Jejak Tapak Biru

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Jejak Tapak Biru Karya A. Rahman

KABUT mendung melingkupi langit di atas Bukit Lidah Samudera. Agaknya langit mendung itu merupakan suatu pertanda datangnya kemelut yang akan menimpa penduduk Bukit Lidah Samudera. Satu-satunya penduduk yang mendiami Bukit Lidah Samudera tak lain adalah Nyai Sembur Maut, ibu dari Cola Colo yang dikenal dengan nama panggilan: Bocah Bodoh, (Baca serial Jodoh Rajawali episode Pedang Jimat Lanang).

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman
Rupanya hari itu perempuan tua yang lumpuh dan hanya bisa duduk di atas kursi terbang telah kedatangan tamu istimewa. Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun menyambangi rumah pondok di lereng bukit tersebut. Sekalipun sudah lanjut usia, namun lelaki berperawakan gemuk dan bertambang bengis itu masih kelihatan gagah serta mampu berteriak dengan suara lantang.

"Sembur Maut...! Keluar kau, Keparat!"

Seruan itu bagaikan menggeledek di telinga Nyai Sembur Maut. Ia segera mengintai dari balik jen-dela pondoknya yang terbuka sedikit. Dipandanginya seorang lelaki berambut pendek yang mengenakan topi besi bertanduk satu di bagian dahinya itu. Kumis dan jenggotnya yang berwarna putih dengan baju hitam yang dirangkap baju pelapis dada berwarna merah tebal, merupakan ciri-ciri yang segera dapat dikenali oleh Nyai Sembur Maut. Selain itu juga senjata kapak dua mata yang bagian tengahnya berbentuk runcing tombak itu merupakan senjata khas milik musuh bebuyutannya Nyai Sembur Maut.

Tak heran jika Nyai Sembur Maut segera menggeram pelan dengan darah bagai bergolak sepanas lahar, "Raga Dewa...?! Rupanya dia masih hidup juga sampai sekarang?"

Lelaki gemuk berbadan tinggi itu memang bernama Raga Dewa. Dia adalah ketua Partai Bajak Samudera yang berkuasa dan berjaya di atas kapalnya bernama Kapal Raja Bajak. Tentu saja saat itu dia datang tidak sendirian. Di belakangnya terdapat delapan anak buahnya yang masing-masing siap dengan senjata dan menunggu perintah serang dari sang ketua Partai Bajak Samudera itu.

"Kepung rumah ini!" teriak Raga Dewa dengan suara garangnya. Maka mereka pun bergegas menge-pung rumah pondok yang terbuat dari lapisan-lapisan kayu itu.

Braak...!

Nyai Sembur Maut segera keluar dari rumahnya dengan mendobrak pintu saat dirinya melesat bersama kursi terbangnya. Perempuan berusia sekitar delapan puluh tahun itu dalam sekejap sudah berada di hantaman depan rumahnya, memandang orang-orang yang mengepung rumah itu dengan mata dingin.

"Huah, ha, ha, ha, ha...! Akhirnya kau menyambut kedatanganku juga, Sembur Maut! Kau telah menyambut ajalmu sendiri dengan rasa kaget melihat kedatanganku, bukan? Huah, ha. ha, ha...!" orang gemuk itu terbahak-bahak hingga badannya berguncang.

Nyai Sembur Maut masih diam memandang dengan hati menggeram menahan luapan amarahnya. Dari atas kursi terbangnya, perempuan berjubah putih itu serukan kata, "Apa maksudmu datang menyambangiku kemari, Raga Dewa?!"

"Kau pikir aku ingin apa? Tentunya kau sudah tahu, bahwa aku datang untuk mencabut nyawa tuamu, juga keturunanmu! Sekaranglah saatnya kutebus kekalahanku beberapa puluh tahun yang lalu! Seluruh keturunan Wiragatra harus kubantai habis, tak kusisakan. Karena begitulah cara Wiragatra, suamimu, menanam dendam di hatiku dengan membantai habis dua puluh satu orang anak buahku dari Partai Bajak Samudera!"

"Partaimu partai sesat, layak jika almarhum suamiku menumpas habis kejahatan kalian!" kata Nyai Sembur Maut dengan suara tajam.

"Jika kau beranggapan begitu, maka kau pun pasti mengakui bahwa niatku membalas habis keluargamu juga merupakan tindakan yang layak kulakukan, Sembur Maut!"

"Jika kau pandang layak, aku pun siap menghadapi mu, Raga Dewa!"

"Bagus!" sentak Raga Dewa. lalu ia berseru kepada delapan anak buahnya yang segera mengelilingi Nyai Sembur Maut, "Anak-anak, serang si lumpuh itu!"

"Heaaaat...!"

Delapan anak buah Raga Dewa serempak maju menyerang Nyai Sembur Maut dari berbagai penjuru. Masing-masing melompat dengan mengarahkan senjata ke tubuh Nyai Sembur Maut. Perempuan berambut putih rata itu segera sentakkan kedua tangannya membuka ke samping kanan-kiri.

"Hiaaah...!"

Wuuut...! Angin kencang menghempas dari tubuh Nyai Sembur Maut ke segala penjuru. Angin kencang itu disertai tekanan tenaga dalam cukup kuat. sehingga dalam kejap bersamaan kedelapan anak buah Raga Dewa terhempas bagaikan daun-daun kering disapu badai.

Braaak...! Braaass...!

Dua di antaranya menghantam dinding dan pintu rumah hingga jebol, yang lainnya jatuh tunggang langgang tak tentu arah. Ada yang terpelanting membentur batang pohon hingga kepalanya berdarah, ada yang menabrak batu dinding lereng sampai patah tulang iganya. Jika bukan kekuatan dari orang berilmu tinggi, mereka tak mungkin menderita nasib seperti itu.

Raga Dewa diam terpaku melihat delapan anak buahnya terpental dengan hanya satu gebrakan. Nyai Sembur Maut tetap memandang Raga Dewa dengan sorot pandangan sedingin salju. Akhirnya Raga Dewa menggeram penuh murka,

"Ggrrhh...!" Suara geramnya itu mengguncangkan pepohonan di sekitar tempat itu. Bahkan ketika kakinya menghentak ke tanah. Duuhg...! Daun-daun pun berguguran, ranting-ranting kering berjatuhan, bahkan tanah lereng sebagian longsor dan bebatuannya jatuh ke bawah. Jelas geram dan hentakan kaki itu penuh dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi dan besar.

Nyai Sembur Maut membatin, "Makin tua semakin hebat ilmunya! Rupanya selama ini ia sengaja mempertinggi ilmunya untuk membalas dendam kepada keluargaku. Hmmm...! Ke mana tadi anakku; si Cola Colo? Apakah dia masih berburu kelinci di hutan? Celaka! Kalau dia datang, pasti dia akan dijadikan sasaran empuk bagi Raga Dewa. Mudah-mudahan Cola Colo jangan datang dulu sebelum kawanan bajak laut ini berhasil kusingkirkan!"

Seorang anak buah Raga Dewa melemparkan tombaknya dari arah belakang Nyai Sembur Maut. Tanpa berpaling lebih dulu, Nyai Sembur Maut memi-ringkan kepala dan badan ke kanan, dan tombak itu lolos tak mengenainya.

Wuuus...! Traaak...!

Tombak itu patah karena disentil oleh tangan Raga Dewa. Jika tidak begitu, tombak tersebut akan menancap di perut Raga Dewa karena lolos dari tubuh Nyai Sembur Maut.

Raga Dewa pun membentak anak buahnya yang melemparkan tombak itu, "Monyet! Hati-hati kau!"

"Maaf, Ketua!" seru sang anak buah dengan rasa takut.

Ketika anak buah yang lain mau menyerang Nyai Sembur Maut, Raga Dewa cepat berseru, "Tahan! Minggirlah kalian semua! Biar kuhadapi sendiri perempuan lumpuh itu! Mungkin dia butuh bantuanku untuk menuju ke akhirat!"

Maka beberapa anak buah Raga Dewa pun mulai menjauh. Mereka tak mau menjadi korban salah sasaran jurus-jurus mautnya Raga Dewa yang setahu mereka, jika sedang bertarung sering membahayakan pihak yang tidak terlibat dalam pertarungan itu.

"Sembur Maut, kita berhadapan langsung saja!"

"Jangan banyak mulut! Lakukan apa yang ingin kau lakukan!" kata Nyai Sembur Maut dengan tetap tenang.

Raga Dewa belum mau cabut senjatanya dari pinggang. Tapi dengan menggunakan dua jari kanan-nya, ia lepaskan pukulan bersinar hijau bagaikan sela-rik tambang yang berkelebat menghantam kepala Nyai Sembur Maut.

Ziaaap...!

Wuuut...! Nyai Sembur Maut melompat bersama kursi terbangnya. Dalam keadaan tetap duduk, kursi itu melayang di udara setinggi batas sinar hijau yang menyerangnya. Sinar itu menghantam jendela rumah dan hancur berkeping-keping kayu jendela tersebut.

Praaak... Bregh...! Kursi itu kembali mendarat di tanah. Pada saat itu, tangan kanan Nyai Sembur Maut menggebrak besi kursi yang menjadi tempat sandaran tangannya. Daahg...! Dan dari ujung tangan kursi itu keluar sebuah pisau putih berkilat melesat ke arah Raga Dewa.

Wuuut!

Serta-merta Raga Dewa melompat ke samping sambil cabut senjatanya dan menghantamkan ke arah pisau tersebut.

Blaaar...!

Ledakan terjadi begitu dahsyat. Bumi berguncang dan dua anak buah Raga Dewa ada yang jatuh karena oleng ke kanan-kiri. Ombak lautan yang tampak di kaki bukit itu bergolak menyingkap tinggi dan berdebur menghantam gugusan karang.

Duuuur...!

"Hebat juga senjatanya?" pikir Raga Dewa. Kemudian ia melompat maju dengan kapak dua mata siap dihantamkan ke kepala lawannya. Namun dalam kejap berikutnya, mulut Nyai Sembur Maut keluarkan udara panas dalam sentakan keras. Udara panas itu menghantam Raga Dewa dan blaaab...! Tubuh Raga Dewa terbakar oleh nyala api yang berkobar-kobar sambil tersentak mundur.

"Ketua terbakar! Serang dia!" teriak salah seorang. Maka, yang lainnya pun maju menyerang. Tapi sekali lagi Nyai Sembur Maut lepaskan hentakannya dari kedua tangan yang menyentak ke kanan-kiri, dan mereka terhempas kembali seperti tadi.

Raga Dewa berdiri tak bergerak membiarkan tubuhnya dibungkus api yang berkobar-kobar. Tetapi dalam kejap berikutnya, api tersebut tiba-tiba padam dengan sendirinya. Wuub...! Bahkan bekas kepulan asapnya pun tak ada. Api Itu bagaikan diserap habis keseluruhannya ke dalam tubuh Raga Dewa.

"Hah, ha, ha, ha...!" Raga Dewa tertawa, meremehkan kehebatan ilmu Nyai Sembur Maut, membanggakan dirinya yang mampu melumpuhkan jurus 'Sembur Lahar'-nya Nyai Sembur Maut itu. "Makin tua makin seperti anak kecil kau, Sembur Maut' Masih suka bermain api rupanya?! Hah, ha, ha, ha...!"

Nyai Sembur Maut diam saja. Dalam hatinya membatin, "Kurang ajar! Dia mampu padamkan jurus 'Sembur Lahar'-ku dengan mudahnya. Rupanya sekarang dia benar-benar sudah berilmu tinggi?! Aku harus lebih hati-hati padanya."

Sreek...! Raga Dewa menarik gagang kapaknya, ternyata berubah menjadi rantai sepanjang satu depa. Kemudian ia memutar-mutarkan rantai itu dengan mata kapak menggaung mengelilingi atas kepalanya.

"Terimalah jurus 'Kapak Dewa' ini! Tandingilah kalau kau mampu! Heaaah...!" kaki Raga Dewa menghentak ke tanah. Duuhg... ! Dan keluarlah sinar merah bergelombang dari putaran kapak di atas kepalanya.

Wuuungng...!

Sinar merah bergelombang-gelombang itu men-garah ke tubuh Nyai Sembur Maut. Firasat perempuan itu mengatakan, bahwa jurus tersebut sangat berbahaya jika ditangkis maupun dilawan. Maka dengan kekuatan tenaga dalamnya, Nyai Sembur Maut melesat bersama kursinya, terbang ke arah samping dan memutar arah hingga kini berada di belakang Raga Dewa.

Perginya Nyai Sembur Maut membuat sinar merah bergelombang itu salah sasaran. Seorang anak buahnya yang berdiri di belakang Nyai Sembur Maut terkena sinar merah bergelombang itu, dan tanpa bisa berteriak sepatah kata pun, orang tersebut segera roboh dalam keadaan terpotong menjadi beberapa bagian.

Kini keadaan Nyai Sembur Maut yang ada di belakang Raga Dewa membuat ia punya kesempatan menghantam lawannya. Maka sebuah pukulan bersinar biru pun dilepaskan dari kedua tangan Nyai Sembur Maut yang menghentak ke depan bersamaan.

Wuuuusstt...!

Tetapi Raga Dewa sedikit merendahkan putaran kapaknya hingga membentuk perisai bagi punggungnya. Akibatnya, sinar biru itu tak sempat menghantam punggung Raga Dewa, melainkan tertangkis oleh gerakan kapak tersebut.

Duaaar...!

Ledakan timbul dengan cukup kuat. Hentakan gelombangnya membuat Nyai Sembur Maut terjungkal ke belakang bersama kursinya. Ia tertindih kursi terbangnya, sementara Raga Dewa hanya tersentak maju dan terhuyung-huyung tiga langkah. Dengan cepat ia berbalik badan dan mengetahui Nyai Sembur Maut ter-tindih kursinya.

Taab...! Gagang kapak digenggam oleh Raga Dewa, kemudian dengan satu teriakan keras dan satu kaki menghentak ke tanah, kapak itu disodokkan ke depan.

Duuuhg...! Ciaaap...!

Sinar putih perak keluar dari ujung kapak yang membentuk runcing tombak itu. Sinar putih perak dengan telaknya menghantam Nyai Sembur Maut yang sedang berusaha bangkit menyingkirkan kursinya.

Blaaar...!

Nyai Sembur Maut terlambat, tak bisa menghindar dan menangkisnya. Kursinya hancur berkep-ing-keping, tapi tubuh Nyai Sembur Maut masih utuh. Hanya saja, keadaannya kini hangus terbakar dengan kulit tubuh yang mengelupas di sana-sini.

"Modar kau, Sembur Maut! Hah, ha, ha, ha...!" Raga Dewa kegirangan. Ia menghampiri lawannya yang sudah tak berdaya lagi itu sambil tertawa terbahak-bahak. Nyai Sembur Maut hanya bisa mengerang tipis dengan mata terbeliak-beliak dan napas tersendat-sendat.

"Tak akan kupercepat kematianmu, Sembur Maut! Biar kau merasakan tersiksa lebih dulu, nantinya kau akan mati dengan sendirinya!"

Agaknya Raga Dewa yang berhati keji itu sengaja membiarkan Nyai Sembur Maut merasakan sakitnya dalam keadaan sekarat. Ia sengaja tidak mempercepat kematian Nyai Sembur Maut, karena ia yakin tanpa dipercepat. nyawa Nyai Sembur Maut tinggal beberapa hitungan saja. Karena selama ini tak pernah ada lawan yang mampu hidup dan bisa bertahan sampai seratus hitungan jika terkena jurus 'Kapak Jalang'-nya.

Raga Dewa berkata kepada anak buahnya yang tinggal tujuh orang itu sambil bertolak pinggang, dan matanya tetap memandang liar, "Sembur Maut punya satu anak lelaki yang bodoh bernama Cola Colo! Cari dia di dalam rumah dan bantai dia sekarang juga! Kerjakan!"

Wuuut...! Mereka segera masuk ke dalam ru-mah dan mengobrak-abrik keadaan di dalamnya. Me-reka mencari Cola Colo; si Bocah Bodoh itu. Tapi mereka segera keluar kembali dengan tangan hampa.

"Di dalam tidak ada siapa-siapa, Ketua!"

"Mungkin dia bersembunyi!" bentak Raga Dewa.

"Semua tempat sudah kami cari dan kami geledah, tapi tetap tidak ada seseorang di dalamnya, Ketua!" kata salah seorang anak buahnya.

"Gggrrh...!" Raga Dewa menggeram, pepohonan berguncang dan tanah pun bergetar. Lalu ia berseru: "Cari di sekitar bukit ini! Anak itu pasti ada di sekitar bukit ini!"

Maka, mereka pun mulai menyebar, masuk ke hutan, sebagian ada yang menyusuri lereng. Raga De-wa tampak tak sabar, ingin cepat membantai habis keturunan Wiragatra. Rasa tidak sabar menunggu anak buahnya memperoleh hasil membuat Raga Dewa pun bergegas pergi mencari Bocah Bodoh dengan sesekali menggeram dan membuat tanah berguncang, dedaunan pun bergetar.

Nyai Sembur Maut masih punya sisa napas. Ia berharap agar anaknya jangan sampai ditemukan oleh Raga Dewa. Dalam hatinya yang masih sempat berucap dalam penderitaan, Nyai Sembur Maut berkata,

"Pergilah jauh anakku. Pergilah, dan jangan datang kemari. Bersembunyilah di tempat yang aman, supaya kau selamat dari kekejian Raga Dewa...."

Pada waktu itu, Bocah Bodoh sedang dalam perjalanan pulang dengan menenteng tiga ekor kelinci buruannya. Tetapi langkahnya segera terhenti karena mendengar suara langkah kaki orang yang menginjak semak-semak kering. Bocah Bodoh bersembunyi di balik pohon untuk memastikan siapa orang tersebut. Dua orang terlihat bergerak di arah timur, satu orang tampak bergegas di arah barat. Bocah Bodoh berkerut dahi sambil bertanya di dalam hatinya,

"Siapa mereka itu? Mengapa menghunus senjata semua? Apa yang mereka cari? Hmmm... jangan-jangan mereka orang-orang jahat? Kalau begitu, aku harus cepat-cepat pulang dan memberitahukan kepada Ibu, supaya Ibu berhati-hati!"

Bocah Bodoh tinggalkan hasil buruannya di bawah pohon itu, lalu la berlari menuju ke pondoknya. Gerakan kakinya dianggap oleh anak buah Raga Dewa sebagai gerakan kaki berlari dari teman sendiri, sehingga hal itu tidak diperhatikan oleh mereka. Bocah Bodoh dapat keluar dari hutan dengan selamat dan langsung menuju ke rumahnya.

Tetapi alangkah terkejutnya ia begitu melihat rumahnya rusak sebagian, ada mayat terpotong mengerikan di pohon samping, dan lebih terkejut lagi ia melihat keadaan ibunya yang terkapar di samping reruntuhan kursi terbangnya. Bocah Bodoh segera pergi hampiri ibunya.

"Ibu!..?!" Bocah Bodoh menjadi amat sedih melihat Keadaan ibunya yang hitam hangus dengan kulit melepuh serta terkelupas di sana-sini.

Ibunya masih punya sisa napas dan bisa mendengar suara tangis anaknya. Perlahan-lahan ia berusaha membuka mata walau hanya kecil saja, kemudian dengan suara lirih ia berkata kepada sang anak,

"Ambil Pedang Jimat Lanang, pergilah dengan cepat dan jangan temui Raga Dewa. Pergilah, Anakku. Bawalah pedang pusaka itu ke mana pun kau pergi. Lekas...! Lekaaasss...!"

"Ibuuu...!" Bocah Bodoh tak mampu serukan kata karena tersekap tangis. Ibunya hembuskan napas terakhir dan tak bergerak lagi selamanya. Bocah Bodoh tersekap duka yang tiada taranya. Namun ia segera ingat pesan ibunya, sekalipun sudah tiada namun ia tetap tak berani melanggar pesan itu.

Maka dengan cepat Bocah Bodoh lari ke arah pantai. Ia menggali pasir pantai yang ada di bawah gugusan batu karang berbentuk gunung kecil itu. Dengan kedua tangan ia mencakar-cakar pasir pantai itu, sampai akhirnya ia temukan Pedang Jimat Lanang sebagai pusaka warisannya. Rupanya untuk menghindari bahaya datang, pedang tersebut disimpan dalam pasir pantai di bawah gugusan batu karang tersebut. Tak seorang pun akan menduga bahwa pedang pusaka itu tersimpan di luar rumah, bahkan terhitung jauh dari rumah.

Pedang yang dilapisi kain beludru merah berbingkai logam emas itu segera diselipkan ke pinggang kiri. Pada waktu itulah Bocah Bodoh mendengar sebuah seruan dari arah lereng bukit,

"Itu dia anaknya! Tangkap dia! Tangkaaap...!" Rupanya kemunculan Bocah Bodoh di pantai merupakan suatu pemandangan jelas yang dapat dilihat dari lereng perbukitan. Raga Dewa berteriak serukan perintah, dan beberapa anak buahnya pun segera berlarian ke arah Bocah Bodoh.

Melihat keadaan seperti itu, Bocah Bodoh pun segera melarikan diri sesuai pesan mendiang ibunya, bahwa ia harus cepat-cepat lari tinggalkan tempat itu.

"Kejar dia...! Lekas kejar dan bunuh di tempat!" teriak orang gemuk bersuara lantang itu. Maka, mereka pun beramai-ramai mengejar Bocah Bodoh dengan seruan-seruan seperti orang mengejar babi hutan.

"Wao, wao...! Kejar! Kejar! Tangkap! Kepung ke timur! Kepung...! Maliiing... malliing...!" mereka membuat Bocah Bodoh panik, namun justru semakin cepat pelarian si Bocah Bodoh itu.

Raga Dewa memanggil satu anak buahnya, "Jalmo! Pimpin pengejaran itu dan kasih laporan padaku setelah tertangkap. Aku akan menuju ke arah utara untuk mencari Pusaka Hantu Jagal itu!"

"Baik, Ketua."

"Susul aku setelah kalian berhasil penggal kepala bocah itu!"

"Kami kerjakan, Ketua!"

Rupanya bukan hanya semata-mata untuk balas dendam saja keperluan Raga Dewa turun dari kapalnya yang berlabuh di pantai selatan. Dia punya tu-juan lain, yaitu memburu Pusaka Hantu Jagal. Dia telah mendengar kabar tentang pusaka tersebut yang telah berada di tangan seseorang bernama Tua Usil. Tapi dia belum tahu dl mana tepatnya si Tua Usil itu berada. Tapi apa pun yang terjadi dan bagaimanapun caranya, Raga Dewa bertekad untuk bisa dapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal tersebut untuk satu keperluan yang maha penting baginya.

