Bajak Laut Kertapati Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Bajak Laut Kertapati

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 01
SEMENJAK orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Indonesia, yakni dalam tahun 1596, mulailah timbul kekacauan-kekacauan yang tadinya tidak di kenal oleh bangsa Indonesia.

Demi keuntungan dan kepentingan kongsi-kongsi perkapalan Belanda yang mulai dengan pengisapannya pada kekayaan bumi Indonesia, maka mereka bentuklah Kompeni India Timur Belanda atau Verenigde Oost-Indische Compagnie (V.O.C) pada tahun 1602 dan selanjutnaya tahun demi tahun mereka menjelajah di seluruh Indonesia dan memperluas kekuasaan mereka.

Bagaikan penyakit kangker menyerang tubuh atau anjing makan tulang, sedikit demi sedikit Belanda menggerogoti kepulauan Indonesia sehingga akhirnya seluruh daerah lenyap ditelan oleh kekuasaan mereka. Dan untuk dapat mencapai maksud ini, Belanda tidak segan-segan menjalankan politik yang sekotor-kotornya dan melakukan tipu muslihat serendah-rendahnya.

Akan tetapi jangan dikira bahwa Indonesia merupakan roti keju yang empuk bagi Belanda, oleh karena semenjak kedatangan mereka, terutama setelah rakyat mengetahui akan maksud buruk Belanda, di mana-mana mereka mendapat tantangan hebat. Tiada hentinya pemberontakan-pemberontakan meletus terhadap Belanda.

Bangsawan-bangsawan berjiwa patriot, pahlawan-pahlawan bangsa yang gagah perkasa dan sakti mendraguna, memimpin rakyat untuk mengusir Belanda dari tanah air. Dimana-mana Belanda menghadapi keris-keris telanjang di tangan rakyat, dimulai semenjak mereka berhasil merebut Jakarta yang mereka jadikan bandar dan diberi nama Batavia.

Bahkan semenjak pertama kali Belanda mendarat di Banten pada tahun 1596, dibawah pimpinan Cornelis Houtman dan De Keyzer, karena rakyat mengalami penderitaan yang pertama kali yang timbul dari kekasaran dan kekejaman mereka, telah terjadi perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.

Namun harus diakui bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia pada umumnya, dan khususnya di pulau Jawa, tak usah merasa takut dan kalah dalam hal kegagahan dan kepandaian bertempur dengan Belanda, akan tetapi, dalam menjalankan tipu muslihat dan kecerdikan, ternyata Belanda lebih unggul.

Perlawanan-perlawanan yang gagah berani dan pantang mundur dari rakyat membuat Belanda menjadi kuwalahan dan mereka merobah taktik dan siasat mereka. Bujukan-bunjukan halus dan siasat adu domba dengan umpan berupa suap dan sogok, mulai mereka jalankan.

Apabila bujukan mereka berhasil dan mulai terjadi perpecahan dan kekalutan di antara pangeran dan para pengikut mereka, yakni memancing ikan di air keruh, mendekati pihak yang kurang waspada dengan siasat “membantu“ yang disertai syarat-syarat menguntungkan pihak Belanda belaka!

Dengan siasat yang licin dan tipu muslihat rendah ini, Belanda berhasil menipu banyak pemimpin-pemimpin rakyat dan berhasil membuat mereka dipandang sebagai sahabat baik oleh para pangeran dan pemimpin yang kurang wasapada.

Ketika Mataram berada dibawah pimpinan sunan Amangkurat I, Belanda mulai mengulur kukunya yang panjang dan runcing, mempergunakan kelicinannya untuk menarik keuntungan dari keadaan Mataram yang di masa itu sedang kalut. Pangeran-pagenran satu dengan yang lain berselisih, sedangkan Sunan yang sudah tua itu sakit keras.

Belanda menghadapi pemberontakan hebat yang dipimpin oleh Trunajaya terhadap Mataram dan hal ini digunakan oleh Belanda untuk mendekati Mataram. Oleh karena pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya ini amat kuat, maka di batavia Kompeni Belanda mulai menjadi gelisah.

Akhirnya dipilih seorang jago tua di fihak mereka, yakni Cornelis Speelman, seorang ahli siasat yang amat licin dan cerdik. Dengan muka manis, utusan-utusan Speelman mendatangi Mataram dan pertemuan yang disertai janji bantuan ini menghasilkan keuntungan yan besar sekali bagi Belanda, karena mereka dapat memperluas dan menambah perjanjian-perjanjian dengan kerajaan Mataram.

Akhirnya, Belanda mengirim tentaranya menyerbu pusat pertahanan Trunajaya, yakni di Surabaya. Setelah berperang sengit sehari penuh, jatuhlah benteng pertahanan Trunajaya yang didirikan di dekat Jembatan Merah (Surabaya) kepada tangan Belanda. Peristiwa ini terjadi para tanggal 13 April 1677, dan Trunajaya melarikan diri ke Kediri di mana ia mendirikan keraton yang megah dan indah.

Speelman tidak pernah menyangka bahwa Trunajaya akan dapat mengumpulkan kembali kekuatan pasukannya dengan amat cepatnya, maka Belanda tidak terus mengejar Trunajaya, bahkan lalu menyerang Madura. Kesempatan ini dipergunakan oleh Trunajaya untuk meluruk ke Mataram dan pada tanggal 12 Juli 1677, dua bulan setengah semenjak kekalahan, ia berhasil merebut keraton Mataram.

Demikianlah, dengan siasatnya yang licik dan dengan jalan mengadu domba, pada tahun 1680, jajahan kompeni Belanda di Pulau Jawa telah makin meluas. Dari Batavia, jajahan mereka ke timur dan setelah sampai ke Laut Hindia, sehingga boleh dibilang bahwa seluruh Jawa Barat, ada sepertiganya berada dalam jajahan dan kekuatan Belanda.

Juga Semarang dan sekitarnya telah pula menjadi bandar dari kapal-kapal Belanda, Batavia dan Semarang merupakan pintu-pintu lebar dari mana mengalir keluar kekayaan bumi Indonesia! Dan pada sekitar waktu itulah cerita ini terjadi.

Cerita menarik yang sungguhpun bukan merupakan kisah tercatat dalam buku sejarah, namun cukup menjadi bukti bahwa semenjak dahulu, banyak terdapat pahlawan-pahlawan bangsa tak terkenal, pahlawan bangsa dan kesatria-kesatria utama yang berjasa besar, yang telah mengurbankan nyawa demi nusa dan bangsa, akan tetapi yang sama sekali tak mengharapkan balas dan jasa, bahkan nama merekapun sama sekali tak pernah didengar oleh rakyat.

Betapapun juga, mereka itu, pahlawan-pahlawan bangsa sejak jaman dahulu sampai sekarang, pahlawan-pahlawan yang tak terkenal, maklum bahwa perjuangan dan pengorbanan mereka takkan sia-sia, akan berbunga dan berbuah demi kebahagiaan bangsa mereka! Hal dan pengertian ini saja sudah merupakan balas dan jasa yang cukup mulia bagi mereka!

* * * * *

Sebelum Sunan Amangkurat I mangkat, ia mengangkat Putera Mahkota sebagai penggantinya, dan Sunan baru ini bernama Sunan Amangkurat II. Pihak Belanda lalu mempergunakan siasatnya dan mendekati Sunan Amangkurat II untuk “membantunya“ melenyapkan Trunajaya dan sekutunya.

Cornelis Sepeelma lalu mengadakan pertemuan dengan Amnagkurat II di Jepara. Dengan amat pandainya, Sepeelman dapat mempermainkan lidahnya terhadap Sunan yang masih hijau itu sehingga diantara mereka lalu dibuat perjanjian yang amat berat sebelah. Perjanjian ini berisi seperti berikut.

  1. Pihak kompeni mengakui Amangkurat II sebagai Sunan yang sah di Mataram.
  2. Kompeni memperoleh kemerdekaan berniaga di seluruh kerajaan Mataram, dan boleh mendirikan tempat pembuatan kapal di Rembang.
  3. Kompeni dibebaskan daripada membayar bea pemasukan barang-barang ke seluruh pelabuhan di Mataram.
  4. Daerah jajahan Kompeni diperluas dengan Krawang dan sebagian Priangan, sebagai batas antara Mataram dan jajahan Belanda ialah Sungai Cimanuk.
  5. Semarang dan daerah sekitarnya diserahkan kepada Kompeni.
  6. Kompeni memiliki daerah pantai Jawa sebagai barang gadaian, hingga Sunan dapat melunasi biaya peperangan yang akan dilakukan untuk melenyapkan Trunajaya.

Perjanjian macam ini sesungguhnya bukan merupakan perjanjian lagi, lebih pantas disebut pengisapan yang amat kurang ajar. Akan tetapi Belanda mencapai maksudnya.

Malam terang bulan di Jepara. Di kota itu berkumpul banyak pasukan, yakni pasukan pengawal Cornelis Speelman, dan pasukan-pasukan pengiring Sunan Amangkurat II yang sedang mengadakan pertemuan dengan pemimpin Belanda itu.

Kalau di kota kelihatan ramai dengan gatangnya orang-orang agung dengan sekalian pengiringnya itu, adalah di pantai Jepara nampak sunyi sekali. Hawa udara sejuk dan laut nampak tenang, seakan-akan semua penghuninya telah tidur nyenyak. Angin bersilir perlahan, tak cukup kuat menggerakkan ketenangan laut sehingga hanya pada permukaan air saja yang bergoyang sedikit, tak sampai menimbulkan ombak.

Bulan bercahaya penuh, membuat air laut nampak kemerah-merahan dan mendatangkan bayang-bayang yang amat indahnya. Di tepi laut tampak sunyi, perahu-perahu nelayan berderet-deret di pantai, siap untuk diberangkatkan besok pagi-pagi sebelum fajar menyingsing.

Para nelayan telah mengaso karena besok pagi-pagi mereka sudah harus mulai dengan pekerjaan mereka. Di ujung barat nampak sebuah perahu besar dengan layar terguling. Tali-telami layar nampak jelas di bawah sinar bulan pernama. Diantara jendela-jendela perahu itu, nampak tersembul keluar beberapa buah laras meriam.

Inilah sebuah kapal layar Belanda yang biasanya digunakan untuk, mengangkut hasil bumi, atau juga untuk, berperang menyerang pantai! Bendera Belanda berkibar di puncak tiang. Akan tetapi, perahu inipun diam tak bergerak dan nampak sunyi sekali, seakan-akan tidak ada mahluk hidup di atasnya.

Memang, sebagian besar anak kapal telah turun dan mencari kesenangan di darat, dan hanya ada beberapa orang penjaga saja yang mendapat giliran menjaga kapal, akan tetapi orang-orang inipun lebih senang tidur mendengar setelah kenyang minuman keras.

Seluruh permukaan laut Jepara bagaikan mati tak bergerak, keculi setitik hitam kecil yang nampak bergerak maju dan makin lama membesar. Kemudian kelihatanlah titik hitam itu yang ternyata adalah sebuah perahu kecil berujung runcing dan didayung dari jurusan timur menuju ke barat.

Perahu ini berwarna hitam seluruhnya, bahkan dayung yang dipegang oleh seorang penumpangnya juga berwarna hitam. Perahu ini hanya mempunyai seorang penumpang saja, seorang laki-laki muda belia yang bertubuh tegap.

Sepasang lengannya yang memegang dayung nampak kuat sekali, akan tetapi ia mendayung perahunya dengan seenaknya. Empat lima kaki dayungnya digerakkan sehingga perahu meluncur cepat, kemudian ia menunda gerakkan dayungnya dan membiarkan perahu meluncur dengan halus dan tenang.

Dengan pandang mata tajam ia melihat ke arah pantai yang sunyi kemudian pandangannya dialihkan ke arah kapal Belanda yang besar itu penuh perhatian.

Pakaian orang itu sederhana, berbaju hitam dengan lengan baju panjang, tak berleher. Celananya panjang warna hitam pula, dengan sehelai sarung tenun dikalungkan pada lehernya. Gagang keris tersembul dari ikat pinggangnya di bawah dada.

Melihat wajah yang masih halus tak berkumis itu, dapat ditaksir bahwa usianya baru dua puluhan, akan tetapi garis-garis pada mukanya menunjukkan bahwa sudah banyak pengalaman pahit ia derita, sedangkan sepasang matanya bersinar tajam.

Inilah Kertapati, bajak laut muda yang namanya telah menggemparkan pantai laut jawa, mulai dari pantai laut tegal sampai jepara! Ia amat terkenal karena keberaniannya yang luar biasa, karena kecerdikan dan kegagahannya. Dengan sekelompok kawan-kawannya yang hanya terdiri dari belasan orang muda saja, ia berani melakukan pembajakan pada perahu-perahu besar.

Tak peduli siapa yang amat sia-sia, bahkan merugikan, karena pernah terjadi anak buah perahu besar yang terdiri dari dua puluh orang lebih, semuanya dilemparkan ke dalam laut oleh Kertapati dan lima orang kawannya!

Nelayan! Lebih takut kepada bajak laut Kertapati daripada kepada ikan-ikan cucut yang ganas dan liar. Setiap kali perahu-perahu nelayan mendapat hasil ikan yang banyak, mereka tentu akan melakukan pelayaran pulang secara berkelompok, tidak berani memisahkan diri, untuk menjaga kalau-kalau di tengah laut bertemu dengan bajak laut Kertapati dengan perahu-perahu kecilnya yang cepat, dan berwarna hitam itu!

Baiknya bahwa bajak-bajak laut ini tidak selalu berada di daerah tertentu, akan tetapi bergerak dan berpindah-pindah sepanjang daerah pantai Tegal sampai Jepara. Keberanian bajak laut Kertapati memang mengagumkan. Pernah tiga buah perahunya yang kecil-kecil dengan ditumpangi oleh lima belas orang anak buahnya, menyerbu sebuah kapal Belanda yang besar yang sedang berlabuh di pelabuhan Semarang.

Hal ini benar-benar melewati batas dan kini nama bajak laut Kertapati tidak hanya terkenal di kalangan nelayan dan pemerintah Mataram, akan tetapi juga dikenal oleh Kompeni. Namun, tiap kali Kompeni mengadakan ekspedisi dengan kapal-kapal perangnya untuk mencari rombongan bajak laut yang menganggu lalu lintas di lautan itu, tiba-tiba saja perahu-perahu kecil berwarna hitam dan dengan layar hitam pula itu lenyap tanpa meninggalkan bekas, seakan-akan disembunyikan di dasar lautan!

Kertapati yang sedang melakukan penyelidikan seorang diri di dalam perahunya, sama sekali tidak tahu bahwa di dalam bayangan jala-jala ikan yang digantung di pinggir pantai dan di balik-balik perahu yang berada di tepi laut itu, terdapat lima orang yang berbisik-bisik dan mengikuti gerak-geriknya ketika seorang diantara mereka dapat melihat perahu hitam itu dari balik teropongnya.

Orang yang memegang teropong ini adalah seorang serdadu Belanda berpangkat sersan, sedangkan empat orang yang lain adalah ponggawa-ponggawa Sunan. Empat orang ponggawa ini telah mendengar bahwa Kertapati berada di daerah Jepara, maka mereka mempergunakan kesempatan pertemuan dengan para tentara Belanda untuk membujuk seorang sersan Belanda agar suka bersama mereka mengadakan penyelidikan dan kalau mungkin penangkapan atas diri kepala bajak yang terkenal itu.

Mereka berempat tak kan berani melakukan pekerjaan berbahaya ini apabila tidak dapat bantuan seorang sersan yang bersenjata api dan memiliki teropong yang dapat melihat sesuatu dari jarak amat jauh.

