Pedang Awan Merah Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 02
MELIHAT sebuah kuil tua di tepi jalan di luar dusun, dia segera masuk ke kuil itu. Ternyata kuil itu kosong dan dia segera mengumpulkan kayu dan daun kering membuat api unggun di ruangan tengah kuil itu yang atapnya sudah berlubang besar. Tubuhnya terasa hangat dan api itu mengusir nyamuk. Dia membersihkan lantai dengan ranting berdaun, kemudian merebahkan diri mengusir lelah sampai dia tertidur.

Pada keesokan harinya, setelah membersihkan badannya di anak sungai yang airnya jernih, tak jauh dari kuil tua, Han Lin memasuki dusun. Tidak sukar baginya mencari tahu di mana rumahnya Ouw Ji Sun.

“Ah, rumah Ouw-siucai? Tuh, di ujung timur dusun,” kata seorang yang dia tanyai.

Dusun itu kecil saja, dan sunyi sehingga amat mengherankan mengapa seorang pria yang disebut siucai (pelajar) tinggal di tempat sesunyi itu. Rumah di ujung itupun terpencil, agak jauh dari tetangga. Ketika Han Lin menghampiri rumah itu, dia mendengar suara gerakan orang bersilat yang datangnya dari belakang rumah itu, dia cepat menghampiri perlahan-lahan dan melihat seorang pria sedang berlatih silat seorang diri.

Orang itu mempergunakan senjata yang aneh, yaitu sebatang mouw-pit (Pena Bulu) bergagang panjang. Dia memperhatikan dan merasa yakin bahwa inilah orangnya yang dicarinya. Usianya sekitar empat puluh lima tahun, wajahnya halus tanpa umis dan jenggot, bentuk wajahnya bulat dan terang, matanya sipit namun cukup lebar dan daun telinganya besar. Wajah yang cukup tampan dan perawakannya gagah, tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian sasterawan yang berlengan lebar.

Han Lin lalu memperhatikan gerakan silat orang itu. Ilmu silatnya jelas bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi sudah bercampur dengan aliran lain. Hanya dasar dan gerakan kakinya saja yang menunjukkan ilmu silat Siauw-lim-pai. Gerakannya cukup gesit dan tusukan mouw-pit itu juga mengandung tenaga.

Han Lin membuat perbandingan dan tahulah dia bahwa Sim Ling Si tidak membual. Pria ini tidak akan pernah menang kalau bertanding melawan wanita itu, seperti juga wanita itu tidak akan pernah menang kalau mengadu ilmu pengetahuan. Sebagai seorang siucai, tentu saja dia menimba banyak ilmu pengetahuan dari buku.

Setelah orang itu selesai dan menghentikan gerakan silatnya, Han Lin bertepuk tangan memuji. “Ilmu silat yang bagus sekali!”

Orang itu membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya berada di situ memuji permainan silatnya, dia agak tersipu. “Aih, sobat muda. Aku baru belajar dan ilmu silatku masih rendah, bagaimana engkau memujinya? Belum berharga untuk dipuji.”

Mendengar ucapan itu dan melihat sikapnya, Han Lin merasa senang. Orang tinggi besar yang lembut ini ternyata seorang yang rendah hati, bukan dibuat-buat. Dia sengaja menyerang dengan kata-kata untuk menjajagi watak orang itu. “Engkau benar, bagaimanapun juga, ilmu silatmu tidak akan pernah menang dibandingkan ilmu silat nona Sim Ling Si.”

Pria itu terbelalak, kaget dan heran, akan tetapi tidak menjadi marah seperti yang diduga Han Lin. “Engkau mengenal Sim Ling Si? Dan apa yang kau ketahui tentang ia?” tanyanya heran sekali.

Han Lin tersenyum. Hatinya senang karena kalau orang ini berwatak buruk tentu sudah marah sekali mendengar ucapannya tadi. “Aku tahu bahwa kalau nona Sim Ling Si tidak dapat menebak teka-tekimu itu, dalam waktu tiga bulan lagi ia harus menerima pinanganmu. Akan tetapi kalau ia bisa menebak, engkau harus mengalahkannya dalam ilmu silat. Seperti yang kusaksikan tadi, jangankan tiga bulan lagi, biar engkau belajar tiga tahun lagipun engkau tidak akan menang melawannya, Ouw-toako.”

“Sobat muda, apakah engkau datang atas suruhan Sim Ling Si untuk mengejek aku?” Ouw Ji Sun mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau bisa mengetahui namaku?”

“Sama sekali tidak, Ouw-toako. Aku tidak diutus oleh enci Ling Si, melainkan datang atas kehendakku sendiri. Engkau yang bernama Ouw Ji Sun, siucai yang meminang enci Ling Si dan memberinya soal hitungan dan catur, bukan?”

Ouw Ji Sun semakin heran. “Semua itu benar, sobat muda. Siapakah engkau dan apa sebenarnya maksud kedatanganmu?”

“Namaku Sia Han Lin dan kunjunganku ini tidak lain dengan niat untuk menolongmu dalam perjodohanmu dengan nona Sim Ling Si.”

Ouw Ji Sun tertegun lalu tergopoh mempersilakan. “Kalau begitu, sebaiknya kita bicara saja di dalam, Sia-te (Adik Sia),” katanya.

Han Lin mengangguk dan mengikuti orang itu memasuki rumah dari pintu belakang. Melihat rumah itu cukup rapi dan sepi, Han Lin bertanya. “Apakah rumah ini kosong, tidak ada orang lain selain engkau, toako?”

“Benar, aku hidup seorang diri dan sebatang kara. Semenjak isteriku menigngal dunia lima tahun yang lalu tanpa meninggalkan anak, aku hidup seorang diri di dusun sunyi ini, mengajarkan ilmu membaca menulis kepada anak-anak di sini untuk mengisi waktu luangku. Mari silakan duduk, Sia-te.”

Mereka duduk di ruangan dalan, dan Ouw Ji Sun menyuguhkan sepoci teh. Setelah menuangkan teh pahit dan diminum tamunya, Ouw Ji Sun berkata, “Nah, sekarang ceritakanlah apa dan bagaimana engkau hendak menolongku.”

“Kalau aku tidak salah sangka, engkau sengaja memberikan dua soal yang sulit itu kepada enci Ling Si dengan maksud agar selama setengah tahun ini engkau mempunyai kesempatan untuk melatih ilmu silatmu agar di saat kalian harus bertanding, engkau akan keluar sebagai pemenang. Benarkah demikian?”

Wajah tuan rumah itu berubah merah. “Agaknya engkau sudah mengetahui semuanya dan dapat menduga maksud hatiku, Sia-te. Katakan mengapa engkau mencampuri urusan kami dan apa hubunganmu dengan Sim Ling Si?”

Han Lin menghela napas panjang. “Sebetulnya keterlibatanku dengan urusan kalian ini terjadi secara kebetulan saja, toako. Aku tersesat masuk ke dalam hutan bambu milik enci Ling Si...”

“Ahh...! Pertemuanku dengannya juga dimulai dengan aku terjebak ke dalam hutan bambu itu!”

“Kami berkenalan ketika aku melihat ia tekun menghadapi papan catur dan katanya sudah tiga bulan lamanya setiap malam ia menekuni papan catur untuk mencari jawabannya namun tidak juga bisa didapatkan.”

Ouw Ji Sun tersenyum. “Kasihan Ling Si. Aku memang sudah tahu bahwa wanita yang cerdik dan yang mampu membuat hutan bambu seperti itu, amat lemah dalam soal hitungan dan permainan catur. Karena itulah aku memberi soal catur dan hitungan agar ia pecahkan selama enam bulan. Lalu, bagaimana?”

“Aku memberi petunjuk kepadanya sehingga ia dapat memecahkan rahasia permainan catur itu dan menyelamatkan Raja Putih...”

“Ahh...! Sia-te, berarti engkau hendak mencelakakan aku. Dan hitungan itu...”

“Ia sudah memberitahukan kepadaku. Hitungan itupun tak dapat ia menjawabnya. Aku minta waktu tiga hari untuk memberikan jawabannya.”

“Tiga hari? Kurasa engkau akan mampu menjawab seketika.”

“Tentu saja, toako. Aku sengaja minta waktu tiga hari untuk berkunjung padamu dan mengenalmu.”

“Aih, Sia-te. Celakalah aku kalau begini. Ia akan mampu menjawab kedua persoalan itu tiga hari lagi, dan ia akan menangtangku, seperti sudah kami janjikan. Dan selama tiga bulan ini, ilmuku belum memperoleh banyak kemajuan, bagaimana aku dapat menang? Ah, harapanku akan musnah, pinanganku pasti ditolak karena selain ia mampu menjawab persoalan yang kuajukan, juga ia akan menang dalam pertandingan kami. Ahh...”

“Tenanglah, Ouw-toako. Karena aku sudah mengambil keputusan sekarang, setelah mengenalmu, untuk membantumu seperti yang kukatakan tadi.”

“Bagaimana engkau akan membantuku, Sia-te? Dengan tidak memberikan jawaban soal hitungan itu?”

“Bukan. Aku sudah berjanji, tentu harus kupenuhi. Jawaban itu akan kuberikan. Benarkah engkau mencintanya, toako?”

“Kalau aku tidak mencintanya, untuk apa aku meminangnya?”

“Kurasa ia tidak akan menolak, toako. Hanya, enci Ling Si memiliki keangkuhan. Ia ingin menjaga harga dirinya, maka ia ingin sekali menang dalam teka-teki itu. Kalau ia sudah dapat menjawab keduanya dan berarti menang dalam syarat itu, ia tentu tidak akan berkeras ingin menang pula dalam pertandingan silat.”

“Akan tetapi ilmu silatnya tinggi, sedangkan aku...”

“Selisihnya tidak banyak sekali, toako. Aku akan mengusahakan agar dalam pertandingan silat itu, engkau yang keluar sebagai pemenang.”

“Hemm, mungkinkah itu?” tanya Ouw Ji Sun dengan ragu. “Bagaimana caranya?”

“Mari kita ke belakang, aku ingin mengajakmu berlatih dan mencari jalan agar engkau menang. Bawa mouw-pitmu itu.”

Kini Han Lin mendahului bangkit dan keluar melalui pintu belakang, diikuti oleh Ouw Ji Sun yang merasa bimbang dan ragu. Akan tetapi melihat sikap Han Lin yang tegas seolah-olah akan mampu membantunya, timbul pula sedikit harapan di hatinya. Setelah berdiri saling berhadapan di kebun belakang, Han Lin berkata, “Sekarang seranglah aku dengan mouw-pitmu itu. Ingat, keluarkan semua kepandaian dan tenagamu dan jangan ragu-ragu menyerangku. Mulailah!”

Ouw Ji Sun menurut dan mulai dia menyerang. Mula-mula memang serangannya asal saja dan hanya dengan tenaga terbatas karena dia tidak ingin melukai pemuda itu yang belum diketahuinya apakah pemuda ini akan mampu mengatasi ilmu silatnya. Bagaimanapun juga, kalau hanya dibandingkan dengan guru silat kebanyakan, tingkatnya jauh lebih tinggi. Akan tetapi, alangkah kagumnya ketika dengan amat mudahnya pemuda itu mengelak, dan ketika dia mulai mendesaknya, dan pemuda itu menangkis, hampir saja mouw-pitnya terlepas dan dia terhuyung.

Kini maklumlah dia bahwa pemuda itu bukan sekedar membual dan dia menyrang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan sin-kang sekuatnya. Pemuda yang menggunakan tongkat bambu itu sama sekali tidak terdesak olehnya. Dengan jalan mengelak ke sana sini dan kadang saja menangkis, Han Lin dapat menghindarkan semua serangan sambil meneliti dan membandingkan ilmu silat Ouw Ji Sun dengan ilmu silat Sim Ling Si.

“Cukup, toako!” akhirnya dia berkata sambil melompat ke belakang.

“Hebat, ilmu silatmu dengan tongkat butut itu membuat aku sama sekali tidak berdaya. Nah, kau lihat sendiri betapa rendanya ilmu silatku, Sia-te. Bagaimana aku akan mampu menandingi Sim Ling Si?”

“Selisihnya sungguh tidak banyak. Seperti kukatakan tadi, enci Ling Si yang sudah menang dalam menjawab soal catur dan hitungan itu tentu tidak begitu bersemangat untuk mendapatkan kemenangan mutlak pula dalam ilmu silat. Aku akan melatihmu serangan-serangan yang tentu akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi biarpun hanya tiga jurus saja, harus kau kuasai benar-benar agar tidak sampai gagal. Dan serangkaian serangan ini baru boleh kau lakukan setelah kalian bertanding lewat tiga puluh jurus.”

“Wah, bagaimana kalau sebelum tiga puluh jurus aku telah dirobohkannya?”

“Jangan khawatir, aku akan membujuknya agar jangan merobohkan engkau sebelum tiga puluh jurus. Nah, perhatikan baik-baik, toako. Engkau memegang mouw-pit mu begini, lalu memasang kuda-kuda begini, melompat ke arah kirinya dan menyerang begini.”

Han Lin memberi petunjuk dengan mouw-pit, dituruti oleh Ouw Ji Sun dan demikianlah, mulai hari itu Han Lin mengajarkan tiga jurus gerakan silat yang sidah diperhitungkan tidak akan dapat dipertahankan oleh Sim Ling Si yang sudah dia kenal pula ilmu dan titik-titik kelemahannya. Selama tiga hari itu Ouw Ji Sun berlatih dengan tekun sementara Han Lin tinggal di rumah siucai tinggi besar itu.

Pada hari ketiga, Han Lin meninggalkan Ouw Ji Sun setelah yakin benar bahwa siucai itu sudah menguasai jurus-jurus barunya, dan dia pergi ke lereng tempat tinggal Sim Ling Si. Dia meloncati rumpun bambu pertama, kedua dan ketiga dan tibalah dia di depan pintu belakang rumah itu. Ternyata Sim Ling Si sudah menunggu di situ ternyata wanita itu sudah melihat dia datang dari luar hutan bambunya.

“Bagaimana, Han Lin? Sudahkah kaudapatkan...” tanyanya penuh harap.

Han Lin tersenyum. “Jangan khawatir, enci. Sudah kudapatkan dengan mudah sekali.”

“Cepat beritahukan padaku bagaimana menghitungnya!” kata wanita itu gembira dan ia menarik tangan Han Lin setengah berlari memasuki rumahnya. Mereka duduk menghadapi meja dan Ling Si sudah membawa catatan soal hitungan itu ke atas meja.

