jengkel.

"Sssstt...! Jangan keras-keras, nanti Iblis Mata Genit mengetahui ada orang di sini! Aku datang bersama Tuan Yo."

“Tuan Yo...?!" Tua Usil mulai berseri. "Sekarang di mana Tuan Yo?"

"Sedang berhadapan dengan iblis Mata Genit!"

Tua Usil bersungut-sungut, "Kalau begitu ngomong keras juga tak jadi soal! Perempuan itu toh sudah melihat Tuan Yo, berarti dia tahu kalau di sini ada orang!"

"O, begitu ya...?!"

"Huhh...!" tangan Tua Usil mendorong kepala Bocah Bodoh, kepala itu tersentak ke belakang dan Bocah Bodoh jatuh terduduk dari jongkoknya. Kemu-dian, tua Usil beranikan diri keluar dari persembunyian dan melihat Pendekar Rajawali Merah sedang berhadapan dengan Iblis Mata Genit.

Kedua tokoh berilmu tinggi itu masih sama-sama saling bungkamkan mulut. Tapi mata mereka sama-sama saling tatap lekat-lekat. Jarak mereka sekitar tiga tombak. Masing-masing berdiri tegak dengan sikap siap tempur.

"Edan bocah tampan ini!" pikir Iblis Mata Genit. "Kekuatan apa yang dimilikinya, sehingga hatiku bergetar bagai terpikat olehnya?"

Sementara itu, di dalam hati Yoga pun berkata. "Kurasa dia punya kekuatan yang mampu melumpuhkan hati lelaki. Tapi aku tak akan goyah oleh kekuatan itu. Aku harus bisa kalahkan dengan kekuatan batin ku!" Iblis Mata Genit segera kerlingkan mata kirinya.

Claappp...!

Yoga tersentak mundur satu tindak, namun tetap berdiri. Dalam hatinya terucap kata batin, "Gila! Dia hantam aku dengan kerlingan matanya?! Cukup kuat juga hantaman itu, hampir aku terpental kalau tak sigap diri!"

Sedangkan di hati Iblis Mata Genit berkata, "Dia cukup tangguh! Biasanya lawan yang terkena pukulan 'Surya Pendar' akan terjungkal ke belakang dan muntah darah, tapi pemuda tampan ini masih tegak dan tidak rasakan pukulan itu sama sekali. Akan ku coba menggunakan jurus pukulan 'Soca Palebur'!" Iblis Mata Genit berwajah tak segarang tadi. Kini ia kerlingkan mata kanannya dengan gerak satu kedipan diiringi senyum tipis.

Claappp...! Wuuuhg...!

Iblis Mata Genit mundur satu tindak, Yoga pun mundur satu tindak. Keduanya bagaikan sama-sama terdorong ke belakang dalam sentakan kuat yang tertahan. Iblis Mata Genit segera membatin,

"Luar biasa! Pukulan 'Soca Palebur' biasanya bikin hancur lawan. Setidaknya dada lawanku bisa jebol dengan kedipan mata kanan. Tapi bocah tampan ini sungguh kuat lapisan tenaga dalamnya. Pukulan 'Soca Palebur' hampir membalik mengenai diriku sendiri. Ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku menghadapi musuh setangguh ini."

Di dalam hati Pendekar Rajawali Merah yang masih tetap membungkam mulut itu juga berkata, "Kedipkan mata kanannya lebih berbahaya. Dadaku sempat terasa panas, dan sekujur tubuh bagai kesemutan. Agaknya dia gunakan jurus yang lebih tinggi lagi dari yang tadi. Mungkin kali ini dia akan gunakan yang lebih tinggi juga dari yang terakhir. Aku harus siap menghadapinya!"

Dugaan Yoga memang benar. Dalam tatapan matanya yang sebenarnya berbentuk indah itu, perempuan cantik berkulit kuning langsat itu mengedipkan kedua mata dua kali.

Clap, clap...! Bluubb...!

Ada sepercik sinar api yang keluar dari tubuh Yoga. Percikan sinar api itu hanya menyala sekejap. Seolah-olah ada kekuatan api yang memantul balik setelah menghantam tubuh Yoga, dan kekuatan api itu segera padam. Hitam tak berbekas, tak berasap. Pada saat itu, Yoga masih tampakkan diri dalam ketegaran dan ketegapannya. Ia hanya sunggingkan senyum tipis yang membuat Iblis Mata Genit segera membatin,

"Tak salah lagi. Dia memang tangguh luar biasa. Pukulan 'Sinar Kesumat' tak bisa membakar dirinya. Padahal biasanya, siapa pun yang terkena pukulan 'Sinar Kesumat' dari kedipan dua mataku tadi, dia akan hangus terbakar dan apinya sulit dipadamkan. Tapi bocah bagus ini, sungguh mengagumkan hatiku. Semestinya pria seperti dialah yang layak menjadi suamiku. Biar buntung tangan kirinya, tapi tinggi ilmunya. Pasti dia bisa menandingi ku baik di pertarungan luar rumah maupun pertarungan di dalam rumah. Hmmm. Tapi mengapa dia memihak Tua Usil? Ada hubungan apa dengan Tua Usil, dan siapa dia sebenarnya?"

Iblis Mata Genit mengendurkan ketegangan batinnya. Ia melangkah maju tiga tindak sambil masih memandangi Yoga. Sementara itu, Yoga sendiri masih belum bergeser dari tempatnya, seakan menunggu pamer ilmu selanjutnya dari perempuan berpakaian hijau muda itu.

Di belakang sana, di balik batu prasasti, Tua Usil dan Bocah Bodoh memperhatikan Yoga dan Iblis Mata Genit dengan perasaan heran. Bahkan Cola Colo sempat berbisik kepada Tua Usil,

"Apakah mereka sudah saling kenal? Kok sejak tadi hanya pandang-pandangan saja? Kapan bertarungnya?"

"Diam saja kau! Lihat saja apa yang terjadi selanjutnya!"

Pendekar Rajawali Merah menarik napas dalam-dalam ketika Iblis Mata Genit bertolak pinggang di depannya dengan menyangkutkan kedua jempol tangan pada ikat pinggang di depan perutnya. Sikap perempuan Itu semakin kelihatan menantang dan meremehkan. Maka, napas yang sudah tertahan itu dihempaskan keluar oleh Yoga melalui hidungnya.

Wuuttt...! Blaabbb...!

Seberkas sinar berkerilap di pertengahan jarak. Tubuh Iblis Mata Genit tersentak mundur dan terhuyung-huyung empat langkah jauhnya. Hampir saja ia jatuh karena merasakan ada kekuatan yang begitu besar menghantamnya. Kekuatan itu datang dari hembusan napas Pendekar Rajawali Merah. Jika tidak segera ditahan dengan gerakkan memadatkan napas secara seketika, pasti tubuh Iblis Mata Genit akan terpental melayang jauh ke belakang.

Iblis Mata Genit tak menduga Yoga akan membalas menyerangnya dengan suatu ketenangan yang membahayakan jiwa lawan. Pendekar Rajawali Merah menggunakan jurus yang jarang dipakai jika lawannya tidak benar-benar berilmu tinggi. Jurus itu adalah jurus 'Badai Petir'. Jika bukan Iblis Mata Genit, orang itu akan terpental sangat jauh, dan hancur berkeping-keping di tempat ia jatuh.

Jurus 'Badai Petir' digunakan bagi lawan yang berilmu tinggi, sebab yang menerbangkan tubuh lawan dan yang menghancurkan adalah kekuatan tinggi yang dimiliki oleh lawan tersebut, Jika lawan tidak punya ilmu tinggi, maka jurus 'Badai Petir' justru membuat lawan selamat tak bergeming sedikit pun. Itulah sebabnya Yoga dapat mengukur kekuatan Iblis Mata Genit, ternyata tidak melebihi ketinggian ilmunya sendiri. Ilmu perempuan itu masih di bawah ilmu Pendekar Rajawali Merah.

