Dewa Arak - Mayat Hidup - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewa Arak - Mayat Hidup
Karya : Ajisaka

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
"Jangan...! Hentikan...!"

Teriakan keras penuh kekhawatiran menguak keheningan malam yang menyelimuti persada ini. Suara itu berasal dari dalam sebuah hutan. Lebih tepatnya, dari salah satu pohon yang ada di seberang sana.

Keributan itu membuat beberapa ekor burung hantu yang hinggap di pohon berterbangan. Tampak seorang pemuda berpakai an ungu dan berambut putih keperakan terbaring di atas salah satu cabang pohon.

Sikap dan sepasang matanya yang terpejam menunjukkan pemuda itu tengah tertidur. Jelas, teriakan-teriakan itu keluar tanpa disadari. Pemuda berambut putih keperakan itu tengah bermimpi! Dari tidurnya yang gelisah, agaknya mimpi pemuda itu kurang baik.

Semakin lama keadaan pemuda berambut putih keperakan semakin mengkhawatirkan. Seruan-seruan kekhawatiran senantiasa keluar dari mulutnya. Sampai akhirnya, ketika mimpi itu mencapai puncaknya, pemuda berambut putih keperakan terbangun.

"Ahhh...! Kiranya aku bermimpi..." Pemuda itu mendesah penuh rasa syukur. Kemudian, duduk di cabang pohon dengan kedua kaki terjulur ke bawah. Kedua tangannya mengusap wajah yang dibanjiri peluh-peluh sebesar jagung. Tampaknya mimpi yang dialaminya cukup mencekam jiwa. Kalau tidak, mustahil pemuda itu mengeluarkan peluh seperti itu. Sebab udara malam sangat dingin hingga menusuk tulang.

"Tapi, benarkah semua ini hanya bunga tidur saja?! Apakah ini bukan sebuah pertanda?! Kalau hanya mimpi biasa, mengapa terjadi berturut-turut dan dengan kejadian yang sama?!"

Tanpa merubah sikap duduknya, pemuda berambut putih keperakan itu menggumam pelan. Terbayang kembali di matanya mimpi yang selalu berulang menghias tidurnya. Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah berjuang menghadapi maut. Gadis itu berusaha mempertahankan selembar nyawanya dari belitan seekor ular besar, yang melilit sekujur tubuhnya. Mulut ular itu hendak memangsa kepalanya!

Di saat gadis berpakaian putih tengah berjuang tampak puluhan batang pedang meluncur ke berbagai bagian tubuhnya. Pedang-pedang yang membuat pemuda berambut putih keperakan bergidik ngeri. Senjata-senjata tajam itu berwarna kemerahan seperti besi dibakar.

Sementara itu, tepat di atas gadis berpakaian putih tampak seekor naga berwarna merah menyala. Naga merah itu berusaha menghambat luncuran pedang-pedang aneh itu. Beberapa kali, binatang raksasa itu berusaha memapaki serbuan pedang. Tapi, tubuhnya selalu terpental ke atas seperti membentur sesuatu yang tidak nampak! Mimpi itulah yang dialami pemuda berambut putih keperakan!

Dalam mimpi dilihatnya kepala gadis berpakaian putih masuk ke dalam mulut ular. Tidak hanya itu. Pedang-pedang merah menyala itu pun menembus sekujur tubuhnya. Anehnya, pada saat senjata tajam itu mengenai sasaran, naga merah yang besar itu sudah tidak ada lagi!

"Melati...," ujar pemuda berambut putih keperakan tanpa menyembunyikan rasa khawarir. "Apakah yang terjadi dengan dirimu?!"

Memang, gadis berpakaian putih yang ada di dalam mimpi itu bernama Melati. Sekarang, sudah dapat diterka siapa pemuda berambut putih keperakan. Ya! Dia adalah Arya Buana atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Usai berkat a, Arya segera melompat turun. Laksana daun kering, Arya mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tidak ada sedikit pun bunyi yang terdengar ketika pemuda itu hinggap.

"Rasanya ada kejadian yang membahayakan nyawamu, Melati. Aku yakin mimpi-mimpi yang kualami sebuah isyarat. Kalau tidak guruku, Ki Gering Langit, yang memberitahukannya. Tentu belalang raksasa di alam gaib. Mungkin kesimpulan yang kuambil tidak berlebihan," gumam Arya kembali.

Seketika Arya teringat akan kejadian yang dialaminya sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul. Hail-hal yang semula tidak terlalu dipedulikannya. Tapi sekarang, semua itu teringat kembali! Sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul, rasa gelisah selalu datang mendera batin Arya. Rasa gelisah yang tidak diketahui sebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja.

Dan ketika Arya memutar benaknya untuk mencari sebab, keterkejutanlah yang diterima. Saat pemikirannya sampai pada Melati, rasa takut yang sangat langsung menyeruak! Sayangnya, Dewa Arak tidak mempedulikannya. Sikap tidak pedulinya terus berlanjut meski mimpi buruk mulai muncul. Pemuda berambut putih keperakan itu baru memperhatikan ketika mimpi itu berulang terus-menerus.

Keyakinan Dewa Arak semakin menebal ketika teringat dirinya memiliki indra keenam, naluri! Dia dapat merasakan adanya bahaya yang tengah mengancam. Hal itu didapatkan Dewa Arak secara tidak sengaja.

(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dalam Cengkeraman Biang Iblis dan Kemelut Rimba Hijau).

Yakin akan kesimpulan yang didapat, pemuda itu melesat meninggalkan hutan itu. Tanpa ragu-ragu seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu, melesat cepat menuju ke arah timur. Kalau saja ada penduduk desa yang melihatnya, tentu akan menyangka sosok bayangan itu hantu yang tengah berkeliaran mencari mangsa!

* * *

Siang itu cuaca benar-benar tidak menyenangkan. Matahari yang berada tepat di atas kepal a memancarkan sinarnya dengan garang. Seakan-akan dengan sinarnya itu sang Surya hendak melelehkan apa saja yang ada di permukaan mayapada.

Dalam cuaca sepanas itulah serombongan pasukan berkuda berpacu cepat meninggalkan Hutan Rajang. Derap langkah kaki kuda mengusik keheningan siang. Debu yang mengepul tinggi semakin menambah pengap udara siang yang sudah tidak menyenangkan.

Rombongan berkuda itu berjumlah sepuluh orang. Semuanya mengenakan seragam prajurit kerajaan. Hanya gadis cantik berambut panjang tergerai yang tidak mengenakannya. Gadis itu berpakaian putih.

"Keyakinanku tidak melesat bukan, Gusti Ayu Melati?!" ujar lelaki setengah baya yang berkuda di sebelah gadis berpakaian putih. Mereka berdua berkuda paling depan.

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Paman Patih?!" tanya gadis brepakaian putih yang ternyata Melati. Seraya menolehkan kepala dan menatap wajah setengah tua di sebelahnya.

"Mengenai keberhasilan tugas ini, Gusti Ayu," jelas lelaki setengah baya. Ia adalah patih Kerajaan Bojong Gading. Lelaki tua itu bernama Patih Rantaka.

Meskipun Patih Rantaka menghentikan ucapannya, Melati tidak menggunakan kesempatan itu untuk memberikan tanggapan. Bahkan dia malah berdiam diri, menunggu kelanjutan ucapan Patih Rantaka.

"Bukankah sejak semula sudah kukatakan bahwa dengan keberadaanmu di sini, Gusti Ayu, gerombolan pengacau itu akan dapat kita hancurkan. Kenyataan tidak melesat kan?!"lanjut Patih Rantaka.

"Hik hik hik...!" Melati tertawa untuk menutupi rasa bangga yang muncul dihati. Dia tahu pujian itu dikeluarkan dengan tulus. Patih Rantaka, seperti juga prajurit Kerajaan Bojong Gading lainya, sangat mengaguminya. Mereka yakin tidak ada lawan yang dapat menandingi putri angkat junjungan mereka.

"Kau bisa saja, Paman Patih," ucap Melati setelah berhasil menekan rasa bangganya. "Kemenangan yang kudapat sebenarnya lebih pantas disebut kemujuran. Sebab lawan yang kuhadapi memiliki kepandaian di bawahku!"

"Hik hik hik...! Kau benar, Melati! Dan sekaranglah saatnya kau akan mendapat giliran sebagai orang yang dikalahkan! Kau akan mampus di tanganku!"

Sebuah suara keras menggema ke seluruh tempat itu. Suara itu terdengar lebih dulu sebelum Patih Rantaka sempat menyambuti ucapan Melati. Karuan saja kejadian yang tidak disangka-sangka itu sangat mengejutkan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Tanpa diperintah lagi mereka langsung menyebar dan bersikap waspada. Bahkan...

Srattt, sing, singgg!

Sinar-sinar terang berkilauan ketika prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menghunus senjata. Kemudian, menyilangkan di depan dada. Sikap itu menunjukkan mereka telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Keterkejutan yang sama pun melanda Melati dan Patih Rantaka. Hanya saja Melati lebih dapat mengendalikan diri. Gadis itu tetap bersikap tenang. Namun sepasang matanya dialihkan ke arah suara itu datang. Sedangkan tangannya diacungkan ke atas memberi isyarat pada rombongan untuk menghentikan perjalanan.

Di depan Melati, hanya berjarak sekitar tiga tombak, berdiri sesosok tubuh ramping di atas sebuah cabang pohon yang menjorok ke jalan. Belum sempat gadis berpakaian putih itu memperhatikan lebih seksama, sosok ramping itu telah lebih dulu bertindak. Sosok itu melompat ke bawah seperti burung melayang turun. Ringan tanpa suara sosok ramping itu mendaratkan kaki di tanah, tiga tombak di depan Melati.

Melihat kejadian ini, Melati semakin meningkatkan kewaspadaan. Dari pertunjukan yang dipamerkan sosok ramping, Melati dapat memperkirakan tingkat kepandaian lawan. Sungguh pun yang dipertunjukkan hanya ilmu meringankan tubuh, Melati tidak berani bertindak gegabah. tingkat ilmu meringankan tubuh sosok ramping itu amat tinggi. Bukan tidak mungkin jika kepandaiannya pun luar biasa.

Memang, ada kemungkinan lain. Misalnya, sosok ramping itu hanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Tapi ilmu silatnya biasa saja. Tapi, itu hanya kemungkinan kecil saja.. Namun yang pasti Melati tidak menjadi gentar. Gadis itu tetap tenang.

"Siapa kau, Ni?! Rasanya aku tidak pernah berurusan denganmu. Mengapa kau menghadang perjalanan kami?!" tanya Melati penuh wibawa. Sikap seorang panglima kerajaan! Seraya mengajukan pertanyaan, Melati memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya. Barangkali saja dia bisa menemukan ciri-ciri yang dapat membuatnya mengenali sosok itu.

Tapi usaha Melati sia-sia, Dia tidak dapat mengenalinya. Sosok ramping itu mengenakan penutup wajah. Selubung merah menyala yang hanya mempunyai dua buah lubang kecil untuk mata. Pakaian dengan warna yang sama membungkus tubuhnya yang ramping dan berisi. Potongan tubuh dan suaranya menyebabkan Melati dapat menduga sosok ramping itu adalah seorang wanita!

"Mungkin kau tidak mengenalku, Melati. Tapi, aku cukup mengenalmu. Kurasa tanpa penjelasan lagi pun kau telah tahu mengapa aku menghadang perjalananmu," sambut wanita berpakaian merah dingin.

Melati menganggukkan kepala. Sepasang alisnya yang indah tampak berkerut. Dia merasa pernah mendengar suara itu. Tapi kapan dan di mana dia lupa.

"Maksud yang tidak baik bukan?!" sindir Melati seraya menyunggingkan senyum sinis.

"Tepat!" sambut wanita berpakaian merah tegas. Kepalanya dianggukkan.

"Lalu... alasannya?!" kejar Melati penasaran ingin tahu.

Wanita berpakaian merah tertawa mengejek. "Sayang sekali, Melati. Aku ingin merahasiakan alasannya kepadamu. Aku ingin kau mati tidak tenang. Mati penasaran! Hik hik hik...!"

"Keparat!" maki Melati geram. "Kaulah yang akan mampus di tanganku, Pengecut! Hih!" Dengan gerakan indah Melati melompat turun dari punggung kuda. "Menyingkir dari sini, Cilik," ucap Melati. Ditepuknya dengan lembut punggung binatang tunggangannya.

Binatang itu tampak mengerti. Sambil mengeluarkan ringkikan pelan, kuda bertubuh kecil dengan bulu berwarna coklat itu membalikkan tubuh dan melangkah menjauhi majikannya. Tak aneh kalau Melati memberinya nama Cilik!

Ternyata bukan hanya Cilik yang menjauhi tempat itu. Patih Rantaka dan semua prajurit Kerajaan Bojong Gading pun menghindar. Kini tinggal Melati dan wanita berpakaian merah yang berada di tempat itu. Kedua wanita itu berhadapan dalam jarak tiga tombak.

Baik Melati maupun wanita berpakaian merah rupanya menyadari kalau lawan yang akan dihadapi memang tangguh. Keduanya bertindak hati-hati. Tidak ada satu pun yang berani melancarkan serangan lebih dulu. Mereka saling menghampiri dengan sikap waspada.

Sebagai tokoh tingkat tinggi, Melati tahu melakukan penyerangan lebih dulu terhadap lawan yang memiliki kepandaian tinggi merupakan tindakan yang sangat merugikan. Setiap penyerangan berarti akan membuka celah-celah bagai lawan untuk serangan. Tapi, setelah menunggu sekian lama tidak ada serangan dari wanita berpakaian merah, Melati kehilangan kesabaran.

"Hiaaat..!" Didahului teriakan keras yang membuat prajurit Kerajaan Bojong Gading dan Patih Rantaka menutup telinga, gadis berpakaian putih itu melancarkan serangan. Melati mengawali gebrakannya dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah dada wanita berpakaian merah.

Wuttt!

Deru angin keras membuat debu mengepul tinggi, mengiringi tibanya serangan itu. Dari sini dapat diketahui kekuatan serangan Melati. Tendangan itu mampu menghancurkan pohon sebesar tiga pelukan orang dewasa!

Wanita berpakaian merah pun menyadari kedahsyatan serangan lawan. Tapi dia tidak menjadi gentar. Wanita itu tetap berdiam diri di tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda akan mengelakkan serangan itu.

Baru ketika serangan menyambar dekat, wanita berpakaian merah mulai bertindak. Kaki kirinya dilangkahkan ke belakang. Sedang tangan kanannya memapaki serangan dengan sebuah tetakan ke arah pergelangan kaki Melati.

Takkk!

Benturan keras dua tenaga dalam tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya, mereka merasakan bagian yang berbenturan tergetar hebat. Meskipun demikian, Melati berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Sikap tangkisan wanita berpakaian merah membuat kaki Melati seperti dijadikan sasaran serangan.

Tapi Melati tidak mempedulikan rasa sakit yang melanda. Begitu serangannya dapat ditangkis, secepat itu pula serangan susulannya meluncur. Dan itu dilakukan dengan kaki yang sama.

Wuttt!

Dengan kecepatan seorang ahli, Melati menarik kakinya sedikit. Lalu diluncurkan kembali dalam sebuah tendangan miring ke arah leher. Cepat bukan main tibanya serangan itu. Buru-buru wanita berpakaian merah melompat ke belakang dengan menjejakkan kaki.

Serangan Melati mengenai tempat kosong. Kaki gadis berpakaian putih itu menghantam beberapa jengkal di hadapan lawan. Namun, Melati teryata sudah memperhitungkan hal itu. Maka begitu serangan susulannya gagal, kaki kirinya langsung dijejakkan.

"Hih!" Ketika tubuhnya berada di udara, Melati mengibaskan kaki kirinya. Itu dilakukannya sambil memutar tubuh!

Wusss!

Wajah wanita berpakaian merah seketika berubah. Sungguh tidak disangkanya serangan Melati demikian bertubi-tubi dan susul-menyusul, sehingga tidak memberikannya kesempat an untuk memperbaiki kedudukan. Yang lebih mengejutkan sasaran Melati kali ini adalah pelipisnya!

Padahal bagian itu merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang terlemah. Jangankan terkena telak, terserempet saja sudah cukup untuk membuat nyawa melayang ke alam baka!

Tapi, lagi-lagi wanita berpakaian merah mampu membuktikan kalau ia bukan orang sembarangan. Dalam keadaan yang agak terjepit seperti itu diamampu melakukan tindakan penyelamatan. Wanita berpakaian merah segera menekuk lututnya. Dibentuknya kuda-kuda serendah mungkin. Sehingga....

Wusss!

Kibasan kaki Melati menyambar lewat beberapa jari di atas kepala wanita berpakaian merah. Saking kuatnya tenaga yang terkandung, pakaian wanita berpakaian merah sampai terkibar keras!

Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Melati di tanah, wanita berpakaian merah berhasil memperbaiki kedudukan. Tapi, Melati tidak mempedulikannya sama sekali. Serangan-serangan kembali dilancarkan.

Kali ini wanita berpakai an merah sudah siap! Dia pun memberikan sambutan hangat. Tak pelak Iagi, pertarungan sengit pun berlangsung.

DUA

Pada jurus-jurus awal, Melati maupun wanita berpakai an merah belum mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Namun demikian, pertarungan sudah berlangsung dahsyat. Bunyi menderu, mencicit, mengaung menyemaraki jalannya pertarungan.

Bukan hanya itu saja.Tanah terbongkar di sana-sini, debu mengepul tinggi ke udara, dan daun-daun serta ranting berguguran dari pohonnya. Itu semua terjadi akibat serangan-serangan yang tidak menemui sasaran.

Karena khawatir terkena angin serangan yang nyasar itulah, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading lebih menjauhi kancah pertarungan. Mereka semua tahu bahayanya. Jangankan terkena, terserempet angin serangan itu pun sudah cukup untuk membuat nyawa mereka terancam.

Rombongan Kerajaan Bojong Gading melangkah mundur tanpa mengalihkan perhatian dari kancah pertarungan. Seakan mereka khawatir jika berpaling sebentar saja pertarungan akan berakhir tanpa sempat mereka lihat. Akibatnya, mengedip pun sedapat mungkin tidak mereka lakukan.

Padahal, sekalipun mereka memusatkan perhatian boleh dibilang tak ada yang dapat mereka saksikan. Pertarungan berlangsung demikian cepat. Tidak terlihat jelas orang-orang yang tengah bertarung.

Yang terlihat hanya dua sosok bayangan putih dan merah berkelebat cepat. Terkadang dua sosok bayangan itu terpisah. Tapi lebih sering mereka saling belit. Bila terpisah hanya berlangsung sekejap. Sesaat kemudian mereka telah saling belit kembali.

Hanya itulah yang disaksikan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Walaupun begitu mereka tetap menyaksikannya dengan penuh perhatian. Meski mereka tidak melihat jelas.Tapi dari kelebatan sosok Melati dan wanita berpakaian merah yang berbeda, mereka dapat perkirakan keadaan yang tengah berlangsung.

Sampai saat ini rombongan Kerajaan Bojong Gading belum dapat meramalkan. Sulit untuk memperhatikan pihak yang berada di atas angin. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Melati dan wanita berpakaian merah masih saling berusaha merobohkan lawan.

Kesimpulan yang diambil rombongan Kerajaan Bojong Gading memang tidak keliru. Pertarungan kedua wanita itu masih berlangsung seimbang. Padahal, tiga puluh lima jurus telah berlalu.

Beberapa kali tangan atau kaki mereka berbenturan, hingga tubuh keduanya tergetar hebat. Bahkan terhuyung-huyung. Hal ini menandakan kekuatan tenaga dalam mereka memang berimbang.

Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh satu, wanita berpakaian merah sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Seraya menggertakkan gigi, dengan sebuah gerakan aneh tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian menggelinding seperti bola.

Tentu saja Melati tidak membiarkan kesempatan baik itu. Buru-buru dikerjarnya tubuh yang tengah bergulingan itu. Lalu, tangan kanannya diayunkan ke arah kepala. Tiba-tiba....

Singgg!

Diiringi bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga dan kilauan sinar yang menyilaukan mata, wanita berpakaian merah meluncurkan pedangnya memapaki serangan Melati!

Karuan saja Melati terkejut bukan main. Tangannya bisa putus bila berbenturan dengan pedang wanita berpakaian merah! Karena itu, tanpa membuang-buang waktu Melati menarik pulang tangannya. Dibarengi dengan langkah mundur kaki kirinya.

Wuttt!

Tangan Melati selamat! Batang pedang wanita berpakaian merah membabat angin. Tapi, rupanya wanita berpakaian merah tidak mempedulikan keberhasilan tangkisannya. Begitu dilihatnya Melati menghentikan serangan dan mundur, tubuhnya langsung dilentingkan. Sesaat kemudian, dia telah berdiri di atas kedua kakinya.

Pada saat yang bersamaan, Melati mencabut pedangnya. Kini senjata itu disilangkannya di depan dada. Hal ini terpaksa dilakukan Melati karena lawan telah menggunakan senjata. Gadis itu tidak mau bertangan kosong menghadapi orang selihai wanita berpakaian merah. Tanpa senjata saja wanita itu sudah demikian lihai, apalagi dengan pedang di tangan. Sulit untuk dibayangkan!

Dan Melati tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Dengan diawali teriakan nyaring membahana, wanita berpakaian merah mulai melancarkan serangan.

Singgg!

Wanita berpakaian merah membuka serangannya dengan tusukan lurus ke arah leher.

Wuttt!

Ujung pedang wanita itu meluncur lewat beberapa jengkal di atas kepala begitu Melati merendahkan tubuhnya. Tindakannya tidak terhenti sampai di situ. Sambil mengelak, pedangnya ditusukkan ke arah perut lawan.

Singgg!

Cukup mengejutkan dan mendadak serangan balasan Melati. Tapi wanita berpakaian merah tidak menjadi gugup. Bergegas kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Melati. Dari sana, tusukannya dilancarkan ke arah kuduk gadis berpakaian putih itu.

Sekarang Melati tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Andaikata dipaksakan pun akibatnya tidak kecil. Maka, menangkislah satu-satunya jalan. Dan tindakan itulah yang dilakukan Melati!

Gadis berpakaian putih itu menangkis dengan cara mengayunkan pedangnya ke belakang. Tentu saja gerakan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.

Tranggg!

Benturan dua batang senjata terdengar. Bunyinya keras bukan main. Disertai berpercikannya bunga-bunga api.

Dengan mantap wanita berpakaian merah mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara Melati telah siaga. Malah, gadis berpakaian putih itu lebih dulu melancarkan serangan.

Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik pun terjadi. Melati mengamuk bagai harimau luka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya dikerahkan, sampai gerakan pedangnya menimbulkan bunyi menggerung keras.

Tapi, ternyata ilmu pedang wanita berpakaian merah tidak kalah hebat. Setiap serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan, serangan balasan yang tak kalah hebatnya dilancarkan wanita itu.

Gerakan pedang wanita berpakaian merah demikian cepat dan hampir tanpa suara. Mirip kilat. Tidak nampak akibat pada tempat yang dilewati, kecuali bila menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan yang tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan langsung yang dapat merasakan. Tentu saja keadaan ini dialami Melati.

Karena masing-masing memiliki ilmu pedang yang dahsyat, pertarungan jadi berlangsung seimbang. Sampai lebih dari delapan puluh jurus tidak terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Keduanya silih berganti melancarkan serangan. Keadaan di sekitar pertarungan sulit digambarkan. Angin serangan mereka membuat cabang-cabang pohon putus dari batangnya.

"Haaat...!"

Di jurus kesembilan puluh satu, wanita berpakaian merah melompat tinggi ke atas. Ketika telah mencapai ketinggian dua tombak, luncuran tubuhnya terhenti. Karena tenaga luncuran keatas sudah tidak ada lagi. Saat itulah tubuhnya berbalik.

Kini kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas. Jari-jari kedua tangannya disatukan sewaktu menggenggam pedang. Kedua tangan itu terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh wanita berpakaian merah tegak lurus.

Dalam keadaan seperti itu tubuhnya meluncur ke arah Melati yang tepat berada di bawahnya. Yang menggiriskan hati, dalam keadaan demikian tubuhnya berpusing seperti gasing. Serangan wanita berpakaian merah itu lebih mirip dengan membor.

Melati terkejut bukan main. Disadarinya betapa berbahaya serangan itu. Melati ingin mengelak. Tapi, ternyata tidak mampu! Sepertinya ada kekuatan tak nampak yang membuat tubuhnya terpaku. Gadis itu tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi!

Tapi sebagai pendekar yang telah cukup lama merambah dunia persilatan, sebuah dugaan muncul dibenaknya. Apakah keadaan yang dialaminya ini disebabkan oleh serangan lawannya?

Seketika itu pula Melati teringat akan cerita Dewa Arak tentang ilmu-ilmu aneh dan menakjubkan di dunia persilatan. Di antaranya adalah ilmu yang membuat lawan tidak bergerak sewaktu serangan dilancarkan.

Bahkan, tidak hanya membuat lawan mengalami kesukaran bergerak, tapi juga sulit bernapas. Dewa Arak sendiri pernah mengalaminya. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Rahasia Syair Leluhur). Melati tahu hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nyawanya.

Menangkis! Tanpa menunggu lebih lama Melati memutar pedangnya di atas kepala. Bunyi menggerung keras seperti naga murka terdengar. Tanda-tanda Ilmu Pedang Seribu Naga! Cepat bukan main Melati memutar senjatanya. Hingga bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat hanya kilatan sinar berkilauan di atas kepala.

Trang, tranggg!

Terdengar bunyi dahsyat ketika dua batang pedang berbenturan. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Sebab, serangan pedang wanita berpakaian merah itu berputar! Hebatnya, meskipun Melati berhasil menangkis serangan, tapi luncuran pedang wanita berpakaian merah tidak berhenti sampai di situ. Senjata itu terus meluncur. Dan...

Crattt!

"Akh!" Melati menjerit tertahan ketika ujung pedang wanita berpakaian merah menggurat pergelangan tangannya. Cukup dalam, sehingga darah merembes keluar dari bagian yang terluka.

Dan sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, wanita berpakaian merah kembali melancarkan serangan. Itu dilakukannya ketika tubuhnya meluncur turun. Wanita itu mengayunkan kedua kakinya bersamaan. Akibatnya....

Desss!

"Hukh!" Keluhan tertahan kembali dilontarkan Melati. Kaki lawan mendarat telak di perutnya. Keras bukan main, sehingga tubuh gadis berpakaian putih itu lerlempar ke belakang. Pedangnya terlepas dari genggaman. Untungnya, di saat-saat terakhir Melati sempat mengerahkan tenaga dalam. Kalau tidak, di saat tubuhnya melayang tentu nyawanya pun melayang ke alam baka!

Meskipun demikian, bukan berarti Melati tidak mengalami kejadian apa pun. Perutnya terasa sakit bukan main. Gadis berpakaian putih itu tampak sulit bernapas.

Brukkk!

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Melati membentur tanah, setelah melayang-layang beberapa tombak. Luka yang dideritanya membuat gadis itu tidak mampu mendarat dengan baik.

Melati menyeringai merasakan sakit yang mendera punggungnya ketika berbenturan dengan tanah. Saat itulah, serangan susulan wanita berpakaian merah kembali meluruk. Pedang di tangannya terayun deras ke arah Melati.

"Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakian merah keras penuh keyakinan.

Tentu saja Melati tidak ingin kepalanya dipisahkan dari badan. Untuk menangkis adalah tidak mungkin. Hanya mengelak yang dapat menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi, elakan macam apa yang dapat dilakukan orang yang telah terluka seperti Melati? Hanya ada satu, bergulingan!

Crakkk!

Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya. Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan tubuh sehingga tidak berada di tempatnya lagi.

"Keparat!" maki wanita berpakain merah geram melihat kegagalan serangannya. Sambil menggertakkan gigi, dikejarnya Melati. Serangan-serangannya pun menyusul datang.

Pemandangan yang agak aneh segera terlihat. Melati terus menggulingkan tubuh. Sementara wanita berpakaian merah mengejarnya ke mana gadis berpakain putih itu pergi, seraya menghujaninya dengan serangan-serangan pedang.

Memang, beberapa kali Melati berhasil mengelakkan serangan demi serangan. Tapi sampai beberapa lama gadis itu dapat bertahan?

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan? Ikut terjun ke arena dan menolong Melati? Bagaimana mungkin? Kalau gadis berpakaian putih itu saja dapat dikalahkan, bagaimana mereka?

Bukan hanya alasan itu yang membuat rombongan Kerajaan Bojong Gading memaksakan diri tidak memberikan pertolongan. Keyakian yang demikian terpatri bahwa putri junjungan mereka ini akan dapat mengatasi lawan, dan takut kena marah kalau mencoba memberikan pertolongan.

Memang, prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading, apalagi pasukan khususnya, merupakan orang-orang yang sangat menjunjung tinggi kegagahan. Pantangan besar bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan. Apalagi, pertarungan Melati dan wanita berpakain merah berlangsung adil!

Oleh karena itu, Patih Rantaka dan semua prajurit Keiajaan Bojong Gading berdiam diri. Mereka hanya memperhatikan jalannya pertarungan dengan sorot mata cemas. Dalam hati mereka berharap Melati dapat mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan itu. Tapi, harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Bukkk!

"Ahhh...!" Melati mengeluarkan jeritan kaget ketika tubuhnya membentur sebatang pohon. Akibatnya, gulingan tubuhnya terhenti. Saat itulah serangan pedang wanita berpakaian merah meluncur ke arahnya!

Bukan hanya Melati yang dilanda keterkejutan, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading pun demikian. Tarikan wajah dan sorot mata mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat, melihat bahaya maut tengah mengancam keselamatan putri junjungan mereka.

Saking kagetnya, tanpa sadar mereka serempak meluruk ke tempat Melati tergolek. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan telah siap diayunkan. Rombongan Kerajaan Bojong Gading ini lupa akan kegagahan. Yang ada di benak mereka adalah menyelamatkan nyawa Melati. Orang yang mereka kagumi.

Walaupun tindakan yang dilakukan rombongan Kerajaan Bojong Gading demikian cepat, rasanya tidak akan mungkin dapat menyelamatkan Melati. Jarak mereka terlalu jauh. Padahal, serangan wanita berpakain merah tebh hampir mencapai sasaran.

Hanya kejadian luar biasa yang dapat menyelamatkan nyawa putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading itu. Tapi, mungkinkah kejadian luar biasa itu akan terjadi secara kebetulan? Pada saat orang berada di ambang maut?

Ternyata kejadian itu memang bukan hal yang mustahil! Di saat-saat yang amat gawat itu melesat sesuatu yang berwarna gelap!

Wuttt! Takkk!

"Akh...!" Wanita berpakaian merah menjerit kesakitan. Di saat itu pedangnya hampir memenggal kepala Melati, seleret benda berwarna gelap yang ternyata batu sebesar dua ibu jari menghantam belakang siku tangan kanannya. Telak dan keras bukan main, hingga tangan itu langsung lumpuh! Pedang yang tergenggam itu terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.

Cappp!

Pedang itu menancap di tanah, beberapa rambut dari pinggang Melati. Untuk yang kesekian kalinya wanita berpakaian merah menemui kegagalan.

Bertepatan dengan lumpuhnya tangan kanan wanita berpakaian merah, dari tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading melesat sesosok tubuh. Gerakannya sangat cepat. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan ungu dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju tempat Melati.

"Hup!"

Tanpa menimbulkan bunyi sosok berpakaian ungu itu mendarat di depan Melati. Sosok itu berdiri membelakangi. Sehingga gadis berpakaian putih itu hanya dapat melihat bagian belakang tubuhnya. Punggung yang kekar dan dibanduli guci arak itu sangat dikenal Melati. Rambutnya yang panjang putih keperakan melambai-lambai ditiup angin.

Tapi, ternyata bukan hanya Melati yang mengenal sosok berpakaian ungu. Wanita berpakaian merah pun mengenalnya. Wanita itu mundur selangkah begitu melihat sosok berambut putih keperakan. Rasa kagetnya memang tidak bisa dilihat, karena wajahnya tertutup topeng. Namun, ini bisa diketahui dari ucapan-ucapannya.

"Dewa Arak...?! Kau... kau.... Mengapa ada di sini?!" ucap wanita berpakaian merah terbata-bata

Sosok yang memang tidak lain Dewa Arak, yang mempunyai nama asli Arya Buana, tersenyum dingin. Ada ancaman mengerikan terkandung di sana. Penyebabnya adalah ketika melihat nyawa Melati hampir saja melayang. Andaikata dia terlambat sesaat saja, mungkin nyawa gadis berpakaian putih itu sudah melayang ke alam baka! Kenyataan ini membuat Dewa Arak murka bukan main.

"Mengapa?! Kau kaget, Manusia Pengecut?! Sekarang, dengan adanya aku jangan harap dapat meneruskan kekejianmu terhadap Melati!" tandas Dewa Arak keras.

Wanita berpakain merah menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa arti gelengannya. Sementara sepasang matanya berputar liar, seperti tengah mencari jalan untuk meloloskan diri. Sambil terus bersikap demikian, kedua kakinya melangkah ke belakang. Tindakan yang dilakukannya menunjukkan wanita itu merasa gentar.

Dewa Arak menoleh sejenak ke belakang untuk melihat keadaan Melati. Hanya sekilas saja! Meskipun demikian, telah cukup bagi Dewa Arak untuk mengetahui keadaan kekasihnya. Kenyataan yang didapatnya membuat pemuda itu semakin geram Arya tahu Melati menderita luka yang cukup parah!

TIGA

Kesempatan di saat Dewa Arak mengalihkan perhatian pada Melati dipergunakan sebaik-baiknya oleh wanita berpakaian merah. Dengan bergegas tubuhnya dibalikkan. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu.Tapi....

"Jangan harap dapat pergi begitu saja setelah melakukan kekejian ini!"

Seraya mengeluarkan pernyataan penuh wibawa. Dewa Arak melesat mengejar wanita berpakaian merah. Dan begitu telah berada di belakangnya, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke atas melewati kepala buruannya. Dewa Arak bersalto beberapa kali sebelum mendarat dengan mantap beberapa tombak di depan wanita berpakaian merah.

"Menyingkir dari tempat itu, Dewa Arak! Atau... terpaksa aku akan menyerangmu...!" desis wanita berpakaian merah, tajam.

Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pendekar muda itu tahu wanita berpakaian merah gelisah. Suaranya demikian jelas menyiratkan kegalauan perasaannya. Namun bukan hal itu yang membuat kernyitan di dahi Arya. Bukan nada kegelisahannya, melainkan....

"Siapa kau, Nisanak?! Cepat buka selubungmu. Aku yakin pernah mengenalmu.... Setidak-tidaknya suaramu pernah kudengar..."

"Persetan dengan ucapanmu! Hih!"

