Matahari Senja Bagian 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 11
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
DUA ekor harimau berjalan bersama dengan mereka. Namun kadang-kadang kedua ekor harimau itu menghilang. Baru beberapa saat kemudian, muncul kembali dan ikut berjalan beriring pada jalan setapak yang berbatu padas.

Baru beberapa saat kemudian, mereka sampai di tempat terbuka. Mereka berada di sebuah jalan kecil yang dapat mereka lalui menuju ke padepokan yang mereka tuju. Tetapi mereka tidak pergi ke padukuhan itu. Mereka akan berada di sekitar sanggar untuk melihat suasana. Dalam kegelapan mereka pun merayap semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju.
Seperti yang mereka duga, bahwa di padukuhan itu juga terdapat sebuah sanggar yang dibatasi dengan dinding kayu batang kelapa utuh yang dipotong rampak dan ditanam berkeliling. Seperti yang terdapat di padukuhan tempat tinggal Ki Krawangan, maka didalam sanggar itu terdapat bangunan khusus untuk menyerahkan korban.

“Kita bermalam disini.” berkata Ki Ajar Pangukan. Lalu katanya pula “Tentu tidak ada orang yang akan memasuki sanggar ini.”

Yang lain pun sepakat. Mereka akan bermalam di sanggar yang terbuka itu. Tetapi sudah tentu bahwa mereka harus membagi waktu bergantian berjaga-jaga.

Menjelang fajar, yang bertugas berjaga-jaga adalah Manggada dan Laksana. Perhatian mereka tertarik pada sikap dua ekor harimau milik Ki Pandi yang menyusul ke sanggar itu. Kedua ekor harimau itu seakan-akan ingin berbicara kepada Manggada dan Laksana. Mereka memberikan isyarat yang agaknya ingin memberitahukan sesuatu.

”Kita bangunkan saja Ki Pandi,“ desis Manggada.

Laksana mengangguk kecil sambil beringsut dan mendekati Ki Pandi yang tertidur. Agaknya Ki Pandi memang letih setelah menempuh perjalanan panjang mengambil kedua ekor harimaunya. Tetapi Ki Pandi segera bangkit ketika kedua anak muda itu membangunkannya.

”Ada apa?“ bertanya Ki Pandi. ”Harimau itu,“ jawab Laksana.

Ki Pandipun kemudian mendekati kedua ekor harimau yang seakan-akan berbicara kepadanya. “Tentu ada sesuatu yang menarik perhatian kedua ekor harimau itu,” berkata Ki Pandi.

“Apa Ki Pandi?“ bertanya Laksana.

“Marilah kita lihat,” jawab Ki Pandi.

Namun sebelum pergi Ki Pandi telah membangunkan kawan-kawannya yang masih tidur nyenyak diatas rerumputan. Tetapi Ki Lemah Teles tidur mendekur saja diatas tempat orang-orang padukuhan itu menyerahkan korban.

Ki Pandipun memberitahukan kepada mereka, bahwa ia ingin mengikuti kedua ekor harimau yang telah memberikan isyarat kepadanya untuk mengikutinya. Ki Pandi pun segera berbenah diri. Manggada dan Laksana telah dibawanya mengikuti kedua ekor harimaunya yang berjalan keluar dari sanggar yang kosong itu.

Beberapa saat mereka berjalan di keremangan dini hari. Dengan sangat berhati-hati mereka berusaha mendekati padepokan yang masih disaput oleh embun yang tipis. Ki Pandi mengikuti saja kedua ekor harimaunya yang menyusup diantara gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di kaki Gunung.

Namun kemudian kedua ekor harimau Ki Pandi itupun berhenti. Dengan isyarat yang hanya diketahui oleh Ki Pandi kedua ekor harimau itu nampaknya telah memberitahukan sesuatu. Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Kepada Manggada dan Laksana ia berbisik, ”Kalian tinggal disini saja. Aku akan bergeser mendekat.”

Keduanya mengangguk. Jika Ki Pandi sudah mengisyaratkan agar mereka tinggal, maka tentu ada sesuatu yang akan dapat membahayakan mereka. Karena itu, maka keduanya tidak memaksa untuk mengikutinya.

Dalam pada itu, dengan sangat berhati-hati Ki Pandi bergerak lebih dekat lagi. Dua ekor harimaunya berjalan mengendap-endap, seakan-akan sedang merunduk mangsanya. Ketika kedua ekor harimau itu kemudian berhenti dan mendekam dibelakang sebuah gerumbul, maka Ki Pandi pun menjadi semakin berhati-hati.

Dengan jantung yang berdebaran, Ki Pandi kemudian melihat beberapa kelompok orang yang sudah bersiap-siap dengan senjata ditangan menghadap kearah pintu gerbang padepokan.

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Panembahan Lebdagati ternyata tidak tanggung-tanggung mempersiapkan diri menghadapi padepokan Kiai Banyu Bening. Agaknya ia telah mengerahkan pengikut-pengikutnya untuk menyerang padepokan yang tidak tunduk pada perintahnya itu.

“Ternyata Panembahan Lebdagati benar-benar tidak menunggu besok atau lusa. Demikian ancamannya tidak dipatuhi, maka iapun segera datang dengan kekuatan yang besar“ berkata Ki Pandi didalam hatinya.

Sejenak Ki Pandi termangu-mangu. Agaknya Panembahan Lebdagati menunggu matahari terbit. Tetapi Ki Pandi tidak ingin melihat peristiwa yang penting itu sendiri. Maka iapun segera memberi isyarat kepada kedua ekor harimaunya agar tetap tinggal disitu. Ki Pandi sendiri telah beringsut disela-sela gerumbul-gerumbul perdu mendekati Manggada dan Laksana.

“Berhati-hatilah. Beritahu Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang ada di sanggar. Biarlah mereka melihat apa yang akan terjadi disini. Tetapi merekapun harus berhati-hati. Aku menunggu mereka disini.”

Manggada dan Laksana pun kemudian dengan sangat berhati-hati meninggalkan tempatnya menuju ke sanggar padukuhan untuk menjemput Ki Ajar Pangukan dan mereka yang berada di sanggar itu. Ketika mereka sampai ditempat Ki Pandi menunggu, langit sudah menjadi semakin merah. Kabut justru nampak menjadi lebih tebal menebar di kaki Gunung.

“Kita akan menebar...“ berkata Ki Pandi “kita akan melihat apa yang terjadi dari beberapa arah.”

Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Kabut yang putih buram mampu melindungi gerak mereka yang memencar itu. Namun Manggada dan Laksana tetap bersama Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya.

Ketika kemudian langit menjadi semakin cerah, maka Panembahan Lebdagati telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk mulai bergerak. Dengan isyarat bunyi seperti suara burung kedasih, maka para pengikut Panembahan Lebdagati itupun mulai bergerak.

Ki Pandi yang bersembunyi didalam semak-semak bersama Manggada, Laksana dan kedua ekor harimaunya, meskipun tidak terlalu dekat, dapat melihat gerak para pengikut Panembahan Lebdagati mendekati padepokan Kiai Banyu Bening.

Namun dalam pada itu, para cantrik Kiai Banyu Beningpun telah bersiap menunggu kedatangan lawan-lawan mereka dari balik dinding padepokan. Mereka berdiri diatas panggungan yang memanjang di belakang dinding padepokan.

Tetapi hal itu sudah diperhitungkan oleh para pengikut Panembahan Lebdagati, sehingga sebagian dari mereka telah membawa perisai untuk melindungi diri. Tetapi yang lain yakin akan dapat menepis serangan anak panah dengan pedangnya. Sementara yang lain lagi membalut lengan kirinya dengan kain panjang yang akan dapat dipergunakan sebagaimana sebuah perisai.

Sementara itu, Ki Ajar Pangukan dan orang-orang tua yang lain yang tinggal dirumahnya, telah berpencar. Mereka mencoba mengamati keadaan yang terjadi di padepokan itu sebaik-baiknya.

Ketika kemudian matahari terbit, maka para pengikut Panembahan Lebdagati telah mendekati pintu gerbang padepokan. Beberapa orang membawa sebatang kayu yang cukup besar dan panjang yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan pintu. Sementara beberapa orang yang lain membawa tali ijuk dengan jangkar besi yang diikat diujungnya.

Dalam pada itu, para cantrik dan putut di padepokan Kiai Banyu Bening telah bersiap. Anak panah telah melekat dibusurnya. Pada saat yang tepat, anak panah itu akan meluncur kearah para pengikut Panembahan Lebdagati diluar dinding.

Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak berada terlalu dekat dengan padepokan, namun mereka dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi kemudian.

Ketika terdengar aba-aba dari para pemimpin dari padepokan Kiai Banyu Bening, maka anak panahpun segera meluncur dari busurnya seperti hujan yang tercurah dari langit. Namun para pengikut Panembahan Lebdagati telah bersiap untuk menangkis serangan itu dengan perisai mereka. Sedangkan yang lain menepis dengan pedang atau tombak atau senjata yang lain. Sedangkan yang lain lagi menepis anak panah itu dengan kain panjang yang mereka ikatkan pada lengan kirinya.

Perlahan-lahan para pengikut Panembahan Lebdagati itu bergerak maju. Mereka terhenti sejenak, ketika mereka sampai pada jarak jangkau anak panah lawannya, seolah-olah mereka sedang menguji kemampuan mereka menangkis, menepis dan menghindari serangan anak panah itu.

Sementara itu, orang-orang yang membawa sepotong kayu yang besar dan cukup panjang telah bersiap pula mengambil ancang-ancang, sedangkan yang lain bersiap untuk melindungi mereka dari serangan anak panah dan lembing yang tentu akan dilontarkan dari panggungan disebelah menyebelah regol.

Beberapa saat gerak para pengikut Panembahan Lebdagati memang terhenti, seolah-olah anak panah dan lembing yang dilontarkan dari belakang dinding padepokan itu mampu menghentikan serangan mereka. Namun tiba-tiba saja terdengar teriakan nyaring. Peringatan untuk dengan cepat menyerang. Teriakan itu bersambut dan diteriakkan sambung menyambung.

