Sang Penerus Bagian 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
PEREMPUAN-PEREMPUAN itu memang menjadi ketakutan dan berlarian keluar justru pada saat orang-orang yang memburu Buta Ijo itu berlari menuju kebilik karena mereka mendengar suara perempuan yang menjerit-jerit.

Selagi orang-orang yang mengejarnya itu menyibak perempuan yang berlari-larian menjauhi bilik itu, maka Buta Ijo pun telah berlari pula. Dengan cepat ia menyelinap kesudut serambi disamping ruang dalam.

Orang yang mengejarnya itu menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak langsung memburu melalui sudut serambi itu. Raksasa itu akan dapat dengan tiba-tiba menyerang mereka. Dengan hati-hati mereka telah memasuki serambi yang panjang. Namun mereka sama sekali tidak melihat Buta Ijo.

Orang yang tertua di antara mereka yang mengejar Buta ijo itu berdesis "Kita berpencar. Tetapi hati-hati. Orang itu licik sekali...”

Dengan demikian, maka mereka telah membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang, namun dua di antaranya telah terluka dan kesakitan, sedangkan kelompok yang lain terdiri dari tiga orang. Dengan hati-hati mereka menyelinap di antara dinding-dinding rumah yang besar itu.

Tetapi ternyata mereka memang mengalami kesulitan melawan raksasa itu. Meskipun mereka lebih menguasai medan karena mereka memang tinggal di rumah itu, tetapi Buta Ijo tiba-tiba saja dapat menyergap mereka. Dua orang di antara keempat orang itu telah mengalami nasib yang buruk pula. Buta Ijo telah memukul mereka dengan selarak pintu dari balik selintru.

Seorang di antara mereka tidak saja sekedar berdarah. Tetapi orang itu langsung jatuh dan menjadi pingsan. Tengkuknya serasa menjadi patah oleh selarak pintu itu. Sedangkan seorang lagi terduduk sambil memegang perutnya yang dihantam selarak pintu itu pula. Dua orang yang sudah terluka sebelumnya itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka masih juga memberanikan diri untuk mencari raksasa yang bersembunyi di dalam rumah itu.

Sementara itu, di halaman. Nyi Prawara yang hatinya telah dibakar oleh kata-kata lawannya yang bertubuh raksasa itu, bertempur dengan tangkasnya. Meskipun tenaganya tidak sekuat raksasa itu, namun kecepatannya bergerak telah membuat lawannya menjadi bingung. Rasa-rasanya perempuan itu berloncatan berputaran di sekitar tubuhnya. Kadang-kadang bahkan sempat hilang dari tangkapan penglihatannya. Namun tiba-tiba perempuan itu meloncat menyerang dengan cepatnya.

Raksasa itu mulai gelisah. Semula ia merasa, bahwa ia tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Bahkan raksasa itu ingin menangkap perempuan itu tanpa melukainya. Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, maka raksasa itu mulai menjadi gelisah. Dalam keadaan terdesak maka raksasa itu tidak mempunyai pilihan daripada mempergunakan senjatanya. Sebuah parang yang besar dan berat.

Namun Nyi Prawara sama sekali tidak tergetar hatinya,. Dengan senjata rantainya maka Nyi Prawara telah memberikan perlawanan yang justru semakin mendebarkan jantung lawannya. Nyi Prawara yang bertumpu pada kecepatan geraknya. Membuat raksasa itu semakin bingung. Ia kadang-kadang hanya dapat mengayun-ayunkan parangnya sementara sasarannya telah meloncat mengambil jarak.

Dengan kemarahan yang semakin menyala didadanya, raksasa itu mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi kekuatan alami yang dimilikinya, ditempa pula dengan latihan yang berat, yang melampaui kekuatan lawannya yang dilambari dengan kekuatan dalamnya, tidak mampu melindungi tubuhnya dari sengatan senjata lawannya. Rantai yang berputaran itu, sekali-sekali terayun menebas dengan derasnya, namun kemudian tiba-tiba mematuk dengan cepat.

Raksasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak ketika ia merasakan dadanya menjadi panas. Ujung rantai Nyi Prawara mematuk dadanya yang tidak terlindung. Ternyata sentuhan rantai itu tidak saja membuat dadanya merasa panas bagaikan disentuh bara api tempurung. Tetapi dadanya telah terkoyak pula, sehingga darah pun telah meleleh dari luka itu.

Raksasa itu menggeram. Dengan suaranya yang berat ia berkata, "Perempuan celaka. Kau ternyata tidak tahu diri. Aku masih berusaha menahan diri agar aku tidak merusakkan kulitmu meskipun hanya segores kecil. Namun kau telah melukai dadaku...”

"Aku tidak hanya akan melukaimu, tetapi aku akan membunuhmu..." jawab Nyi Prawara.

"Meskipun kau sudah melukai aku, tetapi aku masih memberimu kesempatan. Menyerahlah. Jika kau menyerah, kau tidak akan aku bunuh...” berkata orang bertubuh raksasa itu.

"Itu tidak termasuk pilihanku. Pilihanku hanya dua. Membunuhmu atau kau membunuhku...” jawab Nyi Prawara.

"Aku senang kepada perempuan-perempuan yang garang. Tetapi kau terlalu garang...” berkata orang itu.

Nyi Prawara tidak menjawab. Kata-kata itu sangat memanaskan hatinya. Karena itu, tiba-tiba saja rantainya sudah bergetar menyambar bibir raksasa itu. Hanya satu sentuhan kecil, karena raksasa itu cepat menarik wajahnya. Tetapi sentuhan kecil itu ternyata telah memecahkan bibirnya, sehingga terasa darah yang hangat mulai mengalir dari lukanya itu. Orang bertubuh tinggi besar itu meloncat surut. Dari mulutnya terdengar umpatan kasar.

"Setan betina. Kau benar-benar tidak tahu diri.” orang itu masih akan mengumpat lagi. Tetapi sekali lagi rantai Nyi Prawara bergetar. Hampir saja bibir orang itu sekali lagi dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara. Untunglah bahwa raksasa itu masih sempat mengelak.

Dengan demikian, pertempuran segera menyala kembali. Nyi Prawara ternyata tidak kalah garangnya dari lawannya yang bertubuh raksasa. Parangnya yang besar dan berat itu terayun-ayun mengerikan. Agaknya raksasa itu benar-benar telah dibakar oleh kemerahannya sehingga ia sama sekali tidak mengekang dirinya lagi. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak dari menyerang dan menyerang. Nyi Prawara bergerak terlalu cepat. Lebih cepat dari ayunan senjatanya itu.

Sementara itu, saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang bertempur melawan orang-orang dari berbagai perguruan yang ada di rumah itu, masih harus mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun lawan mereka sudah berkurang cukup banyak, namun jumlah mereka masih terlalu banyak. Sehingga dengan demikian, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih harus berlari-larian untuk menghindari serangan-serangan yang tiba-tiba dari arah yang tidak diperhitungkan.

Dalam pada itu, Buta Ijo yang berlari-larian di dalam rumah yang besar itu, telah berhasil mengurangi lawan-lawannya. Sehingga akhirnya menjadi tinggal seorang saja. Hati orang itu tiba-tiba saja menjadi kecut. Orang yang dikejarnya itu seakan-akan benar-benar telah berubah menjadi raksasa yang garang dengan taring-taringnya yang besar dan runcing. Kedua tangannya seakan-akan telah mengembang serta jari-jarinya yang terluka siap menerkamnya.

Orang yang tinggal sendiri itu benar-benar telah kehilangan keberaniannya. Ketika raksasa itu melangkah mendekat, maka orang itu tiba-tiba telah meloncat melarikan diri. Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dilemparkannya selarak pintu yang terbuat dari kayu itu. Selarak itu telah membantunya menyelesaikan beberapa orang tanpa membunuhnya. Beberapa di antaranya menjadi pingsan, sedang yang lain terluka parah sehingga tidak lagi mampu memburu raksasa itu lagi.

Ketika Buta Ijo itu kemudian bergerak menyusuri ruangan rumah yang besar itu, ia justru terkejut. Ia telah berada di sebuah ruangan tempat perempuan-perempuan yang ketakutan itu bersembunyi. Demikian perempuan-perempuan itu melihat Buta Ijo itu masuk, maka mereka pun telah menjerit-jerit lagi dan berlari menghambur keluar.

Seorang di antara perempuan itu kakinya terantuk sesosok tubuh seseorang yang pingsan karena tengkuknya dipukul dengan selarak pintu oleh raksasa itu, sehingga dengan demikian perempuan itu telah jatuh tertelungkup.

Buta Ijo yang melihatnya di luar sadar telah berlari ke arahnya dan berusaha menolongnya. Namun demikian perempuan itu melihat wajah Buta Ijo yang telah menakut-nakutinya itu, maka perempuan itu justru semakin menjerit-jerit.

Buta Ijo pun menjadi bingung. Karena itu kemudian dilepaskannya perempuan itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menolongnya. Buta Ijo yang kebingungan itu justru berlari keluar menjauhi tempat itu. Buta Ijo menjadi agak bingung ketika tiba-tiba ia sudah berada di serambi yang sepi. Lampu minyak yang berada di ajuk-ajuk berkeredipan disentuh angin. Dengan ragu-ragu ia membuka pintu samping. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Di luar nampak sepi. Namun ia mendengar keributan yang terdengar di arah yang lain.

"O, aku berada dibagian belakang rumah yang besar ini. Bukankah tadi aku sudah berada di sini?”

Buta Ijo itupun justru mencari lagi pintu dapur. Ia tahu bahwa di dapur masih ada makanan. Di halaman depan, pertempuran menjadi semakin seru. Orang-orang yang datang dari berbagai perguruan itu menjadi semakin mengalami kesulitan. Jumlah mereka semakin berkurang. Namun saudara seperguruan Buta Ijo yang terluka pun bertambah pula.

Bahkan seorang di antara mereka mengalami luka yang agak parah. Sedangkan seorang yang bertubuh kecil harus menyingkir pula dari arena, karena punggungnya serasa patah. Sebuah bindi yang besar telah menghantam punggungnya itu ketika ia lengah.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, maka Buta Ijo sambil mengunyah makanan telah melibatkan diri pula. Demikian ia melihat beberapa orang saudara seperguruannya terluka, maka ia tidak lagi mencari selarak pintu. Tetapi ia sudah mencabut lagi luwuknya. Dengan tenaganya yang sangat besar, maka iapun telah berloncatan di antara beberapa orang yang mencoba mengurungnya.

