Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 07
Karya : Gu Long
Penyadur : Gan K.L

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
MALAM itu lewat dengan aman tenteram, tiada peristiwa apapun yang terjadi. Tak lama setelah fajar menyingsing, ketiga orang itu mulai merasa letih.

“Secara bergilir kita mesti beristirahat dulu,” kata Pang Goan, “kita harus simpan tenaga, sebab kita akan menunggu sehari semalam lagi.”

Hui Beng-cu tampak menguap, katanya sambil tertawa, “Aku memang merasa lelah, baiklah aku tidur sebentar lebih dulu, bila ada apa-apa panggillah aku!”

“Mumpung sekarang hari baru terang, bebaskan dulu jalan darah perempuan asing itu agar membuang hajat di belakang gua sana, sebab jalan darah yang terlalu lama ditutuk bisa mengakibatkan beku peredaran darahnya.”
Beng-cu mengiakan dan berbangkit, tapi tiba-tiba matanya terbelalak lebar, sambil menuding ke bawah tebing sana katanya, “Coba lihat, mayat itu….”

“Mengapa dengan mayat-mayat itu?” tanpa terasa Pang Goan dan Leng-hong tanya bersama.

Waktu itu api unggun telah padam, tapi keempat sosok mayat itu masih tergeletak di tepi api unggun, sama sekali tiada suatu yang aneh. Dengan suara kaget Hui Beng-cu berkata lebih jauh, “Ke... ke mana larinya lencana kayu pada mayat itu? Ke... kenapa bisa lenyap semua...?”

Pang Goan dan Leng-hong cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke bawah, segera merekapun terperanjat. Betul juga, keempat buah lencana kayu di tubuh mayat itu betul-betul telah lenyap tak berbekas.

“Lotoako, lindungi aku dari atas, bias aku turun ke bawah untuk melakukan pemeriksaan!” kata Leng-hong dengan suara tertahan.

“Jangan sembarangan bergerak,” cegah Pang Goan cemas, “kejadian ini sangat mencurigakan, mungkin sekali inilah yang dimaksudkan si kakek sebagai rencana busuk itu!”

“Semalam jelas benda-benda itu masih ada,” kata Beng-cu, “semalam suntuk kitapun tak pernah memejamkan mata, mengapa lencana-lencana kayu itu bisa lenyap dengan sendirinya?”

Kenyataannya memang demikian, semalam suntuk mereka bertiga mengawasi terus sekitar tempat itu, “tiada embusan angin rumput tentu tak kan bergoyang”, kenapa keempat buah lencana kayu itu bisa lenyap secara tiba-tiba?”

Untuk sesaat mereka bertiga hanya saling pandang dengan tercengang.

“Masa ada setan di sini?” gumam Hui Beng-cu, “kalian turun saja ke bawah melakukan pemeriksaan, aku akan melindungi kalian dari sini.”

Tentu saja Ho Leng-hong dan Pang Goan tidak percaya setan, namun merekapun tak bisa memecahkan teka-teki di sekitar lenyaplah keempat lencana kayu itu, saking ingin tahunya, serentak mereka melayang turun ke bawah. Setelah mendekati tumpukan api unggun itu, Pang Goan berdua jadi tertegun.

Empat sosok mayat itu masih tetap seperti semula, cuma lencana kayu dan tali temali yang meringkus tubuh telah lenyap tak berbekas, di bawah bekas tali dan lencana kayu itu ditemukan bubuk kayu yang amat tipis, abu itu sedang menyebar ke mana-mana terembus angin.

Ini menunjukkan bahwa lencana kayu itu bukan terbuat dari kayu, tali juga bukan buatan bahan rami melainkan terbuat dari sejenis bahan khusus yang secara otomatis akan lenyap dengan sendirinya setelah diembus angin semalam suntuk.

Tapi terbuat dari bahan apakah itu? Siapapun tak tahu. Mengapa diatur siasat seperti ini. Sungguh memusingkan kepala orang. Tapi lenyapnya tali dan lencana kayu itu memang fakta.

Tiba-tiba Ho Leng-hong mendesis, “Ah, mengertilah aku sekarang....”

“Kau mengerti apa?”

“Tak heran itu melarang kita mengubur jenazah ini, rupanya inilah siasat Cioh-to-sat-jin dari Ci-moay-hwe.”

“Siasat pinjam golok membunuh orang bagaimana maksudmu?”

“Bayangkan saja, andaikata pihak penghuni lembah sedang mengadakan pencarian terhadap keempat orang ini, dan semalam kita mengubur jenazah mereka, bila hal ini sampai diketahui mereka, bagaimanakah penjelasan kita terhadap peristiwa itu?”

“Orang-orang itu bukan mati di tangan kita, tentu saja kita menceritakan hal yang sesungguhnya.”

“Dengan demikian, pihak lawat pasti akan menggali kubur untuk memeriksa mayat-mayat tersebut, dengan bukti di depan mata, maka keterangan kita yang jujur akan berubah menjadi kata-kata bohong, siapa yang percaya orang-orang ini bukan mati di tangan kita?”

Pang Goan menarik napas dingin, gumamnya, “Benar juga, tatkala mana kita benar-benar tak akan mampu menyangkal, sungguh siasat mereka ini...”

Belum habis ia berkata, tiba-tiba dari atas tebing terdengar jeritan kaget, “Pang-toako, Nyo-toako, lekas kemari!”

Serentak Pang Goan dan Ho Leng-hong melompat ke atas tebing, tapi Hui Beng-cu yang berada di dalam gua kini tidak nampak lagi.

“Celaka, perempuan asing itu berhasil kabur,” seru Leng-hong dengan gemas.

Buru-buru mereka mengejar ke dalam gua, ketika menyusul sampai di ujung gua sana mereka melihat Hui Beng-cu sedang berdiri termangu di depan gua sambil memegang golok yang memancarkan sinar kemilau.

“Di mana orangnya?” bentak Leng-hong.

“Aku... aku tidak tahu...”

“Orang itu kan berada dalam gua, mengapa kau tidak tahu?”

“Aku betul-betul tidak tahu,” jawab Beng-cu dengan wajah merah padam, “ketika aku berdiri di atas tebing sambil mengawasi sekeliling tempat ini, kudengar di dalam gua seperti ada langkah manusia, waktu aku memburu kemari, perempuan asing itu sudah lenyap, tapi di sini aku menemukan sebilah golok.”

Pang Goan menerima golok itu, mendadak dengan air muka berubah teriaknya tertahan, “Hah, golok mestika Yan-ci-po-to?!”

Tak salah lagi, sarung golok terbuat dari kulit ular, gagang pelindung terbuat dari emas dan empat huruf mutiara tertata pada gagangnya, memang itulah golok mestika Yan-ci-po-to. Golok tersebut lenyap tercuri sewaktu berada di Thian-po-hu, tapi kini di temukan kembali di luar gua di atas bukit yang jauh dari keramaian manusia.

Jelas orang-orang Ci-moay-hwe yang telah menyelamatkan perempuan Ainu tadi serta meninggalkan Yan-ci-po-to di sini. Kejadian ini membuat Pang Goan menjadi bingung dan tak habis mengerti.

Ditatapnya Ho Leng-hong, tanyanya, “Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”

Dengan serius jawab Ho Leng-hong sepatah demi sepatah, “Inilah senjata yang mendatangkan bencana.”

“Apakah Thian Pek-tat berempat mati dibunuh dengan Yan-ci-po-to?” tanya Pang Goan terkejut.

“Benar. Sekarang persoalannya sudah jelas. Rupanya Thian Pek-tat ada hubungan dengan orang-orang dari lembah maut itu, setelah berhasil memperoleh Yan-ci-po-to di Thian-po-hu, bersama tiga orang lainnya mereka mengantar senjata ini ke Tay-pa-san, siapa tahu mereka dicegat oleh orang-orang Ci-moay-hwe, bukan saja golok dirampas, Thian Pek-tat berempatpun dibunuh, kemudian golok mestika dan mayat-mayat mereka digunakan sebagai alat untuk melimpahkan bencana buat orang lain…..”

Pang Goan segera paham, dengan gelisah katanya, “Kalau begitu kita harus segera tinggalkan tempat ini!”

“Terlambat,” kata Leng-hong sambil menggeleng, sorot matanya beralih keluar gua.

Ketika Pang Goan mengikuti arah pandangannya, seketika hatinya ikut tercekat. Entah sejak kapan, di luar gua telah muncul tiga orang perempuan dengan golok terhunus. Ketiga orang perempuan itu semuanya mengenakan baju merah dengan golok panjang yang berbentuk sama, air muka mereka amat dingin, tanpa emosi.

Di antara ketiga orang itu, ada seorang yang berusia paling tua, yaitu sekitar tiga puluh tahunan, pada tepi gaun merahnya kelihatan sulaman benang biru. Dua orang yang lain berusia tujuh-delapan belas tahunan, pada tepi gaun mereka bersulamkan benang hitam.

Dari warna pakaian dan dandanan ketiga orang itu, tiba-tiba Pang Goan teringat kembali pada cerita mengenai lembah “Mi-kok” dan “Ang-ih Hui-nio”, tanpa terasa hatinya bergolak keras.

“Lotoako, setelah tertipu, kita harus menghadapi segala persoalan dengan tenang,” kata Leng-hong setengah berbisik, “lebih baik kita selidiki dulu apakah mereka benar-benar orang Mi-kok atau bukan.”

“Jangan kuatir, aku tahu,” jawab Pang Goan dengan tertawa.

Sementara berdua sedang bercakap-cakap, mendadak dari belakang gua terdengar lagi suara orang, tahu-tahu dua orang gadis berbaju merah yang bergolok muncul di belakang mereka.

Dengan cepat Beng-cu loloskan golok lengkungnya lalu bertanya, “Kita sudah terkepung, apa daya sekarang?”

Pang Goan memandang sekejap ke muka dan ke belakang, lalu hiburnya, “Jangan takut, tampaknya perempuan baju merah bersulam benang biru itu adalah komandan mereka, mari kita turun untuk berbicara dengannya.”

Ketika mereka bertiga melompat ke bawah, dua gadis bergaun merah dengan sulaman benang hitam yang ada di luar gua itu serentak mengangkat goloknya, sedang dua orang yang berada dalam gua juga melolos senjata sambil ikut melompat ke bawah, dengan cepat mereka membentuk posisi mengepung terhadap ketiga lawannya.

Hanya perempuan setengah umur bersulam benang biru yang tetap tak bergerak, ditatapnya ketiga orang itu dengan sorot mata dingin, kemudian bertanya, “Siapakah kalian? Datang darimana? Dan mau ke mana?”

Sambil tertawa Pang Goan segera memberi hormat, “Enso, bolehkah aku bertanya lebih dulu, apakah kalian adalah murid Ang-ih Hui-nio?”

“Kalian juga tahu tentang Ang-ih Hui-nio?” seru nyonya muda itu dengan air muka berubah.

“Dulu kami cuma mendengar ceritanya saja dan tidak tahu benarkah lembah Mi-kok itu ada atau tidak, tapi setelah melihat keadaan sekarang ini, kami baru percaya bahwa cerita tersebut memang benar.”

Nyonya muda itu mengerdip mata beberapa kali, tiba-tiba memberi tanda sambil memerintahkan, “Gusur mereka pulang!”

Keempat anak dara tadi segera mengiakan, serentak mereka maju mengepung.

“Tunggu sebentar!” seru Pang Goan, “Antara kami dengan kalian hakikatnya ‘air sungai tidak menggenangi air sumur’, bertemu pun baru pertama kali, dengan alasan apa kalian hendak membawa kami pergi?”

“Tak usah banyak bicara,” bentak nyonya muda itu, “katakan saja, kalian mau lepaskan senjata dan ikut kami pergi ataukah hendak menunggu kami bertindak dengan kekerasan?”

“Wah, kalau begitu, tak mau pergi pun tak bisa?” kata Pang Goan sambil tertawa.

“Boleh saja, kecuali kalian bisa menangkan permainan golokku ini.”

“Sudah lama kudengar kehebatan ilmu golok aliran Mi-kok,” kata Pang Goan sambil tertawa, “betapa senangku jika diberi kesempatan untuk mencobanya!”

Nyonya muda itu maju dua langkah sambil meraba gagang goloknya, “Silakan turun tangan!”

Tiba-tiba Ho Leng-hong maju ke depan dan mengadang di hadapannya, lalu berbisik lirih, “Lotoako, biarlah Siaute coba dulu kelihayannya.” Pedang di tangan kirinya disimpan kembali, kemudian golok Yan-ci-po-to pelahan diangkat ke udara.

Rupanya nyonya muda itu cukup mengetahui nilai barang, dengan dahi berkerut katanya, “Apa kedudukanmu di Thian-po-hu di kota Kiu-ki-shia?”

“Nama tidak terlalu penting, silakan nona memberi petunjuk!” sahut Leng-hong.

“Baik!” kata nyonya muda itu sambil tertawa dingin, “Kalau kau memang tak tahu diri, akan kusuruh kau rasakan betapa lihaynya Ang-sui-to-hoat (rahasia golok baju merah).” Segera dia lolos golok panjang dari sarungnya.

“Mengapa nona tidak turun tangan lebih dulu?” tanya Leng-hong.

“Antara tamu dan tuan rumah ada bedanya, kupersilakan kau turun tangan dulu!”

Meskipun Leng-hong tahu ilmu golok dari lembah Mi-kok justru merupakan tandingan dari Nyo-keh-sin-to, namun sambil tersenyum katanya pula, “Tamu yang sopan harus menghormati tuan rumah, lagi pula golokku ini adalah golok mestika, hendaklah nona tak usah sungkan-sungkan lagi!”

“Hmm, kau anggap dengan golok mestika lantas bisa menarik keuntungan? Kalau demikian anggapanmu, maka perhitunganmu itu keliru besar. Sambutlah seranganku ini.”

Begitu golok dilolos, cahaya tajam segera berkilauan dan mata golok lantas menyambar tiba. Sungguh cepat tak terlukiskan gerakan melolos goloknya, bahkan Pang Goan dan Hui Beng-cu yang memperhatikan dengan saksama pun tak sempat mengikuti bagaimana caranya perempuan itu menggerakkan tubuhnya.

Lebih-lebih Ho Leng-hong, ia cuma merasakan pandangannya kabur, buru-buru ia mundur dua langkah, kemudian goloknya diputar dan menciptakan selapis cahaya tajam untuk melindungi badan.

Sewaktu mulai menyerang saja gerakan nyonya muda itu amat cepat, ketika berganti jurus pun jauh lebih cepat lagi, dari gerak membacok golok panjang itu berubah menjadi gerakan menabas.

Sambil putar senjata untuk melindungi badan Ho Leng-hong main mundur terus ke belakang, ia merasa golok panjang nyonya muda berbaju merah itu seakan-akan telah menempel dengan golok mestika Yan-ci-po-to, bukan saja sukar dibendung, dihindari pun sulit.

Terpaksa ia putar golok dengan kencang sambil mundur terus, hakikatnya tiada kesempatan baginya untuk berganti jurus serangan. Dalam keadaan demikian, asal ia menghentikan gerakannya, maka setiap saat golok panjang si nyonya berbaju merah itu akan menembus sinar senjatanya dan melukainya.

Gerakan Ho Leng-hong rada gugup dan kacau, dalam waktu singkat ia sudah terdesak mundur dua lingkaran, sementara nyonya berbaju merah itu masih terus menyerang dengan gencar.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, Pang Goan segera membentak, “Tahan!”

Bersama dengan suara bentakan itu, Hui Beng-cu melolos senjatanya untuk menyerang nyonya merah itu dari belakang. Bayangan manusia berkelebat diikuti bunyi bentakan nyaring, di tengah gulungan cahaya golok, sesosok bayangan merah melompat ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, kemudian melayang turun di belakang sana.

Dengan melompat perginya nyonya berbaju merah itu, secara mengherankan Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu saling bertumbukan sendiri, tanpa terasa mereka saling bacok membacok sebanyak tiga empat gebrakan sebelum mengetahui bahwa lawan adalah orang sendiri, cepat-cepat mereka tarik kembali serangannya sambil melompat mundur. Kemudian kedua orang itu saling pandang dengan tertegun.

Nyonya muda berbaju merah itu tertawa sombong, lalu katanya, “Jika kalian bertiga mau maju bersama, akupun tidak menolak, tapi lebih baik katakan terus terang, jangan gunakan siasat ‘suara di timur menyerang dari barat’, yang seorang bicara tiada hentinya, sedang yang lain menyergap dengan cara yang rendah dan keji.”

“Sekalipun harus bertarung satu lawan satu juga aku tidak takut,” kata Hui Beng-cu dengan marah.

“Benarkah demikian? Bagaimana kalau dicoba?”

“Coba juga boleh, memangnya aku takut?” Dengan geramnya Beng-cu memutar golok lengkungnya, langsung menerjang perempuan berbaju merah itu.

“Tunggu sebentar!” cegah Pang Goan sambil merentangkan tangannya.

Dengan napas terengah-engah kata Hui Beng-cu, “Pang-toako, perempuan ini terlalu sombong, biar kuberi pelajaran kepadanya.”

“Memberi pelajaran kepada kaum wanita adalah urusan kami orang lelaki, mundurlah dulu, lihat saja kehebatan Pang-toakomu.”

“Manusia yang tahu diri,” teriak perempuan berbaju merah itu dengan gusar, “kalau kau berani sembarangan bicara, hati-hati kalau nyonya besar potong lidahmu.”

“Marilah,” kata Pang Goan sambil tertawa, “lidah itu berada di mulutku, yang dikuatirkan justru kau tak punya kemampuan untuk berbuat begitu.”

Perempuan berbaju merah itu mendengus, sambil mengerahkan goloknya ia segera menerjang ke depan. Tujuan Pang Goan memang ingin memancing marahnya, sebelum terjangan orang tiba, dengan cepat ia menyongsong, golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanan melancarkan serangan sekaligus.

Begitu bertemu, kedua belah pihak saling menyerang dengan cepat, tampaklah cahaya golok berkilauan, bayangan pedang saling menyambar ke sana kemari, dalam waktu singkat telah berlangsung lima-enam gebrakan. Kelima-enam jurus serangan itu seluruhnya merupakan serangan mematikan.