Usai berkata, wanita berpakaian merah melompat menerjang Dewa Arak dengan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada. Tahu kalau lawan yang dihadapi jauh lebih lihai dari Melati, wanita berpakaian merah mengarahkan seluruh tenaga dal amnya.

Wuttt!

"Hm...!" Dewa Arak menggumam pelan melihat serangan lawan. Pemuda itu bersikap tenang. Tak dilakukan tindakan apa pun sampai serangan lawan menyambar dekat. Baru setelah itu ia bertindak cepat. Dewa Arak menarik kaki kanannya ke belakang seraya menggerakkan tangan kanan.

Wuttt! Kreppp!

"Ihhh...!" Wanita berpakaian merah menjerit kaget. Tahu-tahu pergelangan tangan kanannya telah kena cekal. Gerakan Dewa Arak terlalu cepat untuk dihadapi. Sungguhpun demikian, wanita berpakaian merah bukan lawan yang dapat dipecundangi dengan mudah. Sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serangan lanjutan, dengan sebuah gerakan aneh dari jurus 'Ular' pergelangan tangan kanan wanita itu diputar. Dan....

Plasss!

Cekalan tangan Dewa Arak berhasil dipunahkan. Tindakannya ternyata tidak terhenti sampai di situ. Bersamaan dengan berhasil dibebaskan tangan kanannya, tangan kirinya menggedor dada Dewa Arak!

Prattt!

Terdengar bunyi benturan keras ketika Dewa Arak memapaki dengan gerakan yang sama! Dalam cekaman kemarahan yang meluap melihat wanita berpakaian merah hampir saja membunuh kekasihnya, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan itu.

Akibatnya menggiriskan. Tubuh wanita berpakaian merah terjengkang ke belakang. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya lumpuh. Terutama bagian yang berbenturan langsung. Kedua tangannya terasa sakit dan ngilu! Bahkan sukar untuk digerakkan.

Meskipun demikian, wanita berpakaian merah masih mampu mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Malah dengan cara yang patut diberikan acungan ibu jari. Wanita itu berhasil mendarat dengan mantap!

Dewa Arak yang masih diamuk amarah tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada lawan. Langsung saja serangan susulannya meluncur. Pemuda berambut putih keperakan itu meluruk ke arah wanita berpakaian merah seraya mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada!

Arya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukan Harimau'! Wanita berpakain merah terkejut melihat cepatnya serangan itu. Padahal, dia baru saja berdiri tegak di tanah. Sudah tidak mungkin lagi untuk mengelak. Terpaksa dipapakinya serangan itu. Meski kedua tangannya belum pulih seperti sedia kala.

Plak, plakkk, bukkk!

"Hukh!"

Rentetan kejadiannya demikian cepat. Memang, wanita berpakaian merah berhasil menangkis serangan Dewa Arak. Tapi hanya dua! Padahal, Dewa Arak mengirimkan serangan bertubi-tubi. Tak pelak lagi, serangan yang ketiga mendarat telak di dadanya.

Akibatnya, wanita berpakaian merah terhuyung ke belakang. Bunyi menggelogok terdengar dari kerongkongannya. Tampaknya, dia terluka dalam dan memuntahkan darah segar. Hanya saja tidak terlihat karena mulutnya tertutup selubung merah menyala.

Tapi kejadian selanjutnya menjadi bukti kalau wanita itu menderita luka tak ringan. Wanita berpakaian merah jatuh dan tidak bangkit lagi. Bersamaan dengan rubuhnya wanita berpakaian merah, Dewa Arak menghentikan gerakannya. Ditatapnya tubuh yang tergolek di tanah itu sekilas. Lalu langkahnya diayunkan menuju tempat Melati.

Tampak di sana Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading tengah mengerumuni putri angkat raja Kerajaan Bojong Gading.

"Harap menyingkir sebentar. Biar kuperiksa luka-lukanya," ucap Arya pelan meminta perhatian.

Kerumunan prajurit itu pun langsung menyeruak memberi jalan. Tanpa buang-buang waktu, pemuda berambut putih keperakan itu segera berjongkok dan memeriksa keadaan Melati Gadis berpakaian putih itu pingsan setelah melihat kehadiran Dewa Arak. Agaknya, gadis itu tidak kuat menahan luka luka yang diderita.

"Bagaimana, Dewa Arak?!" Patih Rantaka yang sudah tidak sabar lagi segera mengajukan pertanyaan, ketika dilihatnya Dewa Arak tercenung setelah memeriksa keadaan Melati.

"Dia selamat, Paman. Memang luka-lukanya parah. Tapi tidak sampai mencabut nyawanya," jawab Arya singkat.

Patih Rantaka mengangguk-angguk gembira. Gambaran perasaan yang sama tampak di wajah prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Pemberitahuan Dewa Arak telah membuat mereka merasa lega. Melati selamat!

"Untung kau datang tepat pada waktunya Dewa Arak," ucap Patih Rantaka. "Kalau tidak... kami tentu akan kehilangan sekali..."

Prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menganggukan kepala, menyatakan persetujuannya at as ucapan patih Kerajaan Bojong Gading itu.

"Aku pun bersyukur, Paman." Hanya itu jawaban yang diberikan Arya.

Patih Rantaka pun diam. Lelaki tua itu tidak memberikan tanggapan lagi. Yang dilakukan hanya mengangguk-anggukan kepala. Karena Patih Rantaka tidak mengajukan pertanyaan lagi, Dewa Arak memberikan pengobatan terhadap Melati. Semua diperhatikan oleh rombongan Kerajaan Bojong Gading dengan hati penuh rasa syukur.

"Bagaimana kau tahu aku berada di Hutan Hanjang, Kakang?!"

Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis berpakain putih. Siapa lagi kalau bukan Mel ati? Gadis itu tengah duduk di atas punggung kuda yang melangkah pelan. Seraya bertanya Melati menoleh ke arah sosok yang berada di sebelahnya. Seorang pemuda berambut putih keperakan. Dewa Arak!

Pemuda itu tidak menunggangi kuda, tapi berjalan kaki. Di belakang muda-mudi ini berjalan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Berkuda paling depan adalah Patih Rantaka! Sementara itu, Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyan Melati.

Pemuda itu termenung sebentar seperti tengah mencari jawaban. "Tentu saja dari ayahmu, Melati," jawab Arya setengah menggoda.

"Maksudmu... Ayahanda Prabu Nalanda, Kakang?!" terka Melati memastikan.

Arya mengangguk memberikan tebakan kekasihnya. "Jadi kau ke istana Bojong Gading lebih dulu?" kejar Melati lebih jauh.

Lagi-lagi pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk. "Kalau tidak ke sana, bagaimana mungkin aku dapat mengetahui kau dan pasukan mu berada di sini, Melati?!" Arya balas mengajukan pertanyaan.

Melati mengangguk-anggukan kepala menyadari kebenaran ucapan Dewa Arak. "Lalu..., mengapa kau mencariku, Kakang?!" tanya Melati, setelah tercenung ses aat lamanya. "Barangkali ada urusan yang sangat penting?"

Dewa Arak mengangguk. Melati langsung tercenung dan menarik tali kekang kudanya. Hingga binatang itu menghentikan langkah. Karena Melati berkuda paling depan, Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading pun terpaksa menghentikan kuda mereka. Kalau tidak, kuda-kuda itu akan menabrak Melati dan Arya.

Setelah terdiam sesaat Melati kemudian menoleh ke belakang. "Paman Patih....," sapa Melati lembut.

"Hamba, Gusti Ayu Melati," jawab Patih Rantaka cepat seraya memberi hormat.

"Tolong sampaikan pada Ayahanda Prabu aku tidak dapat kembali ke istana. Ada urusan yang amat penting. Bila urusan ini telah selesai aku akan ke istana," ujar Melati.

"Akan hamba sampaikan, Gusti Ayu Melati," sambut Patih Rantaka penuh hormat.

Ini salah satu sikap Melati yang amat dikagumi Patih Rantaka. Meskipun mempunyai hak untuk memberikan perintah, gadis berpakaian putih itu selalu melakukannya dengan sopan.

"Terima kasih, Patih Rantaka," sambut Melati seraya tersenyum manis.

Tapi sebelum Patih Rantaka memberikan tanggapan, tiba-tiba Dewa Arak memberikan isyarat agar tidak ada seorang pun yang berbicara. Pemuda berambut putih keperakan itu mendengar sesuatu. Maka tanpa membantah sedikit pun, Melati dan seluruh rombongan berdiam diri. Malah, tanpa sadar mereka menahan napas.

"Kau benar, Kakang!" timpal Melati cepat. "Ada bunyi benturan senjata."

"Benar, Melati!" sambut Arya. "Ada pertarungan yang tengah berlangsung. Dari bunyinya yang agak samar, agaknya jaraknya cukup jauh dari sini."

"Bagaimana, Kakang?! Haruskah kita ke sana?"

"Benar, Melati," jawab Arya pasti. "Barangkali saja ada orang yang membutuhkan pertolongan kita."

Mendengar tanggapan Dewa Arak, tanpa menunggu lama Melati menghela tali kekang kudanya. Kuda coklat itu melesat cepat laksana kilat. Meskipun lebih kecil dari kuda umumnya, binatang tunggangan Melati ini memiliki kecepatan lari yang mengagumkan dan kekuatan berpacu dalam jarak jauh. Memang, terasa janggal bila dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil.

Tapi betapapun cepatnya lari Cilik, Dewa Arak mampu mengimbangi. Hanya dalam beberapa kali lesatan pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil menjajari Cilik.

Cilik memang seekor kuda. Tapi kuda pilihan. Binatang tunggangan yang bertubuh kecil itu biasa berpacu. Karena itu, begitu melihat Dewa Arak berada di sebelahnya, tanpa dipacu lagi oleh Melati dia segera menambah kecepatannya. Nalurinya membisikkan kalau dia harus berada di depan pemuda berambut putih keperakan itu.

Kali ini Cilik kecewa. Meski seluruh kemampuan larinya dikeluarkan, tetap saja dia tidak mampu meninggalkan. Laksana bayangan, pemuda berambut putih keperakan itu tetap berada di sebelah Cilik.

Sementara di belakang mereka, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading memacu binatang tunggangannya. Itu dilakukan agar mereka tidak tertinggal jauh oleh Dewa Arak dan Melati!

Sementara itu, Dewa Arak dan Melati tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui penyebab bunyi riuh rendah itu. Beberapa saat kemudian, tampak sepuluh tombak di hadapan mereka terpampang sebuah pertarungan.

Alis sepasang pendekar muda itu berkerut. Mereka melihat sebuah pertarungan yang sangat tidak adil. Seorang lelaki tinggi kurus yang sudah sangat tua diserang oleh dua orang lelaki muda kekar bersenjata golok.

Tapi, rupanya kakek tinggi kurus itu bukan orang sembarangan. Meskipun dikeroyok ia masih mampu melakukan perlawanan sengit. Tongkat di tangannya beberapa kali berbenturan dengan golok-golok lawan, dalam upayanya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Ternyata, bunyi benturan senjata inilah yang didengar oleh Dewa Arak!

"Rasanya kakek itu membutuhkan bantuan, Kakang," ucapa Melati tanpa mengendurkan lari binatang tunggangannya.

"Benar, Melati," jawab Dewa Arak. Suaranya terdengar biasa. Tidak terengah-engah seperti orang yang berlari cepat. Bahkan, tidak ada setitik peluh pun membasahi wajahnya. "Kalau tidak, dia akan tewas di tangan lawan lawannya."

Melati mengangguk-angguk membenarkan pendapat Arya. Dan memang, perkiraan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Gadis itu pun dapat melihat keadaan kakek tinggi kurus sudah sangat mengkhawatirkan. Terlihat jelas kakek itu terdesak hebat.

Usia yang sudah tua membuat napas kakek tinggi kurus megap-megap seperti ikan dilemparkan ke darat. Padahal, pertarungan sepertinya baru berlangsung beberapa jurus. Bila pertarungan terus berlanjut, kakek tinggi kurus itu akan mati kehabisan napas. Karena melihat keadaan yang gawat itu, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu. Kecepatan larinya ditambah. Akibatnya, Cilik tertinggal.

"Hentikan!"

Belum juga gema ucapan itu lenyap, tubuh Dewa Arak telah mendarat di tengah arena pertarungan. Pemuda berambut putih keperakan itu mendarat tepat di antara kedua belah pihak yang bertarung.

Tentu saja keberadaan Dewa Arak yang demikian mendadak mengejutkan mereka yang tengah bertarung. Terutama kedua lalaki kekar yang hampir saja berhasil mengirim nyawa kakek tinggi kurus ke alam baka, karena kagetnya, gerakan mereka terhenti di udara.

"Siapa kau, Kisanak? Mengapa mencampuri urusan kami?!" tanya salah seorang, yang berkumis tebal.

"Tidak usah berbasa-basi lagi, Kiwul! Bacok saja Habis perkara!" seru rekannya, yang berdahi lebar. Terasa jelas nada ketidaksabaran di dalamnya. Tapi Ielaki berkumis tebal yang bernama Kiwul tidak menuruti seruan rekannya. Sepasang matanya yang diarahkan pada Dewa Arak menuntut jawaban. Dan, harapan Kiwul memang terkabul.

"Aku Arya. Bukan maksudku mencampuri urusan kalian. Tapi, bagaimana mungkin aku berdiam diri melihat ketidakadilan di sini?!"

"Berbuat ketidakadilan?!" Kiwul mengernyitkan dahi. "Tahukah kau masalah yang tengah kami hadapi, Arya?!"

"Tidak," jawab Arya sejujurnya. "Tapi, biar bagaimanapun aku tidak bisa membiarkan seorang kakek tua dikeroyok dua lelaki kekar!"

Kiwul tersenyum pahit. "Kuhargai kegagahanmu, Arya. Tapi, asal kau tahu saja, kakek yang kau bela ini adalah seorang penipu dan pembunuh! Dan orang yang telah menjadi korban ulahnya adalah guru kami. Beliau hampir tewas akibat tindakannya. Apakah kami diamkan saja perbuatannya?!"

Seketika itu juga Dewa Arak terdiam. Sungguh tidak disangkanya jawaban seperti itu yang akan diterimanya. Kepalanya segera ditolehkan ke belakang untuk menanyakan kebenaran ucapan Kiwul pada kakek tinggi kurus. Mendadak....

"Mengapa kau masih saja membuang-buang waktu dengan percuma, Kiwul?!" Seraya mengeluarkan pernyataan itu, rekan Kiwul mengayunkan goloknya ke arah leher Dewa Arak!

Wuttt!

"Ganta!" Kiwul berseru kaget melihat tindakan Ganta. Apalagi, ketika menyadari dia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah. Hanya teriakan kaget yang dapat dikeluarkannya. Sementara itu golok Ganta terus meluncur deras menuju sasaran.

Dewa Arak tersenyum. Hanya dengan sekali lihat Arya tahu serangan yang dianggap Kiwul amat berbahaya tidak berarti sedikit pun baginya. Memang, hanya dengan sekilas pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Ternyata, tenaga yang menggerakkannya adalah tenaga dalam biasa-biasa saja! Tidak perlu dikhawatirkan.

Kerena itu, Dewa Arak berdiam diri di tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda dia akan menangkis atau mengelak. Karuan saja kenyataan itu membuat Kiwul semakin kelabakan.

Takkk!

Bunyi berdetak keras terdengar. Mata golok Ganta membentur batang leher Dewa Arak, membuat kaget semua orang yang berada di situ. Terutama Ganta. Golok itu membalik seperti menghantam gumpalan karet keras!

EMPAT

"Rupanya kau mempunyai kulit yang kebal, heh?! Sekarang, coba rasakan ini!"

Ganta menusukkan goloknya ke mata Dewa Arak. Sungguh sebuah serangan berbahaya, karena betapapun tingginya kepandaian seseorang tak akan mungkin dapat membuat mata menjadi kebal.

Karena itu, Dewa Arak tidak bisa membiarkan serangan itu. Di samping karena dapat mengakibatkan sepasang matanya menjadi buta, pemuda berambut putih keperakan itu pun ingin memberikan pelajaran atas sikap keras kepala Ganta. Arya segera mengulurkan tangannya.

Kreppp!

Batang golok Ganta berhasil dicengkeram Dewa Arak. Lalu, sebelum Ganta menyadari sepenuhnya, pemuda berambut putih keperakan itu telah menggerakkan jari-jarinya.

Takkk!

Bunyi berdetak keras mengiringi patahnya batang golok Ganta. Seketika, wajah Ielaki berdahi lebar itu nampak memucat. Kenyataan ini baru menyadarkan dirinya kalau pemuda yang berdiri di hadapannya itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Tanpa perlu dicegah lagi oleh Kiwul, Ganta menghentikan serangan dan melangkah mundur.

"Bagaimana? Puas?!" tanya Dewa Arak tanpa mengejek. Sepasang matanya menatap tajam-tajam.

Tidak ada tanggapan sedikit pun dari Ganta dan Kiwul. Kejadian yang dilihat terlalu mengetjutkan, hingga membuat mereka terkesima.

"Sekarang, mungkin kalian bisa menjelaskan permasalahannya. Kalau tidak, apa pun yang terjadi aku akan membela kakek ini!" tandas Dewa Arak tegas.

Kiwul dan Ganta saling berpandangan.

"Hhh...!" Kiwul menghela nafas panjang. Rupanya, dia bermaksud memberitahukan sejelasnya masalah yang di hadapi. "Kami berdua adalah murid Ki Aswatama..."

Sampai di sini Kiwul menghentikan ucapannya. Ditatapnya Dewa Arak untuk melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu. Dia tahu nama gurunya cukup dikenal sampai ke beberapa desa, sebagai seorang guru silat yang jarang tandingannya.

Tapi Kiwul harus kecewa. Harapannya untuk melihat keterkejutan Dewa Arak pupus. Pemuda itu tidak tampak terkejut. Memang, Dewa Arak tidak mengenal nama Ki Aswatama. Demikian pula dengan Melati yang berdiri di sebelah kakek tinggi kurus, di belakang Dewa Arak.

"Kami berdua dan guru tinggal di Desa Palung," lanjut Kiwul. "Beberapa hari yang lalu Ganta melihat seorang penduduk desa yang telah berusia lanjut dianiaya oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni, orang kaya di Desa Palung dan desa-desa sekitarnya."

"Dia seorang penindas penduduk!" selak Ganta begitu Kiwul menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.

Kiwul mengangguk. "Apa yang dikatakan Ganta memang tidak salah. Tapi, Juragan Trestajumena Geni tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Para penduduk desa yang tengah dililit kesulitan datang padanya dan meminjam uang. Juragan Trestajumena Geni memang memberikannya, tapi dengan perjanjian pengembaliannya jauh lebih besar dari pinjaman. Dia mengenakan renten yang cukup besar. Jika penduduk tidak bisa segera mengembalikan, harta milik yang senilai pinjaman akan disita. Nah! Penduduk setengah tua itu disiksa karena dianggap melanggar perjanjian. Dia tidak mampu membayar hutangnya yang mencekik leher karena bunga yang terus berbunga."

Kiwul menghentikan ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi tenggorokannya yang saat itu terasa kering.

"Rupanya, pinjaman yang harus dikembalikan petani tua itu amat besar. Karena telah terlalu lama dan bunga itu beranak pinak. Sedang harta satu-satunya yang berharga hanya rumahnya. Maka rumah itulah yang disita oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Lelaki tua itu menolak. Dan, tukang-tukang pukul itu pun menyiksanya agar dia mau meninggalkan rumah itu!"

"Apa yang dikatakan Kiwul memang benar!" Lagi-lagi Ganta menyela. "Tapi, saat itu istri petani tua itu tengah sakit parah. Jangankan meninggalkan rumah, untuk bangkit saja sudah susah. Petani tua itu pun minta waktu. Tapi yang didapat malah siksaan. Karena tak tahan melihat kekejian itu, aku ikut campur! Akibatnya terjadi pertarungan."

"Aku terpaksa membantu Ganta. Karena jika hal itu tidak kulakukan, dia akan tewas di tangan tukang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang cukup lihai dan berjumlah banyak," timpal Kiwul.

"Memang, dengan berdua kami dapat mengusirnya! Mereka kabur. Tapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Besoknya mereka datang dalam jumlah yang lebih besar. Tanpa gentar kami menyambutnya."

"Namun karena jumlah mereka terlalu besar, kami terdesak. Untung di saat terakhir, guru kami muncul dan membantu. Untuk yang kedua kalinya para tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kami pukul mundur," Ganta yang menyambuti. "Anehnya, beberapa hari setelah itu guru kami mendadak sakit. Kami panggil dia untuk mengobati guru!" Ganta menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek tinggi kurus.

"Dia pun datang. Kemudian memeriksa luka guru kami. Tapi hasilnya, bukannya sembuh tapi malah bertambah parah. Guru kami lumpuh total setelah diperiksanya! Padahal, ia mengaku sebagai orang yang ahli mengobati berbagai macam luka. Tapi nyatanya?! Dia tidak lebih dari seorang penipu!"

"Kalian salah paham!" sergah kakek tinggi kurus cepat. "Semakin parahnya luka Ki Aswatama bukan karena aku salah mengobati. Tapi, atas perbuatan mereka juga!"

Dewa Arak dan Melati terdiam mendengar bantahan kakek tinggi kurus. Dalam cerita Ganta dan Kiwul, mereka tidak mendengar adanya orang yang melukai Ki Aswatama. Tapi, mengapa kakek tinggi kurus mengatakan semakin beratnya luka guru silat itu karena perbuatan seseorang!

Sebelum Dewa Arak atau Melati mengutarakan perasaan harannya, kakek tinggi kurus telah melanjutkan ucapannya.

"Perlu kalian berdua ketahui, bukannya sombong kalau kukatakan luka-luka bagaimanapun dapat kusembuhkan. Banyak orang yang membuktikannya sendiri!"

"Tapi kenyataannya?! Kau tidak bisa membuktikan bualanmu!" bantah Ganta dengan suara tinggi.

"Luka-luka yang diderita Ki Aswatama lain! Luka itu tidak terjadi secara wajar. Dia telah menjadi korban ilmu hitam. Ilmu teluh. Tapi kalian tetap tidak percaya dan mengerti apalagi menuduhku penipu! Perlu kutegaskan sekali lagi. Luka-luka bagaimanapun parahnya, aku yakin dapat menyembuhkannya. Tapi luka yang tidak wajar, bukan karena ilmu hitam!"

Sekarang Dewa Arak sudah mengerti persoalan yang mereka hadapi. Itu hanya kesalahpahaman belaka. Memang, kalau menuruti perasaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak percaya akan cerita kakek tinggi kurus. Tapi kenyataan telah mengajarkan padanya bahwa hal-hal mistik itu bisa saja terjadi!

Banyak hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia. Namun, toh itu terjadi. Maka meskipun agak ragu Dewa Arak memutuskan untuk membantu kakek tinggi kurus. Pemuda berambut putih keperakan itu mencoba mempercayai cerita itu.

"Tenang." Dewa Arak mengangkat tangannya ke atas, mencegah pecahnya pertentangan akibat suasana yang mulai memanas. "Tidak ada persoalan yang selesai bila perasaan diletakkan di depan!"

Rupanya, ucapan Dewa Arak membuat Ganta dan Kiwul serta kakek tinggi kurus sadar. Mereka terlihat menahan diri. Tidak menuruti nafsu amarah seperti sebelumnya.

"Mengapa kau bisa mengajukan dugaan kalau Ki Aswatama terkena ilmu hitam? Dari mana kau mengetahuinya?" tanya Dewa Arak pada kakek tinggi kurus.

Kakek itu menatap wajah Dewa Arak penuh selidik. "Karena aku melihat tanda-tandanya."

"Bisa beritahukan tanda-tanda yang kau maksudkan, Ki?" desak Dewa Arak.

"Tidak, Anak Muda," jawab kakek tinggi kurus seraya menggelengkan kepala. "Sebab, sulit untuk dikatakan. Hanya yang perlu kau ketahui, aku pun sedih melihat nasib Ki Aswatama. Tapi apa daya? Aku tidak mampu menolongnya. Meskipun tahu penyebabnya. Apabila kupaksakan untuk menolong, pengirim ilmu hitam itu akan murka. Aku pun akan dikirimkannya ilmu hitam!"

"Sekarang persoalannya telah jelas," ucap Dewa Arak tenang. "Sebuah kesalahpahaman telah terjadi. Dan...."

"Masalahnya belum selesai, Kisanak!" sergah Ganta penasaran. "Dia belum menjelaskan mengapa luka guru bertambah parah sewaktu selesai diperiksanya!"

"Itu hanya sebuah kebetulan Ganta! Aku yang sial. Di saat aku selesai memeriksa, pengirim ilmu hitam itu mengirimkan serangan yang lebih kuat."

Kali ini Dewa Arak mengangguk. Disadarinya kemungkinan besar ucapan kakek tinggi kurus itu benar. Arya cukup banyak mengetahui mengenai ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.

"Menurutku, ucapan itu ada benarnya. Kalau boleh kuusulkan, daripada kalian bersusah payah memburu kakek ini lebih baik urus dan rawatlah guru kalian. Atau salah seorang di antara kalian merawatnya, dan seorang lagi mencari ahli obat dapat menyembuhkan penyakitnya."

Ganta dan Kiwul berpandangan. Usul Dewa Arak ada benarnya. Saat itu guru mereka yang tengah sakit keras dan pasti membutuhkan seseorang. Mengapa mereka malah meninggalkannya?

"Terima kasih atas usulanmu, Arya," ucap Kiwul seraya tersenyum. "Saranmu benar-benar tepat. Aku khilaf."

Kemudian Kiwul membalikkan tubuh, dan melesat meninggalkan tempat itu diikuti oleh Ganta. Lelaki berdahi lebar itu tidak mengucapkan terima kasih. Yang dilakukannya hanya menganggukkan kepala. Itu pun sekilas saja.

Dewa Arak, Melati, dan kakek tinggi kurus memandangi kepergian Ganta dan Kiwul hingga tubuh mereka lenyap di kejauhan.

"Terima kasih atas bantuanmu, Arya. Kalau tidak ada dirimu mungkin aku telah menjadi mayat," ucap kakek tinggi kurus penuh rasa syukur.

"Lupakanlah, Ki. Bukankah orang hidup memang harus saling tolong-menolong?!" bantah Dewa Arak halus.

"Lalu.... Sekarang ke mana tujuanmu, Ki?" tanya Melati yang sejak tadi berdiam diri.

"Tentu saja kembali, Nisanak. Tempat tinggalku tak jauh dari sini. Apakah kalian ingin singgah?!"

"Terima kasih. Sayang, kami masih mempunyai urusan penting lainnya. Kami tengah terburu-buru. Tapi, percayalah. Kelak bila ada waktu senggang kami akan singgah di tempatmu. Selamat tinggal, Ki!"

Usai berkata, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu segera diikuti Melati. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwajah elok itu telah melesat jauh. Sosok tubuh mereka semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan.

"Hhh...!" Setelah menghembuskan napas berat, kakek tinggi kurus meninggalkan tempat itu pula. Dia kembali menuju tempat tinggalnya. Sekejap kemudian, suasana di sekitar tempat itu menjadi hening. Tidak ada lagi bunyi benturan senjata atau teriakan keras membahana. Yang tersisa hanya kesunyian.

* * *

"Akh!"

Jerit tertahan bernada kesakitan itu keluar dari mulut Melati. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Kalau Dewa Arak yang berlari di sebelahnya tidak segera mengulurkan tangan menangkap bahunya, gadis berpakain putih itu pasti jatuh terjerembab di tanah!

"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Dewa Arak. Rasa kaget dan khawatir membias di wajahnya.

Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah Melati penuh selidik. Rasa kaget yang melandanya semakin besar. Wajah gadis itu tampak pucat pasi. Butir-butir keringat sebesar biji jagung membanjiri wajahnya.

"Aku juga tidak mengerti, Kakang," jawab Melati dengan bibir menyeringai kesakitan. "Tahu-tahu saja paha kananku terasa sakit bukan main. Seperti..., ada sebatang tombak yang menusuk di sana."

Dewa Arak mengarahkan tatapan ke arah paha Melati. Tapi, tidak dijumpai tanda-tanda seperti yang dimaksud. Paha Melati masih seperti biasa. Tidak terlihat bekas tusukan tombak! Hal itu membuat Dewa Arak bertanya-tanya dalam hati.

"Apakah Melati tidak keliru? Dan rasa seperti yang dikatakannya tidak pernah ada? Tapi, kalau tidak, mengapa tiba-tiba tubuh gadis itu tersungkur? Tak mungkin dia tersandung kerikil! Lalu, apa sebenarnya yang telah terjadi?"

"Sekarang, coba kau berdiri tegak kembali," ujar Dewa Arak setelah beberapa saat termenung Pemuda itu kemudian melepaskan pegangannya. Tubuh gadis berpakaian putih itu tidak dipapahnya lagi.

Tanpa banyak membantah, Melati melaksanakan perintah kekasihnya. Memang, semula dia berdiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Tapi baru saja kaki kanannya diluruskan Melati memekik kesakitan. Dengan segera kedudukannya dikembalikan seperti semula, berdiri pada kaki kiri.

Dewa Arak kaget bukan main melihat kenyataan ini. Dengan jelas dilihatnya kaki kanan Melati tidak bisa lurus. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di sana. Padahal, tidak terlihat sesuatu pun di kaki gadis berpakaian putih itu.

"Mengapa, Melati?" tanya Arya cemas seraya memegang bahu gadis itu untuk membantunya berdiri.

"Aku tidak tahu, Kakang," keluh Melati. "Seperti ada sesuatu yang menancap di paha kananku hingga tembus!"

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Dia sedikit pun tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa kekasihnya. Benaknya diputar untuk mencari jawaban. Tapi, tetap tidak diketemukannya.

Tiba-tiba pemuda berambut putih keperakan itu teringat akan mimpi-mimpi buruk yang masih menganggu tidurnya. Perasaan gelisah akan keselamatan Melati pun melanda hatinya. Betapapun telah diusahakan untuk menghilangkan peras aan itu, tetap saja dia tidak mampu.

Memang, ada perbedaan antara mimpi-mimpinya. Dalam mimpinya tubuh gadis berpakaian putih itu dililit ular besar yang siap melahap kepalanya. Sementara serbuan pedang-pedang merah menyala meluncur datang. Tapi, mimpi-mimpi yang belakangan ini menghias tidurnya tidak lagi disertai ular besar.

Ingatan itu membuat Dewa Arak tersentak. Mengapa sejak bertemu Melati ada pengurangan dalam mimpinya? Pemuda berambut putih keperakan itu segera menyadari adanya kemungkinan lain di sini.

Disadarinya mimpi yang dialaminya bukan sekadar bunga tidur. Memang, setelah beberapa kali belalang raksasa masuk ke dalam dirinya, Dewa Arak meras akan perubahan. Ia dapat merasakan keberadaan seseorang di sekitarnya, adanya bahaya yang mengancam, dan sedikit mengerti bahasa binatang.

Karena kesadaran akan perubahan dalam dirinya dan kejadian yang sekarang dialami Melati serta teringat kembali akan pengulangan mimpinya, Dewa Arak mulai mengambil kesimpulan. Bukan tidak mungkin mimpi-mimpi itu merupakan firasat yang didapatnya berkat belalang raksasa di alam gaib.

Sejak semula Dewa Arak memang sudah menduga mimpi-mimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Tapi, kejadian yang menimpa Melati menjadikannya berpikir lebih sungguh-sungguh. Pemuda itu memutar otaknya lebih keras. Sesaat kemudian, Arya telah dapat menemukan kesimpulannya.

Kini, Dewa Arak dapat memperhatikan kalau ular dan pedang-pedang yang tertuju ke arah Melati di dalam mimpi itu, dalam kenyataan sebenarnya adalah bahaya-bahaya yang tengah mengancam gadis itu. Mengenai tidak adanya lagi ular yang membelit Melati, menjadi pertanda kalau satu bahaya telah terlewati. Kalau begitu bahaya pertama adalah wanita berpakaian merah!

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Kakang?" tanya Melati bingung.

Pertanyaan itu membuat Dewa Arak sadar dari lamunannya. Perhatiannya dialihkan pada gadis berpakaian putih. "Aku sendiri masih bingung, Melati. Lebih baik kau periksa tempat yang terasa sakit. Barangkali saja ada tanda-tanda yang mencurigakan...."

Wajah pucat Melati langsung memerah. Memeriksa bagian yang terasa sakit sama saja dengan melucuti celananya. Bagaimana mungkin hal itu di lakukan. Meskipun Dewa Arak kekasihnya, rasa malu terhadap pemuda berambut putih keperakan itu tetap ada.

Dewa Arak rupanya mengerti. Pemuda itu segera mengetahui penyebab memerahnya wajah Melati sampai ke kedua telinganya. "Kalau begitu, kita cari tempat yang aman," ucap Dewa Arak.

Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari tempat yang cukup aman. "Nah! Kurasa di sana cukup aman!" tunjuk pemuda berambut putih keperakan itu ke arah sisi jalan yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak cukup lebat.

Melati memperhatikan tempat itu sesaat sebelum menganggukkan kepala menyetujui. Maka, Dewa Arak pun segera memapah tubuh gadis berpakaian putih itu dan membawanya ke sana, ke balik semak-semak dan pepohonan. Baru setelah itu, Dewa Arak membalikkan tubuh dan membiarkan Melati sendirian memeriksa bagian yang sakit.

Dewa Arak menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rasanya waktu berjalan demikian lambat Dia ingin secepatnya mendengar hasilnya dari mulut Melati. Sesaat kemudian....

"Akh!"

Sukma Dewa Arak bagai lenyap dari raga mendengar jerit tertahan Melati. Jerit kesakitan! Padahal, yang tengah ditunggunya adalah panggilan Melati. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut putih keperakan itu membalikkan tubuh dan melesat ke tempat Melati berada. Saat itulah didengarnya bunyi berdebuk keras. Tanpa melihat lagi pun Dewa Arak dapat menerka bunyi itu terjadi karena ambruknya tubuh Melati ke tanah.

"Melati!" Teriakan Dewa Arak tercekat ditenggorokan. Kedua kakinya terasa lemas. Penyebabnya adalah pemandangan yang terpampang di hadapannya.

Tubuh Melati tampak tertelungkup di tanah. Meskipun terlihat gerakan dari gadis berpakain putih itu, tapi keadaannya menimbulkan rasa khawatir pada Dewa Arak.

LIMA

Menghadapi kenyataan yang tidak disangka-sangka itu Dewa Arak terkejut bukan main. Pemuda itu terkesima di depan Melati. Tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian, Arya telah menjatuhkan diri untuk memeriksa keadaan Mel ati. Dewa Arak membalikkan tubuh kekasihnya. Tampak wajah Melati sangat pucat.

