Dewa Arak-Pulau Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewa Arak - Pulau Setan

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Sluppp! Sebuah kepala berwajah tirus mirip tikus dengan mata memanjang, langsung masuk ke dalam air sebuah danau yang permukaannya banyak ditumbuhi tumbuhan air. Baru saja kepala yang ternyata milik laki-laki berusia lanjut itu lenyap ke bawah permukaan air, terdengar bunyi derap langkah beberapa pasang kaki. Sebentar kemudian, tepat di pinggir danau berkumpul beberapa sosok tubuh yang kesemuanya berpakaian serba hitam.

"Heran...!" desah salah satu orang berseragam yang berwajah bopeng sambil mengedarkan pandangan seperti tengah mencari-cari sesuatu. "Ke mana perginya tua bangka yang sudah hampir mampus itu?! Atau jangan-jangan memang dia sudah mampus, karena termakan racunnya sendiri."

Sementara, orang-orang berseragam serba hitam juga mengedarkan pandangan.

"Mudah-mudahan sih, demikian," timpal lelaki bermata sipit.

"Tapi..., tidakkah kau ingat perintah Setan Hitam Tak Berjantung? Kalau memang tua bangka tak berguna itu sudah mampus, kita harus menemukan mayatnya." (Tentang tokoh berjuluk Setan Hitam Tak Berjantung, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Peti Bertuah).

"Siapa tahu, tua bangka itu tidak melarikan diri kemari! Tapi..., tunggu dulu. Mungkinkah tua bangka yang sudah hampir mati itu bersembunyi di danau itu?!"

Kata-kata lelaki bermuka bopeng itu membuat lima orang kawannya mengarahkan pandangan ke sekitar penjuru danau yang cukup luas.

"Kurasa tidak mungkin," bantah lelaki bermata sipit, yakin.

"Dalam keadaan terluka parah seperti itu, mana mungkin tua bangka yang sudah hampir mati itu mampu menahan napas sedemikian lama di dalam air? Mustahil, bukan?!"

"Mengapa mustahil…?!" timpal laki-laki berambut kecoklatan, membantu pendapat lelaki berwajah bopeng. "Jangan terlalu memandang rendah tua bangka itu! Meski sudah hampir mati, tapi dia tetap bekas seorang datuk kaum sesat yang terkenal sakti! Kemampuannya sukar dijajagi, meski sekarang sudah tidak mempunyai gigi lagi. Dan lagi, di danau ini banyak terdapat tumbuhan air yang dapat digunakan untuk membantu bernapas, andai dia tidak mampu menahan napas lama. Jadi menurut hematku, tidak ada salahnya kalau kita mencarinya di danau ini!"

Kali ini lelaki bermata sipit kalah dukungan, karena rekan-rekan lainnya, juga mengangguk, menyatakan setuju.

"Lihat itu...!" Seruan lelaki bermata sipit, membuat rekan-rekannya yang sudah memusatkan perhatian pada danau menoleh kepala ke kiri.

Tempat enam orang berpakaian hitam ini berada, memang sebuah jalan tanah berdebu yang kanannya diapit danau lebar dan luas. Sedangkan di sebelah kiri berupa lereng gunung yang menanjak ke atas. Begitu terjal dan berbatu-batu, hampir curam.

Pada salah satu ujung jalan tanah berdebu, tampak debu mengepul tinggi ke udara. Memang bisa diperkirakan kalau di kejauhan sana seekor kuda tengah dipacu cepat menuju ke arah mereka. Perhatian orang-orang berpakaian seragam serba hitam yang ternyata adalah Gerombolan Setan Hitam itu pun beralih ke arah kepulan debu dari kuda yang dipacu cepat.

Sesaat kemudian, terlihat kalau kepulan debu itu berasal dari seekor kuda yang dipacu secara cepat. Semakin lama, semakin tampak kalau penunggangnya adalah seorang gadis cantik berpakaian coklat. Seketika, wajah enam orang berpakaian hitam ini pun berseri-seri. Rupanya, begitu melihat seorang gadis cantik melakukan perjalanan seorang diri, benak mereka yang kotor mulai berpikir tidak senonoh!

Gadis berpakaian coklat di atas punggung kuda coklat putih itu pun merasakan adanya bahaya mengancam, ketika enam orang berpakaian hitam yang berdiri di pinggir telaga mulai menyebar ke tengah jalan. Sehingga, jalan tanah yang tidak begitu lebar itu menjadi tertutup.

Tapi rupanya tindakan enam orang kasar dari Gerombolan Setan Hitam tidak membuat gadis berpakaian coklat ini kebingungan. Justru, tali kekang kudanya digeprakkan untuk mempercepat lari binatang tunggangannya. Dia hendak memaksa lewat, dengan menubrukkan kudanya pada sosok-sosok yang berdiri menghalangi jalan. Karena dia yakin, keenam orang bertampang berangasan itu akan menyingkir dari sana!

"Seekor kuda betina yang masih liar! Rupanya, dia minta dijinakkan dulu...!" ujar lelaki berwajah bopeng dengan sinar mata berkilat-kilat, menyatakan hasrat hatinya yang besar terhadap gadis penunggang kuda coklat putih itu.

Usai berkata demikian, tahu-tahu pada kedua tangan lelaki berwajah bopeng ini tergenggam beberapa buah pisau yang batangnya bersemu kehijauan. Bisa ditebak kalau pisau itu mengandung racun jahat. Tidak terlihat lelaki berwajah bopeng ini menggerakkan tangan. Tapi, tahu-tahu pisau-pisau itu telah berada di tangannya. Lalu...

Sing, sing, sing!

Bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika pisau-pisau beracun meluncur merobek udara. Arah yang ditujunya adalah kuda coklat putih yang tengah meluncur ke arahnya.

Cap, cap, cappp!

"Ikh...!" Gadis berpakaian coklat itu terpaksa berjungkir balik di udara ketika kudanya terjengkang ke depan akibat terhujam pisau-pisau beracun di beberapa bagian tubuhnya. Cepatnya luncuran pisau, ditambah arah lari kuda coklat putih, membuat gadis berpakaian coklat ini tidak sempat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawa binatang tunggangannya.

Jliggg!

Begitu kedua kaki gadis berpakaian coklat itu menjejak tanah, enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam telah mengurungnya dari berbagai penjuru. Kelihatannya, gadis itu tidak mungkin bisa melarikan diri dari lagi, tanpa bertarung menyambung nyawa!

"Siapa kalian?! Dan, mengapa menghadang perjalananku?! Menyingkirlah! Aku tidak berurusan dengan kalian!" tegas gadis berpakaian coklat ini keras penuh wibawa seraya merayapi wajah-wajah di sekelilingnya.

"Ha ha ha...!" Lelaki berwajah bopeng yang kelihatan paling bernafsu langsung tertawa sambil memperhatikan gadis berpakaian coklat yang berada di depannya penuh selidik. Dan mendadak tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan.

"Ah...! Kiranya kuda betina liar ini berasal dari Perguruan Pedang Halilintar, Kawan-kawan!" kata laki-laki berwajah bopeng, ketika melihat lencana di dada gadis itu yang bergambar sebuah pedang dan sebentuk kilatan petir.

"Pantas, sikapnya cukup galak. Rupanya dia belum kenal dengan Gerombolan Setan Hitam!" sambut lelaki bermata sipit. "Menyingkirlah. Biar aku yang mencicipi kepandaiannya! Aku ingin tahu, apakah kepandaiannya sesuai dengan sesumbarnya!"

"O, rupanya kalian orang-orang dari Gerombolan Setan Hitam?! Huh! Kalian memang bagai anjing minta dipukul majikannya!" Gadis berpakaian coklat langsung mencabut pedangnya hingga mengeluarkan bunyi berdesing nyaring.

Cring!

"Heaaat...!" Gadis yang ternyata berasal dari Perguruan Pedang Halilintar langsung menginmkan serangan ke arah lelaki berwajah bopeng yang berada di depannya.

"Uh...!" Lelaki berwajah bopeng itu langsung mengeluarkan seruan kaget, ketika melihat sinar terang menyambar yang diikuti bunyi berkerosokan seperti halilintar menyambar! Tanpa buang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. Dan dia langsung bergulingan di tanah untuk mencegah lawan mengirimkan serangan susulan.

Ketika dia bangkit dengan dahi berkeringat dingjn saking kagetnya, kawan-kawannya telah mengeroyok gadis berpakaian coklat. Lelaki berwajah bopeng mencabut senjatanya yang berupa sebatang golok berbatang hitam pekat, sama seperti golok yang dimiliki rekan-rekannya.

"Shaa...!" Didahului teriakan keras membahana, lelaki berwajah bopeng itu terjun dalam kancah pertarungan. Perasaan marah karena nyawanya hampir saja melayang dalam segebrakan, mengusir perasaan malunya dalam melakukan pengeroyokan! Lima temannya pun, serentak langsung bertindak ketika melihat kehebatan gadis berpakaian coklat itu.

Sesaat kemudian, suasana yang semula hening dan sepi, dipecahkan oleh bunyi nyaring senjata beradu. Bunga-bunga api pun memercik ke segala arah. Gadis berpakaian coklat dari Perguruan Pedang Halilintar itu memang memiliki kepandaian tinggi, terutama ilmu pedangnya yang luar biasa. Pedangnya mampu menyambar-nyambar laksana halilintar!

Baik dalam kecepatan maupun bunyinya. Kalau saja lawan-lawan yang dihadapi tidak melakukan pengeroyokan, bisa diduga tanpa menemui kesulitan dia akan merobohkan seorang demi seorang! Menghadapi enam lawan sekaligus terasa berat untuk ukurannya.

Apalagi, masing-masing lawannya memiliki kepandaian tidak berada terlalu jauh di bawahnya. Mungkin bila menghadapi tiga orang, dia akan sanggup menandinginya! Lewat lima jurus, gadis berpakaian coklat ini mulai terdesak.

Serangan-serangan berkurang jauh. Dan dia lebih banyak bertahan, menangkis atau mengelak. Pertarungan semacam ini membuatnya terus bermain mundur. Disadari betul kalau keadaan tidak berubah, dia akan roboh di tangan lawan-lawannya. Maka dia harus melakukan suatu perubahan. Tapi bagaimana? Dan saat di tengah kebingungan, terdengar suara berkumandang di telinganya.

"Jangan kaget, dan jangan khawatir, Nini! Sebentar lagi akan muncul ular-ular yang akan menyerang para pengeroyokmu. Kau jangan melakukan tindakan yang membuat ular-ular jadi menyerangmu. Karena aku akan memberi perintah pada binatang itu, untukmenyerang orang-orang yang berpakaian hitam! Jelas?!"

Gadis berpakaian coklat tidak tahu, dari mana asal suara itu. Dan, siapa pemiliknya. Hanya saja dia yakin kalau orang yang berkepandaian tinggi itu bermaksud menolongnya. Ini bisa dibuktikan dari kemampuannya mengirimkan ilmu suara dari jauh. Padahal, ilmu itu hanya dapat dimiliki tokoh bertenaga dalam amat tinggi. Di Perguruan Pedang Halilintar, hanya si Pedang Halilintar Sakti yang menjadi ketualah, yang memiliki ilmu seperti itu. Namun, itu pun tidak terlalu sempurna!

Karena yakin kalau orang yang telah mengirimkan suara dari jauh bermaksud menolongnya, tanpa ragu-ragu gadis berpakaian coklat itu mengangguk. Hanya tindakan itu yang dapat dilakukannya untuk menyatakan persetujuannya, meskipun sebenarnya tidak yakin kalau anggukkannya terlihat. Dia tidak tahu, di mana adanya tokoh yang bermaksud menolongnya.

Begitu keadaan gadis berpakaian coklat ini semakin terjepit, mendadak terdengar bunyi melengking nyaring dan bernada aneh yang tampaknya dari suara suling! Dan gadis berpakaian coklat yang telah mendapat pemberitahuan ini, tanpa sadar merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu, bunyi suling itu menjadi pertanda kalau ular-ular yang dimaksud penolongnya akan segera tiba. Padahal, dia paling takut dan jijik terhadap ular!

Memang bukan hanya gadis ini yang mendengar bunyi suling itu. Enam anggota Gerombolan Setan Hitam pun mendengarnya. Dan begitu mengetahui arti bunyi suling itu, wajah-wajah mereka langsung berubah pucat. Bahkan tanpa sadar, mereka tidak mempedulikan gadis itu lagi. Enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam ini langsung melompat mundur, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu dengan sorot mata tegang bukan kepalang!

"Sss...!" Sekejap kemudian, apa yang ditakutkan gadis berpakaian coklat dan enam orang Gerombolan Setan Hitam menjadi kenyataan. Kini terdengar bunyi berdesis yang ramai sekali, diiringi bunyi berdesis keras seperti benda licin yang digesek-gesekkan ke tanah. Bau amis yang memualkan perut pun memenuhi udara di sekitar tempat ini.

"Ssss...!"

Enam anggota Gerombolan Setan Hitam dan gadis berpakaian coklat merasakan bulu tengkuk mereka meremang, ketika melihat bermunculannya ular-ular dari seluruh tempat ini. Jumlah binatang-binatang melata itu tidak terhitung. Ribuan! Betapapun saktinya seseorang, menghadapi serbuan ribuan ekor ular yang terdiri dari berbagai jenis dan ukuran, tetap saja akan membuat ciut nyalinya.

Apalagi orang-orang seperti enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam dan gadis berpakaian coklat ini. Untung gadis berpakaian coklat ini teringat akan pesan yang tidak diketahui pemiliknya. Dan lebih untungnya lagi, dia menuruti untuk diam di tempat dan tidak melakukan gerakan-gerakan sehingga dapat memancing ular-ular yang meluncur bagai air bah menyerangnya.

Dan ucapan sosok yang tidak diketahui pemiliknya itu ternyata tidak hanya sesumbar belaka. Ular-ular yang meluncur bagai air bah itu sama sekali tidak mempedulikannya. Binatang-binatang melata itu terus melewatinya. Dengan hati ngeri, gadis berpakaian coklat ini melihat betapa enam orang berpakaian hitam itu harus berjuang keras untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular yang menyerbu.

Golok-golok hitam di tangan mereka berkelebatan ke sana kemari, membabati ular-ular yang mencoba mendekat! Darah pun muncrat ke sana kemari, diikuti berpentalannya potongan-potongan tubuh ular-ular yang mencoba mematuk anggota Gerombolan Setan Hitam.

"Tunggu apa lagi, Nini?! Mumpung mereka tengah sibuk bersitegang dengan ular-ular itu, mari kita pergi dari sini!"

Gadis berpakaian coklat itu segera mengedarkan pandangan untuk mencari asal suara. Dia agak bingung menentukan sumbernya, karena suara itu dikeluarkan berkat ilmu mengirimkan suara dari jauh, sehingga sulit diketahui asalnya.

Di sebelah kanan, gadis berpakaian coklat itu melihat seorang kakek kurus kering berompi dari kulit ular. Wajahnya tirus mirip tikus, dengan sepasang mata panjang yang selalu berputaran liar menandakan kecerdikannya. Dengan cepat, kakinya melangkah hati-hati menuju ke tempat kakek kurus kering itu berada, yang jaraknya tak akan kurang dari delapan tombak.

Anehnya, ke mana saja gadis berpakaian coklat itu mengayunkan kaki, kerumunan ular langsung menyibak, memberi jalan sebelum kakinya menginjak tanah. Hanya sebentar saja, gadis itu sudah berada di dekat kakek kurus kering yang masih sibuk meniup suling. Suara suling itulah yang menyebabkan ular-ular muncul dan menyerang Gerombolan Setan Hitam.

"Kuucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, Kakek yang baik. Kalau kau tidak ada, mungkin aku sudah binasa di tangan mereka," ucap gadis berpakaian coklat ini penuh rasa syukur.

"Lupakanlah soal itu, Nini. Yang penting sekarang, cepat kita pergi dari sini sebelum kawan-kawan mereka muncul. Apabila itu terjadi, aku tidak akan mampu berbuat apa-apa," jawab kakek kurus kering itu, tanpa mempedulikan ucapan terima kasih gadis berpakaian coklat. Sehingga, gadis berpakaian coklat menampakkan perasaan kecewa yang tergambar pada wajahnya.

Tanpa berkata apa-apa, kakek kurus kering itu mengajak gadis berpakaian coklat ini mengayunkan kaki ke belakang. Dan kakek kurus kering itu pun melesat lebih dulu baru disusul gadis itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh mereka telah berada jauh di depan.

Sekarang yang tinggal di tempat ini hanya kerumunan ular yang masih sibuk menggeragoti sekujur daging di tubuh enam orang Anggota Gerombolan Setan Hitam yang sudah tak berdaya. Mereka semua roboh dan tewas, setelah merobohkan banyak ular yang mengeroyoknya. Tapi karena ular-ular itu seperti tak pernah berkurang, enam orang ini jadi kewalahan. Dan akhirnya, mereka tewas.

Sementara itu tanpa diketahui, di bagian yang agak tinggi di atas salah satu gundukan batu, berdiri empat sosok yang menatap ke arah enam orang lelaki berpakaian hitam yang kini tengah menjadi tulang-belulang.

"Apa kubilang?! Ular-ular yang kita lihat di perjalanan, tidak bergerak begitu saja. Pasti tua bangka keparat itu yang mengendalikannya. Kalau saja tidak terlambat, aku yakin akan mampu mencegah terjadinya hal seperti ini!"

Ucapan bernada penyesalan itu keluar dari mulut seorang pemuda bertubuh kekar berpakaian hitam dan berwajah mirip singa. Sementara tiga sosok yang berdiri agak di belakangnya hanya mengangguk. Mereka percaya, pemuda berwajah mirip singa ini mampu bertindak.

* * *

"Ukh...!" Tubuh kakek kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular itu terhuyung-huyung ke depan. Dan dia sudah akan terjerembab, kalau gadis berpakaian coklat tidak keburu mengulurkan tangan menangkapnya. Lari kedua orang ini pun terhenti.

"Apa yang terjadi denganmu, Kek?! Kau..., kau sakit!" tanya gadis berpakaian coklat itu, penuh perhatian. Rasa kecewa karena ucapan terima kasihnya tidak mendapatkan sambutan yang sewajarnya tadi langsung lenyap entah ke mana, ketika melihat wajah kakek kurus kering yang pucat pasi. Keringat sebesar-besar biji jagung menghias sekujur wajah-nya yang keriput.

"Aku..., aku tidak apa-apa," jawab kakek kurus kering dengan suara lemah hampir tidak terdengar. "Tolong bawa aku ke tempat teduh."

Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis berpakaian coklat itu segera memapah tubuh kakek kurus kering ini ke arah sebatang pohon yang tumbuh di dekat situ. Dengan hati-hati disandarkannya tubuh kakek kurus kering itu di batang pohon. Sedangkan dia sendiri berdiri dengan kedua lutut di depannya.

"Kau... Kau terluka, Kek? Ah...! Lukamu parah sekali...!" Kembali suara halus tapi mengandung penuh perasaan khawatir terdengar dari mulut gadis berpakaian coklat ini ketika melihat kakek kurus kering itu memuntahkan darah segar! Untungnya kakek kurus kering itu cepat menghindar, sebelum terkena semburan darah.

"Tidak usah kau pikirkan aku," desah kakek kurus kering, pelan hampir berbisik. "Aku memang sudah terluka parah, ketika menghadapi pimpinan dari orang-orang yang kau lawan. Dan aku tidak boleh mengeluarkan tenaga cukup berlebihan, kalau tidak ingin lukaku bertambah parah dan membahayakan nyawaku...."

"Tidak usah diteruskan, Kek," potong gadis berpakaian coklat ini cepat sambil menyusut darah yang membasahi sekitar mulut kakek kurus kering. "Aku tahu! Kau membahayakan nyawamu sendiri demi menolongku. Usahamu untuk memanggil ular-ular, membuat luka dalammu bertambah parah. Karena kau mengerahkan tenaga dalam berlebihan. Demikian pula saat kita berlari. Akan kubalaskan sakit hati ini, Kek. Tolong katakan, siapa pimpinan mereka?! Siapa orang yang telah membuatmu terluka demikian parah? Aku Dara, berjanji akan menuntut balas!"

Kakek kurus kering tersenyum. Wajahnya agak cerah, karena melihat tekad gadis itu. Tapi, sorot matanya terlihat sayu. Bahkan semakin meredup! "Kau anak yang baik, Dara. Meski tersinggung, masih memikirkan diriku. Ah...! Sama sekali tidak kusangka seorang gadis berkepandaian tinggi seperti dirimu, memiliki watak perasa. Kau mudah diombang-ambingkan perasaan. Kau mempunyai watak halus. Aku tidak yakin, kau mampu membunuh orang!"

Suara kakek kurus kering itu semakin pelan dan napasnya semakin terengah-engah. "Aku, Kuru Sanca, tidak akan melupakanmu! Apa hubunganmu dengan Ketua Perguruan Pedang Halilintar, si Sombong Pedang Halilintar Sakti?!" tanya kakek yang ternyata Kuru Sanca, begitu melihat lambang gambar perguruan di dada gadis itu.

"Aku putrinya, Kek," jawab gadis berpakaian coklat yang ternyata bernama Dara, putri si Pedang Halilintar Sakti yang kabur dari perguruan ayahnya. (Untuk jelasnya silakan baca episode Peti Bertuah).

"Putrinya?!" ulang Kuru Sanca dengan napas semakin terengah. "Perbedaan antara kau dengan ayahmu bagaikan api dengan air. Ayahmu berwatak tinggi hati, sombong, terlalu yakin kalau hanya dialah tokoh yang memiliki kepandaian tertinggi di dunia ini. Sedangkan aku...? Ah...! Kalau tidak melihatnya sendiri aku tidak akan percaya!"

"Aku sendiri tidak menyangka kalau kau adalah Kuru Sanca, Kek," timpal Dara. "Menurut ayah, kau seorang tokoh hitam yang memiliki watak keji. Dan lagi, kau merupakan salah seorang datuk golongan hitam. Jago racun, tapi kenyataan yang kulihat..? Heh...?! Mengapa kau, Kek?!"

Dara menghentikan ucapannya yang belum s-lesai, ketika melihat sepasang mata Kuru Sanca yang mulai redup tampak terbelalak lebar. Memang hanya sesaat, tapi meyakinkan kalau ada sesuatu yangmembuat Kuru Sanca demikian terkejut!

DUA

Namun, sesaat kemudian Kuru Sanca tersenyum. Padahal terlihat jelas menampakkan rasa khawatir yang sangat. Kakek kurus kering ini tahu, senyumnya tidak enak dilihat. Tapi, setidak-tidaknya akan dapat menjadi sebuah awal untuk menenangkan hati gadis berpakaian coklat itu. "Aku tidak apa-apa, Dara. Bahkan justru aku yakin akan menjadi sembuh karenanya. Kau tahu, apa sebabnya?"

Dara menggelengkan kepala, karena memang dia tidak tahu jawabannya.

"Ucapannya yang menyebutkan karena aku dulu adalah seorang tokoh sesat yang ahli menggunakan racun, jadi mengingatkan akan keahlian yang kumiliki sekarang. Aku sekarang tidak hanya mahir dalam kemampuan bermain racun saja, Dara. Tapi, juga dalam hal obat-obatan. Ah! Usia tua membuat ingatanku banyak berkurang. Aku hampir lupa. Untung saja kau mengingatkannya. Tolong ambilkan obat di saku kanan pakaianku ini, Dara. Di bagian dalam," ujar Kuru Sanca.

"Maafkan kelancanganku ini, Kek," ucap Dara, sebelum menyibak rompi kulit ular Kuru Sanca. Di bagian sebelah kanan, Dara melihat sebuah kantung yang cukup lebar dan besar, tapi terkancing. Buru-buru dibuka dan dimasukkannya jari-jari tangannya yang halus ke dalam saku itu.

"Ambil dua butir yang berwarna merah, Dara," jelas Kuru Sanca ketika melihat Dara kebingungan, begitu jari-jari tangan gadis berpakaian coklat itu mendapatkan obat-obat berbagai macam bentuk dan beraneka warna.

Dara segera memasukkan obat-obat yang tidak dimaksud ke saku baju Kuru Sanca kembali. Sedangkan obat yang berwarna merah dimasukkannya ke mulut kakek kurus kering itu. Dengan mudah, Kuru Sanca menelannya, meski tanpa menggunakan air. Baru saja Kuru Sanca menelan obatnya.....

"Rupanya kau berada di sini, Singa Ompong?! Berarti Setan Hitam Tak Berjantung tidak berhasil dengan tugasnya. Biarlah sekarang aku yang akan merampungkannya!"

Mendadak saja terdengar suara keras menggelegar, Kuru Sanca dan Dara terkejut setengah mati. Bahkan gadis berpakaian coklat itu sampai terjingkat ke belakang, bagai disengat kelabang. Sebelumnya memang tidak terdengar bunyi apa-apa sebelum pemilik suara itu berbicara. Dari sini saja bisa diperkirakan kalau pemilik suara itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.

Keterkejutan Dara semakin bertambah, ketika melihat pemilik suara yang ternyata seorang kakek berkulit hitam legam terbungkus pakaian serba hitam. Ujung bajunya sampai di bawah lutut. Tapi mulai dari pusar bajunya tidak terkancing. Tampangnya menggidikkan, dengan hidung bengkok yang menyiratkan kelicikannya. Yang paling menggetarkan, di sebelah kirinya berdiri makhluk berkaki empat berwarna agak kuning, bertotol-totol hitam. Seekor macan tutul yang kelihatan buas dan perkasa!

Singngng!

Dara yang segera dapat meredam keterkejutannya, langsung menghunus pedangnya. "Langkahi dulu mayatku sebelum kau dapat mencelakakannya, Kakek Jahat!" tegas Dara, mantap. Dadanya yang sudah berbentuk indah, dibusungkan ke depan.

"Luar Biasa! Sama sekali tidak kusangka! Meski sejelek dan setua itu, masih ada wanita cantik yang bersedia menjadi gundikmu! Luar biasa! Kau yang luar biasa, atau gadis ini yang kemaruk lelaki, Singa Ompong?!" ejek kakek berkulit hitam legam.

"Tutup mulutmu, Kakek Bermulut Kotor!" dengus Dara dengan wajah merah padam. Dara adalah seorang gadis berperasaan halus. Maka makian tidak senonoh kakek berhidung melengkung membuat kemarahannya berkobar, karena harus menahan malu. Seketika langsung diserangnya kakek itu dengan kelebatan pedangnya yang berkilatan.

"Ah...! Kau dari Perguruan Pedang Halilintar?" desah kakek berkulit hitam. Kakek ini kaget juga melihat serangan Dara yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat. Bahkan juga terdengar bunyi berkerosokan seperti ada halilintar menyambar bumi.

Dalam kemarahannya karena makian kotor kakek berhidung melengkung, Dara melancarkan serangan menggunakan jurus andalan dari ilmu 'Pedang Halilintar', yang diberi nama jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar Gunung'! Sehingga ujung pedangnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan tiap ujung pedang, meluncur ke arah bagian mematikan di tubuh kakek berhidung melengkung. Bunyi berkerosokan nyaring mengiringi meluncurnya pedang menuju sasaran.

Sementara, kakek berhidung melengkung ini tahu kedahsyatan serangan itu. Maka tongkatnya yang bergagang kepala tengkorak bayi di tangan kanan, segera diputar-putar di depan tubuhnya. Sehingga bentuk tongkatnya lenyap. Dan yang terlihat sekarang hanya segundukan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.

Trang, trang, trang!

Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk oleh putaran tongkat bergagang kepala bayi. Sehingga menimbulkan bunyi nyaring dan bunga api yang berpercikan ke sana kemari. Seketika, tubuh Dara yang menerjang lawan mendadak terjengkang ke belakang.

Untung saja, gadis ini memiliki kepandaian yang cukup. Sehingga kedua kakinya berhasil menjejak tanah dengan mantap. Namun, ternyata pedangnya sudah tidak berada di dalam genggaman tangan lagi, terpental akibat benturan yang amat keras tadi.

Melihat dahsyatnya serangan pedang si gadis, maka kakek berhidung melengkung itu memutar tongkatnya, hingga terlihat segundukan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya!

Trang, trang, trang!

Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk oleh putaran tongkat itu.

"He he he...!" Kakek berkulit hitam legam terawa mengejek. "Kau terlalu sok pahlawan, Bocah Ayu. Dikira, aku ini siapa? Berani benar kau menentangku?! Ayahmu pun kalau bertemu aku, tidak akan berani bertindak selancang ini! Dia akan berlutut dan menjilati telapak kakiku sampai bersih! Menyingkirlah! Aku malu untuk bertarung melawan bocah masih bau kencur seperti kau!" Dan kini kakek berhidung melengkung yang tadi sama sekali tidak terpengaruh akibat benturan dua macam senjata, melangkah lebar mendekati tempat Dara berada.

Sementara, gadis berpakaian coklat itu masih menyeringai kesakitan, karena rasa sakit yang melanda sekujur tangannya yang meng-genggam pedang. Bahkan tangan tadi sempat lumpuh! Dara mulai menyadari kalau kakek berhidung melengkung ini terlalu tangguh. Namun, hatinya tidak menjadi gentar karenanya. Setapak pun kakinya tidak akan mundur! Apalagi setelah kakek berhidung melengkung itu menghina ayahnya!

"Dara...! Larilah...! Jangan bertindak bodoh...! Tidak ada gunanya berkeras untuk membelaku! Aku tak takut mati...!" seru Kuru Sanca dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Obat-obat buatan Kuru Sanca memang manjur sehingga mampu bekerja cepat. Sehingga keadaannya agak lebih baik dari sebelumnya.

"Tidak, Kek! Aku bukan pengecut! Kalau memang kau harus mati, aku pun tidak mau hidup! Aku bukan sejenis orang yang tidak mengenal budi baik orang!" tandas Dara sambil menoleh ke belakang.

Terasa ada nada ketegasan yang tidak mungkin bisa dibantah di dalam kata-kata gadis ini. Kemudian dengan kedua tangan terkepal pandangannya kembali diarahkan ke kakek berkulit hitam legam yang terusmelangkah lambat ke arahnya.

Kuru Sanca adalah tokoh yang kenyang pengalaman. Sekali dengar saja, dia tahu kalau Dara tidak akan mau mundur setapak pun. Tekad gadis berpakaian coklat itu tak akan mungkin dapat dirubah. Maka, dia hanya dapat menghela napas berat. Dia tahu, Dara akan celaka. Dan saat ini, dia hanya dapat melihat semua kejadian tanpa dapat membantu.

Sementara, ketika melihat kakek berhidung melengkung semakin dekat, Dara langsung melompat menerjang dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah dada! Tapi, kakek berkulit hitam legam itu hanya mendengus penuh ejekan. Padahal sebelum pukulan itu tiba di sasaran, angin keras telah lebih dulu berhembus. Begitu serangan menyambar dekat, kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Kemudian tangan kirinya bergerak menyambar, dengan jari-jari terbuka.

Kreppp!

Dara langsung terpekik kaget ketika pergelangan tangan kanannya telah tercekal! Padahal, tadi ketika melihat gerakan lawan dia telah berusaha keras mengelak. Dan sebelum Dara bertindak lebih lanjut, kakek berhidung melengkung telah lebih dulu menyentakkan tangannya.

"Akh...!" Dara berseru tertahan ketika tubuhnya melayang deras tanpa mampu berbuat sesuatu untuk menghentikannya.

Sedangkan kakek berkulit hitam legam sama sekali tidak mempedulikan nasib Dara lagi. Dia terus bergerak cepat, mendekati Kuru Sanca yang masih bersandar di pohon. Sedangkan macan tutul yang berdiri di sebelahnya, rupanya tidak mau ketinggalan. Binatang buas ini pun berjalan pula di sebelah kakek berhidung melengkung.

"Sekarang sampai juga ajalmu, Kuru Sanca!" Kakek berkulit hitam legam ini tampak gembira bukan kepalang, karena yakin akan keberhasilannya membunuh datuk sesat yang menggiriskan hati itu.

Namun belum lagi kakek berkulit hitam legam itu melancarkan serangan, mendadak saja kakinya mundur selangkah. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah kaki halus mendekati tempatnya. Dan sebelum sempat kakek berhidung melengkung ini menoleh, terasa angin dingin berkesiur. Sekejap kemudian, di depannya telah berdiri sesosok bertubuh ramping berwajah cantik jelita.

"Lagi..., lagi kau..., bo... eh...?! Siapa kau, Wanita Liar?!" Kakek berkulit hitam legam yang semula menduga kalau wanita cantik yang menghadang langkahnya adalah Dara, jadi menahan ucapannya. Ternyata dugaannya keliru. Wanita yang berdiri di hadapannya, dan membelakangi Kuru Sanca ini memang berwajah cantik jelita berpakaian serba putih.

"Mengapa kau menghadang di depanku? Apakah kau mempunyai hubungan dengan kakek yang sebentar lagi akan mati di tanganku?! Apakah kau juga gundiknya?!" lanjut kakek berkulit hitam legam ini.

Jawaban yang diterima kakek berhidung melengkung ini hanya berupa jeritan melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar! Kemudian gadis berpakaian serba putih ini mengirimkan serangan mematikan mempergunakan kedua tangan, yang kanan mencengkeram leher, sedangkan yang kiri mencengkeram pusar! Salah satu saja mengenai sasaran, nyawa kakek berkulit hitam legam ini pasti melayang ke alam baka!

Wajah kakek berkulit hitam legam ini berubah kaget. Hanya sekali lihat saja dia tahu kalau serangan gadis berpakaian putih ini lebih hebat daripada serangan Dara. Menilik dari bunyi berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, dia tahu kalau tenaga dalam gadis ini lebih kuat. Bahkan kecepatannya begitu dahsyat.

Diam-diam kakek berkulit hitam legam ini merasa heran, mengapa gadis-gadis cantik dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi membela Kuru Sanca mati-matian. Apa yang tersembunyi di balik semua ini? Tapi, kakek berkulit hitam legam tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena serangan gadis berpakaian putih telah semakin dekat.

Plak!

Bunyi benturan keras dari dua tangan yang beradu langsung terdengar ketika kakek berhidung melengkung ini memapak serangan-serangan gadis berpakaian putih. Akibatnya tubuh gadis itu terhuyung-huyung hampir lima langkah ke belakang. Sedangkan lawannya hanya satu langkah.

Gadis ini jadi mengertakkan gigi, menahan geram. Kenyataan yang terjadi menunjukkan kalau tenaga dalam kakek berhidung melengkung itu cukup jauh di atasnya. Menyadari kenyataan kalau bertarung tangan kosong hanya akan merugikan diri sendiri, maka gadis itu segera mengayunkan tangannya ke belakang punggung.

Ngungngng!

Bunyi mengerung keras seperti ada seekor naga murka segera terdengar, ketika gadis berpakaian putih itu mencabut pedang, dan langsung menggerak-gerakkannya di depan dada.

Kakek berkulit hitam legam itu langsung ternganga takjub, menyaksikan pertunjukan ilmu pedang yang demikian dahsyat dari gadis ini. Meski memang baru jurus pembuka yang dilihat, tapi telah cukup membuatnya takjub.

"Keluarkan senjatamu kalau tidak ingin mati sia-sia di ujung pedangku, Kakek Hidung Betet!" teriak gadis berpakaian putih itu, di tengah-tengah riuh rendah permainan pedangnya.

"Keparat!" Kakek berkulit hitam legam ini jadi menggertakkan gigi dengan sepasang mata menyala-nyala karena gejolak perasaan marah. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang mempermasalahkan hidungnya yang berbentuk aneh. Apalagi kalau sampai memakinya, seperti yang didengarnya barusan.

"Wanita Liar! Mulutmu benar-benar tajam! Kau harus membayar kelancangan mulutmu. Celanamu akan robek, dan kau akan kutelanjangi!"

Untuk yang kedua kalinya terdengar bunyi melengking nyaring dari mulut gadis berpakaian putih itu. Lengkingan yang keluar dari perasaan hati yang terbakar, mendengar ucapan kakek berkulit hitam legam yang tidak senonoh ini. Dan belum habis gema lengkingan itu, gadis berpakaian putih ini telah melesat menerjang!

Kakek berhidung melengkung yang juga telah bangkit amarahnya telah menggenggam erat-erat tongkat yang menjadi senjata andalan. Dan sambil berteriak tidak kalah keras, melompat memapak serbuan lawan. Maka pertarungan pun berlangsung sengit.

Ilmu pedang gadis berpakaian putih itu benar-benar luar biasa. Pedangnya bagai telah berubah menjadi seekor binatang yang amat ganas dengan bunyi menggerung-gerung keras, menyertai setiap luncurannya ke arah berbagai bagian di tubuh kakek berkulit hitam legam ini.

Namun, kakek itu juga bukan orang sembarangan. Permainan tongkatnya pun luar biasa. Betapapun gencar dan dahsyatnya sambaran pedang gadis berpakaian putih itu. Namun tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Ke mana saja ujung pedang menuju, selalu berbenturan dengan putaran tongkat kakek berkulit hitam legam ini.

Bunyi berdentang nyaring dan bunga api kini menyemaraki pertarungan. Bahkan setiap kali terjadi benturan keras yang mengakibatkan bunga api memercik ke sana kemari, selalu tubuh gadis berpakaian putih terguncang hebat. Saking kerasnya benturan, tubuhnya beberapa kali sampai terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan hampir terjengkang dengan sebuah seringai tampak di bibir. Meskipun kakek berkulit hitam legam itu lebih unggul dalam hal tenaga, tapi untuk mendesak lawannya agaknya tidak mudah.

Serangan gadis berpakaian putih yang terlalu gencar dan selalu susul-menyusul laksana gelombang laut, membuatnya merasa kesulitan untuk melancarkan serangan balasan yang terarah. Dia masih bimbang untuk membuka pertahanan, dan menggantinya dengan serangan-serangan balasan. Karena disadari, kecepatan luncuran serangan-serangannya kalah jauh dibanding gadis berpakaian putih itu.

Kakek ini sadar, kalau mengalahkan gadis berpakaian putih ini membutuhkan waktu tidak sebentar. Mungkin dalam puluhan jurus, lawannya baru bisa dirobohkan. Dan dalam waktu yang cukup lama itu, segala sesuatu dapat saja terjadi. Misalnya ada orang lain yang datang menyelamatkan Kuru Sanca. Padahal, gadis berpakaian putih saja belum bisa dirobohkan.

"Bunuh tua bangka yang tidak berguna itu, Belang!"

Di tengah-tengah kesibukannya mempertahankan diri dari serangan gadis berpakaian putih yang gencar, kakek berkulit hitam legam ini berteriak keras, memberi perintah.

"Auumm...!" Bunyi auman keras yang membuat isi dada bergetar, langsung menyambuti perintah kakek berkulit hitam. Sebentar kemudian, macan tutul yang sejak tadi berdiam diri seperti memperhatikan jalannya pertarungan, berlari-lari menghampiri Kuru Sanca! Binatang buas itu mengerti apa yang dimaksudkan tuannya!

Begitu macan tutul melompat menerkam siap untuk mengoyak-ngoyakkan tubuhnya, dari arah sampingnya melesat sosok bayangan coklat. Begitu cepat bayangan ini melesat, langsung menyerang macan tutul dari samping.

Bukkk!

Grrrhhh!

Macan tutul itu kontan mengeluarkan seruan kesakitan, begitu ada sesosok bayangan menghantam badannya secara keras. Seketika tubuhnya yang tengah meluncur ke arah Kuru Sanca, terlempar ke kiri dan jatuh berdebuk keras di tanah. Di depan Kuru Sanca, ternyata Dara telah berdiri membelakanginya dengan kedua kaki terpentang.