Tapi anehnya, sekalipun cahaya golok dan bayangan pedang menyelimuti udara, tidak terdengar sama sekali suara bentrokan senjata, juga tidak kelihatan ada yang terluka.

Ternyata setiap jurus serangan yang mereka lancarkan, semuanya merupakan ancaman yang harus dihindari, siapapun tak ingin adu jiwa, maka begitu merasa terancam bahaya, cepat mereka tarik serangan di tengah jalan untuk melindungi diri sendiri.

Oleh sebab itulah, meskipun kedua orang itu melancarkan serangan dengan gerakan cepat, jurus serangan mereka tak berani digunakan sampai tuntas, semua serangan golok dan pedang begitu dilancarkan segera ditarik kembali, jadi tak sejurus pun terjadi keras melawan keras.

Atau dengan perkataan lain, kedua orang itu mempunyai pikiran yang sama, yakni sama-sama berharap bisa menggetar hati lawan dengan tenaga serangan, dengan menggunakan titik kelemahan musuh untuk mematahkan ancamannya, menghindari adu kekerasan yang tak berguna. Akhirnya, siapapun tidak berhasil memperoleh keuntungan apa-apa.

Pang Goan menggunakan pedang sebagai senjata utama dan golok sebagai pembantu, yang dikembangkan adalah To-kiam-hap-ping-tin yang maha dahsyat itu, namun lima-enam jurus kemudian ternyata belum sanggup juga mematahkan serangan nyonya berbaju merah itu, terpaksa ia tarik serangannya dan melompat mundur.

Rupanya perempuan berbaju merah itupun menyadari bertemu dengan musuh tangguh, cepat ia menarik kembali serangannya dan tak berani mendesak lebih jauh.

Kedua orang itu saling bertatap sekian lama, sejenak kemudian Pang Goan baru menarik napas panjang, lalu menyimpan kembali golok dan pedangnya. Perempuan berbaju merah itupun ikut simpan goloknya ke dalam sarung.

“Ilmu golokmu terhitung sangat hebat juga, tapi sayang tenaga dalammu kurang sempurna, andaikata kita harus bertarung dengan tenaga sejati maka akhirnya yang rugi tetap kau,” kata Pang Goan.

Nyonya berbaju merah itu tidak menyangkal, katanya sambil tertawa, “Kau sendiripun tak akan mendapat hasil apa-apa, paling banter kita sama-sama menderita kerugian.”

“Apa kedudukanmu di dalam lembah?”

“Perguruan kami membagi tingkatan dalam sulaman benang emas, perak, biru, putih, dan hitam, aku tak lebih cuma seorang peronda gunung berbenang biru dari tingkatan tiga, sekalipun tenaga dalammu lebih hebat daripadaku juga bukan suatu yang luar biasa.”

Pang Goan tarik napas panjang, sambil tertawa getir ia berpaling ke arah Ho Leng-hong sembari berkata, “Tampaknya, urusan ini sudah pasti kita ikut terseret.”

“Asal kita tak bersalah, ke manapun kita berani menghadap.”

“Tapi, Pang-toako...” bisik Beng-cu.

Pang Goan memberi tanda dan tidak membiarkan gadis itu berkata lebih jauh, kepada perempuan berbaju merah itu ia berkata, “Bawalah kami! Akan kami temui majikan lembah kalian.”

Ternyata sikap perempuan itupun menjadi lebih sungkan, katanya seraya menjura, “Silakan!”

Keempat orang gadis lainnya ikut menarik kembali senjatanya, kemudian dua di kanan dan dua di kiri, seperti menggusur tawanan, mereka membawa Pang Goan bertiga meninggalkan mulut gua. Sesudah mengitari tonjolan batu padas di depan sana, Pang Goan baru tahu bahwa pilihannya memang tepat.
Di tepi api unggun di bawah tebing sana telah muncul kembali seorang petugas peronda gunung “bersulam benang biru” dengan diiringi empat gadis bersulam hitam, mereka sudah meletakkan mayat Thian Pek-tat berempat di atas usungan yang terbuat dari kayu dan sedang menunggu di sana.

* * *

Mi-kok, nama yang misterius dan menggetarkan sukma. Tentu orang akan membayangkan lembah tersebut sebagai suatu tempat yang rahasia sekali letaknya dengan sekelilingnya diliputi oleh tebing tinggi menjulang ke angkasa, burung dan monyet sulit melewatinya dan sepanjang tahun diliputi kabut yang tebal, atau mungkin jalan masuknya merupakan sebuah terowongan gua, atau jalan setapak yang penuh kemisteriusan.

Bila bayangannya demikian, maka kelirulah semua itu. Benar memang, tempat itu merupakan sebuah yang dikelilingi oleh tebing tinggi, namun bukan tempat yang curam berbahaya atau sepanjang tahun dikelilingi kabut tebal.

Lembah tersebut merupakan sebuah lembah yang indah dan hangat, sama sekali tidak nampak misterius, di belakang lembah terdapat jurang, di mulut lembah ada jalan dan di tengah lembah terdapat tanah datar yang luas, di situ ada rerumputan, ada sawah, ada bebuahan dan kerbau serta ternak unggas lainnya.

Anggota lembah tersebut terdiri dari lelaki dan perempuan, yang lelaki hidup bertani dan yang perempuan menenun, mereka melewatkan penghidupan yang sederhana tapi bahagia, suatu kehidupan surga yang penuh dengan kedamaian... terkecuali bangunan megah, kompleks perumahan yang berada dalam hutan bebuahan sana.

Anggota perkampungan itu semuanya perempuan yang bergolok panjang dan mengenakan baju serba merah. Sekalipun mereka termasuk juga sebagian dari anggota lembah, namun pekerjaan mereka tidak bertani atau bertenun, kehidupan mereka jauh berbeda dengan orang-orang lainnya.

Perempuan dalam perkampungan itu merupakan pilihan dari anggota penduduk lembah, mereka harus cerdik dan berbakat bagus, semenjak kecil sudah masuk perkampungan dan belajar silat, setelah dewasa bertugas melindungi keselamatan penduduk sesuai dengan tingkat tenaga dalam yang dimiliki, mereka tergabung dalam pasukan Ang-ih-bok-lan-tui (pasukan Bok-lan berbaju merah).

Perkampungan itu sendiri bernama perkampungan Bok-lan-ceng. Cengcu (kepala kampung) dari marga Ui dan sudah turun temurun menjadi Kokcu (kepala lembah) dalam lembah tersebut, hingga kini entah sudah keturunan yang keberapa?

* * *

Dikawal oleh dua orang peronda gunung dan delapan anak dara berbaju merah, dengan lancar Pang Goan bertiga memasuki lembah itu dan tiba di depan pintu perkampungan.

Di luar lembah tidak terlihat penjagaan yang ketat, setelah masuk ke dalam lembah juga tidak ada pemeriksaan atau pengadangan, ketika rakyat dalam lembah itu berjumpa dengan mereka, kecuali tersenyum sambil menganggukkan kepala, sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan.

Inikah lembah Mi-kok yang diberitakan sebagai tempat yang misterius dan penuh rahasia? Di sinikah tempat pengasingan Ang-ih Hui-nio yang lihay itu? Di sinikah tempat kubur dari tujuh bersaudara Nyo dari Thian-po-hu?

Tidak! Tak akan ada yang percaya, sekalipun mereka dibunuh orang juga tak ada yang percaya. Tapi perempuan-perempuan itu semuanya berbaju merah, ilmu golok mereka pun sangat lihay, hal ini adalah kenyataan, seandainya mereka bukan keturunan dari Ang-ih Hui-nio mana mungkin mereka dapat mendidik sekian banyak murid yang berilmu tinggi.

Sepanjang perjalanan, kernyitan alis Pang Goan tak pernah mengendur, berbeda dengan Ho Leng-hong, wajahnya selalu kaku tanpa emosi. Dalam hati kecil mereka sama-sama diliputi teka-teki yang mendebarkan hati dan ingin tahu.

Hui Beng-cu sendiri dengan perasaan waswas tiada hentinya menengok ke sana kemari, seakan-akan tertarik dan senang dengan keadaan yang asing baginya ini. Dua orang gadis baju merah yang bergolok berdiri menanti di depan pintu perkampungan, gaun mereka bersulamkan benang putih.

Ketika mereka melihat mayat yang berada di atas usungan, wajah mereka menunjukkan perasaan kaget. Salah seorang di antaranya segera maju menyongsong sambil bertanya dengan suara lirih, “Apa yang telah terjadi? Apakah mereka berempat terbunuh semua?”

Nyonya muda berusia tiga puluhan itu manggut-manggut, lalu balik bertanya, “Kokcu berada di mana?”

“Barusan beliau menanyakan kabar kalian, mungkin masih berada dalam taman bunga sebelah timur, akan kulaporkan untuk kalian.”

“Tidak usah, aku dan Lim Ci akan melaporkan sendiri kepada Kokcu, kalian jaga baik-baik ketiga orang ini.” Berbicara sampai di sini, dia bersama peronda gunung lainnya masuk ke dalam kampung.

Seperginya kedua orang itu, gadis penjaga pintu itu mengamati sekejap Pang Goan bertiga, lalu dengan keheranan ia bertanya, “Apakah kalian bertiga pembunuhnya?”

“Mungkin!” jawab Pang Goan sambil mengangkat bahu.

“Kenapa kau katakan mungkin?” gadis penjaga pintu itu melengak.

“Sebab kami tidak pernah membunuh orang,” jawab Pang Goan sambil tertawa, “akan tetapi keempat orang itu mati di tempat kami bermalam, bila kami katakan bukan pembunuhnya, kalian pasti tidak percaya, sebaliknya kalau bilang benar, kamilah yang tidak percaya.”

Gadis penjaga pintu itu tertawa geli, “Oh, aku dapat memahami perkataanmu itu, jadi tuduhan tersebut membuat kalian penasaran?”

“Mungkin!” sekali lagi Pang Goan mengangkat bahu sambil tertawa.

Dengan wajah serius gadis penjaga pintu berkata, “Tampaknya kalian memang tidak mirip pembunuh. Cuma dengan maksud baik ingin kunasihati padamu....”

“Menasihati apa?”

“Jika kalian betul-betul bukan pembunuh, janganlah sekali-kali kalian mengaku sebagai pembunuh, sebab Kokcu kami paling benci pada mereka yang gemar membunuh, terutama mereka yang mengandalkan kungfunya untuk menindas kaum yang lemah serta membunuh orang, andaikata kalian betul-betul pembunuh kejam, jangan harap jiwa kalian akan diampuni.”

“Kalau begitu, Kokcu kalian tentu berhati welas asih,” kata Pang Goan.

“Siapa bilang bukan? Kokcu kami bukan cuma welas asih saja, tabiatnya juga amat baik, terhadap orang lain juga ramah-tamah...”

“Tapi dia tahu aturan tidak?” tiba-tiba Ho Leng-hong menukas.

“Apa maksudmu berkata begitu?” gadis penjaga pintu itu menegur dengan nada tak senang.

“Misalnya saja, bila kedatangan kami ke bukit ini tanpa sengaja dan tidak mengandung maksud jahat, dapatkah ia memberi kebebasan kepada kami untuk meninggalkan tempat ini?”

“Kenapa kalian tak boleh meninggalkan tempat ini? Bila kalian tersesat di gunung dan tiba di sini tanpa sengaja, berarti kalian adalah tamu kami, dengan segala kehormatan kami akan melayani kalian, kemudian mengantar kalian pergi dari sini, tentu saja kalian harus merahasiakan keadaan lembah ini kepada orang lain.”

Tanpa terasa Ho Leng-hong dan Pang Goan saling bertukar pandang sekejap dengan penuh tanda tanya, sedang dalam hati timbul pula pertanyaan yang sama: “Kalau begitu, kenapa ketujuh Nyo bersaudara tak pernah muncul kembali setelah berangkat kemari?”

Ternyata gadis penjaga pintu itu cukup cerdik, melihat kedua tamunya masih belum percaya, ia berkata lagi, “Kami tak ingin orang luar mengetahui keadaan di sini, inipun karena terpaksa, sebab tempat kami hanya sebesar ini, tak mungkin muat terlalu banyak orang, selain itu kamipun kuatir bila ada orang persilatan berniat buruk ingin mencuri belajar ilmu kami sehingga menambah banyak kerepotan, peraturan ini ditetapkan oleh leluhur kami dan bukan atas kemauan Kokcu sendiri, cuma bila kalian sendiri tak bersedia tinggalkan tempat ini dan ingin tinggal di sini untuk selamanya, tentu saja niat ini akan kami sambut dengan senang hati....”

Ia seperti masih ingin bicara lagi, tapi nyonya berbaju merah tadi keburu datang, nyonya itu memberi tanda kepada Pang Goan sekalian sambil berkata, “Kokcu mengundang kalian untuk menghadap, mari ikut diriku!”

Sebelum pergi, Leng-hong tersenyum ke arah gadis penjaga pintu itu sambil berkata, “Tolong tanya siapa nama nona?”

“Aku bernama Pui Hui-ji, anggota Bok-lan-pek-tul (barisan Bok-lan putih)!”

“Bila Kokcu tidak menyalahkan kami, mungkin aku akan memohon untuk tinggal di sini, sampai waktunya harap nona bersedia memberi petunjuk,” kata Leng-hong sambil tertawa.

Tanpa malu-malu gadis penjaga pintu itu menjawab dengan tertawa, “Baik, semoga kau mempunyai rejeki itu!”

Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam pintu gerbang dan mengikuti nyonya berbaju merah tadi masuk ke dalam perkampungan. Di tengah jalan Hui Beng-cu sengaja berjalan agak lambat, kemudian ia tanya dengan setengah berbisik, “Nyo-toako, benarkah kau ingin tinggal di sini dan tidak kembali ke Thian-po-hu lagi?”

Leng-hong tersenyum, “Tempat ini bagaikan surgaloka, jauh berbeda dengan gedung Thian-po-hu, apa salahnya tinggal di sini?”

“Hm, kaum pria kalian semuanya memang tak punya perasaan, begitu bertemu dengan gadis yang cantik, semua warisan dan jerih payah leluhur pun terlupakan sama sekali.”

“Ah, kaum pria tak bisa disalahkan, siapa suruh kaum gadis rata-rata berwajah cantik?” jawab Leng-hong sambil tertawa.

“Ciss!” dengan mangkel Beng-cu mempercepat langkahnya ke depan lebih dulu.

Sesudah mengitari taman bunga, di depan sana muncul sebuah serambi panjang, setelah mengitari mereka tiba di ruang tengah sebelah timur. Di depan ruangan berdiri empat orang gadis dengan baju merah bersulam benang putih, pintu ruangan masih tertutup rapat.

Nyonya berbaju merah itu membawa mereka menuju ke depan ruangan, kemudian katanya, “Kokcu hendak langsung menanyai kalian, harap semua senjata bawaan ditinggal di luar.”

Ini selain peraturan juga merupakan sopan santun, apalagi nyonya berbaju merah itu mengucapkannya dengan nada sungkan, membuat orang tak dapat menolak permintaannya itu.

Pang Goan angguk kepala kepada kedua rekannya, kemudian melepaskan golok dan pedang bawaannya, terpaksa Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu harus mengikuti perbuatannya.

Keempat gadis itu menerima senjata mereka lalu mendorong pintu lebar-lebar. Pang Goan melangkah masuk ke dalam, ternyata ruangan itu kosong tak nampak seorang pun, di tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang, di atas meja terletak kertas, pit dan alat tulis lainnya, sementara di belakang meja tersedia empat buah kursi yang semuanya kosong.

Sementara mereka masih tercengang, nyonya baju merah itu menyusul masuk, lalu membunyikan sebuah alat kecil tiga kali. “Tiga orang tertuduh telah dibawa menghadap, dipersilakan para petugas hukum naik mimbar!” serunya.

Kain tirai di pintu samping segera terbuka dan muncul dua belas orang perempuan baju merah dengan pinggiran warna biru, mereka masing-masing berdiri di kiri dan kanan meja panjang, setiap orang bergolok panjang dan bersikap kereng.

“Wah, kalau dilihat caranya ini, kita seolah-olah berada dalam ruang pengadilan!” omel Pang Goan sambil tertawa.

“Jangan sembarangan bicara!” bentak nyonya baju merah di belakangnya dengan suara tertahan.

Menyusul kemudian dari balik pintu berjalan keluar lagi empat orang perempuan. Keempat orang ini rata-rata sudah berusia lanjut, yang termuda pun sekitar enam puluhan, sedang yang tua sudah delapan atau sembilan puluh tahunan, semuanya berwajah keriput dengan rambut beruban, mukanya kurus jelek dan masing-masing menempati empat kursi kosong itu. Mereka juga memakai baju berwarna merah. Cuma sulaman tepi gaunnya dari benang perak.

Pang Goan tahu bahwa kedudukan empat orang nenek ini tidak rendah, diam-diam ia merasa geli sekali, pikirnya, “Wah, kalau melihat keadaannya seolah-olah kami telah dituduh sebagai pembunuh yang sesungguhnya, semoga jangan diputuskan segera penggal kepala, bisa mati penasaran.”

Pada ujung meja sebelah kiri dan kanan masing-masing berduduk seorang perempuan berbenang biru, setelah duduk mereka lantas menyiapkan kertas dan alat tulis lainnya, ternyata mereka bertindak sebagai “panitera”.

Di tengah keheningan, nenek berusia paling tua yang berada di dekat ujung kanan itu segera berkata, “Atas kasih sayang Thian dan berkat leluhur, kehidupan kami di tengah gunung yang terpencil sama sekali tidak berniat berebut rejeki dengan orang lain, kami mengutamakan cinta damai dan hidup bahagia dengan tenang, karenanya terhadap segala kejahatan itu, tanpa ampun akan dijatuhi hukuman berat.”

Baru selesai perkataan itu, nenek di sebelah kiri telah memukul meja keras-keras sambil membentak, “Siapa nama kalian bertiga? Datang dari mana? Mengapa membunuh orang? Ayo mengaku satu persatu!”

Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu tetap bungkam. Pang Goan juga tidak menghiraukan pertanyaan tersebut, dia hanya memperhatikan pukulan si nenek pada meja panjang itu, meski suaranya nyaring namun meja itu sendiri tidak tergetar, namun meja tersebut tahu-tahu melesak satu inci lebih ke dalam tanah.

