Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kilat Pedang Membela Cinta

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 08
AKAN tetapi Darmini menyambut bujukan ini dengan babatan pedangnya ke arah pinggang Kakek itu. Gerakannya cepat dan kuat sekali, sehingga Kakek itu tidak sempat mengelak, hanya dapat menangkis dengan tongkatnya.

   "Tranggg...!"

Keduanya meloncat ke belakang karena lengan mereka yang memegang senjata tergetar hebat oleh pertemuan dua senjata itu. Darmini yang masih merasa kenyerian pahanya agak terhuyung. Keringat sudah membasahi leher wanita ini, namun ia sama sekali tidak merasa gentar dan sudah siap lagi dengan pedang melintang di depan dada ketika saat itu dipergunakan oleh dua orang anak buah yang menyerang secara tiba-tiba dari belakang.

Darmini merasakan adanya angin menyambar dari belakang, maka iapun cepat membalikkan tubuh, pedangnya mengeluarkan kilat dan dua orang itupun menjerit, seorang di antara mereka buntung lengannya, dan seorang lagi terluka pundaknya!

"Perempuan nekat!" Bentak Empu Kebondanu marah dan tongkatnya diputar sambil mendesak ke depan.

Kembali Darmini membalik dan menghadapi serangan ini dengan pedangnya, akan tetapi karena baru saja ia menghadapi dua orang dan serangan Kakek itu amat cepat, ia tidak dapat menghindarkan diri ketika kaki kiri Empu Kebondanu menendang, menyerempet pinggangnya dan membuat tubuhnya terjengkang ke belakang!

Namun Darmini bergulingan dan meloncat bangkit kembali sehingga ia dapat menangkis dengan tepat ketika melihat ujung tongkat kuning itu menyambar dan meluncur ke arah tenggorokannya.

   "Trang...!"

Kembali keduanya mundur selangkah dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan putih.

"Diajeng, jangan takut, aku membantumu!"

"Kakang-Mas Sridenta...!" Darmini berseru girang sekali melihat pemuda berpakaian putih itu tahu-tahu telah berada disitu dan menyambut terjangan empat anak buah yang segera mengeroyoknya begitu melihat munculnya pemuda berpakaian putih ini.

Biarpun ia hanya bertangan kosong saja, namun Sridenta menyambut serangan-serangan itu dengan tenang dan dua batang golok runtuh oleh sabetan kedua tangannya, sedangkan dua orang yang lain roboh karena lutut mereka tercium ujung kaki Sridenta yang menendang dengan gerakan amat cepatnya.

Melihat munculnya pemuda berpakaian putih ini, Empu Kebondanu menjadi kaget dan marah. Sambil menggereng dia meloncat ke depan Sridenta, menudingkan tongkatnya ke arah muka pemuda itu dan membentak dengan suaranya parau dan kasar, "Sridenta! Ini bukan urusanmu dan tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Berani engkau mencampuri dan menghinaku?"

Dengan sikap tenang dan mulut tersenyum penuh kesabaran, Sridenta menghadapi Kakek itu menjawab, "Paman Empu, bagaimana saya dapat tinggal diam saja melihat seorang adik seperguruan terancam bahaya?"

"Babo-babo! Jadi gadis ini menjadi murid Ganggamurti?" Tanya Empu Kebondanu marah.

"Benar, Paman," Jawab Sridenta tenang. "Karena itu, saya mengharap dengan hormat agar Paman mengalah dan mundur, tidak mencampuri urusannya."

"Bocah sombong! Kau kira aku takut kepadamu?" Bentak Kakek itu.

"Uwa Empu, biar aku yang menghadapi bocah ini!" Tiba-tiba terdengar bentakan Panji Sarono dan diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusuk ke arah perut Sridenta.

Tentu saja Sridenta cepat mengelak karena diapun maklum bahwa keris yang dipergunakan oleh lawannya itu bukan keris sembarangan saja, melainkan sebuah keris pusaka yang ampuh. Dan memang sesungguhnya demikian.

Keris di tangan Panji Sarono itu adalah keris yang bernama Kyai Crubuk, keris berluk tujuh dan berbahaya sekali karena mengandung racun warangan yang sudah meresap ke dalam pamor keris itu. Akan tetapi, begitu tusukannya meleset dan luput, tangan kiri Panji Sarono menyambar dan mencengkeram ke arah muka Sridenta. Sekali ini Sridenta mengangkat tangan kanan menangkis.

   "Dukkk!"

Panji Sarono terdorong ke belakang, sedangkan Sridenta juga terkejut karena ternyata lawan juga amat kuat. Akan tetapi yang membuat dia lebih kaget lagi adalah karena dia teringat akan gerakan orang yang menyerangnya ini.

Pernah dia bertanding dengan orang ini, hal itu dia yakin benar, hanya dia lupa lagi entah kapan dan dimana. Namun, Panji Sarono tidak memberi banyak kesempatan baginya untuk berpikir, karena sudah menerjang lagi secara bertubi-tubi dengan kerisnya.

Kalau Panji Sarono maju menghadapi Sridenta, adalah karena dia belum tahu siapa pemuda ini dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepandaian Sridenta jauh lebih tinggi dibandingkan Darmini, dan tadi dia sudah melihat betapa Empu Kebondanu hampir dapat mengalahkan Darmini, maka kini ingin membiarkan Empu Kebondanu lebih dahulu mengalahkan Darmini, baru dapat membantunya menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Empu Kebondanu kembali menyerang dengan tongkat bambu gadingnya, dan Darmini menyambutnya dengan pedang ditangan.

Kini semangat Darmini bangkit serentak terdorong oleh perasaan gembira yang tiba-tiba muncul begitu dia melihat Sridenta! Diluar kesadarannya sendiri, sebenarnya ia telah lama merindukan pemuda ini, maka begitu bertemu, terdapat kegembiaraan yang meluap-luap. Juga hatinya menjadi besar karena kini ia mendapatkan bantuan Kakak seperguruannya itu yang ia tahu memiliki kesaktian yang jauh melebihi kepandaiannya sendiri.

Bi Kwi sendiripun masih mengamuk, dikeroyok oleh Empat Bajul yang dibantu oleh para pengawal dan kini ia dikepung semakin rapat, didesak oleh hujan senjata yang selalu mental kembali terhalang oleh gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi, gadis perkasa inipun sudah merasa lelah. Selagi perkelahian itu makin memuncak, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Semua berhenti berkelahi! Sarono, apa yang kau lakukan ini?"

Panji Sarono terkejut bukan main mendengar suara Ayahnya! Dia meloncat ke belakang meninggalkan Sridenta dan ketika membalikkan tubuhnya, dia melihat Ayahnya. Emput Tanding, telah berdiri disitu dan disebelah orang tua ini berdiri Panji Saroto, adiknya dan dibelakang mereka terdapat pasukan perajurit yang sudah mengepung tempat itu.

Empu Kebondanu juga menghentikan serangannya terhadap Darmini yang segera meloncat ke dekat Bi Kwi untuk membantu gadis itu. Akan tetapi, Empat Bajul yang mengetahui bahwa Ayah majikan mereka telah datang, tidak berani membantah bentakan tadi dan kini merekapun sudah mundur.

Sridenta lalu menghampiri Darmini dan Bi Kwi, berdiri di dekat gadis-gadis itu, siap untuk melindungi mereka. Akan tetapi dua orang gadis itu, melihat betapa pihak lawan tidak lagi menyerang, sudah menyimpan kembali pedang mereka ke dalam sarung pedang, dan Darmini memandang kepada Empu Tanding, Kakak misan Ibunya itu, dengan sinar mata tajam dan tenang, sedikitpun tidak merasa takut.

Empu Tanding juga berdiri tegak, memandang kepada mereka yang tadi berkelahi, satu demi satu sampai akhirnya pandang matanya bertemu dengan pandang mata Empu Kebondanu. Muka Empu Tanding menjadi kemerahan dan alisnya berkerut.

"Kakang Empu Kebondanu," Katanya dengan suara membayangkan kemarahan hatinya, "Kiranya andika telah berada disini. Sungguh aneh, kenapa kalau berkunjung tidak langsung berkunjung ke rumah kami, akan tetapi berada disini bersama puteraku Sarono?"

Empu Kebondanu nampak gugup mendengar teguran ini. Empu Tanding adalah seorang adik seperguruannya, bahkan pernah diajarkannya ilmu kepada adik seperguruan itu sehingga biarpun usia mereka hanya berselisih beberapa tahun, Empu Tanding boleh juga dibilang muridnya. Akan tetapi, selama beberapa tahun ini tidak pernah mereka sejalan.

Bahkan kinipun, kalau dia memenuhi panggilan Raden Wiratama untuk membantu gerakan mereka, sebaliknya dia tahu bahwa Empu Tanding adalah seorang hamba Kerajaan Majapahit yang setia. Maka diapun mendekati Panji Sarono yang sudah lama mempunyai hubungan dengannya, bahkan diam-diam Panji Sarono berlatih ilmu kedigdayaan kepadanya.

"Aku memang melancong ke Kotaraja dan... eh, karena kangen aku berkunjung kepada puteramu Panji Sarono, maksudku... Eh, besok atau lusa baru aku akan berkunjung padamu, adikku Empu Tanding."

Memang Empu Tanding merupakan seorang hamba yang setia dari Majapahit, bahkan dia menjadi pembantu Senopati Raden Gajah dalam menghadapi gerakan para pemberontak Lumajang dan para pemberontak lainnya, oleh karena itu, melalui para penyelidiknya, diapun sudah mendengar bahwa Kakak seperguruannya yang memang mempunyai watak yang buruk dan mudah menyeleweng walaupun menjadi Pertapa ini telah dapat dibujuk oleh Raden Wiratama untuk datang ke Majapahit. Inilah sebabnya mengapa dia menjadi tidak senang begitu melihat Kakek Pertapa itu.

"Sudahlah, Kakang Empu Kebondanu, kuharap agar Kakang tidak mencampuri urusan anak-anak ini, karena ini merupakan urusan keluarga antara puteraku Panji Sarono dan keponakanku Nini Darmini. Biarlah lain hari saja kita mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap."

Ucapan ini merupakan pengusiran halus, dan memang Empu Kebondanu sudah merasa canggung sejak tadi. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Empu Tanding di situ. Dia menerima tugas dari Raden Wiratama untuk menghubungi Panji Sarono yang menjadi murid dan juga murid keponakan itu untuk menarik pemuda itu dan anak buahnya menjadi sekutu, karena untuk membujuk Empu Tanding sungguh tidak mungkin.

Kalau Panji Sarono dapat dibujuk dan bersekutu, tentu akan berguna sekali karena pemuda itu akan dapat menjadi mata-mata untuk menyelidiki rencana dan keadaan pihak musuh. Tak di sangkanya, ketika dia berada disitu, terjadi keributan dengan serbuan Darmini dan Bi Kwi sehingga dia terpaksa turun tangan membantu Panji Sarono dan kini dia berhadapan dengan Empu Tanding!

"Baiklah, adi empu, aku pergi saja, tidak mau mencampuri urusan kanak-kanak, dan urusan keluarga."

Kakek itu lalu pergi tersaruk-saruk menyeret tongkatnya, keluar dari rumah itu dan para pengawal yang datang bersama Empu Tanding memberi jalan kepadanya.

Setelah Kakek itu pergi, Empu Tanding memandang puteranya yang nampak gelisah. Kakek ini tadi sudah menerima pelaporan Panji Saroto tentang kemunculan Darmini dan Ong Bi Kwi yang menyelidiki rahasia pembunuhan atas diri Ong Cun lima tahun yang lalu, dan mereka itu agaknya mencurigai Panji Sarono dan Empat Bajul.

"Menurut keterangan Mbak-Ayu Darmini, mungkin pembunuhnya adalah Empat Bajul atas suruhan Kakang-Mas Panji Sarono,"

Demikian Panji Saroto mengakhiri laporannya. Hal ini membuat Empu Tanding merasa tidak enak sekali dan diapun mengikuti putera bungsunya untuk mencari putera sulungnya itu, sambil membawa sepasukan perajurit.

"Panji Sarono, urusan ini harus kita selesaikan sekarang juga. Suruh semua anak buahmu, kecuali Empat Bajul keluar dari ruangan ini!"

Terdengar suara Empu Tanding, keren. Panji Sarono tidak berani membantah dan dengan isyarat tangan dia menyuruh semua anak buahnya keluar sambil membawa mereka yang terluka dalam pertempuran tadi. Empat Bajul, empat orang pembantu utamanya, merasa tidak enak dan hendak pergi, namun ditahan oleh Panji Sarono yang juga membutuhkan kehadiran mereka untuk dijadikan kawan dan pelindung pula.

Setelah di pihak Panji Sarono tinggal dia dan Empat Bajul, kini Empu Tanding juga memberi isyarat kepada semua perajurit untuk keluar dan menanti dipekarangan luar, dan hanya dia dan Panji Saroto yang tinggal. Kemudian dia memandang kepada Darmini, Bi Kwi, dan Sridenta yang masih berdiri dengan sikap tenang disitu.

Kalau saja belum diberitahu bahwa Darmini berada disitu menyamar sebagai seorang pria, agaknya tidak mudah bagi Empu Tanding untuk mengenal pemuda berpakaian serba putih itu sebagai keponakannya. Dia memandang penuh perhatian dan diam-diam merasa kagum.

Lenyaplah sifat kelembutan dan kelemahan seorang wanita dan dia melihat seorang wanita yang seperti Srikandi, demikian gagah, berani dan tenang, dengan sepasang mata yang mencorong penuh semangat.

"Jagat Dewa Bathara...! Hampir aku tidak dapat mengenalmu, Darmini. Aku hanya mendengar bahwa lima tahun yang lalu engkau menghilang dan kini tahu-tahu muncul sebagai seorang wanita perkasa dan bahkan memusuhi anakku sendiri!"

Darmini cepat memberi hormat dengan sembah kepada Empu Tanding. "Harap Uwa Empu sudi memberi maaf kepada saya. Terpaksa sekali saya melakukan hal ini demi menuntut keadilan atas kematian Ong Cun tunangan saya itu."

"Hemmm..., engkau sungguh seorang wanita sejati, seorang wanita yang setia. Baiklah, kita urus hal itu. Akan tetapi nanti dulu, siapakah mereka ini? Aku tidak ingin orang luar untuk mencampuri urusan keluarga. Engkau tahu sendiri, betapa aku menyuruh pergi Kakak Empu Kebondanu dan semua orang lainnya."

Darmini menunjuk kepada Bi Kwi. "Uwa Empu, ia bernama Ong Bi Kwi, adik kandung dari mendiang Ong Cun. Jauh-jauh gadis ini datang dari negerinya untuk mencari siapa pembunuh Kakak kandungnya."

Empu Tanding megerutkan alisnya dan mengangguk-angguk, memandang kagum. Bukan main! Seorang gadis demikian keras hatinya, bulat tekatnya, melakukan pelayaran sedemikian jauhnya untuk mencari pembunuh Kakak kandungnya. Dia memandang kepada dua orang gadis itu bergantian, penuh kagum. Sukar ditemukan dua orang gadis seperti mereka ini, seperti Srikandi dan Larasati dalam cerita wayang, dua orang di antara isteri-isteri Raden Harjuna yang dikenal sebagai wanita-wanita perkasa!

"Dan andika ini, siapakah?" Empu Tanding kemudian menghadapi Sridenta, tidak senang karena ketika tiba tadi, dia melihat pemuda ini berkelahi melawan Panji Sarono.

Sridenta cepat memberi hormat kepada Empu Tanding. "Paman Empu tidak mengenal saya karena memang tidak pernah bertemu, akan tetapi tentu Paman mengenal baik Ayah saya yaitu mendiang pangeran Arya Cakra..."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Empu Tanding berseru kaget dan wajahnya berubah, berseri dan kagum memandang pemuda berpakaian putih itu. "Kiranya andika putera beliau?!" Tentu saja dia mengenal mendiang Pangeran Arya Cakra, seorang pangeran yang bijaksana dan disayang oleh semua kawula dan pamong praja di Majapahit.

"Benar, Paman Empu Tanding, dan selain itu, saya juga Kakak seperguruan dari Diajeng Darmini. Kami berdua adalah murid Eyang Panembahan Ganggamurti. Saya tidak mencampuri urusan pribadi Diajeng Darmini, akan tetapi tadi melihat ia dikeroyok dan terancam bahaya, terpaksa saya turun tangan melindungi dan membelanya."

Empu Tanding merasa tidak enak hati kalau mengusir Sridenta, apa lagi kalau diingat bahwa pihak Darmini hanya ada dua orang, keduanya gadis-gadis muda, sehingga tidak enaklah keadaannya. "Biarlah andika hadir pula sebagai saksi, Raden..."

"Nama saya Sridenta, Paman Empu."

Ruangan itu cukup luas dan kini diterangi lampu-lampu dan lentera yang bergelantungan di setiap sudut. Ki Empu tanding lalu berkata kepada Darmini, suaranya lantang dan tegas.

"Nini Darmini, sekarang ceritakan apa maksud kedatanganmu disini dan menyerbu tempat tinggal anakku Panji Sarono sehingga terjadi perkelahian."

"Begini, Paman. Saya dan Bi Kwi memang sedang menyelidiki tentang rahasia kematian mendiang Ong Cun yang terbunuh lima tahun yang lalu. Dari penyelidikan itu, kami mendapatkan keterangan bahwa dahulu Empat Bajul ini pernah menyatakan hendak membunuh Ong Cun, dan mengingat bahwa mereka adalah anak buah Kakang-Mas Raden Panji Sarono, maka tentu saja kami merasa curiga kepada mereka. Malam ini kami datang untuk bertemu dengan Empat Bajul dan minta pengakuan mereka mengenai peristiwa itu, akan tetapi kami dikeroyok sehingga terjadi perkelahian."

"Sekarang, kalian telah kupertemukan dengan Panji Sarono dan Empat Bajul. Nah apa yang hendak kau tanyakan?"

"Saya hanya minta kepada Empat Bajul untuk menceritakan tentang usaha mereka membunuh Ong Cun, dan siapa diantara mereka yang telah membunuhnya, lalu siapa pula yang mengutus mereka. Juga kepada Kakang-Mas Panji Sarono saya hendak bertanya, benarkah Kakang-Mas Panji Sarono mengutus kaki tangannya untuk melakukan pembunuhan atas diri Ong Cun?"

Dengan matanya yang berbinar-binar kini Darmini menoleh dan memandang kepada lima orang ini bergantian.

"Heh, kalian ini Empat Bajul. Siapakah nama kalian?"

"Hamba bernama Bajul Sengoro."

"Hamba Bajul Sengkolo."

"Hamba Bajul Paruso."

"Hamba Bajul Kanisto," Kata empat orang itu berturut-turut.

"Kalian sudah mendengar sendiri pertanyaan Nini Darmini, karena itu jawablah sejujurnya agar persoalan ini segera dapat diselesaikan," Kata pula Empu Tanding.

Empat orang itu saling pandang, kemudian Bajul Sengoro yang agaknya menjadi pimpinan mereka, menjawab sambil melotot kearah Darmini. "Kami adalah Empat Bajul yang selamanya tidak pernah dipaksa membuat pengakuan apapun oleh siapapun, kecuali oleh atasan kami atau kalau kami sudah dikalahkan. Karena itu kami baru mau membuat pengakuan kalau nona ini mampu mengalahkan kami!"

Mendengar ucapan Bajul Sengoro itu, tiga temannya mengangguk-angguk, tersenyum mengejek dan memandang kepada Darmini. Mendengar ini, Empu Tanding mengerutkan alisnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mau bertindak berat sebelah, apalagi karena empat orang itu adalah anak buah dari puteranya sendiri.

"Nini, engkau sudah mendengar jawaban mereka, terserah kepadamu."

"Mbak-Ayu, Darmini, biarlah aku yang menghadapi empat ekor buaya ini!" Bi Kwi berseru dan iapun sudah melangkah maju menghadapi Empat Bajul. Akan tetapi Darmini juga melangkah maju dan berkata.

"Mereka maju berempat, biarlah kita maju berdua, Bi Kwi. Nah, Empat Bajul, kami berdua melawan kalian berempat dan kalau kalian kalah, kalian harus memenuhi janji dan menceritakan segala yang telah terjadi dengan sebenarnya karena ketahuilah, untuk menentang kejahatan dan menegakkan keadilan, kami tidak sega-segan untuk membunuh kalian kalau kalian berbohong!"

