Golok Bulan Sabit Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Bulan Sabit Jilid 04
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
AYAH ibu Cing-cing telah meninggal dunia. Rase pun bisa mati? Cing Xing, mempunyai seorang dayang yang lincah dan cerdik, ia bernama Si-ji, Si-ji gemar tertawa, bila sedang tertawa di atas sepasang pipinya akan muncul sepasang lesung pipi yang amat dalam.

Si-ji pun seorang rase? Mereka mempunyai delapan orang pelayan yang setia, rambut mereka kebanyakan telah beruban, tapi kesehatan badannya masih tetap segar dan kuat. Mereka semua juga rase?

Dalam lembah tersebut hanya dihuni oleh beberapa orang itu, belum pernah ada orang luar yang menginjak wilayah tersebut. Kehidupan di dalam lembah itu amat nyaman dan tenang, jauh lebih nyaman dan terang daripada kehidupan di alam manusia.

Sekarang Ting Peng sudah terbiasa dengan cara hidup dalam lembah itu, diapun sudah terbiasa menyoren golok lengkung tersebut di sisi pinggangnya. Kecuali sedang tidur, dia selalu menyoren golok lengkung tersebut di sisi pinggangnya.
Sebuah ikat pinggang yang terbuat, dari emas murni dan batu kemala putih menghiasi pula pinggangnya. Tapi ia tahu golok lengkung tersebut jauh lebih berharga dari pada ikat pinggang itu.

Hari kedua setelah perkawinan mereka, Cing cing berkata kepadanya: "Nenek pasti amat menyukaimu, maka ia baru menyerahkan golok tersebut kepada-mu, kau harus menyayanginya dengan amat sangat"

Diapun tidak lupa dengan ucapan Cing-cing yang diutarakan kepada si kakek kerdil yang misterius dalam lembah kemurungan tempo hari.

"Golok ini tak boleh sembarangan dilihat, siapa yang pernah melihat golok ini, dia akan mati di ujung golok tersebut"

Tentu saja si kakek kerdil itupun sudah mampus di ujung golok tersebut. Dia adalah manusia? atau setan? Atau rase?

Darimana ia bisa tahu kalau di atas golok itu terukir tujuh huruf kecil, yang berisikan "Siau -lo-it-ya teng-cun-hi?"

Sesungguhnya rahasia apakah yang menyelimuti asal usul dari golok tersebut? Kekuatan misterius apakah yang tersembunyi dibalik kesemuanya itu?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukannya tak pernah diajukan oleh Ting Peng tapi Cing-cing selalu berkata kepadanya dengan wajah serius:

""Ada sementara persoalan lebih baik tak usah kau ketahui, sebab bila tahu akan masalah-masalah tersebut, kemungkinan besar ada bencana besar yang akan menimpamu"

Sekarang bukan saja ia telah melihat golok itu, bahkan telah memiliki pula golok tersebut. Ia sudah merasa amat puas dengan kesemuanya itu. Tapi pada suatu hari, tiba-tiba ia hendak mengembalikan golok itu kepada Cing-cing.

Dengan keheranan Cing-cing lantas bertanya: "Mengapa kau tidak menghendaki golok itu?"

"Sebab aku memilikinya juga percuma" jawab Ting Peng, "golok tersebut berada di tanganku tak lebih dari pada sebilah golok besi biasa saja"

"Kenapa?"

"Karena aku sama sekali tak pandai mempergunakan ilmu golok aliran kalian."

Akhirnya Cing-cing memahami juga maksudnya, maka dia pun berkata. "Bila kau ingin mempelajarinya, aku bersedia mengajarkan ilmu golok itu kepadamu," padahal ia sama sekali tak bermaksud untuk mewariskan ilmu golok semacam ini kepadanya, sebab dia tahu orang biasa yang mempelajari ilmu golok semacam ini sesungguhnya tak ada manfaatnya.

"Walaupun ilmu golok semacam ini dapat memberikan suatu kekuatan yang luar biasa kepada mu, tapi diapun bisa mendatangkan bencana serta ketidak beruntungan bagi si pemakainya."

Tapi akhirnya toh ilmu golok tersebut diajarkan juga kepadanya, karena ia tak ingin menampik permintaannya, ia tak pernah membuatnya merasa kecewa. Walaupun dia adalah rase, tapi jauh lebih-lebih lembut dan setia daripada istri dari kebanyakan kaum lelaki di dunia ini. Siapa saja bila memiliki seorang istri macam begini, dia seharusnya akan merasa puas sekali.

Ilmu golok semacam ini tak mungkin akan dijumpai di alam semesta, Ilmu golok semacam ini memiliki perubahan serta kekuatan yang mimpipun tak mungkin bisa diperoleh oleh setiap orang lain.

Ting Peng sendiripun tak pernah menyangka kalau ia bisa melatih ilmu golok yang begini sakti dan begitu hebatnya. Tapi sekarang ia telah melatihnya. Dalam soal belajar ilmu silat, ternyata sampai Cing-cing sendiripun mengakui bahwa dia adalah seorang yang amat berbakat.

Sebab untuk melatih ilmu golok itu, ia sendiri membutuhkan tujuh tahun untuk menguasainya, sedangkan Ting Peng hanya membutuhkan waktu selama tiga tahun.

Kehidupan didalam lembah itu bukan cuma nyaman dan tenang, lagi pula empat waktu selalu ada bunga yang mekar dimana saja, kau bisa memetik aneka bunga yang indah dan segar.

Mestika yang selama dialam semesta di anggap sangat berharga bahkan untuk menemukan saja sukarnya bukan kepalang, di tempat itu seolah-olah berubah menjadi suatu benda yang sama sekali tak ada harganya.

Di bawah loteng kecil itu terdapat sebuah gedung di bawah tanah, dalam gudang itu bertumpukkan kain sutera yang berasal dari negeri Thian tok (sekarang India) permadani dari negeri Persia serta aneka macam benda berharga lainnya yang tak pernah kau jumpai selama ini.

Cing-cing bukan cuma lembut dan cantik, diapun sangat menuruti semua keinginan serta kehendak suaminya. Semestinya dia harus merasa puas sekali. Tapi sebaliknya pemuda itu malahan, menjadi kurus sekali. Bukan cuma kurus badannya, wajahnya ikut sayu dan seringkali bermuram durja dan tidak senang hati.

Selain itu diapun seringkali mendapat impian buruk. Setiap kali melompat bangun dari impian, tiba-tiba saja ia akan melompat turun dari atas pembaringan sambil bermandikan peluh dingin.

Ketika Cing-cing menanyakan soal ini kepadanya selama berulangkali, ia baru berkata: "Aku bermimpi ketemu dengan ayahku, dia hendak menggunakan sepasang tangannya untuk mencekikku sampai mati"

"Mengapa dia hendak mencekikmu sampai mati?"

"Ia bilang aku tidak berbakti, lantaran aku adalah seorang lelaki yang tidak becus!"

Mimik wajah Ting Peng berubah menjadi amat sedih dan sengsara, dia berkata lebih jauh: "Sebab itu telah melupakan sama sekali pesan orang tuaku menjelang kematiannya dulu"

"Padahal kau belum melupakannya?"

"Yaa, belum!" sahut Ting Peng, "padahal setiap waktu setiap saat aku selalu mengingatnya didalam hati"

"Sebelum meninggalnya apa yang diminta orang tuamu untuk kau lakukan...?" sambil mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, sepatah demi sepatah kata ia menjawab:

"Suruh aku mencari nama besar dalam dunia dan melampiaskan rasa sedih dan kecewanya selama ini"

Cing Cing tentu saja memahami maksudnya. Tapi Cing-cing tidak tahu kalau mimpi jelek yang dialaminya bukan hanya semacam saja, impian buruknya yang lain jauh lebih menakutkan lagi. Tapi ia tak dapat mengutarakannya keluar, juga tak berani untuk mengutarakannya keluar.

Dalam impian tersebut tiba-tiba ia merasakan dirinya terjerumus ke dalam sarang rase istrinya, ayah mertuanya, ibu mertuanya semua telah berubah menjadi kelompok rase, rase yang mencabik-cabik tubuhnya dan melahap badannya. Dia ingin sekali untuk melupakan bahwa mereka adalah sekawanan rase, tapi pikiran tersebut justru tak dapat dia lupakan.

* * * * *

CAHAYA mutiara yang lembut menyinari wajah Cing Cing yang pucat dan cantik, air mata telah jatuh bercucuran membasahi pipinya. "Aku memahami maksudmu!" dia berkata dengan air mata bercucuran, "akupun telah tahu, cepat atau lambat kau pasti ingin pergi dari sini, kau tak akan hidup sepanjang masa ditempat ini, sebab cepat atau lambat kau pasti akan merasa jemu dengan penghidupan semacam ini"

Ting Peng tak dapat menyangkal perkataan itu. Dengan ilmu silat yang dimilikinya sekarang, dengan ilmu golok yang dimilikinya sekarang, Liu Yok siong, Tiong Tian, Hong bwe dan Meh tiok sesungguhnya telah berubah menjadi manusia-manusia yang tak akan tahan dengan sejurus serangannya.

Dengan mengandalkan golok lengkung yang tersoren di pinggangnya, bila dia ingin menjelajahi dunia persilatan dan mencari nama, kejadian tersebut akan berubah menjadi suatu persoalan yang gampangnya seperti membalikkan tangan sendiri. Setiap kali teringat akan masalah ini, darah yang mengalir didalam tubuhnya seakan-akan menjadi mendidih dan mengalir dengan kerasnya.

Tapi kesemuanya ini tak bisa menyalahkan dia, sebab dia memang tidak bersalah. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan masa depannya sendiri dan siapa pun itu orangnya pasti akan berpikir demikian. Dengan sedih Ting Peng berkata:

"Sayang sekali, aku juga tahu bahwa kakek dan nenekmu pasti tak akan mengijinkan aku pergi dari sini"

Cing Cing menundukkan kepalanya dan ragu-ragu sejenak, kemudian dengan nada menyelidiki tanyanya. "Apakah kau ingin pergi dari sini seorang diri?"

"Tentu saja aku akan membawa serta dirimu"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Cing Cing, dia mengepal tangannya keras-keras dan berseru kembali, "Kau bersedia membawaku pergi?"

Dengan lembut dan penuh kasih sayang Ting Peng menjawab: "Kita sudah merupakan suami istri, kemanapun aku akan pergi, aku pasti akan membawa serta dirimu"

"Kau berbicara yang sejujurnya?"

"Tentu saja!"

Cing Cing menggigit bibit menahan pergolakan emosinya kemudian mengambil keputusan katanya: "Bila kau ingin pergi dari sini marilah kita pergi bersama-sama!"

"Bagaimana caranya untuk pergi dari sini?"

"Aku pasti mempunyai akal bagus!" Dia memeluk pemuda itu kencang-kencang, kemudian melanjutkan. "Asal kau bersedia mencintaiku dengan bersungguh hati, sekalipun aku harus mati bagimu, aku juga bersedia"

Untuk melarikan diri, tentu saja harus ada rencana yang matang, maka ditengah malam buta merekapun berbisik-bisik merundingkan rencana besar itu. Mereka paling takut dengan kakeknya Cing-cing.

"Dia orang tua amat lihay dan mengetahui segala-galanya, selain malaikat dari angkasa, tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi kehebatannya"

Ting Peng merasa tidak puas dengan perkataan itu, sebab diapun telah melatih ilmu golok mereka yang maha sakti itu.

Cing Cing segera berkata kembali: "Jangan kau anggap ilmu golok yang telah kau pelajari itu sangat lihay, berada di hadapan dia orang lain mungkin belum sampai satu jurus kau pergunakan, asal dia menggerakkan tangannya maka kau pasti akan roboh ke tanah."

Ting Peng tidak percaya, tapi diapun mau tak mau harus mempercayai juga.

"Oleh karena itu bila kita ingin kabur, kita harus menunggu sampai dia tidak berada di sini!" kata Cing Cing.

"Agaknya dia tak pernah pergi dari sini?"

"Tapi setiap tahun pada bulan tujuh tanggal lima belas malam, dia selalu akan mengurung dirinya didalam sebuah kamar kecil, selama beberapa jam lamanya, peristiwa apapun yang bakal terjadi selama waktu-waktu itu, dia tak akan mengurusinya."

"Tapi bila dia tahu kalau kita sudah kabur apakah tak akan melakukan pengejaran?"

"Sudah pasti tidak! Sebabnya aku orang tua telah bersumpah bahwa selama hidup tak akan meninggal kaki lembah ini barang satu langkahpun"

"Aku lihat agaknya nenekmu juga tidak gampang untuk dihadapi"

"Aku mempunyai akal untuk menghadapinya."

"Akal apakah itu?"

"Sekalipun dia orang tua kelihatannya amat keren dan serius, dia sesungguhnya memiliki hati yang amat lunak, lagi...." Tiba-tiba ia mengajukan suatu pertanyaan yang sama sekali tak ada sangkut pautnya. "Kau tahu apa yang menyebabkan kematian ayah ibuku?"

Ting Peng tidak tahu. Dia tahu persoalan ini merekapun tak pernah menyinggungnya, tak bisa disangkal lagi hal itu adalah suatu rahasia besar bahkan suatu kenangan lama yang penuh dengan kesedihan.

Benar juga paras muka Cing-cing segera berubah menjadi amat sedih sekali katanya: "Ibuku juga seorang manusia biasa, seperti juga kau, dia selalu berharap agar ayahku bisa mengajaknya untuk pergi meninggalkan tempat ini?"

Setelah menghela napas panjang lanjutnya: "Ketika aku belum mencapai usia setahun ia telah meninggal dunia tapi aku tahu dulunya bukan saja dia adalah seorang pendekar perempuan yang amat tersohor dalam dunia persilatan, diapun seorang gadis cantik yang diketahui setiap orang, kehidupan yang sederhana dan hambar seperti ini sudah barang tentu tak bisa dilewatinya dengan hati yang tenang dan tentram"

"Apakah ayahmu tidak bersedia mengajaknya untuk pergi meninggalkan tempat ini?"