“ Lihat...!” kata sersan itu dalam bahasa daerah yang amat kaku, “Aku melihat sebuh perahu hitam dengan seorang baju hitam di dalamnya! Siapakah dia?“

Seorang ponggawa menghampirinya dan setelah diberitahu cara mempergunakan teropong itu, ia lalu mengintai ke arah perahu kecil yang terapung-apung di tempat jauh. Setelah memandang beberapa lamanya, ia berseru perlahan.

“Benar! Dialah Kertapati, bajak laut itu! Aku kenal bentuk tubuhnya, dan mukanya licin tak berkumis!”

Ponggawa-ponggawa lainnya berebutan meminjam teropong dan mereka inipun mendapatkan bahwa orang di dalam perahu kecil itu memang Kertapati, bajak muda yang membuat mereka merasa gentar!

“Bagus, bagus!” Sersan belanda itu berkata girang, sambil mempersiapkan senapannya. “Kita tangkap dia, mati atau hidup dan membagi hadiah yang dijanjikan oleh Sunan!”

"Akan tetapi, tuan sersan,“ bantah seorang ponggawa, “bukankah Kompeni juga menjanjikan hadiah bagi siapa yang dapat menangkap atau menewasakan bajak laut Kertapati? Kalau kita berhasil, kau boleh ambil semua hadiah dari Kompeni, sedangkan hadiah dari Gusti Sunan adalah hak kami berempat! Bukankah ini adil namanya?“

Sersan itu menyumpah dalam bahasanya yang tak dimengerti oleh empat orang ponggawa itu, lalu katanya sombong, “Kalian hanya ikut saja dan yang akan berhasil membunuhnya adalah aku dengan, senapanku ini!” Ia mengangkat senapannya tinggi-tinggi. “Akan tetapi, biarlah kalian ambil hadiah dari Sunan, aku tidak membutuhkannya, asal saja kalian memberitahu bahwa seorang sersan Kompenilah yang telah berhasil membunuh bajak laut itu! Tanpa bantuan kompeni, mana kalian orang-orang Mataram menangkap atau membunuhnya?“

Biarpun merasa mendongkol, empat orang ponggawa itu tidak mau membantah dengan sersan itu, oleh karena memang mereka telah tahu akan kegagahan Kertapati dan mereka hanya mengandalkan bantuan sersan ini untuk dapat menangkap atau menewaskan bajak itu.

“Sekarang tidak ada angin, dia tidak mungkin mempergunakan layar!” kata seorang ponggawa yang faham akan kepandaian mengemudikan perahu.

“Dengan hanya tenaga seorang saja, tak mungkin dia dapat mendayung perahunya pergi dari kejaran kita. Kita tunggu sampai perahunya pergi dari kejaran kita. Kita tunggu sampai perahunya mendekati pantai, lalu kita serbu dia dengan mendayung perahu yang laju. Kalau kita berlima atau berempat mengayuh, mustahil takkan dapat menyusulnya! Kau yang bertugas mempergunakan senapanmu, tuan sersan.“

“Jangan kuatir, dengan sekali ledakan senapanku saja, kepalanya akan hancur!” sersan itu menyombong.

Kertapati mendayung perahunya dan kini ia menunjukan perahunya ke arah kapal Belanda yang terapung di pinggir pantai dengan megahnya. Kesunyian di atas kapal itu membuat ia merasa girang karena maklum bahwa anak kapal itu tentu banyak yang mendarat dan yang menjaga kapal tidak banyak. Dengan berani ia mengambil keputusan untuk menghampiri dan kalau mungkin naik ke kapal itu!

Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat sebuah perahu meluncur cepat dari pantai dan mengejarnya! Matanya yang tajam dapat menaksir bahwa perahu itu sedikitnya ditumpangi oleh empat atau lima orang, dan karena perahu itu menuju ke arah perahunya, ia maklum bahwa mereka itu memang sengaja mengejarnya. Tak mungkin kalau ada nelayan pergi mencari ikan pada waktu seperti itu, dan juga tidak mungkin pula perahu itu ditumpangi oleh lebih dari tiga orang nelayan.

Apakah mereka anak buah kapal Belanda itu? Demikian pikirnya sambil mendayung pergi perahunya, menjauhi kapal, akan tetapi tidak terlalu cepat, karena ia masih ragu-ragu apakah benar mereka itu anak buah kapal. Kalau bukan, ia tak usah melarikan diri, karena kalau baru menghadapi lima orang lawan saja, tak sudi ia melarikan diri!

Ia pernah dikepung oleh belasan orang ponggawa Mataram di darat dan dapat meloloskan diri setelah merobohkan lebih dari dari setengah jumlah lawannya, apalagi kini hanya lima orang dan yang mengejarnya di atas air pula! Kalau di darat Kertapati merupakan seorang yang amat tangguh dan gagah perkasa, di air ia merupakan dewa laut yang mentakjubkan. Kepandaiannya bermain di air membuat ia sanggup menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.

Akan tetapi setelah perahu yang ditumpangi oleh lima orang itu datang dekat dan hampir dapat menyusulnya, tiba-tiba terdengar letusan keras dan dari perahu itu nampak bunga api memancar. Air di dekat perahunya memercik ke atas, tanda bahwa ada sesuatu yang keras menyambar air itu. Senapan, pikirnya. Akan tetapi Kertapati tidak menjadi gugup dan dengan tenang lalu melepaskan bajunya yang hitam.

“Sayang tidak kena!” kata seorang ponggawa ketika melihat betapa tembakan pertama sersan Belanda itu tidak mengenai sasaran.

Sersan itu menjadi penasaran dan marah. “Jangan mendayung dulu, perahu menjadi bergerak dan aku tak dapat membidik tepat!”

Keempat orang ponggawa lalu menahan dayung mereka dan perahu meluncur dengan tenang. Mereka tidak bergerak untuk memberi kesempatan kepada si sersan menembak lagi. Kini di atas perahu kecil itu nampak jelas betapa orang berbaju hitam yang mendayung perahu itu berdiri dengan tegak, seakan-akan menantang untuk menerima peluru senapan sersan itu! Sersan itu membidik, dan tiba-tiba terdengar letusan keras untuk kedua kalinya.

“Mampus kau!” sersan itu berseru keras dan empat orang ponggawa melihat betapa tubuh yang berdiri di atas perahu kecil itu roboh di dalam perahunya! Mereka berseru girang,

“Kena! Kena...!” Dan serentak mereka mendayung perahu menyusul perahu kecil itu.

“Jangan lupa melaporkan kepada Sunan bahwa Sersan Zeerot yang menembak mampus bajak laut itu!” Kata sersan tadi sambil tersenyum-senyum puas.

Kini mereka berada dekat sekali dengan perahu kecil tadi sehingga mereka dapat melihat dengan jelas ke dalam perahu. Alangkah kaget hati mereka ketika melihat bahwa “orang“ yang mereka lihat roboh tertembak tadi tidak lain hanya sebatang dayung yang diberi batu hitam!

“Celaka...! seorang ponggawa berseru, akan tetapi pada saat itu juga, perahu mereka terguncang keras tanpa dapat ditahan lagi perahu itu miring lalu terbalik, membuat kelima orang itu terlempar ke dalam air!

Sebenarnya yang ditembak itu memang bukan Kertapati, akan tetapi bajak laut muda yang cerdik itu setelah meninggalkan pakaiannya lalu mengenakan pakaian itu pada dayungnya dan memegangi dayung sambil bertiarap di dalam perahunya!

Setelah sersan itu menembak, ia lalu menggerakkan dayungnya yang “menyamar” dan menggantikan dirinya itu seakan-akan orang terkena tembak dan menjatuhkan di dalam perahu, sedangkan ia sendiri diam-diam lalu meluncur ke dalam air dan berpegang pada pinggir perahu sambil mengintai!

Ketika perahu lawan itu sudah datang dekat, ia menyelam dan berenang di bawah permukaan air menyambut kedatangan mereka. Ia pegang perahu yang sudah tak didayung lagi itu dengan kedua tangan dan dengan tenaga yang luar biasa ia berhasil menggulingkan perahu dan membuat kelima orang penumpangnya jatuh ke dalam air!

Dua orang ponggawa yang tak pandai berenang, segera megap-megap dan sebentar saja perut mereka menjadi besar dan kembung, penuh air laut yang asin! Yang dua orang lagi hendak berenang ke perahu, akan tetapi tiba-tiba setelah kaki mereka ditangkap oleh kedua tangan Kertapati dan tubuh mereka diseret ke bawah!

Seketika lamanya mereka bergulat dengan air karena tak mampu menyerang orang yang memegang kaki mereka sampai mereka tidak kuat lagi dan menjadi pingsan perut kembung!

Sersan Zeerot yang juga pandai berenang, lalu berenang dan berhasil memegang pinggir perahu, akan tetapi tiba-tiba ia merasa perutnya perih seakan-akan ditusuk oleh tombak ikan cucut. Tubuhnya menjadi lemas dan pegangannya terlepas. Ia menjerit kesakitan dan tenggelam tanpa bardaya lagi!

Peristiwa hebat itu terjadi tanpa banyak ribut, hanya disaksikan oleh bulan yang bergurau dengan mega-mega diatas laut. Peristiwa berikutnya yang terjadi lebih hebat lagi, membuat nama bajak laut Kertapati makin terkenal dan ditakuti orang dari segala fihak.

Kapal layar Belanda yang berlabuh di tempat itu memang telah ditinggalkan oleh sebagian besar anak kapalnya yang mendarat dan mencari hiburan di kota Jepara. Yang diwajibkan menjaga hanya sebanyak sepuluh orang yang rendah kedudukannya, hanya serdadu-serdadu biasa yang kasar.

Serdadu-serdadu ini menghilangkan kekesalan hatinya, menghibur diri dengan minuman keras, dan ada pula yang bermain kartu mempertaruhkan uang belanja mereka yang tiada gunanya di dalam kapal itu.

Sambil bersenda-gurau mempercakapkan pengalaman mereka dengan perempuan-perempuan di tiap pelabuhan yang mereka darati, mereka menghibur diri, lama sekali tidak melihat adanya bayangan seorang berpakaian hitam yang dengan cekatan sekali memanjat ke atas kapal melalui rantai jangkar kapal.

Bayangan ini adalah Kertapati yang setelah “membereskan“ lima orang pengejarnya tadi, masih melanjutkan kehendaknya menyelidiki kapal asing itu. Setelah naik ke atas kapal, ia mengintai dari balik tiang layar dan memandang ke arah orang-orang kulit putih itu dengan senyum menghina. Ingin ia menerjang dan meyerang mereka, akan tetapi tentu saja ia tidak mau bertindak demikian sembrono ketika melihat betapa sepuluh orang itu bersenjata api dan senapan-senapan mereka terletak dekat.

Hanya berarti pembunuhan diri yang bodoh apabila ia menyerang, pikirnya. Dilihatnya tiga orang telah mabok dan tidur mendengkur di atas geladak kapal, sedangkan yang tujuh orang masih mengelilingi meja sambil main kartu dan bersendagurau. Dengan amat berani dan tabah, Kertapati lalu menyelinap dan cepat memasuki anak tangga yang membawanya turun ke dalam kapal itu.

Telah beberapa kali ia dan kawan-kawannya menyerbu kapal Belanda dan kini ia mencari kamar yang menjadi tujuan pemeriksaannya, yakni kamar senjata. Girang sekali hatinya ketika ia dapat menemukan kamar itu dan melihat banyak senapan berada di tempat itu berikut obat pasang dan peluru-pelurunya.

Kertapati sendiri amat benci melihat senjata api ini dan tidak sudi mempergunakannya, akan tetapi banyak kawan-kawannya ingin memilikinya, maka kini timbul keinginannya untuk mencuri senapan-senapan ini ! Kamar itu diterangi dengan sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding.

Pemuda itu cepat mengumpulkan tujuh pucuk senapan yang kelihatan masih baru, diikatnya senapan-senapan itu menjadi satu dengan sebuah tambang yang terdapat di situ, dan ketika ia sedang mengumpulkan obat pasang dan peluru, tiba-tiba pintu di belakangnya dibuka orang dan tiba-tiba terdengar bentakan keras dalam bahasa Belanda yang tak dimengertinya.

Ketika ia menoleh dengan cepat, ia melihat seorang opsir Belanda yang bermuka merah sekali telah berdiri di ditu dengan senapan ditodongkan ke arahnya! Kembali Belanda itu membentaknya dan biarpun Kertapati tidak mengerti bahasanya, akan tetapi pemuda ini naklum bahwa ia diperintahkan untuk mengangkat kedua tangannya.

Akan tetapi, ia berpura-pura bodoh dan tersenyum manis! Wajahnya menjadi menarik sekali kalau tersenyum, lenyap sama sekali kekerasan yang tergaris pada mukanya. Bibir tersenyum mata berseri-seri dan sikap ini selalu mendatangkan kemenangan padanya.

Menurut nasihat gurunya dulu, dalam menghadapi bahaya yang bagaimana besarpun, ia harus dapat menenangkan hati dan memperlihatkan sikap gembira, oleh karena selain hal ini dapat membuat ia berkata waspada dan membuat pikiran dapat berjalan terang untuk mengusahakan sesuatu yang tepat, juga jarang sekali terdapat orang yang tepat, juga jarang sekali terdapat orang yang mau membunuh orang tersenyum gembira!

Memang benar, opsir itu yang belum tahu siapa adanya pemuda yang berada di kamar senjata itu, tadinya masih agak ragu-ragu untuk segera menembak, apalagi setelah melihat betapa muka itu tersenyum ramah dan gembira, ia tertipu dan tekanan jarinya pada pelatuk senapan mengendur.

”Kamu… pencuri...?“ tanyanya dengan bahasa daerah yang amat kaku.

Akan tetapi, saat yang hanya sedetik itu tak dilewatkan oleh Kertapati yang semenjak tadi menjadi perisai pertama untuk menyelamatkan diri dan setelah melihat betapa ketegangan pada lawannya mengendur, tangannya diam-diam menggenggam erat beberapa butir peluru yang tadinya sedang diperiksa dan dikumpulkannya.

Senyumnya melebar dan pada saat opsir Belanda itu membuka mulut bertanya, secepat kilat tangannya bergerak ke arah lampu dan otomatis tubuhnya menubruk maju ke arah kaki opsir itu!

Terjadi tiga kali dalam detik yang sama. Pecahnya kaca lampu yang memadamkan penerangan itu. Meletusnya obat pasang dalam senapan di tangan opsir Belanda, dan berteriaknya opsir itu ketika tiba-tiba sepasang lengan yang amat kuat merangkul kedua kakinya dan yang membuat ia terpelanting jatuh! Saat berikutnya, keris di tangan Kertapati telah mendapat korban lagi dan lawannya mati dalam gelap tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

Dengan kecepatan yang luar biasa, Kertapati telah dapat menyambar senapan dan peluru berikut obat pasang yang tadi dikumpulkan, lalu tubuhnya melompat dan menaiki anak tangga. Ia telah dapat keluar dari lubang di atas dan bersembunyi di belakang tiang sebelum kawan-kawan opsir yang bersenda-gurau di atas geladak mengejar ke tempat itu.

Tiga orang serdadu dengan lampu di tangan dan senapan disiapkan, berlari-lari menuruni anak tangga untuk melihat kawannya yang tadi turun untuk mengambil tambahan minuman keras. Kawan-kawannya yang lain bersiap pula dengan senapan di tangan. Tiba-tiba seorang diantara mereka melihat berkelebatnya tubuh Kertapati, maka sambil berseru ia lalu menembak ke arah pemuda itu.