Empu Tanding tidak melarang melihat kedua orang gadis itu maju. Memang mereka berdua itulah yang langsung tersangkut dalam urusan ini, sedangkan Sridenta hanya berdiri di sudut, menonton dengan sikap tenang.

"Boleh, kedua pihak boleh maju, empat lawan dua, akan tetapi tidak boleh mempergunakan senjata karena disini hanya merupakan pertandingan adu kepandaian. Nah mulailah!"

Karena dilarang mempergunakan senjata mereka, Empat Bajul itu melemparkan senjata mereka kesudut ruangan, sedangkan dua orang gadis itupun melepaskan pedang dan Darmini menyerahkan dua batang pedang itu kepada Sridenta. Pemuda ini percaya sepenuhnya bahwa Darmini dan gadis Cina itu tidak akan kalah. Dia tadi sudah melihat gerakan gadis Cina itu ketika ia berkelahi dan dikeroyok banyak orang.

Empat Bajul tadi sudah pernah mengeroyok Bi Kwi dan mereka tahu betapa lihainya gadis Cina itu, maka Bajul Sengoro lalu memberi isyarat kepada teman-temannya, yaitu dia dan Bajul Sengkolo mengeroyok Bi Kwi sedangkan Bajul Paruso dan Bajul Kanisto menghadapi Darmini.

Mereka berloncatan kedepan dan segera mengepung dari kanan kiri. Darmini menghadapi Bajul Paruso dan Bajul Kanisto. Yang pertama merupakan orang paling bersih dan tampan diantara mereka berempat dan Bajul Paruso ini juga terkenal dengan kecabulan dan mata keranjangnya. Usianya sudah tiga puluh lima tahun lebih dan tubuhnya sedang, kini dia menghadapi Darmini dari kanan, sedangkan Bajul Kanisto yang pendek gendut bermuka buruk itu maju dari arah kiri.

Darmini berdiri tegak saja, tidak menggerakkan tubuh, hanya sepasang matanya saja yang melirik kekanan kiri penuh kewaspadaan, kedua tangannya dipasang dengan gaya Braja-gunting, kedua pergelangan tangan saling bersilang di depan dada, sepuluh jari tangan terbuka dan menunjuk keatas.

"Heeeaahh...!" Tiba-tiba Bajul Sengoro membentak dan tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak menubruk kedepan, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan tangannya yang besar dengan jari-jari panjang kuat itu mencengkeram ke arah kepala dan dada Bi Kwi yang dikepung di sisi lain.

Gadis ini dikepung oleh Bajul Sengoro dan Bajul Sengkolo dan kini dalam serangannya tiba-tiba Bajul Sengoro sudah membuka serangannya. Tadi Bi Kwi berdiri dengan kedua lutut ditekuk, agak merendah, dengan kedua lengan dikembangkan lurus dengan pundak, ke kanan kiri, dengan tangan terbuka dan jari berdiri tegak.

Melihat tubrukan Bajul Sengoro yang menyerang dengan cengkeram ini, Bi Kwi tidak menjadi, dengan sigap kedua kakinya digeser dan tubuhnya sudah berada diluar jangkauan kedua tangan besar berbulu itu, bahkan ia membalas secara kontan dengan sebuah tendangan ke arah lambung Bajul Sengoro yang berdiri miring.

"Dukk!"

Bajul Sengoro menangkis dengan lengannya dan tubuhnya terdorong oleh kerasnya tendangan, namun dia telah menghindarkan lambungnya terkena tendangan itu, sedangkan pada saat itu, Bajul Sengoro sudah menyerang dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Bi Kwi dari belakang.

Lengan orang ke dua dari Empat Bajul ini panjang sekali dan tahu-tahu sudah menyambar dekat tangan yang memukul dengan miring terbuka seperti golok itu. Namun, angin pukulannya terdengar oleh Bi Kwi dan gadis inipun cepat membalik dan mencengkeram ke arah lengan yang menyambarnya.

Untung Bajul Sengkolo masih sempat menarik kembali lengannya, kalau tidak, tentu lengan itu akan terkena cengkeraman Bi Kwi yang dapat menghancurkan kulit daging dan mematahkan tulang! Kedua orang itu lalu menyerang lagi bertubi-tubi dan sebentar saja Bi Kwi harus mempergunakan kelincahan tubuhnya dengan geseran-geseran kaki yang mantap, yang merupakan ciri khas dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Kuil Siauw-Lim.

Sementara itu, gerakan Darmini lain lagi dalam menghadapi pengeroyokan dua orng lawannya. Ia telah digembleng oleh Panembahan Ganggamurti dengan ilmu yang membuat tubuhnya dapat bergerak ringan dan cepat seperti burung srikatan saja, sehingga serangan kedua orang itu selalu luput dan sebaliknya, tamparan tangan dan tendangan kaki Darmini membuat keduanya menjadi repot sekali.

"Kena...!" Tiba-tiba Bajul Paruso berteriak, menubruk maju dan kedua tangannya mencengkeram ke arah dada Darmini. Sungguh merupakan serangan yang curang dan tidak sopan terhadap seorang lawan wanita!

Darmini cepat memutar tubuhnya menghindarkan dadanya dicengkeram, dan berbareng kakinya mencuat dari samping belakang, menyambut tubuh Bajul Paruso.

"Bukkk!!" Tumit kaki Darmini mengenai ulu hati orang ke tiga dari Empat Bajul itu.

"Hekkkk!" Tubuh Bajul Paruso terjengkang dan dia megap-megap karena sukar bernapas, kemudian dia roboh tak sadarkan diri!

Melihat ini, Bajul Kanisto menyerang kalang kabut dengan marah sekali, akan tetapi Darmini yang membayangkan betapa empat orang ini pernah mengeroyok Ong Cun dan berusaha membunuhnya, bahkan mungkin terjadi pembunuhan, sudah menyambutnya dengan tamparan keras yang mengenai telingan kanannya.

"Plakk!"

Tamparan itu keras sekali. Tubuh Bajul Kanisto terputar, lalu diapun roboh tak sadarkan diri. Ketika Darmini membalikkan tubuh untuk membantu Bi Kwi, ia melihat betapa Bajul Sengkolo sudah roboh merintih-rintih memegang pundak kanannya yang patah tulangnya, sedangkan Bajul Sengoro sudah repot sekali menghadapi serangan Bi Kwi. Biarpun orang pertama Empat Bajul itu sudah berusaha untuk melindungi dirinya dengan ilmu kekebalan, namun ketika kaki Bi Kwi yang kecil itu melayang ke arah mukanya, diapun tidak mampu menghindar lagi.

"Prakkk!"

Rontoklah gigi dari mulut Bajul Sengoro dan hidungnya berdarah pula, seperti mulutnya yang juga berdarah dan ketika dia mengaduh sambil mundur, Bi Kwi menyusulkan totokan ke arah pundaknya dan tubuhnya roboh terkulai dengan lemas tak mampu berkutik lagi.

Diam-diam Empu Tanding memandang kagum. Dua orang gadis itu sungguh hebat, memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Kepandaian Empat Bajul tadi jelas amat dahsyat, namun ternyata mereka berempat dapat dirobohkan oleh dua orang gadis itu dalam waktu yang tidak terlalu lama!

Diapun menoleh kepada Panji Sarono yang berdiri dengan muka agak pucat melihat betapa empat orang kaki tangannya yang paling diandalkan itu roboh semua. Biarpun dia sendiri juga memiliki kepandaian yang tinggi, apalagi setelah selama ini dia sering minta petunjuk Empu Kebondanu, namun harus diakuinya bahwa kalau empat orang kepercayaannya itu yang maju bersama saja kalah, maka dia seorang diripun takkan menang menghadapi dua orang gadis itu.

"Panji Sarono!" Panggilan membentak dari Ayahnya ini mengejutkan hatinya.

"Bagaimana dengan engkau? Engkau mau memberi keterangan sejelasnya dan sejujurnya, ataukah engkau kini sudah seperti orang-orang kasar ini, bersikap pengecut dan tidak berani mengaku terus terang dan ingin menguji kepandaian kedua orang gadis ini?"

"Kakang-Mas Panji Sarono, lebih baik engkau mengaku saja terus terang dan jangan mengajak mereka bertanding. Baru melawan nona Ong Bi Kwi ini saja, wah akan sukar mencapai kemenangan. Ia tangguh bukan main! Dan lagi, kalau memang engkau tidak bersalah, apa salahnya mengaku, Kakang-Mas?" Kata Panji saroto kepada Kakaknya.

Dia tahu bahwa Kakaknya menyeleweng dan suka bergaul dengan segala macam penjahat, suka sekali mengejar dan mempermainkan wanita, baik wanita itu perawan, janda ataukah isteri orang lain! Akan tetapi, dia tidak pernah melihat petunjuk Kakaknya membunuh orang dengan tangannya sendiri.

Panji Sarono meragu. Tadinya dia merasa penasaran, merasa disudutkan oleh Darmini dan dia merasa malu kalau harus mengalah kepada seorang wanita saja. Ingin ia menggunakan kekerasan dan melawan, akan tetapi ucapan adiknya itu menyadarkannya. Adiknya ini memiliki kedigdayaan yang mungkin masih berada di atas tingkatnya, dan kalau adiknya memuji, tentu bukan pujian kosong. Aplagi dia memang tidak merasa bersalah mengenai pembunuhan atas diri Ong Cun.

"Baiklah, kau mau bertanya apa, akan kujawab sebenarnya!" akhirnya dia berkata sambil memandang kepada Darmini dengan mata berkilat karena hatinya mendongkol sekali.

Legalah hati Darmini. Sama sekali ia tidak gentar menghadapi Panji Sarono akan tetapi tidak enaklah rasa hatinya kalau ia harus mengalahkan pemuda itu didepan Uwanya. Dan kini Panji Sarono bersedia menjawab, di depan Empu Tanding pula, tentu tidak berani berbohong.

"Kakang-Mas Panji Sarono," Katanya dengan hormat walaupun tegas dan lantang. "Menurut hasil penyelidikan kami, engkau pernah mengutus Empat Bajul ini untuk membunuh Ong Cun. Benarkah engkau melakukan hal itu?"

"Benar, memang aku pernah mengutus mereka untuk membunuh pemuda Cina itu..."

"Panji Sarono!" Tiba-tiba Empu Tanding membentak marah, mukanya menjadi pucat kemudian merah sekali. "Tak kusangka engkau telah melakukan kejahatan di luar tahuku! Keparat, engkau memalukan orang tua. Kenapa engkau mengutus mereka untuk melakukan perbuatan keji itu?"

Hampir saja Empu Tanding menghampiri puteranya untuk memukulnya, kalau saja Panji Saroto tidak menyentuh lengan Ayahnya itu untuk menyabarkannya. Kini, pemuda yang merasa tersudut itu menghadapi Ayahnya, mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi tidak ada tanda sedikitpun juga bahwa dia merasa telah melakukan suatu kesalahan.

"Kanjeng Rama tentu masih ingat betapa sakit hati saya ketika pinangan kita ditolak oleh Diajeng Darmini yang sudah bertunangan dengan seorang pemuda Cina. Saya menganggapnya suatu penghinaan, dan pemuda itu saya anggap sebagai penghalang, oleh karena itu saya mengutus mereka berempat ini untuk membunuhnya!"

Bi Kwi sudah mengepal tinju, akan tetapi pundaknya dirangkul Darmini dan iapun sadar bahwa ia tidak boleh menurutkan perasaan hatinya.

"Kalau begitu benar mereka inilah yang telah membunuh Ong Cun?" Tanya Darmini kepada Panji Sarono.

Pemuda itu mendengus dan menjawab dengan sikap acuh. "Tanya saja sendiri kepada mereka!"

Bi Kwi juga sudah tidak sabaran lagi, lalu menghampiri Bajul Sengoro yang masih tidak mampu berkutik karena tertotok tadi. Ia membebaskan totokannya, sehingga Bajul Sengoro mampu bergerak lagi dan orang inipun bangkit duduk di atas lantai, kepalanya ditundukkan karena maklumlah orang pertama dari Empat Bajul ini bahwa mereka telah kalah.

"Engkau tadi sudah berjanji, kalau kalah akan menjawab sejujurnya. Awas, kalau kalian berbohong, aku tidak akan segan-segan menyiksa atau membunuhmu!" Kata Bi Kwi.

 "Nah, Mbak-Ayu Darmini, tanyai mereka!"

Darmini bertanya kepada Bajul Sengoro yang dianggap pemimpin keempat orang tukang pukul itu. "Bajul Sengoro, sekarang ceritakan dengan jelas bagaimana kalian berempat melaksanakan tugas yang diperintahkan Raden Panji Sarono, kepada kalian untuk membunuh Ong Cun."

Bajul Sengoro menarik napas panjang. "Setelah menerima perintah, kami berempat lalu menghadangnya dan pada malam itu, tak berapa jauh dari rumah Ki Demang Bragolo di Lumajang, ketika pemuda Cina itu keluar dari taman, kami membayangi dan di jalan yang sunyi kami lalu menyerangnya. Dia melawan dan kami berkelahi di tempat yang mulai gelap itu."

"Dan kalian... kalian membunuhnya?" Bi Kwi berteriak dengan suara gemetar, kedua tangannya dikepal dan sukar baginya untuk menahan diri.

"Tidak!" Bajul Sengoro menggeleng kepala. "Kami... kami kalah dan kami nyaris celaka..."

"Keparat, jangan bohong!" Tiba-tiba Panji Sarono berteriak. "Bajul Sengoro, kalian pulang dan mengatakan kepadaku bahwa kalian sudah berhasil membunuhnya, dan kalian menuntut upah yang besar!"

"Bukan... bukan kami yang membunuhnya, Raden."

"Kalau begitu engkau menipuku!" Panji Sarono berteriak lagi.

Ayahnya lalu menghardiknya. "Panji Sarono, tutup mulutmu! Baru terbuka matamu betapa engkau tidak boleh bergaul dan percaya kepada orang-orang macam ini? Nini Darmini, teruskan pemeriksaanmu terhadap mereka!"

"Bajul Sengoro, engkau mengatakan bahwa engkau dan tiga orang kawanmu tidak mampu membunuh Ong Cun karena kalian kalah. Hal ini masuk di akal," Darmini memandang kepada Bi Kwi yang mengerti bahwa memang sukar dipercaya kalau empat orang ini mampu mengalahkan dan membunuh Kakak kandungnya yang lihai itu.

"Akan tetapi, engkau telah melapor kepada Kakang-Mas Panji Sarono bahwa kalian telah membunuhnya, dan tadi kau katakan bahwa bukan kalian yang membunuhnya. Bagaimana ini? Siapa sesungguhnya yang telah membunuhnya? Kalian harus dapat mengatakan, baru aku percaya benar bahwa kalian bukan pembunuhnya."

"Kami tidak tahu, ketika kami berempat kewalahan menghadapi pemuda Cina itu, di dalam keremangan malam, tiba-tiba muncul bayangan hitam yang menyerang pemuda itu dengan tiba-tiba. Pemuda Cina itu terluka dan roboh, dan kemudian kami mendengar bahwa dia telah tewas."

"Bayangan hitam? Siapa dia...?" Bi Kwi ikut membentak.

Empat orang itu saling pandang dan kini Bajul Kanisto yang membantu Kakaknya menjawab. "Keadaan waktu itu remang-remang, kami sungguh tidak mengetahui siapa orang yang mengenakan pakaian serba hitam itu, apalagi dia memakai sebuah topeng hitam pula."

"Pakaian hitam? Topeng hitam? Perawakannya sedang dan tegap?" Darmini bertanya, suaranya mendesak dan napasnya memburu.

Empat Bajul itu mengangguk dan membenarkan.

"Si Walet Hitam...!" Darmini berseru sambil mengepal tinju.

Empu Tanding terkejut mendengar disebutnya nama ini. "Si Walet Hitam? Tapi dia... dia juga seorang Cina, dialah yang membantu pemberontak Lumajang, dia pula yang mengakibatkan orang-orang Cina dimusuhi!"

Darmini mengangguk-angguk, "Hemmm... Walet Hitam, dia membunuh Ong cun. Aku harus menemukan dia, apapun yang terjadi!"

"Aku akan membantumu, Mbak-Ayu Darmini!" Kata Bi Kwi.

"Akupun akan mencari jejaknya agar engkau dapat cepat menemukannya, Diajeng Darmini," Kata Sridenta.

"Terima kasih, Kakang-Mas. Akan tetapi, masih ada lagi pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Kakang-Mas Panji Sarono. Kakang-Mas Panji, dari keterangan empat orang ini, jelas bahwa pembunuh Ong Cun bukan engkau, bukan pula mereka ini, melainkan menurut perkiraanku adalah Walet Hitam, sekarang aku masih ingin bertanya kepadamu. Apa yang kau lakukan pada malam itu, malam sesudah terjadi pembunuan atas diri Ong Cun? Apa yang telah kau lakukan pada malam Jumat Kliwon yang terkutuk itu?"

Panji Sarono memandang wajah Darmini dengan sinar mata penuh pertanyaan. Sejenak mereka berpandangan dan Darmini melihat bahwa pemuda itu tidak menyembunyikan sesuatu.

"Apa maksudmu, Darmini? Aku begitu gugup setelah mereka membohongi aku bahwa mereka telah berhasil membunuh pemuda Cina itu, dan karena khawatir, malam-malam berikutnya aku tidak berada di Lumajang, melainkan lari ke Majapahit sini untuk mencari hiburan."

Darmini percaya akan keterangan ini. Memang bukan pemuda ini yang telah memperkosanya karena orang itu memiliki tubuh yang lebih besar. "Satu pertanyaan lagi, Kakang-Mas Panji Sarono, dan kuharap engkau suka memberi keterangan yang sejujurnya. Ketika aku pergi untuk berguru ke Gunung Bromo, di dalam hutan di kaki Gunung Bromo, aku dan pengawalku, yaitu Paman Nala, diserang orang dengan anak panah sehingga Paman Nala terkena anak panah dan tewas..."

"Aku sama sekali tidak tahu akan hal itu! Aku tidak membunuh pengawalmu atau siapapun juga!" Panji Sarono membantah cepat.

"Pertanyaanku belum habis, Kakang-Mas Panji Sarono, ketika aku bertemu dengan Paman Empu Kebondanu yang menyuruh aku bertapa dalam sebuah guha, lalu muncul seorang bertopeng yang menggangguku. Tahukah engkau siapa orang itu?"

Terdengar seruan tertahan dan Darmini melirik ke arah Sridenta yang mengeluarkan suara itu. Ia melihat Kakak seperguruan itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam ke arah Panji Sarono sehingga ia pun kini menatap lagi wajah Panji Sarono yang nampak agak pucat.

"Aku... tidak tahu apa-apa..."

"Diajeng Darmini, dialah orangnya! Dialah dulu yang bertopeng mengganggumu di dalam guha itu. Tadi ketika aku berkelahi dengannya, aku sudah merasa heran karena mengenal gerakan-gerakannya, akan tetapi aku lupa lagi di mana dan kapan. Ketika tadi engkau bercerita tentang gangguan orang bertopeng di dalam guha itu, teringatlah aku." Tiba-tiba Sridenta berkata dan mendengar ini wajah Panji Sarono menjadi makin pucat.

"Hemm, keparat! Puteraku boleh jadi menyeleweng, akan tetapi tidak boleh menjadi pengecut! Panji Sarono, kalau benar engkau bersalah, mengakulah!"

Bentak Empu Tanding yang mukanya berubah merah sekali, apalagi tadi dia melihat sendiri betapa Empu Kebondanu berada di situ, tanda bahwa memang ada hubungan antara puteranya ini dengan Empu Kebondanu yang berkhianat dan dia sudah mendengar betapa Kakak seperguruannya itu kini membantu Wiratama.

