Dewa Arak - Racun Kelabang Merah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewa Arak - Racun Kelabang Merah

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
HARI menjelang petang. Matahari telah condong ke barat. Tampak dua sosok tubuh masih berada di sebuah tanah lapang. Mereka tengah sibuk dengan urusannya sehingga tidak sadar hari perlahan mulai gelap.

"Lihat baik-baik, Ratih!"

Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tegap dan kekar, berpakaian coklat dengan wajah persegi yang membuatnya kelihatan jantan, berkata setengah memberitahu. Ucapan itu ditujukan pada sosok satunya, seorang gadis cantik berpakaian merah, berambut dikuncir satu dan berusia sekitar dua puluh tahun.

Lelaki berwajah persegi mengambil delapan batang pisau kecil dari balik bajunya. Kemudian, dilemparkannya ke depan. Pisau-pisau itu meluncur dalam satu kelompok. Tapi ketika telah meluncur dua tombak, pisau-pisau itu menyebar mencari arah luncuran sendiri-sendiri.

Sepasang mata gadis berpakaian merah membelalak heran bercampur takjub. Memang ia telah diberitahu kalau delapan batang pisau yang meluncur itu akan menghunjam delapan tempat pada sasaran yang berupa orang-orangan dari jerami.

Tapi sebelum delapan pisau itu mendarat di sasaran, pohon besar berdaun lebat yang berada sekitar enam tombak di depan lelaki bermuka persegi dan gadis berpakaian merah, daun-daunnya berguguran bagai diterpa badai. Anehnya, daun-daun yang rontok itu meluncur ke arah delapan batang pisau, seperti sengaja menghadang.

Prat, prat, prattt!

Delapan batang pisau itu berbenturan dengan daun-daun yang rontok. Terdengar bunyi cukup nyaring seakan-akan daun-daun itu terbuat dari logam. Luncuran pisau-pisau mengendur sedangkan daun-daun runtuh ke tanah. Delapan batang pisau itu kemudian jatuh sebelum mencapai sasaran.

Lelaki bermuka persegi dan gadis berpakaian merah kelihatan terkejut Keduanya langsung menoleh ke sebelah kanan. Rontoknya daun-daun itu bukan karena sewajarnya. Sekitar tiga tombak di sebelah kanan mereka berdiri sesosok tubuh ramping dengan kedua tangan disedakapkan di depan dada. Sikapnya terlihat jumawa sekali!

"Siapa kau gadis usilan?!" Gadis berpakaian merah yang bernama Ratih merasa tersinggung melihat gangguan itu. Sepasang matanya membelalak lebar. Ratih hendak melangkah maju tapi segera diurungkan ketika merasakan sentuhan pada tangannya. Ratih menoleh, menatap lelaki berwajah persegi dengan sorot mata penasaran.

"Sabarlah." Lelaki berwajah persegi berujar halus. "Menuruti kemarahan tidak akan menyelesaikan persoalan."

"Tapi, Ayah." Ratih mencoba membantah. "Apakah kita akan mendiamkan saja tindakannya yang usil itu?"

Lelaki berwajah persegi tersenyum. Ia memberi isyarat agar gadis berpakaian merah yang ternyata putrinya supaya bersabar.

"Siapa kau, Nona Muda? Mengapa mengganggu kami? Sepengetahuanku di antara kita tidak ada permusuhan. Ataukah... kau mempunyai suatu ganjalan denganku?" tanya lelaki bermuka persegi dengan suara halus dan sikap sabar.

"Cuhhh!" Jawaban dari gadis bertubuh ramping yang usianya sebaya dengan Ratih dan mengenakan pakaian hitam pekat adalah meludah dengan sikap kasar.

"Keparat!" Ratih yang memang sejak tadi sudah mendongkol melihat tindakan gadis berpakaian hitam tidak bisa menahan kesabaran lagi. Ia langsung menerjang dan mengirimkan pukulan bertubi-tubi yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring.

Plak, plak, plak!

Tiga kali Ratih menyerang dan tiga kali pula gadis berpakaian hitam menangkis. Akibatnya, tubuh Ratih terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Bahkan, mungkin Ratih akan terbanting ke tanah kalau saja lelaki bermuka persegi tidak keburu mengulurkan tangan menangkapnya.

"Kau jangan sembrono, Ratih. Gadis itu lihai bukan main," tegur lelaki bermuka persegi, kemudian mendorong mundur tubuh putrinya. Lelaki tegap ini menghampiri gadis berpakaian hitam yang kembali bersidekap dengan angkuh.

"Ahhh...!" Lelaki bermuka persegi menoleh kebelakang mendengar jeritan Ratih. Ucapan yang telah berada di ujung lidah dan siap untuk dikeluarkan, ditelannya kembali.

"Ada apa, Ratih?'" tanya lelaki bermuka persegi khawatir.

"Tanganku, Ayah. Perih, panas, dan gatal," beritahu Ratih seraya menunjukkan kedua tangannya.

Wajah lelaki bermuka persegi memucat ketika melihat di kedua tangan putrinya terdapat bercak-bercak menghitam. Sekali lihat saja, lelaki bermuka persegi yang telah kenyang pengalaman ini bisa menduga Ratih telah keracunan. Dan, penyebabnya adalah benturan dengan kedua tangan gadis berpakaian hitam.

"Umurnya hanya sampai sepuluh hari, Dewa Seribu Pisau. Apabila sampai sepuluh hari tidak menemukan obat yang tepat, nyawanya akan melayang ke alam baka. Hi hi hi...!" Gadis berpakaian hitam tertawa dingin ketika lelaki bermuka persegi menoleh ke arahnya.

"Perempuan keji!" Lelaki bermuka persegi yang berjuluk Dewa Seribu Pisau memaki. "Cepat berikan pemunahnya atau kau kukirim ke neraka. Cepat! Jangan sampai aku melupakan kalau kau hanya seorang gadis muda!"

"Hi hi hi. Sombongnya...!" Gadis berpakaian hitam malah tertawa mengejek. Tidak dipedulikannya ancaman Dewa Seribu Pisau. "Kalau tidak tahu siapa sebenarnya kau, mungkin aku akan terharu mendengar ucapanmu, Dewa Seribu Pisau!"

"Apa maksudmu, Perempuan Keji?!" bentak Dewa Seribu Pisau tidak mengerti.

"Maksudku? Jadi, kau tidak tahu yang kumaksudkan, Dewa Seribu Pisau? Tidak tahu, atau pura-pura bodoh."

"Tutup mulutmu, Wanita Liar! Jelaskan maksudmu, cepat!" Dewa Seribu Pisau tidak sabar.

"Baiklah." Gadis berpakaian hitam mengalah. Tapi, terlihat jelas bukan karena takut. "Tidak kusangka dalam usia semuda ini kau sudah pikun. Bukankah tadi kau katakan akan terpaksa bertindak keras padaku kalau aku tidak memberikan pemunah racun untuk putrimu. Bukankah demikian?"

"Benar! Lalu, mengapa?!"

"Berarti kalau aku memberikan obat pemunah racun itu, kau merasa malu untuk menindakku."

"Benar." Dewa Seribu Pisau menjawab ragu-ragu karena tidak mengetahui arah pembicaraan gadis berpakaian hitam.

"Berarti kau merasa malu karena tidak sepadan bertarung dengan seorang gadis sepertiku," kejar gadis berpakaian hitam.

"Tentu saja!" Dewa Seribu Pisau menjawab tegas. "Aku bukan orang yang suka melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang gadis muda!"

Senyum gadis berpakaian hitam lenyap. Sepasang mata yang bening dan indah itu berkilat-kilat memancarkan hawa maut. "Pendusta! Pembohong Besar! Mulutmu tak ubahnya tahi ayam! Yang keluar dari mulutmu bukan ucapan melainkan kotoran!" maki gadis berpakaian hitam "Orang lain mungkin bisa kau bohongi dengan sikap gagahmu. Tapi, aku? Aku tidak akan bisa kau tipu. Lupakah kau dengan seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang kau kejar-kejar untuk dibinasakan? Lupakah kau kalau akhirnya salah satu pisaumu menembus tubuhku? Itukah yang kau katakan kalau dirimu tidak akan bertindak keras terhadap seorang gadis muda? Jangankan terhadap seorang gadis muda. Kepada gadis kecil pun kau sampai hati. Itukah ucapan seorang lelaki gagah?!"

Kata-kata yang meluncur deras dari mulut gadis berpakaian hitam bagaikan gelombang laut. Susul-menyusul. Kata-kata yang keras dan tajam itu membuat wajah Dewa Seribu Pisau berubah-ubah sebentar pucat sebentar merah. Terlihat jelas ucapan itu mempunyai pengaruh besar.

"Sekarang aku ingat." Dewa Seribu Pisau menyahuti setelah terdiam beberapa saat. Suaranya terdengar serak karena kata-kata gadis berpakaian hitam yang tajam telah membuatnya terpukul sekali. "Kau adalah putri Panangkaran yang jahat itu."

"Benar!" Gadis berpakaian hitam menjawab tegas. Lehernya ditegakkan dan dadanya dibusungkan. "Namaku Pertiwi!"

Dewa Seribu Pisau tersenyum pahit. Sekarang dia bisa menduga maksud kedatangan putri Panangkaran itu. Panangkaran, pemimpin gerombolan penjahat yang menciptakan kekacauan di dunia persilatan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan putih yang tewas di tangannya. Hanya berkat persatuan para pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu Pisau, kelompok Panangkaran dapat dihancurkan.

Bahkan, guru Panangkaran, seorang datuk kaum sesat dapat ditewaskan. Sayang, Panangkaran berhasil lolos! Tapi, Dewa Seribu Pisau tidak terlalu khawatir karena yakin Panangkaran tidak berbahaya lagi. Panangkaran telah terluka berat.

"Jadi, kedatanganmu kemari untuk membalas dendam?" Dewa Seribu Pisau mengeluarkan dugaannya.

"Tidak salah!" Pertiwi mengangguk pasti. "Sekarang, bersiaplah untuk menerima kematianmu, Dewa Seribu Pisau!"

Dewa Seribu Pisau tahu Pertiwi bukan lawan yang patut dipandang rendah. Telah disaksikannya sendiri ketika hanya dengan segebrakan Ratih dibuat tak berdaya. Meski demikian, dia bersikap tenang dan tidak mendahului melakukan serangan.

"Hih!" Pertiwi mengulurkan kedua tangannya ke arah pohon besar yang tadi daun-daunnya digugurkan. Dari kedua tangan yang halus dan berkulit putih itu keluar serangkum angin keras. Daun-daun pohon berguguran dan melayang ke bawah. Pertiwi mengeluarkan bentakan nyaring seraya menggetarkan tangannya.

Daun-daun itu berhenti melayang turun, tertahan di udara bagai ditahan kekuatan kasat mata. Sekali lagi gadis berpakaian hitam mengeluarkan pekikan nyaring, yang memaksa Ratih menyeringai karena merasakan kedua telinganya sakit dan dadanya bergetar keras.

"Uh...!" Dewa Seribu Pisau menatap takjub melihat daun-daun yang jumlahnya belasan ini melayang ke arahnya. Tidak cepat. Tapi, lelaki bermuka persegi ini tahu ancaman maut di dalam luncuran daun-daun itu tidak berkurang. Hal lain yang membuat Dewa Seribu Pisau takjub adalah daun-daun itu meluncur beriringan dalam satu lajur!

Dewa Seribu Pisau tidak mau kalah gertak. Dia tahu Pertiwi memiliki tenaga dalam tinggi sehingga mampu melakukan hal demikian. Lelaki bermuka persegi ini tidak menjadi gentar. Bergegas tangan kanannya yang terkepal dipukulkan ke depan. Angin luar biasa keras berhembus dari tangan Dewa Seribu Pisau. Ia hendak meruntuhkan barisan daun-daun yang menuju ke arahnya.

Pertiwi mengetahui maksud lawannya. Lagi-lagi gadis berpakaian hitam ini mengeluarkan pekikan keras. Bagai memiliki nyawa daun-daun itu meliuk ke atas. Masih dalam satu barisan. Pukulan jarak jauh Dewa Seribu Pisau pun meluncur di bawah daun-daun itu!

Dewa Seribu Pisau, apalagi Ratih, terpana melihat kenyataan ini. Pemandangan yang tercipta di hadapan mereka itu merupakan pertunjukan tenaga dalam tingkat tinggi. Tapi meski kaget, Dewa Seribu Pisau tidak kehilangan akal. Dia melompat ke belakang untuk mempertahankan jarak. Lalu, diambilnya delapan batang pisau dan dilemparkan ke arah barisan daun-daun.

Untuk kedua kalinya lelaki bermuka persegi menunjukkan kebenaran julukan yang disan-dangnya. Pisau-pisau yang dilepaskan secara bersamaan itu meluncur seperti dilepaskan satu-persatu. Terdapat tenggang waktu antara luncuran pisau-pisau itu. Dan, semua pisau meluncur ke arah daun-daun yang tengah mengarah pada Dewa Seribu Pisau.

Tapi, betapa terkejutnya lelaki berwajah persegi. Delapan batang pisaunya untuk pertama kali gagal menjalankan tugas. Begitu Pertiwi menggetarkan kedua tangannya, daun-daun itu berpencar. Hal ini menyebabkan pisau-pisau Dewa Seribu Pisau mengenai tempat kosong.

Sebelum Dewa Seribu Pisau tersadar dari perasaan kagetnya, daun-daun yang berpencaran itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang luar biasa hingga menimbulkan bunyi berciutan nyaring. Dewa Seribu Pisau melihat adanya ancaman maut tidak berdiam diri. Dengan mempergunakan kedua tangan dilancarkannya pukulan jarak jauh bertubi-tubi ke arah daun-daun itu.

Usaha Dewa Seribu Pisau memang tidak sia-sia. Beberapa daun-daun itu berjatuhan dalam keadaan sobek dan hancur. Sebagian kecil runtuh terserempet angin pukulan dahsyat itu. Tapi, sebagian besar tetap meluncur ke arahnya. Dewa Seribu Pisau yang tidak ingin kehilangan nyawa melompat ke belakang seraya melontarkan pukulan jarak jauh.

Crap, crap, crap!

"Akh...!" Dewa Seribu Pisau mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika akhirnya beberapa daun yang tersisa menghunjam tubuhnya pada beberapa bagian yang mematikan. Darah mengucur keluar. Lelaki itu menggeliat-geliat sebentar sebelum diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Ayah...!" Ratih yang sejak tadi menyaksikan jalan-nya pertarungan memburu ke arah Dewa Seribu Pisau. Wanita berpakaian merah ini menubruk tubuh ayahnya yang terkapar sambil menangis memilukan.

Pertiwi hanya tersenyum mengejek. Dengan sinar mata berseri dan kepuasan hati tubuhnya dibalikkan dan mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Pertiwi sengaja tidak membunuh Ratih. Bukan karena tidak tega atau kasihan, melainkan karena hatinya yang kejam. Ratih telah keracunan. Dan, racun itu akan menyeret Ratih ke alam baka secara perlahan dengan perasaan tersiksa.

* * *

"Aaa...!" Jeritan panjang menyayat hati membuat lelaki bertubuh jangkung yang tengah sibuk mencangkuli tanah menghentikan pekerjaannya. Padahal, saat itu lelaki setengah baya itu tengah siap menghantamkan mata cangkulnya ke tanah. Cangkul itu jadi berhenti di atas kepala. Ia segera mengarahkan pandangannya ke sebuah rumah sederhana yang berada tak jauh dari tempatnya. Lelaki tinggi kurus ini tengah berada di sawah.

"Eka." Bibir lelaki jangkung itu menggumamkan sebuah nama. Cangkulnya dihempaskan ke tanah. Kemudian, tubuhnya melesat ke arah pondok sederhana tempat suara jeritan tadi berasal. Gerakan lelaki jangkung ini begitu cepat dan ringan.

"Eka...!" Lelaki jangkung ini mengeluarkan teriakan keras. Sepasang matanya membelalak lebar menatap tidak percaya.

Di daun pintu pondok sederhana tertempel sesosok tubuh wanita setengah baya. Kedua tangan dan kakinya terpentang. Tubuhnya menempel karena telapak tangan dan kakinya ditembus pisau tajam sampai ke daun pintu.

Pemandangan itu saja sudah cukup menyeramkan hati. Apalagi, ditambah dengan merayapnya belasan ekor kelabang di sekujur tubuh wanita itu. Melihat wajah wanita setengah baya yang bersemu kehijauan dan kepalanya terkulai, lelaki Jangkung mengetahui wanita setengah baya itu telah keracunan. Sudah pasti karena gigitan kelabang-kelabang hitam itu!

"Keparat!" Setelah sadar dari keterkejutannya, lelaki jangkung menghentakkan kedua tangannya ke depan. Angin keras berhembus. Dan, kelabang-kelabang itu berpentalan tak tentu arah.

"Eka...!" Dengan suara seperti orang merintih, lelaki Jangkung melesat menghampiri. "Binatang dari mana yang telah melakukan kekejian terhadapmu, Eka...?"

Lelaki jangkung tidak berani menyentuh tubuh wanita setengah baya yang bernama Eka. Tubuh Eka mengandung racun mematikan dan dia telah tewas. Meninggal dalam keadaan amat tersiksa.

"Selamat berjumpa lagi, Bagas Pati!"

Lelaki jangkung terlonjak kaget bagai disengat kalajengking mendengar teguran itu. Cepat tubuhnya dibalikkan mencari asal suara. Sikap le-laki berpakaian sederhana ini kelihatan waspada. Pemilik suara itu tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa. Kedatangannya tidak terdengar. "Kau...?!"

Suara lelaki jangkung yang disapa dengan nama Bagas Pati seperti tercekat di tenggorokan. Ketidakpercayaan yang sangat membayang jelas pada wajahnya yang cukup gagah.

"Kenapa, Bagas Pati? Kaget?" Orang yang menyapa Bagas Pati ternyata seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berambut panjang. Sebelah matanya ditutup kain hitam. "Aku yakin kau tidak lupa padaku, Bagas Pati."

Ucapan bernada ejekan itu mampu meredam perasaan kaget Bagas Pati. Sikap dan suaranya terdengar lebih tenang.

"Siapa yang bisa melupakan iblis busuk teramat keji? Sungguh tidak kusangka kau bisa selamat, Panangkaran"

"He he he...!" Laki-laki tinggi besar yang dipanggil Panangkaran terkekeh. "Tentu saja, Bagas Pati. Aku tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum orang-orang yang telah menghancurkan hidupku menerima balasannya. Menerima pembalasan atas kelancangan mereka terhadapku. Dan, kau merupakan salah seorang di antaranya!"

Sepasang mata Bagas Pati menyipit mendengar pernyataan itu. Ada sorot mata. kebencian dan dendam di sana. Wajahnya tampak beringas.

"Sekarang aku mengerti." Bagas Pati berkata dengan suara bergetar. "Pasti kau yang telah melakukan kekejian terhadap istriku. Tidak ada orang lain yang mampu bertindak sekeji ini kecuali kau, Panangkaran!"

DUA

Panangkaran tertawa bergelak memperlihatkan kegembiraan hatinya. "Syukur kalau kau bisa menduga demikian, Bagas Pati," ujar lelaki bermata sebelah ini ringan. "Memang aku pelakunya. Asal kau tahu saja, aku tidak mudah untuk menemukanmu. Berhari-hari aku melacak jejakmu. Kulihat kau tengah sibuk di sawah. Sungguh tidak kusangka kalau di tempat ini kujumpai istrimu. Maksudku semula hendak menunggu kedatanganmu di sini untuk memberikan kejutan. Tapi, niat itu segera ku urungkan. Aku memancingmu datang ke sini melalui istrimu. Sayang sekali, Bagas Pati, kau tidak melihat saat-saat istrimu meregang maut. Ha ha ha. Menyenangkan sekali, Bagas Pati!"

"Jahanam!" Bagas Pati tidak dapat menahan kemara-hannya lagi mendengar Panangkaran menceritakan saat-saat kematian istrinya. Meski tidak melihat, Bagas Pati dapat membayangkan betapa menderita istrinya sebelum maut menjemput Ke-marahan yang melanda Bagas Pati pun tidak bisa dibendung lagi!

Dalam cekaman perasaan marah yang menggelegak Bagas Pati menerjang dengan ilmu-ilmu andalan. Lelaki jangkung ini langsung mengeluarkan serangan maut. Dia melompat dengan tangan kanan menampar ke arah pelipis. Tangan kiri Bagas Pati pun tidak tinggal diam. Tangan itu digerakkan mencengkeram ke arah pusar. Dua buah serangan maut yang amat berbahaya.

Panangkaran hanya mengeluarkan tawa meremehkan. Begitu serangan-serangan maut itu menyambar dekat, lelaki tinggi besar ini bergerak menangkis. Ketika terjadi benturan keras tubuh Bagas Pati terpental ke belakang dengan tangan terasa sakit dan ngilu bukan main.

Bagas Pati menatap Panangkaran dengan sepasang mata membelalak heran. Dilihatnya tidak bergeming dari kedudukannya semula. Lelaki tinggi besar ini tidak terpengaruh dengan benturan yang baru saja terjadi. Ini mengejutkan Bagas Pati! Padahal, ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Dia tahu dulu Panangkaran memiliki kepandaian setingkat dengannya. Ketika bertarung dengannya, Panangkaran terluka amat parah. Tapi, mengapa sekarang Panangkaran memiliki kepandaian dahsyat seakan waktu belasan tahun itu telah dipergunakan untuk melatih diri?

Bagas Pati sendiri meski telah mengasingkan diri dan memilih hidup sebagai petani tetap tidak melupakan ilmu silatnya dan terus berlatih. Bila dibandingkan dengan belasan tahun lalu dia mengalami kemajuan pesat.

Melihat Bagas Pati tidak melanjutkan serangannya, malah tercenung bingung, Panangkaran tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan. Sikap lelaki tinggi besar ini terlihat demikian tenang. Tampaknya, ia merasa yakin dengan kemampuan dirinya akan mampu mengalahkan Bagas Pati!

"Bagas Pati, waktu untukmu menghadap malaikat maut telah hampir tiba. Kau merupakan orang pertama yang mendapat balasan atas hancurnya gerombolan yang dulu kubangun dengan susah payah!"

Panangkaran mengucapkan kata-kata itu dengan berirama, seperti bernyanyi. Bagas Pati yang sebelumnya sudah bersiap untuk melancarkan serangan, mendadak menghentikan gerakannya. Ucapan-ucapan yang dikatakan secara berirama itu mengandung kekuatan dahsyat. Setiap kata yang keluar membuat telinga Bagas Pati mendenging, seperti mendengar ledakan halilintar di dekatnya. Dada Bagas Pati berge-tar. Bahkan, kedua kakinya berdiri goyah.

Pengaruh yang melanda Bagas Pati semakin menjadi-jadi ketika Panangkaran mengulang perkataannya. Bagas Pati yang merupakan tokoh persilatan dengan pengalaman segudang segera tahu Panangkaran telah mengirim serangan tenaga dalam. Tentu saja Bagas Pati tidak ingin mati konyol. Dia segera duduk bersila mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh ucapan yang dikeluarkan dengan berirama itu.

Pertarungan adu tenaga dalam pun berlangsung. Panangkaran terus mengulang perkataannya. Bagas Pati semakin tenggelam dalam semadinya. Maka beberapa saat tidak terjadi apa pun. Tapi ketika Panangkaran mengulang perkataannya untuk kelima kali, wajah Bagas Pati mulai dibanjiri peluh. Wajah yang semula merah padam tampak semakin merah. Bahkan, dari atas kepala Bagas Pati mengepul uap putih. Semakin lama semakin tebal. Lelaki jangkung ini telah mengerahkan tenaga dalam melewati batas.

"Menggunakan kemampuan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain merupakan perbuatan tidak terpuji!"

Perkataan yang diucapkan tidak keras tapi mengandung getaran yang menyelusup sampai jauh ke dalam dada terdengar di saat-saat kea-daan Bagas Pati semakin mengkhawatirkan. Seperti juga Panangkaran yang mengulang-ulang perkataannya. Seruan yang terdengar belakangan itu juga diulang-ulang. Pemilik suara itu mengekor ucapan Panangkaran.

Panangkaran menggeram di dalam hati. Ada orang yang menghalangi perbuatannya untuk membunuh Bagas Pati. Seruan orang itu mengandung pengaruh yang menentang ucapan Panangkaran. Bahkan, Panangkaran merasakan kekuatan tak nampak menyelusup di dalam telinga dan menyakitkan gendang telinganya. Seruan yang keluar dari orang yang memiliki tenaga dalam tinggi.

Berbeda dengan Panangkaran, Bagas Pati mendapat keuntungan. Setelah seruan-seruan kedua terdengar, pengaruh yang mengungkungi Bagas Pati mulai berkurang. Semakin lama pengaruh itu semakin menghilang sehingga Bagas Pati menghentikan pengerahan tenaga dalamnya.

Sementara beberapa tombak di depan Bagas Pati, Panangkaran masih sibuk mengeluarkan perkataannya. Bahkan, Panangkaran menambah kekuatan tenaga dalam karena pemilik seruan yang tidak terlihat itu terus berkata-kata. Wajah Panangkaran mulai merah padam. Dan, bertambah merah. Seruan-seruan yang keluar dari mulutnya semakin melemah. Sebaliknya, seruan yang keluar belakangan semakin menguat. Bahkan, seperti bergema ke sekitar tempat itu.

"Huakh...!" Panangkaran memuntahkan darah segar ketika memaksakan diri untuk melawan. Tubuh lelaki tinggi besar ini terbungkuk-bungkuk ketika cairan merah kental itu keluar dari mulutnya. Seiring dengan keluarnya darah dari mulut Panangkaran, seruan yang terdengar belakangan itu pun lenyap.

"Kalau bukan pengecut, keluar kau orang usil...!" Tanpa mengenal takut sama sekali, Panangkaran berteriak cukup keras. Panangkaran tidak mau mengerahkan tenaga dalam. Saat itu dia telah terluka cukup parah. Apabila memaksakan diri, luka dalam yang dideritanya akan bertambah parah. Mungkin akan menyebabkan nyawanya melayang ke alam baka.

Baru saja Panangkaran selesai meneriakkan kata-katanya, dari balik kerimbunan semak-semak melesat keluar sesosok tubuh berpakaian ungu, Sosok itu bertubuh tegap dan kekar. Wajahnya tampan, ia mengayunkan kaki dengan tenang menghampiri Panangkaran.

"Aku bukan seorang pengecut, Sobat. Aku sengaja menyembunyikan diri karena tidak ingin dikenal. Aku tidak mau mencari permusuhan," ujar pemuda berpakaian ungu yang memiliki rambut putih keperakan.

"Tidak usah bicara berputar-putar, Pemuda Usilan!" tegas Panangkaran lantang. "Kau telah mencampuri urusanku, itu sama dengan menantangku. Kali ini aku mengaku kalah. Tapi, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Aku, Panangkaran, tidak bisa menerima kekalahan! Apalagi di tangan orang semuda kau. Kalau kau bukan pengecut perkenalkan dirimu!"

Pemuda berambut putih keperakan itu mengernyitkan alisnya dengan sikap tidak senang. Dua kali Panangkaran berkata, dua kali pula lelaki tinggi besar itu memakinya pengecut. Mau tidak mau, pemuda berambut putih keperakan itu memperkenalkan diri.

"Sudah kukatakan aku tidak ingin mencari permusuhan. Tapi kalau kau ingin mengenalku, namaku Arya Buana. Dunia persilatan memberikan julukan padaku. Dewa Arak itu julukanku!" tandas pemuda berambut putih keperakan.

Wajah Panangkaran berubah hebat mendengar jawaban itu. Meski baru kembali ke dunia ramai, lelaki tinggi besar ini telah mendengar nama besar Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan. "Ternyata berita yang kudengar itu benar." Panangkaran tersenyum pahit "Kau memang seorang pendekar yang luar biasa. Tapi tunggulah, Dewa Arak. Saat kekalahanmu segera tiba. Selamat tinggal!"

Dengan sikap yakin Dewa Arak akan membiarkan pergi dengan selamat, Panangkaran membalikkan tubuh dan melesat pergi dengan langkah agak terhuyung.

Dewa Arak hanya memandangi saja kepergian Panangkaran. Sikap Panangkaran yang terlalu yakin membuat Arya tidak melakukan pengejaran. Panangkaran memperlihatkan sikap kalau dirinya mempercayai Dewa Arak.

Arya membalikkan tubuh dan mengalihkan perhatian dari tubuh Panangkaran yang lenyap ditelan kejauhan ketika mendengar bunyi menggelogok. Dilihatnya Bagas Pati duduk bersila dan memuntahkan darah segar. Tampaknya, ia mengalami luka dalam yang amat parah. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini bergegas menghampiri. Ia ingin memberi pertolongan. Dan, cara yang paling tepat adalah dengan menyalurkan tenaga dalam.

Tapi Arya menghentikan maksudnya ketika melihat lelaki jangkung itu menggeliat. Ternyata seekor kelabang hitam telah menggigit kakinya. Kelabang itu memiliki racun yang mematikan. Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dia tidak mau mengambil resiko mengobati keracunan dengan arak dalam gucinya. Arya tahu Panangkaran sebagai pemilik kelabang pasti memiliki pemunahnya. Pemuda berambut keperakan ini segera melesat ke arah Panangkaran tadi pergi.

Tapi, belum berapa jauh Arya meninggalkan Bagas Pati yang sibuk dengan semadinya terdengar suara bentakan dari belakang.

"Penjahat keji...! Jangan pergi kau...!"

Menduga seruan itu ditujukan padanya, Arya menghentikan larinya. Tapi sebelum tubuhnya dibalikkan pemuda berambut putih keperakan ini merasakan desiran angin di atas kepalanya. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu pemilik seruan itu tengah melompa-tinya. Maka, dia bersikap tenang dan mengarah-kan pandangan ke depan.

Dua tombak di depan Arya mendarat ringan sesosok tubuh tegap pemuda berpakaian coklat. Arya tidak merasa terkejut melihat pemuda itu menjejakkan kaki tanpa menimbulkan bunyi sedi-kit pun. Yang membuat Arya kaget, tapi tidak di tampakkan pada wajahnya yang tetap kelihatan tenang, adalah seruan yang ditujukan padanya. Benak Arya segera teringat pada Bagas Pati yang ditinggalkannya. Mungkinkah seruan tadi ada hu-bungannya dengan hal itu?

"Mengapa kau menghadang perjalananku, Sobat? Dan, apakah maksud ucapanmu tadi? Seruan itu kau tujukan padaku?" tanya Arya tenang, tidak langsung mengajukan dugaan.

"Penjahat keji terkutuk!" Pemuda berpakaian coklat yang berusia sekitar dua puluh satu tahun, bertubuh pendek kekar dengan kumis tebal melintang, menggeram keras bagai binatang buas terluka.

"Kalau tidak kau yang mati, aku yang akan menjadi mayat di sini." Pemuda berpakaian coklat membuka serangan dengan tendangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan kaki kanan dan kiri. Suara angin menderu keras mengiringi serangan itu.

Dewa Arak tahu pemuda berpakaian coklat ini tidak bisa diberikan penjelasan dengan kata-kata, tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan perlawanan. Serangan-serangan pemuda berpakaian coklat hebat bukan main. Arya tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Melihat pemuda berpakaian coklat memiliki kepandaian hebat, ia memutuskan akan mengukur kekuatan lawan.

Pemuda berpakaian coklat membuka serangannya dengan tendangan bertubi-tubi. Suara angin menderu mengiringi serangan itu. Melihat pemuda berpakaian coklat memiliki kepandaian lumayan, Arya jadi timbul rasa ingin tahunya. Ia pun memutuskan ingin menjajal kekuatan lawan!

Duk, dukkk, dukkk!

Suara keras terdengar berkali-kali ketika sepasang kaki Arya berbenturan dengan kaki pemuda berpakaian coklat. Tubuh pemuda berpakaian coklat terhuyung-huyung ke belakang dengan seringai kesakitan di wajahnya. Sedangkan Arya hanya bergetar. Pemuda berpakaian coklat menggeram keras. Dia tampak sangat marah.

"Pantas ayahku dapat kau kalahkan. Ternyata kau memiliki kepandaian hebat. Tapi, itu tidak membuatku jadi gentar, Penjahat Keji!" Pemuda berpakaian coklat kembali menyerang. Arya meladeninya. Pertarungan kedua tokoh muda. yang sama-sama lihai itu pun berlangsung sengit.

Arya semakin mengetahui kalau kepandaian pemuda berpakaian coklat ini memang amat tinggi. Sungguh pun jika mengerahkan seluruh kemampuannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' lawan akan dapat dikalahkan, tapi itu membutuhkan waktu yang lama. Itu pun harus melukainya dengan cukup berat. Arya tidak menginginkan hal itu. Pemuda berpakaian coklat ini hanya salah paham. Maka, ketika lagi-lagi pemuda berpakaian coklat melancarkan serangan dengan pukulan telapak tangan terbuka, Arya menyambutnya.

Bresss!

Tubuh pemuda berpakaian coklat terjengkang lalu terguling-guling di tanah. Sedangkan tubuh Arya bergoyang-goyang. Arya yang memang tidak ingin melanjutkan pertarungan memanfaatkan kesempatan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang dan melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda berpakaian coklat tidak menginginkan Dewa Arak kabur. Dengan kepala masih pusing dan pandangan berkunang-kunang dia melesat mengejar.

Tapi, karena Arya telah lebih dulu dan kecepatan lari pemuda berambut putih keperakan itu di atas lawannya, dalam waktu singkat Arya telah lenyap dari pandangan. Tinggal pemuda berpakaian coklat dengan perasaan geram. Sorot mata memancarkan kebencian menatap ke arah lenyapnya Dewa Arak.

"Penjahat Keji, dengarlah...! Sampai ke ujung dunia pun kau akan kucari...!"

"Ayaaah...! Ibuuu...!" Sambil berseru keras seorang pemuda ber-pakaian kuning melesat ke arah tempat di mana tubuh Bagas Pati dan Eka berada.

