Golok Bulan Sabit Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Bulan Sabit Jilid 02
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
"BILA ada seseorang telah memberikan segala sesuatunya kepadamu maka apa yang hendak kau berikan kepadanya?"

Ting Peng tidak menjawab. Tiba-tiba ia merasa kehidupan manusia itu amat menarik, kehidupan manusia itu penuh dengan kehangatan dan cinta kasih.

"Bila ada orang setelah menyerahkan segala sesuatu yang dimilikinya kepadaku maka aku hanya mempunyai suatu cara terhadapnya" kata Ko-siau kemudian.

"Apakah caramu itu?"

Ko-siau menundukkan kepalanya rendah rendah, kemudian menjawab dengan lirih: "Akupun akan menyerahkan seluruh yang kumiliki kepadanya!"

Ia benar-benar telah menyerahkan segala sesuatunya yang dimilikinya kepada pemuda itu, pada malam itu juga!
Fajar telah menyingsing. Ketika Ting Peng terbangun dari tidurnya, ia masih berbaring di sisinya, bagaikan burung dara berbaring di atas dadanya yang telanjang. Memandang rambutnya yang hitam pekat serta lehernya yang putih bersih, hatinya cuma merasakan suatu kebahagiaan dan kepuasan yang belum pernah dialami sebelumnya.

Karena gadis yang cantik jelita itu, kini sudah menjadi miliknya. Ia bukan cuma merasa puas, bahkan amat berbangga hati, karena sekarang ia telah menjadi seorang lelaki sejati, malam tadi ia telah membuktikan kejantanannya terhadap gadis itu.

Entah sedari kapan, gadis itupun telah bangun, dengan menggunakan sepasang matanya yang besar dan lembut sedang menatapnya tertegun. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, dibelainya rambut gadis itu kemudian gumamnya:

"Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, seandainya aku kaya raya, akupun seorang yang ternama, aku pasti akan membawa kau untuk menjelajahi seluruh dunia, agar semua orang di dunia ini merasa kagum kepada kita, iri kepada kita, waktu itu kau pasti akan merasa bangga pula atas segala sesuatunya"

Setelah menghela napas, tambahnya: "Sayang, pada saat ini aku tak lebih hanya seorang pemuda miskin yang tak punya apa-apa."

"Aku justru paling suka dengan bocah miskin seperti kau" ucap Ko siau sambil tersenyum.

Ting Peng termenung sambil membungkam diri, mendadak teriaknya keras-keras: "Oooh....! Hampir saja aku lupa, aku masih mempunyai semacam barang yang bisa kuberikan kepadamu"

Tiba tiba ia melompat bangun, dari tumpukan pakaian yang menumpuk di sisi pembaringan dia berhasil menemukan ikat pinggangnya yang kuno itu, serunya: "Aku akan menghadiahkan ikat pinggang ini untukmu!"

Kali ini Ko siau tidak tertawa, karena paras mukanya tiba-tiba berubah menjadi amat serius juga amat tegang, sama sekali tidak mirip orang yang lagi bergurau. Dengan suara yang lembut Ko siau berkata, "Asal benda itu adalah pemberianmu, aku pasti akan baik-baik menyimpannya"

"Aku tak ingin kau menyimpannya, aku minta kau untuk mengguntingnya...."

Ko siau sangat menurut sekali. Ia menggunting ikat pinggang itu hingga terlepas dari jahitan, ternyata di dalam ikat pinggang itu terdapat selembar kertas yang sudah kuno dan amat kumal. Warna kertas itu telah berubah menguning pada separuh halaman bagian atas terlukiskan sebuah gambaran yang sederhana, sedangkan pada halaman sebelah bawah penuh berisikan tulisan kecil yang lembut dan sangat rapat. la hanya sempat membaca dua baris kalimat yang berbunyi demikian:

"Jurus serangan ini merupakan rahasia paling besar selama hidup, mematahkan pedang bagaikan mematahkan bambu, Cing peng, Hoa san, Siong yang, Khong tong, Bu tong, Hong san, Thiam cong yang bertemu dengan jurus ini pasti akan kalah"

Setelah membaca kedua baris itu, dia tidak memandang lebih lanjut, dengan senyuman dikulum ujarnya. "Sungguhkah jurus serangan itu sedemikian lihaynya?"

"Sebenarnya aku sendiripun tidak terlalu yakin, aku tak berani mencari jagoan yang sungguh-sungguh lihay untuk mencoba, tapi sekarang aku telah tahu, Cing peng, Hoa san dan Siong yang kiam hoat ibaratnya tahu bertemu dengan pisau tajam bila berjumpa dengan jurus serangan ini, sedikitpun tidak memiliki tenaga perlawanan."

Ia sangat gembira dan emosi, terusnya: "Menanti aku sudah berhasil mengalahkan Lin Yok siong, aku akan pergi mencari orang yang lebih ternama darinya, pokoknya suatu ketika aku bisamerobohkan setiap jago pedang kenamaan yang ada dalam dunia persilatan, saat itu mungkin aku akan memiliki nama besar yang sejajar dengan nama besar Sam-sauya dari keluarga Cia, Sam sauya dari perkampungan Sin-kiam san ceng"

Ko siau memandang sekejap ke arahnya, lalu mengembalikan kertas kumal itu kepadanya sambil berkata: "Benda ini merupakan benda yang paling berharga bagimu, aku tidak menginginkannya"

"Justru karena benda itu paling berharga bagiku maka kuhadiahkan untukmu, mengapa kau tidak mau?"

"Aku adalah seorang wanita" ujar Ko siau lembut, "aku sama sekali tak ingin beradu kekerasan atau berebut nama dengan jago-jago pedang kenamaan dalam dunia persilatan, asal aku bisa mendapatkan hatimu, aku sudah merasa gembira sekali"

Gadis itu memeluknya kencang-kencang lalu dengan lemah lembut bisiknya lagi: "Aku hanya ingin mendapatkan kau secara seluruhnya"

Rembulan yang purnama mulai berbentuk sabit, kemudian dari berbentuk sabit kembali menjadi purnama. Sehari demi sehari lewat tanpa terasa, hampir saja Ting Peng melupakan janjinya dengan Liu Yok siong.

Tapi Ko siau tidak melupakannya, dia sempat mengingatkan pemuda itu: "Seingatku pada bulan tujuh tanggal lima belas, kau masih mempunyai suatu janji?"

"Setibanya saat itu, aku pasti akan pergi"

"Hari ini sudah tanggal delapan, selama beberapa hari ini kau harus pergi melatih ilmu pedangmu. Lebih baik berlatihlah di suatu tempat yang tak ada orangnya, aku tahu setiap kali kau melatihku, kau lantas ingin.... kau lantas ingin...."

"Sekarangpun aku sudah ingin...." sambung Ting Peng dengan cepat sambil tertawa.

Ko-siau tidak tertawa, diapun tidak berkata apa-apa lagi. Tapi keesokan harinya, ketika Ting Peng terbangun dari tidurnya, ia telah meninggalkan bangunan loteng itu bersama si dayang yang punya sepasang lesung pipi bila tertawa itu, dia hanya meninggalkan sepucuk surat.

Dalam surat tersebut, dia minta agar Ting Peng selama beberapa hari ini baik-baik melatih ilmu pedangnya, baik-baik menjaga kesehatan dan kondisi badannya, bila janjinya pada bulan tujuh tanggal lima belas sudah lewat, mereka pasti akan berkumpul kembali.

Pesan itu membuat Ting Peng terharu, membuat pemuda itu merasa amat berterima kasih. Walaupun hati kecilnya merasa pedih dan murung juga akibat perpisahan itu, tapi teringat bahwa tak lama kemudian mereka akan segera berkumpul kembali, diapun lantas membangkitkan semangat untuk berlatih pedang, berlatih golok, berlatih tenaga. Demi dia, pertarungannya kali ini tak boleh sampai kalah.

Ia menemukan bahwa kondisi badan sekarang jauh lebih baik daripada dulu, seorang lelaki yang sudah mempunyai perempuan baru benar-benar akan menjadi seorang lelaki se jati, seperti juga tanah bumi, setelah diberi air hujan tanah nya baru akan berubah menjadi subur dan bertambah segar.

Sampai bulan tujuh tanggal lima belas, semangat maupun kondisi badannya telah mencapai pada puncak paling segar. Terhadap pertarungan yang bakal berlangsung, dia telah memiliki keyakinan pasti menang, ia yakin dalam pertarungan yang akan berlangsung nanti, kemenangan berada ditangannya.

Bulan tujuh tanggal lima belas pagi. Cuaca hari ini sangat cerah, sinar matahari memancarkan cahaya keemas emasannya menyoroti empat penjuru.

Perasaan Ting Peng hari ini persis secerah cuaca di luar, bahkan dia sendiripun merasa semangatnya berkobar kobar, penuh daya hidup dan kekuatan yang melimpah, sekalipun dunia bakal ambruk, ia masih sanggup untuk menahan rasanya.

Ketika si penjaga pintu dari perkampungan Cing siong san ceng yang sopan santun dan tahu perasaan itu berjumpa dengannya, iapun dibikin terperanjat sekali.

Bisa menjadi seorang penjaga pintu dari suatu keluarga yang kaya adalah suatu pekerjaan yang tak gampang, bukan saja dia harus memiliki sepasang mata yang dalam sekejap pandangan bisa membedakan mana orang kaya mana orang miskin, diapun harus memiliki selembar wajah macam papan peti mati.

Tapi sekarang, bukan saja paras mukanya sudah berperasaan, bahkan suatu luapan perasaan yang amat segar. Ia benar-benar tidak menyangka kalau pemuda berbaju perlente yang berwajah cerah ini bukan lain adalah si pemuda miskin bermuka sial yang pernah dijumpai sebulan berselang.

Menyaksikan mimik wajahnya itu, Ting Peng merasa lebih senang dan gembira, rasa mangkel dan mendongkol yang pernah dialaminya sebulan berselang, sekarang agak terlampiaskan juga. Menanti ia berhasil mengalahkan Liu Yok siong nanti, paras muka saudara ini pasti akan berubah menjadi lebih menggembirakan.

Satu satunya hal yang membuat Ting Peng merasa menyesal adalah antara dia dengan Liu Yok siong sesungguhnya tiada dendam tiada sakit hati, semestinya tidak pantas kalau dia akan menghancurkan nama baiknya yang telah dipupuk dan dibina selama banyak tahun itu.

Konon Liu Yok siong bukan saja tersohor sebagai seorang pendekar, diapun sangat baik orangnya, bahkan terhitung seorang Kuncu, seorang lelaki sejati. Liu Yok siong bertubuh jangkung, ceking tampan, berwajah bersih, berbaju necis, sopan santun dan merupakan seorang lelaki setengah umur yang berpendidikan tinggi, seorang lelaki yang romantis.

Terhadap sebagian besar anak gadis, lelaki semacam ini jauh lebih menarik dan merangsang daripada pemuda-pemuda yang masih ingusan. Dalam perjumpaan itu dia sama sekali tidak menyinggung peristiwa sebulan yang lalu, diapun tidak menegur Ting Peng yang kedatangannya hari ini terlalu awal.

Didalam hal ini, mau tak mau Ting Peng harus mengakui bahwa dia memang seorang Kuncu, seorang lelaki sejati. Sikapnya amat mantap, gerak geriknya gesit, jari jemarinya panjang tapi bertenaga, lagi pula reaksinya cukup cepat dan cekatan.

Kesemuanya ini membuat Ting Peng mau tak mau harus mengakui bahwa dia adalah seorang musuh yang amat tangguh, nama besarnya dalam dunia persilatan pasti bukan nama kosong belaka.

Lapangan untuk berlatih silat yang beralas pasir lembut telah dipersiapkan, pada rak senjata dikedua belah sisinya penuh dengan aneka macam senjata yang gemerlapan, di bawah pohon yang rindang terjejer enam tujuh buah kursi yang terbuat dari kayu jati.

Liu Yok siong segera memberi penjelasan, katanya: "Ada beberapa orang sahabat yang sudah lama mengagumi ilmu pedang Ting sauhiap, mereka ingin sekali datang menonton. Dan aku tak bisa menampik keinginan mereka, maka ku undang kehadiran mereka semua, di dalam hal ini aku harap Ting sauhiap jangan marah"

Tentu saja Ting Peng tak akan marah. Dikala seseorang sudah mendekati saatnya untuk ternama, ia memang selain berharap ada banyak orang yang ikut menyaksikan, makin banyak orang yang datang, semakin gembira hatinya. Dia hanya ingin tahu. "Siapa saja yang akan datang kemari?"

"Seorang Bulim cianpwe, Tiong lo-sianseng dari bukit Thiam cong!" Liu Yok siong menerangkan.

"Kau maksudkan Hong im kiam kek Tiong Tian?"

Liu Yok siong segera tersenyum. "Tidak kusangka kalau Ting-sauhiap juga tahu tentang lo sianseng ini" katanya.

Tentu saja Ting Peng tahu, Tiong Tian adalah seorang jago tua yang amat bijaksana, ilmu pedangnya mendapat pujian dan sanjungan pula dari setiap orang. Bisa mengundang orang semacam ini sebagai saksi dalam pertarungan tersebut, Ting Peng benar-benar merasa amat mujur sekali.

Kembali Liu Yok siong berkata: "Bwe-hoa lojin dan Meh tiok cu juga akan datang, orang persilatan menyebut kami sebagai tiga serangkai cemara, bambu dan bwe, padahal aku benar benar merasa malu untuk dijajarkan namanya dengan mereka"

Kemudian ia tertawa, menampilkan sekulum senyuman bangga yang tak akan dihindari oleh seorang Kuncu sekalipun, terusnya: "Selain itu ku undang pula seorang Cia sianseng, nama besarnya dalam dunia persilatan tidak terlalu besar, karena ia jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan"

Setelah tertawa, terusnya: Orang dari perkampungan Sin kiam san ceng memang selamanya jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan"

"Perkampungan Sin kiam san ceng?" seru Ting Peng dengan paras muka agak berubah, "Apakah Cia sianseng itu adalah orang dari perkampungan Sin kiam san ceng?"

"Benar!" jawab Liu Yok siong hambar. Jantung Ting Peng mulai berdebar keras.

Bagi seorang pemuda yang belajar pedang, nama dari Sin kiam san ceng memang cukup mempunyai tenaga yang besar untuk membuat jantung orang berdebar keras. Perkampungan Sin kiam san ceng di puncak Cui im hong, telaga Liok-sui-oh, di sana berdiam keturunan keluarga Cia.

Sam sauya dari keluarga Cia, Cia-Siau-hong. Dia adalah manusia diantara dewa pedang, pedangnya adalah pedang diantara dewa pedang. Mungkinkah Cia sianseng yang datang hari ini adalah dia pribadi?

Orang pertama yang datang paling dulu adalah Tiong Tian dari partai Tiam-cong. Hong-im-kiam-kek sudah lama termasyhur dalam dunia persilatan, Liu Yok siong sendiripun menyebutnya sebagai lo-sianseng, tapi ia kelihatan belum terlalu tua, pinggangnya masih kelihatan lurus, rambutnya masih berwarna hitam, sepasang matanya juga masih memancarkan cahaya yang berkilauan.

