Mestika Burung Hong Kemala Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Mestika Burung Hong Kemala

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
Jilid 13
”AKUPUN mengucapkan terima kasih kepadamu, Sia-ciangkun."

Semua orang terkejut, termasuk Sia Su Beng. Akan tetapi kalau para panglima yang mendengar tuduhan itu terkejut dan tidak percaya, Sia Su Beng benar-benar terkejut karena tidak menyangka bahwa Bouw Koksu benar-benar telah mengetahui hal itu! Akan tetapi, dia sengaja tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, Bouw Koksu, siapa mau percaya bualanmu itu? Kalau betul seperti yang kau katakan itu, kenapa engkau tidak menangkap pembunuh itu agar ada buktinya?"

"la terlalu licik dan berhasil meloloskan diri dari kota raja!" kata Bouw Koksu gemas.

Kembali terdengar suara tawa Sia Su Beng. "Ha-ha-ha, bagaimana mungkin ini? Bouw Koksu yang terkenal lihai dengan banyak sekali anak buahnya, tidak mampu menangkap seorang gadis dayang? Cu-wi ciangkun, apakah cerita ini dapat dipercaya?"

Para panglima tertawa-tawa dan menggeleng kepala. Melihat ini, Bouw Koksu tidak dapat menahan sabar lagi.

"Sia-ciangkun dan para panglima yang telah dapat dihasut olehmu, apakah kalian semua tetap hendak rnemberontak dan menentang penobatan Pangeran menjadi Kaisar?"

"Kami tidak memberontak, tidak pula menentang penobatan, akan tetap minta agar penobatan ditangguhkan sampai diketahui dengan tuntas mengenai pembunuhan terhadap Sri baginda Kaisar. Kalau Pangeran yang berdiri di belakang pembunuhan itu, dibantu oleh Bouw Koksu seperti yang telah kami dengar dengan mempergunakan seorang dayang maka tentu kami tidak setuju mengangkat seorang pembunuh ayah kandung sendiri menjadi junjungan kami!"

"Yang Mulia Pangeran, mereka ini hendak memberontak! Sepatutnya mereka ditangkap! Harap paduka memberi perintah dan hamba akan menangkap mereka!"

Bouw-ciangkun dengan marah, memberi tanda kepada para pendukungnya untuk siap bergerak. Pangeran An Kong sudah gemetar kedua kakinya mendengar ucapan Sia Su Beng yang agaknya mengetahui rahasia ia membunuh ayahnya. Diapun tidak melihat jalan lain kecuali menggunakan kekerasan. Dia bangkit berdiri dan menudingkan tangannya ke arah Sia Su Beng,

"Tangkap para pemberontak itu!"

Akan tetapi, Sia Su Beng mengeluarkan suara melengking panjang dan dari semua pintu ruangan itu bermunculan pasukan yang siap dengan anak panah mereka. Tentu saja Pangeran An Kong dan Bouw Koksu, juga Bouw Ki menjadi pucat me lihat ini.

"Pemberontakan!!!" Bouw Koksu berseru.

"Sia-ciangkun, engkau mernberontak!" kata pula Pangeran An Kong.

"Pangeran, tidak ada yang memberontak terhadap mendiang Sribaginda kaisar! Mereka yang merencanakan kematiannyalah yang memberontak. Untuk sementara ini, demi keamanan negara, kami yang akan memimpin dibantu oleh para panglima. Urusan pembunuhan ini akan kami selidiki sampai tuntas dan siapapun yang menjadi dalangnya, akan kami seret ke pengadilan. Untuk sementara ini, semua penghuni istana, terrnasuk paduka, pangeran, di larang meninggalkan istana. Semua pejabat, termasuk Bouw Koksu, dilarang meninggalkan kotaraja.”

Pangeran An Kong menjadi pucat dan dengan suara lemah dia lalu membubarkan persidangan dan mengundurkan diri kedalam kamarnya. Bouw Koksu memberi isarat mata kepada Bouw Ki dan keduanya cepat meninggalkan istana, menuju ke gedung mereka sendiri. Keduanya nampak cemas dan gugup.

"Hemm, bagaimana sampai terjadi begini?" Bouw Hun mendesis marah kepada puteranya ketika mereka berada di luar istana.

"Aku sudah mempersiapkan semua pasukan, ayah, akan tetapi agaknya diam-diam mereka juga sudah mengepung istana ini. Lihat di sana."

Mereka melihat bahwa pasukan yang besar jumlahnya mengepung istana dan pasukan anak buah Bouw-ciangkun tidak nampak. Mereka itu tadi telah dilucuti dan ditawan di dalam benteng! Bukan itu saja, bahkan juga benteng pasukan Bouw Ki telah dikuasai pasukan Sia Su Beng. Melihat ini, Bouw Ki menjadi pucat dan dia bersama ayahnya cepat pulang ke gedung mereka.

"Celaka, kita terjebak!" kata Bouw Hun. "Selagi masih ada kesempatan, kita harus cepat meninggalkan kota raja. Mari kita berkemas!" tergesa-gesa mereka kembali ke gedung tempat tinggal mereka dan baru mereka ingat bahwa seluruh pasukan mereka tadi dikerahkan ke istana sehingga di rumah itu tidak tertinggal seorangpun perajurit pengamat, hanya tinggal para pelayan dalam gedung saja.

"Cepat siapkan kereta dengan dua kuda terbaik!" perintah Bouw Koksu kepada seorang pembantunya yang segera lari ke istana untuk mempersiapkan perintah majikannya.

Ayah dan anak itu segera berkemas, mengumpulkan harta berupa emas dalam sebuah peti dan tidak lupa Koksu membawa pusaka yang masih simpan, yaitu Mestika Burung Hong Kemala dalam kotak kecil hitam itu. Kotak ini dia bungkus dan dia ikatkan buntalan kain itu ke punggungnya. Kemudian sambil membawa pedang mereka, ayah dan anak ini berlari-lari menuju ke depan di mana kereta dengan dua ekor kuda sudah menunggu.

Akan tetapi, tak nampak seorangpun pelayan, bahkan pelayan yang tadi mempersiapkan kereta dan kuda juga tidak nampak. Sunyi sekali pekarangan yang luas dari rumah gedung yang hendak mereka tinggalkan itu. Ketika mereka menghampiri kereta tiba-tiba dari dalam kereta itu muncul empat orang yang membuat ayah dan itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Heh-heh, Bouw Koksu, hendak pergi ke manakah?" kata Hui San yang sambil tersenyum lebar.

"Siapa... siapa engkau?" bentak Bouw Koksu yang sudah merasa gelisah dan terkejut melihat Kirn Hong bersama di antara mereka.

"Aku bernama Souw Hui San. Aku di perintah oleh arwah pamanku Souw Lok untuk menagih nyawa kepadamu. Nah. serahkan nyawamu, Bouw Koksu!"

Bukan main kagetnya rasa hati Bouw Hun, dan maklumlah dia bahwa dia telah terhalang dan agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri lagi. "Kim Hong, engkau yang pernah menjadi muridku dan pernah kami sayang seperti anak, balaslah budi kami dan singkirkan pemuda ini untuk kami!" kata Bouw Hun.

Kim Hong tersenyum mengejek. "Bouw Hun, engkau tidak pernah melepas budi kebaikan kepadaku, melainkan perbuatan keji dan jahat. Lupakah engkau tentang penipuanmu kepadaku, memperkenalkan Ciang Kui sebagai ayah kandungku? Engkau hanya ingin memanfaatkan tenagaku, bukan benar-benar sayang kepadaku."

"Engkau.... engkau manusia yang tak mengenal budi!" Bouw Hun memaki dan menerjang maju dengan pedang bengkoknya, menyerang gadis itu.

Akan tetapi, sambil mengelak ke samping, sekali ia menampar sambil mengerahkan tenaganya, tubuh Bouw Hun terpelanting. Memang benar ketika masih kecil sampai dewasa, Kim Hong menjadi murid Bouw Hun. Akan tetapi setelah dara ini menerima gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ilmu kepandaiann meningkat dengan hebat dan tentu saja kini Bouw Hun sama sekali bukan tandingannya lagi.

"Hemm, mengingat bahwa engkau pernah menjadi guruku, aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!"

Setelah berkata demikian, gadis menghadapi Bouw Ki dan memandang dengan sinar mata marah. "Engkaulah, Bouw Ki, yang layak mati di tanganku."

"Pengkhianat tak tahu malu!" Bouw Ki membentak dan dia menerjang gadis itu dengan pedangnya. Kim Hong menyambut dengan elakan, mudah saja baginya untuk menghindarkan diri dari bacokan-bacokan pedang Bouw Ki yang di lakukan dengan membabi-buta saking marah, gentar dan putus asa.

Sementara itu, Hui San menghadapi Bouw Hun dan dia mencabut pedangnya. "Nah, sekarang mari kita bertanding satu lawan satu untuk menyelesaikan hutang mu kepada mendiang Paman Souw Lok!"

Seperti juga puteranya, Bouw Hun tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri, maka diapun menjadi nekat dan sambil membentak marah, dia menggunakan pedang bengkoknya untuk menyerang Hui San.

"Trang-trangg!"

Dua kali Hui San menangkis serangan Bouw Hun ia lalu membalas dengan tusukan pedangnya yang dapat pula dihindarkan Koksu itu dengan tangkisan pedang bengkoknya. Terjadilah dua buah pertandingan yang berat sebelah, karena baik Bouw Ki pun Bouw Hun sama sekali bukan lawan setanding dengan Kim Hong dan Hui San.

Sementara itu, Cin Han dan Kui Lan hanya menjadi penonton saja karena kedua orang kakak beradik ini maklum bahwa kekasih mereka tidak akan kalah. Mereka hanya berjaga-jaga kalau sampai kekasih mereka dikeroyok anak buah Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun. Tadi mereka berempat telah merobohkan para pembantu Bouw Koksu yang berada di luar gedung, termasuk kusir kereta dan mereka yang mempersiapkan kereta dan kudanya di depan pintu.

Yang amat payah keadaannya dalam pertandingan itu adalah Bouw Ki. Pemuda Khitan yang semenjak An Lu Shan berhasil dalam pemberontakannya seolah-olah kejatuhan bintang dan diangkat menjadi panglima dengan pakaian yang rnentereng ini, tentu saja mencoba untuk dapat menang dalam perkelahian itu.

Akan tetapi, harapannya ini tentu saja kosong belaka karena dahulupun, ketika mereka berdua masih menjadi murid Bouw Hun, di dalam latihan dia tidak pernah dapat menang melawan Kim Hong. Apa lagi setelah Kim Hong menjadi murid Hek-Hong Kwan Bhok Cu dan minum darah ular Hita m Kepala Merah, tingkat kepandaian gadis itu menjadi tinggi sekali, jangankan dia, bahkan ayahnyapun bukan tandingan Kim Hong sekarang.

Tidak seperti Hui San yang suka main-main, Kim Hong langsung saja mendesak bekas suhengnya dengan tekanan-tekanan yang membuat Bouw Ki hanya manpu nengelak dan menangkis dengan pedang bengkoknya, sama sekali tidak dapat membalas. Bouw Ki merasa gentar sekali.

Sepasang matanya yang biasanya tajam seperti mata burung rajawali itu kini terbelalak dan liar ketakutan, walaupun dia masih berusaha untuk menang, dengan sekuat tenaga setiap kali pedang di tangan Kim Hong menyambar. Ujung pedang itu sudah melukai bahu kirinya sehingga gerakannya menjadi semakin kaku. Dengan sisa tenaga yang ada, ketika sinar pedang Kim Hong meluncur kearah kepalanya, dia menggerakkan pedang bengkoknya menangkis.

"Trakkk!” Patahlah pedang di tangan Bouw Ki dan di detik berikutnya, tahu-tahu sinar pedang di tangan Kim Hong berkelebat dan pedang itu telah menembus dada Bouw Ki. Hanya sekejap saja, bagaikan kilat menyambar pedang itu sudah masuk kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung dipinggang gadis itu ketika tubuh Bouw Ki terjengkang. Dia mendekap dada kiri dengan tangan kanan dan tewas seketika karena jantungnya tertembus pedang.

Bouw Hun yang sedang bertanding melawan Souw Hui San, melihat juga jatuhnya Bouw Ki. Tentu saja Bouw Hun menjadi terkejut dan duka, juga marah sekali. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka pedang bengkoknya kini mengamuk, tetapi, karena tadi Hui San hanya main-main saja, tidak bersungguh-sungguh dan kini melihat Kim Hong telah merobohkan lawan dia lalu mempercepat gerakan pedangnya, maka amukan pedang bengkok di tangan Bouw Hun itu tidak ada artinya. Ilmu pedang Gobi-pai memang indah dan juga amat cepat gerakannya.

"Orang she Bouw, pergilah engkau menyusul anakmu!" bentaknya dan kini sinar pedangnya bergulung-gulung, mengurung lawan membuat Bouw Hun menjadi bingung. Terdengar bunyi kedua pedang itu saling bertemu berdentangan dan akhirnya sebuah sabetan pedang di tangan Hui San mengakhiri perlawanan Bouw Hun.

Dia roboh terpelanting dengan leher hampir putus terbabat pedang. Tewaslah ayah dan anak itu. Pada saat Bouw Hun roboh, terdengar gerakan orang dan Sia Su Beng sudah tiba di situ, bersama Yang Kui Bi yang masih mengenakan pakaian perajurit, seperti juga empat orang muda itu yang kesemuanya menyamar sebagai perajurit.

"Bagus sekali, mereka telah dapat ditewaskan," kata Sia Su Beng dan lapun cepat menghampiri mayat Bouw ki, merenggut buntalan yang berada di punggung bekas Koksu itu dan membuka kain buntalannya. Ternyata berisi sebuah kotak hitam dan ketika dibuka tutupnya, wajah panglima itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Mestika Burung Hong Kemala!" Sia Su Beng berseru dan diapun menutup kembali kotak itu, merapikan buntalan dan menggantungkan buntalan di pundaknya.

Hui San dan Kui Lan saling pandang, dan gadis itu melihat betapa pemuda itu sedikit menggeleng kepalanya, tanda bahwa dia tidak boleh bicara tentang pusaka itu kepada Sia Su Beng. Biarpun ia merasa heran mengapa sikap kekasihnya seperti itu, namun Kui Lan tidak bertanya dan juga juga tidak bicara sesuatu. Kenapa Hui San membiarkan Sia Su Beng tertipu dan menyimpan pusaka palsu?

"Kakak Cin Han dan Enci Kui Lan mulai sekarang boleh menempati kembali rumah yang sebetulnya memang milik keluarga Yang ini. Aku akan menyuruh seregu perajurit melakukan penjagaan, juga beberapa orang pelayan untuk mengatur rumah."

Kui Bi merangkul encinya. "Enci lan, kalau saja ayah dan ibu masih ada alangkah akan bahagianya mereka melihat kita dapat merebut kembali rumah kita...." Kui Bi yang biasanya tabah dan lincah periang, itu kini menangis di pundak encinya.

"Tenangkan hatimu, adik Bi. Biarpun sudah meninggal dunia, aku yakin mereka melihat peristiwa ini dan ikut berbahagia."

Setelah Sia Su Beng pergi bersama Kui Bi yang agaknya tidak mau berpisah dari tunangannya itu, Kui Lan, Kim Hong, Cin Han dan Hui San mulai mengatur rumah gedung yang merupakan temyang amat dikenal oleh Cin Han dan Kui Lan karena di rumah inilah mereka lahir dan dibesarkan!

Pangeran An Kong entah sudah keberapa ratus kali berjalan hilir mudik di dalam kamar itu, seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Wajahnya yang tampan dan biasanya pesolek itu kini tak terawat, sudah beberapa hari tidak mandi dan bahkan tidak bergantii pakaian. Jarang pula dia dapat makan walaupun ada makanan dihidangkan deh pelayan.

Dia menjadi orang tahanan. Tahanan rumah, atau lebih tepat lagi tahanan kamar karena dia selalu berada di dalam kamarnya karena rumahnya telah dijaga oleh perajurit anak buah Panglima Sia Su Beng. Dia tidak diperkenankan keluar dari rumah itu.

Apa lagi setelah dia mendengar bahwa Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun tewas terbunuh, dan semua pasukan yang tadinya mendukung Bouw Koksu telah dilucuti dan ditundukan oleh Panglima Sia Su Beng, bahkan hampir semua panglima kini menakluk dan menyerah kepada Panglima itu, Pangeran An Kong menjadi putus asa dan bingung.

Pada suatu siang, ketika dia sedang hilir mudik di dalam kamarnya seperti seekor harimau dalam kurungan, terdengar langkah kaki di luar kamarnya. Pangeran An Kong mengira ada penjaga atau pelayan yang memasuki kamar, maka dia sudah siap untuk memaki dan mengusirnya. Akan tetapi, ternyata yang masuk adalah Panglima Sia Su Beng!

Melihat munculnya musuh besar ini, An Kong segera bangkit berdiri mengambil sikap bermusuhan, berdiri tegak dengan membusungkan dada seperti sikap seorang atasan menghadapi seorang bawahannya. "Sia Ciangkun, apakah engkau datang hendak membebaskan aku?" tanyanya dengan sikap angkuh.

Di dalam hatinya pangeran ini menaruh dendam dan andaikata dia memperoleh kekuasaan tertinggi, perintah pertama yang akan keluar dari mulutnya tentulah menangkap dan menghukum berat panglima yang kini berdiri di depannya itu.

"Pangeran. Kami datang untuk mempertemukan pangeran dengan wanita yang dulu kau suruh meracuni Sri baginda An Lu Shan."

Sia Su Beng tidak memperdulikan perubahan wajah pangeran itu yang menjadi pucat, dan dia menoleh ke pintu. Dari pintu itu masuklah gadis cantik jelita dan membawa sebuah baki di mana dapat sebuah cawan emas. Pangeran An Kong terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat seolah dia melihat hantu, bukan melihat seorang gadis yang cantik jelita, yang dengan anggunnya melangkah ke dalam kamar membawa baki dengan kedua tangan didepan dada.

Baki itu menambah indah gayanya berjalan karena ia harus mengatur keseimbangan langkahnya agar arak dalam cawan itu tidak tumpah, membuat langkahnya menjadi lenggang yang gemulai seperti seorang penari, ia melihat Kui Bi, gadis dayang itu, yang pernah menarik hatinya, memikat gairahnya, gadis yang kemudian ia peralat untuk menaruh racun kedalam hidangan ayahnya sehingga akhirnya ayahnya, An Lu Shan, tewas keracunan.

Dan kini gadis itu dengan lenggang yang manis memasuki kamar membawa baki terisi cawan. Dengan gaya dan gerakan yang memikat, Kui Bi , yang kini mengenakan pakaian wanita, meletakkan baki dengan secawan emas arak itu ke atas meja, kemudian ia berdiri sambil memandang pangeran dengan senyum manis.