"Walaupun ayahku telah menyetujuinya, tapi kakek dan nenekku bersikeras tidak mengijinkan, sudah dua kali mereka berusaha untuk pergi dari sini tapi usaha mereka selalu gagal oleh karena itu ibuku...."

Ia tidak melanjutkan perkataannya, tapi Ting Peng bisa menduga apa yang telah terjadi, kalau ibunya bukan karena hatinya yang kesal dan murung sehingga mati dalam kesedihan, sudah pasti secara diam-diam menghabisi nyawa sendiri.

"Berapa bulan setelah kematian ibuku, ayahku juga jatuh sakit dan tak bisa bangun lagi."

Walaupun mereka adalah rase, meskipun memiliki kemampuan yang luar biasa, ada sementara penyakit yang justru tak akan bisa ditolong dengan kekuatan serta obat obatan, apalagi kalau penyakit itu adalah penyakit hati, penyakit rindu yang ditimbulkan oleh perasaan kangen yang tebal serta kesedihan yang kelewat batas. Dalam hal ini, Ting Peng juga bisa membayangkannya.

Cing cing berkata lebih jauh: "Sekalipun nenek tak pernah menyinggung persoalan ini kepadaku, tapi aku tahu dalam hatinya pasti merasa amat berduka, bila sampai keadaan kepepet, asal kusinggung kembali persoalan ini, dia pasti akan mengijinkan kami untuk pergi"

Seorang nenek tua yang sudah lanjut usianya, tentu saja tak akan tega menyaksikan cucu perempuan suami istri mengalami tragedi yang sama seperti apa yang terjadi dengan generasi yang lalu.

Cing Cing bisa mengutarakan persoalan semacam ini, menandakan kalau hubungan kasihnya antara dia dengan Ting Peng sudah mencapai cinta kasih yang sama tebalnya antara ayah dan ibunya dulu.

Mencorong sinar tajam dari balik mata Ting Peng setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat. "Kalau begitu, kita pasti mempunyai harapan?"

"Akan tetapi kita masih ada persoalan, paling tidak masih ada delapan persoalan."

"Delapan persoalan?"

"Yaa, tidak lebih tidak kurang persis delapan buah persoalan"

Akhirnya Ting Peng dapat memahami maksud perkataannya, yang dimaksudkan dengan delapan persoalan itu sudah pasti adalah ke delapan orang pelayan yang setia itu. Mereka semua jarang berbicara satu dengan lainnya, bahkan selalu menjaga suatu jarak tertentu dengan Ting Peng.

Agaknya mereka tidak ingin terlalu dekat dengan manusia biasa yang manapun, bahkan cucu menantu dari majikan mereka sekalipun. Dalam hati mereka semua seakan-akan tersimpan suatu penderitaan yang amat dalam, menyimpan suatu rahasia yang sangat besar.

"Apakah mereka juga tidak mudah untuk dihadapi ?" tanya Ting Peng kemudian.

"Kau sama sekali-kali memandang enteng mereka, sekalipun mereka tidak memiliki kemampuan yang hebat seperti apa yang dimiliki oleh kakekku, tapi ilmu silat yang dimiliki mereka semua sudah cukup untuk merubah mereka menjadi jago-jago kelas satu di dalam dunia persilatan"

Setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan. "Aku tahu didalam dunia persilatan banyak terdapat pendekar dan jago pedang yang amat lihay, akupun pernah melihat beberapa orang diantaranya, tapi tak seorangpun diantara mereka yang bisa menandingi kelihaian mereka"

"Siapa saja yang pernah kau jumpai?"

"Hong bwe dan Meh tiok yang kau katakan itupun pernah kujumpai semua...." Cing-cing menerangkan.

"Apakah kedua orang itupun tak sanggup untuk menandingi mereka?"

"Siapa saja diantara mereka berdelapan sanggup mengalahkan dua orang itu sekaligus didalam sepuluh jurus"

Mendengar perkataan itu Ting Peng segera mengerutkan dahinya. Tak bisa disangkal lagi bahwa Hong bwe dan Meh tiok adalah jago-jago kelas satu di dalam dunia persilatan, kalau dibilang ada orang sanggup mengalahkan mereka berdua dalam sepuluh gebrakan saja, sesungguhnya persoalan ini sangat tidak masuk diakal, siapa saja tak akan mempercayainya. Tapi Ting Peng mempercayainya.

Terdengar Cing cing berkata lagi. "Untung saja setiap bulan tujuh tanggal lima belas, mereka selalu minum arak dalam jumlah yang banyak sekali"

"Apakah mereka akan minum sampai mabuk?"

"Ada kalanya sampai mabuk, ada kalanya juga tidak mabuk, mereka memiliki takaran minum arak yang bagus sekali"

Setelah tertawa terusnya: "Tapi kebetulan sekali aku tahu kalau ada semacam arak yang keras sekali, bagaimanapun baiknya takaran minum seseorang bila minum arak tersebut, dia pasti akan menjadi mabuk"

"Dan kebetulan sekali kau bisa menemukan arak sejenis itu?"

"Yaa.. . aku bisa mendapatkannya."

Sekali lagi mencorong sinar tajam dari balik mata Ting Peng, tanyanya kemudian: "Hari ini sudah tanggal berapa?"

"Bulan enam tanggal tiga puluh"

Setengah bulan lagi akan tiba bulan tujuh tanggal lima belas, setengah tahun lagi Ting Peng sudah empat tahun lamanya tinggal di tempat itu. Tak tahan Ting Peng segera menghela napas panjang katanya.

"Waktu sungguh berlalu dengan cepatnya, tak disangka dalam waktu singkat empat tahun sudah lewat, sungguh tak ku sangka aku bisa hidup selama empat tahun lagi"

Dengan lemah lembut Cing Cing membelai wajahnya dan berkata dengan lirih: "Kau pasti dapat hidup lebih jauh, bahkan bukan cuma empat tahun saja, sebab selama aku masih hidup, kau takkan mati, kau hidup akupun takkan mati, ada kau baru ada aku, ada aku baru ada kau!"

* * * * *

MALAM PURNAMA

BULAN tujuh tanggal lima belas, udara cerah. malam hari, rembulan sedang purnama. Ting Peng mempercayai Cing Cing seratus persen. Kalau Cing Cing mengatakan ada semacam arak yang bisa memabukkan siapapun yang memiliki takaran minum arak yang hebat, dia percaya penuh bahwa siapa saja yang minum arak tersebut pasti akan menjadi mabuk kepayang.

Ia percaya delapan orang kakek yang setia dan selalu membungkam itu pasti akan mabuk, ternyata mereka benar-benar telah mabuk. Tapi ia benar-benar tidak menyangka kalau orang yang mabuk paling dulu ternyata adalah neneknya Cing Cing.

Tampaknya hari ini diapun mempunyai pikiran dalam hatinya, pikiran apalagi rahasia dalam hati biasanya lebih berat dari segala apapun, maka dia ikut minum bersama mereka, bahkan minum lebih cepat dari pada yang lain dan lebih banyak dari siapa pun. Itulah sebabnya dia mabuk lebih dahulu.

Mereka masih minum arak, secawan demi secawan arak mengalir masuk ke perut, tak seorangpun yang berbicara, mereka hanya tahu minum terus tiada hentinya. Tampaknya mereka telah bertekad untuk minum sampai mabuk baru benar-benar akan berhenti. Dengan cara minum seperti ini, sekalipun yang mereka minum bukan arak semacam ini, toh akhirnya akan menjadi mabuk juga. Sekarang mereka semua telah mabuk.

Walaupun ruangan disisi loteng kecil itu jauh lebih kecil daripada sebuah keraton, namun diatur sedemikian megah dan mewahnya sehingga tidak kalah dengan sebuah keraton, waktu itu tinggal dua orang yang masih berada dalam keadaan sadar. Dalam lembah tersebut hanya tinggal mereka berdua juga yang masih berada dalam keadaan sadar.

Ting Peng memandang ke arah Cing Cing, dan Cing Cing memandang ke arah Ting Peng, sorot mata Ting Peng penuh dengan pancaran sinar gembira dan riang. Sebaliknya sinar mata yang terpancar ke luar dari balik mata Cing Cing sangat kalut.

Tempat ini adalah rumahnya, ia sudah hidup di sini semenjak dilahirkan, semua orang yang berada di sini adalah sanak keluarganya semua. Tapi sekarang dia hendak pergi, menuju ke sebuah dunia yang masih amat asing baginya dan selama hidup tidak kembali lagi, selama hidup tak akan kembali lagi. Tentu saja perasaannya amat gundah dan kalut. Tentu saja dia tak bisa seperti Ting Peng yang ingin pergi lantas pergi.

Tiba-tiba Ting Peng menghela napas panjang, katanya: "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan didalam hati, aku pun tahu kau pasti tak tega untuk meninggalkan tempat ini."

Cing Cing segera tertawa paksa. "Aku memang sedikit merasa berat hati untuk meninggalkan tempat ini, tapi aku lebih berat hati untuk berpisah denganmu"

Tentu saja Ting Peng tak akan menganjurkan kepadanya untuk tetap tinggal di situ. Sekalipun dia memiliki niat semacam itu juga tak akan diutarakannya di depan mulut.

Cing Cing mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya: "Apakah kau benar-benar bersedia untuk mengajakku pergi?"

"Tentu saja sungguh-sungguh"

"Bila kau ingin merubah niatmu, sekarang masih belum terlambat, aku akan membiarkan kau pergi seorang diri"

"Aku toh sudah berkata, kemana saja aku akan pergi, kau harus turut bersamaku, ada aku harus ada kau pula dirimu"

"Kau tidak menyesal?"

""Mengapa aku harus menyesal?"

Akhirnya Cing cing tertawa, meskipun senyuman itu agak murung dan diliputi kesedihan, tapi penuh dengan pancaran sinar merah yang hangat. Bagi seorang perempuan apa yang paling diharapkan tidak lain adalah seorang yang bisa mencintainya selama hidup dan berada bersamanya sepanjang masa. Entah perempuan itu seorang manusia atau Rase, semuanya adalah sama saja.

Tapi sesaat sebelum pergi, dia masih tak tega untuk berpaling kembali dan mengawasi neneknya yang meski keren tapi berhati mulia itu. Tak tahan ia menjatuhkan diri berlutut dan mencium pipi neneknya, yang penuh berkeriput itu dengan penuh kasih sayang.

Perpisahan ini mungkin akan menjadi suatu perpisahan untuk selamanya, bahkan Ting Peng sendiripun merasa agak sedih dalam hatinya, tak tahan ia lantas berseru: "Jika kita ingin pergi, lebih baik berangkat lebih cepat, daripada mereka keburu sadar..."

"Mereka tak akan sadar secepat itu." Sambil bangkit berdiri, terusnya: "Arak ini dibuat kakekku menurut suatu resep rahasia, sekalipun dewa yang minum arak ini, diapun harus menunggu sampai enam jam kemudian baru bisa sadar kembali"

Ting Peng segera menghela napas panjang: "Bila ada waktu selama enam jam, hal ini sudah lebih dari cukup untuk kita!" Baru selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar seseorang tertawa tergelak.

"Haaahh... haaahh... haaahh... benar, enam jam pun sudah lebih dari cukup..."

Setiap orang bisa tertawa. Setiap hari pasti ada orang sedang tertawa, dimana saja pasti ada orang sedang tertawa.Tapi Ting Peng belum pernah mendengar gelak tertawa semacam ini, bahkan mimpipun tak pernah menduga kalau di dunia ini bisa terdapat gelak tertawa semacam ini. Suara tertawanya tinggi melengking dan amat nyaring, seolah-olah ada beribu-ribu orang yang sedang tertawa bersama.

Tawa itu sebentar berkumandang di sebelah timur, sebentar di sebelah barat, seakan-akan dari empat arah delapan penjuru ada orang sedang tertawa bersama. Tapi suara tertawa itu justru berasal dari mulut seseorang yang sama, sudah jelas berasal dari mulut satu orang. Karena Ting Peng telah menyaksikan kemunculan orang itu.

Dia adalah seorang kakek berjubah hitam yang kurus kering dan bertubuh hitam pekat. Pintu depan sebenarnya tiada manusia, seorang mamusia tak ada. Tapi kakek berjubah hitam itu justru berdiri didepan pintu ketika itu.

Ting Peng bukan seorang yang buta, matanya belum kabur, tapi justru ia tidak menyaksikan sedari kapankah kakek itu menampakkan diri? Lebih-lebih lagi dari manakah dia munculkan diri?

Dalam waktu singkat tahu-tahu ia sudah berdiri di situ. Suara gelak tertawanya belum berhenti, cawan dan mangkuk yang berada di atas meja kena tergetar keras sehingga berbunyi dentingan nyaring, malah ada beberapa buah diantaranya yang tergetar sehingga hancur berantakan.

Ting Peng merasakan bukan cuma telinganya saja yang tergetar keras sehingga terasa sakit, bahkan benaknya seolah-olah mau meledak rasanya tak tahan. Asalkan bisa membuat kakek itu menghentikan gelak tertawanya, dia disuruh melakukan apa saja pemuda itupun bersedia. Belum pernah ia menyangka kalau didunia ini masih terdapat suara gelak tertawa yang memiliki kekuatan demikian menakutkannya.

Paras muka Cing Cing pucat pias, sinar matanya memancarkan rasa ngeri dan kaget yang luar biasa, tiba-tiba ia membentak: "Apa yang sedang kau tertawakan?"

Meskipun suaranya lembut dan tajam, ibaratnya sebatang jarum yang tiba-tiba menyusup masuk ke balik tertawa tersebut.

Kakek berjubah hitam itu masih juga tertawa tergelak, katanya: "Delapan ekor rase kecil itu semuanya berilmu hebat, si rase betina inipun bukan lentera yang kekurangan minyak, jika aku harus merobohkan mereka satu per satu, sesungguhnya hal ini bukan suatu pekerjaan yang gampang, sungguh tak nyana ada orang yang telah melicinkan jalan bagiku" haaha... haha... dengan demikian akupun tak usah repot-repot lagi".

