SATU
Sang Surya sudah bergulir dan terbenam di ufuk barat. Sinarnya yang merah jingga, telah lama menghilang di kaki-kaki langit sebelah barat. Dan sekarang, sang Dewi Malam yang menggantikan tugas-nya untuk menerangi persada dengan sinarnya yang temaram.
Tapi gerombolan awan tebal berwarna hitam yang bergumpal-gumpal di angkasa, seolah menghalangi sinarnya. Sehingga suasana di muka bumi jadi remang-remang.
Keadaan seperti ini saja sudah membuat malam menjadi mencekam. Apalagi, angin dingin menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Tak heran kalau keadaan ini cukup membuat orang lebih suka tinggal di dalam rumah.
Kalau saja di luar sana masih ada juga orang dalam suasana seperti itu, tentu ada hal penting yang harus diselesaikannya. Dan ini dialami oleh dua sosok yang tampak melangkah menyusuri jalan utama Desa Banyu. Satu di antara mereka tampak membawa kentongan. Tentu saja, mereka adalah peronda yang harus menyelesaikan tugasnya hingga fajar nanti.
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan yang terdengar keras mengiringi langkah kedua sosok itu. Apalagi, dalam suasana malam yang demikian sunyi.
"Ginta...," panggil salah seorang.
Lelaki pendek kekar yang memegang kentongan dan dipanggil Ginta menoleh. "Ada apa, Pertala?" tanya Ginta.
Pertala yang memiliki tubuh tinggi kurus, terdiam sesaat. Nampak kalau sikapnya ragu-ragu untuk berbicara, sehingga membuat Ginta kesal.
"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini, Ginta?" tanya Pertala, sebelum Ginta memuntahkan kekesalannya.
Ginta kontan terperanjat, mendengar ucapan Pertala. Tanpa sadar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi, tidak ada yang dilihatnya, kecuali bentuk yang serba tidak jelas di tengah suasana yang remang-remang.
"Apa maksudmu, Pertala?" Ginta malah balas mengajukan pertanyaan. Namun nada suaranya terdengar agak gemetar.
Perlu diakui, lelaki pendek kekar ini memiliki sifat penakut, terutama jika berada di tempat-tempat yang menyeramkan. Dan sebenarnya, sejak tadi Ginta sudah merasa ketakutan yang terus ditahan-tahan. Tapi ucapan Pertala barusan, seperti menyergapnya dalam suasana yang mencekam.
"Malam ini perasaanku tidak enak sekali, Ginta," desah Pertala, bernada keluh. "Bahkan bulu kudukku sampai berdiri."
"Hm..., lalu?" tanya Ginta, semakin bergetar karena rasa takut yang kian melunturkan keyakinannya.
Meskipun tidak menoleh, sepasang mata Ginta berkeliaran liar mengawasi sekeliling. Dan perasaan takut itu kian menjadi-jadi ketika menyadari kalau sekarang berada dekat perbatasan desa. Di sini memang sudah tidak ada pondok lagi. Rumah penduduk yang paling dekat dengan mulut desa telah cukup jauh di belakang mereka. Itu pun hanya sebuah!
"Perasaanku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi...," sambung Pertala pelan, lebih mirip bisikan.
Kali ini Ginta tidak bisa menahan rasa takutnya lagi. Buru-buru tubuhnya berbalik, kemudian berlari kembali ke dalam desa!
Karuan saja tindakan Ginta mengejutkan Pertala. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dike-jarnya Ginta. "Ginta! Tunggu...!"
Maka dalam suasana malam sunyi mencekam itu, terjadi kejar-kejaran antara dua orang peronda Desa Banyu.
"Akh...!" Belum juga sepuluh tombak berlari, Ginta menjerit kaget. Tubuhnya langsung terjerembab ke depan dan jatuh ke tanah, begitu kakinya tersangkut batu yang menonjol di tanah. Karena Ginta berlari dalam suasana gelap tanpa obor, tentu saja bagai orang buta berlari.
Dan tak lama, Pertala berhasil menyusul Ginta yang meringis-ringis kesakitan. "Hhh... hhh.... Apa yang terjadi, Ginta?! Hhh... hhh.... Mengapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?" tanya Pertala dengan napas tersengal-sengal. Obor di tangannya hampir padam terhembus angin ketika ber-lari tadi.
"Semua ini karena kau!" sentak Ginta keras.
"Aku?!" dengan nada tidak percaya, Pertala meminta penjelasan.
"Benar!" tandas Ginta mantap. "Kalau tidak ka-rena ceritamu, aku tidak akan ketakutan."
"Hhh...!" Pertala menghela napas berat "Bukan hanya kau saja yang takut, Ginta! Aku juga! Bahkan mungkin lebih besar darimu! Buktinya, aku tidak mampu menahannya, sehingga menceritakannya padamu!"
Ginta kontan terdiam. Pertala juga diam. Maka suasana hening langsung melingkupi tempat itu.
"Kau dengar bunyi itu, Pertala?" tanya Ginta, memecah keheningan.
Pertala menatap wajah rekannya sejenak, kemudian diam. Dicobanya untuk mencari tahu, tentang bunyi yang dikatakan Ginta. Dahinya berkernyit dalam, dengan perhatian terpusat pada pendengarannya.
"Ya," jawab Pertala seraya menganggukkan kepala. "Kalau tidak salah, bunyi derap kaki kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak juga."
"Dugaanmu sama denganku, Pertala," sahut Ginta. "Entah siapa yang di malam seperti ini mengendarai kuda...."
"Jangan-jangan...," Pertala menghentikan ucapannya. Sepasang matanya langsung diarahkan ke arah mulut desa yang baru saja ditinggalkan tadi. Lelaki tinggi kurus ini segera mengalihkan perhatian ke arah Ginta.
Pada saat yang sama, Ginta menatapnya. Maka kini dalam keremangan sinar obor, dua peronda Desa Banyu ini saling berpandangan. Ada sorot kekhawatiran dalam pancaran mata mereka.
"Perampok...?!"
Hampir berbareng, Ginta dan Pertala mendesiskan kata itu. Ada alasan kuat yang mendorong dugaan itu muncul. Mereka memang telah mendengar tentang rombongan perampok berkuda yang melakukan penculikan terhadap wanita-wanita muda!
Setelah menegaskan kalau arah yang dituju rombongan berkuda itu adalah desa mereka, maka se-perti telah disepakati, keduanya berlari cepat menuju lambung desa.
Tong, tong, tongngng!
Bunyi kentongan yang mengisyaratkan adanya bahaya mengancam, langsung dipukul Ginta tanpa menghentikan larinya. Isyarat yang diberikan Ginta pun langsung mendapatkan sambutan. Daun pintu rumah yang letaknya paling dekat dengan tempat Ginta dan Pertala berada, langsung terbuka. Dari dalamnya keluar seorang lelaki tinggi besar yang langsung memukul kentongan, menyambung kentongan Ginta.
Tong, tong, tongngng!
Pada saat yang sama, Ginta dan Pertala telah hampir tiba di pondok lelaki tinggi besar yang tengah memukul kentongan. Namun, bunyi yang terdengar di kejauhan semakin keras. Bergemuruh, membuat bumi seperti bergetar hebat.
Seperti telah diatur saja, awan hitam bergumpal-gumpal yang menutupi sinar rembulan, mulai buyar tertiup angin. Maka secara perlahan-lahan keadaan di persada tidak remang-remang seperti sebelumnya. Sadar kalau suasana telah terang, Pertala dan Ginta menoleh.
Oh!"
Jeritan kaget keluar hampir berbarengan dari mulut mereka, ketika melihat serombongan orang berkuda di belakang berjarak sekitar sepuluh tombak! Dan kalau diperhatikan, wajah mereka rata-rata tampak bengis.
Pemandangan ini membuat dua peronda Desa Banyu yang telah lelah itu, seperti mendapat tambahan tenaga baru. Entah dari mana datangnya kekuatan, tiba-tiba kecepatan lari mereka bertambah.
Meskipun demikian, apa artinya kecepatan lari manusia biasa bila dibanding kecepatan kuda. Biarpun Pertala dan Ginta telah mengerahkan seluruh kemampuan lari, tetap saja jaraknya dengan para penunggang kuda itu semakin dekat. Bahkan sudah dapat dipastikan akan tersusul.
Sementara itu, para penunggang kuda tampak merasa gembira, memburu orang yang dilanda ketakutan. Sambil mencambuki agar kuda-kuda berlari lebih kencang, mereka terus mengumbar tawa!
Dan tawa yang paling keras, dikeluarkan oleh sosok bercambang bauk lebat yang berkuda paling depan. Dia juga berpakaian hitam seperti yang lainnya. Tapi menilik tindak-tanduknya, dapat diketahui kalau laki-laki bercambang bauk itu adalah yang bertindak sebagai pemimpin.
"Mau lari ke mana, Anjing-anjing Kecil?! Ha ha ha...!" kata lelaki bercambang bauk lebat itu, ketika telah berjarak tak lebih dari lima tombak dengan dua orang yang berusaha menyelamatkan diri. Begitu kata-katanya selesai, lelaki bercambang bauk lebat itu memasukkan tangan kirinya ke balik baju. Dan sebentar saja, tangannya telah dikeluarkan bersama dua bilah pisau.
"Sekarang, pergilah kalian ke neraka! Hih...!" dengus lelaki bercambang bauk lebat itu seraya mengibaskan tangan kirinya.
Seketika itu pula, dua batang pisau putih berkilat yang berada di tangannya, melesat cepat ke arah Ginta dan Pertala. Bunyi berdesing cukup nyaring, mengiringi tibanya serangan.
Ginta dan Pertala yang tentu saja bukan tokoh persilatan memang tidak bisa menangkap desir angin serangan dua belah pisau. Mereka hanya mempercepat larinya. Sehingga akibatnya....
Cappp, cappp!
"Akh, akh!"
Hampir berbareng, Ginta dan Pertala melolong menyayat ketika senjata yang dilepaskan lelaki bercambang bauk lebat itu tepat menghunjam punggung! Seketika, langkah kaki mereka terhenti dengan tubuh tersentak ke depan. Dan mereka akhirnya ambruk di tanah, tidak bangkit lagi selama-lamanya.
Tubuh kedua peronda ini tergolek hanya beberapa langkah lagi saja dari tempat tinggal lelaki tinggi besar yang masih memukul kentongan. Dan semua kejadian ini terlihat jelas olehnya.
Dan belum juga lelaki tinggi besar ini lebih lama memukul kentongan, tiba-tiba sebatang anak panah yang dilesatkan salah seorang rombongan berkuda telah mendarat di dadanya. Dia kontan terjengkang dan ambruk di tanah. Dia tewas menyusul Ginta dan Pertala.
Sesaat kemudian, lelaki bercambang bauk lebat dan rombongannya telah berada di depan pondok itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat tu-run dari atas punggung kudanya, diikuti belasan orang bertampang kasar lainnya.
"Geledah rumah itu...!" seru lelaki bercambang bauk lebat itu, dengan suara keras.
Tanpa menunggu perintah dua kali, beberapa orang anak buahnya berserabutan masuk ke dalam pondok lelaki tinggi besar yang telah tewas tertancap panah. Hanya sebentar saja, dan begitu kembali di bahu kanan salah seorang telah terpanggul sesosok tu-buh ramping berambut panjang!
"Tolong...! Manusia biadab...! Ayah...!" jerit sosok tubuh ramping itu.
Tapi siapa yang akan menolong sosok ramping itu? Lelaki tinggi besar yang rupanya adalah ayahnya, telah tergeletak tanpa nyawa. Sambutan yang diterimanya hanyalah tawa gelak rombongan orang-orang bertampang kasar itu!
"Ha ha ha...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki bercambang bauk lebat itu tertawa bergelak, ketika melihat anak buahnya datang dengan memondong sosok ramping di bahunya.
"Mari kita cari yang lainnya!"
Usai berkata demikian, lelaki bercambang bauk lebat itu berlari lebih dulu menuju lambung Desa Banyu. Dan di belakangnya, belasan anak buahnya mengikuti. Sementara, semua binatang itu ditam-batkan di dekat rumah lelaki tinggi besar yang telah tewas!
Tapi baru beberapa tombak berlari, dari arah yang berlawanan tampak berbondong-bondong orang bergerak mendatangi. Di tangan mereka tampak tergenggam senjata dalam berbagai jenis dan bentuk!
"Ha ha ha...!" Kembali lelaki bercambang bauk lebat tertawa bergelak.
"Lihat! Rupanya orang-orang dungu itu sudah siap mengantar nyawa. Sungguh sebuah penyambutan yang amat menggembirakan! Ha ha ha...!"
Dan memang, dugaan lelaki bercambang bauk lebat itu tidak salah! Rombongan orang yang bergerak memapaki kedatangan mereka adalah penduduk Desa Banyu. Mereka datang secara berbondong-bondong, karena isyarat kentongan tanda bahaya yang terdengar saling bersahutan.
Sosok yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian putih. Dialah Kepala Desa Banyu. Namanya, Ki Buleleng. Sambil memberi semangat pada para penduduk di belakangnya, Ki Buleleng mengacung-acungkan golok yang tergenggam di tangan. Dan memang, tindakan Kepala Desa Banyu ini membuat warganya terpancing semangatnya.
Dalam waktu tidak terlalu lama, pertempuran dua rombongan itu pun tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, pertempuran besar-besaran pun langsung berkobar!
Seketika itu pula suasana malam yang semula hening dan sunyi, langsung dipecahkan bunyi dentang senjata beradu. Bunga-bunga api pun berpercikan ke sana kemari, sebagai pertanda kuatnya benturan sen-jata yang terjadi.
Sebenarnya jumlah penduduk Desa Banyu lebih banyak. Bahkan hampir mencapai dua kali lipat daripada jumlah perusuh itu. Tapi karena sebagian besar penduduk tidak memiliki ilmu silat, akibatnya rombongan perampok itu sangat leluasa membinasa-kan mereka satu persatu. Maka lolong menyayat hati terdengar susul-menyusul diikuti robohnya para penduduk Desa Banyu di tanah dengan tubuh bersimbah darah.
Para perampok itu mengamuk laksana harimau luka. Setiap kali senjata mereka berkelebat, sudah da-pat dipastikan ada sosok yang roboh dan tidak bang-kit-bangkit lagi untuk selamanya.
Tapi, ternyata tidak semua orang di pihak Desa Banyu yang mudah ditundukkan. Bahkan mampu mengadakan perlawanan sengit, dan mampu mendesak salah seorang perampok. Dialah, Ki Buleleng, Kepala Desa Banyu!
Sambil terus mengadakan perlawanan sengit, laki-laki tua berpakaian putih ini tak henti-hentinya memberi semangat pada para penduduk Desa Banyu.
"Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur, berarti desa kita hancur...!"
Berkat teriakan Ki Buleleng, maka para pendu-duk Desa Banyu terus mengadakan perlawanan. Seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan. Mereka tahu, nasib anak dan istri tergantung perta-rungan ini.
Tapi perlawanan yang diberikan nyatanya sia-sia belaka. Keadaan di pihak penduduk Desa Banyu bagaikan semut-semut menerjang api. Begitu berhasil dekat, langsung berguguran tanpa daya.
Kini, sungguh mengerikan keadaan Desa Banyu. Di sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian. Di sana-sini, bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Dan darah pun sudah menggenangi sekitarnya.
Sementara wajah lelaki bercambang bauk lebat itu tampak berseri-seri. Sudah terbayang di benaknya kalau perlawanan para penduduk Desa Banyu akan dapat diruntuhkan.
Tapi seri di wajah pimpinan rombongan perampok ini lenyap, begitu pandangannya tertumbuk pada salah satu pertarungan. Tampak salah seorang anak buahnya kerepotan menghadapi laki-laki berpakaian putih, yang tak lain Ki Buleleng.
Gigi lelaki bercambang bauk lebat itu jadi ber-gemeletak. Lalu seketika dia melompat masuk dalam kancah pertarungan antara Ki Buleleng melawan anak buahnya. Padahal, saat ini Kepala Desa Banyu itu ten-gah menerjang dengan sebuah tusukan ke arah leher lawannya.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana kemari, ketika serangan Kepala Desa Banyu itu dipapak golok besar milik lelaki bercambang bauk lebat ini. Seketika itu pula tubuh Kepala Desa Banyu terpental kembali ke belakang. Demikian pula lelaki bercambang bauk itu.
Jliggg!
Begitu berhasil mendarat di tanah, Ki Buleleng langsung menatap sosok yang telah membuat seran-gannya kandas.
"Siapa kau?!" tanya Ki Buleleng, keras.
"Ha ha ha...!" lelaki bercambang bauk lebat ter-tawa bergelak penuh kegembiraan. "Aku adalah pimpi-nan rombongan ini. Prakosa, namaku! Jelas?!"
"Prakosa...?!" Tanpa sadar, Ki Buleleng mendesiskan nama itu penuh perasaan kaget. Sebuah nama yang telah selalu sering didengarnya.
Memang, Prakosa adalah seo-rang kepala rampok yang memiliki kepandaian tinggi dan berwatak kejam. Entah, telah berapa banyak desa yang telah dibuat porak-poranda hanya untuk menculik wanita-wanita! Sungguh sama sekali tidak disangka kalau Ki Buleleng sekarang akan bertemu tokoh yang mengiriskan hati ini.
"Rupanya kau mengenalku, Tua Bangka! Tapi itu tidak mengubah nasibmu! Bersiaplah untuk mati...!" ancam pemimpin perampok yang ternyata ber-nama Prakosa.
"Kaulah yang akan mati di sini, Prakosa! Hiyaaat...!" Ki Buleleng mendahului melancarkan serangan. Pedangnya ditusukkan ke arah perut kepala rampok itu. Seketika terdengar bunyi berciutan yang cukup nyaring mengiringi serangannya.
"Hmh...!" Prakosa mendengus melihat serangan itu. Se-cercah senyum mengejek tampak tersungging di bibir-nya. Dan masih dengan senyum penuh ejekan, ka-kinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh. Maka tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan ping-gangnya. Dan sebelum Ki Buleleng berbuat sesuatu, Prakosa telah lebih dulu menggerakkan tangan.
Wuttt! Tappp!
Tahu-tahu saja pedang di tangan Ki Buleleng telah lebih dulu tercengkeram tangan Prakosa! Karuan saja, hal ini membuat Kepala Desa Banyu terkejut bukan kepalang. Buru-buru senjatanya ditarik kembali agar bisa lepas dari cengkeraman lawan.
Tapi usaha Ki Buleleng sia-sia belaka. Betapapun seluruh tenaganya telah dikerahkan, tetap saja pedang itu tidak bergeming. Dan wajahnya pun seketika merah padam. Seakan-akan, yang mencengkeram pedangnya adalah sebuah penjepit baja!
Berbeda dengan Ki Buleleng, wajah Prakosa terlihat biasa-biasa saja. Malah tidak terlihat adanya tan-da-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga. Mendadak...
Krakkk!
Bunyi berderak keras terdengar ketika Prakosa menggerakkan tangan untuk meremas pedang Kepala Desa Banyu itu hingga hancur berkeping-keping. Padahal, saat itu Ki Buleleng tengah berusaha sekuat te-naga menarik senjatanya. Tak pelak lagi, tubuh Kepala Desa Banyu ini pun terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tapi Ki Buleleng ternyata tidak mudah dipecundangi begitu saja. Meski agak terhuyung-huyung, kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang mampu dipatahkan.
Wajah Ki Buleleng langsung memucat. Sepasang matanya menatap berganti-ganti pada pedang yang tinggal setengah di tangannya. Sementara pada jemari Prakosa, terlihat potongan pedang yang telah hancur teremas.
Kepala Desa Banyu ini pun memang telah men-dengar berita kalau Prakosa mempunyai sebuah ilmu yang membuat kedua tangannya sekuat baja! Dan sekarang, telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jari-jari tangan Prakosa benar-benar luar biasa!
Meskipun perasaan gentar merayapi hati, na-mun Ki Buleleng pantang mundur. Apalagi ia tahu, Prakosa tidak bakal mengampuninya. Maka tidak ada jalan lain, kecuali melakukan perlawanan mati-matian.
"Hiyaaat...!" Ki Buleleng berteriak keras. Pedang di tangannya yang telah tinggal setengah ditusukkan cepat ke arah leher Prakosa.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin rampok ini tidak mengalami kesulitan untuk mementahkan serangan. Tanpa menggeser kakinya, Prakosa mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu lewat beberapa jari di sebelah kiri lehernya. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kiri Prakosa dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah dada Ki Buleleng.
Menerima kenyataan yang tidak disangka-sangka, Ki Buleleng menjadi gugup bukan kepalang. Rasanya memang tidak ada jalan lain, kecuali menangkis. Maka seketika tangan kirinya bergerak memapak serangan yang bisa saja dapat mengirim nyawanya ke alam baka.
Prattt!
"Akh...!" Ki Buleleng menjerit memelas ketika benturan terjadi. Tubuhnya seketika melayang ke belakang. Bahkan tangan yang berbenturan terasa sakit bukan kepalang. Dan yang lebih mencengangkan hati, bagian tubuhnya yang sebelah kiri seperti lumpuh!
Dan kali ini, Ki Buleleng rasanya memang tidak mampu mematahkan kekuatan yang membuat tu-buhnya meluncur. Maka dengan keras, tubuhnya ja-tuh di tanah menimbulkan bunyi berdebuk.
"Ha ha ha...!" Prakosa tertawa bergelak. Dengan langkah lambat dihampirinya Ki Buleleng yang tergolek di ta-nah. Saat itu, Kepala Desa Banyu ini memang tidak mampu berbuat apa-apa. Sebelah tubuhnya yang lum-puh, membuatnya tidak mampu bergerak.
Sudah dapat dipastikan nyawa Ki Buleleng akan berakhir di tangan Prakosa! Sementara Kepala Desa Banyu itu pun menyadarinya. Meskipun demikian, hatinya tidak gentar. Bahkan sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar, untuk melihat Prakosa yang tengah melangkah perlahan-lahan menghampirinya.
Selangkah demi selangkah, jarak antara Prakosa dengan Ki Buleleng semakin dekat. Lelaki bercambang bauk lebat ini tidak memperhatikan lagi per-tarungan yang tengah berlangsung di sekitarnya. Dia tahu, anak buahnya tengah terus mendesak ke lambung desa. Tapi di saat gawat bagi keselamatan Ki Buleleng, mendadak....
"Haaat...!" Diawali teriakan nyaring yang memekakkan telinga, sesosok bayangan coklat meluruk ke arah Prakosa, membawa serangan dari atas laksana seekor garuda menerkam mangsa. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, diluncurkan deras ke arah pelipis.
"Eh...?!" Prakosa jadi terperanjat. Disadari akan adanya ancaman maut ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Bunyi angin yang mengiringi tibanya serangan, menunjukkan kalau tenaga dalam pemiliknya tidak dapat disamakan dengan Ki Buleleng!
Itulah sebabnya, lelaki bercambang bauk lebat ini tidak berani bertindak main-main. Buru-buru kedua tangannya diayunkan dengan pengerahan tenaga penuh untuk memapak.
Prangngng!
Bunyi keras seperti benturan logam keras ter-dengar, ketika dua pasang tangan beradu. Akibatnya, tubuh satu sama lain sama-sama terjengkang ke arah yang berlawanan.
Jliggg!
Tepat begitu Prakosa berhasil menguasai keseimbangan, sosok berpakaian coklat itu pun mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Keparat! Sungguh berani kau main gila den-ganku?! Siapa kau?!" bentak Prakosa, keras penuh kemarahan. Kedua tangannya yang bergetar hebat dan kuda-kudanya yang terbongkar akibat benturan tadilah menyebabkan kemarahannya. Dan sekarang, dengan sepasang mata menyala-nyala, Prakosa merayapi sosok yang telah melancarkan serangan terhadapnya.
Dia ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya tirus mirip tikus. Pakaian sederhana berwarna coklat membungkus tubuhnya yang tegap.
"Kau memang lupa, atau hanya berpura-pura saja, Prakosa?!" lelaki berpakaian coklat malah balik mengajukan pertanyaan.
Prakosa terperanjat mendengar sambutan lelaki berpakaian coklat itu. "Bangsat! Rupanya kau memang benar-benar orang tak waras! Kalau begitu, lebih baik kukirim saja kau ke neraka!" dengus Prakosa.
Belum lenyap gema dengusannya, lelaki bercambang bauk lebat itu telah meluruk ke arah lelaki berpakaian coklat dengan sebuah serangan. Begitu dekat, Prakosa melancarkan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada.
"Hmh!" Lelaki berpakaian coklat itu mendengus, seperti mengejek begitu melihat serangan. Sikap yang ditun-jukkan agaknya amat memandang rendah lawan. Dan sebelum serangan itu sempat mengenai sasaran, langsung dipapaknya dengan tinju kanan.
Dukkk!
Bunyi keras langsung terdengar, ketika kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam berbenturan keras. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur. Hanya saja, Prakosa selangkah lebih jauh dibanding lelaki berpakaian coklat yang hanya terhuyung tiga langkah. Jelas, bisa diduga tenaga dalam lelaki berpakaian coklat itu lebih kuat dari Prakosa!
Seringai kesakitan yang tampak di bibir Prakosa, semakin memperjelas kenyataan kalau tenaga dalamnya kalah jauh. Memang, tulang-tulang ta-ngannya terasa sakit-sakit bukan main akibat ben-turan itu.
Meskipun demikian, hal itu tidak dipeduli-kannya. Begitu berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, tubuhnya langsung merangsek maju. Dan serangkaian tendangan bertubi-tubi langsung dikirimkan.
Terjangan Prakosa langsung mendapat tangapan tak kalah gencar dari lelaki berpakaian coklat itu. Sesaat kemudian, kedua belah pihak mulai terlibat pertarungan sengit!
Sementara itu dalam pertarungan lain, tam-paknya anak buah Prakosa terus mendesak para pen-duduk untuk terus masuk ke dalam desa. Sudah bisa ditebak, penduduk Desa Banyu akan mengalami nasib yang naas.
"Aaakh...!"
Lolong keras menyayat hati kembali terdengar ketika golok salah seorang anggota gerombolan Prakosa, menembus perut salah seorang penduduk hingga tembus ke punggung. Tubuh penduduk yang naas itu pun ambruk di tanah, ketika golok yang menembus tubuhnya dicabut. Setelah menggelepar di tanah, nyawanya pun melayang ke alam baka dengan tubuh bersimbah darah.
Dan kini jumlah penduduk Desa Banyu yang masih terus mengadakan perlawanan sambil mundur, paling banyak tinggal sepuluh orang. Sisanya telah bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Sedangkan di pihak gerombolan liar itu, tak satu pun yang terluka.
Sudah dapat dipastikan, para penduduk yang tersisa ini pun tidak dapat mempertahankan hidupnya. Apalagi para perampok itu terus memburunya tak kenal ampun.
Di saat gawat itu, mendadak melesat dua sosok bayangan putih dan ungu ke dalam kancah pertarungan. Dan selagi berada di udara, dua sosok bayangan ini mengibas-ngibaskan tangannya. Maka dari tangan yang bergerak mengibas itu menyeruak angin keras ke arah gerombolan perampok. Akibatnya, anak buah Prakosa ini bertumbangan ke belakang laksana daun-daun kering diterbangkan angin!
Jliggg! Jliggg!
Dua sosok bayangan itu langsung mendarat secara mantap di tanah, membelakangi penduduk Desa Banyu! Mereka ternyata sepasang anak muda yang berwajah menarik. Yang pemuda berwajah tampan dan jantan. Pakaian berwarna ungu membungkus tubuhnya yang kekar. Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan, membuatnya kelihatan matang!
Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis berpakaian putih. Wajahnya cantik jelita laksana bidadari. Rambutnya yang panjang berwarna hitam dan terlihat indah, dibiarkan tergerai. Sehingga, semakin menam-bah kecantikannya!
"Iblis-iblis keji...!" maki gadis berpakaian putih, tanpa dapat menyembunyikan perasaan geramnya. "Orang-orang seperti kalian tidak layak dibiarkan hidup!"
Seiring keluarnya suara bernada geram, gadis berpakaian putih itu menghampiri anak buah Prakosa yang telah bangkit dan siap melakukan perlawanan. Menyadari kalau gadis berpakaian putih itu bukan lawan ringan, belasan orang kasar itu bersikap waspada. Mereka melangkah lambat-lambat, seraya bergerak menyebar.
Meskipun tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan menghadapi keroyokan, tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak kelihatan kalau akan memberi bantuan. Bahkan malah menjauhi tempat itu, seperti sengaja membiarkan rekannya.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu rupanya membuat para penduduk Desa Banyu merasa heran, sekaligus khawatir terhadap nasib gadis berpakaian putih ini.
"Mengapa kau tidak membantunya, Kisanak? Apakah manusia-manusia biadab itu akan kau biarkan membunuhnya?" tanya seorang penduduk yang bertubuh kecil kurus, tanpa menyembunyikan rasa herannya, dengan napas kembang kempis setelah bertarung.
"Rasanya belum perlu, Kisanak. Mudah-mudahan Melati dapat mengatasinya," jawab pemuda berambut putih keperakan itu, penuh kerendahan. "Dan lebih baik kalian menyingkir."
Memang, gadis cantik berpakaian putih itu adalah Melati, kekasih Dewa Arak. Sementara pemuda tampan berambut putih keperakan itu tak lain dan tak bukan adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak sendiri!
Dalam pengembaraan mereka kini, sepasang pendekar itu harus berhadapan dengan manusia-manusia beringas, yang tak mengenal belas kasih. Tak heran sewaktu mereka melihat pertarungan yang tak seimbang, langsung saja berkelebat untuk menyelamatkan penduduk Desa Banyu.
Lelaki bertubuh kecil kurus itu pun terdiam. Perhatiannya dialihkan pada rekan-rekannya untuk meminta pendapat. Tapi mereka semua mengangkat bahu. Memang tidak ada pilihan, kecuali menyingkir dari tempat itu. Dan kini, pemuda berjuluk Dewa Arak pun telah menyingkir.
Sementara para penduduk Desa Banyu tampak masih diliputi rasa khawatir. Mereka tahu, betapa lihainya para perampok itu. Mereka saja yang bertenaga kuat tidak mampu melawan, apalagi gadis berpakaian putih yang tadi disebut bernama Melati itu? Maka dengan rasa gelisah, mereka mengarahkan pandangan pada kancah pertarungan Melati.
Saat ini, Arya mengarahkan pandangan ke arah pertarungan yang akan berlangsung. Tampak gerombolan perampok itu telah mulai mengepung Melati. Senjata-senjata mereka telah diputar-putar, menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan.
Di pihak lain, sikap Melati tampak tenang. Bahkan cenderung tidak peduli. Tindak-tanduknya se-perti tidak hendak bertarung.
"Haaat...!"
Salah seorang di antara perampok itu berteriak keras, langsung melompat menerjang. Goloknya dibabatkan secara mendatar ke arah leher Melati. Maksud-nya jelas, hendak memisahkan kepala gadis berpa-kaian putih itu dari tubuhnya.
Pada saat yang bersamaan, anggota perampok yang lain melancarkan serangan. Keadaan Melati memang membuat deg-degan para penduduk Desa Banyu. Betapa tidak? Hujan senjata mengancam kese-lamatan nyawanya.
Tapi nyatanya Melati tetap bersikap tenang. Sedikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau akan melakukan elakkan atau tangkisan. Baru ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, gadis berpakaian putih itu bertindak. Kakinya cepat dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Langsung dilewatinya kepala lawan-lawannya. Akibatnya, semua se-rangan anak buah Prakosa hanya mengenai tempat kosong.
Gerakan Melati demikian cepat, sehingga para perampok itu tidak sempat mengetahui kejadiannya. Yang mereka tahu, serangan yang dilancarkan hanya mengenai tempat kosong, dan yang menjadi sasaran telah berada di luar kepungan.
Melihat hal itu, anak buah Prakosa tidak menjadi ciut nyalinya. Bahkan mereka kembali melancarkan serangan susulan. Maka pertarungan sebentar saja sudah berlangsung sengit.
