Empat Iblis Kali Progo - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Roro Centil - Empat Iblis Kali Progo

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
ROMBONGAN pasukan berkuda laskar Kerajaan itu lewat dengan suara yang bergemuruh, melintas dijalan desa yang sunyi itu. Debu tebal mengepul disepanjang jalan. Batu dan pasir berterbangan. Dan sekejap saja lebih dari dua puluh ekor kuda itu melintas dengan cepat, disertai teriakan-teriakan gegap gempita bagai tengah mengejar orang.

Sebentar kemudian suasana ditempat itu kembali hening. Akan tetapi segera terlihat satu pemandangan yang mengharukan. Karena beberapa ekor kambing telah berkaparan dijalanan dengan keadaan yang menyedihkan.

Seekor kambing berbulu coklat tampak mencoba berdiri dengan susah payah, akan tetapi kembali roboh terguiing. Ternyata kaki depannya telah hancur remuk dilindas kaki-kaki kuda. Suara mengembiknya terdengar menyayat hati. Tiga ekor kambing berbulu hitam terkapar tak bernyawa dengan kepala berlumuran darah. Seekor lagi yang berbulu putih tengah sekarat dengan keadaan yang menyedihkan. Sementara dua ekor anak kambing yang masih kecil telah mati dengan tubuh hancur luluh.

Dari sebuah parit disisi jalan, muncul kepala seorang bocah gembala. Wajahnya pucat pias penuh debu dan lumpur. Rambutnya kusut masai penuh jerami kering. Rupanya tadi sewaktu pasukan berkuda itu melintas jalan. Dia tengah menghalau kambing-kaming gembalaannya melintasi jalan sunyi itu. Tak diduga rombongan pasukan berkuda itu begitu cepat datangnya, tahu-tahu telah didepan mata. Terbeliak sepasang matanya, dan dengan berteriak kaget dia cepat gulingkan tubuhnya menyelamatkan diri dan maut hingga terjerumus keparit.

Si bocah gembala ini ternyata seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tujuh tahun. Gadis kecil ini mengucak-ucak matanya melihat sebuah pemandangan tragis terpampang didepan matanya. Penglihatannya tertumbuk pada dua ekor anak kambing yang terkapar mati dengan tubuh hancur bersimbah darah.

"Oh...?" Satu suara tersendat keluar dari bibir bocah gembala ini. Sepasang kakinya gemetaran seperti tak kuat menahan tubuhnya lagi. Ketika melihat seekor kambing berbulu putih yang tengah megap-megap sekarat dengan mulut mencucurkan darah, bocah ini berteriak menjerit. "Putih...!? oh, Pu Putiiiih!"

Dan segera menghambur lari menubruk kambing itu. Selanjutnya sudah menangis terisak-isak dengan suara menyedihkan. Si Putih baru sebulan ini melahirkan anaknya yang dua itu. Anak kambing yang lucu-lucu. Seekor berbulu putih, dan seekor lagi berbulu hitam.

Kini kedua ekor anak kambing yang lucu-lucu itu sudah jadi bangkai tak bernyawa. Dan sang induknya tengah megap-megap sekarat dengan keadaan mengenaskan hati. Tersedu-sedu sibocah gembala memeluki sang kambing kesayangannya. Kambing yang satu ini adalah miliknya sendiri yang telah dibelikan oleh ayahnya setahun yang lalu.

Sedangkan yang lainnya adalah kambing-kambing milik sang paman, yang digembalakannya menjadi satu. Sementara si Putih itu rupanya sudah tak kuat mempertahankan lagi nyawanya. Setelah sekarat meregang nyawa, tak lama kemudian kambing itupun mati.

Sang bocah gembala itu semakin kuat memeluki tubuh binatang kesayangannya. Tangisnya hampir tak terdengar karena suaranya telah serak. Kenyataan yang tragis itu ternyata telah menggoncangkan jiwanya. Hingga karena tak kuat menahan kesedihan yang amat sangat, si gadis kecil itupun terkulai tak sadarkan diri.

Angin gunung bertiup berdesahan menyibak rambutnya. Entah berapa lama dia tertelungkup tak sadarkan diri dengan lengan masih memeluk binatang itu. Ketika tiba-tiba dikejauhan kembali terdengar bunyi derap kakikaki kuda mendatangi. Ternyata rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu telah kembali lagi. Tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi, karena gemuruh puluhan ekor kuda itu menderu-deru cepat laksana air bah.

Peristiwa mengerikan itupun kembali berlangsung. Kuda pertama menerabas tanpa kenal ampun, disusul kuda-kuda selanjutnya. Kaki-kaki binatang kekar ini cuma menurutkan perintah tuannya, langsung menggilas apa saja yang menghalangi jalan. Lima ekor kuda telah lewat menerabas. Dan tubuh kecil tak berdaya yang membaur diantara bangkai-bangkai kambing itu pun terinjak-injak, terlempar kesana kemari. Lalu digilas oleh kaki-kaki kuda selanjutnya.

Pada saat itulah satu bayangan telah berkelebat menggelinding, dan menyambar tubuh bocah gembala itu. Dengan berguling-guling diantara kakikaki kuda yang berkepulan debu, dia berhasil keluar dari kaki-kaki maut yang melintas dengan cepat itu. Dan sebentar saja rombongan pasukan berkuda itu telah lenyap dikejauhan.

Kini terlihatlah satu pemandangan yang mengenaskan. Diantara kepulan debu yang menipis itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih menggelepoh disisi jalan. Bajunya penuh dengan tapak-tapak kaki kuda. Bahkan bekas tapak kaki kuda terlihat dipelipisnya.

Sementara si bocah gembala itu belum diketahui nasibnya, karena telah dipeluknya erat-erat menempel didada. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Matanya bersinar menatap ke ujung jalan dimana rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu lenyap. Tampak dada lakilaki ini berombak-ombak menahan geram, dengan gigi terdengar berkerot.

"Bangsat-bangsat terkutuk...!" Terdengar suara desis keluar dari bibirnya. Namun sesaat dia sudah tersentak ketika melihat keadaan bocah yang di tolongnya. Cepat-cepat ia menempelkan telinganya ke dada bocah itu. Dan wajahnya berubah pucat.

"Celaka…! Aku harus cepat menolongnya sebelum terlambat..!" Desisnya penuh kekhawatiran. Dan... berkelebatlah laki-laki berbaju putih itu tinggalkan tempat itu. Tubuhnya melesat cepat sekali, lalu sebentar kemudian lenyap dibalik perbukitan.

Tiba-tiba dari ujung jalan tadi, muncul lagi serombongan pasukan lasykar Kerajaan. Suara derap kakikaki kuda kembali menyibak keheningan. Ternyata rombongan yang tadi, akan tetapi kini cuma lima ekor kuda yang mendatangi. Tiba-tiba si penunggang kuda paling depan mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti. Penunggang kuda ini masih muda. Berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Berwajah tampan dan menunggang kuda berbulu hitam berkilat.

Kiranya dialah si pemimpin rombongan berkuda itu. Segera sepasang matanya menyapu sekitar tempat itu. Menatap pada beberapa ekor kambing yang porak poranda dengan keadaan tak bernyawa. Berkilat-kilat sepasang matanya menatap bangkai-bangkai binatang itu. Kemudian memutar kudanya. Pandangannya menyapu bukit dan keadaan sekitarnya.

"Hm, cepat periksa keadaan disekitar perbukitan ini! Apakah ada manusia?" Perintahnya pada keempat anak buahnya.

Keempat penunggang kuda itu segera mengangguk hormat, dan segera memecah keempat penjuru. Lalu memulai penyelidikan. Sementara si pemuda tampan kepala pasukan berkuda ini berputar-putar disekitar tempat itu, dengan sepasang matanya memperhatikan bangkai-bangkai kambing yang berserakan dijalanan.

Kiranya tadi sewaktu rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu melewati jalan ini, sekilas dia telah melihat seorang bocah kecil tertelungkup diantara bangkai-bangkai kambing yang memang telah berserakan dijalanan. Akan tetapi karena dia berada dibarisan ketiga, dan terhalang oleh tiga ekor kuda dihadapannya. Dia tak begitu memperhatikan. Apa lagi untuk menghentikan kudanya adalah tak mungkin. Karena kuda-kuda mereka berlari cepat sekali.

Sedangkan dia yakin, seandainya penunggang kuda paling depan mengetahui ada orang dijalanan, tentu dari jauh-jauh sudah memberi aba untuk berhenti. Itulah sebabnya tadi dia terus melewati dengan agak ragu, apakah penglihatannya cuma fatamorgana saja, ataukah sesungguhnya?

Namun ketika tiba di pos sebelah depan, pemuda ini sengaja kembali lagi bersama keempat perwira bawahannya. Sedangkan rombongan yang terdiri dari dua puluh ekor kuda dibawah pimpinan Tumenggung Wirapati meneruskan berangkat ke perbatasan Kota Raja.

Sebenarnya dia dan keempat anak buahnya berada dilain rombongan, yang memintas jalan memutar melalui belakang bukit, dan tidak melalui jalan desa ini. Ketika itu mereka tiba terlebih dulu. Setelah memberi laporan bahwa buronan yang dicarinya tak dijumpai, segera bergabung dengan rombongan yang dibawah pimpinan Tumenggung Wirapati.

Demikianlah, hingga kedua rombongan itu segera melewati jalan desa yang sunyi itu. Tentu saja membuat pemuda tampan pemimpin keempat perwira Kerajaan itu menjadi penasaran, dan kembali lagi. Penasaran untuk membuktikan penglihatannya. Apakah dijalanan yang dilewati rombongan mereka, ada seorang bocah tertelungkup diantara kambingkambing yang berserakan?

Tiba-tiba tatapan matanya tertumbuk pada sebuah benda bersinar diantara kambing-kambing yang berkaparan dijalan itu. Cepat dia bergerak melompat turun dari kudanya. Diambilnya benda itu, yang ternyata seuntai kalung berwarna putih berkilatan. Rantainya terbuat dari baja putih, sedangkan bandulannya terbuat dari gading berbentuk hati.

Pada bagian tengahnya terdapat ukiran sebuah huruf " R ". Tersentak hatinya melihat kalung ini. Kini dia yakin benar bahwa yang tertelungkup disini tadi benar-benar seorang bocah manusia. Cepat disimpannya benda itu ke balik pakaiannya, dan kembali melompat ke atas kuda.

Sementara benaknya mulai berfikir... "Hm, kalau Tumenggung Wirapati dan anak buahnya mengetahui didepannya ada seorang bocah tetelungkup ditengah jalan, mengapa tak memberi isyarat berhenti? Mustahil kalau mereka tak melihatnya! Dan berkaparannya kambingkambing yang mati  ini pasti karena diterjang terus oleh rombongan berkuda dibawah pimpinannya! Benar! Aku yakin bocah si pemilik kalung ini adalah seorang  bocah  penggembala kambing! Mungkin rombongan mereka terus menerjangnya disaat melewati jalan ini! Dan ketika kembali lagi setelah bergabung dengan rombongan pasukanku telah menerjang lagi bocah yang tertelungkup dijalanan! Entah bocah itu tertidur ataukah pingsan, aku tak mengetahui..!

Terdengar suara pemuda itu berdesis kesal. "Kalau begitu Tumenggung Wirapati benar-benar seorang yang berhati kejam! Sungguh-sungguh keterlaluan..!" Memaki si pemuda. Kini yang jadi pertanyaan adalah si pemilik kalung itu. Kemanakah gerangan bocah gembala itu? Kalau mayatnya ada tentu tak menjadikan dia penasaran. Kalau memang penglihatannya salah, tak mungkin ditemukannya kalung itu.

"Apakah si bocah penggembala kambing itu seorang bocah perempuan?" Desisnya lagi pelahan. Setelah berfikir bolak-balik tak menentu, akhirnya dia menyerah, tak dapat memecahkan persoalan itu. Sekarang tinggal menunggu penyelidikan keempat Perwira bawahannya. Kira-kira selang beberapa saat, tampak satu-persatu keempat Perwira bawahannya. Dia telah menerima laporan.

Ternyata laporan yang didapat adalah tidak adanya siapa-siapa disekitar tempat itu. Pedesaan masih amat jauh sekitar ratusan kaki dilereng bukit. Tak ada seorang manusiapun yang lewat ditempat itu. Akhirnya setelah temenung beberapa saat, pemuda pemimpin rombongan itupun segera perintahkan untuk kembali.

Derap suara langkah kaki-kaki kuda kembali terdengar disekitar tempat sunyi itu. Namun suara itupun semakin menjauh. Lalu melenyap, tinggalkan debu yang mengepul disepanjang jalan. Tempat itu kembali lengang seperti sediakala. Dan bangkai-bangkai kambing itu cuma menambahkan sebuah pemandangan yang memilukan....

DUA

WAKTU berlalu begitu cepat seperti anak panah lepas dari busurnya. Tujuh tahun kemudian sejak kejadian dijalan desa sunyi itu....

"Roroooooo...!" Roroooooo...!"

Satu suara terdengar sayup-sayup dikejauhan, diantara tebing dan bukit dekat air terjun. Pemandangan disitu memang indah. Bukit-bukit dan tebing menjulang disana-sini. Dilereng Gunung Rogojembangan itu mengalir sebuah sungai berair jernih. Disebelah barat, persis diarah hulu sungai itu, terlihat menonjol sebuah lamping bukit curam yang berbentuk aneh dan indah sekali.

Karena bila diperhatikan amat mirip dengan kepala burung Rajawali Raksasa. Menghadap kearah sisi bukit itu adalah hutan belantara. Dan air terjun itu persis berada dibawah lamping bukit yang berbentuk kepala burung Rajawali.

"Roroooooo..!" Kembali terdengar suara memanggil itu. Kali ini suaranya lebih keras. Seorang bocah laki-laki tanggung kira-kira berusia empat belas tahun, tampak melompat diantara batubatu tebing dan bukit terjal. Gerakannya amat lincah sekali. Dengan sebat bocah laki-laki tanggung itu menuruni akar pohon yang melintang di lereng tebing lalu melompat lagi menuju kebawah bukit. Dari gerakannya dapatlah diketahui bahwa bocah lakilaki tanggung itu bukanlah bocah sembarangan, tapi seorang bocah yang terlatih.

Setelah berpaling ke kanan dan ke kiri, orang yang dicarinya tidak ada, matanya tertuju pada air terjun. Dengan gerakan sebat, kembali dia berlompatan d atas batu-batu disisi sungai. Dan sebentar saja telah berada disisi bukit, di bawah lamping batu menonjol itu dimana disisinya adalah air terjun. Sepasang matanya kembali jelalatan memandang sekitarnya mencari-cari adakah orang disekitar tempat itu. Namun tak ada tanda-tanda orang yang dicarinya berada disitu.

"Aiiih, kemana gerangan anak itu..?" Gumamnya pelahan. Akhirnya diapun langkahkan kaki menjauh lagi air terjun itu, dan jatuhkan pantatnya keatas sebuah batu besar. Tangannya merayap menjumpu batu-batu kerikil, dan dilemparkannya ke tengah sungai. Suaranya bergemerutukan diair yang jernih itu. Terlampias juga rasa kesalnya. Memandang air jernih dan udara siang hari yang cukup panas, membuat bangkitnya selera untuk mandi. Setelah tengok kiri-kanan tak ada orang, segera dia membuka bajunya. Dan lepaskan celananya....

BYURRRRR...! Bocah laki-laki tanggung ini sudah terjun ke sungai. Air disini tak seberapa dalam. Tak berapa lama kepalanya sudah tersembul dipermukaan air. Saat dia mandi dan merendam tubuhnya didalam air sebatas dada itu tiba-tiba sepasang matanya jadi membeliak, karena terasa kakinya ada yang mencekal dibawah air. Tentu saja bocah laki-laki tanggung ini jadi terkesiap. Sekilas saja sudah terlintas sesuatu yang menakutkan dibenaknya. Dongeng adanya "Hantu Air" yang suka mengganggu orang mandi di sungai. Dan....

"Wuaaaaaa..! tolong! toloooong..!?" Berteriak-teriaklah dia ketakutan, sambil berusaha menarik kakinya yang terasa dibetot ke dalam air. Justru dia mencoba menarik, bahkan tubuhnya semakin terbetot ke dalam air. Tak ampun lagi segera kapalanya membenam. Meronta-ronta bocah laki-laki tanggung itu dengan gelagapan. Kepalanya sebentar timbul sebentar hilang. Dan dua-tiga teguk air sudah tertelan masuk tenggorokannya.

Tiba-tiba terasa cekalan itu terlepas. Cepat dia berenang menepi. Wajahnya tampak pucat pias karena takutnya. Sesaat dia sudah berhasil mencapai tepian sungai. Lengannya meraih batu, dan sudah siap gerakkan tubuh yang lemas itu untuk melompat ke darat. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa cekikikan dibelakangnya. Semakin takutlah bocah ini. Namun dengan justru sisa-sisa tenaganya dia sudah berhasil naik. Setelah merasa aman barulah dia balikkan tubuh untuk menoleh ke belakang.

Betapa terkejut dan mendongkolnya bocah laki-laki ini, karena yang tertawa cekikikan di belakangnya tak lain dari Roro. Yaitu si bocah perempuan yang tengah dicari-carinya tadi.

"Roro..!? kau... kau sungguh keterlaluan menakut-nakuti orang! Jadi Hantu Air yang kau dongengkan tadi adalah kau sendiri..?" Berkata bocah laki-laki tanggung itu dengan sepasang mata mendelik kesal, tapi bibirnya sunggingkan senyuman. Karena rasa kekhawatirannya seketika sirna.

Bocah perempuan tanggung bernama Roro itu beranjak menepi. Ternyata seorang bocah perempuan yang berwajah ayu. Bentuk wajahnya membulat bagai daun sirih. Sepasang matanya jernih. Rambutnya yang panjang sebatas punggung itu basah kuyup. Segera saja dia sudah naik melompat ke darat. Sementara si bocah laki-laki tanggung itu cuma me natap dengan mata tak berkedip. Akan tetapi baru saja dia naik ke darat, sudah terdengar lagi suara tertawanya mengikik geli.

"Hihihi... hihihi... hihi.... Lucu! Hihihi... lucu sekali..!"

Melihat gadis tanggung dihadapannya mengikik tertawa sambil menunjuknunjuk kearah bagian bagian bawah tubuhnya, keruan saja dia jadi kebingungan. Ketika sadar akan keadaan dirinya, seketika wajahnya berubah memerah. Sebelah lengannya dengan cepat bergerak menutupi bagian yang terbuka itu, dan begitu menemukannya, bergegas mengenakannya, dan....

"Hm, beres..!" Teriaknya dalam hati, setelah selesai mengenakan celananya. Sedangkan bajunya tak terburu-buru dipakainya, tapi diletakan diatas pundak. Sementara sepasang matanya menatap pada kawan perempuannya yang masih berdiri ditempat tadi.

Sementara si bocah perempuan tanggung bernama Roro itu telah hentikan tertawanya. Dilihatnya sang kawan itu terus menatapnya dengan mata tak berkedip dengan bibir ternganga. Apakah yang diperhatikan? Pikirnya. Roro yang sama sekali tak menyadari keadaan dirinya, segera melompat mendekati bocah laki-laki kawannya itu.

Semakin dekat dia menghampiri, semakin membinar sepasang mata sang kawannya itu menatapnya. Tentu saja si bocah perempuan tanggung itupun tak menyadari kalau tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat, dan tatapan sepasang mata kawannya yang membinar-binar adalah karena memperhatikan sekujur tubuhnya.

"Heh?! Ginanjar! Kau kenapakah..? apakah kesurupan setan Hantu Air…?" Tanya Roro seraya beranjak menghampiri, dan menepuk nepuk pundaknya. Bahkan mengguncang-guncangkan tubuhnya.

Tentu saja membuat bocah laki-laki tanggung bernama Ginanjar itu jadi tersipu-sipu sambil melengos. Namun seonggok senyum lucu, tapi lugu tersungging dibibirnya.

"Roroooooo...! Ginanjaaaar..!"

Satu suara serak parau terdengar sayup dikejauhan. Suara yang sudah amat dikenal betul oleh kedua bocah tanggung itu.

"Hah!? Celaka...! Kita bakal kena damprat! Dan bakal dapat hukuman berat..! Oh, aku telah melalaikan tugas guru..! Yah, gara-gara mencarimu tak bertemu..!" Bisik Ginanjar dengan wajah pucat.

"Hihihi... biarlah kau dapat hukuman! Siapa suruh kau mencariku? Sudah tak bertemu, kenapa terus mandi? Itukan salahmu sendiri!" Tukas Roro dengan wajah tak menampakkan keterkejutan. Berbeda dengan Ginanjar yang seketika wajahnya pucat pias dan bergegas mengenakan bajunya.

Ternyata Roro pun segera melompat ke tempat menyimpan pakaiannya yang ternyata disembunyikan dibalik batu. Dan bergegas pula mengenakannya. Tak berapa lama dua sosok tubuh telah berlompatan keluar dari bawah lamping bukit itu. Ginanjar melompat terlebih dahulu, lalu disusul oleh Roro. Kedua bocah tanggung ini bergerak cepat sekali melompati batu-batu terjal, meniti akar pohon, dan mendaki lereng perbukitan. Tak berapa lama keduanya telah tiba diatas. Tampaknya Ginanjar mengatur napas sebentar, lalu berlarilari lagi menyusul Roro, yang sudah mendahului tanpa berhenti untuk beristirahat.

Siapakah gerangan gadis tanggung bernama Roro itu? Dialah kiranya si bocah angon yang telah ditolong oleh seorang laki-laki dari terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh tahun yang lalu. Marilah kita ikuti kemana gerangan kedua bocah tanggung itu menujunya.

Diujung jalan setapak, pada sebuah tempat yang bersih dan luas, tampak duduk seorang kakek diatas sebuah batu besar. Sang kakek ini berambut gondrong yang sudah putih semua. Bahkan kumis dan jenggotnya yang tebal itupun telah memutih bagaikan kapas. Hati Ginanjar sudah kebat-kebit dari kejauhan ketika melihat orang tua ini. Sementara Roro terus berlari cepat didepan Ginanjar. Ketika kira-kira beberapa tombak lagi, tiba-tiba tubuh Roro meletik indah, dan berjumpalitan diudara. Begitu menginjak tanah, ternyata sudah tiba dihadapan sang kakek tua itu.

"Ada apakah, kek? kau memanggilku..?" Bertanya Roro, yang segera duduk bersimpuh dihadapannya.

Sang kakek ini tak menjawab, tapi bibirnya diam-diam sunggingkan senyuman. Hatinya memuji kagum melihat gerakan lincah bocah perempuan tanggung ini, yang gunakan jurus Rajawali Menukik. Sementara tatapan matanya ditujukan pada Ginanjar, yang sudah tiba dan segera duduk bersimpuh disamping Roro.

"Hm, kalian pasti habis mandi..!" Berkata sang kakek seraya menatap keduanya yang rambutnya masih basah.

Hampir berbareng keduanya mengangguk. Roro tampak tenang-tenang saja, tapi Ginanjar terlihat benar gelisahnya. Sedari tadi hatinya memang sudah kebat-kebit.

"Bukankah sudah kukatakan, kalian tidak boleh mandi berdua-dua? Apakah kalian memang sengaja melanggar larangan, dan mau menjadi murid-murid yang keras kepala..?" Tanya sang kakek.

"Hayo jawab..!!" Bentak si kakek tiba-tiba, membuat Ginanjar jadi terlonjak kaget. Sedangkan Roro tiba-tiba menutup mulutnya karena merasa hal itu amat lucu. Tubuh Ginanjar tampak gemetaran tanpa bisa menjawab. Melihat demikian Roro cepat-cepat menjawab seenaknya.

"Kami tidak mandi berdua, kek..! Apakah kakek telah melihat sendiri dengan mata kepala?" Bertanya Roro.

Sang kakek jadi berpaling menatap Roro. Alisnya yang putih itu bergerak menyatu, dan sepasang matanya melotot tajam. Akan tetapi memang dia jadi gelagapan ditanya demikian, karena sebenarnya dia tidak melihat kedua bocah itu mandi berdua ataukah seorang diri.

TIGA

SEMENTARA sang kakek gelagapan ditanya Roro demikian, gadis tanggung ini tundukkan wajah sambil tersenyum. Padahal dia cuma "menggertak" saja. Karena seandainya sang kakek mengetahuinya dan melihat mereka mandi berdua, entahlah hukuman apa yang bakal mereka terima.

"Baiklah! Aku memang tak melihat kalian mandi berdua! Walau demikian kalian tetap bersalah, karena tak kulihat seorangpun berada ditempat latihan" Ujar sang kakek sambil mengelus jenggot putihnya yang lebat.

"Maka sebagai hukuman, guru..!" Tiba-tiba Ginanjar telah berkata dengan suara terdengar agak gemetar. Lain halnya dengan Roro, yang tampak monyongkan mulutnya, tapi tak berani bicara apa-apa

"Nah kini bangunlah kalian!" Membentak sang kakek dengan suara keras.

Tak usah dua kali perintah, bagai disengat kelabang keduanya sudah melompat bangun berdiri. Mata sang kakek tampak jelalatan mencari-cari sesuatu diantara dahan-dahan pohon disekitar tempat itu. Lalu berhenti menatap pada sebuah dahan pohon yang melintang rata. Dahan pohon itu tak seberapa tinggi. Kira-kira tingginya empat kali tubuh manusia dewasa.

"Ginanjar! Kau naiklah ke dahan pohon itu. Dan kau harus berjuntai disana dengan kaki diatas kepala dibawah! Mengertikah kau?" Berkata sang kakek. Ginanjar menengadah keatas pohon, lalu mengangguk.

"Nah, kerjakanlah cepat!" Bentaknya dengan melotot.

Bocah laki-laki tanggung ini tak berani membantah. Dengan tiga-kali melompat, dia sudah berada dibawah pohon yang ditunjuk itu. Selanjutnya sudah memanjat ke atas dengan cepat. Sebentar kemudian sudah berada didahan yang ditunjuk tadi. Matanya menatap kebawah. Agak ngeri juga bocah laki-laki tanggung ini, tapi dengan kuatkan hati segera dia mulai melirik kearah Roro, yang juga tengah memperhatikan. Akan tetapi sebuah bentakan sudah menyambarnya lagi.

"Hayo, cepat!" Tentu saja tak ayal lagi segera kuatkan kepitan kakinya pada dahan pohon, dan segera jatuhkan tubuhnya untuk menjuntai kebawah. Dan dengan kepala dibawah sedemikian rupa, Ginanjar segera bersidakep dengan memejamkan matanya.

"Ingat! Kau tak boleh turun atau merobah posisimu, sampai aku datang dan menyuruhmu turun!" Berkata sang kakek dengan suara keras berwibawa. Kemudian berpaling menatap Roro.

"Ayo, kau ikut aku..!" Berkata sang kakek, dan mendahului berkelebat dari situ.

Tentu saja Roro tak berani membantah, dan tak ayal lagi segera bergerak menyusul. Tak sempat lagi dia menoleh pada Ginanjar yang menjuntai diatas dahan pohon. Bocah inipun ternyata tak membuka matanya karena amat takut pada gurunya.

Siapakah gerangan kakek tua berambut putih itu. Dialah seorang tokoh Rimba Hijau yang telah puluhan tahun menyembunyikan diri di lereng Rogojembangan. Bernama BAYU SHETA, dan digelari kaum persilatan dengan julukan si PENDEKAR BAYANGAN.

Tujuh tahun sudah Roro tinggal dilereng gunung itu sejak dibawa oleh seorang laki-laki yang telah menyelamatkan jiwanya, yaitu bernama Jarot Suradilaga, yang bergelar si Maling Sakti. Roro telah menjadi seorang gadis tanggung yang lincah jenaka, dengan usia kira-kira empat belas tahun. Ibarat bunga adalah mulai mekar, dan belum menampakkan keindahannya.

Sayang Roro tidak sebagaimana lazimnya anak-anak gadis sebayanya. Karena pengaruh akibat terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh tahun yang silam, telah membuat wataknya agak aneh, dan angin-anginan. Terkadang akan membuat orang geleng kepala melihat sikapnya. Bahkan sang kakek itupun sudah maklum akan pembawaan watak Roro yang demikian.

Aneh juga lucu, karena sampai saat ini Roro belumlah mengetahui kalau dirinya seorang perempuan. Dan hingga saat ini dia tak mengetahui manakah sesuatu pada tubuhnya yang harus ditutupi dan disembunyikan...

Setelah sekian lama berlari-lari mengikuti sang kakek alias Ki Bayu Sheta itu, tampak laki-laki tua bertubuh kekar itu hentikan larinya. Roro pun segera berhenti berlari. Napasnya terdengar sengal-sengal. Kecepatan lari sang kakek itu amat luar biasa. Roro sudah keluarkan tenaga sepenuhnya untuk menyusul, akan tetapi tetap saja berada dibelakang tubuh si kakek Bayu Sheta itu sekitar lima-enam tombak tanpa mampu menyusul. Dia sudah jatuhkan tubuhnya mendeprok ditanah, lalu mengatur napasnya yang terengah-engah. Tak berapa lama segera rasa lelahnya sudah pulih lagi.

Sementara sang kakek Bayu Sheta telah duduk diatas sebuah batu. Sebelah lengannya mengelus-elus jenggotnya. Dan sebelah lagi mengipas-ngipas dadanya dengan ujung jubah. Tampak wajahnya seperti biasa saja. Tak terlihat rasa lelah sedikitpun setelah berlari sekian lama. Menandakan kakek tua berjulukan si Pendekar Bayangan ini bukanlah orang yang berkepandaian rendah. Karena telah memiliki kesempurnaan dalam mengatur napas ketika berlari.

"Heheheh... bagus, Roro! Ilmu larimu semakin maju pesat! Enam bulan sudah sejak kau dititipkan oleh gurumu si Maling Sakti ternyata tak mengecewakan! Cuma dalam hal mengatur napas kau harus lebih perhatikan lagi..!" Berkata Ki Bayu Sheta, dengan tersenyum menatap Roro.

Roro tersenyum seraya manggut-manggut mendengarkan penuturan sang kakek, tapi dalam hati amat keheranan karena apalagi untuk menyusul, merendengi sang kakek saja teramat sulit. Anehnya mengapa dikatakan maju pesat? Dia jadi benarbenar tak mengerti. Tentu saja Roro tak mengetahui kalau dalam setiap kali Roro sudah hampir berhasil merendenginya selalu Ki Bayu Sheta menambah kecepatan larinya. Hingga tetap saja jarak antara mereka tak berubah.

Diam-diam Ki Bayu Sheta juga terkejut, karena Roro telah jauh melebihi Ginanjar, bocah laki-laki tanggung muridnya itu. Kalau Ginanjar, ketika dia pergunakan tenaga separuhnya saja tak mampu berada lima enam tombak dibelakangnya. Tetapi Roro ketika dia pergunakan tenaga lari tiga perempat bagian, ternyata mampu berada dibelakangnya sejarak lima enam tombak dibelakangnya.

"Apakah hukuman yang akan kau jatuhkan padaku adalah dengan mengajakku berlatih adu lari seperti ini, kek..?" Tiba-tiba Roro bertanya, seraya bangkit berdiri.

Orang tua itu terdiam sesaat, tiba-tiba sepasang mata sang kakek telah melotot tajam padanya. "Hm, aku akan menjatuhkan hukuman padamu seberat-beratnya, karena kau telah berani berdusta!" Tiba-tiba Ki Bayu Sheta berkata dengan suara dingin.

Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi terkejut. Celaka!? Pikir Roro, dengan wajah seketika berubah pucat. Hatinya menduga kalau sang kakek telah mengetahui kalau dia mandi berdua dengan Ginanjar. Padahal tujuannya berdusta adalah membela bocah laki-laki itu, karena tampaknya amat ketakutan sekali. Tiba-tiba....

"Kakek..! Ampunkanlah aku! Aku telah berani berdusta terhadapmu..!" Roro telah bersimpuh dihadapan sang kakek itu dengan kepala menunduk.

"Berikanlah hukuman apa saja padaku, walau berat sekalipun pasti akan hamba jalankan!" Tiba-tiba Roro bangkit berdiri dan tengadahkan lagi wajahnya menatap ke langit.

Melihat itu Ki Bayu Sheta jadi tertawa gelak-gelak, dan terpingkal-pingkal seperti amat lucu. Ternyata tadi dia cuma menggertak saja. Padahal sesungguhnya dia memang tak mengetahui sama sekali kalau Roro berdusta. Tapi diam-diam Ki Bayu Sheta memuji sifat ksatria yang terdapat pada Roro, yang mau mengakui kesalahannya dan berani menanggung resikonya.

"Duduklah Roro, cucuku..!" Berkata Ki Bayu Sheta setelah berhenti dari tertawanya, dan menghela napas. Dipandangnya lengkung-lengkung bukit diufuk sana, dimana awan-awan putih berderet diatas perbukitan. Sementara hatinya membathin. Di diatas langit ternyata masih ada langit lagi! Bocah perempuan ini telah berhasil menggertakku, menandakan bahwa diriku masih lemah!

Seandainya yang menggertakku adalah seorang musuh, dan aku mempercayai, tentu akan berakibat fatal! Akan tetapi jiwa kesatria memang sukar didapat! Bocah ini berdusta cuma untuk membela Ginanjar! Berarti dia mempunyai rasa setia kawan yang amat besar pada sesama murid atau kawan! Berarti bocah ini memang tak dapat disalahkan..! Demikianlah hatinya membathin.

"Aku telah memaafkanmu, Roro..!" Terdengar suara Ki Bayu Sheta lirih dengan nada parau.

Tentu gadis tanggung ini jadi terheran. "Lho!? Mengapakah, kek? Kalau aku bersalah, hukumlah! Kalau kesalahanku dimaafkan, apa alasannya?" Bertanya Roro dengan sepasang mata yang bening menatap pada Ki Bayu Sheta.

Tentu saja pertanyaan itu membuat sang kakek jadi melengak, tapi dia memang tak dapat menyahut karena tampak sebutir air bening telah tersembul disudut matanya yang sudah mulai agak mengabur itu. Wajahnya yang tegar dan seram itu ternyata tak seseram hatinya. Tiba-tiba sebelah lengannya sudah bergerak mengelus rambut Roro. Belaian itu begitu penuh kasih sayang. Roro tundukkan wajahnya dengan perasaan aneh, mengapa tibatiba sang kakek bersikap demikian?

"Kau memang anak baik, Roro! Tak percuma gurumu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti mendidikmu! Walau gelarnya tidak bagus, tetapi gurumu itu seorang Pendekar sejati. Berhati mulia dan selalu menjunjung tinggi kebenaran! Tidak kecewa kau menjadi muridnya, karena disamping ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah diturunkannya padamu, ternyata jiwa ksatrianya pun telah diwariskan padamu!"

Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara datar. Sementara sepasang matanya masih menatap kearah bukit nun jauh disana. Bukit yang sering dipandangi. Itulah bukit Kera, dimana segala penentuan nasibnya adalah diatas bukit itu. Namun Roro memang tak mengetahui, dan Ki Bayu Sheta memang tak ingin kedua orang bocah muridnya mengetahui....

EMPAT

MATAHARI sudah condong ke arah barat. Ginanjar masih tetap menggantung diatas dahan dengan kepala terjuntai kebawah. Dalam keadaan jungkir balik demikian tentu saja bernapaspun tidak leluasa rasanya. Mata bocah laki-laki tanggung ini mulai berkunang-kunang. Kepala terasa berat, tapi anehnya setelah dia salurkan hawa murni ke seluruh tubuh seperti yang diajarkan Ki Bayu Sheta gurunya, segera terasa enak sekali berjuntai seperti kampret begitu.

Apalagi dalam keadaan menjuntai itu si bocah laki-laki tanggung itu telah membayangkan kejadian disungai tadi. Serasa enggan dia membuka sepasang matanya yang mengatup, karena khawatir bayangan indah yang dilihatnya mendadak hilang. Selang beberapa saat, dan entah sudah berapa lama Ginanjar menjuntai demikian tak dirasakannya lagi. Ketika tiba-tiba didengarnya satu suara yang sudah tak asing lagi bagi pendengarannya.

"Ginanjar! Kau sudah boleh turun!"

Tentu saja bocah laki-laki ini jadi terkejut tapi juga girang. Segera dia buka sepasang matanya. Tak dilihatnya ada Ki Bayu Sheta ditempat itu, namun suara tadi memang jelas suara gurunya. Tak ayal segera dia enjot tubuh untuk kembali tegak duduk diatas dahan. Kembali dia pentang mata untuk melihat sekitarnya. Dan memang tak menampak gurunya berada disekitar tempat itu. Hm, suara itu tak mungkin aku salah dengar! Gumam Ginanjar dalam hati. Dan... melompatlah dia dari atas dahan tinggi itu.

Tubuhnya meluncur turun dengan deras, tapi sebelum jejakkan kakinya ke tanah telah melayang sebuah ranting kayu menyambar kakinya. Terkejut bocah laki-laki ini, segera dia jatuhkan diri bergulingan. Sambaran ranting itu memang berhasil lolos. Akan tetapi ketika dia melompat bangkit berdiri, segera perdengarkan suara teriakan mengaduh. Dan kembali jatuh terduduk, karena terasa kakinya kesemutan. Segera saja lengannya bergerak mengurut-urut kedua kakinya.

"Bocah tolol!" Terdengar suara bentakan, dan sebuah bayangan berkelebat yang tak lain Ki Bayu Sheta adanya. "Keadaan kakimu belum pulih! Darah masih berkumpul dikedua kakimu! Mana kuat kau jejakkan kaki ke tanah dengan ketinggian seperti itu? Seharusnya kau salurkan kembali hawa murni dikedua kakimu untuk membuat darah membuyar!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan sepasang mata melotot menatap pada Ginanjar.

"Ampunkan kebodohan hamba, guru..!" Ujar Ginanjar, yang segera salurkan hawa murni kearah kedua kaki dan tak lama rasa kesemutan itupun lenyap. Dan sesaat dia sudah mampu melompat untuk berdiri.

Pada saat itu Roro pun muncul dengan wajah berseri gembira. Kiranya sewaktu dalam perjalanan kembali pulang telah pergunakan cara yang diajarkan Ki Bayu Sheta, hingga walaupun berlari-lari sekian lama tidaklah Roro merasa kelelahan. Dalam waktu singkat si gadis tanggung itu telah berhasil menguasai cara mengatur napas.

"Hihihi... kakek! Seharusnya dia tak usah kau suruh turun! Biarkan saja menjuntai diatas dahan menjadi kampret!" Berkata Roro sambil mencibir menatap Ginanjar. Bocah laki-laki tanggung itu cuma tersenyum, dan seketika wajahnya menjadi merah.

"Hm, sudahlah! Ayo, kita kembali ke pondok!" Berkata Ki Bayu Sheta. Dan mendahului berkelebat.

"Eh, Ginanjar! Kau mau pulang atau tidak?" Roro palingkan wajahnya menatap bocah laki-laki itu.

"Pulanglah duluan Roro..! Nanti aku menyusul!" Sahut Ginanjar dengan menatap pada Roro dan jatuhkan pantatnya duduk diatas akar pohon. Lengannya bergerak menguruti kakinya.

"Kakimu sakit?" Tanya Roro, seraya menghampiri.

"Tidak lagi! cuma kesemutan sedikit..!" Ujar Ginanjar.

Gadis tanggung ini gerakkan alisnya, dengan sepasang matanya berkedipan. "Aku akan bantu mengurut, biar lekas sembuh!" Berkata Roro seraya berjongkok dan ulurkan sepasang lengannya.

Berdebar seketika hati Ginanjar akan tetapi cepat-cepat dia berkata. "Sudahlah, cuma sedikit! Ayolah kita pulang..!" Ujar Ginanjar, dan segera bangkit berdiri.

Roro seperti tertegun, tapi segera perlihatkan senyumnya. "Ayoo..!" ujarnya.

Dan segeralah keduanya berlari cepat meninggalkan tempat latihan itu. Dikejauhan masih terdengar suara Roro yang tertawa cekikikan entah apa yang membuatnya geli. Namun sekejap mereka sudah tak kelihatan lagi.