"Aku tak akan berlayar kembali sebelum kudapatkan pisau pusaka itu!" pikirnya. "Sekalipun harus mengorbankan semua nyawa anak buahku, aku tak peduli. Pisau pusaka itu harus berhasil kudapatkan. Orang yang bernama Tua Usil itu harus bisa kubunuh jika tak mau serahkan pusaka tersebut. Tapi... kabarnya Tua Usil selalu didampingi oleh Pendekar Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali Merah? Apakah benar? Dua pendekar itu kukenal namanya dari mulut ke mulut. Tapi mungkinkah dua pendekar itu mau menjadi pengawal si Tua Usil? Alangkah hebatnya si Tua Usil jika benar ia bisa jadikan dua pendekar kondang itu sebagai pengawalnya demi selamatkan pisau pusaka tersebut? Dan jika benar, maka yang kulakukan pertama kali adalah menyingkirkan dua pendekar itu. Tak sulit menyingkirkan mereka bagi ku. Mereka belum tahu siapa Raga Dewa dan sedahsyat apa jurus-jurus maut yang kumiliki. Mereka tak akan mampu menandingi ku!"

DUA

PELARIAN Bocah Bodoh tak kenal arah. Baginya yang penting menjauh dan jangan sampai tertangkap oleh para pengejarnya. Sebenarnya Bocah Bodoh ingin berteriak minta tolong, tapi ia tak lihat ada orang lain yang bisa diharapkan memberikan pertolongan padanya, karena itu Bocah Bodoh hanya diam saja sambil nafasnya ngos-ngosan membuat dada terasa sakit.

Pelarian yang menyusuri pantai itu membuat pengejarnya lebih enak lakukan tugas. Mereka tak akan kehilangan jejak. Sejauh apa pun Bocah Bodoh melarikan diri, pandangan mata mereka masih bisa menangkapnya, sehingga ke mana arah yang harus mereka tuju tidaklah sulit.

Napas sudah hampir putus dan terkuras habis. Bocah Bodoh tak sanggup lagi berlari cepat. Kedua kakinya bagaikan digelayuti batu amat besar. Akhirnya ia jatuh. Sengaja menjatuhkan diri di samping sebuah batu besar. Di sana ia bersandar sambil terengah-engah, membiarkan para pengejarnya mendekat.

"Nah, mau lari ke mana kau, Tikus Busuk?!" geram seseorang sambil terengah-engah pula. Bocah Bodoh hanya memandang dalam duduknya sambil berkata,

"Aku capek, Kang. Aku mau istirahat dulu!"

"Aku juga capek!" kata yang satunya. "Kita istirahat dululah!"

"Larimu cepat juga, Tikus Busuk!" kata yang berbaju merah.

"Karena takut, maka aku bisa lari... cepat! Uuuh... capeknya bukan main!" Bocah Bodoh yang sebenarnya sudah tua itu mengusap keringatnya dengan lengan baju.

Dua orang pengejar ada yang duduk menggeloso di pasir pantai sambil terengah-engah. Semuanya berjumlah enam orang. Yang bernama Jalmo belum tiba karena tertinggal saat ia bicara dengan Raga Dewa tadi. Dan ketika Jalmo datang, ia menjadi berang melihat teman-temannya duduk santai melepas lelah di sekitar buruannya.

"Hei, apa-apaan kalian ini, hah?! Mengapa ikut-ikutan istirahat seperti dia?! Tugas kita adalah membunuh dia dan memenggal kepalanya untuk kita berikan kepada Raga Dewa sebagai bukti kerja kita!"

"Nanti dululah...! Badanku letih semua," kata salah seorang.

"Tidak bisa! Bunuh dia sekarang juga!"

"Heaaat...!'' salah seorang segera melompat hendak menebaskan goloknya ke leher Bocah Bodoh. Tapi Bocah Bodoh lekas sentakkan tangannya dan tubuhnya melenting di udara, bersalto dua kali dan mendarat di pasir pantai dengan tegak.

"Agaknya aku harus melawan mereka karena sudah terpepet. Kata Ibu, kalau aku sudah terdesak sekali, aku baru boleh gunakan ilmuku. Sekarang aku terdesak. Mereka mau bunuh aku. Jadi terpaksa aku gunakan ilmu ku!" kata Bocah Bodoh dalam hati.

Maka pertarungan satu melawan tujuh orang pun tak bisa dihindarkan lagi. Bocah Bodoh berkelit ke sana kemari dengan lincahnya, membuat lawan sulit melukai tubuhnya. Bahkan ketika Jalmo melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang mempunyai sinar kuning itu, Bocah Bodoh menghantam sinar kuning tersebut dengan sinar biru yang keluar dari pergelangan tangannya.

Claaap...! Duaaarrr...!

"Monyet! Rupanya dia punya isi juga! Hati-hati, Kawan!" seru Jalmo kepada leman-temannya.

Salah seorang sudah telanjur menyerang dari belakang dengan golok siap disabetkan dari atas ke bawah, sasarannya membelah kepala Bocah Bodoh. Tetapi kaki Bocah Bodoh segera menjejak ke belakang tanpa berpaling lebih dulu. Kaki itu pun masuk mengenal ulu hati penyerang dari belakang.

Buuhg...!

"Heeegh...!" orang itu terpental tiga tombak jauhnya.

Enam orang lainnya segera mengurung Bocah Bodoh membentuk lingkaran yang bergerak searah. Senjata mereka dikibaskan ke sana-sini untuk mengacaukan pandangan mata Bocah Bodoh. Orang yang ta-di terkena tendangan Bocah Bodoh itu memuntahkan darah kental dari mulutnya dan tak bisa ikut bergerak untuk beberapa saat.

Bocah Bodoh berkata, "Sudahlah, jangan musuhi aku! Kalian sudah bunuh ibu, ya sudahlah. Jangan bunuh juga aku. Kita damai saja!"

"Tugas kami bukan membuat perdamaian dengan mu, Tikus Sawah! Tugas kami adalah memenggal kepalamu untuk diberikan kepada sang Ketua!" kata Jalmo yang tampak paling bernafsu untuk membunuh Bocah Bodoh.

"Kalau begini caranya, aku bisa membunuh mereka satu-persatu. Padahal itu tidak baik, bukan?!"

"Persetan dengan celotehmu! Heaaat...!" Jalmo menyerang maju, diikuti oleh kelima temannya. Bocah Bodoh diserang secara serempak dengan senjata berkelebat menghantam ke tubuhnya.

Wuuut...!

Bocah Bodoh melesat dalam satu sentakan kaki ke tanah. Tubuhnya terangkat ke atas dan bersalto satu kali, keluar dari lingkaran yang mengurungnya. Sedangkan senjata-senjata yang saling dihantamkan ke arah. Bocah Bodoh itu kini saling beradu sendiri menemui tempat kosong.

Traaang...! Praaang...!

Mereka sama-sama terkejut, karena mata mereka bagai tak melihat gerakan Bocah Bodoh yang melompat dan keluar dari kurungan mereka. Mereka segera memandang ke arah di mana Bocah Bodoh berada. Ternyata lelaki kekanak-kanakan yang berusia sekitar lima puluh tahun itu sekarang sedang meneruskan pelariannya.

"Kejar diaaa...!" teriak Jalmo, yang membuat semua temannya berlari mengejar, termasuk orang yang memuntahkan darah tadi. Mereka ada yang memotong jalan, sehingga tiga orang segera berada di depan Bocah Bodoh, menghadang dengan pasang kuda-kuda siap serang.

Bocah Bodoh kembali hentikan langkahnya dan hempaskan napas dengan jengkel. "Sudah kubilang, kita damai saja! Jangan paksa aku membunuh kalian. Itu tak baik!" katanya sambil menyeringai sedih.

"Hantam dia! Heaaahh...!" teriakan Jalmo membuat mereka kembali bergerak serempak menyerang Bocah Bodoh.

Dengan terpaksa Bocah Bodoh lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar yang membuat kepungan mereka berulang kali berantakan. Rupanya Bocah Bodoh masih belum mau membunuh mereka, karena ia berharap agar mereka jera dan tidak mengganggunya lagi.

Namun semakin Bocah Bodoh bertahan, semakin sering ia terkena pukulan dan tendangan bertenaga dalam lumayan beratnya. Bocah Bodoh dibuat terguling-guling beberapa kait, bahkan satu kali tersungkur hampir menelan batu. Dadanya yang membentur batu itu menjadi sakit dan membuat nafasnya mulai sesak dihela.

"Am.... ampuuun...! Ampun, Kang...! Jangan paksa aku membunuh kalian. Ampuuun...!" Bocah Bodoh memohon-mohon.

Tapi Jalmo tidak peduli. Ketika Bocah Bodoh berlutut menyembah-nyembah mohon pengampunan agar tidak di paksa lagi untuk lakukan pembunuhan, pedang Jalmo menghantam kuat dari atas ke bawah, memancung leher Bocah Bodoh.

Claaap...! Traaang...!

Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat menghantam pedang Jalmo. Pedang itu patah seketika menjadi kepingan-kepingan berjumlah lebih dari enam potong. Mereka sangat terkejut, lalu segera memandang ke arah datangnya sinar merah tadi. Ternyata sinar tersebut datang dari atas. Di atas sana mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian selempang dari kulit beruang coklat dan baju putih lengan panjang di dalamnya mengendarai seekor burung rajawali besar. Burung itu berwarna merah dan sedang terbang-rendah.

"Awaaass...!" teriak Jalmo sambil berlari ketika burung rajawali merah itu menuju ke arah mereka. Maka, mereka pun bubar tak tentu arah. Burung rajawali merah serukan suaranya,

"Keaaak...! Keaaakk...!"

Wuuus...! Ploook...!

"Aaauh...!" salah seorang berteriak sambil terjungkal karena kepalanya disambar oleh cakar rajawali. Kepala itu sempat tergores dan sedikit berdarah. Burung rajawali itu pun kepakkan sayapnya kian keras. Kepakan sayap menghadirkan angin badai dan membuat mereka terlempar, terjungkal tunggang langgang dan sebagian ada yang terpental sampai ke perairan laut.

"Keaaak...! Keaak...!"

Burung itu hinggap di tanah pasir. Pemuda penunggangnya yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah bernama Yoga itu, segera berseru kepada Bocah Bodoh yang masih berlutut mencium tanah.

"Bocah Bodoh! Lekas naik kemari."

Mendengar seruan itu, Bocah Bodoh segera dongakkan kepala karena ia kenal betul dengan suara tersebut. Maka, ia pun segera bangkit berdiri dan berseru, "Tuan Yo...?!"

"Lekas naik!" ulang Pendekar Rajawali Merah sambil ulurkan tangannya ketika burung besar itu mendekam merendah. Bocah Bodoh segera hampiri burung besar itu, tapi ia segera mundur karena takut melihat wajah sang burung menyeramkan. Alisnya ke atas pertanda ingin marah.

Yoga terpaksa berseru, "Tak apa, Bocah Bodoh! Si Merah ada di pihakmu! Ayo, naik...!"

Bocah Bodoh memberanikan diri. Dengan dibantu tangan Yoga yang kanan, Bocah Bodoh berhasil naik ke punggung rajawali besar Itu. Ia duduk di belakang Yoga dan memeluk perut Yoga kuat-kuat dengan wajah pucat.

"Cabut, Merah!" perintah Yoga kepada burung rajawali itu. Maka, sang burung pun segera terbang kembali dengan serukan suaranya yang menggema di sepanjang pantai. Salah seorang anak buah Raga Dewa baru saja menepi dari perairan laut. Melihat burung itu terbang rendah ke arahnya, ia kembali ceburkan diri ke laut dan menyelam sebisa-bisanya.

"Siapa mereka, Bocah Bodoh?!"

Tak terdengar jawaban dari Bocah Bodoh. Yang di rasakan Yoga hanyalah perut yang kian sakit karena dipeluk kuat-kuat oleh Bocah Bodoh, dan punggungnya tersentak-sentak karena detak jantung Bocah Bodoh. Rupanya rasa takut Bocah Bodoh telah membuatnya tak bisa gerakkan lidah, hingga tak mampu serukan kata apa pun. Sekujur tubuhnya gemetar ketika rajawali merah itu terbang kian tinggi.

Setelah rajawali besar itu mendarat di perbukitan sepi. Yoga menyuruh Bocah Bodoh untuk segera turun. Rupanya rasa takut membuat tulang-tulang Bocah Bodoh menjadi lemas. Ia turun dengan merosot dan jatuh di dekat kaki burung. Bluugh! Matanya melirik ngeri ke arah sepasang kaki burung bercakar kokoh itu.

Yoga segera membawanya agak jauh, di bawah pohon rindang yang tidak berbatu dan hanya berumput pendek. Di situ nafas Bocah Bodoh mulai tampak terengah-engah di sela wajah pucatnya yang mulai memudar. Pendekar Rajawali Merah sempat tertawa pelan melihat ketakutan Bocah Bodoh dalam penerbangan tadi.

"Kau terlalu penakut. Semestinya tak perlu kau sampai selemas dan sepucat ini, Bocah Bodoh."

"Saaa... saya... saya belum pernah terbang, Tuan Yo."

"Ini pengalaman barumu, supaya kelak kau tidak merasa takut lagi jika harus terbang kemana-mana."

Bocah Bodoh menelan ludah, diam termenung. Yoga menyangka Bocah Bodoh sedang tenangkan hatinya. Ternyata justru sebaliknya. Bocah Bodoh tampakkan genangan air di matanya. Wajahnya pun terlihat duka. Yoga berkerut dahi, segera ingat pertarun-gan tadi, lalu bertanya,

"Apa sebenarnya yang terjadi, Bocah Bodoh?"

"Ibu...," hanya itu jawaban Bocah Bodoh, tak mampu dilanjutkan. Berulang kali Bocah Bodoh menelan ludahnya, menahan isak tangis yang amat mengharu di hati. Bocah Bodoh termenung beberapa saat karena sengaja beri kesempatan kepada Bocah Bodoh untuk tenangkan tangisnya. Tapi Yoga yakin, pasti ada sesuatu yang amat menyedihkan.

Beberapa saat kemudian terdengar Bocah Bodoh perdengarkan suara paraunya, "Saya tak sangka, Ibu mengalami nasib semalang itu."

"Apa yang terjadi dengan ibumu?"

"Meninggal," jawabnya sangat lirih sambil tundukkan kepala.

Pendekar Rajawali Merah terkejut, lalu tarik napas dalam-dalam, setelah itu baru bertanya lagi, "Siapa yang membunuhnya?"

"Raga Dewa, bekas musuh Ayah dan Ibu zaman dulu. Rupanya Raga Dewa balas dendam dan ingin pula bunuh saya, Tuan Yo!"

"Raga Dewa..,?" gumam Yoga sambil berpikir, lalu ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri, "Pernah kudengar nama itu dari mulut orang-orang di kedai. Apakah Raga Dewa yang dimaksud adalah Ketua Partai Bajak Samudera?"

"Benar, Tuan Yo. Dulu ibu sering ceritakan tentang pertarungan Ayah dengan Raga Dewa. Tapi saya baru kali ini melihat sosok orangnya. Itu pun hanya sekilas dan saya segera lari karena dikejar anak buahnya!"

"Mengapa tak kau lawan mereka?"

"Saya... saya tidak punya ilmu cukup tinggi untuk kalahkan Raga Dewa sebab Raga Dewa bisa kalahkan Ibu, apalagi saya, pasti bisa dikalahkan dengan mudah. Ilmunya sangat tinggi."

"Bukankah kau membawa pusaka Pedang Jimat Lanang? Mengapa tak kau gunakan untuk melawan mereka?"

"Pesan Ibu, ke mana pun saya pergi saya disuruh membawa-bawa pedang ini. Hanya membawanya. Ibu tidak bilang kalau saya boleh gunakan pedang ini jika terpaksa, Tuan Yo."

Pendekar Rajawali Merah hanya geleng-geleng kepala sambil tarik napas. Kemudian ia berkata dengan lebih mendekat pada Bocah Bodoh, "Tentu saja ibumu izinkan kau menggunakan pedang itu, Bocah Bodoh. Ibumu suruh kau bawa pedang ke mana pun pergi, maksudnya buat perlindungan dirimu. Bukan hanya sekadar dibawa-bawa."

"O, jadi...?" Bocah Bodoh memandang dengan mulut melompong.

"Jadi kau boleh saja gunakan pedang itu, selama demi membela kebenaran dan menjaga keselamatan."

Bocah Bodoh kini termenung dan berucap kata, "Mengapa ibu tak jelaskan hal itu padaku? Apakah karena nyawa Ibu tinggal sedikit, jadi ibu hanya bilang begitu?"

Yoga tak bisa salahkan Bocah Bodoh yang masih polos dalam menerima perintah dan pesan dari orang tuanya. Bocah Bodoh terlalu patuh dan hormat kepada orangtuanya, sehingga kemampuan mencerna perintah kurang lugas. Daya pikir yang kekanak-kanakan itulah yang membuat Cola Colo walau sudah cukup usianya tapi masih dikatakan sebagai bocah.

Toh hal itu tidak membuatnya sakit hati atau unjuk rasa. Dengan senang ia mau menerima julukan sebagai Bocah Bodoh. Setelah cukup banyak menerima penjelasan dari Yoga mengenal pesan dan amanat sang Ibu, Bocah Bodoh pun setuju usul Yoga untuk kembali ke Bukit Lidah Samudera.

"Ibumu harus dimakamkan dan mendapat penghormatan yang layak dari anaknya," kata Yoga.

"Lalu, bagaimana dengan Raga Dewa dan anak buahnya itu, Tuan Yo? Bagaimana jika mereka masih di sana dan mencari-cari pedang ini?"

"Akan ku atasi mereka jika memang mereka masih di sana. Yang panting, jangan biarkan jenazah ibumu dalam keadaan membusuk tanpa ada pemakaman semestinya."

"Baiklah. Tapi saya tak mau naik burung lagi, Tuan Yo. Saya takut sekali terbang dengan burung itu," sambil Bocah Bodoh memandang ke arah burung ra-jawali berbulu merah berukuran besar itu.

"Tak apa. Burung itu tak akan celakakan kamu. Dia baik pada orang yang ada di pihak yang benar. Dia akan hati-hati membawamu terbang."

"Tidak. Saya tidak mau, Tuan Yo. Saya lebih baik berjalan kaki saja daripada harus putus jantung."

Yoga berpikir, jika mereka harus jalan kaki, terlalu jauh jarak yang ditempuh. Bisa-bisa sampai tempatnya jenazah Nyai Sembur Maut sudah membusuk. Maka, serta-merta tangan Yoga menotok tubuh Bocah Bodoh. Taaab...!

"Maaf, aku tak bermaksud jahat!" katanya.

Bocah Bodoh menjadi lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Kemudian Yoga menaikkan ke punggung burung rajawalinya, dan Bocah Bodoh pun kembali dibawa terbang menuju Bukit Udah Samudera. Dalam keadaan begitu, Bocah Bodoh tidak sadar apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Rajawali Merah dan apa yang terjadi pada dirinya; Ketika Bocah Bodoh sadar, ia sudah temukan dirinya berada di depan rumah sendiri.

"Apa yang terjadi? Mengapa saya tiba-tiba ada di sini, Tuan Yo?"

"Angin bukit yang membawamu kemari," jawab Yoga sambil segera bergegas mendekati jenazah Nyai Sembur Maut.

"Cukup tinggi ilmu Raga Dewa hingga membuat mayat Nyai Sembur Maut dalam keadaan seperti ini," pikir Yoga. "Tapi benarkah dia datang hanya ingin balas dendam? Mengapa rumah itu isinya morat-marit? Jangan-jangan dia kehendaki pedang pusakanya Bocah Bodoh itu? Kalau benar begitu, berarti aku harus mendampingi Bocah Bodoh supaya pedang pusakanya tidak jatuh ke tangan orang sekeji Raga Dewa itu!"

Sementara Yoga mendampingi Bocah Bodoh demi menjaga pusaka Pedang Jimat Lanang agar jangan jatuh ke tangan tokoh sesat, sementara itu pula sebenarnya jiwa Tua Usil terancam bersama pisau Pusaka Hantu Jagalnya. Padahal Tua Usil saat itu tidak bersama Pendekar Rajawali Putih.

Gadis yang kecantikannya sering diungkapkan sebagai kecantikan melebihi bidadari itu sedang bingung mencari-cari Yoga, ia berkelana dalam penerbangannya bersama burung rajawali besar warna putih yang menjadi tunggangannya. Burung itu adalah kekasih dari burung rajawali merah tunggangan Yoga.

* * *

TIGA

PERANGAI tinggi dimiliki oleh setiap tokoh silat yang tak bisa kendalikan nafsu amarahnya. Biasanya nafsu amarah itu timbul manakala melihat rekan seperguruan mati, atau saudara sendiri, atau pula kekasih yang terbunuh. Biasanya perangai tinggi itulah yang menyulut dendam dan pembalasan bagi si pelaku pembunuhan tersebut. Bukan sekadar nafsu untuk membalas, namun juga nafsu untuk menjaga harga diri dan kehormatan martabat di rimba persilatan sering membuat seseorang lakukan penyerangan secara tiba-tiba.

Tak beda halnya dengan tokoh berusia lima puluh tahun yang ke mana-mana selalu kenakan pakaian compang-camping dan tambal sulam. Tokoh kurus berpakaian serba hitam yang membawa tongkat dengan rambut abu-abunya dikenal sebagai Ketua Partai Pengemis Liar. Jalannya tertatih-tatih tak bisa lurus dengan tubuh loyo bagai kurang tenaga. Tapi sesungguhnya dia termasuk tokoh yang sulit dirobohkan lawan. Ia dikenal dengan nama julukan: Paku Juling,

(Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Geger Siluman Perawan).

Dalam keadaan biasa, Paku Juling terlihat sebagai orang yang tak berdaya, lemah, dan tak memiliki kekuatan untuk berlari cepat. Namun kali ini Paku Juling unjukkan jati dirinya dengan lakukan serangan bersalto ke arah seorang perempuan cantik berpakaian jingga yang mengendong seekor burung beo hitam paruh kuning di pundaknya.

Perempuan bertahi lalat kecil di sudut bibir kirinya itu tak lain adalah putri Adipati Windunegara, murid dari Jubah Peri, yang dikenal sebagai Gadis Penakluk Hati karena memiliki daya pikat tinggi bagi lawan jenisnya. Perempuan itu lebih dikenal dengan nama aslinya sendiri Lintang Ayu.

Serangan bersalto dari Paku Juling hampir saja kenai punggung Lintang Ayu jika burung beonya tidak berseru: "Awas maling!"

Begitulah tanda bahaya yang sering dikenali oleh Lintang Ayu jika terjadi serangan dari belakang. Lintang Ayu cepat sentakkan kakinya, melompat ke kiri bersamaan sang burung beo yang terbang menjauh.

Wuuut...!

Tendangan Paku Juling kenai sasaran kosong. Lintang Ayu bisa saja langsung menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke arah Ketua Partai Pengemis Liar itu, tetapi agaknya Lintang Ayu tak mau bertangan ringan. Ia hanya pandangi Paku Juling seraya berkata dengan nada penuh wibawa, tapi berkesan ketus, "Apa maksudmu menyerangku dari belakang, Paku Juling?!"

"Jangan berlagak bodoh, Lintang Ayu. Aku kenal betul dengan jurus pedangmu yang bernama jurus "Pedang Rajang'!" kata Paku Juling sambil melangkah ke kiri. Pandangan matanya masih biasa, itu berarti Paku Juling belum kerahkan tenaga kemarahannya.