Tapi setelah diperhatikan lagi, ternyata bukan kaki meja yang masuk ke dalam tanah, melainkan kaki meja itu sendiri yang tiba-tiba menyusut hingga lebih pendek. Ini menunjukkan tenaga pukulan si nenek itu sudah mencapai tingkatan Keh-san-ta-gu (dari balik gunung memukul kerbau). Pang Goan menyadari dirinya sendiri tak mampu berbuat demikian, ini semua membuatnya terperanjat sehingga lupa untuk menjawab pertanyaan si nenek tadi.

Nyonya berbaju merah yang berada di belakangnya segera menegur, “He, Tong-popo lagi bertanya kepada kalian, mengapa tidak menjawab?”

“Tong-popo yang mana?” tanya Pang Goan setelah menenangkan hatinya.

“Itu dia, nomor dua dari sebelah kiri, barusan beliau menanyakan nama dan asal usul kalian.”

Pang Goan tertawa, “Mereka berjumlah empat orang, jika semuanya mengajukan pertanyaan, entah yang manakah harus dijawab lebih dulu, sedangkan kami bertiga, kalau semuanya menjawab juga tentu akan bikin kalian bingung untuk mendengarkannya, maka aku ada usul, entah kalian bersedia mengikutinya atau tidak?”

“Coba katakan!” kata nenek she Tong itu.

“Gampang sekali, mari kalian berempat pilih seorang wakil untuk bertanya, sedang dari pihak kami bertiga akan diwakili pula seorang untuk menjawab, bukankah hal ini akan lebih enak?”

Mencorong sinar tajam dari mata nenek she Tong itu, ia memandang sekejap rekan-rekan di sekelilingnya, lalu berkata, “Ehm, ini memang suatu usul yang bagus.”

Keempat orang nenek lalu saling mengalah dan saling mempersilakan rekannya sebagai wakil mereka.

Pada kesempatan itu, Pang Goan berkata kepada Ho Leng-hong, “Jit-long, kau saja yang menjawab pertanyaan mereka, kalau perlu bersikap tegas, katakan segala sesuatunya secara terus terang, tapi untuk sementara waktu jangan kau singgung dulu masalah Thian-po-hu.”

“Mengapa bukan Lotoako yang tampil ke muka?” tanya Leng-hong.

“Rasanya setiap masalah dalam lembah ini bagaikan suatu teka-teki, bila kita ingin hidup lebih lanjut, kita juga harus main sandiwara menurut gelagat, dengan begitu baru tersedia jalan mundur jika keadaan kepepet.”

Ho Leng-hong mengangguk tanda mengerti, diam-diam ia berpikir, “Pang-toako selalu tinggi hati dan tak mau tunduk kepada orang, sejak kapan ia belajar menyesuaikan diri dengan keadaan?”

Sementara itu keempat orang nenek pun selesai berunding, tetap si nenek she Tong itu sebagai juru bicaranya, ia bertanya, “Apakah kalian telah selesai berunding? Siapa yang akan menjawab pertanyaan kami?”

“Aku!” jawab Leng-hong.

“Bagus sekali. Cuma akupun hendak memperingati satu hal padamu, setelah bersedia menjawab pertanyaan kami, maka setiap ucapanmu harus dapat dipertanggungjawabkan, sebab semua perkataanmu akan kami catat dan tak bisa disesali kembali.”

“Tentu saja!” kata Leng-hong.

“Nah, sekarang laporkan dulu nama serta tempat tinggal kalian bertiga,” kata nenek Tong sambil manggut-manggut.

Leng-hong mengakui dirinya sebagai Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu, selain itu juga melaporkan nama Pang Goan dan Hui Beng-cu. Setelah mendengar nama-nama itu keempat orang nenek tersebut menunjukkan wajah kaget, buru-buru mereka berunding dengan suara lirih.

Lewat sejenak kemudian, nenek Tong bertanya pula, “Kau mengaku sebagai Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu, sedang mereka berdua dari Cian-sui-hu dan Hiang-in-hu, benarkah pengakuan itu?”

“Benar!”

“Kalau begitu ingin kutanya sesungguhnya ada beberapa orang Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu?”

“Cuma ada seorang!”

Air muka nenek Tong berubah serius, katanya, “Kuharap kau menjawab dengan sejujurnya, sebab barang siapa berani berbohong, dia akan mendapat ganjaran yang setimpal.”

“Kenapa? Masa urusan Thian-po-hu kau lebih jelas daripadaku?” bantah Leng-hong, “apakah di lembah ini terdapat juga Nyo Cu-wi yang lain?”

Air muka nenek Tong berubah pula, tapi ia tidak mendebat, ia mengalihkan pertanyaan pada soal lain, katanya, “Atas alasan apa kalian datang ke Tay-pa-san ini?”

Tanpa merahasiakan sedikit pun Leng-hong mengisahkan bagaimana Ci-moay-hwe mengutus seorang Pang Wan-kun gadungan untuk mencari golok Yan-ci-po-to, lalu bagaimana menggunakan siasat Cioh-to-sat-jin untuk memancing mereka bertiga datang ke Tay-pa-san, dan apa yang terjadi dengan lencana kayu dan tali istimewa untuk memfitnah mereka. Sementara ia menuturkan pengalamannya, dua orang gadis petugas panitera mencatat semua pengakuan itu.

Ketika pemuda itu selesai dengan penuturannya, nenek Tong bertanya pula, “Ci-moay-hwe yang barusan kau singgung itu sesungguhnya organisasi macam apa? Siapakah pemimpinnya? Apakah kau tahu?”

“Seandainya aku tahu, tak nanti bisa terkena siasat Cioh-to-sat-jin mereka. Cuma ada satu hal yang kuyakini benar, yakni di kala Thian Pek-tat berempat terbunuh semalam, mereka pasti berada di sekitar tempat ini, bahkan mungkin saja saat ini masih berada di daerah pegunungan ini.”

“Tidak mungkin, siang malam petugas peronda kami melakukan patroli di sekeliling pegunungan ini dan belum pernah kami temukan jejak mereka, selain itu, kalau benar mereka berusaha dengan segala daya upaya untuk mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to, setelah berhasil mendapatkannya, kenapa dikembalikan kepadamu dengan begitu saja. Jadi ceritamu tentang melimpahkan bencana kepada orang lain itu sama sekali tidak masuk di akal.”

“Mau percaya atau tidak adalah urusan kalian, tapi yang pasti semua perkataanku adalah sejujurnya.”

“Kau berani diadu dengan petugas peronda kami?”

“Tentu saja berani.”

“Bagus, panggil petugas peronda bukit untuk menghadap ke depan pengadilan!”

Nyonya berbaju merah tadi mengiakan dan tampil ke muka, katanya, “Hamba petugas peronda, komandan barisan ketujuh Bok-lan-la-tui Hoa Jin siap memberi keterangan!”

“Hoa Jin, apakah kau adalah petugas ronda hari ini?” tanya nenek Tong.

“Benar!”

“Kaukah yang menemukan jenazah dari para korban?”

“Benar!”

“Apakah kau pula yang menangkap mereka?”

“Benar!”

“Bagus sekali, laporkan sekali lagi kejadian yang telah berlangsung.”

“Hamba sebagai petugas peronda mendapat perintah untuk menyambut...” “Secara ringkas saja,” tiba-tiba nenek Tong menukas, “laporkan saja sekitar penemuan mayat-mayat tersebut.”

“Baik,” kata Hoa Jin, “Jejak Hui-goan Taysu berempat berhasil hamba temukan lewat tengah malam kemarin, pagi tadi ketika kami tiba di bawah gua karang, ditemukan keempat orang itu sudah tewas di samping api unggun, setelah dilakukan pencarian yang saksama, akhirnya disebuah gua kami berhasil menghadang ketiga orang pembunuh itu, mula-mula mereka melakukan perlawanan, tapi akhirnya mereka menyerahkan diri.”

“Apakah diperiksa juga senjata yang dipergunakan lawan?”

“Menurut hasil pemeriksaan, keempat orang itu tewas oleh Yan-ci-po-to, mulut lukanya sangat lebar, dan senjata pembunuh itu justru ditemukan berada pada orang she Nyo ini.”

“Apakah pada jenazah juga ditemukan lencana kayu? Atau bekas tali yang dipakai untuk membelenggu mereka?”

“Tidak!”

“Waktu itu apakah tertuduh menyangkal telah membunuh orang?”

“Tidak!”

“Apakah ditemukan orang yang mencurigakan di sekitar mereka?”

“Juga tidak.”

“Sudah mendengar? Apa lagi yang hendak kau katakan?” kata nenek Tong kemudian sambil menatap Ho Leng-hong dengan sorot mata tajam.

“Hal tersebut sudah kukatakan semua,” teriak Leng-hong dengan suara lantang, “Waktu itu peronda she Hoa itu tidak menanyakan soal pembunuhan, mana kami bisa menyangkalnya?”

Nenek Tong tertawa dingin, “Hehehe, sekalipun ia tidak menanyakan soal ini, kenapa kalian tidak melakukan penyangkalan, padahal tahu di bawah bukit membujur empat sosok mayat? Dan lagi senjata pembunuh merupakan bukti yang jelas, penyangkalan kalian semakin membuktikan hati kalian amat kalut dan takut, ingin menyangkal pun kini sudah terlambat.”

Ho Leng-hong seperti ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi nenek Tong lantas berbangkit sambil berseru, “Pemeriksaan telah selesai, perhatikan baik-baik keputusan kami!”

Serentak ketiga orang nenek yang lain bangkit berdiri, suasana dalam ruangan berubah menjadi hening dan serius. Nenek Tong berunding sebentar dengan ketiga orang rekannya, lalu dengan wajah serius katanya,

“Tertuduh Nyo Cu-wi, Pang Goan dan Hui Beng-cu terbukti bersalah melakukan pembunuhan bersama yang mengakibatkan kehilangan jiwa orang lain, kesalahan ini melanggar peraturan lembah ini, lagipula setelah bersalah tidak bertobat, bahkan berusaha mungkir, dosa ini amat besar, maka pengadilan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman ‘Khek-sin’ kepada mereka, untuk sementara para tertuduh dimasukkan tahanan menanti pelaksanaan hukuman.” Selesai berkata ia lantas mengundurkan diri.

“Apa yang disebut Khek-sin?” tanya Beng-cu.

“Artinya akan dihukum pancung di hadapan umum,” jawab Hoa Jin.

Betapa gusarnya Hui Beng-cu, teriaknya, “Hm, keterlaluan sekali! Pang-toako, mari kita turun tangan....” Baru saja ia berteriak, “Cring! Cring!” dua belas orang perempuan bersulam benang biru telah melolos golok dan merubung maju. Cahaya golok berkilauan, langsung mengancam perut dan punggung mereka bertiga, padahal Pang Goan sekalian dalam keadaan tangan telanjang tanpa senjata apapun.

Sambil tertawa getir Ho Leng-hong segera memandang ke arah Pang Goan, lalu katanya, “Lotoako, kali ini kita benar-benar terjebak.”

Pang Goan mendengus, “Orang she Hoa, kau bilang Kokcu kalian hendak berbicara sendiri dengan kami, rupanya kau berbohong?”

“Kokcu harus mendengarkan dulu laporan keempat Popo sebelum memutuskan apakah perlu menanyai kalian langsung, sebab untuk melaksanakan hukuman penggal kepala mesti ada persetujuan lebih dulu dari Kokcu, jadi seandainya kalian bernasib baik, mungkin saja masih ada kesempatan bertemu dengan Kokcu.”

“Umpama kami hendak titip pesan, apakah kau dapat menolong kami untuk menyampaikan kepada Kokcu?”

“Tentu saja!”

Pang Goan menarik napas panjang, kemudian berkata, “Kalau begitu tolong sampaikan kepada Kokcu kalian bahwa Yan-ci-po-to dan kitab pusaka Poh-in-pat-toa-sik itu adalah palsu, jika ingin tahu berita tentang kitab dan golok yang asli, silakan menanyai sendiri padaku.”

Kemudian sambil mendongakkan kepala ia menambahkan, “Di mana letaknya penjara? Silakan membawa kami ke sana, sesudah lelah semalaman, kami ingin beristirahat dulu dalam penjara.”

Hoa Jin memandangnya dengan melongo, rupanya ia sedang meresapi makna kata-katanya itu. Bahkan Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu juga ingin bertanya padanya. Akan tetapi Pang Goan tidak berkata apa-apa, sambil busungkan dada dan melangkah dengan lebar, ia berlalu lebih dulu dari ruangan tersebut…

* * *
Rumah penjara terletak di kaki bukit bagian belakang perkampungan tersebut. Dua baris rumah baru yang berderet bagaikan gua itu meski kecil dan sempit, tapi sangat kering dan bersih, setiap ruangan terdapat meja, bangku dan pembaringan, selain itu terdapat pula alat-alat untuk bersihkan badan serta membuang hajat, keadaannya mirip dengan sebuah “rumah tamu”.

Ruang penjara itu bernomor, di sebelah kiri bernomor ganjil sedang di sebelah kanan bernomor genap. Pengurus rumah penjara adalah seorang perempuan setengah umur dari kelompok benang biru, ia bernama Yu Ji-nio dan membawahi empat orang gadis dari barisan Bok-lan-pek-tui.

Sikap Yu Ji-nio terhadap orang sangat ramah tamah, sedikitpun tidak mencerminkan sikap seorang sipir penjara yang buas dan garang, atau mungkin lantaran suasana penjara amat sepi, maka ketika mengetahui ada tiga orang “tamu terhormat” diantar ke sana, tampaknya ia sangat senang. Ia menjadi repot sekali masuk keluar tiada hentinya, menyiapkan air teh, menyiapkan nasi dan sayur, pelayanannya betul-betul sangat bagus.

Pang Goan bertiga dimasukkan dalam ruang penjara di sebelah kiri, Pang Goan menempati satu, Ho Leng-hong menempati ruang tiga dan Hui Beng-cu ruang lima.

Selesai bersantap dan mencuci muka, Yu Ji-nio secara khusus menghidangkan secawan air teh panas untuk mereka, katanya sambil tertawa, “Kalian adalah tamu yang datang dari jauh, berdosa atau tidak tak ada sangkut pautnya dengan diriku, aku selalu menganggap kalian sebagai tamu-tamu kehormatan, jika butuh makanan atau perlu sesuatu katakan saja kepadaku. Cuma janganlah melakukan perbuatan bodoh yang bikin susah padaku, setelah berada di sini, jangan harap kalian bisa keluar lagi dari lembah ini, sekalipun berhasil melarikan diri dari mulut lembah, tak mungkin bisa kabur meninggalkan Tay-pa-san ini.”

“Yu Ji-nio, jangan kuatir,” jawab Pang Goan sambil tertawa, “untuk keluar kami pasti akan keluar, tapi kami tak akan kabur dari penjara, kami masuk kemari secara terang-terangan, pergi dari sini juga secara terang-terangan, kalau tidak, sekalipun diantar dengan tandu besar yang digotong delapan orang, belum tentu kami sudi pergi dengan begitu saja.”

“Bagus, bila kalian dapat pergi dari sini nanti, aku pasti akan memasang petasan untuk mengantar keberangkatan kalian.”

“Mengantar sih tidak perlu, sekarang silakan kau keluar lebih dulu, berilah kesempatan kepada kami untuk tidur siang sepuasnya, boleh bukan?”

“Tentu, tentu!” sambil tertawa Yu Ji-nio mengajak keempat orang gadis itu berlalu dari situ.

Pang Goan segera menggeliat dan menguap lalu gumamnya, “Setelah bergadang semalam suntuk, inilah kesempatan yang sangat baik untuk tidur, dengan demikian kita ada kekuatan dan semangat untuk berunding dengan Kokcu.” Selesai berkata, ia lantas menjatuhkan diri di pembaringan.

Ho Leng-hong yang berada di kamar sebelah tak dapat setenang itu, sambil mengetuk dinding bisiknya, “Lotoako, jangan tidur dulu, kita harus merundingkan persoalan ini...”

“Apa lagi yang mesti dirundingkan?” tanya Pang Goan.

“Tadi kau berkata kepada mereka bahwa golok mestika Yan-ci-po-to dan kitab pusaka itu adalah palsu, pengakuan itu memang pengakuan yang betul ataukah cuma bohong-bohongan saja?”

“Pada waktu perlu bohong boleh bohong, bila perlu sungguh harus sungguh. Hidup manusia bagaikan impian, kenapa mesti begitu serius?”

Ucapan tersebut makin lama makin lirih, kemudian lantas terdengar suara dengkuran yang keras, ternyata ia sudah tertidur pulas.

Meskipun pelbagai kecurigaan masih menghantui pikirannya, karena yang ditanya tetap membungkam, terpaksa sambil menghela napas panjang diapun berbaring. Pada saat pikirannya sedang kalut dan bingung itulah, tiba-tiba terdengar Hui Beng-cu yang berada di kamar sebelah memanggil dengan suara tertahan,

“Nyo-toako, cepat kemari, cepat kemari…”

“Ada apa?” tanya Leng-hong.

“Coba lebih mendekatlah denganku, akan kuberitahukan satu hal kepadamu...” bisik Beng-cu.

“Sudah, tak usah repot-repot, tiada yang perlu dibicarakan lagi, bagaimana kalau kita beristirahat lebih dulu?”

“Tidak bisa, bagaimanapun persoalan ini harus kukatakan kepadamu sekarang juga, kutemukan sebaris tulisan di dinding ruangan ini...”

“Apa bunyi tulisan itu?” tanya Leng-hong.

“Agaknya tulisan ini ditinggalkan oleh enso….”

“Apa kau bilang? Siapa yang meninggalkan tulisan itu?” cepat Leng-hong melompat bangun sambil berseru.

“Kalau diperhatikan dari nada tulisannya, tampaknya seperti tulisan dari enci Wan-kun, tapi jika ditinjau dari kata-katanya seperti juga bukan….”

“Coba bacakan tulisan itu!”

Hui Beng-cu segera membaca dengan lirih, “Untuk mencuci bersih rasa malu akibat kekalahan yang diterima, dengan mempertaruhkan jiwa raga kekasih telah masuk ke istana Peng-kiong, keturunan Thian-po-hu berakhir sampai di sini... di bawahnya seperti masih ada tulisan, cuma sudah tidak jelas lagi, tapi yang menandatangani tulisan ini adalah Wan-kun.”

