Dewa Arak - Perintah Maut - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewa Arak - Perintah Maut
Karya : Ajisaka

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Srakkk...!

"Keparat!"

Bunyi berkerosakan yang disusul dengan suara makian keras penuh kejengkelan, merobek keheningan suasana yang masih diselimuti kegelapan.

Sebenarnya, saat itu malam telah berlalu. Tugas rembulan, telah hampir usai. Hanya saja sang Surya belum menampakkan diri di ufuk timur. Meskipun demikian, kicau burung sudah mulai terdengar. Kokok ayam jantan pun sesekali bersuara, seakan hendak menyambut pagi.

Di tengah suasana seperti itulah suara makian tadi terdengar dari mulut sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tak tampak karena tertutup kain hitam dari bawah mata sampai ke leher. Kain itu diikatkan ke belakang kepala. Hal itu sebagai pertanda kalau dirinya tak ingin dikenal.

"Hih!" Dengan menggeram, sosok berpakaian hitam itu menarik kuat-kuat kakinya. Ternyata salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang yang tak terlihat karena tertutup semak-semak dan rerumputan. Lubang itu kecil tapi cukup dalam.

Sosok berpakaian hitam itu tampak merasa kesakitan, mungkin kalau tak tertutup kain, mulutnya meringis-ringis menahan nyeri di kaki yang terjepit lubang itu. Hanya matanya yang tajam tampak jelalatan ke sana kemari, seperti ada yang tengah diawasi.

Namun sosok berpakaian hitam itu tidak mempedulikan rasa sakit yang mendera. Begitu terbebas dari lubang, kakinya kembali metanjutkan perjalanan. Langkahnya terburu-buru sekali. Sehingga tampak agak terpincang-pincang. Karena kaki sebelah kanan yang terperosok di lubang tadi, dirasakan masih sangat sakit ketika dijejakkan ke tanah.

Srak! Srak! Srak!

Bunyi berkerosakan dari semak-semak dan rerumputan yang dilewati sosok berpakaian hitam itu terdengar, hampir tiada henti. Terlihat jelas, sosok berpakaian hitam itu tengah tergesa-gesa.

Setelah cukup lama menerobos semak-semak dan rerumputan, akhirnya sosok berpakaian hitam itu sampai di sebuah tanah lapang yang membentang luas. Tak satu pun pohon besar yang menghalangi tempat itu, kecuali rumput-rumput pendek dan kering.

Sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah dan mengedarkan pandangan. Namun, hal itu hanya dilakukannya sebentar. Sesaat kemudian, kakinya kembali diayunkan. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Rupanya rasa sakit yang melanda kaki telah mulai berkurang.

Ternyata sosok berpakaian hitam itu bukan orang sembarangan. Setidak-tidaknya, memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hal itu dapat dibuktikan dari larinya yang cepat dan gesit.

Tak berapa lama kemudian, dalam jarak belasan tombak di hadapan sosok berpakaian hitam, samar-samar tampak sebuah bangunan. Ke tempat itulah kakinya diayunkan. Hanya dal am beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berada tepat di depan bangunan itu. Sebuah bangunan yang tampak menyeramkan. Apalagi dalam suasana pagi yang masih gelap dan sunyi seperti ini.

Setelah berhenti di depan bangunan itu diedarkan matanya, mengawasi ke sekitar pekarangan yang luas. Bangunan tua itu tampaknya sudah tak berpenghuni. Hal itu bisa dibuktikan dari keadaannya yang terbengkalai seperti tak terawat. Pepohonan kecil tampak meranggas di tengah halaman luas yang kotor.

Setelah puas memperhatikan, sosok berpakaian hitam itu lalu melangkah menuju bagian kiri bangunan. Ada suatu yang aneh di bagian itu. Di sana tampak tertancap sebatang tombak berwarna mengkilat.

Setengah dari tombak itu menancap di tanah. Hal itu membuktikan betapa kuat tenaga dalam yang telah menghunjamkannya. Begitu berada di dekat tombak, sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari. Seakan-akan tak ingin ada orang lain melihat tindakan yang akan dilakukanya.

Setelah merasa yakin tidak ada orang melihat, sosok berpakaian hitam itu memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sesaat kemudian tangannya telah keluar dengan menggenggam segulungan surat dan sebuah kantung kain sebesar kepalan bayi. Kantung yang tampak menggembung itu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring ketika dikeluarkan.

Setelah kembali menoleh ke sana kemari, sosok berpakaian hitam itu buru-buru menggantungkan gulungan surat dan kantung kain ke gagang tombak.

"Hhh...! Akhirnya selesai juga tugasku. Kini tinggal menunggu hasilnya. Ha ha ha...! Tunggulah kematianmu, Bima Seta! Ha ha ha...!" ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak, merasa puas dan bangga. Rasa gembira itu pun tampak tersirat dari sepasang matanya yang tak tertutup kain.

Masih dengan tawa yang belum putus, sosok berpakaian hitam segera meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah menjauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan pagi.

* * *

"Aneh...! Aku tak mengerti arti semua itu, Kang."

Sebuah pertanyaan dengan suara lembut terdengar, ketika tubuh sosok berpakaian hitam telah jauh meninggalkan bangunan itu. Suara itu beras al dari salah satu pohon yang berada tak jauh dari bangunan tua.

Ternyata pada salah satu cabang pohon besar di sebelah kanan bangunan itu, tampak dua sosok tubuh yang duduk berdampingan. Rimbunnya dedaunan pohon ditambah suasana pagi yang masih gelap, membuat keberadaan mereka sulit untuk diketahui.

"Aku juga tidak mengerti, Melati," timpal sosok lainnya. "Tapi jelas..., ada seseorang yang tengah terancam jiwanya! Dan orang itu bernama Bima Seta. Sementara orang yang mengincar nyawanya, kuduga orang berpakaian hitam tadi. Tapi..., mengapa tindakan yang dilakukannya seperti itu?"

Terdengar jelas perbedaan kedua suara itu. Yang pertama lembut, dan agak melengking. Sedangkan yang belakangan suaranya mantap, dan agak berat. Jelas, suara pertama keluar dari mulut seorang wanita.

"Mungkin ada hubungannya dengan benda-benda yang digantungkan pada gagang tombak itu, Kang," ujar wanita yang dipanggil Melati.

"Mungkin kau benar," sahut pemilik suara lelaki. "Tidak ada salahnya kalau kita memeriksanya. Toh, ini semua demi kebaikan."

Belum juga lenyap ucapan pemilik suara kedua itu, dari atas pohon melesat turun dua sosok bayangan, putih dan ungu! Dan....

Jliggg!

Seringan kapas, dua sosok yang tadi berada di atas pohon menjejakkan kaki di tanah. Jelas, keduanya mempunyai ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna. Kedua sosok itu segera menghampiri tempat sosok berpakaian hitam menaruh benda-benda yang dibawanya. Terlihat tindakan mereka tidak begitu tergesa-gesa.

Dalam jilatan sinar bulan yang remang-remang, terlihat cukup jelas ciri-ciri mereka. Sosok pertama seorang gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya panjang tergerai. Sehelai pakaian putih membungkus tubuhnya yang ramping.

Sedangkan sosok kedua, ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya memperlihatkan kejantanannya. Tubuhnya yang kekar dan berotot, dibungkus pakaian ungu. Ada sebuah keanehan pada pemuda berpakaian ungu itu. Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan. Warna rambut yang biasanya hanya dimiliki orang-orang berusia lanjut.

Kini bisa ditebak siapa sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu. Ya! Arya Buana. Lelaki muda yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak!

Dengan pandangan tertuju pada benda-benda yang tergantung di batang tombak, Arya dan Melati terus melangkah mendekat. Namun, ketika jarak antara pasangan muda-mudi itu dengan sasaran tinggal tiga tombak lagi, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam yang melesat begitu cepat. Dan....

Brettt!

Dalam sekejap gulungan surat dan kantung kecil itu telah lenyap dari tempatnya. Sosok bayangan hitam itulah yang menyambarnya! Kemudian dengan kecepatan luar biasa, sosok bayangan itu melesat meninggalkan tempat Dewa Arak dan Melati berada.

Kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk dirinci rentetannya. Yang jelas, baik Dewa Arak maupun Melati baru menyadari ketika sosok bayangan hitam itu telah melesat jauh. Meskipun demikian, sepasang pendekar ini sempat melihat kalau sosok bayangan hitam itu bukan manusia. Ya, bukan! Melainkan seekor burung.

Sepasang pendekar muda itu hanya bisa memperhatikan burung itu melayang di bawah cahaya bulan yang temaram. Semakin lama semakin jauh, sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Ditelan kejauhan dan suasana remang-malang malam menjelang pagi.

Melihat kejadian barusan, Dewa Arak dan Melati hanya saling pandang. Ada sorot keheranan dan rasa penasaran memancar di mata mereka.

"Aku jadi semakin tidak mengerti, Kang," ujar Melati, lirih tak ubahnya mirip bisikan. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan.

"Hhh...!" Dewa Arak pun hanya menyahut dengan helaan napas panjang. Sedangkan tatapannya diarahkan ke langit, seperti tengah mencari jawaban atas pertanyaan kekasihnya di sana.

"Bukan kau saja yang tak mengerti, Melati. Aku pun merasa heran. Apa arti semua kejadian aneh ini?! Hanya satu yang berhasil kusimpulkan. Dan kurasa kau pun mengetahuinya...."

Dewa Arak menghentikan ucapannya. Ditatapnya sejenak wajah Melati. Sikap dan pandangan matanya s eakan-akan tengah menunggu jawaban dari gadis berpakaian putih itu.

"Apa itu, Kang?" Ternyata bukan jawaban yang diberikan Melati, melainkan pertanyaan bernada penuh rasa ingin tahu.

"Ada seseorang yang tengah terancam keselamatannya! Kau tahu kan siapa yang kumaksudkan?"

"Maksudmu..., Bima Seta?!" tanya Melati, ragu-ragu.

"Tepat!" sahut Dewa Arak sambil mengacungkan ibu jari. "Dialah yang kumaksudkan. Ada bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan Bima Seta. Kita harus menyelamatkannya, Melati!"

"Aku setuju saja, Kang! Tapi.., ke mana kita harus mencari Bima Seta? Kita belum tahu di mana tempat kediamannya. Dan yang lebih repot lagi, kita belum pernah melihat orang itu. Jelas, kita belum pernah mengenal nama Bima Seta. Lalu..., bagaimana cara kita mencegah pembantaian itu?" tanya Melati, seakan-akan meragukan tindakan pencegahan itu.

"Hanya ada dua cara, Melati," sahut Dewa Arak cepat. "Pertama, kita cari orang yang tadi datang kemari."

"Lalu..., apa cara yang satunya lagi, Kang?" desak Melati tidak sabar menunggu.

"Mengejar burung yang telah mendahului kita, menyambar barang-barang di tombak tadi. Memang, hal ini lebih sulit. Tapi yang jelas, kita tahu arah yang ditempuh binatang itu. Kita ikuti dan selidiki. Mudah-mudahan saja, belum terlambat!"

"Kalau begitu maksudmu, kita harus cepat bertindak, Kang! O, ya. Apa tindakan kita sekarang?" tanya Melati seraya menatap wajah kekasihnya.

"Mengejar orang berpakaian serba hitam tadi!" jawab Arya dengan suara tegas dan mantap.

Usai berkata demikian, Dewa Arak langsung mengayunkan kaki dengan gerakan luar biasa. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya telah berada dalam jarak belas an tombak dari tempat semula.

Melihat hal ini, Melati tak mau kalah. Gadis itu pun segera mengayunkan kaki. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya juga telah melesat belasan tombak. Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda ini telah sama-sama melesat menuju arah yang di tempuh sosok berpakaian hitam.

* * *

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku datang, Tuan Besar...!"

Suara teriakan keras dan parau dengan logat yang aneh lerdengar beberapa kali. Sesosok tubuh yanq tengah terbaring di atas balai-balai bambu terbangun. Perlahan-lahan kelopak matanya membuka.

"Ah...! Kau rupanya, Raja," gumam sosok yang terbaring di atas balai-balai bambu, setelah terlebih dulu menggeliatkan tubuh. "Sepagi ini kau sudah membangunkanku. Apa ada pekerjaan yang harus kulakukan?"

"Benar, Tuan...! Benar! Dan aku telah membawanya...!" sahut pemilik suara serak dengan logat aneh itu.

"Ya. Aku telah melihatnya. Sini, berikan padaku...!" pinta sosok yang tergolek di balai-balai seraya bangkit dari berbaring, lalu perlahan-lahan duduk.

Pemilik suara serak dan berlogat aneh itu pun langsung meluncur menuju balai-balai bambu. Ternyata suara parau dan berlogat aneh itu keluar dari mulut seekor burung cukup besar. Sayapnya yang lebar terkepak.

Wrettt!

Jrabbb!

Dalam sekejap burung itu telah hinggap di bahu kanan sosok lelaki yang dipanggil Tuan Besar. Sosok lelaki setengah baya, berkumis tebal yang duduk di pembaringan segera mengelus burung berbulu hitam itu. Kemudian tangannya diulurkan untuk mengambil gulungan surat dan buntalan kecil yang tergeletak di balai-balai. Tampaknya burung besar yang dipanggil Raja telah menjatuhkan kedua benda itu di balai-balai bambu sebelum hinggap di bahu pemiliknya.

Perlahan-lahan dibukanya tali pengikat gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang itu. Pada lembaran yang tampak halus tertera sederet tulisan hitam. Lelaki berkumis tebal itu segera membacanya dalam hati.

Utusan dari Akhirat...
Lewat surat ini aku mengutusmu untuk menghabisi nyawa Bima Seta. Kau tahu kan, siapa Bima Seta itu? Ya. Dia adalah Kepala Desa Jarak. Siang ini dia akan pergi berburu ke Hutan Saragan. Kau bisa menghabisi nyawanya di sana. O, ya. Di dalam buntalan kecil itu telah kusediakan uang imbalannya. Hitunglah! Aku rasa jumlahnya cukup.


Sampai di sini, lelaki bertubuh tinggi dan berkumis tebal menggulung kembali surat itu. Ada seulas senyum tersungging di bibirnya. Lalu, setelah meletakkan gulungan kulit binatang itu di balai-balai bambu, segera diambilnya kantung kecil dari kain hitam itu. Setelah tali pengikat dilepas, segera dikeluarkan isinya.

Cring! Cring!

Bunyi berdencing nyaring terdengar ketika benda-benda logam yang ternyata uang itu berjatuhan di telapak tangannya.

"Ha ha ha...!" Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang menyiratkan kegembiraan. "Kau tahu isi surat itu, Raja?!" tanya lelaki berkumis tebal itu pada burung hitam yang masih bertengger di pundaknya.

"Tahu, Tuan Besar! Sebuah tugas, bukan?!" sambut burung berbulu hitam itu dengan suara serak dan logat yang aneh.

"Ha ha ha...!" Ledakan tawa lelaki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Utusan dari Akherat itu pun semakin keras menggelegar, sehingga membuat seisi ruangan bergetar hebat. Hal itu pertanda kal au dia mengerahkan tenaga dalam ketika mengumbar tawa yang bernada penuh kegembiraan itu.

Masih dengan suara tawa yang belum putus, Utusan dari Akherat menimang-nimang kepingan-kepingan uang di tangannya. Namun tiba-tiba tawanya terhenti ketika burung hitam itu menyelak.

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku sudah tidak tahan lagi...! Seluruh tubuhku terasa gatal! Aku ingin kembali ke warna asliku...!"

"Oh, iya! Aku sampai lupa Ayo, Raja! Aku pun harus segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugasku!"

Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat langsung bangkit dari duduknya. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan kamar tidurnya.

* * *

DUA

Derap kaki kuda yang beradu dengan bumi menambah hiruk-pikuk keadaan di dalam Hutan Saragan. Kalau semula yang terdengar hanya kicau burung dan teriakan-teri akan binatang penghuni hutan, kini gemuruh langkah kaki kuda seakan-akan hendak memecahkan suasana.

Namun kemudian kuda coklat bertubuh kekar itu tampak melangkah perlahan, karena penunggangnya tidak memacu cepat. Bahkan seperti memang disengaja agar binatang tunggangannya tidak berjalan cepat. Dia sibuk memperhatikan keadaan sekitar tempat itu.

Penunggang kuda itu ternyat a seorang lelaki setengah baya, berpakaian coklat muda. Kepalanya menoleh ke sana kemari, seakan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Bahkan beberapa kali tali kekang kudanya ditarik dengan maksud agar berhenti. Sesekali langkah binatang tunggangannya berhenti. Mata lelaki itu jelalatan mengawasi tempat di sekitarnya yang tampak sepi dan sunyi.

Lelaki berpakai an coklat muda itu ternyata tidak sendirian. Di belakangnya, berjajar dua ekor kuda hitam yang masing-masing ditunggangi lelaki bertubuh kekar dan berwajah sangar. Gagang pedang tampak menyembul dari balik punggung mereka. Berbeda dengan lelaki berpakaian coklat muda, dua lelaki bertubuh kekar itu tampak begitu waspada.

Ketiga lelaki penunggang kuda itu semakin jauh memasuki Hutan Saragan. Namun lelaki berpakai an coklat muda yang berada di depan, tampaknya tak mempedulikan keadaan hutan itu. Lelaki berpakaian coklat muda menghentikan langkah kudanya ketika tiba di dekat hamparan padang rumput yang luas. Dengan sebuah gerakan indah tubuhnya melompat turun dari punggung kuda.

Jliggg!

Dengan mantap dan kokoh kedua kakinya hinggap di tanah. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah dua lelaki kekar yang masih duduk di punggung kuda masing-masing. Mereka segera melompat turun.

"Ambilkan busur itu, Birawa!" pinta lelaki berpakaian coklat muda.

Salah seorang dari dua penunggang kuda hitam itu segera mengambil busur yang tergantung di punggung. Lalu diberikannya pada lelaki berpakaian coklat muda.

"Ini, Ki," ucap lelaki yang berbibir tebal dan hitam itu, penuh hormat.

Lelaki berpakaian coklat muda hanya menganggukkan kepala perlahan seraya menerima busur besar itu. Lalu, tanpa mempedulikan kudanya, segera melangkah menuju hamparan rerumputan yang ada di sebelah kiri mereka.

Sambil melangkah perlahan, tangan lelaki berpakaian coklat muda itu melolos anak panah dari kantung panjang yang tergantung di punggungnya. Ternyata bukan hanya sebatang, melainkan dua batang anak panah. Kemudian yang lebih mengherankan, keduanya dipasang pada tali busur.

Dan kini, dengan sikap siap meluncurkan anak panahnya, lelaki berpakaian coklat muda itu berjalan mengendap-endap menyibak rerumputan. Namun tentu saja bukan karena rerumputan yang telah menghalangi langkahnya, hingga langkahnya tampak berhati-hati sekali.

Ternyata puluhan tombak di hadapannya ada beberapa ekor kijang yang tengah merumput. Rupanya binatang-binatang itulah yang telah menarik perhatiannya. Lelaki berpakaian coklat muda bertindak hati-hati sekali.

Seolah-olah khawatir kalau kelompok binatang itu mengetahui kehadirannya. Sehingga dengan perlahan-lahan kakinya mendekat sampai pada jarak jangkauan panah. Sesekali tubuhnya menyelinap di balik pohon besar yang rumbuh di sekitar tempat itu.

Sementara itu, dua lelaki berwajah kasar yang rupanya pengawal lelaki berpakaian cokl at muda itu, hanya mengawasi dari kejauhan. Kuda mereka, seperti juga milik lelaki berpakaian coklat muda, telah ditambatkan di bawah pohon.

"Bagaimana kalau kita bertaruh, Sempani?!" tanya Birawa setengah mengajak.

Lelaki yang dipanggil Sempani tak langsung memberikan jawaban. Wajahnya tampak tercenung sambil menatap tajam mata Birawa. "Bertaruh apa, Birawa?!"

"Begini. Ki Bima Seta hendak memanah kijang-kijang itu. Nah! Itulah yang akan kita pertaruhkan. Apakah Ki Bima Seta akan berhasil atau tidak?!" jawab Birawa seraya mengangguk-anggukkan kepala.

"Baik. Kuterima ajakanmu," sambut Sempani. "Kutebak, beliau akan berhasil memanah salah satu di antara kijang-kijang itu."

Birawa tersenyum. Kepalanya kembali mengangguk-angguk. "Kau cerdik, Sempani! Kau tak memberiku kesempatan lain! Apa boleh buat, meskipun aku tahu pasti kalau majikan kita itu mempunyai kemampuan memanah yang luar biasa, terpaksa kuterima pilihan lainnya. Asal kau tahu saja, kita bertaruh dengan sebulan penghasilan kita!"

"Ya, aku setuju!" sahut Sempani cepat, sambil melepas senyum gembira. Wajahnya menggambarkan keyakinan bahwa dia bakal memenangkan taruhan itu.

Kini, Birawa dan Sempani mengalihkan pandangan, memperhatikan lelaki berpakaian coklat muda yang ternyata bernama Ki Bima Seta. Tampak di sela-sela rerumputan yang agak tinggi, Ki Bima Seta tengah berjalan mengendap-endap. Busur panahnya yang besar telah siap direntang di depan wajah.

Rupanya Sempani yang akan memenangkan pertaruhan. Masalahnya, sampai Ki Bima Seta berada para jarak jangkauan anak panahnya, kijang-kijang itu tampak masih sibuk merumput. Mereka tampaknya tidak menyadari akan adanya ancaman maut yang tengah mengintai.

Ki Bima Seta merasakan jantungnya berdebar tegang. Apalagi ketika mulai membidikkan panahnya. Sudah terbayang di benaknya betapa kedua anak panah itu akan melesat cepat dan menembus tubuh salah satu kijang itu. Tentu saja kijang paling gemuk dan besar yang menjadi sasarannya. Namun tiba-tiba....

Srakkk! Blukkk!

Sebuah batu sebesar kepalan meluncur dan jatuh di dekat sekawanan kijang itu. Tentu saja kejadian itu membuat binatang-binatang itu terkejut bukan kepalang, dan langsung berhamburan melarikan diri.

Kejadian yang sama sekali tak terduga dan tiba-tiba ini membuat Ki Bima Seta terkejut dan marah bukan kepalang. Padahal, sudah terbayang di benaknya bet apa seekor kijang yang paling besar dan gemuk akan menggelepar tertembus anak panahnya. Maka secara untung-untungan, dilepaskan anak panah dari busurnya.

Trakkk! Swing...!

Dengan kecepatan tinggi, kedua anak panah melesat ke arah sekawanan kijang yang tengah berlari an dari tempat itu. Hasilnya memang seperti yang diduga Ki Bima Seta. Kedua anak panah itu hanya menyambar angin!

"Keparat!" maki Ki Bima Seta geram. Disadari kalau kegagalan usahanya itu disebabkan adanya gangguan yang tidak terduga. "Monyet gila dari mana yang telah menggangguku hari ini, heh...?! Keluar kau, Pengecut! Jangan bersembunyi! Tampakkan dirimu!"

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan geram bernada tantangan, Ki Bima Seta mengedarkan pandangan mengawasi sekelilingnya. Hatinya merasa penasaran ingin segera melihat orang yang telah berbuat usil tadi.

"Siapa yang bersembunyi, Bima Seta?! Sejak tadi aku di sini!" sahut sebuah suara.

Ki Bima Seta terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa, masalahnya, suara itu berasal dari atas kepalanya. Langsung saja kepalanya didongakkan. Untuk kedua kalinya, lelaki berpakaian coklat muda itu terjingkat kaget. Bahkan kali ini sampai tersurut mundur.Tepat di atas kepalanya, pada salah satu cabang pohon, duduk mencangkung sesosok tubuh berpakaian hitam.

Dan belum sempat Ki Bima Seta berbuat sesuatu, sosok berpakaian hitam itu telah melesat meninggalkan tempat duduknya. Gerakan yang dilakukannya begitu cepat dan tampak indah.

Jliggg!

Dengan begitu ringan sosok berpakaian hitam itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi. "Siapa kau?!" tanya Ki Bima Seta seraya menudingkan jari telunjuknya. Matanya yang tajam merayapi sosok yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya. Sesosok berpakaian serba hitam itu bertubuh tinggi dan kurus. Sebuah selubung hitam yang dikenakan membuat wajahnya tidak terlihat. Hanya sepasang matanya yang tampak karena tepat pada bagian mata, terdapat dua buah lubang.

"Siapa diriku sebenarnya, nanti kujelaskan belakangan. Yang lebih penting lagi kau, Bima Seta! Apa kau terkejut karena tindakan yang kulakukan itu, Bima Seta?!" tanya sosok berselubung hitam bernada tak acuh.

"Dari mana kau tahu namaku, Keparat?!" tanya Ki Bima Seta, tak dapat menyembunyikan peras aan kagetnya. "Dan siapa sebenarnya dirimu? Aku belum pernah mengenalmu! Mengapa kau mencampuri urusanku?!"

"He he he...! Tidak usah kaget, Bima Seta! Aku hanya ingin memastikan saja kalau kau orang yang kucari," sosok berselubung hitam itu tertawa terkekeh, menyadari pancingannya berhasil.

Ki Bima Seta kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau dirinya telah masuk perangkap sosok berselubung hitam itu. "Hm..., ada apa kau mencariku?! Aku merasa tidak pernah punya urusan denganmu," ujar Ki Bima Seta, agak terbata-bata.

Sebenarnya laki-laki berpakaian coklat muda ini bukan orang sembarangan. Namun, penampilan dan sikap sosok berselubung hitam itu membuatnya harus bersikap hati-hati. Apalagi tadi telah disaksikan sendiri kemampuan sosok tidak dikenal itu. Ilmu meringankan tubuhnya jelas telah mencapai tingkat tinggi. Meskipun, tingkat kepandaian dan tenaga dalam sosok ini belum dilihat, Ki Bima Seta bisa memperkirakannya.

"Semula memang tidak, Bima Seta," masih tetap tenang ucapan sosok berselubung hitam. "Tapi, sekarang di antara kita ada urusan. Seseorang telah menyewaku untuk melenyapkanmu dari muka bumi."

Ki Bima Seta tersentak kaget. Kakinya serta-merta mundur selangkah ketika menyadari ada bahaya mengancam. Di samping dirinya tahu kalau sosok berselubung hitam itu akan membunuhnya, juga karena ada sebuah dugaan yang menyelinap di benaknya begitu mendapat jawaban itu.

Ki Bima Seta teringat akan seorang tokoh misterius dalam dunia persilatan. Seorang tokoh sakti yang mempunyai pekerjaan sebagai pembunuh bayaran. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa sebenarnya, karena tokoh itu selalu menyembunyikan wajah. Yang diketahui, tokoh ini mempunyai julukan Utusan dari Akherat!

"Hhh...! Orang inikah si pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu?!" Tanya Ki Bima Seta dalam hati.

Rasanya memang tidak keliru. Karena, menurut kabar, pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu mengenakan pakaian serba hitam.

"Siapa kau, Kisanak?!" tanya Ki Bima Seta, ingin memastikan kebenaran dugaannya, setelah termenung beberapa saat.

"Mengenai namaku, sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Tapi, kau boleh menyebutku sebagai Utusan dari Akh'erat," jawab sosok berselubung hitam yang ternya,ta memang Utusan dari Akhe ,, ^,, tetap bersikap tenang.

"Ya," Ki Bima Seta menganggukkan kepala. "Bukankah kau pembunuh bayaran?"

"He he he...!" Utusan dari Akherat menganggukkan kepala seraya tertawa terkekeh-kekeh.

"Utusan dari Akherat," ucap Ki Bima Seta dengan raut wajah sungguh-sungguh. "Aku berani membayarmu beberapa kali lipat dari orang yang telah menyewamu. Syaratnya, batalkan maksudmu. Dan bunuh orang yang menyuruh membunuhku!"

"Sayang sekali, Bima Seta! Aku tak dapat melakukannya. Ini menyangkut kehormatanku. Kau tahu, perintah yang diberikan padaku, tak dapat dibatalkan lagi. Sekalipun permintaan itu datang dari penyewaku. Setiap perintah berlaku mutlak! Tidak dapat ditawar-tawar lagi!" jawab Utusan dari Akhehrat dengan tegas.

Melihat sikap keras Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta jengkel. "Jangan kau kira aku takut padamu, Utusan dari Akherat! Orang lain boleh takut mendengar julukanmu. Tapi, aku tidak!"

"Bagus, Bima Seta! Jawaban seperti itulah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Kau tahu, aku tak ingin orang yang akan kubunuh menyerah begitu saja. Nah, bersiaplah kau!"

"Kaulah yang akan kami lenyapkan!" Seruan keras itu keluar dari mulut Sempani dan Birawa hampir berbarengan. Ternyata dua lelaki bertubuh kekar ini telah berada di situ sejak tadi. Mereka ikut mendengarkan percakapan antara Ki Bima Seta dengan Utusan dari Akherat. Keduanya tidak langsung bertindak karena melihat majikan mereka masih terlibat percakapan dengan pembunuh bayaran itu. Usai berkata demikian, Sempani dan Birawa langsung bertindak.

Srat! Srat!

Cahaya berkilauan langsung mencuat ketika Sempani Dan Birawa mencabut pedang yang tersandang di punggung. Lalu, bagai telah saling sepakat mereka bergerak menghampiri Utusan dari Akherat dari arah berlawanan. Sempani dari kiri, dan Birawa sebaliknya. Lalu....

"Hiyaaat..!"

Diiringi teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Sempani dan Birawa melancarkan serangan. Baik Birawa maupun Sempani menggerakkan pedang berputar laksana baling-baling, sebelum akhirnya dibabatkan ke tubuh Utusan dari Akherat. Sempani melancarkan tusukan lurus ke dada. Sedangkan Birawa mengirimkan babatan ke leher. Bunyi menderu yang mengiringi tibanya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahkan.

"Hmh...!" Utusan dari Akherat mengeluarkan dengusan bernada mengejek melihat serangan-serangan itu. Dia tetap bersikap tenang meskipun bahaya maut tengah meluncur mengancam jiwanya. Sama sekali tak ada tanda-tanda akan dilakukannya tindakan pembelaan diri, baik mengelak ataupun menangkis.

Bukan hanya Sempani dan Birawa yang merasa terkejut melihat tindakan Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta pun demikian. Apakah Utusan dari Akherat akan membiarkan kedua serangan itu mendarat pada sasarannya? Kalau benar demikian, berarti tokoh misterius ini telah memiliki kekuatan tenaga dalam yang sulit untuk diukur. Atau dia memiliki ilmu yang membuat tubuhnya tak dapat ditembus senjata tajam?

Peratanyan-pertanyaan ini merasuk di benak Sempani, Birawa, serta Ki Bima Seta. Dan mereka tak perlu menunggu terl alu lama untuk mendapatkan jawabannya.

Tak! Takkk!

Bunyi berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar ketika pedang Sempani dan Birawa mendarat pada sasarannya.

"Hah...?!"

"Akh...?!"

Sempani dan Birawa terpekik keras, ketika merasakan tangan mereka seketika terasa panas. Keduanya tampak menghentikan serangan terhadap lawan. Mulut mereka meringis menahan rasa sakit yang mendera di tangan.

"He he he...!Mengapa berhenti?!" ejek Utusan dari Akherat melihat kedua lawan menyeringai kesakitan, seraya menatap dirinya dengan pandangan takjub. "Pilihlah bagian yang empuk!"

Usai berkata demikian, sosok berselubung hitam itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya siap menerima serangan Sempani dan Birawa tanpa memberikan perlawanan.

Sempani dan Birawa saling pandang sebentar. Karena sesaat kemudian, keduanya telah kembali melancarkan serangan. Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar menepati janjinya. Dia tak memberikan perlawanan sama sekali. Dibiarkan saja semua serangan kedua lawannya. Tak pelak lagi, dua batang pedang yang dikerahkan dengan tenaga dalam, bertubi-tubi menghantam sekujur tubuhnya.

Tak! Tak! Tak!

Namun, seperti juga kejadian sebelumnya, Utusan dari Akherat tak terpengaruh sama sekali. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Karena Sempani dan Birawa mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk melancarkan serangan secara terus-menerus, tak aneh kal au akibatnya mereka kel elahan bagai kehilangan daya.

"Sudah puas?! Ha ha ha…!"

Lagi-lagi Utusan dari Akherat tertawa terbahak-bahak mengejek. Hal itu dilakukan tanpa merubah sikap semula. Tubuhnya tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tampak pakaiannya terkoyak-koyak akibat rusukan, sabetan, dan bacokan kedua pedang lawan.

Sesaat baik Sempani maupun Birawa menatap nanar Utusan dari Akherat. Keduanya seakan-akan tak mampu melakukan serangan. Rupanya kedua pengawal Ki Bima Seta ini telah menyadari kalau lawan terlalu tangguh. Di samping itu mereka seperti telah kehabisan tenaga untuk memberi jawaban. Cara berdiri Sempani dan Briawa yang tidak tegak lagi telah menjadi bukti nyata kelelahan yang diderita.

"He he he...!" Utusan dari Akherat tertawa terkekeh. Kemudian dengan tawa yang belum putus, pandangannya diarahkan ke arah Ki Bima Seta.

Ki Bima Seta yang masih berada di situ, tentu saja menyaksikan semua kejadian itu.

"Sekarang giliranmu, Bima Seta! Ketahuilah, he he he...! Nasibmu tak sama dengan mereka," ujar Utusan dari Akherat seraya menuding Sempani dan Birawa. "Aku hanya diperintah agar membunuhmu! Bersiaplah, Bima Seta! Padamu aku tidak bisa bersikap lunak!"

Srat! Srat!

Ki Bima Seta mencabut sepasang goloknya sebagai tanggapan atas peringatan yang diberikan Utusan dari Akherat. Jelas, lelaki berpakaian coklat muda itu bermaksud untuk mengadakan perlawanan.

"Jangan kau kira mudah untuk membunuhku, Bangsat!" dengus Ki Bima Seta sengit. Seiring dengan makian itu, Ki Bima Seta memutar-mutarkan sepasang goloknya di depan dada.

Wunggg! Wunggg...!

Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah mengamuk kontan terdengar. Hal itu menandakan kalau Ki Bima Seta mempunyai tenaga dalam yang amat kuat. Dengan sepasang golok yang diputar-putarkan, Ki Bima Seta menghampiri Utusan dari Akherat. Terlihat hati-hati sekali tindakannya.

Kakinya melangkah perlahan-lahan, dengan pandangan terus tertuju pada lawannya. Ki Bima Seta tampaknya tengah mencari bagian dari tubuh lawan yang akan dijadikan sasaran serangan Hal yang sama pun dilakukan Utusan dari Akherat. Pembunuh bayaran itu tampaknya tahu kalau yang dihadapi kali ini tak bisa disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Itulah sebabnya, meskipun kelihatannya sosok berselubung hitam ini bersikap tenang, sebenarnya kewaspadaan telah dipasang secara penuh.

Utusan dari Akherat mengawasi setiap langkah Ki Bima Seta dengan seksama. Memang, kedudukannya t etap tidak berubah. Namun, sepasang matanya beredar mengikuti setiap tindakan kaki Ki Bima Seta.

Beberapa saat lamanya, keadaan berlangsung seperti itu. Utusan dari Akherat tetap berdiri diam di tempatnya. Sedangkan Ki Bima Seta terus melangkah menghampirinya dengan sepasang senjata siap untuk disarangkan pada sasaran. Keadaan jadi terlihat menegangkan hati. Perasaan itu pun melanda Sempani dan Birawa yang kini hanya bertindak sebagai penonton.

"Hiaaat...!" Teriakan keras menggelegar Ki Bima Seta memecahkan ketegangan yang melingkupi tempat itu. Lelaki berpakaian cokl at itu membuka serangan dengan sebuah jurus mematikan. Sepasang goloknya bergerak cepat seperti menggunting leher Utusan dari Akherat.

Serangan Ki Bima Seta yang begitu cepat sulit untuk diduga. Hal itu karena lelaki setengah baya itu melakukan gerakan yang sedemikian rupa. Sehingga golok yang berada di tangan kanan membabat dari kiri, sedangkan golok di tangan kiri membabat dari kanan.

Sing! Sing!

Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar, ketika sepasang golok itu saling berkelebat memburu sasaran. Utusan dari Akherat menyadari adanya maut yang mengancam jiwanya. Namun anehnya, tak tampak sedikit pun kegugupan atau peras aan gentar di mata lelaki berselubung kain hitam itu. Meskipun serangan lawan meluncur demikian cepat, gerakan yang dilakukannya ternyata jauh lebih cepat. Kaki kanannya segera ditarik mundur, sambil tak lupa mencondongkan tubuh ke belakang.

Wuttt! Wuttt!

Hasil tindakan Utusan dari Akherat memang tidak percuma. Serangan Ki Bima Seta lewat beberapa jari di depan, dan membabat tempat kosong. Angin kencang dari serangan itu menerpa kepalanya yang tertutup selubung kain hitam.

Melihat hal ini, Ki Bima Seta tidak putus asa. Begitu serangan pertama berhasil dielakkan lawan, langsung saja dilakukan serangan susulan. Sambil melangkah maju, sepasang goloknya diputar sedikit. Lalu, kembali melesat. Sasarannya kali ini tak lain kedua pinggang lawan.

"Hebat...!" Tanpa sadar dari mulut Utusan dari Akherat terlontar kata pujian. Bukan sebuah pujian kosong. Rupanya sosok berselubung hitam ini memang merasa kagum melihat kehebatan perkembangan ilmu golok lawannya.

Meskipun demikian, bukan berarti Utusan dari Akhirat tak mampu mematahkan serangan dahsyat itu. Sama sekali tidak! Meskipun serangan lanjutan itu berlangsung begitu cepat, dan hampir tidak terduga.

"Hiyaaa...!"

Wut! Wut!

"Hih…!" Dengan cepat Utusan dari Akherat melemparkan tubuh ke belakang, sehingga serangan Ki Bima Seta kembali kandas. Namun, Ki Bima Seta benar-benar tak ingin memberi kesempatan sedikit pun kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Tepat ketika tubuh Utusan dari Akherat tengah berada di udara, kakinya digenjotkan untuk memburu lawan seraya melancarkan serangan bertubi-tubi.

Pemandangan yang menarik pun terjadi. Keadaan yang kurang pantas disebut sebagai sebuah pertarungan. Masalahnya, Utusan dari Akherat terus-menerus bergerak menjauh, sementara Ki Bima Seta memburunya seraya tanpa henti menghujani serangan secara beruntun.

Selama hampir sepuluh jurus Ki Bima Seta melancarkan serangan dahsyat dan bertubi-tubi. Namun selama itu, tak satu pun yang mengenai sasaran. Semua berhasil dielakkan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal ini membuat lelaki berpakaian coklat muda itu merasa penasaran bukan kepalang. Sehingga, serangan-serangannya pun semakin dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang laut.

Sebenarnya, kalau saja Ki Bima Seta mau membuka mata dan tidak menuruti rasa penasaran, dia tak harus terlalu bemafsu. Kegagalan demi kegagalan serangan yang dilakukan dalam belasan jurus, telah membuktikan kalau tingkat kepandaian lawan berada jauh di atasnya. Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh.

Namun tampaknya Ki Bima Seta mempunyai watak keras kepala. Rasa penasaran yang berkecamuk di hati, membuat hal itu tidak terpikirkan. Bukan menghentikan serangan dan mencari cara agar dapat meloloskan diri, lelaki berpakaian coklat itu justru semakin gencar melancarkan serangan.

Kembali lima jurus terlewati! Dengan begitu pertarungan itu hampir mencapai dua puluh jurus. Namun Ki Bima Seta tak berhasil menyarangkan satu pun serangannya.

"Sekarang giliranku, Bima Seta!" Terdengar seruan Utusan dari Akherat di antara deru hujan serangan sepasang golok Ki Bima Seta.