Di dekat pintu gerbang, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit pula. Orang-orang berilmu tinggi telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Winih yang bertempur melawan seorang Putut yang ilmunya telah mapan, harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi Winih pun pernah ditempa dengan laku berat, sehingga ia telah benar-benar menjadi seorang gadis yang aneh. Gadis yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Beberapa kali Putut itu berusaha untuk memecahkan pertahanan Winih dengan menghentakkan kemampuannya. Tetapi setiap kali justru harus meloncat mundur. Rantai ditangan Winih berputar dengan cepat untuk melindungi dirinya. Bahkan rasa-rasanya menjadi lebih rapat dari sebuah perisai. Dengan demikian maka ujung senjata Putut itu tidak mampu menembus pertahanan gadis itu.

Bahkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka justru ujung rantai itulah yang telah berhasil menyusup di sela-sela senjata lawannya. Satu sentuhan kecil ternyata telah mampu mengoyak kulit lawannya, sehingga darah pun mulai mengembun.

Putut itu mengumpat kasar. Luka itu memang tidak banyak mempengaruhi tenaga dan kemampuannya meskipun perasaan pedih telah menyengat. Justru luka itu seakan-akan menjadi seperti minyak yang menyiram jantungnya yang membara. Api kemarahan pun menjadi semakin berkobar di dalam dadanya.

Demikianlah maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Putut itu menyerang semakin garang. Namun yang kemudian memecahkan pertahanan lawannya adalah Winih lagi. Ujung rantainya yang menebas mendatar telah menggores pundak lawannya, sehingga luka telah menganga. Luka yang lebih dalam dari luka di lengannya.

Putut itu menjadi semakin marah. Namun ia mulai percaya bahwa gadis itu telah membunuh Darpati. Karena itu, maka iapun mulai bergeser memancing agar Winih bergerak pula menjauhi orang-orang yang telah mendatangi rumah itu dan bertempur di dekat pintu gerbang itu.

Ia ingin membawa Winih bertempur di antara orang-orang yang datang dari berbagai perguruan yang ada ditengah halaman. Yang telah bergeser dari halaman di sebelah kiri rumah yang besar itu, bergerak ke halaman depan, yang disangkanya telah menggiring lawan-lawan mereka, agar bertempur di tempat yang lebih luas dan mapan.

Namun sebenarnyalah bahwa mereka justru telah terpancing oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang sengaja bertempur diarena yang luas, karena jumian mereka yang jauh lebih sedikit dari jumlah lawan-lawan mereha. sehingga mereka dapat berlari-larian dan saling mengisi yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian, meskipun beberapa kali crang-orang yang ada di rumah itu yang berasal dari beberapa perguruan berusaha untuk mengepung mereka, namun kepungan itu setiap kali tentu pecah, karena sulit bagi mereka untuk dapat menjaring semua saudara saudara seperguruan Kiai Gumrah, justru karena mereka selalu bergerak silang menyilang diarena yang luas.

Jika mereka berhasil membentuk lingkaran, maka tiba-tiba saja dua tiga orang di antara lawan-lawan mereka yang berada di luar lingkaran, telah menyerang dan mengoyak kepungan itu. Sementara mereka yang ada di dalam serentak menghentak pula, sehingga kepungan itupun menjadi berserakan kembali.

Namun hal itu luput dari penglihatan Putut yang bertempur melawan Winih. Ia mengira bahwa orang-orang yang berkumpul dari beberapa perguruan dalam jumlah yang besar itu akan dapat segera menguasai beberapa orang yang telah menyerang rumah itu.

Tetapi ternyata Winih tidak mudah untuk dipancing menjauhi songsong yang dibawa oleh Laksana itu. Setiap kali Putut itu berloncatan menjauh, maka Winih tidak dengan tergesa-gesa memburunya. Tetapi ia bertahan di tempatnya sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

Putut itu memang menjadi gelisah. Sementara itu, ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan perempuan yang masih sangat muda itu sendiri. Karena itu, yang dilakukan oleh Putut itu kemudian adalah sekedar menyerang dan kemudian dengan cepat menghindar. Jika Winih memburu selangkah dua langkah, maka Putut itu meloncat semakin jauh.

Namun Winih masih tetap tidak terpancing. Ia memang tidak ingin menjauhi songsong yang berwarna kekuning-kuningan dengan lingkaran hijau itu. Betapapun kemarahan, kejengkelan dan kebencian membakar seluruh isi dadanya dan membuat darahnya mendidih, tetapi Putut itu memang tidak dapat berbuat banyak.

Bahkan ketika ia mencoba dengan tiba-tiba menyerang sambil menghentakkan kemampuannya, justru ujung rantai Winih telah menyambar keningnya. Hanya lapisan kulitnya sajalah yang tersentuh ujung rantai itu. Namun Putut itu berteriak marah sekali.

Apalagi ketika darah yang hangat terasa meleleh sampai kepipinya Tetapi apapun yang dilakukan oleh Putut itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan Winih yang muda itu.

Di sisi lain, Ki Prawara barhadapan dengan Kiai Windu Kusuma. Ia sudah menggeser seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah. Ketika Ki Prawara datang dengan membawa salah satu pusaka yang diperebutkan itu, maka seakan-akan seseorang telah memberikan kesempatan kepadanya untuk langsung berhadapan dengan pemimpin landasan kekuatan dari orang-orang yang akan merampas pusaka-pusaka yang sangat berharga itu dari tangan Kiai Gumrah.

Namun bagaimanapun juga, Ki Prawara sekali-kali masih harus melihat keadaan anaknya meskipun hanya sekilas. Ia memang menjadi agak cemas menyaksikan Putut yang menyerang dengan garangnya. Namun yang juga berusaha memancing Winih untuk menjauhi songsong itu. Bahkan ia akan mengalami kesulitan jika gadis itu memasuki lingkungan pertempuran yang luas di halaman itu.

Dengan demikian, maka untuk beberapa saat, justru Ki Prawara kadang-kadang harus berloncatan surut sambil mengambil jarak dari lawannya untuk sekedar dapat melihat keadaan Winih. Namun oleh cahaya oncor di pintu gerbang yang terbuka itu, lamat-lamat Ki Prawara sempat melihat darah di wajah lawan anak gadisnya itu.

Sebenarnyalah, bahwa keadaan Putut itu menjadi semakin sulit. Bahwa Winih sama sekali tidak terpancing itu telah membuat Putut itu semakin marah. Bahkan kemudian kehilangan pegangan. Ia menjadi tidak sabar. Tetapi juga tidak mampu berbuat lebih banyak.

Sementara itu, tidak ada orang lain yang dapat diharapkan dapat membantunya karena semua orang telah bertempur di tempat yang tersebar. Tetapi ketidak-sabaran orang itu, ternyata telah menyeretnya ke dalam keadaan yang paling buruk. Ketika kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya, sementara darah semaian banyak menitik dari luka-lukanya, maka Putut itu menjadi mata gelap. Ia tidak lagi berpijak pada penalarannya.

Dengan mengerahkan segenap sisa kemampuannya, maka Putut itupun menyerang Winih membabi buta. Diputarnya senjatanya seperti baling-baling. Kemudian meloncat sambil menebas langsung ke arah leher Winih. Tetapi Winih telah siap menghadapi Putut yang kehilangan akal itu. Dengan cepat Winih meloncat mengelak, sehingga pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasaran.

Putut yang menjadi seperti mabuk itu telah menggeliat. Pedangnya yang berputar itu tiba-tiba telah mematuk ke arah dada Winih. Winih bergeser dengan cepat. Demikian ujung pedang itu meluncur di depan tubuhnya yang miring, maka Winih mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Rantainya berputar dengan cepat dan satu sabetan yang sangat deras telah menyambar leher Putut itu.

Terdengar jerit kesakitan menggetarkan jantung. Luka telah menganga di leher Putut itu. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun kemudian tubuhnya telah terjerembab jatuh terguling di tanah. Winih meloncat mundur sambil memalingkan wajahnya. iapun kemudian telah bergeser dan berdiri di belakang Laksana yang membawa songsong itu, sementara Manggada berdiri di sebelahnya dengan senjata di tangan. Winih seakan-akan ingin menyembunyikan dirinya setelah rantainya melukai lawannya dan bahkan kemudian Putut itu tidak lagi bergerak sama sekali.

Ki Prawara yang setiap kali seakan-akan terdesak oleh lawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anak gadisnya menyelesaikan lawannya. Namun Ki Prawara tidak sempat merenungi kemenangan anaknya lebih lama. Hampir saja senjata Kiai Windu Kusuma menyentuh keningnya.

Dengan terhentinya perlawanan Putut itu, maka Ki Prawara dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya, Kiai Windu Kusuma yang telah menggenggam senjata yang mendebarkan. Senjata yang agaknya hanya dipergunakan dalam keadaan yang paling gawat. Sebilah keris yang besar dan berwarna kahitam-hitaman. Namun dalam keremangan cahaya oncor di regol, nampak pamor keris itu berkedipan.

Ketika Kiai Windu Kusuma melihat lawannya memperhatikan senjatanya, maka iapun berkata, "Dengan pusakaku ini, aku tidak gentar menghadapi tombak yang betapapun tinggi tuahnya. Keris raksasa ini adalah peninggalan orang yang tidak terkalahkan pada masanya. Ia adalah guruku yang ditakuti setiap orang.”

Ki Prawara mengerutkan dahinya. Tombaknya telah merunduk, sementara ujungnya bagaikan bergetar.

"Kita akan melihat, seberapa besarnya tuah senjata kita masing-masing.” berkata Kiai Windu Kusuma.

"Aku tidak bersandar pada tuah senjataku. Akhirnya semuanya tergantung kepada siapa yang memegangnya.” jawab Ki Prawara.

"Kenapa kalian pertahankan pusaka itu dengan mempertaruhkan nyawamu?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Tombak ini adalah peninggalan sebagaimana senjatamu. Jika kami mempertahankan dengan mempertaruhkan nyawa, karena kami menghormati pusaka ini sebagai warisan yang sangat berharga. He, kau lihat emas dan tretes berlian pada landean tombak ini? Apakah kau dapat memperkirakan berapa saja harganya?”

"Setan kau?" geram Kiai Windu Kusuma.