“Wan-kun?” Ho Leng-hong menarik napas dingin, “Ternyata mereka benar-benar telah datang ke lembah Mi-kok ini.”

“Tapi, bukankah kau masih hidup baik-baik di Thian-po-hu? kenapa dia mengatakan bahwa ‘kekasih masuk ke istana Peng-kiong’? kenapa pula dia bilang keturunan Thian-po-hu berakhir sampai di sini? Apa pula maksudnya mengucapkan kata-kata tersebut?”

Ho Leng-hong tidak memberi keterangan, iapun tak dapat memberi keterangan, terpaksa tukasnya, “Coba kau periksa lagi dengan saksama, apakah masih ada tulisan lagi yang ditinggalkan?”

Lewat sejenak kemudian, Hui Beng-cu berkata lagi, “Sudah tak ada lagi, hanya tulisan ini yang terukir di dinding batu di ujung pembaringan.”

“Apakah di bawah tanda tangan itu tercantum hari dan tanggal?” kembali Ho Leng-hong bertanya.

“Tidak ada... Ah, tunggu sebentar... di sini terdapat sebuah huruf ‘Ka’ di bawahnya ada sebuah huruf lagi, sayang cuma separuh, tapi agaknya mirip huruf ‘Gin’, sayang tulisannya tidak lengkap.”

“Tahun Ka-gin? Itu berarti setahu yang lalu,” gumam Ho Leng-hong, “ehm, betul cocok memang dengan waktunya, ya, pasti dia...”

“Kalau betul dia, lantas kenapa?” tiba-tiba Pang Goan menyela, “tidak dapatkah kalian tenang sejenak, agar orang lain memperoleh kesempatan untuk beristirahat sebentar?”

Cepat-cepat Ho Leng-hong mendekati dinding sebelah kanan, lalu bisiknya, “Lotoako, Wan-kun dan Nyo...”

“Sudah kudengar, semua hal ini sudah berada dalam dugaanku, tapi kita harus berpura-pura tidak tahu, tak peduli siapa yang bertanya padamu, jangan kau mengaku keadaanmu yang sebenarnya, kecuali kau bertemu sendiri dengan Wan-kun, maka ceritakanlah seluruh kejadian yang sesungguhnya.”

“Menurut dugaanmu, mungkinkah Wan-kun masih berada di dalam Mi-kok?”

“Lebih baik kita tak usah menduka secara mengawur, asal telah bertemu dengan Kokcu, otomatis semua duduknya perkara akan menjadi jelas.”

“Ai, benarkah Kokcu bersedia menjumpai kita?” bisik Leng-hong sambil menghela napas.

“Kenapa tidak? Bukankah mereka telah datang?”

Betul juga, terdengar suara langkah manusia yang semakin mendekat, menyusul kemudian terlihat Yu Ji-nio muncul bersama Hoa Jin.

“Pasti kau yang pertama-tama yang akan dijumpai,” bisik Pang Goan, “ingat, apa yang boleh dan yang tidak boleh dibicarakan, soal kitab pusaka ilmu golok boleh kau limpahkan pertanggungan-jawabnya kepadaku.”

Ternyata dugaannya memang tepat, Yu Ji-nio dan Hoa Jin langsung menuju ke kamar tahanan nomor tiga dan berhenti di situ. Setelah berada dalam kamar, dengan saksama Hoa Jin memperhatikan diri Ho Leng-hong dari ujung kepala sampai ujung kakinya, setelah itu tanyanya,

“Sungguhkah kau ini majikan Thian-po-hu yang bernama Nyo Cu-wi?”

“Kenapa?” Ho Leng-hong pura-pura bersikap ketus, “memang ada yang gadungan di sini?”

Hoa Jin tertawa, “Kau betul-betul bernasib baik, Kokcu ingin berjumpa denganmu, semoga kau bersedia bicara secara jujur.”

Waktu itu Yu Ji-nio telah membuka borgol pintu dengan kuncinya, lalu sambil mendorong pintu terali besi ke samping, katanya dengan tertawa, “Nyo-tayhiap, selamat jalan, semoga kau tidak kembali lagi kemari.”

Ho Leng-hong mengangkat bahu, kemudian berkata, “Pelayanan Ji-nio amat menyenangkan hati, agaknya aku bakal mengganggu dirimu selama beberapa hari lagi.”

Keluar dari ruang penjara, ia segera disambut oleh empat orang gadis berbenang biru dengan senjata terhunus, ternyata ketat juga pengawalan di situ. Dengan dipimpin oleh Hoa Jin, rombongan itu berjalan masuk ke sebuah halaman yang amat sepi, setelah melewati serambi akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan besar.

Selain luas dan hening, suasana dalam ruangan itu amat bersih dan rapi, pintu ruangan terbuka lebar, keadaan ruangan persis seperti keadaan dalam ruangan “pengadilan”, cuma di sini tiada pengawalan yang ketat.

Empat gadis pengawal tadi berhenti di ruang depan, hanya diantar oleh Hoa Jin saja Ho Leng-hong masuk ke dalam ruangan. Hening sekali ruangan itu, bukan saja tanpa pengawalan, di situpun tiada senjata yang berkilauan, seorang gadis baju merah sedang berduduk di belakang meja sambil memeriksa setumpuk surat.

Agak jauh di belakang gadis itu terdapat pula sebuah kursi, seorang perempuan bercadar hitam duduk di situ. Mula-mula Ho Leng-hong mengira perempuan bercadar itulah Kokcunya, akan tetapi setelah diperiksa lebih saksama, ia terperanjat.

Ternyata meskipun perempuan bercadar itu mengenakan pakaian warna merah juga, namun pada gaunnya tidak terdapat sulaman apa-apa, sebaliknya gadis yang sedang memeriksa setumpuk dokumen itu justru mempunyai sulaman benang emas pada gaunnya.

Gadis itu sedang menundukkan kepalanya, maka tak terlihat raut wajahnya, tapi baik diperhatikan dari sudut manapun, bisa diduga usianya tak akan melampaui dua puluh tahun. Gadis semuda inikah Kokcu dari Mi-kok? Ho Leng-hong tercengang, baru saja melangkah ke dalam ruangan ia segera berhenti.

Gadis itu masih juga menundukkan kepalanya dan memeriksa dokumen, cuma sekarang dia memberi tanda sambil berkata, “Ambilkan kursi untuk Nyo-tayhiap!”

Hoa Jin mengambilkan sebuah kursi dan Leng-hong duduk di kejauhan, saking tegangnya untuk mengembus napas keraspun tak berani. Ia merasa setiap ucapan gadis tersebut seakan-akan memiliki kewibawaan yang sukar dibantah, membuat orang lain merasa rendah diri dan berada di bawah pengaruhnya.

Suasana dalam ruangan amat hening, sedemikian heningnya sampai suara jarum jatuh ke lantai pun kedengaran jelas, siapapun tidak membuka suara, cuma perempuan bercadar itu yang terus mengawasi Ho Leng-hong. Diam-diam Leng-hong memperhatikan pula perempuan itu, hanya saja ia tak dapat menebak asal-usulnya?

Lewat sesaat kemudian, pelahan gadis benang emas baru mendongakkan kepalanya, lalu sambil tertawa kepada Ho Leng-hong katanya, “Benarkah Nyo-tayhiap ini majikan Thian-po-hu?”

Ketika gadis itu mendongakkan kepalanya, semakin terbuktilah bahwa dugaan Leng-hong tidak keliru, usia gadis itu paling banter cuma delapan-sembilan belas tahunan, mukanya masih ke kanak-kanakan, wajahnya cantik jelita, sinar matanya jernih tenang, tapi juga menggidikkan hati. Tanpa terasa Ho Leng-hong mengalihkan pandangannya ke arah lain, kemudian jawabnya lirih, “Betul!”

“Ada berapa banyak Thian-po-hu di dunia ini?”

“Hanya ada satu Thian-po-hu di kota Kiu-ki-shia.”

“Kalau begitu, Nyo-tayhiap adalah majikan keturunan berapa dari Thian-po-hu?”

Ho Leng-hong tertegun sejenak, kemudian jawabnya, “Thian-po-hu didirikan oleh mendiang ayahku dan mempunyai tujuh anak semenjak ayahku wafat, kakak sulungku Han-wi beserta kelima saudara lainnya secara beruntun pergi meninggalkan rumah dan tidak kembali lagi, kini akulah yang mewarisi kedudukan itu.”

Sambil mendengar gadis itu manggut-manggut berulang kali, katanya lagi sambil tersenyum, “kalau begitu, Nyo-tayhiap adalah majikan terakhir Thian-po-hu?”

“Betul!”

“Tadi Nyo-tayhiap berkata bahwa enam saudaramu secara beruntun pergi meninggalkan rumah untuk tidak kembali lagi, tahukah kau ke mana mereka telah pergi?”

“Kokcu, kalau sudah tahu apa gunanya bertanya lagi? Keenam saudaraku telah pergi meninggalkan rumah lantaran hendak mencari ilmu golok sakti peninggalan Ang-ih Hui-nio dan secara beruntun pergi ke Mi-kok ini, masakah Kokcu tidak tahu?”

Gadis itu tertawa, ia tidak mengaku juga tidak menyangkal, ia ingin mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, “Ilmu golok Nyo-keh-sin-to telah merajai dunia, apa gunanya kalian mencari ilmu golok lain yang lebih dahsyat?”

“Sebab gelar kehormatan Thian-he-te-it-to tersebut telah dirampas oleh pihak Hiang-in-hu dari Leng-lam pada pertemuan Lo-hu-to-hwe yang lalu, maka kami bersaudara berhasrat untuk menjunjung kembali nama baik keluarga, oleh karena kami dengar ilmu golok Ang-ih Hui-nio merupakan ilmu golok tandingan Nyo-keh-sin-to, maka kami harus menemukannya.”

Gadis itu menggeleng kepala berulang kali, “Hakikatnya ilmu silat di dunia ini tiada batasnya, betapa hebat sesuatu ilmu silat tak lebih hanya gerakan lincah yang memanfaatkan kelemahan pihak lawan, kepandaian semacam ini mana pantas disebut ilmu yang tiada tandingannya? Setelah menderita kekalahan, mengapa kalian tidak mencoba untuk bertanya pada diri sendiri sudahkan kepandaian keluarga digunakan semaksimalnya? Pernahkah terpikir hendak mempopulerkan kehebatan Nyo-keh-sin-to? Kalau yang dipikirkan hanya ingin belajar kepandaian orang lain, sungguh tindakan ini adalah tindakan yang bodoh.”

Ho Leng-hong tidak menyangka gadis semuda ini ternyata sanggup memberi keterangan panjang lebar seperti ini, tergerak juga perasaannya. “Apa yang Kokcu terangkan memang tepat dan masuk diakal,” demikian katanya, “sayang sekali hanya sejumlah kecil manusia di dunia ini yang dapat mawas diri serta mengintropeksi diri sendiri, sementara sebagian besar lainnya tetap dungu dan tak berguna.”

“Tolong tanya Nyo-tayhiap adalah manusia dari jenis yang mana?”

“Aku... tentu saja dari golongan yang bodoh.”

“Kalau begitu, maksud kedatangan Nyo-tayhiap ke lembah ini juga untuk mencari ilmu golok yang maha sakti itu?” tanya gadis itu.

“O, tidak, pada hakikatnya aku tidak tahu di manakah letak Mi-kok ini, sesungguhnya kedatangan kami ke sini hanya ingin mencari sarang Ci-moay-hwe, tak tahunya malah terpancing sampai di Tay-pa-san ini.”

“Apa yang terjadi dengan perkumpulan Ci-moay-hwe?”

“Keadaan yang sebetulnya masih kurang jelas, aku cuma tahu tentang munculnya sebuah organisasi rahasia dalam dunia persilatan, semua anggota mereka adalah kaum wanita dan cita-citanya adalah beradu kekuatan dengan kaum pria di dunia.”

Gadis itu tertawa, “Ambisi orang-orang itu terlalu besar, Thian menciptakan makhluk laki dan perempuan, Im dan Yang, dengan maksud agar ada perbedaan di antara umatnya dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda, kaum pria bertugas keluar dan kaum wanita bertugas ke dalam, sebetulnya tiada sesuatu yang pantas diperebutkan, apalagi adu kekuatan. Ambil contoh saja lembah kita ini, meskipun kaum wanita diwajibkan belajar silat, hal ini disebabkan ilmu silat leluhur kami lebih cocok untuk kaum wanita, ini tidak berati kaum wanita lebih tangguh daripada kaum prianya. Lagi pula, kecuali urusan ilmu silat, kaum lelaki tetap merupakan kepala rumah tangga, mereka saling hormat menghormati, sayang menyayangi, bukankah hal ini bagus sekali?”

Sampai di sini, tiba-tiba ia menarik kembali senyumnya, kemudian berkata dengan nada sungguh-sungguh, “Nyo-tayhiap, aku ingin bertanya lagi padamu dan kuharap kau bersedia bicara terus terang.”

“Silakan bertanya, Kokcu!”

Ditatapnya wajah Ho Leng-hong dengan sinar mata tajam, kemudian sepatah demi sepatah katanya, “Benarkah kau Nyo Cu-wi, majikan Thian-po-hu?”

Hati Leng-hong tergerak, bukannya menjawab ia malah bertanya, “Apakah Kokcu mencurigai diriku sebagai gadungan?”

“Betul, aku memang merasa curiga terhadap asal-usulmu.”

“Kenapa?”

“Sebab tahun yang lalu ada seorang Nyo Cu-wi yang mendatangi lembah ini, dia menyebut dirinya sebagai pemilik Thian-po-hu.”

“Oya? Tak nyana di dunia ini terdapat kejadian yang begini kebetulan? Kini Nyo Cu-wi tersebut berada di mana?”

“Dia sudah mati!”

“O, sayang sekali,” kata Leng-hong pura-pura menyesal, “kalau tidak, ingin sekali kujumpai sahabat yang mempunyai nama dan she yang sama dengan diriku itu.”

“Maksudmu dia telah menyaru sebagai dirimu?”

Ho Leng-hong tersenyum, “Dia dan aku bukan hanya bernama dan she sama, keduanya juga sama mengaku majikan dari Thian-po-hu, salah seorang di antara kami sudah pasti adalah gadungan, tapi sekarang ia sudah mati, siapa yang asli dan siapa gadungan rasanya tidak penting lagi artinya.”

“Tidak, justru penting sekali artinya, seyogyanya kau mengaku secara terus terang, sebab kalau tidak akan berakibat fatal bagimu.”

Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, “Orang yang sudah mati tak mungkin bisa dijadikan sebagai saksi, sekalipun aku gadungan, seandainya aku berkeras mengatakan diriku adalah yang asli, bagaimana pula cara Kokcu akan membedakannya?”

“Tentu saja aku ada akal untuk membedakannya, cuma kuharap kau bersedia mengaku terus terang, sebab jika aku sampai membuktikannya, kau tak ada kesempatan untuk melakukan pemilihan lagi.”

“Bagaimana kalau ada kesempatan untuk memilih, dan bagaimana kalau tak ada kesempatan?” tanya Leng-hong sambil tertawa.

“Berbicara terus terang berarti ada kesempatan hidup, berbohong berarti kematian.”

Leng-hong termenung sebentar, kemudian katanya, “Kurasa semua perkataanku adalah sejujurnya, soal Kokcu mau percaya atau tidak jelas tidak berani kupaksa, lebih baik Kokcu segera membuktikannya sendiri.”

“Kau tidak menyesal?”

“Tentu saja tidak.”

“Bagus!” gadis itu lantas berpaling ke arah perempuan bercadar itu sambil mengangguk, “Coba periksalah dia, sebetulnya dia ini asli atau palsu?”

Perempuan itu mengiakan, pelahan ia melepaskan kain cadar yang menutupi wajahnya. Tiba-tiba mata Leng-hong terbeliak lebar, jeritnya, “Wan... kun...”

Tak salah lagi, dia memang Pang Wan-kun. Ditinjau dari raut wajahnya, ia tak berbeda dengan Pang Wan-kun gadungan dari Ci-moay-hwe. Cuma sikap maupun gerak-geriknya jauh lebih anggun daripada perempuan gadungan itu.

Bagaimana pun juga, seorang mungkin dapat menyaru raut wajah orang lain, mungkin juga dapat meniru suara bahkan gerak-geriknya, tapi sikap dan gaya seseorang sukar untuk ditiru.

Sikap dan gaya melambangkan kepribadian seseorang, melambangkan tingkat pendidikan serta pengetahuannya, melambangkan pula semua pengaruh lingkungan serta pengalaman yang pernah dialaminya semenjak kecil. Di dunia yang luas ini tak mungkin ada dua manusia yang memiliki pengalaman yang sama, sebab itu tak ada pula dua orang yang memiliki sikap serta gaya yang sama.

Oleh sebab itu, meski baru bertemu sekali, Ho Leng-hong merasa yakin bahwa Pang Wan-kun yang berada di hadapannya itulah Pang Wan-kun yang asli, ia tak mungkin Pang Wan-kun jadi-jadian dari Ci-moay-hwe. Lantaran itulah Ho Leng-hong bersuara kaget... dengan masih hidupnya Pang Wan-kun di lembah Mi-kok ini berarti penyamaran si gadungan segera akan terbongkar.

Ho Leng-hong mengawasi Pang Wan-kun dengan mata melotot, hampir saja jantungnya mau melompat keluar dari rongga dadanya, sementara Pang Wan-kun sendiri pun mengawasi pemuda itu tanpa berkedip, wajahnya tetap dingin dan tawar tanpa emosi. Walaupun sudah lewat sekian lama, akan tetapi ia tetap tidak bicara ataupun bergerak, ditatapnya Ho Leng-hong tanpa berkedip.

“Pang Wan-kun, sudah kau lihat jelas?” tanya gadis itu tiba-tiba.

Pelahan Pang Wan-kun mengangguk.

“Apa yang dikatakan tadi juga sudah kau dengar semua?” kembali gadis itu bertanya.

Sekali lagi Pang Wan-kun mengangguk.

“Nah, sekarang beritahukan kepadaku, orang ini benar-benar suamimu Nyo Cu-wi?” desak gadis itu.