Seketika itu pula jantung Ki Bima Seta berdetak lebih cepat mendengar ucapan itu. Namun, hal itu tetap tak membuat serangannya semakin mengendur. Hanya saja kali ini kewaspadaannya ditingkatkan. Disadari kalau ucapan itu mengandung pengertian kalau lawan akan mulai melancarkan serangan balasan.

Ternyata benar, Utusan dari Akherat langsung memenuhi janjinya. Hal itu terbukti pada jurus kesembilan bel as, tepat ketika Ki Bima Seta menusukkan sepasang goloknya ke dada lawan. Sosok berselubung hitam cepat mengulurkan kedua tangannya.

Seketika wajah Ki Bima Seta berubah, melihat gerakan lawan. Meskipun belum tahu pasti bentuk serangan itu, pikirannya sudah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan Utusan dari Akherat. Apa lagi kalau bukan hendak menangkap mata goloknya? Sudah gilakah Utusan dari Akherat?! Atau memang dirinya mempunyai tenaga dalam yang amat kuat sehingga dapat menangkap sepasang goloknya tanpa terluka!

Ki Bima Seta merasakan betapa jantungnya berdebar-debar. Hal itu karena hatinya yakin Utusan dari Akherat akan mengalami akibat yang tidak menyenangkan apabila tetap meneruskan maksudnya. Setidak-tidaknya tangan si pembunuh bayaran itu akan terluka. Ki Bima Seta yakin kalau lawannya telah salah perhitungan.

Utusan dari Akherat terlalu yakin dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki dan terlalu menganggap remeh kemampuan lawan. Padahal, Ki Bima Seta tahu pasti bahwa kemampuan dan tenaga dalamnya tak bisa disamakan dengan Sempani atau Birawa, kedua pengawalnya. Jangankan hanya dua orang, biar ada sepuluh Sempani atau Birawa pun tak dapat disamakan dengan dirinya!

Karena keyakinan itulah Ki Bima Seta mengambil keputusan untuk meneruskan serangannya. Bahkan lelaki berpakai an coklat muda itu menggertakkan gigi, seakan-akan berusaha meningkatkan kekuatan serangan sampai batas-batas tertinggi kemampuan yang dimilikinya. Dugaan Ki Bima Seta tidak salah! Utusan dari Akherat ternyata memang bermaksud memapak serangan itu dengan kedua tangannya. Dan....

Kreppp!

"Heh...?!" Pekikan kaget keluar dari mulit Ki Bima Seta, ketika melihat kejadian yang sama sekali tak diduga. Sepasang goloknya berhasil direnggut cengkeraman Utusan dari Akherat. Dan jari-jari tangan sosok berselubung hitam itu tampak tetap utuh! Jangankan putus, terluka pun tidak! Hal ini benar-benar di luar dugaan Ki Bima Seta. Matanya terbelalak kaget bercampur heran.

Ki Bima Seta langsung menyadari akan keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Lelaki setengah baya itu tidak ingin senjata andalan itu dirampas. Maka, dengan cepat ditariknya agar lepas dari cengkeraman tangan lawan. Lelaki berpakaian coklat muda itu tahu kalau hal itu dilakukan, setidak-tidaknya tangan Utusan dari Akherat akan terluka!

Untuk yang kedua kalinya hasil yang diharapkan Ki Bima Seta tidak sesuai dengan kenyataan. Sepasang golok itu sedikit pun tak bergeming. Seakan-akan bukan tangan manusia yang mencengkeramnya, melainkan sebuah jepit baja. Betapapun Ki Bima Seta mengerahkan tenaga sampai terdengar suara ah-uh ah-uh dari mulutnya, tetap saja sia-sia!

Tiba-tiba saja, ketika Ki Bima Seta tengah bersitegang dengan tarikannya, tanpa diduga Utusan dari Akherat melepaskan cengkeramannya. Akibatnya pun dapat diduga! Tubuh Ki Bima Seta terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.

"Aaah...!" Tanpa sadar Ki Bima Seta mengeluarkan jeritan yang sebagian besar karena rasa kaget.

Di saat tubuh Ki Bima Seta berada dalam keadaan terhuyung-huyung, Utusan dari Akherat memasukkkan tangan kanannya ke balik baju. Hanya sekejap saja, tangan itu telah keluar dengan menggenggam sebatang pisau kecil bergagang ukiran kepala tengkorak manusia. Secepat pisau kecil itu berada di genggaman tangan, secepat itu pula Utusan dari Akherat mengibaskannya.

Singgg!

Bunyi berdesing nyaring mengiringi lesatan pisau kecil itu ke tubuh Ki Bima Seta yang belum sempat memperbaiki kedudukannya. Ki Bima Seta terkejut bukan kepalang, melihat serangan itu. Masalahnya, pisau itu meluncur ketika tubuhnya masih terhuyung-huyung. Sedapat mungkin sepasang goloknya digerakkan untuk mematahkan serangan itu. Tapi....

Crap!

"Aaakh...!" Jeritan panjang menyayat hati keluar dari mulut Ki Bima Seta, ketika pisau bergagang kepala tengkorak menghunjam di ubun-ubunnya. Usahanya untuk memapak pisau itu gagal total!

Brukkk!

Tubuh Ki Bima Seta ambruk di tanah, menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!

"Ki...!" Hampir bersamaan Sempani dan Birawa menjerit kaget. Bagai diperintah, keduanya segera melesat menghampiri mayat Ki Bima Seta yang terkapar berlumur darah.

"Ha ha ha...!"

Berbeda dengan Sempani dan Birawa yang tampak sangat terpukul atas kematian Ki Bima Seta, Utusan dari Akherat malah gembira. Sambil memperhatikan mayat korbannya, dia tertawa terbahak-bahak. Dan masih dengan tawa yang belum putus, pembunuh bayaran itu melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan beberapa kali lesatan, tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Hanya sebuah titik hitam kecil tampak di kejauhan, yang akhirnya lenyap.

Kini, suasana di Hutan Saragan kembali sunyi. Tidak terdengar lagi gemuruh pertarungan dan teriakan-teriakan keras. Keadaan pulih seperti sedia kala.

* * *

TIGA

Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh meninggalkan tempat terbitnya, memancarkan sinar yang tidak lagi nikmat di kulit. Dalam suasana seperti itulah tampak sepasang muda-mudi melangkah cepat memasuki tapal batas sebuah desa. Mereka mengenakan pakaian berwarna ungu dan putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati?!

Di ambang tembok batas desa, pasangan pendekar berwajah elok ini menghentikan langkah. Pandangan mereka diedarkan ke depan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya jajaran tanaman singkong.

Meskipun demikian bukan berarti tidak terlihat pemandangan lainnya. Di beberapa tempat tampak sosok-sosok tubuh bertelanjang dada yang tengah sibuk mencabuti pohon-pohon singkong. Memang, sudah waktunya tanaman itu untuk diambil hasilnya.

Hanya sebentar saja Dewa Arak dan Mel ati bersikap demikian. Kemudian dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak kekasihnya untuk menuju para petani itu. Tanpa membantah sedikit pun, gadis berpakaian putih itu mengikuti.

Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Dewa Arak dan Melati menghampiri salah seorang penduduk desa yang tengah sibuk dengan pekerjaannya Keduanya melangkah di atas jalan setapak yang membelah jajaran pepohonan.

"Maaf, Kisanak! Bisa kami mengganggu sebentar?! Kami ingin menanyakan sesuatu," tanya Arya sopan.

Lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam kecoklatan karena sering terbakar matahari itu, menghentikan kesibukannya. Matanya sejenak menatap kedua muda-mudi di hadapannya. Sekilas tampak sorot keterkejutan pada wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar. Karena segera ditutupinya dengan secercah senyum ramah.

"Silakan, Kisanak! Katakanlah, barangkali saja aku bisa membantu," sahut lelaki kekar itu ramah.

"Begini, Kisanak. Kami tengah mencari seseorang yang bernama Bima Seta. Apakah kau bisa menunjukkan pada kami tempat tinggalnya?!" Arya mulai mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di hati.

Seketika, senyum yang menghias wajah lelaki kekar itu lenyap. Jelas, yang menjadi penyebabnya tak lain pertanyaan Arya. Tentu saja perubahan air muka lelaki kekar itu tak luput dari perhatian Arya dan Melati. Dan tentu saja kejadian itu membuat keduanya heran. Namun, baik Dewa Arak maupun Melati tak memperlihatkan perasaan itu.

"Ada urusan apa mencarinya, Kisanak?!" tanya lelaki kekar itu dengan nada suara kurang ramah.

Arya mengembangkan senyum lebar. "Sebenarnya kami tidak mempunyai urusan apa pun dengannya. Hanya saja, di tengah perjalanan, kami mendengar ada orang yang bermaksud membunuhnya. Sayang, sebelum kami sempat mengetahuinya, dia telah keburu kabur," jelas Arya, tetap bersikap tenang.

"Jadi..., kau menanyakan tempat tinggalnya untuk memberitahukan adanya usaha pembunuhan itu, Kisanak?!" tukas lelaki kekar itu, cepat.

"Benar, Kisanak," Arya menganggukkan kepala.

Secercah senyum sinis langsung terpampang di bibir lelaki kekar itu. "Urungkan saja niatmu, Kisanak!" tandas lelaki kekar itu dengan nada semakin tidak ramah. "Percayalah! Usaha pembunuhan itu tidak akan berhasil! Nah! Sekarang, pergilah!"

Wajah Arya berubah. Hatinya merasa tersinggung sekali mendapat perlakuan seperti itu. Namun, karena sadar kalau lelaki kekar itu pasti mempunyai alasan sehingga bersikap demikian, Dewa Arak menahan diri. Ditahannya amarah yang berkobar-kobar di dalam dada.

Arya berhasil menekan kemarahannya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Melati. Gadis berpakaian putih ini merasa tersinggung bukan kepalang melihat perlakuan lelaki kasar itu pada kekasihnya. Arya telah bertanya baik-baik, mengapa mendapat sambutan seperti itu? Hatinya tak menerima.

"Apakah kau tidak bisa sopan sedikit, Kisanak?! Kawanku bertanya baik-baik, mengapa kau memperlakukannya seperti terhadap anjing kudisan?!"

Suara Melati terdengar bergetar, sebagai pertanda kalau sewaktu-waktu amarahnya dapat meledak. Hal ini pun diketahui secara pasti oleh Arya. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini buru-buru menyentuh lengan Melati untuk meredakan amarah yang melanda hati kekasihnya. Arya tak ingin Melati turun tangan terhadap lelaki bertubuh kekar itu. Memang, lelaki kekar itu rupanya mempunyai sikap keras kepala. Meskipun tahu kalau Melati tengah marah, dia bersikap tidak peduli.

"Sopan katamu?! Dengan terus meladeni kalian berdua saja aku sudah bersikap sangat sopan! Kalau tidak, kalian telah kutinggalkan sejak tadi"

"Keparat! Menghadapi orang sepertimu memang harus menggunakan kekerasan!"

Usai berkata demikian, Melati mengibaskan tangan kanannya. Kelihatannya pelan saja dan tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya benar-benar menakjubkan! Tubuh lelaki bertubuh kekar itu melayang ke belakang, seperti dihembus angin badai!

"Aaa...!" Lelaki kekar itu menjerit ketakutan ketika mengetahui tubuhnya melayang deras ke belakang. Dan sebelum jeritannya habis....

Srakkk! Brukkk!
Tubuh lelaki kekar itu jatuh di tanah. Beberapa batang pohon singkong langsung patah karena tertimpa.

"Uh...!" Lelaki kekar itu mengeluh kesakitan ketika berusaha untuk bangkit. Meskipun demikian, tindakan itu terus dipaksakannya. Akhirnya tubuhnya berhasil melakukan hal itu, meskipun dengan susah payah.

"Sudah kuduga..., kalian berdua tak ubahnya dengan orang-orang yang telah lebih dulu tiba! Pura-pura menanyakan sesuatu, lalu akhirnya menyebar maut di desa ini!" rutuk lelaki kekar itu, geram.

Melati tersenyum sinis. "Bisa kumaklumi kalau orang-orang yang lebih dulu datang dari kami melakukan tindakan demikian! Mereka tidak salah! Kaulah yang menjadi penyebabnya! Orang mana pun tentu akan marah apabila mendapat perlakuan seperti yang kami terima!"

Melihat keadaan yang sudah mulai memanas itu, Arya tidak bisa tinggal diam. Buru-buru dia menyelak di antara Melati dan lelaki kekar itu. Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud melerai.

"Tenang. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini," ujar Arya buru-buru karena takut didahului. "Percayalah, Kisanak! Kami tidaklah sejahat yang kau sangka. Dan...."

"Asal kau tahu saja, Petani Busuk! Kawanku ini jauh lebih mulia daripada dirimu! Apakah kau pernah menyelamatkan nyawa orang lain? Tidak, kan? Nah! Dengar baik-baik, kawanku itu telah meyelamatkan nyawa puluhan ribu orang! Pernah kau dengan julukan Dewa Arak?!" selak Melati, berapi-api.

Wajah lelaki kasar itu langsung berubah pucat. Julukan Dewa Arak yang disebutkan Melati-lah yang menjadi penyebabnya. Memang, meskipun hanya seorang petani, dia pernah mendengar julukan itu. Menurut kabar yang sampai ke telinganya, Dewa Arak seorang pendekar pembela kebenaran. Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini tokoh yang mempunyai julukan demikian? Rasanya sulit untuk dipercaya!

"Benarkah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya lelaki kekar tak yakin. Nada suaranya pelan, tidak kasar seperti sebelumnya.

Tidak ada pilihan lagi bagi Arya kecuali membenarkan pertanyaan itu. Dengan senyum terkembang kepalanya mengangguk. "Benar, Kisanak. Itulah julukan yang diberikan dunia persilatan padaku. Sedangkan namaku Arya Buana. Panggil saja Arya. Sedangkan kawanku ini Melati."

"Ah...! Kalau begitu, maafkan kelakuanku, Dewa Arak! Aku telah salah menduga. Biasanya setiap orang yang menanyakan nama Bima Seta, pasti merupakan konco-konconya," jelas lelaki kekar itu, membela diri.

"Lupakanlah, Kisanak! Aku bisa memakluminya," jawab Arya, bijaksana. "Bukan begitu, Melati?!"

Terpaksa Melati menganggukkan kepala, menyetujui pendapat kekasihnya. Padahal, hatinya masih jengkel. Walaupun memang tidak sebesar sebelumnya. Permintaan maaf lelaki kekar itu telah cukup meredakan amarahnya.

"O, ya. Atas nama seluruh penduduk Desa Kalisari, aku, Saraka, mengucapkan selamat datang di desa ini," lanjut lelaki kekar itu agak terbata-bata.

"Terima kasih atas sambutanmu, Kang Saraka!" Arya merubah panggilannya. "O, ya. Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja. Rasanya telingaku menjadi gatal mendengarnya."

Lelaki kekar yang bernama Saraka itu tersenyum mendengar ucapan Arya, yang dikeluarkan sambil bergurau itu.

"Bagaimana, Kang Saraka?! Bisakah kau memberi keterangan atas sikap bencimu terhadap Bima Seta?!" tanya Arya, mengalihkan percakapan pada pokok permasalahan.

"Hhh...!" Saraka menghembuskan napas berat. "Ceritanya panjang, Arya. Aku khawatir kau tidak sabar mendengarkannya...."

"Ceritakanlah, Kang! Percayalah, aku akan sabar mendengarkannya!" terdengar penuh keyakinan Arya memberikan jawabannya.

"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Arya," Saraka terpaksa mengalah. "Sekarang dengarkan baik-baik."

Sampai dl sini, Saraka menghentikan ucapannya. Dan termenung, memikirkan kata-kat a yang tepat untuk memulai keterangannya. Arya dan Melati menggunakan kesempatan itu untuk memusatkan perhatian pada cerita Saraka.

"Sebenarnya Bima Seta bukan penduduk asli desa ini. Dia merupakan pendatang dari tempat yang tidak kami ketahui secara jelas di mana. Meskipun demikian, hal itu tidak kami permasalahkan. Kehadiran Bima Seta dan maksudnya untuk tinggal di desa ini kami sambut dengan tangan terbuka," ujar Saraka memulai ceritanya.

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Meskipun demikian, tidak ada ucapan yang mereka keluarkan.

"Rasa suka kami terhadap Bima Seta semakin mendalam karena dia pandai bergaul. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, seisi desa telah menyukainya," Saraka kembali melanjutkan ceritanya. "Sekitar satu minggu setelah kedatangan Bima Seta di desa kami, mulai bermunculan beberapa orang yang menilik gerak-geriknya adalah tokoh-tokoh persilatan. Baik secara berkelompok maupun perorangan mereka berdatangan kemari."

Saraka menghentikan keterangannya untuk mengambil napas. Ditelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Sejak saat itu, kami mulai merasa tidak enak. Sebuah pertanyaan pun muncul di benak para warga desa. Mengapa orang-orang kasar itu berdatangan kemari. Saat itu kami belum merasa curiga terhadap Bima Seta." Untuk kesekian kalinya, Saraka menghentikan keterangannya.

"Perasaan curiga terhadap Bima Seta mulai muncul ketika kami melihat adanya perubahan pada sikapnya. Bima Seta mulai memasang jarak dengan penduduk desa. Sampai akhirnya, dia melakukan tindak kekerasan. Merampok, membunuh, dan memperkosa para wanita. Yang lebih gila lagi, tidak hanya gadis yang menjadi korbannya. Tapi juga para wanita yang telah bersuami!"

"Apakah tidak ada perlawanan dari para penduduk desa ini, Kang?! Guru silat desa ini, misalnya? Atau..., kepala desa?" tanya Arya, menyelak.

"Tentu saja ada, Arya," jawab Saraka dengan suara mendesah. "Guru silat desa ini bersama beberapa orang muridnya melakukan perlawanan."

"Lalu..., hasilnya?!" kejar Arya lagi. Meskipun dari jawaban dan sikap Saraka, bisa diperkirakan hasil perlawanan yang dilakukan terhadap Bima Seta.

"Mereka semua tewas!" terasa jelas nada keluhan dalam ucapan Saraka. "Bima Seta bukan orang sembarangan. Dia memiliki kepandaian amat tinggi. Apalagi, dia tidak bertindak sendiri. Orang-orang kasar yang berdatangan ke desa ini ternyata anak buahnya!"

"Heh...?! Mengapa bisa demikian, Kang?!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan perasaan terkejutnya.

"Mereka satu gerombolan, Arya. Menurut kabar yang kami dengar, Bima Seta dan pengikut-pengikutnya merupakan sisa-sisa perampok yang telah dihancurkan pasukan kerajaan. Yang kusayangkan, mengapa mereka memilih desa ini sebagai tempat pelarian...."

"Sekarang aku bisa mengerti mengapa kau bersikap kasar pada kami," ujar Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Terima kasih atas pengertianmu, Arya," ucap Saraka penuh peras aan syukur. "Dan..., kalau kau tidak keberatan..., atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kumohon kau bersedia melenyapkan kedurjanaan Bima Seta dan kelompoknya. Bagaimana, Arya?! Maukah kau memenuhi permohonan kami?"

"Tentu saja, Kang. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan keangkaramurkaan ini," janji Arya, mantap.

"Kang...,"Melati yang sejak tadi berdiam diri, angkat bicara.

"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menolehkan kepala.

"Bukankah ada orang yang bermaksud membunuh Bima Seta?! Apakah kau lupa?!"

"Aku yakin usaha itu akan gagal, Melati," dengan nada yakin Saraka mendahului memberikan jawaban. "Telah banyak usaha seperti itu dilakukan. Tapi hasilnya, sia-sia! Aku yakin, usaha pembunuhan itu pasti gagal!"

"Kita lihat saja hasilnya, Kang," sambut Arya tak berani memastikan. "Tidak baik berputus asa. Karena hal itu hanya akan melenyapkan semangat. Dan...."

Ucapan Arya terhenti ketika mendengar langkah kaki kuda. Ditolehkan kepalanya untuk melihat tapal batas desa, tempat asal bunyi itu. Melati dan Saraka pun melakukan tindakan serupa.

Tampak tiga ekor kuda tengah berjalan pelan memasuki jalan desa. Masing-masing binatang itu membawa penunggang. Hanya saja ada perbedaan yang mencolok di sana. Di punggung kuda coklat yang diiringi dua pengawal tampak sesosok tubuh terkulai lemas dalam keadaan tertelungkup.

Dewa Arak dan Melati yang memiliki pandangan tajam, sepintas saja dapat mengetahui kalau sosok di punggung kuda coklat itu telah tewas.

"Dua penunggang kuda hitam itu adalah anak-anak buah Bima Seta, Arya," ujar Saraka dengan suara bergetar. "Birawa dan Sempani nama mereka."

Arya dan Melati saling pandang. "Lalu..., siapa orang yang tertelungkup di punggung kuda coklat itu, Kang?!" tanya Arya. "Sepertinya dia telah tewas...."

"Benarkah itu, Arya?!" tanya Saraka setengah tak percaya "Kalau melihat pakaian yang dikenakan dan kuda tunggangannya, pasti Bima Seta! Hanya Bima Seta yang mengenakan pakaian dan kuda berwarna coklat."

"Berarti…, pembunuh itu telah berhasil melaksanakan tugasnya," tukas Melati.

"Benarkah itu?!" tanya Saraka masih tak percaya.

"Mari kita buktikan kebenarannya!" Setelah berkata demikian, Arya segera mengayunkan kaki, menghampiri. Mau tidak mau, meskipun merasa gentar, Saraka ikut serta. Itu pun setelah dilihatnya Melati melangkah mengikuti Dewa Arak.

Tentu saja, kedatangan Dewa Arak bersama Melati dan Saraka segera diketahui Birawa dan Sempani. Namun keduanya tak peduli, terus menjalankan kuda mereka. Bahkan senyum mengejek tampak tersungging di bibir mereka. Jelas, kedua orang kasar ini menganggap rendah tiga sosok yang menghampiri mereka.

Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak menghampiri, dalam waktu singkat jarak mereka telah demikian dekat, sekitar tiga tombak. Sampai di sini kedua belah pihak sama-sama menghentikan langkah.

"Hih!" Sempani melompat dari punggung kuda. Lalu....

Srattt!

Sinar terang mencuat ketika pedangnya dicabut. "Rupanya kalian ingin mencari penyakit, heh...?! Berani mencegat perjalanan kami!" seru Sempani mengancam.

Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Sempani langsung melancarkan serangan. Saat itu hatinya masih dalam keadaan gusar dan marah akibat amukan Utusan dari Akherat. Maka langsung saja dilampiaskannya pada para penghadangnya.

Wuttt!

Sempani tidak bertindak setengah-setengah. Dalam serangan pertama saja langsung dikirimkan serangan mematikan. Pedangnya diluncurkan membabat tenggorokan! Dan yang menjadi sasaran pertama adalah Dewa Arak!

Dewa Arak tetap bersikap tenang, meskipun melihat jelas adanya ancaman maut terhadap dirinya. Tidak terlihat adanya gelagat kalau pemuda berambut putih keperakan ini akan melakukan gerakan untuk mengatasi serangan lawan.

Namun ketika ujung pedang Sempani hampir mengenai sasaran, tiba-tiba Dewa Arak mengulurkan tangan. Sebuah gerakan yang sangat cepat. Orang kasar seperti Sempani mana mampu melihat jelas tangan Dewa Arak? Yang sempat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan tak jelas. Dan tahu-tahu....

Kreppp!

Batang pedang Sempani telah tercekal. Dan sebelum anak buah Bima Seta itu sempat berbuat sesuatu, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Pemuda berambut putih keperakan itu memutarkan tangannya.

Sempani kaget bukan kepalang ketika merasakan tubuhnya terbawa putaran tangan lawan. Buru-buru dikerahkannya tenaga dalam untuk melawan. Namun ternyata tenaga Dewa Arak terlalu kuat untuk bisa ditahan. Karena Sempani tak mau melepaskan cekalan pada gagang pedang hingga tubuhnya terbawa putaran tangan Dewa Arak.

Wuk! Wuk! Wuk!

Tubuh Sempani terputar di atas kepala Dewa Arak laksana baling-baling.

"Aaah...!" Tanpa sadar mulut Sempani mengeluarkan jeritan panjang. Teriakan yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget. Tubuhnya terputar-putar di udara dengan kecepatan tinggi.

EMPAT

Sempani merasa tersiksa bukan kepalang. Apalagi ketika dirasakan putaran itu semakin lama semakin cepat. Kepala mulai terasa pusing, pandangannya pun berkunang-kunang. Karena semua yang dilihatnya berputaran secara cepat.

Mula-mula hanya rasa pusing yang diderita Sempani. Namun sesaat kemudian, rasa mual timbul. Semakin lama dirasakan perutnya bagaikan dikocok-kocok dengan kuat. Sempani yakin sebentar lagi pasti akan muntah-muntah.

Rupanya Dewa Arak pun menyadari kemungkinan terjadinya hal seperti itu. Terbukti sebelum Sempani muntah-muntah, tangannya telah lebih melepaskan cekalan pada mata pedang lawan.

Tubuh Sempani seketika terlontar dan melayang jauh. Jeritan tertahan anak buah Bima Seta itu pertanda kengerian hatinya yang mencekam di saat tubuhnya meluncur. Entah di mana tubuh Sempani jatuh, Dewa Arak tak mempedulikan lagi. Begitu tubuh anak buah Bima Seta itu dilepaskan, diayunkan kakinya mendekati Birawa.

Karuan saja hal itu membuat Birawa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sadar pemuda berambut putih keperakan itu memiliki kemampuan luar biasa. Keberhasilannya merobohkan Sempani dalam waktu yang demikian singkat dan dengan amat mudah itu, sebagai bukti nyata yang tak dapat dibantah lagi!

Birawa buru-buru melompat dari punggung kuda. Lalu, tanpa malu-malu lagi berlutut di depan Dewa Arak. Pedang yang tergantung di punggung langsung dilemparkan begitu saja ke tanah.

"Ampun, Tuan Pendekar! Tobat...!" ucap Birawa memohon belas kasihan.

Dewa Arak tidak menyahuti. Ditatapnya sekujur tubuh Birawa yang berlutut tepat di depannya. Entah apa yang terkandung dalam benak pendekar muda ini. Dan sebelum Dewa Arak berhasil menemukan kata-kata yang akan dikeluarkan, Saraka telah menyelak. Lelaki kekar itu langsung mendekati Birawa.

"Manusia keji sepertimu tak layak dibiarkan hidup! Hih!"

Saraka mengayunkan goloknya yang terselip di pinggang, ke arah leher Birawa. Nasib rekan Sempani ini sudah bisa diperkirakan apabila golok itu mendarat di sasarannya.

Wuttt! Takkk!

"Akh!"

Singgg!

Renteten kejadiannya berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk diikuti mata. Tahu-tahu, golok di tangan Saraka telah terlempar jauh. Hal itu terjadi karena campur tangan Dewa Arak. Di saat mata golok hampir memenggal leher, Dewa Arak mengayunkan kaki kanan, memapak mata golok Saraka. Dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, kakinya tak kalah kuat dengan batang baja. Itulah sebabnya benturan yang terjadi, menimbulkan bunyi seperti dua logam keras beradu.

"Mengapa, Arya?! Mengapa kau mencegahku membunuhnya...?!" tanya Saraka terbata-bata seraya menatap tajam wajah Dewa Arak. Tarikan wajah dan sorot mata lelaki kekar ini menyiratkan ketidak-percayaan yang dalam.

"Bukan merupakan tindakan ksatria membunuh lawan yang tak mengadakan perlawanan, Kang!" sahut Dewa Arak dengan suara pelan, tapi mengandung ketegasan. Seketika wajah Saraka merah padam karena malu. Padahal, Dewa Arak telah memilih kalimat yang halus!

"Lalu..., apakah kita harus mengampuninya, Arya?!" tanya Saraka lagi tanpa menyembunyikan rasa penas aran yang bergolak.

Dewa Arak tersenyum lebar. "Semua itu kuserahkan pada kebijaksanaanmu, Kang. Kau dan penduduk Desa Jarak yang lebih berhak untuk memutuskannya," jawab Arya, bijaksana.

Saraka langsung diam. Jawaban Dewa Arak membuatnya merasa puas. Perasaan kagum yang sudah bersemi terhadap pemuda berambut putih keperakan itu pun semakin tumbuh subur. "Berita itu memang tidak berlebihan. Dewa Arak ternyata seorang pendekar besar yang dapat bertindak bijaksana," gumam lelaki kekar ini dalam hati.

"Kalau begitu..., atas nama penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih atas bantuan yang kau berikan, Arya," ucap Saraka penuh rasa syukur.

"Lupakanlah! O ya, Kang. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya."

"Silakan, Arya!"

Dewa Arak pun mengalihkan perhatiannya pada Birawa. "Siapa yang telah membunuh Ki Bima Seta, Birawa?!" tanya Arya penuh wibawa.

"Seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat, Tuan Pendekar," jawab lelaki berbibir tebal itu sambil mengangkat wajahnya.

"Utusan dari Akherat...?!"

Arya mengulang julukan yang disebutkan Birawa. Dahinya berkernyit seakan-akan tengah memutar pikiran. Hal yang sama pun dilakukan Melati. Keduanya merasa pernah mendengar julukan itu. Namun tidak ingat kapan dan di mana mereka menget ahuinya.

"Dia seorang pembunuh bayaran, Tuan Pendekar," lanjut Birawa, seakan-akan mengetahui apa yang dipikirkan Dewa Arak.

"Ah...! Sekarang aku ingat! Ya! Aku juga pernah mendengarnya. Seorang pembunuh bayaran! Kau tidak tahu siapa yang telah menyewanya?!" tanya Arya, ingin tahu.

"Tidak, Tuan Pendekar," Birawa menggelengkan kepala. "Utusan dari Akherat tak memberitahukannya."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban seperti itu memang sudah diduganya. Karena meskipun tak pernah berhubungan dengan urusan seperti itu, dia tahu tak mungkin seorang pembunuh bayaran memberitahukan siapa yang telah menyewanya.

"Cukup, Kang! Sekarang kuserahkan dia padamu."

"Terima kasih, Arya. Aku akan membawanya ke balai desa. Seperti katamu tadi, biar para penduduk yang akan menentukan hukuman terhadapnya."

"Itu bagus," puji Arya, bernada gembira mendengar Saraka menyetujui usulnya.

* * *

Penduduk Desa Jarak gempar mendengar kematian Ki Bima Seta. Mereka langsung merayakannya. Mulai dari mulut desa, sampai di depan setiap rumah terpasang hiasan dan umbul-umbul. Julukan Utusan dari Akherat pun menjadi buah bibir. Setiap penduduk memuji-mujinya setinggi langit. Di sana-sini orang membicarakan kehebatan tokoh itu.

Tentu saja Dewa Arak pun mendapat pujian pula. Karena dialah yang telah melumpuhkan perlawanan Birawa dan Sempani, dua orang anak buah Ki Bima Seta. Sepasang pendekar muda berwajah elok ini pun mendapat jamuan dan penghormatan dengan ditemani para sesepuh Desa Jarak.

"Terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Bantuan yang kau berikan tidak kecil artinya bagi kami. Tanpa bantuanmu, orang-orang desa ini tidak akan hidup tenang. Aku sebagai Kepala Desa Jarak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua pertolonganmu," ucap seorang laki-laki setengah baya berpakai an putih. Jenggot pendek yang telah memutih menghias bawah dagunya. Ki Barjanala, namanya.

"Ah! Kau terlalu melebih-lebihkan, Ki. Tanpa bantuanku pun sebenarnya Sempani dan Birawa akan dapat kalian lumpuhkan. Kepada Utusan dari Akheratlah seharusnya kalian berterima kasih," sahut Arya merendah.

"Kau terlalu mengecilkan arti bantuanmu, Dewa Arak. Kalau tidak karena mendengar julukanmu, tak akan mungkin sisa gerombolan Bima Seta kabur dari sini," sebuah suara yang keluar dengan susah payah, ikut campur. Pemilik suara itu seorang kakek kecil kurus berpakaian hijau. Inilah sesepuh Desa Jarak, yang bernama Ki Kuncara.

"Apa yang dikatakan Ki Kuncara dan Ki Barjanala memang tidak salah, Dewa Arak," tukas seorang lelaki bertubuh tegap, kekar, dan bercambang lebat. "Apa pun alasanmu, tetap jasa yang kau sumbangkan berarti besar. Memang, kelihatannya jasa yang dibuat Utusan dari Akherat jauh lebih besar. Karena dia yang telah berhasil membunuh Ki Bima Seta. Tapi ada yang kau lupakan, Utusan dari Akherat membunuh Ki Bima Seta bukan karena keinginan menolong para penduduk Desa Jarak. Pembunuhan yang dilakukannya karena suruhan seseorang."

"Kau benar, Sembada!" ujar Ki Barjanala setengah terpekik.

"Berarti, orang yang menyuruh Utusan dari Akherat pun perlu mendapatkan ucapan terima kasih. Sayang, kita tidak tahu di mana mereka bertempat tinggal!"

"Kau benar, Ki Barjanala," puji Ki Kuncara dengan suara khasnya. "Seharusnya mereka pun kita jamu di sini sebagai tanda terima kasih atas tindakan yang telah mereka lakukan."

"Apa yang dikatakan Ki Kuncara, tepat sekali!" Melati ikut pula menimpali karena merasa tidak enak berdiam diri terus. "Seharusnya Utusan dari Akherat dan orang yang menyewanya bisa berada di sini untuk merayakan pesta hancurnya kedurjanaan Bima Seta."

"Tidak mengapa, Nisanak. Keberadaan kalian untuk menemani kami pun sudah cukup untuk membuat hati gembira. Siapa yang belum pernah mendengar julukan Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia persilatan?! Eh, silakan dicicipi hidangannya. Jangan malu-malu...!"

Sambil berkata demikian, Kepala Desa Jarak itu mendahului mengulurkan tangan, mengambil sepotong singkong goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya. Tindakan Ki Barjanala langsung diikuti yang lainnya. Sehingga sejenak pembicaraan terputus. Yang terdengar hanyalah suara kunyahan mereka.

* * *

Hembusan angin sejuk menyibakkan rambut Arya dan Melati, tapi mereka tampak tak mempedulikan. Bahkan mereka seperti menikmatinya. Beberapa kali mereka menarik napas dalam-dalam sambil mengembangkan dada seakan ingin memasukkan udara segar itu sebanyak-banyaknya.

Bumi persada makin diliputi suasana pagi ketika Dewa Arak dan Melati meninggalkan Desa Jarak. Sang Surya yang muncul di ufuk timur masih berupa bola raksasa merah menyala. Hembusan angin semilir menghembuskan hawa sejuk, terasa nikmat di kulit.

"Mengapa harus sepagi ini kita meninggalkan Desa Jarak, Kang?!" tanya Melati, seraya menarik tali kekang kuda. Wajahnya diarahkan pada kekasihnya.

Terpaksa, Arya menghentikan langkah kudanya pula. Memang, kedua pendekar muda itu kini sama-sama menunggangi kuda. Kuda hitam yang sebenarnya dimiliki Sempani dan Birawa. Ki Barjanala yang memberikannya.

Padahal Dewa Arak dan Melati bersikeras untuk menolak. Namun, Kepala Desa Jarak itu tetap tak berubah dengan keputusannya. Terpaksa pasangan pendekar muda ini menerima. Kuda-kuda hitam itu pun berganti pemilik. Sedangkan pemilik mereka sebelumnya, Sempani dan Birawa telah tewas di tangan penduduk Desa Jarak.

Kedua anak buah Bima Seta itu tewas secara mengerikan. Betapa tidak? Mereka digantung! Lalu, setiap penduduk melempari tubuh mereka dengan batu. Masing-masing orang sekali!

Dewa Arak dan Melati tidak sampai hati melihatnya. Namun, mereka tak mencampurinya, karena hukuman demikian sudah menjadi adat di tempat itu. Birawa dan Sempani memang pantas untuk mendapat hukuman. Tindak kekejian yang mereka lakukan telah melampaui batas.

Melati mengerutkan alis ketika melihat Dewa Arak tidak menjawab pertanyaannya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya diam termenung.

"Kang...!" sapa Melati lagi dengan nada sedikit disentakkan.

"Eh, apa.... Nggg... ya..., bukankah kau menanyakan sebab kepergian kita yang demikian cepat?!" sahut Dewa Arak menggeragap.

"Benar, Kang," Melati menganggukkan kepala. "Apakah ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat?!"

"Hhh...!" Arya menghela napas seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Kau terlalu cerdik, Melati. Tidak ada satu rahasia pun yang dapat kusembunyikan apabila kau berada di dekatku."

"Gombal!" sergah Melati, berpura-pura tak senang dengan memasang muka merengut. Namun, sepasang matanya yang berbinar-binar telah menjadi bukti nyata kalau gadis berpakaian putih itu merasa gembira. Siapa sih yang tidak senang mendapat pujian dari orang yang dicintainya?

"Ha ha ha...!" Dewa Arak tertawa bergelak, melihat sikap kekasihnya. Tapi hanya sebentar saja hal itu dilakukannya. Sesaat kemudian, raut wajahnya menyiratkan kesungguhan. "Memang, aku mempunyai sebuah dugaan. Seperti yang kau terka, ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat. Hhh..., aku belum yakin akan kebenarannya!" ujar Arya, tanpa menoleh pada wajah Melati.

"Katakanlah, Kang! Aku ingin mendengarnya," sambut Melati tak sabar.

Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ketidaksabaran kekasihnya. Telah diketahuinya betul kalau Melati memang memiliki watak keras. "Begini, Melati," Arya mulai memberi penjelasan. "Ada beberapa hal yang membuatku menaruh curiga sehubungan dengan kematian Bima Seta di tangan Utusan dari Akherat. Kau tahu kan mengapa Utusan dari Akherat membunuh Bima Seta?!"

"Hm...," Melati menganggukkan kepala seraya menatap wajah Dewa Arak. "Menurut pendapatku orang itu tidak punya tujuan, kecuali imbalan yang didapatnya."

"Tepat! Sekarang menurut dugaanmu siapa atau pihak manakah yang telah menyewa Utusan dari Akherat?!" tanya Dewa Arak, kali ini wajahnya menoleh ke wajah kekasihnya.

Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak tercenung. Otaknya diputar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu.

"Kalau kau tanyakan orangnya..., rasanya sulit bagiku untuk menduganya, Kang. Tapi, kalau pihak mana, aku bisa menjawabnya. Dugaanku kuat, bahwa pihak itu berasal dari Desa Jarak."

"Hhh...! Aku pun menduga demikian. Tapi, mengapa tak satu pun di antara mereka yang mengakui sebagai penyewa Utusan dari Akherat?!" untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak melontarkan pertanyaan itu.

"Malah sepertinya tidak ada satu pun yang teringat pada si penyewa itu, Kang. Semua puji-pujian dan ucapan terima kasih ditujukan pada Utusan dari Akherat. Ki Barjanala dan Ki Kuncara pun berpendapat demikian," sambung Melati.

"Tapi ada satu orang yang mengingatnya, Melati," timpal Arya lagi.

"Dan orang itu Sembada. Kau ingat?!"

"Ya. Aku ingat, Kang! Dia menyebut-nyebut mengenai orang yang menyewa Utusan dari Akherat. Jadi..., diakah orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat, Kang?!"

"Aku belum berani memastikan, Melati. Ada hal-hal yang mencurigakan di sini. Sekarang mari kita membahasnya sambil meneruskan perjalanan!" ajak Arya sambil menghentakkan tali kekang kudanya perlahan. Seketika pula kuda hitam itu melangkah. Melihat hal ini Melati pun melakukan tindakan yang sama.

"Menurut akal sehat," ujar Arya lagi menyambung ucapan sebelumnya. "Penyewa Utusan dari Akherat tak lain orang dari Desa Jarak. Kita kesampingkan dulu dugaan kita terhadap penyewa yang berasal dari luar. Kurasa, kemungkinannya kecil sekali."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya hatinya menerima pendapat Dewa Arak.