“Jawabannya begini, enci. Kedua macam binatang itu berbaur dalam kandang. Kaki kambing berjumlah empat, sedangkan kaki bebek berjumlah dua. Seluruh binatang itu kakinya ada dua ratus empat puluh enam dan kepalanya delapan puluh delapan, bukan? Nah, andaikata binatang itu kesemuanya kambing, maka kakinya akan berjumlah delapan puluh delapan kali empat, yaitu tiga ratus lima puluh dua. Padahal jumlah kakinya hanya dua ratus empat puluh enam, jadi selisihnya 352-246 sebanyak 106. Nah, selisih ini dibagi selisih antara kaki kedua binatang, yaitu 106:2 = 53. Nah, karena perumpamaan tadi kita ambil dari kambing, maka yang 53 ini adalah bebeknya. Dan tentu saja kambingnya adalah 88-53 = 35. Atau kalau ambil perhitungan dari bebek, andaikata semua bintang itu bebek, maka kepala yang 88 itu dikalikan 2, jadi 176. Nah, selisihnya jadi 246-176 = 70. Karena dihitung dari perumpamaan bebek, maka selisih yang 70 itu dibagi 2, sama dengan 35 dan itulah jumlah kambing.”

“Ah, begitu mudahnya!” Sim Ling Si terheran-heran akan tetapi juga girang sekali.

“Sebetulnya tidak ada persoalan sukar atau mudah, enci. Bagi yang belum tahu, tentu saja suatu persoalan dianggap sukar. Akan tetapi bagi yang sudah tahu, dianggap mudah. Juga tidak ada yang pandai atau bodoh karena yang sudah tahu tentu bisa, dan yang belum tahu tentu tidak bisa. Demikianlah keadaan di dunia ini, enci.”

“Kalau begitu, sekarang juga aku mau menemui Ouw Ji Sun! Akan kupecahkan dua soal yang dia ajukan itu sekarang juga, kemudian dia harus bertanding ilmu silat melayaniku!” Wanita itu nampak penuh semangat dan bergembira. “Engkau harus ikut, Han Lin. Engkau harus menjadi saksinya bahwa akulah yang menang!”

Dengan gembira seperti seorang gadis remaja ia memasuki kamarnya dan berdandan! Han Lin tersenyum saja lalu keluar dari pintu, mengagumi susunan hutan bambu yang aneh itu. Sukar dipercaya bahwa susunan rumpun bambu itu dapat membuat orang sesat dan tidak mampu keluar lagi kalau sudah terjebak di dalamnya.

Sampai agak lama juga dia menanti, baru Sim Ling Si muncul dan begitu melihat gadis itu, hati Han Lin merasa geli. Wanita itu mnegenakan pakaian baru, berbedak dan bergincu, rambutnya disisir dan digelung rapi. Seperti orang yang hendak bertemu pacarnya saja, bukan orang yang hendak pergi bertanding melawan musuhnya. Dan diapun semakin yakin bahwa diam-diam Sim Ling Si juga menaruh hati kepada Ouw Ji Sun.

“Mari kita berangkat!” kata Ling Si yang sudah membawa sepasang pedangnya. Ling Si menyusup ke dalam hutan bambu, diikuti oleh Han Lin. Ia berkeliling beberapa kali dengan belokan-belokan aneh dan tahu-tahu mereka telah berada di luar hutan bambu!

Setelah berada di luar hutan bambu, keduanya lalu menggunakan ilmu lari cepat menuruni lereng menuju ke dusun kecil yang terletak di sebelah utara itu. Penduduk dusun kecil itu terheran-heran melihat wanita cantik memasuki dusun mereka. Di antara mereka ada yang ingin tahu dan diam-diam mengikuti dari jauh ke mana wanita itu hendak pergi. Maka ketika Ling Si dan Han Lin tiba di depan rumah Ouw Ji Sun, ada beberapa orang yang melihatnya dan menonton dari jauh.

“Ouw Ji Sun, keluarlah! Aku datang untuk memenuhi syaratmu!” seru Ling Si dengan suara lantang.

Ketika daun pintu terbuka dan sasterawan tinggi besar itu muncul, untuk kedua kalinya Han Lin merasa geli. Juga Ouw Ji Sun memakai pakaian baru yang rapi, sama sekali bukan seperti orang yang hendak menemui musuh! Keduanya seperti sepasang pengantin yang hendak melaksanakan pernikahan saja, pakaian mereka bagus-bagus!

“Sim Ling Si, benarkah engkau sudah dapat menjawab kedua pertanyaanku, sudah dapat memecahkan dua persoalan itu?”

Ling Si tersenyum mengejek. “Hemm, apa sih sukarnya dua persoalan yang amat sederhana itu. Keluarkan papan caturmu!”

“Baik, kau tunggu sebentar.” Ouw Ji Sun memasuki kembali rumahnya.

“Enci, aku ada permintaan lagi,” kata Han Lin lirih.

“Apa itu?”

“Karena aku yang telah memberitahukan jawaban itu kepadamu, berarti engkau telah berlaku tidak adil kepada Ouw Ji Sun. Oleh karena itu, kalau terjadi pertandingan, aku minta agar enci suka mengalah dan tidak mengalahkan dia kurang dari tiga puluh jurus. Bagaimana?”

Wanita itu tersenyum. Baginya sudah dapat menjawab saja sudah merupakan kemenangan, tidak dianggap bodoh oleh sasterawan itu. Maka ia tidak keberatan atas permintaan itu. “Baik, aku akan mengalahkannya setelah lewat tiga puluh jurus.”

Agak lama Ouw Ji Sun mengambil papan catur karena bukan hanya itu yang dikerjakan. Dia juga membasahi bulu penanya dengan tinta kental hitam, kemudian membawa keluar pula senjatanya yang istimewa itu, dengan memasang penutup pada kepala bulu penanya.

“Nah, ini papan caturnya dan akan kupasang bidak-bidaknya sesuai dengan persoalan itu.” Dia meletakkan papan catur di atas tanah dan meletakkan bidak-bidak catur seperti yang diajukan kepada Ling Si tempo hari.

Ling Si tersenyum mengejek. “Soal yang kau ajukan ini terlampau mudah!”

“Sim Ling Si, sebaiknya kau coba pecahkan persoalan ini. Bagaimana langkahmu untuk dapat menyelamatkan Raja Putih yang sudah terkepung dan tinggal menanti kematiannya itu?” tantang Ouw Ji Sun, tentu saja sikapnya ini pura-pura karena dia sudah tahu dari Han Lin bahwa Ling Si sudah dia beritahu jalannya.

“Hemm, Menteriku akan mengorbankan diri dengan nekat membunuh Panglima Hitam, dan dengan demikian kepungan akan terlepas dan Raja Putih akan selamat!” katanya gembira sambil menjalankan bidak Menterinya mencaplok Panglima Hitam.

Ouw Ji Sun pura-pura terbelalak heran dan akhirnya dia hanya menghela napas berulang kali.

“Bagaimana, Ouw Ji Sun? Hayo jalankan bidak hitammu, aku hendak melihat bagaimana engkau akan menjatuhkan Rajaku!” Ling Si menantang.

“Hemm, memang ini satu-satunya jalan yang tepat untuk menyelamatkan Raja Putih. Engkau pandai, Ling Si. Jawabanmu benar. Akan tetapi masih ada lagi satu soal, yaitu hitungan itu. Kambing dan bebek berbaur menjadi satu. Jumlah kepala mereka semua delapan puluh delapan dan jumlah kaki mereka dua ratus empat puluh enam. Nah, berapa jumlah bebeknya dan berapa pula jumlah kambingnya?”

Ling Si tertawa sambul menutupi mulutnya, gayanya tertawa itu amat manis. “Hi-hik, apa sih sukarnya hitungan macam itu? Anak kecilpun bisa menjawabnya. Jawabannya adalah: jumlah kambingnya tiga puluh lima ekor dan jumlah bebeknya lima puluh tiga ekor. Betul tidak?”

Ouw Ji Sun juga nampak kaget. “Jawaban itu benar, akan tetapi bagaimana jalannya? Jangan ngawur.”

“Ih, siapa ngawur? Apa sukarnya sih? Lihat ini!” ia membuat coret-coret di atas tanah seperti yang pernah ia pelajari dari Han Lin. Setelah selesai ia memandang kepada Ouw Ji Sun dengan wajah berseri penuh kebanggaan. “Nah, benar tidak begini?”

Ouw Ji Sun menghela napas. “Kembali engkau menang Ling Si. Sekarang terserah kepadamu.”

“Sesuai perjanjian kita, kita harus bertanding ilmu silat. Ingin kulihat apakah engkau akan mampu menandingi aku dalam ilmu silat.”

“Baiklah, aku siap!” katanya sambil mengambil mouw-pitnya dan membuka tutup kepala mouw-pit.

“Hemm, apa artinya senjata seperti itu dibandingkan siang-kiamku?” Ling Si mengejek dan mencabut sepasang pedangnya.

“Kita lihat saja siapa lebih lihai, Ling Si. Mulailah!” tantang Ouw Ji Sun.

Wanita itu lalu menyerang dengan cepat, dihindarkan oleh Ouw Ji Sun dengan lompatan ke samping dan diapun balas menyerang dengan mouw-pitnya yang juga ditangkis oleh pedang Ling Si. Demikianlah, disaksikan oleh Han Lin yang berdiri di bawah pohhon, dan oleh beberapa penduduk dusun yang menonton dari jarak agak jauh, kedua orang itu saling serang.

Dari permulaan saja Han Lin tahu bahwa seperti yang diduga dan diharapkannya, Ling Si banyak mengalah. Agaknya wanita itu memegang janjinya dan tidak akan mengalahkan Ouw Ji Sun sebelum lewat tiga puluh jurus.

Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ji Sun mengubah gerakan mouw-pitnya dan Ling Si terkejut sekali karena totokan mouw-pit itu demikian dahsyat, memilik titik-titik kelemahan dalam ilmu silatnya! Totokan mouw-pit yang pertama hampir saja mengenai lehernya, totokan kedua lebih hebat lagi dan nyaris mengenai pelipis kepalanya. Ia tahu bahwa serangan-serangan hebat itu kalau dilanjutkan akan membahayakan dirinya maka ketika melihat kekosongan pada gerakan lawan, cepat sekali pedangnya membuat gerakan menggunting dan pedang itu telah menempel di kanan kiri leher Ouw Ji Sun.

Akan tetapi tepat pada saat itu, seperti yang diajarkan oleh Han Lin, mouw-pit itu telah menyambar dan membuat coretan pada dada kiri Ling Si, demikian halus sehingga tidak terasa oleh gadis itu bahwa baju di bagian dada kirinya telah terkena coretan tinta hitam!

Ling Si tersenyum mengejek. “Ouw Ji Sun, kembali engkau kalah. Dengan sepasang pedangku menempel di kanan kiri lehermu, berarti engkau kalah mutlak!”

Han Lin melangkah maju dan menghampiri mereka. “Enci Ling Si, jangan tergesa mengaku menang. Engkau tidak menang, akan tetapi kalah.”

Ling Si menarik sepasang pedangnya dan memandang pemuda itu dengan alis berkerut. “Han Lin, apa katamu? Bagaimana aku bisa kalah kalau pedangku sudah membuat dia tidak berdaya?”

“Enci yang baik, tengoklah baju di dadamu!” kata Han Lin sambil menunjuk dan tertawa.

Ling Si menunduk dan melihat betapa pada bajunya di dada kiri, tepat di atas buah dada kiri, terdapat coretan hitam yang jelas sekali.

“Enci, sebelum sepasang pedangmu membuat gerakan menggunting, lebih dulu mouw-pit Ouw-toako telah mencoret dadamu. Kalau dia menghendaki, tentu mouw-pit itu bukan sekedar mencoret, akan tetapi menotok dan engkau tentu akan roboh. Tusukan mouw-pit itu tepat pada jantungmu, enci.”

“Ah...!” Ling Si berseru dan wajahnya berubah merah sekali.

“Maafkan aku, Ling Si,” kata Ouw Ji Sun lirih karena dia merasa kasihan kepada wanita yang dicintanya itu.

“Aku... kau... telah... menang...” kata Ling Si sambil menundukkan mukanya. Tak disangkanya bahwa sasterawan itu memiliki jurus-jurus simpanan yang demikian dahsyat.

“Ouw-toako dan enci Ling Si, kalian telah saling mengalahkan dan dikalahkan. Ini berarti bahwa agaknya Tuhan memang telah menjodohkan kalian. Dan aku sendiri melihat bahwa kalian berdua memang cocok sekali menjadi suami isteri. Enci Ling Si cantik dan pandai, juga Ouw-toako gagah perkasa dan ahli sastera. Kurasa kelak kalian akan dapat mendidik anak-anak kalian menjadi seorang pendekar yang juga sasterawan!”

“Ihh..., Han Lin!” bentak Ling Si tersipu.

Ouw Ji Sun tersenyum dan menggunakan kesempatan ini untuk mengajak mereka berdua untuk masuk ke dalam rumahnya. “Silakan kalian masuk, kita bicara di dalam. Lihat, banyak orang menonton di sana.”

Dengan masih tersipu malu Ling Si mengikuti Ouw Ji Sun setelah ditarik oleh Han Lin dan mereka duduk di ruangan dalam. Setelah menghidangkan teh, Ouw Ji Sun bertanya langsung kepada Sim Ling Si. “Adik Ling Si, kita berdua sudah tidak mempunyai siapa-siapa, tidak ada yang dapat menjadi wakil pembicara. Karena itu maafkan kelancanganku kalau aku hendak mohon keputusanmu. Bagaimana, apakah engkau dapat menerima pinanganku kepadamu?”

Ling Si tidak menjawab. Kepalanya semakin menunduk. Melihat ini, Han Lin berkata, “Enci Ling Si, bagaimana kalau aku menjadi juru bicaramu? Kalau engkau tidak setuju dengan jawabanku, kau boleh melarangku atau membantah.”

Ling Si tersenyum-senyum malu dan mengangguk tanpa berani mengangkat mukanya.

“Ouw-toako, enci Ling Si merasa terharu dan berterima kasih sekali atas pinanganmu. Ia menerimanya dengan baik dan mengharapkan kalian berdua kelak akan dapat menjadi suami isteri yang berbahagia. Bukankah begitu, enci Ling Si?”

Wajah itu semakin merah akan tetapi kepala itu ditundukkan dan senyum malu-malu itu menunjukkan bahwa ia tidak membantah. Tentu saja Ouw Ji Sun merasa gembira sekali.

“Terima kasih, adik Ling Si. Kalau engkau sudah menyetujui, lalu kapan pernikahan kita akan dilangsungkan dan di mana?”

Sim Ling Si masih menunduk dan beberapa lamanya tidak mampu menjawab, akan tetapi dua titik air mata menetes turun ke atas pipinya. Ditanya demikian, ia teringat bahwa ia sebatang kara dan tidak mempunyai keluarga seorangpun. Akhirnya dengan suara parau ia menjawab lirih. “Terserah kepadamu...”

Han Lin ikut terharu dengan pinangan dan penerimaan yang amat bersahaja itu, dilakukan dua orang yang hidup menyendiri. Karena merasa ikut terlibat dengan perjodohan mereka, bahkan dia telah membantu sehingga pejodohan itu berjalan lancar, Han Lin lalu berkata dengan gembira.