"Kau...?" Pangeran An Kong berseru keras karena timbul harapan untuk membersihkan diri dengan menangkap pelaku pembunuhan terhadap ayahnya Itu. "Engkau yang membunuh Sribaginda!"

Senyum itu melebar sehingga nampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, menambah kuat daya tarik wajah gadis jelita itu. "Bukan aku yang membunuhnya, melainkan engkau yang menyuruh kaki tanganmu sebagai dayang, pekerja dapur dan thai-kam. Engkaulah yang membunuh ayahmu sendiri An Kong, dan bukan orang lain," kata Kui Bi dengan suara tenang dan merdu mengandung ejekan.

"Engkau yang membunuh, keparat! Engkau harus ditangkap dan engkau harus mengaku!"

Dalam keadaan yang putus asa dan nekat, Pangeran An Kong mengerahkan tenaganya dan meloncat, menubruk untuk menangkap gadis jelita itu untuk memaksanya mengakui sebagai pembunuh An Lu Shan. Namun, dia mengalami kejutan yang lebih hebat lagi. Tubrukannya luput dan kaki gadis itu menyambar dari samping dengan amat cepatnya hingga dia yang menguasai ilmu silat yang cukup tangguhpun tidak mampu rnenghindar lagi.

"Dukk!!" Perutnya tertendang dan diapun terpelanting keras, tentu saja dia terkejut setengah mati dan ketika dia dapat berdiri kembali, Ia memandang kepada Kui Bi dengan penuh keheranan. Gadis itu tersenyum manis dengan pandangan mata penuh ejekan padanya.

"Kau... kau... sebenarnya siapakah?" tanyanya gagap.

"Engkau tidak secerdik Bouw Hun yang dapat menduga siapa aku. Aku adalah Yang Kui Bi, puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Ayah Ibuku tewas akibat pemberontakan An Lu Shan."

"Ahh...!" An Kong terperangah dan tahulah dia bahwa dia bahkan telah diperalat gadis itu yang hendak membalas dendam kepada An Lu Shan.

"Lebih dari itu, An Kong. ia adalah calon isteriku!" kata pula Sia Su Beng dan mendengar ini, An Kong menjadi semakin putus asa.

"Sia-ciangkun, lalu kau... kau... mau apa? Apa artinya kalian membawa cawan arak itu?" Dia menuding ke arah cawan arak itu dan telunjuknya yang menuding gemetar.

"Ada dua pilihan bagimu, An Kong. Engkau tidak akan terluput dari kematian, akan tetapi hukuman mati ini ada dua macam dan boleh kaupilih. Kalau engkau minum arak itu, engkau akan mati tanpa menderita badan dan hati. Akan tetapi kalau engkau menolak, engkau akan diseret sebagai seorang penjahat besar yang telah membunuh ayah sendiri dan engkau akan dihukum mati didepan rakyat, akan menjadi bahan ejekan dan penghinaan. Sekarang, engkau tinggal memilih," kata Sia Su Beng.

Wajah bekas pangeran itu pucat seperti mayat. Dia maklum bahwa nekad melawan panglima itu tidak ada gunanya, apa lagi di situ terdapat Yang Kui Bi yang baru sekarang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Juga dia tidak memiliki keberanian sebesar itu.

Dia membayangkan dirinya diseret, di caci dan dihina sebagai seorang penjahat pembunuh ayah sendiri, kemudian disiksa sampai mati. Terbayang dia akan wajah ayahnya yang dilihatnya untuk terakhir kali sebelum dimasukkan peti, wajah yang menyeringai seperti orang kesakitan.

Dia bergidik ngeri, lalu dihampirinya meja, disambarnya cawan emas dan tanpa berpikir panjang lagi, dalam keadaan orang yang berputus asa, dia lalu menuangkan isi cawan ke dalam mulutnya yang terbuka dan langsung menelannya.

Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh, maka dia masih disentuh harapan kalau-kalau Panglima Sia Su Beng hanya menggertak dan membohonginya saja. Dengan tenang dia meletakkan kembali cawan emas yang sudah kosong ke atas baki dan tertawa bergelak. Entah mengapa, dia merasa keadaannya amat lucu, dia digertak dan diancam, ternyata semua itu hanya permainan belaka. Dia terping kal dan menjatuhkan diri duduk lagi di atas kursinya.

Panglima Sia Su Beng dan Yang Kui Bi memandang dengan sinar mata dingin. Bah kan wajah mereka tidak menunju kkan sesuatu ketika suara tawa dari pangeran itu tiba-tiba mulai berubah, dari tawa menjadi rintihan dan wajah yang tadinya tertawa itu berubah, menyeringai karena kesakitan. lalu pangeran itu terkulai dan terdengar bunyi berdetak ketika dia menjatuhkan dahinya ke atas meja.

Sia Su Beng melangkah mendekati dan meraba nadi tangannya yang terkulai. Pangeran itu sudah tewas. Sia Su Beng mengangguk kepada Yang Kui Bi dan keduanya meninggalkan kamar itu dengan tenang. Panglima Sia Su Beng lalu menyiarkan kabar bahwa An Kong telah membunuh diri karena menyesali perbuatannya membunuh dan meracuni ayahnya sendiri.

Berita itu diterima dengan sikap sangat dingin dan acuh oleh para panglima. Kini, sebagian dari para panglima merupakan mereka yang masih setia kepada Kerajaan Tang, sedangkan sebagian lagi merupakan pasukan yang sudah tunduk kepada Panglima Sia Su Beng dan akan menaati semua perintah panglima ini. Sia Su Beng berada di dalam ruangan tertutup, berdua saja dengan kekasihnya, Yang Kui Bi.

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, koko?" tanyanya Kui Bi. "Hanya tinggal menanti kembalinya Kaisar, atau memberi kabar ke barat agar Sri baginda cepat pulang ke sini karena kita sudah menguasai keadaan di sini dan menundukkan semua bekas anak buah An Lu Shan?"

Sia Su Beng yang duduk di kursi mengerutkan alisnya. "Memang, semua telah berjalan lancar sesuai dengan rencana kita. An Lu Shan dan An Kong telah tewas, semua anak buahnya dapat kita tundukkan tanpa pertempuran yang berarti, dan semua panglima dapat kupengaruhi dan kini mereka semua tunduk kepadaku. Mengembalikan tahta Kerajaan kepada Sri baginda Kaisar hanya tinggal melaksanakan saja. Akan tetapi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Sebelum aku membicarakan dengan para panglima siang hari ini. Mereka sudah kuperintahkan untuk berkumpul siang hari ini untuk kuajak berunding.”

Kui Bi memandang penuh perhatian. "Ada masalah pelik apakah. koko? Engkau kelihatan begini serius?"

"Begini, Bi-moi. Engkau mengetahui sendiri betapa susah payahnya kita menghadapi An Lu Shan dan mengatur siasat, kemudian melaksanakannya dengan taruhan nyawa. Bahkan kalau saja tidak kebetulan, aku akan kehilangan engkau ketika engkau menyusup ke istana itu. Jelas bahwa kita telah mengorbankan segalanya untuk melenyapkan kekuasaan An Lu Shan dan An Kong yang dibantu ayah dan anak she Bouw itu."

"Memang benar, koko. Akan tetapi itu rremang sudah tugas kita, dan disamping itu, juga aku sendiri pribadi membenci An Lu Shan karena dialah penyebab hancurnya keluargaku, penyebab kematian ibu dan ayah. Dan bukankah sudah sepatutnya kalau kita bela Sribaginda Kaisar kerajaan Tang?"

"Nah, itulah, Bi-moi! Andaikata Sribaginda Beng Ong masih tetap sebagai Kaisar Kerajaan Tang, akupun tidak akan meragu lagi untuk menyerahkan tahta kerajaan yang berhasil kita rampas dari An Lu Shan dan anak buahnya ini kepada beliau. Akan tetapi, yang membuat hatiku risau dan tidak rela adalah karena aku mendengar bahwa Sribaginda kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada Pangeran Su Tsung yang kini menjadi kaisar! Aku tidak rela menyerahkan tahta kerajaan kepada pangeran yang lemah dan pengecut itu. Kita yang bersusah payah mempertaruhkan nyawa, eh, dia yang enak-enakan dan secara pengecut lari terbirit-birit ketika pasukan An Lu Shan menyerang kota raja, kini begitu saja mendapatkan tahta kerajaan ini. Aku tidak rela!"

"Akan tetapi koko, kalau tidak kau serahkan kepada Kerajaan Tang, biar sekarang kaisarnya telah di ganti, lalu apa yang hendak kau lakukan?" Kui Bi memandang dengan penuh selidikdan heran.

"Kui Bi, engkaulah satu-satunya orang di dunia ini yang kucinta dan kupercaya, maka akupun akan mengatakan terus terang padamu, dengan harap engkau akan mendukungku. Tanpa dukunganmu, aku akan merasa lemah. Kupikir kita telah banyak berkorban untuk merebut kembali tahta kerajaan ini. Kalau Sri baginda Kaisar Beng Ong telah mengundurkan diri, maka kita harus berhati-hati, tidak begitu mudah saja menyerahkan tampuk kerajaan kepada orang yang tidak sepatutnya menjadi junjungan kita. Oleh karena itu, aku akan menanti dan melihat apakah Pangeran Su Tsung itu pantas menerima tahta kerajaan ini?"

Kui Bi memandang ke sekeliling. Mereka berada di dalam sebuah ruangan dalam istana yang kini untuk sementara dijadikan tempat tinggal Sia Su Beng. Hal ini sepatutnya dan disetujui semua panglima dan pembesar yang berpihak padanya karena untuk menjaga agar jangan ada kekuatan lain mempergunakan kesempatan selagi istana itu kosong tidak ada penghuninya lalu melakukan pemberontakan dan perampasan, ia seperti dapat meraba isi hati kekasihnya.

"Akan tetapi, koko. Bukankah Pangeran Su Tsung yang berhak atas tahta kerajaan? Apa lagi dia diangkat oleh sribaginda Kaisar Beng Ong, dan...."

"Tidak, Bi-moi. Pengangkatan itu tergesa-gesa dan tidak sah, karena dilakukan dalam pelarian dan tidak disetujui oleh para pejabat dan panglima, bagaimana mungkin tahta kerajaan yang menyangkut nasib seluruh rakyat dalam negeri diserahkan begitu saja? Kita harus mempertahankan tahta kerajaan ini dengan mengangkat seseorang yang benar-benar patut untuk menjadi pemimpin negara. Lihat saja apa yang terjacli dengan Kerajaan Tang karena kaisarnya lemah dan mudah dipermainkan selir, dipermainkan para penjilat sehingga sampai terampas, oleh An Lu Shan. Kerajaan ini harus menjadi besar dan jaya, dan tidak mudah diganggu pemberontak."

"Bagaimana kalau kemudian engkau menilai bahwa tidak acla orang yang patut menjadi kaisar, koko? Apakah engkau sendiri...!"

"Kenapa tidak! Apa salahnya? Ingat, Bi-moi, Kaisar Kerajaan Tang berikut seluruh keluarga dan pembantunya telah melarikan diri terbirit-birit dan siapakah yang merebut kembali tahta kerajaan dari tangan pemberontak An Lu Shan? Kita! Tidak ada usaha sedikit pun dari keluarga kerajaan yang sudah melarikan diri itu yang membantu tewasnya An Lu Shan dan An Kong, dan membantu terampasnya kembali kerajaan ini. Hanya kita dan para panglima yang membantu kita. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita pula yang menikmati hasilnya? Dan kalau mereka semua itu memilih aku yang menjadi Kaisar, apakah engkau tidak suka menjadi Permaisuri ku?"

Kui Bi terbelalak. Sama sekali tidak menyangka bahwa kekasihnya mempunyai ambisi sebesar itu. Menjadi permaisuri! Hatinya merasa bimbang. Apakah ini suatu pengkhianatan? Akan tetapi, memang tidak dapat disangkal bahwa kekasihnya yang paling berjasa, dan orang-orang lain itu hanya membantunya, kemudian ia teringat kepada kakak-kakaknya. Mereka Itu setia kepada Kerajaan Tang. Apakah mereka akan setuju?

"Tapi.... engkau.... eh, kita akan berhadapan dengan mereka yang setua kepada Kerajaan Tang, koko dan..."

"Itu resikonya, Bi-moi. Semua cita-cita yang besar tentu selalu bertemu dengan tantangan dan tentangan, dan kita harus clapat mengatasinya. Kalau aku menjanjikan kedudukan tinggi, bahkan mulai sekarang membagi-bagikan kedudukan tinggi kepada para panglima dan para cerdik pandai yang kita butuhkan tenaga dan kepandaiannya untuk mengemudikan pemerintahan, kurasa tidak akan ada yang akan mampu melawan kita. aku tahu, Bi-moi, beberapa orang kang-ouw, bahkan termasuk mungkin kakak-kakakmu dan teman-teman mu, boleh jadi akan merasa tidak setuju dan mereka tetap setia kepada Kerajaan Tang. Nah, untuk ini, engkaulah yang kuharapkan dapat membantuku untuk membujuk mereka agar mau membantu kita, dan tentu kita akan mengangkat mereka menduduki tempat yang terhormat dan mulia."

Kui Bi semakin bimbang. Mendengar ucapan kekasihnya itu, ia membayangkan kekasihnya menjadi kaisar dan ia menjadi permaisuri, timbul gairahnya, akan tetapi mengingat kakak-kakaknya, ia menjadi bimbang ragu dan khawatir. "Koko, bagaimana kalau mereka terutama Han-ko dan Lan-ci menolak untuk membantu kita?"

Sia Su Beng menghela napas panjang. "Kalau memang begitu, terserah kepadamu, Bi-moi. Engkau tahu bahwa aku cinta padamu dan ingat, perjuangan aku ini bukan demi kepentinganku sendiri, melainkan juga untuk masa depanmu dan masa depan anak-anak kita kelak maka engkaulah yang harus memilih antara cintamu kepadaku atau cintamu kepada mereka."

"Koko!" Kui Bi mengerutkan alisnya dan menggigit bibir, dan Sia Su Beng cepat menghampiri dan merangkulnya.

"Sudahlah, Bi-moi. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan bijaksana, tentu mengetahui apa yang terbaik bagimu. Aku akan berangkat keruangan persidangan karena tentu mereka sudah berdatangan."

"Yang kukhawatIrkan bukan hanya pendirian kakak-kakakku, koko, akan tetapi bagaimana kalau rakyat menolak. Dan para pembesar di daerah-daerah yang begitu luasnya? Tanpa dukungan rakyat dan para penguasa daerah, bagaimana engkau dapat berhasil?"

Sia Su Beng tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak hitam dari dalam almari, membuka tutupnya dan memperlihatkan isinya kepada kekasihnya. ”Lupakah engkau bahwa Mestika Burung Hong Kemala telah berada di tangan kita, Bi-moi? Pusaka ini adalah lambang kekuasaan kaisar, maka kalau aku yang memilikinya, berarti kita mempunyai lambang kekuasaan tertinggi!"

Sambil tersenyum, dia memasukkan kotak ini dalam buntalan kain dan mengikatkan di pinggang, di sebelah dalam baju panglimanya. Dia hendak mempergunakan benda pusaka itu untuk mempengaruhi para panglima dan calon pembesar.

Setelah mencium dahi kekasihnya, diapun meninggalkan Kui Bi yang masih termenung. Tak lama setelah Sia Su Beng meningga lkannya, Kui Bi dalam keadaan risau keluar dari ruangan itu menuju ke kamarnya sendiri. Pada saat itu, ia melihat Kui Lan yang agaknya memang datang berkunjung kepadanya.

* * *

"Enci Lan..." Bukan main girangnya rasa hati Kui Bi melihat encinya, seperti orang kehausan melihat air karena dalam keadaan risau seperti itu, ia membutuhkan orang yang dekat dengannya untuk menu mpahkan kerisauanya. Kui Lan agak heran dan bingung melihat adiknya langsung merangkulnya dan wajah adiknya demikian muram.

"Eh, engkau kenapakah, adikku?"

"Mari kita bicara di dalam, enci," kata Kui Bi dan ia menarik encinya memasuki kamar dan menutup daun pintu kamarnya. Begitu mereka duduk di tepi pembaringan, Kui Bi menangis.

"Ehh, kenapakah engkau ini?" Kui Lan merasa khawatir karena tidak biasa adiknya yang keras hati ini menangis.

Setelah menghapus air matanya dan dapat menenangkan hatinya, Kui Bi lalu menceritakan semua tentang cita-cita Sia Su Beng yang tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung, yaitu kaisar baru pengganti kaisar Beng Ong yang menyerahkan mahkota kepada puteranya itu.

Mendengar ini, tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Akan tetapi ia bersikap tenang, sesuai dengan wataknya, apa lagi ia tahu benar bahwa adiknya amat mencinta panglima itu. "Akan tetapi, bagaimana mungkin dia dapat mengangkat diri menjadi kaisar? yang memiliki wewenang adalah Pangeran Su Tsung yang sekarang telah mewarisi mahkota ayahnya, yaitu Sribaginda Beng Ong. Para pejabat dan pejabat daerah, juga rakyat tentu akan menentangnya!"

"Dia mempunyai lambang kekuasaan kaisar, yaitu Mestika Burung Hong Kemala, enci Lan."

"Tapi itu adalah pusaka yang palsu!" Saking hanyut oleh kekhawatiran terhadap adiknya, ucapan ini keluar begitu saja dari mulut Kui Lan. Ia terkejut dan menyesal, namun terlambat karena sudah diucapkannya.

Kui Bi mengangkat muka menatap wajah encinya. "Kalau begitu, di mana pusaka Mestika Burung Hong Kemala yang aseli enci Lan?"

Terjadi perang dalam hati Kui Lan, hanya sebentar. Betapapun besar rasa sayangnya kepada Kui Bi, namun kalau adiknya itu membantu Sia Su Beng yang jelas hendak melakukan pemberontakan, adiknya itu keliru. Segera dapat mengatasi keraguannya dan menggelengkan kepalanya sambil berkata,

"Aku tidak tahu," ltu disambungnya cepat-cepat. "Bi-moi, kenapa dia hendak melakukan ini? Engkau harus mengingatkannya adikku. Dia telah bertindak keliru dan sesat! Engkau..... engkau tidak boleh membantunya, Bi moi!"

"Enci Lan, engkau tahu bahwa aku sangat mencintanya dan aku siap mengorbankan nyawaku untuk Beng-koko. Dia itu calon suamiku, dan aku cinta padanya seperti dia mencintaku. Pula, setelah aku berbantahan dengan dia, aku melihat kebenaran dalam pendiriannya, Sri baginda Kaisar Beng Ong telah mengundurkan diri dan menyerahkan mahkota kepada Pangeran Su Tsung. Pangeran itu melarikan diri ketika bahaya datang, dan kita semualah yang telah bersusah payah menewaskan An Lu Shan dan An Kong. Kita semua, terutama sekali Beng-koko yang telah melumpuhkan semua pengikut An Lu Shan dan merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak itu. Dan hasil semua ini akan diserahkan begitu saja kepada seorang pangeran penakut yang hanya enak-enak melarikan diri ke barat? Beng-koko tidak melihat harapan baik kalau kita di perintah seorang kaisar seperti itu. Oleh karena itu, enci Lan, marilah kau bantu kami. Mari kita bujuk Han-ko agar suka membantu, juga Souw Hui San dan Can Kim Hong. Aku yang menanggung bahwa kelak tentu kalian berempat akan menerima imbalan yang pantas, menjadi orang-orang yang mulia dan berkuasa dengan kedudukan tinggi."