Sikapnya terhadap jagoan muda yang pernah mengalahkan jago-jago lihay dari Cing peng, Hoa san dan Siong yang ini sedikitpun tidak sungkan, kemudian Ting Peng baru tahu kalau sikap nya terhadap siapapun tak pernah sungkan.

Orang yang lurus dan jujur tampaknya selalu mempunyai watak seperti ini, selalu mereka beranggapan bahwa orang lain harus bersikap kelewat menghormat kepadanya lantaran kelurusan serta kejujurannya. Mungkinkah hal ini dikarenakan orang yang benar-benar lurus dan jujur dalam dunia persilatan terlalu sedikit?

Tapi ia sama sekali tidak menempati kursi utama, tentu saja kursi utama itu harus diberikan kepada Cia sianseng dari perkampungan Sin kiam san ceng. Cia sianseng belum datang, Bwe hoa dan Meh tiok dari Sui han sam yu telah datang. Menjumpai dua orang tersebut, Ting Peng segera tertegun dibuatnya.

Kedua orang ini yang satu berbaju merah, dan berwajah merah seperti bayi, sedang yang lain berwajah suram dan bertubuh ceking seperti bambu, ternyata kedua orang itu tak lain adalah dua orang yang bermain catur di bawah pohon yang rindang di hulu sungai tempo hari.

Tapi sikap kedua orang itu seakan akan sama sekali tidak pernah kenal dengan Ting Peng, dalam keadaan begitu, Ting Peng ingin sekali bertanya kepada Bwe hoa lo jin:

"Mengapa kau tidak membawa serta monyet kecilmu yang gemar mengenakan pakaian merah seperti kau?"

Bwe hoa lojin agaknya sama sekali tak tahu akan peristiwa itu, sikapnya terhadap Ting Peng amat sungkan.

Ting Peng sendiripun ingin sekali melupakan peristiwa tersebut, sayang ada satu hal yang tak mungkin terlupakan olehnya. Mengapa Ko siau menyuruhnya pergi mencari kedua orang itu? Apa hubungannya dengan kedua orang itu?

Ia mulai menyesal, mengapa tidak menanyai persoalan itu sampai jelas, kenapa harus mengatakan kepada Ko siau: "Bila kau tidak menjawab, akupun tak akan bertanya". Sekarang tentu saja ia tak mungkin bisa menjawab lagi karena Cia sianseng dari perkampungan Sin kiam san ceng telah datang.

Cia sianseng memiliki wajah yang membentuk bulat badannya gemuk, wajahnya selalu penuh senyuman, ramah tamah dan kelihatan persis seperti seorang saudagar yang kaya raya. Tentu saja Cia sianseng tersebut bukan Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong yang termasyhur dalam dunia persilatan sebagai jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit.

Orang lain masih tetap bersikap hormat kepadanya, bahkan Tiong Tian dari Tiamcong pay yang angkuh itupun mempersilahkannya untuk menempati kursi utama. Tapi ia bersikeras menampik hal itu, dia selalu mengatakan bahwa dirinya tak lebih hanya seorang pengurus rumah tangga dari perkampungan Sin kiam san-ceng, berada di hadapan para jago kenamaan, bisa mendampingi mereka disampingpun sudah merupakan kebanggaan.

Tampaknya siapa saja orangnya, asal dia berasal dari perkampungan Sin kiam san ceng, kedudukannya dalam dunia persilatan selain tinggi, terhormat dan disanjung setiap orang. Jantung Ting Peng mulai berdebar keras, darah panas dalam tubuhnya mulai menggelora dengan kerasnya.

Ia bersumpah, suatu ketika diapun akan berkunjung ke perkampungan Sin-kiam-san-ceng, dengan sebilah pedang mestika dia akan menyambangi pendekar lihay yang tiada tandingannya dikolong langit itu, dan minta petunjuk tentang ilmu pedangnya yang tiada taranya tersebut.

Sekalipun dalam pertarungan itu dia bakal kalah di ujung pedangnya, dia tak akan merasa malu dan menyesal. Tapi, sebelum kesemuanya itu dilakukan, pertarungan yang bakal berlangsung hari ini harus dimenangkan lebih dahulu. Pelan pelan ia bangkit berdiri, ditatapnya Liu Yok siong lekat-lekat, kemudian katanya:

"Boanpwe Ting Peng ingin sekali memohon petunjuk ilmu silat cianpwe, harap cianpwe suka lebih berperasaan dalam menggunakan pedang."

Tiong Tian segera berkerut: "Kau masih muda, ada suatu persoalan kau harus mengingatkan selalu dalam hatimu"

"Baik!"

Sambil menarik muka, dengan suara dingin Tiong Tian berkata: "Pedang adalah suatu benda yang tak berperasaan, bila pedang sudah diloloskan dari sarung, maka dia tak akan mengenal ampun"

Dua orang bocah kecil berbaju merah, dengan membopong sebuah kotak pedang yang antik dan mewah berdiri serius di belakang Lui Yok siong. Pelan-pelan Liu Yok siong membuka kotak pedang itu, mengeluarkan pedangnya dan meloloskan dari sarung.

"Cring..." diiringi bunyi gemerincing yang sangat nyaring, pedang itu dilolos dari sarungnya.

"Pedang Bagus!" Cia sianseng segera memuji sambil tersenyum. Pedang itu memang sebilah pedang bagus, cahaya pedangnya menyala-nyala, hawa pedang yang dingin serasa menusuk badan. Begitu pedangnya sudah diloloskan, sikap Liu Yok siong pun berubah menjadi lebih santai dan tenang.

Telapak tangan Ting Peng sudah menggenggam gagang pedangnya erat-erat, jari tengahnya yang mengerahkan tenaga terlalu besar telah berubah memucat, peluh mulai membasahi telapak tangannya. Pedang yang dimiliki tak lebih hanya sebilah pedang biasa, jelas tak mungkin bisa dibandingkan dengan pedang tajam milik Liu Yok siong. Diapun tak memiliki ketenangan serta kesantaian seperti apa yang diperlihatkan Liu Yok siong.

Oleh karena itu, walaupun ia percaya kalau jurus Thian gwa liu seng yang dimilikinya pasti dapat mematahkan ilmu pedang dari Liu Yok siong, tak urung hatinya merasa sangat tegang juga.

Liu Yok siong memandang sekejap ke arahnya, lalu sambil tersenyum berkata: "Di rumahku masih terdapat sebilah pedang bagus, walaupun bukan terhitung sebilah pedang mestika, namun toh lumayan juga, bila Ting sauhiap tidak merasa keberatan, akan kusuruh orang untuk mengambilnya."

Bagaimanapun juga dia adalah seorang Bu lim cianpwe (angkatan tua dari dunia persilatan), sudah barang tentu dia tak ingin mencari keuntungan dengan mengandalkan pedangnya yang tajam.

Ting Peng enggan menerima kebaikannya itu dengan hambar dia menjawab pelan: "Biar boanpwe pergunakan pedang ini saja sebab pedang ini adalah warisan ayahku, boanpwe tak ingin membuangnya dengan begitu saja"

"Benar!"

"Apakah kau berasal dari keluarga Ting di telaga Tay-oh?" Tiba-tiba Tiong Tian bertanya pula.

"Tidak, Boanpwe datang dari wilayah Gi-pau!"

"Waaah... aneh kalau begitu"

Setelah berhenti sejenak, dengan suara dingin lanjutnya: "Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, orang selalu mengatakan bahwa ilmu pedang Ting sauhiap bukan saja sangat lihay, terutama sekali jurus pedangmu yang terakhir, benar-benar luar biasa dan tiada taranya, sudah lima puluh tahun aku belajar ilmu pedang, namun tidak kuketahui kalau wilayah Gi pek terdapat suatu keluarga Ting yang memiliki ilmu pedang keluarga yang begitu hebatnya."

"Padahal masalah ini juga bukan sesuatu yang aneh" sela Cia Sianseng, "sebab dalam dunia persilatan memang selalu terdapat para pendekar lihay yang lebih suka hidup mengasingkan diri daripada mencari nama yang tenar, Tiong siangseng! Meskipun pengetahuanmu cukup luas, belum tentu setiap keluarga yang pandai berilmu silat kau ketahui"

Mendengar perkataan itu, Tiong Tian segera menutup mulutnya rapat-rapat...

Liu Yok siong juga tidak banyak berbicara lagi, pedangnya segera diangkat sejajar dengan dada, lalu serunya: "Silahkan!"

Ting Peng juga tidak banyak berbicara, dia lantas bersiap-siap untuk melangsungkan pertarungan yang sudah lama diidam-idamkannya itu. Suasana menjadi hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun.

* * * * *

JURUS THIAN GWA LIU SENG

BULAN tujuh tanggal lima belas, tengah hari, di bawah terik matahari. Permukaan tanah yang berlapiskan pasir halus memantulkan sinar gemerlapan di bawah sorotan matahari, sinar pedang lebih menyilaukan siapapun.

Ting Peng sudah mulai melancarkan serangannya. Kecuali jurus Thian gwa liu seng, dalam ilmu pedang miliknya memang tiada sesuatu yang istimewa, jurus jurus pedang warisan keluarganya itu hanya bisa dikatakan sebagai "biasa", sederhana dan tiada sesuatu yang aneh.

Sebaliknya ilmu pedang aliran Bu-tong justru penuh dengan serangan-serangan yang dahsyat dan penuh dikombinasikan dengan gerakan yang enteng, lincah dan cekatan, di bawah permainan Liu Yok-siong, kepandaian tersebut kelihatan lebih hidup dan meringankan.

Dengan menggunakan taktik mencukil, menebas dan menusuk, pedangnya diputar sedemikian rupa melakukan gerakan-gerakan yang luar biasa, dalam sekejap mata Ting Peng telah dikurung sehingga tak mampu berganti napas lagi.

Menyaksikan ilmu pedang tersebut, semua orang mulai merasa sedikit kecewa terhadap kemampuan si jago pedang muda yang baru muncul didalam dunia persilatan ini.

Sebaliknya Ting Peng mempunyai kepercayaan serta keyakinan yang besar sekali untuk bisa memenangkan pertarungan ini. Paling tidak ia telah menyaksikan tiga buah titik kelemahan dalam ilmu pedang yang digunakan Lui Yok-siong itu,

"Bila dia pergunakan jurus Thian gwa-liu-seng tersebut, sudah dapat dipastikan ilmu pedang dari Liu Yok siong itu akan hancur berantakan seperti pisau tajam yang menebas bambu. Sebenarnya dia masih ingin mengalah beberapa jurus serangan lagi untuk Liu Yok siong, dia tak ingin selalu memperlihatkan keganasannya di hadapan Bu lim cianpwe ini. Tapi bila pedang sudah diloloskan, maka tak akan mengenal kata ampun"

Dia masih teringat jelas dengan perkataan itu. Mendadak pedangnya yang memainkan gerakan sederhana itu berubah menjadi hebat, bagaikan serentetan cahaya bintang yang datang dari luar angkasa dengan cepatnya seluruh angkasa terbungkus dibalik hawa pedang tersebut. Bintang yang memancar dari luar angkasa memang tak bisa diraba tak bisa dilawan.

Pedang yang tak berperasaan, tak pernah mengenal arti ampun kepada korbannya. Tiba-tiba muncul perasaan menyesal dalam hatinya, karena dia tahu Liu Yok siong pasti akan terluka di ujung pedangnya.

Tapi dugaannya ternyata meleset, "Traang!" Percikan bunga api berhamburan diangkasa. Ternyata Liu Yok siong berhasil menyambut serangan dengan jurus Thian gwa liu seng yang sesungguhnya tak mungkin bisa dihadapinya itu.

Tenaga dalam aliran Bu tong pay merupakan tenaga dalam aliran lurus, Liu Yok siong juga merupakan satu-satunya murid preman dari Thian ti Cinjin, sudah barang tentu kesempurnaan tenaga dalamnya tak mungkin bisa ditandingi oleh Ting Peng.

Ketika sepasang pedang saling membentur, hampir saja Ting Peng tergetar roboh ke tanah, namun ia sama sekali tidak roboh. Sekalipun pedangnya sampai gumpil sedikit akibat bentrokan itu, telapak tangannya meski tergetar pecah dan sakitnya bukan kepalang, namun ia tak sampai roboh.

Karena ia telah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya roboh ke tanah. Tekad, meski sesuatu yang tak nampak tapi justru merupakan kunci yang terpenting untuk menentukan menang kalah; ada kalanya justru jauh lebih penting daripada tenaga dalam.

Dia belum kalah, dia masih bisa bertarung lagi, barusan dia pasti agak teledor sehingga jurus serangannya seharusnya bisa meraih kemenangan telah disia-siakan dengan begitu saja.

Sementara itu Liu Yok-siong telah menarik kembali pedangnya, dan menatap wajahnya dengan sorot mata yang sangat aneh.

"Dia belum kalah!" tiba-tiba Tiong Tian berseru. Ia memang seorang yang benar-benar jujur, lurus dan adil, justru lantaran perkataannya itu, rasa benci dan muak Ting Peng kepadanya kini berubah menjadi rasa terima kasih.

Akhirnya Liu Yok siong mengangguk juga katanya: "Aku tahu, dia memang belum kalah"

Ia masih menatap wajah Ting Peng dengan sorot mata yang sangat aneh, sepatah demi sepatah dia lantas bertanya: "Jurus pedang yang kau pergunakan barusan adalah ilmu pedang yang pernah kau pergunakan untuk mengalahkan Kwin Tin-peng dari perguruan Siong yang-pay...."

"Benar!"

"Dengan jurus serangan itu juga kau mengalahkan Si Teng serta Kek Khi dua orang jago?"

"Benar!"

Liu Yok siong termenung sejenak, setelah itu tanyanya: "Siapakah ayahmu?"

"Ayahku sudah meninggal pada delapan tahun berselang"

Ia tidak menyebutkan nama ayahnya, Liu Yok siong juga tidak mendesak lebih jauh. Paras mukanya menunjukkan perubahan yang lebih aneh lagi, tiba-tiba ia berpaling ke arah Cia sianseng sembari tanyanya:

"Tentunya Cia sianseng sudah melihat dengan jelas bukan jurus pedang yang barusan dipergunakan oleh Ting sauhiap?"

Cia sianseng tersenyum. "Ilmu pedang yang sangat hebat dan luar biasa itu meski tidak begitu kupahami, untung saja masih dapat kulihat dengan jelas"

"Bagaimana perasaan Cia sianseng terhadap jurus pedang tersebut?"

"Jurus pedang itu sangat lihay, ganas dan luar biasa, hampir sama dengan kekuatan yang terpancar dari ilmu Toh-mia-cap-sah-si yang dimiliki Yan Cap-sa dimasa lalu, aliran yang dianutpun agaknya hampir bersamaan. Cuma sayang tenaga dalamnya masih kurang memadai"

Setelah tertawa, kembali ujarnya: "Cuma itu menurut pandanganku yang ngawur, jadi kalau aku salah berbicara, tolong dimaafkan sebab aku sama sekali tidak mengerti tentang ilmu pedang"

Tentu saja perkataannya tak mungkin mengawur, di bawah perkampungan Sin-kiam-san-ceng, mana mungkin terdapat orang yang tidak mengerti tentang ilmu pedang?