“Bagaimana kalau sekarang juga dilaksanakan? Kalian berdua sudah mengenakan pakaian yang cukup indah. Tinggal mencari pendetanya saja untuk mengesahkan dan mengundang penduduk dusun ini untuk merayakan!”

Kedua orang itu kelihatan berseri wajahnya dan Ouw Ji Sun berkata, “Aku mengenal Tong Hwi Hwesio di kuil tak jauh dari dusun ini. Dia tentu mau membantu kami setiap saat.”

“Aku juga mempunyai babi dan ayam beberapa ekor, cukup untuk pesta kecil-kecilan,” kata Sim Ling Si.

“Bagus!” Han Lin setengah bersorak. “Mau tunggu apa lagi? Mari kita bertiga pergi ke kuil itu dan aku yang menjadi saksinya, Ouw-toako dan enci Ling Si!”

Dua orang itu setuju dan dengan gembiranya tiga orang itu pergi ke kuil di luar dusun. Dan benar saja, Tong Hwi Hwesio yang menjadi sahabat baik sasterawan itu dengan senang hati melaksanakan upacara sembahyang pengantin. Mereka berdua bersembahyang dan berlutut, mengucapkan sumpah setia sebagai suami isteri, disaksikan oleh Han Lin dan disahkan oleh pendeta Tong Hwi Hwesio. Setelah selesai melakukan upacara sembahyang pengantin, Han Lin menjadi orang pertama yang memberi selamat kepada mereka.

“Ouw-toako dan enci Ling Si, kionghi (selamat) atas pernikahan kalian, semoga hidup berbahagia dan mempunyai banyak anak!”

Suami isteri itu membalas penghormatan itu dan Ouw Ji Sun lalu merangkul Han Lin. “Terima kasih, Sia-te, engkau telah melimpahkan budi yang tak ternilai kepada kami berdua, semoga kelak kami berkesempatan untuk membalasnya.”

Juga Tong Hwi Hwesio memberi selamat kepada temannya dan memberi doa restu untuk sepasang pengantin. Kemudian mereka bergegas kembali ke rumah Ouw Ji Sun untuk mengundang para tetangga atau seluruh penduduk dusun itu yang jumlahnya tidak lebih dari seratus orang merayakan pesta pernikahan itu.

Pesta pernikahan dirayakan meriah dan semua wanita dusun itu terjun ke dapur untuk menyiapkan masakan. Perayaan itu berlangsung sampai malam dan setelah semua tamu pulang, Han Lin juga pamit dari sepasang suami isteri itu untuk melanjutkan perjalanan. Suami isteri itu menahan, akan tetapi Han Lin dengan lembut menyatakan bahwa dia harus melanjutkan perjalanan malam itu juga.

Ouw Ji Sun dan Sim Ling Si menghaturkan terima kasih lagi kepada penolong mereka yang masih muda itu dan mengantar kepergian Han Lin sampai di luar pekarangan rumah mereka. Han Lin menggendong pedang dan buntalan pakaiannya, memegang tongkat bututnya dan malam itu juga dia keluar dari dalam dusun.

* * * * * * *
Kaisar Thai Tsung (773-779) baru setahun lebih menduduki tahta kerajaan. Akan tetapi ketika Kaisar ini bertahta, keadaan negeri sudah lemah dan parah akibat keruntuhan Kerajaan Tang ketika An Lu Shan pada tahun 755 mengadakan pemberontakan dan bahkan berhasil menduduki Tiang-an dan mengusir Kaisarnya yang melarikan diri ke barat.

Semenjak itu sampai direbutnya kembali kekuasaan oleh kaisar kerajaan Tang, kerajaan itu sudah tidak seperti dulu lagi. Kerajaan Tang ketika masih dipimpin oleh Kaisar Beng Ong (712-755) pernah cemerlang, akan tetapi semenjak pemberontakan An Lu Shan pada akhir kedudukan Kaisar Beng Ong itu, kekuasaannya makin menurun.

Bukan saja suku-suku yang dianggap liar dan biadab dari utara dan barat merajalela di daerah Tang bagian utara dan barat, seperti suku bangsa Uigur dan suku bangsa Khitan, akan tetapi juga para kepala daerah yang jauh letaknya dari kota raja, masing-masing menjadi raja-raja kecil yang mengacuhkan kekuasaan Kaisar Thai Tsung. Semua ini ditambah lagi dengan merajalelanya kekuasaan para thai-kam (Sida-sida, pria yang dikebiri) dan para pembesar tinggi yang palsu dan berwatak menjilat ke ats menekan ke bawah.

Kaisar Thai Tsung seolah boneka saja yang tanpa disadarinya dipermainkan oleh orang-orang ini. Sogok menyogok terjadilah, hubungan rahasia dengan suku asing diadakan oleh para pembesar yang haus harta. Penindasan terhadap rakyat terjadi di mana-mana, menimbulkan dendam dan kekerasan di antara rakyat.

Karena para pembesar hanya mementingkan harta dunia, berenang dalam kemewahan, pesta-pesta makan enak, bermabok-mabokan dalam rangkulan gadis-gadis jelita, tidak menghiraukan keamanan rakyat, maka dengan sendirinya kejahatan tumbuh sebagai cendawan di musim hujan. Dalam keadaan seperti itu, maka berlakulah hukum rimba. Yang kuat menang, yang menang berkuasa, dan yang berkuasa itu benar selalu. Uang menjadi alat kekuasaan, karena dengan uang segalanya dapat dibeli!

Setiap orang pejabat, besar kecil, memelihara tukang pukul. Juga setiap tuan tanah dan hartawan mempunyai kelompok tukang pukul untuk melindungi mereka dan melaksanakan pemaksaan kehendak mereka, terutama kepada rakyat bawahan.

Dalam keadaan rakyat sengsara itu, yang menonjol hanyalah kemajuan kesenian terutama sastera. Banyak bermunculan penyair-penyair besar seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain yang menjerit dalam syair mereka menyuarakan jeritan hati rakyat jelata.

Ketika empat tahun yang lalu, yang menjadi kaisar masih Kaisar Kui Tsung (768-773), terjadi pencurian pedang Ang-in-po-kiam, maka gemparlah seluruh istana dan sebentar saja berita itu tersiar ke seluruh negeri. Kaisar Kui Tsung memerintahkan jagoan-jagoan istana untuk mencari pencuri itu, namun sia-sia belaka.

Pencuri itu amat lihai, tanpa meninggalkan bekas, bahkan empat orang penjaga gedung pusaka yang dibuat tidak berdaya dengan totokan, tidak mampu menceritakan bagaimana macamnya pencuri itu karena mereka dirobohkan tanpa terlihat yang melakukannya.

Kaisar yang merasa penasaran karena Ang-in-po-kiam merupakan sebuah di antara pusaka lambang kekuasaan kaisar, lalu mengumumkan bahwa barang siapa dapat menemukan kembali pedang pusaka itu, akan diberi hadiah harta benda dan kedudukan tinggi kalau dikehendaki.

Itulah sebabnya mengapa para tokoh kang-ouw membuka mata lebar-lebar dan membuka telinga untuk mendengar berita kalau-kalau dapat membawa mereka pada pencurinya untuk merampas kembali pusaka istana itu. Semua itu tidak berhasil. Tak seorangpun mengetahui bahwa yang melakukan pencurian itu adalah Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw.

Setelah Kaisar Thai Tsung menjadi Kaisar, diapun mengumumkan agar orang mencuri pusaka yang hilang, bahkan menambah besarnya hadiah yang dijanjikan. Para tokoh kang-ouw akhirnya mendengar bahwa pusaka itu dicuri oleh tokoh Cin-ling-pai dan berita ini sebetulnya didesas-desuskan oleh bekas anak buah Hoat-kauw yang sudah dibasmi pasukan pemerintah.

Cin-ling-pai merupakan sebuah perkumpulan yang kuat dan yang tidak mau tunguk kepada Hoat-kauw, bahkan dalam bentrokan, banyak anak buah Hoat-kauw yang tewas. Oleh karena itu, ketika sisa anak buah Hoat-kauw cerai berai, merekalah yang menyebar berita itu dengan maksud untuk melakukan fitnah agar Cin-ling-pai dimusuhi para tokoh kang-ouw lainnya.

Ketua Cin-ling-pai, Yap Kong Sin yang berjuluk Bu-eng-kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan) mendengar desas-desus ini dan dia menjadi marah. Untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, dia lalu mengundang para tokoh kang-ouw untuk mengadakan pertemuan di kota Han-cung yang terletak di kaki pegunungan Cin-ling-san, di tepi sungai Han. Kota ii memang menjadi cabang terbesar dari Cin-ling-pai yang pusatnya berada di lereng puncak Cin-ling-san.

Kota Han-cung cukup besar dan ramai karena dari kota itu orang dapat mengirim barang-barang hasil sawah ladang dan hutan pegunungan melalui jalan air menuju ke kota-kota besar di timr karena sungai Han ini menjadi anak sungai Yang-ce.

Pada suatu pagi yang cerah, Han Lin memasuki kota Han-cung. Ketika dia memasuki pintu gerbang kota itu, dari arah belakangnya datang dua orang penunggang kuda yang menarik perhatiannya. Mereka itu seorang pemuda yang gagah perkasa berpakaian putih-putih yang indah bersih, berusia sekitar dua puluh lima tahun, bersama seorang gadis cantik jelita yang berpakaian merah muda, usianya sekitar delapan belas tahun.

Baik pemuda maupun gadis itu, jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan dan termasuk orang-orang kang-ouw. Hal ini dapat dilihat dari pedang yang tergantung di punggung mereka, juga dari cara mereka menunggang kuda. Juga pakaian mereka yang terbuat dari sutera mahal indah itu, berpotongan ringkas seperti biasa dipakaian orang kang-ouw ahli silat.

Kedua orang itu tidak memperhatikan Han Lin. Memang pemuda ini tidak ada istimewanya, tidak menarik perhatian. Pakaiannya sederhana saja, dan berjalan kaki, dengan buntalan pakaian di gendongannya. Pedang Ang-in-po-kiam itu dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian dan yang berada di tangannya hanyalah sebatang tongkat bambu butut menghitam.

Dia mirip seorang pemuda dari dusun yang memasuki kota dan tidak akan menarik perhatian orang. Tak ada yang mengira sama sekali bahwa dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan dialah yang memegang Ang-in-po-kiam, pedang pusaka istana yang lenyap dicuri orang sehingga menggemparkan seluruh dunia kang-ouw itu.

Han Lin memang sedang melakukan perjalanan ke Tiang-an dan kota Han-cung sudah tidak begitu jauh lagi dari kota raja. Ketika dalam perjalanan dia mendengar bahwa Cin-ling-pai mengundang orang kang-ouw pada umumnya, dia tertarik dan ingin menonton untuk meluaskan pengalamannya.

Dia pernah mendengar dari Kong Hwi Hosiang tentang perkumpulan-perkumpulan dan aliran persilatan yang terkenal dan Cin-ling-pai termasuk sebuah di antara perguruan besar yang memiliki banyak murid pendekar. Bahkan gurunya pernah menyebut nama ketuanya, yaitu Bu-eng-kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan) Yap Kong Sin sebagai jago pedang yang amat tangguh.

Pagi itu telah banyak rumah makan buka, melayani orang-orang yang hendak sarapan. Han Lin merasa lapar dan melihat dua ekor kuda besar ditambatkan di depan sebuah rumah makan, dia teringat akan pemuda dan gadis yang elok dan gagah tadi, maka diapun memilih rumah makan itu untuk membeli sarapan.

Rumah makan itu cukup besar dan luas, dan ketika dia masuk nampak olehnya pemuda baju putih dan gadis baju merah muda telah duduk di situ. Di satu sudut duduk serombongan orang muda berusia antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun sebanyak lima orang dan mereka itu ternyata sudah setengah mabok. Sepagi itu sudah mabok-mabokan, dari kebiasaan ini saja sudah dapat dinilai orang-orang macam apa mereka itu.

Akan tetapi, melihat pakaian mereka yang ringkat dengan lengan baju digulung, menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, tenaga dan ilmu silat. Mereka itu makan minum sambil tertawa-tawa dan mata mereka melirik secara kurang ajar kepada gadis berpakaian merah muda.

“Hemm, kalian mencari penyakit,” pikir Han Lin yang dapat menduga bahwa gadis dan pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Kalau lima orang pemuda berandal itu berani mencari perkara dengan mereka berdua, berarti mencari penyakit sendiri.

Dia menoleh ke kiri dan melihat seorang gadis yang wajahnya berseri, cantik manis dan matanya kocak. Gadis ini berpakaian mewah, akan tetapi kecantikannya itu agak aneh dan terasa asing bagi Han Lin. Biarpun pakaian dan tata rambut gadis itu seperti seorang gadis Han biasa, namanu Han Lin dapat menduga bahwa ia bukanlah gadis Han. Matanya terlalu lebar dan hidungnya terlalu mancung untuk seorang gadis Han. Juga bentuk mulutnya yang selalu senyum itu nampak asing namun indah menarik. Seorang kakek duduk di samping gadis itu dan melihat kakek itu, Han Lin terbelalak heran.

Kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, pendek gendut bundar, perutnya yang gendut kelihatan karena bajunya selalu terbuka kancingnya seolah dia selalu merasa panas. Mukanya hitam seperti arang, matanya lebar dan mulutnya senyum-senyum sendiri kadang setengan tertawa tanpa sebab seperti orang yang kurang waras.

Itulah Hek-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Hitam), kata Han Lin dalam hatinya. Tidak salah lagi. Seorang di antara Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Bahkan dia pernah bentrok dengan mereka, ketika dia membantu pasukan pemerintah membasmi orang-orang Hoat-kauw yang bersekutu dengan orang Mongol hendak melakukan gerakan memberontak. Dan Sam Mo-ong adalah kaki tangan orang Mongol.

Kenapa Hek-bin Mo-ong berada pula di Han-cung? Dan siapa pula gadis cantik yang bersamanya itu. Nampaknya ketika mereka makan minum, Hek-bin Mo-ong bersikap amat hormat kepada gadis itu. Han Lin yang kebetulan duduk agak di belakang sebelah kanan Hek-bin Mo-ong, mengerahkan pendengarannya dan dia dapat menangkap bahwa gadis itu menyebut suhu kepada kakek muka hitam itu.

“Suhu, kapan kita akan berkunjung ke sana?”

“Besok baru dimulai pesta itu. Ssstt, sudahlah, Mulani, jangan bicara tentang itu,” kata kakek itu lirih dan perhatian mereka kini ditujukan ke arah meja pemuda dan gadis yang gagah itu.