"Nah! Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa si penyewa Utusan dari Akherat itu tak mau menonjolkan diri. Aku yakin, dia tahu penghormatan yang akan diterima, kalau orang itu mau menonjolkan dirinya. Masalahnya, lupanya semua penduduk Desa Jarak atas jasa yang diberikan penyewa itu, tak dapat disalahkan. Mereka semua terlalu gembira, sehingga belum sempat terpikir kalau sebenarnya yang mempunyai jasa besar atas tewasnya Bima Seta adalah si penyewa. Hal itu terjadi karena kesalahan si penyewa sendiri yang tak memberitahukannya."

Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk menarik napas dan mencari kata-kata yang tepat sebagai pelanjut uraiannya.

"Bisa dimaklumi kalau penduduk Desa Jarak lupa akan jasa penyewa. Aku sendiri sama sekali tidak ingat akan hal itu. Yang ada di benakku bahwa Utusan dari Akherat pembunuh Bima Seta. Tidak terpikirkan akan hal lainnya. Aku baru teringat ketika Sembada mengatakannya. Dan saat itu pula aku merasakan adanya kejanggalan dalam masalah ini. Itulah sebabnya, kuputuskan untuk berpura-pura meninggalkan Desa Jarak."

"Jadi..., kau tidak sungguh-sungguh bermaksud meninggalkan Desa Jarak, Kang?!" tanya Melati, setengah tak percaya.

Arya menganggukkan kepala.

"Ah...! Aku mengerti, Kang...! Kau bertindak demikian, pasti karena ingin menimbulkan kesan pada penyewa Utusan dari Akherat bahwa kau telah meninggalkan Desa Jarak. Dengan demikian, terbuka kesempatan bagi penyewa Utusan dari Akherat untuk melanjutkan tindakannya apabila hal itu memang akan dilakukan. Bukan begitu, Kang?!" terka Melati.

"Tepat, Melati. Memang demikian, maksudku," sahut Arya, membenarkan. "Aku yakin, apabila kita tetap berada di sana, penyewa Utusan dari Akherat merasa akan terganggu untuk melakukan tindakan. Tentu saja, kalau orang itu hendak melakukan tindakan lanjutan."

"Dengan kata lain, penyewa Utusan dari Akherat itu mempunyai maksud tidak baik, Kang?!" celetuk Melati mencari kepastian.

"Aku tak mengatakan demikian, Melati," sahut Arya. "Hanya saja tindakan yang dilakukan menumbuhkan rasa curigaku. Yang jelas, kalau tidak ada sebab atau akibatnya, hhh... kurasa janggal harus menyembunyikan tindak kebaikannya."

"Bagaimana kalau penyewa Utusan dari Akherat itu tidak mempunyai pamrih apa pun dalam perbuatannya, Kang?!" Melati mengajukan dugaan la-innya. "Yah..., anggaplah seperti yang kita lakukan selama ini...!"

"Apa yang kau katakan memang tidak bisa kusangkal, Melati. Terus terang, aku pun berharap demikian. Tapi, tidak ada salahnya toh, kalau kita bersikap waspada. Entah mengapa, aku tetap merasa ada sesuatu di balik ini. Setidak-tidaknya ada maksud terselubung. Kalau tidak, untuk apa penyewa Utusan dari Akherat itu menyembunyikan diri?!"

Melati kontan terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan kekasihnya. Demikian pula dengan Dewa Arak. Matanya menatap jauh ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan dalam benaknya.

"Apakah kau mempunyai dugaan, siapa orangnya yang telah menyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati kemudian, setelah keduanya diam sesaat.

"Hhh...!" Arya menghela napas dalam-dalam lalu dihembuskannya. "Sebenarnya memang sudah. Tapi, aku masih belum yakin. Bila dipikir dari satu sisi, rasanya dugaanku tidak salah. Tapi bila diperhitungkan dari sisi lainnya, aku merasa tidak yakin dengan dugaanku...."

Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah. "Mengapa kau masih ragu, Kang?! Aku yakin dugaanmu tidak salah!"

"Mengapa kau demikian yakin, Melati? Kau tahu orang yang kucurigai?!" tanya Arya. Ada senyum dingin tersunggjng di bibirnya yang tipis itu.

"Tentu saja!" jawab Melati, yakin. "Bukankah orang yang kau curigai adalah Sembada?!"

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda membenarkan tebakan Melati. Meskipun demikian tak tampak ada keterkejutan pada wajahnya. Memang, Arya sudah dapat memperkirakan jawaban yang akan diberikan kekasihnya.

"Nah! Kalau begitu..., apa lagi yang membuatmu ragu...?!" kejar Melati, penasaran.

"Kau yakin kalau orang yang menyewa Utusan dari Akherat adalah Sembada, Melati?" Arya malah balas mengajukan pertanyaan.

"Tentu saja!" sahut Melati tegas.

"Dari mana kau mengambil kesimpulan seperti itu?i Atas dasar ucapannya?!"

"Benar, Kang!" jawab Melati sambil menganggukkan kepala. "Kalau kau sendiri, bagaimana?"

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya termenung. Dahinya berkernyit dalam seakan-akan tengah ada yang dipikirkan.

"Aku juga menaruh kecurigaan pada Sembada, Melati. Dan dasar kecurigaanku pun sama denganmu. Yaitu berdasarkan ucapannya. Tapi, justru itulah yang membuatku merasa tak yakin dengan dugaan semula.

"Aku tak mengerti maksudmu, Kang?! Katakan saja dengan jelas, jangan berput ar-putar sepert itu!" sergah Melati, karena bingung mendengar penjelasan Dewa Arak yang dianggapnya kurang gamblang.

"Begini, Melati," ucap Arya setelah tercenung sejenak. "Menurut perhitungan, rasanya aneh kalau Sambada pelakunya, ucapan seperti itu dikeluarkannya. Padahal, bukankah penyewa itu bermaksud menyembunyikan diri? Mengapa mengeluarkan pernyataan seperti itu. Aku rasa Sembada tak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau ucapan yang dlkeluarkannya bisa mengundang kecurigaan orang lain terhadap dirinya."

Melati tercenung dengan dahi berkernyit dalam. Gadis berpakaian putih ini merasakan adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam pernyataan Dewa Arak. Ya! Mengapa Sembada mengeluarkan ucapan seperti itu, kalau dia penyewa Utusan dari Akherat? Bukankah perbuatannya tidak ingin diketahui orang?

Cukup lama Melati bersikap seperti itu. Terlihat Jelas kalau dia telah berpikir. Tentu saja, semua tindak tanduk gadis itu tak lepas dari pandangan Dewa Arak. Namun, pemuda berambut putih keperakan itu membiarkan saja. Dia ingin melihat kelanjutan tanggapan kekasihnya.

"Itukah yang menyebabkanmu merasa ragu menuduh Sembada sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati.

Dewa Arak tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.

"Lalu..., kalau kau berpendapat demikian, mengapa tetap mencurigainya sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" desak Melati, penuh semangat.

"Ada alasan lainnya, Melati," jawab Arya. "Aku mempunyai dugaan kalau Sembada mengeluarkan pernyataan itu tanpa sengaja. Atas dasar itulah kecurigaanku terhadapnya tidak kuhilangkan."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tak ada senyum tersungging di wajahnya. Namun, tampaknya gadis cantik itu memaklumi kebenaran Dewa Arak.

"Hanya usaha dan waktu yang dapat menjawabnya, Melati," ujar Arya kemudian.

Melati kembali mengangguk-anggukkan kepala. "Kapan kau akan mulai menyelidikinya, Kang?!"

"Nanti malam, Melati. Kita selidiki Desa Jarak secara sembunyi-sembunyi. Kau siap?!"

"Tak usah menanyakan hal itu, Kang!" jawab Melati penuh semangat.

"Ha ha ha...!" Dewa Arak hanya tertawa mendengar jawaban itu.

* * *

LIMA

Wusss!

Angin malam berhembus kencang meniup hawa dingin. Keadaan cuaca tampak kurang menguntungkan. Di langit awan hitam berarak-arak membuat sinar sang Dewi Malam terhalang. Bumi persada pun tampak redup tanpa cahaya.

Semakin lama angin yang berhembus semakin keras dan dingin. Hujan pun tampaknya akan segera turun. Suasana malam yang telah larut, kian sunyi dan sepi.

Di tengah suasana malam yang dingin dan tanpa cahaya bulan itu, tampak sesosok bayangan hitam melesat cepat memasuki Desa Jarak. Laksana hantu jahat yang sedang memburu mangsa, gerak-geriknya tampak begitu terburu-buru.

Namun, bayangan hitam itu ternyata sosok seorang manusia. Terbukti kedua kakinya menapak di tanah ketika menghentikan gerakan di balik pagar tembok sebuah bangunan cukup megah yang memiliki halaman luas.

Hanya sebentar saja sosok berpakaian hitam itu berdiam diri. Sesaat kemudian kakinya digenjotkan. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke atas, melompati batas atas tembok. Lalu....

Jliggg!

Hampir tak terdengar di telinga, ketika sepasang kaki sosok berpakaian hitam itu mendarat di tanah. Sekilas sosok berpakaian hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan-akan khawatir kalau kehadirannya akan diketahui orang lain.

Setelah merasa yakin tak ada yang melihat, sosok berpakaian hitam itu melesat cepat, menuju bangunan megah di hadapannya. Hanya dengan beberapa kali lesat an, tubuhnya telah berada di dekat pintu bangunan.

Untuk yang kedua kalinya sosok berpakaian hitam itu menghentikan gerakan. Api obor yang terpancang pada dinding depan rumah itu menerpa tubuhmu yang berpakaian serba hitam.

Sosok berpakaian hitam itu memiliki tubuh tinggi kurus. Wajahnya tampak kurang jelas, karena tertutup selubung kain hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak dari dua lubang pada kain selubung kepala.

Sosok lelaki itu ternyata Utusan dari Akherat Sejenak sepasang matanya menatap tajam daun pintu. Seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan. Namun sesaat kemudian Utusan dari Akherat menghent akkan keras telapak tangan kanannya ke depan.

Wusss!

Segulung angin dahsyat keluar dari telapak tangan kanan Utusan dari Akherat, meluncur menuju daun pintu. Dan....

Brakkk!

Suara berderak keras terdengar memekakkan telinga. Angin pukulan Utusan dari Akherat ternyata mampu menghancurkan daun pintu yang terbuat dari kayu jari tebal itu.

Tanpa membuang-buang waktu Utusan dari Akherat langsung melesat ke dalam. Pada saat yang bers amaan, dari dalam sebuah kamar muncul sesosok tubuh berpakaian putih, yang ternyata Ki Barjanala. Kepala Desa Jarak itu tampaknya terjaga dari tidurnya karena mendengar dobrakan pintu rumah.

Saat itu, Ki Barjanala memang telah mulai menempati bangunan yang semula ditempari Ki Bima Seta dan gerombolannya. Hanya saja malam itu Ki Barjanala masih menempati sendiri. Kedua orang anaknya, belum ikut pindah ke tempat tinggal yang baru itu.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Ki Barjanala ketika melihat sosok berpakaian hitam telah berdiri tegak di hadapannya. "Siapa kau?!"

Sambil mengajukan pertanyaan, Ki Barjanala langsung memasang sikap waspada Di a sudah dapat menduga kalau sosok yang berdiri di hadapannya ini, tidak bermaksud baik! Cara datang dan pakaian yang dikenakannya menggambarkan bagaimana jiwanya saat itu.

"Kudengar kau ingin memberikan penghormatan padaku atas pembunuhan terhadap Ki Bima Seta, Barjanala?!" tanya Utusan dari Akherat tanpa mempedulikan pertanyaan yang ditujukan terhadap dirinya.

"Penghormatan...? Membunuh Ki Bima Seta...?! Jadi..., maksudmu.... Kau adalah...," sahut Ki Barjanala dengan suara menggeragap karena perasaan takut, terkejut, dan keheranan.

"Benar," sambung Utusan dari Akherat, seperti tahu ucapan Kepala Desa Jarak itu selanjutnya. "Hhh..., akulah Utusan dari Akherat!"

Ki Barjanala menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering dan terasa getir. Sama sekali tak disangka kalau sosok yang berjuluk Utusan dari Akherat demikian angker seperti julukannya.

Tapi yang membuat Ki Barjanala merasa tegang, bukan penampilan pembunuh bayaran itu. Sikap Utusan dari Akherat yang menyebabkannya merasa ngeri! Utusan dari Akherat sedikitpun tak mau menunjukkan perasaan bersahabat. Ataukah si pembunuh bayaran itu hendak membantai kepala desa itu, seperti yang dilakukannya terhadap Ki Bima Seta?!

Meskipun telah menduga demikian, Ki Barjanala tak ingin bertindak gegabah. Hal itu karena dirinya belum mengetahui secara pasti maksud kedatangan Utusan dari Akherat. Oleh karena itu, diputuskan untuk berpura-pura tidak tahu.

"Ah...! Kalau demikian, atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Silakan duduk, Utusan dari Akherat!" ujar Ki Barjanala, berusaha bersikap ramah.

"Simpan saja semua keramah-tamahanmu, Barjanala!" sergah Utusan dari Akherat, keras. "Aku datang bukan untuk berbincang-bincang denganmu! Lebih baik kau bersiap-siap, agar tak mati sia-sia!"

"Ap..., apa maksudmu, Utusan dari Akherat?!" Ki Barjanala masih mencoba untuk berpura-pura.

"Aku datang untuk membunuhmu, Barjanala! Baik kau melawan atau tidak, bagiku sama saja. Karena tetap akan kubunuh! Bersiaplah, Barjanala! Aku akan memulainya!"

Kini Ki Barjanala sadar, tak ada gunanya lagi berpura-pura. Maka diputuskan untuk melakukan perlawanan. Dia tak ingin mati percuma! Maka....

Srattt!

Ki Barjanala menghunus keris yang terselip di pinggang belakang. Sebuah keris berkeluk tujuh, berwarna hitam pekat!

"Ha ha ha...! Begitu lebih baik, Barjanala!" ujar Utusan dari Akherat, seraya tertawa mengejek. "Dengan demikian kau tak akan mati penasaran!"

"Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak Ki Barjanala keras. Lalu....

"Hih!" Didahului gertakan gigi, Ki Barjanala langsung melancarkan serangan dengan kerisnya. Senjata yang sarat dengan pamor itu, ditusukkan lurus ke perut Utusan dari Akherari!

Wuttt!

Deru angin keras terdengar, seiring dengan meluncurnya serangan itu. Namun, Utusan dari Akherat tampak tetap bersikap tenang. Tak tampak adanya gelagat kalau dia akan melakukan tindakan penyelamat an diri, baik mengelak ataupun menangkis!

Melihat sikap Utusan dari Akherat, Ki Barjanala merasa terkejut, sekaligus gembira. Apa pembunuh bayaran itu sudah gila? Kalau tidak mengapa dibiarkannya serangan dahsyat itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Ki Barjanala. Meskipun demikian, tak menghambat serangannya. Bahkan kepala desa itu langsung mengerahkan seluruh tenaganya. Hal itu karena dia ingin urusannya cepat selesai. Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar tak melakukan tindakan apa pun terhadap serangan Ki Barjanala.

"Hiaaa...!"

Tukkk!

Keris di tangan Ki Barjanala mendarat telak di perut lawan. Namun kepala desa itu tersentak kaget. Matanya terbelalak, seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keris itu patah! Belum hilang rasa heran dan keterkejutan Ki Barjanala, tiba-tiba....

Cappp!

"Aaakh...!" Pekik kematian dari mulut Ki Barjanala terdengar memecah kesunyian malam itu. Tubuh Kepala Desa Jarak itu terhuyung-huyung ke belakang. Pada ubun-ubunnya tertancap sebilah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak.

Dalam kecepatan yang sulit dilihat mata biasa, Utusan dari Akherat berhasil menancapkan senjata khasnya. Darah segar mengalir deras dari kepala Ki Barjanala yang tert ancap pisau.

Brukkk!

Setelah terhuyung-huyung beberapa saat lamanya, tubuh Ki Barjanala ambruk. Tanpa menggelepar-gelepar lelaki berpakaian putih yang telah berlumuran darah itu tewas.

"Hmh!" dengus Utusan dari Akherat penuh hinaan. Ditatapnya tubuh Ki Barjanala yang t erkapar di atas lantai tempat tinggal barunya. Sesaat kemudian lelaki berselubung kepala itu membalikkan tubuhnya.

Namun dengan cepat Utusan dari Akherat langsung memasang kuda-kuda. Sikapnya tampak penuh kewaspadaan. Jelas, ada sesuatu yang telah membuat hatinya curiga, hingga harus bersikap seperti itu. Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi sekitar ruangan bangunan itu.

Dugaan itu ternyata tidak salah! Sesosok bayangan putih tiba-tiba telah berdiri menghadang di ambang pintu. Dengan sendirinya, jalan kabur pembunuh bayaran ini telah tertutup.

"Mau ke mana kau, Pembunuh Terkutuk?! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" tanya sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis. Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian putih. Gadis berambut panjang tergerai itu ternyata Melati.

Utusan dari Akherat tak langsung menjawab pertanyaan Melati. Matanya yang tajam menat api tubuh gadis berpakaian putih itu. Diam-diam hatinya menyadari kalau calon lawan kali ini tak bisa dianggap remeh. Gadis cantik itu tak dapat disamakan dengan Ki Barjanala. Hal ini bisa diketahuinya dari tindakan kaki lawan yang demikian halus. Bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaran yang telah terlatih baik sekalipun!

"Lebih baik, urungkan niatmu, Nisanak! Kukatakan, aku tak punya urusan denganmu! Jangan kau membuatku harus membunuh seorang gadis cantik seperti kau! Menyingkirlah cepat! Beri aku jalan!"

"Jangan banyak bicara, Utusan dari Akherat !" sahut Melati sengit "Aku tak akan menyingkir dari sini. Kecuali kalau kau telah menjadi mayat! Hih!"

Seraya menggertakkan gigi, Melati melompat, menerjang Utusan dari Akherat Gadis berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah kibasan kaki kanan yang dilakukan sambil membalikkan tubuh.

Wuttt!

Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan Melati membuktikan betapa kuat tenaga yang dikerahkannya. Hal itu pun diketahui lawan. Namun tampaknya sedikit pun Utusan dari Akherat tak merasa gentar Kemudian tanpa ragu-ragu dipapakinya serangan Melati, juga dengan tendangan yang sama. Sehingga…

Plakkk!

Bunyi keras terdengar, ketika kedua kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat itu saling membentur. Melati terdorong ke belakang dengan tubuh berputar. Kemudian, tampak terhuyung-huyung beberapa langkah. Dirasakan sakit yang hebat melanda kakinya yang berbenturan.

Di saat Melati belum sempat memperbaiki kedudukan, tiba-tiba Utusan dari Akherat melancarkan serangan balasan. Tangannya dikibaskan!

Singgg!

Diiringi bunyi berdesing nyaring, sebatang pisau kecil bergagang kepala tengkorak melesat memburu Melati. Melati sadar akan adanya maut yang mengancam jiwanya. Gadis berpakaian putih itu segera melakukan tindakan untuk mengatasi serangan maut itu. Dengan gerakan yang hanya dapat dilakukan tokoh berilmu meringankan tubuh tinggi, Melati menjejakkan kaki.

Dan, tindakan itulah yang menyelamatkan nyawa Melati. Jejakan itu membuat tubuhnya melesat ke atas. Sehingga pisau yang dilemparkan Utusan dari Akherat hanya mengenai angin.

Utusan dari Akherat menggeram murka melihat kegagalan serangannya. Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk memperbaiki kedudukan, segera dikirimkan serangan susulan. Tentu saja dengan kedahsyatan melebihi serangan sebelumnya.

Serbuan Utusan dari Akherat disambut baik oleh Melati. Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Baik Utusan dari Akherat maupun Melati tak ragu-ragu untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Keduanya langsung mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Sedangkan Utusan dari Akherat menggunakan ilmu 'Jari Sakti'.

Ternyata ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat tidak kalah dahsyat dibandingkan 'Cakar Naga Merah' yang dikuasai Melati. Bunyi berdesingan nyaring selalu terdengar, setiap kali kedua tangan pembunuh misterius itu bergerak.

Memang tak berlebihan kalau ilmu andalan milik Utusan dari Akherat itu bernama 'Jari Sakti' Ilmu itu sangat dahsyat dan menggiriskan. Dalam pengerahan ilmunya, Utusan dari Akherat kadang-kadang hanya menggunakan satu jari. Tapi tak jarang dua, empat, atau semua jari tangannya.

Yang sangat menakjubkan, jangankan sampai terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup mengoyak pakaian sekaligus kulit tubuh. Betapa dahsyat ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat.

Akibat dari penggunaan ilmu yang sama-sama hebat ini memang luar biasa. Bunyi berdesing, mengaung dan menderu selalu terdengar setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tangan atau kaki Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan telah berlangsung dua puluh lima jurus. Dan selama itu, Melati tampak terus-menerus terdesak.

Kenyataan itu tak mengherankan, karena tampaknya Utusan dari Akherat memiliki keunggulan-keunggulan dibanding Melati. Tidak hanya di bidang tenaga dalam, tapi juga ilmu meringankan tubuh. Dengan dua keunggulan inilah, pembunuh bayaran itu mampu menekan serangan lawan.

Semakin lama keadaan Melati semakin mengkhawatirkan. Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung, ketika harus menangkis serangan dahsyat lawan. Namun tampaknya gadis cantik berpakaian putih itu tak ingin mati percuma. Sehingga dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, dirinya tetap mengadakan perlawanan.

Menginjak jurus keempat puluh tiga, keadaan Melati semakin gawat. Serangan-sereangan yang dilakukannya semakin mengendur. Menangkis pun hanya dapat sesekali dilakukannya. Gadis itu lebih sering banyak bergerak untuk mengelak. Tindakan inilah yang menyebabkan dirinya semakin terdesak hebat.

Kalau keadaan tidak berubah, Utusan dari Akherat jelas akan mampu keluar sebagai pemenang. Karena Melati sama sekali tak mampu lagi melancarkan serangan yang berarti.

Prattt!

"Hih...!" Untuk yang kesekian kalinya, Melati terpaksa menangkis serangan lawan. Seperti pada kejadian sebelumnya, gadis berpakaian putih itu sangat kewalahan. Malah kali ini lebih parah dari sebelumnya. Tubuh Melati terjengkang, karena saat itu Melati berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan.

Ketika itulah, Utusan dari Akherat langsung melancarkan serangan susulan. Bagai harimau lapar menerkam mangsa, lelaki berpakaian serba hitam itu melesat menerjang Melati. Jemari tangannya terkembang membentuk cakar. Keduanya mengincar dada Melati.

"Ah!" Jeritan karena perasaan kaget, keluar dari mulut Melati. Matanya yang tajam menatap nanar cakar Utusan dari Akherat yang siap merenggutnya. Kegentaran menyelimuti perasaan gadis itu, karena disadarinya malaikat maut seakan-akan telah berada di depannya.

Apalagi tubuhnya kini tengah berada di udara, mengelak dari serangan lawan. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis. Namun, rasanya tindakan itu sangat sulit dilakukan. Hal itu karena kedua tangannya masih dirasakan sakit akibat menangkis serangan Utusan dari Akherat.

Namun ketika keadaan gawat tengah mengancam keselamatan Melati, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat ke tempat pertarungan. Begitu cepat sosok bayangan itu memapak serangan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal itu membuat Utusan dari Akhriat terkejut. Meskipun demikian tetap diteruskan serangannya. Maka....

Prattt! Prattt!

Bunyi keras terdengar seperti logam-logam keras dibenturkan. Sesaat kemudian tubuh Utusan dari Akherat dan sosok bayangan ungu itu langsung terlempar ke belakang. Namun, dengan gerakan yang indah dan ringan, kedua belah pihak berhasil mengatasinya. Lalu mendarat di tanah.

"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya sosok bayangan ungu itu pada Melati yang telah berhasil berdiri dengan kedua kakinya.

"Tidak, Kang." Sambil tersenyum manis, Melati menjawab pertanyaan sosok bayangan ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak.

Hanya sesaat Dewa Arak memperhatikan keadaan kekasihnya. Namun kesempatan pendek itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Utusan dari Akherat.

"Hey! Jangan lari...!" seru Dewa Arak seraya mengejar, ketika dilihatnya lelaki berpakaian dan berselubung kepal a hitam itu melesat meninggalkan tempat pertarungan.

Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat Utusan dari Akherat merasa khawatir. Buru-buru tangannya dimasukkan ke balik baju, kemudian di keluarkannya kembali. Semua itu dilakukannya tanpa mengendurkan kecepatan lari.

"Aku tak punya urusan denganmu, selamat tinggal...!Hih!"

Sambil berkata begitu, Utusan dari Akherat melemparkan benda bulat sebesar ibu jari kaki ke arah Dewa Arak. Melihat hal itu, Dewa Arak menghentikan pengejarannya. Tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindar. Arya khawatir benda bulat kecil itu mengandung racun yang mematikan.

Darrr!

Ledakan keras seketika terdengar begitu benda bulat kecil itu berbenturan dengan tanah. Seketika itu pula muncul asap tebal hitam yang menghalangi pemandangan ke depan. Hal ini membuat Dewa Arak tak dapat meneruskan pengejarannya terhadap Utusan dari Akherat. Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, begitu asap itu lenyap dari pandangan, Utusan dari Akherat sudah tidak terlihat lagi.

ENAM

"Sayang sekali Keparat itu berhasil meloloskan diri ," ujar Melati menyesal.

Dewa Arak mengalihkan pandangan menatap kekasihnya yang telah berada di sisinya. "Tak perlu kau sesali hal itu, Melati," ujar Dewa Arak menghibur.

"Masih banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Yang penting kau selamat."

Wajah Melati langsung berubah. Sepasang matanya yang bening dan indah menyiratkan ketidakpuasan. "Mengapa kau datang terlambat, Kang?! Kalau tidak..., kita telah berhasil membekuknya!"

"Ya..., aku terlambat karena menunggu munculnya orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat, di bangunan tua itu, Melati. Aku berharap, dia akan datang, tapi, setelah kesal menunggu, dia tetap tak muncul. Kuputuskan untuk menyusulmu kemari. Untung aku datang pada saat yang tepat...!"

Melati terdiam. Memang, semula telah diadakan kesepakatan. Dewa Arak menyelidiki bangunan kuno, tempat pertama kali mereka melihat sosok bayangan hitam. Sedangkan Melati mengawasi tempat tinggal Ki Barjanala.

Penyelidikan terhadap tempat tinggal Ki Barjanala, berdasarkan kecurigaan Dewa Arak. Dia menduga, bahwa tindakan rahasia penyewa Utusan dari Akherat pasti ada hubungannya dengan kedudukan kepala desa. Ternyata dugaan itu tidak meleset!

"Apakah tokoh yang bertarung denganmu itu Utusan dari Akherat, Melati?" tanya Arya, mulai mengalihkan pokok persoalan.

"Kurasa benar dia, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.

"Lalu... bagaimana dengan Ki Barjanala? Apakah dia baik-baik saja?!"

Seketika itu pula wajah Melati berubah. Tentu saja hal ini terlihat jelas di mata Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu memang tengah memperhatikan wajah kekasihnya. Perasaan tidak enak pun melanda batin Dewa Arak. Namun, sebelum Dewa Arak sempat mengajukan pertanyaan, Melati telah menyahut.

"Aku terlambat datang, Kang," ujarnya dengan suara lirih, seakan-akan merasa sangat menyesal.

"Maksudmu...?" Arya tidak berani melanjutkan ucapannya.

"Dia telah tewas, Kang..."

"Hah...!" Dewa Arak tersentak kaget mendengar jawaban Melati. Hatinya sama sekali tak menduga kalau hal itu akan terj adi. Matanya terbelalak diliputi rasa kesal dan penasaran. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak melesat ke dalam rumah. Tampak tubuh Kepala Desa Jarak itu terbujur di lantai berlumuran darah.

Memperhatikan sekilas saja, Dewa Arak mengetahui kalau Ki Barjanala memang telah tewas. Sebuah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak yang menancap di dahinya telah meyakinkan hati Dewa Arak.

"Tanda seperti ini pun ada pada mayat Ki Bima Seta," ujar Dewa Arak dengan suara pelan.

"Berarti pelaku pembunuhan ini Utusan dari Akherat pula, Kang," timpal Melati memberikan kesimpulan.

"Yahhh...," sahut Arya dengan suara mendesah. Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah ke luar. Hal yang sama dilakukan Melati.

"Aku yakin hal ini berhubungan erat dengan kedudukan kepala desa, Melati," tukas Arya pelan. "Hhh...!Tidak kusangka kalau penyewa Utusan dan Akherat bertindak demikian cepat."

"Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku, Kang," ujar Melati.

"Memang. Semua kejadian ini menjurus pada satu orang. Sembada. Masalahnya, siapa lagi yang akan menggantikan kedudukan kepala desa setelah Ki Barjanala tidak ada selain Sembada?"

"Tapi..., masih ada satu orang lagi yang bisa menghalangi Sembada menduduki jabatan kepala desa itu, Kang," ujar Melati tiba-tiba.

"Kau benar," sambut Arya setengah terpekik.

"Orang itu tak lain Ki Kuncara! Kita harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya."

"Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, setengah bingung.

Dewa Arak tak segera menjawab. Dahinya berkernyit, pertanda tengah ada yang dipikirkan. "Jalan satu-satunya untuk mencegahnya hanya dengan mengamati bangunan tua itu, Melati. Ternyata tempat itulah yang dijadikan penghubung antara Utusan dari Akherat dengan penyewanya," ujar Arya menjelaskan.

"Bagaimana kalau kita kecolongan lagi, Kang?!" tanya Melati, mengajukan kemungkinan yang tidak terduga.

"Kurasa tidak. Kita awasi tempat itu terus-menerus. Pagi, siang, sore, dan malam. Mustahil penyewa itu lolos dari pengamatan."

"Kapan kita memulainya, Kang?!"

"Sekarang juga!" tandas Arya tegas. "Aku khawatir, penyewa itu telah meletakkan perintah kejinya di sana."

"Tapi, Kang...," Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.

"Ada apa, Melati?! Katakan saja!" sahut Arya ketika melihat kekasihnya merasa ragu untuk meneruskan ucapannya.

"Mengapa mesti bersusah payah mengawasi bangunan tua itu, Kang?! Menurut pendapatku, lebih baik kita langsung saja pada sasaran berikutnya. Kita awasi rumah Ki Kuncara. Dengan sendirinya, apabila ada bahaya mengancamnya, kita dapat memberikan pertolongan sesegera mungkin."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala mendengar pendapat kekasihnya. "Pada dasarnya aku setuju dengan usulmu, Melati. Karena memang sebenarnya merupakan cara yang paling baik. Tapi ingat, Melati, ada satu hal yang kau lupakan. Orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat belum tentu Sembada. Meskipun, kemungkinannya sangat besar."

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.

"Itulah sebabnya, kuputuskan untuk mengawasi bangunan itu. Kau mengerti, Melati?!"

Melati terpaksa menganggukkan kepala walaupun sebenarnya tidak merasa puas dengan keputusan yang diambil. "Lalu..., bagaimana dengan Utusan dari Akherat, Kang?! Apakah dia harus dibiarkan saja?!"

"Dia akan menerima ganjarannya pula, Melati. Utusan dari Akherat termasuk orang yang berbahaya. Kemampuannya dapat dipergunakan orang lain untuk menimbulkan malapetaka. Tokoh itu harus dilenyapkan!"

"Aku pun berpendapat demikian, Kang. Utusan dari Akherat tokoh yang amat berbahaya," ujar Melati memberikan dukungan.

"Sekarang, mari kita tuntaskan persoalan ini, Melati!" ajak Arya seraya melesat meninggalkan tempat itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Melati pun segera menyusulnya. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwaj ah elok ini telah saling berkejaran menuju bangunan tua.

* * *
Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh bergeser dari tempat terbitnya. Bentuknya sudah mengecil dan menyilaukan mata, memancarkan cahaya yang mulai menggigit kulit.

Namun keadaan itu tak dihiraukan Dewa Arak yang tengah memusatkan perhatian mengawasi bangunan tua, tempat pertama kalinya bertemu sosok berpakaian hitam.

Arya duduk di salah satu cabang pohon yang tertutup rimbun dedaunan sehingga keberadaannya sulit diketahui. Dari semalam, Dewa Arak berada di situ. Pandangannya tak lepas terus mengawasi bagian bangunan tempat sebatang tombak tertancap.

Di tempat itulah pernah dilihatnya sesosok bayangan hitam yang sekarang diketahui sebagai penyewa Utusan dari Akherat, menaruh surat yang berisi perintah maut. Dewa Arak mengalihkan pandangan ke sekitarnya. Dan seperti telah diatur saja, dari kejauhan melesat cepat sesosok tubuh.

Meskipun jaraknya masih cukup jauh, pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengenali sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat dirinya berada. Ciri-ciri sosok yang mengenakan pakaian putih itu amat dikenalnya

Hanya dalam beberapa kali lesatan, sosok yang tak lain Melati telah sampai di bawah pohon tempat Dewa Arak berada. Gadis itu langsung menggenjotkan kaki. Dan....

Jliggg!

Tanpa menimbulkan getaran sedikit pun, Melati hinggap di cabang pohon tempat Dewa Arak berada. "Kita kecolongan lagi, Kang," ujar Melati, buru-buru.

"Kecolongan?!" Arya mengernyitkan dahi. "Aku belum mengerti apa yang kau maksudkan, Melati?"

"Ki Kuncara telah tewas!"

"Apa?!" tanya Arya tersentak kaget "Bagaimana hal itu dapat terjadi, Melati?!"

"Seperti juga Ki Barjanala, Ki Kuncara pun tewas semalam, Kang," jelas Melati.

Dewa Arak tidak menyahut. Dia terdiam dengan mata menatap ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah disesali.

"Berarti, setelah membunuh Ki Barjanala, Utusan dari Akherat langsung menyatroni Ki Kuncara dan membunuhnya pula," lanjut Melati lagi.

"Hm..., berarti kali ini penyewa Utusan dari Akherat langsung meminta dua orang sebagai korbannya. Dia tak mau bertindak setengah-setengah rupanya," gumam Arya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Keadaan di Desa Jarak kacau, Kang! Sekarang semua penduduk mengutuk Utusan dari Akherat sebagai pembunuh keji! Padahal, baru dua hari yang lalu mereka memuji-mujinya setinggi langit!"

Melati menceritakan peristiwa yang diketahuinya. Memang, begitu pagi menjelang, Melati langsung pergi ke Desa Jarak untuk melihat keadaan. Tentu saja itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

"Kacau?!" Arya mengerutkan alis penuh perasaan heran. "Mengapa bisa demikian, Melati?! Meskipun memang kematian dua orang sesepuh desa itu cukup mengejutkan, tidak perlu menyebabkan terjadinya kekacauan."

"Putra Ki Barjanala tidak menerima kejadian ini. Dia bertekad menuntut balas."

"Itu wajar, Melati. Siapa yang tidak merasa dendam jika orangtuanya dibunuh orang?!" sambut Arya. "Tapi, bagaimana dia dapat memenuhi keinginannya itu? Di samping untuk mengetahui keberadaan Utusan dari Akherat sangat sulit, apakah putra Ki Barjanala itu akan sanggup menghadapinya?"

"Itulah masalah yang menyebabkan terjadinya kekacauan, Kang" lanjut Melati. "Bukan terhadap Utusan dari Akherat, putra Ki Barjanala bermaksud melampiaskan dendamnya!"

"Heh?! Aneh...! Lalu..., kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan?!"

"Pada Sembada, Kang! Dia menganggap, bahwa Sembada yang telah memerintahkan Utusan dari Akherat untuk melakukan semua kekejian itu!"

"Ah!" untuk yang kesekian kalinya Arya tersentak kaget. "Mengapa dia dapat mengambil kesimpulan seperti itu?!"

"Entahlah, Kang!" Melati menggelengkan kepala. "Menurut berita yang kudengar, dia menghubung-hubungkan semua kejadian yang secara beruntun dilakukan Utusan dari Akherat. Semua peristiwa mengenaskan itu menurut berita yang kudapat, ada kaitannya dengan jabatan kepala desa."

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. "Kesimpulan yang didapat putra Ki Barjanala itu ternyata sama dengan kita, Melati. Tak bisa kusalahkan tindakan yang diambil putra Ki Barjanala. Memang, semua kejadian ini menunjuk Sembada sebagai pelakunya."

Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan kekasihnya. Seakan-akan gadis itu membenarkan ucapan kekasihnya.

"Bagaimana denganmu sendiri, Kang? Apakah kau masih ragu kalau pelaku semua kekejian itu Sambada?!" tanya Melati, ingin tahu pendapat Arya secara pasti.

Bukan tanpa alasan gadis berpakaian putih ini menanyakannya. Hatinya menyadari kalau dugaan Dewa Arak tidak pernah meleset.

"Entah mengapa, aku tetap kurang yakin kalau orang yang berada di balik semua kekejian ini Sembada. Padahal, akal sehatku mengatakan kalau Sembada-lah yang telah memberikan perintah-perintah terhadap Utusan dari Akherat. Tapi, entah mengapa aku merasa ragu! Atau..., ini disebabkan karena belum kudapatkan bukti nyatanya...?"

Jawaban yang diterima Melati tetap tidak jelas. Meskipun demikian gadis berpakaian putih itu tidak mendesak lebih jauh. Disadari kalau Arya telah berusaha untuk memberikan jawaban yang memuaskan.

"Apakah putra Ki Barjanala telah melakukan penyerbuan secara terbuka pada Sembada?!" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala.

"Hanya perang dingin. Tapi aku yakin, bentrokan pasti bakal terjadi antara mereka. Tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang, di desa itu telah terbentuk dua kelompok. Kelompok anak Ki Barjanala dan kelompok Sembada."

"Tapi, jumlah pengikut Sembada jauh lebih sedikit. Andaikata terjadi bentrokan, dengan mudah mereka akan dihancurkan."

"Patut kuacungkan jempol tindakan putra Ki Barjanala. Dia tidak hanya menuruti kemarahannya saja," ujar Arya merasa kagum.

"Pada putra Ki Barjanala yang mana kau tujukan pujian itu, Kang?!" tanya Melati tiba-tiba, yang membuat Dewa Arak terperanjat.

"Apa maksudmu, Melati?! Apakah Ki Barjanala mempunyai banyak anak?!"

"Banyak sih, tidak. Tapi hanya dua orang. Kedua-duanya lelaki. Yang tua bernama Jagapaksi. Sedangkan adiknya bernama Suraga. Dan yang menyebabkan tercegahnya pertempuran itu adalah Jagapaksi. Dia menyuruh Suraga yang sudah kalap itu untuk bersabar sebentar dan menunggu perkembangan selanjutnya," jelas Melati panjang lebar.

Suasana berubah hening ketika Melati menghentikan ucapannya. Dewa Arak terdiam, tak memberikan tanggapan. Mereka berdua tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.

"Kang..," sapa Melati memecahkan keheningan yang menyelimuti.

"Hm...!" sahut Dewa Arak hanya dengan gumaman pelan sambil menoleh.

"Untuk apa lagi kita berada di sini? Kurasa lebih baik kita pergi ke Desa Jarak. Sudah jelas kalau Sembada orang yang berdiri di belakang layar. Dan..."

Ucapan Melati terhenti di tengah jalan secara mendadak. Hal itu karena Arya tiba-tiba memberikan isyarat padanya agar diam. Kemudian jari telunjuknya ditudingkan ke satu arah. Tempat asal kedatangan Melati tadi. Dengan perasaan heran, Melati mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjukkan kekasihnya. Dan....