Sejenak kemudian, maka serangan itupun datang seperti arus banjir bandang. Para pengikut Panembahan Labdagati itupun berlari-lari sambil berteriak-teriak memekakkan telinga. Mereka menghambur dengan cepat mendekati dinding padepokan.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua kelompok yang besar dari dua lingkungan hitam telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata para pengikut Panembahan Lebdagati tidak sekedar membiarkan mereka menjadi sasaran. Tetapi sebagian dari para pengikut Panembahan Lebdagati juga mempergunakan busur dan anak panah untuk melindungi kawan-kawan mereka, terutama mereka yang berusaha memecahkan pintu gerbang.

Sekelompok orang yang memanggul sebatang kayu yang besar dan panjang itupun kemudian telah berlari-lari dengan cepat mengarah ke pintu. Sementara itu, sekelompok yang lain juga berlari-lari melindungi mereka dengan perisai serta senjata mereka masing-masing agar anak panah yang meluncur dari panggungan disebelah menyebelah pintu gerbang itu tidak mengenai sasaran.

Betapa kuatnya selarak pintu gerbang padepokan itu, namun dengan hentakan-hentakan yang tidak ada henti-hentinya, maka selarak pintu gerbang itupun mulai menjadi retak. Kiai Banyu Bening yang menyaksikan keadaan selarak itupun segera memberikan aba-aba, bahwa pertahanan terkuat harus diletakkan disekitar pintu gerbang.

Demikian pintu gerbang terbuka, serta orang-orang yang berada diluar menyerbu masuk, maka para cantrik itu harus berusaha menyerang mereka dengan anak panah dan lembing sebelum mereka terlibat dalam pertempuran seorang melawan seorang.

“Kita harus berusaha mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.”

Perintah itu telah menjalar dari seorang cantrik ke cantrik yang lain, sehingga ketika retak selarak pintu gerbang itu menjadi semakin parah, sekelompok cantrik telah siap dengan busur dan anak panah. Sementara itu, yang lainpun telah siap untuk melemparkan lembing-lembing bambu dengan bedor besi yang tajam.

Demikianlah seperti yang telah diperhitungkan, maka selarak pintu yang rangkap itu masih tidak mampu menahan hentakan-hentakan yang berulang kali tanpa hitungan itu. Akhirnya satu diantara kedua selarak pintu itupun telah patah, sementara selarak yang satu lagi tidak dapat bertahan terhadap dua hentakan berikutnya.

Sejenak kemudian, maka pintu gerbang itu telah terdorong dan terbuka. Seperti air yang melimpah, para pengikut Panembahan Lebdagati mengalir memasuki pintu gerbang yang terbuka itu. Berdesakan berebut dahulu. Teriakan-teriakan nyaring terdengar bagaikan meruntuhkan langit.

Namun dengan tangkasnya para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening telah melepaskan anak panah yang sudah siap terpasang dibusurnya. Terdengar teriakan kesakitan dan kemarahan sekaligus melengking diantara sorak para pengikut Panembahan Lebdagati itu. Beberapa orangpun roboh. Terinjak oleh kaki kawan-kawannya sendiri.

Sementara itu, para cantrik tidak sempat lagi memasang anak panah pada busurnya ketika orang-orang yang menyerbu masuk itu berlari-larian menyerang mereka dengan garangnya. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan, seperti tangan-tangan maut yang sedang menggapai nyawa para cantrik yang sedang bertahan itu. Pertempuran yang sengit pun tidak terelakkan lagi.

Sementara itu, beberapa orang yang berusaha memanjat tali-tali yang diikat pada jangkar bumi yang dilontarkan ke bibir dinding padepokan, mulai berhasil pula. Para cantrik yang berusaha memotong tali-tali itu, harus menjaga diri mereka dari sengatan anak panah yang dilontarkan dari luar dinding, sehingga ada diantara mereka yang terlambat menahan gerak orang-orang yang sedang memanjat itu.

Dalam waktu yang singkat, maka pertempuranpun telah menjalar menyusup diantara bangunan-bangunan di padepokan itu. Para cantrik yang berada di panggungan dibelakang dinding itupun telah berloncatan turun. Mereka tidak lagi harus bertahan agar orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak dapat memasuki dinding.

Tetapi justru karena pintu gerbang telah terbuka, maka arus serangan itu tidak tertahankan lagi. Para pengikut Panembahan Lebdagati pun tidak mau mempersulit diri dengan memanjat tali serta melemparkan jangkar yang dapat mengait bibir dinding padepokan. Tetapi mereka berlari-lari menuju ke pintu gerbang dan masuk kedalamnya tanpa banyak kesulitan.

Para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening itu berusaha untuk bertahan sekuat-kuatnya. Dengan pengenalan mereka yang lebih baik terhadap medan, maka mereka mempunyai kesempatan lebih baik dari lawan-lawan mereka. Tiba-tiba saja para cantrik itu seakan-akan menghilang. Namun dengan tiba-tiba pula mereka datang menyerang dengan garangnya tanpa diketahui dari mana mereka datang.

Setiap pintu bangunan yang ada di padepokan itu dapat menjadi sumber malapetaka. Pintu yang tertutup itu tiba-tiba saja terbuka. Ujung-ujung senjata terjulur dengan cepat menyambar tubuh mereka. Bahkan sudut-sudut rumah yang ada dapat menjadi tempat para cantrik menunggu korban mereka.

Meskipun demikian, namun para putut dan cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening itu mulai merasakan tekanan yang kuat dari para pengikut Panembahan Lebdagati. Beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati tidak dapat dilawan oleh hanya dua orang saja. Bahkan ketika para pemimpin dari kedua belah pihak mulai saling bertemu, maka mulai terasa bahwa orang-orang Panembahan Lebdagati memiliki beberapa kelebihan dari pada putut dan cantrik di padepokan itu.

Dalam pada itu, Kiai Banyu Bening yang masih mencoba untuk melihat ketahanan para pengikutnya mulai menjadi gelisah. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, ternyata beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati memiliki ilmu yang tinggi. Kiai Banyu Bening memang harus menyadari, bahwa padepokannya adalah padepokan yang jauh lebih muda dari para pengikut Panembahan Lebdagati, sehingga karena itu.

Maka para pengikut Kiai Banyu Bening pun masih belum akan dapat mengimbangi kemampuan para pengikut Panembahan Lebdagati yang meskipun sebagian bukan pengikut-pengikutnya sejak awal ia mulai. Tetapi nama Panembahan Lebdagati memiliki wibawa tersendiri, sehingga tidak sulit bagi Panembahan Lebdagati untuk mencari pengikut dan bahkan kawan-kawan baru dari lingkungan orag-orang berilmu tinggi. Karena itu, maka Kiai Banyu Bening tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus segera dapat mengatasi kesulitan itu.

“Aku harus bertemu langsung dengan orang yang mengaku bernama Panembahan Lebdagati itu.“ berkata Kiai Banyu Bening didalam hatinya “Jika aku dapat segera menyelesaikannya, maka aku akan segera dapat mengusir dan bahkan menghancurkan para pengikutnya.”

Dengan beberapa orang terpilih diantara para pemimpin padepokan itu, maka Kiai Banyu Bening siap menghadapi orang yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati itu. Namun dalam pada itu, Kiai Banyu Bening sempat bertanya kepada seorang yang bertubuh raksasa yang pernah berada di sanggar saat Ki Pandi memberikan korban setandan pisang, sehingga Ki Pandi sendiri akhirnya akan dikorbankan.

”Dimana Warana?”

Orang bertubuh raksasa itu menggeleng sambil menjawab, ”Sejak tadi aku tidak melihatnya, Kiai.”

Namun seorang yang lain menjawab, “Bersama sekelompok cantrik Ki Warana berusaha mempertahankan pintu gerbang butulan disisi barat. Agaknya sekelompok pengikut Panembahan Lebdagati berusaha untuk memecahkan pintu butulan itu.”

Kiai Banyu Bening mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lagi. Dibawanya beberapa orang terpilih itu untuk langsung menghadapi Panembahan Lebdagati. Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati ternyata bersama-sama dengan beberapa orang tengah mencerai-beraikan sekelompok cantrik yang semula mengepungnya.

Tetapi para cantrik itu tidak mampu bertahan. Sebagian dari mereka justru tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Para cantrik yang memang hampir saja melarikan diri menghindari itu telah terhimpun kembali ketika mereka melihat Kiai Banyu Bening sendiri datang untuk menghadapi Panembahan Lebdagati.

Panembahan Lebdagati yang melihat kehadiran Kiai Banyu Bening telah menyongsongnya sambil tersenyum. Katanya dengan nada berat, “Selamat bertemu Kiai Banyu Bening. Kita belum terlalu akrab berkenalan. Tetapi aku tahu pasti bahwa kau adalah Kiai Banyu Bening.”

“Kau siapa?“ bertanya Kiai Banyu Bening.

”Kau tidak mengenal aku?” bertanya Panembahan Lebdagati sambil tersenyum.

“Tidak. Aku tidak mengenalmu.“ jawab Kiai Banyu Bening.

“Kenapa kita harus berpura-pura. Sebelum kita bertemu, kau dapat saja tidak percaya bahwa aku adalah Panembahan Lebdagati. Kau dapat menduga bahwa orang lain memanfaatkan kebesaran nama Panembahan Lebdagati bagi kepentingannya sendiri. Tetapi setelah kita bertemu dan berhadapan seperti sekarang ini, seharusnya kau dapat mengenali aku. Aku adalah Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”
“Persetan dengan pengakuanmu. Tetapi kau salah jika kau menganggap bahwa dengan berlandaskan nama Panembahan Lebdagati kau dapat menakut-nakuti aku.”

Panembahan Lebdagati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa, “Kau mencoba untuk membesarkan hatimu sendiri dengan menganggap bahwa aku bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”

“Kau kira aku menjadi ketakutan seandainya Panembahan Lebdagati itu sekarang datang kemari?”

Panembahan Lebdagati tertawa semakin keras. Katanya kemudian, “Baiklah. Siapapun aku, tetapi aku tetap pada tuntutanku. Daerah ini akan aku ambil kembali. Aku sudah memberimu waktu sepuluh hari. Aku kira waktu itu sudah terlalu cukup. Karena sampai batas terakhir kau tetap berkeras, maka aku datang untuk menghukummu.”

“Tetapi kau harus melihat kenyataan, bahwa kau datang untuk mengantarkan nyawamu. Meskipun setelah kau mati, tentu ada orang lain yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati.”

“Baik. Baik...!“ jawab Panembahan Lebdagati “Apapun katamu, tetapi bersiaplah untuk mati.”