Perhatian Han Lin juga beralih ke sana karena seperti diduganya, kini gerombolan pemuda berandal itu telah mulai beraksi. Mereka memecah gerombolan menjadi dua, yang tiga orang menghampiri pemuda dan gadis itu, sedangkan yang dua orang lagi menghampiri gadis manis yang duduk bersama Hek-bin Mo-ong! Mereka berjalan sambil menyeringai kurang ajar dan melihat ini, Han Lin tersenyum. Kalian mencari penyakit, pikirnya.

Dua orang pemuda yang menghampiri meja gadis dan kakek itu, sudah tiba dekat mereka dan seorang di antara mereka berkata, “Nona tentu kesepian hanya duduk makan bersama seorang kakek, bagaimana kalau kami berdua menemanimu?” Orang bermuka kuning itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang lebih kuning lagi.

“Heh-heh, engkau manis sekali, nona. Kami akan bersenang-senang denganmu...” kata orang kedua yang bertubuh pendek.

Kakek itu tersenyum lebar dan gadis manis juga tersenyum lalu berkata, “Ih, kalian mengingatkan aku akan dua ekor anjingku. Aku mempunyai dua ekor anjing di rumah dan lagaknya persis kalian. Hayo jongkok dan aku akan memberimu makan...!” ia menjentik-jentikkan jarinya seperti kalau memanggil anjing-anjingnya.

Dua orang laki-laki muda itu terbelalak, muka mereka menjadi merah karena marah. Mereka telah dihina seperti anjing! Mereka hendak memaki lagi, akan tetapi baru saja mereka membuka mulut, sepotong daging menyambar dan tepat memasuki mulut mereka. Han Lin melihat betapa dengan gerakan cepat sekali gadis itu menggunakan sumpit, mengambbil potongan daging dan menyambitkan dua kali berturut-turut ke mulut mereka dan tepat memasuki mulut yang sedang terbuka itu.

Tentu saja kedua orang itu menjadi gelagapan dan semakin marah. Agaknya mereka adalah jenis orang-orang yang tak tahu diri mengandalkan diri dan kawan-kawan berbuat sesukanya. Mereka meludahkan keluar daging yang memasuki mulut mereka itu dan bagaikan dua ekor biruang, mereka mengembangkan tangan untuk menangkap gadis yang telah menghina mereka itu.

Kembali Han Lin melihat gerakan yang amat cepat dari gadis itu. Hanya satu kali saja tangan kirinya bergerak melemparkan sepasang sumpit dan akibatnya, dua orang itu menjerit sambil memegangi tangan kanan dengan tangan kiri mereka. Tangan kanan mereka telah ditembusi sumpit tepat di tengah-tengah telapak tangan sampai tembus! Mereka berjingkrak kesakitan dan mundur, terbelalak ketakutan. Terdengar Hek-bin Mo-ong dan gadis itu tertawa senang.

Sementara itu, tiga orang pemuda yang menghampiri meja di mana pemuda berpakaian putih dan gadis berpakaian merah muda duduk, juga mengalami nasib sial. Sambil cengar-cengir ketiga orang pemuda ini menghampiri mereka dan berkata kepada si gadis.

“Nona, agaknya nona berdua hendak mengunjungi pesta Cin-ling-pai besok pagi. Mari nona kita bersama-sama, malam ini nona boleh bermalam di rumah kami.”

Melihat tiga orang itu merubung adiknya, pemuda berpakaian putih itu marah sekali. Dialah yang bangkit berdiri dan menggebrak meja. “Kawanan berandal berani kurang ajar terhadap adikku? Menggelindinglah dari sini atau terpaksa aku akan menghajar kalian seperti anjing!”

Tiga orang itu memang hendak mencari perkara. Mereka ingin memisahkan pemuda itu dari si gadis manis, maka serentak mereka berbalik menghadapi pemuda baju putih. Seorang di antara mereka yang matanya juling dan menjadi pimpinan mereka, bertolak pinggang.

“Ah, engkau ini manusia tak tahu terima kasih. Kami menawarkan jasa-jasa baik dan engkau malah memaki kami? Kami hanya membutuhkan nona ini, tidak membutuhkan kamu dan untuk makianmu itu kamu harus dihajar! Hayo lempar dia keluar rumah makan!” katanya kepada dua orang kawannya dan mereka serentak maju untuk menangkap pemuda baju putih itu.

Akan tetapi begitu tangan kaki pemuda baju putih itu bergerak, tiga orang itu terlempar ke belakang dan jatuh menimpa meja kursi. Tiga orang itu tidak terluka parah, mereka benar-benar tak tahu diri karena mereka menjadi semakin marah. Mereka mencabut golok yang tergantung di pinggang, kemudian mereka maju pula hendak menyerang pemuda berpakaian putih itu. Sekali ini, gadis berbaju merah muda yang berseru. “Koko, biarkan aku yang menghajar mereka!”

Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kursinya, bagaikan seekor burung garuda ia melayang ke arah tiga orang itu yang menyambut tubuhnya dengan bacokan golok mereka. Namun gerakan gadis itu gesit bukan main. Tubuhnya dapat menyelinap di antara bacokan golok, kaki tangannya bergerak dan untuk kedua kalinya tiga orang itu terlempar dan terjengkang.

Dengan ringan tubuh gadis itu sudah turun dan tanpa memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk menyerangnya kembali, kakinya sudah berloncatan dan diayun keras membagi tendangan dan tiga orang itu bergulingan, golok mereka terlepas dari tangan, muka mereka babak keluar dan benjol-benjol.

Barulah mereka sadar bahwa mereka takkan menang. Mereka erangkak bangun dan melihat dua orang kawan mereka mendatangi sambil merintih-rintih dan dengan tangan kanan terpaku sumpit. Lenyaplah semangat mereka dan kelimanya lalu berlari keluar.

Semua tamu di rumah makan itu menjadi takut. Pemilik rumah makan segera maju dan memberi hormat kepada pemuda dan adiknya itu dan berkata, “Kongcu dan siocia, harap segera meninggalkan tempat ini. Gerombolan itu banyak kawannya dan kalau pemimpin mereka datang...”

“Kami tidak takut!” kata gadis baju merah muda. “Kalau mereka datang akan kuhajar semua!”

“Tapi, nona... tempat kami ini... bisa hancur berantakan. Tadi saja sudah merusakkan meja kursi dan mangkok piring, belum lagi mereka itu tidak membayar...”

“Paman, kau hitung semua kerugianmu, akan kuganti,” kata pemuda pakaian putih itu. “Dan jangan khawatir, kalau pemimpin gerombolan itu datang, akan kubasmi mereka semua. Ketahuilah kami dua saudara datang dari Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) dari kota raja, dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi gerombolan berandal!” ucapan ini lantang dan terdengar oleh semua orang. Han Lin diam-diam menyesalkan mengapa kegagahan pemuda baju putih itu mengandung ketinggian hati.

Sementara itu, kebetulan Hek-bin Mo-ong memandang ke sekeliling dan biarpun Han Lin sudah membuang muka, tetap saja Hek-bin Mo-ong dapat mengenalnya. Kakek itu kelihatan terkejut dan dia berbisik kepada gadis di sebelahnya, lalu membayar harga makanan dan tergesa-gesa pergi dari rumah makan itu. Han Lin membiarkannya saja karena memang dia tidak ingin bentrok lagi dengan datuk yang jahat dan sakti itu.

Dia ingin melihat perkembangan peristiwa di rumah makan, dan melihat apa yang akan dilakukan muda-mudi tokoh Pek-eng Bu-koan itu. Pemuda itu memang tinggi hati, akan tetapi adiknya nampaknya lincah jenaka dan tidak sombong seperti kakaknya. Bahkan adiknya itu tadi memperlihatkan kelincahan yang mengagumkan, agaknya lebih lincah dibandingkan gerakan kakaknya. Demikianlah, ketika akhirnya setelah menanti beberapa lama pemuda dan gadis itu meninggalkan rumah makan dan membayar semua kerugian yang diderita oleh pemilik rumah makan, dia mambayangi dari jauh.

Tergesa-gesa Hek-bin Mo-ong meninggalkan rumah makan itu bersama gadis yang cantik manis itu. Hek-bin Mo-ong adalah seorang di antara Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis). Tokoh yang lain adalah Pek-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Putih) yang tinggi kurus muka pucat seperti kapur, matanya sipit seakan menangis terus.

Akan tetapi dia juga lihai sekali, memiliki sin-kang panas beracun sehingga orang yang terkena pukulan lihai ini akan hangus tubuhnya. Dia selalu memakai baju mantel seolah-olah selalu kedinginan. Datuk sesat ini sebenarnya adalah seorang peranakan suku bangsa Hui, dan apabila dia mengerahkan sin-kangnya yang panas beracun, jari tangannya berubah merah seperti membara.

Orang ketiga adalah Kwi-jiauw Lo-mo yang merupakan orang tertua dan pemimpin dari Sam Mo-ong. Orangnya berusia enam puluh enam tahun, tubuhnya pendek gendut seperti katak dan kalau berkelahi dia dapat menggelinding seperti peluru berputar, dan sepasang tangannya disambung sepasang cakar setan yang ampuh sekali dan mengandung racun mematikan.

Kwi-jiauw Lo-mo ini peranakan Mongol, mukanya kuning dan dia masih mertua dari mendiang An Lu Shan, pemberontak yang berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang itu. Gadis cantik dan lincah yang berjalan bersama Hek-bin Mo-ong bernama Mulani dan gadis berusia delapan belas tahun ini adalah puteri Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang menjadi atasan Sam Mo-ong. Mulani juga merupakan murid dari Sam Mo-ong.

Maka di bawah gemblengan tiga orang guru yang sakti ini ia menjadi seorang gadis yang lihai sekali seperti diperlihatkan ketika ia menggunakan sumpit menembus telapak tangan dua orang pemuda berandal yang berani kurang ajar kepadanya. Mulani adalah anak tunggal, maka ia agak dimanja dan sekali ini, ketika ia merengek kepada ayahnya untuk ikut Hek-bin Mo-ong melakukan penyelidikan ke selatan, ayahnya tidak dapat melarangnya.

Sebetulnya ketiga Sam Mo-ong semua melakukan perjalanan ke selatan, namun mereka membagi tugas. Hek-bin Mo-ong bertugas untuk mengunjungi pesta ulang tahun Cin-ling-pai sambil melihat keadaan, dan puteri Mulani ikut dengannya. Adapun Kwi-jiauw Lo-mo hendak pergi mengunjungi Beng-kauw dalam usahanya untuk membalas dendam atas kematian cucunya An Seng Gun, putera mendiang An Lu Shan dan mendiang Kiauw Ni puteri Kwi-jiauw Lo-mo.

An Seng Gun ini setahun yang lalu mewakili Sam Mo-ong bersekutu dengan Hoat-kauw dan membantu Hoat-kauw dengan cara menyelundup ke dalam perkumpulan Nam-kiang-pang dan menguasai perkumpulan itu. Akan tetapi, akhirnya An Seng Gun dan sekutunya, yaitu Hoat-kauw, digempur pemerintah yang dibantu oleh para pendekar.

Dan dalam pertempuran yang seru, An Seng Gun tewas di tangan seorang tokoh besar Beng-kauw, yaitu putera mendiang Sie Wan Cu ketua Beng-kauw yang bernama Sie Kwan Lee dan yang kini menggantikan kedudukan ayahnya dan menjadi ketua Beng-kauw. Karena itu, Kwi-jiauw Lo-mo mendendam kepada ketua Beng-kauw yang baru ini. Kepergiannya membalas dendam ke Beng-kauw ini ditemani rekannya, yaitu Pek-bin Mo-ong.

Dia tahu bahwa Beng-kaiw adalah perkumpulan yang kuat, mempunyai banyak orang pandai, maka dia mengajak rekannya. Demikianlah, Hek-bin Mo-ong bersama Mulani meninggalkan restoran dengan tergesa-gesa. Dia terkejut sekali melihat Han Lin, pemuda yang dia tahu amat tangguh itu, maka segera dia meninggalkannya.

“Suhu, kenapa begini tergesa-gesa?”

“Hayo cepatlah, Mulani. Aku tidak ingin terlibat dalam keributan di sana tadi, akan mengganggu tugas kita saja,” kata Hek-bin Mo-ong sambil melangkah dengan cepat diikuti gadis itu.

Karena tergesa inilah, ketika tiba di satu tikungan, dia akan bertabrakan dengan dua orang yang diikuti beberapa orang lain, yang juga berjalan dengan setengah berlari. Untuk menghindarkan tabrakan, Hek-bin Mo-ong mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang itu. Dia tahu bahwa dorongan itu akan membuat kedua orang itu terjengkang akan tetapi dia akan terbebas dari tabrakan. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika kedua orang itu melesat ke kanan kiri seperti terbang saja, sehingga dorongan kedua tangannya luput! Ternyata kedua orang itu memiliki gin-kang yang hebat!

Hek-bin Mo-ong siap menghadapi dua orang lawan yang dia tahu bukan lawan sembarangan itu. Juga Mulani maklum bahwa dua orang itu lihai. Dapat mengelak dari dorongan kedua tangan Hek-bin Mo-ong saja sudah hebat, apalagi elakan itu dilakukan dengna meloncat sedemikian cepat dan tingginya seperti terbang saja dan dua orang itu tahu-tahu telah berada di atas pohon di kanan kiri jalan!

Belasan orang yang tadi berjalan di belakang dua orang itu, termasuk tiga orang yang tadi dihajar oleh kakak beradik yang berada di rumah makan, yang dua lagi tak dapat ikut karena tangan mereka yang tertembus sumpit itu nyeri sekali, kini bergerak maju untuk mengeroyok kakek dan gadis cantik itu. Hek-bin Mo-ong dan Mulani sudah siap untuk menghajar mereka.

“Tahan!” terdengar teriakan dari kanan kiri dan kedua orang yang tadi mengelak sambil berlompat ke atas pohon, kini melayang turun dengan gerakan indah cepat dan mereka kini berdiri di depan Hek-bin Mo-ong. Kakek ini memandang penuh perhatian dan siap melawan. Akan tetapi ketika dia melihat siapa adanya kedua orang itu, mulutnya yang selalu menyeringai itu terbuka lebar.

“Ha-ha-ha! Kiranya kalian Thian Te Siang-kui (Sepasang Siluman Langit Bumi)!” katanya sambil tertawa.

Dua orang itu memang aneh. Yang seorang tinggi kurus, lebih tinggi sekepala dibandingkan orang yang tingginya seukuran umum. Dan yang seorang lagi kecil pendek, bahkan agak lebih pendek dibandingkan Hek-bin Mo-ong yang sudah pendek.