Jika ilmu perempuan itu lebih tinggi, maka perempuan itu justru akan terlempar jauh dan pecah di tempatnya jatuh. Tetapi jurus yang sempat membuat Iblis Mata Genit tersentak mundur empat langkah itu, telah membuat hatinya berkata memuji Yoga,

"Gila! Dia gunakan hembusan napas seringan itu namun bisa membuat tubuhku hampir saja terbang jauh. Sekujur tubuhku sekarang menjadi hangat dan kulitku sedikit perih. Kurang ajar betul dia! Diam-diam nakal juga bocah tampan ini?!"

Lalu, Iblis Mata Genit segera sunggingkan senyum sedikit lebar, berkesan menyepelekan lawannya. Ia melangkah lagi dengan lagak acuh tak acuh, kembali ke tempatnya berdiri tadi. Sedangkan senyum yang ada di bibir Yoga adalah senyum kelegaan, karena ia tahu lawannya punya ilmu tak setinggi ilmu yang dimilikinya,

"Aku mencari Pendekar Rajawali Putih, gadis keparat yang menyedot seluruh ilmu adikku; si Wali Kubur itu. Tapi mengapa yang kutemukan justru ketampanan wajahmu? Siapa kau sebenarnya?"

"Pendekar Rajawali Merah," jawab Yoga tenang.

Mata perempuan itu terkesiap dan menatap penuh curiga. Kemudian ia manggut-manggut dan berkata dengan lagak meremehkan, "Ooo... jadi kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Merah? Apakah ada hubungannya dengan Pendekar Rajawali Putih itu?!"

"Dia kekasihku!" jawab Yoga terang-terangan.

Iblis Mata Genit tertawa melecehkan. "Terus terang kukatakan padamu, bahwa kau tak pantas berpasangan dengan gadis keparat itu! Dia gadis jahat, sedangkan kau... aku tahu, kau pasti tidak berhati jahat! Kusarankan padamu, tinggalkan dia supaya ilmumu tidak tersedot oleh kekuatan ilmunya itu! Bergantilah pasangan yang punya ilmu sejajar denganmu, seperti misalnya diriku ini!"

Pendekar Rajawali Merah sunggingkan senyum tipis, lalu berkata dengan nada menyepelekan saran itu, "Lili... Pendekar Rajawali Putih itu, bukan saja kekasihku, namun juga guru angkatku!"

"O, ya...?! Lucu sekali? Hik hik hik...!" Iblis Mata Genit tertawa berkepanjangan, "Alangkah bodohnya otak setampan wajahmu itu, Pendekar Rajawali Merah. Mau-maunya kau punya guru angkat gadis dungu yang bisanya hanya mencuri ilmu lawan itu? Apakah kau tak salah pilih? Apakah kau tak bisa memandang bahwa aku jauh lebih pantas menjadi gurumu ketimbang-gadis dungu itu!”

"Tidak. Kau tidak pantas jadi guruku, karena kau tidak mampu mengalahkan aku, tidak mampu menundukkan aku, dan tidak mampu memikat hatiku, seperti apa yang dilakukan Lili!"

"Apakah wajahku tidak cantik memikat hati?"

"Buruk. Luar biasa buruknya!" jawab Yoga dengan tegas.

Jawaban itu membuat wajah Iblis Mata Genit menjadi merah jambu menandakan darah kemarahannya kembali naik sampai ke ubun-ubun. Pandangan matanya sedikit menyipit, namun sangat tajam memandang. "Kau sangat berani bicara begitu di depanku! Kuanggap lancang mulutmu, Bocah Bagus!" geram Iblis Mata Genit.

"Tak ada yang ku takuti sedikit pun bicara di depanmu!"

"Baiklah. Kau selalu memancing kemarahanku. Kau telah menghadang langkahku memburu Tua Usil itu...!" Ia menuding Tua Usil. "Kau juga akan menjadi penghalang langkahku dalam memburu gadis keparat itu! Maka, ku putuskan untuk membunuhmu sekarang juga! Heaaah...!"

Kedua tangan Iblis Mata Genit di tarik ke samping dengan telapak tangan terbuka membentuk cakar, kakinya merendah, yang kanan menghentak ke tanah. Duuuhg...! Matanya menjadi merah, lalu dari mata merah itu melesat sinar biru dua berkas, membentuk jarum besar.

Clap, claappp...! Wuutttt...!

Sinar biru itu menghantam mata Pendekar Rajawali Merah. Tetapi dengan cekatan tangan Yoga bergerak ke depan, dua jarinya berdiri tegak di pertengahan kening, dan dari jari itu keluar seberkas sinar merah bening berbentuk piringan selebar wajah.

Traasss...! Blaarrr...!

Dua berkas sinar biru itu menghantam sinar merah bening, terpercik bunga api sekejap, kemudian meledak dengan gelegar yang dahsyat. Ledakan itu membuat tubuh Yoga tersentak mundur dua tindak, namun tubuh Iblis Mata Genit terjungkal ke belakang dan berguling-guling.

"Setan!" geram Iblis Mata Genit dengan murkanya. "Heaaah...!" Iblis Mata Genit menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan hingga memancarkan sinar hijau besar dan dari kesepuluh ujung jarinya terlepas sinar kuning berkelok-kelok. Pukulan itu bermaksud menyergap tubuh lawan hingga tak bisa menghindar dan menyerang.

Tetapi, kaki Yoga sudah lebih dulu menyentak pelan ke tanah, sehingga tubuhnya melenting ke atas dan bersalto mundur dua kali.

Zraappp...! Wesss...! Wuurrrtt...!

Blaarrr...! Blegaarrr...!

Kalau saja Tua Usil tadi tidak punya gagasan untuk pindah tempat sambil menarik tangan Bocah Bodoh, sudah pasti mereka berdua akan hancur berkeping-keping atau habis terbakar oleh sinar-sinar dari kedua tangan Iblis Mata Genit itu.

Karena ketika Yoga menghindar naik ke atas, sinar itu mengenai batu prasasti, hingga batu itu menjadi pecah berkeping-keping dan kepingan itu menyala bara merah, panas jika dipegang. Untung kepingan membara panas itu tak banyak yang memercik mengenai tubuh Yoga, Tua Usil, dan Bocah Bodoh.

Mereka hanya terpekik karena kaget menerima percikan panas. Namun segera dapat diatasi, walau membekas melepuh di betis Bocah Bodoh. Juga di tangan Tua Usil ada bagian yang melepuh karena terkena percikan batu tersebut. Sedangkan yang memercik mengenai tubuh Yoga tak sempat membuat kulitnya melepuh, hanya merasa tersengat panas saja. Namun itu pun tak dihiraukan.

Karena pada saat Yoga mendaratkan kakinya di tanah, kedua jari tangannya dikibaskan ke depan bagai melempar pisau. Jari itu tetap teracung lurus ke depan, dan dari ujungnya keluar sinar merah patah-patah yang menghujani tubuh Iblis Mata Genit.

Clap, clap, clap, clapp...!

Sinar itu mengenai tubuh Iblis Mata Genit beberapa kali, membuat tubuh itu terpental terus-menerus, sampai akhirnya ia berhasil melesat naik ke atas dahan pohon. Namun keadaannya telah menjadi parah. Wajahnya pucat, sudut mulutnya tampak keluarkan darah, bekas hitam hangus pun terlihat di beberapa pakaiannya. Dari atas pohon, Iblis Mata Genit berseru,

"Sekarang aku kalah! Tapi tunggu sebentar lagi, aku akan datang dan membayar kekalahan ku ini, Bocah setan!"

Zlaappp...! Iblis Mata Genit bagaikan menghilang karena cepatnya gerakan melompat dari pohon ke pohon. Yoga hanya memandanginya dengan napas terhempas lega.

Plok, plok, plokk...!

Terdengar suara tepukan. Yoga berpaling memandang ke arah Bocah Bodoh dan Tua Usil. Ternyata tepukan itu datang bukan dari mereka, melainkan dari atas bukit. Yoga memandang ke sana, rupanya Gadis Linglung sudah berdiri di atas bukit itu. Gadis Linglung agaknya memang bandel dan nekat. Saat ia ingin ikut Yoga menyerang Iblis Mata Genit, Yoga tidak setuju dan melarangnya ikut. Gadis Linglung pun pergi dengan kecewa. Tapi rupanya kepergiannya itu hanya sebuah siasat, untuk kemudian dia menguntit perjalanan pemuda tampan yang diam-diam mengagumkan hatinya itu.