"Baiklah, Kanjeng Rama, saya akan mengaku," Katanya dengan muka pucat. "Saya tidak sudi menjadi pengecut. Penolakan cinta dan pinangan saya terhadap Darmini sungguh menyakitkan hati saya, kemudian pengakuan Empat Bajul bahwa mereka telah berhasil membunuh Ong Cun, membuat hati saya selalu gelisah. Oleh karena itu, setelah berada di Kotaraja, saya lalu mengambil keputusan untuk pergi mengunjungi Paman Empu Kebondanu, untuk belajar ilmu dan sementara menjauhkan diri. Akan tetapi, pada suatu hari, saya melihat Darmini menghadap Paman Empu Kebondanu dan diperintahkan bertapa di sebuah guha. Hati saya tergerak dan bujukan iblis menguasai saya. Saya lalu mengenakan topeng dan bermaksud untuk memiliki Diajeng Darmini, walaupun secara paksa. Akan tetapi orang ini datang menggagalkan niat saya." Dia memandang kepada Sridenta.

Empu Tanding marah sekali. "Jahanam engkau, Panji Sarono! Semenjak kecil segala keinginanmu kupenuhi belaka, dan sekarang apa yang kau lakukan untuk membalas semua kebaikan orang tuamu? Engkau mencoreng arang di muka orang tuamu dengan perbuatan yang keji dan jahat! Sungguh memalukan. Hayo katakan, apa pula artinya kehadiran Kakang Empu Kebondanu disini!"

Panji Sarono sudah merasa tersudut dan diapun kini melihat kenyataan betapa semua tingkah lakunya yang lalu bertentangan sama sekali dengan watak Ayahnya atau juga watak adiknya, Panji Saroto. Dia dikelilingi oleh teman-teman yang pandai membujuknya, menyeretnya ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan dan pengumbaran nafsu.

"Kanjeng Rama, sesungguhnya Paman Empu Kebondanu mendatangi saya untuk membujuk saya agar suka bersekutu dengan Wiratama dan membantu gerakan mereka bersama semua pembantu dan anak buah saya."

"Keparat jahanam! Engkau bahkan hendak menjadi pengkhianat!" Empu Tanding mencabut kerisnya dengan muka merah, akan tetapi pada saat itu Panji Saroto meloncat ke depan dan memegang lengan Ayahnya.

"Kanjeng Rama harap ingat dan menyadari bahwa Kakang-Mas Panji Sarono adalah putera Kanjeng rama sendiri," Kata pemuda ini dengan tenang.

"Tapi dia tersesat, harus dihukum!" Bentak Empu Tanding.

"Benar sekali, Kanjeng Rama, akan tetapi bukan melalui kematian di tangan Kanjeng Rama sendiri. Masih ada pengadilan yang akan mempertimbangkan kesalahannya. Bagaimanapun juga, perbuatannya yang jahat terhadap Mbak-Ayu Darmini belum terlaksana, bukan? Juga, dia belum sampai berkhianat, baru menerima bujukan Paman Empu Kebondanu. Bahkan usahanya membunuh Ong Cun ketika itupun gagal, berarti bukan dia yang bertanggung jawab atas kematian Ong Cun. Bukankah demikian, Mbak-Ayu Darmini?"

Melihat betapa marahnya Empu Tanding yang hendak membunuh puteranya sendiri, Darmini juga membujuk, "Sudahlah, Kanjeng Paman, memang benar seperti dikatakan Adimas Panji Saroto."

Akan tetapi Empu Tanding masih marah sekali. Dia lalu memanggil perajurit-perajuritnya dan memerintahkan mereka agar menangkap Panji Sarono, Empat Bajul dan semua anak buah Panji Sarono, menjebloskan mereka ke dalam penjara menanti keputusan pengadilan selanjutnya!

Dengan kepala ditundukkan dan tidak melawan sama sekali Panji Sarono lalu ditangkap bersama semua anak buahnya, digiring oleh pasukan perajurit ke dalam penjara. Melihat keadaan Kakaknya yang amat dicintainya, Panji Saroto menjadi sedih sekali dan diapun mengepal tinju lalu berkata lantang,

"Keparat Wiratama! Dialah yang menjadi biang keladi sampai Kakang-Mas Panji Sarono terbujuk! Aku akan membuka kedoknya dan menghancurkan persekutuannya!"

Sridenta yang sejak tadi merasa suka dan kagum kepada putera ke dua Empu Tanding ini, segera berkata, "Kalau boleh, aku bersedia membantumu, Adimas Panji Saroto."

Panji Saroto juga kagum terhadap Sridenta, apalagi mendengar bahwa pemuda ini adalah Kakak seperguruan Darmini, bahkan putera dari Pangeran Arya Cakra, bangsawan tinggi yang sudah meninggal dunia dan yang meninggalkan nama harum diantara para bangsawan dan pamong praja. "Aku akan merasa gembira sekali kalau kita dapat bekerja sama, Kakang-Mas Sridenta."

Sementara itu, Darmini yang diam-diam merasa kecewa sekali karena penyelidikannya ternyata tidak berhasil menemukan musuh yang dicarinya, segera berpamit kepada Empu Tanding. "Kanjeng Paman, saya mohon pamit dan maafkanlah kalau saya telah mendatangkan hal-hal yang tidak enak bagi keluarga Kanjeng Paman."

Empu Tanding menarik napas panjang. Betapa segala peristiwa besar dimulai dari hal-hal kecil, api kebakaran yang besarpun selalu dimulai bunga api yang kecil. Andaikata dahulu gadis ini menerima pinangan puteranya, dan berjodoh dengan Panji Sarono, tentu Ong Cun tidak sampai terbunuh dan tidak akan terjadi perkara sekarang ini. Mungkin saja kebijaksanaan Darmini sebagai isteri Panji Sarono akan dapat mengubah jalan hidup puteranya yang tersesat itu. Kalau saja... Kalau saja..."

Ah, semua itu hanya khayal muluk. Kenyataannya amatlah pahit. Dia tidak banyak cakap, hanya berkata dengan suara sedih.

"Tidak perlu minta maaf, Nini. Bahkan engkau telah berjasa karena kalau tidak ada sepak terjangmu ini, mungkin sampai kini aku tidak tahu akan keadaan dan penyelewengan Panji Sarono, bahkan mungkin dia akan benar-benar membantu Wiratama dan hal itu akan merupakan malapetaka paling besar bagi keluarga kami."

Ketika hendak pergi, ada kilatan empat pasang mata yang saling pandang. Antara mata Bi Kwi dan Panji Saroto, dan antara mata Darmini dan Sridenta. Biarpun hanya sekilas pandang, namun masing-masing merasa seolah-olah pandang mata masing-masing itu menembus sampai jantung.

Dalam perjalanan pulang ke rumah Raden Gajah, dua orang gadis itu tidak banyak bicara. Masing-masing berjalan sambil termenung, dan diam-diam masing-masing membayangkan wajah pria yang menarik hati mereka.

Bi Kwi kagum kepada Panji Saroto yang ternyata bertindak cepat. Tanpa diberitahukan ia dapat menduga bahwa munculnya Empu Tanding bersama pasukannya tentu karena pemberitahuan Panji Saroto, dan ia melihat betapa besar perbedaan dalam watak antara Panji Sarono yang tersesat dengan Panji Saroto yang gagah perkasa dan bijaksana. Ketika Panji Saroto mencegah Ayahnya hendak membunuh Panji Sarono sudah menunjukkan betapa pemuda itu amat bijaksana.

Juga Darmini terkenang kepada Sridenta. Pemuda itu muncul dalam saat yang amat tepat, karena kalau tidak ada Sridenta, tentu ia dan Bi Kwi terancam bahaya besar. Biarpun keduanya tertarik dan selalu membayangkan pria yang dikaguminya, namun mereka merasa kecewa.

Peristiwa yang terjadi dengan Empat Bajul dan Panji Sarono membuyarkan harapan mereka untuk dapat membongkar rahasia kematian Ong Cun dan Nala, juga bagi Darmini, masih belum dapat ia menduga siapa yang memperkosanya. Yang diketahuinya hanyalah rahasianya orang bertopeng yang mengganggunya di dalam guha, ternyata orang itu adalah Panji Sarono.

Akan tetapi peristiwaitu kecil saja artinya dibandingkan tiga peristiwa lain yang belum dapat di bongkar, yaitu kematian Ong Cun, kematian Paman Nala dan pemerkosaan atas dirinya. Melihat Darmini termenung dan kadang-kadang menarik napas panjang, Bi Kwi berkata,

"Engkau tentu kecewa, seperti aku, karena rahasia kematian Kakakku Ong Cun belum juga terbongkar dan ternyata mereka itu tadi tidak bertanggung jawab atas kematiannya."

"Benar adikku. Betapapun juga, kita memperoleh jejak baru, yaitu Walet Hitam. Kita harus dapat menemukannya!"

"Memang, kita harus dapat menemukannya, Mbak-Ayu Darmini. Akan tetapi, dimana dia?"

"Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi, mari kita bicarakan dengan Paman Raden Gajah. Bukankah dia tahu siapa adanya orang rahasia itu? Mungkin dia dapat memberi petunjuk kepada kita."

Akan tetapi, dua orang gadis itupun tidak memperoleh petunjuk yang memuaskan dari Raden Gajah. Senopati ini mendengar semua penuturan Darmini tentang peristiwa yang terjadi dengan keluarga Empu Tanding dan diapun menghela napas panjang.

"Sungguh sayang sekali mengapa putera sulung Empu Tanding sampai melakukan penyelewengan dan bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan akhir-akhir ini berhubungan dengan kaum pemberontak Lumajang. Empu Tanding sendiri adalah seorang hamba Majapahit yang setia, dan merupakan pembantuku yang boleh dipercaya. Tindakannya sungguh tepat untuk menawan puteranya sendiri dan anak buah Panji Sarono. Akan tetapi, tentang Walet Hitam, siapa yang dapat mencarinya? Sejak dahulu, ketika dia membantu mendiang Wirabumi, orang itu penuh rahasia dan sukar sekali ditangkap. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tidak seorangpun tahu siapa dia sebenarnya, walaupun kami yakin bahwa dia adalah seorang Cina yang berilmu tinggi. Mengingat bahwa dia dahulu membantu Lumajang, sangat boleh jadi sekarang diapun berhubungan dekat dengan orang-orang yang masih setia kepada Lumajang. Dan tokoh yang paling menonjol adalah Wiratama."

Hanya itulah petunjuk yang dapat diberikan oleh Raden Gajah. Dua gadis itu lalu mengadakan perundingan di dalam kamar mereka.

"Aku tidak yakin bahwa Walet Hitam berada di rumah Wiratama," Kata Bi Kwi.

"Selama aku berada di rumah itu, aku memperoleh kebebasan dan tidak pernah aku melihat Walet Hitam di sana. Andaikata benar dia berada di sana, walaupun secara bersembunyi, tak mungkin aku tidak melihatnya atau bayangannya. Kurasa Walet Hitam mempunyai tempat persembunyian yang lain."

Darmini mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Karena engkau pernah tinggal di sana, tentu pendapatmu itu ada benarnya. Akan tetapi, petunjuk Paman Senopati itupun tepat. Mengingat bahwa Walet Hitam pernah membela Wirabumi, maka setelah kini dia muncul lagi, boleh dipastikan dia berhubungan dengan orang-orang yang setia kepada Lumajang. Kita tinggal mencari saja tokoh mana selain Wiratama yang setia kepada Lumajang, tentu saja tokoh yang menonjol dan penting."

"Ki Demang Bragolo...!" Kata Bi Kwi.

Darmini terkejut memandang kepada Bi kwi dan ia terheran. "Kanjeng Rama Bragolo...? Wah, bagaimana engkau dapat mencurigainya, Bi Kwi?"

"Maaf, Mbak-Ayu Darmini, aku hampir lupa bahwa dia adalah Ayahmu..." Kata Bi Kwi, memandang khawatir.

Darmini tersenyum dan memegang lengan Bi Kwi. "Hanya Ayah tiri, adikku, dan kini hubungan antara kami tidak baik lagi karena Ibuku ditinggalkannya di Lumajang."

"Ayah tiri...?" Bi Kwi nampak terkejut. "Kenapa Kwee-Toako tiak pernah menceritakan hal itu kepadaku?"

"Kwee Lok tentu tidak tahu. Aku tidak pernah bercerita kepada siapapun, bahkan mendiang Ong Cun sendiri tidak tahu. Kanjeng Rama selalu baik kepadaku, seperti kepada anak kandung sendiri. Hanya sekembaliku dari perguruan, dan melihat betapa Ibu kandungku tidak ikut bersama dia ke Majapahit karena Ibuku tidak tahan terhadap kesombongan seorang selir barunya, hubungan antara kami menjadi agak tegang. Akan tetapi, lepas dari pada hubungan keluarga antara dia dan aku, apa sebabnya engkau tadi menyebut namanya sebagai orang yang patut dicurigai menyembunyikan Walet Hitam?"

"Begini, Mbak-Ayu Darmini. ketika pertama kali kita bertemu di rumah Ki Demang Bragolo, aku datang berkunjung kepadanya, dibawa oleh Wiratama, aku melihat betapa sikapnya amat merendah terhadap Wiratama. Aku yakin bahwa Ki Demang bragolo berpihak kepada Wiratama. Tentu dia juga termasuk kelompok orang yang setia kepada Lumajang, memusuhi Majapahit. Nah, bukankah hal itu mencurigakan dan siapa tahu, Walet Hitam bersembunyi di rumahnya."

Darmini mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. Siapa tahu, pikirnya. Terjadi perubahan besar pada diri Ayah tirinya itu. Ia sendiri tidak sangat yakin akan kesetiaan Ayahnya terhadap Majapahit. Bukankah Ayahnya juga seorang yang dulu setia kepada Lumajang.?

"Memang sebaiknya kita menyelidiki pula kemungkinan itu," Katanya.

"Mulai sekarang setiap hari, terutama sekali malamnya, kita haus keluar dan melakukan pengintaian, terutama di rumah Wiratama dan Ki Demang Bragolo."

Demikianlah, mulai hari itu, kedua orang gadis perkasa ini setiap malam berkeliaran di seluruh kota, kadang-kadang mereka mendekam dan mengintai di atas genteng rumah tak jauh dari gedung Wiratama atau Ki Demang Bragolo. Mereka melakukan pengintaian dengan amat tekun.

Pada suatu malam terang bulan, beberapa hari kemudian, ketekunan mereka memperoleh hasil. Ketika itu keduanya melakukan pengintaian terhadap rumah Ki Demang Bragolo dan menjelang tengah malam, sewaktu mereka mulai merasa bosan dan hendak pergi mencari ke lain tempat, tiba-tiba Darmini yang kebetulan memandang ke arah kiri, memegang lengan Bi Kwi. Gadis ini menengok dan iapun melihat apa yang dilihat Darmini.

Sesosok bayangan hitam nampak datang menuju ke rumah gedung Ki Demang Bragolo. Dua orang gadis itu serentak berlompatan menyambut orang itu dan setelah dekat, mereka menjadi semakin bersemangat karena bayangan itulah yang mereka cari selama ini! Seorang yang memakai pakaian dan topeng hitam! Orang itu nampak terkejut, terlihat dari sinar matanya dari balik topeng hitam itu, ketika melihat betapa tahu-tahu ada dua orang pemuda berdiri didepannya.

"Berhenti!" Darmini menghardik dan memandang tajam. "Engkau Walet Hitam yang dulu pernah hendak membunuh Raden Gajah! Mengakulah saja bahwa dahulu engkau telah membunuh Ong Cun."

Akan tetapi orang bertopeng itu tidak menjawab, hanya sepasang mata dibalik topeng itu mencorong dan memandang Darmini dengan sinar mata tajam penuh tantangan.

"Hek-Yan-Cu (Walet Hitam), kalau engkau memang seorang gagah yang bertanggung jawab, mengakulah bahwa engkau benar telah membunuh Kakakku Ong Cun!" Kata pula Bi Kwi, mempergunakan bahasa Cina sambil memandang penuh selidik, seolah-olah ingin ia merobek topeng itu dengan pandang matanya.

Akan tetapi, Walet Hitam juga tidak menjawab, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya hendak melarikan diri.

"Pembunuh jahat, hendak lari ke mana kau?" Darmini membentak dan bersama Bi Kwi iapun meloncat dan menghadang, lalu menyerang dengan pedang Lian-Hwa-Kiam yang sudah siap di tangannya.

Bi Kwi juga sudah mencabut pedang Liong-Cu-Kiam dan menyerang dengan dahsyat. Menghadapi serangan pedang dua orang gadis itu, Walet Hitam meloncat jauh ke belakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Diapun menggerakkan pedangnya dan terdengarlah suara berdencing berulang kali ketika pedangnya bertemu dengan pedang kedua gadis yang mengeroyoknya.

Terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian. Ilmu pedang Walet Hitam memang tangguh sekali, pedangnya lenyap dan menjadi sinar pedang bergulung-gulung, bagaikan seekor naga menghadapi serangan pedang dua gadis itu. Namun, ilmu pedang Bi Kwi dan Darmini juga cukup tangguh sehingga betapapun lihainya Walet Hitam menghadapi pengeroyokan dua wanita yang menyerang penuh semangat dan kemarahan bagaikan dua ekor naga betina itu, dia merasa repot juga.

"Keparat!" Teriak Bi Kwi setelah beberapa lamanya ia melihat gerakan pedang di tangan lawan. "Kiranya engkau seorang murid Siauw-Lim-Pai pula, seorang murid murtad dan menyeleweng yang suka melakukan kejahatan! Akulah yang akan mewakili Siauw-Lim-Pai menghukum murid murtad macam engkau!" Pedangnya berputar semakin cepat.

Walet Hitam menjadi semakin kewalahan dan dia hanya mampu mengelak dan menangkis saja, berloncatan ke sana-sini dan terus mundur, didesak hebat oleh dua batang pedang pusaka yang berkelebatan bagaikan kilat menyambar-nyambar mencari nyawa. Maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan kalah dan akan celaka di tangan dua orang gadis yang perkasa itu.

Dia terus mundur sampai akhirnya dia tiba dimulut lorong sempit dimana terdapat beberapa batang pohon besar yang membuat tempat itu menjadi gelap karena sinar bulan tidak dapat menembus daun pohon yang rimbun itu. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan dari tenggorokannya, dan tangan kirinya bergerak.

"Awas senjata rahasia!" Teriak Bi Kwi yang mengenal gerakan ini, ia terus memutar pedang di depan dadanya untuk melindungi tubuhnya.

Darmini terkejut, tidak mengenal gerakan itu, akan tetapi teriakan Bi Kwi membuat ia sadar bahwa ia terancam oleh sambaran senjata gelap, maka iapun cepat melempar tubuh ke atas tanah dan bergulingan. Terdengar suara nyaring ketika pedang Bi Kwi memukul runtuh beberapa batang senjata rahasia berupa paku-paku kecil dan Darmini juga terhindar dari sambaran senjata-senjata itu ketika ia bergulingan.

Akan tetapi ketika Darmini meloncat bangun dan Bi Kwi menghentikan pemutaran pedangnya, ternyata Walet Hitam telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dua gadis itu mencoba untuk melakukan pengejaran. Namun, hanya sebentar saja mereka masih dapat melihat berkelebatnya tubuh musuh itu, akan tetapi karena pakaian orang itu serba hitam, maka lenyaplah bayangan itu dan mereka tidak dapat mengetahui kemana Walet Hitam lari dan terpaksa menghentikan pengejaran mereka.

"Sayang sekali!" Darmini mengepal tinju kiri dan diacungkan ke arah kegelapan.

"Dia lihai dan jelas dia murid Siauw-Lim-Pai. Biarpun dia memiliki banyak macam gerakan, namun jelas bahwa dasar ilmu silatnya sama dengan ilmu silat yang kupelajari dari Siauw-Lim-Pai."

"Kalau begitu, engkau tentu dapat menduga siapa dia, Bi Kwi. Bukankah dia masih saudara seperguruanmu sendiri?"

Bi Kwi menggeleng kepalanya. "Wah, hal itu tidak mungkin, Mbak-Ayu Darmini. Siauw-Lim-Pai kini memiliki cabang dimana-mana, dan banyak tokohnya memiliki murid-murid. Disamping murid-murid yang belajar di Kuil Siauw-Lim-Si sendiri. Kini ada ratusan, bahkan ribuan orang yang mempelajari ilmu silat Siauw-Lim-Pai, bagaimana aku dapat menduganya? Mungkin selamanya aku belum pernah bertemu dengan orang itu."