Pemuda itu menatap berganti-ganti pada Bagas Pati dan Eka. Sorot matanya penuh perasaan sedih dan penyesalan. Pemuda bertubuh tinggi kekar ini melihat ibunya telah tewas. Tidak ada yang dapat dilakukannya lagi untuk menyelamatkan Eka. Maka, pandangannya dialihkan pada Bagas Pati yang tergolek lemah di tanah. Napasnya masih ada. Keadaan lelaki jangkung ini terlihat sangat payah. Wajahnya telah bersemu kehijauan seperti halnya wajah Eka.

"Keparat!" Pemuda berpakaian kuning memaki. Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat menatap penuh dendam pada kelabang-kelabang hitam yang berkeliaran di sekujur tubuh Bagas Pati.

Pemuda berpakaian kuning lalu bertepuk tangan sekali. Kelabang-kelabang yang tengah asyik bermain itu terangkat semua. Kemudian, melayang ke belakang menjauhi tubuh Bagas Pati. Setelah itu kedua tangan pemuda itu digosok-gosokkan.

Sekelebatan sinar dari tangannya menyambar ke arah kelabang-kelabang yang masih tergantung di awang-awang. Terdengar bunyi letupan kecil disusul dengan bunyi sangit seperti dag-ing terbakar. Kelabang-kelabang itu dalam sekejap telah menjadi arang dan hancur tertiup angin.

"Ayaaah...!" Pemuda berpakaian kuning lalu mendekati Bagas Pati. Ayahnya tidak bisa diselamatkan lagi. Napas lelaki jangkung itu tinggal satu-satu.

TIGA

"Ludiga...." Hampir tidak terdengar ucapan Bagas Pati. Bibirnya yang telah pucat bergerak pelan.

Pemuda berpakaian kuning yang tahu ayahnya ingin menyampaikan pesan terakhir sege-ra mendekatkan telinganya pada mulut lelaki jangkung itu.

"Syukur kau datang. Aku, terutama sekali ibumu, sangat rindu padamu. Aku gembira masih sempat bertemu denganmu, meski ibumu tidak dapat bertemu muka denganmu. Sekarang kau bukan lagi bocah berusia sepuluh tahun seperti dulu, Ludiga. Aku yakin kau telah memiliki kepandaian tinggi. O ya, bagaimana kabar gurumu, Eyang Sapta Geni?"

"Baik, Ayah. Guru titip salam untuk Ayah," jawab Ludiga dengan suara tercekat di tenggorokan karena perasaan haru dan sedih. Kedatangannya kurang cepat.

"Kuterima salamnya, Ludiga. Dan, kuminta kau suka menyampaikan salamku padanya bila bertemu nanti," ucap Bagas Pati. Suaranya semakin pelan.

Ludiga mengangguk menyetujui permintaan ayahnya "Katakan, Ayah, siapa yang telah melakukan kekejian ini? Aku berjanji akan menuntut balas atas kekejian yang telah dilakukannya."

Sepasang mata Bagas Pati semakin redup seakan kehilangan sinar. "Panangkaran...."

"Panangkaran...?!" Ludiga mengulang jawaban Bagas Pati, meminta kepastian. "Maksud Ayah, Panangkaran yang sepuluh tahun lalu perkumpulannya dihancurkan oleh kelompok pendekar? Panangkaran..." Ludiga menghentikan ucapannya ketika melihat kepala Bagas Pati terkulai. Lelaki jangkung itu telah meninggal. "Ayah...!"

Ludiga mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya berharap terjadi suatu keajaiban. Ia tidak percaya Bagas Pati telah meninggal. Pemuda ini baru percaya ketika tubuh yang diguncang-guncang itu tidak memberikan tanggapan.

* * *

Tanpa ada beban batin sama sekali Dewa Arak melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu ke mana harus menuju. Kesantaian sikap pemuda itu langsung buyar ketika melihat beberapa sosok di depannya.

Jarak antara dua sosok itu dengan Arya tak kurang dari lima puluh tombak. Tapi, itu tidak menjadi halangan bagi Arya untuk mengenali sosok-sosok yang tengah berkejaran itu. Sepasang mata Arya tajam bukan main, sehingga bisa melihat dengan jelas. Apalagi arah yang dituju dua sosok itu adalah tempat Arya berada.

Dua sosok itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Dalam sekejap mereka telah berada dekat dengan Arya. Sosok pertama seorang gadis cantik berpakaian serba hitam. Rambutnya dikuncir. Sedangkan sosok kedua seorang kakek berjenggot panjang putih dan berpakaian putih. Meski dari jenggotnya bisa diketahui kalau usia kakek ini telah sangat tua, tapi wajahnya masih kelihatan segar.

Gadis berpakaian hitam itu tak lama lagi akan terkejar lawannya. Arya yang tidak bisa melihat tindak ketidak-adilan segera memutuskan untuk campur tangan. Sekali Arya menjejakkan kaki, tubuhnya telah berada di antara gadis berpakaian hitam dan pengejarnya. Hal ini memaksa kakek berjenggot putih menghentikan pengejaran.

"Tunggu sebentar, Kek," cegah Arya seraya menjulurkan tangan kanan mencegah.

Sepasang mata kakek berjenggot putih mencorong tajam. Kalau saja sinar mata dapat diandaikan dengan sebuah serangan, tentu saat itu Arya tengah menghadapi serangan dahsyat.

"Pantas betina jahat itu melarikan diri kemari. Pantas juga dia berani melakukan tindakan kejahatan. Rupanya dia mempunyai pembela. Sudah kepalang tanggung usahaku, kau pun harus kulenyapkan, Anak Muda!"

Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang tidak mengerti ucapan-ucapannya, kakek berjenggot putih menudingkan jari telunjuk kanannya. "Menyingkirlah, Anak Muda. Jangan halangi tindakanku. Atau, aku terpaksa bertindak kasar terhadapmu."

"Sayang sekali, Kek." Arya tersenyum lebar. "Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku tidak pernah membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku."

"Kalau begitu, kau lebih dulu yang harus kusingkirkan, Anak Muda!" Kakek berjenggot pu-tih menggeram. Tidak bisa menahan perasaan tidak sabarnya. "Lihat! Harimau milikku akan menyerangmu...!"

"Uh...?!" Arya berseru kaget Tiba-tiba muncul seekor harimau putih menerkamnya sambil mengeluarkan auman keras. Dewa Arak bingung. Harimau besar itu muncul ketika kakek berjenggot putih menudingkan jari telunjuk ke arahnya.

Arya tidak sempat berpikir panjang lagi. Jarak yang terlalu dekat membuat terkaman ha-rimau besar langsung mengancam keselamatan-nya. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke samping dan bergulingan di tanah. Elakannya membuat serangan harimau besar itu luput.

Dengan kecepatan seorang ahli silat yang luar biasa, Arya melentingkan tubuh dan menjejak tanah dengan kedua kaki. Arya bersiap menghadapi serangan selanjutnya. Tapi, kesiap-siagaan pemuda berambut pu-tih keperakan ini sia-sia. Tidak ada serangan susulan. Jangankan harimau putih besar, kakek berjenggot putih itu pun sudah tidak berada di situ lagi. Harimau putih besar lenyap tidak ketahuan ke mana perginya. Sementara kakek berjenggot putih telah berada belasan tombak di depan, mengejar gadis berpakaian hitam yang telah pergi cukup jauh.

Arya segera sadar kakek berjenggot putih telah mengakalinya dengan mempergunakan ilmu sihir. Harimau besar itu hanya khayalan yang diciptakan dengan sepotong ranting kering. Harimau ciptaan itu terwujud ketika kakek berjenggot putih berseru sambil menudingkan jari telunjuknya pada ranting kering itu.

Arya segera melakukan pengejaran. Seluruh ilmu lari cepatnya dikeluarkan, karena dia melihat sendiri betapa cepatnya lari kakek berjenggot putih. Maksud Arya menyusul kakek itu tidak kesampaian. Betapa pun keras usahanya jarak antara mereka tidak berubah. Kakek itu ternyata memiliki ilmu lari cepat yang tidak berada di bawah kemampuan Arya.

Bahkan akhirnya ketika medan yang dilalui kakek berjenggot putih berupa alang-alang tinggi yang lebat, Dewa Arak kehilangan jejak. Pemuda berambut putih keperakan ini berdiri tegak mengamati sekelilingnya. Arya memusatkan perhatian pada pendengaran. Barangkali saja bisa mendengar bunyi-bunyi yang bisa dijadikan petunjuk di mana kakek berjenggot putih berada.

Arya terkejut ketika mendengar suara-suara aneh. Pendengarannya yang tajam mendengarnya secara jelas.

"Arak enak...! Arak Nikmat...! Nyam, nyam, nyammm...!"

Arya tidak segera melesat ke arah asal suara itu. Dia tercenung sebentar, berpikir. Beberapa saat kemudian, setelah diyakini tidak ada ruginya untuk melihat, pemuda berambut putih keperakan itu melesat ke sana. Dalam beberapa kali lesatan Arya berhasil menjumpai asal suara itu. Pemuda berambut pu-tih keperakan ini tertegun heran. Ayunan kakinya terhenti.

Dalam jarak sekitar lima tombak, duduk bersandar di bawah sebatang pohon seorang kakek berkulit putih seperti dikapur. Pakaiannya tebal. Terbuat dari bulu binatang. Kulit binatang itu juga membungkus kedua tangan, kaki, dan kepalanya. Hanya muka saja yang tidak tertutup.

Arya terheran-heran melihat tingkah kakek berkulit putih. Suasana di persada tengah panas bukan main karena sang surya saat itu berada tepat di atas kepala. Pada cuaca seperti itu seharus-nya setiap orang berpakaian ringkas kalau tidak ingin kegerahan. Tapi, kakek berkulit putih aneh itu tidak demikian. Bahkan, terlihat beberapa kali kakek itu melipat kedua tangannya di depan dada seperti Orang kedinginan. Aneh!

Tiba-tiba kakek yang sejak tadi menundukkan kepalanya mengangkat wajah dan menatap ke depan. Meski sebelumnya sudah menduga kakek yang hampir sekujur tubuhnya tertutup pakaian bulu tebal ini bukan orang sembarangan, Arya sempat kaget ketika melihat sepasang mata kakek itu. Mata itu mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata harimau dalam gelap!

"Tidak usah ragu-ragu, Pendekar Muda." Kakek berpakaian bulu tebal membuka suara. Tidak tampak rasa kaget ketika melihat Dewa Arak. Seakan keberadaan pemuda itu sudah diketahui sebelumnya. "Mari minum arak bersamaku!"

Kakek itu menggerakkan tangan seperti orang mengusir nyamuk. Perlahan sekali seperti tidak mengandung tenaga dalam. Tapi, gelas bambu yang ada di dekatnya terangkat ke atas bagai ada kekuatan tidak nampak yang mengangkatnya.

Gelas bambu itu terus melayang naik sampai setinggi setengah tombak, lalu berhenti. Kemudian, perlahan-lahan gelas bambu itu bergerak miring. Arak yang berada di dalam gelas meluap keluar dan jatuh ke bawah. Arya yang menyaksikan pertunjukan ini mengetahui arak itu tidak jatuh tepat di mulut kakek berpakaian bulu tebal. Luncuran arak akan membasahi tanah di depan kakek itu.

Tapi, beberapa jengkal sebelum arak mencucuri tanah, terjadi pemandangan yang membuat wajah Arya berubah. Luncuran arak itu kembali ke atas dengan gerakan melengkung. Kemudian, meluncur ke arah mulut kakek berpakaian bulu tebal secara menyerong ke kanan. Dengan tepat-nya arak itu masuk ke dalam mulut kakek berpakaian bulu tebal.

"Mengapa masih berdiam diri, Pendekar Muda?" Kakek berpakaian bulu tebal kembali mengalihkan perhatian pada Dewa Arak ketika melihat pemuda itu berdiam diri memandangi perbuatannya.

Arya belum memberikan tanggapan. Dia tidak tahu siapa kakek berpakaian bulu tebal ini, dan berasal dari golongan mana.

"Mungkin kau merasa malu, Pendekar Muda. Baiklah, untuk menghilangkan perasaan itu mungkin aku bisa membantumu sedikit."

Kakek berpakaian bulu tebal menudingkan jari telunjuk kirinya pada guci arak yang berada di depannya. Guci arak itu terangkat naik dan melayang mendekati gelas bambu yang telah kosong. Begitu berada tepat di atas gelas bambu, guci itu bergerak miring menumpahkan arak ke dalam gelas. Baru ketika gelas bambu telah penuh, guci itu kembali berdiri seperti berada di atas tanah. Kemudian, guci itu melayang turun dan mendarat di tanah dengan pelan. Isinya tidak tumpah sedikit pun.

Kakek berpakaian bulu tebal menggenggam gelas bambu sebentar, lalu dikibaskannya. Gelas bambu yang berisi arak itu meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Dewa Arak. Tidak sedikit pun arak memercik keluar dari gelas bambu!

Arya merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat. "Kau terlalu baik hati, Kek. Sebenarnya aku sedang tidak ingin minum. Tapi, tidak ada salahnya kalau hanya segelas."

Dengan tenang, pemuda berambut putih keperakan itu mengulurkan tangan bersiap menerima gelas bambu yang meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

Tappp!

Gelas bambu itu berhasil ditangkap Arya. Tangan pemuda berambut putih keperakan itu sampai bergetar. Tapi, tidak ada arak yang tumpah. Di dalam hatinya, Arya terkejut bukan main. Kakek berpakaian bulu tebal memiliki tenaga dalam luar biasa. Bukan hanya dari pertunjukan tenaga dalam yang disaksikannya, tapi juga dari kuatnya lontaran gelas bambu. Arya merasakan isi dadanya bergetar.

Meski sebenarnya tidak ingin main-main dengan kakek ini, Arya tidak dapat memendam ingin tahunya. Timbul keinginan di hati Dewa Arak untuk menguji dengan tenaga dalam miliknya. Kakek itu sendiri yang telah memulainya. Dia hanya melayani tantangan itu. Keputusan itu membuat Arya menatap wajah kakek berpakaian tebal dengan wajah berseri-seri.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek."

Setelah menganggukkan kepala mengucapkan terima kasih, Arya menuang gelas bambu yang berisi arak ke mulutnya. Tidak hanya miring, tapi mulut gelas sampai menghadap ke bawah! Kendati demikian arak yang berada di dalam gelas tidak mau tumpah keluar. Memercik pun tidak. Arya membiarkan keadaan ini beberapa saat lamanya.

"Sayang sekali, Kek, rupanya arak ini tidak ingin kuminum. Jadi, aku tidak bisa menerimanya. Biarlah kukembalikan padamu!"

Arya menggetarkan tangan yang menggenggam gelas setelah terlebih dulu membalikkannya kedudukan mulut gelas. Dari dalam gelas bambu mencelat keluar arak. Tidak berupa cairan, melainkan gumpalan lonjong yang lunak. Arak itu meluncur ke arah kakek berpakaian tebal dalam keadaan bergoyang-goyang.

Kakek berpakaian tebal terkekeh pelan. "Berita yang tersebar mengenai kelihaianmu ternyata tidak hanya kabar kosong, Dewa Arak. Kau memang cukup lihai!"

Sambil berkata demikian, kakek berpakaian tebal mengulurkan kedua tangan ke depan. Gumpalan Arak yang semula tertuju ke wajahnya telah berganti arah. Kini, meluncur ke bawah menuju guci yang tutupnya terbuka. Bak dituangkan, gumpalan arak itu masuk ke dalam guci!

"Terima kasih atas pujianmu, Kek. Sayang sekali aku tidak bisa berlama-lama di sini. Masih ada urusan lain yang perlu kuselesaikan. Maaf!" Setelah menjura memberi hormat, Arya membalikkan tubuh dan siap meninggalkan tempat itu.

"Tunggu, Dewa Arak...!"

EMPAT

Seruan itu terdengar sangat meminta sehingga Arya tidak tega untuk berlalu. Pemuda berambut putih keperakan itu menahan ayunan kakinya yang slap dilangkahkan. Tubuhnya kembali dibalikkan.

"Aku akan membiarkanmu pergi apabila kau bersedia menyambut satu seranganku. Apakah kau berani, Dewa Arak?" tantang kakek berpakaian tebal sebelum Arya membuka suara.

Arya mengernyitkan alis. Dia tidak punya pilihan lain karena kakek yang cerdik itu telah memaksanya dengan menggunakan kata-kata, apakah dirinya berani. Bila Arya menolak, itu berarti mengaku takut. Padahal, kata takut merupakan pantangan terbesar seorang pendekar!

"Kau tidak memberikan pilihan lain padaku, Kek," jawab Arya tersenyum pahit.

"Jadi..., kau bersedia menerima tantanganku, Dewa Arak?" Kakek berpakaian tebal tersenyum penuh kemenangan.

Arya hanya bisa menganggukkan kepala sedikit tanda mengiyakan.

"Bagus! Bersiaplah menerima seranganku ini. Perlu kau ingat, taruhannya adalah nyawamu! Jadi, bersikap sungguh-sungguhlah kalau kau masih ingin menghirup udara dunia ini!"

Lagi-lagi Arya hanya memberikan sambutan berupa senyuman pahit. "Boleh aku mengajukan sebuah permintaan?"

"Silakan, Dewa Arak." Kakek berpakaian tebal langsung menyanggupi. "Selama aku bisa memenuhinya. Anggap saja ini sebagai imbalan atas kesediaanmu menerima tantanganku."

"Aku hanya ingin tahu, mengapa kau begitu ingin bertarung denganku. Juga, siapa kau sebenarnya, Kek?"

"Heh he he...!" Kakek berpakaian tebal terkekeh. "Pertanyaan-pertanyaan yang bagus, Dewa Arak. Aku akan menjawab dengan senang hati. Aku mulai dengan siapa diriku ini. Aku tidak setenar dirimu, Dewa Arak. Mungkin kau tidak pernah mendengar julukanku. Tapi, sekitar tiga puluh tahun yang lalu orang menjulukiku Malaikat Salju!"

Wajah Arya agak berubah mendengar julukan itu. Julukan Malaikat Salju telah pernah didengarnya dari tokoh-tokoh angkatan tua. Seorang tokoh aneh yang tidak bisa ditebak sifatnya. Tapi yang jelas seorang tokoh golongan putih. Arya tidak pernah menyangka akan berjumpa dengan Malaikat Salju. Tokoh yang terkenal sekali puluhan tahun lalu.

"Aku pernah mendengar julukanmu, Kek. Kau terlalu merendah. Dibandingkan dengan julukanmu, julukan yang kumiliki bukan apa-apa," jawab Arya sejujurnya.

"Lupakanlah." Kakek berpakaian tebal mengibaskan tangan. "Maksudku bermain-main denganmu hanya karena keisengan belaka. Aku tertarik mendengar dunia persilatan gempar dengan kemunculanmu. Ingin kubuktikan sendiri kelihaian seorang tokoh yang mempunyai julukan demikian menggemparkan."

"Hanya itu, Malaikat Salju?" desak Arya menyebut julukan kakek berpakaian tebal.

Arya tidak merasa heran seandainya Malaikat Salju menganggukkan kepala membenarkan pertanyaannya. Pemuda ini telah memiliki pengalaman luas. Di dunia persilatan banyak tokoh-tokoh sakti yang mempunyai watak aneh. Misalnya, keranjingan bertarung untuk menentukan siapa yang lebih unggul, meski taruhannya nyawa yang melekat di badan Malaikat Salju menggelengkan kepala.

"Tidak hanya itu, Dewa Arak. Aku menantangmu bertarung karena ingin merasakan sendiri kelihaianmu yang dapat mengalahkan murid adik kandungku."

"Siapa orang yang kau maksudkan, Malaikat Salju?"

"Panangkaran..."

"Panangkaran?!"

"Lelaki bermata sebelah yang belum lama kau kalahkan." Malaikat Salju menambahkan keterangannya.

Kali ini Arya tidak kebingungan lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung teringat.

"Kurasa masalahnya sudah jelas. Sekarang bersiaplah, Dewa Arak!" Malaikat Salju lalu duduk bersila.

Arya mengikuti tindakan kakek berpakaian tebal. Ia tidak berani memandang rendah karena telah bisa mengira-ngira Malaikat Salju merupakan lawan yang amat tangguh. Malaikat Salju tidak mempedulikan sikap Dewa Arak. Bahkan, seperti tidak melihat kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah siap untuk bertarung. Dengan caranya yang luar biasa kakek itu mengisi dua buah gelas bambu di dekatnya dengan arak hingga penuh. Kemudian, digenggamnya gelas bambu itu dengan kedua tangan.

"Aku sudah sangat tua, Dewa Arak. Usiaku sudah lebih dari seratus tahun. Jadi, bisa kau perkirakan sendiri urat-urat dan tulang-tulangku telah lemah. Aku tak akan kuat bertanding ilmu silat. Maka, aku hanya bisa mengajakmu bertarung seperti ini."

Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak dan seperti tidak membutuhkan persetujuan pemuda itu, Malaikat Salju menggerakkan pahanya ke bawah. Bagaikan memiliki roda pada pantatnya, tubuh kakek berpakaian tebal ini meluncur ke arah Dewa Arak dalam keadaan masih bersila! Tanah yang bergurat mengeluarkan kepulan debu cukup tebal.

Arya tidak mau kalah gertak. Ia melakukan hal yang sama. Hingga, mereka saling mendekat dengan cara yang luar biasa. Tepat di pertengahan jalan, dalam jarak sekitar tiga jengkal, Dewa Arak dan Malaikat Salju menghentikan gerakannya.

"Aku tidak mengerti permainan yang kau maksudkan ini, Malaikat Salju. Bisakah kau memberi penjelasan?" Arya membuka pembicaraan.

"Kurasa tidak perlu, Dewa Arak! Nanti pun kau akan mengerti sendiri."

Arya mengernyitkan alis, masih bingung dengan aturan permainan Malaikat Salju. Kakek berpakaian tebal yang rupanya tidak sabaran itu memulai permainan. "Tangkap ini!"

Cepat Malaikat Salju menghantamkan dua buah gelas bambu yang digenggamnya ke dada Dewa Arak. Keras bukan main sehingga mengeluarkan bunyi berdecit nyaring.

Tap, tappp!

Dewa Arak yang tidak mau mati konyol langsung menangkis dengan cara mencengkeram gelas-gelas bambu itu. Tangkisan Arya tidak membuat arak yang berada di dalam gelas berpercikan. Arak itu seakan telah bersatu dengan gelas.

Begitu mencekal gelas, Dewa Arak baru mengerti mengapa kakek berpakaian tebal mempunyai julukan Malaikat Salju. Ia merasakan gelombang hawa dingin yang mengalir dari kedua tangan Malaikat Salju kemudian masuk ke dalam gelas dan terus merasuk ke dalam tubuhnya.

Arya segera mengerahkan tenaga dalam. Dari pusarnya mengalir keluar hawa panas yang menghalangi hawa dingin merasuk ke dalam tubuhnya. Pertarungan adu tenaga dalam yang menegangkan terjadi. Pertarungan yang dilakukan dengan perantara gelas-gelas bambu berisi arak.

Dua tokoh persilatan yang berbeda usia dan jenis tenaga dalam itu tak sungkan-sungkan lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Udara di sekitar tempat mereka berada jadi berubah-ubah. Terkadang panas seakan di tempat itu telah terjadi kebakaran besar. Tapi tak jarang menyebar hawa dingin seakan-akan tempat itu puncak gunung yang tinggi.

Yang merasakan akibat langsung pertarungan tenaga dalam itu adalah gelas-gelas bambu berisi arak. Arak yang berada di dalam gelas berubah-ubah. Sesekali bergolak mendidih dan di lain saat membeku seperti es.

Semakin lama pertarungan unik ini semakin menegangkan. Wajah kedua tokoh itu tampak berubah. Wajah Dewa Arak merah padam dan banyak dipenuhi peluh yang mengucur. Sedangkan wajah Malaikat Salju semakin pucat bagai mayat!

Perlahan-lahan dari atas kepala Dewa Arak dan Malaikat Salju mengepul uap. Mula-mula tipis dan sedikit, tapi kian lama menebal dan banyak. Mereka telah mengeluarkan tenaga melewati batas kemampuan. Akhir dari pertarungan ini adalah maut! Yang kalah akan tewas, sedangkan yang menang akan terluka dalam amat parah.

Prakkk, prakkk!

Di saat asap yang mengepul dari kepala Dewa Arak dan Malaikat Salju semakin menebal, gelas-gelas bambu itu hancur berkeping-keping mengeluarkan bunyi keras. Arak yang berada di dalam kedua gelas itu berpercikan keluar. Keadaan arak itu masih cair. Dewa Arak maupun Malaikat Salju tidak mampu lagi saling mengungguli.

"Huakh...!" Hampir berbarengan tubuh Malaikat Salju dan Dewa Arak terbungkuk ke depan memuntahkan darah segar. Hancurnya gelas-gelas bambu itu karena tak kuat menahan getaran tenaga dalam yang luar biasa. Akibatnya, tenaga dalam kedua belah pihak saling membalik dan melukai pemiliknya.

"Kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku kalah," ujar Malaikat Salju penuh kagum. Kakek berpakaian tebal ini terengah-engah karena luka yang diderita.

"Kau terlalu merendah, Malaikat Salju. Akulah yang kalah," sambut Arya tak kalah kagum. Deru napas pemuda ini pun memburu hebat.

Hanya sampai di situ saja Dewa Arak dan Malaikat Salju berbicara. Kemudian, keduanya memejamkan mata dan bersemadi untuk menyembuhkan luka dalam tubuhnya. Mereka sadar kalau tidak lekas diobati akan membahayakan keselamatan jiwa. Dewa Arak dan Malaikat Salju tenggelam dalam keheningan semadi.

Belum lama Dewa Arak dan Malaikat Salju bersemadi terdengarlah suara tawa bergelak. Tawa yang mengandung getaran amat kuat dan mampu membangunkan kedua tokoh itu dari semadinya.

"Panangkaran...!"

Hampir bersamaan Dewa Arak dan Malaikat Salju menggumamkan nama itu.

"Benar aku. Kalian kaget?" sambut Panangkaran gembira. Pandang mata lelaki bermata satu ini langsung bisa mengetahui kalau Dewa Arak dan Malaikat Salju telah terluka dalam. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Malaikat Salju menatap Dewa Arak. Dalam sorot mata kakek ini tampak sinar penyesalan. Seperti juga dirinya, Dewa Arak dalam keadaan tidak berdaya. Dengan mudah saja Panangkaran akan mengirim nyawa pemuda itu ke alam baka. Itu terjadi karena Dewa Arak terpaksa meladeni tantangannya. Mau tidak mau Malaikat Salju merasa bertanggung jawab.

"Apa maksud ucapanmu, Panangkaran?!" bentak Malaikat Salju penuh wibawa. "Pergi kau dari sini! Apakah kau tidak ingat siapa gurumu?"

Panangkaran malah tertawa mengejek, Tawa yang mengandung lecehan terhadap peringatan Malaikat Salju. "Lebih baik kau tidak usah ikut campur, tua bangka tak berguna!" Tajam dan keras sambutan Panangkaran. "Diam lebih baik bagimu daripada aku jadi melupakan siapa adanya kau. Mengingat hubungan antara kau dengan guruku, maka aku tidak akan membawa-bawamu dalam persoalanku. Tapi apabila kau ingin ikut campur, jangan salahkan aku!"

Panangkaran salah kalau mengira dengan gertakan itu Malaikat Salju akan diam. Kakek berpakaian, tebal ini terkekeh mendengar ancaman Panangkaran. "Kau keliru kalau mengira dengan gertak sambal itu aku akan diam, Panangkaran! Bagi orang sepertiku, mati bukan sesuatu yang menakutkan. Malah aku senang. Dengan demikian aku akan terbebas dari tubuh tua yang mulai tidak berguna ini, Ayo, Panangkaran. Tunggu apa lagi? Bunuh aku! Buktikan ancamanmu yang hebat itu!" Malaikat Salju malah mengajukan tantangan.

Panangkaran menggertakkan gigi dengan perasaan geram. Wajahnya merah padam. Ucapan Malaikat Salju telah membuat amarahnya berkobar. Sepasang mata lelaki itu memancarkan hawa maut ketika menatap wajah Malaikat Salju yang tetap tenang. Hanya sampai di situ saja tindakannya. Panangkaran tidak berani bertindak lebih lanjut.

Meski demikian, Malaikat Salju dan Dewa Arak sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman menyadari betul ketidak-beranian Panangkaran untuk melakukan tindakan keras terhadap Malaikat Salju tidak bisa dijamin. Apabila kemarahan demikian memuncak, bukan tidak mungkin Panangkaran akan membuktikan ancamannya.

"Rupanya kau merasa gentar terhadapku, Panangkaran, sehingga mengalihkan ancaman pada Malaikat Salju. Bukankah kau mempunyai urusan denganku? Tunggu apa lagi? Mengapa tidak segera kau selesaikan persoalan di antara kita?"

Dewa Arak memecah ketegangan yang menyeruak antara Malaikat Salju dan Panangkaran. Ia merasa khawatir kakek berpakaian tebal itu akan tewas di tangan Panangkaran.

Bukan hanya Panangkaran saja yang menoleh, tapi juga Malaikat Salju. Ucapan Dewa Arak membuat Panangkaran teringat kembali akan dendamnya dengan pemuda berambut putih keperakan itu. Sedangkan Malaikat Salju hanya bisa menghela napas berat. Kakek ini tahu Dewa Arak ingin menyelamatkan dirinya. Hal ini membuat kekagumannya terhadap pemuda itu semakin bertambah. Seorang pendekar muda yang hebat, puji Malaikat Salju di dalam hati.

Sementara itu Dewa Arak tetap bersikap tenang sekalipun pandangan mata Panangkaran seperti hendak menelannya bulat-bulat. Tanpa merasa takut sedikit pun pemuda ini membalas tatapannya.

"Kau benar." Panangkaran menggumam seraya mengangguk. "Kita memang mempunyai urusan."

Panangkaran tiba-tiba mengibaskan tangan kirinya secara sembarangan. Angin deras berhembus melemparkan tubuh Arya ke belakang bagai daun kering ditiup angin. Hampir delapan tombak tubuh pemuda itu melayang-layang sebelum terbanting keras di tanah.

Arya menyeringai kesakitan. Ia tidak berani mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya saat terjatuh. Bahkan, ketika Panangkaran tadi menyerangnya dengan kibasan tangan. Mengerahkan tenaga dalam sama artinya dengan membunuh diri. Luka dalam yang dideritanya akan bertambah parah.

"Panangkaran! Pengecut keji! Hentikan...!" Malaikat Salju berteriak-teriak melihat siksaan terhadap Dewa Arak akan dimulai.

Panangkaran tampaknya tidak ingin langsung membunuh Dewa Arak. Ia ingin menyiksa pemuda itu dahulu. Sedangkan serangan yang di lakukan Panangkaran pertama kali tadi hanya un-tuk membuat tubuh Arya terlempar dan terbanting.

Panangkaran tidak mempedulikan seruan Malaikat Salju. Dengan langkah lebar, lelaki bermata satu ini menghampiri Dewa Arak. Siap melancarkan serangan susulan. Berbeda dengan Malaikat Salju yang terlihat kalap, Arya tenang-tenang saja. Bahkan, ketika tubuhnya diangkat dan dibantingkan ke tanah.

Panangkaran memang benar-benar hendak melampiaskan dendamnya. Begitu tubuh Arya menyentuh tanah, kembali diangkat dan dibanting dengan keras. Berkali-kali hal itu dilakukan sampai akhirnya Dewa Arak pingsan!

Kemudian, tanpa mempedulikan Malaikat Salju yang sejak Dewa Arak disiksa tak henti-hentinya memaki Panangkaran, lelaki bermata satu ini menyadarkan Arya dengan wewangian dari guci yang dibawanya. Bau wangi yang keras membuat pemuda berambut putih keperakan itu sadar. Panangkaran segera menyeret tubuh Arya. Makian-makian Ma-laikat Salju mengiringi langkah Panangkaran yang membawa tubuh Dewa Arak meninggalkan tempat itu.

LIMA

Arya menyeringai kesakitan ketika tersadar dari pingsan dan membuka sepasang matanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit-sakit dan perih bukan main. Arya berusaha untuk bangkit tapi tidak mampu. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya tidak bisa bangun. Ketika menelitinya, ternyata pada pergelangan tangan dan kaki terlilit belenggu baja yang amat tebal! Belenggu yang sama juga melilit perutnya. Belenggu-belenggu itu menempel pada lantai.

Semula Arya merasa heran melihat keadaan ini. Tapi, sesaat kemudian dia mulai teringat kejadian yang telah dialaminya. Sekarang dia dapat menduga semua ini adalah perbuatan Panangkaran. Arya mencoba bersikap tenang, meski diam-diam merasa ngeri melihat ruangan tempat dirinya berada. Lantai tempatnya terbaring kotor dan dipenuhi lumut. Hidung Arya mencium bau amis yang memuakkan. Bau amis darah.

Pada sebagian dinding dan lantai ruangan terdapat ber-cak-bercak darah kering. Tidak ada jendela pada dinding ruangan. Sehingga, tidak ada cahaya dan aliran udara segar. Ruangan ini lembab dan udaranya pengap. Hanya ada obor di sudut ruangan dekat pintu yang membuat suasana di dalam sedikit lebih baik. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu yang kini tertutup rapat. Ruangan ini lebih mirip kamar penyiksaan.

Sayup-sayup telinga Arya menangkap suara langkah kaki. Kedengarannya lebih dari satu orang. Langkah-langkah itu menghilang di depan pintu kamar. Sesaat kemudian, terdengar suara orang bercakap-cakap. Arya tidak dapat menang-kap dengan jelas. Setelah terdengar suara geme-rincing kunci dan pintu dibuka, perlahan pintu kamar didorong dari luar.

Arya memalingkan wajahnya menatap ke arah pintu. Ketika pintu telah terbuka lebar, tampaklah dua sosok tubuh berdiri di ambang pintu. Mereka tidak segera melangkah masuk, seakan ingin memastikan apakah keadaan di dalam ruangan cukup aman. Mata mereka tertuju pada tubuh Arya yang terbaring di lantai.