Anak buah Prakosa mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Senjata-senjata di tangan berkelebat cepat mencari sasaran di tubuh gadis itu. Namun, gerakan Melati terlalu cepat untuk dapat dijadikan sasaran. Lincah laksana kera dan gesit bagaikan bayangan, tubuh gadis itu berkelebatan ke sana kemari, di antara kelebatan senjata lawannya.
Sebaliknya, serangan balasan Melati selalu saja membuahkan hasil. Setiap kali tangan atau kakinya yang berisi tenaga dalam tinggi bergerak, sudah dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk dan tidak bangkit lagi untuk selamanya. Mati!
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tinggal enam orang anak buah Prakosa yang masih mampu melanjutkan pertarungan. Itu pun, perlawanan yang tidak mengandung arti sama sekali. Dan sebenarnya, berakhirnya pertarungan tinggal menunggu waktu saja. Melati yang berada di atas angin kelihatan lebih berpeluang untuk mengakhirinya.
Dan semua kejadian itu tidak luput dari perhatian Prakosa yang sibuk bertarung melawan laki-laki berpakaian coklat. Setiap kali matanya melirik ke arah anak buahnya, saat itu pula rasa khawatir bergayut di hatinya. Disadari kalau pihaknya berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Keadaan dirinya sendiri sudah kurang baik.
Memang bila dibandingkan anak buahnya, Prakosa masih lebih beruntung! Dia hanya berhadapan dengan laki-laki berpakaian coklat. Entah, apa jadinya kalau gadis berpakaian putih yang dihadapinya. Belum lagi pemuda berambut putih keperakan juga belum ikut campur. Kalau gadis itu saja sudah sedemikian sakti, apalagi yang pemuda!
Atas dasar pemikiran itulah, Prakosa mulai memikirkan keputusan yang semula tidak ada di benaknya. Mencari selamat!
"Hih!" Pada satu kesempatan yang ada, lelaki bercambang bauk lebat ini mengibaskan tangannya.
Brrr!
Seketika kumpulan debu dalam warna tidak jelas, meluruk ke arah lawan. Karuan saja hal ini membuat lelaki berpakaian coklat itu terkejut bukan kepalang. Dia tidak berani bertindak gegabah, karena bukan tidak mungkin debu itu mengandung racun ganas.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, lelaki berpakaian coklat itu membanting tubuhnya ke kanan dan bergulingan menjauh. Dan kesempatan itu pun dipergunakan Prakosa sebaik-baiknya untuk melarikan diri. Cepat laksana kilat tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu.
"Keparat!"
Begitu berhasil bangkit, lelaki berpakaian coklat itu memaki-maki kalap, ketika melihat Prakosa telah berada jauh di depan. Meski tidak mungkin akan dapat mengejar, tetap saja dilakukan oleh laki-laki berpakaian coklat itu.
"Melati...! Tahan...!"
Seruan keras bernada cegahan yang keluar dari mulut Dewa Arak, hampir berbarengan dengan melesatnya tubuh lelaki berpakaian coklat yang mengejar Prakosa. Dan Melati yang saat itu telah siap mengirimkan serangan mematikan pada dua lawannya yang ter-sisa, jadi menghentikan gerakannya. Dan kepalanya pun menoleh ke belakang, menatap Dewa Arak dengan sorot mata tidak puas.
Tentu saja Dewa Arak menyadari ketidak-puasan gadis itu. Maka buru-buru pemuda berambut putih keperakan itu menghampiri. Tapi, nyatanya kesempatan itu dipergunakan dua lawan Melati untuk menusukkan golok ke perut sendiri.
Jreppp! Jreppp!
"Akh, akh...!"
Seketika jeritan pendek tertahan mengiringi robohnya tubuh mereka ke tanah. Karuan saja tindakan yang tidak disangka-sangka ini membuat Dewa Arak, apalagi Melati, seperti terpaku tak percaya. Dan akhirnya tindakan yang dapat dilakukan hanya melesat menghampiri. Barangkali saja mereka dapat melaku-kan sesuatu, sebelum dua orang itu tewas.
Tapi harapan sepasang pendekar muda itu sia-sia. Dua anak buah Prakosa itu telah lebih dulu tewas. Dewa Arak dan Melati hanya dapat saling berpandangan, sebelum akhirnya mengangkat bahu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Bunyi lecutan cambuk yang diselingi bentakan-bentakan keras penunggang kuda terdengar, membelah suasana pagi. Itu pun masih ditambah dengan derap langkah kaki kuda.
Suasana pagi ini memang cerah. Sang Surya yang belum lama menampakkan diri, memancarkan sinarnya yang lembut di ufuk timur. Angin pun berhembus pelan, lembut membelai kulit.
Tapi suasana seperti itu sama sekali tidak menarik perhatian seorang lelaki berpakaian hitam yang menunggang kuda bagai dikejar setan. Wajahnya yang terlihat angker dengan cambang bauknya semakin angker saja ketika dia berusaha mempercepat lari kudanya.
Ctarrr!
Lelaki bercambang bauk lebat itu kembali me-lecutkan cambuknya, binatang tunggangannya berlari lebih cepat! Padahal, kuda berwarna coklat mulus yang ditungganginya kini telah berlari sangat cepat, dan te-lah mendengus-dengus kelelahan.
Namun laki-laki itu seperti tidak peduli. Sementara debu tampak mengepul tinggi di udara, tersepak kaki-kaki binatang itu saat berlari. Kuda itu memang tengah melalui jalan tanah berdebu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, lelaki bercambang bauk lebat itu melecutkan cambuknya kembali. Sedangkan pandangannya diarahkan ke depan.
Dan baru saja pandangannya tertuju ke depan, sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat ini terbelalak lebar. Ternyata sekitar lima belas tombak di depannya, telah berdiri sesosok tubuh. Sosok terbungkus pakaian hitam mengkilap itu berdiri tepat di tengah-tengah jalan yang akan dilalui lelaki bercambang bauk lebat ini. Maka dapat diduga, sosok itu memang bermaksud menghadang perjalanannya.
Dengan hati masih bertanya-tanya, lelaki bercambang bauk lebat itu memperlambat laju kudanya. Dan pandangannya tetap diarahkan pada sosok yang menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa sebenarnya sosok yang begitu usil itu!
Semakin lama, jarak antara kedua orang yang bakal bertemu di tengah jalan ini semakin dekat Dengan sendirinya, ciri-ciri sosok yang menghadang jalan semakin terlihat jelas oleh lelaki bercambang bauk lebat itu.
"Ah...!" Jeritan keterkejutan keluar dari mulut lelaki bercambang bauk lebat, ketika telah melihat jelas sosok yang menghadang perjalanannya. Sosok terbungkus pakaian hitam mengkilap ini mengenakan topeng harimau, sehingga wajah aslinya tidak bisa dikenali.
Namun bisa diduga, kalau sosok ini adalah seorang lelaki, bila melihat potongan tubuhnya. Dan agaknya lelaki bercambang bauk lebat itu sudah mengenai penghadangnya.
"Hm..., rupanya Harimau Baja! Mengapa kau ada di sini?! Baru saja aku bermaksud menemuimu," sapa lelaki bercambang bauk lebat itu, pelan.
Setelah berkata demikian, lelaki bercambang bauk lebat itu melompat turun dari punggung kudanya. Kemudian binatang itu dituntun untuk menghampiri orang penghadang perjalanannya.
"Hmh!" dengus lelaki bertopeng harimau yang ternyata berjuluk Harimau Baja.
Karuan saja hal ini membuat lelaki bercambang bauk lebat itu terkejut. Tapi, buru-buru ditutupinya dengan senyuman lebar. Sedangkan kakinya terus terayun mendekati Harimau Baja.
"Tidak usah berpura-pura, Prakosa!" sentak Harimau Baja, kasar!
Seketika itu pula, langkah lelaki bercambang bauk lebat yang memang Prakosa berhenti. Mulai disadari akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Makanya, dia langsung bersikap waspada. Dan sekarang, Prakosa berdiri berhadapan dengan Harimau Baja da-lam jarak tiga tombak.
"Apa maksudmu, Harimau Baja? Aku tak mengerti?" tanya Prakosa, pura-pura tidak tahu.
Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja men-gajukan pertanyaan demikian untuk memastikan kebenaran dugaannya. Dia masih belum tahu pasti, apa maksud Harimau Baja mencegatnya di sini.
"Rupanya kau masih mau mungkir, Prakosa!" tukas Harimau Baja. "Jangan dikira aku tidak tahu tentang kegagalanmu dalam menjalankan tugas! Dan aku tahu, kau bermaksud kabur! Sekarang, bisa kau duga maksud keberadaanku di sini, Prakosa?! Ya, membunuhmu walaupun kau adalah adik seperguruanku!"
Sekarang Prakosa yakin, keributannya dengan kakak seperguruannya tidak bisa dielakkan lagi. Maka dilepaskan tali kekang kudanya.
"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Prakosa pada binatang tunggangannya.
Seperti mengerti perintah, kuda coklat itu berlari congklang meninggalkan majikannya, menuju hamparan rumput hijau yang terletak di kanan dan ki-ri jalan itu.
Harimau Baja menatap kuda coklat itu sesaat, kemudian mulutnya menyunggingkan senyum keji. "Seekor kuda yang baik, hehhh...?! Sayang sekali kalau harus kehilangan majikannya...!" desis Harimau Baja, dingin dan datar.
Hari Prakosa kontan tercekat. Disadari kalau lelaki bertopeng harimau ini tidak hanya memberi ancaman kosong belaka. Apalagi juga disadari kalau lelaki bertopeng harimau ini memiliki kepandaian tinggi. Tapi, tentu saja dia tidak sudi memberikan nyawanya secara percuma!
Wuttt!
Deru angin keras terdengar ketika serangan perdana Prakosa meluncur, yang disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Serangannya dibuka dengan sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis!
"Hmh...!" Harimau Baja hanya mendengus melihatnya. Sikapnya pun terlihat tenang dengan berdiri tetap pa-da tempatnya. Tak ada tanda-tanda kalau serangan itu akan ditangkis atau dielakkan.
Baru ketika serangan menyambar dekat, tangan kirinya bergerak memapak sambil lalu! Dari sikapnya menunjukkan, serangan Prakosa tak patut untuk dihadapi secara sungguh-sungguh.
Meskipun heran, Prakosa sama sekali tidak mempedulikannya. Saat itu yang ada di benaknya hanya satu, merobohkan Harimau Baja secepat mungkin.
Takkk!
"Akh!" Jeritan kesakitan keluar dari mulut Prakosa ketika tangannya berbenturan dengan tangan Harimau Baja. Rasa sakit dan ngilu seketika mendera bagian tangannya yang beradu! Bahkan tubuhnya sampai terhuyung ke belakang.
Nyatanya ini cukup membuat Prakosa kaget. Benarkah tenaga Harimau Baja sedemikian kuat nya, sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung? Padahal, jelas terlihat kalau lelaki bertopeng harimau itu seperti tidak mengerahkan tenaga!
Dan belum lagi kekagetan harinya lenyap, dengan kecepatan menakjubkan, tangan kiri Harimau Baja telah meluncur cepat. Dan...
Tappp!
Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Prakosa telah tercekal! Karuan saja hal itu membuat lelaki ber-cambang bauk lebat ini gugup. Dengan sebisa-bisanya diusahakan untuk membebaskan tangannya yang ter-cekal dengan cara menarik.
Tapi usahanya ternyata sia-sia belaka. Betapapun Prakosa telah berusaha sekuat tenaga untuk menarik, tetap saja tidak bergeming.
"Keluarkan semua tenagamu, Prakosa," ujar Harimau Baja dengan mulut menyunggingkan senyum mengejek.
Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa harus menerima kenyataan mengejutkan. Baru disadari ka-lau kini Harimau Baja telah memiliki kepandaian amat tinggi! Dan itu terbukti, dengan ketidakberhasilan nya dalam melepaskan tangannya dari cekalan Harimau Baja!
"Ha ha ha...!"
Berbeda dengan Prakosa yang sampai mengeluarkan suara keluhan, Harimau Baja masih mampu tertawa-tawa. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam Harimau Baja jauh di atas Prakosa!
"Sekarang giliranku, Prakosa!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, Harimau Baja sudah meremas tangan Prakosa.
"Akh!" Prakosa kontan melolong kesakitan seiring ter-dengarnya bunyi berkerotokan tulang-belulangnya yang hancur berantakan. Dan sebelum Prakosa sempat berbuat sesuatu, Harimau Baja tiba-tiba menarik tangannya. Akibatnya, tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tertarik ke depan, dengan sambungan tulang bahu terlepas. Memang betapa kerasnya sentakan itu!
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Hari-mau Baja. Kali ini tangannya bergerak menyampok! Tak tanggung-tanggung, sasaran yang dituju ternyata pelipis yang merupakan salah satu bagian yang mematikan!
Prakosa tentu saja sadar akan adanya ancaman maut. Pikirnya, kalau mengelak jelas itu tindakan mustahil. Maka diputuskannya untuk menangkis. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kirinya segera diangkat untuk melindungi pelipis.
Takkk!
"Akh!" Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa memekik kesakitan. Bunyi berderak keras yang menyertai benturan tadi menjadi pertanda kalau tulang tangannya telah patah. Dan yang lebih mengenaskan, saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu, tubuhnya sampai terjengkang ke belakang hingga memuntahkan darah segar. Begitu tubuh Prakosa tengah melayang, Harimau Baja cepat mengibaskan tangan kanannya.
Singngng!
Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika se-buah benda berkilat meluncur ke arah leher Prakosa. Sementara Prakosa sendiri memang sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum benda berkilat yang ternyata pisau itu menghunjam sasaran, dari arah yang berlawanan melesat seleret benda berwarna gelap. Dan....
Takkk!
Bunyi keras langsung terdengar ketika benda berwarna gelap yang ternyata sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki telak menghantam pisau Harimau Baja. Akibatnya, pisau itu runtuh sebelum mencapai sasaran. Dan Prakosa pun langsung jatuh berdebuk keras, tak mampu bertarung lagi. Bahkan napasnya pun tinggal satu-satu.
Harimau Baja menatap tajam penuh kemarahan pada dua sosok yang telah berdiri di hadapannya. Yang satu, seorang pemuda berambut putih keperakan. Dia berdiri di depan Prakosa yang terbaring le-mah. Sedangkan satu lagi adalah seorang gadis berpakaian putih yang langsung memeriksa keadaan Prakosa. Siapa lagi mereka kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Keparat!" Harimau Baja memaki penuh geram. Sepasang matanya yang mencorong tajam dalam gelap, menjadi pertanda kalau hatinya tengah murka terhadap orang yang telah lancang menggagalkan serangannya. Memang, Aryalah yang telah melemparkan kerikil untuk menyelamatkan Prakosa dari kematian yang lebih mengenaskan.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Anjing Cilik?! Sekarang, terimalah kematianmu! Ssshhh...!"
Bunyi mendesis keras seperti ular besar yang tengah murka terdengar, ketika Harimau Baja mulai mengejangkan kedua tangannya. Jari-jari tangannya yang menegang penuh kekuatan lurus ke depan, mengarah pada Dewa Arak.
Bunyi mendesis yang keluar dari mulutnya semakin keras seiring keluarnya asap tipis mengepul dari sekujur tubuh Harimau Baja. Dan semakin lama, asap itu semakin tebal. Bahkan ada hawa dingin yang menyebar dari tubuh Harimau Baja. Inilah ilmu andalan lelaki bertopeng harimau itu, ilmu 'Ular Es'!
"Ssshhh...!" Diawali suara mendesis keras yang membuat bulu kuduk berdiri, Harimau Baja menghampiri Dewa Arak dengan langkah-langkah silang. Sepasang matanya yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merayapi sekujur tubuh lawannya. Jelas, dia tengah mencari celah-celah yang akan dijadikan sasaran.
Sementara, Dewa Arak pun menghampiri lawannya dengan langkah sembarangan saja. Bahkan terkadang terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Setiap kali kakinya melangkah setindak ke depan, tapi segera kembali mundur tiga tindak ke belakang. Itu pun sambil terus menuangkan arak ke dalam mulut. Dan hal ini membuat Harimau Baja terheran-heran.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Tak lama kemudian, jarak antara mereka telah menjadi dekat. Dan saat itulah Harimau Baja menerjang Dewa Arak.
"Ssshhh...!" Diawali bunyi desisan yang tidak pernah putus sejak tadi, Harimau Baja mulai melancarkan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati!
Cit, cit, cit!
Bunyi berdecit nyaring terdengar, begitu kedua tangan Harimau Baja meluncur menuju sasaran. Dari sini saja bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam serangannya. Cepat bukan kepalang serangan itu meluncur. Padahal Dewa Arak masih sibuk menenggak araknya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian terasa hawa hangat berputar di dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu, perlahan-lahan hawa hangat itu naik ke atas. Maka Dewa Arak pun semakin oleng sana-sini.
Dewa Arak memang telah dapat memperkirakan kalau lawan yang dihadapinya adalah tokoh tangguh. Maka tanpa ragu-ragu segera dikeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Di dalam pengerahan ilmu 'Belalang Sakti'. Dewa Arak cepat menjejakkan kakinya, begitu serangan Harimau Baja meluncur dekat. Tubuhnya langsung melayang melewati kepala lawan. Sehingga serangan-serangan Harimau Baja hanya lewat di bawah kakinya.
Sementara dalam keadaan masih di atas, tubuh Dewa Arak langsung berjungkir balik. Kemudian tan-gan kanannya langsung disampokkan ke arah belakang kepala Harimau Baja.
Wuttt!
Tapi sampokan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong, karena Harimau Baja sudah lebih cepat merendahkan tubuhnya. Jari-jari tangan pemuda berambut putih keperakan itu hanya lewat beberapa jari di atas sasaran, sehingga membuat rambut dan se-luruh pakaian Harimau Baja berkibaran seperti dilanda angin keras. Dari sini saja bisa diketahui, betapa kuat tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Dewa Arak tadi.
Ketidakberhasilan serangan itu rupanya sudah diperhitungkan Dewa Arak. Maka sebuah serangan susulan segera dikirimkan berupa sepakan ke bawah dengan kaki kanan.
Wukkk!
Kali ini Harimau Baja tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Diperkirakannya, bila sepakan kaki itu mengenai sasaran, kepalanya akan hancur berantakan. Maka lelaki bertopeng harimau itu buru-buru mengulurkan tangan kanannya, seraya menoleh ke arah datangnya serangan.
Tappp!
Gila! Patut diacungkan jempol kecepatan perubahan gerakan Harimau Baja. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak telah berhasil dicekalnya. Bahkan secepat itu pula disentakkan.
"Akh!"
Tanpa sadar, Dewa Arak memekik kaget ketika tubuhnya melayang akibat sentakan Harimau Baja. Kejadian itu sama sekali di luar dugaan. Sehingga, pemuda itu tidak sempat berbuat sesuatu.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah melayang, Harimau Baja telah melesat memburu sambil melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah bagian-bagian yang mematikan. Tapi dalam keadaan masih terus melayang, Dewa Arak masih mampu memapak serangan-serangan Harimau Baja.
Plak, plak, plak!
Bunyi tamparan keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi itu hanya berlangsung sebentar saja, karena sesaat kemudian mereka telah saling gebrak kembali. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh berbeda usia yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini. Bunyi menderu yang diringkahi suara mencicit dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Harimau Baja bergerak. Bahkan debu pun sampai mengepul tinggi ke udara.
Melati yang menjadi penonton, terpaksa menyingkir agak menjauh. Sambaran angin serangan ke-dua tokoh yang bertarung itu memang terlalu berbahaya. Terserempet saja, sudah bisa mengakibatkan luka dalam yang cukup parah.
Harimau Baja sebenarnya merasa takjub menyadari hawa panas yang menyebar dari sekujur tubuh Dewa Arak. Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan. Namun, yang membuat lelaki bertopeng harimau itu kelabakan adalah perkembangan ilmu Dewa Arak yang begitu sulit diterka. Terkadang gerakan Dewa Arak lemas seperti tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian keras dan penuh kekuatan. Perubahan ini memang terlalu cepat diduga.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Memang tidak heran, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Tapi menginjak jurus ketujuh puluh satu, Dewa Arak tampak mulai unggul. Memang serangan Dewa Arak yang disertai semburan arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sak-ti' terlalu kuat untuk dihadapi Harimau Baja yang telah mengerahkan ilmu andalannya.
Namun Harimau Baja bukan orang bodoh. Dia pun menyadari kalau Dewa Arak merupakan seorang lawan yang terlalu kuat. Apabila dia berkeras melanjutkan pertarungan, hanya kerugian lah yang didapatkannya. Maka benaknya segera diputar untuk mencari siasat agar dapat melarikan diri.
Di jurus kesembilan puluh enam, dengan gera-kan mengagumkan Harimau Baja mengebutkan tan-gannya. Maka seketika itu pula bubuk-bubuk halus menyebar ke segala arah. Khawatir akan adanya racun, pemuda berambut putih keperakan itu melompat mundur sambil menahan napas.
Kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Harimau Baja. Cepat tubuhnya berbalik, kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan pengerahan seluruh ilmu lari cepatnya.
Tapi ternyata Dewa Arak memang tidak mengejarnya. Malah begitu Harimau Baja telah jauh, pemuda berambut putih keperakan ini berbalik dan menghampiri Melati yang sudah berada di samping Prakosa kembali.
"Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya Arya seraya melirik tubuh Prakosa yang tergolek di tanah.
"Tak bisa ditolong lagi, Kang," jawab Melati.
Gadis itu tidak merasa menyesal karena tidak mampu memberikan pertolongan. Karena yang diketahuinya, Prakosa adalah pimpinan rampok yang kemarin malam melakukan penyerbuan di Desa Banyu.
"Dia menderita keracunan hebat, tulang pergelangan tangannya hancur akibat bertarung dengan lawanmu tadi!" jelas Melati. Dewa Arak hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan kekasihnya.
"O ya, Kang. Sebelum tewas, dia sempat mengatakan kalau penculikan terhadap perawan-perawan itu dilakukan atas ancaman Harimau Baja dan dua kawannya."
"Harimau Baja?" Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya. "Lawan yang kau hadapi itu, Harimau Baja."
"Ohg...!" Arya membentuk bulatan dengan mulutnya.
"Tiga orang itu menggunakannya untuk menuntut ilmu," ujar Melati lagi, menambah ceritanya.
"Ah...!" Kali ini Dewa Arak tidak menahan keterkejutannya. Tampak wajahnya menyiratkan penyesalan. "Kalau saja tahu, tak akan kubiarkan Harimau Baja lolos dari tanganku!"
"Sudahlah, Kang! Tidak usah disesali! Lebih baik kita kejar manusia-manusia seperti Harimau Baja dan kawan-kawannya," ajak gadis berpakaian putih itu.
Dewa Arak mengangguk karena menyadari adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya.
"Uh! Panasnya hari ini. Kerongkongan ku terasa tercekik!" keluh seorang gadis cantik berpakaian putih. Rambut hitamnya yang panjang tergerai, disibak-kannya.
"Kau haus, Melati?" tanya pemuda berpakaian ungu yang memiliki rambut putih keperakan. Dia ber-jalan di sebelah gadis berpakaian putih yang dipanggil Melati.
"Bukan hanya haus, Kang. Tapi juga letih!" sambut Melati cepat.
"Kalau demikian, kita harus cepat-cepat mencari kedai untuk mengisi perut dan sekalian berteduh dari sengatan hawa panas ini," timpal pemuda beram-but putih keperakan yang tak lain Arya alias Dewa Arak.
"Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?" sergah Melati sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Kata-kata Melati memang tidak berlebihan. Di sekeliling tempat ini tidak tampak satu bangunan pun. Yang terlihat hanyalah sebuah tanah lapang luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kesunyian.
"Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku yakin, di sana ada," jawab Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Jadi...," Melati menggantung ucapannya.
"Yahhh..,, kita harus mempercepat perjalanan kalau ingin segera tiba di sana."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sambut Melati bernada tantangan. "Mari kita ke sana."
Usai berkata demikian, Melati lalu mengayun-kan langkah. Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, gadis berpakaian putih itu telah berada dalam jarak sembilan tombak di depan.
Sementara Dewa Arak hanya menggeleng-geleng saja melihat tingkah Melati. Namun sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu segera mengayunkan kakinya untuk menyusul Melati.
Sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu telah berkelebat cepat, seperti saling mengejar. Kini yang terlihat hanyalah dua bayangan berwarna putih dan ungu tengah melesat cepat ke depan.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru beberapa kali lesatan saja mereka telah melihat banyak bangunan di kejauhan. Dan hal ini membuat semangat sepasang pendekar muda itu semakin besar untuk se-gera tiba di sana.
Semakin lama, kedua pendekar itu telah ham-pir dekat dengan bangunan-bangunan yang terlihat di depan. Maka tak lama kemudian, Dewa Arak dan Me-lati menghentikan larinya, agar tidak membuat kejutan pada penduduk setempat.
Kini sepasang anak muda ini meneruskan perjalanan dengan langkah biasa. Pandangan mereka beredar ke sekeliling tempat itu, menatap satu persatu bangunan-bangunan yang ada.
"Sebuah kedai, Kang," desah Melati pelan bernada gembira, ketika sapuan matanya melihat sebuah kedai.
"Benar, Melati. Mari kita ke sana," ajak Arya.
Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah menuju kedai. Sebentar saja, mereka tiba di depan kedai. Di ambang pintu, pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah sebentar dan menge-darkan pandangan ke dalam.
Kedai itu ternyata cukup ramai. Meja yang ter-sedia cukup banyak, telah hampir terisi semua. Hanya tinggal dua buah meja yang kosong, dan berada di tengah ruangan. Setelah merasa cukup mengadakan penilaian, Dewa Arak menghampiri salah satu meja, diikuti Melati di belakangnya.
"Mau pesan apa, Den?" sambut seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, ketika melihat Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku mereka.
''Teh manis seguci kecil, arak seguci besar, ayam panggang dua ekor, dan jagung bakar empat," sebut Dewa Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu, Den," kata laki-laki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai itu. Usai berkata demikian, laki-laki bertubuh kurus itu beranjak menuju ke dalam untuk menyiapkan pesanan Arya.
Sepeninggal pemilik kedai, suasana di meja Dewa Arak pun hening. Baik Dewa Arak maupun Mela-ti tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Masing-masing kini sudah tenggelam dalam pikirannya.
Meskipun kelihatannya tenang-tenang saja, sebenarnya Dewa Arak telah memasang kewaspadaan penuh. Begitu memasuki kedai ini, perasaannya membisikkan akan adanya bahaya yang mengancam. Dan getaran perasaan itu semakin membesar, ketika masuk ke dalam kedai. Terutama sekali, ketika duduk!
Dewa Arak sebenarnya bukan orang yang terlalu menuruti perasaan. Tapi kali ini, bukan perasaannya yang menyimpulkan demikian. Tapi, naluri! Memang, sejak belalang raksasa dari alam gaib berhasil ditarik masuk ke dalam tubuhnya, naluri Dewa Arak semakin tajam.
Dan seiring semakin seringnya belalang raksasa itu masuk ke dalam tubuhnya, Dewa Arak bagaikan seorang manusia dengan naluri binatang. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Makhluk dari Dunia Asing', dan 'Dalam Cengkeraman Biang Iblis').
Dewa Arak tahu, naluri adanya bahaya mengancam itu sama sekali tidak menipunya. Sayangnya, sulit diketahui dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, nalurinya membisikkan adanya bahaya di tempat ini!
Maka tak heran kalau Dewa Arak bersikap waspada. Seluruh urat saraf di tubuhnya menegang. Bahkan ekor matanya pun beberapa kali beredar ke sekeliling. Barangkali saja ditemukan adanya tanda-tanda mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu, belum terlihat adanya hal-hal yang dikhawatirkan.
Tak lama kemudian, pemilik kedai telah kem-bali sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. Di belakangnya, berjalan seorang laki-laki bertubuh kekar, membawa seguci besar arak. Setelah berada di dekat tempat Dewa Arak, me-reka meletakkan semua pesanan itu di atas meja den-gan hati-hati.
"Silakan dinikmati, Den," ujar laki-laki kurus itu mempersilakan.
"Terima kasih, Ki."
Sebentar saja, Dewa Arak mengambil guci araknya yang tergantung di punggung, lalu diletakkannya di atas meja. Sementara, Melati mulai mengambil salah satu potongan ayam panggang dan mem-bawanya ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Pada saat Dewa Arak menuangkan arak di da-lam guci besar ke dalam gucinya, Melati mulai mengunyah santapannya. Di tangan Dewa Arak, guci besar dan berisi penuh arak itu tak ubahnya segumpal kapas.
Enak saja guci itu diangkat dengan satu tangan! Padahal, laki-laki bertubuh kekar yang membawanya di belakang pemilik kedai tadi, membawanya dengan kedua tangan. Itu pun dilakukan sambil mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Dewa Arak baru menghentikan tuangan arak ketika guci peraknya telah penuh. Kemudian, arak dalam guci besar yang masih tersisa banyak itu baru dituangkan ke dalam gelas bambu yang telah disediakan pemilik kedai. Hanya dalam sekejapan saja, segelas arak itu telah berpindah ke perut Dewa Arak. Lalu, diambilnya sebatang jagung dan dimakannya. Namun sebelum jagung habis dinikmati Dewa Arak....
"Kang...," suara panggilan lemah Melati mem-buat Dewa Arak mengalihkan perhatian dari ma-kanan yang tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku pun lemas...," keluh gadis berpakaian putih itu.
"Apa?!" Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular berbisa. Pandangannya langsung dialihkan ke arah makanan dan minuman yang tersaji di atas meja.
"Jangan dilanjutkan makan dan minum mu. Ini semua pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika sepasang matanya terasa berkunang-kunang. Begitu selesai kata-katanya, pemuda berambut putih keperakan itu langsung bangkit. Tapi, saat itu pula....
Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang langsung mencuat ketika semua pengunjung kedai ini menghunus senjata mas-ing-masing. Kemudian mereka langsung menerjang Dewa Arak dan Melati.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing nyaring mengiringi melayangnya senjata-senjata menuju sasaran. Keadaan sepasang pendekar muda itu benar-benar gawat. Terutama sekali Melati, yang benar-benar sudah tidak memiliki daya apa pun. Kepalanya yang pusing, membuat semua yang terlihat jadi berputaran sehingga tidak terlihat jelas.
Untung saja Melati masih bisa mendengar. Dan dengan pendengarannya yang tajam, dia mencoba menerka apa yang terjadi. Kendati demikian, rasa lemas yang amat sangat membuat tubuhnya tak kuasa digerakkan. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya bagaikan lenyap tak tersisa. Kini Melati tak ubahnya seorang bayi yang baru lahir. Dia tidak mampu berbuat apa-apa, selain berdiam diri.
Untung saja di sampingnya ada Dewa Arak. Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, pe-muda berambut putih keperakan itu melesat menyambar tubuh Melati. Lalu....
"Hih!" Dewa Arak berjumpalitan beberapa kali di udara, melewati kepala para penyerangnya. Dan.... Ringan laksana sehelai daun kering, kedua kakinya mendarat di belakang para pengeroyoknya. Sayang, kedudukan kakinya tidak mantap. Rupanya, racun mulai mempengaruhi keadaan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tentu saja para pengunjung kedai yang rupanya memang bermaksud melenyapkan sepasang pendekar ini tidak membiarkan buruannya lolos. Maka begitu melihat Dewa Arak berhasil meloloskan diri, mereka langsung memburu.
Sementara itu, Dewa Arak baru teringat kalau telah terlupa menyambar gucinya. Maka buru-buru tubuhnya melesat kembali ke tempat semula. Tapi kali ini, usaha yang dilakukan tidak mulus seperti sebelumnya. Kedelapan belas orang lawan ternyata telah langsung menghadang maksudnya.
Yang lebih gawat lagi, racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman Melati termasuk racun keras dan berdaya kerja cepat. Dan ini dirasakan betul oleh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan pusing, dan pandangan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya pun semakin lemas, terutama ketika berada di udara.
Rupanya nasib sial masih akrab dengan Dewa Arak. Sebelum maksudnya mengambil guci terlaksana, si pemilik kedai yang rupanya mengetahui maksud pemuda berambut putih keperakan itu, telah lebih dulu membanting guci Dewa Arak ke lantai.
Pyarrr!