Darmini mengerutkan alisnya, "Sukar diduga kalau begitu. Akan tetapi, aku yakin bahwa dia tentulah mengenal Ong Cun, hanya apa sebabnya dia membunuh Ong Cun? Sungguh sulit untuk diselidiki. Marilah kita menghadap Paman Senopati, beliau tentu akan dapat membantu kita dengan petunjuknya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka menghadap Raden Gajah dan menceritakan semua pengalaman mereka semalam ketika bertemu dengan Walet Hitam dan mengeroyoknya, akan tetapi sayang bahwa orang jahat itu dapat melarikan diri.

"Saya melihat jelas bahwa dia itu murid Siauw-Lim-Pai, akan tetapi kami tidak dapat menduga siapa dia dan mengapa pula dia membunuh Kakak saya Ong Cun. Kami menjadi bingung, tentu dia akan lebih berhati-hati dan tidak akan memperlihatkan dirinya," Kata Bi Kwi.

"Kami mohon petunjuk Kanjeng Paman, bagaimana selanjutnya kami dapat melanjutkan penyelidikan ini dan dapat menemukan Walet Hitam," Kata Darmini dengan suara sedih.

Raden Gajah mengerutkan alisnya, ikut memikirkan, kemudian menarik napas panjang. "Coba kau ceritakan lagi hasil penyelidikan kalian dan pendapat-pendapat kalian tentang peristiwa ini, mungkin dari keterangan-keterangan itu kita akan bisa menemukan sesuatu."

Darmini lalu menceritakan semua hasil penyelidikannya dan penyelidikan Bi Kwi. Mengenai pembunuhan atas diri Ong Cun, ia telah mendapatkan pengakuan dari Empat Bajul bahwa mereka memang disuruh oleh Panji Sarono untuk mengeroyok dan membunuh Ong Cun, akan tetapi mereka itu bahkan kalah oleh Ong Cun, dan didalam perkelahian itu tiba-tiba muncul seorang berpakaian dan bertopeng hitam yang menyerang dengan curang dan berhasil membunuh Ong Cun.

Empat Bajul tidak dapat menjelaskan siapa orang bertopeng itu, akan tetapi mudah diduga bahwa orang itu tentu Walet Hitam walaupun semalam Walet Hitam tidak membuat pengakuan.

"Yang membuat hati saya penasaran, Kanjeng Paman, menurut keterangan Bi Kwi Walet Hitam adalah murid Siauw-Lim-Pai. Padahal Ong Cun juga murid Siauw-Lim-Pai, lalu apa sebabnya dia membunuh Ong Cun?"

Senopati itu mengangguk-angguk. "Memang ada rahasianya tentu, dan kita dapat mengetahui bahwa Walet Hitam adalah seorang Cina yang membantu Lumajang pada waktu itu, bahkan membantu Wirabumi melarikan diri, dan melindunginya, membelanya ketika Wirabumi hendak saya tangkap. Melihat kenyataan bahwa dia memakai topeng, menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal, dan berarti bahwa banyak orang mengenalnya, baik dipihak rombongan Cina yang datang pada waktu itu, maupun dipihak orang-orang Lumajang. Ada dua alasan yang memungkinkan dia membunuh tunanganmu itu. Pertama, mungkin karena Ong Cun mengetahui rahasianya dan tahu siapa adanya Walet Hitam. Dan kedua, mengingat bahwa Walet Hitam membantu Lumajang karena mendapatkan hadiah, berarti bahwa dia seorang pembunuh bayaran, bukan tidak mungkin ada orang yang menyuruhnya membunuh Ong Cun. Dan kalau benar demikian, satu-satunya kemungkinan orang yang mengutusnya tentu karena tidak suka melihat engkau bertunangan dengan dia."

Darmini mengangguk-angguk. "Satu-satunya orang yang ingin membunuh Ong Cun karena pertunangannya dengan saya hanyalah Kakang-Mas Panji Sarono, Kanjeng Paman, dan dia sudah mengaku bahwa yang disuruhnya membunuh Ong Cun adalah Empat Bajul dan ternyata usaha itu gagal. Mengingat betapa keluarga Paman Empu Tanding setia kepada Majapahit, kiranya tidak mungkin kalau Walet Hitam dekat dengan mereka."

"Kalau begitu harus diselidiki siapa kiranya yang memusuhi Ong Cun ketika itu. Engkau tahu sendiri, Nini. Walet Hitam adalah orang yang melakukan apa saja asal diberi upah. Buktinya, dia berani datang dan berusaha membunuhku malam itu. Hal itupun tentu terjadi karena dia disuruh orang." Kata Raden Gajah.

"Penyelidikan kami hanya sampai disitu, Kanjeng Paman. Kami menduga bahwa Walet Hitam yang membunuh Ong Cun, seperti yang diakui oleh Empat Bajul. Saya kira mereka itu tidak berani berbohong kepada kami. Akan tetapi, pembunuh Paman Nala masih belum dapat saya duga siapa orangnya. Memang, pada waktu itu, di kaki Bromo ada pula Kakang-Mas Panji Sarono dan seperti pengakuannya, dialah orangnya yang memakai kedok dan hendak mengganggu saya di dalam guha. Akan tetapi dia tidak membunuh Paman Nala, hal itu disangkalnya. Pula, pembunuhan itu sebenarnya ditujukan kepada saya, hanya kebetulan saya membungkuk sehingga yang terkena anak panah dan terbunuh adalah Paman Nala. Tidak ada alasan sedikitpun bagi Kakang-Mas Panji Sarono untuk membunuh saya atau Paman Nala. Sampai sekarang saya belum dapat menduga sedikitpun juga siapa pelepas anak panah itu, dan mengapa pula ada orang yang ingin membunuh saya atau Paman Nala."

"Memang tidak muda menyelidiki perkara yang sudah terjadi lima enam tahun yang lalu, Nini. Kukira, satu-satunya jalan adalah menemukan dan menangkap Walet Hitam. Aku juga akan mengerahkan orang-orangku untuk melakukan pengintaian setiap malam dan kalau melihat Walet Hitam, memberi tanda agar Walet Hitam dapat dikepung dan ditangkap. Kurasa, kalau dia tertangkap, semua rahasia itu akan dapat diungkapkan."

Darmini mengangguk-angguk. Pembunuh Ong Cun sudah diketahui, yaitu Walet Hitam yang masih harus dicari dan ditangkap, hal yang tidak mudah. Pembunuh Paman Nala belum diketahui siapa orangnya, dan juga orang yang memperkosanya, belum dapat ditangkap, bahkan belum dapat diduga siapa pula orangnya. Akan tetapi jelas bukan Panji Sarono, karena seingatnya, orang itu berperawakan besar, lebih besar daripada pemuda itu.

Setiap malam dua orang gadis itu masih terus melakukan pengintaian dan pencaharian, bahkan seringkali mereka bertemu dengan orang-orang yang disebar oleh Raden Gajah dengan tugas yang sama, yaitu mencari jejak Walet Hitam. Namun, agaknya setelah terjadi pekelahian di malam itu, Walet Hitam terus bersembunyi dan tidak pernah lagi memperlihatkan diri.

Belasan hari kemudian, pada suatu senja, datang utusan dari Ki Demang Bragolo ke rumah gedung Raden Gajah. Utusan itu datang membawa sepucuk surat yang dialamatkan kepada Darmini, dari Ki Demang Bragolo. Darmini menerima surat itu dan ketika membuka simpulnya dan membaca isinya, ia terkejut dan girang sekali. Ayah tirinya menulis bahwa Ibunya telah datang ke Majapahit dan menyusul Ayahnya, bahkan di dalam surat itu terdapat pula tulisan Ibunya yang minta kepadanya untuk datang berkunjung!
Bi Kwi hanya melihat saja ketika Darmini keluar dan mengatakan kepada utusan agar pulang dan menyampaikan kepada Ayah Ibunya bahwa malam ini ia akan datang berkunjung. Setelah utusan itu pergi, Bi Kwi mengerutkan alisnya dan berkata kepada Darmini,

"Mbak-Ayu Darmini, kurasa kurang bijaksana kalau Mbak-Ayu pergi berkunjung ke sana. Apakah tidak berbahaya? Setidaknya engkau harus bertanya pendapat Raden Gajah dan menunggu sampai dia pulang."

Darmini tersenyum. "Adikku, tidak perlu khawatir. Apa sih yang dapat dilakukan Ayah tiriku kepadaku? Kini Ibu telah berada disana. Aku harus pergi mengunjungi Ibu dan melihat keadaan kesehatannya, selain itu, akupun ingin bertanya kepada Ayah tiriku mengapa dia dahulu tidak mencegah ketika mendengar dari Gagak Ireng bahwa Empat Bajul hendak membunuh Ong Cun. Ingin kuketahui bagaimana jawabnya."

"Akan tetapi, apakah tidak berbahaya, Mbak-Ayu? Biarkan aku ikut agar aku dapat membantumu kalau sampai terjadi sesuatu."

"Tentu saja engkau ikut, adikku. Tanpa kau minta sekalipun, aku akan mengajakmu. Dan kalau ada engkau di sampingku, aku tidak takut menghadapi siapaun juga!"

Darmini merangkul dan Bi Kwi membalas, lalu mencium pipi Darmini. Makin lama berkumpul, ia merasa semakin kagum kepada Darmini dan semakin menyesal mengapa Kakak kandungnya terbunuh orang. Kalau tidak, alangkah akan senangnya mempunyai seorang Kakak ipar seperti Darmini ini.

Dua orang gadis itu bersiap-siap, tidak lupa membawa pedang mereka dan berangkatlah mereka menuju ke rumah gedung Ki Demang Bragolo. Malam mulai tiba dan bulan belum muncul. Dua orang gadis yang melakukan perjalanan dengan tetap berpakaian sebagai pria itu masing-masing merasakan ketegangan dalam hati mereka, akan tetapi ketegangan mereka berbeda.

Kalau Darmini merasa tegang karena hendak bertemu Ibunya dan melihat perkembangan hubungan antara Ibu kandungnya dan Ayah tirinya, juga tegang membayangkan akan tegurannya terhadap Ayah tirinya, sebaliknya Bi Kwi merasa tegang karena hatinya merasa tidak enak.

Ia seperti mendapat firasat yang tidak baik, merasa seolah-olah bersama Darmini memasuki guha yang penuh dengan binatang buas yang mengancam keselamatan mereka. Lentera yang banyak bergelantungan di pendopo gedung Ki Demang Bragolo menyambut kedatangan dua orang gadis itu.

Para penjaga di luar agaknya sudah diberitahu akan kunjungan itu, maka mereka tidak banyak lagak lagi. Bahkan seorang kepala jaga yang berkumis tebal, menyambut Darmini dengan hormat, mempersilahkan dua orang gadis itu memasuki pendopo di mana mereka di sambut oleh seorang penjaga pendopo dan mereka lalu diantar ke ruangan tamu di samping kiri.

Dan di ruangan tamu itu sudah duduk menanti Ki Demang Bragolo dan Nyi Demang Bragolo, Ibu kandung Darmini. Melihat Ibunya, Darmini lalu menubruk maju, berlutut di depan Ibunya dan menyembah.

"Kanjeng Ibu..."  Katanya lirih, terharu melihat Ibunya kini telah kembali kepada Ayah tirinya, diam-diam merasa heran juga karena bukankah dahulu Ibunya sudah menceritakan betapa sikap Ki Demang Bragolo amat sadis dan kejam kalau di tempat tidur? Dan bukankah selir terbaru Ayah tirinya itu bersikap menghina kepada Ibunya? Apakah kini selir itu telah berubah sikap, ataukah Ibunya yang mau menerima penghinaan? Dilihat sepintas lalu ketika Ibunya duduk disamping Ayah tirinya seperti itu, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka.

Nyi Demang Bragolo, merangkul anaknya dan menangis. "Anakku... Nini... sukur engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat. Aku... aku sungguh mengkhawatirkan keadaanmu, anakku. Apakah engkau tinggal bersama Pamanmu Senopati Raden Gajah?"

Ibu ini mencium pipi puterinya. "Bagaimana engkau tahu bahwa aku berada disini?"

Darmini terkejut mendengar ini. Ia melepaskan rangkulan Ibunya, lalu bangkit berdiri menghadapi Ki Demang Bragolo, kemudian memandang lagi kepada Ibunya. "Kanjeng Ibu, bukankah paduka yang minta kepadaku untuk datang berkunjung? Surat itu..." Dan Darmini menoleh kepada Ayah tirinya.

"Surat apa, Nini? Aku... baru kemarin aku dibawa kesini... Aku tidak tahu engkau dimana dan tidak dapat mengundangmu untuk datang walaupun aku ingin sekali bertemu denganmu..."

"Kajeng Rama! Apa artinya ini?" Darmini kini menghadapi Ki Demang Bragolo. "Kalau bukan Kanjeng Ibu, lalu siapa yang memalsukan namanya mengundangku datang berkunjung?"

"Akulah yang menulisnya, Nini Darmini." Kata Ki Demang Bragolo, sikapnya tenang saja. "Memang aku menghendaki kedatanganmu karena kau ingin membicarakan hal yang penting, Nini. Mengenai Ibumu dan dirimu sendiri, mengenai hubungan keluarga di antara kita bertiga."

Panas rasa hati Darmini, merasa dipermainkan. "Sayapun ingin menanyakan sesuatu kepada paduka!" Katanya, sikapnya masih hormat namun suaranya terdengar lantang dan ketus. "Kebetulan sekali disini disaksikan pula oleh Kanjeng Ibu! Kanjeng Rama, bukankah lima tahun yang lalu, paduka mempunyai seorang pembantu yang bernama Gagak Ireng?"

Ki Demang Bragolo memandang tajam dan alisnya berkerut. "Hemm, kalau benar begitu, kenapakah? Banyak aku mempergunakan orang di Lumajang dahulu, dan di antara mereka memang ada yang bernama Gagak Ireng."

"Kanjeng Rama," Sambung Darmini, sebutan itu terasa kaku di lidahnya karena sejak turun gunung bertemu Ibunya, di dalam batinnya ia sudah enggan menganggap orang itu sebagai Ayahnya. "Gagak Ireng pernah melapor kepada paduka bahwa Empat Bajul hendak membunuh Ong Cun, kenapa ketika itu paduka diam saja dan tidak memperingatkan Ong Cun?"

Berkata demikian, Darmini menatap wajah orang yang selama belasan tahun menjadi Ayahnya itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia melihat di bawah sinar lampu yang cukup terang betapa wajah Ayah tirinya itu menjadi merah dan matanya yang lebar menjadi liar, akan tetapi sikapnya masih tenang ketika dia menjawab,

"Ah, itukah? Memang benar si Gagak Ireng itu ada bercerita tentang Empat Bajul yang hendak membunuh seorang Cina. Akan tetapi dia tidak menjelaskan bahwa Cina itu adalah Ong Cun, dan aku tidak ingin mencampuri urusan orang. Sudahlah, aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi untuk dibicarakan denganmu, Nini Darmini. Dan ini... hemm, bukankah engkau adik perempuan Ong Cun yang pernah datang bersama Raden Wiratama?"

Bi Kwi memandang dengan alis berkerut dan mata mencorong. "Ki Demang Bragolo, bagaimana andika bisa tahu bahwa aku adalah perempuan? Ketika diperkenalkan oleh Wiratama, engkau menerimaku sebagai seorang pemuda!"

Ditanya demikian, Ki Demang Bragolo nampak terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Dia lalu tersenyum lebar dan Darmini melihat betapa sepasang mata itu menjadi beringas.

"Ha-ha, nona. Kau kira dapat mengelabui mata seorang tua seperti aku yang sudah banyak pengalaman? Nini Darmini, kebetulan sekali ia ikut datang karena aku justeru hendak bicara penting dengan kalian berdua. Akan tetapi sebaiknya kalau Ibumu masuk dulu dan tidak ikut mendengarkan percakapan kita."

"Tidak! Ibu biar berada disini saja, aku bahkan ingin bertanya kepada Kanjeng Ibu. Bagaimana Kanjeng Ibu dapat berada disini? Bukankah Kanjeng Ibu tidak sudi lagi lagi dihina?"

"Aku... aku dipaksa, anakku. Aku dipaksa, diseret ke dalam kereta dan dilarikan..."

"Keparat!" Darmini menghunus pedangnya, marah bukan main ketika ia menghadapi Ayah tirinya. "Kanjeng Ibu sudah dihina oleh selirmu, kemudian mengalah dan tidak mau ikut ke sini, kenapa sekarang malah dipaksa? Apa maksudnya semua ini?" Bentaknya sambil memandang wajah Ayah tirinya dengan sinar mata penuh kemarahan.

"Mari. Kanjeng Ibu, mari pergi bersama saya, tidak perlu lagi lebih lama berada di tempat ini!" Berkata demikian dengan tangan kirinya Darmini menggandeng tangan Ibunya yang menurut saja.

"Darmini! Engkau tidak boleh pergi dari sini!" Bentak Ki Demang Bragolo dengan suaranya yang besar dan parau.

Sambil tetap menggandeng tangan Ibunya. Darmini membalikkan tubuh menghadapi Ayah tirinya, pedang Lian-Hwa-Kiam di tangan kanan. "Siapa yang akan melarang aku pergi?" Suara dan pandang matanya penuh tantangan.

"Kami yang melarang!"

Terdengar suara dari arah belakangnya dan ketika Darmini juga Bi Kwi membalikkan tubuh, mereka berdua melihat bahwa di ruangan itu telah muncul pasukan pengawal yang mengepung tempat itu, dan di depan sendiri nampak Ki Empu Kebondanu dan Walet Hitam! Tentu saja dua orang gadis itu terkejut setengah mati melihat munculnya dua orang musuh besar yang tangguh itu.

Tak mereka sangka sama sekali bahwa surat undangan dari Ki Demang Bragolo itu ternyata merupakan perangkap bagi mereka. Tahulah kini Darmini mengapa Ibunya dipaksa ke tempat itu oleh Ayah tirinya. Ternyata untuk melengkapi jebakan untuknya dan jelas bahwa semua ini telah diatur oleh Ayah tirinya, yang dibantu oleh Walet Hitam dan Ki Empu Kebondanu.

"Mbak-Ayu Darmini, lindungi Ibumu, biar aku yang menahan mereka!" Teriak Bi Kwi yang melihat betapa gawatnya keadaan. Ia sudah mencabut pedangnya dan memutar pedang itu, siap menghadapi Walet Hitam dan Empu Kebondanu.

"Heh-heh-heh, engkau gadis yang panas dan penuh api semangat! Pantas saja, Raden Wiratama begitu tergila-gila kepadamu! Marilah, nona yang cantik dan gagah, menyerahlah saja untuk kami bawa menghadap Raden Wiratama yang sudah siap menyambutmu dengan cintanya yang berkobar-kobar, ha-ha-ha!"

"Tua bangka keparat, mampuslah!"

Bentak Bi Kwi dan gulungan sinar pedangnya menyilaukan mata, dari situ mencuat sinar pedang berkelebat meluncur ke arah leher Empu Kebondanu. Kakek ini sudah mengenal Bi Kwi dan mengenal pula ketangguhan dan berbahayanya pedang gadis Cina ini, maka diapun cepat menggerakkan tongkat bambu gadingnya menangkis dari samping dengan cepat.

"Tringgg...!"

Akan tetapi pedang yang ditangkis itu kini menyambar dari samping, membacok ke arah lambung Pertapa di kaki Pegunungan Bromo itu. Kakek itu terkejut bukan main karena gerakan pedang lawan ini luar biasa cepatnya.

"Trangg...!"

Kembali nampak bunga api berpijar dan ternyata pedang di tangan Bi Kwi yang tadi membacok dari samping, telah tertangkis dari bawah oleh sebatang pedang lain yang dipegang oleh Walet Hitam! Walet Hitam ternyata tidak tinggal diam melihat Empu Kebondanu terancam tadi.

"Jahanam busuk!" Bi Kwi memaki orang bertopeng itu dalam Bahasa Cina. "Jauh-jauh engkau datang dari negeri Cina hanya untuk menyebar kejahatan!"