Kertapati cepat melompat dan berlindung dibalik tiang. Lalu sambil merangkak dan berlindung di balik tali temali tiang, ia menghampiri pinggir kapal dan melongok ke bawah di mana ia melihat perahunya menempel dekat rantai jangkar. Ia mengira-ngira dan segera melemparkan senapan-senapan itu ke bawah, tepat masuk ke dalam perahunya yang bergoyang-goyang.

Suara senapan jatuh di perahunya terdengar oleh orang-orang Belanda itu, maka mereka lalu mengejarnya. Kalau ia mau, dengan mudah Kertapati dapat melompat ke air dan meyelamatkan diri, akan tetapi ia tidak menyerah kalah begitu saja sebelum menimbulkan kerugian di fihak lawan dan berdaya upaya untuk menyelamatkan perahu dan bedil-bedil yang telah dirampasnya.

Maka kembali ia merangkak-rangkak menjauhi mereka dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor tikus. Ia mengambil dua butir peluru yang tadi tercecer, lalu menyambit ke arah yang berlawanan. Peluru-peluru itu membentur papan dan menerbitkan bunyi keras. Serentak terdengar senapan-senapan ditembakkan ke arah suara itu!

Kertapati tersenyum ketika melihat betapa orang-orang itu dengan berendang lalu berlari memburu ke tempat yang disambit tadi, maka ia cepat melompat ke arah meja di mana mereka tadi main kartu, mengambil lampu minyak yang berada di atas meja dan segera melemparkan lampu itu ke atas, ke tempat gulungan layar! Lampu itu membentur layar dan minyaknya tumpah, disambar oleh api dan segera layar itu terbakar!

Orang-orang Belanda tadi segera membalikkan tubuh dan melihat betapa layar telah berkobar besar, mereka menjadi ribut dan sibuk berusaha memadamkan kebakaran. Kegaduhan itu dipergunakan untuk lari oleh Kertapati yang dengan enaknya lalu memanjat turun dari rantai jangkar.

Ketika kebakaran pada layar itu dapat dipadamkan dan orang-orang di atas kapal dengan menyumpah-nyumpah dan marah sekali mencari-cari pengacau dan pembunuh opsir kawan mereka, Kertapati telah mendayung perahunya dengan cepat, jauh dari kapal itu!

Dan pada waktu keesokan harinya, pada waktu fajar menyingsing, para nelayan yang berangkat menuju ke tengah laut untuk mulai pekerjaan mereka menangkap ikan, menjadi ribut ketika mereka mendapatkan sebuah perahu itu terapung-apung di atas air dan di dalam perahu itu terdapat empat orang ponggawa Sunan yang pingsan dengan perut kembung! Selain ini, merekapun mendapatkan mayat seorang sersan Belanda yang terapung pula dengan perut terluka bekas tusukan keris!

Mereka segera menolong empat orang ponggawa itu, juga membawa mayat itu ke pantai. Ketika para ponggawa telah ditolong dan air telah dikeluarkan dari perut mereka sehingga mereka siuman kembali, mereka menceritakan bahwa semua itu adalah perbuatan bajak laut Kertapati. Maka gemparlah semua orang dan para nelayan melanjutkan pekerjaan mereka dengan hati kebat-kebit!

* * * * *

Beberapa pekan kemudian. Tepi pantai laut jepara ramai sekali dikunjungi orang. Gamelan berbunyi semenjak pagi sekali, mengiringi suara tambang yang merdu, meramaikan suasana dan menggembirakan semua pengunjung. Di sepanjang pantai didirikan panggung dan tarup dari bambu. Sebagaian besar penduduk Jepara mengunjungi pantai laut, bahkan para nelayan hari itu senjata tidak pergi mencari ikan untuk dapat menyaksikan keramaian luar biasa ini.

Keramaian apakah yang sedang berlangsung? ternyata bahwa hari ini diadakan perlombaan dan pemilihan anak-anak kapal yang cakap. Belanda telah bermufakat dengan para pembesar setempat untuk mencari anak-anak kapal sebagai pelayan dan pembantu pada kapal-kapal mereka dan untuk mengadakan pemilihan.

Maka diadakan perlombaan berenang, bermain di air dan kecakapan mengemudikan perahu berlayar. Selain itu, juga dalam kesempatan ini, para pembesar hendak berpesta, merayakan perjanjian perdamaian dan persetujuan yang tercapai antara pembesar Belanda Speelman dan Sunan Amangkurat II...!

Dalam kesempatan ini, para puteri jelita dari gedung-gedung pembesar, mendapat alasan untuk keluar dari gedung dan kamarnya, untuk ikut menyaksikan keramaian ini. Mereka ini bersama ayah buda mereka, ikut naik ke atas panggung dan menyaksikan perlombaan-perlombaan itu, juga memberi kesempatan kepada para pemuda yang jarang dapat memandang wajah mereka untuk kali ini memandang sepuasnya dan mengaguminya dengan diam-diam.

Hiburan yang paling ramai, bahkan melebihi ramainya perlombaan-perlombaan itu, adalah acara bebas yang tidak direncanakan lebih dulu. Seorang isteri tumenggung, tanpa disengaja telah menjatuhkan tempolongnya ( tempat ludah sirih ) ke dalam air di depan panggung. Air ini dalam dan jernih sehingga tempolong itu kelihatan dari atas, menggelinding ke atas dasar pantai.

Melihat hal ini, seorang nelayan muda lalu melompat ke dalam air dan menyelam untuk mengambilkan tempolong kuningan itu. Tubuhnya yang bergerak-gerak bagaikan ikan besar itu nampak dari atas dan semua pembesar, terutama para isteri dan puteri memuji dengan kagum dan girang.

Memang hal ini mendatangkan pemandangan yang amat mengagumkan, jauh lebih menarik daripada melihat perlombaan perahu atau berenang dari tempat itu. Maka, setelah nalayan muda itu timbul dari air sambil membawa tempolong dan menyerahkan kepada penjaga, ia disambut dengan tepuk sorak.

Melihat kegembiraan semua tamu, maka tumenggung itu lalu mengusulkan untuk membauat permainan sebagai penambah acara, yakni mereka melempar-lemparkan benda dengan sengaja ke dalam air dan para penonton diperbolehkan terjun dan mendapatkan benda-benda itu kembali! Tentu saja untuk ini diadakan hadiah-hadiah, bahkan karena gembiranya, lalu ditetapkan bahwa benda yang dilemparkan itu boleh dimiliki oleh para penyelam.

Hal ini mendatangkan kegembiraan besar sekali. Para pemuda lalu memperlihatkan kesigapan dan kepandaiannya. Dan ternyata bahwa yang paling suka melempar-lemparkan benda ke dalam air adalah para puteri dan wanita! Yang dilemparkan ke dalam air sebagaian besar adalah mata-mata uang. Memang menyenangkan sekali melihat para pemuda nelayan itu menyelam dan berenang di atas dasar laut, hilir mudik bagaikan ikan-ikan besar berebut makanan.

Diantara sekian banyakknya penonton yang melihat pertunjukan ini, terdapat seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpotongan tubuh kekar dan tegap. Kulitnya bersih dan halus, membuat ia kelihatan seperti Arjuna diantara sekian banyak nelayan yang berkulit haitam terbakar matahari setiap hari.

Semenjak tadi pemuda ini berdiri di dekat panggung, akan tetapi berbeda denagn semua orang yang menonton para penyelam memperebutkan uang, ia menunjukan pandang matanya kepada seorang gadis yang duduk di atas panggung.

Gadis ini cantik jelita seperti kebanyakan puteri yang berada di situ, akan tetapi dalam pandangan pemuda itu, dia adalah gadis yang tercantik diantara sekian semua wanita yang pernah dijumpainya! Dara itu bertubuh langsing, berkulit kuning langsat, dan wajahnya manis sekali. Bibirnya seperti gendewa terpentang, tipis dan merah basah menggairahkan hati, dan yang terindah dari semua itu adalah sepasang matanya.

Inilah mata yang disebut damarkanginan, atau bagaikandian tertiup angin. Sinar matanya bagaikan mengandung pengaruh yang menjatuhkan hati pria manapun juga. Bentuknya lebar agak meruncing di ujung membuat lirikannya tajam sekali. Dihias bulu mata yang panjang dan lentik, melengkung ke atas membuat mata itu nampak berseri bergerak-gerak dengan lincah.

Dara juita ini adalah Roro Santi, puteri dari Dipati Wiguna, seorang bangsawan dari demak yang kini menjadi pembesar di Jepara. Roro Santi terkenal sebagai bunga Jepara dan kecantikannya telah terkenal diantara semua penduduk Jepara. Telah tiga bulan ia dipertunagkan dengan Raden Suseno, putera Bupati Randupati dari Rembang.

Akan tetapi, tiap kali orang tuanya hendak melangsungkan pernikahannya, juita itu selalu menolak dan sambil menagis minat agar supaya pernikahannya diundurkan karena ia tidak sampai hati meminggalkan dan berpisah dari orang tuanya.

Sebagai puteri tunggal yang amat dimanja dan dicinta, tentu saja kedua orang tuanya tak mau memaksanya dan demikianlah, telah tiga bulan lebih ia bertunangan, akan tetapi belum juga pernikahan dilangsungkan.

Raen Suseno menjadi tidak sabar, akan tetapi ia tidak berani terlalu mendesak, hanya merasa cukup puas apabila beberapa hari sekali ia diperbolehkan datang ke Jepara dan memandang tunagannya dengan dendam birahi yang menggelora di dalam dadanya.

Roro Santi bukannya tidak tahu bahwa pemuda tampan itu telah semenjak tadi memandangnya dengan mata menyatakan kekagumannya, akan tetapi siapakah diantara sekian banyaknya laki-laki yang tidak memandangkanya dengan kagum?

Oleh karena itu, ia tidak mengambil perduli, hanya diam-diam ia merasa heran mengapa diantara nelayan-nelayan yang sederhana itu terdapat seorang pemuda yang demikian cakapnya. Kegembiraannya bertambah ketika mengetahui bahwa pemuda itupun mengagumi kecantikannya.

Perempuan manakah yang tidak merasa gembira dan bangga apabila ada mata laki-laki memandangnya dengan kagum? Segalak-galaknya wanita, biarpun di luar ia mungkin akan marah apabila ada laki-laki lain memandangnya dengan tajam, akan tetapi tak salah lagi di dalam hatinya ia pasti merasa amat gembira dan bangga!

Dengan adanya kekaguman yang terpancar keluar dari mata orang-orang lelaki yang ditunjukan kepadanya, maka tak pecumalah segala jerih payahnya merawat dan menjaga diri serta bersolek setiap hari!

Diluar sangkaan semua orang, pemuda ini bukan lain ialah Kertapati, bajak laut yang menggemparkan itu! Dengan menyamar seperti seorang nelayan biasa, ia mencampurkan dirinya dengan orang banyak untuk ikut menonton keramaian itu dan sekalian melakuan penyelidiakan untuk keperluan “pekerjaannya”. Ia merasa heran dan benci kepada matanya sendiri mengapa mata itu tidak mau menurut kehendaknya.

Selama ini, diantara kawan-kawannya, yakni anak buahnya yang membantu pekerjaannya sebagai bajak laut, ia terkenal sebagai seorang pemuda yang “Alim “ dan sama sekali tidak suka membicarakan tentang perempuan-perempuan cantik. Apabila kawan-kawannya bercakap-cakap soal perempuan, ia menjatuhkan dirinya tanpa mencurahkan sedikitpun perhatian sungguhpun ia tidak melarang mereka.

Akan tetapi, para anak buah bajak laut itu jangan sekali-kali berani mencoba untuk menganggu wanita di depannya! Pernah ia menghajar seorang anak buahnya sampai setengah mati ketika anak buahnya itu menculik seorang gadis dari perahu yang mereka rampok.
Kini, melihat Roro Santi, menurut kehendaknya, ia tidak mau mengambil perduli sama sekali dan bahkan tidak ingin melihatnya, akan tetapi aneh, matanya seperti terkena pesona dan ia tidak dapat menguasainya pula! Oleh karena itu ia merasa benci kepada matanya, kepada hatinya, dan kepada diri sendiri.

“Bodoh!” bisiknya kepada diri sendiri. “Mata keranjang!” Ia memaki-maki diri sendiri seakan-akan yang berbuat itu adalah seorang yag menjadi orang kedua. Melihat betapa juita itu agaknya tidak mengacuhkan, ia menjadi makin gemas kepada diri sendiri dan merasa direndahkan. Saking gemasnya, untuk menghukum diri sendiri, ia lalu terjun ke dalam air, ikut menyelam dan mengejar uang yang dilempar ke dalam air! Ia sampai lupa untuk, membuka bajunya dan terjun ke dalam air dengan pakaian masih lengkap!

Melihat seorang pemuda terjun ke dalam air dengan pakaian lengkap, pecahlah suara ketawa dari para penonton. Diluar kehendaknya, Kertapati menarik perhatian semua orang. Apalagi ketika ia memperlihatkan kesigapan dan kecepatannya di dalam air yang tiada ubahnya laksana seekor ikan belut itu.

Para penyelam lainnya merasa terkejut sekali karena tiap kali mereka hendak menangkap sebuah mata uang yang dilemparkan dan tenggelam di depan mereka, tahu-tahu berkelebat bayang-bayang hitam bagaikan seekor ikan menyambar dan uang itu telah dihahului dan disaut oleh bayangan hitam yang cepat gerakannya itu.

Yang telah mengherankan lagi ialah kekuatan menyeam pemuda ini, karena lin penyelam setelah menyelam sekali dan mendapatkan sepotong uang logam itu, dan muncul kembali untuk mengambil napas, akan tetapi Kertapati bermain-main di dalam air bagaikan ikan dan seakan-akan ia tidak membutuhkan pergantian napas! Penyelam lain telah tiga kali mengambil napas di permukaan air, akan tetapi ia masih saja berada di dalam air.

Akhirnya, setelah kedua tangannya penuh dengan uang logam, Kertapati muncul di permukaan air. Tepuk-sorak menyambutnya sebagai tanda memuji dan ketika Kertapati melihat betapa tepuk tangan dan sorakan itu diberikan untuknya, ia menjadi merasa malu dan sebal. Dilemparkannya kembali semua uang di tangannya itu ke dalam air sambil tertawa bergelak.

Tentu saja semua orang merasa heran melihat ini, akan tetapi para nelayan yang melihat demikian banyaknya uang dilempar ke air, segera ikut menyelam dan sebentar saja uang yang dilempar oleh Kertapati itu menjadi rebutan di dasar air!

Kertapati kembali memandang ke arah Roro Santi dan kebetulan sekali gadis inipun sedang memandang ke arahnya dengan mata kagum. Biarpun Kertapati tidak membuka pakaiannya ketika menyelam, akan tetapi oleh karena kini bajunya basah kuyup, maka baju itu melekat pada kulit tubuhnya, membuat potongan tubuhnya nampak nyata.

Bahu yang bidang, dada yang menonjol ke depan, lengan yang kuat pinggang yang kecil itu memang amat mengagumkan, terutama karena tubuh yang gagah ini dimiliki oleh wajah yang demikian tampan. Diam-diam Roro Santi memuji ketampanan dan kegagahan pemuda ini dan melihat betapa pemuda itu melemparkan kembali semua uang yang tadi melemparkan kembali semua uang yang tadi diambilnya ketika ia menyelam, ia dapat menduga bahwa pemuda ini pasti bukan seorang nelayan atau petani biasa! Ksatria dari manakah dia?

Melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepadanya, Roro Santi menjadi gugup dan merasa betapa mukanya menjadi panas. Ia segera menundukkan mukanya yang menjadi merah itu dan dengan tangan gemetar ia mencabut tusuk kondenya yang terbuat daripada emas dihias permata intan. Ia lalu mengerling ke arah Kertapati yang masih memandangnya, kemudian sengaja melepaskan tusuk konde itu ke dalam air!