"Apa yang terjadi, Melati?" Dengan penuh kekhawatiran Dewa Arak mengajukan pertanyaan. Celana Melati yang telah agak terlucuti dibetulkannya. Jelas gadis itu telah melaksanakan perintahnya sebelum akhirnya menjerit dan terjatuh. Sempat terlihat oleh Dewa Arak paha Melati yang putih dan halus. Tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan adanya luka!

"Seperti sebelumnya, Kakang! Sepertinya... ada tombak yang menusuk... Kali ini paha kiriku, kakang...," ujar Melati terbata-bata.

"Apa?!" Dewa Arak terpekik kaget. Paha kiri. Itu berarti kedua kaki Melati tidak bisa dipergunakan lagi! Meelati lumpuh?! Hampir Dewa Arak tidak percaya akan kenyataan ini.

"Benar, Kakang. Sekarang aku tidak bisa berdiri," lanjut Melati, seperti mengetahui apa yang dipikiran dan yang berkecamuk di benak Dewa Arak.

Terdengar bunyi brekerotokan keras seperti tulang-tulang berpatahan, ketika dalam kemarahan yang menggelegak tenaga dalam Dewa Arak berkeliaran sendiri.

"Sebenarnya... apakah yang tengah menimpaku, Kakang? Aku benar-benar tidak mengerti," ucap Melati sedih. "Kalau kau mengetahuinya, katakanlah, Kakang. Jangan biarkan aku dilanda ketidak-mengertian seperti ini!"

"Hhh...!" Dewa Arak menarik napas dalam-dal am, dan menghembuskannya kuat-kuat. "Apakah kau ingat kejadian yang menimpa Ki Aswatama...?!"

"Maksudmu..., kejadian yang menimpaku sama dengannya, Kakang?!" tanya Melati meminta kepastian.

"Yahhh.... kira-kira begitu Melati." Dewa Arak mengangguk sambil menghela napas berat. "Hanya itu jawaban yang paling mungkin, Melati. Sebab, tidak mungkin kejadian kejadian yang menimpamu terjadi dengan sendirinya. Andaikata pun nanti kenyataan ini tidak benar, setidak-tidaknya ada usaha yang telah kita lakukan."

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Melati ingin tahu.

Dewa Arak tercenung sejenak. Dahinya berkernyit dalam. Tampaknya pemuda itu tengah berpikir. "Untuk sementara kita temui dulu Ki Aswatama. Barangkali dia telah sembuh. Kita bisa minta pertolongan darinya," jawab Dewa Arak.

"Mengapa kau tidak mencoba mengobatiku, Kakang?!"

"Bagaimana aku dapat mengobatimu, Melati. Jenis penyakitmu saja tidak kutemukan. Menurut pemeriksaanku, kau sehat-sehat saja."

"Jadi...?!" Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.

"Seperti yang telah kukatakan tadi, kita akan menjumpai Ki Aswatama!"

Kali ini tidak ada tanggapan dari Melati. Gadis berpakaian putih itu tahu keputusan yang diambil kekasihnya biasanya tidak pemah keliru. Jadi, diputuskan untuk menerimanya.

Dewa Arak pun tahu. Maka, tanpa membuang-buang waktu segera diangkatnya tubuh Melati. Kemudian dibawanya berlari cepat meninggalkan tempat itu. Arya tidak berani bertindak lamban. Disadarinya nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Sewaktu-waktu bisa saja dia dibunuh!

Dari pemberitahuan seorang penduduk, Dewa Arak tahu tempat kediaman Ki Aswatama. Ganta dan Kiwul ternyata tidak berdusta. Guru mereka amat dikenal. Padahal, tempat tinggalnya jauh dari pemukiman penduduk. Itu didengar Dewa Arak dari mulut para penduduk. Kekhawatiran akan keselamatan Melati membuat Dewa Arak tidak peduli tindakannya membuat kegemparan di tempat-tempat yang dilalui.

Pemuda berambut putih keperakan itu melalui jalan-jalan utama desa dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Karuan saja, banyak penduduk yang merinding bulu kuduknya. Melihat kelebatan bayangan ungu dalam bentuk yang tidak jelas. Kalau saja kejadiannya malam hari mungkin mereka sudah lari tunggang langgang.

Semakin lama rumah-rumah penduduk yang semula berjajar di kanan kiri jalan mulai jarang. Letak rumah yang satu dengan yang lain mulai berjauhan. Sampai akhirnya yang tampak di kanan kiri hanya jajaran tanaman dan pepohonan. Pemandangan itu dilihat Dewa Arak beberapa saat lamanya sebelum di kejauhan tampak sebuah bangunan sederhana.

Tapi, pemuda itu kelihatan terkejut. Di depan bangunan itu terdapat banyak sosok manusia. Sekali lihat saja Dewa Arak segera tahu sosok-sosok itu tengah terlibat pertarungan. Pemandangan itu membuat Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Arya khawatir akan terjadi hal buruk yang tidak diharapkan.

Kian dekat dengan pondok Ki Aswatama semakin jelas pemandangan yang terlihat. Kini pemuda itu bisa mengetahui sosok-sosok yang bertarung. Ternyata Ganta dan Kiwul yang melawan serombongan orang kekar. Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua belas orang!

Meski masih berada dalam jarak belasan tombak dan hanya memperhatikan sekilas, Dewa Arak bisa memperkirakan kekuatan masing-masing pihak. Secara perorangan kepandaian Ganta dan Kiwul berada di atas lawan-lawannya. Tapi, karena jumlah lawan jauh lebih banyak, murid-murid Ki Aswatama itu terdesak hebat Kalau dibiarkan, Ganta dan Kiwul akan tewas di tangan para Pengroyoknya.

Keadaan mereka sudah demikian mengkhawatirkan. Hampir tidak ada serangan balasan yang mereka kirimkan. Kedua orang itu hanya mengelak dan menangkis. Kini keduanya telah berada di pintu pondok. Tak lama lagi mereka akan didesak masuk! Ketidak beradaan Ki Aswatama untuk membantu murid-muridnya membuat Dewa Arak merasa heran. Apakah guru silat itu belum sembuh dari sakitnya?

Namun, Dewa Arak segera membuang pertanyaan itu. Jaraknya telah demikian dekat. Dan, dengan sekali jejakan saja, kaki pemuda berambut putih keperakan itu telah melesat ke dalam kancah pertarungan.

"Hih!" Di saat tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Serangkum angin besar menyeruak membuat tubuh para pengeroyok Ganta dan Kiwul terlempar ke belakang bagai dihempas angin badai! Senjata-senjata mereka berlepasan dari genggaman.

Untung, Dewa Arak tidak bermaksud menjatuhkan tangan maut. Kibasannya itu hanya untuk melontarkan tubuh lawan-lawannya, tanpa melukai. Hal itu dilakukan Arya karena belum mengetahui permasalahan mereka. Siapa yang salah dan yang benar belum jelas.

Ringan bagai daun kering, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di antara murid-murid Ki Aswatama dan para pengeroyoknya yang bergelimpangan di tanah.

"Arya....!"

Kiwul dan Ganta berseru hampir bersamaan ketika melihat sosok yang berdiri membelakangi mereka. Sosok yang telah menyelamatkan nyawa mereka. Meskipun hanya melihat bagian belakang tubuh Dewa Arak, kedua murid Ki Aswatama bisa mengenali. Ciri-ciri Arya memang terlalu menyolok!

Dewa Arak membalikkan tubuh seraya menyunggingkan senyum.

"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, mungkin kami sudah tewas di tangan mereka," ucap Kiwul dengan gembira.

"Lupakanlah, Kiwul. O, ya, siapa mereka? Mengapa kalian terlibat pertarungan dengannya?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.

Kiwul dan Ganta menatap sosok-sosok kekar yang tengah berusaha bangkit. Terlihat jelas kegeraman dalam pandang mata mereka.

"Mereka adalah orang-orang yang kuceritakan padamu, Arya."

"Ah!" seru Arya kaget. "Jadi..., mereka adalah anak buah Juragan Trestajumena Geni?!"

"Benar." Kali ini Ganta yang menjawab seraya menganggukkan kepala. "Rupanya, mereka merasa penasaran dengan kekalahan yang mereka terima beberapa hari yang lalu. Sekarang mereka datang lagi. Anehnya, mereka seperti mengetahui kalau sekarang guru kami tidak dapat membantu. Dan.... Awas, Arya!"

Dengan terpaksa Ganta menghentikan ceritanya di tengah jalan. Saat itu dilihatnya rombongan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni meluruk ke arah Dewa Arak Golok dan pedang diayunkan deras ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.

Sebenarnya, peringatan Ganta hampir tidak berguna. Tanpa diberitahukan pun Dewa Arak telah mengetahui serangan itu. Memang, pemuda itu tidak melihat. Tapi, telinganya yang tajam menangkap desir angin yang menyambar deras ke arahnya. Karena itu, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera membalikkan tubuh. Dengan tangan kirinya, dihadapinya semua serangan yang mengancam.

Tak, tak, takkkk!

Bunyi berdetak keras seperti benda-benda logam berbenturan terdengar berkali-kali. Tangan kiri Dewa Arak beradu dengan senjata-senjata lawan! Dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat sempurna, Dewa Arak mampu membuat tangannya tak kalah kuat dengan besi baja!

Akibatnya tidak berhenti hanya sampai di situ. Jerit tertahan pun keluar dari mulut para pengeroyok Arya. Mereka merasakan tangan yang menggenggam senjata terasa sakit dan hampir lumpuh! Tubuh mereka pun terhuyung-huyung ke belakang.

Di saat itulah Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Untuk kedua kalinya berhembus angin yang sangat kuat. Bahkan, jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Tubuh anak buah Juragan Trestajumena Geni melayang-layang ke belakang seperti daun kering dipermainkan angin.

Semua kejadian itu dilihat jelas oleh Ganta dan Kiwul. Kalau tidak melihat sendiri, mereka tidak akan percaya. Belasan tukang pukul Juragan Trestajumena Geni dibuat tak berdaya oleh Dewa Arak hanya dalam segebrakan! Begitu tinggikah kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini?

Kenyataan yang mengejutkan hati itu membuat murid murid Ki Aswatama terkesima. Sampai Dewa Arak membalikkan tubuh dan mengalihkan perhatian ke arah mereka, Ganta dan Kiwul tetap terpana.

"Ehm!" Dewa Arak terpaksa berdehem agak keras untuk menyadarkan kedua murid Ki Aswatama dari terkesimanya. Dan memang, usaha pemuda berambut putih keperakan ini tidak sia-sia.

"Eh,... Oh...!" Hanya itu yang keluar dari mulut Ganta dan Kiwul.

"Jadi... Guru kalian belum sembuh?" Dewa Arak segera mengajukan pertanyaan. Tak peduli pada sikap salah tingkah Ganta dan Kiwul.

"Be... belum," jawab Kiwul agak terbata-bata. "Bahkan keadaannya semakin parah, Arya," tambah Ganta.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. Lenyap sudah harapannya untuk mendapatkan kesembuhan bagi Melati. Tapi, tidak seluruhnya. Disadarinya kalau Ki Aswatama merupakan kunci untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan terhadap Melati. Bukankah guru silat itu menerima kiriman ilmu hitam? Dewa Arak yakin kalau tindak kejahatan itu orang yang sama. Saat itulah Ganta dan Kiwul melihat sosok yang berada di bahu kanan Dewa Arak.

"Apa yang terjadi dengannya, Arya? Bukankah dia kawan seperjalananmu?" tanya Kiwul seraya menudingkan jari telunjuknya.

"Panjang ceritanya, Kiwul," jawab Dewa Arak singkat. "Sayang sekali aku tidak mempunyai waktu untuk menceritakannya. Aku minta maaf. Sebab, keadaannya sudah sangat mendesak."

"Kami bisa mengerti, Arya," jawab Ganta mencoba bijaksana.

"Terima kasih, Ganta." Arya gembira dengan tanggapan yang mereka berikan. "Bisa aku melihat keadaan guru kalian?"

"Mengapa tidak?" jawab Ganta dan Kiwul bersamaan.

Dua murid Ki Aswatama itu segera mendahului melangkah masuk. Dewa Arak mengikuti di belakangnya. Sekilas pemuda berambut putih keperakan itu sempat melempar pandang ke arah rombongan tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.

Setelah berhasil bangkit, mereka segera kabur meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka menyadari kalau Dewa Arak lawan yang tidak bisa dihadapi. Sambil sesekali menoleh ke belakang, rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni berlari tunggang langgang. Tapi, kekhawatiran mereka tidak terbukti. Dewa Arak tidak mempedulikan mereka, dan masuk ke dalam pondok Kiwul.

"Beginilah keadaan guru kami, Arya."

Dewa Arak memandang sosok yang terbariring di balai-balai bambu. Dia adalah seorang lelaki tua. Tubuhnya tinggi besar. Kumis tebal melintang menghias wajahnya. Sayang, keangkeran sosok itu tertutup oleh sorot matanya yang sayu. Jelas, kakek tinggi besar itu tengah menderita sakit.

"Aku turut prihatin atas peristiwa yang menimpamu. Ki Aswatama." Hanya itu yang dapat dikatakan Dewa Arak Ki Aswatama mencoba membentuk senyuman di bibir. Tapi rasa sakit yang melanda menggagalkannya. Justru yang tampak adalah seringai kesakitan.

"Terima kasih, Anak Muda. Ganta dan telah banyak bercerita mengenai dirimu. Keadaanmu mengingatkanku akan seorang pendekar muda yang namanya saat ini tengah menggetarkan dunia persilatan. Apakah kau orangnya, Anak Muda? Kudengar nama yang kau sebut pun memiliki kemiripan. Arya?" Meski agak terputus-putus, Ki Aswatama berhasil menyelesaikan ucapannya.

Dewa Arak menganggukkan kepala. Pemuda itu tahu tokoh yang dimaksud guru silat Desa Palung ini. Pasti Dewa Arak! Dan pemuda berambut putih keperakan ini tidak tega membohongi orang yang tengah di ambang kematian. "Dugaanmu tidak keliru, Ki Aswatama. Memang, orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak."

Sekilas sepasang mata tua Ki Aswatama berbinar-binar. "Sungguh suatu kebahagian yang besar bertemu denganmu sebelum nyawaku pergi meninggalkan raga, Dewa Arak."

"Kau terlalu berlebihan, Ki Aswatama. Aku hanya seorang pemuda biasa yang memiliki banyak keterbatasan. Kedatanganku kemari pun karena ingin meminta pertolongan padamu." Dewa Arak langsung pada pokok persoalan, karena khawatir kakek tinggi besar itu keburu tewas.

"Katakanlah, Dewa Arak. Aku akan berbahagia sekali bila dapat membantumu. Ini sungguh di luar dugaanku!"

Dewa Arak tidak buru-buru mengajukan permasalahannya. Benaknya diputar untuk mencari kata-kata yang tepat. Sementara Ganta dan Kiwul diam saja. Tidak sedikit pun mereka tampak kaget. Bahkan, ketika Dewa Arak menyebutkan julukannya. Mereka belum pernah mendengar julukan seperti itu. Letak desa ini memang agak terpencil. Jauh terpisah dari desa-desa lainnya.

Dengan tidak adanya tanggapan dari Ganta dan Kiwul, Ki Aswatama dan Dewa Arak jadi leluasa melanjutkan pembicaraan. Sekarang, pemuda berambut putih keperakan itu sudah berhasil menemukan kata-kata yang tepat.

"Begini, Ki Aswatama. Kudengar kau menderita sakit yang aneh. Apakah betul demikian?" tanya Dewa Arak hati-hati.

"Benar," jawab Ki Aswatama singkat.

"Bisa kau jelaskan keanehannya, Ki Aswatama?" desak Arya lebih jauh.

"Hhh...!" Ki Aswatama menghela napas. "Aku tidak pernah terkena serangan lawan. Tapi, tahu-tahu saja beberapa hari yang lalu seperti ada benda tajam, tombak atau sejenis itu, menembus kedua pahaku. Saat itu aku tengah berdiri. Tak pelak lagi, aku jatuh tersungkur. Dan sejak saat itu aku lumpuh...!"

Wajah Dewa Arak langsung memucat. Kejadian yang menimpa Ki Aswatama ternyata sama dengan Melati. Pemuda berambut putih keperakan itu merasa khawatir kekasihnya akan mengalami nasib seperti kakek tinggi besar itu. Meskipun demikian, ada harapan menyala di dalam dada Dewa Arak. Sebab, sudah dapat diketahui kalau pelaku tindak keji itu adalah orang yang sama. Dengan demikian, Arya bisa melacaknya dari Ki Aswatama!

ENAM

Seiring dengan timbulnya semangat itu, keraguan Arya pun menyeruak. Siapa orang yang sampai hati berbuat seperti itu? Dan mengapa hal itu dilakukannya?

"Semula kucoba mengobati penyakit ini sendiri," lanjutnya, membuat Dewa Arak menghentikan lamunannya. "Tapi tidak berhasil. Lalu, kusuruh Ganta dan Kiwul memanggil ahli obat ternama di desa-desa sekitar sini."

Kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengatur napasnya yang terlihat terengah-engah. Meskipun hanya bercerita, keadaannya yang buruk itu cukup menguras tenaganya.

"Tapi ahli obat itu ternyata tidak mampu menyembuhkan penyakitku. Katanya, aku bukan terkena penyakit atau luka biasa. Tapi luka akibat ilmu hitam. Ilmu teluh. Kebetulan dia mempunyai sedikit pengetahuan tentang ilmu itu. Tapi, sayangnya dia tidak bisa mengobati penyakitku."

"Apa saja yang diceritakannya mengenai ilmu teluh itu, Ki?" tanya Dewa Arak.

"Cukup banyak. Katanya, tokoh yang mengirimkan penyakit ini bermaksud menyiksaku. Dia ingin melihatku mati secara pelahan-lahan. Karena kalau dia ingin membunuhku, dengan mudah hal itu dapat dilakukannya," jeals Ki Aswatama.

Cerita Ki Aswatama membuat Dewa Arak merasa ngeri bukan main. Nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Kalau orang itu menginginkannya, dengan mudah nyawa Melati dibuat melayang!

"Apakah orang yang kau panggul itu juga mengalami nasib sepertiku?" tanya Ki Aswatama seraya mengarahkan pandangan kepada tubuh Melati yang berada di bahu kanan Dewa Arak.

"Yahhh...," jawab Arya setengah mendesah. "Kedua kakinya dilumpuhkan..."

"Keji!" seru Ki Aswatama agak keras. "Orang semuda itu harus menerima kenyataan demikian. Hati-hatilah, Dewa Arak. Kekejian itu masih berlanjut. Tokoh itu melakukannya secara bertahap. Aku yakin dia akan melumpuhkan kedua tangannya seperti yang dilakukannya terhadapku!"

"Jahanam!" Dewa Arak berteriak hingga pondok itu tergetar hebat. Bahkan, Ganta dan Kiwul sampai terjingkat kaget "Tidak akan kubiarkan hal ini terjadi! Tak akan!"

Sepasang mata Dewa Arak mencorong tajam, menyorotkan sinar kehijauan bagai mata harimau dalam gelap! Mengerikan! Ganta, Kiwul dan Ki Aswatama tak terasa bergidik melihatnya. Mereka tahu pemuda berambut putih keperakan itu tengah dilanda kemarahan hebat!

"Boleh aku mengajukan pertanyaan lagi, Ki?!" tanya Dewa Arak dengan suara bergetar karena amarah yang masih bergelora.

Ki Aswatama mengangguk. Wibawa yang memancar dari diri Dewa Arak ketika pemuda berambut putih keperakan itu murka membuat lidah kakek tinggi besar itu kelu.

"Apakah kau bisa memperkirakan orang yang telah melakukan kekejian terhadapmu?!"

"Kalau kau tanyakan orang yang telah melakukan perbuatan ini, terus terang aku tidak tahu. Tapi bila kau menanyakan orang yang berada di balik semua ini, aku dapat memberikan jawabannya. Sebab, banyak bukti-bukti yang menguatkannya."

Dahi Dewa Arak berkernyit sebentar. "Aku mengerti maksdumu, Ki. Bukankah kau ingin mengatakan kalau pelaku perbuatan keji ini hanya orang suruhan?!"

"Begitulah, Dewa Arak," jawab Ki Aswatama yakin.

"Kalau begitu siapa orang yang berdiri di belakang layar itu, Ki?!" desak Arya penasaran.

"Juragan Trestajumena Geni!" tegas kakek tinggi besar itu mantap.

Sepasang alis Dewa Arak berkerut dalam. "Apakah kau mempunyai alasan yang kuat sehingga melontarkan tuduhan seperti itu terhadapnya?"

"Banyak alasannya, Dewa Arak! Pertama, aku adalah hambatannya dalam melakukan tindak kekejian terhadap penduduk desa. Dan mungkin dianggapnya berbahaya. Terbukti dengan ketidak-berhasilannya menumpasku sewaktu mengirim orang-orangnya kemari. Tapi alasan lebih kuat yang membuat kecurigaanku terhadapnya semakin keras adalah sikap anak buahnya ketika tadi datang ke sini. Apakah Ganta dan Kiwul belum menceritakannya kepadamu?!"

Dewa Arak mengalihkan pandangannya ke arah dua murid Ki Aswatama dengan sorot mata penuh pertanyaan.

"Sudah, Guru. Kami telah memberitahukannya," jawab Ganta mendahului rekannya. "Tapi tidak ada salahnya kalau kami ulangi lagi, biar jelas. Mungkin tadi Arya tidak terlalu memperhatikannya."

"Kecurigaan kami semakin menguat karena sewaktu datang tadi, rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni langsung menantang kami. Katanya, kami tidak akan seberuntung dulu lagi. Karena tidak ada orang yang akan membela kami. Jumlah mereka pun menambah keanehan itu. Dengan jumlah sedikit mereka ingin meringkus kami. Beberapa hari yang lalu, di waktu dihajar tunggang-langgang oleh kami bertiga, jumlah mereka jauh lebih banyak. Paling tidak dua kali lipat dari sekarang," urai Kiwul panjang lebar.

"Mungkin benar jumlah mereka berkurang. Tapi, kemampuan perorangannya jauh di atas penyerang-penyerang yang dulu," timpal Dewa Arak mengemukakan pendapatnya.

"Tidak, Arya," jawab Kiwul bersikeras. "Semua penyerbu yang tadi adalah orang-orang yang melakukan penyerangan beberapa waktu yang lalu."

"Kalau begitu, aku akan pergi dulu, Ki," ucap Arya setelah termenung sesaat.

"Mengapa tergesa-gesa, Dewa Arak? Ke mana kau akan pergi?" tanya Ki Aswatama kaget melihat keputusan Dewa Arak yang begitu mendadak.

"Mendatangi Juragan Trestajumena Geni, Ki. Aku akan mengorek keterangan dari mulutnya. Benarkah dia yang berdiri di belakang semua ini? Kalau benar demikian, mudah-mudahan masalah ini akan tuntas. Selamat tinggal, Ki!" Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu.

"Selamat jalan, Dewa Arak! Semoga berhasil!" seru Ki Aswatama agak mengeraskan suaranya agar terdengar.

* * *

Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mencari tempat kediaman Juragan Trestajumena Geni. Karena tadi sewaktu menuju tempat tinggal Ki Aswatama, Arya telah melewatinya. Orang terkaya di beberapa desa itu tinggal di rumah yang mewah dan megah, terkurung pagar batu tinggi. Tak kurang dari satu setengah tombak tingginya.

"Berhenti!"

Hardikan keras disertai todongan dua batang tombak membuat Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di depan pintu gerbang rumah Juragan Trestajumena Geni. Dua orang lelaki menjaga pintu gerbang.

Penjaga-penjaga itu bertubuh kekar dan berwajah kasar. Yang menghardik Dewa Arak mempunyai tompel besar di pipi kanan.

"Siapa kau? Dan apa keperluanmu kemari?" tanya penjaga satunya lagi, yang berkepala botak. Suaranya tak kalah bengis dari rekannya.

Dua orang penjaga itu memang tidak termasuk orang-orang yang melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Ki Aswatama. Karena itu, mereka tidak mengenal Dewa Arak!

Dewa Arak tengah mengejar waktu. Karuan saja, Arya jengkel mendapat hambatan seperti itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk bermain-main. Maka, tangan kirinya segera dikibaskan.

"Wuaaa!"

Dua orang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu menjerit ngeri. Tubuh mereka tiba-tiba melayang. Padahal, keduanya yakin Dewa Arak tidak menyentuh tubuh mereka. Penjaga-penjaga itu hanya merasakan angin dahsyat berhembus kencang. Dan, itu terjadi ketika Dewa Arak mengibaskan tangannya.

Tapi Dewa Arak tidak mempedulikan nasib kedua penjaga itu. Dengan sekali lesatan Arya berhasil melewati pintu gerbang. Kini, pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di halaman depan yang luas. Di kanan dan kiri yang berdekatan dengan tembok tampak membentang hamparan bunga-bunga indah.

Dewa Arak tertegun kebingungan. Di hadapannya terdapat beberapa bangunan megah. Tapi yang paling mewah dan besar adalah bangunan yang terletak di bagian tengah.

"Rupanya, ini bangunan induk. Di sinilah Juragan Trestajumena Geni tinggal," bisik Dewa Arak dalah hati.

Kedatangan Arya ternyata segera diketahui oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Itu terjadi karena hampir di setiap sudut terdapat mereka.

"Penyelundup...! Ada penyelundup...!"

"Kepuuung...! Jangan biarkan lolos...!"

Teriakan-teri akan keras terdengar saling bersahutan. Sesaat kemudian, derap kaki-kaki yang berlari menghant am bumi menyambuti. Hanya dalam sekejap Dewa Arak telah dikurung. Sementara pemuda berambut putih keperakan itu tetap berdiri di tempatnya.

Meskipun telah terkurung Dewa Arak tetap bersikap tenang. Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari memperhatikan para pengepungnya. Tatapan pemuda itu berhenti di depan pintu bangunan termegah.

Di sana berdiri seorang lelaki berpakaian indah. Dua orang bertampang angker berada di kanan kirinya. Sementara dua orang lagi berjaga-jaga di anak tangga terbawah yang menuju ke pintu bangunan megah itu.

Tanpa diberitahu Dewa Arak sudah bisa menduga siapa lelaki berpakaian indah itu. Pasti Juragan Trestajumena Geni! Sayang, pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa terlalu lama memperhatikannya. Karena....

"Siapa kau, Keparat! Sungguh berani menyatroni tempat tinggal Juragan Trestajumena Geni!" tuding seorang lelaki pendek kekar yang berada tepat di depan Dewa Arak. Melihat tindak-tanduknya, kedudukannya tentu tidak sama dengan yang lainnya.

"Dialah orang yang kami ceritakan itu, Pratala!" teriak salah seorang di antara para pengepung.

"Benar!" sambung yang lainnya.

"Betul!" Satu suara lagi memberikan dukungan. "Dia lihai sekali!"

Lelaki pendek kekar yang ternyata bernama Pratala menggertakkan gigi. Lelaki itu geram bukan main begitu mengetahui sosok yang berdiri dihadapannya orang yang telah menggagalkan rencana melenyapkan Ganta dan Kiwul. Sebab, dirinya yang mendapat teguran dari Juragan Trestajumena Geni. Karena dialah yang menjadi pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.

"Kalau begitu, bunuh dia!" sem Pratala keras.

Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang telah mengepung Dewa Arak langsung melancarkan serangan. Senjata yang sejak tadi terhunus di tangan diayunkan ke arah sasaran.

Sing, sing, wukkk!

Bunyi-bunyi tajam mengiris telinga mengawali tibanya hujan berbagai macam senjata. Dewa Arak tetap tenang. Ditunggunya hingga semua serangan menyambar dekat. Setelah itu Arya baru bertindak. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, pemuda berambut putih keperakan itu mengelakkan setiap serangan. Tubuhnya berkelebat an di antara senjata lawan.

Pratala geram bukan main melihat Dewa Arak mampu meloloskan diri. Lincah bagai kera Dewa Arak berkelebatan di sela-sela hujan serangan!

Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Namun, tidak berlangsung seimbang. Terbukti, beberapa gebrakan kemudian ketika Dewa Arak mulai melancarkan serangan. Jerit kesakitan mengiringi berpentalannya tubuh tukang pukul Juragan Trestajumena Geni satu demi satu!

"Hiaaat...!"

Pratala yang sangat murka melompat menerjang Dewa Arak. Golok besar yang menjadi senjata andalannya diayunkan ke kepala Arya. Bila berhasil mengenai sasaran, lelaki pendek kekar itu yakin tubuh Arya akan terbelah menjadi dua.

Tapi, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Padahal pada saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dengan tenang tangan kirinya dipalangkan di atas kepala. Pemuda itu memapaki bacokan golok Pratala dengan pergelangan tangan!

Takkk!

Bunyi keras terdengar. Golok Pratala berbenturan dengan tangan Dewa Arak yang terlindungi tenaga dalam kuat. Seketika itu pula, golok itu terpental balik. Pratala merasakan tangannya panas dan sakit, sehingga hampir-hampir senjatanya terlepas dari cekalan.

Sementara Dewa Arak sedikit pun tidak mengalami kejadian yang merugikan. Tangannya tetap utuh. Jangankah putus, tergores pun tidak. Malah, dengan kecepatan luar biasa tangan kirinya dihantamkan ke arah dada Pratala.

Pemimpin tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu terkejut bukan main. Dia menyadari adanya bahaya yang mengancam. Tapi saat itu kedudukan tubuhnya tidak menguntungkan. Dia masih berada di udara. Meskipun demikian, diusahakan sebisanya untuk mengelak. Dan....

Plakkk!

"Huakh...!" Pratala melolong ketika telapak tangan kiri Dewa Arak dengan telak menghantam sasaran. Bunyi berdetak keras tulang-tulang patah langsung terdengar. Darah segar menyembur dari mulut pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Dan tubuhnya melayang meninggalkan raga.

Kejadian ini tidak hanya mengejutkan tukang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Tapi juga Juragan Trestajumena Geni sendiri. Dan sebelum keterkejutan mereka sirna, dengan sekali lesatan Dewa Arak berhasil keluar dari kepungan. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melesat cepat ke arah Juragan Trestajumena Geni!

Tindakan Dewa Arak membuat semua mata yang ada di situ terbelalak lebar. Tindakan pemuda itu benar-benar menggiriskan hati. Anak tangga yang berjumlah belasan langsung dilewatinya. Sekejap kemudian Arya telah berada di puncak! Satu tombak di hadapan Juragan Trestajumena Geni.

Kejadian tak disangka-sangka ini membuat tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kelabakan. Berbondong-bondong mereka berlari mengejar Dewa Arak. Demikian pula dua tukang pukul yang berjaga di anak tangga terbawah. Mereka berlari-lari melewati anak tangga untuk menyelamatkan nyawa majikannya.

Tapi, tindakan mereka kalah cepat oleh dua orang berwajah angker yang berada di kanan kiri Juragan Trestajumena Geni. Secepat kilat keduanya mencabut pedang yang tergantung di punggung. Kemudian menyerang Dewa Arak bagai harimau luka.

Sing, sing!

Kedua pedang itu meluncur ke arah leher dan ulu hati Dewa Arak! Arya tahu serangan kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan serangan-serangan sebelumnya. Tenaga dalam serangan itu jauh lebih kuat dari Pratala, Ganta maupun Kiwul.

Tapi semua itu bukan berarti Dewa Arak menjadi gentar. Waktu yang mendesak membuat Arya tak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Cepat kakinya dijejakkan. Hingga, tubuhnya melayang ke atas. Tak pelak lagi, serangan kedua pedang itu menyambar lewat di bawah kakinya. Di saat tubuhnya berada di udara itulah Dewa Arak bertindak. Tangan dan kakinya digerakkan dengan cepat ke arah kedua lawannya.

TUJUH

Bukkk! Dukkk!

"Akh, akh!"

Dua lelaki berwajah garang itu menjerit tertahan ketika kaki dan tangan Dewa Arak mendarat telak di dada dan tengkuk mereka. Tulang dada itu hancur berantakan. Sedang leher kawannya langsung patah. Saat itu juga nyawa kedua pengawal kepercayaan Juragan Trestajumena Geni melayang ke alam baka. Tubuh keduanya ambruk ke tanah.

Semua kejadian itu berlangsung di depan mata Juragan Trestajumena Geni. Karuan saja, lelaki berpakaian mewah itu ketakutan bukan main. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan berlari ke dalam. Tapi... Langkah Juragan Trestajumena Geni langsung terhenti. Mendadak....

Dewa Arak berdiri di hadapannya. Dengan sikap kalap juragan itu berbalik kembali. Tapi, sebelum maksudnya terlaksana Dewa Arak telah mengulurkan tangan. Dan....

Kreppp!

"Akh, ekh!" Napas Juragan Trestajumena Geni tersengal-senggal saat tangan Dewa Arak mencekal leher bajunya, dan mengangkatnya ke atas tanpa kesulitan yang berarti.

"Kau tidak usah takut, Tuan Saudagar! Percayalah, aku tidak akan membunuhmu asal kau mau menjawab pertanyaanku dengan jujur. Kau bersedia?!" tanya Dewa Arak dengan garang.

Juragan Trestajumena Geni hanya dapat mengangguk-anggukan kepala menyetujui tawaran yang diajukan Dewa Arak Rasa takut yang mencekam membuat lidahnya terasa kelu, sehingga sukar untuk berbicara.

Dewa Arak lalu menurunkan tubuh lelaki berpakaian mewah itu dan melepaskan cekalannya. "Awas! Jangan sekali-kali kau berbohong padaku. Bila hal itu kau lakukan, ke mana pun kau bersembunyi akan kucari. Dan..., kau tidak akan mati dengan enak!" ancam Dewa Arak sungguh-sungguh.

Kekhawatiran yang sangat akan keselamatan Melati membuat Dewa Arak tidak main-main. Sengaja ditunjukkannya sikap keras agar lawan-lawannya tidak berani bertindak sembarangan. Patut dimaklumi kecemasan hati pemuda berambut putih keperakan itu. Sebab, luka yang diderita Melati semakin bertambah parah. Tangan kananya kini lumpuh!

"Aku berjanji akan berkata sejujurnya. Tapi, apakah kau benar-benar akan menepati janjimu?!" Khawatir dengan keselamatan nyawanya. Juragan Trestajumena Geni memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan itu.

"Jangan samakan aku dengan kalian. Bagiku sebuah janji lebih berharga dari nyawa!" tandas Dewa Arak tegas.

"Tapi, aku masih belum yakin kalau kau belum mengucapkannya,," desak Juragan Trestajumena Geni.

"Baik! Dengar baik-baik. Demi kehormatanku, aku bersumpah tidak akan membunuh Juragan Trestajumena Geni bila dia bersedia menjawab pertanyaanku dengan jujur!"

"Sekarang aku percaya," sambut Juragan Trestajumena Geni. "Dan ingat, Anak Mua. Orang-orang yang berada di belakangku menjadi saksi sumpahmu."