Tadi gadis berpakaian coklat ini memang buru-buru kembali ketika tubuhnya terlempar ke kerimbunan semak-semak. Dia merasa khawatir akan nasib kakek kurus kering itu. Dan ternyata, kecemasannya beralasan. Meski ada seorang gadis berpakaian putih yang tengah bertarung melawan kakek kurus berkulit hitam legam itu, tapi masih ada macan tutul yang mengancam keselamatan Kuru Sanca. Dan Dara bertindak pada saat yang sangat tepat.

Dara langsung menatap macan tutul yang telah bangkit dengan sepasang mata terbelalak. Gadis berpakaian coklat ini tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tadi saking khawatir akan keselamatan Kuru Sanca, pukulannya yang dihantamkan pada macan tutul dikerahkan dengan seluruh tenaga. Dan menurut perhitungannya, binatang itu akan tewas seketika dengan seluruh isi dada hancur. Tapi, ternyata macan tutul itu masih segar bugar.

Bahkan kelihatan semakin buas, karena tindakannya untuk memenuhi perintah majikannya dihalangi. Atau mungkin pula karena rasa sakit yang diderita. Pukulan Dara tadi memang kuat sekali. Bahkan sanggup menghancurkan sebongkah batu besar yang paling keras sekalipun hingga berkeping-keping.

Dan ternyata, binatang buas itu merasa penasaran dan dendam terhadap Dara. Dengan auman keras yang menggetarkan sekitarnya, macan tutul itu melompat menerkam Dara. Namun hanya menggeser kaki, putri Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini berhasil mengelakkan serangan. Bahkan langsung menyusuli dengan serangan balasan berupa bacokan sisi tangan miring berisi tenaga dalam penuh ke tubuh bagian samping binatang buas yangmenjadi lawannya.

Bukkk!

Macan tutul itu menggerung kesakitan ketika pukulan Dara mendarat secara telak di sasaran. Tubuh binatang buas yang sial ini terlempar dan terbanting di tanah. Namun lagi-lagi macan itu bangkit berdiri dan menyerang Dara. Rupanya binatang buas ini tidak kapok sama sekali!

Sementara itu di kancah pertarungan yang satu, kakek berkulit hitam legam itu merasa geram bukan kepalang melihat kegagalan dalam melenyapkan Kuru Sanca. Dia tahu, macan tutulnya tidak bisa diandalkan untuk melaksanakan tugas karena terhalang Dara!

Sedangkan dia sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengalahkan gadis berpakaian putih ini. Sambil terus melakukan perlawanan, matanya mengerling ke arah Kuru Sanca. Dan hatinya tercekat ketika melihat keadaan kakek kurus kering itu.

Kakek berkulit hitam legam itu memiliki sepasang mata tajam. Maka dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau keadaan Kuru Sanca telah semakin membaik. Wajahnya yang semula pucat pasi seperti tidak berdarah, sekarang telah menyiratkan tanda-tanda kehidupan. Dan bukan tidak mungkin tak akan lama lagi, tokoh kurus kering ini akan sehat seperti sediakala. Dan apabila itu terjadi, dia tahu kalau keadaannya akan sangat berbahaya. Dan hal itu tidak diinginkan terjadi.

Trangngng!

Setelah membuat tubuh gadis berpakaian putih terhuyung-huyung jauh ke belakang dengan tangkisan tongkat yang disertai pengerahan seluruh tenaganya, kakek berkulit hitam legam ini melompat meninggalkan lawannya sambil mengeluarkan lengkingan aneh dari tenggorokannya.

Seketika itu pula, macan tutul yang semula tengah bertarung melawan Dara segera berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Baru beberapa tombak macan tutul itu berlari, tiba-tiba kakek berkulit hitam legam itu tahu-tahu hinggap di punggungnya. Tapi, macan tutul itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dia terus berlari kencang bersama majikannya berada di punggung.

Sementara Dara dan gadis berpakaian putih itu menatap kakek berkulit hitam legam yang menunggangi macan tutulnya, tidak melakukan pengejaran sama sekali. Kemudian, ketika bayangan mereka lenyap dari pandangan, kedua gadis yang sama-sama cantik dan lihai ini, saling berpandangan. Kemudian senyuman tersungging di bibir masing-masing.

* * *

TIGA

Sebuah perahu kecil meluncur bagai anak panah, menyibak permukaan laut yang disemaraki gelombang-gelombang sebesar rumah. Bahkan kadang-kadang ada yang sampai sebesar bukit, seperti berusaha keras untuk menggulingkan dan menghancurkan perahu kecil itu. Tapi, dengan gesitnya perahu kecil itu menyelinap dan membelah permukaan air laut yang bagai diamuk tangan-tangan raksasa.

Perahu kecil itu berpenumpang tiga orang. Dua orang berusia muda dan berwajah menarik. Sedangkan sisanya seorang nenek berusia tak akan kurang dari seratus tahun, berpakaian kembang-kembang. Wajahnya telah dipenuhi keriput. Dengan mulut yang tidak bergigi lagi, dia kelihatan tua sekali.

Salah satu dari dua anak muda itu adalah seorang gadis berpakaian kuning. Tubuhnya sintal menggiurkan. Apalagi dengan dua bukit kembar di dadanya yang terlihat mencuat, seperti hendak melompat keluar. Itu pun masih ditunjang dengan wajahnya yang cantik penuh daya tarik! Pakaian kuning yang membungkus tubuhnya semakin menonjolkan kecantikan dan kemolekannya.

Sementara sosok terakhir yang tengah mengayuh perahu justru kelihatan paling aneh. Tubuh dan wajahnya terlihat masih muda, dan berusia lebih dari dua puluh tahun. Meskipun, wajah sosok pemuda ini kelihatan matang! Wajahnya tampan dan jantan.

Tubuhnya pun kekar dengan dada bidang, terbungkus pakaian ungu. Tapi anehnya rambutnya seperti milik orang berusia lanjut. Putih keperakan! Siapa lagi orang ini kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak. Sementara gadis berpakaian kuning itu tak lain dari Tungga Dewi. Sementara nenek berpakaian kembang-kembang itu tak lain adalan Nenek Lestari. Ketiga orang ini berada di lautan luas karena tengah menuju Pulau Setan! (Baca serial Dewa Arak dalam episode Peti Bertuah).

"Kau yakin kalau kita menempuh arah yang benar, Dewi?!" tanya Arya tanpa menghentikan kayuhannya.

"Jangan khawatir, Arya," jawab Tungga Dewi, sambil menatap Arya dengan sinar mata aneh.

Dan Arya merasa jengah melihatnya. Pandangan mata Tungga Dewi persis milik sorot mata gadis-gadis yang dulu dijumpai dalam petualangan. Hanya saja, sekarang mereka yang semuanya mencintainya, tewas karena membelanya. Arya masih ingat betul nama gadis-gadis yang telah berkorban nyawa dan menyelamatkannya. Dan itu seperti terpatri dalam hatinya. Utari dan Malini. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Penganut Ilmu Hitam).

Didasari rasa cemasnya, tanpa sadar Arya melengos. Tapi karena khawatir kalau sikapnya akan membuat Tungga Dewi tersinggung, Arya pura-pura bersin! Untuk orang yang memiliki tingkatan seperti pemuda berambut putih keperakan ini, melakukan hal seperti itu bukan masalah.

"Apa yang dikatakan Tungga Dewi tidak keliru, Arya," Nenek Lestari ikut menimpali. "Meski tidak tahu letaknya, aku merasakan kalau arah yang kita tempuh ini tidak salah! Dan biasanya, firasatku ini tidak pernah keliru! Dan...."

"Hey!" Seruan kaget tanpa sadar keluar tidak hanya dari mulut Nenek Lestari yang langsung menghentikan ucapannya karena merasa kaget, tapi juga dari mulut Arya dan Tungga Dewi. Jeritan yang tanpa disadari itu keluar begitu saja, karena perahu yang ditumpangi tiba-tiba berguncang keras.

"Ada orang yang akan menggulingkan perahu kita...!" seru Arya yang langsung dapat mengetahui adanya ketidak-beresan ini.

Pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan pandangan ke sekitar sisi-sisi perahu. Dan ketika melihat ada bayangan berkelebat di bawah permukaan air, dayungnya segera dihantamkan.

Pyarrr!

Air seketika muncrat tinggi ke udara. Tapi, hantaman Arya tidak membuahkan hasil. Sosok yang bergerak di bawah air ternyata telah lebih dulu melesat menghindari, sebelum sempat terhantam dayung! Dan gerakannya gesit sekali, sehingga Dewa Arak mengira sosok yang dihantamnya seekor ikan!

Perahu jadi berguncang semakin keras dan hampir terguling ke kiri. Arya yang tidak ingin terjun ke laut lepas, karena tahu kalau di dalam air kemampuannya berkurang jauh segera bertindak cepat. Tenaganya segera dikerahkan untuk memberatkan tubuh, sehingga perahu yang dirumpangi menjadi lebih berat berlipat kali.

"Aku yakin, ini pasti perbuatan orang-orang aneh itu!" desis Tungga Dewi.

"Orang-orang aneh...?!" Arya mengernyitkan dahi, meminta penjelasan.

"Kau ingat orang-orang yang kuceritakan, Arya?!" Tungga Dewi balas mengajukan pertanyaan sambil menatap wajah Arya lekat-lekat.

Arya mengangguk sambil mengeluh dalam hati. Kelihatannya Tungga Dewi memang bukan gadis pemalu. Buktinya terang-terangan perasaannya ditunjukkan pada Arya. Ini membuat pemuda itu merasa bingung bukan kepalang!

"Nah! Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang bertarung dengan guruku. Mereka memang memiliki kemampuan mengagumkan bila berada di dalam air. Bahkan mungkin kepandaiannya jauh di atasku, Arya."

"Hebat!" puji Arya setulusnya tanpa berani menatap wajah Tungga Dewi apalagi sepasang matanya. "Gerakan mereka di dalam air luar biasa sekali. Tadi, aku nyaris menduga kalau bayangan yang kupukul adalah ikan! Habis, gerakan mereka gesit bukan kepalang."

"Apalagi kalau kau melihat guruku yang bergerak, Arya!" timpal Tungga Dewi, penuh semangat. Kelihatannya, dia jelas begitu senang bercakap-cakap dengan Arya. "Bagi guruku, mereka bukan apa-apa. Kemampuan mereka bermain di dalam air, mungkin hanya setaraf denganku."

"Ah...! Begitukah?!" Sepasang mata Arya terbelalak lebar penuh perasaan kaget. Arya tidak pernah berpikir kalau gadis ini akan mampu bertindak seperti itu. Mungkinkah seorang gadis seperti dia mampu bergerak demikian lincah di dalam air? Baru saja kata-kata Dewa Arak selesai dan Tungga Dewi belum sempat memberikan tanggapan, terjadi kericuan di dalam perahu. Dan tiba-tiba saja....

Blosss! Blosss! BIosss!

Hampir berbarengan tiga batang pisau menembus, sehingga lantai perahu bolong. Bahkan hampir saja mengenai tiga orang penumpangnya. Meskipun demikian, cukup untuk membuat Arya dan kawan-kawannya tersentak kaget. Dan sebelum mereka bertindak, tiga batang pisau itu telah di tarik, kembali ke dalam air. Maka kontan air menyeruak masuk ke dalam perahu melalui lubang yang tercipta.

Kejadian ini, langsung menyadarkan ketiga orang di dalam perahu. Bagai telah disepakati sebelumnya, mereka berusaha menutupi lubang-lubang itu dengan telapak kaki. Hembusan napas lega langsung terhempas, ketika air yang menerobos masuk terhenti.

"Kita harus bertindak!" kata Arya sambil menatap wajah Nenek Lestari dan Tungga Dewi. Tapi ucapan itu lebih tertuju pada murid Nelayan Tenaga Gajah ini. Arya tahu, sebagai seorang yang lebih sering bermain di air, Tungga Dewi tentu dapat mengambil langkah-langkah untuk menghadapi hal seperti ini! Nenek Lestari tidak bisa diharapkan.

Buktinya perempuan tua itu telah hampir pikun ini tampak pias wajahnya. Rupanya kejadian yang baru saja dialami membuatnya kaget bukan kepalang. Tungga Dewi yang merasa ditanya, tidak langsung memberikan jawaban. Sebagai seorang yang ahli bermain di dalam air, dia tidak merasa khawatir sama sekali. Baginya, di darat atau di air sama saja.

Tungga Dewi tahu, pertanyaan Dewa Arak memang sulit dijawab. Kalau lawan berada di sisi perahu, bukan merupakan masalah. Mereka dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan dayung. Tapi penyerang-penyerang itu terlalu cerdik, dengan melancarkan serangan dari bawah perahu.

"Apa yang harus kita lakukan, Dewi?!" tanya Arya lagi ketika melihat gadis berpakaian kuning itu malah berdiam diri. Arya tahu, Tungga Dewi tengah berpikir, tapi waktu yang dimiliki tidak memungkinkan untuk berpikir lama-lama. Lawan yang berada di bawah air, tidak mungkin tinggal diam. Mereka tidak akan mau menunggu.

"Aku yakin tindakan mereka tidak berhenti sampai di sini!" tandas Dewa Arak.

Baru saja kata terakhir keluar dari mulut Arya, lantai perahu di bagian lainnya kembali ditembus tiga batang pisau. Namun kali ini, Dewa Arak sudah bersiap siaga. Batang pisau itu segera ditangkapnya. Tentu saja hanya dua yang ditangkap karena tangan pemuda berambut putih keperakan ini hanya sepasang. Sementara kakinya yang satu menutupi lubang di lantai perahu.

"Biar aku yang akan menghajar mereka!" Tanpa menunggu persetujuan Arya yang tengah bersitegang menahan pisau yang akan ditarik kembali oleh pemiliknya, Tungga Dewi segera beranjak.

Arya meski tengah sibuk mempertahankan batang pisau, langsung mempunyai sebuah dugaan, meskipun Tungga Dewi tidak lengkap mengutarakannya.

"Tungga Dewi!" seru Arya, cepat.

Tapi, seruan pemuda berambut putih keperakan ini terlambat! Tubuh Tungga Dewi telah lebih dulu melayang ke udara. Sejenak tubuh molek itu berada di atas, kemudian meluncur ke bawah dengan kedua tangan terjulur tegang di depan.

Byurrr!

Air laut muncrat tinggi ke udara, ketika tubuh Tungga Dewi menghunjam permukaannya dan terus meluncur masuk ke dalamnya! Gadis itu memang tidak berbohong ketika berkata pada Arya. Kemampuannya bermain di air memang luar biasa. Lincah laksana seekor ikan, tubuhnya melesat menuju ke bawah perahu untuk menjumpai orang-orang yang telah melakukan penyerangan terhadap perahu.

Kedatangan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya diketahui tiga sosok yang berada di bawah perahu. Maka salah seorang bergerak meninggalkan bawah perahu, langsung menghadang gerak Tungga Dewi. Sementara yang lainnya terus dengan tindakan mereka.

Tungga Dewi menggerutkan gigi, ketika melihat sosok-sosok yang melakukan tindakan usil terhadap perahu yang ditumpangi. Memang tepat sekali dugaannya. Mereka adalah tiga orang yang dulu bertarung dengan Tungga Dewi dan gurunya untuk memperebutkan peti yang ternyata berisi jasad tokoh keji yang hidup lima ratus tahun silam! Dan sekarang, sosok yang mencegat perjalanannya adalah orang yang dulu dihadapinya. Lelaki berkulit merah!

Tungga Dewi menyambut kedatangan lelaki kulit merah itu dengan sebuah tendangan ke arah perut, mengandung tenaga cukup hebat! Namun lelaki berkulit merah ini segera menyambutnya. Maka kedua orang ini pun segera terlibat dalam pertarungan sengit.

Di atas perahu, Dewa Arak merasakan salah satu pisau yang digenggamnya, mendadak kehilangan daya tarik ke bawah. Tapi, hatinya tak bisa lega, karena sesaat kemudian di tempat-tempat lain tiga batang pisau kembali menusuk perahu, dan langsung ditarik kembali. Maka air pun kembali menelusup ke dasar perahu.

Arya berpikir cepat. Disadari betul kalau akhirnya tidak akan mencegah tindakan pembocoran perahu yang dilakukan sosok-sosok yang berada di bawah perahu. Maka otaknya yang cerdik berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan diri.

Arya segera meninggalkan lubang-lubang pada lantai perahu yang semua disumpalnya. Segera diraihnya dayung yang tadi diletakkan di sisi dalam perahu. Kemudian, cepat mengayuh. Sebuah pertunjukan yang menakjubkan pun terjadi! Kini perahu meluncur ke depan, tanpa menyentuh permukaan air, bagaikan terbang!

Dua sosok yang berada di bawah perahu kontan terkejut melihat kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka. Namun, mereka segera berenang memburu. Kedua orang ini tahu, perahu itu tidak akan selamanya mengapung di atas permukaan air. Apabila tenaga kayuhan itu lenyap, perahu itu akan jatuh kembali ke dalam permukaan air.

Sementara Tungga Dewi yang tengah sibuk bertarung pun sempat melihat hal ini. Dan diam-diam hatinya merasa lega, karena untuk sesaat kedua rekannya akan selamat. Dia sendiri sambil mengelakkan serangan, segera berenang menuju ke atas untuk kembali mengambil napas. Sedangkan lawannya melakukan hal sama.

Dan ketika kepala masing-masing sama-sama muncul di permukaan air, pertarungan kembali berlanjut lebih seru. Sehingga serangan-serangan mereka lebih dahsyat karena tidak tertahan air. Di pihak lain, Arya dengan kecerdikannya berhasil meninggalkan lawan-lawannya cukup jauh di belakang. Apalagi kecepatan luncuran perahunya lebih cepat daripada luncuran dua pengejarnya.

Dewa Arak merasa lega. Namun sempat cemas ketika teringat Tungga Dewi. Ketika menoleh, dia melihat gadis berpakaian kuning itu tengah bertarung jauh di belakangnya. Maka Arya segera mengirimkan pemberitahuan lewat ilmu mengirim suara dari jauh.

"Tidak usah terus melawan, Dewi! Tinggalkan saja lawanmu! Cepat ikut kami!"

Sambil berkata demikian Arya melirik Nenek Lestari yang telah berhasil menguasai perasaan hatinya yang agak terguncang. Nenek itu telah bisa tersenyum kembali, meski masih kaku. Arya berbalik lagi ke depan. Saat itu, perahunya tengah terbang, dan hampir mendarat di permukaan laut lagi. Tapi ditempat yang akan didarati perahu, tampak menyembul sebuah kepala yang memiliki kulit wajah putih seperti kapur.

Yang membuat terkejut pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan keadaan wajah sosok itu. Ternyata tempat beradanya sosok itu, adalah tempat perahunya mendarat. Jelas, sosok itu pasti akan tertabrak perahu. Dan Arya tidak menginginkannya.

Mendadak wajah Arya berubah ketika mendengar bunyi berdesing nyaring. Pendengarannya yang tajam dan pengalamannya yang luas, membuatnya langsung dapat mengetahui kalau bunyi itu timbul akibat hentakan tangan bertenaga dalam tinggi! Memang sosok yang memiliki tangan itu mengirimkan pukulan jarak jauh yang ampuh. Dan dengan hati kaget, Arya menyadari arah yang dituju pukulan jarak jauh itu adalah dasar perahunya!

"Lompat, Nek...!" Arya tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali melompat. Maka sambil mencekal pergelangan tangan Nenek Lestari, dia melompat keluar dari perahu. Memang disadari tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah pukulan jarak jauh itu.

Brakkk!

Perahu kecil itu kontan hancur berkeping-keping ketika tubuh Arya dan Nenek Lestari baru saja melompat keluar. Terlambat sedikit saja, mereka akan terluka cukup parah.

Bum! Byurrr!

Tubuh Arya dan Nenek Lestari langsung tenggelam ke dalam laut. Memang begitu kerasnya tubuh kedua orang yang berbeda usia dan jenis kelamin itu meluncur. Dewa Arak yang sedikit memiliki ilmu bermain di air, berusaha keras muncul di permukaan. Matanya dicoba dibuka selebar-lebarnya untuk mencari-cari Nenek Lestari untuk diberikan pertolongan.

Dan hati Dewa Arak pun langsung mencelos, ketika melihat tubuh nenek berpakaian kembang-kembang itu terus meluncur ke dasar laut. Rupaya nenek yang hampir pikun itu dalam cekaman rasa takut, jadi melupakan kepandaiannya. Sehingga dia tidak bisa meluncur ke atas. Gelembung-gelembung air tampak di sekitar wajahnya, karena nenek ini telah banyak menelan air laut.

Arya menyadari kalau sementara ini tidak bisa memberikan pertolongan. Dia harus berenang dulu ke permukaan untuk mengambil napas, baru kemudian menolong Nenek Lestari. Tapi sebelum maksud Dewa Arak kesampaian, luncuran tubuhnya ke permukaan terasa tertahan, ketika ada sesuatu yang mencekal kedua pergelangan kakinya. Pemuda itu menggoyang-goyangkan kedua kakinya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.

Namun usaha Arya tidak membuahkan hasil sama sekali. Sesuatu yang mencekal pergelangan kakinya demikian ulet dan lengket. Dan celakanya lagi, sesuatu itu malah menarik tubuh Arya ke dalam air. Dewa Arak jadi kelabakan. Saat itu seluruh dadanya seakan ingin meledak karena udara dalam paru-parunya hampir kosong.

Arya sebisa-bisanya meronta-ronta. Bahkan 'Tenaga Sakti Inti Matahari' telah dikerahkan sampai ke puncak untuk membuat sesuatu itu melepaskan cekalannya. Air di sekitarnya jadi bergolak mendidih!

Mula-mula hangat. Namun semakin lama semakin panas. Tapi sebelum air itu mendidih, pandangan Arya telah berkunang-kunang. Kemudian matanya terasa gelap dan hitam. Pingsan. Di tempat lain, Nenek Lestari yang tengah terus meluncur ke dasar laut pun, dicekal sesuatu. Sedangkan Tungga Dewi roboh di tangan lawannya yang terlalu tangguh untuk dihadapi.

* * *

Ctarr, ctarrr!

Bunyi lecutan keras bertubi-tubi membuat Dewa Arak mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Pemuda berambut putih keperakan ini mulai sadar dari pingsannya.

"Hentikan, Manusia-manusia Bodoh! Hentikan...! Kalau dia mati, kalian semua tidak akan bisa hidup tenang! Kalian akan menerima celaka!"

Seruan-seruan bernada kekhawatiran itu membuat kesadaran Dewa Arak langsung pulih. Dia bermaksud bergerak, tapi tidak mampu. Ada sesuatu yang menahan tangan dan kakinya. Maka Arya melirik, dan langsung maklum. Kini Arya berada di sebuah tanah lapang luas yang tanahnya berwarna putih seperti tanah kapur!

Pemuda ini berdiri dalam keadaan tidak berdaya, karena tubuhnya terpancang di sebuah tiang baja yang dibuat sedemikian rupa sehingga kedua tangan dan kakinya terpentang. Dan yang membuatnya tidak bisa bergerak adalah adanya belenggu baja besar yang melilit pergelangan tangan dan kakinya, juga pada tubuh dan lehernya.Begitu melihat ke sisinya, tampak Tungga Dewi dan Nenek Lestari pun mengalami hal yang sama.

Hanya saja kedua orang itu belum sadar dari pingsannya. Sekarang Arya tahu, sesuatu yang mencekal kedua pergelangan kakinya pasti orang-orang yang melubangi perahu mereka. Setidak-tidaknya kawan merekalah yang melakukan semua ini. Perhatian Arya langsung beralih ke depan.

Tepat berhadapan dengannya, tampak dua sosok tubuh juga mengalami hal yang sama dengannya. Hanya saja, salah seorang dari mereka tengah disiksa dengan sebuah cambuk berduri! Menilik dari luka-lukanya yang cukup parah mengalirkan banyak darah, orang itu telah disiksa cukup lama!

"Cukup!" Tiba-tiba kembali terdengar seruan keras berwibawa dari seseorang berpakaian merah yang duduk di sebuah bangku indah dan mewah, membuat sosok yang berdiri membelakangi Arya dan dua rekannya menghentikan ayunan cambuk berdurinya.

Setelah melipat cambuknya, laki-laki botak dan berkulit merah itu berjalan meninggalkan tempat ini. Lalu dia menjura memberi hormat pada laki-laki yang duduk di bangku indah dan mewah dengan sikap agung itu. Di kanan kirinya berdiri dua orang berkulit putih. Sementara, di sekitar tempat itu tampak sosok-sosok berkulit beraneka macam warna.

Tanpa diberi penjelasan, Arya segera tahu kalau dia dan kawan-kawannya jatuh ke tangan kelompok orang yang mempunyai sebuah kerajaan kecil, di pulau yang memiliki tanah kapur ini. Dan orang yang duduk dengan sikap agung di bangku mewah dan indah itu pasti rajanya. Hanya ada satu yang masih menjadi teka-teki bagi Arya, mengapa kulit tubuh mereka berwarna-warni?

EMPAT

Lelaki agung yang duduk di kursi mewah dan indah memberi isyarat pada lelaki berkulit putih yang berdiri di sebelah kanannya. Lelaki berkulit putih itu pun mengayunkan kakinya menghampiri dua sosok yang terbelenggu di depan Dewa Arak. Dan langkah kakinya berhenti ketika telah berada tepat di depan sosok terbelenggu yang masih mengucurkan darah.

"Kau membuat kami hilang sabar, Tua Bangka Bau Tanah! Padahal, apa sih artinya peti itu bagimu?! Mengapa kau bersikeras mempertahankannya?! Dan sekarang, peti itu telah hilang. Maka, kau harus bertanggung jawab! Kalau sejak dulu kau memberikannya pada kami, tentu semua ini tidak akan terjadi. Dan kami tidak akan melakukan tindakan kekerasan terhadapmu!" kata lelaki berkulit putih ini.

Sosok yang diajak bicara adalah seorang kakek bertubuh tinggi. Bahkan terlalu tinggi untuk ukuran manusia. Namun tubuhnya kurus, seperti tidak memiliki daging saja. Seakan-akan, tulang-belulangnya hanya dilapisi kulit. Dengan tidak adanya pakaian di tubuhnya, tampak jelas tonjolan tulang-belulangnya di sana-sini. Apalagi, dia terbelenggu dengan cara seperti itu. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena menunduk!

"Tidakkah kalian bisa membiarkannya tenang sedikit?! Dia masih menderita, karena siksaan yang kalian berikan! Percuma saja berpidato di depannya. Dia tidak akan bisa mendengar!"

Terdengar sahutan yang ternyata berasal dari sosok lain yang terbelenggu di sebelah kiri kakek jangkung kurus. Sosok itu yang tadi mengeluarkan makian-makian, karena tidak tahan melihat kakek jangkung kurus disiksa. Dia ternyata seorang kakek yang keadaannya lebih mengenaskankan daripada kakek jangkung. Kakek yang berangasan ini berpakaian putih longgar. Rambutnya panjang terurai, dan berwarna putih bagaikan benang-benang perak. Tapi yang menyedihkan, dia tidak punya kaki kiri, buntung sebatas pangkal paha.

"Tutup mulutmu, Orang Asing!" Berbareng ucapan itu, lelaki berkulit putih mengayunkan tangan menampar pipi kakek berkaki sebelah.

Cukup keras tamparannya sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Malah kepala kakek itu sampai terhentak ke samping, dengan selebar pipi merah bergambar telapak tangan. Tampak menetes darah segar dari sudut mulutnya. Tamparan lelaki berkulit putih seperti kapur itu memang keras, kendati hanya sebagian kecil saja tenaga dalam dikeluarkan.

"Sekali lagi membuka mulut, kepalamu kuhancurkan," ancam lelaki berkulit putih bernada sungguh-sungguh.

Lelaki berkulit putih itu kemudian memberi isyarat pada kerumunan orang yang berkulit warna-warni. Dan dari sana keluar seorang lelaki berkulit merah. Sambil mengjinjing sebuah tong air dari bambu di tangan kanan.

Arya merasa jantungnya berdetak jauh lebih cepat, ketika melihat lelaki berkulit putih dan lelaki berkulit merah itu berjalan menuju Tungga Dewi yang masih tergolek pingsan. Bisa diduga, untuk apa air di dalam ember itu.

"Hentikan...!" seru Arya, keras. Lelaki berkulit putih itu langsung menoleh. Sepasang matanya menatap Arya, memancarkan sinar berapi. Lelaki ini ternyata memiliki watak aneh, yakni tidak suka bila tindakannya dicegah orang!

"Tutup mulutmu! Kau akan mendapat gilirannya nanti!"

Bukkk!

"Hukh!" Kepala Arya agak tertunduk, ketika sodokan tangan lelaki berkulit putih itu mendarat di perutnya. Seketika rasa mual yang amat sangat menyerang perutnya. Namun, bukan Dewa Arak kalau mendapat gertakan seperti itu saja langsung mundur.

"Pengecut-pengecut Hina! Kalian rupanya hanya berani menghadapi wanita yang tidak berdaya, dan terbelenggu! Lepaskan aku. Dan, man kita bertarung sampai ada yang menggeletak tak bernyawa!"

Tapi lelaki berkulit putih seperti kapur ini rupanya tidak berkeinginan untuk meladeni ucapan-ucapan Arya. Lagi pula, dia tidak merasa nyaman menjatuhkan tangan terhadap orang tidak berdaya. Dan dia yakin akan menang, bila pemuda berambut putih keperakan itu dalam keadaan bebas, sekalipun mengajaknya bertarung.

Byurrr!

Tungga Dewi gelagapan ketika seember air dingin menerpa tubuhnya. Kebetulan saat ini gadis itu memang sudah hampir sadar, maka siraman tadi langsung membuatnya sadar.

"Kau kenal dia?!" tuding lelaki berkulit putih.

Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang dituding lelaki berkulit putih. Hanya sekilas saja. Bahkan sikapnya seperti tidak peduli. Kemudian kepalanya ditundukkan. Sikap yang ditunjukkan Tungga Dewi benar-benar merendahkan si Penanyanya sekali.

Lelaki berkulit putih menggemeretakkan gigi saking marahnya melihat tingkah Tungga Dewi. Dia tahu, gadis berpakaian kuning itu merendahkan dirinya. Pertanyaannya sama sekali tidak dianggap. Dia menduga kalau Tungga Dewi berani bersikap demikian, karena belum mendapat hajaran sama sekali.

Plakkk!

Dengan keras tangan kanan lelaki berkulit putih itu menghajar telak pipi kanan Tungga Dewi hingga sampai berpaling dengan pipi kanan berwarna merah bergambar telapak tangan. Malah ada darah yang menetes di sudut-sudut mulut murid Nelayan Tenaga Gajah ini.

"Sekarang bersikaplah yang sopan terhadapku, sebelum aku melakukan tindakan lebih keras!" ancam lelaki berkulit putih ini. Dia yakin kali ini, gadis itu tidak banyak tingkah.

"Cuhhh!"

Hampir terlepas sepasang mata lelaki berkulit putih ini ketika melihat sambutan yang diberikan Tungga Dewi atas ancamannya. Dengan beraninya, gadis itu meludah ke tanah. Arya melihat adanya kilatan ancaman pada sepasang mata lelaki berkulit putih itu. Dia tahu, saat ini lelaki berkulit putih itu berada dalam puncak kemarahan karena perasaan tersinggungnya mendapat hinaan di hadapan orang banyak. Dewa Arak merasa khawatir sekali akan keselamatan Tungga Dewi! Dia tahu dalam keadaan seperti itu, lelaki berkulit putih ini mampu bertindak apa saja!

"Muka Pucat, Manusia Penyakitan! Mengapa kau hanya beraninya pada seorang wanita?! Kalau bukan pengecut, hadapilah Arya Buana!" seru Arya untuk mengalihkan perhatian lelaki berkulit putih dari Tungga Dewi.

Seruan Dewa Arak sama sekali tidak menarik perhatian lelaki berkulit putih kapur. Dan bahkan, malah menarik perhatian kakek berkaki sebelah. Padahal, kakek ini tadi berdiri diam dengan mata terpejam, ketika melihat kakek jangkung disiksa. Dan kini matanya terbuka dan menatap ke arah pemilik seruan. Seketika dia menjadi kaget! Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat pemuda dengan ciri-ciri seperti ini pernah dilihatnya di Cermin Ajaib!

"Dewa Arak...!" seru kakek berkaki buntung sebelah dengan suara terbata-bata. Sungguh tidak disangka akan dapat bertemu pendekar yang tengah dicarinya, di sini. "Bukankah kau, Dewa Arak...?! Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan?!"

Dewa Arak terpaksa mengalihkan perhatian, menatap kakek berkaki sebelah. Dia tidak merasa heran melihat orang mengenalnya. Bukan apa-apa. Julukannya memang telah mengguncangkan dunia persilatan. Dan ciri-cirinya yang memang khas tentu saja membuat orang gampang mengenalinya.

"Benar, Kek," jawab Arya sambil mengangguk. Pemuda berambut putih keperakan ini mencoba tersenyum, kendati saat itu merasa cemas akan keselamatan Tungga Dewi.

"Apakah kau telah bertemu Guraksa, Dewa Arak?!"

Pertanyaan kakek berkaki sebelah itu membuat Arya yang tengah memperhatikan Tungga Dewi dan lelaki berkulit putih, jadi berpikir. Dia berdiam diri beberapa saat lamanya, dan kembali mengalih kan perhatian pada kakek berkaki sebelah itu.

"Kau..., kau... siapa...?!" Arya yang saat itu tengah mengkhawatirkan keselamatan Tungga Dewi, tidak mampu berpikir apa-apa. Dia tidak ingat kalau Guraksa mendapat perintah dari seorang teman. Benak pemuda berambut putih keperakan ini seperti buntu.

"Apakah Guraksa tidak menyampaikan pesan padamu?!" tanya kakek berkaki sebelah kembali.

Pertanyaan Dewa Arak memberi pengertian kalau pemuda berambut putih keperakan ini telah bertemu Guraksa.

"Aku adalah orang yang menitipkan pesan padanya!" lanjut kakek itu.

"Kau... kau... Penjaga Alam Gaib?!" duga Arya yang akhirnya teringat, setelah tercenung sejenak.

"Benar.... Dan..."

Breettt!

Hanya sampai di situ jawaban kakek berkaki sebelah, begitu di sebelahnya terdengar bunyi kain robek dan jeritan tertahan bernada kaget dan takut yang amat sangat dari mulut Tungga Dewi! Lelaki berkulit putih itu ternyata telah merenggut baju Tungga Dewi di bagian dada hingga robek lebar. Tampak dua bukit yang indah menggiurkan dan menantang mencuat, seakan-akan hendak melompat keluar. Begitu putih mulus dan puting yang merah segar, membuat semua mata terbelalak lebar.

"Hentikan...!" teriak Arya keras.

Lelaki bermuka putih itu tersenyum penuh kemenangan. "Bagaimana? Apakah kau masih berkeras melanjutkan sikapmu yang tidak sopan itu, Nisanak?! Ingat, aku bisa bertindak lebih kasar jika memang kau inginkan!" tandas lelaki berkulit putih ini.

"Aku..., akan menjawab pertanyaanmu. Tapi, harap kau tidak melanjutkan perbuatan ini...?!" pinta Tungga Dewi dengan tubuh menggigil karena perasaan takut yang amat sangat.

"Ingat...!" Lelaki berkulit putih seperti kapur langsung cepat menyambung ucapan Tungga Dewi dengan suara bergetar penuh tekanan. "Sekali lagi kau bersikap meremehkan, tubuhmu akan habis dipermainkan sekian banyak lelaki yang berada di sini!"

"Aku..., aku tidak akan melakukan tindakan itu.... Aku berjanji...!" Tungga Dewi memberi keyakinan terhadap lelaki berkulit putih, meskipun dengan suara terbata-bata.

"Bagus! Kuingat janjimu itu!" Lelaki berkulit putih tersenyum dengan sinar mata memancarkan kemenangan. "Sekarang, jawab pertanyaanku. Apakah kau kenal dengan dia?!"

Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang ditunjuk lelaki berkulit putih itu. Sekali lihat saja, dia langsung mengangguk. "Dia merupakan salah seorang dari tiga lelaki berkulit aneh yang menyerangku dan guruku!" jawab Tungga Dewi, mantap.

"Aku tidak peduli. Yang ingin kuketahui, mana peti yang kalian perebutkan itu?!"

Bukan hanya Tungga Dewi yang berubah wajahnya. Bahkan juga Dewa Arak! Kelompok orang berkulit aneh itu rupanya bermaksud mendapatkan peti itu! Apakah mereka telah mengetahui isinya pula? Dan kalau benar demikian, mengapa?

"Cepat jawab!" desak lelaki berkulit putih. "Aku bukan sejenis orang yang sabar! Atau..., kau ingin aku melakukan tindakan yang tadi belum kuteruskan?!"

"Sabar," Tungga Dewi buru-buru berseru mencegah. "Bukannya aku tidak mau menjawab. Tapi..., apakah penyerang-penyerangku dan guruku itu tidak menceritakannya?!"

"Apa maksudmu?! Cepat jelaskan sebelum kesabaranku hilang!" tandas lelaki berkulit putih.

"Tidak ada seorang pun dari kami atau mereka yang mendapatkan peti itu!" tegas Tungga Dewi. "Karena, peti itu telah hilang entah ke mana!"

"Bohong!" teriak lelaki berkulit merah keras.

"Aku tidak bohong!" Tungga Dewi tidak kalah keras berteriak. "Pantang bagiku untuk berbicara dusta!"

"Diam...!" Lelaki berkulit putih itu mengeluarkan seruan yang lebih keras. Rupanya dia jengkel mendengar perdebatan antara Tungga Dewi dengan lelaki berkulit merah.

"Tapi aku tidak bohong!" Tungga Dewi yang memiliki watak tidak mau dibantah langsung menyambuti. Untuk sesaat, dia lupa akan ancaman hukuman yang akan diterimanya dari lelaki berkulit putih. "Seorang pemuda berbaju coklat yang mendapatkannya!" jelas gadis itu.

"Benarkah demikian?!" tanya lelaki berkulit putih pada lelaki berkulit merah.

"Ini..., ini...." Lelaki berkulit merah yang tidak menyangka akan jawaban Tungga Dewi, dan juga tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu, jadi kelabakan.

"Itu benar!" Tungga Dewi menyelak. "Itulah sebabnya, pemuda yang sebenarnya tidak sakti itu menjadi demikian sakti, sehingga semua yang berada di tempat itu dikalahkannya! Peti yang kalian maksudkan itulah yang menyebabkannya menjadi demikian sakti! Roh jahat dari jasad dalam peti itu telah menyusup ke dalam pemuda berbaju coklat sehingga menyebabkannya menjadi sakti."

"Roh jahat! Apakah kau tidak keliru bicara atau menjadi gila karena takutmu?! Peti itu berisi jasad?!" tanya lelaki berkulit putih, sambil mengemyitkan kening.

"Wanita itu benar!" timpal Penjaga Alam Gaib yang juga mendengarkan percakapan itu. "Peti itu berisi jasad dari orang jahat! Itulah sebabnya, Sebrang Wetan tak mau memberikannya pada kalian dan menjaganya terus, sampai akhirnya kalian berhasil menahannya secara licik!"