"Aku tak mengerti apa maksudmu menyebutkan jurus pedangku?"

"Kau tak usah sembunyikan diri dari perbuatanmu Lintang Ayu. Kau telah membunuh adikku; si Rencong Geni dengan jurus 'Pedang Rajang'-mu!"

"Jangan menuduhku sembarangan. Aku tak punya masalah apa-apa dengan Rencong Geni, adikmu!"

"Hmmm...!" Paku Juling sunggingkan senyum sinis dalam keadaan tubuh tegap, tak tampak sebagai pengemis. "Mengapa kau coba ingkari perbuatanmu sendiri? Apakah karena kau takut karena aku ingin membalas kematian adikku kepadamu? Apakah kau tak sanggup hadapi ilmuku?"

Burung beo hitam paruh kuning berseru sambil terbang berkeliling, "Pitnah, pitnah... itu pitnah...!"

Paku Juling tambah jengkel. Tongkatnya disodokkan ke arah burung yang sedang terbang itu. Zuuut...! Tapi Lintang Ayu segera tanggap, bahwa burungnya dalam bahaya, karenanya dengan cepat lepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar ke ujung tongkat tersebut.

Wuut! Traaak...!

Tongkat itu tersentak. Begitu kuatnya sampai membuat tubuh Paku Juling tersentak berputar. Wuuus...! Tapi justru putaran tubuh Paku Juling itu keluarkan gelombang badai yang cukup kuat dan membuat tubuh Lintang Ayu terdorong mundur tiga tindak.

"Gila! Dia keluarkan tenaga dalamnya dalam bentuk putaran tubuh. Cukup kuat juga tenaga dalam itu!" pikir Lintang Ayu.

Paku Juling berkata, "Rupanya kau sudah tak sabar, ingin cepat hadapi ilmuku, Lintang Ayu! Kau telah berani serang aku lebih dulu. Maka terimalah jurus 'Gelap Gentar'-ku ini! Heaaah...!"

Claaap...!

Sinar putih terang benderang keluar dari ujung tongkat Paku Juling: Pada saat itu, mata si Paku Juling telah berubah. Manik hitamnya ada dl sudut bawah keduanya. Tongkatnya yang tadi diurut dalam sekelebat berubah menjadi besi panjang dan runcing semacam paku besar. Sentakan kedua tangan dengan kaki ditarik ke belakang melepaskan sinar putih terang benderang menyilaukan. Hanya sekejap. Sinar itu lekas padam dan membuat pandangan mata Lintang Ayu menjadi gelap, tak bisa melihat apa-apa.

"Oh, celaka!. Aku menjadi buta?! Kurasa ini pengaruh sinar terang yang membuat pandangan mata bagaikan buta sesaat. Tapi ini berbahaya. Aku tak tahu dia bergerak menyerangku atau diam saja?" pikir Lintang Ayu. dengan kedua tangan bergerak meraba udara.

Wuuut...! Plaaak...!

Tendangan dari Paku Juling berhasil ditangkis dengan kelebatan tangan Lintang Ayu. Kini perempuan cantik itu bergerak dengan mengandalkan indera peraba, pendengaran dan penciuman. Ketika Paku Juling tebaskan tongkat besi runcingnya untuk merobek dada Lintang Ayu, perempuan itu rasakan hembusan angin. kencang yang amat kecil dari arah kirinya. Serta-merta ia lompat ke atas dan lepaskan sentakan tangannya yang memancarkan cahaya merah terang benderang.

Claaap...!

Wuuus...! Dalam sekejap tempat itu dikuasai oleh angin panas. Rerumputan menjadi layu dan cepat kering, demikian pula dedaunan lainnya. Tubuh Paku Juling pun tersengat panas dan menggeram sambil melompat ke sana-kemari.

"Kurang ajar! Dia gunakan hawa panas menebar sekeliling tempat ini. Tak ada tempat dingin bagiku," pikir Paku Juling.

Pada saat itu kegelapan mata Lintang Ayu mulai pudar dan berganti terang kembali. Ia melihat Paku Juling menancapkan tongkat paku besinya ke tanah dan berpegang kuat-kuat pada tongkat besi itu. Dari tongkat besi keluar busa-busa putih yang makin lama semakin banyak.

Hawa panas itu ternyata sedang dilawan dengan hawa salju yang ia keluarkan dari pengerahan tenaga inti dinginnya. Dengan tubuh sedikit gemetar dan mata tetap memandang juling, ia berhasil kalahkan hawa panas tersebut dengan udara dingin salju yang dikerahkannya.

"Hiaaah...!" Lintang Ayu segera cabut pedangnya dan ditebaskan ke arah tangan Paku Juling. Tapi dengan gerakan amat cepat, Paku Juling tiba-tiba sudah berada di belakang Lintang Ayu. Ia segera menghunjamkan tongkat runcingnya ke punggung Lintang Ayu.

"Awas maliiing...!" teriak burung beo di kejauhan. Lintang Ayu cepat putar tubuh sambil kibaskan pedangnya. Traaang...! Pedang itu menghantam besi yang hendak menghunjamnya. Terjadi percikan bunga api cukup banyak ketika pedang beradu dengan tongkat. Keduanya sama-sama terpental mundur tiga tindak. Lalu diam dalam ketegakan berdiri.

"Tubuhku seperti dirayapi jutaan semut gara-gara beradu senjata dengannya," pikir Lintang Ayu. "Kurasa aku harus lebih hati-hati lagi menghadapi orang juling itu."

Sedangkan Paku Juling pun membatin, "Edan! Hampir saja aku kelojotan seperti tersiram air panas di sekujur tubuh karena benturan pedangnya dengan tongkatku! Rupanya dia tidak main-main menghadapiku. Aku pun tak boleh lengah sedikit saja."

"Heaaahh...!" Paku Juling melompat sambil memutar tongkat.

"Hiaaah...!" Lintang Ayu pun melompat ke depan dengan pedang siap menebas. Tetapi tiba-tiba Paku Juling lemparkan tongkatnya menancap di tanah, tangannya menyentak di ujung tongkat membuat tubuhnya melenting lebih tinggi dan bersalto melewati kepala Lintang Ayu. Perempuan itu merasa tertipu oleh gerakan tersebut. Ia sudah telanjur tebaskan pedangnya menghantam tongkat besi tersebut.

Namun tiba-tiba ia harus berguling ke depan karena kaki Paku Juling hampir saja menyerang punggungnya dengan tendangan ganda. Jika Lintang Ayu tidak berguling ke ta-nah. maka tulang punggungnya akan patah oleh tendangan bertenaga dalam tinggi itu.

Wuuuk...! Zaaap...!

Lintang Ayu cepat sentakkan tangan kirinya begitu selesai berguling. Dari tangan kirinya itu melepaskan sinar ungu yang berbahaya. Sinar ungu itu menghantam dada Paku Juling, namun dengan cepat tangan Paku Juling menghadang di pertengahan dada. Tapak tangan itu membara biru ketika sinar ungu mendekatinya, lalu menghantamnya.

Duaaar...!

Andai tidak ditahan dengan tangan bercahaya biru, sudah pasti dada Paku Juling akan jebol tanpa ampun lagi. Tapi karena ditahan dengan telapak tangan tersebut, Paku Juling hanya terpental empat tombak jauhnya dan jatuh terbanting cukup keras.

Buuhg...!

"Uhhg...!" Paku Juling tersentak ke depan, kepalanya tergolek, mulutnya keluarkan darah kental warna merah kehitaman. Dalam hatinya segera membatin, "Sial! Kena juga aku akhirnya! Untung tidak terlalu parah bagiku!"

Lintang Ayu terkesiap melihat Paku Juling masih bisa berdiri, padahal biasanya lawan yang terkena pukulan ungu itu akan mengkristal dan pecah jika terkena benda keras. Rupanya jurus itu tidak berlaku demikian bagi Paku Juling. Jika Paku Juling bukan orang berilmu tinggi, tidak mungkin ia masih bisa berdiri dan siap lakukan serangan lagi.

"Heaaah...!" Paku Juling lepaskan sinar biru dari kedua telapak tangannya.

Sedangkan Lintang Ayu segera lepaskan sinar merah dari sentakan balik ga-gang pedangnya. Clap, claap...! Kedua sinar itu sama-sama meluncur cepat di pertengahan jarak. Tetapi tiba-tiba seberkas sinar putih perak menghantam kedua sinar tersebut sebelum beradu di pertengahan jarak.

Blaaar...! Glegaaarr...!

Dentuman itu sangat hebat, menggelegar dan menggema sampai ke seluruh penjuru. Kedua tokoh yang sedang bertarung itu sama-sama terpental dan saling berguling-guling. Tetapi keduanya segera sama-sama bangkit dalam satu sentakan tubuh yang mencuat.

Jleg, jleeg!

Seekor burung rajawali putih terbang rendah, mendekati mereka. Rupanya siar putih perak itu datang dari tangan penunggang burung rajawali putih yang tak lain adalah Lili; si Pendekar Rajawali Putih. Lintang Ayu dan Paku Juling sama-sama terkesiap melihat kedatangan gadis pendekar yang cantik rupanya itu. Lili segera turun dari punggung rajawalinya. Ia hampiri Lintang Ayu dan Paku Juling.

Pada saat itu, Paku Juling segera berkata. "Apa perlumu mencampuri urusanku dengan perempuan kejam itu, Pendekar Rajawali Putih? Apakah kau ingin membelanya walau kau tahu dia telah membunuh adikku; Rencong Geni itu?!"

Dengan tenang gadis berpakaian merah jambu dengan jubah putih tipis itu berkata, "Sudah kuduga kalian pasti terlibat kesalah-pahaman!"

Lintang Ayu berkata, "Sebaiknya tinggalkan kami, biar kami selesaikan urusan ini, Lili. Dia tetap bersikeras menuduhku sebagai pembunuh Rencong Geni."

"Aku tidak sekadar menuduh!" sahut Paku Juling. "Tapi memang terbukti jenazah adikku kutemukan mati dalam keadaan terpotong-potong menjadi tiap ruas tulangnya. Orang yang bisa lakukan pembunuhan sekejam itu hanya kau, Lintang Ayu. Karena kau mempunyai jurus pedang yang mampu membuat lawan mati seperti itu!"

"Dugaanmu tidak benar, Paku Juling!" kata Lili dengan tetap kalem.

"Kau tak perlu membelaku, Lili!" kata Lintang Ayu. "Aku masih sanggup membuktikan bahwa diriku bukan pembunuh Rencong Geni!"

"Aku hanya ingin meluruskan perkara ini. Bukan Lintang Ayu yang membunuh Rencong Geni, Paku Juling."

Sambil mendekati tongkat besinya Paku Juling berseru, "Lantas siapa orang yang bisa membunuh Rencong Geni sedemikian rupa?!"

"Seseorang yang memegang senjata pisau Pusaka Hantu Jagal!"

"Hahh...?!" Paku Juling terkejut. Matanya sudah tidak juling lagi. Tongkat besi runcing menyerupai paku itu segera diurut dan menjadi tongkat kayu biasa kembali. Setelah langkahkan kedua kaki dua kali dekati Pendekar Rajawali Putih, Paku Juling bertanya, "Siapa orang yang memegang pisau Pusaka Hantu Jagal itu? Ki Pamungkas? Resi Gutama? Atau murid mereka?"

"Carilah sendiri. Tapi aku melihat jelas orang itu telah membunuh Nyai Kuku Setan!"

Makin tersentak lagi Paku Juling mendengarnya. "Nyai Kuku Setan telah dibunuhnya?! Mungkinkah itu?"

"Kenapa tidak? Sebelum ia membunuh Nyai Kuku Setan, ia telah menikamkan pisau itu ke tubuh Ki Pamungkas yang mendesaknya untuk mempercepat kematian!"

"Itu berarti orang tersebut telah menyerap ilmunya Ki Pamungkas?" ucap Paku Juling dengan kagum.

"Dugaanmu kali ini benar, Paku Juling. Ia juga telah mendapatkan ilmu-ilmunya Nyai Kuku Setan dan tentunya kau tahu bahwa seluruh ilmu yang dimiliki lawannya telah berpindah menjadi milik orang yang menikamkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"

Paku Juling bersungut-sungut, lalu menggumam seperti bicara pada dirinya sendiri, "Alangkah saktinya dia, menyerap banyak ilmu orang sakti?! Pantas jika ia bisa bunuh Rencong Geni dalam keadaan seperti itu, tentunya ilmunya Ki Pamungkas yang mengalir dalam dirinya yang menyebabkan kematian Rencong Geni seperti itu. Aku tahu, Ki Pamungkas juga mempunyai jurus yang dapat memotong-motong lawannya tanpa pedang atau senjata lainnya."

"Syukurlah jika kau sudah bisa memahami penjelasanku," kata Pendekar Rajawali Putih.

Kepala lelaki itu manggut-manggut, lalu, ia perdengarkan suaranya yang melemah, tidak segalak tadi, "Mengapa kau tak mau sebutkan siapa orangnya?"

"Karena aku tak punya hak untuk mengadukan hal ini kepadamu. Kalau kau ingin nekat menemui orangnya dan berani bertarung melawannya, carilah dia. Cirinya, dia membawa pisau Pusaka Hantu Jagal,"

Paku Juling menghela napas. "Jika dua ilmu bersatu dalam dirinya, yaitu ilmunya Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan, maka... itu berarti ia punya ilmu lebih tinggi dariku!"

Lintang Ayu memandangi Lili saat Lili hanya angkat bahu. Kemudian, Paku Juling berpaling menatap Lintang Ayu dan berkata, "Maafkan aku! Kurasa untuk sementara ini, kita cukupkan sampai di sini saja!" Paku Juling pun segera sentakkan kaki dan pergi sambil berseru tanpa berpaling ke belakang, "Terima kasih atas penjelasan mu, Lili...!"

Pendekar Rajawali Putih dan Lintang Ayu hanya diam saja memandangi kepergian Paku Juling, Kejap berikutnya, terdengar suara Lintang Ayu yang bernada wibawa namun berkesan angkuh, "Untung kau cepat datang dan jelaskan perkara ini. Jika tidak, dia bisa mati di tanganku."

"Firasat ku mengatakan ada kesalahpahaman di antara kalian. Padahal aku bermaksud singgah menemui mu untuk menanyakan tentang Yoga."

Lintang Ayu cepat palingkan wajah pandangi Lili. Ia bertanya dengan nada datar, "Apa maksudmu tanyakan Yoga padaku?"

"Aku mencarinya. Kusangka ia bersamamu."

"Kau sangka aku merebut kekasihmu?"

"Belum tentu. Tapi Yoga punya kegemaran bicara dengan perempuan cantik. Jadi tak ada salahnya jika ku tanyakan padamu, barangkali kau melihat di mana Yoga berada."

"Aku tak pernah pedulikan dia, karena di bukan kekasihku. Kalau aku jadi kekasihnya, tak akan kubiarkan dia pergi tanpa aku! Itu untuk menunjukkan kesetiaan ku padanya. Setidaknya aku tidak akan kehilangan dia dan menjadi bingung jika hatiku sedang rindu!"

"Kurasa kau tak perlu nasihati aku seperti itu, Lintang Ayu! Kau dan aku mempunyai pendapat dan pandangan hidup yang berbeda!"

Lili bergegas dekati burung rajawalinya yang menunggu di bawah pohon rindang. Tetapi tiba-tiba terdengar suara Lintang Ayu berseru,

"Kalau ketemu Tua Usil, suruh dia berhati-hati!"

Langkah itu terhenti, wajah Lili berpaling dengan rasa heran. Kemudian dari depan burungnya Lili berseru, "Apa maksudmu berkata demikian?"

Dengan lagak angkuh wibawa, Lintang Ayu melangkah dekati Lili sambil membiarkan burungnya hinggap di pundak kiri. Lalu dalam jarak tiga langkah ia berhenti dan berkata, "Seseorang sedang mencari-cari pelayanmu; si Tua Usil. Dia akan dibunuh oleh orang itu."

"Siapa orang itu?"

"Tapak Biru!"

Lili kian kerutkan dahinya karena baru sekarang mendengar nama julukan Tapak Biru. Lalu, karena ia merasa belum mengenali tokoh tersebut, ia pun bertanya kepada Lintang Ayu, "Siapa orang yang bernama Tapak Biru itu?"

"Seseorang yang jika melangkah tinggalkan bekas biru di tanah. Semakin tinggi kemarahannya semakin nyata bekas biru pada jejak kakinya. Tapi jika ia tidak sedang marah besar, tapak biru itu baru akan terlihat beberapa saat setelah ia pergi."

"Apakah kau mencoba mengacaukan kami, Lintang Ayu?" Lili curiga. Matanya memandang dengan nada sinis.

Lintang Ayu sunggingkan senyum, "Kalau aku mau kacaukan kalian, kuculik kekasihmu itu dan ku sembunyikan di suatu tempat yang tak terjangkau oleh alam pikiran manusia. Tapi hal itu tidak kulakukan, karena aku memang tidak ingin bikin persoalan denganmu. Kukatakan hal ini supaya kau berhati-hati."

Setelah hembuskan napas. Lili pun berkata, "Baiklah. Terima kasih kau telah mengingatkan aku. Tapi kalau boleh ku tahu, mengapa orang bergelar Tapak Biru itu ingin bunuh Tua Usil?"

"Dia Ingin dapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal!"

"Hhhmmm...!" Lili mangut-manggut sambil memandang ke arah lain. Kejap berikutnya kembali ia perdengarkan suaranya, "Kurasa Tua Usil bisa atasi Tapak Biru dengan ilmu-ilmu yang mengalir dalam dirinya dari Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan."

"Belum tentu," bantah Lintang Ayu. Tapak Biru ilmunya di atas Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan. Kelak kau akan tahu sendiri!"

Setelah berkata demikian, Lintang Ayu pun segera melangkah pergi tinggalkan Lili bersama burung rajawali putihnya. Langkahnya cukup tegak dan tegar. Lili pun sempat berseru lagi, "Apakah kau kawan dari si Tapak Biru itu?!"

"Aku hanya kenal dia, tapi aku bukan sahabatnya!" seru Lintang Ayu. "Dia menanyakan kepadaku di mana Tua Usil dan kujawab, cari saja Pendekar Rajawali Putih karena dia adalah majikannya! Entah dia dengar atau tidak, paham atau tidak, tapi sudah kukatakan apa yang bisa kukatakan padanya. Juga kepadamu telah kukatakan apa yang bisa kukatakan padamu!" sambil ia berjalan mundur, kemudian berbalik dan berjalan lagi semakin jauhi Lili.

Dalam hati. Pendekar Rajawali Putih bertanya-tanya, "Siapa orang yang bernama Tapak Biru itu? Siapa yang jejak kakinya meninggalkan bekas warna biru itu? Pasti orang berilmu tinggi dan punya racun di telapak kakinya. Hmmm...! Aku harus segera hubungi Tua Usil dan Yoga untuk ceritakan berita dari Lintang Ayu tadi!"

* * *

EMPAT

MASIH ingat si Tua Usil? Orang yang mempunyai ilmu 'Halimun' sehingga bisa berubah menjadi segumpal kabut yang bergerak? Hanya itu ilmu yang dimiliki oleh Pancasona yang disebut-sebut sebagai Tua Usil. Tetapi belakangan ini Tua Usil menjadi orang berilmu tinggi sejak memiliki pisau Pusaka Hantu Jagal.

Jika pisau itu dipakai membunuh oleh si Tua Usil, maka seluruh ilmu milik orang yang dibunuh mengalir pindah menjadi milik si Tua Usil, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Pusaka Hantu Jagal). Dua orang berilmu tinggi telah dibunuh oleh Tua Usil dalam keadaan yang sangat terpaksa, yaitu Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan.

Itulah sebabnya Tua Usil sekarang mampu melakukan gerakan-gerakan silat berilmu tinggi. Bahkan dari tangannya keluar kuku runcing yang merupakan kuku gaib milik mendiang Nyai Kuku Setan. Tetapi keberadaannya sekarang masih membuat Tua Usil sebagai orang yang rendah diri.

Sekalipun ia memiliki ilmu hitam milik Nyai Kuku Setan, namun Lili selalu membimbingnya agar Tua Usil tidak mudah menggunakan ilmu hitam untuk bertindak jahat. Jika tanpa pengarahan dari Lili dan Yoga, tentunya Tua Usil sudah menjadi orang sesat karena tingginya ilmu yang dimilikinya.

Ia masih menganggap dirinya adalah pelayan dua pendekar rajawali itu. Tua Usil masih patuh dengan nasihat dan perintah Lili maupun Yoga. Bahkan kadang dirinya lupa bahwa ia sudah berilmu tinggi, sehingga sesekali Tua Usil sering dibuat takut jika menghadapi seseorang bertampang bengis yang sebenarnya ilmunya lebih rendah darinya. Sungguh suatu keberuntungan besar buat Tua Usil mendapatkan ilmu tiban seperti itu. Jarang orang menjumpai nasib sebe-runtung dia.

Namun sebagai manusia tentunya Tua Usil juga memiliki rasa bangga terhadap dirinya. Rasa bangga itulah yang sering menampakkan kesombongan didepan diri sendiri. Seperti hari itu, ia hampir seharian penuh berdiri di atas ilalang yang sedang tumbuh. Kedua kakinya dengan santai dapat berdiri menginjak ujung ilalang tanpa membuat ilalang itu patah ataupun roboh.

Hal itu dikarenakan ilmu yang pernah dimiliki oleh Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan mempunyai jurus peringan tubuh yang cukup tinggi. Semasa hidupnya, Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan juga pernah berdiri di atas ilalang, atau berdiri di atas air dengan beralaskan selembar daun kecil. Tak heran jika sekarang Tua Usil mampu melakukan hal itu, di mana sebelumnya ia sangat berharap sekali dapat kuasai ilmu peringan tubuh seperti itu.

Cukup lama ia membujuk dan menunggu dengan sabar agar Lili mau ajarkan ilmu berdiri di atas ilalang. Sekarang ia bisa lakukan walau tanpa mendapat pelajaran peringan tubuh dari Lili. Karena senangnya, ia menikmati hal itu dari pagi hingga malam, dari malam hingga pagi lagi, dan sekarang hampir tengah hari. Ia lupa tidur, lupa makan, dan lupa mandi. Ia benar-benar nikmati suatu keinginan yang kini sudah tercapai itu.

Kadang ia berjalan dari pucuk ilalang yang satu ke pucuk ilalang yang satunya lagi. Kadang ia berhenti dan tertawa-tawa sendiri melihat ilalang yang diinjaknya tidak roboh. Ia biarkan angin berhembus menerpanya, embun datang membalutnya, lalu sinar matahari kembali mengeringkannya. Ia berdiri di atas ilalang tanpa hiraukan apa pun yang terjadi pada alam sekelilingnya.

"Sekarang aku bisa menundukkan daun-daun ilalang ini! Ooh... lega hatiku rasanya. Ku puaskan diriku menikmatinya, supaya aku tidak mengejar-ngejar Nona Lili lagi untuk minta diajarkan ilmu ini! Oh, alangkah indahnya berdiri di atas ilalang begini. Walau tak ada yang memuji dan mengagumi ku, namun aku sangat puas memuji diri sendiri!"