"Aku tahu," sahut Dewa Arak tak sabar, setelah mengerling sejenak ke arah rombongan tukang pukul yang telah berada di belakang Juragan Trestajumena Geni. "Sekarang giliranku, Tuan Saudagar."

"Silakan," jawab Juragan Trestajumena Geni.

"Benarkah kau yang menyuruh orang untuk membuat Ki Aswatama sakit?"

Juragan Trestajumena Geni tertegun. Terlihat jelas dia merasa ragu untuk menjawabnya. Tentu saja, Dewa Arak mengetahuinya.

"Tidak usah ragu-ragu, Tuan Saudagar. Ingat sumpah yang kuucapkan!" sambung Dewa Arak cepat.

"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni menghela napas panjang. "Benar."

"Benarkah orang yang kau suruh itu menggunakan ilmu hitam?" kejar Dewa Arak.

Juragan Trestajumena Geni mengangguk.

"Apakah selain terhadap Ki Aswatama kau memberikan perintah untuk menyakiti orang lain?" tanya Dewa Arak lagi, agak bergetar suaranya karena peras aan tegang yang melanda.

"Tidak!" jawab Juragan Trestajumena Geni mantap. "Aku hanya mendendam pada Ki Aswatama. Hanya pada dialah kuberikan perintah untuk mengirimkan serangan gaib!"

"Kau yakin, Tuan Saudagar?" kejar Dewa Arak setengah tidak percaya. Seraya menatap lelaki berpakaian mewah itu tepat pada kedua bola matanya. Ingin diketahuinya kejujuran juragan itu lewat sinar matanya.

"Aku berkata dengan sejujurnya, Anak Muda!" tandas Juragan Trestajumena Geni sedikit tidak senang.

Dewa Arak pun terdiam. Dirasakan kesungguhan dalam ucapan dan sikap lelaki berpakaian mewah itu. Dan Arya percaya Juragan Trestajumena Geni tidak berbohong. "Pertanyaan terakhir, Tuan Saudagar. Siapakah orang yang telah mengirimkan serangan gaib itu? Dan di mana tempat tinggalnya?"

Seketika itu pula selebar wajah Juragan Trestajumena Geni berubah. Pucat pasi bagai tak berdarah. Tampaknya, pertanyaan itu mengejutkan hatinya.

Dewa Arak bukan orang bodoh. Pemuda itu tahu Juragan Trestajumena Geni merasa cemas untuk menjawabnya. "Waktuku tidak banyak, Tuan Saudagar. Cepat berikan jawaban. Atau..., terpaksa aku turun tangan untuk mencabut nyawamu?!" ancam Dewa Arak dengan sungguh-sungguh.

Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir Juragan Trestajumena Geni tidak berani memberikan jawaban. Jika hal itu terjadi, habislah harapannya. Terpaksa dia mulai dari awal lagi. Dan mungkin Melati telah keburu tewas. Rupanya, gertakan Dewa Arak manjur juga. Meskipun dengan takut-takut Juragan Trestajumena Geni mau juga membuka mulutnya.

"Aku sendiri tidak tahu pasti siapa dia, Anak Muda. Yang jelas, dia seorang ahli ilmu hitam. Mungkin dukun. Salah seorang anak buahku yang memberitahuku mengenai dia. Namanya Mbah Lulur Jagad. Tinggal di puncak Bukit Rajang. Di sana ada sebuah gua. Itulah tempat tinggalnya," urai Juragan Trestajumena Geni.

Dewa Arak mengingat semua keterangan Juragan Trestajumena Geni. Kemudian, setelah yakin tidak ada yang ditanyakan lagi, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. Sehingga meskipun Juragan Trestajumena Geni dan tukang-tukang pukulnya sejak tadi mengawasi, hanya melihat kelebatan bayangan ungu yang tidak jelas. Bayangan itu melesat ke arah pintu gerbang. Dengan sekejap sosok tubuh itu telah berada di luar dan terus melesat pergi.

"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni menghela napas lega melihat Dewa Arak memenuhi janjinya. Dengan langkah lesu tubuhnya dibalikkan. Kemudian kakinya melangkah memasuki bangunan induk. Sementara tukang-tukang pukulnya tanpa diperintah lagi mengurus rakan-rekan mereka yang terluka maupun tewas.
* * *
"Keparat!"

Makian keras penuh kemarahan keluar dari mulut seorang nenek berambut awut-awutan. Pakaian serba hitam membungkus tubuhnya yang tinggi kurus. Kalung, gelang, anting, dan ikat pinggang yang terbuat dari ular yang dikeringkan menghiasi anggota-anggota tubuhnya.

"Ada apa, Mbah?!"

Sebuah suara lembut dan halus menanggapi makian nenek berpakaian hitam. Sesaat kemudian, pemilik langkah itu menghampiri si nenek. Ternyata dia seorang wanita berwajah cantik jelita.Tubuhnya montok menggiurkan dan terbungkus pakaian merah menyala, membuat kecantikannya semakin menyolok.

"Si keparat Trestajumena Geni membuka rahasiaku pada Dewa Arak, Ayu," jawab nenek berpakaian hitam. Terasa jelas kegeraman di dalamnya. "Rupanya dia sudah ingin mampus! Tapi, kematian terlalu enak baginya. Dia harus menerima hukuman yang lebih berat. Akan kuteror dia. Kubunuh semua anak buahnya dulu. Ayo, Ayu! Cepat buatlah boneka yang banyak!"

Tanpa membantah wanita berpakaian merah yang dipanggil Ayu melaksanakan perintah nenek berpakaian hitam, yang tidak lain Mbah Lulur Jagad! Diambilnya kain-kain berwarna hitam dari sudut ruangan. Kemudian, dibentuknya menjadi sebuah boneka yang amat sederhana.

"Mbah...," ucap Ayu seraya terus membuat boneka.

"Hm...!" Tanpa menoleh, Mbah Lulur Jagad menyambuti dengan menggumam pelan.

"Mengapa tidak lekas kau tusuk mati saja si Melati keparat itu! Jika dia tewas tenanglah hatiku!"

"Hhh...!" Sambil menghela napas, Mbah Lulur Jagad menoleh. Sepasang matanya yang kemerahan dan mengandung sinar aneh menatap wajah Ayu lekat-lekat.

"Sudah telanjur, Ayu. Sekarang, tidak mungkin lagi langsung kuarahkan jarum-jarumku ke jantungnya. Aku mempunyai aliran ilmu hitam yang agak berbeda. Dengan boneka-boneka yang kubuat, aku tidak hanya dapat menyiksa atau membunuh seorang dari jarak jauh. Tapi, juga dapat membuatnya menjadi mayat hidup yang taat dengan segala perintahku!"

Mbah Lulur Jagad menghentikan uraiannya. Sebuah beneka diacungkannya dengan tangan kiri, dan jarum tergenggam di tangan kanan.

"Untuk hal yang pertama, tidak sulit. Begitu membuat boneka yang mewakili diri seseorang, aku dapat melakukan apa saja yang kuinginkan! Setiap kali boneka ini kutusuk dengan jarum, orang yang diwakili boneka ini akan kesakitan. Kucopot kakinya, maka kaki orang itu akan copot. Dan kalau kutusuk jantungnya, dia akan mati!"

Kembali Mbah Lulur Jagad menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah Ayu lekat-lekat. Nenek itu memberi kesempatan pada Ayu untuk mengajukan pertanyaan. Tapi, Ayu tidak menggunakan kesempatan itu. Mungkin dia telah paham dengan semua yang diceritakan Mbah Lulur Jagad.

"Cara yang kedua, berbeda dengan ilmu hitam umumnya. Cara ini sulit. Ada tahap-tahapnya. Dan caranya pun tidak sembarangan. Setiap tahap membutuhkan mantera sendiri dan waktu yang agak lama. Cara ini kupergunakan untuk orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ki Aswatama, terutama Melati, masuk golongan ini. Aku bermaksud menjadikan mereka mayat-mayat hidup yang taat perintahku!"

"Kapan mereka akan menjadi seperti yang kau harapkan, Mbah?" tanya Ayu ingin tahu.

"Untuk Ki Aswatama saat ini juga bisa kulakukan. Tinggal tusuk bagian jantung boneka ini. Dia akan mati! Setelah itu, kuhidupkan lagi. Dan dia akan menjadi mayat hidupku yang paling patuh akan segala perintah yang ku harapkan. Kau tahu, Ayu. Apa yang kuinginkan langsung dilaksanakan oleh mayat hidup itu. Seakan-akan aku dan dia satu pikiran!"

"Tapi, Mbah. Bukankah kau katakan Trestajumena Geni telah membuka rahasiamu terhadap Dewa Arak. Itu berarti dia berada dalam perjalanan menuju ke sini. Apakah sebelum Dewa Arak tiba kau telah bisa menjadikan Melati sebagai mayat hidup?"

"Belum." Mbah Lulur Jagad menggelengkan kepala. "Dia baru saja kulumpuhkan lengan kanannya. Membutuhkan waktu dua hari untuk melumpuhkan tangan yang lain. Kemudian, tiga hari untuk menusuk jantungnya. Baru setelah itu dia akan menjadi mayat hidup!"

"Kalau demikian, Dewa Arak akan keburu tiba di sini!" keluh Ayu.

"Tenanglah, Ayu. Memang, tindakan Trestajumena Geni membuat aku harus bertindak cepat. Tapi, jangan khawatir. Aku yakin Dewa Arak tidak akan sampai di sini. Dia akan tewas di perjalanan. Sebenarnya, sayang juga orang sehebat dia harus tewas. Tapi, bagaimana lagi? Dia tidak bisa kujadikan mayat hidup! Ada kekuatan aneh yang tidak kumengerti, menolakkan jarum yang kutusukkan ke tubuhnya!"

"Mbah!" seru Ayu mencoba membantah. "Jadi.., kau bermaksud menjadikannya sebagai mayat hidup? Apakah kau tidak mendengar permintaanku waktu itu?"

Mbah Lulur Jagad menatap wajah wanita berpakaian merah dalam-dalam. "Kau benar-benar gadis aneh, Ayu," ucap nenek berpakaian hitam seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Cintamu kepadanya ternyata benar-benar buta. Bukankah menurutmu dia tidak membalas cintamu? Dan gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu adalah tunangannya? Mengapa kau masih mengharapkannya?"

"Aku yakin, apabila Melati tidak ada Dewa Arak akan mencintaiku. Bukankah aku memiliki wajah cantik dan tubuh yang bagus?! Karena itu, sejak awal kuminta kau membunuh Melati, Mbah! Aku kecewa sekali begitu kutahu Melati tidak kau bunuh!"

Kembali Mbah Lulur Jagad menggeleng-gelengkan kepala. "Apakah kau tidak sakit hati, Ayu? Bukankah Dewa Arak yang menggagalkanmu di saat pedangmu hampir memenggal kepala Melati. Bahkan, dia pula yang telah menyebabkanmu terluka berat? Dan kau ditinggalkannya begitu saja di tengah jalan? Kalau tidak ada aku yang menolongmu, bagaimana nasibmu? Tapi, apa balasanmu? Memperkenalkan nama aslimu pun tidak!"

"Maafkan aku, Mbah," ucap wanita berpakaian merah. "Bukannya aku mau merahasiakannya darimu. Tapi, aku telah berjanji tidak akan memperkenalkan nama asliku bila Melati belum mati di tanganku!"

Mbah Lulur Jagad hanya mengangkat bahu mendengar pernyataan itu. Perhatiannya kembali dialihkan pada benda benda yang tergolek di depannya. Dua buah bonek sederhana. Yang satu didandani seperti wanita. Sedangkan satunya lagi persis kakek-kakek.

Yang menggiriskan hati, pada kedua boneka itu tertancap jarum-jarum yang tajam berkilatan. Hanya pada boneka yang berupa kakek-kakek jarum itu lebih banyak. Dua menancap pada kedua paha. Dua lagi pada kedua bahu. Sedangkan pada boneka wanita pada kedua paha dan satu bahu.

Dengan pandang mata berbinar-binar, nenek berpakaian hitam itu mengambil boneka kakek-kakek. Kemudian, diambilnya pula sebuah jarum besar yang putih mengkilat. Sambil menggumamkan kata-kata yang tidak jelas, karena diucapkan dengan pelan dan cepat, jarum itu dihujamkan ke dada sebelah kiri boneka kakek.

Jrebbb!

Jarum besar dan panjang itu menembus hingga bagian belakang tubuh boneka tua itu. Pemandangan seperti ini yang terlihat di gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad. Tapi, di rumah Ki Aswatama sangat mengejutkan!

Ki Aswatama yang tengah terbaring lemah di balai-balai bambu dan dijaga kedua muridnya, tiba-tiba mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua tangannya didekapkan ke dada kiri. Sepasang mata kakek itu membelalak lebar seperti orang meregang nyawa. Lalu mendadak sontak tubuhnya lemas dan tidak bergerak lagi.

"Guru...!" Jeritan kaget dan cemas itu keluar dari mulut Ganta. Dipanggil-panggilnya gurunya. Tapi, Ki Aswatama tidak memberikan tanggapan sedikit pun.

"Guru...!" seru Kiwul pula tak kalah kerasnya. Karena dilihatnya kakek tinggi besar tidak memberikan tanggapan, diguncang-guncangkannya tubuh tua itu. Berharap ada keajaiban dan Ki Aswatama bangun. Tapi harapan kedua orang itu sia-sia. Kakek tinggi besar itu tidak memberikan tanggapan sama sekali. Melihat kenyataan itu, Ganta dan Kiwul pun yakin Ki Aswatama telah tewas

"Guru...!"

Hampir bersamaan Ganta dan Kiwul merebahkan wajah di kanan dan kiri dada Ki Aswatama. Kekhawatiran mereka terbukti. Kakek tinggi besar itu akhirnya tewas.

DELAPAN

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad tergelak melihat tingkah laku Ganta dan Kiwul. Ternyata, nenek berpakai an hitam itu melihat melalui sebuah bola kaca yang besarnya hampir sekepala manusia dewasa.

Tapi tidak lama Mbah Lulur Jagad bersikap demikian. Boneka tua itu lalu didekatkan ke atas sebuah pedupaan yang mengepulkan asap berbau wangi. Bau kemenyan! Pendupaan, bola kaca, boneka-boneka dan jarum-jarum besar dan panjang tergeletak semua di depan nenek ahli sihir itu.

Mbah Lulur Jagad membiarkan boneka tua itu terkena asap pendupaan. Malah, boneka itu digoyangkan-goyangkan di atasnya. Sementara mulutnya menggumamkan kata-kata yang sukar ditangkap artinya. Nenek itu tengah mengucapkan mantera-mantera. Cukup lama juga Mbah Lulur Jagad berbuat seperti itu.

"Atas nama roh-roh penasaran dan setan-setan di neraka, bangkitlah kau, Ki Aswatama. Dan mulai sekarang kau menjadi budakku. Apa yang kuinginkan kau yang laksanakan! Bangkit! Bangkit!"

Usai berkata begitu, Mbah Lulur Jagad mengambil kendi dan menuangkannya ke dalam mulut. Berkumur-kumur beberapa saat. Lalu.... "Pruhhhh!"

Mbah Lulur Jagad menyemburkan air kendi yang berasal dari tujuh mata air dan telah direndam dalam tujuh macam kembang itu, pada boneka tua di atas pendupaan! Baru setelah itu semua tindakannya dihentikan.

Sekarang, dengan sorot mata berbinar, nenek berpakaian hitam itu mengarahkan tatapannya, pada bola kaca di depannya. Tampak di sana Gantar dan Kiwul telah mengangkat kepala. Kedua orang muda itu saling berpandangan.

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad kembali tertawa terkikih ketika melihat mulut Ki Aswatama bergerak-gerak. Maka, buru-buru dicabutinya jarum-jarum panjang yang menyate tubuh boneka tua itu. Kembali perhatiannya dialihkan. Dan ketika Ki Aswatama mulai bergerak bangkit, Mbah Luhur Jagad pun mulai dengan percobaan pertamanya.

"Bunuh kedua orang muda itu!" bisik Mbah Lulur Jagad dalam hati.

Akibatnya sungguh luar biasa! Sambil mengeluarkan geraman keras, Ki Aswatama mengayunkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri. Tindakan kakek tinggi besar itu membuat Gantar dan Kiwul, yang semula terpaku melihat orang yang telah mati hidup kembali, terkejut bukan main.

Kedua orang muda itu segera menyadari bahaya yang mengancam. Maka, sebisanya mereka berusaha meyelamatkan selembar nyawa. Dan itu dilakukan dengan membuang tubuh ke belakang. Tapi....

Crokkk, crokkk!

Terdengar bunyi keras seperti sesuatu yang hancur ketika kedua tangan Ki Aswatama menghantam kepala Ganta dan Kiwul. Tanpa sempat mengeluarkan jeritan lagi, mereka ambruk ke lantai. Tewas!

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad gembira bukan main melihat keberhasilan rencananya. Sekarang, diperintahkannya Ki Aswatama keluar dan berdiri di depan pintu, menghadang kedatangan Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu harus melewati tempat tinggal Ki Aswatama bila ingin menuju Bukit Rajang. Jalan itu adalah satu-satunya jalan yang paling dekat.

Dan, memang dugaan Mbah Lulur Jagad tidak salah. Dewa Arak memilih jalan yang melalui pondok Ki Aswatama untuk mencapai puncak Bukit Kajang. Pemuda berambut putih keperakan yang tengah terburu-buru ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat segera tiba di tempat tujuan.

Karena itu, hanya dalam waktu singkat pondok Ki Aswatama telah terlihat. Kali ini Dewa Arak tidak bermaksud untuk singgah. Waktunya sudah tidak memungkinkan lagi. Maka pemuda itu memutuskan untuk tidak mengendurkan larinya meskipun melalui depan pondok Ki Aswatama.

Tapi sebelum niat itu terlaksana, sepasang mata Dewa Arak membelalak lebar ketika melihat pemandangan di depannya. Di sana tampak sesosok tubuh berdiri di depan pondok Ki Aswatama. Yang mengejutkan Dewa Arak adalah saat melihat wajah sosok itu.

Wajah itu adalah Ki Aswatama! Bukankah kakek tinggi besar itu sedang terbaring sakit? Mengapa sekarang terlihat begitu segar? Bahkan seperti menunggu kedatangannya.

"Ki Aswatama...!" Begitu jarak antara mereka tingggal tujuh tombak lagi, dan telah melihat jelas kalau sosok itu adalah Ki Aswatama, Dewa Arak berteriak gembira.

Tapi kegembiraan Dewa Arak pupus ketika merasakan hal aneh merayapi dirinya. Dia meras akan ada bahaya mengancam. Bahkan bahaya besar! Dewa Arak tahu ini adalah nalurinya. Maka, pemuda itu pun bersikap waspada. Meskipun terlihat biasa saja, seluruh urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang. Siap menghadapi segala sesuatu yang tidak diharapkan!

Keheranan Dewa Arak semakin membesar ketika menyadari kenyataan aneh. Kian dekat dengan Ki Aswatama rasa gelisahnya semakin menjadi. Kenyataan itu mengherankan Dewa Arak. Buru-buru larinya dihentikan. Sekarang Arya melangkah biasa. Sepasang matanya diarahkan pada sosok Ki Aswatama.

Dewa Arak merasakan tengkuknya merinding. Padahal, tanda seperti ini hanya akan muncul bila dia bertemu dengan makhluk aneh. Apakah Ki Aswatama bukan manusia?

Pertanyaan itu membuat Dewa Arak menghentikan langkah. Arya mulai curiga pada Ki Aswatama. Pemuda itu berdiri berhadapan dengan kakek tinggi besar itu dalam jarak tiga tombak.

"Arrrggghhh...!" Tiba-tiba Ki Aswatama mengeluarkan geraman aneh. Bunyinya seperti raungan binatang buas yang terluka. Kemudian, kakek tinggi besar itu menerkam Dewa Arak bagai seekor harimau menerkam mangsanya.

Untung Dewa Arak sudah bersiap-siap. Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu terkejut juga. Serangan Ki Aswatama demikian cepat dan dahsyat! Kehebatannya berpuluh kali lipat dari serangan harimau yang paling buas sekalipun!

Wusss!

Dewa Arak tercekat ketika meras akan angin sambaran serangan Ki Aswatama. Angin keras itu sanggup melemparkan tubuhnya kalau tidak segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kali. Padahal, serangan itu belum juga tiba.

Dewa Arak adalah pendekar yang berwatak hati-hati. Karena itu, Arya tidak segera memapaki serangan itu. Cepat kakinya dijejakkan hingga tubuhnya melesat ke atas melampaui kepala Ki Aswatama. Pemuda itu bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah.

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, Ki Aswatama telah melancarkan serangan susulan. Kakek itu menggulingkan tubuhnya di tanah. Kemudian ketika telah berada di dekat Dewa Arak, tubuhnya dilentingkan.

"Arrrggghhh...!" Lagi-lagi dengan diiringi geraman keras yang tidak layak keluar dari mulut manusia, tangan kanannya disampokkan ke pelipis Dewa Arak.

"Ah!" Dewa Arak terpekik kaget. Bukan hanya karena kecepatan serangan itu. Tapi juga karena sempat melihat tangan Ki Aswatama. Kuku-kuku runcing, panjang, melengkung, dan berwarna kehitaman menghiasi ujung-ujung jarinya. Padahal, Dewa Arak tahu kakek tinggi besar itu tidak memelihara kuku!

Hal ini membuat Dewa Arak yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan. Sesuatu telah menimpa diri Ki Aswatama. Dan siapa pun sosok yang berdiri di hadapannya, yang jelas amat berbahaya bila dibiarkan hidup!

Mungkin sosok ini memang Ki Aswatama. Tapi berkat ilmu hitam telah berhasil dijadikan makhluk mengerikan! Demikian kesimpulan Dewa Arak yang sadar akan banyaknya ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.

Keputusan yang diambil membuat Arya memutuskan untuk memapaki serangan itu. Ia ingin merasakan sendiri kekuatan tenaga Ki Aswatama! Maka, Dewa Arak segera mengayunkan tangan kirinya dengan mengerahkan seluruh tenaga dal amnya.

Plakkk!

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung beberapa langkah. Sementara tangan yang berbenturan terasa ngilu! Ini menandakan tenaga dalamnya masih di bawah tenaga dalam Ki Aswatama.

Seketika itu pula Dewa Arak sadar kalau Ki Aswatama yang dihadapinya ini adalah makhluk jadi-jadian. Sebab, tidak mungkin seorang guru silat desa, betapapun tinggi ilmunya, memiliki tenaga dalam lebih kuat darinya!

Tapi, Dewa Arak tadak bisa memikirkan hal itu lebih jauh. Ki Aswatama telah kembali melancarkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Hingga, Dewa Arak harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' warisan ayahnya dikeluarkan. Pemuda itu kelihatannya tidak memiliki kesempatan untuk mengambil guci araknya.

Semula pertarungan berlangsung seimbang. Tapi keadaan itu tidak berlangsung sampai lima jurus. Menginjak jurus kelima, Dewa Arak mulai terdesak. Banyak hal yang menyebabkan pemuda berambut putih keperakan itu terdesak. Keberadaan Melati di bahunya, dan tambahan lagi hanya menggunakan sebelah tangan. Sehingga, kedahsyatan ilmu-ilmu warisan ayahnya berkurang. Melati pun menyadari keadaan kekasihnya yang gawat.

"Lemparkan aku, Kakang! Lemparkan!" seru Melati memohon. Gadis berpakaian putih itu menyadari kalau keadaan seperti ini terus dibiarkan dia dan kekasihnya akan tewas.

Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh dan keadaan Arya semakin terjepit oleh serangan-serangan Ki Aswatama yang menderu-deru laksana gelombang laut, Dewa Arak memutuskan untuk memenuhi permintaan Melati.

"Bersiaplah, Melati!" Usai berkata, tubuhnya bergerak ke samping untuk mengelakkan serangan lawan, Arya melemparkan tubuh kekasihnya.

Wuttt!

Begitu tubuhnya melayang, Melati segera memusatkan pikiran agar dapat mendarat dengan baik. Saat itu dia hanya mempunyai sebelah tangan yang masih berguna. Tangan kanannya lumpuh total!

Srattt!

Melati mencabut pedangnya ketika melihat tubuhnya meluncur deras menuju sebatang pohon besar. Kalau tidak berbuat sesuatu, sudah dapat dipastikan tubuhnya akan membentur batang pohon. Dan kesudahannya akan tidak menyenangkan. Kini dengan pedang terhunus Melati siap menghadapi kejadian selanjutnya.

Cappp!

Pedang itu menancap sampai hampir setengahnya ketika Melati menggengam pedangnya tegak lurus. Gerakan itu dilakukan Melati untuk membuat senjatanya yang lebih dulu membentur pohon, dan liukan tubuhnya. Kemudian, tanpa menemui kesulitan yang berarti Melati berhasil duduk dengan kedua kaki terjulur di tanah.

Ternyata bukan hanya Melati yang mendapatkan keberuntungan. Arya pun demikian. Di saat tubuhnya melayang guci arak yang tergantung di punggung diambil. Dan, segera dituangkan ke mulutnya.

Gluk... Gluk... Gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Terasa ada hawa hangat yang berputar di perut. Lalu, pelahan-l ahan naik ke atas. Dan....

Jliggg!

Dewa Arak berhasil mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi tak dengan mantap. Kedudukan tubuhnya sempoyongan seperti akan jatuh. Karena kedua kakinya tidak menapak tanah dengan tetap. Tapi, justru dalam keadaan seperti itu serangan-serangan Arya sangat membahayakan lawan. Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya telah siap dipergunakan!

Ki Aswatama sedikit pun tidak mempedulikan hal itu. Untuk kesekian kalinya dia menerjang Dewa Arak dengan serangan-serangan dahsyat. Tapi kali ini kakek tinggi besar itu kecewa. Dengan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, gerakan khas jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak mengelakkan setiap lawan. Hingga, setiap amukan kakek tinggi besar itu selalu mengenai tempat kosong.

Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Dengan menggunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang', dilancarkannya desakan-desakan terhadap Ki Aswatama yang telah menjadi makhluk jadi-jadian. Memang sungguh hebat ilmu 'Belalang Sakti'. Tangan, kaki, guci, dan semburan arak merupakan satu kesatuan yang menggilas habis pertahanan dan periawanan lawan.

Meskipun demikian, bukan berarti mayat hidup Ki Aswatama dapat dengan mudah ditaklukkan. Dia dapat melakukan perlawanan sengit yang mengakibatkan pert arungan berlangsung menarik dan menggiriskan.

Bunyi mendecit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah dengan geraman-geraman Ki Aswatama yang menggiriskan hati. Dan bunyi tegukan ketika di tengah-tengah pertarungan Dewa Arak menyempatkan diri meminum arak.

Pertarungan berlangsung dengan cepat. Tak terasa pertarungan telah menginjak jurus keseratus. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang lebih unggul. Padahal, tempat pertarungan telah kacau bagai habis dilanda badai.

Pertarungan itu rupanya dimanfaatkan oleh Dewa Arak yang cerdik. Tanpa disadari lawan, pemuda berambut putih keperakan itu menggiring lawannya ke satu tempat. Tempat itu adalah puncak Bukit Rajang! Kini, pertarungan dua tokoh itu berlangsung di lereng Bukit Rajang.

Bukan hanya Ki Aswatama yang tidak menyadari maksud Dewa Arak. Mbah Lulur Jagad dan Ayu yang menyaksikan jalannya pertarungan melalui bola kristal pun tidak menyadari hal itu. Memang, pemandangan yang tampak di dalam kaca tidak terlalu luas. Tapi, latar belakang pertarungan yang terus berubah-rubah seharusnya terlihat oleh Mbah Lulur Jagad!

Bahkan, Melati yang terus bergerak mengikuti pertarungan tidak menyadarinya. Gadis itu bergerak dengan bantuan pedang. Tampaknya, Melati tidak terlalu memperhatikan karena seluruh perhatiannya tertumpah pada kancah pertarungan.

"Hih!" Pada suatu kesempatan, setelah berhasil membuat Ki Aswatama melompat ke atas, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya. Pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.

Wusss!

Deru angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah Ki Aswatama. Mayat hidup itu terkejut bukan main melihat serangan yang datangnya tidak di sangka-sangka. Meskipun demikian, dicobanya untuk mengelak. Dan....

Bresss!

Telak dan keras pukul an jarak jauh Dewa Arak menghantam perut Ki Aswatama. Seketika itu pula, tubuh kakek tinggi besar itu terlempar jauh ke belakang dan melayang-layang beberapa tombak.

Tapi, sebelum tubuh mayat hidup Ki Aswatama jatuh berdebuk terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Mayat hidup itu bersalto beberapa kali dan mendarat di tanah tanpa luka sedikit pun! Tidak tampak tanda-tanda dia baru saja terkena jurus 'Pukulan Belalang' yang amat dahsyat!

Tentu saja kenyataan ini sangat mengejutkan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan geraman mengerikan, mayat hidup Ki Aswatama kembali melancarkan serangan. Mau tidak mau Dewa Arak menyambutnya kembali.

Sekarang alur pertarungan berubah. Mayat hidup Ki Aswatama rupanya telah menyadari kalau dirinya tidak bisa dilukai. Maka, serangan-serangan yang dilancarkannya tidak memikirkan pertahanan lagi. Bahkan ketika Dewa Arak melancarkan serangan, dibiarkan saja. Kemudian mayat hidup itu melancarkan serangan balasan.

Akibatnya, Dewa Arak kerepotan bukan main. Beberapa kali serangannya harus ditarik pulang kal au dia masih ingin selamat. Diciptakannya kesempatan sampai keadaan menjadi aman. Baru kemudian dilancarkan serangan.

Dan memang serangan itu tepat mengenai sasaran. Malah yang mematikan! Tapi ternyata mayat hidup Ki Aswatama benar-benar alot! Dia tetap tidak mengalami luka sedikit pun!

Tak terasa pertarungan sudah berlangsung dua ratus dua puluh lima jurus. Dewa Arak tahu kalau keadaan tidak berubah, dia akan tewas di tangan lawannya yang tangguh ini. Sebab, Ki Aswatama tidak bisa ditewaskan.

Dewa Arak segera teringat akan peristiwa yang pemah dialaminya. Kalau ingin makhluk jejadian ini tewas, penggeraknyalah yang harus dibinasakan (Untuk jelasnya menganai hal ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Penganut Ilmu Hitam).

Yakin akan kesimpulan yang didapat, Dewa Arak memutuskan untuk membunuh Mbah Lulur Jagad lebih dulu. Maka, tempat pertarungan pun terus digeser sehingga sampai di mulut gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad!

Begitu melihat gua itu, bergegas Dewa Arak menyelinap masuk. Saat itulah Mbah Lulur Jagad baru sadar! Rasa cemas melanda hatinya. Nenek itu pun bersiap-siap untuk kabur, bila keadaan tidak menguntungkan pihaknya! Mbah Lulur Jagad merasa lega ketika melihat Ki Aswatama ikut melesat masuk mengejar Dewa Arak.

Tapi hal ini sudah diperhitungkan pemuda berambut putih keperakan itu. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan. Mengirimkan serangan jurus 'Pukulan Belalang'!

Wusss! Bresss!

Tubuh Ki Aswatama melayang-layang ke belakang seperti daun kering terhempas angin. Serangan Dewa Arak menghantam dadanya dengan telak! Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak.

Arya terus melesat masuk ke dalam gua. Untung gua itu tidak begitu panjang. Dan lorongnya pun hanya satu. Hanya dalam sekejap pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil mencapai bagian tengah gua yang cukup luas dan terang.

Di tempat ini Dewa Arak melihat Mbah Lulur Jagad dan wanita berpakaian merah tengah bersiap-siap untuk melarikan diri. Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya secara bertubi-tubi. Suatu tindakan yang hampir tidak pernah dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang' secara berantai...!

Hal ini dilakukannya karena Dewa Arak khawatir serangannya akan berhasil dielakkan nenek berpakaian hitam, yang diduganya Mbah Lulur Jagad! Bila hal itu terjadi mayat hidup Ki Aswatama akan segera masuk dan pertarungan pun kembali berlangsung.

Wusss, wusss, wusss!

Heru angin keras berhawa panas meluncur susul-menyusul ke arah Mbah Lulur Jagad. Karuan saja, nenek berpakaian hitam itu terkejut bukan main. Datangnya serangan itu demikian mendadak. Apalagi dilancarkan dengan bertubi-tubi. Sebisanya nenek itu berusaha mengelak.

Memang, dua buah serangan Arya berhasil dielakkan. Tapi tidak demikian dengan serangan berikutnya. Telak dan keras menghantam dada Mbah Lulur Jagad! Saat itu juga tubuhnya melayang deras ke belakang dan terhempas menabrak dinding. Tanpa sempat merintih lagi, Mbah Lulur Jagad tewas dengan seluruh tubuh hangus! Samar-samar tercium bau daging terbakar.

Begitu melihat Mbah Lulur Jagad tewas, Dewa Arak segera melesat keluar gua. Sempat dilihatnya wanita berpakaian merah kabur melalui lorong yang lain. Tapi tidak dipedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu hal pertama yang harus dilakukannya adalah segera meninggalkan gua, sebelum gua itu ambruk. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang sebagian besar nyasar dan mengenai dinding gua telah menyebabkan seisi gua bergetar hebat!

Meskipun demikian, Dewa Arak sempat melihat banyak boneka-boneka yang terbuat dari kain hitam tertusuk jarum besar panjang pada bagian dada kirinya. Arya tidak tahu kalau beneka-boneka itu mewakili tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.

"Hahhh...!" Dewa Arak menghela napas lega begitu telah berada di hiar gua. Tampak di depan gua tergeletak tubuh Ki Aswatama. Dugaannya ternyata benar. Dengan tewasnya Mbah Lulur Jagad, mayat hidup itu pun tewas pula!

Diam-diam Dewa Arak bersyukur Mbah Lulur Jagad memiliki kepandaian silat yang tidak begitu tinggi. Sehingga, dapat ditewaskannya dalam serangkaian serangan berturut-turut. Hanya satu hal yang masih menggayuti benak Dewa Arak. Wanita berpakaian merah. Meskipun hanya sekilas, Arya dapat mengenalinya.

Wanita itu adalah Ranti, murid Perguruan Pedang Perak yang dulu mengenakan pakaian biru. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Maut dari Hutan Rangkong).

Seketika itu pula Arya teringat, mengapa dia seperti mengenal suara wanita berpakaian merah itu. Sungguh tidak disangkanya kalau Ranti belum juga menghentikan tindak kejahatannya terhadap Melati.

Tapi, Dewa Arak segera mengusir semua pikiran itu, Arya teringat akan Melati. Gadis berpakaian putih itu telah terbebas dari maut. Arya yakin tidak lama lagi Melati akan sembuh. Bukankah Mbah Lulur Jagad telah tewas? Dengan hati lega kakinya diayunkan menuju tempat Melati.
SELESAI
Selanjutnya,

Dewa Arak - Mayat Hidup

Dewa Arak - Mayat Hidup
Karya : Ajisaka

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
"Jangan...! Hentikan...!"