"Diam kau, Pincang!" sentak lelaki berkulit putih, keras penuh kemarahan! "Aku tidak bertanya padamu! Nisanak! Benarkah peti itu... maksudku berisi jasad jahat!"

"Memang kau kira apa?! Harta karun?! Pusaka-pusaka orang sakti? Kau akan kecewa bila menduga demikian!" potong Tungga Dewi.

"Itulah yang ada di benakmu, Nisanak?" kata lelaki berkulit putih. Suaranya yang lebih halus, tapi tetap bernada tajam.

"Apa lagi?!" tukas Tungga Dewi. "Apakah kami harus menduga kalau kau adalah orang yang gemar mengumpulkan benda-benda antik untuk diletakkan di pulau ini?!"

"Diam!" Lelaki berkulit putih yang memang berwatak berangasan, merasakan adanya ejekan di dalam ucapan Tungga Dewi. Maka amarahnya kembali meledak. "Atau..., kau ingin aku memberi hukuman?! Katakanlah, meski kau tidak bersalah. Tapi, kalau kau berani menghinaku, kau akan menerima balasannya!" ancam laki-laki berkulit putih ini.

Tungga Dewi diam, meski dalam hatinya memaki-maki kalang-kabut.

"Kau... dan semua orang kawanmu, serta kakek-kakek yang sudah waktunya mati itu, boleh mendengarkannya. Untuk membersihkan dugaan jelek yang bersemayam di hati dan di benak kalian, biarlah aku selaku wakil pimpinan di pulau ini memberi penjelasan," kata lelaki berkulit putih itu seraya menatap wajah-wajah tawanannya satu persatu. "Di pulau ini sejak beberapa waktu lalu, ditimpa bala. Mula-mula hanya seorang yang terkena, dan merasa mual-mual dan pusing-pusing. Tapi rasa itu langsung menyebar. Bahkan beberapa orang telah menjadi korban. Menurut wangsit yang diterima ahli kebatinan kami, penyakit itu merupakan hukuman pada kami, dari dewa pulau ini. Dan, menurut wangsit pula wabah penyakit itu akan berhenti apabila berhasil mendapatkan sebuah peti hitam berukir yang didapatkan oleh kau dan gurumu, Nisanak. Jelas?!"

Hening sejenak setelah lelaki berkulit putih menghentikan ceritanya. Mereka semua yang ada di sini terdiam. "Bisa kalian bebaskan aku? Meskipun tidak berani mengaku ahli pengobatan, tapi sejak masih gadis aku telah bergelimang obat dan orang sakit. Bahkan banyak penduduk yang meminta pengobatan padaku. Barangkali saja aku bisa menghilangkan bala yang aku yakin bukan hukuman dewa, tapi penyakit biasa."

Tiba-tiba Nenek Lestari ikut angkat bicara dengan suara lantang. Apalagi karena suasana hening. Maka semua pasang mata tertuju langsung padanya.

"Aku yakin kejadian seperti yang kau katakan itu bukan hukuman dewa!" tegas nenek berpakaian kembang-kembang yakin. "Pasti hanya merupakan serangan penyakit biasa. Dan apabila diberi kesempatan aku yakin akan dapat mengobati mereka!"

"Aku terima permintaanmu, Nenek!" sambut lelaki berkulit putih setelah tercenung sebentar. "Tapi, ingat. Apabila kau tidak berhasil, kepalamu akan kami pisahkan dari tubuh. Karena, kau telah berani menghina desa kami. Dan juga, ahli kebatinan pulau ini! Jelas?!"

"Jelas sekali!" jawab Nenek Lestari, enteng. "Tapi, aku juga mempunyai sebuah permintaan. Karena, kalian telah memberi syarat yang terlalu berat untukku."

"Kau berani bermain gila, Nenek! Ingat..!"

"Aku tidak akan mau mengobati! Kalau permintaanku tidak dipenuhi. Apa pun yang akan kau lakukan terhadapku, aku tidak peduli. Tapi ingat, itu berarti hilangnya kesempatan bagi mereka untuk sembuh! Bagaimana? Penuhi permintaanku, atau pengobatan ini tidak jadi dilakukan?!" nenek berpakaian kembang-kembang kalah gertak.

"Katakan apa permintaanmu, Nenek!" Sebuah suara keras dan lantang, tapi penuh wibawa tiba-tiba terdengar menggelegar di saat lelaki berkulit putih tengah dilanda perasaan bimbang untuk memberikan keputusan.

"Kawan-kawanku ini dibebaskan dari belenggunya. Begitu pula dengan dua kakek di sana!" jawab Nenek Lestari mantap.

"Gila!" Pemilik suara penuh wibawa yang ternyata sosok yang duduk di atas kursi indah langsung menggeram mendengar permintaan nenek berpakaian kembang-kembang itu. "Kau mau menipuku, Nenek! Apabila mereka dibebaskan, mereka akan mengamuk. Bahkan akan sulit untuk menangkapnya lagi! Dan itukah yang kau inginkan?! Jangan harap permohonanmu akan kukabulkan!"

"Kau terlalu memandang remeh kami!" tegas Nenek Lestari. "Kau kira kami orang macam apa? Kami semua adalah orang-orang golongan putih yang menjunjung tinggi kegagahan. Sekali kami berjanji, maka akan terus dipegang teguh dan dipertahankan sampai nyawa lepas dari raga!"

Lelaki bersikap agung yang duduk di kursi indah, tercenung sejenak. Sebelum akhirnya mengibaskan tangan kanannya. "Lepaskan mereka! Berikan obat pemulih, agar tenaga mereka kembali seperti sediakala!"

Dewa Arak dan yang lain-lain sekarang sadar, mengapa tubuh mereka sejak tadi lemah. Padahal, mereka tidak tertotok sama sekali. Kiranya, mereka telah dicekoki minuman yang menyebabkan loyo, tidak bertenaga.

* * *

LIMA

Arya dan Tungga Dewi memperhatikan saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ketika melihat Nenek Lestari, Penjaga Alam Gaib, dan kakek tinggi kurus yang bernama Sebrang Wetan duduk bersila. Barisan duduk mereka membentuk kedudukan segi tiga. Tangan kanan teracung ke atas, sedangkan tangan kiri menekan tanah. Sepasang mata mereka masing-masing terpejam.

Arya dan Tungga Dewi saling berpandang ketika mulai merasakan bulu-bulu tengkuk mulai berdiri! Hawa gaib yang kasat mata mulai terasa. Sepasang anak muda ini tahu kalau ilmu-ilmu gaib ketiga tokoh tua itu telah mulai bekerja. Hanya saja belum terlihat hasilnya. Dewa Arak mengedarkan pandangan. Dan diam-diam hatinya merasa kagum juga terhadap para penghuni pulau ini. Mereka ternyata memegang janjinya.

Penghuni pulau yang memiliki kulit berwarna-warni itu ternyata langsung membebaskan orang-orang yang terkena wabah yang dianggap kutukan dewa. Wabah itu ternyata tidak lain hanya sebuah penyakit biasa. Dan Nenek Lestari tanpa menemui kesulitan berhasil menemukan obatnya.

Pimpinan pulau ini jadi bergembira, apalagi putri satu-satunya yang juga terkena wabah penyakit, berhasil pula disembuhkan. Saking gembiranya, dia menitahkan Nenek Lestari untuk mengajukan sebuah permintaan. Apabila raja pulau ini mampu, akan dikabulkan.

Nenek Lestari dan yang lainnya berunding. Dan atas usul Penjaga Alam Gaib, akhirnya mereka hanya minta sebuah tempat yang agak tersembunyi, dan tidak ingin diganggu. Maka raja pulau ini pun menyetujuinya. Dan itulah sebabnya, sejauh Arya mengedarkan pandangan, tidak satu pun orang-orang pulau yang terlihat. Lagi pula, tempat ini memang sukar dilihat orang, terapit dua buah tebing dengan ketinggian yang berbeda.

Pantai yang membentang sekitar belasan tombak di depan, serta dataran yang bentuknya menanjak bila ingin masuk ke dalam pulau, yang menjadi penyebabnya. Tempat ini memang bagian pantai yang hampir tidak pernah dilewati orang! Berarti raja pulau ini menepati janji!

"Uh!" Hampir berbarengan, Arya dan Tungga Dewi mengeluarkan keluhan tertahan, ketika dari atas kepala tiga sosok ringkih yang berada tak jauh di depan, mengepul asap putih tebal. Tiga asap itu meliuk-liuk ke atas, sebelum akhirnya bertemu di udara. Langsung saling melilit dan saling gumpal. Tanpa diberitahu, Dewa Arak yang sudah berpengalaman telah bisa memperkirakan kalau ketiga tokoh yang telah bau tanah ini tengah menyatukan kemampuan.

Byarrr!

Bagai telah disepakati sebelumnya, Arya dan Tungga Dewi sama-sama melangkah ke belakang karena kaget, ketika di dinding salah satu tebing yang agak rata tampak sebuah gambar yang jelas. Ternyata gambar yang tertera di dinding tebing itu adalah gambar... pemuda bernama Karpala yang telah sakti akibat kemasukan roh tokoh hitam dari masa lima ratus tahun lalu. Dan konon, tokoh ini bernama Garba Baureksa!

Meskipun terkejut, Arya masih khawatir. Bahkan hatinya tegang ketika melihat gambar-gambar lain yang ada. Tokoh hitam yang menggiriskan itu tengah berhadap-hadapan dengan tokoh lain. Sosok yang berdiri di depan Garba Baureksa tidak hanya seorang, tapi dua. Yang seorang adalah kakek kurus kering berwajah tirus mirip tikus, dan berpakaian dari kulit ular. Usianya tak kurang dari tujuh puluh lima tahun.

Sedangkan sosok yang kedua adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik jelita, laksana bidadari. Apalagi dengan rambutnya yang panjang terjurai, dan pakaian warna putih yang dikenakannya. Terhadap sosok yang kedua inilah, pandangan Arya tertuju.

"Melati...," desis Arya, tanpa berkedip. Sorot mata dan nada ucapan pemuda berambut putih keperakan ini sarat dengan kerinduan.

Tungga Dewi yang berdiri di sebelah Arya tentu saja melihat sikap itu. Dan terutama sekali ucapan pemuda berambut putih keperakan ini. Dan Tungga Dewi bukan gadis bodoh yang tidak bisa melihat perbedaan sikap Arya, ketika melihat gambar gadis berpakaian putih. Perasaan tidak nyaman mulai timbul di hatinya. Tiba-tiba saja, tanpa mampu dicegah gadis berpakaian kuning ini. Bukan hanya itu saja. Malah mendadak, Tungga Dewi merasa tidak suka terhadap gadis berpakaian putih itu.

"Kau mengenalnya, Arya...?!" tanya Tungga Dewi, agak ketus nadanya.

Tapi Arya yang tengah merasa kaget karena tidak menyangka akan melihat Melati yang berhadapan dengan Garba Baureksa, tidak merasakan nada ucapan dan sikap gadis berpakaian kuning itu. Semua perhatian Dewa Arak tengah terpusat pada Melati yang disangka masih berada di Kerajaan Bojong Gading. Masih dengan perhatian dan sepasang mata tertuju ke sana, Arya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sebagai jawaban.

Hati Tungga Dewi semakin panas melihat sikap Dewa Arak. Dengan sorot mata sengit, ditatapnya gambar Melati. Apa sih, kelebihan gadis berpakaian putih itu, sehingga Dewa Arak kelihatan demikian lupa diri ketika melihatnya? Tungga Dewi bertanya dalam hati. Padahal, gadis berpakaian kuning ini yakin kalau kecantikannya tidak akan kalah!

"Dia memang cantik... " Tungga Dewi berujar dengan suara dan tarikan wajah kaku. "Tapi, sayang... umurnya tidak akan panjang. Garba Baureksa akan segera mengirimkannya ke alam baka!"

Arya terjingkat ke belakang bagai disengat kelabang. Wajahnya kontan putih seperti kapur, karena perasaaan cemas yang menggelegak. Pertemuannya dengan Melati yang tidak diduga sama sekali, membuatnya tidak teringat kalau saat itu Melati tengah berhadapan dengan Karpala yang di dalamnya terdapat roh Garba Baureksa! Ini berarti keselamatan gadis berpakaian putih itu terancam!

Kesadaran ini membuat Arya jadi seperti kakek-kakek kebakaran jenggot. Dia ingin bertindak, tapi tak tahu harus berbuat apa. Di mana, keberadaan Melati dan Garba Baureksa itu saja, belum bisa diketahuinya. Tempat mereka memang belum terlihat jelas.

Tidak ada yang dapat dilakukan Dewa Arak kecuali menunggu Nenek Lestari, Penjaga Alam Gaib, atau Sebrang Wetan, selesai dengan kesibukannya. Dan, Arya merasakan sendiri betapa tidak enaknya menunggu, tanpa ada sesuatu yang dapat dilakukan.

Sementara di dinding tebing, gambar-gambar yang terpampang mulai menunjukkan ketegangan. Garba Baureksa tampak mulai bersikap melakukan tindakan terhadap laki-laki kurus yang ternyata Kuru Sanca dan Melati. Tapi, mendadak keadaan jadi berubah. Garba Baureksa menghentikan ayunan kakinya yang tengah mendekati Kuru Sanca dan Melati. Pemuda berkumis tipis ini menolehkan kepala ke kanan. Sementara sepasang matanya yang berwarna merah seperti mengeluarkan sinar berapi ketika menatap.

"Berani benar kalian, mengintip semua yang tengah kulakukan?! Apakah kalian sudah kepingin mati cepat-cepat?! Huh?! Tidak akan kubiarkan kalian mengintai semua gerak-gerikku!"

Garba Baureksa mengguratkan tangannya ke bawah. Dan akibatnya, semua gambar yang semula terpampang di dinding, lenyap.

"Hhh...!" Penjaga Alam Gaib, Nenek Lestari, dan Sebrang Wetan hanya menghela napas berat sambil menghentikan semadi. Tarikan wajah mereka menyiratkan kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.

"Apa yang terjadi, Kek, Nek?!" Arya yang sudah tidak sabar untuk segera mengetahui nasib Melati, langsung menghambur dan mengajukan pertanyaan.

"Kami tidak bisa lagi mengetahui gerak-gerik makhluk terkutuk itu. Dia telah berhasil menutupi, atau lebih tepatnya lagi membuat tabir itu terhapus," jelas Penjaga Alam Gaib, dengan wajah keruh.

Arya yang mengkhawatirkan keselamatan Melati, seperti tidak mendengar jawaban itu. Yang ada di benaknya saat ini adalah Melati. "Maksudku..., di manakah kira-kira iblis terkutuk itu berada, Kek?!"

"Kau jangan bertindak sembarangan, Arya." Penjaga Alam Gaib yang bisa menduga ke mana arah pertanyaan Arya, langsung memberi teguran. Dia memang sudah mengenal pemuda berambut putih keperakan itu.

"Iblis itu terlalu berbahaya. Aku tahu, kau lihai. Tapi kepandaian iblis itu benar-benar di luar jangkauan pikiran manusia. Kau tidak akan mampu menghadapinya, Dewa Arak. Tunggulah, sampai kami menemukan suatu cara untuk mengalahkannya."

"Kalau menuruti perasaan, aku tidak keberatan untuk menuruti anjuranmu. Tapi, sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa, karena di sana seorang kawan terbaikku tengah berada dalam ancaman maut. Dia tengah berhadapan dengan iblis jahanam itu!" ujar Arya.

"Gadis berpakaian putih itu?!" tebak Penjaga Alam Gaib, sambil tersenyum getir.

"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Kek?!" tanya Arya, agak heran.

"Mudah saja," jawab Penjaga Alam Gaib sambil mengelus-elus jenggot. "Saat itu, yang berhadapan dengan iblis jahanam hanya dua orang. Kakek berpakaian kulit ular itu adalah kawanku. Maka kawan yang kau maksudkan itu pasti yang lain. Karena, kawanku itu tidak mengenalmu, Dewa Arak!"

"Ah! Begitu kiranya?!" Arya mengangguk-angguk maklum. "Apakah kau tidak mengkhawatirkan keselamatannya, Kek?!"

"Tidak ada yang dapat kulakukan, Arya," keluh Penjaga Alam Gaib. "Andaikata aku menyusul ke sana dan berusaha menolong, hanya akan menambah korban. Biarlah aku berusaha dari sini. Hanya saja, ada sesuatu yang memberatkan pikiranku."

"Boleh kutahu, Kek?!" hati-hati sekali Arya memberi tanggapan.

"Tentu saja, Arya," tukas Penjaga Alam Gaib. "Sebelumnya hendak kuberitahukan, kalau aku mempunyai dua kawan sepengasingan. Kami menyepi bersama-sama. Karena suatu sebab, aku terpaksa menuju Pulau Setan. Sementara Guraksa menemuimu, Kuru Sanca kawanku yang berompi ular itu, menjaga goa tempat kami menyepi. Karena di dalam goa terdapat sebuah benda pusaka, benda warisan leluhurku, yang bernama Cermin Ajaib. Aku yakin, dia tidak akan meninggalkan tempat penjagaan kalau tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."

"Jadi.., Kuru Sanca telah meninggalkan tempat penjagaan, Kek?!"

Penjaga Alam Gaib mengangguk. "Benda itu amat berbahaya, apabila terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Dan kegunaan Cermin Ajaib untuk menghadapi roh yang menitis pada murid Perguruan Pedang Halilintar, belum diketahui tapi yang jelas, benda itu berguna. Entah apa sebabnya, Kuru Sanca sampai meninggalkan tempat penjagaan dan berada di sekitar Hutan Jati."

"Biar aku yang akan menengok Cermin Ajaib itu, Kek. Sekaligus, aku hendak melihat keadaan mereka berdua. Mudah-mudahan saja mereka tidak menjadi korban kebiadaban Garba Baureksa!" ujar Arya cepat menawarkan diri.

Penjaga Alam Gaib tercenung sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Baik juga usulmu itu, Arya." Kemudian secara ringkas tapi jelas, Penjaga Alam Gaib memberitahukan tempat penyepiannya selama ini, dan juga tempat Garba Baureksa saat ini berada.

"Kalau begitu, sekarang juga kami akan berangkat, Kek, Nek," Arya langsung berpamit.

"Biar aku mengantarmu, Arya!" Tungga Dewi menawarkan diri.

"Tapi, Tungga Dewi...."

"Kebetulan, aku juga hendak mencari guruku, Arya. Aku hendak ke pantai. Dari pada kita sendiri-sendiri, lebih baik bersama-sama. Dan lagi dengan adanya aku, kau tidak akan repot-repot mencari arah menuju ke pantai lagi. Bagaimana?!... Setuju?!"

Arya hanya bisa mengangkat bahu. Dia tahu, menolak lagi hanya akan mempermalukan Tungga Dewi. Dan gadis berpakaian kuning itu bisa sakit hati. Arya hanya berharap, Tungga Dewi segera bertemu gurunya. Paling tidak, agar gadis berpakaian kuning itu tidak mendapatkan alasan lagi untuk pergi bersamanya.

* * *

Deru napas memburu mengiringi ayunan kaki seorang gadis berpakaian putih yang tengah berlari-lari. Ayunan kakinya tidak beraturan, seperti tidak memperhatikan sekelilingnya. Wajahnya tampak tegang bukan main. Tapi, tidak terlihat sedikit pun adanya peluh yang mengalir. Memburunya napas gadis berpakaian putih ini bukan karena lelah, melainkan karena perasaan takut yang sangat dan tegang.

Suatu keanehan lagi, gadis berpakaian putih itu berlari tidak melalui jalan tanah terbuka, serta enak dilalui. Yang ditempuh malah tempat-tempat yang banyak dipenuhi kerimbunan semak lebat. Bahkan di antaranya mempunyai duri-duri tajam, siap mengoyak kulit.

Gadis berpakaian putih sampai melentingkan tubuh ke depan, seiring jeritan kaget dari mulutnya. Sewaktu hendak menerobos kerimbunan pepohonan dan semak-semak di depannya, tiba-tiba telah berdiri sesosok bayangan coklat.

Sosok bayangan yang menempuh arah berlawanan pun kaget juga. Terbukti dia pun melenting ke belakang, dan mengeluarkan seruan kaget pula. Masing-masing pihak berjungkir balik di udara beberapa kali, sebelum akhirnya menjejakkan kaki di tanah.

"Ah! Kau..., Dara...!"

"Kiranya kau, Melati. Mengejutkan aku saja. Kukira tadi kelinci!" sosok berpakaian coklat yang membuat gadis berpakaian putih, kaget ikut pula membuka suara. Dia ternyata Dara. Sementara, gadis berpakaian putih tak lain dari Melati.

Dua gadis yang sama-sama cantik berkepandaian tinggi ini, saling tatap. Sepasang mata mereka satu sama lain menelusuri dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Mengapa kau sendiri saja, Melati?! Mana Kuru Sanca?!" tanya Dara, setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan ternyata Melati hanya sendiri saja. Tapi, selesai mengajukan pertanyaan dia baru melihat keadaan Melati. "Kau... Melati, wajahmu demikian pucat. Apa yang terjadi?" tanya Dara lagi.

"Tokoh yang tidak patut menjadi seorang manusia, mengejar-ngejarku! Dia memiliki kepandaian mengerikan! Bahkan Kakek Kuru Sanca telah tewas di tangannya dengan mudah!" jelas melati.

"Ah...! Begitukah...?!"

Tanpa disuruh Melati segera menceritakan pengalamannya bersama Kuru Sanca.

ENAM

Dalam perjalanannya bersama Kuru Sanca, yakni ketika mereka berpisah dengan Dara, Melati menceritakan kalau sedang mencari seorang pemuda berambut putih keperakan yang memang Dewa Arak. Mendengar julukan Dewa Arak disebut, Kuru Sanca terkejut, karena seorang kawannya justru sedang bertugas mencari Dewa Arak, yang memang sangat dibutuhkan.

Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Di tengah perjalanan, Kuru Sanca dan Melati bertemu Karpala, alias Garba Baureksa. Maka, terjadilah pertarungan yang menyebabkan Kuru Sanca tewas. Sedangkan Melati masih untung bisa meloloskan diri, ketika Garba Baureksa dengan tenaga batinnya mampu melempar tubuhnya. Untung Melati jatuh di tempat yang empuk, dan langsung melarikan diri. Setelah menyadari kalau Garba Baureksa tak mungkin bisa dihadapi.

"Itulah pengalamanku, Dara. Aku tidak yakin kalau makhluk iblis itu akan melepaskanku begitu saja! Kurasa dia masih mengejarku. Bahkan bukan tidak mungkin dapat muncul di sini secara tiba-tiba!" Melati mengakhiri ceritanya sambil menoleh ke sana kemari.

"Tidak salahkah ciri-ciri yang kau sebutkan itu, Melati?!" tanya Dara tanpa mempedulikan kekhawatiran Melati. "Benarkah dia mengenakan pakaian coklat, pemuda tampan, bertubuh tegap berisi, dan berkumis tipis."

"Benar, Dara. Aku yakin betul demikian ciri-cirinya. Bahkan, maaf aku melihat adanya tanda yang sama pada bagian dada kiri pakaiannya. Maksudku, tanda yang sama dengan yang ada di pakaianmu! Pedang dan kilatan-kilatan halilintar!" tegas Melati yakin. "Apakah dia pun berasal dari Perguruan Pedang Halilintar pula seperti halnya dirimu?!"

"Kalau aku tidak salah mengira-ngira, orang itu adalah yang menyebabkan aku keluar ke dunia persilatan! Ka... Karpala...," desah Dara sambil menundukkan kepala.

"Kau...?!" Melati membelalakkan sepasang matanya. "Jadi..., tujuanmu sama denganku?! Mencari..., ngg... kawan baik?!"

Dara mengangguk, setelah terlebih dulu menatap Melati sekilas. Dia kelihatan malu sekali mengakuinya. Tapi, Melati menjadi penasaran karenanya.

"Apakah setiap murid Perguruan Pedang Halilintar memiliki ilmu kepandaian setinggi itu?!" desak Melati.

Gadis ini memang hampir tidak percaya kalau pemuda berkumis tipis yang membuat Kuru Sanca tewas, dan bahkan mengalahkan dirinya secara mudah, adalah seorang murid Perguruan Pedang Halilintar! Kalau muridnya saja memiliki tingkatan seperti itu, bagaimana pula dengan gurunya? Sukar bagi Melati untuk memikirkannya.

"Itulah yang mengherankan aku, Melati," desah Dara disertai hembusan napas berat. "Kalau melihat ciri-ciri yang kau sebutkan, orang itu pasti murid Perguruan Pedang Halilintar yang kucari, Karpala. Tapi, mungkinkah kepandaiannya setinggi itu? Sepengetahuanku, kepandaiannya biasa saja. Bahkan masih berada di bawahku. Jadi tidak mungkin dia dapat mengalahkan Kuru Sanca dan kau. Apalagi, dengan cara seperti itu! Di perguruan kami tidak ada pelajaran ilmu-ilmu seperti itu."

Melati terdiam. Dara juga diam. Suasana menjadi hening sejenak.

"Bagaimana kalau kita ke sana dan menjumpainya? Barangkali saja dia itu benar Karpala. Dan jika benar, aku akan menegurnya. Bahkan mungkin memberikan hajaran atas tindakannya yang demikian lancang!"

Melati jadi bimbang, tapi hanya sesaat. Dia adalah seorang gadis yang memiliki watak keras. Melihat Dara berani, mengapa dia tidak? Maka, walaupun hatinya masih diliputi kengerian, kepalanya mengangguk.

Dua gadis yang sama-sama cantik, dan berkepandaian tinggi ini pun melesat menuju ke tempat dia dan Kuru Sanca bertemu Garba Baureksa. Melati bertindak sebagai petunjuk jalan. Dan karena tempat itu tidak terlalu jauh, sebentar saja mereka telah tiba.

Harapan Melati dan Dara langsung buyar ketika tidak menemukan adanya Garba Baureksa di sana. Tokoh yang menggiriskan hati itu telah tidak berada lagi di situ. Yang tinggal hanya Kuru Sanca dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya tergolek dan berkubang darah yang keluar dari mulut, hidung, dan telinga.

Melati dan Dara bergegas mendekati, dan duduk bersimpuh di dekat mayat Kuru Sanca. Akhir kehidupan seorang datuk kaum sesat yang telah mengasingkan diri ini demikian menyedihkan. Kedua gadis muda ini termenung dengan raut wajah menyiratkan kedukaan. Susah payah diselamatkan, toh akhirnya Kuru Sanca tewas juga. Cukup lama Dara dan Melati termenung, sebelum akhirnya bangkit dan bersama-sama menguburkan mayat Kuru Sanca.

* * *

"Hhh...! Kupikir kau mampus di tengah jalan, Bongsang!" sambut seorang kakek berkulit hitam legam, berambut keriting. Dan dia hanya mengenakan cawat. Tampak jelas adanya nada teguran di dalamnya.

"Maaf, Setan Hitam. Aku terlambat. Ada halangan sebentar di jalan, tapi telah berhasil kulewati," jawab sosok laki-laki tua berkulit hitam dan berhidung melengkung yang dipanggil Bongsang. Ayunan kakinya langsung dihentikan setelah berada berjarak beberapa tombak dari kakek berkulit hitam legam yang tak lain dari Setan Hitam Tak Berjantung.

Bukan hanya Bongsang yang berhenti di depan Setan Hitam Tak Berjantung, tapi juga seekor macan tutul. Binatang buas itu berdiri dengan sikap sangar.

"Hmh...!" Setan Hitam Tak Berjantung mendengus. "Dan kau terpontang-panting karenanya, bukan?!"

"Kau tidak usah mengejekku, Setan Hitam!" sangah Bongsang tak kalah keras. "Apakah kau hendak menyembunyikan kegagalan usahamu?!"

"Apa maksudmu, Bongsang?! Jangan berbelit-belit!" sentak Setan Hitam Tak Berjantung.

"Hambatan yang kutemukan di tengah jalan adalah Kuru Sanca. Dan aku pasti akan berhasil membunuhnya, kalau saja tidak datang penolongnya. Kau tahu, siapa mereka?!"

Setan Hitam Tak Berjantung sama sekali tidak memberi tanggapan. Tapi, Bongsang tidak menjadi kecil hati.

"Orang-orang yang menghalangi tugasku adalah Dewa Arak dan si Pedang Halilintar Sakti!" dusta Bongsang sambil mengamati selebar wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dia yakin, kakek berambut keriting itu akan terkejut.

Setan Hitam Tak Berjantung memang terkejut mendengar pemberitahuan itu. Namun, dengan pandai dia dapat menyembunyikannya. Sehingga perubahan di wajahnya tidak tampak. Namun, pandangan mata Bongsang yang tajam tidak dapat ditipu. Dia dapat melihat dengan jelas kalau Setan Hitam Tak Berjantung terkejut.

"Si Pedang Halilintar Sakti yang sombong itu?! Dia bukan apa-apa bagiku sekarang. Mungkin, dulu termasuk lawan yang berat. Tapi sekarang? Jangankan dia, Kuru Sanca saja tidak kuat menghadapiku!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung, datar.

"Lalu..., bagaimana dengan Dewa Arak?!"

Bongsang agak jengkel melihat sikap Setan Hitam Tak Berjantung yang meremehkan. Padahal kakek berhidung melengkung ini tahu kalau Setan Hitam Tak Berjantung dilanda keterkejutan yang amat sangat.

"Dia?! Apalagi dia?! Bukti-bukti nyata mengenai kepandaiannya belum pernah kurasakan sendiri. Hanya kabar saja yang besar! Biasanya, kabar selalu dilebih-lebihkan, daripada kenyataan! Aku yakin, dia bukan lawan berat!" tandas Setan Hitam Tak Berjantung dengan sikap tidak peduli.

"Syukurlah kalau demikian, Setan Hitam!" ujar Bongsang menutupi rasa jengkelnya. "Sekarang aku bisa lega, karena kau akan dapat mengalahkan mereka. Aku bisa memusatkan seluruh perhatianku pada Cermin Ajaib. Dan kau yang akan menghadapi kedua orang itu, karena mereka tengah dalam perjalanan menuju kemari! Asal kau tahu saja, Setan Hitam! Kepandaian Dewa Arak jauh lebih tinggi daripada si Pedang Halilintar! Padahal, si Pedang Halilintar yang sombong itu telah mencapai kemajuan luar biasa, bila dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Kuru Sanca, bukan apa-apa baginya! Selamat bertugas!"

Lalu dengan sikap seakan tidak peduli, Bongsang mengayunkan kaki menuju mulut goa yang berada di belakang Setan Hitam Tak Berjantung. Sementara macan tutulnya yang setia, langsung mengikuti.

"Tunggu sebentar, Bongsang!"

Cegahan Setan Hitam Tak Berjantung membuat Bongsang menghentikan langkahnya. "Ada apa, Setan Hitam?!"

Bongsang menahan rasa gembira di hati karena tahu kalau Setan Hitam Tak Berjantung telah terkena tipuannya.

"Tidak apa-apa," Setan Hitam Tak Berjantung menggelengkan kepala. "Tapi ketahuilah, Bongsang. Goa itu telah diracuni Kuru Sanca sebelum melarikan diri secara curang dari tanganku. Tiga orang anak buahku yang kusuruh masuk ke sana telah tewas. Mereka hanya mengeluarkan jeritan tertahan sebagai tanda kalau telah melayang ke alam baka."

Bongsang menutupi rasa jengkelnya yang kembali meluap. Setan Hitam Tak Berjantung benar-benar membuatnya kesal. "Lalu..., yang lainnya ke mana?!"

"Gentong-gentong kosong tak berguna bekas anak buah si Keparat Kuru Sanca telah habis di makan ular-ular peliharaan tua bangka itu. Hanya murid-murid utamanya saja yang berhasil selamat, karena kebetulan saja tidak bertemu macan ompong itu! Mereka kusuruh menjemput kawan-kawan bekas anak buah Guraksa, dan mencari raga si Tokoh Sakti masa lima ratus tahun lalu itu," jelas Setan Hitam Tak Berjantung, panjang lebar.

"Jadi, sekarang hanya tinggal kau di sini, Setan Hitam?"

"Benar." Setan Hitam Tak Berjantung mengangguk. "Kalau kau mampu menangkal racun Kuru Sanca, lebih baik kita masuk bersama-sama. Dengan masuk bersama, kita akan lebih cepat mengetahui di mana adanya Cermin Ajaib."

Bongsang menyeringai untuk menutupi rasa jengkelnya. Dia tahu, Setan Hitam Tak Berjantung merasa gentar menunggu sendiri di luar goa ketika mendengar Dewa Arak dan Pedang Halilintar Sakti akan datang kemari. Tapi dengan pandainya, kakek berambut keriting itu memutarbalikkan alasan sehingga kegentarannya tidak kentara.

Memang, sebenarnya Setan Hitam Tak Berjantung merasa gentar mendengar Dewa Arak dan si Pedang Halilintar Sakti hendak menyatroni tempat ini. Apalagi yang dihadapi dua orang. Bagaimana mungkin dia dapat menghadapinya?

"Berhenti...!"

Terdengar suara bentakan keras yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, ketika Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang hendak mengayunkan kaki menuju ke mulut goa.

Bagai telah disepakati sebelumnya, Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang berbalik. Seketika benak Setan Hitam Tak Berjantung telah terlontar dugaan kalau orang yang mengeluarkan seruan adalah salah satu dari dua tokoh sakti yang diceritakan Bongsang. Jadi, si Pedang Halilintar Sakti dan Dewa Arak telah tiba di sini demikian cepat.

Sepasang alis Setan Hitam Tak Berjantung berkerut, ketika melihat dua sosok yang berlari cepat mendekati tempatnya. Memang, terdiri dari dua sosok. Tapi kakek berambut keriting ini tahu pasti kalau si Pedang Halilintar Sakti tidak berada di antara keduanya.

Hanya dalam sekejap dua sosok itu telah berjarak empat tombak dari Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang yang masih tetap berdiri, tanpa bertindak apa-apa kecuali menatap tajam.

"Kau pasti Dewa Arak! Bukankah dugaanku tidak salah?!" tanya Setan Hitam Tak Berjantung, setelah memperhatikan sosok yang satu penuh selidik, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sosok yang satu lagi, tidak terlalu diperhatikan. Karena, hanya seorang gadis muda yang tidak memiliki kesan apa-apa.

Sosok yang diperhatikan Setan Hitam Tak Berjantung, memang Dewa Arak. Sedangkan gadis yang berada di sebelahnya, tak lain dari Tungga Dewi. Keduanya memang datang pada saat yang tepat.

"Dugaanmu tidak salah, Kek," jawab Arya, tenang. "Boleh kutahu, siapa dirimu?!"

"Dia..., Setan Hitam Tak Berjantung, Arya," bisik Tungga Dewi. Gadis itu bisa mengenali karena telah mendengar penuturan gurunya. Nelayan Tenaga Gajah, mengenai datuk-datuk persilatan dan tokoh-tokoh terkenal lainnya berikut ciri-cirinya. Dan karena melihat ciri-cirinya, Tungga Dewi bisa menduga kalau kakek berambut keriting itu tak lain dari Setan Hitam Tak Berjantung.

TUJUH
"Ha ha ha...!" Setan Hitam Tak Berjantung tertawa bergelak. Perhatiannya langsung beralih pada Tungga Dewi yang sejak tadi tidak masuk hitungannya. Kebenaran tebakan Tungga Dewi membuat Setan Hitam Tak Berjantung mulai menaruh perhatian. Jarang ada orang muda yang mengenali julukannya. Kalau Tungga Dewi mengenalnya, berarti gadis ini tak bisa dianggap sembarangan.

"Siapa kau, Cah Ayu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!"

"Guruku, Setan Hitam! Beliau banyak bercerita tentang dirimu!" jawab Tungga Dewi, lantang.

"Setan Hitam Tak Berjantung!" tukas Arya, yang sudah tidak sabar lagi melihat perdebatan itu. "Apa maksudmu hendak memasuki goa yang tengah ditinggalkan pemiliknya?!"

"Apa pedulimu, Dewa Arak?!" tantang Setan Hitam Tak Berjantung. "Apa hakmu melarangku?!"

"Aku mempunyai wewenang dari pemilik goa ini untuk menjaga kesuciannya dari tangan-tangan kotor orang-orang semacammu!"

"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Tahukah kau, siapa pemilik goa ini sebenarnya?!" Bongsang yang menyambuti ucapan Arya.

"Tentu saja!" jawab Arya, cepat. "Beliau berjuluk Penjaga Alam Gaib!"

"Ha ha ha...!" Tawa Bongsang semakin keras. Bahkan Setan Hitam Tak Berjantung sekarang ikut-ikutan tertawa, menambah ramai suasana. Tinggal Dewa Arak dan Tungga Dewi yang menatap semua itu dengan perasaan geram.

"Tak kusangka kalau Dewa Arak yang terkenal menggemparkan dunia persilatan, tak lebih dari manusia bodoh yang mudah dikelabui! Penjaga Alam Gaib telah ratusan tahun meninggal dunia! Dan tahukah kau orang yang menjadi keturunan terakhir, murid terakhir pewaris tempat ini?! Pewaris Cermin Ajaib?!"

Dewa Arak dan Tungga Dewi saling berpandangan. Mereka tidak memberikan tanggapan sama sekali, karena ingin mendengarkan ucapan Setan Hitam Tak Berjantung lebih jauh. Kedua anak muda ini memang telah merasakan adanya keanehan itu. Sepengetahuan mereka, julukan Penjaga Alam Gaib telah ada ratusan tahun lalu. Bahkan paling tidak tiga ratus lima puluh tahun lalu. Mungkinkah ada orang yang berusia sampai setua itu? Perasaan curiga pun mulai bersarang di hati Dewa Arak dan Tungga Dewi terhadap Penjaga Alam Gaib yang telah dikenal selama ini!

"Akulah keturunan terakhir murid Penjaga Alam Gaib itu, Dewa Arak!" Bongsang melangkah maju sambil membusungkan dada. "Akulah pewaris goa ini beserta Cermin Ajaib-nya. Sedangkan Penjaga Alam Gaib yang kau kenal, merupakan seorang penipu! Dia mengaku-aku saja!"

Dewa Arak terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini bingung, harus bersikap bagaimana.

"Kau pun penipu pula, Kakek Berhidung Burung!" celetuk Tungga Dewi, nyaring.

Sepasang mata Bongsang berkilat. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang menyinggung-nyinggung hidungnya. Apalagi, sampai memaki-makinya. Tapi saat ini, keingintahuannya lebih besar daripada kemarahannya. Maka hatinya dikuat-kuatkan. "Mengapa kau berkata demikian, Wanita Liar!"

"Mudah saja!" Tungga Dewi langsung bertolak pinggang. Sedangkan Arya yang juga ingin tahu apa yang hendak dikemukakan gadis berpakaian kuning ini jadi ikut memasang telinga, seperti halnya Setan Hitam Tak Berjantung.

"Bukankah kau mengatakan kalau Penjaga Alam Gaib telah lama meninggal dunia, ratusan tahun yang lalu? Lantas, mengapa kau bisa menjadi ahli warisnya?! Berarti kau pun berdusta!"

Bongsang menggertakkan gigi. Pernyataan Tungga Dewi benar-benar membuatnya kehabisan akal. Dia tidak tahu, harus bicara apa sekarang.

"Mengapa harus repot-repot lagi, Bongsang! Bunuh saja gadis itu. Habis perkara! Biar aku yang akan membereskan Dewa Arak!"