Tiga puluhan tahun berselang, Yan Cap sa malang melintang dalam dunia persilatan dengan melakukan beratus-ratus kali pertarungan tanpa berhasil dikalahkan orang, dia adalah satu-satunya orang yang sanggup menandingi kepandaian Sam Sauya dari keluarga Cia. Kemudian dia dengan Cia Siau hong memang dilangsungkan pula suatu pertarungan tapi siapa yang menang siapa yang kalah? Hingga kini masih merupakan sebuah tanda tanya besar.

Sekarang, walaupun jago pedang yang hidup menyendiri itu sudah tiada lagi di dunia, tapi nama besarnya serta kelihaian ilmu pedangnya masih merupakan sanjungan dan pujian dari setiap orang. Cia sianseng telah membandingkan jurus pedang dari Ting Peng itu dengan jurus-jurus Toh mia cap-sah-kiam, hal mana sesungguhnya merupakan suatu kebanggaan buat Ting Peng.

Sambil tersenyum Liu Yok siong berkata: "Cia sianseng berkata demikian sesungguhnya aku merasa terkejut bercampur bangga"

Ting Peng tertegun, Setiap orang jago tutur tertegun. Yang merasa terkejut bercampur bangga tentunya adalah Ting Peng mengapa bisa menjadi dia?

Dengan suara dingin Tiong Tian segera berkata. "Cia sianseng memuji ilmu pedang Ting Peng, apa sangkut pautnya dengan dirimu?"

"Memang ada sedikit hubungan!" jawab Liu Yok siong tenang.

Tiong Tian segera tertawa dingin. Liu Yok siong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk buka suara lagi, segera katanya: "Setiap orang dalam dunia persilatan tentu tahu bahwa pengetahuan cianpwe amat luas, dengan Si catatan senjata Pek Siau seng di jaman dulu hampir sama"

"Walaupun pengetahuanku tidak seluas Pek siau seng, namun ilmu pedang dari pelbagai partai dan perguruan yang ada di dunia ini memang pernah kusaksikan semua".

"Pernahkah cianpwe menyaksikan jurus pedang itu?"

"Belum pernah!"

"Bagaimana dengan Cia sianseng?"

"Aku adalah seorang yang berpengetahuan cetek, entah berapa banyak ilmu pedang yang tak pernah kusaksikan selama ini, jawab Cia sianseng.

Liu Yok siong segera tertawa hambar, jawabnya: "Sudah barang tentu kalian berdua belum pernah menyaksikan jurus pedang itu, karena jurus tersebut adalah hasil ciptaanku sendiri"

Perkataan ini benar-benar suatu ucapan yang mengejutkan hati. Kalau ada guntur membelah bumi. Ting Peng pasti tak akan sekaget setelah mendengar perkataan itu. Hampir saja dia melompat bangun saking kagetnya, dengan suara keras segera serunya.

"Apa kau bilang?"

"Apa yang kuucapkan semestinya Ting sauhiap sudah mendengarnya dengan amat jelas"

Ting Peng segera merasakan darah panas dalam tubuhnya bergolak keras serunya kemudian: "Kau.... Kau punya bukti?"

Pelan-pelan Liu Yok siong membalikkan badannya kepada si bocah kecil di belakangnya ia menitahkan: "Kau pergi ke kamar hujin, dan mintalah dia untuk datang kemari berikut membawa kotak berisi kitab pusakaku!"

Berbicara bagi seorang lelaki yang belajar pedang, di dunia ini hanya ada dua hal yang tak bisa dinikmati bersama dengan orang-orang lain dan tak nanti memperkenankan orang lain untuk mengusiknya. Kedua hal itu adalah kitab pusaka ilmu pedangnya dan istrinya.

Liu Yok siong adalah seorang lelaki, Liu Yok siong juga belajar ilmu pedang tentu saja amat menyayangi kitab pusaka serta bininya. Tapi sekarang dia mempersilahkan istrinya untuk membawa sendiri kitab pusaka itu datang ke arena, dari sini dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang cermat dan berhati- hati.

Tiada seorangpun yang berbicara lagi pun tak seorang jua yang bisa berbicara lagi. Apa yang dilakukan Liu Yok siong selamanya memang membuat orang tak sanggup berbicara lagi. Dengan cepat kitab pusaka ilmu pedang itu telah dibawa keluar, Liu hujin sendiri yang membawanya keluar.

Kitab pusaka itu disimpan dalam sebuah kotak yang disegel dengan rapi, di atas kotak masih menempel segelnya dalam keadaan utuh, Liu Hujin mengenakan sebuah kain cadar untuk menutupi wajahnya. Walaupun selembar kain cadar yang halus telah menutupi raut wajah aslinya, akan tetapi tidak menutupi keanggunan serta keluwesannya.

Liu hujin memang seorang perempuan cantik yang ternama dalam dunia persilatan, lagi pula ia berasal dari keluarga yang terpandang, bukan Cuma punya nama yang harum, diapun terkenal karena kesetiaannya terhadap suami. Berada di hadapan orang asing, tentu saja ia tak bisa bertemu orang dengan raut wajah aslinya.

Tentu saja dia sudah tahu akan duduknya persoalan, maka kitab pusaka itu langsung disodorkan ke tangan Tiong Tian serta Cia sianseng. Kedudukan Cia sianseng dalam dunia persilatan, kejujuran Tiong Tian sebagai seorang pendekar, memang tak mungkin menimbulkan kecurigaan orang, tiada seorang pun yang merasa curiga.

Kitab pusaka itu terbuat dari lembaran kertas berwarna putih, kertas itu sangat tipis, tipis sekali. Karena kitab itu bukan kitab pusaka dari Bu tong pay, kitab itu berisikan ilmu pedang ciptaan Liu Yok siong sendiri, Cing siong-kiam boh (Kitab pedang Cing-siong). Bila ilmu pedang aliran Bu tong sangat luas dan tiada taranya, maka ilmu pedang ciptaan Liu Yok siong hanya terdiri enam jurus.

"Halaman yang terakhir, berisikan jurus serangan yang kumaksudkan!"

Cia sianseng dan Tiong Tian segera membalik kitab ilmu pedang itu ke halaman yang paling belakang, dengan kedudukan serta nama baik mereka dalam dunia persilatan, tentu saja mereka enggan untuk menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lihat.

Tapi demi bukti yang nyata, demi nama baik Ting Peng dan Liu Yok siong, mau tak mau mereka harus melihatnya juga. Mereka hanya menyaksikan beberapa kejap, paras mukanya segera berubah sangat hebat.

Maka Liu Yok siong segera bertanya: "Jurus serangan yang barusan digunakan Ting sauhiap, tentunya kalian berdua telah menyaksikan dengan jelas bukan?"

"Benar!"

"Barusan, Ting sauhiap bilang bahwa dia telah mempergunakan ilmu pedang itu untuk mengalahkan Si Teng, Kek Khi dan Kwik Ting-peng, tentunya kalian berdua juga sudah mendengar jelas bukan?"

"Benar!"

"Jurus pedangnya itu, perubahannya serta inti sarinya mirip sekali dengan jurus Bu tong siong-hee hong (angin sejuk di bawah bukit Bu tong) yang tercantum didalam kitab itu?"

"Benar!"

"Cayhe dengan Ling sauhiap bukankah baru berjumpa untuk pertama kalinya ini...."

Tentang soal ini Tiong Tian dan Cia sianseng tak berani memastikan, maka mereka bertanya kepada Ting Peng. Ting Peng segera mengangguk mengakui...., maka Liu Yok siong bertanya lagi.

"Mungkinkah kitab pusaka ilmu pedang ini adalah sejilid kitab palsu"

"Tidak mungkin!"

Sekalipun orang pernah menyaksikan Ting Peng mempergunakan jurus pedang itu, juga tak mungkin bisa memperoleh inti kekuatan dari jurus pedang tersebut. Dalam hal ini baik Cia sianseng maupun Tiong Tian berani memastikannya.

Maka Liu Yok siong menghela napas panjang. "Aaai....! Sekarang aku tak akan berbicara apa-apa lagi."

Ting Peng lebih-lebih tak bisa berbicara lagi. Walaupun ia merasa dirinya sudah meningkat menjadi dewasa, sesungguhnya ia tak lebih hanya seorang bocah, dia dibesarkan didalam sebuah dusun yang sederhana, meninggalkan dusun pun belum sampai tiga bulan, darimana mungkin ia bisa memahami tipu muslihat serta segala kelicikan di dalam dunia persilatan...

Dia hanya merasakan hatinya seperti tenggelam ke bawah, seluruh tubuhnya ikut tenggelam ke bawah, tenggelam ke dalam sebuah liang yang gelap dan dalam, sekujur tubuhnya seakan-akan terbelenggu kencang, dia ingin meronta, namun tak bisa, ingin berteriak namun tak dapat.

Semuanya harapannya telah musnah dan hancur, masa depannya yang cemerlang kini berubah menjadi selapis kegelapan yang mencekam. Dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Waktu itu, Tiong Tian sedang bertanya kepada Lui Yok siong. "Kalau kau memang telah menciptakan jurus pedang itu, kenapa selama ini belum pernah kau menggunakannya?"

"Aku sebagai seorang murid Bu-tong pay, sudah sepantasnya kalau menjunjung tinggi nama baik partai Bu-tong, jurus itu aku berhasil menciptakannya tanpa sengaja, waktu itu akupun mencatatnya saja karena suatu yang iseng. Aku hanya bertujuan sebagai kenang-kenangan di kemudian hari ilmu pedang bu-tong-pay terlalu luas dan dalam sampai matipun kepandaian tersebut masih berkelebihan bagiku selama hidup aku tak akan menggunakan ilmu pedang aliran lain pun tiada berambisi untuk mendirikan perguruan lain, kalau bukan keadaan sangat mendesak aku tak akan mengeluarkan kitab pusaka ini untuk diperlihatkan kepada orang lain"

Penjelasan ini bukan saja sangat masuk diakal lagi pula jujur dan amat bijaksana siapapun pasti akan menerimanya sambil mengangguk anggukkan kepala.

"Bagus sekali ucapanmu itu" kata. Cia sianseng sambil tersenyum, "It thian cinjin tentu akan merasa bangga karena mempunyai seorang murid seperti aku"

"Jikalau jurus pedang itu memang merupakan ciptaanmu sendiri, dari mana Ting Peng bisa mempelajarinya?" tanya Tiong Tian tiba tiba.

"Aku sendiripun kurang jelas, justru pertanyaan itu hendak kutanyakan kepada Ting sauhiap"

Dia lantas berpaling ke arah Ting Peng, sikapnya masih lembut dan halus, katanya: "Sesungguhnya jurus serangan ini adalah ilmu pedang warisan keluargamu atau bukan?"

"Bukan!" sahut Ting Peng sambil menundukkan kepalanya, rendah-rendah. Ketika mengucapkan perkataan itu, perasaannya tersiksa sekali, seakan-akan ada cambuk yang sedang menghajar di atas tubuhnya. Tapi sekarang, mau tak mau dia harus mengakui. Bagaimanapun juga dia masih muda dan jujur, ia merasa tak dapat membohongi liangsim sendiri...

"Lantas, darimana kau berhasil mempelajari ilmu pedang itu?" tanya Liu Yok siong kemudian.

"Secara tidak sengaja ayahku berhasil menemukan selembar kitab pusaka yang robek, di atas robekan itu tercantum satu jurus Thian gwa liu-seng"

"Kitab pusaka siapakah itu"

"Entahlah!" Ting Peng memang benar-benar tidak tahu. Di atas kertas itu tidak tercantum nama, itulah sebabnya dia sendiripun tak tahu milik siapakah ilmu pedang itu, maka dia tak bisa tidak harus mempercayai perkataan dari Liu Yok siong tersebut. Semua yang dikatakan adalah kata-kata yang sejujurnya.

Namun Liu Yok siong segera menghela napas panjang, katanya: "Tidak kusangka seorang pemuda yang masih muda belia seperti kaupun sudah pandai berbohong"

"Aku tidak berbohong!"

"Lantas dimanakah robekan kertas yang berisi ilmu pedang itu!"

"Berada di....." Kata-kata tersebut tidak dilanjutkan, karena sekarang dia sendiripun tak tahu kertas berisi catatan ilmu silat itu berada dimana.

Ia teringat kertas itu pernah diserahkan kepada Ko siau, Walaupun Ko Siau mengembalikan lagi kepadanya, tapi akhirnya dia meminta gadis itu untuk menyimpan baginya, karena gadis itu telah memberikan segala sesuatunya kepadanya, maka diapun memberi segala sesuatunya kepada gadis itu.

Sejak itu penghidupan mereka dilewatkan dalam kehangatan, kemerahan dan kebahagiaan, seorang pemuda yang baru saja merasakan kemesraan dan kehangatan, mana mungkin masih memikirkan persoalan lainnya?

Dengan tatapan mata yang dingin, Liu Yok siong memandang ke arahnya, kemudian sambil menghela napas katanya: "Kau masih muda, masih belum pernah melakukan kesalahan besar, aku tak ingin terlalu menyusahkan dirimu, asal kau bersedia menyanggupi sebuah permintaanku, aku tak akan mengusut lagi asal usul datangnya robekan kitab pusaka itu"

Ting Peng menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia dapat merasakan, apapun yang dia ucapan pada saat ini, orang lain tak akan mempercayai lagi. diapun dapat menangkap pandangan hina yang terpancar keluar dari sorot mata orang.

"Asal kau bersedia untuk berjanji, selama hidup tidak menggunakan pedang lagi, aku akan memperkenankan kau pergi dari sini".

Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi amat keras dan serius, terusnya: "Tapi jika di kemudian hari kuketahui bahwa kau telah mengingkari janji, hmm! Kemanapun kau kabur, aku pasti akan merenggut nyawa mu"

Seseorang yang belajar padang, seorang pemuda yang bertekad ingin mengangkat namanya, bila sepanjang hidup tak boleh memakai pedang lagi, bila sepanjang hidup tak boleh melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan, lalu apa artinya hidup di dunia ini? Tapi sekarang Ting Peng harus menyanggupi, sekarang tiada pilihan lain lagi baginya.

Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi dingin, karena tiba-tiba menghembus lewat segulung angin dingin, mengibarkan bajunya, mengibarkan juga kain cadar yang menutupi wajah Liu hujin.....

* * * * *

MALAM BULAN PURNAMA

CUACA telah berubah, sang surya yang memancarkan cahaya keemas-emasan telah tertutup dibalik awan. Tiba-tiba Ting Peng merasakan sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, lalu sebentar lagi merasakan sekujur badannya panas bagai dibakar dengan api.

Semacam kesedihan dan kegusaran yang tak terlukiskan dengan kata-kata, membara dari dasar telapak kakinya langsung menerjang ke atas tenggorokan, membakar wajahnya sehingga berubah menjadi merah membara membuat matanya ikut membara pula.