Kui Lan menggigit bibir. Adiknya ini mengingatkan ia kepada bibinya, rnendiang Yang Kui Hui, selir yang berambisi besar itu. Ingin ia menampar adiknya. Akan tetapi ditahannya karena ia segara menyadari bahwa ia dan Souw Hui San juga kakaknya Cin Han dan Kim Hong berada dalam bahaya kalau menentang Kui Bi dan Sia Su Beng. la menghela napas dan mengangguk.

"Akan kubicarakan dengan Han-ko tentang semua ini, Bi-moi."

Lalu ia luar dari dalam kamar itu, hatinya perih dan seluruh tubuhnya lemas, ia seperti mendapat firasat bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan adiknya yang tersayang itu. Terlalu besar jurang yang memisahkan mereka. Bagaimana mungkin ia menjadi pengkhianat dan balik membantu pemberontak, walaupun pemberontakan itu dilakukan oleh adiknya sendiri dan kekasih adiknya?

Ketika ia kembali ke tempat berempat tinggal, yaitu di gedung bekas tempat tinggal ayahnya, Kui Lan melihat Hui San, Cin Han dan Kim Hong sedang duduk di beranda depan, agaknya memang menanti-nanti kembalinya dari istana.

"Mari kita bicara di dalam," kata Kui Lan kepada mereka dan mendengar suaranya yang lirih dan gemetar, juga wajah gadis itu yang muram, sinar matanya yang mengandung kegelisahan, tiga orang itu cepat bangkit dan mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana mereka, dapat bicara tanpa didengar dan dilihat orang lain.

"Ada apakah, Lan-moi? Engkau mendengar sesuatu di istana?" tanya Cin Han, khawatir pula melihat sikap adiknya.

Kui Lan menahan tangisnya, teringat kepada Kui Bi. "Celaka, Han-ko! Sia Su Beng merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan. Dia tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada Kaisar Kerajaan Tang. Bahkan agaknya hendak mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, menjadi kaisar!"

Tentu saja tiga orang itu terkejut sekali. "Aih, sudah kucurigai dia melihat sinar matanya ketika dia mengambil Mestika Burung Hong Kemala dari tubuh Bouw Koksu!" kata Hui San. "Lan-moi, apa alasannya?" tanya Hui San.

"Dia berpendapat bahwa Pangeran Su Tsung yang diangkat menjadi kaisar sekarang menggantikan Sri baginda Kaisar Beng Ong bukan merupakan orang tepat untuk menjadi kaisar."

Lalu Kui Lan. menceritakan semua yang ia dengar dari Kui Bi, didengarkan oleh tiga orang itu dengan alis berkerut. "Bahkan Kui Bi minta aku membujuk kalian bertiga agar suka membantu Sia Su Beng dengan janji kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi."

"Gila!!" Cin Han memaki marah sekali. "Sudah gilakah adik kita itu?"

Kim Hong mencela kekasihnya. 'Han-ko, kita tahu bahwa adikmu itu amat mencinta Sia Su Beng, dan demi cintanya, seseorang dapat melakukan apa saja."

"Han-koko yang penting sekarang adalah apa yang harus kita la kukan?"

Kini Souw Hui San bicara. Biarpun dia seorang yang lincah jenaka dan kadang ugal-ugalan, akan tetap, sekali ini. dia berhati-hati karena ini menyangkut Kui Bi, adik kekasih hatinya. "Kurasa, kita tidak dapat berbuat apa apa. Bagaimana mungkin kita berempat dapat menentang Sia Su Beng dengan pasukannya yang besar? Dialah yang memegang kekuasaan di sini dan kita tidak akan dapat berbuat apapun untuk mencegah kehendaknya itu. Apa lagi menurut Lan-moi sekarang dia sedang mengadakan perundingan dengan para panglima dan pejabat."

"Lalu bagaimana dengan adikku Kui Bi?" tanya Kui Lan bingung.

"Kurasa ia sudah dewasa dan dapat menentukan langkahnya sendiri. Kalau ia menganggap bahwa tunangannya itu benar, apa yang dapat kita lakukan?" Hui San bicara lembut, menghibur. "Yang penting, kita sekarang harus cepat meninggalkan tempat ini, meninggalkan kota raja demi keamanan pusaka itu."

"Hui San bicara benar!" kata Cin Han. "Engkau tadi sudah mengatakan bahwa engkau kelepasan bicara, Lan-moi." mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala yang ditemukan Sia Su Beng itu palsu. Kalau Kui Bi menyampaikan ucapanmu itu kepada Sia Su Beng, tentu dia akan curiga kepada kita dan akan melakukan pertanyaan atau penggeledahan. Kita harus cepat meninggalkan kota raja, sekarang juga."

"Kukira memang itu jalan satu-satunya'" kata Kim Hong membenarkan kekasihnya. "Kita pergi ke barat, bergabung dengan pasukan kerajaan, dan kita laporkan semua ini kepada Sri baginda dan Panglima Kok Cu It."

"Akan tetapi... bagaimana dengan adikku? Tidak mungkin kita meninggalkan ia sendiri saja di sini bersama Sia Su Beng yang hendak memberontak..." kata Kui Lan.

"Lan-moi, jangan bicara demikian. Kui Bi memang adik kita, akan tetapi ia sudah dewasa dan ia berhak menentukan langkah hidupnya sendiri. Kalau memang ia mencintai Sia Su Beng dan menganggap bahwa tunangannya itu benar, itu adalah haknya. Ingatlah bahwa Sia Su Beng telah meminangnya dengan resmi dan kita sudah menyetujui, hal itu berarti bahwa yang berhak atas diri Kui Bi adalah Sia Su Beng, calon suaminya, bukan kita. Kita tahu bahwa Kui Bi memiliki watak yang keras, kalau kita mencoba untuk membujuknya tidak akan ada gunanya, bahkan membahayakan kita. Mari, kita pergi sekarang juga meninggalkan kota raja.'

Kui Lan tidak dapat membantah dan berkemas sambil menangis, menangisi adiknya. Dan tak lama kemudian, empat orang muda itu sudah keluar dari pintu gerbang sebelah barat dari kota raja. Para penjaga sudah tahu siapa mereka, para pendekar, yang dekat dengan Panglima Sia Su Beng, oleh karena itu tidak ada yang berani bertanya, apa lagi menghalangi mereka keluar dari pintu gerbang.

* * *
"Coba saja kalian pertimbangkan baik-baik. Sri baginda Kaisar Beng Ong begitu saja menyerahkan mahkota Kerajaan Tang kepada Pangeran Su Tsung! Kita semua tahu orang macam apa pangeran itu. Seorang yang lemah dan penakut. Ketika An Lu Shan memberontak, sepantasnya dia membela kerajaan dengan mengerahkan pasukan dan mati-matian mempertahankan kota raja. Akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia melarikan diri terbirit-birit, mengikuti Sribaginda mengungsi ke barat, menyelamatkan diri dan tidak memperdulikan penduduk yang terancam bahaya penyerbuan. Sribaginda Beng Ong telah bertindak tidak bijaksana, tergesa-gesa menyerahkan mahkota kepada pangeran Su Tsung tanpa minta pertimbangan kita semua. Kita yang bersusah payah di sini, kita yang merebut kembali tahta kerajaan dan sekarang kita harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang penakut yang melarikan diri dan enak-enak tinggal bersembunyi di barat sedangkan kita di sini berjuang mempertaruhkan nyawa. Ingat, saudara sekalian! Kita bukan memberontak. Andaikata yang kembali ke sini masih Sribaginda Kaisar Beng Ong, aku yang akan merupakan orang pertama menyerahkan kembali tahta kerajaan kepada beliau. Akan tetapi kalau harus menyerahkan kepada Pangeran Su Tsung, aku tidak setuju! Bagaimana pendapat saudara sekalian?"

Karena sebagian besar para panglima itu memang sudah berada di bawah kekuasaan Sia Su Beng dan mereka menganggap Sia Su Beng sebagai pimpinan, maka merekapun segera menyatakan tidak setuju kalau tahta kerajaan diserahkan kepada kaisar baru. Para cerdik pandai, yaitu bekas pejabat-pejabat tinggi yang mengatur roda pemerintahan, ada yang juga menyatakan tidak setuju. Beberapa orang di antara mereka, dengan hati-hati menyatakan pendapat mereka yang mengandung keraguan.

"Akan tetapi, Sia-ciangkun. Kalau kita tidak menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung yang menjadi kaisar yang sah dan berwenang dari Kerajaan Tang, bukankah itu berarti bahwa kita memberontak terhadap pemerintah kerajaan yang sah?"

Yang bertanya Itu adalah seorang pejabat tinggi yang pernah menjadi penasihat Kaisar Beng Ong, dan sudah berusia tujuhpuluhan tahun. Dengan sikap hormat Sia Su Beng menjawab, suaranya tegas.

"Ciu-siucai tentu maklum bahwa kita semua telah merebut tahta kerajaan dan kekuasaannya dari tangan pemberontak An Lu Shan. Kalau kita merebutnya dari tangan Kaisar, itu baru namanya pemberontakan. Kita yang merebut kekuasaan dari pemberontak, dan sendirinya kita akan memberikan kembali tahta kerajaan kepada Kaisar Beng Ong. Akan tetapi, beliau telah mengundurkan diri dan mengangkat seorang kaisar baru tanpaa sepengetahuan kita. Bukankah sudah menjadi hak kita bersama untuk mempertahankan apa yang telah kita rebut dari pemberontak dengan taruhan nyawa? seorang tokoh seperti Ciu-siucai sendiri misalnya, sudah sepatutnya kalau menjadi seorang pejabat tinggi, menjadi Guru Negara atau Panasihat atau setidaknya seorang Menteri, Dengan bantuan seorang seperti Ciu-siucai dan yang lain-lain, kita pasti akan mampu mengatur pemerintahan yang adil dan baik. Para ciangkun yang telah ikut merebut kekuasaan dari pemberontak, tentu akan diberi kedudukan yang sesuai dengan jasa masing-masing."

Hampir semua yang hadir mengangguk-angguk. Memang demikianlah kenyataannya. Kebanyakan orang yang tadinya memiliki cita-cita yang nampaknya saja patriotik, bersikap sebagai pahlawan, yang pada saat perjuangan memang rela mengorbankan segalanya termasuk nyawa, setelah perjuangan itu berhasil, baru nampak apa yang sesungguhnya tersembunyi di bawah sadar masing-masing.

Semua usaha itu ternyata merupakan selubung saja yang menyembunyikan hasrat nafsu yang selalu mementingkan diri sendiri. Betapa banyaknya pahlawan yang tadinya berjuang sebagai patriot patriot sejati, setelah berhasil, saling berebutan mendapatkan pahala, mendapatkan imbalan dan kedudukan. Yang tidak mendapat bagian akan merasa kecewa, bahkan mendendam kepada yang kebagian.

Yang mendapat bagian kedudukan tinggi, dengan sekuat tenaga mempertahankan kedudu kannya agar tidak terlepas dan kalau perlu dia akan menyerang siapa saja yang berani mencoba untuk mengganggu dan menggoyahkan kedudukanya. Kini, mendengar betapa Sia Su Beng hendak membagi-bagi rejeki, membagi hasil kemenangan mereka atas kekuasaan An Lu Shan, tentu saja mereka merasa gembira sekali.

"Maaf, Sia-ciangkun," kata seorang panglima yang dahulunya merupakan panglima yang setia kepada kerajaan Tang. "Kami dapat mengerti akan kebenaran semua pernyataan ciangkun tadi. Akan tetapi hendaknya ciangkun ketahui bahwa kalau kita menentukan sendiri sebuah pemerintahan baru di luar kekuasaan Kaisar Kerajaan Tang, tentu kita akan menemui banyak rintangan dan tentangan. Para pejabat dan panglima di daerah-daerah, juga rakyat, tentu condong untuk mendukung Kerajaan Tang yang resmi. Bukankah semua tanda kebenaran berada di tangan Kaisar Kerajaan Tang?"

"Tidak semua," Kata Sia Su Beng dan diapun menurunkan buntalan kain kuning yang diikat di pinggangnya. "Ada sebuah pusaka, lambang utama kekuasaan Kaisar, kini berada di tangan kita. Tentu saudara sekalian mergenal pusaka ini!" Setelah berkata demikian, Sia Su Beng mengangkat tinggi-tinggi benda itu di atas kepalanya dengan kedua tagannya. Benda itu adalah sebuah ukiran batu giok berbentuk seekor burung Hong.

"Mestika Burung Hong Kemala...!" seru semua orang dengan kagum dan kini kepercayaan mereka terhadap Sia Su Beng semakin menebal. Dengan lambang kekuasaan kaisar itu, jelas bahwa Sia Su Beng berhak menjadi kaisar dan para pejabat daerah tentu akan mematuhinya!

Mereka bersorak dan bertepuk tangan. Setelah kegaduhan mereda, Sia Su Beng dengan suara lantang berwibawa mengatakan, "Sukurlah kalau saudara sekalian telah menyetujui dan sependapat dengan kami bahwa kita harus mempertahankan hasil perjuangan kita ini. Akan tetapi, kita masih harus berjuang, karena tentu pasukan dari barat yang disusun oleh Panglima Kok Cu It akan berusaha merebut kekuasaan dari tangan kita. Untuk sementara ini, aku akan memimpin kalian semua sebagai seorang panglima tertinggi. Kelak, setelah semua rintangan dapat disingkirkan, baru kita akan membentuk suatu pemerintahan baru, suatu dinasti baru. Dan sementara ini, saudara sekalian akan saya tunjuk sebagai pembantu-pembantu saya di bidang masing-masing yang akan kami tentukan dalam beberapa hari ini."

Kembali terdengar mereka bersorak dan pertemuan itu dibubarkan. Panglima Sia Su Beng segera menemui tunangannya di bagian dalam istana. Mereka bertemu dan Kui Bi merangkul tunangannya sambil menangis. Tentu saja hal ini mengejutkan hati Sia Su Beng. Setelah menghibur dan mengajak gadis itu duduk, diapun bertanya,

"Bi-moi, kenapa engkau menangis? Aku bahkan membawa berita gembira yaitu bahwa semua panglima dan pejabat telah menyetujui rencanaku. Kalau tadinya ada beberapa orang yang menyatakan keberatan untuk mempertahankan hasil perjuangan kita, yaitu kekuasaan di kota raja, setelah aku memperlihatkan Mestika Burung Hong Kema la, mereka senua setuju."

Kui Bi menghapus air matanya "Koko, tadi enci Lan datang...."

"Ehh? Lalu apa yang kalian bicarakan? Engkau tentu sudah menceritakan rencana kita, bukan?"

Kui Bi mengangguk. "Benar, dan hal inilah yang merisaukan hatiku. ia menentang, koko seperti yang telah kuduga sebelumnya." Di dalam hatinya, Kui Bi tidak dapat menyalahkan enci-nya, karena andaikata ia bukan tunangan Sia Su Beng dan tidak saling mencinta dengan pria ini, besar kemungkinan iapun akan menolak gagasan me mberontak itu.

"Hemm, lalu bagai mana?"

"Aku minta kepadanya untuk membicarakan urusan ini dengan kakak Yang Cin Han, dan juga dengan Can Kim Hong dan Souw Hui San."

"Kurasa mereka tentu akan berpikir panjang kalau mereka sudah mengetahui bahwa aku telah memiliki Mestika Burung Hong Kemala. Apakah engkau sudah menceritakan hal itu kepada enci-mu?"

"Sudah, akan tetapi... enci Lan mengatakan bahwa pusaka yang berada di tanganmu itu adalah pusaka yang palsu, koko."

Sia Su Beng terlonjak dari tempat duduknya, berdiri dan memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak dan muka kemerahan. "Apa? Benarkah itu, Bi-moi? Tidak bohongkah encimu itu?"

Kui Bi menggeleng kepalanya, ”Enci Kui Lan tidak pernah berbohong kepadaku, koko. Suaranya menunjukkan bahwa ia tidak berbohong, dan ketika aku bertanya di mana adanya pusaka yang aselinya, ia menjawab acuh, seperti hendak mengelak."

"Kalau begitu, aku harus bertanya sendiri, dan sekalian membujuk mereka agar suka membantu.” Setelah berkata demikian, Sia Su Beng keluar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Dia segera memanggil pembantunya dan memerintahkan agar mengerahkan seregu pasukan yang pilihan dan kuat untuk mengepung gedung bekas tempat tinggal Bouw Koksu yang kini dijadikan tempat tinggal empat orang muda itu. Dia tahu betapa lihainya mereka, maka diapun harus membuat persiapan dengan pasukannya. Ketika Sia Su Beng setengah berlari tiba di ruangan depan istana, terdengar seruan di belakang,

"Koko, tunggu dulu, aku ikut!"

Ternyata Kui Bi yang mengejarnya dan mereka berdua lalu menunggang kuda keluar dari halaman istana menuju ke gedung tempat tinggal empat orang muda itu. Di sepanjang jalan, orang-orang memberi hormat kepada Panglima Sia Su Beng, akan tetapi panglima yang sedang gelisah hatinya ini seperti tidak melihatnya atau memperdulikan mereka. Setelah tiba di gedung yang dahulunya menjadi tempat tinggal Kui Bi itu, mereka melompat turun dari atas kuda dan Kui Bi mendahului tunangannya berlari memasuki gedung yang pintu depannya terbuka.

"Enci Lan! Han-koko!!" Ia berteriak-teriak dan mencari-cari ke dalam gedung yang besar itu. Sunyi saja, tidak ada jawaban. Juga Sia Su Beng mencari-cari tanpa hasil. Kemudian nampak seorang laki-laki tua berlari-lari masuk dari belakang.

"Ah, Ciangkun dan Siocia!" kata bekas pelayan itu dengan gugup dan segera memberi hormat.

Sia Su Beng sudah menghardik di memegang lengan orang itu. "Hayo cepat katakan, di mana mereka berempat?"

"Ciangkun maksudkan... kedua kongcu dan kedua siocia itu....?"

"Ya, di mana mereka?" Kui Bi juga bertanya.

"Sejak pagi tadi mereka sudah pergi, tidak mengatakan kemana mereka pergi, hanya memesan agar kami semua menanti saja di rumah belakang...."

"Keparat! Mereka membawa apa ”bentak Sia Su Beng.

Pelayan itu nampak ketakutan bingung. "Tidak membawa apa-apa, ehh... buntalan pakaian di punggung mereka. Bahkan mereka tidak menunggang kuda, hanya berjalan kaki keluar dari gedung, nampak tergesa-gesa."