Hembusan angin makin lama terasa semakin kencang. Tua Usil masih tidak peduli. Bahkan hembusan yang kian kuat itu terasa datang dari arah belakang, namun Tua Usil tetap tak pedulikan. Ia segera peduli setelah terdengar kepakan sayap di atas kepalanya dan suara seekor burung berteriak keras,

"Keaaak...! Keaaak...!"

"Oh, Nona Li datang...?!" ucapnya sambil tersenyum lebar, ia melambai-lambaikan tangan kepada Lili tanpa turun dari ujung ilalang.

Sementara itu mata Lili memperhatikan keadaan Tua Usil sambil geleng-geleng kepala. Buat Lili apa yang dilakukan Tua Usil tak menjadikan ia heran. Karena ia tahu, Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan pasti bisa lakukan hal seperti itu. Yang membuatnya sedikit dongkol adalah sikap Tua Usil yang tidak mau turun dari pucuk ilalang walau ia tahu Lili sudah turun dari burung rajawalinya dan berkata kepada si Putih,

"Tinggalkan aku sebentar."

Burung itu pun terbang menikmati bebas tugasnya, sedangkan Lili segera hampiri Tua Usil yang masih saja tetap berdiri di atas pucuk ilalang. Hati gadis cantik itu segera dapat memaklumi, karena ia tahu betul bahwa berdiri di pucuk ilalang adalah sesuatu yang amat diinginkan oleh Tua Usil. Karena itu, Lili pun tidak jadi merasa dongkol, namun justru merasa geli dalam hatinya.

"Dia memang seperti anak kecil yang mendapat baju baru. Ke mana pun selalu dipakainya karena gembira dan senang hatinya. Tapi biarlah dia begitu, asal jangan di depan orang lain," kata Lili dalam hatinya sambil memandangi Tua Usil dengan senyum tersungging tipis.

"Nona Li, lihatlah! Saya bisa berdiri di atas ilalang sekarang!" seru Tua Usil sengaja memamerkan diri di depan orang yang dihormati.

"Lakukanlah, asal jangan di depan orang. Nanti kau disangka pamer ilmu dan sombong diri!" kata Lili sambil menatap sekeliling dengan lirikan mata indahnya.

"Apa menurut pendapat Nona Li melihat saya bisa begini?"

"Kau hebat, Tua Usil. Tapi jangan sampai kehebatanmu kau gunakan untuk mencari sanjungan, nanti yang kau dapat hanyalah permusuhan! Dan kau harus ingat, setinggi-tingginya ilmumu masih ada yang lebih tinggi lagi."

"Betulkah begitu. Nona Li?" ucapnya dari atas ilalang.

Lili segera menggerakkan tangannya berkelebat bagai mengipas sesuatu di depannya. Wuuut...! Praass...! Dalam sekejap ilalang-ilalang itu pun terpotong habis dan Tua Usil pun jatuh karena kehilangan tempat berpijak.

Buuuhg...!

"Auuh...!" Tua Usil menyeringai kesakitan sambil pegangi pantatnya yang membentur batu segenggaman tangan. Gadis cantik itu hanya tertawa kecil dan di sembunyikan. Ia geli melihat Tua Usil jatuh terduduk membentur batu.

"Nona Li jahat! Mengapa ilalang-ilalang itu Nona tebas habis dengan hanya sekali mengipaskan tangan? Nona Li sengaja mau celakai saya?" Tua Usil mengeluh sambil bangkit bersungut-sungut.

"Aku hanya ingin buktikan padamu, setinggi-tinggi ilmumu masih ada orang yang lebih tinggi lagi. Jadi jangan sampai kau sombongkan diri karena merasa berilmu tinggi. Aku pun merasa masih ada orang yang punya ilmu lebih tinggi dariku, sehingga aku tak ingin sombongkan kepandaianku ini hanya semata-mata untuk cari pujian."

Sambil masih bersungut-sungut Tua Usil berkata, "Sombong sebentar tak apalah, Nona. Mumpung tak ada orang lain di sini."

"Maafkan aku, Tua Usil," Lili menahan geli. "Aku datang sengaja menemuimu karena ada masalah penting yang harus kamu ketahui," katanya lagi.

"Masalah apa? Perkawinan Nona dengan Tuan Yo? Ah, itu urusan Nona sendiri. Saya tak berani ikut campur."

"Bukan soal itu, Tua Usil. Ketahuilah, kau sedang dalam buruan seseorang. Kau dicari-cari seseorang untuk dibunuh jika kau tak mau berikan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"

Tua Usil diam, tercengang memandang Lili. Mulai tampak rona ketakutan menghias di wajah tuanya yang berkumis dan berjenggot tipis warna putih. Bahkan kini ia mendekati Lili dalam jarak dua langkah dan berkata dengan nada heran, "Seseorang sedang mencari saya untuk dibunuh? Siapa orang itu, Nona Li?!"

"Entah. Tapi dia berjuluk Tapak Biru. Hati-hatilah jika bertemu dengan orang itu. Pusaka mu pasti di incarnya."

Wajah Tua Usil tengok sana-sini dengan cemas, kemudian lebih mendekati Lili dan berkata dengan lirih, "Tolong, Nona. Tolong lindungi saya. Saya tak mau mati di tangan siapa pun, kecuali kehendak Yang Maha Kuasa!"

"Kenapa kau jadi takut begini?"

"Ya tentu saja saya takut, Nona. Siapa orangnya yang tak takut jika dirinya terancam dan mau dibunuh oleh seseorang yang belum dikenal ciri-cirinya."

"Bukankah kau punya pusaka? Kau bisa melawannya jika terpaksa demi melindungi diri, menyelamatkan nyawamu sendiri."

"O, iya, ya...?!" Tua Usil mulai ceria kembali. "Benar apa kata Nona Li. Saya punya pusaka dan saya sudah bisa mainkan beberapa jurus cukup lumayan buat melawan orang jahat! Aduh, saya lupa!" Ia menepak kepalanya sendiri. Rasa cemas dan takutnya segera hilang.

"Itu saja yang ingin kusampaikan. O, ya... kau tahu ke mana Tuan Yo mu berada?"

"Tidak, Nona Li! Saya tidak melihat beliau sejak kemarin."

Wajah Lili kelihatan sedikit gelisah, sehingga Tua Usil ajukan tanya, "Ada gerangan apa Nona mencari Tuan Yo? Pentingkah?"

"Ya Aku harus berangkat ke Pulau Kana memenuhi undangan Wisnu Patra, si Dewa Tampan itu!"

Tua Usil berkerut dahi mengingat nama Wisnu Patra, kemudian ia berkata, "Bukankah Tuan Wisnu Patra sudah menjadi raja di Pulau Kana yang berpenduduk orang-orang keturunan raksasa itu?"

"Benar. Dia sudah menjadi raja di sana dan sudah punya istri."

"Apakah mereka dalam bahaya?"

"Hmmm... yah, sedikit bahaya. Menurut utusan yang menemuiku di pondok kita, Wisnu Patra sudah mempunyai bayi. Istrinya melahirkan bayi perempuan yang konon wajahnya mirip aku. Sudah empat puluh hari bayi itu lahir, tapi tali pusarnya belum bisa diputus oleh senjata apa pun. Kabarnya, menurut Pendeta Agung Ganesha, tali pusar bayi itu bisa diputus dengan senjata milikku, yaitu, Pedang Sukma Halilintar. Jadi, Wisnu Patra sangat mengharap kedatanganku untuk menolong memutuskan tali pusar bayinya, sambil ingin mengadakan pesta untuk memberi nama bayinya itu."

"Aneh sekali bayi itu?" gumam Tua Usil. "Mengapa tali pusar bayi itu hanya bisa diputuskan dengan pedang pusaka Nona Li?"

"Entahlah apa yang dilakukan Wisnu Patra saat menggauli istrinya hingga hamil itu. Ada-ada aja?" Lili geleng-geleng kepala. "Mungkin dia masih menyimpan perasaan cinta padaku hingga menjerat hati dan jiwanya, atau... tak tahulah aku mengapa bayinya bisa begitu. Yang jelas aku harus segera ke sana, dan aku ingin ajak Yoga supaya dia tak menaruh kecurigaan dan cemburu apa-apa padaku."

"Kalau begitu, Nona Li bisa tetap tinggal di pondok kita saja, biar saya yang carikan Tuan Yo!"

"Tidak. Aku akan mencari sampai esok siang, dan kau juga mencari dia. Kalau dia tidak kita temukan, esok siang aku akan berangkat sendiri ke Pulau Kana atau Pulau Keramat itu."

"Baiklah, Nona Lili! Saya mencari ke timur dan Nona Lili mencarinya ke barat! Kita bertemu besok siang, Nona Li."

Baru saja mereka akan bergerak, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Lili. Suara itu adalah suara tawa yang aneh dan sedikit serak karena pengaruh usia tua.

"Hek, hek, he, hek, hek...! Jangan dulu pergi, Nona Lili!"

Tua Usil dan Lili sama-sama terkejut. Lebih terkejut lagi setelah mereka sama-sama memandang ke arah datangnya suara tawa itu, ternyata di sana telah berdiri seorang perempuan tua berjubah abu-abu dengan pakaian dalamnya warna putih lusuh. Tak terdengar sedikit pun langkah kedatangannya. Tak terasa ada angin berhembus dari gerakan tubuhnya. Tahu-tahu perempuan itu sudah muncul di belakang Lili dalam jarak sekitar tujuh langkah. Bahkan Tua Usil yang sejak tadi menghadap ke tempat itu pun tidak melihat kelebatan nenek tua yang datang ke tempat itu.

Pendekar Rajawali Putih mulai memandang dengan sikap curiga. Nenek tua renta itu tersenyum-senyum dengan mulut tanpa gigi satu pun. Wajah tuanya yang berkeriput dan kempot bisa ditaksirkan sebagai wajah tua berusia sekitar seratus tahunan. Rambutnya yang putih digulung ke atas dengan mengenakan tusuk konde dari taring babi hutan.

Nenek itu bertubuh kurus kering dan bungkuk, menggenggam tongkat pemandu jalan berbentuk lengkung dari rotan coklat. Ketika ia melangkah untuk lebih mendekati Lili, jalannya terhuyung-huyung mau jatuh dan gerakannya lamban sekali. Kakinya yang kecil itu seakan tak kuat menyangga tubuhnya, sepertinya akan roboh jika diterpa angin sedikit besar.

Tua Usil segera menyambut dan menuntun langkah nenek itu dengan pelan-pelan dan hati-hati sekali. Tua Usil berkata, "Nenek mau ke mana? Sudah setua ini masih saja keluyuran?"

"Siapa yang jual sayuran?" katanya salah dengar.

"Keluyuran! Saya bilang, Nenek sudah tua kenapa masih keluyuran di hutan begini? Ada perlu apa?"

"Ooo.... Aku cuma ingin temui gadis cantik itu. Bukankah gadis itu tadi kau sebut dengan nama Lili?"

"Benar. Dia memang Nona Lili; Pendekar Rajawali Putih," kata Tua Usil sambil berhenti di depan Lili kira-kira satu tombak jaraknya.

Tua Usil segera dekati Lili yang masih memandang dengan heran ke arah nenek itu. Tua Usil berbisik, "Nenek itu sepertinya budek, tapi tajam juga pendengarapnya. Buktinya dia bisa tangkap suara saya waktu memanggil Nona Lili. Apakah Nona kenal dengannya?"

"Tidak sama sekali," jawab Lili pelan. Kemudian ia bertanya kepada nenek itu, "Maaf, Nek... kau siapa, sehingga kau ingin bertemu denganku?"

Nenek bungkuk itu diam saja. Mulutnya mengunyah-ngunyah seperti makan sesuatu. Matanya memandangi sekeliling terutama ke tanah, seakan ia mencari-cari giginya yang jatuh. Karena ia diam saja, Tua Usil berkata dengan suara sedikit keras,

"Nek, Nona Lili bertanya, kau siapa? Beliau belum kenal!"

"Apanya yang kental?" nenek itu salah dengar lagi.

"Kenal!" Tua Usil dekatkan mulut ke telinga sang nenek. "Nona Lili belum kenal siapa dirimu!"

"O, mau kenal?"

"Betul, Nek," jawab Lili sedikit keras tapi sopan.

"Akulah yang dikenal dengan nama Nini Bungkuk Renta!" sambil ia melangkah pelan-pelan sekali menuju ke bawah pohon, lalu tangannya berpegangan pada batang pohon supaya tak mudah jatuh.

Sementara itu, Lili sedang berpikir dengan alls mengernyit, karena ia merasa baru sekarang mendengar nama Nini Bungkuk Renta. Tua Usil dipandanginya sebentar, Tua Usil juga angkat bahu pertanda dia tidak mengenal nama itu.

"Lalu, mau apa kau menemuiku, Nini Bungkuk Renta?" tanya Lili.

"Siapa yang ke sini menemuimu?" si nenek ganti bertanya.

Tua Usil jelaskan, "Nenek ini kemari kan mau bertemu dengan Nona Lili?!"

"Iya. Benar. Benar!" jawabnya mengangguk-angguk.

"Keperluannya apa?!"

"Keperluannya siapa?!" Tua Usil menghempaskan napas menahan kejengkelan. Lalu dengan sabar ia mengulang, "Keperluanmu menemui Nona Lili mau apa?!"

"Ooo... keperluan ku?!" Nini Bungkuk Renta yang sudah susah diajak bicara itu manggut-manggut. Memandang Lili dengan matanya yang cekung dan buram. Kemudian ia berkata dengan suara pelan, "Aku ingin bunuh kamu, Lili."

"Lho...?!" Tua Usil terpekik kaget.

Lili hanya berkerut dahi. Tua Usil berkata, "Apa tidak salah ucapanmu itu, Nini Bungkuk Renta?"

"Ucapan... ucapan yang mana?" nenek bungkuk itu bingung sendiri.

"Kau bilang tadi, keperluanmu datang kemari mau bunuh Nona Lili. Apa itu tak salah ucap?"

"Tidak. Tidak," ia geleng-geleng kepala sambil menggaruk kepala.

Kini ia menatap Tua Usil beberapa saat, lalu sedikit terperanjat dan berkata dengan suara agak keras, "Apakah... apakah kau yang bernama Pancasona?!"

"Iya. Betul. Bagaimana kau bisa mengenaliku, Nek?"

"Hek, hek, hek, hek, hek...!" nenek bungkuk tertawa. "Dulu aku pernah melihat kau dengan saudara-saudara mu memburu babi hutan. Kuperhatikan dirimu yang bodoh itu jatuh bangun karena takut diseruduk babi hutan. Waktu itu kudengar saudaramu memanggilmu Pancasona. Nama itu, dan wajahmu juga, tetap kuingat dalam pikiranku. Bagaimana sekarang, apakah babi hutan itu sudah berhasil kalian tangkap?"

"Ngaco sekali dia," katanya kepada Lili. "Peristiwa itu terjadi sudah hampir dua puluh tahun lebih, Nona. Tapi saya sama sekali tidak kenali dirinya."

"Sebaiknya kutinggalkan saja dia. Aku harus segera mencari Yoga!"

"Ya, ya...! Tinggalkan saja. Biar saya urus nenek ini! Kalau perlu saya pulangkan ke asalnya. Mungkin dia tersesat datang kemari."

Pendekar Rajawali Putih cepat tinggalkan tempat. Tetapi baru dua langkah Nini Bungkuk Renta sudah berkata. "Tahan langkahmu, Lili!"

Angin berhembus dari depan Lili. Gadis itu berkerut dahi karena ia tak dapat gerakkan kakinya untuk lanjutkan langkah. Sepertinya ada kekuatan yang menahan kaki Lili untuk tidak teruskan langkahnya. Dalam hati Lili membatin, "Ada apa ini? Mengapa aku tidak bisa terus melangkah? Kekuatan apa yang disalurkan oleh ucapan nenek bungkuk itu?"

Mau tak mau Lili segera berpaling kembali menghadap ke Nini Bungkuk Renta. Lalu dengan tetap sabar Lili ajukan tanya, "Apa maksudmu menahan langkahku, Nini Bungkuk Renta?"

"Sudah kubilang tadi, aku ingin membunuhmu!" katanya seenaknya.

"Mengapa kau ingin membunuhku?"

"Karena aku tidak suka kau hidup," jawabnya sembarangan saja sepertinya.

Tapi Lili menangkap ada maksud tertentu dari jawaban itu. Nini Bungkuk Renta kembali berkata, "Kau boleh hidup tapi harus lepaskan semua ilmu mu. Kau tak boleh memiliki ilmu sedikit pun. Bukankah begitu. Pancasona?!"

Tua Usil yang diajak bicara segera menjawab, "Bukan! Kau tak berhak melarang siapa pun mempunyai ilmu, Nini Bungkuk Renta. Apa alasanmu melarang Nona Lili mempunyai ilmu?"

"Karena dia telah membuat muridku kehilangan ilmu, Pancasona!"

"Siapa muridmu itu?" sergah Lili.

"Iblis Mata Genit!" jawab Nini Bungkuk Renta.

Lili terkesiap dan Tua Usil terperanjat sambil cepat-cepat beradu pandang dengan Lili. Rupanya nenek bungkuk itu guru dari Iblis Mata Genit yang ilmunya telah dimusnahkan oleh Lili, sehingga menjadi manusia biasa tanpa ilmu sedikit pun (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").

Balk Lili maupun Tua Usil tidak menyangka bahwa gurunya Iblis Mata Genit itu masih hidup. Padahal Iblis Mata Genit sendiri sudah berusia tujuh puluh tahun. Berarti berapa usia nenek bungkuk itu sebenarnya? "Nini Bungkuk Renta." kata Lili. "Hal itu kulakukan karena muridmu semena-mena dalam bertindak. Ia mengandalkan kesaktiannya dan berjalan di jalan yang sesat. Aku terpaksa melenyapkan ilmunya demi kedamaian dan ketenteraman hidup di bumi!"

"Ngomong apa dia?" tanyanya kepada Tua Usil.

Lalu, Tua Usil mengulang ucapan Lili dengan suara je-las dan keras, sehingga Nini Bungkuk Renta pun berkata, "Tak ada alasan apa pun yang bisa kuterima! Yang jelas, sekarang aku akan melenyapkan ilmu-ilmumu supaya kau menjadi seimbang dengan muridku. Tapi karena aku tak punya jurus penyerap ilmu dan belum memiliki alatnya, maka terpaksa kubunuh saja kau, Gadis Cantik!"

Wuuut...! Nini Bungkuk Renta mengibaskan tongkatnya dari bawah ke atas. Ada selarik sinar hijau yang berkelebat menghantam Lili. Namun Pendekar Rajawali Putih tak kalah sigap. Ia cepat sentakkan kakinya melompat hingga tubuhnya terlempar ke atas dan hinggap di atas pohon pada sebuah dahan besar.

Sinar hijau itu melesat terus dan menghantam pohon di seberang. Pohon yang terhantam sinar hijau tersebut menjadi lenyap tanpa bekas sedikit pun. Bahkan dua tiga pohon di sekelilingnya ikut lenyap bagai tak pernah tumbuh di tanah tersebut.

Hal itu membuat Tua Usil terperangah bengong. Lili sendiri juga tertegun memandang kehebatan ilmu nenek bungkuk tersebut. Sang nenek celingak-celinguk mencari lawannya. Bahkan bertanya kepada Tua Usil, "Ke mana dia tadi?"

"Di atasmu," jawab Tua Usil bagai tak sadar.

Nini Bungkuk Renta mendongak, memandang Lili yang bertengger di atas pohon, kemudian ia berkata, "Jatuh...!"

Dan tiba-tiba tubuh Lili bagai terpelanting dari atas dahan, lalu tubuh itu pun melayang ke bawah dan jatuh tak bisa menjaga keseimbangan badannya.

Buuhg...!

"Gila! Nona Li bisa dibuatnya jatuh dengan sekali ucap saja?!" gumam Tua Usil sambil terperangah bengong.

Nini Bungkuk Renta segera melompat ke arah Lili dengan gerakan melayang bagaikan daun terbang. Tongkatnya disambarkan agar mengenai tubuh Lili. Tetapi Lili segera berguling ke samping dan tongkat itu melesat dalam jarak satu jengkal di pundak Lili.

Wuusss!

Sekalipun melesat berjarak satu jengkal, namun Lili merasakan bagai disambar angin panas sepanas lahar gunung berapi. Ia sempat terpekik kaget karena disengat rasa panas yang luar biasa itu. Bahkan pakaian jubahnya sempat membekas hangus pada ujung pundak.

Lili cepat bangkit ketika nenek bungkuk berkaki kecil itu mendarat di tanah datar, lima langkah dari tempat Lili berdiri. Tangan Lili memegangi bagian pundak yang kena luka bakar. Dalam hatinya ia membatin, "Haruskah kulayani nenek bungkuk ini? Ilmunya cukup tinggi dan membahayakan. Tapi jika ku lawan dan aku menang, alangkah malunya aku bisa unggul melawan nenek setua dia?!"

Saat Lili dalam kebimbangan, Tua Usil pun segera maju menghadang di depan Lili menghadap ke arah nenek bungkuk itu. Tubuh nenek itu meliuk-liuk nyaris tumbang karena ada angin sedikit besar. Tapi matanya masih tetap terarah kepada Lili dengan tajam.

"Jangan menghalangi seranganku, Pancasona!"

"Tidak. Kau tidak boleh menyerang Nona Lili. Kalau kau mau bunuh dia, hadapilah aku, Nini Bungkuk Renta."

"Malas, ah!" jawabnya sambil garuk-garuk paha. "Yang kubutuhkan adalah nyawanya, bukan nyawamu! Yang punya kesalahan dia, bukan kamu. Jadi aku harus balas dendam padanya. Minggirlah. Pancasona!"

"Aku tidak akan minggir sebelum kau berjanji untuk tidak memusuhi majikanku ini, Nini Bungkuk Renta!"

"Bocah bandel...!" gerutu Nini Bungkuk Renta sambil mulutnya mengunyah-ngunyah lagi seperti makan sesuatu, matanya memandang sekeliling bagai mencari sesuatu yang jatuh ke tanah.

Kesempatan itu digunakan oleh Tua Usil untuk berbisik, "Nona Li, lekas tinggalkan dia. Saya akan urus dia. Agaknya dia punya ilmu lebih tinggi dari kita! Ucapannya bisa menjadi pisau pembunuh yang amat tajam. Buktinya Nona tadi benar-benar jatuh dari atas pohon. Tinggalkan segera tempat ini dan carilah Tuan Yo!"

"Dia akan membunuhmu jika tak ada aku!"

"Saya akan bujuk dia. Agaknya dia sedikit jinak bila berhadapan dengan saya, Nona. Lekaslah!"

"Aku tak tega jika harus melawannya. Kuterima saran mu dan hati-hati menjaga dirimu, Tua Usil," bisik Lili. Kemudian dengan satu kali sentakan kaki, Lili telah lenyap bagaikan menghilang karena cepatnya gerakan yang menggunakan jurus 'Langkah Bayu' itu.