* * * * * * *

Waktu berlalu terus... Dan saat yang dijanjikan itupun tiba juga. Ki Bayu Sheta tampak berdiri diatas bukit itu. Sepasang matanya menatap pada sebuah bukit nun jauh di sana, diarah sebelah barat. Bukit itu memang tampak jelas dari tempat dia berdiri. Itulah Bukit Kera! Bukit yang selalu diperhatikannya disaat-saat bulan Purnama. Senja itu matahari bersinar kemerahan. Cuma cahayanya saja yang menampak, karena sang matahari sudah tak terlihat terhalang bukit. Terdengar suara menghela napasnya, diseling suara menggumam lirih yang hampir tak terdengar.

"Hm, Dewa Tengkorak! Malam nanti aku akan menepati janjiku..!" Dan setelah menghela napas, kakek itupun putarkan tubuh untuk segera berlalu tinggalkan tempat itu.

Senja semakin melenyap untuk segera berganti dengan malam. Malam itu adalah malam bulan purnama yang ketujuh, sejak saat perjanjian yang telah ditentukan. Ki Bayu Sheta memanggil kedua muridnya, yang segera duduk bersimpuh dihadapannya. Pelita minyak sudah dipasang diatas meja kecil dihadapan mereka.

Ruangan pondok itu tampak lengang, karena kedua murid itu tak keluarkan suara sepatah pun. Sejak siang tadi mereka memang telah melihat perubahan sikap si kakek, tentu saja dipanggilnya mereka untuk menghadap bakal ada satu pembicaraan penting.

"Roro…! Ginanjar! Kuharap kalian tidak meninggalkan lereng Gunung Rogojembangan ini sepeninggalku!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara berat. Mendengar itu kedua bocah ini hampir berbareng mengangkat wajahnya. Roro sudah lantas bertanya.

"Mau kemanakah kakek..?"

Ki Bayu Sheta cuma terdiam menatap kedepan. Lalu ujarnya. "Hm, kukira kalian tak perlu mengetahui! Karena ini adalah urusanku!" Menyahut sang kakek dengan suara tandas. "Yang penting kalian tak boleh meninggalkan tempat ini sampai kedatangan menantuku Jarot Suradilaga! Alias si Maling Sakti!" Ujarnya.

Dan kedua bocah itupun manggut-manggut dengan berbareng. Adapun Roro sudah lantas bertanya lagi. "Apakah menantu itu, kek?"

Tentu saja membuat Ki Bayu Sheta jadi tercenung. Lagi-lagi Roro selalu mengacaukan pembicaraan. Akan tetapi orang tua ini segera menghela napas, dan menjelaskan.

"Menantu itu artinya, gurumu si Maling Sakti itu telah menikah dengan anak perempuanku! Nah, si Jarot itulah menantuku..!" Ujar sang kakek dengan tersenyum.

"Kakek mempunyai seorang anak perempuan?" Tiba-tiba Roro kembali bertanya dengan menatap tajam pada Ki Bayu Sheta.

Laki-laki tua itu manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Dari sepasang matanya tiba-tiba sudah menggenang air mata. Tentu saja membuat Roro jadi melengak. Mengapa tahu-tahu si kakek jatuhkan air mata? Pikir Roro.

"Yah, aku memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah menikah dengan gurumu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti! Akan tetapi anakku sudah pergi meninggalkannya. Pergi dengan membawa seorang bayi perempuan! Hal itu sudah berlalu empat belas tahun yang lalu...!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan menyeka air matanya dengan ujung lengan jubahnya.

"Pergi... ? maksudmu berpisah, kek?" Tanya Roro.

Sang kakek kembali mengangguk, dan menatap pada Roro. "Ya..! kalau bayi itu masih hidup, tentu seusia denganmu Roro..!"

Roro sudah mau bertanya lagi, akan tetapi Ginanjar telah mencubit pahanya, memberi isyarat agar jangan terlalu banyak bertanya. Gadis tanggung ini monyongkan mulutnya, akan tetapi tak berani berkata.

Ki Bayu Sheta kembali teruskan wejangannya yang didengarkan oleh kedua muridnya dengan tundukkan wajah. Kali ini Ki Bayu Sheta benar-benar berpesan seperti orang yang tak akan berjumpa lagi membuat Roro dan Ginanjar jadi was-was hatinya. Namun mereka tak mengucapkan kata sepatahpun kecuali mengangguk.

"Nah, jagalah diri baik-baik!" Selesai berkata sang kakek bangkit berdiri, lalu beranjak keluar menuju halaman. Kedua muridnya ini segera mengikut mengantar kepergiannya. Tak berapa lama setelah menengadahkan kepala menatap rembulan, Ki Bayu Sheta segera berkelebatan cepat tinggalkan pondok di lereng Gunung itu. Roro dan Ginanjar cuma menatap bayangannya saja yang sekejap telah lenyap di keremangan malam....

Siapakah sebenarnya Ki Bayu Sheta alias Pendekar Bayangan itu? Dialah seorang pendekar yang pernah menggemparkan pada dua puluh tahun yang silam. Pendekar ini pernah turut berjuang mempertahankan Kerajaan MEDANG dari serbuan musuh, dan turut serta dalam sebuah pemberontakan, karena ketidak senangannya melihat Para Pembesar Kerajaan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, disaat Kerajaan sudah kembali aman.

Gerakan pemberontakan itu dipimpin secara sembunyi-sembunyi, dengan mengikut sertakan kaum pengemis yang berjiwa Patriot. Disitulah Ki Bayu Sheta berjumpa dengan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti yang ternyata adalah pemimpin dari kelompok Partai Pengemis.

Kerajaan Medang waktu itu dalam keadaan gawat. Namun berkat bantuan rakyat dan kaum Partai Pengemis yang turut berjuang, semua kerusuhan itu dapat dipulihkan. Dan semua itu harus meminta korban jiwa yang tidak sedikit. Walaupun demikian, setelah Kerajaan menjadi aman, ternyata masih ada juga beberapa gelintir manusia yang duduk bercokol dikursi kebesaran dengan kekuasaan yang membuat beban berat terhadap rakyat tanpa setahu Raja.

Bukit Kera adalah tempat yang dituju Ki Bayu Sheta. Yaitu sebuah bukit yang memang banyak dihuni oleh kera-kera. Tampaknya si Pendekar Bayangan tak begitu tergesa-gesa untuk cepat tiba dibukit itu. Bulan Purnama tampak membulat indah pancarkan sinarnya yang terang benderang. Tanpa setahu Ki Bayu Sheta, sesosok tubuh ramping telah mengikutinya dengan gerakan hati-hati. Siapakah gerangan sosok tubuh yang menguntitnya itu?

Tak lain dari seorang bocah perempuan, yang ternyata adalah Roro. Walaupun bayangan tubuh Ki Bayu Sheta sudah tak kelihatan lagi, namun Roro masih bisa mengetahui letak Bukit Kera. Karena Roro memang sudah menduga kepergiannya adalah ke bukit itu, sebab dia sering melihat sang kakek menatap kearah barat. Dan gumamnya terkadang terdengar oleh Roro.....

LIMA

SEMENTARA itu diatas puncak Bukit Kera telah menanti sesosok tubuh berdiri tegak dengan jubah berwarna hitam. Rambutnya putih beriapan. Bila dilihat keseluruhannya amatlah mirip dengan Tengkorak Hidup. Laki-laki ini bekulit hitam legam dengan tulang pelipis yang menonjol. Pada bagian belakang jubahnya terdapat sebuah simbol kepala tengkorak. Dilengannya tercekal sebatang tombak yang juga berwarna hitam. Usia orang ini sekitar tujuh puluhan tahun. Dialah si DEWA TENGKORAK.

Seorang tokoh Rimba Persilatan golongan hitam. Tidak terlalu lama sesosok bayangan putih berkelebat. Dan segera telah berdiri diatas sebuah batu besar tepat dihadapan si Manusia Jerangkong itu. Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Jarak mereka berhadapan kurang lebih tujuh delapan tombak.

"Hehehehe... hehe... Selamat datang sobat Pendekar Bayangan! Anda benar-benar seorang pendekar tulen yang menepati janji..!" Terdengar si manusia jerangkong berkata. Suaranya dingin mencekam menyibak kelengangan di sekitar bukit itu.

"Terima kasih atas pujianmu itu Dewa Tengkorak..! Maaf, mungkin kedatanganku agak terlambat!" Ujar Ki Bayu Sheta dengan suara datar.

"Hehehe... sama sekali tidak, sobat Bayu Sheta! Anda terlalu berbasa-basi, membuat aku terkadang malu terhadap diriku sendiri!" Sahut si Manusia Jerangkong, dan terdengar suara helaan napasnya.

Tiba-tiba dengan sekali bergerak tubuh di Dewa Tengkorak telah mencelat keatas setinggi sepuluh tombak. Dan dengan ringan bagaikan sehelai bulu, sepasang kakinya telah mendarat tepat dihadapan Ki Bayu Sheta berjarak kurang lebih dua tombak, tepat diatas batu besar. Ujung tombak dilengannya tiba-tiba diarahkan kedada Ki Bayu Sheta, dan terdengar suaranya yang berubah jadi angker.

"Hm, Bayu Sheta! Tebusan nyawamu atas 300 nyawa kaum Partai Pengemis dan keluarganya pada dua puluh tahun yang silam, akan aku laksanakan pada malam purnama ini! Kukira sejak perjumpaan kita tujuh purnama yang lalu, dan pengunduran pelaksanaan pencabutan nyawamu berakhirlah sudah..!"

"Ya! aku telah siap untuk menyerahkan jiwaku, Dewa Tengkorak! Lakukanlah!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara gagah. Dadanya dibusungkannya untuk segera menerima kematian.

Akan tetapi si Dewa Tengkorak telah turunkan lagi tombaknya. Dan menancapkannya ditanah hingga amblas sampai separuhnya. Suara serak si Manusia Jerangkong itu kembali memecah keheningan yang mencekam itu.

"Bayu Sheta! Tujuh Purnama yang lalu aku telah memberi kesempatan padamu untuk berlatih memperdalam ilmu kedigjayaanmu guna menghadapi malam ini, apakah sudah kau lakukan?" Bertanya si Dewa Tengkorak.

"Ya!"

"Bagus! kau memang manusia jempolan yang tahu diri! Heheheh... tahukah kau mengapa aku sengaja mengulur waktu untuk menjemput nyawamu? Karena aku memang menghendaki pertemuan kita disaat kita sudah sama-sama tua bangka seperti ini! Dan telah dekat ke liang kubur, karena cepat atau lambat toh pada akhirnya kita akan berangkat ke Akhirat..!" Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara parau, dan kembali mengumbar tawa berkakakan. Kata-kata si manusia jerangkong ini terdengar tandas, anehnya seperti tidak mengandung dendam kebencian terhadap Ki Bayu Sheta.

"Selama dua puluh tahun kukira cukuplah untuk kau mendidik seorang murid pewaris ilmu-ilmu yang kau miliki! Dan kau masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang, karena waktu yang kuberikan cukup lama!" Ujarnya lagi.

Kini sepasang mata Ki Bayu Sheta telah beralih menatap pada si Dewa Tengkorak. Tampak sinar matanya membersit tajam seperti mau menembus jantung si manusia jerangkong. Kata-kata itu telah membuat napasnya memburu dan dadanya naik turun bergelombang. Betapa amat terhinanya si Pendekar Bayangan. Prioritas yang diberikan si Dewa Tengkorak selama itu justru telah membuat dia menderita. Tiba-tiba laki-laki tua ini sudah perdengarkan suara keras, gemetaran penuh amarah.

"Dewa Tengkorak!!! Kukira sudah lebih dari cukup kau menyiksaku lahir bathin. Dua puluh tahun lebih aku menderita, tersiksa..! Aku tak ubahnya seperti seorang hukuman yang sudah ditentukan kapan waktu kematiannya! Apakah aku bisa hidup dengan tenteram, dan bersenang-senang..?" Bergetaran tubuh Ki Bayu Sheta menahan amarah yang bergemuruh didadanya.

"Memang, selama itu aku masih dapat mengenyam nikmatnya hidup! Secara lahiriah aku kelihatan dapat merasakan hidup tenteram, dengan mempunyai seorang murid dan mendidiknya dilereng Rogojembangan. Akan tetapi secara bathiniah, aku telah tersiksa! Karena hidupku selama ini adalah atas belas kasih orang yang memberiku waktu untuk hidup. Saat-saat kematianku seperti sudah diambang mata dan waktu yang selama itu kau berikan padaku seperti tinggal beberapa hari saja..! Tidak, Dewa Tengkorak! Ketenteraman hidup akan bisa dirasakan tanpa orang itu mengetahui kapan kematiannya yang akan dia hadapi!"

Kata-kata Ki Bayu Sheta yang tegas dan tanda itu seperti air bah yang mengalir dari atas gunung. Si manusia jerangkong itu terpaku membisu bagai sebuah arca. Cuma terlihat ujung jubahnya yang melambai-lambai diterpa angin. Ternyata si Pendekar Bayangan telah lanjutkan kata-katanya lagi.

"Sepuluh tahun yang lalu akan hampir membunuh diri, karena tak kuat menanggung penderitaan bathin! Maut serasa sudah didepan mataku, dan aku sudah tak sabar menunggumu turun tangan mengambil nyawaku! Dan tujuh purnama yang lalu aku sudah bergirang hati, karena aku segera akan menemui kematian dibukit ini! Akan tetapi tak dinyana kau telah mengulur lagi waktu kematianku sampai hari ini...! Kini waktu itu telah tiba Dewa Tengkorak! Dan aku sudah tak sabar lagi menunggu! Segeralah kau memulai..!" Teriak Ki Bayu Sheta dengan suara tandas.

"Baiklah Bayu Sheta! Hari ini aku memang tak berniat mengulur-ulur waktu lagi, segeralah kau persiapkan dirimu! Akan tetapi aku tak dapat membunuh orang yang tanpa melakukan perlawanan! Segeralah cabut senjatamu..!" Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara dingin. Lengannya sudah bergerak mencabut tombak hitamnya yang tertancap ditanah.

"Aku tak membawa senjata apa-apa, sobat Dewa Tengkorak! Pedang Pusakaku telah kutinggalkan dipondokku untuk pewaris pada muridku! Yah, kukira tak guna kulakukan perlawanan! Toh akhirnya aku akan mati, sesuai dengan janjiku untuk memberikan nyawaku sebagai penebus 300 jiwa orang-orang Partai Kaum Pengemis..!" Ujar Ki Bayu Sheta dengan suara tegas.

Akan tetapi justru membuat si manusia jerangkong ini kecewa setengah mati. "Huh! Benar-benar sial dangkalan..! Justru aku ingin melihat kehebatan jurus dari Ilmu Pedang Bayangan yang kau miliki itu, yang pernah membuat namamu harum dipuji orang! Mengapa kau membuatku kecewa, Bayu Sheta..?"

Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara mengandung kemendongkolan. Sepasang matanya melotot menatap laki-laki tua dihadapannya. Dan sekali lengannya bergerak tombak ditangannya telah dihunjamkan ketanah hingga amblas tak kelihatan lagi.

Terkejut Ki Bayu Sheta. Dia tak menyangka kalau si Dewa Tengkorak akan melakukan hal seperti itu Tombak Hitam itu adalah Tombak Pusaka Kerajaan Kalingga milik Ratu SHIMA, seorang raja perempuan yang pernah berkuasa di Jawa Tengah pada abad ke tujuh. Ki Bayu Sheta mengetahui dari kakek gurunya, bahwa Tombak Pusaka ditangan si Dewa Tengkorak itu adalah benda bersejarah. Entah bagaimana asalnya hingga Tombak Pusaka itu bisa jatuh ketangan si Dewa Tengkorak.

Saat itu telah terdengar suara si manusia jerangkong yang parau. Kepalanya ditengadahkan menatap kearah perbukitan yang berjajar kehitaman nun jauh diarah sana.

"Bayu Sheta! Julukanmu si Pendekar Bayangan itu telah membuat aku mengiri pada lebih dari dua puluh tahun yang silam! Ternyata disamping tingginya ilmu yang kau miliki, kau juga memiliki keluhuran budi! Kau berjuang semata-mata karena membela kebenaran, melindungi si lemah yang tertindas dari si penguasa yang jahat! Perjuanganmu dalam membela Kerajaan Medang dari keruntuhan bersama-sama Partai Kaum Pengemis dan rakyat, telah ditulis dalam sejarah, dan dikenang orang sepanjang zaman. Aku benar-benar kagum atas keluhuran budimu Bayu Sheta! Kau telah rela menebus nyawa ratusan manusia dengan nyawamu sendiri! Aku merasa telah kau kalahkan, Pendekar Bayangan..! Aku cuma bertindak berdasarkan ambisiku belaka, tak tahu apakah orang yang aku bela itu golongan pengkhianat Kerajaan atau pihak yang benar. Bagiku sama saja! Karena yang penting adalah aku dapat berbuat semauku tanpa ada yang melarang. Dan aku dapat hidup berkecukupan dengan hadiah-hadiah yang tanpa ku minta akan datang sendiri, walau datangnya dari para Pembesar Kerajaan yang menggerogoti hasilnya dari memeras rakyat. Aku tak mau tahu..!" Ujar si Dewa Tengkorak dengan suara terdengar parau dan seperti berkumandang disekitar bukit. Dan lanjutnya lagi setelah terdiam beberapa saat.

"Aku merasa bangga kalau ilmu Tombak Iblis yang kumiliki tak ada yang menandingi. Bahkan kini telah kupersiapkan sepuluh jurus ilmu pukulan sakti hasil ciptaanku, yang telah memakan waktu hampir sepuluh tahun aku menekuninya. Ilmu pukulan sakti itu kuberi nama Sepuluh Jurus Pukulan Kematian..!" Sampai disini si Dewa Tengkorak berhenti berkata, dan palingkan wajahnya menatap si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.

"Baiklah, Bayu Sheta! Rupanya tak ada waktu lagi, walau aku harus kecewa karena ternyata kau tak memenuhi harapanku..!" Si manusia jerangkong itu rentangkan sepasang tangannya seperti mau menyangga bulan. "Bersiaplah Bayu Sheta! Aku akan melancarkan pukulan dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian! Bila kau dapat menahan ilmu pukulanku sampai sepuluh jurus, kau bebas menikmati kehidupanmu sampai Hari Kiamat..!" Berkata si manusia jerangkong ini dengan suara dingin bagaikan es.

"Baik! Segeralah kau mulai! aku sudah siap...!" Berkata Bayu Sheta dengan suara datar, yang telah memasang kuda-kuda. Walaupun sudah tak mengharapkan hidup lagi, namun dia tak mau mati konyol begitu saja. Dan dia memang tak mau mengecewakan si Dewa Tengkorak, untuk menghadapi kehebatan kesepuluh jurus Pukulan Kematiannya dengan kekuatan yang dimiliki. Dengan perdengarkan suara mendesis, si Manusia Jerangkong sudah lancarkan serangan.

Wuuuuk....! Segelombang angin pukulan berhawa panas telah menerjang kearah Ki Bayu Sheta.

Desss…! Si Pendekar Bayangan sudah memapaki serangan dahsyat itu. Benturan kedua tenaga dalam yang hebat itu menimbulkan asap tipis seperti kabut. Laki-laki Lereng Rogojembangan itu terhuyung ke belakang. Dia cuma keluarkan sebagian tenaga dalamnya, tak dinyana pukulan pertama si Dewa Tengkorak membuat dia terhenyak kaget, karena terasa hawa panas menembus masuk ke dalam tubuhnya beruntung sang kakek telah lindungi tubuh dengan hawa murni.

Sedangkan si manusia Jerangkong itu tampak tenang-tenang saja berdiri menatapnya tanpa menggeser tubuh. "Bagus! kini tahanlah pukulan kedua..!" Teriak si Dewa Tengkorak. Dan dibarengi teriakan menggeledek, si manusia Jerangkong segera hantamkan pukulannya.

ENAM

HANTAMAN demi hantaman pun berlangsung. Dan si Pendekar Bayangan selalu berhasil menahannya, hingga sampai jurus kelima. Hawa disekitar tempat itu mulai terasa panas. Berpuluh-puluh ekor kera sudah berlompatan menyingkirkan diri. Angin malam yang membersit dari atas Bukit Kera ternyata telah menimbulkan hawa panas yang menyebar disekitarnya.

Bahkan hawa panas itu kini sudah berganti-ganti panas dan dingin, karena Si Pendekar Bayangan telah keluarkan tenaga dalam Inti Es untuk menahan serangan Si Dewa Tengkorak. Pada Jurus kelima ini telah membuat Ki Bayu Sheta terdorong mundur dua langkah. Sedangkan tubuh si Dewa Tengkorak tampak bergoyang-goyang, tapi cukup membuat tokoh hitam Rimba Persilatan ini terkejut karena hawa dingin seperti telah memusnahkan tenaga dalam Inti Apinya.

Jurus keenam telah dilancarkan lagi. Kali ini si Pendekar Bayangan harus hati-hati, karena jurus ini amat berbahaya dan lebih ganas lagi. Pukulan si Dewa Tengkorak mengarah batok kepala orang dengan cengkeraman ganas. Sedang sebelah lengannya lagi menghantam kearah jantung. Serangan ke arah batok kepala dapat dihindarkan.

Akan tetapi yang mengarah ke jantung sukar dihindarkan karena datangnya terlalu cepat dan dibarengi hawa panas yang menyesakkan pernapasan. Tenaga Inti Es nya ternyata seperti meleleh oleh hawa Inti Api si Dewa Tengkorak, yang ternyata lebih kuat. Untung dia keburu doyongkan tubuh, akan tetapi tetap saja pukulan itu bersarang dibahunya sebelah atas. Dan....

Bukk...! Ki Bayu Sheta terdorong tiga langkah. Jubahnya pada bagian bahu sebelah atas itu robek hangus, dan tampak kulit bahunya mengelupas. Namun dengan mengertak gigi, Ki Bayu Sheta tak perlihatkan rasa sakitnya. Bahkan dengan gagah kembali berdiri tegak dengan mengumbar senyum.

"Hebat! Jurus keenam ini cukup luar biasa, sobat Dewa Tengkorak! Nah, aku sudah siap menanti serangan jurus ketujuh!" Berkata Ki Bayu Sheta denga suara santar.

Akan tetapi sampai jurus keenam ini si Dewa Tengkorak berhenti sejenak, seperti memberi waktu pada lawannya untuk mengatur napas. Namun agaknya si Pendekar Bayangan sudah tak sabar lagi. Di merasa bagai seorang bocah kecil yang harus di kasihani. Memang diakuinya bentengan hawa murni pada tubuhnya yang mengandung hawa Inti Es dapat dijebol si Dewa Tengkorak. Dan membuat darahnya seperti bergolak panas membuat dadanya menjadi sesak.

Setetes darah sudah tersembul disudut bibirnya. Akan tetapi mana mau laki-laki perkasa itu menunjukkan kelemahannya? Bahkan seperti tak mengalami apa-apa dia menantang jurus-jurus selanjutnya. Mengetahui si Dewa Tengkorak sengaja menyediakan waktu padanya untuk beristirahat, tentu saja membuat jago tua ini merasa terhina.

"Mengapa berhenti, Dewa Tengkorak? Heh, kau kira aku takut menghadapi ilmu Pukulan Penggebuk Anjingmu itu? Ataukah kau malu mempertunjukkannya padaku? Hahaha.. hehehe...." Sengaja Ki Bayu Sheta mengejek si Dewa Tengkorak agar menjadi marah, dan segalanya akan cepat menjadi beres.

Mendengus si Dewa Tengkorak. Wajahnya seketika menjadi merah padam. Dan dia sudah mengangkat tangannya, seraya berteriak. "Baik Bayu Sheta! Terimalah jurus ketujuh dan kedelapan!"

Tampak sepasang lengan si manusia Jerangkong itu telah berubah merah bagaikan bara api yang mengepulkan asap tipis. Si Pendekar Bayangan menahan napas, dan sudah siap menghadapi dua jurus ketujuh dan kedelapan dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian. Satu bentakan keras seperti membelah bukit.

Hawa panas melingkupi sekitar bukit Kera, ketika sepasang lengan si Dewa Tengkorak bergerak memutar yang menimbulkan angin panas. Ketika putarannya berhenti mendadak tubuh si Manusia Jerangkong itu mencelat keatas setinggi sepuluh tombak. Dan ketika menukik lagi, segera hantamkan lengannya kearah Ki Bayu Sheta.

Dessss...!

Satu pukulan berhasil ditangkis si Jago tua ini. Tubuh Ki Bayu Sheta terhuyung kebelakang. Dan jurus berikutnya adalah tiga serangan sekaligus, yang mengarah ketiga bagian tubuh si Pendekar Bayanga ditempattempat berbahaya. Yaitu tenggorokkan, perut dan selangkangan.

"Jurus keji..!" Terdengar sebuah bentakan, di susul dengan berkelebatnya sebuah bayangan putih. Dan...

Krak! Krak! Buk…!

Jurus kedelapan itu dapat mengenai sasaran. Dan terdengarlah suara jeritan parau menyayat hati, dengan diiringi terlemparnya sesosok tubuh yang ambruk ke tanah. Setelah berkelojotan beberapa saat sosok tubuh itupun diam tak berkutik lagi karena telah tewas dengan seketika. Apakah yang terjadi? Kiranya Ki Bayu Sheta telah terhindar dari pukulan maut si Dewa Tengkorak. Dan justru si pendatang barulah yang telah menahan pukulan keji si Manusia Jerangkong itu dan menjadi korban.

Sedangkan Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta masih berdiri dengan tubuh limbung. Darah segar berwarna hitam kental tersembur beberapa kali dari tubuhnya. Ternyata hantaman pada jurus awal dari jurus ketujuh tadi, Ki Bayu Sheta telah terluka parah. Seandainya tak datang sesosok tubuh yang menahan terjangan jurus selanjutnya dan mengorbankan nyawa, mustahil kalau si Pendekar Bayangan dapat lolos dari maut.

Sementara terjangan-terjangan yang terjadi di atas bukit Kera itu ternyata tak luput dari sepasang mata bening, yang telah turut menyaksikan pertarungan sejak awal tadi. Dialah Roro, si gadis bengal yang telah diamdiam menguntit sang kakek Ki Bayu Sheta. Sepasang mata gadis tanggung ini terbeliak lebar menyaksikan kejadian barusan. Dan dari bibirnya telah terdengar teriakan tertahan. Dan si gadis tanggung ini telah menghambur keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata dia telah mengetahui siapa adanya laki-laki yang mengorbankan nyawa menyelamatkan Ki Bayu Sheta.

"Guruuu…!" Teriaknya dengan suara parau bercampur isak. Dan dengan beberapa kali melompat dia sudah tiba didekat tubuh si pendatang, yang sudah terkapar tak bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, karena tulang dadanya remuk, dan tulang leher patah, serta pada bagian selangkangannya telah hancur bersimbah darah. Sesaat Roro sudah jatuhkan tubuhnya untuk memeluki tubuh laki-laki itu, yang tak lain dari Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Diguncang-guncangkannya tubuh laki-laki itu dengan isak tangis memilukan.

Sementara itu tanpa ada yang mengetahui disudut mata si Dewa Tengkorak tersembul setitik air bening. Untuk pertama kalinya dia mencucurkan air mata. Mengapa demikian? Karena didada si Dewa Tengkorak telah mengaduk berbagai perasaan menjadi satu. Hatinya begitu trenyuh menyaksikan pengorbanan si Maling Sakti pada si Pendekar Bayangan.

Alangkah bahagianya kalau dia dapat mati sebagai seorang Pendekar, seperti si Maling Sakti itu. Dan Si Pendekar Bayangan pun rela mati demi menebus nyawa 300 orang Partai Kaum Pengemis, yang sedianya sudah akan dibantai si Dewa Tengkorak, dan lasykar Kerajaan ketika mereka tengah berkemah bersama keluarga ditempat pengungsiannya ditepi sungai atau Kali Wringin.

Seorang Adipati bernama Haryo Gawuk telah melaporkan pada Raja Kerajaan Medang bahwa Parta Kaum Pengemis telah siap melakukan penyeranga ke Istana. Mereka berkemah ditepi Kali Wringin. Tentu saja Baginda Raja Kerajaan Medang menjadi murka. Karena merasa Partai Kaum Pengemis telah bertindak keterlaluan. Raja telah memberikan janji untuk mengangkat mereka yang telah turut berjuang membela Kerajaan dari kekuasaan musuh, dan telah pula membantu memperjuangkan rakyat dari tindakan para Pembesar yang sewenang-wenang, mengapa diberi penghargaan telah menolak?

Dan kini diam-diam telah mengatur pemberontakan. Segera saja perintahkan Senapati Trenggono untuk menumpas Partai Pemberontak itu. Akan tetapi hatinya menjadi ragu atas pengkhianatan Partai Kaum Pengemis. Segera Sang Raja perintahkan Patih Ganda Setho untuk menyusul Senapati Trenggono dengan membawa surat pembatalan untuk menumpas Partai Kaum Pengemis. Dan memerintahkan untuk menyelidiki terlebih dulu.

Sang Patih berhasil menyusul Senapati Trenggono dan pasukannya. Lalu berikan surat penggagalan penyerangan dari Baginda Raja. Ternyata sekembalinya sang Patih Ganda Setho, Senapati Trenggono yang memang telah mengatur rencana jahat dengan Adipati Haryo Gawuk, segera berunding. Ternyata diam-diam sang Adipati telah berhubungan dengan si Dewa Tengkorak. Dan telah menyogok si Dewa Tengkorak dengan harta dan wanita.

Tentu saja si Dewa Tengkorak yang terkenal berkepandaian tinggi dan ditakuti itu tak menolak. Sebagian lasykar Kerajaan kembali pulang bersama Senapati. Akan tetapi sebagian lagi telah turut menyerbu ke kemah kaum Partai Pengemis, yang pada waktu itu berada di tepi Kali Wringin bersama keluarganya.

Mereka telah dikepung ketat, dan dalam keadaan tak siap siaga. Karena merasa keadaan Kerajaan sudah aman. Mereka sengaja berkumpul karena akan mengadakan penyambutan buat si Pendekar Bayangan dan Ketua Mereka si Maling Sakti, berkenaan dengan menikahnya puteri si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta dengan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti, sang Ketua mereka. Tentu saja keadaan dikemah mereka cuma ada beberapa puluh orang kaum laki-laki, karena sisanya tengah menghadiri pesta pernikahan anak perempuan si Pendekar Bayangan disisi Kota Raja, yang diadakan dengan sembunyi-sembunyi.

Rupanya hal tersebut sudah bocor, dan diketahui oleh anak buah Adipati Haryo Gawuk. Sang Adipati mengkhawatirkan akan kedudukannya, karena dia memang salah seorang Adipati yang bertindak tidak jujur, dan melakukan pemerasan terhadap rakyat. Dengan adanya Komplotan Partai Pengemis, bisa-bisa dirinya akan tergeser dan dipecat seandainya komplotan para pejuang itu mencium tindakannya.

Demikian juga dengan Senapati Trenggono, karena adalah bekas seorang Tumenggung yang justru disaat keadaan Kerajaan sedang kacau, dia berpihak pada musuh. Bisanya menduduki jabatan sebagai Senapati, tentu saja dengan jalan memutar lidah dihadapan Raja. Dan mengkambing hitamkan rakyat atau para Pembesar Kerajaan lainnya, hingga sang Raja menjatuhkan hukuman mati pada orang yang sebenarnya tidak bersalah.

Karena mengkhawatirkan kedudukannya juga khawatir tersingkap kejahatannya, Senapati Trenggono telah bersengkongkol dengan Adipati Haryo Gawuk untuk menyingkirkan kaum Partai Pengemis para pejuang pembela rakyat itu. Tentu saja pengaturan itu telah dipersiapkan sejak lama. Dan berhasil dihubungi seorang tokoh hitam yang bergelar si Dewa Tengkorak.

Untunglah dalam saat yang genting itu, si Pendekar Bayangan telah menerima laporan dari anak buahnya tentang penyergapan itu. Dan tanpa memberitahukan pada semua kawan-kawan dan anak buahnya yang tengah mengadakan pesta meriah, si Pendekar Bayangan berkelebat cepat sekali kearah Kali Wringin.

Dan berjumpa dengan si Dewa Tengkorak. Ki Bayu Sheta tak dapat berkutik, karena sekali si Dewa Tengkorak memberi isyarat, maka akan segera terjadi pembantaian yang telah dipersiapkan itu. Lebih dari tiga ratus nyawa akan melayang yang terdiri dari anak-anak kecil bayi dan wanita tak berdosa.

Akhirnya dengan memohon belas kasihan, dan dengan rela menukar nyawa 300 jiwa keluarga tak berdosa itu dengan nyawanya, Ki Bayu Sheta memohon agar si Dewa Tengkorak membebaskan mereka. Dewa Tengkorak memang telah mengetahui akan kehebatan si Pendekar Bayangan ini, dan sudah ada niatnya untuk mengadu kesaktian.

Tentu saja tawaran itu tak ditolaknya. Dan gagallah pembantaian atas 300 jiwa keluarga kaum Partai Pengemis. Akan tetapi dengan satu perjanjian, yaitu dibubarkannya Partai Kaum Pengemis dan tidak diperkenankan lagi mencampuri urusan disekitar wilayah Kota Raja.

Memang belakangan Partai Kaum Pengemis itu dibubarkan. Akan tetapi beberapa bulan kemudian gerakan Partai tersebut yang secara sembunyi-sembunyi dibawah pimpinan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti berhasil membongkar kejahatan Adipati Haryo Gawuk.

Dan ketahuan pula siapa sebenarnya Senapati Trenggono. Ternyata Patih Ganda Setho telah membeberkan kejahatan Senapati itu dan membuktikannya dihadapan Raja. Selang sebulan Senapati dan Adipati itu ditangkap, dan dihukum gantung....

TUJUH

DEWA TENGKORAK tiba-tiba merasa dirinya amat rendah sekali. Dan tak lebih dari seorang tokoh penyebar kejahatan. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri dengan mengumbar kepuasan duniawi. Selama hidupnya tak pernah berbuat kebajikan, selain bergelimang dengan kekotoran yang digelutinya. Gelarnya memang telah membuat orang takut dan gemetaran, akan tetapi apakah dia memiliki kewibawaan?

Tidak! Orang tak akan menghargainya, bahkan mayatnyapun tak mau orang menyentuhnya. Demikian memikir dibenak si Dewa Tengkorak. Dan hal itu memang membuat dia merasa mengiri pada nasib Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.

Roro si gadis tanggung itu tibatiba lepaskan pelukannya pada jenazah si Maling Sakti, dan melompat kearah Ki Bayu Sheta. "Kakek..!? Oh, kakek..! Kau... kau terluka..!" Dan lengannya sudah bergerak menyangga tubuh si Pendekar Bayangan yang terhuyung limbung.

Laki-laki tua ini tersenyum pedih. Sepasang matanya sedari tadi menatap pada tubuh si Maling Sakti, menantunya itu. "Jarot..! kau... kau telah berkorban nyawa untukku..! Aiih, mengapa kau lakukan itu?" Terdengar seperti menggumam suaranya yang lirih. Dan ketika Roro memeluknya untuk menyangga tubuhnya, sang kakek ini perlihatkan senyumnya. Lengannya bergerak mengelus rambut bocah perempuan itu.

"Roro..! kau... kau memang murid yang bandel! Mengapa kau menyusul kemari? Hahahaha... hapuslah air matamu itu, bocah centil! Sungguh memalukan! Seorang pendekar tak boleh cengeng! Kau sudah dengar tadi pembicaraan kami! Aku memang telah memberikan nyawaku pada si Dewa Tengkorak itu, jadi kau tak boleh mendendam padanya! Gurumu si Maling Sakti ternyata telah menyelamatkan nyawaku..! Ah, sungguh diluar dugaanku! Tapi dia telah tewas sebagai Pendekar Sejati cucuku! Tak usah kau sesali kematiannya! Kini menyingkirlah..! Aku harus menghadapi dua jurus lagi dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian yang sudah menjadi perjanjian kami..!"

Berkata Ki Bayu Sheta dengan tersenyum dipaksakan. Sementara darah masih mengalir disudut bibirnya. Sebelah lengannya sudah bergerak menepiskan tubuh Roro dari tempat itu. Dan dengan gagah Ki Bayu Sheta tegak berdiri, menatap si Dewa Tengkorak.

"Hayo, Dewa Tengkorak! Mana jurus kesembilan dan kesepuluh! Hahahaha... Sayang menantuku si Maling Sakti itu telah menahan seranganmu, kalau tidak apakah kau kira aku tak sanggup menahannya. Hm, jangan mimpi!" Teriak Ki Bayu Sheta dengar menahan napasnya. Akan tetapi kesudahannya napasnya tersengal-sengal. Lagi-lagi tubuhnya limbung mau jatuh. Namun dengan berlagak kuat, sang kakek ini bertahan untuk tetap berdiri tegak menantang.

Saat itu si Dewa Tengkorak telah perdengarkan tertawa terbahak-bahak. Dan satu suara dingin berkumandang, seperti menembus, merasuk mencekam jantung.

"Hehehehe... hehehe... Bayu Sheta! Bayu Sheta. Kau memang seorang yang beruntung! Tidak seperti aku yang sial dangkalan! Kini bersiaplah kau untuk menerima dua pukulan terakhirku!"

Begitu habis kata-katanya, tampak sepasang lengan si Dewa Tengkorak bergerak memutar keatas, dengan menimbulkan suara berklotakan. Tampak kedua lengannya seperti tergetar dan merah membara serta mengeluarkan asap kabut berhawa panas. Disusul menggelombangnya angin panas yang santar menerjang kearah Ki Bayu Sheta. Saat itu si Dewa Tengkorak baru mempersiapkan jurus ke sembilan dan kesepuluh, tapi hawa panasnya telah terasa ke sekitar bukit itu.

Pada saat itulah terdengar suara bentakan nyaring. "Iblis tua bangka..! Aku akan adu jiwa denganmu..!"

Dan disusul dengan berkelebatannya tubuh Roro melompat kehadapan si Dewa Tengkorak. Saat itu justru si Dewa Tengkorak sudah lancarkan serangan kearah si Pendekar Bayangan. Melihat bocah perempuan tanggung murid si kakek itu melompat kearahnya, sepasang mata Dewa Tengkorak jadi melotot. Akan tetapi jadi tertawa menyeringai. Sementara Roro sudah lancarkan serangannya menghantam tubuh si manusia Jerangkong itu.

Akan tetapi si Dewa Tengkorak justru tak menghindarkan diri. Hantaman lengan bocah perempuan itu tiba-tiba seperti tertahan di tengah jalan. Dan pada detik itu dengan suara tertawa berkakakan, sebelah lengan si Dewa Tengkorak yang sedianya akan dihantamkan pada Ki Bayu Sheta, kini dialihkan mencengkeram batok kepala bocah perempuan itu.

Desss...!

Terdengar suara teriakan menyayat hati dari si bocah perempuan. Kepalanya seperti lenyap tak terlihat lagi, karena tertutup oleh tebalnya asap kabut. Sementara itu sebelah lengannya telah menghantam kearah Ki Bayu Sheta.

Bummmm....! Terdengar suara ledakan keras. Akan tetapi hantaman si Dewa Tengkorak tidak tertuju pada si Pendekar Bayangan, melainkan pada tanah berbatu dihadapannya. Seketika tanah dan batu berhamburan menyemburat. Sebuah lubang bergaris tengah tiga depa segera menganga lebar. Sementara itu si bocah perempuan bernama Roro itu sudah perdengarkan keluhannya, lalu tubuhnya roboh terguling dari atas batu besar itu.

Terperangah si Pendekar Bayangan.... Sepasang matanya terbelalak lebar melihat tubuh Roro terjungkal roboh akibat hantaman telapak tangan si Dewa Tengkorak. Sementara dia sudah pegangi lagi dadanya, yang seperti mau meledak. Pada jurus kesembilan dan kesepuluh itu tak dirasakan sedikitpun pukulan si Dewa Tengkorak mengenai tubuhnya. Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang telah tak berdaya. Pukulan pada jurus ke tujuh tadi telah meremukkan bagian dalam tubuhnya.

