Dewa Arak - Satria SintingKarya : Ajisaka |
Satria Sinting merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada beberapa saat lamanya. Kemudian dijulurkan ke depan tanpa melepaskan tempelan kedua telapak tangannya. Tindakan itu dilakukan secara perlahan dengan pengerahan tenaga dalam. Tampak asap putih mengepul dari sela-sela telapak tangannya yang masih merapat.
Ki Tambak Raga yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Satria Sinting, membelalak dengan wajah memucat. Keningnya berkerut tajam seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ti... tidak mungkin...! Mustahil...!" ucap kakek berjubah putih itu dengan suara terbata-bata karena bibirnya menggigil keras. Kala Tungging yang memperhatikan setiap tindakan kedua belah pihak, juga melihat asap putih timbul dari kedua tangan Satria Sinting. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, dia tahu kalau hal seperti itu hanya timbul karena pengaruh tenaga dalam yang menyimpang dari biasanya. Satria Sinting mempunyai jenis tenaga dalam berbeda dengan tokoh umumnya. Pemandangan demikian membuat Kala Tungging terkejut. Apalagi ketika melihat sikap Ki Tambak Raga yang ketakutan seperti tengah melihat hantu. Apa yang terjadi dengan musuh besarnya itu? Keheranan Kala Tungging memang beralasan. Sikap Ki Tambak Raga terlihat aneh. Bukan hanya bibirnya yang menggigil. Sekujur tubuhnya yang terbungkus jubah putih pun tampak mulai dibasahi keringat dingin. Begitu juga di keningnya yang tampak berkerut, bersembulan butiran-butiran keringat. "Hih...!" Satria Sinting yang bersikap tidak peduli dengan keadaan lawan, memukulkan tangan kirinya dengan kuat ke arah Ki Tambak Raga, tanpa menggeser kaki. Memang jarak antara mereka terpisah hampir satu tombak saja! "Ah...!" Tanpa sadar, Kala Tungging terpekik kaget ketika melihat dari tangan kiri Satria Sinting meluncur asap putih bergulung-gulung menuju Ki Tambak Raga. Asap putih itu menimbulkan angin dingin yang terasa membekukan tubuh Kala Tungging. Padahal kakek berpakaian merah itu berada dalam jarak belasan tombak dari Satria Sinting. Kalau Kala Tungging saja merasakan akibatnya, apalagi Ki Tambak Raga yang menjadi sasaran serangan. Kakek berjubah putih itu merasakan sekujur tubuhnya beku. Sehingga sulit baginya untuk menggerakkan tangan atau kaki baik untuk mengelak maupun menangkis. Tidak ada yang dapat dilakukan Ki Tambak Raga, kecuali menunggu datangnya maut! Serangan hebat Satria Sinting membuatnya tidak berdaya. Memang hal itu terjadi sebagian besar karena dirinya terlalu larut dalam alun keterkejutan. Kalau tidak, sedikit banyak akan dapat melakukan tindakan yang mampu membuat dirinya terhindar. Namun, nasi telah menjadi bubur. "He he he...!" Kala Tungging tahu apa yang tengah dialami Ki Tambak Raga. Sudah terbayang ke benaknya betapa nyawa Ki Tambak Raga akan segera melayang. Bresss! "Ah...!" Seruan kaget tidak hanya keluar dari mulut Kala Tungging. Pemuda berpakaian gembel pun tersentak kaget karena serangan berupa asap bergulung-gulung itu tak mengenai tubuh Ki Tambak Raga. Asap putih yang melesat dari kedua telapak tangannya menghantam sebatang pohon besar di belakang Ki Tambak Raga. Seketika itu pula pohon itu diselimuti butiran-butiran es yang ditimbulkan oleh asap putih tadi. Satria Sinting dan Kala Tungging mengarahkan pandangan ke tempat sosok bayangan ungu yang tadi menyambar tubuh Ki Tambak Raga, sebelum asap putih bergulung-gulung itu menghantamnya. Beberapa tombak dari tempat Ki Tambak Raga tadi berada, berdiri Dewa Arak. Dengan sikap tenang tapi tanpa menghilangkan kewaspadaan, pemuda berambut putih keperakan itu menurunkan tubuh Ki Tambak Raga sambil menatap lekat-lekat wajah Satria Sinting. Ki Tambak Raga yang telah berhasil menguasai perasaan kagetnya, menatap wajah Dewa Arak sejenak. "Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi, cepatlah kau menyingkir dari sini. Dia pasti akan membunuhmu dengan mudah...!" ujar Ki Tambak Raga penuh rasa khawatir. "Tenangkanlah hatimu, Ki! Percayalah aku dapat menghadapinya! Aku pernah bertarung dengannya dan dia melarikan diri," sahut Arya berusaha menenangkan hati Ki Tambak Raga. "Ah...! Boleh kutahu siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki Tambak Raga setengah terkejut dan tidak percaya dengan jawaban Dewa Arak. Mungkinkah pemuda ini akan dapat mengalahkan Satria Sinting. "Orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak," jawab Arya untuk membuat kakek itu percaya dan tidak mengkhawatirkan dirinya. Dewa Arak sengaja memperkenalkan julukannya, karena tahu kalau julukan Dewa Arak lebih dikenal orang. Dan Ki Tambak Raga pasti mengenalnya! Keyakinan Arya ternyata terbukti. Ki Tambak Raga terperanjat mendengarnya. Namun dia tidak bisa mengutarakannya karena Satria Sinting telah melancarkan serangan kembali. Kali ini kedua tangannya yang terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke tempat Dewa Arak dan Ki Tambak Raga berada. Wusss! Asap putih tebal dan bergulung-gulung yang membuat keadaan sekitar tempat itu terselimut hawa dingin membekukan tubuh, meluncur ke arah Dewa Arak dan Ki Tambak Raga. Asap kali ini lebih banyak dari sebelumnya, karena Satria Sinting benar-benar marah melihat serangannya berhasil digagalkan Dewa Arak. "Menyingkir, Dewa Arak! Asap itu berbahaya...!" teriak Ki Tambak Raga sambil melompat menghindar. Namun Dewa Arak tidak menuruti seruan Ki Tambak Raga. Pemuda berambut putih keperakan itu justru berdiam diri di tempatnya. Dia menunggu hingga asap itu meluncur agak dekat. Meskipun demikian, tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya langsung dikerahkan untuk melawan pengaruh hawa dingin yang telah lebih dulu melingkupi tubuhnya sebelum asap itu tiba. Dewa Arak tidak setengah-setengah lagi dalam bertindak. Tahu betapa berbahayanya sergapan hawa dingin yang dapat membuat darahnya membeku, bahkan mampu menewaskan bila tersentuh, dia segera mengerahkan seluruh tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya untuk bertahan. Dari sekujur tubuh Dewa Arak keluar asap tipis berwarna putih, diiringi hawa panas menyengat menyebar ke sekitarnya. Usaha Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Hawa dingin luar biasa yang mampu membekukan darah dan urat sarafnya berhasil diusir pergi. Namun hal itu bukan berarti telah bebas dari maut. Karena gumpalan asap berwarna putih tebal tengah meluncur ke arahnya. Dewa Arak tidak merasa gugup sama sekali menghadapi kenyataan ini. Seperti juga Satria Sinting, dia pun berkali-kali memukulkan kedua tangannya yang terbuka secara gencar ke depan. Dari kedua tangan yang dipukulkan keluar angin keras berhawa panas menyengat yang membuat gumpalan-gumpalan asap putih tebal seketika buyar di tengah jalan. Melihat serangannya kandas di tengah jalan Satria Sinting kian geram dan penasaran. Tanpa bergerak dari tempatnya segera dilancarkan serangan serupa. Karena Dewa Arak pun melakukan hal yang sama, pertarungan aneh dan tidak lazim pun terjadi. Kedua tokoh muda itu tidak hanya melancarkan pukulan, melainkan juga tendangan-tendangan gencar. Anehnya hal itu dilakukan dalam keadaan berjauhan. Sebuah pertarungan aneh, dua tokoh yang saling serang dan tangkis dalam jarak berjauhan. Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang, di samping perasaan heran dan takjub. Memang keduanya, terutama sekali Ki Tambak Raga memiliki ilmu kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh. Namun ketika menyaksikan pertarungan seperti itu keduanya tak mampu menahan keheranannya. Belum pernah seumur hidupnya menyaksikan pertarungan seperti itu. Baik Ki Tambak Raga maupun Kala Tungging tahu. Meskipun pertarungan berlangsung dalam jarak berjauhan seperti itu, bahaya yang mengancam tidak kalah besar dengan pertarungan biasa. Mereka yang menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak belasan tombak merasakan hawa-hawa aneh yang membuat jantung berdebar tegang. Dari kancah pertarungan berhembus hawa panas dan dingin silih berganti. Kejadian yang aneh pun terjadi. Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan jarak hampir bersebelahan tanpa sadar. Perasaan tertarik dengan pertarungan yang berlangsung seakan membuat masing-masing lupa kalau di sebelahnya lawan yang menyebabkan timbulnya pertarungan aneh itu. "Luar Biasa...! Jadi... itukah ilmu 'Awan Putih' yang diceritakan Ayah? Luar biasa...! Entah dari mana orang gila itu menemukannya? Aku harus mengetahuinya! Bukankah kata Ayah ilmu itu telah lenyap puluhan tahun ialu? Benar-benar dahsyat!" gumam Ki Tambak Raga sambil terus memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung. Malah mengedip pun hampir tidak pernah dilakukan, karena khawatir tidak melihat kalau salah satu pihak roboh! Kekaguman Ki Tambak Raga terhadap ilmu 'Awan Putih' memang bisa dimaklumi karena benar-benar dahsyat. Gumpalan awan putih tebal yang keluar dari telapak tangan Satria Sinting diakui oleh Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Bahkan dia menyadari tidak mungkin baginya menghadapi lawan dengan cara seperti itu. Itulah sebabnya, setelah gumpalan awan putih yang semula berhasil didorongnya, kembali mendekatinya, Dewa Arak melompat ke atas. Dari udara laksana seekor garuda, dia melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala Satria Sinting. "Uh...!" Dewa Arak tanpa sadar mengeluarkan keluhan keterkejutan, ketika Satria Sinting memapak serangannya. Sebelum terjadi benturan dirasakan adanya daya tolak yang sangat kuat dari kedua tangan lawan. Sebagai seorang pendekar yang kenyang makan asam garam di rimba persilatan, Arya tahu kalau daya tolak timbul karena asap putih itu. Hampir saja Dewa Arak celaka akibat dalam waktu sekejapan dia