Wuukkk, wuukkk...!

Gadis Linglung melompat dari atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Dalam kejap berikutnya ia sudah berada di bawah, di samping Tua Usil dan Bocah Bodoh.

"Luar biasa! Tak pernah kulihat pertarungan sehebat itu, dengan jurus-jurus mautnya!" kata Gadis Linglung. "Aku sangat terkesima dan lupa berkedip melihat... melihat...."

Ucapan Gadis Linglung itu menjadi tersendat ragu. Karena pada saat itu, mereka mendengar suara gemuruh yang mengguncangkan bumi. Masing-masing hati bertanya, "Apa yang terjadi ini?"

Tanah yang berguncang-guncang itu membuat Bocah Bodoh segera berseru panik, "Gempa...! Gempa...! Ada gempa! Lekas tinggalkan tempat ini!"

"Tunggu!" seru Yoga pada waktu mereka hendak melarikan diri, sementara Gadis Linglung sudah lebih dulu mencapai tempat agak jauh. Ia terpaksa kembali lagi dengan gerakan cepatnya ketika mata Yoga menatap ke arah dinding tebing bukit itu, juga mata Bocah Bodoh dan Tua Usil tak berkedip memandangi bukit tersebut.

Rupanya ada sesuatu yang bergerak pada dinding bukit itu. Sesuatu yang bergerak itu adalah pintu sebuah gua yang sudah bertahun-tahun tertutup rapat. Lubang gua itu tidak terlalu lebar, namun mempunyai cahaya putih terang dari dalamnya. Gua yang bersinar terang menyembur ke luar itu segera didekati oleh mereka.

Sinar putih yang memancar keluar itu segera padam setelah batu penutup gua berhenti bergerak dan getaran tanah di sekelilingnya pun hilang. Kini yang ada di depan mereka adalah lubang gua yang tak seberapa dalam. Di pertengahan lubang itu terdapat batu datar dari jenis bebatuan yang transparan. Bening dan berkilauan bagaikan sebongkah berlian.

Di atas batu itu, terdapat sebilah pedang warna merah yang tidak begitu panjang, bergagang pendek Pedang merah itu mempunyai garis bingkai dari bahan kuning emas, yang menambah kesan wibawa dalam paduan warna merah beludrunya itu. Tepat pada ujung gagang pedang itu terdapat hiasan logam emas berukir berbentuk kepala manusia lelaki gundul.

"Itu Pedang Jimat Lanang,..!" cetus Bocah Bodoh dengan lantang karena girangnya.

Tua Usil berkata, "Kelihatannya begitu. Tapi kau yakin kalau itu memang Pedang Jimat Lanang?"

"Ya! Waktu Ibu marah, Ibu sempat jelaskan ciri-ciri pedang pusaka yang ada di sekitar prasasti ini!" Bocah Bodoh berseri-seri.

Yoga jadi berpikir, rupanya pintu penutup gua penyimpan Pedang Jimat Lanang dapat terbuka jika batu prasasti itu dihancurkan. Dan penghancurannya kali ini adalah suatu tindakan yang tidak sengaja, akibat terkena pukulan Iblis Mata Genit.

Wuutttt...! Tiba-tiba Gadis Linglung segera menyambar pedang itu dan dibawanya lari. Batu alas pedang yang mirip berlian itu menjadi kusam dan pecah setelah pedang terangkat. Tapi yang membuat mereka kaget dan tegang adalah lenyapnya pedang tersebut. Gadis Linglung menggunakan kelengahan mereka, manakala mereka masih terpukau dengan penemuan itu.

"Kejar dia...!" seru Tua Usil dalam satu sentakan keras.

* * *

DELAPAN

SUARA orang tertawa cekikikan di bawah pohon rindang berdaun lebat itu tidak berkesudahan. Tampaknya orang yang tertawa itu sedang mengalami kegembiraan yang luar biasa. Tentu saja suara tawa yang tiada henti-hentinya itu memancing rasa ingin tahu seorang lelaki berpakaian abu-abu dengan ikat kepala kuning. Dia tak lain adalah si Raja Tipu,

"Hutan di sebelah timur sungai itu memang angker. Banyak kuntilanaknya. Siang-siang begini saja suara tawa kuntilanak sudah terdengar, apalagi kalau malam? Pasti kuntilanak akan tertawa bercampur desah kemesraan jika pada malam hari! He he he...! Masa bodohlah, untuk apa memikirkan soal kuntilanak yang tertawa terkikik-kikik itu. Tapi... seperti apa sebenarnya kuntilanak itu? Benarkah dia berwajah cantik?! Aku kok jadi kepingin tahu?!"

Berangkat dari suara tawa, Raja Tipu akhirnya menyeberang sungai untuk mencapai hutan di sebelah timur sungai itu. Sementara ia menyeberang sungai melalui bebatuan, suara tawa terkikik-kikik itu masih saja terdengar. Jelas itu suara perempuan, hanya bedanya kalau suara perempuan tidak akan berkepan-jangan begitu, tapi jika suara kuntilanak sudah tentu bisa berkepanjangan, sebab tak akan ada orang yang berani menegur dan melarangnya.

Raja Tipu mengendap-endap dalam langkahnya, mendekati sumber suara tawa itu. Jantungnya sempat berdebar-debar karena ia tahu dirinya berada dalam jarak dekat dengan tawa kuntilanak itu. Semakin dekat, semakin jelas, semakin membuat merinding pula sekujur tubuh Raja Tipu. Rimbunan semak mulai dibuka oleh tangan Ra-ja Tipu yang gemetar. Mata lelaki berbadan agak ge-muk itu terbuka lebar-lebar supaya ia dapat melihat dengan jelas wujud kuntilanak.

Namun setelah matanya berhasil menangkap sumber suara tawa yang terkikik-kikik itu, Raja Tipu segera menghembuskan napas kedongkolannya. Tubuhnya yang merunduk itu menjadi tegak. Ia garuk-garuk kepala menahan rasa malu dan geli, sekaligus jengkel karena terkecoh oleh anggapannya sendiri.

"Kucing pasar!" makinya. "Kupikir kuntilanak yang tertawa, tak tahunya Gadis Linglung, orang Perguruan Camar Sakti itu!"

Rupanya Raja Tipu sudah mengenai Gadis Linglung yang cantik dan berwajah imut-imut itu. Maka, Raja Tipu pun segera keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis Linglung sempat terkejut, menyangka ada musuh datang. Ia bergerak mundur sambil tangannya siap mencabut pedang yang baru saja berhasil diperolehnya; Pedang Jimat Lanang.

Tapi begitu menyadari yang datang adalah si Raja Tipu, Gadis Linglung segera hembuskan napas lega dan kendurkan ketegangannya. "Monyet burik! Lain kali jangan coba-coba mengagetkan aku lagi, Raja Tipu! Bisa kupenggal kepalamu dengan pedang pusaka sakti ini!"

Raja Tipu tertawa terkekeh-kekeh. Diam-diam matanya memperhatikan pedang merah berbentuk indah yang di bagian ujung pedang terdapat ronce-ronce dari benang warna kuning itu. Pedang tersebut digenggam dengan tangan kiri oleh Gadis Linglung.

"Suara tawamu memancing rasa ingin tahu ku, Gadis Linglung. Kupikir tadi suara tawa kuntilanak, sehingga aku mengendap-endap karena ingin melihat seperti apa wujud kecantikan kuntilanak itu. Ternyata yang ada dirimu, yang pasti jauh lebih cantik dari kuntilanak!"

"Apa betul aku cantik menurutmu?"

"Sangat cantik, apalagi jika kamu menggeng-gam pedang itu, oh... jauh tampak lebih cantik dari bidadari mana pun!"