Tampak angin pukulan Dewa Tengkorak yang menyerempet sedikit pada tubuhnya, telah membuat tubuh tua itu menjadi limbung dan segera roboh ke bumi. Sepasang matanya masih menatap pada Roro dan si Dewa Tengkorak. Akan tetapi melihat keadaan si Dewa Tengkorak yang tetap berdiri tak bergeming diatas batu itu, kakek ini perlihatkan senyumannya sambil meringis memegangi dadanya.

* * * * * * *

Rembulan semakin meninggi. dan malam semakin melarut. Suasana di atas Bukit Kera seperti penuh kemisteriusan. Karena kera-kera telah lari menjauh. Keadaan disekitar atas bukit itu seperti lengang, seolah tiada lagi kehidupan disana. Akan tetapi menjelang siang disaat Matahari sudah menggelincir naik, tampak sesosok tubuh bergerak-gerak seperti hidup.

Ternyata adalah si bocah perempuan tanggung bernama Roro itu. Satu keanehan ternyat telah terjadi diatas bukit itu. Kalau kedua tokoh Rimba Persilatan itu mati secara aneh. Bila kematian Dewa Tengkorak adalah dengan posisi berdiri seperti tengah melancarkan pukulan, adalah kematian Bayu Sheta si Pendekar Bayangan dalam keadaan terduduk dengan mimik wajah seperti orang tertawa. Roro belalakkan sepasang matanya yang membulat mengitari keadaan sekitarnya. Otaknya bekerja cepat memikirkan kejadian yang telah menimpa dirinya.

"He? masih hidupkah aku..?" Gumamnya lirih. Lengannya bergerak mencubit kulit tubuhnya, dan dirasakannya sakit. Kenyataan itu telah membuat dia mengambil kesimpulan bahwa dirinya masih hidup. Segera terbayang ketika si Dewa Tengkorak mencengkeram batok kepalanya. Ingatannya mendadak lenyap, karena kepalanya dirasakan berkunang-kunang dan dia sudah jatuh tak sadarkan diri.

Kini sepasang matanya jelalatan menatap pada tiga sosok tubuh yang kesemuanya telah tak bergeming. Melihat si Dewa Tengkorak yang masih berdiri tegak dengan posisi orang memukul dengan rentangkan sebelah tangannya, Roro jadi terpaku.

"Masih hidupkah si iblis tua bangka ini?" Desisnya pelahan. Dan tubuhnya sudah bergerak melompat berdiri. Pertama-tama yang diburunya adalah kearah Ki Bayu Sheta. Akan tetapi ketika dia menyentuh dan meraba tubuh si Pendekar Bayangan ternyata sudah tak bernyawa lagi. Tercenung si gadis tanggung ini. Air matanya sudah kembali menggenang. Lalu bergerak melompat kearah mayat gurunya si Maling Sakti menatapnya sejenak dan duduk bersimpuh dengan linangan air mata.

Tiba-tiba kembali dia palingkan wajahnya menatap pada si Dewa Tengkorak. Aneh!? Mengapa manusia iblis itu tak juga gerakkan tubuh? Apakah diapun sudah mati? Berkata dalam hati si gadis tanggung ini. Dan dengan sebat Roro sudah melompat kehadapan mayat si Manusia Jerangkong itu. Nyatalah setelah diperhatikan kalau tubuh Si Dewa Tengkorak pun sudah tak bernapas lagi. Dan kematiannya memang sungguh aneh.

Sementara Roro sendiri tengah tercenung, karena dirasakannya tubuhnya menjadi amat ringan sekali ketika melompat-lompat. Justru beberapa kali dia hampir terhuyung jatuh karena merasa kelebihan tenaga. Tanpa disadari kalau sebenarnya tenaga dalamnya telah bertambah 10 kali lipat.

Disamping merasa heran, juga merasa sedih sekali melihat semua orang yang disayanginya telah tewas. Kini Roro palingkan wajahnya menatap pada sebuah lubang besar dihadapannya. Sesuatu tampak tersembul ditengah lubang yang hangus kehitaman itu.

"Apakah itu bukannya Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak?" Bertanya hatinya. Dan Roro sudah beranjak mendekati. Lalu melompat kedalam lubang. Benarlah apa yang diduganya. Tak ayal dia sudah gerakkan tubuh membungkuk, dan lengannya bergerak mencabut benda itu hingga tersembul seluruhnya batang Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu.

Kini dia kembali termangu-mangu. Apakah yang akan dilakukannya lagi? Ternyata Roro berotak cerdas, segera dia berfikir kalau lubang besar itu pasti akibat hantaman lengan si Dewa Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh dari ilmu pukulan sakti bernama 10 Jurus Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak itu justru membuat kematiannya? Berfikir Roro. Dan lubang ini adalah dipergunakan untuk mengubur jenazahnya? Pikirnya lagi.

Namun Roro tak dapat berlama-lama untuk berfikir, karena dia sudah bergerak melompat keluar dari dalam lubang. Dan selanjutnya Roro sudah bekerja cepat untuk mengangkat ketiga jenazah. Satu-persatu dimasukkan kedalam lubang besar itu. Tak lama ketiga jenazah sudah terbaring membujur didalam lubang. Gadis tanggung ini memandanginya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata.

"Kakek Bayu Sheta, guru... dan kau Dewa Tengkorak! Walaupun kalian adalah bermusuhan dimasa hidup, akan tetapi rupanya Tuhan sudah  mentakdirkan kalian wafat dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan jasad kalian terkubur dalam satu lubang."

Sesaat Roro sudah tundukkan wajah dengan sepasang mata sudah menjadi basah oleh genangan air mata. Namun cuma sesaat, karena Roro sudah hapuskan air matanya. Lalu mulailah bekerja cepat menguruk lubang kubur menutupi ketiga jenazah itu dengan tanah. Selang tak berapa lama pekerjaannya pun selesailah sudah.

Kini segunduk tanah telah tersembul diatas Bukit Kera. Dan seorang dara tanggung duduk bersimpuh dihadapan gundukan tanah itu. Bibirnya berkemak-kemik seperti memanjatkan doa. Tak berapa lama dia sudah bangkit berdiri. Lengannya mencekal sebatang Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak yang berwarna hitam legam itu.

Setelah berfikir sejenak, tombak itu segera ditancapkan ke atas gundukan tanah setelah dengan seolah menjadikan tombak itu sebagai batu nisan. Lalu gadis tanggung itu balikkan tubuh. Wajahnya menengadah ke langit dengan pejamkan mata, dan terdengar suara helaan napasnya. Tak lama dia segera menindakkan kaki melangkah meninggalkan gundukan tanah itu. Akan tetapi baru sepuluh langkah dia sudah hentikan lagi tindakannya. Telinganya seperti mendengar satu suara aneh yang menyusup ke daun telinganya.

"Aiiih, bocah tolol...! Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu sungguh sayang kalau dijadikan batu nisan! Mengapa tak kau bawa saja sebagai kenang-kenangan..?"

Tentu saja Roro jadi melengak heran. Suara siapakah gerangan yang menyusup ke telinganya? Pikir Roro. Akan tetapi Roro memang tak perlu berfikir lebih jauh. Hatinya sedang dilanda kesedihan. Dia berpendapat suara itu adalah suara hatinya sendiri. Oleh sebab itu segera dia balikkan tubuh, dan kembali beranjak mendekati gundukan tanah itu. Dan sekali lengannya bergerak, Tombak Pusaka itu telah dicabutnya lagi.

DELAPAN

INGIN kencang membersit dari arah selatan dan dari kejauhan sudah terdengar deburan-deburan ombak yang melanda karang. Dua sosok tubuh itu berlompat-lompatan saling kejar dibarengi suara-suara bentakan dan tawa cekikikan. Ternyata mereka adalah dua orang wanita. Kalau yang seorang adalah seorang gadis tanggung yang tak lain adalah Roro adanya, tapi yang seorang lagi adalah seorang wanita berusia sekitar 30 tahun.

Wanita ini memakai baju sutera warna merah. Rambutnya memakai dua buah konde dikiri-kanan yang kedua kondenya dibeliti oleh pita berwarna merah. Sikapnya amat genit luar biasa. Sementara pada lengannya terdapat dua potong benda sepanjang satu depa. Ternyata kedua benda itu tak lain dari tombak pusaka si Dewa Tengkorak, yang entah bagaimana telah menjadi dua bagian. Sementara si gadis tanggung bernama Roro itu tengah mengejarnya dengan melompat-lompat disertai bentakan-bentakan keras.

"Hihihi... hihi... Tombak Pusaka ini toh bukan milikmu, mengapa tak kau biarkan aku yang merawatnya..?" Berkata si wanita genit itu. Suaranya terdengar aneh bagi pendengaran Roro, karena terkadang kecil terkadang besar mirip laki-laki.

Si gadis tanggung ini plototkan matanya dengan wajah gusar. Beberapa puluh kali lompatan sudah dilakukan untuk mengejar wanita yang telah merebut potongan tombak itu dari tangannya, akan tetapi wanita itu mempunyai gerakan aneh. Hingga selalu dia tak berhasil merebut kembali benda itu. Kiranya sewaktu Roro tinggalkan Bukit Kera, diam-diam telah dikuntit oleh sesosok tubuh yang tak lain dari wanita aneh ini.

Ketika Roro ditengah perjalanan berhenti untuk melepas lelah dan duduk dibawah pohon, lengannya telah iseng mempermainkan tombak hitam itu. Tak dinyana Roro berhasil menemukan kejanggalan pada bagian tengah tombak, yang ternyata besinya agak tebal dengan dua guratan melingkar. Rasa penasarannya membuat dia memperhatikan, dan menyelidiki kedua guratan ditengah batang tombak.

Ternyata kemudian dia berhasil memutarkan sebagian batang tombak, yang ternyata bagian tengahnya itu merupakan sambungan. Sayang disaat dia tengah mau menyelidiki lebih lanjut pada bagian tengah tombak yang berlubang, telah berkelebatlah sebuah bayangan merah menyambar kedua potongan tombak itu.

Tentu saja Roro jadi terkejut, karena tahu-tahu kedua potong benda ditangannya telah lenyap dan berpindah tangan. Dengan gusar dia melompat dan mengejar si bayangan merah. Semakin lama semakin menjauh, hingga dari mulai matahari separuhnya dari atas kepala hingga sampai menjelang senja mereka berkejaran.

Ternyata keduanya telah tiba disatu daerah pantai. Itulah daerah Pantai Selatan, yang ombaknya sebesar-besar bukit bergulung-gulung menyeramkan. Roro yang sedianya akan kembali ke lereng Rogojembangan, jadi terkecoh karena mengejar si wanita aneh ini. Rasa penasarannya serta kemendongkolan hatinya untuk kembali merebut tombak itu membuat dia tak berhenti mengejar. Bahkan selama berkejar-kejaran itu Roro telah lancarkan serangan-serangan hebat.

Tenaga dalamnya yang telah bertambah 10 kali lipat itu amat menguntungkan Roro. Karena disamping tenaga hantaman lengannya menjadi berlipat ganda, dia juga dapat melakukan lompatan-lompatan mengejar si wanita genit itu. Tekad Roro telah bulat untuk merebut kembali Tombak Pusaka itu.

Akan tetapi amat diherankan karena selalu saja serangannya lolos tanpa dapat mengenai sasarannya, ataupun menyentuh seujung rambutpun tubuh wanita aneh itu. Demikianlah hingga mereka telah tiba diatas tebing karang di Pantai Selatan.

"Hihihi... bocah manis! Tenaga dalammu amat hebat! Rupanya si Dewa Tengkorak telah mewariskan tenaga dalamnya padamu! kau sungguh beruntung, bocah! Tapi... benda ini kau biarkanlah untukku! Aku akan menyimpannya untuk kenang-kenangan..!" Berkata si wanita aneh itu dengan senyum genit dan menimang-nimang benda itu bahkan menciuminya.

Roro jadi semakin mendongkol. Tiba-tiba dia sudah lakukan bentakan keras seraya melompat menerjang. "Kau boleh ambil benda itu setelah kau dapat jatuhkan aku!" Bentaknya. Dan....

Wukkk! Wukkk..!

Dia sudah kirimkan serangan dahsyat. Lagi-lagi terjadi keanehan, karena si wanita itu cuma melenggang-lenggokkan tubuhnya seperti orang menari. Namun serangan beruntun Roro ternyata telah luput. Semakin menggebu kepenasaran Roro, hingga dia telah keluarkan seluruh kepandaiannya menerjang si wanita aneh yang genit luar biasa itu. Suara-suara teriakan dan cekikikan terdengar silih berganti.

Dan diatas bukit Pantai Selatan itu seperti ada dua bayangan saja yang terlihat berkelebatan. Sementara di bawah tebing suara deburan ombak Pantai Selatan yang bergulung-gulung berhempasan menerjang batu karang. Hingga suatu saat tiba-tiba Roro terpekik, karena dia telah kelebihan melompat tanpa mampu menahan tubuhnya lagi. Dan terjerumuslah si gadis tanggung itu ke bawah tebing karang. Lalu sekejap tubuhnya telah lenyap ditetan ombak ganas.

"Hihihi... bagus! akan kulihat apakah kau mampu menyelamatkan diri?" Berkata si wanita aneh. Dan sekejap tubuhnya telah melesat dari situ, lalu lenyap dibalik batu tebing yang bertonjolan.

Tubuh Roro si bocah perempuan tanggung itu timbul tenggelam dihantam ombak yang bergulung-gulung. Apakah Roro akan mudah saja menghadapi maut yang akan merenggut nyawanya? Tidak! Kekerasan hatinya telah mengalahkan segalanya. Dengan patokan, sebelum ajal berpantang mati! Roro berusaha berenang, walau beberapa teguk air telah lewat masuk tenggorokannya.

Segera teringat sepintas disaat menggoda Ginanjar dengan menyelam ke dalam air, kemudian menarik kaki bocah laki-laki itu. Dan Ginanjar berteriak-teriak ketakutan. Roro telah disangka Hantu Air yang biasa mengganggu orang mandi dekat air terjun itu. Ingatan itu membangkitkan semangat Roro untuk bisa hidup. Segera diatahan napas, dan menyelam sedalam mungkin ke dalam air. Sepasang matanya dibentangkan lebar-lebar. Terasa perih, karena air laut memang asin berbeda dengan air sungai.

Namun tekad untuk hidup menggebu-gebu didada Roro. Dipaksakannya untuk tetap dapat membuka matanya, hingga lambat laun rasa perih dimatanya itupun sudah tak terasakan lagi. Dengan berenang cepat dibawah air itu memang Roro berhasil menghindari arus dari ombak ganas diatas permukaan. Karang demi karang dibawah air terus dilewati.

Tiba-tiba tercekat hatinya melihat ada sebuah terowongan didasar air. Bergegas dia berenang kesana dengan tenaga sekuat-kuatnya. Dadanya sudah terasa sesak karena menahan napas, tapi dengan sekuat tenaga dia mencoba bertahan. Bagai seekor ikan Hiu yang meluncur diantara ikan-ikan kecil lainnya didasar laut itu, tubuh Roro sudah meluncur melewati terowongan. Ombak santar yang terasa mengganggunya mendadak jadi hilang.

Kembali dia enjot tubuh untuk berenang sekuat-kuatnya, karena tenaganya sudah teramat lemah. Dadanya terasa semakin sesak, seperti mau pecah. Kekuatannya untuk menahan napas sudah mencapai klimax, dan dia memang sudah tak sanggup untuk bertahan lagi. Terowongan itu sudah terlewati, akan tetapi Roro sudah kehabisan napas. Untuk menyembul kepermukaan pun sudah tak sanggup. Terpaksa dia biarkan tubuhnya mengapung sendiri, dan dua tiga teguk air lewat kembali masuk ketenggorokannya.

Pandangannya sudah menjadi gelap, kepalanya terasa berat. Dan si gadis tanggung ini sudah pejamkan matanya karena tak mampu lagi untuk membuka matanya. Maut seperti akan segera tiba diruang matanya. Akan tetapi takdir agaknya belum menentukan sang dara tanggung itu harus mati didasar air, karena tampak tubuh yang sudah tak berdaya itu pelahan-lahan melambung keatas.

Dan selang sesaat antaranya sudah tersembul kepermukaan air. Roro memang sudah hampir tak sadarkan diri, akan tetapi disaat kepalanya menyembul keatas permukaan air, masih terlintas setitik fikiran jernih dibenaknya. Segera dia gerakkan kepala untuk menghirup udara. Begitu temukan udara segar, semangat bocah perempuan ini timbul lagi. Segera digapaikan kedua lengannya agar tubuhnya dapat terus mengapung, dan sedot udara sebanyak-banyaknya.

Akhirnya diapun membuka sepasang matanya. Ternyata telah berada dalam sebuah ruang didasar tebing karang terjal. Semangat hidupnya kembali muncul. Segera dia berenang ke tepi dengan tubuh lemah lunglai, dan kakinya sudah menyentuh pasir halus ditempat yang dangkal. Terdengar keluhan ketika tubuhnya dijatuhkan ketepi pasir dengan perasaan lega, dan Roro sudah pejamkan matanya untuk menarik napas dalam-dalam.

Entah berapa lama dia berbaring melepaskan kelelahan yang amat luar biasa, hingga sampai-sampai bocah perempuan itu tertidur lelap. Ketika Roro membuka matanya terkejutlah dia, karena melihat sesosok tubuh yang tak lain dari si wanita genit itu telah berdiri tersenyum menyeringai dihadapannya. Dengan gusar Roro sudah gerakkan tubuh untuk bangkit menyerang.

Akan tetapi alangkah terkejutnya dia mengetahui tubuhnya tak dapat digerakkan, bahkan dia sudah dalam keadaan terlentang diatas sebuah pembaringan dari batu persegi dengan keadaan tubuh telanjang bulat.

"Hihihihi... hihi.. bocah hebat! bocah hebat..! Kau benar-benar membuat aku mengiri!" Terdengar si wanita genit itu berkata. Sepasang matanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan senyum tersungging dibibirnya. "Hehehe... aku memang sudah pastikan kau tak akan mampus..!" Sambungnya lagi, seperti seorang peramal yang sudah menentukan nasib manusia.

"Mampus atau tidak bukanlah urusanmu! Mengapa kau perlakukan aku begini? Lepaskan aku! Dan mari bertempur lagi! Apakah kau kira aku takut? Kau ternyata bisanya bermain curang, menawanku disaat aku tak sadarkan diri..!" Teriak Roro dengan sepasang mata melotot tajam pada si wanita aneh itu. Sementara hatinya berdebaran, entah akan diapakan tubuhnya yang telah dilucuti seenaknya begitu..?

"Hihihi... dalam bertempur mengapa harus pakai segala macam aturan? Kau sudah dapat kukalahkan, dan jadi tawananku! Mau kuapakan saja siapa mau larang? Hihihi... hihi..!" Kembali si wanita terpingkal-pingkal geli hingga tubuhnya sampai berguncangan. "Pakaianmu basah, dan sedang kujemur biar kering. Dan kau terpaksa kutotok dulu agar tidak menyusahkanku..!" Ujar si wanita aneh itu sambil beranjak meninggalkan Roro dengan melenggang-lenggok genit.

"Heeeiii!? Mau ke mana kau? Bebaskan aku…!" Teriak Roro sekuat-kuatnya.

Akan tetapi wanita itui cuma melirik genit, lalu menyelinap masuk ke sebuah ruangan goa. Roro mengeluh. Ya Tuhan, mengapa nasibku begini jelek...? Tak berapa lama wanita aneh itu sudah kembali dengan membawa sesuatu diatas piring dari kerang laut.

"Apa itu..?" Tanya Roro dengan mata membeliak. Dia sudah merasa yakin kalau si wanita yang telah menawannya itu pasti akan menyiksanya.

"Hihihi... ini makanan untukmu!" Sahutnya, seraya mendekati Roro. "Kau perlu mengganjal perut agar tidak mampus..!" Sambungnya lagi.

"Tidak! aku tak sudi! Siapa sudi diberi makan olehmu? Biarkan saja aku mampus, apa perdulimu..?" Teriak Roro dengan wajah cemberut kesal.

"Tidak! tidaaak! Aku tak sudi! lepaskan aku..!" Teriak Roro, seraya kerahkan tenaga untuk melompat bangun, dan gerakkan kepalanya menepis. Akan tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat digerakkan, cuma kepalanya saja yang bisa bergerak, akan tetapi itupun hampir tak bertenaga.

Namun makanan itu memang sudah masuk ke mulut Roro ketika si wanita itu dengan paksa telah menjejalkannya. Mendelik sepasang mata Roro, dan... Fruuuhh..! Roro sudah semburkan lagi makanan itu dari mulutnya. Rasa anyir dan bau memuakkan itu membuat dia mau muntah.

SEMBILAN

"Hihihi.... baiklah, kalau kau tak mau makan akan tahu sendiri apa akibatnya!" Berkata si wanita itu seraya lengannya bergerak ke bawah pembaringan batu! Dan sekejap lengannya telah mencekal sebuah bumbung bambu. Dengan cengar-cengir sumbat bumbung bambupun dibuka, dan tuangkan isinya keperut Roro.

Terpekik si gadis tanggung ini, karena segera puluhan ekor binatang Kalajengking telah merayap diatas perutnya. Berteriak-teriak dia dengan ketakutan, dan gerakkan tubuh untuk meronta. Akan tetapi tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali.

"Tidaaak! tidaaak..! oh, aduuh! tolooong..! hiiii... auuuw..!" Hampir gila rasanya Roro karena takutnya. Akan tetapi si wanita itu justru mengikik tertawa dengan terpingkal-pingkal.

"Baik, baik..! aku mau makan..! Aku mau makan..!" Akhirnya Roro berteriak dengan wajah pucat ketakutan, terasa geli dan takutnya bukan buatan terhadap binatang itu yang seperti menggelitik kulit perutnya.

"Bagus! Nah, begitu..! Barulah kau seorang bocah yang baik!" Ujar si wanita dengan tampilkan senyum kemenangan. Dan segera diraupnya binatang itu untuk dimasukkan kedalam bumbung bambu, lalu menutup sumbatnya dan letakkan kembali ke bawah pembaringan. Demikianlah, akhirnya Roro mau disuapi makanan aneh itu, yang ternyata adalah lumut laut.

Siapakah sebenarnya si wanita yang bersuara aneh mirip laki-laki dan terkadang wanita itu? Ternyata tak lain dari seorang tokoh Rimba Hijau yang sudah lama mengurung diri digoa dasar tebing Pantai Selatan. Dialah yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai Selatan, atau orang menjulukinya Si MANUSIA BANCI.

Karena memang sebenarnyalah wanita genit itu bukanlah seorang wanita, melainkan seorang wadam alias Banci. Tubuhnya memang amat mirip dengan wanita. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian, karena kepandaiannya merias dirilah yang membuat dia mirip sekali dengan wanita.

Roro yang sudah merasa bosan berada dipembaringan batu dengan tubuh terlentang itu seperti tak digubris permintaannya untuk membebaskan totokan si manusia Banci itu. Demikianlah, entah sudah berapa hari berapa malam, Roro tak dapat berkutik.

Entah berapa puluh kali makanan yang memuakkan itu masuk ke perutnya. Namun lama kelamaan dia sudah biasa. Roro memang sudah berupaya untuk melepaskan diri, akan tetapi si Manusia Banci itu selalu mengulangi menotoknya, hingga dia tak dapat berbuat apa-apa selain mengeluh memikirkan nasibnya.

Satu hal yang membuat Roro tak habis pikir adalah si manusia aneh itu sering menimang-nimang kedua potong benda yang telah direbut dari tangannya, yaitu potongan tombak Pusaka milik si Dewa Tengkorak. Terkadang si Banci itu tertawa-tawa sendiri, tapi terkadang menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran. Membuat Roro jadi kasihan. Entah ada rahasia apa dibalik keanehannya itu.

Roro semakin menyadari kalau wanita dihadapannya itu bukan wanita, tapi juga bukan laki-laki. Terbukti suatu ketika, tampak seorang gadis cantik sekali memasuki ruangan kamarnya. Terperangah Roro, karena gadis cantik itu tak mengenakan pakaian sama sekali alias telanjang bulat... Rambutnya terurai, dengan sepasang mata redup, bak bidadari bangun tidur layaknya. Langkahnya lemah gemulai dengan perlihatkan senyumnya yang menawan hati.

"Hihihi... Roro! Coba lihatlah aku baik-baik! Apakah aku cantik..?" Bertanya si gadis cantik itu.

Barulah Roro sadar kalau gadis cantik itu tak lain dari si wanita aneh. Segera saja dia mengangguk dengan tersenyum. "Kau amat cantik sekali, bibi..!" Menyahut Roro seraya manggut-manggut.

"Apakah aku amat mirip dengan perempuan..?" Tanyanya lagi. Tentu saja pertanyaan itu membuat dia ternganga, karena jelas wanita itu seorang perempuan, mengapa bertanya demikian? Pikir Roro. Namun dia tak berani memastikan apakah si bibi itu seorang perempuan, karena terkadang memang agak mirip dengan laki-laki. Dan kesemuanya itu membuat dia jadi bingung, tapi segera menjawab.

"Hihihi... kau mirip sekali dengan perempuan, dan bukankah kau... kau memangnya bukannya seorang perempuan seperti aku..?" Tanya Roro yang tak dapat menyembunyikan apa yang dilihatnya. Akan tetapi jawabannya adalah wanita ini menatapnya tajam-tajam dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca. Dan terdengar suaranya yang bercampur isak.

"Ah,... seandainya aku memang seorang perempuan, tidaklah aku menderita begini..!" Dan dia sudah balikkan tubuh lalu lengannya menyambar jubah yang biasa dikenakannya. Tak lama dia sudah lepaskan dua buah benda dari tubuhnya, seraya beranjak menghampiri Roro.

"Kau lihatlah! Benda ini adalah hasil ciptaanku yang kubuat sedemikian rupa, karena aku memang ingin sekali menjadi seorang wanita!" Berkata si manusia banci.

Barulah Roro tersadar kalau si wanita aneh itu memang bukan wanita dan bukan lakilaki. Karena segera tampak dadanya yang rata. Benda-benda itu telah membuatnya mirip dengan wanita yang seperti tak mengenakan busana. "Oh..!?" Tersentak Roro, dan kembali dia manggut-manggut dengan hati yang mulai mencair, karena segera timbul rasa kasihan pada si bibi itu.

"Benda-benda ini kelak akan kuhadiahkan padamu, Roro..!" Berkata si manusia Banci, yang kembali sudah perlihatkan wajah cerah.

Beberapa bulan sudah Roro tinggal diruang goa di dasar tebing karang Pantai Selatan itu. Dan selama itu Roro telah diperlakukan secara aneh. Tubuhnya dibalur dengan berbagai macam ramuan. Dan setiap pagi tentu akan menerima makanan memuakkan dari lumut laut. Keanehan-keanehan yang dilakukan terhadap Roro ternyata mempunyai maksud tertentu. Bahkan berbagai macam ramuan telah disuguhkan kepada Roro yang ternyata telah dicampur oleh makanan dari lumut laut itu.

Hingga tanpa disadari Roro telah memakan beberapa ramuan yang langka dan jarang terdapat didunia, yaitu ramuan awet muda. Karena sebenarnya si Manusia Banci itu telah mencapai usia 60 tahun lebih, tapi kenyataannya bagaikan seorang yang masih berusia tiga puluh tahun. Si Manusia Banci memang amat berharap pada Roro agar menjadi muridnya, dan mewarisi segenap ilmu kepandaiannya. Itulah sebabnya Roro diperlakukan secara aneh, untuk segera dapat menerima ilmu-ilmunya.

Demikianlah.... Roro si bocah perempuan yang berusia sekitar lima belas tahun itu telah resmi menjadi murid si Manusia Banci atau si Manusia Aneh Pantai Selatan. Tak seorangpun mengetahui adanya Roro di Pantai Selatan itu, yang tengah digembleng berbagai ilmu kedigjayaan oleh si Manusia Banci. Bahkan Roro mempelajari juga jurus-jurus maut si Dewa Tengkorak yang bernama 10 Jurus Pukulan Kematian.

Ternyata didalam Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu ada tersimpan segulung kertas yang berisikan tulisan rahasia dari ilmu-ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10 Jurus Pukulan Kematian itu. Dan Roro telah mempelajarinya dari gurunya yang aneh itu.

Satu hal yang baru dimengerti Roro, adalah ternyata si Dewa Tengkorak adalah laki-laki pujaannya yang telah membuat sang guru tergila-gila padanya. Namun si Dewa Tengkorak tak mengacuhkan "cinta"nya. Ternyata walaupun si Dewa Tengkorak memang banyak mempunyai isteri, si Manusia Banci ini tetap menaruh cinta yang sedalam lautan. Walaupun cintanya tak kesampaian.

Memang satu kejadian yang amat tragis dalam kisah manusia yang memburu cinta. Akan tetapi takdir memang harus disadari oleh setiap manusia. Karena Tuhan memang telah mengkodratkan diri manusia masing-masing dengan keadaannya.

* * * * * * *
Bagaimanakah dengan nasib Ginanjar sepeninggal Roro yang telah pergi diam-diam untuk menyusul Ki Bayu Sheta? Ternyata si pemuda tanggung ini telah mencari-carinya ke setiap tempat. Namun tak membawa hasil. Menjelang pagi segera teruskan pencariannya ke tempat-tempat dimana Roro biasa berlatih.

Akan tetapi tetap saja tak dijumpai si gadis tanggung yang bengal itu. Akhirnya Ginanjar memutuskan untuk tetap berdiam menunggu datangnya si Maling Sakti guru Roro, atau paman gurunya itu. Selama itu Ginanjar selalu berlatih memperdalam kepandaiannya yang telah diajarkan si Pendekar Bayangan.

Namun selama lebih dari satu bulan, tetap saja tak ada orang yang datang menyambangi pondoknya dilereng Rogojembangan itu. Baik Roro maupun sang paman gurunya si Maling Sakti tak memunculkan diri. Akhirnya Ginanjar bertekad turun gunung. Tujuannya adalah mencari dimana adanya Roro saudara seperguruannya itu. Sekalian mencari tahu tentang paman gurunya, yang menurut gurunya berada di wilayah Kota Raja.

Memikir demikian Ginanjar segera berkemas untuk membuntal pakaiannya. Akan tetapi terkejut pemuda tanggung ini ketika menemukan secarik kertas bertulisan dibawah pakaiannya. Ternyata adalah sebuah surat dari Ki Bayu Sheta yang diperuntukkan padanya. Surat itu mengatakan agar Ginanjar segera berangkat bersama Roro ke Kota Raja, bila sang paman guru alias si Maling Sakti tak juga datang dalam waktu satu bulan.

Disana Ginanjar disuruh mencari seorang sahabat sang guru yang berdiam di wilayah Kota Raja, bernama Ronggo Alit. Untuk menjumpainya adalah tidak sulit, karena Ronggo Alit membuka sebuah warung yang berdagang obat-obatan. Ronggo Alit adalah bekas anggota Partai Kaum Pengemis, yang sejak Partai itu dibubarkan dia membuka usaha demikian di wilayah Kota Raja.

Ginanjar dan Roro diharapkan dapat tinggal digedung kediaman sahabatnya itu untuk sementara waktu. Termenung sejenak bocah laki-laki tanggung itu. Lalu diteruskannya membaca surat. Ternyata diakhir kalimat si Pendekar Bayangan ada menitipkan kata-kata untuk sang sahabat, yang disuruhnya Ginanjar dan Roro memanggilnya "Paman". Dan pada kalimat yang paling akhir adalah Ginanjar telah diwariskan sebuah Pedang Pusaka. Yaitu pedang pusaka milik sang guru. Kemudian ditunjukkan dalam surat tempat penyimpanannya.

Kembali termenung Ginanjar, lalu segera dilipatnya surat itu dimasukkan kesaku bajunya sebelah dalam. Tak lama dia sudah bangkit berdiri, dan segera menghampiri sebuah rak diatas tempat tidur gurunya. Disanalah dia menemukan sebuah pedang yang gagangnya terbuat dari perak berkilauan. Sarung pedangnya berukir seekor naga. Tampak wajah Ginanjar menampilkan wajah girang.

Akan tetapi juga bersedih, karena sampai kini tak diketahui nasib gurunya, juga nasib Roro dan sang paman gurunya. Namun segera pemuda tanggung ini cepat berkemas. Beberapa keping uang ternyata telah diselipkan juga dekat sarung pedang. Dia dapat mempergunakannya bila mana perlu. Agaknya Ki Bayu Sheta telah mempersiapkan terlebih dulu sebelum keberangkatannya.

Ketika matahari sudah hampir berada diatas kepala, Ginanjar sudah tinggalkan pondok dilereng Gunung Rogojembangan itu. Terasa sedih juga hatinya karena hampir sepuluh tahun sejak dia diambil si Pendekar Bayangan dari sebuah rumah yatim piatu, dia dididik ditempat ini oleh Ki Bayu Sheta. Hingga dia merasa sang guru sebagai orang tuanya sendiri.

Dari sang guru diketahuinya bahwa orang tuanya telah meninggal. Tak diketahui jelas siapa dan dimana meninggalkan ayah ibunya, karena Ginanjar memang tak pernah menanyakannya. Tak lama bocah laki-laki tanggung itu telah berkelebat cepat menuruni lereng Rogojembangan.

Dengan bekal keyakinan untuk suatu ketika dia dapat menjumpai Roro saudara seperguruannya. Angin pegunungan berhembus sejuk seperti mengantarkan kepergiannya yang tentu saja akan banyak menimba pengalaman kelak ditempatnya yang baru.

SEPULUH

SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo Gawuk dan dijatuhi hukuman gantung oleh Baginda Raja Kerajaan Medang. Wilayah sekitar kekuasaan Kadipaten itu menjadi aman. Tiada lagi pemerasan-pemerasan yang dilakukan oleh para petugas pajak dan para petani dan pedagang. Rakyat amat berterima kasih pada pihak Kerajaan yang telah menindak tegas abdi-abdi Kerajaan yang menyeleweng.

Bahkan mereka juga dapat bernapas lega, karena tidak didengarnya lagi bencana-bencana seperti perampokan, pemerkosaan para gadis atau pemerasanpemerasan lainnya. Rakyat kembali bekerja dengan tekun menggarap sawah ladang pertaniannya.

Para saudagar tak lagi mengkhawatiri akan adanya perampasan harta bendanya, serta bermacam kesulitan yang sering dihadapi. Dan pada beberapa bulan kemudian, segera diadakan pengangkatan Adipati baru pengganti Adipati Haryo Gawuk. Tentu saja rakyat menyambut dengan gembira, karena mereka berharap Adipati pengganti ini benar-benar memperhatikan akan kesejahteraan rakyat wilayahnya.

Dalam upacara pengangkatan Adipati baru ini ternyata telah diadakan hiburan yang sengaja diadakan untuk menghibur rakyat. Berita adanya hiburan diwilayah Kadipaten Banjar Mangu segera tersiar ke beberapa daerah. Dan sudah tersiar beritanya bahwa yang akan menjabat sebagai Adipati di wilayah itu adalah seorang laki-laki yang masih berusia cukup muda, yaitu sekitar 30 tahun. Bernama SURA NINGRAT.

Pesta berlangsung meriah saat itu, dan sukurlah tak terjadi suatu keributan, karena para lasykar keamanan Kadipaten menjaga dengan ketat. Agaknya sejak ditangkapnya Adipati Haryo Gawuk, para begundal yang biasa mengganggu rakyat segera menyingkir jauh-jauh.

Demikianlah dengan resmi Adipati Sura Ningrat berhak menguasai beberapa wilayah, yang kemudian sejak dalam masa pemerintahannya, rakyat hidup sejahtera aman sentausa. Bahkan telah ditingkatkannya taraf hidup kaum petani yang ternyata banyak membantu Kerajaan dalam urusan pangan.

* * * * * * *

Pemerintahan Sura Ningrat sebagai Adipati ternyata mengalami masa kejayaan sampai lebih dari lima belas tahun. Sayang Adipati yang gagah dan bertanggung jawab serta disenangi rakyatnya itu tak berumur panjang. Adipati Sura Ningrat wafat dalam usia cukup muda. Kesedihan melanda rakyat disekitar wilayahnya, yang mengalami masa berkabung sampai berlarut-larut.

Ternyata kemudian pengganti Adipati Sura Ningrat adalah seorang yang berbeda wataknya dengan Sura Ningrat. Yaitu Adipati Laksono. Peraturan-peraturan yang telah dibina Adipati Sura Ningrat telah banyak yang dirobah, dan ternyata cukup memberatkan rakyat dengan pajak yang cukup tinggi. Akan tetapi karena sang Adipati ini masih ada hubungannya dengan Baginda Raja Kerajaan Medang rakyat tak dapat berbuat apa-apa.

Walaupun keadaan rakyat jadi cukup menderita namun tak urung sudah pula berjalan masa pemerintahan sang Adipati itu sampai lebih dari tujuh tahun. Dan pada masa pemerintahan Adipati Laksono inilah kisah ini terjadi.

Kemunculan empat orang yang menamakan dirinya Empat Iblis Kali Progo telah menambah penderitaan rakyat disekitar wilayah Kadipaten Banjar Mangu. Ternyata keempat manusia berkepandaian tinggi itu mendiami gedung Kadipaten yang menghadap kearah barat. Sukar untuk ditolak kedatangan keempat orang itu yang telah menghadap pada sang Adipati sebagai tamu terhormat.

Karena disamping ilmunya yang tinggi, kedatangannya adalah atas utusan seorang pembesar Kerajaan, yang katanya untuk membantu menjaga keamanan diwilayah itu Karena disinyalir adanya desas-desus tentang pembangkangan rakyat atas tindakan sang Adipati Laksono.

Memang Adipati itu pernah mengirim utusan ke Kota Raja berkenaan dengan keadaan situasi di wilayahnya. Ternyata ada segolongan penduduk yang diam-diam menaruh kebencian pada sang Adipati. Yaitu berdasarkan sakit hati, karena seorang anak gadis dari penduduk telah dipaksanya menjadi istrinya. Tentu saja dengan janji-janji yang muluk.

Akan tetapi baru belakangan diketahui kalau gadis itu cuma jadi permainannya saja. Dan setelah bosan, segera dikembalikan pada orang tuanya dengan alasan yang tak masuk akal. Karena si wanita itu dituduh mencuri perhiasan istri tuanya. Dilain pihak ternyata mulai bermunculan para pemuda yang menentang secara sembunyi-sembunyi, karena ketidak adilan sang Adipati dalam menjalankan pemerintahannya. Bahkan mulai terasa keadaan yang tidak aman.

Usia sang Adipati Laksono itu sudah mencapai hampir lima puluh tahun. Seharusnya sudah diadakan penggantian sesuai undang-undang. Kalau bukan keturunannya sendiri yang menggantikannya, tentu masih kerabatnya. Atau kalau tak ada kerabatnya tentu orang lain atas pilihan dari rakyat yang dipandang berwibawa untuk menduduki jabatan tersebut.

Bercokolnya empat orang yang mempunyai gelaran menyeramkan itu ternyata menambah keresahan rakyat diwilayah itu. Mulailah banyak terjadi kekerasan dan pertumpahan darah. Dan kesemuanya itu bila terjadi, tak ada keputusan yang adil terhadap rakyat dari Adipati Laksono. Setelah bermacam persoalan itu langsung saja terkubur ke laut.

* * * * * * *

Hari masih siang... akan tetapi wilayah Kota Raja telah ramai dikunjungi orang dari berbagai tempat. Ternyata hari itu adalah hari bersuka ria, karena malam nanti akan diadakan pesta keramaian dengan meriah diberbagai tempat untuk menyambut hari ulang tahun Kerajaan Medang.

Seorang pemuda gagah berpakaian serba putih berjalan agak kaku memasuki tempat keramaian. Di pinggangnya tersarang sebuah pedang yang gagang sarungnya sengaja dibungkus oleh secarik kain agar tak begitu menyolok. Sebentar-sebentar langkahnya terhenti untuk memandang atau memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Kebanyakan yang diperhatikannya adalah seorang wanita atau gadis. Siapakah gerangan pemuda gagah ini...?