terkejut dan Satria Sinting melancarkan serangan. Untung di saat terakhir dia sempat melemparkan tubuh menjauh. Namun Satria Sinting tak mau membiarkannya dan memburunya dengan serangan-serangan maut. Arya mengelak dan balas menyerang sehingga membuat pertarungan berlangsung sengit. Pertarungan kini tampak wajar, tidak seperti sebelumnya. Untuk kesekian kalinya Dewa Arak pun harus mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti' dipergunakan sampai ke puncaknya. Bahkan telah ditenggaknya arak ketika mendapat satu kesempatan. Satria Sinting benar-benar merupakan lawan yang tangguh. Meski Dewa Arak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tetap mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Jangankan mengalahkan, mendesaknya saja merupakan hal yang amat sukar! Tak terasa pertarungan telah menginjak tujuh puluh jurus dan selama itu jalannya pertarungan tetap tidak berubah. Belum ada pihak yang sanggup mengalahkan pihak lainnya. Meskipun demikian, terlihat Satria Sinting berada di atas angin. Asap tebal yang keluar dari kedua tangan dan tubuhnya membuat Dewa Arak terus terdesak. Sungguhpun begitu, Satria Sinting tetap tidak bisa berbuat lebih banyak. Dia hanya sanggup mengungguli lawan, tapi tidak dapat berbuat lebih jauh. Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti'-nya terlalu kuat untuk dapat dirobohkannya. Ketika Dewa Arak dan Satria Sinting terlibat dalam pertarungan sengit, dua sosok bayangan berkelebat memasuki halaman dan langsung berdiri di sebelah Kala Tungging. "Apa yang terjadi, Tungging?" tanya Eyang Ranggalawe salah satu dari dua sosok yang baru datang, sedangkan sosok yang satu lagi adalah Nawangsih. Kakek berpakaian abu-abu itu mengajukan pertanyaan tanpa mengalihkan perhatian dari jalannya pertarungan. "Dewa Arak dan Satria Sinting bertarung," jawab Kala Tungging tanpa menoleh. Lalu secara singkat diceritakan semua kejadiannya. Berbeda dengan Eyang Ranggalawe yang begitu datang langsung menatap ke arah pertarungan dan lupa segala-galanya, tidak demikian halnya dengan Nawangsih. Dia ingat betul maksud Eyang Ranggalawe mengajaknya kemari. Maka dia tidak sabar ketika melihat kakek itu malah asyik menyaksikan jalannya pertarungan. "Mana pembunuh orangtuaku, Eyang?" tanya Nawangsih bernada menuntut. "Kakek berjenggot panjang itulah pembunuh ayahmu," jawab Eyang Ranggalawe seraya menuding Ki Tambak Raga. Nawangsih menoleh ke arah Ki Tambak Raga dengan sorot mata beringas. Dan... Sing! Sing! Tanpa membuang-buang waktu lagi Nawangsih langsung melolos kedua pedangnya yang berkilauan. Namun perbuatan gadis itu tidak menarik perhatian ketiga kakek yang memperhatikan pertarungan. "Pembunuh Biadab...! Rasakan pembalasanku!" Usai berkata demikian, Nawangsih menggenjotkan kaki sehingga tubuhnya melayang melewati atas kepala Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe. Dari atas sepasang pedangnya menyambar ganas ke arah Ki Tambak Raga. Karuan saja Ki Tambak Raga terkejut namun tidak menjadi gugup. Dengan tenang, dikeluarkan kebutan berupa rangkaian bulu-bulu yang diselipkan di pinggang. Lalu digunakannya untuk menghadapi serangan sepasang pedang Nawangsih. Rrrttt! "Uh!" Nawangsih memekik tertahan ketika ujung kebutan yang lemas melibat batang pedang di tangan kanannya. Sedangkan pedang kiri yang ditusukkan ke arah leher, melesat karena Ki Tambak Raga cepat memiringkan kepalanya. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, Ki Tambak Raga telah menyentakkan kebutannya, sehingga pedang Nawangsih pun terlepas dari cekalan dan terlempar jauh. Bukan hanya pedangnya yang tertarik, tetapi juga tubuh Nawangsih yang berada di udara. Tubuh gadis berpakaian kuning itu ikut terbawa turun. Namun murid Eyang Dipayana mampu menunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya yang melayang turun digunakan untuk melancarkan serangan berupa jejakan kaki kanan ke arah dada lawan. "Bagus...! " Ki Tambak Raga yang merasa kagum melihat kecerdikan Nawangsih, berteriak memuji. Meskipun begitu dia mampu mengelakkannya dengan mudah. Didoyongkan tubuhnya ke belakang, kemudian tangannya bergerak mencekal. Tappp! Pergelangan kaki kanan Nawangsih terkena cekalan. Untung saja Ki Tambak Raga tidak berniat mencelakainya karena langsung melontarkan tubuh gadis itu. Kalau mau lelaki tua itu mampu meremas pergelangan kaki Nawangsih hingga remuk! Tidak percuma Nawangsih menjadi murid Eyang Dipayana. Di saat tubuhnya melayang, dia mampu mematahkannya dengan bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun dan menjejak tanah dengan ringan laksana seekor burung. Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat begitu menjejak tanah, Nawangsih langsung mencelat dan menubruknya. Pedang yang tinggal sebatang itu, ditusukkan cepat ke arah leher! Hati Ki Tambak Raga mulai kesal melihat kebandelan Nawangsih. Saat ini dia tengah asyik memperhatikan jalannya pertarungan. Betapapun sabarnya, dia mulai tidak senang hati karena merasa terganggu. Maka Ki Tambak Raga bermaksud memberikan sedikit pelajaran pada gadis itu, agar pertarungan seru yang tengah disaksikannya tidak keburu usai. Itulah sebabnya tusukan pedang Nawangsih dielakkannya dengan mendoyongkan tubuh ke kanan. Dan pada saat bersamaan, kebutannya yang dengan pengerahan tenaga dalam berubah kaku laksana tombak, meluncur ke arah bahu kanan Nawangsih. Nawangsih terkejut bukan kepalang melihat serangan itu. Dengan agak geragapan dia berusaha mengelak. Namun gerakannya kalah cepat. Ujung kebutan Ki Tambak Raga lebih dulu mengenai bahu kanannya. Seketika itu tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai lemas. Dan mungkin akan ambruk ke tanah kalau Eyang Ranggalawe tidak lebih dulu menangkapnya. "Kau keji, Tambak Raga!" desis Eyang Ranggalawe. "Setelah kau bunuh ayahnya, kau hina pula anaknya!" "Jelaskan maksud ucapanmu, Ranggalawe!" desak Ki Tambak Raga keras. Keningnya berkerut tajam dengan mata menunjukkan ketidak senangan. "Siapa yang kau maksudkan?" "Lupakah kau pada Wiratmaja? Ataukah kau telah menjadi pikun?" "Wiratmaja putra Eyang Dipayana?!" tanya Ki Tambak Raga meminta penegasan setelah tercenung beberapa saat. "Benar!" Eyang Ranggalawe menganggukkan kepala. "Dan gadis yang kau lumpuhkan ini anak Wiratmaja!" "Ah...!" desah Ki Tambak Raga terkejut. Matanya membelalak tapi mulutnya tidak berkata-kata lagi. "Asal kau tahu saja, Tambak Raga," sambung Eyang Ranggalawe yang terlihat jelas masih merasa penasaran. "Kedatangannya kemari untuk membalaskan kematian ayahnya!" "Gila! Ini benar-benar tidak mungkin!" sahut Ki Tambak Raga. Wajahnya menegang. "Memang, kalau dilakukannya sendiri, tidak akan mungkin berhasil. Dia tak akan menang melawanmu, tapi masih ada aku! Akulah yang akan membalaskan dendamnya!" tandas Eyang Ranggalawe, berapi-api. "Kau gila, Ranggalawe!" sergah Ki Tambak Raga. "Sadarkah kau akan tindakan yang akan kau lakukan? Kau tak berhak melakukannya! Masih ada Eyang Dipayana yang menjadi kakeknya! Dia lebih berhak dari padamu! Dia sendiri tidak melakukannya!" "Bukan tidak mau melakukannya, Tambak Raga!" bantah Eyang Ranggalawe. "Dia ingin melakukannya, tapi menunggu hingga cucunya besar. Dia ingin cucunya sendiri yang melakukan. Dan dia hanya membantunya!" "Kau dusta, Ranggalawe!" tukas Ki Tambak Raga. "Kalau benar demikian, apakah dia mengatakan sendiri hal itu padamu?" "Memang tidak," sahut Eyang Ranggalawe. "Tapi aku yakin akan dilakukannya." "Mana buktinya, Ranggalawe?! Kenyataannya sekarang kaulah yang mendampingi gadis,itu! Jangan-jangan kau menginginkan hal ini! Dan karena Eyang Dipayana tidak menginginkannya, kau membawanya kabur kemari!" "Bukan itu alasannya, Tambak Raga! Dia tak mungkin bisa menemani cucunya untuk membalaskan dendam terhadapmu! Dia telah mati! Kau dengar, Tambak Raga?! Eyang Dipayana telah tewas, dan aku yakin pembunuhnya adalah... kau!" TUJUH
"Apa...?!" Mata Ki Tambak Raga membelalak lebar seperti melihat hantu di siang hari, hatinya terkejut bukan main mendengar tudunan Eyang Ranggalawe. "Tidak usah berpura-pura bodoh, Tambak Raga!" tandas Eyang Ranggalawe keras. "Akui saja kalau kau yang telah membunuh Dipayana! Hanya kau satu-satunya yang mempunyai alasan untuk melakukannya!" "Fitnah!" bantah Ki Tambak Raga tak kalah keras. "Dan aku tak membiarkan begitu saja orang melakukan hal ini padaku!" "Tidak usah berpura-pura suci, Tambak Raga! Aku yakin kaulah pelakunya! Bersiaplah untuk menerima kematian!" "Kaulah yang akan mampus di tanganku, Ranggalawe!" dengus Ki Tambak Raga tak mau kalah. Belum juga ucapan Ki Tambak Raga lenyap. Eyang Ranggalawe telah menubruk maju. Kakek berpakaian abu-abu ini telah tahu kalau lawan memiliki kepandaian amat tinggi. Maka dia tak ingin bersikap setengah-setengah. Dalam serangan pertama telah dikeluarkan senjata andalannya, tasbih, yang langsung dikibaskan ke arah pelipisKi Tambak Raga. Kakek berjenggot panjang itu menarik tubuh ke belakang sehingga sabetan tasbih lewat di depan wajahnya. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam, dijadikannya bulu kebutannya menegang kaku seperti anak panah. Kemudian sambil mendoyongkan tubuh ke depan ditusukkan kebutan itu ke leher Eyang Ranggalawe. Eyang Ranggalawe mengetahi adanya ancaman maut. Dia tahu bulu kebutan itu akan mampu menembus lehernya. Maka dia buru-buru merendahkan tubuh seraya menarik sedikit tangan kanannya. Secepat itu pula segera dilancarkan serangan susulan dengan sabetan tasbih ke wajah lawan. Namun lagi-lagi Ki Tambak Raga berhasil mengelakkannya, bahkan seraya mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah hebat. Sesaat kemudian kedua kakek itu telah saling serang dengan mempergunakan seluruh kepandaian yang dimiliki. Di halaman luas di depan