Dan kini pedangnya sudah diputar cepat dan iapun menyerang Walet Hitam yang cepat menangkis dan balas menyerang. Empu Kebondanu juga menerjang maju dan bersama Walet Hitam dia mengeroyok Bi Kwi...
Selanjutnya,

Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 08

Kilat Pedang Membela Cinta

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 08
AKAN tetapi Darmini menyambut bujukan ini dengan babatan pedangnya ke arah pinggang Kakek itu. Gerakannya cepat dan kuat sekali, sehingga Kakek itu tidak sempat mengelak, hanya dapat menangkis dengan tongkatnya.

   "Tranggg...!"

Keduanya meloncat ke belakang karena lengan mereka yang memegang senjata tergetar hebat oleh pertemuan dua senjata itu. Darmini yang masih merasa kenyerian pahanya agak terhuyung. Keringat sudah membasahi leher wanita ini, namun ia sama sekali tidak merasa gentar dan sudah siap lagi dengan pedang melintang di depan dada ketika saat itu dipergunakan oleh dua orang anak buah yang menyerang secara tiba-tiba dari belakang.

Darmini merasakan adanya angin menyambar dari belakang, maka iapun cepat membalikkan tubuh, pedangnya mengeluarkan kilat dan dua orang itupun menjerit, seorang di antara mereka buntung lengannya, dan seorang lagi terluka pundaknya!

"Perempuan nekat!" Bentak Empu Kebondanu marah dan tongkatnya diputar sambil mendesak ke depan.

Kembali Darmini membalik dan menghadapi serangan ini dengan pedangnya, akan tetapi karena baru saja ia menghadapi dua orang dan serangan Kakek itu amat cepat, ia tidak dapat menghindarkan diri ketika kaki kiri Empu Kebondanu menendang, menyerempet pinggangnya dan membuat tubuhnya terjengkang ke belakang!

Namun Darmini bergulingan dan meloncat bangkit kembali sehingga ia dapat menangkis dengan tepat ketika melihat ujung tongkat kuning itu menyambar dan meluncur ke arah tenggorokannya.

   "Trang...!"

Kembali keduanya mundur selangkah dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan putih.

"Diajeng, jangan takut, aku membantumu!"

"Kakang-Mas Sridenta...!" Darmini berseru girang sekali melihat pemuda berpakaian putih itu tahu-tahu telah berada disitu dan menyambut terjangan empat anak buah yang segera mengeroyoknya begitu melihat munculnya pemuda berpakaian putih ini.

Biarpun ia hanya bertangan kosong saja, namun Sridenta menyambut serangan-serangan itu dengan tenang dan dua batang golok runtuh oleh sabetan kedua tangannya, sedangkan dua orang yang lain roboh karena lutut mereka tercium ujung kaki Sridenta yang menendang dengan gerakan amat cepatnya.

Melihat munculnya pemuda berpakaian putih ini, Empu Kebondanu menjadi kaget dan marah. Sambil menggereng dia meloncat ke depan Sridenta, menudingkan tongkatnya ke arah muka pemuda itu dan membentak dengan suaranya parau dan kasar, "Sridenta! Ini bukan urusanmu dan tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Berani engkau mencampuri dan menghinaku?"

Dengan sikap tenang dan mulut tersenyum penuh kesabaran, Sridenta menghadapi Kakek itu menjawab, "Paman Empu, bagaimana saya dapat tinggal diam saja melihat seorang adik seperguruan terancam bahaya?"

"Babo-babo! Jadi gadis ini menjadi murid Ganggamurti?" Tanya Empu Kebondanu marah.

"Benar, Paman," Jawab Sridenta tenang. "Karena itu, saya mengharap dengan hormat agar Paman mengalah dan mundur, tidak mencampuri urusannya."

"Bocah sombong! Kau kira aku takut kepadamu?" Bentak Kakek itu.

"Uwa Empu, biar aku yang menghadapi bocah ini!" Tiba-tiba terdengar bentakan Panji Sarono dan diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusuk ke arah perut Sridenta.

Tentu saja Sridenta cepat mengelak karena diapun maklum bahwa keris yang dipergunakan oleh lawannya itu bukan keris sembarangan saja, melainkan sebuah keris pusaka yang ampuh. Dan memang sesungguhnya demikian.

Keris di tangan Panji Sarono itu adalah keris yang bernama Kyai Crubuk, keris berluk tujuh dan berbahaya sekali karena mengandung racun warangan yang sudah meresap ke dalam pamor keris itu. Akan tetapi, begitu tusukannya meleset dan luput, tangan kiri Panji Sarono menyambar dan mencengkeram ke arah muka Sridenta. Sekali ini Sridenta mengangkat tangan kanan menangkis.

   "Dukkk!"

Panji Sarono terdorong ke belakang, sedangkan Sridenta juga terkejut karena ternyata lawan juga amat kuat. Akan tetapi yang membuat dia lebih kaget lagi adalah karena dia teringat akan gerakan orang yang menyerangnya ini.

Pernah dia bertanding dengan orang ini, hal itu dia yakin benar, hanya dia lupa lagi entah kapan dan dimana. Namun, Panji Sarono tidak memberi banyak kesempatan baginya untuk berpikir, karena sudah menerjang lagi secara bertubi-tubi dengan kerisnya.

Kalau Panji Sarono maju menghadapi Sridenta, adalah karena dia belum tahu siapa pemuda ini dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepandaian Sridenta jauh lebih tinggi dibandingkan Darmini, dan tadi dia sudah melihat betapa Empu Kebondanu hampir dapat mengalahkan Darmini, maka kini ingin membiarkan Empu Kebondanu lebih dahulu mengalahkan Darmini, baru dapat membantunya menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Empu Kebondanu kembali menyerang dengan tongkat bambu gadingnya, dan Darmini menyambutnya dengan pedang ditangan.

Kini semangat Darmini bangkit serentak terdorong oleh perasaan gembira yang tiba-tiba muncul begitu dia melihat Sridenta! Diluar kesadarannya sendiri, sebenarnya ia telah lama merindukan pemuda ini, maka begitu bertemu, terdapat kegembiaraan yang meluap-luap. Juga hatinya menjadi besar karena kini ia mendapatkan bantuan Kakak seperguruannya itu yang ia tahu memiliki kesaktian yang jauh melebihi kepandaiannya sendiri.

Bi Kwi sendiripun masih mengamuk, dikeroyok oleh Empat Bajul yang dibantu oleh para pengawal dan kini ia dikepung semakin rapat, didesak oleh hujan senjata yang selalu mental kembali terhalang oleh gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi, gadis perkasa inipun sudah merasa lelah. Selagi perkelahian itu makin memuncak, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Semua berhenti berkelahi! Sarono, apa yang kau lakukan ini?"

Panji Sarono terkejut bukan main mendengar suara Ayahnya! Dia meloncat ke belakang meninggalkan Sridenta dan ketika membalikkan tubuhnya, dia melihat Ayahnya. Emput Tanding, telah berdiri disitu dan disebelah orang tua ini berdiri Panji Saroto, adiknya dan dibelakang mereka terdapat pasukan perajurit yang sudah mengepung tempat itu.

Empu Kebondanu juga menghentikan serangannya terhadap Darmini yang segera meloncat ke dekat Bi Kwi untuk membantu gadis itu. Akan tetapi, Empat Bajul yang mengetahui bahwa Ayah majikan mereka telah datang, tidak berani membantah bentakan tadi dan kini merekapun sudah mundur.

Sridenta lalu menghampiri Darmini dan Bi Kwi, berdiri di dekat gadis-gadis itu, siap untuk melindungi mereka. Akan tetapi dua orang gadis itu, melihat betapa pihak lawan tidak lagi menyerang, sudah menyimpan kembali pedang mereka ke dalam sarung pedang, dan Darmini memandang kepada Empu Tanding, Kakak misan Ibunya itu, dengan sinar mata tajam dan tenang, sedikitpun tidak merasa takut.

Empu Tanding juga berdiri tegak, memandang kepada mereka yang tadi berkelahi, satu demi satu sampai akhirnya pandang matanya bertemu dengan pandang mata Empu Kebondanu. Muka Empu Tanding menjadi kemerahan dan alisnya berkerut.

"Kakang Empu Kebondanu," Katanya dengan suara membayangkan kemarahan hatinya, "Kiranya andika telah berada disini. Sungguh aneh, kenapa kalau berkunjung tidak langsung berkunjung ke rumah kami, akan tetapi berada disini bersama puteraku Sarono?"

Empu Kebondanu nampak gugup mendengar teguran ini. Empu Tanding adalah seorang adik seperguruannya, bahkan pernah diajarkannya ilmu kepada adik seperguruan itu sehingga biarpun usia mereka hanya berselisih beberapa tahun, Empu Tanding boleh juga dibilang muridnya. Akan tetapi, selama beberapa tahun ini tidak pernah mereka sejalan.

Bahkan kinipun, kalau dia memenuhi panggilan Raden Wiratama untuk membantu gerakan mereka, sebaliknya dia tahu bahwa Empu Tanding adalah seorang hamba Kerajaan Majapahit yang setia. Maka diapun mendekati Panji Sarono yang sudah lama mempunyai hubungan dengannya, bahkan diam-diam Panji Sarono berlatih ilmu kedigdayaan kepadanya.

"Aku memang melancong ke Kotaraja dan... eh, karena kangen aku berkunjung kepada puteramu Panji Sarono, maksudku... Eh, besok atau lusa baru aku akan berkunjung padamu, adikku Empu Tanding."

Memang Empu Tanding merupakan seorang hamba yang setia dari Majapahit, bahkan dia menjadi pembantu Senopati Raden Gajah dalam menghadapi gerakan para pemberontak Lumajang dan para pemberontak lainnya, oleh karena itu, melalui para penyelidiknya, diapun sudah mendengar bahwa Kakak seperguruannya yang memang mempunyai watak yang buruk dan mudah menyeleweng walaupun menjadi Pertapa ini telah dapat dibujuk oleh Raden Wiratama untuk datang ke Majapahit. Inilah sebabnya mengapa dia menjadi tidak senang begitu melihat Kakek Pertapa itu.

"Sudahlah, Kakang Empu Kebondanu, kuharap agar Kakang tidak mencampuri urusan anak-anak ini, karena ini merupakan urusan keluarga antara puteraku Panji Sarono dan keponakanku Nini Darmini. Biarlah lain hari saja kita mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap."

Ucapan ini merupakan pengusiran halus, dan memang Empu Kebondanu sudah merasa canggung sejak tadi. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Empu Tanding di situ. Dia menerima tugas dari Raden Wiratama untuk menghubungi Panji Sarono yang menjadi murid dan juga murid keponakan itu untuk menarik pemuda itu dan anak buahnya menjadi sekutu, karena untuk membujuk Empu Tanding sungguh tidak mungkin.

Kalau Panji Sarono dapat dibujuk dan bersekutu, tentu akan berguna sekali karena pemuda itu akan dapat menjadi mata-mata untuk menyelidiki rencana dan keadaan pihak musuh. Tak di sangkanya, ketika dia berada disitu, terjadi keributan dengan serbuan Darmini dan Bi Kwi sehingga dia terpaksa turun tangan membantu Panji Sarono dan kini dia berhadapan dengan Empu Tanding!

"Baiklah, adi empu, aku pergi saja, tidak mau mencampuri urusan kanak-kanak, dan urusan keluarga."

Kakek itu lalu pergi tersaruk-saruk menyeret tongkatnya, keluar dari rumah itu dan para pengawal yang datang bersama Empu Tanding memberi jalan kepadanya.

Setelah Kakek itu pergi, Empu Tanding memandang puteranya yang nampak gelisah. Kakek ini tadi sudah menerima pelaporan Panji Saroto tentang kemunculan Darmini dan Ong Bi Kwi yang menyelidiki rahasia pembunuhan atas diri Ong Cun lima tahun yang lalu, dan mereka itu agaknya mencurigai Panji Sarono dan Empat Bajul.

"Menurut keterangan Mbak-Ayu Darmini, mungkin pembunuhnya adalah Empat Bajul atas suruhan Kakang-Mas Panji Sarono,"

Demikian Panji Saroto mengakhiri laporannya. Hal ini membuat Empu Tanding merasa tidak enak sekali dan diapun mengikuti putera bungsunya untuk mencari putera sulungnya itu, sambil membawa sepasukan perajurit.

"Panji Sarono, urusan ini harus kita selesaikan sekarang juga. Suruh semua anak buahmu, kecuali Empat Bajul keluar dari ruangan ini!"

Terdengar suara Empu Tanding, keren. Panji Sarono tidak berani membantah dan dengan isyarat tangan dia menyuruh semua anak buahnya keluar sambil membawa mereka yang terluka dalam pertempuran tadi. Empat Bajul, empat orang pembantu utamanya, merasa tidak enak dan hendak pergi, namun ditahan oleh Panji Sarono yang juga membutuhkan kehadiran mereka untuk dijadikan kawan dan pelindung pula.

Setelah di pihak Panji Sarono tinggal dia dan Empat Bajul, kini Empu Tanding juga memberi isyarat kepada semua perajurit untuk keluar dan menanti dipekarangan luar, dan hanya dia dan Panji Saroto yang tinggal. Kemudian dia memandang kepada Darmini, Bi Kwi, dan Sridenta yang masih berdiri dengan sikap tenang disitu.

Kalau saja belum diberitahu bahwa Darmini berada disitu menyamar sebagai seorang pria, agaknya tidak mudah bagi Empu Tanding untuk mengenal pemuda berpakaian serba putih itu sebagai keponakannya. Dia memandang penuh perhatian dan diam-diam merasa kagum.

Lenyaplah sifat kelembutan dan kelemahan seorang wanita dan dia melihat seorang wanita yang seperti Srikandi, demikian gagah, berani dan tenang, dengan sepasang mata yang mencorong penuh semangat.

"Jagat Dewa Bathara...! Hampir aku tidak dapat mengenalmu, Darmini. Aku hanya mendengar bahwa lima tahun yang lalu engkau menghilang dan kini tahu-tahu muncul sebagai seorang wanita perkasa dan bahkan memusuhi anakku sendiri!"

Darmini cepat memberi hormat dengan sembah kepada Empu Tanding. "Harap Uwa Empu sudi memberi maaf kepada saya. Terpaksa sekali saya melakukan hal ini demi menuntut keadilan atas kematian Ong Cun tunangan saya itu."

"Hemmm..., engkau sungguh seorang wanita sejati, seorang wanita yang setia. Baiklah, kita urus hal itu. Akan tetapi nanti dulu, siapakah mereka ini? Aku tidak ingin orang luar untuk mencampuri urusan keluarga. Engkau tahu sendiri, betapa aku menyuruh pergi Kakak Empu Kebondanu dan semua orang lainnya."

Darmini menunjuk kepada Bi Kwi. "Uwa Empu, ia bernama Ong Bi Kwi, adik kandung dari mendiang Ong Cun. Jauh-jauh gadis ini datang dari negerinya untuk mencari siapa pembunuh Kakak kandungnya."

Empu Tanding megerutkan alisnya dan mengangguk-angguk, memandang kagum. Bukan main! Seorang gadis demikian keras hatinya, bulat tekatnya, melakukan pelayaran sedemikian jauhnya untuk mencari pembunuh Kakak kandungnya. Dia memandang kepada dua orang gadis itu bergantian, penuh kagum. Sukar ditemukan dua orang gadis seperti mereka ini, seperti Srikandi dan Larasati dalam cerita wayang, dua orang di antara isteri-isteri Raden Harjuna yang dikenal sebagai wanita-wanita perkasa!

"Dan andika ini, siapakah?" Empu Tanding kemudian menghadapi Sridenta, tidak senang karena ketika tiba tadi, dia melihat pemuda ini berkelahi melawan Panji Sarono.

Sridenta cepat memberi hormat kepada Empu Tanding. "Paman Empu tidak mengenal saya karena memang tidak pernah bertemu, akan tetapi tentu Paman mengenal baik Ayah saya yaitu mendiang pangeran Arya Cakra..."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Empu Tanding berseru kaget dan wajahnya berubah, berseri dan kagum memandang pemuda berpakaian putih itu. "Kiranya andika putera beliau?!" Tentu saja dia mengenal mendiang Pangeran Arya Cakra, seorang pangeran yang bijaksana dan disayang oleh semua kawula dan pamong praja di Majapahit.

"Benar, Paman Empu Tanding, dan selain itu, saya juga Kakak seperguruan dari Diajeng Darmini. Kami berdua adalah murid Eyang Panembahan Ganggamurti. Saya tidak mencampuri urusan pribadi Diajeng Darmini, akan tetapi tadi melihat ia dikeroyok dan terancam bahaya, terpaksa saya turun tangan melindungi dan membelanya."

Empu Tanding merasa tidak enak hati kalau mengusir Sridenta, apa lagi kalau diingat bahwa pihak Darmini hanya ada dua orang, keduanya gadis-gadis muda, sehingga tidak enaklah keadaannya. "Biarlah andika hadir pula sebagai saksi, Raden..."

"Nama saya Sridenta, Paman Empu."

Ruangan itu cukup luas dan kini diterangi lampu-lampu dan lentera yang bergelantungan di setiap sudut. Ki Empu tanding lalu berkata kepada Darmini, suaranya lantang dan tegas.

"Nini Darmini, sekarang ceritakan apa maksud kedatanganmu disini dan menyerbu tempat tinggal anakku Panji Sarono sehingga terjadi perkelahian."

"Begini, Paman. Saya dan Bi Kwi memang sedang menyelidiki tentang rahasia kematian mendiang Ong Cun yang terbunuh lima tahun yang lalu. Dari penyelidikan itu, kami mendapatkan keterangan bahwa dahulu Empat Bajul ini pernah menyatakan hendak membunuh Ong Cun, dan mengingat bahwa mereka adalah anak buah Kakang-Mas Raden Panji Sarono, maka tentu saja kami merasa curiga kepada mereka. Malam ini kami datang untuk bertemu dengan Empat Bajul dan minta pengakuan mereka mengenai peristiwa itu, akan tetapi kami dikeroyok sehingga terjadi perkelahian."

"Sekarang, kalian telah kupertemukan dengan Panji Sarono dan Empat Bajul. Nah apa yang hendak kau tanyakan?"

"Saya hanya minta kepada Empat Bajul untuk menceritakan tentang usaha mereka membunuh Ong Cun, dan siapa diantara mereka yang telah membunuhnya, lalu siapa pula yang mengutus mereka. Juga kepada Kakang-Mas Panji Sarono saya hendak bertanya, benarkah Kakang-Mas Panji Sarono mengutus kaki tangannya untuk melakukan pembunuhan atas diri Ong Cun?"

Dengan matanya yang berbinar-binar kini Darmini menoleh dan memandang kepada lima orang ini bergantian.

"Heh, kalian ini Empat Bajul. Siapakah nama kalian?"

"Hamba bernama Bajul Sengoro."

"Hamba Bajul Sengkolo."

"Hamba Bajul Paruso."

"Hamba Bajul Kanisto," Kata empat orang itu berturut-turut.

"Kalian sudah mendengar sendiri pertanyaan Nini Darmini, karena itu jawablah sejujurnya agar persoalan ini segera dapat diselesaikan," Kata pula Empu Tanding.

Empat orang itu saling pandang, kemudian Bajul Sengoro yang agaknya menjadi pimpinan mereka, menjawab sambil melotot kearah Darmini. "Kami adalah Empat Bajul yang selamanya tidak pernah dipaksa membuat pengakuan apapun oleh siapapun, kecuali oleh atasan kami atau kalau kami sudah dikalahkan. Karena itu kami baru mau membuat pengakuan kalau nona ini mampu mengalahkan kami!"

Mendengar ucapan Bajul Sengoro itu, tiga temannya mengangguk-angguk, tersenyum mengejek dan memandang kepada Darmini. Mendengar ini, Empu Tanding mengerutkan alisnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mau bertindak berat sebelah, apalagi karena empat orang itu adalah anak buah dari puteranya sendiri.

"Nini, engkau sudah mendengar jawaban mereka, terserah kepadamu."

"Mbak-Ayu, Darmini, biarlah aku yang menghadapi empat ekor buaya ini!" Bi Kwi berseru dan iapun sudah melangkah maju menghadapi Empat Bajul. Akan tetapi Darmini juga melangkah maju dan berkata.

"Mereka maju berempat, biarlah kita maju berdua, Bi Kwi. Nah, Empat Bajul, kami berdua melawan kalian berempat dan kalau kalian kalah, kalian harus memenuhi janji dan menceritakan segala yang telah terjadi dengan sebenarnya karena ketahuilah, untuk menentang kejahatan dan menegakkan keadilan, kami tidak sega-segan untuk membunuh kalian kalau kalian berbohong!"