Pang Wan-kun tidak menjawab, tetap kepalanya tertunduk rendah...
Selanjutnya,
Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 08

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 07

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 07
Karya : Gu Long
Penyadur : Gan K.L

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
MALAM itu lewat dengan aman tenteram, tiada peristiwa apapun yang terjadi. Tak lama setelah fajar menyingsing, ketiga orang itu mulai merasa letih.

“Secara bergilir kita mesti beristirahat dulu,” kata Pang Goan, “kita harus simpan tenaga, sebab kita akan menunggu sehari semalam lagi.”

Hui Beng-cu tampak menguap, katanya sambil tertawa, “Aku memang merasa lelah, baiklah aku tidur sebentar lebih dulu, bila ada apa-apa panggillah aku!”

“Mumpung sekarang hari baru terang, bebaskan dulu jalan darah perempuan asing itu agar membuang hajat di belakang gua sana, sebab jalan darah yang terlalu lama ditutuk bisa mengakibatkan beku peredaran darahnya.”
Beng-cu mengiakan dan berbangkit, tapi tiba-tiba matanya terbelalak lebar, sambil menuding ke bawah tebing sana katanya, “Coba lihat, mayat itu….”

“Mengapa dengan mayat-mayat itu?” tanpa terasa Pang Goan dan Leng-hong tanya bersama.

Waktu itu api unggun telah padam, tapi keempat sosok mayat itu masih tergeletak di tepi api unggun, sama sekali tiada suatu yang aneh. Dengan suara kaget Hui Beng-cu berkata lebih jauh, “Ke... ke mana larinya lencana kayu pada mayat itu? Ke... kenapa bisa lenyap semua...?”

Pang Goan dan Leng-hong cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke bawah, segera merekapun terperanjat. Betul juga, keempat buah lencana kayu di tubuh mayat itu betul-betul telah lenyap tak berbekas.

“Lotoako, lindungi aku dari atas, bias aku turun ke bawah untuk melakukan pemeriksaan!” kata Leng-hong dengan suara tertahan.

“Jangan sembarangan bergerak,” cegah Pang Goan cemas, “kejadian ini sangat mencurigakan, mungkin sekali inilah yang dimaksudkan si kakek sebagai rencana busuk itu!”

“Semalam jelas benda-benda itu masih ada,” kata Beng-cu, “semalam suntuk kitapun tak pernah memejamkan mata, mengapa lencana-lencana kayu itu bisa lenyap dengan sendirinya?”

Kenyataannya memang demikian, semalam suntuk mereka bertiga mengawasi terus sekitar tempat itu, “tiada embusan angin rumput tentu tak kan bergoyang”, kenapa keempat buah lencana kayu itu bisa lenyap secara tiba-tiba?”

Untuk sesaat mereka bertiga hanya saling pandang dengan tercengang.

“Masa ada setan di sini?” gumam Hui Beng-cu, “kalian turun saja ke bawah melakukan pemeriksaan, aku akan melindungi kalian dari sini.”

Tentu saja Ho Leng-hong dan Pang Goan tidak percaya setan, namun merekapun tak bisa memecahkan teka-teki di sekitar lenyaplah keempat lencana kayu itu, saking ingin tahunya, serentak mereka melayang turun ke bawah. Setelah mendekati tumpukan api unggun itu, Pang Goan berdua jadi tertegun.

Empat sosok mayat itu masih tetap seperti semula, cuma lencana kayu dan tali temali yang meringkus tubuh telah lenyap tak berbekas, di bawah bekas tali dan lencana kayu itu ditemukan bubuk kayu yang amat tipis, abu itu sedang menyebar ke mana-mana terembus angin.

Ini menunjukkan bahwa lencana kayu itu bukan terbuat dari kayu, tali juga bukan buatan bahan rami melainkan terbuat dari sejenis bahan khusus yang secara otomatis akan lenyap dengan sendirinya setelah diembus angin semalam suntuk.

Tapi terbuat dari bahan apakah itu? Siapapun tak tahu. Mengapa diatur siasat seperti ini. Sungguh memusingkan kepala orang. Tapi lenyapnya tali dan lencana kayu itu memang fakta.

Tiba-tiba Ho Leng-hong mendesis, “Ah, mengertilah aku sekarang....”

“Kau mengerti apa?”

“Tak heran itu melarang kita mengubur jenazah ini, rupanya inilah siasat Cioh-to-sat-jin dari Ci-moay-hwe.”

“Siasat pinjam golok membunuh orang bagaimana maksudmu?”

“Bayangkan saja, andaikata pihak penghuni lembah sedang mengadakan pencarian terhadap keempat orang ini, dan semalam kita mengubur jenazah mereka, bila hal ini sampai diketahui mereka, bagaimanakah penjelasan kita terhadap peristiwa itu?”

“Orang-orang itu bukan mati di tangan kita, tentu saja kita menceritakan hal yang sesungguhnya.”

“Dengan demikian, pihak lawat pasti akan menggali kubur untuk memeriksa mayat-mayat tersebut, dengan bukti di depan mata, maka keterangan kita yang jujur akan berubah menjadi kata-kata bohong, siapa yang percaya orang-orang ini bukan mati di tangan kita?”

Pang Goan menarik napas dingin, gumamnya, “Benar juga, tatkala mana kita benar-benar tak akan mampu menyangkal, sungguh siasat mereka ini...”

Belum habis ia berkata, tiba-tiba dari atas tebing terdengar jeritan kaget, “Pang-toako, Nyo-toako, lekas kemari!”

Serentak Pang Goan dan Ho Leng-hong melompat ke atas tebing, tapi Hui Beng-cu yang berada di dalam gua kini tidak nampak lagi.

“Celaka, perempuan asing itu berhasil kabur,” seru Leng-hong dengan gemas.

Buru-buru mereka mengejar ke dalam gua, ketika menyusul sampai di ujung gua sana mereka melihat Hui Beng-cu sedang berdiri termangu di depan gua sambil memegang golok yang memancarkan sinar kemilau.

“Di mana orangnya?” bentak Leng-hong.

“Aku... aku tidak tahu...”

“Orang itu kan berada dalam gua, mengapa kau tidak tahu?”

“Aku betul-betul tidak tahu,” jawab Beng-cu dengan wajah merah padam, “ketika aku berdiri di atas tebing sambil mengawasi sekeliling tempat ini, kudengar di dalam gua seperti ada langkah manusia, waktu aku memburu kemari, perempuan asing itu sudah lenyap, tapi di sini aku menemukan sebilah golok.”

Pang Goan menerima golok itu, mendadak dengan air muka berubah teriaknya tertahan, “Hah, golok mestika Yan-ci-po-to?!”

Tak salah lagi, sarung golok terbuat dari kulit ular, gagang pelindung terbuat dari emas dan empat huruf mutiara tertata pada gagangnya, memang itulah golok mestika Yan-ci-po-to. Golok tersebut lenyap tercuri sewaktu berada di Thian-po-hu, tapi kini di temukan kembali di luar gua di atas bukit yang jauh dari keramaian manusia.

Jelas orang-orang Ci-moay-hwe yang telah menyelamatkan perempuan Ainu tadi serta meninggalkan Yan-ci-po-to di sini. Kejadian ini membuat Pang Goan menjadi bingung dan tak habis mengerti.

Ditatapnya Ho Leng-hong, tanyanya, “Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”

Dengan serius jawab Ho Leng-hong sepatah demi sepatah, “Inilah senjata yang mendatangkan bencana.”

“Apakah Thian Pek-tat berempat mati dibunuh dengan Yan-ci-po-to?” tanya Pang Goan terkejut.

“Benar. Sekarang persoalannya sudah jelas. Rupanya Thian Pek-tat ada hubungan dengan orang-orang dari lembah maut itu, setelah berhasil memperoleh Yan-ci-po-to di Thian-po-hu, bersama tiga orang lainnya mereka mengantar senjata ini ke Tay-pa-san, siapa tahu mereka dicegat oleh orang-orang Ci-moay-hwe, bukan saja golok dirampas, Thian Pek-tat berempatpun dibunuh, kemudian golok mestika dan mayat-mayat mereka digunakan sebagai alat untuk melimpahkan bencana buat orang lain…..”

Pang Goan segera paham, dengan gelisah katanya, “Kalau begitu kita harus segera tinggalkan tempat ini!”

“Terlambat,” kata Leng-hong sambil menggeleng, sorot matanya beralih keluar gua.

Ketika Pang Goan mengikuti arah pandangannya, seketika hatinya ikut tercekat. Entah sejak kapan, di luar gua telah muncul tiga orang perempuan dengan golok terhunus. Ketiga orang perempuan itu semuanya mengenakan baju merah dengan golok panjang yang berbentuk sama, air muka mereka amat dingin, tanpa emosi.

Di antara ketiga orang itu, ada seorang yang berusia paling tua, yaitu sekitar tiga puluh tahunan, pada tepi gaun merahnya kelihatan sulaman benang biru. Dua orang yang lain berusia tujuh-delapan belas tahunan, pada tepi gaun mereka bersulamkan benang hitam.

Dari warna pakaian dan dandanan ketiga orang itu, tiba-tiba Pang Goan teringat kembali pada cerita mengenai lembah “Mi-kok” dan “Ang-ih Hui-nio”, tanpa terasa hatinya bergolak keras.

“Lotoako, setelah tertipu, kita harus menghadapi segala persoalan dengan tenang,” kata Leng-hong setengah berbisik, “lebih baik kita selidiki dulu apakah mereka benar-benar orang Mi-kok atau bukan.”

“Jangan kuatir, aku tahu,” jawab Pang Goan dengan tertawa.

Sementara berdua sedang bercakap-cakap, mendadak dari belakang gua terdengar lagi suara orang, tahu-tahu dua orang gadis berbaju merah yang bergolok muncul di belakang mereka.

Dengan cepat Beng-cu loloskan golok lengkungnya lalu bertanya, “Kita sudah terkepung, apa daya sekarang?”

Pang Goan memandang sekejap ke muka dan ke belakang, lalu hiburnya, “Jangan takut, tampaknya perempuan baju merah bersulam benang biru itu adalah komandan mereka, mari kita turun untuk berbicara dengannya.”

Ketika mereka bertiga melompat ke bawah, dua gadis bergaun merah dengan sulaman benang hitam yang ada di luar gua itu serentak mengangkat goloknya, sedang dua orang yang berada dalam gua juga melolos senjata sambil ikut melompat ke bawah, dengan cepat mereka membentuk posisi mengepung terhadap ketiga lawannya.

Hanya perempuan setengah umur bersulam benang biru yang tetap tak bergerak, ditatapnya ketiga orang itu dengan sorot mata dingin, kemudian bertanya, “Siapakah kalian? Datang darimana? Dan mau ke mana?”

Sambil tertawa Pang Goan segera memberi hormat, “Enso, bolehkah aku bertanya lebih dulu, apakah kalian adalah murid Ang-ih Hui-nio?”

“Kalian juga tahu tentang Ang-ih Hui-nio?” seru nyonya muda itu dengan air muka berubah.

“Dulu kami cuma mendengar ceritanya saja dan tidak tahu benarkah lembah Mi-kok itu ada atau tidak, tapi setelah melihat keadaan sekarang ini, kami baru percaya bahwa cerita tersebut memang benar.”

Nyonya muda itu mengerdip mata beberapa kali, tiba-tiba memberi tanda sambil memerintahkan, “Gusur mereka pulang!”

Keempat anak dara tadi segera mengiakan, serentak mereka maju mengepung.

“Tunggu sebentar!” seru Pang Goan, “Antara kami dengan kalian hakikatnya ‘air sungai tidak menggenangi air sumur’, bertemu pun baru pertama kali, dengan alasan apa kalian hendak membawa kami pergi?”

“Tak usah banyak bicara,” bentak nyonya muda itu, “katakan saja, kalian mau lepaskan senjata dan ikut kami pergi ataukah hendak menunggu kami bertindak dengan kekerasan?”

“Wah, kalau begitu, tak mau pergi pun tak bisa?” kata Pang Goan sambil tertawa.

“Boleh saja, kecuali kalian bisa menangkan permainan golokku ini.”

“Sudah lama kudengar kehebatan ilmu golok aliran Mi-kok,” kata Pang Goan sambil tertawa, “betapa senangku jika diberi kesempatan untuk mencobanya!”

Nyonya muda itu maju dua langkah sambil meraba gagang goloknya, “Silakan turun tangan!”

Tiba-tiba Ho Leng-hong maju ke depan dan mengadang di hadapannya, lalu berbisik lirih, “Lotoako, biarlah Siaute coba dulu kelihayannya.” Pedang di tangan kirinya disimpan kembali, kemudian golok Yan-ci-po-to pelahan diangkat ke udara.

Rupanya nyonya muda itu cukup mengetahui nilai barang, dengan dahi berkerut katanya, “Apa kedudukanmu di Thian-po-hu di kota Kiu-ki-shia?”

“Nama tidak terlalu penting, silakan nona memberi petunjuk!” sahut Leng-hong.

“Baik!” kata nyonya muda itu sambil tertawa dingin, “Kalau kau memang tak tahu diri, akan kusuruh kau rasakan betapa lihaynya Ang-sui-to-hoat (rahasia golok baju merah).” Segera dia lolos golok panjang dari sarungnya.

“Mengapa nona tidak turun tangan lebih dulu?” tanya Leng-hong.

“Antara tamu dan tuan rumah ada bedanya, kupersilakan kau turun tangan dulu!”

Meskipun Leng-hong tahu ilmu golok dari lembah Mi-kok justru merupakan tandingan dari Nyo-keh-sin-to, namun sambil tersenyum katanya pula, “Tamu yang sopan harus menghormati tuan rumah, lagi pula golokku ini adalah golok mestika, hendaklah nona tak usah sungkan-sungkan lagi!”

“Hmm, kau anggap dengan golok mestika lantas bisa menarik keuntungan? Kalau demikian anggapanmu, maka perhitunganmu itu keliru besar. Sambutlah seranganku ini.”

Begitu golok dilolos, cahaya tajam segera berkilauan dan mata golok lantas menyambar tiba. Sungguh cepat tak terlukiskan gerakan melolos goloknya, bahkan Pang Goan dan Hui Beng-cu yang memperhatikan dengan saksama pun tak sempat mengikuti bagaimana caranya perempuan itu menggerakkan tubuhnya.

Lebih-lebih Ho Leng-hong, ia cuma merasakan pandangannya kabur, buru-buru ia mundur dua langkah, kemudian goloknya diputar dan menciptakan selapis cahaya tajam untuk melindungi badan.

Sewaktu mulai menyerang saja gerakan nyonya muda itu amat cepat, ketika berganti jurus pun jauh lebih cepat lagi, dari gerak membacok golok panjang itu berubah menjadi gerakan menabas.

Sambil putar senjata untuk melindungi badan Ho Leng-hong main mundur terus ke belakang, ia merasa golok panjang nyonya muda berbaju merah itu seakan-akan telah menempel dengan golok mestika Yan-ci-po-to, bukan saja sukar dibendung, dihindari pun sulit.

Terpaksa ia putar golok dengan kencang sambil mundur terus, hakikatnya tiada kesempatan baginya untuk berganti jurus serangan. Dalam keadaan demikian, asal ia menghentikan gerakannya, maka setiap saat golok panjang si nyonya berbaju merah itu akan menembus sinar senjatanya dan melukainya.

Gerakan Ho Leng-hong rada gugup dan kacau, dalam waktu singkat ia sudah terdesak mundur dua lingkaran, sementara nyonya berbaju merah itu masih terus menyerang dengan gencar.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, Pang Goan segera membentak, “Tahan!”

Bersama dengan suara bentakan itu, Hui Beng-cu melolos senjatanya untuk menyerang nyonya merah itu dari belakang. Bayangan manusia berkelebat diikuti bunyi bentakan nyaring, di tengah gulungan cahaya golok, sesosok bayangan merah melompat ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, kemudian melayang turun di belakang sana.

Dengan melompat perginya nyonya berbaju merah itu, secara mengherankan Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu saling bertumbukan sendiri, tanpa terasa mereka saling bacok membacok sebanyak tiga empat gebrakan sebelum mengetahui bahwa lawan adalah orang sendiri, cepat-cepat mereka tarik kembali serangannya sambil melompat mundur. Kemudian kedua orang itu saling pandang dengan tertegun.

Nyonya muda berbaju merah itu tertawa sombong, lalu katanya, “Jika kalian bertiga mau maju bersama, akupun tidak menolak, tapi lebih baik katakan terus terang, jangan gunakan siasat ‘suara di timur menyerang dari barat’, yang seorang bicara tiada hentinya, sedang yang lain menyergap dengan cara yang rendah dan keji.”

“Sekalipun harus bertarung satu lawan satu juga aku tidak takut,” kata Hui Beng-cu dengan marah.

“Benarkah demikian? Bagaimana kalau dicoba?”

“Coba juga boleh, memangnya aku takut?” Dengan geramnya Beng-cu memutar golok lengkungnya, langsung menerjang perempuan berbaju merah itu.

“Tunggu sebentar!” cegah Pang Goan sambil merentangkan tangannya.

Dengan napas terengah-engah kata Hui Beng-cu, “Pang-toako, perempuan ini terlalu sombong, biar kuberi pelajaran kepadanya.”

“Memberi pelajaran kepada kaum wanita adalah urusan kami orang lelaki, mundurlah dulu, lihat saja kehebatan Pang-toakomu.”

“Manusia yang tahu diri,” teriak perempuan berbaju merah itu dengan gusar, “kalau kau berani sembarangan bicara, hati-hati kalau nyonya besar potong lidahmu.”

“Marilah,” kata Pang Goan sambil tertawa, “lidah itu berada di mulutku, yang dikuatirkan justru kau tak punya kemampuan untuk berbuat begitu.”

Perempuan berbaju merah itu mendengus, sambil mengerahkan goloknya ia segera menerjang ke depan. Tujuan Pang Goan memang ingin memancing marahnya, sebelum terjangan orang tiba, dengan cepat ia menyongsong, golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanan melancarkan serangan sekaligus.

Begitu bertemu, kedua belah pihak saling menyerang dengan cepat, tampaklah cahaya golok berkilauan, bayangan pedang saling menyambar ke sana kemari, dalam waktu singkat telah berlangsung lima-enam gebrakan. Kelima-enam jurus serangan itu seluruhnya merupakan serangan mematikan.