Paras muka Cing cing berubah hebat, dengan suara keras teriaknya: "Siapakah kau? Mau apa datang kemari?"

Akhirnya kakek berjubah hitam itu menghentikan juga gelak tertawanya, dengan dingin ia berkata: "Aku datang untuk menguliti kulit rase kalian, akan kupakai kulit-kulit rase kalian itu untuk membuatkan beberapa stel pakaian untuk cucuku."

Cing Cing tertawa dingin, tiba-tiba ia turun tangan dan mencabut keluar golok lengkung yang tersoren di pinggang Ting Peng itu. Cahaya golok yang berwarna hijau dan berbentuk melengkung itu pada mulanya masih mirip sebuah bulan sabit, tapi dalam waktu singkat telah berubah menjadi sekilas cahaya bianglala yang menyambar ke muka dengan cepatnya.

Ting Peng cukup memahami daya kekuatan yang terpancar dari balik golok tersebut, dia percaya di dunia ini masih belum ada seorang manusiapun yang sanggup menyambut bacokan tersebut. Sayang dia telah salah menyangka.

Ujung baju si kakek berjubah hitam itu segera menggulung ke depan bagaikan segumpal awan hitam, secara tiba-tiba saja awan hitam itu meluncur ke depan dan menyambar cahaya bianglala tersebut.

Cing Cing segera berjumpalitan ditengah udara dan terpental sejauh tiga kaki lebih dari tempat semula, sewaktu melayang turun ke atas tanah, ia tak sanggup berdiri tegak lagi.

Kakek berjubah hitam itu tertawa dingin, katanya: "Bila mengandalkan sedikit kepandaian yang dimiliki kau si rase kecil, masih jauh bila ingin digunakan untuk membunuhku"

Paras muka Cing Cing berubah hebat selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang. Di belakang meja masih terdapat sebuah pintu rahasia.

Dengan suara dingin kakek berjubah hitam itu berkata: "Apakah kau hendak pergi mencari si rase tua itu? Jangan lupa bulan tujuh tanggal lima belas tepat tengah malam, saat itu ia sedang berada dalam keadaan yang paling gawat, sekalipun aku menyayati kulit badanmu di hadapannya dia juga tak akan berani sembarangan bergerak kalau tidak ia pasti akan mengalami jalan api menuju neraka, kalau sampai demikian keadaannya akan payahlah keadaannya"

Cing-cing tentu saja tak akan lupa dengan keadaan tersebut. Kini paras mukanya sudah pucat pias tak berdarah lagi. Ia tahu mereka tak akan terlepas dari bencana besar ini.

Mendadak kakek berjubah hitam itu membalikkan badannya menatap ke arah Ting Peng, kemudian katanya: "Kau adalah manusia rase!"

Ting Peng tak dapat menyangkal. Kembali kakek itu berkata. "Aku hanya akan membunuh rase, tidak membunuh manusia" Kemudian sambil mengulapkan tangannya dia berkata: "Pergilah dari sini, lebih baik cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini, jangan sampai menunggu aku berubah pikiran lagi"

Ting Peng tertegun, ia benar-benar tidak menyangka kalau kakek tersebut bersedia melepaskan dirinya. Dia adalah manusia, bukan rase, kakek itu datang untuk membantai rase, sudah barang tentu sama sekali tak ada hubungan atau sangkut paut dengannya.

Sekarang dia masih muda, dia telah menguasahi serangkaian ilmu silat yang maha dahsyat, dengan kemampuan yang dimilikinya sekarang ia masih sanggup untuk merajai dunia persilatan dan mengangkat nama besarnya agar disegani orang. Asal dia kembali ke alam manusia, dengan cepatnya semua cita-cita yang diimpikan selama ini akan terwujud. Sekarang kakek itu bersedia melepaskan dirinya, tentu saja dia harus pergi.

Dengan suara dingin kakek berjubah hitam itu berkata lagi. "Mengapa kau belum juga pergi? Apakah kau juga ingin menemaninya untuk mati bersama?"

"Benar!" tiba-tiba Ting Peng menjawab dengan suara lantang. Mendadak dia melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, sambil menghadang dihadapan Cing Cing serunya: "Bila kau ingin membunuhnya, kau harus membinasakan diriku lebih dahulu!"

Sekujur badan Cing Cing menjadi lemas, karena seluruh badannya seolah-olah melumer dan bersatu dengan tubuh Ting Peng. Ia menatapnya lekat-lekat, entah harus menangiskah? Atau tertawa?

Perasaan girang, kaget dan berterima kasih bercampur aduk dalam hatinya dan kemudian tumbuh suatu perasaan cinta yang teramat sangat besarnya. Air matanya kembali bercucuran, serunya: "Benarkah kau bersedia untuk mati bersamaku?"

"Aku sudah berkata, ada kau ada pula aku, entah kemana saja kau pergi, aku akan selalu mendampingimu!"

"Kau benar-benar hendak menemaninya untuk mampus?" seru kakek berbaju hitam itu. Kakek berjubah hitam itu segera tertawa dingin. "Hmm... kalau kau ingin mampus, ini gampang sekali untuk di wujudkan..."

"Belum tentu gampang!" teriak Ting Peng. Tiba-tiba ia menubruk ke depan dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, ia menerjang ke arah kakek berjubah hitam itu dengan garangnya. Dia sudah bukan Ting Peng empat tahun yang lalu. Gerakan tubuhnya begitu enteng dan lincah, serangannya begitu cepat dan tepat, ilmu silat yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak berada di bawah kepandaian silat jago nomor wahid dari manapun. Perduli kakek ini adalah manusia atau setan? Atau rase? Bila ingin membunuhnya, hal ini tak akan bisa dilakukannya dengan gampang.

Sayang dia kembali salah sangka. Baru saja tubuhnya menubruk ke depan, dia menyaksikan ada sekuntum awan hitam yang menyambar datang, dia ingin menghindar, akan tetapi tak mampu dilakukannya. Kemudian ia terjerumus kembali dalam kegelapan, kegelapan yang tidak bertepian, suatu kegelapan yang seakan-akan tak pernah berakhir. Dari balik kegelapan tiba-tiba terpercik setitik cahaya sinar rembulan, bulan yang sedang purnama.

Ting Peng membuka matanya lebar-lebar, ia menyaksikan sebuah bulan yang purnama tergantung di atas awang-awang, diapun menyaksikan sepasang mata yang jeli dan lembut sedang mengawasinya. Baik di atas langit ataukah di atas bumi? Tak akan bisa dijumpai mata kedua yang lebih jeli dan lembut daripada sinar mata itu.

Cing Cing masih berada di sisinya. Baik dia sudah mati atau masih hidup? Baik dia ada di atas langit? Atau dalam bumi, Cing Cing tetap berada di sisinya. Sinar mata Cing-cing begitu jeli, diantara kelopak matanya masih tampak titik air mata.

Sepasang mata tersebut, bulan yang purnama itu serta pemandangan yang dihadapinya sekarang hampir sama dengan pemandangan yang disaksikannya ketika baru mati di ujung pedang si kakek kerdil yang berjubah emas dengan jenggot berwarna emas itu.

Tapi waktu itu dia belum mati. Bagaimana dengan kali ini? Kali ini diapun tidak mati. Bukan saja dia tidak mati, Cing Cing juga tidak mati, apakah kakek berbaju hitam yang menakutkan itu telah melepaskan mereka?

Apakah karena mereka amat mencintai satu sama lain, karena mereka saling mencintai dengan tulus hati, maka orang itu menjadi terharu dan mengampuni jiwaku?

"Aku benar-benar belum mati?" Ting Peng bertanya.

"Aku masih hidup, mengapa kau bisa mati, kalau kau sudah mati, apakah aku bisa hidup seorang diri?"

Titik air mata masih menghiasi wajahnya, tentu saja air mata kegirangan, lanjutnya: "Asalkan kita berada bersama, kita tak bakal mati! Kiita akan hidup bersama terus sepanjang masa"

"Tapi aku tidak habis mengerti?" seru Ting Peng.

"Persoalan apakah yang tidak kau pahami?"

"Aku tidak habis mengerti mengapa makhluk tua berjubah hitam itu bersedia melepaskan kita berdua?"

Cing-cing segera tertawa. Dari wajahnya yang penuh senyuman itu terkilas cahaya air mata, sahutnya dengan cepat: "Sebab makhluk tua itu bukan sungguhan"

"Siapakah dia?"

"Dia adalah kakekku"

Ting Peng semakin tidak mengerti. Cing-cing berkata kembali: "Kakekku tahu bahwa cepat atau lambat kau pasti ingin pergi, semua gerak gerik kita diketahui pula olehnya. Oleh karena itu ia telah bertaruh dengan nenek!"

""Apa yang mereka pertaruhkan?"

""Kalau kau sungguh-sungguh amat baik kepadaku, seandainya kau masih bersedia mati untukku, dia akan membiarkan kita berdua untuk pergi dari sini"

Ia tidak berkata lebih jauh, diapun tak perlu berkata lebih lanjut. Jelaslah sudah bahwa peristiwa itu tak lebih hanya suatu percobaan, suatu percobaan untuk Ting Peng apakah dia sungguh-sungguh amat mencintai Cing Cing? Seandainya didalam mara bahaya Ting Peng meninggalkan gadis itu, maka tak bisa disangkal lagi saat ini Ting Peng sudah menjadi sesosok mayat.

Cing Cing menggenggam tangannya erat-erat. Dibalik telapak tangan Ting Peng ada keringat, tentu saja keringat dingin.

"Sekarang mereka baru percaya bahwa kau sama sekali tidak membohongi diriku" ujar Cing Cing lembut "perduli kemanapun kau akan pergi, tak mungkin akan meninggalkan diriku, oleh sebab itu mereka baru bersedia untuk membiarkan aku pergi bersamamu."

Ting peng mengerdipkan matanya beberapa kali kemudian bertanya. "Kita berada dimana sekarang?"

"Kita sudah berada di alam manusia"

"Kita benar-benar sudah kembali ke alam manusia?"

"Yaa, benar!"

Untuk pertama kalinya Ting Peng merasakan alam manusia ternyata begitu indah begitu menarik hati. Sebenarnya ia sudah bosan hidup di dunia ini, sudah tak ingin hidup lebih jauh, sekarang dia baru menyadari bahwa kehidupan sesungguhnya adalah begitu indah dan menawan, asal seseorang masih dapat hidup. Hal ini sudah merupakan sesuatu kejadian yang pantas untuk dirayakan.

Rembulan yang purnama kini sudah makin memudar. Langit yang gelap sudah mulai terpercik setitik cahaya putih, dari kejauhan sana kedengaran suara manusia.

Tangisan bayi, omelan ibunya, suara air yang ditimba dari dalam sumur, suara dentingan kuali yang mulai mengepul asap, suara istri yang membangunkan suaminya untuk segera turun ke sawah, suara sang suami yang mencari sepatunya dikolong ranjang, suara bisikan mesrah dari suami istri muda, suara cekcok suami istri yang telah lanjut usia, masih ada pula suara kokokan ayam, gonggongan anjing.

Semua suara tersebut penuh terkandung suatu gerak perjuangan dari kehidupan, penuh mengandung cinta kasih seorang manusia terhadap lainnya. Dari sekian banyak suara-suara itu, ada yang bisa didengar oleh Ting Peng. Ada pula yang tidak terdengar, walaupun telinganya tidak mendengar, dalam hatinya dapat merasakan. Sebab suara-suara itu sebenarnya adalah suara-suara yang sangat hapal didalam pendengarannya.

Di dusun kelahirannya, dalam sebuah rumah yang sederhana dan kecil, setiap pagi ia bangun dari tidurnya dan harus dibantu ibunya untuk mengenakan pakaian, dia sudah mulai mendengar suara-suara semacam itu.

Tiba-tiba Ting Peng berkata. "Aku harus pergi menengok ibuku lebih dahulu!"

Pada saat dia mengucapkan kata-kata tersebut, mendadak dia teringat pula persoalan-persoalan yang tidak seharusnya dia pikirkan. Istrinya adalah rase. Bagaimana mungkin ia bisa membawa seorang istri rase untuk pergi menjumpai ibunya yang sudah tua dan lagi kolot itu? Tapi bagaimanapun juga dia harus membawanya untuk pergi menjumpainya.

Cing Cing menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia memang memiliki perasaan yang jauh lebih tajam daripada manusia biasa, sekarang dia sudah dapat merasakan apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Pelan-pelan diapun bertanya: "Dapatkah kau membawa serta diriku?"

"Aku pasti akan membawa serta dirimu" Ting Peng berjanji. Terbayang bagaimana ia telah mencintainya sepenuh hati, teringat sebagaimana gadis itu telah berkorban untuknya, tak tahan lagi ia memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang, katanya:

"Aku toh pernah berkata, entah kemanapun aku hendak pergi, aku pasti akan membawa serta dirimu."

Cing Cing mendongakkan kepalanya dan memandang ke arahnya, sinar mata itu penuh dengan perasaan cinta dan rasa terima kasih. "Tentu saja aku harus pergi menjumpai ibumu, tapi aku tak ingin bertemu dengan orang-orang yang lain, di kemudian hari entah siapa saja yang ingin kau jumpai, lebih baik aku tak ikut menampakkan diri"

"Kenapa?"

Cing-cing tertawa paksa. "Kau harus tahu mengapa aku berbuat demikian?"

"Tapi orang lain tak akan mengetahui kalau kau...."

"Aku tahu, orang lain tak akan mengetahui kalau aku adalah rase, akan tetapi... entah bagaimanapun juga, aku toh tetap rase, kalau bisa tidak berjumpa dengan orang biasa, lebih baik jangan bertemu muka."