Begitu mulutnya terkatup, Setan Hitam Tak Berjantung langsung menerjang Dewa Arak. Dia melompat ke atas. Dan di saat tubuhnya masih berada di udara, kaki kanannya ditendangkan ke arah wajah pemuda berambut putih keperakan itu.

Wuttt!

Hantaman kaki yang sanggup menghancurkan batu karang yang paling keras itu hanya mengenai tempat kosong, ketika Arya merendahkan tubuhnya. Sedangkan Tungga Dewi, meski tidak menjadi sasaran serangan, langsung melompat ke kanan dan menjauh. Dia tahu kedahsyatan serangan itu. Namun sebentar kemudian, gadis ini segera menyambut serangan Bongsang.

Di lain pihak, Dewa Arak kembali mendapatkan serangan susulan. Kali ini berupa tamparan ke arah pelipis yang diikuti bunyi mencicit nyaring. Namun pemuda berambut putih keperakan ini tidak berusaha menghindar. Dan begitu serangan hampir mendarat di pelipisnya, tangannya langsung bergerak cepat.

Pyarrr!

Dua telapak tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan, hingga menimbulkan bunyi keras menggelegar seperti halilintar menyambar. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terdorong ke samping. Namun, Setan Hitam Tak Berjantung agak terhuyung-huyung dan kelihatan mengalami sedikit kesulitan untuk cepat memperbaiki kedudukannya.

"Rupanya kau lihai, Dewa Arak! Pantas sikapmu demikian sombong, berani menyatroniku!" desis Setan Hitam Tak Berjantung ketika telah berhasil memperbaiki kedudukan. "Tapi kau jangan besar hati dulu! Lihat ini!"

Kakek berambut keriting ini kemudian menggosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain. Tak lama kemudian, sekitar tempat pertarungan mulai diliputi hawa dingin. Semakin lama hawa itu semakin menguat.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu, lawannya telah menggunakan ilmu andalan. Maka tanpa membuang waktu lagi, guci arak yang senantiasa tersampir di punggung langsung dituangkan ke mulutnya.

Gluk, gluk, glukkk!

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu limbung. Ini menjadi pertanda kalau Ilmu 'Belalang Sakti' telah siap untuk dipergunakan.

"Itukah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor?! Ingin kulihat, bagaimana bila diperbandingkan dengan ilmu 'Angin Salju' milikku!" dengus Setan Hitam Tak Berjantung.

"Hih!" Hembusan angin dingin yang membekukan tulang langsung berhembus ketika Setan Hitam Tak Berjantung mendorongkan kedua telapak tangannya yang terbuka. Bahkan Tungga Dewi dan Bongsang yang bertarung dalam jarak beberapa tombak dari tempat Setan Hitam Tak Berjantung dan Arya berada, merasakan sendiri dinginnya angin yang berhembus. Maka mereka langsung melompat menjauh.

Kalau Tungga Dewi dan Setan Hitam Tak Berjantung saja merasa kedinginan, apalagi Arya yang menjadi sasaran serangan. Serbuan hawa dingin yang bertiup jauh lebih dahsyat. Namun, Dewa Arak bukan orang sembarangan. Apalagi 'Tenaga Sakti Inti Matahari'-nya. Maka, buru-buru Dewa Arak mengerahkan tenaga sakti itu, dan melakukan gerakan mendorong.

Bluppp!

Bumi bagai bergetar, ketika dua tenaga sakti yang berlainan hawa berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, tubuh Setan Hitam Tak Berjantung terhuyung dua langkah dan hampir terpelanting. Untung dia buru-buru memperbaiki kedudukannya. Hal seperti itu tidak dialami Arya meskipun juga terhuyung dua langkah. Dirasakannya aliran hawa dingin sempat menyelinap lewat kedua tangannya. Sedangkan Setan Hitam Tak Berjantung merasakan aliran hawa panas.

Namun dengan tenaga khas masing-masing pihak, serangan aliran hawa bisa dipunahkan. Dan, begitu masing-masing pihak telah berhasil mengusir hawa yang merayap, kedua tokoh tingkat tinggi ini melanjutkan pertarungan kembali. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan. Pemuda berambut putih keperakan ini berusaha agar secepat mungkin dapat mengalahkan Setan Hitam Tak Berjantung. Apalagi, dia juga khawatir kalau Tungga Dewi akan segera roboh di tangan Bongsang.

Kekhawatiran Dewa Arak memang beralasan. Tungga Dewi memang bukan tandingan Bongsang. Gadis berpakaian kuning itu hanya mampu menandingi lawannya sampai dua puluh jurus. Lewat dari itu, gadis ini mulai terdesak. Terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawa.

Di kancah pertarungan antara Dewa Arak dengan Setan Hitam Tak Berjantung, pertarungan berlangsung alot. Namun berkat kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti', dan Dewa Arak mulai menguasai kancah pertarungan. Secara perlahan-lahan Setan Hitam Tak Berjantung mulai terdesak.

Berkat keunggulannya terhadap Setan Hitam Tak Berjantung, Dewa Arak mampu sesekali memberikan bantuan, agar Tungga Dewi tidak terlampau terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu terkadang meninggalkan lawannya dan melancarkan serangan terhadap Bongsang. Atau, mendong menangkiskan serangan Bongsang yang sulit dihadapi Tungga Dewi. Bantuan seperti ini memang tidak penuh, tapi cukup bagi Tungga Dewi untuk bertahan agak lama.

"Aha...! Kiranya kau di sini, Dewa Pengecut...!" Tiba-tiba ucapan bernada penuh kegembiraan berkumandang di sekitar tempat itu. Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, sesosok bayangan coklat berkelebat, dan langsung menangkis serangan Dewa Arak yang tengah tertuju pada Setan Hitam Tak Berjantung.

Plakkk!

Sosok berpakaian coklat dan Dewa Arak sama-sama terhuyung. Hanya saja, Dewa Arak terdorong dua langkah, sedangkan bayangan coklat itu tiga langkah. Munculnya sosok bayangan coklat itu membuat pertarungan antara Dewa Arak dan Setan Hitam Tak Berjantung langsung terhenti. Baik Arya maupun kakek berambut keriting itu ingin tahu, sosok yang telah ikut campur dalam pertarungannya.

"Rupanya kau, Pedang Halilintar Sakti," desah Setan Hitam Tak Berjantung dengan wajah tegang, ketika mengenali laki-laki tua yang bersikap agung dan masih terlihat gagah. Sepasang mata dan pancaran wajah kakek berpakaian coklat ini menyiratkan rasa merendahkan orang lain.

Setan Hitam Tak Berjantung merasa khawatir. Karena sepengetahuannya, berdasar cerita Bongsang, Dewa Arak, dan Pedang Halilintar Sakti berkawan baik. Tapi, ada sedikit hal yang mengherankan, ternyata keadaan itu tidak seperti yang dikatakan Bongsang. Ucapan dan sikap Pedang Halilintar Sakti menunjukkan rasa permusuhan pada Dewa Arak. Dengan hati berdebar tegang, Setan Hitam Tak Berjantung memperhatikan tingkah kedua tokoh sakti itu.

"Kau Setan Hitam Tak Berjantung, eh?! Apa urusanmu hingga bentrok dengan Dewa Sombong yang sok ini? Menyingkirlah sebentar. Biar aku yang akan menyelesaikan urusanku lebih dulu dengan Dewa Sombong ini!" sambut Pedang Halilintar Sakti, yang memiliki watak angkuh dengan sikap tidak peduli.

Setelah berkata demikian, Pedang Halilintar Sakti mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. "Sekarang kita buat perhitungan, Dewa Sombong! Jangan mentang-mentang memiliki kepandaian dengan julukan yang menggemparkan dunia persilatan seenaknya saja kau campuri urusan perguruanku. Bahkan kau telah memberi pelajaran terhadap tiga orang muridku! Mereka memang bukan apa-apa. Nah! Sekarang, aku, guru mereka ada di sini. Coba kau berikan pelajaran yang telah kau lakukan terhadap tiga orang muridku!"

"Maaf, Pedang Halilintar Sakti," ucap Arya penuh rasa tidak enak. Dewa Arak menyadari tindakannya yang salah beberapa waktu lalu. Apalagi dia tahu kalau si Pedang Halilintar Sakti termasuk seorang datuk golongan putih. Dan Dewa Arak pun semakin tidak enak hati, namun berusaha agar tidak terjadi pertarungan.

"Maaf?!" dengus Pedang Halilintar Sakti. "Enak saja! Begitu mudahnya?! Setelah berbuat kesalahan, kemudian minta maaf?! Apakah setelah kau meminta maaf itu, nyawa semua muridku akan kembali?!"

"Apa maksudmu, Pedang Halilintar Sakti?!" Kening Dewa Arak mengernyit dengan sikap heran. Sepengetahuannya, murid-murid Perguruan Pedang Halilintar yang dihadapinya, tidak ada yang tewas. Bahkan hanya terluka tidak begitu parah. Lantas mengapa sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini bicara soal nyawa murid-muridnya. Dan Dewa Arak khawatir ada kesalahpahaman di sini.

"Aku yakin mereka tidak akan mati akibat pukulanku. Bahkan terluka parah pun tidak."

"Memang, murid-muridku tidak tewas atau terluka parah akibat kemampuan yang kau miliki. Tapi akibat pertolonganmu, muridku yang bernama Karpala datang kembali bersama iblis. Dia langsung menyebar maut di perguruanku. Semua muridku binasa! Dan karena Karpala tidak ada di sini, sekarang biarlah kau yang bertanggung jawab atas semua musibah yang menimpa perguruanku! Kau harus menebusnya dengan nyawamu, Dewa Arak! Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran terakhir bagimu, untuk tidak terlalu mudah mencampuri urusan orang lain!"

Singngng!

Pedang Halilintar Sakti segera menutup ucapannya dengan tusukan pedangnya yang mengeluarkan bunyi halilintar menyambar. Itu pun masih ditambah kilatan-kilatan menyilaukan sebagaimana halnya petir menyambar.

Mau tidak mau, Dewa Arak menyambutinya, karena memang tidak ingin nyawanya melayang percuma. Maka pertarungan pun kembali berlanjut Beberapa kali terjadi bunyi berdentang nyaring ketika pedang berbenturan dengan guci.

Setan Hitam Tak Berjantung yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi berseri. Dia berharap, mudah-mudahan saja kedua belah pihak akan tewas bersama, sehingga tidak perlu mengeluarkan tenaga lagi untuk menghadapi mereka!

Hanya dalam beberapa kali memperhatikan, Setan Hitam Tak Berjantung telah bisa memperkirakan kalau Dewa Arak masih terlalu tangguh. Ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak yang aneh tetap tidak mampu ditanggulangi Pedang Halilintar Sakti dengan ilmu 'Pedang Halilintar'. Memang harus diakui oleh Setan Hitam Tak Berjantung kalau ilmu pedang si Pedang Halilintar Sakti benar-benar dahsyat dan menggiriskan. Tapi, ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak tetap sukar ditaklukkan.

Setan Hitam Tak Berjantung melihat peluang baik untuk mengalahkan Dewa Arak. Dia tahu, pemuda itu tidak akan bisa dikalahkan olehnya. Bahkan juga oleh Pedang Halilintar Sakti. Tapi, diyakini betul kalau dia dan Ketua Perguruan Pedang Halilintar itu bersatu dan bersama-sama melawan, Dewa Arak akan dapat dirobohkan.

"Jangan khawatir, Pedang Halilintar Sakti. Aku datang membantu," seru Setan Hitam Tak Berjantung seraya melompat masuk kedalam kancah pertarungan. Senjatanya yang berupa sepasang pisau pendek langsung berkelebatan, mengincar bagian tidak terjaga pada Dewa Arak.

Kalau Pedang Halilintar Sakti lega dan gembira di dalam hati karena mendapat bantuan demikian, tidak demikian halnya Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini mengeluh dalam hati. Satu lawan saja, cukup sulit dirobohkan. Apalagi sekarang dengan ikut sertanya Setan Hitam Tak Berjantung di pihak Ketua Perguruan Pedang Halilintar.

Maka semakin sulit bagi Dewa Arak untuk dapat mengalahkan. Bahkan sekarang, pemuda berambut putih keperakan itu mulai kewalahan, karena serangan yang datang begitu silih berganti dan susul-menyusul laksana gelombang laut. Sehingga, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang.

Dewa Arak mengerling ke arah Tungga Dewi. Dan dia langsung mengeluh ketika melihat gadis berpakaian kuning itu telah kena di tawan Bongsang. Maka Dewa Arak pun terpaksa berjuang lebih keras.

Plak, plakkk!

Ketika untuk kesekian kalinya tangan Dewa Arak dan Setan Hitam Tak Berjantung yang telah menyimpan sebelah pisaunya itu berbenturan, Dewa Arak kontan kaget. Ternyata tangannya melekat dengan tangan lawan. Namun bagi Dewa Arak hal ini bukan sesuatu yang aneh. Buru-buru aliran tenaga dalamnya yang menuju ke tangan dihentikan. Dan sesaat kemudian, baru tangannya ditarik.

Tapi waktu yang hanya sekejap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh si Pedang Halilintar Sakti untuk menusukkan pedang ke arah leher Dewa Arak. Untung saja, Arya masih sempat memiringkan kepala. Sementara tangan kiri si Pedang Halilintar Sakti kembali meluncur dengan sebuah tepakan ke arah punggung.

Lagi-lagi, Dewa Arak berhasil membuyarkan serangan dengan hadangan guci. Namun saat itu, tangan Setan Hitam Tak Berjantung meluncur secara cepat ke arah bahu kanannya. Kali ini, Arya kurang sigap bertindak. Seketika tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun terkulai lemas di tanah.

Singngng!

Ujung pedang si Pedang Halilintar Sakti meluncur cepat ke arah leher.

Trang!

Mendadak sebatang pisau dilepaskan Setan Hitam Tak Berjantung membuat tusukan pedang Ketua Perguruan Pedang Halilintar menyeleweng, tidak mengenai sasaran.

"Kau..., mengapa mencegah tindakanku?! Apakah telah mempunyai nyawa rangkap?!" tanya si Pedang Halilintar Sakti, penuh ancaman.

"Tidak usah sesumbar di sini, Pedang Halilintar! Tanpa adanya bantuanku, kau tidak akan mampu merobohkan Dewa Arak. Dan sekarang begitu dia telah berhasil kurobohkan, kau tanpa tahu malu hendak membunuhnya! Tidakkah kau sadari kalau perbuatanmu merupakan tindakan pengecut?! Kau, seorang tokoh golongan putih hendak membunuh seorang lawan yang tengah tidak berdaya! Luar biasa! Hebat..!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung disertai senyum sinis.

Ucapan-ucapan Setan Hitam Tak Berjantung tak ubahnya pisau berkarat yang dihunjamkan pada tubuh Pedang Halilintar Sakti. Wajahnya yang masih bersikap agung ini kontan berubah. Sebentar pucat, sebentar merah. Dalam kemarahannya tadi, Pedang Halilintar Sakti memang sampai melupakannya, sehingga bertindak tidak pantas. Sekarang baru terasa, betapa pengecutnya tindakannya.

"Setan Hitam...!"

Sebelum si Pedang Halilintar Sakti atau Setan Hitam Tak Berjantung berbicara atau bertindak sesuatu, terdengar suara keras yang menggema ke sekitar tempat itu.

Sekalipun hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang dipanggil, Pedang Halilintar Sakti, dan Bongsang ikut-ikutan mencari sumber suara keras tadi. Tapi, tetap saja mereka tidak dapat mengetahui dari mana asalnya. Suara itu seperti muncul dari seluruh penjuru. Bahkan bergema ke sekitar tempat itu.

"Siapa kau?!" Setan Hitam Tak Berjantung mengedarkan pandangan berkeliling sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tunjukkan rupamu kalau kau bukan seorang pengecut!" bentak Setan Hitam Tak Berjantung.

"Aku tidak bisa melakukannya, Setan Hitam!" suara tanpa wujud itu kembali bergema. "Karena aku berada di tempat yang jauh dari sini! Di tempatmu. Rasanya, akan makan waktu berhari-hari untuk sampai ke sana. Dan perlu kau ketahui, aku hanya hendak memberitahukan sesuatu padamu. Jangan kau bunuh Dewa Arak. Biarkan dia. Karena kemungkinan, dialah yang akan membasmi tokoh jahat dari masa lima ratus tahun yang lalu. Kau sudah mengetahui hal itu bukan?! Ketahuilah, Setan Hitam. Roh tokoh jahat dari masa lalu itu tidak akan bisa dibunuh. Tapi, aku mempunyai harapan pada Cermin Ajaib. Dan karena aku tidak berada di tempat Cermin Ajaib berada, maka akan sulit bagiku untuk bertindak sesuatu. Kalau kau tidak mau membebaskan Dewa Arak, kuharap kau pergi ke Cermin Ajaib. Dan, berdirilah di dekat sana. Dengan cara demikian, Cermin Ajaib akan terlihat olehmu dari sini. Dan aku akan dapat berhubungan dengannya."

"Kalau aku tidak mau?!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung, sambil menyeringai

"Aku mohon, kau bebaskan Dewa Arak! Biar dia yang melakukannya. Karena untuk itulah, dia berada di tempatmu!" pinta suara tanpa wujud itu lagi.

"Kau hanya membuang-buang waktu saja!" sentak Setan Hitam Tak Berjantung. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan memenuhi permintaanmu. Jelas?!"

DELAPAN

Suasana langsung hening, ketika Setan Hitam Tak Berjantung selesai mengucapkan penolakannya.

"Apakah kau yang berjuluk Penjaga Alam Gaib?!" celetuk Bongsang.

"Kira-kira demikian," jawab suara tanpa wujud. "Siapa kau, Kisanak?! Maukah kau melakukan permintaanku yang ditolak Setan Hitam?!"

"Tentu saja tidak!" jawab Bongsang cepat. "Bahkan kalau bisa aku akan membunuhmu! Enak saja kau mengakui Cermin Ajaib sebagai milik leluhurmu. Bahkan tanpa tahu malu kau berani memakai julukan Penjaga Alam Gaib. Orang lain bisa kau tipu. Tapi aku, Bongsang tidak akan tertipu. Aku tahu, siapa pemilik Cermin Ajaib ini!"

"Ah...!" desah suara tanpa wujud, kaget. "Jadi kau kiranya orang yang bernama Bongsang? Guru banyak bercerita tentang kau, Bongsang. Kau termasuk kakak seperguruanku. Hanya saja, kau kini menjadi murid murtad. Kau hendak membunuh guru hanya karena beliau akan menghukummu. Kau menyeleweng dari aliran ilmu guru, Bongsang. Beliau tidak pernah mengorbankan manusia untuk menambah pengetahuan ilmu gaibnya. Tapi, kau? Kau banyak menculik bayi-bayi dan mengambil otak dan darahnya, serta sumsum tulangnya untuk mendapatkan...."

"Cukup! Aku tidak butuh ocehanmu! Jadi, kau dipunggut tua bangka bau tanah itu untuk menjadi ahli warisnya, heh?! Sayang, aku gagal membunuhnya!"

"Sadarlah, Bongsang! Lebih baik kita bersatu untuk mencegah munculnya terbentuknya iblis mengerikan yang berasal dari masa lima ratus tahun yang silam. Sekarang aku tidak merasa aneh kalau berita tentang makhluk itu telah tersebar luas. Bahkan kawan-kawanku tewas di perjalanan. Rupanya kau yang berdiri di belakang layar, Bongsang. Aku tidak merasa aneh sekarang, mengapa rencanaku berhasil kau ketahui. Aku tahu, dalam ilmu pengetahuan gaib, aku masih jauh di bawahmu. Tanpa Cermin Ajaib kau telah bisa mengetahui kalau peti bertuah yang berisikan jasad dari masa lima ratus tahun lalu itu telah keluar ke dunia persilatan. Dan guru tidak sempat menceritakan padaku tentang tokoh dari lima ratus tahun lalu itu. Sedangkan kau, aku yakin telah pernah mendengar ceritanya...."

Suara tanpa wujud itu mendadak terhenti di tengah jalan. Dan Bongsang menjadi heran. Ucapan Penjaga Alam Gaib yang belum selesai mengapa tiba-tiba terputus? Apakah terjadi sesuatu dengan tokoh itu di tempat dia berada?

Pertanyaan yang sama menghinggapi benak si Pedang Halilintar Sakti, dan Setan Hitam Tak Berjantung. Namun, Bongsanglah yang lebih dulu sadar dan mengetahui penyebabnya.

"Aku mencium ada hawa gaib di sekitar tempat ini. Pasti inilah penyebab putusnya pembicaraan Penjaga Alam Gaib! Ada seseorang atau sesuatu yang telah menggunakan ilmunya, untuk memutuskan hubungan ini!" desis Bongsang, dengan suara bergetar.

Bongsang jadi gentar. Sebagai tokoh ahli ilmu gaib, kakek berhidung melengkung ini tahu kalau untuk melakukan hal itu membutuhkan ilmu gaib yang amat tinggi. Dan bahkan, dia sendiri pun tidak mampu melakukannya. Baru saja ucapan Bongsang berakhir, terdengar suara terkekeh menyeramkan. Suara itu terdengar dekat sekali, tapi tidak nampak seorang pun di sekitarnya.

Mendadak terdengar bunyi berkesiutan nyaring disusul meluncurnya beberapa benda sebesar kepala manusia. Semua tertuju ke arah Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung. Semula, Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang bermaksud menangkisnya. Tapi niat itu langsung diurungkan, ketika sepasang mata mereka yang tajam melihat benda yang tengah meluncur ternyata empat kepala manusia.

Tangkisan yang akan dilakukan langsung diganti dengan gerakan tangan berputar, untuk mematahkan daya luncur. Sehingga, kepala-kepala manusia tanpa tubuh itu berjatuhan di tanah, sebelum mengenai tubuh Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang.

Sepasang mata Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang hampir melompat keluar dari rongga ketika melihat kepala manusia itu ternyata kepala bekas murid utama Kuru Sanca yang ditugaskan untuk mencari raga tokoh di zaman lima ratus tahun silam.

"Kalian kaget?"

Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang, juga si Pedang Halilintar Sakti mengarahkan pandangan ke arah asal suara. Dan seketika, wajah si Pedang Halilintar Sakti memucat. Pemilik seruan itu dikenalinya betul, sebagai suara Karpala, muridnya. Tapi pemuda itu telah memiliki kepandaian luar biasa!

Bongsang yang memiliki kemampuan gaib tinggi, langsung dapat merasakan keanehan dari sosok yang berdiri di depannya. Mata batinnya langsung dapat melihat kalau Karpala telah ditumpangi sejenis roh yang amat ganas! Roh yang berasal dari zaman lampau! Seketika itu dia pun teringat akan roh dari lima ratus tahun silam.

"Kau... kau..., Garba Baureksa?!" Bongsang yang tahu nama tokoh dari zaman lima ratus tahun silam dari gurunya, langsung menyebut nama itu. Suaranya terdengar bergetar karena guncangan perasaan.

"Ah...!" Bukan hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang menjadi terkejut.

Tapi, juga si Pedang Halilintar Sakti. Nama Garba Baureksa telah didengarnya juga, meski semula hanya dianggapnya sebagai dongeng. Sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini mengerti mengapa Karpala muridnya jadi memiliki kepandaian selihai itu! Rupanya dia ditumpangi roh Garba Baureksa yang terkenal menggiriskan.

"Rupanya kau masih mampu untuk mengenaliku, Bongsang?! Bagaimana? Apakah kau masih mencari bayi-bayi untuk diambil darah, otak, dan sumsumnya untuk keperluan ilmu gaibmu?! Yang kutahu, kau masih melakukannya. Seperti juga halnya Setan Hitam Tak Berjantung yang berusaha mengambil ragaku lebih dulu. Untuk kemudian, kalian akan memasang sesuatu di ragaku. Sehingga aku nantinya mau tidak mau harus menuruti semua kehendak kalian. Tentu saja kalau aku tidak mau, kalian dapat menyiksa. Dan, inilah sebagian dari orang-orang yang kalian suruh untuk mengambil ragaku. Sisanya kutinggalkan!"

Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang menelan ludahnya sendiri untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Sama sekali tidak disangka kalau semua rencana yang disusun secara rapi, telah diketahui Garba Baureksa.

"Bagaimana kau bisa tahu semuanya, Garba Baureksa?! Bukankah kalau kau tidak berada di dalam ragamu yang asli, kemampuanmu akan banyak yang lenyap? Dan andaikata kau mampu, akan berkurang jauh bobotnya. Apakah aku tidak salah duga?!" Bongsang mengutarakan keheranannya.

"Sebetulnya aku malas untuk menjawab. Tapi, biarlah. Hitung-hitung agar kalian tidak mati penasaran," Garba Baureksa mengalah. "Apa yang kau katakan itu memang benar, Bongsang. Tapi, kemampuanku yang dulu bisa kudapatkan kembali, meski di dalam raga orang lain! Memang tidak akan sampai ke puncaknya seperti yang dulu. Tapi, telah cukup lumayan toh?! Setiap aku melakukan kejahatan, maka kemampuan yang dulu kumiliki kudapatkan lagi, meski hanya sedikit. Toh, terbukti cukup untuk mengetahui rencana kalian dan memberikan tabir. Sehingga, Penjaga Alam Gaib dan yang lain-lain tidak bisa mengawasi kegiatanku! Ha ha ha...!"

"Kurasa kita bisa bekerja sama, Garba," Setan Hitam Tak Berjantung yang belum apa-apa sudah merasa gentar, mengajukan sebuah usul yang dianggap bagus.

"Sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya, Setan Hitam!" jawab Garba Baureksa tegas. "Banyak alasannya. Pertama, kau adalah datuk licik. Dan setiap orang licik tidak bisa dipercaya. Kedua, aku terbiasa bekerja sendiri. Dan yang ketiga, kau telah menunjukkan itikad tidak baikmu terhadapku! Juga dengan membunuhmu, aku akan mendapatkan kembali sedikit kemampuan yang dulu pernah kumiliki!"

Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang saling berpandangan. Keduanya tahu kalau Garba Baureksa tidak akan mengampuni jiwa mereka. Mau tidak mau mereka akan bertahan mati-matian nanti.

"O, ya. Sebagai tambahan lagi, perlu kukatakan kalau raga yang diambil oleh anak buahmu, Setan Hitam, bukan ragaku. Entah mengapa, mereka bisa sampai terkecoh demikian."

"Bukankah kau memiliki kemampuan untuk mengetahui, di mana adanya sesuatu?! Mengapa tidak kau gunakan untuk mencari ragamu?!" celetuk Bongsang bingung.

Dia masih merasa heran mengetahui mayat yang diambil anak buahnya bukan mayat Garba Baureksa. Padahal, dia telah mengumpulkan keterangan dan berhasil mendapatkan petunjuk kalau mayat itu berada di tangan sebuah keluarga pendekar. Dan karena keturunan pendekar itu telah lenyap, anak buahnya mengambil di pemakaman keluarga pendekar yang hidup lima ratus tahun lalu, adalah orang yang pertama kali bertemu kakek aneh yang muncul dalam mimpi. Tidak ada yang tahu siapa namanya.

"Aku tidak bisa melacaknya dengan ilmuku karena kakek yang telah menyebabkan rohku terpisah dari raga, telah menyembunyikannya tanpa aku mampu melacaknya. Biar bagaimanapun, ilmu putih lebih unggul dari ilmu hitam, Bongsang! Maka, aku tidak dapat menemukannya!"

Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung diam.

"Bersiaplah untuk melihat neraka!" Garba Baureksa menudingkan telunjuk kanannya pada batu sebesar kerbau yang berada di belakangnya. Sedangkan tangan kirinya ditudingkan ke arah tubuh Setan Hitam Tak Berjantung.

Setan Hitam Tak Berjantung, Bongsang, dan si Pedang Halilintar Sakti terbelalak ketika melihat batu sebesar kerbau terangkat naik ke atas! Padahal, terlihat jelas kalau pemuda berkumis tipis itu tidak mengerahkan tenaga sama sekali.

Dan keterkejutan ketiga tokoh sakti yang telah terjepit itu semakin menjadi-jadi, ketika melihat batu besar itu melayang ke arah mereka. Kali ini keterkejutan bercampur kekhawatiran. Karena masih belum mengetahui perkembangan tindakan yang akan dilakukan Garba Baureksa, Bongsang dan si Pedang Halilintar Sakti melompat mundur.

"Setan Hitam, menyingkir...!" Bongsang tidak kuasa untuk menahan teriakannya, ketika melihat Setan Hitam Tak Berjantung tidak menjauh. Padahal, batu besar itu telah meluncur mendekati. Bahkan sebentar lagi akan berada di atas kepalanya.

Keterkejutan Bongsang semakin memuncak, begitu melihat Setan Hitam Tak Berjantung tidak bertindak apa-apa. Tapi sesaat kemudian dia tahu, apa penyebabnya. Telunjuk tangan kiri Garba Baureksalah penyebabnya. Maka, Bongsang bertindak cepat. Kedua tangannya dihentakkan ke arah batu besar itu.

Blarrr!

Batu sebesar kerbau bunting itu kontan hancur berantakan ketika terhantam angin pukulan Bongsang. Bahkan pecahannya berpentalan ke sana kemari, tak tentu arah. Beberapa di antaranya mengenai Setan Hitam Tak Berjantung.

"Kau sudah kepingin mati duluan, rupanya! Minggat kau...!"

"Tidak!" Bongsang yang mengerahkan seluruh kemampuan ilmu gaib berteriak keras untuk melawan pengaruh seruan Garba Baureksa. Sebagai ahli ilmu gaib, dia tahu kalau kekuatan serangan pemuda berkumis tipis itu tergantung teriakan dan pikiran! Maka seluruh pikiran dipusatkan dan berseru keras.

Tapi usaha Bongsang bagaikan orang menangkap asap! Sia-sia. Seruan Garba Baureksa yang disertai kibasan tangan kiri, membuat tubuhnya melayang ke belakang seperti daun kering dihempaskan angin.

Blakkk!

Bongsang mengeluh tertahan ketika luncuran tubuhnya berhenti, di saat berbenturan dengan dinding batu yang menjulang tinggi. Tubuhnya seperti di lem. Bahkan tidak tergoyahkan sama sekali. Kendati berusaha keras melepaskan diri. Rontaan Bongsang semakin diperkeras, ketika melihat sebuah batu sebesar gajah yang paling besar, meluruk deras ke arahnya. Itu terjadi ketika Garba Baureksa kembali menudingkan tangannya. Dan....

Jrottt!

Bongsang tidak bisa menjerit lagi, begitu batu sebesar gajah itu menghantamnya. Dan karena bagian belakang kakek berhidung melengkung itu adalah dinding tebing, maka tubuhnya bagai digencet dari dua arah! Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, tubuh Bongsang langsung luluh lantak. Kepalanya hancur, dengan badan remuk. Nyawa-nya melayang saat itu juga.

Setan Hitam Tak Berjantung yang semula dicekam pengaruh ilmu gaib Garba Baureksa berhasil membebaskan diri dari pengaruh sihir. Itu bisa terjadi, karena Garba Baureksa mengalihkan perhatian ke arah Bongsang.

Pedang di tangan Pedang Halilintar Sakti menancap di perut hingga tembus ke punggung. Sepasang mata Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini kelihatan tidak percaya melihat darah yang membanjir keluar. Sementara Garba Baureksa tertawa terbahak penuh kemenangan.

"Sekarang kalian bebas, Dewa Arak. Dan kau, Wanita Liar...!" seru Garba Baureksa penuh pengaruh.

Hampir Dewa Arak tidak percaya. Pengaruh totokan yang membelenggu tubuh mereka tiba-tiba lenyap membuyar. Dan darah kini mengalir secara lancar. Buru-buru Dewa Arak dan Tungga Dewi bangkit berdiri, dan langsung bersiap melancarkan serangan. Sepasang anak muda ini telah tahu kalau Garba Baureksa merupakan sesosok makhluk dahsyat.

"Menyingkirlah, Tungga Dewi! Selamatkan dirimu...!" seru Dewa Arak pada murid Nelayan Tenaga Gajah.

"Tidak, Dewa Arak! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu! Aku lebih suka mati bersamamu, daripada hidup sendirian di dunia ini!" tegas Tungga Dewi, jelas-jelas menyiratkan perasaan isi hatinya.

"Ho ho ho...! Luar biasa...!" Garba Baureksa tertawa bergelak. "Rupanya wanita liar ini mencintaimu, Dewa Arak. Bagus...! Sayang sekali...! Kalian semua akan mati saat ini juga!"

Garba Baureksa langsung mengibaskan tangan kirinya. Maka tubuh Dewa Arak pun terpental jauh ke belakang bagai daun kering dihempaskan angin keras. Pentalan tubuhnya baru terhenti, ketika membentur dinding sehingga hancur pada beberapa bagian. Memang saat itu Arya sempat melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga dalam.

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tangan Garba Baureksa kembali bergerak. Seketika tubuh Dewa Arak tertarik ke depan, tanpa mampu bertindak apa-apa. Arya melihat adanya bahaya besar. Tapi, dia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ketika tangan kanan Garba Baureksa telak menghantam bahu kanannya, Dewa Arak hanya mampu mengeluh tertahan.

Tubuh Dewa Arak terbanting di tanah dengan mulut menyeringai, merasakan sakit. Pukulan Garba Baureksa ternyata memang tidak bisa dianggap remeh. Dewa Arak tahu, tidak ada gunanya melawan dengan kemampuan biasa. Tidak ada jalan lain, Belalang Raksasa yang ada di alam gaib harus dipanggil untuk menghadapi Garba Baureksa yang demikian luar biasa.

"Kakang Karpala...! Hentikan...!"

Seruan keras melengking nyaring, membuat Dewa Arak terpaksa menghentikan maksudnya. Bahkan Garba Baureksa pun menoleh ke belakang. Tampak seorang gadis berpakaian coklat, berwajah cantik jelita tengah berlari-lari cepat mendekati tempat itu.

"Kakang Karpala...! Jangan bunuh dia...!" ujar Dara.

Garba Baureksa alias Karpala tampak berubah-ubah wajahnya. Bahkan sepasang matanya pun tidak lagi merah membara, tapi berkerlip-kerlip. Pemuda berkumis tipis itu tampak terkejut, melihat gadis berpakaian coklat ini.

"Dara... mengapa kau berada di sini?!" tanya Garba Baureksa dengan suara yang membuat Arya dan Tungga Dewi heran. Suara itu berbeda sekali dengan suara Garba Baureksa biasanya.

"Aku menyusulmu, Kakang Karpala. Aku kabur dari perguruan, begitu kudengar ayah memerintahkan murid-murid perguruan yang lain membinasakanmu. Tapi sekarang seorang kawan, kudengar kau menjadi beringas dan membunuh orang-orang tidak bersalah. Sadarlah, Kakang Karpala," pinta Dara.

Sepasang mata Garba Baureksa kembali merah membara. Tidak lagi putih bercampur hitam seperti mata manusia umumnya.

"Ha ha ha...! Membunuhku?! Tidak akan ada satu pun orang yang dapat membunuhku!"

Arya, Tungga Dewi, dan Dara tampak terkejut mendengar perbedaan suara ini dengan suara sebelumnya. Dewa Arak dan Tungga Dewi tahu, suara ini adalah suara yang biasa mereka dengar. Suara Garba Baureksa.

Benak Arya yang cerdik langsung bisa memperkirakan, mengapa hal itu terjadi. Roh Garba Baureksa ternyata belum sepenuhnya menguasai raga dan pikiran Karpala. Dan timbulnya pikiran jemih Karpala justru ketika muncul Dara, wanita yang dicintainya. Arya tahu, sekarang ini terjadi perang tanding antara angkara murka Garba Baureksa, melawan cinta kasih Karpala. Dan ini merupakan kesempatan baik. Barangkali saja, Karpala mampu membebaskan diri dari kungkungan roh jahat Garba Baureksa.

"Karpala dirasuki roh jahat. Usahakan agar Karpala yang asli dapat memenangkan pertarungan batin ini, Dara?!" jelas Arya pada gadis berpakaian coklat itu.

Wajah Dara tampak berubah hebat. Memang, gadis berpakaian coklat ini tidak tahu kalau Karpala dimasuki roh jahat dari tokoh lima ratus tahun yang silam. Dikiranya, Karpala hanya menjadi kurang waras. Akibat tekanan perasaan yangmenghimpit batinnya.

"Sadarlah, Kakang Karpala. Hanya kau satu-satunya yang dapat kujadikan sandaran di dunia yang luas ini. Aku seorang diri terlunta-lunta mencari-carimu, Kakang Karpala. Haruskah aku terlunta-lunta terus selamanya?!"

Wajah dan keadaan Karpala tampak mengerikan. Sinar sepasang matanya berubah berganti-ganti. Terkadang merah membara, tapi tak jarang pulih kembali seperti biasa. Perang tanding antara dua kekuatan itu tengah berlangsung.

"Terus gugah batinnya, Dara," ujar Dewa Arak, lagi-lagi memberikan saran dengan ilmu mengirim suara dari jauh.

"Apakah kau tidak sayang pada anak kita, Kakang Karpala...?! Apakah aku harus membesarkannya sendiri?! Nasibku akan merana, Kakang! Tidak ada orang yang akan membantu melahirkan dan membesarkan anak kita...."

"Dara...!" Setelah sekian lamanya berdiam diri dengan pertarungan keras di dalam batin, Karpala berseru keras sambil berlari meluruk ke arah Dara.

Tak lama, Arya, Tungga Dewi, serta Dara, melihat ada kilatan cahaya hijau melesat dari atas kepala Karpala. Sinar itu melayang ke udara. Sementara, Karpala yang tengah berlari tiba-tiba ambruk ke tanah sebelum berhasil mencapai Dara. Dara dengan penuh rasa cemas cepat memeriksa.

"Bagaimana ini? Apa yang terjadi dengannya?!" tanya Dara, penuh rasa cemas.

"Dia hanya pingsan. Roh jahat itu telah cukup lama berkuasa di tubuhnya. Sehingga begitu pergi, akibatnya cukup berat buat Karpala. Tapi, dia tidak apa-apa. Tak lama lagi akan sadar. Dia akan kembali sebagai Karpala yang dulu," jelas Arya panjang lebar.

"Terima kasih..., eh...! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya Dara sambil menatap rambut Arya yang putih.

"Benar. Kenapa?!"

"Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah mencari-carimu. Kalau... tidak salah...."

Belum juga Dara menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak yang telah bisa menduga siapa orang yang dimaksud segera melesat cepat. Dia tidak ingin terlambat lagi. Karuan saja tindakan Dewa Arak membuat Tungga Dewi kaget.

"Dewa Arak! Tunggu...!" seru gadis berpakaian kuning ini sambil melesat mengejar.

Tapi, kali ini Dewa Arak tidak mempedulikannya. Bahkan terus mempercepat larinya. Di benaknya hanya ada Melati. Pikiran semula mengenai kejadian yang baru saja terjadi, terlupakan. Arya tahu, Karpala adalah seorang pemuda berhati lurus, dan berwatak baik. Kalau tidak, tak akan nantinya bisa bebas dari cengkeraman roh jahat itu. Roh jahat itu dapat masuk ke raganya, karena Karpala tengah sakit hati.