Ki Prawara itu menyahut pula "Karena itu, kami tidak berpikir untuk mempertahankan tuah senjata ini dengan mencucinya dengan darah yang masih mengalir di jantung.”

Kiai Windu Kusuma tidak menjawab. Tetapi ketika kerisnya mulai terayun, Ki Prawara itupun meloncat ke samping sambil berkata, "Aku bersandar kepada perlindungan Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, justru karena kami yakin, bahwa kami sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Kami mempertahankan hak milik kami.”

Kiai Windu Kusuma yang mulai meloncat menyerang itu masih juga sempat menjawab "Aku pernah mendengar kata-kata itu dari mulut Kiai Gumrah ketika aku datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Omong kosong yang tidak berarti.”

Ki Prawara tidak menjawab lagi. Serangan Kiai Windu Kusuma ternyata cukup berbahaya sehingga Ki Prawara harus meloncat surut. Ki Prawara memang pernah mendengar ceritera dari Kiai Gumrah sebelumnya, bahwa Kiai Windu Kusuma memang pernah datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu di rumah Kiai Gumrah. Namun usaha itu telah gagal.

Kiai Windu Kusuma yang pernah bertempur dengan Kiai Gumrah itu mulai menilai lawannya yang lebih muda itu. Ternyata bahwa anak Kiai Gumrah itu memiliki ilmu yang tidak terpaut dari Kiai Gumrah sendiri.

Dalam pada itu, Winih yang masih berdiri di belakang Laksana dan Manggada untuk menyembunyikan penglihatannya atas tubuh Putut yang terbaring diam dengan darah yang mengalir dari lukanya, justru sempat melihat pertempuran yang terjadi di tengah-tengah halaman itu. Ia melihat ibunya yang sedang bertempur melawan seorang yang bertubuh raksasa.

Namun seperti juga Ki Prawara yang tidak mencemaskan isterinya, maka Winih pun melihat, betapa ibunya benar-benar menguasai lawannya. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung, maka Nyi Prawara justru telah meloncat surut menjauhinya. Nyi Prawara tidak menyelesaikah pertempuran itu. Dibiarkannya raksasa itu jatuh berlutut. Kemudian terduduk sambil mengerang kesakitan.

Yang mendekatinya justru Buta Ijo yang berlari keluar dari arena petempuran. Digoyang-goyangnya tubuh raksasa yang terduduk itu sambil berkata, "Lain kali berhati-hatilah terhadap perempuan. Nah, kau sekarang sudah merasakan, betapa kau menemukan kesenangan itu.”

Raksasa yang sudah tidak berdaya itu tidak menjawab. Namun Buta Ijo itu tidak sempat bergurau lebih lama. Beberapa orang telah mengejarnya dan bahkan dua di antaranya telah mendekati Nyi Prawara yang baru saja bergeser dari lawannya yang bertubuh raksasa.

Winih melihat kedua orang itu. Tetapi ia tidak mau meninggalkan Laksana dan Manggada. Karena itu, maka ia-pun justru berteriak, "Ibu, aku di sini...”

Nyi Prawara mendengar suara anaknya. la pun tahu bahwa anaknya berada bersama songsong yang di dekat pintu gerbang. Karena itu, sebelum ia melihat Winih, Nyi Prawara sudah berlari menuju ke pintu gerbang. Suara anaknya itu telah membuatnya cemas. Sedangkan kedua orang yang mendekatinya dengan senjata teracu itu justru telah memburunya. Mereka mengira bahwa Nyi Prawara itu berlari untuk mnghindari mereka berdua meskipun Nyi Prawara itu telah mengalahkan orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Namun Nyi Prawara memang tidak meninggalkan arena karena serangan kedua orang itu. Bahkan ia tidak menghiraukan ketika kedua orang itu mengejarnya. Winih yang melihat ibunya berlari ke arahnya dan dikejar oleh dua orang itu menjadi cemas. Mungkin ibunya tidak menyadari bahwa dua orang telah memburunya, bahkan tidak terlalu jauh di belakangnya. Karena itu, maka Winih pun telah berlarian menyongsong sambil berteriak,

"Ibu, dua orang di belakang ibu...!”

Nyi Prawara yang melihat anaknya tidak dalam kesulitan, bahkan muncul di belakang Laksana dan Manggada berlari menyongsongnya, dadanya terasa menjadi lapang. Karena itu, maka iapun segera berhenti berpaling sambil memutar rantainya. Kedua orang yang mengejarnya itu terkejut. Mereka pun berhenti dan bersiap untuk menyerang. Namun yang mereka hadapi kemudian adalah dua orang perempuan. Yang seorang bahkan seorang perempuan yang masih terlalu muda.

Namun kedua orang yang mengejarnya itu menjadi ragu-ragu. Seorang di antara kedua orang perempuan itu telah mengalahkan raksasa yang ditakuti di lingkungan mereka itu, sedang mereka pun melihat tubuh Putut yang berilmu tinggi itupun telah terbaring diam. Karena itu, maka keduanya menjadi ragu-ragu. Ketika Winih dan ibunya bergerak maju, maka keduanya justru bergeser mundur.

Winih tidak mau maju lagi. Kepada ibunya ia berdesis, "Aku harus membantu menjaga songsong itu.”

Ibunya mengangguk. Bahkan katanya kemudian, "Baiklah aku akan menbantumu. Biar saja kedua orang itu, apa saja yang akan dilakukan.”

Ketika kemudian ternyata kedua perempuan itu tidak mengejarnya kedua orang itu justru menjadi bingung. Ia harus berpikir ulang jika mereka akan menyerang. Tetapi untuk meninggalkan begitu saja harga dirinya telah direndahkan. Dalam kebingungan maka seorang di antara mereka telah bersuit nyaring. Suaranya memang menyentuh setiap telinga mereka yang ada di halaman rumah yang besar itu.

Meskipun masih juga terdengar teriakan-teriakan, bentakan-bentakan dan geram kemarahan, namun orang-orang dari perguruan Susuhing Angin tertarik oleh isyarat itu. Bagi mereka, isyarat itu merupakan permintaan untuk membantu, karena orang yang memberikan isyarat itu berada dalam kesulitan.

Tetapi orang-orang dari perguruan Susuhing Angin sebagaimana orang-orang yang datang dari perguruan lain, masih sedang bertempur ditengah-tengah halaman depan: Sementara itu kawan-kawan mereka masih saja berkurang seorang demi seorang. Karena itu, maka tidak seorang pun yang sempat mendekat untuk memenuhi isyarat itu. Bahkan hampir setiap orang dari perguruan Susuhing Angin ingin membunyikan isyarat seperti itu pula.

Karena itu, maka kedua orang itu menjadi semakin gelisah. Tetapi karena tidak ada orang yang datang membantunya, sementara keduanya sadar, bahwa menyerang kedua orang perempuan itu akan sama halnya dengan membunuh diri, maka keduanya pun justru bergeser semakin lama semakin menjauh.

Namun mereka terkejut ketika mendengar seseorang membentak, "Pengecut. Bunuh kedua orang perempuan itu.”

Mereka mengenal suara itu dengan baik. Suara itu adalah suara pemimpin perguruan mereka. Ketika keduanya berpaling ke arah suara itu, maka mereka melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin itu bertempur dengan sengitnya melawan seseorang yang bersenjata tombak. Seorang yang sudah memasuki hari-hari tuanya. Namun ternyata orang itu masih dengan tangkasnya memutar tombaknya.

Kedua orang itu menjadi semakin bingung. Tetapi mereka tidak berani melanggar perintah yang diucapkan oleh pemimpin perguruan Susuhing Angin itu. Karena itu, maka betapapun hati mereka menjadi kecut, namun keduanya pun melangkah maju mendekati Nyi Prawara dan Winih.

Kedua perempuan itupun sudah bersiap sepenuhnya menghadapi mereka. Namun, keduanya melihat, betapa kedua orang itu menjadi bimbang.

Namun, terdengar lagi suara pemimpin perguruan Susuhing Angin berteriak "Bunuh perempuan itu. Jangan ragu-ragu. Meskipun mereka perempuan, tetapi mereka telah membunuh kawan-kawan kita”

Kedua orang itu memang tidak mempunyai pilihan. Sambil berteriak nyaring untuk mengatasi kebimbangannya keduanya berlari menyerang. Nyi Prawara dan Winih pun telah mengambil jarak. Mereka segera mengetahui bahwa kedua orang itu bukan terhitung orang-orang penting dalam keluarga perguruannya. Meskipun mereka termasuk terpilih dalam tugas di rumah Kiai Windu Kusuma itu, tetapi mereka bukan orang-orang dari tataran atas.

Meskipun demikian, Nyi Prawara dan Winih tidak mau menjadi lengah. Demikian keduanya menyerang, maka Nyi Prawara dan Winih pun telah menyongsongnya sambil memutar rantainya. Ternyata seperti yang diperhitungkan, keduanya memang tidak mempunyai kemampuan cukup tinggi untuk melawan Nyi Prawara dan Winih.

Dengan demikian, maka dalam waktu singkat, maka keduanya pun telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Winih sempat membelit senjata salah seorang di antara mereka. Sebuah kapak yang cukup besar. Ketika Winih menghentakkan rantainya, maka kapak itupun telah terlepas dan tangannya.

Orang itu tidak mampu berbuat sesuatu ketika rantai Winih pun kemudian terayun ke dadanya. Seleret luka menyilang di dada orang itu. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Selangkah ia terdorong surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, maka orang itu telah jatuh terlentang. Sekali ia berguling. Namun kemudian iapun terdiam.

Sementara itu, orang yang bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah kehilangan kendali akan dirinya. Bukan untuk menyerang, tetapi dengan putus asa ia berlari menuju ke pintu gerbang. Tanpa menghiraukan apapun lagi, orang itu ingin melarikan dirinya dari jangkauan rantai Nyi Prawara yang telah menyentuh pinggangnya.

Namun orang itu terkejut. Demikian ia sampai ke pintu gerbang, maka dilihatnya dua ekor harimau siap untuk menerkamnya. Orang itu semakin menjadi kehilangan akal. Dengan serta merta ia berbalik kembali masuk ke halaman sambil berteriak-teriak. Tetapi ia tidak berani lagi mendekati Nyi Prawara. Seperti orang yang terganggu syarafnya ia berlari secepat-cepatnya menghilang ke halaman samping yang gelap sambil masih saja berteriak-teriak.