"Begitukah?" Gadis Linglung cengar-cengir memandangi pedang tersebut.

"Hanya saja, aku sedikit heran kepadamu. Mengapa kau harus berpedang dua? Di pinggangmu sudah ada pedang, sekarang di tanganmu juga ada pedang. Apakah kau ingin gadaikan pedang yang di tanganmu itu, Gadis Linglung?"

"Hmmm...!" Gadis Linglung mencibir sambil sedikit melengos. Lalu sambil matanya melirik ia berkata, "Pedang pusaka kok mau digadaikan? Alangkah bodohnya! Mendapatkannya saja dengan susah-payah dan bertaruh nyawa, kok mau ditukar dengan sejumlah uang?! Biar ditukar dengan istana pun tak akan kuberikan kepada siapa pun!"

"Ooo... pedang pusaka?!" Raja Tipu manggut-manggut.

"Ini yang namanya Pusaka Pedang Jimat Lanang! Hatiku hari ini luar biasa gembiranya, karena mendapatkan Pedang Jimat Lanang yang ku incar dari dulu. Sebab itu, aku tadi tertawa berkepanjangan!" Gadis Linglung tertawa lagi terkikik-kikik.

Sementara Raja Tipu mulai berpikir dan berkecamuk dalam hatinya, "Pedang itu pernah dibicarakan oleh Iblis Mata Genit. Beliau ingin sekali mempunyai Pedang Jimat Lanang yang katanya punya beberapa kesaktian itu. Rupanya seperti itulah wujud pedangnya. Indah dan tampak perkasa dalam kemewahan. Nyai Iblis Mata Genit pasti sangat senang hatinya jika aku bisa mem-persembahkan pedang itu kepadanya. Sudah pasti aku akan diangkatnya kembali sebagai pelayan Nyai Iblis Mata Genit. Tapi apakah betul itu Pedang Jimat Lanang?"

Kemudian, kesangsian hatinya diutarakan ke-pada Gadis Linglung, sehingga Gadis Linglung berkata, "Jadi, kau ingin bukti tentang kesaktian pedang ini? Hmm...! Tak sulit membedakannya. Lihatlah sendiri...!"

Gadis Linglung mencabut pedang tersebut. Zeettt...! Crap, crap! Pedang memercikkan bunga api kecil-kecil. Bunga api bergerak mengelilingi tepian pedang dan hilang lenyap di sisi kirinya. Melihat percikan bunga api yang melesat cepat mengelilingi mata pedang Itu, hati Raja Tipu sudah merasa kagum dan menyimpulkan bahwa pedang itu bukan sembarang pedang.

Apalagi setelah Gadis Linglung menyentakkan tangannya dengan kekuatan tenaga dalam kecil, zuuttt...! Pedang yang berukuran pendek itu tiba-tiba bisa terjulur menjadi panjang bagaikan sebuah samurai, bahkan panjang ukurannya melebihi ukuran panjang samurai. Lalu ketika Gadis Linglung menghentakkan tangannya dalam gerakan menarik, pedang tersebut kembali pendek dalam ukuran sehasta, kira-kira sepanjang dari ujung jari sampai siku.

Gadis Linglung tersenyum bangga melihat Raja Tipu terperangah, ia tahu lelaki itu merasa kagum. Gadis Linglung semakin berminat untuk menunjukkan kehebatan pedang tersebut. Lalu, dalam satu lompatan kecil, Gadis Linglung menebaskan pedang itu ke pohon tinggi yang berukuran sebesar batang pohon kelapa.

Zlaappp...!

Mata Raja Tipu melihat jelas pedang itu memotong batang pohon tersebut. Namun nyaris tak terdengar suara benturannya dan keadaan pohon tersebut masih berdiri utuh. Beberapa saat setelah Gadis Linglung berjalan mendekati Raja Tipu, angin berhembus agak kencang, dan pohon itu tiba-tiba tumbang sendiri.

Brrruuusssk...! Batangnya tampak terpotong rapi sekali, seperti agar-agar dibelah memakai benang tipis. Pada bekas potongan batang pohon itu tak terlihat ada serat seperti biasanya didapat pada kayu yang terpotong benda tajam lainnya.

"Mengagumkan sekali," gumam Raja Tipu sambil mata tetap terbelalak bengong.

Gadis Linglung tertawa cekikikan setelah memasukkan pedang ke sa-rungnya. Lalu katanya, "Itu baru sebagian kecil kehebatan yang bisa kuperlihatkan padamu. Kalau aku mau, aku bisa melukaimu dengan hanya menggoreskan ujung pedang ke bayangan tubuhmu yang jatuh di tanah.

"Ck, ck, ck, ck...! Hebat sekali?!' gumam Raja Tipu sambil geleng-geleng kepala.

"Itulah kehebatan dan kesaktian Pedang Jimat Lanang!"

Raja Tipu mengangguk-angguk, "Ya, ya, ya...! Pantas sekali kalau pedang sehebat itu mempunyai kekuatan kutuk yang sukar dihindari. Karena kehebatan dan kesaktiannya memang tak disangsikan lagi. Tak ada yang bisa menandingi kekuatan Pedang Jimat Lanang."

"Tunggu, tunggu...!" sergah Gadis Linglung sambil berkerut dahi. "Kau tadi menyebut-nyebut tentang kekuatan kutuk pada pedang ini, Maksudmu kekuatan kutuk bagaimana?"

"Ah, tentunya kau lebih tahu dari diriku, Gadis Linglung!" Raja Tipu tersenyum-senyum meremehkan pertanyaan tadi.

Gadis Linglung semakin penasaran dan makin mendekati Raja Tipu seraya berkata, "Aku sungguh tak tahu tentang kekuatan kutuk itu. Aku tak pernah dengar."

"Bohong! Aku sendiri yang bukan muridnya Nyai Mantera Dewi saja tahu tentang kutuk itu, masa' kamu yang jadi muridnya tak diberitahukan soal kutuk tersebut? Tak mungkin! Itu tak mungkin! Nyai Mantera Dewi pasti sudah pernah membicarakannya pada murid-muridnya. Beliau adalah guru yang bijaksana. Aku tahu persis hal itu!"

Gadis Linglung sempat bingung mendengar Raja Tipu menyebut-nyebut nama gurunya; Nyai Mantera Dewi. Ia berkerut dahi beberapa saat lamanya, mengingat-ingat ucapan yang pernah didengar dari gurunya. Tapi Gadis Linglung tak ingat tentang ucapan sang Guru mengenai kutuk pada Pedang Jimat Lanang. Gadis Linglung hanya membatin dalam hatinya,

"Mungkin karena aku pelupa, jadi aku tak ingat ada kutuk dalam Pedang Jimat Lanang. Tapi kutuk yang bagaimana maksudnya?"

Pada waktu itu, Raja Tipu berkata, "Mungkin kau cukup lama meninggalkan perguruan, sehingga kau lupa."

"Ya. Memang cukup lama aku meninggalkan Guru. Aku berjanji tak akan pulang ke perguruan sebelum mendapatkan pusaka ini."

'"O, pantas...!" Raja Tipu manggut-manggut lagi dalam sikap tenangnya. "Pantas kalau tempo hari waktu aku bertemu dengan Nyai Mantera Dewi beliau berpesan padaku dan meminta tolong untuk menyampaikan pesannya kepada Ratna Kinasih. Aku tidak tahu yang mana Ratna Kinasih, ketika kutanyakan kepada beliau, ternyata Ratna Kinasih adalah Gadis Linglung. Aku sempat tertawa geli tapi juga kagum mendengar nama aslimu begitu bagusnya."

Gadis Linglung tersentuh hatinya, ada rasa haru membayangkan Nyai Mantera Dewi sampai mencari-carinya. Kalau bukan dari mulut Nyai Mantera Dewi, Raja Tipu tak mungkin tahu bahwa nama aslinya adalah Ratna Kinasih. Begitu pikir Gadis Linglung sambil masih berkerut dahi. Kemudian, ia segera bertanya,

"Pesan apa yang harus kau sampaikan kepadaku, Raja Tipu?"