Arak memercik ke sana kemari, ketika guci perak Dewa Arak membentur lantai. Tentu saja pusaka murid tunggal Ki Gering Langit itu bukan benda biasa yang gampang pecah. Apalagi, sampai retak. Walau-pun, yang membanting memiliki tenaga dalam tinggi.
Begitu guci arak itu mental kembali ke atas, Dewa Arak yang masih memanggul Melati segera melepaskan tendangan ke arah gucinya. Sehingga guci itu semakin tinggi naik ke atas. Dan dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Dewa Arak cepat melesat ke atas, menyambar gucinya.
Tappp!
Begitu berhasil menyambar guci peraknya yang melayang di atas, Dewa Arak kembali mendarat di tanah. Segera dituangnya guci itu ke dalam mulut. Tapi, ternyata tidak ada setetes pun arak yang masuk ke dalam tenggorokannya. Memang semua araknya telah tumpah.
Pada saat itu, belasan orang yang telah gagal menghambat telah meluruk ke arah Arya sambil mengayunkan senjata masing-masing. Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkis dengan gucinya. Biasanya, papakannya di-lakukan dengan tangan telanjang. Tapi, sekarang te-naganya telah banyak yang susut.
Klangngng, klangngng...!
Dentang nyaring diiringi berpijarnya bunga-bunga api ke udara langsung terjadi ketika belasan senjata itu berbenturan dengan guci Dewa Arak.
Akibatnya, tubuh para pengeroyok Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan berge-tar. Sementara Dewa Arak sendiri pun juga terhuyung beberapa langkah. Tak heran, karena belasan senjata lawan membentur gucinya secara bersamaan. Sehingga, tenaga-tenaga itu seperti bersatu saja yang menghasilkan kekuatan besar. Tambahan lagi, saat itu kekuatan pemuda berambut putih keperakan itu telah menurun.
Dewa Arak menggertakkan gigi ketika merasakan kekuatannya semakin menurun. Bahkan penglihatannya juga semakin kabur. Dan rupanya, para pengeroyok mengetahui ke-jadian yang tengah dialami Dewa Arak. Maka, mereka berniat merangsek pemuda itu. Bahkan sedikit pun ti-dak akan memberi kesempatan kepada Dewa Arak.
Kali ini belasan orang berwajah kasar dan bersenjatakan aneka ragam jenis itu menerapkan siasat lain. Mereka tidak langsung menyerang sekaligus, tapi secara berganti-ganti.
Jumlah mereka yang dua belas orang ini memang membuat rencana tidak sulit diwujudkan. Gerombolan itu memulai siasatnya. Enam orang melakukan serangan, sementara sisanya menunggu giliran. Dengan cara seperti ini, diharapkan Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan beristirahat.
"Hiaaat..!"
Teriakan-teriakan melengking nyaring yang saling susul, kontan terdengar ketika enam orang itu memulai serangan. Seketika itu pula, kilatan senjata-senjata tajam beraneka jenis, berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuh Dewa Arak dari berbagai jurusan.
Arya yang memang sejak tadi sudah bersiaga, langsung bertindak. Meskipun sepasang matanya sudah tidak bisa diandalkannya lagi, tapi sepasang telinganya masih bisa dimanfaatkan. Dan dengan menggu-nakan pendengaran, diladeni serbuan lawan-lawannya. Tahu akan keadaan yang tidak menguntungkan, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Tapi, tentu saja kali ini tidak sedahsyat biasanya. Di samping kemampuan Dewa Arak yang tengah menurun, di bahunya pun terpanggul tubuh Melati. Meskipun demikian, bukan berarti kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti' itu pupus. Jurus-jurus yang terdapat dalam ilmu itu, tetap menunjukkan keampuhannya.
"Heit!"
Luar biasa! Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak menghindari serangan lawan-lawannya, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Tapi baru saja serangan itu berhasil dielakkan, serangan susulan kembali menyusul. Kali ini, dilakukan oleh kelompok kedua. Maka untuk yang kedua kalinya beberapa senjata tajam mengancam keselamatan Dewa Arak.
Kali ini pun Dewa Arak berusaha mengelak tanpa melancarkan serangan balasan. Bukan karena apa-apa, yang jelas di benaknya tersusun rencana untuk secepatnya meninggalkan tempat itu, sebelum seluruh tenaga dalamnya habis terkuras.
Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu kalau penyebaran racun akan semakin cepat, apabila peredaran darah mengalir cepat. Dan cepatnya peredaran darah, tergantung banyak tidaknya kegiatan yang dilakukan. Maka tak heran kalau Dewa Arak tidak melakukan perlawanan. Bahkan elakannya pun dilakukan sambil menjauhkan diri.
Enam orang pengeroyok ini tampaknya terlalu bersemangat untuk segera merobohkannya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan melarikan diri. Apalagi, jurus 'Delapan Langkah Belalang' milik Dewa Arak memang terlalu sulit untuk bisa diketahui perkembangannya oleh para pengeroyok. Karena begitu habis mengelak, Dewa Arak langsung menghentakkan kakinya.
Seketika tubuhnya melenting sambil tetap memondong Melati. Dan begitu mendarat, dia langsung melesat Sehingga tanpa diduga para pengeroyok, pemuda berambut putih keperakan itu berhasil meloloskan diri dari sergapan lawan-lawannya. Karuan saja hal itu membuat dua belas orang pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Serentak mereka bergerak mengejar.
"Hendak lari ke mana kau, Dewa Pengecut?!" bentak salah seorang yang berkumis melintang. Seperti juga yang lain, dia memiliki raut wajah kasar dan tubuh kekar.
"Jangan harap untuk bisa lolos dari tangan kami!" sambung yang lain, dengan suara tak kalah keras.
Maka seketika terdengar ejekan-ejekan menyakitkan terhadap Dewa Arak, dari para pengeroyok. Begitu ramai dan keras, membuat telinga jadi panas. Bahkan para pengeroyok itu juga segera mengejar Dewa Arak.
Sementara itu Dewa Arak tentu saja tidak mempedulikannya. Dan apabila menuruti perasaan hati, keselamatan dirinya dan Melati jelas terancam. Jelas-jelas terlihat kalau gerombolan itu bermaksud membinasakan mereka berdua.
Itulah sebabnya, Dewa Arak terus saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia berusaha secepat mungkin meninggalkan lawan-lawannya sebelum kekuatan yang dimilikinya lenyap.
Tapi harapan tinggal harapan. Sewaktu melarikan diri, kekuatan yang dimiliki Dewa Arak memang telah menurun jauh. Dan celakanya, terus melorot secara demikian cepat. Akibatnya, pemuda berambut pu-tih keperakan itu rasanya akan sia-sia untuk segera kabur sejauh-jauhnya dari para pengeroyok. Padahal dia masih berada dalam jarak yang tak jauh dari pengejarnya. Paling tidak, hanya terpaut belasan tombak!
Dan kini seluruh tenaga Dewa Arak mendadak musnah. Rasa lemas yang luar biasa langsung me-nyergapnya. Sekujur tulangnya bagai dilolosi. Lemas tak terkira!
Brukkk!
Tak ampun lagi, tubuh Dewa Arak ambruk di tanah laksana sehelai karung basah. Dengan sendirinya, tubuh Melati pun jatuh pula di tanah. Namun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Pemuda ini masih berusaha keras untuk bangkit. Semangat yang besar karena dorongan ingin menyelamatkan Melati, membuatnya mampu bertahan untuk tidak pingsan.
Tapi usaha Dewa Arak ternyata sia-sia. Rasa lemas yang amat sangat, membuatnya tak mampu berdiri. Padahal, telah diusahakan sekeras-kerasnya.
"Ha ha ha...!"
Tawa dua belas orang pengeroyok Dewa Arak pun meledak, ketika tiba di tempat Dewa Arak tersungkur. Tawa kegembiraan bercampur ejekan. Dan masih dengan tawa yang belum putus, mereka memandangi Dewa Arak yang kembali terjerunuk tak kuat menahan beban tubuhnya. Malahan senjata-senjata tajam para pengeroyok telah siap diayunkan.
Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang seketika mencuat ketika belasan senjata meluruk ke tubuh Dewa Arak. Bahkan sepertinya, masing-masing tak ingin melepaskan kesempatan itu. Maka kematian Dewa Arak tinggal menunggu waktu saja. Apalagi, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum belasan senjata beraneka ragam itu merencah tubuh Dewa Arak, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat cepat, menyambar Dewa Arak dan Melati.
Tappp, tappp!
Cappp, cappp, creppp, jrebbb!
Cepat bukan kepalang gerakan sosok bayangan putih itu, sehingga beberapa senjata tajam yang me-luncur hanya menghantam tanah, tempat Dewa Arak dan Melati tergolek tadi.
"Keparat!"
Pengeroyok yang berkumis melintang menggeram ketika mengetahui senjatanya dan senjata rekan-rekannya sama sekali tidak menemui sasaran. Mereka tahu, dua orang calon korban tadi berhasil diselamatkan oleh seseorang. Memang, dua belas orang pengeroyok tadi melihat kelebatan sosok bayangan putih, meskipun tidak secara jelas. Dan mereka juga tahu arah yang ditempuh sosok bayangan putih tadi. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bergerak mengejar.
Tapi dua belas orang yang rata-rata berwajah kasar dan bertubuh kekar ini kecele! Ternyata sosok bayangan putih itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Sehingga hanya dalam beberapa kali lesatan saja, mereka telah tertinggal jauh. Bahkan akhirnya tubuh sosok bayangan putih itu lenyap dari pandangan mata. Maka terpaksa rombongan pengejar itu menghentikan langkahnya.
"Keparat!"
Untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berkumis melintang itu memaki geram. Amarah yang hebat tampak jelas, baik pada raut wajah maupun nada suaranya.
"Kau kenal orang usilan itu, Kang?" tanya laki-laki yang memiliki bibir tebal dan hitam.
Laki-laki berkumis melintang itu menggeleng. "Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wajahnya, bentuk tubuhnya pun tidak sempat kulihat. Keparat! Orang usilan itu harus mendapatkan ganjaran atas kelancangannya!" desis laki-laki berkumis melintang dengan sorot mata memancarkan dendam.
"Apa yang harus kita laporkan pada sang Ketua, Kang?" tanya salah seorang yang berkulit kuning pucat seperti orang penyakitan.
"Hhh...!" laki-laki berkumis melintang menghela napas berat. "Apa lagi kalau bukan menceritakan apa adanya? Tapi yang jelas, kita semua tidak akan lolos dari hukuman! Hhh...! Padahal, sang Ketua sudah yakin, kalau rencana ini akan berhasil. Sukar kubayangkan kemurkaannya, apabila dia tahu kalau Dewa Arak berhasil lolos dari maut.''
"Tapi, Kang," sergah salah seorang yang mempunyai tahi lalat besar di pipi. "Bukankah Dewa Arak dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun? Aku yakin, nyawa mereka akan melayang. Bukankah racun milik sang Ketua tidak bisa diragukan lagi keampuhannya? Jadi, aku yakin mereka akan tewas!"
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Sampang," kata laki-laki berkumis melintang pada rekannya yang memiliki tahi lalat besar di pipi. "Menurut pengalaman selama ini, Dewa Arak dan rekannya itu akan tewas. Tapi aku yakin sang Ketua tak akan berpendapat seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepala sendiri, dia tak akan percaya kalau Dewa Arak telah tewas. Aku sendiri yakin kalau Dewa Arak tewas! Bahkan tidak mungkin selamat."
Kontan semua mulut dari rekan laki-laki berkumis melintang tertutup. Tidak satu pun ada yang bicara. Mereka tampak terpatri dengan rencana masing-masing.
"Lalu..., sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya laki-laki berkulit kuning.
"Tentu saja melaporkan semuanya pada sang Ketua," jawab laki-laki berkumis melintang, tak bergairah. Usai berkata demikian, laki-laki berkumis melintang itu berbalik.
"Mari kita berangkat," lesu ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berkumis melintang itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka se-gera mengayunkan langkah, mengikuti dari belakang laki-laki berkumis melintang yang telah melesat pergi lebih dulu.
"Uaaah...!"
Arya membuka mulutnya lebar-lebar sambil menggeliatkan tubuhnya untuk melemaskan urat-uratnya yang terasa kaku. Perlahan-lahan sepasang matanya dibuka. Seketika itu pula dia tersentak dari berbaringnya. Sementara, raut wajahnya menampakkan rasa kaget bukan kepalang.
Dewa Arak memandang ke sekeliling. Rupanya dia berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan cukup baik, meski hanya berdinding dari bilik. Sementara tubuhnya yang masih lemas tergolek di sebuah balai-balai bambu. Sedangkan tak jauh darinya, tampak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi dan beberapa buah gelas bambu. Salah satu dari gelas bambu itu tampak masih mengepulkan asap beraroma khas, aroma ramuan obat!
Arya jadi berpikir keras. Berbagai macam pertanyaan bergayut di benaknya. "Mengapa dia berada di sini? Dan di manakah ini?"
Sejenak kemudian semua kejadian yang dialami telah berhasil diingatnya. Waktu dia berada dalam kedai telah diracuni secara licik oleh pemilik kedai palsu. Rupanya, mereka memang sudah merencanakan semua itu untuk membunuhnya. Kemudian Dewa Arak kabur untuk menyelamatkan diri, tapi sebelum maksudnya terlaksana keburu jatuh. Dan akhirnya, pingsan. Jadi, dia belum mati! Lalu, bagaimana nasib Melati?
Ingat akan Melati, membuat Dewa Arak tersentak kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menyeruak. Dan dalam cekaman rasa cemas yang melanda, pandangannya kembali dilayangkan ke sekitar ruangan. Tapi tetap saja kekasihnya tidak diketemukan. Tentu saja ini membuat Dewa Arak cemas.
Rasa khawatir yang amat sangat terhadap kese-lamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut putih keperakan itu berusaha bangkit dari berbaringnya. Tapi....
"Uuuh...!" Tanpa sadar, sebuah keluhan tertahan keluar dari mulut Arya ketika baru saja beringsut. Rasa pusing yang amat sangat langsung mendera kepalanya, sehingga membuat pandangannya seperti berputar.
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan niatnya, dan segera merebahkan tubuhnya kembali di pembaringan. Kemudian matanya dipejamkan untuk menghilangkan rasa pusingnya. Saat itulah Dewa Arak mendengar suara langkah-langkah halus di luar kamar. Semakin lama, semakin jelas tertangkap meskipun tetap tidak jelas. Tampaknya memang ada orang yang tengah menuju tempatnya.
Rasa ingin tahu membuat Dewa Arak membuka matanya. Sedikit pun tidak ada rasa khawatir bila orang yang datang ke tempatnya bermaksud buruk. Justru sebaliknya, Dewa Arak yakin orang itu bermaksud baik, menilik dari tindakan pertolongan yang telah diberikannya. Jelas, orang itulah yang membawanya ke sini, dan memberikan ramuan obat yang kini diletakkan di atas meja.
Kriiit...!
Suara berderit pelan terdengar seiring berge-raknya daun pintu di dalam ruangan Dewa Arak bera-da. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua menyem-bul dari balik daun pintu itu. Seraut wajah yang terli-hat masih segar, meskipun telah ditumbuhi kumis dan jenggot berwarna putih. Warna pakaian yang dikenakannya merah.
"Rupanya kau sudah sadar, Anak Muda," sapa kakek berpakaian merah itu sambil mengayunkan langkah menghampiri Dewa Arak.
"Itu semua berkat pertolonganmu juga, Ki," jawab Arya sekenanya.
"Ah! Matamu sungguh awas, Anak Muda. Dalam keadaan gawat pun, kau masih bisa mengenaliku? Hebat! Benarkah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian merah itu sambil menarik kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan gelas-gelas bambu berada. Kemudian, perlahan-lahan pantatnya diletakkan di kursi itu.
"Apa istimewanya julukan itu, Ki? Aku yakin kau memiliki kepandaian dan julukan yang melebihiku," sambut Dewa Arak berusaha merendah.
"Ha ha ha...!" kakek berpakaian merah tertawa lunak. "Kau terlalu merendah, Dewa Arak. Siapa yang belum mendengar tentang dirimu. Julukanmu begitu menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua tokoh persilatan tahu, kau memiliki kepandaian tidak ada bandingannya. Tak terhitung sudah datuk kaum sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih bersikap rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa Arak!"
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Toh, kenyataannya menghadapi gerombolan orang liar saja aku dan kawanku telah dibuat tidak berdaya. Kalau saja kau tidak datang menolongku, mungkin aku dan kawanku telah tewas. Ah! Ya...! Apakah kau melihat kawanku, Ki?"
Langsung saja Dewa Arak menanyakannya, begitu teringat kembali pada Melati. Perasaan penuh harap tampak jelas dalam sorot wajah dan sinar ma-tanya.
"Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih yang tergeletak di sampingmu?" tanya kakek berpakaian merah memastikan.
"Benar, Ki. Dialah kawanku. Melati, namanya," sambut Dewa Arak, dengan tarikan wajah ceria. "Apakah kau melihatnya?"
Kakek berpakaian merah menganggukkan kepala. "Bukan hanya melihatnya saja, Dewa Arak. Aku pun membawanya pula kemari. Seperti juga kau, dia menderita keracunan hebat. Dan dia kubaringkan di kamar sebelah, setelah kuberikan pengobatan seperlunya."
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. "Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Budi yang kau berikan pada kami terlalu besar."
"He he he...," kakek berpakaian merah tertawa terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini aneh, Dewa Arak. Masih saja meributkan soal budi. Padahal, dibandingkan pengabdianmu pada dunia persilatan, usahaku ini sama sekali tidak berarti apa-apa."
Dewa Arak hanya bisa menyunggingkan senyum kaku. Kini disadari, betapa di dunia ini masih ada orang yang mau mengingat kebaikan orang lain. Ternyata, benih-benih kebaikan yang telah ditanam Dewa Arak, telah menghasilkan buah keselamatan baginya sendiri.
"Kau terlalu merendahkan diri, Ki. Meskipun demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan. Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya Dewa Arak, hati-hati.
"Tentu saja boleh, Dewa Arak. Tapi nanti sajalah. Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lukamu dulu. Kau tahu, Dewa Arak. Racun yang mengendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu amat berbahaya. Racun yang amat ganas dan mematikan."
Kakek berpakaian merah menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. "Untunglah, aku berhasil menjinakkannya. Sekarang, keadaanmu dan juga kawanmu sudah tidak berbahaya lagi. Masalah kesembuhan hanya tinggal menunggu waktu saja."
"Terima kasih atas jerih payahmu, Ki. Keberhasilanmu menyembuhkan kami, menjadi pertanda ka-lau kau bukan orang sembarangan. Boleh kutahu namamu, Ki?!"
Kakek berpakaian merah itu hanya tersenyum tipis. Ditatapnya Dewa Arak dengan sorot mata cerah. "Namaku sederhana saja, Dewa Arak. Blantaka. Tapi orang-orang biasa menyebutku Eyang Blantaka." Akhirnya, keluar juga kata-kata kakek berpakaian merah ini dalam memperkenalkan diri.
"Eyang Blantaka?!" Dewa Arak mengulang nama itu tanpa menyembunyikan rasa kagetnya. "Jadi..., kau Ketua Perguruan Kalong Merah, Ki?!"
"Rupanya kau mengenal perguruanku juga, Dewa Arak?" kakek berpakaian merah yang ternyata bernama Blantaka tersenyum pahit.
"Tentu saja, Ki! Perguruan Kalong Merah amat terkenal. Tapi, masih lebih terkenal namamu! Karena kaulah yang telah membuat Perguruan Kalong Merah yang selama puluhan tahun berlumur noda hitam, menjadi bersih!" ujar Dewa Arak penuh kagum. "Dan kudengar, Perguruan Kalong Merah telah menciptakan banyak pendekar pembela kebenaran. Kau telah berhasil membuat perguruan itu menjadi sebuah perguruan golongan putih! Aku kagum padamu, Ki!"
"Terima kasih atas pujianmu, Dewa Arak," hanya itu yang diucapkan kakek berpakaian merah ini.
Seketika itu pula, benak Ki Blantaka melayang-layang ke masa seratus tahun silam. Leluhurnya, memang seorang datuk golongan hitam yang amat ditakuti. Dengan kesaktian dan kekejamannya yang tiada banding, dibentuklah Perguruan Kalong Merah. Ini hampir sesuai julukannya, Kalong Merah.
Turun-temurun, tiap murid yang menjadi ketua perguruan meneruskan sepak-terjang si Kalong Merah yakni mengacau dunia persilatan. Baru ketika Ki Blantaka yang mempunyai hati bersih menjadi ketua, kebiasaan itu dirombaknya. Tentu saja banyak yang menentang. Namun, semuanya berhasil dipatahkan. Dan benar seperti yang dikatakan Dewa Arak, sekarang Perguruan Kalong Merah berubah menjadi perguruan silat yang beraliran putih.
"Aku tidak memuji, Ki. Tapi, begitulah cerita yang kudengar dalam dunia persilatan," bantah Dewa Arak, halus. Kemudian dengan raut wajah sungguh-sungguh ditatapnya wajah kakek berpakaian merah lekat-lekat "Agar percakapan kita berjalan lebih enak, bagaimana kalau kau memanggil namaku saja, Ki. Namaku yang sebenarnya, Arya Buana. Tapi, orang-orang biasa menyapaku Arya."
"Begitu pun boleh, De..., eh! Arya...!" sambut Ki Blantaka datar. "O ya, Arya. Hampir saja aku lupa. Kau masih harus minum sekali lagi ramuan obatku agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu le-nyap semua."
Ki Blantaka segera mengambil gelas bamboo berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian dide-katkan gelas itu ke mulut Arya. Semerbak ramuan berbau agak pedas tercium hidung Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempedulikannya. Dan tanpa ragu-ragu, diminumnya ramuan obat itu hingga tuntas.
"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu untuk menengok kawanmu. Seperti juga kau, dia pun harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari pengaruh racun itu."
Kemudian tanpa menunggu tanggapan Dewa Arak, Ki Blantaka segera bangkit dan melangkah meninggalkan Dewa Arak. Sementara, Dewa Arak hanya memandangi punggung kakek berpakaian merah itu hingga lenyap di balik pintu.
Lega sudah rasa harinya mendengar Melati berada di situ pula. Dan bahkan akan sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas lagi, sepasang matanya dipejamkan. Memang untuk membunuh waktu, hanya dengan tidur.
Matahari sudah naik tinggi, bahkan sudah hampir mencapai titik tengahnya ketika tiga sosok tubuh duduk di teras depan sebuah pondok berdinding bilik. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang laki-laki dan seorang wanita. Mereka memang Dewa Arak, Melati, dan Ki Blantaka yang tengah duduk saling berhadapan beralaskan tikar daun kelapa.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padamu, Ki," ucap Arya.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu terlihat sudah cerah kembali, setelah mendapat perawatan dari Ki Blantaka. Dewa Arak benar-benar telah sehat kembali. Seluruh kemampuannya pun telah pulih.
"Ajukan saja, Arya. Kalau bisa, tentu akan kujawab," sambut Ki Blantaka, ringan.
"Terlebih dulu aku minta maaf, Ki. Bukannya bermaksud turut campur, tapi aku hanya merasa heran. Mengapa seorang ketua perkumpulan besar sepertimu, meninggalkan perguruan? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kemurungan yang tengah melandamu?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"Hanya itu yang ingin kau tanyakan, Arya?" tanya Ki Blantaka kalem.
Dewa Arak mengangguk. Sedangkan Ki Blantaka langsung terdiam.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Aku meninggalkan perguruan memang berhubungan erat dengan kemuraman wajahku," ujar Ki Blantaka memulai penjelasan. "Hal ini karena tiga orang adik seperguruanku tidak puas dengan tindakan yang kuambil. Setelah Perguruan Kalong Merah kubawa ke jalan putih, mereka pergi diam-diam. Yang lebih celaka lagi, mereka membawa lari kitab-kitab berisi ilmu-ilmu peninggalan Kalong Merah!"
Sampai di sini, Ki Blantaka menghentikan cerita. Dibasahinya tenggorokan yang terasa kering dengan air ludahnya sendiri. Sekilas ditatapnya Dewa Arak untuk melihat tanggapannya. Tapi ternyata Dewa Arak lebih memilih diam dan mendengarkan.
"Semula aku bersikap diam. Kupikir, kalau mereka memang tidak mau mengikuti jalanku dan ingin menentukan jalan sendiri, biarlah. Tapi kejadian demi kejadian yang menimpa dunia persilatan, memaksaku untuk turun tangan."
"Kejadian apa saja, Ki?" tanya Melati, ingin tahu.
''Penculikan besar-besaran terhadap wanita-wanita yang masih gadis," jelas Ki Blantaka. "Semula aku masih ragu kalau pelakunya adalah adik-adik seperguruanku. Tapi bukti-bukti yang berhasil kudapat, menjelaskan kalau merekalah dalang dari semua kejadian itu."
Dewa Arak mengangguk-angguk. Memang, Prakosa sebelum mati juga telah menjelaskan hal itu. Semula, mereka hanyalah gerombolan perampok biasa. Tapi, ternyata ada seorang tokoh yang memaksa mereka untuk mencari perawan sebanyak-banyaknya. Gagal berarti maut!
Hanya saja Dewa Arak dan Melati tidak menyangka kalau dalang di belakang layar itu adalah pelarian-pelarian dari Perguruan Kalong Merah! Yang mereka tahu, dalang itu adalah seorang tokoh yang berjuluk Harimau Baja!
Dan sebenarnya, Harimau Bajalah yang menundukkan gerombolan demi gerombolan perampok, yang kemudian diperintahkan mencari perawan-perawan. Bagi yang tidak taat, langsung dibinasakan.
"Itulah cerdiknya mereka, Arya. Kalau saja, penculikan-penculikan itu dilakukan sendiri, tentu dalam waktu tak lama aku tahu. Dan memang, mereka takut kalau aku akan menghalangi maksud mereka. Kalau yang disuruh adalah gerombolan-gerombolan rampok, siapa yang dapat menduga? Hhh...! Sama sekali tidak kusangka kalau tiga orang adik seperguruanku akan memiliki anak-anak buah yang tersebar. Asal tahu saja. Para pengeroyok kalian di kedai waktu itu adalah anak buah tiga adik seperguruanku."
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan Melati berseru kaget, karena sama sekali tidak menyangka. Rupanya, kedua pendekar muda itu sudah masuk incaran tanpa disadari.
"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ki?" tanya Dewa Arak tak kuat menahan rasa ingin tahu.
"Dari racun yang masuk ke dalam tubuh kalian! Racun itu adalah milik leluhur kami yang berjuluk Kalong Merah!" tandas Ki Blantaka, tegas.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan tanpa berkata-kata. Dan karena Ki Blantaka juga berdiam diri. Keadaan menjadi hening.
"Sekarang..., apa yang akan kau lakukan, Ki?!" tanya Dewa Arak, ingin tahu.
"Sederhana saja. Mereka adalah adik-adik seperguruanku. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk menghalangi tindakan mereka. Dan kalau mereka tetap menentang, tidak ada jalan lain...."
Sampai di sini Ki Blantaka menghentikan ucapannya. Tapi itu pun sudah cukup bagi Dewa Arak dan Melati untuk mengetahui kelanjutannya.
"Kapan kau akan berangkat, Ki?" tanya Melati.
"Besok. Toh, aku sudah dapat memperkirakan di mana tempat tinggal mereka."
"Di mana, Ki?"
"Goa Kelelawar! Tempat tinggal almarhum Kalong Merah dulu."
Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati melesat cepat mendaki lereng Gunung Tongkeng. Gesit laksana kera dan cepat laksana bayangan, tubuh tiga tokoh sakti itu berkelebat cepat menuju puncaknya. Entah sudah berapa lama mereka berlari. Dan mendadak saja Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Dan seketika pula, Ki Blantaka dan Melati berhenti melesat.
"Ada apa, Arya?" tanya Ketua Perguruan Kalong Merah ingin tahu.
"Rasanya aku mendengar suara orang merintih," sahut Dewa Arak. "Apakah kau mendengarnya, Ki?"
Walau yang ditanya Ki Blantaka, tapi Melati ikut menjawab. Gadis berpakaian putih itu menggeleng, sementara Ki Blantaka diam saja.
"Tidak, Arya. Apakah kau mendengarnya?!" Ki Blantaka balas bertanya.
"Benar, Ki. Tapi samar-samar. Sepertinya, asalnya dari sana," Dewa Arak menuding ke arah sebelah kanan.
"Kalau begitu, mari segera kita ke sana!" ajak Ki Blantaka.
Sambutan Ki Blantaka yang demikian penuh semangat, sama sekali tidak disangka Dewa Arak. Dan Ketua Perguruan Kalong Merah itu memang punya alasan kuat bertindak demikian. Dia merasa penasaran terhadap Dewa Arak yang memiliki pendengaran jauh lebih tajam daripada dirinya.
Mereka seketika bertiga melesat ke arah yang ditunjuk Dewa Arak. Dan ternyata, pendengaran pemuda berambut putih keperakan itu mulai terbukti. Dari kejauhan, ketiga orang itu telah melihat adanya sosok-sosok yang bergeletakan di tanah. Maka mereka pun semakin mempercepat lari. Tak lama berlari, mereka telah berada di dekat sosok-sosok yang bergeletakan. Dan mereka bergegas memeriksanya.
"Hey...! Bukankah mereka orang-orang yang berada di kedai, Kang. Merekalah yang mengeroyok kita!" seru Melati ketika mengenali sosok-sosok itu.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang mengangguk. Ki Blantaka pun demikian.
"Tapi ada satu yang bukan, Melati. Kau kenal dia?" sanggah Dewa Arak, seraya menunjuk ke satu arah.
Melati mengarahkan pandang ke arah yang ditunjukkan kekasihnya. Ternyata di situ tergolek seorang lelaki berpakaian coklat.
"Bukankah orang ini yang memberi perlawanan terhadap serbuan perampok di Desa Banyu, Kang?!" kata Melati, seketika teringat pada kejadian di Desa Banyu beberapa waktu yang lalu.
Dewa Arak mengangguk. "Apa tidak mungkin kalau dia yang telah melakukan semua ini."
"Lebih baik kita tanyakan secara jelas padanya." Usai berkata demikian, Dewa Arak segera menghampiri laki-laki berpakaian coklat itu. Begitu sampai, tubuhnya langsung membungkuk. Disadari tidak ada gunanya memberikan pertolongan, karena luka-luka yang diderita lelaki berpakaian coklat itu terlalu parah.
"Bisa terangkan, mengapa kau ada di sini, Kisanak?!" tanya Dewa Arak setelah memberi totokan di beberapa bagian tubuh laki-laki berpakaian coklat, agar dapat menjawab secara lancar.
"Aku ingin membasmi dalang tindakan terkutuk ini!" tandas lelaki berpakaian coklat, ketika mengenali Dewa Arak dan Melati sebagai orang yang mempunyai musuh sama.
"Sepertinya kau mempunyai dendam hebat terhadap orang-orang jahat itu, Kisanak. Bisa dijelaskan?!" tanya Dewa Arak lagi.
"Adikku diambil oleh iblis-iblis terkutuk itu. Dan dia tidak pernah kembali. Aku selidiki berbulan-bulan, dengan dibantu Dewa Baju Emas. Tapi sayang, di saat hampir berhasil aku dihadang orang-orang itu. Hingga akhirnya, aku terluka. Aku mohon..., bantuan Dewa Baju Emas. Dan..., akh!"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapan, lelaki berpakaian coklat itu mengejang kaku dan diam tidak berkutik lagi. Nyawanya telah lebih dulu melayang ke alam baka.
Dewa Arak bangkit berdiri. Dan seperti telah disepakati, mereka bertiga segera melesat ke Puncak Gunung Tongkeng. Memang, saat itu pula terdengar suara-suara pertarungan.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak, Melati, dan Ki Blantaka telah berhasil menemukan sumber suara pertarungan yang melibatkan dua sosok tubuh. Bergegas, ketiga orang itu mendekati kancah sekitar pertarungan.
Ketiga tokoh golongan putih ini baru menghentikan langkah, ketika telah berada dalam jarak lima tombak dari kancah pertarungan. Dan mereka segera memperhatikan pertarungan penuh perhatian. Meskipun tokoh-tokoh yang tengah bertarung bergerak cepat, namun bagi mata Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati, bukan persoalan untuk menyaksikannya.