Tapi anehnya, sekalipun cahaya golok dan bayangan pedang menyelimuti udara, tidak terdengar sama sekali suara bentrokan senjata, juga tidak kelihatan ada yang terluka.

Ternyata setiap jurus serangan yang mereka lancarkan, semuanya merupakan ancaman yang harus dihindari, siapapun tak ingin adu jiwa, maka begitu merasa terancam bahaya, cepat mereka tarik serangan di tengah jalan untuk melindungi diri sendiri.

Oleh sebab itulah, meskipun kedua orang itu melancarkan serangan dengan gerakan cepat, jurus serangan mereka tak berani digunakan sampai tuntas, semua serangan golok dan pedang begitu dilancarkan segera ditarik kembali, jadi tak sejurus pun terjadi keras melawan keras.

Atau dengan perkataan lain, kedua orang itu mempunyai pikiran yang sama, yakni sama-sama berharap bisa menggetar hati lawan dengan tenaga serangan, dengan menggunakan titik kelemahan musuh untuk mematahkan ancamannya, menghindari adu kekerasan yang tak berguna. Akhirnya, siapapun tidak berhasil memperoleh keuntungan apa-apa.

Pang Goan menggunakan pedang sebagai senjata utama dan golok sebagai pembantu, yang dikembangkan adalah To-kiam-hap-ping-tin yang maha dahsyat itu, namun lima-enam jurus kemudian ternyata belum sanggup juga mematahkan serangan nyonya berbaju merah itu, terpaksa ia tarik serangannya dan melompat mundur.

Rupanya perempuan berbaju merah itupun menyadari bertemu dengan musuh tangguh, cepat ia menarik kembali serangannya dan tak berani mendesak lebih jauh.

Kedua orang itu saling bertatap sekian lama, sejenak kemudian Pang Goan baru menarik napas panjang, lalu menyimpan kembali golok dan pedangnya. Perempuan berbaju merah itupun ikut simpan goloknya ke dalam sarung.

“Ilmu golokmu terhitung sangat hebat juga, tapi sayang tenaga dalammu kurang sempurna, andaikata kita harus bertarung dengan tenaga sejati maka akhirnya yang rugi tetap kau,” kata Pang Goan.

Nyonya berbaju merah itu tidak menyangkal, katanya sambil tertawa, “Kau sendiripun tak akan mendapat hasil apa-apa, paling banter kita sama-sama menderita kerugian.”

“Apa kedudukanmu di dalam lembah?”

“Perguruan kami membagi tingkatan dalam sulaman benang emas, perak, biru, putih, dan hitam, aku tak lebih cuma seorang peronda gunung berbenang biru dari tingkatan tiga, sekalipun tenaga dalammu lebih hebat daripadaku juga bukan suatu yang luar biasa.”

Pang Goan tarik napas panjang, sambil tertawa getir ia berpaling ke arah Ho Leng-hong sembari berkata, “Tampaknya, urusan ini sudah pasti kita ikut terseret.”

“Asal kita tak bersalah, ke manapun kita berani menghadap.”

“Tapi, Pang-toako...” bisik Beng-cu.

Pang Goan memberi tanda dan tidak membiarkan gadis itu berkata lebih jauh, kepada perempuan berbaju merah itu ia berkata, “Bawalah kami! Akan kami temui majikan lembah kalian.”

Ternyata sikap perempuan itupun menjadi lebih sungkan, katanya seraya menjura, “Silakan!”

Keempat orang gadis lainnya ikut menarik kembali senjatanya, kemudian dua di kanan dan dua di kiri, seperti menggusur tawanan, mereka membawa Pang Goan bertiga meninggalkan mulut gua. Sesudah mengitari tonjolan batu padas di depan sana, Pang Goan baru tahu bahwa pilihannya memang tepat.
Di tepi api unggun di bawah tebing sana telah muncul kembali seorang petugas peronda gunung “bersulam benang biru” dengan diiringi empat gadis bersulam hitam, mereka sudah meletakkan mayat Thian Pek-tat berempat di atas usungan yang terbuat dari kayu dan sedang menunggu di sana.

* * *

Mi-kok, nama yang misterius dan menggetarkan sukma. Tentu orang akan membayangkan lembah tersebut sebagai suatu tempat yang rahasia sekali letaknya dengan sekelilingnya diliputi oleh tebing tinggi menjulang ke angkasa, burung dan monyet sulit melewatinya dan sepanjang tahun diliputi kabut yang tebal, atau mungkin jalan masuknya merupakan sebuah terowongan gua, atau jalan setapak yang penuh kemisteriusan.

Bila bayangannya demikian, maka kelirulah semua itu. Benar memang, tempat itu merupakan sebuah yang dikelilingi oleh tebing tinggi, namun bukan tempat yang curam berbahaya atau sepanjang tahun dikelilingi kabut tebal.

Lembah tersebut merupakan sebuah lembah yang indah dan hangat, sama sekali tidak nampak misterius, di belakang lembah terdapat jurang, di mulut lembah ada jalan dan di tengah lembah terdapat tanah datar yang luas, di situ ada rerumputan, ada sawah, ada bebuahan dan kerbau serta ternak unggas lainnya.

Anggota lembah tersebut terdiri dari lelaki dan perempuan, yang lelaki hidup bertani dan yang perempuan menenun, mereka melewatkan penghidupan yang sederhana tapi bahagia, suatu kehidupan surga yang penuh dengan kedamaian... terkecuali bangunan megah, kompleks perumahan yang berada dalam hutan bebuahan sana.

Anggota perkampungan itu semuanya perempuan yang bergolok panjang dan mengenakan baju serba merah. Sekalipun mereka termasuk juga sebagian dari anggota lembah, namun pekerjaan mereka tidak bertani atau bertenun, kehidupan mereka jauh berbeda dengan orang-orang lainnya.

Perempuan dalam perkampungan itu merupakan pilihan dari anggota penduduk lembah, mereka harus cerdik dan berbakat bagus, semenjak kecil sudah masuk perkampungan dan belajar silat, setelah dewasa bertugas melindungi keselamatan penduduk sesuai dengan tingkat tenaga dalam yang dimiliki, mereka tergabung dalam pasukan Ang-ih-bok-lan-tui (pasukan Bok-lan berbaju merah).

Perkampungan itu sendiri bernama perkampungan Bok-lan-ceng. Cengcu (kepala kampung) dari marga Ui dan sudah turun temurun menjadi Kokcu (kepala lembah) dalam lembah tersebut, hingga kini entah sudah keturunan yang keberapa?

* * *

Dikawal oleh dua orang peronda gunung dan delapan anak dara berbaju merah, dengan lancar Pang Goan bertiga memasuki lembah itu dan tiba di depan pintu perkampungan.

Di luar lembah tidak terlihat penjagaan yang ketat, setelah masuk ke dalam lembah juga tidak ada pemeriksaan atau pengadangan, ketika rakyat dalam lembah itu berjumpa dengan mereka, kecuali tersenyum sambil menganggukkan kepala, sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan.

Inikah lembah Mi-kok yang diberitakan sebagai tempat yang misterius dan penuh rahasia? Di sinikah tempat pengasingan Ang-ih Hui-nio yang lihay itu? Di sinikah tempat kubur dari tujuh bersaudara Nyo dari Thian-po-hu?

Tidak! Tak akan ada yang percaya, sekalipun mereka dibunuh orang juga tak ada yang percaya. Tapi perempuan-perempuan itu semuanya berbaju merah, ilmu golok mereka pun sangat lihay, hal ini adalah kenyataan, seandainya mereka bukan keturunan dari Ang-ih Hui-nio mana mungkin mereka dapat mendidik sekian banyak murid yang berilmu tinggi.

Sepanjang perjalanan, kernyitan alis Pang Goan tak pernah mengendur, berbeda dengan Ho Leng-hong, wajahnya selalu kaku tanpa emosi. Dalam hati kecil mereka sama-sama diliputi teka-teki yang mendebarkan hati dan ingin tahu.

Hui Beng-cu sendiri dengan perasaan waswas tiada hentinya menengok ke sana kemari, seakan-akan tertarik dan senang dengan keadaan yang asing baginya ini. Dua orang gadis baju merah yang bergolok berdiri menanti di depan pintu perkampungan, gaun mereka bersulamkan benang putih.

Ketika mereka melihat mayat yang berada di atas usungan, wajah mereka menunjukkan perasaan kaget. Salah seorang di antaranya segera maju menyongsong sambil bertanya dengan suara lirih, “Apa yang telah terjadi? Apakah mereka berempat terbunuh semua?”

Nyonya muda berusia tiga puluhan itu manggut-manggut, lalu balik bertanya, “Kokcu berada di mana?”

“Barusan beliau menanyakan kabar kalian, mungkin masih berada dalam taman bunga sebelah timur, akan kulaporkan untuk kalian.”

“Tidak usah, aku dan Lim Ci akan melaporkan sendiri kepada Kokcu, kalian jaga baik-baik ketiga orang ini.” Berbicara sampai di sini, dia bersama peronda gunung lainnya masuk ke dalam kampung.

Seperginya kedua orang itu, gadis penjaga pintu itu mengamati sekejap Pang Goan bertiga, lalu dengan keheranan ia bertanya, “Apakah kalian bertiga pembunuhnya?”

“Mungkin!” jawab Pang Goan sambil mengangkat bahu.

“Kenapa kau katakan mungkin?” gadis penjaga pintu itu melengak.

“Sebab kami tidak pernah membunuh orang,” jawab Pang Goan sambil tertawa, “akan tetapi keempat orang itu mati di tempat kami bermalam, bila kami katakan bukan pembunuhnya, kalian pasti tidak percaya, sebaliknya kalau bilang benar, kamilah yang tidak percaya.”

Gadis penjaga pintu itu tertawa geli, “Oh, aku dapat memahami perkataanmu itu, jadi tuduhan tersebut membuat kalian penasaran?”

“Mungkin!” sekali lagi Pang Goan mengangkat bahu sambil tertawa.

Dengan wajah serius gadis penjaga pintu berkata, “Tampaknya kalian memang tidak mirip pembunuh. Cuma dengan maksud baik ingin kunasihati padamu....”

“Menasihati apa?”

“Jika kalian betul-betul bukan pembunuh, janganlah sekali-kali kalian mengaku sebagai pembunuh, sebab Kokcu kami paling benci pada mereka yang gemar membunuh, terutama mereka yang mengandalkan kungfunya untuk menindas kaum yang lemah serta membunuh orang, andaikata kalian betul-betul pembunuh kejam, jangan harap jiwa kalian akan diampuni.”

“Kalau begitu, Kokcu kalian tentu berhati welas asih,” kata Pang Goan.

“Siapa bilang bukan? Kokcu kami bukan cuma welas asih saja, tabiatnya juga amat baik, terhadap orang lain juga ramah-tamah...”

“Tapi dia tahu aturan tidak?” tiba-tiba Ho Leng-hong menukas.

“Apa maksudmu berkata begitu?” gadis penjaga pintu itu menegur dengan nada tak senang.

“Misalnya saja, bila kedatangan kami ke bukit ini tanpa sengaja dan tidak mengandung maksud jahat, dapatkah ia memberi kebebasan kepada kami untuk meninggalkan tempat ini?”

“Kenapa kalian tak boleh meninggalkan tempat ini? Bila kalian tersesat di gunung dan tiba di sini tanpa sengaja, berarti kalian adalah tamu kami, dengan segala kehormatan kami akan melayani kalian, kemudian mengantar kalian pergi dari sini, tentu saja kalian harus merahasiakan keadaan lembah ini kepada orang lain.”

Tanpa terasa Ho Leng-hong dan Pang Goan saling bertukar pandang sekejap dengan penuh tanda tanya, sedang dalam hati timbul pula pertanyaan yang sama: “Kalau begitu, kenapa ketujuh Nyo bersaudara tak pernah muncul kembali setelah berangkat kemari?”

Ternyata gadis penjaga pintu itu cukup cerdik, melihat kedua tamunya masih belum percaya, ia berkata lagi, “Kami tak ingin orang luar mengetahui keadaan di sini, inipun karena terpaksa, sebab tempat kami hanya sebesar ini, tak mungkin muat terlalu banyak orang, selain itu kamipun kuatir bila ada orang persilatan berniat buruk ingin mencuri belajar ilmu kami sehingga menambah banyak kerepotan, peraturan ini ditetapkan oleh leluhur kami dan bukan atas kemauan Kokcu sendiri, cuma bila kalian sendiri tak bersedia tinggalkan tempat ini dan ingin tinggal di sini untuk selamanya, tentu saja niat ini akan kami sambut dengan senang hati....”

Ia seperti masih ingin bicara lagi, tapi nyonya berbaju merah tadi keburu datang, nyonya itu memberi tanda kepada Pang Goan sekalian sambil berkata, “Kokcu mengundang kalian untuk menghadap, mari ikut diriku!”

Sebelum pergi, Leng-hong tersenyum ke arah gadis penjaga pintu itu sambil berkata, “Tolong tanya siapa nama nona?”

“Aku bernama Pui Hui-ji, anggota Bok-lan-pek-tul (barisan Bok-lan putih)!”

“Bila Kokcu tidak menyalahkan kami, mungkin aku akan memohon untuk tinggal di sini, sampai waktunya harap nona bersedia memberi petunjuk,” kata Leng-hong sambil tertawa.

Tanpa malu-malu gadis penjaga pintu itu menjawab dengan tertawa, “Baik, semoga kau mempunyai rejeki itu!”

Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam pintu gerbang dan mengikuti nyonya berbaju merah tadi masuk ke dalam perkampungan. Di tengah jalan Hui Beng-cu sengaja berjalan agak lambat, kemudian ia tanya dengan setengah berbisik, “Nyo-toako, benarkah kau ingin tinggal di sini dan tidak kembali ke Thian-po-hu lagi?”

Leng-hong tersenyum, “Tempat ini bagaikan surgaloka, jauh berbeda dengan gedung Thian-po-hu, apa salahnya tinggal di sini?”

“Hm, kaum pria kalian semuanya memang tak punya perasaan, begitu bertemu dengan gadis yang cantik, semua warisan dan jerih payah leluhur pun terlupakan sama sekali.”

“Ah, kaum pria tak bisa disalahkan, siapa suruh kaum gadis rata-rata berwajah cantik?” jawab Leng-hong sambil tertawa.

“Ciss!” dengan mangkel Beng-cu mempercepat langkahnya ke depan lebih dulu.

Sesudah mengitari taman bunga, di depan sana muncul sebuah serambi panjang, setelah mengitari mereka tiba di ruang tengah sebelah timur. Di depan ruangan berdiri empat orang gadis dengan baju merah bersulam benang putih, pintu ruangan masih tertutup rapat.

Nyonya berbaju merah itu membawa mereka menuju ke depan ruangan, kemudian katanya, “Kokcu hendak langsung menanyai kalian, harap semua senjata bawaan ditinggal di luar.”

Ini selain peraturan juga merupakan sopan santun, apalagi nyonya berbaju merah itu mengucapkannya dengan nada sungkan, membuat orang tak dapat menolak permintaannya itu.

Pang Goan angguk kepala kepada kedua rekannya, kemudian melepaskan golok dan pedang bawaannya, terpaksa Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu harus mengikuti perbuatannya.

Keempat gadis itu menerima senjata mereka lalu mendorong pintu lebar-lebar. Pang Goan melangkah masuk ke dalam, ternyata ruangan itu kosong tak nampak seorang pun, di tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang, di atas meja terletak kertas, pit dan alat tulis lainnya, sementara di belakang meja tersedia empat buah kursi yang semuanya kosong.

Sementara mereka masih tercengang, nyonya baju merah itu menyusul masuk, lalu membunyikan sebuah alat kecil tiga kali. “Tiga orang tertuduh telah dibawa menghadap, dipersilakan para petugas hukum naik mimbar!” serunya.

Kain tirai di pintu samping segera terbuka dan muncul dua belas orang perempuan baju merah dengan pinggiran warna biru, mereka masing-masing berdiri di kiri dan kanan meja panjang, setiap orang bergolok panjang dan bersikap kereng.

“Wah, kalau dilihat caranya ini, kita seolah-olah berada dalam ruang pengadilan!” omel Pang Goan sambil tertawa.

“Jangan sembarangan bicara!” bentak nyonya baju merah di belakangnya dengan suara tertahan.

Menyusul kemudian dari balik pintu berjalan keluar lagi empat orang perempuan. Keempat orang ini rata-rata sudah berusia lanjut, yang termuda pun sekitar enam puluhan, sedang yang tua sudah delapan atau sembilan puluh tahunan, semuanya berwajah keriput dengan rambut beruban, mukanya kurus jelek dan masing-masing menempati empat kursi kosong itu. Mereka juga memakai baju berwarna merah. Cuma sulaman tepi gaunnya dari benang perak.

Pang Goan tahu bahwa kedudukan empat orang nenek ini tidak rendah, diam-diam ia merasa geli sekali, pikirnya, “Wah, kalau melihat keadaannya seolah-olah kami telah dituduh sebagai pembunuh yang sesungguhnya, semoga jangan diputuskan segera penggal kepala, bisa mati penasaran.”

Pada ujung meja sebelah kiri dan kanan masing-masing berduduk seorang perempuan berbenang biru, setelah duduk mereka lantas menyiapkan kertas dan alat tulis lainnya, ternyata mereka bertindak sebagai “panitera”.

Di tengah keheningan, nenek berusia paling tua yang berada di dekat ujung kanan itu segera berkata, “Atas kasih sayang Thian dan berkat leluhur, kehidupan kami di tengah gunung yang terpencil sama sekali tidak berniat berebut rejeki dengan orang lain, kami mengutamakan cinta damai dan hidup bahagia dengan tenang, karenanya terhadap segala kejahatan itu, tanpa ampun akan dijatuhi hukuman berat.”

Baru selesai perkataan itu, nenek di sebelah kiri telah memukul meja keras-keras sambil membentak, “Siapa nama kalian bertiga? Datang dari mana? Mengapa membunuh orang? Ayo mengaku satu persatu!”

Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu tetap bungkam. Pang Goan juga tidak menghiraukan pertanyaan tersebut, dia hanya memperhatikan pukulan si nenek pada meja panjang itu, meski suaranya nyaring namun meja itu sendiri tidak tergetar, namun meja tersebut tahu-tahu melesak satu inci lebih ke dalam tanah.