Kiai Banyu Bening itupun kemudian telah memberi isyarat kepada putut dan cantrik yang datang bersamanya untuk memencar menghadapi para pengikut Panembahan Lebdagati yang ada di sekitarnya.

Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dimana-mana. Para cantrik memiliki kemungkinan lebih baik dengan memanfaatkan medan. Tetapi secara pribadi para pengikut Panembahan Lebdagati memiliki ilmu yang lebih tinggi.

Dalam pada itu, maka pertempuran yang terjadi antara Panembahan Lebdagati dan Kiai Banyu Bening telah menjadi semakin sengit. Keduanya mulai meningkatkan ilmu mereka. Dengan cepat mereka berloncatan menyerang dan menghindar. Keduanya memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga pertempuran itu tidak segera dapat dibayangkan, siapakah yang akan menang dan siapakah yang bakal kalah.

Panembahan Lebdagati yang bertempur dengan mantap, tidak terlalu banyak bergerak. Tetapi setiap ayunan tangannya, seakan-akan tetap menghamburkan angin yang tajam menusuk kulit. Sementara itu, Kiai Banyu Bening bertempur dengan tangkasnya. Ia bergerak cepat, sehingga sekali-sekali serangannya mampu menyusup pertahanan Panembahan Lebdagati.

Dengan demikian, baik Panembahan Lebdagati maupun Kiai Banyu Bening menjadi semakin berhati-hati. Mereka harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Panembahan Lebdagati yang semula meragukan tingkat kemampuan Kiai Banyu Bening sebagaimana Kiai Banyu Bening yang menganggap bahwa lawannya bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.

Sehingga tataran ilmunya juga tidak akan terlalu tinggi, harus mengakui bahwa mereka telah salah hitung. Panembahan Lebdagati harus mengakui kelebihan Kiai Banyu Bening, sedangkan Kiai Banyu Bening harus mengakui kelebihan lawannya, apakah ia Panembahan Lebdagati yang sebenarnya atau bukan.

Dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan serta orang-orang yang tinggal dirumahnya, ternyata tidak mampu melihat apa yang terjadi didalam lingkungan dinding padepokan. Merekapun tidak dapat lebih mendekat lagi, jika mereka tidak ingin terlibat dalam pertempuran itu. Karena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah menunggu, apa yang akan terjadi dalam pertempuran yang melibatkan banyak orang itu.

Manggada dan Laksana yang bersembunyi didalam gerumbul perdu bersama Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya, mengamati burung-burung elang yang berterbangan diatas padepokan. Dari gerak burung-burung elang itu, mereka rasa-rasanya dapat menduga, apa yang telah terjadi di padepokan.

Burung-burung yang semula berterbangan berputar-putar itu, kemudian telah nampak menjadi gelisah. Burung-burung itu terbang semakin rendah. Sekali-sekali burung-burung itu menukik dalam sekali, bahkan seakan-akan hilang dibelakang dinding padepokan. Namun kemudian muncul kembali dan terbang semakin tinggi.

“Burung-burung itu tentu telah melibatkan diri.” Berkata Manggada hampir berbisik.

“Ya,” sahut Laksana “Agaknya pertempuranpun menjadi semakin sengit."

“Burung-burung elang itu cukup berbahaya,“ desis Manggada kemudian.

Laksana mengangguk kecil. Namun kemudian dahinya berkerut ketika ia melihat kegelisahan burung-burung itu menjadi semakin meningkat. Burung-burung itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Bahkan burung-burung itupun telah memberikan isyarat tidak saja dengan geraknya, tetapi burung-burung itu mulai berteriak-teriak dengan suaranya yang nyaring. Kuku-kukunya yang dipertajam dengan baja menjadi semakin berbahaya.

“Sayang,“ berkata Manggada “Kita tidak dapat melihat apa yang terjadi didalam padepokan itu.”

“Kita akan mendengar dari Ki Warana,“ sahut Ki Pandi.

“Bagaimana jika Ki Warana terbunuh dalam pertempuran itu?”

“Mudah-mudahan ada orang lain yang mengambil alih tugasnya.“ jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun keduanya nampak menjadi tegang. Sementara itu, burung-burung elang itupun menjadi semakin sibuk pula.

Sebenarnyalah pertempuran didalam padepokan itu menjadi semakin sengit. Para cantrik padepokan Kiai Banyu Bening benar-benar memanfaatkan medan untuk mengimbangi kelebihan kemampuan lawan-lawan mereka. Sambil bertempur mereka berlari-larian diantara bangunan yang ada di padepokan. Namun kemudian kelompok-kelompok yang lain menyerang dengan tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Dengan demikian, maka para pengikut Panembahan Lebdagati menjadi sangat sibuk menghadapi mereka. Karena itu, pawang burung-burung elang itu telah melibatkan burung-burungnya dalam pertempuran.

Bagaimanapun juga, burung-burung elang itu berpengaruh pula. Kukunya yang dipertajam dengan ujung-ujung baja yang runcing, sangat berbahaya bagi para cantrik. Kuku-kuku itu dapat menghunjam ke kulit daging para cantrik jika mereka gagal menghindar.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Panembahan Lebdagati masih saja bertempur melawan Kiai Banyu Bening. Keduanya bukan saja meningkatkan kemampuan mereka, tetapi mereka sudah mulai merambah ke tataran ilmu yang lebih tingi.

Kiai Banyu Bening sambil meloncat-loncat disekitar bangunan yang dikeramatkannya. Sebuah nisan kecil yang berada diatas lembaran bangunan dari yang agak tinggi. Bahkan Kiai Banyu Bening seakan-akan selalu menjaga jarak dengan bangunan itu. Bangunan yang menurut Kiai Banyu Bening adalah kuburan anak bayinya yang terbunuh didalam nyala api.

Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Dengan ilmunya Panerabahan Lebdagati berusaha untuk segera menghentikan perlawanan Kiai Banyu Bening. Tetapi Kiai Banyu Bening ternyata masih mampu mengimbanginya, sehingga dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Sementara itu pertempuran di padepokan itu masih berlangsung terus. Korban berjatuhan semakin lama menjadi semakin banyak. Tubuh yang berbujur lintang bertebaran dimana-mana. Sebagian masih mengerang kesakitan. Bahkan mereka masih mencoba merangkak mencari perlindungan dari teriknya matahari. Namun yang lain sama sekali sudah tidak bergerak lagi.

Panembahan Lebdagati yang berilmu sangat tinggi itu telah mengambil keputusan, untuk segera mengakhiri perlawanan Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka ilmunyapun menjadi semakin meningkat sejalan dengan kemarahan yang semakin menghentak didadanya.

Tetapi Kiai Banyu Bening yang menyadari bahwa para pengikutnya semakin banyak yang menjadi korban, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Dengan demikian, maka benturan-benturan yang terjadi diantara keduanya pun menjadi semakin sengit. Kekuatan dan kemampuan Panembahan Lebdagati yang memanjat sampai kepuncak, telah mendesak Kiai Banyu Bening beberapa langkah surut. Namun Kiai Banyu Bening yang bertempur didekat alas nisan bayinya itu, mampu menunjukkan kelebihannya pula.

Dalam keadaan yang memuncak itu, maka Panembahan Lebdagati pun telah merambah ke ilmunya yang jarang ada duanya. Dengan mengerahkan ilmunya, Panembahan Lebdagati telah menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap kearah Kiai Banyu Bening. Tetapi Kiai Banyu Bening tanggap akan serangan itu. Dengan cepatnya Kiai Banyu Bening meloncat berlindung dibalik nisan kecilnya.

Serangan Panembahan Lebdagati itu telah membentur bangunan alas nisan kecil. Tetapi bangunan itu sama sekali tidak menjadi goyah. Bahkan dari balik bangunan itu, Kiai Banyu Bening telah membalas menyerang. Dari tangannya seakan-akan telah memancar segenggam pasir yang membara.

Panembahan Lebdagati yang melihat serangan itu, meloncat menghindar. Ia harus menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Ia sadar, bahwa serangan itu merupakan serangan yang sangat berbahaya. Sebutir saja pasir yang membara itu mengenai kulitnya, maka pasir itu seakan-akan mampu melubangi kulitnya dan membuat liang pada dagingnya.

“Iblis kau, Banyu Bening,“ desis Panembahan Lebdagati.

“Menyerahlah. Kau akan menjadi korban yang pertama dari padepokan ini bagi bayiku.”

Panembahan Lebdagati tidak menjawab. Namun serangannya telah meluncur kembali dari kedua telapak tangannya. Sekali lagi Kiai Banyu Bening bersembunyi dibalik bangunan alas nisan bayinya itu.

Namun Panembahan Lebdagati dengan cepat meloncat mendekat. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang, karena demikian ia melihat kemungkinan Kiai Banyu Bening itu menyerang dengan menaburkan bubuk pasir yang bagaikan membara itu, Panembahan Lebdagati telah mendahuluinya.

Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin seru. Kiai Banyu Bening masih saja melingkar-lingkar disekitar bangunan alas nisan anaknya. Namun setiap kali ia menyerang, serangannya pun selalu gagal.

Dalam keadaan yang demikian, maka Panembahan Lebdagati itu telah mempergunakan kemampuannya yang lain. Tiba-tiba saja maka Panembahan Lebdagati itu melenting bangkit pada jarak kurang dari selangkah dihadapan Kiai Banyu Bening.

Kiai Banyu Bening tidak mempunyai kesempatan lagi. Dengan cepat keris Panembahan Lebdagati telah terhunjam di dada Kiai Banyu Bening. Kiai Banyu Bening tidak lagi dapat menghindari kenyataan itu. Ia sempat memandang wajah Panembahan Lebdagati dengan sorot mata bagaikan membara. Tetapi ketika Panembahan Lebdagati menarik kerisnya, maka Kiai Banyu Bening itupun jatuh terkulai ditanah. Panembahan Lebdagati termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tubuh Kiai Banyu Bening yang terbaring ditanah.

”Setan kau,..!” geram Panembahan Lebdagati “Kau terlalu cepat mati, sehingga kau tidak sempat mengagumi kemampuanku yang tidak ada duanya.”

Sementara itu orang-orang yang bertempur di sekitarnya melihat, bahwa Panembahan Lebdagati telah berhasil mengakhiri perlawanan Kiai Banyu Bening. Beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati pun telah bersorak meneriakkan kemampuannya.