Tanpa menemui kesulitan, ketiganya dapat melihat ciri-ciri dua orang yang tengah bertarung. Yang seorang lelaki kekar dan gagah, terbungkus pakaian kuning emas. Sedangkan lawannya seseorang berwajah seperti raksasa. Tapi, tubuhnya justru lebih pendek dari manusia biasa. Dengan telanjang dada, tokoh raksasa kecil ini tampaknya lebih mirip bocah gembala yang bertampang seram. Dialah tokoh yang berjuluk Raksasa Tua!
Hanya sekali lihat, baik Dewa Arak, Ki Blantaka, maupun Melati, dapat menebak kalau lelaki berpakaian kuning emas ini adalah Dewa Baju Emas! Tokoh persilatan golongan putih yang bermaksud menumpas angkara murka dalang penculikan terhadap perawan-perawan suci!
Sebenarnya, pertarungan itu telah berlangsung tak kurang dari sepuluh jurus. Dan kini Raksasa Tua tampak menggulingkan tubuhnya, mendekati Dewa Baju Emas. Kemudian langsung dilancarkannya serangan berupa sapuan kaki kanan.
Jangan dianggap ringan serangan Raksasa Tua. Meskipun kakinya kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuannya sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa!
Dewa Baju Emas pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya menjejak, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Sehingga, serangan lawan hanya menyambar tempat kosong.
Tapi Raksasa Tua juga bukan orang bodoh. Semua pergerakan Dewa Baju Emas telah diperhitungkan. Maka, ketika Dewa Baju Emas mengelak dengan cara melompat ke atas, langsung saja dikirimkannya serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas dengan kaki kiri.
Zebbb!
Dewa Baju Emas tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi ketika mengetahui, kalau bagian yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dan rasanya sulit untuk dapat mengelak, kecuali dengan memapak. Maka seketika Dewa Baju Emas menghentakkan kakinya ke bawah.
"Hih!"
Blakkk!
Benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya kedua batang kaki itu sama-sama tersentak balik.
"Hup!"
Pada saat Dewa Baju Emas mendarat di tanah, Raksasa Tua pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki bertampang seram itu kembali menerjang Dewa Baju Emas. Tapi dalam serangan kali ini, Raksasa Tua sudah mencabut sebuah tombak pendek yang tergeng-gam di tangan kanan. Dan dengan senjata itu, Dewa Baju Emas terus didesaknya.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, De-wa Baju Emas tidak berani ayal-ayalan. Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di bawahnya. Maka senjata andalannya pun dicabut. Kini sebuah pedang yang juga berwarna kuning emas telah ter-genggam di tangan kanan.
Pertarungan semakin berjalan menarik. Bunyi decit angin tajam dari udara yang terobek akibat gerakan dua senjata itu, menyemaraki pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berperci-kannya bunga api tercipta, manakala senjata-senjata itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus telah lewat. Dan selama itu, belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Ru-panya, tingkat kepandaian kedua belah pihak berimbang.
Tapi menginjak jurus ketiga puluh satu, terjadi perubahan yang menegangkan. Dewa Baju Emas agaknya dalam bertarung seperti orang kebingungan. Beberapa kali pedangnya dikibaskan ke atas, baik berupa tangkisan maupun serangan. Padahal, saat itu Raksasa Tua melancarkan serangan secara mendatar.
Hanya di saat-saat yang mengkhawatirkan, Dewa Baju Emas berhasil mengelakkan serangan. Itu pun hampir terlambat. Karena hal ini terjadi berulang-ulang, maka hanya dalam beberapa gebrakan saja Dewa Baju Emas telah terdesak hebat. Dari beberapa bagian tubuhnya mulai mengalirkan darah segar, karena beberapa kali terserempet tombak pendek Raksasa Tua.
Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati merasa heran. Mengapa Dewa Baju Emas bertindak seperti itu? Sebagai tokoh-tokoh yang berpengalaman, ketiga orang itu langsung bisa memperkirakan ada hal yang tidak beres. Bukan tidak mungkin Raksasa Tua berlaku curang. Atau barangkali saja menggunakan ilmu hitam!
Tapi Dewa Arak dan Ki Blantaka terpaksa harus membuang dugaan itu. Mereka melihat sendiri, Raksasa Tua semula juga heran melihat sikap Dewa Baju Emas yang kelihatan kelabakan. Namun sesaat kemudian, hal seperti itu langsung digunakan untuk keuntungan dirinya.
"Rasanya ada yang tidak beres, Ki," kata Dewa Arak agak pelan suaranya.
"Aku pun menduga demikian, Arya," jawab Ki Blantaka. "Bukan tidak mungkin ini ada hubungannya dengan sihir. Tapi menurut pengamatanku, Raksasa Tua tidak menggunakannya."
"Benar, Ki. Kalau begitu..., siapa? Rasanya tidak masuk akal orang luar membantu Raksasa Tua. Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan?"
Ki Blantaka terdiam. Disadarinya ada kebena-ran juga dalam ucapan Dewa Arak. Dan mendadak dia tersentak. "Ah...!" seru Perguruan Kalong Merah.
"Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak ketika merasakan adanya kegugupan dalam seruan Ki Blantaka.
"Aku ingat...! Leluhurku..., Kalong Merah miliki ilmu seperti itu. Memang! Dia memiliki berbagai ilmu hitam yang tidak masuk akal, di samping ilmu silat dan keahlian racunnya. Salah satu di antaranya adalah ilmu sihir yang membuatnya mampu menguasai batin seseorang, meskipun tanpa bertatap muka...."
"Berarti..., pelarian dari Perguruan Kalong Merah telah berhasil mendapatkan ilmu-ilmu itu," potong Dewa Arak, tidak sabar.
"Kemungkinan besar juga demikian," jawab Ki Blantaka tidak berani memastikan.
Ada nada kekhawatiran dalam ucapan Ketua Perguruan Kalong Merah ini. Tarikan wajahnya pun menyiratkan kecemasan yang tidak dapat disembunyikan. Kalau pelarian-pelarian dari perguruannya itu berhasil mendapatkan ilmu itu, jelas ketenteraman dunia bakal goyah.
"Segera akan kucari mereka, Ki!"
Tanpa menunggu sambutan Ki Blantaka, Dewa Arak segera meninggalkan tempat itu. Tujuannya Goa Kalong seperti yang diceritakan Ki Blantaka.
Ki Blantaka hanya dapat menghela napas berat, karena dia memang tak mungkin ikut Dewa Arak. Keselamatan Dewa Baju Emas tampaknya tengah terancam. Dan Ki Blantaka pun bersiap-siap memberi pertolongan bila diperlukan.
Sementara, Melati begitu melihat kekasihnya meninggalkan tempat itu, segera menyusulnya. Sedangkan Ki Blantaka tidak bisa menahannya.
Dan begitu tatapan Ki Blantaka beralih ke arah pertarungan, keadaan Dewa Baju Emas semakin bertambah gawat. Bahkan beberapa kali ujung tombak lawan menggores kulitnya, sehingga cukup membuat darah mengalir. Dan karena lukanya cukup banyak, sekujur tubuh Dewa Baju Emas kini telah dibanjiri ali-ran darah!
Sebenarnya luka-luka yang diderita Dewa Baju Emas sama sekali tidak parah. Tapi karena tidak mempunyai kesempatan untuk menghentikan aliran darahnya, tenaganya jadi berkurang secara cepat.
"Akh!" Dewa Baju Emas menjerit tertahan ketika kaki lawan menghantam telak perutnya. Untung, bagian itu telah lebih dulu dilindungi dengan tenaga dalam.
Meskipun demikian, tubuh Dewa Baju Emas tak urung terjengkang jauh ke belakang dan terguling-guling di tanah dengan napas sesak! Dan saat itulah, Raksasa Tua mengirimkan serangan susulan. Tombaknya langsung diluncurkan ke arah leher Dewa Baju Emas!
Menyadari akan adanya bahaya maut terhadap Dewa Baju Emas, Ki Blantaka tidak tinggal diam. Cepat-cepat tubuhnya melesat. Langsung dipapaknya serangan tombak itu dengan tongkatnya.
Trangngng!
Bunga-bunga api seketika berpijar, karena saking kerasnya pertemuan antara dua senjata itu. Dan akibatnya, tubuh Raksasa Tua terjengkang ke belakang. Sedangkan, Ki Blantaka hanya terhuyung-huyung tiga langkah. Dari sini bisa diukur kalau tenaga dalam Ketua Perguruan Kalong Merah ini berada jauh di atas lawannya.
Namun baru saja, Ki Blantaka hendak mengirimkan serangan susulan terhadap Raksasa Tua, tiba-tiba sepasang matanya menangkap adanya sosok besar di angkasa. Terpaksa Ketua Perguruan Kalong Merah ini membatalkan maksudnya. Dan begitu pandangannya diarahkan ke sana, sepasang mata Ki Blantaka langsung terbelalak.
Ternyata di angkasa tampak seekor kalong raksasa merah yang besarnya seukuran tubuh manusia, tengah meluncur deras ke arahnya. Gigi-gigi runcing hewan malam yang meluruk cepat ini tertuju ke arah leher Ki Blantaka. Tentu saja Ki Blantaka tidak ingin mati konyol. Buru-buru serangan hewan itu dipapaknya, dengan tusukan tombaknya ke arah perut.
Melihat serangan tombak, kalong raksasa itu langsung membatalkan serangannya. Maka Ki Blantaka pun selamat dari maut. Namun, Ketua Perguruan Kalong Merah ini tidak bernapas lega, karena Raksasa Tua telah melancarkan serangan.
Sementara itu, Dewa Arak telah tiba di sebuah goa yang telah ditunjukkan Ki Blantaka. Goa Kalong. Dewa Arak menatap goa di hadapannya sejenak, kemudian melangkah hati-hati, masuk ke dalamnya. Sekujur urat saraf dan otot tubuhnya menegang waspada. Tampaknya, dia jelas siap menghadapi segala kemungkinan.
Goa Kalong ternyata hanya mempunyai sebuah lorong, dan tidak begitu panjang. Tak sampai sepuluh tombak, Dewa Arak telah melihat adanya sinar terang di depan. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini mendekati.
Ternyata, di dalam goa terdapat sebuah ruangan luas yang kanan kirinya tertutup dinding-dinding tebing, namun bagian atasnya terbuka. Di sana tampaklah tiga sosok tengah duduk bersila, berjajar saling bergenggaman satu tangan. Sepasang mata mereka dipejamkan. Tanpa berpikir lebih lama, Arya tahu kalau mereka tengah menyatukan kekuatan untuk mengirimkan ilmu hitam! Pantas saja, tadi Dewa Baju Emas kelabakan!
Agak tercekat hati Dewa Arak ketika melihat kalau tiga sosok itu mengenakan topeng harimau pada wajahnya. Hanya pakaian yang membedakan mereka. Yang berpakaian hitam, berjuluk Harimau Baja. Sementara yang berpakaian putih perak, berjuluk Hari-mau Perak. Sedangkan yang berpakaian kuning emas berjuluk Harimau Emas. Dan apabila mereka bergabung julukannya adalah Tiga Harimau Sakti!
"Keparat! Orang-orang seperti kalian tidak layak dibiarkan hidup!" desis Dewa Arak begitu teringat akan tujuannya ke tempat ini. Usai berkata demikian, Dewa Arak melompat. Kemudian dari atas, laksana burung garuda menerkam mangsa, tubuhnya meluruk ke arah Tiga Harimau Sakti.
Wurrr!
Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan Dewa Arak, membuat Tiga Harimau Sakti menyadari akan adanya bahaya mengancam. Dan seketika mereka langsung bergerak, menyambut serangan itu.
Wut, wut, wut!
Tak, tak, tak!
Tubuh Tiga Harimau Sakti langsung terjengkang ke belakang ketika tangan-tangan mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak. Seketika ketiga orang itu terkejut bukan kepalang, karena tangan-tangan mereka terasa sakit-sakit dan seperti lumpuh!
Demikian pula yang dialami Dewa Arak. Tubuhnya sampai terpental balik ke belakang, namun dengan sebuah gerakan indah berhasil mendarat ringan di tanah.
Kali ini, Dewa Arak kalah cepat. Karena Tiga Harimau Sakti sudah keburu melancarkan serangan, menerjang dari tiga jurusan. Gerakan mereka cepat bukan kepalang, sehingga serangan yang dikirimkan menimbulkan bunyi deru mencicit.
Wut, wut, wut!
Tiga Harimau Sakti menyadari bahaya yang mengancam. Dan seketika mereka pun langsung bergerak, menyambut serangan itu .
Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dalam gerakan cepat, araknya segera dituang ke mulutnya.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar suara tegukan, ketika arak itu lewat di tenggorokannya. Sebentar kemudian, langkah Dewa Arak sudah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Ge-rakan lewat ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak berhasil membuat serangan lawan-lawannya kandas.
Gampang saja tubuhnya menyelinap di antara tubuh lawan-lawannya. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Dengan jurus 'Belalang Mabuk', langsung dilancarkanya serangan balasan. Dan kini pertarungan sengit pun terjadi.
Dahsyat dan mengiriskan. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan. Gerakan-gerakan Tiga Harimau Sakti begitu terarah, seperti terdiri dari satu pikiran. Mereka dapat saling mengisi dan melindungi. Kalau saja Dewa Arak tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', sudah sejak tadi berhasil dirobohkan.
Lima puluh jurus telah lewat. Dan selama itu, belum nampak tanda-tanda adanya pihak yang bakal dirobohkan. Jalannya pertarungan masih berimbang, dan saling berganti melancarkan serangan.
Menggiriskan setiap kali tokoh-tokoh ini melancarkan serangan. Bunyi mendecit, menderu, dan men-gaung langsung terdengar mengisi tiap ruang dan waktu. Tanah pun terbongkar di sana-sini, memporak-porandakan sekitarnya.
Di jurus kelima puluh tiga, bagai telah berse-pakat sebelumnya, Tiga Harimau Sakti mendadak menghentikan gerakan masing-masing. Kemudian mereka melangkah mundur, sehingga membuat Dewa Arak heran.
"Mengapa Tiga Harimau Sakti menghentikan penyerangannya?" tanya Dewa Arak dalam hati. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini pun menghentikan gerakannya. Diperhatikannya dengan seksama semua tindakan Tiga Harimau Sakti.
Sementara itu, Tiga Harimau Sakti malah berdiri berjajar dengan tangan saling bergandengan satu sama lain. Yang berada di kiri dan kanan segera mencabut ganco yang terselip di pinggang. Sedangkan yang berada di tengah tetap menancapkan ganconya di pinggangnya.
Laki-laki yang berada di sebelah kiri menghadapkan ujung ganconya ke bumi. Sedangkan yang disebelah kanan ke langit. Sementara, dari mulut-mulut mereka keluar gumaman-gumaman yang asing di telinga. Sulit dimengerti, dan sulit ditangkap secara jelas. Semakin lama, suara itu semakin cepat dan keras diucapkan.
Semula Dewa Arak merasa heran melihat tingkah lawan-lawannya. Tapi, sebentar kemudian berganti kaget, ketika pemuda berambut putih keperakan ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya. Semula suasana cerah. Tapi beberapa saat kemudian, seiring semakin keras dan cepatnya gumaman-gumaman aneh yang keluar dari mulut Tiga Harimau Sakti, tiba-tiba saja langit berubah gelap pekat.
Awan hitam tampak bergumpal-gumpal. Angin pun berhembus kencang, membawa hawa dingin yang mampu membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya! Bahkan keadaan seperti itu masih ditingkahi kilat yang menyambar-nyambar.
Dewa Arak agak gugup menghadapi kenyataan ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan tulang-belulangnya seperti lumpuh, sehingga tenaga dalamnya tidak mampu dikerahkan.
"Sihir...!" desis hati Dewa Arak ketika mulai menyadari adanya ketidak-beresan ini.
Setelah menyadari kalau semua keanehan ini tercipta karena pengaruh sihir, Dewa Arak pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawannya. Seluruh perhatianya dipusatkan, maka pertarungan yang aneh pun berlangsung.
Tiga Harimau Sakti yang bergandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian kata-kata dalam nada dan ketinggian berganti-ganti, sementara Dewa Arak yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di bahu dan mata dipejamkan serta kepala ditundukkan.
Dewa Arak berusaha sekuat tenaga memusatkan tenaga batinnya, sehingga sekujur wajahnya dipenuhi keringat sebesar-besar jagung. Namun, tetap saja usahanya sia-sia. Dan semua keanehan itu tetap saja tidak mampu diusirnya.
Dewa Arak memang belum menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Dan inilah yang menjadi penyebab ketidakberhasilannya dalam mengusir pengaruh yang ditimbulkan lawan. Dia baru mulai mengadakan perlawanan, di saat tindakan lawan telah mempengaruhinya.
Dan seiring kegagalan usaha perlawanan Dewa Arak, pengaruh ilmu Tiga Harimau Sakti pun semakin menjadi-jadi. Pemuda itu mulai menggigil kedinginan, karena angin dingin yang berhembus membawa butir-butir es yang kemudian menempel di tubuhnya.
Di saat-saat terakhir, ketika tubuhnya sudah tidak berdiri tegak lagi, Dewa Arak teringat gucinya. Maka seluruh sisa-sisa kemampuan yang dimilikinya segera dikerahkan untuk mengambil gucinya yang tersampir di punggung. Dan begitu berhasil menggenggam guci araknya, buru-buru dituangkannya ke mulut.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di sekitar perutnya. Lalu, hawa panas itu perlahan-lahan naik ke atas.
Dan seketika kedudukan kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini. Pada saat itu, perkataan-perkataan Tiga Harimau Sakti terdengar semakin cepat dan keras di telinga Dewa Arak. Bahkan seperti suara dalam kepalanya.
"Arrrggghhh...!" Dalam usahanya untuk menghilangkan suara Tiga Harimau Sakti yang seperti telah memenuhi isi kepalanya, Dewa Arak meraung keras, sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu seperti bergetar.
Dan memang sungguh dahsyat raungan Dewa Arak. Akibatnya, tubuh Tiga Harimau Sakti langsung terjengkang ke belakang. Di sudut mulut mereka menitik darah segar. Rupanya, Tiga Harimau Sakti terluka dalam cukup parah, akibat raungan Dewa Arak yang dikerahkan lewat tenaga dalam penuh.
Mendapat kenyataan ini, Tiga Harimau Sakti tidak menjadi gentar. Mereka kembali tegak dan bersiap mengadakan perlawanan kembali. Namun pada saat yang sama, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat, dan mendarat di sebelah Dewa Arak. Ternyata, mereka adalah Ki Blantaka dan Melati.
Melati tadi memang sempat kehilangan jejak Dewa Arak, sehingga tersesat. Untung gadis itu dalam pencariannya bisa bertemu Ki Blantaka.
"Bagaimana dengan Raksasa Tua, Ki?" tanya Dewa Arak, ingin tahu.
''Tewas!" jawab Ketua Perguruan Kalong Merah singkat. Sepasang mata laki-laki tua itu diarahkan pada Tiga Harimau Sakti. Dia tahu, wajah di balik topeng itu adalah adik-adik seperguruannya.
"Sebelum terlambat, lebih baik kalian ikut bersamaku ke perguruan untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kalian...."
"Hiaaat..!"
Teriakan keras Tiga Harimau Sakti, menjadi jawaban atas tawaran yang diajukan Ki Blantaka. Mau tidak mau, Ketua Perguruan Kalong Merah itu me-nyambutnya dengan kekerasan pula.
Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal diam. Maka pertarungan pun terpecah menjadi tiga bagian. Dewa Arak menghadapi Harimau Emas. Ki Blantaka berhadapan dengan Harimau Perak, sedangkan Melati bertarung dengan Harimau Baja. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Sementara itu Harimau Emas dan Dewa Arak telah terlibat dalam pertarungan sengit. Pelarian Perguruan Kalong Merah yang memiliki kemampuan paling hebat dibanding rekan-rekannya itu melancarkan serangan bertubi. Bahkan saat itu, mengirimkan sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah leher.
Wuttt!
Deru angin keras yang terdengar, menjadi per-tanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung didalamnya.
Dewa Arak pun menyadarinya, sehingga tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, kaki Harimau Emas hanya mengenai tempat kosong. Dan begitu serangan lawan berhasil dikandaskan, Dewa Arak meluncurkan tangan kirinya untuk menangkap pergelangan kaki Harimau Emas yang belum sempat ditarik kembali.
Tappp!
Tangkapan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong, karena Harimau Emas telah lebih dulu menarik kakinya. Bahkan laki-laki berpakaian kuning emas itu langsung mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat. Tangannya langsung dikibaskan, sehingga segundukan angin keras meluncur ke arah Dewa Arak.
Untungnya Dewa Arak tidak gugup. Maka begitu merasakan adanya sambaran angin keras yang mampu membuat tubuhnya bertumbangan, langsung tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua kakinya. Sehingga, kedua kaki Dewa Arak seperti berakar dengan bumi.
Maka begitu angin keras menghantam tubuhnya, Dewa Arak sama sekali tidak bergeming. Hanya rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras, menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu baru saja dilanda segundukan angin keras.
Melihat serangannya sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan, Harimau Emas menjadi geram bukan kepalang. "Keparat! Pantas kau berani bersikap kurang ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Baik, kulayani kemauanmu! Hih!"
Kali ini pelarian dari Perguruan Kalong Merah itu tidak segan-segan lagi melancarkan serangan. Langsung saja dikirimkan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan menjadi pertanda betapa kuatnya tenaga yang tersalur di dalamnya.
Tapi, Dewa Arak tetap bertindak tenang. Kaki kanannya segera ditarik ke belakang, seraya mencondongkan tubuh. Dia tahu, meskipun hanya bertindak demikian, serangan Harimau Emas telah dapat dielakkannya.
Namun betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan itu, ketika melihat kaki Harimau Emas tetap meluncur ke arah dadanya. Padahal, dia telah melangkah mundur! Hal ini membuat Dewa Arak sedikit gugup, walau hanya sebentar saja. Maka dengan agak tergesa-gesa, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kakinya, sehingga tubuhnya terlempar ke belakang.
Wuttt!
Tendangan Harimau Emas meluncur beberapa jari di bawah kaki Dewa Arak. Terlambat sedikit saja, kaki pelarian Perguruan Kalong Merah itu akan lebih dulu bersarang di anggota tubuh Dewa Arak.
Jliggg!
Setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di udara, Dewa Arak mendaratkan sepasang kakinya di tanah dengan mantap. Dan secepat itu pula, dia bersiap untuk menghadapi serangan lawan selanjutnya. Namun ternyata, Harimau Emas belum melancarkan serangan susulan. Malah, sekujur tubuh Dewa Arak dirayapinya penuh selidik.
Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono lagi. Dewa Arak tahu, mengapa kaki lawan tetap mengejar. Pasti karena pelarian Perguruan Kalong Merah itu memiliki ilmu yang membuat kaki atau tangannya dapat memanjang.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak ini, tidak dilakukan secara sembarangan. Dewa Arak tahu, memang ada ilmu semacam itu di dunia persilatan. Bahkan Melati pun memilikinya. Sehingga tangannya bisa dipanjangkan hampir dua kali lipat, ketika jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', telah dikeluarkannya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikiran itu. Lawan di hadapannya memang teramat tangguh. Kalau bertindak sembrono, nyawa taruhannya.
Sementara Harimau Emas sendiri rupanya sudah merasa cukup memperhatikan lawannya. Dan sekarang, dia mulai bersiap membuka serangan kembali.
"Kau cukup hebat, Anak Muda. Rasanya pantas untuk menjadi lawanku," puji Harimau Emas dingin. "Tapi jangan berbangga hati dulu. Sekarang, kau bersiaplah, Anak Muda. Aku akan memulai pertarungan yang sebenarnya. Hadapilah ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'-ku ini!"
Usai berkata demikian, Harimau Emas itu menyilangkan kedua tangannya yang terkepal erat di depan dada. Kemudian dengan gerakan perlahan-lahan tapi penuh tenaga, kedua tangannya ditarik ke sisi pinggang. Bunyi berkerotokan seperti ada tulang-tulang berpatahan, mengiringi gerakan tangan itu.
Melihat hal ini, Dewa Arak tidak berani main-main. Disadari kalau ilmu yang akan dikeluarkan lawan ini amat dahsyat. Maka, guci arak yang tergantung di punggung segera diraihnya, kemudian dituangkan ke mulut.
Gluk... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Ada hawa hangat menyebar di sana. Kemudian secara perlahan-lahan, hawa itu naik ke atas. Sesaat kemudian, sepasang kaki pemuda berambut putih keperakan itu pun oleng. Kini Dewa Arak te-lah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'.
Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari perhatian Harimau Emas. Tampak ada kerutan pada kedua alis pelarian Perguruan Kalong Merah itu, menandakan keheranannya.
Tapi Harimau Emas tidak membiarkan perasaan bingung terus bermain-main dalam benaknya. Dia dapat menduga, pasti ilmu yang akan dikeluarkan Dewa Arak adalah sebuah ilmu andalan. Memang tidak sedikit ilmu yang kelihatannya aneh, tapi di dalamnya terkandung kedahsyatan mengiriskan!
Seiring timbulnya pikiran seperti itu, Harimau Emas pun memusatkan perhatian pada ilmu yang tengah dikeluarkannya. Kemudian....
"Hiaaat..!" Diawali sebuah teriakan keras menggeledek yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Harimau Emas mulai melancarkan serangan pembukaan. Tak tanggung-tanggung lagi, langsung dikirimkannya pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak. Bunyi ledakan keras seperti ada halilintar menyambar-nyambar mengiringi meluncurnya serangan.
Memang kelihatannya berbahaya bukan kepalang serangan Harimau Emas. Karena di samping dialiri tenaga dalam dahsyat, juga meluncur dengan kecepatan menakjubkan.
Tapi orang yang diserang memang telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' nya. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil membuat serangan itu kandas dengan gerakan seperti orang akan jatuh.
Karuan saja hal itu membuat Harimau Emas penasaran bukan kepalang. Segera disusulinya dengan serangan berikut yang tidak kalah dahsyat. Dan seperti juga serangan pertamanya, kali ini pun bunyi meledak-ledak timbul, seiring meluncurnya serangan. Pertarungan dahsyat dan menarik pun, tidak bisa dihindarkan lagi.
Harimau Emas benar-benar dipaksa mengelua-rkan seluruh kemampuannya yang bertubi-tubi dan susul-menyusul. Namun semua itu berhasil dikandaskan lawan dengan gerakan aneh, bahkan berlang-sung sampai lima jurus!
Kegagalan demi kegagalan serangannya, membuat pelarian Perguruan Kalong Merah itu penasaran bukan kepalang. Apalagi, sampai saat itu Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan. Tentu saja ini membuatnya merasa diremehkan. Dalam cekaman rasa penasaran dan marah, Harimau Emas langsung mengeluarkan jurus-jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'!
"Hih!" Laksana gasing, tubuh Harimau Emas berpusing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan dan kakinya mencuat dari balik putarannya. Jelas ini serangan berbahaya, karena meluncurnya sama sekali tidak disangka-sangka.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat perubahan serangan lawannya. Dan patut diakui, ilmu itu memang luar biasa! Keadaan tubuh Harimau Emas yang berputaran, membuat Dewa Arak sulit melancarkan serangan. Sebaliknya, Harimau Emas enak saja melancarkan serangan. Dengan sendirinya, kedudukan pelarian Perguruan Kalong Merah jadi lebih menguntungkan.
Untung saja Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti' yang ajaib, sehingga mampu melakukan gerakan sesulit apa pun, dalam keadaan bagaimanapun. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang merupakan kumpulan dari langkah-langkah khas untuk menghindari serangan, jelas membuat heran orang yang menyaksikannya. Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak mampu menghindari setiap serangan Harimau Emas hingga lebih dari sepuluh jurus!
Kenyataan ini membuat bulu kuduk pelarian Perguruan Kalong Merah meremang! Selama hidupnya, belum pernah ditemukan ada seorang lawan pun yang mampu memusnahkan serangannya hanya dengan mengelak. Apalagi selama sepuluh jurus! Bahkan Sangga Buana, pemilik Pulau Es saja tidak mampu bertindak seperti ini!
Tidak aneh kalau hal itu membuat Harimau Emas semakin kalap. Maka kedahsyatan serangannya pun terus ditingkatkan. Akibatnya langsung diterima Dewa Arak. Dirasakannya, betapa tekanan serangan-serangan lawan semakin dahsyat. Apabila diumpamakan ombak, maka itulah ombak setinggi bukit yang menyerangnya.
Dan memang kelihatannya Dewa Arak berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Yang dilakukannya hanya terus-menerus mengelak. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat.
Bahkan, tak terasa pertarungan telah berlangsung lima belas jurus. Dan selama ini, Dewa Arak masih mengandalkan keistimewaan ilmu meringankan tubuh 'Belalang Sakti', dan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk mematahkan setiap serangan lawan. Tapi begitu pertarungan telah lewat lima belas jurus, Dewa Arak memutuskan untuk merubah cara bertarungnya!
"Hih!"
Wuttt!
Diiringi bunyi menderu keras, tinju kanan Harimau Emas mencuat dari dalam putaran tubuhnya. Tak tanggung-tanggung lagi, sasaran yang dituju adalah ubun-ubun, tempat yang mematikan di tubuh manusia!
Sementara Dewa Arak benar-benar melaksanakan rencananya. Begitu melihat kepalan Harimau Emas meluncur, langsung dipapaknya dengan tinju kanan pula. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi, seluruh tenaga dalamnya dikeluarkannya dalam pengerahan jurus 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Wuttt!
Hawa panas menyengat menyebar seiring meluncurnya tinju Dewa Arak. Itu pun masih ditambah adanya kepulan asap tipis dari sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian....
Dukkk!
Dahsyat bukan kepalang benturan yang terjadi antara dua kepalan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi. Bunyi menggelegar laksana halilintar menyambar langsung terdengar!
Akibat selanjutnya, tubuh dua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke belakang. Tapi dengan sebuah gerakan manis, baik Dewa Arak maupun Harimau Emas mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh terhuyung-huyung. Dan di saat tengah berada di udara, Dewa Arak cepat menghentakkan kedua tangannya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss! Bresss!
"Aaakh...!" Harimau Emas kontan menjerit menyayat ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam telak dadanya. Tubuhnya langsung melayang deras ke belakang seperti daun kering dihembus angin. Saat itu juga, nyawanya melayang ke alam baka dengan tubuh gosong.
Ringan tanpa suara, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pandangannya dialihkan ke arah Melati dan Ki Blantaka yang telah menyelesaikan pertarungan. Memang tanpa Harimau Emas, Harimau Baja, dan Harimau Perak lebih cepat dikalahkan. Karena pada dasarnya, ketiga tokoh sesat itu akan berbahaya bila telah bersatu. Kini Harimau Baja dan Harimau Perak tergolek lemah, dengan luka dalam yang parah.
Tampak Ki Blantaka menundukkan kepala dengan tarikan wajahnya menyiratkan kesedihan. Dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak Melati meninggalkan tempat itu. Dia tahu, saat ini Ki Blantaka ingin menyendiri.
"Di mana mereka menyimpan Perawan-Perawan Persembahan itu, Melati?" tanya Dewa Arak ketika bermaksud mencari perawan-perawan yang konon untuk persembahan Tiga Harimau Sakti dalam menuntut ilmu sihir.
"Tadi waktu aku bertemu Ki Blantaka, dia bercerita kalau perawan-perawan itu memang telah dibunuh Tiga Harimau Sakti, untuk persembahan. Jadi ki-ta memang tidak bisa menyelamatkan mereka!" jelas Melati.
"Dari mana Ki Blantaka tahu hal itu?"
"Sebelum tewas di tangan Ki Blantaka, Raksasa Tua mengakui terus terang kalau yang bertindak sebagai algojonya adalah dia sendiri."
"Hhh...." Dewa Arak hanya menarik napas penuh sesal, karena tidak sempat menyelamatkan Perawan-Perawan Persembahan itu.
"Yah... Mudah-mudahan arwah mereka diterima di sisi-Nya," desah Dewa Arak.
Dan kedua pendekar muda itu terus melangkah, keluar goa. Dan sekarang yang tinggal hanya Ki Blantaka seorang!