Arya mengenali kedua sosok tubuh itu. Yang seorang adalah Panangkaran. Sedang gadis yang mengenakan pakaian serba hitam dan berdiri di samping Panangkaran ialah gadis yang pernah ditolongnya ketika dikejar-kejar kakek berjenggot panjang putih beberapa saat lalu.

Gadis itu menatap ke arahnya dengan sinar mata heran bercampur kaget. Matanya membelalak lebar seakan tak percaya. Gadis itu tetap terpaku di tempatnya ketika Panangkaran menga-jaknya masuk ke dalam ruangan. Sehingga, Pa-nangkaran menjadi heran dan berpaling menatap-nya dengan penuh selidik.

"Kenapa, Pertiwi?" tanya lelaki bermata satu itu.

"Tidak apa-apa, Ayah;" Pertiwi cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

"Hm...." Panangkaran hanya menggumam pelan dan tidak mendesak lebih jauh. Pandangannya dialihkan ke arah sosok Arya.

Pertiwi sadar kendati Panangkaran tidak memperpanjang masalah itu, tapi tidak berarti kecurigaan lelaki bermata satu itu lenyap. Panangkaran belum puas dengan jawaban yang diberi-kannya.

"Rasanya aku pernah mengenalnya, Ayah." Pertiwi membuka percakapan ketika mereka telah menghentikan ayunan kaki di depan tubuh Dewa Arak. Jarak antara anak dan ayah itu dengan ujung kaki Arya hanya dua jengkal.

"Begitukah?"

Datar saja pertanyaan yang dilontarkan Panangkaran seraya menatap Pertiwi yang berdiri di sebelahnya.

"Kau tahu siapa pemuda sombong ini?" Perlahan-lahan Pertiwi menggelengkan kepala.

"Tidak, Ayah. Jangankan mengenalnya, bertemu saja baru sekali. Itu pun hanya sekelebatan. Aku tengah tergesa-gesa karena dikejar-kejar Dewa Obat Tangan Sakti."

"Dia seorang pendekar muda yang sombong, Pertiwi!" Tandas Panangkaran berapi-api. "Seorang yang merasa paling sakti. Jadi, suka mencampuri urusan orang lain. Belum lama ini aku dilukainya saat hampir berhasil membunuh Bagas Pati!"

"Ah....!" Seruan kaget itu terlontar dari mulut Pertiwi. Gadis berpakaian hitam ini tahu betul tingkat kepandaian ayahnya. Kalau Panangkaran sampai kalah dan berhasil dilukai, bisa diperkirakan oleh Pertiwi tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu!

"Kau kaget, Pertiwi?"

Ucapan Panangkaran membuat Pertiwi kembali mengalihkan perhatian pada ayahnya. "Terus terang ya, Ayah." Gadis berpakaian hitam itu membenarkan. "Rasanya sukar dipercaya ada orang yang mampu mengalahkan Ayah. Apalagi orang itu masih muda."

"Kau akan lebih kaget lagi kalau tahu siapa dia sebenarnya, Pertiwi."

"Siapa dia, Ayah?" Pertiwi tidak sabar untuk segera mengetahui siapa pemuda berpakaian ungu yang luar biasa itu. Yang diam-diam telah menimbulkan rasa simpati di hati Pertiwi, sejak pertama kali melihatnya ketika dengan gagah berani menghadang Dewa Obat Tangan Sakti.

"Apakah kau pernah mendengar tentang seorang pendekar muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan?" Panangkaran malah balik bertanya.

Pertiwi terdiam sejenak. Kemudian, wajahnya berubah hebat. "Maksud Ayah? Dewa Arak...?!" Pertiwi terbata-bata karena tidak yakin dengan dugaannya.

Gadis itu menatap Dewa Arak dengan sepasang mata membelalak lebar. Julukan Dewa Arak telah lama didengarnya. Tokoh muda yang memiliki kepandaian tinggi. Ditakuti lawan dan disegani kawan. Tak terhitung tokoh-tokoh hitam yang roboh di tangannya. Ia sungguh tidak menyangka bisa bertemu dengan Dewa Arak. Untuk beberapa saat gadis berpakaian hitam ini tertegun begitu Panangkaran mengangguk, membenarkan dugaannya.

"Dan sekarang, Pertiwi." Panangkaran membuka suara lagi. "Dewa Arak yang terkenal di dunia persilatan itu tak berdaya. Nyawanya berada di tanganku. Sebentar lagi nama Panangkaran akan terkenal sebagai orang yang telah menewaskan Dewa Arak! Namaku akan membubung tinggi. Ha ha ha...!"

Pertiwi ikut tertawa meski sebenarnya tidak ingin melakukannya. Untuk pertama kalinya Pertiwi yang sudah terbiasa membunuh dan menyiksa merasa tidak rela mendengar musuh ayahnya akan tewas. Pertiwi tidak tahu mengapa sebabnya. Yang jelas, dia tidak ingin Dewa Arak tewas atau tersiksa. Apalagi mati dengan cara mengerikan. Pertiwi benar-benar tidak rela!

"Lalu,.., apa yang hendak Ayah lakukan terhadapnya? Membunuhnya?"

"Itu sudah pasti, Pertiwi. Tapi tentu saja tidak semudah itu. Dewa Arak telah berani mencampuri urusanku. Bahkan, dia telah melukaiku. Sebagai balasannya, dia akan mati dengan cara yang amat mengerikan. Dia akan mati secara perlahan-lahan, Pertiwi. Ha ha ha...!"

Untuk kedua kalinya Pertiwi tergelak. Bahkan, tawa gadis berpakaian hitam ini lebih keras daripada ayahnya.

"Kau boleh saksikan pertunjukan menarik ini, Pertiwi. Lihatlah bagaimana kelabang-kelabang merah akan membuat Dewa Arak tersiksa sebelum mati secara mengenaskan. Ha ha ha...!"

Dengan derai tawa dari mulutnya, Panangkaran membuka tutup bumbung rotan yang sejak tadi dipegang dengan tangan kanannya. Pertiwi menyembunyikan rasa ngeri yang menggayut di hati. Belasan ekor kelabang berlompatan keluar dari lubang bumbung rotan.

Derai tawa Panangkaran mengiringi gerak kelabang-kelabang merah yang saling berlomba mendekati tubuh Dewa Arak. Kegembiraan membayangkan siksaan yang akan dialami Dewa Arak membuat Panangkaran tidak melihat suatu keganjilan. Pertiwi yang biasanya paling suka melihat orang tersiksa kali ini tidak memperlihatkan kegembiraan sedikit pun. Gadis berpakaian hitam itu memang tertawa. Tapi, tawanya sumbang dan jelas kedengaran karena terpaksa.

Panangkaran tidak melihat ketika wajah Pertiwi menegang hebat saat belasan ekor kelabang merah sudah berada dekat dengan Dewa Arak. Bukan hanya Pertiwi saja yang merasa ngeri. Dewa Arak pun demikian. Hanya saja pemuda berambut putih keperakan ini pandai menguasai perasaannya. Sehingga, tidak terlihat gambaran perasaan apa pun pada wajahnya.

Kendati hanya bisa menduga kelabang-kelabang merah itu memiliki racun ganas dari bau amis yang memuakkan ketika mereka keluar dari bumbung, Dewa Arak menyadari benar bahaya besar tengah mengancamnya. Pemuda ini tahu Panangkaran tidak bicara bohong dengan ancamannya tadi.

Meski demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Tenaga dalamnya telah pulih seperti sediakala sehingga belenggu-belenggu itu bukan apa-apa baginya. Sayang, Panangkaran mengetahui hal itu. Lelaki bermata satu yang tidak ingin pendekar muda yang dimusuhinya itu bebas telah menotoknya hingga Dewa Arak tidak bisa mengerahkan tenaga dalam.

Tapi, totokan itu dilakukan sudah cukup lama. Sejak Panangkaran dan Pertiwi tiba Arya merasakan pengaruh totokan mulai membuyar. Kini, menyadari adanya ancaman terhadap dirinya, Arya mengerahkan tenaga dalam agar totokan itu lebih cepat punah.

Dengan hati berdebar tegang Arya membuat perhitungan. Pemuda berambut putih keperakan ini yakin semua jalan darahnya akan pulih seperti sediakala sebelum kelabang yang paling dulu bergerak menggigit tubuhnya. Arya yakin akan bisa selamat dari kelabang-kelabang itu.

"Hampir aku lupa!" Panangkaran yang memperhatikan dengan penuh minat dan wajah berseri-seri pada kelabang-kelabang berseru kaget. Lelaki bermata satu ini mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. Jari telunjuk kanannya lalu ditudingkan ke depan.

Arya mengeluh dalam hati ketika merasakan sekujur tubuhnya kembali lemas. Panangkaran yang teringat akan totokannya merasa khawatir saat itu pengaruh totokan telah membuyar. Ia kemudian mengirim totokan dari jauh pada bahu kanan Arya.

Tepat pada sekujur tubuh Arya kembali lemas, seekor kelabang menggigit pergelangan kaki kanan pemuda itu. Seringai kesakitan tampak di bibir Arya. Kalau saja saat itu ia tidak berada dalam keadaan tertotok, mungkin tubuhnya akan terguncang karena rasa sakit yang mendera.

Arya merasakan sakit dan pedih. Yang mengejutkan, sesaat kemudian pada bagian yang tergigit timbul rasa gatal yang sangat. Rasa gatal yang membutuhkan gerakan tangan. Karena saat itu ia tidak bisa bergerak, rasa gatal itu pun me-nimbulkan perasaan tersiksa. Belum juga perasaan itu lenyap, kelabang-kelabang lainnya telah menggigit pula. Rasa sakit, pedih, dan panas seperti terbakar terus dirasakan Arya.

Sehabis menggigit, kelabang-kelabang itu berjalan-jalan di sekujur tubuh Arya. Padahal, setiap kulit manusia yang tersentuh dengan tubuh bagian bawah binatang itu bagaikan terkena ulat bulu yang paling gatal. Sehingga, tidak hanya menimbulkan perasaan gatal yang menyiksa, tapi ju-ga membuat kulit Arya bentol-bentol besar.

Hanya dalam sebentar saja sekujur tubuh Arya sudah tidak utuh lagi. Yang paling mengenaskan pada bagian wajah. Bentol-bentol besar membuat sepasang mata Arya sipit. Wajah itu bersemu kehijauan, pertanda keracunan hebat! Meski rasa sakit yang hebat melanda, Arya mampu menunjukkan kalau dirinya bukan orang cengeng. Tak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya.

Panangkaran yang memperhatikan seluruh kejadian itu diam-diam merasa kagum. Tapi, lelaki bermata satu ini tidak menunjukkannya. Ia terus tertawa gembira. Tawa Panangkaran baru lenyap ketika Dewa Arak pingsan karena tak kuat menahan siksaan. Tentu saja hal itu membuat Panangkaran kehilangan kegembiraannya. Tanpa banyak bicara lagi dan dengan membayangkan kepuasan hati, tubuhnya dibalikkan dan berjalan keluar ruangan.

Pertiwi yang telah bisa menguasai perasaannya dan berpura-pura gembira mengikuti langkah ayahnya. Ditinggalkannya kelabang-kelabang merah yang masih berpesta dengan tubuh Dewa Arak.

* * *

"Turunkan aku. Harap turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri...!"

Seruan-seruan itu tidak terlalu keras. Pemiliknya tengah berada dalam keadaan lemah. Tapi, cukup untuk membuat gadis berpakaian hitam yang tengah berlari cepat menghentikan larinya dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya. Sosok yang berada dibahu kanan gadis berpakaian hitam itulah yang mengeluarkan seruan.

Kini ia berdiri di tanah dengan kedua kaki. Sosok ini seorang pemuda berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Mengingat bentuk tubuhnya yang tegap dan kekar, tentu ia memiliki wajah yang tampan. Tapi, ternyata tidak. Wajah itu buruk karena dipenuhi bentol-bentol besar. Sepasang matanya yang mencorong kehijauan seperti mata harimau dalam gelap hampir tidak terlihat. Yang lebih mengerikan, wajah pemuda berpakaian ungu itu bersemu kehijauan. Pemuda ini tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak.

"Mengapa kau menolong aku, Pertiwi?" tanya Arya lemah. Ditatapnya wajah gadis berpakaian hitam itu lekat-lekat. Arya sejak tadi memang diam saja dan membiarkan Pertiwi membawanya kabur.

Pertanyaan itu membuat Arya teringat kembali akan kejadian tadi. Dia baru saja tersadar ketika Pertiwi masuk ke dalam ruangan tempatnya ditahan. Sebelum Arya sempat bicara sesuatu, gadis berpakaian hitam itu telah lebih dulu memberi isyarat agar Arya jangan berisik.

Dengan hati-hati, karena takut diketahui, Pertiwi menyingkirkan kelabang-kelabang merah dari tubuh Arya. Kemudian, dibukanya belenggu di kedua pergelangan tangan dan kaki. Lalu Pertiwi membawa kabur pemuda berambut putih keperakan itu.

Pertiwi yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu menjadi gugup. Wajahnya memerah sehingga membuat kecantikannya semakin tampak.

"Aku... aku.., eh... maksudku..., aku ingin membalas hutang budi yang telah kau berikan padaku." Meski dengan terbata-bata Pertiwi berhasil menyampaikan alasannya.

"Maksudmu..., di waktu kau dikejar-kejar kakek berpakaian putih, Pertiwi?" Tanpa ragu-ragu Arya menyapa gadis berpakaian hitam itu dengan namanya. Ia tahu nama gadis itu karena mendengar percakapan Pertiwi dengan Panangkaran.

"Benar, Dewa Arak." Pertiwi menganggukkan kepala. Suaranya kali ini tidak gemetar lagi.

"Panggil saja aku Arya, Pertiwi. Perlu kau ketahui, waktu itu aku akan menolongmu tidak untuk mengharapkan balas jasa. Itu memang sudah tugasku. Jadi, tidak perlu kau memaksakan diri untuk membalas budi. Apalagi, sampai mengkhianati ayahmu sendiri."

"Tapi, De..., eh, Arya. Apabila aku mendiamkan saja kau akan tewas di tangan Ayah. Aku akan menyesal seumur hidup. Dan perlu kau tahu, Arya, aku tidak pernah membiarkan orang menghutangkan budi padaku tanpa aku membalasnya."

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Pertiwi merasa lega karena Arya tidak mendesaknya lagi. Terus berdusta terhadap Dewa Arak yang memiliki sepasang mata tajam seperti mampu membaca pikiran orang bukan perbuatan yang mudah!

Memang, Pertiwi berdusta dengan alasannya menolong Dewa Arak. Seorang seperti Pertiwi yang sejak kecil dididik kejahatan, mana mungkin memikirkan balas budi terhadap orang yang pernah menolongnya? Itu tidak ada dalam kamus hidup Pertiwi! Bahkan, gadis berpakaian hitam ini tidak segan-segan membalas budi orang dengan kejahatan!

"O iya, Arya. Hampir saja aku lupa."

"Apa yang kau lupakan, Pertiwi?"

"Ini." Pertiwi mengangsurkan sebuah guci kecil yang mulutnya tersumbat sejenis kain dari kulit binatang. "Oleskan cairan ini dengan merata pada sekujur tubuhmu, terutama pada bagian-bagian yang bentol. Kalau tidak, bentol-bentol itu akan membusuk seperti layaknya daging orang yang telah meninggal."

"Ah...!" Arya sampai mengeluarkan seruan kaget Pemuda berambut putih keperakan itu tidak menyangka sedahsyat itu akibat yang akan diterimanya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi Arya menerima guci itu. Kemudian, dibawanya ke kerimbunan semak yang berada tak jauh dari situ.

Pertiwi sendiri sehabis memberikan guci itu mengalihkan pandangan ke arah tadi dia datang. Arah pandangannya tertuju pada tempat ayahnya berada. Tempat di mana Arya disiksa. Tanpa sepengetahuan Arya, karena Pertiwi dengan pandainya mampu menyembunyikan perasaan, Pertiwi merasa khawatir bukan main.

Banyak hal yang dicemaskannya. Satu di antaranya adalah apabila ayahnya mengetahui Dewa Arak telah lolos! Panangkaran pasti akan melakukan pengejaran, juga gurunya. Keberhasilan Pertiwi membawa kabur Dewa Arak adalah karena kebetulan Panangkaran sedang sibuk menyambut kedatangan gurunya.

ENAM

"Pembunuh keji! Kiranya kau berada di sini... Mampuslah!"

Teriakan nyaring yang sarat dengan kemarahan itu mengejutkan Pertiwi. Keterkejutan itu bercampur rasa khawatir ketika mengetahui asal seruan itu dari tempat Dewa Arak berada. Tanpa membuang-buang waktu lagi Pertiwi melesat ke dalam kerimbunan semak. Ia tidak khawatir kalau-kalau Arya tengah melepas pakaian untuk mengoleskan cairan.

Kekhawatiran akan nasib pemuda berpakaian ungu itu lebih besar dari segalanya. Pertiwi agak terperanjat ketika telah berhasil menerobos kerimbunan semak. Meski cukup lebat dan lebar ternyata di balik semak-semak itu terdapat lapangan rumput yang luas!

Brakkk!

Hiruk-pikuk dari semak-semak yang berada di dekat situ membuat gadis berpakaian hitam terjingkat kaget. Pertiwi baru saja menjejakkan sepasang kakinya di tanah ketika bunyi hiruk-pikuk terjadi. Pertiwi langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari Arya. Hati gadis berpakaian hitam ini menjadi lega ketika melihat Arya bergulingan di tanah. Arya selamat!

Ternyata pemilik bentakan telah melancarkan pukulan jarak jauh terhadap Dewa Arak. Namun, gagal karena pemuda berambut putih keperakan itu sempat menggulingkan tubuh untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Saat Arya masih bergulingan di tanah, sosok itu melompat dan menerjang bagai seekor harimau. Jari-jarinya terkembang membentuk cakar!

Arya yang masih bergulingan di tanah, mengetahui ancaman maut ini. Pemuda berambut putih keperakan itu sadar jika mengelak tidak mungkin dilakukan, menangkis pun hanya akan membuat nyawanya melayang ke alam baka. Tenaga dalamnya telah lenyap.

Tapi, malaikat maut rupanya belum ingin berjumpa dengan Arya. Di saat yang amat gawat bagi keselamatan pemuda itu, Pertiwi melompat dengan kecepatan menakjubkan. Ia memapaki terkaman pemilik bentakan yaitu seorang pemuda berpakaian coklat.

Bresss!

Benturan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu langsung terjadi. Tubuh kedua orang itu terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Namun, dengan gerakan sederhana Pertiwi maupun pemuda berpakaian coklat mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka bergulingan. Keduanya bangkit berdiri meski den-gan pandangan nanar.

"Siapa kau, Nona? Mengapa melindungi penjahat keji itu?" tanya pemuda berpakaian coklat setelah melempar pandangan kagum melihat orang yang menangkis serangannya seorang gadis muda. Cantik lagi.

"Siapa aku tidak perlu kau tahu! Yang jelas, apabila kau bermaksud bertindak curang dan secara tak tahu malu ingin membunuh dia, aku tidak akan tinggal diam! Kau harus melangkahi mayatku dulu sebelum maksudmu terlaksana!" penuh semangat dan berapi-api Pertiwi menyambuti ucapan pemuda berpakaian coklat yang nama sebenarnya Patuka.

Pemuda berpakaian coklat terperanjat mendengar kata-kata yang lantang itu. Di samping bersemi perasaan kagum yang besar terhadap Pertiwi. Gadis itu memang cantik bukan main! Apalagi ketika dalam keadaan penuh semangat. Terlihat cantik dan gagah.

"Nona," Suara Patuka mulai melunak. Ia tidak ingin terlibat pertarungan dengan gadis berpakaian hitam ini. Di dalam hatinya telah muncul simpati yang besar terhadap Pertiwi. Perasaan yang membuat Patuka tidak ingin melukai apalagi membunuh Pertiwi!

"Cihhh! Tak tahu malu. Kau kira aku akan berpihak padamu dengan rayuan yang hendak kau lontarkan terhadapku?!" timpal Pertiwi, cepat.

Wajah Patuka langsung merah padam. Ucapan Pertiwi tajam bukan main. Pemuda berpakaian coklat ini merasa heran, tidak menyangka akan mendapat sambutan sepedas itu. Sukar dipercaya ucapan sekasar itu keluar dari mulut seorang gadis yang cantik jelita dan gagah seperti Pertiwi.

Patuka besar dalam lingkungan yang meski tidak terlalu bersopan-santun tapi cukup mempunyai aturan. Lain halnya dengan Pertiwi. Gadis berpakaian hitam itu besar dalam didikan seorang tokoh hitam yang kasar dan tidak mengenal aturan. Maka, Pertiwi menganggap sambutan yang diberikannya biasa-biasa saja.

"Mulutmu terlalu tajam, Nona," ucap Patuka dengan wajah memerah karena malu. Itu pun setelah beberapa saat lamanya terdiam bagai orang kehilangan akal. "Siapa yang bermaksud merayumu? Aku bukan sejenis orang seperti itu, Nona. Aku hanya ingin memberitahumu kalau orang yang kau lindungi itu adalah seorang pembunuh keji!"

"Apa pun yang kau tuduhkan padanya aku tidak peduli!" tandas Pertiwi mantap. "Yang jelas, kalau kau ingin membunuhnya kau harus melangkahi mayatku dulu!"

Pemuda berpakaian coklat tersenyum pahit. "Kau tidak memberikan pilihan lain padaku, Nona."

"Tidak usah banyak bicara, Lelaki Bermulut Wanita! Kalau kau bukan seorang pengecut, maju dan serang aku!"

Patuka menggertakkan gigi. Tidak ada gunanya lagi berpanjang kata kalau tidak ingin ucapan-ucapan Pertiwi semakin menyakitkan hatinya.

"Tunggu sebentar...!"

Patuka yang telah siap melancarkan serangan dan Pertiwi yang sudah sedia untuk menghadapinya mengendurkan urat-urat mereka mendengar seruan itu. Keduanya menoleh bersamaan ke arah Arya.

"Apa lagi yang hendak kau katakan, Pembunuh Keji?!" geram Patuka seraya menatap Arya dengan sinar mata penuh kebencian dan dendam.

Arya tentu saja bisa merasakannya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini berpura-pura tidak tahu. "Sejak pertama kali kita bertemu kau telah menuduhku seorang pembunuh keji. Padahal, aku tidak tahu menahu dengan yang kau maksud. Berkali-kali aku minta kau mau menjelaskan, tapi kau tidak mau mendengarnya. Sekarang, untuk terakhir kalinya aku minta kau menjelaskannya sebelum semuanya menjadi telanjur."

Tenang dan penuh kematangan Arya mengucapkan kata demi kata. Tidak ada nada amarah di dalamnya.

Patuka dan Pertiwi terdiam. Mereka merasakan jiwa dan pemikiran yang matang dalam ucapan Dewa Arak. Ucapan yang membuat kedua orang muda itu diam-diam merasa kagum. Patuka menjadi terkejut ketika melihat keadaan Arya yang mengenaskan. Tadi dia tidak sempat memperhatikannya karena yang terpikirkan hanya membunuh atau terbunuh.

Tadi, begitu melihat pakaian dan warna rambut Arya, dia langsung melancarkan pukulan Jarak jauh. Pemuda berpakaian coklat itu segera menduga Arya tengah menderita keracunan hebat. Seketika ia teringat dengan ucapan Pertiwi yang mengatakan Arya tengah dalam keadaan tidak berdaya.

"Baiklah kalau itu yang kau inginkan," ucap Patuka lebih lunak dari sebelumnya. Tapi, sorot matanya tetap menyiratkan kebencian. "Ingatkah kau dengan nama Panuggal?"

Arya mengernyitkan dahi mencoba mengingat-ingat sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Sepasang mata Patuka berkilat-kilat memancarkan kemarahan. Ia menganggap Dewa Arak berdusta.

"Aku bukan orang yang suka berbohong, Sobat! Aku lebih suka mati daripada memberikan kesaksian palsu. Sekarang terserah apa tanggapanmu!" tegas Arya yang dapat melihat ketidak-percayaan Patuka.

"Baiklah! Ucapanmu kupercaya. Tapi setelah satu keterangan lagi kuberikan tidak juga kudapatkan jawaban pasti darimu, tidak ada lagi basa-basi!" Patuka menggeram. "Ayahku tewas di tanganmu. Begitu berita yang kudapat dari penduduk Desa Jarak. Beliau berjuluk Utusan Dari Akhirat"

"Utusan Dari Akhirat?" ulang Arya meminta penegasan.

"Benar! Apakah kau masih mau menyangkal bahwa kau yang telah menyebabkan kematiannya?!" sambut Patuka penuh amarah.

"Tidak!" jawab Arya seraya menghela napas berat. Sungguh tidak disangka kematian Utusan Dari Akhirat akan berbuntut panjang. Arya kembali teringat dengan tokoh itu. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Perintah Maut). "Memang dia tewas di tanganku. Tapi perlu kau ketahui, Sobat. Tidak ada permusuhan sedikit pun antara aku dengan Utusan Dari Akhirat!"

"Itu sebabnya kukatakan kau pembunuh keji, Dewa Arak! Tidak ada urusan antara kau dengannya, tapi kau tega membunuhnya. Aku sebagai anaknya tak akan tinggal diam. Ibuku mati merana karena beliau kau bunuh. Aku, Patuka, rela mati di tanganmu untuk membalaskan kematian ayahku, Dewa Arak!"

Arya tersenyum getir. "Lebih baik kau urungkan niatmu, Patuka. Aku tahu kau pemuda baik-baik. Rasa sakit hati dan dendam membuat akal sehatmu tertutupi. Janganlah kau ikuti jejak ayahmu yang tidak benar itu. Dan...."

"Tutup mulutmu, Pembunuh Keji! Ayahku tidak sejahat yang kau kira. Beliau membunuh orang, bukan karena hatinya jahat. Tapi, karena pesanan orang lain. Seharusnya orang yang menyuruh ayahku yang kau bunuh!" potong Patuka berapi-api.

"Tidak perlu kau ajari, Patuka. Aku sudah melakukannya!" Nada suara Arya mulai meninggi "Memang kuakui ayahmu tidak jahat. Pekerjaan ayahmu sangat berbahaya. Ia membunuh siapa saja tanpa pilih bulu. Daripada dia terus menyebarkan ancaman dan dimanfaatkan orang-orang jahat, lebih baik kulenyapkan dia!"

"Keparat! Sekarang, kaulah yang harus mati di tanganku untuk menebus nyawa ayah dan ibuku, Dewa Arak!"

Patuka menutup ucapannya dengan terjangan ke arah Arya. Dalam cekaman kemarahan yang bergelora ia mengeluarkan sebatang cambuk berujung tiga. Pada tiap-tiap ujungnya terbelit sebatang pisau yang putih berkilat. Sekarang, tiga batang pisau itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan di tubuh Dewa Arak.

"Manusia pengecut!" Pertiwi yang memang sudah sejak tadi siap menolong Arya langsung melesat ke depan pemuda berambut putih keperakan itu. Entah kapan mengambilnya, di tangan Pertiwi telah tergenggam sehelai sabuk hitam panjang.

Prat, prattt, prattt!

Tiga batang pisau Patuka terpental ke belakang ketika dengan gerakan luar biasa ujung sabuk Pertiwi bergerak tiga kali memapaki luncuran pisau. Patuka menggeram keras melihat serangannya kandas. Walau tidak ingin bertarung dengan Pertiwi yang telah menarik hatinya, tapi karena gadis itu menghalangi tindakannya, terpaksa ia menyerang Pertiwi. Hanya apabila Pertiwi telah roboh dia dapat membunuh Dewa Arak. Untuk merobohkan Pertiwi tidak ada jalan lain kecuali bertarung dengan gadis berpakaian hitam yang memiliki kepandaian luar biasa ini.

Pertarungan sengit antara kedua orang muda itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi meledak-ledak terdengar ketika cambuk dan sabuk dilecutkan. Dalam pengerahan tenaga dalam tinggi, senjata lemas itu tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam.

Baik Pertiwi maupun Patuka bertarung dengan penuh semangat, agar bisa merobohkan lawan secepatnya. Bedanya kalau Patuka tidak melancarkan serangan-serangan maut terhadap Pertiwi, tidak demikian halnya dengan putri Panangkaran. Pertiwi melancarkan serangan-serangan yang sebagian besar dapat mengirim nyawa lawannya ke alam baka.

Cambuk Patuka menegang kaku bagai tombak. Sementara sabuk Pertiwi mampu menjadi pedang yang luar biasa tajam. Dalam keadaan seperti itu Patuka maupun Pertiwi bisa menggunakan senjatanya untuk menusuk, membacok, atau membabat yang mengeluarkan bunyi bercicitan tajam.

Rrrttt!

Pertiwi yang tidak sabar melihat pertarungan berjalan seimbang, pada suatu kesempatan disaat cambuk Patuka meluncur, Pertiwi mempergunakan sabuknya untuk melilit cambuk Patuka. Pertiwi yang sudah merencanakan hal itu segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Menurut perhitungannya, Patuka yang tidak ingin kehilangan senjatanya pasti akan menarik pula. Dan, ternyata benar. Tarik-menarik pun terjadi.

Di saat cambuk dan sabuk menegang karena pengaruh tarikan, Pertiwi mengibaskan tangan kirinya. Bubuk-bubuk halus yang berada di sapu tangan dalam genggaman tangan kiri Pertiwi meluncur ke arah wajah Patuka. Bubuk itu berbau harum yang memabukkan.

Patuka kaget bukan main melihat serangan yang tidak terduga ini. Semula, mengingat kegagahan sikap Pertiwi, Patuka mengira Pertiwi merupakan murid seorang pendekar. Tak mungkin murid seorang pendekar melakukan kecurangan. Keyakinan akan dugaannya itu yang mengejutkan Patuka. Apalagi, ketika mengetahui serangan Pertiwi ternyata beracun.

Meski demikian, Patuka tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan diri. Dengan pengerahan tenaga dalam ditiupnya debu-debu halus yang meluncur ke wajahnya, hingga berbalik kembali pada Pertiwi. Pertiwi sebagai pemilik bubuk-bubuk itu tentu saja tidak merasa khawatir. Dia hanya memejamkan mata agar bubuk-bubuk itu tidak masuk ke dalam mata. Pada saat yang bersamaan gadis itu mengirimkan tendangan ke paha kanan Patuka.

Desss!

Tubuh Patuka terjengkang ke belakang ketika dengan telak kaki Pertiwi menghantamnya. Cambuk yang sejak tadi dipertahankan terlepas dari pegangan. Pertiwi tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Sekali tangan kanannya yang memegang sabuk dikibaskan, cambuk Patuka melayang deras ke arah pemiliknya. Pertiwi mempergunakan kesempatan di saat Patuka tengah sibuk menghadapi serangan cambuknya sendiri untuk melompat jauh ke belakang dan menyambar tubuh Arya.

Pemuda itu sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan dengan rasa khawatir. Arya yang telah kenyang pengalaman mengetahui kepandaian Pertiwi dan Patuka hampir berimbang. Bila diteruskan, salah satu di antara mereka pasti akan celaka. Yang menang terluka parah dan yang kalah akan tewas. Betapa leganya hati Arya ketika melihat Pertiwi menghentikan pertarungan dan membawanya kabur meninggalkan tempat itu.

Berbeda dengan Arya, Patuka merasa geram bukan main. Dia mencoba untuk mengejar. Tapi, kakinya yang terkena tendangan terasa nyeri ketika digunakan untuk berdiri, apalagi jika berlari. Patuka hanya bisa menatap kepergian Pertiwi yang membawa Arya.

TUJUH
"Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadapku, Pertiwi?"

Dalam keadaan tubuh dipondong Pertiwi yang tengah berlari cepat Arya mengajukan pertanyaan itu.

"Membawamu pada Dewa Obat Tangan Sakti untuk memintanya agar mengobatimu," beritahu Pertiwi tanpa mengendurkan kecepatan larinya.

"Apakah kau tidak bisa mengobatiku, Pertiwi? Aku dengar meski julukannya Dewa Obat, dia tidak mudah menerima orang untuk diobatinya. Kudengar dia orang yang aneh. Kadang orang yang meminta pengobatannya dibiarkannya saja sampai betul-betul parah."

"Apa yang kau dengar itu memang tidak salah, Arya. Dewa Obat Tangan Sakti memang memiliki perangai aneh. Tapi, hanya dialah yang memiliki pemunah racun yang bersarang di tubuhmu. Sedangkan ayahku tidak mungkin memberikan pertolongan. Jadi, hanya tinggal Dewa Obat Tangan Sakti satu-satunya harapan kita," jelas Pertiwi panjang lebar.

"Aku mendengar nada ketidakyakinan akan keberhasilan usaha ini, Pertiwi? Apakah tidak sebaiknya kau hentikan saja usahamu. Aku yakin akan dapat mengobati keracunan ini dengan arak dalam guciku. Arakku mampu menawarkan segala macam racun." Arya mengajukan usul.

"Kau terlalu menganggap enteng racun kelabang merah, Arya." Terdengar agak kesal sambutan yang diberikan Pertiwi. "Apakah kau tidak tahu kalau tenaga dalammu telah lenyap?"

"Ah...!" Arya berseru kaget. Tentu saja dia tahu tenaga dalamnya telah lenyap. Itu diketahuinya sewaktu bertemu dengan Patuka di semak-semak dan pemuda itu menyerangnya dengan pukulan jarak jauh. Arya mencoba melompat ke atas. Namun, tidak jadi dilakukannya ketika tidak merasakan adanya putaran tenaga dalam di pusarnya. Dengan untung-untungan Arya membanting tubuh di tanah dan bergulingan. Untung, sebelum maut merenggut nyawanya Pertiwi keburu muncul dan menolongnya. "Jadi..., lenyapnya tenaga dalamku karena pengaruh racun kelabang merah?"