Ternyata tak lain dari Ginanjar adanya. Murid si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta ini telah berdiam di Kota Raja selama hampir dua tahun dirumah sahabat gurunya Ronggo Alit. Ternyata untuk menemukan rumah sang "paman" itu tak begitu sulit.

Agaknya Ginanjar cukup betah berdiam dirumah Ronggo Alit, yang ternyata telah menerima kedatangannya dengan ramah tamah. Tenaga anak muda ini cukup dibutuhkan, sehingga dapat membantu-bantu pekerjaannya, disamping menambah pengertiannya akan ilmu obat-obatan. Agaknya Ronggo Alit telah mengetahui akan perihal perjanjian Ki Bayu Sheta sahabatnya itu dengan si Dewa Tengkorak. Akan tetapi tak menceritakannya pada Ginanjar. Cuma terlihat Ronggo Alit menghela napas dengan menampilkan wajah sedih.

Pertanyaan Ginanjar tentang sang paman gurunya yang bernama si Maling Sakti itupun dijawabnya dengan menggeleng kepala, walau dia telah mengetahui keadaan sebenarnya. Ternyata Ronggo Alit telah dipesan sebelumnya oleh Si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga harus mencampuri urusan si Pendekar Bayangan. Namun tak mau melibatkan orang lain. Dengan tidak munculnya kedua tokoh bekas Ketua Partai Kaum Pengemis itu, sudah dipastikan tewas.

Demikianlah untuk menutupi kesedihan hatinya, Ronggo Alit sengaja menyibukkan dengan urusannya. Dan Ginanjar giat membantu usahanya selama ini. Namun dalam setiap kesempatan selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar mencari dan menyelidiki kemana perginya saudara seperguruannya yang bernama Roro itu, sambil mencari bahan obat-obatan.

Akan tetapi sampai hampir dua tahun tetap saja tak ada beritanya. Dalam usia Ronggo Alit yang semakin menua dan tiadalah orang tua itu mempunyai anak laki-laki, Ginanjar merasa berat untuk meninggalkannya. Walau hatinya sudah menggebu untuk pergi mengembara mencari saudara seperguruannya.

Hari itu Ginanjar telah minta izin untuk melihat keramaian, serta menyelidiki siapa tahu bisa menemukan Roro. Karena dengan adanya keramaian diberbagai tempat diwilayah Kota Raja itu, akan banyak pengunjung berdatangan. Demikianlah, Ginanjar yang telah menjadi seorang pemuda remaja itu, pasang mata meneliti setiap wanita atau gadis yang berlalu lalang ditengah keramaian pasar.

"Ah, seandainya Roro masih hidup dan aku menjumpainya, tentu aku akan pangling. Pasti dia sudah menjadi seorang gadis yang cantik jelita..!" Desis suara Ginanjar pelahan sambil termangu-mangu. Namun sesaat dia sudah beranjak ke tengah pasar untuk menyelidiki lebih banyak, serta melihat persiapan keramaian malam nanti.

Menjelang agak senja suasana dikota itu semakin ramai. Ginanjar yang merasa perutnya lapar, segera memasuki sebuah restoran yang paling ramai. Sementara memesan makanan sepasang matanya selalu jelalatan memperhatikan setiap pengunjung wanita. Namun tetap saja orang yang dicarinya tak kelihatan.

Selesai bersantap Ginanjar segera ayunkan langkah lagi. Kali ini yang ditujunya adalah ke tempat yang agak sepi dibelakang pasar. Karena ditempat sepi ini dia berpendapat dapat menemukan ilham untuk mencari ke arah mana disekitar wilayah Kota Raja itu.

Tiba-tiba diujung sebuah gang terdengar suara teriakan, namun sesaat kembali melenyap. Seperti suara teriakan seorang wanita...? Berkata Ginanjar dalam hati. Karena yang tengah dicarinya adalah seorang wanita, tentu saja dia sudah bergegas untuk melihat. Lorong dibelakang pasar itu tampak sunyi. Akan tetapi sepasang mata si pemuda ini telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak, yang ternyata adalah sepasang kaki. Seperti sosok tubuh seseorang yang baru saja diseret masuk ke sebuah pintu rumah petak.

Ginanjar jadi curiga, dan segera berkelebat melompat dengan tak menimbulkan suara. Dari sebuah jendela kecil dia telah melihat apa yang tengah terjadi sebenarnya. Sepasang mata pemuda ini jadi melotot dengan wajah gusar, karena terlihat tiga orang laki-laki berwajah penuh cambang bauk tengah berusaha membukai pakaian seorang gadis yang telah dibekap mulutnya.

"Hai! lepaskan dia..!" Ginanjar telah keluarkan bentakan keras seraya melompat ke depan pintu.

Tentu saja membuat ketiga laki-laki itu jadi terkejut, dan serentak sudah mencabut senjata dari balik pakaiannya. Tanpa keluar suara dua orang telah menerjang keluar setelah yang seorang memberi isyarat. Pemuda ini memang baru pertama kalinya mengalami pertarungan, sepasang matanya dipergunakan baikbaik. Dan dengan gesit dia sudah berhasil mengegos serta tepiskan tangannya membuat kedua serangan itu luput. Dan bahkan dengan cepat sekali sepasang lengannya kembali bergerak menghantam.

Buk! Buk...!

Terdengar keduanya mengeluh dibarengi dengan robohnya tubuh si penyerang. Melihat kedua kawannya jatuh nyusruk dengan cuma beberapa jurus, si laki-laki yang satunya ini melompat menerjang dengan belati panjangnya. Namun Ginanjar memang telah mempersiapkan diri dari segala kemungkinan. Tubuhnya melompat ke samping. Sebelah kakinya bergerak menghantam perut orang itu.

Bekk...!

Terdengar suara laki-laki itu mengeluh, dan tubuhnya sudah terhuyung. Sebelah lengannya memegangi perutnya yang jadi mulas dengan wajah menyeringai kesakitan.

"Keparrat..!" Berdesis suara orang itu, seraya tiba-tiba putarkan tubuh untuk mengirim serangan beruntun menabas kaki dan menusuk ke arah tenggorokan.

Ginanjar gerakkan kakinya untuk melompat, sambil doyongkan tubuh ke belakang. Loloskan serangan itu. Tiba-tiba dia telah keluarkan bentakan keras, dan kirimkan pukulan jarak jauh.

Buk...!

Laki-laki itu terhuyung ke belakang mau jatuh, dan saat itu sebelah kaki pemuda itu telah menghantam telak mengenai dadanya.

Dhess…!

Tak ampun laki-laki brewok itu roboh terjungkal. Sementara dua kawannya telah bangkit lagi. Melihat si pemuda berdiri tegak dengan bertolak pinggang, nyalinya sudah luntur. Serentak mereka segera melarikan diri. Sedangkan si lelaki barusan sudah bangkit lagi dengan belati panjangnya, segera ngeloyor pergi dengan terhuyung-huyung menyusul kedua kawannya.

Ginanjar perlihatkan senyumnya, lalu balikkan tubuh untuk melihat wanita tadi. Tampak seorang gadis yang berwajah cukup cantik tengah menatapnya disudut ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut masai. Sementara kedua lengannya disilangkan diatas dada menutupi payudaranya yang sedikit tersembul, karena pakaiannya telah robek sebagian.

"Ah, te... terima kasih atas pertolonganmu tuan..!" Berkata si gadis dengan mengangguk, seraya perlihatkan senyumannya. Sekilas pandangan mata Ginanjar mampir juga ke arah bagian yang sedikit terbuka itu, tapi segera palingkan pandangannya ke lain arah.

"Sudahlah! Siapa namamu? dan dimanakah rumahmu..?" Bertanya Ginanjar.

"Namaku... Kasmini! Rumahku... ng... cukup jauh dari belakang pasar ini!" Menyahut si gadis. Lalu ceritakan kejadiannya secara singkat pada Ginanjar hingga dia disekap ditempat kosong itu.

Karena khawatir kalau para bajingan itu mengganggu lagi, terpaksa Ginanjar mengantarkannya untuk kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan Kasmini segera ceritakan tentang keadaan hidupnya. Terperangah pemuda itu mendengarnya, karena ternyata Kasmini seorang gadis piatu yang cuma hidup berdua dengan seorang kakeknya, yang sudah teramat tua dan sakit-sakitan.

Kasmini terpaksa mencari nafkah dengan membantu-bantu orang, seperti mencuci pakaian dan lain-lain. Akan tetapi dia hanya menerima upah saja. Boleh diumpamakan sebagai pembantu yang tidak tetap. Kepergiannya adalah untuk membeli obat sepulang dari bekerja, karena penyakit sang kakek kambuh lagi. Akan tetapi telah terjadi kejadian seperti yang dialaminya tadi, yang dilakukan oleh para begundal pasar yang sudah lama mengincarnya.

SEBELAS

MENUNGGU kedatangan seorang cucu perempuannya bagi seorang kakek tua renta tanpa daksa dan penyakitan selama hampir satu hari, adalah sungguh membuat rasa bosan dan serba salah. Dibagian belakang reruntuhan gedung tua yang sudah tak terawat lagi terdengar suara keluhan dan rintihan yang mengenaskan.

Seorang kakek tua renta duduk setengah terbaring diatas lantai, bertilam kain yang penuh tambalan. Sungguh mengenaskan hati melihatnya, karena sang kakek itu bertubuh cacad. Yaitu kedua belah kakinya buntung sebatas dengkul.

Laki-laki tua kurus kering itu perdengarkan keluhannya yang menghiba. "Kasminiiii..! Ah, kemanakah engkau cucuku." Keluhnya dengan suara lirih hampir tak terdengar. Rambut dikepalanya sudah tinggal beberapa lembar, wajahnya cekung pucat. Karena disamping lapar, si kakek itu memang dalam keadaan sakit. Selang tak berapa lama terdengar suara-suara diluar berbisik-bisik.

"Inilah tempat tinggalku..! Marilah masuk! Aku harus memberikan nasi ini dulu pada kakek, dan meminumkan obat!" Terdengar suara wanita. Laki-laki tua ini gerakkan pelupuk matanya, lalu membuka sepasang matanya yang cekung ke dalam.

Tak lama sudah tersembul dipintu sesosok tubuh, yang tak lain dari Kasmini adanya. Dilengannya tercekal sebuah bungkusan berisi nasi dan laukpauknya. Serta sebungkus obat.

"Kasmini... kau sudah pulang cucuku...? Siapakah tetamu diluar? Ah, mengapa tak kau suruh masuk..?" Bertanya sang kakek dengan suara lemah. Pendengaran tuanya ternyata masih cukup tajam, karena disamping suara Kasmini ada pula didengarnya suara seorang laki-laki.

Sementara Ginanjar yang berada diluar merasa tak enak hati bila tak menjenguk kakek sang gadis yang telah ditolongnya itu. Bahkan ditengah perjalanan telah pula membelikan obat dan dua bungkus nasi. Sesaat dia sudah beranjak kedalam ruangan yang sempit dan kotor penuh sarang laba-laba itu.

"Kakek..! Tuan inilah yang telah menolongku, dan membelikan obat serta dua bungkus nasi ini untuk kita!" Berkata Kasmini dengan berbisik pada telinga kakeknya.

"Ah, selamat... datang ke pondok burukku, tuan muda..! Terima... kasih atas budi baikmu menolong cucuku..!" Berkata si kakek dengan suara lirih, dan perlihatkan senyumannya. Ternyata Kasmini telah berbisik-bisik menceritakan secara singkat kejadian yang menimpanya.

Ginanjar yang telah berjongkok dihadapan laki-laki tua itu cuma bisa manggut-manggut seraya berkata. "Ah, kakek..! Sudahlah, pertolonganku itu tak berarti apa-apa..! Segeralah kau bersantap, dan meminum obat agar lekas sembuh!"

Ginanjar berikan segenggam uang di lengan sang kakek, yang tak putus-putus ucapkan terima kasih. Selanjutnya sudah berdiri lagi seraya menjura pada si kakek, dan menatap pada Kasmini. "Maaf, aku tak dapat berlama-lama lagi, karena ada hal lain yang harus aku kerjakan..! Aku mohon diri! Kelak, kapan-kapan aku pasti akan singgah lagi kemari!" Berkata Ginanjar.

Wajah si gadis tampak perlihatkan kemuraman, dan sepasang matanya sudah berkacakaca. Akan tetapi dia segera mengangguk. Setelah menjura lagi pada si kakek, Ginanjar segera balikkan tubuh untuk beranjak keluar ruangan. Baru saja sembulkan tubuh dipintu, telah terdengar bentakan keras diluar halaman.

"Bagus! Eh pemuda ingusan! kau sudah jual lagak dihadapan ketiga kawanku! Apakah kau tahu akibatnya?" Ginanjar segera telah dikepung oleh empat orang yang bertampang seram.

"Hen!? siapakah kalian ini..?" Tanya Ginanjar dengan naikkan alisnya.

Keempat orang itu saling pandang sesama kawannya, lalu terdengar suara tertawanya gelak-gelak. "Hahaha... hahaha... Rupanya kau seorang pemuda ingusan yang baru turun gunung! Semua orang sudah mengenal siapa kami!" Berkata salah seorang.

"Baik, pasanglah telingamu lebar-lebar! Kami adalah si Empat Iblis Kali Progo! Kami bertugas menjaga keamanan di wilayah Kota Raja ini! Tentu saja berhak menangkap atau membunuh mampus pengacau seperti kau!"

"Heh!" Mendengus Ginanjar, dengan turunkan alisnya. "Apakah kesalahanku, hingga kalian menyebutku pengacau? Justru kawanmu itulah yang telah mengacau! Mereka telah berusaha menyekap gadis ini untuk diperkosa! Mengapa justru aku yang dianggap pengacau ?" Tanya Ginanjar dengan hati mendongkol. Keempat sosok tubuh dihadapannya itu pelototkan matanya dengan gusar.

"Justru kaulah yang mau memperkosanya, lalu dihalangi oleh ketiga kawanku itu! Huh! ternyata kau mau membela diri dengan menimpakan kesalahan pada orang lain? Hayo kawan-kawan ringkus dia..!" Bentak salah seorang dari keempat Iblis Kali Progo yang bertubuh kekar berkulit hitam legam.

Terperangahlah seketika Ginanjar, karena mengapa justru dia yang dianggap mau memperkosa si gadis yang telah ditolongnya? Aneh! Pikirnya. Saat itu tiga orang dari mereka telah mencabut senjatanya dipinggang, yaitu golok-golok yang melengkung lebar berkilat-kilat. Kasmini tiba-tiba telah melompat kepintu seraya berteriak.

"Dusta! Kalian telah membalikkan kesalahan pada orang lain! Ketiga begundal pasar itu aku sudah mengenalnya, dan telah beberapa kali membujukku untuk menuruti napsu binatangnya! Kalau tak datang tuan muda ini tentu aku... aku..." Kasmini tak dapat teruskan kata-katanya. Karena seketika dia sudah gemetaran dan menangis terisak-isak.

"Tutup mulutmu...!" Tiba-tiba membentak si tubuh kekar berkulit hitam. Dan dia sudah beri isyarat ketiga kawannya menerjang Ginanjar. Tiga buah golok berkelebat menabasnya, si gadis Kasmini perdegarkan jeritan ketakutan.

Akan tetapi dengan sebat si pemuda itu sudah melompat menghindar dengan tubuh berjumpalitan diudara. Dan sudah menjauh sekitar lima tombak. Tentu saja keempat orang itu segera memburu dengan wajah bringas. Sekejap saja mereka telah mengurung si pemuda itu lagi. Kini keempat orang yang berjulukan si Empat Iblis Kali Progo itu sudah siap dengan senjata terhunus. Mengetahui dirinya dalam bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut pedangnya dari pinggang.

"Bagus! Sebutkan siapa kau dan siapa gurumu bocah? Agar kami tak penasaran membunuhmu.." Teriak salah seorang yang bernama Tambi. Yaitu laki-laki berkulit hitam tadi.

"Benar! Kami si Empat Iblis Kali Progo tentu akan dapat penghargaan dari pihak Kerajaan kalau berhasil membunuh seorang pengacau yang cukup punya nama!" Teriak yang bertubuh pendek berhidung besar seperti bengkak, dengan tertawa menyeringai. Dia ini bernama Begu Lowo. Sedang yang dua lagi bernama Reksa dan Bangik.

"Hm, tak perlu macam-macam! Kalian majulah..!" Bentak Ginanjar dengan gusar. Dia rupanya sudah geregetan sekali untuk menabas kepala orang yang telah memfitnahnya itu. Walaupun baru untuk kedua kalinya ini Ginanjar bertarung, tapi murid si Pendekar Bayangan ini memang tak mengenal takut. Tentu saja kata-kata Ginanjar membuat mereka jadi gusar, dan segera menerjang dengan berbareng.

Trang! Trang! Trang...!

Sebentar saja ditempat sunyi itu telah terjadi pertarungan seru. Ginanjar pergunakan pedangnya untuk menangkis setiap serangan. Bahkan balas menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi keempat orang itu memang berilmu tinggi, dan mereka maju berempat. Dengan berkelebatan saling berganti mereka berlompatan menghindar, sedangkan yang lainnya sudah menerjang lagi disaat si pemuda mencecar kawannya. Sekejap saja sudah terdengar suara bentakan-bentakan dan beradunya senjata tajam.

Sementara itu Kasmini cuma bisa memandangi dengan mata terbeliak bersimbah air mata. Sang kakek ternyata telah beringsut ke pintu untuk melihat kejadian. Terbelalak sepasang mata tua itu sambil geleng-gelengkan kepala. Kasmini segera memeluknya untuk segera mengajaknya kembali ke dalam.

Pada saat pertarungan itu terjadi, ternyata sesosok tubuh berindap-indap mendekati belakang reruntuhan gedung tua itu. Ternyata tak lain dari salah seorang laki-laki yang tadi dihajar oleh Ginanjar, dan melarikan diri. Wajahnya menyeringai tertawa melihat kedua orang ini tengah memperhatikan pertarungan dengan wajah pucat. Sekejap dia sudah melompat ke pintu. Lengannya bergerak menarik lengan gadis itu yang jadi menyentak terlepas dari pegangannya ke tubuh si kakek.

"Hehehe... Kasmini! ayo, kau ikutilah bersamaku! Biarkan pemuda itu mampus!"

"Hah!? Tidak! tidaak! lepaskan aku..! kau... kau bajingan keparat..!" Berteriak-teriak Kasmini dengan terkejut. Segera dia meronta-ronta untuk melepaskan cekalan laki-laki itu. Akan tetapi satu hantaman pada belakang lehernya membuat gadis itu mengeluh, dan pingsan tak sadarkan diri.

Terkejut sang kakek, yang melihat keadaan cucunya. Segera dia beringsut cepat seraya melompat untuk menangkap tubuh cucunya yang akan dipondong si laki-laki. "Jangan..!? Jangan ganggu cucuku... lepaskan.. dia..!" Teriaknya dengan suara terengah. Akan tetapi satu hantaman telak telah mengenai dadanya.

Buk..! Terdengar si kakek mengeluh, lalu tubuhnya ambruk ke lantai. Sekali bergerak si laki-laki brewok itu sudah memondong sang gadis, dengan perlihatkan wajah menyeringai. Namun  diluar dugaan lengan si kakek kembali menyambar. Dan sebelah kakinya kena ditangkap. Agaknya dalam keadaan yang sedemikian fatal itu dia sudah tak hiraukan dirinya lagi.

Sisa-sisa tenaganya dipergunakan untuk membela cucunya, walau dalam keadaan sakit dan tubuh tanpa daksa. Hantaman lengan laki-laki barusan itu telah membuat tulang iganya berderak patah. Akan tetapi semangatnya untuk mempertahankan cucu perempuannya bagaikan semangat seekor banteng luka.

Sayang... semua yang dilakukannya itu tak berarti apa-apa. Bahkan dengan sekali kaki si laki-laki brewok itu bergerak, terlemparlah tubuh si kakek bergulingan ke tengah ruangan. Dan baru berhenti ketika membentur tembok. Terdengar suara teriakan parau menyayat hati, yang kedengarannya amat lemah sekali. Tampak tubuh tua renta itu menggeliat sejenak, lalu terdiam.

Ternyata nyawanya telah melayang dengan seketika. Tulang-tulangnya yang telah rapuh itu tak kuat untuk beradu dengan tembok tebal. Bahkan belakang batok kepalanya telah rengat mencucurkan darah. Tewaslah sang kakek dengan keadaan yang menyedihkan, tanpa diketahui lagi oleh sang cucu perempuannya yang telah tak sadarkan diri.

"Hehehe... kakek tua renta! Kau memang sudah sepantasnya mampus..!" Mendesis si laki-laki itu dengan wajah geram menatap tubuh si kakek yang sudah tak berkutik lagi. Tak ayal segera dibalikkan tubuh, untuk bekelebat tinggalkan tempat itu.

Sementara pertarungan terus berlangsung hingga belasan jurus. Ginanjar telah mendengar suara teriakan Kasmini, akan tetapi untuk melepaskan diri dari rangsakan keempat manusia itu teramat sulit. Salah-salah nyawa bisa melayang. Karena terjangan-terjangan golok mereka benar-benar sebat dan sulit untuk dihindari. Beruntunglah Ginanjar mencekal pedang. Dan dengan pedangnya dia dapat menangkis setiap serangan. Ternyata Ginanjar memang kalah dalam pengalaman bertarung. Jurus-jurus gerak tipu keempat lawannya terkadang membingungkan. Hingga kini dia lebih banyak bertahan dari pada menyerang.

"Hahaha... biarkan saja gadismu itu tak usah kau urusi! Kalau kau mampus toh banyak orang lain yang mengurusi..!" Mengejek Tambi si lakilaki kekar berkulit hitam.

Ginanjar tak perdulikan ocehan orang. Segera dia mulai mencari jalan memecahkan serangan mereka. Untunglah otaknya cerdas. Segera teringat dia akan beberapa jurus yang cukup ampuh yang pernah dipelajari. Tiba-tiba dia telah merobah sikap tempurnya. Kini gerakkan pedang memutar dahsyat hingga keluarkan angin pusaran yang menderu. Inilah jurus Naga Membuyarkan Awan.

Terkejut juga si Empat Iblis Kali Progo, segera mereka mundur beberapa langkah dengan pasang kuda-kuda. Lalu salah seorang memberi isyarat untuk segera bergerak memutar, dan berlompatan dengar gerakan menyilang. Sementara setiap gerakan melompat selalu diiringi dengan tebasan, ke arah kaki.

Mau tak mau Ginanjar sambil putarkan pedangnya berlompatan menghindari serangan-serangan yang datang bergantian itu. Tampak keringat anak muda itu telah mengucur deras. Baru pertama kali bertarung sudah menemukan lawan yang tangguh, bahkan dikeroyok empat orang. Membuat pemuda Lereng Rogojembangan ini jadi benar-benar memeras keringat. Tiba-tiba dia sudah perdengarkan bentakan-bentakannya. Kini sebelah lengannya dipergunakan menghantam ke arah setiap tubuh yang berkelebat menabaskan senjata ke arah kakinya.

Hal tersebut rupanya telah dimaklumi oleh si Empat Iblis Kali Progo. Segera gerakan mereka berubah arah. Kini menyerang secara bergantian ke arah kepala, dengan lompatan-lompatan tingginya. Bersyiuran angin dari setiap tebasan golok lawan mengarah kepalanya.

Ginanjar jadi kertak gigi menahan amarah. Kini sepasang pedangnya bergerak lebih cepat menghantam dan menghalau setiap serangan. Hasilnya memang cukup memuaskan. Karena segera tampak keempat orang lawannya terdesak mundur. Gerakan-gerakan pedangnya adalah yang dinamakan jurus Naga Mengamuk Menerjang Taufan. Tentu saja dengan menggunakan jurus ini Ginanjar telah mengeluarkan banyak tenaga. Namun segera terdengar teriakan tertahan dari salah seorang lawan.

Bret...! Tebasan pedangnya yang bergulung-gulung itu berhasil merobek pundak salah seorang lawan berikut tersobeknya daging lengannya. Darah menyemburat, dan laki-laki bernama Begu Lowo itu meringis memegangi lukanya dan melompat mundur dua tombak.

Tiga orang kawannya menggerung keras. Dan menerjang dengan tebasantebasan gencar dengan arah yang tidak bersamaan. Ada yang mengarah leher, ada yang mengarah pinggang dan mengarah ke kaki. Serangan serentak itu dibarengi dengan hantaman-hantaman sebelah lengannya yang bertenaga dalam kuat.

Tersentak Ginanjar. Kali ini dia harus tak boleh salah perhitungan. Tubuhnya segera melompat melambung setinggi dua tombak. Pedangnya dipergunakan menangkis setiap serangan, sambil elakkan tubuh mengegos. Tapi kali ini satu tabasan tak berhasil dihindari. Ketika tubuhnya meluncur turun, satu hantaman lengan membuat tubuhnya doyong ke belakang. Dan saat itu dipergunakan Tambi untuk menabaskan goloknya.

Bret...! Nyaris pinggang Ginanjar putus tertebas, pada saat itu tak meluncur sebutir batu kerikil menghantam golok Tambi hingga terpental...

Trang...!

Terkesiap laki-laki bernama Tambi itu, karena lengannya bergetar kesemutan. Dan dia tak dapat menahan genggaman goloknya lagi, yang segera terlepas terpental. Dengan terperanjat dia sudah melompat mundur. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya kembali terlempar ke depan dengan perdengarkan teriakan parau menyayat hati, lalu roboh meregang nyawa dengan menggeliat-geliat. Sesaat kemudian dia sudah tewas.

DUA BELAS

MELOMPATLAH seorang dari Empat Iblis Kali Progo untuk memburu kearah kawannya yang satu ini. Setelah memeriksa betapa terperanjatnya ketika melihat pada leher sang kawan, tedapat dua buah lubang sebesar jari tangan yang mengucurkan darah. Siapakah yang telah menyerangnya? Sentak hatinya. Tiba-tiba berkelebatlah sebuah bayangan hijau ke tengah kalangan dibarengi dengan suara tertawa mengikik merdu. Dan sesosok tubuh telah berdiri di situ.

"Hihihi...hihi... tak tahu malu mengeroyok seorang pemuda yang belum tentu kesalahannya! Rupanya aku amat beruntung sekali dapat berkenalan dengan anda yang bernama besar! Ternyata kalianlah yang menamakan diri Empat Iblis Kali Progo...!"

Bukan saja tiga pasang mata Iblis Kali Progo itu saja yang terbelalak, akan tetapi sepasang mata Ginanjar pun terbelalak dengan tubuh terpaku melihat munculnya seorang gadis yang bertubuh semampai, berpinggang langsing, dengan rambut beriapan. Siapakah wanita ini adanya..? Gumam Ginanjar dalam hati. Dia tak dapat menatap wajah orang, karena sosok tubuh itu membelakanginya.

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu sudah balikkan tubuh menatapnya. "Hihihi... kau menyingkirlah, anak muda! Biar aku yang mengirim nyawa mereka ini ke akhirat!"

Terperangah Ginanjar, karena hampir saja dia menyebut nama Roro. Akan tetapi wajah wanita itu tampak kaku dan pucat. Sepasang matanya sipit dengan hidung agak besar. Namun mempunyai perawakan yang hampir mirip dengan saudara seperguruannya itu. Bahkan suaranya bernada mirip sekali. Akan tetapi dia sudah mengangguk, dan segera melompat ke tepi. Sementara hati Ginanjar berkecamuk sendiri, ketiga orang dari Empat Iblis Kali Progo itu telah perdengarkan bentakannya.

"Heh! Kiranya kau yang telah membokong saudaraku..?" Bentak salah seorang.

"Membokong..? Hihihi... hihi.. dalam bertarung tak ada urusan dengan segala macam aturan! Apa lagi menghadapi manusia keji semacam kalian yang sudah aku dengar kejahatannya! Berapa orang gadis didesa wilayah Kadipaten Banjar Mangu yang telah kalian perkosa? Dan berapa orang dari rakyat yang tak bersalah telah kalian aniaya..? Dan ternyata kalian sendiri telah mengeroyok seorang pemuda yang belum tentu bersalah!" Berkata wanita itu dengan suara lantang.

"Kurang ajar! mulutmu harus dihajar dengan ini!" Teriak Reksa yang sudah menerjang diikuti kedua orang kawannya.

Berkelebatan tiga buah golok yang berkilatan menabas dan merencah tubuhnya. Akan tetapi dengan gerakan tubuh terhuyung kesana-kemari serangan mereka sekejapan telah lolos. Terkejut bukan main mereka, karena tampaknya si wanita ini bukannya menggelakkan diri, akan tetapi terhuyung-huyung bagai orang mabuk. Namun nyatanya serangan mereka telah terelakkan dengan mudah.

Segeralah mereka merobah gerakan dengan gerakan memutari tubuh si wanita itu. Sementara senjata-senjata mereka membuat gerakan menebas dan menusuk secara bergantian, disertai bentakan-bentakan keras yang mengacaukan konsentrasi lawan. Akan tetapi tampaknya hal itu tak membawa hasil, karena justru si wanita pergunakan jurus yang aneh. Sepasang lengannya bergerak mengibas keberapa arah.

Terkejutlah ketiga Iblis Kali Progo ini. Karena segera merasai segelombang angin panas telah menerjangnya. Tampak serangan mereka mulai kacau. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik si wanita. Tahu-tahu tubuhnya telah lenyap, karena terbungkus oleh asap kabut yang menghalangi pandangan mereka.

Ginanjar yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi berseru kagum, karena tubuh si wanita bagaikan bayangan telah berada diluar kepungan tanpa setahu ketiga lawannya. Dan saat berikutnya, sudah terdengar suara jeritan-jeritan menyayat hati. Karena lengan si wanita telah bergerak cepat sekali dibarengi kelebatan tubuhnya.

Sekejapan saja tubuh tiga manusia dari Empat Iblis Kali Progo itu telah roboh ke tanah dengan berkelojotan meregang nyawa. Tak berapa lama tiga manusia itu sudah lepaskan nyawa masingmasing, dan berkaparan ditanah dengan bersimbah darah. Sesaat ketika asap kabut mulai menipis kembali tubuh wanita itu telah lenyap entah kemana...

Terkejut Ginanjar dengan mata terbelalak lebar. Seperti melihat hantu saja layaknya. Kejadian itu berlalu begitu cepat, sampai-sampai pandangan matanya tak dapat mengikuti kelebatan tubuh si wanita. Dan tahu-tahu sudah lenyap. Sejenak membuat Ginanjar jadi terpaku. Akan tetapi tubuhnya sudah berkelebat melompat menghampiri ketiga mayat. Ketika memeriksanya, ternyata pada masing-masing leher mereka terdapat dua buah lubang sebesar jarijari tangan.

Tersentak dia seketika. Hatinya berseru kagum, akan tetapi juga ngeri. Karena dengan tangan kosong saja si wanita itu telah berhasil merobohkan ketiga lawannya. Menandakan betapa tingginya ilmu si wanita itu. Bahkan tadi dia telah berhasil diselamatkan nyawanya oleh si wanita misterius itu yang mempergunakan sambitan dengan batu kerikil.

Entah dimana suaranya, tahu-tahu telah terdengar lapat-lapat suara tertawa mengikik si wanita itu dibarengi kata-kata... "Hihihi... hihi... anak muda! Segeralah kau bawa pulang gadismu itu! Dia berada diujung jalan yang menuju kehutan...!"

Tentu saja kata-kata itu membuat terkejut Ginanjar, karena jelas ditujukan kepadanya. Aneh nya suara itu seperti menyusup masuk ketelinganya. Sesaat Ginanjar sudah melompat dari situ, akan tetapi tibatiba dia kembali putarkan tubuh ketika teringat akan si kakek tua renta. Dan kembali berkelebat ke arah reruntuhan gedung tua. Sekejap dia sudah berdiri dimuka pintu. Terbelalaklah matanya melihat sosok tubuh sang kakek yang sudah terkapar bersimbah darah tanpa berkutik lagi.

"Hah!? kakek..!" Dia sudah melompat menghampiri. Tercenung seketika Ginanjar menatap mayat kakek tua renta tanpa daksa yang telah tewas dengan keadaan mengerikan itu. Tak terasa sepasang matanya sudah berkacakaca. Akan tetapi tak lama pemuda itu sudah berkelebat tinggalkan reruntuhan gedung tua itu.

* * * * * * *

"Kasmini...!" Berteriak Ginanjar dengan suara parau, ketika melihat sesosok tubuh tergeletak disisi jalan dengan keadaan tubuh hampir telanjat bulat. Kerena pakaiannya sudah robek-robek disana-sini. Tak jauh dari tubuh gadis itu terkapar sesosok tubuh laki-laki brewok yang tak bernyawa lagi. Ternyata tak lain dari laki-laki yang pernah dihajarnya tadi dibelakang pasar. Dipandanginya mayat laki-laki itu.

Segera Ginanjar teringat kejadian tadi. Sekilas memang dia melihat suara teriakan sang gadis, lalu melihat sang dara ini dalam pondongan laki-laki. Akan tetapi saat itu dia tengah menghadapi terjangan-terjangan si Empat Iblis Kali Progo yang mengancam jiwanya, hingga dia tak berdaya untuk berbuat apa-apa selain bertarung mempertahankan nyawanya.

Keadaan tubuh laki-laki brewok itu amat mengerikan, karena tulang dadanya remuk dan patah-patah mencuat keluar. Sedangkan selangkangannya bersimbah darah. Terperangah seketika Ginanjar. Akan tetapi Ginanjar sudah alihkan tatapannya pada gadis itu lagi.

"Kasmini..!" teriaknya lirih, seraya guncang-guncangkan tubuh sang gadis.

Kasmini tampak membuka sepasang matanya. Ketika melihat siapa yang telah berada dihadapannya, segera saja gadis itu berteriak girang seraya memeluk pemuda itu dengan erat sambil menangis terisak-isak.

"Sudahlah adik..! Bahaya telah lewat! kau telah selamat...!" Berkata Ginanjar dengan wajah memerah, dan jantungnya terasa bergetar karena keadaan tubuh sang gadis dalam keadaan sedemikian rupa. Bahkan sepasang payudaranya yang terbuka memutih padat itu menekan erat ke dadanya.

"Kau... kau benahilah pakaianmu, Kasmini...!" Ujar Ginanjar lirih, seraya mendorong tubuh si gadis.

"Ahh...?" Tersentak sang gadis itu ketika menyadari keadaan tubuhnya. Segera dia beringsut untuk merapihkan sobekan bajunya yang menyingkap dadanya.

Sementara sepasang matanya telah menatap ke arah sesosok mayat laki-laki brewok yang dikenalnya. Segera Kasmini teringat akan kejadian yang menimpanya. "Oh, kaukah yang telah menolongku, tuan muda..? Dan... bagaimana dengan nasib kakekku..?" Bertanya Kasmini seraya palingkan wajah menatap Ginanjar.

Pemuda ini cuma tundukkan wajah sambil menggeleng. "Bukan aku yang telah menolongmu..! Sayang, kakekmu yang malang itu sudah tewas..!" Ujarnya dengan suara lirih.

"Ah., kakek...!" Sentak sang gadis dengan sepasang mata terbelalak. Dan dia sudah terisak-isak lagi dengan air mata bercucuran. "Kalau bukan kau yang menolongku, lalu siapakah...?" Tanya si gadis tiba-tiba, yang segera menengadahkan wajahnya menatap pada Ginanjar.

"Seorang wanita yang berilmu amat tinggi...! Entah siapa aku tak mengetahui...!" Sahut Ginanjar dengan suara lirih, seraya bangkit berdiri dan tatapkan matanya jauh ke arah depan.

Tercenung sang gadis tanpa dapat berkata apa-apa. Desir angin yang lewat ditempat itu menyibakkan rambutnya. Dan Ginanjar masih berdiri memandang jauh kearah sana, sementara hatinya dilanda dengan berbagai macam pertanyaan. Kemanakah gerangan wanita itu ? Siapakah dia..? Suaranya amat mirip dengan Roro, akan tetapi dia bukan Roro! Karena aku masih ingat betul pada raut wajahnya...! Bertanya-tanya hati si pemuda ini dengan tatapan mata seperti tak berkedip. Entah apa yang ditatapnya. Tapi yang jelas wajah cantik saudara seperguruannya itu yang berkelebatan diruang matanya....

* * * * * * *

Tahu-tahu sesosok tubuh telah berkelebat ke hadapannya. Terkesiap pemuda itu, karena sosok tubuh wanita yang menolongnya telah berada ditempat itu.

"Hihihi... mengapa melamun anak muda..? Gadismu itu amat cantik! Mengapa tak kau bawa pulang...? Hari sudah semakin senja! Pulanglah! Ajaklah dia ke tempat tinggalmu. Dan berilah perlindungan padanya..!" Ujarnya, seraya berpaling menatap Kasmini. "Jenazah kakekmu itu kulihat sudah ada yang mengurusnya! Kau nona manis tak perlu mengkhawatirkannya lagi, dia sudah tenang di Alam Baka...!" Ujar si wanita itu dengan suara terdengar merdu.

Cepat-cepat Kasmini bangkit berdiri lalu menjura seraya ucapkan terima kasih atas pertolongannya. Melihat mayat lakilaki brewok itu dan keadaan dirinya yang masih utuh serta penjelasan Ginanjar, segera tahulah dia kalau wanita inilah yang telah menyelamatkannya dari bencana. Ginanjar pun segera menjura hormat.

"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar..! Bolehkan aku mengetahui siapa nama nona Pendekar...?" Tanya Ginanjar dengan amat hati-hati. Sementara tatapan matanya tak lepas memperhatikan wajah wanita itu.

"Hihihi... namaku..." Wanita itu tak meneruskan kata-katanya, karena lengannya sudah bergerak mengupas kulit mukanya. Ternyata dia memakai kulit muka palsu dari bahan karet yang lunak dan tipis. Segera terpampang seraut wajah yang cantik jelita...

"Roro..!" Teriak Ginanjar tiba-tiba, dan sepasang mata Ginanjar sudah membeliak menatapnya.

"Hihihi... aku bukan Roro! Siapa bilang aku Roro..? Kalau ditambahi Centil barulah betul! Namaku memang Roro Centil..!" Berkata gadis cantik itu dengan tertawa mengikik merdu. Dan sebelum Ginanjar sempat berkata apaapa, tubuh sang dara cantik itu sudah berkelebat cepat. Sekejap saja sudah lenyap dari hadapan mereka. Ginanjar baru tersadar dari terperangahnya, dan segera berkelebat mengejar.

"Rooroooooo Rorooooooo...!" Berteriak-teriak Ginanjar. Akan tetapi tubuh sang gadis cantik itu sudah tak kelihatan lagi. Pemuda ini kembali berdiri terpaku menatap ke depan, lalu tundukkan wajahnya. Setitik air bening membersit turun dari sudut matanya. Entah apa yang dirasakannya kini, gembira ataukah bersedih…? Dia telah berhasil menjumpai Roro. Akan tetapi Roro yang telah muncul dihadapannya sudah bukan Roro yang dulu lagi, melainkan Roro Centil yang ilmunya susah diukur tingginya.

Angin senja berhembus pelahan, menyibak rambut didahi pemuda lereng Rogojembangan itu. Ketika sepasang lengan halus menggamit tangannya dan mencekalnya erat-erat, Ginanjar baru tersadar.

Sepasang kakinya pun beranjak melangkah. Ditinggalkannya tempat yang telah membawa kenangan itu dengan hati masygul, akan tetapi bibir sang pemuda telah sunggingkan senyuman. Senyum yang amat trenyuh, karena telah mengingat lagi akan kisah-kisah indah yang lucu di air terjun, di lereng Rogojembangan. Sayup-sayup seperti ada terdengar suara menyusup ke telinganya.