Agaknya dia masih mempunyai kesulitan, bagaimanapun juga bila seorang secara tiba-tiba berkunjung ke suatu dunia yang masih asing baginya, tak bisa dihindari lagi, ia pasti mempunyai kesulitan yang sukar di ungkapkannya dengan kata-kata.

Ting Peng segera menggenggam tangannya dan berkata dengan lembut. "Asal pekerjaan tersebut tak ingin kau lakukan, aku tak akan memaksamu untuk melakukannya."

Cing-cing tertawa, katanya pula: "Tapi ada kalanya aku pasti akan memaksamu, bahkan pasti akan memaksamu untuk menuruti perkataanku" Ia tidak membiarkan Ting Peng membuka suara, kembali tanyanya: "Setelah menjumpai ibumu, apa yang hendak kau lakukan?"

Ting Peng tidak menjawab. Darah didalam tubuhnya mulai mendidih, suatu ambisi yang besar mulai menyelimuti benaknya, masih banyak urusan yang harus dia kerjakan setelah itu.

Kata Cing-cing: "Aku tahu kau hendak melakukan apa saja, bukan saja kau hendak mengangkat nama, kaupun hendak melampiaskan rasa mendongkol dan dendam yang selama ini terpendam dalam hatimu."

Ting Peng mengakuinya. Fitnahan yang dialaminya selama ini harus dicuci bersih, cemoohan serta penghinaan yang dialaminya selama ini juga harus di balas, persoalan-persoalan semacam ini belum pernah dilupakan barang seharipun.

"Sebelum kita berangkat tadi, berulangkali kakek telah berpesan, jika kau ingin menjadi tenar dan membalas dendam, ada beberapa hal perlu kau ingat"

"Apa saja cepat katakan!"

"Apabila tidak sampai pada keadaan yang terpaksa, kau jangan sekali kali turun tangan, bila pihak lawan adalah seseorang yang tidak berharga bagimu untuk turun tangan, kaupun jangan sekali-kali turun tangan"

Setelah berhenti sebentar kembali dia menambahkan. "Ketika turun tangan untuk pertama kalinya, kau harus memilih seorang sasaran yang baik dan cermat, asal kau bisa mengalahkannya maka namamu segera akan tenar di seluruh dunia persilatan, maka kaupun tak usah pergi mengikat tali permusuhan lagi dengan orang lain." Ia menjelaskan lebih jauh: "Karena kata kakek, bagaimanapun lihaynya ilmu silatmu, bagaimanapun tenarnya namamu, bila terlalu banyak musuh yang kau ikat, maka cepat atau lambat suatu hari kau masih akan dipaksa orang untuk melalui jalan buntu."

"Aku dapat memahami maksud hati dia orang tua, aku pasti akan baik-baik menuruti perkataannya."

"Oleh sebab itu bila kau turun tangan, janganlah terlalu tak berperasaan apalagi melakukan pembunuhan yang berakibat mengalirnya darah..." Ia berkata lebih jauh dengan nada bersungguh-sungguh: "Bila kau ingin orang lain betul-betul menghormatimu, kau harus menyediakan sebuah jalan kehidupan baginya"

"Aku mengerti."

"Masih ada satu hal yang lebih penting lagi!"

"Persoalan apakah itu?"

Golok lengkung yang berwarna hijau pupus itu masih tergantung di atas pinggangnya. Cing Cing berkata lebih jauh: "Golok ini adalah pemberian nenekku, maka kakek mengijinkan kau untuk membawanya keluar, akan tetapi bila keadaan tidak sampai terpaksa, kau dilarang mempergunakan golok ini"

Sikapnya menjadi lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi katanya lebih jauh: "Bila kau ingin mempergunakan golok ini, maka kau harus membuat musuhmu tewas di ujung golok tersebut, asal golok telah diloloskan dari sarungnya maka kau tak boleh membiarkan lawanmu berada dalam keadaan hidup..."

"Bila lawanku bukan orang yang harus kubunuh, jika lawan belum memojokkan aku, aku tak boleh menggunakan golok ini?"

"Yaa sama sekali tak boleh!" Setelah tertawa dia melanjutkan: "Tapi kau tak usah kuatir, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang, golok macam apa saja yang kau gunakan kau masih tak terkalahkan di dunia ini"

Sementara itu fajar telah menyingsing, cahaya matahari yang berwarna keemas-emasan telah memancarkan sinarnya ke empat penjuru.

* * * * *

KEHIDUPAN DI ALAM MANUSIA

SINAR rembulan lewat. Cahaya golok memancar. Malang melintang sepuluh laksa li. Cahaya golok dingin bagaikan salju. Di sana sini terdengar rintihan hujan. Bulan sepuluh, fajar baru menyingsing.

Liu Yok siong membuka daun jendela dalam kamarnya, membiarkan sinar matahari yang berwarna ke emas emasan memancar masuk ke dalam ruangan, udara amat cerah dan segar, tak bisa disangkal hari ini udara amat cerah.

Ia termasuk shio anjing, tahun ini berusia empat puluh tujuh tahun, wajahnya masih belum tampak banyak kerutan, kekuatan badannya masih tetap dalam kondisi seperti pemuda kekar yang lain, bukan saja masih tertarik dalam soal perempuan, perempuan-pun tertarik pula kepadanya.

Ia kaya raya, sehat dan tampan, apalagi belakangan ini nama besarnya makin harum dalam dunia persilatan, seringkali ada orang yang menyebutnya sebagai "Tayhiap", semua orang yang kenal maupun tak kenal kepadanya rata-rata menaruh hormat kepada dirinya.

Temannya tak terhitung jumlahnya, tingkat kedudukan, kekayaan dan nama besarnya meski tidak melebihinya, tapi mereka bisa mengimbangi pergaulan dengannya, setiap kali musim gugur tiba, mereka selalu berdatangan untuk bersama-sama melewat-kan suatu penghidupan yang segar dan riang gembira.

Kemana saja dia berada, selamanya orang selalu menyambut kedatangannya dengan segala kehormatan. Dia percaya seandainya partai Bu-tong mengijinkan seorang murid premannya menjadi ketua perguruan, dialah yang akan dipilih. Sebenarnya hal tersebut hanya merupakan suatu angan-angan, tapi sekarang tampaknya sudah ada kemungkinan untuk merubahnya menjadi kenyataan.

Perkampungan Siang siong san-ceng menempati suatu area tanah yang sangat luas, pemandangan alamnya sangat indah dan merupakan suatu perkampungan yang amat tersohor dalam dunia persilatan. Istrinya juga terhitung sebagai wanita cantik yang ternama dalam dunia persilatan, bahkan cerdik dan pandai bekerja.

Hubungan mereka sebagai suami istri selamanya baik, bila ia menjumpai kesulitan, entah persoalan apapun yang dihadapi, istrinya pasti akan membantu untuk menyelesaikannya. Asal seorang lelaki yang mampu untuk memilikinya, hampir seluruhnya dimilikinya pula, bahkan dia sendiripun merasa amat puas dengan hal ini. Tapi belakangan ini justru timbul suatu persoalan yang membuatnya merasa kurang begitu senang.

Bangunan yang ditempatinya ini terletak di bagian yang paling tinggi dalam perkampungan Siang-siong san-ceng, asal ia membuka jendela maka akan terlihatlah bukit nan hijau di seberang sana, pepohonan rindang, rerumputan nan hijau menambah semaraknya suasana di sekeliling sana.

Setiap kali berada dalam keadaan begini, dalam hatinya segera akan timbul suatu perasaan seakan-akan di atas langit di atas bumi, dialah pemimpin yang paling "berkuasa", sekalipun diwaktu-waktu semacam itu dalam hatinya terdapat sesuatu yang kurang menyenangkan hatinya, dia akan melupakannya dengan segera.

Sungguh tak disangka belakangan ini terjadi sesuatu perubahan di atas tanah perbukitan itu. Setiap pagi hari, di atas bukit di seberang sana tentu akan kedengaran suara bunyi-bunyian yang memekikkan telinga, bukan saja memecahkan ketenangan hidupnya, juga membuat sepanjang hari merasa tak tenang dia merasa kehormatannya seakan-akan di singgung orang.

Sebab bangunan perkampungan yang sedang dibangun di atas tanah perbukitan di seberang sana bukan saja dibangun lebih megah dan mentereng, bahkan menempati area tanah yang jauh lebih besar daripada perkampungan Siang siong san-ceng.

Semua tukang kayu, ahli bangunan, tukang pahat dan ahli ukir yang paling tersohor disekitar dua sungai besar, wilayah Kwan Tong, Say pak bahkan dari wilayah Kanglam sana, semuanya telah diundang kemari untuk menyelesaikan bangunan tersebut.

Tenaga kerja yang dikerahkan untuk mendirikan bangunan rumah itu pun dua puluh kali lipat lebih banyak jika dibandingkan sewaktu membangun perkampungan Siang siong san-ceng dimasa lalu. Jumlah pekerja yang lebih banyak tentu mempermudah pekerjaan, sudah barang tentu bangunan itupun bisa diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Setiap pagi bila Lui Yok siong membuka jendela untuk memandang ke bukit seberang, dia akan menjumpai di atas bukit tersebut kalau bukan telah bertambah dengan sebuah gardu, tentu bertambah dengan sebuah bangunan berloteng, atau sebuah kolam renang, atau mungkin juga sebuah hutan bunga yang rimbun dan indah. Seandainya ia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pada hakekatnya dia akan menganggap suatu keajaiban telah berlangsung di tempat itu.

Arsitek yang mengawasi pembangunan perkampungan itu adalah seorang congkoan she Lui, dia adalah Ji ciangkwee dari rumah Yang cu lui di ibu kota. Dari deretan ahli bangunan sepanjang sejarah, yang termasyhur dan paling ternama adalah keluarga Lui dari ibu kota, bahkan sewaktu membangun ruangan dalam istana kerajaan pun arsitek pembangunannya diserahkan kepada keluarga Lui.

Menurut pengakuan Lui congkoan, pemilik dari bangunan yang megah ini adalah seorang "Ting kongcu". Ting kongcu ini menetapkan pada bulan dua belas tanggal lima belas nanti untuk menyelenggarakan pesta perjamuan dalam perkampungan barunya itu. Maka bangunan ini harus sudah dibangun selesai sebelum bulan dua belas tanggal lima belas nanti.

Asal bangunan tersebut bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, ia tak sayang untuk membayar berapa pun yang diminta, soal uang baginya adalah bukan suatu persoalan. Ia telah membuka nota di empat buah rumah uang (Bank) yang paling besar di ibu kota, asal Lui congkoan membuka bon, uang kontan segera dapat diambil.

Lui Congkoan sudah seringkali bertemu dengan orang-orang dari kalangan atas, tapi dia toh berkata juga. "Keroyalan Ting kongcu ini pada hakekatnya belum pernah dijumpai sepanjang hidup"

Sesungguhnya siapakah Ting kongcu itu? Dia berasal dari mana? Mengapa bisa memiliki gaya serta tingkah laku yang begitu besar! Apalagi begitu royal dalam menggunakan uang.

Liu Yok siong sudah tak tahan untuk membendung rasa ingin tahunya lagi. Dia bertekad hendak menyelidiki asal usul Ting kongcu ini secermat-cermatnya kemudian membongkar sampai ke akar-akarnya.

Bila ia sudah bertekad untuk melakukan suatu pekerjaan, dia pasti akan melakukannya dengan sukses. Dia telah menyerahkan pekerjaan ini kepada istrinya untuk dilaksanakan, Liu hujin tak pernah memberi kekecewaan baginya, walau didalam pekerjaan apapun.

* * * * *

SEBELUM menikah dulu Liu hujin bernama Ko cin. Jadi dia bukan bernama Ko-siau (menggelikan), tapi Ko cin (patut dikasihani). Lengkapnya dia bernama Chin Ko cin. Liu hujin juga termasuk shio anjing, dua belas tahun lebih muda dari pada Liu Yok-siong, tahun ini berusia tiga puluh lima tahun.

Tapi sekalipun seseorang yang memiliki ketajaman mata yang luar biasapun tak akan mampu untuk menebak secara jitu berapakah usia perempuan itu yang sesungguhnya. Dia masih memiliki pinggang yang ramping dan lembut kulitnya masih putih halus...

.... Halaman 59 sampai 64 hilang ....

Walaupun ia selalu beranggapan bahwa pengorbanan yang dia berikan cukup berharga tapi sekarang toh timbul juga perasaan kecut dalam hati kecilnya, dengan hambar dia berkata:

"Sungguh tak kusangka ternyata dia belum mati, apakah kau merasa gembira sekali?"

Liu hujin segera menarik muka sambil tertawa dingin. "Heeehhh... heeehhh... heeehhh... apa yang harus kugembirakan? Orang yang dia paling benci bukan kau melainkan aku!"

Liu Yok siong menghela napas panjang katanya: "Kalau dia belum mati, cepat atau lambat pasti akan datang mencari kita, tapi aku benar-benar tidak habis mengerti, seorang bocah rudin semacam dia, mengapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi begitu kaya raya?"

"Kalau tidak mati dalam kesusahan, di kemudian hari pasti akan menjumpai rejeki besar, ternyata tempo hari ia berhasil melarikan diri dan kita gagal untuk menemukannya, itu berarti bocah tersebut mempunyai nasib yang cukup baik, orang yang sedang bernasib baik, sekalipun sedang berjalan-jalan, kemungkinan besar juga akan menemukan sebongkah emas murni"

Tentu saja kata-kata semacam itu hanya kata-kata orang yang sedang mendongkol. Dikala seorang perempuan sedang marah lebih baik jangan sekali-kali ia digubris. Seorang lelaki yang pintar semuanya tahu akan cara ini, Liu Yok siong termasuk seorang lelaki yang pintar. Ia segera memejamkan mulutnya rapat-rapat.

