Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 04
Karya : Gu Long
Penyadur : Gan K.L

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
TIDAK menunggu jawaban Leng-hong dia lantas berteriak dengan nyaring, “Peng-ji!”

Seorang genduk cilik bermuka bulat lari masuk ke kamar, “Hujin memanggil hamba?” tanyanya.

“Beri tahukan kepada Kuloya, katakan Tuan sudah sadar dan mengundang beliau kemari, jangan menggali terus menerus!”

Ho Leng-hong kenal genduk yang bernama Peng-ji itu adalah babu pekerja kasar di situ, orangnya rada bodoh dan cara bekerjanya agak lambat, mungkin lantaran Bwe-ji dan Siau Lan mati secara beruntun, maka ia ditaruh di sana untuk melayani segala keperluan.

Kini Leng-hong tak berani memandang rendah seorang babu bodoh lagi, sebab kalau Pang Wan-kun memilihnya sebagai orang kepercayaan, sudah tentu orang itu merupakan pembantu yang telah dipersiapkan.

Siapapun tak tahu ada berapa banyak orang yang telah ia siapkan dalam Thian-po-hu? kalau ditinjau dari keadaannya, jelas jumlahnya tidak sedikit, sebab kalau tidak demikian tak mungkin ia bisa membinasakan Bwe-ji dan Siau Lan sementara ia sendiri masih berani tinggal di situ.

Tiba-tiba Leng-hong merasa kekuatannya terlalu kecil dan menyendiri, kecuali Pang Goan rasanya tak seorangpun yang bisa dipercaya lagi, sebaliknya Pang Goan baru dikenalnya belum lama, mungkinkah ia akan percaya pada perkataannya?

Makin dipikir, rasa percaya pada diri sendiri makin hilang, akhirnya ia berbaring dengan lemas. Tak lama kemudian, Pang Goan masuk dengan langkah lebar, begitu bertemu ia lantar berkata dengan menyesal,

“Akulah yang salah dan akulah yang teledor, yang kuperhatikan waktu itu cuma mengejar si pembunuh, mimpipun tak kuduga di dalam taman telah bersembunyi pula seorang musuh. Jit-long, cepat beri tahukan padaku, macam apakah tampang orang itu?”
Baru saja Leng-hong hendak menjawab, Wan-kun yang berada di sampingnya segera mendahului, “Waktu itu dia terluka, mana bisa memperhatikan tampang lawannya? Tapi beruntung aku dapat melihatnya. Cuma orang itu mengenakan kerudung hitam, jadi sukar untuk mengenalinya.”

“Walaupun tampangnya sukar dikenali, paling sedikit kan bisa membedakan lelakikah dia atau perempuan? Bagaimana pula dandanannya?”

“Toako, bukankah sudah kukatakan padamu, seorang laki-laki, berperawakan tinggi besar dan memakai pakaian malam berwarna hitam....”

“Bisa jadi kau tidak jelas melihatnya, aku perlu tanya sendiri kepada Jit-long. Sudahlah, kau jangan menimbrung saja,” kata Pang Goan.

Wan-kun tidak menghiraukan, katanya pula sambil tersenyum, “Baiklah, tanyalah sendiri kepadanya, Cuma jangan lupa, lukanya tidak enteng, banyak bicara bisa mengganggu kesehatannya.”

“Aku mengerti, bila laki-laki sedang membicarakan soal yang serius, lebih baik kaum wanita jangan banyak menimbrung!”

Senang hati Leng-hong demi mendengar perkataan itu, meski ucapan itu hanya merupakan omelan seorang kakak terhadap adiknya, tapi bagi pendengaran Leng-hong pada saat ini justru terasa cocok. Akan tetapi, waktu sinar matanya berbentur dengan senyum yang menghiasi ujung bibir Pang Wan-kun, hatinya kembali menjadi dingin.

Sepintas lalu senyuman itu kelihatan seperti lembut dan penurut, padahal justru melambangkan kebanggaan serta keyakinan pada diri sendiri. Ya, jika ia tidak penuh keyakinan, mungkinkah Pang Goan diizinkan bertemu dengannya?

Ho Leng-hong merasa dirinya ibarat binatang buas dalam rombongan sirkus, meskipun punya taring dan cakar yang tajam, tapi harus tunduk pada cambuk sang pawang, ia harus bermain di depan penonton menurut kehendak pawang. Dan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun ini tak lain adalah seorang pawang yang lihai.

Jelas Pang Goan bukan seorang penonton yang cermat, dengan tak sabar ia lantas bertanya, “Jit-long, coba bayangkan kembali kejadian waktu itu, kemudian beritahu padaku dengan saksama, manusia macam apakah dia itu? Apa yang kalian alami? Dan cara bagaimana ia melukai dirimu?”

Leng-hong tarik napas panjang-panjang, lalu tertawa getir, “Apa yang dikatakan Wan-kun memang benar, orang itu memakai baju warna hitam, berperawakan tinggi besar dan mengenakan cadar hitam, jadi tampangnya tidak kelihatan.”

“Cara bagaimana kau pergoki dia?”

“Setelah berpisah di tepi hutan tadi, aku merasa gerak-gerik Bwe-ji dan Siau Lan sangat mencurigakan, agaknya mereka seperti sudah tahu ada yang mengintip perbuatannya, maka sengaja ditanamnya sebilah golok biasa di situ, padahal kedatangan Lotoako lebih awal dari mereka, tak mungkin jejakmu bakal ketahuan, maka aku lantas mencurigai mereka bukan memakai benda itu untuk menipu musuh melainkan sebagai tanda bagi komplotannya dengan tujuan tertentu.”

“Ehm, benar juga dugaanmu,” Pang Goan manggut-manggut.

“Maka sekembalinya ke dalam hutan, aku berjaga-jaga di dekat liang, betul juga, tak lama kemudian kulihat ada orang menyusup ke dalam hutan dan menggali liang itu.”

“Bukankah isi liang itu cuma sebilah golok biasa?”

Leng-hong menghela napas, “Ai, Lotoako! Kita sudah tertipu, di bawah golok itu justru tersimpan golok mestika Yan-ci-po-to yang kita cari itu.”

“Ah!” mencorong sinar mata Pang Goan, tubuhnya tergentar karena emosi, “sungguh siasat mengelabuhi lawan yang amat sempurna!”

Diam-diam Leng-hong melirik Pang Wan-kun, perempuan itu kelihatan sedang mendengarkan pembicaraan mereka dengan tersenyum.

“Jit-long, bukannya aku ingin menegurmu,” kata Pang Goan kemudian, “jika golok mestika Yan-ci-po-to sudah kau temukan, semestinya kau melihat gelagat pada waktu itu, bila tidak yakin dapat mengatasinya, kenapa tidak berteriak saja agar orang itu dikepung.”

Leng-hong tertawa getir, “Waktu itu musuh berada di pihak yang terang dan aku di pihak yang gelap, sebenarnya sudah kucegat dia, tak kusangka bangsat itu sangat licin, dengan berpura-pura hendak mengembalikan golok itu kepadaku, tiba-tiba saja suatu serangan dilancarkan, aku hendak berteriak, tapi sudah terlambat.”

“Benar,” sambung Wan-kun cepat, “ketika mendengar teriakan Jit-long, buru-buru kususul ke situ, siapa tahu bukan saja licik dan cerdik orang itu ilmu silatnya juga lihay, akupun gagal untuk mengalangi larinya.”

“Kalau begitu Yan-ci-po-to telah dicuri dari Thian-po-hu, sedang kita tak tahu siapa musuhnya,” keluh Pang Goan sambil menghela napas.

“Tak bisa diragukan lagi, orang itu pasti utusan Hu-yong-sia dari Leng-lam,” kata Wan-kun.

“Darimana kau tahu perbuatan ini dilakukan pihak Hiang-in-hu dari Hu-yong-sia?”

“Hanya Hiang-in-hu yang mempunyai alasan untuk melakukan pencurian, dan hanya pihak mereka yang mempunyai kemampuan berbuat demikian, untuk menjaga nama baik Thian-he-te-it-to (golok nomor satu di dunia) jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, dengan segala tipu daya mereka berusaha mendapatkan golok mestika kita ini.”

“Tidak mungkin! Hiang-in-hu dari Leng-lam bukan manusia semacam itu, sekalipun mereka ingin menjaga agar nama baik Thian-he-te-it-to jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, tak nanti mereka lakukan tindak pencurian ini,” kata Pang Goan sambil menggeleng.

“Kenapa?” tanya Leng-hong tercengang.

Ia selalu beranggapan Hiang-in-hu adalah satu-satunya musuh tangguh dari Thian-po-hu, bahkan memastikan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun ini adalah mata-mata yang dikirim dari Hiang-in-hu, maka setelah mendengar perkataan Pang Goan sekarang, ia menjadi heran. Kalau bukan Hiang-in-hu yang menjadi dalangnya, lantas siapa yang berdiri di belakang layar peristiwa pencurian ini?

Dengan wajah serius Pang Goan berkata lagi, “Thay-yang-to (si golok matahari) Hui Pek-ling dari Hiang-in-hu meski berwatak agak berangasan, tapi jujur dan lurus, dulu ketika Thian-po-hu berhasil merebut gelar itu dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe, belum pernah timbul maksud Hui Pek-ling untuk mencuri golok mestika itu, buat apa ia mesti menunggu sampai sekarang? Selain itu, kalian jangan lupa, ketika gelar Thian-he-te-it-to didapatkan oleh Hiang-in-hu, merekapun tidak memiliki senjata mestika, kalau tanpa golok mestika saja Hui Pek-ling berhasil mendapatkan kemenangan, buat apa ia lakukan perbuatan rendah itu sekarang?”

“Tapi, bukankah Lotoako pernah berkata seandainya golok Yan-ci-po-to sampai didapatkan orang she Hui itu, akan lebih sulit bagi kita untuk mengalahkan dia?”

“Aku hanya kuatirkan bila golok mestika itu didapatkan olehnya, bukan mengatakan ia bakal mencuri golok mestika tersebut!”

“Tapi, apa pula bedanya?”

“Tentu saja ada bedanya. Dengan kepandaian silat Hui Pek-ling, Nyo-keh-sin-to dan Keng-hong-kiam-hoat dari Cian-sui-hu masih belum sanggup menandinginya, yang menjadi tumpuan harapan kita, selain ilmu To-kiam-hap-ping-tin, dengan golok Yan-ci-po-to di tangan sedikit banyak juga ada manfaatnya, tapi jika golok mestika itu sampai terjatuh ke tangan Hui Pek-ling, hal ini sama artinya dengan merugikan kita dan menambah keuntungan bagi lawan.”

“O, jadi maksud Lotoako, tak mungkin Hui Pek-ling yang menjadi otak dari pencurian ini, tapi bila si pencuri mempersembahkan golok mestika itu kepadanya, Hiang-in-hu tentunya tak akan menolak pemberian tersebut?”

“Demikian halnya, bila seorang menjadi terkenal karena ilmu goloknya, siapakah yang tidak berharap akan bisa mendapatkan golok mestika?”

Ho Leng-hong tak bicara lagi, karena pengetahuannya tentang Hiang-in-hu amat terbatas. Pang Wan-kun yang sejak tadi hanya diam saja, tiba-tiba malah bertanya, “Tapi, kecuali Hiang-in-hu, siapa lagi yang mempunyai ingatan untuk mencuri golok tersebut? Dan lagi, siapakah yang mempunyai keberanian untuk berbuat demikian?”

Pang Goan menggeleng kepala, “Justru soal inilah yang harus kita selidiki, bila ditimbang atas dasar keterangan yang kalian berikan, ilmu silat pencuri itu pasti lihay sekali, sepantasnya mereka bukan manusia tak bernama. Siapa tahu kalau tujuannya mencuri golok mestika itu bukan ingin diberikan kepada Hiang-in-hu melainkan hendak dipergunakan sendiri untuk merebut gelar Thian-he-te-it-to dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang?”

“Wah, jadi kalau begitu setiap orang yang belajar ilmu golok di dunia ini harus dicurigai?” kata Wan-kun.

“Jumlah orang yang belajar ilmu golok di dunia ini memang banyak, tapi yang pantas muncul dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe cuma beberapa orang saja, kita pasti berhasil menyelidikinya.”

“Toako jangan terlalu percaya kepada orang,” kata Wan-kun sambil angkat bahu, “menurut dugaanku, si pencuri golok itu tak mungkin orang lain, seratus persen pasti perbuatan pihak Hiang-in-hu.”

Tapi Pang Goan masih tetap menggeleng tidak percaya, tapi ia tidak melanjutkan perdebatannya. Dengan tercengang Ho Leng-hong mengawasi perempuan itu beberapa saat, pikirnya, “Heran, mengapa ia berkeras menuduh Hiang-in-hu sebagai pencuri golok? Untuk menghilangkan jejak bila diselidiki Pang Goan? Atau karena ada tujuan lain?”

Rupanya Pang Wan-kun merasakan juga perkataannya terlampau menyolok, sambil tertawa katanya lagi, “Bagaimanapun juga golok mestika itu sudah hilang, terjatuh di tangan siapa pun pasti tidak menguntungkan kita, kukira yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana caranya melacaki pencuri itu, apakah Toako sudah mempunyai perhitungan?”

Pang Goan termenung sebentar, lalu jawabnya, “Jika benda itu sudah keluar dari Thian-po-hu, penyelidikan agak sukar dilakukan, apalagi mata-mata yang ada di sini sudah terbunuh, sedang musuh di luar sukar diselidiki, hal ini memang sulit untuk dilakukan.”

“Lotoako, sewaktu kau mengejar pembunuh itu, apakah tiada titik terang yang kau temukan?” Leng-hong coba bertanya.

“Sungguh memalukan sekali, waktu itu cuaca gelap dan lagi orang itu sangat apal dengan jalan dalam gedung ini, mungkin bahu kirinya berhasil kulukai, tapi ia masih dapat kabur dengan membawa luka.”

Ho Leng-hong lantas teringat pada luka di bahu kiri Pang Wan-kun ketika hendak menggali golok mestika dalam hutan malam itu, jelas dia pembunuh Bwe-ji dan Siau Lan.

Tentu saja ia lebih apal jalan-jalan dalam gedung ini daripada Pang Goan, setelah membunuh Bwe-ji dan Siau Lan, ia sengaja memancing Pang Goan ke ruang depan, sementara ia sendiri putar balik ke belakang untuk menggali golok mestika itu. Waktu itu dia pasti menyaru sebagai seorang pria, dengan begitu Pang Goan dapat dikelabuhi. Dan tak salah lagi, tentu dia otak pencurian golok mestika.

Berpikir demikian, Ho Leng-hong merasa darahnya mendidih, kalau bisa semua rahasia itu hendak dibongkarnya pada saat itu juga. Tapi segera ia berpikir lebih lanjut, perempuan ini licik sekali, kalau tak dapat menemukan buktinya lebih dulu, hanya bicara saja tak ada gunanya, malah bila usaha ini gagal, kemungkinan besar Pang Goan akan ikut dicelakai olehnya, maka ia memutuskan untuk membungkam lebih dulu, nanti kalau luka di bahunya sudah terlihat jelas barulah semua kejadian akan diungkap.

Berpikir sampai di sini, ia lantas pura-pura menghela napas, katanya, “Sayang ia berhasil kabur dari sini, bila salah seorang bisa tertangkap hidup-hidup, tak sulit rasanya untuk menyelidiki keadaan yang sebenarnya.”

“Aku mempunyai akal bagus, entah bisa digunakan atau tidak?” tiba-tiba Pang Wan-kun mengusulkan.

“Coba katakan!” ucap Pang Goan.

“Kupikir, jika pembunuh Bwe-ji dan Siau Lan itu sedemikian hapal dengan jalanan dalam Thian-po-hu, kemungkinan besar dia adalah anggota Thian-po-hu sini, atau mungkin juga salah seorang di antara sahabat Jit-long.”

“Em, mungkin juga!” Pang Goan manggut-manggut.

“Sekalipun dalam kegelapan Toako tak sempat melihat jelas raut wajahnya, tapi serangan yang kau lancarkan pasti akan meninggalkan bekas di atas tubuhnya, kenapa tidak kita kumpulkan segenap penghuni di sini untuk diadakan pemeriksaan. Barang siapa yang bahu kirinya kedapatan terluka, dia itulah yang pantas dicurigai.”

Pang Goan berpikir sebentar, lalu katanya, “Meskipun cara ini adalah cara yang bodoh, tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Cuma penghuni gedung ini dapat kita periksa, bagaimana pula dengan sahabat-sahabat Jit-long?”

“Ah, itu kan soal gampang,” kata Wan-kun sambil tertawa, “terhadap penghuni gedung kita lakukan pemeriksaan terang-terangan, sedangkan terhadap kawan Jit-long kita lakukan pemeriksaan secara diam-diam, asal Toako tampil sendiri dan mengunjungi rumah mereka satu persatu, lalu memaksa mereka membuka pakaian untuk membuktikan kebersihan dirinya, siapa yang berani menolak?”

“Tidak bisa, kita tak boleh berbuat demikian,” Pang Goan menggeleng kepala, “meskipun mereka bukan ksatria sejati, jelek-jelek mereka itu adalah teman Jit-long, di wilayah Kwan-lok ini juga ada nama dan kedudukan, kupikir cara demikian agak kelewat batas.”

“Kalau begitu, gunakanlah waktu di tengah malam buta, pada waktu semua orang sudah tidur penyelidikan ini dilakukan, dalam keadaan begini, barang siapa terluka tentu tak bisa menutupi dirinya lagi.”

“Bagaimanapun kukira cara ini kurang baik, kita tak boleh kehilangan golok mestika, lebih-lebih tak boleh sampai ditertawakan orang, sekarang akan kuperiksa dulu semua orang dalam gedung ini, jika tidak menghasilkan sesuatu baru kita adakan pembicaraan lebih lanjut.”

Selesai berkat, ia lantas bangkit dan berlalu. Setelah bayangan tubuh Pang Goan sudah pergi jauh, tiba-tiba Wan-kun tertawa dingin, lalu gumamnya, “Sungguh tak kusangka si monyet Pang yang biasanya sombong, sekali ini juga agak tahu aturan.”

“Kau tahu cara ini tak akan menghasilkan apa-apa, kenapa kau suruh dia berbuat demikian?” tanya Leng-hong.

“Siapa bilang tak akan berhasil?” sahut Wan-kun dengan kening berkerut, “asal ia bersedia melakukan penyelidikan, pasti akan diperoleh hasil yang diinginkan.”

“Jangan-jangan kau tahu siapa yang terluka bahu kirinya?”

Wan-kun tertawa, “Bukan cuma aku yang tahu, mestinya kaupun dapat menduga sampai ke situ.”

“Oya?! Siapakah dia?”

“Kecuali Thian Pek-tat, siapa lagi?”

Ho Leng-hong jadi melenggong. Benar juga perkataan ini, sejak peristiwa di rumah pelacuran Hong-hong-wan sampai tercurinya golok Yan-ci-po-to, dalam setiap peristiwa yang terjadi, Thian Pek-tat adalah orang yang paling mencurigakan, tapi sekalipun Thian Pek-tat benar-benar seorang mata-mata musuh, seharusnya ia segolongan dengan Pang Wan-kun, mengapa perempuan ini malah membongkar rahasianya?