Tapi setelah diperhatikan lagi, ternyata bukan kaki meja yang masuk ke dalam tanah, melainkan kaki meja itu sendiri yang tiba-tiba menyusut hingga lebih pendek. Ini menunjukkan tenaga pukulan si nenek itu sudah mencapai tingkatan Keh-san-ta-gu (dari balik gunung memukul kerbau). Pang Goan menyadari dirinya sendiri tak mampu berbuat demikian, ini semua membuatnya terperanjat sehingga lupa untuk menjawab pertanyaan si nenek tadi.

Nyonya berbaju merah yang berada di belakangnya segera menegur, “He, Tong-popo lagi bertanya kepada kalian, mengapa tidak menjawab?”

“Tong-popo yang mana?” tanya Pang Goan setelah menenangkan hatinya.

“Itu dia, nomor dua dari sebelah kiri, barusan beliau menanyakan nama dan asal usul kalian.”

Pang Goan tertawa, “Mereka berjumlah empat orang, jika semuanya mengajukan pertanyaan, entah yang manakah harus dijawab lebih dulu, sedangkan kami bertiga, kalau semuanya menjawab juga tentu akan bikin kalian bingung untuk mendengarkannya, maka aku ada usul, entah kalian bersedia mengikutinya atau tidak?”

“Coba katakan!” kata nenek she Tong itu.

“Gampang sekali, mari kalian berempat pilih seorang wakil untuk bertanya, sedang dari pihak kami bertiga akan diwakili pula seorang untuk menjawab, bukankah hal ini akan lebih enak?”

Mencorong sinar tajam dari mata nenek she Tong itu, ia memandang sekejap rekan-rekan di sekelilingnya, lalu berkata, “Ehm, ini memang suatu usul yang bagus.”

Keempat orang nenek lalu saling mengalah dan saling mempersilakan rekannya sebagai wakil mereka.

Pada kesempatan itu, Pang Goan berkata kepada Ho Leng-hong, “Jit-long, kau saja yang menjawab pertanyaan mereka, kalau perlu bersikap tegas, katakan segala sesuatunya secara terus terang, tapi untuk sementara waktu jangan kau singgung dulu masalah Thian-po-hu.”

“Mengapa bukan Lotoako yang tampil ke muka?” tanya Leng-hong.

“Rasanya setiap masalah dalam lembah ini bagaikan suatu teka-teki, bila kita ingin hidup lebih lanjut, kita juga harus main sandiwara menurut gelagat, dengan begitu baru tersedia jalan mundur jika keadaan kepepet.”

Ho Leng-hong mengangguk tanda mengerti, diam-diam ia berpikir, “Pang-toako selalu tinggi hati dan tak mau tunduk kepada orang, sejak kapan ia belajar menyesuaikan diri dengan keadaan?”

Sementara itu keempat orang nenek pun selesai berunding, tetap si nenek she Tong itu sebagai juru bicaranya, ia bertanya, “Apakah kalian telah selesai berunding? Siapa yang akan menjawab pertanyaan kami?”

“Aku!” jawab Leng-hong.

“Bagus sekali. Cuma akupun hendak memperingati satu hal padamu, setelah bersedia menjawab pertanyaan kami, maka setiap ucapanmu harus dapat dipertanggungjawabkan, sebab semua perkataanmu akan kami catat dan tak bisa disesali kembali.”

“Tentu saja!” kata Leng-hong.

“Nah, sekarang laporkan dulu nama serta tempat tinggal kalian bertiga,” kata nenek Tong sambil manggut-manggut.

Leng-hong mengakui dirinya sebagai Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu, selain itu juga melaporkan nama Pang Goan dan Hui Beng-cu. Setelah mendengar nama-nama itu keempat orang nenek tersebut menunjukkan wajah kaget, buru-buru mereka berunding dengan suara lirih.

Lewat sejenak kemudian, nenek Tong bertanya pula, “Kau mengaku sebagai Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu, sedang mereka berdua dari Cian-sui-hu dan Hiang-in-hu, benarkah pengakuan itu?”

“Benar!”

“Kalau begitu ingin kutanya sesungguhnya ada beberapa orang Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu?”

“Cuma ada seorang!”

Air muka nenek Tong berubah serius, katanya, “Kuharap kau menjawab dengan sejujurnya, sebab barang siapa berani berbohong, dia akan mendapat ganjaran yang setimpal.”

“Kenapa? Masa urusan Thian-po-hu kau lebih jelas daripadaku?” bantah Leng-hong, “apakah di lembah ini terdapat juga Nyo Cu-wi yang lain?”

Air muka nenek Tong berubah pula, tapi ia tidak mendebat, ia mengalihkan pertanyaan pada soal lain, katanya, “Atas alasan apa kalian datang ke Tay-pa-san ini?”

Tanpa merahasiakan sedikit pun Leng-hong mengisahkan bagaimana Ci-moay-hwe mengutus seorang Pang Wan-kun gadungan untuk mencari golok Yan-ci-po-to, lalu bagaimana menggunakan siasat Cioh-to-sat-jin untuk memancing mereka bertiga datang ke Tay-pa-san, dan apa yang terjadi dengan lencana kayu dan tali istimewa untuk memfitnah mereka. Sementara ia menuturkan pengalamannya, dua orang gadis petugas panitera mencatat semua pengakuan itu.

Ketika pemuda itu selesai dengan penuturannya, nenek Tong bertanya pula, “Ci-moay-hwe yang barusan kau singgung itu sesungguhnya organisasi macam apa? Siapakah pemimpinnya? Apakah kau tahu?”

“Seandainya aku tahu, tak nanti bisa terkena siasat Cioh-to-sat-jin mereka. Cuma ada satu hal yang kuyakini benar, yakni di kala Thian Pek-tat berempat terbunuh semalam, mereka pasti berada di sekitar tempat ini, bahkan mungkin saja saat ini masih berada di daerah pegunungan ini.”

“Tidak mungkin, siang malam petugas peronda kami melakukan patroli di sekeliling pegunungan ini dan belum pernah kami temukan jejak mereka, selain itu, kalau benar mereka berusaha dengan segala daya upaya untuk mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to, setelah berhasil mendapatkannya, kenapa dikembalikan kepadamu dengan begitu saja. Jadi ceritamu tentang melimpahkan bencana kepada orang lain itu sama sekali tidak masuk di akal.”

“Mau percaya atau tidak adalah urusan kalian, tapi yang pasti semua perkataanku adalah sejujurnya.”

“Kau berani diadu dengan petugas peronda kami?”

“Tentu saja berani.”

“Bagus, panggil petugas peronda bukit untuk menghadap ke depan pengadilan!”

Nyonya berbaju merah tadi mengiakan dan tampil ke muka, katanya, “Hamba petugas peronda, komandan barisan ketujuh Bok-lan-la-tui Hoa Jin siap memberi keterangan!”

“Hoa Jin, apakah kau adalah petugas ronda hari ini?” tanya nenek Tong.

“Benar!”

“Kaukah yang menemukan jenazah dari para korban?”

“Benar!”

“Apakah kau pula yang menangkap mereka?”

“Benar!”

“Bagus sekali, laporkan sekali lagi kejadian yang telah berlangsung.”

“Hamba sebagai petugas peronda mendapat perintah untuk menyambut...” “Secara ringkas saja,” tiba-tiba nenek Tong menukas, “laporkan saja sekitar penemuan mayat-mayat tersebut.”

“Baik,” kata Hoa Jin, “Jejak Hui-goan Taysu berempat berhasil hamba temukan lewat tengah malam kemarin, pagi tadi ketika kami tiba di bawah gua karang, ditemukan keempat orang itu sudah tewas di samping api unggun, setelah dilakukan pencarian yang saksama, akhirnya disebuah gua kami berhasil menghadang ketiga orang pembunuh itu, mula-mula mereka melakukan perlawanan, tapi akhirnya mereka menyerahkan diri.”

“Apakah diperiksa juga senjata yang dipergunakan lawan?”

“Menurut hasil pemeriksaan, keempat orang itu tewas oleh Yan-ci-po-to, mulut lukanya sangat lebar, dan senjata pembunuh itu justru ditemukan berada pada orang she Nyo ini.”

“Apakah pada jenazah juga ditemukan lencana kayu? Atau bekas tali yang dipakai untuk membelenggu mereka?”

“Tidak!”

“Waktu itu apakah tertuduh menyangkal telah membunuh orang?”

“Tidak!”

“Apakah ditemukan orang yang mencurigakan di sekitar mereka?”

“Juga tidak.”

“Sudah mendengar? Apa lagi yang hendak kau katakan?” kata nenek Tong kemudian sambil menatap Ho Leng-hong dengan sorot mata tajam.

“Hal tersebut sudah kukatakan semua,” teriak Leng-hong dengan suara lantang, “Waktu itu peronda she Hoa itu tidak menanyakan soal pembunuhan, mana kami bisa menyangkalnya?”

Nenek Tong tertawa dingin, “Hehehe, sekalipun ia tidak menanyakan soal ini, kenapa kalian tidak melakukan penyangkalan, padahal tahu di bawah bukit membujur empat sosok mayat? Dan lagi senjata pembunuh merupakan bukti yang jelas, penyangkalan kalian semakin membuktikan hati kalian amat kalut dan takut, ingin menyangkal pun kini sudah terlambat.”

Ho Leng-hong seperti ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi nenek Tong lantas berbangkit sambil berseru, “Pemeriksaan telah selesai, perhatikan baik-baik keputusan kami!”

Serentak ketiga orang nenek yang lain bangkit berdiri, suasana dalam ruangan berubah menjadi hening dan serius. Nenek Tong berunding sebentar dengan ketiga orang rekannya, lalu dengan wajah serius katanya,

“Tertuduh Nyo Cu-wi, Pang Goan dan Hui Beng-cu terbukti bersalah melakukan pembunuhan bersama yang mengakibatkan kehilangan jiwa orang lain, kesalahan ini melanggar peraturan lembah ini, lagipula setelah bersalah tidak bertobat, bahkan berusaha mungkir, dosa ini amat besar, maka pengadilan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman ‘Khek-sin’ kepada mereka, untuk sementara para tertuduh dimasukkan tahanan menanti pelaksanaan hukuman.” Selesai berkata ia lantas mengundurkan diri.

“Apa yang disebut Khek-sin?” tanya Beng-cu.

“Artinya akan dihukum pancung di hadapan umum,” jawab Hoa Jin.

Betapa gusarnya Hui Beng-cu, teriaknya, “Hm, keterlaluan sekali! Pang-toako, mari kita turun tangan....” Baru saja ia berteriak, “Cring! Cring!” dua belas orang perempuan bersulam benang biru telah melolos golok dan merubung maju. Cahaya golok berkilauan, langsung mengancam perut dan punggung mereka bertiga, padahal Pang Goan sekalian dalam keadaan tangan telanjang tanpa senjata apapun.

Sambil tertawa getir Ho Leng-hong segera memandang ke arah Pang Goan, lalu katanya, “Lotoako, kali ini kita benar-benar terjebak.”

Pang Goan mendengus, “Orang she Hoa, kau bilang Kokcu kalian hendak berbicara sendiri dengan kami, rupanya kau berbohong?”

“Kokcu harus mendengarkan dulu laporan keempat Popo sebelum memutuskan apakah perlu menanyai kalian langsung, sebab untuk melaksanakan hukuman penggal kepala mesti ada persetujuan lebih dulu dari Kokcu, jadi seandainya kalian bernasib baik, mungkin saja masih ada kesempatan bertemu dengan Kokcu.”

“Umpama kami hendak titip pesan, apakah kau dapat menolong kami untuk menyampaikan kepada Kokcu?”

“Tentu saja!”

Pang Goan menarik napas panjang, kemudian berkata, “Kalau begitu tolong sampaikan kepada Kokcu kalian bahwa Yan-ci-po-to dan kitab pusaka Poh-in-pat-toa-sik itu adalah palsu, jika ingin tahu berita tentang kitab dan golok yang asli, silakan menanyai sendiri padaku.”

Kemudian sambil mendongakkan kepala ia menambahkan, “Di mana letaknya penjara? Silakan membawa kami ke sana, sesudah lelah semalaman, kami ingin beristirahat dulu dalam penjara.”

Hoa Jin memandangnya dengan melongo, rupanya ia sedang meresapi makna kata-katanya itu. Bahkan Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu juga ingin bertanya padanya. Akan tetapi Pang Goan tidak berkata apa-apa, sambil busungkan dada dan melangkah dengan lebar, ia berlalu lebih dulu dari ruangan tersebut…

* * *
Rumah penjara terletak di kaki bukit bagian belakang perkampungan tersebut. Dua baris rumah baru yang berderet bagaikan gua itu meski kecil dan sempit, tapi sangat kering dan bersih, setiap ruangan terdapat meja, bangku dan pembaringan, selain itu terdapat pula alat-alat untuk bersihkan badan serta membuang hajat, keadaannya mirip dengan sebuah “rumah tamu”.

Ruang penjara itu bernomor, di sebelah kiri bernomor ganjil sedang di sebelah kanan bernomor genap. Pengurus rumah penjara adalah seorang perempuan setengah umur dari kelompok benang biru, ia bernama Yu Ji-nio dan membawahi empat orang gadis dari barisan Bok-lan-pek-tui.

Sikap Yu Ji-nio terhadap orang sangat ramah tamah, sedikitpun tidak mencerminkan sikap seorang sipir penjara yang buas dan garang, atau mungkin lantaran suasana penjara amat sepi, maka ketika mengetahui ada tiga orang “tamu terhormat” diantar ke sana, tampaknya ia sangat senang. Ia menjadi repot sekali masuk keluar tiada hentinya, menyiapkan air teh, menyiapkan nasi dan sayur, pelayanannya betul-betul sangat bagus.

Pang Goan bertiga dimasukkan dalam ruang penjara di sebelah kiri, Pang Goan menempati satu, Ho Leng-hong menempati ruang tiga dan Hui Beng-cu ruang lima.

Selesai bersantap dan mencuci muka, Yu Ji-nio secara khusus menghidangkan secawan air teh panas untuk mereka, katanya sambil tertawa, “Kalian adalah tamu yang datang dari jauh, berdosa atau tidak tak ada sangkut pautnya dengan diriku, aku selalu menganggap kalian sebagai tamu-tamu kehormatan, jika butuh makanan atau perlu sesuatu katakan saja kepadaku. Cuma janganlah melakukan perbuatan bodoh yang bikin susah padaku, setelah berada di sini, jangan harap kalian bisa keluar lagi dari lembah ini, sekalipun berhasil melarikan diri dari mulut lembah, tak mungkin bisa kabur meninggalkan Tay-pa-san ini.”

“Yu Ji-nio, jangan kuatir,” jawab Pang Goan sambil tertawa, “untuk keluar kami pasti akan keluar, tapi kami tak akan kabur dari penjara, kami masuk kemari secara terang-terangan, pergi dari sini juga secara terang-terangan, kalau tidak, sekalipun diantar dengan tandu besar yang digotong delapan orang, belum tentu kami sudi pergi dengan begitu saja.”

“Bagus, bila kalian dapat pergi dari sini nanti, aku pasti akan memasang petasan untuk mengantar keberangkatan kalian.”

“Mengantar sih tidak perlu, sekarang silakan kau keluar lebih dulu, berilah kesempatan kepada kami untuk tidur siang sepuasnya, boleh bukan?”

“Tentu, tentu!” sambil tertawa Yu Ji-nio mengajak keempat orang gadis itu berlalu dari situ.

Pang Goan segera menggeliat dan menguap lalu gumamnya, “Setelah bergadang semalam suntuk, inilah kesempatan yang sangat baik untuk tidur, dengan demikian kita ada kekuatan dan semangat untuk berunding dengan Kokcu.” Selesai berkata, ia lantas menjatuhkan diri di pembaringan.

Ho Leng-hong yang berada di kamar sebelah tak dapat setenang itu, sambil mengetuk dinding bisiknya, “Lotoako, jangan tidur dulu, kita harus merundingkan persoalan ini...”

“Apa lagi yang mesti dirundingkan?” tanya Pang Goan.

“Tadi kau berkata kepada mereka bahwa golok mestika Yan-ci-po-to dan kitab pusaka itu adalah palsu, pengakuan itu memang pengakuan yang betul ataukah cuma bohong-bohongan saja?”

“Pada waktu perlu bohong boleh bohong, bila perlu sungguh harus sungguh. Hidup manusia bagaikan impian, kenapa mesti begitu serius?”

Ucapan tersebut makin lama makin lirih, kemudian lantas terdengar suara dengkuran yang keras, ternyata ia sudah tertidur pulas.

Meskipun pelbagai kecurigaan masih menghantui pikirannya, karena yang ditanya tetap membungkam, terpaksa sambil menghela napas panjang diapun berbaring. Pada saat pikirannya sedang kalut dan bingung itulah, tiba-tiba terdengar Hui Beng-cu yang berada di kamar sebelah memanggil dengan suara tertahan,

“Nyo-toako, cepat kemari, cepat kemari…”

“Ada apa?” tanya Leng-hong.

“Coba lebih mendekatlah denganku, akan kuberitahukan satu hal kepadamu...” bisik Beng-cu.

“Sudah, tak usah repot-repot, tiada yang perlu dibicarakan lagi, bagaimana kalau kita beristirahat lebih dulu?”

“Tidak bisa, bagaimanapun persoalan ini harus kukatakan kepadamu sekarang juga, kutemukan sebaris tulisan di dinding ruangan ini...”

“Apa bunyi tulisan itu?” tanya Leng-hong.

“Agaknya tulisan ini ditinggalkan oleh enso….”

“Apa kau bilang? Siapa yang meninggalkan tulisan itu?” cepat Leng-hong melompat bangun sambil berseru.

“Kalau diperhatikan dari nada tulisannya, tampaknya seperti tulisan dari enci Wan-kun, tapi jika ditinjau dari kata-katanya seperti juga bukan….”

“Coba bacakan tulisan itu!”

Hui Beng-cu segera membaca dengan lirih, “Untuk mencuci bersih rasa malu akibat kekalahan yang diterima, dengan mempertaruhkan jiwa raga kekasih telah masuk ke istana Peng-kiong, keturunan Thian-po-hu berakhir sampai di sini... di bawahnya seperti masih ada tulisan, cuma sudah tidak jelas lagi, tapi yang menandatangani tulisan ini adalah Wan-kun.”