Empu Tanding tidak melarang melihat kedua orang gadis itu maju. Memang mereka berdua itulah yang langsung tersangkut dalam urusan ini, sedangkan Sridenta hanya berdiri di sudut, menonton dengan sikap tenang.

"Boleh, kedua pihak boleh maju, empat lawan dua, akan tetapi tidak boleh mempergunakan senjata karena disini hanya merupakan pertandingan adu kepandaian. Nah mulailah!"

Karena dilarang mempergunakan senjata mereka, Empat Bajul itu melemparkan senjata mereka kesudut ruangan, sedangkan dua orang gadis itupun melepaskan pedang dan Darmini menyerahkan dua batang pedang itu kepada Sridenta. Pemuda ini percaya sepenuhnya bahwa Darmini dan gadis Cina itu tidak akan kalah. Dia tadi sudah melihat gerakan gadis Cina itu ketika ia berkelahi dan dikeroyok banyak orang.

Empat Bajul tadi sudah pernah mengeroyok Bi Kwi dan mereka tahu betapa lihainya gadis Cina itu, maka Bajul Sengoro lalu memberi isyarat kepada teman-temannya, yaitu dia dan Bajul Sengkolo mengeroyok Bi Kwi sedangkan Bajul Paruso dan Bajul Kanisto menghadapi Darmini.

Mereka berloncatan kedepan dan segera mengepung dari kanan kiri. Darmini menghadapi Bajul Paruso dan Bajul Kanisto. Yang pertama merupakan orang paling bersih dan tampan diantara mereka berempat dan Bajul Paruso ini juga terkenal dengan kecabulan dan mata keranjangnya. Usianya sudah tiga puluh lima tahun lebih dan tubuhnya sedang, kini dia menghadapi Darmini dari kanan, sedangkan Bajul Kanisto yang pendek gendut bermuka buruk itu maju dari arah kiri.

Darmini berdiri tegak saja, tidak menggerakkan tubuh, hanya sepasang matanya saja yang melirik kekanan kiri penuh kewaspadaan, kedua tangannya dipasang dengan gaya Braja-gunting, kedua pergelangan tangan saling bersilang di depan dada, sepuluh jari tangan terbuka dan menunjuk keatas.

"Heeeaahh...!" Tiba-tiba Bajul Sengoro membentak dan tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak menubruk kedepan, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan tangannya yang besar dengan jari-jari panjang kuat itu mencengkeram ke arah kepala dan dada Bi Kwi yang dikepung di sisi lain.

Gadis ini dikepung oleh Bajul Sengoro dan Bajul Sengkolo dan kini dalam serangannya tiba-tiba Bajul Sengoro sudah membuka serangannya. Tadi Bi Kwi berdiri dengan kedua lutut ditekuk, agak merendah, dengan kedua lengan dikembangkan lurus dengan pundak, ke kanan kiri, dengan tangan terbuka dan jari berdiri tegak.

Melihat tubrukan Bajul Sengoro yang menyerang dengan cengkeram ini, Bi Kwi tidak menjadi, dengan sigap kedua kakinya digeser dan tubuhnya sudah berada diluar jangkauan kedua tangan besar berbulu itu, bahkan ia membalas secara kontan dengan sebuah tendangan ke arah lambung Bajul Sengoro yang berdiri miring.

"Dukk!"

Bajul Sengoro menangkis dengan lengannya dan tubuhnya terdorong oleh kerasnya tendangan, namun dia telah menghindarkan lambungnya terkena tendangan itu, sedangkan pada saat itu, Bajul Sengoro sudah menyerang dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Bi Kwi dari belakang.

Lengan orang ke dua dari Empat Bajul ini panjang sekali dan tahu-tahu sudah menyambar dekat tangan yang memukul dengan miring terbuka seperti golok itu. Namun, angin pukulannya terdengar oleh Bi Kwi dan gadis inipun cepat membalik dan mencengkeram ke arah lengan yang menyambarnya.

Untung Bajul Sengkolo masih sempat menarik kembali lengannya, kalau tidak, tentu lengan itu akan terkena cengkeraman Bi Kwi yang dapat menghancurkan kulit daging dan mematahkan tulang! Kedua orang itu lalu menyerang lagi bertubi-tubi dan sebentar saja Bi Kwi harus mempergunakan kelincahan tubuhnya dengan geseran-geseran kaki yang mantap, yang merupakan ciri khas dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Kuil Siauw-Lim.

Sementara itu, gerakan Darmini lain lagi dalam menghadapi pengeroyokan dua orng lawannya. Ia telah digembleng oleh Panembahan Ganggamurti dengan ilmu yang membuat tubuhnya dapat bergerak ringan dan cepat seperti burung srikatan saja, sehingga serangan kedua orang itu selalu luput dan sebaliknya, tamparan tangan dan tendangan kaki Darmini membuat keduanya menjadi repot sekali.

"Kena...!" Tiba-tiba Bajul Paruso berteriak, menubruk maju dan kedua tangannya mencengkeram ke arah dada Darmini. Sungguh merupakan serangan yang curang dan tidak sopan terhadap seorang lawan wanita!

Darmini cepat memutar tubuhnya menghindarkan dadanya dicengkeram, dan berbareng kakinya mencuat dari samping belakang, menyambut tubuh Bajul Paruso.

"Bukkk!!" Tumit kaki Darmini mengenai ulu hati orang ke tiga dari Empat Bajul itu.

"Hekkkk!" Tubuh Bajul Paruso terjengkang dan dia megap-megap karena sukar bernapas, kemudian dia roboh tak sadarkan diri!

Melihat ini, Bajul Kanisto menyerang kalang kabut dengan marah sekali, akan tetapi Darmini yang membayangkan betapa empat orang ini pernah mengeroyok Ong Cun dan berusaha membunuhnya, bahkan mungkin terjadi pembunuhan, sudah menyambutnya dengan tamparan keras yang mengenai telingan kanannya.

"Plakk!"

Tamparan itu keras sekali. Tubuh Bajul Kanisto terputar, lalu diapun roboh tak sadarkan diri. Ketika Darmini membalikkan tubuh untuk membantu Bi Kwi, ia melihat betapa Bajul Sengkolo sudah roboh merintih-rintih memegang pundak kanannya yang patah tulangnya, sedangkan Bajul Sengoro sudah repot sekali menghadapi serangan Bi Kwi. Biarpun orang pertama Empat Bajul itu sudah berusaha untuk melindungi dirinya dengan ilmu kekebalan, namun ketika kaki Bi Kwi yang kecil itu melayang ke arah mukanya, diapun tidak mampu menghindar lagi.

"Prakkk!"

Rontoklah gigi dari mulut Bajul Sengoro dan hidungnya berdarah pula, seperti mulutnya yang juga berdarah dan ketika dia mengaduh sambil mundur, Bi Kwi menyusulkan totokan ke arah pundaknya dan tubuhnya roboh terkulai dengan lemas tak mampu berkutik lagi.

Diam-diam Empu Tanding memandang kagum. Dua orang gadis itu sungguh hebat, memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Kepandaian Empat Bajul tadi jelas amat dahsyat, namun ternyata mereka berempat dapat dirobohkan oleh dua orang gadis itu dalam waktu yang tidak terlalu lama!

Diapun menoleh kepada Panji Sarono yang berdiri dengan muka agak pucat melihat betapa empat orang kaki tangannya yang paling diandalkan itu roboh semua. Biarpun dia sendiri juga memiliki kepandaian yang tinggi, apalagi setelah selama ini dia sering minta petunjuk Empu Kebondanu, namun harus diakuinya bahwa kalau empat orang kepercayaannya itu yang maju bersama saja kalah, maka dia seorang diripun takkan menang menghadapi dua orang gadis itu.

"Panji Sarono!" Panggilan membentak dari Ayahnya ini mengejutkan hatinya.

"Bagaimana dengan engkau? Engkau mau memberi keterangan sejelasnya dan sejujurnya, ataukah engkau kini sudah seperti orang-orang kasar ini, bersikap pengecut dan tidak berani mengaku terus terang dan ingin menguji kepandaian kedua orang gadis ini?"

"Kakang-Mas Panji Sarono, lebih baik engkau mengaku saja terus terang dan jangan mengajak mereka bertanding. Baru melawan nona Ong Bi Kwi ini saja, wah akan sukar mencapai kemenangan. Ia tangguh bukan main! Dan lagi, kalau memang engkau tidak bersalah, apa salahnya mengaku, Kakang-Mas?" Kata Panji saroto kepada Kakaknya.

Dia tahu bahwa Kakaknya menyeleweng dan suka bergaul dengan segala macam penjahat, suka sekali mengejar dan mempermainkan wanita, baik wanita itu perawan, janda ataukah isteri orang lain! Akan tetapi, dia tidak pernah melihat petunjuk Kakaknya membunuh orang dengan tangannya sendiri.

Panji Sarono meragu. Tadinya dia merasa penasaran, merasa disudutkan oleh Darmini dan dia merasa malu kalau harus mengalah kepada seorang wanita saja. Ingin ia menggunakan kekerasan dan melawan, akan tetapi ucapan adiknya itu menyadarkannya. Adiknya ini memiliki kedigdayaan yang mungkin masih berada di atas tingkatnya, dan kalau adiknya memuji, tentu bukan pujian kosong. Aplagi dia memang tidak merasa bersalah mengenai pembunuhan atas diri Ong Cun.

"Baiklah, kau mau bertanya apa, akan kujawab sebenarnya!" akhirnya dia berkata sambil memandang kepada Darmini dengan mata berkilat karena hatinya mendongkol sekali.

Legalah hati Darmini. Sama sekali ia tidak gentar menghadapi Panji Sarono akan tetapi tidak enaklah rasa hatinya kalau ia harus mengalahkan pemuda itu didepan Uwanya. Dan kini Panji Sarono bersedia menjawab, di depan Empu Tanding pula, tentu tidak berani berbohong.

"Kakang-Mas Panji Sarono," Katanya dengan hormat walaupun tegas dan lantang. "Menurut hasil penyelidikan kami, engkau pernah mengutus Empat Bajul ini untuk membunuh Ong Cun. Benarkah engkau melakukan hal itu?"

"Benar, memang aku pernah mengutus mereka untuk membunuh pemuda Cina itu..."

"Panji Sarono!" Tiba-tiba Empu Tanding membentak marah, mukanya menjadi pucat kemudian merah sekali. "Tak kusangka engkau telah melakukan kejahatan di luar tahuku! Keparat, engkau memalukan orang tua. Kenapa engkau mengutus mereka untuk melakukan perbuatan keji itu?"

Hampir saja Empu Tanding menghampiri puteranya untuk memukulnya, kalau saja Panji Saroto tidak menyentuh lengan Ayahnya itu untuk menyabarkannya. Kini, pemuda yang merasa tersudut itu menghadapi Ayahnya, mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi tidak ada tanda sedikitpun juga bahwa dia merasa telah melakukan suatu kesalahan.

"Kanjeng Rama tentu masih ingat betapa sakit hati saya ketika pinangan kita ditolak oleh Diajeng Darmini yang sudah bertunangan dengan seorang pemuda Cina. Saya menganggapnya suatu penghinaan, dan pemuda itu saya anggap sebagai penghalang, oleh karena itu saya mengutus mereka berempat ini untuk membunuhnya!"

Bi Kwi sudah mengepal tinju, akan tetapi pundaknya dirangkul Darmini dan iapun sadar bahwa ia tidak boleh menurutkan perasaan hatinya.

"Kalau begitu benar mereka inilah yang telah membunuh Ong Cun?" Tanya Darmini kepada Panji Sarono.

Pemuda itu mendengus dan menjawab dengan sikap acuh. "Tanya saja sendiri kepada mereka!"

Bi Kwi juga sudah tidak sabaran lagi, lalu menghampiri Bajul Sengoro yang masih tidak mampu berkutik karena tertotok tadi. Ia membebaskan totokannya, sehingga Bajul Sengoro mampu bergerak lagi dan orang inipun bangkit duduk di atas lantai, kepalanya ditundukkan karena maklumlah orang pertama dari Empat Bajul ini bahwa mereka telah kalah.

"Engkau tadi sudah berjanji, kalau kalah akan menjawab sejujurnya. Awas, kalau kalian berbohong, aku tidak akan segan-segan menyiksa atau membunuhmu!" Kata Bi Kwi.

 "Nah, Mbak-Ayu Darmini, tanyai mereka!"

Darmini bertanya kepada Bajul Sengoro yang dianggap pemimpin keempat orang tukang pukul itu. "Bajul Sengoro, sekarang ceritakan dengan jelas bagaimana kalian berempat melaksanakan tugas yang diperintahkan Raden Panji Sarono, kepada kalian untuk membunuh Ong Cun."

Bajul Sengoro menarik napas panjang. "Setelah menerima perintah, kami berempat lalu menghadangnya dan pada malam itu, tak berapa jauh dari rumah Ki Demang Bragolo di Lumajang, ketika pemuda Cina itu keluar dari taman, kami membayangi dan di jalan yang sunyi kami lalu menyerangnya. Dia melawan dan kami berkelahi di tempat yang mulai gelap itu."

"Dan kalian... kalian membunuhnya?" Bi Kwi berteriak dengan suara gemetar, kedua tangannya dikepal dan sukar baginya untuk menahan diri.

"Tidak!" Bajul Sengoro menggeleng kepala. "Kami... kami kalah dan kami nyaris celaka..."

"Keparat, jangan bohong!" Tiba-tiba Panji Sarono berteriak. "Bajul Sengoro, kalian pulang dan mengatakan kepadaku bahwa kalian sudah berhasil membunuhnya, dan kalian menuntut upah yang besar!"

"Bukan... bukan kami yang membunuhnya, Raden."

"Kalau begitu engkau menipuku!" Panji Sarono berteriak lagi.

Ayahnya lalu menghardiknya. "Panji Sarono, tutup mulutmu! Baru terbuka matamu betapa engkau tidak boleh bergaul dan percaya kepada orang-orang macam ini? Nini Darmini, teruskan pemeriksaanmu terhadap mereka!"

"Bajul Sengoro, engkau mengatakan bahwa engkau dan tiga orang kawanmu tidak mampu membunuh Ong Cun karena kalian kalah. Hal ini masuk di akal," Darmini memandang kepada Bi Kwi yang mengerti bahwa memang sukar dipercaya kalau empat orang ini mampu mengalahkan dan membunuh Kakak kandungnya yang lihai itu.

"Akan tetapi, engkau telah melapor kepada Kakang-Mas Panji Sarono bahwa kalian telah membunuhnya, dan tadi kau katakan bahwa bukan kalian yang membunuhnya. Bagaimana ini? Siapa sesungguhnya yang telah membunuhnya? Kalian harus dapat mengatakan, baru aku percaya benar bahwa kalian bukan pembunuhnya."

"Kami tidak tahu, ketika kami berempat kewalahan menghadapi pemuda Cina itu, di dalam keremangan malam, tiba-tiba muncul bayangan hitam yang menyerang pemuda itu dengan tiba-tiba. Pemuda Cina itu terluka dan roboh, dan kemudian kami mendengar bahwa dia telah tewas."

"Bayangan hitam? Siapa dia...?" Bi Kwi ikut membentak.

Empat orang itu saling pandang dan kini Bajul Kanisto yang membantu Kakaknya menjawab. "Keadaan waktu itu remang-remang, kami sungguh tidak mengetahui siapa orang yang mengenakan pakaian serba hitam itu, apalagi dia memakai sebuah topeng hitam pula."

"Pakaian hitam? Topeng hitam? Perawakannya sedang dan tegap?" Darmini bertanya, suaranya mendesak dan napasnya memburu.

Empat Bajul itu mengangguk dan membenarkan.

"Si Walet Hitam...!" Darmini berseru sambil mengepal tinju.

Empu Tanding terkejut mendengar disebutnya nama ini. "Si Walet Hitam? Tapi dia... dia juga seorang Cina, dialah yang membantu pemberontak Lumajang, dia pula yang mengakibatkan orang-orang Cina dimusuhi!"

Darmini mengangguk-angguk, "Hemmm... Walet Hitam, dia membunuh Ong cun. Aku harus menemukan dia, apapun yang terjadi!"

"Aku akan membantumu, Mbak-Ayu Darmini!" Kata Bi Kwi.

"Akupun akan mencari jejaknya agar engkau dapat cepat menemukannya, Diajeng Darmini," Kata Sridenta.

"Terima kasih, Kakang-Mas. Akan tetapi, masih ada lagi pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Kakang-Mas Panji Sarono. Kakang-Mas Panji, dari keterangan empat orang ini, jelas bahwa pembunuh Ong Cun bukan engkau, bukan pula mereka ini, melainkan menurut perkiraanku adalah Walet Hitam, sekarang aku masih ingin bertanya kepadamu. Apa yang kau lakukan pada malam itu, malam sesudah terjadi pembunuan atas diri Ong Cun? Apa yang telah kau lakukan pada malam Jumat Kliwon yang terkutuk itu?"

Panji Sarono memandang wajah Darmini dengan sinar mata penuh pertanyaan. Sejenak mereka berpandangan dan Darmini melihat bahwa pemuda itu tidak menyembunyikan sesuatu.

"Apa maksudmu, Darmini? Aku begitu gugup setelah mereka membohongi aku bahwa mereka telah berhasil membunuh pemuda Cina itu, dan karena khawatir, malam-malam berikutnya aku tidak berada di Lumajang, melainkan lari ke Majapahit sini untuk mencari hiburan."

Darmini percaya akan keterangan ini. Memang bukan pemuda ini yang telah memperkosanya karena orang itu memiliki tubuh yang lebih besar. "Satu pertanyaan lagi, Kakang-Mas Panji Sarono, dan kuharap engkau suka memberi keterangan yang sejujurnya. Ketika aku pergi untuk berguru ke Gunung Bromo, di dalam hutan di kaki Gunung Bromo, aku dan pengawalku, yaitu Paman Nala, diserang orang dengan anak panah sehingga Paman Nala terkena anak panah dan tewas..."

"Aku sama sekali tidak tahu akan hal itu! Aku tidak membunuh pengawalmu atau siapapun juga!" Panji Sarono membantah cepat.

"Pertanyaanku belum habis, Kakang-Mas Panji Sarono, ketika aku bertemu dengan Paman Empu Kebondanu yang menyuruh aku bertapa dalam sebuah guha, lalu muncul seorang bertopeng yang menggangguku. Tahukah engkau siapa orang itu?"

Terdengar seruan tertahan dan Darmini melirik ke arah Sridenta yang mengeluarkan suara itu. Ia melihat Kakak seperguruan itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam ke arah Panji Sarono sehingga ia pun kini menatap lagi wajah Panji Sarono yang nampak agak pucat.

"Aku... tidak tahu apa-apa..."

"Diajeng Darmini, dialah orangnya! Dialah dulu yang bertopeng mengganggumu di dalam guha itu. Tadi ketika aku berkelahi dengannya, aku sudah merasa heran karena mengenal gerakan-gerakannya, akan tetapi aku lupa lagi di mana dan kapan. Ketika tadi engkau bercerita tentang gangguan orang bertopeng di dalam guha itu, teringatlah aku." Tiba-tiba Sridenta berkata dan mendengar ini wajah Panji Sarono menjadi makin pucat.

"Hemm, keparat! Puteraku boleh jadi menyeleweng, akan tetapi tidak boleh menjadi pengecut! Panji Sarono, kalau benar engkau bersalah, mengakulah!"

Bentak Empu Tanding yang mukanya berubah merah sekali, apalagi tadi dia melihat sendiri betapa Empu Kebondanu berada di situ, tanda bahwa memang ada hubungan antara puteranya ini dengan Empu Kebondanu yang berkhianat dan dia sudah mendengar betapa Kakak seperguruannya itu kini membantu Wiratama.