Jangan-jangan mereka bukan sekomplotan? Mungkin mereka hanya mempunyai tujuan yang sama? Atau karena mereka sudah menemui jalan buntu maka Pang Wan-kun menggunakan siasat “pinjam golok membunuh orang” untuk melenyapkan Thian Pek-tat dan menghilangkan saksi?

Ho Leng-hong merasa persoalan ini makin lama makin bertambah ruwet, hakikatnya membuat orang bingung dan tidak habis mengerti. Cuma, berhubung Pang Wan-kun ada niat untuk mencelakai Thian Pek-tat, hal ini menimbulkan setitik harapan bagi Ho Leng-hong. Harapan itu adalah kemungkinan besar golok Yan-ci-po-to belum meninggalkan gedung Thian-po-hu.

Usaha Pang Goan untuk mencari orang yang terluka bahu kirinya tentu saja tidak mendatangkan hasil apa-apa. Tapi, lantaran ia harus memeriksa semua Busu yang ada di dalam gedung, Pang Goan berhasil menemukan sesuatu hasil di luar dugaan.

Menurut laporan para Busu yang melakukan penjagaan pada malam itu, jumlah peronda yang berjaga di sekitar gedung malam tersebut lebih banyak satu kali lipat daripada biasanya, semua orang menyatakan tidak ditemukan seorang manusiapun yang keluar-masuk dari Thian-po-hu.

Hari itu Ho Leng-hong telah berpesan kepada anak buahnya agar tidak mengizinkan siapapun keluar, maka para Busu yang melakukan perondaan dilipatkan jumlahnya, jadi seandainya ada orang meninggalkan gedung, hal ini tak mungkin bisa mengelabuhi para Busu.

Penemuan tak terduga ini justru cocok dengan analisa Ho Leng-hong, terbukti bahwa Yan-ci-po-to meski sudah dibawa keluar oleh Pang Wan-kun dari dalam hutan, tapi berhubung tergesa-gesa, dan lagi tak ada pembantu, golok tersebut belum sempat diselundupkan keluar gedung. Asal Yan-ci-po-to masih berada dalam Thian-po-hu, berarti setiap saat bisa mengalami perubahan.

Sayang luka di lambung Leng-hong belum sembuh dan harus berbaring di atas pembaringan, jadi ia tak ada kesempatan untuk mengadakan pertemuan empat mata dengan Pang Goan. Selama tiga hari beruntun Pang Wan-kun tak pernah meninggalkan sisi Leng-hong, meskipun dengan alasan menemani, yang jelas adalah mengawasi gerak-geriknya.

Untuk menyelidiki jejak golok mestika, keadaan Pang Goan ibaratnya semut dalam kuali panas, sejak pagi hari ia sudah keluar rumah, bila malam tiba baru kembali, daerah sekitar Kwan-lok hampir telah dijelajahinya, bahkan para Busu dalam jumlah yang besar pun dikirim keluar untuk mencari berita.

Tiga hari sudah lewat, namun tiada sesuatu yang berhasil didapatkan. Pagi itu, dengan wajah yang lelah dan kusut Pang Goan pulang dari bepergian, sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa semalam suntuk ia tak tidur.

Lama kelamaan Ho Leng-hong menjadi tak tega sendiri, segera hiburnya, “Lotoako, tak usah terlampau bersusah payah, sekalipun tanpa golok mestika Yan-ci-po-to kita tetap mempunyai harapan untuk mengalahkan Hiang-in-hu, bukankah Hui Pek-ling juga berbuat yang sama ketika itu?”

Pang Goan geleng kepala berulang kali, katanya, “Walaupun begitu, dengan hilangnya golok mestika, aku merasa bersalah kepada kakakmu, dan lagi aku tidak rela menyerah sampai di sini saja.”

“Apa yang kau maksudkan dengan tidak rela?” tanya Wan-kun.

“Selama beberapa hari ini, bukan saja ratusan li di sekitar Kwan-lok telah kujelajahi, akupun telah minta bantuan orang Kay-pang untuk membantu usahaku, tapi kabar berita tentang golok Yan-ci-po-to itu seolah-olah tenggelam di dasar samudra, berita sedikitpun tak ada. Masakah golok itu punya sayap dan bisa terbang sendiri?”

“Padahal masalah itu bukan masalah yang harus diselesaikan dengan segera, siapa tahu kalau golok itu masih....”

Rupanya Pang Wan-kun sudah menduga apa yang hendak dikatakan olehnya, buru-buru ia menambahkan, “Benar, siapa tahu golok itu tidak terbang melainkan disembunyikan orang, semakin cemas kaulakukan penyelidikan, semakin tak berani berkutik pencuri golok itu. Wah, kalau begitu, jejaknya makin susah dicari lagi.”

Pang Goan manggut-manggut, “Aku telah memikirkan juga kemungkinan ini, ditinjau menurut keadaan sekarang, rasanya golok itu memang belum meninggalkan wilayah Kwan-lok, bahkan belum meninggalkan gedung Thian-po-hu.”

“Ada seorang yang paling cepat memperoleh berita tentang kejadian di sekitar Kwan-lok, kenapa Toako tidak mencarinya?”

“Siapa?”

“Thian Pek-tat! Dia adalah kawan Jit-long yang bergelar Tiang-ni-siau-thian (Thian kecil si telinga panjang).”

“O, dia kiranya!”

“Toako jangan pandang rendah orang itu, di adalah orang yang paling luas pergaulannya di wilayah Kwan-lok, baik urusan kecil maupun urusan besar, ia selalu mengetahui dengan cepat, siapa tahu dari mulutnya Toako akan mendapat petunjuk?”

“Aku sudah ke sana, sayang ia tak ada di rumah.” “Tak ada di rumah? Ke mana ia pergi?”

“Konon sekembalinya dari sini, Thian Pek-tat telah diundang seorang temannya pergi ke Lan-hong, dan hingga kini belum pulang.”

“Oya?! Masa ada kejadian yang begitu kebetulan? Toko, jangan-jangan kau dibohongi orang!”

“Tidak mungkin, telah kuselidiki sendiri ke rumahnya, Thian Pek-tat memang tidak berada di rumah.”

“Wah, ini baru mengherankan, kenapa ia tidak pergi sejak dulu atau pergi beberapa hari lagi, tapi justru setelah Yan-ci-po-to dicuri orang baru dia pergi meninggalkan rumah.”

“Wan-kun, jangan berkata demikian,” kata Leng-hong, “Siapa tahu kalau secara kebetulan dia ada urusan...”

“Ah, kau ini suka membela teman-temanmu,” omel Wan-kun.

Setelah berhenti sejenak, katanya kepada Pang Goan, “Toako, jelas kejadian ini sangat mencurigakan, siapa tahu kalau golok mestika Yan-ci-po-to sudah dibawa kabur oleh orang she Thian itu?”

Pang Goan tertegun, katanya kemudian sambil tertawa, “Hal ini tak mungkin terjadi, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan mereka meninggalkan Thian-po-hu, jangankan golok mestika, sebilah pisau pun ia tidak membawanya.”

“Apakah ia tak bisa menerima golok itu setelah berada di luar gedung, lalu membawanya kabur dari wilayah Kwan-lok?”

“Waktu keluar ia tidak membawa golok, orang dalam gedung juga tak ada yang keluar pintu, bagaimana caranya golok itu dioperkan kepadanya?”

“Misalnya saja malam itu ia sembunyikan golok mestika tersebut di sekitar dinding pekarangan, sedang ia sendiri tidak keluar, lalu keesokan harinya meninggalkan gedung dengan tangan hampa, setelah penjagaan agak kendor ia balik lagi untuk mengambil golok, dengan demikian siapa yang akan menduga bahwa golok itu dicuri olehnya?”

Air muka Pang Goan berubah hebat, “Ya, mungkin juga....”

“Tidak mungkin!” tukas Leng-hong mendadak.

Pang Goan berpaling dan memandangnya dengan tercengang. Sebaliknya air muka Pang Wan-kun tampak dingin, terlihat jelas betapa gemas perempuan itu.

Tapi Leng-hong pura-pura tidak melihat, pelahan katanya, “Kita jangan lupa, pembunuhan yang terjadi atas Bwe-ji dan Siau Lan serta penggalian golok mestika dalam hutan hakikatnya adalah dua orang yang berbeda, setelah kejadian itu, seorang kabur ke ruang depan sedang yang lain kabur dari taman, lagipula orang yang menggali golok dalam hutan adalah seorang berkerudung yang berperawakan tinggi besar, Thian Pek-tat tidak terhitung tinggi besar.”

Padahal jelas diketahui Ho Leng-hong bahwa pembunuh Bwe-ji dan Siau Lan serta orang yang menggali itu adalah perbuatan Pang Wan-kun seorang, kendatipun ia tidak berkesan baik terhadap Thian Pek-tat, namun entah apa sebabnya ia lebih suka membela orang itu. Mungkin juga hal ini dikarenakan dia ingin membalas dendam kepada Pang Wan-kun!

Tiba-tiba saja ia merasa muak dan sebal terhadap perempuan yang pernah mempunyai hubungan mesra dengannya itu, betapa gembiranya apabila dia dapat memancing kegusaran dan kebencian perempuan itu.
Pang Wan-kun benar-benar telah dibikin gusar oleh perkataan itu, tapi ia masih berusaha untuk menekan hawa amarahnya agar jangan meledak, ia tertawa, katanya kemudian, “Sebagai kawan sekomplot, masa tak mungkin yang satu menyembunyikan golok, sedang yang lain membawa pergi?”

“Kalau demikian, itu berarti manusia berkerudung yang menyembunyikan golok itu masih ada dalam Thian-po-hu, kita harus mengadakan pemeriksaan terhadapnya,” kata Leng-hong.

Dengan gemas Pang Wan-kun mendengus, “Hm, kau kira Thian-po-hu adalah benteng yang dilapisi dinding baja yang kuat, kau anggap keterangan para Busu itu bisa dipercaya? Masa tidak mungkin mereka sengaja berkata begitu untuk mengelak tanggung jawab?”

“Andaikata manusia berkerudung itu mampu masuk keluar gedung Thian-po-hu dengan sekehendak hatinya, buat apa ia sembunyikan golok itu lebih dulu dan kemudian baru mengoperkannya kepada Thian Pek-tat? Bukankah tindakannya ini sama sekali tak ada gunanya?”

“Aku tidak mengatakan Thian Pek-tat telah berhasil membawa lari golok mestika itu, aku hanya mengemukakan kemungkinan yang bisa terjadi?”

“Akupun hanya berbicara menurut apa yang terjadi, kurasakan hal ini tidak mungkin...”

“Cukup, cukup!” seru Pang Goan sambil mengulapkan tangan, “kita lagi merundingkan masalah penting, tidak perlu saling ngotot. Bagaimanapun hilangnya Thian Pek-tat cukup mencurigakan dan perlu diselidiki, aku dapat membereskan hal ini.”

“Kalau ingin bekerja harus dilaksanakan secepatnya, sebab kalau semakin berlarut dan lukanya telah sembuh, sulitlah untuk mencari buktinya.”

“Aku tahu, tapi kaisar tak akan mengirim tentara yang kelaparan, Siaumoay, tolong sediakan sayur dan arak untuk Toako, setelah kenyang baru Toako bisa bekerja dengan baik.”

“Baik, akan kusuruh Peng-ji menyiapkan hidangan...”

“Siaumoay,” kembali Pang Goan tertawa, “tolong siapkan sendiri bagiku, sudah lama aku tidak merasakan kuah lobakmu, mau bukan bikinkan buat Toako?”

Pang Wan-kun agak ragu, tapi Leng-hong segera menyela, “Betul, kuah lobak Wan-kun memang sangat nikmat, tak mungkin koki bisa menyiapkan hidangan selezat itu.”

Rupanya pemuda itu sengaja membonceng, dengan berkata demikian maka Wan-kun tak bisa menolak lagi, bila hidangnya nanti kurang enak hal ini sama membongkar rahasia sendiri.

Tentu saja, yang lebih penting adalah menyingkirkan perempuan itu dari hadapannya agar ia bisa berbicara empat mata dengan Pang Goan. Wan-kun bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menduga tujuannya, tapi ia tidak menolak sambil tertawa iapun beranjak.

“Sudah lama aku tak pernah turun ke dapur, biarlah kucoba, bila masakanku nanti kurang sedap harap jangan ditertawakan.”

Lalu sambil melirik sekejap ke arah Ho Leng-hong, katanya lagi, “Jit-long, terlalu banyak bicara bisa mengganggu kesehatan, bila ingin cepat sembuh lebih baik beristirahatlah dengan tenang dan jangan banyak bicara.”

“Jangan kuatir, aku bisa menjaga diriku sendiri,” kata Leng-hong sambil tertawa.

Pang Goan tidak buka suara, diawasinya Wan-kun sampai keluar villa, tiba-tiba keningnya berkerut dan mukanya menunjukkan suatu perubahan yang sangat aneh.

Leng-hong menarik pula senyumnya, lalu tanyanya lirih, “Lotoako, ada sesuatu yang tak beres?”

“O, tidak apa-apa,” sahut Pang Goan sambil menggeleng, “aku hanya heran, berapa tahun tidak berjumpa ternyata kalian telah berubah semua.”

Terkesiap hati Leng-hong, “Kami? Maksud Lotoako aku ataukah Wan-kun?”

“Keduanya!” sahut Pang Goan, ditatapnya wajah Leng-hong lekat-lekat, lalu terusnya, “kau berubah menjadi gesit, lebih cerdik, dan lebih jantan daripada dulu, sekarang kau lebih mirip sebagai seorang laki-laki, sedang Siaumoay juga berubah menjadi lebih cekatan.”

“Maksud Lotoako….”

“Dulu ia tak pernah turun ke dapur, iapun tidak pernah membuat kuak lobak atau hidangan lain.”

Ho Leng-hong menarik napas, dan mulut melongo. Sedetik itu tak dapat diketahui bagaimanakah perasaannya, entah kaget atau girang? Harus mengaku ataukah harus menyangkal?

Si monyet Pang memang cerdik, jelas ia sudah menemukan titik kelemahan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun itu, maka sengaja dipakainya “kuah lobak” sebagai pancingan.

Tapi, apakah iapun sudah tahu Nyo Cu-wi juga seorang gadungan pula? Kalau sudah tahu, kenapa belum juga turun tangan? Kenapa nada ucapannya masih tetap tenang?

Seandainya dirinya bongkar semua ini, dapatkah orang mempercayainya? Apakah orang takkan mencurigai dirinya sebagai komplotan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun...?

Perasaan Leng-hong waktu itu bagaikan benang kusut, kalut sekali pikirannya, dia Cuma bisa mengawasi Pang Goan dengan termangu. Untuk sesaat ia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.

Waktu itu, dengan sinar mata yang tajam Pang Goan sedang mengawasinya tanpa berkedip, seakan-akan hendak menembus lubuk hatinya. Lama dan lama sekali Pang Goan baru menghela napas panjang, bisiknya, “Jit-long, kau adalah suaminya, masa sedikitpun tidak kau rasakan sesuatu yang mencurigakan?”

“Merasakan apa?”

“Dia adalah Wan-kun gadungan!” jawab Pang Goan sekata demi sekata.

“Oo?!” Leng-hong bersuara singkat.

“Sejak hari pertama kudatang kemari sudah kurasakan suaranya agak kurang beres,” Pang Goan menerangkan, cuma waktu itu tidak terlampau kupikirkan, tapi selama beberapa hari ini, makin kulihat tingkah laku dan cara bicaranya, aku semakin curiga, barusan..."

“Hati-hati, Lotoako!” Leng-hong memperingatkan dengan memondongkan mulut keluar pintu.

Peng-ji, si dayang berdiri di luar dan sedang celingukan ke dalam ruangan.

Mencorong sinar mata Pang Goan, katanya dengan suara tertahan, “Apakah kau berada di bawah ancamannya?”

Leng-hong menggoyangkan tangan berulang kali, “Persoalan ini sukar untuk dibicarakan dengan sepatah dua kata, kalau Lotoako sudah mulai waspada, lebih baik jangan tunjukkan dulu sesuatu gerakan yang mencurigakan daripada memukul rumput mengejutkan ular. Tengah malam nanti, harap kau tunggu di kamar tamu, kita bicarakan persoalan ini dengan lebih terperinci lagi...”

Tiba-tiba Peng-ji mendorong pintu dan masuk ke dalam, menyusul kemudian Pang Wan-kun diikuti dua orang pelayan masuk juga ke situ. Kedua orang pelayan itu, yang satu membawa kotak bersisi makanan sedang yang lain membawa guci arak dan cawan.

“Toako, maaf,” kata Wan-kun sambil tertawa, “kebetulan hari ini tak ada lobak di dapur, terpaksa kusuruh mereka menghidangkan dulu daging dan kacang goreng sebagai teman minum arak, tidak keberatan bukan?”

Pang Goan manggut-manggut, “Anggap saja aku memang tidak beruntung, kalau ada arak dan makanan sekedarnya, mari sembari makan kita bercakap-cakap lagi.”

Ia berusaha bersikap sewajarnya, padahal dia memang merasa lapar sekali, harum arak juga memancing nafsu makannya.

Pang Wan-kun turun tangan sendiri mengatur peralatan makan, bahkan menemani pula di samping meja, sepanjang perjamuan berlangsung dia juga menuangkan arak, mengambilkan sayur buat Pang Goan. Sikapnya bagaikan seorang adik yang sedang melayani kakaknya. Semua arak dan sayur diberikan kepada Pang Goan dicicipi dulu olehnya sebelum diberikan.

Pang Goan menenggak dua cawan arak, kemudian katanya sambil tertawa, “Siaumoay, mengapa kau tidak minum secawan?”

“Aku tidak biasa minum arak sepagi ini, lebih baik Toako minum sendiri.”

“Minum arak sendirian rasanya kurang berarti, Jit-long, bagaimana kalau temani Lotoako minum dua guci arak?”

“Siaute menerima perintah!” sahut Leng-hong sambil bangun berduduk di pembaringan.

Pang Wan-kun tidak menghalanginya, cuma pesannya dengan hambar, “Jangan minum terlalu banyak, hati-hati lukamu belum sembuh!” Kemudian ia turun tangan sendiri dan penuhi cawan Leng-hong dengan arak.

“Lotoako, kuhormati secawan arak kepadamu, mari minum!” kata Leng-hong sambil mengangkat cawan.

“Jangan terburu nafsu,” cegah Pang Goan sambil menggoyang tangan, “lukamu belum sembuh, jangan minum secara terburu nafsu, cicipi dulu.”

Ho Leng-hong menurut, sambil tertawa ia cicipi arak itu satu cegukan.

“Bagaimana rasanya arak ini?” tiba-tiba Pang Goan bertanya.

“Sedaap!”

“Bukankah sedikit kecut?”

“Arak ini adalah arak Li-ji-ang, biasanya memang terasa rada asam!”

“Kau keliru,” kata Pang Goan sambil menggeleng kepala, “arak ini rasanya tidak kecut, tapi ada orang telah mencampuri arak ini dengan sesuatu, maka rasanya menjadi begini.”

“Sungguh?” teriak Leng-hong dengan kaget.

“Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan kepada Siaumoay?”

Sebelum Leng-hong mengajukan pertanyaannya dengan ketus Pang Wan-kun telah berkata, “Benar, akulah yang mencampurkan San-kang-sah (pasir pembuyar tenaga ke dalam arak ini).”