Kedua orang yang usianya sekitar lima puluh tahun itu lalu memberi hormat. Thian-kui (Siluman Langit) yang bertubuh tinggi berkata, “Harap maafkan kami, Mo-ong. Kami tidak tahu sama sekali bahwa Mo-ong yang akan lewat di sini sehingga hampir bertabrakan...”
Selanjutnya,

Pedang Awan Merah Jilid 02

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 02
MELIHAT sebuah kuil tua di tepi jalan di luar dusun, dia segera masuk ke kuil itu. Ternyata kuil itu kosong dan dia segera mengumpulkan kayu dan daun kering membuat api unggun di ruangan tengah kuil itu yang atapnya sudah berlubang besar. Tubuhnya terasa hangat dan api itu mengusir nyamuk. Dia membersihkan lantai dengan ranting berdaun, kemudian merebahkan diri mengusir lelah sampai dia tertidur.

Pada keesokan harinya, setelah membersihkan badannya di anak sungai yang airnya jernih, tak jauh dari kuil tua, Han Lin memasuki dusun. Tidak sukar baginya mencari tahu di mana rumahnya Ouw Ji Sun.

“Ah, rumah Ouw-siucai? Tuh, di ujung timur dusun,” kata seorang yang dia tanyai.

Dusun itu kecil saja, dan sunyi sehingga amat mengherankan mengapa seorang pria yang disebut siucai (pelajar) tinggal di tempat sesunyi itu. Rumah di ujung itupun terpencil, agak jauh dari tetangga. Ketika Han Lin menghampiri rumah itu, dia mendengar suara gerakan orang bersilat yang datangnya dari belakang rumah itu, dia cepat menghampiri perlahan-lahan dan melihat seorang pria sedang berlatih silat seorang diri.

Orang itu mempergunakan senjata yang aneh, yaitu sebatang mouw-pit (Pena Bulu) bergagang panjang. Dia memperhatikan dan merasa yakin bahwa inilah orangnya yang dicarinya. Usianya sekitar empat puluh lima tahun, wajahnya halus tanpa umis dan jenggot, bentuk wajahnya bulat dan terang, matanya sipit namun cukup lebar dan daun telinganya besar. Wajah yang cukup tampan dan perawakannya gagah, tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian sasterawan yang berlengan lebar.

Han Lin lalu memperhatikan gerakan silat orang itu. Ilmu silatnya jelas bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi sudah bercampur dengan aliran lain. Hanya dasar dan gerakan kakinya saja yang menunjukkan ilmu silat Siauw-lim-pai. Gerakannya cukup gesit dan tusukan mouw-pit itu juga mengandung tenaga.

Han Lin membuat perbandingan dan tahulah dia bahwa Sim Ling Si tidak membual. Pria ini tidak akan pernah menang kalau bertanding melawan wanita itu, seperti juga wanita itu tidak akan pernah menang kalau mengadu ilmu pengetahuan. Sebagai seorang siucai, tentu saja dia menimba banyak ilmu pengetahuan dari buku.

Setelah orang itu selesai dan menghentikan gerakan silatnya, Han Lin bertepuk tangan memuji. “Ilmu silat yang bagus sekali!”

Orang itu membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya berada di situ memuji permainan silatnya, dia agak tersipu. “Aih, sobat muda. Aku baru belajar dan ilmu silatku masih rendah, bagaimana engkau memujinya? Belum berharga untuk dipuji.”

Mendengar ucapan itu dan melihat sikapnya, Han Lin merasa senang. Orang tinggi besar yang lembut ini ternyata seorang yang rendah hati, bukan dibuat-buat. Dia sengaja menyerang dengan kata-kata untuk menjajagi watak orang itu. “Engkau benar, bagaimanapun juga, ilmu silatmu tidak akan pernah menang dibandingkan ilmu silat nona Sim Ling Si.”

Pria itu terbelalak, kaget dan heran, akan tetapi tidak menjadi marah seperti yang diduga Han Lin. “Engkau mengenal Sim Ling Si? Dan apa yang kau ketahui tentang ia?” tanyanya heran sekali.

Han Lin tersenyum. Hatinya senang karena kalau orang ini berwatak buruk tentu sudah marah sekali mendengar ucapannya tadi. “Aku tahu bahwa kalau nona Sim Ling Si tidak dapat menebak teka-tekimu itu, dalam waktu tiga bulan lagi ia harus menerima pinanganmu. Akan tetapi kalau ia bisa menebak, engkau harus mengalahkannya dalam ilmu silat. Seperti yang kusaksikan tadi, jangankan tiga bulan lagi, biar engkau belajar tiga tahun lagipun engkau tidak akan menang melawannya, Ouw-toako.”

“Sobat muda, apakah engkau datang atas suruhan Sim Ling Si untuk mengejek aku?” Ouw Ji Sun mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau bisa mengetahui namaku?”

“Sama sekali tidak, Ouw-toako. Aku tidak diutus oleh enci Ling Si, melainkan datang atas kehendakku sendiri. Engkau yang bernama Ouw Ji Sun, siucai yang meminang enci Ling Si dan memberinya soal hitungan dan catur, bukan?”

Ouw Ji Sun semakin heran. “Semua itu benar, sobat muda. Siapakah engkau dan apa sebenarnya maksud kedatanganmu?”

“Namaku Sia Han Lin dan kunjunganku ini tidak lain dengan niat untuk menolongmu dalam perjodohanmu dengan nona Sim Ling Si.”

Ouw Ji Sun tertegun lalu tergopoh mempersilakan. “Kalau begitu, sebaiknya kita bicara saja di dalam, Sia-te (Adik Sia),” katanya.

Han Lin mengangguk dan mengikuti orang itu memasuki rumah dari pintu belakang. Melihat rumah itu cukup rapi dan sepi, Han Lin bertanya. “Apakah rumah ini kosong, tidak ada orang lain selain engkau, toako?”

“Benar, aku hidup seorang diri dan sebatang kara. Semenjak isteriku menigngal dunia lima tahun yang lalu tanpa meninggalkan anak, aku hidup seorang diri di dusun sunyi ini, mengajarkan ilmu membaca menulis kepada anak-anak di sini untuk mengisi waktu luangku. Mari silakan duduk, Sia-te.”

Mereka duduk di ruangan dalan, dan Ouw Ji Sun menyuguhkan sepoci teh. Setelah menuangkan teh pahit dan diminum tamunya, Ouw Ji Sun berkata, “Nah, sekarang ceritakanlah apa dan bagaimana engkau hendak menolongku.”

“Kalau aku tidak salah sangka, engkau sengaja memberikan dua soal yang sulit itu kepada enci Ling Si dengan maksud agar selama setengah tahun ini engkau mempunyai kesempatan untuk melatih ilmu silatmu agar di saat kalian harus bertanding, engkau akan keluar sebagai pemenang. Benarkah demikian?”

Wajah tuan rumah itu berubah merah. “Agaknya engkau sudah mengetahui semuanya dan dapat menduga maksud hatiku, Sia-te. Katakan mengapa engkau mencampuri urusan kami dan apa hubunganmu dengan Sim Ling Si?”

Han Lin menghela napas panjang. “Sebetulnya keterlibatanku dengan urusan kalian ini terjadi secara kebetulan saja, toako. Aku tersesat masuk ke dalam hutan bambu milik enci Ling Si...”

“Ahh...! Pertemuanku dengannya juga dimulai dengan aku terjebak ke dalam hutan bambu itu!”

“Kami berkenalan ketika aku melihat ia tekun menghadapi papan catur dan katanya sudah tiga bulan lamanya setiap malam ia menekuni papan catur untuk mencari jawabannya namun tidak juga bisa didapatkan.”

Ouw Ji Sun tersenyum. “Kasihan Ling Si. Aku memang sudah tahu bahwa wanita yang cerdik dan yang mampu membuat hutan bambu seperti itu, amat lemah dalam soal hitungan dan permainan catur. Karena itulah aku memberi soal catur dan hitungan agar ia pecahkan selama enam bulan. Lalu, bagaimana?”

“Aku memberi petunjuk kepadanya sehingga ia dapat memecahkan rahasia permainan catur itu dan menyelamatkan Raja Putih...”

“Ahh...! Sia-te, berarti engkau hendak mencelakakan aku. Dan hitungan itu...”

“Ia sudah memberitahukan kepadaku. Hitungan itupun tak dapat ia menjawabnya. Aku minta waktu tiga hari untuk memberikan jawabannya.”

“Tiga hari? Kurasa engkau akan mampu menjawab seketika.”

“Tentu saja, toako. Aku sengaja minta waktu tiga hari untuk berkunjung padamu dan mengenalmu.”

“Aih, Sia-te. Celakalah aku kalau begini. Ia akan mampu menjawab kedua persoalan itu tiga hari lagi, dan ia akan menangtangku, seperti sudah kami janjikan. Dan selama tiga bulan ini, ilmuku belum memperoleh banyak kemajuan, bagaimana aku dapat menang? Ah, harapanku akan musnah, pinanganku pasti ditolak karena selain ia mampu menjawab persoalan yang kuajukan, juga ia akan menang dalam pertandingan kami. Ahh...”

“Tenanglah, Ouw-toako. Karena aku sudah mengambil keputusan sekarang, setelah mengenalmu, untuk membantumu seperti yang kukatakan tadi.”

“Bagaimana engkau akan membantuku, Sia-te? Dengan tidak memberikan jawaban soal hitungan itu?”

“Bukan. Aku sudah berjanji, tentu harus kupenuhi. Jawaban itu akan kuberikan. Benarkah engkau mencintanya, toako?”

“Kalau aku tidak mencintanya, untuk apa aku meminangnya?”

“Kurasa ia tidak akan menolak, toako. Hanya, enci Ling Si memiliki keangkuhan. Ia ingin menjaga harga dirinya, maka ia ingin sekali menang dalam teka-teki itu. Kalau ia sudah dapat menjawab keduanya dan berarti menang dalam syarat itu, ia tentu tidak akan berkeras ingin menang pula dalam pertandingan silat.”

“Akan tetapi ilmu silatnya tinggi, sedangkan aku...”

“Selisihnya tidak banyak sekali, toako. Aku akan mengusahakan agar dalam pertandingan silat itu, engkau yang keluar sebagai pemenang.”

“Hemm, mungkinkah itu?” tanya Ouw Ji Sun dengan ragu. “Bagaimana caranya?”

“Mari kita ke belakang, aku ingin mengajakmu berlatih dan mencari jalan agar engkau menang. Bawa mouw-pitmu itu.”

Kini Han Lin mendahului bangkit dan keluar melalui pintu belakang, diikuti oleh Ouw Ji Sun yang merasa bimbang dan ragu. Akan tetapi melihat sikap Han Lin yang tegas seolah-olah akan mampu membantunya, timbul pula sedikit harapan di hatinya. Setelah berdiri saling berhadapan di kebun belakang, Han Lin berkata, “Sekarang seranglah aku dengan mouw-pitmu itu. Ingat, keluarkan semua kepandaian dan tenagamu dan jangan ragu-ragu menyerangku. Mulailah!”

Ouw Ji Sun menurut dan mulai dia menyerang. Mula-mula memang serangannya asal saja dan hanya dengan tenaga terbatas karena dia tidak ingin melukai pemuda itu yang belum diketahuinya apakah pemuda ini akan mampu mengatasi ilmu silatnya. Bagaimanapun juga, kalau hanya dibandingkan dengan guru silat kebanyakan, tingkatnya jauh lebih tinggi. Akan tetapi, alangkah kagumnya ketika dengan amat mudahnya pemuda itu mengelak, dan ketika dia mulai mendesaknya, dan pemuda itu menangkis, hampir saja mouw-pitnya terlepas dan dia terhuyung.

Kini maklumlah dia bahwa pemuda itu bukan sekedar membual dan dia menyrang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan sin-kang sekuatnya. Pemuda yang menggunakan tongkat bambu itu sama sekali tidak terdesak olehnya. Dengan jalan mengelak ke sana sini dan kadang saja menangkis, Han Lin dapat menghindarkan semua serangan sambil meneliti dan membandingkan ilmu silat Ouw Ji Sun dengan ilmu silat Sim Ling Si.

“Cukup, toako!” akhirnya dia berkata sambil melompat ke belakang.

“Hebat, ilmu silatmu dengan tongkat butut itu membuat aku sama sekali tidak berdaya. Nah, kau lihat sendiri betapa rendanya ilmu silatku, Sia-te. Bagaimana aku akan mampu menandingi Sim Ling Si?”

“Selisihnya sungguh tidak banyak. Seperti kukatakan tadi, enci Ling Si yang sudah menang dalam menjawab soal catur dan hitungan itu tentu tidak begitu bersemangat untuk mendapatkan kemenangan mutlak pula dalam ilmu silat. Aku akan melatihmu serangan-serangan yang tentu akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi biarpun hanya tiga jurus saja, harus kau kuasai benar-benar agar tidak sampai gagal. Dan serangkaian serangan ini baru boleh kau lakukan setelah kalian bertanding lewat tiga puluh jurus.”

“Wah, bagaimana kalau sebelum tiga puluh jurus aku telah dirobohkannya?”

“Jangan khawatir, aku akan membujuknya agar jangan merobohkan engkau sebelum tiga puluh jurus. Nah, perhatikan baik-baik, toako. Engkau memegang mouw-pit mu begini, lalu memasang kuda-kuda begini, melompat ke arah kirinya dan menyerang begini.”

Han Lin memberi petunjuk dengan mouw-pit, dituruti oleh Ouw Ji Sun dan demikianlah, mulai hari itu Han Lin mengajarkan tiga jurus gerakan silat yang sidah diperhitungkan tidak akan dapat dipertahankan oleh Sim Ling Si yang sudah dia kenal pula ilmu dan titik-titik kelemahannya. Selama tiga hari itu Ouw Ji Sun berlatih dengan tekun sementara Han Lin tinggal di rumah siucai tinggi besar itu.

Pada hari ketiga, Han Lin meninggalkan Ouw Ji Sun setelah yakin benar bahwa siucai itu sudah menguasai jurus-jurus barunya, dan dia pergi ke lereng tempat tinggal Sim Ling Si. Dia meloncati rumpun bambu pertama, kedua dan ketiga dan tibalah dia di depan pintu belakang rumah itu. Ternyata Sim Ling Si sudah menunggu di situ ternyata wanita itu sudah melihat dia datang dari luar hutan bambunya.

“Bagaimana, Han Lin? Sudahkah kaudapatkan...” tanyanya penuh harap.

Han Lin tersenyum. “Jangan khawatir, enci. Sudah kudapatkan dengan mudah sekali.”

“Cepat beritahukan padaku bagaimana menghitungnya!” kata wanita itu gembira dan ia menarik tangan Han Lin setengah berlari memasuki rumahnya. Mereka duduk menghadapi meja dan Ling Si sudah membawa catatan soal hitungan itu ke atas meja.