Teriakan keras penuh kekhawatiran menguak keheningan malam yang menyelimuti persada ini. Suara itu berasal dari dalam sebuah hutan. Lebih tepatnya, dari salah satu pohon yang ada di seberang sana.

Keributan itu membuat beberapa ekor burung hantu yang hinggap di pohon berterbangan. Tampak seorang pemuda berpakai an ungu dan berambut putih keperakan terbaring di atas salah satu cabang pohon.

Sikap dan sepasang matanya yang terpejam menunjukkan pemuda itu tengah tertidur. Jelas, teriakan-teriakan itu keluar tanpa disadari. Pemuda berambut putih keperakan itu tengah bermimpi! Dari tidurnya yang gelisah, agaknya mimpi pemuda itu kurang baik.

Semakin lama keadaan pemuda berambut putih keperakan semakin mengkhawatirkan. Seruan-seruan kekhawatiran senantiasa keluar dari mulutnya. Sampai akhirnya, ketika mimpi itu mencapai puncaknya, pemuda berambut putih keperakan terbangun.

"Ahhh...! Kiranya aku bermimpi..." Pemuda itu mendesah penuh rasa syukur. Kemudian, duduk di cabang pohon dengan kedua kaki terjulur ke bawah. Kedua tangannya mengusap wajah yang dibanjiri peluh-peluh sebesar jagung. Tampaknya mimpi yang dialaminya cukup mencekam jiwa. Kalau tidak, mustahil pemuda itu mengeluarkan peluh seperti itu. Sebab udara malam sangat dingin hingga menusuk tulang.

"Tapi, benarkah semua ini hanya bunga tidur saja?! Apakah ini bukan sebuah pertanda?! Kalau hanya mimpi biasa, mengapa terjadi berturut-turut dan dengan kejadian yang sama?!"

Tanpa merubah sikap duduknya, pemuda berambut putih keperakan itu menggumam pelan. Terbayang kembali di matanya mimpi yang selalu berulang menghias tidurnya. Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah berjuang menghadapi maut. Gadis itu berusaha mempertahankan selembar nyawanya dari belitan seekor ular besar, yang melilit sekujur tubuhnya. Mulut ular itu hendak memangsa kepalanya!

Di saat gadis berpakaian putih tengah berjuang tampak puluhan batang pedang meluncur ke berbagai bagian tubuhnya. Pedang-pedang yang membuat pemuda berambut putih keperakan bergidik ngeri. Senjata-senjata tajam itu berwarna kemerahan seperti besi dibakar.

Sementara itu, tepat di atas gadis berpakaian putih tampak seekor naga berwarna merah menyala. Naga merah itu berusaha menghambat luncuran pedang-pedang aneh itu. Beberapa kali, binatang raksasa itu berusaha memapaki serbuan pedang. Tapi, tubuhnya selalu terpental ke atas seperti membentur sesuatu yang tidak nampak! Mimpi itulah yang dialami pemuda berambut putih keperakan!

Dalam mimpi dilihatnya kepala gadis berpakaian putih masuk ke dalam mulut ular. Tidak hanya itu. Pedang-pedang merah menyala itu pun menembus sekujur tubuhnya. Anehnya, pada saat senjata tajam itu mengenai sasaran, naga merah yang besar itu sudah tidak ada lagi!

"Melati...," ujar pemuda berambut putih keperakan tanpa menyembunyikan rasa khawarir. "Apakah yang terjadi dengan dirimu?!"

Memang, gadis berpakaian putih yang ada di dalam mimpi itu bernama Melati. Sekarang, sudah dapat diterka siapa pemuda berambut putih keperakan. Ya! Dia adalah Arya Buana atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Usai berkat a, Arya segera melompat turun. Laksana daun kering, Arya mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tidak ada sedikit pun bunyi yang terdengar ketika pemuda itu hinggap.

"Rasanya ada kejadian yang membahayakan nyawamu, Melati. Aku yakin mimpi-mimpi yang kualami sebuah isyarat. Kalau tidak guruku, Ki Gering Langit, yang memberitahukannya. Tentu belalang raksasa di alam gaib. Mungkin kesimpulan yang kuambil tidak berlebihan," gumam Arya kembali.

Seketika Arya teringat akan kejadian yang dialaminya sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul. Hail-hal yang semula tidak terlalu dipedulikannya. Tapi sekarang, semua itu teringat kembali! Sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul, rasa gelisah selalu datang mendera batin Arya. Rasa gelisah yang tidak diketahui sebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja.

Dan ketika Arya memutar benaknya untuk mencari sebab, keterkejutanlah yang diterima. Saat pemikirannya sampai pada Melati, rasa takut yang sangat langsung menyeruak! Sayangnya, Dewa Arak tidak mempedulikannya. Sikap tidak pedulinya terus berlanjut meski mimpi buruk mulai muncul. Pemuda berambut putih keperakan itu baru memperhatikan ketika mimpi itu berulang terus-menerus.

Keyakinan Dewa Arak semakin menebal ketika teringat dirinya memiliki indra keenam, naluri! Dia dapat merasakan adanya bahaya yang tengah mengancam. Hal itu didapatkan Dewa Arak secara tidak sengaja.

(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dalam Cengkeraman Biang Iblis dan Kemelut Rimba Hijau).

Yakin akan kesimpulan yang didapat, pemuda itu melesat meninggalkan hutan itu. Tanpa ragu-ragu seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu, melesat cepat menuju ke arah timur. Kalau saja ada penduduk desa yang melihatnya, tentu akan menyangka sosok bayangan itu hantu yang tengah berkeliaran mencari mangsa!

* * *

Siang itu cuaca benar-benar tidak menyenangkan. Matahari yang berada tepat di atas kepal a memancarkan sinarnya dengan garang. Seakan-akan dengan sinarnya itu sang Surya hendak melelehkan apa saja yang ada di permukaan mayapada.

Dalam cuaca sepanas itulah serombongan pasukan berkuda berpacu cepat meninggalkan Hutan Rajang. Derap langkah kaki kuda mengusik keheningan siang. Debu yang mengepul tinggi semakin menambah pengap udara siang yang sudah tidak menyenangkan.

Rombongan berkuda itu berjumlah sepuluh orang. Semuanya mengenakan seragam prajurit kerajaan. Hanya gadis cantik berambut panjang tergerai yang tidak mengenakannya. Gadis itu berpakaian putih.

"Keyakinanku tidak melesat bukan, Gusti Ayu Melati?!" ujar lelaki setengah baya yang berkuda di sebelah gadis berpakaian putih. Mereka berdua berkuda paling depan.

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Paman Patih?!" tanya gadis brepakaian putih yang ternyata Melati. Seraya menolehkan kepala dan menatap wajah setengah tua di sebelahnya.

"Mengenai keberhasilan tugas ini, Gusti Ayu," jelas lelaki setengah baya. Ia adalah patih Kerajaan Bojong Gading. Lelaki tua itu bernama Patih Rantaka.

Meskipun Patih Rantaka menghentikan ucapannya, Melati tidak menggunakan kesempatan itu untuk memberikan tanggapan. Bahkan dia malah berdiam diri, menunggu kelanjutan ucapan Patih Rantaka.

"Bukankah sejak semula sudah kukatakan bahwa dengan keberadaanmu di sini, Gusti Ayu, gerombolan pengacau itu akan dapat kita hancurkan. Kenyataan tidak melesat kan?!"lanjut Patih Rantaka.

"Hik hik hik...!" Melati tertawa untuk menutupi rasa bangga yang muncul dihati. Dia tahu pujian itu dikeluarkan dengan tulus. Patih Rantaka, seperti juga prajurit Kerajaan Bojong Gading lainya, sangat mengaguminya. Mereka yakin tidak ada lawan yang dapat menandingi putri angkat junjungan mereka.

"Kau bisa saja, Paman Patih," ucap Melati setelah berhasil menekan rasa bangganya. "Kemenangan yang kudapat sebenarnya lebih pantas disebut kemujuran. Sebab lawan yang kuhadapi memiliki kepandaian di bawahku!"

"Hik hik hik...! Kau benar, Melati! Dan sekaranglah saatnya kau akan mendapat giliran sebagai orang yang dikalahkan! Kau akan mampus di tanganku!"

Sebuah suara keras menggema ke seluruh tempat itu. Suara itu terdengar lebih dulu sebelum Patih Rantaka sempat menyambuti ucapan Melati. Karuan saja kejadian yang tidak disangka-sangka itu sangat mengejutkan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Tanpa diperintah lagi mereka langsung menyebar dan bersikap waspada. Bahkan...

Srattt, sing, singgg!

Sinar-sinar terang berkilauan ketika prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menghunus senjata. Kemudian, menyilangkan di depan dada. Sikap itu menunjukkan mereka telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Keterkejutan yang sama pun melanda Melati dan Patih Rantaka. Hanya saja Melati lebih dapat mengendalikan diri. Gadis itu tetap bersikap tenang. Namun sepasang matanya dialihkan ke arah suara itu datang. Sedangkan tangannya diacungkan ke atas memberi isyarat pada rombongan untuk menghentikan perjalanan.

Di depan Melati, hanya berjarak sekitar tiga tombak, berdiri sesosok tubuh ramping di atas sebuah cabang pohon yang menjorok ke jalan. Belum sempat gadis berpakaian putih itu memperhatikan lebih seksama, sosok ramping itu telah lebih dulu bertindak. Sosok itu melompat ke bawah seperti burung melayang turun. Ringan tanpa suara sosok ramping itu mendaratkan kaki di tanah, tiga tombak di depan Melati.

Melihat kejadian ini, Melati semakin meningkatkan kewaspadaan. Dari pertunjukan yang dipamerkan sosok ramping, Melati dapat memperkirakan tingkat kepandaian lawan. Sungguh pun yang dipertunjukkan hanya ilmu meringankan tubuh, Melati tidak berani bertindak gegabah. tingkat ilmu meringankan tubuh sosok ramping itu amat tinggi. Bukan tidak mungkin jika kepandaiannya pun luar biasa.

Memang, ada kemungkinan lain. Misalnya, sosok ramping itu hanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Tapi ilmu silatnya biasa saja. Tapi, itu hanya kemungkinan kecil saja.. Namun yang pasti Melati tidak menjadi gentar. Gadis itu tetap tenang.

"Siapa kau, Ni?! Rasanya aku tidak pernah berurusan denganmu. Mengapa kau menghadang perjalanan kami?!" tanya Melati penuh wibawa. Sikap seorang panglima kerajaan! Seraya mengajukan pertanyaan, Melati memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya. Barangkali saja dia bisa menemukan ciri-ciri yang dapat membuatnya mengenali sosok itu.

Tapi usaha Melati sia-sia, Dia tidak dapat mengenalinya. Sosok ramping itu mengenakan penutup wajah. Selubung merah menyala yang hanya mempunyai dua buah lubang kecil untuk mata. Pakaian dengan warna yang sama membungkus tubuhnya yang ramping dan berisi. Potongan tubuh dan suaranya menyebabkan Melati dapat menduga sosok ramping itu adalah seorang wanita!

"Mungkin kau tidak mengenalku, Melati. Tapi, aku cukup mengenalmu. Kurasa tanpa penjelasan lagi pun kau telah tahu mengapa aku menghadang perjalananmu," sambut wanita berpakaian merah dingin.

Melati menganggukkan kepala. Sepasang alisnya yang indah tampak berkerut. Dia merasa pernah mendengar suara itu. Tapi kapan dan di mana dia lupa.

"Maksud yang tidak baik bukan?!" sindir Melati seraya menyunggingkan senyum sinis.

"Tepat!" sambut wanita berpakaian merah tegas. Kepalanya dianggukkan.

"Lalu... alasannya?!" kejar Melati penasaran ingin tahu.

Wanita berpakaian merah tertawa mengejek. "Sayang sekali, Melati. Aku ingin merahasiakan alasannya kepadamu. Aku ingin kau mati tidak tenang. Mati penasaran! Hik hik hik...!"

"Keparat!" maki Melati geram. "Kaulah yang akan mampus di tanganku, Pengecut! Hih!" Dengan gerakan indah Melati melompat turun dari punggung kuda. "Menyingkir dari sini, Cilik," ucap Melati. Ditepuknya dengan lembut punggung binatang tunggangannya.

Binatang itu tampak mengerti. Sambil mengeluarkan ringkikan pelan, kuda bertubuh kecil dengan bulu berwarna coklat itu membalikkan tubuh dan melangkah menjauhi majikannya. Tak aneh kalau Melati memberinya nama Cilik!

Ternyata bukan hanya Cilik yang menjauhi tempat itu. Patih Rantaka dan semua prajurit Kerajaan Bojong Gading pun menghindar. Kini tinggal Melati dan wanita berpakaian merah yang berada di tempat itu. Kedua wanita itu berhadapan dalam jarak tiga tombak.

Baik Melati maupun wanita berpakaian merah rupanya menyadari kalau lawan yang akan dihadapi memang tangguh. Keduanya bertindak hati-hati. Tidak ada satu pun yang berani melancarkan serangan lebih dulu. Mereka saling menghampiri dengan sikap waspada.

Sebagai tokoh tingkat tinggi, Melati tahu melakukan penyerangan lebih dulu terhadap lawan yang memiliki kepandaian tinggi merupakan tindakan yang sangat merugikan. Setiap penyerangan berarti akan membuka celah-celah bagai lawan untuk serangan. Tapi, setelah menunggu sekian lama tidak ada serangan dari wanita berpakaian merah, Melati kehilangan kesabaran.

"Hiaaat..!" Didahului teriakan keras yang membuat prajurit Kerajaan Bojong Gading dan Patih Rantaka menutup telinga, gadis berpakaian putih itu melancarkan serangan. Melati mengawali gebrakannya dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah dada wanita berpakaian merah.

Wuttt!

Deru angin keras membuat debu mengepul tinggi, mengiringi tibanya serangan itu. Dari sini dapat diketahui kekuatan serangan Melati. Tendangan itu mampu menghancurkan pohon sebesar tiga pelukan orang dewasa!

Wanita berpakaian merah pun menyadari kedahsyatan serangan lawan. Tapi dia tidak menjadi gentar. Wanita itu tetap berdiam diri di tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda akan mengelakkan serangan itu.

Baru ketika serangan menyambar dekat, wanita berpakaian merah mulai bertindak. Kaki kirinya dilangkahkan ke belakang. Sedang tangan kanannya memapaki serangan dengan sebuah tetakan ke arah pergelangan kaki Melati.

Takkk!

Benturan keras dua tenaga dalam tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya, mereka merasakan bagian yang berbenturan tergetar hebat. Meskipun demikian, Melati berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Sikap tangkisan wanita berpakaian merah membuat kaki Melati seperti dijadikan sasaran serangan.

Tapi Melati tidak mempedulikan rasa sakit yang melanda. Begitu serangannya dapat ditangkis, secepat itu pula serangan susulannya meluncur. Dan itu dilakukan dengan kaki yang sama.

Wuttt!

Dengan kecepatan seorang ahli, Melati menarik kakinya sedikit. Lalu diluncurkan kembali dalam sebuah tendangan miring ke arah leher. Cepat bukan main tibanya serangan itu. Buru-buru wanita berpakaian merah melompat ke belakang dengan menjejakkan kaki.

Serangan Melati mengenai tempat kosong. Kaki gadis berpakaian putih itu menghantam beberapa jengkal di hadapan lawan. Namun, Melati teryata sudah memperhitungkan hal itu. Maka begitu serangan susulannya gagal, kaki kirinya langsung dijejakkan.

"Hih!" Ketika tubuhnya berada di udara, Melati mengibaskan kaki kirinya. Itu dilakukannya sambil memutar tubuh!

Wusss!

Wajah wanita berpakaian merah seketika berubah. Sungguh tidak disangkanya serangan Melati demikian bertubi-tubi dan susul-menyusul, sehingga tidak memberikannya kesempat an untuk memperbaiki kedudukan. Yang lebih mengejutkan sasaran Melati kali ini adalah pelipisnya!

Padahal bagian itu merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang terlemah. Jangankan terkena telak, terserempet saja sudah cukup untuk membuat nyawa melayang ke alam baka!

Tapi, lagi-lagi wanita berpakaian merah mampu membuktikan kalau ia bukan orang sembarangan. Dalam keadaan yang agak terjepit seperti itu diamampu melakukan tindakan penyelamatan. Wanita berpakaian merah segera menekuk lututnya. Dibentuknya kuda-kuda serendah mungkin. Sehingga....

Wusss!

Kibasan kaki Melati menyambar lewat beberapa jari di atas kepala wanita berpakaian merah. Saking kuatnya tenaga yang terkandung, pakaian wanita berpakaian merah sampai terkibar keras!

Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Melati di tanah, wanita berpakaian merah berhasil memperbaiki kedudukan. Tapi, Melati tidak mempedulikannya sama sekali. Serangan-serangan kembali dilancarkan.

Kali ini wanita berpakai an merah sudah siap! Dia pun memberikan sambutan hangat. Tak pelak Iagi, pertarungan sengit pun berlangsung.

DUA

Pada jurus-jurus awal, Melati maupun wanita berpakai an merah belum mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Namun demikian, pertarungan sudah berlangsung dahsyat. Bunyi menderu, mencicit, mengaung menyemaraki jalannya pertarungan.

Bukan hanya itu saja.Tanah terbongkar di sana-sini, debu mengepul tinggi ke udara, dan daun-daun serta ranting berguguran dari pohonnya. Itu semua terjadi akibat serangan-serangan yang tidak menemui sasaran.

Karena khawatir terkena angin serangan yang nyasar itulah, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading lebih menjauhi kancah pertarungan. Mereka semua tahu bahayanya. Jangankan terkena, terserempet angin serangan itu pun sudah cukup untuk membuat nyawa mereka terancam.

Rombongan Kerajaan Bojong Gading melangkah mundur tanpa mengalihkan perhatian dari kancah pertarungan. Seakan mereka khawatir jika berpaling sebentar saja pertarungan akan berakhir tanpa sempat mereka lihat. Akibatnya, mengedip pun sedapat mungkin tidak mereka lakukan.

Padahal, sekalipun mereka memusatkan perhatian boleh dibilang tak ada yang dapat mereka saksikan. Pertarungan berlangsung demikian cepat. Tidak terlihat jelas orang-orang yang tengah bertarung.

Yang terlihat hanya dua sosok bayangan putih dan merah berkelebat cepat. Terkadang dua sosok bayangan itu terpisah. Tapi lebih sering mereka saling belit. Bila terpisah hanya berlangsung sekejap. Sesaat kemudian mereka telah saling belit kembali.

Hanya itulah yang disaksikan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Walaupun begitu mereka tetap menyaksikannya dengan penuh perhatian. Meski mereka tidak melihat jelas.Tapi dari kelebatan sosok Melati dan wanita berpakaian merah yang berbeda, mereka dapat perkirakan keadaan yang tengah berlangsung.

Sampai saat ini rombongan Kerajaan Bojong Gading belum dapat meramalkan. Sulit untuk memperhatikan pihak yang berada di atas angin. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Melati dan wanita berpakaian merah masih saling berusaha merobohkan lawan.

Kesimpulan yang diambil rombongan Kerajaan Bojong Gading memang tidak keliru. Pertarungan kedua wanita itu masih berlangsung seimbang. Padahal, tiga puluh lima jurus telah berlalu.

Beberapa kali tangan atau kaki mereka berbenturan, hingga tubuh keduanya tergetar hebat. Bahkan terhuyung-huyung. Hal ini menandakan kekuatan tenaga dalam mereka memang berimbang.

Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh satu, wanita berpakaian merah sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Seraya menggertakkan gigi, dengan sebuah gerakan aneh tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian menggelinding seperti bola.

Tentu saja Melati tidak membiarkan kesempatan baik itu. Buru-buru dikerjarnya tubuh yang tengah bergulingan itu. Lalu, tangan kanannya diayunkan ke arah kepala. Tiba-tiba....

Singgg!

Diiringi bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga dan kilauan sinar yang menyilaukan mata, wanita berpakaian merah meluncurkan pedangnya memapaki serangan Melati!

Karuan saja Melati terkejut bukan main. Tangannya bisa putus bila berbenturan dengan pedang wanita berpakaian merah! Karena itu, tanpa membuang-buang waktu Melati menarik pulang tangannya. Dibarengi dengan langkah mundur kaki kirinya.

Wuttt!

Tangan Melati selamat! Batang pedang wanita berpakaian merah membabat angin. Tapi, rupanya wanita berpakaian merah tidak mempedulikan keberhasilan tangkisannya. Begitu dilihatnya Melati menghentikan serangan dan mundur, tubuhnya langsung dilentingkan. Sesaat kemudian, dia telah berdiri di atas kedua kakinya.

Pada saat yang bersamaan, Melati mencabut pedangnya. Kini senjata itu disilangkannya di depan dada. Hal ini terpaksa dilakukan Melati karena lawan telah menggunakan senjata. Gadis itu tidak mau bertangan kosong menghadapi orang selihai wanita berpakaian merah. Tanpa senjata saja wanita itu sudah demikian lihai, apalagi dengan pedang di tangan. Sulit untuk dibayangkan!

Dan Melati tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Dengan diawali teriakan nyaring membahana, wanita berpakaian merah mulai melancarkan serangan.

Singgg!

Wanita berpakaian merah membuka serangannya dengan tusukan lurus ke arah leher.

Wuttt!

Ujung pedang wanita itu meluncur lewat beberapa jengkal di atas kepala begitu Melati merendahkan tubuhnya. Tindakannya tidak terhenti sampai di situ. Sambil mengelak, pedangnya ditusukkan ke arah perut lawan.

Singgg!

Cukup mengejutkan dan mendadak serangan balasan Melati. Tapi wanita berpakaian merah tidak menjadi gugup. Bergegas kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Melati. Dari sana, tusukannya dilancarkan ke arah kuduk gadis berpakaian putih itu.

Sekarang Melati tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Andaikata dipaksakan pun akibatnya tidak kecil. Maka, menangkislah satu-satunya jalan. Dan tindakan itulah yang dilakukan Melati!

Gadis berpakaian putih itu menangkis dengan cara mengayunkan pedangnya ke belakang. Tentu saja gerakan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.

Tranggg!

Benturan dua batang senjata terdengar. Bunyinya keras bukan main. Disertai berpercikannya bunga-bunga api.

Dengan mantap wanita berpakaian merah mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara Melati telah siaga. Malah, gadis berpakaian putih itu lebih dulu melancarkan serangan.

Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik pun terjadi. Melati mengamuk bagai harimau luka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya dikerahkan, sampai gerakan pedangnya menimbulkan bunyi menggerung keras.

Tapi, ternyata ilmu pedang wanita berpakaian merah tidak kalah hebat. Setiap serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan, serangan balasan yang tak kalah hebatnya dilancarkan wanita itu.

Gerakan pedang wanita berpakaian merah demikian cepat dan hampir tanpa suara. Mirip kilat. Tidak nampak akibat pada tempat yang dilewati, kecuali bila menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan yang tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan langsung yang dapat merasakan. Tentu saja keadaan ini dialami Melati.

Karena masing-masing memiliki ilmu pedang yang dahsyat, pertarungan jadi berlangsung seimbang. Sampai lebih dari delapan puluh jurus tidak terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Keduanya silih berganti melancarkan serangan. Keadaan di sekitar pertarungan sulit digambarkan. Angin serangan mereka membuat cabang-cabang pohon putus dari batangnya.

"Haaat...!"

Di jurus kesembilan puluh satu, wanita berpakaian merah melompat tinggi ke atas. Ketika telah mencapai ketinggian dua tombak, luncuran tubuhnya terhenti. Karena tenaga luncuran keatas sudah tidak ada lagi. Saat itulah tubuhnya berbalik.

Kini kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas. Jari-jari kedua tangannya disatukan sewaktu menggenggam pedang. Kedua tangan itu terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh wanita berpakaian merah tegak lurus.

Dalam keadaan seperti itu tubuhnya meluncur ke arah Melati yang tepat berada di bawahnya. Yang menggiriskan hati, dalam keadaan demikian tubuhnya berpusing seperti gasing. Serangan wanita berpakaian merah itu lebih mirip dengan membor.

Melati terkejut bukan main. Disadarinya betapa berbahaya serangan itu. Melati ingin mengelak. Tapi, ternyata tidak mampu! Sepertinya ada kekuatan tak nampak yang membuat tubuhnya terpaku. Gadis itu tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi!

Tapi sebagai pendekar yang telah cukup lama merambah dunia persilatan, sebuah dugaan muncul dibenaknya. Apakah keadaan yang dialaminya ini disebabkan oleh serangan lawannya?

Seketika itu pula Melati teringat akan cerita Dewa Arak tentang ilmu-ilmu aneh dan menakjubkan di dunia persilatan. Di antaranya adalah ilmu yang membuat lawan tidak bergerak sewaktu serangan dilancarkan.

Bahkan, tidak hanya membuat lawan mengalami kesukaran bergerak, tapi juga sulit bernapas. Dewa Arak sendiri pernah mengalaminya. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Rahasia Syair Leluhur). Melati tahu hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nyawanya.

Menangkis! Tanpa menunggu lebih lama Melati memutar pedangnya di atas kepala. Bunyi menggerung keras seperti naga murka terdengar. Tanda-tanda Ilmu Pedang Seribu Naga! Cepat bukan main Melati memutar senjatanya. Hingga bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat hanya kilatan sinar berkilauan di atas kepala.

Trang, tranggg!

Terdengar bunyi dahsyat ketika dua batang pedang berbenturan. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Sebab, serangan pedang wanita berpakaian merah itu berputar! Hebatnya, meskipun Melati berhasil menangkis serangan, tapi luncuran pedang wanita berpakaian merah tidak berhenti sampai di situ. Senjata itu terus meluncur. Dan...

Crattt!

"Akh!" Melati menjerit tertahan ketika ujung pedang wanita berpakaian merah menggurat pergelangan tangannya. Cukup dalam, sehingga darah merembes keluar dari bagian yang terluka.

Dan sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, wanita berpakaian merah kembali melancarkan serangan. Itu dilakukannya ketika tubuhnya meluncur turun. Wanita itu mengayunkan kedua kakinya bersamaan. Akibatnya....

Desss!

"Hukh!" Keluhan tertahan kembali dilontarkan Melati. Kaki lawan mendarat telak di perutnya. Keras bukan main, sehingga tubuh gadis berpakaian putih itu lerlempar ke belakang. Pedangnya terlepas dari genggaman. Untungnya, di saat-saat terakhir Melati sempat mengerahkan tenaga dalam. Kalau tidak, di saat tubuhnya melayang tentu nyawanya pun melayang ke alam baka!

Meskipun demikian, bukan berarti Melati tidak mengalami kejadian apa pun. Perutnya terasa sakit bukan main. Gadis berpakaian putih itu tampak sulit bernapas.

Brukkk!

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Melati membentur tanah, setelah melayang-layang beberapa tombak. Luka yang dideritanya membuat gadis itu tidak mampu mendarat dengan baik.

Melati menyeringai merasakan sakit yang mendera punggungnya ketika berbenturan dengan tanah. Saat itulah, serangan susulan wanita berpakaian merah kembali meluruk. Pedang di tangannya terayun deras ke arah Melati.

"Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakian merah keras penuh keyakinan.

Tentu saja Melati tidak ingin kepalanya dipisahkan dari badan. Untuk menangkis adalah tidak mungkin. Hanya mengelak yang dapat menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi, elakan macam apa yang dapat dilakukan orang yang telah terluka seperti Melati? Hanya ada satu, bergulingan!

Crakkk!

Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya. Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan tubuh sehingga tidak berada di tempatnya lagi.

"Keparat!" maki wanita berpakain merah geram melihat kegagalan serangannya. Sambil menggertakkan gigi, dikejarnya Melati. Serangan-serangannya pun menyusul datang.

Pemandangan yang agak aneh segera terlihat. Melati terus menggulingkan tubuh. Sementara wanita berpakaian merah mengejarnya ke mana gadis berpakain putih itu pergi, seraya menghujaninya dengan serangan-serangan pedang.

Memang, beberapa kali Melati berhasil mengelakkan serangan demi serangan. Tapi sampai beberapa lama gadis itu dapat bertahan?

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan? Ikut terjun ke arena dan menolong Melati? Bagaimana mungkin? Kalau gadis berpakaian putih itu saja dapat dikalahkan, bagaimana mereka?

Bukan hanya alasan itu yang membuat rombongan Kerajaan Bojong Gading memaksakan diri tidak memberikan pertolongan. Keyakian yang demikian terpatri bahwa putri junjungan mereka ini akan dapat mengatasi lawan, dan takut kena marah kalau mencoba memberikan pertolongan.

Memang, prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading, apalagi pasukan khususnya, merupakan orang-orang yang sangat menjunjung tinggi kegagahan. Pantangan besar bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan. Apalagi, pertarungan Melati dan wanita berpakain merah berlangsung adil!

Oleh karena itu, Patih Rantaka dan semua prajurit Keiajaan Bojong Gading berdiam diri. Mereka hanya memperhatikan jalannya pertarungan dengan sorot mata cemas. Dalam hati mereka berharap Melati dapat mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan itu. Tapi, harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Bukkk!

"Ahhh...!" Melati mengeluarkan jeritan kaget ketika tubuhnya membentur sebatang pohon. Akibatnya, gulingan tubuhnya terhenti. Saat itulah serangan pedang wanita berpakaian merah meluncur ke arahnya!

Bukan hanya Melati yang dilanda keterkejutan, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading pun demikian. Tarikan wajah dan sorot mata mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat, melihat bahaya maut tengah mengancam keselamatan putri junjungan mereka.

Saking kagetnya, tanpa sadar mereka serempak meluruk ke tempat Melati tergolek. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan telah siap diayunkan. Rombongan Kerajaan Bojong Gading ini lupa akan kegagahan. Yang ada di benak mereka adalah menyelamatkan nyawa Melati. Orang yang mereka kagumi.

Walaupun tindakan yang dilakukan rombongan Kerajaan Bojong Gading demikian cepat, rasanya tidak akan mungkin dapat menyelamatkan Melati. Jarak mereka terlalu jauh. Padahal, serangan wanita berpakain merah tebh hampir mencapai sasaran.

Hanya kejadian luar biasa yang dapat menyelamatkan nyawa putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading itu. Tapi, mungkinkah kejadian luar biasa itu akan terjadi secara kebetulan? Pada saat orang berada di ambang maut?

Ternyata kejadian itu memang bukan hal yang mustahil! Di saat-saat yang amat gawat itu melesat sesuatu yang berwarna gelap!

Wuttt! Takkk!

"Akh...!" Wanita berpakaian merah menjerit kesakitan. Di saat itu pedangnya hampir memenggal kepala Melati, seleret benda berwarna gelap yang ternyata batu sebesar dua ibu jari menghantam belakang siku tangan kanannya. Telak dan keras bukan main, hingga tangan itu langsung lumpuh! Pedang yang tergenggam itu terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.

Cappp!

Pedang itu menancap di tanah, beberapa rambut dari pinggang Melati. Untuk yang kesekian kalinya wanita berpakaian merah menemui kegagalan.

Bertepatan dengan lumpuhnya tangan kanan wanita berpakaian merah, dari tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading melesat sesosok tubuh. Gerakannya sangat cepat. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan ungu dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju tempat Melati.

"Hup!"

Tanpa menimbulkan bunyi sosok berpakaian ungu itu mendarat di depan Melati. Sosok itu berdiri membelakangi. Sehingga gadis berpakaian putih itu hanya dapat melihat bagian belakang tubuhnya. Punggung yang kekar dan dibanduli guci arak itu sangat dikenal Melati. Rambutnya yang panjang putih keperakan melambai-lambai ditiup angin.

Tapi, ternyata bukan hanya Melati yang mengenal sosok berpakaian ungu. Wanita berpakaian merah pun mengenalnya. Wanita itu mundur selangkah begitu melihat sosok berambut putih keperakan. Rasa kagetnya memang tidak bisa dilihat, karena wajahnya tertutup topeng. Namun, ini bisa diketahui dari ucapan-ucapannya.

"Dewa Arak...?! Kau... kau.... Mengapa ada di sini?!" ucap wanita berpakaian merah terbata-bata

Sosok yang memang tidak lain Dewa Arak, yang mempunyai nama asli Arya Buana, tersenyum dingin. Ada ancaman mengerikan terkandung di sana. Penyebabnya adalah ketika melihat nyawa Melati hampir saja melayang. Andaikata dia terlambat sesaat saja, mungkin nyawa gadis berpakaian putih itu sudah melayang ke alam baka! Kenyataan ini membuat Dewa Arak murka bukan main.

"Mengapa?! Kau kaget, Manusia Pengecut?! Sekarang, dengan adanya aku jangan harap dapat meneruskan kekejianmu terhadap Melati!" tandas Dewa Arak keras.

Wanita berpakain merah menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa arti gelengannya. Sementara sepasang matanya berputar liar, seperti tengah mencari jalan untuk meloloskan diri. Sambil terus bersikap demikian, kedua kakinya melangkah ke belakang. Tindakan yang dilakukannya menunjukkan wanita itu merasa gentar.

Dewa Arak menoleh sejenak ke belakang untuk melihat keadaan Melati. Hanya sekilas saja! Meskipun demikian, telah cukup bagi Dewa Arak untuk mengetahui keadaan kekasihnya. Kenyataan yang didapatnya membuat pemuda itu semakin geram Arya tahu Melati menderita luka yang cukup parah!

TIGA

Kesempatan di saat Dewa Arak mengalihkan perhatian pada Melati dipergunakan sebaik-baiknya oleh wanita berpakaian merah. Dengan bergegas tubuhnya dibalikkan. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu.Tapi....

"Jangan harap dapat pergi begitu saja setelah melakukan kekejian ini!"

Seraya mengeluarkan pernyataan penuh wibawa. Dewa Arak melesat mengejar wanita berpakaian merah. Dan begitu telah berada di belakangnya, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke atas melewati kepala buruannya. Dewa Arak bersalto beberapa kali sebelum mendarat dengan mantap beberapa tombak di depan wanita berpakaian merah.

"Menyingkir dari tempat itu, Dewa Arak! Atau... terpaksa aku akan menyerangmu...!" desis wanita berpakaian merah, tajam.

Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pendekar muda itu tahu wanita berpakaian merah gelisah. Suaranya demikian jelas menyiratkan kegalauan perasaannya. Namun bukan hal itu yang membuat kernyitan di dahi Arya. Bukan nada kegelisahannya, melainkan....

"Siapa kau, Nisanak?! Cepat buka selubungmu. Aku yakin pernah mengenalmu.... Setidak-tidaknya suaramu pernah kudengar..."

"Persetan dengan ucapanmu! Hih!"