"Ah, mereka telah melarikan diri! Cepat, kita harus mengejar mereka"

Sia Su Beng sudah meloncat keluar, diikuti oleh Kui Bi. Setelah tiba di luar gedung, Sia Su Beng bertepuk tangan dan bermunculanlah, para perajurit yang tadi telah mengepung gedung itu dengan bersembunyi.

Baru sekarang Kui Bi melihat bahwa tunangannya itu tadi telah mengerahkan pasukan untuk mengepung gedung, ia mengerutkan alisnya melihat tunangannya memerintahkan para pembantunya untuk minta bantuan pasukan dan melakukan pengejaran terhadap empat orang muda itu ke empat penjuru!

"Kejar dan cari mereka, melalui empat pintu gerbang!" perintahnya dengan muka merah.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh lengan kiri Sia Su Beng yang sedang marah. Sia Su Beng menoleh dan ternyata kekasihnya yang sedang memandang kepadanya dengan wajah sedih. "Koko, ingat, mereka adalah kakak-kakakku," katanya lirih.

Sia Su Beng menghela napas panjang. "Jangan khawatir, Bi-moi. Aku sudah memerintahkan para panglima untuk mengajak mereka kembali dengan halus, atau kalau mereka melawanpun hanya menangkap mereka, tidak melukai apa lagi membunuh. Kau tahu, aku tidak memusuhi mereka, tidak membenci mereka, akan tetapi mereka harus menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli kepadaku."

Hati Kui Bi terasa lega. ia percaya kepada kekasihnya, Iapun diam-dia m mengharapkan agar pasukan tidak akan mampu menangkap empat orang muda itu karena mereka sudah pergi lama, sejak pagi tadi dan mengingat bahwa mereka Itu tidak berkuda, dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan sukarlah untuK melacak mereka. Dengan berjalan kaki mereka dapat mengambil jalan melalui dusun-dusun dan sawah ladang, melalui bukit-bukit sehingga tidak meninggalkan jejak.

Apa yang diharapkan Kui Bi memang terjadi. Biarpun pasukan-pasukan berkuda yang kuat dan banyak melakukan pengejaran ke empat penjuru, mereka tidak menemukan apa-apa. Akhirnya, para komandan itu memecah pasukan mereka merupakan regu-regu yang hanya terdiri dari dua belas orang setiap regu, menyusup-nyusup dan banyak pula yang melakukan pencarian dengan berjalan kaki.

Cin Han, Kim Hong, Hui San dan Kui Lan memang tadi nampak tergesa-gesa ketika meninggalkan gedung dan keluar dari pintu gerbang kota raja, akan tetapi setelah mereka jauh meninggalkan kota raja, mereka berjalan santai saja. Mereka sengaja mengambil jalan melalui sebuah bukit di sebelah barat kota raja yang penuh hutan sehingga mereka tidak meninggalkan jejak dan akan menyukarkan mereka yang mungkin akan melacak mereka.

Mereka sudah menduga bahwa kalau Sia Su Beng mengetahui bahwa mereka telah pergi tanpa pamit, tentu panglima yang cerdik itu akan cepat mengerahkan pasukan melakukan pengejaran. Kalau Kui Bi memberitahu bahwa pusaka di tangannya itu palsu, tentu Sia Su Beng akan mencurigai mereka dan bertekad untuk mendapatkan pusaka aselinya dengan menangkap mereka.

Akan tetapi mereka berempat sama sekali tidak menduga bahwa usaha pelacakan yang dilakukan Sia Su Beng itu demikian bersungguh-sungguh sehingga setelah lewat tiga hari, mereka berempat sudah merasa lega dan sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan dapat disusul para pengejar.

Setelah melarikan diri lewat tiga hari, empat orang itu berhenti di sebuah hutan kecil untuk beristirahat dan berlin dung dari terik matahari siang itu. Mereka membuka buntalan berisi makanan terdiri dari roti dan daging kering yang mereka beli dalam perjalanan melewati sebuah dusun kemarin sore.

Kui Lan dan Kim Hong memasak air dan memanggang daging kering setelan tadi Hui San mendapatkan air jernih! Air di panci itu sudah mulai mend idil dan bau daging kering yang dipanggang sudah menimbulkan selera karena sedapnya ketika mereka tiba-tiba saja berhenti bergerak dan memperhatikan sekeliling karena mereka mendengar suara orang.

Kiranya, api yang mereka buat untuk memasak air dan memanggang daging kering, ditambah bau sedap daging panggang, menarik munculnya delapan orang di tempat itu. Melihat delapan orang yang berpakaian preman itu, mengertilah empat orang pelarian ini bahwa mereka berhadapan dengan delapan orang jagoan yang menjadi anak buah Sia Su Beng karena empat orang di antara mereka adalah guru-guru silat yang melatih para perajurit pasukan khusus Sia-ciangkun. Dengan sikap tenang, Cin Han yang masih berjongkok lalu bangkit berdiri perlahan dan bertanya, suaranya tenang namun juga berwibawa.

"Apa artinya ini? Ada keperluan apakah kalian datang menyusul kami?"

Delapan orang itu juga bersikap tenang dan hormat. Mereka maklum bahwa dua orang pemuda dan dua orang gadis ini bukanlah sembarang orang. Bahkan dua orang di antara mereka adalah kakak-kakak nona yang menjadi tunangan atasan mereka. Mereka sudah tahu bahwa keempat orang ini memiliki kepandaian tinggi dan tidak mudah ditundukkan.

"Ji-wi kongcu dan ji-wi siocia, harap maafkan kami. Kami diutus Sia-ciangkun untuk mengejar kalian berempat dan minta kepada kalian agar kembali ke kota raja karena Sia-ciangkun ingin bertemu dan bicara dengan kalian," kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, seorang di antara empat guru silat pelatih pasukan khusus.

"Begitukah?" kata Cin Han. "Kalian delapan orang utusan, kembalilah ke kota raja dan katakan kepada Sia-ciangkun bahwa kami berempat sudah tidak mempunyai urusan apapun dengan dia lagi dan kami hendak melanjutkan perjalanan kami, harap kalian tidak mengganggu kami lagi."

"Kongcu, kalau kami lakukan itu tentu kami akan menerima hukuman dari Sia-ciangkun. Kami telah diberi tugas kalau kami tidak dapat melaksanakannya dengan baik, tentu kami mendapat kemarahan."

"Hemm, bagaimana kalau kami menolak permintaan kalian untuk kembali ke kota raja?" tanya pula Cin Han yang menjadi juru bicara mereka berempat.

Si tinggi besar muka hitam mencabut pedangnya, diikuti tujuh orang rekannya dan dia berkata, "Tugas kami adalah bahwa kalau kalian menolak, kami harus memaksa dan menangkap kalian!"

"Bagus! Hendak kulihat bagaimana kalian menangkap kami!" Kim Hong yang sudah marah sekali meloncat bangun dan ia sudah mencabut sepasang pedang terbangnya yang diikat tali. Kui Lan juga sudah menyambar sebatang ranting sebesar ibu jari kaki dan sepanjang lengannya.

Hui San tertawa dan pemuda inipun sudah mencabut pedangnya. "Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa Sia Su Beng tentu akan mempergunakan kekerasan. Kami sudah siap menghadapi kalian!"

Cin Han sendiri memegang sebatang tongkat yang memang sudah dia per siapkan dalam pelarian itu. Melihat betapa empat orang muda itu sudah bangkit dan mempersiapkan senjata mereka, si tinggi besar mu ka hita m berteriak me mberi aba-aba dan mereka berdelapan sudah mengepung empat orang itu.

Souw Hui San yang masih tersenyum itu berseru. "Wah, mari kita berlumba. Seorang melawan dua orang dan kita lihat siapa di antara kita yang paling cepat mendapatkan kemenangan!"

Setelah berkata demikian, dia sudah menerjang ke arah dua orang yang terdekat dengannya. Pedangnya yang digerakkan amat cepat itu sudah membentuk gulungan sinar yang dengan cepat sekali menyambar berturut-turut ke arah kedua orang yang dipilihnya. Tidak ada jalan lain lagi bagi kedua orang itu untuk menyambut dengan tangkisan pedang mereka dan segera Hui San dikeroyok dua.

Cin Han, Kui Lan, dan Kim Hong juga sudah menyerang masing-masing dua orang lawan dan terjadilah pertandingan amat yang seru di tempat itu. Teriakan Hui San tadi bukan sekedar main-main. Dia melihat bahwa delapan orang itu agaknya memiliki ilmu barisan pat-kwa yaitu barisan pedang segi delapan dan kalau mereka diberi kesempatan membentuk pat-kwa-kiam-tin (barisan pedang segi delapan), maka akan merupakan lawan yang berbahaya.

Maka, dia berteriak agar mereka masing-masing melawan dua orang musuh, dan hal ini jauh lebih ringan dibandingkan kalau mereka berempat menghadapi pat-kwa-kiam-tin. Memang Hui San ini orangnya lincah dan cerdik sekali. Karena mereka berempat sudah menyerang masing-masing dua orang, maka delapan orang itu tidak sempat lagi membentuk pat-kwa-kiam tin dan terpaksa harus membela diri dan pertandingan terpecah menjadi empat.

Kim Hong sendiri tadi mendahului kekasihnya untuk menyerang si tinggi besar muka hitam. Gadis murid Si Naga Hitam ini merupakan orang yang paling lihai di antara mereka berempat. Hal itu adalah karena ia telah minum darah ular hitam kepala merah, yang selain mendatangkan tenaga sin-kang yang amat hebat, juga tubuhnya kebal terhadap segala macam racun, bahkan tubuhnya, kalau ia mengerahkan tenaga tertentu, dapat mengeluarkan hawa beracun yang mematikan!

Ia menduga bahwa si tinggi besar muka hitam yang memimpin delapan orang itu tentu yang terlihai, maka ia mendahului Cin Han, menyerang si tinggi besar dan seorang temannya yang berdiri di dekatnya. Melihat hebatnya dua sinar pedang terbang itu menyambar kearah mereka, si tinggi besar dan temannya terpaksa harus menyambutnya dan segera terjadi pertandingan yang amat hebat.

Cin Han sendiri memainkan tongkatnya dengan ilmu silatnya yang dia pelajari dari gurunya, Sin-tung Kai-ong, yaitu Tai-hong-pang. Ilmu tongkat Tai-hong-pang (Tongkat Angin Badai) ini memang hebat sekali, begitu digerakkan, nampak gulungan sinar tongkat yang mendatangkan angin menyambar-nyambar disertai suara yang bersiutan, membuat dua orang pengeroyoknya terkejut dan harus cepat memutar pedang melindungi tubuhnya.

Permainan sebatang ranting di tangan Yang Kui Lan juga membuat dua orang pengeroyoknya sibuk sekali. Ranting itu, dimainkan dengan ilmu silat Hong-in-sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) bergerak halus seperti dipakai menari saja, akan tetapi bagi kedua orang pengeroyoknya, ranting itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang menghujankan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya.

Pertandingan itu tidak berlangsung terlalu lama karena delapan orang itu sama sekali bukan merupakan tandingan yang seimbang bagi empat orang muda itu. Apalagi empat orang muda Itu terpengaruh oleh ajakan Hui San untuk berlumba siapa yang lebih dulu dapat mengalahkan dua orang lawan masing masing, maka mereka semua mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus mereka yang paling hebat.

Belum sampai lima belas jurus, dua orang yang mengeroyok Kim Hong, yaitu si tinggi besar muka hitam dan seorang kawannya, roboh berturut-turut dengan luka terobek pedang di pundak dan paha mereka. Robohnya dua orang ini diikuti robohnya dua orang yang mengeroyok Cin Han.

Tongkatnya merobohkan mereka dengan pukulan pada lambung dan totokan pada dada sehingga membuat yang dadanya tertotok tongkat itu menjadi pingsan. Setelah dua orang ini roboh, disusul roboh nya dua orang pengeroyok Kui Lan. Karena gadis ini hanya mempergunakan sebatang ranting biasa, maka setelah duapuluh jurus, baru ia berhasil menotok roboh dua orang peng royoknya yang menjadi lumpuh kaki tangannya.

Kini mereka bertiga menoleh dari melihat betapa Hui San yang mengajak berlumba tadi masih menghadapi pengeroyokan kedua orang lawannya. Akan tetapi, kedua orang lawan itu sudah tidak utuh lagi. Mereka terpincang-pincang mengeroyok Hui San, dan pakaian mereka sudah robek-robek dengan luka-luka kecil merobek kulit mereka di mana-mana. Jelaslah bahwa Hui San sengaja tak segera merobohkan mereka, hanya mempermainkan, membuat kaki mereka terpincang-pincang dan tubuh mereka luka-luka kecil akan tetapi tidak sampai merobohkan mereka.

Tentu saja Hui San tidak berani mendahului Kui Lan merobohkan kedua lawannya, karena dia tidak ingin melihat gadis yang dipujanya itu merobohkan dua orang lawannya paling akhir!

"San-ko, kenapa engkau masih mempermainkan mereka? Cepat hentikan, kita harus cepat pergi," kata Kui Lan.

Mendengar ucapan kekasihnya itu, Hui San memutar peclangnya cepat-cepat, membuat kedua orang itu hanya mampu menangkis saja, dan dia berkata, "Kalian dengar? Hayo cepat roboh, atau harus aku yang merobohkan kalian dan melukai kalian?"

Mendengar ini, dua orang yang melihat betapa enam orang kawan mereka sudah roboh semua dan mereka sendiripun jelas bukan lawan pemuda lihai itu, mengerti bahwa mereka akan terluka parah kalau tidak menaati. Maka, merekapun segera melempar pedang dan melempar tubuh mereka ke belakang, terguling-guling dan tidak bangkit lagi!

Hui San tertawa bergelak, akan tetapi Kim Hong cemberut. "Sialan sekali, daging kita hangus dan roti kita kotor semua!" ia menendang makanan yang tidak dapat dimakan lagi itu.

"Dan airpun sudah tumpah habis," kata Kui Lan dan iapun mengambil panci kosong dan prabot lain untuk dibawa sebagai bekal.

Cin Han menghampiri si tinggi besar. "Katakan kepada Sia Su Beng bahwa hanya karena melihat dan mengingat adikku Yang Kui Bi sajalah kami tidak membunuh kalian!"

"Terima kasih, kongcu!" kata si tinggi besar, maklum bahwa apa yang diucapkan pemuda itu memang sebenarnya. Empat orang muda itu segera meninggalkan hutan dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat menuju ke barat.

Sia Su Beng merasa kecewa sekali karena pasukannya tidak berhasil menangkap empat orang muda itu. Akan tetapi, hal itu tidak membuat dia mundur dalam tekadnya untuk mempertahankan kekuasaannya atas kota raja. Bahkan dia lalu menghimpun kekuatan pasukannya untuk mengatur daerah dan memperkuat kubu pertahanan di bagian barat untuk menghadapi pasukan Kerajaan Tang yang tentu akan berusaha merebut kekuasaan kembali.

Yang Kui Bi membantu kekasihnya dengan sepenuh hati. Ia amat mencinta dan dicinta Sia Su Beng, dan iapun terseret ke dalam ambisi kekasihnya yang ingin menjadi kaisar! Iapun tentu saja akan merasa bangga dan bahagia sekali kalau dapat menjadi permaisuri kaisar!

Dan perang tentu saja tidak terelakkan lagi! Menurut catatan sejarah, ketika Pasukan Kaisar Su Tsung yang di pimpin oleh Panglima Besar Kok Cu It, dibantu oleh banyak pasukan dari suku-suku bangsa di utara dan barat, maka terjadilah pertempuran hebat di bagian barat. Kedua pihak tidak ada yang mau mengalah. Pasukan Kerajaan Tang bertekad merebut kembali kekuasaannya yang dahulunya terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan dan sekarang terjatuh ke tangan Sia Su Beng, sedangkan Sia Su Beng dan kawan-kawannya juga bertekad mempertahankan kekuasaan mereka.

Setelah Souw Hui San menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala kepada Kaisar Su Tsung, dia tidak mau menerima imbalan jasa seperti yang ditekankan kepadanya oleh Yang Kui Lan. Bahkan dua pasang pendekar yang saling mencinta itu, yaitu Yang Cin Han dengan Can Kim Hong dan Yang Kui Lan dengan Souw Hui San, meninggalkan pasukan Kerajaan Tang dan tidak mau melibatkan diri ke dalam perang. Hal ini adalah karena Cin Han dan Kui Lan teringat akan adik mereka, Yang Kui Bi, yang mereka tahu membantu Sia Su Beng.

Mereka berdua tidak tega memusuhi adik mereka, sedangkan kekasih mereka, Kim Hong dan Hui San, tentu saja mengikuti jejak mereka dan dua pasang pendekar itu lalu melangsungkan pernikahan secara sederhana, kemudian hidup sebagai rakyat biasa, tidak mau mencampuri perang saudara yang saling memperebutkan kekuasaan itu.

Dan bagaimana dengan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi? Kedua orang inipun menikah, dirayakan besar-besaran, dan keduanya juga mati-matian mempertahankan kekuasaan mereka. Menurut catatan sejarah, perang yang dilakukan oleh pasukan Kerajaan Tang untuk merebut kembali kekuasaannya itu berlangsung berlarut-larut sampai sembilan atau sepuluh tahun!

Dapat dibayangkan betapa hebat pengorbanan yang terjadi dalam perang perebutan kekuasaan ini. Rakyat pula yang menderita. Para perajurit yang tewas sampai ratusan ribu orang banyaknya. Harta benda rakyat dirampok atau dibakar, banyak pula rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban.

Dalam tahun 766, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, barulah pasukan Tang dapat merebut kembali kota raja, dan Kerajaan Tang dapat dibangun kembali di atas puing kehancuran akibat perang. Untuk pertahanan terakhir, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi bertempur mati matian di kota raja, sampai keduanya gugur dan tewas seperti ribuan perajurit lain.

Yang tidak dicatat sejarah, bahkan jarang ada yang mengetahui adalah bahwa sebelum suami isteri yang kukuh ini menyambut pasukan musuh yang sudah memasuki kota raja, mereka masih sempat menitipkan anak tunggal mereka, seorang putera, kepada seorang wanita pengasuh yang berhasil menyelundupkan anak itu keluar dari istana, kemudian melarikan diri bersama para pengungsi, anak laki-laki berusia lima tahun yang dapat diselamatkan dengan diakui sebagai anaknya sendiri.

Sampai di sini, selesailah sudah kisah Mestika Burung Hong Kemala ini. Sesungguhnya, pusaka ini hanyalah sebuah benda mati, hanya sebagai lambang belaka, dan yang diperebutkan adalah kekuasaan itulah. Kenapa kekuasaan di perebutkan? Karena kuasa berarti menang, berarti selalu benar, selalu baik, selalu menang dan selalu enak!

Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua...!
TAMAT
Selanjutnya, seri ke 2
Kisah Si Pedang Terbang

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 13

Mestika Burung Hong Kemala

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
Jilid 13
”AKUPUN mengucapkan terima kasih kepadamu, Sia-ciangkun."

Semua orang terkejut, termasuk Sia Su Beng. Akan tetapi kalau para panglima yang mendengar tuduhan itu terkejut dan tidak percaya, Sia Su Beng benar-benar terkejut karena tidak menyangka bahwa Bouw Koksu benar-benar telah mengetahui hal itu! Akan tetapi, dia sengaja tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, Bouw Koksu, siapa mau percaya bualanmu itu? Kalau betul seperti yang kau katakan itu, kenapa engkau tidak menangkap pembunuh itu agar ada buktinya?"

"la terlalu licik dan berhasil meloloskan diri dari kota raja!" kata Bouw Koksu gemas.

Kembali terdengar suara tawa Sia Su Beng. "Ha-ha-ha, bagaimana mungkin ini? Bouw Koksu yang terkenal lihai dengan banyak sekali anak buahnya, tidak mampu menangkap seorang gadis dayang? Cu-wi ciangkun, apakah cerita ini dapat dipercaya?"

Para panglima tertawa-tawa dan menggeleng kepala. Melihat ini, Bouw Koksu tidak dapat menahan sabar lagi.

"Sia-ciangkun dan para panglima yang telah dapat dihasut olehmu, apakah kalian semua tetap hendak rnemberontak dan menentang penobatan Pangeran menjadi Kaisar?"

"Kami tidak memberontak, tidak pula menentang penobatan, akan tetap minta agar penobatan ditangguhkan sampai diketahui dengan tuntas mengenai pembunuhan terhadap Sri baginda Kaisar. Kalau Pangeran yang berdiri di belakang pembunuhan itu, dibantu oleh Bouw Koksu seperti yang telah kami dengar dengan mempergunakan seorang dayang maka tentu kami tidak setuju mengangkat seorang pembunuh ayah kandung sendiri menjadi junjungan kami!"

"Yang Mulia Pangeran, mereka ini hendak memberontak! Sepatutnya mereka ditangkap! Harap paduka memberi perintah dan hamba akan menangkap mereka!"

Bouw-ciangkun dengan marah, memberi tanda kepada para pendukungnya untuk siap bergerak. Pangeran An Kong sudah gemetar kedua kakinya mendengar ucapan Sia Su Beng yang agaknya mengetahui rahasia ia membunuh ayahnya. Diapun tidak melihat jalan lain kecuali menggunakan kekerasan. Dia bangkit berdiri dan menudingkan tangannya ke arah Sia Su Beng,

"Tangkap para pemberontak itu!"

Akan tetapi, Sia Su Beng mengeluarkan suara melengking panjang dan dari semua pintu ruangan itu bermunculan pasukan yang siap dengan anak panah mereka. Tentu saja Pangeran An Kong dan Bouw Koksu, juga Bouw Ki menjadi pucat me lihat ini.

"Pemberontakan!!!" Bouw Koksu berseru.

"Sia-ciangkun, engkau mernberontak!" kata pula Pangeran An Kong.

"Pangeran, tidak ada yang memberontak terhadap mendiang Sribaginda kaisar! Mereka yang merencanakan kematiannyalah yang memberontak. Untuk sementara ini, demi keamanan negara, kami yang akan memimpin dibantu oleh para panglima. Urusan pembunuhan ini akan kami selidiki sampai tuntas dan siapapun yang menjadi dalangnya, akan kami seret ke pengadilan. Untuk sementara ini, semua penghuni istana, terrnasuk paduka, pangeran, di larang meninggalkan istana. Semua pejabat, termasuk Bouw Koksu, dilarang meninggalkan kotaraja.”

Pangeran An Kong menjadi pucat dan dengan suara lemah dia lalu membubarkan persidangan dan mengundurkan diri kedalam kamarnya. Bouw Koksu memberi isarat mata kepada Bouw Ki dan keduanya cepat meninggalkan istana, menuju ke gedung mereka sendiri. Keduanya nampak cemas dan gugup.

"Hemm, bagaimana sampai terjadi begini?" Bouw Hun mendesis marah kepada puteranya ketika mereka berada di luar istana.

"Aku sudah mempersiapkan semua pasukan, ayah, akan tetapi agaknya diam-diam mereka juga sudah mengepung istana ini. Lihat di sana."

Mereka melihat bahwa pasukan yang besar jumlahnya mengepung istana dan pasukan anak buah Bouw-ciangkun tidak nampak. Mereka itu tadi telah dilucuti dan ditawan di dalam benteng! Bukan itu saja, bahkan juga benteng pasukan Bouw Ki telah dikuasai pasukan Sia Su Beng. Melihat ini, Bouw Ki menjadi pucat dan dia bersama ayahnya cepat pulang ke gedung mereka.

"Celaka, kita terjebak!" kata Bouw Hun. "Selagi masih ada kesempatan, kita harus cepat meninggalkan kota raja. Mari kita berkemas!" tergesa-gesa mereka kembali ke gedung tempat tinggal mereka dan baru mereka ingat bahwa seluruh pasukan mereka tadi dikerahkan ke istana sehingga di rumah itu tidak tertinggal seorangpun perajurit pengamat, hanya tinggal para pelayan dalam gedung saja.

"Cepat siapkan kereta dengan dua kuda terbaik!" perintah Bouw Koksu kepada seorang pembantunya yang segera lari ke istana untuk mempersiapkan perintah majikannya.

Ayah dan anak itu segera berkemas, mengumpulkan harta berupa emas dalam sebuah peti dan tidak lupa Koksu membawa pusaka yang masih simpan, yaitu Mestika Burung Hong Kemala dalam kotak kecil hitam itu. Kotak ini dia bungkus dan dia ikatkan buntalan kain itu ke punggungnya. Kemudian sambil membawa pedang mereka, ayah dan anak ini berlari-lari menuju ke depan di mana kereta dengan dua ekor kuda sudah menunggu.

Akan tetapi, tak nampak seorangpun pelayan, bahkan pelayan yang tadi mempersiapkan kereta dan kuda juga tidak nampak. Sunyi sekali pekarangan yang luas dari rumah gedung yang hendak mereka tinggalkan itu. Ketika mereka menghampiri kereta tiba-tiba dari dalam kereta itu muncul empat orang yang membuat ayah dan itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Heh-heh, Bouw Koksu, hendak pergi ke manakah?" kata Hui San yang sambil tersenyum lebar.

"Siapa... siapa engkau?" bentak Bouw Koksu yang sudah merasa gelisah dan terkejut melihat Kirn Hong bersama di antara mereka.

"Aku bernama Souw Hui San. Aku di perintah oleh arwah pamanku Souw Lok untuk menagih nyawa kepadamu. Nah. serahkan nyawamu, Bouw Koksu!"

Bukan main kagetnya rasa hati Bouw Hun, dan maklumlah dia bahwa dia telah terhalang dan agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri lagi. "Kim Hong, engkau yang pernah menjadi muridku dan pernah kami sayang seperti anak, balaslah budi kami dan singkirkan pemuda ini untuk kami!" kata Bouw Hun.

Kim Hong tersenyum mengejek. "Bouw Hun, engkau tidak pernah melepas budi kebaikan kepadaku, melainkan perbuatan keji dan jahat. Lupakah engkau tentang penipuanmu kepadaku, memperkenalkan Ciang Kui sebagai ayah kandungku? Engkau hanya ingin memanfaatkan tenagaku, bukan benar-benar sayang kepadaku."

"Engkau.... engkau manusia yang tak mengenal budi!" Bouw Hun memaki dan menerjang maju dengan pedang bengkoknya, menyerang gadis itu.

Akan tetapi, sambil mengelak ke samping, sekali ia menampar sambil mengerahkan tenaganya, tubuh Bouw Hun terpelanting. Memang benar ketika masih kecil sampai dewasa, Kim Hong menjadi murid Bouw Hun. Akan tetapi setelah dara ini menerima gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ilmu kepandaiann meningkat dengan hebat dan tentu saja kini Bouw Hun sama sekali bukan tandingannya lagi.

"Hemm, mengingat bahwa engkau pernah menjadi guruku, aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!"

Setelah berkata demikian, gadis menghadapi Bouw Ki dan memandang dengan sinar mata marah. "Engkaulah, Bouw Ki, yang layak mati di tanganku."

"Pengkhianat tak tahu malu!" Bouw Ki membentak dan dia menerjang gadis itu dengan pedangnya. Kim Hong menyambut dengan elakan, mudah saja baginya untuk menghindarkan diri dari bacokan-bacokan pedang Bouw Ki yang di lakukan dengan membabi-buta saking marah, gentar dan putus asa.

Sementara itu, Hui San menghadapi Bouw Hun dan dia mencabut pedangnya. "Nah, sekarang mari kita bertanding satu lawan satu untuk menyelesaikan hutang mu kepada mendiang Paman Souw Lok!"

Seperti juga puteranya, Bouw Hun tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri, maka diapun menjadi nekat dan sambil membentak marah, dia menggunakan pedang bengkoknya untuk menyerang Hui San.

"Trang-trangg!"

Dua kali Hui San menangkis serangan Bouw Hun ia lalu membalas dengan tusukan pedangnya yang dapat pula dihindarkan Koksu itu dengan tangkisan pedang bengkoknya. Terjadilah dua buah pertandingan yang berat sebelah, karena baik Bouw Ki pun Bouw Hun sama sekali bukan lawan setanding dengan Kim Hong dan Hui San.

Sementara itu, Cin Han dan Kui Lan hanya menjadi penonton saja karena kedua orang kakak beradik ini maklum bahwa kekasih mereka tidak akan kalah. Mereka hanya berjaga-jaga kalau sampai kekasih mereka dikeroyok anak buah Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun. Tadi mereka berempat telah merobohkan para pembantu Bouw Koksu yang berada di luar gedung, termasuk kusir kereta dan mereka yang mempersiapkan kereta dan kudanya di depan pintu.

Yang amat payah keadaannya dalam pertandingan itu adalah Bouw Ki. Pemuda Khitan yang semenjak An Lu Shan berhasil dalam pemberontakannya seolah-olah kejatuhan bintang dan diangkat menjadi panglima dengan pakaian yang rnentereng ini, tentu saja mencoba untuk dapat menang dalam perkelahian itu.

Akan tetapi, harapannya ini tentu saja kosong belaka karena dahulupun, ketika mereka berdua masih menjadi murid Bouw Hun, di dalam latihan dia tidak pernah dapat menang melawan Kim Hong. Apa lagi setelah Kim Hong menjadi murid Hek-Hong Kwan Bhok Cu dan minum darah ular Hita m Kepala Merah, tingkat kepandaian gadis itu menjadi tinggi sekali, jangankan dia, bahkan ayahnyapun bukan tandingan Kim Hong sekarang.

Tidak seperti Hui San yang suka main-main, Kim Hong langsung saja mendesak bekas suhengnya dengan tekanan-tekanan yang membuat Bouw Ki hanya manpu nengelak dan menangkis dengan pedang bengkoknya, sama sekali tidak dapat membalas. Bouw Ki merasa gentar sekali.

Sepasang matanya yang biasanya tajam seperti mata burung rajawali itu kini terbelalak dan liar ketakutan, walaupun dia masih berusaha untuk menang, dengan sekuat tenaga setiap kali pedang di tangan Kim Hong menyambar. Ujung pedang itu sudah melukai bahu kirinya sehingga gerakannya menjadi semakin kaku. Dengan sisa tenaga yang ada, ketika sinar pedang Kim Hong meluncur kearah kepalanya, dia menggerakkan pedang bengkoknya menangkis.

"Trakkk!” Patahlah pedang di tangan Bouw Ki dan di detik berikutnya, tahu-tahu sinar pedang di tangan Kim Hong berkelebat dan pedang itu telah menembus dada Bouw Ki. Hanya sekejap saja, bagaikan kilat menyambar pedang itu sudah masuk kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung dipinggang gadis itu ketika tubuh Bouw Ki terjengkang. Dia mendekap dada kiri dengan tangan kanan dan tewas seketika karena jantungnya tertembus pedang.

Bouw Hun yang sedang bertanding melawan Souw Hui San, melihat juga jatuhnya Bouw Ki. Tentu saja Bouw Hun menjadi terkejut dan duka, juga marah sekali. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka pedang bengkoknya kini mengamuk, tetapi, karena tadi Hui San hanya main-main saja, tidak bersungguh-sungguh dan kini melihat Kim Hong telah merobohkan lawan dia lalu mempercepat gerakan pedangnya, maka amukan pedang bengkok di tangan Bouw Hun itu tidak ada artinya. Ilmu pedang Gobi-pai memang indah dan juga amat cepat gerakannya.

"Orang she Bouw, pergilah engkau menyusul anakmu!" bentaknya dan kini sinar pedangnya bergulung-gulung, mengurung lawan membuat Bouw Hun menjadi bingung. Terdengar bunyi kedua pedang itu saling bertemu berdentangan dan akhirnya sebuah sabetan pedang di tangan Hui San mengakhiri perlawanan Bouw Hun.

Dia roboh terpelanting dengan leher hampir putus terbabat pedang. Tewaslah ayah dan anak itu. Pada saat Bouw Hun roboh, terdengar gerakan orang dan Sia Su Beng sudah tiba di situ, bersama Yang Kui Bi yang masih mengenakan pakaian perajurit, seperti juga empat orang muda itu yang kesemuanya menyamar sebagai perajurit.

"Bagus sekali, mereka telah dapat ditewaskan," kata Sia Su Beng dan lapun cepat menghampiri mayat Bouw ki, merenggut buntalan yang berada di punggung bekas Koksu itu dan membuka kain buntalannya. Ternyata berisi sebuah kotak hitam dan ketika dibuka tutupnya, wajah panglima itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Mestika Burung Hong Kemala!" Sia Su Beng berseru dan diapun menutup kembali kotak itu, merapikan buntalan dan menggantungkan buntalan di pundaknya.

Hui San dan Kui Lan saling pandang, dan gadis itu melihat betapa pemuda itu sedikit menggeleng kepalanya, tanda bahwa dia tidak boleh bicara tentang pusaka itu kepada Sia Su Beng. Biarpun ia merasa heran mengapa sikap kekasihnya seperti itu, namun Kui Lan tidak bertanya dan juga juga tidak bicara sesuatu. Kenapa Hui San membiarkan Sia Su Beng tertipu dan menyimpan pusaka palsu?

"Kakak Cin Han dan Enci Kui Lan mulai sekarang boleh menempati kembali rumah yang sebetulnya memang milik keluarga Yang ini. Aku akan menyuruh seregu perajurit melakukan penjagaan, juga beberapa orang pelayan untuk mengatur rumah."

Kui Bi merangkul encinya. "Enci lan, kalau saja ayah dan ibu masih ada alangkah akan bahagianya mereka melihat kita dapat merebut kembali rumah kita...." Kui Bi yang biasanya tabah dan lincah periang, itu kini menangis di pundak encinya.

"Tenangkan hatimu, adik Bi. Biarpun sudah meninggal dunia, aku yakin mereka melihat peristiwa ini dan ikut berbahagia."

Setelah Sia Su Beng pergi bersama Kui Bi yang agaknya tidak mau berpisah dari tunangannya itu, Kui Lan, Kim Hong, Cin Han dan Hui San mulai mengatur rumah gedung yang merupakan temyang amat dikenal oleh Cin Han dan Kui Lan karena di rumah inilah mereka lahir dan dibesarkan!

Pangeran An Kong entah sudah keberapa ratus kali berjalan hilir mudik di dalam kamar itu, seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Wajahnya yang tampan dan biasanya pesolek itu kini tak terawat, sudah beberapa hari tidak mandi dan bahkan tidak bergantii pakaian. Jarang pula dia dapat makan walaupun ada makanan dihidangkan deh pelayan.

Dia menjadi orang tahanan. Tahanan rumah, atau lebih tepat lagi tahanan kamar karena dia selalu berada di dalam kamarnya karena rumahnya telah dijaga oleh perajurit anak buah Panglima Sia Su Beng. Dia tidak diperkenankan keluar dari rumah itu.

Apa lagi setelah dia mendengar bahwa Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun tewas terbunuh, dan semua pasukan yang tadinya mendukung Bouw Koksu telah dilucuti dan ditundukan oleh Panglima Sia Su Beng, bahkan hampir semua panglima kini menakluk dan menyerah kepada Panglima itu, Pangeran An Kong menjadi putus asa dan bingung.

Pada suatu siang, ketika dia sedang hilir mudik di dalam kamarnya seperti seekor harimau dalam kurungan, terdengar langkah kaki di luar kamarnya. Pangeran An Kong mengira ada penjaga atau pelayan yang memasuki kamar, maka dia sudah siap untuk memaki dan mengusirnya. Akan tetapi, ternyata yang masuk adalah Panglima Sia Su Beng!

Melihat munculnya musuh besar ini, An Kong segera bangkit berdiri mengambil sikap bermusuhan, berdiri tegak dengan membusungkan dada seperti sikap seorang atasan menghadapi seorang bawahannya. "Sia Ciangkun, apakah engkau datang hendak membebaskan aku?" tanyanya dengan sikap angkuh.

Di dalam hatinya pangeran ini menaruh dendam dan andaikata dia memperoleh kekuasaan tertinggi, perintah pertama yang akan keluar dari mulutnya tentulah menangkap dan menghukum berat panglima yang kini berdiri di depannya itu.

"Pangeran. Kami datang untuk mempertemukan pangeran dengan wanita yang dulu kau suruh meracuni Sri baginda An Lu Shan."

Sia Su Beng tidak memperdulikan perubahan wajah pangeran itu yang menjadi pucat, dan dia menoleh ke pintu. Dari pintu itu masuklah gadis cantik jelita dan membawa sebuah baki di mana dapat sebuah cawan emas. Pangeran An Kong terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat seolah dia melihat hantu, bukan melihat seorang gadis yang cantik jelita, yang dengan anggunnya melangkah ke dalam kamar membawa baki dengan kedua tangan didepan dada.

Baki itu menambah indah gayanya berjalan karena ia harus mengatur keseimbangan langkahnya agar arak dalam cawan itu tidak tumpah, membuat langkahnya menjadi lenggang yang gemulai seperti seorang penari, ia melihat Kui Bi, gadis dayang itu, yang pernah menarik hatinya, memikat gairahnya, gadis yang kemudian ia peralat untuk menaruh racun kedalam hidangan ayahnya sehingga akhirnya ayahnya, An Lu Shan, tewas keracunan.

Dan kini gadis itu dengan lenggang yang manis memasuki kamar membawa baki terisi cawan. Dengan gaya dan gerakan yang memikat, Kui Bi , yang kini mengenakan pakaian wanita, meletakkan baki dengan secawan emas arak itu ke atas meja, kemudian ia berdiri sambil memandang pangeran dengan senyum manis.

"Kau...?" Pangeran An Kong berseru keras karena timbul harapan untuk membersihkan diri dengan menangkap pelaku pembunuhan terhadap ayahnya Itu. "Engkau yang membunuh Sribaginda!"