Tapi gerombolan awan tebal berwarna hitam yang bergumpal-gumpal di angkasa, seolah menghalangi sinarnya. Sehingga suasana di muka bumi jadi remang-remang.
Keadaan seperti ini saja sudah membuat malam menjadi mencekam. Apalagi, angin dingin menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Tak heran kalau keadaan ini cukup membuat orang lebih suka tinggal di dalam rumah.
Kalau saja di luar sana masih ada juga orang dalam suasana seperti itu, tentu ada hal penting yang harus diselesaikannya. Dan ini dialami oleh dua sosok yang tampak melangkah menyusuri jalan utama Desa Banyu. Satu di antara mereka tampak membawa kentongan. Tentu saja, mereka adalah peronda yang harus menyelesaikan tugasnya hingga fajar nanti.
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan yang terdengar keras mengiringi langkah kedua sosok itu. Apalagi, dalam suasana malam yang demikian sunyi.
"Ginta...," panggil salah seorang.
Lelaki pendek kekar yang memegang kentongan dan dipanggil Ginta menoleh. "Ada apa, Pertala?" tanya Ginta.
Pertala yang memiliki tubuh tinggi kurus, terdiam sesaat. Nampak kalau sikapnya ragu-ragu untuk berbicara, sehingga membuat Ginta kesal.
"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini, Ginta?" tanya Pertala, sebelum Ginta memuntahkan kekesalannya.
Ginta kontan terperanjat, mendengar ucapan Pertala. Tanpa sadar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi, tidak ada yang dilihatnya, kecuali bentuk yang serba tidak jelas di tengah suasana yang remang-remang.
"Apa maksudmu, Pertala?" Ginta malah balas mengajukan pertanyaan. Namun nada suaranya terdengar agak gemetar.
Perlu diakui, lelaki pendek kekar ini memiliki sifat penakut, terutama jika berada di tempat-tempat yang menyeramkan. Dan sebenarnya, sejak tadi Ginta sudah merasa ketakutan yang terus ditahan-tahan. Tapi ucapan Pertala barusan, seperti menyergapnya dalam suasana yang mencekam.
"Malam ini perasaanku tidak enak sekali, Ginta," desah Pertala, bernada keluh. "Bahkan bulu kudukku sampai berdiri."
"Hm..., lalu?" tanya Ginta, semakin bergetar karena rasa takut yang kian melunturkan keyakinannya.
Meskipun tidak menoleh, sepasang mata Ginta berkeliaran liar mengawasi sekeliling. Dan perasaan takut itu kian menjadi-jadi ketika menyadari kalau sekarang berada dekat perbatasan desa. Di sini memang sudah tidak ada pondok lagi. Rumah penduduk yang paling dekat dengan mulut desa telah cukup jauh di belakang mereka. Itu pun hanya sebuah!
"Perasaanku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi...," sambung Pertala pelan, lebih mirip bisikan.
Kali ini Ginta tidak bisa menahan rasa takutnya lagi. Buru-buru tubuhnya berbalik, kemudian berlari kembali ke dalam desa!
Karuan saja tindakan Ginta mengejutkan Pertala. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dike-jarnya Ginta. "Ginta! Tunggu...!"
Maka dalam suasana malam sunyi mencekam itu, terjadi kejar-kejaran antara dua orang peronda Desa Banyu.
"Akh...!" Belum juga sepuluh tombak berlari, Ginta menjerit kaget. Tubuhnya langsung terjerembab ke depan dan jatuh ke tanah, begitu kakinya tersangkut batu yang menonjol di tanah. Karena Ginta berlari dalam suasana gelap tanpa obor, tentu saja bagai orang buta berlari.
Dan tak lama, Pertala berhasil menyusul Ginta yang meringis-ringis kesakitan. "Hhh... hhh.... Apa yang terjadi, Ginta?! Hhh... hhh.... Mengapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?" tanya Pertala dengan napas tersengal-sengal. Obor di tangannya hampir padam terhembus angin ketika ber-lari tadi.
"Semua ini karena kau!" sentak Ginta keras.
"Aku?!" dengan nada tidak percaya, Pertala meminta penjelasan.
"Benar!" tandas Ginta mantap. "Kalau tidak ka-rena ceritamu, aku tidak akan ketakutan."
"Hhh...!" Pertala menghela napas berat "Bukan hanya kau saja yang takut, Ginta! Aku juga! Bahkan mungkin lebih besar darimu! Buktinya, aku tidak mampu menahannya, sehingga menceritakannya padamu!"
Ginta kontan terdiam. Pertala juga diam. Maka suasana hening langsung melingkupi tempat itu.
"Kau dengar bunyi itu, Pertala?" tanya Ginta, memecah keheningan.
Pertala menatap wajah rekannya sejenak, kemudian diam. Dicobanya untuk mencari tahu, tentang bunyi yang dikatakan Ginta. Dahinya berkernyit dalam, dengan perhatian terpusat pada pendengarannya.
"Ya," jawab Pertala seraya menganggukkan kepala. "Kalau tidak salah, bunyi derap kaki kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak juga."
"Dugaanmu sama denganku, Pertala," sahut Ginta. "Entah siapa yang di malam seperti ini mengendarai kuda...."
"Jangan-jangan...," Pertala menghentikan ucapannya. Sepasang matanya langsung diarahkan ke arah mulut desa yang baru saja ditinggalkan tadi. Lelaki tinggi kurus ini segera mengalihkan perhatian ke arah Ginta.
Pada saat yang sama, Ginta menatapnya. Maka kini dalam keremangan sinar obor, dua peronda Desa Banyu ini saling berpandangan. Ada sorot kekhawatiran dalam pancaran mata mereka.
"Perampok...?!"
Hampir berbareng, Ginta dan Pertala mendesiskan kata itu. Ada alasan kuat yang mendorong dugaan itu muncul. Mereka memang telah mendengar tentang rombongan perampok berkuda yang melakukan penculikan terhadap wanita-wanita muda!
Setelah menegaskan kalau arah yang dituju rombongan berkuda itu adalah desa mereka, maka se-perti telah disepakati, keduanya berlari cepat menuju lambung desa.
Tong, tong, tongngng!
Bunyi kentongan yang mengisyaratkan adanya bahaya mengancam, langsung dipukul Ginta tanpa menghentikan larinya. Isyarat yang diberikan Ginta pun langsung mendapatkan sambutan. Daun pintu rumah yang letaknya paling dekat dengan tempat Ginta dan Pertala berada, langsung terbuka. Dari dalamnya keluar seorang lelaki tinggi besar yang langsung memukul kentongan, menyambung kentongan Ginta.
Tong, tong, tongngng!
Pada saat yang sama, Ginta dan Pertala telah hampir tiba di pondok lelaki tinggi besar yang tengah memukul kentongan. Namun, bunyi yang terdengar di kejauhan semakin keras. Bergemuruh, membuat bumi seperti bergetar hebat.
Seperti telah diatur saja, awan hitam bergumpal-gumpal yang menutupi sinar rembulan, mulai buyar tertiup angin. Maka secara perlahan-lahan keadaan di persada tidak remang-remang seperti sebelumnya. Sadar kalau suasana telah terang, Pertala dan Ginta menoleh.
Oh!"
Jeritan kaget keluar hampir berbarengan dari mulut mereka, ketika melihat serombongan orang berkuda di belakang berjarak sekitar sepuluh tombak! Dan kalau diperhatikan, wajah mereka rata-rata tampak bengis.
Pemandangan ini membuat dua peronda Desa Banyu yang telah lelah itu, seperti mendapat tambahan tenaga baru. Entah dari mana datangnya kekuatan, tiba-tiba kecepatan lari mereka bertambah.
Meskipun demikian, apa artinya kecepatan lari manusia biasa bila dibanding kecepatan kuda. Biarpun Pertala dan Ginta telah mengerahkan seluruh kemampuan lari, tetap saja jaraknya dengan para penunggang kuda itu semakin dekat. Bahkan sudah dapat dipastikan akan tersusul.
Sementara itu, para penunggang kuda tampak merasa gembira, memburu orang yang dilanda ketakutan. Sambil mencambuki agar kuda-kuda berlari lebih kencang, mereka terus mengumbar tawa!
Dan tawa yang paling keras, dikeluarkan oleh sosok bercambang bauk lebat yang berkuda paling depan. Dia juga berpakaian hitam seperti yang lainnya. Tapi menilik tindak-tanduknya, dapat diketahui kalau laki-laki bercambang bauk itu adalah yang bertindak sebagai pemimpin.
"Mau lari ke mana, Anjing-anjing Kecil?! Ha ha ha...!" kata lelaki bercambang bauk lebat itu, ketika telah berjarak tak lebih dari lima tombak dengan dua orang yang berusaha menyelamatkan diri. Begitu kata-katanya selesai, lelaki bercambang bauk lebat itu memasukkan tangan kirinya ke balik baju. Dan sebentar saja, tangannya telah dikeluarkan bersama dua bilah pisau.
"Sekarang, pergilah kalian ke neraka! Hih...!" dengus lelaki bercambang bauk lebat itu seraya mengibaskan tangan kirinya.
Seketika itu pula, dua batang pisau putih berkilat yang berada di tangannya, melesat cepat ke arah Ginta dan Pertala. Bunyi berdesing cukup nyaring, mengiringi tibanya serangan.
Ginta dan Pertala yang tentu saja bukan tokoh persilatan memang tidak bisa menangkap desir angin serangan dua belah pisau. Mereka hanya mempercepat larinya. Sehingga akibatnya....
Cappp, cappp!
"Akh, akh!"
Hampir berbareng, Ginta dan Pertala melolong menyayat ketika senjata yang dilepaskan lelaki bercambang bauk lebat itu tepat menghunjam punggung! Seketika, langkah kaki mereka terhenti dengan tubuh tersentak ke depan. Dan mereka akhirnya ambruk di tanah, tidak bangkit lagi selama-lamanya.
Tubuh kedua peronda ini tergolek hanya beberapa langkah lagi saja dari tempat tinggal lelaki tinggi besar yang masih memukul kentongan. Dan semua kejadian ini terlihat jelas olehnya.
Dan belum juga lelaki tinggi besar ini lebih lama memukul kentongan, tiba-tiba sebatang anak panah yang dilesatkan salah seorang rombongan berkuda telah mendarat di dadanya. Dia kontan terjengkang dan ambruk di tanah. Dia tewas menyusul Ginta dan Pertala.
Sesaat kemudian, lelaki bercambang bauk lebat dan rombongannya telah berada di depan pondok itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat tu-run dari atas punggung kudanya, diikuti belasan orang bertampang kasar lainnya.
"Geledah rumah itu...!" seru lelaki bercambang bauk lebat itu, dengan suara keras.
Tanpa menunggu perintah dua kali, beberapa orang anak buahnya berserabutan masuk ke dalam pondok lelaki tinggi besar yang telah tewas tertancap panah. Hanya sebentar saja, dan begitu kembali di bahu kanan salah seorang telah terpanggul sesosok tu-buh ramping berambut panjang!
"Tolong...! Manusia biadab...! Ayah...!" jerit sosok tubuh ramping itu.
Tapi siapa yang akan menolong sosok ramping itu? Lelaki tinggi besar yang rupanya adalah ayahnya, telah tergeletak tanpa nyawa. Sambutan yang diterimanya hanyalah tawa gelak rombongan orang-orang bertampang kasar itu!
"Ha ha ha...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki bercambang bauk lebat itu tertawa bergelak, ketika melihat anak buahnya datang dengan memondong sosok ramping di bahunya.
"Mari kita cari yang lainnya!"
Usai berkata demikian, lelaki bercambang bauk lebat itu berlari lebih dulu menuju lambung Desa Banyu. Dan di belakangnya, belasan anak buahnya mengikuti. Sementara, semua binatang itu ditam-batkan di dekat rumah lelaki tinggi besar yang telah tewas!
Tapi baru beberapa tombak berlari, dari arah yang berlawanan tampak berbondong-bondong orang bergerak mendatangi. Di tangan mereka tampak tergenggam senjata dalam berbagai jenis dan bentuk!
"Ha ha ha...!" Kembali lelaki bercambang bauk lebat tertawa bergelak.
"Lihat! Rupanya orang-orang dungu itu sudah siap mengantar nyawa. Sungguh sebuah penyambutan yang amat menggembirakan! Ha ha ha...!"
Dan memang, dugaan lelaki bercambang bauk lebat itu tidak salah! Rombongan orang yang bergerak memapaki kedatangan mereka adalah penduduk Desa Banyu. Mereka datang secara berbondong-bondong, karena isyarat kentongan tanda bahaya yang terdengar saling bersahutan.
Sosok yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian putih. Dialah Kepala Desa Banyu. Namanya, Ki Buleleng. Sambil memberi semangat pada para penduduk di belakangnya, Ki Buleleng mengacung-acungkan golok yang tergenggam di tangan. Dan memang, tindakan Kepala Desa Banyu ini membuat warganya terpancing semangatnya.
Dalam waktu tidak terlalu lama, pertempuran dua rombongan itu pun tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, pertempuran besar-besaran pun langsung berkobar!
Seketika itu pula suasana malam yang semula hening dan sunyi, langsung dipecahkan bunyi dentang senjata beradu. Bunga-bunga api pun berpercikan ke sana kemari, sebagai pertanda kuatnya benturan sen-jata yang terjadi.
Sebenarnya jumlah penduduk Desa Banyu lebih banyak. Bahkan hampir mencapai dua kali lipat daripada jumlah perusuh itu. Tapi karena sebagian besar penduduk tidak memiliki ilmu silat, akibatnya rombongan perampok itu sangat leluasa membinasa-kan mereka satu persatu. Maka lolong menyayat hati terdengar susul-menyusul diikuti robohnya para penduduk Desa Banyu di tanah dengan tubuh bersimbah darah.
Para perampok itu mengamuk laksana harimau luka. Setiap kali senjata mereka berkelebat, sudah da-pat dipastikan ada sosok yang roboh dan tidak bang-kit-bangkit lagi untuk selamanya.
Tapi, ternyata tidak semua orang di pihak Desa Banyu yang mudah ditundukkan. Bahkan mampu mengadakan perlawanan sengit, dan mampu mendesak salah seorang perampok. Dialah, Ki Buleleng, Kepala Desa Banyu!
Sambil terus mengadakan perlawanan sengit, laki-laki tua berpakaian putih ini tak henti-hentinya memberi semangat pada para penduduk Desa Banyu.
"Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur, berarti desa kita hancur...!"
Berkat teriakan Ki Buleleng, maka para pendu-duk Desa Banyu terus mengadakan perlawanan. Seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan. Mereka tahu, nasib anak dan istri tergantung perta-rungan ini.
Tapi perlawanan yang diberikan nyatanya sia-sia belaka. Keadaan di pihak penduduk Desa Banyu bagaikan semut-semut menerjang api. Begitu berhasil dekat, langsung berguguran tanpa daya.
Kini, sungguh mengerikan keadaan Desa Banyu. Di sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian. Di sana-sini, bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Dan darah pun sudah menggenangi sekitarnya.
Sementara wajah lelaki bercambang bauk lebat itu tampak berseri-seri. Sudah terbayang di benaknya kalau perlawanan para penduduk Desa Banyu akan dapat diruntuhkan.
Tapi seri di wajah pimpinan rombongan perampok ini lenyap, begitu pandangannya tertumbuk pada salah satu pertarungan. Tampak salah seorang anak buahnya kerepotan menghadapi laki-laki berpakaian putih, yang tak lain Ki Buleleng.
Gigi lelaki bercambang bauk lebat itu jadi ber-gemeletak. Lalu seketika dia melompat masuk dalam kancah pertarungan antara Ki Buleleng melawan anak buahnya. Padahal, saat ini Kepala Desa Banyu itu ten-gah menerjang dengan sebuah tusukan ke arah leher lawannya.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana kemari, ketika serangan Kepala Desa Banyu itu dipapak golok besar milik lelaki bercambang bauk lebat ini. Seketika itu pula tubuh Kepala Desa Banyu terpental kembali ke belakang. Demikian pula lelaki bercambang bauk itu.
Jliggg!
Begitu berhasil mendarat di tanah, Ki Buleleng langsung menatap sosok yang telah membuat seran-gannya kandas.
"Siapa kau?!" tanya Ki Buleleng, keras.
"Ha ha ha...!" lelaki bercambang bauk lebat ter-tawa bergelak penuh kegembiraan. "Aku adalah pimpi-nan rombongan ini. Prakosa, namaku! Jelas?!"
"Prakosa...?!" Tanpa sadar, Ki Buleleng mendesiskan nama itu penuh perasaan kaget. Sebuah nama yang telah selalu sering didengarnya.
Memang, Prakosa adalah seo-rang kepala rampok yang memiliki kepandaian tinggi dan berwatak kejam. Entah, telah berapa banyak desa yang telah dibuat porak-poranda hanya untuk menculik wanita-wanita! Sungguh sama sekali tidak disangka kalau Ki Buleleng sekarang akan bertemu tokoh yang mengiriskan hati ini.
"Rupanya kau mengenalku, Tua Bangka! Tapi itu tidak mengubah nasibmu! Bersiaplah untuk mati...!" ancam pemimpin perampok yang ternyata ber-nama Prakosa.
"Kaulah yang akan mati di sini, Prakosa! Hiyaaat...!" Ki Buleleng mendahului melancarkan serangan. Pedangnya ditusukkan ke arah perut kepala rampok itu. Seketika terdengar bunyi berciutan yang cukup nyaring mengiringi serangannya.
"Hmh...!" Prakosa mendengus melihat serangan itu. Se-cercah senyum mengejek tampak tersungging di bibir-nya. Dan masih dengan senyum penuh ejekan, ka-kinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh. Maka tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan ping-gangnya. Dan sebelum Ki Buleleng berbuat sesuatu, Prakosa telah lebih dulu menggerakkan tangan.
Wuttt! Tappp!
Tahu-tahu saja pedang di tangan Ki Buleleng telah lebih dulu tercengkeram tangan Prakosa! Karuan saja, hal ini membuat Kepala Desa Banyu terkejut bukan kepalang. Buru-buru senjatanya ditarik kembali agar bisa lepas dari cengkeraman lawan.
Tapi usaha Ki Buleleng sia-sia belaka. Betapapun seluruh tenaganya telah dikerahkan, tetap saja pedang itu tidak bergeming. Dan wajahnya pun seketika merah padam. Seakan-akan, yang mencengkeram pedangnya adalah sebuah penjepit baja!
Berbeda dengan Ki Buleleng, wajah Prakosa terlihat biasa-biasa saja. Malah tidak terlihat adanya tan-da-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga. Mendadak...
Krakkk!
Bunyi berderak keras terdengar ketika Prakosa menggerakkan tangan untuk meremas pedang Kepala Desa Banyu itu hingga hancur berkeping-keping. Padahal, saat itu Ki Buleleng tengah berusaha sekuat te-naga menarik senjatanya. Tak pelak lagi, tubuh Kepala Desa Banyu ini pun terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tapi Ki Buleleng ternyata tidak mudah dipecundangi begitu saja. Meski agak terhuyung-huyung, kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang mampu dipatahkan.
Wajah Ki Buleleng langsung memucat. Sepasang matanya menatap berganti-ganti pada pedang yang tinggal setengah di tangannya. Sementara pada jemari Prakosa, terlihat potongan pedang yang telah hancur teremas.
Kepala Desa Banyu ini pun memang telah men-dengar berita kalau Prakosa mempunyai sebuah ilmu yang membuat kedua tangannya sekuat baja! Dan sekarang, telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jari-jari tangan Prakosa benar-benar luar biasa!
DUA
Meskipun perasaan gentar merayapi hati, na-mun Ki Buleleng pantang mundur. Apalagi ia tahu, Prakosa tidak bakal mengampuninya. Maka tidak ada jalan lain, kecuali melakukan perlawanan mati-matian.
"Hiyaaat...!" Ki Buleleng berteriak keras. Pedang di tangannya yang telah tinggal setengah ditusukkan cepat ke arah leher Prakosa.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin rampok ini tidak mengalami kesulitan untuk mementahkan serangan. Tanpa menggeser kakinya, Prakosa mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu lewat beberapa jari di sebelah kiri lehernya. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kiri Prakosa dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah dada Ki Buleleng.
Menerima kenyataan yang tidak disangka-sangka, Ki Buleleng menjadi gugup bukan kepalang. Rasanya memang tidak ada jalan lain, kecuali menangkis. Maka seketika tangan kirinya bergerak memapak serangan yang bisa saja dapat mengirim nyawanya ke alam baka.
Prattt!
"Akh...!" Ki Buleleng menjerit memelas ketika benturan terjadi. Tubuhnya seketika melayang ke belakang. Bahkan tangan yang berbenturan terasa sakit bukan kepalang. Dan yang lebih mencengangkan hati, bagian tubuhnya yang sebelah kiri seperti lumpuh!
Dan kali ini, Ki Buleleng rasanya memang tidak mampu mematahkan kekuatan yang membuat tu-buhnya meluncur. Maka dengan keras, tubuhnya ja-tuh di tanah menimbulkan bunyi berdebuk.
"Ha ha ha...!" Prakosa tertawa bergelak. Dengan langkah lambat dihampirinya Ki Buleleng yang tergolek di ta-nah. Saat itu, Kepala Desa Banyu ini memang tidak mampu berbuat apa-apa. Sebelah tubuhnya yang lum-puh, membuatnya tidak mampu bergerak.
Sudah dapat dipastikan nyawa Ki Buleleng akan berakhir di tangan Prakosa! Sementara Kepala Desa Banyu itu pun menyadarinya. Meskipun demikian, hatinya tidak gentar. Bahkan sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar, untuk melihat Prakosa yang tengah melangkah perlahan-lahan menghampirinya.
Selangkah demi selangkah, jarak antara Prakosa dengan Ki Buleleng semakin dekat. Lelaki bercambang bauk lebat ini tidak memperhatikan lagi per-tarungan yang tengah berlangsung di sekitarnya. Dia tahu, anak buahnya tengah terus mendesak ke lambung desa. Tapi di saat gawat bagi keselamatan Ki Buleleng, mendadak....
"Haaat...!" Diawali teriakan nyaring yang memekakkan telinga, sesosok bayangan coklat meluruk ke arah Prakosa, membawa serangan dari atas laksana seekor garuda menerkam mangsa. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, diluncurkan deras ke arah pelipis.
"Eh...?!" Prakosa jadi terperanjat. Disadari akan adanya ancaman maut ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Bunyi angin yang mengiringi tibanya serangan, menunjukkan kalau tenaga dalam pemiliknya tidak dapat disamakan dengan Ki Buleleng!
Itulah sebabnya, lelaki bercambang bauk lebat ini tidak berani bertindak main-main. Buru-buru kedua tangannya diayunkan dengan pengerahan tenaga penuh untuk memapak.
Prangngng!
Bunyi keras seperti benturan logam keras ter-dengar, ketika dua pasang tangan beradu. Akibatnya, tubuh satu sama lain sama-sama terjengkang ke arah yang berlawanan.
Jliggg!
Tepat begitu Prakosa berhasil menguasai keseimbangan, sosok berpakaian coklat itu pun mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Keparat! Sungguh berani kau main gila den-ganku?! Siapa kau?!" bentak Prakosa, keras penuh kemarahan. Kedua tangannya yang bergetar hebat dan kuda-kudanya yang terbongkar akibat benturan tadilah menyebabkan kemarahannya. Dan sekarang, dengan sepasang mata menyala-nyala, Prakosa merayapi sosok yang telah melancarkan serangan terhadapnya.
Dia ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya tirus mirip tikus. Pakaian sederhana berwarna coklat membungkus tubuhnya yang tegap.
"Kau memang lupa, atau hanya berpura-pura saja, Prakosa?!" lelaki berpakaian coklat malah balik mengajukan pertanyaan.
Prakosa terperanjat mendengar sambutan lelaki berpakaian coklat itu. "Bangsat! Rupanya kau memang benar-benar orang tak waras! Kalau begitu, lebih baik kukirim saja kau ke neraka!" dengus Prakosa.
Belum lenyap gema dengusannya, lelaki bercambang bauk lebat itu telah meluruk ke arah lelaki berpakaian coklat dengan sebuah serangan. Begitu dekat, Prakosa melancarkan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada.
"Hmh!" Lelaki berpakaian coklat itu mendengus, seperti mengejek begitu melihat serangan. Sikap yang ditun-jukkan agaknya amat memandang rendah lawan. Dan sebelum serangan itu sempat mengenai sasaran, langsung dipapaknya dengan tinju kanan.
Dukkk!
Bunyi keras langsung terdengar, ketika kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam berbenturan keras. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur. Hanya saja, Prakosa selangkah lebih jauh dibanding lelaki berpakaian coklat yang hanya terhuyung tiga langkah. Jelas, bisa diduga tenaga dalam lelaki berpakaian coklat itu lebih kuat dari Prakosa!
Seringai kesakitan yang tampak di bibir Prakosa, semakin memperjelas kenyataan kalau tenaga dalamnya kalah jauh. Memang, tulang-tulang ta-ngannya terasa sakit-sakit bukan main akibat ben-turan itu.
Meskipun demikian, hal itu tidak dipeduli-kannya. Begitu berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, tubuhnya langsung merangsek maju. Dan serangkaian tendangan bertubi-tubi langsung dikirimkan.
Terjangan Prakosa langsung mendapat tangapan tak kalah gencar dari lelaki berpakaian coklat itu. Sesaat kemudian, kedua belah pihak mulai terlibat pertarungan sengit!
Sementara itu dalam pertarungan lain, tam-paknya anak buah Prakosa terus mendesak para pen-duduk untuk terus masuk ke dalam desa. Sudah bisa ditebak, penduduk Desa Banyu akan mengalami nasib yang naas.
"Aaakh...!"
Lolong keras menyayat hati kembali terdengar ketika golok salah seorang anggota gerombolan Prakosa, menembus perut salah seorang penduduk hingga tembus ke punggung. Tubuh penduduk yang naas itu pun ambruk di tanah, ketika golok yang menembus tubuhnya dicabut. Setelah menggelepar di tanah, nyawanya pun melayang ke alam baka dengan tubuh bersimbah darah.
Dan kini jumlah penduduk Desa Banyu yang masih terus mengadakan perlawanan sambil mundur, paling banyak tinggal sepuluh orang. Sisanya telah bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Sedangkan di pihak gerombolan liar itu, tak satu pun yang terluka.
Sudah dapat dipastikan, para penduduk yang tersisa ini pun tidak dapat mempertahankan hidupnya. Apalagi para perampok itu terus memburunya tak kenal ampun.
Di saat gawat itu, mendadak melesat dua sosok bayangan putih dan ungu ke dalam kancah pertarungan. Dan selagi berada di udara, dua sosok bayangan ini mengibas-ngibaskan tangannya. Maka dari tangan yang bergerak mengibas itu menyeruak angin keras ke arah gerombolan perampok. Akibatnya, anak buah Prakosa ini bertumbangan ke belakang laksana daun-daun kering diterbangkan angin!
Jliggg! Jliggg!
Dua sosok bayangan itu langsung mendarat secara mantap di tanah, membelakangi penduduk Desa Banyu! Mereka ternyata sepasang anak muda yang berwajah menarik. Yang pemuda berwajah tampan dan jantan. Pakaian berwarna ungu membungkus tubuhnya yang kekar. Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan, membuatnya kelihatan matang!
Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis berpakaian putih. Wajahnya cantik jelita laksana bidadari. Rambutnya yang panjang berwarna hitam dan terlihat indah, dibiarkan tergerai. Sehingga, semakin menam-bah kecantikannya!
"Iblis-iblis keji...!" maki gadis berpakaian putih, tanpa dapat menyembunyikan perasaan geramnya. "Orang-orang seperti kalian tidak layak dibiarkan hidup!"
Seiring keluarnya suara bernada geram, gadis berpakaian putih itu menghampiri anak buah Prakosa yang telah bangkit dan siap melakukan perlawanan. Menyadari kalau gadis berpakaian putih itu bukan lawan ringan, belasan orang kasar itu bersikap waspada. Mereka melangkah lambat-lambat, seraya bergerak menyebar.
Meskipun tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan menghadapi keroyokan, tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak kelihatan kalau akan memberi bantuan. Bahkan malah menjauhi tempat itu, seperti sengaja membiarkan rekannya.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu rupanya membuat para penduduk Desa Banyu merasa heran, sekaligus khawatir terhadap nasib gadis berpakaian putih ini.
"Mengapa kau tidak membantunya, Kisanak? Apakah manusia-manusia biadab itu akan kau biarkan membunuhnya?" tanya seorang penduduk yang bertubuh kecil kurus, tanpa menyembunyikan rasa herannya, dengan napas kembang kempis setelah bertarung.
"Rasanya belum perlu, Kisanak. Mudah-mudahan Melati dapat mengatasinya," jawab pemuda berambut putih keperakan itu, penuh kerendahan. "Dan lebih baik kalian menyingkir."
Memang, gadis cantik berpakaian putih itu adalah Melati, kekasih Dewa Arak. Sementara pemuda tampan berambut putih keperakan itu tak lain dan tak bukan adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak sendiri!
Dalam pengembaraan mereka kini, sepasang pendekar itu harus berhadapan dengan manusia-manusia beringas, yang tak mengenal belas kasih. Tak heran sewaktu mereka melihat pertarungan yang tak seimbang, langsung saja berkelebat untuk menyelamatkan penduduk Desa Banyu.
Lelaki bertubuh kecil kurus itu pun terdiam. Perhatiannya dialihkan pada rekan-rekannya untuk meminta pendapat. Tapi mereka semua mengangkat bahu. Memang tidak ada pilihan, kecuali menyingkir dari tempat itu. Dan kini, pemuda berjuluk Dewa Arak pun telah menyingkir.
Sementara para penduduk Desa Banyu tampak masih diliputi rasa khawatir. Mereka tahu, betapa lihainya para perampok itu. Mereka saja yang bertenaga kuat tidak mampu melawan, apalagi gadis berpakaian putih yang tadi disebut bernama Melati itu? Maka dengan rasa gelisah, mereka mengarahkan pandangan pada kancah pertarungan Melati.
Saat ini, Arya mengarahkan pandangan ke arah pertarungan yang akan berlangsung. Tampak gerombolan perampok itu telah mulai mengepung Melati. Senjata-senjata mereka telah diputar-putar, menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan.
Di pihak lain, sikap Melati tampak tenang. Bahkan cenderung tidak peduli. Tindak-tanduknya se-perti tidak hendak bertarung.
"Haaat...!"
Salah seorang di antara perampok itu berteriak keras, langsung melompat menerjang. Goloknya dibabatkan secara mendatar ke arah leher Melati. Maksud-nya jelas, hendak memisahkan kepala gadis berpa-kaian putih itu dari tubuhnya.
Pada saat yang bersamaan, anggota perampok yang lain melancarkan serangan. Keadaan Melati memang membuat deg-degan para penduduk Desa Banyu. Betapa tidak? Hujan senjata mengancam kese-lamatan nyawanya.
Tapi nyatanya Melati tetap bersikap tenang. Sedikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau akan melakukan elakkan atau tangkisan. Baru ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, gadis berpakaian putih itu bertindak. Kakinya cepat dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Langsung dilewatinya kepala lawan-lawannya. Akibatnya, semua se-rangan anak buah Prakosa hanya mengenai tempat kosong.
Gerakan Melati demikian cepat, sehingga para perampok itu tidak sempat mengetahui kejadiannya. Yang mereka tahu, serangan yang dilancarkan hanya mengenai tempat kosong, dan yang menjadi sasaran telah berada di luar kepungan.
Melihat hal itu, anak buah Prakosa tidak menjadi ciut nyalinya. Bahkan mereka kembali melancarkan serangan susulan. Maka pertarungan sebentar saja sudah berlangsung sengit.
Anak buah Prakosa mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Senjata-senjata di tangan berkelebat cepat mencari sasaran di tubuh gadis itu. Namun, gerakan Melati terlalu cepat untuk dapat dijadikan sasaran. Lincah laksana kera dan gesit bagaikan bayangan, tubuh gadis itu berkelebatan ke sana kemari, di antara kelebatan senjata lawannya.