Yang tinggal di tempat itu kini hanya Dara. Dan ketika pandangan mata gadis berpakaian coklat ini beredar, jeritan menyayat hati pun keluar dari mulutnya. Ternyata dia melihat tubuh ayahnya, Pedang Halilintar Sakti, tewas! Kontan saja Dara jatuh pingsan.
SELESAI
Selanjutnya,

Dewa Arak-Pulau Setan

Dewa Arak - Pulau Setan

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Sluppp! Sebuah kepala berwajah tirus mirip tikus dengan mata memanjang, langsung masuk ke dalam air sebuah danau yang permukaannya banyak ditumbuhi tumbuhan air. Baru saja kepala yang ternyata milik laki-laki berusia lanjut itu lenyap ke bawah permukaan air, terdengar bunyi derap langkah beberapa pasang kaki. Sebentar kemudian, tepat di pinggir danau berkumpul beberapa sosok tubuh yang kesemuanya berpakaian serba hitam.

"Heran...!" desah salah satu orang berseragam yang berwajah bopeng sambil mengedarkan pandangan seperti tengah mencari-cari sesuatu. "Ke mana perginya tua bangka yang sudah hampir mampus itu?! Atau jangan-jangan memang dia sudah mampus, karena termakan racunnya sendiri."

Sementara, orang-orang berseragam serba hitam juga mengedarkan pandangan.

"Mudah-mudahan sih, demikian," timpal lelaki bermata sipit.

"Tapi..., tidakkah kau ingat perintah Setan Hitam Tak Berjantung? Kalau memang tua bangka tak berguna itu sudah mampus, kita harus menemukan mayatnya." (Tentang tokoh berjuluk Setan Hitam Tak Berjantung, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Peti Bertuah).

"Siapa tahu, tua bangka itu tidak melarikan diri kemari! Tapi..., tunggu dulu. Mungkinkah tua bangka yang sudah hampir mati itu bersembunyi di danau itu?!"

Kata-kata lelaki bermuka bopeng itu membuat lima orang kawannya mengarahkan pandangan ke sekitar penjuru danau yang cukup luas.

"Kurasa tidak mungkin," bantah lelaki bermata sipit, yakin.

"Dalam keadaan terluka parah seperti itu, mana mungkin tua bangka yang sudah hampir mati itu mampu menahan napas sedemikian lama di dalam air? Mustahil, bukan?!"

"Mengapa mustahil…?!" timpal laki-laki berambut kecoklatan, membantu pendapat lelaki berwajah bopeng. "Jangan terlalu memandang rendah tua bangka itu! Meski sudah hampir mati, tapi dia tetap bekas seorang datuk kaum sesat yang terkenal sakti! Kemampuannya sukar dijajagi, meski sekarang sudah tidak mempunyai gigi lagi. Dan lagi, di danau ini banyak terdapat tumbuhan air yang dapat digunakan untuk membantu bernapas, andai dia tidak mampu menahan napas lama. Jadi menurut hematku, tidak ada salahnya kalau kita mencarinya di danau ini!"

Kali ini lelaki bermata sipit kalah dukungan, karena rekan-rekan lainnya, juga mengangguk, menyatakan setuju.

"Lihat itu...!" Seruan lelaki bermata sipit, membuat rekan-rekannya yang sudah memusatkan perhatian pada danau menoleh kepala ke kiri.

Tempat enam orang berpakaian hitam ini berada, memang sebuah jalan tanah berdebu yang kanannya diapit danau lebar dan luas. Sedangkan di sebelah kiri berupa lereng gunung yang menanjak ke atas. Begitu terjal dan berbatu-batu, hampir curam.

Pada salah satu ujung jalan tanah berdebu, tampak debu mengepul tinggi ke udara. Memang bisa diperkirakan kalau di kejauhan sana seekor kuda tengah dipacu cepat menuju ke arah mereka. Perhatian orang-orang berpakaian seragam serba hitam yang ternyata adalah Gerombolan Setan Hitam itu pun beralih ke arah kepulan debu dari kuda yang dipacu cepat.

Sesaat kemudian, terlihat kalau kepulan debu itu berasal dari seekor kuda yang dipacu secara cepat. Semakin lama, semakin tampak kalau penunggangnya adalah seorang gadis cantik berpakaian coklat. Seketika, wajah enam orang berpakaian hitam ini pun berseri-seri. Rupanya, begitu melihat seorang gadis cantik melakukan perjalanan seorang diri, benak mereka yang kotor mulai berpikir tidak senonoh!

Gadis berpakaian coklat di atas punggung kuda coklat putih itu pun merasakan adanya bahaya mengancam, ketika enam orang berpakaian hitam yang berdiri di pinggir telaga mulai menyebar ke tengah jalan. Sehingga, jalan tanah yang tidak begitu lebar itu menjadi tertutup.

Tapi rupanya tindakan enam orang kasar dari Gerombolan Setan Hitam tidak membuat gadis berpakaian coklat ini kebingungan. Justru, tali kekang kudanya digeprakkan untuk mempercepat lari binatang tunggangannya. Dia hendak memaksa lewat, dengan menubrukkan kudanya pada sosok-sosok yang berdiri menghalangi jalan. Karena dia yakin, keenam orang bertampang berangasan itu akan menyingkir dari sana!

"Seekor kuda betina yang masih liar! Rupanya, dia minta dijinakkan dulu...!" ujar lelaki berwajah bopeng dengan sinar mata berkilat-kilat, menyatakan hasrat hatinya yang besar terhadap gadis penunggang kuda coklat putih itu.

Usai berkata demikian, tahu-tahu pada kedua tangan lelaki berwajah bopeng ini tergenggam beberapa buah pisau yang batangnya bersemu kehijauan. Bisa ditebak kalau pisau itu mengandung racun jahat. Tidak terlihat lelaki berwajah bopeng ini menggerakkan tangan. Tapi, tahu-tahu pisau-pisau itu telah berada di tangannya. Lalu...

Sing, sing, sing!

Bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika pisau-pisau beracun meluncur merobek udara. Arah yang ditujunya adalah kuda coklat putih yang tengah meluncur ke arahnya.

Cap, cap, cappp!

"Ikh...!" Gadis berpakaian coklat itu terpaksa berjungkir balik di udara ketika kudanya terjengkang ke depan akibat terhujam pisau-pisau beracun di beberapa bagian tubuhnya. Cepatnya luncuran pisau, ditambah arah lari kuda coklat putih, membuat gadis berpakaian coklat ini tidak sempat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawa binatang tunggangannya.

Jliggg!

Begitu kedua kaki gadis berpakaian coklat itu menjejak tanah, enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam telah mengurungnya dari berbagai penjuru. Kelihatannya, gadis itu tidak mungkin bisa melarikan diri dari lagi, tanpa bertarung menyambung nyawa!

"Siapa kalian?! Dan, mengapa menghadang perjalananku?! Menyingkirlah! Aku tidak berurusan dengan kalian!" tegas gadis berpakaian coklat ini keras penuh wibawa seraya merayapi wajah-wajah di sekelilingnya.

"Ha ha ha...!" Lelaki berwajah bopeng yang kelihatan paling bernafsu langsung tertawa sambil memperhatikan gadis berpakaian coklat yang berada di depannya penuh selidik. Dan mendadak tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan.

"Ah...! Kiranya kuda betina liar ini berasal dari Perguruan Pedang Halilintar, Kawan-kawan!" kata laki-laki berwajah bopeng, ketika melihat lencana di dada gadis itu yang bergambar sebuah pedang dan sebentuk kilatan petir.

"Pantas, sikapnya cukup galak. Rupanya dia belum kenal dengan Gerombolan Setan Hitam!" sambut lelaki bermata sipit. "Menyingkirlah. Biar aku yang mencicipi kepandaiannya! Aku ingin tahu, apakah kepandaiannya sesuai dengan sesumbarnya!"

"O, rupanya kalian orang-orang dari Gerombolan Setan Hitam?! Huh! Kalian memang bagai anjing minta dipukul majikannya!" Gadis berpakaian coklat langsung mencabut pedangnya hingga mengeluarkan bunyi berdesing nyaring.

Cring!

"Heaaat...!" Gadis yang ternyata berasal dari Perguruan Pedang Halilintar langsung menginmkan serangan ke arah lelaki berwajah bopeng yang berada di depannya.

"Uh...!" Lelaki berwajah bopeng itu langsung mengeluarkan seruan kaget, ketika melihat sinar terang menyambar yang diikuti bunyi berkerosokan seperti halilintar menyambar! Tanpa buang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. Dan dia langsung bergulingan di tanah untuk mencegah lawan mengirimkan serangan susulan.

Ketika dia bangkit dengan dahi berkeringat dingjn saking kagetnya, kawan-kawannya telah mengeroyok gadis berpakaian coklat. Lelaki berwajah bopeng mencabut senjatanya yang berupa sebatang golok berbatang hitam pekat, sama seperti golok yang dimiliki rekan-rekannya.

"Shaa...!" Didahului teriakan keras membahana, lelaki berwajah bopeng itu terjun dalam kancah pertarungan. Perasaan marah karena nyawanya hampir saja melayang dalam segebrakan, mengusir perasaan malunya dalam melakukan pengeroyokan! Lima temannya pun, serentak langsung bertindak ketika melihat kehebatan gadis berpakaian coklat itu.

Sesaat kemudian, suasana yang semula hening dan sepi, dipecahkan oleh bunyi nyaring senjata beradu. Bunga-bunga api pun memercik ke segala arah. Gadis berpakaian coklat dari Perguruan Pedang Halilintar itu memang memiliki kepandaian tinggi, terutama ilmu pedangnya yang luar biasa. Pedangnya mampu menyambar-nyambar laksana halilintar!

Baik dalam kecepatan maupun bunyinya. Kalau saja lawan-lawan yang dihadapi tidak melakukan pengeroyokan, bisa diduga tanpa menemui kesulitan dia akan merobohkan seorang demi seorang! Menghadapi enam lawan sekaligus terasa berat untuk ukurannya.

Apalagi, masing-masing lawannya memiliki kepandaian tidak berada terlalu jauh di bawahnya. Mungkin bila menghadapi tiga orang, dia akan sanggup menandinginya! Lewat lima jurus, gadis berpakaian coklat ini mulai terdesak.

Serangan-serangan berkurang jauh. Dan dia lebih banyak bertahan, menangkis atau mengelak. Pertarungan semacam ini membuatnya terus bermain mundur. Disadari betul kalau keadaan tidak berubah, dia akan roboh di tangan lawan-lawannya. Maka dia harus melakukan suatu perubahan. Tapi bagaimana? Dan saat di tengah kebingungan, terdengar suara berkumandang di telinganya.

"Jangan kaget, dan jangan khawatir, Nini! Sebentar lagi akan muncul ular-ular yang akan menyerang para pengeroyokmu. Kau jangan melakukan tindakan yang membuat ular-ular jadi menyerangmu. Karena aku akan memberi perintah pada binatang itu, untukmenyerang orang-orang yang berpakaian hitam! Jelas?!"

Gadis berpakaian coklat tidak tahu, dari mana asal suara itu. Dan, siapa pemiliknya. Hanya saja dia yakin kalau orang yang berkepandaian tinggi itu bermaksud menolongnya. Ini bisa dibuktikan dari kemampuannya mengirimkan ilmu suara dari jauh. Padahal, ilmu itu hanya dapat dimiliki tokoh bertenaga dalam amat tinggi. Di Perguruan Pedang Halilintar, hanya si Pedang Halilintar Sakti yang menjadi ketualah, yang memiliki ilmu seperti itu. Namun, itu pun tidak terlalu sempurna!

Karena yakin kalau orang yang telah mengirimkan suara dari jauh bermaksud menolongnya, tanpa ragu-ragu gadis berpakaian coklat itu mengangguk. Hanya tindakan itu yang dapat dilakukannya untuk menyatakan persetujuannya, meskipun sebenarnya tidak yakin kalau anggukkannya terlihat. Dia tidak tahu, di mana adanya tokoh yang bermaksud menolongnya.

Begitu keadaan gadis berpakaian coklat ini semakin terjepit, mendadak terdengar bunyi melengking nyaring dan bernada aneh yang tampaknya dari suara suling! Dan gadis berpakaian coklat yang telah mendapat pemberitahuan ini, tanpa sadar merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu, bunyi suling itu menjadi pertanda kalau ular-ular yang dimaksud penolongnya akan segera tiba. Padahal, dia paling takut dan jijik terhadap ular!

Memang bukan hanya gadis ini yang mendengar bunyi suling itu. Enam anggota Gerombolan Setan Hitam pun mendengarnya. Dan begitu mengetahui arti bunyi suling itu, wajah-wajah mereka langsung berubah pucat. Bahkan tanpa sadar, mereka tidak mempedulikan gadis itu lagi. Enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam ini langsung melompat mundur, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu dengan sorot mata tegang bukan kepalang!

"Sss...!" Sekejap kemudian, apa yang ditakutkan gadis berpakaian coklat dan enam orang Gerombolan Setan Hitam menjadi kenyataan. Kini terdengar bunyi berdesis yang ramai sekali, diiringi bunyi berdesis keras seperti benda licin yang digesek-gesekkan ke tanah. Bau amis yang memualkan perut pun memenuhi udara di sekitar tempat ini.

"Ssss...!"

Enam anggota Gerombolan Setan Hitam dan gadis berpakaian coklat merasakan bulu tengkuk mereka meremang, ketika melihat bermunculannya ular-ular dari seluruh tempat ini. Jumlah binatang-binatang melata itu tidak terhitung. Ribuan! Betapapun saktinya seseorang, menghadapi serbuan ribuan ekor ular yang terdiri dari berbagai jenis dan ukuran, tetap saja akan membuat ciut nyalinya.

Apalagi orang-orang seperti enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam dan gadis berpakaian coklat ini. Untung gadis berpakaian coklat ini teringat akan pesan yang tidak diketahui pemiliknya. Dan lebih untungnya lagi, dia menuruti untuk diam di tempat dan tidak melakukan gerakan-gerakan sehingga dapat memancing ular-ular yang meluncur bagai air bah menyerangnya.

Dan ucapan sosok yang tidak diketahui pemiliknya itu ternyata tidak hanya sesumbar belaka. Ular-ular yang meluncur bagai air bah itu sama sekali tidak mempedulikannya. Binatang-binatang melata itu terus melewatinya. Dengan hati ngeri, gadis berpakaian coklat ini melihat betapa enam orang berpakaian hitam itu harus berjuang keras untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular yang menyerbu.

Golok-golok hitam di tangan mereka berkelebatan ke sana kemari, membabati ular-ular yang mencoba mendekat! Darah pun muncrat ke sana kemari, diikuti berpentalannya potongan-potongan tubuh ular-ular yang mencoba mematuk anggota Gerombolan Setan Hitam.

"Tunggu apa lagi, Nini?! Mumpung mereka tengah sibuk bersitegang dengan ular-ular itu, mari kita pergi dari sini!"

Gadis berpakaian coklat itu segera mengedarkan pandangan untuk mencari asal suara. Dia agak bingung menentukan sumbernya, karena suara itu dikeluarkan berkat ilmu mengirimkan suara dari jauh, sehingga sulit diketahui asalnya.

Di sebelah kanan, gadis berpakaian coklat itu melihat seorang kakek kurus kering berompi dari kulit ular. Wajahnya tirus mirip tikus, dengan sepasang mata panjang yang selalu berputaran liar menandakan kecerdikannya. Dengan cepat, kakinya melangkah hati-hati menuju ke tempat kakek kurus kering itu berada, yang jaraknya tak akan kurang dari delapan tombak.

Anehnya, ke mana saja gadis berpakaian coklat itu mengayunkan kaki, kerumunan ular langsung menyibak, memberi jalan sebelum kakinya menginjak tanah. Hanya sebentar saja, gadis itu sudah berada di dekat kakek kurus kering yang masih sibuk meniup suling. Suara suling itulah yang menyebabkan ular-ular muncul dan menyerang Gerombolan Setan Hitam.

"Kuucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, Kakek yang baik. Kalau kau tidak ada, mungkin aku sudah binasa di tangan mereka," ucap gadis berpakaian coklat ini penuh rasa syukur.

"Lupakanlah soal itu, Nini. Yang penting sekarang, cepat kita pergi dari sini sebelum kawan-kawan mereka muncul. Apabila itu terjadi, aku tidak akan mampu berbuat apa-apa," jawab kakek kurus kering itu, tanpa mempedulikan ucapan terima kasih gadis berpakaian coklat. Sehingga, gadis berpakaian coklat menampakkan perasaan kecewa yang tergambar pada wajahnya.

Tanpa berkata apa-apa, kakek kurus kering itu mengajak gadis berpakaian coklat ini mengayunkan kaki ke belakang. Dan kakek kurus kering itu pun melesat lebih dulu baru disusul gadis itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh mereka telah berada jauh di depan.

Sekarang yang tinggal di tempat ini hanya kerumunan ular yang masih sibuk menggeragoti sekujur daging di tubuh enam orang Anggota Gerombolan Setan Hitam yang sudah tak berdaya. Mereka semua roboh dan tewas, setelah merobohkan banyak ular yang mengeroyoknya. Tapi karena ular-ular itu seperti tak pernah berkurang, enam orang ini jadi kewalahan. Dan akhirnya, mereka tewas.

Sementara itu tanpa diketahui, di bagian yang agak tinggi di atas salah satu gundukan batu, berdiri empat sosok yang menatap ke arah enam orang lelaki berpakaian hitam yang kini tengah menjadi tulang-belulang.

"Apa kubilang?! Ular-ular yang kita lihat di perjalanan, tidak bergerak begitu saja. Pasti tua bangka keparat itu yang mengendalikannya. Kalau saja tidak terlambat, aku yakin akan mampu mencegah terjadinya hal seperti ini!"

Ucapan bernada penyesalan itu keluar dari mulut seorang pemuda bertubuh kekar berpakaian hitam dan berwajah mirip singa. Sementara tiga sosok yang berdiri agak di belakangnya hanya mengangguk. Mereka percaya, pemuda berwajah mirip singa ini mampu bertindak.

* * *

"Ukh...!" Tubuh kakek kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular itu terhuyung-huyung ke depan. Dan dia sudah akan terjerembab, kalau gadis berpakaian coklat tidak keburu mengulurkan tangan menangkapnya. Lari kedua orang ini pun terhenti.

"Apa yang terjadi denganmu, Kek?! Kau..., kau sakit!" tanya gadis berpakaian coklat itu, penuh perhatian. Rasa kecewa karena ucapan terima kasihnya tidak mendapatkan sambutan yang sewajarnya tadi langsung lenyap entah ke mana, ketika melihat wajah kakek kurus kering yang pucat pasi. Keringat sebesar-besar biji jagung menghias sekujur wajah-nya yang keriput.

"Aku..., aku tidak apa-apa," jawab kakek kurus kering dengan suara lemah hampir tidak terdengar. "Tolong bawa aku ke tempat teduh."

Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis berpakaian coklat itu segera memapah tubuh kakek kurus kering ini ke arah sebatang pohon yang tumbuh di dekat situ. Dengan hati-hati disandarkannya tubuh kakek kurus kering itu di batang pohon. Sedangkan dia sendiri berdiri dengan kedua lutut di depannya.

"Kau... Kau terluka, Kek? Ah...! Lukamu parah sekali...!" Kembali suara halus tapi mengandung penuh perasaan khawatir terdengar dari mulut gadis berpakaian coklat ini ketika melihat kakek kurus kering itu memuntahkan darah segar! Untungnya kakek kurus kering itu cepat menghindar, sebelum terkena semburan darah.

"Tidak usah kau pikirkan aku," desah kakek kurus kering, pelan hampir berbisik. "Aku memang sudah terluka parah, ketika menghadapi pimpinan dari orang-orang yang kau lawan. Dan aku tidak boleh mengeluarkan tenaga cukup berlebihan, kalau tidak ingin lukaku bertambah parah dan membahayakan nyawaku...."

"Tidak usah diteruskan, Kek," potong gadis berpakaian coklat ini cepat sambil menyusut darah yang membasahi sekitar mulut kakek kurus kering. "Aku tahu! Kau membahayakan nyawamu sendiri demi menolongku. Usahamu untuk memanggil ular-ular, membuat luka dalammu bertambah parah. Karena kau mengerahkan tenaga dalam berlebihan. Demikian pula saat kita berlari. Akan kubalaskan sakit hati ini, Kek. Tolong katakan, siapa pimpinan mereka?! Siapa orang yang telah membuatmu terluka demikian parah? Aku Dara, berjanji akan menuntut balas!"

Kakek kurus kering tersenyum. Wajahnya agak cerah, karena melihat tekad gadis itu. Tapi, sorot matanya terlihat sayu. Bahkan semakin meredup! "Kau anak yang baik, Dara. Meski tersinggung, masih memikirkan diriku. Ah...! Sama sekali tidak kusangka seorang gadis berkepandaian tinggi seperti dirimu, memiliki watak perasa. Kau mudah diombang-ambingkan perasaan. Kau mempunyai watak halus. Aku tidak yakin, kau mampu membunuh orang!"

Suara kakek kurus kering itu semakin pelan dan napasnya semakin terengah-engah. "Aku, Kuru Sanca, tidak akan melupakanmu! Apa hubunganmu dengan Ketua Perguruan Pedang Halilintar, si Sombong Pedang Halilintar Sakti?!" tanya kakek yang ternyata Kuru Sanca, begitu melihat lambang gambar perguruan di dada gadis itu.

"Aku putrinya, Kek," jawab gadis berpakaian coklat yang ternyata bernama Dara, putri si Pedang Halilintar Sakti yang kabur dari perguruan ayahnya. (Untuk jelasnya silakan baca episode Peti Bertuah).

"Putrinya?!" ulang Kuru Sanca dengan napas semakin terengah. "Perbedaan antara kau dengan ayahmu bagaikan api dengan air. Ayahmu berwatak tinggi hati, sombong, terlalu yakin kalau hanya dialah tokoh yang memiliki kepandaian tertinggi di dunia ini. Sedangkan aku...? Ah...! Kalau tidak melihatnya sendiri aku tidak akan percaya!"

"Aku sendiri tidak menyangka kalau kau adalah Kuru Sanca, Kek," timpal Dara. "Menurut ayah, kau seorang tokoh hitam yang memiliki watak keji. Dan lagi, kau merupakan salah seorang datuk golongan hitam. Jago racun, tapi kenyataan yang kulihat..? Heh...?! Mengapa kau, Kek?!"

Dara menghentikan ucapannya yang belum s-lesai, ketika melihat sepasang mata Kuru Sanca yang mulai redup tampak terbelalak lebar. Memang hanya sesaat, tapi meyakinkan kalau ada sesuatu yangmembuat Kuru Sanca demikian terkejut!

DUA

Namun, sesaat kemudian Kuru Sanca tersenyum. Padahal terlihat jelas menampakkan rasa khawatir yang sangat. Kakek kurus kering ini tahu, senyumnya tidak enak dilihat. Tapi, setidak-tidaknya akan dapat menjadi sebuah awal untuk menenangkan hati gadis berpakaian coklat itu. "Aku tidak apa-apa, Dara. Bahkan justru aku yakin akan menjadi sembuh karenanya. Kau tahu, apa sebabnya?"

Dara menggelengkan kepala, karena memang dia tidak tahu jawabannya.

"Ucapannya yang menyebutkan karena aku dulu adalah seorang tokoh sesat yang ahli menggunakan racun, jadi mengingatkan akan keahlian yang kumiliki sekarang. Aku sekarang tidak hanya mahir dalam kemampuan bermain racun saja, Dara. Tapi, juga dalam hal obat-obatan. Ah! Usia tua membuat ingatanku banyak berkurang. Aku hampir lupa. Untung saja kau mengingatkannya. Tolong ambilkan obat di saku kanan pakaianku ini, Dara. Di bagian dalam," ujar Kuru Sanca.

"Maafkan kelancanganku ini, Kek," ucap Dara, sebelum menyibak rompi kulit ular Kuru Sanca. Di bagian sebelah kanan, Dara melihat sebuah kantung yang cukup lebar dan besar, tapi terkancing. Buru-buru dibuka dan dimasukkannya jari-jari tangannya yang halus ke dalam saku itu.

"Ambil dua butir yang berwarna merah, Dara," jelas Kuru Sanca ketika melihat Dara kebingungan, begitu jari-jari tangan gadis berpakaian coklat itu mendapatkan obat-obat berbagai macam bentuk dan beraneka warna.

Dara segera memasukkan obat-obat yang tidak dimaksud ke saku baju Kuru Sanca kembali. Sedangkan obat yang berwarna merah dimasukkannya ke mulut kakek kurus kering itu. Dengan mudah, Kuru Sanca menelannya, meski tanpa menggunakan air. Baru saja Kuru Sanca menelan obatnya.....

"Rupanya kau berada di sini, Singa Ompong?! Berarti Setan Hitam Tak Berjantung tidak berhasil dengan tugasnya. Biarlah sekarang aku yang akan merampungkannya!"

Mendadak saja terdengar suara keras menggelegar, Kuru Sanca dan Dara terkejut setengah mati. Bahkan gadis berpakaian coklat itu sampai terjingkat ke belakang, bagai disengat kelabang. Sebelumnya memang tidak terdengar bunyi apa-apa sebelum pemilik suara itu berbicara. Dari sini saja bisa diperkirakan kalau pemilik suara itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.

Keterkejutan Dara semakin bertambah, ketika melihat pemilik suara yang ternyata seorang kakek berkulit hitam legam terbungkus pakaian serba hitam. Ujung bajunya sampai di bawah lutut. Tapi mulai dari pusar bajunya tidak terkancing. Tampangnya menggidikkan, dengan hidung bengkok yang menyiratkan kelicikannya. Yang paling menggetarkan, di sebelah kirinya berdiri makhluk berkaki empat berwarna agak kuning, bertotol-totol hitam. Seekor macan tutul yang kelihatan buas dan perkasa!

Singngng!

Dara yang segera dapat meredam keterkejutannya, langsung menghunus pedangnya. "Langkahi dulu mayatku sebelum kau dapat mencelakakannya, Kakek Jahat!" tegas Dara, mantap. Dadanya yang sudah berbentuk indah, dibusungkan ke depan.

"Luar Biasa! Sama sekali tidak kusangka! Meski sejelek dan setua itu, masih ada wanita cantik yang bersedia menjadi gundikmu! Luar biasa! Kau yang luar biasa, atau gadis ini yang kemaruk lelaki, Singa Ompong?!" ejek kakek berkulit hitam legam.

"Tutup mulutmu, Kakek Bermulut Kotor!" dengus Dara dengan wajah merah padam. Dara adalah seorang gadis berperasaan halus. Maka makian tidak senonoh kakek berhidung melengkung membuat kemarahannya berkobar, karena harus menahan malu. Seketika langsung diserangnya kakek itu dengan kelebatan pedangnya yang berkilatan.

"Ah...! Kau dari Perguruan Pedang Halilintar?" desah kakek berkulit hitam. Kakek ini kaget juga melihat serangan Dara yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat. Bahkan juga terdengar bunyi berkerosokan seperti ada halilintar menyambar bumi.

Dalam kemarahannya karena makian kotor kakek berhidung melengkung, Dara melancarkan serangan menggunakan jurus andalan dari ilmu 'Pedang Halilintar', yang diberi nama jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar Gunung'! Sehingga ujung pedangnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan tiap ujung pedang, meluncur ke arah bagian mematikan di tubuh kakek berhidung melengkung. Bunyi berkerosokan nyaring mengiringi meluncurnya pedang menuju sasaran.

Sementara, kakek berhidung melengkung ini tahu kedahsyatan serangan itu. Maka tongkatnya yang bergagang kepala tengkorak bayi di tangan kanan, segera diputar-putar di depan tubuhnya. Sehingga bentuk tongkatnya lenyap. Dan yang terlihat sekarang hanya segundukan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.

Trang, trang, trang!

Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk oleh putaran tongkat bergagang kepala bayi. Sehingga menimbulkan bunyi nyaring dan bunga api yang berpercikan ke sana kemari. Seketika, tubuh Dara yang menerjang lawan mendadak terjengkang ke belakang.

Untung saja, gadis ini memiliki kepandaian yang cukup. Sehingga kedua kakinya berhasil menjejak tanah dengan mantap. Namun, ternyata pedangnya sudah tidak berada di dalam genggaman tangan lagi, terpental akibat benturan yang amat keras tadi.

Melihat dahsyatnya serangan pedang si gadis, maka kakek berhidung melengkung itu memutar tongkatnya, hingga terlihat segundukan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya!

Trang, trang, trang!

Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk oleh putaran tongkat itu.

"He he he...!" Kakek berkulit hitam legam terawa mengejek. "Kau terlalu sok pahlawan, Bocah Ayu. Dikira, aku ini siapa? Berani benar kau menentangku?! Ayahmu pun kalau bertemu aku, tidak akan berani bertindak selancang ini! Dia akan berlutut dan menjilati telapak kakiku sampai bersih! Menyingkirlah! Aku malu untuk bertarung melawan bocah masih bau kencur seperti kau!" Dan kini kakek berhidung melengkung yang tadi sama sekali tidak terpengaruh akibat benturan dua macam senjata, melangkah lebar mendekati tempat Dara berada.

Sementara, gadis berpakaian coklat itu masih menyeringai kesakitan, karena rasa sakit yang melanda sekujur tangannya yang meng-genggam pedang. Bahkan tangan tadi sempat lumpuh! Dara mulai menyadari kalau kakek berhidung melengkung ini terlalu tangguh. Namun, hatinya tidak menjadi gentar karenanya. Setapak pun kakinya tidak akan mundur! Apalagi setelah kakek berhidung melengkung itu menghina ayahnya!

"Dara...! Larilah...! Jangan bertindak bodoh...! Tidak ada gunanya berkeras untuk membelaku! Aku tak takut mati...!" seru Kuru Sanca dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Obat-obat buatan Kuru Sanca memang manjur sehingga mampu bekerja cepat. Sehingga keadaannya agak lebih baik dari sebelumnya.

"Tidak, Kek! Aku bukan pengecut! Kalau memang kau harus mati, aku pun tidak mau hidup! Aku bukan sejenis orang yang tidak mengenal budi baik orang!" tandas Dara sambil menoleh ke belakang.

Terasa ada nada ketegasan yang tidak mungkin bisa dibantah di dalam kata-kata gadis ini. Kemudian dengan kedua tangan terkepal pandangannya kembali diarahkan ke kakek berkulit hitam legam yang terusmelangkah lambat ke arahnya.

Kuru Sanca adalah tokoh yang kenyang pengalaman. Sekali dengar saja, dia tahu kalau Dara tidak akan mau mundur setapak pun. Tekad gadis berpakaian coklat itu tak akan mungkin dapat dirubah. Maka, dia hanya dapat menghela napas berat. Dia tahu, Dara akan celaka. Dan saat ini, dia hanya dapat melihat semua kejadian tanpa dapat membantu.

Sementara, ketika melihat kakek berhidung melengkung semakin dekat, Dara langsung melompat menerjang dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah dada! Tapi, kakek berkulit hitam legam itu hanya mendengus penuh ejekan. Padahal sebelum pukulan itu tiba di sasaran, angin keras telah lebih dulu berhembus. Begitu serangan menyambar dekat, kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Kemudian tangan kirinya bergerak menyambar, dengan jari-jari terbuka.

Kreppp!

Dara langsung terpekik kaget ketika pergelangan tangan kanannya telah tercekal! Padahal, tadi ketika melihat gerakan lawan dia telah berusaha keras mengelak. Dan sebelum Dara bertindak lebih lanjut, kakek berhidung melengkung telah lebih dulu menyentakkan tangannya.

"Akh...!" Dara berseru tertahan ketika tubuhnya melayang deras tanpa mampu berbuat sesuatu untuk menghentikannya.

Sedangkan kakek berkulit hitam legam sama sekali tidak mempedulikan nasib Dara lagi. Dia terus bergerak cepat, mendekati Kuru Sanca yang masih bersandar di pohon. Sedangkan macan tutul yang berdiri di sebelahnya, rupanya tidak mau ketinggalan. Binatang buas ini pun berjalan pula di sebelah kakek berhidung melengkung.

"Sekarang sampai juga ajalmu, Kuru Sanca!" Kakek berkulit hitam legam ini tampak gembira bukan kepalang, karena yakin akan keberhasilannya membunuh datuk sesat yang menggiriskan hati itu.

Namun belum lagi kakek berkulit hitam legam itu melancarkan serangan, mendadak saja kakinya mundur selangkah. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah kaki halus mendekati tempatnya. Dan sebelum sempat kakek berhidung melengkung ini menoleh, terasa angin dingin berkesiur. Sekejap kemudian, di depannya telah berdiri sesosok bertubuh ramping berwajah cantik jelita.

"Lagi..., lagi kau..., bo... eh...?! Siapa kau, Wanita Liar?!" Kakek berkulit hitam legam yang semula menduga kalau wanita cantik yang menghadang langkahnya adalah Dara, jadi menahan ucapannya. Ternyata dugaannya keliru. Wanita yang berdiri di hadapannya, dan membelakangi Kuru Sanca ini memang berwajah cantik jelita berpakaian serba putih.

"Mengapa kau menghadang di depanku? Apakah kau mempunyai hubungan dengan kakek yang sebentar lagi akan mati di tanganku?! Apakah kau juga gundiknya?!" lanjut kakek berkulit hitam legam ini.

Jawaban yang diterima kakek berhidung melengkung ini hanya berupa jeritan melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar! Kemudian gadis berpakaian serba putih ini mengirimkan serangan mematikan mempergunakan kedua tangan, yang kanan mencengkeram leher, sedangkan yang kiri mencengkeram pusar! Salah satu saja mengenai sasaran, nyawa kakek berkulit hitam legam ini pasti melayang ke alam baka!

Wajah kakek berkulit hitam legam ini berubah kaget. Hanya sekali lihat saja dia tahu kalau serangan gadis berpakaian putih ini lebih hebat daripada serangan Dara. Menilik dari bunyi berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, dia tahu kalau tenaga dalam gadis ini lebih kuat. Bahkan kecepatannya begitu dahsyat.

Diam-diam kakek berkulit hitam legam ini merasa heran, mengapa gadis-gadis cantik dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi membela Kuru Sanca mati-matian. Apa yang tersembunyi di balik semua ini? Tapi, kakek berkulit hitam legam tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena serangan gadis berpakaian putih telah semakin dekat.

Plak!

Bunyi benturan keras dari dua tangan yang beradu langsung terdengar ketika kakek berhidung melengkung ini memapak serangan-serangan gadis berpakaian putih. Akibatnya tubuh gadis itu terhuyung-huyung hampir lima langkah ke belakang. Sedangkan lawannya hanya satu langkah.

Gadis ini jadi mengertakkan gigi, menahan geram. Kenyataan yang terjadi menunjukkan kalau tenaga dalam kakek berhidung melengkung itu cukup jauh di atasnya. Menyadari kenyataan kalau bertarung tangan kosong hanya akan merugikan diri sendiri, maka gadis itu segera mengayunkan tangannya ke belakang punggung.

Ngungngng!

Bunyi mengerung keras seperti ada seekor naga murka segera terdengar, ketika gadis berpakaian putih itu mencabut pedang, dan langsung menggerak-gerakkannya di depan dada.

Kakek berkulit hitam legam itu langsung ternganga takjub, menyaksikan pertunjukan ilmu pedang yang demikian dahsyat dari gadis ini. Meski memang baru jurus pembuka yang dilihat, tapi telah cukup membuatnya takjub.

"Keluarkan senjatamu kalau tidak ingin mati sia-sia di ujung pedangku, Kakek Hidung Betet!" teriak gadis berpakaian putih itu, di tengah-tengah riuh rendah permainan pedangnya.

"Keparat!" Kakek berkulit hitam legam ini jadi menggertakkan gigi dengan sepasang mata menyala-nyala karena gejolak perasaan marah. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang mempermasalahkan hidungnya yang berbentuk aneh. Apalagi kalau sampai memakinya, seperti yang didengarnya barusan.

"Wanita Liar! Mulutmu benar-benar tajam! Kau harus membayar kelancangan mulutmu. Celanamu akan robek, dan kau akan kutelanjangi!"

Untuk yang kedua kalinya terdengar bunyi melengking nyaring dari mulut gadis berpakaian putih itu. Lengkingan yang keluar dari perasaan hati yang terbakar, mendengar ucapan kakek berkulit hitam legam yang tidak senonoh ini. Dan belum habis gema lengkingan itu, gadis berpakaian putih ini telah melesat menerjang!

Kakek berhidung melengkung yang juga telah bangkit amarahnya telah menggenggam erat-erat tongkat yang menjadi senjata andalan. Dan sambil berteriak tidak kalah keras, melompat memapak serbuan lawan. Maka pertarungan pun berlangsung sengit.

Ilmu pedang gadis berpakaian putih itu benar-benar luar biasa. Pedangnya bagai telah berubah menjadi seekor binatang yang amat ganas dengan bunyi menggerung-gerung keras, menyertai setiap luncurannya ke arah berbagai bagian di tubuh kakek berkulit hitam legam ini.

Namun, kakek itu juga bukan orang sembarangan. Permainan tongkatnya pun luar biasa. Betapapun gencar dan dahsyatnya sambaran pedang gadis berpakaian putih itu. Namun tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Ke mana saja ujung pedang menuju, selalu berbenturan dengan putaran tongkat kakek berkulit hitam legam ini.

Bunyi berdentang nyaring dan bunga api kini menyemaraki pertarungan. Bahkan setiap kali terjadi benturan keras yang mengakibatkan bunga api memercik ke sana kemari, selalu tubuh gadis berpakaian putih terguncang hebat. Saking kerasnya benturan, tubuhnya beberapa kali sampai terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan hampir terjengkang dengan sebuah seringai tampak di bibir. Meskipun kakek berkulit hitam legam itu lebih unggul dalam hal tenaga, tapi untuk mendesak lawannya agaknya tidak mudah.

Serangan gadis berpakaian putih yang terlalu gencar dan selalu susul-menyusul laksana gelombang laut, membuatnya merasa kesulitan untuk melancarkan serangan balasan yang terarah. Dia masih bimbang untuk membuka pertahanan, dan menggantinya dengan serangan-serangan balasan. Karena disadari, kecepatan luncuran serangan-serangannya kalah jauh dibanding gadis berpakaian putih itu.

Kakek ini sadar, kalau mengalahkan gadis berpakaian putih ini membutuhkan waktu tidak sebentar. Mungkin dalam puluhan jurus, lawannya baru bisa dirobohkan. Dan dalam waktu yang cukup lama itu, segala sesuatu dapat saja terjadi. Misalnya ada orang lain yang datang menyelamatkan Kuru Sanca. Padahal, gadis berpakaian putih saja belum bisa dirobohkan.

"Bunuh tua bangka yang tidak berguna itu, Belang!"

Di tengah-tengah kesibukannya mempertahankan diri dari serangan gadis berpakaian putih yang gencar, kakek berkulit hitam legam ini berteriak keras, memberi perintah.

"Auumm...!" Bunyi auman keras yang membuat isi dada bergetar, langsung menyambuti perintah kakek berkulit hitam. Sebentar kemudian, macan tutul yang sejak tadi berdiam diri seperti memperhatikan jalannya pertarungan, berlari-lari menghampiri Kuru Sanca! Binatang buas itu mengerti apa yang dimaksudkan tuannya!

Begitu macan tutul melompat menerkam siap untuk mengoyak-ngoyakkan tubuhnya, dari arah sampingnya melesat sosok bayangan coklat. Begitu cepat bayangan ini melesat, langsung menyerang macan tutul dari samping.

Bukkk!

Grrrhhh!

Macan tutul itu kontan mengeluarkan seruan kesakitan, begitu ada sesosok bayangan menghantam badannya secara keras. Seketika tubuhnya yang tengah meluncur ke arah Kuru Sanca, terlempar ke kiri dan jatuh berdebuk keras di tanah. Di depan Kuru Sanca, ternyata Dara telah berdiri membelakanginya dengan kedua kaki terpentang.