Sementara itu, para cantrik dan pengikut Kiai Banyu Bening menjadi kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tanpa pimpinan Kiai Banyu Bening, maka para cantrik itu bagaikan lidi tanpa ikatan.

Namun dalam pada itu, beberapa orang yang telah mengikatkan diri dengan Ki Warana berusaha untuk menghindar dari pertempuran. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Berlindung dibelakang keadaan medan yang kurang dipahami oleh para pengikut Panembahan Lebdagati, mereka berusaha melepaskan diri.

Seorang diantara para cantrik dengan cepat berusaha menemui Ki Warana yang bertempur justru di bagian belakang padepokan itu. Ki Warana yang pernah mendapat peringatan dari Ki Pandi tentang kelebihan Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya, sehingga Ki Warana telah mempersiapkan diri untuk mengambil langkah-langkah tertentu.

Karena itu, demikian seseorang memberitahukan kepadanya, bahwa Kiai Banyu Bening telah terbunuh, maka hilanglah beban yang menggantung di pundak Ki Warana untuk membela padepokan yang pernah dihuninya itu. Karena itu, maka ia mulai melaksanakan rencananya untuk meninggalkan padepokan yang sudah tidak mungkin dipertahankannya lagi itu.

Karena itu, maka Ki Warana itu harus bergerak dengan cepat sebelum Panembahan Lebdagati mengambil langkah-langkah sepeninggal Kiai Banyu Bening. Dengan beberapa orang yang telah mengadakan persetujuan sebelumnya, maka Ki Warana berusaha untuk mengacaukan medan. Mereka bertempur sambil berlari-lari seakan-akan tidak menentu. Mereka menyerang dan menghilang diantara bangunan yang ada. Irama pertempuran memang terasa meningkat. Justru setelah Kiai Banyu Bening terbunuh.

Tetapi pada saat itu pula, beberapa orang cantrik telah membuka pintu gerbang butulan di sisi Timur. Di sisi yang justru nampak sepi, karena pertempuran yang terjadi di padepokan itu seakan-akan menghindari tempat ini. Ki Warana lah yang sengaja mengatur, agar para pengikut Kiai Banyu Bening itu memancing lawan mereka menjauhi tempat itu.

Irama pertempuran yang menjadi semakin cepat itu ternyata menjadi isyarat bagi para pengikut Kiai Banyu Bening yang sependapat dengan Ki Warana. Dengan cepat mereka telah menuju kepintu gerbang butulan disisi Timur itu. Pada saat itu, terdengar beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati meneriakkan peringatan kepada para penghuni padepokan itu agar mereka menyerah.

“Yang menyerah akan mendapat pengampunan serta kesempatan untuk mengabdi kepada Panembahan Lebdagati“ teriak beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati.

Beberapa orang yang putus-asa memang telah menyerah. Tetapi mereka yang sependapat dengan Ki Warana telah berusaha melarikan diri lewat pintu butulan yang telah terbuka.

Para pengikut Panembahan Lebdagati ternyata tidak mengejar mereka yang melarikan diri bercerai berai. Para pemimpinnya menganggap hal itu tidak perlu dilakukan. Seorang diantara para pemimpin itu berkata,

“Biarlah mereka lari. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Kita sudah banyak kehilangan. Jangan ditambah lagi dengan melakukan hal-hal yang tidak berarti.”

Meskipun demikian, beberapa ekor burung elang yang melayang-layang diudara telah mengamati orang-orang yang melarikan diri itu. Burung-burung itupun telah memencar pula sebagaimana orang-orang padepokan yang melarikan diri itu memencar. Tetapi burung-burung elang itupun akhirnya melepaskan pengawasan mereka dan kembali ke padepokan.

Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang tinggal bersamanya itu mengamati pertempuran itu dengan tegang. Mereka melihat burung-burung elang itu menghambur berterbangan. Karena itu, maka merekapun telah menduga, bahwa Ki Warana dan orang-orang yang sependapat dengannya telah melarikan diri dari padepokan itu.

"Mudah-mudahan Ki Warana berhasil,“ berkata K i Pandi yang juga dicengkam oleh ketegangan.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengurai ketegangan yang mencengkam jantungnya.

“Agaknya Ki Warana sudah keluar dari padepokan lewat pintu regol butulan.” desis Manggada.

“Tetapi apakah Ki Warana selamat?“ desis Laksana.

“Mudah-mudahan. Ia adalah orang yang akan meniupkan udara yang jernih kepada para pengikut Kiai Banyu Bening yang sesat itu. Karena itu, aku berdoa untuk keselamatannya.“ berkata Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara ini, mereka melihat beberapa ekor burung elang itu telah menukik dan tidak nampak naik ke udara lagi. Bahkan akhirnya burung-burung elang itu telah tidak nampak lagi berterbangan diatas padepokan itu.

“Pertempuran telah selesai,“ berkata Ki Pandi.

”Ya,” suara Manggada merendah “Kita tidak tahu apa yang telah terjadi didalam padepokan itu.”

Dalam pada itu, sebenarnyalah Panembahan Lebdagati telah memerintahkan para pengikutnya untuk memberi kesempatan kepada para pengikut Kiai Banyu Bening untuk menyerah. Mereka termasuk dalam rencana Panembahan Lebdagati untuk memperkuat diri. Pada saat-saat mendatang, Panembahan Lebdagati tentu akan melakukan kegiatan-kegiatan dan kerja keras untuk membangun kembali pengaruhnya di kaki Gunung Lawu itu.

“Tetapi siapa yang mencoba menentang dan berkhianat, mereka akan dihabisi dengan cara kita,“ berkata Panembahan Lebdagati kepada para pengikutnya.

Dalam pada itu, untuk beberapa saat, Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang tinggal di rumahnya masih menunggu. Namun kemudian ketika mereka melihat pintu gerbang padepokan itu ditutup, maka mereka pun mulai beringsut untuk meninggalkan tempat itu.

Sementara itu dengan tidak terang, matahari telah turun disisi Barat langit. Rasa-rasanya hari demikian cepatnya beredar. Ketegangan yang mencengkam agaknya membuat mereka lupa akan waktu.

Seperti yang sudah disepakati, maka merekapun mengendap-endap meninggalkan tempat mereka mengamati pertempuran yang terjadi di padepokan ini, menuju ke padukuhan kecil yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu, yang direncanakan akan menjadi landasan pertahanan kedua Ki Warana.
Ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana sampai ke sanggar di padukuhan kecil itu, ternyata Ki Lemah Teles telah berada di tempat itu dan berbaring diatas alas yang sering dipergunakan untuk mengorbankan persembahan.

“Kau sudah ada disini?“ bertanya Ki Pandi.

“Malas untuk meneruskan melihat tontonan yang tidak menarik,“ berkata Ki Lemah Teles. Lalu katanya pula “Aku tidak melihat apa-apa selain dinding padepokan dan burung-burung elang. Dari antara daun pintu yang terbuka, aku hanya melihat orang-orang berlari-larian kacau balau tidak menentu.”

“Kau tidak melihat pertunjukan terakhir?“ bertanya Ki Pandi.

“Apa? Pembantaian di depan pintu gerbang?”

“Tidak. “jawab Ki Pandi.

“Jadi apa?“ bertanya Ki Lemah Teles pula.

“Burung-burung itu mempertunjukkan permainan yang menarik. Mereka seakan-akan menari diudara mengamati orang-orang padepokan yang melarikan diri dari, udara.”

“Aku sudah sering melihat burung elang memburu anak ayam. Nah, bukankah kira-kira juga hanya seperti itu?”

“Tidak,“ jawab Ki Pandi “Tidak sekedar menukik menyambar dan terbang kedahan sebatang pohon yang tinggi.”

“Biar saja. Aku akan tidur,“ jawab Ki Lemah Teles.

Ki Pandi tidak menyahut lagi. Iapun kemudian duduk diatas rerumputan bersama Manggada dan Laksana.

Sejenak kemudian, maka satu demi satu orang-orang tua yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu telah datang. Mereka pun kemudian telah duduk berbincang untuk menyesuaikan pengamatan mreka atas padepokan yang dalam waktu kurang dari sehari telah dihancurkan oleh Panembahan Lebdagati. Mereka sepakat untuk mengambil kesimpulan bahwa Kiai Banyu Bening tentu sudah terbunuh.

“Orang seperti Kiai Banyu Bening itu tentu tidak akan menyerah,“ berkata Ki Sambi Pitu.

“Ya...“ Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk “Seandainya ia menyerah, maka ia tentu akan dihabisi pula oleh Panembahan Lebdagati.”

“Kami menunggu Ki Warana.“ berkata Ki Pandi kemudian.

Ki Lemah Teles yang masih saja berbaring ditempatnya menyahut, ”Orang itu sudah mati.”

“Dari mana kau tahu?” bertanya Ki Pandi.

“Perang antara orang-orang berilmu hitam biasanya tidak ada yang tersisa. Yang kalah akan ditumpas sampai habis.”

“Tetapi Ki Warana dan orang-orang yang sependapat dengan pendiriannya akan melarikan diri.”

“Tetapi semua akan mati.”

Belum lagi bibir Li Lemah Teles terkatup, dari regol sanggar itu telah muncul tiga orang yang melangkah dengan hati-hati memasuki sanggar itu.

“Ki Warana...“ berkata Manggada dengan serta merta.

Ki Lemah Teles yang berbaring itu tiba-tiba telah bangkit. Dilihatnya tiga orang melangkah memasuki sanggar itu dalam keadaan yang letih. Ki Warana sendiri nampaknya telah terluka meskipun tidak terlalu parah.

“Inikah orang yang kita tunggu?” bertanya Ki Lemah Teles.

“Ya...“ jawab Ki Pandi “Ternyata Ki Warana selamat.”

“Satu kelainan,” desis Ki Lemah Teles yang kemudian telah berbaring lagi ditempatnya sambil berdesis “Aku akan tidur.”

Ki Warana memandang orang yang berbaring itu dengan tajamnya. Bagaimanapun juga, ia menganggap bahwa alas penyerahan korban itu merupakan tempat yang dihormatinya selama ini. Karena itu, ketika ia melihat orang yang berbaring diatasnya, maka terasa jantungnya berdegup lebih cepat.

Ki Pandi yang melihat sikap Ki Warana itupun berkata “Bukankah tempat itu tidak berguna lagi bagimu dan bagi orang-orang yang telah meninggalkan padepokan...?”

Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 12

Matahari Senja Bagian 11

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 11
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
DUA ekor harimau berjalan bersama dengan mereka. Namun kadang-kadang kedua ekor harimau itu menghilang. Baru beberapa saat kemudian, muncul kembali dan ikut berjalan beriring pada jalan setapak yang berbatu padas.

Baru beberapa saat kemudian, mereka sampai di tempat terbuka. Mereka berada di sebuah jalan kecil yang dapat mereka lalui menuju ke padepokan yang mereka tuju. Tetapi mereka tidak pergi ke padukuhan itu. Mereka akan berada di sekitar sanggar untuk melihat suasana. Dalam kegelapan mereka pun merayap semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju.
Seperti yang mereka duga, bahwa di padukuhan itu juga terdapat sebuah sanggar yang dibatasi dengan dinding kayu batang kelapa utuh yang dipotong rampak dan ditanam berkeliling. Seperti yang terdapat di padukuhan tempat tinggal Ki Krawangan, maka didalam sanggar itu terdapat bangunan khusus untuk menyerahkan korban.

“Kita bermalam disini.” berkata Ki Ajar Pangukan. Lalu katanya pula “Tentu tidak ada orang yang akan memasuki sanggar ini.”

Yang lain pun sepakat. Mereka akan bermalam di sanggar yang terbuka itu. Tetapi sudah tentu bahwa mereka harus membagi waktu bergantian berjaga-jaga.

Menjelang fajar, yang bertugas berjaga-jaga adalah Manggada dan Laksana. Perhatian mereka tertarik pada sikap dua ekor harimau milik Ki Pandi yang menyusul ke sanggar itu. Kedua ekor harimau itu seakan-akan ingin berbicara kepada Manggada dan Laksana. Mereka memberikan isyarat yang agaknya ingin memberitahukan sesuatu.

”Kita bangunkan saja Ki Pandi,“ desis Manggada.

Laksana mengangguk kecil sambil beringsut dan mendekati Ki Pandi yang tertidur. Agaknya Ki Pandi memang letih setelah menempuh perjalanan panjang mengambil kedua ekor harimaunya. Tetapi Ki Pandi segera bangkit ketika kedua anak muda itu membangunkannya.

”Ada apa?“ bertanya Ki Pandi. ”Harimau itu,“ jawab Laksana.

Ki Pandipun kemudian mendekati kedua ekor harimau yang seakan-akan berbicara kepadanya. “Tentu ada sesuatu yang menarik perhatian kedua ekor harimau itu,” berkata Ki Pandi.

“Apa Ki Pandi?“ bertanya Laksana.

“Marilah kita lihat,” jawab Ki Pandi.

Namun sebelum pergi Ki Pandi telah membangunkan kawan-kawannya yang masih tidur nyenyak diatas rerumputan. Tetapi Ki Lemah Teles tidur mendekur saja diatas tempat orang-orang padukuhan itu menyerahkan korban.

Ki Pandipun memberitahukan kepada mereka, bahwa ia ingin mengikuti kedua ekor harimau yang telah memberikan isyarat kepadanya untuk mengikutinya. Ki Pandi pun segera berbenah diri. Manggada dan Laksana telah dibawanya mengikuti kedua ekor harimaunya yang berjalan keluar dari sanggar yang kosong itu.

Beberapa saat mereka berjalan di keremangan dini hari. Dengan sangat berhati-hati mereka berusaha mendekati padepokan yang masih disaput oleh embun yang tipis. Ki Pandi mengikuti saja kedua ekor harimaunya yang menyusup diantara gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di kaki Gunung.

Namun kemudian kedua ekor harimau Ki Pandi itupun berhenti. Dengan isyarat yang hanya diketahui oleh Ki Pandi kedua ekor harimau itu nampaknya telah memberitahukan sesuatu. Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Kepada Manggada dan Laksana ia berbisik, ”Kalian tinggal disini saja. Aku akan bergeser mendekat.”

Keduanya mengangguk. Jika Ki Pandi sudah mengisyaratkan agar mereka tinggal, maka tentu ada sesuatu yang akan dapat membahayakan mereka. Karena itu, maka keduanya tidak memaksa untuk mengikutinya.

Dalam pada itu, dengan sangat berhati-hati Ki Pandi bergerak lebih dekat lagi. Dua ekor harimaunya berjalan mengendap-endap, seakan-akan sedang merunduk mangsanya. Ketika kedua ekor harimau itu kemudian berhenti dan mendekam dibelakang sebuah gerumbul, maka Ki Pandi pun menjadi semakin berhati-hati.

Dengan jantung yang berdebaran, Ki Pandi kemudian melihat beberapa kelompok orang yang sudah bersiap-siap dengan senjata ditangan menghadap kearah pintu gerbang padepokan.

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Panembahan Lebdagati ternyata tidak tanggung-tanggung mempersiapkan diri menghadapi padepokan Kiai Banyu Bening. Agaknya ia telah mengerahkan pengikut-pengikutnya untuk menyerang padepokan yang tidak tunduk pada perintahnya itu.

“Ternyata Panembahan Lebdagati benar-benar tidak menunggu besok atau lusa. Demikian ancamannya tidak dipatuhi, maka iapun segera datang dengan kekuatan yang besar“ berkata Ki Pandi didalam hatinya.

Sejenak Ki Pandi termangu-mangu. Agaknya Panembahan Lebdagati menunggu matahari terbit. Tetapi Ki Pandi tidak ingin melihat peristiwa yang penting itu sendiri. Maka iapun segera memberi isyarat kepada kedua ekor harimaunya agar tetap tinggal disitu. Ki Pandi sendiri telah beringsut disela-sela gerumbul-gerumbul perdu mendekati Manggada dan Laksana.

“Berhati-hatilah. Beritahu Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang ada di sanggar. Biarlah mereka melihat apa yang akan terjadi disini. Tetapi merekapun harus berhati-hati. Aku menunggu mereka disini.”

Manggada dan Laksana pun kemudian dengan sangat berhati-hati meninggalkan tempatnya menuju ke sanggar padukuhan untuk menjemput Ki Ajar Pangukan dan mereka yang berada di sanggar itu. Ketika mereka sampai ditempat Ki Pandi menunggu, langit sudah menjadi semakin merah. Kabut justru nampak menjadi lebih tebal menebar di kaki Gunung.

“Kita akan menebar...“ berkata Ki Pandi “kita akan melihat apa yang terjadi dari beberapa arah.”

Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Kabut yang putih buram mampu melindungi gerak mereka yang memencar itu. Namun Manggada dan Laksana tetap bersama Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya.

Ketika kemudian langit menjadi semakin cerah, maka Panembahan Lebdagati telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk mulai bergerak. Dengan isyarat bunyi seperti suara burung kedasih, maka para pengikut Panembahan Lebdagati itupun mulai bergerak.

Ki Pandi yang bersembunyi didalam semak-semak bersama Manggada, Laksana dan kedua ekor harimaunya, meskipun tidak terlalu dekat, dapat melihat gerak para pengikut Panembahan Lebdagati mendekati padepokan Kiai Banyu Bening.

Namun dalam pada itu, para cantrik Kiai Banyu Beningpun telah bersiap menunggu kedatangan lawan-lawan mereka dari balik dinding padepokan. Mereka berdiri diatas panggungan yang memanjang di belakang dinding padepokan.

Tetapi hal itu sudah diperhitungkan oleh para pengikut Panembahan Lebdagati, sehingga sebagian dari mereka telah membawa perisai untuk melindungi diri. Tetapi yang lain yakin akan dapat menepis serangan anak panah dengan pedangnya. Sementara yang lain lagi membalut lengan kirinya dengan kain panjang yang akan dapat dipergunakan sebagaimana sebuah perisai.

Sementara itu, Ki Ajar Pangukan dan orang-orang tua yang lain yang tinggal dirumahnya, telah berpencar. Mereka mencoba mengamati keadaan yang terjadi di padepokan itu sebaik-baiknya.

Ketika kemudian matahari terbit, maka para pengikut Panembahan Lebdagati telah mendekati pintu gerbang padepokan. Beberapa orang membawa sebatang kayu yang cukup besar dan panjang yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan pintu. Sementara beberapa orang yang lain membawa tali ijuk dengan jangkar besi yang diikat diujungnya.

Dalam pada itu, para cantrik dan putut di padepokan Kiai Banyu Bening telah bersiap. Anak panah telah melekat dibusurnya. Pada saat yang tepat, anak panah itu akan meluncur kearah para pengikut Panembahan Lebdagati diluar dinding.

Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak berada terlalu dekat dengan padepokan, namun mereka dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi kemudian.

Ketika terdengar aba-aba dari para pemimpin dari padepokan Kiai Banyu Bening, maka anak panahpun segera meluncur dari busurnya seperti hujan yang tercurah dari langit. Namun para pengikut Panembahan Lebdagati telah bersiap untuk menangkis serangan itu dengan perisai mereka. Sedangkan yang lain menepis dengan pedang atau tombak atau senjata yang lain. Sedangkan yang lain lagi menepis anak panah itu dengan kain panjang yang mereka ikatkan pada lengan kirinya.

Perlahan-lahan para pengikut Panembahan Lebdagati itu bergerak maju. Mereka terhenti sejenak, ketika mereka sampai pada jarak jangkau anak panah lawannya, seolah-olah mereka sedang menguji kemampuan mereka menangkis, menepis dan menghindari serangan anak panah itu.

Sementara itu, orang-orang yang membawa sepotong kayu yang besar dan cukup panjang telah bersiap pula mengambil ancang-ancang, sedangkan yang lain bersiap untuk melindungi mereka dari serangan anak panah dan lembing yang tentu akan dilontarkan dari panggungan disebelah menyebelah regol.

Beberapa saat gerak para pengikut Panembahan Lebdagati memang terhenti, seolah-olah anak panah dan lembing yang dilontarkan dari belakang dinding padepokan itu mampu menghentikan serangan mereka. Namun tiba-tiba saja terdengar teriakan nyaring. Peringatan untuk dengan cepat menyerang. Teriakan itu bersambut dan diteriakkan sambung menyambung.