TUJUH

"Ah!" Melati tersentak kaget, ketika dari kejauhan matanya melihat sesosok tubuh tengah melesat menuju tempat mereka berada.

Gerakan sosok tubuh mengenakan pakaian kuning itu cukup cepat. Sayang, sepasang muda-mudi ini tidak bisa mengenali karena wajahnya tertutup selembar kain hitam.

"Meskipun warna pakai annya berbeda, aku yakin kalau dialah yang kita lihat beberapa malam yang lalu. Bagaimana menurutmu, Melati?" bisik Arya.

"Aku pun menduga demikian, Kang. Aku yakin orang inilah yang kita lihat waktu itu. Menurutmu..., apakah dia Sembada?!" Melati balas bertanya dengan suara berbisik.

"Entahlah," Arya mengangkat bahu. "Tapi..., sosok tubuhnya memang mirip dia."

"Sebentar lagi akan kita saksikan kebenarannya, Kang! Aku yakin kalau dia Sembada."

"Kalau begitu..., aku memilih sebaliknya," ujar Arya kalem.

Sampai di sini, percakapan sepasang pendekar muda ini terhenti. Keduanya tak ingin keberadaan mereka di situ diketahui.

Sementara itu sosok berpakaian kuning terus melanjutkan langkah. Tapi beberapa tombak sebelum mencapai bangunan tua dan tak terawat itu, langkahnya berhenti. Kepalanya ditolehkan ke sana dan kemari seperti tengah memastikan tak ada orang lain di tempat itu.

Sesaat kemudian, sosok berpakaian kuning itu melesat menuju tembok bangunan megah tempat tombak putih mengkilat terhunjam. Sampai di situ, tangan kanannya segera dimasukkan ke balik baju. Dan begitu keluar lagi, tampak segulungan surat terbuat dari kulit binatang. Kemudian digantungkannya gulungan surat itu, berikut satu buntalan kecil yang berisi uang.

Saat itulah Dewa Arak dan Melati langsung bertindak. Keduanya dengan cepat melompat dari atas pohon, dan melesat menuju tempat sosok berpakaian kuning berada. Sesuai kesepakatan, Dewa Arak menujukan sasaran pada gulungan surat dan buntalan uang. Sedangkan Melati mengincar sosok berpakaian kuning.

Karuan saja, kemunculan Dewa Arak dan Melati membuat terkejut bukan kepalang. Menyadari adanya bahaya mengancam, orang itu segera melesat kabur. Namun dengan kemampuannya yang hanya seperti itu, mana mampu dia meloloskan diri dari Melati? Setelah bersalto beberapa kali di udara, Melati mendaratkan kaki di depan sosok berpakaian kuning itu.

Tentu saja, sosok berpakaian kuning itu semakin kalap karenanya. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan langsung berlari menuju arah lainnya. Seperti juga kejadian sebelumnya, baru beberapa langkah berlari terpaksa dihentikan, ketika tiba-tiba Melati telah menghadang di depannya. Meskipun demikian, sosok berpakaian kuning itu tak putus asa.

Lagi-lagi tubuhnya dibalikkan ke arah lain. Kemudian berlari. Namun, untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning gagal dengan usahanya. Melati telah berada di depannya kembali. Kenyataan ini membuatnya sadar, kalau dirinya tak akan mungkin dapat meloloskan diri. Hal itu membuatnya nekat. Sebagai akibatnya....

Srattt!

Sinar terang berkilat ketika sosok berpakaian kuning itu mencabut golok yang terselip di pinggang. Dan dengan senjata terhunus di tangan, d-serangnya Melati. Golok itu ditusukkan ke arah perut gadis itu.

"Hmh!" Melati mengeluarkan dengusan mengejek seraya dengan cepat mendoyongkan tubuh ke kanan. Ketika golok itu menyambar. Hebatnya, hal itu dilakukannya tanpa melangkahkan kaki. Hanya tampak tubuh berpakaian putih itu meliuk mengelakkan serangan lawan.

Wuttt!

Golok lawan menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari pinggang Melati. Saat itulah Melati melancarkan serangan bal asan. Dengan cepat sisi tangan kanannya bergerak seperti membacok tubuh lawan.

Wuttt!

Orang berpakaian kuning itu terperanjat bukan kepalang, menyaksikan serangan balasan lawan yang mengancam dirinya. Dari deru angin yang terdengar, bisa diketahui kalau serangan itu mengandung tenaga dalam kuat. Dengan kemampuan yang dimiliki, dicobanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....

Bukkk!

"Uh..,!" Sosok berpakaian kuning itu mengeluarkan keluhan tertahan dari mulut ketika tangan Melati mendarat telak pada sasaran yang dituju. Seiring dengan suara keluhannya, tubuh sosok berpakaian kuning itu ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi. Pingsan!

"Kau tidak membunuhnya kan, Melati?!" tanya Arya seraya menghampiri kekasihnya.

"Tentu saja tidak, Kang," sahut Melati, cepat bernada bangga. "Aku pun tahu, ada pihak yang lebih berkepentingan terhadapnya."

"Syukur kalau kau menyadarinya," ujar Arya lega. "Ini surat dan uang yang diletakkan di gagang tombak itu. Bacalah! Agak keras sedikit agar aku mendengarnya."

Melati menerima gulungan surat itu. Dengan agak terburu-buru dibuka gulungannya. Kemudian dibacanya dengan suara agak keras.

Utusan dari Akherat,
Kali ini kuminta kau membunuh Jagapaksi. Kalau bisa malam ini juga. Aku ingin masalah ini cepat selesai. Setelah ini semua masalah akan beres.


"Hanya itu yang ditulisnya dalam surat itu, Melati?" tanya Arya ingin tahu.

Melati menganggukkan kepala. "Perintah ini semakin menambah bukti kalau dalang pembunuhan gelap ini Sembada, Kang," ujar Melati, menarik kesimpulan.

Sambutan atas ucapan itu hanya senyum lebar di mulut Dewa Arak.

"Akan kubuktikan kebenaran ucapanku, Kang," ucap Melati lagi penuh semangat.

Usai berkata demikian, tubuhnya dibungkukkan. Lalu tangannya diulurkan untuk meraih kain yang menutup wajah sosok berpakaian kuning. Hanya dengan sekali sentak, lepaslah kain itu. Dan....

"Ah...!" Melati terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak percaya melihat sosok berpakaian kuning itu bukan Sembada. Yang terlihat ternyata wajah seorang pemuda berwajah buruk. Kulit wajahnya hitam, dengan bibir tebal yang hitam pula. Hidungnya besar, sedangkan kedua matanya seperti selalu terbelalak.

"Ketidakyakinanku ternyata beralasan. Bukan Sembada pelakunya," ujar Arya, tanpa menunjukkan rasa gembira atas kemenangannya bertaruh dengan Melati.

Sementara Melati terdiam seperti patung. Untuk yang kesekian kalinya harus diakui kalau dugaan kekasihnya tak pernah meleset.

"Kau mengenalnya, Melati?" tanya Arya ingin tahu.

Melati hanya menggelengkan kepala.

"Lebih baik kita bawa ke Desa Jarak. Aku yakin, ada penduduk yang mengenalnya. Kalau tidak mempunyai hubungan di sana, untuk apa membuat onar desa itu?" ujar Arya meyakinkan.

"Aku pun bermaksud mengusulkan demikian, Kang," tukas Melati.

Secercah senyum lebar tersungging di bibir Dewa Arak. "Kurasa lebih baik kau pergi lebih dulu, Melati. Beritahukan pada para penduduk kalau orang yang berdiri di belakang peristiwa pembunuhan terhadap Kepala dan Calon Kepala Desa jarak, telah berhasil kita tangkap. Aku yakin, semua penduduk akan berdatangan. Dengan cara itu, masalah ini akan selesai dan ketegangan antara dua kelompok dapat teratasi."

"Sebuah usul yang bagus, Kang," puji Melati sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Kau memang pandai memuji, Melati," ujar Arya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Lebih baik kau berangkat!"

"Baik, Tuan Besar! Perintah Tuan akan segera hamba laksanakan," ucap Melati sambil membungkukkan tubuh. Tak lupa dipasang sikap sungguh-sungguh pada wajahnya.

Kemudian, tanpa menunggu sambutan Dewa Arak, Melati melesat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berada jauh. Semakin lama semakin mengecil hingga berbentuk titik kecil hitam yang akhirnya lenyap.

Dewa Arak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Melati. Ditunggunya beberapa saat. Baru kemudian diangkatnya tubuh sosok berpakaian kuning, dan diletakkan di bahunya.

Lalu kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuannya jelas, Desa Jarak. Karena ingin memberikan kesempatan pada Melati memberi tahu seluruh penduduk Desa Jarak, Dewa Arak tak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.

Kesempatan yang diberikan Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Beberapa puluh tombak sebelum mencapai tapal batas Desa Jarak, dilihatnya kerumunan orang menyongsong di mulut desa. Melihat hal ini, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi.

Segera dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sepasang kaki pemuda berambut putih keperakan itu seperti tak menginjak tanah, karena kecepatan gerakannya. Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak sampai sekitar lima tombak dari kerumunan penduduk Desa Jarak.

Di sini Dewa Arak menghentikan larinya. Kemudian pandangannya diedarkan. Hanya dalam sesaat saja, telah disaksikan kebenaran cerita Melati. Kerumunan penduduk itu terdiri dari dua kelompok. Yang satu dalam jumlah besar, sedangkan lainnya sedikit. Pada bagian kelompok kecil tampak Sembada. Dia berdiri paling depan.

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat dalam hati. Sama sekali tidak disangka kalau pihak Sembada dan pihak keturunan Ki Barjanala masih bersitegang. Padahal, bukankah Melati telah memberitahukan kalau penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil ditangkap? Dari kenyataan ini saja dapat diketahui kalau Desa Jarak belum mempunyai kepala desa! Baru saja Arya memutuskan untuk berbicara, melesat sesosok bayangan putih. Dan tahu-tahu, di dekatnya telah berdiri Melati.

"Sekarang tiba giliranmu, Kang," ujar Melati, mempersilakan. "Bagianku telah berhasil kuselesaikan.”

Dewa Arak hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Kemudian pandangannya diedarkan kembali, memperhatikan para penduduk Desa Jarak yang seperti tak sabar menunggu berita darinya.

"Wahai, penduduk Desa Jarak..., dengarkan ucapanku...!" seru Dewa Arak dengan mengerahkan tenaga dalam agar terdengar di telinga semua orang yang berada di situ. "Aku mempunyai berita baik untuk kalian."

Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucapannya sebent ar untuk melihat tanggapan dari para warga Desa Jarak.

"Kupinta kau tidak bertele-tele, Dewa Arak," selak Sembada. "Kami telah tahu berita yang kau bawa. Kawanmu telah mengatakan. Bukankah kau telah berhasil menangkap orang yang berada di balik semua pembunuhan di Desa Jarak?! Katakanlah cepat. Aku sudah tak sabar lagi untuk membuktikan ketidak bersalahanku!"

Sambil berkata demikian, Sembada mengerling ke tempat Jagapaksi berada. Tapi, putra tertua Ki Barjanala sama sekali tak memberi sambutan. Lelaki gagah itu tetap berdiam diri dengan pandangan tertuju lurus ke wajah Dewa Arak.

"Baiklah, kalau memang itu yang kau mau, Sembada. Aku pun tak mau membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Sayang sekali aku dan kawanku tidak mengenalinya. Barangkali saja kalian kenal. Nih! Kalian perhatikan baik-baik!"

Usai berkata demikian, Dewa Arak segera menurunkan tubuh yang terpanggul di pundaknya. Kemudian dilemparkannya ke depan.

Wuttt!

Tubuh sosok berpakaian kuning itu pun melayang. Seketika itu pula semua mata kecuali Dewa Arak dan Melati, tertuju ke tubuh sosok berpakaian kuning itu.

Brukkk!

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh lelaki berpakaian kuning itu terbanting di tanah. Tubuh lelaki berpakaian kuning itu jatuh telentang. Sehingga semua penduduk dapat melihat jelas wajahnya. Tubuhnya terkulai lemas, tanpa gerak. Karena Dewa Arak telah menotok sebelum membawa ke Desa Jarak.

Wajah semua orang yang ada di situ tampak memanearkan perasaan kaget dan heran yang tidak terhingga. Sorot mata mereka pun memancarkan keridakpercayaan yang mendalam.

"Hah...?!"

"Heh...?!"

"Astaga...!"

Jeritan-jeritan bernada kaget dan tak percaya keluar dari mulut para penduduk Desa Jarak. Sebagian besar tampak menggeleng-geleng kepala keheranan.

DELAPAN

Namun di antara sekian banyaknya penduduk Desa Jarak, ada seorang yang dilanda perasaan kaget dan heran paling besar. Orang itu adalah Jagapaksi! Sepasang bola mata putra tertua Ki Barjanala itu seperti hendak keluar ketika menatap sosok berpakaian kuning yang tergolek di tanah.

"Suraga...!" gumamnya lirih dengan kepala tergeleng-geleng.

Pemuda berpakaian kuning itu ternyata Suraga, adiknya. Cukup lama juga Jagapaksi bersikap seperti itu sebelum akhirnya secara mendadak pandangannya dialihkan kepada Dewa Arak. Matanya yang tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu.

"Apa yang membuatmu menarik kesimpulan sempit seperti ini, Dewa Arak?!" tanya Jagapaksi dengan suara keras.

"Kesimpulan sempit?!" ulang Arya dengan kening berkernyit.

Perasaan kaget yang tadi melanda ketika mengetahui dalang semua ini ternyata Suraga, putra kedua Ki Barjanala telah berhasil ditekannya. "Maksudmu..., penangkapan yang kulakukan atas diri adikmu ini kau katakan kesimpulan sempit?!"

"Benar! Kau hanya mengada-ada, Dewa Arak! Aku yakin kau telah bersekongkol dengan Sembada! Tapi sayang kau keliru! Hanya orang gila yang mempercayai lelucon ini! Mana mungkin Suraga membunuh ayahnya sendiri ! Tipu muslihatmu tak masuk akal, Dewa Arak!" seru Jagapaksi berapi-api.

"Kaulah yang mengambil kesimpulan sempit!" selak Melati, karena tak kuat menahan amarah mendengar hinaan terhadap kekasihnya. "Dengar baik-baik, Kambing Dungu! Adikmu yang kau agung-agungkan itu tak lebih dari iblis berwajah manusia! Dia kami pergoki ketika hendak mengirimkan perintah mautnya lagi pada Utusan dari Akherat!"

"Bohong! Kau bohong, Perempuan Liar! Kau akan mendapat balasan yang setimpal atas fitnah keji yang kau ajukan ini!" seru Jagapaksi dengan suara bergetar karena amarah yang melanda.

"Bohong?!" Melati tersenyum mengejek. "Ini bukti-buktinya, Kambing Dungu! Periksalah! Benarkah ini tulisan adikmu? Dan ini uang yang seharusnya jatuh ke tangah Utusan dari Akherat sebagai imbalan." Sambil berkata demikian, Melati melemparkan gulungan surat dan buntalan kecil berisi uang.

Plukkk!

Surat dan buntalan kecil berisi uang itu jatuh dekat tubuh Suraga. Jagapaksi bergerak menghampiri, dan kemudian mengambil kedua benda itu, lalu memeriksanya.

"Tak mungkin!" desis Jagapaksi penuh rasa tidak percaya, setelah memeriksa surat dan uang itu.

"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, Jagapaksi. Segala sesuatu dapat saja terjadi. Dan itu yang perlu kau sadari!" Terdengar sebuah suara menyambut ucapan ketidakpercayaan Jagapaksi.

Jagapaksi menoleh ke arah Sembada. Karena memang dari mulut lelaki itulah suara tadi berasal. Dirayapinya wajah Sembada sejenak. Namun, sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Dewa Arak telah mendahuluinya.

"Apa yang dikatakan Sembada tidak salah. Di dunia ini peristiwa apa pun dapat saja terjadi. Daripada kau bersikeras tak mempercayainya, lebih baik kau korek keterangan dari mulutnya! Tentu saja kalau kau ingin masalahnya menjadi jelas."

Jagapaksi tercenung seperti tengah memikirkan usul Dewa Arak. Kemudian, dengan langkah pasti ditatapnya wajah Suraga.

"Bagaimana mungkin aku bisa menanyainya kalau dia dalam keadaan pingsan seperti ini?" tanya Jagapaksi kebingungan.

"Ah, maaf!" Seraya berkata demikian, Dewa Arak menghampiri tubuh Suraga. Diurutnya tengkuk putra bungsu Ki Barjanala itu. Hanya sekali saja. Namun tampak tubuh pemuda itu telah menggeliat.

"Uhhh...!" Suraga mengeluarkan keluhan tertahan. Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka.

"Kang Jagapaksi...!" ucap Suraga setengah terpekik, karena peras aan kaget yang melanda. Pemuda berpakaian kuning ini bergegas bangkit seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.

"Aku bukan saudaramu!" sentak Jagapaksi, keras. "Aku tidak sudi mempunyai seorang adik yang menjadi pembunuh keji!"

"Kang!" seru Suraga, tak kalah keras. "Kau mempercayai tuduhan itu?! Itu fitnah, Kang! Apakah masuk akalmu aku bertindak demikian keji, membunuh ayah kandung sendiri?!"

"Kau tidak usah mungkir, Suraga! Tak kusangka kau memiliki watak yang sekeji ini! Tidak hanya ayah yang kau bunuh, kau pun bermaksud membunuhku pula!" seru Jagapaksi berapi-api.

"Fitnah!" bantah Suraga keras. "Dari mana kau mendengar tuduhan gila seperti itu, Kang! Mungkinkah aku bermaksud membunuh kakakku sendiri?!"

"Ini bukti-buktinya! Kau masih mau berdusta?!"

Sambil berkata demikian, Jagapaksi melemparkan gulungan surat dan pundi-pundi berisi uang ke tubuh Surga. Dengan sigap, pemuda berpakaian kuning ini menangkapnya. Lalu memeriksa isinya.

"Fitnah!" lagi-lagi Suraga melontarkan ucapan yang sama setelah membaca surat itu. "Aku tidak pernah membuat surat seperti ini! Aku yakin ada yang telah melakukan fitnahan terhadapku!"

Usai berkata demikian, Suraga melayangkan pandangan ke wajah Sembada. "Kau…! Manusia keji! Rupanya kau tidak puas dengan hanya membunuh ayahku. Aku pun kau fitnah pula! Orang sepertimu layak mati! Hiyaaat…!"

Suraga meluruk ke tubuh Sembada. Tangan kanannya siap untuk dipukulkan ke dada laki-laki yang juga sesepuh desa itu. Tentu saja Sembada tak tinggal diam. Dia bersiap-siap untuk menyambutnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Secara perlahan dan sembarangan tangannya dikibaskan. Mendadak tubuh Suraga ambruk sebelum berhasil menyarangkan pukulannya.

"Keparat!" Jagapaksi menggeram murka melihat hal ini. Secepat kilat tangannya digerakkan kepinggang. Tapi....

"Apakah kau tidak menginginkan masalah ini cepat tuntas, Jagapaksi?!" tanya Arya dengan suara datar. "Asal kau tahu saja, aku terpaksa bertindak seperti ini agar masalah yang tengah kita bahas bisa selesai!"

Tangan Jagapaksi yang sudah menggenggam gagang golok pun mengendur kembali. Apalagi ketika dilihatnya Suraga tidak terluka, meskipun roboh secara mendadak karena lutut belakangnya dihantam pukulan jarak jauh Dewa Arak.

"Rasanya alasan yang dikemukakan adikku masuk akal, Dewa Arak," ujar Jagapaksi yang mulai terpengaruh karena merasakan adanya kebenaran dalam ucapan Suraga. "Mana mungkin dia pelakunya? Sangat tak masuk akal adikku menjadi dalang atas semua kekejian yang terjadi di desa ini. Kau tahu, salah seorang di antara korban itu ayahku sendiri. Dan surat ini pun berisikan perintah yang tidak masuk akal! Mungkinkah dia sampai hati menyuruh orang untuk membunuh kakaknya sendiri?!"

"Benar! Mengapa aku harus memerintahkan orang untuk membunuh kakakku sendiri. Padahal, semua penduduk tahu kalau kebencianku tertuju pada Sembada! Kalau memang benar aku pelakunya, tentu kuperintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuh Sembada, dan bukan kakakku!" timpal Suraga sambil berusaha bangkit.

Bukan hanya Jagapaksi yang terpengaruh. Semua penduduk yang mendengarnya pun, dapat menerima kebenaran ucapan itu. Dewa Arak dan Melati pun diam-diam memuji kecerdikan Suraga. Namun, bukan Dewa Arak namanya kalau menghadapi alasan seperti itu saja sudah gugup. Tidak! Pemuda berambut putih keperakan itu tetap dapat bersikap tenang.

"Bisa kuterima ucapanmu, Jagapaksi. Tapi tidak demikian halnya dengan ucapan Suraga," ujar Dewa Arak dengan senyum terkembang di bibir. "Aku tahu, mengapa Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuhmu! Kau tahu sebabnya? Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya! Dan aku yakin dugaanku ini tidak salah!"

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Pertama, kaulah yang menjadi penyebab tercegahnya penyerbuan terhadap kelompok Sembada. Kedua, kalau Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat membunuh Sembada, sama saja dengan membuka kedok sendiri."

Lagi-lagi Dewa Arak menghentikan penjel asannya. "Lain halnya apabila kau yang dijadikan sasaran, Suraga akan mendapat keuntungan ganda. Di samping tidak ada penghalang penyerbuan atas diri Sembada. Semua penduduk akan menuduh Sembada sebagai pelakunya. Dan tanpa diperintahkan lagi pun mereka akan membunuh Sembada. Hasilnya, jalan untuk menjadi kepala desa akan terbentang luas bagi Suraga!"

"Fitnah!" teriak Suraga dan Jagapaksi hampir berbarengan.

Kakak beradik putra Ki Barjanala itu tampak geram bukan kepalang. Hal yang sama pun menimpa penduduk desa para pengikut mereka. Kecuali Sembada dan pengikut-pengikutnya. Hanya saja mereka memilih sikap berdiam diri.

"Baiklah, kalau kau tidak mempercayainya, Jagapaksi. Sekarang kuminta Suraga menjelaskan, keperluannya mendatangi bangunan tua di dalam hutan, dan meletakkan gulungan surat serta buntalan uang itu. Asal kau tahu saja, Jagapaksi. Aku telah melihat hal ini sebelumnya, menjelang terjadinya pembunuhan terhadap Bima Seta. Bukankah demikian, Kang Saraka?!"

"Benar, Arya," jawab Saraka sambil menganggukkan kepala. Lelaki bertubuh kekar ini berada pada kelompok Jagapaksi.

"Dia bohong, Kang! Aku tidak pernah ke sana! Bahkan aku tak pernah tahu sama sekali semua yang dikatakannya. Yang kutahu, saat aku sadar tahu-tahu berada di sini!" bantah Suraga mencoba berhohong.

Jagapaksi menatap Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan kemenangan. "Sayang sekali, Dewa Arak! Fitnahan kejimu tidak memberikan hasil sama sekali. Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau kau memiliki watak serendah ini! Entah bagaimana kalau dunia persilatan mendengarnya!"

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Keduanya sadar kalau kedudukan mereka sekarang tidak menguntungkan. Ternyata Suraga seorang yang berwatak licik. Sehingga dalam keadaan terjepit seperti itu masih mampu menemukan alasan untuk menyelamatkan diri. Tapi lagi-lagi sebuah pikiran cemerlang timbul di benak Dewa Arak.

"Kuakui kalau alasan bohongmu telah membuat kami habis daya untuk membuktikan, bahwa kau yang telah mengirimkan perintah-perintah maut pada Utusan dari Akherat. Tapi, aku yakin ada penduduk yang melihatmu menuju ke hutan. Merekalah yang akan membuktikan kebohongan ceritamu. Nah! Wajah para penduduk Desa Jarak yang merasa melihat kepergian Suraga ke hutan, silakan memberikan kesaksian. Apakah kalian rela melihat Sembada yang tidak bersalah menjadi korban! Ingat, korban kekejian Suraga akan terus berlangsung! Dan kalianlah yang akan merasakan akibatnya"

Kegaduhan langsung melanda penduduk Desa Jarak. Masalahnya sebagian besar dari mereka memang melihat Suraga pergi ke hutan, dengan memakai pakaian kuning. Bukan hanya dari kelompok Sembada, tapi juga para pengikut Jagapaksi Kesaksian pertama kali diberikan Saraka. Lelaki bertubuh kekar itu mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Berturut-turut para penduduk lainnya mengacungkan tangan.

Dewa Arak tersenyum lega. Di lain pihak, wajah Suraga berubah pucat pasi.

"Apa lagi alasan yang kau berikan, Suraga?!" tanya Melati penuh bernada ejekan.

Suraga diam. Dia tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas ejekan Melati. Tanggapan yang jauh berbeda diberikan Jagapaksi. Tarikan wajah putra tertua Ki Barjanala ini, tampak beringas. Kilatan sinar sepasang matanya pun memancarkan kemarahan. Tapi itu semua bukan ditujukan pada Melati, melainkan pada Suraga.

"Manusia berhati binatang!" desis Jagapaksi, penuh geram. "Malah binatang lebih baik daripada dirimu. Mereka tahu mengenal budi. Binatang tak akan mencelakai orang yang telah menolong dan merawatnya! Tidak seperti kau, Iblis Berwajah Manusia!"

Semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak dan Melati, merasa heran dan tidak mengerti mendengar ucapan Jagapaksi. Mereka sama sekali tidak mengerti maksud ucapan itu. Sementara itu Suraga tetap belum memberikan tanggapan. Dia terdiam dengan raut wajah berubah-ubah. Sebentar pucat sebentar merah.

"Rupanya kau lupa siapa dirimu sebenarnya, Iblis?! Dulu kau seorang gembel kecil yang tidak berarti, tapi ayahku memungut, dan menjadikanmu anak angkat! Kau hidup enak! Tapi apa balasanmu sekarang, Iblis?!" lanjut Jagapaksi, dengan suara semakin meninggi.

"Tutup mulutmu, Jagapaksi!" setelah sekian lamanya berdiam diri, Suraga balas memaki. "Kau terlalu melebih-lebihkannya! Selama aku dipungut menjadi anak, tak sekali pun kurasakan adanya kasih sayang!"

Suraga menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Perasaan marah yang menggelegak, membuat napasnya terengah-engah.

"Dulu aku selalu bertanya-tanya, mengapa Ki Barjanala yang semula kuanggap ayah, membeda-bedakan kita. Dalam setiap perselisihan yang terjadi, selalu aku yang disalahkan. Betapapun sebenarnya aku berada di pihak yang benar."

Suraga kembali menghentikan ucapannya. Deru napasnya semakin memburu seperti orang yang habis berlari jauh. Diaturnya napas agar bisa melanjutkan ucapannya. Sementara semua orang yang berada di situ, sekarang mulai mengetahui pokok permasalahan yang tengah terjadi.

"Salah besar, baru kuketahui kalau diriku hanyalah seorang anak angkat. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran itu, dendamku pun berkobar. Harus kubalas tindak ketidakadilan atas diriku. Untuk itulah aku pergi meninggalkan kalian selama beberapa bulan. Aku terjun di dunia orang-orang golongan hitam. Sampai akhirnya kudapatkan berita adanya seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat."

Kembali Suraga memutus ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering dan terasa getir.

"Akhirnya aku tahu, kalau Utusan dari Akherat tengah berada tak jauh dari Desa Jarak. Segera kususun rencana ini. Dan semuanya terjadi, persis seperti yang kurencanakan. Sayang, di saat terakhir usahaku gagal. Dan...!"

"Mampuslah kau, Iblis!" Sebelum Suraga sempat mengakhiri ceritanya, Jagapaksi telah meluruk ke arahnya sambil menusukkan golok. Hal itu membuat Suraga kaget bukan kepalang. Sedapat mungkin dia berusaha mengelak. Tapi...

Jreppp!

Golok Jagapaksi dengan cepat dan keras sekali menghunjam perut Suraga hingga tembus ke punggung! Seketika itu pula tubuh putra angkat Ki Barjanala itu terbungkuk. Sepasang matanya membelalak lebar. Dan ketika Jagapaksi mencabut goloknya, tubuh Suraga pun ambruk ke tanah. Darah segar berhamburan dari bagian perutnya yang tersobek lebar. Sesaat Suraga menggelepar-gelepar di tanah sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

"Hhh...!" Jagapaksi menghela napas. Sukar diketahui perasaannya saat itu. Kemudian sambil menyarungkan golok, kembali dilayangkan pandangannya ke tempat Dewa Arak dan Melati berada. Betapa terkejut ketika dilihatnya sepasang pendekar muda itu tidak berada lagi di situ.

Bukan hanya Jagapaksi yang merasa kaget. Semua penduduk pun dilanda perasaan yang sama. Mereka tak tahu kapan Dewa Arak dan Melati pergi. Tak seorang pun yang mengetahui kalau Dewa Arak dan Melati melesat meninggalkan tempat itu ketika melihat Jagapaksi menyarangkan goloknya di perut Suraga.

Tentu saja bukan tanpa alasan Dewa Arak dan Melati pergi. Di samping penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil dilenyapkan, mereka pun ingin segera menuju ke bangunan tua di dalam hutan. Tujuan sepasang pendekar muda ini untuk melenyapkan Utusan dari Akherat.

Untuk melaksanakan maksud itu hanya satu hal yang sapat mereka lakukan, memberikan sebuah tugas kepada pembunuh bayaran itu. Dan hal itu tidak perlu dibuat dengan susah payah lagi. Dewa Arak menggunakan surat dan uang yang semula digunakan Suraga. Memang, dia telah mengambilnya, tanpa seorang pun yang tahu.

* * *

Malam itu langit tampak agak cerah. Meskipun tak terlihat adanya bintang, sinar bulan yang hampir bulat, memancar ke bumi tanpa terhalang s edikit pun. Di angkasa tidak terdapat awan sama sekali. Semua ini membuat keadaan bumi persada terlihat cukup tenang.

Di saat seperti itulah, Dewa Arak dan Melati telah siap dengan tugasnya masing-masing. Mengintai rumah Jagapaksi dari cabang pohon yang tersembunyi kerimbunan daun-daun.

Dewa Arak bersembunyi di pohon yang berada di depan, sementara Melati di pohon belakang rumah. Cara itu dilakukan agar dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Entah berapa lama sudah menunggu di sana, baik Dewa Arak maupun Melati tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepasang muda-mudi itu merasa sangat lama. Memang, menunggu adalah suatu pekerjaan yang paling menyebalkan. Dan rupanya Melati, yang memiliki watak tidak sabaran, kurang kuat bertahan. Dan ini terbukti beberapa saat kemudian.

"Jangan-jangan Utusan dari Akherat tak datang, Kang. Barangkali saja dia tahu kalau kita berniat menjebaknya?!" ucap Melati dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh.

"Bersabarlah, Melati!" hibur Dewa Arak untuk menenangkan hati gadis berpakaian putih itu. "Aku yakin, Utusan dari Akherat itu akan datang. Mungkin..., ah! Benar, Melati. Aku melihat sesosok bayangan hitam di kejauhan. Dia menuju ke tempat ini! Dia pasti Utusan dari Akherat!"

"Kalau begitu..., aku akan ke sana, Kang!" sambut Melati penuh gairah.

"Sabar sebentar, Melati! Dia masih cukup jauh. Lebih baik kau tetap di tempatmu!" cegah Arya.

Tanpa banyak membantah Melati mematuhinya. Kenyataan demi kenyataan menunjukkan padanya kalau keputusan yang diambil Dewa Arak selalu benar. Itulah sebabnya, sekarang pun dia segera menurutinya.

Sementara itu, Dewa Arak terus memusatkan perhatian pada sosok hitam yang tengah melesat cepat ke tempat tinggal Jagapaksi. Dari balik kerimbunan dedaunan, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikannya.

Dugaan Dewa Arak ternyata tidak salah. Sosok hitam itu ternyata orang yang pernah bertarung dengannya meski hanya sebentar. Potongan tubuhnya masih dikenali betul! Ya, sosok itu adalah Utusan dari Akherat!

Tampak di mata Dewa Arak, Utusan dari Akherat menolehkan kepalanya ke sana kemari sebentar. Jelas dia tengah mengawasi keadaan. Baru setelah itu, pembunuh bayaran yang tidak mengenal ampun itu, melesat memasuki halaman rumah Jagapaksi Saat itulah, Dewa Arak melompat turun dari pohon tempatnya bersembunyi.

Patut dipuji pendengaran Utusan dari Akherat. Sebelum Dewa Arak sempat hinggap di tanah, sosok berpakaian hitam itu telah lebih dulu menolehkan kepalanya. Tampaknya, pembunuh bayaran ini mendengar desir angin!

"Uh," Utusan dari Akherat mengeluarkan keluhan tertahan dari kerongkongannya begitu melihat sosok yang tengah melayang turun itu. Dikenalinya sosok itu sebagai orang yang bertempur dengannya kemarin malam.

Jliggg!

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak di hadapan Utusan dari Akherat, Dewa Arak langsung bersikap siaga. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau lawan kali ini memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa diremehkan.

"Beri aku jalan, Anak Muda! Dan jangan coba-coba menghalangi pekerjaanku kalau ingin selamat!" ancam Utusan dari Akherat dengan suara pelan.

"Sayang sekali, Kisanak! Justru keberadaanku di sini untuk menghalangi angkara murkamu! Orang seperti dirimu memang harus dilenyapkan dari muka bumi!" tandas Arya, tegas.

"Keparat!" desis Utusan dari Akherat bernada tajam. "Terpaksa aku harus membunuhmu, Anak Muda! Terlalu berani kau menghalangi tindakanku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian! Heaaat...!"

Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat segera melesat menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, diluncurkan cepat ke dada Dewa Arak. Melihat gerakan yang dilakukan, lelaki berpakaian serba hitam ini seakan-akan ingin merobek dada lawan dan mengambil isinya.

Wuttt!

Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu, membuktikan kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dewa Arak pun mengetahuinya. Hal itu karena dia pernah bertarung dengan lelaki berpakai an hitam itu meski hanya dalam satu, atau dua jurus.

Itulah sebabnya, Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas melewati kepala lawannya. Dan ketika telah berada di atas Utusan dari Akherat, tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih keperakan ini mengayunkan kedua tangannya ke belakang kepala lawannya. Apabila mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa pembunuh bayaran itu ke neraka.

Namun, Utusan dari Akherat pun bukan tokoh sembarangan. Begitu merasakan desir angin di belakang, dia langsung tahu adanya bahaya mengancam. Maka, sambil membalikkan tubuh, kedua tangannya disampokkan ke belakang.

Prattt!

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi, tak dapat dielakkan. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke arah yang berlawanan.

"Hup!"

Pada saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, Utusan dari Akherat pun berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat mereka saling pandang, tidak langsung menyerang seperti sebelumnya. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari Akln'int, merasakan betapa tangan mereka sakit-sakit akibat benturan yang terjadi. Tampaknya tenaga dalam mereka berimbang.

Utusan dari Akherat ternyata tak mau membuang-buang waktu. Setelah bentrok untuk kedua kalinya, telah dirasakan sendiri kehebatan lawan, dia tak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalan.

Wuk! Wuk! Wuk!

Bunyi menderu terdengar ketika Utusan dari Akherat mencabut dan memainkan ganco yang menjadi senjata andalannya. Karena begitu cepat gerakan yang dilakukan, bentuk senjata itu sampai lenyap! Yang terlihat hanyalah sinar putih membungkus tubuhnya. Memang, ganco Utusan dari Akherat berwarna putih mengkilat!

Melihat hal ini, Dewa Arak tak berani bertindak kepalang tanggung. Disadari kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan. Kalau takdiladeni secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin nyawanya yang akan lebih dulu melayang. Maka buru-buru gucinya diambil. Kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk.... Gluk.... Gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjal anannya menuju ke perut. Seketika itu pula ada hawa hangat berputar di dalam perutnya, yang kemudian merayap ke atas. Sesaat kemudian,

"Hiaaat...!"

Seraya mengeluarkan teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Utusan dari Akherat meluruk menerjang Dewa Arak. Ganco yang tergenggam di tangan, diayunkan untuk membabat kepala.

Wukkk!

Desau angin yang keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsyatan serangan itu. Dewa Arak pun mengetahuinya. Meskipun demikian, dia tak merasa ragu-ragu untuk memapaknya dengan ayunan guci.

Klanggg!

Bunga-bunga api bepercikan ke sana kemari, ketika ganco dan guci berbenturan secara keras hingga memekakkan telinga. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari Akherat sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja Utusan dari Akherat terdorong lebih jauh.

Namun, dengan sebuah gerakan sederhana, kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Lalu, keduanya saling terjang kembali. Pertarungan sengit pun berlangsung lagi.

Pertarungan itu berlangsung kian hebat. Bunyi menderu, mengaung, dan berdecit menyemaraki jalannya pertarungan. Di sana-sini tanah terbongkar, disertai debu mengepul tinggi ke udara. Tanpa terasa pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula.

Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Namun, menginjak jurus keseratus, Utusan dari Akherat mulai tampak terdesak. Memang, tangan, kaki, guci, dan semburan arak dari Dewa Arak merupakan paduan kekuatan yang mampu menggilas habis pertahanan lawan.

Perlahan-lahan Utusan dari Akherat semakin terjepit. Serangan-serangannya tampak semakin berkurang. Dia lebih banyak mengelak dan menangkis. Tentu saja hal itu membuat kedudukannya semakin terdesak.

Melihat hal itu, Utusan dari Akherat sadar, cepat atau lambat akan roboh di tangan Dewa Arak. Disadari pula bahwa kepandaian pemuda itu berada di atasnya. Kemenangan tak mungkin akan diraihnya. Maka diputuskan kalau harus mati, maka matilah bersama lawannya.

Setelah mantap dengan keputusan ini, Utusan dari Akherat bertindak nekat. Cara bertarungnya pun dirubah. Sekarang dipusatkan perhatiannya untuk melancarkan serangan. Tidak dipedulikan lagi pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang dilakukannya terus bergerak melancarkan serangan.

Ternyata hasil dari cara ini langsung terlihat, keadaan Utusan dari Akherat langsung berubah. Kedudukannya tak lagi terdesak. Hal itu mungkin karena Dewa Arak lebih banyak mengalah. Tampaknya pemuda berambut putih keperakan itu melihat jelas, tindakan Utusan dari Akherat yang sengaja hendak mengadu nyawa.

Betapa tidak? Begitu Dewa Arak melancarkan serangan, tak dipedulikannya sama sekali. Bahkan ikut melancarkan serangan pula. Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni tindakan gila itu. Pemuda berambut putih keperakan itu mengalah sambil mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkan.

Pada jurus keseratus dua puluh tiga, Utusan dari Akherat membabatkan ganconya secara mendatar ke pinggang Dewa Arak. Dengan perhitungan yang matang, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke depan. Dan ketika berada di atas kepala lawan, tubuhnya bersalto seraya mengayunkan guci ke kepala Utusan dari Akherat.

Utusan dari Akherat terkejut bukan kepalang melihat bahaya maut yang mengancamnya. Dengan semampunya lelaki berpakaian hitam itu mencoba mengelak.

Prakkk!

Bunyi berderak keras terdengar ketika kepala Utusan dari Akherat pecah. Darah menyembur deras dari bagian yang terhantam guci. Pembunuh bayaran ini pun langsung tewas.

Begitu mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada sedikit perasaan menyesal di hatinya melihat lawannya tewas dalam keadaan seperti itu. Tapi, apa boleh buat?!

Dewa Arak mengalihkan pandangannya. Tampak Melati dan Jagapaksi tersenyum lega. Kedua orang ini ternyata sudah sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. Jagapaksi keluar rumah karena mendengar suara gaduh perkelahian. Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Melati dan Jagapaksi.
SELESAI
Selanjutnya,

Dewa Arak - Perintah Maut

Dewa Arak - Perintah Maut
Karya : Ajisaka

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Srakkk...!