Tua Usil segera dekati Nini Bungkuk Renta yang memandang dengan mata sedikit menyipit ke arah sekelilingnya. Terdengar nenek bungkuk itu berkata seperti bicara pada dirinya,

"Ke mana gadis cantik tadi?"

"Mau apa kau cari?"

"Aku dulu juga secantik dia!"

"Dia telah pergi."

Mata buram itu menatap tajam pada Tua Usil, lalu ia menggeram, "Mengapa kau biarkan dia pergi? Dia belum kubunuh! Kalau dia sudah kubunuh baru boleh pergi!"

"Sudahlah, Nini Bungkuk Renta. Jangan menanamkan permusuhan dengannya. Dia majikanku, dan aku hidup tergantung dirinya," bujuknya.

"Bodoh! Jangan mau hidup tergantung dengan orang yang sebentar lagi akan mati! Lebih baik hidup tergantung pada diriku, karena biar usiaku sudah mencapai seratus lima belas tahun tapi aku masih punya masa hidup lebih panjang lagi!"

Tua Usil tertegun mendengar jumlah usia yang disebutkan, antara percaya dan tidak ia membatin, "Sangat tua sekali dia jika benar berusia sebanyak itu? Awet muda juga dia. Apa rahasianya?"

Nini Bungkuk Renta berjalan tertatih-tatih hampir jatuh. Tua Usil segera menuntunnya sebagai bujukan dari bertanya, "Mau ke mana, Nini?"

"Mau kejar gadis itu!"

"Tak usahlah. Nini di sini dulu bersamaku," bujuk Pancasona supaya nenek itu tak bisa kejar Lili.

Tapi rupanya bujukan itu ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Ia memandang Tua Usil dan berkata, "Benarkah kau mau bersamaku di sini selamanya?"

"Selamanya? Oh, tak mau aku kalau selamanya ada di sini!" kata Tua Usil. "Sebaiknya kita jalan-jalan saja ke tempat lain, Nini!"

"Jalan-jalan...?! Kau telah mengecewakan aku karena aku kehilangan gadis itu!"

"Karena itu buat mengobati kekecewaanmu, kita jalan-jalan menikmati pemandangan alam di sekitar sini, Nini."

"Tidak, tidak! Aku tidak mau. Aku mau pergi ke Perguruan Gerbang Bumi saja!"

"Nah, itu juga baik."

"Tapi kau harus antarkan aku ke sana."

"Aku tidak keberatan."

"Aku harus digendong."

"Hahh...?.!" Tua Usil mendelik.

"Aku minta gendong kamu, Pancasona! Minta gendong! Kalau tidak, aku lebih baik kejar gadis itu tadi dan membunuhnya!"

"Ya, ya... baik! Akan kugendong kau, Nek!" jawab Tua Usil dengan terpaksa, daripada nenek bungkuk yang sakti itu memburu Lili.

"Hek, hek, hek, hek...!" Nini Bungkuk Renta tertawa kegirangan. Ia segera naik ke punggung Tua Usil dengan satu lompatan.

Bruuuk...!

"Eehhg...!" Tua Usil mendelik dan mengerahkan urat-uratnya. Dalam hati ia berkata, "Nenek ini kurusnya bukan main, tapi beratnya melebihi menggendong seekor kerbau?! Pasti karena tingginya ilmu yang dimiliki, sehingga badan kurus kering kelihatannya ringan menjadi seberat ini. Uuuh...! Edan! Mau tak mau aku harus tetap menggendongnya sampai ke Perguruan Gerbang Bumi."

Nenek bungkuk tertawa-tawa ketika dibawa jalan dalam gendongan punggung Tua Usil. Ia berkata, "Tak ada ruginya kau menggendongku, Pancasona. Seumur-umur baru sekarang ada lelaki sudi menggendongku. Kau baik sekali, Pancasona. Tidak seperti Malaikat Gelang Emas yang tak pernah mau menggendongku."

"Malaikat Gelang Emas?!" Tua Usil kaget. "Kau kenal dengannya?"

"Aku adik seperguruan Malaikat Gelang Emas. Hek, hek, hek, hek...!"

* * *

ENAM

JENAZAH Nyai Sembur Maut dimakamkan bukan di Bukit Lidah Samudera, melainkan di Lembah Separo Nyawa, tempat ditemukannya pusaka Pedang Jimat Lanang itu. Bocah Bodoh sempat teringat saat terlibat percakapan dengan mendiang ibunya menjelang tidur di suatu malam, bahwa sang Ibu ingin agar, kelak jika ia meninggal dimakamkan di Lembah Separo Nyawa.

Karena itu, Yoga pun menyarankan agar pesan tersebut benar-benar dituruti oleh sang anak. Selesai memakamkan jenazah Nyai Sembur Maut, Yoga mengajak Bocah Bodoh untuk pulang ke pondoknya, yang sebenarnya merupakan rumah kediaman Tua Usil itu.

"Sekarang saya tak punya siapa-siapa lagi. Saya ingin ikut Tuan Yo dan Nona Lili saja. Biarlah saya jadi pelayan Tuan Yo dan Nona Lili seperti si Tua Usil itu," kata Bocah Bodoh dengan nada iba.

"Kalau begitu, sekarang juga kita lekas pulang ke pondok. Firasat ku mengatakan, Lili sedang mencari-cari aku dan ingin jumpa denganku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepadaku."

"Tapi saya tak mau naik burung rajawali lagi, Tuan. Saya pusing dan perut saya mual."

Yoga tertawa pelan, "Itu namanya mabuk udara. Baiklah, kita jalan kaki saja." Lalu, Yoga dekati burung rajawali merahnya yang ikut berwajah sedih saat pemakaman jenazah Nyai Sembur Maut dilakukan.

"Merah, tinggalkan aku. Pergilah dulu, nanti kalau aku memerlukan kau akan kupanggil. Biarkan aku pulang ke pondok bersama Bocah Bodoh dengan jalan kaki."

"Keaaak...!" selesai serukan suara sebagai tanda patuh, burung itu pun segera berkelebat terbang dengan timbulkan angin kencang.

Perjalanan mereka ditempuh melalui perbukitan. Dari ketinggian lereng bukit itu, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang mengusung tandu. Tandu berhias mewah dengan warna-warna kuning emas di-usung oleh empat orang lelaki berpakaian biru-biru. Tiga orang wanita berusia sama mudanya berada di depan usungan tandu, mereka kenakan seragam kuning kunyit. Agaknya tiga orang itu merupakan pengawal terdepan dari usungan tandu tersebut.

Sedangkan di belakang tandu serta di samping kanan-kiri tandu juga terdapat pengawal berpakaian seragam biru muda, lebih muda warnanya dari pakaian pengusung tandu tersebut. Pada umumnya mereka terdiri dari wanita-wanita muda. Hanya beberapa orang saja yang lelaki berusia sama dengan yang wanita, sekitar dua puluh lima tahunan.

Bocah Bodoh hentikan langkahnya ketika Pendekar Rajawali Merah menatap ke arah usungan tandu tersebut. Rupanya mereka bukan sekadar berjalan kaki, melainkan ada beberapa pengawal terbelakang yang menggunakan kuda. Mereka berjumlah sekitar enam orang berkuda, termasuk seekor kuda putih berpelana bias. Sedangkan dari arah depan muncul satu orang berkuda yang menghampiri pengawal berpakaian kuning.

Mereka terlibat pembicaraan sebentar sambil tetap melangkah, Rupanya penunggang kuda berpakaian hitam itu adalah pengawal yang bertugas memeriksa keamanan jalan yang akan dilalui oleh rombongan tandu. Penunggang kuda itu juga seorang perempuan berambut rapi dengan pedang di punggungnya.

"Siapa yang ada di dalam tandu bagus itu, Tuan?" tanya Bocah Bodoh.

"Mana aku tahu? Aku sendiri tidak mengenali ciri tandu dari daerah mana itu? Mungkin rombongan dari sebuah kadipaten," kata Yoga sambil segera melangkah kembali. Ia tambahkan kata, "Biarkan saja mereka! Tak perlu kita dekati, nanti justru menjadi salah paham. Dikiranya kita orang jahat."

"Tapi, tunggu sebentar, Tuan!" sergah Bocah Bodoh dengan mata lebih melebar memandang ke arah kaki perbukitan.

"Apa yang membuatmu tegang, Bocah Bodoh?" tanya Yoga.

"Saya melihat sekelebat anak buah Raga Dewa di kerumunan pohon sebelah sana, Tuan!" sambil ia menuding ke arah yang dimaksud.

Yoga memandang lebih tajam lagi ke arah tersebut. Sebentar kemudian ia berkata, "Benar. Aku melihat tiga orang mengendap-endap di balik semak. Agaknya mereka ingin menghadang rombongan tandu."

Tetapi kedua orang itu belum mau bergerak turun ke bawah. Mereka masih memperhatikan dari sebuah ketinggian. Dan apa yang diduga oleh Pendekar Rajawali Merah ternyata memang benar. Apa yang diduga Bocah Bodoh juga benar. Anak buah Raga Dewa muncul dari persembunyiannya, talu menyerang orang-orang pembawa tandu tersebut.

"Mereka bertempur, Tuan!" ucap Bocah Bodoh dengan nada tegang.

Yoga hanya menggumam, belum mau bertindak apa pun selain hanya memperhatikan pertarungan mereka. Ternyata Raga Dewa juga ada di antara para penyerang tersebut. Denting pedang dan senjata lainnya beradu mulai terdengar serabutan. Suara pekik tak jelas artinya juga menggema sampai di atas bukit. Raga Dewa dan anak buahnya berhasil lumpuhkan para pengawal tandu terdepan. kini tiba giliran pengawal belakang maju menghadapi serangan Raga Dewa.

"Orang gendut bertopi besi itulah yang bernama Raga Dewa, Tuan!" kata Bocah Bodoh dengan mata tak berkedip.

"Tampaknya ilmu orang itu cukup tinggi. Lihat, sekali berkelebat dua-tiga lawan tumbang, Dan, ooh... lihat, dengan kaki menghentak ke bumi, tanah sekitarnya bergetar bagaikan mengalami gempa, daun-daun runtuh beterbangan. Jelas dia gunakan ilmu tenaga dalam yang disalurkan lewat suara dan kaki."

Para pengawal rombongan tandu morat-marit. Kuda mereka sempat ada yang hancur kepalanya di-hantam pukulan tenaga dalam Raga Dewa. Tapi sisa para pengawal yang belum roboh masih tetap berjuang pertahankan agar Raga Dewa dan anak buahnya tidak menyerang tandu tersebut.

Sedikitnya empat orang tewas dalam pertempuran itu. Sisanya terluka dan tak berdaya. Yang masih bisa mempertahankan tandu sekitar enam orang. Itu pun sekarang sedang didesak oleh anak buah Raga Dewa.

Akhirnya dari dalam tandu tersebut melesat sesosok tubuh menembus atap tandu. Braas...! Sosok manusia yang keluar dari tandu itu mengenakan pakaian biru muda mengkilap bagai terbuat dari bahan kain satin. Bocah Bodoh makin terbelalak melihat orang yang menerobos dari dalam tandu itu ternyata seorang perempuan cantik dengan mahkota kecil menghiasi rambutnya yang terurai panjang, disanggul sebagian di tengah kepala.

"Tuan. Tuan... lihat perempuan itu!"

"Hmmm...! Kenapa maksudmu?"

"Dia... dia kelihatan cantik sekali, Tuan."

"Apa kau bisa menilai kecantikan seseorang?"

Bocah Bodoh memandang Yoga sebentar, terbengong, lalu kembali menatap ke pertarungan di kaki bukit. Ia semakin kagum dengan perempuan muda bermahkota yang saat itu sedang hadapi serangan dari dua lawannya. Dalam satu gebrakan kecil, dua lawannya jatuh terjungkal dan berguling-guling. Sementara itu, anak buahnya yang masih mampu lakukan perlawanan tinggal empat orang.

Bocah Bodoh menampakkan kecemasannya ketika perempuan bermahkota itu sedang hadapi kapak dua mata milik Raga Dewa. Tangan dan jari-jarinya Bocah Bodoh bergerak-gerak bagaikan menahan kegemasan. Maka, serta-merta dia berkata kepada Yoga dengan menatap pendekar tampan bertangan buntung itu, "Tuan, bolehkah saya Ikut bantu rombongan tandu itu?"

"Apa kau berani?"

"Kata Tuan, saya boleh gunakan pedang untuk lindungi kebenaran dan menumpas kejahatan? Raga Dewa dan anak buahnya itu jahat, Tuan."

"Yoga tersenyum sambil mengangguk satu kali, "Lakukan, tapi jangan menjadikan dirimu buas dan liar!"

Tanpa menunggu perintah kedua dan saran apa pun lagi Bocah Bodoh segera lari menuruni bukit, menghambur ke tengah pertarungan mereka. Saat itu, salah seorang anak buah Raga Dewa ada yang mengenali kehadiran Bocah Bodoh dan segera berteriak,

"Bocah itu muncul lagi! Bunuh sekali dia! Bocah itu muncul lagi!"

Seruan itu membuat beberapa anak buah Raga Dewa, termasuk Raga Dewa sendiri menjadi hentikan serangannya. Mereka memandang ke arah Bocah Bodoh yang segera berhenti dari gerakannya dan tercengang kaget serta tegang. Ia merasa anak buah Raga Dewa mulai berpindah amukan ke arahnya. Ia menjadi mundur dua tindak namun berusaha tenangkan hati dan jantungnya yang berdebar-debar. Wanita cantik bermahkota itu juga menatap ke arah Bocah Bodoh, sehingga Bocah Bodoh menjadi kikuk bersikap di depannya.

Raga Dewa segera maju dekati Bocah Bodoh dan berhenti dalam jarak tujuh langkah, sejajar dengan jarak perempuan bermahkota kecil itu. Dengan suara lantangnya manusia bertopi besi yang mempunyai tanduk di tengah dahinya itu berkata kepada Bocah Bodoh,

"Bagus! Bagus! Kau datang juga untuk serahkan nyawamu, Nak! Bagus sekali itu! Huah, ha, ha, ha, ha...!"

"Aku... aku datang untuk membela putri tandu ini! Dia tidak bersalah, tapi kau menyerangnya dengan kejam, Raga Dewa!"

"Huah, ha, ha, ha, ha...! Dengar, tikus sawah ini sekarang sudah berani berbicara padaku! Mungkin karena sebentar lagi dia akan susul nyawa ibunya ke neraka! Huah, ha, ha, ha, ha...!"

Suara tawa itu sejak tadi membuat dedaunan berguguran di sana-sini. Tapi Bocah Bodoh tidak pedulikan. Ia segera dikurung oleh anak buah Raga Dewa, dan anehnya wanita bermahkota kecil itu ikut masuk dalam kepungan tersebut. Kini ia berhadapan dengan Bocah Bodoh, memandang dengan mata indahnya yang lembut namun punya ketajaman wibawa yang menggetarkan hati. Bocah Bodoh hanya terbengong memandangi kecantikan perempuan yang mengenakan anting tindik batu putih berkerilap di cuping hidung kirinya itu.

"Mengapa kau masuk dalam arena ini? Keluarlah dan jangan libatkan dirimu! Aku punya urusan sendiri dengan Raga Dewa yang pernah kutolak cintanya dan kini menaruh dendam serta kebencian terhadapku. Aku tahu dia ingin membunuhku dan memusnahkan penduduk Teluk Gangga! Ini bukan urusanmu, keluarlah dari arena ini dan jangan korbankan nyawamu untuk rakyat Teluk Gangga!"

"Sa... saya... saya tak bisa keluar. Saya juga akan dibunuh oleh mereka. Jadi... jadi... biarlah saya hadapi mereka."

"Siapa dirimu sebenarnya?"

"Saaa... saya... Cola Colo, dipanggilnya; Bocah Bodoh."

"Baiklah kalau memang itu tekadmu. Aku Dewi Gita Dara; penguasa Teluk Gangga! Dan...."

Kata-kata itu terhenti karena suara keras Raga Dewa, "Habisi mereka berdua! Seraaang...!"

"Hiaaat...!" tujuh orang anak buah Raga Dewa melompat bersamaan menyerang Bocah Bodoh dan Dewi Gita Dara. Tetapi perempuan cantik beranting tindik di cuping hidung kirinya itu segera memutar tubuhnya dengan cepat bagai menari, lalu diam dalam keadaan berlutut satu kaki, kedua tangan saling rapat di dada.

Pada waktu ia berputar tadi, keluar sinar kuning yang memancar menyebar ke segala penjuru. Waktu itu, Bocah Bodoh jatuh terpelanting oleh sentuhan siku Dewi Gita Dara, sehingga sinar kuning yang menyebar itu tidak sempat kenai tubuh Bocah Bodoh, melainkan menghantam ke tubuh tujuh anak buah Raga Dewa.

Craasss...!

"Aaaahg...!" Mereka terlempar bersama-sama ke belakang dan berjumpalitan tak tentu arah. Tubuh mereka menjadi pucat semuanya dengan keluarkan darah dari tiap lubang hidung. Sedangkan Raga Dewa yang terkena sinar kuning itu hanya tersentak mundur dua tindak, tanpa keluarkan darah sedikit pun dari hidungnya.

"Gggrrrh...!"

Duuhg...! Raga Dewa menggeram dan menghentakkan kakinya ke tanah. Dedaunan runtuh, bahkan sekarang ada batang pohon yang retak karena gelombang getar yang ditimbulkan dari suara geramnya itu. Bocah Bodoh segera bangkit ketika terdengar suara Raga Dewa berseru kepada anak buahnya,

"Tolol semua! Serang lagi mereka dengan jurus 'Laba-laba Hutan'!"

Sreet...! Bocah Bodoh segera cabut pedang pusakanya. Pedang pendek itu sepertinya pedang biasa saja. Namun ketika anak buah Raga Dewa menyerang dengan sinar hijau berlarik-larik dari telapak tangan mereka, Bocah Bodoh segera sentakkan pedangnya satu kali, dan pedang tersebut bisa berubah menjadi panjang bagaikan sebuah samurai.

Bocah Bodoh seperti tak sadar dalam gerakannya. ia terbawa oleh gerakan pedang yang mampu bergerak sendiri memainkan jurus pedang dengan sangat cepatnya. Ia bergerak mengerling Dewi Gita Dara seakan memberikan perlindungan sambil menebas ke sana-sini, menangkis tiap sinar yang keluar dari tangan anak buah Raga Dewa.

"Hiaaah...!" Bocah Bodoh berteriak sambil berguling-guling di tengah, menebaskan pedangnya ke tanah beberapa kali, hingga membuat Dewi Gita Dara memandang heran melihat jurus pedang yang tak pernah dilihatnya itu.

"Aaahg...! Uuuhg...! Aaa...!"

Anak buah Raga Dewa saling terpekik. Rupanya Bocah Bodoh menghantamkan pedangnya ke bayangan mereka yang jatuh di tanah. Setiap bayangan yang ditebasnya, timbulkan luka di tubuh orang yang memili-ki bayangan tersebut. Sehingga dalam waktu singkat, empat anak buah Raga Dewa telah jatuh tak berkutik dan tak bernyawa lagi.

Zlaaap...!

Sekelebat bayangan coklat putih mendekati Bocah Bodoh, lalu menahan gerakan tangan Bocah Bodoh. Di lain pihak, Dewi Gita Dara terkejut melihat seorang pendekar tampan sudah berada di dekatnya.

"Tahan, Bocah Bodoh!" seru pendekar tampan yang tak lain adalah Yoga itu.

Tetapi Bocah Bodoh mengamuk bagaikan tak sadar. Ia meronta dari pegan-gan tangan Yoga, lalu melompat menyerang salah seorang anak buah Raga Dewa. "Hiaaah...!"

Wuuut...! Craas...!

Dengan kedua tangannya Bocah Bodoh berhasil menebaskan pedang dengan kecepatan yang tak dapat dilihat mata manusia biasa itu. Akibatnya, orang tersebut pun tumbang tak bernyawa.

Ketika Bocah Bodoh hentakkan kakinya untuk lakukan satu lompatan, tiba-tiba kaki Yoga segera menggaetnya dengan cepat. Plaak...! Bruk! Bocah Bodoh jatuh tersungkur dan cepat diinjak tangannya oleh Yoga seraya berseru,

"Hentikan, Bodoh! Kau bukan seorang penjagal manusia!"

Bocah Bodoh berusaha melepaskan diri dari pijakan kaki Yoga, namun ia tak berhasil. Sementara itu, Raga Dewa memandang dengan mata menyipit dan segera berkata dengan nada geram.

"Dewi Gita Dara, ku tangguhkan niatku membalas penghinaanmu tempo hari, karena ada urusan yang lebih penting. Tapi Ingat, kalau urusanku sudah selesai nanti, akan kubalas penghinaan itu. Yang pasti akan melayang nyawamu di tanganku!"

Tanpa bicara lebih panjang lagi, Raga Dewa cepat tinggalkan tempat dan sisa anak buahnya yang tinggal dua orang itu segera ikut-ikutan tinggalkan tempat itu. Dalam hati Raga Dewa berkata, "Bocah itu mempunyai pedang pusaka yang cukup dahsyat. Tidak begini cara melawan dan membunuhnya! Dan agaknya pemuda tampan itu juga berilmu tinggi. Kurasa aku bisa babak belur jika mereka bertiga maju serempak melawanku. Aku harus cari siasat menyerang mereka tidak dalam kebersamaan! Kutunggu kelengahan mereka, baru kuhabisi nyawa mereka satu persatu!"

Yoga berhasil sadarkan Bocah Bodoh. Pedang Jimat Lanang berhasil dimasukkan dalam sarungnya yang pendek. Anehnya, pedang yang dalam keadaan panjang itu bisa cukup masuk ke dalam sarung pendek, seakan menjadi berkerut pendek dengan sendirinya. Dewi Gita Dara memperhatikan hal itu dengan menyimpan rasa kagum dalam hatinya.

"Ingat, Bocah Bodoh," kata Yoga, "Lain kali kau tak boleh menjadi seorang pembantai! Kejahatan memang perlu dilawan, tapi tidak harus melalui pembantai sekejam ini!"

Bocah Bodoh terbengong memandangi mayat-mayat para pengikut Dewi Gita Dara. Mulutnya mengucapkan gumam lirih namun didengar oleh mereka, "Ya ampun...?! Apa yang telah saya lakukan kepada mereka? Lima orang anak buah Raga Dewa mati seperti itu, pasti diserang oleh seseorang yang cukup keji."

"Kaulah penyerangnya!" kata Yoga memotong.

"Saya...?!" Bocah Bodoh merasa heran. "Saya... saya merasa tidak menyerang mereka, Tuan Yo! Saya hanya bergerak mengikuti gerakan pedang. Saya dibawanya ke sana-sini sampai pontang-panting dan tak bisa hentikan gerakan tersebut."