Suaranya dingin, kaku dan tenang, mukanya tidak merah, sikapnya tidak gugup, seakan-akan mengakui bahwa dalam kuah telah ditambah beberapa minyak dan kejadian itu bukan sesuatu yang diherankan.

Hampir saja Leng-hong melompat bangun dari tempat duduknya, dengan suara keras ia berteriak, “Hei, apa maksudmu?”

“Tidak ada maksud apa-apa,” jawab Wan-kun dengan suara berat, “berhubung tenaga dalam Toako sangat lihay, dan aku kuatir bukan tandingannya terpaksa aku mesti mengadakan persiapan lebih dulu.”

“O, kau masih memanggil Toako padaku?” ejek Pang Goan sambil tertawa.

“Mengapa tidak? Aku adalah bininya Jit-long, sedang kau adalah kakak iparnya, kalau kau tidak kupanggil sebagai Toako lantas mesti memanggil apa?”

Pang Goan sedikitpun tidak marah, dia mengangguk berulang kali, “Benar, panggilan itu memang benar, sebagai saudara, ada persoalan apa boleh dibicarakan secara baik-baik, kenapa mesti gunakan kekerasan?” Sekali tenggak, kembali dia menghabiskan secawan arak.

“Lotoako, kau tak boleh minum terlampau banyak....” cegah Leng-hong dengan cemas.

Pang Goan terbahak-bahak, “Hahaha.... pasir pembuyar tenaga akan segera bekerja begitu masuk tenggorokkan, minum secawan atau sepuluh cawan tidak berbeda jauh, apa salahnya kalau minum sampai mabuk lebih dulu?”

Ho Leng-hong melongo, tiba-tiba air mukanya berubah. Meskipun hanya secegukan ia cicipi arak tersebut, tapi saat ini perutnya mulai terasa aneh sekali, perutnya seolah-olah ditembusi oleh suatu benda sehingga timbul banyak lubang, hawa murninya kontan menjadi buyar dan tak sanggup dihimpun kembali.

Pang Wan-kun tertawa dingin, dia penuhi kembali cawan Pang Goan dengan arak, lalu katanya, “Meskipun apa yang Toako katakan memang benar, tapi ada baiknya Jit-long jangan minum terlalu banyak, sebab minum arak terlalu banyak bisa mendatangkan keburukan buat lukamu.”

“Hm, kau masih berpura-pura baik hati macam kucing menangisi tikus?” teriak Leng-hong dengan marah, “Jika aku sampai mampus karena terluka parah, bukankah hal ini akan memenuhi harapanmu?”

“Jit-long, jangan kau bicara tanpa berperasaan seperti itu,” tegur Pang Goan, “bagaimanapun kalian adalah suami isteri, masa dia berharap kau lekas mati? Seandainya kau benar-benar mati, kan ilmu To-kiam-hap-ping-tin tak bisa dilatih lagi?”

“Betul!” puji Pang Wan-kun sambil tertawa, “Toako memang cerdas sekali, perasaan orang lainpun dapat kau pahami.”

“Tapi sayang, To-kiam-hap-ping-tin berada dalam perutku, sekalipun kau dapat membuyarkan hawa murniku, belum tentu bisa kau korek keluar ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut dari perutku.”

“Ah, apa susahnya? Aku mempunyai cukup waktu dan kesabaran, asal luka yang diderita Jit-long telah sembuh, perlahan kita masih bisa merundingkannya lagi.” Kemudian ia bertepuk tangan dua kali sambil berseru, “Pengawal!”

Dua orang pelayan yang mengantarkan santapan tadi segera muncul, Cuma kali ini mereka tidak membawa arak melainkan menghunus golok panjang yang bersinar gemerlapan.

“Kuloya telah mabuk, bawalah ke kamar tamu untuk beristirahat, layani dengan hati-hati dan sebaik-baiknya, jangan ayal.”

Kedua pelayan itu mengiakan, satu di kiri yang lain di kanan, segera mereka gusur Pang Goan keluar.

Pang Goan sama sekali tidak melawan, malah sambil tertawa terkekeh ejeknya, “Hehehe . . . Siaumoay, kenapa tidak dibicarakan sekarang juga? Kalau kau katakan jejak Wan-kun kepadaku, mungkin akupun akan mengungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin-hoat kepadamu.”

“Aku tidak terlalu terburu nafsu untuk mengetahui rahasia barisan itu,” jawab Pang Wan-kun ketus, “lagipula waktu masih cukup banyak buat kami, kau masih mabuk, lebih baik pulang kamar dulu dan beristirahat.”

“Betul juga,” Pang Goan manggut-manggut, “minum arak dengan perut kosong memang gampang mabuk, Jit-long, lain kali kau musti ingat.”

Dua orang pelayan itu rata-rata bertubuh kekar dan bertenaga besar, sebaliknya Pang Goan kurus lagi kecil, belum habis perkataannya, seperti burung elang mencengkeram anak ayam, ia terus digusur keluar. Benarkah It-kiam-keng-thian (pedang sakti penyanggah langit) dari Cian-sui-hu itu harus keok di tangan seorang perempuan?

* * *

Betapa sedih Leng-hong waktu itu, ia merasa segala sesuatu itu gara-gara tindakannya, andaikata ia bongkar semua rahasia ini kepada Pang Goan semenjak orang tiba di Thian-po-hu, tak mungkin akan timbul akibat seperti apa yang dialaminya sekarang.

Ia dapat merasakan hingga detik itu Pang Goan masih menganggapnya sebagai Nyo Cu-wi, sebab itu orang pun masih curiga kepadanya, kalau tidak, tak mungkin orang menyuruh dia ikut minum arak yang telah dicampuri racun pembuyar tenaga itu.

Jelas Pang Goan berbuat demikian dengan maksud untuk menyelidiki apakah dia berkomplot dengan musuh atau tidak, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang menaruh curiga kepadanya. Kalau sudah demikian, dapatkah ia mengaku terus terang siapa sebenarnya dirinya sendiri?

Sesungguhnya Ho Leng-hong adalah seorang luar yang dipaksa untuk melibatkan diri dalam pertikaian ini, kini secara tiba-tiba ia merasa dirinya berhak pula untuk membongkar duduknya persoalan ini hingga jelas, sebab hanya dengan demikianlah bisa membuktikan kebersihannya.

Ia telah diubah oleh komplotan Pang Wan-kun gadungan menjadi Nyo Cu-wi, Pang Goan sendiripun menganggap dia sebagai Nyo Cu-wi, maka sudah menjadi kewajiban baginya untuk berjuang sampai titik darah penghabisan menghadapi kawanan penjahat tersebut, kemudian baru berusaha mencari tahu jejak Nyo Cu-wi suami-isteri yang sebenarnya serta menyelamatkan Pang Goan.

Setelah mengambil keputusan, ia berlagak mengomel, “Wan-kun, bagaimana kau ini? Kau minta aku merahasiakan urusan ini, sebaliknya kau sendiri malah menyiarkan rahasia ini.”

Dengan dingin Wan-kun melotot ke arahnya, ejeknya, “Benarkah kau dapat merahasiakan soal ini?”

“Tentu saja, aku telah menyanggupi permintaanmu, tak kusangka kau malah mencampur sesuatu di dalam arak.”

Wan-kun tertawa, “Sebetulnya aku tak ingin turun tangan, tapi apa yang hendak kau beritahukan kepadanya tengah malam nanti? Daripada kau yang mengungkapkan persoalan ini, lebih baik aku membongkarnya sendiri.”

“O, jadi kau telah mendengar semua pembicaraan kami?” seru Leng-hong terkejut.

“Kalau tak ingin diketahui orang, kecuali tidak berbuat. Jangan kau anggap aku ke dapur, lalu semua kejadian di sini bisa mengelabuhi diriku.”

Leng-hong tertawa jengah, “Padahal kau salah paham, justru lantaran ia mulai curiga kepadamu, maka aku harus membaiki dia, aku malah sudah bersiap hendak mengajak kau membicarakan soal ini secara pribadi serta mencari akal cara menghadapinya malam nanti.”

“Benarkah itu? Bagaimana rencanamu untuk memberi penjelasan kepadanya?”

“Tentu saja aku tak akan mengakui kau ini gadungan, tentang kepandaian di dapur, aku bisa mengatakan kepandaian itu dipelajari setelah kawin, lantaran aku suka makan kuah lobak, maka....”

“Cukup! Cukup!” sela Wan-kun sambil mengulapkan tangannya dengan tidak sabar, “Jadi maksudmu kau bersedia bekerja sama denganku serta menurut semua perintahku?”

“Benar! Aku sudah terlanjut basah, kecuali begitu tiada pilihan lain lagi.”

“Bagus sekali,” Wan-kun manggut-manggut, “sekarang akan kuserahi suatu tugas kepadamu dan kau harus menyelesaikannya dengan baik.”

“Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”

“Nasihatilah Pang-lotoa, suruh dia cepat-cepat membeberkan rahasia ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut kepada kami.”

“Aku tentu akan menasihatinya, Cuma iapun mulai curiga kepadaku, mungkin ia enggan membertahukan rahasia tersebut kepadaku.”

“Paling sedikit ia masih mengakui dirimu sebagai Nyo Cu-wi, tak ada salahnya kau katakan bahwa Pang Wan-kun yang asli sudah berada di tanganku, seluruh gedung Thian-po-hu juga berada dalam cengkeramanku, bila ia enggan memberitahukan rahasia To-kiam-hap-ping-tin-hoat, maka Thian-po-hu dan Cian-sui-hu bakal lenyap dari percaturan dunia persilatan.”

“Kalau begitu, nona ini dari Hiang-in-hu?” Leng-hong coba menyelidik.

Wan-kun tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya, “Kau kira kecuali Thian-po-hu dan Cian-sui-hu, di dunia persilatan hanya tertinggal Hiang-in-hu saja yang paling hebat?”

Leng-hong tertawa, “Habis nona datang dari nama? Siapa namamu? Paling sedikit kau harus mengungkapkan hal itu kepadaku, agar aku ada alasan untuk menasihati Pang-lotoa.”

Wan-kun termenung sebentar, katanya kemudian, “Jika kau ingin tahu, hanya empat baik syair yang dapat kukatakan kepadamu, soal lain boleh kautebak sendiri.”

“Coba katakan!”

“Badan ramping tubuh lemah semangat tinggi, tinggalkan jarum belajar golok, gemuruh guntur membangunkan orang tidur, baru tahu si perempuan adalah seorang ksatria.”

* * *

Pang Goan rebah di pembaringan dengan siku sebagai bantal, matanya terpejam dan sikapnya adem ayem. Habis mendengar keempat baik syair yang dibacakan oleh Ho Leng-hong, kontan saja ia mendengus.

“Hmm, syair kentut anjing,” serunya mendongkol, “artinya tak lebih adalah orang perempuan ingin berebut kedudukan dengan kaum pria, mengenai nama dan asal-usulnya hampir tidak disinggung satu kata pun.”

“Tapi paling tidak kan sudah diketahui bahwa dia bukan dari Hiang-in-hu.”

“Sejak pertama kali sudah kuketahui akan hal ini, sekarang akupun enggan mencari tahu asal usulnya, aku hanya ingin tahu bagaimana nasib Siaumoay.”

Ho Leng-hong menghela napas panjang, “Dia hanya mengaku Wan-kun berada di tangan mereka, sedang soal lain sama sekali tak disinggung.”

“Sebelum ia memberi pertanggungan jawab nasib Siaumoay, jangan harap akan memaksa aku mengungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin.”

Tiba-tiba ia membuka matanya dan menatap Leng-hong lekat-lekat, “Kalian adalah suami-isteri, masa isteri yang tiap hari tidur bersama ditukar orang juga tidak tahu? Aku benar-benar tak habis mengerti, sesungguhnya kau ini terdiri dari darah daging atau balok kayu?”

“Tepat sekali teguran Lotoako,” Ho Leng-hong menunduk kepala, “tapi penyaruannya terlalu persis, bukan saja perawakan dan suaranya sama, bahkan tanda khusus ditubuhpun tak ada yang berbeda, ditambah lagi Bwe-ji dan Siau Lan, kedua dayang itu sudah disuap mereka, siapakah yang akan menyangka?”

“Sebelum dan sesudah kejadian, apakah dalam rumah tidak terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan?”

“Benar-benar tak ada, bukan saja semua penghuni gedung tak tahu, teman-teman juga tak tahu, malah sewaktu Lotoako datang, bukankah engkaupun dikelabuhi?”

Pang Goan manggut-manggut, “Perempuan ini memang tidak sederhana, kecuali penyaruan yang sempurna, pemikiran yang tajam, persiapan yang cermat serta rencana yang tepat, boleh dibilang tiada titik kelemahan sedikitpun, cuma ia toh tetap melupakan satu hal.”

“Dalam hal apa?” tanya Leng-hong lirih.

Pang Goan cuma tertawa dan tidak menjawab, diambilnya sebuah cangkir teh dari meja kecil, perlahan ditempelkan telapak tangan kanan di mulut cangkir tersebut. Dalam waktu singkat seluruh telapak tangan kanannya berubah menjadi merah darah, uap panas mengepul, asap mengepul tiada hentinya. Tak lama kemudian warna merah itu hilang, ketika ia menggeser telapak tangannya, tahu-tahu cawan itu sudah penuh arak.

Kejut dan gembira Leng-hong, bisiknya dengan suara gemetar, “Lotoako, kau...”

Pang Goan menunjuk ke pintu dengan mulutnya sambil menukas, “Pulang dan beritahukan kepada mereka, katakan aku sanggup membeberkan To-kiam-hap-ping-tin kepadanya asal ia membertahukan lebih dulu jejak serta keselamatan Wan-kun, kalau tidak, tiada perundingan lebih lanjut.”

“Baik, segera akan kusampaikan kepadanya, semoga Toako baik-baik menjaga diri...” bisik Leng-hong.

Ia masih ingin mengucapkan sesuatu tapi Pang Goan telah membuang arak itu ke bawah pembaringan sambil memberi tanda agar ia tinggalan tempat itu. Setibanya di luar kamar tamu, Leng-hong merasa langkah kakinya bertambah ringan.

Itulah yang dikatakan orang pintar sejaman, bodoh sesaat. Kalau perempuan itu tahu ilmu silat Pang Goan sangat lihay, tidaklah terpikir olehnya bahwa “pasir pembuyar tenaga” belum tentu efektif terhadapnya?

Tak heran Pang Goan berkata begini, “Minum arak waktu perut kosong paling gampang mabuk.”

Rupanya hal ini menunjukkan ia sudah waspada terhadap arak dan sayur yang dihidangkan, dengan kecermatan Pang Goan, tentu saja dia tak akan dikerjai begitu saja oleh orang. Atau dengan perkataan lain, ia pura-pura keracunan tak lebih hanya siasat belaka. Pertama karena kuatirkan keselamatan Pang Wan-kun, kedua, dengan cara itu dia hendak menyelidiki asal-usul musuhnya.

Tentu saja masih ada alasan lain, yakni lantaran luka yang diderita Ho Leng-hong belum sembuh, dia harus bersabar untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan.

Dengan masih utuhnya tenaga dalam Pang Goan berarti setiap saat ia bisa membekuk perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun itu, asal perempuan itu tertangkap, mustahil asal-usul mereka tak terungkapkan?

Sungguh gembira perasaan Ho Leng-hong ketika itu, tapi ia harus berusaha mengendalikan pergolakan emosi tersebut dengan berpura-pura murung dan kesal, apa yang dikatakan Pang Goan segera disampaikan kepada “Pang Wan-kun”.

Rupanya Pang Wan-kun gadungan ini sudah menduga sampai ke situ, sambil tertawa dingin katanya, “Aku cuma bisa mengatakan bahwa dia berada di tangan kami dan sehat saja, soal bukti tak bisa kami perlihatkan, jadi mau percaya atau tidak terserah padanya.”

“Tapi, tanpa suatu bukti tak mau ia ungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin dan lagi bukankah orang itu berada di tangan kalian? Kenapa tidak digusur sebentar ke sini agar mereka bisa berjumpa muka?”

“Tak mungkin,” sahut Pang Wan-kun gadungan sambil menggeleng, “sekalipun bisa dipenuhi, paling banter ia cuma bertemu dengan seseorang Pang Wan-kun yang berwajah mirip denganku, tetap tak bisa dibedakan asli atau palsu.”

“Ya, apa boleh buat?” Leng-hong angkat bahu, “kalau kalian tetap ngotot, akupun tak bisa berbuat lain. Pokoknya Pang-lotoa juga kukuh dengan pendiriannya, sebelum bertemu dengan adiknya, jangan harap bisa memperoleh To-kiam-hap-ping-tin darinya.”

Pang Wan-kun tertawa dingin, “Hmm, aku punya cara untuk memaksanya berbicara, tunggu saja nanti!”

Ketika Ho Leng-hong bertanya lagi cara apa yang hendak dipergunakan, Pang Wan-kun tidak menjawab melainkan hanya tertawa dingin saja.

Sejak itu sampai tiga-empat hari kemudian, ternyata tiada sesuatu tindakan yang dilakukan, hari demi hari lewat dengan tenang.

Pang Goan tinggal di kamar tamu sebelah depan, kecuali dua orang pelayan yang melayani keperluannya siang-malam, ia tidak mendapat pengawalan yang ketat, asal tidak meninggalkan gedung Thian-po-hu, hampir boleh dibilang tak ada orang yang mengurusi gerak-geriknya.

Ia boleh keluar masuk taman belakang, bermain catur dengan Ho Leng-hong atau jalan-jalan dalam taman, bila dia mau bahkan makan bersama dengan “Pang Wan-kun” dan bergurau pula bersama, bagaikan kakak yang bercanda dengan adiknya.

Mereka seakan-akan sudah mempunyai persetujuan bersama, bukan saja tidak menyinggung soal Pang Wan-kun, merekapun tidak menyinggung soal To-kiam-hap-ping-tin, kedua orang itu tetap rukun seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun.

Ho Leng-hong jadi bingung sendiri setelah menyaksikan keadaan tersebut. Beberapa kali ia coba menyelidiki hal ini, tapi kedua pihak tidak memberi jawaban yang memuaskan, meski demikian ia dapat merasakan ketenangan di luar tak bisa mengendalikan kekalutan di dalam, suatu badai hebat setiap saat bisa terjadi, hanya tidak diketahui kapan meledaknya.

Selama beberapa hari belakangan ini ia telah menemukan pula suatu kejadian yang mengerikan, ternyata semua pelayan yang berada di taman belakang adalah komplotan “Pang Wan-kun”, lagipula ilmu silat mereka rata-rata cukup tinggi.

Jelas perempuan-perempuan itu berasal dari suatu perkumpulan yang sama dan telah mendapat pendidikan yang keras, jelas komplotan itu bukan dibentuk secara terburu-buru.

Maka dari itu, meski di luar tampaknya Pang Goan bisa bergerak bebas, sesungguhnya setiap saat dan setiap detik ia berada di bawah pengawasan yang ketat. Rupanya Pang Goan juga mengetahui akan hal ini, maka iapun bersikap tenang dan tak pernah melewati daerah terlarang, setiap kali bertemu dengan Ho Leng-hong, yang dibicarakan hanya masalah umum.