Senyum itu melebar sehingga nampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, menambah kuat daya tarik wajah gadis jelita itu. "Bukan aku yang membunuhnya, melainkan engkau yang menyuruh kaki tanganmu sebagai dayang, pekerja dapur dan thai-kam. Engkaulah yang membunuh ayahmu sendiri An Kong, dan bukan orang lain," kata Kui Bi dengan suara tenang dan merdu mengandung ejekan.

"Engkau yang membunuh, keparat! Engkau harus ditangkap dan engkau harus mengaku!"

Dalam keadaan yang putus asa dan nekat, Pangeran An Kong mengerahkan tenaganya dan meloncat, menubruk untuk menangkap gadis jelita itu untuk memaksanya mengakui sebagai pembunuh An Lu Shan. Namun, dia mengalami kejutan yang lebih hebat lagi. Tubrukannya luput dan kaki gadis itu menyambar dari samping dengan amat cepatnya hingga dia yang menguasai ilmu silat yang cukup tangguhpun tidak mampu rnenghindar lagi.

"Dukk!!" Perutnya tertendang dan diapun terpelanting keras, tentu saja dia terkejut setengah mati dan ketika dia dapat berdiri kembali, Ia memandang kepada Kui Bi dengan penuh keheranan. Gadis itu tersenyum manis dengan pandangan mata penuh ejekan padanya.

"Kau... kau... sebenarnya siapakah?" tanyanya gagap.

"Engkau tidak secerdik Bouw Hun yang dapat menduga siapa aku. Aku adalah Yang Kui Bi, puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Ayah Ibuku tewas akibat pemberontakan An Lu Shan."

"Ahh...!" An Kong terperangah dan tahulah dia bahwa dia bahkan telah diperalat gadis itu yang hendak membalas dendam kepada An Lu Shan.

"Lebih dari itu, An Kong. ia adalah calon isteriku!" kata pula Sia Su Beng dan mendengar ini, An Kong menjadi semakin putus asa.

"Sia-ciangkun, lalu kau... kau... mau apa? Apa artinya kalian membawa cawan arak itu?" Dia menuding ke arah cawan arak itu dan telunjuknya yang menuding gemetar.

"Ada dua pilihan bagimu, An Kong. Engkau tidak akan terluput dari kematian, akan tetapi hukuman mati ini ada dua macam dan boleh kaupilih. Kalau engkau minum arak itu, engkau akan mati tanpa menderita badan dan hati. Akan tetapi kalau engkau menolak, engkau akan diseret sebagai seorang penjahat besar yang telah membunuh ayah sendiri dan engkau akan dihukum mati didepan rakyat, akan menjadi bahan ejekan dan penghinaan. Sekarang, engkau tinggal memilih," kata Sia Su Beng.

Wajah bekas pangeran itu pucat seperti mayat. Dia maklum bahwa nekad melawan panglima itu tidak ada gunanya, apa lagi di situ terdapat Yang Kui Bi yang baru sekarang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Juga dia tidak memiliki keberanian sebesar itu.

Dia membayangkan dirinya diseret, di caci dan dihina sebagai seorang penjahat pembunuh ayah sendiri, kemudian disiksa sampai mati. Terbayang dia akan wajah ayahnya yang dilihatnya untuk terakhir kali sebelum dimasukkan peti, wajah yang menyeringai seperti orang kesakitan.

Dia bergidik ngeri, lalu dihampirinya meja, disambarnya cawan emas dan tanpa berpikir panjang lagi, dalam keadaan orang yang berputus asa, dia lalu menuangkan isi cawan ke dalam mulutnya yang terbuka dan langsung menelannya.

Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh, maka dia masih disentuh harapan kalau-kalau Panglima Sia Su Beng hanya menggertak dan membohonginya saja. Dengan tenang dia meletakkan kembali cawan emas yang sudah kosong ke atas baki dan tertawa bergelak. Entah mengapa, dia merasa keadaannya amat lucu, dia digertak dan diancam, ternyata semua itu hanya permainan belaka. Dia terping kal dan menjatuhkan diri duduk lagi di atas kursinya.

Panglima Sia Su Beng dan Yang Kui Bi memandang dengan sinar mata dingin. Bah kan wajah mereka tidak menunju kkan sesuatu ketika suara tawa dari pangeran itu tiba-tiba mulai berubah, dari tawa menjadi rintihan dan wajah yang tadinya tertawa itu berubah, menyeringai karena kesakitan. lalu pangeran itu terkulai dan terdengar bunyi berdetak ketika dia menjatuhkan dahinya ke atas meja.

Sia Su Beng melangkah mendekati dan meraba nadi tangannya yang terkulai. Pangeran itu sudah tewas. Sia Su Beng mengangguk kepada Yang Kui Bi dan keduanya meninggalkan kamar itu dengan tenang. Panglima Sia Su Beng lalu menyiarkan kabar bahwa An Kong telah membunuh diri karena menyesali perbuatannya membunuh dan meracuni ayahnya sendiri.

Berita itu diterima dengan sikap sangat dingin dan acuh oleh para panglima. Kini, sebagian dari para panglima merupakan mereka yang masih setia kepada Kerajaan Tang, sedangkan sebagian lagi merupakan pasukan yang sudah tunduk kepada Panglima Sia Su Beng dan akan menaati semua perintah panglima ini. Sia Su Beng berada di dalam ruangan tertutup, berdua saja dengan kekasihnya, Yang Kui Bi.

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, koko?" tanyanya Kui Bi. "Hanya tinggal menanti kembalinya Kaisar, atau memberi kabar ke barat agar Sri baginda cepat pulang ke sini karena kita sudah menguasai keadaan di sini dan menundukkan semua bekas anak buah An Lu Shan?"

Sia Su Beng yang duduk di kursi mengerutkan alisnya. "Memang, semua telah berjalan lancar sesuai dengan rencana kita. An Lu Shan dan An Kong telah tewas, semua anak buahnya dapat kita tundukkan tanpa pertempuran yang berarti, dan semua panglima dapat kupengaruhi dan kini mereka semua tunduk kepadaku. Mengembalikan tahta Kerajaan kepada Sri baginda Kaisar hanya tinggal melaksanakan saja. Akan tetapi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Sebelum aku membicarakan dengan para panglima siang hari ini. Mereka sudah kuperintahkan untuk berkumpul siang hari ini untuk kuajak berunding.”

Kui Bi memandang penuh perhatian. "Ada masalah pelik apakah. koko? Engkau kelihatan begini serius?"

"Begini, Bi-moi. Engkau mengetahui sendiri betapa susah payahnya kita menghadapi An Lu Shan dan mengatur siasat, kemudian melaksanakannya dengan taruhan nyawa. Bahkan kalau saja tidak kebetulan, aku akan kehilangan engkau ketika engkau menyusup ke istana itu. Jelas bahwa kita telah mengorbankan segalanya untuk melenyapkan kekuasaan An Lu Shan dan An Kong yang dibantu ayah dan anak she Bouw itu."

"Memang benar, koko. Akan tetapi itu rremang sudah tugas kita, dan disamping itu, juga aku sendiri pribadi membenci An Lu Shan karena dialah penyebab hancurnya keluargaku, penyebab kematian ibu dan ayah. Dan bukankah sudah sepatutnya kalau kita bela Sribaginda Kaisar kerajaan Tang?"

"Nah, itulah, Bi-moi! Andaikata Sribaginda Beng Ong masih tetap sebagai Kaisar Kerajaan Tang, akupun tidak akan meragu lagi untuk menyerahkan tahta kerajaan yang berhasil kita rampas dari An Lu Shan dan anak buahnya ini kepada beliau. Akan tetapi, yang membuat hatiku risau dan tidak rela adalah karena aku mendengar bahwa Sribaginda kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada Pangeran Su Tsung yang kini menjadi kaisar! Aku tidak rela menyerahkan tahta kerajaan kepada pangeran yang lemah dan pengecut itu. Kita yang bersusah payah mempertaruhkan nyawa, eh, dia yang enak-enakan dan secara pengecut lari terbirit-birit ketika pasukan An Lu Shan menyerang kota raja, kini begitu saja mendapatkan tahta kerajaan ini. Aku tidak rela!"

"Akan tetapi koko, kalau tidak kau serahkan kepada Kerajaan Tang, biar sekarang kaisarnya telah di ganti, lalu apa yang hendak kau lakukan?" Kui Bi memandang dengan penuh selidikdan heran.

"Kui Bi, engkaulah satu-satunya orang di dunia ini yang kucinta dan kupercaya, maka akupun akan mengatakan terus terang padamu, dengan harap engkau akan mendukungku. Tanpa dukunganmu, aku akan merasa lemah. Kupikir kita telah banyak berkorban untuk merebut kembali tahta kerajaan ini. Kalau Sri baginda Kaisar Beng Ong telah mengundurkan diri, maka kita harus berhati-hati, tidak begitu mudah saja menyerahkan tampuk kerajaan kepada orang yang tidak sepatutnya menjadi junjungan kita. Oleh karena itu, aku akan menanti dan melihat apakah Pangeran Su Tsung itu pantas menerima tahta kerajaan ini?"

Kui Bi memandang ke sekeliling. Mereka berada di dalam sebuah ruangan dalam istana yang kini untuk sementara dijadikan tempat tinggal Sia Su Beng. Hal ini sepatutnya dan disetujui semua panglima dan pembesar yang berpihak padanya karena untuk menjaga agar jangan ada kekuatan lain mempergunakan kesempatan selagi istana itu kosong tidak ada penghuninya lalu melakukan pemberontakan dan perampasan, ia seperti dapat meraba isi hati kekasihnya.

"Akan tetapi, koko. Bukankah Pangeran Su Tsung yang berhak atas tahta kerajaan? Apa lagi dia diangkat oleh sribaginda Kaisar Beng Ong, dan...."

"Tidak, Bi-moi. Pengangkatan itu tergesa-gesa dan tidak sah, karena dilakukan dalam pelarian dan tidak disetujui oleh para pejabat dan panglima, bagaimana mungkin tahta kerajaan yang menyangkut nasib seluruh rakyat dalam negeri diserahkan begitu saja? Kita harus mempertahankan tahta kerajaan ini dengan mengangkat seseorang yang benar-benar patut untuk menjadi pemimpin negara. Lihat saja apa yang terjacli dengan Kerajaan Tang karena kaisarnya lemah dan mudah dipermainkan selir, dipermainkan para penjilat sehingga sampai terampas, oleh An Lu Shan. Kerajaan ini harus menjadi besar dan jaya, dan tidak mudah diganggu pemberontak."

"Bagaimana kalau kemudian engkau menilai bahwa tidak acla orang yang patut menjadi kaisar, koko? Apakah engkau sendiri...!"

"Kenapa tidak! Apa salahnya? Ingat, Bi-moi, Kaisar Kerajaan Tang berikut seluruh keluarga dan pembantunya telah melarikan diri terbirit-birit dan siapakah yang merebut kembali tahta kerajaan dari tangan pemberontak An Lu Shan? Kita! Tidak ada usaha sedikit pun dari keluarga kerajaan yang sudah melarikan diri itu yang membantu tewasnya An Lu Shan dan An Kong, dan membantu terampasnya kembali kerajaan ini. Hanya kita dan para panglima yang membantu kita. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita pula yang menikmati hasilnya? Dan kalau mereka semua itu memilih aku yang menjadi Kaisar, apakah engkau tidak suka menjadi Permaisuri ku?"

Kui Bi terbelalak. Sama sekali tidak menyangka bahwa kekasihnya mempunyai ambisi sebesar itu. Menjadi permaisuri! Hatinya merasa bimbang. Apakah ini suatu pengkhianatan? Akan tetapi, memang tidak dapat disangkal bahwa kekasihnya yang paling berjasa, dan orang-orang lain itu hanya membantunya, kemudian ia teringat kepada kakak-kakaknya. Mereka Itu setia kepada Kerajaan Tang. Apakah mereka akan setuju?

"Tapi.... engkau.... eh, kita akan berhadapan dengan mereka yang setua kepada Kerajaan Tang, koko dan..."

"Itu resikonya, Bi-moi. Semua cita-cita yang besar tentu selalu bertemu dengan tantangan dan tentangan, dan kita harus clapat mengatasinya. Kalau aku menjanjikan kedudukan tinggi, bahkan mulai sekarang membagi-bagikan kedudukan tinggi kepada para panglima dan para cerdik pandai yang kita butuhkan tenaga dan kepandaiannya untuk mengemudikan pemerintahan, kurasa tidak akan ada yang akan mampu melawan kita. aku tahu, Bi-moi, beberapa orang kang-ouw, bahkan termasuk mungkin kakak-kakakmu dan teman-teman mu, boleh jadi akan merasa tidak setuju dan mereka tetap setia kepada Kerajaan Tang. Nah, untuk ini, engkaulah yang kuharapkan dapat membantuku untuk membujuk mereka agar mau membantu kita, dan tentu kita akan mengangkat mereka menduduki tempat yang terhormat dan mulia."

Kui Bi semakin bimbang. Mendengar ucapan kekasihnya itu, ia membayangkan kekasihnya menjadi kaisar dan ia menjadi permaisuri, timbul gairahnya, akan tetapi mengingat kakak-kakaknya, ia menjadi bimbang ragu dan khawatir. "Koko, bagaimana kalau mereka terutama Han-ko dan Lan-ci menolak untuk membantu kita?"

Sia Su Beng menghela napas panjang. "Kalau memang begitu, terserah kepadamu, Bi-moi. Engkau tahu bahwa aku cinta padamu dan ingat, perjuangan aku ini bukan demi kepentinganku sendiri, melainkan juga untuk masa depanmu dan masa depan anak-anak kita kelak maka engkaulah yang harus memilih antara cintamu kepadaku atau cintamu kepada mereka."

"Koko!" Kui Bi mengerutkan alisnya dan menggigit bibir, dan Sia Su Beng cepat menghampiri dan merangkulnya.

"Sudahlah, Bi-moi. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan bijaksana, tentu mengetahui apa yang terbaik bagimu. Aku akan berangkat keruangan persidangan karena tentu mereka sudah berdatangan."

"Yang kukhawatIrkan bukan hanya pendirian kakak-kakakku, koko, akan tetapi bagaimana kalau rakyat menolak. Dan para pembesar di daerah-daerah yang begitu luasnya? Tanpa dukungan rakyat dan para penguasa daerah, bagaimana engkau dapat berhasil?"

Sia Su Beng tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak hitam dari dalam almari, membuka tutupnya dan memperlihatkan isinya kepada kekasihnya. ”Lupakah engkau bahwa Mestika Burung Hong Kemala telah berada di tangan kita, Bi-moi? Pusaka ini adalah lambang kekuasaan kaisar, maka kalau aku yang memilikinya, berarti kita mempunyai lambang kekuasaan tertinggi!"

Sambil tersenyum, dia memasukkan kotak ini dalam buntalan kain dan mengikatkan di pinggang, di sebelah dalam baju panglimanya. Dia hendak mempergunakan benda pusaka itu untuk mempengaruhi para panglima dan calon pembesar.

Setelah mencium dahi kekasihnya, diapun meninggalkan Kui Bi yang masih termenung. Tak lama setelah Sia Su Beng meningga lkannya, Kui Bi dalam keadaan risau keluar dari ruangan itu menuju ke kamarnya sendiri. Pada saat itu, ia melihat Kui Lan yang agaknya memang datang berkunjung kepadanya.

* * *

"Enci Lan..." Bukan main girangnya rasa hati Kui Bi melihat encinya, seperti orang kehausan melihat air karena dalam keadaan risau seperti itu, ia membutuhkan orang yang dekat dengannya untuk menu mpahkan kerisauanya. Kui Lan agak heran dan bingung melihat adiknya langsung merangkulnya dan wajah adiknya demikian muram.

"Eh, engkau kenapakah, adikku?"

"Mari kita bicara di dalam, enci," kata Kui Bi dan ia menarik encinya memasuki kamar dan menutup daun pintu kamarnya. Begitu mereka duduk di tepi pembaringan, Kui Bi menangis.

"Ehh, kenapakah engkau ini?" Kui Lan merasa khawatir karena tidak biasa adiknya yang keras hati ini menangis.

Setelah menghapus air matanya dan dapat menenangkan hatinya, Kui Bi lalu menceritakan semua tentang cita-cita Sia Su Beng yang tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung, yaitu kaisar baru pengganti kaisar Beng Ong yang menyerahkan mahkota kepada puteranya itu.

Mendengar ini, tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Akan tetapi ia bersikap tenang, sesuai dengan wataknya, apa lagi ia tahu benar bahwa adiknya amat mencinta panglima itu. "Akan tetapi, bagaimana mungkin dia dapat mengangkat diri menjadi kaisar? yang memiliki wewenang adalah Pangeran Su Tsung yang sekarang telah mewarisi mahkota ayahnya, yaitu Sribaginda Beng Ong. Para pejabat dan pejabat daerah, juga rakyat tentu akan menentangnya!"

"Dia mempunyai lambang kekuasaan kaisar, yaitu Mestika Burung Hong Kemala, enci Lan."

"Tapi itu adalah pusaka yang palsu!" Saking hanyut oleh kekhawatiran terhadap adiknya, ucapan ini keluar begitu saja dari mulut Kui Lan. Ia terkejut dan menyesal, namun terlambat karena sudah diucapkannya.

Kui Bi mengangkat muka menatap wajah encinya. "Kalau begitu, di mana pusaka Mestika Burung Hong Kemala yang aseli enci Lan?"

Terjadi perang dalam hati Kui Lan, hanya sebentar. Betapapun besar rasa sayangnya kepada Kui Bi, namun kalau adiknya itu membantu Sia Su Beng yang jelas hendak melakukan pemberontakan, adiknya itu keliru. Segera dapat mengatasi keraguannya dan menggelengkan kepalanya sambil berkata,

"Aku tidak tahu," ltu disambungnya cepat-cepat. "Bi-moi, kenapa dia hendak melakukan ini? Engkau harus mengingatkannya adikku. Dia telah bertindak keliru dan sesat! Engkau..... engkau tidak boleh membantunya, Bi moi!"

"Enci Lan, engkau tahu bahwa aku sangat mencintanya dan aku siap mengorbankan nyawaku untuk Beng-koko. Dia itu calon suamiku, dan aku cinta padanya seperti dia mencintaku. Pula, setelah aku berbantahan dengan dia, aku melihat kebenaran dalam pendiriannya, Sri baginda Kaisar Beng Ong telah mengundurkan diri dan menyerahkan mahkota kepada Pangeran Su Tsung. Pangeran itu melarikan diri ketika bahaya datang, dan kita semualah yang telah bersusah payah menewaskan An Lu Shan dan An Kong. Kita semua, terutama sekali Beng-koko yang telah melumpuhkan semua pengikut An Lu Shan dan merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak itu. Dan hasil semua ini akan diserahkan begitu saja kepada seorang pangeran penakut yang hanya enak-enak melarikan diri ke barat? Beng-koko tidak melihat harapan baik kalau kita di perintah seorang kaisar seperti itu. Oleh karena itu, enci Lan, marilah kau bantu kami. Mari kita bujuk Han-ko agar suka membantu, juga Souw Hui San dan Can Kim Hong. Aku yang menanggung bahwa kelak tentu kalian berempat akan menerima imbalan yang pantas, menjadi orang-orang yang mulia dan berkuasa dengan kedudukan tinggi."