"Keparat!"

Bunyi berkerosakan yang disusul dengan suara makian keras penuh kejengkelan, merobek keheningan suasana yang masih diselimuti kegelapan.

Sebenarnya, saat itu malam telah berlalu. Tugas rembulan, telah hampir usai. Hanya saja sang Surya belum menampakkan diri di ufuk timur. Meskipun demikian, kicau burung sudah mulai terdengar. Kokok ayam jantan pun sesekali bersuara, seakan hendak menyambut pagi.

Di tengah suasana seperti itulah suara makian tadi terdengar dari mulut sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tak tampak karena tertutup kain hitam dari bawah mata sampai ke leher. Kain itu diikatkan ke belakang kepala. Hal itu sebagai pertanda kalau dirinya tak ingin dikenal.

"Hih!" Dengan menggeram, sosok berpakaian hitam itu menarik kuat-kuat kakinya. Ternyata salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang yang tak terlihat karena tertutup semak-semak dan rerumputan. Lubang itu kecil tapi cukup dalam.

Sosok berpakaian hitam itu tampak merasa kesakitan, mungkin kalau tak tertutup kain, mulutnya meringis-ringis menahan nyeri di kaki yang terjepit lubang itu. Hanya matanya yang tajam tampak jelalatan ke sana kemari, seperti ada yang tengah diawasi.

Namun sosok berpakaian hitam itu tidak mempedulikan rasa sakit yang mendera. Begitu terbebas dari lubang, kakinya kembali metanjutkan perjalanan. Langkahnya terburu-buru sekali. Sehingga tampak agak terpincang-pincang. Karena kaki sebelah kanan yang terperosok di lubang tadi, dirasakan masih sangat sakit ketika dijejakkan ke tanah.

Srak! Srak! Srak!

Bunyi berkerosakan dari semak-semak dan rerumputan yang dilewati sosok berpakaian hitam itu terdengar, hampir tiada henti. Terlihat jelas, sosok berpakaian hitam itu tengah tergesa-gesa.

Setelah cukup lama menerobos semak-semak dan rerumputan, akhirnya sosok berpakaian hitam itu sampai di sebuah tanah lapang yang membentang luas. Tak satu pun pohon besar yang menghalangi tempat itu, kecuali rumput-rumput pendek dan kering.

Sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah dan mengedarkan pandangan. Namun, hal itu hanya dilakukannya sebentar. Sesaat kemudian, kakinya kembali diayunkan. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Rupanya rasa sakit yang melanda kaki telah mulai berkurang.

Ternyata sosok berpakaian hitam itu bukan orang sembarangan. Setidak-tidaknya, memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hal itu dapat dibuktikan dari larinya yang cepat dan gesit.

Tak berapa lama kemudian, dalam jarak belasan tombak di hadapan sosok berpakaian hitam, samar-samar tampak sebuah bangunan. Ke tempat itulah kakinya diayunkan. Hanya dal am beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berada tepat di depan bangunan itu. Sebuah bangunan yang tampak menyeramkan. Apalagi dalam suasana pagi yang masih gelap dan sunyi seperti ini.

Setelah berhenti di depan bangunan itu diedarkan matanya, mengawasi ke sekitar pekarangan yang luas. Bangunan tua itu tampaknya sudah tak berpenghuni. Hal itu bisa dibuktikan dari keadaannya yang terbengkalai seperti tak terawat. Pepohonan kecil tampak meranggas di tengah halaman luas yang kotor.

Setelah puas memperhatikan, sosok berpakaian hitam itu lalu melangkah menuju bagian kiri bangunan. Ada suatu yang aneh di bagian itu. Di sana tampak tertancap sebatang tombak berwarna mengkilat.

Setengah dari tombak itu menancap di tanah. Hal itu membuktikan betapa kuat tenaga dalam yang telah menghunjamkannya. Begitu berada di dekat tombak, sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari. Seakan-akan tak ingin ada orang lain melihat tindakan yang akan dilakukanya.

Setelah merasa yakin tidak ada orang melihat, sosok berpakaian hitam itu memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sesaat kemudian tangannya telah keluar dengan menggenggam segulungan surat dan sebuah kantung kain sebesar kepalan bayi. Kantung yang tampak menggembung itu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring ketika dikeluarkan.

Setelah kembali menoleh ke sana kemari, sosok berpakaian hitam itu buru-buru menggantungkan gulungan surat dan kantung kain ke gagang tombak.

"Hhh...! Akhirnya selesai juga tugasku. Kini tinggal menunggu hasilnya. Ha ha ha...! Tunggulah kematianmu, Bima Seta! Ha ha ha...!" ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak, merasa puas dan bangga. Rasa gembira itu pun tampak tersirat dari sepasang matanya yang tak tertutup kain.

Masih dengan tawa yang belum putus, sosok berpakaian hitam segera meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah menjauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan pagi.

* * *

"Aneh...! Aku tak mengerti arti semua itu, Kang."

Sebuah pertanyaan dengan suara lembut terdengar, ketika tubuh sosok berpakaian hitam telah jauh meninggalkan bangunan itu. Suara itu beras al dari salah satu pohon yang berada tak jauh dari bangunan tua.

Ternyata pada salah satu cabang pohon besar di sebelah kanan bangunan itu, tampak dua sosok tubuh yang duduk berdampingan. Rimbunnya dedaunan pohon ditambah suasana pagi yang masih gelap, membuat keberadaan mereka sulit untuk diketahui.

"Aku juga tidak mengerti, Melati," timpal sosok lainnya. "Tapi jelas..., ada seseorang yang tengah terancam jiwanya! Dan orang itu bernama Bima Seta. Sementara orang yang mengincar nyawanya, kuduga orang berpakaian hitam tadi. Tapi..., mengapa tindakan yang dilakukannya seperti itu?"

Terdengar jelas perbedaan kedua suara itu. Yang pertama lembut, dan agak melengking. Sedangkan yang belakangan suaranya mantap, dan agak berat. Jelas, suara pertama keluar dari mulut seorang wanita.

"Mungkin ada hubungannya dengan benda-benda yang digantungkan pada gagang tombak itu, Kang," ujar wanita yang dipanggil Melati.

"Mungkin kau benar," sahut pemilik suara lelaki. "Tidak ada salahnya kalau kita memeriksanya. Toh, ini semua demi kebaikan."

Belum juga lenyap ucapan pemilik suara kedua itu, dari atas pohon melesat turun dua sosok bayangan, putih dan ungu! Dan....

Jliggg!

Seringan kapas, dua sosok yang tadi berada di atas pohon menjejakkan kaki di tanah. Jelas, keduanya mempunyai ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna. Kedua sosok itu segera menghampiri tempat sosok berpakaian hitam menaruh benda-benda yang dibawanya. Terlihat tindakan mereka tidak begitu tergesa-gesa.

Dalam jilatan sinar bulan yang remang-remang, terlihat cukup jelas ciri-ciri mereka. Sosok pertama seorang gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya panjang tergerai. Sehelai pakaian putih membungkus tubuhnya yang ramping.

Sedangkan sosok kedua, ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya memperlihatkan kejantanannya. Tubuhnya yang kekar dan berotot, dibungkus pakaian ungu. Ada sebuah keanehan pada pemuda berpakaian ungu itu. Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan. Warna rambut yang biasanya hanya dimiliki orang-orang berusia lanjut.

Kini bisa ditebak siapa sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu. Ya! Arya Buana. Lelaki muda yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak!

Dengan pandangan tertuju pada benda-benda yang tergantung di batang tombak, Arya dan Melati terus melangkah mendekat. Namun, ketika jarak antara pasangan muda-mudi itu dengan sasaran tinggal tiga tombak lagi, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam yang melesat begitu cepat. Dan....

Brettt!

Dalam sekejap gulungan surat dan kantung kecil itu telah lenyap dari tempatnya. Sosok bayangan hitam itulah yang menyambarnya! Kemudian dengan kecepatan luar biasa, sosok bayangan itu melesat meninggalkan tempat Dewa Arak dan Melati berada.

Kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk dirinci rentetannya. Yang jelas, baik Dewa Arak maupun Melati baru menyadari ketika sosok bayangan hitam itu telah melesat jauh. Meskipun demikian, sepasang pendekar ini sempat melihat kalau sosok bayangan hitam itu bukan manusia. Ya, bukan! Melainkan seekor burung.

Sepasang pendekar muda itu hanya bisa memperhatikan burung itu melayang di bawah cahaya bulan yang temaram. Semakin lama semakin jauh, sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Ditelan kejauhan dan suasana remang-malang malam menjelang pagi.

Melihat kejadian barusan, Dewa Arak dan Melati hanya saling pandang. Ada sorot keheranan dan rasa penasaran memancar di mata mereka.

"Aku jadi semakin tidak mengerti, Kang," ujar Melati, lirih tak ubahnya mirip bisikan. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan.

"Hhh...!" Dewa Arak pun hanya menyahut dengan helaan napas panjang. Sedangkan tatapannya diarahkan ke langit, seperti tengah mencari jawaban atas pertanyaan kekasihnya di sana.

"Bukan kau saja yang tak mengerti, Melati. Aku pun merasa heran. Apa arti semua kejadian aneh ini?! Hanya satu yang berhasil kusimpulkan. Dan kurasa kau pun mengetahuinya...."

Dewa Arak menghentikan ucapannya. Ditatapnya sejenak wajah Melati. Sikap dan pandangan matanya s eakan-akan tengah menunggu jawaban dari gadis berpakaian putih itu.

"Apa itu, Kang?" Ternyata bukan jawaban yang diberikan Melati, melainkan pertanyaan bernada penuh rasa ingin tahu.

"Ada seseorang yang tengah terancam keselamatannya! Kau tahu kan siapa yang kumaksudkan?"

"Maksudmu..., Bima Seta?!" tanya Melati, ragu-ragu.

"Tepat!" sahut Dewa Arak sambil mengacungkan ibu jari. "Dialah yang kumaksudkan. Ada bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan Bima Seta. Kita harus menyelamatkannya, Melati!"

"Aku setuju saja, Kang! Tapi.., ke mana kita harus mencari Bima Seta? Kita belum tahu di mana tempat kediamannya. Dan yang lebih repot lagi, kita belum pernah melihat orang itu. Jelas, kita belum pernah mengenal nama Bima Seta. Lalu..., bagaimana cara kita mencegah pembantaian itu?" tanya Melati, seakan-akan meragukan tindakan pencegahan itu.

"Hanya ada dua cara, Melati," sahut Dewa Arak cepat. "Pertama, kita cari orang yang tadi datang kemari."

"Lalu..., apa cara yang satunya lagi, Kang?" desak Melati tidak sabar menunggu.

"Mengejar burung yang telah mendahului kita, menyambar barang-barang di tombak tadi. Memang, hal ini lebih sulit. Tapi yang jelas, kita tahu arah yang ditempuh binatang itu. Kita ikuti dan selidiki. Mudah-mudahan saja, belum terlambat!"

"Kalau begitu maksudmu, kita harus cepat bertindak, Kang! O, ya. Apa tindakan kita sekarang?" tanya Melati seraya menatap wajah kekasihnya.

"Mengejar orang berpakaian serba hitam tadi!" jawab Arya dengan suara tegas dan mantap.

Usai berkata demikian, Dewa Arak langsung mengayunkan kaki dengan gerakan luar biasa. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya telah berada dalam jarak belas an tombak dari tempat semula.

Melihat hal ini, Melati tak mau kalah. Gadis itu pun segera mengayunkan kaki. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya juga telah melesat belasan tombak. Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda ini telah sama-sama melesat menuju arah yang di tempuh sosok berpakaian hitam.

* * *

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku datang, Tuan Besar...!"

Suara teriakan keras dan parau dengan logat yang aneh lerdengar beberapa kali. Sesosok tubuh yanq tengah terbaring di atas balai-balai bambu terbangun. Perlahan-lahan kelopak matanya membuka.

"Ah...! Kau rupanya, Raja," gumam sosok yang terbaring di atas balai-balai bambu, setelah terlebih dulu menggeliatkan tubuh. "Sepagi ini kau sudah membangunkanku. Apa ada pekerjaan yang harus kulakukan?"

"Benar, Tuan...! Benar! Dan aku telah membawanya...!" sahut pemilik suara serak dengan logat aneh itu.

"Ya. Aku telah melihatnya. Sini, berikan padaku...!" pinta sosok yang tergolek di balai-balai seraya bangkit dari berbaring, lalu perlahan-lahan duduk.

Pemilik suara serak dan berlogat aneh itu pun langsung meluncur menuju balai-balai bambu. Ternyata suara parau dan berlogat aneh itu keluar dari mulut seekor burung cukup besar. Sayapnya yang lebar terkepak.

Wrettt!

Jrabbb!

Dalam sekejap burung itu telah hinggap di bahu kanan sosok lelaki yang dipanggil Tuan Besar. Sosok lelaki setengah baya, berkumis tebal yang duduk di pembaringan segera mengelus burung berbulu hitam itu. Kemudian tangannya diulurkan untuk mengambil gulungan surat dan buntalan kecil yang tergeletak di balai-balai. Tampaknya burung besar yang dipanggil Raja telah menjatuhkan kedua benda itu di balai-balai bambu sebelum hinggap di bahu pemiliknya.

Perlahan-lahan dibukanya tali pengikat gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang itu. Pada lembaran yang tampak halus tertera sederet tulisan hitam. Lelaki berkumis tebal itu segera membacanya dalam hati.

Utusan dari Akhirat...
Lewat surat ini aku mengutusmu untuk menghabisi nyawa Bima Seta. Kau tahu kan, siapa Bima Seta itu? Ya. Dia adalah Kepala Desa Jarak. Siang ini dia akan pergi berburu ke Hutan Saragan. Kau bisa menghabisi nyawanya di sana. O, ya. Di dalam buntalan kecil itu telah kusediakan uang imbalannya. Hitunglah! Aku rasa jumlahnya cukup.


Sampai di sini, lelaki bertubuh tinggi dan berkumis tebal menggulung kembali surat itu. Ada seulas senyum tersungging di bibirnya. Lalu, setelah meletakkan gulungan kulit binatang itu di balai-balai bambu, segera diambilnya kantung kecil dari kain hitam itu. Setelah tali pengikat dilepas, segera dikeluarkan isinya.

Cring! Cring!

Bunyi berdencing nyaring terdengar ketika benda-benda logam yang ternyata uang itu berjatuhan di telapak tangannya.

"Ha ha ha...!" Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang menyiratkan kegembiraan. "Kau tahu isi surat itu, Raja?!" tanya lelaki berkumis tebal itu pada burung hitam yang masih bertengger di pundaknya.

"Tahu, Tuan Besar! Sebuah tugas, bukan?!" sambut burung berbulu hitam itu dengan suara serak dan logat yang aneh.

"Ha ha ha...!" Ledakan tawa lelaki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Utusan dari Akherat itu pun semakin keras menggelegar, sehingga membuat seisi ruangan bergetar hebat. Hal itu pertanda kal au dia mengerahkan tenaga dalam ketika mengumbar tawa yang bernada penuh kegembiraan itu.

Masih dengan suara tawa yang belum putus, Utusan dari Akherat menimang-nimang kepingan-kepingan uang di tangannya. Namun tiba-tiba tawanya terhenti ketika burung hitam itu menyelak.

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku sudah tidak tahan lagi...! Seluruh tubuhku terasa gatal! Aku ingin kembali ke warna asliku...!"

"Oh, iya! Aku sampai lupa Ayo, Raja! Aku pun harus segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugasku!"

Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat langsung bangkit dari duduknya. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan kamar tidurnya.

* * *

DUA

Derap kaki kuda yang beradu dengan bumi menambah hiruk-pikuk keadaan di dalam Hutan Saragan. Kalau semula yang terdengar hanya kicau burung dan teriakan-teri akan binatang penghuni hutan, kini gemuruh langkah kaki kuda seakan-akan hendak memecahkan suasana.

Namun kemudian kuda coklat bertubuh kekar itu tampak melangkah perlahan, karena penunggangnya tidak memacu cepat. Bahkan seperti memang disengaja agar binatang tunggangannya tidak berjalan cepat. Dia sibuk memperhatikan keadaan sekitar tempat itu.

Penunggang kuda itu ternyat a seorang lelaki setengah baya, berpakaian coklat muda. Kepalanya menoleh ke sana kemari, seakan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Bahkan beberapa kali tali kekang kudanya ditarik dengan maksud agar berhenti. Sesekali langkah binatang tunggangannya berhenti. Mata lelaki itu jelalatan mengawasi tempat di sekitarnya yang tampak sepi dan sunyi.

Lelaki berpakai an coklat muda itu ternyata tidak sendirian. Di belakangnya, berjajar dua ekor kuda hitam yang masing-masing ditunggangi lelaki bertubuh kekar dan berwajah sangar. Gagang pedang tampak menyembul dari balik punggung mereka. Berbeda dengan lelaki berpakaian coklat muda, dua lelaki bertubuh kekar itu tampak begitu waspada.

Ketiga lelaki penunggang kuda itu semakin jauh memasuki Hutan Saragan. Namun lelaki berpakai an coklat muda yang berada di depan, tampaknya tak mempedulikan keadaan hutan itu. Lelaki berpakaian coklat muda menghentikan langkah kudanya ketika tiba di dekat hamparan padang rumput yang luas. Dengan sebuah gerakan indah tubuhnya melompat turun dari punggung kuda.

Jliggg!

Dengan mantap dan kokoh kedua kakinya hinggap di tanah. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah dua lelaki kekar yang masih duduk di punggung kuda masing-masing. Mereka segera melompat turun.

"Ambilkan busur itu, Birawa!" pinta lelaki berpakaian coklat muda.

Salah seorang dari dua penunggang kuda hitam itu segera mengambil busur yang tergantung di punggung. Lalu diberikannya pada lelaki berpakaian coklat muda.

"Ini, Ki," ucap lelaki yang berbibir tebal dan hitam itu, penuh hormat.

Lelaki berpakaian coklat muda hanya menganggukkan kepala perlahan seraya menerima busur besar itu. Lalu, tanpa mempedulikan kudanya, segera melangkah menuju hamparan rerumputan yang ada di sebelah kiri mereka.

Sambil melangkah perlahan, tangan lelaki berpakaian coklat muda itu melolos anak panah dari kantung panjang yang tergantung di punggungnya. Ternyata bukan hanya sebatang, melainkan dua batang anak panah. Kemudian yang lebih mengherankan, keduanya dipasang pada tali busur.

Dan kini, dengan sikap siap meluncurkan anak panahnya, lelaki berpakaian coklat muda itu berjalan mengendap-endap menyibak rerumputan. Namun tentu saja bukan karena rerumputan yang telah menghalangi langkahnya, hingga langkahnya tampak berhati-hati sekali.

Ternyata puluhan tombak di hadapannya ada beberapa ekor kijang yang tengah merumput. Rupanya binatang-binatang itulah yang telah menarik perhatiannya. Lelaki berpakaian coklat muda bertindak hati-hati sekali.

Seolah-olah khawatir kalau kelompok binatang itu mengetahui kehadirannya. Sehingga dengan perlahan-lahan kakinya mendekat sampai pada jarak jangkauan panah. Sesekali tubuhnya menyelinap di balik pohon besar yang rumbuh di sekitar tempat itu.

Sementara itu, dua lelaki berwajah kasar yang rupanya pengawal lelaki berpakaian cokl at muda itu, hanya mengawasi dari kejauhan. Kuda mereka, seperti juga milik lelaki berpakaian coklat muda, telah ditambatkan di bawah pohon.

"Bagaimana kalau kita bertaruh, Sempani?!" tanya Birawa setengah mengajak.

Lelaki yang dipanggil Sempani tak langsung memberikan jawaban. Wajahnya tampak tercenung sambil menatap tajam mata Birawa. "Bertaruh apa, Birawa?!"

"Begini. Ki Bima Seta hendak memanah kijang-kijang itu. Nah! Itulah yang akan kita pertaruhkan. Apakah Ki Bima Seta akan berhasil atau tidak?!" jawab Birawa seraya mengangguk-anggukkan kepala.

"Baik. Kuterima ajakanmu," sambut Sempani. "Kutebak, beliau akan berhasil memanah salah satu di antara kijang-kijang itu."

Birawa tersenyum. Kepalanya kembali mengangguk-angguk. "Kau cerdik, Sempani! Kau tak memberiku kesempatan lain! Apa boleh buat, meskipun aku tahu pasti kalau majikan kita itu mempunyai kemampuan memanah yang luar biasa, terpaksa kuterima pilihan lainnya. Asal kau tahu saja, kita bertaruh dengan sebulan penghasilan kita!"

"Ya, aku setuju!" sahut Sempani cepat, sambil melepas senyum gembira. Wajahnya menggambarkan keyakinan bahwa dia bakal memenangkan taruhan itu.

Kini, Birawa dan Sempani mengalihkan pandangan, memperhatikan lelaki berpakaian coklat muda yang ternyata bernama Ki Bima Seta. Tampak di sela-sela rerumputan yang agak tinggi, Ki Bima Seta tengah berjalan mengendap-endap. Busur panahnya yang besar telah siap direntang di depan wajah.

Rupanya Sempani yang akan memenangkan pertaruhan. Masalahnya, sampai Ki Bima Seta berada para jarak jangkauan anak panahnya, kijang-kijang itu tampak masih sibuk merumput. Mereka tampaknya tidak menyadari akan adanya ancaman maut yang tengah mengintai.

Ki Bima Seta merasakan jantungnya berdebar tegang. Apalagi ketika mulai membidikkan panahnya. Sudah terbayang di benaknya betapa kedua anak panah itu akan melesat cepat dan menembus tubuh salah satu kijang itu. Tentu saja kijang paling gemuk dan besar yang menjadi sasarannya. Namun tiba-tiba....

Srakkk! Blukkk!

Sebuah batu sebesar kepalan meluncur dan jatuh di dekat sekawanan kijang itu. Tentu saja kejadian itu membuat binatang-binatang itu terkejut bukan kepalang, dan langsung berhamburan melarikan diri.

Kejadian yang sama sekali tak terduga dan tiba-tiba ini membuat Ki Bima Seta terkejut dan marah bukan kepalang. Padahal, sudah terbayang di benaknya bet apa seekor kijang yang paling besar dan gemuk akan menggelepar tertembus anak panahnya. Maka secara untung-untungan, dilepaskan anak panah dari busurnya.

Trakkk! Swing...!

Dengan kecepatan tinggi, kedua anak panah melesat ke arah sekawanan kijang yang tengah berlari an dari tempat itu. Hasilnya memang seperti yang diduga Ki Bima Seta. Kedua anak panah itu hanya menyambar angin!

"Keparat!" maki Ki Bima Seta geram. Disadari kalau kegagalan usahanya itu disebabkan adanya gangguan yang tidak terduga. "Monyet gila dari mana yang telah menggangguku hari ini, heh...?! Keluar kau, Pengecut! Jangan bersembunyi! Tampakkan dirimu!"

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan geram bernada tantangan, Ki Bima Seta mengedarkan pandangan mengawasi sekelilingnya. Hatinya merasa penasaran ingin segera melihat orang yang telah berbuat usil tadi.

"Siapa yang bersembunyi, Bima Seta?! Sejak tadi aku di sini!" sahut sebuah suara.

Ki Bima Seta terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa, masalahnya, suara itu berasal dari atas kepalanya. Langsung saja kepalanya didongakkan. Untuk kedua kalinya, lelaki berpakaian coklat muda itu terjingkat kaget. Bahkan kali ini sampai tersurut mundur.Tepat di atas kepalanya, pada salah satu cabang pohon, duduk mencangkung sesosok tubuh berpakaian hitam.

Dan belum sempat Ki Bima Seta berbuat sesuatu, sosok berpakaian hitam itu telah melesat meninggalkan tempat duduknya. Gerakan yang dilakukannya begitu cepat dan tampak indah.

Jliggg!

Dengan begitu ringan sosok berpakaian hitam itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi. "Siapa kau?!" tanya Ki Bima Seta seraya menudingkan jari telunjuknya. Matanya yang tajam merayapi sosok yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya. Sesosok berpakaian serba hitam itu bertubuh tinggi dan kurus. Sebuah selubung hitam yang dikenakan membuat wajahnya tidak terlihat. Hanya sepasang matanya yang tampak karena tepat pada bagian mata, terdapat dua buah lubang.

"Siapa diriku sebenarnya, nanti kujelaskan belakangan. Yang lebih penting lagi kau, Bima Seta! Apa kau terkejut karena tindakan yang kulakukan itu, Bima Seta?!" tanya sosok berselubung hitam bernada tak acuh.

"Dari mana kau tahu namaku, Keparat?!" tanya Ki Bima Seta, tak dapat menyembunyikan peras aan kagetnya. "Dan siapa sebenarnya dirimu? Aku belum pernah mengenalmu! Mengapa kau mencampuri urusanku?!"

"He he he...! Tidak usah kaget, Bima Seta! Aku hanya ingin memastikan saja kalau kau orang yang kucari," sosok berselubung hitam itu tertawa terkekeh, menyadari pancingannya berhasil.

Ki Bima Seta kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau dirinya telah masuk perangkap sosok berselubung hitam itu. "Hm..., ada apa kau mencariku?! Aku merasa tidak pernah punya urusan denganmu," ujar Ki Bima Seta, agak terbata-bata.

Sebenarnya laki-laki berpakaian coklat muda ini bukan orang sembarangan. Namun, penampilan dan sikap sosok berselubung hitam itu membuatnya harus bersikap hati-hati. Apalagi tadi telah disaksikan sendiri kemampuan sosok tidak dikenal itu. Ilmu meringankan tubuhnya jelas telah mencapai tingkat tinggi. Meskipun, tingkat kepandaian dan tenaga dalam sosok ini belum dilihat, Ki Bima Seta bisa memperkirakannya.

"Semula memang tidak, Bima Seta," masih tetap tenang ucapan sosok berselubung hitam. "Tapi, sekarang di antara kita ada urusan. Seseorang telah menyewaku untuk melenyapkanmu dari muka bumi."

Ki Bima Seta tersentak kaget. Kakinya serta-merta mundur selangkah ketika menyadari ada bahaya mengancam. Di samping dirinya tahu kalau sosok berselubung hitam itu akan membunuhnya, juga karena ada sebuah dugaan yang menyelinap di benaknya begitu mendapat jawaban itu.

Ki Bima Seta teringat akan seorang tokoh misterius dalam dunia persilatan. Seorang tokoh sakti yang mempunyai pekerjaan sebagai pembunuh bayaran. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa sebenarnya, karena tokoh itu selalu menyembunyikan wajah. Yang diketahui, tokoh ini mempunyai julukan Utusan dari Akherat!

"Hhh...! Orang inikah si pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu?!" Tanya Ki Bima Seta dalam hati.

Rasanya memang tidak keliru. Karena, menurut kabar, pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu mengenakan pakaian serba hitam.

"Siapa kau, Kisanak?!" tanya Ki Bima Seta, ingin memastikan kebenaran dugaannya, setelah termenung beberapa saat.

"Mengenai namaku, sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Tapi, kau boleh menyebutku sebagai Utusan dari Akh'erat," jawab sosok berselubung hitam yang ternya,ta memang Utusan dari Akhe ,, ^,, tetap bersikap tenang.

"Ya," Ki Bima Seta menganggukkan kepala. "Bukankah kau pembunuh bayaran?"

"He he he...!" Utusan dari Akherat menganggukkan kepala seraya tertawa terkekeh-kekeh.

"Utusan dari Akherat," ucap Ki Bima Seta dengan raut wajah sungguh-sungguh. "Aku berani membayarmu beberapa kali lipat dari orang yang telah menyewamu. Syaratnya, batalkan maksudmu. Dan bunuh orang yang menyuruh membunuhku!"

"Sayang sekali, Bima Seta! Aku tak dapat melakukannya. Ini menyangkut kehormatanku. Kau tahu, perintah yang diberikan padaku, tak dapat dibatalkan lagi. Sekalipun permintaan itu datang dari penyewaku. Setiap perintah berlaku mutlak! Tidak dapat ditawar-tawar lagi!" jawab Utusan dari Akhehrat dengan tegas.

Melihat sikap keras Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta jengkel. "Jangan kau kira aku takut padamu, Utusan dari Akherat! Orang lain boleh takut mendengar julukanmu. Tapi, aku tidak!"

"Bagus, Bima Seta! Jawaban seperti itulah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Kau tahu, aku tak ingin orang yang akan kubunuh menyerah begitu saja. Nah, bersiaplah kau!"

"Kaulah yang akan kami lenyapkan!" Seruan keras itu keluar dari mulut Sempani dan Birawa hampir berbarengan. Ternyata dua lelaki bertubuh kekar ini telah berada di situ sejak tadi. Mereka ikut mendengarkan percakapan antara Ki Bima Seta dengan Utusan dari Akherat. Keduanya tidak langsung bertindak karena melihat majikan mereka masih terlibat percakapan dengan pembunuh bayaran itu. Usai berkata demikian, Sempani dan Birawa langsung bertindak.

Srat! Srat!

Cahaya berkilauan langsung mencuat ketika Sempani Dan Birawa mencabut pedang yang tersandang di punggung. Lalu, bagai telah saling sepakat mereka bergerak menghampiri Utusan dari Akherat dari arah berlawanan. Sempani dari kiri, dan Birawa sebaliknya. Lalu....

"Hiyaaat..!"

Diiringi teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Sempani dan Birawa melancarkan serangan. Baik Birawa maupun Sempani menggerakkan pedang berputar laksana baling-baling, sebelum akhirnya dibabatkan ke tubuh Utusan dari Akherat. Sempani melancarkan tusukan lurus ke dada. Sedangkan Birawa mengirimkan babatan ke leher. Bunyi menderu yang mengiringi tibanya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahkan.

"Hmh...!" Utusan dari Akherat mengeluarkan dengusan bernada mengejek melihat serangan-serangan itu. Dia tetap bersikap tenang meskipun bahaya maut tengah meluncur mengancam jiwanya. Sama sekali tak ada tanda-tanda akan dilakukannya tindakan pembelaan diri, baik mengelak ataupun menangkis.

Bukan hanya Sempani dan Birawa yang merasa terkejut melihat tindakan Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta pun demikian. Apakah Utusan dari Akherat akan membiarkan kedua serangan itu mendarat pada sasarannya? Kalau benar demikian, berarti tokoh misterius ini telah memiliki kekuatan tenaga dalam yang sulit untuk diukur. Atau dia memiliki ilmu yang membuat tubuhnya tak dapat ditembus senjata tajam?

Peratanyan-pertanyaan ini merasuk di benak Sempani, Birawa, serta Ki Bima Seta. Dan mereka tak perlu menunggu terl alu lama untuk mendapatkan jawabannya.

Tak! Takkk!

Bunyi berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar ketika pedang Sempani dan Birawa mendarat pada sasarannya.

"Hah...?!"

"Akh...?!"

Sempani dan Birawa terpekik keras, ketika merasakan tangan mereka seketika terasa panas. Keduanya tampak menghentikan serangan terhadap lawan. Mulut mereka meringis menahan rasa sakit yang mendera di tangan.

"He he he...!Mengapa berhenti?!" ejek Utusan dari Akherat melihat kedua lawan menyeringai kesakitan, seraya menatap dirinya dengan pandangan takjub. "Pilihlah bagian yang empuk!"

Usai berkata demikian, sosok berselubung hitam itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya siap menerima serangan Sempani dan Birawa tanpa memberikan perlawanan.

Sempani dan Birawa saling pandang sebentar. Karena sesaat kemudian, keduanya telah kembali melancarkan serangan. Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar menepati janjinya. Dia tak memberikan perlawanan sama sekali. Dibiarkan saja semua serangan kedua lawannya. Tak pelak lagi, dua batang pedang yang dikerahkan dengan tenaga dalam, bertubi-tubi menghantam sekujur tubuhnya.

Tak! Tak! Tak!

Namun, seperti juga kejadian sebelumnya, Utusan dari Akherat tak terpengaruh sama sekali. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Karena Sempani dan Birawa mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk melancarkan serangan secara terus-menerus, tak aneh kal au akibatnya mereka kel elahan bagai kehilangan daya.

"Sudah puas?! Ha ha ha…!"

Lagi-lagi Utusan dari Akherat tertawa terbahak-bahak mengejek. Hal itu dilakukan tanpa merubah sikap semula. Tubuhnya tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tampak pakaiannya terkoyak-koyak akibat rusukan, sabetan, dan bacokan kedua pedang lawan.

Sesaat baik Sempani maupun Birawa menatap nanar Utusan dari Akherat. Keduanya seakan-akan tak mampu melakukan serangan. Rupanya kedua pengawal Ki Bima Seta ini telah menyadari kalau lawan terlalu tangguh. Di samping itu mereka seperti telah kehabisan tenaga untuk memberi jawaban. Cara berdiri Sempani dan Briawa yang tidak tegak lagi telah menjadi bukti nyata kelelahan yang diderita.

"He he he...!" Utusan dari Akherat tertawa terkekeh. Kemudian dengan tawa yang belum putus, pandangannya diarahkan ke arah Ki Bima Seta.

Ki Bima Seta yang masih berada di situ, tentu saja menyaksikan semua kejadian itu.

"Sekarang giliranmu, Bima Seta! Ketahuilah, he he he...! Nasibmu tak sama dengan mereka," ujar Utusan dari Akherat seraya menuding Sempani dan Birawa. "Aku hanya diperintah agar membunuhmu! Bersiaplah, Bima Seta! Padamu aku tidak bisa bersikap lunak!"

Srat! Srat!

Ki Bima Seta mencabut sepasang goloknya sebagai tanggapan atas peringatan yang diberikan Utusan dari Akherat. Jelas, lelaki berpakaian coklat muda itu bermaksud untuk mengadakan perlawanan.

"Jangan kau kira mudah untuk membunuhku, Bangsat!" dengus Ki Bima Seta sengit. Seiring dengan makian itu, Ki Bima Seta memutar-mutarkan sepasang goloknya di depan dada.

Wunggg! Wunggg...!

Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah mengamuk kontan terdengar. Hal itu menandakan kalau Ki Bima Seta mempunyai tenaga dalam yang amat kuat. Dengan sepasang golok yang diputar-putarkan, Ki Bima Seta menghampiri Utusan dari Akherat. Terlihat hati-hati sekali tindakannya.

Kakinya melangkah perlahan-lahan, dengan pandangan terus tertuju pada lawannya. Ki Bima Seta tampaknya tengah mencari bagian dari tubuh lawan yang akan dijadikan sasaran serangan Hal yang sama pun dilakukan Utusan dari Akherat. Pembunuh bayaran itu tampaknya tahu kalau yang dihadapi kali ini tak bisa disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Itulah sebabnya, meskipun kelihatannya sosok berselubung hitam ini bersikap tenang, sebenarnya kewaspadaan telah dipasang secara penuh.

Utusan dari Akherat mengawasi setiap langkah Ki Bima Seta dengan seksama. Memang, kedudukannya t etap tidak berubah. Namun, sepasang matanya beredar mengikuti setiap tindakan kaki Ki Bima Seta.

Beberapa saat lamanya, keadaan berlangsung seperti itu. Utusan dari Akherat tetap berdiri diam di tempatnya. Sedangkan Ki Bima Seta terus melangkah menghampirinya dengan sepasang senjata siap untuk disarangkan pada sasaran. Keadaan jadi terlihat menegangkan hati. Perasaan itu pun melanda Sempani dan Birawa yang kini hanya bertindak sebagai penonton.

"Hiaaat...!" Teriakan keras menggelegar Ki Bima Seta memecahkan ketegangan yang melingkupi tempat itu. Lelaki berpakaian cokl at itu membuka serangan dengan sebuah jurus mematikan. Sepasang goloknya bergerak cepat seperti menggunting leher Utusan dari Akherat.

Serangan Ki Bima Seta yang begitu cepat sulit untuk diduga. Hal itu karena lelaki setengah baya itu melakukan gerakan yang sedemikian rupa. Sehingga golok yang berada di tangan kanan membabat dari kiri, sedangkan golok di tangan kiri membabat dari kanan.

Sing! Sing!

Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar, ketika sepasang golok itu saling berkelebat memburu sasaran. Utusan dari Akherat menyadari adanya maut yang mengancam jiwanya. Namun anehnya, tak tampak sedikit pun kegugupan atau peras aan gentar di mata lelaki berselubung kain hitam itu. Meskipun serangan lawan meluncur demikian cepat, gerakan yang dilakukannya ternyata jauh lebih cepat. Kaki kanannya segera ditarik mundur, sambil tak lupa mencondongkan tubuh ke belakang.

Wuttt! Wuttt!

Hasil tindakan Utusan dari Akherat memang tidak percuma. Serangan Ki Bima Seta lewat beberapa jari di depan, dan membabat tempat kosong. Angin kencang dari serangan itu menerpa kepalanya yang tertutup selubung kain hitam.

Melihat hal ini, Ki Bima Seta tidak putus asa. Begitu serangan pertama berhasil dielakkan lawan, langsung saja dilakukan serangan susulan. Sambil melangkah maju, sepasang goloknya diputar sedikit. Lalu, kembali melesat. Sasarannya kali ini tak lain kedua pinggang lawan.

"Hebat...!" Tanpa sadar dari mulut Utusan dari Akherat terlontar kata pujian. Bukan sebuah pujian kosong. Rupanya sosok berselubung hitam ini memang merasa kagum melihat kehebatan perkembangan ilmu golok lawannya.

Meskipun demikian, bukan berarti Utusan dari Akhirat tak mampu mematahkan serangan dahsyat itu. Sama sekali tidak! Meskipun serangan lanjutan itu berlangsung begitu cepat, dan hampir tidak terduga.

"Hiyaaa...!"

Wut! Wut!

"Hih…!" Dengan cepat Utusan dari Akherat melemparkan tubuh ke belakang, sehingga serangan Ki Bima Seta kembali kandas. Namun, Ki Bima Seta benar-benar tak ingin memberi kesempatan sedikit pun kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Tepat ketika tubuh Utusan dari Akherat tengah berada di udara, kakinya digenjotkan untuk memburu lawan seraya melancarkan serangan bertubi-tubi.

Pemandangan yang menarik pun terjadi. Keadaan yang kurang pantas disebut sebagai sebuah pertarungan. Masalahnya, Utusan dari Akherat terus-menerus bergerak menjauh, sementara Ki Bima Seta memburunya seraya tanpa henti menghujani serangan secara beruntun.

Selama hampir sepuluh jurus Ki Bima Seta melancarkan serangan dahsyat dan bertubi-tubi. Namun selama itu, tak satu pun yang mengenai sasaran. Semua berhasil dielakkan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal ini membuat lelaki berpakaian coklat muda itu merasa penasaran bukan kepalang. Sehingga, serangan-serangannya pun semakin dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang laut.

Sebenarnya, kalau saja Ki Bima Seta mau membuka mata dan tidak menuruti rasa penasaran, dia tak harus terlalu bemafsu. Kegagalan demi kegagalan serangan yang dilakukan dalam belasan jurus, telah membuktikan kalau tingkat kepandaian lawan berada jauh di atasnya. Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh.

Namun tampaknya Ki Bima Seta mempunyai watak keras kepala. Rasa penasaran yang berkecamuk di hati, membuat hal itu tidak terpikirkan. Bukan menghentikan serangan dan mencari cara agar dapat meloloskan diri, lelaki berpakaian coklat itu justru semakin gencar melancarkan serangan.

Kembali lima jurus terlewati! Dengan begitu pertarungan itu hampir mencapai dua puluh jurus. Namun Ki Bima Seta tak berhasil menyarangkan satu pun serangannya.

"Sekarang giliranku, Bima Seta!" Terdengar seruan Utusan dari Akherat di antara deru hujan serangan sepasang golok Ki Bima Seta.