"Itu tanda-tanda permulaan saja, Arya," jawab Pertiwi sungguh-sungguh. "Lewat sehari kau akan terserang rasa panas yang sangat. Hingga, semua bulu yang ada di tubuhmu rontok dan tidak pernah tumbuh lagi untuk selamanya. Kemudian, sedikit demi sedikit akan muncul bercak-bercak putih di kulitmu. Bagian yang terdapat bercak ini akan mati rasa. Kejadian selanjutnya sungguh mengerikan. Mulai dari ujung jari, seruas demi seruas akan terpisah dalam keadaan hancur. Mungkin pula dimulai dari hidung. Sayang, aku tidak tahu pasti. Tapi, yang jelas apabila sudah sampai pada keadaan seperti itu, ditolong pun kurasa tidak ada gunanya lagi!"

Arya tidak mampu memberikan sambutan atas uraian Pertiwi. Pemuda berambut putih keperakan yang memiliki kepandaian menakjubkan itu merasa ngeri! Siksaan yang didengarnya terlalu dahsyat.

"Tapi, kudengar Dewa Obat Tangan Sakti sukar dicari tempat tinggalnya. Apakah... waktu yang kita miliki cukup untuk mencarinya? Belum lagi kalau dia menolak?" Arya membuka percakapan dengan suara kering.

"Tenanglah, Arya, semua itu sudah kupikirkan. Percayalah, kau akan diobatinya dan sembuh." Pertiwi mencoba menenangkan hati Arya.

Arya tidak memberikan tanggapan lagi. Gadis itu mencoba untuk membuatnya tidak gelisah. Padahal, Arya tidak gelisah. Ia sudah siap menerima kenyataan yang paling buruk. Karena tidak ada percakapan lagi, meski tengah berlari benak Pertiwi menerawang jauh. Gadis berpakaian hitam ini telah bertekad apa pun yang terjadi Dewa Arak harus diobati Dewa Obat Tangan Sakti.

Pertiwi kembali teringat pertemuannya pertama kali dengan Arya. Saat itu dia dikejar-kejar kakek berpakaian putih. Ia melihat seorang pemuda berambut putih keperakan tengah berlari ke arahnya. Dalam pertemuan pertama itu hati Pertiwi telah tergetar. Tubuh Arya yang tegap dan kekar serta wajahnya yang tampan menimbulkan kekaguman di hati Pertiwi.

Kekaguman Pertiwi semakin menjadi-jadi ketika melihat dengan beraninya Arya menghadang kakek berpakaian putih. Sayang, kesempatan yang tidak memungkinkan membuatnya tidak dapat mengenal Dewa Arak lebih jauh. Pertiwi baru mengetahui lebih banyak tentang Arya ketika pemuda berambut putih keperakan itu menjadi tawanan ayahnya.

Kekaguman yang akhirnya membuahkan rasa cinta. Apalagi, ketika mengetahui orang yang dikaguminya ternyata Dewa Arak dan memiliki kepandaian di atas ayahnya. Perasaan cinta itu membuat Pertiwi berani menanggung akibat dengan menolong Dewa Arak yang sama artinya dengan menantang ayahnya.

* * *

"Ratih...." Suara pelan yang sarat dengan perasaan iba itu keluar dari mulut seorang kakek berpakaian abu-abu. Kakek itu berada di dalam sebuah gua yang mempunyai ruangan cukup luas.

"Seperti sudah kukatakan, yang telah mati kita relakan saja. Tidak usah dipikirkan lagi. Apalagi sampai demikian sedih. Beberapa hari kau tidak makan. Aku khawatir kau jatuh sakit. Andai kata ayahmu yang telah meninggal diberikan kesempatan untuk kembali ke dunia, dia pasti akan menyuruhmu berhenti melakukan penyiksaan diri seperti ini."

"Yang kusesalkan mengapa dia harus mati seperti itu, Kek?" protes Ratih, putri Dewa Seribu Pisau.

Kakek berpakaian abu-abu tersenyum lebar penuh kesabaran. "Setiap orang memang akan mati, Ratih. Dan, caranya tentu saja tidak sama. Menurut pendapatku, ayahmu, gembira dengan cara kematiannya, karena sesuai dengan dirinya sebagai seorang tokoh persilatan. Apakah kau lebih suka ayahmu mati karena sakit? Berbulan-bulan terbaring di tempat tidur dan tersiksa oleh penyakitnya. Tegakah kau melihatnya, Ratih?"

Ratih terdiam. Nasihat kakek berpakaian abu-abu bisa diterima oleh akal sehatnya. Meski demikian, kemurungan pada wajahnya tidak terusir. Hanya, sorot penasaran dalam matanya tidak terlihat lagi.

"Lagi pula." Kakek berpakaian abu-abu menambahkan. "Kalau kau terus berlaku seperti ini, bagaimana bisa membalaskan sakit hati ayahmu? Kau malah akan mati perlahan dengan batin tersiksa. Ah, betapa mengerikan!"

Wajah Ratih tampak beriak. Kata-kata yang diucapkan kakek berpakaian abu-abu telah membakar semangat hidup Ratih.

"Ada orang datang, Ratih. Dua orang mendatangi tempat ini. Langkah salah satu di antara mereka terdengar jelas oleh telingaku. Berat, seperti langkah orang yang tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh. Mari kita lihat siapa mereka." Tiba-tiba kakek berpakaian abu-abu berkata agak lirih. Dengan sikap segan Ratih mengikuti kakek berpakaian abu-abu melangkah keluar gua.

Ruangan yang berada di dalam gua ternyata tidak jauh dari mulut gua. Dalam beberapa belas langkah, kakek berpakaian abu-abu dan Ratih telah hampir sampai di mulut gua. Mendadak langkah mereka bertambah cepat. Malah, terdengar Ratih menggertakkan gigi. Tatapannya tertuju lurus ke depan dengan sorot mata penuh kebencian dan dendam!

Pemandangan keluar gua memang terang benderang. Di depan gua, hanya berjarak sekitar enam tombak dari mulut gua, berdiri dua sosok tubuh. Seorang pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba hitam. Dewa Arak dan Pertiwi. Wajah Pertiwi tampak sangat tegang. Begitu mengenali betul orang yang berdiri di depan mulut gua. Ratih tidak bisa menahan sabar lagi. Dia segera melesat keluar untuk melancarkan serangan. Tapi, baru beberapa langkah ayunan kaki Ratih terhenti. Suatu kekuatan tak nampak telah menahan ayunan kakinya. Ratih yang tengah kalap tidak mau menyerah. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan.

Namun, usahanya sia-sia. Memang kedua kaki Ratih berlari, tapi hanya di tempat itu saja. Dengan penasaran Ratih menoleh ke belakang. Dia menduga kejadian ini pasti perbuatan kakek berpakaian abu-abu. Dan, dugaan gadis berpakaian merah ini memang tidak keliru. Ratih melihat kakek berpakaian abu-abu menjulurkan kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan itulah keluar kekuatan dahsyat yang menahannya.

Tubuh Ratih yang tengah melesat keluar itu, tiba-tiba berhenti. Suatu kekuatan tak nampak telah menahan ayunan kakinya! Tentu saja Ratih tidak sudi menyerah. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Namun, usahanya sia-sia. Memang kedua kaki Ratih terlihat seperti berlari, tapi hanya di tempat itu saja!

Melihat Ratih menoleh, kakek berpakaian abu-abu tersenyum. Lalu, tangannya digerakkan seperti menarik sesuatu. Ratih tidak mampu mempertahankan tubuhnya yang meluncur deras ke arah kakek berpakaian abu-abu.

"Sabar, Ratih tidak ada gunanya kau umbar kemarahan. Wanita itu memiliki kepandaian jauh di atasmu. Menurutkan kemarahan hanya akan merugikan dirimu sendiri. Tenanglah."

Kakek berpakaian abu-abu lebih dulu memberi nasihat sebelum Ratih melontarkan protes. "Hilangkan amarahmu, dan tenangkan hati. Kita bersama-sama keluar. Percayalah, dengan adanya aku, gadis liar itu tidak akan berbuat semaunya terhadapmu."

Tanpa memberi kesempatan pada Ratih untuk memberikan jawaban, kakek berpakaian abu-abu menggandeng Ratih keluar goa. Tapi, baru beberapa tindak terdengar seruan halus bernada teguran.

"Lebih baik kau berdiam saja di dalam gua, Pendekar Kaki Seribu. Orang-orang itu datang kemari untuk menemuiku. Biar aku yang menyambutnya!"

Belum sempat kakek berpakaian abu-abu dan Ratih memberikan sahutan, angin berkesiur dan di dekat mereka telah berdiri kakek berpakaian putih. Kakek yang tadi juga berada bersama Ratih dan Pendekar Kaki Seribu. Hanya, sejak tadi ia duduk bersila dan berdiam diri saja. Tidak peduli dengan kejadian yang berlangsung di sekelilingnya.

Kakek berpakaian putih lalu mengayunkan kaki menuju mulut goa, Ratih bingung. Kakek berpakaian putih itulah yang menyembuhkan luka keracunannya. Tapi, sayang kakek itu tidak bisa diajak bicara. Yang dilakukannya hanya duduk bersemadi. Berbeda dengan Pendekar Kaki Seribu yang mau peduli akan nasib yang menimpanya.

Ratih menoleh ke arah Pendekar Kaki Seribu. Dilihatnya kakek itu mengangguk dan memberi isyarat agar Ratih mengikuti kakek berpakaian putih. Dengan ragu-ragu Ratih menuruti saran itu. Sempat dilihatnya Pendekar Kaki Seribu melangkah kembali ke ruangan dalam goa.

Pemilik tempat ini memang kakek berpakaian putih. Pendekar Kaki Seribu kawan kental kakek berpakaian putih. Tapi, sikap kakek berpakaian putih pada Pendekar Kaki Seribu terlihat dingin dan tak acuh. Seorang kakek yang aneh! Begitu kakek berpakaian putih dan Ratih muncul di mulut goa, Pertiwi mengembangkan senyum lebar tapi dengan pandangan meremehkan.

"Selamat berjumpa lagi, Dewa Obat Tangan Sakti. Sungguh tidak kusangka gelar yang kau sandang bukan omong kosong belaka. Telah kubuktikan sendiri kehebatan ilmu pengobatanmu dengan berhasil menyembuhkan luka beracun pada wanita di sebelahmu. Meski harus kuberitahu kalau racun itu hanya suatu racun yang tergolong ringan." Pertiwi membuka suara menyambut kedatangan kakek berpakaian putih dan Ratih.

Kakek berpakaian putih yang disapa Pertiwi dengan julukan Dewa Obat Tangan Sakti mengernyitkan alis. Dia tidak tahu ke mana arah ucapan putri Panangkaran itu. Meski demikian, Dewa Obat Tangan Sakti tidak terlalu memikirkannya. Perhatian kakek ini lebih banyak tertuju pada Dewa Arak.

Dewa Obat Tangan Sakti segera dapat mengetahui Dewa Arak tengah menderita keracunan hebat. Siapakah yang telah melukainya? Kakek itu bertanya dalam hati. Beberapa hari yang lalu ia sempat bentrok dengan Dewa Arak. Saat itu, pemuda berambut putih keperakan ini dalam keadaan segar bugar.

Bukan hanya Dewa Obat Tangan Sakti saja yang terkejut. Hal yang sama pun menimpa Dewa Arak. Arya sungguh tidak menyangka Dewa Obat Tangan Sakti adalah kakek yang dulu mengejar-ngejar Pertiwi dan hampir terlibat pertarungan dengannya. Dalam hati Arya menghela napas berat. Ia tahu harapan Dewa Obat Tangan Sakti akan mengobatinya sangat kecil. Sekarang Arya mengerti mengapa Pertiwi tidak yakin dengan keberhasilan usahanya. Tapi, mengapa Pertiwi tetap saja meneruskan usahanya?

Pertiwi yang melihat sikap Dewa Obat Tangan Sakti seperti tidak mempedulikan ucapannya tampak mendongkol sekali. Namun, karena sedang memiliki keperluan gadis itu berusaha menahannya. Suaranya masih terdengar tenang ketika berbicara lagi.

"Dewa Obat Tangan Sakti, apakah kau takut mendengar ucapanku maka bersikap tidak peduli? Ataukah kau takut ketidak-becusanmu dalam ilmu pengobatan diketahui orang banyak kalau kau mendengar ucapanku lebih lanjut? Kau takut aku menantangmu untuk menguji apakah kau pantas berjuluk Dewa Obat. Kudengar banyak orang yang berobat padamu bukannya sembuh tapi malah tewas. Bukankah itu berarti kau tidak memiliki ilmu pengobatan yang cukup?"

Akibat ucapan Pertiwi sungguh hebat Wajah Dewa Obat Tangan Sakti merah padam karena merasa tersinggung. Keahliannya diragukan orang, bahkan dicela. Tentu saja dia menjadi kalap! Apa-lagi yang menghinanya seorang gadis muda. Sungguh berani Pertiwi meremehkan kemampuannya sebagai seorang Dewa Obat!

"Tidak usah berbelit-belit, Gadis Bermulut Tajam! Katakan apa maksud kedatanganmu?" tanya Dewa Obat Tangan Sakti dengan geram.

Pertiwi tahu umpannya telah mengena. Dewa Obat Tangan Sakti telah kena pancing. Tapi, dengan cerdiknya gadis berpakaian hitam ini menyembunyikan rasa gembiranya. Ia mendengus meremehkan.

"Mungkin kau belum tahu siapa diriku, kakek tua yang berani sombong memakai gelar Dewa Obat! Tidak ada salahnya kalau aku memperkenalkan diri. Namaku, Pertiwi. Aku mempunyai seorang ayah sekaligus kakak seperguruan yang bernama Panangkaran. Guruku yang juga menjadi guru ayahku berjuluk Raja Racun Langit Bumi!"

Dewa Obat Tangan Sakti sebenarnya kaget bukan main mendengar orang-orang yang menjadi ayah dan guru Pertiwi. Pentolan-pentolan sesat! Panangkaran saja terkenal lihai bukan main. Apalagi gurunya yang berjuluk Raja Racun Langit Bumi. Seorang manusia yang menganggap racun seperti makanan atau minuman. Meski demikian, untuk menjaga wibawanya kakek berpakaian putih ini mengambil sikap tidak peduli. Seakan ia mendengar hal yang biasa saja.

DELAPAN

Pertiwi tidak menjadi kecil hati kendati Dewa Obat Tangan Sakti bersikap tidak peduli dengan nama-nama orang yang disebutnya. Sikap gadis berpakaian hitam ini tetap seperti semula. Sementara, Ratih menatap ke arahnya dengan pandangan yang seperti ingin menelannya bulat-bulat.

"Guruku, Raja Racun Langit Bumi, pernah menceritakan tentang dirimu yang katanya memiliki ilmu pengobatan mengagumkan. Guruku mengatakan kau ahli obat-obatan nomor satu. Bahkan konon tidak ada luka biasa maupun keracunan yang tidak bisa kau atasi. Meski demikian guruku tidak yakin kau mampu mengobati luka beracun akibat tangan guruku. Terdorong untuk mencoba kelihaian ilmu pengobatanmu, aku tidak membunuh putri Dewa Seribu Pisau ketika aku melihat kedatanganmu. Aku ingin tahu apakah kau berhasil menyembuhkan luka beracun yang dideritanya. Beberapa orang ahli obat yang kutemui di perjalananku mampu menyembuhkan luka seperti itu. Jadi, keberhasilanmu mengobati gadis itu tidak menjamin kau benar-benar patut bergelar Dewa Obat. Itulah sebabnya hari ini kubawa korban yang terkena pukulan beracun ayahku. Kalau kau berhasil menangkal racun ini, kau memang patut bergelar Dewa Obat. Tentu saja kalau kau tidak berani menyambut tantangan ini aku tidak akan memaksa. Menyerah mungkin lebih baik daripada kau berusaha tapi gagal!"

Pertiwi yang memiliki kecerdikan, lebih tepatnya kelicikan luar biasa, sengaja menutup tantangannya dengan kata-kata demikian. Kata-kata yang memaksa Dewa Obat Tangan Sakti memenuhi tantangan yang diajukan Pertiwi jika tidak ingin julukannya hancur dan menjadi ejekan tokoh-tokoh persilatan!

Dan memang, sambutan yang diberikan Dewa Obat Tangan Sakti tidak meleset dari perkiraan Pertiwi. Dengan muka merah padam karena tersinggung kakek berpakaian putih itu melangkah maju.

"Kuterima tantanganmu, Gadis Bermulut Ular! Bukankah pemuda itu yang menjadi kelinci percobaanmu?" Dewa Obat Tangan Sakti menuding ke arah Arya.

Arya yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dalam hati memuji kecerdikan Pertiwi. Sejak semula memang telah disepakati ia akan diam saja. Pertiwi yang akan mengurus semuanya. Dan, gadis berpakaian hitam itu ternyata berhasil.

Begitu melihat Pertiwi mengangguk, Dewa Obat Tangan Sakti melambaikan tangannya. "Kemari kau, Anak Muda. Biar kulihat sampai di mana kehebatan racun Raja Racun Langit Bumi!" perintah kakek berpakaian putih itu pada Dewa Arak.

Tanpa banyak cakap Arya melangkah maju. Tapi, baru beberapa tindak ayunan kakinya dihentikan. Ia mendengar seruan yang telah cukup dikenalnya.

"Kau tertipu oleh seorang bocah kemarin sore, Dewa Obat! Kami tak pernah mengajakmu melakukan pertandingan bodoh ini!"

Kalau Arya yang baru mendengar beberapa kali telah bisa mengenali pemiliknya, apalagi Pertiwi. Wajah gadis itu langsung pucat pasi. Suara itu adalah milik... ayahnya, Panangkaran!

Belum juga gema ucapan itu lenyap, berkelebat dua sosok bayangan yang langsung menjejakkan kaki di sebelah kanan Dewa Obat Tangan Sakti. Wajah pucat Pertiwi semakin memucat ketika melihat sosok lelaki di sebelah ayahnya. Sosok tinggi besar dari seorang kakek berambut panjang putih tergerai. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Kakek yang mirip raksasa ini memiliki raut muka demikian dingin. Ia adalah guru dari Pertiwi dan Panangkaran, Raja Racun Langit Bumi!

Dulu, sebelum berguru pada Raja Racun Langit Bumi, Panangkaran mempunyai seorang guru yang berjuluk Mayat Berkabung. Tapi, gurunya tewas ketika terjadi penyerbuan kelompok pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu Pisau dan Bagas Pati. Itu terjadi dua belas tahun lalu. Panangkaran sendiri terluka parah. Demikian pula dengan putrinya, Pertiwi.

Namun, keduanya berhasil diselamatkan oleh Raja Racun Langit Bumi yang kebetulan lewat di tempat itu. Nasib Panangkaran dan putrinya tengah mujur karena Raja Racun Langit Bumi berkenan mengangkat mereka menjadi murid.

Setelah hampir dua belas tahun menuntut kepandaian, Panangkaran dan Pertiwi yang diamuk dendam mulai turun tangan. Mereka melakukan pembalasan. Satu-persatu para pendekar yang terhitung dalam penyerbuan terhadap gerombolan Panangkaran berguguran di tangan Panangkaran dan Pertiwi. Keluarga mereka pun ditumpas sebagaimana halnya keluarga Bagas Pati dan Dewa Seribu Pisau. Dan sekarang, Pertiwi dan Panangkaran saling berhadapan di pihak yang berlawanan.

Meski merasa gentar melihat keberadaan ayah dan gurunya, maksud hati Pertiwi tidak menjadi surut. Dengan sikap gagah gadis berpakaian hitam ini melompat ke depan Dewa Arak untuk melindungi. Raja Racun Langit Bumi mengeluarkan dengusan mengejek dari hidungnya melihat sikap Pertiwi.

"Rupanya putrimu telah terpikat oleh ketampanan bocah gila itu, Panangkaran," dingin dan datar nada ucapan kakek berpakaian serba hitam itu.

Wajah Panangkaran tampak merah padam karena malu dan marah. Meski tidak langsung, tapi Panangkaran tahu Raja Racun Langit Bumi menegurnya. Dari nada ucapan kakek tinggi besar itu, Panangkaran juga tahu Raja Racun Langit Bumi murka dan menyuruhnya untuk memberi-kan hukuman kepada Pertiwi.

"Biar kulenyapkan saja anak tak tahu diuntung ini, Guru," ujar Panangkaran, geram.

Raja Racun Langit Bumi tidak memberikan tanggapan. Bahkan, ketika Panangkaran mulai melangkah dengan sikap mengancam menghampiri Pertiwi.

Pertiwi sampai terbelalak mendengar ucapan Panangkaran. Dia terkesima karena tidak percaya. Benarkah ayahnya akan sampai hati membunuhnya? Keterkejutan yang melanda hati Pertiwi membuat gadis itu tetap berdiam diri kendati Panangkaran telah melangkah tiga tindak.

Melihat perkembangan yang tidak disangka-sangka itu, Dewa Obat Tangan Sakti menjadi bingung. Tapi kemudian dia menjadi tersinggung karena merasa dilangkahi. "Tunggu, Panangkaran! Aku mau bicara!" seru kakek berpakaian putih itu penuh wibawa.

"Apakah kau sekarang telah menjadi orang yang tidak mempunyai rasa malu sehingga mau mencampuri urusan seorang ayah dan anaknya!" jawab Panangkaran tajam sehingga wajah Dewa Obat Tangan Sakti berubah pucat saking malunya. Kakek berpakaian putih ini pun tidak membuka suara lagi.

"Ayah...!" Pertiwi berseru dengan suara bergetar. Ia tidak menyangka ayahnya akan sampai hati ingin membunuhnya. Perasaan gadis berpakaian hitam ini hancur luluh. Air mata mengembang pada ke-dua bola matanya.

"Ayo, keluarkan senjatamu dan lawan aku, Anak Durhaka! Tidak usah tanggung-tanggung kau tolong Pemuda Sombong itu! Ayo, serang dan bunuh aku!" sambut Panangkaran dengan suara menggeledek.

Sekujur tubuh Pertiwi menggigil hebat. Sungguh tidak disangka akan demikian hebat akibat tindakannya menolong Dewa Arak.

"Menyingkiriah, Pertiwi. Biarkan ayahmu membunuhku. Tidak patut seorang anak bertarung dengan ayahnya sendiri." Arya mengetahui pergolakan hebat di batin Pertiwi mencoba memberikan nasihat.

Pertiwi semakin bimbang. Dia hanya bisa menatap wajah Panangkaran dengan sorot mata yang membayangkan kepedihan. Tapi, Panangkaran semakin memiliki hati baja. Dia tidak sedikit pun merasa terharu melihat keadaan putrinya. Bahkan, lelaki bermata satu ini menggeram keras.

"Keparat! Hayo, bersiaplah untuk bertarung denganku, Anak Durhaka! Pantang bagi Panangkaran untuk membunuh lawan yang tidak melawan!"

Tantangan itu justru membuat kedua kaki Pertiwi semakin menggigil. Kemarahan Panangkaran pun meledak!

"Baiklah! Rupanya kau perlu dipanasi dulu agar mau bertarung denganku," ujar Panangkaran tidak sabar. "Ketahuilah, hei anak tak tahu diuntung, kau bukan anakku! Aku tidak pernah mempunyai anak! Kau masih bayi ketika kutemukan di sebuah kerimbunan semak dua puluh tahun lalu. Kau bukan anakku, paham? Sekarang, aku akan membunuhmu. Ayo, lawan aku! Mungkin ayah ibumu telah tewas di tanganku karena kesenanganku adalah membunuh orang. Nah! Kau dengar itu?!"

Semua orang terperanjat mendengar pengakuan Panangkaran. Mereka tidak menyangka hal itu. Terutama Pertiwi. Gadis berpakaian hitam ini mengeluh tertahan setelah terbelalak sesaat. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah seperti karung basah. Pertiwi jatuh pingsan!

"Pertiwi...!" Arya terkejut melihat keadaan Pertiwi. Dia ingin menangkap tubuh gadis berpakaian hitam itu agar tidak membentur tanah. Tapi, ketidak-adaan tenaga dalam membuat gerakannya kurang gesit. Tangkapannya pun hanya mengenai angin.

Sebelum Arya sempat berjongkok untuk memeriksa keadaan Pertiwi, terdengar bentakan nyaring yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan coklat meluncur ke arah Arya Meski tenaga dalamnya telah lenyap, pandangan Dewa Arak masih tetap tajam. Dia dapat mengetahui sosok bayangan itu menyerangnya dengan ayunan tangan kanan berbentuk cakar naga yang ditujukan ke arah kepala.

"Pembunuh Keji! Sekarang tamatlah riwayatmu...!" seru sosok bayangan coklat mengiringi luncuran serangan mautnya.

Arya menyadari benar tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan nyawanya. Serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba. Sementara tenaga dalamnya telah lenyap. Tapi, sebelum batok kepala Arya hancur dihantam cakar naga, sesosok bayangan melesat memapaki.

"Hentikan, Patuka!" Terdengar suara keras dari sosok bayangan yang baru datang.

Plakkk!

Tubuh kedua sosok itu terjengkang ke belakang ketika benturan terjadi. Namun, dengan manisnya mereka mematahkan daya luncur dan menjejak tanah dengan mantap.

Arya menghela napas berat ketika melihat penyerangnya adalah Patuka. Sedangkan sosok yang menyelamatkan seorang pemuda berpakaian kuning, Ludiga. Pemuda yang dilihatnya tengah mengguncang-guncang mayat Bagas Pati. Memang, setelah terjadi pertempuran dengan Patuka dan kegagalannya mencari Panangkaran, Arya kembali untuk mencoba mengobati Bagas Pati.

Tapi, ternyata kedatangannya terlambat. Dari jarak yang cukup jauh dilihatnya Ludiga tengah menangisi mayat Bagas Pati. Karena tak ingin mengganggu, pemuda berambut putih keperakan itu segera pergi dengan diam-diam. Sungguh tidak disangka kalau sekarang Ludiga lah yang menjadi penolongnya.

"Ludiga...!" seru Patuka, kaget. "Mengapa kau berada di sini?"

"Aku datang untuk mencegahmu melakukan tindakan bodoh memusuhi Dewa Arak. Kau tahu, Guru telah melarang maksudmu itu. Aku juga tengah mencari Panangkaran yang telah membunuh orangtuaku. Hentikan maksudmu itu, Patuka! Atau kau berani mencoba melawanku? Ingat, aku akan mencegahmu. Dan, Guru menyetujui tindakanku!"

"Kau... kau..., siapa kau? Rasanya wajahmu tidak asing bagiku?" tanya Panangkaran agak bergetar karena heran. Sepasang matanya menatap wajah Ludiga lekat-lekat.

Ludiga yang sadar wajahnya memang mirip dengan wajah ayahnya di waktu masih muda membusungkan dada sebelum menjawab. "Namaku Ludiga. Ayahku bernama Bagas Pati. Aku yakin beliau yang kau maksud!"

"Ha ha ha...!" Panangkaran tertawa bergelak. Kelihatan gembira sekali. Tapi hanya pendek saja tawanya. Kemudian langsung ditutup dengan dengusan. Wajah lelaki bermata satu ini pun berubah bengis. "Jadi, kau putra si keparat Bagas Pati? Kalau begitu silakan kau menyusul ayah dan ibumu yang telah pergi ke alam baka. Sungguh tidak kusangka kau akan datang mengantarkan nyawa!"

Wajah Ludiga berubah hebat. Ditatapnya wajah Panangkaran tajam-tajam. "Jadi..., kau Panangkaran...?!" tanya Ludiga, kaget. Memang, pemuda ini hanya mengenal nama Panangkaran, tapi tidak tahu orangnya.

"Memangnya kau kira siapa?" Panangkaran menjawab dengan penuh kebanggaan.

Jawaban itu membuat Ludiga marah dan menyerangnya dengan sengit. Panangkaran dengan gembira menyambuti. Pertarungan pun berlangsung.

Melihat muridnya telah terlibat dalam pertarungan, Raja Racun Langit Bumi segera mengayunkan kaki mendekati Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu telah menyingkir ke tempat yang lebih aman begitu pertarungan terjadi. Tak lupa dibawanya tubuh Pertiwi.

Kali ini Patuka tidak menyerang Dewa Arak lagi. Dia takut melakukan hal itu karena keberadaan Ludiga yang merupakan kakak seperguruannya. Patuka tidak berani menentang Ludiga, apalagi bertarung dengannya. Belum lagi jika diingat gurunya berdiri di belakang Ludiga.

Kenyataan itu membuat Patuka jadi bimbang. Kalau Dewa Arak memang bersalah, tanpa diminta pun Ludiga dan gurunya pasti akan membantunya untuk membuat perhitungan dengan Dewa Arak. Api dendamnya dalam hati Patuka pun mulai menyusut kendati tetap tidak bisa dihilangkan.

Terdengar bunyi tang-tung-tang-tung yang begitu nyaring. Sesaat kemudian, di belakang Dewa Arak telah berdiri seorang kakek berpakaian tebal. Malaikat Salju. Kakak kandung Raja Racun Langit Bumi.

"Jangan kau lanjutkan maksudmu yang tidak baik itu!" ujar Malaikat Salju pelan tapi mengandung wibawa kuat sehingga Raja Racun Langit Bumi tertegun sejenak. "Kurasa lebih baik kau tolong Dewa Arak dulu, Dewa Obat. Aku yakin keadaannya telah mengkhawatirkan!"

Kali ini Raja Racun Langit Bumi menatap wajah Malaikat Salju dengan sinar mata penuh tantangan. "Muridku berhasil mencelakai Dewa Arak dengan kecerdikannya. Kalau kau memang mampu, silakan merampasnya dariku!" tantang Raja Racun Langit Bumi.

Malaikat Salju tersenyum getir. "Sejak dulu jalan hidup kita selalu bersimpangan, tapi tak pernah terjadi bentrokan. Sekarang, rupanya hal itu tidak bisa dipertahankan lagi. Majulah, aku pun ingin melihat sampai di mana kemajuan yang kau dapatkan!"

Jawaban dari tantangan Malaikat Salju adalah serangan Raja Racun Langit. Bumi. Kakek tinggi besar laksana raksasa ini membuka serangan dengan tamparan bertubi-tubi ke arah pelipis. Malaikat Salju menyambutinya sehingga pertarungan antara kakak beradik ini pun berlangsung.

Pertarungan itu dahsyat bukan main. Debu mengepul tinggi ke udara. Terasa sergapan hawa dingin yang mampu membekukan jalan darah ke-tika Malaikat Salju mengirimkan serangan. Semua yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa takjub. Tubuh kedua tokoh yang telah gaek itu lenyap karena cepatnya mereka bergerak. Yang ter-lihat hanya dua kelebatan bayangan yang saling belit Beberapa saat kemudian....

"Ah!" Raja Racun Langit Bumi terhuyung-huyung ke belakang. Ia memekik tertahan ketika paha kanannya terkena tendangan kakaknya. Pertarungan langsung terhenti karena Malaikat Salju tidak melanjutkan serangannya.

"Bagaimana? Apakah kau tidak mau mengaku kalah?" tanya Malaikat Salju, geram.

"Minumkan saja obat ini!" Raja Racun Langit Bumi melemparkan obat pulung berwarna putih yang langsung ditangkap Malaikat Salju dan kemudian diberikannya pada Arya. Kakek tinggi besar ini tidak mengakui kekalahannya. Tapi, dari tindakan yang dilakukannya, semua orang tahu Raja Racun Langit Bumi telah kalah!

Tanpa ragu-ragu Arya menelannya. Sesaat kemudian, Arya merasakan keadaan tubuhnya mulai membaik. Obat Penawar Racun Raja Racun Langit Bumi ternyata manjur sekali. "Lukamu telah sembuh, Kek?"

"Tak sampai setengah hari, Dewa Arak," jawab Malaikat Salju gembira karena keadaan Dewa Arak yang dikaguminya mulai membaik.

Obrolan Dewa Arak dengan Malaikat Salju terhenti ketika tiba-tiba terdengar seruan kaget. Hampir bersamaan Dewa Arak, Malaikat Salju, dan Raja Racun Langit Bumi mengalihkan perhatian. Mereka melihat Dewa Obat Tangan Sakti terbelalak menatap Pertiwi yang tengah tergolek di tanah.

"Ada apa, Dewa Obat?" Malaikat Salju yang rupanya cukup dekat dengan kakek berpakaian putih itu menegur.

"Dia pasti cucuku!" seru Dewa Obat Tangan Sakti dengan suara bergetar seraya menunjuk tubuh Pertiwi. "Tanda merah di sebelah kanan lehernya kuingat betul. Aku menengoknya ketika dia baru dilahirkan. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Sedangkan ayahnya menjadi gila dan tak terdengar lagi beritanya. Rupanya, batinnya terguncang dengan kematian istrinya, yaitu anakku. Mungkin sekali anak ini ditinggalkan di rerumputan oleh ayahnya yang telah gila. Bertahun-tahun aku mencari, namun tanpa hasil. Syukur, sekarang kutemukan!" Sepasang mata Dewa Obat Tangan Sakti berkaca-kaca.

Arya dan Malaikat Salju mengucapkan selamat. Kemudian, Malaikat Salju pergi meninggalkan tempat itu dengan mengajak adik kandungnya, Raja Racun Langit Bumi.

Dewa Arak pun pergi tepat pada saat ujung cambuk Ludiga menghantam pelipis kanan Panangkaran hingga retak. Panangkaran tewas tanpa sempat mengeluh lagi. Begitu berhasil menewaskan Panangkaran, Ludiga mengedarkan pandangan mencari Dewa Arak untuk meminta maaf atas ketidak-pantasan sikap Patuka. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu sudah tidak ada lagi.

Arya yang dicari-cari telah berada jauh dari tempat itu. Pemuda berambut putih keperakan itu sengaja tidak menunggu Ludiga selesai bertarung dan Pertiwi sadar dari pingsannya. Arya menyadari kalau Pertiwi mencintainya. Padahal, Arya tidak bisa membalasnya. Jadi, lebih baik pergi tanpa diketahui. Sementara Ratih harus mengubur dendamnya dalam-dalam karena Pertiwi ternyata cucu Dewa Obat Tangan Sakti. Dan lagi, Pertiwi agaknya telah sadar dari kesesatannya.
SELESAI
Selanjutnya,

Dewa Arak - Racun Kelabang Merah

Dewa Arak - Racun Kelabang Merah

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
HARI menjelang petang. Matahari telah condong ke barat. Tampak dua sosok tubuh masih berada di sebuah tanah lapang. Mereka tengah sibuk dengan urusannya sehingga tidak sadar hari perlahan mulai gelap.