Sampai akhirnya orang yang akan buka suara lebih dahulu tentu saja masih pihak perempuan, sebab perempuan memang agak tak mampu menguasai diri...
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 05

Golok Bulan Sabit Jilid 04

Golok Bulan Sabit Jilid 04
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
AYAH ibu Cing-cing telah meninggal dunia. Rase pun bisa mati? Cing Xing, mempunyai seorang dayang yang lincah dan cerdik, ia bernama Si-ji, Si-ji gemar tertawa, bila sedang tertawa di atas sepasang pipinya akan muncul sepasang lesung pipi yang amat dalam.

Si-ji pun seorang rase? Mereka mempunyai delapan orang pelayan yang setia, rambut mereka kebanyakan telah beruban, tapi kesehatan badannya masih tetap segar dan kuat. Mereka semua juga rase?

Dalam lembah tersebut hanya dihuni oleh beberapa orang itu, belum pernah ada orang luar yang menginjak wilayah tersebut. Kehidupan di dalam lembah itu amat nyaman dan tenang, jauh lebih nyaman dan terang daripada kehidupan di alam manusia.

Sekarang Ting Peng sudah terbiasa dengan cara hidup dalam lembah itu, diapun sudah terbiasa menyoren golok lengkung tersebut di sisi pinggangnya. Kecuali sedang tidur, dia selalu menyoren golok lengkung tersebut di sisi pinggangnya.
Sebuah ikat pinggang yang terbuat, dari emas murni dan batu kemala putih menghiasi pula pinggangnya. Tapi ia tahu golok lengkung tersebut jauh lebih berharga dari pada ikat pinggang itu.

Hari kedua setelah perkawinan mereka, Cing cing berkata kepadanya: "Nenek pasti amat menyukaimu, maka ia baru menyerahkan golok tersebut kepada-mu, kau harus menyayanginya dengan amat sangat"

Diapun tidak lupa dengan ucapan Cing-cing yang diutarakan kepada si kakek kerdil yang misterius dalam lembah kemurungan tempo hari.

"Golok ini tak boleh sembarangan dilihat, siapa yang pernah melihat golok ini, dia akan mati di ujung golok tersebut"

Tentu saja si kakek kerdil itupun sudah mampus di ujung golok tersebut. Dia adalah manusia? atau setan? Atau rase?

Darimana ia bisa tahu kalau di atas golok itu terukir tujuh huruf kecil, yang berisikan "Siau -lo-it-ya teng-cun-hi?"

Sesungguhnya rahasia apakah yang menyelimuti asal usul dari golok tersebut? Kekuatan misterius apakah yang tersembunyi dibalik kesemuanya itu?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukannya tak pernah diajukan oleh Ting Peng tapi Cing-cing selalu berkata kepadanya dengan wajah serius:

""Ada sementara persoalan lebih baik tak usah kau ketahui, sebab bila tahu akan masalah-masalah tersebut, kemungkinan besar ada bencana besar yang akan menimpamu"

Sekarang bukan saja ia telah melihat golok itu, bahkan telah memiliki pula golok tersebut. Ia sudah merasa amat puas dengan kesemuanya itu. Tapi pada suatu hari, tiba-tiba ia hendak mengembalikan golok itu kepada Cing-cing.

Dengan keheranan Cing-cing lantas bertanya: "Mengapa kau tidak menghendaki golok itu?"

"Sebab aku memilikinya juga percuma" jawab Ting Peng, "golok tersebut berada di tanganku tak lebih dari pada sebilah golok besi biasa saja"

"Kenapa?"

"Karena aku sama sekali tak pandai mempergunakan ilmu golok aliran kalian."

Akhirnya Cing-cing memahami juga maksudnya, maka dia pun berkata. "Bila kau ingin mempelajarinya, aku bersedia mengajarkan ilmu golok itu kepadamu," padahal ia sama sekali tak bermaksud untuk mewariskan ilmu golok semacam ini kepadanya, sebab dia tahu orang biasa yang mempelajari ilmu golok semacam ini sesungguhnya tak ada manfaatnya.

"Walaupun ilmu golok semacam ini dapat memberikan suatu kekuatan yang luar biasa kepada mu, tapi diapun bisa mendatangkan bencana serta ketidak beruntungan bagi si pemakainya."

Tapi akhirnya toh ilmu golok tersebut diajarkan juga kepadanya, karena ia tak ingin menampik permintaannya, ia tak pernah membuatnya merasa kecewa. Walaupun dia adalah rase, tapi jauh lebih-lebih lembut dan setia daripada istri dari kebanyakan kaum lelaki di dunia ini. Siapa saja bila memiliki seorang istri macam begini, dia seharusnya akan merasa puas sekali.

Ilmu golok semacam ini tak mungkin akan dijumpai di alam semesta, Ilmu golok semacam ini memiliki perubahan serta kekuatan yang mimpipun tak mungkin bisa diperoleh oleh setiap orang lain.

Ting Peng sendiripun tak pernah menyangka kalau ia bisa melatih ilmu golok yang begini sakti dan begitu hebatnya. Tapi sekarang ia telah melatihnya. Dalam soal belajar ilmu silat, ternyata sampai Cing-cing sendiripun mengakui bahwa dia adalah seorang yang amat berbakat.

Sebab untuk melatih ilmu golok itu, ia sendiri membutuhkan tujuh tahun untuk menguasainya, sedangkan Ting Peng hanya membutuhkan waktu selama tiga tahun.

Kehidupan didalam lembah itu bukan cuma nyaman dan tenang, lagi pula empat waktu selalu ada bunga yang mekar dimana saja, kau bisa memetik aneka bunga yang indah dan segar.

Mestika yang selama dialam semesta di anggap sangat berharga bahkan untuk menemukan saja sukarnya bukan kepalang, di tempat itu seolah-olah berubah menjadi suatu benda yang sama sekali tak ada harganya.

Di bawah loteng kecil itu terdapat sebuah gedung di bawah tanah, dalam gudang itu bertumpukkan kain sutera yang berasal dari negeri Thian tok (sekarang India) permadani dari negeri Persia serta aneka macam benda berharga lainnya yang tak pernah kau jumpai selama ini.

Cing-cing bukan cuma lembut dan cantik, diapun sangat menuruti semua keinginan serta kehendak suaminya. Semestinya dia harus merasa puas sekali. Tapi sebaliknya pemuda itu malahan, menjadi kurus sekali. Bukan cuma kurus badannya, wajahnya ikut sayu dan seringkali bermuram durja dan tidak senang hati.

Selain itu diapun seringkali mendapat impian buruk. Setiap kali melompat bangun dari impian, tiba-tiba saja ia akan melompat turun dari atas pembaringan sambil bermandikan peluh dingin.

Ketika Cing-cing menanyakan soal ini kepadanya selama berulangkali, ia baru berkata: "Aku bermimpi ketemu dengan ayahku, dia hendak menggunakan sepasang tangannya untuk mencekikku sampai mati"

"Mengapa dia hendak mencekikmu sampai mati?"

"Ia bilang aku tidak berbakti, lantaran aku adalah seorang lelaki yang tidak becus!"

Mimik wajah Ting Peng berubah menjadi amat sedih dan sengsara, dia berkata lebih jauh: "Sebab itu telah melupakan sama sekali pesan orang tuaku menjelang kematiannya dulu"

"Padahal kau belum melupakannya?"

"Yaa, belum!" sahut Ting Peng, "padahal setiap waktu setiap saat aku selalu mengingatnya didalam hati"

"Sebelum meninggalnya apa yang diminta orang tuamu untuk kau lakukan...?" sambil mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, sepatah demi sepatah kata ia menjawab:

"Suruh aku mencari nama besar dalam dunia dan melampiaskan rasa sedih dan kecewanya selama ini"

Cing Cing tentu saja memahami maksudnya. Tapi Cing-cing tidak tahu kalau mimpi jelek yang dialaminya bukan hanya semacam saja, impian buruknya yang lain jauh lebih menakutkan lagi. Tapi ia tak dapat mengutarakannya keluar, juga tak berani untuk mengutarakannya keluar.

Dalam impian tersebut tiba-tiba ia merasakan dirinya terjerumus ke dalam sarang rase istrinya, ayah mertuanya, ibu mertuanya semua telah berubah menjadi kelompok rase, rase yang mencabik-cabik tubuhnya dan melahap badannya. Dia ingin sekali untuk melupakan bahwa mereka adalah sekawanan rase, tapi pikiran tersebut justru tak dapat dia lupakan.

* * * * *

CAHAYA mutiara yang lembut menyinari wajah Cing Cing yang pucat dan cantik, air mata telah jatuh bercucuran membasahi pipinya. "Aku memahami maksudmu!" dia berkata dengan air mata bercucuran, "akupun telah tahu, cepat atau lambat kau pasti ingin pergi dari sini, kau tak akan hidup sepanjang masa ditempat ini, sebab cepat atau lambat kau pasti akan merasa jemu dengan penghidupan semacam ini"

Ting Peng tak dapat menyangkal perkataan itu. Dengan ilmu silat yang dimilikinya sekarang, dengan ilmu golok yang dimilikinya sekarang, Liu Yok siong, Tiong Tian, Hong bwe dan Meh tiok sesungguhnya telah berubah menjadi manusia-manusia yang tak akan tahan dengan sejurus serangannya.

Dengan mengandalkan golok lengkung yang tersoren di pinggangnya, bila dia ingin menjelajahi dunia persilatan dan mencari nama, kejadian tersebut akan berubah menjadi suatu persoalan yang gampangnya seperti membalikkan tangan sendiri. Setiap kali teringat akan masalah ini, darah yang mengalir didalam tubuhnya seakan-akan menjadi mendidih dan mengalir dengan kerasnya.

Tapi kesemuanya ini tak bisa menyalahkan dia, sebab dia memang tidak bersalah. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan masa depannya sendiri dan siapa pun itu orangnya pasti akan berpikir demikian. Dengan sedih Ting Peng berkata:

"Sayang sekali, aku juga tahu bahwa kakek dan nenekmu pasti tak akan mengijinkan aku pergi dari sini"

Cing Cing menundukkan kepalanya dan ragu-ragu sejenak, kemudian dengan nada menyelidiki tanyanya. "Apakah kau ingin pergi dari sini seorang diri?"

"Tentu saja aku akan membawa serta dirimu"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Cing Cing, dia mengepal tangannya keras-keras dan berseru kembali, "Kau bersedia membawaku pergi?"

Dengan lembut dan penuh kasih sayang Ting Peng menjawab: "Kita sudah merupakan suami istri, kemanapun aku akan pergi, aku pasti akan membawa serta dirimu"

"Kau berbicara yang sejujurnya?"

"Tentu saja!"

Cing Cing menggigit bibit menahan pergolakan emosinya kemudian mengambil keputusan katanya: "Bila kau ingin pergi dari sini marilah kita pergi bersama-sama!"

"Bagaimana caranya untuk pergi dari sini?"

"Aku pasti mempunyai akal bagus!" Dia memeluk pemuda itu kencang-kencang, kemudian melanjutkan. "Asal kau bersedia mencintaiku dengan bersungguh hati, sekalipun aku harus mati bagimu, aku juga bersedia"

Untuk melarikan diri, tentu saja harus ada rencana yang matang, maka ditengah malam buta merekapun berbisik-bisik merundingkan rencana besar itu. Mereka paling takut dengan kakeknya Cing-cing.

"Dia orang tua amat lihay dan mengetahui segala-galanya, selain malaikat dari angkasa, tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi kehebatannya"

Ting Peng merasa tidak puas dengan perkataan itu, sebab diapun telah melatih ilmu golok mereka yang maha sakti itu.

Cing Cing segera berkata kembali: "Jangan kau anggap ilmu golok yang telah kau pelajari itu sangat lihay, berada di hadapan dia orang lain mungkin belum sampai satu jurus kau pergunakan, asal dia menggerakkan tangannya maka kau pasti akan roboh ke tanah."

Ting Peng tidak percaya, tapi diapun mau tak mau harus mempercayai juga.

"Oleh karena itu bila kita ingin kabur, kita harus menunggu sampai dia tidak berada di sini!" kata Cing Cing.

"Agaknya dia tak pernah pergi dari sini?"

"Tapi setiap tahun pada bulan tujuh tanggal lima belas malam, dia selalu akan mengurung dirinya didalam sebuah kamar kecil, selama beberapa jam lamanya, peristiwa apapun yang bakal terjadi selama waktu-waktu itu, dia tak akan mengurusinya."

"Tapi bila dia tahu kalau kita sudah kabur apakah tak akan melakukan pengejaran?"

"Sudah pasti tidak! Sebabnya aku orang tua telah bersumpah bahwa selama hidup tak akan meninggal kaki lembah ini barang satu langkahpun"

"Aku lihat agaknya nenekmu juga tidak gampang untuk dihadapi"

"Aku mempunyai akal untuk menghadapinya."

"Akal apakah itu?"

"Sekalipun dia orang tua kelihatannya amat keren dan serius, dia sesungguhnya memiliki hati yang amat lunak, lagi...." Tiba-tiba ia mengajukan suatu pertanyaan yang sama sekali tak ada sangkut pautnya. "Kau tahu apa yang menyebabkan kematian ayah ibuku?"

Ting Peng tidak tahu. Dia tahu persoalan ini merekapun tak pernah menyinggungnya, tak bisa disangkal lagi hal itu adalah suatu rahasia besar bahkan suatu kenangan lama yang penuh dengan kesedihan.

Benar juga paras muka Cing-cing segera berubah menjadi amat sedih sekali katanya: "Ibuku juga seorang manusia biasa, seperti juga kau, dia selalu berharap agar ayahku bisa mengajaknya untuk pergi meninggalkan tempat ini?"

Setelah menghela napas panjang lanjutnya: "Ketika aku belum mencapai usia setahun ia telah meninggal dunia tapi aku tahu dulunya bukan saja dia adalah seorang pendekar perempuan yang amat tersohor dalam dunia persilatan, diapun seorang gadis cantik yang diketahui setiap orang, kehidupan yang sederhana dan hambar seperti ini sudah barang tentu tak bisa dilewatinya dengan hati yang tenang dan tentram"

"Apakah ayahmu tidak bersedia mengajaknya untuk pergi meninggalkan tempat ini?"