rumah Ki Tambak Raga berlangsung dua pertarungan. Namun, pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting sudah hampir mencapai penyelesaian. Dalam pertarungan yang demikian lama, serangan Satria Sinting tampak mulai mengendur. Pukulan dan tendangan yang dilancarkannya tidak sekuat sebelumnya. Demikian pula gerakan-gerakan yang dilakukan, tampak telah berubah. Jelas kalau pemuda berpakaian gembel itu telah merasakan kelelahan. Kelelahan yang dialami Satria Sinting tidak diderita Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti sediakala. Serangan-serangan yang dilancarkannya masih mengandung tenaga dalam penuh. Begitu pula gerakan-gerakannya, tetap gesit seperti semula, tidak mengalami penurunan. Hal itu karena pengaruh arak yang ditenggaknya di dalam pertempuran. Arak yang berasal dari guci yang tersampir di punggungnya mampu membuat tenaganya yang susut dapat pulih kembali seperti sediakala. Oleh karena itu, menginjak jurus keenam puluh perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan. Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang Satria Sinting tampak lebih banyak mengelak daripada melancarkan serangan. Beberapa kali dia mencoba menangkis karena sudah tidak mungkin lagi baginya untuk mengelak. Akibatnya pemuda berpakaian gembel itu harus terhuyung-huyung. Semakin lama keadaan Satria Sinting semakin mengkhawatirkan. Sekarang dia mulai bermain mundur. Awan putih tebal yang keluar dari tangan dan sekujur tubuhnya sekarang hampir tidak terlihat lagi. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa oleh Dewa Arak. Pada pertarungan yang lain, perlahan namun pasti Ki Tambak Raga mulai berhasil menguasai pertarungan. Kakek berjenggot panjang ini memang memiliki tenaga dalam dan kelincahan di atas lawannya. Selain itu dia mampu menggunakan kelebihannya untuk melancarkan desakan terhadap lawan. Kebutan di tangannya senantiasa berubah-ubah. Kadang lemas danmelentur, tapi kemudian bisa berubah menjadi kaku dan mengeras. Sehingga senjata itu tidak hanya dapat digunakan untuk melibat, tapi juga menusuk dan menotok. Beberapa kali Eyang Ranggalawe terhuyung-huyung mundur ketika terjadi benturan. Dan menginjak pada jurus kelima puluh kakek berpakaian abu-abu ini terdesak hebat dan hanya mampu bermain mundur. Di saat Eyang Ranggalawe dalam keadaan seperti itu, dan pertarungan antara Dewa Arak dan Satria Sinting mulai tidak menarik, Kala Tungging masuk dalam kancah pertarungan untuk membantu Eyang Ranggalawe. "Jangan khawatir, Ranggalawe! Aku membantumu menghadapi tua bangka sombong ini!" Tarrr! Kala Tungging langsung menyabetkan pecutnya ke arah pelipis Ki Tambak Raga. Serangan ini memaksa Ki Tambak Raga yang tengah mendesak lawan, mengurungkan serangannya. Segera dilemparkan tubuhnya ke samping untuk menyelamatkan diri. Tak pelak lagi pertarungan satu melawan dua pun tidak bisa dielakkan. Brettt! Bukkk! "Akh...!" Satria Sinting memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang ketika cakaran tangan kiri Dewa Arak yang diikuti pukulan tangan kanan menghantamnya. Tangan kiri merobek pakaiannya mulai dari leher sampai ke pusar, sedangkan tangan kanan yang terbuka mendarat di bahu kanan. Meskipun serangan itu tidak pada tempat mematikan, tapi cukup untuk membuat Satria Sinting terbanting di tanah dan jatuh pingsan. Dewa Arak sendiri bukan tidak menderita. Sambungan lutut kirinya telepas ketika ujung kaki Satria Sinting menghantamnya. Namun, Dewa Arak tidak mempedulikan rasa sakit itu. Langsung diarahkan pandangan ke kancah pertarungan, ketika yakin kalau Satria Sinting tidak terancam bahaya karena lukanya. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung dapat melihat keadaan Ki Tambak Raga yang terdesak hebat. Menghadapi satu orang lawan, Ki Tambak Raga jauh lebih unggul, bahkan akan dapat memperoleh kemenangan, karena tingkat kepandaiannya berada di atas masing-masing lawannya. Namun menghadapi dua orang sekaligus, terlalu berat baginya. Itulah sebabnya ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh dia terdesak hebat dan hanya mampu bertahan dan mengelak. "Arrghh...!" Dewa Arak mengeluarkan raungan keras dari dalam perutnya. Akibat suaranya yang menggelegar tiga tokoh yang bertarung mendadak terhuyung-huyung dengan wajah memucat. Raungan yang dikeluarkan Dewa Arak dengan pengerahan tenaga dalam itu, telah membuat mereka terpengaruh. Baik Ki Tambak Raga, Kala Tungging, maupun Eyang Ranggalawe merasakan betapa dada mereka bergetar hebat. Ketiganya buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk membuat bagian dalam tubuh mereka tidak terguncang, yang dapat mengakibatkan luka dalam. Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melompat masuk ke kancah pertarungan, kemudian mengibaskan kedua tangannya. Sehingga tubuh ketiga tokoh tua itu seketika berpentalan kebelakang dan bergulingan. Dan ketika Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe berhasil bangkit, Dewa Arak telah berdiri dengan sikap angker. Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe merasa penasaran bukan kepalang, karena dapat dirobohkan Dewa Arak dengan mudah. Meskipun demikian ketiganya tahu, hal itu terjadi karena keadaan mereka yang tidak siap tarung. Kalau tidak, mustahil Dewa Arak akan mampu melakukan hal seperti itu dengan sangat mudah. Mendadak Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget dari mulutnya. Sepasang matanya membelalak lebar seakan tengah dilanda keterkejutan yang hebat. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa disadarinya. Karuan saja sikap Ki Tambak Raga membuat semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak, merasa heran. Mereka pun mengikuti arah pandangan kakek berjenggot panjang itu. Tatapan mata Ki Tambak Raga ternyata tertuju pada tubuh Satria Sinting. Mendadak dengan diawali keluhan tertahan, Ki Tambak Raga melesat ke arah Satria Sinting. Khawatir kalau kakek berjenggot panjang itu melakukan tindakan yang tidak diinginkan, Dewa Arak bergegas mengikuti. Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe pun melakukan hal yang sama. Kedua kakek ini ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Ki Tambak Raga. Kecurigaan Dewa Arak ternyata tidak terbukti. Ki Tambak Raga tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkannya. Kakek itu tidak melancarkan serangan sedikit pun, melainkan duduk bersimpuh di dekat sosok Satria Sinting yang tergolek lemah. Pandangan Ki Tambak Raga tertuju pada gambar naga dan tengkorak kepala manusia di dada Satria Sinting. "Ada apa, Ki?" Dewa Arak tidak tahan untuk berdiam diri melihat Ki Tambak Raga duduk bersimpuh tanpa berkata apa pun, kecuali melongo di dekat tubuh Satria Sinting. Ki Tambak Raga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Arya, kemudian dialihkan perhatiannya lagi pada tubuh Satria Sinting. "Dia mempunyai hubungan denganku, Dewa Arak! Hubungan yang amat dekat, hubungan perguruan. Hanya saja, baik aku maupun dia tidak mengetahuinya," jawab Ki Tambak Raga dengan pandangan tertuju ke arah tubuh Satria Sinting. Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe terdiam mendengar penuturan Ki Tambak Raga. "Leluhurku...," Ki Tambak Raga mulai dengan ceritanya, "Memiliki kepandaian amat tinggi. Hanya jarang bahkan tidak ada di antara orang-orang persilatan yang mengenal mereka. Mereka selalu menyembunyikan diri. Tapi mereka senantiasa mewariskan ilmu itu pada keturunannya, sampai akhirnya tiba pada diriku sebagai keturunan terakhir. Keyakinan itulah yang kupegang, tapi sekarang pupus. Leluhurku ternyata masih mempunyai keturunan lagi selain diriku, yaitu dia! Aku tidak akan tahu jika tidak melihat tanda ini pada kedua dadanya." Dewa Arak, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe menatap dada Satria Sinting. "Apa artinya, Ki?" tanya Arya ingin tahu. "Tanda gambar naga merupakan ciri khas keluarga kami. Sedangkan gambar tengkorak kepala manusia menandakan kalau dia keturunan dari leluhur kami yang telah diusir dari garis keluarga karena mempelajari ilmu larangan." "Jadi... Satria Sinting itu keturunan dari orang buangan keluargamu, Ki?" tanya Arya lebih lanjut "Tapi mengapa kau semula tidak tahu? Bukankah ilmu-ilmu yang kau miliki mempunyai kesamaan dengannya?" "Aku tidak tahu karena ayahku tidak menceritakan kalau leluhurku punya garis keluarga lain yang merupakan orang buangan di keluarga kami. Untung saja aku melihat tanda tengkorak itu. Dan aku pun pernah mendengar dari kakekku yang pernah menyinggung cerita tentang keluarga buangan itu. Namun aku telah lama melupakan...," ujar Ki Tambak Raga, menutup ceritanya. Mendadak, melesat sesosok bayangan kuning ke arah Ki Tambak Raga. "Pembunuh Jahanam! Mampuslah kau...!" Dan sosok yang tak lain Nawangsih itu mengayunkan pedangnya ke arah leher Ki Tambak Raga. Namun sebelum sempat mengenai sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu bergerak. Hanya dengan sekali sambar, pedang Nawangsih telah pindah ke tangannya. "Tidak baik menyerang dari belakang!" ujar Dewa Arak seraya menatap wajah gadis itu. "Tapi..., dia pembunuh ayahku!" sahut Nawangsih. "Aku bukan pembunuh ayahmu!" tukas Ki Tambak Raga. "Bohong!" bentak Nawangsih dengan mata masih menyimpan dendam. "Aku tidak bohong! Untuk apa aku membohongi cucuku sendiri?!" Ki Tambak Raga balas mengajukan pertanyaan. "Apa?" sepasang mata Nawangsih membeliak lebar mendengar pertanyaan Ki Tambak Raga. "Benar," Ki Tambak Raga menganggukkan kepala untuk lebih menegaskan ucapannya. "Aku tidak bohong, aku kakekmu, karena ibumu, istri ayahmu adalah anakku. Jadi Wiratmaja, ayahmu itu mantuku!" "Tapi..., mengapa kau bunuh ayahku?!" desak Nawangsih dengan suaramelunak. "Aku tidak pernah membunuhnya, Nawangsih. Percayalah...! Aku