"Lihat baik-baik, Ratih!"

Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tegap dan kekar, berpakaian coklat dengan wajah persegi yang membuatnya kelihatan jantan, berkata setengah memberitahu. Ucapan itu ditujukan pada sosok satunya, seorang gadis cantik berpakaian merah, berambut dikuncir satu dan berusia sekitar dua puluh tahun.

Lelaki berwajah persegi mengambil delapan batang pisau kecil dari balik bajunya. Kemudian, dilemparkannya ke depan. Pisau-pisau itu meluncur dalam satu kelompok. Tapi ketika telah meluncur dua tombak, pisau-pisau itu menyebar mencari arah luncuran sendiri-sendiri.

Sepasang mata gadis berpakaian merah membelalak heran bercampur takjub. Memang ia telah diberitahu kalau delapan batang pisau yang meluncur itu akan menghunjam delapan tempat pada sasaran yang berupa orang-orangan dari jerami.

Tapi sebelum delapan pisau itu mendarat di sasaran, pohon besar berdaun lebat yang berada sekitar enam tombak di depan lelaki bermuka persegi dan gadis berpakaian merah, daun-daunnya berguguran bagai diterpa badai. Anehnya, daun-daun yang rontok itu meluncur ke arah delapan batang pisau, seperti sengaja menghadang.

Prat, prat, prattt!

Delapan batang pisau itu berbenturan dengan daun-daun yang rontok. Terdengar bunyi cukup nyaring seakan-akan daun-daun itu terbuat dari logam. Luncuran pisau-pisau mengendur sedangkan daun-daun runtuh ke tanah. Delapan batang pisau itu kemudian jatuh sebelum mencapai sasaran.

Lelaki bermuka persegi dan gadis berpakaian merah kelihatan terkejut Keduanya langsung menoleh ke sebelah kanan. Rontoknya daun-daun itu bukan karena sewajarnya. Sekitar tiga tombak di sebelah kanan mereka berdiri sesosok tubuh ramping dengan kedua tangan disedakapkan di depan dada. Sikapnya terlihat jumawa sekali!

"Siapa kau gadis usilan?!" Gadis berpakaian merah yang bernama Ratih merasa tersinggung melihat gangguan itu. Sepasang matanya membelalak lebar. Ratih hendak melangkah maju tapi segera diurungkan ketika merasakan sentuhan pada tangannya. Ratih menoleh, menatap lelaki berwajah persegi dengan sorot mata penasaran.

"Sabarlah." Lelaki berwajah persegi berujar halus. "Menuruti kemarahan tidak akan menyelesaikan persoalan."

"Tapi, Ayah." Ratih mencoba membantah. "Apakah kita akan mendiamkan saja tindakannya yang usil itu?"

Lelaki berwajah persegi tersenyum. Ia memberi isyarat agar gadis berpakaian merah yang ternyata putrinya supaya bersabar.

"Siapa kau, Nona Muda? Mengapa mengganggu kami? Sepengetahuanku di antara kita tidak ada permusuhan. Ataukah... kau mempunyai suatu ganjalan denganku?" tanya lelaki bermuka persegi dengan suara halus dan sikap sabar.

"Cuhhh!" Jawaban dari gadis bertubuh ramping yang usianya sebaya dengan Ratih dan mengenakan pakaian hitam pekat adalah meludah dengan sikap kasar.

"Keparat!" Ratih yang memang sejak tadi sudah mendongkol melihat tindakan gadis berpakaian hitam tidak bisa menahan kesabaran lagi. Ia langsung menerjang dan mengirimkan pukulan bertubi-tubi yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring.

Plak, plak, plak!

Tiga kali Ratih menyerang dan tiga kali pula gadis berpakaian hitam menangkis. Akibatnya, tubuh Ratih terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Bahkan, mungkin Ratih akan terbanting ke tanah kalau saja lelaki bermuka persegi tidak keburu mengulurkan tangan menangkapnya.

"Kau jangan sembrono, Ratih. Gadis itu lihai bukan main," tegur lelaki bermuka persegi, kemudian mendorong mundur tubuh putrinya. Lelaki tegap ini menghampiri gadis berpakaian hitam yang kembali bersidekap dengan angkuh.

"Ahhh...!" Lelaki bermuka persegi menoleh kebelakang mendengar jeritan Ratih. Ucapan yang telah berada di ujung lidah dan siap untuk dikeluarkan, ditelannya kembali.

"Ada apa, Ratih?'" tanya lelaki bermuka persegi khawatir.

"Tanganku, Ayah. Perih, panas, dan gatal," beritahu Ratih seraya menunjukkan kedua tangannya.

Wajah lelaki bermuka persegi memucat ketika melihat di kedua tangan putrinya terdapat bercak-bercak menghitam. Sekali lihat saja, lelaki bermuka persegi yang telah kenyang pengalaman ini bisa menduga Ratih telah keracunan. Dan, penyebabnya adalah benturan dengan kedua tangan gadis berpakaian hitam.

"Umurnya hanya sampai sepuluh hari, Dewa Seribu Pisau. Apabila sampai sepuluh hari tidak menemukan obat yang tepat, nyawanya akan melayang ke alam baka. Hi hi hi...!" Gadis berpakaian hitam tertawa dingin ketika lelaki bermuka persegi menoleh ke arahnya.

"Perempuan keji!" Lelaki bermuka persegi yang berjuluk Dewa Seribu Pisau memaki. "Cepat berikan pemunahnya atau kau kukirim ke neraka. Cepat! Jangan sampai aku melupakan kalau kau hanya seorang gadis muda!"

"Hi hi hi. Sombongnya...!" Gadis berpakaian hitam malah tertawa mengejek. Tidak dipedulikannya ancaman Dewa Seribu Pisau. "Kalau tidak tahu siapa sebenarnya kau, mungkin aku akan terharu mendengar ucapanmu, Dewa Seribu Pisau!"

"Apa maksudmu, Perempuan Keji?!" bentak Dewa Seribu Pisau tidak mengerti.

"Maksudku? Jadi, kau tidak tahu yang kumaksudkan, Dewa Seribu Pisau? Tidak tahu, atau pura-pura bodoh."

"Tutup mulutmu, Wanita Liar! Jelaskan maksudmu, cepat!" Dewa Seribu Pisau tidak sabar.

"Baiklah." Gadis berpakaian hitam mengalah. Tapi, terlihat jelas bukan karena takut. "Tidak kusangka dalam usia semuda ini kau sudah pikun. Bukankah tadi kau katakan akan terpaksa bertindak keras padaku kalau aku tidak memberikan pemunah racun untuk putrimu. Bukankah demikian?"

"Benar! Lalu, mengapa?!"

"Berarti kalau aku memberikan obat pemunah racun itu, kau merasa malu untuk menindakku."

"Benar." Dewa Seribu Pisau menjawab ragu-ragu karena tidak mengetahui arah pembicaraan gadis berpakaian hitam.

"Berarti kau merasa malu karena tidak sepadan bertarung dengan seorang gadis sepertiku," kejar gadis berpakaian hitam.

"Tentu saja!" Dewa Seribu Pisau menjawab tegas. "Aku bukan orang yang suka melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang gadis muda!"

Senyum gadis berpakaian hitam lenyap. Sepasang mata yang bening dan indah itu berkilat-kilat memancarkan hawa maut. "Pendusta! Pembohong Besar! Mulutmu tak ubahnya tahi ayam! Yang keluar dari mulutmu bukan ucapan melainkan kotoran!" maki gadis berpakaian hitam "Orang lain mungkin bisa kau bohongi dengan sikap gagahmu. Tapi, aku? Aku tidak akan bisa kau tipu. Lupakah kau dengan seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang kau kejar-kejar untuk dibinasakan? Lupakah kau kalau akhirnya salah satu pisaumu menembus tubuhku? Itukah yang kau katakan kalau dirimu tidak akan bertindak keras terhadap seorang gadis muda? Jangankan terhadap seorang gadis muda. Kepada gadis kecil pun kau sampai hati. Itukah ucapan seorang lelaki gagah?!"

Kata-kata yang meluncur deras dari mulut gadis berpakaian hitam bagaikan gelombang laut. Susul-menyusul. Kata-kata yang keras dan tajam itu membuat wajah Dewa Seribu Pisau berubah-ubah sebentar pucat sebentar merah. Terlihat jelas ucapan itu mempunyai pengaruh besar.

"Sekarang aku ingat." Dewa Seribu Pisau menyahuti setelah terdiam beberapa saat. Suaranya terdengar serak karena kata-kata gadis berpakaian hitam yang tajam telah membuatnya terpukul sekali. "Kau adalah putri Panangkaran yang jahat itu."

"Benar!" Gadis berpakaian hitam menjawab tegas. Lehernya ditegakkan dan dadanya dibusungkan. "Namaku Pertiwi!"

Dewa Seribu Pisau tersenyum pahit. Sekarang dia bisa menduga maksud kedatangan putri Panangkaran itu. Panangkaran, pemimpin gerombolan penjahat yang menciptakan kekacauan di dunia persilatan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan putih yang tewas di tangannya. Hanya berkat persatuan para pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu Pisau, kelompok Panangkaran dapat dihancurkan.

Bahkan, guru Panangkaran, seorang datuk kaum sesat dapat ditewaskan. Sayang, Panangkaran berhasil lolos! Tapi, Dewa Seribu Pisau tidak terlalu khawatir karena yakin Panangkaran tidak berbahaya lagi. Panangkaran telah terluka berat.

"Jadi, kedatanganmu kemari untuk membalas dendam?" Dewa Seribu Pisau mengeluarkan dugaannya.

"Tidak salah!" Pertiwi mengangguk pasti. "Sekarang, bersiaplah untuk menerima kematianmu, Dewa Seribu Pisau!"

Dewa Seribu Pisau tahu Pertiwi bukan lawan yang patut dipandang rendah. Telah disaksikannya sendiri ketika hanya dengan segebrakan Ratih dibuat tak berdaya. Meski demikian, dia bersikap tenang dan tidak mendahului melakukan serangan.

"Hih!" Pertiwi mengulurkan kedua tangannya ke arah pohon besar yang tadi daun-daunnya digugurkan. Dari kedua tangan yang halus dan berkulit putih itu keluar serangkum angin keras. Daun-daun pohon berguguran dan melayang ke bawah. Pertiwi mengeluarkan bentakan nyaring seraya menggetarkan tangannya.

Daun-daun itu berhenti melayang turun, tertahan di udara bagai ditahan kekuatan kasat mata. Sekali lagi gadis berpakaian hitam mengeluarkan pekikan nyaring, yang memaksa Ratih menyeringai karena merasakan kedua telinganya sakit dan dadanya bergetar keras.

"Uh...!" Dewa Seribu Pisau menatap takjub melihat daun-daun yang jumlahnya belasan ini melayang ke arahnya. Tidak cepat. Tapi, lelaki bermuka persegi ini tahu ancaman maut di dalam luncuran daun-daun itu tidak berkurang. Hal lain yang membuat Dewa Seribu Pisau takjub adalah daun-daun itu meluncur beriringan dalam satu lajur!

Dewa Seribu Pisau tidak mau kalah gertak. Dia tahu Pertiwi memiliki tenaga dalam tinggi sehingga mampu melakukan hal demikian. Lelaki bermuka persegi ini tidak menjadi gentar. Bergegas tangan kanannya yang terkepal dipukulkan ke depan. Angin luar biasa keras berhembus dari tangan Dewa Seribu Pisau. Ia hendak meruntuhkan barisan daun-daun yang menuju ke arahnya.

Pertiwi mengetahui maksud lawannya. Lagi-lagi gadis berpakaian hitam ini mengeluarkan pekikan keras. Bagai memiliki nyawa daun-daun itu meliuk ke atas. Masih dalam satu barisan. Pukulan jarak jauh Dewa Seribu Pisau pun meluncur di bawah daun-daun itu!

Dewa Seribu Pisau, apalagi Ratih, terpana melihat kenyataan ini. Pemandangan yang tercipta di hadapan mereka itu merupakan pertunjukan tenaga dalam tingkat tinggi. Tapi meski kaget, Dewa Seribu Pisau tidak kehilangan akal. Dia melompat ke belakang untuk mempertahankan jarak. Lalu, diambilnya delapan batang pisau dan dilemparkan ke arah barisan daun-daun.

Untuk kedua kalinya lelaki bermuka persegi menunjukkan kebenaran julukan yang disan-dangnya. Pisau-pisau yang dilepaskan secara bersamaan itu meluncur seperti dilepaskan satu-persatu. Terdapat tenggang waktu antara luncuran pisau-pisau itu. Dan, semua pisau meluncur ke arah daun-daun yang tengah mengarah pada Dewa Seribu Pisau.

Tapi, betapa terkejutnya lelaki berwajah persegi. Delapan batang pisaunya untuk pertama kali gagal menjalankan tugas. Begitu Pertiwi menggetarkan kedua tangannya, daun-daun itu berpencar. Hal ini menyebabkan pisau-pisau Dewa Seribu Pisau mengenai tempat kosong.

Sebelum Dewa Seribu Pisau tersadar dari perasaan kagetnya, daun-daun yang berpencaran itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang luar biasa hingga menimbulkan bunyi berciutan nyaring. Dewa Seribu Pisau melihat adanya ancaman maut tidak berdiam diri. Dengan mempergunakan kedua tangan dilancarkannya pukulan jarak jauh bertubi-tubi ke arah daun-daun itu.

Usaha Dewa Seribu Pisau memang tidak sia-sia. Beberapa daun-daun itu berjatuhan dalam keadaan sobek dan hancur. Sebagian kecil runtuh terserempet angin pukulan dahsyat itu. Tapi, sebagian besar tetap meluncur ke arahnya. Dewa Seribu Pisau yang tidak ingin kehilangan nyawa melompat ke belakang seraya melontarkan pukulan jarak jauh.

Crap, crap, crap!

"Akh...!" Dewa Seribu Pisau mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika akhirnya beberapa daun yang tersisa menghunjam tubuhnya pada beberapa bagian yang mematikan. Darah mengucur keluar. Lelaki itu menggeliat-geliat sebentar sebelum diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Ayah...!" Ratih yang sejak tadi menyaksikan jalan-nya pertarungan memburu ke arah Dewa Seribu Pisau. Wanita berpakaian merah ini menubruk tubuh ayahnya yang terkapar sambil menangis memilukan.

Pertiwi hanya tersenyum mengejek. Dengan sinar mata berseri dan kepuasan hati tubuhnya dibalikkan dan mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Pertiwi sengaja tidak membunuh Ratih. Bukan karena tidak tega atau kasihan, melainkan karena hatinya yang kejam. Ratih telah keracunan. Dan, racun itu akan menyeret Ratih ke alam baka secara perlahan dengan perasaan tersiksa.

* * *

"Aaa...!" Jeritan panjang menyayat hati membuat lelaki bertubuh jangkung yang tengah sibuk mencangkuli tanah menghentikan pekerjaannya. Padahal, saat itu lelaki setengah baya itu tengah siap menghantamkan mata cangkulnya ke tanah. Cangkul itu jadi berhenti di atas kepala. Ia segera mengarahkan pandangannya ke sebuah rumah sederhana yang berada tak jauh dari tempatnya. Lelaki tinggi kurus ini tengah berada di sawah.

"Eka." Bibir lelaki jangkung itu menggumamkan sebuah nama. Cangkulnya dihempaskan ke tanah. Kemudian, tubuhnya melesat ke arah pondok sederhana tempat suara jeritan tadi berasal. Gerakan lelaki jangkung ini begitu cepat dan ringan.

"Eka...!" Lelaki jangkung ini mengeluarkan teriakan keras. Sepasang matanya membelalak lebar menatap tidak percaya.

Di daun pintu pondok sederhana tertempel sesosok tubuh wanita setengah baya. Kedua tangan dan kakinya terpentang. Tubuhnya menempel karena telapak tangan dan kakinya ditembus pisau tajam sampai ke daun pintu.

Pemandangan itu saja sudah cukup menyeramkan hati. Apalagi, ditambah dengan merayapnya belasan ekor kelabang di sekujur tubuh wanita itu. Melihat wajah wanita setengah baya yang bersemu kehijauan dan kepalanya terkulai, lelaki Jangkung mengetahui wanita setengah baya itu telah keracunan. Sudah pasti karena gigitan kelabang-kelabang hitam itu!

"Keparat!" Setelah sadar dari keterkejutannya, lelaki jangkung menghentakkan kedua tangannya ke depan. Angin keras berhembus. Dan, kelabang-kelabang itu berpentalan tak tentu arah.

"Eka...!" Dengan suara seperti orang merintih, lelaki Jangkung melesat menghampiri. "Binatang dari mana yang telah melakukan kekejian terhadapmu, Eka...?"

Lelaki jangkung tidak berani menyentuh tubuh wanita setengah baya yang bernama Eka. Tubuh Eka mengandung racun mematikan dan dia telah tewas. Meninggal dalam keadaan amat tersiksa.

"Selamat berjumpa lagi, Bagas Pati!"

Lelaki jangkung terlonjak kaget bagai disengat kalajengking mendengar teguran itu. Cepat tubuhnya dibalikkan mencari asal suara. Sikap le-laki berpakaian sederhana ini kelihatan waspada. Pemilik suara itu tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa. Kedatangannya tidak terdengar. "Kau...?!"

Suara lelaki jangkung yang disapa dengan nama Bagas Pati seperti tercekat di tenggorokan. Ketidakpercayaan yang sangat membayang jelas pada wajahnya yang cukup gagah.

"Kenapa, Bagas Pati? Kaget?" Orang yang menyapa Bagas Pati ternyata seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berambut panjang. Sebelah matanya ditutup kain hitam. "Aku yakin kau tidak lupa padaku, Bagas Pati."

Ucapan bernada ejekan itu mampu meredam perasaan kaget Bagas Pati. Sikap dan suaranya terdengar lebih tenang.

"Siapa yang bisa melupakan iblis busuk teramat keji? Sungguh tidak kusangka kau bisa selamat, Panangkaran"

"He he he...!" Laki-laki tinggi besar yang dipanggil Panangkaran terkekeh. "Tentu saja, Bagas Pati. Aku tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum orang-orang yang telah menghancurkan hidupku menerima balasannya. Menerima pembalasan atas kelancangan mereka terhadapku. Dan, kau merupakan salah seorang di antaranya!"

Sepasang mata Bagas Pati menyipit mendengar pernyataan itu. Ada sorot mata. kebencian dan dendam di sana. Wajahnya tampak beringas.

"Sekarang aku mengerti." Bagas Pati berkata dengan suara bergetar. "Pasti kau yang telah melakukan kekejian terhadap istriku. Tidak ada orang lain yang mampu bertindak sekeji ini kecuali kau, Panangkaran!"

DUA

Panangkaran tertawa bergelak memperlihatkan kegembiraan hatinya. "Syukur kalau kau bisa menduga demikian, Bagas Pati," ujar lelaki bermata sebelah ini ringan. "Memang aku pelakunya. Asal kau tahu saja, aku tidak mudah untuk menemukanmu. Berhari-hari aku melacak jejakmu. Kulihat kau tengah sibuk di sawah. Sungguh tidak kusangka kalau di tempat ini kujumpai istrimu. Maksudku semula hendak menunggu kedatanganmu di sini untuk memberikan kejutan. Tapi, niat itu segera ku urungkan. Aku memancingmu datang ke sini melalui istrimu. Sayang sekali, Bagas Pati, kau tidak melihat saat-saat istrimu meregang maut. Ha ha ha. Menyenangkan sekali, Bagas Pati!"

"Jahanam!" Bagas Pati tidak dapat menahan kemara-hannya lagi mendengar Panangkaran menceritakan saat-saat kematian istrinya. Meski tidak melihat, Bagas Pati dapat membayangkan betapa menderita istrinya sebelum maut menjemput Ke-marahan yang melanda Bagas Pati pun tidak bisa dibendung lagi!

Dalam cekaman perasaan marah yang menggelegak Bagas Pati menerjang dengan ilmu-ilmu andalan. Lelaki jangkung ini langsung mengeluarkan serangan maut. Dia melompat dengan tangan kanan menampar ke arah pelipis. Tangan kiri Bagas Pati pun tidak tinggal diam. Tangan itu digerakkan mencengkeram ke arah pusar. Dua buah serangan maut yang amat berbahaya.

Panangkaran hanya mengeluarkan tawa meremehkan. Begitu serangan-serangan maut itu menyambar dekat, lelaki tinggi besar ini bergerak menangkis. Ketika terjadi benturan keras tubuh Bagas Pati terpental ke belakang dengan tangan terasa sakit dan ngilu bukan main.

Bagas Pati menatap Panangkaran dengan sepasang mata membelalak heran. Dilihatnya tidak bergeming dari kedudukannya semula. Lelaki tinggi besar ini tidak terpengaruh dengan benturan yang baru saja terjadi. Ini mengejutkan Bagas Pati! Padahal, ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Dia tahu dulu Panangkaran memiliki kepandaian setingkat dengannya. Ketika bertarung dengannya, Panangkaran terluka amat parah. Tapi, mengapa sekarang Panangkaran memiliki kepandaian dahsyat seakan waktu belasan tahun itu telah dipergunakan untuk melatih diri?

Bagas Pati sendiri meski telah mengasingkan diri dan memilih hidup sebagai petani tetap tidak melupakan ilmu silatnya dan terus berlatih. Bila dibandingkan dengan belasan tahun lalu dia mengalami kemajuan pesat.

Melihat Bagas Pati tidak melanjutkan serangannya, malah tercenung bingung, Panangkaran tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan. Sikap lelaki tinggi besar ini terlihat demikian tenang. Tampaknya, ia merasa yakin dengan kemampuan dirinya akan mampu mengalahkan Bagas Pati!

"Bagas Pati, waktu untukmu menghadap malaikat maut telah hampir tiba. Kau merupakan orang pertama yang mendapat balasan atas hancurnya gerombolan yang dulu kubangun dengan susah payah!"

Panangkaran mengucapkan kata-kata itu dengan berirama, seperti bernyanyi. Bagas Pati yang sebelumnya sudah bersiap untuk melancarkan serangan, mendadak menghentikan gerakannya. Ucapan-ucapan yang dikatakan secara berirama itu mengandung kekuatan dahsyat. Setiap kata yang keluar membuat telinga Bagas Pati mendenging, seperti mendengar ledakan halilintar di dekatnya. Dada Bagas Pati berge-tar. Bahkan, kedua kakinya berdiri goyah.

Pengaruh yang melanda Bagas Pati semakin menjadi-jadi ketika Panangkaran mengulang perkataannya. Bagas Pati yang merupakan tokoh persilatan dengan pengalaman segudang segera tahu Panangkaran telah mengirim serangan tenaga dalam. Tentu saja Bagas Pati tidak ingin mati konyol. Dia segera duduk bersila mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh ucapan yang dikeluarkan dengan berirama itu.

Pertarungan adu tenaga dalam pun berlangsung. Panangkaran terus mengulang perkataannya. Bagas Pati semakin tenggelam dalam semadinya. Maka beberapa saat tidak terjadi apa pun. Tapi ketika Panangkaran mengulang perkataannya untuk kelima kali, wajah Bagas Pati mulai dibanjiri peluh. Wajah yang semula merah padam tampak semakin merah. Bahkan, dari atas kepala Bagas Pati mengepul uap putih. Semakin lama semakin tebal. Lelaki jangkung ini telah mengerahkan tenaga dalam melewati batas.

"Menggunakan kemampuan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain merupakan perbuatan tidak terpuji!"

Perkataan yang diucapkan tidak keras tapi mengandung getaran yang menyelusup sampai jauh ke dalam dada terdengar di saat-saat kea-daan Bagas Pati semakin mengkhawatirkan. Seperti juga Panangkaran yang mengulang-ulang perkataannya. Seruan yang terdengar belakangan itu juga diulang-ulang. Pemilik suara itu mengekor ucapan Panangkaran.

Panangkaran menggeram di dalam hati. Ada orang yang menghalangi perbuatannya untuk membunuh Bagas Pati. Seruan orang itu mengandung pengaruh yang menentang ucapan Panangkaran. Bahkan, Panangkaran merasakan kekuatan tak nampak menyelusup di dalam telinga dan menyakitkan gendang telinganya. Seruan yang keluar dari orang yang memiliki tenaga dalam tinggi.

Berbeda dengan Panangkaran, Bagas Pati mendapat keuntungan. Setelah seruan-seruan kedua terdengar, pengaruh yang mengungkungi Bagas Pati mulai berkurang. Semakin lama pengaruh itu semakin menghilang sehingga Bagas Pati menghentikan pengerahan tenaga dalamnya.

Sementara beberapa tombak di depan Bagas Pati, Panangkaran masih sibuk mengeluarkan perkataannya. Bahkan, Panangkaran menambah kekuatan tenaga dalam karena pemilik seruan yang tidak terlihat itu terus berkata-kata. Wajah Panangkaran mulai merah padam. Dan, bertambah merah. Seruan-seruan yang keluar dari mulutnya semakin melemah. Sebaliknya, seruan yang keluar belakangan semakin menguat. Bahkan, seperti bergema ke sekitar tempat itu.

"Huakh...!" Panangkaran memuntahkan darah segar ketika memaksakan diri untuk melawan. Tubuh lelaki tinggi besar ini terbungkuk-bungkuk ketika cairan merah kental itu keluar dari mulutnya. Seiring dengan keluarnya darah dari mulut Panangkaran, seruan yang terdengar belakangan itu pun lenyap.

"Kalau bukan pengecut, keluar kau orang usil...!" Tanpa mengenal takut sama sekali, Panangkaran berteriak cukup keras. Panangkaran tidak mau mengerahkan tenaga dalam. Saat itu dia telah terluka cukup parah. Apabila memaksakan diri, luka dalam yang dideritanya akan bertambah parah. Mungkin akan menyebabkan nyawanya melayang ke alam baka.

Baru saja Panangkaran selesai meneriakkan kata-katanya, dari balik kerimbunan semak-semak melesat keluar sesosok tubuh berpakaian ungu, Sosok itu bertubuh tegap dan kekar. Wajahnya tampan, ia mengayunkan kaki dengan tenang menghampiri Panangkaran.

"Aku bukan seorang pengecut, Sobat. Aku sengaja menyembunyikan diri karena tidak ingin dikenal. Aku tidak mau mencari permusuhan," ujar pemuda berpakaian ungu yang memiliki rambut putih keperakan.

"Tidak usah bicara berputar-putar, Pemuda Usilan!" tegas Panangkaran lantang. "Kau telah mencampuri urusanku, itu sama dengan menantangku. Kali ini aku mengaku kalah. Tapi, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Aku, Panangkaran, tidak bisa menerima kekalahan! Apalagi di tangan orang semuda kau. Kalau kau bukan pengecut perkenalkan dirimu!"

Pemuda berambut putih keperakan itu mengernyitkan alisnya dengan sikap tidak senang. Dua kali Panangkaran berkata, dua kali pula lelaki tinggi besar itu memakinya pengecut. Mau tidak mau, pemuda berambut putih keperakan itu memperkenalkan diri.

"Sudah kukatakan aku tidak ingin mencari permusuhan. Tapi kalau kau ingin mengenalku, namaku Arya Buana. Dunia persilatan memberikan julukan padaku. Dewa Arak itu julukanku!" tandas pemuda berambut putih keperakan.

Wajah Panangkaran berubah hebat mendengar jawaban itu. Meski baru kembali ke dunia ramai, lelaki tinggi besar ini telah mendengar nama besar Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan. "Ternyata berita yang kudengar itu benar." Panangkaran tersenyum pahit "Kau memang seorang pendekar yang luar biasa. Tapi tunggulah, Dewa Arak. Saat kekalahanmu segera tiba. Selamat tinggal!"

Dengan sikap yakin Dewa Arak akan membiarkan pergi dengan selamat, Panangkaran membalikkan tubuh dan melesat pergi dengan langkah agak terhuyung.

Dewa Arak hanya memandangi saja kepergian Panangkaran. Sikap Panangkaran yang terlalu yakin membuat Arya tidak melakukan pengejaran. Panangkaran memperlihatkan sikap kalau dirinya mempercayai Dewa Arak.

Arya membalikkan tubuh dan mengalihkan perhatian dari tubuh Panangkaran yang lenyap ditelan kejauhan ketika mendengar bunyi menggelogok. Dilihatnya Bagas Pati duduk bersila dan memuntahkan darah segar. Tampaknya, ia mengalami luka dalam yang amat parah. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini bergegas menghampiri. Ia ingin memberi pertolongan. Dan, cara yang paling tepat adalah dengan menyalurkan tenaga dalam.

Tapi Arya menghentikan maksudnya ketika melihat lelaki jangkung itu menggeliat. Ternyata seekor kelabang hitam telah menggigit kakinya. Kelabang itu memiliki racun yang mematikan. Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dia tidak mau mengambil resiko mengobati keracunan dengan arak dalam gucinya. Arya tahu Panangkaran sebagai pemilik kelabang pasti memiliki pemunahnya. Pemuda berambut keperakan ini segera melesat ke arah Panangkaran tadi pergi.

Tapi, belum berapa jauh Arya meninggalkan Bagas Pati yang sibuk dengan semadinya terdengar suara bentakan dari belakang.

"Penjahat keji...! Jangan pergi kau...!"

Menduga seruan itu ditujukan padanya, Arya menghentikan larinya. Tapi sebelum tubuhnya dibalikkan pemuda berambut putih keperakan ini merasakan desiran angin di atas kepalanya. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu pemilik seruan itu tengah melompa-tinya. Maka, dia bersikap tenang dan mengarah-kan pandangan ke depan.

Dua tombak di depan Arya mendarat ringan sesosok tubuh tegap pemuda berpakaian coklat. Arya tidak merasa terkejut melihat pemuda itu menjejakkan kaki tanpa menimbulkan bunyi sedi-kit pun. Yang membuat Arya kaget, tapi tidak di tampakkan pada wajahnya yang tetap kelihatan tenang, adalah seruan yang ditujukan padanya. Benak Arya segera teringat pada Bagas Pati yang ditinggalkannya. Mungkinkah seruan tadi ada hu-bungannya dengan hal itu?

"Mengapa kau menghadang perjalananku, Sobat? Dan, apakah maksud ucapanmu tadi? Seruan itu kau tujukan padaku?" tanya Arya tenang, tidak langsung mengajukan dugaan.

"Penjahat keji terkutuk!" Pemuda berpakaian coklat yang berusia sekitar dua puluh satu tahun, bertubuh pendek kekar dengan kumis tebal melintang, menggeram keras bagai binatang buas terluka.

"Kalau tidak kau yang mati, aku yang akan menjadi mayat di sini." Pemuda berpakaian coklat membuka serangan dengan tendangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan kaki kanan dan kiri. Suara angin menderu keras mengiringi serangan itu.

Dewa Arak tahu pemuda berpakaian coklat ini tidak bisa diberikan penjelasan dengan kata-kata, tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan perlawanan. Serangan-serangan pemuda berpakaian coklat hebat bukan main. Arya tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Melihat pemuda berpakaian coklat memiliki kepandaian hebat, ia memutuskan akan mengukur kekuatan lawan.

Pemuda berpakaian coklat membuka serangannya dengan tendangan bertubi-tubi. Suara angin menderu mengiringi serangan itu. Melihat pemuda berpakaian coklat memiliki kepandaian lumayan, Arya jadi timbul rasa ingin tahunya. Ia pun memutuskan ingin menjajal kekuatan lawan!

Duk, dukkk, dukkk!

Suara keras terdengar berkali-kali ketika sepasang kaki Arya berbenturan dengan kaki pemuda berpakaian coklat. Tubuh pemuda berpakaian coklat terhuyung-huyung ke belakang dengan seringai kesakitan di wajahnya. Sedangkan Arya hanya bergetar. Pemuda berpakaian coklat menggeram keras. Dia tampak sangat marah.

"Pantas ayahku dapat kau kalahkan. Ternyata kau memiliki kepandaian hebat. Tapi, itu tidak membuatku jadi gentar, Penjahat Keji!" Pemuda berpakaian coklat kembali menyerang. Arya meladeninya. Pertarungan kedua tokoh muda. yang sama-sama lihai itu pun berlangsung sengit.

Arya semakin mengetahui kalau kepandaian pemuda berpakaian coklat ini memang amat tinggi. Sungguh pun jika mengerahkan seluruh kemampuannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' lawan akan dapat dikalahkan, tapi itu membutuhkan waktu yang lama. Itu pun harus melukainya dengan cukup berat. Arya tidak menginginkan hal itu. Pemuda berpakaian coklat ini hanya salah paham. Maka, ketika lagi-lagi pemuda berpakaian coklat melancarkan serangan dengan pukulan telapak tangan terbuka, Arya menyambutnya.

Bresss!

Tubuh pemuda berpakaian coklat terjengkang lalu terguling-guling di tanah. Sedangkan tubuh Arya bergoyang-goyang. Arya yang memang tidak ingin melanjutkan pertarungan memanfaatkan kesempatan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang dan melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda berpakaian coklat tidak menginginkan Dewa Arak kabur. Dengan kepala masih pusing dan pandangan berkunang-kunang dia melesat mengejar.

Tapi, karena Arya telah lebih dulu dan kecepatan lari pemuda berambut putih keperakan itu di atas lawannya, dalam waktu singkat Arya telah lenyap dari pandangan. Tinggal pemuda berpakaian coklat dengan perasaan geram. Sorot mata memancarkan kebencian menatap ke arah lenyapnya Dewa Arak.

"Penjahat Keji, dengarlah...! Sampai ke ujung dunia pun kau akan kucari...!"

"Ayaaah...! Ibuuu...!" Sambil berseru keras seorang pemuda ber-pakaian kuning melesat ke arah tempat di mana tubuh Bagas Pati dan Eka berada.