Seketika itu pula jantung Ki Bima Seta berdetak lebih cepat mendengar ucapan itu. Namun, hal itu tetap tak membuat serangannya semakin mengendur. Hanya saja kali ini kewaspadaannya ditingkatkan. Disadari kalau ucapan itu mengandung pengertian kalau lawan akan mulai melancarkan serangan balasan.

Ternyata benar, Utusan dari Akherat langsung memenuhi janjinya. Hal itu terbukti pada jurus kesembilan bel as, tepat ketika Ki Bima Seta menusukkan sepasang goloknya ke dada lawan. Sosok berselubung hitam cepat mengulurkan kedua tangannya.

Seketika wajah Ki Bima Seta berubah, melihat gerakan lawan. Meskipun belum tahu pasti bentuk serangan itu, pikirannya sudah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan Utusan dari Akherat. Apa lagi kalau bukan hendak menangkap mata goloknya? Sudah gilakah Utusan dari Akherat?! Atau memang dirinya mempunyai tenaga dalam yang amat kuat sehingga dapat menangkap sepasang goloknya tanpa terluka!

Ki Bima Seta merasakan betapa jantungnya berdebar-debar. Hal itu karena hatinya yakin Utusan dari Akherat akan mengalami akibat yang tidak menyenangkan apabila tetap meneruskan maksudnya. Setidak-tidaknya tangan si pembunuh bayaran itu akan terluka. Ki Bima Seta yakin kalau lawannya telah salah perhitungan.

Utusan dari Akherat terlalu yakin dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki dan terlalu menganggap remeh kemampuan lawan. Padahal, Ki Bima Seta tahu pasti bahwa kemampuan dan tenaga dalamnya tak bisa disamakan dengan Sempani atau Birawa, kedua pengawalnya. Jangankan hanya dua orang, biar ada sepuluh Sempani atau Birawa pun tak dapat disamakan dengan dirinya!

Karena keyakinan itulah Ki Bima Seta mengambil keputusan untuk meneruskan serangannya. Bahkan lelaki berpakai an coklat muda itu menggertakkan gigi, seakan-akan berusaha meningkatkan kekuatan serangan sampai batas-batas tertinggi kemampuan yang dimilikinya. Dugaan Ki Bima Seta tidak salah! Utusan dari Akherat ternyata memang bermaksud memapak serangan itu dengan kedua tangannya. Dan....

Kreppp!

"Heh...?!" Pekikan kaget keluar dari mulit Ki Bima Seta, ketika melihat kejadian yang sama sekali tak diduga. Sepasang goloknya berhasil direnggut cengkeraman Utusan dari Akherat. Dan jari-jari tangan sosok berselubung hitam itu tampak tetap utuh! Jangankan putus, terluka pun tidak! Hal ini benar-benar di luar dugaan Ki Bima Seta. Matanya terbelalak kaget bercampur heran.

Ki Bima Seta langsung menyadari akan keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Lelaki setengah baya itu tidak ingin senjata andalan itu dirampas. Maka, dengan cepat ditariknya agar lepas dari cengkeraman tangan lawan. Lelaki berpakaian coklat muda itu tahu kalau hal itu dilakukan, setidak-tidaknya tangan Utusan dari Akherat akan terluka!

Untuk yang kedua kalinya hasil yang diharapkan Ki Bima Seta tidak sesuai dengan kenyataan. Sepasang golok itu sedikit pun tak bergeming. Seakan-akan bukan tangan manusia yang mencengkeramnya, melainkan sebuah jepit baja. Betapapun Ki Bima Seta mengerahkan tenaga sampai terdengar suara ah-uh ah-uh dari mulutnya, tetap saja sia-sia!

Tiba-tiba saja, ketika Ki Bima Seta tengah bersitegang dengan tarikannya, tanpa diduga Utusan dari Akherat melepaskan cengkeramannya. Akibatnya pun dapat diduga! Tubuh Ki Bima Seta terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.

"Aaah...!" Tanpa sadar Ki Bima Seta mengeluarkan jeritan yang sebagian besar karena rasa kaget.

Di saat tubuh Ki Bima Seta berada dalam keadaan terhuyung-huyung, Utusan dari Akherat memasukkkan tangan kanannya ke balik baju. Hanya sekejap saja, tangan itu telah keluar dengan menggenggam sebatang pisau kecil bergagang ukiran kepala tengkorak manusia. Secepat pisau kecil itu berada di genggaman tangan, secepat itu pula Utusan dari Akherat mengibaskannya.

Singgg!

Bunyi berdesing nyaring mengiringi lesatan pisau kecil itu ke tubuh Ki Bima Seta yang belum sempat memperbaiki kedudukannya. Ki Bima Seta terkejut bukan kepalang, melihat serangan itu. Masalahnya, pisau itu meluncur ketika tubuhnya masih terhuyung-huyung. Sedapat mungkin sepasang goloknya digerakkan untuk mematahkan serangan itu. Tapi....

Crap!

"Aaakh...!" Jeritan panjang menyayat hati keluar dari mulut Ki Bima Seta, ketika pisau bergagang kepala tengkorak menghunjam di ubun-ubunnya. Usahanya untuk memapak pisau itu gagal total!

Brukkk!

Tubuh Ki Bima Seta ambruk di tanah, menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!

"Ki...!" Hampir bersamaan Sempani dan Birawa menjerit kaget. Bagai diperintah, keduanya segera melesat menghampiri mayat Ki Bima Seta yang terkapar berlumur darah.

"Ha ha ha...!"

Berbeda dengan Sempani dan Birawa yang tampak sangat terpukul atas kematian Ki Bima Seta, Utusan dari Akherat malah gembira. Sambil memperhatikan mayat korbannya, dia tertawa terbahak-bahak. Dan masih dengan tawa yang belum putus, pembunuh bayaran itu melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan beberapa kali lesatan, tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Hanya sebuah titik hitam kecil tampak di kejauhan, yang akhirnya lenyap.

Kini, suasana di Hutan Saragan kembali sunyi. Tidak terdengar lagi gemuruh pertarungan dan teriakan-teriakan keras. Keadaan pulih seperti sedia kala.

* * *

TIGA

Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh meninggalkan tempat terbitnya, memancarkan sinar yang tidak lagi nikmat di kulit. Dalam suasana seperti itulah tampak sepasang muda-mudi melangkah cepat memasuki tapal batas sebuah desa. Mereka mengenakan pakaian berwarna ungu dan putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati?!

Di ambang tembok batas desa, pasangan pendekar berwajah elok ini menghentikan langkah. Pandangan mereka diedarkan ke depan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya jajaran tanaman singkong.

Meskipun demikian bukan berarti tidak terlihat pemandangan lainnya. Di beberapa tempat tampak sosok-sosok tubuh bertelanjang dada yang tengah sibuk mencabuti pohon-pohon singkong. Memang, sudah waktunya tanaman itu untuk diambil hasilnya.

Hanya sebentar saja Dewa Arak dan Mel ati bersikap demikian. Kemudian dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak kekasihnya untuk menuju para petani itu. Tanpa membantah sedikit pun, gadis berpakaian putih itu mengikuti.

Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Dewa Arak dan Melati menghampiri salah seorang penduduk desa yang tengah sibuk dengan pekerjaannya Keduanya melangkah di atas jalan setapak yang membelah jajaran pepohonan.

"Maaf, Kisanak! Bisa kami mengganggu sebentar?! Kami ingin menanyakan sesuatu," tanya Arya sopan.

Lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam kecoklatan karena sering terbakar matahari itu, menghentikan kesibukannya. Matanya sejenak menatap kedua muda-mudi di hadapannya. Sekilas tampak sorot keterkejutan pada wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar. Karena segera ditutupinya dengan secercah senyum ramah.

"Silakan, Kisanak! Katakanlah, barangkali saja aku bisa membantu," sahut lelaki kekar itu ramah.

"Begini, Kisanak. Kami tengah mencari seseorang yang bernama Bima Seta. Apakah kau bisa menunjukkan pada kami tempat tinggalnya?!" Arya mulai mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di hati.

Seketika, senyum yang menghias wajah lelaki kekar itu lenyap. Jelas, yang menjadi penyebabnya tak lain pertanyaan Arya. Tentu saja perubahan air muka lelaki kekar itu tak luput dari perhatian Arya dan Melati. Dan tentu saja kejadian itu membuat keduanya heran. Namun, baik Dewa Arak maupun Melati tak memperlihatkan perasaan itu.

"Ada urusan apa mencarinya, Kisanak?!" tanya lelaki kekar itu dengan nada suara kurang ramah.

Arya mengembangkan senyum lebar. "Sebenarnya kami tidak mempunyai urusan apa pun dengannya. Hanya saja, di tengah perjalanan, kami mendengar ada orang yang bermaksud membunuhnya. Sayang, sebelum kami sempat mengetahuinya, dia telah keburu kabur," jelas Arya, tetap bersikap tenang.

"Jadi..., kau menanyakan tempat tinggalnya untuk memberitahukan adanya usaha pembunuhan itu, Kisanak?!" tukas lelaki kekar itu, cepat.

"Benar, Kisanak," Arya menganggukkan kepala.

Secercah senyum sinis langsung terpampang di bibir lelaki kekar itu. "Urungkan saja niatmu, Kisanak!" tandas lelaki kekar itu dengan nada semakin tidak ramah. "Percayalah! Usaha pembunuhan itu tidak akan berhasil! Nah! Sekarang, pergilah!"

Wajah Arya berubah. Hatinya merasa tersinggung sekali mendapat perlakuan seperti itu. Namun, karena sadar kalau lelaki kekar itu pasti mempunyai alasan sehingga bersikap demikian, Dewa Arak menahan diri. Ditahannya amarah yang berkobar-kobar di dalam dada.

Arya berhasil menekan kemarahannya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Melati. Gadis berpakaian putih ini merasa tersinggung bukan kepalang melihat perlakuan lelaki kasar itu pada kekasihnya. Arya telah bertanya baik-baik, mengapa mendapat sambutan seperti itu? Hatinya tak menerima.

"Apakah kau tidak bisa sopan sedikit, Kisanak?! Kawanku bertanya baik-baik, mengapa kau memperlakukannya seperti terhadap anjing kudisan?!"

Suara Melati terdengar bergetar, sebagai pertanda kalau sewaktu-waktu amarahnya dapat meledak. Hal ini pun diketahui secara pasti oleh Arya. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini buru-buru menyentuh lengan Melati untuk meredakan amarah yang melanda hati kekasihnya. Arya tak ingin Melati turun tangan terhadap lelaki bertubuh kekar itu. Memang, lelaki kekar itu rupanya mempunyai sikap keras kepala. Meskipun tahu kalau Melati tengah marah, dia bersikap tidak peduli.

"Sopan katamu?! Dengan terus meladeni kalian berdua saja aku sudah bersikap sangat sopan! Kalau tidak, kalian telah kutinggalkan sejak tadi"

"Keparat! Menghadapi orang sepertimu memang harus menggunakan kekerasan!"

Usai berkata demikian, Melati mengibaskan tangan kanannya. Kelihatannya pelan saja dan tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya benar-benar menakjubkan! Tubuh lelaki bertubuh kekar itu melayang ke belakang, seperti dihembus angin badai!

"Aaa...!" Lelaki kekar itu menjerit ketakutan ketika mengetahui tubuhnya melayang deras ke belakang. Dan sebelum jeritannya habis....

Srakkk! Brukkk!
Tubuh lelaki kekar itu jatuh di tanah. Beberapa batang pohon singkong langsung patah karena tertimpa.

"Uh...!" Lelaki kekar itu mengeluh kesakitan ketika berusaha untuk bangkit. Meskipun demikian, tindakan itu terus dipaksakannya. Akhirnya tubuhnya berhasil melakukan hal itu, meskipun dengan susah payah.

"Sudah kuduga..., kalian berdua tak ubahnya dengan orang-orang yang telah lebih dulu tiba! Pura-pura menanyakan sesuatu, lalu akhirnya menyebar maut di desa ini!" rutuk lelaki kekar itu, geram.

Melati tersenyum sinis. "Bisa kumaklumi kalau orang-orang yang lebih dulu datang dari kami melakukan tindakan demikian! Mereka tidak salah! Kaulah yang menjadi penyebabnya! Orang mana pun tentu akan marah apabila mendapat perlakuan seperti yang kami terima!"

Melihat keadaan yang sudah mulai memanas itu, Arya tidak bisa tinggal diam. Buru-buru dia menyelak di antara Melati dan lelaki kekar itu. Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud melerai.

"Tenang. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini," ujar Arya buru-buru karena takut didahului. "Percayalah, Kisanak! Kami tidaklah sejahat yang kau sangka. Dan...."

"Asal kau tahu saja, Petani Busuk! Kawanku ini jauh lebih mulia daripada dirimu! Apakah kau pernah menyelamatkan nyawa orang lain? Tidak, kan? Nah! Dengar baik-baik, kawanku itu telah meyelamatkan nyawa puluhan ribu orang! Pernah kau dengan julukan Dewa Arak?!" selak Melati, berapi-api.

Wajah lelaki kasar itu langsung berubah pucat. Julukan Dewa Arak yang disebutkan Melati-lah yang menjadi penyebabnya. Memang, meskipun hanya seorang petani, dia pernah mendengar julukan itu. Menurut kabar yang sampai ke telinganya, Dewa Arak seorang pendekar pembela kebenaran. Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini tokoh yang mempunyai julukan demikian? Rasanya sulit untuk dipercaya!

"Benarkah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya lelaki kekar tak yakin. Nada suaranya pelan, tidak kasar seperti sebelumnya.

Tidak ada pilihan lagi bagi Arya kecuali membenarkan pertanyaan itu. Dengan senyum terkembang kepalanya mengangguk. "Benar, Kisanak. Itulah julukan yang diberikan dunia persilatan padaku. Sedangkan namaku Arya Buana. Panggil saja Arya. Sedangkan kawanku ini Melati."

"Ah...! Kalau begitu, maafkan kelakuanku, Dewa Arak! Aku telah salah menduga. Biasanya setiap orang yang menanyakan nama Bima Seta, pasti merupakan konco-konconya," jelas lelaki kekar itu, membela diri.

"Lupakanlah, Kisanak! Aku bisa memakluminya," jawab Arya, bijaksana. "Bukan begitu, Melati?!"

Terpaksa Melati menganggukkan kepala, menyetujui pendapat kekasihnya. Padahal, hatinya masih jengkel. Walaupun memang tidak sebesar sebelumnya. Permintaan maaf lelaki kekar itu telah cukup meredakan amarahnya.

"O, ya. Atas nama seluruh penduduk Desa Kalisari, aku, Saraka, mengucapkan selamat datang di desa ini," lanjut lelaki kekar itu agak terbata-bata.

"Terima kasih atas sambutanmu, Kang Saraka!" Arya merubah panggilannya. "O, ya. Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja. Rasanya telingaku menjadi gatal mendengarnya."

Lelaki kekar yang bernama Saraka itu tersenyum mendengar ucapan Arya, yang dikeluarkan sambil bergurau itu.

"Bagaimana, Kang Saraka?! Bisakah kau memberi keterangan atas sikap bencimu terhadap Bima Seta?!" tanya Arya, mengalihkan percakapan pada pokok permasalahan.

"Hhh...!" Saraka menghembuskan napas berat. "Ceritanya panjang, Arya. Aku khawatir kau tidak sabar mendengarkannya...."

"Ceritakanlah, Kang! Percayalah, aku akan sabar mendengarkannya!" terdengar penuh keyakinan Arya memberikan jawabannya.

"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Arya," Saraka terpaksa mengalah. "Sekarang dengarkan baik-baik."

Sampai dl sini, Saraka menghentikan ucapannya. Dan termenung, memikirkan kata-kat a yang tepat untuk memulai keterangannya. Arya dan Melati menggunakan kesempatan itu untuk memusatkan perhatian pada cerita Saraka.

"Sebenarnya Bima Seta bukan penduduk asli desa ini. Dia merupakan pendatang dari tempat yang tidak kami ketahui secara jelas di mana. Meskipun demikian, hal itu tidak kami permasalahkan. Kehadiran Bima Seta dan maksudnya untuk tinggal di desa ini kami sambut dengan tangan terbuka," ujar Saraka memulai ceritanya.

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Meskipun demikian, tidak ada ucapan yang mereka keluarkan.

"Rasa suka kami terhadap Bima Seta semakin mendalam karena dia pandai bergaul. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, seisi desa telah menyukainya," Saraka kembali melanjutkan ceritanya. "Sekitar satu minggu setelah kedatangan Bima Seta di desa kami, mulai bermunculan beberapa orang yang menilik gerak-geriknya adalah tokoh-tokoh persilatan. Baik secara berkelompok maupun perorangan mereka berdatangan kemari."

Saraka menghentikan keterangannya untuk mengambil napas. Ditelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Sejak saat itu, kami mulai merasa tidak enak. Sebuah pertanyaan pun muncul di benak para warga desa. Mengapa orang-orang kasar itu berdatangan kemari. Saat itu kami belum merasa curiga terhadap Bima Seta." Untuk kesekian kalinya, Saraka menghentikan keterangannya.

"Perasaan curiga terhadap Bima Seta mulai muncul ketika kami melihat adanya perubahan pada sikapnya. Bima Seta mulai memasang jarak dengan penduduk desa. Sampai akhirnya, dia melakukan tindak kekerasan. Merampok, membunuh, dan memperkosa para wanita. Yang lebih gila lagi, tidak hanya gadis yang menjadi korbannya. Tapi juga para wanita yang telah bersuami!"

"Apakah tidak ada perlawanan dari para penduduk desa ini, Kang?! Guru silat desa ini, misalnya? Atau..., kepala desa?" tanya Arya, menyelak.

"Tentu saja ada, Arya," jawab Saraka dengan suara mendesah. "Guru silat desa ini bersama beberapa orang muridnya melakukan perlawanan."

"Lalu..., hasilnya?!" kejar Arya lagi. Meskipun dari jawaban dan sikap Saraka, bisa diperkirakan hasil perlawanan yang dilakukan terhadap Bima Seta.

"Mereka semua tewas!" terasa jelas nada keluhan dalam ucapan Saraka. "Bima Seta bukan orang sembarangan. Dia memiliki kepandaian amat tinggi. Apalagi, dia tidak bertindak sendiri. Orang-orang kasar yang berdatangan ke desa ini ternyata anak buahnya!"

"Heh...?! Mengapa bisa demikian, Kang?!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan perasaan terkejutnya.

"Mereka satu gerombolan, Arya. Menurut kabar yang kami dengar, Bima Seta dan pengikut-pengikutnya merupakan sisa-sisa perampok yang telah dihancurkan pasukan kerajaan. Yang kusayangkan, mengapa mereka memilih desa ini sebagai tempat pelarian...."

"Sekarang aku bisa mengerti mengapa kau bersikap kasar pada kami," ujar Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Terima kasih atas pengertianmu, Arya," ucap Saraka penuh peras aan syukur. "Dan..., kalau kau tidak keberatan..., atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kumohon kau bersedia melenyapkan kedurjanaan Bima Seta dan kelompoknya. Bagaimana, Arya?! Maukah kau memenuhi permohonan kami?"

"Tentu saja, Kang. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan keangkaramurkaan ini," janji Arya, mantap.

"Kang...,"Melati yang sejak tadi berdiam diri, angkat bicara.

"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menolehkan kepala.

"Bukankah ada orang yang bermaksud membunuh Bima Seta?! Apakah kau lupa?!"

"Aku yakin usaha itu akan gagal, Melati," dengan nada yakin Saraka mendahului memberikan jawaban. "Telah banyak usaha seperti itu dilakukan. Tapi hasilnya, sia-sia! Aku yakin, usaha pembunuhan itu pasti gagal!"

"Kita lihat saja hasilnya, Kang," sambut Arya tak berani memastikan. "Tidak baik berputus asa. Karena hal itu hanya akan melenyapkan semangat. Dan...."

Ucapan Arya terhenti ketika mendengar langkah kaki kuda. Ditolehkan kepalanya untuk melihat tapal batas desa, tempat asal bunyi itu. Melati dan Saraka pun melakukan tindakan serupa.

Tampak tiga ekor kuda tengah berjalan pelan memasuki jalan desa. Masing-masing binatang itu membawa penunggang. Hanya saja ada perbedaan yang mencolok di sana. Di punggung kuda coklat yang diiringi dua pengawal tampak sesosok tubuh terkulai lemas dalam keadaan tertelungkup.

Dewa Arak dan Melati yang memiliki pandangan tajam, sepintas saja dapat mengetahui kalau sosok di punggung kuda coklat itu telah tewas.

"Dua penunggang kuda hitam itu adalah anak-anak buah Bima Seta, Arya," ujar Saraka dengan suara bergetar. "Birawa dan Sempani nama mereka."

Arya dan Melati saling pandang. "Lalu..., siapa orang yang tertelungkup di punggung kuda coklat itu, Kang?!" tanya Arya. "Sepertinya dia telah tewas...."

"Benarkah itu, Arya?!" tanya Saraka setengah tak percaya "Kalau melihat pakaian yang dikenakan dan kuda tunggangannya, pasti Bima Seta! Hanya Bima Seta yang mengenakan pakaian dan kuda berwarna coklat."

"Berarti…, pembunuh itu telah berhasil melaksanakan tugasnya," tukas Melati.

"Benarkah itu?!" tanya Saraka masih tak percaya.

"Mari kita buktikan kebenarannya!" Setelah berkata demikian, Arya segera mengayunkan kaki, menghampiri. Mau tidak mau, meskipun merasa gentar, Saraka ikut serta. Itu pun setelah dilihatnya Melati melangkah mengikuti Dewa Arak.

Tentu saja, kedatangan Dewa Arak bersama Melati dan Saraka segera diketahui Birawa dan Sempani. Namun keduanya tak peduli, terus menjalankan kuda mereka. Bahkan senyum mengejek tampak tersungging di bibir mereka. Jelas, kedua orang kasar ini menganggap rendah tiga sosok yang menghampiri mereka.

Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak menghampiri, dalam waktu singkat jarak mereka telah demikian dekat, sekitar tiga tombak. Sampai di sini kedua belah pihak sama-sama menghentikan langkah.

"Hih!" Sempani melompat dari punggung kuda. Lalu....

Srattt!

Sinar terang mencuat ketika pedangnya dicabut. "Rupanya kalian ingin mencari penyakit, heh...?! Berani mencegat perjalanan kami!" seru Sempani mengancam.

Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Sempani langsung melancarkan serangan. Saat itu hatinya masih dalam keadaan gusar dan marah akibat amukan Utusan dari Akherat. Maka langsung saja dilampiaskannya pada para penghadangnya.

Wuttt!

Sempani tidak bertindak setengah-setengah. Dalam serangan pertama saja langsung dikirimkan serangan mematikan. Pedangnya diluncurkan membabat tenggorokan! Dan yang menjadi sasaran pertama adalah Dewa Arak!

Dewa Arak tetap bersikap tenang, meskipun melihat jelas adanya ancaman maut terhadap dirinya. Tidak terlihat adanya gelagat kalau pemuda berambut putih keperakan ini akan melakukan gerakan untuk mengatasi serangan lawan.

Namun ketika ujung pedang Sempani hampir mengenai sasaran, tiba-tiba Dewa Arak mengulurkan tangan. Sebuah gerakan yang sangat cepat. Orang kasar seperti Sempani mana mampu melihat jelas tangan Dewa Arak? Yang sempat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan tak jelas. Dan tahu-tahu....

Kreppp!

Batang pedang Sempani telah tercekal. Dan sebelum anak buah Bima Seta itu sempat berbuat sesuatu, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Pemuda berambut putih keperakan itu memutarkan tangannya.

Sempani kaget bukan kepalang ketika merasakan tubuhnya terbawa putaran tangan lawan. Buru-buru dikerahkannya tenaga dalam untuk melawan. Namun ternyata tenaga Dewa Arak terlalu kuat untuk bisa ditahan. Karena Sempani tak mau melepaskan cekalan pada gagang pedang hingga tubuhnya terbawa putaran tangan Dewa Arak.

Wuk! Wuk! Wuk!

Tubuh Sempani terputar di atas kepala Dewa Arak laksana baling-baling.

"Aaah...!" Tanpa sadar mulut Sempani mengeluarkan jeritan panjang. Teriakan yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget. Tubuhnya terputar-putar di udara dengan kecepatan tinggi.

EMPAT

Sempani merasa tersiksa bukan kepalang. Apalagi ketika dirasakan putaran itu semakin lama semakin cepat. Kepala mulai terasa pusing, pandangannya pun berkunang-kunang. Karena semua yang dilihatnya berputaran secara cepat.

Mula-mula hanya rasa pusing yang diderita Sempani. Namun sesaat kemudian, rasa mual timbul. Semakin lama dirasakan perutnya bagaikan dikocok-kocok dengan kuat. Sempani yakin sebentar lagi pasti akan muntah-muntah.

Rupanya Dewa Arak pun menyadari kemungkinan terjadinya hal seperti itu. Terbukti sebelum Sempani muntah-muntah, tangannya telah lebih melepaskan cekalan pada mata pedang lawan.

Tubuh Sempani seketika terlontar dan melayang jauh. Jeritan tertahan anak buah Bima Seta itu pertanda kengerian hatinya yang mencekam di saat tubuhnya meluncur. Entah di mana tubuh Sempani jatuh, Dewa Arak tak mempedulikan lagi. Begitu tubuh anak buah Bima Seta itu dilepaskan, diayunkan kakinya mendekati Birawa.

Karuan saja hal itu membuat Birawa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sadar pemuda berambut putih keperakan itu memiliki kemampuan luar biasa. Keberhasilannya merobohkan Sempani dalam waktu yang demikian singkat dan dengan amat mudah itu, sebagai bukti nyata yang tak dapat dibantah lagi!

Birawa buru-buru melompat dari punggung kuda. Lalu, tanpa malu-malu lagi berlutut di depan Dewa Arak. Pedang yang tergantung di punggung langsung dilemparkan begitu saja ke tanah.

"Ampun, Tuan Pendekar! Tobat...!" ucap Birawa memohon belas kasihan.

Dewa Arak tidak menyahuti. Ditatapnya sekujur tubuh Birawa yang berlutut tepat di depannya. Entah apa yang terkandung dalam benak pendekar muda ini. Dan sebelum Dewa Arak berhasil menemukan kata-kata yang akan dikeluarkan, Saraka telah menyelak. Lelaki kekar itu langsung mendekati Birawa.

"Manusia keji sepertimu tak layak dibiarkan hidup! Hih!"

Saraka mengayunkan goloknya yang terselip di pinggang, ke arah leher Birawa. Nasib rekan Sempani ini sudah bisa diperkirakan apabila golok itu mendarat di sasarannya.

Wuttt! Takkk!

"Akh!"

Singgg!

Renteten kejadiannya berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk diikuti mata. Tahu-tahu, golok di tangan Saraka telah terlempar jauh. Hal itu terjadi karena campur tangan Dewa Arak. Di saat mata golok hampir memenggal leher, Dewa Arak mengayunkan kaki kanan, memapak mata golok Saraka. Dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, kakinya tak kalah kuat dengan batang baja. Itulah sebabnya benturan yang terjadi, menimbulkan bunyi seperti dua logam keras beradu.

"Mengapa, Arya?! Mengapa kau mencegahku membunuhnya...?!" tanya Saraka terbata-bata seraya menatap tajam wajah Dewa Arak. Tarikan wajah dan sorot mata lelaki kekar ini menyiratkan ketidak-percayaan yang dalam.

"Bukan merupakan tindakan ksatria membunuh lawan yang tak mengadakan perlawanan, Kang!" sahut Dewa Arak dengan suara pelan, tapi mengandung ketegasan. Seketika wajah Saraka merah padam karena malu. Padahal, Dewa Arak telah memilih kalimat yang halus!

"Lalu..., apakah kita harus mengampuninya, Arya?!" tanya Saraka lagi tanpa menyembunyikan rasa penas aran yang bergolak.

Dewa Arak tersenyum lebar. "Semua itu kuserahkan pada kebijaksanaanmu, Kang. Kau dan penduduk Desa Jarak yang lebih berhak untuk memutuskannya," jawab Arya, bijaksana.

Saraka langsung diam. Jawaban Dewa Arak membuatnya merasa puas. Perasaan kagum yang sudah bersemi terhadap pemuda berambut putih keperakan itu pun semakin tumbuh subur. "Berita itu memang tidak berlebihan. Dewa Arak ternyata seorang pendekar besar yang dapat bertindak bijaksana," gumam lelaki kekar ini dalam hati.

"Kalau begitu..., atas nama penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih atas bantuan yang kau berikan, Arya," ucap Saraka penuh rasa syukur.

"Lupakanlah! O ya, Kang. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya."

"Silakan, Arya!"

Dewa Arak pun mengalihkan perhatiannya pada Birawa. "Siapa yang telah membunuh Ki Bima Seta, Birawa?!" tanya Arya penuh wibawa.

"Seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat, Tuan Pendekar," jawab lelaki berbibir tebal itu sambil mengangkat wajahnya.

"Utusan dari Akherat...?!"

Arya mengulang julukan yang disebutkan Birawa. Dahinya berkernyit seakan-akan tengah memutar pikiran. Hal yang sama pun dilakukan Melati. Keduanya merasa pernah mendengar julukan itu. Namun tidak ingat kapan dan di mana mereka menget ahuinya.

"Dia seorang pembunuh bayaran, Tuan Pendekar," lanjut Birawa, seakan-akan mengetahui apa yang dipikirkan Dewa Arak.

"Ah...! Sekarang aku ingat! Ya! Aku juga pernah mendengarnya. Seorang pembunuh bayaran! Kau tidak tahu siapa yang telah menyewanya?!" tanya Arya, ingin tahu.

"Tidak, Tuan Pendekar," Birawa menggelengkan kepala. "Utusan dari Akherat tak memberitahukannya."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban seperti itu memang sudah diduganya. Karena meskipun tak pernah berhubungan dengan urusan seperti itu, dia tahu tak mungkin seorang pembunuh bayaran memberitahukan siapa yang telah menyewanya.

"Cukup, Kang! Sekarang kuserahkan dia padamu."

"Terima kasih, Arya. Aku akan membawanya ke balai desa. Seperti katamu tadi, biar para penduduk yang akan menentukan hukuman terhadapnya."

"Itu bagus," puji Arya, bernada gembira mendengar Saraka menyetujui usulnya.

* * *

Penduduk Desa Jarak gempar mendengar kematian Ki Bima Seta. Mereka langsung merayakannya. Mulai dari mulut desa, sampai di depan setiap rumah terpasang hiasan dan umbul-umbul. Julukan Utusan dari Akherat pun menjadi buah bibir. Setiap penduduk memuji-mujinya setinggi langit. Di sana-sini orang membicarakan kehebatan tokoh itu.

Tentu saja Dewa Arak pun mendapat pujian pula. Karena dialah yang telah melumpuhkan perlawanan Birawa dan Sempani, dua orang anak buah Ki Bima Seta. Sepasang pendekar muda berwajah elok ini pun mendapat jamuan dan penghormatan dengan ditemani para sesepuh Desa Jarak.

"Terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Bantuan yang kau berikan tidak kecil artinya bagi kami. Tanpa bantuanmu, orang-orang desa ini tidak akan hidup tenang. Aku sebagai Kepala Desa Jarak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua pertolonganmu," ucap seorang laki-laki setengah baya berpakai an putih. Jenggot pendek yang telah memutih menghias bawah dagunya. Ki Barjanala, namanya.

"Ah! Kau terlalu melebih-lebihkan, Ki. Tanpa bantuanku pun sebenarnya Sempani dan Birawa akan dapat kalian lumpuhkan. Kepada Utusan dari Akheratlah seharusnya kalian berterima kasih," sahut Arya merendah.

"Kau terlalu mengecilkan arti bantuanmu, Dewa Arak. Kalau tidak karena mendengar julukanmu, tak akan mungkin sisa gerombolan Bima Seta kabur dari sini," sebuah suara yang keluar dengan susah payah, ikut campur. Pemilik suara itu seorang kakek kecil kurus berpakaian hijau. Inilah sesepuh Desa Jarak, yang bernama Ki Kuncara.

"Apa yang dikatakan Ki Kuncara dan Ki Barjanala memang tidak salah, Dewa Arak," tukas seorang lelaki bertubuh tegap, kekar, dan bercambang lebat. "Apa pun alasanmu, tetap jasa yang kau sumbangkan berarti besar. Memang, kelihatannya jasa yang dibuat Utusan dari Akherat jauh lebih besar. Karena dia yang telah berhasil membunuh Ki Bima Seta. Tapi ada yang kau lupakan, Utusan dari Akherat membunuh Ki Bima Seta bukan karena keinginan menolong para penduduk Desa Jarak. Pembunuhan yang dilakukannya karena suruhan seseorang."

"Kau benar, Sembada!" ujar Ki Barjanala setengah terpekik.

"Berarti, orang yang menyuruh Utusan dari Akherat pun perlu mendapatkan ucapan terima kasih. Sayang, kita tidak tahu di mana mereka bertempat tinggal!"

"Kau benar, Ki Barjanala," puji Ki Kuncara dengan suara khasnya. "Seharusnya mereka pun kita jamu di sini sebagai tanda terima kasih atas tindakan yang telah mereka lakukan."

"Apa yang dikatakan Ki Kuncara, tepat sekali!" Melati ikut pula menimpali karena merasa tidak enak berdiam diri terus. "Seharusnya Utusan dari Akherat dan orang yang menyewanya bisa berada di sini untuk merayakan pesta hancurnya kedurjanaan Bima Seta."

"Tidak mengapa, Nisanak. Keberadaan kalian untuk menemani kami pun sudah cukup untuk membuat hati gembira. Siapa yang belum pernah mendengar julukan Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia persilatan?! Eh, silakan dicicipi hidangannya. Jangan malu-malu...!"

Sambil berkata demikian, Kepala Desa Jarak itu mendahului mengulurkan tangan, mengambil sepotong singkong goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya. Tindakan Ki Barjanala langsung diikuti yang lainnya. Sehingga sejenak pembicaraan terputus. Yang terdengar hanyalah suara kunyahan mereka.

* * *

Hembusan angin sejuk menyibakkan rambut Arya dan Melati, tapi mereka tampak tak mempedulikan. Bahkan mereka seperti menikmatinya. Beberapa kali mereka menarik napas dalam-dalam sambil mengembangkan dada seakan ingin memasukkan udara segar itu sebanyak-banyaknya.

Bumi persada makin diliputi suasana pagi ketika Dewa Arak dan Melati meninggalkan Desa Jarak. Sang Surya yang muncul di ufuk timur masih berupa bola raksasa merah menyala. Hembusan angin semilir menghembuskan hawa sejuk, terasa nikmat di kulit.

"Mengapa harus sepagi ini kita meninggalkan Desa Jarak, Kang?!" tanya Melati, seraya menarik tali kekang kuda. Wajahnya diarahkan pada kekasihnya.

Terpaksa, Arya menghentikan langkah kudanya pula. Memang, kedua pendekar muda itu kini sama-sama menunggangi kuda. Kuda hitam yang sebenarnya dimiliki Sempani dan Birawa. Ki Barjanala yang memberikannya.

Padahal Dewa Arak dan Melati bersikeras untuk menolak. Namun, Kepala Desa Jarak itu tetap tak berubah dengan keputusannya. Terpaksa pasangan pendekar muda ini menerima. Kuda-kuda hitam itu pun berganti pemilik. Sedangkan pemilik mereka sebelumnya, Sempani dan Birawa telah tewas di tangan penduduk Desa Jarak.

Kedua anak buah Bima Seta itu tewas secara mengerikan. Betapa tidak? Mereka digantung! Lalu, setiap penduduk melempari tubuh mereka dengan batu. Masing-masing orang sekali!

Dewa Arak dan Melati tidak sampai hati melihatnya. Namun, mereka tak mencampurinya, karena hukuman demikian sudah menjadi adat di tempat itu. Birawa dan Sempani memang pantas untuk mendapat hukuman. Tindak kekejian yang mereka lakukan telah melampaui batas.

Melati mengerutkan alis ketika melihat Dewa Arak tidak menjawab pertanyaannya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya diam termenung.

"Kang...!" sapa Melati lagi dengan nada sedikit disentakkan.

"Eh, apa.... Nggg... ya..., bukankah kau menanyakan sebab kepergian kita yang demikian cepat?!" sahut Dewa Arak menggeragap.

"Benar, Kang," Melati menganggukkan kepala. "Apakah ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat?!"

"Hhh...!" Arya menghela napas seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Kau terlalu cerdik, Melati. Tidak ada satu rahasia pun yang dapat kusembunyikan apabila kau berada di dekatku."

"Gombal!" sergah Melati, berpura-pura tak senang dengan memasang muka merengut. Namun, sepasang matanya yang berbinar-binar telah menjadi bukti nyata kalau gadis berpakaian putih itu merasa gembira. Siapa sih yang tidak senang mendapat pujian dari orang yang dicintainya?

"Ha ha ha...!" Dewa Arak tertawa bergelak, melihat sikap kekasihnya. Tapi hanya sebentar saja hal itu dilakukannya. Sesaat kemudian, raut wajahnya menyiratkan kesungguhan. "Memang, aku mempunyai sebuah dugaan. Seperti yang kau terka, ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat. Hhh..., aku belum yakin akan kebenarannya!" ujar Arya, tanpa menoleh pada wajah Melati.

"Katakanlah, Kang! Aku ingin mendengarnya," sambut Melati tak sabar.

Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ketidaksabaran kekasihnya. Telah diketahuinya betul kalau Melati memang memiliki watak keras. "Begini, Melati," Arya mulai memberi penjelasan. "Ada beberapa hal yang membuatku menaruh curiga sehubungan dengan kematian Bima Seta di tangan Utusan dari Akherat. Kau tahu kan mengapa Utusan dari Akherat membunuh Bima Seta?!"

"Hm...," Melati menganggukkan kepala seraya menatap wajah Dewa Arak. "Menurut pendapatku orang itu tidak punya tujuan, kecuali imbalan yang didapatnya."

"Tepat! Sekarang menurut dugaanmu siapa atau pihak manakah yang telah menyewa Utusan dari Akherat?!" tanya Dewa Arak, kali ini wajahnya menoleh ke wajah kekasihnya.

Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak tercenung. Otaknya diputar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu.

"Kalau kau tanyakan orangnya..., rasanya sulit bagiku untuk menduganya, Kang. Tapi, kalau pihak mana, aku bisa menjawabnya. Dugaanku kuat, bahwa pihak itu berasal dari Desa Jarak."

"Hhh...! Aku pun menduga demikian. Tapi, mengapa tak satu pun di antara mereka yang mengakui sebagai penyewa Utusan dari Akherat?!" untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak melontarkan pertanyaan itu.

"Malah sepertinya tidak ada satu pun yang teringat pada si penyewa itu, Kang. Semua puji-pujian dan ucapan terima kasih ditujukan pada Utusan dari Akherat. Ki Barjanala dan Ki Kuncara pun berpendapat demikian," sambung Melati.

"Tapi ada satu orang yang mengingatnya, Melati," timpal Arya lagi.

"Dan orang itu Sembada. Kau ingat?!"

"Ya. Aku ingat, Kang! Dia menyebut-nyebut mengenai orang yang menyewa Utusan dari Akherat. Jadi..., diakah orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat, Kang?!"

"Aku belum berani memastikan, Melati. Ada hal-hal yang mencurigakan di sini. Sekarang mari kita membahasnya sambil meneruskan perjalanan!" ajak Arya sambil menghentakkan tali kekang kudanya perlahan. Seketika pula kuda hitam itu melangkah. Melihat hal ini Melati pun melakukan tindakan yang sama.

"Menurut akal sehat," ujar Arya lagi menyambung ucapan sebelumnya. "Penyewa Utusan dari Akherat tak lain orang dari Desa Jarak. Kita kesampingkan dulu dugaan kita terhadap penyewa yang berasal dari luar. Kurasa, kemungkinannya kecil sekali."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya hatinya menerima pendapat Dewa Arak.