Sementara itu, Winih sempat mendekati lawannya yang sudah terbaring diam. Sambil berjongkok di sisinya ia berkata "He, lukamu hanya selapis tipis pada kulitmu. Aku tahu kau pura-pura mati. Tetapi tidur sajalah dengan nyenyak.”

Orang itu masih tetap berbaring diam. Tetapi ia berdesis "Aku mohon ampun!”

"Aku tidak akan membunuhmu. Mudah-mudahan pemimpinmu juga tidak.”

Orang itu tetap tidak bergerak. Sambil tersenyum Winih bangkit dan melangkah mendekati ibunya yang sudah berdiri di dekat Laksana dan Manggada. Dalam pertempuran yang sengit itu Manggada dan Laksana memang merasa dirinya terlalu kecil. Bekal keduanya terlalu sedikit untuk terjun ke dalam pertempuran seperti itu. Bahkan seorang gadis muda harus melindungi mereka berdua. Tetapi keduanya tidak dapat ingkar akan kenyataan itu. Apalagi jika keduanya memperhatikan pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi.

Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu ternyata sempat berteriak marah ketika ia melihat sekilas orang-orangnya tidak berdaya menghadapi perempuan. Namun ia sendiri tidak mempunyai kesempatan untuk membantunya karena ia sedang terlibat dalam pertempuran melawan juragan gula yang bersenjata sebuah tombak, yang termasuk salah satu dari pusaka-pusaka yang diperebutkan.

Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu memang harus mengakui, bahwa lawannya yang sudah terhitung tua itu merniliki pengalaman yang sangat luas. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun juragan gula itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang pemimpin perguruan Susuhing Angin itulah yang terkejut mengalami serangan dengan unsur-unsur gerak yang tidak diduganya sama sekali.

Kemarahan pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah membakar ubun-ubunnya. Orang-orangnya telah mengecewakannya. Sementara lawannya membuatnya jantungnya bagaikan meledak. Namun pemimpin perguruan dari Susuhing Angin itu tidak dapat mengingkari kenyataan yang digelar di hadapannya. Orang-orangnya, bahkan orang-orang yang datang dari perguruan yang lain yang ada di rumah Kiai Windu Kusuma yang besar dan berhalaman luas itu, telah dihancurkan oleh lawan-lawan mereka yang jumlahnya jauh lebih kecil.

Meskipun masih terjadi pertempuran di sana-sini, tetapi pertempuran itu tinggal sekedar penyelesaian saja. Jika para pemimpin itu tidak segera berhasil mengakhiri lawan-lawannya sehingga dapat membantu orang-orang yang jumlahnya sudah jauh menyusut itu, maka mereka tidak lagi mempunyai harapan.

Dengan marah pemimpin, perguruan Susuhing Angin itu menyerang seperti arus banjir bandang. Juragan gula yang melawannya sempat terdesak beberapa langkah surut. Bahkan pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sempat menggeram “Ternyata kau cukup liat Ki Sanak. Tetapi kesempatanmu tidak terlalu banyak lagi.”

Juragan gula itu sama sekali tidak menjawab. Tombaknya yang terayun mendatar hampir saja menyambar wajah lawannya Tetapi lawannya sempat mengelak dan bahkan meloncat memasuki jarak jangkau senjatanya justru ketika tombak lawannya bergerak ke samping. Dengan derasnya senjatanya terayun mengarah ke dahi.

Tetapi tombak juragan gula itu sempat berputar. Dengan landeannya juragan gula itu sempat menangkis serangan itu dan menebas senjata lawannya, menyamping.

Namun pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah menjadi kehilangan kendali. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya, ia berusaha melibat juragan gula itu pada jarak yang lebih pendek. Pemimpin peguruan Susuhing Angin itu berusaha agar tombak lawannya tidak banyak berarti lagi.

Tetapi juragan gula itu cukup tangkas. Meskipun pertempuran itu jaraknya semakin rapat, namun tombak juragan gula itu masih tetap berbahaya. Bukan saja ujungnya. Tetapi pangkalnya pun merupakan senjata yang sangat berbahaya pula. Ketika pangkal landean tombak itu mengenai pundak pemimpin perguruan Susuhing Angin itu, maka orang itu meloncat beberapa langkah surut. Pundaknya terasa menjadi sakit sekali. Bahkan rasa-rasanya ada tulangnya yang retak.

Namun dengan demikian, maka iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Ketika ia mempersiapkan diri untuk bertempur habis-habisan, maka seakan-akan dari matanya telah membayang warna kemerah-merahan. Jari-jarinya yang menggenggam senjatanya telah disaput asap tipis yang berwarna kehitam-hitaman. Seakan-akan memancarkan warna landasan ilmunya yang hitam pula.

Juragan gula yang melihat lawannya sampai ke puncak ilmunya, iapun telah mengerahkan kemampuannya pula. Kakinya yang merenggang, dan sedikit merendah pada lututnya, seakan-akan telah menghujam ke dalam bumi. Pertahanannya, menjadi semakin kokoh sehingga sulit untuk digoyahkan.

Pada puncak kemampuan masing-masing, maka pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan segera. Membunuh lawannya atau mati. Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah benar-benar pertempuran antara hidup dan mati.

Pemimpin perguruan Susuhing Angin yang datang dengan dada tengadah beserta beberapa orang pengikutnya, tidak mau mengorbankan harga dirinya. Ketika ia memasuki rumah itu, ia merasa yakin bahwa ia akan memegang peranan penting dalam perebutan pusaka-pusaka yang amat mahal harganya itu. Setidak-tidaknya ia akan dapat menjadi penentu disamping Panembahan Lebdagati sendiri.

Namun ternyata ia telah mendapat lawan yang berilmu sangat tinggi, bahkan di tangannya telah tergenggam salah satu dari pusaka-pusaka yang menurut ciri-cirinya adalah pusaka yang diperebutkan itu. Namun betapapun pemimpin dari perguruan Susuhing Angin itu berusaha, maka juragan gula itu masih saja tetap mampu mempertahankan dirinya.

Demikianlah, pada tataran tertinggi dari hentakan ilmunya, maka pemimpin dari perguruan Susuhing Angin itu telah berloncatan berputaran mengelilingi lawannya. Semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga putaran itu menjadi bagaikan angin pusaran.

Namun yang ada di dalam pusaran itu adalah seorang yang juga berilmu tinggi. Juragan gula dengan tombak di tangan justru berdiri diam di tempatnya. Kakinya benar-benar bagaikan berakar menusuk ke dalam bumi. Pusaran yang mengitarinya itu tidak mampu menggoyahkannya.

Meskipun juragan gula itu seakan-akan justru menunduk sambil memejamkan matanya, namun ia tahu pasti, di mana lawannya itu berada. Pusaran yang semakin cepat sehingga berubah menjadi semacam kabut kelabu yang berputar sama sekali tidak membingungkannya.

Juragan gula itu tahu pasti, bahwa lawannya yang, berputar itu mengacukan senjatanya siap menggapai tubuhnya. Tetapi dengan ketajaman inderanya, maka juragan gula itu seakan-akan melihat ujung senjata lawannya yang berputar di sekelilingnya itu.

Sejenak ketegangan telah mencekam. Nyi Prawara dan Winih yang telah bebas dari lawan-lawan mereka melihat pertempuran itu dengan tegang, sedangkan Manggada dan Laksana menjadi bingung, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Dalam pada itu, juragan gula yang berdiri ditengah-tengah pusaran sambil menundukkan kepalanya serta memejamkan matanya itu telah memusatkan nalar budinya pula. Sekali-sekali saja ujung tombaknya bergerak. Bahkan sekali-sekali terdengar dentang senjata beradu.

Tetapi Manggada dan Laksana tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kabut kelabu yang berputar itu memang menghalangi penglihatannya, sehingga ia tidak melihat jelas apa yang terjadi. Bahkan menurut penglihatannya dalam keremangan cahaya oncor di kejauhan, di dalam pusaran itu tidak ada gerak sama sekali.

Namun dalam puncak benturan kekuatan ilmu itu, tiba-tiba terdengar juragan gula itu berteriak menghentak mengatasi segala suara dan hiruk pikuk pertempuran. Disusul oleh teriakan tertahan. Sementara itu, pusaran yang melingkari juragan gula itu nampak bergejolak sesaat. Namun kemudian tubuh pemimpin perguruan Susuhing Angin itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit, sementara juragan gula itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

Tetapi jantung Manggada dan Laksana bagaikan terhenti berdetak. Ia melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin itu terhuyung-huyung kembali dan akhirnya jatuh terguling. Sementara itu, juragan gula ini masih berdiri tegak dengan tombak yang merunduk di tangannya. Ujung tombak itu menjadi merah oleh darah, sementara itu darah nampak mengalir dari tubuh lawannya yang terbaring diam.

Tetapi Nyi Prawara itupun kemudian berdesis, "Kiai...!”

Mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang sejenak. Namun Nyi Prawara pun kemudian berlari mendekati juragan gula yang kemudian jatuh berlutut pada sebelah lututnya. Bahkan kemudian ia harus berpegangan pada landean tombaknya yang menjadi tegak di sisinya.

Winih pun hampir saja berlari mendekati pula. Namun langkahnya tertahan. Ia harus berada dekat dengan songsong yang masih saja dipegang oleh Laksana itu.

"Kiai Padma" desis Nyi Prawara "Apakah Kiai terluka?"

Juragan gula itu menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak Nyi. Aku hanya merasa sangat letih setelah aku menghentakkan segala tenaga dan kemampuanku.”

"Mari Kiai, aku bantu Kiai menepi...” berkata Nyi Prawara.

"Tidak. Tidak usah Nyi. Aku justru ingin melihat apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita yang lain...?” berkata juragan gula itu.

Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Sementara itu, juragan gula itu justru telah duduk di tanah, sedangkan Nyi Prawara berdiri di sebelahnya. Nampaknya setelah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan yang ada di dalam dirinya, juragan gula itu seakan-akan telah kehabisan tenaganya. Nyi Prawara memang tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian juragan gula itu memang menjadi lemah.

Dalam pada itu, selagi Nyi Prawara berdiri di sebelah juragan gula itu, ia memperhatikan pertempuran yang masih membakar halaman rumah yang besar itu. Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu agaknya sudah dapat menguasai keadaan. Tetapi Ki Prawara sendiri masih bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Windu Kusuma, sedangkan Kiai Gumrah berhadapan langsung dengan saudara seperguruannya yang ternyata telah berkhianat. Kiai Kajar....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 21

Sang Penerus Bagian 20

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
PEREMPUAN-PEREMPUAN itu memang menjadi ketakutan dan berlarian keluar justru pada saat orang-orang yang memburu Buta Ijo itu berlari menuju kebilik karena mereka mendengar suara perempuan yang menjerit-jerit.