Sebaliknya, serangan balasan Melati selalu saja membuahkan hasil. Setiap kali tangan atau kakinya yang berisi tenaga dalam tinggi bergerak, sudah dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk dan tidak bangkit lagi untuk selamanya. Mati!
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tinggal enam orang anak buah Prakosa yang masih mampu melanjutkan pertarungan. Itu pun, perlawanan yang tidak mengandung arti sama sekali. Dan sebenarnya, berakhirnya pertarungan tinggal menunggu waktu saja. Melati yang berada di atas angin kelihatan lebih berpeluang untuk mengakhirinya.
Dan semua kejadian itu tidak luput dari perhatian Prakosa yang sibuk bertarung melawan laki-laki berpakaian coklat. Setiap kali matanya melirik ke arah anak buahnya, saat itu pula rasa khawatir bergayut di hatinya. Disadari kalau pihaknya berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Keadaan dirinya sendiri sudah kurang baik.
Memang bila dibandingkan anak buahnya, Prakosa masih lebih beruntung! Dia hanya berhadapan dengan laki-laki berpakaian coklat. Entah, apa jadinya kalau gadis berpakaian putih yang dihadapinya. Belum lagi pemuda berambut putih keperakan juga belum ikut campur. Kalau gadis itu saja sudah sedemikian sakti, apalagi yang pemuda!
Atas dasar pemikiran itulah, Prakosa mulai memikirkan keputusan yang semula tidak ada di benaknya. Mencari selamat!
"Hih!" Pada satu kesempatan yang ada, lelaki bercambang bauk lebat ini mengibaskan tangannya.
Brrr!
Seketika kumpulan debu dalam warna tidak jelas, meluruk ke arah lawan. Karuan saja hal ini membuat lelaki berpakaian coklat itu terkejut bukan kepalang. Dia tidak berani bertindak gegabah, karena bukan tidak mungkin debu itu mengandung racun ganas.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, lelaki berpakaian coklat itu membanting tubuhnya ke kanan dan bergulingan menjauh. Dan kesempatan itu pun dipergunakan Prakosa sebaik-baiknya untuk melarikan diri. Cepat laksana kilat tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu.
"Keparat!"
Begitu berhasil bangkit, lelaki berpakaian coklat itu memaki-maki kalap, ketika melihat Prakosa telah berada jauh di depan. Meski tidak mungkin akan dapat mengejar, tetap saja dilakukan oleh laki-laki berpakaian coklat itu.
"Melati...! Tahan...!"
Seruan keras bernada cegahan yang keluar dari mulut Dewa Arak, hampir berbarengan dengan melesatnya tubuh lelaki berpakaian coklat yang mengejar Prakosa. Dan Melati yang saat itu telah siap mengirimkan serangan mematikan pada dua lawannya yang ter-sisa, jadi menghentikan gerakannya. Dan kepalanya pun menoleh ke belakang, menatap Dewa Arak dengan sorot mata tidak puas.
Tentu saja Dewa Arak menyadari ketidak-puasan gadis itu. Maka buru-buru pemuda berambut putih keperakan itu menghampiri. Tapi, nyatanya kesempatan itu dipergunakan dua lawan Melati untuk menusukkan golok ke perut sendiri.
Jreppp! Jreppp!
"Akh, akh...!"
Seketika jeritan pendek tertahan mengiringi robohnya tubuh mereka ke tanah. Karuan saja tindakan yang tidak disangka-sangka ini membuat Dewa Arak, apalagi Melati, seperti terpaku tak percaya. Dan akhirnya tindakan yang dapat dilakukan hanya melesat menghampiri. Barangkali saja mereka dapat melaku-kan sesuatu, sebelum dua orang itu tewas.
Tapi harapan sepasang pendekar muda itu sia-sia. Dua anak buah Prakosa itu telah lebih dulu tewas. Dewa Arak dan Melati hanya dapat saling berpandangan, sebelum akhirnya mengangkat bahu.
* * *
TIGA
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Bunyi lecutan cambuk yang diselingi bentakan-bentakan keras penunggang kuda terdengar, membelah suasana pagi. Itu pun masih ditambah dengan derap langkah kaki kuda.
Suasana pagi ini memang cerah. Sang Surya yang belum lama menampakkan diri, memancarkan sinarnya yang lembut di ufuk timur. Angin pun berhembus pelan, lembut membelai kulit.
Tapi suasana seperti itu sama sekali tidak menarik perhatian seorang lelaki berpakaian hitam yang menunggang kuda bagai dikejar setan. Wajahnya yang terlihat angker dengan cambang bauknya semakin angker saja ketika dia berusaha mempercepat lari kudanya.
Ctarrr!
Lelaki bercambang bauk lebat itu kembali me-lecutkan cambuknya, binatang tunggangannya berlari lebih cepat! Padahal, kuda berwarna coklat mulus yang ditungganginya kini telah berlari sangat cepat, dan te-lah mendengus-dengus kelelahan.
Namun laki-laki itu seperti tidak peduli. Sementara debu tampak mengepul tinggi di udara, tersepak kaki-kaki binatang itu saat berlari. Kuda itu memang tengah melalui jalan tanah berdebu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, lelaki bercambang bauk lebat itu melecutkan cambuknya kembali. Sedangkan pandangannya diarahkan ke depan.
Dan baru saja pandangannya tertuju ke depan, sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat ini terbelalak lebar. Ternyata sekitar lima belas tombak di depannya, telah berdiri sesosok tubuh. Sosok terbungkus pakaian hitam mengkilap itu berdiri tepat di tengah-tengah jalan yang akan dilalui lelaki bercambang bauk lebat ini. Maka dapat diduga, sosok itu memang bermaksud menghadang perjalanannya.
Dengan hati masih bertanya-tanya, lelaki bercambang bauk lebat itu memperlambat laju kudanya. Dan pandangannya tetap diarahkan pada sosok yang menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa sebenarnya sosok yang begitu usil itu!
Semakin lama, jarak antara kedua orang yang bakal bertemu di tengah jalan ini semakin dekat Dengan sendirinya, ciri-ciri sosok yang menghadang jalan semakin terlihat jelas oleh lelaki bercambang bauk lebat itu.
"Ah...!" Jeritan keterkejutan keluar dari mulut lelaki bercambang bauk lebat, ketika telah melihat jelas sosok yang menghadang perjalanannya. Sosok terbungkus pakaian hitam mengkilap ini mengenakan topeng harimau, sehingga wajah aslinya tidak bisa dikenali.
Namun bisa diduga, kalau sosok ini adalah seorang lelaki, bila melihat potongan tubuhnya. Dan agaknya lelaki bercambang bauk lebat itu sudah mengenai penghadangnya.
"Hm..., rupanya Harimau Baja! Mengapa kau ada di sini?! Baru saja aku bermaksud menemuimu," sapa lelaki bercambang bauk lebat itu, pelan.
Setelah berkata demikian, lelaki bercambang bauk lebat itu melompat turun dari punggung kudanya. Kemudian binatang itu dituntun untuk menghampiri orang penghadang perjalanannya.
"Hmh!" dengus lelaki bertopeng harimau yang ternyata berjuluk Harimau Baja.
Karuan saja hal ini membuat lelaki bercambang bauk lebat itu terkejut. Tapi, buru-buru ditutupinya dengan senyuman lebar. Sedangkan kakinya terus terayun mendekati Harimau Baja.
"Tidak usah berpura-pura, Prakosa!" sentak Harimau Baja, kasar!
Seketika itu pula, langkah lelaki bercambang bauk lebat yang memang Prakosa berhenti. Mulai disadari akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Makanya, dia langsung bersikap waspada. Dan sekarang, Prakosa berdiri berhadapan dengan Harimau Baja da-lam jarak tiga tombak.
"Apa maksudmu, Harimau Baja? Aku tak mengerti?" tanya Prakosa, pura-pura tidak tahu.
Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja men-gajukan pertanyaan demikian untuk memastikan kebenaran dugaannya. Dia masih belum tahu pasti, apa maksud Harimau Baja mencegatnya di sini.
"Rupanya kau masih mau mungkir, Prakosa!" tukas Harimau Baja. "Jangan dikira aku tidak tahu tentang kegagalanmu dalam menjalankan tugas! Dan aku tahu, kau bermaksud kabur! Sekarang, bisa kau duga maksud keberadaanku di sini, Prakosa?! Ya, membunuhmu walaupun kau adalah adik seperguruanku!"
Sekarang Prakosa yakin, keributannya dengan kakak seperguruannya tidak bisa dielakkan lagi. Maka dilepaskan tali kekang kudanya.
"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Prakosa pada binatang tunggangannya.
Seperti mengerti perintah, kuda coklat itu berlari congklang meninggalkan majikannya, menuju hamparan rumput hijau yang terletak di kanan dan ki-ri jalan itu.
Harimau Baja menatap kuda coklat itu sesaat, kemudian mulutnya menyunggingkan senyum keji. "Seekor kuda yang baik, hehhh...?! Sayang sekali kalau harus kehilangan majikannya...!" desis Harimau Baja, dingin dan datar.
Hari Prakosa kontan tercekat. Disadari kalau lelaki bertopeng harimau ini tidak hanya memberi ancaman kosong belaka. Apalagi juga disadari kalau lelaki bertopeng harimau ini memiliki kepandaian tinggi. Tapi, tentu saja dia tidak sudi memberikan nyawanya secara percuma!
Wuttt!
Deru angin keras terdengar ketika serangan perdana Prakosa meluncur, yang disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Serangannya dibuka dengan sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis!
"Hmh...!" Harimau Baja hanya mendengus melihatnya. Sikapnya pun terlihat tenang dengan berdiri tetap pa-da tempatnya. Tak ada tanda-tanda kalau serangan itu akan ditangkis atau dielakkan.
Baru ketika serangan menyambar dekat, tangan kirinya bergerak memapak sambil lalu! Dari sikapnya menunjukkan, serangan Prakosa tak patut untuk dihadapi secara sungguh-sungguh.
Meskipun heran, Prakosa sama sekali tidak mempedulikannya. Saat itu yang ada di benaknya hanya satu, merobohkan Harimau Baja secepat mungkin.
Takkk!
"Akh!" Jeritan kesakitan keluar dari mulut Prakosa ketika tangannya berbenturan dengan tangan Harimau Baja. Rasa sakit dan ngilu seketika mendera bagian tangannya yang beradu! Bahkan tubuhnya sampai terhuyung ke belakang.
Nyatanya ini cukup membuat Prakosa kaget. Benarkah tenaga Harimau Baja sedemikian kuat nya, sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung? Padahal, jelas terlihat kalau lelaki bertopeng harimau itu seperti tidak mengerahkan tenaga!
Dan belum lagi kekagetan harinya lenyap, dengan kecepatan menakjubkan, tangan kiri Harimau Baja telah meluncur cepat. Dan...
Tappp!
Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Prakosa telah tercekal! Karuan saja hal itu membuat lelaki ber-cambang bauk lebat ini gugup. Dengan sebisa-bisanya diusahakan untuk membebaskan tangannya yang ter-cekal dengan cara menarik.
Tapi usahanya ternyata sia-sia belaka. Betapapun Prakosa telah berusaha sekuat tenaga untuk menarik, tetap saja tidak bergeming.
"Keluarkan semua tenagamu, Prakosa," ujar Harimau Baja dengan mulut menyunggingkan senyum mengejek.
Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa harus menerima kenyataan mengejutkan. Baru disadari ka-lau kini Harimau Baja telah memiliki kepandaian amat tinggi! Dan itu terbukti, dengan ketidakberhasilan nya dalam melepaskan tangannya dari cekalan Harimau Baja!
"Ha ha ha...!"
Berbeda dengan Prakosa yang sampai mengeluarkan suara keluhan, Harimau Baja masih mampu tertawa-tawa. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam Harimau Baja jauh di atas Prakosa!
"Sekarang giliranku, Prakosa!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, Harimau Baja sudah meremas tangan Prakosa.
"Akh!" Prakosa kontan melolong kesakitan seiring ter-dengarnya bunyi berkerotokan tulang-belulangnya yang hancur berantakan. Dan sebelum Prakosa sempat berbuat sesuatu, Harimau Baja tiba-tiba menarik tangannya. Akibatnya, tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tertarik ke depan, dengan sambungan tulang bahu terlepas. Memang betapa kerasnya sentakan itu!
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Hari-mau Baja. Kali ini tangannya bergerak menyampok! Tak tanggung-tanggung, sasaran yang dituju ternyata pelipis yang merupakan salah satu bagian yang mematikan!
Prakosa tentu saja sadar akan adanya ancaman maut. Pikirnya, kalau mengelak jelas itu tindakan mustahil. Maka diputuskannya untuk menangkis. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kirinya segera diangkat untuk melindungi pelipis.
Takkk!
"Akh!" Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa memekik kesakitan. Bunyi berderak keras yang menyertai benturan tadi menjadi pertanda kalau tulang tangannya telah patah. Dan yang lebih mengenaskan, saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu, tubuhnya sampai terjengkang ke belakang hingga memuntahkan darah segar. Begitu tubuh Prakosa tengah melayang, Harimau Baja cepat mengibaskan tangan kanannya.
Singngng!
Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika se-buah benda berkilat meluncur ke arah leher Prakosa. Sementara Prakosa sendiri memang sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum benda berkilat yang ternyata pisau itu menghunjam sasaran, dari arah yang berlawanan melesat seleret benda berwarna gelap. Dan....
Takkk!
Bunyi keras langsung terdengar ketika benda berwarna gelap yang ternyata sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki telak menghantam pisau Harimau Baja. Akibatnya, pisau itu runtuh sebelum mencapai sasaran. Dan Prakosa pun langsung jatuh berdebuk keras, tak mampu bertarung lagi. Bahkan napasnya pun tinggal satu-satu.
Harimau Baja menatap tajam penuh kemarahan pada dua sosok yang telah berdiri di hadapannya. Yang satu, seorang pemuda berambut putih keperakan. Dia berdiri di depan Prakosa yang terbaring le-mah. Sedangkan satu lagi adalah seorang gadis berpakaian putih yang langsung memeriksa keadaan Prakosa. Siapa lagi mereka kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Keparat!" Harimau Baja memaki penuh geram. Sepasang matanya yang mencorong tajam dalam gelap, menjadi pertanda kalau hatinya tengah murka terhadap orang yang telah lancang menggagalkan serangannya. Memang, Aryalah yang telah melemparkan kerikil untuk menyelamatkan Prakosa dari kematian yang lebih mengenaskan.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Anjing Cilik?! Sekarang, terimalah kematianmu! Ssshhh...!"
Bunyi mendesis keras seperti ular besar yang tengah murka terdengar, ketika Harimau Baja mulai mengejangkan kedua tangannya. Jari-jari tangannya yang menegang penuh kekuatan lurus ke depan, mengarah pada Dewa Arak.
Bunyi mendesis yang keluar dari mulutnya semakin keras seiring keluarnya asap tipis mengepul dari sekujur tubuh Harimau Baja. Dan semakin lama, asap itu semakin tebal. Bahkan ada hawa dingin yang menyebar dari tubuh Harimau Baja. Inilah ilmu andalan lelaki bertopeng harimau itu, ilmu 'Ular Es'!
"Ssshhh...!" Diawali suara mendesis keras yang membuat bulu kuduk berdiri, Harimau Baja menghampiri Dewa Arak dengan langkah-langkah silang. Sepasang matanya yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merayapi sekujur tubuh lawannya. Jelas, dia tengah mencari celah-celah yang akan dijadikan sasaran.
Sementara, Dewa Arak pun menghampiri lawannya dengan langkah sembarangan saja. Bahkan terkadang terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Setiap kali kakinya melangkah setindak ke depan, tapi segera kembali mundur tiga tindak ke belakang. Itu pun sambil terus menuangkan arak ke dalam mulut. Dan hal ini membuat Harimau Baja terheran-heran.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Tak lama kemudian, jarak antara mereka telah menjadi dekat. Dan saat itulah Harimau Baja menerjang Dewa Arak.
"Ssshhh...!" Diawali bunyi desisan yang tidak pernah putus sejak tadi, Harimau Baja mulai melancarkan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati!
Cit, cit, cit!
Bunyi berdecit nyaring terdengar, begitu kedua tangan Harimau Baja meluncur menuju sasaran. Dari sini saja bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam serangannya. Cepat bukan kepalang serangan itu meluncur. Padahal Dewa Arak masih sibuk menenggak araknya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian terasa hawa hangat berputar di dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu, perlahan-lahan hawa hangat itu naik ke atas. Maka Dewa Arak pun semakin oleng sana-sini.
Dewa Arak memang telah dapat memperkirakan kalau lawan yang dihadapinya adalah tokoh tangguh. Maka tanpa ragu-ragu segera dikeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Di dalam pengerahan ilmu 'Belalang Sakti'. Dewa Arak cepat menjejakkan kakinya, begitu serangan Harimau Baja meluncur dekat. Tubuhnya langsung melayang melewati kepala lawan. Sehingga serangan-serangan Harimau Baja hanya lewat di bawah kakinya.
Sementara dalam keadaan masih di atas, tubuh Dewa Arak langsung berjungkir balik. Kemudian tan-gan kanannya langsung disampokkan ke arah belakang kepala Harimau Baja.
Wuttt!
Tapi sampokan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong, karena Harimau Baja sudah lebih cepat merendahkan tubuhnya. Jari-jari tangan pemuda berambut putih keperakan itu hanya lewat beberapa jari di atas sasaran, sehingga membuat rambut dan se-luruh pakaian Harimau Baja berkibaran seperti dilanda angin keras. Dari sini saja bisa diketahui, betapa kuat tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Dewa Arak tadi.
Ketidakberhasilan serangan itu rupanya sudah diperhitungkan Dewa Arak. Maka sebuah serangan susulan segera dikirimkan berupa sepakan ke bawah dengan kaki kanan.
Wukkk!
Kali ini Harimau Baja tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Diperkirakannya, bila sepakan kaki itu mengenai sasaran, kepalanya akan hancur berantakan. Maka lelaki bertopeng harimau itu buru-buru mengulurkan tangan kanannya, seraya menoleh ke arah datangnya serangan.
Tappp!
Gila! Patut diacungkan jempol kecepatan perubahan gerakan Harimau Baja. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak telah berhasil dicekalnya. Bahkan secepat itu pula disentakkan.
"Akh!"
Tanpa sadar, Dewa Arak memekik kaget ketika tubuhnya melayang akibat sentakan Harimau Baja. Kejadian itu sama sekali di luar dugaan. Sehingga, pemuda itu tidak sempat berbuat sesuatu.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah melayang, Harimau Baja telah melesat memburu sambil melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah bagian-bagian yang mematikan. Tapi dalam keadaan masih terus melayang, Dewa Arak masih mampu memapak serangan-serangan Harimau Baja.
Plak, plak, plak!
Bunyi tamparan keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi itu hanya berlangsung sebentar saja, karena sesaat kemudian mereka telah saling gebrak kembali. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh berbeda usia yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini. Bunyi menderu yang diringkahi suara mencicit dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Harimau Baja bergerak. Bahkan debu pun sampai mengepul tinggi ke udara.
Melati yang menjadi penonton, terpaksa menyingkir agak menjauh. Sambaran angin serangan ke-dua tokoh yang bertarung itu memang terlalu berbahaya. Terserempet saja, sudah bisa mengakibatkan luka dalam yang cukup parah.
Harimau Baja sebenarnya merasa takjub menyadari hawa panas yang menyebar dari sekujur tubuh Dewa Arak. Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan. Namun, yang membuat lelaki bertopeng harimau itu kelabakan adalah perkembangan ilmu Dewa Arak yang begitu sulit diterka. Terkadang gerakan Dewa Arak lemas seperti tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian keras dan penuh kekuatan. Perubahan ini memang terlalu cepat diduga.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Memang tidak heran, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Tapi menginjak jurus ketujuh puluh satu, Dewa Arak tampak mulai unggul. Memang serangan Dewa Arak yang disertai semburan arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sak-ti' terlalu kuat untuk dihadapi Harimau Baja yang telah mengerahkan ilmu andalannya.
Namun Harimau Baja bukan orang bodoh. Dia pun menyadari kalau Dewa Arak merupakan seorang lawan yang terlalu kuat. Apabila dia berkeras melanjutkan pertarungan, hanya kerugian lah yang didapatkannya. Maka benaknya segera diputar untuk mencari siasat agar dapat melarikan diri.
Di jurus kesembilan puluh enam, dengan gera-kan mengagumkan Harimau Baja mengebutkan tan-gannya. Maka seketika itu pula bubuk-bubuk halus menyebar ke segala arah. Khawatir akan adanya racun, pemuda berambut putih keperakan itu melompat mundur sambil menahan napas.
Kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Harimau Baja. Cepat tubuhnya berbalik, kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan pengerahan seluruh ilmu lari cepatnya.
Tapi ternyata Dewa Arak memang tidak mengejarnya. Malah begitu Harimau Baja telah jauh, pemuda berambut putih keperakan ini berbalik dan menghampiri Melati yang sudah berada di samping Prakosa kembali.
"Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya Arya seraya melirik tubuh Prakosa yang tergolek di tanah.
"Tak bisa ditolong lagi, Kang," jawab Melati.
Gadis itu tidak merasa menyesal karena tidak mampu memberikan pertolongan. Karena yang diketahuinya, Prakosa adalah pimpinan rampok yang kemarin malam melakukan penyerbuan di Desa Banyu.
"Dia menderita keracunan hebat, tulang pergelangan tangannya hancur akibat bertarung dengan lawanmu tadi!" jelas Melati. Dewa Arak hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan kekasihnya.
"O ya, Kang. Sebelum tewas, dia sempat mengatakan kalau penculikan terhadap perawan-perawan itu dilakukan atas ancaman Harimau Baja dan dua kawannya."
"Harimau Baja?" Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya. "Lawan yang kau hadapi itu, Harimau Baja."
"Ohg...!" Arya membentuk bulatan dengan mulutnya.
"Tiga orang itu menggunakannya untuk menuntut ilmu," ujar Melati lagi, menambah ceritanya.
"Ah...!" Kali ini Dewa Arak tidak menahan keterkejutannya. Tampak wajahnya menyiratkan penyesalan. "Kalau saja tahu, tak akan kubiarkan Harimau Baja lolos dari tanganku!"
"Sudahlah, Kang! Tidak usah disesali! Lebih baik kita kejar manusia-manusia seperti Harimau Baja dan kawan-kawannya," ajak gadis berpakaian putih itu.
Dewa Arak mengangguk karena menyadari adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya.
EMPAT
"Uh! Panasnya hari ini. Kerongkongan ku terasa tercekik!" keluh seorang gadis cantik berpakaian putih. Rambut hitamnya yang panjang tergerai, disibak-kannya.
"Kau haus, Melati?" tanya pemuda berpakaian ungu yang memiliki rambut putih keperakan. Dia ber-jalan di sebelah gadis berpakaian putih yang dipanggil Melati.
"Bukan hanya haus, Kang. Tapi juga letih!" sambut Melati cepat.
"Kalau demikian, kita harus cepat-cepat mencari kedai untuk mengisi perut dan sekalian berteduh dari sengatan hawa panas ini," timpal pemuda beram-but putih keperakan yang tak lain Arya alias Dewa Arak.
"Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?" sergah Melati sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Kata-kata Melati memang tidak berlebihan. Di sekeliling tempat ini tidak tampak satu bangunan pun. Yang terlihat hanyalah sebuah tanah lapang luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kesunyian.
"Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku yakin, di sana ada," jawab Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Jadi...," Melati menggantung ucapannya.
"Yahhh..,, kita harus mempercepat perjalanan kalau ingin segera tiba di sana."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sambut Melati bernada tantangan. "Mari kita ke sana."
Usai berkata demikian, Melati lalu mengayun-kan langkah. Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, gadis berpakaian putih itu telah berada dalam jarak sembilan tombak di depan.
Sementara Dewa Arak hanya menggeleng-geleng saja melihat tingkah Melati. Namun sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu segera mengayunkan kakinya untuk menyusul Melati.
Sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu telah berkelebat cepat, seperti saling mengejar. Kini yang terlihat hanyalah dua bayangan berwarna putih dan ungu tengah melesat cepat ke depan.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru beberapa kali lesatan saja mereka telah melihat banyak bangunan di kejauhan. Dan hal ini membuat semangat sepasang pendekar muda itu semakin besar untuk se-gera tiba di sana.
Semakin lama, kedua pendekar itu telah ham-pir dekat dengan bangunan-bangunan yang terlihat di depan. Maka tak lama kemudian, Dewa Arak dan Me-lati menghentikan larinya, agar tidak membuat kejutan pada penduduk setempat.
Kini sepasang anak muda ini meneruskan perjalanan dengan langkah biasa. Pandangan mereka beredar ke sekeliling tempat itu, menatap satu persatu bangunan-bangunan yang ada.
"Sebuah kedai, Kang," desah Melati pelan bernada gembira, ketika sapuan matanya melihat sebuah kedai.
"Benar, Melati. Mari kita ke sana," ajak Arya.
Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah menuju kedai. Sebentar saja, mereka tiba di depan kedai. Di ambang pintu, pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah sebentar dan menge-darkan pandangan ke dalam.
Kedai itu ternyata cukup ramai. Meja yang ter-sedia cukup banyak, telah hampir terisi semua. Hanya tinggal dua buah meja yang kosong, dan berada di tengah ruangan. Setelah merasa cukup mengadakan penilaian, Dewa Arak menghampiri salah satu meja, diikuti Melati di belakangnya.
"Mau pesan apa, Den?" sambut seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, ketika melihat Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku mereka.
''Teh manis seguci kecil, arak seguci besar, ayam panggang dua ekor, dan jagung bakar empat," sebut Dewa Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu, Den," kata laki-laki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai itu. Usai berkata demikian, laki-laki bertubuh kurus itu beranjak menuju ke dalam untuk menyiapkan pesanan Arya.
Sepeninggal pemilik kedai, suasana di meja Dewa Arak pun hening. Baik Dewa Arak maupun Mela-ti tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Masing-masing kini sudah tenggelam dalam pikirannya.
Meskipun kelihatannya tenang-tenang saja, sebenarnya Dewa Arak telah memasang kewaspadaan penuh. Begitu memasuki kedai ini, perasaannya membisikkan akan adanya bahaya yang mengancam. Dan getaran perasaan itu semakin membesar, ketika masuk ke dalam kedai. Terutama sekali, ketika duduk!
Dewa Arak sebenarnya bukan orang yang terlalu menuruti perasaan. Tapi kali ini, bukan perasaannya yang menyimpulkan demikian. Tapi, naluri! Memang, sejak belalang raksasa dari alam gaib berhasil ditarik masuk ke dalam tubuhnya, naluri Dewa Arak semakin tajam.
Dan seiring semakin seringnya belalang raksasa itu masuk ke dalam tubuhnya, Dewa Arak bagaikan seorang manusia dengan naluri binatang. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Makhluk dari Dunia Asing', dan 'Dalam Cengkeraman Biang Iblis').
Dewa Arak tahu, naluri adanya bahaya mengancam itu sama sekali tidak menipunya. Sayangnya, sulit diketahui dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, nalurinya membisikkan adanya bahaya di tempat ini!
Maka tak heran kalau Dewa Arak bersikap waspada. Seluruh urat saraf di tubuhnya menegang. Bahkan ekor matanya pun beberapa kali beredar ke sekeliling. Barangkali saja ditemukan adanya tanda-tanda mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu, belum terlihat adanya hal-hal yang dikhawatirkan.
Tak lama kemudian, pemilik kedai telah kem-bali sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. Di belakangnya, berjalan seorang laki-laki bertubuh kekar, membawa seguci besar arak. Setelah berada di dekat tempat Dewa Arak, me-reka meletakkan semua pesanan itu di atas meja den-gan hati-hati.
"Silakan dinikmati, Den," ujar laki-laki kurus itu mempersilakan.
"Terima kasih, Ki."
Sebentar saja, Dewa Arak mengambil guci araknya yang tergantung di punggung, lalu diletakkannya di atas meja. Sementara, Melati mulai mengambil salah satu potongan ayam panggang dan mem-bawanya ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Pada saat Dewa Arak menuangkan arak di da-lam guci besar ke dalam gucinya, Melati mulai mengunyah santapannya. Di tangan Dewa Arak, guci besar dan berisi penuh arak itu tak ubahnya segumpal kapas.
Enak saja guci itu diangkat dengan satu tangan! Padahal, laki-laki bertubuh kekar yang membawanya di belakang pemilik kedai tadi, membawanya dengan kedua tangan. Itu pun dilakukan sambil mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Dewa Arak baru menghentikan tuangan arak ketika guci peraknya telah penuh. Kemudian, arak dalam guci besar yang masih tersisa banyak itu baru dituangkan ke dalam gelas bambu yang telah disediakan pemilik kedai. Hanya dalam sekejapan saja, segelas arak itu telah berpindah ke perut Dewa Arak. Lalu, diambilnya sebatang jagung dan dimakannya. Namun sebelum jagung habis dinikmati Dewa Arak....
"Kang...," suara panggilan lemah Melati mem-buat Dewa Arak mengalihkan perhatian dari ma-kanan yang tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku pun lemas...," keluh gadis berpakaian putih itu.
"Apa?!" Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular berbisa. Pandangannya langsung dialihkan ke arah makanan dan minuman yang tersaji di atas meja.
"Jangan dilanjutkan makan dan minum mu. Ini semua pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika sepasang matanya terasa berkunang-kunang. Begitu selesai kata-katanya, pemuda berambut putih keperakan itu langsung bangkit. Tapi, saat itu pula....
Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang langsung mencuat ketika semua pengunjung kedai ini menghunus senjata mas-ing-masing. Kemudian mereka langsung menerjang Dewa Arak dan Melati.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing nyaring mengiringi melayangnya senjata-senjata menuju sasaran. Keadaan sepasang pendekar muda itu benar-benar gawat. Terutama sekali Melati, yang benar-benar sudah tidak memiliki daya apa pun. Kepalanya yang pusing, membuat semua yang terlihat jadi berputaran sehingga tidak terlihat jelas.
Untung saja Melati masih bisa mendengar. Dan dengan pendengarannya yang tajam, dia mencoba menerka apa yang terjadi. Kendati demikian, rasa lemas yang amat sangat membuat tubuhnya tak kuasa digerakkan. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya bagaikan lenyap tak tersisa. Kini Melati tak ubahnya seorang bayi yang baru lahir. Dia tidak mampu berbuat apa-apa, selain berdiam diri.
Untung saja di sampingnya ada Dewa Arak. Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, pe-muda berambut putih keperakan itu melesat menyambar tubuh Melati. Lalu....
"Hih!" Dewa Arak berjumpalitan beberapa kali di udara, melewati kepala para penyerangnya. Dan.... Ringan laksana sehelai daun kering, kedua kakinya mendarat di belakang para pengeroyoknya. Sayang, kedudukan kakinya tidak mantap. Rupanya, racun mulai mempengaruhi keadaan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tentu saja para pengunjung kedai yang rupanya memang bermaksud melenyapkan sepasang pendekar ini tidak membiarkan buruannya lolos. Maka begitu melihat Dewa Arak berhasil meloloskan diri, mereka langsung memburu.
Sementara itu, Dewa Arak baru teringat kalau telah terlupa menyambar gucinya. Maka buru-buru tubuhnya melesat kembali ke tempat semula. Tapi kali ini, usaha yang dilakukan tidak mulus seperti sebelumnya. Kedelapan belas orang lawan ternyata telah langsung menghadang maksudnya.
Yang lebih gawat lagi, racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman Melati termasuk racun keras dan berdaya kerja cepat. Dan ini dirasakan betul oleh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan pusing, dan pandangan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya pun semakin lemas, terutama ketika berada di udara.
Rupanya nasib sial masih akrab dengan Dewa Arak. Sebelum maksudnya mengambil guci terlaksana, si pemilik kedai yang rupanya mengetahui maksud pemuda berambut putih keperakan itu, telah lebih dulu membanting guci Dewa Arak ke lantai.
Pyarrr!
Arak memercik ke sana kemari, ketika guci perak Dewa Arak membentur lantai. Tentu saja pusaka murid tunggal Ki Gering Langit itu bukan benda biasa yang gampang pecah. Apalagi, sampai retak. Walau-pun, yang membanting memiliki tenaga dalam tinggi.