"Nah! Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa si penyewa Utusan dari Akherat itu tak mau menonjolkan diri. Aku yakin, dia tahu penghormatan yang akan diterima, kalau orang itu mau menonjolkan dirinya. Masalahnya, lupanya semua penduduk Desa Jarak atas jasa yang diberikan penyewa itu, tak dapat disalahkan. Mereka semua terlalu gembira, sehingga belum sempat terpikir kalau sebenarnya yang mempunyai jasa besar atas tewasnya Bima Seta adalah si penyewa. Hal itu terjadi karena kesalahan si penyewa sendiri yang tak memberitahukannya."

Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk menarik napas dan mencari kata-kata yang tepat sebagai pelanjut uraiannya.

"Bisa dimaklumi kalau penduduk Desa Jarak lupa akan jasa penyewa. Aku sendiri sama sekali tidak ingat akan hal itu. Yang ada di benakku bahwa Utusan dari Akherat pembunuh Bima Seta. Tidak terpikirkan akan hal lainnya. Aku baru teringat ketika Sembada mengatakannya. Dan saat itu pula aku merasakan adanya kejanggalan dalam masalah ini. Itulah sebabnya, kuputuskan untuk berpura-pura meninggalkan Desa Jarak."

"Jadi..., kau tidak sungguh-sungguh bermaksud meninggalkan Desa Jarak, Kang?!" tanya Melati, setengah tak percaya.

Arya menganggukkan kepala.

"Ah...! Aku mengerti, Kang...! Kau bertindak demikian, pasti karena ingin menimbulkan kesan pada penyewa Utusan dari Akherat bahwa kau telah meninggalkan Desa Jarak. Dengan demikian, terbuka kesempatan bagi penyewa Utusan dari Akherat untuk melanjutkan tindakannya apabila hal itu memang akan dilakukan. Bukan begitu, Kang?!" terka Melati.

"Tepat, Melati. Memang demikian, maksudku," sahut Arya, membenarkan. "Aku yakin, apabila kita tetap berada di sana, penyewa Utusan dari Akherat merasa akan terganggu untuk melakukan tindakan. Tentu saja, kalau orang itu hendak melakukan tindakan lanjutan."

"Dengan kata lain, penyewa Utusan dari Akherat itu mempunyai maksud tidak baik, Kang?!" celetuk Melati mencari kepastian.

"Aku tak mengatakan demikian, Melati," sahut Arya. "Hanya saja tindakan yang dilakukan menumbuhkan rasa curigaku. Yang jelas, kalau tidak ada sebab atau akibatnya, hhh... kurasa janggal harus menyembunyikan tindak kebaikannya."

"Bagaimana kalau penyewa Utusan dari Akherat itu tidak mempunyai pamrih apa pun dalam perbuatannya, Kang?!" Melati mengajukan dugaan la-innya. "Yah..., anggaplah seperti yang kita lakukan selama ini...!"

"Apa yang kau katakan memang tidak bisa kusangkal, Melati. Terus terang, aku pun berharap demikian. Tapi, tidak ada salahnya toh, kalau kita bersikap waspada. Entah mengapa, aku tetap merasa ada sesuatu di balik ini. Setidak-tidaknya ada maksud terselubung. Kalau tidak, untuk apa penyewa Utusan dari Akherat itu menyembunyikan diri?!"

Melati kontan terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan kekasihnya. Demikian pula dengan Dewa Arak. Matanya menatap jauh ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan dalam benaknya.

"Apakah kau mempunyai dugaan, siapa orangnya yang telah menyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati kemudian, setelah keduanya diam sesaat.

"Hhh...!" Arya menghela napas dalam-dalam lalu dihembuskannya. "Sebenarnya memang sudah. Tapi, aku masih belum yakin. Bila dipikir dari satu sisi, rasanya dugaanku tidak salah. Tapi bila diperhitungkan dari sisi lainnya, aku merasa tidak yakin dengan dugaanku...."

Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah. "Mengapa kau masih ragu, Kang?! Aku yakin dugaanmu tidak salah!"

"Mengapa kau demikian yakin, Melati? Kau tahu orang yang kucurigai?!" tanya Arya. Ada senyum dingin tersunggjng di bibirnya yang tipis itu.

"Tentu saja!" jawab Melati, yakin. "Bukankah orang yang kau curigai adalah Sembada?!"

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda membenarkan tebakan Melati. Meskipun demikian tak tampak ada keterkejutan pada wajahnya. Memang, Arya sudah dapat memperkirakan jawaban yang akan diberikan kekasihnya.

"Nah! Kalau begitu..., apa lagi yang membuatmu ragu...?!" kejar Melati, penasaran.

"Kau yakin kalau orang yang menyewa Utusan dari Akherat adalah Sembada, Melati?" Arya malah balas mengajukan pertanyaan.

"Tentu saja!" sahut Melati tegas.

"Dari mana kau mengambil kesimpulan seperti itu?i Atas dasar ucapannya?!"

"Benar, Kang!" jawab Melati sambil menganggukkan kepala. "Kalau kau sendiri, bagaimana?"

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya termenung. Dahinya berkernyit dalam seakan-akan tengah ada yang dipikirkan.

"Aku juga menaruh kecurigaan pada Sembada, Melati. Dan dasar kecurigaanku pun sama denganmu. Yaitu berdasarkan ucapannya. Tapi, justru itulah yang membuatku merasa tak yakin dengan dugaan semula.

"Aku tak mengerti maksudmu, Kang?! Katakan saja dengan jelas, jangan berput ar-putar sepert itu!" sergah Melati, karena bingung mendengar penjelasan Dewa Arak yang dianggapnya kurang gamblang.

"Begini, Melati," ucap Arya setelah tercenung sejenak. "Menurut perhitungan, rasanya aneh kalau Sambada pelakunya, ucapan seperti itu dikeluarkannya. Padahal, bukankah penyewa itu bermaksud menyembunyikan diri? Mengapa mengeluarkan pernyataan seperti itu. Aku rasa Sembada tak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau ucapan yang dlkeluarkannya bisa mengundang kecurigaan orang lain terhadap dirinya."

Melati tercenung dengan dahi berkernyit dalam. Gadis berpakaian putih ini merasakan adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam pernyataan Dewa Arak. Ya! Mengapa Sembada mengeluarkan ucapan seperti itu, kalau dia penyewa Utusan dari Akherat? Bukankah perbuatannya tidak ingin diketahui orang?

Cukup lama Melati bersikap seperti itu. Terlihat Jelas kalau dia telah berpikir. Tentu saja, semua tindak tanduk gadis itu tak lepas dari pandangan Dewa Arak. Namun, pemuda berambut putih keperakan itu membiarkan saja. Dia ingin melihat kelanjutan tanggapan kekasihnya.

"Itukah yang menyebabkanmu merasa ragu menuduh Sembada sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati.

Dewa Arak tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.

"Lalu..., kalau kau berpendapat demikian, mengapa tetap mencurigainya sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" desak Melati, penuh semangat.

"Ada alasan lainnya, Melati," jawab Arya. "Aku mempunyai dugaan kalau Sembada mengeluarkan pernyataan itu tanpa sengaja. Atas dasar itulah kecurigaanku terhadapnya tidak kuhilangkan."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tak ada senyum tersungging di wajahnya. Namun, tampaknya gadis cantik itu memaklumi kebenaran Dewa Arak.

"Hanya usaha dan waktu yang dapat menjawabnya, Melati," ujar Arya kemudian.

Melati kembali mengangguk-anggukkan kepala. "Kapan kau akan mulai menyelidikinya, Kang?!"

"Nanti malam, Melati. Kita selidiki Desa Jarak secara sembunyi-sembunyi. Kau siap?!"

"Tak usah menanyakan hal itu, Kang!" jawab Melati penuh semangat.

"Ha ha ha...!" Dewa Arak hanya tertawa mendengar jawaban itu.

* * *

LIMA

Wusss!

Angin malam berhembus kencang meniup hawa dingin. Keadaan cuaca tampak kurang menguntungkan. Di langit awan hitam berarak-arak membuat sinar sang Dewi Malam terhalang. Bumi persada pun tampak redup tanpa cahaya.

Semakin lama angin yang berhembus semakin keras dan dingin. Hujan pun tampaknya akan segera turun. Suasana malam yang telah larut, kian sunyi dan sepi.

Di tengah suasana malam yang dingin dan tanpa cahaya bulan itu, tampak sesosok bayangan hitam melesat cepat memasuki Desa Jarak. Laksana hantu jahat yang sedang memburu mangsa, gerak-geriknya tampak begitu terburu-buru.

Namun, bayangan hitam itu ternyata sosok seorang manusia. Terbukti kedua kakinya menapak di tanah ketika menghentikan gerakan di balik pagar tembok sebuah bangunan cukup megah yang memiliki halaman luas.

Hanya sebentar saja sosok berpakaian hitam itu berdiam diri. Sesaat kemudian kakinya digenjotkan. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke atas, melompati batas atas tembok. Lalu....

Jliggg!

Hampir tak terdengar di telinga, ketika sepasang kaki sosok berpakaian hitam itu mendarat di tanah. Sekilas sosok berpakaian hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan-akan khawatir kalau kehadirannya akan diketahui orang lain.

Setelah merasa yakin tak ada yang melihat, sosok berpakaian hitam itu melesat cepat, menuju bangunan megah di hadapannya. Hanya dengan beberapa kali lesat an, tubuhnya telah berada di dekat pintu bangunan.

Untuk yang kedua kalinya sosok berpakaian hitam itu menghentikan gerakan. Api obor yang terpancang pada dinding depan rumah itu menerpa tubuhmu yang berpakaian serba hitam.

Sosok berpakaian hitam itu memiliki tubuh tinggi kurus. Wajahnya tampak kurang jelas, karena tertutup selubung kain hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak dari dua lubang pada kain selubung kepala.

Sosok lelaki itu ternyata Utusan dari Akherat Sejenak sepasang matanya menatap tajam daun pintu. Seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan. Namun sesaat kemudian Utusan dari Akherat menghent akkan keras telapak tangan kanannya ke depan.

Wusss!

Segulung angin dahsyat keluar dari telapak tangan kanan Utusan dari Akherat, meluncur menuju daun pintu. Dan....

Brakkk!

Suara berderak keras terdengar memekakkan telinga. Angin pukulan Utusan dari Akherat ternyata mampu menghancurkan daun pintu yang terbuat dari kayu jari tebal itu.

Tanpa membuang-buang waktu Utusan dari Akherat langsung melesat ke dalam. Pada saat yang bers amaan, dari dalam sebuah kamar muncul sesosok tubuh berpakaian putih, yang ternyata Ki Barjanala. Kepala Desa Jarak itu tampaknya terjaga dari tidurnya karena mendengar dobrakan pintu rumah.

Saat itu, Ki Barjanala memang telah mulai menempati bangunan yang semula ditempari Ki Bima Seta dan gerombolannya. Hanya saja malam itu Ki Barjanala masih menempati sendiri. Kedua orang anaknya, belum ikut pindah ke tempat tinggal yang baru itu.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Ki Barjanala ketika melihat sosok berpakaian hitam telah berdiri tegak di hadapannya. "Siapa kau?!"

Sambil mengajukan pertanyaan, Ki Barjanala langsung memasang sikap waspada Di a sudah dapat menduga kalau sosok yang berdiri di hadapannya ini, tidak bermaksud baik! Cara datang dan pakaian yang dikenakannya menggambarkan bagaimana jiwanya saat itu.

"Kudengar kau ingin memberikan penghormatan padaku atas pembunuhan terhadap Ki Bima Seta, Barjanala?!" tanya Utusan dari Akherat tanpa mempedulikan pertanyaan yang ditujukan terhadap dirinya.

"Penghormatan...? Membunuh Ki Bima Seta...?! Jadi..., maksudmu.... Kau adalah...," sahut Ki Barjanala dengan suara menggeragap karena perasaan takut, terkejut, dan keheranan.

"Benar," sambung Utusan dari Akherat, seperti tahu ucapan Kepala Desa Jarak itu selanjutnya. "Hhh..., akulah Utusan dari Akherat!"

Ki Barjanala menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering dan terasa getir. Sama sekali tak disangka kalau sosok yang berjuluk Utusan dari Akherat demikian angker seperti julukannya.

Tapi yang membuat Ki Barjanala merasa tegang, bukan penampilan pembunuh bayaran itu. Sikap Utusan dari Akherat yang menyebabkannya merasa ngeri! Utusan dari Akherat sedikitpun tak mau menunjukkan perasaan bersahabat. Ataukah si pembunuh bayaran itu hendak membantai kepala desa itu, seperti yang dilakukannya terhadap Ki Bima Seta?!

Meskipun telah menduga demikian, Ki Barjanala tak ingin bertindak gegabah. Hal itu karena dirinya belum mengetahui secara pasti maksud kedatangan Utusan dari Akherat. Oleh karena itu, diputuskan untuk berpura-pura tidak tahu.

"Ah...! Kalau demikian, atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Silakan duduk, Utusan dari Akherat!" ujar Ki Barjanala, berusaha bersikap ramah.

"Simpan saja semua keramah-tamahanmu, Barjanala!" sergah Utusan dari Akherat, keras. "Aku datang bukan untuk berbincang-bincang denganmu! Lebih baik kau bersiap-siap, agar tak mati sia-sia!"

"Ap..., apa maksudmu, Utusan dari Akherat?!" Ki Barjanala masih mencoba untuk berpura-pura.

"Aku datang untuk membunuhmu, Barjanala! Baik kau melawan atau tidak, bagiku sama saja. Karena tetap akan kubunuh! Bersiaplah, Barjanala! Aku akan memulainya!"

Kini Ki Barjanala sadar, tak ada gunanya lagi berpura-pura. Maka diputuskan untuk melakukan perlawanan. Dia tak ingin mati percuma! Maka....

Srattt!

Ki Barjanala menghunus keris yang terselip di pinggang belakang. Sebuah keris berkeluk tujuh, berwarna hitam pekat!

"Ha ha ha...! Begitu lebih baik, Barjanala!" ujar Utusan dari Akherat, seraya tertawa mengejek. "Dengan demikian kau tak akan mati penasaran!"

"Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak Ki Barjanala keras. Lalu....

"Hih!" Didahului gertakan gigi, Ki Barjanala langsung melancarkan serangan dengan kerisnya. Senjata yang sarat dengan pamor itu, ditusukkan lurus ke perut Utusan dari Akherari!

Wuttt!

Deru angin keras terdengar, seiring dengan meluncurnya serangan itu. Namun, Utusan dari Akherat tampak tetap bersikap tenang. Tak tampak adanya gelagat kalau dia akan melakukan tindakan penyelamat an diri, baik mengelak ataupun menangkis!

Melihat sikap Utusan dari Akherat, Ki Barjanala merasa terkejut, sekaligus gembira. Apa pembunuh bayaran itu sudah gila? Kalau tidak mengapa dibiarkannya serangan dahsyat itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Ki Barjanala. Meskipun demikian, tak menghambat serangannya. Bahkan kepala desa itu langsung mengerahkan seluruh tenaganya. Hal itu karena dia ingin urusannya cepat selesai. Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar tak melakukan tindakan apa pun terhadap serangan Ki Barjanala.

"Hiaaa...!"

Tukkk!

Keris di tangan Ki Barjanala mendarat telak di perut lawan. Namun kepala desa itu tersentak kaget. Matanya terbelalak, seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keris itu patah! Belum hilang rasa heran dan keterkejutan Ki Barjanala, tiba-tiba....

Cappp!

"Aaakh...!" Pekik kematian dari mulut Ki Barjanala terdengar memecah kesunyian malam itu. Tubuh Kepala Desa Jarak itu terhuyung-huyung ke belakang. Pada ubun-ubunnya tertancap sebilah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak.

Dalam kecepatan yang sulit dilihat mata biasa, Utusan dari Akherat berhasil menancapkan senjata khasnya. Darah segar mengalir deras dari kepala Ki Barjanala yang tert ancap pisau.

Brukkk!

Setelah terhuyung-huyung beberapa saat lamanya, tubuh Ki Barjanala ambruk. Tanpa menggelepar-gelepar lelaki berpakaian putih yang telah berlumuran darah itu tewas.

"Hmh!" dengus Utusan dari Akherat penuh hinaan. Ditatapnya tubuh Ki Barjanala yang t erkapar di atas lantai tempat tinggal barunya. Sesaat kemudian lelaki berselubung kepala itu membalikkan tubuhnya.

Namun dengan cepat Utusan dari Akherat langsung memasang kuda-kuda. Sikapnya tampak penuh kewaspadaan. Jelas, ada sesuatu yang telah membuat hatinya curiga, hingga harus bersikap seperti itu. Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi sekitar ruangan bangunan itu.

Dugaan itu ternyata tidak salah! Sesosok bayangan putih tiba-tiba telah berdiri menghadang di ambang pintu. Dengan sendirinya, jalan kabur pembunuh bayaran ini telah tertutup.

"Mau ke mana kau, Pembunuh Terkutuk?! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" tanya sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis. Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian putih. Gadis berambut panjang tergerai itu ternyata Melati.

Utusan dari Akherat tak langsung menjawab pertanyaan Melati. Matanya yang tajam menat api tubuh gadis berpakaian putih itu. Diam-diam hatinya menyadari kalau calon lawan kali ini tak bisa dianggap remeh. Gadis cantik itu tak dapat disamakan dengan Ki Barjanala. Hal ini bisa diketahuinya dari tindakan kaki lawan yang demikian halus. Bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaran yang telah terlatih baik sekalipun!

"Lebih baik, urungkan niatmu, Nisanak! Kukatakan, aku tak punya urusan denganmu! Jangan kau membuatku harus membunuh seorang gadis cantik seperti kau! Menyingkirlah cepat! Beri aku jalan!"

"Jangan banyak bicara, Utusan dari Akherat !" sahut Melati sengit "Aku tak akan menyingkir dari sini. Kecuali kalau kau telah menjadi mayat! Hih!"

Seraya menggertakkan gigi, Melati melompat, menerjang Utusan dari Akherat Gadis berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah kibasan kaki kanan yang dilakukan sambil membalikkan tubuh.

Wuttt!

Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan Melati membuktikan betapa kuat tenaga yang dikerahkannya. Hal itu pun diketahui lawan. Namun tampaknya sedikit pun Utusan dari Akherat tak merasa gentar Kemudian tanpa ragu-ragu dipapakinya serangan Melati, juga dengan tendangan yang sama. Sehingga…

Plakkk!

Bunyi keras terdengar, ketika kedua kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat itu saling membentur. Melati terdorong ke belakang dengan tubuh berputar. Kemudian, tampak terhuyung-huyung beberapa langkah. Dirasakan sakit yang hebat melanda kakinya yang berbenturan.

Di saat Melati belum sempat memperbaiki kedudukan, tiba-tiba Utusan dari Akherat melancarkan serangan balasan. Tangannya dikibaskan!

Singgg!

Diiringi bunyi berdesing nyaring, sebatang pisau kecil bergagang kepala tengkorak melesat memburu Melati. Melati sadar akan adanya maut yang mengancam jiwanya. Gadis berpakaian putih itu segera melakukan tindakan untuk mengatasi serangan maut itu. Dengan gerakan yang hanya dapat dilakukan tokoh berilmu meringankan tubuh tinggi, Melati menjejakkan kaki.

Dan, tindakan itulah yang menyelamatkan nyawa Melati. Jejakan itu membuat tubuhnya melesat ke atas. Sehingga pisau yang dilemparkan Utusan dari Akherat hanya mengenai angin.

Utusan dari Akherat menggeram murka melihat kegagalan serangannya. Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk memperbaiki kedudukan, segera dikirimkan serangan susulan. Tentu saja dengan kedahsyatan melebihi serangan sebelumnya.

Serbuan Utusan dari Akherat disambut baik oleh Melati. Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Baik Utusan dari Akherat maupun Melati tak ragu-ragu untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Keduanya langsung mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Sedangkan Utusan dari Akherat menggunakan ilmu 'Jari Sakti'.

Ternyata ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat tidak kalah dahsyat dibandingkan 'Cakar Naga Merah' yang dikuasai Melati. Bunyi berdesingan nyaring selalu terdengar, setiap kali kedua tangan pembunuh misterius itu bergerak.

Memang tak berlebihan kalau ilmu andalan milik Utusan dari Akherat itu bernama 'Jari Sakti' Ilmu itu sangat dahsyat dan menggiriskan. Dalam pengerahan ilmunya, Utusan dari Akherat kadang-kadang hanya menggunakan satu jari. Tapi tak jarang dua, empat, atau semua jari tangannya.

Yang sangat menakjubkan, jangankan sampai terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup mengoyak pakaian sekaligus kulit tubuh. Betapa dahsyat ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat.

Akibat dari penggunaan ilmu yang sama-sama hebat ini memang luar biasa. Bunyi berdesing, mengaung dan menderu selalu terdengar setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tangan atau kaki Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan telah berlangsung dua puluh lima jurus. Dan selama itu, Melati tampak terus-menerus terdesak.

Kenyataan itu tak mengherankan, karena tampaknya Utusan dari Akherat memiliki keunggulan-keunggulan dibanding Melati. Tidak hanya di bidang tenaga dalam, tapi juga ilmu meringankan tubuh. Dengan dua keunggulan inilah, pembunuh bayaran itu mampu menekan serangan lawan.

Semakin lama keadaan Melati semakin mengkhawatirkan. Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung, ketika harus menangkis serangan dahsyat lawan. Namun tampaknya gadis cantik berpakaian putih itu tak ingin mati percuma. Sehingga dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, dirinya tetap mengadakan perlawanan.

Menginjak jurus keempat puluh tiga, keadaan Melati semakin gawat. Serangan-sereangan yang dilakukannya semakin mengendur. Menangkis pun hanya dapat sesekali dilakukannya. Gadis itu lebih sering banyak bergerak untuk mengelak. Tindakan inilah yang menyebabkan dirinya semakin terdesak hebat.

Kalau keadaan tidak berubah, Utusan dari Akherat jelas akan mampu keluar sebagai pemenang. Karena Melati sama sekali tak mampu lagi melancarkan serangan yang berarti.

Prattt!

"Hih...!" Untuk yang kesekian kalinya, Melati terpaksa menangkis serangan lawan. Seperti pada kejadian sebelumnya, gadis berpakaian putih itu sangat kewalahan. Malah kali ini lebih parah dari sebelumnya. Tubuh Melati terjengkang, karena saat itu Melati berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan.

Ketika itulah, Utusan dari Akherat langsung melancarkan serangan susulan. Bagai harimau lapar menerkam mangsa, lelaki berpakaian serba hitam itu melesat menerjang Melati. Jemari tangannya terkembang membentuk cakar. Keduanya mengincar dada Melati.

"Ah!" Jeritan karena perasaan kaget, keluar dari mulut Melati. Matanya yang tajam menatap nanar cakar Utusan dari Akherat yang siap merenggutnya. Kegentaran menyelimuti perasaan gadis itu, karena disadarinya malaikat maut seakan-akan telah berada di depannya.

Apalagi tubuhnya kini tengah berada di udara, mengelak dari serangan lawan. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis. Namun, rasanya tindakan itu sangat sulit dilakukan. Hal itu karena kedua tangannya masih dirasakan sakit akibat menangkis serangan Utusan dari Akherat.

Namun ketika keadaan gawat tengah mengancam keselamatan Melati, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat ke tempat pertarungan. Begitu cepat sosok bayangan itu memapak serangan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal itu membuat Utusan dari Akhriat terkejut. Meskipun demikian tetap diteruskan serangannya. Maka....

Prattt! Prattt!

Bunyi keras terdengar seperti logam-logam keras dibenturkan. Sesaat kemudian tubuh Utusan dari Akherat dan sosok bayangan ungu itu langsung terlempar ke belakang. Namun, dengan gerakan yang indah dan ringan, kedua belah pihak berhasil mengatasinya. Lalu mendarat di tanah.

"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya sosok bayangan ungu itu pada Melati yang telah berhasil berdiri dengan kedua kakinya.

"Tidak, Kang." Sambil tersenyum manis, Melati menjawab pertanyaan sosok bayangan ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak.

Hanya sesaat Dewa Arak memperhatikan keadaan kekasihnya. Namun kesempatan pendek itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Utusan dari Akherat.

"Hey! Jangan lari...!" seru Dewa Arak seraya mengejar, ketika dilihatnya lelaki berpakaian dan berselubung kepal a hitam itu melesat meninggalkan tempat pertarungan.

Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat Utusan dari Akherat merasa khawatir. Buru-buru tangannya dimasukkan ke balik baju, kemudian di keluarkannya kembali. Semua itu dilakukannya tanpa mengendurkan kecepatan lari.

"Aku tak punya urusan denganmu, selamat tinggal...!Hih!"

Sambil berkata begitu, Utusan dari Akherat melemparkan benda bulat sebesar ibu jari kaki ke arah Dewa Arak. Melihat hal itu, Dewa Arak menghentikan pengejarannya. Tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindar. Arya khawatir benda bulat kecil itu mengandung racun yang mematikan.

Darrr!

Ledakan keras seketika terdengar begitu benda bulat kecil itu berbenturan dengan tanah. Seketika itu pula muncul asap tebal hitam yang menghalangi pemandangan ke depan. Hal ini membuat Dewa Arak tak dapat meneruskan pengejarannya terhadap Utusan dari Akherat. Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, begitu asap itu lenyap dari pandangan, Utusan dari Akherat sudah tidak terlihat lagi.

ENAM

"Sayang sekali Keparat itu berhasil meloloskan diri ," ujar Melati menyesal.

Dewa Arak mengalihkan pandangan menatap kekasihnya yang telah berada di sisinya. "Tak perlu kau sesali hal itu, Melati," ujar Dewa Arak menghibur.

"Masih banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Yang penting kau selamat."

Wajah Melati langsung berubah. Sepasang matanya yang bening dan indah menyiratkan ketidakpuasan. "Mengapa kau datang terlambat, Kang?! Kalau tidak..., kita telah berhasil membekuknya!"

"Ya..., aku terlambat karena menunggu munculnya orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat, di bangunan tua itu, Melati. Aku berharap, dia akan datang, tapi, setelah kesal menunggu, dia tetap tak muncul. Kuputuskan untuk menyusulmu kemari. Untung aku datang pada saat yang tepat...!"

Melati terdiam. Memang, semula telah diadakan kesepakatan. Dewa Arak menyelidiki bangunan kuno, tempat pertama kali mereka melihat sosok bayangan hitam. Sedangkan Melati mengawasi tempat tinggal Ki Barjanala.

Penyelidikan terhadap tempat tinggal Ki Barjanala, berdasarkan kecurigaan Dewa Arak. Dia menduga, bahwa tindakan rahasia penyewa Utusan dari Akherat pasti ada hubungannya dengan kedudukan kepala desa. Ternyata dugaan itu tidak meleset!

"Apakah tokoh yang bertarung denganmu itu Utusan dari Akherat, Melati?" tanya Arya, mulai mengalihkan pokok persoalan.

"Kurasa benar dia, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.

"Lalu... bagaimana dengan Ki Barjanala? Apakah dia baik-baik saja?!"

Seketika itu pula wajah Melati berubah. Tentu saja hal ini terlihat jelas di mata Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu memang tengah memperhatikan wajah kekasihnya. Perasaan tidak enak pun melanda batin Dewa Arak. Namun, sebelum Dewa Arak sempat mengajukan pertanyaan, Melati telah menyahut.

"Aku terlambat datang, Kang," ujarnya dengan suara lirih, seakan-akan merasa sangat menyesal.

"Maksudmu...?" Arya tidak berani melanjutkan ucapannya.

"Dia telah tewas, Kang..."

"Hah...!" Dewa Arak tersentak kaget mendengar jawaban Melati. Hatinya sama sekali tak menduga kalau hal itu akan terj adi. Matanya terbelalak diliputi rasa kesal dan penasaran. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak melesat ke dalam rumah. Tampak tubuh Kepala Desa Jarak itu terbujur di lantai berlumuran darah.

Memperhatikan sekilas saja, Dewa Arak mengetahui kalau Ki Barjanala memang telah tewas. Sebuah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak yang menancap di dahinya telah meyakinkan hati Dewa Arak.

"Tanda seperti ini pun ada pada mayat Ki Bima Seta," ujar Dewa Arak dengan suara pelan.

"Berarti pelaku pembunuhan ini Utusan dari Akherat pula, Kang," timpal Melati memberikan kesimpulan.

"Yahhh...," sahut Arya dengan suara mendesah. Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah ke luar. Hal yang sama dilakukan Melati.

"Aku yakin hal ini berhubungan erat dengan kedudukan kepala desa, Melati," tukas Arya pelan. "Hhh...!Tidak kusangka kalau penyewa Utusan dan Akherat bertindak demikian cepat."

"Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku, Kang," ujar Melati.

"Memang. Semua kejadian ini menjurus pada satu orang. Sembada. Masalahnya, siapa lagi yang akan menggantikan kedudukan kepala desa setelah Ki Barjanala tidak ada selain Sembada?"

"Tapi..., masih ada satu orang lagi yang bisa menghalangi Sembada menduduki jabatan kepala desa itu, Kang," ujar Melati tiba-tiba.

"Kau benar," sambut Arya setengah terpekik.

"Orang itu tak lain Ki Kuncara! Kita harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya."

"Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, setengah bingung.

Dewa Arak tak segera menjawab. Dahinya berkernyit, pertanda tengah ada yang dipikirkan. "Jalan satu-satunya untuk mencegahnya hanya dengan mengamati bangunan tua itu, Melati. Ternyata tempat itulah yang dijadikan penghubung antara Utusan dari Akherat dengan penyewanya," ujar Arya menjelaskan.

"Bagaimana kalau kita kecolongan lagi, Kang?!" tanya Melati, mengajukan kemungkinan yang tidak terduga.

"Kurasa tidak. Kita awasi tempat itu terus-menerus. Pagi, siang, sore, dan malam. Mustahil penyewa itu lolos dari pengamatan."

"Kapan kita memulainya, Kang?!"

"Sekarang juga!" tandas Arya tegas. "Aku khawatir, penyewa itu telah meletakkan perintah kejinya di sana."

"Tapi, Kang...," Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.

"Ada apa, Melati?! Katakan saja!" sahut Arya ketika melihat kekasihnya merasa ragu untuk meneruskan ucapannya.

"Mengapa mesti bersusah payah mengawasi bangunan tua itu, Kang?! Menurut pendapatku, lebih baik kita langsung saja pada sasaran berikutnya. Kita awasi rumah Ki Kuncara. Dengan sendirinya, apabila ada bahaya mengancamnya, kita dapat memberikan pertolongan sesegera mungkin."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala mendengar pendapat kekasihnya. "Pada dasarnya aku setuju dengan usulmu, Melati. Karena memang sebenarnya merupakan cara yang paling baik. Tapi ingat, Melati, ada satu hal yang kau lupakan. Orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat belum tentu Sembada. Meskipun, kemungkinannya sangat besar."

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.

"Itulah sebabnya, kuputuskan untuk mengawasi bangunan itu. Kau mengerti, Melati?!"

Melati terpaksa menganggukkan kepala walaupun sebenarnya tidak merasa puas dengan keputusan yang diambil. "Lalu..., bagaimana dengan Utusan dari Akherat, Kang?! Apakah dia harus dibiarkan saja?!"

"Dia akan menerima ganjarannya pula, Melati. Utusan dari Akherat termasuk orang yang berbahaya. Kemampuannya dapat dipergunakan orang lain untuk menimbulkan malapetaka. Tokoh itu harus dilenyapkan!"

"Aku pun berpendapat demikian, Kang. Utusan dari Akherat tokoh yang amat berbahaya," ujar Melati memberikan dukungan.

"Sekarang, mari kita tuntaskan persoalan ini, Melati!" ajak Arya seraya melesat meninggalkan tempat itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Melati pun segera menyusulnya. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwaj ah elok ini telah saling berkejaran menuju bangunan tua.

* * *
Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh bergeser dari tempat terbitnya. Bentuknya sudah mengecil dan menyilaukan mata, memancarkan cahaya yang mulai menggigit kulit.

Namun keadaan itu tak dihiraukan Dewa Arak yang tengah memusatkan perhatian mengawasi bangunan tua, tempat pertama kalinya bertemu sosok berpakaian hitam.

Arya duduk di salah satu cabang pohon yang tertutup rimbun dedaunan sehingga keberadaannya sulit diketahui. Dari semalam, Dewa Arak berada di situ. Pandangannya tak lepas terus mengawasi bagian bangunan tempat sebatang tombak tertancap.

Di tempat itulah pernah dilihatnya sesosok bayangan hitam yang sekarang diketahui sebagai penyewa Utusan dari Akherat, menaruh surat yang berisi perintah maut. Dewa Arak mengalihkan pandangan ke sekitarnya. Dan seperti telah diatur saja, dari kejauhan melesat cepat sesosok tubuh.

Meskipun jaraknya masih cukup jauh, pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengenali sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat dirinya berada. Ciri-ciri sosok yang mengenakan pakaian putih itu amat dikenalnya

Hanya dalam beberapa kali lesatan, sosok yang tak lain Melati telah sampai di bawah pohon tempat Dewa Arak berada. Gadis itu langsung menggenjotkan kaki. Dan....

Jliggg!

Tanpa menimbulkan getaran sedikit pun, Melati hinggap di cabang pohon tempat Dewa Arak berada. "Kita kecolongan lagi, Kang," ujar Melati, buru-buru.

"Kecolongan?!" Arya mengernyitkan dahi. "Aku belum mengerti apa yang kau maksudkan, Melati?"

"Ki Kuncara telah tewas!"

"Apa?!" tanya Arya tersentak kaget "Bagaimana hal itu dapat terjadi, Melati?!"

"Seperti juga Ki Barjanala, Ki Kuncara pun tewas semalam, Kang," jelas Melati.

Dewa Arak tidak menyahut. Dia terdiam dengan mata menatap ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah disesali.

"Berarti, setelah membunuh Ki Barjanala, Utusan dari Akherat langsung menyatroni Ki Kuncara dan membunuhnya pula," lanjut Melati lagi.

"Hm..., berarti kali ini penyewa Utusan dari Akherat langsung meminta dua orang sebagai korbannya. Dia tak mau bertindak setengah-setengah rupanya," gumam Arya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Keadaan di Desa Jarak kacau, Kang! Sekarang semua penduduk mengutuk Utusan dari Akherat sebagai pembunuh keji! Padahal, baru dua hari yang lalu mereka memuji-mujinya setinggi langit!"

Melati menceritakan peristiwa yang diketahuinya. Memang, begitu pagi menjelang, Melati langsung pergi ke Desa Jarak untuk melihat keadaan. Tentu saja itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

"Kacau?!" Arya mengerutkan alis penuh perasaan heran. "Mengapa bisa demikian, Melati?! Meskipun memang kematian dua orang sesepuh desa itu cukup mengejutkan, tidak perlu menyebabkan terjadinya kekacauan."

"Putra Ki Barjanala tidak menerima kejadian ini. Dia bertekad menuntut balas."

"Itu wajar, Melati. Siapa yang tidak merasa dendam jika orangtuanya dibunuh orang?!" sambut Arya. "Tapi, bagaimana dia dapat memenuhi keinginannya itu? Di samping untuk mengetahui keberadaan Utusan dari Akherat sangat sulit, apakah putra Ki Barjanala itu akan sanggup menghadapinya?"

"Itulah masalah yang menyebabkan terjadinya kekacauan, Kang" lanjut Melati. "Bukan terhadap Utusan dari Akherat, putra Ki Barjanala bermaksud melampiaskan dendamnya!"

"Heh?! Aneh...! Lalu..., kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan?!"

"Pada Sembada, Kang! Dia menganggap, bahwa Sembada yang telah memerintahkan Utusan dari Akherat untuk melakukan semua kekejian itu!"

"Ah!" untuk yang kesekian kalinya Arya tersentak kaget. "Mengapa dia dapat mengambil kesimpulan seperti itu?!"

"Entahlah, Kang!" Melati menggelengkan kepala. "Menurut berita yang kudengar, dia menghubung-hubungkan semua kejadian yang secara beruntun dilakukan Utusan dari Akherat. Semua peristiwa mengenaskan itu menurut berita yang kudapat, ada kaitannya dengan jabatan kepala desa."

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. "Kesimpulan yang didapat putra Ki Barjanala itu ternyata sama dengan kita, Melati. Tak bisa kusalahkan tindakan yang diambil putra Ki Barjanala. Memang, semua kejadian ini menunjuk Sembada sebagai pelakunya."

Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan kekasihnya. Seakan-akan gadis itu membenarkan ucapan kekasihnya.

"Bagaimana denganmu sendiri, Kang? Apakah kau masih ragu kalau pelaku semua kekejian itu Sambada?!" tanya Melati, ingin tahu pendapat Arya secara pasti.

Bukan tanpa alasan gadis berpakaian putih ini menanyakannya. Hatinya menyadari kalau dugaan Dewa Arak tidak pernah meleset.

"Entah mengapa, aku tetap kurang yakin kalau orang yang berada di balik semua kekejian ini Sembada. Padahal, akal sehatku mengatakan kalau Sembada-lah yang telah memberikan perintah-perintah terhadap Utusan dari Akherat. Tapi, entah mengapa aku merasa ragu! Atau..., ini disebabkan karena belum kudapatkan bukti nyatanya...?"

Jawaban yang diterima Melati tetap tidak jelas. Meskipun demikian gadis berpakaian putih itu tidak mendesak lebih jauh. Disadari kalau Arya telah berusaha untuk memberikan jawaban yang memuaskan.

"Apakah putra Ki Barjanala telah melakukan penyerbuan secara terbuka pada Sembada?!" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala.

"Hanya perang dingin. Tapi aku yakin, bentrokan pasti bakal terjadi antara mereka. Tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang, di desa itu telah terbentuk dua kelompok. Kelompok anak Ki Barjanala dan kelompok Sembada."

"Tapi, jumlah pengikut Sembada jauh lebih sedikit. Andaikata terjadi bentrokan, dengan mudah mereka akan dihancurkan."

"Patut kuacungkan jempol tindakan putra Ki Barjanala. Dia tidak hanya menuruti kemarahannya saja," ujar Arya merasa kagum.

"Pada putra Ki Barjanala yang mana kau tujukan pujian itu, Kang?!" tanya Melati tiba-tiba, yang membuat Dewa Arak terperanjat.

"Apa maksudmu, Melati?! Apakah Ki Barjanala mempunyai banyak anak?!"

"Banyak sih, tidak. Tapi hanya dua orang. Kedua-duanya lelaki. Yang tua bernama Jagapaksi. Sedangkan adiknya bernama Suraga. Dan yang menyebabkan tercegahnya pertempuran itu adalah Jagapaksi. Dia menyuruh Suraga yang sudah kalap itu untuk bersabar sebentar dan menunggu perkembangan selanjutnya," jelas Melati panjang lebar.

Suasana berubah hening ketika Melati menghentikan ucapannya. Dewa Arak terdiam, tak memberikan tanggapan. Mereka berdua tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.

"Kang..," sapa Melati memecahkan keheningan yang menyelimuti.

"Hm...!" sahut Dewa Arak hanya dengan gumaman pelan sambil menoleh.

"Untuk apa lagi kita berada di sini? Kurasa lebih baik kita pergi ke Desa Jarak. Sudah jelas kalau Sembada orang yang berdiri di belakang layar. Dan..."

Ucapan Melati terhenti di tengah jalan secara mendadak. Hal itu karena Arya tiba-tiba memberikan isyarat padanya agar diam. Kemudian jari telunjuknya ditudingkan ke satu arah. Tempat asal kedatangan Melati tadi. Dengan perasaan heran, Melati mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjukkan kekasihnya. Dan....