Selagi orang-orang yang mengejarnya itu menyibak perempuan yang berlari-larian menjauhi bilik itu, maka Buta Ijo pun telah berlari pula. Dengan cepat ia menyelinap kesudut serambi disamping ruang dalam.

Orang yang mengejarnya itu menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak langsung memburu melalui sudut serambi itu. Raksasa itu akan dapat dengan tiba-tiba menyerang mereka. Dengan hati-hati mereka telah memasuki serambi yang panjang. Namun mereka sama sekali tidak melihat Buta Ijo.

Orang yang tertua di antara mereka yang mengejar Buta ijo itu berdesis "Kita berpencar. Tetapi hati-hati. Orang itu licik sekali...”

Dengan demikian, maka mereka telah membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang, namun dua di antaranya telah terluka dan kesakitan, sedangkan kelompok yang lain terdiri dari tiga orang. Dengan hati-hati mereka menyelinap di antara dinding-dinding rumah yang besar itu.

Tetapi ternyata mereka memang mengalami kesulitan melawan raksasa itu. Meskipun mereka lebih menguasai medan karena mereka memang tinggal di rumah itu, tetapi Buta Ijo tiba-tiba saja dapat menyergap mereka. Dua orang di antara keempat orang itu telah mengalami nasib yang buruk pula. Buta Ijo telah memukul mereka dengan selarak pintu dari balik selintru.

Seorang di antara mereka tidak saja sekedar berdarah. Tetapi orang itu langsung jatuh dan menjadi pingsan. Tengkuknya serasa menjadi patah oleh selarak pintu itu. Sedangkan seorang lagi terduduk sambil memegang perutnya yang dihantam selarak pintu itu pula. Dua orang yang sudah terluka sebelumnya itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka masih juga memberanikan diri untuk mencari raksasa yang bersembunyi di dalam rumah itu.

Sementara itu, di halaman. Nyi Prawara yang hatinya telah dibakar oleh kata-kata lawannya yang bertubuh raksasa itu, bertempur dengan tangkasnya. Meskipun tenaganya tidak sekuat raksasa itu, namun kecepatannya bergerak telah membuat lawannya menjadi bingung. Rasa-rasanya perempuan itu berloncatan berputaran di sekitar tubuhnya. Kadang-kadang bahkan sempat hilang dari tangkapan penglihatannya. Namun tiba-tiba perempuan itu meloncat menyerang dengan cepatnya.

Raksasa itu mulai gelisah. Semula ia merasa, bahwa ia tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Bahkan raksasa itu ingin menangkap perempuan itu tanpa melukainya. Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, maka raksasa itu mulai menjadi gelisah. Dalam keadaan terdesak maka raksasa itu tidak mempunyai pilihan daripada mempergunakan senjatanya. Sebuah parang yang besar dan berat.

Namun Nyi Prawara sama sekali tidak tergetar hatinya,. Dengan senjata rantainya maka Nyi Prawara telah memberikan perlawanan yang justru semakin mendebarkan jantung lawannya. Nyi Prawara yang bertumpu pada kecepatan geraknya. Membuat raksasa itu semakin bingung. Ia kadang-kadang hanya dapat mengayun-ayunkan parangnya sementara sasarannya telah meloncat mengambil jarak.

Dengan kemarahan yang semakin menyala didadanya, raksasa itu mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi kekuatan alami yang dimilikinya, ditempa pula dengan latihan yang berat, yang melampaui kekuatan lawannya yang dilambari dengan kekuatan dalamnya, tidak mampu melindungi tubuhnya dari sengatan senjata lawannya. Rantai yang berputaran itu, sekali-sekali terayun menebas dengan derasnya, namun kemudian tiba-tiba mematuk dengan cepat.

Raksasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak ketika ia merasakan dadanya menjadi panas. Ujung rantai Nyi Prawara mematuk dadanya yang tidak terlindung. Ternyata sentuhan rantai itu tidak saja membuat dadanya merasa panas bagaikan disentuh bara api tempurung. Tetapi dadanya telah terkoyak pula, sehingga darah pun telah meleleh dari luka itu.

Raksasa itu menggeram. Dengan suaranya yang berat ia berkata, "Perempuan celaka. Kau ternyata tidak tahu diri. Aku masih berusaha menahan diri agar aku tidak merusakkan kulitmu meskipun hanya segores kecil. Namun kau telah melukai dadaku...”

"Aku tidak hanya akan melukaimu, tetapi aku akan membunuhmu..." jawab Nyi Prawara.

"Meskipun kau sudah melukai aku, tetapi aku masih memberimu kesempatan. Menyerahlah. Jika kau menyerah, kau tidak akan aku bunuh...” berkata orang bertubuh raksasa itu.

"Itu tidak termasuk pilihanku. Pilihanku hanya dua. Membunuhmu atau kau membunuhku...” jawab Nyi Prawara.

"Aku senang kepada perempuan-perempuan yang garang. Tetapi kau terlalu garang...” berkata orang itu.

Nyi Prawara tidak menjawab. Kata-kata itu sangat memanaskan hatinya. Karena itu, tiba-tiba saja rantainya sudah bergetar menyambar bibir raksasa itu. Hanya satu sentuhan kecil, karena raksasa itu cepat menarik wajahnya. Tetapi sentuhan kecil itu ternyata telah memecahkan bibirnya, sehingga terasa darah yang hangat mulai mengalir dari lukanya itu. Orang bertubuh tinggi besar itu meloncat surut. Dari mulutnya terdengar umpatan kasar.

"Setan betina. Kau benar-benar tidak tahu diri.” orang itu masih akan mengumpat lagi. Tetapi sekali lagi rantai Nyi Prawara bergetar. Hampir saja bibir orang itu sekali lagi dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara. Untunglah bahwa raksasa itu masih sempat mengelak.

Dengan demikian, pertempuran segera menyala kembali. Nyi Prawara ternyata tidak kalah garangnya dari lawannya yang bertubuh raksasa. Parangnya yang besar dan berat itu terayun-ayun mengerikan. Agaknya raksasa itu benar-benar telah dibakar oleh kemerahannya sehingga ia sama sekali tidak mengekang dirinya lagi. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak dari menyerang dan menyerang. Nyi Prawara bergerak terlalu cepat. Lebih cepat dari ayunan senjatanya itu.

Sementara itu, saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang bertempur melawan orang-orang dari berbagai perguruan yang ada di rumah itu, masih harus mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun lawan mereka sudah berkurang cukup banyak, namun jumlah mereka masih terlalu banyak. Sehingga dengan demikian, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih harus berlari-larian untuk menghindari serangan-serangan yang tiba-tiba dari arah yang tidak diperhitungkan.

Dalam pada itu, Buta Ijo yang berlari-larian di dalam rumah yang besar itu, telah berhasil mengurangi lawan-lawannya. Sehingga akhirnya menjadi tinggal seorang saja. Hati orang itu tiba-tiba saja menjadi kecut. Orang yang dikejarnya itu seakan-akan benar-benar telah berubah menjadi raksasa yang garang dengan taring-taringnya yang besar dan runcing. Kedua tangannya seakan-akan telah mengembang serta jari-jarinya yang terluka siap menerkamnya.

Orang yang tinggal sendiri itu benar-benar telah kehilangan keberaniannya. Ketika raksasa itu melangkah mendekat, maka orang itu tiba-tiba telah meloncat melarikan diri. Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dilemparkannya selarak pintu yang terbuat dari kayu itu. Selarak itu telah membantunya menyelesaikan beberapa orang tanpa membunuhnya. Beberapa di antaranya menjadi pingsan, sedang yang lain terluka parah sehingga tidak lagi mampu memburu raksasa itu lagi.

Ketika Buta Ijo itu kemudian bergerak menyusuri ruangan rumah yang besar itu, ia justru terkejut. Ia telah berada di sebuah ruangan tempat perempuan-perempuan yang ketakutan itu bersembunyi. Demikian perempuan-perempuan itu melihat Buta Ijo itu masuk, maka mereka pun telah menjerit-jerit lagi dan berlari menghambur keluar.

Seorang di antara perempuan itu kakinya terantuk sesosok tubuh seseorang yang pingsan karena tengkuknya dipukul dengan selarak pintu oleh raksasa itu, sehingga dengan demikian perempuan itu telah jatuh tertelungkup.

Buta Ijo yang melihatnya di luar sadar telah berlari ke arahnya dan berusaha menolongnya. Namun demikian perempuan itu melihat wajah Buta Ijo yang telah menakut-nakutinya itu, maka perempuan itu justru semakin menjerit-jerit.

Buta Ijo pun menjadi bingung. Karena itu kemudian dilepaskannya perempuan itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menolongnya. Buta Ijo yang kebingungan itu justru berlari keluar menjauhi tempat itu. Buta Ijo menjadi agak bingung ketika tiba-tiba ia sudah berada di serambi yang sepi. Lampu minyak yang berada di ajuk-ajuk berkeredipan disentuh angin. Dengan ragu-ragu ia membuka pintu samping. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Di luar nampak sepi. Namun ia mendengar keributan yang terdengar di arah yang lain.

"O, aku berada dibagian belakang rumah yang besar ini. Bukankah tadi aku sudah berada di sini?”

Buta Ijo itupun justru mencari lagi pintu dapur. Ia tahu bahwa di dapur masih ada makanan. Di halaman depan, pertempuran menjadi semakin seru. Orang-orang yang datang dari berbagai perguruan itu menjadi semakin mengalami kesulitan. Jumlah mereka semakin berkurang. Namun saudara seperguruan Buta Ijo yang terluka pun bertambah pula.

Bahkan seorang di antara mereka mengalami luka yang agak parah. Sedangkan seorang yang bertubuh kecil harus menyingkir pula dari arena, karena punggungnya serasa patah. Sebuah bindi yang besar telah menghantam punggungnya itu ketika ia lengah.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, maka Buta Ijo sambil mengunyah makanan telah melibatkan diri pula. Demikian ia melihat beberapa orang saudara seperguruannya terluka, maka ia tidak lagi mencari selarak pintu. Tetapi ia sudah mencabut lagi luwuknya. Dengan tenaganya yang sangat besar, maka iapun telah berloncatan di antara beberapa orang yang mencoba mengurungnya.