Pendekar Rajawali Merah diam termenung walau matanya memandang ke arah Bocah Bodoh yang berwajah polos. Mau tak mau Yoga segera memaklumi tindakan Bocah Bodoh, karena menurut penjelasan dari mendiang ibu Bocah Bodoh, pedang tersebut dapat bergerak dengan sendirinya memainkan jurus pedang yang luar biasa hebatnya, sehingga pemegangnya hanya bisa lakukan gerakan mengikuti gerakan pedang itu. Pedang Jimat Lanang juga dapat membunuh lawan melalui bayangannya, sehingga pemegang Pedang Jimat Lanang tak perlu serang langsung ke tubuh lawannya. Itulah kehebatan Pedang Jimat Lanang setahu Yoga. Dan ternyata kehebatan itu telah terbukti di depan mata Yoga, juga di depan mata perempuan cantik bermahkota kecil itu.

"Maafkan tindakannya. Dia bergerak di luar kesadaran dirinya. Jangan anggap dia seorang pembantai yang keji!" kata Yoga kepada Dewi Gita Dara dengan mata lembut menatap dan senyum tipis memikat.

"Aku justru ingin ucapkan terima kasih kepada kalian. Kalian telah selamatkan aku dari ancaman Raga Dewa!" kata penguasa Teluk Gangga itu dengan penuh wibawa. Perempuan yang kenakan perhiasan lengkap itu kembali berkata, "Suatu saat, Raga Dewa pasti masih ingin mencoba membalas sakit hatinya atas penolakan ku ketika ia tiga kali melamar ku. Mungkin ia akan balas dengan mempermalukan aku, atau menghilangkan nyawaku. Yang jelas, Ketua Partai Bajak Samudera itu tetap akan memusuhi orang-orang Teluk Gangga akibat kekecewaan hatinya terhadapku."

"Kalau begitu, kau perlu hati-hati," kata Yoga kepada Dewi Gita Dara yang sejak tadi dipandanginya dengan perasaan kagum. Dewi Gita Dara sendiri tak mau berkedip ketika menatap Yoga dan menyimpan debar-debar indah di dalam hatinya.

"Bagaimana... bagaimana kalau saya ajukan diri untuk menjadi pengawal Nona?" kata Bocah Bodoh beranikan diri walau tampak gugup.

Dewi Gita Dara sunggingkan senyum tipis. Tipis sekali, hingga nyaris tak terlihat. Ia hampiri tandunya dan segera berbalik arah sambil berkata kepada Bocah Bodoh, "Masih perlu ku pikirkan, karena perjalananku sendiri masih belum mencapai tujuannya."

"Hendak ke mana kau sebenarnya, Dewi Gita Dara?" tanya Yoga yang tadi segera mencatat dalam otaknya ketika Raga Dewa sebutkan nama perempuan berkulit kuning itu.

"Aku ingin mencari seseorang yang bernama Tua Usil."

Bocah Bodoh dan Yoga sama-sama terkejut, lalu mereka saling pandang mata, membuat Dewi Gita Dara berkerut heran dan bertanya,

"Apakah kalian sudah mengenal orang bernama Tua Usil?"

Bocah Bodoh ingin menjawab, namun Yoga lebih dulu menyahut, "Ya, kami memang pernah mendengar nama itu. Tapi kalau boleh kami tahu, untuk apa kau ingin bertemu dengan orang yang bernama Tua Usil?"

"Aku mencari pisau Pusaka Hantu Jagal!"

Yoga dan Bocah Bodoh saling pandang kembali. Dalam hati mereka sama-sama bertanya: "Perempuan ini sebenarnya lawan atau kawan?"

* * *

ENAM
BERUNTUNG sekali di dalam tubuh Tua Usil mempunyai tenaga dalam yang cukup besar, sehingga dengan sedikit menahan napas ia mampu menggendong Nini Bungkuk Renta sampai jauh. Hal yang membuat Tua Usil menjadi segan menggendong Nini Bungkuk Renta adalah sikap nenek tua itu yang menjadi seperti gadis belasan tahun genitnya. Sesekali ia mencium telinga atau pipi Tua Usil sambil terkekeh-kekeh kegirangan.

Jika sudah begitu, Tua Usil bersungut-sungut penuh gerutu yang tak digubris oleh Nini Bungkuk Renta. Karena jengkel diperlakukan demikian, Tua Usil pun berhenti di sebuah lembah yang teduh, Nini Bungkuk Renta diturunkan dari gendongannya. Nini Bungkuk Renta merengek seperti gadis perawan yang manja.

"Kenapa berhenti?! Aku masih ingin digendong kamu, Pancasona! Ayolah jalan lagi, biar tubuhku tetap merapat dengan badanmu."

"Aku capek!" ketus Tua Usil berlagak ngos-ngosan. "Aku capek gendong kamu terus, Nini!"

"Tapi hatimu senang, karena sering mendapat ciuman dariku, bukan? Hek, hek, hek, hek...!" sambil berkata demikian, dagu Tua Usil dicubitnya, wajahnya di pandangi dekat-dekat di sela senyum keriput karena mulut tak bergigi sama sekali itu.

Tua Usil mendesah kesal hatinya. Ia menepiskan tangan yang mencubit dagunya seraya berkata, "Jangan begitu, ah! Aku mau istirahat dulu!"

"Bobo sini di pangkuan ku, Sayang...," Nini Bungkuk Renta duduk di rerumputan dan menepuk-nepuk pangkuannya. Tua Usil hanya melirik dengan hati dongkol. Tangannya ditarik oleh nenek tua itu. Sedikit tarikan membuat Tua Usil jatuh terduduk.

Brruk...!

"Ayolah bobo sini, biar capek mu hilang, Pancasonaku...!" Nini Bungkuk Renta merangkul Tua Usil dan memaksakan Tua Usil agar tidur berbantalan pangkuannya. Tapi Tua Usil meronta dan kembali berdiri dengan wajah cemberut kesal. Dalam hatinya berkata,

"Kalau gadis cantik yang masih muda, boleh-boleh saja berlagak genit seperti itu. Enak-enak saja aku tidur di pangkuannya. Tapi kalau nenek seusia dia, waaah... sama saja aku tidur di pangkuan Bocah Bodoh, Baunya apek!"

Nini Bungkuk Renta agaknya sedang mengalami perubahan balik dari perilaku dan sikapnya. Ia sudah berubah menjadi seperti gadis remaja yang sedang kasmaran. Agaknya ia cukup tertarik dengan Tua Usil yang menurut pandangan matanya termasuk lelaki tampan menawan hati. Tetapi Tua Usil selalu bergidik merinding jika mendapat perlakuan mesra dari nenek berusia seratus lima belas tahun yang kembali mengalami masa puber entah yang ke berapa puluh kalinya itu.

Sekalipun demikian, Tua Usil tak berani menolak secara kasar sikap yang menurutnya bukan mesra namun menjijikkan itu. Ia tahu, Nini Bungkuk Renta adalah adik seperguruan dari Malaikat Gelang Emas, tokoh sesat yang untuk saat itu dikenal kekejamannya.

Jika melawan Nini Bungkuk Renta, belum tentu bisa berhasil kalahkan nenek tersebut. Bisa jadi ia mati di tangan nenek itu, jika ia terlalu kecewakan sang nenek. Karenanya, Tua Usil sedang mencari cara untuk bisa lepas dari tuntutan masa puber sang nenek.

Ternyata yang bisa dilakukan Tua Usil hanya mengalihkan bicara dari persoalan cinta, yang sejak tadi dibicarakan dalam perjalanan, ke masalah perguruan yang ingin dituju oleh Nini Bungkuk Renta. Sebab Tua Usil pun pernah datang ke Perguruan Gerbang Bumi, yang dulu dipegang oleh Ki Pamungkas.

Bahkan Tua Usil pun pernah didesak oleh murid-murid perguruan tersebut untuk menjadi ketua dan guru di sana, sebab dianggap titisan dari mendiang Ki Pamungkas. Tetapi karena Tua Usil merasa tidak pantas menjadi guru maupun ketua, maka ia pun tidak menyanggupi jabatan tersebut.

"Sebenarnya apa yang mau kau cari di Perguruan Gerbang Bumi itu, Nini Bungkuk Renta?!" tanya Tua Usil mengawali pengalihan pembicaraan.

"Jangan takut, aku tidak mau cari lelaki ganteng di sana. Jangan cemburu, Sayang," jawabnya sambil sesekali cubit-cubit pipi Tua Usil.

Dengan sedikit gemas Tua Usil mendesak, "Jadi apa yang mau kau cari di sana? Siapa yang mau kau temui?"

Nenek bungkuk itu diam sebentar, agaknya otaknya kembali ke persoalan dendam sebagai guru Iblis Mata Genit. Mulutnya mengunyah-ngunyah bagaikan makan sesuatu. Setelah itu, Nini Bungkuk Renta segera berkata dengan suara pelan.

"Aku ingin menemui murid-muridnya Ki Pamungkas. Kudengar Ki Pamungkas sudah mati di tangan Resi Gutama!"

"Itu memang benar," jawab Tua Usil. "Lalu, apa tujuanmu temui murid-murid Ki Pamungkas?"

"Aku ingin cari pusakanya Pamungkas. Dia punya pusaka berupa sebuah pisau yang punya kesaktian dapat sedot semua ilmu lawan jika pisau itu ditikamkan. Pisau itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"

Seperti mendengar guntur menggelegar telinga Tua Usil mendengar ucapan itu. Jantungnya berdetak-detak karena ia merasa menyelipkan pusaka yang dicari Nini Bungkuk Renta. Pusaka itu terselip di pingang, tertutup baju coklatnya. Hal itu membuat Tua Usil menjadi cemas dan semakin ingin cepat-cepat pergi jauhi Nini Bungkuk Renta.

Nenek itu berkata lagi, "Dengan gunakan pisau itu, aku akan bisa hilangkan semua ilmu Lili. Hanya sekali hunjamkan pisau ke tubuhnya, maka ilmu gadis itu akan lenyap dan itu berarti hutangnya terhadap muridku; si Iblis Mata Genit, menjadi impas! Setidaknya aku dapat goreskan pisau pusaka itu berkali-kali ke tubuhnya sampai ia kehilangan ilmunya, tapi tetap dalam keadaan hidup."

Tua Usil diam saja. Ia menahan kegelisahan hatinya sambil berusaha sedikit menjauhi Nini Bungkuk Renta dalam duduknya. Kerongkongan Tua Usil terasa kering demi mendengar rencana tokoh tua itu. Bahkan kali ini, Nini Bungkuk Renta berkata sambil memandanginya,

"Tapi menurut kabar yang kudengar dari mulut ke mulut, pisau pusaka itu tidak ada di tangan murid Ki Pamungkas. Kabarnya sudah ada di tangan seseorang yang bernama Tua Usil. Aku jadi bingung, Pancasona, apakah aku harus mencarinya di Perguruan Gerbang Bumi, atau harus mencari orang yang bernama Tua Usil Itu. Menurutmu bagaimana?"

Pertanyaan bernada manja itu tidak digubris oleh Tua Usil yang termenung menahan ketegangan jiwa, Nini Bungkuk Renta belum tahu bahwa orang yang bersamanya sejak tadi itu adalah orang yang dicari dan bernama Tua Usil. Nini Bungkuk Renta juga tidak tahu, bahwa sejak tadi ia bersama pusaka yang diburunya.

Perempuan tua itu hanya mengenal nama Tua Usil sebagai Pancasona. Ia tidak pernah dengar sebutan Pancasona sebagai Tua Usil. Sebab sebutan dan julukan itu timbul setelah Pancasona mengenal Pendekar Rajawali Putih. Gadis itulah yang memberinya julukan nama Tua Usil, yang sampai sekarang lebih kondang ketimbang nama aslinya: Pancasona.

"Hei, mengapa melamun? Kau cemburu aku menyebut pria lain?" tegur Nini Bungkuk Renta sambil bergelendot di lengan dan pundak Pancasona seperti gadis manja berusia tujuh belas tahun.

Pancasona segera tarik napas dan menjawab, "Tidak. Aku tidak cemburu."

"Syukurlah kalau kau bukan seorang pencemburu. Tapi, menurutmu bagaimana dengan kebingungan ku tadi, Pancasona? Apakah aku datang ke Perguruan Gerbang Bumi untuk menanyakan tentang pisau itu? Jika ternyata jawaban mereka tertuju pada lelaki bernama Tua Usil, maka aku harus mencari orang bernama Tua Usil itu?"

"Terserah kamu saja," jawab Tua Usil dengan suara gemetar.

"Kalau aku harus mencari lelaki itu, kau mau dampingi aku dalam memburu orang bernama Tua Usil, Pancasona? Kau mau, bukan?"

"Lihat saja nanti."

Nini Bungkuk Renta tersenyum girang. "Aku tahu, kau tak akan tega meninggalkan aku. Kau tak akan berani biarkan aku kesepian, tapi kau malu mengutarakannya, Pancasona. Hek, hek, hek, hek...! Indah sekali berduaan bersamamu. Kau lelaki yang malu-malu tapi mau! Hek, hek, hek, hek...!"

Tua Usil salah tingkah dan tak mengerti harus berbuat apa pada saat itu. Lengannya selalu dipegangi oleh Nini Bungkuk Renta, seakan nenek tua itu tak mau di tinggalnya walau sebentar.

Ternyata banyak juga orang yang mencari Tua Usil. Selain Nini Bungkuk Renta, Raga Dewa, Dewi Gita Dara, juga Ketua Partai Pengemis Liar yang bernama Paku Juling itu berusaha temukan Tua Usil. Ia ingin balas dendam atas kematian adiknya; si Rencong Geni. Tapi ia belum pernah bertemu dengan Tua Usil dan tak tahu seperti apa wujud Tua Usil itu.

Buat Paku Juling, pertemuannya dengan Raja Tipu adalah suatu hal yang kebetulan sekali. Raja Tipu menaruh dendam kepada Tua Usil karena pernah dihajar habis-habisan di atas semak-semak berduri hingga sekujur tubuhnya penuh luka. Maka ketika Paku Juling menanyakan ciri-ciri Tua Usil, Raja Tipu memberikan keterangan selengkap-lengkapnya. Selain ia menjelaskan ciri-ciri Tua Usil sampai pada hal yang terkecil sekalipun.

Ia pun tambahkan kata, "Jika kau bilang Tua Usil telah bunuh Rencong Geni, itu memang benar. Sebab aku sempat dengar percakapan Tua Usil dengan seseorang yang tidak kukenal."

"Apa katanya?"

"Dia memang rencanakan mau bunuh Rencong Geni. Bahkan bilamana perlu kakaknya Rencong Geni pun akan dibunuhnya. Dia bernafsu sekali untuk menjadi Ketua Partai Pengemis Liar, dan mengecam kepemimpinan mu tak becus hadapi perkembangan dunia persilatan, sehingga Partai Pengemis Liar dianggapnya sekelompok golongan tanpa isi alias ompong!"

"Kurang ajar dia!" geram Paku Juling, panas hatinya kian bertambah, dan Raja Tipu semakin girang karena ia memang sengaja membakar hati Paku Juling agar tak tanggung-tanggung membunuh Tua Usil.

Maka ketika Paku Juling lewat tak jauh dari tempat Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta beristirahat, pandangan matanya sempat terkesiap. Seseorang yang punya ciri seperti disebutkan Raja Tipu itu terlihat olehnya. Paku Juling ingat, Tua Usil punya nama Pancasona menurut penjelasan Raja Tipu. Karenanya, ketika ia hendak hampiri Tua Usil, terlebih dulu ia pancing dengan panggilan nama asli Tua Usil, "Pancasona!"

"Ya!" Tua Usil menjawab dengan cepat, di luar kesadarannya. Ia pun segera palingkan wajah ke belakang, dan dilihatnya seorang berpakaian kumal dan compang-camping itu berdiri menatapnya. Tua Usil berdiri dan kerutkan dahi ketika Paku Juling berjalan mendekatinya. Ia merasa asing dengan kehadiran Paku Juling. Tapi Nini Bungkuk Renta ternyata lebih mengenali Paku Juling sebagai Ketua Partai Pengemis Liar. Maka dengan cepat Nini Bungkuk Renta menyapa,

"Sudah setua itukah dirimu, Pengemis Liar?! Ku sangka kau masih semuda dulu! Hek, hek, hek, hek...! Rupanya kali ini kau datang untuk selesaikan masalah yang sudah lama terkubur ditelan zaman, hah?!"

Paku Juling segera ingat Nini Bungkuk Renta. Ia pernah terlibat bentrokan dengan Nini Bungkuk Renta ketika tiga anak buahnya dibantai dengan kejam oleh nenek bungkuk itu. Paku Juling tahu, Nini Bungkuk Renta berilmu tinggi dan juga adik seperguruan Malaikat Gelang Emas. Tapi ia segera besarkan hati karena merasa punya urusan dengan lelaki bernama asli Pancasona itu, bukan dengan perempuan bungkuk tersebut. Maka Paku Juling pun berkata,

"Maaf, Nini Bungkuk Renta. Aku hanya ingin berurusan dengan orang di sampingmu itu! Bukan dengan dirimu, Nini Bungkuk Renta."

"Aku tak kenal siapa kau, dan merasa tak punya urusan denganmu!" Tua Usil cepat menyahut.

"Aku Paku Juling, kakak kandung dari Rencong Geni! Kau yang membunuh Rencong Geni itu, bukan?! Sekarang aku menuntut balas padamu!"

"O, Rencong Geni...?! Ya, ya... aku pernah bunuh dia. Tapi hanya satu kali. Setelah itu tak pernah lagi!" jawab Tua Usil dengan sikap tak khawatir sedikit pun. Ia tak sadar ucapannya itu membuat Paku Juling kian merah telinganya dan bertambah mendidih darahnya.

"Sekarang aku akan membalaskan kematian adik ku! Secepatnya akan kutagih hutang nyawamu sekarang juga! Heaaah...!"

Paku Juling membuka jurus pertama dengan matanya menjadi juling dan tongkatnya diurut dengan cepat, lalu berubah menjadi paku besar berujung runcing. Nini Bungkuk Renta maju selangkah dengan tubuh meliuk bagai mau jatuh, tapi segera ditahan oleh tangan Tua Usil. Ia segera lantunkan tembang lirih bersyair polos:

"Rembulan gading, rembulan berkabut. Jangan adu tanding, jika tak ingin tersambar maut. Tajamnya paku tak setajam sembilu, jika kau ingin serang kekasihku, hadapilah dulu diriku. Oooohhh... juwita pujaan hati, tiada pernah kau ingkar janji. Sekali coba kau ancam pati, tak kan luput dirimu dari mati...."

Tua Usil memandang Nini Bungkuk Renta sebentar dengan perasaan heran. Dalam hatinya Tua Usil bertanya-tanya, "Untuk apa dia melantunkan tembang seperti itu? Apa artinya syair demikian?"

Tetapi Tua Usil segera mendapat jawaban setelah ia melihat tubuh Paku Juling bergetar. Semakin lama getaran tubuhnya semakin kencang. Mata Tua Usil melihat kulit tubuh Paku Juling bergerak-gerak bagai melepuh di beberapa tempat. Tubuh yang segera berminyak itu semakin merah warnanya. Mata Paku Juling bukan lagi juling tapi terbeliak-beliak putih semua. Rupanya ia sedang menghadapi serangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan oleh Nini Bung-kuk Renta lewat tembangnya. Tiba-tiba Paku Juling berteriak bagai membuang rasa sakitnya.

"Haaaahhh...!" dan tongkatnya yang sudah berubah menjadi besi runcing besar itu dihunjamkan ke dada Nini Bungkuk Renta.

Wuuut...!

Dengan gerakan tak terlihat, tongkat rotan Nini Bungkuk Renta berkelebat menghantam besi runcing itu. Traaang...! Seperti suara besi beradu dengan besi. Lalu, arah runcing besi tersebut berbalik dan bergerak cepat menuju ke pemiliknya sendiri.

Wuuut...! Traaang...!

Tangan Paku Juling menghadang gerakan tongkat runcingnya. Tangan itu bagaikan berubah menjadi baja yang mampu menahan luncuran besi runcing tersebut. Begitu besi runcing itu menghantam telapak tangannya, Paku Juling cepat menyambar dengan tangan kiri, dan memutarkan besi tersebut ke sekeliling kepalanya.

Wuuung...!

Dari ujung besi runcing itu keluar semacam serbuk putih yang menyebar ke segala penjuru. Semakin cepat berputar semakin banyak serbuk-serbuk pu-tih yang menyebar. Angin berhembus menerbangkan serbuk putih itu, hinggap di batang-batang pohon, daun-daun serta dahan-dahan lainnya. Alam sekitarnya ternyata berubah menjadi dingin. Serbuk putih itu rupanya busa-busa salju yang menyebarkan hawa dingin menggigilkan tubuh manusia.

Tetapi Nini Bungkuk Renta hanya diam sambil celingak-celinguk mencari-cari sesuatu di tanah, mulutnya seperti mengunyah makanan. Namun rumput yang diinjaknya menjadi hangus terbakar. Api mulai menjalar membakar rumput lainnya dan merayap mendekati tempat Paku Juling berdiri memutar-mutarkan tongkat besinya itu.

"Inilah kesempatan untuk lari!" pikir Tua Usil. Maka, selagi Paku Juling sibuk hadapi perlawanan Nini Bungkuk Renta, Tua Usil pun cepat larikan diri, tinggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh siapa pun. Ia tak tahu lagi apa yang terjadi terhadap rumput dan tanah yang dipijak oleh Nini Bungkuk Renta.

Tua Usil bahkan tak melihat bahwa sebagian kaki Paku Juling telah dibungkus api, dan ternyata api itu sukar dipadamkan. Paku Juling merasa dalam bahaya besar jika tidak segera tinggalkan lawannya yang berilmu jauh lebih tinggi darinya itu. Maka, dengan cepat Paku Juling pergi larikan diri tanpa pamit lagi. Hatinya hanya membatin,

"Kurang ajar! Pancasona alias si Tua Usil itu dibela oleh Nini Bungkuk Renta! Jelas aku tak bisa membunuhnya. Lebih baik kutunggu saat yang baik untuk melakukan balas dendam ku ini, terutama jika kutemukan Tua Usil sendirian, tanpa Nini Bungkuk Renta...!"

Paku Juling sendiri tak sadari bahwa Tua Usil sudah tidak ada di belakang Nini Bungkuk Renta. Nenek tua itu menjadi kebingungan sendiri ketika lawannya lari tinggalkan pertarungan dengan menahan malu. Nini Bungkuk Renta mencari-cari Pancasona, memanggil-manggilnya dengan suara lirih, melongok setiap semak-semak sambil jalannya tertatih-tatih tak bisa lurus.

"Ke mana kau, Sayangku...?! Jangan takut, lawan mu telah pergi!" ucapnya sambil masih mencari.

Tua Usil lari ke arah utara, sedangkan Paku Juling ke arah selatan. Tentu saja mereka tidak bertemu dan itu suatu keberuntungan bagi Tua Usil. Semakin cepat ia berlari, semakin cepat rasanya senja menua. Rasa lega di hati Tua Usil, ternyata hanya sebentar.

Karena kejap berikutnya, ia terpaksa harus kurangi kecepatan larinya, karena ia melihat Nini Bungkuk Renta sudah berada di jalan depan yang akan dilaluinya. Tua Usil terperanjat melihat nenek tua itu sudah ada di sana seakan menghadang larinya. Dengan nada kecewa ia hempaskan napasnya, karena ia tahu akan sulit lagi menghindar dari nenek tua yang sedang diserang masa puber itu.