Ketika hembusan angin mengibarkan kain cadar yang menutupi wajah Liu hujin tadi, ia telah menyaksikan raut wajahnya sang nyonya yang sebenarnya. Ternyata Liu hujin bukan lain adalah Ko siau. Sekarang segala sesuatunya telah menjadi jelas, mimpipun dia tak mengira kalau kenyataan yang sebenarnya begitu rendah, terkutuk, begitu kejam dan tak berperi-kemanusiaan.

Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, memandang Liu hujin sambil tertawa tergelak, suara tertawanya kedengaran mirip sekali dengan jeritan binatang buas menjelang kematian. Kemudian sambil menuding ke arahnya dan terbahak bahak, serunya:

"Kiranya... Haaahhh... haaahhh... haaahhh.... kiranya kau?"

Setiap orang memandang ke arahnya dengan terkejut, kaget bercampur keheranan.

"Kau kenal dengan dia?" tegur Liu Yok siong.

"Tentu saja aku kenal dengan dia, kalau aku tidak kenal dengannya, siapa yang bakal kenal dengannya?"

"Kau tahu, siapakah dia?"

""Li Ko siau!"

Liu Yok siong kontan saja menarik muka sambil tertawa dingin, serunya lantang: "Aku sama sekali tidak menggelikan (Ko siau), kau juga tidak menggelikan!"

Kejadian semacam ini memang tidak menggelikan, sedikitpun tidak menggelikan. Pada hakekatnya kejadian ini untuk menangispun tak sanggup mengeluarkan suara.

Seharusnya Ting Peng menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya sejak dari ia muncul dalam keadaan bugil, sampai dia pergi mencari Bwe hoa lojin untuknya, digantung lalu ia menyerahkan segala sesuatu kepadanya.

Tapi kejadian semacam ini tak mungkin bisa diucapkan. Kejadian itu sesungguhnya terlalu brutal, terlalu tidak masuk diakal, kalau dia menceritakannya, orang lain pasti akan menganggapnya sebagai orang gila, seorang gila yang cabul dan memalukan.

Untuk menghadapi manusia gila semacam itu, sekalipun digunakan cara yang paling kejam, cara yang paling buaspun, orang lain tak akan mengatakan apa-apa. Dengan mata kepala sendiri ia pernah menyaksikan seorang gila semacam itu, di gantung orang hidup-hidup.

Sekarang dia baru tahu, lubang hitam di mana ia terjerumus ternyata adalah sebuah perangkap. Sepasang lelaki sejati dan perempuan alim ini bukan saja hendak merampas kitab pusaka ilmu pedangnya, bahkan hendak merusak nama baiknya dan menjerumuskan dia ke lembah penghinaan.

Karena itu sudah cukup menggetarkan hati mereka, karena dalam pertarungan ini sebenarnya kemenangan berada di tangannya. Sekarang, sebenarnya ia sudah menggetarkan dunia persilatan, namanya sudah menjulang tinggi ke angkasa.

Tapi sekarang, tiba-tiba Ting Peng menubruk ke depan, menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya untuk menubruk Liu-hujin yang sebenarnya sama sekali tidak menggelikan itu. Sekarang ia sudah habis, ia sudah terperosok ke dalam perangkapnya yang rendah dan terkutuk. Sekarang, diapun hendak membinasakan dirinya.

Sayang seorang perempuan alim seperti Liu hujin, tak mungkin bisa dimusnahkan oleh seorang bocah tak bernama seperti dia. Baru saja badannya menerjang ke depan, ada dua bilah pedang telah menusuk ke tubuhnya. Terdengar Bwe hoa lojin sedang membentak dengan suara keras:

"Selama ini lohu tidak buka suara, karena Liu Yok siong adalah saudaraku, tapi sekarang aku sudah tidak tahan untuk berdiam diri belaka"

Liu Yok siong juga menghela napas, katanya: "Aku sebenarnya tak ingin menyusahkan dirimu, mengapa kau hendak mencari kematian untuk diri sendiri?"

Guntur menggelegar memecahkan keheningan, hujan turun secara tiba-tiba dengan derasnya. Diantara menyambarnya cahaya kilat dan sinar pedang, pakaian Ting Peng telah basah oleh noda darah. Sepasang matanya telah berubah menjadi merah membara, sekarang ia tidak memperdulikan segala sesuatunya lagi. Bagaimanapun juga, masa depannya telah hancur dan musnah, lebih baik sekarang juga ia mati di sini, mati di hadapan perempuan tersebut.

Cia sianseng tidak menghalangi, Tiong Tian juga tidak. Mereka tak ingin mencampuri urusan ini lagi, sebab pemuda tersebut tak ada harganya untuk dikasihani. Andaikata ia mempunyai nama, mempunyai kedudukan, kalau dia berasal dari keluarga persilatan yang ternama, mungkin saja ada orang yang akan membantunya mengucapkan beberapa patah kata, mendengarkan penjelasannya. Sayang dia tak lebih hanya seorang bocah miskin yang tidak punya apa-apa....

Cahaya pedang berkelebat lewat dan menusuk bahunya, tapi ia tidak merasa sakit. Sekarang ia sudah agak menggila, sudah agak pusing, sudah agak kaku, karena bila seseorang telah berada dalam keadaan seperti ini, dia tak mungkin akan memikirkan soal keselamatannya lagi.

Sayang ia sudah melangkah ke jalan kematian sekarang, ingin berpalingpun sudah tak sempat lagi, agaknya ia bakal dicincang mati seperti seekor anjing gila. Dua bilah pedang dari Bwe hoa dan Cing siong bagaikan dua ekor ular berbisa meluncur ke depan dan membelenggunya.

Sekarang, ia telah berhasil membongkar intrik busuk mereka, jelas mereka tak akan membiarkan ia hidup terus di dunia ini. Kini setiap orang telah menganggap dia berdosa, dia bersalah dan tak bisa diampuni lagi, sekalipun mereka membunuhnya, hal inipun merupakan sesuatu yang lumrah.

Liu Yok siong telah melancarkan tusukan mautnya, pedang itu menyambar ke depan dan langsung mengancam tenggorokan Ting Peng. Tiba-tiba suara guntur kembali menggelegar di angkasa, diantara kilat yang menyambar, sebatang pohon besar terpapas menjadi dua dan roboh ke tanah...

Halilintar menyambar-nyambar, guntur menggelegar di angkasa, bunga api bepercikan ke empat penjuru. Diantara kobaran api yang menjilat-jilat batang pohon yang sangat besar itu terbelah menjadi dua, kemudian diiringi bunyi gemuruh yang keras tumbang ke atas tanah. Inilah suatu kekuatan langka, suatu kehebatan alam yang akan ditakuti oleh segenap manusia di dunia ini, apapun kedudukannya dalam masyarakat.

Ditengah jeritan kaget, setiap orang tanpa terasa mundur ke belakang, Liu Yok siong juga ikut mundur. Hanya Ting Peng seorang yang masih menerjang maju, menerjang keluar melalui dahan pohon yang terbelah dua, menerjang lewat dari antara jilatan api. Dia tak tahu apakah ia masih bisa mundur atau tidak, diapun tak tahu harus melarikan diri kemana. Ia tiada tujuan, diapun tidak menentukan arah mata angin.

Didalam hatinya hanya terlintas ingatan untuk melarikan diri dari perangkap ini, bisa kabur sampai dimana, dia akan lari kemana, segenap kekuatan yang dimilikinya telah digunakan, menanti seluruh tenaga yang dipakainya telah habis, diapun roboh ke tanah, roboh di atas sebuah celah bukit.

Ditengah hujan badai yang turun dengan derasnya, cuaca luar biasa gelapnya, ingatan terakhir yang melintas dalam benaknya, bukan rasa dendam dan bencinya kepada Liu Yok siong serta Ko siau, juga bukan kepedihan diri sendiri. Apa yang teringat olehnya saat itu adalah ayahnya, sepasang mata ayahnya menjelang kematian.

Sekarang, sepasang mata tersebut seakan-akan juga sedang memandang ke arahnya, pandangan yang penuh cinta kasih dan kepercayaan. Ia percaya putranya dapat melampiaskan rasa kecewanya, pasti bisa tersohor di dunia persilatan.

Bulan tujuh tanggal lima belas, Malam hari, dikala bulan sedang purnama. Setelah hujan berhenti, rembulan yang purnamapun muncul kembali di atas jagad. Rembulan pada malam ini seakan-akan jauh lebih indah daripada dihari-hari lain, kecantikannya begitu rahasia, begitu sepi dan cukup membuat hati orang merasa luluh.

Ketika Ting Peng membuka kembali matanya. Ia menangkap rembulan yang purnama itu. Ternyata dia tidak mati, orang yang menghendaki kematiannya juga tidak berhasil menemukannya di sana. Entah suatu kebetulan? Atau kah takdir? Ternyata ia terjatuh dalam sebuah celah bukit yang rupanya adalah sebuah selokan.

Hujan deras menimbulkan air bah, air yang mengalir lewat selokan membawanya sampai di situ. Tempat ini letaknya sudah jauh sekali dari tempat dimana dia terjatuh pertama kali tadi, ketika merangkak bangun dari selokan tersebut, diapun menyaksikan sebuah gua yang dalam sekali.

Empat penjuru di sekeliling sana semuanya ada bukit, semuanya ada pohon, tanah perbukitan yang basah dan segar setelah hujan lewat, bagaikan seorang gadis perawan yang baru selesai membersihkan badan. Kecantikan seorang gadis perawan. membawa kerahasiaan dan kemisteriusan. Gua itu bagaikan mata dari gadis perawan, begitu gelap, dalam dan mengandung daya tarik yang besar.

Tampaknya Ting Peng sudah tertarik oleh kerahasiaan gua itu, tanpa terasa ia bangkit berdiri dan menghampirinya. Sinar rembulan memancar masuk dari luar gua, menerangi dinding gua yang penuh lukisan alam semesta melainkan lukisan langit. Hanya di atas langit, baru akan ditemukan pemandangan semacam ini.

Gedung istana yang besar dan megah, pasukan pengawal yang berbaju perang emas, dayang-dayang keraton yang bersanggul tinggi, berbaju bulu, intan permata yang berserakan dimana-mana, bebungaan dan buah-buahan yang segar, semuanya melukiskan pria yang perkasa seperti panglima langit perempuan yang agung bagaikan bidadari.

Terpesona Ting Peng menyaksikan kesemuanya itu. Semua harapannya telah punah, masa depan yang gemilang telah berubah menjadi gelap. Dialam semesta, ia ditipu, dihina, dicemooh dibuat penasaran, dipaksa mengambil keputusan yang pendek. Dialam semesta ia tiada masa depan lagi, tiada hari esok, semua masa depannya telah dimusnahkan orang.

Sekali difitnah orang selama hidup dosanya tak akan bersih dari tubuhnya, selama hidup ia tak ada harapan untuk mengangkat kepala lagi, sekalipun bisa hidup lebih lanjut, dia hanya bisa menyaksikan orang-orang yang memfitnah mencemooh dan menghinanya, karena selama hidup ia tak akan mampu untuk mengalahkan mereka. Lalu apa artinya hidup terus di dunia ini?

Walaupun dialam semesta tiada hukum yang adil, di langit juga ada fitnahan yang dialaminya dalam alam semesta hanya bisa diadukan ke atas langit. Padahal ia masih muda tidak sepantasnya mempunyai ingatan seperti itu. Tapi bila seseorang telah terdesak sehingga tiada jalan lain, jika ia sudah berada dalam keadaan apa boleh buat sekalipun tak ingin berpikir demikianpun, pikiran itu akan datang dengan sendirinya.

Mendadak dia teringat akan mati. Mati memang jauh lebih gampang dari pada hidup lagi pula lebih menggembirakan. Ditipu orang apalagi ditipu secara mentah-mentah oleh seorang perempuan yang untuk pertama kali dicintainya memang merupakan suatu siksaan batin yang tak bisa ditahan oleh siapapun, hal itu sudah cukup untuk membuat seorang pemuda tak sanggup untuk hidup lebih jauh.

Mendadak ia merasakan tangannya masih menggenggam pedangnya erat-erat. Jikalau pedang ini memang tak bisa mendatangkan nama besar dan kebesaran lebih baik ia mati saja di ujung pedang ini. Berpikir sampai di situ, pedangnya lantas diangkat ke atas dan siap-siap digorokkan ke atas leher sendiri.

Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba terhembus lewat segulung angin, dibalik hembusan angin itu seakan- akan terdapat sesosok bayangan, sesosok bayangan yang sangat kabur. Bayangan yang membawa bau harum yang tipis, berhembus lewat dari hadapannya kemudian lenyap tak berbekas.

Tahu-tahu pedang didalam genggamannya telah lenyap tak berbekas. Ting Peng tertegun. Kemudian ia merasa munculnya segulung hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari alas kaki, langsung menerjang ke atas kepala, dalam waktu singkat sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, Jangan-jangan di tempat ini ada setan?

Gua itu sesungguhnya memang agak rahasia, agak misterius, sekarang, di tengah kegelapan, ia seakan-akan menyaksikan bayangan setan yang sedang bergerak-gerak di situ. Jikalau seseorang sudah bertekad ingin mati, kenapa pula harus takut dengan setan? Setan. Tidak lebih hanya seseorang yang sudah mati. Tanpa pedangpun ia sama saja bisa mati.

Ting Peng merasa amat marah dan mendendam, ia merasa bukan Cuma manusia saja yang mempermainkannya, sampai menjelang saat akhir hidupnya pun, masih ada setan yang mempermainkan dirinya. Sambil menggigit bibir, dan mempergunakan segenap tenaga yang dimilikinya, ia lantas membenturkan kepalanya ke atas dinding batu.

Baik manusia yang mempermainkannya, ataupun setan yang mempermainkan diri nya, setelah mati dia pasti akan membuat perhitungan dengan orang itu. Tapi ia tak sampai mati. Kepalanya tidak menumpuk di atas dinding batu, sebab lagi-lagi ada angin yang berhembus lewat, tahu-tahu di depan dinding batu itu muncul sesosok bayangan manusia. Kepalanya persis menumbuk di atas badan orang ini.

Tapi justru kehadiran orang itu jauh lebih menakutkan daripada dinding batu tersebut, belum pernah ia menyaksikan ada manusia di dunia ini yang bisa datang dengan begini cepatnya. Dengan perasaan terkejut dia mundur ke belakang, akhirnya ia dapat menjumpai "manusia" tersebut.

Seorang perempuan, cantik jelita bersanggul tinggi, berbaju bulu yang persis seperti lukisan bidadari di atas dinding gua telah berdiri di hadapannya. Mungkinkah dia turun dari atas dinding gua itu untuk menolongnya?

Ditangan kirinya membawa sebuah keranjang bambu yang penuh dengan bebungaan segar, sedang ditangan kanannya membawa sebilah pedang, itulah pedang Ting Peng. Ia sedang memandang wajah Ting Peng sambil tersenyum, senyuman itu kelihatan begitu segar, manis lembut, suci dan anggun. Entah bagaimanapun juga, paling tidak ia kelihatannya tidak terlalu menakutkan.

Akhirnya Ting Peng merasa dapat bernapas kembali dengan lancar, akhirnya bisa bersuara lagi untuk berbicara, segera tegurnya: "Sebenarnya kau ini manusia atau setan...?"
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 03

Golok Bulan Sabit Jilid 02

Golok Bulan Sabit Jilid 02
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
"BILA ada seseorang telah memberikan segala sesuatunya kepadamu maka apa yang hendak kau berikan kepadanya?"