Kui Lan menggigit bibir. Adiknya ini mengingatkan ia kepada bibinya, rnendiang Yang Kui Hui, selir yang berambisi besar itu. Ingin ia menampar adiknya. Akan tetapi ditahannya karena ia segara menyadari bahwa ia dan Souw Hui San juga kakaknya Cin Han dan Kim Hong berada dalam bahaya kalau menentang Kui Bi dan Sia Su Beng. la menghela napas dan mengangguk.

"Akan kubicarakan dengan Han-ko tentang semua ini, Bi-moi."

Lalu ia luar dari dalam kamar itu, hatinya perih dan seluruh tubuhnya lemas, ia seperti mendapat firasat bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan adiknya yang tersayang itu. Terlalu besar jurang yang memisahkan mereka. Bagaimana mungkin ia menjadi pengkhianat dan balik membantu pemberontak, walaupun pemberontakan itu dilakukan oleh adiknya sendiri dan kekasih adiknya?

Ketika ia kembali ke tempat berempat tinggal, yaitu di gedung bekas tempat tinggal ayahnya, Kui Lan melihat Hui San, Cin Han dan Kim Hong sedang duduk di beranda depan, agaknya memang menanti-nanti kembalinya dari istana.

"Mari kita bicara di dalam," kata Kui Lan kepada mereka dan mendengar suaranya yang lirih dan gemetar, juga wajah gadis itu yang muram, sinar matanya yang mengandung kegelisahan, tiga orang itu cepat bangkit dan mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana mereka, dapat bicara tanpa didengar dan dilihat orang lain.

"Ada apakah, Lan-moi? Engkau mendengar sesuatu di istana?" tanya Cin Han, khawatir pula melihat sikap adiknya.

Kui Lan menahan tangisnya, teringat kepada Kui Bi. "Celaka, Han-ko! Sia Su Beng merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan. Dia tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada Kaisar Kerajaan Tang. Bahkan agaknya hendak mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, menjadi kaisar!"

Tentu saja tiga orang itu terkejut sekali. "Aih, sudah kucurigai dia melihat sinar matanya ketika dia mengambil Mestika Burung Hong Kemala dari tubuh Bouw Koksu!" kata Hui San. "Lan-moi, apa alasannya?" tanya Hui San.

"Dia berpendapat bahwa Pangeran Su Tsung yang diangkat menjadi kaisar sekarang menggantikan Sri baginda Kaisar Beng Ong bukan merupakan orang tepat untuk menjadi kaisar."

Lalu Kui Lan. menceritakan semua yang ia dengar dari Kui Bi, didengarkan oleh tiga orang itu dengan alis berkerut. "Bahkan Kui Bi minta aku membujuk kalian bertiga agar suka membantu Sia Su Beng dengan janji kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi."

"Gila!!" Cin Han memaki marah sekali. "Sudah gilakah adik kita itu?"

Kim Hong mencela kekasihnya. 'Han-ko, kita tahu bahwa adikmu itu amat mencinta Sia Su Beng, dan demi cintanya, seseorang dapat melakukan apa saja."

"Han-koko yang penting sekarang adalah apa yang harus kita la kukan?"

Kini Souw Hui San bicara. Biarpun dia seorang yang lincah jenaka dan kadang ugal-ugalan, akan tetap, sekali ini. dia berhati-hati karena ini menyangkut Kui Bi, adik kekasih hatinya. "Kurasa, kita tidak dapat berbuat apa apa. Bagaimana mungkin kita berempat dapat menentang Sia Su Beng dengan pasukannya yang besar? Dialah yang memegang kekuasaan di sini dan kita tidak akan dapat berbuat apapun untuk mencegah kehendaknya itu. Apa lagi menurut Lan-moi sekarang dia sedang mengadakan perundingan dengan para panglima dan pejabat."

"Lalu bagaimana dengan adikku Kui Bi?" tanya Kui Lan bingung.

"Kurasa ia sudah dewasa dan dapat menentukan langkahnya sendiri. Kalau ia menganggap bahwa tunangannya itu benar, apa yang dapat kita lakukan?" Hui San bicara lembut, menghibur. "Yang penting, kita sekarang harus cepat meninggalkan tempat ini, meninggalkan kota raja demi keamanan pusaka itu."

"Hui San bicara benar!" kata Cin Han. "Engkau tadi sudah mengatakan bahwa engkau kelepasan bicara, Lan-moi." mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala yang ditemukan Sia Su Beng itu palsu. Kalau Kui Bi menyampaikan ucapanmu itu kepada Sia Su Beng, tentu dia akan curiga kepada kita dan akan melakukan pertanyaan atau penggeledahan. Kita harus cepat meninggalkan kota raja, sekarang juga."

"Kukira memang itu jalan satu-satunya'" kata Kim Hong membenarkan kekasihnya. "Kita pergi ke barat, bergabung dengan pasukan kerajaan, dan kita laporkan semua ini kepada Sri baginda dan Panglima Kok Cu It."

"Akan tetapi... bagaimana dengan adikku? Tidak mungkin kita meninggalkan ia sendiri saja di sini bersama Sia Su Beng yang hendak memberontak..." kata Kui Lan.

"Lan-moi, jangan bicara demikian. Kui Bi memang adik kita, akan tetapi ia sudah dewasa dan ia berhak menentukan langkah hidupnya sendiri. Kalau memang ia mencintai Sia Su Beng dan menganggap bahwa tunangannya itu benar, itu adalah haknya. Ingatlah bahwa Sia Su Beng telah meminangnya dengan resmi dan kita sudah menyetujui, hal itu berarti bahwa yang berhak atas diri Kui Bi adalah Sia Su Beng, calon suaminya, bukan kita. Kita tahu bahwa Kui Bi memiliki watak yang keras, kalau kita mencoba untuk membujuknya tidak akan ada gunanya, bahkan membahayakan kita. Mari, kita pergi sekarang juga meninggalkan kota raja.'

Kui Lan tidak dapat membantah dan berkemas sambil menangis, menangisi adiknya. Dan tak lama kemudian, empat orang muda itu sudah keluar dari pintu gerbang sebelah barat dari kota raja. Para penjaga sudah tahu siapa mereka, para pendekar, yang dekat dengan Panglima Sia Su Beng, oleh karena itu tidak ada yang berani bertanya, apa lagi menghalangi mereka keluar dari pintu gerbang.

* * *
"Coba saja kalian pertimbangkan baik-baik. Sri baginda Kaisar Beng Ong begitu saja menyerahkan mahkota Kerajaan Tang kepada Pangeran Su Tsung! Kita semua tahu orang macam apa pangeran itu. Seorang yang lemah dan penakut. Ketika An Lu Shan memberontak, sepantasnya dia membela kerajaan dengan mengerahkan pasukan dan mati-matian mempertahankan kota raja. Akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia melarikan diri terbirit-birit, mengikuti Sribaginda mengungsi ke barat, menyelamatkan diri dan tidak memperdulikan penduduk yang terancam bahaya penyerbuan. Sribaginda Beng Ong telah bertindak tidak bijaksana, tergesa-gesa menyerahkan mahkota kepada pangeran Su Tsung tanpa minta pertimbangan kita semua. Kita yang bersusah payah di sini, kita yang merebut kembali tahta kerajaan dan sekarang kita harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang penakut yang melarikan diri dan enak-enak tinggal bersembunyi di barat sedangkan kita di sini berjuang mempertaruhkan nyawa. Ingat, saudara sekalian! Kita bukan memberontak. Andaikata yang kembali ke sini masih Sribaginda Kaisar Beng Ong, aku yang akan merupakan orang pertama menyerahkan kembali tahta kerajaan kepada beliau. Akan tetapi kalau harus menyerahkan kepada Pangeran Su Tsung, aku tidak setuju! Bagaimana pendapat saudara sekalian?"

Karena sebagian besar para panglima itu memang sudah berada di bawah kekuasaan Sia Su Beng dan mereka menganggap Sia Su Beng sebagai pimpinan, maka merekapun segera menyatakan tidak setuju kalau tahta kerajaan diserahkan kepada kaisar baru. Para cerdik pandai, yaitu bekas pejabat-pejabat tinggi yang mengatur roda pemerintahan, ada yang juga menyatakan tidak setuju. Beberapa orang di antara mereka, dengan hati-hati menyatakan pendapat mereka yang mengandung keraguan.

"Akan tetapi, Sia-ciangkun. Kalau kita tidak menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung yang menjadi kaisar yang sah dan berwenang dari Kerajaan Tang, bukankah itu berarti bahwa kita memberontak terhadap pemerintah kerajaan yang sah?"

Yang bertanya Itu adalah seorang pejabat tinggi yang pernah menjadi penasihat Kaisar Beng Ong, dan sudah berusia tujuhpuluhan tahun. Dengan sikap hormat Sia Su Beng menjawab, suaranya tegas.

"Ciu-siucai tentu maklum bahwa kita semua telah merebut tahta kerajaan dan kekuasaannya dari tangan pemberontak An Lu Shan. Kalau kita merebutnya dari tangan Kaisar, itu baru namanya pemberontakan. Kita yang merebut kekuasaan dari pemberontak, dan sendirinya kita akan memberikan kembali tahta kerajaan kepada Kaisar Beng Ong. Akan tetapi, beliau telah mengundurkan diri dan mengangkat seorang kaisar baru tanpaa sepengetahuan kita. Bukankah sudah menjadi hak kita bersama untuk mempertahankan apa yang telah kita rebut dari pemberontak dengan taruhan nyawa? seorang tokoh seperti Ciu-siucai sendiri misalnya, sudah sepatutnya kalau menjadi seorang pejabat tinggi, menjadi Guru Negara atau Panasihat atau setidaknya seorang Menteri, Dengan bantuan seorang seperti Ciu-siucai dan yang lain-lain, kita pasti akan mampu mengatur pemerintahan yang adil dan baik. Para ciangkun yang telah ikut merebut kekuasaan dari pemberontak, tentu akan diberi kedudukan yang sesuai dengan jasa masing-masing."

Hampir semua yang hadir mengangguk-angguk. Memang demikianlah kenyataannya. Kebanyakan orang yang tadinya memiliki cita-cita yang nampaknya saja patriotik, bersikap sebagai pahlawan, yang pada saat perjuangan memang rela mengorbankan segalanya termasuk nyawa, setelah perjuangan itu berhasil, baru nampak apa yang sesungguhnya tersembunyi di bawah sadar masing-masing.

Semua usaha itu ternyata merupakan selubung saja yang menyembunyikan hasrat nafsu yang selalu mementingkan diri sendiri. Betapa banyaknya pahlawan yang tadinya berjuang sebagai patriot patriot sejati, setelah berhasil, saling berebutan mendapatkan pahala, mendapatkan imbalan dan kedudukan. Yang tidak mendapat bagian akan merasa kecewa, bahkan mendendam kepada yang kebagian.

Yang mendapat bagian kedudukan tinggi, dengan sekuat tenaga mempertahankan kedudu kannya agar tidak terlepas dan kalau perlu dia akan menyerang siapa saja yang berani mencoba untuk mengganggu dan menggoyahkan kedudukanya. Kini, mendengar betapa Sia Su Beng hendak membagi-bagi rejeki, membagi hasil kemenangan mereka atas kekuasaan An Lu Shan, tentu saja mereka merasa gembira sekali.

"Maaf, Sia-ciangkun," kata seorang panglima yang dahulunya merupakan panglima yang setia kepada kerajaan Tang. "Kami dapat mengerti akan kebenaran semua pernyataan ciangkun tadi. Akan tetapi hendaknya ciangkun ketahui bahwa kalau kita menentukan sendiri sebuah pemerintahan baru di luar kekuasaan Kaisar Kerajaan Tang, tentu kita akan menemui banyak rintangan dan tentangan. Para pejabat dan panglima di daerah-daerah, juga rakyat, tentu condong untuk mendukung Kerajaan Tang yang resmi. Bukankah semua tanda kebenaran berada di tangan Kaisar Kerajaan Tang?"

"Tidak semua," Kata Sia Su Beng dan diapun menurunkan buntalan kain kuning yang diikat di pinggangnya. "Ada sebuah pusaka, lambang utama kekuasaan Kaisar, kini berada di tangan kita. Tentu saudara sekalian mergenal pusaka ini!" Setelah berkata demikian, Sia Su Beng mengangkat tinggi-tinggi benda itu di atas kepalanya dengan kedua tagannya. Benda itu adalah sebuah ukiran batu giok berbentuk seekor burung Hong.

"Mestika Burung Hong Kemala...!" seru semua orang dengan kagum dan kini kepercayaan mereka terhadap Sia Su Beng semakin menebal. Dengan lambang kekuasaan kaisar itu, jelas bahwa Sia Su Beng berhak menjadi kaisar dan para pejabat daerah tentu akan mematuhinya!

Mereka bersorak dan bertepuk tangan. Setelah kegaduhan mereda, Sia Su Beng dengan suara lantang berwibawa mengatakan, "Sukurlah kalau saudara sekalian telah menyetujui dan sependapat dengan kami bahwa kita harus mempertahankan hasil perjuangan kita ini. Akan tetapi, kita masih harus berjuang, karena tentu pasukan dari barat yang disusun oleh Panglima Kok Cu It akan berusaha merebut kekuasaan dari tangan kita. Untuk sementara ini, aku akan memimpin kalian semua sebagai seorang panglima tertinggi. Kelak, setelah semua rintangan dapat disingkirkan, baru kita akan membentuk suatu pemerintahan baru, suatu dinasti baru. Dan sementara ini, saudara sekalian akan saya tunjuk sebagai pembantu-pembantu saya di bidang masing-masing yang akan kami tentukan dalam beberapa hari ini."

Kembali terdengar mereka bersorak dan pertemuan itu dibubarkan. Panglima Sia Su Beng segera menemui tunangannya di bagian dalam istana. Mereka bertemu dan Kui Bi merangkul tunangannya sambil menangis. Tentu saja hal ini mengejutkan hati Sia Su Beng. Setelah menghibur dan mengajak gadis itu duduk, diapun bertanya,

"Bi-moi, kenapa engkau menangis? Aku bahkan membawa berita gembira yaitu bahwa semua panglima dan pejabat telah menyetujui rencanaku. Kalau tadinya ada beberapa orang yang menyatakan keberatan untuk mempertahankan hasil perjuangan kita, yaitu kekuasaan di kota raja, setelah aku memperlihatkan Mestika Burung Hong Kema la, mereka senua setuju."

Kui Bi menghapus air matanya "Koko, tadi enci Lan datang...."

"Ehh? Lalu apa yang kalian bicarakan? Engkau tentu sudah menceritakan rencana kita, bukan?"

Kui Bi mengangguk. "Benar, dan hal inilah yang merisaukan hatiku. ia menentang, koko seperti yang telah kuduga sebelumnya." Di dalam hatinya, Kui Bi tidak dapat menyalahkan enci-nya, karena andaikata ia bukan tunangan Sia Su Beng dan tidak saling mencinta dengan pria ini, besar kemungkinan iapun akan menolak gagasan me mberontak itu.

"Hemm, lalu bagai mana?"

"Aku minta kepadanya untuk membicarakan urusan ini dengan kakak Yang Cin Han, dan juga dengan Can Kim Hong dan Souw Hui San."

"Kurasa mereka tentu akan berpikir panjang kalau mereka sudah mengetahui bahwa aku telah memiliki Mestika Burung Hong Kemala. Apakah engkau sudah menceritakan hal itu kepada enci-mu?"

"Sudah, akan tetapi... enci Lan mengatakan bahwa pusaka yang berada di tanganmu itu adalah pusaka yang palsu, koko."

Sia Su Beng terlonjak dari tempat duduknya, berdiri dan memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak dan muka kemerahan. "Apa? Benarkah itu, Bi-moi? Tidak bohongkah encimu itu?"

Kui Bi menggeleng kepalanya, ”Enci Kui Lan tidak pernah berbohong kepadaku, koko. Suaranya menunjukkan bahwa ia tidak berbohong, dan ketika aku bertanya di mana adanya pusaka yang aselinya, ia menjawab acuh, seperti hendak mengelak."

"Kalau begitu, aku harus bertanya sendiri, dan sekalian membujuk mereka agar suka membantu.” Setelah berkata demikian, Sia Su Beng keluar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Dia segera memanggil pembantunya dan memerintahkan agar mengerahkan seregu pasukan yang pilihan dan kuat untuk mengepung gedung bekas tempat tinggal Bouw Koksu yang kini dijadikan tempat tinggal empat orang muda itu. Dia tahu betapa lihainya mereka, maka diapun harus membuat persiapan dengan pasukannya. Ketika Sia Su Beng setengah berlari tiba di ruangan depan istana, terdengar seruan di belakang,

"Koko, tunggu dulu, aku ikut!"

Ternyata Kui Bi yang mengejarnya dan mereka berdua lalu menunggang kuda keluar dari halaman istana menuju ke gedung tempat tinggal empat orang muda itu. Di sepanjang jalan, orang-orang memberi hormat kepada Panglima Sia Su Beng, akan tetapi panglima yang sedang gelisah hatinya ini seperti tidak melihatnya atau memperdulikan mereka. Setelah tiba di gedung yang dahulunya menjadi tempat tinggal Kui Bi itu, mereka melompat turun dari atas kuda dan Kui Bi mendahului tunangannya berlari memasuki gedung yang pintu depannya terbuka.

"Enci Lan! Han-koko!!" Ia berteriak-teriak dan mencari-cari ke dalam gedung yang besar itu. Sunyi saja, tidak ada jawaban. Juga Sia Su Beng mencari-cari tanpa hasil. Kemudian nampak seorang laki-laki tua berlari-lari masuk dari belakang.

"Ah, Ciangkun dan Siocia!" kata bekas pelayan itu dengan gugup dan segera memberi hormat.

Sia Su Beng sudah menghardik di memegang lengan orang itu. "Hayo cepat katakan, di mana mereka berempat?"

"Ciangkun maksudkan... kedua kongcu dan kedua siocia itu....?"

"Ya, di mana mereka?" Kui Bi juga bertanya.

"Sejak pagi tadi mereka sudah pergi, tidak mengatakan kemana mereka pergi, hanya memesan agar kami semua menanti saja di rumah belakang...."

"Keparat! Mereka membawa apa ”bentak Sia Su Beng.

Pelayan itu nampak ketakutan bingung. "Tidak membawa apa-apa, ehh... buntalan pakaian di punggung mereka. Bahkan mereka tidak menunggang kuda, hanya berjalan kaki keluar dari gedung, nampak tergesa-gesa."