"Hanya pesan agar kau kembali ke perguruan tanpa memikirkan tentang Pedang Jimat Lanang lagi. Nyai Mantera Dewi merasa menyesal menceritakan tentang Pedang Jimat Lanang itu kepada murid-muridnya, sehingga salah satu murid ada yang nekat tinggalkan perguruan untuk memburu pedang itu. Nyai Mantera Dewi sangat rindu padamu. Dia berharap kau segera kembali dan menemuinya, tak peduli kau membawa pedang pusaka itu ataupun tidak."

"Guru... rindu padaku?" gumamnya dengan wajah mengenang haru.

"Tapi aku yakin gurumu pasti bangga sekali melihat kau pulang sambil membawa Pedang Jimat Lanang itu."

"Tapi... soal kutuk itu bagaimana?"

"Aku tak tahu benar atau tidak kutuk itu, tapi aku dengar sendiri Nyai Mantera Dewi menceritakannya kepadaku, bahwa Pedang Jimat Lanang mempunyai kutuk yang akan menyerang pemiliknya sendiri; Pertama, pemilik Pedang Jimat Lanang akan mengalami cacat wajah setelah tujuh hari memiliki pedang tersebut. Kedua, pedang itu akan membuat pemiliknya dibenci oleh lawan jenisnya dan sampai tua tak akan pernah ada yang mau menjadi pendampingnya. Ketiga, pedang itu akan membuat pemiliknya melakukan pembunuhan secara tak sadar kepada orang-orang yang dicintainya; entah ayah, ibu, saudara, kekasih, gurunya, atau sahabat-sahabat dekatnya."

Wajah Gadis Linglung menjadi tegang. Ia bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri, "Jadi... aku akan mengalami cacat wajah? Aku akan tidak cantik lagi? Ooh... aku tidak mau. Nanti Pendekar Rajawali Merah semakin benci padaku. Padahal aku suka sekali padanya dan berharap dia mau menerima hatiku. Dan... aku tidak akan laku kawin seumur hidup? Oh, itu mengerikan. Itu berarti aku tak punya harapan bisa berdampingan dengan Pendekar Rajawali Merah? Lalu… lalu aku akan membunuh orang-orang yang kucintai? Apakah termasuk pendekar tampan itu? Oh jangan! Aku tidak mau dia mati sebelum aku berhasil memilikinya. Aku tidak mau membunuh dia...!"

Membayangkan hal itu, bibir Gadis Linglung yang mungil menggairahkan itu menjadi gemetar. Ia segera berkata kepada Raja Tipu, "Benarkah guruku mengatakan tentang kutukan itu padamu?"

"Sebaiknya temui saja gurumu dan tunjukkan pedang itu, maka ia akan bercerita tentang kutukannya. Itu pun kalau sempat, siapa tahu kutukan itu sudah mulai berlaku sejak hari ini dan kau, bisa membunuh gurumu sendiri dengan alasan perselisihan se-kecil apa pun."

"Oh, tidak! Aku tidak mau membunuh Guru!" Gadis Linglung geleng-geleng kepala dengan wajah mencerminkan kengerian. Lalu la berkata, "Aku tidak mau memegang pedang pusaka ini. Kupikir pedang ini tak mempunyai kutukan apa-apa. Kalau aku tahu ada kutukan seperti itu, aku tak mau memburu pedang ini," Gadis Linglung memandangi pedang tersebut dan segera diangkat ke depan dengan gemetar.

"Setiap keuntungan selalu punya kerugian. Keuntungan uang, kerugiannya pada waktu, yaitu kita membuang waktu untuk mencari uang, dan membuang tenaga untuk dapatkan uang. Kurasa itu sudah jamak."

"Tidak, tidak! Aku tidak mau kerugian yang sampai seperti kutukan itu. Oh, Raja Tipu... tolong bantu aku mengatasi masalah ini."

"Begini saja...," kata Raja Tipu dengan tenang. "Kalau memang kau tidak mau memiliki pedang itu, jangan kau buang sembarangan. Lebih baik kau manfaatkan untuk mencelakakan musuhmu!"

"Maksudmu bagaimana?"

"Berikan pedang itu kepada musuhmu atau orang terkuat yang ingin kau lumpuhkan hidupnya! Dengan begitu, kutukan tersebut berlaku untuk orang itu. Bukan untuk dirimu"'

"Musuhku...? Orang terkuat...?" gumam Gadis Linglung dalam berpikir tentang musuh yang diang-gapnya orang kuat.

"Bagaimana kalau kusarankan untuk memberikan pedang itu kepada Iblis Mata Genit?! Menurutku dia orang kuat dan pernah menyerang gurumu ketika aku masih menjadi pelayannya. Dia muda dan cantik, bisa-bisa kau punya kekasih di rebutnya dengan licik."

"Benar...!" gumam Gadis Linglung dengan bersemangat. "Benar apa katamu! Iblis Mata Genit pernah membuat Guru hampir tewas. Dan waktu dia berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah, tampaknya dia terkesima dengan ketampanan pendekar itu. Dia naksir pendekar itu. Pasti dia berusaha memperdaya Pendekar Rajawali Merah agar jatuh dalam pelukannya. Dan jika sudah begitu, tinggallah aku yang merana disiksa luka hati. Kurasa Iblis Mata Genit lebih berat dikalahkan ketimbang Pendekar Rajawali Putih. Tapi... bagaimana caranya, Raja Tipu? Pasti Iblis Mata Genit akan curiga jika aku datang padanya dan menyerahkan pedang pusaka ini. Bisa-bisa dia tahu kekuatan kutuk pada pedang ini dan menolak pemberianku. Sebab aku. termasuk musuhnya!"

"Kalau begitu, aku akan menolongmu. Akan kuserahkan pedang itu dengan berlagak minta upah sejumlah uang padanya, dan aku harus pura-pura tidak tahu bahwa pedang itu pedang pusaka. Tapi... kau pun harus menolongku, Gadis Linglung. Aku ingin bekerja dan mengabdi pada Nyai Mantera Dewi. Kau harus bisa mengusahakan agar aku diterima menjadi pelayan beliau!"

"Aku setuju! Itu pekerjaan yang paling mudah. Sekarang bawalah pedang ini dan berikan kepada Iblis Mata Genit!"

Maka, pedang itu pun diserahkan kepada Raja Tipu, kemudian Raja Tipu segera pergi tinggalkan Gadis Linglung.

SEMBILAN

GADIS Linglung duduk termenung di bawah pohon. Terbayang dalam benaknya jika kutukan-kutukan itu terjadi dan menimpanya. Gadis Linglung merinding sendiri membayangkannya. Tapi terlintas pula dalam pikirannya sebuah pertanyaan,

“Bagaimana jika kata-kata Raja Tipu itu bohong belaka?”

Gadis Linglung ingat bahwa Raja Tipu pernah datang ke perguruannya dan melamar menjadi pelayan Nyai Mantera Dewi. Tapi lamarannya ditolak karena Raja Tipu bersikap kurang sopan terhadap murid-murid Perguruan Camar Sakti yang terdiri dari perempuan semua itu. Mungkin saja Raja Tipu mengetahui nama asli Gadis Linglung dari cara Nyai Mantera Dewi memanggil Gadis Linglung yang lebih sering menggunakan nama aslinya daripada nama julukannya.

Dalam kegundahan hati Gadis Linglung, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan Pendekar Rajawali Merah, Tua Usil, dan Bocah Bodoh. Gadis Linglung hanya terperanjat, namun segera lega hatinya sebab dia punya tempat mengadu dan meminta penjelasan kepada Cola Colo.

Ketika mereka bertiga mendekatinya, Gadis Linglung masih duduk, namun wajahnya terdongak dan menatap ketampanan Pendekar Rajawali Merah. Ia sempat mengagumi sejenak wajah itu di dalam hatinya. Kemudian ia segera bangkit berdiri setelah Yoga berkata,

“Gadis Linglung, ku mohon dengan damai, serahkan pedang pusaka itu kepada Bocah Bodoh. Karena dialah pemilik dan pewarisnya. Bukan kau, Gadis Linglung. Jangan membuat sengketa antara dirimu dengan Ibunya Bocah Bodoh ini!”