Ting Peng tidak menjawab. Tiba-tiba ia merasa kehidupan manusia itu amat menarik, kehidupan manusia itu penuh dengan kehangatan dan cinta kasih.

"Bila ada orang setelah menyerahkan segala sesuatu yang dimilikinya kepadaku maka aku hanya mempunyai suatu cara terhadapnya" kata Ko-siau kemudian.

"Apakah caramu itu?"

Ko-siau menundukkan kepalanya rendah rendah, kemudian menjawab dengan lirih: "Akupun akan menyerahkan seluruh yang kumiliki kepadanya!"

Ia benar-benar telah menyerahkan segala sesuatunya yang dimilikinya kepada pemuda itu, pada malam itu juga!
Fajar telah menyingsing. Ketika Ting Peng terbangun dari tidurnya, ia masih berbaring di sisinya, bagaikan burung dara berbaring di atas dadanya yang telanjang. Memandang rambutnya yang hitam pekat serta lehernya yang putih bersih, hatinya cuma merasakan suatu kebahagiaan dan kepuasan yang belum pernah dialami sebelumnya.

Karena gadis yang cantik jelita itu, kini sudah menjadi miliknya. Ia bukan cuma merasa puas, bahkan amat berbangga hati, karena sekarang ia telah menjadi seorang lelaki sejati, malam tadi ia telah membuktikan kejantanannya terhadap gadis itu.

Entah sedari kapan, gadis itupun telah bangun, dengan menggunakan sepasang matanya yang besar dan lembut sedang menatapnya tertegun. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, dibelainya rambut gadis itu kemudian gumamnya:

"Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, seandainya aku kaya raya, akupun seorang yang ternama, aku pasti akan membawa kau untuk menjelajahi seluruh dunia, agar semua orang di dunia ini merasa kagum kepada kita, iri kepada kita, waktu itu kau pasti akan merasa bangga pula atas segala sesuatunya"

Setelah menghela napas, tambahnya: "Sayang, pada saat ini aku tak lebih hanya seorang pemuda miskin yang tak punya apa-apa."

"Aku justru paling suka dengan bocah miskin seperti kau" ucap Ko siau sambil tersenyum.

Ting Peng termenung sambil membungkam diri, mendadak teriaknya keras-keras: "Oooh....! Hampir saja aku lupa, aku masih mempunyai semacam barang yang bisa kuberikan kepadamu"

Tiba tiba ia melompat bangun, dari tumpukan pakaian yang menumpuk di sisi pembaringan dia berhasil menemukan ikat pinggangnya yang kuno itu, serunya: "Aku akan menghadiahkan ikat pinggang ini untukmu!"

Kali ini Ko siau tidak tertawa, karena paras mukanya tiba-tiba berubah menjadi amat serius juga amat tegang, sama sekali tidak mirip orang yang lagi bergurau. Dengan suara yang lembut Ko siau berkata, "Asal benda itu adalah pemberianmu, aku pasti akan baik-baik menyimpannya"

"Aku tak ingin kau menyimpannya, aku minta kau untuk mengguntingnya...."

Ko siau sangat menurut sekali. Ia menggunting ikat pinggang itu hingga terlepas dari jahitan, ternyata di dalam ikat pinggang itu terdapat selembar kertas yang sudah kuno dan amat kumal. Warna kertas itu telah berubah menguning pada separuh halaman bagian atas terlukiskan sebuah gambaran yang sederhana, sedangkan pada halaman sebelah bawah penuh berisikan tulisan kecil yang lembut dan sangat rapat. la hanya sempat membaca dua baris kalimat yang berbunyi demikian:

"Jurus serangan ini merupakan rahasia paling besar selama hidup, mematahkan pedang bagaikan mematahkan bambu, Cing peng, Hoa san, Siong yang, Khong tong, Bu tong, Hong san, Thiam cong yang bertemu dengan jurus ini pasti akan kalah"

Setelah membaca kedua baris itu, dia tidak memandang lebih lanjut, dengan senyuman dikulum ujarnya. "Sungguhkah jurus serangan itu sedemikian lihaynya?"

"Sebenarnya aku sendiripun tidak terlalu yakin, aku tak berani mencari jagoan yang sungguh-sungguh lihay untuk mencoba, tapi sekarang aku telah tahu, Cing peng, Hoa san dan Siong yang kiam hoat ibaratnya tahu bertemu dengan pisau tajam bila berjumpa dengan jurus serangan ini, sedikitpun tidak memiliki tenaga perlawanan."

Ia sangat gembira dan emosi, terusnya: "Menanti aku sudah berhasil mengalahkan Lin Yok siong, aku akan pergi mencari orang yang lebih ternama darinya, pokoknya suatu ketika aku bisamerobohkan setiap jago pedang kenamaan yang ada dalam dunia persilatan, saat itu mungkin aku akan memiliki nama besar yang sejajar dengan nama besar Sam-sauya dari keluarga Cia, Sam sauya dari perkampungan Sin-kiam san ceng"

Ko siau memandang sekejap ke arahnya, lalu mengembalikan kertas kumal itu kepadanya sambil berkata: "Benda ini merupakan benda yang paling berharga bagimu, aku tidak menginginkannya"

"Justru karena benda itu paling berharga bagiku maka kuhadiahkan untukmu, mengapa kau tidak mau?"

"Aku adalah seorang wanita" ujar Ko siau lembut, "aku sama sekali tak ingin beradu kekerasan atau berebut nama dengan jago-jago pedang kenamaan dalam dunia persilatan, asal aku bisa mendapatkan hatimu, aku sudah merasa gembira sekali"

Gadis itu memeluknya kencang-kencang lalu dengan lemah lembut bisiknya lagi: "Aku hanya ingin mendapatkan kau secara seluruhnya"

Rembulan yang purnama mulai berbentuk sabit, kemudian dari berbentuk sabit kembali menjadi purnama. Sehari demi sehari lewat tanpa terasa, hampir saja Ting Peng melupakan janjinya dengan Liu Yok siong.

Tapi Ko siau tidak melupakannya, dia sempat mengingatkan pemuda itu: "Seingatku pada bulan tujuh tanggal lima belas, kau masih mempunyai suatu janji?"

"Setibanya saat itu, aku pasti akan pergi"

"Hari ini sudah tanggal delapan, selama beberapa hari ini kau harus pergi melatih ilmu pedangmu. Lebih baik berlatihlah di suatu tempat yang tak ada orangnya, aku tahu setiap kali kau melatihku, kau lantas ingin.... kau lantas ingin...."

"Sekarangpun aku sudah ingin...." sambung Ting Peng dengan cepat sambil tertawa.

Ko-siau tidak tertawa, diapun tidak berkata apa-apa lagi. Tapi keesokan harinya, ketika Ting Peng terbangun dari tidurnya, ia telah meninggalkan bangunan loteng itu bersama si dayang yang punya sepasang lesung pipi bila tertawa itu, dia hanya meninggalkan sepucuk surat.

Dalam surat tersebut, dia minta agar Ting Peng selama beberapa hari ini baik-baik melatih ilmu pedangnya, baik-baik menjaga kesehatan dan kondisi badannya, bila janjinya pada bulan tujuh tanggal lima belas sudah lewat, mereka pasti akan berkumpul kembali.

Pesan itu membuat Ting Peng terharu, membuat pemuda itu merasa amat berterima kasih. Walaupun hati kecilnya merasa pedih dan murung juga akibat perpisahan itu, tapi teringat bahwa tak lama kemudian mereka akan segera berkumpul kembali, diapun lantas membangkitkan semangat untuk berlatih pedang, berlatih golok, berlatih tenaga. Demi dia, pertarungannya kali ini tak boleh sampai kalah.

Ia menemukan bahwa kondisi badan sekarang jauh lebih baik daripada dulu, seorang lelaki yang sudah mempunyai perempuan baru benar-benar akan menjadi seorang lelaki se jati, seperti juga tanah bumi, setelah diberi air hujan tanah nya baru akan berubah menjadi subur dan bertambah segar.

Sampai bulan tujuh tanggal lima belas, semangat maupun kondisi badannya telah mencapai pada puncak paling segar. Terhadap pertarungan yang bakal berlangsung, dia telah memiliki keyakinan pasti menang, ia yakin dalam pertarungan yang akan berlangsung nanti, kemenangan berada ditangannya.

Bulan tujuh tanggal lima belas pagi. Cuaca hari ini sangat cerah, sinar matahari memancarkan cahaya keemas emasannya menyoroti empat penjuru.

Perasaan Ting Peng hari ini persis secerah cuaca di luar, bahkan dia sendiripun merasa semangatnya berkobar kobar, penuh daya hidup dan kekuatan yang melimpah, sekalipun dunia bakal ambruk, ia masih sanggup untuk menahan rasanya.

Ketika si penjaga pintu dari perkampungan Cing siong san ceng yang sopan santun dan tahu perasaan itu berjumpa dengannya, iapun dibikin terperanjat sekali.

Bisa menjadi seorang penjaga pintu dari suatu keluarga yang kaya adalah suatu pekerjaan yang tak gampang, bukan saja dia harus memiliki sepasang mata yang dalam sekejap pandangan bisa membedakan mana orang kaya mana orang miskin, diapun harus memiliki selembar wajah macam papan peti mati.

Tapi sekarang, bukan saja paras mukanya sudah berperasaan, bahkan suatu luapan perasaan yang amat segar. Ia benar-benar tidak menyangka kalau pemuda berbaju perlente yang berwajah cerah ini bukan lain adalah si pemuda miskin bermuka sial yang pernah dijumpai sebulan berselang.

Menyaksikan mimik wajahnya itu, Ting Peng merasa lebih senang dan gembira, rasa mangkel dan mendongkol yang pernah dialaminya sebulan berselang, sekarang agak terlampiaskan juga. Menanti ia berhasil mengalahkan Liu Yok siong nanti, paras muka saudara ini pasti akan berubah menjadi lebih menggembirakan.

Satu satunya hal yang membuat Ting Peng merasa menyesal adalah antara dia dengan Liu Yok siong sesungguhnya tiada dendam tiada sakit hati, semestinya tidak pantas kalau dia akan menghancurkan nama baiknya yang telah dipupuk dan dibina selama banyak tahun itu.

Konon Liu Yok siong bukan saja tersohor sebagai seorang pendekar, diapun sangat baik orangnya, bahkan terhitung seorang Kuncu, seorang lelaki sejati. Liu Yok siong bertubuh jangkung, ceking tampan, berwajah bersih, berbaju necis, sopan santun dan merupakan seorang lelaki setengah umur yang berpendidikan tinggi, seorang lelaki yang romantis.

Terhadap sebagian besar anak gadis, lelaki semacam ini jauh lebih menarik dan merangsang daripada pemuda-pemuda yang masih ingusan. Dalam perjumpaan itu dia sama sekali tidak menyinggung peristiwa sebulan yang lalu, diapun tidak menegur Ting Peng yang kedatangannya hari ini terlalu awal.

Didalam hal ini, mau tak mau Ting Peng harus mengakui bahwa dia memang seorang Kuncu, seorang lelaki sejati. Sikapnya amat mantap, gerak geriknya gesit, jari jemarinya panjang tapi bertenaga, lagi pula reaksinya cukup cepat dan cekatan.

Kesemuanya ini membuat Ting Peng mau tak mau harus mengakui bahwa dia adalah seorang musuh yang amat tangguh, nama besarnya dalam dunia persilatan pasti bukan nama kosong belaka.

Lapangan untuk berlatih silat yang beralas pasir lembut telah dipersiapkan, pada rak senjata dikedua belah sisinya penuh dengan aneka macam senjata yang gemerlapan, di bawah pohon yang rindang terjejer enam tujuh buah kursi yang terbuat dari kayu jati.

Liu Yok siong segera memberi penjelasan, katanya: "Ada beberapa orang sahabat yang sudah lama mengagumi ilmu pedang Ting sauhiap, mereka ingin sekali datang menonton. Dan aku tak bisa menampik keinginan mereka, maka ku undang kehadiran mereka semua, di dalam hal ini aku harap Ting sauhiap jangan marah"

Tentu saja Ting Peng tak akan marah. Dikala seseorang sudah mendekati saatnya untuk ternama, ia memang selain berharap ada banyak orang yang ikut menyaksikan, makin banyak orang yang datang, semakin gembira hatinya. Dia hanya ingin tahu. "Siapa saja yang akan datang kemari?"

"Seorang Bulim cianpwe, Tiong lo-sianseng dari bukit Thiam cong!" Liu Yok siong menerangkan.

"Kau maksudkan Hong im kiam kek Tiong Tian?"

Liu Yok siong segera tersenyum. "Tidak kusangka kalau Ting-sauhiap juga tahu tentang lo sianseng ini" katanya.

Tentu saja Ting Peng tahu, Tiong Tian adalah seorang jago tua yang amat bijaksana, ilmu pedangnya mendapat pujian dan sanjungan pula dari setiap orang. Bisa mengundang orang semacam ini sebagai saksi dalam pertarungan tersebut, Ting Peng benar-benar merasa amat mujur sekali.

Kembali Liu Yok siong berkata: "Bwe-hoa lojin dan Meh tiok cu juga akan datang, orang persilatan menyebut kami sebagai tiga serangkai cemara, bambu dan bwe, padahal aku benar benar merasa malu untuk dijajarkan namanya dengan mereka"

Kemudian ia tertawa, menampilkan sekulum senyuman bangga yang tak akan dihindari oleh seorang Kuncu sekalipun, terusnya: "Selain itu ku undang pula seorang Cia sianseng, nama besarnya dalam dunia persilatan tidak terlalu besar, karena ia jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan"

Setelah tertawa, terusnya: Orang dari perkampungan Sin kiam san ceng memang selamanya jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan"

"Perkampungan Sin kiam san ceng?" seru Ting Peng dengan paras muka agak berubah, "Apakah Cia sianseng itu adalah orang dari perkampungan Sin kiam san ceng?"

"Benar!" jawab Liu Yok siong hambar. Jantung Ting Peng mulai berdebar keras.

Bagi seorang pemuda yang belajar pedang, nama dari Sin kiam san ceng memang cukup mempunyai tenaga yang besar untuk membuat jantung orang berdebar keras. Perkampungan Sin kiam san ceng di puncak Cui im hong, telaga Liok-sui-oh, di sana berdiam keturunan keluarga Cia.

Sam sauya dari keluarga Cia, Cia-Siau-hong. Dia adalah manusia diantara dewa pedang, pedangnya adalah pedang diantara dewa pedang. Mungkinkah Cia sianseng yang datang hari ini adalah dia pribadi?

Orang pertama yang datang paling dulu adalah Tiong Tian dari partai Tiam-cong. Hong-im-kiam-kek sudah lama termasyhur dalam dunia persilatan, Liu Yok siong sendiripun menyebutnya sebagai lo-sianseng, tapi ia kelihatan belum terlalu tua, pinggangnya masih kelihatan lurus, rambutnya masih berwarna hitam, sepasang matanya juga masih memancarkan cahaya yang berkilauan.