"Ah, mereka telah melarikan diri! Cepat, kita harus mengejar mereka"

Sia Su Beng sudah meloncat keluar, diikuti oleh Kui Bi. Setelah tiba di luar gedung, Sia Su Beng bertepuk tangan dan bermunculanlah, para perajurit yang tadi telah mengepung gedung itu dengan bersembunyi.

Baru sekarang Kui Bi melihat bahwa tunangannya itu tadi telah mengerahkan pasukan untuk mengepung gedung, ia mengerutkan alisnya melihat tunangannya memerintahkan para pembantunya untuk minta bantuan pasukan dan melakukan pengejaran terhadap empat orang muda itu ke empat penjuru!

"Kejar dan cari mereka, melalui empat pintu gerbang!" perintahnya dengan muka merah.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh lengan kiri Sia Su Beng yang sedang marah. Sia Su Beng menoleh dan ternyata kekasihnya yang sedang memandang kepadanya dengan wajah sedih. "Koko, ingat, mereka adalah kakak-kakakku," katanya lirih.

Sia Su Beng menghela napas panjang. "Jangan khawatir, Bi-moi. Aku sudah memerintahkan para panglima untuk mengajak mereka kembali dengan halus, atau kalau mereka melawanpun hanya menangkap mereka, tidak melukai apa lagi membunuh. Kau tahu, aku tidak memusuhi mereka, tidak membenci mereka, akan tetapi mereka harus menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli kepadaku."

Hati Kui Bi terasa lega. ia percaya kepada kekasihnya, Iapun diam-dia m mengharapkan agar pasukan tidak akan mampu menangkap empat orang muda itu karena mereka sudah pergi lama, sejak pagi tadi dan mengingat bahwa mereka Itu tidak berkuda, dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan sukarlah untuK melacak mereka. Dengan berjalan kaki mereka dapat mengambil jalan melalui dusun-dusun dan sawah ladang, melalui bukit-bukit sehingga tidak meninggalkan jejak.

Apa yang diharapkan Kui Bi memang terjadi. Biarpun pasukan-pasukan berkuda yang kuat dan banyak melakukan pengejaran ke empat penjuru, mereka tidak menemukan apa-apa. Akhirnya, para komandan itu memecah pasukan mereka merupakan regu-regu yang hanya terdiri dari dua belas orang setiap regu, menyusup-nyusup dan banyak pula yang melakukan pencarian dengan berjalan kaki.

Cin Han, Kim Hong, Hui San dan Kui Lan memang tadi nampak tergesa-gesa ketika meninggalkan gedung dan keluar dari pintu gerbang kota raja, akan tetapi setelah mereka jauh meninggalkan kota raja, mereka berjalan santai saja. Mereka sengaja mengambil jalan melalui sebuah bukit di sebelah barat kota raja yang penuh hutan sehingga mereka tidak meninggalkan jejak dan akan menyukarkan mereka yang mungkin akan melacak mereka.

Mereka sudah menduga bahwa kalau Sia Su Beng mengetahui bahwa mereka telah pergi tanpa pamit, tentu panglima yang cerdik itu akan cepat mengerahkan pasukan melakukan pengejaran. Kalau Kui Bi memberitahu bahwa pusaka di tangannya itu palsu, tentu Sia Su Beng akan mencurigai mereka dan bertekad untuk mendapatkan pusaka aselinya dengan menangkap mereka.

Akan tetapi mereka berempat sama sekali tidak menduga bahwa usaha pelacakan yang dilakukan Sia Su Beng itu demikian bersungguh-sungguh sehingga setelah lewat tiga hari, mereka berempat sudah merasa lega dan sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan dapat disusul para pengejar.

Setelah melarikan diri lewat tiga hari, empat orang itu berhenti di sebuah hutan kecil untuk beristirahat dan berlin dung dari terik matahari siang itu. Mereka membuka buntalan berisi makanan terdiri dari roti dan daging kering yang mereka beli dalam perjalanan melewati sebuah dusun kemarin sore.

Kui Lan dan Kim Hong memasak air dan memanggang daging kering setelan tadi Hui San mendapatkan air jernih! Air di panci itu sudah mulai mend idil dan bau daging kering yang dipanggang sudah menimbulkan selera karena sedapnya ketika mereka tiba-tiba saja berhenti bergerak dan memperhatikan sekeliling karena mereka mendengar suara orang.

Kiranya, api yang mereka buat untuk memasak air dan memanggang daging kering, ditambah bau sedap daging panggang, menarik munculnya delapan orang di tempat itu. Melihat delapan orang yang berpakaian preman itu, mengertilah empat orang pelarian ini bahwa mereka berhadapan dengan delapan orang jagoan yang menjadi anak buah Sia Su Beng karena empat orang di antara mereka adalah guru-guru silat yang melatih para perajurit pasukan khusus Sia-ciangkun. Dengan sikap tenang, Cin Han yang masih berjongkok lalu bangkit berdiri perlahan dan bertanya, suaranya tenang namun juga berwibawa.

"Apa artinya ini? Ada keperluan apakah kalian datang menyusul kami?"

Delapan orang itu juga bersikap tenang dan hormat. Mereka maklum bahwa dua orang pemuda dan dua orang gadis ini bukanlah sembarang orang. Bahkan dua orang di antara mereka adalah kakak-kakak nona yang menjadi tunangan atasan mereka. Mereka sudah tahu bahwa keempat orang ini memiliki kepandaian tinggi dan tidak mudah ditundukkan.

"Ji-wi kongcu dan ji-wi siocia, harap maafkan kami. Kami diutus Sia-ciangkun untuk mengejar kalian berempat dan minta kepada kalian agar kembali ke kota raja karena Sia-ciangkun ingin bertemu dan bicara dengan kalian," kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, seorang di antara empat guru silat pelatih pasukan khusus.

"Begitukah?" kata Cin Han. "Kalian delapan orang utusan, kembalilah ke kota raja dan katakan kepada Sia-ciangkun bahwa kami berempat sudah tidak mempunyai urusan apapun dengan dia lagi dan kami hendak melanjutkan perjalanan kami, harap kalian tidak mengganggu kami lagi."

"Kongcu, kalau kami lakukan itu tentu kami akan menerima hukuman dari Sia-ciangkun. Kami telah diberi tugas kalau kami tidak dapat melaksanakannya dengan baik, tentu kami mendapat kemarahan."

"Hemm, bagaimana kalau kami menolak permintaan kalian untuk kembali ke kota raja?" tanya pula Cin Han yang menjadi juru bicara mereka berempat.

Si tinggi besar muka hitam mencabut pedangnya, diikuti tujuh orang rekannya dan dia berkata, "Tugas kami adalah bahwa kalau kalian menolak, kami harus memaksa dan menangkap kalian!"

"Bagus! Hendak kulihat bagaimana kalian menangkap kami!" Kim Hong yang sudah marah sekali meloncat bangun dan ia sudah mencabut sepasang pedang terbangnya yang diikat tali. Kui Lan juga sudah menyambar sebatang ranting sebesar ibu jari kaki dan sepanjang lengannya.

Hui San tertawa dan pemuda inipun sudah mencabut pedangnya. "Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa Sia Su Beng tentu akan mempergunakan kekerasan. Kami sudah siap menghadapi kalian!"

Cin Han sendiri memegang sebatang tongkat yang memang sudah dia per siapkan dalam pelarian itu. Melihat betapa empat orang muda itu sudah bangkit dan mempersiapkan senjata mereka, si tinggi besar mu ka hita m berteriak me mberi aba-aba dan mereka berdelapan sudah mengepung empat orang itu.

Souw Hui San yang masih tersenyum itu berseru. "Wah, mari kita berlumba. Seorang melawan dua orang dan kita lihat siapa di antara kita yang paling cepat mendapatkan kemenangan!"

Setelah berkata demikian, dia sudah menerjang ke arah dua orang yang terdekat dengannya. Pedangnya yang digerakkan amat cepat itu sudah membentuk gulungan sinar yang dengan cepat sekali menyambar berturut-turut ke arah kedua orang yang dipilihnya. Tidak ada jalan lain lagi bagi kedua orang itu untuk menyambut dengan tangkisan pedang mereka dan segera Hui San dikeroyok dua.

Cin Han, Kui Lan, dan Kim Hong juga sudah menyerang masing-masing dua orang lawan dan terjadilah pertandingan amat yang seru di tempat itu. Teriakan Hui San tadi bukan sekedar main-main. Dia melihat bahwa delapan orang itu agaknya memiliki ilmu barisan pat-kwa yaitu barisan pedang segi delapan dan kalau mereka diberi kesempatan membentuk pat-kwa-kiam-tin (barisan pedang segi delapan), maka akan merupakan lawan yang berbahaya.

Maka, dia berteriak agar mereka masing-masing melawan dua orang musuh, dan hal ini jauh lebih ringan dibandingkan kalau mereka berempat menghadapi pat-kwa-kiam-tin. Memang Hui San ini orangnya lincah dan cerdik sekali. Karena mereka berempat sudah menyerang masing-masing dua orang, maka delapan orang itu tidak sempat lagi membentuk pat-kwa-kiam tin dan terpaksa harus membela diri dan pertandingan terpecah menjadi empat.

Kim Hong sendiri tadi mendahului kekasihnya untuk menyerang si tinggi besar muka hitam. Gadis murid Si Naga Hitam ini merupakan orang yang paling lihai di antara mereka berempat. Hal itu adalah karena ia telah minum darah ular hitam kepala merah, yang selain mendatangkan tenaga sin-kang yang amat hebat, juga tubuhnya kebal terhadap segala macam racun, bahkan tubuhnya, kalau ia mengerahkan tenaga tertentu, dapat mengeluarkan hawa beracun yang mematikan!

Ia menduga bahwa si tinggi besar muka hitam yang memimpin delapan orang itu tentu yang terlihai, maka ia mendahului Cin Han, menyerang si tinggi besar dan seorang temannya yang berdiri di dekatnya. Melihat hebatnya dua sinar pedang terbang itu menyambar kearah mereka, si tinggi besar dan temannya terpaksa harus menyambutnya dan segera terjadi pertandingan yang amat hebat.

Cin Han sendiri memainkan tongkatnya dengan ilmu silatnya yang dia pelajari dari gurunya, Sin-tung Kai-ong, yaitu Tai-hong-pang. Ilmu tongkat Tai-hong-pang (Tongkat Angin Badai) ini memang hebat sekali, begitu digerakkan, nampak gulungan sinar tongkat yang mendatangkan angin menyambar-nyambar disertai suara yang bersiutan, membuat dua orang pengeroyoknya terkejut dan harus cepat memutar pedang melindungi tubuhnya.

Permainan sebatang ranting di tangan Yang Kui Lan juga membuat dua orang pengeroyoknya sibuk sekali. Ranting itu, dimainkan dengan ilmu silat Hong-in-sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) bergerak halus seperti dipakai menari saja, akan tetapi bagi kedua orang pengeroyoknya, ranting itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang menghujankan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya.

Pertandingan itu tidak berlangsung terlalu lama karena delapan orang itu sama sekali bukan merupakan tandingan yang seimbang bagi empat orang muda itu. Apalagi empat orang muda Itu terpengaruh oleh ajakan Hui San untuk berlumba siapa yang lebih dulu dapat mengalahkan dua orang lawan masing masing, maka mereka semua mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus mereka yang paling hebat.

Belum sampai lima belas jurus, dua orang yang mengeroyok Kim Hong, yaitu si tinggi besar muka hitam dan seorang kawannya, roboh berturut-turut dengan luka terobek pedang di pundak dan paha mereka. Robohnya dua orang ini diikuti robohnya dua orang yang mengeroyok Cin Han.

Tongkatnya merobohkan mereka dengan pukulan pada lambung dan totokan pada dada sehingga membuat yang dadanya tertotok tongkat itu menjadi pingsan. Setelah dua orang ini roboh, disusul roboh nya dua orang pengeroyok Kui Lan. Karena gadis ini hanya mempergunakan sebatang ranting biasa, maka setelah duapuluh jurus, baru ia berhasil menotok roboh dua orang peng royoknya yang menjadi lumpuh kaki tangannya.

Kini mereka bertiga menoleh dari melihat betapa Hui San yang mengajak berlumba tadi masih menghadapi pengeroyokan kedua orang lawannya. Akan tetapi, kedua orang lawan itu sudah tidak utuh lagi. Mereka terpincang-pincang mengeroyok Hui San, dan pakaian mereka sudah robek-robek dengan luka-luka kecil merobek kulit mereka di mana-mana. Jelaslah bahwa Hui San sengaja tak segera merobohkan mereka, hanya mempermainkan, membuat kaki mereka terpincang-pincang dan tubuh mereka luka-luka kecil akan tetapi tidak sampai merobohkan mereka.

Tentu saja Hui San tidak berani mendahului Kui Lan merobohkan kedua lawannya, karena dia tidak ingin melihat gadis yang dipujanya itu merobohkan dua orang lawannya paling akhir!

"San-ko, kenapa engkau masih mempermainkan mereka? Cepat hentikan, kita harus cepat pergi," kata Kui Lan.

Mendengar ucapan kekasihnya itu, Hui San memutar peclangnya cepat-cepat, membuat kedua orang itu hanya mampu menangkis saja, dan dia berkata, "Kalian dengar? Hayo cepat roboh, atau harus aku yang merobohkan kalian dan melukai kalian?"

Mendengar ini, dua orang yang melihat betapa enam orang kawan mereka sudah roboh semua dan mereka sendiripun jelas bukan lawan pemuda lihai itu, mengerti bahwa mereka akan terluka parah kalau tidak menaati. Maka, merekapun segera melempar pedang dan melempar tubuh mereka ke belakang, terguling-guling dan tidak bangkit lagi!

Hui San tertawa bergelak, akan tetapi Kim Hong cemberut. "Sialan sekali, daging kita hangus dan roti kita kotor semua!" ia menendang makanan yang tidak dapat dimakan lagi itu.

"Dan airpun sudah tumpah habis," kata Kui Lan dan iapun mengambil panci kosong dan prabot lain untuk dibawa sebagai bekal.

Cin Han menghampiri si tinggi besar. "Katakan kepada Sia Su Beng bahwa hanya karena melihat dan mengingat adikku Yang Kui Bi sajalah kami tidak membunuh kalian!"

"Terima kasih, kongcu!" kata si tinggi besar, maklum bahwa apa yang diucapkan pemuda itu memang sebenarnya. Empat orang muda itu segera meninggalkan hutan dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat menuju ke barat.

Sia Su Beng merasa kecewa sekali karena pasukannya tidak berhasil menangkap empat orang muda itu. Akan tetapi, hal itu tidak membuat dia mundur dalam tekadnya untuk mempertahankan kekuasaannya atas kota raja. Bahkan dia lalu menghimpun kekuatan pasukannya untuk mengatur daerah dan memperkuat kubu pertahanan di bagian barat untuk menghadapi pasukan Kerajaan Tang yang tentu akan berusaha merebut kekuasaan kembali.

Yang Kui Bi membantu kekasihnya dengan sepenuh hati. Ia amat mencinta dan dicinta Sia Su Beng, dan iapun terseret ke dalam ambisi kekasihnya yang ingin menjadi kaisar! Iapun tentu saja akan merasa bangga dan bahagia sekali kalau dapat menjadi permaisuri kaisar!

Dan perang tentu saja tidak terelakkan lagi! Menurut catatan sejarah, ketika Pasukan Kaisar Su Tsung yang di pimpin oleh Panglima Besar Kok Cu It, dibantu oleh banyak pasukan dari suku-suku bangsa di utara dan barat, maka terjadilah pertempuran hebat di bagian barat. Kedua pihak tidak ada yang mau mengalah. Pasukan Kerajaan Tang bertekad merebut kembali kekuasaannya yang dahulunya terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan dan sekarang terjatuh ke tangan Sia Su Beng, sedangkan Sia Su Beng dan kawan-kawannya juga bertekad mempertahankan kekuasaan mereka.

Setelah Souw Hui San menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala kepada Kaisar Su Tsung, dia tidak mau menerima imbalan jasa seperti yang ditekankan kepadanya oleh Yang Kui Lan. Bahkan dua pasang pendekar yang saling mencinta itu, yaitu Yang Cin Han dengan Can Kim Hong dan Yang Kui Lan dengan Souw Hui San, meninggalkan pasukan Kerajaan Tang dan tidak mau melibatkan diri ke dalam perang. Hal ini adalah karena Cin Han dan Kui Lan teringat akan adik mereka, Yang Kui Bi, yang mereka tahu membantu Sia Su Beng.

Mereka berdua tidak tega memusuhi adik mereka, sedangkan kekasih mereka, Kim Hong dan Hui San, tentu saja mengikuti jejak mereka dan dua pasang pendekar itu lalu melangsungkan pernikahan secara sederhana, kemudian hidup sebagai rakyat biasa, tidak mau mencampuri perang saudara yang saling memperebutkan kekuasaan itu.

Dan bagaimana dengan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi? Kedua orang inipun menikah, dirayakan besar-besaran, dan keduanya juga mati-matian mempertahankan kekuasaan mereka. Menurut catatan sejarah, perang yang dilakukan oleh pasukan Kerajaan Tang untuk merebut kembali kekuasaannya itu berlangsung berlarut-larut sampai sembilan atau sepuluh tahun!

Dapat dibayangkan betapa hebat pengorbanan yang terjadi dalam perang perebutan kekuasaan ini. Rakyat pula yang menderita. Para perajurit yang tewas sampai ratusan ribu orang banyaknya. Harta benda rakyat dirampok atau dibakar, banyak pula rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban.

Dalam tahun 766, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, barulah pasukan Tang dapat merebut kembali kota raja, dan Kerajaan Tang dapat dibangun kembali di atas puing kehancuran akibat perang. Untuk pertahanan terakhir, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi bertempur mati matian di kota raja, sampai keduanya gugur dan tewas seperti ribuan perajurit lain.

Yang tidak dicatat sejarah, bahkan jarang ada yang mengetahui adalah bahwa sebelum suami isteri yang kukuh ini menyambut pasukan musuh yang sudah memasuki kota raja, mereka masih sempat menitipkan anak tunggal mereka, seorang putera, kepada seorang wanita pengasuh yang berhasil menyelundupkan anak itu keluar dari istana, kemudian melarikan diri bersama para pengungsi, anak laki-laki berusia lima tahun yang dapat diselamatkan dengan diakui sebagai anaknya sendiri.

Sampai di sini, selesailah sudah kisah Mestika Burung Hong Kemala ini. Sesungguhnya, pusaka ini hanyalah sebuah benda mati, hanya sebagai lambang belaka, dan yang diperebutkan adalah kekuasaan itulah. Kenapa kekuasaan di perebutkan? Karena kuasa berarti menang, berarti selalu benar, selalu baik, selalu menang dan selalu enak!

Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua...!
TAMAT
Selanjutnya, seri ke 2
Kisah Si Pedang Terbang