Gadis Linglung menarik napas, lalu berkata, “Sebelumnya aku mohon kejujuran Bocah Bodoh untuk menjawab pertanyaanku, benarkah pedang pusaka itu mempunyai kutukan?”

Yoga memandang Bocah Bodoh sebagai tanda Bocah Bodoh disuruh menjawab. Tapi Bocah Bodoh justru tampak heran serta bingung. Ia berkata dengan dahi berkerut tajam, ”Kutukan…?! Ibu tidak pernah bilang ada kutukan di dalam Pedang Jimat Lanang. Kurasa tak ada kutukan apa-apa.”

“Benar, tak ada kekuatan kutuk sampai tiga kali?!”

“Apa maksudmu bertanya begitu?” sela Yoga dengan mulai curiga, karena kali ini firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tak beres. Apalagi ia tidak melihat Gadis Linglung membawa pedang pusaka itu.

“Aku bertemu Raja Tipu, dia menceritakan tentang kutukan. Katanya, ada tiga kutukan di dalam pedang pusaka itu yang akan mencelakakan pemiliknya!”

“Lalu, sekarang pedang itu ada dimana?” tanya Yoga.

“Ku serahkan padanya. Biar diberikan kepada Iblis Mata Genit. Supaya malapetaka dari kutukan itu menimpa diri Iblis Mata Genit.”

"Tolol…!” sentak Tua Usil seketika itu pula, sedangkan Yoga dan Bocah Bodoh saling pandang dalam kecemasan. Tua Usil berkata, “Dasar gadis tolol! Sudah tahu raja tipu masih dipercaya juga kata-katanya. Nama Raja Tipu itu kerjanya ya menipu!”

Bocah Bodoh menimpali, “Kalau kerjanya tidak menipu, namanya bukan Raja Tipu! Dan lagi, kalau pedang itu punya kutukan, pasti Ibu tidak suruh aku ambil pedang itu! Pasti Ibu akan biarkan pedang itu dimiliki oleh Bibi Rajang Demit!”

“Huuhhh…! Tolol kok dipelihara!” geram Tua Usil.

“Habis dia membawa-bawa nama guruku!” kata Gadis Linglung sambil mau menangis.

Bocah Bodoh menyahut, “Mau membawa-bawa gurumu atau membawa-bawa batu kek, namanya menipu ya tetap saja menipu. Makanya kamu jadi gadis jangan tolol-tolol amat! Bisa-bisa bukan pusaka dan pedangmu saja yang dibawanya lari, kepalamu pun bisa dibawa lari! Huuhh…!”

Gadis Linglung akhirnya menangis dibentak Tua Usil dan Bocah Bodoh secara berganti-gantian. Ia tak bisa menyangkal kecaman kedua orang itu, karena ia merasa bersalah. Ia jadi sangat malu di depan Pendekar Rajawali Merah kelihatan kebodohannya. Hal yang sangat membuatnya menangis adalah rasa penyesalan yang seumur hidup baru sekarang membekas di hati sanubarinya.

Tua Usil berbisik kepada Yoga yang sejak tadi diam saja Itu, “Bahaya, Tuan Yo. Kalau pedang itu benar-benar jatuh ke tangan Iblis Mata Genit, pasti dia akan memburu Nona Li dan membunuhnya memakai pedang tersebut!”

“Pulanglah, Tua Usil. Kurasa Lili sudah selesai dari semadinya. Beritahukan padanya tentang bahaya ini, supaya dia punya persiapan jika harus berhadapan dengan Iblis Mata Genit. Aku akan mengejar Raja Tipu dan berusaha merebut pedang itu sebelum jatuh di tangan Iblis Mata Genit.”

Bocah Bodoh berseru kepada Gadis Linglung dengan rasa kecewanya, “Akan kuadukan kau kepada Ibu! Kuadukan kau sebagai orang yang menghilangkan pedang pusaka itu! Biar nanti Ibu yang menghajarmu habis-habisan jika kau datang ke rumahku!”

Bocah Bodoh segera bergegas pergi dengan w-jah cemberut. Yoga berseru dari tempatnya, “Hei, mau ke mana kau?”

“Saya mau pulang, Tuan Yo! Saya mau mengadu kepada Ibu, biar Gadis Linglung itu dihajarnya!”

“Tunggu dulu, Bocah Bodoh!”

"Tidak. Saya tidak mau bersama gadis tolol itu! Saya mau pulang! Saya mau minta bantuan Ibu untuk menghajar gadis itu!”

Bocah Bodoh segera lari meninggalkan tempat itu. Yoga ingin mengejarnya, tapi pada waktu itu ia melihat Gadis Linglung mencabut pedangnya sendiri dari pinggang, lalu menusukkannya ke ulu hati.

Wuuttt..! Plaakkk…!

Yoga bertindak dengan cepat sebelum Gadis Linglung lakukan bunuh diri. Tangan yang memegangi pedang itu segera ditendang dari samping hingga pedang terpental, dan gadis itu pun terpental juga karena angin tendangan Yoga, ia cepat bangkit dan melompat mencapai pedangnya sambil menangis.

Tapi, Yoga segera menendang kaki Gadis Linglung, sehingga gerakkannya terhambat. Lalu, sebuah lompatan membuat Yoga mencapai pedang tersebut dan menendang gagangnya dengan gerakkan kaki ke belakang. Tumit Yoga mengenai ujung gagang pedang,

Deesss…! Wuuttt…! Pedang melayang cepat, menancap di sebatang pohon. Jraabb…!

“Biarkan aku mati!” teriak Gadis Linglung. Ia ingin mengambil pedang itu, namun dihalangi oleh Yoga. Mereka main desak-desakan, saling dorong-mendorong, sampai akhirnya Yoga meraih tubuh Gadis Linglung, menahannya agar gadis itu tak mengambil pedangnya untuk bunuh diri. Tanpa disadari cara menahan itu telah membuat Yoga memeluk gadis tersebut. Sang gadis segera diam dalam pelukan, namun tangis penyesalannya kian membanjir di dada bidang sang pendekar.

“Percuma kau bunuh diri, kau tak akan menyelamatkan Pedang Jimat Lanang itu. Hal yang lebih baik kau lakukan adalah mengejar Raja Tipu dan mencegah agar pedang itu jangan jatuh ke tangan orang sesat seperti Iblis Mata Genit!” kata Yoga sambil memeluk Gadis Linglung.

Sang Gadis semakin terisak-isak, entah sengaja dibuat lama dalam tangisnya atau memang dicekam kesedihan yang luar biasa atas penyesalannya itu, yang jelas Yoga segera mendengar Tua Usil berkata dalam nada sindiran,

“Mudah-mudahan Nona Li tidak lewat di sekitar sini, sehingga tidak melihat kemesraan ini….”

“Ini bukan kemesraan, Bodoh!” geram Yoga dengan mata melirik tajam. “Lekas kerjakan perintahku tadi!”

“O, iya. Hampir lupa. Maaf, Tuan. He he he…!” Tua Usil cengar-cengir sambil pergi tinggalkan tempat itu untuk temui Lili.

Sementara itu, Yoga mencoba membujuk Gadis Linglung yang disekap tangis penyesalan itu agar tidak mudah putus asa dan harus berani bertanggung jawab terhadap apa pun kesalahan yang dilakukannya. Salah satu rasa tanggung jawab yang dituntut adalah mencegah pedang pusaka itu agar jangan jatuh ke tangan Iblis Mata Genit. Maka, Gadis Linglung pun akhirnya setuju ketika Yoga mengajaknya mengejar Raja Tipu yang menurutnya lari ke arah timur.

Mereka menyangka Raja Tipu sudah mendekati Bukit Kematian, tempat kediaman Iblis Mata Genit. Padahal perjalanan itu ternyata tak semudah dugaan mereka, juga tak semudah dugaan Raja Tipu. Di perjalanan, Raja Tipu bertemu dengan Nyai Rajang Demit yang baru saja lakukan penyembuhan terhadap lukanya di bawah air terjun Gerojogan Gaib. Curahan air terjun itu mempunyai khasiat penyembuhan terhadap luka dalam yang tidak mengandung racun.