Pemuda itu menatap berganti-ganti pada Bagas Pati dan Eka. Sorot matanya penuh perasaan sedih dan penyesalan. Pemuda bertubuh tinggi kekar ini melihat ibunya telah tewas. Tidak ada yang dapat dilakukannya lagi untuk menyelamatkan Eka. Maka, pandangannya dialihkan pada Bagas Pati yang tergolek lemah di tanah. Napasnya masih ada. Keadaan lelaki jangkung ini terlihat sangat payah. Wajahnya telah bersemu kehijauan seperti halnya wajah Eka.

"Keparat!" Pemuda berpakaian kuning memaki. Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat menatap penuh dendam pada kelabang-kelabang hitam yang berkeliaran di sekujur tubuh Bagas Pati.

Pemuda berpakaian kuning lalu bertepuk tangan sekali. Kelabang-kelabang yang tengah asyik bermain itu terangkat semua. Kemudian, melayang ke belakang menjauhi tubuh Bagas Pati. Setelah itu kedua tangan pemuda itu digosok-gosokkan.

Sekelebatan sinar dari tangannya menyambar ke arah kelabang-kelabang yang masih tergantung di awang-awang. Terdengar bunyi letupan kecil disusul dengan bunyi sangit seperti dag-ing terbakar. Kelabang-kelabang itu dalam sekejap telah menjadi arang dan hancur tertiup angin.

"Ayaaah...!" Pemuda berpakaian kuning lalu mendekati Bagas Pati. Ayahnya tidak bisa diselamatkan lagi. Napas lelaki jangkung itu tinggal satu-satu.

TIGA

"Ludiga...." Hampir tidak terdengar ucapan Bagas Pati. Bibirnya yang telah pucat bergerak pelan.

Pemuda berpakaian kuning yang tahu ayahnya ingin menyampaikan pesan terakhir sege-ra mendekatkan telinganya pada mulut lelaki jangkung itu.

"Syukur kau datang. Aku, terutama sekali ibumu, sangat rindu padamu. Aku gembira masih sempat bertemu denganmu, meski ibumu tidak dapat bertemu muka denganmu. Sekarang kau bukan lagi bocah berusia sepuluh tahun seperti dulu, Ludiga. Aku yakin kau telah memiliki kepandaian tinggi. O ya, bagaimana kabar gurumu, Eyang Sapta Geni?"

"Baik, Ayah. Guru titip salam untuk Ayah," jawab Ludiga dengan suara tercekat di tenggorokan karena perasaan haru dan sedih. Kedatangannya kurang cepat.

"Kuterima salamnya, Ludiga. Dan, kuminta kau suka menyampaikan salamku padanya bila bertemu nanti," ucap Bagas Pati. Suaranya semakin pelan.

Ludiga mengangguk menyetujui permintaan ayahnya "Katakan, Ayah, siapa yang telah melakukan kekejian ini? Aku berjanji akan menuntut balas atas kekejian yang telah dilakukannya."

Sepasang mata Bagas Pati semakin redup seakan kehilangan sinar. "Panangkaran...."

"Panangkaran...?!" Ludiga mengulang jawaban Bagas Pati, meminta kepastian. "Maksud Ayah, Panangkaran yang sepuluh tahun lalu perkumpulannya dihancurkan oleh kelompok pendekar? Panangkaran..." Ludiga menghentikan ucapannya ketika melihat kepala Bagas Pati terkulai. Lelaki jangkung itu telah meninggal. "Ayah...!"

Ludiga mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya berharap terjadi suatu keajaiban. Ia tidak percaya Bagas Pati telah meninggal. Pemuda ini baru percaya ketika tubuh yang diguncang-guncang itu tidak memberikan tanggapan.

* * *

Tanpa ada beban batin sama sekali Dewa Arak melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu ke mana harus menuju. Kesantaian sikap pemuda itu langsung buyar ketika melihat beberapa sosok di depannya.

Jarak antara dua sosok itu dengan Arya tak kurang dari lima puluh tombak. Tapi, itu tidak menjadi halangan bagi Arya untuk mengenali sosok-sosok yang tengah berkejaran itu. Sepasang mata Arya tajam bukan main, sehingga bisa melihat dengan jelas. Apalagi arah yang dituju dua sosok itu adalah tempat Arya berada.

Dua sosok itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Dalam sekejap mereka telah berada dekat dengan Arya. Sosok pertama seorang gadis cantik berpakaian serba hitam. Rambutnya dikuncir. Sedangkan sosok kedua seorang kakek berjenggot panjang putih dan berpakaian putih. Meski dari jenggotnya bisa diketahui kalau usia kakek ini telah sangat tua, tapi wajahnya masih kelihatan segar.

Gadis berpakaian hitam itu tak lama lagi akan terkejar lawannya. Arya yang tidak bisa melihat tindak ketidak-adilan segera memutuskan untuk campur tangan. Sekali Arya menjejakkan kaki, tubuhnya telah berada di antara gadis berpakaian hitam dan pengejarnya. Hal ini memaksa kakek berjenggot putih menghentikan pengejaran.

"Tunggu sebentar, Kek," cegah Arya seraya menjulurkan tangan kanan mencegah.

Sepasang mata kakek berjenggot putih mencorong tajam. Kalau saja sinar mata dapat diandaikan dengan sebuah serangan, tentu saat itu Arya tengah menghadapi serangan dahsyat.

"Pantas betina jahat itu melarikan diri kemari. Pantas juga dia berani melakukan tindakan kejahatan. Rupanya dia mempunyai pembela. Sudah kepalang tanggung usahaku, kau pun harus kulenyapkan, Anak Muda!"

Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang tidak mengerti ucapan-ucapannya, kakek berjenggot putih menudingkan jari telunjuk kanannya. "Menyingkirlah, Anak Muda. Jangan halangi tindakanku. Atau, aku terpaksa bertindak kasar terhadapmu."

"Sayang sekali, Kek." Arya tersenyum lebar. "Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku tidak pernah membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku."

"Kalau begitu, kau lebih dulu yang harus kusingkirkan, Anak Muda!" Kakek berjenggot pu-tih menggeram. Tidak bisa menahan perasaan tidak sabarnya. "Lihat! Harimau milikku akan menyerangmu...!"

"Uh...?!" Arya berseru kaget Tiba-tiba muncul seekor harimau putih menerkamnya sambil mengeluarkan auman keras. Dewa Arak bingung. Harimau besar itu muncul ketika kakek berjenggot putih menudingkan jari telunjuk ke arahnya.

Arya tidak sempat berpikir panjang lagi. Jarak yang terlalu dekat membuat terkaman ha-rimau besar langsung mengancam keselamatan-nya. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke samping dan bergulingan di tanah. Elakannya membuat serangan harimau besar itu luput.

Dengan kecepatan seorang ahli silat yang luar biasa, Arya melentingkan tubuh dan menjejak tanah dengan kedua kaki. Arya bersiap menghadapi serangan selanjutnya. Tapi, kesiap-siagaan pemuda berambut pu-tih keperakan ini sia-sia. Tidak ada serangan susulan. Jangankan harimau putih besar, kakek berjenggot putih itu pun sudah tidak berada di situ lagi. Harimau putih besar lenyap tidak ketahuan ke mana perginya. Sementara kakek berjenggot putih telah berada belasan tombak di depan, mengejar gadis berpakaian hitam yang telah pergi cukup jauh.

Arya segera sadar kakek berjenggot putih telah mengakalinya dengan mempergunakan ilmu sihir. Harimau besar itu hanya khayalan yang diciptakan dengan sepotong ranting kering. Harimau ciptaan itu terwujud ketika kakek berjenggot putih berseru sambil menudingkan jari telunjuknya pada ranting kering itu.

Arya segera melakukan pengejaran. Seluruh ilmu lari cepatnya dikeluarkan, karena dia melihat sendiri betapa cepatnya lari kakek berjenggot putih. Maksud Arya menyusul kakek itu tidak kesampaian. Betapa pun keras usahanya jarak antara mereka tidak berubah. Kakek itu ternyata memiliki ilmu lari cepat yang tidak berada di bawah kemampuan Arya.

Bahkan akhirnya ketika medan yang dilalui kakek berjenggot putih berupa alang-alang tinggi yang lebat, Dewa Arak kehilangan jejak. Pemuda berambut putih keperakan ini berdiri tegak mengamati sekelilingnya. Arya memusatkan perhatian pada pendengaran. Barangkali saja bisa mendengar bunyi-bunyi yang bisa dijadikan petunjuk di mana kakek berjenggot putih berada.

Arya terkejut ketika mendengar suara-suara aneh. Pendengarannya yang tajam mendengarnya secara jelas.

"Arak enak...! Arak Nikmat...! Nyam, nyam, nyammm...!"

Arya tidak segera melesat ke arah asal suara itu. Dia tercenung sebentar, berpikir. Beberapa saat kemudian, setelah diyakini tidak ada ruginya untuk melihat, pemuda berambut putih keperakan itu melesat ke sana. Dalam beberapa kali lesatan Arya berhasil menjumpai asal suara itu. Pemuda berambut pu-tih keperakan ini tertegun heran. Ayunan kakinya terhenti.

Dalam jarak sekitar lima tombak, duduk bersandar di bawah sebatang pohon seorang kakek berkulit putih seperti dikapur. Pakaiannya tebal. Terbuat dari bulu binatang. Kulit binatang itu juga membungkus kedua tangan, kaki, dan kepalanya. Hanya muka saja yang tidak tertutup.

Arya terheran-heran melihat tingkah kakek berkulit putih. Suasana di persada tengah panas bukan main karena sang surya saat itu berada tepat di atas kepala. Pada cuaca seperti itu seharus-nya setiap orang berpakaian ringkas kalau tidak ingin kegerahan. Tapi, kakek berkulit putih aneh itu tidak demikian. Bahkan, terlihat beberapa kali kakek itu melipat kedua tangannya di depan dada seperti Orang kedinginan. Aneh!

Tiba-tiba kakek yang sejak tadi menundukkan kepalanya mengangkat wajah dan menatap ke depan. Meski sebelumnya sudah menduga kakek yang hampir sekujur tubuhnya tertutup pakaian bulu tebal ini bukan orang sembarangan, Arya sempat kaget ketika melihat sepasang mata kakek itu. Mata itu mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata harimau dalam gelap!

"Tidak usah ragu-ragu, Pendekar Muda." Kakek berpakaian bulu tebal membuka suara. Tidak tampak rasa kaget ketika melihat Dewa Arak. Seakan keberadaan pemuda itu sudah diketahui sebelumnya. "Mari minum arak bersamaku!"

Kakek itu menggerakkan tangan seperti orang mengusir nyamuk. Perlahan sekali seperti tidak mengandung tenaga dalam. Tapi, gelas bambu yang ada di dekatnya terangkat ke atas bagai ada kekuatan tidak nampak yang mengangkatnya.

Gelas bambu itu terus melayang naik sampai setinggi setengah tombak, lalu berhenti. Kemudian, perlahan-lahan gelas bambu itu bergerak miring. Arak yang berada di dalam gelas meluap keluar dan jatuh ke bawah. Arya yang menyaksikan pertunjukan ini mengetahui arak itu tidak jatuh tepat di mulut kakek berpakaian bulu tebal. Luncuran arak akan membasahi tanah di depan kakek itu.

Tapi, beberapa jengkal sebelum arak mencucuri tanah, terjadi pemandangan yang membuat wajah Arya berubah. Luncuran arak itu kembali ke atas dengan gerakan melengkung. Kemudian, meluncur ke arah mulut kakek berpakaian bulu tebal secara menyerong ke kanan. Dengan tepat-nya arak itu masuk ke dalam mulut kakek berpakaian bulu tebal.

"Mengapa masih berdiam diri, Pendekar Muda?" Kakek berpakaian bulu tebal kembali mengalihkan perhatian pada Dewa Arak ketika melihat pemuda itu berdiam diri memandangi perbuatannya.

Arya belum memberikan tanggapan. Dia tidak tahu siapa kakek berpakaian bulu tebal ini, dan berasal dari golongan mana.

"Mungkin kau merasa malu, Pendekar Muda. Baiklah, untuk menghilangkan perasaan itu mungkin aku bisa membantumu sedikit."

Kakek berpakaian bulu tebal menudingkan jari telunjuk kirinya pada guci arak yang berada di depannya. Guci arak itu terangkat naik dan melayang mendekati gelas bambu yang telah kosong. Begitu berada tepat di atas gelas bambu, guci itu bergerak miring menumpahkan arak ke dalam gelas. Baru ketika gelas bambu telah penuh, guci itu kembali berdiri seperti berada di atas tanah. Kemudian, guci itu melayang turun dan mendarat di tanah dengan pelan. Isinya tidak tumpah sedikit pun.

Kakek berpakaian bulu tebal menggenggam gelas bambu sebentar, lalu dikibaskannya. Gelas bambu yang berisi arak itu meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Dewa Arak. Tidak sedikit pun arak memercik keluar dari gelas bambu!

Arya merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat. "Kau terlalu baik hati, Kek. Sebenarnya aku sedang tidak ingin minum. Tapi, tidak ada salahnya kalau hanya segelas."

Dengan tenang, pemuda berambut putih keperakan itu mengulurkan tangan bersiap menerima gelas bambu yang meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

Tappp!

Gelas bambu itu berhasil ditangkap Arya. Tangan pemuda berambut putih keperakan itu sampai bergetar. Tapi, tidak ada arak yang tumpah. Di dalam hatinya, Arya terkejut bukan main. Kakek berpakaian bulu tebal memiliki tenaga dalam luar biasa. Bukan hanya dari pertunjukan tenaga dalam yang disaksikannya, tapi juga dari kuatnya lontaran gelas bambu. Arya merasakan isi dadanya bergetar.

Meski sebenarnya tidak ingin main-main dengan kakek ini, Arya tidak dapat memendam ingin tahunya. Timbul keinginan di hati Dewa Arak untuk menguji dengan tenaga dalam miliknya. Kakek itu sendiri yang telah memulainya. Dia hanya melayani tantangan itu. Keputusan itu membuat Arya menatap wajah kakek berpakaian tebal dengan wajah berseri-seri.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek."

Setelah menganggukkan kepala mengucapkan terima kasih, Arya menuang gelas bambu yang berisi arak ke mulutnya. Tidak hanya miring, tapi mulut gelas sampai menghadap ke bawah! Kendati demikian arak yang berada di dalam gelas tidak mau tumpah keluar. Memercik pun tidak. Arya membiarkan keadaan ini beberapa saat lamanya.

"Sayang sekali, Kek, rupanya arak ini tidak ingin kuminum. Jadi, aku tidak bisa menerimanya. Biarlah kukembalikan padamu!"

Arya menggetarkan tangan yang menggenggam gelas setelah terlebih dulu membalikkannya kedudukan mulut gelas. Dari dalam gelas bambu mencelat keluar arak. Tidak berupa cairan, melainkan gumpalan lonjong yang lunak. Arak itu meluncur ke arah kakek berpakaian tebal dalam keadaan bergoyang-goyang.

Kakek berpakaian tebal terkekeh pelan. "Berita yang tersebar mengenai kelihaianmu ternyata tidak hanya kabar kosong, Dewa Arak. Kau memang cukup lihai!"

Sambil berkata demikian, kakek berpakaian tebal mengulurkan kedua tangan ke depan. Gumpalan Arak yang semula tertuju ke wajahnya telah berganti arah. Kini, meluncur ke bawah menuju guci yang tutupnya terbuka. Bak dituangkan, gumpalan arak itu masuk ke dalam guci!

"Terima kasih atas pujianmu, Kek. Sayang sekali aku tidak bisa berlama-lama di sini. Masih ada urusan lain yang perlu kuselesaikan. Maaf!" Setelah menjura memberi hormat, Arya membalikkan tubuh dan siap meninggalkan tempat itu.

"Tunggu, Dewa Arak...!"

EMPAT

Seruan itu terdengar sangat meminta sehingga Arya tidak tega untuk berlalu. Pemuda berambut putih keperakan itu menahan ayunan kakinya yang slap dilangkahkan. Tubuhnya kembali dibalikkan.

"Aku akan membiarkanmu pergi apabila kau bersedia menyambut satu seranganku. Apakah kau berani, Dewa Arak?" tantang kakek berpakaian tebal sebelum Arya membuka suara.

Arya mengernyitkan alis. Dia tidak punya pilihan lain karena kakek yang cerdik itu telah memaksanya dengan menggunakan kata-kata, apakah dirinya berani. Bila Arya menolak, itu berarti mengaku takut. Padahal, kata takut merupakan pantangan terbesar seorang pendekar!

"Kau tidak memberikan pilihan lain padaku, Kek," jawab Arya tersenyum pahit.

"Jadi..., kau bersedia menerima tantanganku, Dewa Arak?" Kakek berpakaian tebal tersenyum penuh kemenangan.

Arya hanya bisa menganggukkan kepala sedikit tanda mengiyakan.

"Bagus! Bersiaplah menerima seranganku ini. Perlu kau ingat, taruhannya adalah nyawamu! Jadi, bersikap sungguh-sungguhlah kalau kau masih ingin menghirup udara dunia ini!"

Lagi-lagi Arya hanya memberikan sambutan berupa senyuman pahit. "Boleh aku mengajukan sebuah permintaan?"

"Silakan, Dewa Arak." Kakek berpakaian tebal langsung menyanggupi. "Selama aku bisa memenuhinya. Anggap saja ini sebagai imbalan atas kesediaanmu menerima tantanganku."

"Aku hanya ingin tahu, mengapa kau begitu ingin bertarung denganku. Juga, siapa kau sebenarnya, Kek?"

"Heh he he...!" Kakek berpakaian tebal terkekeh. "Pertanyaan-pertanyaan yang bagus, Dewa Arak. Aku akan menjawab dengan senang hati. Aku mulai dengan siapa diriku ini. Aku tidak setenar dirimu, Dewa Arak. Mungkin kau tidak pernah mendengar julukanku. Tapi, sekitar tiga puluh tahun yang lalu orang menjulukiku Malaikat Salju!"

Wajah Arya agak berubah mendengar julukan itu. Julukan Malaikat Salju telah pernah didengarnya dari tokoh-tokoh angkatan tua. Seorang tokoh aneh yang tidak bisa ditebak sifatnya. Tapi yang jelas seorang tokoh golongan putih. Arya tidak pernah menyangka akan berjumpa dengan Malaikat Salju. Tokoh yang terkenal sekali puluhan tahun lalu.

"Aku pernah mendengar julukanmu, Kek. Kau terlalu merendah. Dibandingkan dengan julukanmu, julukan yang kumiliki bukan apa-apa," jawab Arya sejujurnya.

"Lupakanlah." Kakek berpakaian tebal mengibaskan tangan. "Maksudku bermain-main denganmu hanya karena keisengan belaka. Aku tertarik mendengar dunia persilatan gempar dengan kemunculanmu. Ingin kubuktikan sendiri kelihaian seorang tokoh yang mempunyai julukan demikian menggemparkan."

"Hanya itu, Malaikat Salju?" desak Arya menyebut julukan kakek berpakaian tebal.

Arya tidak merasa heran seandainya Malaikat Salju menganggukkan kepala membenarkan pertanyaannya. Pemuda ini telah memiliki pengalaman luas. Di dunia persilatan banyak tokoh-tokoh sakti yang mempunyai watak aneh. Misalnya, keranjingan bertarung untuk menentukan siapa yang lebih unggul, meski taruhannya nyawa yang melekat di badan Malaikat Salju menggelengkan kepala.

"Tidak hanya itu, Dewa Arak. Aku menantangmu bertarung karena ingin merasakan sendiri kelihaianmu yang dapat mengalahkan murid adik kandungku."

"Siapa orang yang kau maksudkan, Malaikat Salju?"

"Panangkaran..."

"Panangkaran?!"

"Lelaki bermata sebelah yang belum lama kau kalahkan." Malaikat Salju menambahkan keterangannya.

Kali ini Arya tidak kebingungan lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung teringat.

"Kurasa masalahnya sudah jelas. Sekarang bersiaplah, Dewa Arak!" Malaikat Salju lalu duduk bersila.

Arya mengikuti tindakan kakek berpakaian tebal. Ia tidak berani memandang rendah karena telah bisa mengira-ngira Malaikat Salju merupakan lawan yang amat tangguh. Malaikat Salju tidak mempedulikan sikap Dewa Arak. Bahkan, seperti tidak melihat kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah siap untuk bertarung. Dengan caranya yang luar biasa kakek itu mengisi dua buah gelas bambu di dekatnya dengan arak hingga penuh. Kemudian, digenggamnya gelas bambu itu dengan kedua tangan.

"Aku sudah sangat tua, Dewa Arak. Usiaku sudah lebih dari seratus tahun. Jadi, bisa kau perkirakan sendiri urat-urat dan tulang-tulangku telah lemah. Aku tak akan kuat bertanding ilmu silat. Maka, aku hanya bisa mengajakmu bertarung seperti ini."

Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak dan seperti tidak membutuhkan persetujuan pemuda itu, Malaikat Salju menggerakkan pahanya ke bawah. Bagaikan memiliki roda pada pantatnya, tubuh kakek berpakaian tebal ini meluncur ke arah Dewa Arak dalam keadaan masih bersila! Tanah yang bergurat mengeluarkan kepulan debu cukup tebal.

Arya tidak mau kalah gertak. Ia melakukan hal yang sama. Hingga, mereka saling mendekat dengan cara yang luar biasa. Tepat di pertengahan jalan, dalam jarak sekitar tiga jengkal, Dewa Arak dan Malaikat Salju menghentikan gerakannya.

"Aku tidak mengerti permainan yang kau maksudkan ini, Malaikat Salju. Bisakah kau memberi penjelasan?" Arya membuka pembicaraan.

"Kurasa tidak perlu, Dewa Arak! Nanti pun kau akan mengerti sendiri."

Arya mengernyitkan alis, masih bingung dengan aturan permainan Malaikat Salju. Kakek berpakaian tebal yang rupanya tidak sabaran itu memulai permainan. "Tangkap ini!"

Cepat Malaikat Salju menghantamkan dua buah gelas bambu yang digenggamnya ke dada Dewa Arak. Keras bukan main sehingga mengeluarkan bunyi berdecit nyaring.

Tap, tappp!

Dewa Arak yang tidak mau mati konyol langsung menangkis dengan cara mencengkeram gelas-gelas bambu itu. Tangkisan Arya tidak membuat arak yang berada di dalam gelas berpercikan. Arak itu seakan telah bersatu dengan gelas.

Begitu mencekal gelas, Dewa Arak baru mengerti mengapa kakek berpakaian tebal mempunyai julukan Malaikat Salju. Ia merasakan gelombang hawa dingin yang mengalir dari kedua tangan Malaikat Salju kemudian masuk ke dalam gelas dan terus merasuk ke dalam tubuhnya.

Arya segera mengerahkan tenaga dalam. Dari pusarnya mengalir keluar hawa panas yang menghalangi hawa dingin merasuk ke dalam tubuhnya. Pertarungan adu tenaga dalam yang menegangkan terjadi. Pertarungan yang dilakukan dengan perantara gelas-gelas bambu berisi arak.

Dua tokoh persilatan yang berbeda usia dan jenis tenaga dalam itu tak sungkan-sungkan lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Udara di sekitar tempat mereka berada jadi berubah-ubah. Terkadang panas seakan di tempat itu telah terjadi kebakaran besar. Tapi tak jarang menyebar hawa dingin seakan-akan tempat itu puncak gunung yang tinggi.

Yang merasakan akibat langsung pertarungan tenaga dalam itu adalah gelas-gelas bambu berisi arak. Arak yang berada di dalam gelas berubah-ubah. Sesekali bergolak mendidih dan di lain saat membeku seperti es.

Semakin lama pertarungan unik ini semakin menegangkan. Wajah kedua tokoh itu tampak berubah. Wajah Dewa Arak merah padam dan banyak dipenuhi peluh yang mengucur. Sedangkan wajah Malaikat Salju semakin pucat bagai mayat!

Perlahan-lahan dari atas kepala Dewa Arak dan Malaikat Salju mengepul uap. Mula-mula tipis dan sedikit, tapi kian lama menebal dan banyak. Mereka telah mengeluarkan tenaga melewati batas kemampuan. Akhir dari pertarungan ini adalah maut! Yang kalah akan tewas, sedangkan yang menang akan terluka dalam amat parah.

Prakkk, prakkk!

Di saat asap yang mengepul dari kepala Dewa Arak dan Malaikat Salju semakin menebal, gelas-gelas bambu itu hancur berkeping-keping mengeluarkan bunyi keras. Arak yang berada di dalam kedua gelas itu berpercikan keluar. Keadaan arak itu masih cair. Dewa Arak maupun Malaikat Salju tidak mampu lagi saling mengungguli.

"Huakh...!" Hampir berbarengan tubuh Malaikat Salju dan Dewa Arak terbungkuk ke depan memuntahkan darah segar. Hancurnya gelas-gelas bambu itu karena tak kuat menahan getaran tenaga dalam yang luar biasa. Akibatnya, tenaga dalam kedua belah pihak saling membalik dan melukai pemiliknya.

"Kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku kalah," ujar Malaikat Salju penuh kagum. Kakek berpakaian tebal ini terengah-engah karena luka yang diderita.

"Kau terlalu merendah, Malaikat Salju. Akulah yang kalah," sambut Arya tak kalah kagum. Deru napas pemuda ini pun memburu hebat.

Hanya sampai di situ saja Dewa Arak dan Malaikat Salju berbicara. Kemudian, keduanya memejamkan mata dan bersemadi untuk menyembuhkan luka dalam tubuhnya. Mereka sadar kalau tidak lekas diobati akan membahayakan keselamatan jiwa. Dewa Arak dan Malaikat Salju tenggelam dalam keheningan semadi.

Belum lama Dewa Arak dan Malaikat Salju bersemadi terdengarlah suara tawa bergelak. Tawa yang mengandung getaran amat kuat dan mampu membangunkan kedua tokoh itu dari semadinya.

"Panangkaran...!"

Hampir bersamaan Dewa Arak dan Malaikat Salju menggumamkan nama itu.

"Benar aku. Kalian kaget?" sambut Panangkaran gembira. Pandang mata lelaki bermata satu ini langsung bisa mengetahui kalau Dewa Arak dan Malaikat Salju telah terluka dalam. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Malaikat Salju menatap Dewa Arak. Dalam sorot mata kakek ini tampak sinar penyesalan. Seperti juga dirinya, Dewa Arak dalam keadaan tidak berdaya. Dengan mudah saja Panangkaran akan mengirim nyawa pemuda itu ke alam baka. Itu terjadi karena Dewa Arak terpaksa meladeni tantangannya. Mau tidak mau Malaikat Salju merasa bertanggung jawab.

"Apa maksud ucapanmu, Panangkaran?!" bentak Malaikat Salju penuh wibawa. "Pergi kau dari sini! Apakah kau tidak ingat siapa gurumu?"

Panangkaran malah tertawa mengejek, Tawa yang mengandung lecehan terhadap peringatan Malaikat Salju. "Lebih baik kau tidak usah ikut campur, tua bangka tak berguna!" Tajam dan keras sambutan Panangkaran. "Diam lebih baik bagimu daripada aku jadi melupakan siapa adanya kau. Mengingat hubungan antara kau dengan guruku, maka aku tidak akan membawa-bawamu dalam persoalanku. Tapi apabila kau ingin ikut campur, jangan salahkan aku!"

Panangkaran salah kalau mengira dengan gertakan itu Malaikat Salju akan diam. Kakek berpakaian, tebal ini terkekeh mendengar ancaman Panangkaran. "Kau keliru kalau mengira dengan gertak sambal itu aku akan diam, Panangkaran! Bagi orang sepertiku, mati bukan sesuatu yang menakutkan. Malah aku senang. Dengan demikian aku akan terbebas dari tubuh tua yang mulai tidak berguna ini, Ayo, Panangkaran. Tunggu apa lagi? Bunuh aku! Buktikan ancamanmu yang hebat itu!" Malaikat Salju malah mengajukan tantangan.

Panangkaran menggertakkan gigi dengan perasaan geram. Wajahnya merah padam. Ucapan Malaikat Salju telah membuat amarahnya berkobar. Sepasang mata lelaki itu memancarkan hawa maut ketika menatap wajah Malaikat Salju yang tetap tenang. Hanya sampai di situ saja tindakannya. Panangkaran tidak berani bertindak lebih lanjut.

Meski demikian, Malaikat Salju dan Dewa Arak sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman menyadari betul ketidak-beranian Panangkaran untuk melakukan tindakan keras terhadap Malaikat Salju tidak bisa dijamin. Apabila kemarahan demikian memuncak, bukan tidak mungkin Panangkaran akan membuktikan ancamannya.

"Rupanya kau merasa gentar terhadapku, Panangkaran, sehingga mengalihkan ancaman pada Malaikat Salju. Bukankah kau mempunyai urusan denganku? Tunggu apa lagi? Mengapa tidak segera kau selesaikan persoalan di antara kita?"

Dewa Arak memecah ketegangan yang menyeruak antara Malaikat Salju dan Panangkaran. Ia merasa khawatir kakek berpakaian tebal itu akan tewas di tangan Panangkaran.

Bukan hanya Panangkaran saja yang menoleh, tapi juga Malaikat Salju. Ucapan Dewa Arak membuat Panangkaran teringat kembali akan dendamnya dengan pemuda berambut putih keperakan itu. Sedangkan Malaikat Salju hanya bisa menghela napas berat. Kakek ini tahu Dewa Arak ingin menyelamatkan dirinya. Hal ini membuat kekagumannya terhadap pemuda itu semakin bertambah. Seorang pendekar muda yang hebat, puji Malaikat Salju di dalam hati.

Sementara itu Dewa Arak tetap bersikap tenang sekalipun pandangan mata Panangkaran seperti hendak menelannya bulat-bulat. Tanpa merasa takut sedikit pun pemuda ini membalas tatapannya.

"Kau benar." Panangkaran menggumam seraya mengangguk. "Kita memang mempunyai urusan."

Panangkaran tiba-tiba mengibaskan tangan kirinya secara sembarangan. Angin deras berhembus melemparkan tubuh Arya ke belakang bagai daun kering ditiup angin. Hampir delapan tombak tubuh pemuda itu melayang-layang sebelum terbanting keras di tanah.

Arya menyeringai kesakitan. Ia tidak berani mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya saat terjatuh. Bahkan, ketika Panangkaran tadi menyerangnya dengan kibasan tangan. Mengerahkan tenaga dalam sama artinya dengan membunuh diri. Luka dalam yang dideritanya akan bertambah parah.

"Panangkaran! Pengecut keji! Hentikan...!" Malaikat Salju berteriak-teriak melihat siksaan terhadap Dewa Arak akan dimulai.

Panangkaran tampaknya tidak ingin langsung membunuh Dewa Arak. Ia ingin menyiksa pemuda itu dahulu. Sedangkan serangan yang di lakukan Panangkaran pertama kali tadi hanya un-tuk membuat tubuh Arya terlempar dan terbanting.

Panangkaran tidak mempedulikan seruan Malaikat Salju. Dengan langkah lebar, lelaki bermata satu ini menghampiri Dewa Arak. Siap melancarkan serangan susulan. Berbeda dengan Malaikat Salju yang terlihat kalap, Arya tenang-tenang saja. Bahkan, ketika tubuhnya diangkat dan dibantingkan ke tanah.

Panangkaran memang benar-benar hendak melampiaskan dendamnya. Begitu tubuh Arya menyentuh tanah, kembali diangkat dan dibanting dengan keras. Berkali-kali hal itu dilakukan sampai akhirnya Dewa Arak pingsan!

Kemudian, tanpa mempedulikan Malaikat Salju yang sejak Dewa Arak disiksa tak henti-hentinya memaki Panangkaran, lelaki bermata satu ini menyadarkan Arya dengan wewangian dari guci yang dibawanya. Bau wangi yang keras membuat pemuda berambut putih keperakan itu sadar. Panangkaran segera menyeret tubuh Arya. Makian-makian Ma-laikat Salju mengiringi langkah Panangkaran yang membawa tubuh Dewa Arak meninggalkan tempat itu.

LIMA

Arya menyeringai kesakitan ketika tersadar dari pingsan dan membuka sepasang matanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit-sakit dan perih bukan main. Arya berusaha untuk bangkit tapi tidak mampu. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya tidak bisa bangun. Ketika menelitinya, ternyata pada pergelangan tangan dan kaki terlilit belenggu baja yang amat tebal! Belenggu yang sama juga melilit perutnya. Belenggu-belenggu itu menempel pada lantai.

Semula Arya merasa heran melihat keadaan ini. Tapi, sesaat kemudian dia mulai teringat kejadian yang telah dialaminya. Sekarang dia dapat menduga semua ini adalah perbuatan Panangkaran. Arya mencoba bersikap tenang, meski diam-diam merasa ngeri melihat ruangan tempat dirinya berada. Lantai tempatnya terbaring kotor dan dipenuhi lumut. Hidung Arya mencium bau amis yang memuakkan. Bau amis darah.

Pada sebagian dinding dan lantai ruangan terdapat ber-cak-bercak darah kering. Tidak ada jendela pada dinding ruangan. Sehingga, tidak ada cahaya dan aliran udara segar. Ruangan ini lembab dan udaranya pengap. Hanya ada obor di sudut ruangan dekat pintu yang membuat suasana di dalam sedikit lebih baik. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu yang kini tertutup rapat. Ruangan ini lebih mirip kamar penyiksaan.

Sayup-sayup telinga Arya menangkap suara langkah kaki. Kedengarannya lebih dari satu orang. Langkah-langkah itu menghilang di depan pintu kamar. Sesaat kemudian, terdengar suara orang bercakap-cakap. Arya tidak dapat menang-kap dengan jelas. Setelah terdengar suara geme-rincing kunci dan pintu dibuka, perlahan pintu kamar didorong dari luar.

Arya memalingkan wajahnya menatap ke arah pintu. Ketika pintu telah terbuka lebar, tampaklah dua sosok tubuh berdiri di ambang pintu. Mereka tidak segera melangkah masuk, seakan ingin memastikan apakah keadaan di dalam ruangan cukup aman. Mata mereka tertuju pada tubuh Arya yang terbaring di lantai.