Di dekat pintu gerbang, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit pula. Orang-orang berilmu tinggi telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Winih yang bertempur melawan seorang Putut yang ilmunya telah mapan, harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi Winih pun pernah ditempa dengan laku berat, sehingga ia telah benar-benar menjadi seorang gadis yang aneh. Gadis yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Beberapa kali Putut itu berusaha untuk memecahkan pertahanan Winih dengan menghentakkan kemampuannya. Tetapi setiap kali justru harus meloncat mundur. Rantai ditangan Winih berputar dengan cepat untuk melindungi dirinya. Bahkan rasa-rasanya menjadi lebih rapat dari sebuah perisai. Dengan demikian maka ujung senjata Putut itu tidak mampu menembus pertahanan gadis itu.

Bahkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka justru ujung rantai itulah yang telah berhasil menyusup di sela-sela senjata lawannya. Satu sentuhan kecil ternyata telah mampu mengoyak kulit lawannya, sehingga darah pun mulai mengembun.

Putut itu mengumpat kasar. Luka itu memang tidak banyak mempengaruhi tenaga dan kemampuannya meskipun perasaan pedih telah menyengat. Justru luka itu seakan-akan menjadi seperti minyak yang menyiram jantungnya yang membara. Api kemarahan pun menjadi semakin berkobar di dalam dadanya.

Demikianlah maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Putut itu menyerang semakin garang. Namun yang kemudian memecahkan pertahanan lawannya adalah Winih lagi. Ujung rantainya yang menebas mendatar telah menggores pundak lawannya, sehingga luka telah menganga. Luka yang lebih dalam dari luka di lengannya.

Putut itu menjadi semakin marah. Namun ia mulai percaya bahwa gadis itu telah membunuh Darpati. Karena itu, maka iapun mulai bergeser memancing agar Winih bergerak pula menjauhi orang-orang yang telah mendatangi rumah itu dan bertempur di dekat pintu gerbang itu.

Ia ingin membawa Winih bertempur di antara orang-orang yang datang dari berbagai perguruan yang ada ditengah halaman. Yang telah bergeser dari halaman di sebelah kiri rumah yang besar itu, bergerak ke halaman depan, yang disangkanya telah menggiring lawan-lawan mereka, agar bertempur di tempat yang lebih luas dan mapan.

Namun sebenarnyalah bahwa mereka justru telah terpancing oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang sengaja bertempur diarena yang luas, karena jumian mereka yang jauh lebih sedikit dari jumlah lawan-lawan mereha. sehingga mereka dapat berlari-larian dan saling mengisi yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian, meskipun beberapa kali crang-orang yang ada di rumah itu yang berasal dari beberapa perguruan berusaha untuk mengepung mereka, namun kepungan itu setiap kali tentu pecah, karena sulit bagi mereka untuk dapat menjaring semua saudara saudara seperguruan Kiai Gumrah, justru karena mereka selalu bergerak silang menyilang diarena yang luas.

Jika mereka berhasil membentuk lingkaran, maka tiba-tiba saja dua tiga orang di antara lawan-lawan mereka yang berada di luar lingkaran, telah menyerang dan mengoyak kepungan itu. Sementara mereka yang ada di dalam serentak menghentak pula, sehingga kepungan itupun menjadi berserakan kembali.

Namun hal itu luput dari penglihatan Putut yang bertempur melawan Winih. Ia mengira bahwa orang-orang yang berkumpul dari beberapa perguruan dalam jumlah yang besar itu akan dapat segera menguasai beberapa orang yang telah menyerang rumah itu.

Tetapi ternyata Winih tidak mudah untuk dipancing menjauhi songsong yang dibawa oleh Laksana itu. Setiap kali Putut itu berloncatan menjauh, maka Winih tidak dengan tergesa-gesa memburunya. Tetapi ia bertahan di tempatnya sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

Putut itu memang menjadi gelisah. Sementara itu, ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan perempuan yang masih sangat muda itu sendiri. Karena itu, yang dilakukan oleh Putut itu kemudian adalah sekedar menyerang dan kemudian dengan cepat menghindar. Jika Winih memburu selangkah dua langkah, maka Putut itu meloncat semakin jauh.

Namun Winih masih tetap tidak terpancing. Ia memang tidak ingin menjauhi songsong yang berwarna kekuning-kuningan dengan lingkaran hijau itu. Betapapun kemarahan, kejengkelan dan kebencian membakar seluruh isi dadanya dan membuat darahnya mendidih, tetapi Putut itu memang tidak dapat berbuat banyak.

Bahkan ketika ia mencoba dengan tiba-tiba menyerang sambil menghentakkan kemampuannya, justru ujung rantai Winih telah menyambar keningnya. Hanya lapisan kulitnya sajalah yang tersentuh ujung rantai itu. Namun Putut itu berteriak marah sekali.

Apalagi ketika darah yang hangat terasa meleleh sampai kepipinya Tetapi apapun yang dilakukan oleh Putut itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan Winih yang muda itu.

Di sisi lain, Ki Prawara barhadapan dengan Kiai Windu Kusuma. Ia sudah menggeser seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah. Ketika Ki Prawara datang dengan membawa salah satu pusaka yang diperebutkan itu, maka seakan-akan seseorang telah memberikan kesempatan kepadanya untuk langsung berhadapan dengan pemimpin landasan kekuatan dari orang-orang yang akan merampas pusaka-pusaka yang sangat berharga itu dari tangan Kiai Gumrah.

Namun bagaimanapun juga, Ki Prawara sekali-kali masih harus melihat keadaan anaknya meskipun hanya sekilas. Ia memang menjadi agak cemas menyaksikan Putut yang menyerang dengan garangnya. Namun yang juga berusaha memancing Winih untuk menjauhi songsong itu. Bahkan ia akan mengalami kesulitan jika gadis itu memasuki lingkungan pertempuran yang luas di halaman itu.

Dengan demikian, maka untuk beberapa saat, justru Ki Prawara kadang-kadang harus berloncatan surut sambil mengambil jarak dari lawannya untuk sekedar dapat melihat keadaan Winih. Namun oleh cahaya oncor di pintu gerbang yang terbuka itu, lamat-lamat Ki Prawara sempat melihat darah di wajah lawan anak gadisnya itu.

Sebenarnyalah, bahwa keadaan Putut itu menjadi semakin sulit. Bahwa Winih sama sekali tidak terpancing itu telah membuat Putut itu semakin marah. Bahkan kemudian kehilangan pegangan. Ia menjadi tidak sabar. Tetapi juga tidak mampu berbuat lebih banyak.

Sementara itu, tidak ada orang lain yang dapat diharapkan dapat membantunya karena semua orang telah bertempur di tempat yang tersebar. Tetapi ketidak-sabaran orang itu, ternyata telah menyeretnya ke dalam keadaan yang paling buruk. Ketika kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya, sementara darah semaian banyak menitik dari luka-lukanya, maka Putut itu menjadi mata gelap. Ia tidak lagi berpijak pada penalarannya.

Dengan mengerahkan segenap sisa kemampuannya, maka Putut itupun menyerang Winih membabi buta. Diputarnya senjatanya seperti baling-baling. Kemudian meloncat sambil menebas langsung ke arah leher Winih. Tetapi Winih telah siap menghadapi Putut yang kehilangan akal itu. Dengan cepat Winih meloncat mengelak, sehingga pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasaran.

Putut yang menjadi seperti mabuk itu telah menggeliat. Pedangnya yang berputar itu tiba-tiba telah mematuk ke arah dada Winih. Winih bergeser dengan cepat. Demikian ujung pedang itu meluncur di depan tubuhnya yang miring, maka Winih mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Rantainya berputar dengan cepat dan satu sabetan yang sangat deras telah menyambar leher Putut itu.

Terdengar jerit kesakitan menggetarkan jantung. Luka telah menganga di leher Putut itu. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun kemudian tubuhnya telah terjerembab jatuh terguling di tanah. Winih meloncat mundur sambil memalingkan wajahnya. iapun kemudian telah bergeser dan berdiri di belakang Laksana yang membawa songsong itu, sementara Manggada berdiri di sebelahnya dengan senjata di tangan. Winih seakan-akan ingin menyembunyikan dirinya setelah rantainya melukai lawannya dan bahkan kemudian Putut itu tidak lagi bergerak sama sekali.

Ki Prawara yang setiap kali seakan-akan terdesak oleh lawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anak gadisnya menyelesaikan lawannya. Namun Ki Prawara tidak sempat merenungi kemenangan anaknya lebih lama. Hampir saja senjata Kiai Windu Kusuma menyentuh keningnya.

Dengan terhentinya perlawanan Putut itu, maka Ki Prawara dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya, Kiai Windu Kusuma yang telah menggenggam senjata yang mendebarkan. Senjata yang agaknya hanya dipergunakan dalam keadaan yang paling gawat. Sebilah keris yang besar dan berwarna kahitam-hitaman. Namun dalam keremangan cahaya oncor di regol, nampak pamor keris itu berkedipan.

Ketika Kiai Windu Kusuma melihat lawannya memperhatikan senjatanya, maka iapun berkata, "Dengan pusakaku ini, aku tidak gentar menghadapi tombak yang betapapun tinggi tuahnya. Keris raksasa ini adalah peninggalan orang yang tidak terkalahkan pada masanya. Ia adalah guruku yang ditakuti setiap orang.”

Ki Prawara mengerutkan dahinya. Tombaknya telah merunduk, sementara ujungnya bagaikan bergetar.

"Kita akan melihat, seberapa besarnya tuah senjata kita masing-masing.” berkata Kiai Windu Kusuma.

"Aku tidak bersandar pada tuah senjataku. Akhirnya semuanya tergantung kepada siapa yang memegangnya.” jawab Ki Prawara.

"Kenapa kalian pertahankan pusaka itu dengan mempertaruhkan nyawamu?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Tombak ini adalah peninggalan sebagaimana senjatamu. Jika kami mempertahankan dengan mempertaruhkan nyawa, karena kami menghormati pusaka ini sebagai warisan yang sangat berharga. He, kau lihat emas dan tretes berlian pada landean tombak ini? Apakah kau dapat memperkirakan berapa saja harganya?”

"Setan kau?" geram Kiai Windu Kusuma.