tak ingin kau terluka kalau mendengar cerita sesungguhnya. Apakah kau tidak diberitahukan oleh Eyang Dipayana?" Nawangsih menggelengkan kepala. "Lebih baik begitu, Nawangsih. Hhh..., Eyang Dipayana memang bijaksana. Dia mungkin tak ingin kau lebih terluka kalau mendengar cerita sebenarnya," jawab Ki Tambak Raga, bernada keluh. "Tidak, Kek!" sahut Nawangsih, "Aku tidak akan terluka. Lebih baik aku mendengarnya sekarang daripada tak mengetahui sama sekali apa yang terjadi terhadap ayahku." "Baiklah kalau kau memaksa," ucap Ki Tambak Raga dengan suara berdesah. "Dengar baik-baik! Ayahmu mati di tangan ibumu, sedangkan ibumu mati karena bunuh diri. Ibumu membunuhnya karena ayahmu mempunyai watak mata keranjang! Di mana-mana dia bergaul dengan wanita secara tidak patut! Jelas?!" "Kakek...!" Nawangsih berseru dengan hati pilu setelah beberapa saat terpaku dengan wajah pucat pasi karena kaget mendengar cerita yang dituturkan Ki Tambak Raga. Gadis berpakaian kuning itu menubruk tubuh Ki Tambak Raga dan menangis. Kala Tungging, Eyang Ranggalawe, dan Dewa Arak ikut merasa terharu karenanya. Dan untuk tidak mengganggu keberadaan Nawangsih dan Ki Tambak Raga, mereka mengalihkan tatapan ke arah lain. Meskipun demikian, rasa ingin tahu membuat telinga mereka dipasang untuk mendengarkan pembicaraan lebih lanjut. "Benarkah Dipayana telah tiada, Nawangsih?!" tanya, Ki Tambak Raga setelah membiarkan Nawangsih menangis beberapa saat di dadanya. Nawangsih menjauhkan wajah dari dada kakeknya. "Benar, Kek," jawab gadis berpakaian kuning itu dengan suara serak sambil terisak. "Dia tewas terbunuh. Semula, kukira Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya yang membunuh Eyang Dipayana, tapi ternyata bukan. Mereka pun tidak tahu siapa pembunuh Eyang Dipayana?" "Bukankah kau tinggal bersamanya. Mengapa kau tidak tahu kematian Eyang Dipayana? Bukankah dia tewas di rumah." "Saat itu, aku tengah pergi ke kebun untuk memetik sayuran-sayuran kegemaran Eyang, Kek. Tapi.., begitu aku pulang yang kujumpai Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya. Mereka tengah marah-marah dan di antara mereka kulihat tubuh Eyang tergolek. Aku marah, dan menyerang mereka, tapi mereka terlalu kuat untukku. Maka, aku melarikan diri dan minta pertolongan pada Eyang Ranggalawe." "Hhh...!" Ki Tambak Raga menghembuskan napas berat sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dahinya berkerut-kerut seperti tengah berpikir keras. "Bisa kau terangkan pada kami sebab-sebab kematiannya, Nawangsih?" Eyang Ranggalawe menyela pembicaraan itu. Memang, dia belum mendapatkan pemberitahuan apa pun dari Nawangsih tentang cara kematian sahabatnya itu. "Em... aku tidak bisa melihat jelas dari dekat. Aku hanya dapat melihat ada tanda merah pada dadanya berupa telapak tangan. Tanda itu menghancurkan pakaian Eyang...." Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe tersentak kaget. Mereka saling pandang dengan wajah berubah. Tampak adanya kekhawatiran yang menggurat di wajah mereka. Dewa Arak melihat hal inimenjadi heran. "Apakah ada yang salah, Kek?" tanya Arya pada Ki Tambak Raga. "Tidak, Dewa Arak," jawab Ki Tambak Raga dengan nada ucapan sungguh-sungguh. "Hanya saja ciri-ciri penyebab kematian Eyang Dipayana mengingatkan aku pada seorang tokoh luar biasa dari dunia hitam. Tokoh yang memiliki watak aneh, gemar memakan jantung orang yang kurang waras pikirannya. Tokoh itu memiliki ilmu 'Telapak Tangan Darah' yang menimbulkan akibat seperti yang dikatakan Nawangsih. Untuk kegunaan ilmu itulah, tokoh sesat itu memakan jantung orang kurang waras. Luwing Sewu namanya!" "Mengapa dia membunuh Eyang Dipayana, Kek?! Apakah di antara mereka ada permusuhan?" tanya Arya, ingin tahu. "Tidak, Dewa Arak. Tapi, semua orang tahu kalau satu-satunya orang yang mengetahui tempat Satria Sinting, hanya Eyang Dipayana. Dan mengingat Luwing Sewu gemar memakan jantung orang kurang waras, bisa ditebak sendiri kejadiannya. Mungkin, tokoh sesat itu memaksa Eyang Dipayana untuk menunjukkan tempat Satria Sinting berada. Tapi, karena tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Eyang Dipayana dibunuhnya. Dan...." "Ha ha ha...!" Sebuah tawa keras tiba-tiba terdengar menyambuti ucapan Kl Tambak Raga. Kakek berjenggot putih panjang itu terjingkat kaget, dan mengalihkan tatapan ke tempat asal suara tawa. Hal yang sama dilakukan pula oleh dua kakek lainnya. "Luwing Sewu...!" Kala Tungging berseru kaget dengan mata membelalak. Begitu pula Eyang Ranggalawe dan Ki Tambak Raga. Semua terkejut melihat kedatangan seorang kakek bertubuh bongkok dan berpakaian kulit ular. Tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat terbuat dari ular yang dikeringkan. "He he he...!" kakek bongkok itu mengeluarkan tawa terkekeh sambil melangkah maju. "Rupanya kau cerdik juga, Tambak Raga. Memang, dugaanmu itu