“Wan-kun?” Ho Leng-hong menarik napas dingin, “Ternyata mereka benar-benar telah datang ke lembah Mi-kok ini.”

“Tapi, bukankah kau masih hidup baik-baik di Thian-po-hu? kenapa dia mengatakan bahwa ‘kekasih masuk ke istana Peng-kiong’? kenapa pula dia bilang keturunan Thian-po-hu berakhir sampai di sini? Apa pula maksudnya mengucapkan kata-kata tersebut?”

Ho Leng-hong tidak memberi keterangan, iapun tak dapat memberi keterangan, terpaksa tukasnya, “Coba kau periksa lagi dengan saksama, apakah masih ada tulisan lagi yang ditinggalkan?”

Lewat sejenak kemudian, Hui Beng-cu berkata lagi, “Sudah tak ada lagi, hanya tulisan ini yang terukir di dinding batu di ujung pembaringan.”

“Apakah di bawah tanda tangan itu tercantum hari dan tanggal?” kembali Ho Leng-hong bertanya.

“Tidak ada... Ah, tunggu sebentar... di sini terdapat sebuah huruf ‘Ka’ di bawahnya ada sebuah huruf lagi, sayang cuma separuh, tapi agaknya mirip huruf ‘Gin’, sayang tulisannya tidak lengkap.”

“Tahun Ka-gin? Itu berarti setahu yang lalu,” gumam Ho Leng-hong, “ehm, betul cocok memang dengan waktunya, ya, pasti dia...”

“Kalau betul dia, lantas kenapa?” tiba-tiba Pang Goan menyela, “tidak dapatkah kalian tenang sejenak, agar orang lain memperoleh kesempatan untuk beristirahat sebentar?”

Cepat-cepat Ho Leng-hong mendekati dinding sebelah kanan, lalu bisiknya, “Lotoako, Wan-kun dan Nyo...”

“Sudah kudengar, semua hal ini sudah berada dalam dugaanku, tapi kita harus berpura-pura tidak tahu, tak peduli siapa yang bertanya padamu, jangan kau mengaku keadaanmu yang sebenarnya, kecuali kau bertemu sendiri dengan Wan-kun, maka ceritakanlah seluruh kejadian yang sesungguhnya.”

“Menurut dugaanmu, mungkinkah Wan-kun masih berada di dalam Mi-kok?”

“Lebih baik kita tak usah menduka secara mengawur, asal telah bertemu dengan Kokcu, otomatis semua duduknya perkara akan menjadi jelas.”

“Ai, benarkah Kokcu bersedia menjumpai kita?” bisik Leng-hong sambil menghela napas.

“Kenapa tidak? Bukankah mereka telah datang?”

Betul juga, terdengar suara langkah manusia yang semakin mendekat, menyusul kemudian terlihat Yu Ji-nio muncul bersama Hoa Jin.

“Pasti kau yang pertama-tama yang akan dijumpai,” bisik Pang Goan, “ingat, apa yang boleh dan yang tidak boleh dibicarakan, soal kitab pusaka ilmu golok boleh kau limpahkan pertanggungan-jawabnya kepadaku.”

Ternyata dugaannya memang tepat, Yu Ji-nio dan Hoa Jin langsung menuju ke kamar tahanan nomor tiga dan berhenti di situ. Setelah berada dalam kamar, dengan saksama Hoa Jin memperhatikan diri Ho Leng-hong dari ujung kepala sampai ujung kakinya, setelah itu tanyanya,

“Sungguhkah kau ini majikan Thian-po-hu yang bernama Nyo Cu-wi?”

“Kenapa?” Ho Leng-hong pura-pura bersikap ketus, “memang ada yang gadungan di sini?”

Hoa Jin tertawa, “Kau betul-betul bernasib baik, Kokcu ingin berjumpa denganmu, semoga kau bersedia bicara secara jujur.”

Waktu itu Yu Ji-nio telah membuka borgol pintu dengan kuncinya, lalu sambil mendorong pintu terali besi ke samping, katanya dengan tertawa, “Nyo-tayhiap, selamat jalan, semoga kau tidak kembali lagi kemari.”

Ho Leng-hong mengangkat bahu, kemudian berkata, “Pelayanan Ji-nio amat menyenangkan hati, agaknya aku bakal mengganggu dirimu selama beberapa hari lagi.”

Keluar dari ruang penjara, ia segera disambut oleh empat orang gadis berbenang biru dengan senjata terhunus, ternyata ketat juga pengawalan di situ. Dengan dipimpin oleh Hoa Jin, rombongan itu berjalan masuk ke sebuah halaman yang amat sepi, setelah melewati serambi akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan besar.

Selain luas dan hening, suasana dalam ruangan itu amat bersih dan rapi, pintu ruangan terbuka lebar, keadaan ruangan persis seperti keadaan dalam ruangan “pengadilan”, cuma di sini tiada pengawalan yang ketat.

Empat gadis pengawal tadi berhenti di ruang depan, hanya diantar oleh Hoa Jin saja Ho Leng-hong masuk ke dalam ruangan. Hening sekali ruangan itu, bukan saja tanpa pengawalan, di situpun tiada senjata yang berkilauan, seorang gadis baju merah sedang berduduk di belakang meja sambil memeriksa setumpuk surat.

Agak jauh di belakang gadis itu terdapat pula sebuah kursi, seorang perempuan bercadar hitam duduk di situ. Mula-mula Ho Leng-hong mengira perempuan bercadar itulah Kokcunya, akan tetapi setelah diperiksa lebih saksama, ia terperanjat.

Ternyata meskipun perempuan bercadar itu mengenakan pakaian warna merah juga, namun pada gaunnya tidak terdapat sulaman apa-apa, sebaliknya gadis yang sedang memeriksa setumpuk dokumen itu justru mempunyai sulaman benang emas pada gaunnya.

Gadis itu sedang menundukkan kepalanya, maka tak terlihat raut wajahnya, tapi baik diperhatikan dari sudut manapun, bisa diduga usianya tak akan melampaui dua puluh tahun. Gadis semuda inikah Kokcu dari Mi-kok? Ho Leng-hong tercengang, baru saja melangkah ke dalam ruangan ia segera berhenti.

Gadis itu masih juga menundukkan kepalanya dan memeriksa dokumen, cuma sekarang dia memberi tanda sambil berkata, “Ambilkan kursi untuk Nyo-tayhiap!”

Hoa Jin mengambilkan sebuah kursi dan Leng-hong duduk di kejauhan, saking tegangnya untuk mengembus napas keraspun tak berani. Ia merasa setiap ucapan gadis tersebut seakan-akan memiliki kewibawaan yang sukar dibantah, membuat orang lain merasa rendah diri dan berada di bawah pengaruhnya.

Suasana dalam ruangan amat hening, sedemikian heningnya sampai suara jarum jatuh ke lantai pun kedengaran jelas, siapapun tidak membuka suara, cuma perempuan bercadar itu yang terus mengawasi Ho Leng-hong. Diam-diam Leng-hong memperhatikan pula perempuan itu, hanya saja ia tak dapat menebak asal-usulnya?

Lewat sesaat kemudian, pelahan gadis benang emas baru mendongakkan kepalanya, lalu sambil tertawa kepada Ho Leng-hong katanya, “Benarkah Nyo-tayhiap ini majikan Thian-po-hu?”

Ketika gadis itu mendongakkan kepalanya, semakin terbuktilah bahwa dugaan Leng-hong tidak keliru, usia gadis itu paling banter cuma delapan-sembilan belas tahunan, mukanya masih ke kanak-kanakan, wajahnya cantik jelita, sinar matanya jernih tenang, tapi juga menggidikkan hati. Tanpa terasa Ho Leng-hong mengalihkan pandangannya ke arah lain, kemudian jawabnya lirih, “Betul!”

“Ada berapa banyak Thian-po-hu di dunia ini?”

“Hanya ada satu Thian-po-hu di kota Kiu-ki-shia.”

“Kalau begitu, Nyo-tayhiap adalah majikan keturunan berapa dari Thian-po-hu?”

Ho Leng-hong tertegun sejenak, kemudian jawabnya, “Thian-po-hu didirikan oleh mendiang ayahku dan mempunyai tujuh anak semenjak ayahku wafat, kakak sulungku Han-wi beserta kelima saudara lainnya secara beruntun pergi meninggalkan rumah dan tidak kembali lagi, kini akulah yang mewarisi kedudukan itu.”

Sambil mendengar gadis itu manggut-manggut berulang kali, katanya lagi sambil tersenyum, “kalau begitu, Nyo-tayhiap adalah majikan terakhir Thian-po-hu?”

“Betul!”

“Tadi Nyo-tayhiap berkata bahwa enam saudaramu secara beruntun pergi meninggalkan rumah untuk tidak kembali lagi, tahukah kau ke mana mereka telah pergi?”

“Kokcu, kalau sudah tahu apa gunanya bertanya lagi? Keenam saudaraku telah pergi meninggalkan rumah lantaran hendak mencari ilmu golok sakti peninggalan Ang-ih Hui-nio dan secara beruntun pergi ke Mi-kok ini, masakah Kokcu tidak tahu?”

Gadis itu tertawa, ia tidak mengaku juga tidak menyangkal, ia ingin mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, “Ilmu golok Nyo-keh-sin-to telah merajai dunia, apa gunanya kalian mencari ilmu golok lain yang lebih dahsyat?”

“Sebab gelar kehormatan Thian-he-te-it-to tersebut telah dirampas oleh pihak Hiang-in-hu dari Leng-lam pada pertemuan Lo-hu-to-hwe yang lalu, maka kami bersaudara berhasrat untuk menjunjung kembali nama baik keluarga, oleh karena kami dengar ilmu golok Ang-ih Hui-nio merupakan ilmu golok tandingan Nyo-keh-sin-to, maka kami harus menemukannya.”

Gadis itu menggeleng kepala berulang kali, “Hakikatnya ilmu silat di dunia ini tiada batasnya, betapa hebat sesuatu ilmu silat tak lebih hanya gerakan lincah yang memanfaatkan kelemahan pihak lawan, kepandaian semacam ini mana pantas disebut ilmu yang tiada tandingannya? Setelah menderita kekalahan, mengapa kalian tidak mencoba untuk bertanya pada diri sendiri sudahkan kepandaian keluarga digunakan semaksimalnya? Pernahkah terpikir hendak mempopulerkan kehebatan Nyo-keh-sin-to? Kalau yang dipikirkan hanya ingin belajar kepandaian orang lain, sungguh tindakan ini adalah tindakan yang bodoh.”

Ho Leng-hong tidak menyangka gadis semuda ini ternyata sanggup memberi keterangan panjang lebar seperti ini, tergerak juga perasaannya. “Apa yang Kokcu terangkan memang tepat dan masuk diakal,” demikian katanya, “sayang sekali hanya sejumlah kecil manusia di dunia ini yang dapat mawas diri serta mengintropeksi diri sendiri, sementara sebagian besar lainnya tetap dungu dan tak berguna.”

“Tolong tanya Nyo-tayhiap adalah manusia dari jenis yang mana?”

“Aku... tentu saja dari golongan yang bodoh.”

“Kalau begitu, maksud kedatangan Nyo-tayhiap ke lembah ini juga untuk mencari ilmu golok yang maha sakti itu?” tanya gadis itu.

“O, tidak, pada hakikatnya aku tidak tahu di manakah letak Mi-kok ini, sesungguhnya kedatangan kami ke sini hanya ingin mencari sarang Ci-moay-hwe, tak tahunya malah terpancing sampai di Tay-pa-san ini.”

“Apa yang terjadi dengan perkumpulan Ci-moay-hwe?”

“Keadaan yang sebetulnya masih kurang jelas, aku cuma tahu tentang munculnya sebuah organisasi rahasia dalam dunia persilatan, semua anggota mereka adalah kaum wanita dan cita-citanya adalah beradu kekuatan dengan kaum pria di dunia.”

Gadis itu tertawa, “Ambisi orang-orang itu terlalu besar, Thian menciptakan makhluk laki dan perempuan, Im dan Yang, dengan maksud agar ada perbedaan di antara umatnya dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda, kaum pria bertugas keluar dan kaum wanita bertugas ke dalam, sebetulnya tiada sesuatu yang pantas diperebutkan, apalagi adu kekuatan. Ambil contoh saja lembah kita ini, meskipun kaum wanita diwajibkan belajar silat, hal ini disebabkan ilmu silat leluhur kami lebih cocok untuk kaum wanita, ini tidak berati kaum wanita lebih tangguh daripada kaum prianya. Lagi pula, kecuali urusan ilmu silat, kaum lelaki tetap merupakan kepala rumah tangga, mereka saling hormat menghormati, sayang menyayangi, bukankah hal ini bagus sekali?”

Sampai di sini, tiba-tiba ia menarik kembali senyumnya, kemudian berkata dengan nada sungguh-sungguh, “Nyo-tayhiap, aku ingin bertanya lagi padamu dan kuharap kau bersedia bicara terus terang.”

“Silakan bertanya, Kokcu!”

Ditatapnya wajah Ho Leng-hong dengan sinar mata tajam, kemudian sepatah demi sepatah katanya, “Benarkah kau Nyo Cu-wi, majikan Thian-po-hu?”

Hati Leng-hong tergerak, bukannya menjawab ia malah bertanya, “Apakah Kokcu mencurigai diriku sebagai gadungan?”

“Betul, aku memang merasa curiga terhadap asal-usulmu.”

“Kenapa?”

“Sebab tahun yang lalu ada seorang Nyo Cu-wi yang mendatangi lembah ini, dia menyebut dirinya sebagai pemilik Thian-po-hu.”

“Oya? Tak nyana di dunia ini terdapat kejadian yang begini kebetulan? Kini Nyo Cu-wi tersebut berada di mana?”

“Dia sudah mati!”

“O, sayang sekali,” kata Leng-hong pura-pura menyesal, “kalau tidak, ingin sekali kujumpai sahabat yang mempunyai nama dan she yang sama dengan diriku itu.”

“Maksudmu dia telah menyaru sebagai dirimu?”

Ho Leng-hong tersenyum, “Dia dan aku bukan hanya bernama dan she sama, keduanya juga sama mengaku majikan dari Thian-po-hu, salah seorang di antara kami sudah pasti adalah gadungan, tapi sekarang ia sudah mati, siapa yang asli dan siapa gadungan rasanya tidak penting lagi artinya.”

“Tidak, justru penting sekali artinya, seyogyanya kau mengaku secara terus terang, sebab kalau tidak akan berakibat fatal bagimu.”

Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, “Orang yang sudah mati tak mungkin bisa dijadikan sebagai saksi, sekalipun aku gadungan, seandainya aku berkeras mengatakan diriku adalah yang asli, bagaimana pula cara Kokcu akan membedakannya?”

“Tentu saja aku ada akal untuk membedakannya, cuma kuharap kau bersedia mengaku terus terang, sebab jika aku sampai membuktikannya, kau tak ada kesempatan untuk melakukan pemilihan lagi.”

“Bagaimana kalau ada kesempatan untuk memilih, dan bagaimana kalau tak ada kesempatan?” tanya Leng-hong sambil tertawa.

“Berbicara terus terang berarti ada kesempatan hidup, berbohong berarti kematian.”

Leng-hong termenung sebentar, kemudian katanya, “Kurasa semua perkataanku adalah sejujurnya, soal Kokcu mau percaya atau tidak jelas tidak berani kupaksa, lebih baik Kokcu segera membuktikannya sendiri.”

“Kau tidak menyesal?”

“Tentu saja tidak.”

“Bagus!” gadis itu lantas berpaling ke arah perempuan bercadar itu sambil mengangguk, “Coba periksalah dia, sebetulnya dia ini asli atau palsu?”

Perempuan itu mengiakan, pelahan ia melepaskan kain cadar yang menutupi wajahnya. Tiba-tiba mata Leng-hong terbeliak lebar, jeritnya, “Wan... kun...”

Tak salah lagi, dia memang Pang Wan-kun. Ditinjau dari raut wajahnya, ia tak berbeda dengan Pang Wan-kun gadungan dari Ci-moay-hwe. Cuma sikap maupun gerak-geriknya jauh lebih anggun daripada perempuan gadungan itu.

Bagaimana pun juga, seorang mungkin dapat menyaru raut wajah orang lain, mungkin juga dapat meniru suara bahkan gerak-geriknya, tapi sikap dan gaya seseorang sukar untuk ditiru.

Sikap dan gaya melambangkan kepribadian seseorang, melambangkan tingkat pendidikan serta pengetahuannya, melambangkan pula semua pengaruh lingkungan serta pengalaman yang pernah dialaminya semenjak kecil. Di dunia yang luas ini tak mungkin ada dua manusia yang memiliki pengalaman yang sama, sebab itu tak ada pula dua orang yang memiliki sikap serta gaya yang sama.

Oleh sebab itu, meski baru bertemu sekali, Ho Leng-hong merasa yakin bahwa Pang Wan-kun yang berada di hadapannya itulah Pang Wan-kun yang asli, ia tak mungkin Pang Wan-kun jadi-jadian dari Ci-moay-hwe. Lantaran itulah Ho Leng-hong bersuara kaget... dengan masih hidupnya Pang Wan-kun di lembah Mi-kok ini berarti penyamaran si gadungan segera akan terbongkar.

Ho Leng-hong mengawasi Pang Wan-kun dengan mata melotot, hampir saja jantungnya mau melompat keluar dari rongga dadanya, sementara Pang Wan-kun sendiri pun mengawasi pemuda itu tanpa berkedip, wajahnya tetap dingin dan tawar tanpa emosi. Walaupun sudah lewat sekian lama, akan tetapi ia tetap tidak bicara ataupun bergerak, ditatapnya Ho Leng-hong tanpa berkedip.

“Pang Wan-kun, sudah kau lihat jelas?” tanya gadis itu tiba-tiba.

Pelahan Pang Wan-kun mengangguk.

“Apa yang dikatakan tadi juga sudah kau dengar semua?” kembali gadis itu bertanya.

Sekali lagi Pang Wan-kun mengangguk.

“Nah, sekarang beritahukan kepadaku, orang ini benar-benar suamimu Nyo Cu-wi?” desak gadis itu.

Pang Wan-kun tidak menjawab, tetap kepalanya tertunduk rendah...
Selanjutnya,
Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 08