Sejenak kemudian, maka serangan itupun datang seperti arus banjir bandang. Para pengikut Panembahan Labdagati itupun berlari-lari sambil berteriak-teriak memekakkan telinga. Mereka menghambur dengan cepat mendekati dinding padepokan.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua kelompok yang besar dari dua lingkungan hitam telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata para pengikut Panembahan Lebdagati tidak sekedar membiarkan mereka menjadi sasaran. Tetapi sebagian dari para pengikut Panembahan Lebdagati juga mempergunakan busur dan anak panah untuk melindungi kawan-kawan mereka, terutama mereka yang berusaha memecahkan pintu gerbang.

Sekelompok orang yang memanggul sebatang kayu yang besar dan panjang itupun kemudian telah berlari-lari dengan cepat mengarah ke pintu. Sementara itu, sekelompok yang lain juga berlari-lari melindungi mereka dengan perisai serta senjata mereka masing-masing agar anak panah yang meluncur dari panggungan disebelah menyebelah pintu gerbang itu tidak mengenai sasaran.

Betapa kuatnya selarak pintu gerbang padepokan itu, namun dengan hentakan-hentakan yang tidak ada henti-hentinya, maka selarak pintu gerbang itupun mulai menjadi retak. Kiai Banyu Bening yang menyaksikan keadaan selarak itupun segera memberikan aba-aba, bahwa pertahanan terkuat harus diletakkan disekitar pintu gerbang.

Demikian pintu gerbang terbuka, serta orang-orang yang berada diluar menyerbu masuk, maka para cantrik itu harus berusaha menyerang mereka dengan anak panah dan lembing sebelum mereka terlibat dalam pertempuran seorang melawan seorang.

“Kita harus berusaha mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.”

Perintah itu telah menjalar dari seorang cantrik ke cantrik yang lain, sehingga ketika retak selarak pintu gerbang itu menjadi semakin parah, sekelompok cantrik telah siap dengan busur dan anak panah. Sementara itu, yang lainpun telah siap untuk melemparkan lembing-lembing bambu dengan bedor besi yang tajam.

Demikianlah seperti yang telah diperhitungkan, maka selarak pintu yang rangkap itu masih tidak mampu menahan hentakan-hentakan yang berulang kali tanpa hitungan itu. Akhirnya satu diantara kedua selarak pintu itupun telah patah, sementara selarak yang satu lagi tidak dapat bertahan terhadap dua hentakan berikutnya.

Sejenak kemudian, maka pintu gerbang itu telah terdorong dan terbuka. Seperti air yang melimpah, para pengikut Panembahan Lebdagati mengalir memasuki pintu gerbang yang terbuka itu. Berdesakan berebut dahulu. Teriakan-teriakan nyaring terdengar bagaikan meruntuhkan langit.

Namun dengan tangkasnya para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening telah melepaskan anak panah yang sudah siap terpasang dibusurnya. Terdengar teriakan kesakitan dan kemarahan sekaligus melengking diantara sorak para pengikut Panembahan Lebdagati itu. Beberapa orangpun roboh. Terinjak oleh kaki kawan-kawannya sendiri.

Sementara itu, para cantrik tidak sempat lagi memasang anak panah pada busurnya ketika orang-orang yang menyerbu masuk itu berlari-larian menyerang mereka dengan garangnya. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan, seperti tangan-tangan maut yang sedang menggapai nyawa para cantrik yang sedang bertahan itu. Pertempuran yang sengit pun tidak terelakkan lagi.

Sementara itu, beberapa orang yang berusaha memanjat tali-tali yang diikat pada jangkar bumi yang dilontarkan ke bibir dinding padepokan, mulai berhasil pula. Para cantrik yang berusaha memotong tali-tali itu, harus menjaga diri mereka dari sengatan anak panah yang dilontarkan dari luar dinding, sehingga ada diantara mereka yang terlambat menahan gerak orang-orang yang sedang memanjat itu.

Dalam waktu yang singkat, maka pertempuranpun telah menjalar menyusup diantara bangunan-bangunan di padepokan itu. Para cantrik yang berada di panggungan dibelakang dinding itupun telah berloncatan turun. Mereka tidak lagi harus bertahan agar orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak dapat memasuki dinding.

Tetapi justru karena pintu gerbang telah terbuka, maka arus serangan itu tidak tertahankan lagi. Para pengikut Panembahan Lebdagati pun tidak mau mempersulit diri dengan memanjat tali serta melemparkan jangkar yang dapat mengait bibir dinding padepokan. Tetapi mereka berlari-lari menuju ke pintu gerbang dan masuk kedalamnya tanpa banyak kesulitan.

Para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening itu berusaha untuk bertahan sekuat-kuatnya. Dengan pengenalan mereka yang lebih baik terhadap medan, maka mereka mempunyai kesempatan lebih baik dari lawan-lawan mereka. Tiba-tiba saja para cantrik itu seakan-akan menghilang. Namun dengan tiba-tiba pula mereka datang menyerang dengan garangnya tanpa diketahui dari mana mereka datang.

Setiap pintu bangunan yang ada di padepokan itu dapat menjadi sumber malapetaka. Pintu yang tertutup itu tiba-tiba saja terbuka. Ujung-ujung senjata terjulur dengan cepat menyambar tubuh mereka. Bahkan sudut-sudut rumah yang ada dapat menjadi tempat para cantrik menunggu korban mereka.

Meskipun demikian, namun para putut dan cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening itu mulai merasakan tekanan yang kuat dari para pengikut Panembahan Lebdagati. Beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati tidak dapat dilawan oleh hanya dua orang saja. Bahkan ketika para pemimpin dari kedua belah pihak mulai saling bertemu, maka mulai terasa bahwa orang-orang Panembahan Lebdagati memiliki beberapa kelebihan dari pada putut dan cantrik di padepokan itu.

Dalam pada itu, Kiai Banyu Bening yang masih mencoba untuk melihat ketahanan para pengikutnya mulai menjadi gelisah. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, ternyata beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati memiliki ilmu yang tinggi. Kiai Banyu Bening memang harus menyadari, bahwa padepokannya adalah padepokan yang jauh lebih muda dari para pengikut Panembahan Lebdagati, sehingga karena itu.

Maka para pengikut Kiai Banyu Bening pun masih belum akan dapat mengimbangi kemampuan para pengikut Panembahan Lebdagati yang meskipun sebagian bukan pengikut-pengikutnya sejak awal ia mulai. Tetapi nama Panembahan Lebdagati memiliki wibawa tersendiri, sehingga tidak sulit bagi Panembahan Lebdagati untuk mencari pengikut dan bahkan kawan-kawan baru dari lingkungan orag-orang berilmu tinggi. Karena itu, maka Kiai Banyu Bening tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus segera dapat mengatasi kesulitan itu.

“Aku harus bertemu langsung dengan orang yang mengaku bernama Panembahan Lebdagati itu.“ berkata Kiai Banyu Bening didalam hatinya “Jika aku dapat segera menyelesaikannya, maka aku akan segera dapat mengusir dan bahkan menghancurkan para pengikutnya.”

Dengan beberapa orang terpilih diantara para pemimpin padepokan itu, maka Kiai Banyu Bening siap menghadapi orang yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati itu. Namun dalam pada itu, Kiai Banyu Bening sempat bertanya kepada seorang yang bertubuh raksasa yang pernah berada di sanggar saat Ki Pandi memberikan korban setandan pisang, sehingga Ki Pandi sendiri akhirnya akan dikorbankan.

”Dimana Warana?”

Orang bertubuh raksasa itu menggeleng sambil menjawab, ”Sejak tadi aku tidak melihatnya, Kiai.”

Namun seorang yang lain menjawab, “Bersama sekelompok cantrik Ki Warana berusaha mempertahankan pintu gerbang butulan disisi barat. Agaknya sekelompok pengikut Panembahan Lebdagati berusaha untuk memecahkan pintu butulan itu.”

Kiai Banyu Bening mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lagi. Dibawanya beberapa orang terpilih itu untuk langsung menghadapi Panembahan Lebdagati. Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati ternyata bersama-sama dengan beberapa orang tengah mencerai-beraikan sekelompok cantrik yang semula mengepungnya.

Tetapi para cantrik itu tidak mampu bertahan. Sebagian dari mereka justru tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Para cantrik yang memang hampir saja melarikan diri menghindari itu telah terhimpun kembali ketika mereka melihat Kiai Banyu Bening sendiri datang untuk menghadapi Panembahan Lebdagati.

Panembahan Lebdagati yang melihat kehadiran Kiai Banyu Bening telah menyongsongnya sambil tersenyum. Katanya dengan nada berat, “Selamat bertemu Kiai Banyu Bening. Kita belum terlalu akrab berkenalan. Tetapi aku tahu pasti bahwa kau adalah Kiai Banyu Bening.”

“Kau siapa?“ bertanya Kiai Banyu Bening.

”Kau tidak mengenal aku?” bertanya Panembahan Lebdagati sambil tersenyum.

“Tidak. Aku tidak mengenalmu.“ jawab Kiai Banyu Bening.

“Kenapa kita harus berpura-pura. Sebelum kita bertemu, kau dapat saja tidak percaya bahwa aku adalah Panembahan Lebdagati. Kau dapat menduga bahwa orang lain memanfaatkan kebesaran nama Panembahan Lebdagati bagi kepentingannya sendiri. Tetapi setelah kita bertemu dan berhadapan seperti sekarang ini, seharusnya kau dapat mengenali aku. Aku adalah Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”
“Persetan dengan pengakuanmu. Tetapi kau salah jika kau menganggap bahwa dengan berlandaskan nama Panembahan Lebdagati kau dapat menakut-nakuti aku.”

Panembahan Lebdagati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa, “Kau mencoba untuk membesarkan hatimu sendiri dengan menganggap bahwa aku bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”

“Kau kira aku menjadi ketakutan seandainya Panembahan Lebdagati itu sekarang datang kemari?”

Panembahan Lebdagati tertawa semakin keras. Katanya kemudian, “Baiklah. Siapapun aku, tetapi aku tetap pada tuntutanku. Daerah ini akan aku ambil kembali. Aku sudah memberimu waktu sepuluh hari. Aku kira waktu itu sudah terlalu cukup. Karena sampai batas terakhir kau tetap berkeras, maka aku datang untuk menghukummu.”

“Tetapi kau harus melihat kenyataan, bahwa kau datang untuk mengantarkan nyawamu. Meskipun setelah kau mati, tentu ada orang lain yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati.”

“Baik. Baik...!“ jawab Panembahan Lebdagati “Apapun katamu, tetapi bersiaplah untuk mati.”