Tadi gadis berpakaian coklat ini memang buru-buru kembali ketika tubuhnya terlempar ke kerimbunan semak-semak. Dia merasa khawatir akan nasib kakek kurus kering itu. Dan ternyata, kecemasannya beralasan. Meski ada seorang gadis berpakaian putih yang tengah bertarung melawan kakek kurus berkulit hitam legam itu, tapi masih ada macan tutul yang mengancam keselamatan Kuru Sanca. Dan Dara bertindak pada saat yang sangat tepat.

Dara langsung menatap macan tutul yang telah bangkit dengan sepasang mata terbelalak. Gadis berpakaian coklat ini tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tadi saking khawatir akan keselamatan Kuru Sanca, pukulannya yang dihantamkan pada macan tutul dikerahkan dengan seluruh tenaga. Dan menurut perhitungannya, binatang itu akan tewas seketika dengan seluruh isi dada hancur. Tapi, ternyata macan tutul itu masih segar bugar.

Bahkan kelihatan semakin buas, karena tindakannya untuk memenuhi perintah majikannya dihalangi. Atau mungkin pula karena rasa sakit yang diderita. Pukulan Dara tadi memang kuat sekali. Bahkan sanggup menghancurkan sebongkah batu besar yang paling keras sekalipun hingga berkeping-keping.

Dan ternyata, binatang buas itu merasa penasaran dan dendam terhadap Dara. Dengan auman keras yang menggetarkan sekitarnya, macan tutul itu melompat menerkam Dara. Namun hanya menggeser kaki, putri Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini berhasil mengelakkan serangan. Bahkan langsung menyusuli dengan serangan balasan berupa bacokan sisi tangan miring berisi tenaga dalam penuh ke tubuh bagian samping binatang buas yangmenjadi lawannya.

Bukkk!

Macan tutul itu menggerung kesakitan ketika pukulan Dara mendarat secara telak di sasaran. Tubuh binatang buas yang sial ini terlempar dan terbanting di tanah. Namun lagi-lagi macan itu bangkit berdiri dan menyerang Dara. Rupanya binatang buas ini tidak kapok sama sekali!

Sementara itu di kancah pertarungan yang satu, kakek berkulit hitam legam itu merasa geram bukan kepalang melihat kegagalan dalam melenyapkan Kuru Sanca. Dia tahu, macan tutulnya tidak bisa diandalkan untuk melaksanakan tugas karena terhalang Dara!

Sedangkan dia sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengalahkan gadis berpakaian putih ini. Sambil terus melakukan perlawanan, matanya mengerling ke arah Kuru Sanca. Dan hatinya tercekat ketika melihat keadaan kakek kurus kering itu.

Kakek berkulit hitam legam itu memiliki sepasang mata tajam. Maka dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau keadaan Kuru Sanca telah semakin membaik. Wajahnya yang semula pucat pasi seperti tidak berdarah, sekarang telah menyiratkan tanda-tanda kehidupan. Dan bukan tidak mungkin tak akan lama lagi, tokoh kurus kering ini akan sehat seperti sediakala. Dan apabila itu terjadi, dia tahu kalau keadaannya akan sangat berbahaya. Dan hal itu tidak diinginkan terjadi.

Trangngng!

Setelah membuat tubuh gadis berpakaian putih terhuyung-huyung jauh ke belakang dengan tangkisan tongkat yang disertai pengerahan seluruh tenaganya, kakek berkulit hitam legam ini melompat meninggalkan lawannya sambil mengeluarkan lengkingan aneh dari tenggorokannya.

Seketika itu pula, macan tutul yang semula tengah bertarung melawan Dara segera berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Baru beberapa tombak macan tutul itu berlari, tiba-tiba kakek berkulit hitam legam itu tahu-tahu hinggap di punggungnya. Tapi, macan tutul itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dia terus berlari kencang bersama majikannya berada di punggung.

Sementara Dara dan gadis berpakaian putih itu menatap kakek berkulit hitam legam yang menunggangi macan tutulnya, tidak melakukan pengejaran sama sekali. Kemudian, ketika bayangan mereka lenyap dari pandangan, kedua gadis yang sama-sama cantik dan lihai ini, saling berpandangan. Kemudian senyuman tersungging di bibir masing-masing.

* * *

TIGA

Sebuah perahu kecil meluncur bagai anak panah, menyibak permukaan laut yang disemaraki gelombang-gelombang sebesar rumah. Bahkan kadang-kadang ada yang sampai sebesar bukit, seperti berusaha keras untuk menggulingkan dan menghancurkan perahu kecil itu. Tapi, dengan gesitnya perahu kecil itu menyelinap dan membelah permukaan air laut yang bagai diamuk tangan-tangan raksasa.

Perahu kecil itu berpenumpang tiga orang. Dua orang berusia muda dan berwajah menarik. Sedangkan sisanya seorang nenek berusia tak akan kurang dari seratus tahun, berpakaian kembang-kembang. Wajahnya telah dipenuhi keriput. Dengan mulut yang tidak bergigi lagi, dia kelihatan tua sekali.

Salah satu dari dua anak muda itu adalah seorang gadis berpakaian kuning. Tubuhnya sintal menggiurkan. Apalagi dengan dua bukit kembar di dadanya yang terlihat mencuat, seperti hendak melompat keluar. Itu pun masih ditunjang dengan wajahnya yang cantik penuh daya tarik! Pakaian kuning yang membungkus tubuhnya semakin menonjolkan kecantikan dan kemolekannya.

Sementara sosok terakhir yang tengah mengayuh perahu justru kelihatan paling aneh. Tubuh dan wajahnya terlihat masih muda, dan berusia lebih dari dua puluh tahun. Meskipun, wajah sosok pemuda ini kelihatan matang! Wajahnya tampan dan jantan.

Tubuhnya pun kekar dengan dada bidang, terbungkus pakaian ungu. Tapi anehnya rambutnya seperti milik orang berusia lanjut. Putih keperakan! Siapa lagi orang ini kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak. Sementara gadis berpakaian kuning itu tak lain dari Tungga Dewi. Sementara nenek berpakaian kembang-kembang itu tak lain adalan Nenek Lestari. Ketiga orang ini berada di lautan luas karena tengah menuju Pulau Setan! (Baca serial Dewa Arak dalam episode Peti Bertuah).

"Kau yakin kalau kita menempuh arah yang benar, Dewi?!" tanya Arya tanpa menghentikan kayuhannya.

"Jangan khawatir, Arya," jawab Tungga Dewi, sambil menatap Arya dengan sinar mata aneh.

Dan Arya merasa jengah melihatnya. Pandangan mata Tungga Dewi persis milik sorot mata gadis-gadis yang dulu dijumpai dalam petualangan. Hanya saja, sekarang mereka yang semuanya mencintainya, tewas karena membelanya. Arya masih ingat betul nama gadis-gadis yang telah berkorban nyawa dan menyelamatkannya. Dan itu seperti terpatri dalam hatinya. Utari dan Malini. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Penganut Ilmu Hitam).

Didasari rasa cemasnya, tanpa sadar Arya melengos. Tapi karena khawatir kalau sikapnya akan membuat Tungga Dewi tersinggung, Arya pura-pura bersin! Untuk orang yang memiliki tingkatan seperti pemuda berambut putih keperakan ini, melakukan hal seperti itu bukan masalah.

"Apa yang dikatakan Tungga Dewi tidak keliru, Arya," Nenek Lestari ikut menimpali. "Meski tidak tahu letaknya, aku merasakan kalau arah yang kita tempuh ini tidak salah! Dan biasanya, firasatku ini tidak pernah keliru! Dan...."

"Hey!" Seruan kaget tanpa sadar keluar tidak hanya dari mulut Nenek Lestari yang langsung menghentikan ucapannya karena merasa kaget, tapi juga dari mulut Arya dan Tungga Dewi. Jeritan yang tanpa disadari itu keluar begitu saja, karena perahu yang ditumpangi tiba-tiba berguncang keras.

"Ada orang yang akan menggulingkan perahu kita...!" seru Arya yang langsung dapat mengetahui adanya ketidak-beresan ini.

Pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan pandangan ke sekitar sisi-sisi perahu. Dan ketika melihat ada bayangan berkelebat di bawah permukaan air, dayungnya segera dihantamkan.

Pyarrr!

Air seketika muncrat tinggi ke udara. Tapi, hantaman Arya tidak membuahkan hasil. Sosok yang bergerak di bawah air ternyata telah lebih dulu melesat menghindari, sebelum sempat terhantam dayung! Dan gerakannya gesit sekali, sehingga Dewa Arak mengira sosok yang dihantamnya seekor ikan!

Perahu jadi berguncang semakin keras dan hampir terguling ke kiri. Arya yang tidak ingin terjun ke laut lepas, karena tahu kalau di dalam air kemampuannya berkurang jauh segera bertindak cepat. Tenaganya segera dikerahkan untuk memberatkan tubuh, sehingga perahu yang dirumpangi menjadi lebih berat berlipat kali.

"Aku yakin, ini pasti perbuatan orang-orang aneh itu!" desis Tungga Dewi.

"Orang-orang aneh...?!" Arya mengernyitkan dahi, meminta penjelasan.

"Kau ingat orang-orang yang kuceritakan, Arya?!" Tungga Dewi balas mengajukan pertanyaan sambil menatap wajah Arya lekat-lekat.

Arya mengangguk sambil mengeluh dalam hati. Kelihatannya Tungga Dewi memang bukan gadis pemalu. Buktinya terang-terangan perasaannya ditunjukkan pada Arya. Ini membuat pemuda itu merasa bingung bukan kepalang!

"Nah! Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang bertarung dengan guruku. Mereka memang memiliki kemampuan mengagumkan bila berada di dalam air. Bahkan mungkin kepandaiannya jauh di atasku, Arya."

"Hebat!" puji Arya setulusnya tanpa berani menatap wajah Tungga Dewi apalagi sepasang matanya. "Gerakan mereka di dalam air luar biasa sekali. Tadi, aku nyaris menduga kalau bayangan yang kupukul adalah ikan! Habis, gerakan mereka gesit bukan kepalang."

"Apalagi kalau kau melihat guruku yang bergerak, Arya!" timpal Tungga Dewi, penuh semangat. Kelihatannya, dia jelas begitu senang bercakap-cakap dengan Arya. "Bagi guruku, mereka bukan apa-apa. Kemampuan mereka bermain di dalam air, mungkin hanya setaraf denganku."

"Ah...! Begitukah?!" Sepasang mata Arya terbelalak lebar penuh perasaan kaget. Arya tidak pernah berpikir kalau gadis ini akan mampu bertindak seperti itu. Mungkinkah seorang gadis seperti dia mampu bergerak demikian lincah di dalam air? Baru saja kata-kata Dewa Arak selesai dan Tungga Dewi belum sempat memberikan tanggapan, terjadi kericuan di dalam perahu. Dan tiba-tiba saja....

Blosss! Blosss! BIosss!

Hampir berbarengan tiga batang pisau menembus, sehingga lantai perahu bolong. Bahkan hampir saja mengenai tiga orang penumpangnya. Meskipun demikian, cukup untuk membuat Arya dan kawan-kawannya tersentak kaget. Dan sebelum mereka bertindak, tiga batang pisau itu telah di tarik, kembali ke dalam air. Maka kontan air menyeruak masuk ke dalam perahu melalui lubang yang tercipta.

Kejadian ini, langsung menyadarkan ketiga orang di dalam perahu. Bagai telah disepakati sebelumnya, mereka berusaha menutupi lubang-lubang itu dengan telapak kaki. Hembusan napas lega langsung terhempas, ketika air yang menerobos masuk terhenti.

"Kita harus bertindak!" kata Arya sambil menatap wajah Nenek Lestari dan Tungga Dewi. Tapi ucapan itu lebih tertuju pada murid Nelayan Tenaga Gajah ini. Arya tahu, sebagai seorang yang lebih sering bermain di air, Tungga Dewi tentu dapat mengambil langkah-langkah untuk menghadapi hal seperti ini! Nenek Lestari tidak bisa diharapkan.

Buktinya perempuan tua itu telah hampir pikun ini tampak pias wajahnya. Rupanya kejadian yang baru saja dialami membuatnya kaget bukan kepalang. Tungga Dewi yang merasa ditanya, tidak langsung memberikan jawaban. Sebagai seorang yang ahli bermain di dalam air, dia tidak merasa khawatir sama sekali. Baginya, di darat atau di air sama saja.

Tungga Dewi tahu, pertanyaan Dewa Arak memang sulit dijawab. Kalau lawan berada di sisi perahu, bukan merupakan masalah. Mereka dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan dayung. Tapi penyerang-penyerang itu terlalu cerdik, dengan melancarkan serangan dari bawah perahu.

"Apa yang harus kita lakukan, Dewi?!" tanya Arya lagi ketika melihat gadis berpakaian kuning itu malah berdiam diri. Arya tahu, Tungga Dewi tengah berpikir, tapi waktu yang dimiliki tidak memungkinkan untuk berpikir lama-lama. Lawan yang berada di bawah air, tidak mungkin tinggal diam. Mereka tidak akan mau menunggu.

"Aku yakin tindakan mereka tidak berhenti sampai di sini!" tandas Dewa Arak.

Baru saja kata terakhir keluar dari mulut Arya, lantai perahu di bagian lainnya kembali ditembus tiga batang pisau. Namun kali ini, Dewa Arak sudah bersiap siaga. Batang pisau itu segera ditangkapnya. Tentu saja hanya dua yang ditangkap karena tangan pemuda berambut putih keperakan ini hanya sepasang. Sementara kakinya yang satu menutupi lubang di lantai perahu.

"Biar aku yang akan menghajar mereka!" Tanpa menunggu persetujuan Arya yang tengah bersitegang menahan pisau yang akan ditarik kembali oleh pemiliknya, Tungga Dewi segera beranjak.

Arya meski tengah sibuk mempertahankan batang pisau, langsung mempunyai sebuah dugaan, meskipun Tungga Dewi tidak lengkap mengutarakannya.

"Tungga Dewi!" seru Arya, cepat.

Tapi, seruan pemuda berambut putih keperakan ini terlambat! Tubuh Tungga Dewi telah lebih dulu melayang ke udara. Sejenak tubuh molek itu berada di atas, kemudian meluncur ke bawah dengan kedua tangan terjulur tegang di depan.

Byurrr!

Air laut muncrat tinggi ke udara, ketika tubuh Tungga Dewi menghunjam permukaannya dan terus meluncur masuk ke dalamnya! Gadis itu memang tidak berbohong ketika berkata pada Arya. Kemampuannya bermain di air memang luar biasa. Lincah laksana seekor ikan, tubuhnya melesat menuju ke bawah perahu untuk menjumpai orang-orang yang telah melakukan penyerangan terhadap perahu.

Kedatangan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya diketahui tiga sosok yang berada di bawah perahu. Maka salah seorang bergerak meninggalkan bawah perahu, langsung menghadang gerak Tungga Dewi. Sementara yang lainnya terus dengan tindakan mereka.

Tungga Dewi menggerutkan gigi, ketika melihat sosok-sosok yang melakukan tindakan usil terhadap perahu yang ditumpangi. Memang tepat sekali dugaannya. Mereka adalah tiga orang yang dulu bertarung dengan Tungga Dewi dan gurunya untuk memperebutkan peti yang ternyata berisi jasad tokoh keji yang hidup lima ratus tahun silam! Dan sekarang, sosok yang mencegat perjalanannya adalah orang yang dulu dihadapinya. Lelaki berkulit merah!

Tungga Dewi menyambut kedatangan lelaki kulit merah itu dengan sebuah tendangan ke arah perut, mengandung tenaga cukup hebat! Namun lelaki berkulit merah ini segera menyambutnya. Maka kedua orang ini pun segera terlibat dalam pertarungan sengit.

Di atas perahu, Dewa Arak merasakan salah satu pisau yang digenggamnya, mendadak kehilangan daya tarik ke bawah. Tapi, hatinya tak bisa lega, karena sesaat kemudian di tempat-tempat lain tiga batang pisau kembali menusuk perahu, dan langsung ditarik kembali. Maka air pun kembali menelusup ke dasar perahu.

Arya berpikir cepat. Disadari betul kalau akhirnya tidak akan mencegah tindakan pembocoran perahu yang dilakukan sosok-sosok yang berada di bawah perahu. Maka otaknya yang cerdik berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan diri.

Arya segera meninggalkan lubang-lubang pada lantai perahu yang semua disumpalnya. Segera diraihnya dayung yang tadi diletakkan di sisi dalam perahu. Kemudian, cepat mengayuh. Sebuah pertunjukan yang menakjubkan pun terjadi! Kini perahu meluncur ke depan, tanpa menyentuh permukaan air, bagaikan terbang!

Dua sosok yang berada di bawah perahu kontan terkejut melihat kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka. Namun, mereka segera berenang memburu. Kedua orang ini tahu, perahu itu tidak akan selamanya mengapung di atas permukaan air. Apabila tenaga kayuhan itu lenyap, perahu itu akan jatuh kembali ke dalam permukaan air.

Sementara Tungga Dewi yang tengah sibuk bertarung pun sempat melihat hal ini. Dan diam-diam hatinya merasa lega, karena untuk sesaat kedua rekannya akan selamat. Dia sendiri sambil mengelakkan serangan, segera berenang menuju ke atas untuk kembali mengambil napas. Sedangkan lawannya melakukan hal sama.

Dan ketika kepala masing-masing sama-sama muncul di permukaan air, pertarungan kembali berlanjut lebih seru. Sehingga serangan-serangan mereka lebih dahsyat karena tidak tertahan air. Di pihak lain, Arya dengan kecerdikannya berhasil meninggalkan lawan-lawannya cukup jauh di belakang. Apalagi kecepatan luncuran perahunya lebih cepat daripada luncuran dua pengejarnya.

Dewa Arak merasa lega. Namun sempat cemas ketika teringat Tungga Dewi. Ketika menoleh, dia melihat gadis berpakaian kuning itu tengah bertarung jauh di belakangnya. Maka Arya segera mengirimkan pemberitahuan lewat ilmu mengirim suara dari jauh.

"Tidak usah terus melawan, Dewi! Tinggalkan saja lawanmu! Cepat ikut kami!"

Sambil berkata demikian Arya melirik Nenek Lestari yang telah berhasil menguasai perasaan hatinya yang agak terguncang. Nenek itu telah bisa tersenyum kembali, meski masih kaku. Arya berbalik lagi ke depan. Saat itu, perahunya tengah terbang, dan hampir mendarat di permukaan laut lagi. Tapi ditempat yang akan didarati perahu, tampak menyembul sebuah kepala yang memiliki kulit wajah putih seperti kapur.

Yang membuat terkejut pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan keadaan wajah sosok itu. Ternyata tempat beradanya sosok itu, adalah tempat perahunya mendarat. Jelas, sosok itu pasti akan tertabrak perahu. Dan Arya tidak menginginkannya.

Mendadak wajah Arya berubah ketika mendengar bunyi berdesing nyaring. Pendengarannya yang tajam dan pengalamannya yang luas, membuatnya langsung dapat mengetahui kalau bunyi itu timbul akibat hentakan tangan bertenaga dalam tinggi! Memang sosok yang memiliki tangan itu mengirimkan pukulan jarak jauh yang ampuh. Dan dengan hati kaget, Arya menyadari arah yang dituju pukulan jarak jauh itu adalah dasar perahunya!

"Lompat, Nek...!" Arya tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali melompat. Maka sambil mencekal pergelangan tangan Nenek Lestari, dia melompat keluar dari perahu. Memang disadari tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah pukulan jarak jauh itu.

Brakkk!

Perahu kecil itu kontan hancur berkeping-keping ketika tubuh Arya dan Nenek Lestari baru saja melompat keluar. Terlambat sedikit saja, mereka akan terluka cukup parah.

Bum! Byurrr!

Tubuh Arya dan Nenek Lestari langsung tenggelam ke dalam laut. Memang begitu kerasnya tubuh kedua orang yang berbeda usia dan jenis kelamin itu meluncur. Dewa Arak yang sedikit memiliki ilmu bermain di air, berusaha keras muncul di permukaan. Matanya dicoba dibuka selebar-lebarnya untuk mencari-cari Nenek Lestari untuk diberikan pertolongan.

Dan hati Dewa Arak pun langsung mencelos, ketika melihat tubuh nenek berpakaian kembang-kembang itu terus meluncur ke dasar laut. Rupaya nenek yang hampir pikun itu dalam cekaman rasa takut, jadi melupakan kepandaiannya. Sehingga dia tidak bisa meluncur ke atas. Gelembung-gelembung air tampak di sekitar wajahnya, karena nenek ini telah banyak menelan air laut.

Arya menyadari kalau sementara ini tidak bisa memberikan pertolongan. Dia harus berenang dulu ke permukaan untuk mengambil napas, baru kemudian menolong Nenek Lestari. Tapi sebelum maksud Dewa Arak kesampaian, luncuran tubuhnya ke permukaan terasa tertahan, ketika ada sesuatu yang mencekal kedua pergelangan kakinya. Pemuda itu menggoyang-goyangkan kedua kakinya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.

Namun usaha Arya tidak membuahkan hasil sama sekali. Sesuatu yang mencekal pergelangan kakinya demikian ulet dan lengket. Dan celakanya lagi, sesuatu itu malah menarik tubuh Arya ke dalam air. Dewa Arak jadi kelabakan. Saat itu seluruh dadanya seakan ingin meledak karena udara dalam paru-parunya hampir kosong.

Arya sebisa-bisanya meronta-ronta. Bahkan 'Tenaga Sakti Inti Matahari' telah dikerahkan sampai ke puncak untuk membuat sesuatu itu melepaskan cekalannya. Air di sekitarnya jadi bergolak mendidih!

Mula-mula hangat. Namun semakin lama semakin panas. Tapi sebelum air itu mendidih, pandangan Arya telah berkunang-kunang. Kemudian matanya terasa gelap dan hitam. Pingsan. Di tempat lain, Nenek Lestari yang tengah terus meluncur ke dasar laut pun, dicekal sesuatu. Sedangkan Tungga Dewi roboh di tangan lawannya yang terlalu tangguh untuk dihadapi.

* * *

Ctarr, ctarrr!

Bunyi lecutan keras bertubi-tubi membuat Dewa Arak mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Pemuda berambut putih keperakan ini mulai sadar dari pingsannya.

"Hentikan, Manusia-manusia Bodoh! Hentikan...! Kalau dia mati, kalian semua tidak akan bisa hidup tenang! Kalian akan menerima celaka!"

Seruan-seruan bernada kekhawatiran itu membuat kesadaran Dewa Arak langsung pulih. Dia bermaksud bergerak, tapi tidak mampu. Ada sesuatu yang menahan tangan dan kakinya. Maka Arya melirik, dan langsung maklum. Kini Arya berada di sebuah tanah lapang luas yang tanahnya berwarna putih seperti tanah kapur!

Pemuda ini berdiri dalam keadaan tidak berdaya, karena tubuhnya terpancang di sebuah tiang baja yang dibuat sedemikian rupa sehingga kedua tangan dan kakinya terpentang. Dan yang membuatnya tidak bisa bergerak adalah adanya belenggu baja besar yang melilit pergelangan tangan dan kakinya, juga pada tubuh dan lehernya.Begitu melihat ke sisinya, tampak Tungga Dewi dan Nenek Lestari pun mengalami hal yang sama.

Hanya saja kedua orang itu belum sadar dari pingsannya. Sekarang Arya tahu, sesuatu yang mencekal kedua pergelangan kakinya pasti orang-orang yang melubangi perahu mereka. Setidak-tidaknya kawan merekalah yang melakukan semua ini. Perhatian Arya langsung beralih ke depan.

Tepat berhadapan dengannya, tampak dua sosok tubuh juga mengalami hal yang sama dengannya. Hanya saja, salah seorang dari mereka tengah disiksa dengan sebuah cambuk berduri! Menilik dari luka-lukanya yang cukup parah mengalirkan banyak darah, orang itu telah disiksa cukup lama!

"Cukup!" Tiba-tiba kembali terdengar seruan keras berwibawa dari seseorang berpakaian merah yang duduk di sebuah bangku indah dan mewah, membuat sosok yang berdiri membelakangi Arya dan dua rekannya menghentikan ayunan cambuk berdurinya.

Setelah melipat cambuknya, laki-laki botak dan berkulit merah itu berjalan meninggalkan tempat ini. Lalu dia menjura memberi hormat pada laki-laki yang duduk di bangku indah dan mewah dengan sikap agung itu. Di kanan kirinya berdiri dua orang berkulit putih. Sementara, di sekitar tempat itu tampak sosok-sosok berkulit beraneka macam warna.

Tanpa diberi penjelasan, Arya segera tahu kalau dia dan kawan-kawannya jatuh ke tangan kelompok orang yang mempunyai sebuah kerajaan kecil, di pulau yang memiliki tanah kapur ini. Dan orang yang duduk dengan sikap agung di bangku mewah dan indah itu pasti rajanya. Hanya ada satu yang masih menjadi teka-teki bagi Arya, mengapa kulit tubuh mereka berwarna-warni?

EMPAT

Lelaki agung yang duduk di kursi mewah dan indah memberi isyarat pada lelaki berkulit putih yang berdiri di sebelah kanannya. Lelaki berkulit putih itu pun mengayunkan kakinya menghampiri dua sosok yang terbelenggu di depan Dewa Arak. Dan langkah kakinya berhenti ketika telah berada tepat di depan sosok terbelenggu yang masih mengucurkan darah.

"Kau membuat kami hilang sabar, Tua Bangka Bau Tanah! Padahal, apa sih artinya peti itu bagimu?! Mengapa kau bersikeras mempertahankannya?! Dan sekarang, peti itu telah hilang. Maka, kau harus bertanggung jawab! Kalau sejak dulu kau memberikannya pada kami, tentu semua ini tidak akan terjadi. Dan kami tidak akan melakukan tindakan kekerasan terhadapmu!" kata lelaki berkulit putih ini.

Sosok yang diajak bicara adalah seorang kakek bertubuh tinggi. Bahkan terlalu tinggi untuk ukuran manusia. Namun tubuhnya kurus, seperti tidak memiliki daging saja. Seakan-akan, tulang-belulangnya hanya dilapisi kulit. Dengan tidak adanya pakaian di tubuhnya, tampak jelas tonjolan tulang-belulangnya di sana-sini. Apalagi, dia terbelenggu dengan cara seperti itu. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena menunduk!

"Tidakkah kalian bisa membiarkannya tenang sedikit?! Dia masih menderita, karena siksaan yang kalian berikan! Percuma saja berpidato di depannya. Dia tidak akan bisa mendengar!"

Terdengar sahutan yang ternyata berasal dari sosok lain yang terbelenggu di sebelah kiri kakek jangkung kurus. Sosok itu yang tadi mengeluarkan makian-makian, karena tidak tahan melihat kakek jangkung kurus disiksa. Dia ternyata seorang kakek yang keadaannya lebih mengenaskankan daripada kakek jangkung. Kakek yang berangasan ini berpakaian putih longgar. Rambutnya panjang terurai, dan berwarna putih bagaikan benang-benang perak. Tapi yang menyedihkan, dia tidak punya kaki kiri, buntung sebatas pangkal paha.

"Tutup mulutmu, Orang Asing!" Berbareng ucapan itu, lelaki berkulit putih mengayunkan tangan menampar pipi kakek berkaki sebelah.

Cukup keras tamparannya sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Malah kepala kakek itu sampai terhentak ke samping, dengan selebar pipi merah bergambar telapak tangan. Tampak menetes darah segar dari sudut mulutnya. Tamparan lelaki berkulit putih seperti kapur itu memang keras, kendati hanya sebagian kecil saja tenaga dalam dikeluarkan.

"Sekali lagi membuka mulut, kepalamu kuhancurkan," ancam lelaki berkulit putih bernada sungguh-sungguh.

Lelaki berkulit putih itu kemudian memberi isyarat pada kerumunan orang yang berkulit warna-warni. Dan dari sana keluar seorang lelaki berkulit merah. Sambil mengjinjing sebuah tong air dari bambu di tangan kanan.

Arya merasa jantungnya berdetak jauh lebih cepat, ketika melihat lelaki berkulit putih dan lelaki berkulit merah itu berjalan menuju Tungga Dewi yang masih tergolek pingsan. Bisa diduga, untuk apa air di dalam ember itu.

"Hentikan...!" seru Arya, keras. Lelaki berkulit putih itu langsung menoleh. Sepasang matanya menatap Arya, memancarkan sinar berapi. Lelaki ini ternyata memiliki watak aneh, yakni tidak suka bila tindakannya dicegah orang!

"Tutup mulutmu! Kau akan mendapat gilirannya nanti!"

Bukkk!

"Hukh!" Kepala Arya agak tertunduk, ketika sodokan tangan lelaki berkulit putih itu mendarat di perutnya. Seketika rasa mual yang amat sangat menyerang perutnya. Namun, bukan Dewa Arak kalau mendapat gertakan seperti itu saja langsung mundur.

"Pengecut-pengecut Hina! Kalian rupanya hanya berani menghadapi wanita yang tidak berdaya, dan terbelenggu! Lepaskan aku. Dan, man kita bertarung sampai ada yang menggeletak tak bernyawa!"

Tapi lelaki berkulit putih seperti kapur ini rupanya tidak berkeinginan untuk meladeni ucapan-ucapan Arya. Lagi pula, dia tidak merasa nyaman menjatuhkan tangan terhadap orang tidak berdaya. Dan dia yakin akan menang, bila pemuda berambut putih keperakan itu dalam keadaan bebas, sekalipun mengajaknya bertarung.

Byurrr!

Tungga Dewi gelagapan ketika seember air dingin menerpa tubuhnya. Kebetulan saat ini gadis itu memang sudah hampir sadar, maka siraman tadi langsung membuatnya sadar.

"Kau kenal dia?!" tuding lelaki berkulit putih.

Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang dituding lelaki berkulit putih. Hanya sekilas saja. Bahkan sikapnya seperti tidak peduli. Kemudian kepalanya ditundukkan. Sikap yang ditunjukkan Tungga Dewi benar-benar merendahkan si Penanyanya sekali.

Lelaki berkulit putih menggemeretakkan gigi saking marahnya melihat tingkah Tungga Dewi. Dia tahu, gadis berpakaian kuning itu merendahkan dirinya. Pertanyaannya sama sekali tidak dianggap. Dia menduga kalau Tungga Dewi berani bersikap demikian, karena belum mendapat hajaran sama sekali.

Plakkk!

Dengan keras tangan kanan lelaki berkulit putih itu menghajar telak pipi kanan Tungga Dewi hingga sampai berpaling dengan pipi kanan berwarna merah bergambar telapak tangan. Malah ada darah yang menetes di sudut-sudut mulut murid Nelayan Tenaga Gajah ini.

"Sekarang bersikaplah yang sopan terhadapku, sebelum aku melakukan tindakan lebih keras!" ancam lelaki berkulit putih ini. Dia yakin kali ini, gadis itu tidak banyak tingkah.

"Cuhhh!"

Hampir terlepas sepasang mata lelaki berkulit putih ini ketika melihat sambutan yang diberikan Tungga Dewi atas ancamannya. Dengan beraninya, gadis itu meludah ke tanah. Arya melihat adanya kilatan ancaman pada sepasang mata lelaki berkulit putih itu. Dia tahu, saat ini lelaki berkulit putih itu berada dalam puncak kemarahan karena perasaan tersinggungnya mendapat hinaan di hadapan orang banyak. Dewa Arak merasa khawatir sekali akan keselamatan Tungga Dewi! Dia tahu dalam keadaan seperti itu, lelaki berkulit putih ini mampu bertindak apa saja!

"Muka Pucat, Manusia Penyakitan! Mengapa kau hanya beraninya pada seorang wanita?! Kalau bukan pengecut, hadapilah Arya Buana!" seru Arya untuk mengalihkan perhatian lelaki berkulit putih dari Tungga Dewi.

Seruan Dewa Arak sama sekali tidak menarik perhatian lelaki berkulit putih kapur. Dan bahkan, malah menarik perhatian kakek berkaki sebelah. Padahal, kakek ini tadi berdiri diam dengan mata terpejam, ketika melihat kakek jangkung disiksa. Dan kini matanya terbuka dan menatap ke arah pemilik seruan. Seketika dia menjadi kaget! Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat pemuda dengan ciri-ciri seperti ini pernah dilihatnya di Cermin Ajaib!

"Dewa Arak...!" seru kakek berkaki buntung sebelah dengan suara terbata-bata. Sungguh tidak disangka akan dapat bertemu pendekar yang tengah dicarinya, di sini. "Bukankah kau, Dewa Arak...?! Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan?!"

Dewa Arak terpaksa mengalihkan perhatian, menatap kakek berkaki sebelah. Dia tidak merasa heran melihat orang mengenalnya. Bukan apa-apa. Julukannya memang telah mengguncangkan dunia persilatan. Dan ciri-cirinya yang memang khas tentu saja membuat orang gampang mengenalinya.

"Benar, Kek," jawab Arya sambil mengangguk. Pemuda berambut putih keperakan ini mencoba tersenyum, kendati saat itu merasa cemas akan keselamatan Tungga Dewi.

"Apakah kau telah bertemu Guraksa, Dewa Arak?!"

Pertanyaan kakek berkaki sebelah itu membuat Arya yang tengah memperhatikan Tungga Dewi dan lelaki berkulit putih, jadi berpikir. Dia berdiam diri beberapa saat lamanya, dan kembali mengalih kan perhatian pada kakek berkaki sebelah itu.

"Kau..., kau... siapa...?!" Arya yang saat itu tengah mengkhawatirkan keselamatan Tungga Dewi, tidak mampu berpikir apa-apa. Dia tidak ingat kalau Guraksa mendapat perintah dari seorang teman. Benak pemuda berambut putih keperakan ini seperti buntu.

"Apakah Guraksa tidak menyampaikan pesan padamu?!" tanya kakek berkaki sebelah kembali.

Pertanyaan Dewa Arak memberi pengertian kalau pemuda berambut putih keperakan ini telah bertemu Guraksa.

"Aku adalah orang yang menitipkan pesan padanya!" lanjut kakek itu.

"Kau... kau... Penjaga Alam Gaib?!" duga Arya yang akhirnya teringat, setelah tercenung sejenak.

"Benar.... Dan..."

Breettt!

Hanya sampai di situ jawaban kakek berkaki sebelah, begitu di sebelahnya terdengar bunyi kain robek dan jeritan tertahan bernada kaget dan takut yang amat sangat dari mulut Tungga Dewi! Lelaki berkulit putih itu ternyata telah merenggut baju Tungga Dewi di bagian dada hingga robek lebar. Tampak dua bukit yang indah menggiurkan dan menantang mencuat, seakan-akan hendak melompat keluar. Begitu putih mulus dan puting yang merah segar, membuat semua mata terbelalak lebar.

"Hentikan...!" teriak Arya keras.

Lelaki bermuka putih itu tersenyum penuh kemenangan. "Bagaimana? Apakah kau masih berkeras melanjutkan sikapmu yang tidak sopan itu, Nisanak?! Ingat, aku bisa bertindak lebih kasar jika memang kau inginkan!" tandas lelaki berkulit putih ini.

"Aku..., akan menjawab pertanyaanmu. Tapi, harap kau tidak melanjutkan perbuatan ini...?!" pinta Tungga Dewi dengan tubuh menggigil karena perasaan takut yang amat sangat.

"Ingat...!" Lelaki berkulit putih seperti kapur langsung cepat menyambung ucapan Tungga Dewi dengan suara bergetar penuh tekanan. "Sekali lagi kau bersikap meremehkan, tubuhmu akan habis dipermainkan sekian banyak lelaki yang berada di sini!"

"Aku..., aku tidak akan melakukan tindakan itu.... Aku berjanji...!" Tungga Dewi memberi keyakinan terhadap lelaki berkulit putih, meskipun dengan suara terbata-bata.

"Bagus! Kuingat janjimu itu!" Lelaki berkulit putih tersenyum dengan sinar mata memancarkan kemenangan. "Sekarang, jawab pertanyaanku. Apakah kau kenal dengan dia?!"

Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang ditunjuk lelaki berkulit putih itu. Sekali lihat saja, dia langsung mengangguk. "Dia merupakan salah seorang dari tiga lelaki berkulit aneh yang menyerangku dan guruku!" jawab Tungga Dewi, mantap.

"Aku tidak peduli. Yang ingin kuketahui, mana peti yang kalian perebutkan itu?!"

Bukan hanya Tungga Dewi yang berubah wajahnya. Bahkan juga Dewa Arak! Kelompok orang berkulit aneh itu rupanya bermaksud mendapatkan peti itu! Apakah mereka telah mengetahui isinya pula? Dan kalau benar demikian, mengapa?

"Cepat jawab!" desak lelaki berkulit putih. "Aku bukan sejenis orang yang sabar! Atau..., kau ingin aku melakukan tindakan yang tadi belum kuteruskan?!"

"Sabar," Tungga Dewi buru-buru berseru mencegah. "Bukannya aku tidak mau menjawab. Tapi..., apakah penyerang-penyerangku dan guruku itu tidak menceritakannya?!"

"Apa maksudmu?! Cepat jelaskan sebelum kesabaranku hilang!" tandas lelaki berkulit putih.

"Tidak ada seorang pun dari kami atau mereka yang mendapatkan peti itu!" tegas Tungga Dewi. "Karena, peti itu telah hilang entah ke mana!"

"Bohong!" teriak lelaki berkulit merah keras.

"Aku tidak bohong!" Tungga Dewi tidak kalah keras berteriak. "Pantang bagiku untuk berbicara dusta!"

"Diam...!" Lelaki berkulit putih itu mengeluarkan seruan yang lebih keras. Rupanya dia jengkel mendengar perdebatan antara Tungga Dewi dengan lelaki berkulit merah.

"Tapi aku tidak bohong!" Tungga Dewi yang memiliki watak tidak mau dibantah langsung menyambuti. Untuk sesaat, dia lupa akan ancaman hukuman yang akan diterimanya dari lelaki berkulit putih. "Seorang pemuda berbaju coklat yang mendapatkannya!" jelas gadis itu.

"Benarkah demikian?!" tanya lelaki berkulit putih pada lelaki berkulit merah.

"Ini..., ini...." Lelaki berkulit merah yang tidak menyangka akan jawaban Tungga Dewi, dan juga tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu, jadi kelabakan.

"Itu benar!" Tungga Dewi menyelak. "Itulah sebabnya, pemuda yang sebenarnya tidak sakti itu menjadi demikian sakti, sehingga semua yang berada di tempat itu dikalahkannya! Peti yang kalian maksudkan itulah yang menyebabkannya menjadi demikian sakti! Roh jahat dari jasad dalam peti itu telah menyusup ke dalam pemuda berbaju coklat sehingga menyebabkannya menjadi sakti."

"Roh jahat! Apakah kau tidak keliru bicara atau menjadi gila karena takutmu?! Peti itu berisi jasad?!" tanya lelaki berkulit putih, sambil mengemyitkan kening.

"Wanita itu benar!" timpal Penjaga Alam Gaib yang juga mendengarkan percakapan itu. "Peti itu berisi jasad dari orang jahat! Itulah sebabnya, Sebrang Wetan tak mau memberikannya pada kalian dan menjaganya terus, sampai akhirnya kalian berhasil menahannya secara licik!"