Ki Prawara itu menyahut pula "Karena itu, kami tidak berpikir untuk mempertahankan tuah senjata ini dengan mencucinya dengan darah yang masih mengalir di jantung.”

Kiai Windu Kusuma tidak menjawab. Tetapi ketika kerisnya mulai terayun, Ki Prawara itupun meloncat ke samping sambil berkata, "Aku bersandar kepada perlindungan Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, justru karena kami yakin, bahwa kami sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Kami mempertahankan hak milik kami.”

Kiai Windu Kusuma yang mulai meloncat menyerang itu masih juga sempat menjawab "Aku pernah mendengar kata-kata itu dari mulut Kiai Gumrah ketika aku datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Omong kosong yang tidak berarti.”

Ki Prawara tidak menjawab lagi. Serangan Kiai Windu Kusuma ternyata cukup berbahaya sehingga Ki Prawara harus meloncat surut. Ki Prawara memang pernah mendengar ceritera dari Kiai Gumrah sebelumnya, bahwa Kiai Windu Kusuma memang pernah datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu di rumah Kiai Gumrah. Namun usaha itu telah gagal.

Kiai Windu Kusuma yang pernah bertempur dengan Kiai Gumrah itu mulai menilai lawannya yang lebih muda itu. Ternyata bahwa anak Kiai Gumrah itu memiliki ilmu yang tidak terpaut dari Kiai Gumrah sendiri.

Dalam pada itu, Winih yang masih berdiri di belakang Laksana dan Manggada untuk menyembunyikan penglihatannya atas tubuh Putut yang terbaring diam dengan darah yang mengalir dari lukanya, justru sempat melihat pertempuran yang terjadi di tengah-tengah halaman itu. Ia melihat ibunya yang sedang bertempur melawan seorang yang bertubuh raksasa.

Namun seperti juga Ki Prawara yang tidak mencemaskan isterinya, maka Winih pun melihat, betapa ibunya benar-benar menguasai lawannya. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung, maka Nyi Prawara justru telah meloncat surut menjauhinya. Nyi Prawara tidak menyelesaikah pertempuran itu. Dibiarkannya raksasa itu jatuh berlutut. Kemudian terduduk sambil mengerang kesakitan.

Yang mendekatinya justru Buta Ijo yang berlari keluar dari arena petempuran. Digoyang-goyangnya tubuh raksasa yang terduduk itu sambil berkata, "Lain kali berhati-hatilah terhadap perempuan. Nah, kau sekarang sudah merasakan, betapa kau menemukan kesenangan itu.”

Raksasa yang sudah tidak berdaya itu tidak menjawab. Namun Buta Ijo itu tidak sempat bergurau lebih lama. Beberapa orang telah mengejarnya dan bahkan dua di antaranya telah mendekati Nyi Prawara yang baru saja bergeser dari lawannya yang bertubuh raksasa.

Winih melihat kedua orang itu. Tetapi ia tidak mau meninggalkan Laksana dan Manggada. Karena itu, maka ia-pun justru berteriak, "Ibu, aku di sini...”

Nyi Prawara mendengar suara anaknya. la pun tahu bahwa anaknya berada bersama songsong yang di dekat pintu gerbang. Karena itu, sebelum ia melihat Winih, Nyi Prawara sudah berlari menuju ke pintu gerbang. Suara anaknya itu telah membuatnya cemas. Sedangkan kedua orang yang mendekatinya dengan senjata teracu itu justru telah memburunya. Mereka mengira bahwa Nyi Prawara itu berlari untuk mnghindari mereka berdua meskipun Nyi Prawara itu telah mengalahkan orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Namun Nyi Prawara memang tidak meninggalkan arena karena serangan kedua orang itu. Bahkan ia tidak menghiraukan ketika kedua orang itu mengejarnya. Winih yang melihat ibunya berlari ke arahnya dan dikejar oleh dua orang itu menjadi cemas. Mungkin ibunya tidak menyadari bahwa dua orang telah memburunya, bahkan tidak terlalu jauh di belakangnya. Karena itu, maka Winih pun telah berlarian menyongsong sambil berteriak,

"Ibu, dua orang di belakang ibu...!”

Nyi Prawara yang melihat anaknya tidak dalam kesulitan, bahkan muncul di belakang Laksana dan Manggada berlari menyongsongnya, dadanya terasa menjadi lapang. Karena itu, maka iapun segera berhenti berpaling sambil memutar rantainya. Kedua orang yang mengejarnya itu terkejut. Mereka pun berhenti dan bersiap untuk menyerang. Namun yang mereka hadapi kemudian adalah dua orang perempuan. Yang seorang bahkan seorang perempuan yang masih terlalu muda.

Namun kedua orang yang mengejarnya itu menjadi ragu-ragu. Seorang di antara kedua orang perempuan itu telah mengalahkan raksasa yang ditakuti di lingkungan mereka itu, sedang mereka pun melihat tubuh Putut yang berilmu tinggi itupun telah terbaring diam. Karena itu, maka keduanya menjadi ragu-ragu. Ketika Winih dan ibunya bergerak maju, maka keduanya justru bergeser mundur.

Winih tidak mau maju lagi. Kepada ibunya ia berdesis, "Aku harus membantu menjaga songsong itu.”

Ibunya mengangguk. Bahkan katanya kemudian, "Baiklah aku akan menbantumu. Biar saja kedua orang itu, apa saja yang akan dilakukan.”

Ketika kemudian ternyata kedua perempuan itu tidak mengejarnya kedua orang itu justru menjadi bingung. Ia harus berpikir ulang jika mereka akan menyerang. Tetapi untuk meninggalkan begitu saja harga dirinya telah direndahkan. Dalam kebingungan maka seorang di antara mereka telah bersuit nyaring. Suaranya memang menyentuh setiap telinga mereka yang ada di halaman rumah yang besar itu.

Meskipun masih juga terdengar teriakan-teriakan, bentakan-bentakan dan geram kemarahan, namun orang-orang dari perguruan Susuhing Angin tertarik oleh isyarat itu. Bagi mereka, isyarat itu merupakan permintaan untuk membantu, karena orang yang memberikan isyarat itu berada dalam kesulitan.

Tetapi orang-orang dari perguruan Susuhing Angin sebagaimana orang-orang yang datang dari perguruan lain, masih sedang bertempur ditengah-tengah halaman depan: Sementara itu kawan-kawan mereka masih saja berkurang seorang demi seorang. Karena itu, maka tidak seorang pun yang sempat mendekat untuk memenuhi isyarat itu. Bahkan hampir setiap orang dari perguruan Susuhing Angin ingin membunyikan isyarat seperti itu pula.

Karena itu, maka kedua orang itu menjadi semakin gelisah. Tetapi karena tidak ada orang yang datang membantunya, sementara keduanya sadar, bahwa menyerang kedua orang perempuan itu akan sama halnya dengan membunuh diri, maka keduanya pun justru bergeser semakin lama semakin menjauh.

Namun mereka terkejut ketika mendengar seseorang membentak, "Pengecut. Bunuh kedua orang perempuan itu.”

Mereka mengenal suara itu dengan baik. Suara itu adalah suara pemimpin perguruan mereka. Ketika keduanya berpaling ke arah suara itu, maka mereka melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin itu bertempur dengan sengitnya melawan seseorang yang bersenjata tombak. Seorang yang sudah memasuki hari-hari tuanya. Namun ternyata orang itu masih dengan tangkasnya memutar tombaknya.

Kedua orang itu menjadi semakin bingung. Tetapi mereka tidak berani melanggar perintah yang diucapkan oleh pemimpin perguruan Susuhing Angin itu. Karena itu, maka betapapun hati mereka menjadi kecut, namun keduanya pun melangkah maju mendekati Nyi Prawara dan Winih.

Kedua perempuan itupun sudah bersiap sepenuhnya menghadapi mereka. Namun, keduanya melihat, betapa kedua orang itu menjadi bimbang.

Namun, terdengar lagi suara pemimpin perguruan Susuhing Angin berteriak "Bunuh perempuan itu. Jangan ragu-ragu. Meskipun mereka perempuan, tetapi mereka telah membunuh kawan-kawan kita”

Kedua orang itu memang tidak mempunyai pilihan. Sambil berteriak nyaring untuk mengatasi kebimbangannya keduanya berlari menyerang. Nyi Prawara dan Winih pun telah mengambil jarak. Mereka segera mengetahui bahwa kedua orang itu bukan terhitung orang-orang penting dalam keluarga perguruannya. Meskipun mereka termasuk terpilih dalam tugas di rumah Kiai Windu Kusuma itu, tetapi mereka bukan orang-orang dari tataran atas.

Meskipun demikian, Nyi Prawara dan Winih tidak mau menjadi lengah. Demikian keduanya menyerang, maka Nyi Prawara dan Winih pun telah menyongsongnya sambil memutar rantainya. Ternyata seperti yang diperhitungkan, keduanya memang tidak mempunyai kemampuan cukup tinggi untuk melawan Nyi Prawara dan Winih.

Dengan demikian, maka dalam waktu singkat, maka keduanya pun telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Winih sempat membelit senjata salah seorang di antara mereka. Sebuah kapak yang cukup besar. Ketika Winih menghentakkan rantainya, maka kapak itupun telah terlepas dan tangannya.

Orang itu tidak mampu berbuat sesuatu ketika rantai Winih pun kemudian terayun ke dadanya. Seleret luka menyilang di dada orang itu. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Selangkah ia terdorong surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, maka orang itu telah jatuh terlentang. Sekali ia berguling. Namun kemudian iapun terdiam.

Sementara itu, orang yang bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah kehilangan kendali akan dirinya. Bukan untuk menyerang, tetapi dengan putus asa ia berlari menuju ke pintu gerbang. Tanpa menghiraukan apapun lagi, orang itu ingin melarikan dirinya dari jangkauan rantai Nyi Prawara yang telah menyentuh pinggangnya.

Namun orang itu terkejut. Demikian ia sampai ke pintu gerbang, maka dilihatnya dua ekor harimau siap untuk menerkamnya. Orang itu semakin menjadi kehilangan akal. Dengan serta merta ia berbalik kembali masuk ke halaman sambil berteriak-teriak. Tetapi ia tidak berani lagi mendekati Nyi Prawara. Seperti orang yang terganggu syarafnya ia berlari secepat-cepatnya menghilang ke halaman samping yang gelap sambil masih saja berteriak-teriak.