Tampaknya mereka seperti sedang menantikan sesuatu. Selama perang dingin berlangsung, luka di lambung Ho Leng-hong secara berangsur telah sembuh kembali. Hari ini, Ho Leng-hong merasakan situasi agak tak beres. Sejak sore hari, tiba-tiba di taman belakang Thian-po-hu muncul beberapa orang perempuan asing.

Leng-hong berani bertaruh perempuan-perempuan itu bukan pelayan Thian-po-hu, tapi mereka mengenakan seragam pelayan Thian-po-hu, jumlahnya kurang lebih enam-tujuh, dipimpin seorang perempuan setengah umur, mereka melakukan perondaan yang saksama di setiap sudut taman, termasuk juga ruang tidur di atas loteng.

Rupanya mereka sedang memeriksa setiap tempat yang mungkin dibuat tempat bersembunyi, terutama terhadap ruang atas boleh dibilang pemeriksaan dilakukan amat teliti, kemudian empat orang di antaranya menyebarkan diri di dalam taman, sedang perempuan setengah umur itu beserta dua orang lainnya tetap tinggal di ruang atas dan menjaga jalan masuk-keluar tempat itu.
Pang Wan-kun tidak memberi penjelasan apa-apa terhadap kemunculan beberapa perempuan asing itu, tapi Ho Leng-hong dapat menyaksikan betapa hormatnya terhadap perempuan setengah umur yang baru datang itu, bahkan memanggilnya dengan sebutan “Liu A-ih” atau bibi Liu.

Sikap bibi Liu sangat angkuh dan tinggi hati, mukanya selalu dingin bagaikan es dan tak pernah kelihatan bersenyum. Jika pernah senyum atau tertawa, maka hal ini terjadi ketika pertama kali berjumpa dengan Ho Leng-hong, setelah memperhatikan sekujur badan pemuda itu dengan sorot mata menghina, tiba-tiba ia tertawa.

Ketika tertawa tertampaklah dua baris giginya yang hitam seperti buah delima yang telah busuk, begitu seramnya tertawa perempuan itu membuat Leng-hong bergidik. Suka atau tidak suka adalah urusan lain, yang pasti dengan tertawa tersebut Ho Leng-hong berhasil memperoleh sedikit hasil yang di luar dugaan.

Ditinjau dari gigi Liu A-ih yang hitam itu bisa diduga delapan puluh persen ia suka mengunyah sirih, ketika diperhatikan lagi dialek bicaranya, maka terdengarlah ia bicara dengan logat wilayah Leng-lam.

Hal ini segera menghubungkan pikiran Ho Leng-hong dengan letak Hiang-in-hu yang berada di Hu-yong-shia wilayah Leng-lam, bukankah hal ini menunjukkan rombongan Liu A-ih umpama bukan anak buah Hiang-in-hu, tapi sedikit banyak tentu ada hubungannya? Kalau tidak, maka kemungkinan besar mereka adalah gundik atau pelayan Hui Pek-ling yang berkhianat dan beraksi di luar tahu Hui Pek-ling.

Ingin sekali Ho Leng-hong melaporkan hasil penemuannya ini kepada Pang Goan di ruang depan, sayang ia tidak memperoleh kesempatan, terpaksa secara diam-diam saja diperhatikannya setiap gerak-gerik di bawah loteng.

Senja itu, ketika Peng-ji mengantar makan malam ke loteng, ia membisikkan sesuatu ke sisi telinga Pang Wan-kun.

“Aku tahu,” Wan-kun manggut-manggut, “aku dapat menyelesaikannya, suruh mereka berhati-hati terutama bagian depan.”

Setelah meletakkan hidangan di meja, Peng-ji mengundurkan diri. Leng-hong tertawa dan menegur, “Wan-kun, urusan apa yang hendak kalian selesaikan?”

“Lebih baik jangan banyak bertanya,” sahut Wan-kun dengan ketus, “setelah makan kenyang tidurlah baik-baik, apapun yang terjadi, janganlah kautinggalkan kamar tidur ini.”

“Aku bisa menebaknya, bukankah kalian hendak menghadapi Pang-lotoa? Kedatangan Liu A-ih pasti khusus untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Pang Wan-kun cuma tertawa dingin, ia tidak membenarkan pun tidak menyangkal, rupanya ia tak peduli apakah Ho Leng-hong mengetahui rahasia ini atau tidak, selain itu iapun sudah menduga pemuda itu pasti bisa berpikir sampai ke situ, maka ia tidak heran. Andaikata Leng-hong pura-pura tidak mengetahui soal apapun, mungkin tindakan ini malah akan memancing kecurigaan mereka.

Kembali Leng-hong menghela napas panjang, “Aku adalah orang di luar garis, dengan kedua belah pihak tak ada hubungan apa-apa, hakikatnya apa yang hendak kalian lakukan terhadap Pang-lotoa sama sekali tak ada hubungannya denganku, cuma sebagai penonton kuharap agar kalian jangan mencelakai jiwanya, ia sudah kehilangan ilmu silatnya, jelas tak bisa menandingi kalian…”

“Hei, kusuruh kau jangan mencampuri urusan ini, mengerti tidak kau?” hardik Wan-kun.

“Baik, aku takkan bertanya lagi, setelah makan aku akan tidur senyenyaknya, tentunya boleh bukan?” Habis berkata ia lanjutkan santapannya dengan lahap, betul juga, ia tidak buka suara lagi.

Pang Wan-kun bersantap dengan tergesa-gesa, setelah menyuruh Peng-ji membersihkan meja, merekapun turun dari loteng. Sebelum pergi, pintu kamar dikunci dari luar, Leng-hong dikurung dalam loteng. Mungkin mereka mengira tenaga Ho Leng-hong telah buyar, lukanya belum sembuh, maka jalan darahnya tidak perlu ditutuk.

Ho Leng-hong sudah mempunyai rencana sendiri, buru-buru ia membuka baju luarnya dan membuat orang-orangan di balik selimut, setelah memadamkan lampu, ia membuka daun jendela. Dari jendela tertampaklah suasana dalam taman gelap gulita, sebaliknya ruang tengah di bawah loteng terang benderang dan bermandikan cahaya lampu.

Pang Wan-kun dan Liu A-ih rupanya berada dalam ruangan semua, di dalam taman pun terdapat penjaga, tapi suasana di luar loteng amat hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun. Ditinjau dari keadaan tersebut, bisa diduga malam itu mungkin ada seorang penting akan berkunjung ke situ, maka semua orang menantikan kedatangannya dengan tenang.

Tentu saja orang yang akan datang itu mempunyai kedudukan di atas A-ih, atau bahkan mungkin juga otak yang mendalangi operasi pencurian golok mestika.

Pelahan Ho Leng-hong membuka jendela dan menyelinap keluar, lalu merosot ke sebuah balkon di bawah jendela, dengan tangkas sebelah tangan memegang kosen jendela, tangan yang lain digunakan memegang emper rumah, dari situ ia ambil tangga tali yang berada di tepi emper. Tangga tali tersebut sudah disiapkan dua hari yang lalu, dan disembunyikan di talang emper rumah, semula dipersiapkan untuk kabur bila keadaan terdesak.

Sekarang ia tahu tak mungkin turun lewat tangga tali itu sebab tindakan ini tentu akan mengejutkan para peronda dalam taman, sebaliknya naik ke atas, bukan saja lebih leluasa, dan lagi aman. Setiba di atas atap rumah, orang bisa memperhatikan keadaan sekitarnya dengan saksama, andaikata bisa melintasi rak bunga di sebelah sana, di balik semak bunga akan lebih mudah baginya untuk menyembunyikan diri.

Begitulah, meski Ho Leng-hong tak dapat mengerahkan tenaga dalamnya, tapi ia bisa bergerak lincah, sekali berjumpalitan ke atas, tahu-tahu ia sudah berada di atas atap rumah. Kemudian ia menarik tangga tali itu, dia atur napas, dan menelusuri atap, pelahan ia merayap ke arah rak bunga.

Baru saja melewati tiga kali lukukan genteng, tiba-tiba ia mendengar suara pembicaraan orang di sebelah bawah. Leng-hong mengintai ke sana, dilihatnya dua buah lentera mengiringi serombongan orang sedang naik ke ruang atas dari arah barat.

Dua orang dayang cilik yang membawa lampu lentera adalah anggota Thian-po-hu, di belakang mengikut empat orang perempuan berbaju hitam, dua di muka dan dua di belakang, mengiringi seorang gadis berbaju merah.

Empat orang perempuan berbaju hitam itu mempunyai perawakan yang cebol tapi kekar, bajunya juga istimewa, bagian bawah mengenakan celana panjang yang ketat sedang bagian atas mengenakan baju pendek yang longgar dengan bagian leher sangat lebar, baju itu tidak berkancing tapi diikat dengan ikat pinggang lebar berwarna hitam, andaikata mereka tidak bersanggul tinggi, orang akan mengira mereka sebagai lelaki.

Yang lebih istimewa lagi adalah pinggang masing-masing terselip dua bilah golok, yang satu panjang dan yang lain pendek. Yang pendek cuma dua kaki, gagang golok itu malah mencapai tujuh-delapan inci, sedangkan golok panjang berukuran empat-lima kaki, gagangnya sendiri juga mencapai satu kaki lebih.

Lebar mata golok hanya sebesar tiga jari, bentuknya ramping tapi panjang, sedikit mirip pedang. Cuma ujungnya melengkung ke atas dan jelas hanya mata golok sebelah saja yang tajam. Jelek-jelek begitu, Ho Leng-hong terhitung seorang ahli golok, tapi selama hidup belum pernah ia lihat golok panjang (samurai) seaneh ini.

Nona berbaju merah itu tak bersenjata tapi gayanya lembut dan terpelajar, sekalipun dalam kegelapan tak dapat melihat wajahnya, api umurnya mungkin belum melampaui dua puluhan, dan mungkin sangat cantik. Baru saja rombongan itu tiba di luar pintu, Pang Wan-kun serta Liu A-ih dengan langkah cepat menyambut kedatangan mereka.

“Menyambut kedatangan Samkongcu!” seru mereka sambil memberi hormat.

“Tak usah banyak adat,” nona berbaju merah itu mengulapkan tangannya, “mari kita bicara di dalam saja.”

Pang Wan-kun dan Liu A-ih segera memberi jalan, didahului keempat orang perempuan berbaju hitam tadi mereka lantas masuk ke dalam.

Ho Leng-hong diam-diam merasa heran, pikirnya, “Hebat benar perempuan ini, bukan saja bergelar Tuan Puteri, punya pengawal pribadi pula, tampaknya kehebatan mereka jauh melebihi Thian-po-hu. wah, jika ditilik dari sikap Pang Wan-kun berdua, rupanya perempuan yang menyaru Pang Wan-kun ini hanya seorang keroco, sedang Liu A-ih tak lebih cuma seorang pelayan...”

Berpikir sampai di sini, dengan cepat ia ubah rencananya semula, diputuskan penyampaian berita kepada Pang Goan sementara waktu ditunda, dia akan mengikuti dulu pembicaraan apa yang sedang berlangsung di bawah loteng. Tapi penjagaan di sekitar ruangan itu sangat ketat, bagaimana caranya mengikuti pembicaraan mereka?

Ah, ada akal! Pelahan Leng-hong melintasi wuwungan rumah, ia manjat ke atas rak bunga, dengan tangkai bunga sebagai aling-aling pelahan ia melayang turun ke bawah, kemudian dengan sikut menggantikan kaki ia merangkak, dari rak bunga merangkak sampai ke bawah dinding kamar, dari mana ditemukan sebuah lubang hawa yang ditutupi dengan terali besi.

Di dalam lubang hawa adalah ruangan bawah tanah. Leng-hong masih ingat, dalam ruangan itu terdapat sebuah perapian yang terbuat dari batu, perapian itu dipersiapkan sebagai penghangat udara di musim dingin, cerobong perapian tadi justru menembus ke dinding rangkap di ruang tengah.

Seandainya ia merangkak masuk ke dalam cerobong asap, tempat itu sungguh tempat persembunyian yang paing bagus untuk mencuri dengar pembicaraan yang sedang berlangsung. Dengan sangat hati-hati ia melepaskan terali besi lubang hawa itu, kemudian tanpa mempedulikan kotornya debu dan hangus, bagaikan seekor ular pelahan ia merayap ke dalam cerobong.

Ternyata segala sesuatunya persis seperti apa yang diharapkan, letak perapian itupun sangat menguntungkan, ditambah lagi cerobong asap tersebut cukup lebar, sehingga seorang yang berdiri di dalamnya masih terasa longgar.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah baik pada cerobong asap maupun dinding rangkap terdapat pintu kecil guna keperluan pembersihan, dengan dibukanya pintu kecil tersebut, bukan saja pembicaraan dalam ruangan dapat terdengar, bahkan pemandangan dalam ruangan juga dapat terlihat jelas.

Satu-satunya hal yang patut disesalkan adalah ketika Ho Leng-hong tiba di cerobong tersebut, Samkongcu itu sudah berduduk, kebetulan ia duduk membelakangi pintu kecil sehingga raut wajah sama sekali tak terlihat olehnya.

Tapi bila ditinjau dari bayangan punggungnya terbuktilah apa yang dibayangkan Ho Leng-hong memang tepat. Dia adalah seorang gadis muda yang lemah lembut dan berperawakan menarik.

Liu A-ih duduk di sebuah bangku di sampingnya, sementara keempat orang perempuan bersamurai itu berdiri di kiri kanan, Pang Wan-kun tampak berdiri dan sedang menuturkan kepada Samkongcu semua kejadian yang berlangsung belakangan ini.

Waktu itu laporan baru berlangsung satu bagian, rupanya Samkongcu merasa kurang puas atas laporan tersebut, pelahan katanya,

“Selama ini, penampilanmu memang tak jelek, tapi kalau dibilang dengan begitu lantas Thian-po-hu dan Cian-sui-hu telah berhasil kau kendalikan, hal ini terlalu berlebihan. Kau tahu, tujuan kita bukan menguasai Thian-po-hu dan Cian-sui-hu, yang kita butuhkan adalah golok mestika Yan-ci-po-to serta intisari ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut, kemudian dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang kita hajar mereka sampai kalah, agar setiap pria di dunia tunduk di bawah kekuasaan Ci-moay-hwe kita.”

“Hamba mengerti!” kata Pang Wan-kun.

“Kalau sudah tahu, tidak seharusnya kau gunakan kekerasan, terutama terhadap Pang Goan, tidak seharusnya kau bocorkan rahasiamu, dengan demikian intisari To-kiam-hap-ping-tin baru akan diuraikan kepada kalian.”

“Tapi ia sudah mulai menaruh curiga kepada hamba.”

“Hal ini membuktikan pekerjaanmu masih kurang sempurna, dalam menghadapi pelbagai persoalan pun kurang sabar, daripada rahasiamu ketahuan kan lebih baik berusaha menghilangkan kecurigaan itu dengan cara yang lain.”

Pang Wan-kun menunduk kepala dan bungkam.

Samkongcu berkata lebih lanjut, “Yang paling tak bisa dimaafkan adalah tindakanmu yang tergesa-gesa untuk mencuri golok mestika tersebut, semua persiapan kurang sempurna sehingga akhirnya kita berkorban nyawa dua orang anggota kita, lalu apakah tindakan ini bisa menutupi titik kelemahanmu? Toh akhirnya jejakmu ketahuan juga, bayangkan sendiri, berhargakah tindakanmu itu?”

“Hamba mengaku salah,” Pang Wan-kun menundukkan kepalanya lebih rendah.”

Samkongcu menghela napas panjang, katanya lagi, “Ketika Kongcu mengetahui kejadian ini, ia marah sekali. Tapi mengingat golok mestika Yan-ci-po-to berhasil kau dapatkan, maka dosamu tak sampai dituntut, sebab itulah aku dan Liu A-ih sengaja dikirim kemari untuk membereskan langkah yang berantakan ini.”

“Terima kasih atas kebijaksanaan Hwe-cu, terima kasih pula kepada Samkongcu yang telah membantu diriku,” kata Pang Wan-kun sambil memberi hormat.

“Sekarang serahkan Yan-ci-po-to itu kepadaku dan serahkan Pang Goan kepada Liu A-ih untuk digusur pergi, dan kau sudah tak ada urusan lagi. Cuma kau harus tetap tinggal di Thian-po-hu untuk melanjutkan kedudukanmu sebagai nyonya Nyo Cu-wi, berusahalah menyelidiki asal-usul Thian Pek-tat, yang penting ia menjalankan perintah siapa? Apa pula tujuannya? Bila berhasil mendapatkan keterangan, laporkan kepada kantor cabang, jangan mengambil tindakan secara gegabah.”

Pang Wan-kun mengiakan pula.

“Selain itu, tak perlu kau beri pasir pembuyar tenaga kepada orang she Ho itu, dia adalah hasil karya kita yang telah banyak makan tenaga dan pikirkan, ilmu silatnya tidak tinggi, asal diawasi secara ketat sudah lebih dari cukup. Harus kau beri obat penawar kepadanya, rayu dia dengan segala kelembutan dan kemesraan agar ia mau kita gunakan secara sukarela.”

Pang Wan-kun hanya mengiakan berulang kali.

Dari nada pembicaraan mereka, Ho Leng-hong dapat merasakan bahwa ilmu silatnya dianggap rendah bahkan bernada menghina, hal ini amat menggusarkan hatinya. Diam-diam ia tertawa dingin, pikirnya, “Budak sialan, kau anggap orang she Ho ini laki-laki bangor yang bernyali tikus? Hmm, kau telah salah melihat orang! Walaupun ilmu silatku rendah, tapi bukan laki-laki yang gampang dikendalikan...”

Sementara itu Liu A-ih berbangkit sambil bertanya, “Kongcu bermaksud akan berangkat kapan?”

“Berangkatlah dulu bersama tawananmu, setelah mendapatkan golok mestika itu aku segera menyusul,” kata Samkongcu.

“Sekarang juga hamba akan ke taman untuk mengambil golok,” kata Pang Wan-kun cepat, “biar Peng-ji yang mengantar Liu A-ih ke ruang depan.”

“Kau sembunyikan golok mestika itu di taman?” tegur Samkongcu dengan kening berkerut.

“Benar, sebetulnya hamba akan mengambilnya dari sana, tapi perbuatanku diketahui Ho Leng-hong sehingga terpaksa harus kulukai dia, waktu itu hamba tak sempat membawanya pergi, maka golok itu kusembunyikan kembali dalam liang semula, untung Pang Goan tidak menyangka golok mestika itu masih berada di tempat semula.”

“Perbuatanmu itu terlalu berbahaya,” kata Samkongcu sambil menggeleng, “cepat ambil, semoga tidak terjadi hal-hal di luar dugaan lagi.”

Pang Wan-kun mengiakan dan keluar dari ruangan, Ho Leng-hong buru-buru menerobos keluar dari lubang hawa itu. Ia tidak kuatir Pang Goan akan digusur pergi Liu A-ih, maka diputuskan untuk mendahului Pang Wan-kun dan merebut kembali Yan-ci-po-to itu. Atau paling sedikit dia akan mengacau agar Yan-ci-po-to tidak sampai dibawa kabur oleh Samkongcu.