Kiai Banyu Bening itupun kemudian telah memberi isyarat kepada putut dan cantrik yang datang bersamanya untuk memencar menghadapi para pengikut Panembahan Lebdagati yang ada di sekitarnya.

Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dimana-mana. Para cantrik memiliki kemungkinan lebih baik dengan memanfaatkan medan. Tetapi secara pribadi para pengikut Panembahan Lebdagati memiliki ilmu yang lebih tinggi.

Dalam pada itu, maka pertempuran yang terjadi antara Panembahan Lebdagati dan Kiai Banyu Bening telah menjadi semakin sengit. Keduanya mulai meningkatkan ilmu mereka. Dengan cepat mereka berloncatan menyerang dan menghindar. Keduanya memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga pertempuran itu tidak segera dapat dibayangkan, siapakah yang akan menang dan siapakah yang bakal kalah.

Panembahan Lebdagati yang bertempur dengan mantap, tidak terlalu banyak bergerak. Tetapi setiap ayunan tangannya, seakan-akan tetap menghamburkan angin yang tajam menusuk kulit. Sementara itu, Kiai Banyu Bening bertempur dengan tangkasnya. Ia bergerak cepat, sehingga sekali-sekali serangannya mampu menyusup pertahanan Panembahan Lebdagati.

Dengan demikian, baik Panembahan Lebdagati maupun Kiai Banyu Bening menjadi semakin berhati-hati. Mereka harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Panembahan Lebdagati yang semula meragukan tingkat kemampuan Kiai Banyu Bening sebagaimana Kiai Banyu Bening yang menganggap bahwa lawannya bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.

Sehingga tataran ilmunya juga tidak akan terlalu tinggi, harus mengakui bahwa mereka telah salah hitung. Panembahan Lebdagati harus mengakui kelebihan Kiai Banyu Bening, sedangkan Kiai Banyu Bening harus mengakui kelebihan lawannya, apakah ia Panembahan Lebdagati yang sebenarnya atau bukan.

Dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan serta orang-orang yang tinggal dirumahnya, ternyata tidak mampu melihat apa yang terjadi didalam lingkungan dinding padepokan. Merekapun tidak dapat lebih mendekat lagi, jika mereka tidak ingin terlibat dalam pertempuran itu. Karena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah menunggu, apa yang akan terjadi dalam pertempuran yang melibatkan banyak orang itu.

Manggada dan Laksana yang bersembunyi didalam gerumbul perdu bersama Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya, mengamati burung-burung elang yang berterbangan diatas padepokan. Dari gerak burung-burung elang itu, mereka rasa-rasanya dapat menduga, apa yang telah terjadi di padepokan.

Burung-burung yang semula berterbangan berputar-putar itu, kemudian telah nampak menjadi gelisah. Burung-burung itu terbang semakin rendah. Sekali-sekali burung-burung itu menukik dalam sekali, bahkan seakan-akan hilang dibelakang dinding padepokan. Namun kemudian muncul kembali dan terbang semakin tinggi.

“Burung-burung itu tentu telah melibatkan diri.” Berkata Manggada hampir berbisik.

“Ya,” sahut Laksana “Agaknya pertempuranpun menjadi semakin sengit."

“Burung-burung elang itu cukup berbahaya,“ desis Manggada kemudian.

Laksana mengangguk kecil. Namun kemudian dahinya berkerut ketika ia melihat kegelisahan burung-burung itu menjadi semakin meningkat. Burung-burung itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Bahkan burung-burung itupun telah memberikan isyarat tidak saja dengan geraknya, tetapi burung-burung itu mulai berteriak-teriak dengan suaranya yang nyaring. Kuku-kukunya yang dipertajam dengan baja menjadi semakin berbahaya.

“Sayang,“ berkata Manggada “Kita tidak dapat melihat apa yang terjadi didalam padepokan itu.”

“Kita akan mendengar dari Ki Warana,“ sahut Ki Pandi.

“Bagaimana jika Ki Warana terbunuh dalam pertempuran itu?”

“Mudah-mudahan ada orang lain yang mengambil alih tugasnya.“ jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun keduanya nampak menjadi tegang. Sementara itu, burung-burung elang itupun menjadi semakin sibuk pula.

Sebenarnyalah pertempuran didalam padepokan itu menjadi semakin sengit. Para cantrik padepokan Kiai Banyu Bening benar-benar memanfaatkan medan untuk mengimbangi kelebihan kemampuan lawan-lawan mereka. Sambil bertempur mereka berlari-larian diantara bangunan yang ada di padepokan. Namun kemudian kelompok-kelompok yang lain menyerang dengan tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Dengan demikian, maka para pengikut Panembahan Lebdagati menjadi sangat sibuk menghadapi mereka. Karena itu, pawang burung-burung elang itu telah melibatkan burung-burungnya dalam pertempuran.

Bagaimanapun juga, burung-burung elang itu berpengaruh pula. Kukunya yang dipertajam dengan ujung-ujung baja yang runcing, sangat berbahaya bagi para cantrik. Kuku-kuku itu dapat menghunjam ke kulit daging para cantrik jika mereka gagal menghindar.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Panembahan Lebdagati masih saja bertempur melawan Kiai Banyu Bening. Keduanya bukan saja meningkatkan kemampuan mereka, tetapi mereka sudah mulai merambah ke tataran ilmu yang lebih tingi.

Kiai Banyu Bening sambil meloncat-loncat disekitar bangunan yang dikeramatkannya. Sebuah nisan kecil yang berada diatas lembaran bangunan dari yang agak tinggi. Bahkan Kiai Banyu Bening seakan-akan selalu menjaga jarak dengan bangunan itu. Bangunan yang menurut Kiai Banyu Bening adalah kuburan anak bayinya yang terbunuh didalam nyala api.

Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Dengan ilmunya Panerabahan Lebdagati berusaha untuk segera menghentikan perlawanan Kiai Banyu Bening. Tetapi Kiai Banyu Bening ternyata masih mampu mengimbanginya, sehingga dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Sementara itu pertempuran di padepokan itu masih berlangsung terus. Korban berjatuhan semakin lama menjadi semakin banyak. Tubuh yang berbujur lintang bertebaran dimana-mana. Sebagian masih mengerang kesakitan. Bahkan mereka masih mencoba merangkak mencari perlindungan dari teriknya matahari. Namun yang lain sama sekali sudah tidak bergerak lagi.

Panembahan Lebdagati yang berilmu sangat tinggi itu telah mengambil keputusan, untuk segera mengakhiri perlawanan Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka ilmunyapun menjadi semakin meningkat sejalan dengan kemarahan yang semakin menghentak didadanya.

Tetapi Kiai Banyu Bening yang menyadari bahwa para pengikutnya semakin banyak yang menjadi korban, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Dengan demikian, maka benturan-benturan yang terjadi diantara keduanya pun menjadi semakin sengit. Kekuatan dan kemampuan Panembahan Lebdagati yang memanjat sampai kepuncak, telah mendesak Kiai Banyu Bening beberapa langkah surut. Namun Kiai Banyu Bening yang bertempur didekat alas nisan bayinya itu, mampu menunjukkan kelebihannya pula.

Dalam keadaan yang memuncak itu, maka Panembahan Lebdagati pun telah merambah ke ilmunya yang jarang ada duanya. Dengan mengerahkan ilmunya, Panembahan Lebdagati telah menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap kearah Kiai Banyu Bening. Tetapi Kiai Banyu Bening tanggap akan serangan itu. Dengan cepatnya Kiai Banyu Bening meloncat berlindung dibalik nisan kecilnya.

Serangan Panembahan Lebdagati itu telah membentur bangunan alas nisan kecil. Tetapi bangunan itu sama sekali tidak menjadi goyah. Bahkan dari balik bangunan itu, Kiai Banyu Bening telah membalas menyerang. Dari tangannya seakan-akan telah memancar segenggam pasir yang membara.

Panembahan Lebdagati yang melihat serangan itu, meloncat menghindar. Ia harus menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Ia sadar, bahwa serangan itu merupakan serangan yang sangat berbahaya. Sebutir saja pasir yang membara itu mengenai kulitnya, maka pasir itu seakan-akan mampu melubangi kulitnya dan membuat liang pada dagingnya.

“Iblis kau, Banyu Bening,“ desis Panembahan Lebdagati.

“Menyerahlah. Kau akan menjadi korban yang pertama dari padepokan ini bagi bayiku.”

Panembahan Lebdagati tidak menjawab. Namun serangannya telah meluncur kembali dari kedua telapak tangannya. Sekali lagi Kiai Banyu Bening bersembunyi dibalik bangunan alas nisan bayinya itu.

Namun Panembahan Lebdagati dengan cepat meloncat mendekat. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang, karena demikian ia melihat kemungkinan Kiai Banyu Bening itu menyerang dengan menaburkan bubuk pasir yang bagaikan membara itu, Panembahan Lebdagati telah mendahuluinya.

Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin seru. Kiai Banyu Bening masih saja melingkar-lingkar disekitar bangunan alas nisan anaknya. Namun setiap kali ia menyerang, serangannya pun selalu gagal.

Dalam keadaan yang demikian, maka Panembahan Lebdagati itu telah mempergunakan kemampuannya yang lain. Tiba-tiba saja maka Panembahan Lebdagati itu melenting bangkit pada jarak kurang dari selangkah dihadapan Kiai Banyu Bening.

Kiai Banyu Bening tidak mempunyai kesempatan lagi. Dengan cepat keris Panembahan Lebdagati telah terhunjam di dada Kiai Banyu Bening. Kiai Banyu Bening tidak lagi dapat menghindari kenyataan itu. Ia sempat memandang wajah Panembahan Lebdagati dengan sorot mata bagaikan membara. Tetapi ketika Panembahan Lebdagati menarik kerisnya, maka Kiai Banyu Bening itupun jatuh terkulai ditanah. Panembahan Lebdagati termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tubuh Kiai Banyu Bening yang terbaring ditanah.

”Setan kau,..!” geram Panembahan Lebdagati “Kau terlalu cepat mati, sehingga kau tidak sempat mengagumi kemampuanku yang tidak ada duanya.”

Sementara itu orang-orang yang bertempur di sekitarnya melihat, bahwa Panembahan Lebdagati telah berhasil mengakhiri perlawanan Kiai Banyu Bening. Beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati pun telah bersorak meneriakkan kemampuannya.