Usai berkata, wanita berpakaian merah melompat menerjang Dewa Arak dengan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada. Tahu kalau lawan yang dihadapi jauh lebih lihai dari Melati, wanita berpakaian merah mengarahkan seluruh tenaga dal amnya.

Wuttt!

"Hm...!" Dewa Arak menggumam pelan melihat serangan lawan. Pemuda itu bersikap tenang. Tak dilakukan tindakan apa pun sampai serangan lawan menyambar dekat. Baru setelah itu ia bertindak cepat. Dewa Arak menarik kaki kanannya ke belakang seraya menggerakkan tangan kanan.

Wuttt! Kreppp!

"Ihhh...!" Wanita berpakaian merah menjerit kaget. Tahu-tahu pergelangan tangan kanannya telah kena cekal. Gerakan Dewa Arak terlalu cepat untuk dihadapi. Sungguhpun demikian, wanita berpakaian merah bukan lawan yang dapat dipecundangi dengan mudah. Sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serangan lanjutan, dengan sebuah gerakan aneh dari jurus 'Ular' pergelangan tangan kanan wanita itu diputar. Dan....

Plasss!

Cekalan tangan Dewa Arak berhasil dipunahkan. Tindakannya ternyata tidak terhenti sampai di situ. Bersamaan dengan berhasil dibebaskan tangan kanannya, tangan kirinya menggedor dada Dewa Arak!

Prattt!

Terdengar bunyi benturan keras ketika Dewa Arak memapaki dengan gerakan yang sama! Dalam cekaman kemarahan yang meluap melihat wanita berpakaian merah hampir saja membunuh kekasihnya, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan itu.

Akibatnya menggiriskan. Tubuh wanita berpakaian merah terjengkang ke belakang. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya lumpuh. Terutama bagian yang berbenturan langsung. Kedua tangannya terasa sakit dan ngilu! Bahkan sukar untuk digerakkan.

Meskipun demikian, wanita berpakaian merah masih mampu mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Malah dengan cara yang patut diberikan acungan ibu jari. Wanita itu berhasil mendarat dengan mantap!

Dewa Arak yang masih diamuk amarah tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada lawan. Langsung saja serangan susulannya meluncur. Pemuda berambut putih keperakan itu meluruk ke arah wanita berpakaian merah seraya mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada!

Arya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukan Harimau'! Wanita berpakain merah terkejut melihat cepatnya serangan itu. Padahal, dia baru saja berdiri tegak di tanah. Sudah tidak mungkin lagi untuk mengelak. Terpaksa dipapakinya serangan itu. Meski kedua tangannya belum pulih seperti sedia kala.

Plak, plakkk, bukkk!

"Hukh!"

Rentetan kejadiannya demikian cepat. Memang, wanita berpakaian merah berhasil menangkis serangan Dewa Arak. Tapi hanya dua! Padahal, Dewa Arak mengirimkan serangan bertubi-tubi. Tak pelak lagi, serangan yang ketiga mendarat telak di dadanya.

Akibatnya, wanita berpakaian merah terhuyung ke belakang. Bunyi menggelogok terdengar dari kerongkongannya. Tampaknya, dia terluka dalam dan memuntahkan darah segar. Hanya saja tidak terlihat karena mulutnya tertutup selubung merah menyala.

Tapi kejadian selanjutnya menjadi bukti kalau wanita itu menderita luka tak ringan. Wanita berpakaian merah jatuh dan tidak bangkit lagi. Bersamaan dengan rubuhnya wanita berpakaian merah, Dewa Arak menghentikan gerakannya. Ditatapnya tubuh yang tergolek di tanah itu sekilas. Lalu langkahnya diayunkan menuju tempat Melati.

Tampak di sana Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading tengah mengerumuni putri angkat raja Kerajaan Bojong Gading.

"Harap menyingkir sebentar. Biar kuperiksa luka-lukanya," ucap Arya pelan meminta perhatian.

Kerumunan prajurit itu pun langsung menyeruak memberi jalan. Tanpa buang-buang waktu, pemuda berambut putih keperakan itu segera berjongkok dan memeriksa keadaan Melati Gadis berpakaian putih itu pingsan setelah melihat kehadiran Dewa Arak. Agaknya, gadis itu tidak kuat menahan luka luka yang diderita.

"Bagaimana, Dewa Arak?!" Patih Rantaka yang sudah tidak sabar lagi segera mengajukan pertanyaan, ketika dilihatnya Dewa Arak tercenung setelah memeriksa keadaan Melati.

"Dia selamat, Paman. Memang luka-lukanya parah. Tapi tidak sampai mencabut nyawanya," jawab Arya singkat.

Patih Rantaka mengangguk-angguk gembira. Gambaran perasaan yang sama tampak di wajah prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Pemberitahuan Dewa Arak telah membuat mereka merasa lega. Melati selamat!

"Untung kau datang tepat pada waktunya Dewa Arak," ucap Patih Rantaka. "Kalau tidak... kami tentu akan kehilangan sekali..."

Prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menganggukan kepala, menyatakan persetujuannya at as ucapan patih Kerajaan Bojong Gading itu.

"Aku pun bersyukur, Paman." Hanya itu jawaban yang diberikan Arya.

Patih Rantaka pun diam. Lelaki tua itu tidak memberikan tanggapan lagi. Yang dilakukan hanya mengangguk-anggukan kepala. Karena Patih Rantaka tidak mengajukan pertanyaan lagi, Dewa Arak memberikan pengobatan terhadap Melati. Semua diperhatikan oleh rombongan Kerajaan Bojong Gading dengan hati penuh rasa syukur.

"Bagaimana kau tahu aku berada di Hutan Hanjang, Kakang?!"

Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis berpakain putih. Siapa lagi kalau bukan Mel ati? Gadis itu tengah duduk di atas punggung kuda yang melangkah pelan. Seraya bertanya Melati menoleh ke arah sosok yang berada di sebelahnya. Seorang pemuda berambut putih keperakan. Dewa Arak!

Pemuda itu tidak menunggangi kuda, tapi berjalan kaki. Di belakang muda-mudi ini berjalan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Berkuda paling depan adalah Patih Rantaka! Sementara itu, Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyan Melati.

Pemuda itu termenung sebentar seperti tengah mencari jawaban. "Tentu saja dari ayahmu, Melati," jawab Arya setengah menggoda.

"Maksudmu... Ayahanda Prabu Nalanda, Kakang?!" terka Melati memastikan.

Arya mengangguk memberikan tebakan kekasihnya. "Jadi kau ke istana Bojong Gading lebih dulu?" kejar Melati lebih jauh.

Lagi-lagi pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk. "Kalau tidak ke sana, bagaimana mungkin aku dapat mengetahui kau dan pasukan mu berada di sini, Melati?!" Arya balas mengajukan pertanyaan.

Melati mengangguk-anggukan kepala menyadari kebenaran ucapan Dewa Arak. "Lalu..., mengapa kau mencariku, Kakang?!" tanya Melati, setelah tercenung ses aat lamanya. "Barangkali ada urusan yang sangat penting?"

Dewa Arak mengangguk. Melati langsung tercenung dan menarik tali kekang kudanya. Hingga binatang itu menghentikan langkah. Karena Melati berkuda paling depan, Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading pun terpaksa menghentikan kuda mereka. Kalau tidak, kuda-kuda itu akan menabrak Melati dan Arya.

Setelah terdiam sesaat Melati kemudian menoleh ke belakang. "Paman Patih....," sapa Melati lembut.

"Hamba, Gusti Ayu Melati," jawab Patih Rantaka cepat seraya memberi hormat.

"Tolong sampaikan pada Ayahanda Prabu aku tidak dapat kembali ke istana. Ada urusan yang amat penting. Bila urusan ini telah selesai aku akan ke istana," ujar Melati.

"Akan hamba sampaikan, Gusti Ayu Melati," sambut Patih Rantaka penuh hormat.

Ini salah satu sikap Melati yang amat dikagumi Patih Rantaka. Meskipun mempunyai hak untuk memberikan perintah, gadis berpakaian putih itu selalu melakukannya dengan sopan.

"Terima kasih, Patih Rantaka," sambut Melati seraya tersenyum manis.

Tapi sebelum Patih Rantaka memberikan tanggapan, tiba-tiba Dewa Arak memberikan isyarat agar tidak ada seorang pun yang berbicara. Pemuda berambut putih keperakan itu mendengar sesuatu. Maka tanpa membantah sedikit pun, Melati dan seluruh rombongan berdiam diri. Malah, tanpa sadar mereka menahan napas.

"Kau benar, Kakang!" timpal Melati cepat. "Ada bunyi benturan senjata."

"Benar, Melati!" sambut Arya. "Ada pertarungan yang tengah berlangsung. Dari bunyinya yang agak samar, agaknya jaraknya cukup jauh dari sini."

"Bagaimana, Kakang?! Haruskah kita ke sana?"

"Benar, Melati," jawab Arya pasti. "Barangkali saja ada orang yang membutuhkan pertolongan kita."

Mendengar tanggapan Dewa Arak, tanpa menunggu lama Melati menghela tali kekang kudanya. Kuda coklat itu melesat cepat laksana kilat. Meskipun lebih kecil dari kuda umumnya, binatang tunggangan Melati ini memiliki kecepatan lari yang mengagumkan dan kekuatan berpacu dalam jarak jauh. Memang, terasa janggal bila dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil.

Tapi betapapun cepatnya lari Cilik, Dewa Arak mampu mengimbangi. Hanya dalam beberapa kali lesatan pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil menjajari Cilik.

Cilik memang seekor kuda. Tapi kuda pilihan. Binatang tunggangan yang bertubuh kecil itu biasa berpacu. Karena itu, begitu melihat Dewa Arak berada di sebelahnya, tanpa dipacu lagi oleh Melati dia segera menambah kecepatannya. Nalurinya membisikkan kalau dia harus berada di depan pemuda berambut putih keperakan itu.

Kali ini Cilik kecewa. Meski seluruh kemampuan larinya dikeluarkan, tetap saja dia tidak mampu meninggalkan. Laksana bayangan, pemuda berambut putih keperakan itu tetap berada di sebelah Cilik.

Sementara di belakang mereka, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading memacu binatang tunggangannya. Itu dilakukan agar mereka tidak tertinggal jauh oleh Dewa Arak dan Melati!

Sementara itu, Dewa Arak dan Melati tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui penyebab bunyi riuh rendah itu. Beberapa saat kemudian, tampak sepuluh tombak di hadapan mereka terpampang sebuah pertarungan.

Alis sepasang pendekar muda itu berkerut. Mereka melihat sebuah pertarungan yang sangat tidak adil. Seorang lelaki tinggi kurus yang sudah sangat tua diserang oleh dua orang lelaki muda kekar bersenjata golok.

Tapi, rupanya kakek tinggi kurus itu bukan orang sembarangan. Meskipun dikeroyok ia masih mampu melakukan perlawanan sengit. Tongkat di tangannya beberapa kali berbenturan dengan golok-golok lawan, dalam upayanya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Ternyata, bunyi benturan senjata inilah yang didengar oleh Dewa Arak!

"Rasanya kakek itu membutuhkan bantuan, Kakang," ucapa Melati tanpa mengendurkan lari binatang tunggangannya.

"Benar, Melati," jawab Dewa Arak. Suaranya terdengar biasa. Tidak terengah-engah seperti orang yang berlari cepat. Bahkan, tidak ada setitik peluh pun membasahi wajahnya. "Kalau tidak, dia akan tewas di tangan lawan lawannya."

Melati mengangguk-angguk membenarkan pendapat Arya. Dan memang, perkiraan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Gadis itu pun dapat melihat keadaan kakek tinggi kurus sudah sangat mengkhawatirkan. Terlihat jelas kakek itu terdesak hebat.

Usia yang sudah tua membuat napas kakek tinggi kurus megap-megap seperti ikan dilemparkan ke darat. Padahal, pertarungan sepertinya baru berlangsung beberapa jurus. Bila pertarungan terus berlanjut, kakek tinggi kurus itu akan mati kehabisan napas. Karena melihat keadaan yang gawat itu, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu. Kecepatan larinya ditambah. Akibatnya, Cilik tertinggal.

"Hentikan!"

Belum juga gema ucapan itu lenyap, tubuh Dewa Arak telah mendarat di tengah arena pertarungan. Pemuda berambut putih keperakan itu mendarat tepat di antara kedua belah pihak yang bertarung.

Tentu saja keberadaan Dewa Arak yang demikian mendadak mengejutkan mereka yang tengah bertarung. Terutama kedua lalaki kekar yang hampir saja berhasil mengirim nyawa kakek tinggi kurus ke alam baka, karena kagetnya, gerakan mereka terhenti di udara.

"Siapa kau, Kisanak? Mengapa mencampuri urusan kami?!" tanya salah seorang, yang berkumis tebal.

"Tidak usah berbasa-basi lagi, Kiwul! Bacok saja Habis perkara!" seru rekannya, yang berdahi lebar. Terasa jelas nada ketidaksabaran di dalamnya. Tapi Ielaki berkumis tebal yang bernama Kiwul tidak menuruti seruan rekannya. Sepasang matanya yang diarahkan pada Dewa Arak menuntut jawaban. Dan, harapan Kiwul memang terkabul.

"Aku Arya. Bukan maksudku mencampuri urusan kalian. Tapi, bagaimana mungkin aku berdiam diri melihat ketidakadilan di sini?!"

"Berbuat ketidakadilan?!" Kiwul mengernyitkan dahi. "Tahukah kau masalah yang tengah kami hadapi, Arya?!"

"Tidak," jawab Arya sejujurnya. "Tapi, biar bagaimanapun aku tidak bisa membiarkan seorang kakek tua dikeroyok dua lelaki kekar!"

Kiwul tersenyum pahit. "Kuhargai kegagahanmu, Arya. Tapi, asal kau tahu saja, kakek yang kau bela ini adalah seorang penipu dan pembunuh! Dan orang yang telah menjadi korban ulahnya adalah guru kami. Beliau hampir tewas akibat tindakannya. Apakah kami diamkan saja perbuatannya?!"

Seketika itu juga Dewa Arak terdiam. Sungguh tidak disangkanya jawaban seperti itu yang akan diterimanya. Kepalanya segera ditolehkan ke belakang untuk menanyakan kebenaran ucapan Kiwul pada kakek tinggi kurus. Mendadak....

"Mengapa kau masih saja membuang-buang waktu dengan percuma, Kiwul?!" Seraya mengeluarkan pernyataan itu, rekan Kiwul mengayunkan goloknya ke arah leher Dewa Arak!

Wuttt!

"Ganta!" Kiwul berseru kaget melihat tindakan Ganta. Apalagi, ketika menyadari dia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah. Hanya teriakan kaget yang dapat dikeluarkannya. Sementara itu golok Ganta terus meluncur deras menuju sasaran.

Dewa Arak tersenyum. Hanya dengan sekali lihat Arya tahu serangan yang dianggap Kiwul amat berbahaya tidak berarti sedikit pun baginya. Memang, hanya dengan sekilas pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Ternyata, tenaga yang menggerakkannya adalah tenaga dalam biasa-biasa saja! Tidak perlu dikhawatirkan.

Kerena itu, Dewa Arak berdiam diri di tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda dia akan menangkis atau mengelak. Karuan saja kenyataan itu membuat Kiwul semakin kelabakan.

Takkk!

Bunyi berdetak keras terdengar. Mata golok Ganta membentur batang leher Dewa Arak, membuat kaget semua orang yang berada di situ. Terutama Ganta. Golok itu membalik seperti menghantam gumpalan karet keras!

EMPAT

"Rupanya kau mempunyai kulit yang kebal, heh?! Sekarang, coba rasakan ini!"

Ganta menusukkan goloknya ke mata Dewa Arak. Sungguh sebuah serangan berbahaya, karena betapapun tingginya kepandaian seseorang tak akan mungkin dapat membuat mata menjadi kebal.

Karena itu, Dewa Arak tidak bisa membiarkan serangan itu. Di samping karena dapat mengakibatkan sepasang matanya menjadi buta, pemuda berambut putih keperakan itu pun ingin memberikan pelajaran atas sikap keras kepala Ganta. Arya segera mengulurkan tangannya.

Kreppp!

Batang golok Ganta berhasil dicengkeram Dewa Arak. Lalu, sebelum Ganta menyadari sepenuhnya, pemuda berambut putih keperakan itu telah menggerakkan jari-jarinya.

Takkk!

Bunyi berdetak keras mengiringi patahnya batang golok Ganta. Seketika, wajah Ielaki berdahi lebar itu nampak memucat. Kenyataan ini baru menyadarkan dirinya kalau pemuda yang berdiri di hadapannya itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Tanpa perlu dicegah lagi oleh Kiwul, Ganta menghentikan serangan dan melangkah mundur.

"Bagaimana? Puas?!" tanya Dewa Arak tanpa mengejek. Sepasang matanya menatap tajam-tajam.

Tidak ada tanggapan sedikit pun dari Ganta dan Kiwul. Kejadian yang dilihat terlalu mengetjutkan, hingga membuat mereka terkesima.

"Sekarang, mungkin kalian bisa menjelaskan permasalahannya. Kalau tidak, apa pun yang terjadi aku akan membela kakek ini!" tandas Dewa Arak tegas.

Kiwul dan Ganta saling berpandangan.

"Hhh...!" Kiwul menghela nafas panjang. Rupanya, dia bermaksud memberitahukan sejelasnya masalah yang di hadapi. "Kami berdua adalah murid Ki Aswatama..."

Sampai di sini Kiwul menghentikan ucapannya. Ditatapnya Dewa Arak untuk melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu. Dia tahu nama gurunya cukup dikenal sampai ke beberapa desa, sebagai seorang guru silat yang jarang tandingannya.

Tapi Kiwul harus kecewa. Harapannya untuk melihat keterkejutan Dewa Arak pupus. Pemuda itu tidak tampak terkejut. Memang, Dewa Arak tidak mengenal nama Ki Aswatama. Demikian pula dengan Melati yang berdiri di sebelah kakek tinggi kurus, di belakang Dewa Arak.

"Kami berdua dan guru tinggal di Desa Palung," lanjut Kiwul. "Beberapa hari yang lalu Ganta melihat seorang penduduk desa yang telah berusia lanjut dianiaya oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni, orang kaya di Desa Palung dan desa-desa sekitarnya."

"Dia seorang penindas penduduk!" selak Ganta begitu Kiwul menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.

Kiwul mengangguk. "Apa yang dikatakan Ganta memang tidak salah. Tapi, Juragan Trestajumena Geni tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Para penduduk desa yang tengah dililit kesulitan datang padanya dan meminjam uang. Juragan Trestajumena Geni memang memberikannya, tapi dengan perjanjian pengembaliannya jauh lebih besar dari pinjaman. Dia mengenakan renten yang cukup besar. Jika penduduk tidak bisa segera mengembalikan, harta milik yang senilai pinjaman akan disita. Nah! Penduduk setengah tua itu disiksa karena dianggap melanggar perjanjian. Dia tidak mampu membayar hutangnya yang mencekik leher karena bunga yang terus berbunga."

Kiwul menghentikan ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi tenggorokannya yang saat itu terasa kering.

"Rupanya, pinjaman yang harus dikembalikan petani tua itu amat besar. Karena telah terlalu lama dan bunga itu beranak pinak. Sedang harta satu-satunya yang berharga hanya rumahnya. Maka rumah itulah yang disita oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Lelaki tua itu menolak. Dan, tukang-tukang pukul itu pun menyiksanya agar dia mau meninggalkan rumah itu!"

"Apa yang dikatakan Kiwul memang benar!" Lagi-lagi Ganta menyela. "Tapi, saat itu istri petani tua itu tengah sakit parah. Jangankan meninggalkan rumah, untuk bangkit saja sudah susah. Petani tua itu pun minta waktu. Tapi yang didapat malah siksaan. Karena tak tahan melihat kekejian itu, aku ikut campur! Akibatnya terjadi pertarungan."

"Aku terpaksa membantu Ganta. Karena jika hal itu tidak kulakukan, dia akan tewas di tangan tukang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang cukup lihai dan berjumlah banyak," timpal Kiwul.

"Memang, dengan berdua kami dapat mengusirnya! Mereka kabur. Tapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Besoknya mereka datang dalam jumlah yang lebih besar. Tanpa gentar kami menyambutnya."

"Namun karena jumlah mereka terlalu besar, kami terdesak. Untung di saat terakhir, guru kami muncul dan membantu. Untuk yang kedua kalinya para tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kami pukul mundur," Ganta yang menyambuti. "Anehnya, beberapa hari setelah itu guru kami mendadak sakit. Kami panggil dia untuk mengobati guru!" Ganta menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek tinggi kurus.

"Dia pun datang. Kemudian memeriksa luka guru kami. Tapi hasilnya, bukannya sembuh tapi malah bertambah parah. Guru kami lumpuh total setelah diperiksanya! Padahal, ia mengaku sebagai orang yang ahli mengobati berbagai macam luka. Tapi nyatanya?! Dia tidak lebih dari seorang penipu!"

"Kalian salah paham!" sergah kakek tinggi kurus cepat. "Semakin parahnya luka Ki Aswatama bukan karena aku salah mengobati. Tapi, atas perbuatan mereka juga!"

Dewa Arak dan Melati terdiam mendengar bantahan kakek tinggi kurus. Dalam cerita Ganta dan Kiwul, mereka tidak mendengar adanya orang yang melukai Ki Aswatama. Tapi, mengapa kakek tinggi kurus mengatakan semakin beratnya luka guru silat itu karena perbuatan seseorang!

Sebelum Dewa Arak atau Melati mengutarakan perasaan harannya, kakek tinggi kurus telah melanjutkan ucapannya.

"Perlu kalian berdua ketahui, bukannya sombong kalau kukatakan luka-luka bagaimanapun dapat kusembuhkan. Banyak orang yang membuktikannya sendiri!"

"Tapi kenyataannya?! Kau tidak bisa membuktikan bualanmu!" bantah Ganta dengan suara tinggi.

"Luka-luka yang diderita Ki Aswatama lain! Luka itu tidak terjadi secara wajar. Dia telah menjadi korban ilmu hitam. Ilmu teluh. Tapi kalian tetap tidak percaya dan mengerti apalagi menuduhku penipu! Perlu kutegaskan sekali lagi. Luka-luka bagaimanapun parahnya, aku yakin dapat menyembuhkannya. Tapi luka yang tidak wajar, bukan karena ilmu hitam!"

Sekarang Dewa Arak sudah mengerti persoalan yang mereka hadapi. Itu hanya kesalahpahaman belaka. Memang, kalau menuruti perasaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak percaya akan cerita kakek tinggi kurus. Tapi kenyataan telah mengajarkan padanya bahwa hal-hal mistik itu bisa saja terjadi!

Banyak hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia. Namun, toh itu terjadi. Maka meskipun agak ragu Dewa Arak memutuskan untuk membantu kakek tinggi kurus. Pemuda berambut putih keperakan itu mencoba mempercayai cerita itu.

"Tenang." Dewa Arak mengangkat tangannya ke atas, mencegah pecahnya pertentangan akibat suasana yang mulai memanas. "Tidak ada persoalan yang selesai bila perasaan diletakkan di depan!"

Rupanya, ucapan Dewa Arak membuat Ganta dan Kiwul serta kakek tinggi kurus sadar. Mereka terlihat menahan diri. Tidak menuruti nafsu amarah seperti sebelumnya.

"Mengapa kau bisa mengajukan dugaan kalau Ki Aswatama terkena ilmu hitam? Dari mana kau mengetahuinya?" tanya Dewa Arak pada kakek tinggi kurus.

Kakek itu menatap wajah Dewa Arak penuh selidik. "Karena aku melihat tanda-tandanya."

"Bisa beritahukan tanda-tanda yang kau maksudkan, Ki?" desak Dewa Arak.

"Tidak, Anak Muda," jawab kakek tinggi kurus seraya menggelengkan kepala. "Sebab, sulit untuk dikatakan. Hanya yang perlu kau ketahui, aku pun sedih melihat nasib Ki Aswatama. Tapi apa daya? Aku tidak mampu menolongnya. Meskipun tahu penyebabnya. Apabila kupaksakan untuk menolong, pengirim ilmu hitam itu akan murka. Aku pun akan dikirimkannya ilmu hitam!"

"Sekarang persoalannya telah jelas," ucap Dewa Arak tenang. "Sebuah kesalahpahaman telah terjadi. Dan...."

"Masalahnya belum selesai, Kisanak!" sergah Ganta penasaran. "Dia belum menjelaskan mengapa luka guru bertambah parah sewaktu selesai diperiksanya!"

"Itu hanya sebuah kebetulan Ganta! Aku yang sial. Di saat aku selesai memeriksa, pengirim ilmu hitam itu mengirimkan serangan yang lebih kuat."

Kali ini Dewa Arak mengangguk. Disadarinya kemungkinan besar ucapan kakek tinggi kurus itu benar. Arya cukup banyak mengetahui mengenai ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.

"Menurutku, ucapan itu ada benarnya. Kalau boleh kuusulkan, daripada kalian bersusah payah memburu kakek ini lebih baik urus dan rawatlah guru kalian. Atau salah seorang di antara kalian merawatnya, dan seorang lagi mencari ahli obat dapat menyembuhkan penyakitnya."

Ganta dan Kiwul berpandangan. Usul Dewa Arak ada benarnya. Saat itu guru mereka yang tengah sakit keras dan pasti membutuhkan seseorang. Mengapa mereka malah meninggalkannya?

"Terima kasih atas usulanmu, Arya," ucap Kiwul seraya tersenyum. "Saranmu benar-benar tepat. Aku khilaf."

Kemudian Kiwul membalikkan tubuh, dan melesat meninggalkan tempat itu diikuti oleh Ganta. Lelaki berdahi lebar itu tidak mengucapkan terima kasih. Yang dilakukannya hanya menganggukkan kepala. Itu pun sekilas saja.

Dewa Arak, Melati, dan kakek tinggi kurus memandangi kepergian Ganta dan Kiwul hingga tubuh mereka lenyap di kejauhan.

"Terima kasih atas bantuanmu, Arya. Kalau tidak ada dirimu mungkin aku telah menjadi mayat," ucap kakek tinggi kurus penuh rasa syukur.

"Lupakanlah, Ki. Bukankah orang hidup memang harus saling tolong-menolong?!" bantah Dewa Arak halus.

"Lalu.... Sekarang ke mana tujuanmu, Ki?" tanya Melati yang sejak tadi berdiam diri.

"Tentu saja kembali, Nisanak. Tempat tinggalku tak jauh dari sini. Apakah kalian ingin singgah?!"

"Terima kasih. Sayang, kami masih mempunyai urusan penting lainnya. Kami tengah terburu-buru. Tapi, percayalah. Kelak bila ada waktu senggang kami akan singgah di tempatmu. Selamat tinggal, Ki!"

Usai berkata, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu segera diikuti Melati. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwajah elok itu telah melesat jauh. Sosok tubuh mereka semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan.

"Hhh...!" Setelah menghembuskan napas berat, kakek tinggi kurus meninggalkan tempat itu pula. Dia kembali menuju tempat tinggalnya. Sekejap kemudian, suasana di sekitar tempat itu menjadi hening. Tidak ada lagi bunyi benturan senjata atau teriakan keras membahana. Yang tersisa hanya kesunyian.

* * *

"Akh!"

Jerit tertahan bernada kesakitan itu keluar dari mulut Melati. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Kalau Dewa Arak yang berlari di sebelahnya tidak segera mengulurkan tangan menangkap bahunya, gadis berpakain putih itu pasti jatuh terjerembab di tanah!

"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Dewa Arak. Rasa kaget dan khawatir membias di wajahnya.

Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah Melati penuh selidik. Rasa kaget yang melandanya semakin besar. Wajah gadis itu tampak pucat pasi. Butir-butir keringat sebesar biji jagung membanjiri wajahnya.

"Aku juga tidak mengerti, Kakang," jawab Melati dengan bibir menyeringai kesakitan. "Tahu-tahu saja paha kananku terasa sakit bukan main. Seperti..., ada sebatang tombak yang menusuk di sana."

Dewa Arak mengarahkan tatapan ke arah paha Melati. Tapi, tidak dijumpai tanda-tanda seperti yang dimaksud. Paha Melati masih seperti biasa. Tidak terlihat bekas tusukan tombak! Hal itu membuat Dewa Arak bertanya-tanya dalam hati.

"Apakah Melati tidak keliru? Dan rasa seperti yang dikatakannya tidak pernah ada? Tapi, kalau tidak, mengapa tiba-tiba tubuh gadis itu tersungkur? Tak mungkin dia tersandung kerikil! Lalu, apa sebenarnya yang telah terjadi?"

"Sekarang, coba kau berdiri tegak kembali," ujar Dewa Arak setelah beberapa saat termenung Pemuda itu kemudian melepaskan pegangannya. Tubuh gadis berpakaian putih itu tidak dipapahnya lagi.

Tanpa banyak membantah, Melati melaksanakan perintah kekasihnya. Memang, semula dia berdiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Tapi baru saja kaki kanannya diluruskan Melati memekik kesakitan. Dengan segera kedudukannya dikembalikan seperti semula, berdiri pada kaki kiri.

Dewa Arak kaget bukan main melihat kenyataan ini. Dengan jelas dilihatnya kaki kanan Melati tidak bisa lurus. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di sana. Padahal, tidak terlihat sesuatu pun di kaki gadis berpakaian putih itu.

"Mengapa, Melati?" tanya Arya cemas seraya memegang bahu gadis itu untuk membantunya berdiri.

"Aku tidak tahu, Kakang," keluh Melati. "Seperti ada sesuatu yang menancap di paha kananku hingga tembus!"

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Dia sedikit pun tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa kekasihnya. Benaknya diputar untuk mencari jawaban. Tapi, tetap tidak diketemukannya.

Tiba-tiba pemuda berambut putih keperakan itu teringat akan mimpi-mimpi buruk yang masih menganggu tidurnya. Perasaan gelisah akan keselamatan Melati pun melanda hatinya. Betapapun telah diusahakan untuk menghilangkan peras aan itu, tetap saja dia tidak mampu.

Memang, ada perbedaan antara mimpi-mimpinya. Dalam mimpinya tubuh gadis berpakaian putih itu dililit ular besar yang siap melahap kepalanya. Sementara serbuan pedang-pedang merah menyala meluncur datang. Tapi, mimpi-mimpi yang belakangan ini menghias tidurnya tidak lagi disertai ular besar.

Ingatan itu membuat Dewa Arak tersentak. Mengapa sejak bertemu Melati ada pengurangan dalam mimpinya? Pemuda berambut putih keperakan itu segera menyadari adanya kemungkinan lain di sini.

Disadarinya mimpi yang dialaminya bukan sekadar bunga tidur. Memang, setelah beberapa kali belalang raksasa masuk ke dalam dirinya, Dewa Arak meras akan perubahan. Ia dapat merasakan keberadaan seseorang di sekitarnya, adanya bahaya yang mengancam, dan sedikit mengerti bahasa binatang.

Karena kesadaran akan perubahan dalam dirinya dan kejadian yang sekarang dialami Melati serta teringat kembali akan pengulangan mimpinya, Dewa Arak mulai mengambil kesimpulan. Bukan tidak mungkin mimpi-mimpi itu merupakan firasat yang didapatnya berkat belalang raksasa di alam gaib.

Sejak semula Dewa Arak memang sudah menduga mimpi-mimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Tapi, kejadian yang menimpa Melati menjadikannya berpikir lebih sungguh-sungguh. Pemuda itu memutar otaknya lebih keras. Sesaat kemudian, Arya telah dapat menemukan kesimpulannya.

Kini, Dewa Arak dapat memperhatikan kalau ular dan pedang-pedang yang tertuju ke arah Melati di dalam mimpi itu, dalam kenyataan sebenarnya adalah bahaya-bahaya yang tengah mengancam gadis itu. Mengenai tidak adanya lagi ular yang membelit Melati, menjadi pertanda kalau satu bahaya telah terlewati. Kalau begitu bahaya pertama adalah wanita berpakaian merah!

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Kakang?" tanya Melati bingung.

Pertanyaan itu membuat Dewa Arak sadar dari lamunannya. Perhatiannya dialihkan pada gadis berpakaian putih. "Aku sendiri masih bingung, Melati. Lebih baik kau periksa tempat yang terasa sakit. Barangkali saja ada tanda-tanda yang mencurigakan...."

Wajah pucat Melati langsung memerah. Memeriksa bagian yang terasa sakit sama saja dengan melucuti celananya. Bagaimana mungkin hal itu di lakukan. Meskipun Dewa Arak kekasihnya, rasa malu terhadap pemuda berambut putih keperakan itu tetap ada.

Dewa Arak rupanya mengerti. Pemuda itu segera mengetahui penyebab memerahnya wajah Melati sampai ke kedua telinganya. "Kalau begitu, kita cari tempat yang aman," ucap Dewa Arak.

Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari tempat yang cukup aman. "Nah! Kurasa di sana cukup aman!" tunjuk pemuda berambut putih keperakan itu ke arah sisi jalan yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak cukup lebat.

Melati memperhatikan tempat itu sesaat sebelum menganggukkan kepala menyetujui. Maka, Dewa Arak pun segera memapah tubuh gadis berpakaian putih itu dan membawanya ke sana, ke balik semak-semak dan pepohonan. Baru setelah itu, Dewa Arak membalikkan tubuh dan membiarkan Melati sendirian memeriksa bagian yang sakit.

Dewa Arak menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rasanya waktu berjalan demikian lambat Dia ingin secepatnya mendengar hasilnya dari mulut Melati. Sesaat kemudian....

"Akh!"

Sukma Dewa Arak bagai lenyap dari raga mendengar jerit tertahan Melati. Jerit kesakitan! Padahal, yang tengah ditunggunya adalah panggilan Melati. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut putih keperakan itu membalikkan tubuh dan melesat ke tempat Melati berada. Saat itulah didengarnya bunyi berdebuk keras. Tanpa melihat lagi pun Dewa Arak dapat menerka bunyi itu terjadi karena ambruknya tubuh Melati ke tanah.

"Melati!" Teriakan Dewa Arak tercekat ditenggorokan. Kedua kakinya terasa lemas. Penyebabnya adalah pemandangan yang terpampang di hadapannya.

Tubuh Melati tampak tertelungkup di tanah. Meskipun terlihat gerakan dari gadis berpakain putih itu, tapi keadaannya menimbulkan rasa khawatir pada Dewa Arak.

LIMA

Menghadapi kenyataan yang tidak disangka-sangka itu Dewa Arak terkejut bukan main. Pemuda itu terkesima di depan Melati. Tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian, Arya telah menjatuhkan diri untuk memeriksa keadaan Mel ati. Dewa Arak membalikkan tubuh kekasihnya. Tampak wajah Melati sangat pucat.