Arya mengenali kedua sosok tubuh itu. Yang seorang adalah Panangkaran. Sedang gadis yang mengenakan pakaian serba hitam dan berdiri di samping Panangkaran ialah gadis yang pernah ditolongnya ketika dikejar-kejar kakek berjenggot panjang putih beberapa saat lalu.

Gadis itu menatap ke arahnya dengan sinar mata heran bercampur kaget. Matanya membelalak lebar seakan tak percaya. Gadis itu tetap terpaku di tempatnya ketika Panangkaran menga-jaknya masuk ke dalam ruangan. Sehingga, Pa-nangkaran menjadi heran dan berpaling menatap-nya dengan penuh selidik.

"Kenapa, Pertiwi?" tanya lelaki bermata satu itu.

"Tidak apa-apa, Ayah;" Pertiwi cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

"Hm...." Panangkaran hanya menggumam pelan dan tidak mendesak lebih jauh. Pandangannya dialihkan ke arah sosok Arya.

Pertiwi sadar kendati Panangkaran tidak memperpanjang masalah itu, tapi tidak berarti kecurigaan lelaki bermata satu itu lenyap. Panangkaran belum puas dengan jawaban yang diberi-kannya.

"Rasanya aku pernah mengenalnya, Ayah." Pertiwi membuka percakapan ketika mereka telah menghentikan ayunan kaki di depan tubuh Dewa Arak. Jarak antara anak dan ayah itu dengan ujung kaki Arya hanya dua jengkal.

"Begitukah?"

Datar saja pertanyaan yang dilontarkan Panangkaran seraya menatap Pertiwi yang berdiri di sebelahnya.

"Kau tahu siapa pemuda sombong ini?" Perlahan-lahan Pertiwi menggelengkan kepala.

"Tidak, Ayah. Jangankan mengenalnya, bertemu saja baru sekali. Itu pun hanya sekelebatan. Aku tengah tergesa-gesa karena dikejar-kejar Dewa Obat Tangan Sakti."

"Dia seorang pendekar muda yang sombong, Pertiwi!" Tandas Panangkaran berapi-api. "Seorang yang merasa paling sakti. Jadi, suka mencampuri urusan orang lain. Belum lama ini aku dilukainya saat hampir berhasil membunuh Bagas Pati!"

"Ah....!" Seruan kaget itu terlontar dari mulut Pertiwi. Gadis berpakaian hitam ini tahu betul tingkat kepandaian ayahnya. Kalau Panangkaran sampai kalah dan berhasil dilukai, bisa diperkirakan oleh Pertiwi tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu!

"Kau kaget, Pertiwi?"

Ucapan Panangkaran membuat Pertiwi kembali mengalihkan perhatian pada ayahnya. "Terus terang ya, Ayah." Gadis berpakaian hitam itu membenarkan. "Rasanya sukar dipercaya ada orang yang mampu mengalahkan Ayah. Apalagi orang itu masih muda."

"Kau akan lebih kaget lagi kalau tahu siapa dia sebenarnya, Pertiwi."

"Siapa dia, Ayah?" Pertiwi tidak sabar untuk segera mengetahui siapa pemuda berpakaian ungu yang luar biasa itu. Yang diam-diam telah menimbulkan rasa simpati di hati Pertiwi, sejak pertama kali melihatnya ketika dengan gagah berani menghadang Dewa Obat Tangan Sakti.

"Apakah kau pernah mendengar tentang seorang pendekar muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan?" Panangkaran malah balik bertanya.

Pertiwi terdiam sejenak. Kemudian, wajahnya berubah hebat. "Maksud Ayah? Dewa Arak...?!" Pertiwi terbata-bata karena tidak yakin dengan dugaannya.

Gadis itu menatap Dewa Arak dengan sepasang mata membelalak lebar. Julukan Dewa Arak telah lama didengarnya. Tokoh muda yang memiliki kepandaian tinggi. Ditakuti lawan dan disegani kawan. Tak terhitung tokoh-tokoh hitam yang roboh di tangannya. Ia sungguh tidak menyangka bisa bertemu dengan Dewa Arak. Untuk beberapa saat gadis berpakaian hitam ini tertegun begitu Panangkaran mengangguk, membenarkan dugaannya.

"Dan sekarang, Pertiwi." Panangkaran membuka suara lagi. "Dewa Arak yang terkenal di dunia persilatan itu tak berdaya. Nyawanya berada di tanganku. Sebentar lagi nama Panangkaran akan terkenal sebagai orang yang telah menewaskan Dewa Arak! Namaku akan membubung tinggi. Ha ha ha...!"

Pertiwi ikut tertawa meski sebenarnya tidak ingin melakukannya. Untuk pertama kalinya Pertiwi yang sudah terbiasa membunuh dan menyiksa merasa tidak rela mendengar musuh ayahnya akan tewas. Pertiwi tidak tahu mengapa sebabnya. Yang jelas, dia tidak ingin Dewa Arak tewas atau tersiksa. Apalagi mati dengan cara mengerikan. Pertiwi benar-benar tidak rela!

"Lalu,.., apa yang hendak Ayah lakukan terhadapnya? Membunuhnya?"

"Itu sudah pasti, Pertiwi. Tapi tentu saja tidak semudah itu. Dewa Arak telah berani mencampuri urusanku. Bahkan, dia telah melukaiku. Sebagai balasannya, dia akan mati dengan cara yang amat mengerikan. Dia akan mati secara perlahan-lahan, Pertiwi. Ha ha ha...!"

Untuk kedua kalinya Pertiwi tergelak. Bahkan, tawa gadis berpakaian hitam ini lebih keras daripada ayahnya.

"Kau boleh saksikan pertunjukan menarik ini, Pertiwi. Lihatlah bagaimana kelabang-kelabang merah akan membuat Dewa Arak tersiksa sebelum mati secara mengenaskan. Ha ha ha...!"

Dengan derai tawa dari mulutnya, Panangkaran membuka tutup bumbung rotan yang sejak tadi dipegang dengan tangan kanannya. Pertiwi menyembunyikan rasa ngeri yang menggayut di hati. Belasan ekor kelabang berlompatan keluar dari lubang bumbung rotan.

Derai tawa Panangkaran mengiringi gerak kelabang-kelabang merah yang saling berlomba mendekati tubuh Dewa Arak. Kegembiraan membayangkan siksaan yang akan dialami Dewa Arak membuat Panangkaran tidak melihat suatu keganjilan. Pertiwi yang biasanya paling suka melihat orang tersiksa kali ini tidak memperlihatkan kegembiraan sedikit pun. Gadis berpakaian hitam itu memang tertawa. Tapi, tawanya sumbang dan jelas kedengaran karena terpaksa.

Panangkaran tidak melihat ketika wajah Pertiwi menegang hebat saat belasan ekor kelabang merah sudah berada dekat dengan Dewa Arak. Bukan hanya Pertiwi saja yang merasa ngeri. Dewa Arak pun demikian. Hanya saja pemuda berambut putih keperakan ini pandai menguasai perasaannya. Sehingga, tidak terlihat gambaran perasaan apa pun pada wajahnya.

Kendati hanya bisa menduga kelabang-kelabang merah itu memiliki racun ganas dari bau amis yang memuakkan ketika mereka keluar dari bumbung, Dewa Arak menyadari benar bahaya besar tengah mengancamnya. Pemuda ini tahu Panangkaran tidak bicara bohong dengan ancamannya tadi.

Meski demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Tenaga dalamnya telah pulih seperti sediakala sehingga belenggu-belenggu itu bukan apa-apa baginya. Sayang, Panangkaran mengetahui hal itu. Lelaki bermata satu yang tidak ingin pendekar muda yang dimusuhinya itu bebas telah menotoknya hingga Dewa Arak tidak bisa mengerahkan tenaga dalam.

Tapi, totokan itu dilakukan sudah cukup lama. Sejak Panangkaran dan Pertiwi tiba Arya merasakan pengaruh totokan mulai membuyar. Kini, menyadari adanya ancaman terhadap dirinya, Arya mengerahkan tenaga dalam agar totokan itu lebih cepat punah.

Dengan hati berdebar tegang Arya membuat perhitungan. Pemuda berambut putih keperakan ini yakin semua jalan darahnya akan pulih seperti sediakala sebelum kelabang yang paling dulu bergerak menggigit tubuhnya. Arya yakin akan bisa selamat dari kelabang-kelabang itu.

"Hampir aku lupa!" Panangkaran yang memperhatikan dengan penuh minat dan wajah berseri-seri pada kelabang-kelabang berseru kaget. Lelaki bermata satu ini mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. Jari telunjuk kanannya lalu ditudingkan ke depan.

Arya mengeluh dalam hati ketika merasakan sekujur tubuhnya kembali lemas. Panangkaran yang teringat akan totokannya merasa khawatir saat itu pengaruh totokan telah membuyar. Ia kemudian mengirim totokan dari jauh pada bahu kanan Arya.

Tepat pada sekujur tubuh Arya kembali lemas, seekor kelabang menggigit pergelangan kaki kanan pemuda itu. Seringai kesakitan tampak di bibir Arya. Kalau saja saat itu ia tidak berada dalam keadaan tertotok, mungkin tubuhnya akan terguncang karena rasa sakit yang mendera.

Arya merasakan sakit dan pedih. Yang mengejutkan, sesaat kemudian pada bagian yang tergigit timbul rasa gatal yang sangat. Rasa gatal yang membutuhkan gerakan tangan. Karena saat itu ia tidak bisa bergerak, rasa gatal itu pun me-nimbulkan perasaan tersiksa. Belum juga perasaan itu lenyap, kelabang-kelabang lainnya telah menggigit pula. Rasa sakit, pedih, dan panas seperti terbakar terus dirasakan Arya.

Sehabis menggigit, kelabang-kelabang itu berjalan-jalan di sekujur tubuh Arya. Padahal, setiap kulit manusia yang tersentuh dengan tubuh bagian bawah binatang itu bagaikan terkena ulat bulu yang paling gatal. Sehingga, tidak hanya menimbulkan perasaan gatal yang menyiksa, tapi ju-ga membuat kulit Arya bentol-bentol besar.

Hanya dalam sebentar saja sekujur tubuh Arya sudah tidak utuh lagi. Yang paling mengenaskan pada bagian wajah. Bentol-bentol besar membuat sepasang mata Arya sipit. Wajah itu bersemu kehijauan, pertanda keracunan hebat! Meski rasa sakit yang hebat melanda, Arya mampu menunjukkan kalau dirinya bukan orang cengeng. Tak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya.

Panangkaran yang memperhatikan seluruh kejadian itu diam-diam merasa kagum. Tapi, lelaki bermata satu ini tidak menunjukkannya. Ia terus tertawa gembira. Tawa Panangkaran baru lenyap ketika Dewa Arak pingsan karena tak kuat menahan siksaan. Tentu saja hal itu membuat Panangkaran kehilangan kegembiraannya. Tanpa banyak bicara lagi dan dengan membayangkan kepuasan hati, tubuhnya dibalikkan dan berjalan keluar ruangan.

Pertiwi yang telah bisa menguasai perasaannya dan berpura-pura gembira mengikuti langkah ayahnya. Ditinggalkannya kelabang-kelabang merah yang masih berpesta dengan tubuh Dewa Arak.

* * *

"Turunkan aku. Harap turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri...!"

Seruan-seruan itu tidak terlalu keras. Pemiliknya tengah berada dalam keadaan lemah. Tapi, cukup untuk membuat gadis berpakaian hitam yang tengah berlari cepat menghentikan larinya dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya. Sosok yang berada dibahu kanan gadis berpakaian hitam itulah yang mengeluarkan seruan.

Kini ia berdiri di tanah dengan kedua kaki. Sosok ini seorang pemuda berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Mengingat bentuk tubuhnya yang tegap dan kekar, tentu ia memiliki wajah yang tampan. Tapi, ternyata tidak. Wajah itu buruk karena dipenuhi bentol-bentol besar. Sepasang matanya yang mencorong kehijauan seperti mata harimau dalam gelap hampir tidak terlihat. Yang lebih mengerikan, wajah pemuda berpakaian ungu itu bersemu kehijauan. Pemuda ini tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak.

"Mengapa kau menolong aku, Pertiwi?" tanya Arya lemah. Ditatapnya wajah gadis berpakaian hitam itu lekat-lekat. Arya sejak tadi memang diam saja dan membiarkan Pertiwi membawanya kabur.

Pertanyaan itu membuat Arya teringat kembali akan kejadian tadi. Dia baru saja tersadar ketika Pertiwi masuk ke dalam ruangan tempatnya ditahan. Sebelum Arya sempat bicara sesuatu, gadis berpakaian hitam itu telah lebih dulu memberi isyarat agar Arya jangan berisik.

Dengan hati-hati, karena takut diketahui, Pertiwi menyingkirkan kelabang-kelabang merah dari tubuh Arya. Kemudian, dibukanya belenggu di kedua pergelangan tangan dan kaki. Lalu Pertiwi membawa kabur pemuda berambut putih keperakan itu.

Pertiwi yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu menjadi gugup. Wajahnya memerah sehingga membuat kecantikannya semakin tampak.

"Aku... aku.., eh... maksudku..., aku ingin membalas hutang budi yang telah kau berikan padaku." Meski dengan terbata-bata Pertiwi berhasil menyampaikan alasannya.

"Maksudmu..., di waktu kau dikejar-kejar kakek berpakaian putih, Pertiwi?" Tanpa ragu-ragu Arya menyapa gadis berpakaian hitam itu dengan namanya. Ia tahu nama gadis itu karena mendengar percakapan Pertiwi dengan Panangkaran.

"Benar, Dewa Arak." Pertiwi menganggukkan kepala. Suaranya kali ini tidak gemetar lagi.

"Panggil saja aku Arya, Pertiwi. Perlu kau ketahui, waktu itu aku akan menolongmu tidak untuk mengharapkan balas jasa. Itu memang sudah tugasku. Jadi, tidak perlu kau memaksakan diri untuk membalas budi. Apalagi, sampai mengkhianati ayahmu sendiri."

"Tapi, De..., eh, Arya. Apabila aku mendiamkan saja kau akan tewas di tangan Ayah. Aku akan menyesal seumur hidup. Dan perlu kau tahu, Arya, aku tidak pernah membiarkan orang menghutangkan budi padaku tanpa aku membalasnya."

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Pertiwi merasa lega karena Arya tidak mendesaknya lagi. Terus berdusta terhadap Dewa Arak yang memiliki sepasang mata tajam seperti mampu membaca pikiran orang bukan perbuatan yang mudah!

Memang, Pertiwi berdusta dengan alasannya menolong Dewa Arak. Seorang seperti Pertiwi yang sejak kecil dididik kejahatan, mana mungkin memikirkan balas budi terhadap orang yang pernah menolongnya? Itu tidak ada dalam kamus hidup Pertiwi! Bahkan, gadis berpakaian hitam ini tidak segan-segan membalas budi orang dengan kejahatan!

"O iya, Arya. Hampir saja aku lupa."

"Apa yang kau lupakan, Pertiwi?"

"Ini." Pertiwi mengangsurkan sebuah guci kecil yang mulutnya tersumbat sejenis kain dari kulit binatang. "Oleskan cairan ini dengan merata pada sekujur tubuhmu, terutama pada bagian-bagian yang bentol. Kalau tidak, bentol-bentol itu akan membusuk seperti layaknya daging orang yang telah meninggal."

"Ah...!" Arya sampai mengeluarkan seruan kaget Pemuda berambut putih keperakan itu tidak menyangka sedahsyat itu akibat yang akan diterimanya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi Arya menerima guci itu. Kemudian, dibawanya ke kerimbunan semak yang berada tak jauh dari situ.

Pertiwi sendiri sehabis memberikan guci itu mengalihkan pandangan ke arah tadi dia datang. Arah pandangannya tertuju pada tempat ayahnya berada. Tempat di mana Arya disiksa. Tanpa sepengetahuan Arya, karena Pertiwi dengan pandainya mampu menyembunyikan perasaan, Pertiwi merasa khawatir bukan main.

Banyak hal yang dicemaskannya. Satu di antaranya adalah apabila ayahnya mengetahui Dewa Arak telah lolos! Panangkaran pasti akan melakukan pengejaran, juga gurunya. Keberhasilan Pertiwi membawa kabur Dewa Arak adalah karena kebetulan Panangkaran sedang sibuk menyambut kedatangan gurunya.

ENAM

"Pembunuh keji! Kiranya kau berada di sini... Mampuslah!"

Teriakan nyaring yang sarat dengan kemarahan itu mengejutkan Pertiwi. Keterkejutan itu bercampur rasa khawatir ketika mengetahui asal seruan itu dari tempat Dewa Arak berada. Tanpa membuang-buang waktu lagi Pertiwi melesat ke dalam kerimbunan semak. Ia tidak khawatir kalau-kalau Arya tengah melepas pakaian untuk mengoleskan cairan.

Kekhawatiran akan nasib pemuda berpakaian ungu itu lebih besar dari segalanya. Pertiwi agak terperanjat ketika telah berhasil menerobos kerimbunan semak. Meski cukup lebat dan lebar ternyata di balik semak-semak itu terdapat lapangan rumput yang luas!

Brakkk!

Hiruk-pikuk dari semak-semak yang berada di dekat situ membuat gadis berpakaian hitam terjingkat kaget. Pertiwi baru saja menjejakkan sepasang kakinya di tanah ketika bunyi hiruk-pikuk terjadi. Pertiwi langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari Arya. Hati gadis berpakaian hitam ini menjadi lega ketika melihat Arya bergulingan di tanah. Arya selamat!

Ternyata pemilik bentakan telah melancarkan pukulan jarak jauh terhadap Dewa Arak. Namun, gagal karena pemuda berambut putih keperakan itu sempat menggulingkan tubuh untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Saat Arya masih bergulingan di tanah, sosok itu melompat dan menerjang bagai seekor harimau. Jari-jarinya terkembang membentuk cakar!

Arya yang masih bergulingan di tanah, mengetahui ancaman maut ini. Pemuda berambut putih keperakan itu sadar jika mengelak tidak mungkin dilakukan, menangkis pun hanya akan membuat nyawanya melayang ke alam baka. Tenaga dalamnya telah lenyap.

Tapi, malaikat maut rupanya belum ingin berjumpa dengan Arya. Di saat yang amat gawat bagi keselamatan pemuda itu, Pertiwi melompat dengan kecepatan menakjubkan. Ia memapaki terkaman pemilik bentakan yaitu seorang pemuda berpakaian coklat.

Bresss!

Benturan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu langsung terjadi. Tubuh kedua orang itu terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Namun, dengan gerakan sederhana Pertiwi maupun pemuda berpakaian coklat mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka bergulingan. Keduanya bangkit berdiri meski den-gan pandangan nanar.

"Siapa kau, Nona? Mengapa melindungi penjahat keji itu?" tanya pemuda berpakaian coklat setelah melempar pandangan kagum melihat orang yang menangkis serangannya seorang gadis muda. Cantik lagi.

"Siapa aku tidak perlu kau tahu! Yang jelas, apabila kau bermaksud bertindak curang dan secara tak tahu malu ingin membunuh dia, aku tidak akan tinggal diam! Kau harus melangkahi mayatku dulu sebelum maksudmu terlaksana!" penuh semangat dan berapi-api Pertiwi menyambuti ucapan pemuda berpakaian coklat yang nama sebenarnya Patuka.

Pemuda berpakaian coklat terperanjat mendengar kata-kata yang lantang itu. Di samping bersemi perasaan kagum yang besar terhadap Pertiwi. Gadis itu memang cantik bukan main! Apalagi ketika dalam keadaan penuh semangat. Terlihat cantik dan gagah.

"Nona," Suara Patuka mulai melunak. Ia tidak ingin terlibat pertarungan dengan gadis berpakaian hitam ini. Di dalam hatinya telah muncul simpati yang besar terhadap Pertiwi. Perasaan yang membuat Patuka tidak ingin melukai apalagi membunuh Pertiwi!

"Cihhh! Tak tahu malu. Kau kira aku akan berpihak padamu dengan rayuan yang hendak kau lontarkan terhadapku?!" timpal Pertiwi, cepat.

Wajah Patuka langsung merah padam. Ucapan Pertiwi tajam bukan main. Pemuda berpakaian coklat ini merasa heran, tidak menyangka akan mendapat sambutan sepedas itu. Sukar dipercaya ucapan sekasar itu keluar dari mulut seorang gadis yang cantik jelita dan gagah seperti Pertiwi.

Patuka besar dalam lingkungan yang meski tidak terlalu bersopan-santun tapi cukup mempunyai aturan. Lain halnya dengan Pertiwi. Gadis berpakaian hitam itu besar dalam didikan seorang tokoh hitam yang kasar dan tidak mengenal aturan. Maka, Pertiwi menganggap sambutan yang diberikannya biasa-biasa saja.

"Mulutmu terlalu tajam, Nona," ucap Patuka dengan wajah memerah karena malu. Itu pun setelah beberapa saat lamanya terdiam bagai orang kehilangan akal. "Siapa yang bermaksud merayumu? Aku bukan sejenis orang seperti itu, Nona. Aku hanya ingin memberitahumu kalau orang yang kau lindungi itu adalah seorang pembunuh keji!"

"Apa pun yang kau tuduhkan padanya aku tidak peduli!" tandas Pertiwi mantap. "Yang jelas, kalau kau ingin membunuhnya kau harus melangkahi mayatku dulu!"

Pemuda berpakaian coklat tersenyum pahit. "Kau tidak memberikan pilihan lain padaku, Nona."

"Tidak usah banyak bicara, Lelaki Bermulut Wanita! Kalau kau bukan seorang pengecut, maju dan serang aku!"

Patuka menggertakkan gigi. Tidak ada gunanya lagi berpanjang kata kalau tidak ingin ucapan-ucapan Pertiwi semakin menyakitkan hatinya.

"Tunggu sebentar...!"

Patuka yang telah siap melancarkan serangan dan Pertiwi yang sudah sedia untuk menghadapinya mengendurkan urat-urat mereka mendengar seruan itu. Keduanya menoleh bersamaan ke arah Arya.

"Apa lagi yang hendak kau katakan, Pembunuh Keji?!" geram Patuka seraya menatap Arya dengan sinar mata penuh kebencian dan dendam.

Arya tentu saja bisa merasakannya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini berpura-pura tidak tahu. "Sejak pertama kali kita bertemu kau telah menuduhku seorang pembunuh keji. Padahal, aku tidak tahu menahu dengan yang kau maksud. Berkali-kali aku minta kau mau menjelaskan, tapi kau tidak mau mendengarnya. Sekarang, untuk terakhir kalinya aku minta kau menjelaskannya sebelum semuanya menjadi telanjur."

Tenang dan penuh kematangan Arya mengucapkan kata demi kata. Tidak ada nada amarah di dalamnya.

Patuka dan Pertiwi terdiam. Mereka merasakan jiwa dan pemikiran yang matang dalam ucapan Dewa Arak. Ucapan yang membuat kedua orang muda itu diam-diam merasa kagum. Patuka menjadi terkejut ketika melihat keadaan Arya yang mengenaskan. Tadi dia tidak sempat memperhatikannya karena yang terpikirkan hanya membunuh atau terbunuh.

Tadi, begitu melihat pakaian dan warna rambut Arya, dia langsung melancarkan pukulan Jarak jauh. Pemuda berpakaian coklat itu segera menduga Arya tengah menderita keracunan hebat. Seketika ia teringat dengan ucapan Pertiwi yang mengatakan Arya tengah dalam keadaan tidak berdaya.

"Baiklah kalau itu yang kau inginkan," ucap Patuka lebih lunak dari sebelumnya. Tapi, sorot matanya tetap menyiratkan kebencian. "Ingatkah kau dengan nama Panuggal?"

Arya mengernyitkan dahi mencoba mengingat-ingat sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Sepasang mata Patuka berkilat-kilat memancarkan kemarahan. Ia menganggap Dewa Arak berdusta.

"Aku bukan orang yang suka berbohong, Sobat! Aku lebih suka mati daripada memberikan kesaksian palsu. Sekarang terserah apa tanggapanmu!" tegas Arya yang dapat melihat ketidak-percayaan Patuka.

"Baiklah! Ucapanmu kupercaya. Tapi setelah satu keterangan lagi kuberikan tidak juga kudapatkan jawaban pasti darimu, tidak ada lagi basa-basi!" Patuka menggeram. "Ayahku tewas di tanganmu. Begitu berita yang kudapat dari penduduk Desa Jarak. Beliau berjuluk Utusan Dari Akhirat"

"Utusan Dari Akhirat?" ulang Arya meminta penegasan.

"Benar! Apakah kau masih mau menyangkal bahwa kau yang telah menyebabkan kematiannya?!" sambut Patuka penuh amarah.

"Tidak!" jawab Arya seraya menghela napas berat. Sungguh tidak disangka kematian Utusan Dari Akhirat akan berbuntut panjang. Arya kembali teringat dengan tokoh itu. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Perintah Maut). "Memang dia tewas di tanganku. Tapi perlu kau ketahui, Sobat. Tidak ada permusuhan sedikit pun antara aku dengan Utusan Dari Akhirat!"

"Itu sebabnya kukatakan kau pembunuh keji, Dewa Arak! Tidak ada urusan antara kau dengannya, tapi kau tega membunuhnya. Aku sebagai anaknya tak akan tinggal diam. Ibuku mati merana karena beliau kau bunuh. Aku, Patuka, rela mati di tanganmu untuk membalaskan kematian ayahku, Dewa Arak!"

Arya tersenyum getir. "Lebih baik kau urungkan niatmu, Patuka. Aku tahu kau pemuda baik-baik. Rasa sakit hati dan dendam membuat akal sehatmu tertutupi. Janganlah kau ikuti jejak ayahmu yang tidak benar itu. Dan...."

"Tutup mulutmu, Pembunuh Keji! Ayahku tidak sejahat yang kau kira. Beliau membunuh orang, bukan karena hatinya jahat. Tapi, karena pesanan orang lain. Seharusnya orang yang menyuruh ayahku yang kau bunuh!" potong Patuka berapi-api.

"Tidak perlu kau ajari, Patuka. Aku sudah melakukannya!" Nada suara Arya mulai meninggi "Memang kuakui ayahmu tidak jahat. Pekerjaan ayahmu sangat berbahaya. Ia membunuh siapa saja tanpa pilih bulu. Daripada dia terus menyebarkan ancaman dan dimanfaatkan orang-orang jahat, lebih baik kulenyapkan dia!"

"Keparat! Sekarang, kaulah yang harus mati di tanganku untuk menebus nyawa ayah dan ibuku, Dewa Arak!"

Patuka menutup ucapannya dengan terjangan ke arah Arya. Dalam cekaman kemarahan yang bergelora ia mengeluarkan sebatang cambuk berujung tiga. Pada tiap-tiap ujungnya terbelit sebatang pisau yang putih berkilat. Sekarang, tiga batang pisau itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan di tubuh Dewa Arak.

"Manusia pengecut!" Pertiwi yang memang sudah sejak tadi siap menolong Arya langsung melesat ke depan pemuda berambut putih keperakan itu. Entah kapan mengambilnya, di tangan Pertiwi telah tergenggam sehelai sabuk hitam panjang.

Prat, prattt, prattt!

Tiga batang pisau Patuka terpental ke belakang ketika dengan gerakan luar biasa ujung sabuk Pertiwi bergerak tiga kali memapaki luncuran pisau. Patuka menggeram keras melihat serangannya kandas. Walau tidak ingin bertarung dengan Pertiwi yang telah menarik hatinya, tapi karena gadis itu menghalangi tindakannya, terpaksa ia menyerang Pertiwi. Hanya apabila Pertiwi telah roboh dia dapat membunuh Dewa Arak. Untuk merobohkan Pertiwi tidak ada jalan lain kecuali bertarung dengan gadis berpakaian hitam yang memiliki kepandaian luar biasa ini.

Pertarungan sengit antara kedua orang muda itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi meledak-ledak terdengar ketika cambuk dan sabuk dilecutkan. Dalam pengerahan tenaga dalam tinggi, senjata lemas itu tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam.

Baik Pertiwi maupun Patuka bertarung dengan penuh semangat, agar bisa merobohkan lawan secepatnya. Bedanya kalau Patuka tidak melancarkan serangan-serangan maut terhadap Pertiwi, tidak demikian halnya dengan putri Panangkaran. Pertiwi melancarkan serangan-serangan yang sebagian besar dapat mengirim nyawa lawannya ke alam baka.

Cambuk Patuka menegang kaku bagai tombak. Sementara sabuk Pertiwi mampu menjadi pedang yang luar biasa tajam. Dalam keadaan seperti itu Patuka maupun Pertiwi bisa menggunakan senjatanya untuk menusuk, membacok, atau membabat yang mengeluarkan bunyi bercicitan tajam.

Rrrttt!

Pertiwi yang tidak sabar melihat pertarungan berjalan seimbang, pada suatu kesempatan disaat cambuk Patuka meluncur, Pertiwi mempergunakan sabuknya untuk melilit cambuk Patuka. Pertiwi yang sudah merencanakan hal itu segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Menurut perhitungannya, Patuka yang tidak ingin kehilangan senjatanya pasti akan menarik pula. Dan, ternyata benar. Tarik-menarik pun terjadi.

Di saat cambuk dan sabuk menegang karena pengaruh tarikan, Pertiwi mengibaskan tangan kirinya. Bubuk-bubuk halus yang berada di sapu tangan dalam genggaman tangan kiri Pertiwi meluncur ke arah wajah Patuka. Bubuk itu berbau harum yang memabukkan.

Patuka kaget bukan main melihat serangan yang tidak terduga ini. Semula, mengingat kegagahan sikap Pertiwi, Patuka mengira Pertiwi merupakan murid seorang pendekar. Tak mungkin murid seorang pendekar melakukan kecurangan. Keyakinan akan dugaannya itu yang mengejutkan Patuka. Apalagi, ketika mengetahui serangan Pertiwi ternyata beracun.

Meski demikian, Patuka tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan diri. Dengan pengerahan tenaga dalam ditiupnya debu-debu halus yang meluncur ke wajahnya, hingga berbalik kembali pada Pertiwi. Pertiwi sebagai pemilik bubuk-bubuk itu tentu saja tidak merasa khawatir. Dia hanya memejamkan mata agar bubuk-bubuk itu tidak masuk ke dalam mata. Pada saat yang bersamaan gadis itu mengirimkan tendangan ke paha kanan Patuka.

Desss!

Tubuh Patuka terjengkang ke belakang ketika dengan telak kaki Pertiwi menghantamnya. Cambuk yang sejak tadi dipertahankan terlepas dari pegangan. Pertiwi tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Sekali tangan kanannya yang memegang sabuk dikibaskan, cambuk Patuka melayang deras ke arah pemiliknya. Pertiwi mempergunakan kesempatan di saat Patuka tengah sibuk menghadapi serangan cambuknya sendiri untuk melompat jauh ke belakang dan menyambar tubuh Arya.

Pemuda itu sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan dengan rasa khawatir. Arya yang telah kenyang pengalaman mengetahui kepandaian Pertiwi dan Patuka hampir berimbang. Bila diteruskan, salah satu di antara mereka pasti akan celaka. Yang menang terluka parah dan yang kalah akan tewas. Betapa leganya hati Arya ketika melihat Pertiwi menghentikan pertarungan dan membawanya kabur meninggalkan tempat itu.

Berbeda dengan Arya, Patuka merasa geram bukan main. Dia mencoba untuk mengejar. Tapi, kakinya yang terkena tendangan terasa nyeri ketika digunakan untuk berdiri, apalagi jika berlari. Patuka hanya bisa menatap kepergian Pertiwi yang membawa Arya.

TUJUH
"Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadapku, Pertiwi?"

Dalam keadaan tubuh dipondong Pertiwi yang tengah berlari cepat Arya mengajukan pertanyaan itu.

"Membawamu pada Dewa Obat Tangan Sakti untuk memintanya agar mengobatimu," beritahu Pertiwi tanpa mengendurkan kecepatan larinya.

"Apakah kau tidak bisa mengobatiku, Pertiwi? Aku dengar meski julukannya Dewa Obat, dia tidak mudah menerima orang untuk diobatinya. Kudengar dia orang yang aneh. Kadang orang yang meminta pengobatannya dibiarkannya saja sampai betul-betul parah."

"Apa yang kau dengar itu memang tidak salah, Arya. Dewa Obat Tangan Sakti memang memiliki perangai aneh. Tapi, hanya dialah yang memiliki pemunah racun yang bersarang di tubuhmu. Sedangkan ayahku tidak mungkin memberikan pertolongan. Jadi, hanya tinggal Dewa Obat Tangan Sakti satu-satunya harapan kita," jelas Pertiwi panjang lebar.

"Aku mendengar nada ketidakyakinan akan keberhasilan usaha ini, Pertiwi? Apakah tidak sebaiknya kau hentikan saja usahamu. Aku yakin akan dapat mengobati keracunan ini dengan arak dalam guciku. Arakku mampu menawarkan segala macam racun." Arya mengajukan usul.

"Kau terlalu menganggap enteng racun kelabang merah, Arya." Terdengar agak kesal sambutan yang diberikan Pertiwi. "Apakah kau tidak tahu kalau tenaga dalammu telah lenyap?"

"Ah...!" Arya berseru kaget. Tentu saja dia tahu tenaga dalamnya telah lenyap. Itu diketahuinya sewaktu bertemu dengan Patuka di semak-semak dan pemuda itu menyerangnya dengan pukulan jarak jauh. Arya mencoba melompat ke atas. Namun, tidak jadi dilakukannya ketika tidak merasakan adanya putaran tenaga dalam di pusarnya. Dengan untung-untungan Arya membanting tubuh di tanah dan bergulingan. Untung, sebelum maut merenggut nyawanya Pertiwi keburu muncul dan menolongnya. "Jadi..., lenyapnya tenaga dalamku karena pengaruh racun kelabang merah?"