"Ginanjar..! kalau ada kesempatan, datanglah ke Pantai Selatan tahun depan! Aku berada disana..! Oh, ya... jagalah gadismu baik-baik...!"
Selanjutnya,

Empat Iblis Kali Progo

Roro Centil - Empat Iblis Kali Progo

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
ROMBONGAN pasukan berkuda laskar Kerajaan itu lewat dengan suara yang bergemuruh, melintas dijalan desa yang sunyi itu. Debu tebal mengepul disepanjang jalan. Batu dan pasir berterbangan. Dan sekejap saja lebih dari dua puluh ekor kuda itu melintas dengan cepat, disertai teriakan-teriakan gegap gempita bagai tengah mengejar orang.

Sebentar kemudian suasana ditempat itu kembali hening. Akan tetapi segera terlihat satu pemandangan yang mengharukan. Karena beberapa ekor kambing telah berkaparan dijalanan dengan keadaan yang menyedihkan.

Seekor kambing berbulu coklat tampak mencoba berdiri dengan susah payah, akan tetapi kembali roboh terguiing. Ternyata kaki depannya telah hancur remuk dilindas kaki-kaki kuda. Suara mengembiknya terdengar menyayat hati. Tiga ekor kambing berbulu hitam terkapar tak bernyawa dengan kepala berlumuran darah. Seekor lagi yang berbulu putih tengah sekarat dengan keadaan yang menyedihkan. Sementara dua ekor anak kambing yang masih kecil telah mati dengan tubuh hancur luluh.

Dari sebuah parit disisi jalan, muncul kepala seorang bocah gembala. Wajahnya pucat pias penuh debu dan lumpur. Rambutnya kusut masai penuh jerami kering. Rupanya tadi sewaktu pasukan berkuda itu melintas jalan. Dia tengah menghalau kambing-kaming gembalaannya melintasi jalan sunyi itu. Tak diduga rombongan pasukan berkuda itu begitu cepat datangnya, tahu-tahu telah didepan mata. Terbeliak sepasang matanya, dan dengan berteriak kaget dia cepat gulingkan tubuhnya menyelamatkan diri dan maut hingga terjerumus keparit.

Si bocah gembala ini ternyata seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tujuh tahun. Gadis kecil ini mengucak-ucak matanya melihat sebuah pemandangan tragis terpampang didepan matanya. Penglihatannya tertumbuk pada dua ekor anak kambing yang terkapar mati dengan tubuh hancur bersimbah darah.

"Oh...?" Satu suara tersendat keluar dari bibir bocah gembala ini. Sepasang kakinya gemetaran seperti tak kuat menahan tubuhnya lagi. Ketika melihat seekor kambing berbulu putih yang tengah megap-megap sekarat dengan mulut mencucurkan darah, bocah ini berteriak menjerit. "Putih...!? oh, Pu Putiiiih!"

Dan segera menghambur lari menubruk kambing itu. Selanjutnya sudah menangis terisak-isak dengan suara menyedihkan. Si Putih baru sebulan ini melahirkan anaknya yang dua itu. Anak kambing yang lucu-lucu. Seekor berbulu putih, dan seekor lagi berbulu hitam.

Kini kedua ekor anak kambing yang lucu-lucu itu sudah jadi bangkai tak bernyawa. Dan sang induknya tengah megap-megap sekarat dengan keadaan mengenaskan hati. Tersedu-sedu sibocah gembala memeluki sang kambing kesayangannya. Kambing yang satu ini adalah miliknya sendiri yang telah dibelikan oleh ayahnya setahun yang lalu.

Sedangkan yang lainnya adalah kambing-kambing milik sang paman, yang digembalakannya menjadi satu. Sementara si Putih itu rupanya sudah tak kuat mempertahankan lagi nyawanya. Setelah sekarat meregang nyawa, tak lama kemudian kambing itupun mati.

Sang bocah gembala itu semakin kuat memeluki tubuh binatang kesayangannya. Tangisnya hampir tak terdengar karena suaranya telah serak. Kenyataan yang tragis itu ternyata telah menggoncangkan jiwanya. Hingga karena tak kuat menahan kesedihan yang amat sangat, si gadis kecil itupun terkulai tak sadarkan diri.

Angin gunung bertiup berdesahan menyibak rambutnya. Entah berapa lama dia tertelungkup tak sadarkan diri dengan lengan masih memeluk binatang itu. Ketika tiba-tiba dikejauhan kembali terdengar bunyi derap kakikaki kuda mendatangi. Ternyata rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu telah kembali lagi. Tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi, karena gemuruh puluhan ekor kuda itu menderu-deru cepat laksana air bah.

Peristiwa mengerikan itupun kembali berlangsung. Kuda pertama menerabas tanpa kenal ampun, disusul kuda-kuda selanjutnya. Kaki-kaki binatang kekar ini cuma menurutkan perintah tuannya, langsung menggilas apa saja yang menghalangi jalan. Lima ekor kuda telah lewat menerabas. Dan tubuh kecil tak berdaya yang membaur diantara bangkai-bangkai kambing itu pun terinjak-injak, terlempar kesana kemari. Lalu digilas oleh kaki-kaki kuda selanjutnya.

Pada saat itulah satu bayangan telah berkelebat menggelinding, dan menyambar tubuh bocah gembala itu. Dengan berguling-guling diantara kakikaki kuda yang berkepulan debu, dia berhasil keluar dari kaki-kaki maut yang melintas dengan cepat itu. Dan sebentar saja rombongan pasukan berkuda itu telah lenyap dikejauhan.

Kini terlihatlah satu pemandangan yang mengenaskan. Diantara kepulan debu yang menipis itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih menggelepoh disisi jalan. Bajunya penuh dengan tapak-tapak kaki kuda. Bahkan bekas tapak kaki kuda terlihat dipelipisnya.

Sementara si bocah gembala itu belum diketahui nasibnya, karena telah dipeluknya erat-erat menempel didada. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Matanya bersinar menatap ke ujung jalan dimana rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu lenyap. Tampak dada lakilaki ini berombak-ombak menahan geram, dengan gigi terdengar berkerot.

"Bangsat-bangsat terkutuk...!" Terdengar suara desis keluar dari bibirnya. Namun sesaat dia sudah tersentak ketika melihat keadaan bocah yang di tolongnya. Cepat-cepat ia menempelkan telinganya ke dada bocah itu. Dan wajahnya berubah pucat.

"Celaka…! Aku harus cepat menolongnya sebelum terlambat..!" Desisnya penuh kekhawatiran. Dan... berkelebatlah laki-laki berbaju putih itu tinggalkan tempat itu. Tubuhnya melesat cepat sekali, lalu sebentar kemudian lenyap dibalik perbukitan.

Tiba-tiba dari ujung jalan tadi, muncul lagi serombongan pasukan lasykar Kerajaan. Suara derap kakikaki kuda kembali menyibak keheningan. Ternyata rombongan yang tadi, akan tetapi kini cuma lima ekor kuda yang mendatangi. Tiba-tiba si penunggang kuda paling depan mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti. Penunggang kuda ini masih muda. Berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Berwajah tampan dan menunggang kuda berbulu hitam berkilat.

Kiranya dialah si pemimpin rombongan berkuda itu. Segera sepasang matanya menyapu sekitar tempat itu. Menatap pada beberapa ekor kambing yang porak poranda dengan keadaan tak bernyawa. Berkilat-kilat sepasang matanya menatap bangkai-bangkai binatang itu. Kemudian memutar kudanya. Pandangannya menyapu bukit dan keadaan sekitarnya.

"Hm, cepat periksa keadaan disekitar perbukitan ini! Apakah ada manusia?" Perintahnya pada keempat anak buahnya.

Keempat penunggang kuda itu segera mengangguk hormat, dan segera memecah keempat penjuru. Lalu memulai penyelidikan. Sementara si pemuda tampan kepala pasukan berkuda ini berputar-putar disekitar tempat itu, dengan sepasang matanya memperhatikan bangkai-bangkai kambing yang berserakan dijalanan.

Kiranya tadi sewaktu rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu melewati jalan ini, sekilas dia telah melihat seorang bocah kecil tertelungkup diantara bangkai-bangkai kambing yang memang telah berserakan dijalanan. Akan tetapi karena dia berada dibarisan ketiga, dan terhalang oleh tiga ekor kuda dihadapannya. Dia tak begitu memperhatikan. Apa lagi untuk menghentikan kudanya adalah tak mungkin. Karena kuda-kuda mereka berlari cepat sekali.

Sedangkan dia yakin, seandainya penunggang kuda paling depan mengetahui ada orang dijalanan, tentu dari jauh-jauh sudah memberi aba untuk berhenti. Itulah sebabnya tadi dia terus melewati dengan agak ragu, apakah penglihatannya cuma fatamorgana saja, ataukah sesungguhnya?

Namun ketika tiba di pos sebelah depan, pemuda ini sengaja kembali lagi bersama keempat perwira bawahannya. Sedangkan rombongan yang terdiri dari dua puluh ekor kuda dibawah pimpinan Tumenggung Wirapati meneruskan berangkat ke perbatasan Kota Raja.

Sebenarnya dia dan keempat anak buahnya berada dilain rombongan, yang memintas jalan memutar melalui belakang bukit, dan tidak melalui jalan desa ini. Ketika itu mereka tiba terlebih dulu. Setelah memberi laporan bahwa buronan yang dicarinya tak dijumpai, segera bergabung dengan rombongan yang dibawah pimpinan Tumenggung Wirapati.

Demikianlah, hingga kedua rombongan itu segera melewati jalan desa yang sunyi itu. Tentu saja membuat pemuda tampan pemimpin keempat perwira Kerajaan itu menjadi penasaran, dan kembali lagi. Penasaran untuk membuktikan penglihatannya. Apakah dijalanan yang dilewati rombongan mereka, ada seorang bocah tertelungkup diantara kambingkambing yang berserakan?

Tiba-tiba tatapan matanya tertumbuk pada sebuah benda bersinar diantara kambing-kambing yang berkaparan dijalan itu. Cepat dia bergerak melompat turun dari kudanya. Diambilnya benda itu, yang ternyata seuntai kalung berwarna putih berkilatan. Rantainya terbuat dari baja putih, sedangkan bandulannya terbuat dari gading berbentuk hati.

Pada bagian tengahnya terdapat ukiran sebuah huruf " R ". Tersentak hatinya melihat kalung ini. Kini dia yakin benar bahwa yang tertelungkup disini tadi benar-benar seorang bocah manusia. Cepat disimpannya benda itu ke balik pakaiannya, dan kembali melompat ke atas kuda.

Sementara benaknya mulai berfikir... "Hm, kalau Tumenggung Wirapati dan anak buahnya mengetahui didepannya ada seorang bocah tetelungkup ditengah jalan, mengapa tak memberi isyarat berhenti? Mustahil kalau mereka tak melihatnya! Dan berkaparannya kambingkambing yang mati  ini pasti karena diterjang terus oleh rombongan berkuda dibawah pimpinannya! Benar! Aku yakin bocah si pemilik kalung ini adalah seorang  bocah  penggembala kambing! Mungkin rombongan mereka terus menerjangnya disaat melewati jalan ini! Dan ketika kembali lagi setelah bergabung dengan rombongan pasukanku telah menerjang lagi bocah yang tertelungkup dijalanan! Entah bocah itu tertidur ataukah pingsan, aku tak mengetahui..!

Terdengar suara pemuda itu berdesis kesal. "Kalau begitu Tumenggung Wirapati benar-benar seorang yang berhati kejam! Sungguh-sungguh keterlaluan..!" Memaki si pemuda. Kini yang jadi pertanyaan adalah si pemilik kalung itu. Kemanakah gerangan bocah gembala itu? Kalau mayatnya ada tentu tak menjadikan dia penasaran. Kalau memang penglihatannya salah, tak mungkin ditemukannya kalung itu.

"Apakah si bocah penggembala kambing itu seorang bocah perempuan?" Desisnya lagi pelahan. Setelah berfikir bolak-balik tak menentu, akhirnya dia menyerah, tak dapat memecahkan persoalan itu. Sekarang tinggal menunggu penyelidikan keempat Perwira bawahannya. Kira-kira selang beberapa saat, tampak satu-persatu keempat Perwira bawahannya. Dia telah menerima laporan.

Ternyata laporan yang didapat adalah tidak adanya siapa-siapa disekitar tempat itu. Pedesaan masih amat jauh sekitar ratusan kaki dilereng bukit. Tak ada seorang manusiapun yang lewat ditempat itu. Akhirnya setelah temenung beberapa saat, pemuda pemimpin rombongan itupun segera perintahkan untuk kembali.

Derap suara langkah kaki-kaki kuda kembali terdengar disekitar tempat sunyi itu. Namun suara itupun semakin menjauh. Lalu melenyap, tinggalkan debu yang mengepul disepanjang jalan. Tempat itu kembali lengang seperti sediakala. Dan bangkai-bangkai kambing itu cuma menambahkan sebuah pemandangan yang memilukan....

DUA

WAKTU berlalu begitu cepat seperti anak panah lepas dari busurnya. Tujuh tahun kemudian sejak kejadian dijalan desa sunyi itu....

"Roroooooo...!" Roroooooo...!"

Satu suara terdengar sayup-sayup dikejauhan, diantara tebing dan bukit dekat air terjun. Pemandangan disitu memang indah. Bukit-bukit dan tebing menjulang disana-sini. Dilereng Gunung Rogojembangan itu mengalir sebuah sungai berair jernih. Disebelah barat, persis diarah hulu sungai itu, terlihat menonjol sebuah lamping bukit curam yang berbentuk aneh dan indah sekali.

Karena bila diperhatikan amat mirip dengan kepala burung Rajawali Raksasa. Menghadap kearah sisi bukit itu adalah hutan belantara. Dan air terjun itu persis berada dibawah lamping bukit yang berbentuk kepala burung Rajawali.

"Roroooooo..!" Kembali terdengar suara memanggil itu. Kali ini suaranya lebih keras. Seorang bocah laki-laki tanggung kira-kira berusia empat belas tahun, tampak melompat diantara batubatu tebing dan bukit terjal. Gerakannya amat lincah sekali. Dengan sebat bocah laki-laki tanggung itu menuruni akar pohon yang melintang di lereng tebing lalu melompat lagi menuju kebawah bukit. Dari gerakannya dapatlah diketahui bahwa bocah lakilaki tanggung itu bukanlah bocah sembarangan, tapi seorang bocah yang terlatih.

Setelah berpaling ke kanan dan ke kiri, orang yang dicarinya tidak ada, matanya tertuju pada air terjun. Dengan gerakan sebat, kembali dia berlompatan d atas batu-batu disisi sungai. Dan sebentar saja telah berada disisi bukit, di bawah lamping batu menonjol itu dimana disisinya adalah air terjun. Sepasang matanya kembali jelalatan memandang sekitarnya mencari-cari adakah orang disekitar tempat itu. Namun tak ada tanda-tanda orang yang dicarinya berada disitu.

"Aiiih, kemana gerangan anak itu..?" Gumamnya pelahan. Akhirnya diapun langkahkan kaki menjauh lagi air terjun itu, dan jatuhkan pantatnya keatas sebuah batu besar. Tangannya merayap menjumpu batu-batu kerikil, dan dilemparkannya ke tengah sungai. Suaranya bergemerutukan diair yang jernih itu. Terlampias juga rasa kesalnya. Memandang air jernih dan udara siang hari yang cukup panas, membuat bangkitnya selera untuk mandi. Setelah tengok kiri-kanan tak ada orang, segera dia membuka bajunya. Dan lepaskan celananya....

BYURRRRR...! Bocah laki-laki tanggung ini sudah terjun ke sungai. Air disini tak seberapa dalam. Tak berapa lama kepalanya sudah tersembul dipermukaan air. Saat dia mandi dan merendam tubuhnya didalam air sebatas dada itu tiba-tiba sepasang matanya jadi membeliak, karena terasa kakinya ada yang mencekal dibawah air. Tentu saja bocah laki-laki tanggung ini jadi terkesiap. Sekilas saja sudah terlintas sesuatu yang menakutkan dibenaknya. Dongeng adanya "Hantu Air" yang suka mengganggu orang mandi di sungai. Dan....

"Wuaaaaaa..! tolong! toloooong..!?" Berteriak-teriaklah dia ketakutan, sambil berusaha menarik kakinya yang terasa dibetot ke dalam air. Justru dia mencoba menarik, bahkan tubuhnya semakin terbetot ke dalam air. Tak ampun lagi segera kapalanya membenam. Meronta-ronta bocah laki-laki tanggung itu dengan gelagapan. Kepalanya sebentar timbul sebentar hilang. Dan dua-tiga teguk air sudah tertelan masuk tenggorokannya.

Tiba-tiba terasa cekalan itu terlepas. Cepat dia berenang menepi. Wajahnya tampak pucat pias karena takutnya. Sesaat dia sudah berhasil mencapai tepian sungai. Lengannya meraih batu, dan sudah siap gerakkan tubuh yang lemas itu untuk melompat ke darat. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa cekikikan dibelakangnya. Semakin takutlah bocah ini. Namun dengan justru sisa-sisa tenaganya dia sudah berhasil naik. Setelah merasa aman barulah dia balikkan tubuh untuk menoleh ke belakang.

Betapa terkejut dan mendongkolnya bocah laki-laki ini, karena yang tertawa cekikikan di belakangnya tak lain dari Roro. Yaitu si bocah perempuan yang tengah dicari-carinya tadi.

"Roro..!? kau... kau sungguh keterlaluan menakut-nakuti orang! Jadi Hantu Air yang kau dongengkan tadi adalah kau sendiri..?" Berkata bocah laki-laki tanggung itu dengan sepasang mata mendelik kesal, tapi bibirnya sunggingkan senyuman. Karena rasa kekhawatirannya seketika sirna.

Bocah perempuan tanggung bernama Roro itu beranjak menepi. Ternyata seorang bocah perempuan yang berwajah ayu. Bentuk wajahnya membulat bagai daun sirih. Sepasang matanya jernih. Rambutnya yang panjang sebatas punggung itu basah kuyup. Segera saja dia sudah naik melompat ke darat. Sementara si bocah laki-laki tanggung itu cuma me natap dengan mata tak berkedip. Akan tetapi baru saja dia naik ke darat, sudah terdengar lagi suara tertawanya mengikik geli.

"Hihihi... hihihi... hihi.... Lucu! Hihihi... lucu sekali..!"

Melihat gadis tanggung dihadapannya mengikik tertawa sambil menunjuknunjuk kearah bagian bagian bawah tubuhnya, keruan saja dia jadi kebingungan. Ketika sadar akan keadaan dirinya, seketika wajahnya berubah memerah. Sebelah lengannya dengan cepat bergerak menutupi bagian yang terbuka itu, dan begitu menemukannya, bergegas mengenakannya, dan....

"Hm, beres..!" Teriaknya dalam hati, setelah selesai mengenakan celananya. Sedangkan bajunya tak terburu-buru dipakainya, tapi diletakan diatas pundak. Sementara sepasang matanya menatap pada kawan perempuannya yang masih berdiri ditempat tadi.

Sementara si bocah perempuan tanggung bernama Roro itu telah hentikan tertawanya. Dilihatnya sang kawan itu terus menatapnya dengan mata tak berkedip dengan bibir ternganga. Apakah yang diperhatikan? Pikirnya. Roro yang sama sekali tak menyadari keadaan dirinya, segera melompat mendekati bocah laki-laki kawannya itu.

Semakin dekat dia menghampiri, semakin membinar sepasang mata sang kawannya itu menatapnya. Tentu saja si bocah perempuan tanggung itupun tak menyadari kalau tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat, dan tatapan sepasang mata kawannya yang membinar-binar adalah karena memperhatikan sekujur tubuhnya.

"Heh?! Ginanjar! Kau kenapakah..? apakah kesurupan setan Hantu Air…?" Tanya Roro seraya beranjak menghampiri, dan menepuk nepuk pundaknya. Bahkan mengguncang-guncangkan tubuhnya.

Tentu saja membuat bocah laki-laki tanggung bernama Ginanjar itu jadi tersipu-sipu sambil melengos. Namun seonggok senyum lucu, tapi lugu tersungging dibibirnya.

"Roroooooo...! Ginanjaaaar..!"

Satu suara serak parau terdengar sayup dikejauhan. Suara yang sudah amat dikenal betul oleh kedua bocah tanggung itu.

"Hah!? Celaka...! Kita bakal kena damprat! Dan bakal dapat hukuman berat..! Oh, aku telah melalaikan tugas guru..! Yah, gara-gara mencarimu tak bertemu..!" Bisik Ginanjar dengan wajah pucat.

"Hihihi... biarlah kau dapat hukuman! Siapa suruh kau mencariku? Sudah tak bertemu, kenapa terus mandi? Itukan salahmu sendiri!" Tukas Roro dengan wajah tak menampakkan keterkejutan. Berbeda dengan Ginanjar yang seketika wajahnya pucat pias dan bergegas mengenakan bajunya.

Ternyata Roro pun segera melompat ke tempat menyimpan pakaiannya yang ternyata disembunyikan dibalik batu. Dan bergegas pula mengenakannya. Tak berapa lama dua sosok tubuh telah berlompatan keluar dari bawah lamping bukit itu. Ginanjar melompat terlebih dahulu, lalu disusul oleh Roro. Kedua bocah tanggung ini bergerak cepat sekali melompati batu-batu terjal, meniti akar pohon, dan mendaki lereng perbukitan. Tak berapa lama keduanya telah tiba diatas. Tampaknya Ginanjar mengatur napas sebentar, lalu berlarilari lagi menyusul Roro, yang sudah mendahului tanpa berhenti untuk beristirahat.

Siapakah gerangan gadis tanggung bernama Roro itu? Dialah kiranya si bocah angon yang telah ditolong oleh seorang laki-laki dari terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh tahun yang lalu. Marilah kita ikuti kemana gerangan kedua bocah tanggung itu menujunya.

Diujung jalan setapak, pada sebuah tempat yang bersih dan luas, tampak duduk seorang kakek diatas sebuah batu besar. Sang kakek ini berambut gondrong yang sudah putih semua. Bahkan kumis dan jenggotnya yang tebal itupun telah memutih bagaikan kapas. Hati Ginanjar sudah kebat-kebit dari kejauhan ketika melihat orang tua ini. Sementara Roro terus berlari cepat didepan Ginanjar. Ketika kira-kira beberapa tombak lagi, tiba-tiba tubuh Roro meletik indah, dan berjumpalitan diudara. Begitu menginjak tanah, ternyata sudah tiba dihadapan sang kakek tua itu.

"Ada apakah, kek? kau memanggilku..?" Bertanya Roro, yang segera duduk bersimpuh dihadapannya.

Sang kakek ini tak menjawab, tapi bibirnya diam-diam sunggingkan senyuman. Hatinya memuji kagum melihat gerakan lincah bocah perempuan tanggung ini, yang gunakan jurus Rajawali Menukik. Sementara tatapan matanya ditujukan pada Ginanjar, yang sudah tiba dan segera duduk bersimpuh disamping Roro.

"Hm, kalian pasti habis mandi..!" Berkata sang kakek seraya menatap keduanya yang rambutnya masih basah.

Hampir berbareng keduanya mengangguk. Roro tampak tenang-tenang saja, tapi Ginanjar terlihat benar gelisahnya. Sedari tadi hatinya memang sudah kebat-kebit.

"Bukankah sudah kukatakan, kalian tidak boleh mandi berdua-dua? Apakah kalian memang sengaja melanggar larangan, dan mau menjadi murid-murid yang keras kepala..?" Tanya sang kakek.

"Hayo jawab..!!" Bentak si kakek tiba-tiba, membuat Ginanjar jadi terlonjak kaget. Sedangkan Roro tiba-tiba menutup mulutnya karena merasa hal itu amat lucu. Tubuh Ginanjar tampak gemetaran tanpa bisa menjawab. Melihat demikian Roro cepat-cepat menjawab seenaknya.

"Kami tidak mandi berdua, kek..! Apakah kakek telah melihat sendiri dengan mata kepala?" Bertanya Roro.

Sang kakek jadi berpaling menatap Roro. Alisnya yang putih itu bergerak menyatu, dan sepasang matanya melotot tajam. Akan tetapi memang dia jadi gelagapan ditanya demikian, karena sebenarnya dia tidak melihat kedua bocah itu mandi berdua ataukah seorang diri.

TIGA

SEMENTARA sang kakek gelagapan ditanya Roro demikian, gadis tanggung ini tundukkan wajah sambil tersenyum. Padahal dia cuma "menggertak" saja. Karena seandainya sang kakek mengetahuinya dan melihat mereka mandi berdua, entahlah hukuman apa yang bakal mereka terima.

"Baiklah! Aku memang tak melihat kalian mandi berdua! Walau demikian kalian tetap bersalah, karena tak kulihat seorangpun berada ditempat latihan" Ujar sang kakek sambil mengelus jenggot putihnya yang lebat.

"Maka sebagai hukuman, guru..!" Tiba-tiba Ginanjar telah berkata dengan suara terdengar agak gemetar. Lain halnya dengan Roro, yang tampak monyongkan mulutnya, tapi tak berani bicara apa-apa

"Nah kini bangunlah kalian!" Membentak sang kakek dengan suara keras.

Tak usah dua kali perintah, bagai disengat kelabang keduanya sudah melompat bangun berdiri. Mata sang kakek tampak jelalatan mencari-cari sesuatu diantara dahan-dahan pohon disekitar tempat itu. Lalu berhenti menatap pada sebuah dahan pohon yang melintang rata. Dahan pohon itu tak seberapa tinggi. Kira-kira tingginya empat kali tubuh manusia dewasa.

"Ginanjar! Kau naiklah ke dahan pohon itu. Dan kau harus berjuntai disana dengan kaki diatas kepala dibawah! Mengertikah kau?" Berkata sang kakek. Ginanjar menengadah keatas pohon, lalu mengangguk.

"Nah, kerjakanlah cepat!" Bentaknya dengan melotot.

Bocah laki-laki tanggung ini tak berani membantah. Dengan tiga-kali melompat, dia sudah berada dibawah pohon yang ditunjuk itu. Selanjutnya sudah memanjat ke atas dengan cepat. Sebentar kemudian sudah berada didahan yang ditunjuk tadi. Matanya menatap kebawah. Agak ngeri juga bocah laki-laki tanggung ini, tapi dengan kuatkan hati segera dia mulai melirik kearah Roro, yang juga tengah memperhatikan. Akan tetapi sebuah bentakan sudah menyambarnya lagi.

"Hayo, cepat!" Tentu saja tak ayal lagi segera kuatkan kepitan kakinya pada dahan pohon, dan segera jatuhkan tubuhnya untuk menjuntai kebawah. Dan dengan kepala dibawah sedemikian rupa, Ginanjar segera bersidakep dengan memejamkan matanya.

"Ingat! Kau tak boleh turun atau merobah posisimu, sampai aku datang dan menyuruhmu turun!" Berkata sang kakek dengan suara keras berwibawa. Kemudian berpaling menatap Roro.

"Ayo, kau ikut aku..!" Berkata sang kakek, dan mendahului berkelebat dari situ.

Tentu saja Roro tak berani membantah, dan tak ayal lagi segera bergerak menyusul. Tak sempat lagi dia menoleh pada Ginanjar yang menjuntai diatas dahan pohon. Bocah inipun ternyata tak membuka matanya karena amat takut pada gurunya.

Siapakah gerangan kakek tua berambut putih itu. Dialah seorang tokoh Rimba Hijau yang telah puluhan tahun menyembunyikan diri di lereng Rogojembangan. Bernama BAYU SHETA, dan digelari kaum persilatan dengan julukan si PENDEKAR BAYANGAN.

Tujuh tahun sudah Roro tinggal dilereng gunung itu sejak dibawa oleh seorang laki-laki yang telah menyelamatkan jiwanya, yaitu bernama Jarot Suradilaga, yang bergelar si Maling Sakti. Roro telah menjadi seorang gadis tanggung yang lincah jenaka, dengan usia kira-kira empat belas tahun. Ibarat bunga adalah mulai mekar, dan belum menampakkan keindahannya.

Sayang Roro tidak sebagaimana lazimnya anak-anak gadis sebayanya. Karena pengaruh akibat terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh tahun yang silam, telah membuat wataknya agak aneh, dan angin-anginan. Terkadang akan membuat orang geleng kepala melihat sikapnya. Bahkan sang kakek itupun sudah maklum akan pembawaan watak Roro yang demikian.

Aneh juga lucu, karena sampai saat ini Roro belumlah mengetahui kalau dirinya seorang perempuan. Dan hingga saat ini dia tak mengetahui manakah sesuatu pada tubuhnya yang harus ditutupi dan disembunyikan...

Setelah sekian lama berlari-lari mengikuti sang kakek alias Ki Bayu Sheta itu, tampak laki-laki tua bertubuh kekar itu hentikan larinya. Roro pun segera berhenti berlari. Napasnya terdengar sengal-sengal. Kecepatan lari sang kakek itu amat luar biasa. Roro sudah keluarkan tenaga sepenuhnya untuk menyusul, akan tetapi tetap saja berada dibelakang tubuh si kakek Bayu Sheta itu sekitar lima-enam tombak tanpa mampu menyusul. Dia sudah jatuhkan tubuhnya mendeprok ditanah, lalu mengatur napasnya yang terengah-engah. Tak berapa lama segera rasa lelahnya sudah pulih lagi.

Sementara sang kakek Bayu Sheta telah duduk diatas sebuah batu. Sebelah lengannya mengelus-elus jenggotnya. Dan sebelah lagi mengipas-ngipas dadanya dengan ujung jubah. Tampak wajahnya seperti biasa saja. Tak terlihat rasa lelah sedikitpun setelah berlari sekian lama. Menandakan kakek tua berjulukan si Pendekar Bayangan ini bukanlah orang yang berkepandaian rendah. Karena telah memiliki kesempurnaan dalam mengatur napas ketika berlari.

"Heheheh... bagus, Roro! Ilmu larimu semakin maju pesat! Enam bulan sudah sejak kau dititipkan oleh gurumu si Maling Sakti ternyata tak mengecewakan! Cuma dalam hal mengatur napas kau harus lebih perhatikan lagi..!" Berkata Ki Bayu Sheta, dengan tersenyum menatap Roro.

Roro tersenyum seraya manggut-manggut mendengarkan penuturan sang kakek, tapi dalam hati amat keheranan karena apalagi untuk menyusul, merendengi sang kakek saja teramat sulit. Anehnya mengapa dikatakan maju pesat? Dia jadi benarbenar tak mengerti. Tentu saja Roro tak mengetahui kalau dalam setiap kali Roro sudah hampir berhasil merendenginya selalu Ki Bayu Sheta menambah kecepatan larinya. Hingga tetap saja jarak antara mereka tak berubah.

Diam-diam Ki Bayu Sheta juga terkejut, karena Roro telah jauh melebihi Ginanjar, bocah laki-laki tanggung muridnya itu. Kalau Ginanjar, ketika dia pergunakan tenaga separuhnya saja tak mampu berada lima enam tombak dibelakangnya. Tetapi Roro ketika dia pergunakan tenaga lari tiga perempat bagian, ternyata mampu berada dibelakangnya sejarak lima enam tombak dibelakangnya.

"Apakah hukuman yang akan kau jatuhkan padaku adalah dengan mengajakku berlatih adu lari seperti ini, kek..?" Tiba-tiba Roro bertanya, seraya bangkit berdiri.

Orang tua itu terdiam sesaat, tiba-tiba sepasang mata sang kakek telah melotot tajam padanya. "Hm, aku akan menjatuhkan hukuman padamu seberat-beratnya, karena kau telah berani berdusta!" Tiba-tiba Ki Bayu Sheta berkata dengan suara dingin.

Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi terkejut. Celaka!? Pikir Roro, dengan wajah seketika berubah pucat. Hatinya menduga kalau sang kakek telah mengetahui kalau dia mandi berdua dengan Ginanjar. Padahal tujuannya berdusta adalah membela bocah laki-laki itu, karena tampaknya amat ketakutan sekali. Tiba-tiba....

"Kakek..! Ampunkanlah aku! Aku telah berani berdusta terhadapmu..!" Roro telah bersimpuh dihadapan sang kakek itu dengan kepala menunduk.

"Berikanlah hukuman apa saja padaku, walau berat sekalipun pasti akan hamba jalankan!" Tiba-tiba Roro bangkit berdiri dan tengadahkan lagi wajahnya menatap ke langit.

Melihat itu Ki Bayu Sheta jadi tertawa gelak-gelak, dan terpingkal-pingkal seperti amat lucu. Ternyata tadi dia cuma menggertak saja. Padahal sesungguhnya dia memang tak mengetahui sama sekali kalau Roro berdusta. Tapi diam-diam Ki Bayu Sheta memuji sifat ksatria yang terdapat pada Roro, yang mau mengakui kesalahannya dan berani menanggung resikonya.

"Duduklah Roro, cucuku..!" Berkata Ki Bayu Sheta setelah berhenti dari tertawanya, dan menghela napas. Dipandangnya lengkung-lengkung bukit diufuk sana, dimana awan-awan putih berderet diatas perbukitan. Sementara hatinya membathin. Di diatas langit ternyata masih ada langit lagi! Bocah perempuan ini telah berhasil menggertakku, menandakan bahwa diriku masih lemah!

Seandainya yang menggertakku adalah seorang musuh, dan aku mempercayai, tentu akan berakibat fatal! Akan tetapi jiwa kesatria memang sukar didapat! Bocah ini berdusta cuma untuk membela Ginanjar! Berarti dia mempunyai rasa setia kawan yang amat besar pada sesama murid atau kawan! Berarti bocah ini memang tak dapat disalahkan..! Demikianlah hatinya membathin.

"Aku telah memaafkanmu, Roro..!" Terdengar suara Ki Bayu Sheta lirih dengan nada parau.

Tentu gadis tanggung ini jadi terheran. "Lho!? Mengapakah, kek? Kalau aku bersalah, hukumlah! Kalau kesalahanku dimaafkan, apa alasannya?" Bertanya Roro dengan sepasang mata yang bening menatap pada Ki Bayu Sheta.

Tentu saja pertanyaan itu membuat sang kakek jadi melengak, tapi dia memang tak dapat menyahut karena tampak sebutir air bening telah tersembul disudut matanya yang sudah mulai agak mengabur itu. Wajahnya yang tegar dan seram itu ternyata tak seseram hatinya. Tiba-tiba sebelah lengannya sudah bergerak mengelus rambut Roro. Belaian itu begitu penuh kasih sayang. Roro tundukkan wajahnya dengan perasaan aneh, mengapa tibatiba sang kakek bersikap demikian?

"Kau memang anak baik, Roro! Tak percuma gurumu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti mendidikmu! Walau gelarnya tidak bagus, tetapi gurumu itu seorang Pendekar sejati. Berhati mulia dan selalu menjunjung tinggi kebenaran! Tidak kecewa kau menjadi muridnya, karena disamping ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah diturunkannya padamu, ternyata jiwa ksatrianya pun telah diwariskan padamu!"

Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara datar. Sementara sepasang matanya masih menatap kearah bukit nun jauh disana. Bukit yang sering dipandangi. Itulah bukit Kera, dimana segala penentuan nasibnya adalah diatas bukit itu. Namun Roro memang tak mengetahui, dan Ki Bayu Sheta memang tak ingin kedua orang bocah muridnya mengetahui....

EMPAT

MATAHARI sudah condong ke arah barat. Ginanjar masih tetap menggantung diatas dahan dengan kepala terjuntai kebawah. Dalam keadaan jungkir balik demikian tentu saja bernapaspun tidak leluasa rasanya. Mata bocah laki-laki tanggung ini mulai berkunang-kunang. Kepala terasa berat, tapi anehnya setelah dia salurkan hawa murni ke seluruh tubuh seperti yang diajarkan Ki Bayu Sheta gurunya, segera terasa enak sekali berjuntai seperti kampret begitu.

Apalagi dalam keadaan menjuntai itu si bocah laki-laki tanggung itu telah membayangkan kejadian disungai tadi. Serasa enggan dia membuka sepasang matanya yang mengatup, karena khawatir bayangan indah yang dilihatnya mendadak hilang. Selang beberapa saat, dan entah sudah berapa lama Ginanjar menjuntai demikian tak dirasakannya lagi. Ketika tiba-tiba didengarnya satu suara yang sudah tak asing lagi bagi pendengarannya.

"Ginanjar! Kau sudah boleh turun!"

Tentu saja bocah laki-laki ini jadi terkejut tapi juga girang. Segera dia buka sepasang matanya. Tak dilihatnya ada Ki Bayu Sheta ditempat itu, namun suara tadi memang jelas suara gurunya. Tak ayal segera dia enjot tubuh untuk kembali tegak duduk diatas dahan. Kembali dia pentang mata untuk melihat sekitarnya. Dan memang tak menampak gurunya berada disekitar tempat itu. Hm, suara itu tak mungkin aku salah dengar! Gumam Ginanjar dalam hati. Dan... melompatlah dia dari atas dahan tinggi itu.

Tubuhnya meluncur turun dengan deras, tapi sebelum jejakkan kakinya ke tanah telah melayang sebuah ranting kayu menyambar kakinya. Terkejut bocah laki-laki ini, segera dia jatuhkan diri bergulingan. Sambaran ranting itu memang berhasil lolos. Akan tetapi ketika dia melompat bangkit berdiri, segera perdengarkan suara teriakan mengaduh. Dan kembali jatuh terduduk, karena terasa kakinya kesemutan. Segera saja lengannya bergerak mengurut-urut kedua kakinya.

"Bocah tolol!" Terdengar suara bentakan, dan sebuah bayangan berkelebat yang tak lain Ki Bayu Sheta adanya. "Keadaan kakimu belum pulih! Darah masih berkumpul dikedua kakimu! Mana kuat kau jejakkan kaki ke tanah dengan ketinggian seperti itu? Seharusnya kau salurkan kembali hawa murni dikedua kakimu untuk membuat darah membuyar!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan sepasang mata melotot menatap pada Ginanjar.

"Ampunkan kebodohan hamba, guru..!" Ujar Ginanjar, yang segera salurkan hawa murni kearah kedua kaki dan tak lama rasa kesemutan itupun lenyap. Dan sesaat dia sudah mampu melompat untuk berdiri.

Pada saat itu Roro pun muncul dengan wajah berseri gembira. Kiranya sewaktu dalam perjalanan kembali pulang telah pergunakan cara yang diajarkan Ki Bayu Sheta, hingga walaupun berlari-lari sekian lama tidaklah Roro merasa kelelahan. Dalam waktu singkat si gadis tanggung itu telah berhasil menguasai cara mengatur napas.

"Hihihi... kakek! Seharusnya dia tak usah kau suruh turun! Biarkan saja menjuntai diatas dahan menjadi kampret!" Berkata Roro sambil mencibir menatap Ginanjar. Bocah laki-laki tanggung itu cuma tersenyum, dan seketika wajahnya menjadi merah.

"Hm, sudahlah! Ayo, kita kembali ke pondok!" Berkata Ki Bayu Sheta. Dan mendahului berkelebat.

"Eh, Ginanjar! Kau mau pulang atau tidak?" Roro palingkan wajahnya menatap bocah laki-laki itu.

"Pulanglah duluan Roro..! Nanti aku menyusul!" Sahut Ginanjar dengan menatap pada Roro dan jatuhkan pantatnya duduk diatas akar pohon. Lengannya bergerak menguruti kakinya.

"Kakimu sakit?" Tanya Roro, seraya menghampiri.

"Tidak lagi! cuma kesemutan sedikit..!" Ujar Ginanjar.

Gadis tanggung ini gerakkan alisnya, dengan sepasang matanya berkedipan. "Aku akan bantu mengurut, biar lekas sembuh!" Berkata Roro seraya berjongkok dan ulurkan sepasang lengannya.

Berdebar seketika hati Ginanjar akan tetapi cepat-cepat dia berkata. "Sudahlah, cuma sedikit! Ayolah kita pulang..!" Ujar Ginanjar, dan segera bangkit berdiri.

Roro seperti tertegun, tapi segera perlihatkan senyumnya. "Ayoo..!" ujarnya.

Dan segeralah keduanya berlari cepat meninggalkan tempat latihan itu. Dikejauhan masih terdengar suara Roro yang tertawa cekikikan entah apa yang membuatnya geli. Namun sekejap mereka sudah tak kelihatan lagi.