"Kau tak perlu takut. tak perlu lari, siapa pun yang ingin celakai dirimu, aku akan menghajarnya habis-habisan!" kata Nini Bungkuk Renta ketika akhirnya Tua Usil hentikan langkah berjarak tujuh tindak. Tua Usil hanya diam, tak bisa bilang apa-apa ketika Nini Bungkuk Renta tersenyum-senyum sambil bermanja menggelendot di pundaknya.

TUJUH

SAMBIL mempertimbangkan langkah yang harus diambil. Yoga terpaksa dampingi perjalanan Dewi Gita Dara yang telah kehilangan empat pengawalnya itu. Baik Yoga maupun Bocah Bodoh masih belum mengaku sebagai orang yang kenal baik dengan Tua Usil, sehingga Dewi Gita Dara tidak mengetahui siapa orang yang menyertai perjalanannya itu. Dewi Gita Dara sengaja tidak mau masuk ke dalam tandu, sekalipun tandu sudah diperbaiki. Ia lebih memilih berjalan dengan di dampingi Yoga dan Bocah Bodoh di kanan-kirinya.

"Sudah lama aku mencari pisau Pusaka Hantu Jagal itu," tutur Dewi Gita Dara. "Tetapi tak seorang pun bisa menolongku. Padahal aku sudah membuka sayembara, barang siapa yang bisa serahkan Pusaka Hantu Jagal kepadaku, bagaimanapun keadaan orangnya, aku mau menjadi istrinya atau saudara angkatnya."

Bocah Bodoh melirik Yoga sebentar, tapi Yoga tidak sedang memperhatikannya. Yoga memandang ke arah depan dan bertanya, "Mengapa kau sampai membuka sayembara seperti itu?"

"Selama ini, aku sulit merasa tertarik dengan seorang pria. Tapi aku sadar, bahwa aku sudah menjadi perawan tua dan sudah waktunya untuk menikah. Hanya saja, karena ada satu masalah yang belum kuselesaikan, maka aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan kawin sebelum masalah ku itu bisa kuselesaikan," jawab Dewi Gita Dara dengan suara tegas dan jelas.

Bocah Bodoh hanya manggut-manggut, sementara Pendekar Rajawali Merah diam sebentar mencerna arti kata-kata itu. Kemudian, ia kembali ajukan pertanyaan, "Boleh ku tahu apa masalah mu itu?"

"Mendapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal."

"Untuk apa pusaka itu?"

"Untuk membunuh seekor naga," jawab Dewi Gita Dara dengan polos.

Jawaban itu membuat Yoga dan Bocah Bodoh memandanginya, lalu kembali terdengar suara Yoga ajukan tanya, "Apakah yang kau maksud benar-benar binatang berbentuk seekor naga atau hanya nama julukan saja?"

"Benar-benar seekor naga," jawab Dewi Gita Dara sambil menatap Yoga sebentar, lalu ia sambung kata dengan teruskan langkahnya yang terkesan santai dan tidak terburu-buru itu, "Sudah cukup lama penduduk Teluk Gangga di ganggu oleh kemunculan seekor naga yang bernama Naga Bara. Setiap bulan purnama tiba, Naga Bara muncul dan menelan korban lima sampai sepuluh orang. Bisa dilakukan dalam satu malam atau dua malam. Hanya setiap bulan purnama muncul, Naga Bara pun muncul. Kian lama penduduk Teluk Gangga semakin habis binasa menjadi santapan Naga Bara."

"Apakah tak ada yang bisa bunuh itu naga?" tanya Bocah Bodoh.

"Dulu pernah ku sayembarakan, tapi tak satu pun ada yang bisa bunuh itu naga, bahkan mereka menjadi santapan Naga Bara sendiri. Lama-lama ku hapuskan sayembara itu, walau secara tak resmi, karena tak ada lagi orang yang mencoba melawan Naga Bara. Padahal dulu aku sudah sediakan diri untuk rela menjadi istri orang yang bisa bunuh naga tersebut. Tapi usaha itu sia-sia. Lalu, seorang begawan kutemui dan beliau menjelaskan bahwa Naga Bara tak bisa dibunuh karena ia jelmaan dari Ratu Gaib."

"Siapa itu Ratu Gaib?" tukas Yoga dengan bersemangat dan tertarik akan cerita tersebut.

Dewi Gita Dara segera jelaskan, "Ratu Gaib dulu penguasa Selat Mati, yang letaknya tak jauh dari Teluk Gangga. Ratu Gaib mempunyai dendam kepada leluhurku dan ingin menjadi penguasa Teluk Gangga. Tapi Ratu Gaib dikalahkan oleh leluhurku, dan ia menitis menjadi seekor naga untuk balas dendam kepada setiap penguasa Teluk Gangga."

Yoga menggumam sambil manggut-manggut. Lalu, Bocah Bodoh bertanya dengan polosnya, "Besarkah naga itu, Nona?"

"Sangat besar. Menurut para saksi mata naga itu besarnya seukuran badan seekor singa jantan, bertanduk dan bermata lebar. Panjangnya seukuran pohon kelapa, ekornya buntung, namun bersisik tajam. Ia mempunyai tanduk di tengah kepalanya. Dari hidungnya sering semburkan uap panas yang membuat tubuh manusia melepuh. Ia mempunyai enam kaki pendek yang berkuku tajam, namun jika berlari cepatnya seperti seekor rusa. Ia cukup tangkas dan ganas. Mulutnya sesekali keluarkan semburan api yang bisa mencapai jarak tujuh langkah jauhnya. Kulitnya sangat keras dan tak bisa dilukai dengan senjata apa pun."

Bocah Bodoh bergidik membayangkan bentuk dan ukuran naga tersebut. Sama halnya dengan Yoga, Bocah Bodoh sedikit sangsi, antara percaya dan tidak. Bahkan Yoga berkata, "Naga seperti itu hanya ada dalam dongeng saja."

"Setahuku memang begitu. Tapi naga yang satu ini boleh dikata adalah naga siluman. Jelmaan dari roh jahat dapat berbentuk makhluk aneh yang mengerikan. Tujuannya hanya ingin menghabisi penduduk Teluk Gangga dan merongrong penguasa setempat dengan kekejamannya. Mungkin cerita ini sulit dipercaya, tapi jika kalian datang sendiri dan melihat jejak-jejak naga tersebut di sekitar gua tempat persembunyiannya, kalian baru akan percaya."

"Mengerikan sekali," gumam Bocah Bodoh.

"Begawan yang ku hubungi itu menjelaskan; Naga Bara tak bisa dibunuh jika tidak gunakan pisau Pusaka Hantu Jagal. Sebab itu aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Tua Usil dan meminjam pisau pusakanya itu jika benar ia adalah orang yang membawa Pusaka Hantu Jagal tersebut. Setelah Naga Bara mati, pusaka itu akan kukembalikan."

Hati pendekar tampan itu merasa lega. Rupanya Dewi Gita Dara tidak punya maksud jahat untuk merebut pisau Pusaka Hantu Jagal dari tangan Tua Usil, namun ingin meminjamnya secara baik-baik. Setidaknya, dengan begitu Yoga bisa simpulkan bahwa seandainya ia bantu Dewi Gita Dara untuk bertemu dengan Tua Usil, hal itu tidak membahayakan kesela-matan si Tua Usil.

"Mengapa harus gunakan pisau Pusaka Hantu Jagal?" tanya Yoga. "Apakah begawan yang kau temui itu tahu persis kekuatan pisau pusaka tersebut?"

Dewi Gita Dara menjawab, "Ya. Dia tahu persis tentang pusaka tersebut, karena dia berhasil melacak kekuatan pusaka itu dengan indera keenamnya. Menurutnya, naga titisan Ratu Gaib itu akan kalah jika berhadapan dengan pisau tersebut. Sebab semasa hidupnya, Ratu Gaib adalah kekasih Hantu Jagal. Dia sangat mencintai Hantu Jagal. Tapi karena cintanya tak sampai, akhirnya ia menjadi liar dan sesat, ganas dan kejam. Dia hanya bisa ditundukkan oleh Hantu Jagal, karena baginya lebih baik mati di tangan Hantu Jagal daripada di tangan orang lain. Karena itu, begawan tersebut mengatakan bahwa kelemahan Naga Bara terletak di tangan orang yang membawa Pusaka Hantu Jagal. Begawan itu pun berkata, bahwa jika pisau Pusaka Hantu Jagal telah menggores tubuh Naga Bara, maka kesaktian Naga Bara itu sendiri akan mengalir dalam tubuh orang yang menikamkan pisau tersebut. Dan sebagai tanda kematiannya, maka sang rembulan pada saat itu akan menjadi merah bagaikan berdarah, sebagai perlambang bahwa darah Naga Bara yang terkena pisau Pusaka Hantu Jagal akan memercik hingga melumuri rembulan. Sebab, kekuatan Ratu Gaib semasa hidupnya ada dalam cahaya sinar bulan purnama."

Cerita itu bukan sekadar cerita menarik yang layak dituturkan menjelang tidur kepada anak-cucu, melainkan juga cerita yang mempunyai kekuatan tersendiri, membuat seseorang menjadi ingin tahu. Begitulah perasaan Yoga pada saat itu; ingin melihat seperti apakah Naga Bara yang diceritakan perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu.

Pendekar Rajawali Merah akhirnya berterus terang tentang hubungannya dengan Tua Usil. Ia pun menceritakan riwayat Tua Usil mendapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu. Cerita itu dituturkan ketika mereka beristirahat di sebuah lembah yang teduh, dalam sebuah tenda yang didirikan oleh anak buah Dewi Gita Dara. Tenda itu khusus untuk beristirahat sang penguasa yang oleh mereka disebutnya: Gusti.

Pendekar Rajawali Merah sedikit heran, karena pada saat ia menuturkan cerita tentang riwayat Tua Usil mendapatkan pisau pusaka itu. Bocah Bodoh tidak ikut berada di dalam tenda tersebut. Bocah Bodoh duduk termenung di bawah sebuah pohon rindang, menyendiri di seberang sana. Melihat Bocah Bodoh melamun sejak tadi, Yoga tertarik untuk mendekatinya dan menanyakan penyebabnya.

Bocah Bodoh menjawab dengan ragu, "Saya... saya kagum dengan kecantikan Dewi Gita Dara, Tuan Yo!"

Pendekar Rajawali Merah tertawa dengan suara tertahan, tapi tubuhnya bergerak-gerak kecil. Bocah Bodoh menunduk karena malu ditertawakan. Pendekar Rajawali Merah menangkap arti sikap tersebut, lalu ia pun ajukan tanya, "Kau menyukai kecantikannya?"

"Ya. Saya... saya bahkan kepingin punya istri seperti dia."

"Sebuah keinginan yang bagus!" kata Yoga membesarkan semangat Bocah Bodoh yang tampak minder. "Setiap lelaki punya hak untuk berkeinginan sepertimu, Bocah Bodoh."

"Tapi... apakah dia mau punya suami bodoh seperti aku, Tuan Yo?"

"Kau bisa tanyakan sendiri kepadanya."

"Saya... saya tidak berani, Tuan Yo. Saya malu dan takut kalau Nona Dewi Gita Dara itu marah dengan ucapan saya. Saya takut disangka bersikap kurang ajar kepadanya."

"Laki-laki bukan hanya berani bertarung dengan lawan saja, namun harus berani utarakan cintanya di depan gadis yang dicintainya!"

"Begitukah?!" Bocah Bodoh memandang Yoga, dan Yoga anggukkan kepala dengan senyum yang meyakinkan. Bocah Bodoh termenung sebentar, kemudian berkata lagi,

"Tidak, Tuan. Saya belum sanggup untuk bicara tentang perasaan saya kepadanya. Saya... saya cuma punya satu keinginan untuk mencapai harapan hati saya."

"Apa keinginanmu?"

"Saya akan kalahkan Naga Bara. Saya harus bisa bunuh Naga Bara dengan Pedang Jimat Lanang ini!"

"Kau gila! Itu bukan pekerjaan yang mudah. Bukankah kau dengar sendiri bahwa Naga Bara hanya bisa dibunuh oleh pisau Pusaka Hantu Jagal?!" kata Yoga mengingatkan Bocah Bodoh.

"Saya harus mencobanya, Tuan! Saya akan kalahkan dengan pedang pusaka ini!"

"Berarti kau bunuh diri di depan naga siluman itu!"

"Saya tak keberatan mati demi memperjuangkan kebebasan Dewi Gita Dara, Tuan Yo! Saya siap mati untuknya!"

Yoga menghela napas panjang. Dia mulai sadar bahwa orang sebodoh Cola Colo pun ternyata punya cinta yang berkobar-kobar. Orang sepolos Bocah Bodoh ternyata punya hasrat untuk membuktikan cintanya di depan gadis yang dicintainya. Yoga tahu, tekad Bocah Bodoh bukan semata-mata tekad yang tumbuh hanya semusim, namun sebuah tekad yang tumbuh dari hati nuraninya.

Sebenarnya Yoga tidak berhak menghalangi niat dan tekad itu. Tapi demi keselamatan yang tidak diperhitungkan. Yoga terpaksa harus cegah keinginan hati yang membabi buta itu. Ia harus ajarkan kepada Cola Colo untuk gunakan perhitungan yang matang setiap kali ingin bertindak.

Tiba-tiba percakapan Yoga dengan Bocah Bodoh itu terhenti sejenak karena kedatangan seorang pengawal berkuda yang kala itu datang menghampiri Yoga tanpa kuda. Ia berkata dengan wajah tegang,

"Tuan, Gusti Dewi Gita Dara terluka oleh serangan gelap seseorang dari kerimbunan semak sebelah barat!"

"Terluka?!" Bocah Bodoh terpekik dan cepat bangkit. Bahkan ia berlari lebih dulu sementara Yoga bergegas menemui Dewi Gita Dara.

Dewi Gita Dara terkena senjata rahasia di bagian punggungnya. Tubuh wanita cantik itu menjadi panas karena racun senjata rahasia. Salah seorang pengawalnya mengatakan, senjata rahasia itu milik orang-orang Partai Bajak Samudera. Mereka mengenali senjata tersebut.

Bocah Bodoh melesat pergi menerabas rerumputan tinggi dan kerimbunan semak di sebelah barat. Yoga tahu, Bocah Bodoh menjadi marah melihat Dewi Gita Dara dalam keadaan tak berdaya. Bocah Bodoh ingin kejar orang yang lemparkan senjata rahasia itu.

Sementara Yoga mencoba mengobati luka di punggung Dewi Gita Dara dengan ilmu 'Tapak Serap'. Beberapa saat kemudian, Bocah Bodoh kembali lagi ke tempat Yoga yang lakukan pengobatan di luar tenda, karena saat itu Dewi Gita Dara terluka ketika ingin temui Yoga dan Bocah Bodoh.

Dengan napas terengah-engah dan wajah merah karena marah, Bocah Bodoh berkata, "Saya tidak berhasil mengejar orang itu, Tuan Yo! Tapi saya akan cari Raga Dewa sampai ketemu sekarang juga."

"Tak perlu," cegah Yoga dengan kalem, "Nona Dewi sudah sembuh. Lihat... wajahnya telah kembali segar. Biarkan mereka lari, suatu saat pasti akan jumpa dengan kita!"

Rona merah di wajah Bocah Bodoh mulai surut. Ia merasa lega melihat Dewi Gita Dara telah segar kembali dan tidak rasakan sakit sedikit pun. Dewi Gita Dara berkata,

"Untung dalam rombongan ini ada tabib sakti, kalau tidak, sudah pasti nyawaku melayang karena racun ganas senjata rahasia itu!"

Pendekar Rajawali Merah tersenyum sambil alihkan pandang, tak berani tatap perempuan cantik berdada sekal terlalu lama. Dewi Gita Dara ingin ucapkan terima kasih. Namun baru saja ia buka mulutnya yang berbibir ranum itu, tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah atas. Disusul suara seekor burung memekik membuat kuda-kuda menjadi beringas, meringkik, dan melompat-lompat. Dewi Gita Dara tak jadi ucapkan kata-katanya, karena terkesima melihat seekor burung rajawali putih berukuran besar mendarat di depan tempat peristirahatannya.

Lili turun dari punggung rajawali dengan wajah cemberut. Ia melihat Yoga tampak dekat dan akrab dengan seorang gadis cantik yang belum dikenalnya. tingkah Lili yang cepat dan tegas itu membuat Yoga sembunyikan senyum dan berbisik kepada Bocah Bodoh,

"Gawat! Guru pasti ngamuk melihat aku berdekatan dengan Dewi Gita Dara."

"Terima saja nasib yang ada, Tuan Yo," balas Bocah Bodoh berbisik.

Kehadiran Lili dihadang oleh empat pengawal bersenjata, namun dengan satu kali kibasan tangan, angin kibasan itu membuat keempat pengawal terjungkal tak tentu arah; Dewi Gita Dara sempat tersinggung dengan sikap itu, lalu hendak menyerang Lili. Tapi Yoga menghadang dan menahannya.

"Dia guruku, Pendekar Rajawali Putih. Jangan serang dia!"

Lili memandang Dewi Gita Dara dengan sinis, berkesan nada cemburu. Dengan ketus ia berkata kepada Yoga, "Apa kerjamu di sini?"

"Jangan marah, Guru. Biar Bocah Bodoh yang jelaskan...."

Lalu, Bocah Bodoh pun terpaksa memberi penjelasan kepada Lili dengan panjang lebar. Kemarahan Lili sedikit berkurang, dan ia segera berkata kepada Yoga,

"Aku dapat undangan untuk datang ke Pulau Kana. Wisnu Patra telah mempunyai bayi, tapi tali pusarnya tak bisa putus. Dia meminta tolong padaku. Kau harus ikut denganku ke sana sekarang juga, Yo!"

"Baik. Aku ikut denganmu. Guru. Tapi bagaimana dengan Tua Usil? Dia sedang diburu oleh Raga Dewa dan...."

"Dan dia memang dalam bahaya," sahut Lili. "Lintang Ayu beritahukan padaku, Tua Usil sedang dicari-cari oleh tokoh sakti yang berjuluk Tapak Biru. Konon tokoh itu sangat berbahaya dan bisa bunuh Tua Usil. Tapi aku tak tahu siapa yang berjuluk Tapak Biru itu?"

Dewi Gita Dara tiba-tiba menyahut, "Tapak Biru adalah Nini Bungkuk Renta, adik seperguruan dengan Malaikat Gelang Emas!"

Lili terperanjat tegang, demikian juga Yoga. Lili berkata, "Bahaya! Aku justru meninggalkan dia bersama Nini Bungkuk Renta!"

DELAPAN

PAGI-PAGI sekali, Tua Usil sengaja pergi tinggalkan rumah kuno yang dipakainya bermalam dengan Nini Bungkuk Renta. Rumah itu kotor dan tak berpenghuni lagi, karenanya digunakan bermalam oleh Nini Bungkuk Renta dan Tua Usil. Itu pun atas desakan dan rengekan Nini Bungkuk Renta.

Tua Usil hanya berhasil tidur sebentar, karena Nini Bungkuk Renta mengganggunya dengan hasrat masa pubernya yang menggelora. Tua Usil terpaksa menolaknya berulang kali dengan cara halus, sampai akhirnya Nini Bungkuk Renta tertidur menjelang fajar. Saat itulah Tua Usil punya kesempatan untuk lari dari cengkeraman nenek tua yang diserang hasrat masa pubernya kembali itu.

Namun pelarian Tua Usil tak bisa mulus, karena ketika matahari mulai meninggi dan burung-burung telah hentikan kicaunya, mendadak langkah Tua Usil terpaksa harus berhenti, karena di depannya berdiri seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih, mengenakan jubah abu-abu dan bertubuh tinggi kurus. Tua Usil sempat ingat siapa lelaki berwajah lonjong itu yang tak lain adalah si Jubah Jangkung. Tapi Tua Usil sungguh tak tahu jika ternyata lelaki itu pun sedang mencari-carinya.

Jubah Jangkung perdengarkan suaranya yang besar dan bulat itu, "Kucari kau ke kolong semut, ternyata kutemukan di sini! Rasa-rasanya memang sudah waktunya aku membalas kematian calon istriku yang kau bunuh itu, Pancasona!"

"Apa maksudmu bicara begitu, Jubah Jangkung?!"

Orang berambut kucai dengan ikat kepala putih dan wajah sedingin es itu berkata dengan nada bicara datar, "Jangan berlagak menjadi orang tak berdosa, Pancasona! Kutemukan jenazah calon istriku dan kulihat di manik matanya ada bayangan mu bersama sepasang pendekar tampan dan cantik. Kulihat di manik matanya, kau menyerangnya dan membunuhnya!"

"Siapa orang yang kau maksud itu?" Tua Usil kerutkan dahi.

"Nyai Kuku Setan! Dan... ternyata jari tanganmu pun mempunyai kuku-kuku yang sama dengan kuku milik calon mempelai istriku itu!" sambil Jubah Jangkung pandangi jari-jari tangan Tua Usil.

Mata Tua Usil terkesiap mendengar nama itu disebutkan oleh Jubah Jangkung, lalu ia berkata, "Maafkan aku, Aku tidak tahu kalau dia calon istrimu, Jubah Jangkung."

"Ku maafkan kau, tapi pembalasan tetap harus tiba pada saatnya! Sekaranglah saat yang terbaik untuk lepaskan dendam ku padamu!" kata Jubah Jangkung dengan wajah tidak tampakkan kebencian atau keramahan. Datar-datar saja, bahkan berkesan dingin dengan sorot mata cekungnya yang seolah-olah ingin membekukan darah lawannya.

"Kurasa kau perlu dengar dulu penjelasan ku, Jubah Jangkung...."

"Tak perlu!" sahut Jubah Jangkung, lalu kedua tangannya diangkat naik dan terdengar suara angin berat berkelebat, wuuuukk...! Baru angkat dua tangan saja suaranya sudah cukup membuat lawan merinding. Dari kedua tangan itu terlepaslah sinar merah bergelombang-gelombang yang menghantam tubuh Tua Usil.

Wuuuung...!

Tapi tiba-tiba di depan Tua Usil muncul sosok tubuh tua dan bungkuk yang tak lain adalah Nini Bungkuk Renta. Ia muncul begitu saja, tak terlihat gerakannya. Bahkan ia segera angkat tongkatnya ke depan dan bergerak memutar dengan cepat di antara sela-sela jemarinya. Gerakan tongkat memutar itu memancarkan sinar hijau bening bagai memben-tengi tubuhnya. Akibatnya sinar merah bergelombang itu menghantam sinar hijau bening, membuat tubuh Jubah Jangkung terlempar ke belakang bersamaan dengan suara ledakan yang dahsyat.

Blaaar...!

"Tubuh Nini Bungkuk Renta dan Tua Usil tetap tegak berdiri tanpa terganggu oleh hentakan gelombang ledak tadi. Namun tubuh Jubah Jangkung terlihat jelas membentur pohon, dan pohon itu menjadi hitam hangus dalam waktu kurang dari satu helaan napas. Tubuh itu pun jatuh ke tanah. Namun mata Tua Usil segera mendelik, karena tubuh Jubah Jangkung lenyap bagai ditelan bumi.