"Walaupun ayahku telah menyetujuinya, tapi kakek dan nenekku bersikeras tidak mengijinkan, sudah dua kali mereka berusaha untuk pergi dari sini tapi usaha mereka selalu gagal oleh karena itu ibuku...."

Ia tidak melanjutkan perkataannya, tapi Ting Peng bisa menduga apa yang telah terjadi, kalau ibunya bukan karena hatinya yang kesal dan murung sehingga mati dalam kesedihan, sudah pasti secara diam-diam menghabisi nyawa sendiri.

"Berapa bulan setelah kematian ibuku, ayahku juga jatuh sakit dan tak bisa bangun lagi."

Walaupun mereka adalah rase, meskipun memiliki kemampuan yang luar biasa, ada sementara penyakit yang justru tak akan bisa ditolong dengan kekuatan serta obat obatan, apalagi kalau penyakit itu adalah penyakit hati, penyakit rindu yang ditimbulkan oleh perasaan kangen yang tebal serta kesedihan yang kelewat batas. Dalam hal ini, Ting Peng juga bisa membayangkannya.

Cing cing berkata lebih jauh: "Sekalipun nenek tak pernah menyinggung persoalan ini kepadaku, tapi aku tahu dalam hatinya pasti merasa amat berduka, bila sampai keadaan kepepet, asal kusinggung kembali persoalan ini, dia pasti akan mengijinkan kami untuk pergi"

Seorang nenek tua yang sudah lanjut usianya, tentu saja tak akan tega menyaksikan cucu perempuan suami istri mengalami tragedi yang sama seperti apa yang terjadi dengan generasi yang lalu.

Cing Cing bisa mengutarakan persoalan semacam ini, menandakan kalau hubungan kasihnya antara dia dengan Ting Peng sudah mencapai cinta kasih yang sama tebalnya antara ayah dan ibunya dulu.

Mencorong sinar tajam dari balik mata Ting Peng setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat. "Kalau begitu, kita pasti mempunyai harapan?"

"Akan tetapi kita masih ada persoalan, paling tidak masih ada delapan persoalan."

"Delapan persoalan?"

"Yaa, tidak lebih tidak kurang persis delapan buah persoalan"

Akhirnya Ting Peng dapat memahami maksud perkataannya, yang dimaksudkan dengan delapan persoalan itu sudah pasti adalah ke delapan orang pelayan yang setia itu. Mereka semua jarang berbicara satu dengan lainnya, bahkan selalu menjaga suatu jarak tertentu dengan Ting Peng.

Agaknya mereka tidak ingin terlalu dekat dengan manusia biasa yang manapun, bahkan cucu menantu dari majikan mereka sekalipun. Dalam hati mereka semua seakan-akan tersimpan suatu penderitaan yang amat dalam, menyimpan suatu rahasia yang sangat besar.

"Apakah mereka juga tidak mudah untuk dihadapi ?" tanya Ting Peng kemudian.

"Kau sama sekali-kali memandang enteng mereka, sekalipun mereka tidak memiliki kemampuan yang hebat seperti apa yang dimiliki oleh kakekku, tapi ilmu silat yang dimiliki mereka semua sudah cukup untuk merubah mereka menjadi jago-jago kelas satu di dalam dunia persilatan"

Setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan. "Aku tahu didalam dunia persilatan banyak terdapat pendekar dan jago pedang yang amat lihay, akupun pernah melihat beberapa orang diantaranya, tapi tak seorangpun diantara mereka yang bisa menandingi kelihaian mereka"

"Siapa saja yang pernah kau jumpai?"

"Hong bwe dan Meh tiok yang kau katakan itupun pernah kujumpai semua...." Cing-cing menerangkan.

"Apakah kedua orang itupun tak sanggup untuk menandingi mereka?"

"Siapa saja diantara mereka berdelapan sanggup mengalahkan dua orang itu sekaligus didalam sepuluh jurus"

Mendengar perkataan itu Ting Peng segera mengerutkan dahinya. Tak bisa disangkal lagi bahwa Hong bwe dan Meh tiok adalah jago-jago kelas satu di dalam dunia persilatan, kalau dibilang ada orang sanggup mengalahkan mereka berdua dalam sepuluh gebrakan saja, sesungguhnya persoalan ini sangat tidak masuk diakal, siapa saja tak akan mempercayainya. Tapi Ting Peng mempercayainya.

Terdengar Cing cing berkata lagi. "Untung saja setiap bulan tujuh tanggal lima belas, mereka selalu minum arak dalam jumlah yang banyak sekali"

"Apakah mereka akan minum sampai mabuk?"

"Ada kalanya sampai mabuk, ada kalanya juga tidak mabuk, mereka memiliki takaran minum arak yang bagus sekali"

Setelah tertawa terusnya: "Tapi kebetulan sekali aku tahu kalau ada semacam arak yang keras sekali, bagaimanapun baiknya takaran minum seseorang bila minum arak tersebut, dia pasti akan menjadi mabuk"

"Dan kebetulan sekali kau bisa menemukan arak sejenis itu?"

"Yaa.. . aku bisa mendapatkannya."

Sekali lagi mencorong sinar tajam dari balik mata Ting Peng, tanyanya kemudian: "Hari ini sudah tanggal berapa?"

"Bulan enam tanggal tiga puluh"

Setengah bulan lagi akan tiba bulan tujuh tanggal lima belas, setengah tahun lagi Ting Peng sudah empat tahun lamanya tinggal di tempat itu. Tak tahan Ting Peng segera menghela napas panjang katanya.

"Waktu sungguh berlalu dengan cepatnya, tak disangka dalam waktu singkat empat tahun sudah lewat, sungguh tak ku sangka aku bisa hidup selama empat tahun lagi"

Dengan lemah lembut Cing Cing membelai wajahnya dan berkata dengan lirih: "Kau pasti dapat hidup lebih jauh, bahkan bukan cuma empat tahun saja, sebab selama aku masih hidup, kau takkan mati, kau hidup akupun takkan mati, ada kau baru ada aku, ada aku baru ada kau!"

* * * * *

MALAM PURNAMA

BULAN tujuh tanggal lima belas, udara cerah. malam hari, rembulan sedang purnama. Ting Peng mempercayai Cing Cing seratus persen. Kalau Cing Cing mengatakan ada semacam arak yang bisa memabukkan siapapun yang memiliki takaran minum arak yang hebat, dia percaya penuh bahwa siapa saja yang minum arak tersebut pasti akan menjadi mabuk kepayang.

Ia percaya delapan orang kakek yang setia dan selalu membungkam itu pasti akan mabuk, ternyata mereka benar-benar telah mabuk. Tapi ia benar-benar tidak menyangka kalau orang yang mabuk paling dulu ternyata adalah neneknya Cing Cing.

Tampaknya hari ini diapun mempunyai pikiran dalam hatinya, pikiran apalagi rahasia dalam hati biasanya lebih berat dari segala apapun, maka dia ikut minum bersama mereka, bahkan minum lebih cepat dari pada yang lain dan lebih banyak dari siapa pun. Itulah sebabnya dia mabuk lebih dahulu.

Mereka masih minum arak, secawan demi secawan arak mengalir masuk ke perut, tak seorangpun yang berbicara, mereka hanya tahu minum terus tiada hentinya. Tampaknya mereka telah bertekad untuk minum sampai mabuk baru benar-benar akan berhenti. Dengan cara minum seperti ini, sekalipun yang mereka minum bukan arak semacam ini, toh akhirnya akan menjadi mabuk juga. Sekarang mereka semua telah mabuk.

Walaupun ruangan disisi loteng kecil itu jauh lebih kecil daripada sebuah keraton, namun diatur sedemikian megah dan mewahnya sehingga tidak kalah dengan sebuah keraton, waktu itu tinggal dua orang yang masih berada dalam keadaan sadar. Dalam lembah tersebut hanya tinggal mereka berdua juga yang masih berada dalam keadaan sadar.

Ting Peng memandang ke arah Cing Cing, dan Cing Cing memandang ke arah Ting Peng, sorot mata Ting Peng penuh dengan pancaran sinar gembira dan riang. Sebaliknya sinar mata yang terpancar ke luar dari balik mata Cing Cing sangat kalut.

Tempat ini adalah rumahnya, ia sudah hidup di sini semenjak dilahirkan, semua orang yang berada di sini adalah sanak keluarganya semua. Tapi sekarang dia hendak pergi, menuju ke sebuah dunia yang masih amat asing baginya dan selama hidup tidak kembali lagi, selama hidup tak akan kembali lagi. Tentu saja perasaannya amat gundah dan kalut. Tentu saja dia tak bisa seperti Ting Peng yang ingin pergi lantas pergi.

Tiba-tiba Ting Peng menghela napas panjang, katanya: "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan didalam hati, aku pun tahu kau pasti tak tega untuk meninggalkan tempat ini."

Cing Cing segera tertawa paksa. "Aku memang sedikit merasa berat hati untuk meninggalkan tempat ini, tapi aku lebih berat hati untuk berpisah denganmu"

Tentu saja Ting Peng tak akan menganjurkan kepadanya untuk tetap tinggal di situ. Sekalipun dia memiliki niat semacam itu juga tak akan diutarakannya di depan mulut.

Cing Cing mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya: "Apakah kau benar-benar bersedia untuk mengajakku pergi?"

"Tentu saja sungguh-sungguh"

"Bila kau ingin merubah niatmu, sekarang masih belum terlambat, aku akan membiarkan kau pergi seorang diri"

"Aku toh sudah berkata, kemana saja aku akan pergi, kau harus turut bersamaku, ada aku harus ada kau pula dirimu"

"Kau tidak menyesal?"

""Mengapa aku harus menyesal?"

Akhirnya Cing cing tertawa, meskipun senyuman itu agak murung dan diliputi kesedihan, tapi penuh dengan pancaran sinar merah yang hangat. Bagi seorang perempuan apa yang paling diharapkan tidak lain adalah seorang yang bisa mencintainya selama hidup dan berada bersamanya sepanjang masa. Entah perempuan itu seorang manusia atau Rase, semuanya adalah sama saja.

Tapi sesaat sebelum pergi, dia masih tak tega untuk berpaling kembali dan mengawasi neneknya yang meski keren tapi berhati mulia itu. Tak tahan ia menjatuhkan diri berlutut dan mencium pipi neneknya, yang penuh berkeriput itu dengan penuh kasih sayang.

Perpisahan ini mungkin akan menjadi suatu perpisahan untuk selamanya, bahkan Ting Peng sendiripun merasa agak sedih dalam hatinya, tak tahan ia lantas berseru: "Jika kita ingin pergi, lebih baik berangkat lebih cepat, daripada mereka keburu sadar..."

"Mereka tak akan sadar secepat itu." Sambil bangkit berdiri, terusnya: "Arak ini dibuat kakekku menurut suatu resep rahasia, sekalipun dewa yang minum arak ini, diapun harus menunggu sampai enam jam kemudian baru bisa sadar kembali"

Ting Peng segera menghela napas panjang: "Bila ada waktu selama enam jam, hal ini sudah lebih dari cukup untuk kita!" Baru selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar seseorang tertawa tergelak.

"Haaahh... haaahh... haaahh... benar, enam jam pun sudah lebih dari cukup..."

Setiap orang bisa tertawa. Setiap hari pasti ada orang sedang tertawa, dimana saja pasti ada orang sedang tertawa.Tapi Ting Peng belum pernah mendengar gelak tertawa semacam ini, bahkan mimpipun tak pernah menduga kalau di dunia ini bisa terdapat gelak tertawa semacam ini. Suara tertawanya tinggi melengking dan amat nyaring, seolah-olah ada beribu-ribu orang yang sedang tertawa bersama.

Tawa itu sebentar berkumandang di sebelah timur, sebentar di sebelah barat, seakan-akan dari empat arah delapan penjuru ada orang sedang tertawa bersama. Tapi suara tertawa itu justru berasal dari mulut seseorang yang sama, sudah jelas berasal dari mulut satu orang. Karena Ting Peng telah menyaksikan kemunculan orang itu.

Dia adalah seorang kakek berjubah hitam yang kurus kering dan bertubuh hitam pekat. Pintu depan sebenarnya tiada manusia, seorang mamusia tak ada. Tapi kakek berjubah hitam itu justru berdiri didepan pintu ketika itu.

Ting Peng bukan seorang yang buta, matanya belum kabur, tapi justru ia tidak menyaksikan sedari kapankah kakek itu menampakkan diri? Lebih-lebih lagi dari manakah dia munculkan diri?

Dalam waktu singkat tahu-tahu ia sudah berdiri di situ. Suara gelak tertawanya belum berhenti, cawan dan mangkuk yang berada di atas meja kena tergetar keras sehingga berbunyi dentingan nyaring, malah ada beberapa buah diantaranya yang tergetar sehingga hancur berantakan.

Ting Peng merasakan bukan cuma telinganya saja yang tergetar keras sehingga terasa sakit, bahkan benaknya seolah-olah mau meledak rasanya tak tahan. Asalkan bisa membuat kakek itu menghentikan gelak tertawanya, dia disuruh melakukan apa saja pemuda itupun bersedia. Belum pernah ia menyangka kalau didunia ini masih terdapat suara gelak tertawa yang memiliki kekuatan demikian menakutkannya.

Paras muka Cing Cing pucat pias, sinar matanya memancarkan rasa ngeri dan kaget yang luar biasa, tiba-tiba ia membentak: "Apa yang sedang kau tertawakan?"

Meskipun suaranya lembut dan tajam, ibaratnya sebatang jarum yang tiba-tiba menyusup masuk ke balik tertawa tersebut.