* * * * * * *

Waktu berlalu terus... Dan saat yang dijanjikan itupun tiba juga. Ki Bayu Sheta tampak berdiri diatas bukit itu. Sepasang matanya menatap pada sebuah bukit nun jauh di sana, diarah sebelah barat. Bukit itu memang tampak jelas dari tempat dia berdiri. Itulah Bukit Kera! Bukit yang selalu diperhatikannya disaat-saat bulan Purnama. Senja itu matahari bersinar kemerahan. Cuma cahayanya saja yang menampak, karena sang matahari sudah tak terlihat terhalang bukit. Terdengar suara menghela napasnya, diseling suara menggumam lirih yang hampir tak terdengar.

"Hm, Dewa Tengkorak! Malam nanti aku akan menepati janjiku..!" Dan setelah menghela napas, kakek itupun putarkan tubuh untuk segera berlalu tinggalkan tempat itu.

Senja semakin melenyap untuk segera berganti dengan malam. Malam itu adalah malam bulan purnama yang ketujuh, sejak saat perjanjian yang telah ditentukan. Ki Bayu Sheta memanggil kedua muridnya, yang segera duduk bersimpuh dihadapannya. Pelita minyak sudah dipasang diatas meja kecil dihadapan mereka.

Ruangan pondok itu tampak lengang, karena kedua murid itu tak keluarkan suara sepatah pun. Sejak siang tadi mereka memang telah melihat perubahan sikap si kakek, tentu saja dipanggilnya mereka untuk menghadap bakal ada satu pembicaraan penting.

"Roro…! Ginanjar! Kuharap kalian tidak meninggalkan lereng Gunung Rogojembangan ini sepeninggalku!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara berat. Mendengar itu kedua bocah ini hampir berbareng mengangkat wajahnya. Roro sudah lantas bertanya.

"Mau kemanakah kakek..?"

Ki Bayu Sheta cuma terdiam menatap kedepan. Lalu ujarnya. "Hm, kukira kalian tak perlu mengetahui! Karena ini adalah urusanku!" Menyahut sang kakek dengan suara tandas. "Yang penting kalian tak boleh meninggalkan tempat ini sampai kedatangan menantuku Jarot Suradilaga! Alias si Maling Sakti!" Ujarnya.

Dan kedua bocah itupun manggut-manggut dengan berbareng. Adapun Roro sudah lantas bertanya lagi. "Apakah menantu itu, kek?"

Tentu saja membuat Ki Bayu Sheta jadi tercenung. Lagi-lagi Roro selalu mengacaukan pembicaraan. Akan tetapi orang tua ini segera menghela napas, dan menjelaskan.

"Menantu itu artinya, gurumu si Maling Sakti itu telah menikah dengan anak perempuanku! Nah, si Jarot itulah menantuku..!" Ujar sang kakek dengan tersenyum.

"Kakek mempunyai seorang anak perempuan?" Tiba-tiba Roro kembali bertanya dengan menatap tajam pada Ki Bayu Sheta.

Laki-laki tua itu manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Dari sepasang matanya tiba-tiba sudah menggenang air mata. Tentu saja membuat Roro jadi melengak. Mengapa tahu-tahu si kakek jatuhkan air mata? Pikir Roro.

"Yah, aku memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah menikah dengan gurumu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti! Akan tetapi anakku sudah pergi meninggalkannya. Pergi dengan membawa seorang bayi perempuan! Hal itu sudah berlalu empat belas tahun yang lalu...!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan menyeka air matanya dengan ujung lengan jubahnya.

"Pergi... ? maksudmu berpisah, kek?" Tanya Roro.

Sang kakek kembali mengangguk, dan menatap pada Roro. "Ya..! kalau bayi itu masih hidup, tentu seusia denganmu Roro..!"

Roro sudah mau bertanya lagi, akan tetapi Ginanjar telah mencubit pahanya, memberi isyarat agar jangan terlalu banyak bertanya. Gadis tanggung ini monyongkan mulutnya, akan tetapi tak berani berkata.

Ki Bayu Sheta kembali teruskan wejangannya yang didengarkan oleh kedua muridnya dengan tundukkan wajah. Kali ini Ki Bayu Sheta benar-benar berpesan seperti orang yang tak akan berjumpa lagi membuat Roro dan Ginanjar jadi was-was hatinya. Namun mereka tak mengucapkan kata sepatahpun kecuali mengangguk.

"Nah, jagalah diri baik-baik!" Selesai berkata sang kakek bangkit berdiri, lalu beranjak keluar menuju halaman. Kedua muridnya ini segera mengikut mengantar kepergiannya. Tak berapa lama setelah menengadahkan kepala menatap rembulan, Ki Bayu Sheta segera berkelebatan cepat tinggalkan pondok di lereng Gunung itu. Roro dan Ginanjar cuma menatap bayangannya saja yang sekejap telah lenyap di keremangan malam....

Siapakah sebenarnya Ki Bayu Sheta alias Pendekar Bayangan itu? Dialah seorang pendekar yang pernah menggemparkan pada dua puluh tahun yang silam. Pendekar ini pernah turut berjuang mempertahankan Kerajaan MEDANG dari serbuan musuh, dan turut serta dalam sebuah pemberontakan, karena ketidak senangannya melihat Para Pembesar Kerajaan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, disaat Kerajaan sudah kembali aman.

Gerakan pemberontakan itu dipimpin secara sembunyi-sembunyi, dengan mengikut sertakan kaum pengemis yang berjiwa Patriot. Disitulah Ki Bayu Sheta berjumpa dengan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti yang ternyata adalah pemimpin dari kelompok Partai Pengemis.

Kerajaan Medang waktu itu dalam keadaan gawat. Namun berkat bantuan rakyat dan kaum Partai Pengemis yang turut berjuang, semua kerusuhan itu dapat dipulihkan. Dan semua itu harus meminta korban jiwa yang tidak sedikit. Walaupun demikian, setelah Kerajaan menjadi aman, ternyata masih ada juga beberapa gelintir manusia yang duduk bercokol dikursi kebesaran dengan kekuasaan yang membuat beban berat terhadap rakyat tanpa setahu Raja.

Bukit Kera adalah tempat yang dituju Ki Bayu Sheta. Yaitu sebuah bukit yang memang banyak dihuni oleh kera-kera. Tampaknya si Pendekar Bayangan tak begitu tergesa-gesa untuk cepat tiba dibukit itu. Bulan Purnama tampak membulat indah pancarkan sinarnya yang terang benderang. Tanpa setahu Ki Bayu Sheta, sesosok tubuh ramping telah mengikutinya dengan gerakan hati-hati. Siapakah gerangan sosok tubuh yang menguntitnya itu?

Tak lain dari seorang bocah perempuan, yang ternyata adalah Roro. Walaupun bayangan tubuh Ki Bayu Sheta sudah tak kelihatan lagi, namun Roro masih bisa mengetahui letak Bukit Kera. Karena Roro memang sudah menduga kepergiannya adalah ke bukit itu, sebab dia sering melihat sang kakek menatap kearah barat. Dan gumamnya terkadang terdengar oleh Roro.....

LIMA

SEMENTARA itu diatas puncak Bukit Kera telah menanti sesosok tubuh berdiri tegak dengan jubah berwarna hitam. Rambutnya putih beriapan. Bila dilihat keseluruhannya amatlah mirip dengan Tengkorak Hidup. Laki-laki ini bekulit hitam legam dengan tulang pelipis yang menonjol. Pada bagian belakang jubahnya terdapat sebuah simbol kepala tengkorak. Dilengannya tercekal sebatang tombak yang juga berwarna hitam. Usia orang ini sekitar tujuh puluhan tahun. Dialah si DEWA TENGKORAK.

Seorang tokoh Rimba Persilatan golongan hitam. Tidak terlalu lama sesosok bayangan putih berkelebat. Dan segera telah berdiri diatas sebuah batu besar tepat dihadapan si Manusia Jerangkong itu. Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Jarak mereka berhadapan kurang lebih tujuh delapan tombak.

"Hehehehe... hehe... Selamat datang sobat Pendekar Bayangan! Anda benar-benar seorang pendekar tulen yang menepati janji..!" Terdengar si manusia jerangkong berkata. Suaranya dingin mencekam menyibak kelengangan di sekitar bukit itu.

"Terima kasih atas pujianmu itu Dewa Tengkorak..! Maaf, mungkin kedatanganku agak terlambat!" Ujar Ki Bayu Sheta dengan suara datar.

"Hehehe... sama sekali tidak, sobat Bayu Sheta! Anda terlalu berbasa-basi, membuat aku terkadang malu terhadap diriku sendiri!" Sahut si Manusia Jerangkong, dan terdengar suara helaan napasnya.

Tiba-tiba dengan sekali bergerak tubuh di Dewa Tengkorak telah mencelat keatas setinggi sepuluh tombak. Dan dengan ringan bagaikan sehelai bulu, sepasang kakinya telah mendarat tepat dihadapan Ki Bayu Sheta berjarak kurang lebih dua tombak, tepat diatas batu besar. Ujung tombak dilengannya tiba-tiba diarahkan kedada Ki Bayu Sheta, dan terdengar suaranya yang berubah jadi angker.

"Hm, Bayu Sheta! Tebusan nyawamu atas 300 nyawa kaum Partai Pengemis dan keluarganya pada dua puluh tahun yang silam, akan aku laksanakan pada malam purnama ini! Kukira sejak perjumpaan kita tujuh purnama yang lalu, dan pengunduran pelaksanaan pencabutan nyawamu berakhirlah sudah..!"

"Ya! aku telah siap untuk menyerahkan jiwaku, Dewa Tengkorak! Lakukanlah!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara gagah. Dadanya dibusungkannya untuk segera menerima kematian.

Akan tetapi si Dewa Tengkorak telah turunkan lagi tombaknya. Dan menancapkannya ditanah hingga amblas sampai separuhnya. Suara serak si Manusia Jerangkong itu kembali memecah keheningan yang mencekam itu.

"Bayu Sheta! Tujuh Purnama yang lalu aku telah memberi kesempatan padamu untuk berlatih memperdalam ilmu kedigjayaanmu guna menghadapi malam ini, apakah sudah kau lakukan?" Bertanya si Dewa Tengkorak.

"Ya!"

"Bagus! kau memang manusia jempolan yang tahu diri! Heheheh... tahukah kau mengapa aku sengaja mengulur waktu untuk menjemput nyawamu? Karena aku memang menghendaki pertemuan kita disaat kita sudah sama-sama tua bangka seperti ini! Dan telah dekat ke liang kubur, karena cepat atau lambat toh pada akhirnya kita akan berangkat ke Akhirat..!" Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara parau, dan kembali mengumbar tawa berkakakan. Kata-kata si manusia jerangkong ini terdengar tandas, anehnya seperti tidak mengandung dendam kebencian terhadap Ki Bayu Sheta.

"Selama dua puluh tahun kukira cukuplah untuk kau mendidik seorang murid pewaris ilmu-ilmu yang kau miliki! Dan kau masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang, karena waktu yang kuberikan cukup lama!" Ujarnya lagi.

Kini sepasang mata Ki Bayu Sheta telah beralih menatap pada si Dewa Tengkorak. Tampak sinar matanya membersit tajam seperti mau menembus jantung si manusia jerangkong. Kata-kata itu telah membuat napasnya memburu dan dadanya naik turun bergelombang. Betapa amat terhinanya si Pendekar Bayangan. Prioritas yang diberikan si Dewa Tengkorak selama itu justru telah membuat dia menderita. Tiba-tiba laki-laki tua ini sudah perdengarkan suara keras, gemetaran penuh amarah.

"Dewa Tengkorak!!! Kukira sudah lebih dari cukup kau menyiksaku lahir bathin. Dua puluh tahun lebih aku menderita, tersiksa..! Aku tak ubahnya seperti seorang hukuman yang sudah ditentukan kapan waktu kematiannya! Apakah aku bisa hidup dengan tenteram, dan bersenang-senang..?" Bergetaran tubuh Ki Bayu Sheta menahan amarah yang bergemuruh didadanya.

"Memang, selama itu aku masih dapat mengenyam nikmatnya hidup! Secara lahiriah aku kelihatan dapat merasakan hidup tenteram, dengan mempunyai seorang murid dan mendidiknya dilereng Rogojembangan. Akan tetapi secara bathiniah, aku telah tersiksa! Karena hidupku selama ini adalah atas belas kasih orang yang memberiku waktu untuk hidup. Saat-saat kematianku seperti sudah diambang mata dan waktu yang selama itu kau berikan padaku seperti tinggal beberapa hari saja..! Tidak, Dewa Tengkorak! Ketenteraman hidup akan bisa dirasakan tanpa orang itu mengetahui kapan kematiannya yang akan dia hadapi!"

Kata-kata Ki Bayu Sheta yang tegas dan tanda itu seperti air bah yang mengalir dari atas gunung. Si manusia jerangkong itu terpaku membisu bagai sebuah arca. Cuma terlihat ujung jubahnya yang melambai-lambai diterpa angin. Ternyata si Pendekar Bayangan telah lanjutkan kata-katanya lagi.

"Sepuluh tahun yang lalu akan hampir membunuh diri, karena tak kuat menanggung penderitaan bathin! Maut serasa sudah didepan mataku, dan aku sudah tak sabar menunggumu turun tangan mengambil nyawaku! Dan tujuh purnama yang lalu aku sudah bergirang hati, karena aku segera akan menemui kematian dibukit ini! Akan tetapi tak dinyana kau telah mengulur lagi waktu kematianku sampai hari ini...! Kini waktu itu telah tiba Dewa Tengkorak! Dan aku sudah tak sabar lagi menunggu! Segeralah kau memulai..!" Teriak Ki Bayu Sheta dengan suara tandas.

"Baiklah Bayu Sheta! Hari ini aku memang tak berniat mengulur-ulur waktu lagi, segeralah kau persiapkan dirimu! Akan tetapi aku tak dapat membunuh orang yang tanpa melakukan perlawanan! Segeralah cabut senjatamu..!" Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara dingin. Lengannya sudah bergerak mencabut tombak hitamnya yang tertancap ditanah.

"Aku tak membawa senjata apa-apa, sobat Dewa Tengkorak! Pedang Pusakaku telah kutinggalkan dipondokku untuk pewaris pada muridku! Yah, kukira tak guna kulakukan perlawanan! Toh akhirnya aku akan mati, sesuai dengan janjiku untuk memberikan nyawaku sebagai penebus 300 jiwa orang-orang Partai Kaum Pengemis..!" Ujar Ki Bayu Sheta dengan suara tegas.

Akan tetapi justru membuat si manusia jerangkong ini kecewa setengah mati. "Huh! Benar-benar sial dangkalan..! Justru aku ingin melihat kehebatan jurus dari Ilmu Pedang Bayangan yang kau miliki itu, yang pernah membuat namamu harum dipuji orang! Mengapa kau membuatku kecewa, Bayu Sheta..?"

Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara mengandung kemendongkolan. Sepasang matanya melotot menatap laki-laki tua dihadapannya. Dan sekali lengannya bergerak tombak ditangannya telah dihunjamkan ketanah hingga amblas tak kelihatan lagi.

Terkejut Ki Bayu Sheta. Dia tak menyangka kalau si Dewa Tengkorak akan melakukan hal seperti itu Tombak Hitam itu adalah Tombak Pusaka Kerajaan Kalingga milik Ratu SHIMA, seorang raja perempuan yang pernah berkuasa di Jawa Tengah pada abad ke tujuh. Ki Bayu Sheta mengetahui dari kakek gurunya, bahwa Tombak Pusaka ditangan si Dewa Tengkorak itu adalah benda bersejarah. Entah bagaimana asalnya hingga Tombak Pusaka itu bisa jatuh ketangan si Dewa Tengkorak.

Saat itu telah terdengar suara si manusia jerangkong yang parau. Kepalanya ditengadahkan menatap kearah perbukitan yang berjajar kehitaman nun jauh diarah sana.

"Bayu Sheta! Julukanmu si Pendekar Bayangan itu telah membuat aku mengiri pada lebih dari dua puluh tahun yang silam! Ternyata disamping tingginya ilmu yang kau miliki, kau juga memiliki keluhuran budi! Kau berjuang semata-mata karena membela kebenaran, melindungi si lemah yang tertindas dari si penguasa yang jahat! Perjuanganmu dalam membela Kerajaan Medang dari keruntuhan bersama-sama Partai Kaum Pengemis dan rakyat, telah ditulis dalam sejarah, dan dikenang orang sepanjang zaman. Aku benar-benar kagum atas keluhuran budimu Bayu Sheta! Kau telah rela menebus nyawa ratusan manusia dengan nyawamu sendiri! Aku merasa telah kau kalahkan, Pendekar Bayangan..! Aku cuma bertindak berdasarkan ambisiku belaka, tak tahu apakah orang yang aku bela itu golongan pengkhianat Kerajaan atau pihak yang benar. Bagiku sama saja! Karena yang penting adalah aku dapat berbuat semauku tanpa ada yang melarang. Dan aku dapat hidup berkecukupan dengan hadiah-hadiah yang tanpa ku minta akan datang sendiri, walau datangnya dari para Pembesar Kerajaan yang menggerogoti hasilnya dari memeras rakyat. Aku tak mau tahu..!" Ujar si Dewa Tengkorak dengan suara terdengar parau dan seperti berkumandang disekitar bukit. Dan lanjutnya lagi setelah terdiam beberapa saat.

"Aku merasa bangga kalau ilmu Tombak Iblis yang kumiliki tak ada yang menandingi. Bahkan kini telah kupersiapkan sepuluh jurus ilmu pukulan sakti hasil ciptaanku, yang telah memakan waktu hampir sepuluh tahun aku menekuninya. Ilmu pukulan sakti itu kuberi nama Sepuluh Jurus Pukulan Kematian..!" Sampai disini si Dewa Tengkorak berhenti berkata, dan palingkan wajahnya menatap si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.

"Baiklah, Bayu Sheta! Rupanya tak ada waktu lagi, walau aku harus kecewa karena ternyata kau tak memenuhi harapanku..!" Si manusia jerangkong itu rentangkan sepasang tangannya seperti mau menyangga bulan. "Bersiaplah Bayu Sheta! Aku akan melancarkan pukulan dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian! Bila kau dapat menahan ilmu pukulanku sampai sepuluh jurus, kau bebas menikmati kehidupanmu sampai Hari Kiamat..!" Berkata si manusia jerangkong ini dengan suara dingin bagaikan es.

"Baik! Segeralah kau mulai! aku sudah siap...!" Berkata Bayu Sheta dengan suara datar, yang telah memasang kuda-kuda. Walaupun sudah tak mengharapkan hidup lagi, namun dia tak mau mati konyol begitu saja. Dan dia memang tak mau mengecewakan si Dewa Tengkorak, untuk menghadapi kehebatan kesepuluh jurus Pukulan Kematiannya dengan kekuatan yang dimiliki. Dengan perdengarkan suara mendesis, si Manusia Jerangkong sudah lancarkan serangan.

Wuuuuk....! Segelombang angin pukulan berhawa panas telah menerjang kearah Ki Bayu Sheta.

Desss…! Si Pendekar Bayangan sudah memapaki serangan dahsyat itu. Benturan kedua tenaga dalam yang hebat itu menimbulkan asap tipis seperti kabut. Laki-laki Lereng Rogojembangan itu terhuyung ke belakang. Dia cuma keluarkan sebagian tenaga dalamnya, tak dinyana pukulan pertama si Dewa Tengkorak membuat dia terhenyak kaget, karena terasa hawa panas menembus masuk ke dalam tubuhnya beruntung sang kakek telah lindungi tubuh dengan hawa murni.

Sedangkan si manusia Jerangkong itu tampak tenang-tenang saja berdiri menatapnya tanpa menggeser tubuh. "Bagus! kini tahanlah pukulan kedua..!" Teriak si Dewa Tengkorak. Dan dibarengi teriakan menggeledek, si manusia Jerangkong segera hantamkan pukulannya.

ENAM

HANTAMAN demi hantaman pun berlangsung. Dan si Pendekar Bayangan selalu berhasil menahannya, hingga sampai jurus kelima. Hawa disekitar tempat itu mulai terasa panas. Berpuluh-puluh ekor kera sudah berlompatan menyingkirkan diri. Angin malam yang membersit dari atas Bukit Kera ternyata telah menimbulkan hawa panas yang menyebar disekitarnya.

Bahkan hawa panas itu kini sudah berganti-ganti panas dan dingin, karena Si Pendekar Bayangan telah keluarkan tenaga dalam Inti Es untuk menahan serangan Si Dewa Tengkorak. Pada Jurus kelima ini telah membuat Ki Bayu Sheta terdorong mundur dua langkah. Sedangkan tubuh si Dewa Tengkorak tampak bergoyang-goyang, tapi cukup membuat tokoh hitam Rimba Persilatan ini terkejut karena hawa dingin seperti telah memusnahkan tenaga dalam Inti Apinya.

Jurus keenam telah dilancarkan lagi. Kali ini si Pendekar Bayangan harus hati-hati, karena jurus ini amat berbahaya dan lebih ganas lagi. Pukulan si Dewa Tengkorak mengarah batok kepala orang dengan cengkeraman ganas. Sedang sebelah lengannya lagi menghantam kearah jantung. Serangan ke arah batok kepala dapat dihindarkan.

Akan tetapi yang mengarah ke jantung sukar dihindarkan karena datangnya terlalu cepat dan dibarengi hawa panas yang menyesakkan pernapasan. Tenaga Inti Es nya ternyata seperti meleleh oleh hawa Inti Api si Dewa Tengkorak, yang ternyata lebih kuat. Untung dia keburu doyongkan tubuh, akan tetapi tetap saja pukulan itu bersarang dibahunya sebelah atas. Dan....

Bukk...! Ki Bayu Sheta terdorong tiga langkah. Jubahnya pada bagian bahu sebelah atas itu robek hangus, dan tampak kulit bahunya mengelupas. Namun dengan mengertak gigi, Ki Bayu Sheta tak perlihatkan rasa sakitnya. Bahkan dengan gagah kembali berdiri tegak dengan mengumbar senyum.

"Hebat! Jurus keenam ini cukup luar biasa, sobat Dewa Tengkorak! Nah, aku sudah siap menanti serangan jurus ketujuh!" Berkata Ki Bayu Sheta denga suara santar.

Akan tetapi sampai jurus keenam ini si Dewa Tengkorak berhenti sejenak, seperti memberi waktu pada lawannya untuk mengatur napas. Namun agaknya si Pendekar Bayangan sudah tak sabar lagi. Di merasa bagai seorang bocah kecil yang harus di kasihani. Memang diakuinya bentengan hawa murni pada tubuhnya yang mengandung hawa Inti Es dapat dijebol si Dewa Tengkorak. Dan membuat darahnya seperti bergolak panas membuat dadanya menjadi sesak.

Setetes darah sudah tersembul disudut bibirnya. Akan tetapi mana mau laki-laki perkasa itu menunjukkan kelemahannya? Bahkan seperti tak mengalami apa-apa dia menantang jurus-jurus selanjutnya. Mengetahui si Dewa Tengkorak sengaja menyediakan waktu padanya untuk beristirahat, tentu saja membuat jago tua ini merasa terhina.

"Mengapa berhenti, Dewa Tengkorak? Heh, kau kira aku takut menghadapi ilmu Pukulan Penggebuk Anjingmu itu? Ataukah kau malu mempertunjukkannya padaku? Hahaha.. hehehe...." Sengaja Ki Bayu Sheta mengejek si Dewa Tengkorak agar menjadi marah, dan segalanya akan cepat menjadi beres.

Mendengus si Dewa Tengkorak. Wajahnya seketika menjadi merah padam. Dan dia sudah mengangkat tangannya, seraya berteriak. "Baik Bayu Sheta! Terimalah jurus ketujuh dan kedelapan!"

Tampak sepasang lengan si manusia Jerangkong itu telah berubah merah bagaikan bara api yang mengepulkan asap tipis. Si Pendekar Bayangan menahan napas, dan sudah siap menghadapi dua jurus ketujuh dan kedelapan dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian. Satu bentakan keras seperti membelah bukit.

Hawa panas melingkupi sekitar bukit Kera, ketika sepasang lengan si Dewa Tengkorak bergerak memutar yang menimbulkan angin panas. Ketika putarannya berhenti mendadak tubuh si Manusia Jerangkong itu mencelat keatas setinggi sepuluh tombak. Dan ketika menukik lagi, segera hantamkan lengannya kearah Ki Bayu Sheta.

Dessss...!

Satu pukulan berhasil ditangkis si Jago tua ini. Tubuh Ki Bayu Sheta terhuyung kebelakang. Dan jurus berikutnya adalah tiga serangan sekaligus, yang mengarah ketiga bagian tubuh si Pendekar Bayanga ditempattempat berbahaya. Yaitu tenggorokkan, perut dan selangkangan.

"Jurus keji..!" Terdengar sebuah bentakan, di susul dengan berkelebatnya sebuah bayangan putih. Dan...

Krak! Krak! Buk…!

Jurus kedelapan itu dapat mengenai sasaran. Dan terdengarlah suara jeritan parau menyayat hati, dengan diiringi terlemparnya sesosok tubuh yang ambruk ke tanah. Setelah berkelojotan beberapa saat sosok tubuh itupun diam tak berkutik lagi karena telah tewas dengan seketika. Apakah yang terjadi? Kiranya Ki Bayu Sheta telah terhindar dari pukulan maut si Dewa Tengkorak. Dan justru si pendatang barulah yang telah menahan pukulan keji si Manusia Jerangkong itu dan menjadi korban.

Sedangkan Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta masih berdiri dengan tubuh limbung. Darah segar berwarna hitam kental tersembur beberapa kali dari tubuhnya. Ternyata hantaman pada jurus awal dari jurus ketujuh tadi, Ki Bayu Sheta telah terluka parah. Seandainya tak datang sesosok tubuh yang menahan terjangan jurus selanjutnya dan mengorbankan nyawa, mustahil kalau si Pendekar Bayangan dapat lolos dari maut.

Sementara terjangan-terjangan yang terjadi di atas bukit Kera itu ternyata tak luput dari sepasang mata bening, yang telah turut menyaksikan pertarungan sejak awal tadi. Dialah Roro, si gadis bengal yang telah diamdiam menguntit sang kakek Ki Bayu Sheta. Sepasang mata gadis tanggung ini terbeliak lebar menyaksikan kejadian barusan. Dan dari bibirnya telah terdengar teriakan tertahan. Dan si gadis tanggung ini telah menghambur keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata dia telah mengetahui siapa adanya laki-laki yang mengorbankan nyawa menyelamatkan Ki Bayu Sheta.

"Guruuu…!" Teriaknya dengan suara parau bercampur isak. Dan dengan beberapa kali melompat dia sudah tiba didekat tubuh si pendatang, yang sudah terkapar tak bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, karena tulang dadanya remuk, dan tulang leher patah, serta pada bagian selangkangannya telah hancur bersimbah darah. Sesaat Roro sudah jatuhkan tubuhnya untuk memeluki tubuh laki-laki itu, yang tak lain dari Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Diguncang-guncangkannya tubuh laki-laki itu dengan isak tangis memilukan.

Sementara itu tanpa ada yang mengetahui disudut mata si Dewa Tengkorak tersembul setitik air bening. Untuk pertama kalinya dia mencucurkan air mata. Mengapa demikian? Karena didada si Dewa Tengkorak telah mengaduk berbagai perasaan menjadi satu. Hatinya begitu trenyuh menyaksikan pengorbanan si Maling Sakti pada si Pendekar Bayangan.

Alangkah bahagianya kalau dia dapat mati sebagai seorang Pendekar, seperti si Maling Sakti itu. Dan Si Pendekar Bayangan pun rela mati demi menebus nyawa 300 orang Partai Kaum Pengemis, yang sedianya sudah akan dibantai si Dewa Tengkorak, dan lasykar Kerajaan ketika mereka tengah berkemah bersama keluarga ditempat pengungsiannya ditepi sungai atau Kali Wringin.

Seorang Adipati bernama Haryo Gawuk telah melaporkan pada Raja Kerajaan Medang bahwa Parta Kaum Pengemis telah siap melakukan penyeranga ke Istana. Mereka berkemah ditepi Kali Wringin. Tentu saja Baginda Raja Kerajaan Medang menjadi murka. Karena merasa Partai Kaum Pengemis telah bertindak keterlaluan. Raja telah memberikan janji untuk mengangkat mereka yang telah turut berjuang membela Kerajaan dari kekuasaan musuh, dan telah pula membantu memperjuangkan rakyat dari tindakan para Pembesar yang sewenang-wenang, mengapa diberi penghargaan telah menolak?

Dan kini diam-diam telah mengatur pemberontakan. Segera saja perintahkan Senapati Trenggono untuk menumpas Partai Pemberontak itu. Akan tetapi hatinya menjadi ragu atas pengkhianatan Partai Kaum Pengemis. Segera Sang Raja perintahkan Patih Ganda Setho untuk menyusul Senapati Trenggono dengan membawa surat pembatalan untuk menumpas Partai Kaum Pengemis. Dan memerintahkan untuk menyelidiki terlebih dulu.

Sang Patih berhasil menyusul Senapati Trenggono dan pasukannya. Lalu berikan surat penggagalan penyerangan dari Baginda Raja. Ternyata sekembalinya sang Patih Ganda Setho, Senapati Trenggono yang memang telah mengatur rencana jahat dengan Adipati Haryo Gawuk, segera berunding. Ternyata diam-diam sang Adipati telah berhubungan dengan si Dewa Tengkorak. Dan telah menyogok si Dewa Tengkorak dengan harta dan wanita.

Tentu saja si Dewa Tengkorak yang terkenal berkepandaian tinggi dan ditakuti itu tak menolak. Sebagian lasykar Kerajaan kembali pulang bersama Senapati. Akan tetapi sebagian lagi telah turut menyerbu ke kemah kaum Partai Pengemis, yang pada waktu itu berada di tepi Kali Wringin bersama keluarganya.

Mereka telah dikepung ketat, dan dalam keadaan tak siap siaga. Karena merasa keadaan Kerajaan sudah aman. Mereka sengaja berkumpul karena akan mengadakan penyambutan buat si Pendekar Bayangan dan Ketua Mereka si Maling Sakti, berkenaan dengan menikahnya puteri si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta dengan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti, sang Ketua mereka. Tentu saja keadaan dikemah mereka cuma ada beberapa puluh orang kaum laki-laki, karena sisanya tengah menghadiri pesta pernikahan anak perempuan si Pendekar Bayangan disisi Kota Raja, yang diadakan dengan sembunyi-sembunyi.

Rupanya hal tersebut sudah bocor, dan diketahui oleh anak buah Adipati Haryo Gawuk. Sang Adipati mengkhawatirkan akan kedudukannya, karena dia memang salah seorang Adipati yang bertindak tidak jujur, dan melakukan pemerasan terhadap rakyat. Dengan adanya Komplotan Partai Pengemis, bisa-bisa dirinya akan tergeser dan dipecat seandainya komplotan para pejuang itu mencium tindakannya.

Demikian juga dengan Senapati Trenggono, karena adalah bekas seorang Tumenggung yang justru disaat keadaan Kerajaan sedang kacau, dia berpihak pada musuh. Bisanya menduduki jabatan sebagai Senapati, tentu saja dengan jalan memutar lidah dihadapan Raja. Dan mengkambing hitamkan rakyat atau para Pembesar Kerajaan lainnya, hingga sang Raja menjatuhkan hukuman mati pada orang yang sebenarnya tidak bersalah.

Karena mengkhawatirkan kedudukannya juga khawatir tersingkap kejahatannya, Senapati Trenggono telah bersengkongkol dengan Adipati Haryo Gawuk untuk menyingkirkan kaum Partai Pengemis para pejuang pembela rakyat itu. Tentu saja pengaturan itu telah dipersiapkan sejak lama. Dan berhasil dihubungi seorang tokoh hitam yang bergelar si Dewa Tengkorak.

Untunglah dalam saat yang genting itu, si Pendekar Bayangan telah menerima laporan dari anak buahnya tentang penyergapan itu. Dan tanpa memberitahukan pada semua kawan-kawan dan anak buahnya yang tengah mengadakan pesta meriah, si Pendekar Bayangan berkelebat cepat sekali kearah Kali Wringin.

Dan berjumpa dengan si Dewa Tengkorak. Ki Bayu Sheta tak dapat berkutik, karena sekali si Dewa Tengkorak memberi isyarat, maka akan segera terjadi pembantaian yang telah dipersiapkan itu. Lebih dari tiga ratus nyawa akan melayang yang terdiri dari anak-anak kecil bayi dan wanita tak berdosa.

Akhirnya dengan memohon belas kasihan, dan dengan rela menukar nyawa 300 jiwa keluarga tak berdosa itu dengan nyawanya, Ki Bayu Sheta memohon agar si Dewa Tengkorak membebaskan mereka. Dewa Tengkorak memang telah mengetahui akan kehebatan si Pendekar Bayangan ini, dan sudah ada niatnya untuk mengadu kesaktian.

Tentu saja tawaran itu tak ditolaknya. Dan gagallah pembantaian atas 300 jiwa keluarga kaum Partai Pengemis. Akan tetapi dengan satu perjanjian, yaitu dibubarkannya Partai Kaum Pengemis dan tidak diperkenankan lagi mencampuri urusan disekitar wilayah Kota Raja.

Memang belakangan Partai Kaum Pengemis itu dibubarkan. Akan tetapi beberapa bulan kemudian gerakan Partai tersebut yang secara sembunyi-sembunyi dibawah pimpinan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti berhasil membongkar kejahatan Adipati Haryo Gawuk.

Dan ketahuan pula siapa sebenarnya Senapati Trenggono. Ternyata Patih Ganda Setho telah membeberkan kejahatan Senapati itu dan membuktikannya dihadapan Raja. Selang sebulan Senapati dan Adipati itu ditangkap, dan dihukum gantung....

TUJUH

DEWA TENGKORAK tiba-tiba merasa dirinya amat rendah sekali. Dan tak lebih dari seorang tokoh penyebar kejahatan. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri dengan mengumbar kepuasan duniawi. Selama hidupnya tak pernah berbuat kebajikan, selain bergelimang dengan kekotoran yang digelutinya. Gelarnya memang telah membuat orang takut dan gemetaran, akan tetapi apakah dia memiliki kewibawaan?

Tidak! Orang tak akan menghargainya, bahkan mayatnyapun tak mau orang menyentuhnya. Demikian memikir dibenak si Dewa Tengkorak. Dan hal itu memang membuat dia merasa mengiri pada nasib Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.

Roro si gadis tanggung itu tibatiba lepaskan pelukannya pada jenazah si Maling Sakti, dan melompat kearah Ki Bayu Sheta. "Kakek..!? Oh, kakek..! Kau... kau terluka..!" Dan lengannya sudah bergerak menyangga tubuh si Pendekar Bayangan yang terhuyung limbung.

Laki-laki tua ini tersenyum pedih. Sepasang matanya sedari tadi menatap pada tubuh si Maling Sakti, menantunya itu. "Jarot..! kau... kau telah berkorban nyawa untukku..! Aiih, mengapa kau lakukan itu?" Terdengar seperti menggumam suaranya yang lirih. Dan ketika Roro memeluknya untuk menyangga tubuhnya, sang kakek ini perlihatkan senyumnya. Lengannya bergerak mengelus rambut bocah perempuan itu.

"Roro..! kau... kau memang murid yang bandel! Mengapa kau menyusul kemari? Hahahaha... hapuslah air matamu itu, bocah centil! Sungguh memalukan! Seorang pendekar tak boleh cengeng! Kau sudah dengar tadi pembicaraan kami! Aku memang telah memberikan nyawaku pada si Dewa Tengkorak itu, jadi kau tak boleh mendendam padanya! Gurumu si Maling Sakti ternyata telah menyelamatkan nyawaku..! Ah, sungguh diluar dugaanku! Tapi dia telah tewas sebagai Pendekar Sejati cucuku! Tak usah kau sesali kematiannya! Kini menyingkirlah..! Aku harus menghadapi dua jurus lagi dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian yang sudah menjadi perjanjian kami..!"

Berkata Ki Bayu Sheta dengan tersenyum dipaksakan. Sementara darah masih mengalir disudut bibirnya. Sebelah lengannya sudah bergerak menepiskan tubuh Roro dari tempat itu. Dan dengan gagah Ki Bayu Sheta tegak berdiri, menatap si Dewa Tengkorak.

"Hayo, Dewa Tengkorak! Mana jurus kesembilan dan kesepuluh! Hahahaha... Sayang menantuku si Maling Sakti itu telah menahan seranganmu, kalau tidak apakah kau kira aku tak sanggup menahannya. Hm, jangan mimpi!" Teriak Ki Bayu Sheta dengar menahan napasnya. Akan tetapi kesudahannya napasnya tersengal-sengal. Lagi-lagi tubuhnya limbung mau jatuh. Namun dengan berlagak kuat, sang kakek ini bertahan untuk tetap berdiri tegak menantang.

Saat itu si Dewa Tengkorak telah perdengarkan tertawa terbahak-bahak. Dan satu suara dingin berkumandang, seperti menembus, merasuk mencekam jantung.

"Hehehehe... hehehe... Bayu Sheta! Bayu Sheta. Kau memang seorang yang beruntung! Tidak seperti aku yang sial dangkalan! Kini bersiaplah kau untuk menerima dua pukulan terakhirku!"

Begitu habis kata-katanya, tampak sepasang lengan si Dewa Tengkorak bergerak memutar keatas, dengan menimbulkan suara berklotakan. Tampak kedua lengannya seperti tergetar dan merah membara serta mengeluarkan asap kabut berhawa panas. Disusul menggelombangnya angin panas yang santar menerjang kearah Ki Bayu Sheta. Saat itu si Dewa Tengkorak baru mempersiapkan jurus ke sembilan dan kesepuluh, tapi hawa panasnya telah terasa ke sekitar bukit itu.

Pada saat itulah terdengar suara bentakan nyaring. "Iblis tua bangka..! Aku akan adu jiwa denganmu..!"

Dan disusul dengan berkelebatannya tubuh Roro melompat kehadapan si Dewa Tengkorak. Saat itu justru si Dewa Tengkorak sudah lancarkan serangan kearah si Pendekar Bayangan. Melihat bocah perempuan tanggung murid si kakek itu melompat kearahnya, sepasang mata Dewa Tengkorak jadi melotot. Akan tetapi jadi tertawa menyeringai. Sementara Roro sudah lancarkan serangannya menghantam tubuh si manusia Jerangkong itu.

Akan tetapi si Dewa Tengkorak justru tak menghindarkan diri. Hantaman lengan bocah perempuan itu tiba-tiba seperti tertahan di tengah jalan. Dan pada detik itu dengan suara tertawa berkakakan, sebelah lengan si Dewa Tengkorak yang sedianya akan dihantamkan pada Ki Bayu Sheta, kini dialihkan mencengkeram batok kepala bocah perempuan itu.

Desss...!

Terdengar suara teriakan menyayat hati dari si bocah perempuan. Kepalanya seperti lenyap tak terlihat lagi, karena tertutup oleh tebalnya asap kabut. Sementara itu sebelah lengannya telah menghantam kearah Ki Bayu Sheta.

Bummmm....! Terdengar suara ledakan keras. Akan tetapi hantaman si Dewa Tengkorak tidak tertuju pada si Pendekar Bayangan, melainkan pada tanah berbatu dihadapannya. Seketika tanah dan batu berhamburan menyemburat. Sebuah lubang bergaris tengah tiga depa segera menganga lebar. Sementara itu si bocah perempuan bernama Roro itu sudah perdengarkan keluhannya, lalu tubuhnya roboh terguling dari atas batu besar itu.

Terperangah si Pendekar Bayangan.... Sepasang matanya terbelalak lebar melihat tubuh Roro terjungkal roboh akibat hantaman telapak tangan si Dewa Tengkorak. Sementara dia sudah pegangi lagi dadanya, yang seperti mau meledak. Pada jurus kesembilan dan kesepuluh itu tak dirasakan sedikitpun pukulan si Dewa Tengkorak mengenai tubuhnya. Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang telah tak berdaya. Pukulan pada jurus ke tujuh tadi telah meremukkan bagian dalam tubuhnya.