Sementara itu, para cantrik dan pengikut Kiai Banyu Bening menjadi kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tanpa pimpinan Kiai Banyu Bening, maka para cantrik itu bagaikan lidi tanpa ikatan.

Namun dalam pada itu, beberapa orang yang telah mengikatkan diri dengan Ki Warana berusaha untuk menghindar dari pertempuran. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Berlindung dibelakang keadaan medan yang kurang dipahami oleh para pengikut Panembahan Lebdagati, mereka berusaha melepaskan diri.

Seorang diantara para cantrik dengan cepat berusaha menemui Ki Warana yang bertempur justru di bagian belakang padepokan itu. Ki Warana yang pernah mendapat peringatan dari Ki Pandi tentang kelebihan Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya, sehingga Ki Warana telah mempersiapkan diri untuk mengambil langkah-langkah tertentu.

Karena itu, demikian seseorang memberitahukan kepadanya, bahwa Kiai Banyu Bening telah terbunuh, maka hilanglah beban yang menggantung di pundak Ki Warana untuk membela padepokan yang pernah dihuninya itu. Karena itu, maka ia mulai melaksanakan rencananya untuk meninggalkan padepokan yang sudah tidak mungkin dipertahankannya lagi itu.

Karena itu, maka Ki Warana itu harus bergerak dengan cepat sebelum Panembahan Lebdagati mengambil langkah-langkah sepeninggal Kiai Banyu Bening. Dengan beberapa orang yang telah mengadakan persetujuan sebelumnya, maka Ki Warana berusaha untuk mengacaukan medan. Mereka bertempur sambil berlari-lari seakan-akan tidak menentu. Mereka menyerang dan menghilang diantara bangunan yang ada. Irama pertempuran memang terasa meningkat. Justru setelah Kiai Banyu Bening terbunuh.

Tetapi pada saat itu pula, beberapa orang cantrik telah membuka pintu gerbang butulan di sisi Timur. Di sisi yang justru nampak sepi, karena pertempuran yang terjadi di padepokan itu seakan-akan menghindari tempat ini. Ki Warana lah yang sengaja mengatur, agar para pengikut Kiai Banyu Bening itu memancing lawan mereka menjauhi tempat itu.

Irama pertempuran yang menjadi semakin cepat itu ternyata menjadi isyarat bagi para pengikut Kiai Banyu Bening yang sependapat dengan Ki Warana. Dengan cepat mereka telah menuju kepintu gerbang butulan disisi Timur itu. Pada saat itu, terdengar beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati meneriakkan peringatan kepada para penghuni padepokan itu agar mereka menyerah.

“Yang menyerah akan mendapat pengampunan serta kesempatan untuk mengabdi kepada Panembahan Lebdagati“ teriak beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati.

Beberapa orang yang putus-asa memang telah menyerah. Tetapi mereka yang sependapat dengan Ki Warana telah berusaha melarikan diri lewat pintu butulan yang telah terbuka.

Para pengikut Panembahan Lebdagati ternyata tidak mengejar mereka yang melarikan diri bercerai berai. Para pemimpinnya menganggap hal itu tidak perlu dilakukan. Seorang diantara para pemimpin itu berkata,

“Biarlah mereka lari. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Kita sudah banyak kehilangan. Jangan ditambah lagi dengan melakukan hal-hal yang tidak berarti.”

Meskipun demikian, beberapa ekor burung elang yang melayang-layang diudara telah mengamati orang-orang yang melarikan diri itu. Burung-burung itupun telah memencar pula sebagaimana orang-orang padepokan yang melarikan diri itu memencar. Tetapi burung-burung elang itupun akhirnya melepaskan pengawasan mereka dan kembali ke padepokan.

Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang tinggal bersamanya itu mengamati pertempuran itu dengan tegang. Mereka melihat burung-burung elang itu menghambur berterbangan. Karena itu, maka merekapun telah menduga, bahwa Ki Warana dan orang-orang yang sependapat dengannya telah melarikan diri dari padepokan itu.

"Mudah-mudahan Ki Warana berhasil,“ berkata K i Pandi yang juga dicengkam oleh ketegangan.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengurai ketegangan yang mencengkam jantungnya.

“Agaknya Ki Warana sudah keluar dari padepokan lewat pintu regol butulan.” desis Manggada.

“Tetapi apakah Ki Warana selamat?“ desis Laksana.

“Mudah-mudahan. Ia adalah orang yang akan meniupkan udara yang jernih kepada para pengikut Kiai Banyu Bening yang sesat itu. Karena itu, aku berdoa untuk keselamatannya.“ berkata Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara ini, mereka melihat beberapa ekor burung elang itu telah menukik dan tidak nampak naik ke udara lagi. Bahkan akhirnya burung-burung elang itu telah tidak nampak lagi berterbangan diatas padepokan itu.

“Pertempuran telah selesai,“ berkata Ki Pandi.

”Ya,” suara Manggada merendah “Kita tidak tahu apa yang telah terjadi didalam padepokan itu.”

Dalam pada itu, sebenarnyalah Panembahan Lebdagati telah memerintahkan para pengikutnya untuk memberi kesempatan kepada para pengikut Kiai Banyu Bening untuk menyerah. Mereka termasuk dalam rencana Panembahan Lebdagati untuk memperkuat diri. Pada saat-saat mendatang, Panembahan Lebdagati tentu akan melakukan kegiatan-kegiatan dan kerja keras untuk membangun kembali pengaruhnya di kaki Gunung Lawu itu.

“Tetapi siapa yang mencoba menentang dan berkhianat, mereka akan dihabisi dengan cara kita,“ berkata Panembahan Lebdagati kepada para pengikutnya.

Dalam pada itu, untuk beberapa saat, Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang tinggal di rumahnya masih menunggu. Namun kemudian ketika mereka melihat pintu gerbang padepokan itu ditutup, maka mereka pun mulai beringsut untuk meninggalkan tempat itu.

Sementara itu dengan tidak terang, matahari telah turun disisi Barat langit. Rasa-rasanya hari demikian cepatnya beredar. Ketegangan yang mencengkam agaknya membuat mereka lupa akan waktu.

Seperti yang sudah disepakati, maka merekapun mengendap-endap meninggalkan tempat mereka mengamati pertempuran yang terjadi di padepokan ini, menuju ke padukuhan kecil yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu, yang direncanakan akan menjadi landasan pertahanan kedua Ki Warana.
Ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana sampai ke sanggar di padukuhan kecil itu, ternyata Ki Lemah Teles telah berada di tempat itu dan berbaring diatas alas yang sering dipergunakan untuk mengorbankan persembahan.

“Kau sudah ada disini?“ bertanya Ki Pandi.

“Malas untuk meneruskan melihat tontonan yang tidak menarik,“ berkata Ki Lemah Teles. Lalu katanya pula “Aku tidak melihat apa-apa selain dinding padepokan dan burung-burung elang. Dari antara daun pintu yang terbuka, aku hanya melihat orang-orang berlari-larian kacau balau tidak menentu.”

“Kau tidak melihat pertunjukan terakhir?“ bertanya Ki Pandi.

“Apa? Pembantaian di depan pintu gerbang?”

“Tidak. “jawab Ki Pandi.

“Jadi apa?“ bertanya Ki Lemah Teles pula.

“Burung-burung itu mempertunjukkan permainan yang menarik. Mereka seakan-akan menari diudara mengamati orang-orang padepokan yang melarikan diri dari, udara.”

“Aku sudah sering melihat burung elang memburu anak ayam. Nah, bukankah kira-kira juga hanya seperti itu?”

“Tidak,“ jawab Ki Pandi “Tidak sekedar menukik menyambar dan terbang kedahan sebatang pohon yang tinggi.”

“Biar saja. Aku akan tidur,“ jawab Ki Lemah Teles.

Ki Pandi tidak menyahut lagi. Iapun kemudian duduk diatas rerumputan bersama Manggada dan Laksana.

Sejenak kemudian, maka satu demi satu orang-orang tua yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu telah datang. Mereka pun kemudian telah duduk berbincang untuk menyesuaikan pengamatan mreka atas padepokan yang dalam waktu kurang dari sehari telah dihancurkan oleh Panembahan Lebdagati. Mereka sepakat untuk mengambil kesimpulan bahwa Kiai Banyu Bening tentu sudah terbunuh.

“Orang seperti Kiai Banyu Bening itu tentu tidak akan menyerah,“ berkata Ki Sambi Pitu.

“Ya...“ Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk “Seandainya ia menyerah, maka ia tentu akan dihabisi pula oleh Panembahan Lebdagati.”

“Kami menunggu Ki Warana.“ berkata Ki Pandi kemudian.

Ki Lemah Teles yang masih saja berbaring ditempatnya menyahut, ”Orang itu sudah mati.”

“Dari mana kau tahu?” bertanya Ki Pandi.

“Perang antara orang-orang berilmu hitam biasanya tidak ada yang tersisa. Yang kalah akan ditumpas sampai habis.”

“Tetapi Ki Warana dan orang-orang yang sependapat dengan pendiriannya akan melarikan diri.”

“Tetapi semua akan mati.”

Belum lagi bibir Li Lemah Teles terkatup, dari regol sanggar itu telah muncul tiga orang yang melangkah dengan hati-hati memasuki sanggar itu.

“Ki Warana...“ berkata Manggada dengan serta merta.

Ki Lemah Teles yang berbaring itu tiba-tiba telah bangkit. Dilihatnya tiga orang melangkah memasuki sanggar itu dalam keadaan yang letih. Ki Warana sendiri nampaknya telah terluka meskipun tidak terlalu parah.

“Inikah orang yang kita tunggu?” bertanya Ki Lemah Teles.

“Ya...“ jawab Ki Pandi “Ternyata Ki Warana selamat.”

“Satu kelainan,” desis Ki Lemah Teles yang kemudian telah berbaring lagi ditempatnya sambil berdesis “Aku akan tidur.”

Ki Warana memandang orang yang berbaring itu dengan tajamnya. Bagaimanapun juga, ia menganggap bahwa alas penyerahan korban itu merupakan tempat yang dihormatinya selama ini. Karena itu, ketika ia melihat orang yang berbaring diatasnya, maka terasa jantungnya berdegup lebih cepat.

Ki Pandi yang melihat sikap Ki Warana itupun berkata “Bukankah tempat itu tidak berguna lagi bagimu dan bagi orang-orang yang telah meninggalkan padepokan...?”

Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 12