"Baiklah, Kanjeng Rama, saya akan mengaku," Katanya dengan muka pucat. "Saya tidak sudi menjadi pengecut. Penolakan cinta dan pinangan saya terhadap Darmini sungguh menyakitkan hati saya, kemudian pengakuan Empat Bajul bahwa mereka telah berhasil membunuh Ong Cun, membuat hati saya selalu gelisah. Oleh karena itu, setelah berada di Kotaraja, saya lalu mengambil keputusan untuk pergi mengunjungi Paman Empu Kebondanu, untuk belajar ilmu dan sementara menjauhkan diri. Akan tetapi, pada suatu hari, saya melihat Darmini menghadap Paman Empu Kebondanu dan diperintahkan bertapa di sebuah guha. Hati saya tergerak dan bujukan iblis menguasai saya. Saya lalu mengenakan topeng dan bermaksud untuk memiliki Diajeng Darmini, walaupun secara paksa. Akan tetapi orang ini datang menggagalkan niat saya." Dia memandang kepada Sridenta.

Empu Tanding marah sekali. "Jahanam engkau, Panji Sarono! Semenjak kecil segala keinginanmu kupenuhi belaka, dan sekarang apa yang kau lakukan untuk membalas semua kebaikan orang tuamu? Engkau mencoreng arang di muka orang tuamu dengan perbuatan yang keji dan jahat! Sungguh memalukan. Hayo katakan, apa pula artinya kehadiran Kakang Empu Kebondanu disini!"

Panji Sarono sudah merasa tersudut dan diapun kini melihat kenyataan betapa semua tingkah lakunya yang lalu bertentangan sama sekali dengan watak Ayahnya atau juga watak adiknya, Panji Saroto. Dia dikelilingi oleh teman-teman yang pandai membujuknya, menyeretnya ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan dan pengumbaran nafsu.

"Kanjeng Rama, sesungguhnya Paman Empu Kebondanu mendatangi saya untuk membujuk saya agar suka bersekutu dengan Wiratama dan membantu gerakan mereka bersama semua pembantu dan anak buah saya."

"Keparat jahanam! Engkau bahkan hendak menjadi pengkhianat!" Empu Tanding mencabut kerisnya dengan muka merah, akan tetapi pada saat itu Panji Saroto meloncat ke depan dan memegang lengan Ayahnya.

"Kanjeng Rama harap ingat dan menyadari bahwa Kakang-Mas Panji Sarono adalah putera Kanjeng rama sendiri," Kata pemuda ini dengan tenang.

"Tapi dia tersesat, harus dihukum!" Bentak Empu Tanding.

"Benar sekali, Kanjeng Rama, akan tetapi bukan melalui kematian di tangan Kanjeng Rama sendiri. Masih ada pengadilan yang akan mempertimbangkan kesalahannya. Bagaimanapun juga, perbuatannya yang jahat terhadap Mbak-Ayu Darmini belum terlaksana, bukan? Juga, dia belum sampai berkhianat, baru menerima bujukan Paman Empu Kebondanu. Bahkan usahanya membunuh Ong Cun ketika itupun gagal, berarti bukan dia yang bertanggung jawab atas kematian Ong Cun. Bukankah demikian, Mbak-Ayu Darmini?"

Melihat betapa marahnya Empu Tanding yang hendak membunuh puteranya sendiri, Darmini juga membujuk, "Sudahlah, Kanjeng Paman, memang benar seperti dikatakan Adimas Panji Saroto."

Akan tetapi Empu Tanding masih marah sekali. Dia lalu memanggil perajurit-perajuritnya dan memerintahkan mereka agar menangkap Panji Sarono, Empat Bajul dan semua anak buah Panji Sarono, menjebloskan mereka ke dalam penjara menanti keputusan pengadilan selanjutnya!

Dengan kepala ditundukkan dan tidak melawan sama sekali Panji Sarono lalu ditangkap bersama semua anak buahnya, digiring oleh pasukan perajurit ke dalam penjara. Melihat keadaan Kakaknya yang amat dicintainya, Panji Saroto menjadi sedih sekali dan diapun mengepal tinju lalu berkata lantang,

"Keparat Wiratama! Dialah yang menjadi biang keladi sampai Kakang-Mas Panji Sarono terbujuk! Aku akan membuka kedoknya dan menghancurkan persekutuannya!"

Sridenta yang sejak tadi merasa suka dan kagum kepada putera ke dua Empu Tanding ini, segera berkata, "Kalau boleh, aku bersedia membantumu, Adimas Panji Saroto."

Panji Saroto juga kagum terhadap Sridenta, apalagi mendengar bahwa pemuda ini adalah Kakak seperguruan Darmini, bahkan putera dari Pangeran Arya Cakra, bangsawan tinggi yang sudah meninggal dunia dan yang meninggalkan nama harum diantara para bangsawan dan pamong praja. "Aku akan merasa gembira sekali kalau kita dapat bekerja sama, Kakang-Mas Sridenta."

Sementara itu, Darmini yang diam-diam merasa kecewa sekali karena penyelidikannya ternyata tidak berhasil menemukan musuh yang dicarinya, segera berpamit kepada Empu Tanding. "Kanjeng Paman, saya mohon pamit dan maafkanlah kalau saya telah mendatangkan hal-hal yang tidak enak bagi keluarga Kanjeng Paman."

Empu Tanding menarik napas panjang. Betapa segala peristiwa besar dimulai dari hal-hal kecil, api kebakaran yang besarpun selalu dimulai bunga api yang kecil. Andaikata dahulu gadis ini menerima pinangan puteranya, dan berjodoh dengan Panji Sarono, tentu Ong Cun tidak sampai terbunuh dan tidak akan terjadi perkara sekarang ini. Mungkin saja kebijaksanaan Darmini sebagai isteri Panji Sarono akan dapat mengubah jalan hidup puteranya yang tersesat itu. Kalau saja... Kalau saja..."

Ah, semua itu hanya khayal muluk. Kenyataannya amatlah pahit. Dia tidak banyak cakap, hanya berkata dengan suara sedih.

"Tidak perlu minta maaf, Nini. Bahkan engkau telah berjasa karena kalau tidak ada sepak terjangmu ini, mungkin sampai kini aku tidak tahu akan keadaan dan penyelewengan Panji Sarono, bahkan mungkin dia akan benar-benar membantu Wiratama dan hal itu akan merupakan malapetaka paling besar bagi keluarga kami."

Ketika hendak pergi, ada kilatan empat pasang mata yang saling pandang. Antara mata Bi Kwi dan Panji Saroto, dan antara mata Darmini dan Sridenta. Biarpun hanya sekilas pandang, namun masing-masing merasa seolah-olah pandang mata masing-masing itu menembus sampai jantung.

Dalam perjalanan pulang ke rumah Raden Gajah, dua orang gadis itu tidak banyak bicara. Masing-masing berjalan sambil termenung, dan diam-diam masing-masing membayangkan wajah pria yang menarik hati mereka.

Bi Kwi kagum kepada Panji Saroto yang ternyata bertindak cepat. Tanpa diberitahukan ia dapat menduga bahwa munculnya Empu Tanding bersama pasukannya tentu karena pemberitahuan Panji Saroto, dan ia melihat betapa besar perbedaan dalam watak antara Panji Sarono yang tersesat dengan Panji Saroto yang gagah perkasa dan bijaksana. Ketika Panji Saroto mencegah Ayahnya hendak membunuh Panji Sarono sudah menunjukkan betapa pemuda itu amat bijaksana.

Juga Darmini terkenang kepada Sridenta. Pemuda itu muncul dalam saat yang amat tepat, karena kalau tidak ada Sridenta, tentu ia dan Bi Kwi terancam bahaya besar. Biarpun keduanya tertarik dan selalu membayangkan pria yang dikaguminya, namun mereka merasa kecewa.

Peristiwa yang terjadi dengan Empat Bajul dan Panji Sarono membuyarkan harapan mereka untuk dapat membongkar rahasia kematian Ong Cun dan Nala, juga bagi Darmini, masih belum dapat ia menduga siapa yang memperkosanya. Yang diketahuinya hanyalah rahasianya orang bertopeng yang mengganggunya di dalam guha, ternyata orang itu adalah Panji Sarono.

Akan tetapi peristiwaitu kecil saja artinya dibandingkan tiga peristiwa lain yang belum dapat di bongkar, yaitu kematian Ong Cun, kematian Paman Nala dan pemerkosaan atas dirinya. Melihat Darmini termenung dan kadang-kadang menarik napas panjang, Bi Kwi berkata,

"Engkau tentu kecewa, seperti aku, karena rahasia kematian Kakakku Ong Cun belum juga terbongkar dan ternyata mereka itu tadi tidak bertanggung jawab atas kematiannya."

"Benar adikku. Betapapun juga, kita memperoleh jejak baru, yaitu Walet Hitam. Kita harus dapat menemukannya!"

"Memang, kita harus dapat menemukannya, Mbak-Ayu Darmini. Akan tetapi, dimana dia?"

"Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi, mari kita bicarakan dengan Paman Raden Gajah. Bukankah dia tahu siapa adanya orang rahasia itu? Mungkin dia dapat memberi petunjuk kepada kita."

Akan tetapi, dua orang gadis itupun tidak memperoleh petunjuk yang memuaskan dari Raden Gajah. Senopati ini mendengar semua penuturan Darmini tentang peristiwa yang terjadi dengan keluarga Empu Tanding dan diapun menghela napas panjang.

"Sungguh sayang sekali mengapa putera sulung Empu Tanding sampai melakukan penyelewengan dan bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan akhir-akhir ini berhubungan dengan kaum pemberontak Lumajang. Empu Tanding sendiri adalah seorang hamba Majapahit yang setia, dan merupakan pembantuku yang boleh dipercaya. Tindakannya sungguh tepat untuk menawan puteranya sendiri dan anak buah Panji Sarono. Akan tetapi, tentang Walet Hitam, siapa yang dapat mencarinya? Sejak dahulu, ketika dia membantu mendiang Wirabumi, orang itu penuh rahasia dan sukar sekali ditangkap. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tidak seorangpun tahu siapa dia sebenarnya, walaupun kami yakin bahwa dia adalah seorang Cina yang berilmu tinggi. Mengingat bahwa dia dahulu membantu Lumajang, sangat boleh jadi sekarang diapun berhubungan dekat dengan orang-orang yang masih setia kepada Lumajang. Dan tokoh yang paling menonjol adalah Wiratama."

Hanya itulah petunjuk yang dapat diberikan oleh Raden Gajah. Dua gadis itu lalu mengadakan perundingan di dalam kamar mereka.

"Aku tidak yakin bahwa Walet Hitam berada di rumah Wiratama," Kata Bi Kwi.

"Selama aku berada di rumah itu, aku memperoleh kebebasan dan tidak pernah aku melihat Walet Hitam di sana. Andaikata benar dia berada di sana, walaupun secara bersembunyi, tak mungkin aku tidak melihatnya atau bayangannya. Kurasa Walet Hitam mempunyai tempat persembunyian yang lain."

Darmini mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Karena engkau pernah tinggal di sana, tentu pendapatmu itu ada benarnya. Akan tetapi, petunjuk Paman Senopati itupun tepat. Mengingat bahwa Walet Hitam pernah membela Wirabumi, maka setelah kini dia muncul lagi, boleh dipastikan dia berhubungan dengan orang-orang yang setia kepada Lumajang. Kita tinggal mencari saja tokoh mana selain Wiratama yang setia kepada Lumajang, tentu saja tokoh yang menonjol dan penting."

"Ki Demang Bragolo...!" Kata Bi Kwi.

Darmini terkejut memandang kepada Bi kwi dan ia terheran. "Kanjeng Rama Bragolo...? Wah, bagaimana engkau dapat mencurigainya, Bi Kwi?"

"Maaf, Mbak-Ayu Darmini, aku hampir lupa bahwa dia adalah Ayahmu..." Kata Bi Kwi, memandang khawatir.

Darmini tersenyum dan memegang lengan Bi Kwi. "Hanya Ayah tiri, adikku, dan kini hubungan antara kami tidak baik lagi karena Ibuku ditinggalkannya di Lumajang."

"Ayah tiri...?" Bi Kwi nampak terkejut. "Kenapa Kwee-Toako tiak pernah menceritakan hal itu kepadaku?"

"Kwee Lok tentu tidak tahu. Aku tidak pernah bercerita kepada siapapun, bahkan mendiang Ong Cun sendiri tidak tahu. Kanjeng Rama selalu baik kepadaku, seperti kepada anak kandung sendiri. Hanya sekembaliku dari perguruan, dan melihat betapa Ibu kandungku tidak ikut bersama dia ke Majapahit karena Ibuku tidak tahan terhadap kesombongan seorang selir barunya, hubungan antara kami menjadi agak tegang. Akan tetapi, lepas dari pada hubungan keluarga antara dia dan aku, apa sebabnya engkau tadi menyebut namanya sebagai orang yang patut dicurigai menyembunyikan Walet Hitam?"

"Begini, Mbak-Ayu Darmini. ketika pertama kali kita bertemu di rumah Ki Demang Bragolo, aku datang berkunjung kepadanya, dibawa oleh Wiratama, aku melihat betapa sikapnya amat merendah terhadap Wiratama. Aku yakin bahwa Ki Demang bragolo berpihak kepada Wiratama. Tentu dia juga termasuk kelompok orang yang setia kepada Lumajang, memusuhi Majapahit. Nah, bukankah hal itu mencurigakan dan siapa tahu, Walet Hitam bersembunyi di rumahnya."

Darmini mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. Siapa tahu, pikirnya. Terjadi perubahan besar pada diri Ayah tirinya itu. Ia sendiri tidak sangat yakin akan kesetiaan Ayahnya terhadap Majapahit. Bukankah Ayahnya juga seorang yang dulu setia kepada Lumajang.?

"Memang sebaiknya kita menyelidiki pula kemungkinan itu," Katanya.

"Mulai sekarang setiap hari, terutama sekali malamnya, kita haus keluar dan melakukan pengintaian, terutama di rumah Wiratama dan Ki Demang Bragolo."

Demikianlah, mulai hari itu, kedua orang gadis perkasa ini setiap malam berkeliaran di seluruh kota, kadang-kadang mereka mendekam dan mengintai di atas genteng rumah tak jauh dari gedung Wiratama atau Ki Demang Bragolo. Mereka melakukan pengintaian dengan amat tekun.

Pada suatu malam terang bulan, beberapa hari kemudian, ketekunan mereka memperoleh hasil. Ketika itu keduanya melakukan pengintaian terhadap rumah Ki Demang Bragolo dan menjelang tengah malam, sewaktu mereka mulai merasa bosan dan hendak pergi mencari ke lain tempat, tiba-tiba Darmini yang kebetulan memandang ke arah kiri, memegang lengan Bi Kwi. Gadis ini menengok dan iapun melihat apa yang dilihat Darmini.

Sesosok bayangan hitam nampak datang menuju ke rumah gedung Ki Demang Bragolo. Dua orang gadis itu serentak berlompatan menyambut orang itu dan setelah dekat, mereka menjadi semakin bersemangat karena bayangan itulah yang mereka cari selama ini! Seorang yang memakai pakaian dan topeng hitam! Orang itu nampak terkejut, terlihat dari sinar matanya dari balik topeng hitam itu, ketika melihat betapa tahu-tahu ada dua orang pemuda berdiri didepannya.

"Berhenti!" Darmini menghardik dan memandang tajam. "Engkau Walet Hitam yang dulu pernah hendak membunuh Raden Gajah! Mengakulah saja bahwa dahulu engkau telah membunuh Ong Cun."

Akan tetapi orang bertopeng itu tidak menjawab, hanya sepasang mata dibalik topeng itu mencorong dan memandang Darmini dengan sinar mata tajam penuh tantangan.

"Hek-Yan-Cu (Walet Hitam), kalau engkau memang seorang gagah yang bertanggung jawab, mengakulah bahwa engkau benar telah membunuh Kakakku Ong Cun!" Kata pula Bi Kwi, mempergunakan bahasa Cina sambil memandang penuh selidik, seolah-olah ingin ia merobek topeng itu dengan pandang matanya.

Akan tetapi, Walet Hitam juga tidak menjawab, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya hendak melarikan diri.

"Pembunuh jahat, hendak lari ke mana kau?" Darmini membentak dan bersama Bi Kwi iapun meloncat dan menghadang, lalu menyerang dengan pedang Lian-Hwa-Kiam yang sudah siap di tangannya.

Bi Kwi juga sudah mencabut pedang Liong-Cu-Kiam dan menyerang dengan dahsyat. Menghadapi serangan pedang dua orang gadis itu, Walet Hitam meloncat jauh ke belakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Diapun menggerakkan pedangnya dan terdengarlah suara berdencing berulang kali ketika pedangnya bertemu dengan pedang kedua gadis yang mengeroyoknya.

Terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian. Ilmu pedang Walet Hitam memang tangguh sekali, pedangnya lenyap dan menjadi sinar pedang bergulung-gulung, bagaikan seekor naga menghadapi serangan pedang dua gadis itu. Namun, ilmu pedang Bi Kwi dan Darmini juga cukup tangguh sehingga betapapun lihainya Walet Hitam menghadapi pengeroyokan dua wanita yang menyerang penuh semangat dan kemarahan bagaikan dua ekor naga betina itu, dia merasa repot juga.

"Keparat!" Teriak Bi Kwi setelah beberapa lamanya ia melihat gerakan pedang di tangan lawan. "Kiranya engkau seorang murid Siauw-Lim-Pai pula, seorang murid murtad dan menyeleweng yang suka melakukan kejahatan! Akulah yang akan mewakili Siauw-Lim-Pai menghukum murid murtad macam engkau!" Pedangnya berputar semakin cepat.

Walet Hitam menjadi semakin kewalahan dan dia hanya mampu mengelak dan menangkis saja, berloncatan ke sana-sini dan terus mundur, didesak hebat oleh dua batang pedang pusaka yang berkelebatan bagaikan kilat menyambar-nyambar mencari nyawa. Maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan kalah dan akan celaka di tangan dua orang gadis yang perkasa itu.

Dia terus mundur sampai akhirnya dia tiba dimulut lorong sempit dimana terdapat beberapa batang pohon besar yang membuat tempat itu menjadi gelap karena sinar bulan tidak dapat menembus daun pohon yang rimbun itu. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan dari tenggorokannya, dan tangan kirinya bergerak.

"Awas senjata rahasia!" Teriak Bi Kwi yang mengenal gerakan ini, ia terus memutar pedang di depan dadanya untuk melindungi tubuhnya.

Darmini terkejut, tidak mengenal gerakan itu, akan tetapi teriakan Bi Kwi membuat ia sadar bahwa ia terancam oleh sambaran senjata gelap, maka iapun cepat melempar tubuh ke atas tanah dan bergulingan. Terdengar suara nyaring ketika pedang Bi Kwi memukul runtuh beberapa batang senjata rahasia berupa paku-paku kecil dan Darmini juga terhindar dari sambaran senjata-senjata itu ketika ia bergulingan.

Akan tetapi ketika Darmini meloncat bangun dan Bi Kwi menghentikan pemutaran pedangnya, ternyata Walet Hitam telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dua gadis itu mencoba untuk melakukan pengejaran. Namun, hanya sebentar saja mereka masih dapat melihat berkelebatnya tubuh musuh itu, akan tetapi karena pakaian orang itu serba hitam, maka lenyaplah bayangan itu dan mereka tidak dapat mengetahui kemana Walet Hitam lari dan terpaksa menghentikan pengejaran mereka.

"Sayang sekali!" Darmini mengepal tinju kiri dan diacungkan ke arah kegelapan.

"Dia lihai dan jelas dia murid Siauw-Lim-Pai. Biarpun dia memiliki banyak macam gerakan, namun jelas bahwa dasar ilmu silatnya sama dengan ilmu silat yang kupelajari dari Siauw-Lim-Pai."

"Kalau begitu, engkau tentu dapat menduga siapa dia, Bi Kwi. Bukankah dia masih saudara seperguruanmu sendiri?"

Bi Kwi menggeleng kepalanya. "Wah, hal itu tidak mungkin, Mbak-Ayu Darmini. Siauw-Lim-Pai kini memiliki cabang dimana-mana, dan banyak tokohnya memiliki murid-murid. Disamping murid-murid yang belajar di Kuil Siauw-Lim-Si sendiri. Kini ada ratusan, bahkan ribuan orang yang mempelajari ilmu silat Siauw-Lim-Pai, bagaimana aku dapat menduganya? Mungkin selamanya aku belum pernah bertemu dengan orang itu."