TUJUH

"Ah!" Melati tersentak kaget, ketika dari kejauhan matanya melihat sesosok tubuh tengah melesat menuju tempat mereka berada.

Gerakan sosok tubuh mengenakan pakaian kuning itu cukup cepat. Sayang, sepasang muda-mudi ini tidak bisa mengenali karena wajahnya tertutup selembar kain hitam.

"Meskipun warna pakai annya berbeda, aku yakin kalau dialah yang kita lihat beberapa malam yang lalu. Bagaimana menurutmu, Melati?" bisik Arya.

"Aku pun menduga demikian, Kang. Aku yakin orang inilah yang kita lihat waktu itu. Menurutmu..., apakah dia Sembada?!" Melati balas bertanya dengan suara berbisik.

"Entahlah," Arya mengangkat bahu. "Tapi..., sosok tubuhnya memang mirip dia."

"Sebentar lagi akan kita saksikan kebenarannya, Kang! Aku yakin kalau dia Sembada."

"Kalau begitu..., aku memilih sebaliknya," ujar Arya kalem.

Sampai di sini, percakapan sepasang pendekar muda ini terhenti. Keduanya tak ingin keberadaan mereka di situ diketahui.

Sementara itu sosok berpakaian kuning terus melanjutkan langkah. Tapi beberapa tombak sebelum mencapai bangunan tua dan tak terawat itu, langkahnya berhenti. Kepalanya ditolehkan ke sana dan kemari seperti tengah memastikan tak ada orang lain di tempat itu.

Sesaat kemudian, sosok berpakaian kuning itu melesat menuju tembok bangunan megah tempat tombak putih mengkilat terhunjam. Sampai di situ, tangan kanannya segera dimasukkan ke balik baju. Dan begitu keluar lagi, tampak segulungan surat terbuat dari kulit binatang. Kemudian digantungkannya gulungan surat itu, berikut satu buntalan kecil yang berisi uang.

Saat itulah Dewa Arak dan Melati langsung bertindak. Keduanya dengan cepat melompat dari atas pohon, dan melesat menuju tempat sosok berpakaian kuning berada. Sesuai kesepakatan, Dewa Arak menujukan sasaran pada gulungan surat dan buntalan uang. Sedangkan Melati mengincar sosok berpakaian kuning.

Karuan saja, kemunculan Dewa Arak dan Melati membuat terkejut bukan kepalang. Menyadari adanya bahaya mengancam, orang itu segera melesat kabur. Namun dengan kemampuannya yang hanya seperti itu, mana mampu dia meloloskan diri dari Melati? Setelah bersalto beberapa kali di udara, Melati mendaratkan kaki di depan sosok berpakaian kuning itu.

Tentu saja, sosok berpakaian kuning itu semakin kalap karenanya. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan langsung berlari menuju arah lainnya. Seperti juga kejadian sebelumnya, baru beberapa langkah berlari terpaksa dihentikan, ketika tiba-tiba Melati telah menghadang di depannya. Meskipun demikian, sosok berpakaian kuning itu tak putus asa.

Lagi-lagi tubuhnya dibalikkan ke arah lain. Kemudian berlari. Namun, untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning gagal dengan usahanya. Melati telah berada di depannya kembali. Kenyataan ini membuatnya sadar, kalau dirinya tak akan mungkin dapat meloloskan diri. Hal itu membuatnya nekat. Sebagai akibatnya....

Srattt!

Sinar terang berkilat ketika sosok berpakaian kuning itu mencabut golok yang terselip di pinggang. Dan dengan senjata terhunus di tangan, d-serangnya Melati. Golok itu ditusukkan ke arah perut gadis itu.

"Hmh!" Melati mengeluarkan dengusan mengejek seraya dengan cepat mendoyongkan tubuh ke kanan. Ketika golok itu menyambar. Hebatnya, hal itu dilakukannya tanpa melangkahkan kaki. Hanya tampak tubuh berpakaian putih itu meliuk mengelakkan serangan lawan.

Wuttt!

Golok lawan menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari pinggang Melati. Saat itulah Melati melancarkan serangan bal asan. Dengan cepat sisi tangan kanannya bergerak seperti membacok tubuh lawan.

Wuttt!

Orang berpakaian kuning itu terperanjat bukan kepalang, menyaksikan serangan balasan lawan yang mengancam dirinya. Dari deru angin yang terdengar, bisa diketahui kalau serangan itu mengandung tenaga dalam kuat. Dengan kemampuan yang dimiliki, dicobanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....

Bukkk!

"Uh..,!" Sosok berpakaian kuning itu mengeluarkan keluhan tertahan dari mulut ketika tangan Melati mendarat telak pada sasaran yang dituju. Seiring dengan suara keluhannya, tubuh sosok berpakaian kuning itu ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi. Pingsan!

"Kau tidak membunuhnya kan, Melati?!" tanya Arya seraya menghampiri kekasihnya.

"Tentu saja tidak, Kang," sahut Melati, cepat bernada bangga. "Aku pun tahu, ada pihak yang lebih berkepentingan terhadapnya."

"Syukur kalau kau menyadarinya," ujar Arya lega. "Ini surat dan uang yang diletakkan di gagang tombak itu. Bacalah! Agak keras sedikit agar aku mendengarnya."

Melati menerima gulungan surat itu. Dengan agak terburu-buru dibuka gulungannya. Kemudian dibacanya dengan suara agak keras.

Utusan dari Akherat,
Kali ini kuminta kau membunuh Jagapaksi. Kalau bisa malam ini juga. Aku ingin masalah ini cepat selesai. Setelah ini semua masalah akan beres.


"Hanya itu yang ditulisnya dalam surat itu, Melati?" tanya Arya ingin tahu.

Melati menganggukkan kepala. "Perintah ini semakin menambah bukti kalau dalang pembunuhan gelap ini Sembada, Kang," ujar Melati, menarik kesimpulan.

Sambutan atas ucapan itu hanya senyum lebar di mulut Dewa Arak.

"Akan kubuktikan kebenaran ucapanku, Kang," ucap Melati lagi penuh semangat.

Usai berkata demikian, tubuhnya dibungkukkan. Lalu tangannya diulurkan untuk meraih kain yang menutup wajah sosok berpakaian kuning. Hanya dengan sekali sentak, lepaslah kain itu. Dan....

"Ah...!" Melati terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak percaya melihat sosok berpakaian kuning itu bukan Sembada. Yang terlihat ternyata wajah seorang pemuda berwajah buruk. Kulit wajahnya hitam, dengan bibir tebal yang hitam pula. Hidungnya besar, sedangkan kedua matanya seperti selalu terbelalak.

"Ketidakyakinanku ternyata beralasan. Bukan Sembada pelakunya," ujar Arya, tanpa menunjukkan rasa gembira atas kemenangannya bertaruh dengan Melati.

Sementara Melati terdiam seperti patung. Untuk yang kesekian kalinya harus diakui kalau dugaan kekasihnya tak pernah meleset.

"Kau mengenalnya, Melati?" tanya Arya ingin tahu.

Melati hanya menggelengkan kepala.

"Lebih baik kita bawa ke Desa Jarak. Aku yakin, ada penduduk yang mengenalnya. Kalau tidak mempunyai hubungan di sana, untuk apa membuat onar desa itu?" ujar Arya meyakinkan.

"Aku pun bermaksud mengusulkan demikian, Kang," tukas Melati.

Secercah senyum lebar tersungging di bibir Dewa Arak. "Kurasa lebih baik kau pergi lebih dulu, Melati. Beritahukan pada para penduduk kalau orang yang berdiri di belakang peristiwa pembunuhan terhadap Kepala dan Calon Kepala Desa jarak, telah berhasil kita tangkap. Aku yakin, semua penduduk akan berdatangan. Dengan cara itu, masalah ini akan selesai dan ketegangan antara dua kelompok dapat teratasi."

"Sebuah usul yang bagus, Kang," puji Melati sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Kau memang pandai memuji, Melati," ujar Arya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Lebih baik kau berangkat!"

"Baik, Tuan Besar! Perintah Tuan akan segera hamba laksanakan," ucap Melati sambil membungkukkan tubuh. Tak lupa dipasang sikap sungguh-sungguh pada wajahnya.

Kemudian, tanpa menunggu sambutan Dewa Arak, Melati melesat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berada jauh. Semakin lama semakin mengecil hingga berbentuk titik kecil hitam yang akhirnya lenyap.

Dewa Arak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Melati. Ditunggunya beberapa saat. Baru kemudian diangkatnya tubuh sosok berpakaian kuning, dan diletakkan di bahunya.

Lalu kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuannya jelas, Desa Jarak. Karena ingin memberikan kesempatan pada Melati memberi tahu seluruh penduduk Desa Jarak, Dewa Arak tak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.

Kesempatan yang diberikan Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Beberapa puluh tombak sebelum mencapai tapal batas Desa Jarak, dilihatnya kerumunan orang menyongsong di mulut desa. Melihat hal ini, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi.

Segera dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sepasang kaki pemuda berambut putih keperakan itu seperti tak menginjak tanah, karena kecepatan gerakannya. Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak sampai sekitar lima tombak dari kerumunan penduduk Desa Jarak.

Di sini Dewa Arak menghentikan larinya. Kemudian pandangannya diedarkan. Hanya dalam sesaat saja, telah disaksikan kebenaran cerita Melati. Kerumunan penduduk itu terdiri dari dua kelompok. Yang satu dalam jumlah besar, sedangkan lainnya sedikit. Pada bagian kelompok kecil tampak Sembada. Dia berdiri paling depan.

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat dalam hati. Sama sekali tidak disangka kalau pihak Sembada dan pihak keturunan Ki Barjanala masih bersitegang. Padahal, bukankah Melati telah memberitahukan kalau penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil ditangkap? Dari kenyataan ini saja dapat diketahui kalau Desa Jarak belum mempunyai kepala desa! Baru saja Arya memutuskan untuk berbicara, melesat sesosok bayangan putih. Dan tahu-tahu, di dekatnya telah berdiri Melati.

"Sekarang tiba giliranmu, Kang," ujar Melati, mempersilakan. "Bagianku telah berhasil kuselesaikan.”

Dewa Arak hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Kemudian pandangannya diedarkan kembali, memperhatikan para penduduk Desa Jarak yang seperti tak sabar menunggu berita darinya.

"Wahai, penduduk Desa Jarak..., dengarkan ucapanku...!" seru Dewa Arak dengan mengerahkan tenaga dalam agar terdengar di telinga semua orang yang berada di situ. "Aku mempunyai berita baik untuk kalian."

Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucapannya sebent ar untuk melihat tanggapan dari para warga Desa Jarak.

"Kupinta kau tidak bertele-tele, Dewa Arak," selak Sembada. "Kami telah tahu berita yang kau bawa. Kawanmu telah mengatakan. Bukankah kau telah berhasil menangkap orang yang berada di balik semua pembunuhan di Desa Jarak?! Katakanlah cepat. Aku sudah tak sabar lagi untuk membuktikan ketidak bersalahanku!"

Sambil berkata demikian, Sembada mengerling ke tempat Jagapaksi berada. Tapi, putra tertua Ki Barjanala sama sekali tak memberi sambutan. Lelaki gagah itu tetap berdiam diri dengan pandangan tertuju lurus ke wajah Dewa Arak.

"Baiklah, kalau memang itu yang kau mau, Sembada. Aku pun tak mau membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Sayang sekali aku dan kawanku tidak mengenalinya. Barangkali saja kalian kenal. Nih! Kalian perhatikan baik-baik!"

Usai berkata demikian, Dewa Arak segera menurunkan tubuh yang terpanggul di pundaknya. Kemudian dilemparkannya ke depan.

Wuttt!

Tubuh sosok berpakaian kuning itu pun melayang. Seketika itu pula semua mata kecuali Dewa Arak dan Melati, tertuju ke tubuh sosok berpakaian kuning itu.

Brukkk!

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh lelaki berpakaian kuning itu terbanting di tanah. Tubuh lelaki berpakaian kuning itu jatuh telentang. Sehingga semua penduduk dapat melihat jelas wajahnya. Tubuhnya terkulai lemas, tanpa gerak. Karena Dewa Arak telah menotok sebelum membawa ke Desa Jarak.

Wajah semua orang yang ada di situ tampak memanearkan perasaan kaget dan heran yang tidak terhingga. Sorot mata mereka pun memancarkan keridakpercayaan yang mendalam.

"Hah...?!"

"Heh...?!"

"Astaga...!"

Jeritan-jeritan bernada kaget dan tak percaya keluar dari mulut para penduduk Desa Jarak. Sebagian besar tampak menggeleng-geleng kepala keheranan.

DELAPAN

Namun di antara sekian banyaknya penduduk Desa Jarak, ada seorang yang dilanda perasaan kaget dan heran paling besar. Orang itu adalah Jagapaksi! Sepasang bola mata putra tertua Ki Barjanala itu seperti hendak keluar ketika menatap sosok berpakaian kuning yang tergolek di tanah.

"Suraga...!" gumamnya lirih dengan kepala tergeleng-geleng.

Pemuda berpakaian kuning itu ternyata Suraga, adiknya. Cukup lama juga Jagapaksi bersikap seperti itu sebelum akhirnya secara mendadak pandangannya dialihkan kepada Dewa Arak. Matanya yang tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu.

"Apa yang membuatmu menarik kesimpulan sempit seperti ini, Dewa Arak?!" tanya Jagapaksi dengan suara keras.

"Kesimpulan sempit?!" ulang Arya dengan kening berkernyit.

Perasaan kaget yang tadi melanda ketika mengetahui dalang semua ini ternyata Suraga, putra kedua Ki Barjanala telah berhasil ditekannya. "Maksudmu..., penangkapan yang kulakukan atas diri adikmu ini kau katakan kesimpulan sempit?!"

"Benar! Kau hanya mengada-ada, Dewa Arak! Aku yakin kau telah bersekongkol dengan Sembada! Tapi sayang kau keliru! Hanya orang gila yang mempercayai lelucon ini! Mana mungkin Suraga membunuh ayahnya sendiri ! Tipu muslihatmu tak masuk akal, Dewa Arak!" seru Jagapaksi berapi-api.

"Kaulah yang mengambil kesimpulan sempit!" selak Melati, karena tak kuat menahan amarah mendengar hinaan terhadap kekasihnya. "Dengar baik-baik, Kambing Dungu! Adikmu yang kau agung-agungkan itu tak lebih dari iblis berwajah manusia! Dia kami pergoki ketika hendak mengirimkan perintah mautnya lagi pada Utusan dari Akherat!"

"Bohong! Kau bohong, Perempuan Liar! Kau akan mendapat balasan yang setimpal atas fitnah keji yang kau ajukan ini!" seru Jagapaksi dengan suara bergetar karena amarah yang melanda.

"Bohong?!" Melati tersenyum mengejek. "Ini bukti-buktinya, Kambing Dungu! Periksalah! Benarkah ini tulisan adikmu? Dan ini uang yang seharusnya jatuh ke tangah Utusan dari Akherat sebagai imbalan." Sambil berkata demikian, Melati melemparkan gulungan surat dan buntalan kecil berisi uang.

Plukkk!

Surat dan buntalan kecil berisi uang itu jatuh dekat tubuh Suraga. Jagapaksi bergerak menghampiri, dan kemudian mengambil kedua benda itu, lalu memeriksanya.

"Tak mungkin!" desis Jagapaksi penuh rasa tidak percaya, setelah memeriksa surat dan uang itu.

"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, Jagapaksi. Segala sesuatu dapat saja terjadi. Dan itu yang perlu kau sadari!" Terdengar sebuah suara menyambut ucapan ketidakpercayaan Jagapaksi.

Jagapaksi menoleh ke arah Sembada. Karena memang dari mulut lelaki itulah suara tadi berasal. Dirayapinya wajah Sembada sejenak. Namun, sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Dewa Arak telah mendahuluinya.

"Apa yang dikatakan Sembada tidak salah. Di dunia ini peristiwa apa pun dapat saja terjadi. Daripada kau bersikeras tak mempercayainya, lebih baik kau korek keterangan dari mulutnya! Tentu saja kalau kau ingin masalahnya menjadi jelas."

Jagapaksi tercenung seperti tengah memikirkan usul Dewa Arak. Kemudian, dengan langkah pasti ditatapnya wajah Suraga.

"Bagaimana mungkin aku bisa menanyainya kalau dia dalam keadaan pingsan seperti ini?" tanya Jagapaksi kebingungan.

"Ah, maaf!" Seraya berkata demikian, Dewa Arak menghampiri tubuh Suraga. Diurutnya tengkuk putra bungsu Ki Barjanala itu. Hanya sekali saja. Namun tampak tubuh pemuda itu telah menggeliat.

"Uhhh...!" Suraga mengeluarkan keluhan tertahan. Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka.

"Kang Jagapaksi...!" ucap Suraga setengah terpekik, karena peras aan kaget yang melanda. Pemuda berpakaian kuning ini bergegas bangkit seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.

"Aku bukan saudaramu!" sentak Jagapaksi, keras. "Aku tidak sudi mempunyai seorang adik yang menjadi pembunuh keji!"

"Kang!" seru Suraga, tak kalah keras. "Kau mempercayai tuduhan itu?! Itu fitnah, Kang! Apakah masuk akalmu aku bertindak demikian keji, membunuh ayah kandung sendiri?!"

"Kau tidak usah mungkir, Suraga! Tak kusangka kau memiliki watak yang sekeji ini! Tidak hanya ayah yang kau bunuh, kau pun bermaksud membunuhku pula!" seru Jagapaksi berapi-api.

"Fitnah!" bantah Suraga keras. "Dari mana kau mendengar tuduhan gila seperti itu, Kang! Mungkinkah aku bermaksud membunuh kakakku sendiri?!"

"Ini bukti-buktinya! Kau masih mau berdusta?!"

Sambil berkata demikian, Jagapaksi melemparkan gulungan surat dan pundi-pundi berisi uang ke tubuh Surga. Dengan sigap, pemuda berpakaian kuning ini menangkapnya. Lalu memeriksa isinya.

"Fitnah!" lagi-lagi Suraga melontarkan ucapan yang sama setelah membaca surat itu. "Aku tidak pernah membuat surat seperti ini! Aku yakin ada yang telah melakukan fitnahan terhadapku!"

Usai berkata demikian, Suraga melayangkan pandangan ke wajah Sembada. "Kau…! Manusia keji! Rupanya kau tidak puas dengan hanya membunuh ayahku. Aku pun kau fitnah pula! Orang sepertimu layak mati! Hiyaaat…!"

Suraga meluruk ke tubuh Sembada. Tangan kanannya siap untuk dipukulkan ke dada laki-laki yang juga sesepuh desa itu. Tentu saja Sembada tak tinggal diam. Dia bersiap-siap untuk menyambutnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Secara perlahan dan sembarangan tangannya dikibaskan. Mendadak tubuh Suraga ambruk sebelum berhasil menyarangkan pukulannya.

"Keparat!" Jagapaksi menggeram murka melihat hal ini. Secepat kilat tangannya digerakkan kepinggang. Tapi....

"Apakah kau tidak menginginkan masalah ini cepat tuntas, Jagapaksi?!" tanya Arya dengan suara datar. "Asal kau tahu saja, aku terpaksa bertindak seperti ini agar masalah yang tengah kita bahas bisa selesai!"

Tangan Jagapaksi yang sudah menggenggam gagang golok pun mengendur kembali. Apalagi ketika dilihatnya Suraga tidak terluka, meskipun roboh secara mendadak karena lutut belakangnya dihantam pukulan jarak jauh Dewa Arak.

"Rasanya alasan yang dikemukakan adikku masuk akal, Dewa Arak," ujar Jagapaksi yang mulai terpengaruh karena merasakan adanya kebenaran dalam ucapan Suraga. "Mana mungkin dia pelakunya? Sangat tak masuk akal adikku menjadi dalang atas semua kekejian yang terjadi di desa ini. Kau tahu, salah seorang di antara korban itu ayahku sendiri. Dan surat ini pun berisikan perintah yang tidak masuk akal! Mungkinkah dia sampai hati menyuruh orang untuk membunuh kakaknya sendiri?!"

"Benar! Mengapa aku harus memerintahkan orang untuk membunuh kakakku sendiri. Padahal, semua penduduk tahu kalau kebencianku tertuju pada Sembada! Kalau memang benar aku pelakunya, tentu kuperintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuh Sembada, dan bukan kakakku!" timpal Suraga sambil berusaha bangkit.

Bukan hanya Jagapaksi yang terpengaruh. Semua penduduk yang mendengarnya pun, dapat menerima kebenaran ucapan itu. Dewa Arak dan Melati pun diam-diam memuji kecerdikan Suraga. Namun, bukan Dewa Arak namanya kalau menghadapi alasan seperti itu saja sudah gugup. Tidak! Pemuda berambut putih keperakan itu tetap dapat bersikap tenang.

"Bisa kuterima ucapanmu, Jagapaksi. Tapi tidak demikian halnya dengan ucapan Suraga," ujar Dewa Arak dengan senyum terkembang di bibir. "Aku tahu, mengapa Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuhmu! Kau tahu sebabnya? Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya! Dan aku yakin dugaanku ini tidak salah!"

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Pertama, kaulah yang menjadi penyebab tercegahnya penyerbuan terhadap kelompok Sembada. Kedua, kalau Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat membunuh Sembada, sama saja dengan membuka kedok sendiri."

Lagi-lagi Dewa Arak menghentikan penjel asannya. "Lain halnya apabila kau yang dijadikan sasaran, Suraga akan mendapat keuntungan ganda. Di samping tidak ada penghalang penyerbuan atas diri Sembada. Semua penduduk akan menuduh Sembada sebagai pelakunya. Dan tanpa diperintahkan lagi pun mereka akan membunuh Sembada. Hasilnya, jalan untuk menjadi kepala desa akan terbentang luas bagi Suraga!"

"Fitnah!" teriak Suraga dan Jagapaksi hampir berbarengan.

Kakak beradik putra Ki Barjanala itu tampak geram bukan kepalang. Hal yang sama pun menimpa penduduk desa para pengikut mereka. Kecuali Sembada dan pengikut-pengikutnya. Hanya saja mereka memilih sikap berdiam diri.

"Baiklah, kalau kau tidak mempercayainya, Jagapaksi. Sekarang kuminta Suraga menjelaskan, keperluannya mendatangi bangunan tua di dalam hutan, dan meletakkan gulungan surat serta buntalan uang itu. Asal kau tahu saja, Jagapaksi. Aku telah melihat hal ini sebelumnya, menjelang terjadinya pembunuhan terhadap Bima Seta. Bukankah demikian, Kang Saraka?!"

"Benar, Arya," jawab Saraka sambil menganggukkan kepala. Lelaki bertubuh kekar ini berada pada kelompok Jagapaksi.

"Dia bohong, Kang! Aku tidak pernah ke sana! Bahkan aku tak pernah tahu sama sekali semua yang dikatakannya. Yang kutahu, saat aku sadar tahu-tahu berada di sini!" bantah Suraga mencoba berhohong.

Jagapaksi menatap Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan kemenangan. "Sayang sekali, Dewa Arak! Fitnahan kejimu tidak memberikan hasil sama sekali. Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau kau memiliki watak serendah ini! Entah bagaimana kalau dunia persilatan mendengarnya!"

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Keduanya sadar kalau kedudukan mereka sekarang tidak menguntungkan. Ternyata Suraga seorang yang berwatak licik. Sehingga dalam keadaan terjepit seperti itu masih mampu menemukan alasan untuk menyelamatkan diri. Tapi lagi-lagi sebuah pikiran cemerlang timbul di benak Dewa Arak.

"Kuakui kalau alasan bohongmu telah membuat kami habis daya untuk membuktikan, bahwa kau yang telah mengirimkan perintah-perintah maut pada Utusan dari Akherat. Tapi, aku yakin ada penduduk yang melihatmu menuju ke hutan. Merekalah yang akan membuktikan kebohongan ceritamu. Nah! Wajah para penduduk Desa Jarak yang merasa melihat kepergian Suraga ke hutan, silakan memberikan kesaksian. Apakah kalian rela melihat Sembada yang tidak bersalah menjadi korban! Ingat, korban kekejian Suraga akan terus berlangsung! Dan kalianlah yang akan merasakan akibatnya"

Kegaduhan langsung melanda penduduk Desa Jarak. Masalahnya sebagian besar dari mereka memang melihat Suraga pergi ke hutan, dengan memakai pakaian kuning. Bukan hanya dari kelompok Sembada, tapi juga para pengikut Jagapaksi Kesaksian pertama kali diberikan Saraka. Lelaki bertubuh kekar itu mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Berturut-turut para penduduk lainnya mengacungkan tangan.

Dewa Arak tersenyum lega. Di lain pihak, wajah Suraga berubah pucat pasi.

"Apa lagi alasan yang kau berikan, Suraga?!" tanya Melati penuh bernada ejekan.

Suraga diam. Dia tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas ejekan Melati. Tanggapan yang jauh berbeda diberikan Jagapaksi. Tarikan wajah putra tertua Ki Barjanala ini, tampak beringas. Kilatan sinar sepasang matanya pun memancarkan kemarahan. Tapi itu semua bukan ditujukan pada Melati, melainkan pada Suraga.

"Manusia berhati binatang!" desis Jagapaksi, penuh geram. "Malah binatang lebih baik daripada dirimu. Mereka tahu mengenal budi. Binatang tak akan mencelakai orang yang telah menolong dan merawatnya! Tidak seperti kau, Iblis Berwajah Manusia!"

Semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak dan Melati, merasa heran dan tidak mengerti mendengar ucapan Jagapaksi. Mereka sama sekali tidak mengerti maksud ucapan itu. Sementara itu Suraga tetap belum memberikan tanggapan. Dia terdiam dengan raut wajah berubah-ubah. Sebentar pucat sebentar merah.

"Rupanya kau lupa siapa dirimu sebenarnya, Iblis?! Dulu kau seorang gembel kecil yang tidak berarti, tapi ayahku memungut, dan menjadikanmu anak angkat! Kau hidup enak! Tapi apa balasanmu sekarang, Iblis?!" lanjut Jagapaksi, dengan suara semakin meninggi.

"Tutup mulutmu, Jagapaksi!" setelah sekian lamanya berdiam diri, Suraga balas memaki. "Kau terlalu melebih-lebihkannya! Selama aku dipungut menjadi anak, tak sekali pun kurasakan adanya kasih sayang!"

Suraga menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Perasaan marah yang menggelegak, membuat napasnya terengah-engah.

"Dulu aku selalu bertanya-tanya, mengapa Ki Barjanala yang semula kuanggap ayah, membeda-bedakan kita. Dalam setiap perselisihan yang terjadi, selalu aku yang disalahkan. Betapapun sebenarnya aku berada di pihak yang benar."

Suraga kembali menghentikan ucapannya. Deru napasnya semakin memburu seperti orang yang habis berlari jauh. Diaturnya napas agar bisa melanjutkan ucapannya. Sementara semua orang yang berada di situ, sekarang mulai mengetahui pokok permasalahan yang tengah terjadi.

"Salah besar, baru kuketahui kalau diriku hanyalah seorang anak angkat. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran itu, dendamku pun berkobar. Harus kubalas tindak ketidakadilan atas diriku. Untuk itulah aku pergi meninggalkan kalian selama beberapa bulan. Aku terjun di dunia orang-orang golongan hitam. Sampai akhirnya kudapatkan berita adanya seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat."

Kembali Suraga memutus ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering dan terasa getir.

"Akhirnya aku tahu, kalau Utusan dari Akherat tengah berada tak jauh dari Desa Jarak. Segera kususun rencana ini. Dan semuanya terjadi, persis seperti yang kurencanakan. Sayang, di saat terakhir usahaku gagal. Dan...!"

"Mampuslah kau, Iblis!" Sebelum Suraga sempat mengakhiri ceritanya, Jagapaksi telah meluruk ke arahnya sambil menusukkan golok. Hal itu membuat Suraga kaget bukan kepalang. Sedapat mungkin dia berusaha mengelak. Tapi...

Jreppp!

Golok Jagapaksi dengan cepat dan keras sekali menghunjam perut Suraga hingga tembus ke punggung! Seketika itu pula tubuh putra angkat Ki Barjanala itu terbungkuk. Sepasang matanya membelalak lebar. Dan ketika Jagapaksi mencabut goloknya, tubuh Suraga pun ambruk ke tanah. Darah segar berhamburan dari bagian perutnya yang tersobek lebar. Sesaat Suraga menggelepar-gelepar di tanah sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

"Hhh...!" Jagapaksi menghela napas. Sukar diketahui perasaannya saat itu. Kemudian sambil menyarungkan golok, kembali dilayangkan pandangannya ke tempat Dewa Arak dan Melati berada. Betapa terkejut ketika dilihatnya sepasang pendekar muda itu tidak berada lagi di situ.

Bukan hanya Jagapaksi yang merasa kaget. Semua penduduk pun dilanda perasaan yang sama. Mereka tak tahu kapan Dewa Arak dan Melati pergi. Tak seorang pun yang mengetahui kalau Dewa Arak dan Melati melesat meninggalkan tempat itu ketika melihat Jagapaksi menyarangkan goloknya di perut Suraga.

Tentu saja bukan tanpa alasan Dewa Arak dan Melati pergi. Di samping penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil dilenyapkan, mereka pun ingin segera menuju ke bangunan tua di dalam hutan. Tujuan sepasang pendekar muda ini untuk melenyapkan Utusan dari Akherat.

Untuk melaksanakan maksud itu hanya satu hal yang sapat mereka lakukan, memberikan sebuah tugas kepada pembunuh bayaran itu. Dan hal itu tidak perlu dibuat dengan susah payah lagi. Dewa Arak menggunakan surat dan uang yang semula digunakan Suraga. Memang, dia telah mengambilnya, tanpa seorang pun yang tahu.

* * *

Malam itu langit tampak agak cerah. Meskipun tak terlihat adanya bintang, sinar bulan yang hampir bulat, memancar ke bumi tanpa terhalang s edikit pun. Di angkasa tidak terdapat awan sama sekali. Semua ini membuat keadaan bumi persada terlihat cukup tenang.

Di saat seperti itulah, Dewa Arak dan Melati telah siap dengan tugasnya masing-masing. Mengintai rumah Jagapaksi dari cabang pohon yang tersembunyi kerimbunan daun-daun.

Dewa Arak bersembunyi di pohon yang berada di depan, sementara Melati di pohon belakang rumah. Cara itu dilakukan agar dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Entah berapa lama sudah menunggu di sana, baik Dewa Arak maupun Melati tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepasang muda-mudi itu merasa sangat lama. Memang, menunggu adalah suatu pekerjaan yang paling menyebalkan. Dan rupanya Melati, yang memiliki watak tidak sabaran, kurang kuat bertahan. Dan ini terbukti beberapa saat kemudian.

"Jangan-jangan Utusan dari Akherat tak datang, Kang. Barangkali saja dia tahu kalau kita berniat menjebaknya?!" ucap Melati dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh.

"Bersabarlah, Melati!" hibur Dewa Arak untuk menenangkan hati gadis berpakaian putih itu. "Aku yakin, Utusan dari Akherat itu akan datang. Mungkin..., ah! Benar, Melati. Aku melihat sesosok bayangan hitam di kejauhan. Dia menuju ke tempat ini! Dia pasti Utusan dari Akherat!"

"Kalau begitu..., aku akan ke sana, Kang!" sambut Melati penuh gairah.

"Sabar sebentar, Melati! Dia masih cukup jauh. Lebih baik kau tetap di tempatmu!" cegah Arya.

Tanpa banyak membantah Melati mematuhinya. Kenyataan demi kenyataan menunjukkan padanya kalau keputusan yang diambil Dewa Arak selalu benar. Itulah sebabnya, sekarang pun dia segera menurutinya.

Sementara itu, Dewa Arak terus memusatkan perhatian pada sosok hitam yang tengah melesat cepat ke tempat tinggal Jagapaksi. Dari balik kerimbunan dedaunan, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikannya.

Dugaan Dewa Arak ternyata tidak salah. Sosok hitam itu ternyata orang yang pernah bertarung dengannya meski hanya sebentar. Potongan tubuhnya masih dikenali betul! Ya, sosok itu adalah Utusan dari Akherat!

Tampak di mata Dewa Arak, Utusan dari Akherat menolehkan kepalanya ke sana kemari sebentar. Jelas dia tengah mengawasi keadaan. Baru setelah itu, pembunuh bayaran yang tidak mengenal ampun itu, melesat memasuki halaman rumah Jagapaksi Saat itulah, Dewa Arak melompat turun dari pohon tempatnya bersembunyi.

Patut dipuji pendengaran Utusan dari Akherat. Sebelum Dewa Arak sempat hinggap di tanah, sosok berpakaian hitam itu telah lebih dulu menolehkan kepalanya. Tampaknya, pembunuh bayaran ini mendengar desir angin!

"Uh," Utusan dari Akherat mengeluarkan keluhan tertahan dari kerongkongannya begitu melihat sosok yang tengah melayang turun itu. Dikenalinya sosok itu sebagai orang yang bertempur dengannya kemarin malam.

Jliggg!

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak di hadapan Utusan dari Akherat, Dewa Arak langsung bersikap siaga. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau lawan kali ini memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa diremehkan.

"Beri aku jalan, Anak Muda! Dan jangan coba-coba menghalangi pekerjaanku kalau ingin selamat!" ancam Utusan dari Akherat dengan suara pelan.

"Sayang sekali, Kisanak! Justru keberadaanku di sini untuk menghalangi angkara murkamu! Orang seperti dirimu memang harus dilenyapkan dari muka bumi!" tandas Arya, tegas.

"Keparat!" desis Utusan dari Akherat bernada tajam. "Terpaksa aku harus membunuhmu, Anak Muda! Terlalu berani kau menghalangi tindakanku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian! Heaaat...!"

Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat segera melesat menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, diluncurkan cepat ke dada Dewa Arak. Melihat gerakan yang dilakukan, lelaki berpakaian serba hitam ini seakan-akan ingin merobek dada lawan dan mengambil isinya.

Wuttt!

Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu, membuktikan kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dewa Arak pun mengetahuinya. Hal itu karena dia pernah bertarung dengan lelaki berpakai an hitam itu meski hanya dalam satu, atau dua jurus.

Itulah sebabnya, Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas melewati kepala lawannya. Dan ketika telah berada di atas Utusan dari Akherat, tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih keperakan ini mengayunkan kedua tangannya ke belakang kepala lawannya. Apabila mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa pembunuh bayaran itu ke neraka.

Namun, Utusan dari Akherat pun bukan tokoh sembarangan. Begitu merasakan desir angin di belakang, dia langsung tahu adanya bahaya mengancam. Maka, sambil membalikkan tubuh, kedua tangannya disampokkan ke belakang.

Prattt!

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi, tak dapat dielakkan. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke arah yang berlawanan.

"Hup!"

Pada saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, Utusan dari Akherat pun berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat mereka saling pandang, tidak langsung menyerang seperti sebelumnya. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari Akln'int, merasakan betapa tangan mereka sakit-sakit akibat benturan yang terjadi. Tampaknya tenaga dalam mereka berimbang.

Utusan dari Akherat ternyata tak mau membuang-buang waktu. Setelah bentrok untuk kedua kalinya, telah dirasakan sendiri kehebatan lawan, dia tak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalan.

Wuk! Wuk! Wuk!

Bunyi menderu terdengar ketika Utusan dari Akherat mencabut dan memainkan ganco yang menjadi senjata andalannya. Karena begitu cepat gerakan yang dilakukan, bentuk senjata itu sampai lenyap! Yang terlihat hanyalah sinar putih membungkus tubuhnya. Memang, ganco Utusan dari Akherat berwarna putih mengkilat!

Melihat hal ini, Dewa Arak tak berani bertindak kepalang tanggung. Disadari kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan. Kalau takdiladeni secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin nyawanya yang akan lebih dulu melayang. Maka buru-buru gucinya diambil. Kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk.... Gluk.... Gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjal anannya menuju ke perut. Seketika itu pula ada hawa hangat berputar di dalam perutnya, yang kemudian merayap ke atas. Sesaat kemudian,

"Hiaaat...!"

Seraya mengeluarkan teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Utusan dari Akherat meluruk menerjang Dewa Arak. Ganco yang tergenggam di tangan, diayunkan untuk membabat kepala.

Wukkk!

Desau angin yang keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsyatan serangan itu. Dewa Arak pun mengetahuinya. Meskipun demikian, dia tak merasa ragu-ragu untuk memapaknya dengan ayunan guci.

Klanggg!

Bunga-bunga api bepercikan ke sana kemari, ketika ganco dan guci berbenturan secara keras hingga memekakkan telinga. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari Akherat sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja Utusan dari Akherat terdorong lebih jauh.

Namun, dengan sebuah gerakan sederhana, kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Lalu, keduanya saling terjang kembali. Pertarungan sengit pun berlangsung lagi.

Pertarungan itu berlangsung kian hebat. Bunyi menderu, mengaung, dan berdecit menyemaraki jalannya pertarungan. Di sana-sini tanah terbongkar, disertai debu mengepul tinggi ke udara. Tanpa terasa pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula.

Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Namun, menginjak jurus keseratus, Utusan dari Akherat mulai tampak terdesak. Memang, tangan, kaki, guci, dan semburan arak dari Dewa Arak merupakan paduan kekuatan yang mampu menggilas habis pertahanan lawan.

Perlahan-lahan Utusan dari Akherat semakin terjepit. Serangan-serangannya tampak semakin berkurang. Dia lebih banyak mengelak dan menangkis. Tentu saja hal itu membuat kedudukannya semakin terdesak.

Melihat hal itu, Utusan dari Akherat sadar, cepat atau lambat akan roboh di tangan Dewa Arak. Disadari pula bahwa kepandaian pemuda itu berada di atasnya. Kemenangan tak mungkin akan diraihnya. Maka diputuskan kalau harus mati, maka matilah bersama lawannya.

Setelah mantap dengan keputusan ini, Utusan dari Akherat bertindak nekat. Cara bertarungnya pun dirubah. Sekarang dipusatkan perhatiannya untuk melancarkan serangan. Tidak dipedulikan lagi pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang dilakukannya terus bergerak melancarkan serangan.

Ternyata hasil dari cara ini langsung terlihat, keadaan Utusan dari Akherat langsung berubah. Kedudukannya tak lagi terdesak. Hal itu mungkin karena Dewa Arak lebih banyak mengalah. Tampaknya pemuda berambut putih keperakan itu melihat jelas, tindakan Utusan dari Akherat yang sengaja hendak mengadu nyawa.

Betapa tidak? Begitu Dewa Arak melancarkan serangan, tak dipedulikannya sama sekali. Bahkan ikut melancarkan serangan pula. Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni tindakan gila itu. Pemuda berambut putih keperakan itu mengalah sambil mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkan.

Pada jurus keseratus dua puluh tiga, Utusan dari Akherat membabatkan ganconya secara mendatar ke pinggang Dewa Arak. Dengan perhitungan yang matang, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke depan. Dan ketika berada di atas kepala lawan, tubuhnya bersalto seraya mengayunkan guci ke kepala Utusan dari Akherat.

Utusan dari Akherat terkejut bukan kepalang melihat bahaya maut yang mengancamnya. Dengan semampunya lelaki berpakaian hitam itu mencoba mengelak.

Prakkk!

Bunyi berderak keras terdengar ketika kepala Utusan dari Akherat pecah. Darah menyembur deras dari bagian yang terhantam guci. Pembunuh bayaran ini pun langsung tewas.

Begitu mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada sedikit perasaan menyesal di hatinya melihat lawannya tewas dalam keadaan seperti itu. Tapi, apa boleh buat?!

Dewa Arak mengalihkan pandangannya. Tampak Melati dan Jagapaksi tersenyum lega. Kedua orang ini ternyata sudah sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. Jagapaksi keluar rumah karena mendengar suara gaduh perkelahian. Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Melati dan Jagapaksi.
SELESAI
Selanjutnya,