"Diam kau, Pincang!" sentak lelaki berkulit putih, keras penuh kemarahan! "Aku tidak bertanya padamu! Nisanak! Benarkah peti itu... maksudku berisi jasad jahat!"

"Memang kau kira apa?! Harta karun?! Pusaka-pusaka orang sakti? Kau akan kecewa bila menduga demikian!" potong Tungga Dewi.

"Itulah yang ada di benakmu, Nisanak?" kata lelaki berkulit putih. Suaranya yang lebih halus, tapi tetap bernada tajam.

"Apa lagi?!" tukas Tungga Dewi. "Apakah kami harus menduga kalau kau adalah orang yang gemar mengumpulkan benda-benda antik untuk diletakkan di pulau ini?!"

"Diam!" Lelaki berkulit putih yang memang berwatak berangasan, merasakan adanya ejekan di dalam ucapan Tungga Dewi. Maka amarahnya kembali meledak. "Atau..., kau ingin aku memberi hukuman?! Katakanlah, meski kau tidak bersalah. Tapi, kalau kau berani menghinaku, kau akan menerima balasannya!" ancam laki-laki berkulit putih ini.

Tungga Dewi diam, meski dalam hatinya memaki-maki kalang-kabut.

"Kau... dan semua orang kawanmu, serta kakek-kakek yang sudah waktunya mati itu, boleh mendengarkannya. Untuk membersihkan dugaan jelek yang bersemayam di hati dan di benak kalian, biarlah aku selaku wakil pimpinan di pulau ini memberi penjelasan," kata lelaki berkulit putih itu seraya menatap wajah-wajah tawanannya satu persatu. "Di pulau ini sejak beberapa waktu lalu, ditimpa bala. Mula-mula hanya seorang yang terkena, dan merasa mual-mual dan pusing-pusing. Tapi rasa itu langsung menyebar. Bahkan beberapa orang telah menjadi korban. Menurut wangsit yang diterima ahli kebatinan kami, penyakit itu merupakan hukuman pada kami, dari dewa pulau ini. Dan, menurut wangsit pula wabah penyakit itu akan berhenti apabila berhasil mendapatkan sebuah peti hitam berukir yang didapatkan oleh kau dan gurumu, Nisanak. Jelas?!"

Hening sejenak setelah lelaki berkulit putih menghentikan ceritanya. Mereka semua yang ada di sini terdiam. "Bisa kalian bebaskan aku? Meskipun tidak berani mengaku ahli pengobatan, tapi sejak masih gadis aku telah bergelimang obat dan orang sakit. Bahkan banyak penduduk yang meminta pengobatan padaku. Barangkali saja aku bisa menghilangkan bala yang aku yakin bukan hukuman dewa, tapi penyakit biasa."

Tiba-tiba Nenek Lestari ikut angkat bicara dengan suara lantang. Apalagi karena suasana hening. Maka semua pasang mata tertuju langsung padanya.

"Aku yakin kejadian seperti yang kau katakan itu bukan hukuman dewa!" tegas nenek berpakaian kembang-kembang yakin. "Pasti hanya merupakan serangan penyakit biasa. Dan apabila diberi kesempatan aku yakin akan dapat mengobati mereka!"

"Aku terima permintaanmu, Nenek!" sambut lelaki berkulit putih setelah tercenung sebentar. "Tapi, ingat. Apabila kau tidak berhasil, kepalamu akan kami pisahkan dari tubuh. Karena, kau telah berani menghina desa kami. Dan juga, ahli kebatinan pulau ini! Jelas?!"

"Jelas sekali!" jawab Nenek Lestari, enteng. "Tapi, aku juga mempunyai sebuah permintaan. Karena, kalian telah memberi syarat yang terlalu berat untukku."

"Kau berani bermain gila, Nenek! Ingat..!"

"Aku tidak akan mau mengobati! Kalau permintaanku tidak dipenuhi. Apa pun yang akan kau lakukan terhadapku, aku tidak peduli. Tapi ingat, itu berarti hilangnya kesempatan bagi mereka untuk sembuh! Bagaimana? Penuhi permintaanku, atau pengobatan ini tidak jadi dilakukan?!" nenek berpakaian kembang-kembang kalah gertak.

"Katakan apa permintaanmu, Nenek!" Sebuah suara keras dan lantang, tapi penuh wibawa tiba-tiba terdengar menggelegar di saat lelaki berkulit putih tengah dilanda perasaan bimbang untuk memberikan keputusan.

"Kawan-kawanku ini dibebaskan dari belenggunya. Begitu pula dengan dua kakek di sana!" jawab Nenek Lestari mantap.

"Gila!" Pemilik suara penuh wibawa yang ternyata sosok yang duduk di atas kursi indah langsung menggeram mendengar permintaan nenek berpakaian kembang-kembang itu. "Kau mau menipuku, Nenek! Apabila mereka dibebaskan, mereka akan mengamuk. Bahkan akan sulit untuk menangkapnya lagi! Dan itukah yang kau inginkan?! Jangan harap permohonanmu akan kukabulkan!"

"Kau terlalu memandang remeh kami!" tegas Nenek Lestari. "Kau kira kami orang macam apa? Kami semua adalah orang-orang golongan putih yang menjunjung tinggi kegagahan. Sekali kami berjanji, maka akan terus dipegang teguh dan dipertahankan sampai nyawa lepas dari raga!"

Lelaki bersikap agung yang duduk di kursi indah, tercenung sejenak. Sebelum akhirnya mengibaskan tangan kanannya. "Lepaskan mereka! Berikan obat pemulih, agar tenaga mereka kembali seperti sediakala!"

Dewa Arak dan yang lain-lain sekarang sadar, mengapa tubuh mereka sejak tadi lemah. Padahal, mereka tidak tertotok sama sekali. Kiranya, mereka telah dicekoki minuman yang menyebabkan loyo, tidak bertenaga.

* * *

LIMA

Arya dan Tungga Dewi memperhatikan saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ketika melihat Nenek Lestari, Penjaga Alam Gaib, dan kakek tinggi kurus yang bernama Sebrang Wetan duduk bersila. Barisan duduk mereka membentuk kedudukan segi tiga. Tangan kanan teracung ke atas, sedangkan tangan kiri menekan tanah. Sepasang mata mereka masing-masing terpejam.

Arya dan Tungga Dewi saling berpandang ketika mulai merasakan bulu-bulu tengkuk mulai berdiri! Hawa gaib yang kasat mata mulai terasa. Sepasang anak muda ini tahu kalau ilmu-ilmu gaib ketiga tokoh tua itu telah mulai bekerja. Hanya saja belum terlihat hasilnya. Dewa Arak mengedarkan pandangan. Dan diam-diam hatinya merasa kagum juga terhadap para penghuni pulau ini. Mereka ternyata memegang janjinya.

Penghuni pulau yang memiliki kulit berwarna-warni itu ternyata langsung membebaskan orang-orang yang terkena wabah yang dianggap kutukan dewa. Wabah itu ternyata tidak lain hanya sebuah penyakit biasa. Dan Nenek Lestari tanpa menemui kesulitan berhasil menemukan obatnya.

Pimpinan pulau ini jadi bergembira, apalagi putri satu-satunya yang juga terkena wabah penyakit, berhasil pula disembuhkan. Saking gembiranya, dia menitahkan Nenek Lestari untuk mengajukan sebuah permintaan. Apabila raja pulau ini mampu, akan dikabulkan.

Nenek Lestari dan yang lainnya berunding. Dan atas usul Penjaga Alam Gaib, akhirnya mereka hanya minta sebuah tempat yang agak tersembunyi, dan tidak ingin diganggu. Maka raja pulau ini pun menyetujuinya. Dan itulah sebabnya, sejauh Arya mengedarkan pandangan, tidak satu pun orang-orang pulau yang terlihat. Lagi pula, tempat ini memang sukar dilihat orang, terapit dua buah tebing dengan ketinggian yang berbeda.

Pantai yang membentang sekitar belasan tombak di depan, serta dataran yang bentuknya menanjak bila ingin masuk ke dalam pulau, yang menjadi penyebabnya. Tempat ini memang bagian pantai yang hampir tidak pernah dilewati orang! Berarti raja pulau ini menepati janji!

"Uh!" Hampir berbarengan, Arya dan Tungga Dewi mengeluarkan keluhan tertahan, ketika dari atas kepala tiga sosok ringkih yang berada tak jauh di depan, mengepul asap putih tebal. Tiga asap itu meliuk-liuk ke atas, sebelum akhirnya bertemu di udara. Langsung saling melilit dan saling gumpal. Tanpa diberitahu, Dewa Arak yang sudah berpengalaman telah bisa memperkirakan kalau ketiga tokoh yang telah bau tanah ini tengah menyatukan kemampuan.

Byarrr!

Bagai telah disepakati sebelumnya, Arya dan Tungga Dewi sama-sama melangkah ke belakang karena kaget, ketika di dinding salah satu tebing yang agak rata tampak sebuah gambar yang jelas. Ternyata gambar yang tertera di dinding tebing itu adalah gambar... pemuda bernama Karpala yang telah sakti akibat kemasukan roh tokoh hitam dari masa lima ratus tahun lalu. Dan konon, tokoh ini bernama Garba Baureksa!

Meskipun terkejut, Arya masih khawatir. Bahkan hatinya tegang ketika melihat gambar-gambar lain yang ada. Tokoh hitam yang menggiriskan itu tengah berhadap-hadapan dengan tokoh lain. Sosok yang berdiri di depan Garba Baureksa tidak hanya seorang, tapi dua. Yang seorang adalah kakek kurus kering berwajah tirus mirip tikus, dan berpakaian dari kulit ular. Usianya tak kurang dari tujuh puluh lima tahun.

Sedangkan sosok yang kedua adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik jelita, laksana bidadari. Apalagi dengan rambutnya yang panjang terjurai, dan pakaian warna putih yang dikenakannya. Terhadap sosok yang kedua inilah, pandangan Arya tertuju.

"Melati...," desis Arya, tanpa berkedip. Sorot mata dan nada ucapan pemuda berambut putih keperakan ini sarat dengan kerinduan.

Tungga Dewi yang berdiri di sebelah Arya tentu saja melihat sikap itu. Dan terutama sekali ucapan pemuda berambut putih keperakan ini. Dan Tungga Dewi bukan gadis bodoh yang tidak bisa melihat perbedaan sikap Arya, ketika melihat gambar gadis berpakaian putih. Perasaan tidak nyaman mulai timbul di hatinya. Tiba-tiba saja, tanpa mampu dicegah gadis berpakaian kuning ini. Bukan hanya itu saja. Malah mendadak, Tungga Dewi merasa tidak suka terhadap gadis berpakaian putih itu.

"Kau mengenalnya, Arya...?!" tanya Tungga Dewi, agak ketus nadanya.

Tapi Arya yang tengah merasa kaget karena tidak menyangka akan melihat Melati yang berhadapan dengan Garba Baureksa, tidak merasakan nada ucapan dan sikap gadis berpakaian kuning itu. Semua perhatian Dewa Arak tengah terpusat pada Melati yang disangka masih berada di Kerajaan Bojong Gading. Masih dengan perhatian dan sepasang mata tertuju ke sana, Arya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sebagai jawaban.

Hati Tungga Dewi semakin panas melihat sikap Dewa Arak. Dengan sorot mata sengit, ditatapnya gambar Melati. Apa sih, kelebihan gadis berpakaian putih itu, sehingga Dewa Arak kelihatan demikian lupa diri ketika melihatnya? Tungga Dewi bertanya dalam hati. Padahal, gadis berpakaian kuning ini yakin kalau kecantikannya tidak akan kalah!

"Dia memang cantik... " Tungga Dewi berujar dengan suara dan tarikan wajah kaku. "Tapi, sayang... umurnya tidak akan panjang. Garba Baureksa akan segera mengirimkannya ke alam baka!"

Arya terjingkat ke belakang bagai disengat kelabang. Wajahnya kontan putih seperti kapur, karena perasaaan cemas yang menggelegak. Pertemuannya dengan Melati yang tidak diduga sama sekali, membuatnya tidak teringat kalau saat itu Melati tengah berhadapan dengan Karpala yang di dalamnya terdapat roh Garba Baureksa! Ini berarti keselamatan gadis berpakaian putih itu terancam!

Kesadaran ini membuat Arya jadi seperti kakek-kakek kebakaran jenggot. Dia ingin bertindak, tapi tak tahu harus berbuat apa. Di mana, keberadaan Melati dan Garba Baureksa itu saja, belum bisa diketahuinya. Tempat mereka memang belum terlihat jelas.

Tidak ada yang dapat dilakukan Dewa Arak kecuali menunggu Nenek Lestari, Penjaga Alam Gaib, atau Sebrang Wetan, selesai dengan kesibukannya. Dan, Arya merasakan sendiri betapa tidak enaknya menunggu, tanpa ada sesuatu yang dapat dilakukan.

Sementara di dinding tebing, gambar-gambar yang terpampang mulai menunjukkan ketegangan. Garba Baureksa tampak mulai bersikap melakukan tindakan terhadap laki-laki kurus yang ternyata Kuru Sanca dan Melati. Tapi, mendadak keadaan jadi berubah. Garba Baureksa menghentikan ayunan kakinya yang tengah mendekati Kuru Sanca dan Melati. Pemuda berkumis tipis ini menolehkan kepala ke kanan. Sementara sepasang matanya yang berwarna merah seperti mengeluarkan sinar berapi ketika menatap.

"Berani benar kalian, mengintip semua yang tengah kulakukan?! Apakah kalian sudah kepingin mati cepat-cepat?! Huh?! Tidak akan kubiarkan kalian mengintai semua gerak-gerikku!"

Garba Baureksa mengguratkan tangannya ke bawah. Dan akibatnya, semua gambar yang semula terpampang di dinding, lenyap.

"Hhh...!" Penjaga Alam Gaib, Nenek Lestari, dan Sebrang Wetan hanya menghela napas berat sambil menghentikan semadi. Tarikan wajah mereka menyiratkan kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.

"Apa yang terjadi, Kek, Nek?!" Arya yang sudah tidak sabar untuk segera mengetahui nasib Melati, langsung menghambur dan mengajukan pertanyaan.

"Kami tidak bisa lagi mengetahui gerak-gerik makhluk terkutuk itu. Dia telah berhasil menutupi, atau lebih tepatnya lagi membuat tabir itu terhapus," jelas Penjaga Alam Gaib, dengan wajah keruh.

Arya yang mengkhawatirkan keselamatan Melati, seperti tidak mendengar jawaban itu. Yang ada di benaknya saat ini adalah Melati. "Maksudku..., di manakah kira-kira iblis terkutuk itu berada, Kek?!"

"Kau jangan bertindak sembarangan, Arya." Penjaga Alam Gaib yang bisa menduga ke mana arah pertanyaan Arya, langsung memberi teguran. Dia memang sudah mengenal pemuda berambut putih keperakan itu.

"Iblis itu terlalu berbahaya. Aku tahu, kau lihai. Tapi kepandaian iblis itu benar-benar di luar jangkauan pikiran manusia. Kau tidak akan mampu menghadapinya, Dewa Arak. Tunggulah, sampai kami menemukan suatu cara untuk mengalahkannya."

"Kalau menuruti perasaan, aku tidak keberatan untuk menuruti anjuranmu. Tapi, sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa, karena di sana seorang kawan terbaikku tengah berada dalam ancaman maut. Dia tengah berhadapan dengan iblis jahanam itu!" ujar Arya.

"Gadis berpakaian putih itu?!" tebak Penjaga Alam Gaib, sambil tersenyum getir.

"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Kek?!" tanya Arya, agak heran.

"Mudah saja," jawab Penjaga Alam Gaib sambil mengelus-elus jenggot. "Saat itu, yang berhadapan dengan iblis jahanam hanya dua orang. Kakek berpakaian kulit ular itu adalah kawanku. Maka kawan yang kau maksudkan itu pasti yang lain. Karena, kawanku itu tidak mengenalmu, Dewa Arak!"

"Ah! Begitu kiranya?!" Arya mengangguk-angguk maklum. "Apakah kau tidak mengkhawatirkan keselamatannya, Kek?!"

"Tidak ada yang dapat kulakukan, Arya," keluh Penjaga Alam Gaib. "Andaikata aku menyusul ke sana dan berusaha menolong, hanya akan menambah korban. Biarlah aku berusaha dari sini. Hanya saja, ada sesuatu yang memberatkan pikiranku."

"Boleh kutahu, Kek?!" hati-hati sekali Arya memberi tanggapan.

"Tentu saja, Arya," tukas Penjaga Alam Gaib. "Sebelumnya hendak kuberitahukan, kalau aku mempunyai dua kawan sepengasingan. Kami menyepi bersama-sama. Karena suatu sebab, aku terpaksa menuju Pulau Setan. Sementara Guraksa menemuimu, Kuru Sanca kawanku yang berompi ular itu, menjaga goa tempat kami menyepi. Karena di dalam goa terdapat sebuah benda pusaka, benda warisan leluhurku, yang bernama Cermin Ajaib. Aku yakin, dia tidak akan meninggalkan tempat penjagaan kalau tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."

"Jadi.., Kuru Sanca telah meninggalkan tempat penjagaan, Kek?!"

Penjaga Alam Gaib mengangguk. "Benda itu amat berbahaya, apabila terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Dan kegunaan Cermin Ajaib untuk menghadapi roh yang menitis pada murid Perguruan Pedang Halilintar, belum diketahui tapi yang jelas, benda itu berguna. Entah apa sebabnya, Kuru Sanca sampai meninggalkan tempat penjagaan dan berada di sekitar Hutan Jati."

"Biar aku yang akan menengok Cermin Ajaib itu, Kek. Sekaligus, aku hendak melihat keadaan mereka berdua. Mudah-mudahan saja mereka tidak menjadi korban kebiadaban Garba Baureksa!" ujar Arya cepat menawarkan diri.

Penjaga Alam Gaib tercenung sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Baik juga usulmu itu, Arya." Kemudian secara ringkas tapi jelas, Penjaga Alam Gaib memberitahukan tempat penyepiannya selama ini, dan juga tempat Garba Baureksa saat ini berada.

"Kalau begitu, sekarang juga kami akan berangkat, Kek, Nek," Arya langsung berpamit.

"Biar aku mengantarmu, Arya!" Tungga Dewi menawarkan diri.

"Tapi, Tungga Dewi...."

"Kebetulan, aku juga hendak mencari guruku, Arya. Aku hendak ke pantai. Dari pada kita sendiri-sendiri, lebih baik bersama-sama. Dan lagi dengan adanya aku, kau tidak akan repot-repot mencari arah menuju ke pantai lagi. Bagaimana?!... Setuju?!"

Arya hanya bisa mengangkat bahu. Dia tahu, menolak lagi hanya akan mempermalukan Tungga Dewi. Dan gadis berpakaian kuning itu bisa sakit hati. Arya hanya berharap, Tungga Dewi segera bertemu gurunya. Paling tidak, agar gadis berpakaian kuning itu tidak mendapatkan alasan lagi untuk pergi bersamanya.

* * *

Deru napas memburu mengiringi ayunan kaki seorang gadis berpakaian putih yang tengah berlari-lari. Ayunan kakinya tidak beraturan, seperti tidak memperhatikan sekelilingnya. Wajahnya tampak tegang bukan main. Tapi, tidak terlihat sedikit pun adanya peluh yang mengalir. Memburunya napas gadis berpakaian putih ini bukan karena lelah, melainkan karena perasaan takut yang sangat dan tegang.

Suatu keanehan lagi, gadis berpakaian putih itu berlari tidak melalui jalan tanah terbuka, serta enak dilalui. Yang ditempuh malah tempat-tempat yang banyak dipenuhi kerimbunan semak lebat. Bahkan di antaranya mempunyai duri-duri tajam, siap mengoyak kulit.

Gadis berpakaian putih sampai melentingkan tubuh ke depan, seiring jeritan kaget dari mulutnya. Sewaktu hendak menerobos kerimbunan pepohonan dan semak-semak di depannya, tiba-tiba telah berdiri sesosok bayangan coklat.

Sosok bayangan yang menempuh arah berlawanan pun kaget juga. Terbukti dia pun melenting ke belakang, dan mengeluarkan seruan kaget pula. Masing-masing pihak berjungkir balik di udara beberapa kali, sebelum akhirnya menjejakkan kaki di tanah.

"Ah! Kau..., Dara...!"

"Kiranya kau, Melati. Mengejutkan aku saja. Kukira tadi kelinci!" sosok berpakaian coklat yang membuat gadis berpakaian putih, kaget ikut pula membuka suara. Dia ternyata Dara. Sementara, gadis berpakaian putih tak lain dari Melati.

Dua gadis yang sama-sama cantik berkepandaian tinggi ini, saling tatap. Sepasang mata mereka satu sama lain menelusuri dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Mengapa kau sendiri saja, Melati?! Mana Kuru Sanca?!" tanya Dara, setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan ternyata Melati hanya sendiri saja. Tapi, selesai mengajukan pertanyaan dia baru melihat keadaan Melati. "Kau... Melati, wajahmu demikian pucat. Apa yang terjadi?" tanya Dara lagi.

"Tokoh yang tidak patut menjadi seorang manusia, mengejar-ngejarku! Dia memiliki kepandaian mengerikan! Bahkan Kakek Kuru Sanca telah tewas di tangannya dengan mudah!" jelas melati.

"Ah...! Begitukah...?!"

Tanpa disuruh Melati segera menceritakan pengalamannya bersama Kuru Sanca.

ENAM

Dalam perjalanannya bersama Kuru Sanca, yakni ketika mereka berpisah dengan Dara, Melati menceritakan kalau sedang mencari seorang pemuda berambut putih keperakan yang memang Dewa Arak. Mendengar julukan Dewa Arak disebut, Kuru Sanca terkejut, karena seorang kawannya justru sedang bertugas mencari Dewa Arak, yang memang sangat dibutuhkan.

Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Di tengah perjalanan, Kuru Sanca dan Melati bertemu Karpala, alias Garba Baureksa. Maka, terjadilah pertarungan yang menyebabkan Kuru Sanca tewas. Sedangkan Melati masih untung bisa meloloskan diri, ketika Garba Baureksa dengan tenaga batinnya mampu melempar tubuhnya. Untung Melati jatuh di tempat yang empuk, dan langsung melarikan diri. Setelah menyadari kalau Garba Baureksa tak mungkin bisa dihadapi.

"Itulah pengalamanku, Dara. Aku tidak yakin kalau makhluk iblis itu akan melepaskanku begitu saja! Kurasa dia masih mengejarku. Bahkan bukan tidak mungkin dapat muncul di sini secara tiba-tiba!" Melati mengakhiri ceritanya sambil menoleh ke sana kemari.

"Tidak salahkah ciri-ciri yang kau sebutkan itu, Melati?!" tanya Dara tanpa mempedulikan kekhawatiran Melati. "Benarkah dia mengenakan pakaian coklat, pemuda tampan, bertubuh tegap berisi, dan berkumis tipis."

"Benar, Dara. Aku yakin betul demikian ciri-cirinya. Bahkan, maaf aku melihat adanya tanda yang sama pada bagian dada kiri pakaiannya. Maksudku, tanda yang sama dengan yang ada di pakaianmu! Pedang dan kilatan-kilatan halilintar!" tegas Melati yakin. "Apakah dia pun berasal dari Perguruan Pedang Halilintar pula seperti halnya dirimu?!"

"Kalau aku tidak salah mengira-ngira, orang itu adalah yang menyebabkan aku keluar ke dunia persilatan! Ka... Karpala...," desah Dara sambil menundukkan kepala.

"Kau...?!" Melati membelalakkan sepasang matanya. "Jadi..., tujuanmu sama denganku?! Mencari..., ngg... kawan baik?!"

Dara mengangguk, setelah terlebih dulu menatap Melati sekilas. Dia kelihatan malu sekali mengakuinya. Tapi, Melati menjadi penasaran karenanya.

"Apakah setiap murid Perguruan Pedang Halilintar memiliki ilmu kepandaian setinggi itu?!" desak Melati.

Gadis ini memang hampir tidak percaya kalau pemuda berkumis tipis yang membuat Kuru Sanca tewas, dan bahkan mengalahkan dirinya secara mudah, adalah seorang murid Perguruan Pedang Halilintar! Kalau muridnya saja memiliki tingkatan seperti itu, bagaimana pula dengan gurunya? Sukar bagi Melati untuk memikirkannya.

"Itulah yang mengherankan aku, Melati," desah Dara disertai hembusan napas berat. "Kalau melihat ciri-ciri yang kau sebutkan, orang itu pasti murid Perguruan Pedang Halilintar yang kucari, Karpala. Tapi, mungkinkah kepandaiannya setinggi itu? Sepengetahuanku, kepandaiannya biasa saja. Bahkan masih berada di bawahku. Jadi tidak mungkin dia dapat mengalahkan Kuru Sanca dan kau. Apalagi, dengan cara seperti itu! Di perguruan kami tidak ada pelajaran ilmu-ilmu seperti itu."

Melati terdiam. Dara juga diam. Suasana menjadi hening sejenak.

"Bagaimana kalau kita ke sana dan menjumpainya? Barangkali saja dia itu benar Karpala. Dan jika benar, aku akan menegurnya. Bahkan mungkin memberikan hajaran atas tindakannya yang demikian lancang!"

Melati jadi bimbang, tapi hanya sesaat. Dia adalah seorang gadis yang memiliki watak keras. Melihat Dara berani, mengapa dia tidak? Maka, walaupun hatinya masih diliputi kengerian, kepalanya mengangguk.

Dua gadis yang sama-sama cantik, dan berkepandaian tinggi ini pun melesat menuju ke tempat dia dan Kuru Sanca bertemu Garba Baureksa. Melati bertindak sebagai petunjuk jalan. Dan karena tempat itu tidak terlalu jauh, sebentar saja mereka telah tiba.

Harapan Melati dan Dara langsung buyar ketika tidak menemukan adanya Garba Baureksa di sana. Tokoh yang menggiriskan hati itu telah tidak berada lagi di situ. Yang tinggal hanya Kuru Sanca dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya tergolek dan berkubang darah yang keluar dari mulut, hidung, dan telinga.

Melati dan Dara bergegas mendekati, dan duduk bersimpuh di dekat mayat Kuru Sanca. Akhir kehidupan seorang datuk kaum sesat yang telah mengasingkan diri ini demikian menyedihkan. Kedua gadis muda ini termenung dengan raut wajah menyiratkan kedukaan. Susah payah diselamatkan, toh akhirnya Kuru Sanca tewas juga. Cukup lama Dara dan Melati termenung, sebelum akhirnya bangkit dan bersama-sama menguburkan mayat Kuru Sanca.

* * *

"Hhh...! Kupikir kau mampus di tengah jalan, Bongsang!" sambut seorang kakek berkulit hitam legam, berambut keriting. Dan dia hanya mengenakan cawat. Tampak jelas adanya nada teguran di dalamnya.

"Maaf, Setan Hitam. Aku terlambat. Ada halangan sebentar di jalan, tapi telah berhasil kulewati," jawab sosok laki-laki tua berkulit hitam dan berhidung melengkung yang dipanggil Bongsang. Ayunan kakinya langsung dihentikan setelah berada berjarak beberapa tombak dari kakek berkulit hitam legam yang tak lain dari Setan Hitam Tak Berjantung.

Bukan hanya Bongsang yang berhenti di depan Setan Hitam Tak Berjantung, tapi juga seekor macan tutul. Binatang buas itu berdiri dengan sikap sangar.

"Hmh...!" Setan Hitam Tak Berjantung mendengus. "Dan kau terpontang-panting karenanya, bukan?!"

"Kau tidak usah mengejekku, Setan Hitam!" sangah Bongsang tak kalah keras. "Apakah kau hendak menyembunyikan kegagalan usahamu?!"

"Apa maksudmu, Bongsang?! Jangan berbelit-belit!" sentak Setan Hitam Tak Berjantung.

"Hambatan yang kutemukan di tengah jalan adalah Kuru Sanca. Dan aku pasti akan berhasil membunuhnya, kalau saja tidak datang penolongnya. Kau tahu, siapa mereka?!"

Setan Hitam Tak Berjantung sama sekali tidak memberi tanggapan. Tapi, Bongsang tidak menjadi kecil hati.

"Orang-orang yang menghalangi tugasku adalah Dewa Arak dan si Pedang Halilintar Sakti!" dusta Bongsang sambil mengamati selebar wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dia yakin, kakek berambut keriting itu akan terkejut.

Setan Hitam Tak Berjantung memang terkejut mendengar pemberitahuan itu. Namun, dengan pandai dia dapat menyembunyikannya. Sehingga perubahan di wajahnya tidak tampak. Namun, pandangan mata Bongsang yang tajam tidak dapat ditipu. Dia dapat melihat dengan jelas kalau Setan Hitam Tak Berjantung terkejut.

"Si Pedang Halilintar Sakti yang sombong itu?! Dia bukan apa-apa bagiku sekarang. Mungkin, dulu termasuk lawan yang berat. Tapi sekarang? Jangankan dia, Kuru Sanca saja tidak kuat menghadapiku!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung, datar.

"Lalu..., bagaimana dengan Dewa Arak?!"

Bongsang agak jengkel melihat sikap Setan Hitam Tak Berjantung yang meremehkan. Padahal kakek berhidung melengkung ini tahu kalau Setan Hitam Tak Berjantung dilanda keterkejutan yang amat sangat.

"Dia?! Apalagi dia?! Bukti-bukti nyata mengenai kepandaiannya belum pernah kurasakan sendiri. Hanya kabar saja yang besar! Biasanya, kabar selalu dilebih-lebihkan, daripada kenyataan! Aku yakin, dia bukan lawan berat!" tandas Setan Hitam Tak Berjantung dengan sikap tidak peduli.

"Syukurlah kalau demikian, Setan Hitam!" ujar Bongsang menutupi rasa jengkelnya. "Sekarang aku bisa lega, karena kau akan dapat mengalahkan mereka. Aku bisa memusatkan seluruh perhatianku pada Cermin Ajaib. Dan kau yang akan menghadapi kedua orang itu, karena mereka tengah dalam perjalanan menuju kemari! Asal kau tahu saja, Setan Hitam! Kepandaian Dewa Arak jauh lebih tinggi daripada si Pedang Halilintar! Padahal, si Pedang Halilintar yang sombong itu telah mencapai kemajuan luar biasa, bila dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Kuru Sanca, bukan apa-apa baginya! Selamat bertugas!"

Lalu dengan sikap seakan tidak peduli, Bongsang mengayunkan kaki menuju mulut goa yang berada di belakang Setan Hitam Tak Berjantung. Sementara macan tutulnya yang setia, langsung mengikuti.

"Tunggu sebentar, Bongsang!"

Cegahan Setan Hitam Tak Berjantung membuat Bongsang menghentikan langkahnya. "Ada apa, Setan Hitam?!"

Bongsang menahan rasa gembira di hati karena tahu kalau Setan Hitam Tak Berjantung telah terkena tipuannya.

"Tidak apa-apa," Setan Hitam Tak Berjantung menggelengkan kepala. "Tapi ketahuilah, Bongsang. Goa itu telah diracuni Kuru Sanca sebelum melarikan diri secara curang dari tanganku. Tiga orang anak buahku yang kusuruh masuk ke sana telah tewas. Mereka hanya mengeluarkan jeritan tertahan sebagai tanda kalau telah melayang ke alam baka."

Bongsang menutupi rasa jengkelnya yang kembali meluap. Setan Hitam Tak Berjantung benar-benar membuatnya kesal. "Lalu..., yang lainnya ke mana?!"

"Gentong-gentong kosong tak berguna bekas anak buah si Keparat Kuru Sanca telah habis di makan ular-ular peliharaan tua bangka itu. Hanya murid-murid utamanya saja yang berhasil selamat, karena kebetulan saja tidak bertemu macan ompong itu! Mereka kusuruh menjemput kawan-kawan bekas anak buah Guraksa, dan mencari raga si Tokoh Sakti masa lima ratus tahun lalu itu," jelas Setan Hitam Tak Berjantung, panjang lebar.

"Jadi, sekarang hanya tinggal kau di sini, Setan Hitam?"

"Benar." Setan Hitam Tak Berjantung mengangguk. "Kalau kau mampu menangkal racun Kuru Sanca, lebih baik kita masuk bersama-sama. Dengan masuk bersama, kita akan lebih cepat mengetahui di mana adanya Cermin Ajaib."

Bongsang menyeringai untuk menutupi rasa jengkelnya. Dia tahu, Setan Hitam Tak Berjantung merasa gentar menunggu sendiri di luar goa ketika mendengar Dewa Arak dan Pedang Halilintar Sakti akan datang kemari. Tapi dengan pandainya, kakek berambut keriting itu memutarbalikkan alasan sehingga kegentarannya tidak kentara.

Memang, sebenarnya Setan Hitam Tak Berjantung merasa gentar mendengar Dewa Arak dan si Pedang Halilintar Sakti hendak menyatroni tempat ini. Apalagi yang dihadapi dua orang. Bagaimana mungkin dia dapat menghadapinya?

"Berhenti...!"

Terdengar suara bentakan keras yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, ketika Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang hendak mengayunkan kaki menuju ke mulut goa.

Bagai telah disepakati sebelumnya, Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang berbalik. Seketika benak Setan Hitam Tak Berjantung telah terlontar dugaan kalau orang yang mengeluarkan seruan adalah salah satu dari dua tokoh sakti yang diceritakan Bongsang. Jadi, si Pedang Halilintar Sakti dan Dewa Arak telah tiba di sini demikian cepat.

Sepasang alis Setan Hitam Tak Berjantung berkerut, ketika melihat dua sosok yang berlari cepat mendekati tempatnya. Memang, terdiri dari dua sosok. Tapi kakek berambut keriting ini tahu pasti kalau si Pedang Halilintar Sakti tidak berada di antara keduanya.

Hanya dalam sekejap dua sosok itu telah berjarak empat tombak dari Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang yang masih tetap berdiri, tanpa bertindak apa-apa kecuali menatap tajam.

"Kau pasti Dewa Arak! Bukankah dugaanku tidak salah?!" tanya Setan Hitam Tak Berjantung, setelah memperhatikan sosok yang satu penuh selidik, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sosok yang satu lagi, tidak terlalu diperhatikan. Karena, hanya seorang gadis muda yang tidak memiliki kesan apa-apa.

Sosok yang diperhatikan Setan Hitam Tak Berjantung, memang Dewa Arak. Sedangkan gadis yang berada di sebelahnya, tak lain dari Tungga Dewi. Keduanya memang datang pada saat yang tepat.

"Dugaanmu tidak salah, Kek," jawab Arya, tenang. "Boleh kutahu, siapa dirimu?!"

"Dia..., Setan Hitam Tak Berjantung, Arya," bisik Tungga Dewi. Gadis itu bisa mengenali karena telah mendengar penuturan gurunya. Nelayan Tenaga Gajah, mengenai datuk-datuk persilatan dan tokoh-tokoh terkenal lainnya berikut ciri-cirinya. Dan karena melihat ciri-cirinya, Tungga Dewi bisa menduga kalau kakek berambut keriting itu tak lain dari Setan Hitam Tak Berjantung.

TUJUH
"Ha ha ha...!" Setan Hitam Tak Berjantung tertawa bergelak. Perhatiannya langsung beralih pada Tungga Dewi yang sejak tadi tidak masuk hitungannya. Kebenaran tebakan Tungga Dewi membuat Setan Hitam Tak Berjantung mulai menaruh perhatian. Jarang ada orang muda yang mengenali julukannya. Kalau Tungga Dewi mengenalnya, berarti gadis ini tak bisa dianggap sembarangan.

"Siapa kau, Cah Ayu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!"

"Guruku, Setan Hitam! Beliau banyak bercerita tentang dirimu!" jawab Tungga Dewi, lantang.

"Setan Hitam Tak Berjantung!" tukas Arya, yang sudah tidak sabar lagi melihat perdebatan itu. "Apa maksudmu hendak memasuki goa yang tengah ditinggalkan pemiliknya?!"

"Apa pedulimu, Dewa Arak?!" tantang Setan Hitam Tak Berjantung. "Apa hakmu melarangku?!"

"Aku mempunyai wewenang dari pemilik goa ini untuk menjaga kesuciannya dari tangan-tangan kotor orang-orang semacammu!"

"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Tahukah kau, siapa pemilik goa ini sebenarnya?!" Bongsang yang menyambuti ucapan Arya.

"Tentu saja!" jawab Arya, cepat. "Beliau berjuluk Penjaga Alam Gaib!"

"Ha ha ha...!" Tawa Bongsang semakin keras. Bahkan Setan Hitam Tak Berjantung sekarang ikut-ikutan tertawa, menambah ramai suasana. Tinggal Dewa Arak dan Tungga Dewi yang menatap semua itu dengan perasaan geram.

"Tak kusangka kalau Dewa Arak yang terkenal menggemparkan dunia persilatan, tak lebih dari manusia bodoh yang mudah dikelabui! Penjaga Alam Gaib telah ratusan tahun meninggal dunia! Dan tahukah kau orang yang menjadi keturunan terakhir, murid terakhir pewaris tempat ini?! Pewaris Cermin Ajaib?!"

Dewa Arak dan Tungga Dewi saling berpandangan. Mereka tidak memberikan tanggapan sama sekali, karena ingin mendengarkan ucapan Setan Hitam Tak Berjantung lebih jauh. Kedua anak muda ini memang telah merasakan adanya keanehan itu. Sepengetahuan mereka, julukan Penjaga Alam Gaib telah ada ratusan tahun lalu. Bahkan paling tidak tiga ratus lima puluh tahun lalu. Mungkinkah ada orang yang berusia sampai setua itu? Perasaan curiga pun mulai bersarang di hati Dewa Arak dan Tungga Dewi terhadap Penjaga Alam Gaib yang telah dikenal selama ini!

"Akulah keturunan terakhir murid Penjaga Alam Gaib itu, Dewa Arak!" Bongsang melangkah maju sambil membusungkan dada. "Akulah pewaris goa ini beserta Cermin Ajaib-nya. Sedangkan Penjaga Alam Gaib yang kau kenal, merupakan seorang penipu! Dia mengaku-aku saja!"

Dewa Arak terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini bingung, harus bersikap bagaimana.

"Kau pun penipu pula, Kakek Berhidung Burung!" celetuk Tungga Dewi, nyaring.

Sepasang mata Bongsang berkilat. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang menyinggung-nyinggung hidungnya. Apalagi, sampai memaki-makinya. Tapi saat ini, keingintahuannya lebih besar daripada kemarahannya. Maka hatinya dikuat-kuatkan. "Mengapa kau berkata demikian, Wanita Liar!"

"Mudah saja!" Tungga Dewi langsung bertolak pinggang. Sedangkan Arya yang juga ingin tahu apa yang hendak dikemukakan gadis berpakaian kuning ini jadi ikut memasang telinga, seperti halnya Setan Hitam Tak Berjantung.

"Bukankah kau mengatakan kalau Penjaga Alam Gaib telah lama meninggal dunia, ratusan tahun yang lalu? Lantas, mengapa kau bisa menjadi ahli warisnya?! Berarti kau pun berdusta!"

Bongsang menggertakkan gigi. Pernyataan Tungga Dewi benar-benar membuatnya kehabisan akal. Dia tidak tahu, harus bicara apa sekarang.

"Mengapa harus repot-repot lagi, Bongsang! Bunuh saja gadis itu. Habis perkara! Biar aku yang akan membereskan Dewa Arak!"