Kertapati melihat gerakan ini, juga banyak penyelam yang telah timbul di permukaan air melihat benda berharga ini terjatuh ke dalam air, maka cepat mereka menyelam untuk memperebutkannya. Kertapati memandang dengan dada berdebar aneh, dan ia merasa seakan-akan bahwa tusuk konde itu sengaja dilempar di dalam air untuknya! Sebelum ia dapat menekan debar jantugnya, ia telah melompat kembali ke dalam air.

Kertapati melihat gerakan ini, juga banyak penyelam yang telah timbul di permukaan air melihat benda berharga ini terjatuh ke dalam air, maka cepat mereka menyelam untuk memperebutkannya. Kertapati memandang dengan dada berdebar aneh, dan ia merasa seakan-akan bahwa tusuk konde itu sengaja dilempar di dalam air untuknya ! Sebelum ia dapat menekan debar jantungnya, ia telah melompat kembali ke dalam air.

Tiga orang penyelam yang terpandai telah meluncur dekat benda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka terdorong ke kanan dan kiri oleh sepasang lengan yang luar biasa kuatnya dan sebelum mereka dapat mempertahankannya, tusuk konde itu telah disambar oleh tangan penyelam baju hitam yang aneh tadi!

Kertapati lalu timbul lagi di permukaan air dan berenang cepat sekali ke darat, lalu melompat dengan sigapnya ke tas batu karang. Dari situ ia lalu melompat ke arah panggung dengan tangan kanan dan sekali ia ayun tubuhnya, ia telah naik ke atas panggung itu, tepat dihadapan Roro Santi yang menjenguk ke bawah untuk melihat siapa yang berhasil mendapatkan tusuk kondenya.

Untuk sejenak, Roro Santi tertegun dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak kepada pemuda yang kini berada dihadapannya. Kertapati tersenyum dan mengulurkan tangannya yang memegang tusuk konde itu sambil berkata perlahan,

“Terimalah kembali tusuk kondemu… kau telah menjatuhkannya ke dalam air…“ Pemuda itu merasa terheran sendiri mengapa ia merasa begitu gugup sehingga bicaranyapun terputus-putus dan napasnya tersengal.

Dengan muka merah Roro Santi mengulur tangannya, akan tetapi ia segera menariknya kembali dan berkata dengan muka tetap tunduk, “Kau… ambillah… itu menjadi hakmu!”

Semua orang-orang bagsawan yang duduk ditarup itu, merasa marah dan penasaran melihat betapa seorang penyelam berani naik ke panggung dan menghadapi Roro Santi dengan berdiri saja, sedangkan puteri itu duduk di kursi. Alangkah berani dan kurang ajarnya! Bahkan andaikata Kertapati naik ke panggung dan menghadapi puteri itu dengan menyembah dan berlututpun sudah merupakan perbuatan yang kurang ajar karena tanpa mendapat perkenan mereka, tak seorang nelayan atau penonton boleh naik ke panggung begitu saja, apalagi mengajak bicara seorang puteri dipati.

Yang paling marah adalah Raden Suseno yang duduknya tak jauh dari tempat itu. Dengan hati penuh cemburu dan marah, pemuda ini melihat betapa sinar mata kertapati menatap wajah tunangannya dengan berani, kurang ajar, dan penuh perasaan. Ia berdiri dari kursinya dan segera melompat ke depan Kertapati.

“Bangsat rendah...“ ia memaki sambil memandang dengan mata melotot. “Jangan berlaku kurang ajar!”

Kertapati memandangnya dengan senyum simpul, seperti seorang dewasa memandang seoranga anak kecil yang nakal. “Puteri ini menjatuhkan perhiasan rambutnya dan aku menolong mengambilkannya lalu mengembalikan benda ini kepadanya, mengapa kurang ajar?“

“Tutup mulutmu! Lekas kembalika perhiasan itu kepadaku dan segera enyah dari sini!” bentak Raden Suseno marah.

Akan tetapi Kertapati tetap tersenyum dengan wajah tenang. Para bangsawan yang berada di situ makin tertarik melihat pertengkaran ini, bahkan beberapa orang opsir Belanda yang menjadi tamu juga memandang dengan tertarik. Mereka semua kini berdiri dari kursinya dan semua mata, baik yang berada di tas panggung maupun yang berada di bawah, yakni para nelayan dan penonton, ditujukan ke arah atas panggung di mana pemuda baju hitam yang aneh itu sedang berdiri berhadapan dengan Raden Suseno yang sedang marah.

“Benda ini bukan milikmu, enak saja kau memintanya!”

Raden Suseno makin marah. “Bangsat kurang ajar! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah Raden Suseno putera bupati dari Rembang, dan puteri ini adalah tunanganku, Raden Roro Santi!”

Kertapati segera memotong pembicaraannya dengan membongkokkan tubuh dan berkata. “Terima kasih atas pemberitahuan nama itu, bukan namamu, akan tetapi nama puteri ini Roro Santi, alangkah indah nama ini, sesuai benar dengan orangnya…“

“Keparat! Lekas berikan barang itu kepadaku! Atau barangkali kau minta dihajar dulu?“ Raden Suseno sudah menjadi marah sekali maka ia lalu mengayun tangan kanannya, menempeleng ke arah kepala Kertapati.

Akan tetapi, dengan tenang sekali Kertapati merendahkan tubuhnya sehingga tamparan itu lewat di atas kepalanya, mengenai tempat kosong. “Pemiliknya telah memberikan kepadaku, kau perduli apa?”Katanya, “Kalau kau menghendaki benda ini, mengapa tadi kau tidak melompat ke dalam air?“

Akan tetapi Raden Suseno tidak mau banyak cakap lagi, wajahnya menjadi pucat saking marahnya dan ia merasa penasaran sekali betapa tamparannya dihindarkan dengan mudah oleh pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan tonjokan keras ke arah dada lawannya, dan menyusul dengan tendangan keras dan cepat untuk menendang tubuh pemda bulu hitam itu agar terlempar ke bawah panggung!

Raden Suseno adalah seorang pemuda ahli pencak, maka gerakannya cepat dan tenaganya kuat. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kertapati miringkan tubuh ke kiri untuk mengelak dari tonjokan ke arah dadanya, kemudian ketika kaki kanan lawannya yang menendang menyambut dekat, tiba-tiba ia ulur tangan kirinya dan mendorong tubuh Raden Suseno ke kanan!

Karena tenaga tendangan sendiri ditambah denagn dorongan lawan, tak dapat tertahan lagi tubuh Raden Suseno terlempar ke kanan dan jatuh ke bawah panggung! Terdengar suara “jeburr!” Ketika tubuhnya menimpa air, disusul suara tertawa yang ditahan-tahan dari para penonton di bawah panggung!

Pada saat itu, terdengar teriakan orang dari bawah panggung, “Dia Kertapati…! Dia yang dulu kami kejar-kejar! Dia Kertapati. Tangkap…!”

Yang berteriak-teriak ini adalah seorang diantara empat ponggawa yang dulu hendak menangkap Kertapati dengan bantuan seorang sersan Belanda. Ponggawa itu lupa bahwa kalau bajak laut itu berlaku kejam dan tidak menolong dia dan tiga orang kawannya ke dalam perahu, tentu mereka berempat telah mati seperti sersan Belanda itu pula! Kini ia berteriak-teriak dan berlari menuju ke panggung itu.

Roro Santi terkejut sekali mendengar ini dan ia memandang kepada Kertapati dengan mata terbelalak dan muka pucat. Jadi inilah bajak laut Kertapati yang telah menggemparkan seluruh negeri selama beberapa bulan ini?

“Terima kasih atas pemberian benda yang akan kusimpan selama hidupku ini…“ Kertapati masih sempat berbisik perlahan sebelum mempersiapkan diri menghadapi musuh-musuhnya.

Memang, teriakan yang dikeluarkan oleh ponggawa tadi, untuk sejenak membuat semua orang merasa seakan-akan tubuh mereka menjadi kaku. Mereka berdiri bagaikan patung memandang kearah pemuda baju hitam yang msih berdiri di depan Roro Santi, bahkan kini tidak ada orang yang memandang ke dalam air di mana Raden Suseno sedang berenang ke tepi sambil menyumpah-nyumpah!

Kemudian, serentak timbullah keributan besar ketika para penjaga dan ponggawa, dengan tombak di tangan lalu mengurung punggung di mana Kertapati mengeluarkan suara ketawa bergelak dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah terjun ke dalam air!

Terdengar tembakan yang dilepas dari senjata api di tangan seorang opsir tamu Belanda, akan tetapi dengan menyelamkan diri ke dalam air, Kertapati dapat menyelamatkan diri dari peluru yang menyambarnya itu. Opsir-opsir Belanda lain ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah bajak laut yang mereka benci, juga sudah mengeluarkan senjata api masing-masing dan kini dengan membabi-buta mereka menembak ke dalam air sambil mengira-ngira saja!

Kertapati terus berenang di bawah permukaan air dan ketika ia muncul kembali, ternyata ia telah berada di tepi yang jauh dari terup itu, lalu melompat ke darat di mana terdapat banyak penonton. Akan tetapi, para opsir itu masih menembakkan senjata api mereka ke arah tempat itu dan dua orang penonton roboh terkena peluru, sedangkan Kertapati lenyap diantara penonton yang banyak!

Tentu saja hal ini menimbulkan keributan dan geger. Semua penonton berlari cerai-berai, takut terkena tembakan yang nyasar dan yang lepas dengan ngawur itu. Ketika tempat itu sudah bersih dari para penonton, ternyata Kertapati telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas! Para punggawa masih mencari ke sana ke mari dengan hati kebat-kebit karena ketakutan, akan tetapi yang dicari telah lenyap, entah ke mana perginya

Perbuatan Kertapati yang amat berani ini mendatangkan kesan mendalam pada semua orang. Para opsir Belanda makin membencinya dan menggangapnya sebagai pengacau yang kurang ajar, terutama sekali Raden suseno merasa amat marah dan juga cemburu sekali. Ia tidak puas akan sikap tunangannya yang memberikan tusuk kondenya kepada bajak laut jahat itu!

Hanya di dalam dada seorang saja kertapati menimbulkan kesan yang luar biasa, yakni dalam dada Roro Santi sendiri! Gadis ini merasa demikian tertarik kepada pemuda baju hitam itu. Ia menganggap pemuda itu gagah berani, jujur, dan juga tidak menjilat-jilat seperti Raden Suseno atau lain-lain pemuda dihadapannya.

Kekurangajaran dan kekasaran bajak laut itu menarik hatinya. Biarpun berkali-kali ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menganggap Kertapati sebagai seorang bajak laut yang kejam, pengacau yang penuh dosa, akan tetapi perasaan wanitanya berpendapat lain dan anehnya, bayangan pemuda dengan senyumnya yang manis dan tenang itu sukar sekali diusir dari alam pikirannya!

* * * * *

Opsir Belanda yang pertama-tama melepaskan tembakan ketika Kertapati muncul dalam keramaian di pantai Jepara itu, adalah seorang berusia kurang dari tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, berambut kekuning-kuningan dan matanya biru serta tajam sekali.

Dia bukanlah seorang opsir biasa, karena sesunguhnya opsir ini yang namanya Dolleman, adalah seorang kepala pasukan rahasia atau mata-mata Belanda yang banyak disebar untuk menyelidiki keadaan dan pergerakan para pengeran di Mataram berhubung dengan pemberontakan-pemberontakan Trunajaya.

Dolleman amat cerdik dan ia telah mempelajari bahasa daerah sehingga dapat bercakap-cakap dalam bahasa itu cukup fasih, sungguhpun lidahnya masih terasa kaku untuk dapat mengucapkan kata-kata daerah yang asing baginya itu.

Telah banyak jasa yang diperbuat selama ia datang dari negerinya sehingga di kalangan Kompeni, ia mendapat kepercayaan penuh, bahkan ia mempunyai surat kuasa untuk menggerakkan semua pasukan Kompeni yang terdapat di mana saja, menurut perintahnya apabila terjadi sesuatu yang penting.

Selain mendapat tugas untuk mengawal Speelman yang mengunjungi Jepara dan mengadakan perteuan dengan Sunan, iapun mendapat tugas pula untuk menyelidiki dan mencari sarang bajak laut Kertapati yang mengacau disepanjang tepi Tegal sampai Jepara.

Maka ketika Kertapati dengan beraninya muncul dalam keramaian di pantai itu, Dolleman segera mengerahkan seluruh pembantunya untuk disebar an melakukan penyelidikan di sekitar daerah Jepara. Ia merasa yakin bahwa bajak laut itu tentu berada di sekitar daerah itu dan bersembunyi di sebuah desa.

Dolleman mempunyai banyak sekali kaki tangan yang terdiri dari penduduk pribumi yang tela makan uang sogokannya, akan tetapi, ia tidak kenal betul kecerdikan Kertapati, dan tanpa disadarinya seorang diantara kaki tangannya adalah seorang anak buah bajak laut sendiri ! Oleh karena itu, tentu saja kaki tangannya melakukan pengejaran dan penyelidikan, mereka tak berhasil menemukan bajak laut itu.

Di dalam rumah penginapan. Dolleman duduk di kamar, sudut bibirnya menjepit sebatang serutu dan kedua tanagnnya mempermain-mainkan sebatang tangkai pena. Pikirannya bekerja keras dan ia benar-benar merasa bingung menghadapi bajak laut kertapati yang amat cerdik itu. Peristiwa terbunuhnya sersan Zeerot dan keadaan empat kawan ponggawa yang pingsan di dalam perahu, membuat ia dapat menduga bahwa betapapun juga, sebagai seorang bajak laut, Kertapati masih melindungi orang-orang sebangsanya.

Siapa lagi kalau bukan Kertapati yang menolong empat orang ponggawa itu sehingga mereka tidak mati tenggelam? Perbedaan nasib sersan Zserot dan empat orang ponggawa itu menimbulkan dugaannya bahwa Kertapati bukanlah bajak laut biasa dan Dolleman mulai menghubungkan keadaan bajak laut itu dengan pemberontakan Trunajaya. Adakah hubungan antara Kertapati dan Trunajaya?

Untuk mencari sesuatu yang merupakan titik terang guna mencari jejak untuk penyelidikan, ia mulai mengenangkan lagi semua peristiwa yang terjadi di dekat pantai pada waktu keramaian itu. Terbayanglah di depan matanya yang biru tajam itu wajah Roro Santi yang cantik jelita, pandang matanya yang amat manis itu.

Terbayang pula betapa Kertapati memandang puteri itu dengan mata penuh perasaan dan teringatlah ia akan pemberian tusuk konde itu. Tiba-tiba Dolleman menancapkan penanya di atas meja dan berseru. “Bagus…!! akal inilah yang harus kugunakan!!”

Wajahnya yang cakap menjadi berseri gembira, matanya yang tajam bercahaya terang ia segera menukar pakaiannya dengan pakaian yang indah dan baru. Kemudian denagn langkah lebar dan bersiul-siul, ia berjalan keluar dari rumah penginapannya dan lagsung menuju ke gedung Adipati Wiguna.

Adipati Wiguna menyambutnya dengan ramah tamah dan tamunya duduk di ruang tengah. Diperintahnya pelayan untuk mengeluarkan hidangan bagi tamu itu, akan tetapi Dolleman lalu berkata sambil tersenyum.

“Jangan merepotkan diri, tuan Adipati! Saya hanya ingin bercakap-cakap sebentar dan karena yang akan saya bicarakan ini adalah suatu hal yang amat penting, harap tuan Adipati suka menyuruh semua pelayan mengundurkan diri agar percakapan kita takkan terganggu...“
Selanjutnya,

Bajak Laut Kertapati Jilid 01

Bajak Laut Kertapati

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 01
SEMENJAK orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Indonesia, yakni dalam tahun 1596, mulailah timbul kekacauan-kekacauan yang tadinya tidak di kenal oleh bangsa Indonesia.