Nyai Rajang Demit sempat terperanjat melihat Raja Tipu memegang pedang berwarna merah beludru dengan hiasan lis emas berukir. Ciri-ciri pedang itu segera dikenali oleh Nyai Rajang Demit. Maka, ia pun mencegat jalannya Raja Tipu dan segera berkata dengan mata angkernya menatap dengan tajam,

“Raja Tipu..! Rupanya kaulah orangnya yang berhasil memperoleh Pedang Jimat Lanang itu?!”

Raja Tipu cepat tanggap terhadap bahaya yang mengancam, sebab ia tahu siapa Nyai Rajang Demit itu; adik tiri Nyai Sembur Maut yang sering ribut sendiri mencari Pedang Jimat Lanang. Maka Raja Tipu segera berkata, “Aku tak paham dengan maksudmu, Nyai Rajang Demit!”

“Jangan berlagak bodoh! Kau membawa pedang pusaka guruku!”

“O, ini pedang hiasan saja! Aku sedang berusaha menjebak seseorang agar jatuh cinta kepadaku, Nyai. Aku membuat pedang tiruan ini, karena orang yang kucintai itu tak pernah mau peduli dengan diriku, selain memikirkan soal Pedang Jimat Lanang terus-terusan. Ini hanya pedang main-main, Nyai. Tapi kalau kau menginginkannya, silakan ambil! Aku bisa membuatnya lagi!”

Nyai Rajang Demit diam sesaat, mempertimbangkan ucapan Raja Tipu. Rupanya ia menjadi bimbang juga. Padahal pedang sudah diulurkan oleh Raja Tipu, tapi Nyai Rajang Demit merasa malu jika ia sampai tertipu. Karenanya ia tak mau buru-buru mengambilnya, walaupun Raja Tipu semakin mendekatkan pedang itu dan berkata,

“Ambillah, Nyai! Aku rela menyerahkannya kepada mu. Buatku membikin pedang tiruan bukan pekerjaan yang sulit.”

“Dari mana kau tahu ciri-ciri pedang tersebut?”

“Nyai Sembur Maut yang menceritakannya padaku.”

“Sembur Maut memang keparat!” geram Nyai Rajang Demit. Kemudian bertanya kembali. “Siapa gadis yang kau maksud ingin kau tipu dengan pedang palsu itu?”

“Gadis Linglung. Kurasa kau kenal. Dia murid Perguruan Camar Sakti, anak asuhnya Nyai Mantera Dewi.”

“Hmmm… ya, ya… aku kenal gadis itu.”

Raja Tipu tersenyum malu, “Aku sangat mencintainya, Nyai. Tapi dia lebih mencintai Pedang Jimat Lanang. Maka kubuat saja tiruannya ini. Dengan begitu, ia mau membalas cintaku jika Pedang Jimat Lanang seolah-olah kuserahkan kepadanya!”

Semakin bimbang hati Nyai Rajang Demit, karena Raja Tipu tampak tenang dan bersungguh-sungguh dalam pengucapannya. Bahkan Raja Tipu kembali berkata, “Supaya Nyai Rajang Demit tidak memusuhi ku, ambil sajalah pedang tiruan ini. Tak perlu mahal-mahal, hanya lima sikal saja harganya!” Raja Tipu nyengir malu sambil mengulurkan pedang itu. Tambahnya lagi, “Yaaah… buat pengganti ongkos beli bahan-bahannya saja, Nyai.”

Padahal diam-diam hati Raja Tipu berdebar-debar cemas. Dan pada saat Nyai Rajang Demit mengambil pedang itu, hati Raja Tipu berdesir tinggi, tubuhnya terasa lemas, batinnya berkata, “Yaaah… nasib! Amblas sudah kalau ada di tangannya…! Tapi mudah-mudahan dia menganggap pedang itu adalah pedang tiruan…”

Nyai Rajang Demit segera mencabut pedang tersebut. Zlaappp…! Ternyata ada percikan bunga api yang bergerak mengelilingi tepian pedang, lalu menghilang. Melihat tanda-tanda itu, Nyai Rajang Demit tersenyum girang dan berkata, “Kau tak bisa menipuku, Monyet! Ini memang Pedang Jimat Lanang yang asli! Heh he he he…!”

“Ya sudahlah kalau tak percaya…!” Raja Tipu bersungut-sungut sambil berjalan meninggalkan Nyai Rajang Demit tanpa ada perlawanan maupun usaha merebutnya. Hal itu dilakukan oleh Raja Tipu karena ia tahu, berusaha merebut pedang pusaka itu sama saja menyerahkan nyawa sia-sia kepada tokoh sesat itu. Tak ditebas pedang saja sudah untung, apalagi mau merebutnya segala. Maka langkah Raja Tipu pun semakin lama semakin dipercepat. Takut bayangannya dijadikan percobaan pedang tersebut.

Namun tiba-tiba Raja Tipu melihat dua sosok manusia berkelebat ke arahnya. Raja Tipu cepat bersembunyi, dan melihat jelas Gadis Linglung bersama pendekar tampan bertangan buntung yang tak lain adalah Yoga itu. Keduanya segera bergegas menemui Nyai Rajang Demit yang kala itu sedang memasukkan pedang pusaka ke sarungnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Rajang Demit!” seru Gadis Linglung yang membuat suara tawa perempuan tua itu terhenti. Matanya memandang pada Gadis Linglung dan Yoga dengan tajam. Gadis Linglung berseru lagi, “Serahkan pedang itu! Kau pasti memperolehnya dari Raja Tipu!”

“Heh…!” Nyai Rajang Demit tersenyum sinis. "Tak seorang pun kuizinkan memegang pedang ini!” Ia mengacungkan pedang yang digenggamnya kuat-kuat memakai tangan kirinya.

“Kau bukan pemiliknya! Kau bukan pewarisnya! Kembalikan pedang itu kepada pewarisnya!” sentak Gadis Linglung dengan berani. “Jika kau tak mau menyerahkan, kau akan menemui ajal sekarang juga!”

Srrettt…! Gadis Linglung mencabut pedangnya sendiri. Tapi Demit Rajang hanya tersenyum sinis dan berkata, “Rebutlah…!”

“Haaat…!” Gadis Linglung maju menyerang. Yoga membiarkannya dulu, karena menurutnya jika Gadis Linglung bisa kalahkan Nyai Rajang Demit, mengapa ia harus ikut turun tangan segala?

Tapi pada saat pedang di tangan Gadis Linglung berkelebat menebas dada Nyai Rajang Demit, perempuan tua Itu memutar tubuhnya sambil berjongkok, lalu setelah pedang lewat dl kepalanya, ia bangkit dan menghantamkan pukulan tangan kanannya ke rusuk Gadis Linglung.

Buuhgg…! Krrakkk…!

Terdengar suara tulang patah oleh telinga Gadis Linglung. Gadis itu pun terpental jauh dan berguling-guling dengan semburkan darah dari mulutnya. Ia jatuh terkapar dalam jarak lima tombak lebih dari tempatnya terlempar.

Melihat Nyai Rajang Demit keluarkan jurus andalannya, Yoga tak mau buang-buang waktu, di samping ia sudah bosan bertarung dengan Nyai Rajang Demit. Maka, dengan cepat Pendekar Rajawali Merah cabut pedangnya dari punggung.

Blegaarrr…! Guntur menggelegar di angkasa siang, sebagai tanda dicabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya. Pedang yang menyala merah bening berpijar-pijar di ujung gagangnya terhadap ukiran dua kepala burung yang saling bertolak belakang itu segera ditebaskan ke depan, dari atas ke bawah. Pada waktu itu, Nyai Rajang Demit tidak memperhitungkan kehebatan Pedang Lidah Guntur itu. Ia langsung saja menerjang dengan tangan kanannya membentur cakar yang memancarkan cahaya merah bara.