tidak keliru. Sekarang, biarkan aku mengambil Satria Sinting. Siapa yang mencoba menghalangi akan menerima kematian di tanganku...." "Keparat!" Ki Tambak Raga menggeram. "Kau hanya dapat melakukannya setelah melangkahi mayatku!" Ki Tambak Raga melompat menerjang dengan kedua tangan terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke arah ulu hati, perut, dan dada. Hembusan angin mengiringi tibanya serangannya yang dikerahkan dengan tenaga dalam. "He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh. Tongkatnya segera diselipkan ke ketiak kanan. Kemudian dengan kedudukan dan gerakan tangan yang sama seperti Ki Tambak Raga, dipapaknya serangan itu. Prattt! "Aaakh...!" Ki Tambak Raga mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya yang memakai jubah putih terpental beberapa langkah ke belakang. Sementara tubuh Luwing Sewu tampak hanya terguncang-guncang. Mulutnya tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya berhasil menjejak ke tanah dengan sempurna. "Bedebah...!" Ki Tambak Raga mendengus kesal seraya menatap kedua telapak tangannya yang memerah sebatas pergelangan. Namun dengan cepat warna merah akibat benturan itu menjalar ke atas. Ki Tambak Raga segera mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa beracun yang diduga akibat ilmu 'Telapak Tangan Darah' lawannya. Usaha Ki Tambak Raga sia-sia. Warna merah itu tetap terus menjalar ke atas. Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe tahu apa artinya itu. Mereka merasa tegang. Kalau Ki Tambak Raga saja dalam segebrakan dibuat terluka dan dalam keadaan terancam maut, apalagi mereka? Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melompat mengirimkan serangan mematikan ke arah Luwing Sewu. Namun hanya dengan kibasan-kibasan tangannya, kakek bongkok itu memaksa Dewa Arak untuk melompat mundur karena tak tahan mencium bau amis yang memuakkan berasal dari racun jahat yang dikeluarkan Luwing Sewu. "He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo, siapa lagi yang ingin ikut bertamasya ke akherat bersama Tambak Raga?! Silakan maju!" "Aku, Luwing!" sambut sebuah suara dengan suara menggigil seperti merasa kedinginan, mendahului Dewa Arak dan yang lain-lain "Lagi-lagi kau, Tua Bangka Gila! Dasar nasibku yang kurang baik!" Setelah berkata demikian dengan sikap gentar yang tidak dapat disembunyikan, Luwing Sewu melesat kabur dari situ. Dan sesaat kemudian, di tempat itu telah berdiri seorang kakek kecil kurus yang selalu tertawa cekikikan. Sepasang matanya tampak berputar-putar liar. Dewa Arak merasakan debaran tegang dalam jantungnya. Dirinya tidak tahu sama sekali, darimana dan bagaimana kakek kecil itu muncul. Tahu-tahu saja telah berada di antara mereka. Suatu kenyataan yang membuktikan bahwa kakek yang tampak kurang waras itu memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Masih dengan tawa cekikan dan sepasang mata berputaran liar, kakek kecil kurus itu menghampiri Ki Tambak Raga yang tengah mengerahkan tenaga dalam menahan menjalarnya hawa beracun. Kemudian, ditepuknya punggung kakek berjenggot panjang itu sekali. Seketika warna merah yang menjalar di sekujur tangan Ki Tambak Raga, perlahan-lahan memudar dan akhirnya lenyap sama sekali. "Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ucap Ki Tambak Raga dengan perasaan kagum yang tidak dapat disembunyikan. "He he he...! Siapa menolong siapa?! Aku hanya mencoba bertanggung jawab memberikan pertolongan pada orang yang telah berusaha menolong anakku. Kau Tambak Raga, kan? Aku telah sering mendengar namamu. Aku bersyukur kau tidak membenci anakku sekalipun dia berasal dari keluarga yang terbuang sepertiku. Memang, pesan leluhur kita tidak keliru, ilmu-ilmu larangan itu sangat berbahaya. Hanya akan membuat kesadaran kita lenyap. Ilmu larangan itu membuat orang yang mempelajarinya menjadi kurang waras. Kau lihat aku, he he he...! Juga anakku...? Kami adalah saksi nyata betapa berbahayanya ilmu-ilmu larangan itu. Keinginannya untuk menjadi prajurit kerajaan semakin membuatnya parah dalam kegilaan. Keadaan itu dipergunakan baik-baik oleh orang yang punya sifat jahat... Selamat tinggal, Tambak Raga!" Tanpa memberi kesempatan pada Ki Tambak Raga untuk berbicara, kakek kecil kurus itu menyambar tubuh Satria Sinting, lalu melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. "Itulah orang sakti yang pernah kuceritakan, Dewa Arak. Tokoh aneh yang tempat tinggalnya tiada yang tahu...," ucap Eyang Ranggalawe lirih. Dewa Arak hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia masih belum bersemangat untuk berbicara. Hatinya masih diliputi kebingungan dan heran dengan kejadian-kejadian yang baru saja dialami. Bahkan Kala Tungging pun telah kehilangan gairah untuk bertempur. Mereka mengarahkan pandangan ke arah perginya kakek kecil kurus dengan tatapan kosong.... |
SELESAI
|
Selanjutnya,
|