Zlaaap...! "Aku di sini, Nini Bungkuk Renta!"

Tua Usil berpaling ke belakang, ternyata Jubah Jangkung sudah berdiri tegak di sana dalam keadaan segar bugar. Tua Usil bingung dan menjadi takut menghadapi lawannya. Ia segera berpaling memandang Nini Bungkuk Renta. Tapi orang yang dipandangnya itu pun telah lenyap dari tempat semula. Tua Usil semakin bingung, ia segera memandang Jubah Jangkung yang hendak melepaskan pukulan dari dua jarinya itu.

Namun tiba-tiba, jleeg...! Nini Bungkuk Renta sudah ada di belakang Jubah Jangkung dan berkata, "Aku di sini, Jubah Jangkung!"

Wuurrt...! Beehg...!

Tubuh Jubah Jangkung tersentak ke depan karena disodok dengan ujung tongkat Nini Bungkuk Renta. Tubuh jangkung yang melayang cepat itu hampir saja menabrak Tua Usil secara total. Tua Usil berkelit ke samping, namun tengkuk kepalanya terkena kibasan dua jari Jubah Jangkung. Taab...! Dan tubuh Jubah Jangkung pun terjungkal berjumpalitan di tanah.

Sementara itu, Tua Usil menjadi sulit gerakkan seluruh anggota tubuhnya. Semuanya terasa kaku sekali. Rupanya ia telah tertotok oleh dua jari Jubah Jangkung yang berkelebat menyambarnya secara cepat tadi. Tua Usil hanya bisa lihat apa yang ada di depannya dan mendengar apa yang ada di sekelilingnya.

"Kalau kau ingin bunuh dia, kau harus langkahi dulu mayatku, Jubah Jangkung! Tak akan kubiarkan siapa pun melukai kekasihku!" kata Nini Bungkuk Renta sambil maju untuk lakukan serangan tadi. Tapi tubuh Jubah Jangkung cepat lenyap bagai tersedot ke dalam tanah. Tubuh bungkuk renta itu pun lenyap dalam satu kali lakukan lompatan ke arah samping.

Zlaaap...! Kemudian Tua Usil tak bisa lihat lagi apa yang terjadi, tapi ia dengar suara berbaku hantam dan pekikan tertahan yang seakan-akan ada di depannya. Suara beradunya tangan dengan tangan pun terdengar jelas: plak, plak, plak, buuhg...! Plak!

Suara gaduh itu pun segera hilang setelah terdengar suara pekik tertahan dari mulut seorang lelaki. Kejap berikutnya mata Tua Usil dapat melihat sesosok tubuh bagai terlempar dari suatu tempat yang tak jelas asalnya. Buuuhhg...! Ternyata tubuh Jubah Jangkung yang menderita memar di bagian wajahnya, membiru legam bagai terbakar parah. Orang jangkung itu menyeringai sambil berusaha bangkit. Pada pakaian dalamnya yang berwarna kuning lusuh itu terdapat bekas dua telapak tangan menghitam. Itu pertanda dia terkena pukulan dahsyat dari Nini Bungkuk Renta.

"Tunggu pembalasanku!" terdengar Jubah Jangkung lontarkan kata ancaman, tapi dirinya segera melompat ke satu arah dan lenyap begitu saja.

Sementara itu, Nini Bungkuk Renta terlihat muncul dari balik pohon dengan mata memandang kepergian Jubah Jangkung. Tua Usil hanya bisa melihat dan melihat saja, tanpa bisa bicara dan bergerak. Tua Usil juga melihat rona kemarahan di wajah Nini Bungkuk Renta. Dan yang membuatnya terkejut, ia melihat telapak kaki Nini Bungkuk Renta kepulkan uap putih tipis. Tiap ia melangkah selalu tinggalkan jejak biru di tanah.

Bekas telapak kakinya yang bagaikan mengandung serbuk biru itu membuat Tua Usil kian cemas dalam hatinya, karena ia ingat kata-kata Lili bahwa dirinya sedang dicari-cari oleh seorang yang dikenal dengan nama Tapak Biru. Rupanya Nini Bungkuk Renta itulah orang yang mencari-carinya selama ini dan yang bergelar Tapak Biru.

"Kalau tak ingat keadaanmu begitu, akan kukejar si Jubah Jangkung dan kubunuh di mana saja kutemukan dia!" kata Nini Bungkuk Renta. "Tapi aku lebih berat meninggalkan dirimu, walaupun kau tidak berat meninggalkan diriku di rumah kosong itu, Kekasihku! Hek, hek, hek!"

Di salah satu sisi tempat itu, Raga Dewa sedang kasak-kusuk dengan seorang lelaki pendek berpakaian abu-abu, mengenakan ikat kepala kuning. Orang tersebut tak lain adalah Raja Tipu, yang sedang menunjuk ke arah Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta.

"Itu...! Itu orang yang bernama Tua Usil. Nah, selamat merebut pusaka itu, Tuan. Pasti pusaka itu akan jatuh di tangan Tuan!"

Raja Tipu cepat tinggalkan tempat setelah mendapat upah dari Raga Dewa. Pada waktu itu, Nini Bungkuk Renta akan bebaskan pengaruh totokan pada diri Tua Usil. Namun tiba-tiba tubuhnya terasa bagai diterjang angin badai yang cukup kencang hingga ia ja-tuh terjengkang. Rupanya Raga Dewa bergerak cepat bagaikan hembusan badai dan menerjang Nini Bungkuk Renta.

Bruuus...! Bluuhg....!

Dua orang pengikut Raga Dewa tetap diam di balik persembunyian sesuai dengan isyarat Raga Dewa tadi. Kini Raga Dewa berbalik arah dan segera cabut senjata kapak dua mata dari pinggangnya sambil se-rukan tawa terbahak-bahak,

"Huah, ha, ha, ha....! Sekarang saatnya kita bertemu, Tua Usil! Rupanya kau ada di sini dengan nenekmu, hah?!"

Tua Usil melirik sedikit. Ia melihat wajah Raga Dewa tapi tidak mengenalinya. Ia ingin bicara tapi mulutnya bagaikan dipatri dan rahangnya tak bisa bergerak. Nini Bungkuk Renta segera bangkit dengan terhuyung-huyung. Telapak kakinya semakin tebal keluarkan asap dan tinggalkan bekas biru di tanah yang dipijaknya.

"Bocah jalang!" geram Nini Bungkuk Renta. "Mengapa kau menerjang ku sampai jatuh, hah?! Tak tahukah kau bahwa orang jatuh itu sakit?!"

"Huah, ha, ha, ha, ha...! Maaf, Nek. Kau menghalangi langkahku yang ingin menerjang si Tua Usil itu, jadi kau yang kena sasaran! Sekarang, minggirlah! Akan ku penggal kepala si Tua Usil itu kalau tak mau serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"

"Tunggu dulu...!" Nini Bungkuk Renta berkerut dahi dan pandangi Tua Usil beberapa saat. "Jadi... kau yang bernama Tua Usil, Pancasona? Kau yang memiliki pusaka itu, Sayang?!"

Tua Usil tak bisa menjawab karena masih dalam pengaruh totokan. Tapi detak jantungnya semakin kuat dan tubuhnya cucurkan keringat dingin. Ia ngeri dipandangi Nini Bungkuk Renta beberapa saat lamanya.

"Nenek budek! Lekas menyingkir darinya, aku akan paksa dia agar mau serahkan pusaka itu! Aku sangat membutuhkannya untuk membalas sakit hatiku atas penolakan lamaranku oleh Dewi Gita Dara!"

Nini Bungkuk Renta diam memandang Raga Dewa. Sorot pandangan matanya itu tampak biasa-biasa saja. Tapi tiba-tiba bola mata Raga Dewa menjadi merah. Makin lama semakin basah, dan basahnya itu karena darah. Raga Dewa segera sadar bahwa ia telah diserang oleh nenek bungkuk itu dengan menggunakan kekuatan pada matanya.

"Jahanam kau, Nenek Peot! Heaaah...!" Raga Dewa segera tarik gagang kapaknya menjadi rantai panjang, lalu ia memutarkan rantai itu hingga mata kapaknya mengeluarkan suara dengung memekakkan telinga manusia biasa. Suara dengung itu membuat beberapa dahan pohon menjadi retak secara susul-menyusul.

Wuuungngng...!

Trak! Kraak...! Praaak...! Rekatak...! Kraaak...!

Nini Bungkuk Renta masih diam saja, memandangi Raga Dewa yang pejamkan matanya sambil masih memutar-mutar kapaknya yang dialiri tenaga dalam cukup tinggi, hingga meretakkan pepohonan. Kejap berikutnya, Nini Bungkuk Renta lemparkan tongkat rotannya ke arah putaran kapak tersebut.

Wuuutt...! Zraaak...!

Putaran kapak terhenti akibat dililit tongkat. Pada saat itulah tubuh kurus kering itu melompat bagaikan terbang. Kedua kakinya terarah ke depan dan menghantam dada Raga Dewa.

Baaahg...!

"Uuhg...!" Raga Dewa tersentak ke belakang dan jatuh di kerimbunan semak. Dari tubuhnya keluar asap tipis. Warna biru membekas jelas di dada Raga Dewa yang mengenakan baju pelapis dada merah itu. Ia berkelojotan di semak-semak itu bagaikan ayam disembelih karena terkena racun biru dari telapak kaki Nini Bungkuk Renta.

Kedua anak buahnya segera menolongnya, mengangkat dan membawanya lari menjauhi nenek bungkuk yang berbahaya itu. Pada saat tubuh Raga Dewa diangkat, tampaklah wujud kulit tubuhnya yang tersayat-sayat bagai habis dihajar dengan cambuk berpisau. Pakaiannya pun tersayat pula, bahkan sampai bagian wajahnya bergaris-garis merah seperti luka bekas sayatan, lebih dari lima puluh sayatan. Ia tak dapat bicara sedikit pun kecuali matanya terbeliak-beliak dengan napas tersentak-sentak.

Raja Tipu ternyata belum jauh dari tempat itu, karena ia ingin mengintip kematian Tua Usil. Ternyata justru Raga Dewa yang menderita luka parah dari dibawa lari oleh dua anak buahnya. Raja Tipu segera temui mereka dan berkata, "Bawalah tuanmu itu ke Gerojogan Gaib! Di sebelah selatan arahnya. Di sana ada air terjun yang mempunyai kekuatan gaib, bisa sembuhkan luka seseorang dengan cara memandikannya di sana!"

"Kami tidak tahu tempatnya. Antarkanlah kami!"

"Boleh saja, asal upahnya sama dengan yang diberikan pada tuanmu tadi. Kalau kau setuju, kuantarkan ke sana!"

"Soal upah, nanti kubicarakan dengan sang Ketua. Yang penting beliau harus segera tertolong!"

Raja Tipu dan dua anak buah Raga Dewa itu segera lari ke arah selatan. Kalau saja mereka berlari ke arah timur, maka akan berpapasan dengan rombongan tandu Dewi Gita Dara. Sayang mereka bergerak ke selatan sehingga tak melihat bahwa rombongan tersebut akhirnya tiba di tempat Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta berada.

Pada saat itu, Nini Bungkuk Renta sedang pertimbangkan untuk memaksa Tua Usil dengan kasar agar mau serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu atau membujuknya dengan kelembutan dan kemesraan. Ia belum lepaskan totokan Tua Usil, sementara dalam hati Tua Usil menjerit-jerit minta dilepaskan dari pengaruh totokan jalan darahnya itu.

"Tua Usil...!" seru Bocah Bodoh begitu melihat sosok Tua Usil sedang diam mematung di samping nenek tua itu. Bocah Bodoh segera berkata tegang kepada Dewi Gita Dara, "Nona... itu dia yang bernama Tua Usil!"

Dewi Gita Dara segera suruh pengusung tandu berhenti, kemudian ia melompat turun dari dalam tandu tersebut. Tapi langkahnya sempat terhenti melihat seorang nenek ada di dekat Tua Usil. Ia kenal dengan wajah nenek itu, sehingga mulutnya menggumam,

"Celaka! Dia bersama Nini Bungkuk Renta?!"

"Diakah yang bernama Tapak Biru, Nona?"

"Benar," jawabnya pelan, lalu berkata kepada para pengawalnya, "Kurung tempat ini!"

Wuuurrrt...! Dalam sekejap tempat tersebut telah dikepung oleh sisa anak buah Dewi Gita Dara. Hal itu menarik perhatian Nini Bungkuk Renta, sehingga ia memandang berkeliling dengan penuh curiga yang tak kentara. Bocah Bodoh segera berlari dekati Tua Usil. Tapi ia dipandang tajam oleh Nini Bungkuk Renta. Ia menjadi takut dan gemetar, bahkan lupa bahwa dirinya membawa Pedang Jimat Lanang. Bocah Bodoh pun segera undurkan diri dan dekati Dewi Gita Dara. Ia berbisik,

"Nona, apakah saya harus serang nenek bungkuk itu?"

"Jangan. Ilmunya sangat tinggi. Kau kalah dengannya. Sebaiknya, aku bicara dengannya secara baik-baik saja!"

Bocah Bodoh menjadi jengkel. Matanya memandang ke sana-sini mencari Yoga. Tetapi saat itu Yoga dan Lili tidak ikut bersama rombongan. Mereka berpencar mencari Tua Usil. Berada di atas punggung rajawali putih berduaan.

"Siapakah kau, Gadis Cantik?!" tanya Nini Bungkuk Renta dengan mata sedikit menyipit ketika Dewi Gita Dara mendekatinya.

"Aku penguasa Teluk Gangga, Nini. Namaku, Dewi Gita Dara!"

"Lho, bukankah penguasa Teluk Gangga adalah Padmi Gana?"

"Itu nenekku, sekarang beliau sudah wafat! Akulah penggantinya!" sambil berkata demikian mata Dewi Gita Dara melirik ke telapak kaki nenek kurus itu. Ternyata kepulan asap yang ada di kedua telapak kakinya sudah menjadi biru. Itu pertanda hati Nini Bungkuk Renta sedang diliputi kemarahan yang tertahan. Racun yang keluar dari telapak kakinya lebih berbahaya dibanding saat kaki itu kepulkan asap putih. Itulah sebabnya Dewi Gita Dara tak berani bersikap kasar kepada Nini Bungkuk Renta.

"Apa maksudmu datang menemuiku kemari?"

"Saya ingin bicara dengan Tua Usil, Nini!"

"Aku harus tahu, kau mau bicara apa? Tua Usil ini kekasihku, tapi bisa juga jadi musuhku jika dia tak mau serahkan Pusaka Hantu Jagal padaku! Katakan, kau mau bicara apa?"

"Aku mau minta tolong padanya untuk... membunuh seekor naga yang ada di Teluk Gangga, Nini! Naga itu...."

Kata-kata Dewi Gita Dara terhenti karena hembusan angin kencang datang dari atas. Rupanya seekor burung rajawali putih melintas di atas mereka. Bocah Bodoh segera berteriak keras-keras,

"Tuan Yooo...! Kami di sini dalam bahayaaa...!"

Seruan itu tertangkap oleh telinga Lili, kemudian kedua pendekar itu sama-sama memandang ke bawah dan melihat Tua Usil ada di sana. Maka burung rajawali putih itu pun merendah lalu hinggap di tanah tak seberapa jauh dari tempat mereka berkumpul. Lili serta Yoga lekas berlari temui Dewi Gita Dara dan Bocah Bodoh. Lili terperanjat melihat Tua Usil diam mematung di belakang Nini Bungkuk Renta.

Mata nenek peot itu mulai terbuka dan berkata, "Kau datang tepat pada waktunya, Lili! Saatnya telah tiba untuk membalaskan sakit hati muridku yang kau lenyapkan semua ilmunya!"

"Yo, bersiaplah hadapi dia!" bisik Lili. "Dialah yang berjuluk Tapak Biru yang kuceritakan tadi!"

"Baik, akan kuhadapi sendiri dia!"

Seet...! Blaaar...!

Petir menggelegar ketika Yoga cabut pedang pusakanya dari punggung. Pedang Lidah Guntur membuat semua orang terperangah karena memancarkan cahaya kemerah-merahan dengan kilatan lidah petir kecil yang bergerak memutar mata pedang tersebut. Sedangkan Nini Bungkuk Renta segera terperanjat dan berseru,

"Pedang Lidah Guntur! Oh, rupanya kau murid si Dewa Geledek?!"

Yoga berkata dengan tenang, "Lepaskan Tua Usil dan jangan ganggu lagi dia! Lupakan tentang pusaka itu."

Wajah Nini Bungkuk Renta mulai kelihatan memerah. Kemarahannya mulai timbul. Ia menggeram dengan suara lirih tapi memanjang. Tongkatnya yang sudah diambil sejak tadi itu kini dalam keadaan digenggam dengan satu tangan. Tongkat itu menyala sinar biru bening yang membuat sekujur tubuh Nini Bungkuk Renta menjadi bersinar biru pula.

"Kau tak akan bisa halangi kemauanku, Anak Muda! Pusaka itu harus ada di tanganku, karenanya jangan coba-coba dekati Tua Usil ini! Pergilah semua! Atau kulepaskan murka ku sekarang juga!"

"Kami akan pergi jika bersama Tua Usil!"

"Keparat! Heaaaahhhh...!" Nini Bungkuk Renta yang tadi tubuhnya lemah dan jalannya terhuyung-huyung itu, kini berubah menjadi gesit dan lincah dalam keadaan tubuh menjadi biru. Ia mampu melompat dengan gerakan cepat dan menebaskan tongkatnya dengan cepat. Wuuus! Cahaya biru menyebar, tapi segera dilawan oleh tebasan pedang Yoga yang memercikkan sinar merah berkelok-kelok.

Zlaaap...! Blaaar!

Yoga terpental hampir saja jatuh karena ledakan tersebut, sedangkan Nini Bungkuk Renta tetap berdiri setelah pijakkan kakinya ke tanah. Ia memainkan jurus tongkatnya dengan lincah dan membuat beberapa dahan retak serta patah akibat gelombang angin yang di timbulkan dari kibasan tongkat berkali-kali itu. Beberapa anak buah Dewi Gita Dara pun terpental mundur, bahkan ada yang terpelanting jatuh karena angin gelombang bertenaga dalam tinggi.

Claaap...!

Tiba-tiba Lili sentakkan kedua tangannya ke depan dan dari telapak tangan itu keluar dua larik sinar ungu. Sinar tersebut melesat dan bertemu di pertengahan jarak, berubah menjadi sinar putih keperakan yang segera menghantam pinggang Nini Bungkuk Renta.

Melihat sinar berbahaya Itu, Nini Bungkuk Renta segera lepaskan pukulan dahsyatnya melalui ujung tongkat yang menyala biru itu. Ujung tongkat itu keluarkan sinar merah terang melebar membentuk lingkaran bagai piring besar yang menghadang sinar putih perak tersebut. Tetapi Yoga segera lakukan lompatan cepat dengan pedang mengarah ke dada Nini Bungkuk Renta. Nenek itu bingung menghadapi serangan ganda dari Lili dan Yoga.

Akibatnya, ia lebih khawatir dengan serangan Pendekar Rajawali Merah yang hendak menembus dadanya itu. Maka, pukulan sinar merah sebagai penangkis sinar putih perak itu dibatalkan, tangannya cenderung menghadang ujung pedang yang membara merah tersebut. Namun rupanya Yoga segera tarik pedang tersebut dan ia tolakkan kakinya ke pohon sehingga bergerak balik dalam lingkaran bersalto.

Wuuut...!

Nini Bungkuk Renta merasa tertipu oleh serangan Pendekar Rajawali Merah yang hanya mengacaukan pusat pikirannya saja. Tetapi ia telah terlambat tak bisa lagi tahan sinar putih perak itu. Sinar tersebut akhirnya menghantam pinggang kanan Nini Bungkuk Renta.

Zlaaap...!

Dalam sekejap sinar putih perak menguasai sekujur tubuh Nini Bungkuk Renta. Lalu sinar itu padam, dan tubuh Nini Bungkuk Renta pun jatuh terkulai di tanah. Ia berusaha untuk bangkit walaupun sinar putih perak yang membungkus tubuhnya telah padam seketika.

Namun ia tidak berhasil lakukan hal itu. Bahkan ketika ia berusaha sentakkan tangannya, ternyata tangannya sangat lemas dan tidak berkekuatan seperti semula. Beberapa hal ia coba lakukan, namun tetap gagal, Akhirnya ia meraung dalam tangisnya sambil berseru,

"Ilmuku hilaaang...! llmuku hilaaang...!"

Semua orang yang ada di situ memandang dengan tertegun dan iba. Nenek sakti itu akhirnya mengalami nasib seperti muridnya juga, yaitu kehilangan ilmu karena pukulan 'Sirna Jati' yang dilepaskan oleh Lili tadi.

Nenek sakti itu akhirnya tak ubahnya seperti manusia jompo yang tak mampu gerakkan kakinya untuk bangkit sedikit pun. Ia menangis meraung-raung dan tak mau hiraukan bujukan siapa pun. Ia benar-benar berubah seperti anak kecil yang baru berusia antara dua atau tiga tahun. Bicaranya pun menjadi cadel, dan hal itu semakin mengharukan hati mereka.

"Kurasa itu lebih baik daripada harus membunuhnya!" kata Dewi Gita Dara yang agaknya setuju dengan langkah yang diambil Lili. Tambahnya lagi, "Ilmumu cukup tinggi, aku kagum padamu, Pendekar Rajawali Putih!"

"Kurasa biasa-biasa saja. Kalau jurus pancingan Yoga tadi tidak dilakukan, belum tentu aku berhasil melepaskan jurus 'Sirna Jati' dan kena pada sasaran. Kulihat dia punya jurus penangkis yang hampir saja menggagalkan jurus 'Sirna Jati'-ku."

Yoga selesai melepaskan totokan Tua Usil. Kemudian Tua Usil membujuk agar Nini Bungkuk Renta diam dari tangisnya. Ternyata memang hanya Tua Usillah yang mampu redakan tangis nenek tua itu, dan hal itu membuat beberapa orang menertawakannya. Tua Usil bagai bermain dengan bocah cilik yang amat menurut kepadanya.

"Kalau sudah begini mau diapakan orang ini?" tanya Tua Usil kepada Bocah Bodoh.

Dan Bocah Bodoh menyahut, "Ajak pulang saja ke rumahnya! Atau serahkan kepada muridnya, jadikan satu dengan Iblis Mata Genit di Bukit Kematian!"

"Benar," kata Yoga. "Aku akan antarkan kau ke sana Tua Usil."

Dewi Gita Dara segera menyahut, "Bagaimana dengan Pusaka Hantu Jagal itu? Bolehkah aku meminjamnya untuk keperluan yang amat penting itu, Tua Usil?"

Tua Usil diam, memandangi Dewi Gita Dara dengan tak mengerti harus bersikap bagaimana dalam hal ini? Serahkan, atau tidak?!

SELESAI
Kisah selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.