“Mampus kau, Bangsaaat…!” teriaknya sambil menyerang.

Claappp..! Sinar merah keluar dari ujung pedang Yoga ketika pedang itu ditebaskan dari atas ke bawah. Sinar tersebut segera mengenai pangkal pundak kiri Nyai Rajang Demit. Craaasss ..! Dan tubuh perempuan itu masih tetap meluncur ke arah Yoga, sehingga Yoga segera melesat naik ke atas dengan satu sentakan kaki ke tanah.

Wuusss!

Kaki Yoga menendang kepala nenek tua itu setelah nenek tua tak berhasil hantamkan pukulannya ke tubuh Yoga. Daahhg…! Wuusss…! Tubuh Nyai Rajang Demit terlempar dan berguling-guling akibat tendangan tersebut. Ia menggeram di sana, dan segera bangkit kembali.

“Hahh…?!” Nyai Rajang Demit terperanjat kaget bukan kepalang. Tangan kirinya ternyata telah buntung akibat tebasan sinar merah dari pedangnya Yoga tadi. Potongan tangannya jatuh di tanah dan masih menggenggam Pedang Jimat Lanang. Rupanya tebasan yang memotong tangan itu tidak terasa sakit dan tidak keluarkan darah sedikit pun. Itulah kehebatan Pedang Lidah Guntur.

Pendekar Rajawali Merah segera melompat memburu lawannya yang masih terperangah kaget itu, kemudian dengan cepat ia kibaskan kembali pedangnya dan kiri ke kanan dalam jarak satu tombak di de-pan lawannya. Claap…! Sinar merah terlepas lagi, berkelebat memotong tubuh Nyai Rajang Demit. Craasss…! Dalam sekejap, tubuh itu pun berhasil terpotong miring menjadi dua bagian. Mata perempuan itu mendelik tak berkedip ketika jatuh ke tanah dan tak bernyawa lagi.

Wuuuttt…! Rupanya Raja Tipu segera memanfaatkan kesempatan itu dengan muncul dari persembunyiannya dan segera menyambar potongan tangan Nyai Rajang Demit yang masih menggenggam Pedang Jimat Lanang itu. Raja Tipu segera membawa lari potongan tangan tersebut dengan terburu-buru, sehingga tak sempat lepaskan pedang pusaka dari genggaman tangan yang terpotong itu.

“Hai…! Berhenti…!” teriak Yoga, lalu segera berkelebat menggunakan kecepatan Jurus Langkah Bayu-nya. Zlaappp…! Wuuttt…! Pedang itu berhasil disambarnya dan Yoga tetap terus bergerak lari memutar arah kembali ke tempat untuk menolong Gadis Linglung. Sementara itu, Raja Tipu tak menyadari bahwa Pedang Jimat Lanang sudah tidak ada dalam genggaman tangan yang terpotong itu. Ia tetap berlari sambil mendekap tangan Nyai Rajang Demit. Semakin lama semakin dipercepat larinya, karena takut terkejar lawan.

Gadis Linglung mengalami luka hangus di dada dekat perut. Wajahnya biru legam dan nyaris tak bisa bernapas lagi. Kemudian Yoga bergegas sembuhkan gadis itu dengan menggunakan ilmu 'Tapak Serap', menempelkan telapak tangannya pada bagian yang luka, menyerap segala luka dan rasa sakit lalu menukarnya dengan hawa murni.

Gadis Linglung segera tersenyum setelah rasa sakitnya berkurang. Yoga pun menyunggingkan senyumannya yang menawan dan mendebarkan hati ga-dis itu Kemudian, Gadis Linglung segera berkata, “Tak salah kalau aku mengagumimu.”

“Lupakan dulu rasa kagummu. Kau mau ikut antarkan Pedang Jimat Lanang ini kepada Nyai Sembur Maut?!”

Gadis Linglung melirik pedang itu dengan senang, senyumnya kian mekar. Matanya berkedip-kedip bagai boneka cantik, Kemudian ia anggukkan kepala seraya bilang, “Kau mau ajak aku ke mana saja, aku akan ikut! Ke neraka pun aku pasti ikut.”

“Ke neraka, aku tak mau ikut,” kata Yoga sambil hamburkan tawa seperti orang menggumam.

Sementara itu, Raja Tipu akhirnya berhasil juga bertemu dengan Iblis Mata Genit yang rupanya sudah bisa kuasai sakitnya akibat serangan Yoga di Lembah Maut. Kini ia sudah bertemu dengan Gandul dan Brata, yang pada mulanya berlari menyebar arah sewaktu mengejar Tua Usil.

Raja Tipu segera berkata, “Nyai… saya dapatkan Pedang Jimat Lanang! Saya akan serahkan kepada Nyai, tapi saya mohon diterima kembali sebagai pelayan setia Nyai Iblis Mata Genit…!”

Iblis Mata Genit menyipitkan mata dan merasa heran, demikian pula Gandul dan Brata. Lalu, Iblis Mata Genit bertanya, “Mana pedang itu?”

“Ini, Nyai...!” Raja Tipu menyodorkan potongan tangan milik Nyai Rajang Demit. “Nyai Rajang Demit berhasil merampas pedang tersebut. Lalu bertarung dengan Pendekar Rajawali Merah, dan tangannya berhasil dipotong. Tapi karena potongan tangan ini masih menggenggam pedang dan saya tak sempat… tak sempat…!” ucapan Raja Tipu terhenti. Karena sejak tadi ia berkata sambil memandang wajah Iblis Mata Genit, sehingga ketika memperhatikan potongan tangan yang sudah tidak menggenggam pedang lagi itu, ia segera terkejut dan terbengong.

“Lho…?! Lho…?!” wajahnya celingak-celinguk mencari pedang.

“Mana pedang pusaka itu, hah?!” hardik Iblis Mata Genit yang tampak jauh lebih muda dari Raja Tipu itu.

Menyadari pedang pusaka sudah hilang dari potongan tangan, maka sebagai penutup rasa malu, Raja Tipu pun berkata, “Pedang Jimat Lanang adalah pedang yang teramat sakti, Nyai! Dia bisa melebur menjadi satu dengan potongan tangan ini. Tapi dengan sentakkan tenaga dalam, pedang itu bisa keluar lagi dari potongan tangan ini, Nyai!” sambil potongan tangan yang panjangnya dari pangkal pundak sampai telapak tangan itu diserahkan.

Iblis Mata Genit menerimanya, memperhatikan dan mengetahui bahwa tangan itu adalah tangannya Nyai Rajang Demit. Tapi ia yakin apa yang diucapkan Raja Tipu itu hanya bualan semata. Ia menahan kedongkolan hatinya, karena Raja Tipu masih berusaha berkata dengan bahasa dan gaya tipuannya,

“Kalau bukan pedang sakti, tak mungkin bisa melebur jadi satu dengan potongan tangan korbannya itu. Silahkan ambil, Nyai. Yang penting saya bisa diangkat menjadi…..”

Plokkk…!

Iblis Mata Genit menghentakkan potongan tangan itu kuat-kuat ke kepala Raja Tipu. Begitu kerasnya hantaman tersebut hingga membuat Raja Tipu jatuh terpelanting, matanya berkunang-kunang, makin lama pandangan matanya makin gelap, lalu ia tak sadarkan diri.

Brukkkk!

Iblis Mata Genit memandang Gandul dan Brata setelah membuang potongan tangan itu dan berkata, “Lupakan soal Pedang Jimat Lanang! Mulut Raja Tipu jauh lebih busuk dari kotoran. Kita jalan terus! Cari Pendekar Rajawali Putih yang bernama Lili itu sampai dapat!”

Mereka pun melangkahi tubuh Raja Tipu yang terkapar pingsan itu. Kalau saja ia dengar ucapan Iblis Mata Genit, maka ia akan bertanya dalam hati: mampukah Iblis Mata Genit temukan Pendekar Rajawali Putih dan bisakah ia membunuhnya? Sampaikah Pedang Jimat Lanang ke tangan Nyai Sembur Maut, jika Gadis Linglung bersama Yoga?

SELESAI
Kisah selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.