Sementara itu, Winih sempat mendekati lawannya yang sudah terbaring diam. Sambil berjongkok di sisinya ia berkata "He, lukamu hanya selapis tipis pada kulitmu. Aku tahu kau pura-pura mati. Tetapi tidur sajalah dengan nyenyak.”

Orang itu masih tetap berbaring diam. Tetapi ia berdesis "Aku mohon ampun!”

"Aku tidak akan membunuhmu. Mudah-mudahan pemimpinmu juga tidak.”

Orang itu tetap tidak bergerak. Sambil tersenyum Winih bangkit dan melangkah mendekati ibunya yang sudah berdiri di dekat Laksana dan Manggada. Dalam pertempuran yang sengit itu Manggada dan Laksana memang merasa dirinya terlalu kecil. Bekal keduanya terlalu sedikit untuk terjun ke dalam pertempuran seperti itu. Bahkan seorang gadis muda harus melindungi mereka berdua. Tetapi keduanya tidak dapat ingkar akan kenyataan itu. Apalagi jika keduanya memperhatikan pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi.

Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu ternyata sempat berteriak marah ketika ia melihat sekilas orang-orangnya tidak berdaya menghadapi perempuan. Namun ia sendiri tidak mempunyai kesempatan untuk membantunya karena ia sedang terlibat dalam pertempuran melawan juragan gula yang bersenjata sebuah tombak, yang termasuk salah satu dari pusaka-pusaka yang diperebutkan.

Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu memang harus mengakui, bahwa lawannya yang sudah terhitung tua itu merniliki pengalaman yang sangat luas. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun juragan gula itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang pemimpin perguruan Susuhing Angin itulah yang terkejut mengalami serangan dengan unsur-unsur gerak yang tidak diduganya sama sekali.

Kemarahan pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah membakar ubun-ubunnya. Orang-orangnya telah mengecewakannya. Sementara lawannya membuatnya jantungnya bagaikan meledak. Namun pemimpin perguruan dari Susuhing Angin itu tidak dapat mengingkari kenyataan yang digelar di hadapannya. Orang-orangnya, bahkan orang-orang yang datang dari perguruan yang lain yang ada di rumah Kiai Windu Kusuma yang besar dan berhalaman luas itu, telah dihancurkan oleh lawan-lawan mereka yang jumlahnya jauh lebih kecil.

Meskipun masih terjadi pertempuran di sana-sini, tetapi pertempuran itu tinggal sekedar penyelesaian saja. Jika para pemimpin itu tidak segera berhasil mengakhiri lawan-lawannya sehingga dapat membantu orang-orang yang jumlahnya sudah jauh menyusut itu, maka mereka tidak lagi mempunyai harapan.

Dengan marah pemimpin, perguruan Susuhing Angin itu menyerang seperti arus banjir bandang. Juragan gula yang melawannya sempat terdesak beberapa langkah surut. Bahkan pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sempat menggeram “Ternyata kau cukup liat Ki Sanak. Tetapi kesempatanmu tidak terlalu banyak lagi.”

Juragan gula itu sama sekali tidak menjawab. Tombaknya yang terayun mendatar hampir saja menyambar wajah lawannya Tetapi lawannya sempat mengelak dan bahkan meloncat memasuki jarak jangkau senjatanya justru ketika tombak lawannya bergerak ke samping. Dengan derasnya senjatanya terayun mengarah ke dahi.

Tetapi tombak juragan gula itu sempat berputar. Dengan landeannya juragan gula itu sempat menangkis serangan itu dan menebas senjata lawannya, menyamping.

Namun pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah menjadi kehilangan kendali. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya, ia berusaha melibat juragan gula itu pada jarak yang lebih pendek. Pemimpin peguruan Susuhing Angin itu berusaha agar tombak lawannya tidak banyak berarti lagi.

Tetapi juragan gula itu cukup tangkas. Meskipun pertempuran itu jaraknya semakin rapat, namun tombak juragan gula itu masih tetap berbahaya. Bukan saja ujungnya. Tetapi pangkalnya pun merupakan senjata yang sangat berbahaya pula. Ketika pangkal landean tombak itu mengenai pundak pemimpin perguruan Susuhing Angin itu, maka orang itu meloncat beberapa langkah surut. Pundaknya terasa menjadi sakit sekali. Bahkan rasa-rasanya ada tulangnya yang retak.

Namun dengan demikian, maka iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Ketika ia mempersiapkan diri untuk bertempur habis-habisan, maka seakan-akan dari matanya telah membayang warna kemerah-merahan. Jari-jarinya yang menggenggam senjatanya telah disaput asap tipis yang berwarna kehitam-hitaman. Seakan-akan memancarkan warna landasan ilmunya yang hitam pula.

Juragan gula yang melihat lawannya sampai ke puncak ilmunya, iapun telah mengerahkan kemampuannya pula. Kakinya yang merenggang, dan sedikit merendah pada lututnya, seakan-akan telah menghujam ke dalam bumi. Pertahanannya, menjadi semakin kokoh sehingga sulit untuk digoyahkan.

Pada puncak kemampuan masing-masing, maka pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan segera. Membunuh lawannya atau mati. Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah benar-benar pertempuran antara hidup dan mati.

Pemimpin perguruan Susuhing Angin yang datang dengan dada tengadah beserta beberapa orang pengikutnya, tidak mau mengorbankan harga dirinya. Ketika ia memasuki rumah itu, ia merasa yakin bahwa ia akan memegang peranan penting dalam perebutan pusaka-pusaka yang amat mahal harganya itu. Setidak-tidaknya ia akan dapat menjadi penentu disamping Panembahan Lebdagati sendiri.

Namun ternyata ia telah mendapat lawan yang berilmu sangat tinggi, bahkan di tangannya telah tergenggam salah satu dari pusaka-pusaka yang menurut ciri-cirinya adalah pusaka yang diperebutkan itu. Namun betapapun pemimpin dari perguruan Susuhing Angin itu berusaha, maka juragan gula itu masih saja tetap mampu mempertahankan dirinya.

Demikianlah, pada tataran tertinggi dari hentakan ilmunya, maka pemimpin dari perguruan Susuhing Angin itu telah berloncatan berputaran mengelilingi lawannya. Semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga putaran itu menjadi bagaikan angin pusaran.

Namun yang ada di dalam pusaran itu adalah seorang yang juga berilmu tinggi. Juragan gula dengan tombak di tangan justru berdiri diam di tempatnya. Kakinya benar-benar bagaikan berakar menusuk ke dalam bumi. Pusaran yang mengitarinya itu tidak mampu menggoyahkannya.

Meskipun juragan gula itu seakan-akan justru menunduk sambil memejamkan matanya, namun ia tahu pasti, di mana lawannya itu berada. Pusaran yang semakin cepat sehingga berubah menjadi semacam kabut kelabu yang berputar sama sekali tidak membingungkannya.

Juragan gula itu tahu pasti, bahwa lawannya yang, berputar itu mengacukan senjatanya siap menggapai tubuhnya. Tetapi dengan ketajaman inderanya, maka juragan gula itu seakan-akan melihat ujung senjata lawannya yang berputar di sekelilingnya itu.

Sejenak ketegangan telah mencekam. Nyi Prawara dan Winih yang telah bebas dari lawan-lawan mereka melihat pertempuran itu dengan tegang, sedangkan Manggada dan Laksana menjadi bingung, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Dalam pada itu, juragan gula yang berdiri ditengah-tengah pusaran sambil menundukkan kepalanya serta memejamkan matanya itu telah memusatkan nalar budinya pula. Sekali-sekali saja ujung tombaknya bergerak. Bahkan sekali-sekali terdengar dentang senjata beradu.

Tetapi Manggada dan Laksana tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kabut kelabu yang berputar itu memang menghalangi penglihatannya, sehingga ia tidak melihat jelas apa yang terjadi. Bahkan menurut penglihatannya dalam keremangan cahaya oncor di kejauhan, di dalam pusaran itu tidak ada gerak sama sekali.

Namun dalam puncak benturan kekuatan ilmu itu, tiba-tiba terdengar juragan gula itu berteriak menghentak mengatasi segala suara dan hiruk pikuk pertempuran. Disusul oleh teriakan tertahan. Sementara itu, pusaran yang melingkari juragan gula itu nampak bergejolak sesaat. Namun kemudian tubuh pemimpin perguruan Susuhing Angin itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit, sementara juragan gula itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

Tetapi jantung Manggada dan Laksana bagaikan terhenti berdetak. Ia melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin itu terhuyung-huyung kembali dan akhirnya jatuh terguling. Sementara itu, juragan gula ini masih berdiri tegak dengan tombak yang merunduk di tangannya. Ujung tombak itu menjadi merah oleh darah, sementara itu darah nampak mengalir dari tubuh lawannya yang terbaring diam.

Tetapi Nyi Prawara itupun kemudian berdesis, "Kiai...!”

Mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang sejenak. Namun Nyi Prawara pun kemudian berlari mendekati juragan gula yang kemudian jatuh berlutut pada sebelah lututnya. Bahkan kemudian ia harus berpegangan pada landean tombaknya yang menjadi tegak di sisinya.

Winih pun hampir saja berlari mendekati pula. Namun langkahnya tertahan. Ia harus berada dekat dengan songsong yang masih saja dipegang oleh Laksana itu.

"Kiai Padma" desis Nyi Prawara "Apakah Kiai terluka?"

Juragan gula itu menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak Nyi. Aku hanya merasa sangat letih setelah aku menghentakkan segala tenaga dan kemampuanku.”

"Mari Kiai, aku bantu Kiai menepi...” berkata Nyi Prawara.

"Tidak. Tidak usah Nyi. Aku justru ingin melihat apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita yang lain...?” berkata juragan gula itu.

Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Sementara itu, juragan gula itu justru telah duduk di tanah, sedangkan Nyi Prawara berdiri di sebelahnya. Nampaknya setelah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan yang ada di dalam dirinya, juragan gula itu seakan-akan telah kehabisan tenaganya. Nyi Prawara memang tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian juragan gula itu memang menjadi lemah.

Dalam pada itu, selagi Nyi Prawara berdiri di sebelah juragan gula itu, ia memperhatikan pertempuran yang masih membakar halaman rumah yang besar itu. Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu agaknya sudah dapat menguasai keadaan. Tetapi Ki Prawara sendiri masih bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Windu Kusuma, sedangkan Kiai Gumrah berhadapan langsung dengan saudara seperguruannya yang ternyata telah berkhianat. Kiai Kajar....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 21