Demi keuntungan dan kepentingan kongsi-kongsi perkapalan Belanda yang mulai dengan pengisapannya pada kekayaan bumi Indonesia, maka mereka bentuklah Kompeni India Timur Belanda atau Verenigde Oost-Indische Compagnie (V.O.C) pada tahun 1602 dan selanjutnaya tahun demi tahun mereka menjelajah di seluruh Indonesia dan memperluas kekuasaan mereka.

Bagaikan penyakit kangker menyerang tubuh atau anjing makan tulang, sedikit demi sedikit Belanda menggerogoti kepulauan Indonesia sehingga akhirnya seluruh daerah lenyap ditelan oleh kekuasaan mereka. Dan untuk dapat mencapai maksud ini, Belanda tidak segan-segan menjalankan politik yang sekotor-kotornya dan melakukan tipu muslihat serendah-rendahnya.

Akan tetapi jangan dikira bahwa Indonesia merupakan roti keju yang empuk bagi Belanda, oleh karena semenjak kedatangan mereka, terutama setelah rakyat mengetahui akan maksud buruk Belanda, di mana-mana mereka mendapat tantangan hebat. Tiada hentinya pemberontakan-pemberontakan meletus terhadap Belanda.

Bangsawan-bangsawan berjiwa patriot, pahlawan-pahlawan bangsa yang gagah perkasa dan sakti mendraguna, memimpin rakyat untuk mengusir Belanda dari tanah air. Dimana-mana Belanda menghadapi keris-keris telanjang di tangan rakyat, dimulai semenjak mereka berhasil merebut Jakarta yang mereka jadikan bandar dan diberi nama Batavia.

Bahkan semenjak pertama kali Belanda mendarat di Banten pada tahun 1596, dibawah pimpinan Cornelis Houtman dan De Keyzer, karena rakyat mengalami penderitaan yang pertama kali yang timbul dari kekasaran dan kekejaman mereka, telah terjadi perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.

Namun harus diakui bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia pada umumnya, dan khususnya di pulau Jawa, tak usah merasa takut dan kalah dalam hal kegagahan dan kepandaian bertempur dengan Belanda, akan tetapi, dalam menjalankan tipu muslihat dan kecerdikan, ternyata Belanda lebih unggul.

Perlawanan-perlawanan yang gagah berani dan pantang mundur dari rakyat membuat Belanda menjadi kuwalahan dan mereka merobah taktik dan siasat mereka. Bujukan-bunjukan halus dan siasat adu domba dengan umpan berupa suap dan sogok, mulai mereka jalankan.

Apabila bujukan mereka berhasil dan mulai terjadi perpecahan dan kekalutan di antara pangeran dan para pengikut mereka, yakni memancing ikan di air keruh, mendekati pihak yang kurang waspada dengan siasat “membantu“ yang disertai syarat-syarat menguntungkan pihak Belanda belaka!

Dengan siasat yang licin dan tipu muslihat rendah ini, Belanda berhasil menipu banyak pemimpin-pemimpin rakyat dan berhasil membuat mereka dipandang sebagai sahabat baik oleh para pangeran dan pemimpin yang kurang wasapada.

Ketika Mataram berada dibawah pimpinan sunan Amangkurat I, Belanda mulai mengulur kukunya yang panjang dan runcing, mempergunakan kelicinannya untuk menarik keuntungan dari keadaan Mataram yang di masa itu sedang kalut. Pangeran-pagenran satu dengan yang lain berselisih, sedangkan Sunan yang sudah tua itu sakit keras.

Belanda menghadapi pemberontakan hebat yang dipimpin oleh Trunajaya terhadap Mataram dan hal ini digunakan oleh Belanda untuk mendekati Mataram. Oleh karena pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya ini amat kuat, maka di batavia Kompeni Belanda mulai menjadi gelisah.

Akhirnya dipilih seorang jago tua di fihak mereka, yakni Cornelis Speelman, seorang ahli siasat yang amat licin dan cerdik. Dengan muka manis, utusan-utusan Speelman mendatangi Mataram dan pertemuan yang disertai janji bantuan ini menghasilkan keuntungan yan besar sekali bagi Belanda, karena mereka dapat memperluas dan menambah perjanjian-perjanjian dengan kerajaan Mataram.

Akhirnya, Belanda mengirim tentaranya menyerbu pusat pertahanan Trunajaya, yakni di Surabaya. Setelah berperang sengit sehari penuh, jatuhlah benteng pertahanan Trunajaya yang didirikan di dekat Jembatan Merah (Surabaya) kepada tangan Belanda. Peristiwa ini terjadi para tanggal 13 April 1677, dan Trunajaya melarikan diri ke Kediri di mana ia mendirikan keraton yang megah dan indah.

Speelman tidak pernah menyangka bahwa Trunajaya akan dapat mengumpulkan kembali kekuatan pasukannya dengan amat cepatnya, maka Belanda tidak terus mengejar Trunajaya, bahkan lalu menyerang Madura. Kesempatan ini dipergunakan oleh Trunajaya untuk meluruk ke Mataram dan pada tanggal 12 Juli 1677, dua bulan setengah semenjak kekalahan, ia berhasil merebut keraton Mataram.

Demikianlah, dengan siasatnya yang licik dan dengan jalan mengadu domba, pada tahun 1680, jajahan kompeni Belanda di Pulau Jawa telah makin meluas. Dari Batavia, jajahan mereka ke timur dan setelah sampai ke Laut Hindia, sehingga boleh dibilang bahwa seluruh Jawa Barat, ada sepertiganya berada dalam jajahan dan kekuatan Belanda.

Juga Semarang dan sekitarnya telah pula menjadi bandar dari kapal-kapal Belanda, Batavia dan Semarang merupakan pintu-pintu lebar dari mana mengalir keluar kekayaan bumi Indonesia! Dan pada sekitar waktu itulah cerita ini terjadi.

Cerita menarik yang sungguhpun bukan merupakan kisah tercatat dalam buku sejarah, namun cukup menjadi bukti bahwa semenjak dahulu, banyak terdapat pahlawan-pahlawan bangsa tak terkenal, pahlawan bangsa dan kesatria-kesatria utama yang berjasa besar, yang telah mengurbankan nyawa demi nusa dan bangsa, akan tetapi yang sama sekali tak mengharapkan balas dan jasa, bahkan nama merekapun sama sekali tak pernah didengar oleh rakyat.

Betapapun juga, mereka itu, pahlawan-pahlawan bangsa sejak jaman dahulu sampai sekarang, pahlawan-pahlawan yang tak terkenal, maklum bahwa perjuangan dan pengorbanan mereka takkan sia-sia, akan berbunga dan berbuah demi kebahagiaan bangsa mereka! Hal dan pengertian ini saja sudah merupakan balas dan jasa yang cukup mulia bagi mereka!

* * * * *

Sebelum Sunan Amangkurat I mangkat, ia mengangkat Putera Mahkota sebagai penggantinya, dan Sunan baru ini bernama Sunan Amangkurat II. Pihak Belanda lalu mempergunakan siasatnya dan mendekati Sunan Amangkurat II untuk “membantunya“ melenyapkan Trunajaya dan sekutunya.

Cornelis Sepeelma lalu mengadakan pertemuan dengan Amnagkurat II di Jepara. Dengan amat pandainya, Sepeelman dapat mempermainkan lidahnya terhadap Sunan yang masih hijau itu sehingga diantara mereka lalu dibuat perjanjian yang amat berat sebelah. Perjanjian ini berisi seperti berikut.

  1. Pihak kompeni mengakui Amangkurat II sebagai Sunan yang sah di Mataram.
  2. Kompeni memperoleh kemerdekaan berniaga di seluruh kerajaan Mataram, dan boleh mendirikan tempat pembuatan kapal di Rembang.
  3. Kompeni dibebaskan daripada membayar bea pemasukan barang-barang ke seluruh pelabuhan di Mataram.
  4. Daerah jajahan Kompeni diperluas dengan Krawang dan sebagian Priangan, sebagai batas antara Mataram dan jajahan Belanda ialah Sungai Cimanuk.
  5. Semarang dan daerah sekitarnya diserahkan kepada Kompeni.
  6. Kompeni memiliki daerah pantai Jawa sebagai barang gadaian, hingga Sunan dapat melunasi biaya peperangan yang akan dilakukan untuk melenyapkan Trunajaya.

Perjanjian macam ini sesungguhnya bukan merupakan perjanjian lagi, lebih pantas disebut pengisapan yang amat kurang ajar. Akan tetapi Belanda mencapai maksudnya.

Malam terang bulan di Jepara. Di kota itu berkumpul banyak pasukan, yakni pasukan pengawal Cornelis Speelman, dan pasukan-pasukan pengiring Sunan Amangkurat II yang sedang mengadakan pertemuan dengan pemimpin Belanda itu.

Kalau di kota kelihatan ramai dengan gatangnya orang-orang agung dengan sekalian pengiringnya itu, adalah di pantai Jepara nampak sunyi sekali. Hawa udara sejuk dan laut nampak tenang, seakan-akan semua penghuninya telah tidur nyenyak. Angin bersilir perlahan, tak cukup kuat menggerakkan ketenangan laut sehingga hanya pada permukaan air saja yang bergoyang sedikit, tak sampai menimbulkan ombak.

Bulan bercahaya penuh, membuat air laut nampak kemerah-merahan dan mendatangkan bayang-bayang yang amat indahnya. Di tepi laut tampak sunyi, perahu-perahu nelayan berderet-deret di pantai, siap untuk diberangkatkan besok pagi-pagi sebelum fajar menyingsing.

Para nelayan telah mengaso karena besok pagi-pagi mereka sudah harus mulai dengan pekerjaan mereka. Di ujung barat nampak sebuah perahu besar dengan layar terguling. Tali-telami layar nampak jelas di bawah sinar bulan pernama. Diantara jendela-jendela perahu itu, nampak tersembul keluar beberapa buah laras meriam.

Inilah sebuah kapal layar Belanda yang biasanya digunakan untuk, mengangkut hasil bumi, atau juga untuk, berperang menyerang pantai! Bendera Belanda berkibar di puncak tiang. Akan tetapi, perahu inipun diam tak bergerak dan nampak sunyi sekali, seakan-akan tidak ada mahluk hidup di atasnya.

Memang, sebagian besar anak kapal telah turun dan mencari kesenangan di darat, dan hanya ada beberapa orang penjaga saja yang mendapat giliran menjaga kapal, akan tetapi orang-orang inipun lebih senang tidur mendengar setelah kenyang minuman keras.

Seluruh permukaan laut Jepara bagaikan mati tak bergerak, keculi setitik hitam kecil yang nampak bergerak maju dan makin lama membesar. Kemudian kelihatanlah titik hitam itu yang ternyata adalah sebuah perahu kecil berujung runcing dan didayung dari jurusan timur menuju ke barat.

Perahu ini berwarna hitam seluruhnya, bahkan dayung yang dipegang oleh seorang penumpangnya juga berwarna hitam. Perahu ini hanya mempunyai seorang penumpang saja, seorang laki-laki muda belia yang bertubuh tegap.

Sepasang lengannya yang memegang dayung nampak kuat sekali, akan tetapi ia mendayung perahunya dengan seenaknya. Empat lima kaki dayungnya digerakkan sehingga perahu meluncur cepat, kemudian ia menunda gerakkan dayungnya dan membiarkan perahu meluncur dengan halus dan tenang.

Dengan pandang mata tajam ia melihat ke arah pantai yang sunyi kemudian pandangannya dialihkan ke arah kapal Belanda yang besar itu penuh perhatian.

Pakaian orang itu sederhana, berbaju hitam dengan lengan baju panjang, tak berleher. Celananya panjang warna hitam pula, dengan sehelai sarung tenun dikalungkan pada lehernya. Gagang keris tersembul dari ikat pinggangnya di bawah dada.

Melihat wajah yang masih halus tak berkumis itu, dapat ditaksir bahwa usianya baru dua puluhan, akan tetapi garis-garis pada mukanya menunjukkan bahwa sudah banyak pengalaman pahit ia derita, sedangkan sepasang matanya bersinar tajam.

Inilah Kertapati, bajak laut muda yang namanya telah menggemparkan pantai laut jawa, mulai dari pantai laut tegal sampai jepara! Ia amat terkenal karena keberaniannya yang luar biasa, karena kecerdikan dan kegagahannya. Dengan sekelompok kawan-kawannya yang hanya terdiri dari belasan orang muda saja, ia berani melakukan pembajakan pada perahu-perahu besar.

Tak peduli siapa yang amat sia-sia, bahkan merugikan, karena pernah terjadi anak buah perahu besar yang terdiri dari dua puluh orang lebih, semuanya dilemparkan ke dalam laut oleh Kertapati dan lima orang kawannya!

Nelayan! Lebih takut kepada bajak laut Kertapati daripada kepada ikan-ikan cucut yang ganas dan liar. Setiap kali perahu-perahu nelayan mendapat hasil ikan yang banyak, mereka tentu akan melakukan pelayaran pulang secara berkelompok, tidak berani memisahkan diri, untuk menjaga kalau-kalau di tengah laut bertemu dengan bajak laut Kertapati dengan perahu-perahu kecilnya yang cepat, dan berwarna hitam itu!

Baiknya bahwa bajak-bajak laut ini tidak selalu berada di daerah tertentu, akan tetapi bergerak dan berpindah-pindah sepanjang daerah pantai Tegal sampai Jepara. Keberanian bajak laut Kertapati memang mengagumkan. Pernah tiga buah perahunya yang kecil-kecil dengan ditumpangi oleh lima belas orang anak buahnya, menyerbu sebuah kapal Belanda yang besar yang sedang berlabuh di pelabuhan Semarang.

Hal ini benar-benar melewati batas dan kini nama bajak laut Kertapati tidak hanya terkenal di kalangan nelayan dan pemerintah Mataram, akan tetapi juga dikenal oleh Kompeni. Namun, tiap kali Kompeni mengadakan ekspedisi dengan kapal-kapal perangnya untuk mencari rombongan bajak laut yang menganggu lalu lintas di lautan itu, tiba-tiba saja perahu-perahu kecil berwarna hitam dan dengan layar hitam pula itu lenyap tanpa meninggalkan bekas, seakan-akan disembunyikan di dasar lautan!

Kertapati yang sedang melakukan penyelidikan seorang diri di dalam perahunya, sama sekali tidak tahu bahwa di dalam bayangan jala-jala ikan yang digantung di pinggir pantai dan di balik-balik perahu yang berada di tepi laut itu, terdapat lima orang yang berbisik-bisik dan mengikuti gerak-geriknya ketika seorang diantara mereka dapat melihat perahu hitam itu dari balik teropongnya.

Orang yang memegang teropong ini adalah seorang serdadu Belanda berpangkat sersan, sedangkan empat orang yang lain adalah ponggawa-ponggawa Sunan. Empat orang ponggawa ini telah mendengar bahwa Kertapati berada di daerah Jepara, maka mereka mempergunakan kesempatan pertemuan dengan para tentara Belanda untuk membujuk seorang sersan Belanda agar suka bersama mereka mengadakan penyelidikan dan kalau mungkin penangkapan atas diri kepala bajak yang terkenal itu.

Mereka berempat tak kan berani melakukan pekerjaan berbahaya ini apabila tidak dapat bantuan seorang sersan yang bersenjata api dan memiliki teropong yang dapat melihat sesuatu dari jarak amat jauh.