Kakek berjubah hitam itu masih juga tertawa tergelak, katanya: "Delapan ekor rase kecil itu semuanya berilmu hebat, si rase betina inipun bukan lentera yang kekurangan minyak, jika aku harus merobohkan mereka satu per satu, sesungguhnya hal ini bukan suatu pekerjaan yang gampang, sungguh tak nyana ada orang yang telah melicinkan jalan bagiku" haaha... haha... dengan demikian akupun tak usah repot-repot lagi".

Paras muka Cing cing berubah hebat, dengan suara keras teriaknya: "Siapakah kau? Mau apa datang kemari?"

Akhirnya kakek berjubah hitam itu menghentikan juga gelak tertawanya, dengan dingin ia berkata: "Aku datang untuk menguliti kulit rase kalian, akan kupakai kulit-kulit rase kalian itu untuk membuatkan beberapa stel pakaian untuk cucuku."

Cing Cing tertawa dingin, tiba-tiba ia turun tangan dan mencabut keluar golok lengkung yang tersoren di pinggang Ting Peng itu. Cahaya golok yang berwarna hijau dan berbentuk melengkung itu pada mulanya masih mirip sebuah bulan sabit, tapi dalam waktu singkat telah berubah menjadi sekilas cahaya bianglala yang menyambar ke muka dengan cepatnya.

Ting Peng cukup memahami daya kekuatan yang terpancar dari balik golok tersebut, dia percaya di dunia ini masih belum ada seorang manusiapun yang sanggup menyambut bacokan tersebut. Sayang dia telah salah menyangka.

Ujung baju si kakek berjubah hitam itu segera menggulung ke depan bagaikan segumpal awan hitam, secara tiba-tiba saja awan hitam itu meluncur ke depan dan menyambar cahaya bianglala tersebut.

Cing Cing segera berjumpalitan ditengah udara dan terpental sejauh tiga kaki lebih dari tempat semula, sewaktu melayang turun ke atas tanah, ia tak sanggup berdiri tegak lagi.

Kakek berjubah hitam itu tertawa dingin, katanya: "Bila mengandalkan sedikit kepandaian yang dimiliki kau si rase kecil, masih jauh bila ingin digunakan untuk membunuhku"

Paras muka Cing Cing berubah hebat selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang. Di belakang meja masih terdapat sebuah pintu rahasia.

Dengan suara dingin kakek berjubah hitam itu berkata: "Apakah kau hendak pergi mencari si rase tua itu? Jangan lupa bulan tujuh tanggal lima belas tepat tengah malam, saat itu ia sedang berada dalam keadaan yang paling gawat, sekalipun aku menyayati kulit badanmu di hadapannya dia juga tak akan berani sembarangan bergerak kalau tidak ia pasti akan mengalami jalan api menuju neraka, kalau sampai demikian keadaannya akan payahlah keadaannya"

Cing-cing tentu saja tak akan lupa dengan keadaan tersebut. Kini paras mukanya sudah pucat pias tak berdarah lagi. Ia tahu mereka tak akan terlepas dari bencana besar ini.

Mendadak kakek berjubah hitam itu membalikkan badannya menatap ke arah Ting Peng, kemudian katanya: "Kau adalah manusia rase!"

Ting Peng tak dapat menyangkal. Kembali kakek itu berkata. "Aku hanya akan membunuh rase, tidak membunuh manusia" Kemudian sambil mengulapkan tangannya dia berkata: "Pergilah dari sini, lebih baik cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini, jangan sampai menunggu aku berubah pikiran lagi"

Ting Peng tertegun, ia benar-benar tidak menyangka kalau kakek tersebut bersedia melepaskan dirinya. Dia adalah manusia, bukan rase, kakek itu datang untuk membantai rase, sudah barang tentu sama sekali tak ada hubungan atau sangkut paut dengannya.

Sekarang dia masih muda, dia telah menguasahi serangkaian ilmu silat yang maha dahsyat, dengan kemampuan yang dimilikinya sekarang ia masih sanggup untuk merajai dunia persilatan dan mengangkat nama besarnya agar disegani orang. Asal dia kembali ke alam manusia, dengan cepatnya semua cita-cita yang diimpikan selama ini akan terwujud. Sekarang kakek itu bersedia melepaskan dirinya, tentu saja dia harus pergi.

Dengan suara dingin kakek berjubah hitam itu berkata lagi. "Mengapa kau belum juga pergi? Apakah kau juga ingin menemaninya untuk mati bersama?"

"Benar!" tiba-tiba Ting Peng menjawab dengan suara lantang. Mendadak dia melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, sambil menghadang dihadapan Cing Cing serunya: "Bila kau ingin membunuhnya, kau harus membinasakan diriku lebih dahulu!"

Sekujur badan Cing Cing menjadi lemas, karena seluruh badannya seolah-olah melumer dan bersatu dengan tubuh Ting Peng. Ia menatapnya lekat-lekat, entah harus menangiskah? Atau tertawa?

Perasaan girang, kaget dan berterima kasih bercampur aduk dalam hatinya dan kemudian tumbuh suatu perasaan cinta yang teramat sangat besarnya. Air matanya kembali bercucuran, serunya: "Benarkah kau bersedia untuk mati bersamaku?"

"Aku sudah berkata, ada kau ada pula aku, entah kemana saja kau pergi, aku akan selalu mendampingimu!"

"Kau benar-benar hendak menemaninya untuk mampus?" seru kakek berbaju hitam itu. Kakek berjubah hitam itu segera tertawa dingin. "Hmm... kalau kau ingin mampus, ini gampang sekali untuk di wujudkan..."

"Belum tentu gampang!" teriak Ting Peng. Tiba-tiba ia menubruk ke depan dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, ia menerjang ke arah kakek berjubah hitam itu dengan garangnya. Dia sudah bukan Ting Peng empat tahun yang lalu. Gerakan tubuhnya begitu enteng dan lincah, serangannya begitu cepat dan tepat, ilmu silat yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak berada di bawah kepandaian silat jago nomor wahid dari manapun. Perduli kakek ini adalah manusia atau setan? Atau rase? Bila ingin membunuhnya, hal ini tak akan bisa dilakukannya dengan gampang.

Sayang dia kembali salah sangka. Baru saja tubuhnya menubruk ke depan, dia menyaksikan ada sekuntum awan hitam yang menyambar datang, dia ingin menghindar, akan tetapi tak mampu dilakukannya. Kemudian ia terjerumus kembali dalam kegelapan, kegelapan yang tidak bertepian, suatu kegelapan yang seakan-akan tak pernah berakhir. Dari balik kegelapan tiba-tiba terpercik setitik cahaya sinar rembulan, bulan yang sedang purnama.

Ting Peng membuka matanya lebar-lebar, ia menyaksikan sebuah bulan yang purnama tergantung di atas awang-awang, diapun menyaksikan sepasang mata yang jeli dan lembut sedang mengawasinya. Baik di atas langit ataukah di atas bumi? Tak akan bisa dijumpai mata kedua yang lebih jeli dan lembut daripada sinar mata itu.

Cing Cing masih berada di sisinya. Baik dia sudah mati atau masih hidup? Baik dia ada di atas langit? Atau dalam bumi, Cing Cing tetap berada di sisinya. Sinar mata Cing-cing begitu jeli, diantara kelopak matanya masih tampak titik air mata.

Sepasang mata tersebut, bulan yang purnama itu serta pemandangan yang dihadapinya sekarang hampir sama dengan pemandangan yang disaksikannya ketika baru mati di ujung pedang si kakek kerdil yang berjubah emas dengan jenggot berwarna emas itu.

Tapi waktu itu dia belum mati. Bagaimana dengan kali ini? Kali ini diapun tidak mati. Bukan saja dia tidak mati, Cing Cing juga tidak mati, apakah kakek berbaju hitam yang menakutkan itu telah melepaskan mereka?

Apakah karena mereka amat mencintai satu sama lain, karena mereka saling mencintai dengan tulus hati, maka orang itu menjadi terharu dan mengampuni jiwaku?

"Aku benar-benar belum mati?" Ting Peng bertanya.

"Aku masih hidup, mengapa kau bisa mati, kalau kau sudah mati, apakah aku bisa hidup seorang diri?"

Titik air mata masih menghiasi wajahnya, tentu saja air mata kegirangan, lanjutnya: "Asalkan kita berada bersama, kita tak bakal mati! Kiita akan hidup bersama terus sepanjang masa"

"Tapi aku tidak habis mengerti?" seru Ting Peng.

"Persoalan apakah yang tidak kau pahami?"

"Aku tidak habis mengerti mengapa makhluk tua berjubah hitam itu bersedia melepaskan kita berdua?"

Cing-cing segera tertawa. Dari wajahnya yang penuh senyuman itu terkilas cahaya air mata, sahutnya dengan cepat: "Sebab makhluk tua itu bukan sungguhan"

"Siapakah dia?"

"Dia adalah kakekku"

Ting Peng semakin tidak mengerti. Cing-cing berkata kembali: "Kakekku tahu bahwa cepat atau lambat kau pasti ingin pergi, semua gerak gerik kita diketahui pula olehnya. Oleh karena itu ia telah bertaruh dengan nenek!"

""Apa yang mereka pertaruhkan?"

""Kalau kau sungguh-sungguh amat baik kepadaku, seandainya kau masih bersedia mati untukku, dia akan membiarkan kita berdua untuk pergi dari sini"

Ia tidak berkata lebih jauh, diapun tak perlu berkata lebih lanjut. Jelaslah sudah bahwa peristiwa itu tak lebih hanya suatu percobaan, suatu percobaan untuk Ting Peng apakah dia sungguh-sungguh amat mencintai Cing Cing? Seandainya didalam mara bahaya Ting Peng meninggalkan gadis itu, maka tak bisa disangkal lagi saat ini Ting Peng sudah menjadi sesosok mayat.

Cing Cing menggenggam tangannya erat-erat. Dibalik telapak tangan Ting Peng ada keringat, tentu saja keringat dingin.

"Sekarang mereka baru percaya bahwa kau sama sekali tidak membohongi diriku" ujar Cing Cing lembut "perduli kemanapun kau akan pergi, tak mungkin akan meninggalkan diriku, oleh sebab itu mereka baru bersedia untuk membiarkan aku pergi bersamamu."

Ting peng mengerdipkan matanya beberapa kali kemudian bertanya. "Kita berada dimana sekarang?"

"Kita sudah berada di alam manusia"

"Kita benar-benar sudah kembali ke alam manusia?"

"Yaa, benar!"

Untuk pertama kalinya Ting Peng merasakan alam manusia ternyata begitu indah begitu menarik hati. Sebenarnya ia sudah bosan hidup di dunia ini, sudah tak ingin hidup lebih jauh, sekarang dia baru menyadari bahwa kehidupan sesungguhnya adalah begitu indah dan menawan, asal seseorang masih dapat hidup. Hal ini sudah merupakan sesuatu kejadian yang pantas untuk dirayakan.

Rembulan yang purnama kini sudah makin memudar. Langit yang gelap sudah mulai terpercik setitik cahaya putih, dari kejauhan sana kedengaran suara manusia.

Tangisan bayi, omelan ibunya, suara air yang ditimba dari dalam sumur, suara dentingan kuali yang mulai mengepul asap, suara istri yang membangunkan suaminya untuk segera turun ke sawah, suara sang suami yang mencari sepatunya dikolong ranjang, suara bisikan mesrah dari suami istri muda, suara cekcok suami istri yang telah lanjut usia, masih ada pula suara kokokan ayam, gonggongan anjing.

Semua suara tersebut penuh terkandung suatu gerak perjuangan dari kehidupan, penuh mengandung cinta kasih seorang manusia terhadap lainnya. Dari sekian banyak suara-suara itu, ada yang bisa didengar oleh Ting Peng. Ada pula yang tidak terdengar, walaupun telinganya tidak mendengar, dalam hatinya dapat merasakan. Sebab suara-suara itu sebenarnya adalah suara-suara yang sangat hapal didalam pendengarannya.

Di dusun kelahirannya, dalam sebuah rumah yang sederhana dan kecil, setiap pagi ia bangun dari tidurnya dan harus dibantu ibunya untuk mengenakan pakaian, dia sudah mulai mendengar suara-suara semacam itu.

Tiba-tiba Ting Peng berkata. "Aku harus pergi menengok ibuku lebih dahulu!"

Pada saat dia mengucapkan kata-kata tersebut, mendadak dia teringat pula persoalan-persoalan yang tidak seharusnya dia pikirkan. Istrinya adalah rase. Bagaimana mungkin ia bisa membawa seorang istri rase untuk pergi menjumpai ibunya yang sudah tua dan lagi kolot itu? Tapi bagaimanapun juga dia harus membawanya untuk pergi menjumpainya.

Cing Cing menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia memang memiliki perasaan yang jauh lebih tajam daripada manusia biasa, sekarang dia sudah dapat merasakan apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Pelan-pelan diapun bertanya: "Dapatkah kau membawa serta diriku?"

"Aku pasti akan membawa serta dirimu" Ting Peng berjanji. Terbayang bagaimana ia telah mencintainya sepenuh hati, teringat sebagaimana gadis itu telah berkorban untuknya, tak tahan lagi ia memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang, katanya:

"Aku toh pernah berkata, entah kemanapun aku hendak pergi, aku pasti akan membawa serta dirimu."

Cing Cing mendongakkan kepalanya dan memandang ke arahnya, sinar mata itu penuh dengan perasaan cinta dan rasa terima kasih. "Tentu saja aku harus pergi menjumpai ibumu, tapi aku tak ingin bertemu dengan orang-orang yang lain, di kemudian hari entah siapa saja yang ingin kau jumpai, lebih baik aku tak ikut menampakkan diri"

"Kenapa?"

Cing-cing tertawa paksa. "Kau harus tahu mengapa aku berbuat demikian?"

"Tapi orang lain tak akan mengetahui kalau kau...."

"Aku tahu, orang lain tak akan mengetahui kalau aku adalah rase, akan tetapi... entah bagaimanapun juga, aku toh tetap rase, kalau bisa tidak berjumpa dengan orang biasa, lebih baik jangan bertemu muka."