Ho Leng-hong sadar di sekitar loteng pasti dijaga ketat oleh anggota “Ci-moay-hwe” (perkumpulan kaum perempuan), tapi ia tidak mempedulikan soal itu, ia menelusuri rak bunga yang gelap dan menerobos ke belakang loteng menuju ke hutan.

Suatu keanehan kembali terjadi, sekalipun ia kabur dengan cara sekasar itu, namun jejaknya ternyata tidak diketahui oleh para penjaga. Dalam waktu singkat pemuda itu sudah berada di tepi hutan, menurut perhitungannya Pang Wan-kun tentu masuk ke hutan lewat arah lain. Ia tak berani ayal, dengan langkah cepat ia masuk ke tengah hutan.

Ketika dia tiba di tempat penyimpanan golok tersebut, tiba-tiba dari depan terdengar suara langkah kaki orang. Diam-diam Leng-hong gelisah, sebab menurut keadaan tersebut tak mungkin baginya untuk mengambil golok mestika itu mendahului Pang Wan-kun, sekalipun mereka tiba berbareng, dengan kepandaian silatnya jelas ia bukan tandingan perempuan itu.

Terpaksa ia berhenti dan menutup mulutnya dengan tangan, maksudnya mengurangi napasnya yang tersengal, kemudian ia pasang telinga dan memperhatikan gerak-gerik lawan. Tapi, sungguh aneh, ketika ia berhenti, suara langkah kaki itupun ikut berhenti. Ia coba maju dua langkah, ternyata di depan tidak ada reaksi apapun. Sesungguhnya apa yang terjadi? Mungkinkah lantaran terlalu tegang maka ia salah dengar?

Keadaan sudah mendesak, Ho Leng-hong tak sempat berpikir panjang lagi, dengan langkah cepat ia memburu ke depan. Tapi setibanya di tanah lapang dalam hutan, ia tertegun.

Di sekitar liang telah bertumpuk tanah baru, jelas liang tersebut baru digali orang. Tapi bukan Pang Wan-kun yang menggali liang tersebut, sebab perempuan itu masih berdiri di tepi liang, tangannya kosong dan tubuhnya kaku, jelas jalan darahnya ditutuk orang.

Ho Leng-hong coba memeriksa keadaan di sekitar situ, namun tiada sesosok bayangan pun, dengan cepat ia bertanya, “Mana golok mestika itu? Apakah golok mestika itu telah dibawa kabur orang?”

Pang Wan-kun tidak menjawab, kecuali biji matanya masih dapat bergerak-gerak, sekujur badanya kaku seperti patung. Bila jalan darah seorang tertutuk, mana bisa ia menjawab?

Leng-hong ingin cepat-cepat mengetahui Yan-ci-po-to, ia mengitari liang itu dan menepuk beberapa kali punggung perempuan itu. Tapi hawa murninya tak bisa dihimpun, otomatis pukulannya juga tak bertenaga, bagaimanapun juga ia menepuk, jalan darah Pang Wan-kun sukar dilancarkan.

Dengan gemas Leng-hong menggentak kaki ke tanah, bentaknya, “Obat penawar kau bawa tidak? Kalau ada, kerdipkan matamu dua kali!”

Pang Wan-kun segera mengerdipkan matanya dua kali. Cepat Leng-hong menggeledah sakunya, betul juga dekat belahan baju dalamnya ia temukan sebuah botol porselen bulat pipih.

“Apakah botol ini berisi obat penawar?” tanyanya pula.

Sekali lagi Wan-kun mengerdipkan matanya. Leng-hong membuka tutup botol dan mengeluarkan sebutir obat penawar terus dimasukkan ke dalam mulut. Setelah obat itu ditelan, tak lama kemudian muncul aliran panas dari bagian dada, bagaikan minum arak panas aliran itu terus turun ke perut. Segera Leng-hong menarik napas panjang, pelahan hawa murninya dihimpun kembali lalu disalurkan ke telapak tangan kanannya….

Tapi sebelum bertindak sesuatu, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya, “Tidak, perempuan ini tak boleh dibebaskan dulu jalan darahnya, ilmu silatnya mungkin lebih tinggi daripadaku, setelah dibebaskan, bisa jadi aku akan dijegal malah, kan bisa runyam?”

Berpikir demikian, maka tepukan tangannya dialihkan ke tempat lain, yakni pada jalan darah bisu di kuduk perempuan itu. Pang Wan-kun terbatuk-batuk, setelah tumpah segumpal riak kental, ia dapat bersuara kembali.

“Cepat katakan, Yan-ci-po-to itu digali siapa?” tanya Leng-hong.

Bukan menjawab, Wan-kun malah berkata, “Jit-long, bebaskan dulu jalan darahku, bagaimanapun juga kita pernah menjadi suami isteri, lagipula obat penawar pasir pembuyar tenaga telah kuberikan padamu, masa kau tak mau menolong aku yang sedang tertimpa kesusahan?”

“Katakan dulu padaku, siapa yang telah membawa kabur golok mestika itu, asal kau megaku terus terang, tentu saja akan kutolong dirimu.”

“Aku pasti akan memberitahukan kepadamu, tapi bebaskan dulu jalan darahku.”

“Hmm, sampai sekarang pun kau masih ingin bertukar syarat denganku?”

“Aku tidak minta tukar syarat, aku hanya mohon kepadamu, sebab bila golok mestika itu sampai hilang, aku bakal dihukum mati.”

“Huh, kau tak boleh kehilangan golok mestika, apakah aku boleh kehilangan? Jangan lupa, Yan-ci-po-to bukan milikmu.”

Wan-kun tertawa getir, “Jit-long, apa gunanya membicarakan persoalan itu dalam keadaan seperti ini? Baik golok itu milik siapa, kita sama-sama tak ingin kehilangan, bukan?”

Tentu saja Leng-hong tak dapat menyangkal, iapun tahu, seandainya Yan-ci-po-to sampai terjatuh ke tangan orang lain, hal ini tak ada manfaat baginya.

Wan-kun kembali berkata, “Lepaskan aku, Jit-long! Kita harus bekerja sama untuk mengejar kembali golok mestika itu, kita tak boleh saling mencurigai, bila golok itu berhasil kita dapatkan kembali, aku pasti akan menceritakan segala sesuatunya kepadamu.”

“Kalau begitu beritahu dulu kepadaku, siapa yang telah melarikan golok mestika tersebut?”

Pang Wan-kun menghela napas panjang, “Bila kuberitahukan dulu hal ini kepadamu, apakah kau dapat pegang janji dan melepaskan diriku?”

“Tentu saja, orang she Ho bukan seorang laki-laki yang suka mengingkar janji.”

Wan-kun tertawa, katanya lagi, “Bersediakah kau bersikap seperti dulu, menganggapku sebagai isterimu?”

“Kau sesungguhnya mau bicara atau tidak?” seru Leng-hong dengan marah, “aku tak ada waktu untuk mengobrol dengan kau.”

“Ai, bagi kaum pria mungkin dianggap mengobrol, tapi bagi kaum wanita justru lebih penting daripada nyawa sendiri,” kata Pang Wan-kun dengan menyesal, “Jit-long, meskipun kita bukan suami isteri sungguhkan, tapi selama beberapa bulan kita telah menikmati penghidupan sebagai suami-isteri, peduli kau percaya atau tidak, yang pasti dalam hidupku ini hanya kau kuanggap sebagai suamiku, nama dan she boleh palsu, tapi perasaan kita tak mungkin palsu, Jit-long, kau...”

“Cukup,” tukas Leng-hong sambil menggoyang tangan, “sekalipun kau amat mencintaiku, sekarang bukan waktunya untuk membicarakan soal tersebut, kita harus menyelesaikan dulu masalah penting, soal cinta kasih ini boleh dibicarakan lain waktu saja, setuju bukan?”

Hampir meledak gelak tertawanya, perempuan ini memang lucu, baru saja Samkongcu menitahkan dia merayu dengan segala kemesraan, kontan ia laksanakan tugas, sayang waktunya tidak sesuai sehingga siapa yang bernafsu untuk meresapinya?

Agaknya Pang Wan-kun merasakan juga suasananya tidak cocok, dengan tersipu-sipu ia alihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, “Baiklah kalau kau ingin mengetahui dulu siapa yang melarikan golok mestika itu aku dapat memberitahukan padamu, besar kemungkinan orang itu adalah Thian Pek-tat!”

“Kenapa kau katakan besar kemungkinan?” tanya Leng-hong tercengang.

“Ia menggunakan kain kerudung pada wajahnya, pakaian yang dikenakan juga ringkas, tanpa melihat raut wajah yang sesungguhnya darimana aku bisa tahu pasti dia atau bukan, tapi menurut perkiraanku, kecuali Thian Pek-tat tak mungkin orang lain.”

Leng-hong memang mencurigai Thian Pek-tat, maka setelah termenung sejenak lalu katanya, “Ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, kenapa jalan darahmu bisa tertutuk olehnya?”

“Ia menyergap diriku secara mendadak dan di luar dugaan, lagipula dalam hutan tersembunyi pula beberapa orang komplotannya.”

“Semua beberapa orang? Setelah berhasil mereka kabur ke arah mana? Sudah berapa lama?”

“Jumlah yang pasti aku tidak tahu, mungkin dua-tiga orang, setelah mendapatkan golok mestika itu mereka kabur ke arah Kiok-hiang-sia.”

Kiok-hiang-sia terletak dekat kamar loteng, bila maju lagi akan tiba di ruang depan, ditinjau dari keadaan pada umumnya, Thian Pek-tat mestinya kabur lewat taman belakang, tapi mengapa ia malah lari ke ruang depan?”

Tercengang juga Ho Leng-hong menghadapi hal ini, tapi lantaran waktu amat mendesak, tak mungkin lagi baginya untuk bertanya lebih jauh, sesudah termenung sebentar iapun putar badan dan berlalu.

“He, Jit-long, bukankah kau telah menyanggupi akan membebaskan jalan darahku?” seru Wan-kun cemas.

“Sebenarnya hendak kubebaskan jalan darahmu, tapi setelah kau kehilangan Yan-ci-po-to, Samkongcu tak nanti akan percaya begitu saja, maka lebih baik kau diam beberapa saat lagi di sini, hal ini akan lebih menguntungkan kau.”

“Hei, Jit-long, kaut tak boleh ingkar janji!” teriak Wan-kun, “Jit-long…. Jit-long….”

Leng-hong menutuk lagi jalan darah bisunya, kemudian sambil menepuk pelahan pipinya ia berbisik, “Aku berbuat demikian demi kebaikanmu, kalau kita bukan suami isteri, tentu kulepaskan dirimu agar didamprat dan dihukum oleh Samkongcu itu, bila kau dalam keadaan begini, kan terlepaslah tanggung jawabmu...”

Selanjutnya,
Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 05

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 04

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 04
Karya : Gu Long
Penyadur : Gan K.L

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
TIDAK menunggu jawaban Leng-hong dia lantas berteriak dengan nyaring, “Peng-ji!”

Seorang genduk cilik bermuka bulat lari masuk ke kamar, “Hujin memanggil hamba?” tanyanya.

“Beri tahukan kepada Kuloya, katakan Tuan sudah sadar dan mengundang beliau kemari, jangan menggali terus menerus!”

Ho Leng-hong kenal genduk yang bernama Peng-ji itu adalah babu pekerja kasar di situ, orangnya rada bodoh dan cara bekerjanya agak lambat, mungkin lantaran Bwe-ji dan Siau Lan mati secara beruntun, maka ia ditaruh di sana untuk melayani segala keperluan.

Kini Leng-hong tak berani memandang rendah seorang babu bodoh lagi, sebab kalau Pang Wan-kun memilihnya sebagai orang kepercayaan, sudah tentu orang itu merupakan pembantu yang telah dipersiapkan.

Siapapun tak tahu ada berapa banyak orang yang telah ia siapkan dalam Thian-po-hu? kalau ditinjau dari keadaannya, jelas jumlahnya tidak sedikit, sebab kalau tidak demikian tak mungkin ia bisa membinasakan Bwe-ji dan Siau Lan sementara ia sendiri masih berani tinggal di situ.

Tiba-tiba Leng-hong merasa kekuatannya terlalu kecil dan menyendiri, kecuali Pang Goan rasanya tak seorangpun yang bisa dipercaya lagi, sebaliknya Pang Goan baru dikenalnya belum lama, mungkinkah ia akan percaya pada perkataannya?

Makin dipikir, rasa percaya pada diri sendiri makin hilang, akhirnya ia berbaring dengan lemas. Tak lama kemudian, Pang Goan masuk dengan langkah lebar, begitu bertemu ia lantar berkata dengan menyesal,

“Akulah yang salah dan akulah yang teledor, yang kuperhatikan waktu itu cuma mengejar si pembunuh, mimpipun tak kuduga di dalam taman telah bersembunyi pula seorang musuh. Jit-long, cepat beri tahukan padaku, macam apakah tampang orang itu?”
Baru saja Leng-hong hendak menjawab, Wan-kun yang berada di sampingnya segera mendahului, “Waktu itu dia terluka, mana bisa memperhatikan tampang lawannya? Tapi beruntung aku dapat melihatnya. Cuma orang itu mengenakan kerudung hitam, jadi sukar untuk mengenalinya.”

“Walaupun tampangnya sukar dikenali, paling sedikit kan bisa membedakan lelakikah dia atau perempuan? Bagaimana pula dandanannya?”

“Toako, bukankah sudah kukatakan padamu, seorang laki-laki, berperawakan tinggi besar dan memakai pakaian malam berwarna hitam....”

“Bisa jadi kau tidak jelas melihatnya, aku perlu tanya sendiri kepada Jit-long. Sudahlah, kau jangan menimbrung saja,” kata Pang Goan.

Wan-kun tidak menghiraukan, katanya pula sambil tersenyum, “Baiklah, tanyalah sendiri kepadanya, Cuma jangan lupa, lukanya tidak enteng, banyak bicara bisa mengganggu kesehatannya.”

“Aku mengerti, bila laki-laki sedang membicarakan soal yang serius, lebih baik kaum wanita jangan banyak menimbrung!”

Senang hati Leng-hong demi mendengar perkataan itu, meski ucapan itu hanya merupakan omelan seorang kakak terhadap adiknya, tapi bagi pendengaran Leng-hong pada saat ini justru terasa cocok. Akan tetapi, waktu sinar matanya berbentur dengan senyum yang menghiasi ujung bibir Pang Wan-kun, hatinya kembali menjadi dingin.

Sepintas lalu senyuman itu kelihatan seperti lembut dan penurut, padahal justru melambangkan kebanggaan serta keyakinan pada diri sendiri. Ya, jika ia tidak penuh keyakinan, mungkinkah Pang Goan diizinkan bertemu dengannya?

Ho Leng-hong merasa dirinya ibarat binatang buas dalam rombongan sirkus, meskipun punya taring dan cakar yang tajam, tapi harus tunduk pada cambuk sang pawang, ia harus bermain di depan penonton menurut kehendak pawang. Dan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun ini tak lain adalah seorang pawang yang lihai.

Jelas Pang Goan bukan seorang penonton yang cermat, dengan tak sabar ia lantas bertanya, “Jit-long, coba bayangkan kembali kejadian waktu itu, kemudian beritahu padaku dengan saksama, manusia macam apakah dia itu? Apa yang kalian alami? Dan cara bagaimana ia melukai dirimu?”

Leng-hong tarik napas panjang-panjang, lalu tertawa getir, “Apa yang dikatakan Wan-kun memang benar, orang itu memakai baju warna hitam, berperawakan tinggi besar dan mengenakan cadar hitam, jadi tampangnya tidak kelihatan.”

“Cara bagaimana kau pergoki dia?”

“Setelah berpisah di tepi hutan tadi, aku merasa gerak-gerik Bwe-ji dan Siau Lan sangat mencurigakan, agaknya mereka seperti sudah tahu ada yang mengintip perbuatannya, maka sengaja ditanamnya sebilah golok biasa di situ, padahal kedatangan Lotoako lebih awal dari mereka, tak mungkin jejakmu bakal ketahuan, maka aku lantas mencurigai mereka bukan memakai benda itu untuk menipu musuh melainkan sebagai tanda bagi komplotannya dengan tujuan tertentu.”

“Ehm, benar juga dugaanmu,” Pang Goan manggut-manggut.

“Maka sekembalinya ke dalam hutan, aku berjaga-jaga di dekat liang, betul juga, tak lama kemudian kulihat ada orang menyusup ke dalam hutan dan menggali liang itu.”

“Bukankah isi liang itu cuma sebilah golok biasa?”

Leng-hong menghela napas, “Ai, Lotoako! Kita sudah tertipu, di bawah golok itu justru tersimpan golok mestika Yan-ci-po-to yang kita cari itu.”

“Ah!” mencorong sinar mata Pang Goan, tubuhnya tergentar karena emosi, “sungguh siasat mengelabuhi lawan yang amat sempurna!”

Diam-diam Leng-hong melirik Pang Wan-kun, perempuan itu kelihatan sedang mendengarkan pembicaraan mereka dengan tersenyum.

“Jit-long, bukannya aku ingin menegurmu,” kata Pang Goan kemudian, “jika golok mestika Yan-ci-po-to sudah kau temukan, semestinya kau melihat gelagat pada waktu itu, bila tidak yakin dapat mengatasinya, kenapa tidak berteriak saja agar orang itu dikepung.”

Leng-hong tertawa getir, “Waktu itu musuh berada di pihak yang terang dan aku di pihak yang gelap, sebenarnya sudah kucegat dia, tak kusangka bangsat itu sangat licin, dengan berpura-pura hendak mengembalikan golok itu kepadaku, tiba-tiba saja suatu serangan dilancarkan, aku hendak berteriak, tapi sudah terlambat.”

“Benar,” sambung Wan-kun cepat, “ketika mendengar teriakan Jit-long, buru-buru kususul ke situ, siapa tahu bukan saja licik dan cerdik orang itu ilmu silatnya juga lihay, akupun gagal untuk mengalangi larinya.”

“Kalau begitu Yan-ci-po-to telah dicuri dari Thian-po-hu, sedang kita tak tahu siapa musuhnya,” keluh Pang Goan sambil menghela napas.

“Tak bisa diragukan lagi, orang itu pasti utusan Hu-yong-sia dari Leng-lam,” kata Wan-kun.

“Darimana kau tahu perbuatan ini dilakukan pihak Hiang-in-hu dari Hu-yong-sia?”

“Hanya Hiang-in-hu yang mempunyai alasan untuk melakukan pencurian, dan hanya pihak mereka yang mempunyai kemampuan berbuat demikian, untuk menjaga nama baik Thian-he-te-it-to (golok nomor satu di dunia) jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, dengan segala tipu daya mereka berusaha mendapatkan golok mestika kita ini.”

“Tidak mungkin! Hiang-in-hu dari Leng-lam bukan manusia semacam itu, sekalipun mereka ingin menjaga agar nama baik Thian-he-te-it-to jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, tak nanti mereka lakukan tindak pencurian ini,” kata Pang Goan sambil menggeleng.

“Kenapa?” tanya Leng-hong tercengang.

Ia selalu beranggapan Hiang-in-hu adalah satu-satunya musuh tangguh dari Thian-po-hu, bahkan memastikan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun ini adalah mata-mata yang dikirim dari Hiang-in-hu, maka setelah mendengar perkataan Pang Goan sekarang, ia menjadi heran. Kalau bukan Hiang-in-hu yang menjadi dalangnya, lantas siapa yang berdiri di belakang layar peristiwa pencurian ini?