“ Lihat...!” kata sersan itu dalam bahasa daerah yang amat kaku, “Aku melihat sebuh perahu hitam dengan seorang baju hitam di dalamnya! Siapakah dia?“

Seorang ponggawa menghampirinya dan setelah diberitahu cara mempergunakan teropong itu, ia lalu mengintai ke arah perahu kecil yang terapung-apung di tempat jauh. Setelah memandang beberapa lamanya, ia berseru perlahan.

“Benar! Dialah Kertapati, bajak laut itu! Aku kenal bentuk tubuhnya, dan mukanya licin tak berkumis!”

Ponggawa-ponggawa lainnya berebutan meminjam teropong dan mereka inipun mendapatkan bahwa orang di dalam perahu kecil itu memang Kertapati, bajak muda yang membuat mereka merasa gentar!

“Bagus, bagus!” Sersan belanda itu berkata girang, sambil mempersiapkan senapannya. “Kita tangkap dia, mati atau hidup dan membagi hadiah yang dijanjikan oleh Sunan!”

"Akan tetapi, tuan sersan,“ bantah seorang ponggawa, “bukankah Kompeni juga menjanjikan hadiah bagi siapa yang dapat menangkap atau menewasakan bajak laut Kertapati? Kalau kita berhasil, kau boleh ambil semua hadiah dari Kompeni, sedangkan hadiah dari Gusti Sunan adalah hak kami berempat! Bukankah ini adil namanya?“

Sersan itu menyumpah dalam bahasanya yang tak dimengerti oleh empat orang ponggawa itu, lalu katanya sombong, “Kalian hanya ikut saja dan yang akan berhasil membunuhnya adalah aku dengan, senapanku ini!” Ia mengangkat senapannya tinggi-tinggi. “Akan tetapi, biarlah kalian ambil hadiah dari Sunan, aku tidak membutuhkannya, asal saja kalian memberitahu bahwa seorang sersan Kompenilah yang telah berhasil membunuh bajak laut itu! Tanpa bantuan kompeni, mana kalian orang-orang Mataram menangkap atau membunuhnya?“

Biarpun merasa mendongkol, empat orang ponggawa itu tidak mau membantah dengan sersan itu, oleh karena memang mereka telah tahu akan kegagahan Kertapati dan mereka hanya mengandalkan bantuan sersan ini untuk dapat menangkap atau menewaskan bajak itu.

“Sekarang tidak ada angin, dia tidak mungkin mempergunakan layar!” kata seorang ponggawa yang faham akan kepandaian mengemudikan perahu.

“Dengan hanya tenaga seorang saja, tak mungkin dia dapat mendayung perahunya pergi dari kejaran kita. Kita tunggu sampai perahunya pergi dari kejaran kita. Kita tunggu sampai perahunya mendekati pantai, lalu kita serbu dia dengan mendayung perahu yang laju. Kalau kita berlima atau berempat mengayuh, mustahil takkan dapat menyusulnya! Kau yang bertugas mempergunakan senapanmu, tuan sersan.“

“Jangan kuatir, dengan sekali ledakan senapanku saja, kepalanya akan hancur!” sersan itu menyombong.

Kertapati mendayung perahunya dan kini ia menunjukan perahunya ke arah kapal Belanda yang terapung di pinggir pantai dengan megahnya. Kesunyian di atas kapal itu membuat ia merasa girang karena maklum bahwa anak kapal itu tentu banyak yang mendarat dan yang menjaga kapal tidak banyak. Dengan berani ia mengambil keputusan untuk menghampiri dan kalau mungkin naik ke kapal itu!

Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat sebuah perahu meluncur cepat dari pantai dan mengejarnya! Matanya yang tajam dapat menaksir bahwa perahu itu sedikitnya ditumpangi oleh empat atau lima orang, dan karena perahu itu menuju ke arah perahunya, ia maklum bahwa mereka itu memang sengaja mengejarnya. Tak mungkin kalau ada nelayan pergi mencari ikan pada waktu seperti itu, dan juga tidak mungkin pula perahu itu ditumpangi oleh lebih dari tiga orang nelayan.

Apakah mereka anak buah kapal Belanda itu? Demikian pikirnya sambil mendayung pergi perahunya, menjauhi kapal, akan tetapi tidak terlalu cepat, karena ia masih ragu-ragu apakah benar mereka itu anak buah kapal. Kalau bukan, ia tak usah melarikan diri, karena kalau baru menghadapi lima orang lawan saja, tak sudi ia melarikan diri!

Ia pernah dikepung oleh belasan orang ponggawa Mataram di darat dan dapat meloloskan diri setelah merobohkan lebih dari dari setengah jumlah lawannya, apalagi kini hanya lima orang dan yang mengejarnya di atas air pula! Kalau di darat Kertapati merupakan seorang yang amat tangguh dan gagah perkasa, di air ia merupakan dewa laut yang mentakjubkan. Kepandaiannya bermain di air membuat ia sanggup menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.

Akan tetapi setelah perahu yang ditumpangi oleh lima orang itu datang dekat dan hampir dapat menyusulnya, tiba-tiba terdengar letusan keras dan dari perahu itu nampak bunga api memancar. Air di dekat perahunya memercik ke atas, tanda bahwa ada sesuatu yang keras menyambar air itu. Senapan, pikirnya. Akan tetapi Kertapati tidak menjadi gugup dan dengan tenang lalu melepaskan bajunya yang hitam.

“Sayang tidak kena!” kata seorang ponggawa ketika melihat betapa tembakan pertama sersan Belanda itu tidak mengenai sasaran.

Sersan itu menjadi penasaran dan marah. “Jangan mendayung dulu, perahu menjadi bergerak dan aku tak dapat membidik tepat!”

Keempat orang ponggawa lalu menahan dayung mereka dan perahu meluncur dengan tenang. Mereka tidak bergerak untuk memberi kesempatan kepada si sersan menembak lagi. Kini di atas perahu kecil itu nampak jelas betapa orang berbaju hitam yang mendayung perahu itu berdiri dengan tegak, seakan-akan menantang untuk menerima peluru senapan sersan itu! Sersan itu membidik, dan tiba-tiba terdengar letusan keras untuk kedua kalinya.

“Mampus kau!” sersan itu berseru keras dan empat orang ponggawa melihat betapa tubuh yang berdiri di atas perahu kecil itu roboh di dalam perahunya! Mereka berseru girang,

“Kena! Kena...!” Dan serentak mereka mendayung perahu menyusul perahu kecil itu.

“Jangan lupa melaporkan kepada Sunan bahwa Sersan Zeerot yang menembak mampus bajak laut itu!” Kata sersan tadi sambil tersenyum-senyum puas.

Kini mereka berada dekat sekali dengan perahu kecil tadi sehingga mereka dapat melihat dengan jelas ke dalam perahu. Alangkah kaget hati mereka ketika melihat bahwa “orang“ yang mereka lihat roboh tertembak tadi tidak lain hanya sebatang dayung yang diberi batu hitam!

“Celaka...! seorang ponggawa berseru, akan tetapi pada saat itu juga, perahu mereka terguncang keras tanpa dapat ditahan lagi perahu itu miring lalu terbalik, membuat kelima orang itu terlempar ke dalam air!

Sebenarnya yang ditembak itu memang bukan Kertapati, akan tetapi bajak laut muda yang cerdik itu setelah meninggalkan pakaiannya lalu mengenakan pakaian itu pada dayungnya dan memegangi dayung sambil bertiarap di dalam perahunya!

Setelah sersan itu menembak, ia lalu menggerakkan dayungnya yang “menyamar” dan menggantikan dirinya itu seakan-akan orang terkena tembak dan menjatuhkan di dalam perahu, sedangkan ia sendiri diam-diam lalu meluncur ke dalam air dan berpegang pada pinggir perahu sambil mengintai!

Ketika perahu lawan itu sudah datang dekat, ia menyelam dan berenang di bawah permukaan air menyambut kedatangan mereka. Ia pegang perahu yang sudah tak didayung lagi itu dengan kedua tangan dan dengan tenaga yang luar biasa ia berhasil menggulingkan perahu dan membuat kelima orang penumpangnya jatuh ke dalam air!

Dua orang ponggawa yang tak pandai berenang, segera megap-megap dan sebentar saja perut mereka menjadi besar dan kembung, penuh air laut yang asin! Yang dua orang lagi hendak berenang ke perahu, akan tetapi tiba-tiba setelah kaki mereka ditangkap oleh kedua tangan Kertapati dan tubuh mereka diseret ke bawah!

Seketika lamanya mereka bergulat dengan air karena tak mampu menyerang orang yang memegang kaki mereka sampai mereka tidak kuat lagi dan menjadi pingsan perut kembung!

Sersan Zeerot yang juga pandai berenang, lalu berenang dan berhasil memegang pinggir perahu, akan tetapi tiba-tiba ia merasa perutnya perih seakan-akan ditusuk oleh tombak ikan cucut. Tubuhnya menjadi lemas dan pegangannya terlepas. Ia menjerit kesakitan dan tenggelam tanpa bardaya lagi!

Peristiwa hebat itu terjadi tanpa banyak ribut, hanya disaksikan oleh bulan yang bergurau dengan mega-mega diatas laut. Peristiwa berikutnya yang terjadi lebih hebat lagi, membuat nama bajak laut Kertapati makin terkenal dan ditakuti orang dari segala fihak.

Kapal layar Belanda yang berlabuh di tempat itu memang telah ditinggalkan oleh sebagian besar anak kapalnya yang mendarat dan mencari hiburan di kota Jepara. Yang diwajibkan menjaga hanya sebanyak sepuluh orang yang rendah kedudukannya, hanya serdadu-serdadu biasa yang kasar.

Serdadu-serdadu ini menghilangkan kekesalan hatinya, menghibur diri dengan minuman keras, dan ada pula yang bermain kartu mempertaruhkan uang belanja mereka yang tiada gunanya di dalam kapal itu.

Sambil bersenda-gurau mempercakapkan pengalaman mereka dengan perempuan-perempuan di tiap pelabuhan yang mereka darati, mereka menghibur diri, lama sekali tidak melihat adanya bayangan seorang berpakaian hitam yang dengan cekatan sekali memanjat ke atas kapal melalui rantai jangkar kapal.

Bayangan ini adalah Kertapati yang setelah “membereskan“ lima orang pengejarnya tadi, masih melanjutkan kehendaknya menyelidiki kapal asing itu. Setelah naik ke atas kapal, ia mengintai dari balik tiang layar dan memandang ke arah orang-orang kulit putih itu dengan senyum menghina. Ingin ia menerjang dan meyerang mereka, akan tetapi tentu saja ia tidak mau bertindak demikian sembrono ketika melihat betapa sepuluh orang itu bersenjata api dan senapan-senapan mereka terletak dekat.

Hanya berarti pembunuhan diri yang bodoh apabila ia menyerang, pikirnya. Dilihatnya tiga orang telah mabok dan tidur mendengkur di atas geladak kapal, sedangkan yang tujuh orang masih mengelilingi meja sambil main kartu dan bersendagurau. Dengan amat berani dan tabah, Kertapati lalu menyelinap dan cepat memasuki anak tangga yang membawanya turun ke dalam kapal itu.

Telah beberapa kali ia dan kawan-kawannya menyerbu kapal Belanda dan kini ia mencari kamar yang menjadi tujuan pemeriksaannya, yakni kamar senjata. Girang sekali hatinya ketika ia dapat menemukan kamar itu dan melihat banyak senapan berada di tempat itu berikut obat pasang dan peluru-pelurunya.

Kertapati sendiri amat benci melihat senjata api ini dan tidak sudi mempergunakannya, akan tetapi banyak kawan-kawannya ingin memilikinya, maka kini timbul keinginannya untuk mencuri senapan-senapan ini ! Kamar itu diterangi dengan sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding.

Pemuda itu cepat mengumpulkan tujuh pucuk senapan yang kelihatan masih baru, diikatnya senapan-senapan itu menjadi satu dengan sebuah tambang yang terdapat di situ, dan ketika ia sedang mengumpulkan obat pasang dan peluru, tiba-tiba pintu di belakangnya dibuka orang dan tiba-tiba terdengar bentakan keras dalam bahasa Belanda yang tak dimengertinya.

Ketika ia menoleh dengan cepat, ia melihat seorang opsir Belanda yang bermuka merah sekali telah berdiri di ditu dengan senapan ditodongkan ke arahnya! Kembali Belanda itu membentaknya dan biarpun Kertapati tidak mengerti bahasanya, akan tetapi pemuda ini naklum bahwa ia diperintahkan untuk mengangkat kedua tangannya.

Akan tetapi, ia berpura-pura bodoh dan tersenyum manis! Wajahnya menjadi menarik sekali kalau tersenyum, lenyap sama sekali kekerasan yang tergaris pada mukanya. Bibir tersenyum mata berseri-seri dan sikap ini selalu mendatangkan kemenangan padanya.

Menurut nasihat gurunya dulu, dalam menghadapi bahaya yang bagaimana besarpun, ia harus dapat menenangkan hati dan memperlihatkan sikap gembira, oleh karena selain hal ini dapat membuat ia berkata waspada dan membuat pikiran dapat berjalan terang untuk mengusahakan sesuatu yang tepat, juga jarang sekali terdapat orang yang tepat, juga jarang sekali terdapat orang yang mau membunuh orang tersenyum gembira!

Memang benar, opsir itu yang belum tahu siapa adanya pemuda yang berada di kamar senjata itu, tadinya masih agak ragu-ragu untuk segera menembak, apalagi setelah melihat betapa muka itu tersenyum ramah dan gembira, ia tertipu dan tekanan jarinya pada pelatuk senapan mengendur.

”Kamu… pencuri...?“ tanyanya dengan bahasa daerah yang amat kaku.

Akan tetapi, saat yang hanya sedetik itu tak dilewatkan oleh Kertapati yang semenjak tadi menjadi perisai pertama untuk menyelamatkan diri dan setelah melihat betapa ketegangan pada lawannya mengendur, tangannya diam-diam menggenggam erat beberapa butir peluru yang tadinya sedang diperiksa dan dikumpulkannya.

Senyumnya melebar dan pada saat opsir Belanda itu membuka mulut bertanya, secepat kilat tangannya bergerak ke arah lampu dan otomatis tubuhnya menubruk maju ke arah kaki opsir itu!

Terjadi tiga kali dalam detik yang sama. Pecahnya kaca lampu yang memadamkan penerangan itu. Meletusnya obat pasang dalam senapan di tangan opsir Belanda, dan berteriaknya opsir itu ketika tiba-tiba sepasang lengan yang amat kuat merangkul kedua kakinya dan yang membuat ia terpelanting jatuh! Saat berikutnya, keris di tangan Kertapati telah mendapat korban lagi dan lawannya mati dalam gelap tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

Dengan kecepatan yang luar biasa, Kertapati telah dapat menyambar senapan dan peluru berikut obat pasang yang tadi dikumpulkan, lalu tubuhnya melompat dan menaiki anak tangga. Ia telah dapat keluar dari lubang di atas dan bersembunyi di belakang tiang sebelum kawan-kawan opsir yang bersenda-gurau di atas geladak mengejar ke tempat itu.

Tiga orang serdadu dengan lampu di tangan dan senapan disiapkan, berlari-lari menuruni anak tangga untuk melihat kawannya yang tadi turun untuk mengambil tambahan minuman keras. Kawan-kawannya yang lain bersiap pula dengan senapan di tangan. Tiba-tiba seorang diantara mereka melihat berkelebatnya tubuh Kertapati, maka sambil berseru ia lalu menembak ke arah pemuda itu.