Sikapnya terhadap jagoan muda yang pernah mengalahkan jago-jago lihay dari Cing peng, Hoa san dan Siong yang ini sedikitpun tidak sungkan, kemudian Ting Peng baru tahu kalau sikap nya terhadap siapapun tak pernah sungkan.

Orang yang lurus dan jujur tampaknya selalu mempunyai watak seperti ini, selalu mereka beranggapan bahwa orang lain harus bersikap kelewat menghormat kepadanya lantaran kelurusan serta kejujurannya. Mungkinkah hal ini dikarenakan orang yang benar-benar lurus dan jujur dalam dunia persilatan terlalu sedikit?

Tapi ia sama sekali tidak menempati kursi utama, tentu saja kursi utama itu harus diberikan kepada Cia sianseng dari perkampungan Sin kiam san ceng. Cia sianseng belum datang, Bwe hoa dan Meh tiok dari Sui han sam yu telah datang. Menjumpai dua orang tersebut, Ting Peng segera tertegun dibuatnya.

Kedua orang ini yang satu berbaju merah, dan berwajah merah seperti bayi, sedang yang lain berwajah suram dan bertubuh ceking seperti bambu, ternyata kedua orang itu tak lain adalah dua orang yang bermain catur di bawah pohon yang rindang di hulu sungai tempo hari.

Tapi sikap kedua orang itu seakan akan sama sekali tidak pernah kenal dengan Ting Peng, dalam keadaan begitu, Ting Peng ingin sekali bertanya kepada Bwe hoa lo jin:

"Mengapa kau tidak membawa serta monyet kecilmu yang gemar mengenakan pakaian merah seperti kau?"

Bwe hoa lojin agaknya sama sekali tak tahu akan peristiwa itu, sikapnya terhadap Ting Peng amat sungkan.

Ting Peng sendiripun ingin sekali melupakan peristiwa tersebut, sayang ada satu hal yang tak mungkin terlupakan olehnya. Mengapa Ko siau menyuruhnya pergi mencari kedua orang itu? Apa hubungannya dengan kedua orang itu?

Ia mulai menyesal, mengapa tidak menanyai persoalan itu sampai jelas, kenapa harus mengatakan kepada Ko siau: "Bila kau tidak menjawab, akupun tak akan bertanya". Sekarang tentu saja ia tak mungkin bisa menjawab lagi karena Cia sianseng dari perkampungan Sin kiam san ceng telah datang.

Cia sianseng memiliki wajah yang membentuk bulat badannya gemuk, wajahnya selalu penuh senyuman, ramah tamah dan kelihatan persis seperti seorang saudagar yang kaya raya. Tentu saja Cia sianseng tersebut bukan Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong yang termasyhur dalam dunia persilatan sebagai jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit.

Orang lain masih tetap bersikap hormat kepadanya, bahkan Tiong Tian dari Tiamcong pay yang angkuh itupun mempersilahkannya untuk menempati kursi utama. Tapi ia bersikeras menampik hal itu, dia selalu mengatakan bahwa dirinya tak lebih hanya seorang pengurus rumah tangga dari perkampungan Sin kiam san-ceng, berada di hadapan para jago kenamaan, bisa mendampingi mereka disampingpun sudah merupakan kebanggaan.

Tampaknya siapa saja orangnya, asal dia berasal dari perkampungan Sin kiam san ceng, kedudukannya dalam dunia persilatan selain tinggi, terhormat dan disanjung setiap orang. Jantung Ting Peng mulai berdebar keras, darah panas dalam tubuhnya mulai menggelora dengan kerasnya.

Ia bersumpah, suatu ketika diapun akan berkunjung ke perkampungan Sin-kiam-san-ceng, dengan sebilah pedang mestika dia akan menyambangi pendekar lihay yang tiada tandingannya dikolong langit itu, dan minta petunjuk tentang ilmu pedangnya yang tiada taranya tersebut.

Sekalipun dalam pertarungan itu dia bakal kalah di ujung pedangnya, dia tak akan merasa malu dan menyesal. Tapi, sebelum kesemuanya itu dilakukan, pertarungan yang bakal berlangsung hari ini harus dimenangkan lebih dahulu. Pelan pelan ia bangkit berdiri, ditatapnya Liu Yok siong lekat-lekat, kemudian katanya:

"Boanpwe Ting Peng ingin sekali memohon petunjuk ilmu silat cianpwe, harap cianpwe suka lebih berperasaan dalam menggunakan pedang."

Tiong Tian segera berkerut: "Kau masih muda, ada suatu persoalan kau harus mengingatkan selalu dalam hatimu"

"Baik!"

Sambil menarik muka, dengan suara dingin Tiong Tian berkata: "Pedang adalah suatu benda yang tak berperasaan, bila pedang sudah diloloskan dari sarung, maka dia tak akan mengenal ampun"

Dua orang bocah kecil berbaju merah, dengan membopong sebuah kotak pedang yang antik dan mewah berdiri serius di belakang Lui Yok siong. Pelan-pelan Liu Yok siong membuka kotak pedang itu, mengeluarkan pedangnya dan meloloskan dari sarung.

"Cring..." diiringi bunyi gemerincing yang sangat nyaring, pedang itu dilolos dari sarungnya.

"Pedang Bagus!" Cia sianseng segera memuji sambil tersenyum. Pedang itu memang sebilah pedang bagus, cahaya pedangnya menyala-nyala, hawa pedang yang dingin serasa menusuk badan. Begitu pedangnya sudah diloloskan, sikap Liu Yok siong pun berubah menjadi lebih santai dan tenang.

Telapak tangan Ting Peng sudah menggenggam gagang pedangnya erat-erat, jari tengahnya yang mengerahkan tenaga terlalu besar telah berubah memucat, peluh mulai membasahi telapak tangannya. Pedang yang dimiliki tak lebih hanya sebilah pedang biasa, jelas tak mungkin bisa dibandingkan dengan pedang tajam milik Liu Yok siong. Diapun tak memiliki ketenangan serta kesantaian seperti apa yang diperlihatkan Liu Yok siong.

Oleh karena itu, walaupun ia percaya kalau jurus Thian gwa liu seng yang dimilikinya pasti dapat mematahkan ilmu pedang dari Liu Yok siong, tak urung hatinya merasa sangat tegang juga.

Liu Yok siong memandang sekejap ke arahnya, lalu sambil tersenyum berkata: "Di rumahku masih terdapat sebilah pedang bagus, walaupun bukan terhitung sebilah pedang mestika, namun toh lumayan juga, bila Ting sauhiap tidak merasa keberatan, akan kusuruh orang untuk mengambilnya."

Bagaimanapun juga dia adalah seorang Bu lim cianpwe (angkatan tua dari dunia persilatan), sudah barang tentu dia tak ingin mencari keuntungan dengan mengandalkan pedangnya yang tajam.

Ting Peng enggan menerima kebaikannya itu dengan hambar dia menjawab pelan: "Biar boanpwe pergunakan pedang ini saja sebab pedang ini adalah warisan ayahku, boanpwe tak ingin membuangnya dengan begitu saja"

"Benar!"

"Apakah kau berasal dari keluarga Ting di telaga Tay-oh?" Tiba-tiba Tiong Tian bertanya pula.

"Tidak, Boanpwe datang dari wilayah Gi-pau!"

"Waaah... aneh kalau begitu"

Setelah berhenti sejenak, dengan suara dingin lanjutnya: "Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, orang selalu mengatakan bahwa ilmu pedang Ting sauhiap bukan saja sangat lihay, terutama sekali jurus pedangmu yang terakhir, benar-benar luar biasa dan tiada taranya, sudah lima puluh tahun aku belajar ilmu pedang, namun tidak kuketahui kalau wilayah Gi pek terdapat suatu keluarga Ting yang memiliki ilmu pedang keluarga yang begitu hebatnya."

"Padahal masalah ini juga bukan sesuatu yang aneh" sela Cia Sianseng, "sebab dalam dunia persilatan memang selalu terdapat para pendekar lihay yang lebih suka hidup mengasingkan diri daripada mencari nama yang tenar, Tiong siangseng! Meskipun pengetahuanmu cukup luas, belum tentu setiap keluarga yang pandai berilmu silat kau ketahui"

Mendengar perkataan itu, Tiong Tian segera menutup mulutnya rapat-rapat...

Liu Yok siong juga tidak banyak berbicara lagi, pedangnya segera diangkat sejajar dengan dada, lalu serunya: "Silahkan!"

Ting Peng juga tidak banyak berbicara, dia lantas bersiap-siap untuk melangsungkan pertarungan yang sudah lama diidam-idamkannya itu. Suasana menjadi hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun.

* * * * *

JURUS THIAN GWA LIU SENG

BULAN tujuh tanggal lima belas, tengah hari, di bawah terik matahari. Permukaan tanah yang berlapiskan pasir halus memantulkan sinar gemerlapan di bawah sorotan matahari, sinar pedang lebih menyilaukan siapapun.

Ting Peng sudah mulai melancarkan serangannya. Kecuali jurus Thian gwa liu seng, dalam ilmu pedang miliknya memang tiada sesuatu yang istimewa, jurus jurus pedang warisan keluarganya itu hanya bisa dikatakan sebagai "biasa", sederhana dan tiada sesuatu yang aneh.

Sebaliknya ilmu pedang aliran Bu-tong justru penuh dengan serangan-serangan yang dahsyat dan penuh dikombinasikan dengan gerakan yang enteng, lincah dan cekatan, di bawah permainan Liu Yok-siong, kepandaian tersebut kelihatan lebih hidup dan meringankan.

Dengan menggunakan taktik mencukil, menebas dan menusuk, pedangnya diputar sedemikian rupa melakukan gerakan-gerakan yang luar biasa, dalam sekejap mata Ting Peng telah dikurung sehingga tak mampu berganti napas lagi.

Menyaksikan ilmu pedang tersebut, semua orang mulai merasa sedikit kecewa terhadap kemampuan si jago pedang muda yang baru muncul didalam dunia persilatan ini.

Sebaliknya Ting Peng mempunyai kepercayaan serta keyakinan yang besar sekali untuk bisa memenangkan pertarungan ini. Paling tidak ia telah menyaksikan tiga buah titik kelemahan dalam ilmu pedang yang digunakan Lui Yok-siong itu,

"Bila dia pergunakan jurus Thian gwa-liu-seng tersebut, sudah dapat dipastikan ilmu pedang dari Liu Yok siong itu akan hancur berantakan seperti pisau tajam yang menebas bambu. Sebenarnya dia masih ingin mengalah beberapa jurus serangan lagi untuk Liu Yok siong, dia tak ingin selalu memperlihatkan keganasannya di hadapan Bu lim cianpwe ini. Tapi bila pedang sudah diloloskan, maka tak akan mengenal kata ampun"

Dia masih teringat jelas dengan perkataan itu. Mendadak pedangnya yang memainkan gerakan sederhana itu berubah menjadi hebat, bagaikan serentetan cahaya bintang yang datang dari luar angkasa dengan cepatnya seluruh angkasa terbungkus dibalik hawa pedang tersebut. Bintang yang memancar dari luar angkasa memang tak bisa diraba tak bisa dilawan.

Pedang yang tak berperasaan, tak pernah mengenal arti ampun kepada korbannya. Tiba-tiba muncul perasaan menyesal dalam hatinya, karena dia tahu Liu Yok siong pasti akan terluka di ujung pedangnya.

Tapi dugaannya ternyata meleset, "Traang!" Percikan bunga api berhamburan diangkasa. Ternyata Liu Yok siong berhasil menyambut serangan dengan jurus Thian gwa liu seng yang sesungguhnya tak mungkin bisa dihadapinya itu.

Tenaga dalam aliran Bu tong pay merupakan tenaga dalam aliran lurus, Liu Yok siong juga merupakan satu-satunya murid preman dari Thian ti Cinjin, sudah barang tentu kesempurnaan tenaga dalamnya tak mungkin bisa ditandingi oleh Ting Peng.

Ketika sepasang pedang saling membentur, hampir saja Ting Peng tergetar roboh ke tanah, namun ia sama sekali tidak roboh. Sekalipun pedangnya sampai gumpil sedikit akibat bentrokan itu, telapak tangannya meski tergetar pecah dan sakitnya bukan kepalang, namun ia tak sampai roboh.

Karena ia telah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya roboh ke tanah. Tekad, meski sesuatu yang tak nampak tapi justru merupakan kunci yang terpenting untuk menentukan menang kalah; ada kalanya justru jauh lebih penting daripada tenaga dalam.

Dia belum kalah, dia masih bisa bertarung lagi, barusan dia pasti agak teledor sehingga jurus serangannya seharusnya bisa meraih kemenangan telah disia-siakan dengan begitu saja.

Sementara itu Liu Yok-siong telah menarik kembali pedangnya, dan menatap wajahnya dengan sorot mata yang sangat aneh.

"Dia belum kalah!" tiba-tiba Tiong Tian berseru. Ia memang seorang yang benar-benar jujur, lurus dan adil, justru lantaran perkataannya itu, rasa benci dan muak Ting Peng kepadanya kini berubah menjadi rasa terima kasih.

Akhirnya Liu Yok siong mengangguk juga katanya: "Aku tahu, dia memang belum kalah"

Ia masih menatap wajah Ting Peng dengan sorot mata yang sangat aneh, sepatah demi sepatah dia lantas bertanya: "Jurus pedang yang kau pergunakan barusan adalah ilmu pedang yang pernah kau pergunakan untuk mengalahkan Kwin Tin-peng dari perguruan Siong yang-pay...."

"Benar!"

"Dengan jurus serangan itu juga kau mengalahkan Si Teng serta Kek Khi dua orang jago?"

"Benar!"

Liu Yok siong termenung sejenak, setelah itu tanyanya: "Siapakah ayahmu?"

"Ayahku sudah meninggal pada delapan tahun berselang"

Ia tidak menyebutkan nama ayahnya, Liu Yok siong juga tidak mendesak lebih jauh. Paras mukanya menunjukkan perubahan yang lebih aneh lagi, tiba-tiba ia berpaling ke arah Cia sianseng sembari tanyanya:

"Tentunya Cia sianseng sudah melihat dengan jelas bukan jurus pedang yang barusan dipergunakan oleh Ting sauhiap?"

Cia sianseng tersenyum. "Ilmu pedang yang sangat hebat dan luar biasa itu meski tidak begitu kupahami, untung saja masih dapat kulihat dengan jelas"

"Bagaimana perasaan Cia sianseng terhadap jurus pedang tersebut?"

"Jurus pedang itu sangat lihay, ganas dan luar biasa, hampir sama dengan kekuatan yang terpancar dari ilmu Toh-mia-cap-sah-si yang dimiliki Yan Cap-sa dimasa lalu, aliran yang dianutpun agaknya hampir bersamaan. Cuma sayang tenaga dalamnya masih kurang memadai"

Setelah tertawa, kembali ujarnya: "Cuma itu menurut pandanganku yang ngawur, jadi kalau aku salah berbicara, tolong dimaafkan sebab aku sama sekali tidak mengerti tentang ilmu pedang"

Tentu saja perkataannya tak mungkin mengawur, di bawah perkampungan Sin-kiam-san-ceng, mana mungkin terdapat orang yang tidak mengerti tentang ilmu pedang?