Dengan wajah serius Pang Goan berkata lagi, “Thay-yang-to (si golok matahari) Hui Pek-ling dari Hiang-in-hu meski berwatak agak berangasan, tapi jujur dan lurus, dulu ketika Thian-po-hu berhasil merebut gelar itu dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe, belum pernah timbul maksud Hui Pek-ling untuk mencuri golok mestika itu, buat apa ia mesti menunggu sampai sekarang? Selain itu, kalian jangan lupa, ketika gelar Thian-he-te-it-to didapatkan oleh Hiang-in-hu, merekapun tidak memiliki senjata mestika, kalau tanpa golok mestika saja Hui Pek-ling berhasil mendapatkan kemenangan, buat apa ia lakukan perbuatan rendah itu sekarang?”

“Tapi, bukankah Lotoako pernah berkata seandainya golok Yan-ci-po-to sampai didapatkan orang she Hui itu, akan lebih sulit bagi kita untuk mengalahkan dia?”

“Aku hanya kuatirkan bila golok mestika itu didapatkan olehnya, bukan mengatakan ia bakal mencuri golok mestika tersebut!”

“Tapi, apa pula bedanya?”

“Tentu saja ada bedanya. Dengan kepandaian silat Hui Pek-ling, Nyo-keh-sin-to dan Keng-hong-kiam-hoat dari Cian-sui-hu masih belum sanggup menandinginya, yang menjadi tumpuan harapan kita, selain ilmu To-kiam-hap-ping-tin, dengan golok Yan-ci-po-to di tangan sedikit banyak juga ada manfaatnya, tapi jika golok mestika itu sampai terjatuh ke tangan Hui Pek-ling, hal ini sama artinya dengan merugikan kita dan menambah keuntungan bagi lawan.”

“O, jadi maksud Lotoako, tak mungkin Hui Pek-ling yang menjadi otak dari pencurian ini, tapi bila si pencuri mempersembahkan golok mestika itu kepadanya, Hiang-in-hu tentunya tak akan menolak pemberian tersebut?”

“Demikian halnya, bila seorang menjadi terkenal karena ilmu goloknya, siapakah yang tidak berharap akan bisa mendapatkan golok mestika?”

Ho Leng-hong tak bicara lagi, karena pengetahuannya tentang Hiang-in-hu amat terbatas. Pang Wan-kun yang sejak tadi hanya diam saja, tiba-tiba malah bertanya, “Tapi, kecuali Hiang-in-hu, siapa lagi yang mempunyai ingatan untuk mencuri golok tersebut? Dan lagi, siapakah yang mempunyai keberanian untuk berbuat demikian?”

Pang Goan menggeleng kepala, “Justru soal inilah yang harus kita selidiki, bila ditimbang atas dasar keterangan yang kalian berikan, ilmu silat pencuri itu pasti lihay sekali, sepantasnya mereka bukan manusia tak bernama. Siapa tahu kalau tujuannya mencuri golok mestika itu bukan ingin diberikan kepada Hiang-in-hu melainkan hendak dipergunakan sendiri untuk merebut gelar Thian-he-te-it-to dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang?”

“Wah, jadi kalau begitu setiap orang yang belajar ilmu golok di dunia ini harus dicurigai?” kata Wan-kun.

“Jumlah orang yang belajar ilmu golok di dunia ini memang banyak, tapi yang pantas muncul dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe cuma beberapa orang saja, kita pasti berhasil menyelidikinya.”

“Toako jangan terlalu percaya kepada orang,” kata Wan-kun sambil angkat bahu, “menurut dugaanku, si pencuri golok itu tak mungkin orang lain, seratus persen pasti perbuatan pihak Hiang-in-hu.”

Tapi Pang Goan masih tetap menggeleng tidak percaya, tapi ia tidak melanjutkan perdebatannya. Dengan tercengang Ho Leng-hong mengawasi perempuan itu beberapa saat, pikirnya, “Heran, mengapa ia berkeras menuduh Hiang-in-hu sebagai pencuri golok? Untuk menghilangkan jejak bila diselidiki Pang Goan? Atau karena ada tujuan lain?”

Rupanya Pang Wan-kun merasakan juga perkataannya terlampau menyolok, sambil tertawa katanya lagi, “Bagaimanapun juga golok mestika itu sudah hilang, terjatuh di tangan siapa pun pasti tidak menguntungkan kita, kukira yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana caranya melacaki pencuri itu, apakah Toako sudah mempunyai perhitungan?”

Pang Goan termenung sebentar, lalu jawabnya, “Jika benda itu sudah keluar dari Thian-po-hu, penyelidikan agak sukar dilakukan, apalagi mata-mata yang ada di sini sudah terbunuh, sedang musuh di luar sukar diselidiki, hal ini memang sulit untuk dilakukan.”

“Lotoako, sewaktu kau mengejar pembunuh itu, apakah tiada titik terang yang kau temukan?” Leng-hong coba bertanya.

“Sungguh memalukan sekali, waktu itu cuaca gelap dan lagi orang itu sangat apal dengan jalan dalam gedung ini, mungkin bahu kirinya berhasil kulukai, tapi ia masih dapat kabur dengan membawa luka.”

Ho Leng-hong lantas teringat pada luka di bahu kiri Pang Wan-kun ketika hendak menggali golok mestika dalam hutan malam itu, jelas dia pembunuh Bwe-ji dan Siau Lan.

Tentu saja ia lebih apal jalan-jalan dalam gedung ini daripada Pang Goan, setelah membunuh Bwe-ji dan Siau Lan, ia sengaja memancing Pang Goan ke ruang depan, sementara ia sendiri putar balik ke belakang untuk menggali golok mestika itu. Waktu itu dia pasti menyaru sebagai seorang pria, dengan begitu Pang Goan dapat dikelabuhi. Dan tak salah lagi, tentu dia otak pencurian golok mestika.

Berpikir demikian, Ho Leng-hong merasa darahnya mendidih, kalau bisa semua rahasia itu hendak dibongkarnya pada saat itu juga. Tapi segera ia berpikir lebih lanjut, perempuan ini licik sekali, kalau tak dapat menemukan buktinya lebih dulu, hanya bicara saja tak ada gunanya, malah bila usaha ini gagal, kemungkinan besar Pang Goan akan ikut dicelakai olehnya, maka ia memutuskan untuk membungkam lebih dulu, nanti kalau luka di bahunya sudah terlihat jelas barulah semua kejadian akan diungkap.

Berpikir sampai di sini, ia lantas pura-pura menghela napas, katanya, “Sayang ia berhasil kabur dari sini, bila salah seorang bisa tertangkap hidup-hidup, tak sulit rasanya untuk menyelidiki keadaan yang sebenarnya.”

“Aku mempunyai akal bagus, entah bisa digunakan atau tidak?” tiba-tiba Pang Wan-kun mengusulkan.

“Coba katakan!” ucap Pang Goan.

“Kupikir, jika pembunuh Bwe-ji dan Siau Lan itu sedemikian hapal dengan jalanan dalam Thian-po-hu, kemungkinan besar dia adalah anggota Thian-po-hu sini, atau mungkin juga salah seorang di antara sahabat Jit-long.”

“Em, mungkin juga!” Pang Goan manggut-manggut.

“Sekalipun dalam kegelapan Toako tak sempat melihat jelas raut wajahnya, tapi serangan yang kau lancarkan pasti akan meninggalkan bekas di atas tubuhnya, kenapa tidak kita kumpulkan segenap penghuni di sini untuk diadakan pemeriksaan. Barang siapa yang bahu kirinya kedapatan terluka, dia itulah yang pantas dicurigai.”

Pang Goan berpikir sebentar, lalu katanya, “Meskipun cara ini adalah cara yang bodoh, tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Cuma penghuni gedung ini dapat kita periksa, bagaimana pula dengan sahabat-sahabat Jit-long?”

“Ah, itu kan soal gampang,” kata Wan-kun sambil tertawa, “terhadap penghuni gedung kita lakukan pemeriksaan terang-terangan, sedangkan terhadap kawan Jit-long kita lakukan pemeriksaan secara diam-diam, asal Toako tampil sendiri dan mengunjungi rumah mereka satu persatu, lalu memaksa mereka membuka pakaian untuk membuktikan kebersihan dirinya, siapa yang berani menolak?”

“Tidak bisa, kita tak boleh berbuat demikian,” Pang Goan menggeleng kepala, “meskipun mereka bukan ksatria sejati, jelek-jelek mereka itu adalah teman Jit-long, di wilayah Kwan-lok ini juga ada nama dan kedudukan, kupikir cara demikian agak kelewat batas.”

“Kalau begitu, gunakanlah waktu di tengah malam buta, pada waktu semua orang sudah tidur penyelidikan ini dilakukan, dalam keadaan begini, barang siapa terluka tentu tak bisa menutupi dirinya lagi.”

“Bagaimanapun kukira cara ini kurang baik, kita tak boleh kehilangan golok mestika, lebih-lebih tak boleh sampai ditertawakan orang, sekarang akan kuperiksa dulu semua orang dalam gedung ini, jika tidak menghasilkan sesuatu baru kita adakan pembicaraan lebih lanjut.”

Selesai berkat, ia lantas bangkit dan berlalu. Setelah bayangan tubuh Pang Goan sudah pergi jauh, tiba-tiba Wan-kun tertawa dingin, lalu gumamnya, “Sungguh tak kusangka si monyet Pang yang biasanya sombong, sekali ini juga agak tahu aturan.”

“Kau tahu cara ini tak akan menghasilkan apa-apa, kenapa kau suruh dia berbuat demikian?” tanya Leng-hong.

“Siapa bilang tak akan berhasil?” sahut Wan-kun dengan kening berkerut, “asal ia bersedia melakukan penyelidikan, pasti akan diperoleh hasil yang diinginkan.”

“Jangan-jangan kau tahu siapa yang terluka bahu kirinya?”

Wan-kun tertawa, “Bukan cuma aku yang tahu, mestinya kaupun dapat menduga sampai ke situ.”

“Oya?! Siapakah dia?”

“Kecuali Thian Pek-tat, siapa lagi?”

Ho Leng-hong jadi melenggong. Benar juga perkataan ini, sejak peristiwa di rumah pelacuran Hong-hong-wan sampai tercurinya golok Yan-ci-po-to, dalam setiap peristiwa yang terjadi, Thian Pek-tat adalah orang yang paling mencurigakan, tapi sekalipun Thian Pek-tat benar-benar seorang mata-mata musuh, seharusnya ia segolongan dengan Pang Wan-kun, mengapa perempuan ini malah membongkar rahasianya?

Jangan-jangan mereka bukan sekomplotan? Mungkin mereka hanya mempunyai tujuan yang sama? Atau karena mereka sudah menemui jalan buntu maka Pang Wan-kun menggunakan siasat “pinjam golok membunuh orang” untuk melenyapkan Thian Pek-tat dan menghilangkan saksi?

Ho Leng-hong merasa persoalan ini makin lama makin bertambah ruwet, hakikatnya membuat orang bingung dan tidak habis mengerti. Cuma, berhubung Pang Wan-kun ada niat untuk mencelakai Thian Pek-tat, hal ini menimbulkan setitik harapan bagi Ho Leng-hong. Harapan itu adalah kemungkinan besar golok Yan-ci-po-to belum meninggalkan gedung Thian-po-hu.

Usaha Pang Goan untuk mencari orang yang terluka bahu kirinya tentu saja tidak mendatangkan hasil apa-apa. Tapi, lantaran ia harus memeriksa semua Busu yang ada di dalam gedung, Pang Goan berhasil menemukan sesuatu hasil di luar dugaan.

Menurut laporan para Busu yang melakukan penjagaan pada malam itu, jumlah peronda yang berjaga di sekitar gedung malam tersebut lebih banyak satu kali lipat daripada biasanya, semua orang menyatakan tidak ditemukan seorang manusiapun yang keluar-masuk dari Thian-po-hu.

Hari itu Ho Leng-hong telah berpesan kepada anak buahnya agar tidak mengizinkan siapapun keluar, maka para Busu yang melakukan perondaan dilipatkan jumlahnya, jadi seandainya ada orang meninggalkan gedung, hal ini tak mungkin bisa mengelabuhi para Busu.

Penemuan tak terduga ini justru cocok dengan analisa Ho Leng-hong, terbukti bahwa Yan-ci-po-to meski sudah dibawa keluar oleh Pang Wan-kun dari dalam hutan, tapi berhubung tergesa-gesa, dan lagi tak ada pembantu, golok tersebut belum sempat diselundupkan keluar gedung. Asal Yan-ci-po-to masih berada dalam Thian-po-hu, berarti setiap saat bisa mengalami perubahan.

Sayang luka di lambung Leng-hong belum sembuh dan harus berbaring di atas pembaringan, jadi ia tak ada kesempatan untuk mengadakan pertemuan empat mata dengan Pang Goan. Selama tiga hari beruntun Pang Wan-kun tak pernah meninggalkan sisi Leng-hong, meskipun dengan alasan menemani, yang jelas adalah mengawasi gerak-geriknya.

Untuk menyelidiki jejak golok mestika, keadaan Pang Goan ibaratnya semut dalam kuali panas, sejak pagi hari ia sudah keluar rumah, bila malam tiba baru kembali, daerah sekitar Kwan-lok hampir telah dijelajahinya, bahkan para Busu dalam jumlah yang besar pun dikirim keluar untuk mencari berita.

Tiga hari sudah lewat, namun tiada sesuatu yang berhasil didapatkan. Pagi itu, dengan wajah yang lelah dan kusut Pang Goan pulang dari bepergian, sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa semalam suntuk ia tak tidur.

Lama kelamaan Ho Leng-hong menjadi tak tega sendiri, segera hiburnya, “Lotoako, tak usah terlampau bersusah payah, sekalipun tanpa golok mestika Yan-ci-po-to kita tetap mempunyai harapan untuk mengalahkan Hiang-in-hu, bukankah Hui Pek-ling juga berbuat yang sama ketika itu?”

Pang Goan geleng kepala berulang kali, katanya, “Walaupun begitu, dengan hilangnya golok mestika, aku merasa bersalah kepada kakakmu, dan lagi aku tidak rela menyerah sampai di sini saja.”

“Apa yang kau maksudkan dengan tidak rela?” tanya Wan-kun.

“Selama beberapa hari ini, bukan saja ratusan li di sekitar Kwan-lok telah kujelajahi, akupun telah minta bantuan orang Kay-pang untuk membantu usahaku, tapi kabar berita tentang golok Yan-ci-po-to itu seolah-olah tenggelam di dasar samudra, berita sedikitpun tak ada. Masakah golok itu punya sayap dan bisa terbang sendiri?”

“Padahal masalah itu bukan masalah yang harus diselesaikan dengan segera, siapa tahu kalau golok itu masih....”

Rupanya Pang Wan-kun sudah menduga apa yang hendak dikatakan olehnya, buru-buru ia menambahkan, “Benar, siapa tahu golok itu tidak terbang melainkan disembunyikan orang, semakin cemas kaulakukan penyelidikan, semakin tak berani berkutik pencuri golok itu. Wah, kalau begitu, jejaknya makin susah dicari lagi.”

Pang Goan manggut-manggut, “Aku telah memikirkan juga kemungkinan ini, ditinjau menurut keadaan sekarang, rasanya golok itu memang belum meninggalkan wilayah Kwan-lok, bahkan belum meninggalkan gedung Thian-po-hu.”

“Ada seorang yang paling cepat memperoleh berita tentang kejadian di sekitar Kwan-lok, kenapa Toako tidak mencarinya?”

“Siapa?”

“Thian Pek-tat! Dia adalah kawan Jit-long yang bergelar Tiang-ni-siau-thian (Thian kecil si telinga panjang).”

“O, dia kiranya!”

“Toako jangan pandang rendah orang itu, di adalah orang yang paling luas pergaulannya di wilayah Kwan-lok, baik urusan kecil maupun urusan besar, ia selalu mengetahui dengan cepat, siapa tahu dari mulutnya Toako akan mendapat petunjuk?”

“Aku sudah ke sana, sayang ia tak ada di rumah.” “Tak ada di rumah? Ke mana ia pergi?”

“Konon sekembalinya dari sini, Thian Pek-tat telah diundang seorang temannya pergi ke Lan-hong, dan hingga kini belum pulang.”

“Oya?! Masa ada kejadian yang begitu kebetulan? Toko, jangan-jangan kau dibohongi orang!”

“Tidak mungkin, telah kuselidiki sendiri ke rumahnya, Thian Pek-tat memang tidak berada di rumah.”

“Wah, ini baru mengherankan, kenapa ia tidak pergi sejak dulu atau pergi beberapa hari lagi, tapi justru setelah Yan-ci-po-to dicuri orang baru dia pergi meninggalkan rumah.”

“Wan-kun, jangan berkata demikian,” kata Leng-hong, “Siapa tahu kalau secara kebetulan dia ada urusan...”

“Ah, kau ini suka membela teman-temanmu,” omel Wan-kun.

Setelah berhenti sejenak, katanya kepada Pang Goan, “Toako, jelas kejadian ini sangat mencurigakan, siapa tahu kalau golok mestika Yan-ci-po-to sudah dibawa kabur oleh orang she Thian itu?”

Pang Goan tertegun, katanya kemudian sambil tertawa, “Hal ini tak mungkin terjadi, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan mereka meninggalkan Thian-po-hu, jangankan golok mestika, sebilah pisau pun ia tidak membawanya.”

“Apakah ia tak bisa menerima golok itu setelah berada di luar gedung, lalu membawanya kabur dari wilayah Kwan-lok?”

“Waktu keluar ia tidak membawa golok, orang dalam gedung juga tak ada yang keluar pintu, bagaimana caranya golok itu dioperkan kepadanya?”

“Misalnya saja malam itu ia sembunyikan golok mestika tersebut di sekitar dinding pekarangan, sedang ia sendiri tidak keluar, lalu keesokan harinya meninggalkan gedung dengan tangan hampa, setelah penjagaan agak kendor ia balik lagi untuk mengambil golok, dengan demikian siapa yang akan menduga bahwa golok itu dicuri olehnya?”

Air muka Pang Goan berubah hebat, “Ya, mungkin juga....”

“Tidak mungkin!” tukas Leng-hong mendadak.

Pang Goan berpaling dan memandangnya dengan tercengang. Sebaliknya air muka Pang Wan-kun tampak dingin, terlihat jelas betapa gemas perempuan itu.

Tapi Leng-hong pura-pura tidak melihat, pelahan katanya, “Kita jangan lupa, pembunuhan yang terjadi atas Bwe-ji dan Siau Lan serta penggalian golok mestika dalam hutan hakikatnya adalah dua orang yang berbeda, setelah kejadian itu, seorang kabur ke ruang depan sedang yang lain kabur dari taman, lagipula orang yang menggali golok dalam hutan adalah seorang berkerudung yang berperawakan tinggi besar, Thian Pek-tat tidak terhitung tinggi besar.”

Padahal jelas diketahui Ho Leng-hong bahwa pembunuh Bwe-ji dan Siau Lan serta orang yang menggali itu adalah perbuatan Pang Wan-kun seorang, kendatipun ia tidak berkesan baik terhadap Thian Pek-tat, namun entah apa sebabnya ia lebih suka membela orang itu. Mungkin juga hal ini dikarenakan dia ingin membalas dendam kepada Pang Wan-kun!