"Apa yang terjadi, Melati?" Dengan penuh kekhawatiran Dewa Arak mengajukan pertanyaan. Celana Melati yang telah agak terlucuti dibetulkannya. Jelas gadis itu telah melaksanakan perintahnya sebelum akhirnya menjerit dan terjatuh. Sempat terlihat oleh Dewa Arak paha Melati yang putih dan halus. Tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan adanya luka!

"Seperti sebelumnya, Kakang! Sepertinya... ada tombak yang menusuk... Kali ini paha kiriku, kakang...," ujar Melati terbata-bata.

"Apa?!" Dewa Arak terpekik kaget. Paha kiri. Itu berarti kedua kaki Melati tidak bisa dipergunakan lagi! Meelati lumpuh?! Hampir Dewa Arak tidak percaya akan kenyataan ini.

"Benar, Kakang. Sekarang aku tidak bisa berdiri," lanjut Melati, seperti mengetahui apa yang dipikiran dan yang berkecamuk di benak Dewa Arak.

Terdengar bunyi brekerotokan keras seperti tulang-tulang berpatahan, ketika dalam kemarahan yang menggelegak tenaga dalam Dewa Arak berkeliaran sendiri.

"Sebenarnya... apakah yang tengah menimpaku, Kakang? Aku benar-benar tidak mengerti," ucap Melati sedih. "Kalau kau mengetahuinya, katakanlah, Kakang. Jangan biarkan aku dilanda ketidak-mengertian seperti ini!"

"Hhh...!" Dewa Arak menarik napas dalam-dal am, dan menghembuskannya kuat-kuat. "Apakah kau ingat kejadian yang menimpa Ki Aswatama...?!"

"Maksudmu..., kejadian yang menimpaku sama dengannya, Kakang?!" tanya Melati meminta kepastian.

"Yahhh.... kira-kira begitu Melati." Dewa Arak mengangguk sambil menghela napas berat. "Hanya itu jawaban yang paling mungkin, Melati. Sebab, tidak mungkin kejadian kejadian yang menimpamu terjadi dengan sendirinya. Andaikata pun nanti kenyataan ini tidak benar, setidak-tidaknya ada usaha yang telah kita lakukan."

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Melati ingin tahu.

Dewa Arak tercenung sejenak. Dahinya berkernyit dalam. Tampaknya pemuda itu tengah berpikir. "Untuk sementara kita temui dulu Ki Aswatama. Barangkali dia telah sembuh. Kita bisa minta pertolongan darinya," jawab Dewa Arak.

"Mengapa kau tidak mencoba mengobatiku, Kakang?!"

"Bagaimana aku dapat mengobatimu, Melati. Jenis penyakitmu saja tidak kutemukan. Menurut pemeriksaanku, kau sehat-sehat saja."

"Jadi...?!" Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.

"Seperti yang telah kukatakan tadi, kita akan menjumpai Ki Aswatama!"

Kali ini tidak ada tanggapan dari Melati. Gadis berpakaian putih itu tahu keputusan yang diambil kekasihnya biasanya tidak pemah keliru. Jadi, diputuskan untuk menerimanya.

Dewa Arak pun tahu. Maka, tanpa membuang-buang waktu segera diangkatnya tubuh Melati. Kemudian dibawanya berlari cepat meninggalkan tempat itu. Arya tidak berani bertindak lamban. Disadarinya nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Sewaktu-waktu bisa saja dia dibunuh!

Dari pemberitahuan seorang penduduk, Dewa Arak tahu tempat kediaman Ki Aswatama. Ganta dan Kiwul ternyata tidak berdusta. Guru mereka amat dikenal. Padahal, tempat tinggalnya jauh dari pemukiman penduduk. Itu didengar Dewa Arak dari mulut para penduduk. Kekhawatiran akan keselamatan Melati membuat Dewa Arak tidak peduli tindakannya membuat kegemparan di tempat-tempat yang dilalui.

Pemuda berambut putih keperakan itu melalui jalan-jalan utama desa dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Karuan saja, banyak penduduk yang merinding bulu kuduknya. Melihat kelebatan bayangan ungu dalam bentuk yang tidak jelas. Kalau saja kejadiannya malam hari mungkin mereka sudah lari tunggang langgang.

Semakin lama rumah-rumah penduduk yang semula berjajar di kanan kiri jalan mulai jarang. Letak rumah yang satu dengan yang lain mulai berjauhan. Sampai akhirnya yang tampak di kanan kiri hanya jajaran tanaman dan pepohonan. Pemandangan itu dilihat Dewa Arak beberapa saat lamanya sebelum di kejauhan tampak sebuah bangunan sederhana.

Tapi, pemuda itu kelihatan terkejut. Di depan bangunan itu terdapat banyak sosok manusia. Sekali lihat saja Dewa Arak segera tahu sosok-sosok itu tengah terlibat pertarungan. Pemandangan itu membuat Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Arya khawatir akan terjadi hal buruk yang tidak diharapkan.

Kian dekat dengan pondok Ki Aswatama semakin jelas pemandangan yang terlihat. Kini pemuda itu bisa mengetahui sosok-sosok yang bertarung. Ternyata Ganta dan Kiwul yang melawan serombongan orang kekar. Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua belas orang!

Meski masih berada dalam jarak belasan tombak dan hanya memperhatikan sekilas, Dewa Arak bisa memperkirakan kekuatan masing-masing pihak. Secara perorangan kepandaian Ganta dan Kiwul berada di atas lawan-lawannya. Tapi, karena jumlah lawan jauh lebih banyak, murid-murid Ki Aswatama itu terdesak hebat Kalau dibiarkan, Ganta dan Kiwul akan tewas di tangan para Pengroyoknya.

Keadaan mereka sudah demikian mengkhawatirkan. Hampir tidak ada serangan balasan yang mereka kirimkan. Kedua orang itu hanya mengelak dan menangkis. Kini keduanya telah berada di pintu pondok. Tak lama lagi mereka akan didesak masuk! Ketidak beradaan Ki Aswatama untuk membantu murid-muridnya membuat Dewa Arak merasa heran. Apakah guru silat itu belum sembuh dari sakitnya?

Namun, Dewa Arak segera membuang pertanyaan itu. Jaraknya telah demikian dekat. Dan, dengan sekali jejakan saja, kaki pemuda berambut putih keperakan itu telah melesat ke dalam kancah pertarungan.

"Hih!" Di saat tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Serangkum angin besar menyeruak membuat tubuh para pengeroyok Ganta dan Kiwul terlempar ke belakang bagai dihempas angin badai! Senjata-senjata mereka berlepasan dari genggaman.

Untung, Dewa Arak tidak bermaksud menjatuhkan tangan maut. Kibasannya itu hanya untuk melontarkan tubuh lawan-lawannya, tanpa melukai. Hal itu dilakukan Arya karena belum mengetahui permasalahan mereka. Siapa yang salah dan yang benar belum jelas.

Ringan bagai daun kering, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di antara murid-murid Ki Aswatama dan para pengeroyoknya yang bergelimpangan di tanah.

"Arya....!"

Kiwul dan Ganta berseru hampir bersamaan ketika melihat sosok yang berdiri membelakangi mereka. Sosok yang telah menyelamatkan nyawa mereka. Meskipun hanya melihat bagian belakang tubuh Dewa Arak, kedua murid Ki Aswatama bisa mengenali. Ciri-ciri Arya memang terlalu menyolok!

Dewa Arak membalikkan tubuh seraya menyunggingkan senyum.

"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, mungkin kami sudah tewas di tangan mereka," ucap Kiwul dengan gembira.

"Lupakanlah, Kiwul. O, ya, siapa mereka? Mengapa kalian terlibat pertarungan dengannya?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.

Kiwul dan Ganta menatap sosok-sosok kekar yang tengah berusaha bangkit. Terlihat jelas kegeraman dalam pandang mata mereka.

"Mereka adalah orang-orang yang kuceritakan padamu, Arya."

"Ah!" seru Arya kaget. "Jadi..., mereka adalah anak buah Juragan Trestajumena Geni?!"

"Benar." Kali ini Ganta yang menjawab seraya menganggukkan kepala. "Rupanya, mereka merasa penasaran dengan kekalahan yang mereka terima beberapa hari yang lalu. Sekarang mereka datang lagi. Anehnya, mereka seperti mengetahui kalau sekarang guru kami tidak dapat membantu. Dan.... Awas, Arya!"

Dengan terpaksa Ganta menghentikan ceritanya di tengah jalan. Saat itu dilihatnya rombongan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni meluruk ke arah Dewa Arak Golok dan pedang diayunkan deras ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.

Sebenarnya, peringatan Ganta hampir tidak berguna. Tanpa diberitahukan pun Dewa Arak telah mengetahui serangan itu. Memang, pemuda itu tidak melihat. Tapi, telinganya yang tajam menangkap desir angin yang menyambar deras ke arahnya. Karena itu, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera membalikkan tubuh. Dengan tangan kirinya, dihadapinya semua serangan yang mengancam.

Tak, tak, takkkk!

Bunyi berdetak keras seperti benda-benda logam berbenturan terdengar berkali-kali. Tangan kiri Dewa Arak beradu dengan senjata-senjata lawan! Dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat sempurna, Dewa Arak mampu membuat tangannya tak kalah kuat dengan besi baja!

Akibatnya tidak berhenti hanya sampai di situ. Jerit tertahan pun keluar dari mulut para pengeroyok Arya. Mereka merasakan tangan yang menggenggam senjata terasa sakit dan hampir lumpuh! Tubuh mereka pun terhuyung-huyung ke belakang.

Di saat itulah Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Untuk kedua kalinya berhembus angin yang sangat kuat. Bahkan, jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Tubuh anak buah Juragan Trestajumena Geni melayang-layang ke belakang seperti daun kering dipermainkan angin.

Semua kejadian itu dilihat jelas oleh Ganta dan Kiwul. Kalau tidak melihat sendiri, mereka tidak akan percaya. Belasan tukang pukul Juragan Trestajumena Geni dibuat tak berdaya oleh Dewa Arak hanya dalam segebrakan! Begitu tinggikah kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini?

Kenyataan yang mengejutkan hati itu membuat murid murid Ki Aswatama terkesima. Sampai Dewa Arak membalikkan tubuh dan mengalihkan perhatian ke arah mereka, Ganta dan Kiwul tetap terpana.

"Ehm!" Dewa Arak terpaksa berdehem agak keras untuk menyadarkan kedua murid Ki Aswatama dari terkesimanya. Dan memang, usaha pemuda berambut putih keperakan ini tidak sia-sia.

"Eh,... Oh...!" Hanya itu yang keluar dari mulut Ganta dan Kiwul.

"Jadi... Guru kalian belum sembuh?" Dewa Arak segera mengajukan pertanyaan. Tak peduli pada sikap salah tingkah Ganta dan Kiwul.

"Be... belum," jawab Kiwul agak terbata-bata. "Bahkan keadaannya semakin parah, Arya," tambah Ganta.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. Lenyap sudah harapannya untuk mendapatkan kesembuhan bagi Melati. Tapi, tidak seluruhnya. Disadarinya kalau Ki Aswatama merupakan kunci untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan terhadap Melati. Bukankah guru silat itu menerima kiriman ilmu hitam? Dewa Arak yakin kalau tindak kejahatan itu orang yang sama. Saat itulah Ganta dan Kiwul melihat sosok yang berada di bahu kanan Dewa Arak.

"Apa yang terjadi dengannya, Arya? Bukankah dia kawan seperjalananmu?" tanya Kiwul seraya menudingkan jari telunjuknya.

"Panjang ceritanya, Kiwul," jawab Dewa Arak singkat. "Sayang sekali aku tidak mempunyai waktu untuk menceritakannya. Aku minta maaf. Sebab, keadaannya sudah sangat mendesak."

"Kami bisa mengerti, Arya," jawab Ganta mencoba bijaksana.

"Terima kasih, Ganta." Arya gembira dengan tanggapan yang mereka berikan. "Bisa aku melihat keadaan guru kalian?"

"Mengapa tidak?" jawab Ganta dan Kiwul bersamaan.

Dua murid Ki Aswatama itu segera mendahului melangkah masuk. Dewa Arak mengikuti di belakangnya. Sekilas pemuda berambut putih keperakan itu sempat melempar pandang ke arah rombongan tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.

Setelah berhasil bangkit, mereka segera kabur meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka menyadari kalau Dewa Arak lawan yang tidak bisa dihadapi. Sambil sesekali menoleh ke belakang, rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni berlari tunggang langgang. Tapi, kekhawatiran mereka tidak terbukti. Dewa Arak tidak mempedulikan mereka, dan masuk ke dalam pondok Kiwul.

"Beginilah keadaan guru kami, Arya."

Dewa Arak memandang sosok yang terbariring di balai-balai bambu. Dia adalah seorang lelaki tua. Tubuhnya tinggi besar. Kumis tebal melintang menghias wajahnya. Sayang, keangkeran sosok itu tertutup oleh sorot matanya yang sayu. Jelas, kakek tinggi besar itu tengah menderita sakit.

"Aku turut prihatin atas peristiwa yang menimpamu. Ki Aswatama." Hanya itu yang dapat dikatakan Dewa Arak Ki Aswatama mencoba membentuk senyuman di bibir. Tapi rasa sakit yang melanda menggagalkannya. Justru yang tampak adalah seringai kesakitan.

"Terima kasih, Anak Muda. Ganta dan telah banyak bercerita mengenai dirimu. Keadaanmu mengingatkanku akan seorang pendekar muda yang namanya saat ini tengah menggetarkan dunia persilatan. Apakah kau orangnya, Anak Muda? Kudengar nama yang kau sebut pun memiliki kemiripan. Arya?" Meski agak terputus-putus, Ki Aswatama berhasil menyelesaikan ucapannya.

Dewa Arak menganggukkan kepala. Pemuda itu tahu tokoh yang dimaksud guru silat Desa Palung ini. Pasti Dewa Arak! Dan pemuda berambut putih keperakan ini tidak tega membohongi orang yang tengah di ambang kematian. "Dugaanmu tidak keliru, Ki Aswatama. Memang, orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak."

Sekilas sepasang mata tua Ki Aswatama berbinar-binar. "Sungguh suatu kebahagian yang besar bertemu denganmu sebelum nyawaku pergi meninggalkan raga, Dewa Arak."

"Kau terlalu berlebihan, Ki Aswatama. Aku hanya seorang pemuda biasa yang memiliki banyak keterbatasan. Kedatanganku kemari pun karena ingin meminta pertolongan padamu." Dewa Arak langsung pada pokok persoalan, karena khawatir kakek tinggi besar itu keburu tewas.

"Katakanlah, Dewa Arak. Aku akan berbahagia sekali bila dapat membantumu. Ini sungguh di luar dugaanku!"

Dewa Arak tidak buru-buru mengajukan permasalahannya. Benaknya diputar untuk mencari kata-kata yang tepat. Sementara Ganta dan Kiwul diam saja. Tidak sedikit pun mereka tampak kaget. Bahkan, ketika Dewa Arak menyebutkan julukannya. Mereka belum pernah mendengar julukan seperti itu. Letak desa ini memang agak terpencil. Jauh terpisah dari desa-desa lainnya.

Dengan tidak adanya tanggapan dari Ganta dan Kiwul, Ki Aswatama dan Dewa Arak jadi leluasa melanjutkan pembicaraan. Sekarang, pemuda berambut putih keperakan itu sudah berhasil menemukan kata-kata yang tepat.

"Begini, Ki Aswatama. Kudengar kau menderita sakit yang aneh. Apakah betul demikian?" tanya Dewa Arak hati-hati.

"Benar," jawab Ki Aswatama singkat.

"Bisa kau jelaskan keanehannya, Ki Aswatama?" desak Arya lebih jauh.

"Hhh...!" Ki Aswatama menghela napas. "Aku tidak pernah terkena serangan lawan. Tapi, tahu-tahu saja beberapa hari yang lalu seperti ada benda tajam, tombak atau sejenis itu, menembus kedua pahaku. Saat itu aku tengah berdiri. Tak pelak lagi, aku jatuh tersungkur. Dan sejak saat itu aku lumpuh...!"

Wajah Dewa Arak langsung memucat. Kejadian yang menimpa Ki Aswatama ternyata sama dengan Melati. Pemuda berambut putih keperakan itu merasa khawatir kekasihnya akan mengalami nasib seperti kakek tinggi besar itu. Meskipun demikian, ada harapan menyala di dalam dada Dewa Arak. Sebab, sudah dapat diketahui kalau pelaku tindak keji itu adalah orang yang sama. Dengan demikian, Arya bisa melacaknya dari Ki Aswatama!

ENAM

Seiring dengan timbulnya semangat itu, keraguan Arya pun menyeruak. Siapa orang yang sampai hati berbuat seperti itu? Dan mengapa hal itu dilakukannya?

"Semula kucoba mengobati penyakit ini sendiri," lanjutnya, membuat Dewa Arak menghentikan lamunannya. "Tapi tidak berhasil. Lalu, kusuruh Ganta dan Kiwul memanggil ahli obat ternama di desa-desa sekitar sini."

Kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengatur napasnya yang terlihat terengah-engah. Meskipun hanya bercerita, keadaannya yang buruk itu cukup menguras tenaganya.

"Tapi ahli obat itu ternyata tidak mampu menyembuhkan penyakitku. Katanya, aku bukan terkena penyakit atau luka biasa. Tapi luka akibat ilmu hitam. Ilmu teluh. Kebetulan dia mempunyai sedikit pengetahuan tentang ilmu itu. Tapi, sayangnya dia tidak bisa mengobati penyakitku."

"Apa saja yang diceritakannya mengenai ilmu teluh itu, Ki?" tanya Dewa Arak.

"Cukup banyak. Katanya, tokoh yang mengirimkan penyakit ini bermaksud menyiksaku. Dia ingin melihatku mati secara pelahan-lahan. Karena kalau dia ingin membunuhku, dengan mudah hal itu dapat dilakukannya," jeals Ki Aswatama.

Cerita Ki Aswatama membuat Dewa Arak merasa ngeri bukan main. Nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Kalau orang itu menginginkannya, dengan mudah nyawa Melati dibuat melayang!

"Apakah orang yang kau panggul itu juga mengalami nasib sepertiku?" tanya Ki Aswatama seraya mengarahkan pandangan kepada tubuh Melati yang berada di bahu kanan Dewa Arak.

"Yahhh...," jawab Arya setengah mendesah. "Kedua kakinya dilumpuhkan..."

"Keji!" seru Ki Aswatama agak keras. "Orang semuda itu harus menerima kenyataan demikian. Hati-hatilah, Dewa Arak. Kekejian itu masih berlanjut. Tokoh itu melakukannya secara bertahap. Aku yakin dia akan melumpuhkan kedua tangannya seperti yang dilakukannya terhadapku!"

"Jahanam!" Dewa Arak berteriak hingga pondok itu tergetar hebat. Bahkan, Ganta dan Kiwul sampai terjingkat kaget "Tidak akan kubiarkan hal ini terjadi! Tak akan!"

Sepasang mata Dewa Arak mencorong tajam, menyorotkan sinar kehijauan bagai mata harimau dalam gelap! Mengerikan! Ganta, Kiwul dan Ki Aswatama tak terasa bergidik melihatnya. Mereka tahu pemuda berambut putih keperakan itu tengah dilanda kemarahan hebat!

"Boleh aku mengajukan pertanyaan lagi, Ki?!" tanya Dewa Arak dengan suara bergetar karena amarah yang masih bergelora.

Ki Aswatama mengangguk. Wibawa yang memancar dari diri Dewa Arak ketika pemuda berambut putih keperakan itu murka membuat lidah kakek tinggi besar itu kelu.

"Apakah kau bisa memperkirakan orang yang telah melakukan kekejian terhadapmu?!"

"Kalau kau tanyakan orang yang telah melakukan perbuatan ini, terus terang aku tidak tahu. Tapi bila kau menanyakan orang yang berada di balik semua ini, aku dapat memberikan jawabannya. Sebab, banyak bukti-bukti yang menguatkannya."

Dahi Dewa Arak berkernyit sebentar. "Aku mengerti maksdumu, Ki. Bukankah kau ingin mengatakan kalau pelaku perbuatan keji ini hanya orang suruhan?!"

"Begitulah, Dewa Arak," jawab Ki Aswatama yakin.

"Kalau begitu siapa orang yang berdiri di belakang layar itu, Ki?!" desak Arya penasaran.

"Juragan Trestajumena Geni!" tegas kakek tinggi besar itu mantap.

Sepasang alis Dewa Arak berkerut dalam. "Apakah kau mempunyai alasan yang kuat sehingga melontarkan tuduhan seperti itu terhadapnya?"

"Banyak alasannya, Dewa Arak! Pertama, aku adalah hambatannya dalam melakukan tindak kekejian terhadap penduduk desa. Dan mungkin dianggapnya berbahaya. Terbukti dengan ketidak-berhasilannya menumpasku sewaktu mengirim orang-orangnya kemari. Tapi alasan lebih kuat yang membuat kecurigaanku terhadapnya semakin keras adalah sikap anak buahnya ketika tadi datang ke sini. Apakah Ganta dan Kiwul belum menceritakannya kepadamu?!"

Dewa Arak mengalihkan pandangannya ke arah dua murid Ki Aswatama dengan sorot mata penuh pertanyaan.

"Sudah, Guru. Kami telah memberitahukannya," jawab Ganta mendahului rekannya. "Tapi tidak ada salahnya kalau kami ulangi lagi, biar jelas. Mungkin tadi Arya tidak terlalu memperhatikannya."

"Kecurigaan kami semakin menguat karena sewaktu datang tadi, rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni langsung menantang kami. Katanya, kami tidak akan seberuntung dulu lagi. Karena tidak ada orang yang akan membela kami. Jumlah mereka pun menambah keanehan itu. Dengan jumlah sedikit mereka ingin meringkus kami. Beberapa hari yang lalu, di waktu dihajar tunggang-langgang oleh kami bertiga, jumlah mereka jauh lebih banyak. Paling tidak dua kali lipat dari sekarang," urai Kiwul panjang lebar.

"Mungkin benar jumlah mereka berkurang. Tapi, kemampuan perorangannya jauh di atas penyerang-penyerang yang dulu," timpal Dewa Arak mengemukakan pendapatnya.

"Tidak, Arya," jawab Kiwul bersikeras. "Semua penyerbu yang tadi adalah orang-orang yang melakukan penyerangan beberapa waktu yang lalu."

"Kalau begitu, aku akan pergi dulu, Ki," ucap Arya setelah termenung sesaat.

"Mengapa tergesa-gesa, Dewa Arak? Ke mana kau akan pergi?" tanya Ki Aswatama kaget melihat keputusan Dewa Arak yang begitu mendadak.

"Mendatangi Juragan Trestajumena Geni, Ki. Aku akan mengorek keterangan dari mulutnya. Benarkah dia yang berdiri di belakang semua ini? Kalau benar demikian, mudah-mudahan masalah ini akan tuntas. Selamat tinggal, Ki!" Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu.

"Selamat jalan, Dewa Arak! Semoga berhasil!" seru Ki Aswatama agak mengeraskan suaranya agar terdengar.

* * *

Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mencari tempat kediaman Juragan Trestajumena Geni. Karena tadi sewaktu menuju tempat tinggal Ki Aswatama, Arya telah melewatinya. Orang terkaya di beberapa desa itu tinggal di rumah yang mewah dan megah, terkurung pagar batu tinggi. Tak kurang dari satu setengah tombak tingginya.

"Berhenti!"

Hardikan keras disertai todongan dua batang tombak membuat Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di depan pintu gerbang rumah Juragan Trestajumena Geni. Dua orang lelaki menjaga pintu gerbang.

Penjaga-penjaga itu bertubuh kekar dan berwajah kasar. Yang menghardik Dewa Arak mempunyai tompel besar di pipi kanan.

"Siapa kau? Dan apa keperluanmu kemari?" tanya penjaga satunya lagi, yang berkepala botak. Suaranya tak kalah bengis dari rekannya.

Dua orang penjaga itu memang tidak termasuk orang-orang yang melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Ki Aswatama. Karena itu, mereka tidak mengenal Dewa Arak!

Dewa Arak tengah mengejar waktu. Karuan saja, Arya jengkel mendapat hambatan seperti itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk bermain-main. Maka, tangan kirinya segera dikibaskan.

"Wuaaa!"

Dua orang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu menjerit ngeri. Tubuh mereka tiba-tiba melayang. Padahal, keduanya yakin Dewa Arak tidak menyentuh tubuh mereka. Penjaga-penjaga itu hanya merasakan angin dahsyat berhembus kencang. Dan, itu terjadi ketika Dewa Arak mengibaskan tangannya.

Tapi Dewa Arak tidak mempedulikan nasib kedua penjaga itu. Dengan sekali lesatan Arya berhasil melewati pintu gerbang. Kini, pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di halaman depan yang luas. Di kanan dan kiri yang berdekatan dengan tembok tampak membentang hamparan bunga-bunga indah.

Dewa Arak tertegun kebingungan. Di hadapannya terdapat beberapa bangunan megah. Tapi yang paling mewah dan besar adalah bangunan yang terletak di bagian tengah.

"Rupanya, ini bangunan induk. Di sinilah Juragan Trestajumena Geni tinggal," bisik Dewa Arak dalah hati.

Kedatangan Arya ternyata segera diketahui oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Itu terjadi karena hampir di setiap sudut terdapat mereka.

"Penyelundup...! Ada penyelundup...!"

"Kepuuung...! Jangan biarkan lolos...!"

Teriakan-teri akan keras terdengar saling bersahutan. Sesaat kemudian, derap kaki-kaki yang berlari menghant am bumi menyambuti. Hanya dalam sekejap Dewa Arak telah dikurung. Sementara pemuda berambut putih keperakan itu tetap berdiri di tempatnya.

Meskipun telah terkurung Dewa Arak tetap bersikap tenang. Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari memperhatikan para pengepungnya. Tatapan pemuda itu berhenti di depan pintu bangunan termegah.

Di sana berdiri seorang lelaki berpakaian indah. Dua orang bertampang angker berada di kanan kirinya. Sementara dua orang lagi berjaga-jaga di anak tangga terbawah yang menuju ke pintu bangunan megah itu.

Tanpa diberitahu Dewa Arak sudah bisa menduga siapa lelaki berpakaian indah itu. Pasti Juragan Trestajumena Geni! Sayang, pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa terlalu lama memperhatikannya. Karena....

"Siapa kau, Keparat! Sungguh berani menyatroni tempat tinggal Juragan Trestajumena Geni!" tuding seorang lelaki pendek kekar yang berada tepat di depan Dewa Arak. Melihat tindak-tanduknya, kedudukannya tentu tidak sama dengan yang lainnya.

"Dialah orang yang kami ceritakan itu, Pratala!" teriak salah seorang di antara para pengepung.

"Benar!" sambung yang lainnya.

"Betul!" Satu suara lagi memberikan dukungan. "Dia lihai sekali!"

Lelaki pendek kekar yang ternyata bernama Pratala menggertakkan gigi. Lelaki itu geram bukan main begitu mengetahui sosok yang berdiri dihadapannya orang yang telah menggagalkan rencana melenyapkan Ganta dan Kiwul. Sebab, dirinya yang mendapat teguran dari Juragan Trestajumena Geni. Karena dialah yang menjadi pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.

"Kalau begitu, bunuh dia!" sem Pratala keras.

Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang telah mengepung Dewa Arak langsung melancarkan serangan. Senjata yang sejak tadi terhunus di tangan diayunkan ke arah sasaran.

Sing, sing, wukkk!

Bunyi-bunyi tajam mengiris telinga mengawali tibanya hujan berbagai macam senjata. Dewa Arak tetap tenang. Ditunggunya hingga semua serangan menyambar dekat. Setelah itu Arya baru bertindak. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, pemuda berambut putih keperakan itu mengelakkan setiap serangan. Tubuhnya berkelebat an di antara senjata lawan.

Pratala geram bukan main melihat Dewa Arak mampu meloloskan diri. Lincah bagai kera Dewa Arak berkelebatan di sela-sela hujan serangan!

Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Namun, tidak berlangsung seimbang. Terbukti, beberapa gebrakan kemudian ketika Dewa Arak mulai melancarkan serangan. Jerit kesakitan mengiringi berpentalannya tubuh tukang pukul Juragan Trestajumena Geni satu demi satu!

"Hiaaat...!"

Pratala yang sangat murka melompat menerjang Dewa Arak. Golok besar yang menjadi senjata andalannya diayunkan ke kepala Arya. Bila berhasil mengenai sasaran, lelaki pendek kekar itu yakin tubuh Arya akan terbelah menjadi dua.

Tapi, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Padahal pada saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dengan tenang tangan kirinya dipalangkan di atas kepala. Pemuda itu memapaki bacokan golok Pratala dengan pergelangan tangan!

Takkk!

Bunyi keras terdengar. Golok Pratala berbenturan dengan tangan Dewa Arak yang terlindungi tenaga dalam kuat. Seketika itu pula, golok itu terpental balik. Pratala merasakan tangannya panas dan sakit, sehingga hampir-hampir senjatanya terlepas dari cekalan.

Sementara Dewa Arak sedikit pun tidak mengalami kejadian yang merugikan. Tangannya tetap utuh. Jangankah putus, tergores pun tidak. Malah, dengan kecepatan luar biasa tangan kirinya dihantamkan ke arah dada Pratala.

Pemimpin tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu terkejut bukan main. Dia menyadari adanya bahaya yang mengancam. Tapi saat itu kedudukan tubuhnya tidak menguntungkan. Dia masih berada di udara. Meskipun demikian, diusahakan sebisanya untuk mengelak. Dan....

Plakkk!

"Huakh...!" Pratala melolong ketika telapak tangan kiri Dewa Arak dengan telak menghantam sasaran. Bunyi berdetak keras tulang-tulang patah langsung terdengar. Darah segar menyembur dari mulut pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Dan tubuhnya melayang meninggalkan raga.

Kejadian ini tidak hanya mengejutkan tukang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Tapi juga Juragan Trestajumena Geni sendiri. Dan sebelum keterkejutan mereka sirna, dengan sekali lesatan Dewa Arak berhasil keluar dari kepungan. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melesat cepat ke arah Juragan Trestajumena Geni!

Tindakan Dewa Arak membuat semua mata yang ada di situ terbelalak lebar. Tindakan pemuda itu benar-benar menggiriskan hati. Anak tangga yang berjumlah belasan langsung dilewatinya. Sekejap kemudian Arya telah berada di puncak! Satu tombak di hadapan Juragan Trestajumena Geni.

Kejadian tak disangka-sangka ini membuat tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kelabakan. Berbondong-bondong mereka berlari mengejar Dewa Arak. Demikian pula dua tukang pukul yang berjaga di anak tangga terbawah. Mereka berlari-lari melewati anak tangga untuk menyelamatkan nyawa majikannya.

Tapi, tindakan mereka kalah cepat oleh dua orang berwajah angker yang berada di kanan kiri Juragan Trestajumena Geni. Secepat kilat keduanya mencabut pedang yang tergantung di punggung. Kemudian menyerang Dewa Arak bagai harimau luka.

Sing, sing!

Kedua pedang itu meluncur ke arah leher dan ulu hati Dewa Arak! Arya tahu serangan kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan serangan-serangan sebelumnya. Tenaga dalam serangan itu jauh lebih kuat dari Pratala, Ganta maupun Kiwul.

Tapi semua itu bukan berarti Dewa Arak menjadi gentar. Waktu yang mendesak membuat Arya tak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Cepat kakinya dijejakkan. Hingga, tubuhnya melayang ke atas. Tak pelak lagi, serangan kedua pedang itu menyambar lewat di bawah kakinya. Di saat tubuhnya berada di udara itulah Dewa Arak bertindak. Tangan dan kakinya digerakkan dengan cepat ke arah kedua lawannya.

TUJUH

Bukkk! Dukkk!

"Akh, akh!"

Dua lelaki berwajah garang itu menjerit tertahan ketika kaki dan tangan Dewa Arak mendarat telak di dada dan tengkuk mereka. Tulang dada itu hancur berantakan. Sedang leher kawannya langsung patah. Saat itu juga nyawa kedua pengawal kepercayaan Juragan Trestajumena Geni melayang ke alam baka. Tubuh keduanya ambruk ke tanah.

Semua kejadian itu berlangsung di depan mata Juragan Trestajumena Geni. Karuan saja, lelaki berpakaian mewah itu ketakutan bukan main. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan berlari ke dalam. Tapi... Langkah Juragan Trestajumena Geni langsung terhenti. Mendadak....

Dewa Arak berdiri di hadapannya. Dengan sikap kalap juragan itu berbalik kembali. Tapi, sebelum maksudnya terlaksana Dewa Arak telah mengulurkan tangan. Dan....

Kreppp!

"Akh, ekh!" Napas Juragan Trestajumena Geni tersengal-senggal saat tangan Dewa Arak mencekal leher bajunya, dan mengangkatnya ke atas tanpa kesulitan yang berarti.

"Kau tidak usah takut, Tuan Saudagar! Percayalah, aku tidak akan membunuhmu asal kau mau menjawab pertanyaanku dengan jujur. Kau bersedia?!" tanya Dewa Arak dengan garang.

Juragan Trestajumena Geni hanya dapat mengangguk-anggukan kepala menyetujui tawaran yang diajukan Dewa Arak Rasa takut yang mencekam membuat lidahnya terasa kelu, sehingga sukar untuk berbicara.

Dewa Arak lalu menurunkan tubuh lelaki berpakaian mewah itu dan melepaskan cekalannya. "Awas! Jangan sekali-kali kau berbohong padaku. Bila hal itu kau lakukan, ke mana pun kau bersembunyi akan kucari. Dan..., kau tidak akan mati dengan enak!" ancam Dewa Arak sungguh-sungguh.

Kekhawatiran yang sangat akan keselamatan Melati membuat Dewa Arak tidak main-main. Sengaja ditunjukkannya sikap keras agar lawan-lawannya tidak berani bertindak sembarangan. Patut dimaklumi kecemasan hati pemuda berambut putih keperakan itu. Sebab, luka yang diderita Melati semakin bertambah parah. Tangan kananya kini lumpuh!

"Aku berjanji akan berkata sejujurnya. Tapi, apakah kau benar-benar akan menepati janjimu?!" Khawatir dengan keselamatan nyawanya. Juragan Trestajumena Geni memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan itu.

"Jangan samakan aku dengan kalian. Bagiku sebuah janji lebih berharga dari nyawa!" tandas Dewa Arak tegas.

"Tapi, aku masih belum yakin kalau kau belum mengucapkannya,," desak Juragan Trestajumena Geni.

"Baik! Dengar baik-baik. Demi kehormatanku, aku bersumpah tidak akan membunuh Juragan Trestajumena Geni bila dia bersedia menjawab pertanyaanku dengan jujur!"

"Sekarang aku percaya," sambut Juragan Trestajumena Geni. "Dan ingat, Anak Mua. Orang-orang yang berada di belakangku menjadi saksi sumpahmu."