Kertapati cepat melompat dan berlindung dibalik tiang. Lalu sambil merangkak dan berlindung di balik tali temali tiang, ia menghampiri pinggir kapal dan melongok ke bawah di mana ia melihat perahunya menempel dekat rantai jangkar. Ia mengira-ngira dan segera melemparkan senapan-senapan itu ke bawah, tepat masuk ke dalam perahunya yang bergoyang-goyang.

Suara senapan jatuh di perahunya terdengar oleh orang-orang Belanda itu, maka mereka lalu mengejarnya. Kalau ia mau, dengan mudah Kertapati dapat melompat ke air dan meyelamatkan diri, akan tetapi ia tidak menyerah kalah begitu saja sebelum menimbulkan kerugian di fihak lawan dan berdaya upaya untuk menyelamatkan perahu dan bedil-bedil yang telah dirampasnya.

Maka kembali ia merangkak-rangkak menjauhi mereka dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor tikus. Ia mengambil dua butir peluru yang tadi tercecer, lalu menyambit ke arah yang berlawanan. Peluru-peluru itu membentur papan dan menerbitkan bunyi keras. Serentak terdengar senapan-senapan ditembakkan ke arah suara itu!

Kertapati tersenyum ketika melihat betapa orang-orang itu dengan berendang lalu berlari memburu ke tempat yang disambit tadi, maka ia cepat melompat ke arah meja di mana mereka tadi main kartu, mengambil lampu minyak yang berada di atas meja dan segera melemparkan lampu itu ke atas, ke tempat gulungan layar! Lampu itu membentur layar dan minyaknya tumpah, disambar oleh api dan segera layar itu terbakar!

Orang-orang Belanda tadi segera membalikkan tubuh dan melihat betapa layar telah berkobar besar, mereka menjadi ribut dan sibuk berusaha memadamkan kebakaran. Kegaduhan itu dipergunakan untuk lari oleh Kertapati yang dengan enaknya lalu memanjat turun dari rantai jangkar.

Ketika kebakaran pada layar itu dapat dipadamkan dan orang-orang di atas kapal dengan menyumpah-nyumpah dan marah sekali mencari-cari pengacau dan pembunuh opsir kawan mereka, Kertapati telah mendayung perahunya dengan cepat, jauh dari kapal itu!

Dan pada waktu keesokan harinya, pada waktu fajar menyingsing, para nelayan yang berangkat menuju ke tengah laut untuk mulai pekerjaan mereka menangkap ikan, menjadi ribut ketika mereka mendapatkan sebuah perahu itu terapung-apung di atas air dan di dalam perahu itu terdapat empat orang ponggawa Sunan yang pingsan dengan perut kembung! Selain ini, merekapun mendapatkan mayat seorang sersan Belanda yang terapung pula dengan perut terluka bekas tusukan keris!

Mereka segera menolong empat orang ponggawa itu, juga membawa mayat itu ke pantai. Ketika para ponggawa telah ditolong dan air telah dikeluarkan dari perut mereka sehingga mereka siuman kembali, mereka menceritakan bahwa semua itu adalah perbuatan bajak laut Kertapati. Maka gemparlah semua orang dan para nelayan melanjutkan pekerjaan mereka dengan hati kebat-kebit!

* * * * *

Beberapa pekan kemudian. Tepi pantai laut jepara ramai sekali dikunjungi orang. Gamelan berbunyi semenjak pagi sekali, mengiringi suara tambang yang merdu, meramaikan suasana dan menggembirakan semua pengunjung. Di sepanjang pantai didirikan panggung dan tarup dari bambu. Sebagaian besar penduduk Jepara mengunjungi pantai laut, bahkan para nelayan hari itu senjata tidak pergi mencari ikan untuk dapat menyaksikan keramaian luar biasa ini.

Keramaian apakah yang sedang berlangsung? ternyata bahwa hari ini diadakan perlombaan dan pemilihan anak-anak kapal yang cakap. Belanda telah bermufakat dengan para pembesar setempat untuk mencari anak-anak kapal sebagai pelayan dan pembantu pada kapal-kapal mereka dan untuk mengadakan pemilihan.

Maka diadakan perlombaan berenang, bermain di air dan kecakapan mengemudikan perahu berlayar. Selain itu, juga dalam kesempatan ini, para pembesar hendak berpesta, merayakan perjanjian perdamaian dan persetujuan yang tercapai antara pembesar Belanda Speelman dan Sunan Amangkurat II...!

Dalam kesempatan ini, para puteri jelita dari gedung-gedung pembesar, mendapat alasan untuk keluar dari gedung dan kamarnya, untuk ikut menyaksikan keramaian ini. Mereka ini bersama ayah buda mereka, ikut naik ke atas panggung dan menyaksikan perlombaan-perlombaan itu, juga memberi kesempatan kepada para pemuda yang jarang dapat memandang wajah mereka untuk kali ini memandang sepuasnya dan mengaguminya dengan diam-diam.

Hiburan yang paling ramai, bahkan melebihi ramainya perlombaan-perlombaan itu, adalah acara bebas yang tidak direncanakan lebih dulu. Seorang isteri tumenggung, tanpa disengaja telah menjatuhkan tempolongnya ( tempat ludah sirih ) ke dalam air di depan panggung. Air ini dalam dan jernih sehingga tempolong itu kelihatan dari atas, menggelinding ke atas dasar pantai.

Melihat hal ini, seorang nelayan muda lalu melompat ke dalam air dan menyelam untuk mengambilkan tempolong kuningan itu. Tubuhnya yang bergerak-gerak bagaikan ikan besar itu nampak dari atas dan semua pembesar, terutama para isteri dan puteri memuji dengan kagum dan girang.

Memang hal ini mendatangkan pemandangan yang amat mengagumkan, jauh lebih menarik daripada melihat perlombaan perahu atau berenang dari tempat itu. Maka, setelah nalayan muda itu timbul dari air sambil membawa tempolong dan menyerahkan kepada penjaga, ia disambut dengan tepuk sorak.

Melihat kegembiraan semua tamu, maka tumenggung itu lalu mengusulkan untuk membauat permainan sebagai penambah acara, yakni mereka melempar-lemparkan benda dengan sengaja ke dalam air dan para penonton diperbolehkan terjun dan mendapatkan benda-benda itu kembali! Tentu saja untuk ini diadakan hadiah-hadiah, bahkan karena gembiranya, lalu ditetapkan bahwa benda yang dilemparkan itu boleh dimiliki oleh para penyelam.

Hal ini mendatangkan kegembiraan besar sekali. Para pemuda lalu memperlihatkan kesigapan dan kepandaiannya. Dan ternyata bahwa yang paling suka melempar-lemparkan benda ke dalam air adalah para puteri dan wanita! Yang dilemparkan ke dalam air sebagaian besar adalah mata-mata uang. Memang menyenangkan sekali melihat para pemuda nelayan itu menyelam dan berenang di atas dasar laut, hilir mudik bagaikan ikan-ikan besar berebut makanan.

Diantara sekian banyakknya penonton yang melihat pertunjukan ini, terdapat seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpotongan tubuh kekar dan tegap. Kulitnya bersih dan halus, membuat ia kelihatan seperti Arjuna diantara sekian banyak nelayan yang berkulit haitam terbakar matahari setiap hari.

Semenjak tadi pemuda ini berdiri di dekat panggung, akan tetapi berbeda denagn semua orang yang menonton para penyelam memperebutkan uang, ia menunjukan pandang matanya kepada seorang gadis yang duduk di atas panggung.

Gadis ini cantik jelita seperti kebanyakan puteri yang berada di situ, akan tetapi dalam pandangan pemuda itu, dia adalah gadis yang tercantik diantara sekian semua wanita yang pernah dijumpainya! Dara itu bertubuh langsing, berkulit kuning langsat, dan wajahnya manis sekali. Bibirnya seperti gendewa terpentang, tipis dan merah basah menggairahkan hati, dan yang terindah dari semua itu adalah sepasang matanya.

Inilah mata yang disebut damarkanginan, atau bagaikandian tertiup angin. Sinar matanya bagaikan mengandung pengaruh yang menjatuhkan hati pria manapun juga. Bentuknya lebar agak meruncing di ujung membuat lirikannya tajam sekali. Dihias bulu mata yang panjang dan lentik, melengkung ke atas membuat mata itu nampak berseri bergerak-gerak dengan lincah.

Dara juita ini adalah Roro Santi, puteri dari Dipati Wiguna, seorang bangsawan dari demak yang kini menjadi pembesar di Jepara. Roro Santi terkenal sebagai bunga Jepara dan kecantikannya telah terkenal diantara semua penduduk Jepara. Telah tiga bulan ia dipertunagkan dengan Raden Suseno, putera Bupati Randupati dari Rembang.

Akan tetapi, tiap kali orang tuanya hendak melangsungkan pernikahannya, juita itu selalu menolak dan sambil menagis minat agar supaya pernikahannya diundurkan karena ia tidak sampai hati meminggalkan dan berpisah dari orang tuanya.

Sebagai puteri tunggal yang amat dimanja dan dicinta, tentu saja kedua orang tuanya tak mau memaksanya dan demikianlah, telah tiga bulan lebih ia bertunangan, akan tetapi belum juga pernikahan dilangsungkan.

Raen Suseno menjadi tidak sabar, akan tetapi ia tidak berani terlalu mendesak, hanya merasa cukup puas apabila beberapa hari sekali ia diperbolehkan datang ke Jepara dan memandang tunagannya dengan dendam birahi yang menggelora di dalam dadanya.

Roro Santi bukannya tidak tahu bahwa pemuda tampan itu telah semenjak tadi memandangnya dengan mata menyatakan kekagumannya, akan tetapi siapakah diantara sekian banyaknya laki-laki yang tidak memandangkanya dengan kagum?

Oleh karena itu, ia tidak mengambil perduli, hanya diam-diam ia merasa heran mengapa diantara nelayan-nelayan yang sederhana itu terdapat seorang pemuda yang demikian cakapnya. Kegembiraannya bertambah ketika mengetahui bahwa pemuda itupun mengagumi kecantikannya.

Perempuan manakah yang tidak merasa gembira dan bangga apabila ada mata laki-laki memandangnya dengan kagum? Segalak-galaknya wanita, biarpun di luar ia mungkin akan marah apabila ada laki-laki lain memandangnya dengan tajam, akan tetapi tak salah lagi di dalam hatinya ia pasti merasa amat gembira dan bangga!

Dengan adanya kekaguman yang terpancar keluar dari mata orang-orang lelaki yang ditunjukan kepadanya, maka tak pecumalah segala jerih payahnya merawat dan menjaga diri serta bersolek setiap hari!

Diluar sangkaan semua orang, pemuda ini bukan lain ialah Kertapati, bajak laut yang menggemparkan itu! Dengan menyamar seperti seorang nelayan biasa, ia mencampurkan dirinya dengan orang banyak untuk ikut menonton keramaian itu dan sekalian melakuan penyelidiakan untuk keperluan “pekerjaannya”. Ia merasa heran dan benci kepada matanya sendiri mengapa mata itu tidak mau menurut kehendaknya.

Selama ini, diantara kawan-kawannya, yakni anak buahnya yang membantu pekerjaannya sebagai bajak laut, ia terkenal sebagai seorang pemuda yang “Alim “ dan sama sekali tidak suka membicarakan tentang perempuan-perempuan cantik. Apabila kawan-kawannya bercakap-cakap soal perempuan, ia menjatuhkan dirinya tanpa mencurahkan sedikitpun perhatian sungguhpun ia tidak melarang mereka.

Akan tetapi, para anak buah bajak laut itu jangan sekali-kali berani mencoba untuk menganggu wanita di depannya! Pernah ia menghajar seorang anak buahnya sampai setengah mati ketika anak buahnya itu menculik seorang gadis dari perahu yang mereka rampok.
Kini, melihat Roro Santi, menurut kehendaknya, ia tidak mau mengambil perduli sama sekali dan bahkan tidak ingin melihatnya, akan tetapi aneh, matanya seperti terkena pesona dan ia tidak dapat menguasainya pula! Oleh karena itu ia merasa benci kepada matanya, kepada hatinya, dan kepada diri sendiri.

“Bodoh!” bisiknya kepada diri sendiri. “Mata keranjang!” Ia memaki-maki diri sendiri seakan-akan yang berbuat itu adalah seorang yag menjadi orang kedua. Melihat betapa juita itu agaknya tidak mengacuhkan, ia menjadi makin gemas kepada diri sendiri dan merasa direndahkan. Saking gemasnya, untuk menghukum diri sendiri, ia lalu terjun ke dalam air, ikut menyelam dan mengejar uang yang dilempar ke dalam air! Ia sampai lupa untuk, membuka bajunya dan terjun ke dalam air dengan pakaian masih lengkap!

Melihat seorang pemuda terjun ke dalam air dengan pakaian lengkap, pecahlah suara ketawa dari para penonton. Diluar kehendaknya, Kertapati menarik perhatian semua orang. Apalagi ketika ia memperlihatkan kesigapan dan kecepatannya di dalam air yang tiada ubahnya laksana seekor ikan belut itu.

Para penyelam lainnya merasa terkejut sekali karena tiap kali mereka hendak menangkap sebuah mata uang yang dilemparkan dan tenggelam di depan mereka, tahu-tahu berkelebat bayang-bayang hitam bagaikan seekor ikan menyambar dan uang itu telah dihahului dan disaut oleh bayangan hitam yang cepat gerakannya itu.

Yang telah mengherankan lagi ialah kekuatan menyeam pemuda ini, karena lin penyelam setelah menyelam sekali dan mendapatkan sepotong uang logam itu, dan muncul kembali untuk mengambil napas, akan tetapi Kertapati bermain-main di dalam air bagaikan ikan dan seakan-akan ia tidak membutuhkan pergantian napas! Penyelam lain telah tiga kali mengambil napas di permukaan air, akan tetapi ia masih saja berada di dalam air.

Akhirnya, setelah kedua tangannya penuh dengan uang logam, Kertapati muncul di permukaan air. Tepuk-sorak menyambutnya sebagai tanda memuji dan ketika Kertapati melihat betapa tepuk tangan dan sorakan itu diberikan untuknya, ia menjadi merasa malu dan sebal. Dilemparkannya kembali semua uang di tangannya itu ke dalam air sambil tertawa bergelak.

Tentu saja semua orang merasa heran melihat ini, akan tetapi para nelayan yang melihat demikian banyaknya uang dilempar ke air, segera ikut menyelam dan sebentar saja uang yang dilempar oleh Kertapati itu menjadi rebutan di dasar air!

Kertapati kembali memandang ke arah Roro Santi dan kebetulan sekali gadis inipun sedang memandang ke arahnya dengan mata kagum. Biarpun Kertapati tidak membuka pakaiannya ketika menyelam, akan tetapi oleh karena kini bajunya basah kuyup, maka baju itu melekat pada kulit tubuhnya, membuat potongan tubuhnya nampak nyata.

Bahu yang bidang, dada yang menonjol ke depan, lengan yang kuat pinggang yang kecil itu memang amat mengagumkan, terutama karena tubuh yang gagah ini dimiliki oleh wajah yang demikian tampan. Diam-diam Roro Santi memuji ketampanan dan kegagahan pemuda ini dan melihat betapa pemuda itu melemparkan kembali semua uang yang tadi melemparkan kembali semua uang yang tadi diambilnya ketika ia menyelam, ia dapat menduga bahwa pemuda ini pasti bukan seorang nelayan atau petani biasa! Ksatria dari manakah dia?

Melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepadanya, Roro Santi menjadi gugup dan merasa betapa mukanya menjadi panas. Ia segera menundukkan mukanya yang menjadi merah itu dan dengan tangan gemetar ia mencabut tusuk kondenya yang terbuat daripada emas dihias permata intan. Ia lalu mengerling ke arah Kertapati yang masih memandangnya, kemudian sengaja melepaskan tusuk konde itu ke dalam air!