Tampak angin pukulan Dewa Tengkorak yang menyerempet sedikit pada tubuhnya, telah membuat tubuh tua itu menjadi limbung dan segera roboh ke bumi. Sepasang matanya masih menatap pada Roro dan si Dewa Tengkorak. Akan tetapi melihat keadaan si Dewa Tengkorak yang tetap berdiri tak bergeming diatas batu itu, kakek ini perlihatkan senyumannya sambil meringis memegangi dadanya.

* * * * * * *

Rembulan semakin meninggi. dan malam semakin melarut. Suasana di atas Bukit Kera seperti penuh kemisteriusan. Karena kera-kera telah lari menjauh. Keadaan disekitar atas bukit itu seperti lengang, seolah tiada lagi kehidupan disana. Akan tetapi menjelang siang disaat Matahari sudah menggelincir naik, tampak sesosok tubuh bergerak-gerak seperti hidup.

Ternyata adalah si bocah perempuan tanggung bernama Roro itu. Satu keanehan ternyat telah terjadi diatas bukit itu. Kalau kedua tokoh Rimba Persilatan itu mati secara aneh. Bila kematian Dewa Tengkorak adalah dengan posisi berdiri seperti tengah melancarkan pukulan, adalah kematian Bayu Sheta si Pendekar Bayangan dalam keadaan terduduk dengan mimik wajah seperti orang tertawa. Roro belalakkan sepasang matanya yang membulat mengitari keadaan sekitarnya. Otaknya bekerja cepat memikirkan kejadian yang telah menimpa dirinya.

"He? masih hidupkah aku..?" Gumamnya lirih. Lengannya bergerak mencubit kulit tubuhnya, dan dirasakannya sakit. Kenyataan itu telah membuat dia mengambil kesimpulan bahwa dirinya masih hidup. Segera terbayang ketika si Dewa Tengkorak mencengkeram batok kepalanya. Ingatannya mendadak lenyap, karena kepalanya dirasakan berkunang-kunang dan dia sudah jatuh tak sadarkan diri.

Kini sepasang matanya jelalatan menatap pada tiga sosok tubuh yang kesemuanya telah tak bergeming. Melihat si Dewa Tengkorak yang masih berdiri tegak dengan posisi orang memukul dengan rentangkan sebelah tangannya, Roro jadi terpaku.

"Masih hidupkah si iblis tua bangka ini?" Desisnya pelahan. Dan tubuhnya sudah bergerak melompat berdiri. Pertama-tama yang diburunya adalah kearah Ki Bayu Sheta. Akan tetapi ketika dia menyentuh dan meraba tubuh si Pendekar Bayangan ternyata sudah tak bernyawa lagi. Tercenung si gadis tanggung ini. Air matanya sudah kembali menggenang. Lalu bergerak melompat kearah mayat gurunya si Maling Sakti menatapnya sejenak dan duduk bersimpuh dengan linangan air mata.

Tiba-tiba kembali dia palingkan wajahnya menatap pada si Dewa Tengkorak. Aneh!? Mengapa manusia iblis itu tak juga gerakkan tubuh? Apakah diapun sudah mati? Berkata dalam hati si gadis tanggung ini. Dan dengan sebat Roro sudah melompat kehadapan mayat si Manusia Jerangkong itu. Nyatalah setelah diperhatikan kalau tubuh Si Dewa Tengkorak pun sudah tak bernapas lagi. Dan kematiannya memang sungguh aneh.

Sementara Roro sendiri tengah tercenung, karena dirasakannya tubuhnya menjadi amat ringan sekali ketika melompat-lompat. Justru beberapa kali dia hampir terhuyung jatuh karena merasa kelebihan tenaga. Tanpa disadari kalau sebenarnya tenaga dalamnya telah bertambah 10 kali lipat.

Disamping merasa heran, juga merasa sedih sekali melihat semua orang yang disayanginya telah tewas. Kini Roro palingkan wajahnya menatap pada sebuah lubang besar dihadapannya. Sesuatu tampak tersembul ditengah lubang yang hangus kehitaman itu.

"Apakah itu bukannya Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak?" Bertanya hatinya. Dan Roro sudah beranjak mendekati. Lalu melompat kedalam lubang. Benarlah apa yang diduganya. Tak ayal dia sudah gerakkan tubuh membungkuk, dan lengannya bergerak mencabut benda itu hingga tersembul seluruhnya batang Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu.

Kini dia kembali termangu-mangu. Apakah yang akan dilakukannya lagi? Ternyata Roro berotak cerdas, segera dia berfikir kalau lubang besar itu pasti akibat hantaman lengan si Dewa Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh dari ilmu pukulan sakti bernama 10 Jurus Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak itu justru membuat kematiannya? Berfikir Roro. Dan lubang ini adalah dipergunakan untuk mengubur jenazahnya? Pikirnya lagi.

Namun Roro tak dapat berlama-lama untuk berfikir, karena dia sudah bergerak melompat keluar dari dalam lubang. Dan selanjutnya Roro sudah bekerja cepat untuk mengangkat ketiga jenazah. Satu-persatu dimasukkan kedalam lubang besar itu. Tak lama ketiga jenazah sudah terbaring membujur didalam lubang. Gadis tanggung ini memandanginya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata.

"Kakek Bayu Sheta, guru... dan kau Dewa Tengkorak! Walaupun kalian adalah bermusuhan dimasa hidup, akan tetapi rupanya Tuhan sudah  mentakdirkan kalian wafat dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan jasad kalian terkubur dalam satu lubang."

Sesaat Roro sudah tundukkan wajah dengan sepasang mata sudah menjadi basah oleh genangan air mata. Namun cuma sesaat, karena Roro sudah hapuskan air matanya. Lalu mulailah bekerja cepat menguruk lubang kubur menutupi ketiga jenazah itu dengan tanah. Selang tak berapa lama pekerjaannya pun selesailah sudah.

Kini segunduk tanah telah tersembul diatas Bukit Kera. Dan seorang dara tanggung duduk bersimpuh dihadapan gundukan tanah itu. Bibirnya berkemak-kemik seperti memanjatkan doa. Tak berapa lama dia sudah bangkit berdiri. Lengannya mencekal sebatang Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak yang berwarna hitam legam itu.

Setelah berfikir sejenak, tombak itu segera ditancapkan ke atas gundukan tanah setelah dengan seolah menjadikan tombak itu sebagai batu nisan. Lalu gadis tanggung itu balikkan tubuh. Wajahnya menengadah ke langit dengan pejamkan mata, dan terdengar suara helaan napasnya. Tak lama dia segera menindakkan kaki melangkah meninggalkan gundukan tanah itu. Akan tetapi baru sepuluh langkah dia sudah hentikan lagi tindakannya. Telinganya seperti mendengar satu suara aneh yang menyusup ke daun telinganya.

"Aiiih, bocah tolol...! Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu sungguh sayang kalau dijadikan batu nisan! Mengapa tak kau bawa saja sebagai kenang-kenangan..?"

Tentu saja Roro jadi melengak heran. Suara siapakah gerangan yang menyusup ke telinganya? Pikir Roro. Akan tetapi Roro memang tak perlu berfikir lebih jauh. Hatinya sedang dilanda kesedihan. Dia berpendapat suara itu adalah suara hatinya sendiri. Oleh sebab itu segera dia balikkan tubuh, dan kembali beranjak mendekati gundukan tanah itu. Dan sekali lengannya bergerak, Tombak Pusaka itu telah dicabutnya lagi.

DELAPAN

INGIN kencang membersit dari arah selatan dan dari kejauhan sudah terdengar deburan-deburan ombak yang melanda karang. Dua sosok tubuh itu berlompat-lompatan saling kejar dibarengi suara-suara bentakan dan tawa cekikikan. Ternyata mereka adalah dua orang wanita. Kalau yang seorang adalah seorang gadis tanggung yang tak lain adalah Roro adanya, tapi yang seorang lagi adalah seorang wanita berusia sekitar 30 tahun.

Wanita ini memakai baju sutera warna merah. Rambutnya memakai dua buah konde dikiri-kanan yang kedua kondenya dibeliti oleh pita berwarna merah. Sikapnya amat genit luar biasa. Sementara pada lengannya terdapat dua potong benda sepanjang satu depa. Ternyata kedua benda itu tak lain dari tombak pusaka si Dewa Tengkorak, yang entah bagaimana telah menjadi dua bagian. Sementara si gadis tanggung bernama Roro itu tengah mengejarnya dengan melompat-lompat disertai bentakan-bentakan keras.

"Hihihi... hihi... Tombak Pusaka ini toh bukan milikmu, mengapa tak kau biarkan aku yang merawatnya..?" Berkata si wanita genit itu. Suaranya terdengar aneh bagi pendengaran Roro, karena terkadang kecil terkadang besar mirip laki-laki.

Si gadis tanggung ini plototkan matanya dengan wajah gusar. Beberapa puluh kali lompatan sudah dilakukan untuk mengejar wanita yang telah merebut potongan tombak itu dari tangannya, akan tetapi wanita itu mempunyai gerakan aneh. Hingga selalu dia tak berhasil merebut kembali benda itu. Kiranya sewaktu Roro tinggalkan Bukit Kera, diam-diam telah dikuntit oleh sesosok tubuh yang tak lain dari wanita aneh ini.

Ketika Roro ditengah perjalanan berhenti untuk melepas lelah dan duduk dibawah pohon, lengannya telah iseng mempermainkan tombak hitam itu. Tak dinyana Roro berhasil menemukan kejanggalan pada bagian tengah tombak, yang ternyata besinya agak tebal dengan dua guratan melingkar. Rasa penasarannya membuat dia memperhatikan, dan menyelidiki kedua guratan ditengah batang tombak.

Ternyata kemudian dia berhasil memutarkan sebagian batang tombak, yang ternyata bagian tengahnya itu merupakan sambungan. Sayang disaat dia tengah mau menyelidiki lebih lanjut pada bagian tengah tombak yang berlubang, telah berkelebatlah sebuah bayangan merah menyambar kedua potongan tombak itu.

Tentu saja Roro jadi terkejut, karena tahu-tahu kedua potong benda ditangannya telah lenyap dan berpindah tangan. Dengan gusar dia melompat dan mengejar si bayangan merah. Semakin lama semakin menjauh, hingga dari mulai matahari separuhnya dari atas kepala hingga sampai menjelang senja mereka berkejaran.

Ternyata keduanya telah tiba disatu daerah pantai. Itulah daerah Pantai Selatan, yang ombaknya sebesar-besar bukit bergulung-gulung menyeramkan. Roro yang sedianya akan kembali ke lereng Rogojembangan, jadi terkecoh karena mengejar si wanita aneh ini. Rasa penasarannya serta kemendongkolan hatinya untuk kembali merebut tombak itu membuat dia tak berhenti mengejar. Bahkan selama berkejar-kejaran itu Roro telah lancarkan serangan-serangan hebat.

Tenaga dalamnya yang telah bertambah 10 kali lipat itu amat menguntungkan Roro. Karena disamping tenaga hantaman lengannya menjadi berlipat ganda, dia juga dapat melakukan lompatan-lompatan mengejar si wanita genit itu. Tekad Roro telah bulat untuk merebut kembali Tombak Pusaka itu.

Akan tetapi amat diherankan karena selalu saja serangannya lolos tanpa dapat mengenai sasarannya, ataupun menyentuh seujung rambutpun tubuh wanita aneh itu. Demikianlah hingga mereka telah tiba diatas tebing karang di Pantai Selatan.

"Hihihi... bocah manis! Tenaga dalammu amat hebat! Rupanya si Dewa Tengkorak telah mewariskan tenaga dalamnya padamu! kau sungguh beruntung, bocah! Tapi... benda ini kau biarkanlah untukku! Aku akan menyimpannya untuk kenang-kenangan..!" Berkata si wanita aneh itu dengan senyum genit dan menimang-nimang benda itu bahkan menciuminya.

Roro jadi semakin mendongkol. Tiba-tiba dia sudah lakukan bentakan keras seraya melompat menerjang. "Kau boleh ambil benda itu setelah kau dapat jatuhkan aku!" Bentaknya. Dan....

Wukkk! Wukkk..!

Dia sudah kirimkan serangan dahsyat. Lagi-lagi terjadi keanehan, karena si wanita itu cuma melenggang-lenggokkan tubuhnya seperti orang menari. Namun serangan beruntun Roro ternyata telah luput. Semakin menggebu kepenasaran Roro, hingga dia telah keluarkan seluruh kepandaiannya menerjang si wanita aneh yang genit luar biasa itu. Suara-suara teriakan dan cekikikan terdengar silih berganti.

Dan diatas bukit Pantai Selatan itu seperti ada dua bayangan saja yang terlihat berkelebatan. Sementara di bawah tebing suara deburan ombak Pantai Selatan yang bergulung-gulung berhempasan menerjang batu karang. Hingga suatu saat tiba-tiba Roro terpekik, karena dia telah kelebihan melompat tanpa mampu menahan tubuhnya lagi. Dan terjerumuslah si gadis tanggung itu ke bawah tebing karang. Lalu sekejap tubuhnya telah lenyap ditetan ombak ganas.

"Hihihi... bagus! akan kulihat apakah kau mampu menyelamatkan diri?" Berkata si wanita aneh. Dan sekejap tubuhnya telah melesat dari situ, lalu lenyap dibalik batu tebing yang bertonjolan.

Tubuh Roro si bocah perempuan tanggung itu timbul tenggelam dihantam ombak yang bergulung-gulung. Apakah Roro akan mudah saja menghadapi maut yang akan merenggut nyawanya? Tidak! Kekerasan hatinya telah mengalahkan segalanya. Dengan patokan, sebelum ajal berpantang mati! Roro berusaha berenang, walau beberapa teguk air telah lewat masuk tenggorokannya.

Segera teringat sepintas disaat menggoda Ginanjar dengan menyelam ke dalam air, kemudian menarik kaki bocah laki-laki itu. Dan Ginanjar berteriak-teriak ketakutan. Roro telah disangka Hantu Air yang biasa mengganggu orang mandi dekat air terjun itu. Ingatan itu membangkitkan semangat Roro untuk bisa hidup. Segera diatahan napas, dan menyelam sedalam mungkin ke dalam air. Sepasang matanya dibentangkan lebar-lebar. Terasa perih, karena air laut memang asin berbeda dengan air sungai.

Namun tekad untuk hidup menggebu-gebu didada Roro. Dipaksakannya untuk tetap dapat membuka matanya, hingga lambat laun rasa perih dimatanya itupun sudah tak terasakan lagi. Dengan berenang cepat dibawah air itu memang Roro berhasil menghindari arus dari ombak ganas diatas permukaan. Karang demi karang dibawah air terus dilewati.

Tiba-tiba tercekat hatinya melihat ada sebuah terowongan didasar air. Bergegas dia berenang kesana dengan tenaga sekuat-kuatnya. Dadanya sudah terasa sesak karena menahan napas, tapi dengan sekuat tenaga dia mencoba bertahan. Bagai seekor ikan Hiu yang meluncur diantara ikan-ikan kecil lainnya didasar laut itu, tubuh Roro sudah meluncur melewati terowongan. Ombak santar yang terasa mengganggunya mendadak jadi hilang.

Kembali dia enjot tubuh untuk berenang sekuat-kuatnya, karena tenaganya sudah teramat lemah. Dadanya terasa semakin sesak, seperti mau pecah. Kekuatannya untuk menahan napas sudah mencapai klimax, dan dia memang sudah tak sanggup untuk bertahan lagi. Terowongan itu sudah terlewati, akan tetapi Roro sudah kehabisan napas. Untuk menyembul kepermukaan pun sudah tak sanggup. Terpaksa dia biarkan tubuhnya mengapung sendiri, dan dua tiga teguk air lewat kembali masuk ketenggorokannya.

Pandangannya sudah menjadi gelap, kepalanya terasa berat. Dan si gadis tanggung ini sudah pejamkan matanya karena tak mampu lagi untuk membuka matanya. Maut seperti akan segera tiba diruang matanya. Akan tetapi takdir agaknya belum menentukan sang dara tanggung itu harus mati didasar air, karena tampak tubuh yang sudah tak berdaya itu pelahan-lahan melambung keatas.

Dan selang sesaat antaranya sudah tersembul kepermukaan air. Roro memang sudah hampir tak sadarkan diri, akan tetapi disaat kepalanya menyembul keatas permukaan air, masih terlintas setitik fikiran jernih dibenaknya. Segera dia gerakkan kepala untuk menghirup udara. Begitu temukan udara segar, semangat bocah perempuan ini timbul lagi. Segera digapaikan kedua lengannya agar tubuhnya dapat terus mengapung, dan sedot udara sebanyak-banyaknya.

Akhirnya diapun membuka sepasang matanya. Ternyata telah berada dalam sebuah ruang didasar tebing karang terjal. Semangat hidupnya kembali muncul. Segera dia berenang ke tepi dengan tubuh lemah lunglai, dan kakinya sudah menyentuh pasir halus ditempat yang dangkal. Terdengar keluhan ketika tubuhnya dijatuhkan ketepi pasir dengan perasaan lega, dan Roro sudah pejamkan matanya untuk menarik napas dalam-dalam.

Entah berapa lama dia berbaring melepaskan kelelahan yang amat luar biasa, hingga sampai-sampai bocah perempuan itu tertidur lelap. Ketika Roro membuka matanya terkejutlah dia, karena melihat sesosok tubuh yang tak lain dari si wanita genit itu telah berdiri tersenyum menyeringai dihadapannya. Dengan gusar Roro sudah gerakkan tubuh untuk bangkit menyerang.

Akan tetapi alangkah terkejutnya dia mengetahui tubuhnya tak dapat digerakkan, bahkan dia sudah dalam keadaan terlentang diatas sebuah pembaringan dari batu persegi dengan keadaan tubuh telanjang bulat.

"Hihihihi... hihi.. bocah hebat! bocah hebat..! Kau benar-benar membuat aku mengiri!" Terdengar si wanita genit itu berkata. Sepasang matanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan senyum tersungging dibibirnya. "Hehehe... aku memang sudah pastikan kau tak akan mampus..!" Sambungnya lagi, seperti seorang peramal yang sudah menentukan nasib manusia.

"Mampus atau tidak bukanlah urusanmu! Mengapa kau perlakukan aku begini? Lepaskan aku! Dan mari bertempur lagi! Apakah kau kira aku takut? Kau ternyata bisanya bermain curang, menawanku disaat aku tak sadarkan diri..!" Teriak Roro dengan sepasang mata melotot tajam pada si wanita aneh itu. Sementara hatinya berdebaran, entah akan diapakan tubuhnya yang telah dilucuti seenaknya begitu..?

"Hihihi... dalam bertempur mengapa harus pakai segala macam aturan? Kau sudah dapat kukalahkan, dan jadi tawananku! Mau kuapakan saja siapa mau larang? Hihihi... hihi..!" Kembali si wanita terpingkal-pingkal geli hingga tubuhnya sampai berguncangan. "Pakaianmu basah, dan sedang kujemur biar kering. Dan kau terpaksa kutotok dulu agar tidak menyusahkanku..!" Ujar si wanita aneh itu sambil beranjak meninggalkan Roro dengan melenggang-lenggok genit.

"Heeeiii!? Mau ke mana kau? Bebaskan aku…!" Teriak Roro sekuat-kuatnya.

Akan tetapi wanita itui cuma melirik genit, lalu menyelinap masuk ke sebuah ruangan goa. Roro mengeluh. Ya Tuhan, mengapa nasibku begini jelek...? Tak berapa lama wanita aneh itu sudah kembali dengan membawa sesuatu diatas piring dari kerang laut.

"Apa itu..?" Tanya Roro dengan mata membeliak. Dia sudah merasa yakin kalau si wanita yang telah menawannya itu pasti akan menyiksanya.

"Hihihi... ini makanan untukmu!" Sahutnya, seraya mendekati Roro. "Kau perlu mengganjal perut agar tidak mampus..!" Sambungnya lagi.

"Tidak! aku tak sudi! Siapa sudi diberi makan olehmu? Biarkan saja aku mampus, apa perdulimu..?" Teriak Roro dengan wajah cemberut kesal.

"Tidak! tidaaak! Aku tak sudi! lepaskan aku..!" Teriak Roro, seraya kerahkan tenaga untuk melompat bangun, dan gerakkan kepalanya menepis. Akan tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat digerakkan, cuma kepalanya saja yang bisa bergerak, akan tetapi itupun hampir tak bertenaga.

Namun makanan itu memang sudah masuk ke mulut Roro ketika si wanita itu dengan paksa telah menjejalkannya. Mendelik sepasang mata Roro, dan... Fruuuhh..! Roro sudah semburkan lagi makanan itu dari mulutnya. Rasa anyir dan bau memuakkan itu membuat dia mau muntah.

SEMBILAN

"Hihihi.... baiklah, kalau kau tak mau makan akan tahu sendiri apa akibatnya!" Berkata si wanita itu seraya lengannya bergerak ke bawah pembaringan batu! Dan sekejap lengannya telah mencekal sebuah bumbung bambu. Dengan cengar-cengir sumbat bumbung bambupun dibuka, dan tuangkan isinya keperut Roro.

Terpekik si gadis tanggung ini, karena segera puluhan ekor binatang Kalajengking telah merayap diatas perutnya. Berteriak-teriak dia dengan ketakutan, dan gerakkan tubuh untuk meronta. Akan tetapi tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali.

"Tidaaak! tidaaak..! oh, aduuh! tolooong..! hiiii... auuuw..!" Hampir gila rasanya Roro karena takutnya. Akan tetapi si wanita itu justru mengikik tertawa dengan terpingkal-pingkal.

"Baik, baik..! aku mau makan..! Aku mau makan..!" Akhirnya Roro berteriak dengan wajah pucat ketakutan, terasa geli dan takutnya bukan buatan terhadap binatang itu yang seperti menggelitik kulit perutnya.

"Bagus! Nah, begitu..! Barulah kau seorang bocah yang baik!" Ujar si wanita dengan tampilkan senyum kemenangan. Dan segera diraupnya binatang itu untuk dimasukkan kedalam bumbung bambu, lalu menutup sumbatnya dan letakkan kembali ke bawah pembaringan. Demikianlah, akhirnya Roro mau disuapi makanan aneh itu, yang ternyata adalah lumut laut.

Siapakah sebenarnya si wanita yang bersuara aneh mirip laki-laki dan terkadang wanita itu? Ternyata tak lain dari seorang tokoh Rimba Hijau yang sudah lama mengurung diri digoa dasar tebing Pantai Selatan. Dialah yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai Selatan, atau orang menjulukinya Si MANUSIA BANCI.

Karena memang sebenarnyalah wanita genit itu bukanlah seorang wanita, melainkan seorang wadam alias Banci. Tubuhnya memang amat mirip dengan wanita. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian, karena kepandaiannya merias dirilah yang membuat dia mirip sekali dengan wanita.

Roro yang sudah merasa bosan berada dipembaringan batu dengan tubuh terlentang itu seperti tak digubris permintaannya untuk membebaskan totokan si manusia Banci itu. Demikianlah, entah sudah berapa hari berapa malam, Roro tak dapat berkutik.

Entah berapa puluh kali makanan yang memuakkan itu masuk ke perutnya. Namun lama kelamaan dia sudah biasa. Roro memang sudah berupaya untuk melepaskan diri, akan tetapi si Manusia Banci itu selalu mengulangi menotoknya, hingga dia tak dapat berbuat apa-apa selain mengeluh memikirkan nasibnya.

Satu hal yang membuat Roro tak habis pikir adalah si manusia aneh itu sering menimang-nimang kedua potong benda yang telah direbut dari tangannya, yaitu potongan tombak Pusaka milik si Dewa Tengkorak. Terkadang si Banci itu tertawa-tawa sendiri, tapi terkadang menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran. Membuat Roro jadi kasihan. Entah ada rahasia apa dibalik keanehannya itu.

Roro semakin menyadari kalau wanita dihadapannya itu bukan wanita, tapi juga bukan laki-laki. Terbukti suatu ketika, tampak seorang gadis cantik sekali memasuki ruangan kamarnya. Terperangah Roro, karena gadis cantik itu tak mengenakan pakaian sama sekali alias telanjang bulat... Rambutnya terurai, dengan sepasang mata redup, bak bidadari bangun tidur layaknya. Langkahnya lemah gemulai dengan perlihatkan senyumnya yang menawan hati.

"Hihihi... Roro! Coba lihatlah aku baik-baik! Apakah aku cantik..?" Bertanya si gadis cantik itu.

Barulah Roro sadar kalau gadis cantik itu tak lain dari si wanita aneh. Segera saja dia mengangguk dengan tersenyum. "Kau amat cantik sekali, bibi..!" Menyahut Roro seraya manggut-manggut.

"Apakah aku amat mirip dengan perempuan..?" Tanyanya lagi. Tentu saja pertanyaan itu membuat dia ternganga, karena jelas wanita itu seorang perempuan, mengapa bertanya demikian? Pikir Roro. Namun dia tak berani memastikan apakah si bibi itu seorang perempuan, karena terkadang memang agak mirip dengan laki-laki. Dan kesemuanya itu membuat dia jadi bingung, tapi segera menjawab.

"Hihihi... kau mirip sekali dengan perempuan, dan bukankah kau... kau memangnya bukannya seorang perempuan seperti aku..?" Tanya Roro yang tak dapat menyembunyikan apa yang dilihatnya. Akan tetapi jawabannya adalah wanita ini menatapnya tajam-tajam dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca. Dan terdengar suaranya yang bercampur isak.

"Ah,... seandainya aku memang seorang perempuan, tidaklah aku menderita begini..!" Dan dia sudah balikkan tubuh lalu lengannya menyambar jubah yang biasa dikenakannya. Tak lama dia sudah lepaskan dua buah benda dari tubuhnya, seraya beranjak menghampiri Roro.

"Kau lihatlah! Benda ini adalah hasil ciptaanku yang kubuat sedemikian rupa, karena aku memang ingin sekali menjadi seorang wanita!" Berkata si manusia banci.

Barulah Roro tersadar kalau si wanita aneh itu memang bukan wanita dan bukan lakilaki. Karena segera tampak dadanya yang rata. Benda-benda itu telah membuatnya mirip dengan wanita yang seperti tak mengenakan busana. "Oh..!?" Tersentak Roro, dan kembali dia manggut-manggut dengan hati yang mulai mencair, karena segera timbul rasa kasihan pada si bibi itu.

"Benda-benda ini kelak akan kuhadiahkan padamu, Roro..!" Berkata si manusia Banci, yang kembali sudah perlihatkan wajah cerah.

Beberapa bulan sudah Roro tinggal diruang goa di dasar tebing karang Pantai Selatan itu. Dan selama itu Roro telah diperlakukan secara aneh. Tubuhnya dibalur dengan berbagai macam ramuan. Dan setiap pagi tentu akan menerima makanan memuakkan dari lumut laut. Keanehan-keanehan yang dilakukan terhadap Roro ternyata mempunyai maksud tertentu. Bahkan berbagai macam ramuan telah disuguhkan kepada Roro yang ternyata telah dicampur oleh makanan dari lumut laut itu.

Hingga tanpa disadari Roro telah memakan beberapa ramuan yang langka dan jarang terdapat didunia, yaitu ramuan awet muda. Karena sebenarnya si Manusia Banci itu telah mencapai usia 60 tahun lebih, tapi kenyataannya bagaikan seorang yang masih berusia tiga puluh tahun. Si Manusia Banci memang amat berharap pada Roro agar menjadi muridnya, dan mewarisi segenap ilmu kepandaiannya. Itulah sebabnya Roro diperlakukan secara aneh, untuk segera dapat menerima ilmu-ilmunya.

Demikianlah.... Roro si bocah perempuan yang berusia sekitar lima belas tahun itu telah resmi menjadi murid si Manusia Banci atau si Manusia Aneh Pantai Selatan. Tak seorangpun mengetahui adanya Roro di Pantai Selatan itu, yang tengah digembleng berbagai ilmu kedigjayaan oleh si Manusia Banci. Bahkan Roro mempelajari juga jurus-jurus maut si Dewa Tengkorak yang bernama 10 Jurus Pukulan Kematian.

Ternyata didalam Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu ada tersimpan segulung kertas yang berisikan tulisan rahasia dari ilmu-ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10 Jurus Pukulan Kematian itu. Dan Roro telah mempelajarinya dari gurunya yang aneh itu.

Satu hal yang baru dimengerti Roro, adalah ternyata si Dewa Tengkorak adalah laki-laki pujaannya yang telah membuat sang guru tergila-gila padanya. Namun si Dewa Tengkorak tak mengacuhkan "cinta"nya. Ternyata walaupun si Dewa Tengkorak memang banyak mempunyai isteri, si Manusia Banci ini tetap menaruh cinta yang sedalam lautan. Walaupun cintanya tak kesampaian.

Memang satu kejadian yang amat tragis dalam kisah manusia yang memburu cinta. Akan tetapi takdir memang harus disadari oleh setiap manusia. Karena Tuhan memang telah mengkodratkan diri manusia masing-masing dengan keadaannya.

* * * * * * *
Bagaimanakah dengan nasib Ginanjar sepeninggal Roro yang telah pergi diam-diam untuk menyusul Ki Bayu Sheta? Ternyata si pemuda tanggung ini telah mencari-carinya ke setiap tempat. Namun tak membawa hasil. Menjelang pagi segera teruskan pencariannya ke tempat-tempat dimana Roro biasa berlatih.

Akan tetapi tetap saja tak dijumpai si gadis tanggung yang bengal itu. Akhirnya Ginanjar memutuskan untuk tetap berdiam menunggu datangnya si Maling Sakti guru Roro, atau paman gurunya itu. Selama itu Ginanjar selalu berlatih memperdalam kepandaiannya yang telah diajarkan si Pendekar Bayangan.

Namun selama lebih dari satu bulan, tetap saja tak ada orang yang datang menyambangi pondoknya dilereng Rogojembangan itu. Baik Roro maupun sang paman gurunya si Maling Sakti tak memunculkan diri. Akhirnya Ginanjar bertekad turun gunung. Tujuannya adalah mencari dimana adanya Roro saudara seperguruannya itu. Sekalian mencari tahu tentang paman gurunya, yang menurut gurunya berada di wilayah Kota Raja.

Memikir demikian Ginanjar segera berkemas untuk membuntal pakaiannya. Akan tetapi terkejut pemuda tanggung ini ketika menemukan secarik kertas bertulisan dibawah pakaiannya. Ternyata adalah sebuah surat dari Ki Bayu Sheta yang diperuntukkan padanya. Surat itu mengatakan agar Ginanjar segera berangkat bersama Roro ke Kota Raja, bila sang paman guru alias si Maling Sakti tak juga datang dalam waktu satu bulan.

Disana Ginanjar disuruh mencari seorang sahabat sang guru yang berdiam di wilayah Kota Raja, bernama Ronggo Alit. Untuk menjumpainya adalah tidak sulit, karena Ronggo Alit membuka sebuah warung yang berdagang obat-obatan. Ronggo Alit adalah bekas anggota Partai Kaum Pengemis, yang sejak Partai itu dibubarkan dia membuka usaha demikian di wilayah Kota Raja.

Ginanjar dan Roro diharapkan dapat tinggal digedung kediaman sahabatnya itu untuk sementara waktu. Termenung sejenak bocah laki-laki tanggung itu. Lalu diteruskannya membaca surat. Ternyata diakhir kalimat si Pendekar Bayangan ada menitipkan kata-kata untuk sang sahabat, yang disuruhnya Ginanjar dan Roro memanggilnya "Paman". Dan pada kalimat yang paling akhir adalah Ginanjar telah diwariskan sebuah Pedang Pusaka. Yaitu pedang pusaka milik sang guru. Kemudian ditunjukkan dalam surat tempat penyimpanannya.

Kembali termenung Ginanjar, lalu segera dilipatnya surat itu dimasukkan kesaku bajunya sebelah dalam. Tak lama dia sudah bangkit berdiri, dan segera menghampiri sebuah rak diatas tempat tidur gurunya. Disanalah dia menemukan sebuah pedang yang gagangnya terbuat dari perak berkilauan. Sarung pedangnya berukir seekor naga. Tampak wajah Ginanjar menampilkan wajah girang.

Akan tetapi juga bersedih, karena sampai kini tak diketahui nasib gurunya, juga nasib Roro dan sang paman gurunya. Namun segera pemuda tanggung ini cepat berkemas. Beberapa keping uang ternyata telah diselipkan juga dekat sarung pedang. Dia dapat mempergunakannya bila mana perlu. Agaknya Ki Bayu Sheta telah mempersiapkan terlebih dulu sebelum keberangkatannya.

Ketika matahari sudah hampir berada diatas kepala, Ginanjar sudah tinggalkan pondok dilereng Gunung Rogojembangan itu. Terasa sedih juga hatinya karena hampir sepuluh tahun sejak dia diambil si Pendekar Bayangan dari sebuah rumah yatim piatu, dia dididik ditempat ini oleh Ki Bayu Sheta. Hingga dia merasa sang guru sebagai orang tuanya sendiri.

Dari sang guru diketahuinya bahwa orang tuanya telah meninggal. Tak diketahui jelas siapa dan dimana meninggalkan ayah ibunya, karena Ginanjar memang tak pernah menanyakannya. Tak lama bocah laki-laki tanggung itu telah berkelebat cepat menuruni lereng Rogojembangan.

Dengan bekal keyakinan untuk suatu ketika dia dapat menjumpai Roro saudara seperguruannya. Angin pegunungan berhembus sejuk seperti mengantarkan kepergiannya yang tentu saja akan banyak menimba pengalaman kelak ditempatnya yang baru.

SEPULUH

SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo Gawuk dan dijatuhi hukuman gantung oleh Baginda Raja Kerajaan Medang. Wilayah sekitar kekuasaan Kadipaten itu menjadi aman. Tiada lagi pemerasan-pemerasan yang dilakukan oleh para petugas pajak dan para petani dan pedagang. Rakyat amat berterima kasih pada pihak Kerajaan yang telah menindak tegas abdi-abdi Kerajaan yang menyeleweng.

Bahkan mereka juga dapat bernapas lega, karena tidak didengarnya lagi bencana-bencana seperti perampokan, pemerkosaan para gadis atau pemerasanpemerasan lainnya. Rakyat kembali bekerja dengan tekun menggarap sawah ladang pertaniannya.

Para saudagar tak lagi mengkhawatiri akan adanya perampasan harta bendanya, serta bermacam kesulitan yang sering dihadapi. Dan pada beberapa bulan kemudian, segera diadakan pengangkatan Adipati baru pengganti Adipati Haryo Gawuk. Tentu saja rakyat menyambut dengan gembira, karena mereka berharap Adipati pengganti ini benar-benar memperhatikan akan kesejahteraan rakyat wilayahnya.

Dalam upacara pengangkatan Adipati baru ini ternyata telah diadakan hiburan yang sengaja diadakan untuk menghibur rakyat. Berita adanya hiburan diwilayah Kadipaten Banjar Mangu segera tersiar ke beberapa daerah. Dan sudah tersiar beritanya bahwa yang akan menjabat sebagai Adipati di wilayah itu adalah seorang laki-laki yang masih berusia cukup muda, yaitu sekitar 30 tahun. Bernama SURA NINGRAT.

Pesta berlangsung meriah saat itu, dan sukurlah tak terjadi suatu keributan, karena para lasykar keamanan Kadipaten menjaga dengan ketat. Agaknya sejak ditangkapnya Adipati Haryo Gawuk, para begundal yang biasa mengganggu rakyat segera menyingkir jauh-jauh.

Demikianlah dengan resmi Adipati Sura Ningrat berhak menguasai beberapa wilayah, yang kemudian sejak dalam masa pemerintahannya, rakyat hidup sejahtera aman sentausa. Bahkan telah ditingkatkannya taraf hidup kaum petani yang ternyata banyak membantu Kerajaan dalam urusan pangan.

* * * * * * *

Pemerintahan Sura Ningrat sebagai Adipati ternyata mengalami masa kejayaan sampai lebih dari lima belas tahun. Sayang Adipati yang gagah dan bertanggung jawab serta disenangi rakyatnya itu tak berumur panjang. Adipati Sura Ningrat wafat dalam usia cukup muda. Kesedihan melanda rakyat disekitar wilayahnya, yang mengalami masa berkabung sampai berlarut-larut.

Ternyata kemudian pengganti Adipati Sura Ningrat adalah seorang yang berbeda wataknya dengan Sura Ningrat. Yaitu Adipati Laksono. Peraturan-peraturan yang telah dibina Adipati Sura Ningrat telah banyak yang dirobah, dan ternyata cukup memberatkan rakyat dengan pajak yang cukup tinggi. Akan tetapi karena sang Adipati ini masih ada hubungannya dengan Baginda Raja Kerajaan Medang rakyat tak dapat berbuat apa-apa.

Walaupun keadaan rakyat jadi cukup menderita namun tak urung sudah pula berjalan masa pemerintahan sang Adipati itu sampai lebih dari tujuh tahun. Dan pada masa pemerintahan Adipati Laksono inilah kisah ini terjadi.

Kemunculan empat orang yang menamakan dirinya Empat Iblis Kali Progo telah menambah penderitaan rakyat disekitar wilayah Kadipaten Banjar Mangu. Ternyata keempat manusia berkepandaian tinggi itu mendiami gedung Kadipaten yang menghadap kearah barat. Sukar untuk ditolak kedatangan keempat orang itu yang telah menghadap pada sang Adipati sebagai tamu terhormat.

Karena disamping ilmunya yang tinggi, kedatangannya adalah atas utusan seorang pembesar Kerajaan, yang katanya untuk membantu menjaga keamanan diwilayah itu Karena disinyalir adanya desas-desus tentang pembangkangan rakyat atas tindakan sang Adipati Laksono.

Memang Adipati itu pernah mengirim utusan ke Kota Raja berkenaan dengan keadaan situasi di wilayahnya. Ternyata ada segolongan penduduk yang diam-diam menaruh kebencian pada sang Adipati. Yaitu berdasarkan sakit hati, karena seorang anak gadis dari penduduk telah dipaksanya menjadi istrinya. Tentu saja dengan janji-janji yang muluk.

Akan tetapi baru belakangan diketahui kalau gadis itu cuma jadi permainannya saja. Dan setelah bosan, segera dikembalikan pada orang tuanya dengan alasan yang tak masuk akal. Karena si wanita itu dituduh mencuri perhiasan istri tuanya. Dilain pihak ternyata mulai bermunculan para pemuda yang menentang secara sembunyi-sembunyi, karena ketidak adilan sang Adipati dalam menjalankan pemerintahannya. Bahkan mulai terasa keadaan yang tidak aman.

Usia sang Adipati Laksono itu sudah mencapai hampir lima puluh tahun. Seharusnya sudah diadakan penggantian sesuai undang-undang. Kalau bukan keturunannya sendiri yang menggantikannya, tentu masih kerabatnya. Atau kalau tak ada kerabatnya tentu orang lain atas pilihan dari rakyat yang dipandang berwibawa untuk menduduki jabatan tersebut.

Bercokolnya empat orang yang mempunyai gelaran menyeramkan itu ternyata menambah keresahan rakyat diwilayah itu. Mulailah banyak terjadi kekerasan dan pertumpahan darah. Dan kesemuanya itu bila terjadi, tak ada keputusan yang adil terhadap rakyat dari Adipati Laksono. Setelah bermacam persoalan itu langsung saja terkubur ke laut.

* * * * * * *

Hari masih siang... akan tetapi wilayah Kota Raja telah ramai dikunjungi orang dari berbagai tempat. Ternyata hari itu adalah hari bersuka ria, karena malam nanti akan diadakan pesta keramaian dengan meriah diberbagai tempat untuk menyambut hari ulang tahun Kerajaan Medang.

Seorang pemuda gagah berpakaian serba putih berjalan agak kaku memasuki tempat keramaian. Di pinggangnya tersarang sebuah pedang yang gagang sarungnya sengaja dibungkus oleh secarik kain agar tak begitu menyolok. Sebentar-sebentar langkahnya terhenti untuk memandang atau memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Kebanyakan yang diperhatikannya adalah seorang wanita atau gadis. Siapakah gerangan pemuda gagah ini...?