LIMA
Begitu guci arak itu mental kembali ke atas, Dewa Arak yang masih memanggul Melati segera melepaskan tendangan ke arah gucinya. Sehingga guci itu semakin tinggi naik ke atas. Dan dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Dewa Arak cepat melesat ke atas, menyambar gucinya.
Tappp!
Begitu berhasil menyambar guci peraknya yang melayang di atas, Dewa Arak kembali mendarat di tanah. Segera dituangnya guci itu ke dalam mulut. Tapi, ternyata tidak ada setetes pun arak yang masuk ke dalam tenggorokannya. Memang semua araknya telah tumpah.
Pada saat itu, belasan orang yang telah gagal menghambat telah meluruk ke arah Arya sambil mengayunkan senjata masing-masing. Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkis dengan gucinya. Biasanya, papakannya di-lakukan dengan tangan telanjang. Tapi, sekarang te-naganya telah banyak yang susut.
Klangngng, klangngng...!
Dentang nyaring diiringi berpijarnya bunga-bunga api ke udara langsung terjadi ketika belasan senjata itu berbenturan dengan guci Dewa Arak.
Akibatnya, tubuh para pengeroyok Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan berge-tar. Sementara Dewa Arak sendiri pun juga terhuyung beberapa langkah. Tak heran, karena belasan senjata lawan membentur gucinya secara bersamaan. Sehingga, tenaga-tenaga itu seperti bersatu saja yang menghasilkan kekuatan besar. Tambahan lagi, saat itu kekuatan pemuda berambut putih keperakan itu telah menurun.
Dewa Arak menggertakkan gigi ketika merasakan kekuatannya semakin menurun. Bahkan penglihatannya juga semakin kabur. Dan rupanya, para pengeroyok mengetahui ke-jadian yang tengah dialami Dewa Arak. Maka, mereka berniat merangsek pemuda itu. Bahkan sedikit pun ti-dak akan memberi kesempatan kepada Dewa Arak.
Kali ini belasan orang berwajah kasar dan bersenjatakan aneka ragam jenis itu menerapkan siasat lain. Mereka tidak langsung menyerang sekaligus, tapi secara berganti-ganti.
Jumlah mereka yang dua belas orang ini memang membuat rencana tidak sulit diwujudkan. Gerombolan itu memulai siasatnya. Enam orang melakukan serangan, sementara sisanya menunggu giliran. Dengan cara seperti ini, diharapkan Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan beristirahat.
"Hiaaat..!"
Teriakan-teriakan melengking nyaring yang saling susul, kontan terdengar ketika enam orang itu memulai serangan. Seketika itu pula, kilatan senjata-senjata tajam beraneka jenis, berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuh Dewa Arak dari berbagai jurusan.
Arya yang memang sejak tadi sudah bersiaga, langsung bertindak. Meskipun sepasang matanya sudah tidak bisa diandalkannya lagi, tapi sepasang telinganya masih bisa dimanfaatkan. Dan dengan menggu-nakan pendengaran, diladeni serbuan lawan-lawannya. Tahu akan keadaan yang tidak menguntungkan, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Tapi, tentu saja kali ini tidak sedahsyat biasanya. Di samping kemampuan Dewa Arak yang tengah menurun, di bahunya pun terpanggul tubuh Melati. Meskipun demikian, bukan berarti kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti' itu pupus. Jurus-jurus yang terdapat dalam ilmu itu, tetap menunjukkan keampuhannya.
"Heit!"
Luar biasa! Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak menghindari serangan lawan-lawannya, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Tapi baru saja serangan itu berhasil dielakkan, serangan susulan kembali menyusul. Kali ini, dilakukan oleh kelompok kedua. Maka untuk yang kedua kalinya beberapa senjata tajam mengancam keselamatan Dewa Arak.
Kali ini pun Dewa Arak berusaha mengelak tanpa melancarkan serangan balasan. Bukan karena apa-apa, yang jelas di benaknya tersusun rencana untuk secepatnya meninggalkan tempat itu, sebelum seluruh tenaga dalamnya habis terkuras.
Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu kalau penyebaran racun akan semakin cepat, apabila peredaran darah mengalir cepat. Dan cepatnya peredaran darah, tergantung banyak tidaknya kegiatan yang dilakukan. Maka tak heran kalau Dewa Arak tidak melakukan perlawanan. Bahkan elakannya pun dilakukan sambil menjauhkan diri.
Enam orang pengeroyok ini tampaknya terlalu bersemangat untuk segera merobohkannya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan melarikan diri. Apalagi, jurus 'Delapan Langkah Belalang' milik Dewa Arak memang terlalu sulit untuk bisa diketahui perkembangannya oleh para pengeroyok. Karena begitu habis mengelak, Dewa Arak langsung menghentakkan kakinya.
Seketika tubuhnya melenting sambil tetap memondong Melati. Dan begitu mendarat, dia langsung melesat Sehingga tanpa diduga para pengeroyok, pemuda berambut putih keperakan itu berhasil meloloskan diri dari sergapan lawan-lawannya. Karuan saja hal itu membuat dua belas orang pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Serentak mereka bergerak mengejar.
"Hendak lari ke mana kau, Dewa Pengecut?!" bentak salah seorang yang berkumis melintang. Seperti juga yang lain, dia memiliki raut wajah kasar dan tubuh kekar.
"Jangan harap untuk bisa lolos dari tangan kami!" sambung yang lain, dengan suara tak kalah keras.
Maka seketika terdengar ejekan-ejekan menyakitkan terhadap Dewa Arak, dari para pengeroyok. Begitu ramai dan keras, membuat telinga jadi panas. Bahkan para pengeroyok itu juga segera mengejar Dewa Arak.
Sementara itu Dewa Arak tentu saja tidak mempedulikannya. Dan apabila menuruti perasaan hati, keselamatan dirinya dan Melati jelas terancam. Jelas-jelas terlihat kalau gerombolan itu bermaksud membinasakan mereka berdua.
Itulah sebabnya, Dewa Arak terus saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia berusaha secepat mungkin meninggalkan lawan-lawannya sebelum kekuatan yang dimilikinya lenyap.
Tapi harapan tinggal harapan. Sewaktu melarikan diri, kekuatan yang dimiliki Dewa Arak memang telah menurun jauh. Dan celakanya, terus melorot secara demikian cepat. Akibatnya, pemuda berambut pu-tih keperakan itu rasanya akan sia-sia untuk segera kabur sejauh-jauhnya dari para pengeroyok. Padahal dia masih berada dalam jarak yang tak jauh dari pengejarnya. Paling tidak, hanya terpaut belasan tombak!
Dan kini seluruh tenaga Dewa Arak mendadak musnah. Rasa lemas yang luar biasa langsung me-nyergapnya. Sekujur tulangnya bagai dilolosi. Lemas tak terkira!
Brukkk!
Tak ampun lagi, tubuh Dewa Arak ambruk di tanah laksana sehelai karung basah. Dengan sendirinya, tubuh Melati pun jatuh pula di tanah. Namun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Pemuda ini masih berusaha keras untuk bangkit. Semangat yang besar karena dorongan ingin menyelamatkan Melati, membuatnya mampu bertahan untuk tidak pingsan.
Tapi usaha Dewa Arak ternyata sia-sia. Rasa lemas yang amat sangat, membuatnya tak mampu berdiri. Padahal, telah diusahakan sekeras-kerasnya.
"Ha ha ha...!"
Tawa dua belas orang pengeroyok Dewa Arak pun meledak, ketika tiba di tempat Dewa Arak tersungkur. Tawa kegembiraan bercampur ejekan. Dan masih dengan tawa yang belum putus, mereka memandangi Dewa Arak yang kembali terjerunuk tak kuat menahan beban tubuhnya. Malahan senjata-senjata tajam para pengeroyok telah siap diayunkan.
Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang seketika mencuat ketika belasan senjata meluruk ke tubuh Dewa Arak. Bahkan sepertinya, masing-masing tak ingin melepaskan kesempatan itu. Maka kematian Dewa Arak tinggal menunggu waktu saja. Apalagi, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum belasan senjata beraneka ragam itu merencah tubuh Dewa Arak, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat cepat, menyambar Dewa Arak dan Melati.
Tappp, tappp!
Cappp, cappp, creppp, jrebbb!
Cepat bukan kepalang gerakan sosok bayangan putih itu, sehingga beberapa senjata tajam yang me-luncur hanya menghantam tanah, tempat Dewa Arak dan Melati tergolek tadi.
"Keparat!"
Pengeroyok yang berkumis melintang menggeram ketika mengetahui senjatanya dan senjata rekan-rekannya sama sekali tidak menemui sasaran. Mereka tahu, dua orang calon korban tadi berhasil diselamatkan oleh seseorang. Memang, dua belas orang pengeroyok tadi melihat kelebatan sosok bayangan putih, meskipun tidak secara jelas. Dan mereka juga tahu arah yang ditempuh sosok bayangan putih tadi. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bergerak mengejar.
Tapi dua belas orang yang rata-rata berwajah kasar dan bertubuh kekar ini kecele! Ternyata sosok bayangan putih itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Sehingga hanya dalam beberapa kali lesatan saja, mereka telah tertinggal jauh. Bahkan akhirnya tubuh sosok bayangan putih itu lenyap dari pandangan mata. Maka terpaksa rombongan pengejar itu menghentikan langkahnya.
"Keparat!"
Untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berkumis melintang itu memaki geram. Amarah yang hebat tampak jelas, baik pada raut wajah maupun nada suaranya.
"Kau kenal orang usilan itu, Kang?" tanya laki-laki yang memiliki bibir tebal dan hitam.
Laki-laki berkumis melintang itu menggeleng. "Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wajahnya, bentuk tubuhnya pun tidak sempat kulihat. Keparat! Orang usilan itu harus mendapatkan ganjaran atas kelancangannya!" desis laki-laki berkumis melintang dengan sorot mata memancarkan dendam.
"Apa yang harus kita laporkan pada sang Ketua, Kang?" tanya salah seorang yang berkulit kuning pucat seperti orang penyakitan.
"Hhh...!" laki-laki berkumis melintang menghela napas berat. "Apa lagi kalau bukan menceritakan apa adanya? Tapi yang jelas, kita semua tidak akan lolos dari hukuman! Hhh...! Padahal, sang Ketua sudah yakin, kalau rencana ini akan berhasil. Sukar kubayangkan kemurkaannya, apabila dia tahu kalau Dewa Arak berhasil lolos dari maut.''
"Tapi, Kang," sergah salah seorang yang mempunyai tahi lalat besar di pipi. "Bukankah Dewa Arak dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun? Aku yakin, nyawa mereka akan melayang. Bukankah racun milik sang Ketua tidak bisa diragukan lagi keampuhannya? Jadi, aku yakin mereka akan tewas!"
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Sampang," kata laki-laki berkumis melintang pada rekannya yang memiliki tahi lalat besar di pipi. "Menurut pengalaman selama ini, Dewa Arak dan rekannya itu akan tewas. Tapi aku yakin sang Ketua tak akan berpendapat seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepala sendiri, dia tak akan percaya kalau Dewa Arak telah tewas. Aku sendiri yakin kalau Dewa Arak tewas! Bahkan tidak mungkin selamat."
Kontan semua mulut dari rekan laki-laki berkumis melintang tertutup. Tidak satu pun ada yang bicara. Mereka tampak terpatri dengan rencana masing-masing.
"Lalu..., sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya laki-laki berkulit kuning.
"Tentu saja melaporkan semuanya pada sang Ketua," jawab laki-laki berkumis melintang, tak bergairah. Usai berkata demikian, laki-laki berkumis melintang itu berbalik.
"Mari kita berangkat," lesu ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berkumis melintang itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka se-gera mengayunkan langkah, mengikuti dari belakang laki-laki berkumis melintang yang telah melesat pergi lebih dulu.
* * *
ENAM
"Uaaah...!"
Arya membuka mulutnya lebar-lebar sambil menggeliatkan tubuhnya untuk melemaskan urat-uratnya yang terasa kaku. Perlahan-lahan sepasang matanya dibuka. Seketika itu pula dia tersentak dari berbaringnya. Sementara, raut wajahnya menampakkan rasa kaget bukan kepalang.
Dewa Arak memandang ke sekeliling. Rupanya dia berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan cukup baik, meski hanya berdinding dari bilik. Sementara tubuhnya yang masih lemas tergolek di sebuah balai-balai bambu. Sedangkan tak jauh darinya, tampak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi dan beberapa buah gelas bambu. Salah satu dari gelas bambu itu tampak masih mengepulkan asap beraroma khas, aroma ramuan obat!
Arya jadi berpikir keras. Berbagai macam pertanyaan bergayut di benaknya. "Mengapa dia berada di sini? Dan di manakah ini?"
Sejenak kemudian semua kejadian yang dialami telah berhasil diingatnya. Waktu dia berada dalam kedai telah diracuni secara licik oleh pemilik kedai palsu. Rupanya, mereka memang sudah merencanakan semua itu untuk membunuhnya. Kemudian Dewa Arak kabur untuk menyelamatkan diri, tapi sebelum maksudnya terlaksana keburu jatuh. Dan akhirnya, pingsan. Jadi, dia belum mati! Lalu, bagaimana nasib Melati?
Ingat akan Melati, membuat Dewa Arak tersentak kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menyeruak. Dan dalam cekaman rasa cemas yang melanda, pandangannya kembali dilayangkan ke sekitar ruangan. Tapi tetap saja kekasihnya tidak diketemukan. Tentu saja ini membuat Dewa Arak cemas.
Rasa khawatir yang amat sangat terhadap kese-lamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut putih keperakan itu berusaha bangkit dari berbaringnya. Tapi....
"Uuuh...!" Tanpa sadar, sebuah keluhan tertahan keluar dari mulut Arya ketika baru saja beringsut. Rasa pusing yang amat sangat langsung mendera kepalanya, sehingga membuat pandangannya seperti berputar.
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan niatnya, dan segera merebahkan tubuhnya kembali di pembaringan. Kemudian matanya dipejamkan untuk menghilangkan rasa pusingnya. Saat itulah Dewa Arak mendengar suara langkah-langkah halus di luar kamar. Semakin lama, semakin jelas tertangkap meskipun tetap tidak jelas. Tampaknya memang ada orang yang tengah menuju tempatnya.
Rasa ingin tahu membuat Dewa Arak membuka matanya. Sedikit pun tidak ada rasa khawatir bila orang yang datang ke tempatnya bermaksud buruk. Justru sebaliknya, Dewa Arak yakin orang itu bermaksud baik, menilik dari tindakan pertolongan yang telah diberikannya. Jelas, orang itulah yang membawanya ke sini, dan memberikan ramuan obat yang kini diletakkan di atas meja.
Kriiit...!
Suara berderit pelan terdengar seiring berge-raknya daun pintu di dalam ruangan Dewa Arak bera-da. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua menyem-bul dari balik daun pintu itu. Seraut wajah yang terli-hat masih segar, meskipun telah ditumbuhi kumis dan jenggot berwarna putih. Warna pakaian yang dikenakannya merah.
"Rupanya kau sudah sadar, Anak Muda," sapa kakek berpakaian merah itu sambil mengayunkan langkah menghampiri Dewa Arak.
"Itu semua berkat pertolonganmu juga, Ki," jawab Arya sekenanya.
"Ah! Matamu sungguh awas, Anak Muda. Dalam keadaan gawat pun, kau masih bisa mengenaliku? Hebat! Benarkah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian merah itu sambil menarik kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan gelas-gelas bambu berada. Kemudian, perlahan-lahan pantatnya diletakkan di kursi itu.
"Apa istimewanya julukan itu, Ki? Aku yakin kau memiliki kepandaian dan julukan yang melebihiku," sambut Dewa Arak berusaha merendah.
"Ha ha ha...!" kakek berpakaian merah tertawa lunak. "Kau terlalu merendah, Dewa Arak. Siapa yang belum mendengar tentang dirimu. Julukanmu begitu menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua tokoh persilatan tahu, kau memiliki kepandaian tidak ada bandingannya. Tak terhitung sudah datuk kaum sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih bersikap rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa Arak!"
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Toh, kenyataannya menghadapi gerombolan orang liar saja aku dan kawanku telah dibuat tidak berdaya. Kalau saja kau tidak datang menolongku, mungkin aku dan kawanku telah tewas. Ah! Ya...! Apakah kau melihat kawanku, Ki?"
Langsung saja Dewa Arak menanyakannya, begitu teringat kembali pada Melati. Perasaan penuh harap tampak jelas dalam sorot wajah dan sinar ma-tanya.
"Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih yang tergeletak di sampingmu?" tanya kakek berpakaian merah memastikan.
"Benar, Ki. Dialah kawanku. Melati, namanya," sambut Dewa Arak, dengan tarikan wajah ceria. "Apakah kau melihatnya?"
Kakek berpakaian merah menganggukkan kepala. "Bukan hanya melihatnya saja, Dewa Arak. Aku pun membawanya pula kemari. Seperti juga kau, dia menderita keracunan hebat. Dan dia kubaringkan di kamar sebelah, setelah kuberikan pengobatan seperlunya."
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. "Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Budi yang kau berikan pada kami terlalu besar."
"He he he...," kakek berpakaian merah tertawa terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini aneh, Dewa Arak. Masih saja meributkan soal budi. Padahal, dibandingkan pengabdianmu pada dunia persilatan, usahaku ini sama sekali tidak berarti apa-apa."
Dewa Arak hanya bisa menyunggingkan senyum kaku. Kini disadari, betapa di dunia ini masih ada orang yang mau mengingat kebaikan orang lain. Ternyata, benih-benih kebaikan yang telah ditanam Dewa Arak, telah menghasilkan buah keselamatan baginya sendiri.
"Kau terlalu merendahkan diri, Ki. Meskipun demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan. Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya Dewa Arak, hati-hati.
"Tentu saja boleh, Dewa Arak. Tapi nanti sajalah. Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lukamu dulu. Kau tahu, Dewa Arak. Racun yang mengendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu amat berbahaya. Racun yang amat ganas dan mematikan."
Kakek berpakaian merah menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. "Untunglah, aku berhasil menjinakkannya. Sekarang, keadaanmu dan juga kawanmu sudah tidak berbahaya lagi. Masalah kesembuhan hanya tinggal menunggu waktu saja."
"Terima kasih atas jerih payahmu, Ki. Keberhasilanmu menyembuhkan kami, menjadi pertanda ka-lau kau bukan orang sembarangan. Boleh kutahu namamu, Ki?!"
Kakek berpakaian merah itu hanya tersenyum tipis. Ditatapnya Dewa Arak dengan sorot mata cerah. "Namaku sederhana saja, Dewa Arak. Blantaka. Tapi orang-orang biasa menyebutku Eyang Blantaka." Akhirnya, keluar juga kata-kata kakek berpakaian merah ini dalam memperkenalkan diri.
"Eyang Blantaka?!" Dewa Arak mengulang nama itu tanpa menyembunyikan rasa kagetnya. "Jadi..., kau Ketua Perguruan Kalong Merah, Ki?!"
"Rupanya kau mengenal perguruanku juga, Dewa Arak?" kakek berpakaian merah yang ternyata bernama Blantaka tersenyum pahit.
"Tentu saja, Ki! Perguruan Kalong Merah amat terkenal. Tapi, masih lebih terkenal namamu! Karena kaulah yang telah membuat Perguruan Kalong Merah yang selama puluhan tahun berlumur noda hitam, menjadi bersih!" ujar Dewa Arak penuh kagum. "Dan kudengar, Perguruan Kalong Merah telah menciptakan banyak pendekar pembela kebenaran. Kau telah berhasil membuat perguruan itu menjadi sebuah perguruan golongan putih! Aku kagum padamu, Ki!"
"Terima kasih atas pujianmu, Dewa Arak," hanya itu yang diucapkan kakek berpakaian merah ini.
Seketika itu pula, benak Ki Blantaka melayang-layang ke masa seratus tahun silam. Leluhurnya, memang seorang datuk golongan hitam yang amat ditakuti. Dengan kesaktian dan kekejamannya yang tiada banding, dibentuklah Perguruan Kalong Merah. Ini hampir sesuai julukannya, Kalong Merah.
Turun-temurun, tiap murid yang menjadi ketua perguruan meneruskan sepak-terjang si Kalong Merah yakni mengacau dunia persilatan. Baru ketika Ki Blantaka yang mempunyai hati bersih menjadi ketua, kebiasaan itu dirombaknya. Tentu saja banyak yang menentang. Namun, semuanya berhasil dipatahkan. Dan benar seperti yang dikatakan Dewa Arak, sekarang Perguruan Kalong Merah berubah menjadi perguruan silat yang beraliran putih.
"Aku tidak memuji, Ki. Tapi, begitulah cerita yang kudengar dalam dunia persilatan," bantah Dewa Arak, halus. Kemudian dengan raut wajah sungguh-sungguh ditatapnya wajah kakek berpakaian merah lekat-lekat "Agar percakapan kita berjalan lebih enak, bagaimana kalau kau memanggil namaku saja, Ki. Namaku yang sebenarnya, Arya Buana. Tapi, orang-orang biasa menyapaku Arya."
"Begitu pun boleh, De..., eh! Arya...!" sambut Ki Blantaka datar. "O ya, Arya. Hampir saja aku lupa. Kau masih harus minum sekali lagi ramuan obatku agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu le-nyap semua."
Ki Blantaka segera mengambil gelas bamboo berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian dide-katkan gelas itu ke mulut Arya. Semerbak ramuan berbau agak pedas tercium hidung Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempedulikannya. Dan tanpa ragu-ragu, diminumnya ramuan obat itu hingga tuntas.
"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu untuk menengok kawanmu. Seperti juga kau, dia pun harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari pengaruh racun itu."
Kemudian tanpa menunggu tanggapan Dewa Arak, Ki Blantaka segera bangkit dan melangkah meninggalkan Dewa Arak. Sementara, Dewa Arak hanya memandangi punggung kakek berpakaian merah itu hingga lenyap di balik pintu.
Lega sudah rasa harinya mendengar Melati berada di situ pula. Dan bahkan akan sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas lagi, sepasang matanya dipejamkan. Memang untuk membunuh waktu, hanya dengan tidur.
* * *
Matahari sudah naik tinggi, bahkan sudah hampir mencapai titik tengahnya ketika tiga sosok tubuh duduk di teras depan sebuah pondok berdinding bilik. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang laki-laki dan seorang wanita. Mereka memang Dewa Arak, Melati, dan Ki Blantaka yang tengah duduk saling berhadapan beralaskan tikar daun kelapa.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padamu, Ki," ucap Arya.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu terlihat sudah cerah kembali, setelah mendapat perawatan dari Ki Blantaka. Dewa Arak benar-benar telah sehat kembali. Seluruh kemampuannya pun telah pulih.
"Ajukan saja, Arya. Kalau bisa, tentu akan kujawab," sambut Ki Blantaka, ringan.
"Terlebih dulu aku minta maaf, Ki. Bukannya bermaksud turut campur, tapi aku hanya merasa heran. Mengapa seorang ketua perkumpulan besar sepertimu, meninggalkan perguruan? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kemurungan yang tengah melandamu?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"Hanya itu yang ingin kau tanyakan, Arya?" tanya Ki Blantaka kalem.
Dewa Arak mengangguk. Sedangkan Ki Blantaka langsung terdiam.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Aku meninggalkan perguruan memang berhubungan erat dengan kemuraman wajahku," ujar Ki Blantaka memulai penjelasan. "Hal ini karena tiga orang adik seperguruanku tidak puas dengan tindakan yang kuambil. Setelah Perguruan Kalong Merah kubawa ke jalan putih, mereka pergi diam-diam. Yang lebih celaka lagi, mereka membawa lari kitab-kitab berisi ilmu-ilmu peninggalan Kalong Merah!"
Sampai di sini, Ki Blantaka menghentikan cerita. Dibasahinya tenggorokan yang terasa kering dengan air ludahnya sendiri. Sekilas ditatapnya Dewa Arak untuk melihat tanggapannya. Tapi ternyata Dewa Arak lebih memilih diam dan mendengarkan.
"Semula aku bersikap diam. Kupikir, kalau mereka memang tidak mau mengikuti jalanku dan ingin menentukan jalan sendiri, biarlah. Tapi kejadian demi kejadian yang menimpa dunia persilatan, memaksaku untuk turun tangan."
"Kejadian apa saja, Ki?" tanya Melati, ingin tahu.
''Penculikan besar-besaran terhadap wanita-wanita yang masih gadis," jelas Ki Blantaka. "Semula aku masih ragu kalau pelakunya adalah adik-adik seperguruanku. Tapi bukti-bukti yang berhasil kudapat, menjelaskan kalau merekalah dalang dari semua kejadian itu."
Dewa Arak mengangguk-angguk. Memang, Prakosa sebelum mati juga telah menjelaskan hal itu. Semula, mereka hanyalah gerombolan perampok biasa. Tapi, ternyata ada seorang tokoh yang memaksa mereka untuk mencari perawan sebanyak-banyaknya. Gagal berarti maut!
Hanya saja Dewa Arak dan Melati tidak menyangka kalau dalang di belakang layar itu adalah pelarian-pelarian dari Perguruan Kalong Merah! Yang mereka tahu, dalang itu adalah seorang tokoh yang berjuluk Harimau Baja!
Dan sebenarnya, Harimau Bajalah yang menundukkan gerombolan demi gerombolan perampok, yang kemudian diperintahkan mencari perawan-perawan. Bagi yang tidak taat, langsung dibinasakan.
"Itulah cerdiknya mereka, Arya. Kalau saja, penculikan-penculikan itu dilakukan sendiri, tentu dalam waktu tak lama aku tahu. Dan memang, mereka takut kalau aku akan menghalangi maksud mereka. Kalau yang disuruh adalah gerombolan-gerombolan rampok, siapa yang dapat menduga? Hhh...! Sama sekali tidak kusangka kalau tiga orang adik seperguruanku akan memiliki anak-anak buah yang tersebar. Asal tahu saja. Para pengeroyok kalian di kedai waktu itu adalah anak buah tiga adik seperguruanku."
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan Melati berseru kaget, karena sama sekali tidak menyangka. Rupanya, kedua pendekar muda itu sudah masuk incaran tanpa disadari.
"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ki?" tanya Dewa Arak tak kuat menahan rasa ingin tahu.
"Dari racun yang masuk ke dalam tubuh kalian! Racun itu adalah milik leluhur kami yang berjuluk Kalong Merah!" tandas Ki Blantaka, tegas.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan tanpa berkata-kata. Dan karena Ki Blantaka juga berdiam diri. Keadaan menjadi hening.
"Sekarang..., apa yang akan kau lakukan, Ki?!" tanya Dewa Arak, ingin tahu.
"Sederhana saja. Mereka adalah adik-adik seperguruanku. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk menghalangi tindakan mereka. Dan kalau mereka tetap menentang, tidak ada jalan lain...."
Sampai di sini Ki Blantaka menghentikan ucapannya. Tapi itu pun sudah cukup bagi Dewa Arak dan Melati untuk mengetahui kelanjutannya.
"Kapan kau akan berangkat, Ki?" tanya Melati.
"Besok. Toh, aku sudah dapat memperkirakan di mana tempat tinggal mereka."
"Di mana, Ki?"
"Goa Kelelawar! Tempat tinggal almarhum Kalong Merah dulu."
TUJUH
Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati melesat cepat mendaki lereng Gunung Tongkeng. Gesit laksana kera dan cepat laksana bayangan, tubuh tiga tokoh sakti itu berkelebat cepat menuju puncaknya. Entah sudah berapa lama mereka berlari. Dan mendadak saja Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Dan seketika pula, Ki Blantaka dan Melati berhenti melesat.
"Ada apa, Arya?" tanya Ketua Perguruan Kalong Merah ingin tahu.
"Rasanya aku mendengar suara orang merintih," sahut Dewa Arak. "Apakah kau mendengarnya, Ki?"
Walau yang ditanya Ki Blantaka, tapi Melati ikut menjawab. Gadis berpakaian putih itu menggeleng, sementara Ki Blantaka diam saja.
"Tidak, Arya. Apakah kau mendengarnya?!" Ki Blantaka balas bertanya.
"Benar, Ki. Tapi samar-samar. Sepertinya, asalnya dari sana," Dewa Arak menuding ke arah sebelah kanan.
"Kalau begitu, mari segera kita ke sana!" ajak Ki Blantaka.
Sambutan Ki Blantaka yang demikian penuh semangat, sama sekali tidak disangka Dewa Arak. Dan Ketua Perguruan Kalong Merah itu memang punya alasan kuat bertindak demikian. Dia merasa penasaran terhadap Dewa Arak yang memiliki pendengaran jauh lebih tajam daripada dirinya.
Mereka seketika bertiga melesat ke arah yang ditunjuk Dewa Arak. Dan ternyata, pendengaran pemuda berambut putih keperakan itu mulai terbukti. Dari kejauhan, ketiga orang itu telah melihat adanya sosok-sosok yang bergeletakan di tanah. Maka mereka pun semakin mempercepat lari. Tak lama berlari, mereka telah berada di dekat sosok-sosok yang bergeletakan. Dan mereka bergegas memeriksanya.
"Hey...! Bukankah mereka orang-orang yang berada di kedai, Kang. Merekalah yang mengeroyok kita!" seru Melati ketika mengenali sosok-sosok itu.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang mengangguk. Ki Blantaka pun demikian.
"Tapi ada satu yang bukan, Melati. Kau kenal dia?" sanggah Dewa Arak, seraya menunjuk ke satu arah.
Melati mengarahkan pandang ke arah yang ditunjukkan kekasihnya. Ternyata di situ tergolek seorang lelaki berpakaian coklat.
"Bukankah orang ini yang memberi perlawanan terhadap serbuan perampok di Desa Banyu, Kang?!" kata Melati, seketika teringat pada kejadian di Desa Banyu beberapa waktu yang lalu.
Dewa Arak mengangguk. "Apa tidak mungkin kalau dia yang telah melakukan semua ini."
"Lebih baik kita tanyakan secara jelas padanya." Usai berkata demikian, Dewa Arak segera menghampiri laki-laki berpakaian coklat itu. Begitu sampai, tubuhnya langsung membungkuk. Disadari tidak ada gunanya memberikan pertolongan, karena luka-luka yang diderita lelaki berpakaian coklat itu terlalu parah.
"Bisa terangkan, mengapa kau ada di sini, Kisanak?!" tanya Dewa Arak setelah memberi totokan di beberapa bagian tubuh laki-laki berpakaian coklat, agar dapat menjawab secara lancar.
"Aku ingin membasmi dalang tindakan terkutuk ini!" tandas lelaki berpakaian coklat, ketika mengenali Dewa Arak dan Melati sebagai orang yang mempunyai musuh sama.
"Sepertinya kau mempunyai dendam hebat terhadap orang-orang jahat itu, Kisanak. Bisa dijelaskan?!" tanya Dewa Arak lagi.
"Adikku diambil oleh iblis-iblis terkutuk itu. Dan dia tidak pernah kembali. Aku selidiki berbulan-bulan, dengan dibantu Dewa Baju Emas. Tapi sayang, di saat hampir berhasil aku dihadang orang-orang itu. Hingga akhirnya, aku terluka. Aku mohon..., bantuan Dewa Baju Emas. Dan..., akh!"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapan, lelaki berpakaian coklat itu mengejang kaku dan diam tidak berkutik lagi. Nyawanya telah lebih dulu melayang ke alam baka.
Dewa Arak bangkit berdiri. Dan seperti telah disepakati, mereka bertiga segera melesat ke Puncak Gunung Tongkeng. Memang, saat itu pula terdengar suara-suara pertarungan.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak, Melati, dan Ki Blantaka telah berhasil menemukan sumber suara pertarungan yang melibatkan dua sosok tubuh. Bergegas, ketiga orang itu mendekati kancah sekitar pertarungan.
Ketiga tokoh golongan putih ini baru menghentikan langkah, ketika telah berada dalam jarak lima tombak dari kancah pertarungan. Dan mereka segera memperhatikan pertarungan penuh perhatian. Meskipun tokoh-tokoh yang tengah bertarung bergerak cepat, namun bagi mata Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati, bukan persoalan untuk menyaksikannya.