“Jawabannya begini, enci. Kedua macam binatang itu berbaur dalam kandang. Kaki kambing berjumlah empat, sedangkan kaki bebek berjumlah dua. Seluruh binatang itu kakinya ada dua ratus empat puluh enam dan kepalanya delapan puluh delapan, bukan? Nah, andaikata binatang itu kesemuanya kambing, maka kakinya akan berjumlah delapan puluh delapan kali empat, yaitu tiga ratus lima puluh dua. Padahal jumlah kakinya hanya dua ratus empat puluh enam, jadi selisihnya 352-246 sebanyak 106. Nah, selisih ini dibagi selisih antara kaki kedua binatang, yaitu 106:2 = 53. Nah, karena perumpamaan tadi kita ambil dari kambing, maka yang 53 ini adalah bebeknya. Dan tentu saja kambingnya adalah 88-53 = 35. Atau kalau ambil perhitungan dari bebek, andaikata semua bintang itu bebek, maka kepala yang 88 itu dikalikan 2, jadi 176. Nah, selisihnya jadi 246-176 = 70. Karena dihitung dari perumpamaan bebek, maka selisih yang 70 itu dibagi 2, sama dengan 35 dan itulah jumlah kambing.”

“Ah, begitu mudahnya!” Sim Ling Si terheran-heran akan tetapi juga girang sekali.

“Sebetulnya tidak ada persoalan sukar atau mudah, enci. Bagi yang belum tahu, tentu saja suatu persoalan dianggap sukar. Akan tetapi bagi yang sudah tahu, dianggap mudah. Juga tidak ada yang pandai atau bodoh karena yang sudah tahu tentu bisa, dan yang belum tahu tentu tidak bisa. Demikianlah keadaan di dunia ini, enci.”

“Kalau begitu, sekarang juga aku mau menemui Ouw Ji Sun! Akan kupecahkan dua soal yang dia ajukan itu sekarang juga, kemudian dia harus bertanding ilmu silat melayaniku!” Wanita itu nampak penuh semangat dan bergembira. “Engkau harus ikut, Han Lin. Engkau harus menjadi saksinya bahwa akulah yang menang!”

Dengan gembira seperti seorang gadis remaja ia memasuki kamarnya dan berdandan! Han Lin tersenyum saja lalu keluar dari pintu, mengagumi susunan hutan bambu yang aneh itu. Sukar dipercaya bahwa susunan rumpun bambu itu dapat membuat orang sesat dan tidak mampu keluar lagi kalau sudah terjebak di dalamnya.

Sampai agak lama juga dia menanti, baru Sim Ling Si muncul dan begitu melihat gadis itu, hati Han Lin merasa geli. Wanita itu mnegenakan pakaian baru, berbedak dan bergincu, rambutnya disisir dan digelung rapi. Seperti orang yang hendak bertemu pacarnya saja, bukan orang yang hendak pergi bertanding melawan musuhnya. Dan diapun semakin yakin bahwa diam-diam Sim Ling Si juga menaruh hati kepada Ouw Ji Sun.

“Mari kita berangkat!” kata Ling Si yang sudah membawa sepasang pedangnya. Ling Si menyusup ke dalam hutan bambu, diikuti oleh Han Lin. Ia berkeliling beberapa kali dengan belokan-belokan aneh dan tahu-tahu mereka telah berada di luar hutan bambu!

Setelah berada di luar hutan bambu, keduanya lalu menggunakan ilmu lari cepat menuruni lereng menuju ke dusun kecil yang terletak di sebelah utara itu. Penduduk dusun kecil itu terheran-heran melihat wanita cantik memasuki dusun mereka. Di antara mereka ada yang ingin tahu dan diam-diam mengikuti dari jauh ke mana wanita itu hendak pergi. Maka ketika Ling Si dan Han Lin tiba di depan rumah Ouw Ji Sun, ada beberapa orang yang melihatnya dan menonton dari jauh.

“Ouw Ji Sun, keluarlah! Aku datang untuk memenuhi syaratmu!” seru Ling Si dengan suara lantang.

Ketika daun pintu terbuka dan sasterawan tinggi besar itu muncul, untuk kedua kalinya Han Lin merasa geli. Juga Ouw Ji Sun memakai pakaian baru yang rapi, sama sekali bukan seperti orang yang hendak menemui musuh! Keduanya seperti sepasang pengantin yang hendak melaksanakan pernikahan saja, pakaian mereka bagus-bagus!

“Sim Ling Si, benarkah engkau sudah dapat menjawab kedua pertanyaanku, sudah dapat memecahkan dua persoalan itu?”

Ling Si tersenyum mengejek. “Hemm, apa sih sukarnya dua persoalan yang amat sederhana itu. Keluarkan papan caturmu!”

“Baik, kau tunggu sebentar.” Ouw Ji Sun memasuki kembali rumahnya.

“Enci, aku ada permintaan lagi,” kata Han Lin lirih.

“Apa itu?”

“Karena aku yang telah memberitahukan jawaban itu kepadamu, berarti engkau telah berlaku tidak adil kepada Ouw Ji Sun. Oleh karena itu, kalau terjadi pertandingan, aku minta agar enci suka mengalah dan tidak mengalahkan dia kurang dari tiga puluh jurus. Bagaimana?”

Wanita itu tersenyum. Baginya sudah dapat menjawab saja sudah merupakan kemenangan, tidak dianggap bodoh oleh sasterawan itu. Maka ia tidak keberatan atas permintaan itu. “Baik, aku akan mengalahkannya setelah lewat tiga puluh jurus.”

Agak lama Ouw Ji Sun mengambil papan catur karena bukan hanya itu yang dikerjakan. Dia juga membasahi bulu penanya dengan tinta kental hitam, kemudian membawa keluar pula senjatanya yang istimewa itu, dengan memasang penutup pada kepala bulu penanya.

“Nah, ini papan caturnya dan akan kupasang bidak-bidaknya sesuai dengan persoalan itu.” Dia meletakkan papan catur di atas tanah dan meletakkan bidak-bidak catur seperti yang diajukan kepada Ling Si tempo hari.

Ling Si tersenyum mengejek. “Soal yang kau ajukan ini terlampau mudah!”

“Sim Ling Si, sebaiknya kau coba pecahkan persoalan ini. Bagaimana langkahmu untuk dapat menyelamatkan Raja Putih yang sudah terkepung dan tinggal menanti kematiannya itu?” tantang Ouw Ji Sun, tentu saja sikapnya ini pura-pura karena dia sudah tahu dari Han Lin bahwa Ling Si sudah dia beritahu jalannya.

“Hemm, Menteriku akan mengorbankan diri dengan nekat membunuh Panglima Hitam, dan dengan demikian kepungan akan terlepas dan Raja Putih akan selamat!” katanya gembira sambil menjalankan bidak Menterinya mencaplok Panglima Hitam.

Ouw Ji Sun pura-pura terbelalak heran dan akhirnya dia hanya menghela napas berulang kali.

“Bagaimana, Ouw Ji Sun? Hayo jalankan bidak hitammu, aku hendak melihat bagaimana engkau akan menjatuhkan Rajaku!” Ling Si menantang.

“Hemm, memang ini satu-satunya jalan yang tepat untuk menyelamatkan Raja Putih. Engkau pandai, Ling Si. Jawabanmu benar. Akan tetapi masih ada lagi satu soal, yaitu hitungan itu. Kambing dan bebek berbaur menjadi satu. Jumlah kepala mereka semua delapan puluh delapan dan jumlah kaki mereka dua ratus empat puluh enam. Nah, berapa jumlah bebeknya dan berapa pula jumlah kambingnya?”

Ling Si tertawa sambul menutupi mulutnya, gayanya tertawa itu amat manis. “Hi-hik, apa sih sukarnya hitungan macam itu? Anak kecilpun bisa menjawabnya. Jawabannya adalah: jumlah kambingnya tiga puluh lima ekor dan jumlah bebeknya lima puluh tiga ekor. Betul tidak?”

Ouw Ji Sun juga nampak kaget. “Jawaban itu benar, akan tetapi bagaimana jalannya? Jangan ngawur.”

“Ih, siapa ngawur? Apa sukarnya sih? Lihat ini!” ia membuat coret-coret di atas tanah seperti yang pernah ia pelajari dari Han Lin. Setelah selesai ia memandang kepada Ouw Ji Sun dengan wajah berseri penuh kebanggaan. “Nah, benar tidak begini?”

Ouw Ji Sun menghela napas. “Kembali engkau menang Ling Si. Sekarang terserah kepadamu.”

“Sesuai perjanjian kita, kita harus bertanding ilmu silat. Ingin kulihat apakah engkau akan mampu menandingi aku dalam ilmu silat.”

“Baiklah, aku siap!” katanya sambil mengambil mouw-pitnya dan membuka tutup kepala mouw-pit.

“Hemm, apa artinya senjata seperti itu dibandingkan siang-kiamku?” Ling Si mengejek dan mencabut sepasang pedangnya.

“Kita lihat saja siapa lebih lihai, Ling Si. Mulailah!” tantang Ouw Ji Sun.

Wanita itu lalu menyerang dengan cepat, dihindarkan oleh Ouw Ji Sun dengan lompatan ke samping dan diapun balas menyerang dengan mouw-pitnya yang juga ditangkis oleh pedang Ling Si. Demikianlah, disaksikan oleh Han Lin yang berdiri di bawah pohhon, dan oleh beberapa penduduk dusun yang menonton dari jarak agak jauh, kedua orang itu saling serang.

Dari permulaan saja Han Lin tahu bahwa seperti yang diduga dan diharapkannya, Ling Si banyak mengalah. Agaknya wanita itu memegang janjinya dan tidak akan mengalahkan Ouw Ji Sun sebelum lewat tiga puluh jurus.

Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ji Sun mengubah gerakan mouw-pitnya dan Ling Si terkejut sekali karena totokan mouw-pit itu demikian dahsyat, memilik titik-titik kelemahan dalam ilmu silatnya! Totokan mouw-pit yang pertama hampir saja mengenai lehernya, totokan kedua lebih hebat lagi dan nyaris mengenai pelipis kepalanya. Ia tahu bahwa serangan-serangan hebat itu kalau dilanjutkan akan membahayakan dirinya maka ketika melihat kekosongan pada gerakan lawan, cepat sekali pedangnya membuat gerakan menggunting dan pedang itu telah menempel di kanan kiri leher Ouw Ji Sun.

Akan tetapi tepat pada saat itu, seperti yang diajarkan oleh Han Lin, mouw-pit itu telah menyambar dan membuat coretan pada dada kiri Ling Si, demikian halus sehingga tidak terasa oleh gadis itu bahwa baju di bagian dada kirinya telah terkena coretan tinta hitam!

Ling Si tersenyum mengejek. “Ouw Ji Sun, kembali engkau kalah. Dengan sepasang pedangku menempel di kanan kiri lehermu, berarti engkau kalah mutlak!”

Han Lin melangkah maju dan menghampiri mereka. “Enci Ling Si, jangan tergesa mengaku menang. Engkau tidak menang, akan tetapi kalah.”

Ling Si menarik sepasang pedangnya dan memandang pemuda itu dengan alis berkerut. “Han Lin, apa katamu? Bagaimana aku bisa kalah kalau pedangku sudah membuat dia tidak berdaya?”

“Enci yang baik, tengoklah baju di dadamu!” kata Han Lin sambil menunjuk dan tertawa.

Ling Si menunduk dan melihat betapa pada bajunya di dada kiri, tepat di atas buah dada kiri, terdapat coretan hitam yang jelas sekali.

“Enci, sebelum sepasang pedangmu membuat gerakan menggunting, lebih dulu mouw-pit Ouw-toako telah mencoret dadamu. Kalau dia menghendaki, tentu mouw-pit itu bukan sekedar mencoret, akan tetapi menotok dan engkau tentu akan roboh. Tusukan mouw-pit itu tepat pada jantungmu, enci.”

“Ah...!” Ling Si berseru dan wajahnya berubah merah sekali.

“Maafkan aku, Ling Si,” kata Ouw Ji Sun lirih karena dia merasa kasihan kepada wanita yang dicintanya itu.

“Aku... kau... telah... menang...” kata Ling Si sambil menundukkan mukanya. Tak disangkanya bahwa sasterawan itu memiliki jurus-jurus simpanan yang demikian dahsyat.

“Ouw-toako dan enci Ling Si, kalian telah saling mengalahkan dan dikalahkan. Ini berarti bahwa agaknya Tuhan memang telah menjodohkan kalian. Dan aku sendiri melihat bahwa kalian berdua memang cocok sekali menjadi suami isteri. Enci Ling Si cantik dan pandai, juga Ouw-toako gagah perkasa dan ahli sastera. Kurasa kelak kalian akan dapat mendidik anak-anak kalian menjadi seorang pendekar yang juga sasterawan!”

“Ihh..., Han Lin!” bentak Ling Si tersipu.

Ouw Ji Sun tersenyum dan menggunakan kesempatan ini untuk mengajak mereka berdua untuk masuk ke dalam rumahnya. “Silakan kalian masuk, kita bicara di dalam. Lihat, banyak orang menonton di sana.”

Dengan masih tersipu malu Ling Si mengikuti Ouw Ji Sun setelah ditarik oleh Han Lin dan mereka duduk di ruangan dalam. Setelah menghidangkan teh, Ouw Ji Sun bertanya langsung kepada Sim Ling Si. “Adik Ling Si, kita berdua sudah tidak mempunyai siapa-siapa, tidak ada yang dapat menjadi wakil pembicara. Karena itu maafkan kelancanganku kalau aku hendak mohon keputusanmu. Bagaimana, apakah engkau dapat menerima pinanganku kepadamu?”

Ling Si tidak menjawab. Kepalanya semakin menunduk. Melihat ini, Han Lin berkata, “Enci Ling Si, bagaimana kalau aku menjadi juru bicaramu? Kalau engkau tidak setuju dengan jawabanku, kau boleh melarangku atau membantah.”

Ling Si tersenyum-senyum malu dan mengangguk tanpa berani mengangkat mukanya.

“Ouw-toako, enci Ling Si merasa terharu dan berterima kasih sekali atas pinanganmu. Ia menerimanya dengan baik dan mengharapkan kalian berdua kelak akan dapat menjadi suami isteri yang berbahagia. Bukankah begitu, enci Ling Si?”

Wajah itu semakin merah akan tetapi kepala itu ditundukkan dan senyum malu-malu itu menunjukkan bahwa ia tidak membantah. Tentu saja Ouw Ji Sun merasa gembira sekali.

“Terima kasih, adik Ling Si. Kalau engkau sudah menyetujui, lalu kapan pernikahan kita akan dilangsungkan dan di mana?”

Sim Ling Si masih menunduk dan beberapa lamanya tidak mampu menjawab, akan tetapi dua titik air mata menetes turun ke atas pipinya. Ditanya demikian, ia teringat bahwa ia sebatang kara dan tidak mempunyai keluarga seorangpun. Akhirnya dengan suara parau ia menjawab lirih. “Terserah kepadamu...”

Han Lin ikut terharu dengan pinangan dan penerimaan yang amat bersahaja itu, dilakukan dua orang yang hidup menyendiri. Karena merasa ikut terlibat dengan perjodohan mereka, bahkan dia telah membantu sehingga pejodohan itu berjalan lancar, Han Lin lalu berkata dengan gembira.