"Aku tahu," sahut Dewa Arak tak sabar, setelah mengerling sejenak ke arah rombongan tukang pukul yang telah berada di belakang Juragan Trestajumena Geni. "Sekarang giliranku, Tuan Saudagar."

"Silakan," jawab Juragan Trestajumena Geni.

"Benarkah kau yang menyuruh orang untuk membuat Ki Aswatama sakit?"

Juragan Trestajumena Geni tertegun. Terlihat jelas dia merasa ragu untuk menjawabnya. Tentu saja, Dewa Arak mengetahuinya.

"Tidak usah ragu-ragu, Tuan Saudagar. Ingat sumpah yang kuucapkan!" sambung Dewa Arak cepat.

"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni menghela napas panjang. "Benar."

"Benarkah orang yang kau suruh itu menggunakan ilmu hitam?" kejar Dewa Arak.

Juragan Trestajumena Geni mengangguk.

"Apakah selain terhadap Ki Aswatama kau memberikan perintah untuk menyakiti orang lain?" tanya Dewa Arak lagi, agak bergetar suaranya karena peras aan tegang yang melanda.

"Tidak!" jawab Juragan Trestajumena Geni mantap. "Aku hanya mendendam pada Ki Aswatama. Hanya pada dialah kuberikan perintah untuk mengirimkan serangan gaib!"

"Kau yakin, Tuan Saudagar?" kejar Dewa Arak setengah tidak percaya. Seraya menatap lelaki berpakaian mewah itu tepat pada kedua bola matanya. Ingin diketahuinya kejujuran juragan itu lewat sinar matanya.

"Aku berkata dengan sejujurnya, Anak Muda!" tandas Juragan Trestajumena Geni sedikit tidak senang.

Dewa Arak pun terdiam. Dirasakan kesungguhan dalam ucapan dan sikap lelaki berpakaian mewah itu. Dan Arya percaya Juragan Trestajumena Geni tidak berbohong. "Pertanyaan terakhir, Tuan Saudagar. Siapakah orang yang telah mengirimkan serangan gaib itu? Dan di mana tempat tinggalnya?"

Seketika itu pula selebar wajah Juragan Trestajumena Geni berubah. Pucat pasi bagai tak berdarah. Tampaknya, pertanyaan itu mengejutkan hatinya.

Dewa Arak bukan orang bodoh. Pemuda itu tahu Juragan Trestajumena Geni merasa cemas untuk menjawabnya. "Waktuku tidak banyak, Tuan Saudagar. Cepat berikan jawaban. Atau..., terpaksa aku turun tangan untuk mencabut nyawamu?!" ancam Dewa Arak dengan sungguh-sungguh.

Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir Juragan Trestajumena Geni tidak berani memberikan jawaban. Jika hal itu terjadi, habislah harapannya. Terpaksa dia mulai dari awal lagi. Dan mungkin Melati telah keburu tewas. Rupanya, gertakan Dewa Arak manjur juga. Meskipun dengan takut-takut Juragan Trestajumena Geni mau juga membuka mulutnya.

"Aku sendiri tidak tahu pasti siapa dia, Anak Muda. Yang jelas, dia seorang ahli ilmu hitam. Mungkin dukun. Salah seorang anak buahku yang memberitahuku mengenai dia. Namanya Mbah Lulur Jagad. Tinggal di puncak Bukit Rajang. Di sana ada sebuah gua. Itulah tempat tinggalnya," urai Juragan Trestajumena Geni.

Dewa Arak mengingat semua keterangan Juragan Trestajumena Geni. Kemudian, setelah yakin tidak ada yang ditanyakan lagi, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. Sehingga meskipun Juragan Trestajumena Geni dan tukang-tukang pukulnya sejak tadi mengawasi, hanya melihat kelebatan bayangan ungu yang tidak jelas. Bayangan itu melesat ke arah pintu gerbang. Dengan sekejap sosok tubuh itu telah berada di luar dan terus melesat pergi.

"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni menghela napas lega melihat Dewa Arak memenuhi janjinya. Dengan langkah lesu tubuhnya dibalikkan. Kemudian kakinya melangkah memasuki bangunan induk. Sementara tukang-tukang pukulnya tanpa diperintah lagi mengurus rakan-rekan mereka yang terluka maupun tewas.
* * *
"Keparat!"

Makian keras penuh kemarahan keluar dari mulut seorang nenek berambut awut-awutan. Pakaian serba hitam membungkus tubuhnya yang tinggi kurus. Kalung, gelang, anting, dan ikat pinggang yang terbuat dari ular yang dikeringkan menghiasi anggota-anggota tubuhnya.

"Ada apa, Mbah?!"

Sebuah suara lembut dan halus menanggapi makian nenek berpakaian hitam. Sesaat kemudian, pemilik langkah itu menghampiri si nenek. Ternyata dia seorang wanita berwajah cantik jelita.Tubuhnya montok menggiurkan dan terbungkus pakaian merah menyala, membuat kecantikannya semakin menyolok.

"Si keparat Trestajumena Geni membuka rahasiaku pada Dewa Arak, Ayu," jawab nenek berpakaian hitam. Terasa jelas kegeraman di dalamnya. "Rupanya dia sudah ingin mampus! Tapi, kematian terlalu enak baginya. Dia harus menerima hukuman yang lebih berat. Akan kuteror dia. Kubunuh semua anak buahnya dulu. Ayo, Ayu! Cepat buatlah boneka yang banyak!"

Tanpa membantah wanita berpakaian merah yang dipanggil Ayu melaksanakan perintah nenek berpakaian hitam, yang tidak lain Mbah Lulur Jagad! Diambilnya kain-kain berwarna hitam dari sudut ruangan. Kemudian, dibentuknya menjadi sebuah boneka yang amat sederhana.

"Mbah...," ucap Ayu seraya terus membuat boneka.

"Hm...!" Tanpa menoleh, Mbah Lulur Jagad menyambuti dengan menggumam pelan.

"Mengapa tidak lekas kau tusuk mati saja si Melati keparat itu! Jika dia tewas tenanglah hatiku!"

"Hhh...!" Sambil menghela napas, Mbah Lulur Jagad menoleh. Sepasang matanya yang kemerahan dan mengandung sinar aneh menatap wajah Ayu lekat-lekat.

"Sudah telanjur, Ayu. Sekarang, tidak mungkin lagi langsung kuarahkan jarum-jarumku ke jantungnya. Aku mempunyai aliran ilmu hitam yang agak berbeda. Dengan boneka-boneka yang kubuat, aku tidak hanya dapat menyiksa atau membunuh seorang dari jarak jauh. Tapi, juga dapat membuatnya menjadi mayat hidup yang taat dengan segala perintahku!"

Mbah Lulur Jagad menghentikan uraiannya. Sebuah beneka diacungkannya dengan tangan kiri, dan jarum tergenggam di tangan kanan.

"Untuk hal yang pertama, tidak sulit. Begitu membuat boneka yang mewakili diri seseorang, aku dapat melakukan apa saja yang kuinginkan! Setiap kali boneka ini kutusuk dengan jarum, orang yang diwakili boneka ini akan kesakitan. Kucopot kakinya, maka kaki orang itu akan copot. Dan kalau kutusuk jantungnya, dia akan mati!"

Kembali Mbah Lulur Jagad menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah Ayu lekat-lekat. Nenek itu memberi kesempatan pada Ayu untuk mengajukan pertanyaan. Tapi, Ayu tidak menggunakan kesempatan itu. Mungkin dia telah paham dengan semua yang diceritakan Mbah Lulur Jagad.

"Cara yang kedua, berbeda dengan ilmu hitam umumnya. Cara ini sulit. Ada tahap-tahapnya. Dan caranya pun tidak sembarangan. Setiap tahap membutuhkan mantera sendiri dan waktu yang agak lama. Cara ini kupergunakan untuk orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ki Aswatama, terutama Melati, masuk golongan ini. Aku bermaksud menjadikan mereka mayat-mayat hidup yang taat perintahku!"

"Kapan mereka akan menjadi seperti yang kau harapkan, Mbah?" tanya Ayu ingin tahu.

"Untuk Ki Aswatama saat ini juga bisa kulakukan. Tinggal tusuk bagian jantung boneka ini. Dia akan mati! Setelah itu, kuhidupkan lagi. Dan dia akan menjadi mayat hidupku yang paling patuh akan segala perintah yang ku harapkan. Kau tahu, Ayu. Apa yang kuinginkan langsung dilaksanakan oleh mayat hidup itu. Seakan-akan aku dan dia satu pikiran!"

"Tapi, Mbah. Bukankah kau katakan Trestajumena Geni telah membuka rahasiamu terhadap Dewa Arak. Itu berarti dia berada dalam perjalanan menuju ke sini. Apakah sebelum Dewa Arak tiba kau telah bisa menjadikan Melati sebagai mayat hidup?"

"Belum." Mbah Lulur Jagad menggelengkan kepala. "Dia baru saja kulumpuhkan lengan kanannya. Membutuhkan waktu dua hari untuk melumpuhkan tangan yang lain. Kemudian, tiga hari untuk menusuk jantungnya. Baru setelah itu dia akan menjadi mayat hidup!"

"Kalau demikian, Dewa Arak akan keburu tiba di sini!" keluh Ayu.

"Tenanglah, Ayu. Memang, tindakan Trestajumena Geni membuat aku harus bertindak cepat. Tapi, jangan khawatir. Aku yakin Dewa Arak tidak akan sampai di sini. Dia akan tewas di perjalanan. Sebenarnya, sayang juga orang sehebat dia harus tewas. Tapi, bagaimana lagi? Dia tidak bisa kujadikan mayat hidup! Ada kekuatan aneh yang tidak kumengerti, menolakkan jarum yang kutusukkan ke tubuhnya!"

"Mbah!" seru Ayu mencoba membantah. "Jadi.., kau bermaksud menjadikannya sebagai mayat hidup? Apakah kau tidak mendengar permintaanku waktu itu?"

Mbah Lulur Jagad menatap wajah wanita berpakaian merah dalam-dalam. "Kau benar-benar gadis aneh, Ayu," ucap nenek berpakaian hitam seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Cintamu kepadanya ternyata benar-benar buta. Bukankah menurutmu dia tidak membalas cintamu? Dan gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu adalah tunangannya? Mengapa kau masih mengharapkannya?"

"Aku yakin, apabila Melati tidak ada Dewa Arak akan mencintaiku. Bukankah aku memiliki wajah cantik dan tubuh yang bagus?! Karena itu, sejak awal kuminta kau membunuh Melati, Mbah! Aku kecewa sekali begitu kutahu Melati tidak kau bunuh!"

Kembali Mbah Lulur Jagad menggeleng-gelengkan kepala. "Apakah kau tidak sakit hati, Ayu? Bukankah Dewa Arak yang menggagalkanmu di saat pedangmu hampir memenggal kepala Melati. Bahkan, dia pula yang telah menyebabkanmu terluka berat? Dan kau ditinggalkannya begitu saja di tengah jalan? Kalau tidak ada aku yang menolongmu, bagaimana nasibmu? Tapi, apa balasanmu? Memperkenalkan nama aslimu pun tidak!"

"Maafkan aku, Mbah," ucap wanita berpakaian merah. "Bukannya aku mau merahasiakannya darimu. Tapi, aku telah berjanji tidak akan memperkenalkan nama asliku bila Melati belum mati di tanganku!"

Mbah Lulur Jagad hanya mengangkat bahu mendengar pernyataan itu. Perhatiannya kembali dialihkan pada benda benda yang tergolek di depannya. Dua buah bonek sederhana. Yang satu didandani seperti wanita. Sedangkan satunya lagi persis kakek-kakek.

Yang menggiriskan hati, pada kedua boneka itu tertancap jarum-jarum yang tajam berkilatan. Hanya pada boneka yang berupa kakek-kakek jarum itu lebih banyak. Dua menancap pada kedua paha. Dua lagi pada kedua bahu. Sedangkan pada boneka wanita pada kedua paha dan satu bahu.

Dengan pandang mata berbinar-binar, nenek berpakaian hitam itu mengambil boneka kakek-kakek. Kemudian, diambilnya pula sebuah jarum besar yang putih mengkilat. Sambil menggumamkan kata-kata yang tidak jelas, karena diucapkan dengan pelan dan cepat, jarum itu dihujamkan ke dada sebelah kiri boneka kakek.

Jrebbb!

Jarum besar dan panjang itu menembus hingga bagian belakang tubuh boneka tua itu. Pemandangan seperti ini yang terlihat di gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad. Tapi, di rumah Ki Aswatama sangat mengejutkan!

Ki Aswatama yang tengah terbaring lemah di balai-balai bambu dan dijaga kedua muridnya, tiba-tiba mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua tangannya didekapkan ke dada kiri. Sepasang mata kakek itu membelalak lebar seperti orang meregang nyawa. Lalu mendadak sontak tubuhnya lemas dan tidak bergerak lagi.

"Guru...!" Jeritan kaget dan cemas itu keluar dari mulut Ganta. Dipanggil-panggilnya gurunya. Tapi, Ki Aswatama tidak memberikan tanggapan sedikit pun.

"Guru...!" seru Kiwul pula tak kalah kerasnya. Karena dilihatnya kakek tinggi besar tidak memberikan tanggapan, diguncang-guncangkannya tubuh tua itu. Berharap ada keajaiban dan Ki Aswatama bangun. Tapi harapan kedua orang itu sia-sia. Kakek tinggi besar itu tidak memberikan tanggapan sama sekali. Melihat kenyataan itu, Ganta dan Kiwul pun yakin Ki Aswatama telah tewas

"Guru...!"

Hampir bersamaan Ganta dan Kiwul merebahkan wajah di kanan dan kiri dada Ki Aswatama. Kekhawatiran mereka terbukti. Kakek tinggi besar itu akhirnya tewas.

DELAPAN

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad tergelak melihat tingkah laku Ganta dan Kiwul. Ternyata, nenek berpakai an hitam itu melihat melalui sebuah bola kaca yang besarnya hampir sekepala manusia dewasa.

Tapi tidak lama Mbah Lulur Jagad bersikap demikian. Boneka tua itu lalu didekatkan ke atas sebuah pedupaan yang mengepulkan asap berbau wangi. Bau kemenyan! Pendupaan, bola kaca, boneka-boneka dan jarum-jarum besar dan panjang tergeletak semua di depan nenek ahli sihir itu.

Mbah Lulur Jagad membiarkan boneka tua itu terkena asap pendupaan. Malah, boneka itu digoyangkan-goyangkan di atasnya. Sementara mulutnya menggumamkan kata-kata yang sukar ditangkap artinya. Nenek itu tengah mengucapkan mantera-mantera. Cukup lama juga Mbah Lulur Jagad berbuat seperti itu.

"Atas nama roh-roh penasaran dan setan-setan di neraka, bangkitlah kau, Ki Aswatama. Dan mulai sekarang kau menjadi budakku. Apa yang kuinginkan kau yang laksanakan! Bangkit! Bangkit!"

Usai berkata begitu, Mbah Lulur Jagad mengambil kendi dan menuangkannya ke dalam mulut. Berkumur-kumur beberapa saat. Lalu.... "Pruhhhh!"

Mbah Lulur Jagad menyemburkan air kendi yang berasal dari tujuh mata air dan telah direndam dalam tujuh macam kembang itu, pada boneka tua di atas pendupaan! Baru setelah itu semua tindakannya dihentikan.

Sekarang, dengan sorot mata berbinar, nenek berpakaian hitam itu mengarahkan tatapannya, pada bola kaca di depannya. Tampak di sana Gantar dan Kiwul telah mengangkat kepala. Kedua orang muda itu saling berpandangan.

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad kembali tertawa terkikih ketika melihat mulut Ki Aswatama bergerak-gerak. Maka, buru-buru dicabutinya jarum-jarum panjang yang menyate tubuh boneka tua itu. Kembali perhatiannya dialihkan. Dan ketika Ki Aswatama mulai bergerak bangkit, Mbah Luhur Jagad pun mulai dengan percobaan pertamanya.

"Bunuh kedua orang muda itu!" bisik Mbah Lulur Jagad dalam hati.

Akibatnya sungguh luar biasa! Sambil mengeluarkan geraman keras, Ki Aswatama mengayunkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri. Tindakan kakek tinggi besar itu membuat Gantar dan Kiwul, yang semula terpaku melihat orang yang telah mati hidup kembali, terkejut bukan main.

Kedua orang muda itu segera menyadari bahaya yang mengancam. Maka, sebisanya mereka berusaha meyelamatkan selembar nyawa. Dan itu dilakukan dengan membuang tubuh ke belakang. Tapi....

Crokkk, crokkk!

Terdengar bunyi keras seperti sesuatu yang hancur ketika kedua tangan Ki Aswatama menghantam kepala Ganta dan Kiwul. Tanpa sempat mengeluarkan jeritan lagi, mereka ambruk ke lantai. Tewas!

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad gembira bukan main melihat keberhasilan rencananya. Sekarang, diperintahkannya Ki Aswatama keluar dan berdiri di depan pintu, menghadang kedatangan Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu harus melewati tempat tinggal Ki Aswatama bila ingin menuju Bukit Rajang. Jalan itu adalah satu-satunya jalan yang paling dekat.

Dan, memang dugaan Mbah Lulur Jagad tidak salah. Dewa Arak memilih jalan yang melalui pondok Ki Aswatama untuk mencapai puncak Bukit Kajang. Pemuda berambut putih keperakan yang tengah terburu-buru ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat segera tiba di tempat tujuan.

Karena itu, hanya dalam waktu singkat pondok Ki Aswatama telah terlihat. Kali ini Dewa Arak tidak bermaksud untuk singgah. Waktunya sudah tidak memungkinkan lagi. Maka pemuda itu memutuskan untuk tidak mengendurkan larinya meskipun melalui depan pondok Ki Aswatama.

Tapi sebelum niat itu terlaksana, sepasang mata Dewa Arak membelalak lebar ketika melihat pemandangan di depannya. Di sana tampak sesosok tubuh berdiri di depan pondok Ki Aswatama. Yang mengejutkan Dewa Arak adalah saat melihat wajah sosok itu.

Wajah itu adalah Ki Aswatama! Bukankah kakek tinggi besar itu sedang terbaring sakit? Mengapa sekarang terlihat begitu segar? Bahkan seperti menunggu kedatangannya.

"Ki Aswatama...!" Begitu jarak antara mereka tingggal tujuh tombak lagi, dan telah melihat jelas kalau sosok itu adalah Ki Aswatama, Dewa Arak berteriak gembira.

Tapi kegembiraan Dewa Arak pupus ketika merasakan hal aneh merayapi dirinya. Dia meras akan ada bahaya mengancam. Bahkan bahaya besar! Dewa Arak tahu ini adalah nalurinya. Maka, pemuda itu pun bersikap waspada. Meskipun terlihat biasa saja, seluruh urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang. Siap menghadapi segala sesuatu yang tidak diharapkan!

Keheranan Dewa Arak semakin membesar ketika menyadari kenyataan aneh. Kian dekat dengan Ki Aswatama rasa gelisahnya semakin menjadi. Kenyataan itu mengherankan Dewa Arak. Buru-buru larinya dihentikan. Sekarang Arya melangkah biasa. Sepasang matanya diarahkan pada sosok Ki Aswatama.

Dewa Arak merasakan tengkuknya merinding. Padahal, tanda seperti ini hanya akan muncul bila dia bertemu dengan makhluk aneh. Apakah Ki Aswatama bukan manusia?

Pertanyaan itu membuat Dewa Arak menghentikan langkah. Arya mulai curiga pada Ki Aswatama. Pemuda itu berdiri berhadapan dengan kakek tinggi besar itu dalam jarak tiga tombak.

"Arrrggghhh...!" Tiba-tiba Ki Aswatama mengeluarkan geraman aneh. Bunyinya seperti raungan binatang buas yang terluka. Kemudian, kakek tinggi besar itu menerkam Dewa Arak bagai seekor harimau menerkam mangsanya.

Untung Dewa Arak sudah bersiap-siap. Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu terkejut juga. Serangan Ki Aswatama demikian cepat dan dahsyat! Kehebatannya berpuluh kali lipat dari serangan harimau yang paling buas sekalipun!

Wusss!

Dewa Arak tercekat ketika meras akan angin sambaran serangan Ki Aswatama. Angin keras itu sanggup melemparkan tubuhnya kalau tidak segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kali. Padahal, serangan itu belum juga tiba.

Dewa Arak adalah pendekar yang berwatak hati-hati. Karena itu, Arya tidak segera memapaki serangan itu. Cepat kakinya dijejakkan hingga tubuhnya melesat ke atas melampaui kepala Ki Aswatama. Pemuda itu bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah.

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, Ki Aswatama telah melancarkan serangan susulan. Kakek itu menggulingkan tubuhnya di tanah. Kemudian ketika telah berada di dekat Dewa Arak, tubuhnya dilentingkan.

"Arrrggghhh...!" Lagi-lagi dengan diiringi geraman keras yang tidak layak keluar dari mulut manusia, tangan kanannya disampokkan ke pelipis Dewa Arak.

"Ah!" Dewa Arak terpekik kaget. Bukan hanya karena kecepatan serangan itu. Tapi juga karena sempat melihat tangan Ki Aswatama. Kuku-kuku runcing, panjang, melengkung, dan berwarna kehitaman menghiasi ujung-ujung jarinya. Padahal, Dewa Arak tahu kakek tinggi besar itu tidak memelihara kuku!

Hal ini membuat Dewa Arak yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan. Sesuatu telah menimpa diri Ki Aswatama. Dan siapa pun sosok yang berdiri di hadapannya, yang jelas amat berbahaya bila dibiarkan hidup!

Mungkin sosok ini memang Ki Aswatama. Tapi berkat ilmu hitam telah berhasil dijadikan makhluk mengerikan! Demikian kesimpulan Dewa Arak yang sadar akan banyaknya ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.

Keputusan yang diambil membuat Arya memutuskan untuk memapaki serangan itu. Ia ingin merasakan sendiri kekuatan tenaga Ki Aswatama! Maka, Dewa Arak segera mengayunkan tangan kirinya dengan mengerahkan seluruh tenaga dal amnya.

Plakkk!

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung beberapa langkah. Sementara tangan yang berbenturan terasa ngilu! Ini menandakan tenaga dalamnya masih di bawah tenaga dalam Ki Aswatama.

Seketika itu pula Dewa Arak sadar kalau Ki Aswatama yang dihadapinya ini adalah makhluk jadi-jadian. Sebab, tidak mungkin seorang guru silat desa, betapapun tinggi ilmunya, memiliki tenaga dalam lebih kuat darinya!

Tapi, Dewa Arak tadak bisa memikirkan hal itu lebih jauh. Ki Aswatama telah kembali melancarkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Hingga, Dewa Arak harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' warisan ayahnya dikeluarkan. Pemuda itu kelihatannya tidak memiliki kesempatan untuk mengambil guci araknya.

Semula pertarungan berlangsung seimbang. Tapi keadaan itu tidak berlangsung sampai lima jurus. Menginjak jurus kelima, Dewa Arak mulai terdesak. Banyak hal yang menyebabkan pemuda berambut putih keperakan itu terdesak. Keberadaan Melati di bahunya, dan tambahan lagi hanya menggunakan sebelah tangan. Sehingga, kedahsyatan ilmu-ilmu warisan ayahnya berkurang. Melati pun menyadari keadaan kekasihnya yang gawat.

"Lemparkan aku, Kakang! Lemparkan!" seru Melati memohon. Gadis berpakaian putih itu menyadari kalau keadaan seperti ini terus dibiarkan dia dan kekasihnya akan tewas.

Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh dan keadaan Arya semakin terjepit oleh serangan-serangan Ki Aswatama yang menderu-deru laksana gelombang laut, Dewa Arak memutuskan untuk memenuhi permintaan Melati.

"Bersiaplah, Melati!" Usai berkata, tubuhnya bergerak ke samping untuk mengelakkan serangan lawan, Arya melemparkan tubuh kekasihnya.

Wuttt!

Begitu tubuhnya melayang, Melati segera memusatkan pikiran agar dapat mendarat dengan baik. Saat itu dia hanya mempunyai sebelah tangan yang masih berguna. Tangan kanannya lumpuh total!

Srattt!

Melati mencabut pedangnya ketika melihat tubuhnya meluncur deras menuju sebatang pohon besar. Kalau tidak berbuat sesuatu, sudah dapat dipastikan tubuhnya akan membentur batang pohon. Dan kesudahannya akan tidak menyenangkan. Kini dengan pedang terhunus Melati siap menghadapi kejadian selanjutnya.

Cappp!

Pedang itu menancap sampai hampir setengahnya ketika Melati menggengam pedangnya tegak lurus. Gerakan itu dilakukan Melati untuk membuat senjatanya yang lebih dulu membentur pohon, dan liukan tubuhnya. Kemudian, tanpa menemui kesulitan yang berarti Melati berhasil duduk dengan kedua kaki terjulur di tanah.

Ternyata bukan hanya Melati yang mendapatkan keberuntungan. Arya pun demikian. Di saat tubuhnya melayang guci arak yang tergantung di punggung diambil. Dan, segera dituangkan ke mulutnya.

Gluk... Gluk... Gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Terasa ada hawa hangat yang berputar di perut. Lalu, pelahan-l ahan naik ke atas. Dan....

Jliggg!

Dewa Arak berhasil mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi tak dengan mantap. Kedudukan tubuhnya sempoyongan seperti akan jatuh. Karena kedua kakinya tidak menapak tanah dengan tetap. Tapi, justru dalam keadaan seperti itu serangan-serangan Arya sangat membahayakan lawan. Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya telah siap dipergunakan!

Ki Aswatama sedikit pun tidak mempedulikan hal itu. Untuk kesekian kalinya dia menerjang Dewa Arak dengan serangan-serangan dahsyat. Tapi kali ini kakek tinggi besar itu kecewa. Dengan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, gerakan khas jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak mengelakkan setiap lawan. Hingga, setiap amukan kakek tinggi besar itu selalu mengenai tempat kosong.

Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Dengan menggunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang', dilancarkannya desakan-desakan terhadap Ki Aswatama yang telah menjadi makhluk jadi-jadian. Memang sungguh hebat ilmu 'Belalang Sakti'. Tangan, kaki, guci, dan semburan arak merupakan satu kesatuan yang menggilas habis pertahanan dan periawanan lawan.

Meskipun demikian, bukan berarti mayat hidup Ki Aswatama dapat dengan mudah ditaklukkan. Dia dapat melakukan perlawanan sengit yang mengakibatkan pert arungan berlangsung menarik dan menggiriskan.

Bunyi mendecit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah dengan geraman-geraman Ki Aswatama yang menggiriskan hati. Dan bunyi tegukan ketika di tengah-tengah pertarungan Dewa Arak menyempatkan diri meminum arak.

Pertarungan berlangsung dengan cepat. Tak terasa pertarungan telah menginjak jurus keseratus. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang lebih unggul. Padahal, tempat pertarungan telah kacau bagai habis dilanda badai.

Pertarungan itu rupanya dimanfaatkan oleh Dewa Arak yang cerdik. Tanpa disadari lawan, pemuda berambut putih keperakan itu menggiring lawannya ke satu tempat. Tempat itu adalah puncak Bukit Rajang! Kini, pertarungan dua tokoh itu berlangsung di lereng Bukit Rajang.

Bukan hanya Ki Aswatama yang tidak menyadari maksud Dewa Arak. Mbah Lulur Jagad dan Ayu yang menyaksikan jalannya pertarungan melalui bola kristal pun tidak menyadari hal itu. Memang, pemandangan yang tampak di dalam kaca tidak terlalu luas. Tapi, latar belakang pertarungan yang terus berubah-rubah seharusnya terlihat oleh Mbah Lulur Jagad!

Bahkan, Melati yang terus bergerak mengikuti pertarungan tidak menyadarinya. Gadis itu bergerak dengan bantuan pedang. Tampaknya, Melati tidak terlalu memperhatikan karena seluruh perhatiannya tertumpah pada kancah pertarungan.

"Hih!" Pada suatu kesempatan, setelah berhasil membuat Ki Aswatama melompat ke atas, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya. Pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.

Wusss!

Deru angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah Ki Aswatama. Mayat hidup itu terkejut bukan main melihat serangan yang datangnya tidak di sangka-sangka. Meskipun demikian, dicobanya untuk mengelak. Dan....

Bresss!

Telak dan keras pukul an jarak jauh Dewa Arak menghantam perut Ki Aswatama. Seketika itu pula, tubuh kakek tinggi besar itu terlempar jauh ke belakang dan melayang-layang beberapa tombak.

Tapi, sebelum tubuh mayat hidup Ki Aswatama jatuh berdebuk terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Mayat hidup itu bersalto beberapa kali dan mendarat di tanah tanpa luka sedikit pun! Tidak tampak tanda-tanda dia baru saja terkena jurus 'Pukulan Belalang' yang amat dahsyat!

Tentu saja kenyataan ini sangat mengejutkan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan geraman mengerikan, mayat hidup Ki Aswatama kembali melancarkan serangan. Mau tidak mau Dewa Arak menyambutnya kembali.

Sekarang alur pertarungan berubah. Mayat hidup Ki Aswatama rupanya telah menyadari kalau dirinya tidak bisa dilukai. Maka, serangan-serangan yang dilancarkannya tidak memikirkan pertahanan lagi. Bahkan ketika Dewa Arak melancarkan serangan, dibiarkan saja. Kemudian mayat hidup itu melancarkan serangan balasan.

Akibatnya, Dewa Arak kerepotan bukan main. Beberapa kali serangannya harus ditarik pulang kal au dia masih ingin selamat. Diciptakannya kesempatan sampai keadaan menjadi aman. Baru kemudian dilancarkan serangan.

Dan memang serangan itu tepat mengenai sasaran. Malah yang mematikan! Tapi ternyata mayat hidup Ki Aswatama benar-benar alot! Dia tetap tidak mengalami luka sedikit pun!

Tak terasa pertarungan sudah berlangsung dua ratus dua puluh lima jurus. Dewa Arak tahu kalau keadaan tidak berubah, dia akan tewas di tangan lawannya yang tangguh ini. Sebab, Ki Aswatama tidak bisa ditewaskan.

Dewa Arak segera teringat akan peristiwa yang pemah dialaminya. Kalau ingin makhluk jejadian ini tewas, penggeraknyalah yang harus dibinasakan (Untuk jelasnya menganai hal ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Penganut Ilmu Hitam).

Yakin akan kesimpulan yang didapat, Dewa Arak memutuskan untuk membunuh Mbah Lulur Jagad lebih dulu. Maka, tempat pertarungan pun terus digeser sehingga sampai di mulut gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad!

Begitu melihat gua itu, bergegas Dewa Arak menyelinap masuk. Saat itulah Mbah Lulur Jagad baru sadar! Rasa cemas melanda hatinya. Nenek itu pun bersiap-siap untuk kabur, bila keadaan tidak menguntungkan pihaknya! Mbah Lulur Jagad merasa lega ketika melihat Ki Aswatama ikut melesat masuk mengejar Dewa Arak.

Tapi hal ini sudah diperhitungkan pemuda berambut putih keperakan itu. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan. Mengirimkan serangan jurus 'Pukulan Belalang'!

Wusss! Bresss!

Tubuh Ki Aswatama melayang-layang ke belakang seperti daun kering terhempas angin. Serangan Dewa Arak menghantam dadanya dengan telak! Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak.

Arya terus melesat masuk ke dalam gua. Untung gua itu tidak begitu panjang. Dan lorongnya pun hanya satu. Hanya dalam sekejap pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil mencapai bagian tengah gua yang cukup luas dan terang.

Di tempat ini Dewa Arak melihat Mbah Lulur Jagad dan wanita berpakaian merah tengah bersiap-siap untuk melarikan diri. Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya secara bertubi-tubi. Suatu tindakan yang hampir tidak pernah dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang' secara berantai...!

Hal ini dilakukannya karena Dewa Arak khawatir serangannya akan berhasil dielakkan nenek berpakaian hitam, yang diduganya Mbah Lulur Jagad! Bila hal itu terjadi mayat hidup Ki Aswatama akan segera masuk dan pertarungan pun kembali berlangsung.

Wusss, wusss, wusss!

Heru angin keras berhawa panas meluncur susul-menyusul ke arah Mbah Lulur Jagad. Karuan saja, nenek berpakaian hitam itu terkejut bukan main. Datangnya serangan itu demikian mendadak. Apalagi dilancarkan dengan bertubi-tubi. Sebisanya nenek itu berusaha mengelak.

Memang, dua buah serangan Arya berhasil dielakkan. Tapi tidak demikian dengan serangan berikutnya. Telak dan keras menghantam dada Mbah Lulur Jagad! Saat itu juga tubuhnya melayang deras ke belakang dan terhempas menabrak dinding. Tanpa sempat merintih lagi, Mbah Lulur Jagad tewas dengan seluruh tubuh hangus! Samar-samar tercium bau daging terbakar.

Begitu melihat Mbah Lulur Jagad tewas, Dewa Arak segera melesat keluar gua. Sempat dilihatnya wanita berpakaian merah kabur melalui lorong yang lain. Tapi tidak dipedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu hal pertama yang harus dilakukannya adalah segera meninggalkan gua, sebelum gua itu ambruk. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang sebagian besar nyasar dan mengenai dinding gua telah menyebabkan seisi gua bergetar hebat!

Meskipun demikian, Dewa Arak sempat melihat banyak boneka-boneka yang terbuat dari kain hitam tertusuk jarum besar panjang pada bagian dada kirinya. Arya tidak tahu kalau beneka-boneka itu mewakili tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.

"Hahhh...!" Dewa Arak menghela napas lega begitu telah berada di hiar gua. Tampak di depan gua tergeletak tubuh Ki Aswatama. Dugaannya ternyata benar. Dengan tewasnya Mbah Lulur Jagad, mayat hidup itu pun tewas pula!

Diam-diam Dewa Arak bersyukur Mbah Lulur Jagad memiliki kepandaian silat yang tidak begitu tinggi. Sehingga, dapat ditewaskannya dalam serangkaian serangan berturut-turut. Hanya satu hal yang masih menggayuti benak Dewa Arak. Wanita berpakaian merah. Meskipun hanya sekilas, Arya dapat mengenalinya.

Wanita itu adalah Ranti, murid Perguruan Pedang Perak yang dulu mengenakan pakaian biru. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Maut dari Hutan Rangkong).

Seketika itu pula Arya teringat, mengapa dia seperti mengenal suara wanita berpakaian merah itu. Sungguh tidak disangkanya kalau Ranti belum juga menghentikan tindak kejahatannya terhadap Melati.

Tapi, Dewa Arak segera mengusir semua pikiran itu, Arya teringat akan Melati. Gadis berpakaian putih itu telah terbebas dari maut. Arya yakin tidak lama lagi Melati akan sembuh. Bukankah Mbah Lulur Jagad telah tewas? Dengan hati lega kakinya diayunkan menuju tempat Melati.
SELESAI
Selanjutnya,