Tiga puluhan tahun berselang, Yan Cap sa malang melintang dalam dunia persilatan dengan melakukan beratus-ratus kali pertarungan tanpa berhasil dikalahkan orang, dia adalah satu-satunya orang yang sanggup menandingi kepandaian Sam Sauya dari keluarga Cia. Kemudian dia dengan Cia Siau hong memang dilangsungkan pula suatu pertarungan tapi siapa yang menang siapa yang kalah? Hingga kini masih merupakan sebuah tanda tanya besar.

Sekarang, walaupun jago pedang yang hidup menyendiri itu sudah tiada lagi di dunia, tapi nama besarnya serta kelihaian ilmu pedangnya masih merupakan sanjungan dan pujian dari setiap orang. Cia sianseng telah membandingkan jurus pedang dari Ting Peng itu dengan jurus-jurus Toh mia cap-sah-kiam, hal mana sesungguhnya merupakan suatu kebanggaan buat Ting Peng.

Sambil tersenyum Liu Yok siong berkata: "Cia sianseng berkata demikian sesungguhnya aku merasa terkejut bercampur bangga"

Ting Peng tertegun, Setiap orang jago tutur tertegun. Yang merasa terkejut bercampur bangga tentunya adalah Ting Peng mengapa bisa menjadi dia?

Dengan suara dingin Tiong Tian segera berkata. "Cia sianseng memuji ilmu pedang Ting Peng, apa sangkut pautnya dengan dirimu?"

"Memang ada sedikit hubungan!" jawab Liu Yok siong tenang.

Tiong Tian segera tertawa dingin. Liu Yok siong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk buka suara lagi, segera katanya: "Setiap orang dalam dunia persilatan tentu tahu bahwa pengetahuan cianpwe amat luas, dengan Si catatan senjata Pek Siau seng di jaman dulu hampir sama"

"Walaupun pengetahuanku tidak seluas Pek siau seng, namun ilmu pedang dari pelbagai partai dan perguruan yang ada di dunia ini memang pernah kusaksikan semua".

"Pernahkah cianpwe menyaksikan jurus pedang itu?"

"Belum pernah!"

"Bagaimana dengan Cia sianseng?"

"Aku adalah seorang yang berpengetahuan cetek, entah berapa banyak ilmu pedang yang tak pernah kusaksikan selama ini, jawab Cia sianseng.

Liu Yok siong segera tertawa hambar, jawabnya: "Sudah barang tentu kalian berdua belum pernah menyaksikan jurus pedang itu, karena jurus tersebut adalah hasil ciptaanku sendiri"

Perkataan ini benar-benar suatu ucapan yang mengejutkan hati. Kalau ada guntur membelah bumi. Ting Peng pasti tak akan sekaget setelah mendengar perkataan itu. Hampir saja dia melompat bangun saking kagetnya, dengan suara keras segera serunya.

"Apa kau bilang?"

"Apa yang kuucapkan semestinya Ting sauhiap sudah mendengarnya dengan amat jelas"

Ting Peng segera merasakan darah panas dalam tubuhnya bergolak keras serunya kemudian: "Kau.... Kau punya bukti?"

Pelan-pelan Liu Yok siong membalikkan badannya kepada si bocah kecil di belakangnya ia menitahkan: "Kau pergi ke kamar hujin, dan mintalah dia untuk datang kemari berikut membawa kotak berisi kitab pusakaku!"

Berbicara bagi seorang lelaki yang belajar pedang, di dunia ini hanya ada dua hal yang tak bisa dinikmati bersama dengan orang-orang lain dan tak nanti memperkenankan orang lain untuk mengusiknya. Kedua hal itu adalah kitab pusaka ilmu pedangnya dan istrinya.

Liu Yok siong adalah seorang lelaki, Liu Yok siong juga belajar ilmu pedang tentu saja amat menyayangi kitab pusaka serta bininya. Tapi sekarang dia mempersilahkan istrinya untuk membawa sendiri kitab pusaka itu datang ke arena, dari sini dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang cermat dan berhati- hati.

Tiada seorangpun yang berbicara lagi pun tak seorang jua yang bisa berbicara lagi. Apa yang dilakukan Liu Yok siong selamanya memang membuat orang tak sanggup berbicara lagi. Dengan cepat kitab pusaka ilmu pedang itu telah dibawa keluar, Liu hujin sendiri yang membawanya keluar.

Kitab pusaka itu disimpan dalam sebuah kotak yang disegel dengan rapi, di atas kotak masih menempel segelnya dalam keadaan utuh, Liu Hujin mengenakan sebuah kain cadar untuk menutupi wajahnya. Walaupun selembar kain cadar yang halus telah menutupi raut wajah aslinya, akan tetapi tidak menutupi keanggunan serta keluwesannya.

Liu hujin memang seorang perempuan cantik yang ternama dalam dunia persilatan, lagi pula ia berasal dari keluarga yang terpandang, bukan Cuma punya nama yang harum, diapun terkenal karena kesetiaannya terhadap suami. Berada di hadapan orang asing, tentu saja ia tak bisa bertemu orang dengan raut wajah aslinya.

Tentu saja dia sudah tahu akan duduknya persoalan, maka kitab pusaka itu langsung disodorkan ke tangan Tiong Tian serta Cia sianseng. Kedudukan Cia sianseng dalam dunia persilatan, kejujuran Tiong Tian sebagai seorang pendekar, memang tak mungkin menimbulkan kecurigaan orang, tiada seorang pun yang merasa curiga.

Kitab pusaka itu terbuat dari lembaran kertas berwarna putih, kertas itu sangat tipis, tipis sekali. Karena kitab itu bukan kitab pusaka dari Bu tong pay, kitab itu berisikan ilmu pedang ciptaan Liu Yok siong sendiri, Cing siong-kiam boh (Kitab pedang Cing-siong). Bila ilmu pedang aliran Bu tong sangat luas dan tiada taranya, maka ilmu pedang ciptaan Liu Yok siong hanya terdiri enam jurus.

"Halaman yang terakhir, berisikan jurus serangan yang kumaksudkan!"

Cia sianseng dan Tiong Tian segera membalik kitab ilmu pedang itu ke halaman yang paling belakang, dengan kedudukan serta nama baik mereka dalam dunia persilatan, tentu saja mereka enggan untuk menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lihat.

Tapi demi bukti yang nyata, demi nama baik Ting Peng dan Liu Yok siong, mau tak mau mereka harus melihatnya juga. Mereka hanya menyaksikan beberapa kejap, paras mukanya segera berubah sangat hebat.

Maka Liu Yok siong segera bertanya: "Jurus serangan yang barusan digunakan Ting sauhiap, tentunya kalian berdua telah menyaksikan dengan jelas bukan?"

"Benar!"

"Barusan, Ting sauhiap bilang bahwa dia telah mempergunakan ilmu pedang itu untuk mengalahkan Si Teng, Kek Khi dan Kwik Ting-peng, tentunya kalian berdua juga sudah mendengar jelas bukan?"

"Benar!"

"Jurus pedangnya itu, perubahannya serta inti sarinya mirip sekali dengan jurus Bu tong siong-hee hong (angin sejuk di bawah bukit Bu tong) yang tercantum didalam kitab itu?"

"Benar!"

"Cayhe dengan Ling sauhiap bukankah baru berjumpa untuk pertama kalinya ini...."

Tentang soal ini Tiong Tian dan Cia sianseng tak berani memastikan, maka mereka bertanya kepada Ting Peng. Ting Peng segera mengangguk mengakui...., maka Liu Yok siong bertanya lagi.

"Mungkinkah kitab pusaka ilmu pedang ini adalah sejilid kitab palsu"

"Tidak mungkin!"

Sekalipun orang pernah menyaksikan Ting Peng mempergunakan jurus pedang itu, juga tak mungkin bisa memperoleh inti kekuatan dari jurus pedang tersebut. Dalam hal ini baik Cia sianseng maupun Tiong Tian berani memastikannya.

Maka Liu Yok siong menghela napas panjang. "Aaai....! Sekarang aku tak akan berbicara apa-apa lagi."

Ting Peng lebih-lebih tak bisa berbicara lagi. Walaupun ia merasa dirinya sudah meningkat menjadi dewasa, sesungguhnya ia tak lebih hanya seorang bocah, dia dibesarkan didalam sebuah dusun yang sederhana, meninggalkan dusun pun belum sampai tiga bulan, darimana mungkin ia bisa memahami tipu muslihat serta segala kelicikan di dalam dunia persilatan...

Dia hanya merasakan hatinya seperti tenggelam ke bawah, seluruh tubuhnya ikut tenggelam ke bawah, tenggelam ke dalam sebuah liang yang gelap dan dalam, sekujur tubuhnya seakan-akan terbelenggu kencang, dia ingin meronta, namun tak bisa, ingin berteriak namun tak dapat.

Semuanya harapannya telah musnah dan hancur, masa depannya yang cemerlang kini berubah menjadi selapis kegelapan yang mencekam. Dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Waktu itu, Tiong Tian sedang bertanya kepada Lui Yok siong. "Kalau kau memang telah menciptakan jurus pedang itu, kenapa selama ini belum pernah kau menggunakannya?"

"Aku sebagai seorang murid Bu-tong pay, sudah sepantasnya kalau menjunjung tinggi nama baik partai Bu-tong, jurus itu aku berhasil menciptakannya tanpa sengaja, waktu itu akupun mencatatnya saja karena suatu yang iseng. Aku hanya bertujuan sebagai kenang-kenangan di kemudian hari ilmu pedang bu-tong-pay terlalu luas dan dalam sampai matipun kepandaian tersebut masih berkelebihan bagiku selama hidup aku tak akan menggunakan ilmu pedang aliran lain pun tiada berambisi untuk mendirikan perguruan lain, kalau bukan keadaan sangat mendesak aku tak akan mengeluarkan kitab pusaka ini untuk diperlihatkan kepada orang lain"

Penjelasan ini bukan saja sangat masuk diakal lagi pula jujur dan amat bijaksana siapapun pasti akan menerimanya sambil mengangguk anggukkan kepala.

"Bagus sekali ucapanmu itu" kata. Cia sianseng sambil tersenyum, "It thian cinjin tentu akan merasa bangga karena mempunyai seorang murid seperti aku"

"Jikalau jurus pedang itu memang merupakan ciptaanmu sendiri, dari mana Ting Peng bisa mempelajarinya?" tanya Tiong Tian tiba tiba.

"Aku sendiripun kurang jelas, justru pertanyaan itu hendak kutanyakan kepada Ting sauhiap"

Dia lantas berpaling ke arah Ting Peng, sikapnya masih lembut dan halus, katanya: "Sesungguhnya jurus serangan ini adalah ilmu pedang warisan keluargamu atau bukan?"

"Bukan!" sahut Ting Peng sambil menundukkan kepalanya, rendah-rendah. Ketika mengucapkan perkataan itu, perasaannya tersiksa sekali, seakan-akan ada cambuk yang sedang menghajar di atas tubuhnya. Tapi sekarang, mau tak mau dia harus mengakui. Bagaimanapun juga dia masih muda dan jujur, ia merasa tak dapat membohongi liangsim sendiri...

"Lantas, darimana kau berhasil mempelajari ilmu pedang itu?" tanya Liu Yok siong kemudian.

"Secara tidak sengaja ayahku berhasil menemukan selembar kitab pusaka yang robek, di atas robekan itu tercantum satu jurus Thian gwa liu-seng"

"Kitab pusaka siapakah itu"

"Entahlah!" Ting Peng memang benar-benar tidak tahu. Di atas kertas itu tidak tercantum nama, itulah sebabnya dia sendiripun tak tahu milik siapakah ilmu pedang itu, maka dia tak bisa tidak harus mempercayai perkataan dari Liu Yok siong tersebut. Semua yang dikatakan adalah kata-kata yang sejujurnya.

Namun Liu Yok siong segera menghela napas panjang, katanya: "Tidak kusangka seorang pemuda yang masih muda belia seperti kaupun sudah pandai berbohong"

"Aku tidak berbohong!"

"Lantas dimanakah robekan kertas yang berisi ilmu pedang itu!"

"Berada di....." Kata-kata tersebut tidak dilanjutkan, karena sekarang dia sendiripun tak tahu kertas berisi catatan ilmu silat itu berada dimana.

Ia teringat kertas itu pernah diserahkan kepada Ko siau, Walaupun Ko Siau mengembalikan lagi kepadanya, tapi akhirnya dia meminta gadis itu untuk menyimpan baginya, karena gadis itu telah memberikan segala sesuatunya kepadanya, maka diapun memberi segala sesuatunya kepada gadis itu.

Sejak itu penghidupan mereka dilewatkan dalam kehangatan, kemerahan dan kebahagiaan, seorang pemuda yang baru saja merasakan kemesraan dan kehangatan, mana mungkin masih memikirkan persoalan lainnya?

Dengan tatapan mata yang dingin, Liu Yok siong memandang ke arahnya, kemudian sambil menghela napas katanya: "Kau masih muda, masih belum pernah melakukan kesalahan besar, aku tak ingin terlalu menyusahkan dirimu, asal kau bersedia menyanggupi sebuah permintaanku, aku tak akan mengusut lagi asal usul datangnya robekan kitab pusaka itu"

Ting Peng menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia dapat merasakan, apapun yang dia ucapan pada saat ini, orang lain tak akan mempercayai lagi. diapun dapat menangkap pandangan hina yang terpancar keluar dari sorot mata orang.

"Asal kau bersedia untuk berjanji, selama hidup tidak menggunakan pedang lagi, aku akan memperkenankan kau pergi dari sini".

Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi amat keras dan serius, terusnya: "Tapi jika di kemudian hari kuketahui bahwa kau telah mengingkari janji, hmm! Kemanapun kau kabur, aku pasti akan merenggut nyawa mu"

Seseorang yang belajar padang, seorang pemuda yang bertekad ingin mengangkat namanya, bila sepanjang hidup tak boleh memakai pedang lagi, bila sepanjang hidup tak boleh melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan, lalu apa artinya hidup di dunia ini? Tapi sekarang Ting Peng harus menyanggupi, sekarang tiada pilihan lain lagi baginya.

Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi dingin, karena tiba-tiba menghembus lewat segulung angin dingin, mengibarkan bajunya, mengibarkan juga kain cadar yang menutupi wajah Liu hujin.....

* * * * *

MALAM BULAN PURNAMA

CUACA telah berubah, sang surya yang memancarkan cahaya keemas-emasan telah tertutup dibalik awan. Tiba-tiba Ting Peng merasakan sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, lalu sebentar lagi merasakan sekujur badannya panas bagai dibakar dengan api.

Semacam kesedihan dan kegusaran yang tak terlukiskan dengan kata-kata, membara dari dasar telapak kakinya langsung menerjang ke atas tenggorokan, membakar wajahnya sehingga berubah menjadi merah membara membuat matanya ikut membara pula.