Begitu mulutnya terkatup, Setan Hitam Tak Berjantung langsung menerjang Dewa Arak. Dia melompat ke atas. Dan di saat tubuhnya masih berada di udara, kaki kanannya ditendangkan ke arah wajah pemuda berambut putih keperakan itu.

Wuttt!

Hantaman kaki yang sanggup menghancurkan batu karang yang paling keras itu hanya mengenai tempat kosong, ketika Arya merendahkan tubuhnya. Sedangkan Tungga Dewi, meski tidak menjadi sasaran serangan, langsung melompat ke kanan dan menjauh. Dia tahu kedahsyatan serangan itu. Namun sebentar kemudian, gadis ini segera menyambut serangan Bongsang.

Di lain pihak, Dewa Arak kembali mendapatkan serangan susulan. Kali ini berupa tamparan ke arah pelipis yang diikuti bunyi mencicit nyaring. Namun pemuda berambut putih keperakan ini tidak berusaha menghindar. Dan begitu serangan hampir mendarat di pelipisnya, tangannya langsung bergerak cepat.

Pyarrr!

Dua telapak tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan, hingga menimbulkan bunyi keras menggelegar seperti halilintar menyambar. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terdorong ke samping. Namun, Setan Hitam Tak Berjantung agak terhuyung-huyung dan kelihatan mengalami sedikit kesulitan untuk cepat memperbaiki kedudukannya.

"Rupanya kau lihai, Dewa Arak! Pantas sikapmu demikian sombong, berani menyatroniku!" desis Setan Hitam Tak Berjantung ketika telah berhasil memperbaiki kedudukan. "Tapi kau jangan besar hati dulu! Lihat ini!"

Kakek berambut keriting ini kemudian menggosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain. Tak lama kemudian, sekitar tempat pertarungan mulai diliputi hawa dingin. Semakin lama hawa itu semakin menguat.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu, lawannya telah menggunakan ilmu andalan. Maka tanpa membuang waktu lagi, guci arak yang senantiasa tersampir di punggung langsung dituangkan ke mulutnya.

Gluk, gluk, glukkk!

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu limbung. Ini menjadi pertanda kalau Ilmu 'Belalang Sakti' telah siap untuk dipergunakan.

"Itukah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor?! Ingin kulihat, bagaimana bila diperbandingkan dengan ilmu 'Angin Salju' milikku!" dengus Setan Hitam Tak Berjantung.

"Hih!" Hembusan angin dingin yang membekukan tulang langsung berhembus ketika Setan Hitam Tak Berjantung mendorongkan kedua telapak tangannya yang terbuka. Bahkan Tungga Dewi dan Bongsang yang bertarung dalam jarak beberapa tombak dari tempat Setan Hitam Tak Berjantung dan Arya berada, merasakan sendiri dinginnya angin yang berhembus. Maka mereka langsung melompat menjauh.

Kalau Tungga Dewi dan Setan Hitam Tak Berjantung saja merasa kedinginan, apalagi Arya yang menjadi sasaran serangan. Serbuan hawa dingin yang bertiup jauh lebih dahsyat. Namun, Dewa Arak bukan orang sembarangan. Apalagi 'Tenaga Sakti Inti Matahari'-nya. Maka, buru-buru Dewa Arak mengerahkan tenaga sakti itu, dan melakukan gerakan mendorong.

Bluppp!

Bumi bagai bergetar, ketika dua tenaga sakti yang berlainan hawa berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, tubuh Setan Hitam Tak Berjantung terhuyung dua langkah dan hampir terpelanting. Untung dia buru-buru memperbaiki kedudukannya. Hal seperti itu tidak dialami Arya meskipun juga terhuyung dua langkah. Dirasakannya aliran hawa dingin sempat menyelinap lewat kedua tangannya. Sedangkan Setan Hitam Tak Berjantung merasakan aliran hawa panas.

Namun dengan tenaga khas masing-masing pihak, serangan aliran hawa bisa dipunahkan. Dan, begitu masing-masing pihak telah berhasil mengusir hawa yang merayap, kedua tokoh tingkat tinggi ini melanjutkan pertarungan kembali. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan. Pemuda berambut putih keperakan ini berusaha agar secepat mungkin dapat mengalahkan Setan Hitam Tak Berjantung. Apalagi, dia juga khawatir kalau Tungga Dewi akan segera roboh di tangan Bongsang.

Kekhawatiran Dewa Arak memang beralasan. Tungga Dewi memang bukan tandingan Bongsang. Gadis berpakaian kuning itu hanya mampu menandingi lawannya sampai dua puluh jurus. Lewat dari itu, gadis ini mulai terdesak. Terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawa.

Di kancah pertarungan antara Dewa Arak dengan Setan Hitam Tak Berjantung, pertarungan berlangsung alot. Namun berkat kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti', dan Dewa Arak mulai menguasai kancah pertarungan. Secara perlahan-lahan Setan Hitam Tak Berjantung mulai terdesak.

Berkat keunggulannya terhadap Setan Hitam Tak Berjantung, Dewa Arak mampu sesekali memberikan bantuan, agar Tungga Dewi tidak terlampau terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu terkadang meninggalkan lawannya dan melancarkan serangan terhadap Bongsang. Atau, mendong menangkiskan serangan Bongsang yang sulit dihadapi Tungga Dewi. Bantuan seperti ini memang tidak penuh, tapi cukup bagi Tungga Dewi untuk bertahan agak lama.

"Aha...! Kiranya kau di sini, Dewa Pengecut...!" Tiba-tiba ucapan bernada penuh kegembiraan berkumandang di sekitar tempat itu. Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, sesosok bayangan coklat berkelebat, dan langsung menangkis serangan Dewa Arak yang tengah tertuju pada Setan Hitam Tak Berjantung.

Plakkk!

Sosok berpakaian coklat dan Dewa Arak sama-sama terhuyung. Hanya saja, Dewa Arak terdorong dua langkah, sedangkan bayangan coklat itu tiga langkah. Munculnya sosok bayangan coklat itu membuat pertarungan antara Dewa Arak dan Setan Hitam Tak Berjantung langsung terhenti. Baik Arya maupun kakek berambut keriting itu ingin tahu, sosok yang telah ikut campur dalam pertarungannya.

"Rupanya kau, Pedang Halilintar Sakti," desah Setan Hitam Tak Berjantung dengan wajah tegang, ketika mengenali laki-laki tua yang bersikap agung dan masih terlihat gagah. Sepasang mata dan pancaran wajah kakek berpakaian coklat ini menyiratkan rasa merendahkan orang lain.

Setan Hitam Tak Berjantung merasa khawatir. Karena sepengetahuannya, berdasar cerita Bongsang, Dewa Arak, dan Pedang Halilintar Sakti berkawan baik. Tapi, ada sedikit hal yang mengherankan, ternyata keadaan itu tidak seperti yang dikatakan Bongsang. Ucapan dan sikap Pedang Halilintar Sakti menunjukkan rasa permusuhan pada Dewa Arak. Dengan hati berdebar tegang, Setan Hitam Tak Berjantung memperhatikan tingkah kedua tokoh sakti itu.

"Kau Setan Hitam Tak Berjantung, eh?! Apa urusanmu hingga bentrok dengan Dewa Sombong yang sok ini? Menyingkirlah sebentar. Biar aku yang akan menyelesaikan urusanku lebih dulu dengan Dewa Sombong ini!" sambut Pedang Halilintar Sakti, yang memiliki watak angkuh dengan sikap tidak peduli.

Setelah berkata demikian, Pedang Halilintar Sakti mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. "Sekarang kita buat perhitungan, Dewa Sombong! Jangan mentang-mentang memiliki kepandaian dengan julukan yang menggemparkan dunia persilatan seenaknya saja kau campuri urusan perguruanku. Bahkan kau telah memberi pelajaran terhadap tiga orang muridku! Mereka memang bukan apa-apa. Nah! Sekarang, aku, guru mereka ada di sini. Coba kau berikan pelajaran yang telah kau lakukan terhadap tiga orang muridku!"

"Maaf, Pedang Halilintar Sakti," ucap Arya penuh rasa tidak enak. Dewa Arak menyadari tindakannya yang salah beberapa waktu lalu. Apalagi dia tahu kalau si Pedang Halilintar Sakti termasuk seorang datuk golongan putih. Dan Dewa Arak pun semakin tidak enak hati, namun berusaha agar tidak terjadi pertarungan.

"Maaf?!" dengus Pedang Halilintar Sakti. "Enak saja! Begitu mudahnya?! Setelah berbuat kesalahan, kemudian minta maaf?! Apakah setelah kau meminta maaf itu, nyawa semua muridku akan kembali?!"

"Apa maksudmu, Pedang Halilintar Sakti?!" Kening Dewa Arak mengernyit dengan sikap heran. Sepengetahuannya, murid-murid Perguruan Pedang Halilintar yang dihadapinya, tidak ada yang tewas. Bahkan hanya terluka tidak begitu parah. Lantas mengapa sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini bicara soal nyawa murid-muridnya. Dan Dewa Arak khawatir ada kesalahpahaman di sini.

"Aku yakin mereka tidak akan mati akibat pukulanku. Bahkan terluka parah pun tidak."

"Memang, murid-muridku tidak tewas atau terluka parah akibat kemampuan yang kau miliki. Tapi akibat pertolonganmu, muridku yang bernama Karpala datang kembali bersama iblis. Dia langsung menyebar maut di perguruanku. Semua muridku binasa! Dan karena Karpala tidak ada di sini, sekarang biarlah kau yang bertanggung jawab atas semua musibah yang menimpa perguruanku! Kau harus menebusnya dengan nyawamu, Dewa Arak! Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran terakhir bagimu, untuk tidak terlalu mudah mencampuri urusan orang lain!"

Singngng!

Pedang Halilintar Sakti segera menutup ucapannya dengan tusukan pedangnya yang mengeluarkan bunyi halilintar menyambar. Itu pun masih ditambah kilatan-kilatan menyilaukan sebagaimana halnya petir menyambar.

Mau tidak mau, Dewa Arak menyambutinya, karena memang tidak ingin nyawanya melayang percuma. Maka pertarungan pun kembali berlanjut Beberapa kali terjadi bunyi berdentang nyaring ketika pedang berbenturan dengan guci.

Setan Hitam Tak Berjantung yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi berseri. Dia berharap, mudah-mudahan saja kedua belah pihak akan tewas bersama, sehingga tidak perlu mengeluarkan tenaga lagi untuk menghadapi mereka!

Hanya dalam beberapa kali memperhatikan, Setan Hitam Tak Berjantung telah bisa memperkirakan kalau Dewa Arak masih terlalu tangguh. Ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak yang aneh tetap tidak mampu ditanggulangi Pedang Halilintar Sakti dengan ilmu 'Pedang Halilintar'. Memang harus diakui oleh Setan Hitam Tak Berjantung kalau ilmu pedang si Pedang Halilintar Sakti benar-benar dahsyat dan menggiriskan. Tapi, ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak tetap sukar ditaklukkan.

Setan Hitam Tak Berjantung melihat peluang baik untuk mengalahkan Dewa Arak. Dia tahu, pemuda itu tidak akan bisa dikalahkan olehnya. Bahkan juga oleh Pedang Halilintar Sakti. Tapi, diyakini betul kalau dia dan Ketua Perguruan Pedang Halilintar itu bersatu dan bersama-sama melawan, Dewa Arak akan dapat dirobohkan.

"Jangan khawatir, Pedang Halilintar Sakti. Aku datang membantu," seru Setan Hitam Tak Berjantung seraya melompat masuk kedalam kancah pertarungan. Senjatanya yang berupa sepasang pisau pendek langsung berkelebatan, mengincar bagian tidak terjaga pada Dewa Arak.

Kalau Pedang Halilintar Sakti lega dan gembira di dalam hati karena mendapat bantuan demikian, tidak demikian halnya Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini mengeluh dalam hati. Satu lawan saja, cukup sulit dirobohkan. Apalagi sekarang dengan ikut sertanya Setan Hitam Tak Berjantung di pihak Ketua Perguruan Pedang Halilintar.

Maka semakin sulit bagi Dewa Arak untuk dapat mengalahkan. Bahkan sekarang, pemuda berambut putih keperakan itu mulai kewalahan, karena serangan yang datang begitu silih berganti dan susul-menyusul laksana gelombang laut. Sehingga, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang.

Dewa Arak mengerling ke arah Tungga Dewi. Dan dia langsung mengeluh ketika melihat gadis berpakaian kuning itu telah kena di tawan Bongsang. Maka Dewa Arak pun terpaksa berjuang lebih keras.

Plak, plakkk!

Ketika untuk kesekian kalinya tangan Dewa Arak dan Setan Hitam Tak Berjantung yang telah menyimpan sebelah pisaunya itu berbenturan, Dewa Arak kontan kaget. Ternyata tangannya melekat dengan tangan lawan. Namun bagi Dewa Arak hal ini bukan sesuatu yang aneh. Buru-buru aliran tenaga dalamnya yang menuju ke tangan dihentikan. Dan sesaat kemudian, baru tangannya ditarik.

Tapi waktu yang hanya sekejap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh si Pedang Halilintar Sakti untuk menusukkan pedang ke arah leher Dewa Arak. Untung saja, Arya masih sempat memiringkan kepala. Sementara tangan kiri si Pedang Halilintar Sakti kembali meluncur dengan sebuah tepakan ke arah punggung.

Lagi-lagi, Dewa Arak berhasil membuyarkan serangan dengan hadangan guci. Namun saat itu, tangan Setan Hitam Tak Berjantung meluncur secara cepat ke arah bahu kanannya. Kali ini, Arya kurang sigap bertindak. Seketika tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun terkulai lemas di tanah.

Singngng!

Ujung pedang si Pedang Halilintar Sakti meluncur cepat ke arah leher.

Trang!

Mendadak sebatang pisau dilepaskan Setan Hitam Tak Berjantung membuat tusukan pedang Ketua Perguruan Pedang Halilintar menyeleweng, tidak mengenai sasaran.

"Kau..., mengapa mencegah tindakanku?! Apakah telah mempunyai nyawa rangkap?!" tanya si Pedang Halilintar Sakti, penuh ancaman.

"Tidak usah sesumbar di sini, Pedang Halilintar! Tanpa adanya bantuanku, kau tidak akan mampu merobohkan Dewa Arak. Dan sekarang begitu dia telah berhasil kurobohkan, kau tanpa tahu malu hendak membunuhnya! Tidakkah kau sadari kalau perbuatanmu merupakan tindakan pengecut?! Kau, seorang tokoh golongan putih hendak membunuh seorang lawan yang tengah tidak berdaya! Luar biasa! Hebat..!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung disertai senyum sinis.

Ucapan-ucapan Setan Hitam Tak Berjantung tak ubahnya pisau berkarat yang dihunjamkan pada tubuh Pedang Halilintar Sakti. Wajahnya yang masih bersikap agung ini kontan berubah. Sebentar pucat, sebentar merah. Dalam kemarahannya tadi, Pedang Halilintar Sakti memang sampai melupakannya, sehingga bertindak tidak pantas. Sekarang baru terasa, betapa pengecutnya tindakannya.

"Setan Hitam...!"

Sebelum si Pedang Halilintar Sakti atau Setan Hitam Tak Berjantung berbicara atau bertindak sesuatu, terdengar suara keras yang menggema ke sekitar tempat itu.

Sekalipun hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang dipanggil, Pedang Halilintar Sakti, dan Bongsang ikut-ikutan mencari sumber suara keras tadi. Tapi, tetap saja mereka tidak dapat mengetahui dari mana asalnya. Suara itu seperti muncul dari seluruh penjuru. Bahkan bergema ke sekitar tempat itu.

"Siapa kau?!" Setan Hitam Tak Berjantung mengedarkan pandangan berkeliling sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tunjukkan rupamu kalau kau bukan seorang pengecut!" bentak Setan Hitam Tak Berjantung.

"Aku tidak bisa melakukannya, Setan Hitam!" suara tanpa wujud itu kembali bergema. "Karena aku berada di tempat yang jauh dari sini! Di tempatmu. Rasanya, akan makan waktu berhari-hari untuk sampai ke sana. Dan perlu kau ketahui, aku hanya hendak memberitahukan sesuatu padamu. Jangan kau bunuh Dewa Arak. Biarkan dia. Karena kemungkinan, dialah yang akan membasmi tokoh jahat dari masa lima ratus tahun yang lalu. Kau sudah mengetahui hal itu bukan?! Ketahuilah, Setan Hitam. Roh tokoh jahat dari masa lalu itu tidak akan bisa dibunuh. Tapi, aku mempunyai harapan pada Cermin Ajaib. Dan karena aku tidak berada di tempat Cermin Ajaib berada, maka akan sulit bagiku untuk bertindak sesuatu. Kalau kau tidak mau membebaskan Dewa Arak, kuharap kau pergi ke Cermin Ajaib. Dan, berdirilah di dekat sana. Dengan cara demikian, Cermin Ajaib akan terlihat olehmu dari sini. Dan aku akan dapat berhubungan dengannya."

"Kalau aku tidak mau?!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung, sambil menyeringai

"Aku mohon, kau bebaskan Dewa Arak! Biar dia yang melakukannya. Karena untuk itulah, dia berada di tempatmu!" pinta suara tanpa wujud itu lagi.

"Kau hanya membuang-buang waktu saja!" sentak Setan Hitam Tak Berjantung. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan memenuhi permintaanmu. Jelas?!"

DELAPAN

Suasana langsung hening, ketika Setan Hitam Tak Berjantung selesai mengucapkan penolakannya.

"Apakah kau yang berjuluk Penjaga Alam Gaib?!" celetuk Bongsang.

"Kira-kira demikian," jawab suara tanpa wujud. "Siapa kau, Kisanak?! Maukah kau melakukan permintaanku yang ditolak Setan Hitam?!"

"Tentu saja tidak!" jawab Bongsang cepat. "Bahkan kalau bisa aku akan membunuhmu! Enak saja kau mengakui Cermin Ajaib sebagai milik leluhurmu. Bahkan tanpa tahu malu kau berani memakai julukan Penjaga Alam Gaib. Orang lain bisa kau tipu. Tapi aku, Bongsang tidak akan tertipu. Aku tahu, siapa pemilik Cermin Ajaib ini!"

"Ah...!" desah suara tanpa wujud, kaget. "Jadi kau kiranya orang yang bernama Bongsang? Guru banyak bercerita tentang kau, Bongsang. Kau termasuk kakak seperguruanku. Hanya saja, kau kini menjadi murid murtad. Kau hendak membunuh guru hanya karena beliau akan menghukummu. Kau menyeleweng dari aliran ilmu guru, Bongsang. Beliau tidak pernah mengorbankan manusia untuk menambah pengetahuan ilmu gaibnya. Tapi, kau? Kau banyak menculik bayi-bayi dan mengambil otak dan darahnya, serta sumsum tulangnya untuk mendapatkan...."

"Cukup! Aku tidak butuh ocehanmu! Jadi, kau dipunggut tua bangka bau tanah itu untuk menjadi ahli warisnya, heh?! Sayang, aku gagal membunuhnya!"

"Sadarlah, Bongsang! Lebih baik kita bersatu untuk mencegah munculnya terbentuknya iblis mengerikan yang berasal dari masa lima ratus tahun yang silam. Sekarang aku tidak merasa aneh kalau berita tentang makhluk itu telah tersebar luas. Bahkan kawan-kawanku tewas di perjalanan. Rupanya kau yang berdiri di belakang layar, Bongsang. Aku tidak merasa aneh sekarang, mengapa rencanaku berhasil kau ketahui. Aku tahu, dalam ilmu pengetahuan gaib, aku masih jauh di bawahmu. Tanpa Cermin Ajaib kau telah bisa mengetahui kalau peti bertuah yang berisikan jasad dari masa lima ratus tahun lalu itu telah keluar ke dunia persilatan. Dan guru tidak sempat menceritakan padaku tentang tokoh dari lima ratus tahun lalu itu. Sedangkan kau, aku yakin telah pernah mendengar ceritanya...."

Suara tanpa wujud itu mendadak terhenti di tengah jalan. Dan Bongsang menjadi heran. Ucapan Penjaga Alam Gaib yang belum selesai mengapa tiba-tiba terputus? Apakah terjadi sesuatu dengan tokoh itu di tempat dia berada?

Pertanyaan yang sama menghinggapi benak si Pedang Halilintar Sakti, dan Setan Hitam Tak Berjantung. Namun, Bongsanglah yang lebih dulu sadar dan mengetahui penyebabnya.

"Aku mencium ada hawa gaib di sekitar tempat ini. Pasti inilah penyebab putusnya pembicaraan Penjaga Alam Gaib! Ada seseorang atau sesuatu yang telah menggunakan ilmunya, untuk memutuskan hubungan ini!" desis Bongsang, dengan suara bergetar.

Bongsang jadi gentar. Sebagai tokoh ahli ilmu gaib, kakek berhidung melengkung ini tahu kalau untuk melakukan hal itu membutuhkan ilmu gaib yang amat tinggi. Dan bahkan, dia sendiri pun tidak mampu melakukannya. Baru saja ucapan Bongsang berakhir, terdengar suara terkekeh menyeramkan. Suara itu terdengar dekat sekali, tapi tidak nampak seorang pun di sekitarnya.

Mendadak terdengar bunyi berkesiutan nyaring disusul meluncurnya beberapa benda sebesar kepala manusia. Semua tertuju ke arah Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung. Semula, Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang bermaksud menangkisnya. Tapi niat itu langsung diurungkan, ketika sepasang mata mereka yang tajam melihat benda yang tengah meluncur ternyata empat kepala manusia.

Tangkisan yang akan dilakukan langsung diganti dengan gerakan tangan berputar, untuk mematahkan daya luncur. Sehingga, kepala-kepala manusia tanpa tubuh itu berjatuhan di tanah, sebelum mengenai tubuh Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang.

Sepasang mata Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang hampir melompat keluar dari rongga ketika melihat kepala manusia itu ternyata kepala bekas murid utama Kuru Sanca yang ditugaskan untuk mencari raga tokoh di zaman lima ratus tahun silam.

"Kalian kaget?"

Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang, juga si Pedang Halilintar Sakti mengarahkan pandangan ke arah asal suara. Dan seketika, wajah si Pedang Halilintar Sakti memucat. Pemilik seruan itu dikenalinya betul, sebagai suara Karpala, muridnya. Tapi pemuda itu telah memiliki kepandaian luar biasa!

Bongsang yang memiliki kemampuan gaib tinggi, langsung dapat merasakan keanehan dari sosok yang berdiri di depannya. Mata batinnya langsung dapat melihat kalau Karpala telah ditumpangi sejenis roh yang amat ganas! Roh yang berasal dari zaman lampau! Seketika itu dia pun teringat akan roh dari lima ratus tahun silam.

"Kau... kau..., Garba Baureksa?!" Bongsang yang tahu nama tokoh dari zaman lima ratus tahun silam dari gurunya, langsung menyebut nama itu. Suaranya terdengar bergetar karena guncangan perasaan.

"Ah...!" Bukan hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang menjadi terkejut.

Tapi, juga si Pedang Halilintar Sakti. Nama Garba Baureksa telah didengarnya juga, meski semula hanya dianggapnya sebagai dongeng. Sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini mengerti mengapa Karpala muridnya jadi memiliki kepandaian selihai itu! Rupanya dia ditumpangi roh Garba Baureksa yang terkenal menggiriskan.

"Rupanya kau masih mampu untuk mengenaliku, Bongsang?! Bagaimana? Apakah kau masih mencari bayi-bayi untuk diambil darah, otak, dan sumsumnya untuk keperluan ilmu gaibmu?! Yang kutahu, kau masih melakukannya. Seperti juga halnya Setan Hitam Tak Berjantung yang berusaha mengambil ragaku lebih dulu. Untuk kemudian, kalian akan memasang sesuatu di ragaku. Sehingga aku nantinya mau tidak mau harus menuruti semua kehendak kalian. Tentu saja kalau aku tidak mau, kalian dapat menyiksa. Dan, inilah sebagian dari orang-orang yang kalian suruh untuk mengambil ragaku. Sisanya kutinggalkan!"

Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang menelan ludahnya sendiri untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Sama sekali tidak disangka kalau semua rencana yang disusun secara rapi, telah diketahui Garba Baureksa.

"Bagaimana kau bisa tahu semuanya, Garba Baureksa?! Bukankah kalau kau tidak berada di dalam ragamu yang asli, kemampuanmu akan banyak yang lenyap? Dan andaikata kau mampu, akan berkurang jauh bobotnya. Apakah aku tidak salah duga?!" Bongsang mengutarakan keheranannya.

"Sebetulnya aku malas untuk menjawab. Tapi, biarlah. Hitung-hitung agar kalian tidak mati penasaran," Garba Baureksa mengalah. "Apa yang kau katakan itu memang benar, Bongsang. Tapi, kemampuanku yang dulu bisa kudapatkan kembali, meski di dalam raga orang lain! Memang tidak akan sampai ke puncaknya seperti yang dulu. Tapi, telah cukup lumayan toh?! Setiap aku melakukan kejahatan, maka kemampuan yang dulu kumiliki kudapatkan lagi, meski hanya sedikit. Toh, terbukti cukup untuk mengetahui rencana kalian dan memberikan tabir. Sehingga, Penjaga Alam Gaib dan yang lain-lain tidak bisa mengawasi kegiatanku! Ha ha ha...!"

"Kurasa kita bisa bekerja sama, Garba," Setan Hitam Tak Berjantung yang belum apa-apa sudah merasa gentar, mengajukan sebuah usul yang dianggap bagus.

"Sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya, Setan Hitam!" jawab Garba Baureksa tegas. "Banyak alasannya. Pertama, kau adalah datuk licik. Dan setiap orang licik tidak bisa dipercaya. Kedua, aku terbiasa bekerja sendiri. Dan yang ketiga, kau telah menunjukkan itikad tidak baikmu terhadapku! Juga dengan membunuhmu, aku akan mendapatkan kembali sedikit kemampuan yang dulu pernah kumiliki!"

Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang saling berpandangan. Keduanya tahu kalau Garba Baureksa tidak akan mengampuni jiwa mereka. Mau tidak mau mereka akan bertahan mati-matian nanti.

"O, ya. Sebagai tambahan lagi, perlu kukatakan kalau raga yang diambil oleh anak buahmu, Setan Hitam, bukan ragaku. Entah mengapa, mereka bisa sampai terkecoh demikian."

"Bukankah kau memiliki kemampuan untuk mengetahui, di mana adanya sesuatu?! Mengapa tidak kau gunakan untuk mencari ragamu?!" celetuk Bongsang bingung.

Dia masih merasa heran mengetahui mayat yang diambil anak buahnya bukan mayat Garba Baureksa. Padahal, dia telah mengumpulkan keterangan dan berhasil mendapatkan petunjuk kalau mayat itu berada di tangan sebuah keluarga pendekar. Dan karena keturunan pendekar itu telah lenyap, anak buahnya mengambil di pemakaman keluarga pendekar yang hidup lima ratus tahun lalu, adalah orang yang pertama kali bertemu kakek aneh yang muncul dalam mimpi. Tidak ada yang tahu siapa namanya.

"Aku tidak bisa melacaknya dengan ilmuku karena kakek yang telah menyebabkan rohku terpisah dari raga, telah menyembunyikannya tanpa aku mampu melacaknya. Biar bagaimanapun, ilmu putih lebih unggul dari ilmu hitam, Bongsang! Maka, aku tidak dapat menemukannya!"

Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung diam.

"Bersiaplah untuk melihat neraka!" Garba Baureksa menudingkan telunjuk kanannya pada batu sebesar kerbau yang berada di belakangnya. Sedangkan tangan kirinya ditudingkan ke arah tubuh Setan Hitam Tak Berjantung.

Setan Hitam Tak Berjantung, Bongsang, dan si Pedang Halilintar Sakti terbelalak ketika melihat batu sebesar kerbau terangkat naik ke atas! Padahal, terlihat jelas kalau pemuda berkumis tipis itu tidak mengerahkan tenaga sama sekali.

Dan keterkejutan ketiga tokoh sakti yang telah terjepit itu semakin menjadi-jadi, ketika melihat batu besar itu melayang ke arah mereka. Kali ini keterkejutan bercampur kekhawatiran. Karena masih belum mengetahui perkembangan tindakan yang akan dilakukan Garba Baureksa, Bongsang dan si Pedang Halilintar Sakti melompat mundur.

"Setan Hitam, menyingkir...!" Bongsang tidak kuasa untuk menahan teriakannya, ketika melihat Setan Hitam Tak Berjantung tidak menjauh. Padahal, batu besar itu telah meluncur mendekati. Bahkan sebentar lagi akan berada di atas kepalanya.

Keterkejutan Bongsang semakin memuncak, begitu melihat Setan Hitam Tak Berjantung tidak bertindak apa-apa. Tapi sesaat kemudian dia tahu, apa penyebabnya. Telunjuk tangan kiri Garba Baureksalah penyebabnya. Maka, Bongsang bertindak cepat. Kedua tangannya dihentakkan ke arah batu besar itu.

Blarrr!

Batu sebesar kerbau bunting itu kontan hancur berantakan ketika terhantam angin pukulan Bongsang. Bahkan pecahannya berpentalan ke sana kemari, tak tentu arah. Beberapa di antaranya mengenai Setan Hitam Tak Berjantung.

"Kau sudah kepingin mati duluan, rupanya! Minggat kau...!"

"Tidak!" Bongsang yang mengerahkan seluruh kemampuan ilmu gaib berteriak keras untuk melawan pengaruh seruan Garba Baureksa. Sebagai ahli ilmu gaib, dia tahu kalau kekuatan serangan pemuda berkumis tipis itu tergantung teriakan dan pikiran! Maka seluruh pikiran dipusatkan dan berseru keras.

Tapi usaha Bongsang bagaikan orang menangkap asap! Sia-sia. Seruan Garba Baureksa yang disertai kibasan tangan kiri, membuat tubuhnya melayang ke belakang seperti daun kering dihempaskan angin.

Blakkk!

Bongsang mengeluh tertahan ketika luncuran tubuhnya berhenti, di saat berbenturan dengan dinding batu yang menjulang tinggi. Tubuhnya seperti di lem. Bahkan tidak tergoyahkan sama sekali. Kendati berusaha keras melepaskan diri. Rontaan Bongsang semakin diperkeras, ketika melihat sebuah batu sebesar gajah yang paling besar, meluruk deras ke arahnya. Itu terjadi ketika Garba Baureksa kembali menudingkan tangannya. Dan....

Jrottt!

Bongsang tidak bisa menjerit lagi, begitu batu sebesar gajah itu menghantamnya. Dan karena bagian belakang kakek berhidung melengkung itu adalah dinding tebing, maka tubuhnya bagai digencet dari dua arah! Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, tubuh Bongsang langsung luluh lantak. Kepalanya hancur, dengan badan remuk. Nyawa-nya melayang saat itu juga.

Setan Hitam Tak Berjantung yang semula dicekam pengaruh ilmu gaib Garba Baureksa berhasil membebaskan diri dari pengaruh sihir. Itu bisa terjadi, karena Garba Baureksa mengalihkan perhatian ke arah Bongsang.

Pedang di tangan Pedang Halilintar Sakti menancap di perut hingga tembus ke punggung. Sepasang mata Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini kelihatan tidak percaya melihat darah yang membanjir keluar. Sementara Garba Baureksa tertawa terbahak penuh kemenangan.

"Sekarang kalian bebas, Dewa Arak. Dan kau, Wanita Liar...!" seru Garba Baureksa penuh pengaruh.

Hampir Dewa Arak tidak percaya. Pengaruh totokan yang membelenggu tubuh mereka tiba-tiba lenyap membuyar. Dan darah kini mengalir secara lancar. Buru-buru Dewa Arak dan Tungga Dewi bangkit berdiri, dan langsung bersiap melancarkan serangan. Sepasang anak muda ini telah tahu kalau Garba Baureksa merupakan sesosok makhluk dahsyat.

"Menyingkirlah, Tungga Dewi! Selamatkan dirimu...!" seru Dewa Arak pada murid Nelayan Tenaga Gajah.

"Tidak, Dewa Arak! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu! Aku lebih suka mati bersamamu, daripada hidup sendirian di dunia ini!" tegas Tungga Dewi, jelas-jelas menyiratkan perasaan isi hatinya.

"Ho ho ho...! Luar biasa...!" Garba Baureksa tertawa bergelak. "Rupanya wanita liar ini mencintaimu, Dewa Arak. Bagus...! Sayang sekali...! Kalian semua akan mati saat ini juga!"

Garba Baureksa langsung mengibaskan tangan kirinya. Maka tubuh Dewa Arak pun terpental jauh ke belakang bagai daun kering dihempaskan angin keras. Pentalan tubuhnya baru terhenti, ketika membentur dinding sehingga hancur pada beberapa bagian. Memang saat itu Arya sempat melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga dalam.

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tangan Garba Baureksa kembali bergerak. Seketika tubuh Dewa Arak tertarik ke depan, tanpa mampu bertindak apa-apa. Arya melihat adanya bahaya besar. Tapi, dia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ketika tangan kanan Garba Baureksa telak menghantam bahu kanannya, Dewa Arak hanya mampu mengeluh tertahan.

Tubuh Dewa Arak terbanting di tanah dengan mulut menyeringai, merasakan sakit. Pukulan Garba Baureksa ternyata memang tidak bisa dianggap remeh. Dewa Arak tahu, tidak ada gunanya melawan dengan kemampuan biasa. Tidak ada jalan lain, Belalang Raksasa yang ada di alam gaib harus dipanggil untuk menghadapi Garba Baureksa yang demikian luar biasa.

"Kakang Karpala...! Hentikan...!"

Seruan keras melengking nyaring, membuat Dewa Arak terpaksa menghentikan maksudnya. Bahkan Garba Baureksa pun menoleh ke belakang. Tampak seorang gadis berpakaian coklat, berwajah cantik jelita tengah berlari-lari cepat mendekati tempat itu.

"Kakang Karpala...! Jangan bunuh dia...!" ujar Dara.

Garba Baureksa alias Karpala tampak berubah-ubah wajahnya. Bahkan sepasang matanya pun tidak lagi merah membara, tapi berkerlip-kerlip. Pemuda berkumis tipis itu tampak terkejut, melihat gadis berpakaian coklat ini.

"Dara... mengapa kau berada di sini?!" tanya Garba Baureksa dengan suara yang membuat Arya dan Tungga Dewi heran. Suara itu berbeda sekali dengan suara Garba Baureksa biasanya.

"Aku menyusulmu, Kakang Karpala. Aku kabur dari perguruan, begitu kudengar ayah memerintahkan murid-murid perguruan yang lain membinasakanmu. Tapi sekarang seorang kawan, kudengar kau menjadi beringas dan membunuh orang-orang tidak bersalah. Sadarlah, Kakang Karpala," pinta Dara.

Sepasang mata Garba Baureksa kembali merah membara. Tidak lagi putih bercampur hitam seperti mata manusia umumnya.

"Ha ha ha...! Membunuhku?! Tidak akan ada satu pun orang yang dapat membunuhku!"

Arya, Tungga Dewi, dan Dara tampak terkejut mendengar perbedaan suara ini dengan suara sebelumnya. Dewa Arak dan Tungga Dewi tahu, suara ini adalah suara yang biasa mereka dengar. Suara Garba Baureksa.

Benak Arya yang cerdik langsung bisa memperkirakan, mengapa hal itu terjadi. Roh Garba Baureksa ternyata belum sepenuhnya menguasai raga dan pikiran Karpala. Dan timbulnya pikiran jemih Karpala justru ketika muncul Dara, wanita yang dicintainya. Arya tahu, sekarang ini terjadi perang tanding antara angkara murka Garba Baureksa, melawan cinta kasih Karpala. Dan ini merupakan kesempatan baik. Barangkali saja, Karpala mampu membebaskan diri dari kungkungan roh jahat Garba Baureksa.

"Karpala dirasuki roh jahat. Usahakan agar Karpala yang asli dapat memenangkan pertarungan batin ini, Dara?!" jelas Arya pada gadis berpakaian coklat itu.

Wajah Dara tampak berubah hebat. Memang, gadis berpakaian coklat ini tidak tahu kalau Karpala dimasuki roh jahat dari tokoh lima ratus tahun yang silam. Dikiranya, Karpala hanya menjadi kurang waras. Akibat tekanan perasaan yangmenghimpit batinnya.

"Sadarlah, Kakang Karpala. Hanya kau satu-satunya yang dapat kujadikan sandaran di dunia yang luas ini. Aku seorang diri terlunta-lunta mencari-carimu, Kakang Karpala. Haruskah aku terlunta-lunta terus selamanya?!"

Wajah dan keadaan Karpala tampak mengerikan. Sinar sepasang matanya berubah berganti-ganti. Terkadang merah membara, tapi tak jarang pulih kembali seperti biasa. Perang tanding antara dua kekuatan itu tengah berlangsung.

"Terus gugah batinnya, Dara," ujar Dewa Arak, lagi-lagi memberikan saran dengan ilmu mengirim suara dari jauh.

"Apakah kau tidak sayang pada anak kita, Kakang Karpala...?! Apakah aku harus membesarkannya sendiri?! Nasibku akan merana, Kakang! Tidak ada orang yang akan membantu melahirkan dan membesarkan anak kita...."

"Dara...!" Setelah sekian lamanya berdiam diri dengan pertarungan keras di dalam batin, Karpala berseru keras sambil berlari meluruk ke arah Dara.

Tak lama, Arya, Tungga Dewi, serta Dara, melihat ada kilatan cahaya hijau melesat dari atas kepala Karpala. Sinar itu melayang ke udara. Sementara, Karpala yang tengah berlari tiba-tiba ambruk ke tanah sebelum berhasil mencapai Dara. Dara dengan penuh rasa cemas cepat memeriksa.

"Bagaimana ini? Apa yang terjadi dengannya?!" tanya Dara, penuh rasa cemas.

"Dia hanya pingsan. Roh jahat itu telah cukup lama berkuasa di tubuhnya. Sehingga begitu pergi, akibatnya cukup berat buat Karpala. Tapi, dia tidak apa-apa. Tak lama lagi akan sadar. Dia akan kembali sebagai Karpala yang dulu," jelas Arya panjang lebar.

"Terima kasih..., eh...! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya Dara sambil menatap rambut Arya yang putih.

"Benar. Kenapa?!"

"Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah mencari-carimu. Kalau... tidak salah...."

Belum juga Dara menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak yang telah bisa menduga siapa orang yang dimaksud segera melesat cepat. Dia tidak ingin terlambat lagi. Karuan saja tindakan Dewa Arak membuat Tungga Dewi kaget.

"Dewa Arak! Tunggu...!" seru gadis berpakaian kuning ini sambil melesat mengejar.

Tapi, kali ini Dewa Arak tidak mempedulikannya. Bahkan terus mempercepat larinya. Di benaknya hanya ada Melati. Pikiran semula mengenai kejadian yang baru saja terjadi, terlupakan. Arya tahu, Karpala adalah seorang pemuda berhati lurus, dan berwatak baik. Kalau tidak, tak akan nantinya bisa bebas dari cengkeraman roh jahat itu. Roh jahat itu dapat masuk ke raganya, karena Karpala tengah sakit hati.

Yang tinggal di tempat itu kini hanya Dara. Dan ketika pandangan mata gadis berpakaian coklat ini beredar, jeritan menyayat hati pun keluar dari mulutnya. Ternyata dia melihat tubuh ayahnya, Pedang Halilintar Sakti, tewas! Kontan saja Dara jatuh pingsan.
SELESAI
Selanjutnya,