"Itu tanda-tanda permulaan saja, Arya," jawab Pertiwi sungguh-sungguh. "Lewat sehari kau akan terserang rasa panas yang sangat. Hingga, semua bulu yang ada di tubuhmu rontok dan tidak pernah tumbuh lagi untuk selamanya. Kemudian, sedikit demi sedikit akan muncul bercak-bercak putih di kulitmu. Bagian yang terdapat bercak ini akan mati rasa. Kejadian selanjutnya sungguh mengerikan. Mulai dari ujung jari, seruas demi seruas akan terpisah dalam keadaan hancur. Mungkin pula dimulai dari hidung. Sayang, aku tidak tahu pasti. Tapi, yang jelas apabila sudah sampai pada keadaan seperti itu, ditolong pun kurasa tidak ada gunanya lagi!"

Arya tidak mampu memberikan sambutan atas uraian Pertiwi. Pemuda berambut putih keperakan yang memiliki kepandaian menakjubkan itu merasa ngeri! Siksaan yang didengarnya terlalu dahsyat.

"Tapi, kudengar Dewa Obat Tangan Sakti sukar dicari tempat tinggalnya. Apakah... waktu yang kita miliki cukup untuk mencarinya? Belum lagi kalau dia menolak?" Arya membuka percakapan dengan suara kering.

"Tenanglah, Arya, semua itu sudah kupikirkan. Percayalah, kau akan diobatinya dan sembuh." Pertiwi mencoba menenangkan hati Arya.

Arya tidak memberikan tanggapan lagi. Gadis itu mencoba untuk membuatnya tidak gelisah. Padahal, Arya tidak gelisah. Ia sudah siap menerima kenyataan yang paling buruk. Karena tidak ada percakapan lagi, meski tengah berlari benak Pertiwi menerawang jauh. Gadis berpakaian hitam ini telah bertekad apa pun yang terjadi Dewa Arak harus diobati Dewa Obat Tangan Sakti.

Pertiwi kembali teringat pertemuannya pertama kali dengan Arya. Saat itu dia dikejar-kejar kakek berpakaian putih. Ia melihat seorang pemuda berambut putih keperakan tengah berlari ke arahnya. Dalam pertemuan pertama itu hati Pertiwi telah tergetar. Tubuh Arya yang tegap dan kekar serta wajahnya yang tampan menimbulkan kekaguman di hati Pertiwi.

Kekaguman Pertiwi semakin menjadi-jadi ketika melihat dengan beraninya Arya menghadang kakek berpakaian putih. Sayang, kesempatan yang tidak memungkinkan membuatnya tidak dapat mengenal Dewa Arak lebih jauh. Pertiwi baru mengetahui lebih banyak tentang Arya ketika pemuda berambut putih keperakan itu menjadi tawanan ayahnya.

Kekaguman yang akhirnya membuahkan rasa cinta. Apalagi, ketika mengetahui orang yang dikaguminya ternyata Dewa Arak dan memiliki kepandaian di atas ayahnya. Perasaan cinta itu membuat Pertiwi berani menanggung akibat dengan menolong Dewa Arak yang sama artinya dengan menantang ayahnya.

* * *

"Ratih...." Suara pelan yang sarat dengan perasaan iba itu keluar dari mulut seorang kakek berpakaian abu-abu. Kakek itu berada di dalam sebuah gua yang mempunyai ruangan cukup luas.

"Seperti sudah kukatakan, yang telah mati kita relakan saja. Tidak usah dipikirkan lagi. Apalagi sampai demikian sedih. Beberapa hari kau tidak makan. Aku khawatir kau jatuh sakit. Andai kata ayahmu yang telah meninggal diberikan kesempatan untuk kembali ke dunia, dia pasti akan menyuruhmu berhenti melakukan penyiksaan diri seperti ini."

"Yang kusesalkan mengapa dia harus mati seperti itu, Kek?" protes Ratih, putri Dewa Seribu Pisau.

Kakek berpakaian abu-abu tersenyum lebar penuh kesabaran. "Setiap orang memang akan mati, Ratih. Dan, caranya tentu saja tidak sama. Menurut pendapatku, ayahmu, gembira dengan cara kematiannya, karena sesuai dengan dirinya sebagai seorang tokoh persilatan. Apakah kau lebih suka ayahmu mati karena sakit? Berbulan-bulan terbaring di tempat tidur dan tersiksa oleh penyakitnya. Tegakah kau melihatnya, Ratih?"

Ratih terdiam. Nasihat kakek berpakaian abu-abu bisa diterima oleh akal sehatnya. Meski demikian, kemurungan pada wajahnya tidak terusir. Hanya, sorot penasaran dalam matanya tidak terlihat lagi.

"Lagi pula." Kakek berpakaian abu-abu menambahkan. "Kalau kau terus berlaku seperti ini, bagaimana bisa membalaskan sakit hati ayahmu? Kau malah akan mati perlahan dengan batin tersiksa. Ah, betapa mengerikan!"

Wajah Ratih tampak beriak. Kata-kata yang diucapkan kakek berpakaian abu-abu telah membakar semangat hidup Ratih.

"Ada orang datang, Ratih. Dua orang mendatangi tempat ini. Langkah salah satu di antara mereka terdengar jelas oleh telingaku. Berat, seperti langkah orang yang tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh. Mari kita lihat siapa mereka." Tiba-tiba kakek berpakaian abu-abu berkata agak lirih. Dengan sikap segan Ratih mengikuti kakek berpakaian abu-abu melangkah keluar gua.

Ruangan yang berada di dalam gua ternyata tidak jauh dari mulut gua. Dalam beberapa belas langkah, kakek berpakaian abu-abu dan Ratih telah hampir sampai di mulut gua. Mendadak langkah mereka bertambah cepat. Malah, terdengar Ratih menggertakkan gigi. Tatapannya tertuju lurus ke depan dengan sorot mata penuh kebencian dan dendam!

Pemandangan keluar gua memang terang benderang. Di depan gua, hanya berjarak sekitar enam tombak dari mulut gua, berdiri dua sosok tubuh. Seorang pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba hitam. Dewa Arak dan Pertiwi. Wajah Pertiwi tampak sangat tegang. Begitu mengenali betul orang yang berdiri di depan mulut gua. Ratih tidak bisa menahan sabar lagi. Dia segera melesat keluar untuk melancarkan serangan. Tapi, baru beberapa langkah ayunan kaki Ratih terhenti. Suatu kekuatan tak nampak telah menahan ayunan kakinya. Ratih yang tengah kalap tidak mau menyerah. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan.

Namun, usahanya sia-sia. Memang kedua kaki Ratih berlari, tapi hanya di tempat itu saja. Dengan penasaran Ratih menoleh ke belakang. Dia menduga kejadian ini pasti perbuatan kakek berpakaian abu-abu. Dan, dugaan gadis berpakaian merah ini memang tidak keliru. Ratih melihat kakek berpakaian abu-abu menjulurkan kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan itulah keluar kekuatan dahsyat yang menahannya.

Tubuh Ratih yang tengah melesat keluar itu, tiba-tiba berhenti. Suatu kekuatan tak nampak telah menahan ayunan kakinya! Tentu saja Ratih tidak sudi menyerah. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Namun, usahanya sia-sia. Memang kedua kaki Ratih terlihat seperti berlari, tapi hanya di tempat itu saja!

Melihat Ratih menoleh, kakek berpakaian abu-abu tersenyum. Lalu, tangannya digerakkan seperti menarik sesuatu. Ratih tidak mampu mempertahankan tubuhnya yang meluncur deras ke arah kakek berpakaian abu-abu.

"Sabar, Ratih tidak ada gunanya kau umbar kemarahan. Wanita itu memiliki kepandaian jauh di atasmu. Menurutkan kemarahan hanya akan merugikan dirimu sendiri. Tenanglah."

Kakek berpakaian abu-abu lebih dulu memberi nasihat sebelum Ratih melontarkan protes. "Hilangkan amarahmu, dan tenangkan hati. Kita bersama-sama keluar. Percayalah, dengan adanya aku, gadis liar itu tidak akan berbuat semaunya terhadapmu."

Tanpa memberi kesempatan pada Ratih untuk memberikan jawaban, kakek berpakaian abu-abu menggandeng Ratih keluar goa. Tapi, baru beberapa tindak terdengar seruan halus bernada teguran.

"Lebih baik kau berdiam saja di dalam gua, Pendekar Kaki Seribu. Orang-orang itu datang kemari untuk menemuiku. Biar aku yang menyambutnya!"

Belum sempat kakek berpakaian abu-abu dan Ratih memberikan sahutan, angin berkesiur dan di dekat mereka telah berdiri kakek berpakaian putih. Kakek yang tadi juga berada bersama Ratih dan Pendekar Kaki Seribu. Hanya, sejak tadi ia duduk bersila dan berdiam diri saja. Tidak peduli dengan kejadian yang berlangsung di sekelilingnya.

Kakek berpakaian putih lalu mengayunkan kaki menuju mulut goa, Ratih bingung. Kakek berpakaian putih itulah yang menyembuhkan luka keracunannya. Tapi, sayang kakek itu tidak bisa diajak bicara. Yang dilakukannya hanya duduk bersemadi. Berbeda dengan Pendekar Kaki Seribu yang mau peduli akan nasib yang menimpanya.

Ratih menoleh ke arah Pendekar Kaki Seribu. Dilihatnya kakek itu mengangguk dan memberi isyarat agar Ratih mengikuti kakek berpakaian putih. Dengan ragu-ragu Ratih menuruti saran itu. Sempat dilihatnya Pendekar Kaki Seribu melangkah kembali ke ruangan dalam goa.

Pemilik tempat ini memang kakek berpakaian putih. Pendekar Kaki Seribu kawan kental kakek berpakaian putih. Tapi, sikap kakek berpakaian putih pada Pendekar Kaki Seribu terlihat dingin dan tak acuh. Seorang kakek yang aneh! Begitu kakek berpakaian putih dan Ratih muncul di mulut goa, Pertiwi mengembangkan senyum lebar tapi dengan pandangan meremehkan.

"Selamat berjumpa lagi, Dewa Obat Tangan Sakti. Sungguh tidak kusangka gelar yang kau sandang bukan omong kosong belaka. Telah kubuktikan sendiri kehebatan ilmu pengobatanmu dengan berhasil menyembuhkan luka beracun pada wanita di sebelahmu. Meski harus kuberitahu kalau racun itu hanya suatu racun yang tergolong ringan." Pertiwi membuka suara menyambut kedatangan kakek berpakaian putih dan Ratih.

Kakek berpakaian putih yang disapa Pertiwi dengan julukan Dewa Obat Tangan Sakti mengernyitkan alis. Dia tidak tahu ke mana arah ucapan putri Panangkaran itu. Meski demikian, Dewa Obat Tangan Sakti tidak terlalu memikirkannya. Perhatian kakek ini lebih banyak tertuju pada Dewa Arak.

Dewa Obat Tangan Sakti segera dapat mengetahui Dewa Arak tengah menderita keracunan hebat. Siapakah yang telah melukainya? Kakek itu bertanya dalam hati. Beberapa hari yang lalu ia sempat bentrok dengan Dewa Arak. Saat itu, pemuda berambut putih keperakan ini dalam keadaan segar bugar.

Bukan hanya Dewa Obat Tangan Sakti saja yang terkejut. Hal yang sama pun menimpa Dewa Arak. Arya sungguh tidak menyangka Dewa Obat Tangan Sakti adalah kakek yang dulu mengejar-ngejar Pertiwi dan hampir terlibat pertarungan dengannya. Dalam hati Arya menghela napas berat. Ia tahu harapan Dewa Obat Tangan Sakti akan mengobatinya sangat kecil. Sekarang Arya mengerti mengapa Pertiwi tidak yakin dengan keberhasilan usahanya. Tapi, mengapa Pertiwi tetap saja meneruskan usahanya?

Pertiwi yang melihat sikap Dewa Obat Tangan Sakti seperti tidak mempedulikan ucapannya tampak mendongkol sekali. Namun, karena sedang memiliki keperluan gadis itu berusaha menahannya. Suaranya masih terdengar tenang ketika berbicara lagi.

"Dewa Obat Tangan Sakti, apakah kau takut mendengar ucapanku maka bersikap tidak peduli? Ataukah kau takut ketidak-becusanmu dalam ilmu pengobatan diketahui orang banyak kalau kau mendengar ucapanku lebih lanjut? Kau takut aku menantangmu untuk menguji apakah kau pantas berjuluk Dewa Obat. Kudengar banyak orang yang berobat padamu bukannya sembuh tapi malah tewas. Bukankah itu berarti kau tidak memiliki ilmu pengobatan yang cukup?"

Akibat ucapan Pertiwi sungguh hebat Wajah Dewa Obat Tangan Sakti merah padam karena merasa tersinggung. Keahliannya diragukan orang, bahkan dicela. Tentu saja dia menjadi kalap! Apa-lagi yang menghinanya seorang gadis muda. Sungguh berani Pertiwi meremehkan kemampuannya sebagai seorang Dewa Obat!

"Tidak usah berbelit-belit, Gadis Bermulut Tajam! Katakan apa maksud kedatanganmu?" tanya Dewa Obat Tangan Sakti dengan geram.

Pertiwi tahu umpannya telah mengena. Dewa Obat Tangan Sakti telah kena pancing. Tapi, dengan cerdiknya gadis berpakaian hitam ini menyembunyikan rasa gembiranya. Ia mendengus meremehkan.

"Mungkin kau belum tahu siapa diriku, kakek tua yang berani sombong memakai gelar Dewa Obat! Tidak ada salahnya kalau aku memperkenalkan diri. Namaku, Pertiwi. Aku mempunyai seorang ayah sekaligus kakak seperguruan yang bernama Panangkaran. Guruku yang juga menjadi guru ayahku berjuluk Raja Racun Langit Bumi!"

Dewa Obat Tangan Sakti sebenarnya kaget bukan main mendengar orang-orang yang menjadi ayah dan guru Pertiwi. Pentolan-pentolan sesat! Panangkaran saja terkenal lihai bukan main. Apalagi gurunya yang berjuluk Raja Racun Langit Bumi. Seorang manusia yang menganggap racun seperti makanan atau minuman. Meski demikian, untuk menjaga wibawanya kakek berpakaian putih ini mengambil sikap tidak peduli. Seakan ia mendengar hal yang biasa saja.

DELAPAN

Pertiwi tidak menjadi kecil hati kendati Dewa Obat Tangan Sakti bersikap tidak peduli dengan nama-nama orang yang disebutnya. Sikap gadis berpakaian hitam ini tetap seperti semula. Sementara, Ratih menatap ke arahnya dengan pandangan yang seperti ingin menelannya bulat-bulat.

"Guruku, Raja Racun Langit Bumi, pernah menceritakan tentang dirimu yang katanya memiliki ilmu pengobatan mengagumkan. Guruku mengatakan kau ahli obat-obatan nomor satu. Bahkan konon tidak ada luka biasa maupun keracunan yang tidak bisa kau atasi. Meski demikian guruku tidak yakin kau mampu mengobati luka beracun akibat tangan guruku. Terdorong untuk mencoba kelihaian ilmu pengobatanmu, aku tidak membunuh putri Dewa Seribu Pisau ketika aku melihat kedatanganmu. Aku ingin tahu apakah kau berhasil menyembuhkan luka beracun yang dideritanya. Beberapa orang ahli obat yang kutemui di perjalananku mampu menyembuhkan luka seperti itu. Jadi, keberhasilanmu mengobati gadis itu tidak menjamin kau benar-benar patut bergelar Dewa Obat. Itulah sebabnya hari ini kubawa korban yang terkena pukulan beracun ayahku. Kalau kau berhasil menangkal racun ini, kau memang patut bergelar Dewa Obat. Tentu saja kalau kau tidak berani menyambut tantangan ini aku tidak akan memaksa. Menyerah mungkin lebih baik daripada kau berusaha tapi gagal!"

Pertiwi yang memiliki kecerdikan, lebih tepatnya kelicikan luar biasa, sengaja menutup tantangannya dengan kata-kata demikian. Kata-kata yang memaksa Dewa Obat Tangan Sakti memenuhi tantangan yang diajukan Pertiwi jika tidak ingin julukannya hancur dan menjadi ejekan tokoh-tokoh persilatan!

Dan memang, sambutan yang diberikan Dewa Obat Tangan Sakti tidak meleset dari perkiraan Pertiwi. Dengan muka merah padam karena tersinggung kakek berpakaian putih itu melangkah maju.

"Kuterima tantanganmu, Gadis Bermulut Ular! Bukankah pemuda itu yang menjadi kelinci percobaanmu?" Dewa Obat Tangan Sakti menuding ke arah Arya.

Arya yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dalam hati memuji kecerdikan Pertiwi. Sejak semula memang telah disepakati ia akan diam saja. Pertiwi yang akan mengurus semuanya. Dan, gadis berpakaian hitam itu ternyata berhasil.

Begitu melihat Pertiwi mengangguk, Dewa Obat Tangan Sakti melambaikan tangannya. "Kemari kau, Anak Muda. Biar kulihat sampai di mana kehebatan racun Raja Racun Langit Bumi!" perintah kakek berpakaian putih itu pada Dewa Arak.

Tanpa banyak cakap Arya melangkah maju. Tapi, baru beberapa tindak ayunan kakinya dihentikan. Ia mendengar seruan yang telah cukup dikenalnya.

"Kau tertipu oleh seorang bocah kemarin sore, Dewa Obat! Kami tak pernah mengajakmu melakukan pertandingan bodoh ini!"

Kalau Arya yang baru mendengar beberapa kali telah bisa mengenali pemiliknya, apalagi Pertiwi. Wajah gadis itu langsung pucat pasi. Suara itu adalah milik... ayahnya, Panangkaran!

Belum juga gema ucapan itu lenyap, berkelebat dua sosok bayangan yang langsung menjejakkan kaki di sebelah kanan Dewa Obat Tangan Sakti. Wajah pucat Pertiwi semakin memucat ketika melihat sosok lelaki di sebelah ayahnya. Sosok tinggi besar dari seorang kakek berambut panjang putih tergerai. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Kakek yang mirip raksasa ini memiliki raut muka demikian dingin. Ia adalah guru dari Pertiwi dan Panangkaran, Raja Racun Langit Bumi!

Dulu, sebelum berguru pada Raja Racun Langit Bumi, Panangkaran mempunyai seorang guru yang berjuluk Mayat Berkabung. Tapi, gurunya tewas ketika terjadi penyerbuan kelompok pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu Pisau dan Bagas Pati. Itu terjadi dua belas tahun lalu. Panangkaran sendiri terluka parah. Demikian pula dengan putrinya, Pertiwi.

Namun, keduanya berhasil diselamatkan oleh Raja Racun Langit Bumi yang kebetulan lewat di tempat itu. Nasib Panangkaran dan putrinya tengah mujur karena Raja Racun Langit Bumi berkenan mengangkat mereka menjadi murid.

Setelah hampir dua belas tahun menuntut kepandaian, Panangkaran dan Pertiwi yang diamuk dendam mulai turun tangan. Mereka melakukan pembalasan. Satu-persatu para pendekar yang terhitung dalam penyerbuan terhadap gerombolan Panangkaran berguguran di tangan Panangkaran dan Pertiwi. Keluarga mereka pun ditumpas sebagaimana halnya keluarga Bagas Pati dan Dewa Seribu Pisau. Dan sekarang, Pertiwi dan Panangkaran saling berhadapan di pihak yang berlawanan.

Meski merasa gentar melihat keberadaan ayah dan gurunya, maksud hati Pertiwi tidak menjadi surut. Dengan sikap gagah gadis berpakaian hitam ini melompat ke depan Dewa Arak untuk melindungi. Raja Racun Langit Bumi mengeluarkan dengusan mengejek dari hidungnya melihat sikap Pertiwi.

"Rupanya putrimu telah terpikat oleh ketampanan bocah gila itu, Panangkaran," dingin dan datar nada ucapan kakek berpakaian serba hitam itu.

Wajah Panangkaran tampak merah padam karena malu dan marah. Meski tidak langsung, tapi Panangkaran tahu Raja Racun Langit Bumi menegurnya. Dari nada ucapan kakek tinggi besar itu, Panangkaran juga tahu Raja Racun Langit Bumi murka dan menyuruhnya untuk memberi-kan hukuman kepada Pertiwi.

"Biar kulenyapkan saja anak tak tahu diuntung ini, Guru," ujar Panangkaran, geram.

Raja Racun Langit Bumi tidak memberikan tanggapan. Bahkan, ketika Panangkaran mulai melangkah dengan sikap mengancam menghampiri Pertiwi.

Pertiwi sampai terbelalak mendengar ucapan Panangkaran. Dia terkesima karena tidak percaya. Benarkah ayahnya akan sampai hati membunuhnya? Keterkejutan yang melanda hati Pertiwi membuat gadis itu tetap berdiam diri kendati Panangkaran telah melangkah tiga tindak.

Melihat perkembangan yang tidak disangka-sangka itu, Dewa Obat Tangan Sakti menjadi bingung. Tapi kemudian dia menjadi tersinggung karena merasa dilangkahi. "Tunggu, Panangkaran! Aku mau bicara!" seru kakek berpakaian putih itu penuh wibawa.

"Apakah kau sekarang telah menjadi orang yang tidak mempunyai rasa malu sehingga mau mencampuri urusan seorang ayah dan anaknya!" jawab Panangkaran tajam sehingga wajah Dewa Obat Tangan Sakti berubah pucat saking malunya. Kakek berpakaian putih ini pun tidak membuka suara lagi.

"Ayah...!" Pertiwi berseru dengan suara bergetar. Ia tidak menyangka ayahnya akan sampai hati ingin membunuhnya. Perasaan gadis berpakaian hitam ini hancur luluh. Air mata mengembang pada ke-dua bola matanya.

"Ayo, keluarkan senjatamu dan lawan aku, Anak Durhaka! Tidak usah tanggung-tanggung kau tolong Pemuda Sombong itu! Ayo, serang dan bunuh aku!" sambut Panangkaran dengan suara menggeledek.

Sekujur tubuh Pertiwi menggigil hebat. Sungguh tidak disangka akan demikian hebat akibat tindakannya menolong Dewa Arak.

"Menyingkiriah, Pertiwi. Biarkan ayahmu membunuhku. Tidak patut seorang anak bertarung dengan ayahnya sendiri." Arya mengetahui pergolakan hebat di batin Pertiwi mencoba memberikan nasihat.

Pertiwi semakin bimbang. Dia hanya bisa menatap wajah Panangkaran dengan sorot mata yang membayangkan kepedihan. Tapi, Panangkaran semakin memiliki hati baja. Dia tidak sedikit pun merasa terharu melihat keadaan putrinya. Bahkan, lelaki bermata satu ini menggeram keras.

"Keparat! Hayo, bersiaplah untuk bertarung denganku, Anak Durhaka! Pantang bagi Panangkaran untuk membunuh lawan yang tidak melawan!"

Tantangan itu justru membuat kedua kaki Pertiwi semakin menggigil. Kemarahan Panangkaran pun meledak!

"Baiklah! Rupanya kau perlu dipanasi dulu agar mau bertarung denganku," ujar Panangkaran tidak sabar. "Ketahuilah, hei anak tak tahu diuntung, kau bukan anakku! Aku tidak pernah mempunyai anak! Kau masih bayi ketika kutemukan di sebuah kerimbunan semak dua puluh tahun lalu. Kau bukan anakku, paham? Sekarang, aku akan membunuhmu. Ayo, lawan aku! Mungkin ayah ibumu telah tewas di tanganku karena kesenanganku adalah membunuh orang. Nah! Kau dengar itu?!"

Semua orang terperanjat mendengar pengakuan Panangkaran. Mereka tidak menyangka hal itu. Terutama Pertiwi. Gadis berpakaian hitam ini mengeluh tertahan setelah terbelalak sesaat. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah seperti karung basah. Pertiwi jatuh pingsan!

"Pertiwi...!" Arya terkejut melihat keadaan Pertiwi. Dia ingin menangkap tubuh gadis berpakaian hitam itu agar tidak membentur tanah. Tapi, ketidak-adaan tenaga dalam membuat gerakannya kurang gesit. Tangkapannya pun hanya mengenai angin.

Sebelum Arya sempat berjongkok untuk memeriksa keadaan Pertiwi, terdengar bentakan nyaring yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan coklat meluncur ke arah Arya Meski tenaga dalamnya telah lenyap, pandangan Dewa Arak masih tetap tajam. Dia dapat mengetahui sosok bayangan itu menyerangnya dengan ayunan tangan kanan berbentuk cakar naga yang ditujukan ke arah kepala.

"Pembunuh Keji! Sekarang tamatlah riwayatmu...!" seru sosok bayangan coklat mengiringi luncuran serangan mautnya.

Arya menyadari benar tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan nyawanya. Serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba. Sementara tenaga dalamnya telah lenyap. Tapi, sebelum batok kepala Arya hancur dihantam cakar naga, sesosok bayangan melesat memapaki.

"Hentikan, Patuka!" Terdengar suara keras dari sosok bayangan yang baru datang.

Plakkk!

Tubuh kedua sosok itu terjengkang ke belakang ketika benturan terjadi. Namun, dengan manisnya mereka mematahkan daya luncur dan menjejak tanah dengan mantap.

Arya menghela napas berat ketika melihat penyerangnya adalah Patuka. Sedangkan sosok yang menyelamatkan seorang pemuda berpakaian kuning, Ludiga. Pemuda yang dilihatnya tengah mengguncang-guncang mayat Bagas Pati. Memang, setelah terjadi pertempuran dengan Patuka dan kegagalannya mencari Panangkaran, Arya kembali untuk mencoba mengobati Bagas Pati.

Tapi, ternyata kedatangannya terlambat. Dari jarak yang cukup jauh dilihatnya Ludiga tengah menangisi mayat Bagas Pati. Karena tak ingin mengganggu, pemuda berambut putih keperakan itu segera pergi dengan diam-diam. Sungguh tidak disangka kalau sekarang Ludiga lah yang menjadi penolongnya.

"Ludiga...!" seru Patuka, kaget. "Mengapa kau berada di sini?"

"Aku datang untuk mencegahmu melakukan tindakan bodoh memusuhi Dewa Arak. Kau tahu, Guru telah melarang maksudmu itu. Aku juga tengah mencari Panangkaran yang telah membunuh orangtuaku. Hentikan maksudmu itu, Patuka! Atau kau berani mencoba melawanku? Ingat, aku akan mencegahmu. Dan, Guru menyetujui tindakanku!"

"Kau... kau..., siapa kau? Rasanya wajahmu tidak asing bagiku?" tanya Panangkaran agak bergetar karena heran. Sepasang matanya menatap wajah Ludiga lekat-lekat.

Ludiga yang sadar wajahnya memang mirip dengan wajah ayahnya di waktu masih muda membusungkan dada sebelum menjawab. "Namaku Ludiga. Ayahku bernama Bagas Pati. Aku yakin beliau yang kau maksud!"

"Ha ha ha...!" Panangkaran tertawa bergelak. Kelihatan gembira sekali. Tapi hanya pendek saja tawanya. Kemudian langsung ditutup dengan dengusan. Wajah lelaki bermata satu ini pun berubah bengis. "Jadi, kau putra si keparat Bagas Pati? Kalau begitu silakan kau menyusul ayah dan ibumu yang telah pergi ke alam baka. Sungguh tidak kusangka kau akan datang mengantarkan nyawa!"

Wajah Ludiga berubah hebat. Ditatapnya wajah Panangkaran tajam-tajam. "Jadi..., kau Panangkaran...?!" tanya Ludiga, kaget. Memang, pemuda ini hanya mengenal nama Panangkaran, tapi tidak tahu orangnya.

"Memangnya kau kira siapa?" Panangkaran menjawab dengan penuh kebanggaan.

Jawaban itu membuat Ludiga marah dan menyerangnya dengan sengit. Panangkaran dengan gembira menyambuti. Pertarungan pun berlangsung.

Melihat muridnya telah terlibat dalam pertarungan, Raja Racun Langit Bumi segera mengayunkan kaki mendekati Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu telah menyingkir ke tempat yang lebih aman begitu pertarungan terjadi. Tak lupa dibawanya tubuh Pertiwi.

Kali ini Patuka tidak menyerang Dewa Arak lagi. Dia takut melakukan hal itu karena keberadaan Ludiga yang merupakan kakak seperguruannya. Patuka tidak berani menentang Ludiga, apalagi bertarung dengannya. Belum lagi jika diingat gurunya berdiri di belakang Ludiga.

Kenyataan itu membuat Patuka jadi bimbang. Kalau Dewa Arak memang bersalah, tanpa diminta pun Ludiga dan gurunya pasti akan membantunya untuk membuat perhitungan dengan Dewa Arak. Api dendamnya dalam hati Patuka pun mulai menyusut kendati tetap tidak bisa dihilangkan.

Terdengar bunyi tang-tung-tang-tung yang begitu nyaring. Sesaat kemudian, di belakang Dewa Arak telah berdiri seorang kakek berpakaian tebal. Malaikat Salju. Kakak kandung Raja Racun Langit Bumi.

"Jangan kau lanjutkan maksudmu yang tidak baik itu!" ujar Malaikat Salju pelan tapi mengandung wibawa kuat sehingga Raja Racun Langit Bumi tertegun sejenak. "Kurasa lebih baik kau tolong Dewa Arak dulu, Dewa Obat. Aku yakin keadaannya telah mengkhawatirkan!"

Kali ini Raja Racun Langit Bumi menatap wajah Malaikat Salju dengan sinar mata penuh tantangan. "Muridku berhasil mencelakai Dewa Arak dengan kecerdikannya. Kalau kau memang mampu, silakan merampasnya dariku!" tantang Raja Racun Langit Bumi.

Malaikat Salju tersenyum getir. "Sejak dulu jalan hidup kita selalu bersimpangan, tapi tak pernah terjadi bentrokan. Sekarang, rupanya hal itu tidak bisa dipertahankan lagi. Majulah, aku pun ingin melihat sampai di mana kemajuan yang kau dapatkan!"

Jawaban dari tantangan Malaikat Salju adalah serangan Raja Racun Langit. Bumi. Kakek tinggi besar laksana raksasa ini membuka serangan dengan tamparan bertubi-tubi ke arah pelipis. Malaikat Salju menyambutinya sehingga pertarungan antara kakak beradik ini pun berlangsung.

Pertarungan itu dahsyat bukan main. Debu mengepul tinggi ke udara. Terasa sergapan hawa dingin yang mampu membekukan jalan darah ke-tika Malaikat Salju mengirimkan serangan. Semua yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa takjub. Tubuh kedua tokoh yang telah gaek itu lenyap karena cepatnya mereka bergerak. Yang ter-lihat hanya dua kelebatan bayangan yang saling belit Beberapa saat kemudian....

"Ah!" Raja Racun Langit Bumi terhuyung-huyung ke belakang. Ia memekik tertahan ketika paha kanannya terkena tendangan kakaknya. Pertarungan langsung terhenti karena Malaikat Salju tidak melanjutkan serangannya.

"Bagaimana? Apakah kau tidak mau mengaku kalah?" tanya Malaikat Salju, geram.

"Minumkan saja obat ini!" Raja Racun Langit Bumi melemparkan obat pulung berwarna putih yang langsung ditangkap Malaikat Salju dan kemudian diberikannya pada Arya. Kakek tinggi besar ini tidak mengakui kekalahannya. Tapi, dari tindakan yang dilakukannya, semua orang tahu Raja Racun Langit Bumi telah kalah!

Tanpa ragu-ragu Arya menelannya. Sesaat kemudian, Arya merasakan keadaan tubuhnya mulai membaik. Obat Penawar Racun Raja Racun Langit Bumi ternyata manjur sekali. "Lukamu telah sembuh, Kek?"

"Tak sampai setengah hari, Dewa Arak," jawab Malaikat Salju gembira karena keadaan Dewa Arak yang dikaguminya mulai membaik.

Obrolan Dewa Arak dengan Malaikat Salju terhenti ketika tiba-tiba terdengar seruan kaget. Hampir bersamaan Dewa Arak, Malaikat Salju, dan Raja Racun Langit Bumi mengalihkan perhatian. Mereka melihat Dewa Obat Tangan Sakti terbelalak menatap Pertiwi yang tengah tergolek di tanah.

"Ada apa, Dewa Obat?" Malaikat Salju yang rupanya cukup dekat dengan kakek berpakaian putih itu menegur.

"Dia pasti cucuku!" seru Dewa Obat Tangan Sakti dengan suara bergetar seraya menunjuk tubuh Pertiwi. "Tanda merah di sebelah kanan lehernya kuingat betul. Aku menengoknya ketika dia baru dilahirkan. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Sedangkan ayahnya menjadi gila dan tak terdengar lagi beritanya. Rupanya, batinnya terguncang dengan kematian istrinya, yaitu anakku. Mungkin sekali anak ini ditinggalkan di rerumputan oleh ayahnya yang telah gila. Bertahun-tahun aku mencari, namun tanpa hasil. Syukur, sekarang kutemukan!" Sepasang mata Dewa Obat Tangan Sakti berkaca-kaca.

Arya dan Malaikat Salju mengucapkan selamat. Kemudian, Malaikat Salju pergi meninggalkan tempat itu dengan mengajak adik kandungnya, Raja Racun Langit Bumi.

Dewa Arak pun pergi tepat pada saat ujung cambuk Ludiga menghantam pelipis kanan Panangkaran hingga retak. Panangkaran tewas tanpa sempat mengeluh lagi. Begitu berhasil menewaskan Panangkaran, Ludiga mengedarkan pandangan mencari Dewa Arak untuk meminta maaf atas ketidak-pantasan sikap Patuka. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu sudah tidak ada lagi.

Arya yang dicari-cari telah berada jauh dari tempat itu. Pemuda berambut putih keperakan itu sengaja tidak menunggu Ludiga selesai bertarung dan Pertiwi sadar dari pingsannya. Arya menyadari kalau Pertiwi mencintainya. Padahal, Arya tidak bisa membalasnya. Jadi, lebih baik pergi tanpa diketahui. Sementara Ratih harus mengubur dendamnya dalam-dalam karena Pertiwi ternyata cucu Dewa Obat Tangan Sakti. Dan lagi, Pertiwi agaknya telah sadar dari kesesatannya.
SELESAI
Selanjutnya,