Darmini mengerutkan alisnya, "Sukar diduga kalau begitu. Akan tetapi, aku yakin bahwa dia tentulah mengenal Ong Cun, hanya apa sebabnya dia membunuh Ong Cun? Sungguh sulit untuk diselidiki. Marilah kita menghadap Paman Senopati, beliau tentu akan dapat membantu kita dengan petunjuknya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka menghadap Raden Gajah dan menceritakan semua pengalaman mereka semalam ketika bertemu dengan Walet Hitam dan mengeroyoknya, akan tetapi sayang bahwa orang jahat itu dapat melarikan diri.

"Saya melihat jelas bahwa dia itu murid Siauw-Lim-Pai, akan tetapi kami tidak dapat menduga siapa dia dan mengapa pula dia membunuh Kakak saya Ong Cun. Kami menjadi bingung, tentu dia akan lebih berhati-hati dan tidak akan memperlihatkan dirinya," Kata Bi Kwi.

"Kami mohon petunjuk Kanjeng Paman, bagaimana selanjutnya kami dapat melanjutkan penyelidikan ini dan dapat menemukan Walet Hitam," Kata Darmini dengan suara sedih.

Raden Gajah mengerutkan alisnya, ikut memikirkan, kemudian menarik napas panjang. "Coba kau ceritakan lagi hasil penyelidikan kalian dan pendapat-pendapat kalian tentang peristiwa ini, mungkin dari keterangan-keterangan itu kita akan bisa menemukan sesuatu."

Darmini lalu menceritakan semua hasil penyelidikannya dan penyelidikan Bi Kwi. Mengenai pembunuhan atas diri Ong Cun, ia telah mendapatkan pengakuan dari Empat Bajul bahwa mereka memang disuruh oleh Panji Sarono untuk mengeroyok dan membunuh Ong Cun, akan tetapi mereka itu bahkan kalah oleh Ong Cun, dan didalam perkelahian itu tiba-tiba muncul seorang berpakaian dan bertopeng hitam yang menyerang dengan curang dan berhasil membunuh Ong Cun.

Empat Bajul tidak dapat menjelaskan siapa orang bertopeng itu, akan tetapi mudah diduga bahwa orang itu tentu Walet Hitam walaupun semalam Walet Hitam tidak membuat pengakuan.

"Yang membuat hati saya penasaran, Kanjeng Paman, menurut keterangan Bi Kwi Walet Hitam adalah murid Siauw-Lim-Pai. Padahal Ong Cun juga murid Siauw-Lim-Pai, lalu apa sebabnya dia membunuh Ong Cun?"

Senopati itu mengangguk-angguk. "Memang ada rahasianya tentu, dan kita dapat mengetahui bahwa Walet Hitam adalah seorang Cina yang membantu Lumajang pada waktu itu, bahkan membantu Wirabumi melarikan diri, dan melindunginya, membelanya ketika Wirabumi hendak saya tangkap. Melihat kenyataan bahwa dia memakai topeng, menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal, dan berarti bahwa banyak orang mengenalnya, baik dipihak rombongan Cina yang datang pada waktu itu, maupun dipihak orang-orang Lumajang. Ada dua alasan yang memungkinkan dia membunuh tunanganmu itu. Pertama, mungkin karena Ong Cun mengetahui rahasianya dan tahu siapa adanya Walet Hitam. Dan kedua, mengingat bahwa Walet Hitam membantu Lumajang karena mendapatkan hadiah, berarti bahwa dia seorang pembunuh bayaran, bukan tidak mungkin ada orang yang menyuruhnya membunuh Ong Cun. Dan kalau benar demikian, satu-satunya kemungkinan orang yang mengutusnya tentu karena tidak suka melihat engkau bertunangan dengan dia."

Darmini mengangguk-angguk. "Satu-satunya orang yang ingin membunuh Ong Cun karena pertunangannya dengan saya hanyalah Kakang-Mas Panji Sarono, Kanjeng Paman, dan dia sudah mengaku bahwa yang disuruhnya membunuh Ong Cun adalah Empat Bajul dan ternyata usaha itu gagal. Mengingat betapa keluarga Paman Empu Tanding setia kepada Majapahit, kiranya tidak mungkin kalau Walet Hitam dekat dengan mereka."

"Kalau begitu harus diselidiki siapa kiranya yang memusuhi Ong Cun ketika itu. Engkau tahu sendiri, Nini. Walet Hitam adalah orang yang melakukan apa saja asal diberi upah. Buktinya, dia berani datang dan berusaha membunuhku malam itu. Hal itupun tentu terjadi karena dia disuruh orang." Kata Raden Gajah.

"Penyelidikan kami hanya sampai disitu, Kanjeng Paman. Kami menduga bahwa Walet Hitam yang membunuh Ong Cun, seperti yang diakui oleh Empat Bajul. Saya kira mereka itu tidak berani berbohong kepada kami. Akan tetapi, pembunuh Paman Nala masih belum dapat saya duga siapa orangnya. Memang, pada waktu itu, di kaki Bromo ada pula Kakang-Mas Panji Sarono dan seperti pengakuannya, dialah orangnya yang memakai kedok dan hendak mengganggu saya di dalam guha. Akan tetapi dia tidak membunuh Paman Nala, hal itu disangkalnya. Pula, pembunuhan itu sebenarnya ditujukan kepada saya, hanya kebetulan saya membungkuk sehingga yang terkena anak panah dan terbunuh adalah Paman Nala. Tidak ada alasan sedikitpun bagi Kakang-Mas Panji Sarono untuk membunuh saya atau Paman Nala. Sampai sekarang saya belum dapat menduga sedikitpun juga siapa pelepas anak panah itu, dan mengapa pula ada orang yang ingin membunuh saya atau Paman Nala."

"Memang tidak muda menyelidiki perkara yang sudah terjadi lima enam tahun yang lalu, Nini. Kukira, satu-satunya jalan adalah menemukan dan menangkap Walet Hitam. Aku juga akan mengerahkan orang-orangku untuk melakukan pengintaian setiap malam dan kalau melihat Walet Hitam, memberi tanda agar Walet Hitam dapat dikepung dan ditangkap. Kurasa, kalau dia tertangkap, semua rahasia itu akan dapat diungkapkan."

Darmini mengangguk-angguk. Pembunuh Ong Cun sudah diketahui, yaitu Walet Hitam yang masih harus dicari dan ditangkap, hal yang tidak mudah. Pembunuh Paman Nala belum diketahui siapa orangnya, dan juga orang yang memperkosanya, belum dapat ditangkap, bahkan belum dapat diduga siapa pula orangnya. Akan tetapi jelas bukan Panji Sarono, karena seingatnya, orang itu berperawakan besar, lebih besar daripada pemuda itu.

Setiap malam dua orang gadis itu masih terus melakukan pengintaian dan pencaharian, bahkan seringkali mereka bertemu dengan orang-orang yang disebar oleh Raden Gajah dengan tugas yang sama, yaitu mencari jejak Walet Hitam. Namun, agaknya setelah terjadi pekelahian di malam itu, Walet Hitam terus bersembunyi dan tidak pernah lagi memperlihatkan diri.

Belasan hari kemudian, pada suatu senja, datang utusan dari Ki Demang Bragolo ke rumah gedung Raden Gajah. Utusan itu datang membawa sepucuk surat yang dialamatkan kepada Darmini, dari Ki Demang Bragolo. Darmini menerima surat itu dan ketika membuka simpulnya dan membaca isinya, ia terkejut dan girang sekali. Ayah tirinya menulis bahwa Ibunya telah datang ke Majapahit dan menyusul Ayahnya, bahkan di dalam surat itu terdapat pula tulisan Ibunya yang minta kepadanya untuk datang berkunjung!
Bi Kwi hanya melihat saja ketika Darmini keluar dan mengatakan kepada utusan agar pulang dan menyampaikan kepada Ayah Ibunya bahwa malam ini ia akan datang berkunjung. Setelah utusan itu pergi, Bi Kwi mengerutkan alisnya dan berkata kepada Darmini,

"Mbak-Ayu Darmini, kurasa kurang bijaksana kalau Mbak-Ayu pergi berkunjung ke sana. Apakah tidak berbahaya? Setidaknya engkau harus bertanya pendapat Raden Gajah dan menunggu sampai dia pulang."

Darmini tersenyum. "Adikku, tidak perlu khawatir. Apa sih yang dapat dilakukan Ayah tiriku kepadaku? Kini Ibu telah berada disana. Aku harus pergi mengunjungi Ibu dan melihat keadaan kesehatannya, selain itu, akupun ingin bertanya kepada Ayah tiriku mengapa dia dahulu tidak mencegah ketika mendengar dari Gagak Ireng bahwa Empat Bajul hendak membunuh Ong Cun. Ingin kuketahui bagaimana jawabnya."

"Akan tetapi, apakah tidak berbahaya, Mbak-Ayu? Biarkan aku ikut agar aku dapat membantumu kalau sampai terjadi sesuatu."

"Tentu saja engkau ikut, adikku. Tanpa kau minta sekalipun, aku akan mengajakmu. Dan kalau ada engkau di sampingku, aku tidak takut menghadapi siapaun juga!"

Darmini merangkul dan Bi Kwi membalas, lalu mencium pipi Darmini. Makin lama berkumpul, ia merasa semakin kagum kepada Darmini dan semakin menyesal mengapa Kakak kandungnya terbunuh orang. Kalau tidak, alangkah akan senangnya mempunyai seorang Kakak ipar seperti Darmini ini.

Dua orang gadis itu bersiap-siap, tidak lupa membawa pedang mereka dan berangkatlah mereka menuju ke rumah gedung Ki Demang Bragolo. Malam mulai tiba dan bulan belum muncul. Dua orang gadis yang melakukan perjalanan dengan tetap berpakaian sebagai pria itu masing-masing merasakan ketegangan dalam hati mereka, akan tetapi ketegangan mereka berbeda.

Kalau Darmini merasa tegang karena hendak bertemu Ibunya dan melihat perkembangan hubungan antara Ibu kandungnya dan Ayah tirinya, juga tegang membayangkan akan tegurannya terhadap Ayah tirinya, sebaliknya Bi Kwi merasa tegang karena hatinya merasa tidak enak.

Ia seperti mendapat firasat yang tidak baik, merasa seolah-olah bersama Darmini memasuki guha yang penuh dengan binatang buas yang mengancam keselamatan mereka. Lentera yang banyak bergelantungan di pendopo gedung Ki Demang Bragolo menyambut kedatangan dua orang gadis itu.

Para penjaga di luar agaknya sudah diberitahu akan kunjungan itu, maka mereka tidak banyak lagak lagi. Bahkan seorang kepala jaga yang berkumis tebal, menyambut Darmini dengan hormat, mempersilahkan dua orang gadis itu memasuki pendopo di mana mereka di sambut oleh seorang penjaga pendopo dan mereka lalu diantar ke ruangan tamu di samping kiri.

Dan di ruangan tamu itu sudah duduk menanti Ki Demang Bragolo dan Nyi Demang Bragolo, Ibu kandung Darmini. Melihat Ibunya, Darmini lalu menubruk maju, berlutut di depan Ibunya dan menyembah.

"Kanjeng Ibu..."  Katanya lirih, terharu melihat Ibunya kini telah kembali kepada Ayah tirinya, diam-diam merasa heran juga karena bukankah dahulu Ibunya sudah menceritakan betapa sikap Ki Demang Bragolo amat sadis dan kejam kalau di tempat tidur? Dan bukankah selir terbaru Ayah tirinya itu bersikap menghina kepada Ibunya? Apakah kini selir itu telah berubah sikap, ataukah Ibunya yang mau menerima penghinaan? Dilihat sepintas lalu ketika Ibunya duduk disamping Ayah tirinya seperti itu, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka.

Nyi Demang Bragolo, merangkul anaknya dan menangis. "Anakku... Nini... sukur engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat. Aku... aku sungguh mengkhawatirkan keadaanmu, anakku. Apakah engkau tinggal bersama Pamanmu Senopati Raden Gajah?"

Ibu ini mencium pipi puterinya. "Bagaimana engkau tahu bahwa aku berada disini?"

Darmini terkejut mendengar ini. Ia melepaskan rangkulan Ibunya, lalu bangkit berdiri menghadapi Ki Demang Bragolo, kemudian memandang lagi kepada Ibunya. "Kanjeng Ibu, bukankah paduka yang minta kepadaku untuk datang berkunjung? Surat itu..." Dan Darmini menoleh kepada Ayah tirinya.

"Surat apa, Nini? Aku... baru kemarin aku dibawa kesini... Aku tidak tahu engkau dimana dan tidak dapat mengundangmu untuk datang walaupun aku ingin sekali bertemu denganmu..."

"Kajeng Rama! Apa artinya ini?" Darmini kini menghadapi Ki Demang Bragolo. "Kalau bukan Kanjeng Ibu, lalu siapa yang memalsukan namanya mengundangku datang berkunjung?"

"Akulah yang menulisnya, Nini Darmini." Kata Ki Demang Bragolo, sikapnya tenang saja. "Memang aku menghendaki kedatanganmu karena kau ingin membicarakan hal yang penting, Nini. Mengenai Ibumu dan dirimu sendiri, mengenai hubungan keluarga di antara kita bertiga."

Panas rasa hati Darmini, merasa dipermainkan. "Sayapun ingin menanyakan sesuatu kepada paduka!" Katanya, sikapnya masih hormat namun suaranya terdengar lantang dan ketus. "Kebetulan sekali disini disaksikan pula oleh Kanjeng Ibu! Kanjeng Rama, bukankah lima tahun yang lalu, paduka mempunyai seorang pembantu yang bernama Gagak Ireng?"

Ki Demang Bragolo memandang tajam dan alisnya berkerut. "Hemm, kalau benar begitu, kenapakah? Banyak aku mempergunakan orang di Lumajang dahulu, dan di antara mereka memang ada yang bernama Gagak Ireng."

"Kanjeng Rama," Sambung Darmini, sebutan itu terasa kaku di lidahnya karena sejak turun gunung bertemu Ibunya, di dalam batinnya ia sudah enggan menganggap orang itu sebagai Ayahnya. "Gagak Ireng pernah melapor kepada paduka bahwa Empat Bajul hendak membunuh Ong Cun, kenapa ketika itu paduka diam saja dan tidak memperingatkan Ong Cun?"

Berkata demikian, Darmini menatap wajah orang yang selama belasan tahun menjadi Ayahnya itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia melihat di bawah sinar lampu yang cukup terang betapa wajah Ayah tirinya itu menjadi merah dan matanya yang lebar menjadi liar, akan tetapi sikapnya masih tenang ketika dia menjawab,

"Ah, itukah? Memang benar si Gagak Ireng itu ada bercerita tentang Empat Bajul yang hendak membunuh seorang Cina. Akan tetapi dia tidak menjelaskan bahwa Cina itu adalah Ong Cun, dan aku tidak ingin mencampuri urusan orang. Sudahlah, aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi untuk dibicarakan denganmu, Nini Darmini. Dan ini... hemm, bukankah engkau adik perempuan Ong Cun yang pernah datang bersama Raden Wiratama?"

Bi Kwi memandang dengan alis berkerut dan mata mencorong. "Ki Demang Bragolo, bagaimana andika bisa tahu bahwa aku adalah perempuan? Ketika diperkenalkan oleh Wiratama, engkau menerimaku sebagai seorang pemuda!"

Ditanya demikian, Ki Demang Bragolo nampak terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Dia lalu tersenyum lebar dan Darmini melihat betapa sepasang mata itu menjadi beringas.

"Ha-ha, nona. Kau kira dapat mengelabui mata seorang tua seperti aku yang sudah banyak pengalaman? Nini Darmini, kebetulan sekali ia ikut datang karena aku justeru hendak bicara penting dengan kalian berdua. Akan tetapi sebaiknya kalau Ibumu masuk dulu dan tidak ikut mendengarkan percakapan kita."

"Tidak! Ibu biar berada disini saja, aku bahkan ingin bertanya kepada Kanjeng Ibu. Bagaimana Kanjeng Ibu dapat berada disini? Bukankah Kanjeng Ibu tidak sudi lagi lagi dihina?"

"Aku... aku dipaksa, anakku. Aku dipaksa, diseret ke dalam kereta dan dilarikan..."

"Keparat!" Darmini menghunus pedangnya, marah bukan main ketika ia menghadapi Ayah tirinya. "Kanjeng Ibu sudah dihina oleh selirmu, kemudian mengalah dan tidak mau ikut ke sini, kenapa sekarang malah dipaksa? Apa maksudnya semua ini?" Bentaknya sambil memandang wajah Ayah tirinya dengan sinar mata penuh kemarahan.

"Mari. Kanjeng Ibu, mari pergi bersama saya, tidak perlu lagi lebih lama berada di tempat ini!" Berkata demikian dengan tangan kirinya Darmini menggandeng tangan Ibunya yang menurut saja.

"Darmini! Engkau tidak boleh pergi dari sini!" Bentak Ki Demang Bragolo dengan suaranya yang besar dan parau.

Sambil tetap menggandeng tangan Ibunya. Darmini membalikkan tubuh menghadapi Ayah tirinya, pedang Lian-Hwa-Kiam di tangan kanan. "Siapa yang akan melarang aku pergi?" Suara dan pandang matanya penuh tantangan.

"Kami yang melarang!"

Terdengar suara dari arah belakangnya dan ketika Darmini juga Bi Kwi membalikkan tubuh, mereka berdua melihat bahwa di ruangan itu telah muncul pasukan pengawal yang mengepung tempat itu, dan di depan sendiri nampak Ki Empu Kebondanu dan Walet Hitam! Tentu saja dua orang gadis itu terkejut setengah mati melihat munculnya dua orang musuh besar yang tangguh itu.

Tak mereka sangka sama sekali bahwa surat undangan dari Ki Demang Bragolo itu ternyata merupakan perangkap bagi mereka. Tahulah kini Darmini mengapa Ibunya dipaksa ke tempat itu oleh Ayah tirinya. Ternyata untuk melengkapi jebakan untuknya dan jelas bahwa semua ini telah diatur oleh Ayah tirinya, yang dibantu oleh Walet Hitam dan Ki Empu Kebondanu.

"Mbak-Ayu Darmini, lindungi Ibumu, biar aku yang menahan mereka!" Teriak Bi Kwi yang melihat betapa gawatnya keadaan. Ia sudah mencabut pedangnya dan memutar pedang itu, siap menghadapi Walet Hitam dan Empu Kebondanu.

"Heh-heh-heh, engkau gadis yang panas dan penuh api semangat! Pantas saja, Raden Wiratama begitu tergila-gila kepadamu! Marilah, nona yang cantik dan gagah, menyerahlah saja untuk kami bawa menghadap Raden Wiratama yang sudah siap menyambutmu dengan cintanya yang berkobar-kobar, ha-ha-ha!"

"Tua bangka keparat, mampuslah!"

Bentak Bi Kwi dan gulungan sinar pedangnya menyilaukan mata, dari situ mencuat sinar pedang berkelebat meluncur ke arah leher Empu Kebondanu. Kakek ini sudah mengenal Bi Kwi dan mengenal pula ketangguhan dan berbahayanya pedang gadis Cina ini, maka diapun cepat menggerakkan tongkat bambu gadingnya menangkis dari samping dengan cepat.

"Tringgg...!"

Akan tetapi pedang yang ditangkis itu kini menyambar dari samping, membacok ke arah lambung Pertapa di kaki Pegunungan Bromo itu. Kakek itu terkejut bukan main karena gerakan pedang lawan ini luar biasa cepatnya.

"Trangg...!"

Kembali nampak bunga api berpijar dan ternyata pedang di tangan Bi Kwi yang tadi membacok dari samping, telah tertangkis dari bawah oleh sebatang pedang lain yang dipegang oleh Walet Hitam! Walet Hitam ternyata tidak tinggal diam melihat Empu Kebondanu terancam tadi.

"Jahanam busuk!" Bi Kwi memaki orang bertopeng itu dalam Bahasa Cina. "Jauh-jauh engkau datang dari negeri Cina hanya untuk menyebar kejahatan!"

Dan kini pedangnya sudah diputar cepat dan iapun menyerang Walet Hitam yang cepat menangkis dan balas menyerang. Empu Kebondanu juga menerjang maju dan bersama Walet Hitam dia mengeroyok Bi Kwi...
Selanjutnya,