Kertapati melihat gerakan ini, juga banyak penyelam yang telah timbul di permukaan air melihat benda berharga ini terjatuh ke dalam air, maka cepat mereka menyelam untuk memperebutkannya. Kertapati memandang dengan dada berdebar aneh, dan ia merasa seakan-akan bahwa tusuk konde itu sengaja dilempar di dalam air untuknya! Sebelum ia dapat menekan debar jantugnya, ia telah melompat kembali ke dalam air.

Kertapati melihat gerakan ini, juga banyak penyelam yang telah timbul di permukaan air melihat benda berharga ini terjatuh ke dalam air, maka cepat mereka menyelam untuk memperebutkannya. Kertapati memandang dengan dada berdebar aneh, dan ia merasa seakan-akan bahwa tusuk konde itu sengaja dilempar di dalam air untuknya ! Sebelum ia dapat menekan debar jantungnya, ia telah melompat kembali ke dalam air.

Tiga orang penyelam yang terpandai telah meluncur dekat benda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka terdorong ke kanan dan kiri oleh sepasang lengan yang luar biasa kuatnya dan sebelum mereka dapat mempertahankannya, tusuk konde itu telah disambar oleh tangan penyelam baju hitam yang aneh tadi!

Kertapati lalu timbul lagi di permukaan air dan berenang cepat sekali ke darat, lalu melompat dengan sigapnya ke tas batu karang. Dari situ ia lalu melompat ke arah panggung dengan tangan kanan dan sekali ia ayun tubuhnya, ia telah naik ke atas panggung itu, tepat dihadapan Roro Santi yang menjenguk ke bawah untuk melihat siapa yang berhasil mendapatkan tusuk kondenya.

Untuk sejenak, Roro Santi tertegun dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak kepada pemuda yang kini berada dihadapannya. Kertapati tersenyum dan mengulurkan tangannya yang memegang tusuk konde itu sambil berkata perlahan,

“Terimalah kembali tusuk kondemu… kau telah menjatuhkannya ke dalam air…“ Pemuda itu merasa terheran sendiri mengapa ia merasa begitu gugup sehingga bicaranyapun terputus-putus dan napasnya tersengal.

Dengan muka merah Roro Santi mengulur tangannya, akan tetapi ia segera menariknya kembali dan berkata dengan muka tetap tunduk, “Kau… ambillah… itu menjadi hakmu!”

Semua orang-orang bagsawan yang duduk ditarup itu, merasa marah dan penasaran melihat betapa seorang penyelam berani naik ke panggung dan menghadapi Roro Santi dengan berdiri saja, sedangkan puteri itu duduk di kursi. Alangkah berani dan kurang ajarnya! Bahkan andaikata Kertapati naik ke panggung dan menghadapi puteri itu dengan menyembah dan berlututpun sudah merupakan perbuatan yang kurang ajar karena tanpa mendapat perkenan mereka, tak seorang nelayan atau penonton boleh naik ke panggung begitu saja, apalagi mengajak bicara seorang puteri dipati.

Yang paling marah adalah Raden Suseno yang duduknya tak jauh dari tempat itu. Dengan hati penuh cemburu dan marah, pemuda ini melihat betapa sinar mata kertapati menatap wajah tunangannya dengan berani, kurang ajar, dan penuh perasaan. Ia berdiri dari kursinya dan segera melompat ke depan Kertapati.

“Bangsat rendah...“ ia memaki sambil memandang dengan mata melotot. “Jangan berlaku kurang ajar!”

Kertapati memandangnya dengan senyum simpul, seperti seorang dewasa memandang seoranga anak kecil yang nakal. “Puteri ini menjatuhkan perhiasan rambutnya dan aku menolong mengambilkannya lalu mengembalikan benda ini kepadanya, mengapa kurang ajar?“

“Tutup mulutmu! Lekas kembalika perhiasan itu kepadaku dan segera enyah dari sini!” bentak Raden Suseno marah.

Akan tetapi Kertapati tetap tersenyum dengan wajah tenang. Para bangsawan yang berada di situ makin tertarik melihat pertengkaran ini, bahkan beberapa orang opsir Belanda yang menjadi tamu juga memandang dengan tertarik. Mereka semua kini berdiri dari kursinya dan semua mata, baik yang berada di tas panggung maupun yang berada di bawah, yakni para nelayan dan penonton, ditujukan ke arah atas panggung di mana pemuda baju hitam yang aneh itu sedang berdiri berhadapan dengan Raden Suseno yang sedang marah.

“Benda ini bukan milikmu, enak saja kau memintanya!”

Raden Suseno makin marah. “Bangsat kurang ajar! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah Raden Suseno putera bupati dari Rembang, dan puteri ini adalah tunanganku, Raden Roro Santi!”

Kertapati segera memotong pembicaraannya dengan membongkokkan tubuh dan berkata. “Terima kasih atas pemberitahuan nama itu, bukan namamu, akan tetapi nama puteri ini Roro Santi, alangkah indah nama ini, sesuai benar dengan orangnya…“

“Keparat! Lekas berikan barang itu kepadaku! Atau barangkali kau minta dihajar dulu?“ Raden Suseno sudah menjadi marah sekali maka ia lalu mengayun tangan kanannya, menempeleng ke arah kepala Kertapati.

Akan tetapi, dengan tenang sekali Kertapati merendahkan tubuhnya sehingga tamparan itu lewat di atas kepalanya, mengenai tempat kosong. “Pemiliknya telah memberikan kepadaku, kau perduli apa?”Katanya, “Kalau kau menghendaki benda ini, mengapa tadi kau tidak melompat ke dalam air?“

Akan tetapi Raden Suseno tidak mau banyak cakap lagi, wajahnya menjadi pucat saking marahnya dan ia merasa penasaran sekali betapa tamparannya dihindarkan dengan mudah oleh pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan tonjokan keras ke arah dada lawannya, dan menyusul dengan tendangan keras dan cepat untuk menendang tubuh pemda bulu hitam itu agar terlempar ke bawah panggung!

Raden Suseno adalah seorang pemuda ahli pencak, maka gerakannya cepat dan tenaganya kuat. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kertapati miringkan tubuh ke kiri untuk mengelak dari tonjokan ke arah dadanya, kemudian ketika kaki kanan lawannya yang menendang menyambut dekat, tiba-tiba ia ulur tangan kirinya dan mendorong tubuh Raden Suseno ke kanan!

Karena tenaga tendangan sendiri ditambah denagn dorongan lawan, tak dapat tertahan lagi tubuh Raden Suseno terlempar ke kanan dan jatuh ke bawah panggung! Terdengar suara “jeburr!” Ketika tubuhnya menimpa air, disusul suara tertawa yang ditahan-tahan dari para penonton di bawah panggung!

Pada saat itu, terdengar teriakan orang dari bawah panggung, “Dia Kertapati…! Dia yang dulu kami kejar-kejar! Dia Kertapati. Tangkap…!”

Yang berteriak-teriak ini adalah seorang diantara empat ponggawa yang dulu hendak menangkap Kertapati dengan bantuan seorang sersan Belanda. Ponggawa itu lupa bahwa kalau bajak laut itu berlaku kejam dan tidak menolong dia dan tiga orang kawannya ke dalam perahu, tentu mereka berempat telah mati seperti sersan Belanda itu pula! Kini ia berteriak-teriak dan berlari menuju ke panggung itu.

Roro Santi terkejut sekali mendengar ini dan ia memandang kepada Kertapati dengan mata terbelalak dan muka pucat. Jadi inilah bajak laut Kertapati yang telah menggemparkan seluruh negeri selama beberapa bulan ini?

“Terima kasih atas pemberian benda yang akan kusimpan selama hidupku ini…“ Kertapati masih sempat berbisik perlahan sebelum mempersiapkan diri menghadapi musuh-musuhnya.

Memang, teriakan yang dikeluarkan oleh ponggawa tadi, untuk sejenak membuat semua orang merasa seakan-akan tubuh mereka menjadi kaku. Mereka berdiri bagaikan patung memandang kearah pemuda baju hitam yang msih berdiri di depan Roro Santi, bahkan kini tidak ada orang yang memandang ke dalam air di mana Raden Suseno sedang berenang ke tepi sambil menyumpah-nyumpah!

Kemudian, serentak timbullah keributan besar ketika para penjaga dan ponggawa, dengan tombak di tangan lalu mengurung punggung di mana Kertapati mengeluarkan suara ketawa bergelak dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah terjun ke dalam air!

Terdengar tembakan yang dilepas dari senjata api di tangan seorang opsir tamu Belanda, akan tetapi dengan menyelamkan diri ke dalam air, Kertapati dapat menyelamatkan diri dari peluru yang menyambarnya itu. Opsir-opsir Belanda lain ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah bajak laut yang mereka benci, juga sudah mengeluarkan senjata api masing-masing dan kini dengan membabi-buta mereka menembak ke dalam air sambil mengira-ngira saja!

Kertapati terus berenang di bawah permukaan air dan ketika ia muncul kembali, ternyata ia telah berada di tepi yang jauh dari terup itu, lalu melompat ke darat di mana terdapat banyak penonton. Akan tetapi, para opsir itu masih menembakkan senjata api mereka ke arah tempat itu dan dua orang penonton roboh terkena peluru, sedangkan Kertapati lenyap diantara penonton yang banyak!

Tentu saja hal ini menimbulkan keributan dan geger. Semua penonton berlari cerai-berai, takut terkena tembakan yang nyasar dan yang lepas dengan ngawur itu. Ketika tempat itu sudah bersih dari para penonton, ternyata Kertapati telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas! Para punggawa masih mencari ke sana ke mari dengan hati kebat-kebit karena ketakutan, akan tetapi yang dicari telah lenyap, entah ke mana perginya

Perbuatan Kertapati yang amat berani ini mendatangkan kesan mendalam pada semua orang. Para opsir Belanda makin membencinya dan menggangapnya sebagai pengacau yang kurang ajar, terutama sekali Raden suseno merasa amat marah dan juga cemburu sekali. Ia tidak puas akan sikap tunangannya yang memberikan tusuk kondenya kepada bajak laut jahat itu!

Hanya di dalam dada seorang saja kertapati menimbulkan kesan yang luar biasa, yakni dalam dada Roro Santi sendiri! Gadis ini merasa demikian tertarik kepada pemuda baju hitam itu. Ia menganggap pemuda itu gagah berani, jujur, dan juga tidak menjilat-jilat seperti Raden Suseno atau lain-lain pemuda dihadapannya.

Kekurangajaran dan kekasaran bajak laut itu menarik hatinya. Biarpun berkali-kali ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menganggap Kertapati sebagai seorang bajak laut yang kejam, pengacau yang penuh dosa, akan tetapi perasaan wanitanya berpendapat lain dan anehnya, bayangan pemuda dengan senyumnya yang manis dan tenang itu sukar sekali diusir dari alam pikirannya!

* * * * *

Opsir Belanda yang pertama-tama melepaskan tembakan ketika Kertapati muncul dalam keramaian di pantai Jepara itu, adalah seorang berusia kurang dari tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, berambut kekuning-kuningan dan matanya biru serta tajam sekali.

Dia bukanlah seorang opsir biasa, karena sesunguhnya opsir ini yang namanya Dolleman, adalah seorang kepala pasukan rahasia atau mata-mata Belanda yang banyak disebar untuk menyelidiki keadaan dan pergerakan para pengeran di Mataram berhubung dengan pemberontakan-pemberontakan Trunajaya.

Dolleman amat cerdik dan ia telah mempelajari bahasa daerah sehingga dapat bercakap-cakap dalam bahasa itu cukup fasih, sungguhpun lidahnya masih terasa kaku untuk dapat mengucapkan kata-kata daerah yang asing baginya itu.

Telah banyak jasa yang diperbuat selama ia datang dari negerinya sehingga di kalangan Kompeni, ia mendapat kepercayaan penuh, bahkan ia mempunyai surat kuasa untuk menggerakkan semua pasukan Kompeni yang terdapat di mana saja, menurut perintahnya apabila terjadi sesuatu yang penting.

Selain mendapat tugas untuk mengawal Speelman yang mengunjungi Jepara dan mengadakan perteuan dengan Sunan, iapun mendapat tugas pula untuk menyelidiki dan mencari sarang bajak laut Kertapati yang mengacau disepanjang tepi Tegal sampai Jepara.

Maka ketika Kertapati dengan beraninya muncul dalam keramaian di pantai itu, Dolleman segera mengerahkan seluruh pembantunya untuk disebar an melakukan penyelidikan di sekitar daerah Jepara. Ia merasa yakin bahwa bajak laut itu tentu berada di sekitar daerah itu dan bersembunyi di sebuah desa.

Dolleman mempunyai banyak sekali kaki tangan yang terdiri dari penduduk pribumi yang tela makan uang sogokannya, akan tetapi, ia tidak kenal betul kecerdikan Kertapati, dan tanpa disadarinya seorang diantara kaki tangannya adalah seorang anak buah bajak laut sendiri ! Oleh karena itu, tentu saja kaki tangannya melakukan pengejaran dan penyelidikan, mereka tak berhasil menemukan bajak laut itu.

Di dalam rumah penginapan. Dolleman duduk di kamar, sudut bibirnya menjepit sebatang serutu dan kedua tanagnnya mempermain-mainkan sebatang tangkai pena. Pikirannya bekerja keras dan ia benar-benar merasa bingung menghadapi bajak laut kertapati yang amat cerdik itu. Peristiwa terbunuhnya sersan Zeerot dan keadaan empat kawan ponggawa yang pingsan di dalam perahu, membuat ia dapat menduga bahwa betapapun juga, sebagai seorang bajak laut, Kertapati masih melindungi orang-orang sebangsanya.

Siapa lagi kalau bukan Kertapati yang menolong empat orang ponggawa itu sehingga mereka tidak mati tenggelam? Perbedaan nasib sersan Zserot dan empat orang ponggawa itu menimbulkan dugaannya bahwa Kertapati bukanlah bajak laut biasa dan Dolleman mulai menghubungkan keadaan bajak laut itu dengan pemberontakan Trunajaya. Adakah hubungan antara Kertapati dan Trunajaya?

Untuk mencari sesuatu yang merupakan titik terang guna mencari jejak untuk penyelidikan, ia mulai mengenangkan lagi semua peristiwa yang terjadi di dekat pantai pada waktu keramaian itu. Terbayanglah di depan matanya yang biru tajam itu wajah Roro Santi yang cantik jelita, pandang matanya yang amat manis itu.

Terbayang pula betapa Kertapati memandang puteri itu dengan mata penuh perasaan dan teringatlah ia akan pemberian tusuk konde itu. Tiba-tiba Dolleman menancapkan penanya di atas meja dan berseru. “Bagus…!! akal inilah yang harus kugunakan!!”

Wajahnya yang cakap menjadi berseri gembira, matanya yang tajam bercahaya terang ia segera menukar pakaiannya dengan pakaian yang indah dan baru. Kemudian denagn langkah lebar dan bersiul-siul, ia berjalan keluar dari rumah penginapannya dan lagsung menuju ke gedung Adipati Wiguna.

Adipati Wiguna menyambutnya dengan ramah tamah dan tamunya duduk di ruang tengah. Diperintahnya pelayan untuk mengeluarkan hidangan bagi tamu itu, akan tetapi Dolleman lalu berkata sambil tersenyum.

“Jangan merepotkan diri, tuan Adipati! Saya hanya ingin bercakap-cakap sebentar dan karena yang akan saya bicarakan ini adalah suatu hal yang amat penting, harap tuan Adipati suka menyuruh semua pelayan mengundurkan diri agar percakapan kita takkan terganggu...“
Selanjutnya,