Ternyata tak lain dari Ginanjar adanya. Murid si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta ini telah berdiam di Kota Raja selama hampir dua tahun dirumah sahabat gurunya Ronggo Alit. Ternyata untuk menemukan rumah sang "paman" itu tak begitu sulit.

Agaknya Ginanjar cukup betah berdiam dirumah Ronggo Alit, yang ternyata telah menerima kedatangannya dengan ramah tamah. Tenaga anak muda ini cukup dibutuhkan, sehingga dapat membantu-bantu pekerjaannya, disamping menambah pengertiannya akan ilmu obat-obatan. Agaknya Ronggo Alit telah mengetahui akan perihal perjanjian Ki Bayu Sheta sahabatnya itu dengan si Dewa Tengkorak. Akan tetapi tak menceritakannya pada Ginanjar. Cuma terlihat Ronggo Alit menghela napas dengan menampilkan wajah sedih.

Pertanyaan Ginanjar tentang sang paman gurunya yang bernama si Maling Sakti itupun dijawabnya dengan menggeleng kepala, walau dia telah mengetahui keadaan sebenarnya. Ternyata Ronggo Alit telah dipesan sebelumnya oleh Si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga harus mencampuri urusan si Pendekar Bayangan. Namun tak mau melibatkan orang lain. Dengan tidak munculnya kedua tokoh bekas Ketua Partai Kaum Pengemis itu, sudah dipastikan tewas.

Demikianlah untuk menutupi kesedihan hatinya, Ronggo Alit sengaja menyibukkan dengan urusannya. Dan Ginanjar giat membantu usahanya selama ini. Namun dalam setiap kesempatan selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar mencari dan menyelidiki kemana perginya saudara seperguruannya yang bernama Roro itu, sambil mencari bahan obat-obatan.

Akan tetapi sampai hampir dua tahun tetap saja tak ada beritanya. Dalam usia Ronggo Alit yang semakin menua dan tiadalah orang tua itu mempunyai anak laki-laki, Ginanjar merasa berat untuk meninggalkannya. Walau hatinya sudah menggebu untuk pergi mengembara mencari saudara seperguruannya.

Hari itu Ginanjar telah minta izin untuk melihat keramaian, serta menyelidiki siapa tahu bisa menemukan Roro. Karena dengan adanya keramaian diberbagai tempat diwilayah Kota Raja itu, akan banyak pengunjung berdatangan. Demikianlah, Ginanjar yang telah menjadi seorang pemuda remaja itu, pasang mata meneliti setiap wanita atau gadis yang berlalu lalang ditengah keramaian pasar.

"Ah, seandainya Roro masih hidup dan aku menjumpainya, tentu aku akan pangling. Pasti dia sudah menjadi seorang gadis yang cantik jelita..!" Desis suara Ginanjar pelahan sambil termangu-mangu. Namun sesaat dia sudah beranjak ke tengah pasar untuk menyelidiki lebih banyak, serta melihat persiapan keramaian malam nanti.

Menjelang agak senja suasana dikota itu semakin ramai. Ginanjar yang merasa perutnya lapar, segera memasuki sebuah restoran yang paling ramai. Sementara memesan makanan sepasang matanya selalu jelalatan memperhatikan setiap pengunjung wanita. Namun tetap saja orang yang dicarinya tak kelihatan.

Selesai bersantap Ginanjar segera ayunkan langkah lagi. Kali ini yang ditujunya adalah ke tempat yang agak sepi dibelakang pasar. Karena ditempat sepi ini dia berpendapat dapat menemukan ilham untuk mencari ke arah mana disekitar wilayah Kota Raja itu.

Tiba-tiba diujung sebuah gang terdengar suara teriakan, namun sesaat kembali melenyap. Seperti suara teriakan seorang wanita...? Berkata Ginanjar dalam hati. Karena yang tengah dicarinya adalah seorang wanita, tentu saja dia sudah bergegas untuk melihat. Lorong dibelakang pasar itu tampak sunyi. Akan tetapi sepasang mata si pemuda ini telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak, yang ternyata adalah sepasang kaki. Seperti sosok tubuh seseorang yang baru saja diseret masuk ke sebuah pintu rumah petak.

Ginanjar jadi curiga, dan segera berkelebat melompat dengan tak menimbulkan suara. Dari sebuah jendela kecil dia telah melihat apa yang tengah terjadi sebenarnya. Sepasang mata pemuda ini jadi melotot dengan wajah gusar, karena terlihat tiga orang laki-laki berwajah penuh cambang bauk tengah berusaha membukai pakaian seorang gadis yang telah dibekap mulutnya.

"Hai! lepaskan dia..!" Ginanjar telah keluarkan bentakan keras seraya melompat ke depan pintu.

Tentu saja membuat ketiga laki-laki itu jadi terkejut, dan serentak sudah mencabut senjata dari balik pakaiannya. Tanpa keluar suara dua orang telah menerjang keluar setelah yang seorang memberi isyarat. Pemuda ini memang baru pertama kalinya mengalami pertarungan, sepasang matanya dipergunakan baikbaik. Dan dengan gesit dia sudah berhasil mengegos serta tepiskan tangannya membuat kedua serangan itu luput. Dan bahkan dengan cepat sekali sepasang lengannya kembali bergerak menghantam.

Buk! Buk...!

Terdengar keduanya mengeluh dibarengi dengan robohnya tubuh si penyerang. Melihat kedua kawannya jatuh nyusruk dengan cuma beberapa jurus, si laki-laki yang satunya ini melompat menerjang dengan belati panjangnya. Namun Ginanjar memang telah mempersiapkan diri dari segala kemungkinan. Tubuhnya melompat ke samping. Sebelah kakinya bergerak menghantam perut orang itu.

Bekk...!

Terdengar suara laki-laki itu mengeluh, dan tubuhnya sudah terhuyung. Sebelah lengannya memegangi perutnya yang jadi mulas dengan wajah menyeringai kesakitan.

"Keparrat..!" Berdesis suara orang itu, seraya tiba-tiba putarkan tubuh untuk mengirim serangan beruntun menabas kaki dan menusuk ke arah tenggorokan.

Ginanjar gerakkan kakinya untuk melompat, sambil doyongkan tubuh ke belakang. Loloskan serangan itu. Tiba-tiba dia telah keluarkan bentakan keras, dan kirimkan pukulan jarak jauh.

Buk...!

Laki-laki itu terhuyung ke belakang mau jatuh, dan saat itu sebelah kaki pemuda itu telah menghantam telak mengenai dadanya.

Dhess…!

Tak ampun laki-laki brewok itu roboh terjungkal. Sementara dua kawannya telah bangkit lagi. Melihat si pemuda berdiri tegak dengan bertolak pinggang, nyalinya sudah luntur. Serentak mereka segera melarikan diri. Sedangkan si lelaki barusan sudah bangkit lagi dengan belati panjangnya, segera ngeloyor pergi dengan terhuyung-huyung menyusul kedua kawannya.

Ginanjar perlihatkan senyumnya, lalu balikkan tubuh untuk melihat wanita tadi. Tampak seorang gadis yang berwajah cukup cantik tengah menatapnya disudut ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut masai. Sementara kedua lengannya disilangkan diatas dada menutupi payudaranya yang sedikit tersembul, karena pakaiannya telah robek sebagian.

"Ah, te... terima kasih atas pertolonganmu tuan..!" Berkata si gadis dengan mengangguk, seraya perlihatkan senyumannya. Sekilas pandangan mata Ginanjar mampir juga ke arah bagian yang sedikit terbuka itu, tapi segera palingkan pandangannya ke lain arah.

"Sudahlah! Siapa namamu? dan dimanakah rumahmu..?" Bertanya Ginanjar.

"Namaku... Kasmini! Rumahku... ng... cukup jauh dari belakang pasar ini!" Menyahut si gadis. Lalu ceritakan kejadiannya secara singkat pada Ginanjar hingga dia disekap ditempat kosong itu.

Karena khawatir kalau para bajingan itu mengganggu lagi, terpaksa Ginanjar mengantarkannya untuk kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan Kasmini segera ceritakan tentang keadaan hidupnya. Terperangah pemuda itu mendengarnya, karena ternyata Kasmini seorang gadis piatu yang cuma hidup berdua dengan seorang kakeknya, yang sudah teramat tua dan sakit-sakitan.

Kasmini terpaksa mencari nafkah dengan membantu-bantu orang, seperti mencuci pakaian dan lain-lain. Akan tetapi dia hanya menerima upah saja. Boleh diumpamakan sebagai pembantu yang tidak tetap. Kepergiannya adalah untuk membeli obat sepulang dari bekerja, karena penyakit sang kakek kambuh lagi. Akan tetapi telah terjadi kejadian seperti yang dialaminya tadi, yang dilakukan oleh para begundal pasar yang sudah lama mengincarnya.

SEBELAS

MENUNGGU kedatangan seorang cucu perempuannya bagi seorang kakek tua renta tanpa daksa dan penyakitan selama hampir satu hari, adalah sungguh membuat rasa bosan dan serba salah. Dibagian belakang reruntuhan gedung tua yang sudah tak terawat lagi terdengar suara keluhan dan rintihan yang mengenaskan.

Seorang kakek tua renta duduk setengah terbaring diatas lantai, bertilam kain yang penuh tambalan. Sungguh mengenaskan hati melihatnya, karena sang kakek itu bertubuh cacad. Yaitu kedua belah kakinya buntung sebatas dengkul.

Laki-laki tua kurus kering itu perdengarkan keluhannya yang menghiba. "Kasminiiii..! Ah, kemanakah engkau cucuku." Keluhnya dengan suara lirih hampir tak terdengar. Rambut dikepalanya sudah tinggal beberapa lembar, wajahnya cekung pucat. Karena disamping lapar, si kakek itu memang dalam keadaan sakit. Selang tak berapa lama terdengar suara-suara diluar berbisik-bisik.

"Inilah tempat tinggalku..! Marilah masuk! Aku harus memberikan nasi ini dulu pada kakek, dan meminumkan obat!" Terdengar suara wanita. Laki-laki tua ini gerakkan pelupuk matanya, lalu membuka sepasang matanya yang cekung ke dalam.

Tak lama sudah tersembul dipintu sesosok tubuh, yang tak lain dari Kasmini adanya. Dilengannya tercekal sebuah bungkusan berisi nasi dan laukpauknya. Serta sebungkus obat.

"Kasmini... kau sudah pulang cucuku...? Siapakah tetamu diluar? Ah, mengapa tak kau suruh masuk..?" Bertanya sang kakek dengan suara lemah. Pendengaran tuanya ternyata masih cukup tajam, karena disamping suara Kasmini ada pula didengarnya suara seorang laki-laki.

Sementara Ginanjar yang berada diluar merasa tak enak hati bila tak menjenguk kakek sang gadis yang telah ditolongnya itu. Bahkan ditengah perjalanan telah pula membelikan obat dan dua bungkus nasi. Sesaat dia sudah beranjak kedalam ruangan yang sempit dan kotor penuh sarang laba-laba itu.

"Kakek..! Tuan inilah yang telah menolongku, dan membelikan obat serta dua bungkus nasi ini untuk kita!" Berkata Kasmini dengan berbisik pada telinga kakeknya.

"Ah, selamat... datang ke pondok burukku, tuan muda..! Terima... kasih atas budi baikmu menolong cucuku..!" Berkata si kakek dengan suara lirih, dan perlihatkan senyumannya. Ternyata Kasmini telah berbisik-bisik menceritakan secara singkat kejadian yang menimpanya.

Ginanjar yang telah berjongkok dihadapan laki-laki tua itu cuma bisa manggut-manggut seraya berkata. "Ah, kakek..! Sudahlah, pertolonganku itu tak berarti apa-apa..! Segeralah kau bersantap, dan meminum obat agar lekas sembuh!"

Ginanjar berikan segenggam uang di lengan sang kakek, yang tak putus-putus ucapkan terima kasih. Selanjutnya sudah berdiri lagi seraya menjura pada si kakek, dan menatap pada Kasmini. "Maaf, aku tak dapat berlama-lama lagi, karena ada hal lain yang harus aku kerjakan..! Aku mohon diri! Kelak, kapan-kapan aku pasti akan singgah lagi kemari!" Berkata Ginanjar.

Wajah si gadis tampak perlihatkan kemuraman, dan sepasang matanya sudah berkacakaca. Akan tetapi dia segera mengangguk. Setelah menjura lagi pada si kakek, Ginanjar segera balikkan tubuh untuk beranjak keluar ruangan. Baru saja sembulkan tubuh dipintu, telah terdengar bentakan keras diluar halaman.

"Bagus! Eh pemuda ingusan! kau sudah jual lagak dihadapan ketiga kawanku! Apakah kau tahu akibatnya?" Ginanjar segera telah dikepung oleh empat orang yang bertampang seram.

"Hen!? siapakah kalian ini..?" Tanya Ginanjar dengan naikkan alisnya.

Keempat orang itu saling pandang sesama kawannya, lalu terdengar suara tertawanya gelak-gelak. "Hahaha... hahaha... Rupanya kau seorang pemuda ingusan yang baru turun gunung! Semua orang sudah mengenal siapa kami!" Berkata salah seorang.

"Baik, pasanglah telingamu lebar-lebar! Kami adalah si Empat Iblis Kali Progo! Kami bertugas menjaga keamanan di wilayah Kota Raja ini! Tentu saja berhak menangkap atau membunuh mampus pengacau seperti kau!"

"Heh!" Mendengus Ginanjar, dengan turunkan alisnya. "Apakah kesalahanku, hingga kalian menyebutku pengacau? Justru kawanmu itulah yang telah mengacau! Mereka telah berusaha menyekap gadis ini untuk diperkosa! Mengapa justru aku yang dianggap pengacau ?" Tanya Ginanjar dengan hati mendongkol. Keempat sosok tubuh dihadapannya itu pelototkan matanya dengan gusar.

"Justru kaulah yang mau memperkosanya, lalu dihalangi oleh ketiga kawanku itu! Huh! ternyata kau mau membela diri dengan menimpakan kesalahan pada orang lain? Hayo kawan-kawan ringkus dia..!" Bentak salah seorang dari keempat Iblis Kali Progo yang bertubuh kekar berkulit hitam legam.

Terperangahlah seketika Ginanjar, karena mengapa justru dia yang dianggap mau memperkosa si gadis yang telah ditolongnya? Aneh! Pikirnya. Saat itu tiga orang dari mereka telah mencabut senjatanya dipinggang, yaitu golok-golok yang melengkung lebar berkilat-kilat. Kasmini tiba-tiba telah melompat kepintu seraya berteriak.

"Dusta! Kalian telah membalikkan kesalahan pada orang lain! Ketiga begundal pasar itu aku sudah mengenalnya, dan telah beberapa kali membujukku untuk menuruti napsu binatangnya! Kalau tak datang tuan muda ini tentu aku... aku..." Kasmini tak dapat teruskan kata-katanya. Karena seketika dia sudah gemetaran dan menangis terisak-isak.

"Tutup mulutmu...!" Tiba-tiba membentak si tubuh kekar berkulit hitam. Dan dia sudah beri isyarat ketiga kawannya menerjang Ginanjar. Tiga buah golok berkelebat menabasnya, si gadis Kasmini perdegarkan jeritan ketakutan.

Akan tetapi dengan sebat si pemuda itu sudah melompat menghindar dengan tubuh berjumpalitan diudara. Dan sudah menjauh sekitar lima tombak. Tentu saja keempat orang itu segera memburu dengan wajah bringas. Sekejap saja mereka telah mengurung si pemuda itu lagi. Kini keempat orang yang berjulukan si Empat Iblis Kali Progo itu sudah siap dengan senjata terhunus. Mengetahui dirinya dalam bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut pedangnya dari pinggang.

"Bagus! Sebutkan siapa kau dan siapa gurumu bocah? Agar kami tak penasaran membunuhmu.." Teriak salah seorang yang bernama Tambi. Yaitu laki-laki berkulit hitam tadi.

"Benar! Kami si Empat Iblis Kali Progo tentu akan dapat penghargaan dari pihak Kerajaan kalau berhasil membunuh seorang pengacau yang cukup punya nama!" Teriak yang bertubuh pendek berhidung besar seperti bengkak, dengan tertawa menyeringai. Dia ini bernama Begu Lowo. Sedang yang dua lagi bernama Reksa dan Bangik.

"Hm, tak perlu macam-macam! Kalian majulah..!" Bentak Ginanjar dengan gusar. Dia rupanya sudah geregetan sekali untuk menabas kepala orang yang telah memfitnahnya itu. Walaupun baru untuk kedua kalinya ini Ginanjar bertarung, tapi murid si Pendekar Bayangan ini memang tak mengenal takut. Tentu saja kata-kata Ginanjar membuat mereka jadi gusar, dan segera menerjang dengan berbareng.

Trang! Trang! Trang...!

Sebentar saja ditempat sunyi itu telah terjadi pertarungan seru. Ginanjar pergunakan pedangnya untuk menangkis setiap serangan. Bahkan balas menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi keempat orang itu memang berilmu tinggi, dan mereka maju berempat. Dengan berkelebatan saling berganti mereka berlompatan menghindar, sedangkan yang lainnya sudah menerjang lagi disaat si pemuda mencecar kawannya. Sekejap saja sudah terdengar suara bentakan-bentakan dan beradunya senjata tajam.

Sementara itu Kasmini cuma bisa memandangi dengan mata terbeliak bersimbah air mata. Sang kakek ternyata telah beringsut ke pintu untuk melihat kejadian. Terbelalak sepasang mata tua itu sambil geleng-gelengkan kepala. Kasmini segera memeluknya untuk segera mengajaknya kembali ke dalam.

Pada saat pertarungan itu terjadi, ternyata sesosok tubuh berindap-indap mendekati belakang reruntuhan gedung tua itu. Ternyata tak lain dari salah seorang laki-laki yang tadi dihajar oleh Ginanjar, dan melarikan diri. Wajahnya menyeringai tertawa melihat kedua orang ini tengah memperhatikan pertarungan dengan wajah pucat. Sekejap dia sudah melompat ke pintu. Lengannya bergerak menarik lengan gadis itu yang jadi menyentak terlepas dari pegangannya ke tubuh si kakek.

"Hehehe... Kasmini! ayo, kau ikutilah bersamaku! Biarkan pemuda itu mampus!"

"Hah!? Tidak! tidaak! lepaskan aku..! kau... kau bajingan keparat..!" Berteriak-teriak Kasmini dengan terkejut. Segera dia meronta-ronta untuk melepaskan cekalan laki-laki itu. Akan tetapi satu hantaman pada belakang lehernya membuat gadis itu mengeluh, dan pingsan tak sadarkan diri.

Terkejut sang kakek, yang melihat keadaan cucunya. Segera dia beringsut cepat seraya melompat untuk menangkap tubuh cucunya yang akan dipondong si laki-laki. "Jangan..!? Jangan ganggu cucuku... lepaskan.. dia..!" Teriaknya dengan suara terengah. Akan tetapi satu hantaman telak telah mengenai dadanya.

Buk..! Terdengar si kakek mengeluh, lalu tubuhnya ambruk ke lantai. Sekali bergerak si laki-laki brewok itu sudah memondong sang gadis, dengan perlihatkan wajah menyeringai. Namun  diluar dugaan lengan si kakek kembali menyambar. Dan sebelah kakinya kena ditangkap. Agaknya dalam keadaan yang sedemikian fatal itu dia sudah tak hiraukan dirinya lagi.

Sisa-sisa tenaganya dipergunakan untuk membela cucunya, walau dalam keadaan sakit dan tubuh tanpa daksa. Hantaman lengan laki-laki barusan itu telah membuat tulang iganya berderak patah. Akan tetapi semangatnya untuk mempertahankan cucu perempuannya bagaikan semangat seekor banteng luka.

Sayang... semua yang dilakukannya itu tak berarti apa-apa. Bahkan dengan sekali kaki si laki-laki brewok itu bergerak, terlemparlah tubuh si kakek bergulingan ke tengah ruangan. Dan baru berhenti ketika membentur tembok. Terdengar suara teriakan parau menyayat hati, yang kedengarannya amat lemah sekali. Tampak tubuh tua renta itu menggeliat sejenak, lalu terdiam.

Ternyata nyawanya telah melayang dengan seketika. Tulang-tulangnya yang telah rapuh itu tak kuat untuk beradu dengan tembok tebal. Bahkan belakang batok kepalanya telah rengat mencucurkan darah. Tewaslah sang kakek dengan keadaan yang menyedihkan, tanpa diketahui lagi oleh sang cucu perempuannya yang telah tak sadarkan diri.

"Hehehe... kakek tua renta! Kau memang sudah sepantasnya mampus..!" Mendesis si laki-laki itu dengan wajah geram menatap tubuh si kakek yang sudah tak berkutik lagi. Tak ayal segera dibalikkan tubuh, untuk bekelebat tinggalkan tempat itu.

Sementara pertarungan terus berlangsung hingga belasan jurus. Ginanjar telah mendengar suara teriakan Kasmini, akan tetapi untuk melepaskan diri dari rangsakan keempat manusia itu teramat sulit. Salah-salah nyawa bisa melayang. Karena terjangan-terjangan golok mereka benar-benar sebat dan sulit untuk dihindari. Beruntunglah Ginanjar mencekal pedang. Dan dengan pedangnya dia dapat menangkis setiap serangan. Ternyata Ginanjar memang kalah dalam pengalaman bertarung. Jurus-jurus gerak tipu keempat lawannya terkadang membingungkan. Hingga kini dia lebih banyak bertahan dari pada menyerang.

"Hahaha... biarkan saja gadismu itu tak usah kau urusi! Kalau kau mampus toh banyak orang lain yang mengurusi..!" Mengejek Tambi si lakilaki kekar berkulit hitam.

Ginanjar tak perdulikan ocehan orang. Segera dia mulai mencari jalan memecahkan serangan mereka. Untunglah otaknya cerdas. Segera teringat dia akan beberapa jurus yang cukup ampuh yang pernah dipelajari. Tiba-tiba dia telah merobah sikap tempurnya. Kini gerakkan pedang memutar dahsyat hingga keluarkan angin pusaran yang menderu. Inilah jurus Naga Membuyarkan Awan.

Terkejut juga si Empat Iblis Kali Progo, segera mereka mundur beberapa langkah dengan pasang kuda-kuda. Lalu salah seorang memberi isyarat untuk segera bergerak memutar, dan berlompatan dengar gerakan menyilang. Sementara setiap gerakan melompat selalu diiringi dengan tebasan, ke arah kaki.

Mau tak mau Ginanjar sambil putarkan pedangnya berlompatan menghindari serangan-serangan yang datang bergantian itu. Tampak keringat anak muda itu telah mengucur deras. Baru pertama kali bertarung sudah menemukan lawan yang tangguh, bahkan dikeroyok empat orang. Membuat pemuda Lereng Rogojembangan ini jadi benar-benar memeras keringat. Tiba-tiba dia sudah perdengarkan bentakan-bentakannya. Kini sebelah lengannya dipergunakan menghantam ke arah setiap tubuh yang berkelebat menabaskan senjata ke arah kakinya.

Hal tersebut rupanya telah dimaklumi oleh si Empat Iblis Kali Progo. Segera gerakan mereka berubah arah. Kini menyerang secara bergantian ke arah kepala, dengan lompatan-lompatan tingginya. Bersyiuran angin dari setiap tebasan golok lawan mengarah kepalanya.

Ginanjar jadi kertak gigi menahan amarah. Kini sepasang pedangnya bergerak lebih cepat menghantam dan menghalau setiap serangan. Hasilnya memang cukup memuaskan. Karena segera tampak keempat orang lawannya terdesak mundur. Gerakan-gerakan pedangnya adalah yang dinamakan jurus Naga Mengamuk Menerjang Taufan. Tentu saja dengan menggunakan jurus ini Ginanjar telah mengeluarkan banyak tenaga. Namun segera terdengar teriakan tertahan dari salah seorang lawan.

Bret...! Tebasan pedangnya yang bergulung-gulung itu berhasil merobek pundak salah seorang lawan berikut tersobeknya daging lengannya. Darah menyemburat, dan laki-laki bernama Begu Lowo itu meringis memegangi lukanya dan melompat mundur dua tombak.

Tiga orang kawannya menggerung keras. Dan menerjang dengan tebasantebasan gencar dengan arah yang tidak bersamaan. Ada yang mengarah leher, ada yang mengarah pinggang dan mengarah ke kaki. Serangan serentak itu dibarengi dengan hantaman-hantaman sebelah lengannya yang bertenaga dalam kuat.

Tersentak Ginanjar. Kali ini dia harus tak boleh salah perhitungan. Tubuhnya segera melompat melambung setinggi dua tombak. Pedangnya dipergunakan menangkis setiap serangan, sambil elakkan tubuh mengegos. Tapi kali ini satu tabasan tak berhasil dihindari. Ketika tubuhnya meluncur turun, satu hantaman lengan membuat tubuhnya doyong ke belakang. Dan saat itu dipergunakan Tambi untuk menabaskan goloknya.

Bret...! Nyaris pinggang Ginanjar putus tertebas, pada saat itu tak meluncur sebutir batu kerikil menghantam golok Tambi hingga terpental...

Trang...!

Terkesiap laki-laki bernama Tambi itu, karena lengannya bergetar kesemutan. Dan dia tak dapat menahan genggaman goloknya lagi, yang segera terlepas terpental. Dengan terperanjat dia sudah melompat mundur. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya kembali terlempar ke depan dengan perdengarkan teriakan parau menyayat hati, lalu roboh meregang nyawa dengan menggeliat-geliat. Sesaat kemudian dia sudah tewas.

DUA BELAS

MELOMPATLAH seorang dari Empat Iblis Kali Progo untuk memburu kearah kawannya yang satu ini. Setelah memeriksa betapa terperanjatnya ketika melihat pada leher sang kawan, tedapat dua buah lubang sebesar jari tangan yang mengucurkan darah. Siapakah yang telah menyerangnya? Sentak hatinya. Tiba-tiba berkelebatlah sebuah bayangan hijau ke tengah kalangan dibarengi dengan suara tertawa mengikik merdu. Dan sesosok tubuh telah berdiri di situ.

"Hihihi...hihi... tak tahu malu mengeroyok seorang pemuda yang belum tentu kesalahannya! Rupanya aku amat beruntung sekali dapat berkenalan dengan anda yang bernama besar! Ternyata kalianlah yang menamakan diri Empat Iblis Kali Progo...!"

Bukan saja tiga pasang mata Iblis Kali Progo itu saja yang terbelalak, akan tetapi sepasang mata Ginanjar pun terbelalak dengan tubuh terpaku melihat munculnya seorang gadis yang bertubuh semampai, berpinggang langsing, dengan rambut beriapan. Siapakah wanita ini adanya..? Gumam Ginanjar dalam hati. Dia tak dapat menatap wajah orang, karena sosok tubuh itu membelakanginya.

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu sudah balikkan tubuh menatapnya. "Hihihi... kau menyingkirlah, anak muda! Biar aku yang mengirim nyawa mereka ini ke akhirat!"

Terperangah Ginanjar, karena hampir saja dia menyebut nama Roro. Akan tetapi wajah wanita itu tampak kaku dan pucat. Sepasang matanya sipit dengan hidung agak besar. Namun mempunyai perawakan yang hampir mirip dengan saudara seperguruannya itu. Bahkan suaranya bernada mirip sekali. Akan tetapi dia sudah mengangguk, dan segera melompat ke tepi. Sementara hati Ginanjar berkecamuk sendiri, ketiga orang dari Empat Iblis Kali Progo itu telah perdengarkan bentakannya.

"Heh! Kiranya kau yang telah membokong saudaraku..?" Bentak salah seorang.

"Membokong..? Hihihi... hihi.. dalam bertarung tak ada urusan dengan segala macam aturan! Apa lagi menghadapi manusia keji semacam kalian yang sudah aku dengar kejahatannya! Berapa orang gadis didesa wilayah Kadipaten Banjar Mangu yang telah kalian perkosa? Dan berapa orang dari rakyat yang tak bersalah telah kalian aniaya..? Dan ternyata kalian sendiri telah mengeroyok seorang pemuda yang belum tentu bersalah!" Berkata wanita itu dengan suara lantang.

"Kurang ajar! mulutmu harus dihajar dengan ini!" Teriak Reksa yang sudah menerjang diikuti kedua orang kawannya.

Berkelebatan tiga buah golok yang berkilatan menabas dan merencah tubuhnya. Akan tetapi dengan gerakan tubuh terhuyung kesana-kemari serangan mereka sekejapan telah lolos. Terkejut bukan main mereka, karena tampaknya si wanita ini bukannya menggelakkan diri, akan tetapi terhuyung-huyung bagai orang mabuk. Namun nyatanya serangan mereka telah terelakkan dengan mudah.

Segeralah mereka merobah gerakan dengan gerakan memutari tubuh si wanita itu. Sementara senjata-senjata mereka membuat gerakan menebas dan menusuk secara bergantian, disertai bentakan-bentakan keras yang mengacaukan konsentrasi lawan. Akan tetapi tampaknya hal itu tak membawa hasil, karena justru si wanita pergunakan jurus yang aneh. Sepasang lengannya bergerak mengibas keberapa arah.

Terkejutlah ketiga Iblis Kali Progo ini. Karena segera merasai segelombang angin panas telah menerjangnya. Tampak serangan mereka mulai kacau. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik si wanita. Tahu-tahu tubuhnya telah lenyap, karena terbungkus oleh asap kabut yang menghalangi pandangan mereka.

Ginanjar yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi berseru kagum, karena tubuh si wanita bagaikan bayangan telah berada diluar kepungan tanpa setahu ketiga lawannya. Dan saat berikutnya, sudah terdengar suara jeritan-jeritan menyayat hati. Karena lengan si wanita telah bergerak cepat sekali dibarengi kelebatan tubuhnya.

Sekejapan saja tubuh tiga manusia dari Empat Iblis Kali Progo itu telah roboh ke tanah dengan berkelojotan meregang nyawa. Tak berapa lama tiga manusia itu sudah lepaskan nyawa masingmasing, dan berkaparan ditanah dengan bersimbah darah. Sesaat ketika asap kabut mulai menipis kembali tubuh wanita itu telah lenyap entah kemana...

Terkejut Ginanjar dengan mata terbelalak lebar. Seperti melihat hantu saja layaknya. Kejadian itu berlalu begitu cepat, sampai-sampai pandangan matanya tak dapat mengikuti kelebatan tubuh si wanita. Dan tahu-tahu sudah lenyap. Sejenak membuat Ginanjar jadi terpaku. Akan tetapi tubuhnya sudah berkelebat melompat menghampiri ketiga mayat. Ketika memeriksanya, ternyata pada masing-masing leher mereka terdapat dua buah lubang sebesar jarijari tangan.

Tersentak dia seketika. Hatinya berseru kagum, akan tetapi juga ngeri. Karena dengan tangan kosong saja si wanita itu telah berhasil merobohkan ketiga lawannya. Menandakan betapa tingginya ilmu si wanita itu. Bahkan tadi dia telah berhasil diselamatkan nyawanya oleh si wanita misterius itu yang mempergunakan sambitan dengan batu kerikil.

Entah dimana suaranya, tahu-tahu telah terdengar lapat-lapat suara tertawa mengikik si wanita itu dibarengi kata-kata... "Hihihi... hihi... anak muda! Segeralah kau bawa pulang gadismu itu! Dia berada diujung jalan yang menuju kehutan...!"

Tentu saja kata-kata itu membuat terkejut Ginanjar, karena jelas ditujukan kepadanya. Aneh nya suara itu seperti menyusup masuk ketelinganya. Sesaat Ginanjar sudah melompat dari situ, akan tetapi tibatiba dia kembali putarkan tubuh ketika teringat akan si kakek tua renta. Dan kembali berkelebat ke arah reruntuhan gedung tua. Sekejap dia sudah berdiri dimuka pintu. Terbelalaklah matanya melihat sosok tubuh sang kakek yang sudah terkapar bersimbah darah tanpa berkutik lagi.

"Hah!? kakek..!" Dia sudah melompat menghampiri. Tercenung seketika Ginanjar menatap mayat kakek tua renta tanpa daksa yang telah tewas dengan keadaan mengerikan itu. Tak terasa sepasang matanya sudah berkacakaca. Akan tetapi tak lama pemuda itu sudah berkelebat tinggalkan reruntuhan gedung tua itu.

* * * * * * *

"Kasmini...!" Berteriak Ginanjar dengan suara parau, ketika melihat sesosok tubuh tergeletak disisi jalan dengan keadaan tubuh hampir telanjat bulat. Kerena pakaiannya sudah robek-robek disana-sini. Tak jauh dari tubuh gadis itu terkapar sesosok tubuh laki-laki brewok yang tak bernyawa lagi. Ternyata tak lain dari laki-laki yang pernah dihajarnya tadi dibelakang pasar. Dipandanginya mayat laki-laki itu.

Segera Ginanjar teringat kejadian tadi. Sekilas memang dia melihat suara teriakan sang gadis, lalu melihat sang dara ini dalam pondongan laki-laki. Akan tetapi saat itu dia tengah menghadapi terjangan-terjangan si Empat Iblis Kali Progo yang mengancam jiwanya, hingga dia tak berdaya untuk berbuat apa-apa selain bertarung mempertahankan nyawanya.

Keadaan tubuh laki-laki brewok itu amat mengerikan, karena tulang dadanya remuk dan patah-patah mencuat keluar. Sedangkan selangkangannya bersimbah darah. Terperangah seketika Ginanjar. Akan tetapi Ginanjar sudah alihkan tatapannya pada gadis itu lagi.

"Kasmini..!" teriaknya lirih, seraya guncang-guncangkan tubuh sang gadis.

Kasmini tampak membuka sepasang matanya. Ketika melihat siapa yang telah berada dihadapannya, segera saja gadis itu berteriak girang seraya memeluk pemuda itu dengan erat sambil menangis terisak-isak.

"Sudahlah adik..! Bahaya telah lewat! kau telah selamat...!" Berkata Ginanjar dengan wajah memerah, dan jantungnya terasa bergetar karena keadaan tubuh sang gadis dalam keadaan sedemikian rupa. Bahkan sepasang payudaranya yang terbuka memutih padat itu menekan erat ke dadanya.

"Kau... kau benahilah pakaianmu, Kasmini...!" Ujar Ginanjar lirih, seraya mendorong tubuh si gadis.

"Ahh...?" Tersentak sang gadis itu ketika menyadari keadaan tubuhnya. Segera dia beringsut untuk merapihkan sobekan bajunya yang menyingkap dadanya.

Sementara sepasang matanya telah menatap ke arah sesosok mayat laki-laki brewok yang dikenalnya. Segera Kasmini teringat akan kejadian yang menimpanya. "Oh, kaukah yang telah menolongku, tuan muda..? Dan... bagaimana dengan nasib kakekku..?" Bertanya Kasmini seraya palingkan wajah menatap Ginanjar.

Pemuda ini cuma tundukkan wajah sambil menggeleng. "Bukan aku yang telah menolongmu..! Sayang, kakekmu yang malang itu sudah tewas..!" Ujarnya dengan suara lirih.

"Ah., kakek...!" Sentak sang gadis dengan sepasang mata terbelalak. Dan dia sudah terisak-isak lagi dengan air mata bercucuran. "Kalau bukan kau yang menolongku, lalu siapakah...?" Tanya si gadis tiba-tiba, yang segera menengadahkan wajahnya menatap pada Ginanjar.

"Seorang wanita yang berilmu amat tinggi...! Entah siapa aku tak mengetahui...!" Sahut Ginanjar dengan suara lirih, seraya bangkit berdiri dan tatapkan matanya jauh ke arah depan.

Tercenung sang gadis tanpa dapat berkata apa-apa. Desir angin yang lewat ditempat itu menyibakkan rambutnya. Dan Ginanjar masih berdiri memandang jauh kearah sana, sementara hatinya dilanda dengan berbagai macam pertanyaan. Kemanakah gerangan wanita itu ? Siapakah dia..? Suaranya amat mirip dengan Roro, akan tetapi dia bukan Roro! Karena aku masih ingat betul pada raut wajahnya...! Bertanya-tanya hati si pemuda ini dengan tatapan mata seperti tak berkedip. Entah apa yang ditatapnya. Tapi yang jelas wajah cantik saudara seperguruannya itu yang berkelebatan diruang matanya....

* * * * * * *

Tahu-tahu sesosok tubuh telah berkelebat ke hadapannya. Terkesiap pemuda itu, karena sosok tubuh wanita yang menolongnya telah berada ditempat itu.

"Hihihi... mengapa melamun anak muda..? Gadismu itu amat cantik! Mengapa tak kau bawa pulang...? Hari sudah semakin senja! Pulanglah! Ajaklah dia ke tempat tinggalmu. Dan berilah perlindungan padanya..!" Ujarnya, seraya berpaling menatap Kasmini. "Jenazah kakekmu itu kulihat sudah ada yang mengurusnya! Kau nona manis tak perlu mengkhawatirkannya lagi, dia sudah tenang di Alam Baka...!" Ujar si wanita itu dengan suara terdengar merdu.

Cepat-cepat Kasmini bangkit berdiri lalu menjura seraya ucapkan terima kasih atas pertolongannya. Melihat mayat lakilaki brewok itu dan keadaan dirinya yang masih utuh serta penjelasan Ginanjar, segera tahulah dia kalau wanita inilah yang telah menyelamatkannya dari bencana. Ginanjar pun segera menjura hormat.

"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar..! Bolehkan aku mengetahui siapa nama nona Pendekar...?" Tanya Ginanjar dengan amat hati-hati. Sementara tatapan matanya tak lepas memperhatikan wajah wanita itu.

"Hihihi... namaku..." Wanita itu tak meneruskan kata-katanya, karena lengannya sudah bergerak mengupas kulit mukanya. Ternyata dia memakai kulit muka palsu dari bahan karet yang lunak dan tipis. Segera terpampang seraut wajah yang cantik jelita...

"Roro..!" Teriak Ginanjar tiba-tiba, dan sepasang mata Ginanjar sudah membeliak menatapnya.

"Hihihi... aku bukan Roro! Siapa bilang aku Roro..? Kalau ditambahi Centil barulah betul! Namaku memang Roro Centil..!" Berkata gadis cantik itu dengan tertawa mengikik merdu. Dan sebelum Ginanjar sempat berkata apaapa, tubuh sang dara cantik itu sudah berkelebat cepat. Sekejap saja sudah lenyap dari hadapan mereka. Ginanjar baru tersadar dari terperangahnya, dan segera berkelebat mengejar.

"Rooroooooo Rorooooooo...!" Berteriak-teriak Ginanjar. Akan tetapi tubuh sang gadis cantik itu sudah tak kelihatan lagi. Pemuda ini kembali berdiri terpaku menatap ke depan, lalu tundukkan wajahnya. Setitik air bening membersit turun dari sudut matanya. Entah apa yang dirasakannya kini, gembira ataukah bersedih…? Dia telah berhasil menjumpai Roro. Akan tetapi Roro yang telah muncul dihadapannya sudah bukan Roro yang dulu lagi, melainkan Roro Centil yang ilmunya susah diukur tingginya.

Angin senja berhembus pelahan, menyibak rambut didahi pemuda lereng Rogojembangan itu. Ketika sepasang lengan halus menggamit tangannya dan mencekalnya erat-erat, Ginanjar baru tersadar.

Sepasang kakinya pun beranjak melangkah. Ditinggalkannya tempat yang telah membawa kenangan itu dengan hati masygul, akan tetapi bibir sang pemuda telah sunggingkan senyuman. Senyum yang amat trenyuh, karena telah mengingat lagi akan kisah-kisah indah yang lucu di air terjun, di lereng Rogojembangan. Sayup-sayup seperti ada terdengar suara menyusup ke telinganya.

"Ginanjar..! kalau ada kesempatan, datanglah ke Pantai Selatan tahun depan! Aku berada disana..! Oh, ya... jagalah gadismu baik-baik...!"
Selanjutnya,