Tanpa menemui kesulitan, ketiganya dapat melihat ciri-ciri dua orang yang tengah bertarung. Yang seorang lelaki kekar dan gagah, terbungkus pakaian kuning emas. Sedangkan lawannya seseorang berwajah seperti raksasa. Tapi, tubuhnya justru lebih pendek dari manusia biasa. Dengan telanjang dada, tokoh raksasa kecil ini tampaknya lebih mirip bocah gembala yang bertampang seram. Dialah tokoh yang berjuluk Raksasa Tua!
Hanya sekali lihat, baik Dewa Arak, Ki Blantaka, maupun Melati, dapat menebak kalau lelaki berpakaian kuning emas ini adalah Dewa Baju Emas! Tokoh persilatan golongan putih yang bermaksud menumpas angkara murka dalang penculikan terhadap perawan-perawan suci!
Sebenarnya, pertarungan itu telah berlangsung tak kurang dari sepuluh jurus. Dan kini Raksasa Tua tampak menggulingkan tubuhnya, mendekati Dewa Baju Emas. Kemudian langsung dilancarkannya serangan berupa sapuan kaki kanan.
Jangan dianggap ringan serangan Raksasa Tua. Meskipun kakinya kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuannya sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa!
Dewa Baju Emas pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya menjejak, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Sehingga, serangan lawan hanya menyambar tempat kosong.
Tapi Raksasa Tua juga bukan orang bodoh. Semua pergerakan Dewa Baju Emas telah diperhitungkan. Maka, ketika Dewa Baju Emas mengelak dengan cara melompat ke atas, langsung saja dikirimkannya serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas dengan kaki kiri.
Zebbb!
Dewa Baju Emas tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi ketika mengetahui, kalau bagian yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dan rasanya sulit untuk dapat mengelak, kecuali dengan memapak. Maka seketika Dewa Baju Emas menghentakkan kakinya ke bawah.
"Hih!"
Blakkk!
Benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya kedua batang kaki itu sama-sama tersentak balik.
"Hup!"
Pada saat Dewa Baju Emas mendarat di tanah, Raksasa Tua pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki bertampang seram itu kembali menerjang Dewa Baju Emas. Tapi dalam serangan kali ini, Raksasa Tua sudah mencabut sebuah tombak pendek yang tergeng-gam di tangan kanan. Dan dengan senjata itu, Dewa Baju Emas terus didesaknya.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, De-wa Baju Emas tidak berani ayal-ayalan. Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di bawahnya. Maka senjata andalannya pun dicabut. Kini sebuah pedang yang juga berwarna kuning emas telah ter-genggam di tangan kanan.
Pertarungan semakin berjalan menarik. Bunyi decit angin tajam dari udara yang terobek akibat gerakan dua senjata itu, menyemaraki pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berperci-kannya bunga api tercipta, manakala senjata-senjata itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus telah lewat. Dan selama itu, belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Ru-panya, tingkat kepandaian kedua belah pihak berimbang.
Tapi menginjak jurus ketiga puluh satu, terjadi perubahan yang menegangkan. Dewa Baju Emas agaknya dalam bertarung seperti orang kebingungan. Beberapa kali pedangnya dikibaskan ke atas, baik berupa tangkisan maupun serangan. Padahal, saat itu Raksasa Tua melancarkan serangan secara mendatar.
Hanya di saat-saat yang mengkhawatirkan, Dewa Baju Emas berhasil mengelakkan serangan. Itu pun hampir terlambat. Karena hal ini terjadi berulang-ulang, maka hanya dalam beberapa gebrakan saja Dewa Baju Emas telah terdesak hebat. Dari beberapa bagian tubuhnya mulai mengalirkan darah segar, karena beberapa kali terserempet tombak pendek Raksasa Tua.
Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati merasa heran. Mengapa Dewa Baju Emas bertindak seperti itu? Sebagai tokoh-tokoh yang berpengalaman, ketiga orang itu langsung bisa memperkirakan ada hal yang tidak beres. Bukan tidak mungkin Raksasa Tua berlaku curang. Atau barangkali saja menggunakan ilmu hitam!
Tapi Dewa Arak dan Ki Blantaka terpaksa harus membuang dugaan itu. Mereka melihat sendiri, Raksasa Tua semula juga heran melihat sikap Dewa Baju Emas yang kelihatan kelabakan. Namun sesaat kemudian, hal seperti itu langsung digunakan untuk keuntungan dirinya.
"Rasanya ada yang tidak beres, Ki," kata Dewa Arak agak pelan suaranya.
"Aku pun menduga demikian, Arya," jawab Ki Blantaka. "Bukan tidak mungkin ini ada hubungannya dengan sihir. Tapi menurut pengamatanku, Raksasa Tua tidak menggunakannya."
"Benar, Ki. Kalau begitu..., siapa? Rasanya tidak masuk akal orang luar membantu Raksasa Tua. Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan?"
Ki Blantaka terdiam. Disadarinya ada kebena-ran juga dalam ucapan Dewa Arak. Dan mendadak dia tersentak. "Ah...!" seru Perguruan Kalong Merah.
"Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak ketika merasakan adanya kegugupan dalam seruan Ki Blantaka.
"Aku ingat...! Leluhurku..., Kalong Merah miliki ilmu seperti itu. Memang! Dia memiliki berbagai ilmu hitam yang tidak masuk akal, di samping ilmu silat dan keahlian racunnya. Salah satu di antaranya adalah ilmu sihir yang membuatnya mampu menguasai batin seseorang, meskipun tanpa bertatap muka...."
"Berarti..., pelarian dari Perguruan Kalong Merah telah berhasil mendapatkan ilmu-ilmu itu," potong Dewa Arak, tidak sabar.
"Kemungkinan besar juga demikian," jawab Ki Blantaka tidak berani memastikan.
Ada nada kekhawatiran dalam ucapan Ketua Perguruan Kalong Merah ini. Tarikan wajahnya pun menyiratkan kecemasan yang tidak dapat disembunyikan. Kalau pelarian-pelarian dari perguruannya itu berhasil mendapatkan ilmu itu, jelas ketenteraman dunia bakal goyah.
"Segera akan kucari mereka, Ki!"
Tanpa menunggu sambutan Ki Blantaka, Dewa Arak segera meninggalkan tempat itu. Tujuannya Goa Kalong seperti yang diceritakan Ki Blantaka.
Ki Blantaka hanya dapat menghela napas berat, karena dia memang tak mungkin ikut Dewa Arak. Keselamatan Dewa Baju Emas tampaknya tengah terancam. Dan Ki Blantaka pun bersiap-siap memberi pertolongan bila diperlukan.
Sementara, Melati begitu melihat kekasihnya meninggalkan tempat itu, segera menyusulnya. Sedangkan Ki Blantaka tidak bisa menahannya.
Dan begitu tatapan Ki Blantaka beralih ke arah pertarungan, keadaan Dewa Baju Emas semakin bertambah gawat. Bahkan beberapa kali ujung tombak lawan menggores kulitnya, sehingga cukup membuat darah mengalir. Dan karena lukanya cukup banyak, sekujur tubuh Dewa Baju Emas kini telah dibanjiri ali-ran darah!
Sebenarnya luka-luka yang diderita Dewa Baju Emas sama sekali tidak parah. Tapi karena tidak mempunyai kesempatan untuk menghentikan aliran darahnya, tenaganya jadi berkurang secara cepat.
"Akh!" Dewa Baju Emas menjerit tertahan ketika kaki lawan menghantam telak perutnya. Untung, bagian itu telah lebih dulu dilindungi dengan tenaga dalam.
Meskipun demikian, tubuh Dewa Baju Emas tak urung terjengkang jauh ke belakang dan terguling-guling di tanah dengan napas sesak! Dan saat itulah, Raksasa Tua mengirimkan serangan susulan. Tombaknya langsung diluncurkan ke arah leher Dewa Baju Emas!
Menyadari akan adanya bahaya maut terhadap Dewa Baju Emas, Ki Blantaka tidak tinggal diam. Cepat-cepat tubuhnya melesat. Langsung dipapaknya serangan tombak itu dengan tongkatnya.
Trangngng!
Bunga-bunga api seketika berpijar, karena saking kerasnya pertemuan antara dua senjata itu. Dan akibatnya, tubuh Raksasa Tua terjengkang ke belakang. Sedangkan, Ki Blantaka hanya terhuyung-huyung tiga langkah. Dari sini bisa diukur kalau tenaga dalam Ketua Perguruan Kalong Merah ini berada jauh di atas lawannya.
Namun baru saja, Ki Blantaka hendak mengirimkan serangan susulan terhadap Raksasa Tua, tiba-tiba sepasang matanya menangkap adanya sosok besar di angkasa. Terpaksa Ketua Perguruan Kalong Merah ini membatalkan maksudnya. Dan begitu pandangannya diarahkan ke sana, sepasang mata Ki Blantaka langsung terbelalak.
Ternyata di angkasa tampak seekor kalong raksasa merah yang besarnya seukuran tubuh manusia, tengah meluncur deras ke arahnya. Gigi-gigi runcing hewan malam yang meluruk cepat ini tertuju ke arah leher Ki Blantaka. Tentu saja Ki Blantaka tidak ingin mati konyol. Buru-buru serangan hewan itu dipapaknya, dengan tusukan tombaknya ke arah perut.
Melihat serangan tombak, kalong raksasa itu langsung membatalkan serangannya. Maka Ki Blantaka pun selamat dari maut. Namun, Ketua Perguruan Kalong Merah ini tidak bernapas lega, karena Raksasa Tua telah melancarkan serangan.
* * *
Sementara itu, Dewa Arak telah tiba di sebuah goa yang telah ditunjukkan Ki Blantaka. Goa Kalong. Dewa Arak menatap goa di hadapannya sejenak, kemudian melangkah hati-hati, masuk ke dalamnya. Sekujur urat saraf dan otot tubuhnya menegang waspada. Tampaknya, dia jelas siap menghadapi segala kemungkinan.
Goa Kalong ternyata hanya mempunyai sebuah lorong, dan tidak begitu panjang. Tak sampai sepuluh tombak, Dewa Arak telah melihat adanya sinar terang di depan. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini mendekati.
Ternyata, di dalam goa terdapat sebuah ruangan luas yang kanan kirinya tertutup dinding-dinding tebing, namun bagian atasnya terbuka. Di sana tampaklah tiga sosok tengah duduk bersila, berjajar saling bergenggaman satu tangan. Sepasang mata mereka dipejamkan. Tanpa berpikir lebih lama, Arya tahu kalau mereka tengah menyatukan kekuatan untuk mengirimkan ilmu hitam! Pantas saja, tadi Dewa Baju Emas kelabakan!
Agak tercekat hati Dewa Arak ketika melihat kalau tiga sosok itu mengenakan topeng harimau pada wajahnya. Hanya pakaian yang membedakan mereka. Yang berpakaian hitam, berjuluk Harimau Baja. Sementara yang berpakaian putih perak, berjuluk Hari-mau Perak. Sedangkan yang berpakaian kuning emas berjuluk Harimau Emas. Dan apabila mereka bergabung julukannya adalah Tiga Harimau Sakti!
"Keparat! Orang-orang seperti kalian tidak layak dibiarkan hidup!" desis Dewa Arak begitu teringat akan tujuannya ke tempat ini. Usai berkata demikian, Dewa Arak melompat. Kemudian dari atas, laksana burung garuda menerkam mangsa, tubuhnya meluruk ke arah Tiga Harimau Sakti.
Wurrr!
Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan Dewa Arak, membuat Tiga Harimau Sakti menyadari akan adanya bahaya mengancam. Dan seketika mereka langsung bergerak, menyambut serangan itu.
Wut, wut, wut!
Tak, tak, tak!
Tubuh Tiga Harimau Sakti langsung terjengkang ke belakang ketika tangan-tangan mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak. Seketika ketiga orang itu terkejut bukan kepalang, karena tangan-tangan mereka terasa sakit-sakit dan seperti lumpuh!
Demikian pula yang dialami Dewa Arak. Tubuhnya sampai terpental balik ke belakang, namun dengan sebuah gerakan indah berhasil mendarat ringan di tanah.
Kali ini, Dewa Arak kalah cepat. Karena Tiga Harimau Sakti sudah keburu melancarkan serangan, menerjang dari tiga jurusan. Gerakan mereka cepat bukan kepalang, sehingga serangan yang dikirimkan menimbulkan bunyi deru mencicit.
Wut, wut, wut!
Tiga Harimau Sakti menyadari bahaya yang mengancam. Dan seketika mereka pun langsung bergerak, menyambut serangan itu .
DELAPAN
Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dalam gerakan cepat, araknya segera dituang ke mulutnya.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar suara tegukan, ketika arak itu lewat di tenggorokannya. Sebentar kemudian, langkah Dewa Arak sudah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Ge-rakan lewat ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak berhasil membuat serangan lawan-lawannya kandas.
Gampang saja tubuhnya menyelinap di antara tubuh lawan-lawannya. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Dengan jurus 'Belalang Mabuk', langsung dilancarkanya serangan balasan. Dan kini pertarungan sengit pun terjadi.
Dahsyat dan mengiriskan. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan. Gerakan-gerakan Tiga Harimau Sakti begitu terarah, seperti terdiri dari satu pikiran. Mereka dapat saling mengisi dan melindungi. Kalau saja Dewa Arak tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', sudah sejak tadi berhasil dirobohkan.
Lima puluh jurus telah lewat. Dan selama itu, belum nampak tanda-tanda adanya pihak yang bakal dirobohkan. Jalannya pertarungan masih berimbang, dan saling berganti melancarkan serangan.
Menggiriskan setiap kali tokoh-tokoh ini melancarkan serangan. Bunyi mendecit, menderu, dan men-gaung langsung terdengar mengisi tiap ruang dan waktu. Tanah pun terbongkar di sana-sini, memporak-porandakan sekitarnya.
Di jurus kelima puluh tiga, bagai telah berse-pakat sebelumnya, Tiga Harimau Sakti mendadak menghentikan gerakan masing-masing. Kemudian mereka melangkah mundur, sehingga membuat Dewa Arak heran.
"Mengapa Tiga Harimau Sakti menghentikan penyerangannya?" tanya Dewa Arak dalam hati. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini pun menghentikan gerakannya. Diperhatikannya dengan seksama semua tindakan Tiga Harimau Sakti.
Sementara itu, Tiga Harimau Sakti malah berdiri berjajar dengan tangan saling bergandengan satu sama lain. Yang berada di kiri dan kanan segera mencabut ganco yang terselip di pinggang. Sedangkan yang berada di tengah tetap menancapkan ganconya di pinggangnya.
Laki-laki yang berada di sebelah kiri menghadapkan ujung ganconya ke bumi. Sedangkan yang disebelah kanan ke langit. Sementara, dari mulut-mulut mereka keluar gumaman-gumaman yang asing di telinga. Sulit dimengerti, dan sulit ditangkap secara jelas. Semakin lama, suara itu semakin cepat dan keras diucapkan.
Semula Dewa Arak merasa heran melihat tingkah lawan-lawannya. Tapi, sebentar kemudian berganti kaget, ketika pemuda berambut putih keperakan ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya. Semula suasana cerah. Tapi beberapa saat kemudian, seiring semakin keras dan cepatnya gumaman-gumaman aneh yang keluar dari mulut Tiga Harimau Sakti, tiba-tiba saja langit berubah gelap pekat.
Awan hitam tampak bergumpal-gumpal. Angin pun berhembus kencang, membawa hawa dingin yang mampu membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya! Bahkan keadaan seperti itu masih ditingkahi kilat yang menyambar-nyambar.
Dewa Arak agak gugup menghadapi kenyataan ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan tulang-belulangnya seperti lumpuh, sehingga tenaga dalamnya tidak mampu dikerahkan.
"Sihir...!" desis hati Dewa Arak ketika mulai menyadari adanya ketidak-beresan ini.
Setelah menyadari kalau semua keanehan ini tercipta karena pengaruh sihir, Dewa Arak pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawannya. Seluruh perhatianya dipusatkan, maka pertarungan yang aneh pun berlangsung.
Tiga Harimau Sakti yang bergandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian kata-kata dalam nada dan ketinggian berganti-ganti, sementara Dewa Arak yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di bahu dan mata dipejamkan serta kepala ditundukkan.
Dewa Arak berusaha sekuat tenaga memusatkan tenaga batinnya, sehingga sekujur wajahnya dipenuhi keringat sebesar-besar jagung. Namun, tetap saja usahanya sia-sia. Dan semua keanehan itu tetap saja tidak mampu diusirnya.
Dewa Arak memang belum menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Dan inilah yang menjadi penyebab ketidakberhasilannya dalam mengusir pengaruh yang ditimbulkan lawan. Dia baru mulai mengadakan perlawanan, di saat tindakan lawan telah mempengaruhinya.
Dan seiring kegagalan usaha perlawanan Dewa Arak, pengaruh ilmu Tiga Harimau Sakti pun semakin menjadi-jadi. Pemuda itu mulai menggigil kedinginan, karena angin dingin yang berhembus membawa butir-butir es yang kemudian menempel di tubuhnya.
Di saat-saat terakhir, ketika tubuhnya sudah tidak berdiri tegak lagi, Dewa Arak teringat gucinya. Maka seluruh sisa-sisa kemampuan yang dimilikinya segera dikerahkan untuk mengambil gucinya yang tersampir di punggung. Dan begitu berhasil menggenggam guci araknya, buru-buru dituangkannya ke mulut.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di sekitar perutnya. Lalu, hawa panas itu perlahan-lahan naik ke atas.
Dan seketika kedudukan kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini. Pada saat itu, perkataan-perkataan Tiga Harimau Sakti terdengar semakin cepat dan keras di telinga Dewa Arak. Bahkan seperti suara dalam kepalanya.
"Arrrggghhh...!" Dalam usahanya untuk menghilangkan suara Tiga Harimau Sakti yang seperti telah memenuhi isi kepalanya, Dewa Arak meraung keras, sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu seperti bergetar.
Dan memang sungguh dahsyat raungan Dewa Arak. Akibatnya, tubuh Tiga Harimau Sakti langsung terjengkang ke belakang. Di sudut mulut mereka menitik darah segar. Rupanya, Tiga Harimau Sakti terluka dalam cukup parah, akibat raungan Dewa Arak yang dikerahkan lewat tenaga dalam penuh.
Mendapat kenyataan ini, Tiga Harimau Sakti tidak menjadi gentar. Mereka kembali tegak dan bersiap mengadakan perlawanan kembali. Namun pada saat yang sama, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat, dan mendarat di sebelah Dewa Arak. Ternyata, mereka adalah Ki Blantaka dan Melati.
Melati tadi memang sempat kehilangan jejak Dewa Arak, sehingga tersesat. Untung gadis itu dalam pencariannya bisa bertemu Ki Blantaka.
"Bagaimana dengan Raksasa Tua, Ki?" tanya Dewa Arak, ingin tahu.
''Tewas!" jawab Ketua Perguruan Kalong Merah singkat. Sepasang mata laki-laki tua itu diarahkan pada Tiga Harimau Sakti. Dia tahu, wajah di balik topeng itu adalah adik-adik seperguruannya.
"Sebelum terlambat, lebih baik kalian ikut bersamaku ke perguruan untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kalian...."
"Hiaaat..!"
Teriakan keras Tiga Harimau Sakti, menjadi jawaban atas tawaran yang diajukan Ki Blantaka. Mau tidak mau, Ketua Perguruan Kalong Merah itu me-nyambutnya dengan kekerasan pula.
Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal diam. Maka pertarungan pun terpecah menjadi tiga bagian. Dewa Arak menghadapi Harimau Emas. Ki Blantaka berhadapan dengan Harimau Perak, sedangkan Melati bertarung dengan Harimau Baja. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Sementara itu Harimau Emas dan Dewa Arak telah terlibat dalam pertarungan sengit. Pelarian Perguruan Kalong Merah yang memiliki kemampuan paling hebat dibanding rekan-rekannya itu melancarkan serangan bertubi. Bahkan saat itu, mengirimkan sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah leher.
Wuttt!
Deru angin keras yang terdengar, menjadi per-tanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung didalamnya.
Dewa Arak pun menyadarinya, sehingga tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, kaki Harimau Emas hanya mengenai tempat kosong. Dan begitu serangan lawan berhasil dikandaskan, Dewa Arak meluncurkan tangan kirinya untuk menangkap pergelangan kaki Harimau Emas yang belum sempat ditarik kembali.
Tappp!
Tangkapan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong, karena Harimau Emas telah lebih dulu menarik kakinya. Bahkan laki-laki berpakaian kuning emas itu langsung mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat. Tangannya langsung dikibaskan, sehingga segundukan angin keras meluncur ke arah Dewa Arak.
Untungnya Dewa Arak tidak gugup. Maka begitu merasakan adanya sambaran angin keras yang mampu membuat tubuhnya bertumbangan, langsung tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua kakinya. Sehingga, kedua kaki Dewa Arak seperti berakar dengan bumi.
Maka begitu angin keras menghantam tubuhnya, Dewa Arak sama sekali tidak bergeming. Hanya rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras, menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu baru saja dilanda segundukan angin keras.
Melihat serangannya sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan, Harimau Emas menjadi geram bukan kepalang. "Keparat! Pantas kau berani bersikap kurang ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Baik, kulayani kemauanmu! Hih!"
Kali ini pelarian dari Perguruan Kalong Merah itu tidak segan-segan lagi melancarkan serangan. Langsung saja dikirimkan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan menjadi pertanda betapa kuatnya tenaga yang tersalur di dalamnya.
Tapi, Dewa Arak tetap bertindak tenang. Kaki kanannya segera ditarik ke belakang, seraya mencondongkan tubuh. Dia tahu, meskipun hanya bertindak demikian, serangan Harimau Emas telah dapat dielakkannya.
Namun betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan itu, ketika melihat kaki Harimau Emas tetap meluncur ke arah dadanya. Padahal, dia telah melangkah mundur! Hal ini membuat Dewa Arak sedikit gugup, walau hanya sebentar saja. Maka dengan agak tergesa-gesa, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kakinya, sehingga tubuhnya terlempar ke belakang.
Wuttt!
Tendangan Harimau Emas meluncur beberapa jari di bawah kaki Dewa Arak. Terlambat sedikit saja, kaki pelarian Perguruan Kalong Merah itu akan lebih dulu bersarang di anggota tubuh Dewa Arak.
Jliggg!
Setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di udara, Dewa Arak mendaratkan sepasang kakinya di tanah dengan mantap. Dan secepat itu pula, dia bersiap untuk menghadapi serangan lawan selanjutnya. Namun ternyata, Harimau Emas belum melancarkan serangan susulan. Malah, sekujur tubuh Dewa Arak dirayapinya penuh selidik.
Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono lagi. Dewa Arak tahu, mengapa kaki lawan tetap mengejar. Pasti karena pelarian Perguruan Kalong Merah itu memiliki ilmu yang membuat kaki atau tangannya dapat memanjang.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak ini, tidak dilakukan secara sembarangan. Dewa Arak tahu, memang ada ilmu semacam itu di dunia persilatan. Bahkan Melati pun memilikinya. Sehingga tangannya bisa dipanjangkan hampir dua kali lipat, ketika jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', telah dikeluarkannya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikiran itu. Lawan di hadapannya memang teramat tangguh. Kalau bertindak sembrono, nyawa taruhannya.
Sementara Harimau Emas sendiri rupanya sudah merasa cukup memperhatikan lawannya. Dan sekarang, dia mulai bersiap membuka serangan kembali.
"Kau cukup hebat, Anak Muda. Rasanya pantas untuk menjadi lawanku," puji Harimau Emas dingin. "Tapi jangan berbangga hati dulu. Sekarang, kau bersiaplah, Anak Muda. Aku akan memulai pertarungan yang sebenarnya. Hadapilah ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'-ku ini!"
Usai berkata demikian, Harimau Emas itu menyilangkan kedua tangannya yang terkepal erat di depan dada. Kemudian dengan gerakan perlahan-lahan tapi penuh tenaga, kedua tangannya ditarik ke sisi pinggang. Bunyi berkerotokan seperti ada tulang-tulang berpatahan, mengiringi gerakan tangan itu.
Melihat hal ini, Dewa Arak tidak berani main-main. Disadari kalau ilmu yang akan dikeluarkan lawan ini amat dahsyat. Maka, guci arak yang tergantung di punggung segera diraihnya, kemudian dituangkan ke mulut.
Gluk... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Ada hawa hangat menyebar di sana. Kemudian secara perlahan-lahan, hawa itu naik ke atas. Sesaat kemudian, sepasang kaki pemuda berambut putih keperakan itu pun oleng. Kini Dewa Arak te-lah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'.
Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari perhatian Harimau Emas. Tampak ada kerutan pada kedua alis pelarian Perguruan Kalong Merah itu, menandakan keheranannya.
Tapi Harimau Emas tidak membiarkan perasaan bingung terus bermain-main dalam benaknya. Dia dapat menduga, pasti ilmu yang akan dikeluarkan Dewa Arak adalah sebuah ilmu andalan. Memang tidak sedikit ilmu yang kelihatannya aneh, tapi di dalamnya terkandung kedahsyatan mengiriskan!
Seiring timbulnya pikiran seperti itu, Harimau Emas pun memusatkan perhatian pada ilmu yang tengah dikeluarkannya. Kemudian....
"Hiaaat..!" Diawali sebuah teriakan keras menggeledek yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Harimau Emas mulai melancarkan serangan pembukaan. Tak tanggung-tanggung lagi, langsung dikirimkannya pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak. Bunyi ledakan keras seperti ada halilintar menyambar-nyambar mengiringi meluncurnya serangan.
Memang kelihatannya berbahaya bukan kepalang serangan Harimau Emas. Karena di samping dialiri tenaga dalam dahsyat, juga meluncur dengan kecepatan menakjubkan.
Tapi orang yang diserang memang telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' nya. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil membuat serangan itu kandas dengan gerakan seperti orang akan jatuh.
Karuan saja hal itu membuat Harimau Emas penasaran bukan kepalang. Segera disusulinya dengan serangan berikut yang tidak kalah dahsyat. Dan seperti juga serangan pertamanya, kali ini pun bunyi meledak-ledak timbul, seiring meluncurnya serangan. Pertarungan dahsyat dan menarik pun, tidak bisa dihindarkan lagi.
Harimau Emas benar-benar dipaksa mengelua-rkan seluruh kemampuannya yang bertubi-tubi dan susul-menyusul. Namun semua itu berhasil dikandaskan lawan dengan gerakan aneh, bahkan berlang-sung sampai lima jurus!
Kegagalan demi kegagalan serangannya, membuat pelarian Perguruan Kalong Merah itu penasaran bukan kepalang. Apalagi, sampai saat itu Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan. Tentu saja ini membuatnya merasa diremehkan. Dalam cekaman rasa penasaran dan marah, Harimau Emas langsung mengeluarkan jurus-jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'!
"Hih!" Laksana gasing, tubuh Harimau Emas berpusing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan dan kakinya mencuat dari balik putarannya. Jelas ini serangan berbahaya, karena meluncurnya sama sekali tidak disangka-sangka.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat perubahan serangan lawannya. Dan patut diakui, ilmu itu memang luar biasa! Keadaan tubuh Harimau Emas yang berputaran, membuat Dewa Arak sulit melancarkan serangan. Sebaliknya, Harimau Emas enak saja melancarkan serangan. Dengan sendirinya, kedudukan pelarian Perguruan Kalong Merah jadi lebih menguntungkan.
Untung saja Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti' yang ajaib, sehingga mampu melakukan gerakan sesulit apa pun, dalam keadaan bagaimanapun. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang merupakan kumpulan dari langkah-langkah khas untuk menghindari serangan, jelas membuat heran orang yang menyaksikannya. Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak mampu menghindari setiap serangan Harimau Emas hingga lebih dari sepuluh jurus!
Kenyataan ini membuat bulu kuduk pelarian Perguruan Kalong Merah meremang! Selama hidupnya, belum pernah ditemukan ada seorang lawan pun yang mampu memusnahkan serangannya hanya dengan mengelak. Apalagi selama sepuluh jurus! Bahkan Sangga Buana, pemilik Pulau Es saja tidak mampu bertindak seperti ini!
Tidak aneh kalau hal itu membuat Harimau Emas semakin kalap. Maka kedahsyatan serangannya pun terus ditingkatkan. Akibatnya langsung diterima Dewa Arak. Dirasakannya, betapa tekanan serangan-serangan lawan semakin dahsyat. Apabila diumpamakan ombak, maka itulah ombak setinggi bukit yang menyerangnya.
Dan memang kelihatannya Dewa Arak berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Yang dilakukannya hanya terus-menerus mengelak. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat.
Bahkan, tak terasa pertarungan telah berlangsung lima belas jurus. Dan selama ini, Dewa Arak masih mengandalkan keistimewaan ilmu meringankan tubuh 'Belalang Sakti', dan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk mematahkan setiap serangan lawan. Tapi begitu pertarungan telah lewat lima belas jurus, Dewa Arak memutuskan untuk merubah cara bertarungnya!
"Hih!"
Wuttt!
Diiringi bunyi menderu keras, tinju kanan Harimau Emas mencuat dari dalam putaran tubuhnya. Tak tanggung-tanggung lagi, sasaran yang dituju adalah ubun-ubun, tempat yang mematikan di tubuh manusia!
Sementara Dewa Arak benar-benar melaksanakan rencananya. Begitu melihat kepalan Harimau Emas meluncur, langsung dipapaknya dengan tinju kanan pula. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi, seluruh tenaga dalamnya dikeluarkannya dalam pengerahan jurus 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Wuttt!
Hawa panas menyengat menyebar seiring meluncurnya tinju Dewa Arak. Itu pun masih ditambah adanya kepulan asap tipis dari sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian....
Dukkk!
Dahsyat bukan kepalang benturan yang terjadi antara dua kepalan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi. Bunyi menggelegar laksana halilintar menyambar langsung terdengar!
Akibat selanjutnya, tubuh dua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke belakang. Tapi dengan sebuah gerakan manis, baik Dewa Arak maupun Harimau Emas mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh terhuyung-huyung. Dan di saat tengah berada di udara, Dewa Arak cepat menghentakkan kedua tangannya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss! Bresss!
"Aaakh...!" Harimau Emas kontan menjerit menyayat ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam telak dadanya. Tubuhnya langsung melayang deras ke belakang seperti daun kering dihembus angin. Saat itu juga, nyawanya melayang ke alam baka dengan tubuh gosong.
Ringan tanpa suara, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pandangannya dialihkan ke arah Melati dan Ki Blantaka yang telah menyelesaikan pertarungan. Memang tanpa Harimau Emas, Harimau Baja, dan Harimau Perak lebih cepat dikalahkan. Karena pada dasarnya, ketiga tokoh sesat itu akan berbahaya bila telah bersatu. Kini Harimau Baja dan Harimau Perak tergolek lemah, dengan luka dalam yang parah.
Tampak Ki Blantaka menundukkan kepala dengan tarikan wajahnya menyiratkan kesedihan. Dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak Melati meninggalkan tempat itu. Dia tahu, saat ini Ki Blantaka ingin menyendiri.
"Di mana mereka menyimpan Perawan-Perawan Persembahan itu, Melati?" tanya Dewa Arak ketika bermaksud mencari perawan-perawan yang konon untuk persembahan Tiga Harimau Sakti dalam menuntut ilmu sihir.
"Tadi waktu aku bertemu Ki Blantaka, dia bercerita kalau perawan-perawan itu memang telah dibunuh Tiga Harimau Sakti, untuk persembahan. Jadi ki-ta memang tidak bisa menyelamatkan mereka!" jelas Melati.
"Dari mana Ki Blantaka tahu hal itu?"
"Sebelum tewas di tangan Ki Blantaka, Raksasa Tua mengakui terus terang kalau yang bertindak sebagai algojonya adalah dia sendiri."
"Hhh...." Dewa Arak hanya menarik napas penuh sesal, karena tidak sempat menyelamatkan Perawan-Perawan Persembahan itu.
"Yah... Mudah-mudahan arwah mereka diterima di sisi-Nya," desah Dewa Arak.
Dan kedua pendekar muda itu terus melangkah, keluar goa. Dan sekarang yang tinggal hanya Ki Blantaka seorang!
SELESAI
Selanjutnya,