Ketika hembusan angin mengibarkan kain cadar yang menutupi wajah Liu hujin tadi, ia telah menyaksikan raut wajahnya sang nyonya yang sebenarnya. Ternyata Liu hujin bukan lain adalah Ko siau. Sekarang segala sesuatunya telah menjadi jelas, mimpipun dia tak mengira kalau kenyataan yang sebenarnya begitu rendah, terkutuk, begitu kejam dan tak berperi-kemanusiaan.

Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, memandang Liu hujin sambil tertawa tergelak, suara tertawanya kedengaran mirip sekali dengan jeritan binatang buas menjelang kematian. Kemudian sambil menuding ke arahnya dan terbahak bahak, serunya:

"Kiranya... Haaahhh... haaahhh... haaahhh.... kiranya kau?"

Setiap orang memandang ke arahnya dengan terkejut, kaget bercampur keheranan.

"Kau kenal dengan dia?" tegur Liu Yok siong.

"Tentu saja aku kenal dengan dia, kalau aku tidak kenal dengannya, siapa yang bakal kenal dengannya?"

"Kau tahu, siapakah dia?"

""Li Ko siau!"

Liu Yok siong kontan saja menarik muka sambil tertawa dingin, serunya lantang: "Aku sama sekali tidak menggelikan (Ko siau), kau juga tidak menggelikan!"

Kejadian semacam ini memang tidak menggelikan, sedikitpun tidak menggelikan. Pada hakekatnya kejadian ini untuk menangispun tak sanggup mengeluarkan suara.

Seharusnya Ting Peng menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya sejak dari ia muncul dalam keadaan bugil, sampai dia pergi mencari Bwe hoa lojin untuknya, digantung lalu ia menyerahkan segala sesuatu kepadanya.

Tapi kejadian semacam ini tak mungkin bisa diucapkan. Kejadian itu sesungguhnya terlalu brutal, terlalu tidak masuk diakal, kalau dia menceritakannya, orang lain pasti akan menganggapnya sebagai orang gila, seorang gila yang cabul dan memalukan.

Untuk menghadapi manusia gila semacam itu, sekalipun digunakan cara yang paling kejam, cara yang paling buaspun, orang lain tak akan mengatakan apa-apa. Dengan mata kepala sendiri ia pernah menyaksikan seorang gila semacam itu, di gantung orang hidup-hidup.

Sekarang dia baru tahu, lubang hitam di mana ia terjerumus ternyata adalah sebuah perangkap. Sepasang lelaki sejati dan perempuan alim ini bukan saja hendak merampas kitab pusaka ilmu pedangnya, bahkan hendak merusak nama baiknya dan menjerumuskan dia ke lembah penghinaan.

Karena itu sudah cukup menggetarkan hati mereka, karena dalam pertarungan ini sebenarnya kemenangan berada di tangannya. Sekarang, sebenarnya ia sudah menggetarkan dunia persilatan, namanya sudah menjulang tinggi ke angkasa.

Tapi sekarang, tiba-tiba Ting Peng menubruk ke depan, menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya untuk menubruk Liu-hujin yang sebenarnya sama sekali tidak menggelikan itu. Sekarang ia sudah habis, ia sudah terperosok ke dalam perangkapnya yang rendah dan terkutuk. Sekarang, diapun hendak membinasakan dirinya.

Sayang seorang perempuan alim seperti Liu hujin, tak mungkin bisa dimusnahkan oleh seorang bocah tak bernama seperti dia. Baru saja badannya menerjang ke depan, ada dua bilah pedang telah menusuk ke tubuhnya. Terdengar Bwe hoa lojin sedang membentak dengan suara keras:

"Selama ini lohu tidak buka suara, karena Liu Yok siong adalah saudaraku, tapi sekarang aku sudah tidak tahan untuk berdiam diri belaka"

Liu Yok siong juga menghela napas, katanya: "Aku sebenarnya tak ingin menyusahkan dirimu, mengapa kau hendak mencari kematian untuk diri sendiri?"

Guntur menggelegar memecahkan keheningan, hujan turun secara tiba-tiba dengan derasnya. Diantara menyambarnya cahaya kilat dan sinar pedang, pakaian Ting Peng telah basah oleh noda darah. Sepasang matanya telah berubah menjadi merah membara, sekarang ia tidak memperdulikan segala sesuatunya lagi. Bagaimanapun juga, masa depannya telah hancur dan musnah, lebih baik sekarang juga ia mati di sini, mati di hadapan perempuan tersebut.

Cia sianseng tidak menghalangi, Tiong Tian juga tidak. Mereka tak ingin mencampuri urusan ini lagi, sebab pemuda tersebut tak ada harganya untuk dikasihani. Andaikata ia mempunyai nama, mempunyai kedudukan, kalau dia berasal dari keluarga persilatan yang ternama, mungkin saja ada orang yang akan membantunya mengucapkan beberapa patah kata, mendengarkan penjelasannya. Sayang dia tak lebih hanya seorang bocah miskin yang tidak punya apa-apa....

Cahaya pedang berkelebat lewat dan menusuk bahunya, tapi ia tidak merasa sakit. Sekarang ia sudah agak menggila, sudah agak pusing, sudah agak kaku, karena bila seseorang telah berada dalam keadaan seperti ini, dia tak mungkin akan memikirkan soal keselamatannya lagi.

Sayang ia sudah melangkah ke jalan kematian sekarang, ingin berpalingpun sudah tak sempat lagi, agaknya ia bakal dicincang mati seperti seekor anjing gila. Dua bilah pedang dari Bwe hoa dan Cing siong bagaikan dua ekor ular berbisa meluncur ke depan dan membelenggunya.

Sekarang, ia telah berhasil membongkar intrik busuk mereka, jelas mereka tak akan membiarkan ia hidup terus di dunia ini. Kini setiap orang telah menganggap dia berdosa, dia bersalah dan tak bisa diampuni lagi, sekalipun mereka membunuhnya, hal inipun merupakan sesuatu yang lumrah.

Liu Yok siong telah melancarkan tusukan mautnya, pedang itu menyambar ke depan dan langsung mengancam tenggorokan Ting Peng. Tiba-tiba suara guntur kembali menggelegar di angkasa, diantara kilat yang menyambar, sebatang pohon besar terpapas menjadi dua dan roboh ke tanah...

Halilintar menyambar-nyambar, guntur menggelegar di angkasa, bunga api bepercikan ke empat penjuru. Diantara kobaran api yang menjilat-jilat batang pohon yang sangat besar itu terbelah menjadi dua, kemudian diiringi bunyi gemuruh yang keras tumbang ke atas tanah. Inilah suatu kekuatan langka, suatu kehebatan alam yang akan ditakuti oleh segenap manusia di dunia ini, apapun kedudukannya dalam masyarakat.

Ditengah jeritan kaget, setiap orang tanpa terasa mundur ke belakang, Liu Yok siong juga ikut mundur. Hanya Ting Peng seorang yang masih menerjang maju, menerjang keluar melalui dahan pohon yang terbelah dua, menerjang lewat dari antara jilatan api. Dia tak tahu apakah ia masih bisa mundur atau tidak, diapun tak tahu harus melarikan diri kemana. Ia tiada tujuan, diapun tidak menentukan arah mata angin.

Didalam hatinya hanya terlintas ingatan untuk melarikan diri dari perangkap ini, bisa kabur sampai dimana, dia akan lari kemana, segenap kekuatan yang dimilikinya telah digunakan, menanti seluruh tenaga yang dipakainya telah habis, diapun roboh ke tanah, roboh di atas sebuah celah bukit.

Ditengah hujan badai yang turun dengan derasnya, cuaca luar biasa gelapnya, ingatan terakhir yang melintas dalam benaknya, bukan rasa dendam dan bencinya kepada Liu Yok siong serta Ko siau, juga bukan kepedihan diri sendiri. Apa yang teringat olehnya saat itu adalah ayahnya, sepasang mata ayahnya menjelang kematian.

Sekarang, sepasang mata tersebut seakan-akan juga sedang memandang ke arahnya, pandangan yang penuh cinta kasih dan kepercayaan. Ia percaya putranya dapat melampiaskan rasa kecewanya, pasti bisa tersohor di dunia persilatan.

Bulan tujuh tanggal lima belas, Malam hari, dikala bulan sedang purnama. Setelah hujan berhenti, rembulan yang purnamapun muncul kembali di atas jagad. Rembulan pada malam ini seakan-akan jauh lebih indah daripada dihari-hari lain, kecantikannya begitu rahasia, begitu sepi dan cukup membuat hati orang merasa luluh.

Ketika Ting Peng membuka kembali matanya. Ia menangkap rembulan yang purnama itu. Ternyata dia tidak mati, orang yang menghendaki kematiannya juga tidak berhasil menemukannya di sana. Entah suatu kebetulan? Atau kah takdir? Ternyata ia terjatuh dalam sebuah celah bukit yang rupanya adalah sebuah selokan.

Hujan deras menimbulkan air bah, air yang mengalir lewat selokan membawanya sampai di situ. Tempat ini letaknya sudah jauh sekali dari tempat dimana dia terjatuh pertama kali tadi, ketika merangkak bangun dari selokan tersebut, diapun menyaksikan sebuah gua yang dalam sekali.

Empat penjuru di sekeliling sana semuanya ada bukit, semuanya ada pohon, tanah perbukitan yang basah dan segar setelah hujan lewat, bagaikan seorang gadis perawan yang baru selesai membersihkan badan. Kecantikan seorang gadis perawan. membawa kerahasiaan dan kemisteriusan. Gua itu bagaikan mata dari gadis perawan, begitu gelap, dalam dan mengandung daya tarik yang besar.

Tampaknya Ting Peng sudah tertarik oleh kerahasiaan gua itu, tanpa terasa ia bangkit berdiri dan menghampirinya. Sinar rembulan memancar masuk dari luar gua, menerangi dinding gua yang penuh lukisan alam semesta melainkan lukisan langit. Hanya di atas langit, baru akan ditemukan pemandangan semacam ini.

Gedung istana yang besar dan megah, pasukan pengawal yang berbaju perang emas, dayang-dayang keraton yang bersanggul tinggi, berbaju bulu, intan permata yang berserakan dimana-mana, bebungaan dan buah-buahan yang segar, semuanya melukiskan pria yang perkasa seperti panglima langit perempuan yang agung bagaikan bidadari.

Terpesona Ting Peng menyaksikan kesemuanya itu. Semua harapannya telah punah, masa depan yang gemilang telah berubah menjadi gelap. Dialam semesta, ia ditipu, dihina, dicemooh dibuat penasaran, dipaksa mengambil keputusan yang pendek. Dialam semesta ia tiada masa depan lagi, tiada hari esok, semua masa depannya telah dimusnahkan orang.

Sekali difitnah orang selama hidup dosanya tak akan bersih dari tubuhnya, selama hidup ia tak ada harapan untuk mengangkat kepala lagi, sekalipun bisa hidup lebih lanjut, dia hanya bisa menyaksikan orang-orang yang memfitnah mencemooh dan menghinanya, karena selama hidup ia tak akan mampu untuk mengalahkan mereka. Lalu apa artinya hidup terus di dunia ini?

Walaupun dialam semesta tiada hukum yang adil, di langit juga ada fitnahan yang dialaminya dalam alam semesta hanya bisa diadukan ke atas langit. Padahal ia masih muda tidak sepantasnya mempunyai ingatan seperti itu. Tapi bila seseorang telah terdesak sehingga tiada jalan lain, jika ia sudah berada dalam keadaan apa boleh buat sekalipun tak ingin berpikir demikianpun, pikiran itu akan datang dengan sendirinya.

Mendadak dia teringat akan mati. Mati memang jauh lebih gampang dari pada hidup lagi pula lebih menggembirakan. Ditipu orang apalagi ditipu secara mentah-mentah oleh seorang perempuan yang untuk pertama kali dicintainya memang merupakan suatu siksaan batin yang tak bisa ditahan oleh siapapun, hal itu sudah cukup untuk membuat seorang pemuda tak sanggup untuk hidup lebih jauh.

Mendadak ia merasakan tangannya masih menggenggam pedangnya erat-erat. Jikalau pedang ini memang tak bisa mendatangkan nama besar dan kebesaran lebih baik ia mati saja di ujung pedang ini. Berpikir sampai di situ, pedangnya lantas diangkat ke atas dan siap-siap digorokkan ke atas leher sendiri.

Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba terhembus lewat segulung angin, dibalik hembusan angin itu seakan- akan terdapat sesosok bayangan, sesosok bayangan yang sangat kabur. Bayangan yang membawa bau harum yang tipis, berhembus lewat dari hadapannya kemudian lenyap tak berbekas.

Tahu-tahu pedang didalam genggamannya telah lenyap tak berbekas. Ting Peng tertegun. Kemudian ia merasa munculnya segulung hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari alas kaki, langsung menerjang ke atas kepala, dalam waktu singkat sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, Jangan-jangan di tempat ini ada setan?

Gua itu sesungguhnya memang agak rahasia, agak misterius, sekarang, di tengah kegelapan, ia seakan-akan menyaksikan bayangan setan yang sedang bergerak-gerak di situ. Jikalau seseorang sudah bertekad ingin mati, kenapa pula harus takut dengan setan? Setan. Tidak lebih hanya seseorang yang sudah mati. Tanpa pedangpun ia sama saja bisa mati.

Ting Peng merasa amat marah dan mendendam, ia merasa bukan Cuma manusia saja yang mempermainkannya, sampai menjelang saat akhir hidupnya pun, masih ada setan yang mempermainkan dirinya. Sambil menggigit bibir, dan mempergunakan segenap tenaga yang dimilikinya, ia lantas membenturkan kepalanya ke atas dinding batu.

Baik manusia yang mempermainkannya, ataupun setan yang mempermainkan diri nya, setelah mati dia pasti akan membuat perhitungan dengan orang itu. Tapi ia tak sampai mati. Kepalanya tidak menumpuk di atas dinding batu, sebab lagi-lagi ada angin yang berhembus lewat, tahu-tahu di depan dinding batu itu muncul sesosok bayangan manusia. Kepalanya persis menumbuk di atas badan orang ini.

Tapi justru kehadiran orang itu jauh lebih menakutkan daripada dinding batu tersebut, belum pernah ia menyaksikan ada manusia di dunia ini yang bisa datang dengan begini cepatnya. Dengan perasaan terkejut dia mundur ke belakang, akhirnya ia dapat menjumpai "manusia" tersebut.

Seorang perempuan, cantik jelita bersanggul tinggi, berbaju bulu yang persis seperti lukisan bidadari di atas dinding gua telah berdiri di hadapannya. Mungkinkah dia turun dari atas dinding gua itu untuk menolongnya?

Ditangan kirinya membawa sebuah keranjang bambu yang penuh dengan bebungaan segar, sedang ditangan kanannya membawa sebilah pedang, itulah pedang Ting Peng. Ia sedang memandang wajah Ting Peng sambil tersenyum, senyuman itu kelihatan begitu segar, manis lembut, suci dan anggun. Entah bagaimanapun juga, paling tidak ia kelihatannya tidak terlalu menakutkan.

Akhirnya Ting Peng merasa dapat bernapas kembali dengan lancar, akhirnya bisa bersuara lagi untuk berbicara, segera tegurnya: "Sebenarnya kau ini manusia atau setan...?"
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 03