“Bagaimana kalau sekarang juga dilaksanakan? Kalian berdua sudah mengenakan pakaian yang cukup indah. Tinggal mencari pendetanya saja untuk mengesahkan dan mengundang penduduk dusun ini untuk merayakan!”

Kedua orang itu kelihatan berseri wajahnya dan Ouw Ji Sun berkata, “Aku mengenal Tong Hwi Hwesio di kuil tak jauh dari dusun ini. Dia tentu mau membantu kami setiap saat.”

“Aku juga mempunyai babi dan ayam beberapa ekor, cukup untuk pesta kecil-kecilan,” kata Sim Ling Si.

“Bagus!” Han Lin setengah bersorak. “Mau tunggu apa lagi? Mari kita bertiga pergi ke kuil itu dan aku yang menjadi saksinya, Ouw-toako dan enci Ling Si!”

Dua orang itu setuju dan dengan gembiranya tiga orang itu pergi ke kuil di luar dusun. Dan benar saja, Tong Hwi Hwesio yang menjadi sahabat baik sasterawan itu dengan senang hati melaksanakan upacara sembahyang pengantin. Mereka berdua bersembahyang dan berlutut, mengucapkan sumpah setia sebagai suami isteri, disaksikan oleh Han Lin dan disahkan oleh pendeta Tong Hwi Hwesio. Setelah selesai melakukan upacara sembahyang pengantin, Han Lin menjadi orang pertama yang memberi selamat kepada mereka.

“Ouw-toako dan enci Ling Si, kionghi (selamat) atas pernikahan kalian, semoga hidup berbahagia dan mempunyai banyak anak!”

Suami isteri itu membalas penghormatan itu dan Ouw Ji Sun lalu merangkul Han Lin. “Terima kasih, Sia-te, engkau telah melimpahkan budi yang tak ternilai kepada kami berdua, semoga kelak kami berkesempatan untuk membalasnya.”

Juga Tong Hwi Hwesio memberi selamat kepada temannya dan memberi doa restu untuk sepasang pengantin. Kemudian mereka bergegas kembali ke rumah Ouw Ji Sun untuk mengundang para tetangga atau seluruh penduduk dusun itu yang jumlahnya tidak lebih dari seratus orang merayakan pesta pernikahan itu.

Pesta pernikahan dirayakan meriah dan semua wanita dusun itu terjun ke dapur untuk menyiapkan masakan. Perayaan itu berlangsung sampai malam dan setelah semua tamu pulang, Han Lin juga pamit dari sepasang suami isteri itu untuk melanjutkan perjalanan. Suami isteri itu menahan, akan tetapi Han Lin dengan lembut menyatakan bahwa dia harus melanjutkan perjalanan malam itu juga.

Ouw Ji Sun dan Sim Ling Si menghaturkan terima kasih lagi kepada penolong mereka yang masih muda itu dan mengantar kepergian Han Lin sampai di luar pekarangan rumah mereka. Han Lin menggendong pedang dan buntalan pakaiannya, memegang tongkat bututnya dan malam itu juga dia keluar dari dalam dusun.

* * * * * * *
Kaisar Thai Tsung (773-779) baru setahun lebih menduduki tahta kerajaan. Akan tetapi ketika Kaisar ini bertahta, keadaan negeri sudah lemah dan parah akibat keruntuhan Kerajaan Tang ketika An Lu Shan pada tahun 755 mengadakan pemberontakan dan bahkan berhasil menduduki Tiang-an dan mengusir Kaisarnya yang melarikan diri ke barat.

Semenjak itu sampai direbutnya kembali kekuasaan oleh kaisar kerajaan Tang, kerajaan itu sudah tidak seperti dulu lagi. Kerajaan Tang ketika masih dipimpin oleh Kaisar Beng Ong (712-755) pernah cemerlang, akan tetapi semenjak pemberontakan An Lu Shan pada akhir kedudukan Kaisar Beng Ong itu, kekuasaannya makin menurun.

Bukan saja suku-suku yang dianggap liar dan biadab dari utara dan barat merajalela di daerah Tang bagian utara dan barat, seperti suku bangsa Uigur dan suku bangsa Khitan, akan tetapi juga para kepala daerah yang jauh letaknya dari kota raja, masing-masing menjadi raja-raja kecil yang mengacuhkan kekuasaan Kaisar Thai Tsung. Semua ini ditambah lagi dengan merajalelanya kekuasaan para thai-kam (Sida-sida, pria yang dikebiri) dan para pembesar tinggi yang palsu dan berwatak menjilat ke ats menekan ke bawah.

Kaisar Thai Tsung seolah boneka saja yang tanpa disadarinya dipermainkan oleh orang-orang ini. Sogok menyogok terjadilah, hubungan rahasia dengan suku asing diadakan oleh para pembesar yang haus harta. Penindasan terhadap rakyat terjadi di mana-mana, menimbulkan dendam dan kekerasan di antara rakyat.

Karena para pembesar hanya mementingkan harta dunia, berenang dalam kemewahan, pesta-pesta makan enak, bermabok-mabokan dalam rangkulan gadis-gadis jelita, tidak menghiraukan keamanan rakyat, maka dengan sendirinya kejahatan tumbuh sebagai cendawan di musim hujan. Dalam keadaan seperti itu, maka berlakulah hukum rimba. Yang kuat menang, yang menang berkuasa, dan yang berkuasa itu benar selalu. Uang menjadi alat kekuasaan, karena dengan uang segalanya dapat dibeli!

Setiap orang pejabat, besar kecil, memelihara tukang pukul. Juga setiap tuan tanah dan hartawan mempunyai kelompok tukang pukul untuk melindungi mereka dan melaksanakan pemaksaan kehendak mereka, terutama kepada rakyat bawahan.

Dalam keadaan rakyat sengsara itu, yang menonjol hanyalah kemajuan kesenian terutama sastera. Banyak bermunculan penyair-penyair besar seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain yang menjerit dalam syair mereka menyuarakan jeritan hati rakyat jelata.

Ketika empat tahun yang lalu, yang menjadi kaisar masih Kaisar Kui Tsung (768-773), terjadi pencurian pedang Ang-in-po-kiam, maka gemparlah seluruh istana dan sebentar saja berita itu tersiar ke seluruh negeri. Kaisar Kui Tsung memerintahkan jagoan-jagoan istana untuk mencari pencuri itu, namun sia-sia belaka.

Pencuri itu amat lihai, tanpa meninggalkan bekas, bahkan empat orang penjaga gedung pusaka yang dibuat tidak berdaya dengan totokan, tidak mampu menceritakan bagaimana macamnya pencuri itu karena mereka dirobohkan tanpa terlihat yang melakukannya.

Kaisar yang merasa penasaran karena Ang-in-po-kiam merupakan sebuah di antara pusaka lambang kekuasaan kaisar, lalu mengumumkan bahwa barang siapa dapat menemukan kembali pedang pusaka itu, akan diberi hadiah harta benda dan kedudukan tinggi kalau dikehendaki.

Itulah sebabnya mengapa para tokoh kang-ouw membuka mata lebar-lebar dan membuka telinga untuk mendengar berita kalau-kalau dapat membawa mereka pada pencurinya untuk merampas kembali pusaka istana itu. Semua itu tidak berhasil. Tak seorangpun mengetahui bahwa yang melakukan pencurian itu adalah Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw.

Setelah Kaisar Thai Tsung menjadi Kaisar, diapun mengumumkan agar orang mencuri pusaka yang hilang, bahkan menambah besarnya hadiah yang dijanjikan. Para tokoh kang-ouw akhirnya mendengar bahwa pusaka itu dicuri oleh tokoh Cin-ling-pai dan berita ini sebetulnya didesas-desuskan oleh bekas anak buah Hoat-kauw yang sudah dibasmi pasukan pemerintah.

Cin-ling-pai merupakan sebuah perkumpulan yang kuat dan yang tidak mau tunguk kepada Hoat-kauw, bahkan dalam bentrokan, banyak anak buah Hoat-kauw yang tewas. Oleh karena itu, ketika sisa anak buah Hoat-kauw cerai berai, merekalah yang menyebar berita itu dengan maksud untuk melakukan fitnah agar Cin-ling-pai dimusuhi para tokoh kang-ouw lainnya.

Ketua Cin-ling-pai, Yap Kong Sin yang berjuluk Bu-eng-kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan) mendengar desas-desus ini dan dia menjadi marah. Untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, dia lalu mengundang para tokoh kang-ouw untuk mengadakan pertemuan di kota Han-cung yang terletak di kaki pegunungan Cin-ling-san, di tepi sungai Han. Kota ii memang menjadi cabang terbesar dari Cin-ling-pai yang pusatnya berada di lereng puncak Cin-ling-san.

Kota Han-cung cukup besar dan ramai karena dari kota itu orang dapat mengirim barang-barang hasil sawah ladang dan hutan pegunungan melalui jalan air menuju ke kota-kota besar di timr karena sungai Han ini menjadi anak sungai Yang-ce.

Pada suatu pagi yang cerah, Han Lin memasuki kota Han-cung. Ketika dia memasuki pintu gerbang kota itu, dari arah belakangnya datang dua orang penunggang kuda yang menarik perhatiannya. Mereka itu seorang pemuda yang gagah perkasa berpakaian putih-putih yang indah bersih, berusia sekitar dua puluh lima tahun, bersama seorang gadis cantik jelita yang berpakaian merah muda, usianya sekitar delapan belas tahun.

Baik pemuda maupun gadis itu, jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan dan termasuk orang-orang kang-ouw. Hal ini dapat dilihat dari pedang yang tergantung di punggung mereka, juga dari cara mereka menunggang kuda. Juga pakaian mereka yang terbuat dari sutera mahal indah itu, berpotongan ringkas seperti biasa dipakaian orang kang-ouw ahli silat.

Kedua orang itu tidak memperhatikan Han Lin. Memang pemuda ini tidak ada istimewanya, tidak menarik perhatian. Pakaiannya sederhana saja, dan berjalan kaki, dengan buntalan pakaian di gendongannya. Pedang Ang-in-po-kiam itu dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian dan yang berada di tangannya hanyalah sebatang tongkat bambu butut menghitam.

Dia mirip seorang pemuda dari dusun yang memasuki kota dan tidak akan menarik perhatian orang. Tak ada yang mengira sama sekali bahwa dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan dialah yang memegang Ang-in-po-kiam, pedang pusaka istana yang lenyap dicuri orang sehingga menggemparkan seluruh dunia kang-ouw itu.

Han Lin memang sedang melakukan perjalanan ke Tiang-an dan kota Han-cung sudah tidak begitu jauh lagi dari kota raja. Ketika dalam perjalanan dia mendengar bahwa Cin-ling-pai mengundang orang kang-ouw pada umumnya, dia tertarik dan ingin menonton untuk meluaskan pengalamannya.

Dia pernah mendengar dari Kong Hwi Hosiang tentang perkumpulan-perkumpulan dan aliran persilatan yang terkenal dan Cin-ling-pai termasuk sebuah di antara perguruan besar yang memiliki banyak murid pendekar. Bahkan gurunya pernah menyebut nama ketuanya, yaitu Bu-eng-kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan) Yap Kong Sin sebagai jago pedang yang amat tangguh.

Pagi itu telah banyak rumah makan buka, melayani orang-orang yang hendak sarapan. Han Lin merasa lapar dan melihat dua ekor kuda besar ditambatkan di depan sebuah rumah makan, dia teringat akan pemuda dan gadis yang elok dan gagah tadi, maka diapun memilih rumah makan itu untuk membeli sarapan.

Rumah makan itu cukup besar dan luas, dan ketika dia masuk nampak olehnya pemuda baju putih dan gadis baju merah muda telah duduk di situ. Di satu sudut duduk serombongan orang muda berusia antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun sebanyak lima orang dan mereka itu ternyata sudah setengah mabok. Sepagi itu sudah mabok-mabokan, dari kebiasaan ini saja sudah dapat dinilai orang-orang macam apa mereka itu.

Akan tetapi, melihat pakaian mereka yang ringkat dengan lengan baju digulung, menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, tenaga dan ilmu silat. Mereka itu makan minum sambil tertawa-tawa dan mata mereka melirik secara kurang ajar kepada gadis berpakaian merah muda.

“Hemm, kalian mencari penyakit,” pikir Han Lin yang dapat menduga bahwa gadis dan pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Kalau lima orang pemuda berandal itu berani mencari perkara dengan mereka berdua, berarti mencari penyakit sendiri.

Dia menoleh ke kiri dan melihat seorang gadis yang wajahnya berseri, cantik manis dan matanya kocak. Gadis ini berpakaian mewah, akan tetapi kecantikannya itu agak aneh dan terasa asing bagi Han Lin. Biarpun pakaian dan tata rambut gadis itu seperti seorang gadis Han biasa, namanu Han Lin dapat menduga bahwa ia bukanlah gadis Han. Matanya terlalu lebar dan hidungnya terlalu mancung untuk seorang gadis Han. Juga bentuk mulutnya yang selalu senyum itu nampak asing namun indah menarik. Seorang kakek duduk di samping gadis itu dan melihat kakek itu, Han Lin terbelalak heran.

Kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, pendek gendut bundar, perutnya yang gendut kelihatan karena bajunya selalu terbuka kancingnya seolah dia selalu merasa panas. Mukanya hitam seperti arang, matanya lebar dan mulutnya senyum-senyum sendiri kadang setengan tertawa tanpa sebab seperti orang yang kurang waras.

Itulah Hek-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Hitam), kata Han Lin dalam hatinya. Tidak salah lagi. Seorang di antara Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Bahkan dia pernah bentrok dengan mereka, ketika dia membantu pasukan pemerintah membasmi orang-orang Hoat-kauw yang bersekutu dengan orang Mongol hendak melakukan gerakan memberontak. Dan Sam Mo-ong adalah kaki tangan orang Mongol.

Kenapa Hek-bin Mo-ong berada pula di Han-cung? Dan siapa pula gadis cantik yang bersamanya itu. Nampaknya ketika mereka makan minum, Hek-bin Mo-ong bersikap amat hormat kepada gadis itu. Han Lin yang kebetulan duduk agak di belakang sebelah kanan Hek-bin Mo-ong, mengerahkan pendengarannya dan dia dapat menangkap bahwa gadis itu menyebut suhu kepada kakek muka hitam itu.

“Suhu, kapan kita akan berkunjung ke sana?”

“Besok baru dimulai pesta itu. Ssstt, sudahlah, Mulani, jangan bicara tentang itu,” kata kakek itu lirih dan perhatian mereka kini ditujukan ke arah meja pemuda dan gadis yang gagah itu.