Agaknya dia masih mempunyai kesulitan, bagaimanapun juga bila seorang secara tiba-tiba berkunjung ke suatu dunia yang masih asing baginya, tak bisa dihindari lagi, ia pasti mempunyai kesulitan yang sukar di ungkapkannya dengan kata-kata.

Ting Peng segera menggenggam tangannya dan berkata dengan lembut. "Asal pekerjaan tersebut tak ingin kau lakukan, aku tak akan memaksamu untuk melakukannya."

Cing-cing tertawa, katanya pula: "Tapi ada kalanya aku pasti akan memaksamu, bahkan pasti akan memaksamu untuk menuruti perkataanku" Ia tidak membiarkan Ting Peng membuka suara, kembali tanyanya: "Setelah menjumpai ibumu, apa yang hendak kau lakukan?"

Ting Peng tidak menjawab. Darah didalam tubuhnya mulai mendidih, suatu ambisi yang besar mulai menyelimuti benaknya, masih banyak urusan yang harus dia kerjakan setelah itu.

Kata Cing-cing: "Aku tahu kau hendak melakukan apa saja, bukan saja kau hendak mengangkat nama, kaupun hendak melampiaskan rasa mendongkol dan dendam yang selama ini terpendam dalam hatimu."

Ting Peng mengakuinya. Fitnahan yang dialaminya selama ini harus dicuci bersih, cemoohan serta penghinaan yang dialaminya selama ini juga harus di balas, persoalan-persoalan semacam ini belum pernah dilupakan barang seharipun.

"Sebelum kita berangkat tadi, berulangkali kakek telah berpesan, jika kau ingin menjadi tenar dan membalas dendam, ada beberapa hal perlu kau ingat"

"Apa saja cepat katakan!"

"Apabila tidak sampai pada keadaan yang terpaksa, kau jangan sekali kali turun tangan, bila pihak lawan adalah seseorang yang tidak berharga bagimu untuk turun tangan, kaupun jangan sekali-kali turun tangan"

Setelah berhenti sebentar kembali dia menambahkan. "Ketika turun tangan untuk pertama kalinya, kau harus memilih seorang sasaran yang baik dan cermat, asal kau bisa mengalahkannya maka namamu segera akan tenar di seluruh dunia persilatan, maka kaupun tak usah pergi mengikat tali permusuhan lagi dengan orang lain." Ia menjelaskan lebih jauh: "Karena kata kakek, bagaimanapun lihaynya ilmu silatmu, bagaimanapun tenarnya namamu, bila terlalu banyak musuh yang kau ikat, maka cepat atau lambat suatu hari kau masih akan dipaksa orang untuk melalui jalan buntu."

"Aku dapat memahami maksud hati dia orang tua, aku pasti akan baik-baik menuruti perkataannya."

"Oleh sebab itu bila kau turun tangan, janganlah terlalu tak berperasaan apalagi melakukan pembunuhan yang berakibat mengalirnya darah..." Ia berkata lebih jauh dengan nada bersungguh-sungguh: "Bila kau ingin orang lain betul-betul menghormatimu, kau harus menyediakan sebuah jalan kehidupan baginya"

"Aku mengerti."

"Masih ada satu hal yang lebih penting lagi!"

"Persoalan apakah itu?"

Golok lengkung yang berwarna hijau pupus itu masih tergantung di atas pinggangnya. Cing Cing berkata lebih jauh: "Golok ini adalah pemberian nenekku, maka kakek mengijinkan kau untuk membawanya keluar, akan tetapi bila keadaan tidak sampai terpaksa, kau dilarang mempergunakan golok ini"

Sikapnya menjadi lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi katanya lebih jauh: "Bila kau ingin mempergunakan golok ini, maka kau harus membuat musuhmu tewas di ujung golok tersebut, asal golok telah diloloskan dari sarungnya maka kau tak boleh membiarkan lawanmu berada dalam keadaan hidup..."

"Bila lawanku bukan orang yang harus kubunuh, jika lawan belum memojokkan aku, aku tak boleh menggunakan golok ini?"

"Yaa sama sekali tak boleh!" Setelah tertawa dia melanjutkan: "Tapi kau tak usah kuatir, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang, golok macam apa saja yang kau gunakan kau masih tak terkalahkan di dunia ini"

Sementara itu fajar telah menyingsing, cahaya matahari yang berwarna keemas-emasan telah memancarkan sinarnya ke empat penjuru.

* * * * *

KEHIDUPAN DI ALAM MANUSIA

SINAR rembulan lewat. Cahaya golok memancar. Malang melintang sepuluh laksa li. Cahaya golok dingin bagaikan salju. Di sana sini terdengar rintihan hujan. Bulan sepuluh, fajar baru menyingsing.

Liu Yok siong membuka daun jendela dalam kamarnya, membiarkan sinar matahari yang berwarna ke emas emasan memancar masuk ke dalam ruangan, udara amat cerah dan segar, tak bisa disangkal hari ini udara amat cerah.

Ia termasuk shio anjing, tahun ini berusia empat puluh tujuh tahun, wajahnya masih belum tampak banyak kerutan, kekuatan badannya masih tetap dalam kondisi seperti pemuda kekar yang lain, bukan saja masih tertarik dalam soal perempuan, perempuan-pun tertarik pula kepadanya.

Ia kaya raya, sehat dan tampan, apalagi belakangan ini nama besarnya makin harum dalam dunia persilatan, seringkali ada orang yang menyebutnya sebagai "Tayhiap", semua orang yang kenal maupun tak kenal kepadanya rata-rata menaruh hormat kepada dirinya.

Temannya tak terhitung jumlahnya, tingkat kedudukan, kekayaan dan nama besarnya meski tidak melebihinya, tapi mereka bisa mengimbangi pergaulan dengannya, setiap kali musim gugur tiba, mereka selalu berdatangan untuk bersama-sama melewat-kan suatu penghidupan yang segar dan riang gembira.

Kemana saja dia berada, selamanya orang selalu menyambut kedatangannya dengan segala kehormatan. Dia percaya seandainya partai Bu-tong mengijinkan seorang murid premannya menjadi ketua perguruan, dialah yang akan dipilih. Sebenarnya hal tersebut hanya merupakan suatu angan-angan, tapi sekarang tampaknya sudah ada kemungkinan untuk merubahnya menjadi kenyataan.

Perkampungan Siang siong san-ceng menempati suatu area tanah yang sangat luas, pemandangan alamnya sangat indah dan merupakan suatu perkampungan yang amat tersohor dalam dunia persilatan. Istrinya juga terhitung sebagai wanita cantik yang ternama dalam dunia persilatan, bahkan cerdik dan pandai bekerja.

Hubungan mereka sebagai suami istri selamanya baik, bila ia menjumpai kesulitan, entah persoalan apapun yang dihadapi, istrinya pasti akan membantu untuk menyelesaikannya. Asal seorang lelaki yang mampu untuk memilikinya, hampir seluruhnya dimilikinya pula, bahkan dia sendiripun merasa amat puas dengan hal ini. Tapi belakangan ini justru timbul suatu persoalan yang membuatnya merasa kurang begitu senang.

Bangunan yang ditempatinya ini terletak di bagian yang paling tinggi dalam perkampungan Siang-siong san-ceng, asal ia membuka jendela maka akan terlihatlah bukit nan hijau di seberang sana, pepohonan rindang, rerumputan nan hijau menambah semaraknya suasana di sekeliling sana.

Setiap kali berada dalam keadaan begini, dalam hatinya segera akan timbul suatu perasaan seakan-akan di atas langit di atas bumi, dialah pemimpin yang paling "berkuasa", sekalipun diwaktu-waktu semacam itu dalam hatinya terdapat sesuatu yang kurang menyenangkan hatinya, dia akan melupakannya dengan segera.

Sungguh tak disangka belakangan ini terjadi sesuatu perubahan di atas tanah perbukitan itu. Setiap pagi hari, di atas bukit di seberang sana tentu akan kedengaran suara bunyi-bunyian yang memekikkan telinga, bukan saja memecahkan ketenangan hidupnya, juga membuat sepanjang hari merasa tak tenang dia merasa kehormatannya seakan-akan di singgung orang.

Sebab bangunan perkampungan yang sedang dibangun di atas tanah perbukitan di seberang sana bukan saja dibangun lebih megah dan mentereng, bahkan menempati area tanah yang jauh lebih besar daripada perkampungan Siang siong san-ceng.

Semua tukang kayu, ahli bangunan, tukang pahat dan ahli ukir yang paling tersohor disekitar dua sungai besar, wilayah Kwan Tong, Say pak bahkan dari wilayah Kanglam sana, semuanya telah diundang kemari untuk menyelesaikan bangunan tersebut.

Tenaga kerja yang dikerahkan untuk mendirikan bangunan rumah itu pun dua puluh kali lipat lebih banyak jika dibandingkan sewaktu membangun perkampungan Siang siong san-ceng dimasa lalu. Jumlah pekerja yang lebih banyak tentu mempermudah pekerjaan, sudah barang tentu bangunan itupun bisa diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Setiap pagi bila Lui Yok siong membuka jendela untuk memandang ke bukit seberang, dia akan menjumpai di atas bukit tersebut kalau bukan telah bertambah dengan sebuah gardu, tentu bertambah dengan sebuah bangunan berloteng, atau sebuah kolam renang, atau mungkin juga sebuah hutan bunga yang rimbun dan indah. Seandainya ia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pada hakekatnya dia akan menganggap suatu keajaiban telah berlangsung di tempat itu.

Arsitek yang mengawasi pembangunan perkampungan itu adalah seorang congkoan she Lui, dia adalah Ji ciangkwee dari rumah Yang cu lui di ibu kota. Dari deretan ahli bangunan sepanjang sejarah, yang termasyhur dan paling ternama adalah keluarga Lui dari ibu kota, bahkan sewaktu membangun ruangan dalam istana kerajaan pun arsitek pembangunannya diserahkan kepada keluarga Lui.

Menurut pengakuan Lui congkoan, pemilik dari bangunan yang megah ini adalah seorang "Ting kongcu". Ting kongcu ini menetapkan pada bulan dua belas tanggal lima belas nanti untuk menyelenggarakan pesta perjamuan dalam perkampungan barunya itu. Maka bangunan ini harus sudah dibangun selesai sebelum bulan dua belas tanggal lima belas nanti.

Asal bangunan tersebut bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, ia tak sayang untuk membayar berapa pun yang diminta, soal uang baginya adalah bukan suatu persoalan. Ia telah membuka nota di empat buah rumah uang (Bank) yang paling besar di ibu kota, asal Lui congkoan membuka bon, uang kontan segera dapat diambil.

Lui Congkoan sudah seringkali bertemu dengan orang-orang dari kalangan atas, tapi dia toh berkata juga. "Keroyalan Ting kongcu ini pada hakekatnya belum pernah dijumpai sepanjang hidup"

Sesungguhnya siapakah Ting kongcu itu? Dia berasal dari mana? Mengapa bisa memiliki gaya serta tingkah laku yang begitu besar! Apalagi begitu royal dalam menggunakan uang.

Liu Yok siong sudah tak tahan untuk membendung rasa ingin tahunya lagi. Dia bertekad hendak menyelidiki asal usul Ting kongcu ini secermat-cermatnya kemudian membongkar sampai ke akar-akarnya.

Bila ia sudah bertekad untuk melakukan suatu pekerjaan, dia pasti akan melakukannya dengan sukses. Dia telah menyerahkan pekerjaan ini kepada istrinya untuk dilaksanakan, Liu hujin tak pernah memberi kekecewaan baginya, walau didalam pekerjaan apapun.

* * * * *

SEBELUM menikah dulu Liu hujin bernama Ko cin. Jadi dia bukan bernama Ko-siau (menggelikan), tapi Ko cin (patut dikasihani). Lengkapnya dia bernama Chin Ko cin. Liu hujin juga termasuk shio anjing, dua belas tahun lebih muda dari pada Liu Yok-siong, tahun ini berusia tiga puluh lima tahun.

Tapi sekalipun seseorang yang memiliki ketajaman mata yang luar biasapun tak akan mampu untuk menebak secara jitu berapakah usia perempuan itu yang sesungguhnya. Dia masih memiliki pinggang yang ramping dan lembut kulitnya masih putih halus...

.... Halaman 59 sampai 64 hilang ....

Walaupun ia selalu beranggapan bahwa pengorbanan yang dia berikan cukup berharga tapi sekarang toh timbul juga perasaan kecut dalam hati kecilnya, dengan hambar dia berkata:

"Sungguh tak kusangka ternyata dia belum mati, apakah kau merasa gembira sekali?"

Liu hujin segera menarik muka sambil tertawa dingin. "Heeehhh... heeehhh... heeehhh... apa yang harus kugembirakan? Orang yang dia paling benci bukan kau melainkan aku!"

Liu Yok siong menghela napas panjang katanya: "Kalau dia belum mati, cepat atau lambat pasti akan datang mencari kita, tapi aku benar-benar tidak habis mengerti, seorang bocah rudin semacam dia, mengapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi begitu kaya raya?"

"Kalau tidak mati dalam kesusahan, di kemudian hari pasti akan menjumpai rejeki besar, ternyata tempo hari ia berhasil melarikan diri dan kita gagal untuk menemukannya, itu berarti bocah tersebut mempunyai nasib yang cukup baik, orang yang sedang bernasib baik, sekalipun sedang berjalan-jalan, kemungkinan besar juga akan menemukan sebongkah emas murni"

Tentu saja kata-kata semacam itu hanya kata-kata orang yang sedang mendongkol. Dikala seorang perempuan sedang marah lebih baik jangan sekali-kali ia digubris. Seorang lelaki yang pintar semuanya tahu akan cara ini, Liu Yok siong termasuk seorang lelaki yang pintar. Ia segera memejamkan mulutnya rapat-rapat.

Sampai akhirnya orang yang akan buka suara lebih dahulu tentu saja masih pihak perempuan, sebab perempuan memang agak tak mampu menguasai diri...
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 05