Perhatian Han Lin juga beralih ke sana karena seperti diduganya, kini gerombolan pemuda berandal itu telah mulai beraksi. Mereka memecah gerombolan menjadi dua, yang tiga orang menghampiri pemuda dan gadis itu, sedangkan yang dua orang lagi menghampiri gadis manis yang duduk bersama Hek-bin Mo-ong! Mereka berjalan sambil menyeringai kurang ajar dan melihat ini, Han Lin tersenyum. Kalian mencari penyakit, pikirnya.

Dua orang pemuda yang menghampiri meja gadis dan kakek itu, sudah tiba dekat mereka dan seorang di antara mereka berkata, “Nona tentu kesepian hanya duduk makan bersama seorang kakek, bagaimana kalau kami berdua menemanimu?” Orang bermuka kuning itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang lebih kuning lagi.

“Heh-heh, engkau manis sekali, nona. Kami akan bersenang-senang denganmu...” kata orang kedua yang bertubuh pendek.

Kakek itu tersenyum lebar dan gadis manis juga tersenyum lalu berkata, “Ih, kalian mengingatkan aku akan dua ekor anjingku. Aku mempunyai dua ekor anjing di rumah dan lagaknya persis kalian. Hayo jongkok dan aku akan memberimu makan...!” ia menjentik-jentikkan jarinya seperti kalau memanggil anjing-anjingnya.

Dua orang laki-laki muda itu terbelalak, muka mereka menjadi merah karena marah. Mereka telah dihina seperti anjing! Mereka hendak memaki lagi, akan tetapi baru saja mereka membuka mulut, sepotong daging menyambar dan tepat memasuki mulut mereka. Han Lin melihat betapa dengan gerakan cepat sekali gadis itu menggunakan sumpit, mengambbil potongan daging dan menyambitkan dua kali berturut-turut ke mulut mereka dan tepat memasuki mulut yang sedang terbuka itu.

Tentu saja kedua orang itu menjadi gelagapan dan semakin marah. Agaknya mereka adalah jenis orang-orang yang tak tahu diri mengandalkan diri dan kawan-kawan berbuat sesukanya. Mereka meludahkan keluar daging yang memasuki mulut mereka itu dan bagaikan dua ekor biruang, mereka mengembangkan tangan untuk menangkap gadis yang telah menghina mereka itu.

Kembali Han Lin melihat gerakan yang amat cepat dari gadis itu. Hanya satu kali saja tangan kirinya bergerak melemparkan sepasang sumpit dan akibatnya, dua orang itu menjerit sambil memegangi tangan kanan dengan tangan kiri mereka. Tangan kanan mereka telah ditembusi sumpit tepat di tengah-tengah telapak tangan sampai tembus! Mereka berjingkrak kesakitan dan mundur, terbelalak ketakutan. Terdengar Hek-bin Mo-ong dan gadis itu tertawa senang.

Sementara itu, tiga orang pemuda yang menghampiri meja di mana pemuda berpakaian putih dan gadis berpakaian merah muda duduk, juga mengalami nasib sial. Sambil cengar-cengir ketiga orang pemuda ini menghampiri mereka dan berkata kepada si gadis.

“Nona, agaknya nona berdua hendak mengunjungi pesta Cin-ling-pai besok pagi. Mari nona kita bersama-sama, malam ini nona boleh bermalam di rumah kami.”

Melihat tiga orang itu merubung adiknya, pemuda berpakaian putih itu marah sekali. Dialah yang bangkit berdiri dan menggebrak meja. “Kawanan berandal berani kurang ajar terhadap adikku? Menggelindinglah dari sini atau terpaksa aku akan menghajar kalian seperti anjing!”

Tiga orang itu memang hendak mencari perkara. Mereka ingin memisahkan pemuda itu dari si gadis manis, maka serentak mereka berbalik menghadapi pemuda baju putih. Seorang di antara mereka yang matanya juling dan menjadi pimpinan mereka, bertolak pinggang.

“Ah, engkau ini manusia tak tahu terima kasih. Kami menawarkan jasa-jasa baik dan engkau malah memaki kami? Kami hanya membutuhkan nona ini, tidak membutuhkan kamu dan untuk makianmu itu kamu harus dihajar! Hayo lempar dia keluar rumah makan!” katanya kepada dua orang kawannya dan mereka serentak maju untuk menangkap pemuda baju putih itu.

Akan tetapi begitu tangan kaki pemuda baju putih itu bergerak, tiga orang itu terlempar ke belakang dan jatuh menimpa meja kursi. Tiga orang itu tidak terluka parah, mereka benar-benar tak tahu diri karena mereka menjadi semakin marah. Mereka mencabut golok yang tergantung di pinggang, kemudian mereka maju pula hendak menyerang pemuda berpakaian putih itu. Sekali ini, gadis berbaju merah muda yang berseru. “Koko, biarkan aku yang menghajar mereka!”

Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kursinya, bagaikan seekor burung garuda ia melayang ke arah tiga orang itu yang menyambut tubuhnya dengan bacokan golok mereka. Namun gerakan gadis itu gesit bukan main. Tubuhnya dapat menyelinap di antara bacokan golok, kaki tangannya bergerak dan untuk kedua kalinya tiga orang itu terlempar dan terjengkang.

Dengan ringan tubuh gadis itu sudah turun dan tanpa memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk menyerangnya kembali, kakinya sudah berloncatan dan diayun keras membagi tendangan dan tiga orang itu bergulingan, golok mereka terlepas dari tangan, muka mereka babak keluar dan benjol-benjol.

Barulah mereka sadar bahwa mereka takkan menang. Mereka erangkak bangun dan melihat dua orang kawan mereka mendatangi sambil merintih-rintih dan dengan tangan kanan terpaku sumpit. Lenyaplah semangat mereka dan kelimanya lalu berlari keluar.

Semua tamu di rumah makan itu menjadi takut. Pemilik rumah makan segera maju dan memberi hormat kepada pemuda dan adiknya itu dan berkata, “Kongcu dan siocia, harap segera meninggalkan tempat ini. Gerombolan itu banyak kawannya dan kalau pemimpin mereka datang...”

“Kami tidak takut!” kata gadis baju merah muda. “Kalau mereka datang akan kuhajar semua!”

“Tapi, nona... tempat kami ini... bisa hancur berantakan. Tadi saja sudah merusakkan meja kursi dan mangkok piring, belum lagi mereka itu tidak membayar...”

“Paman, kau hitung semua kerugianmu, akan kuganti,” kata pemuda pakaian putih itu. “Dan jangan khawatir, kalau pemimpin gerombolan itu datang, akan kubasmi mereka semua. Ketahuilah kami dua saudara datang dari Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) dari kota raja, dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi gerombolan berandal!” ucapan ini lantang dan terdengar oleh semua orang. Han Lin diam-diam menyesalkan mengapa kegagahan pemuda baju putih itu mengandung ketinggian hati.

Sementara itu, kebetulan Hek-bin Mo-ong memandang ke sekeliling dan biarpun Han Lin sudah membuang muka, tetap saja Hek-bin Mo-ong dapat mengenalnya. Kakek itu kelihatan terkejut dan dia berbisik kepada gadis di sebelahnya, lalu membayar harga makanan dan tergesa-gesa pergi dari rumah makan itu. Han Lin membiarkannya saja karena memang dia tidak ingin bentrok lagi dengan datuk yang jahat dan sakti itu.

Dia ingin melihat perkembangan peristiwa di rumah makan, dan melihat apa yang akan dilakukan muda-mudi tokoh Pek-eng Bu-koan itu. Pemuda itu memang tinggi hati, akan tetapi adiknya nampaknya lincah jenaka dan tidak sombong seperti kakaknya. Bahkan adiknya itu tadi memperlihatkan kelincahan yang mengagumkan, agaknya lebih lincah dibandingkan gerakan kakaknya. Demikianlah, ketika akhirnya setelah menanti beberapa lama pemuda dan gadis itu meninggalkan rumah makan dan membayar semua kerugian yang diderita oleh pemilik rumah makan, dia mambayangi dari jauh.

Tergesa-gesa Hek-bin Mo-ong meninggalkan rumah makan itu bersama gadis yang cantik manis itu. Hek-bin Mo-ong adalah seorang di antara Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis). Tokoh yang lain adalah Pek-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Putih) yang tinggi kurus muka pucat seperti kapur, matanya sipit seakan menangis terus.

Akan tetapi dia juga lihai sekali, memiliki sin-kang panas beracun sehingga orang yang terkena pukulan lihai ini akan hangus tubuhnya. Dia selalu memakai baju mantel seolah-olah selalu kedinginan. Datuk sesat ini sebenarnya adalah seorang peranakan suku bangsa Hui, dan apabila dia mengerahkan sin-kangnya yang panas beracun, jari tangannya berubah merah seperti membara.

Orang ketiga adalah Kwi-jiauw Lo-mo yang merupakan orang tertua dan pemimpin dari Sam Mo-ong. Orangnya berusia enam puluh enam tahun, tubuhnya pendek gendut seperti katak dan kalau berkelahi dia dapat menggelinding seperti peluru berputar, dan sepasang tangannya disambung sepasang cakar setan yang ampuh sekali dan mengandung racun mematikan.

Kwi-jiauw Lo-mo ini peranakan Mongol, mukanya kuning dan dia masih mertua dari mendiang An Lu Shan, pemberontak yang berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang itu. Gadis cantik dan lincah yang berjalan bersama Hek-bin Mo-ong bernama Mulani dan gadis berusia delapan belas tahun ini adalah puteri Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang menjadi atasan Sam Mo-ong. Mulani juga merupakan murid dari Sam Mo-ong.

Maka di bawah gemblengan tiga orang guru yang sakti ini ia menjadi seorang gadis yang lihai sekali seperti diperlihatkan ketika ia menggunakan sumpit menembus telapak tangan dua orang pemuda berandal yang berani kurang ajar kepadanya. Mulani adalah anak tunggal, maka ia agak dimanja dan sekali ini, ketika ia merengek kepada ayahnya untuk ikut Hek-bin Mo-ong melakukan penyelidikan ke selatan, ayahnya tidak dapat melarangnya.

Sebetulnya ketiga Sam Mo-ong semua melakukan perjalanan ke selatan, namun mereka membagi tugas. Hek-bin Mo-ong bertugas untuk mengunjungi pesta ulang tahun Cin-ling-pai sambil melihat keadaan, dan puteri Mulani ikut dengannya. Adapun Kwi-jiauw Lo-mo hendak pergi mengunjungi Beng-kauw dalam usahanya untuk membalas dendam atas kematian cucunya An Seng Gun, putera mendiang An Lu Shan dan mendiang Kiauw Ni puteri Kwi-jiauw Lo-mo.

An Seng Gun ini setahun yang lalu mewakili Sam Mo-ong bersekutu dengan Hoat-kauw dan membantu Hoat-kauw dengan cara menyelundup ke dalam perkumpulan Nam-kiang-pang dan menguasai perkumpulan itu. Akan tetapi, akhirnya An Seng Gun dan sekutunya, yaitu Hoat-kauw, digempur pemerintah yang dibantu oleh para pendekar.

Dan dalam pertempuran yang seru, An Seng Gun tewas di tangan seorang tokoh besar Beng-kauw, yaitu putera mendiang Sie Wan Cu ketua Beng-kauw yang bernama Sie Kwan Lee dan yang kini menggantikan kedudukan ayahnya dan menjadi ketua Beng-kauw. Karena itu, Kwi-jiauw Lo-mo mendendam kepada ketua Beng-kauw yang baru ini. Kepergiannya membalas dendam ke Beng-kauw ini ditemani rekannya, yaitu Pek-bin Mo-ong.

Dia tahu bahwa Beng-kaiw adalah perkumpulan yang kuat, mempunyai banyak orang pandai, maka dia mengajak rekannya. Demikianlah, Hek-bin Mo-ong bersama Mulani meninggalkan restoran dengan tergesa-gesa. Dia terkejut sekali melihat Han Lin, pemuda yang dia tahu amat tangguh itu, maka segera dia meninggalkannya.

“Suhu, kenapa begini tergesa-gesa?”

“Hayo cepatlah, Mulani. Aku tidak ingin terlibat dalam keributan di sana tadi, akan mengganggu tugas kita saja,” kata Hek-bin Mo-ong sambil melangkah dengan cepat diikuti gadis itu.

Karena tergesa inilah, ketika tiba di satu tikungan, dia akan bertabrakan dengan dua orang yang diikuti beberapa orang lain, yang juga berjalan dengan setengah berlari. Untuk menghindarkan tabrakan, Hek-bin Mo-ong mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang itu. Dia tahu bahwa dorongan itu akan membuat kedua orang itu terjengkang akan tetapi dia akan terbebas dari tabrakan. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika kedua orang itu melesat ke kanan kiri seperti terbang saja, sehingga dorongan kedua tangannya luput! Ternyata kedua orang itu memiliki gin-kang yang hebat!

Hek-bin Mo-ong siap menghadapi dua orang lawan yang dia tahu bukan lawan sembarangan itu. Juga Mulani maklum bahwa dua orang itu lihai. Dapat mengelak dari dorongan kedua tangan Hek-bin Mo-ong saja sudah hebat, apalagi elakan itu dilakukan dengna meloncat sedemikian cepat dan tingginya seperti terbang saja dan dua orang itu tahu-tahu telah berada di atas pohon di kanan kiri jalan!

Belasan orang yang tadi berjalan di belakang dua orang itu, termasuk tiga orang yang tadi dihajar oleh kakak beradik yang berada di rumah makan, yang dua lagi tak dapat ikut karena tangan mereka yang tertembus sumpit itu nyeri sekali, kini bergerak maju untuk mengeroyok kakek dan gadis cantik itu. Hek-bin Mo-ong dan Mulani sudah siap untuk menghajar mereka.

“Tahan!” terdengar teriakan dari kanan kiri dan kedua orang yang tadi mengelak sambil berlompat ke atas pohon, kini melayang turun dengan gerakan indah cepat dan mereka kini berdiri di depan Hek-bin Mo-ong. Kakek ini memandang penuh perhatian dan siap melawan. Akan tetapi ketika dia melihat siapa adanya kedua orang itu, mulutnya yang selalu menyeringai itu terbuka lebar.

“Ha-ha-ha! Kiranya kalian Thian Te Siang-kui (Sepasang Siluman Langit Bumi)!” katanya sambil tertawa.

Dua orang itu memang aneh. Yang seorang tinggi kurus, lebih tinggi sekepala dibandingkan orang yang tingginya seukuran umum. Dan yang seorang lagi kecil pendek, bahkan agak lebih pendek dibandingkan Hek-bin Mo-ong yang sudah pendek.

Kedua orang yang usianya sekitar lima puluh tahun itu lalu memberi hormat. Thian-kui (Siluman Langit) yang bertubuh tinggi berkata, “Harap maafkan kami, Mo-ong. Kami tidak tahu sama sekali bahwa Mo-ong yang akan lewat di sini sehingga hampir bertabrakan...”
Selanjutnya,