Tiba-tiba saja ia merasa muak dan sebal terhadap perempuan yang pernah mempunyai hubungan mesra dengannya itu, betapa gembiranya apabila dia dapat memancing kegusaran dan kebencian perempuan itu.
Pang Wan-kun benar-benar telah dibikin gusar oleh perkataan itu, tapi ia masih berusaha untuk menekan hawa amarahnya agar jangan meledak, ia tertawa, katanya kemudian, “Sebagai kawan sekomplot, masa tak mungkin yang satu menyembunyikan golok, sedang yang lain membawa pergi?”

“Kalau demikian, itu berarti manusia berkerudung yang menyembunyikan golok itu masih ada dalam Thian-po-hu, kita harus mengadakan pemeriksaan terhadapnya,” kata Leng-hong.

Dengan gemas Pang Wan-kun mendengus, “Hm, kau kira Thian-po-hu adalah benteng yang dilapisi dinding baja yang kuat, kau anggap keterangan para Busu itu bisa dipercaya? Masa tidak mungkin mereka sengaja berkata begitu untuk mengelak tanggung jawab?”

“Andaikata manusia berkerudung itu mampu masuk keluar gedung Thian-po-hu dengan sekehendak hatinya, buat apa ia sembunyikan golok itu lebih dulu dan kemudian baru mengoperkannya kepada Thian Pek-tat? Bukankah tindakannya ini sama sekali tak ada gunanya?”

“Aku tidak mengatakan Thian Pek-tat telah berhasil membawa lari golok mestika itu, aku hanya mengemukakan kemungkinan yang bisa terjadi?”

“Akupun hanya berbicara menurut apa yang terjadi, kurasakan hal ini tidak mungkin...”

“Cukup, cukup!” seru Pang Goan sambil mengulapkan tangan, “kita lagi merundingkan masalah penting, tidak perlu saling ngotot. Bagaimanapun hilangnya Thian Pek-tat cukup mencurigakan dan perlu diselidiki, aku dapat membereskan hal ini.”

“Kalau ingin bekerja harus dilaksanakan secepatnya, sebab kalau semakin berlarut dan lukanya telah sembuh, sulitlah untuk mencari buktinya.”

“Aku tahu, tapi kaisar tak akan mengirim tentara yang kelaparan, Siaumoay, tolong sediakan sayur dan arak untuk Toako, setelah kenyang baru Toako bisa bekerja dengan baik.”

“Baik, akan kusuruh Peng-ji menyiapkan hidangan...”

“Siaumoay,” kembali Pang Goan tertawa, “tolong siapkan sendiri bagiku, sudah lama aku tidak merasakan kuah lobakmu, mau bukan bikinkan buat Toako?”

Pang Wan-kun agak ragu, tapi Leng-hong segera menyela, “Betul, kuah lobak Wan-kun memang sangat nikmat, tak mungkin koki bisa menyiapkan hidangan selezat itu.”

Rupanya pemuda itu sengaja membonceng, dengan berkata demikian maka Wan-kun tak bisa menolak lagi, bila hidangnya nanti kurang enak hal ini sama membongkar rahasia sendiri.

Tentu saja, yang lebih penting adalah menyingkirkan perempuan itu dari hadapannya agar ia bisa berbicara empat mata dengan Pang Goan. Wan-kun bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menduga tujuannya, tapi ia tidak menolak sambil tertawa iapun beranjak.

“Sudah lama aku tak pernah turun ke dapur, biarlah kucoba, bila masakanku nanti kurang sedap harap jangan ditertawakan.”

Lalu sambil melirik sekejap ke arah Ho Leng-hong, katanya lagi, “Jit-long, terlalu banyak bicara bisa mengganggu kesehatan, bila ingin cepat sembuh lebih baik beristirahatlah dengan tenang dan jangan banyak bicara.”

“Jangan kuatir, aku bisa menjaga diriku sendiri,” kata Leng-hong sambil tertawa.

Pang Goan tidak buka suara, diawasinya Wan-kun sampai keluar villa, tiba-tiba keningnya berkerut dan mukanya menunjukkan suatu perubahan yang sangat aneh.

Leng-hong menarik pula senyumnya, lalu tanyanya lirih, “Lotoako, ada sesuatu yang tak beres?”

“O, tidak apa-apa,” sahut Pang Goan sambil menggeleng, “aku hanya heran, berapa tahun tidak berjumpa ternyata kalian telah berubah semua.”

Terkesiap hati Leng-hong, “Kami? Maksud Lotoako aku ataukah Wan-kun?”

“Keduanya!” sahut Pang Goan, ditatapnya wajah Leng-hong lekat-lekat, lalu terusnya, “kau berubah menjadi gesit, lebih cerdik, dan lebih jantan daripada dulu, sekarang kau lebih mirip sebagai seorang laki-laki, sedang Siaumoay juga berubah menjadi lebih cekatan.”

“Maksud Lotoako….”

“Dulu ia tak pernah turun ke dapur, iapun tidak pernah membuat kuak lobak atau hidangan lain.”

Ho Leng-hong menarik napas, dan mulut melongo. Sedetik itu tak dapat diketahui bagaimanakah perasaannya, entah kaget atau girang? Harus mengaku ataukah harus menyangkal?

Si monyet Pang memang cerdik, jelas ia sudah menemukan titik kelemahan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun itu, maka sengaja dipakainya “kuah lobak” sebagai pancingan.

Tapi, apakah iapun sudah tahu Nyo Cu-wi juga seorang gadungan pula? Kalau sudah tahu, kenapa belum juga turun tangan? Kenapa nada ucapannya masih tetap tenang?

Seandainya dirinya bongkar semua ini, dapatkah orang mempercayainya? Apakah orang takkan mencurigai dirinya sebagai komplotan perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun...?

Perasaan Leng-hong waktu itu bagaikan benang kusut, kalut sekali pikirannya, dia Cuma bisa mengawasi Pang Goan dengan termangu. Untuk sesaat ia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.

Waktu itu, dengan sinar mata yang tajam Pang Goan sedang mengawasinya tanpa berkedip, seakan-akan hendak menembus lubuk hatinya. Lama dan lama sekali Pang Goan baru menghela napas panjang, bisiknya, “Jit-long, kau adalah suaminya, masa sedikitpun tidak kau rasakan sesuatu yang mencurigakan?”

“Merasakan apa?”

“Dia adalah Wan-kun gadungan!” jawab Pang Goan sekata demi sekata.

“Oo?!” Leng-hong bersuara singkat.

“Sejak hari pertama kudatang kemari sudah kurasakan suaranya agak kurang beres,” Pang Goan menerangkan, cuma waktu itu tidak terlampau kupikirkan, tapi selama beberapa hari ini, makin kulihat tingkah laku dan cara bicaranya, aku semakin curiga, barusan..."

“Hati-hati, Lotoako!” Leng-hong memperingatkan dengan memondongkan mulut keluar pintu.

Peng-ji, si dayang berdiri di luar dan sedang celingukan ke dalam ruangan.

Mencorong sinar mata Pang Goan, katanya dengan suara tertahan, “Apakah kau berada di bawah ancamannya?”

Leng-hong menggoyangkan tangan berulang kali, “Persoalan ini sukar untuk dibicarakan dengan sepatah dua kata, kalau Lotoako sudah mulai waspada, lebih baik jangan tunjukkan dulu sesuatu gerakan yang mencurigakan daripada memukul rumput mengejutkan ular. Tengah malam nanti, harap kau tunggu di kamar tamu, kita bicarakan persoalan ini dengan lebih terperinci lagi...”

Tiba-tiba Peng-ji mendorong pintu dan masuk ke dalam, menyusul kemudian Pang Wan-kun diikuti dua orang pelayan masuk juga ke situ. Kedua orang pelayan itu, yang satu membawa kotak bersisi makanan sedang yang lain membawa guci arak dan cawan.

“Toako, maaf,” kata Wan-kun sambil tertawa, “kebetulan hari ini tak ada lobak di dapur, terpaksa kusuruh mereka menghidangkan dulu daging dan kacang goreng sebagai teman minum arak, tidak keberatan bukan?”

Pang Goan manggut-manggut, “Anggap saja aku memang tidak beruntung, kalau ada arak dan makanan sekedarnya, mari sembari makan kita bercakap-cakap lagi.”

Ia berusaha bersikap sewajarnya, padahal dia memang merasa lapar sekali, harum arak juga memancing nafsu makannya.

Pang Wan-kun turun tangan sendiri mengatur peralatan makan, bahkan menemani pula di samping meja, sepanjang perjamuan berlangsung dia juga menuangkan arak, mengambilkan sayur buat Pang Goan. Sikapnya bagaikan seorang adik yang sedang melayani kakaknya. Semua arak dan sayur diberikan kepada Pang Goan dicicipi dulu olehnya sebelum diberikan.

Pang Goan menenggak dua cawan arak, kemudian katanya sambil tertawa, “Siaumoay, mengapa kau tidak minum secawan?”

“Aku tidak biasa minum arak sepagi ini, lebih baik Toako minum sendiri.”

“Minum arak sendirian rasanya kurang berarti, Jit-long, bagaimana kalau temani Lotoako minum dua guci arak?”

“Siaute menerima perintah!” sahut Leng-hong sambil bangun berduduk di pembaringan.

Pang Wan-kun tidak menghalanginya, cuma pesannya dengan hambar, “Jangan minum terlalu banyak, hati-hati lukamu belum sembuh!” Kemudian ia turun tangan sendiri dan penuhi cawan Leng-hong dengan arak.

“Lotoako, kuhormati secawan arak kepadamu, mari minum!” kata Leng-hong sambil mengangkat cawan.

“Jangan terburu nafsu,” cegah Pang Goan sambil menggoyang tangan, “lukamu belum sembuh, jangan minum secara terburu nafsu, cicipi dulu.”

Ho Leng-hong menurut, sambil tertawa ia cicipi arak itu satu cegukan.

“Bagaimana rasanya arak ini?” tiba-tiba Pang Goan bertanya.

“Sedaap!”

“Bukankah sedikit kecut?”

“Arak ini adalah arak Li-ji-ang, biasanya memang terasa rada asam!”

“Kau keliru,” kata Pang Goan sambil menggeleng kepala, “arak ini rasanya tidak kecut, tapi ada orang telah mencampuri arak ini dengan sesuatu, maka rasanya menjadi begini.”

“Sungguh?” teriak Leng-hong dengan kaget.

“Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan kepada Siaumoay?”

Sebelum Leng-hong mengajukan pertanyaannya dengan ketus Pang Wan-kun telah berkata, “Benar, akulah yang mencampurkan San-kang-sah (pasir pembuyar tenaga ke dalam arak ini).”

Suaranya dingin, kaku dan tenang, mukanya tidak merah, sikapnya tidak gugup, seakan-akan mengakui bahwa dalam kuah telah ditambah beberapa minyak dan kejadian itu bukan sesuatu yang diherankan.

Hampir saja Leng-hong melompat bangun dari tempat duduknya, dengan suara keras ia berteriak, “Hei, apa maksudmu?”

“Tidak ada maksud apa-apa,” jawab Wan-kun dengan suara berat, “berhubung tenaga dalam Toako sangat lihay, dan aku kuatir bukan tandingannya terpaksa aku mesti mengadakan persiapan lebih dulu.”

“O, kau masih memanggil Toako padaku?” ejek Pang Goan sambil tertawa.

“Mengapa tidak? Aku adalah bininya Jit-long, sedang kau adalah kakak iparnya, kalau kau tidak kupanggil sebagai Toako lantas mesti memanggil apa?”

Pang Goan sedikitpun tidak marah, dia mengangguk berulang kali, “Benar, panggilan itu memang benar, sebagai saudara, ada persoalan apa boleh dibicarakan secara baik-baik, kenapa mesti gunakan kekerasan?” Sekali tenggak, kembali dia menghabiskan secawan arak.

“Lotoako, kau tak boleh minum terlampau banyak....” cegah Leng-hong dengan cemas.

Pang Goan terbahak-bahak, “Hahaha.... pasir pembuyar tenaga akan segera bekerja begitu masuk tenggorokkan, minum secawan atau sepuluh cawan tidak berbeda jauh, apa salahnya kalau minum sampai mabuk lebih dulu?”

Ho Leng-hong melongo, tiba-tiba air mukanya berubah. Meskipun hanya secegukan ia cicipi arak tersebut, tapi saat ini perutnya mulai terasa aneh sekali, perutnya seolah-olah ditembusi oleh suatu benda sehingga timbul banyak lubang, hawa murninya kontan menjadi buyar dan tak sanggup dihimpun kembali.

Pang Wan-kun tertawa dingin, dia penuhi kembali cawan Pang Goan dengan arak, lalu katanya, “Meskipun apa yang Toako katakan memang benar, tapi ada baiknya Jit-long jangan minum terlalu banyak, sebab minum arak terlalu banyak bisa mendatangkan keburukan buat lukamu.”

“Hm, kau masih berpura-pura baik hati macam kucing menangisi tikus?” teriak Leng-hong dengan marah, “Jika aku sampai mampus karena terluka parah, bukankah hal ini akan memenuhi harapanmu?”

“Jit-long, jangan kau bicara tanpa berperasaan seperti itu,” tegur Pang Goan, “bagaimanapun kalian adalah suami isteri, masa dia berharap kau lekas mati? Seandainya kau benar-benar mati, kan ilmu To-kiam-hap-ping-tin tak bisa dilatih lagi?”

“Betul!” puji Pang Wan-kun sambil tertawa, “Toako memang cerdas sekali, perasaan orang lainpun dapat kau pahami.”

“Tapi sayang, To-kiam-hap-ping-tin berada dalam perutku, sekalipun kau dapat membuyarkan hawa murniku, belum tentu bisa kau korek keluar ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut dari perutku.”

“Ah, apa susahnya? Aku mempunyai cukup waktu dan kesabaran, asal luka yang diderita Jit-long telah sembuh, perlahan kita masih bisa merundingkannya lagi.” Kemudian ia bertepuk tangan dua kali sambil berseru, “Pengawal!”

Dua orang pelayan yang mengantarkan santapan tadi segera muncul, Cuma kali ini mereka tidak membawa arak melainkan menghunus golok panjang yang bersinar gemerlapan.

“Kuloya telah mabuk, bawalah ke kamar tamu untuk beristirahat, layani dengan hati-hati dan sebaik-baiknya, jangan ayal.”

Kedua pelayan itu mengiakan, satu di kiri yang lain di kanan, segera mereka gusur Pang Goan keluar.

Pang Goan sama sekali tidak melawan, malah sambil tertawa terkekeh ejeknya, “Hehehe . . . Siaumoay, kenapa tidak dibicarakan sekarang juga? Kalau kau katakan jejak Wan-kun kepadaku, mungkin akupun akan mengungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin-hoat kepadamu.”

“Aku tidak terlalu terburu nafsu untuk mengetahui rahasia barisan itu,” jawab Pang Wan-kun ketus, “lagipula waktu masih cukup banyak buat kami, kau masih mabuk, lebih baik pulang kamar dulu dan beristirahat.”

“Betul juga,” Pang Goan manggut-manggut, “minum arak dengan perut kosong memang gampang mabuk, Jit-long, lain kali kau musti ingat.”

Dua orang pelayan itu rata-rata bertubuh kekar dan bertenaga besar, sebaliknya Pang Goan kurus lagi kecil, belum habis perkataannya, seperti burung elang mencengkeram anak ayam, ia terus digusur keluar. Benarkah It-kiam-keng-thian (pedang sakti penyanggah langit) dari Cian-sui-hu itu harus keok di tangan seorang perempuan?

* * *

Betapa sedih Leng-hong waktu itu, ia merasa segala sesuatu itu gara-gara tindakannya, andaikata ia bongkar semua rahasia ini kepada Pang Goan semenjak orang tiba di Thian-po-hu, tak mungkin akan timbul akibat seperti apa yang dialaminya sekarang.

Ia dapat merasakan hingga detik itu Pang Goan masih menganggapnya sebagai Nyo Cu-wi, sebab itu orang pun masih curiga kepadanya, kalau tidak, tak mungkin orang menyuruh dia ikut minum arak yang telah dicampuri racun pembuyar tenaga itu.

Jelas Pang Goan berbuat demikian dengan maksud untuk menyelidiki apakah dia berkomplot dengan musuh atau tidak, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang menaruh curiga kepadanya. Kalau sudah demikian, dapatkah ia mengaku terus terang siapa sebenarnya dirinya sendiri?

Sesungguhnya Ho Leng-hong adalah seorang luar yang dipaksa untuk melibatkan diri dalam pertikaian ini, kini secara tiba-tiba ia merasa dirinya berhak pula untuk membongkar duduknya persoalan ini hingga jelas, sebab hanya dengan demikianlah bisa membuktikan kebersihannya.

Ia telah diubah oleh komplotan Pang Wan-kun gadungan menjadi Nyo Cu-wi, Pang Goan sendiripun menganggap dia sebagai Nyo Cu-wi, maka sudah menjadi kewajiban baginya untuk berjuang sampai titik darah penghabisan menghadapi kawanan penjahat tersebut, kemudian baru berusaha mencari tahu jejak Nyo Cu-wi suami-isteri yang sebenarnya serta menyelamatkan Pang Goan.

Setelah mengambil keputusan, ia berlagak mengomel, “Wan-kun, bagaimana kau ini? Kau minta aku merahasiakan urusan ini, sebaliknya kau sendiri malah menyiarkan rahasia ini.”

Dengan dingin Wan-kun melotot ke arahnya, ejeknya, “Benarkah kau dapat merahasiakan soal ini?”

“Tentu saja, aku telah menyanggupi permintaanmu, tak kusangka kau malah mencampur sesuatu di dalam arak.”

Wan-kun tertawa, “Sebetulnya aku tak ingin turun tangan, tapi apa yang hendak kau beritahukan kepadanya tengah malam nanti? Daripada kau yang mengungkapkan persoalan ini, lebih baik aku membongkarnya sendiri.”

“O, jadi kau telah mendengar semua pembicaraan kami?” seru Leng-hong terkejut.

“Kalau tak ingin diketahui orang, kecuali tidak berbuat. Jangan kau anggap aku ke dapur, lalu semua kejadian di sini bisa mengelabuhi diriku.”

Leng-hong tertawa jengah, “Padahal kau salah paham, justru lantaran ia mulai curiga kepadamu, maka aku harus membaiki dia, aku malah sudah bersiap hendak mengajak kau membicarakan soal ini secara pribadi serta mencari akal cara menghadapinya malam nanti.”

“Benarkah itu? Bagaimana rencanamu untuk memberi penjelasan kepadanya?”

“Tentu saja aku tak akan mengakui kau ini gadungan, tentang kepandaian di dapur, aku bisa mengatakan kepandaian itu dipelajari setelah kawin, lantaran aku suka makan kuah lobak, maka....”

“Cukup! Cukup!” sela Wan-kun sambil mengulapkan tangannya dengan tidak sabar, “Jadi maksudmu kau bersedia bekerja sama denganku serta menurut semua perintahku?”

“Benar! Aku sudah terlanjut basah, kecuali begitu tiada pilihan lain lagi.”

“Bagus sekali,” Wan-kun manggut-manggut, “sekarang akan kuserahi suatu tugas kepadamu dan kau harus menyelesaikannya dengan baik.”

“Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”

“Nasihatilah Pang-lotoa, suruh dia cepat-cepat membeberkan rahasia ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut kepada kami.”

“Aku tentu akan menasihatinya, Cuma iapun mulai curiga kepadaku, mungkin ia enggan membertahukan rahasia tersebut kepadaku.”

“Paling sedikit ia masih mengakui dirimu sebagai Nyo Cu-wi, tak ada salahnya kau katakan bahwa Pang Wan-kun yang asli sudah berada di tanganku, seluruh gedung Thian-po-hu juga berada dalam cengkeramanku, bila ia enggan memberitahukan rahasia To-kiam-hap-ping-tin-hoat, maka Thian-po-hu dan Cian-sui-hu bakal lenyap dari percaturan dunia persilatan.”

“Kalau begitu, nona ini dari Hiang-in-hu?” Leng-hong coba menyelidik.

Wan-kun tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya, “Kau kira kecuali Thian-po-hu dan Cian-sui-hu, di dunia persilatan hanya tertinggal Hiang-in-hu saja yang paling hebat?”

Leng-hong tertawa, “Habis nona datang dari nama? Siapa namamu? Paling sedikit kau harus mengungkapkan hal itu kepadaku, agar aku ada alasan untuk menasihati Pang-lotoa.”

Wan-kun termenung sebentar, katanya kemudian, “Jika kau ingin tahu, hanya empat baik syair yang dapat kukatakan kepadamu, soal lain boleh kautebak sendiri.”

“Coba katakan!”

“Badan ramping tubuh lemah semangat tinggi, tinggalkan jarum belajar golok, gemuruh guntur membangunkan orang tidur, baru tahu si perempuan adalah seorang ksatria.”

* * *

Pang Goan rebah di pembaringan dengan siku sebagai bantal, matanya terpejam dan sikapnya adem ayem. Habis mendengar keempat baik syair yang dibacakan oleh Ho Leng-hong, kontan saja ia mendengus.

“Hmm, syair kentut anjing,” serunya mendongkol, “artinya tak lebih adalah orang perempuan ingin berebut kedudukan dengan kaum pria, mengenai nama dan asal-usulnya hampir tidak disinggung satu kata pun.”

“Tapi paling tidak kan sudah diketahui bahwa dia bukan dari Hiang-in-hu.”

“Sejak pertama kali sudah kuketahui akan hal ini, sekarang akupun enggan mencari tahu asal usulnya, aku hanya ingin tahu bagaimana nasib Siaumoay.”

Ho Leng-hong menghela napas panjang, “Dia hanya mengaku Wan-kun berada di tangan mereka, sedang soal lain sama sekali tak disinggung.”

“Sebelum ia memberi pertanggungan jawab nasib Siaumoay, jangan harap akan memaksa aku mengungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin.”

Tiba-tiba ia membuka matanya dan menatap Leng-hong lekat-lekat, “Kalian adalah suami-isteri, masa isteri yang tiap hari tidur bersama ditukar orang juga tidak tahu? Aku benar-benar tak habis mengerti, sesungguhnya kau ini terdiri dari darah daging atau balok kayu?”

“Tepat sekali teguran Lotoako,” Ho Leng-hong menunduk kepala, “tapi penyaruannya terlalu persis, bukan saja perawakan dan suaranya sama, bahkan tanda khusus ditubuhpun tak ada yang berbeda, ditambah lagi Bwe-ji dan Siau Lan, kedua dayang itu sudah disuap mereka, siapakah yang akan menyangka?”

“Sebelum dan sesudah kejadian, apakah dalam rumah tidak terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan?”

“Benar-benar tak ada, bukan saja semua penghuni gedung tak tahu, teman-teman juga tak tahu, malah sewaktu Lotoako datang, bukankah engkaupun dikelabuhi?”

Pang Goan manggut-manggut, “Perempuan ini memang tidak sederhana, kecuali penyaruan yang sempurna, pemikiran yang tajam, persiapan yang cermat serta rencana yang tepat, boleh dibilang tiada titik kelemahan sedikitpun, cuma ia toh tetap melupakan satu hal.”

“Dalam hal apa?” tanya Leng-hong lirih.

Pang Goan cuma tertawa dan tidak menjawab, diambilnya sebuah cangkir teh dari meja kecil, perlahan ditempelkan telapak tangan kanan di mulut cangkir tersebut. Dalam waktu singkat seluruh telapak tangan kanannya berubah menjadi merah darah, uap panas mengepul, asap mengepul tiada hentinya. Tak lama kemudian warna merah itu hilang, ketika ia menggeser telapak tangannya, tahu-tahu cawan itu sudah penuh arak.

Kejut dan gembira Leng-hong, bisiknya dengan suara gemetar, “Lotoako, kau...”

Pang Goan menunjuk ke pintu dengan mulutnya sambil menukas, “Pulang dan beritahukan kepada mereka, katakan aku sanggup membeberkan To-kiam-hap-ping-tin kepadanya asal ia membertahukan lebih dulu jejak serta keselamatan Wan-kun, kalau tidak, tiada perundingan lebih lanjut.”

“Baik, segera akan kusampaikan kepadanya, semoga Toako baik-baik menjaga diri...” bisik Leng-hong.

Ia masih ingin mengucapkan sesuatu tapi Pang Goan telah membuang arak itu ke bawah pembaringan sambil memberi tanda agar ia tinggalan tempat itu. Setibanya di luar kamar tamu, Leng-hong merasa langkah kakinya bertambah ringan.

Itulah yang dikatakan orang pintar sejaman, bodoh sesaat. Kalau perempuan itu tahu ilmu silat Pang Goan sangat lihay, tidaklah terpikir olehnya bahwa “pasir pembuyar tenaga” belum tentu efektif terhadapnya?

Tak heran Pang Goan berkata begini, “Minum arak waktu perut kosong paling gampang mabuk.”

Rupanya hal ini menunjukkan ia sudah waspada terhadap arak dan sayur yang dihidangkan, dengan kecermatan Pang Goan, tentu saja dia tak akan dikerjai begitu saja oleh orang. Atau dengan perkataan lain, ia pura-pura keracunan tak lebih hanya siasat belaka. Pertama karena kuatirkan keselamatan Pang Wan-kun, kedua, dengan cara itu dia hendak menyelidiki asal-usul musuhnya.

Tentu saja masih ada alasan lain, yakni lantaran luka yang diderita Ho Leng-hong belum sembuh, dia harus bersabar untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan.

Dengan masih utuhnya tenaga dalam Pang Goan berarti setiap saat ia bisa membekuk perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun itu, asal perempuan itu tertangkap, mustahil asal-usul mereka tak terungkapkan?

Sungguh gembira perasaan Ho Leng-hong ketika itu, tapi ia harus berusaha mengendalikan pergolakan emosi tersebut dengan berpura-pura murung dan kesal, apa yang dikatakan Pang Goan segera disampaikan kepada “Pang Wan-kun”.

Rupanya Pang Wan-kun gadungan ini sudah menduga sampai ke situ, sambil tertawa dingin katanya, “Aku cuma bisa mengatakan bahwa dia berada di tangan kami dan sehat saja, soal bukti tak bisa kami perlihatkan, jadi mau percaya atau tidak terserah padanya.”

“Tapi, tanpa suatu bukti tak mau ia ungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin dan lagi bukankah orang itu berada di tangan kalian? Kenapa tidak digusur sebentar ke sini agar mereka bisa berjumpa muka?”

“Tak mungkin,” sahut Pang Wan-kun gadungan sambil menggeleng, “sekalipun bisa dipenuhi, paling banter ia cuma bertemu dengan seseorang Pang Wan-kun yang berwajah mirip denganku, tetap tak bisa dibedakan asli atau palsu.”

“Ya, apa boleh buat?” Leng-hong angkat bahu, “kalau kalian tetap ngotot, akupun tak bisa berbuat lain. Pokoknya Pang-lotoa juga kukuh dengan pendiriannya, sebelum bertemu dengan adiknya, jangan harap bisa memperoleh To-kiam-hap-ping-tin darinya.”

Pang Wan-kun tertawa dingin, “Hmm, aku punya cara untuk memaksanya berbicara, tunggu saja nanti!”

Ketika Ho Leng-hong bertanya lagi cara apa yang hendak dipergunakan, Pang Wan-kun tidak menjawab melainkan hanya tertawa dingin saja.

Sejak itu sampai tiga-empat hari kemudian, ternyata tiada sesuatu tindakan yang dilakukan, hari demi hari lewat dengan tenang.

Pang Goan tinggal di kamar tamu sebelah depan, kecuali dua orang pelayan yang melayani keperluannya siang-malam, ia tidak mendapat pengawalan yang ketat, asal tidak meninggalkan gedung Thian-po-hu, hampir boleh dibilang tak ada orang yang mengurusi gerak-geriknya.

Ia boleh keluar masuk taman belakang, bermain catur dengan Ho Leng-hong atau jalan-jalan dalam taman, bila dia mau bahkan makan bersama dengan “Pang Wan-kun” dan bergurau pula bersama, bagaikan kakak yang bercanda dengan adiknya.

Mereka seakan-akan sudah mempunyai persetujuan bersama, bukan saja tidak menyinggung soal Pang Wan-kun, merekapun tidak menyinggung soal To-kiam-hap-ping-tin, kedua orang itu tetap rukun seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun.

Ho Leng-hong jadi bingung sendiri setelah menyaksikan keadaan tersebut. Beberapa kali ia coba menyelidiki hal ini, tapi kedua pihak tidak memberi jawaban yang memuaskan, meski demikian ia dapat merasakan ketenangan di luar tak bisa mengendalikan kekalutan di dalam, suatu badai hebat setiap saat bisa terjadi, hanya tidak diketahui kapan meledaknya.

Selama beberapa hari belakangan ini ia telah menemukan pula suatu kejadian yang mengerikan, ternyata semua pelayan yang berada di taman belakang adalah komplotan “Pang Wan-kun”, lagipula ilmu silat mereka rata-rata cukup tinggi.

Jelas perempuan-perempuan itu berasal dari suatu perkumpulan yang sama dan telah mendapat pendidikan yang keras, jelas komplotan itu bukan dibentuk secara terburu-buru.

Maka dari itu, meski di luar tampaknya Pang Goan bisa bergerak bebas, sesungguhnya setiap saat dan setiap detik ia berada di bawah pengawasan yang ketat. Rupanya Pang Goan juga mengetahui akan hal ini, maka iapun bersikap tenang dan tak pernah melewati daerah terlarang, setiap kali bertemu dengan Ho Leng-hong, yang dibicarakan hanya masalah umum.

Tampaknya mereka seperti sedang menantikan sesuatu. Selama perang dingin berlangsung, luka di lambung Ho Leng-hong secara berangsur telah sembuh kembali. Hari ini, Ho Leng-hong merasakan situasi agak tak beres. Sejak sore hari, tiba-tiba di taman belakang Thian-po-hu muncul beberapa orang perempuan asing.

Leng-hong berani bertaruh perempuan-perempuan itu bukan pelayan Thian-po-hu, tapi mereka mengenakan seragam pelayan Thian-po-hu, jumlahnya kurang lebih enam-tujuh, dipimpin seorang perempuan setengah umur, mereka melakukan perondaan yang saksama di setiap sudut taman, termasuk juga ruang tidur di atas loteng.

Rupanya mereka sedang memeriksa setiap tempat yang mungkin dibuat tempat bersembunyi, terutama terhadap ruang atas boleh dibilang pemeriksaan dilakukan amat teliti, kemudian empat orang di antaranya menyebarkan diri di dalam taman, sedang perempuan setengah umur itu beserta dua orang lainnya tetap tinggal di ruang atas dan menjaga jalan masuk-keluar tempat itu.
Pang Wan-kun tidak memberi penjelasan apa-apa terhadap kemunculan beberapa perempuan asing itu, tapi Ho Leng-hong dapat menyaksikan betapa hormatnya terhadap perempuan setengah umur yang baru datang itu, bahkan memanggilnya dengan sebutan “Liu A-ih” atau bibi Liu.

Sikap bibi Liu sangat angkuh dan tinggi hati, mukanya selalu dingin bagaikan es dan tak pernah kelihatan bersenyum. Jika pernah senyum atau tertawa, maka hal ini terjadi ketika pertama kali berjumpa dengan Ho Leng-hong, setelah memperhatikan sekujur badan pemuda itu dengan sorot mata menghina, tiba-tiba ia tertawa.

Ketika tertawa tertampaklah dua baris giginya yang hitam seperti buah delima yang telah busuk, begitu seramnya tertawa perempuan itu membuat Leng-hong bergidik. Suka atau tidak suka adalah urusan lain, yang pasti dengan tertawa tersebut Ho Leng-hong berhasil memperoleh sedikit hasil yang di luar dugaan.

Ditinjau dari gigi Liu A-ih yang hitam itu bisa diduga delapan puluh persen ia suka mengunyah sirih, ketika diperhatikan lagi dialek bicaranya, maka terdengarlah ia bicara dengan logat wilayah Leng-lam.

Hal ini segera menghubungkan pikiran Ho Leng-hong dengan letak Hiang-in-hu yang berada di Hu-yong-shia wilayah Leng-lam, bukankah hal ini menunjukkan rombongan Liu A-ih umpama bukan anak buah Hiang-in-hu, tapi sedikit banyak tentu ada hubungannya? Kalau tidak, maka kemungkinan besar mereka adalah gundik atau pelayan Hui Pek-ling yang berkhianat dan beraksi di luar tahu Hui Pek-ling.

Ingin sekali Ho Leng-hong melaporkan hasil penemuannya ini kepada Pang Goan di ruang depan, sayang ia tidak memperoleh kesempatan, terpaksa secara diam-diam saja diperhatikannya setiap gerak-gerik di bawah loteng.

Senja itu, ketika Peng-ji mengantar makan malam ke loteng, ia membisikkan sesuatu ke sisi telinga Pang Wan-kun.

“Aku tahu,” Wan-kun manggut-manggut, “aku dapat menyelesaikannya, suruh mereka berhati-hati terutama bagian depan.”

Setelah meletakkan hidangan di meja, Peng-ji mengundurkan diri. Leng-hong tertawa dan menegur, “Wan-kun, urusan apa yang hendak kalian selesaikan?”

“Lebih baik jangan banyak bertanya,” sahut Wan-kun dengan ketus, “setelah makan kenyang tidurlah baik-baik, apapun yang terjadi, janganlah kautinggalkan kamar tidur ini.”

“Aku bisa menebaknya, bukankah kalian hendak menghadapi Pang-lotoa? Kedatangan Liu A-ih pasti khusus untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Pang Wan-kun cuma tertawa dingin, ia tidak membenarkan pun tidak menyangkal, rupanya ia tak peduli apakah Ho Leng-hong mengetahui rahasia ini atau tidak, selain itu iapun sudah menduga pemuda itu pasti bisa berpikir sampai ke situ, maka ia tidak heran. Andaikata Leng-hong pura-pura tidak mengetahui soal apapun, mungkin tindakan ini malah akan memancing kecurigaan mereka.

Kembali Leng-hong menghela napas panjang, “Aku adalah orang di luar garis, dengan kedua belah pihak tak ada hubungan apa-apa, hakikatnya apa yang hendak kalian lakukan terhadap Pang-lotoa sama sekali tak ada hubungannya denganku, cuma sebagai penonton kuharap agar kalian jangan mencelakai jiwanya, ia sudah kehilangan ilmu silatnya, jelas tak bisa menandingi kalian…”

“Hei, kusuruh kau jangan mencampuri urusan ini, mengerti tidak kau?” hardik Wan-kun.

“Baik, aku takkan bertanya lagi, setelah makan aku akan tidur senyenyaknya, tentunya boleh bukan?” Habis berkata ia lanjutkan santapannya dengan lahap, betul juga, ia tidak buka suara lagi.

Pang Wan-kun bersantap dengan tergesa-gesa, setelah menyuruh Peng-ji membersihkan meja, merekapun turun dari loteng. Sebelum pergi, pintu kamar dikunci dari luar, Leng-hong dikurung dalam loteng. Mungkin mereka mengira tenaga Ho Leng-hong telah buyar, lukanya belum sembuh, maka jalan darahnya tidak perlu ditutuk.

Ho Leng-hong sudah mempunyai rencana sendiri, buru-buru ia membuka baju luarnya dan membuat orang-orangan di balik selimut, setelah memadamkan lampu, ia membuka daun jendela. Dari jendela tertampaklah suasana dalam taman gelap gulita, sebaliknya ruang tengah di bawah loteng terang benderang dan bermandikan cahaya lampu.

Pang Wan-kun dan Liu A-ih rupanya berada dalam ruangan semua, di dalam taman pun terdapat penjaga, tapi suasana di luar loteng amat hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun. Ditinjau dari keadaan tersebut, bisa diduga malam itu mungkin ada seorang penting akan berkunjung ke situ, maka semua orang menantikan kedatangannya dengan tenang.

Tentu saja orang yang akan datang itu mempunyai kedudukan di atas A-ih, atau bahkan mungkin juga otak yang mendalangi operasi pencurian golok mestika.

Pelahan Ho Leng-hong membuka jendela dan menyelinap keluar, lalu merosot ke sebuah balkon di bawah jendela, dengan tangkas sebelah tangan memegang kosen jendela, tangan yang lain digunakan memegang emper rumah, dari situ ia ambil tangga tali yang berada di tepi emper. Tangga tali tersebut sudah disiapkan dua hari yang lalu, dan disembunyikan di talang emper rumah, semula dipersiapkan untuk kabur bila keadaan terdesak.

Sekarang ia tahu tak mungkin turun lewat tangga tali itu sebab tindakan ini tentu akan mengejutkan para peronda dalam taman, sebaliknya naik ke atas, bukan saja lebih leluasa, dan lagi aman. Setiba di atas atap rumah, orang bisa memperhatikan keadaan sekitarnya dengan saksama, andaikata bisa melintasi rak bunga di sebelah sana, di balik semak bunga akan lebih mudah baginya untuk menyembunyikan diri.

Begitulah, meski Ho Leng-hong tak dapat mengerahkan tenaga dalamnya, tapi ia bisa bergerak lincah, sekali berjumpalitan ke atas, tahu-tahu ia sudah berada di atas atap rumah. Kemudian ia menarik tangga tali itu, dia atur napas, dan menelusuri atap, pelahan ia merayap ke arah rak bunga.

Baru saja melewati tiga kali lukukan genteng, tiba-tiba ia mendengar suara pembicaraan orang di sebelah bawah. Leng-hong mengintai ke sana, dilihatnya dua buah lentera mengiringi serombongan orang sedang naik ke ruang atas dari arah barat.

Dua orang dayang cilik yang membawa lampu lentera adalah anggota Thian-po-hu, di belakang mengikut empat orang perempuan berbaju hitam, dua di muka dan dua di belakang, mengiringi seorang gadis berbaju merah.

Empat orang perempuan berbaju hitam itu mempunyai perawakan yang cebol tapi kekar, bajunya juga istimewa, bagian bawah mengenakan celana panjang yang ketat sedang bagian atas mengenakan baju pendek yang longgar dengan bagian leher sangat lebar, baju itu tidak berkancing tapi diikat dengan ikat pinggang lebar berwarna hitam, andaikata mereka tidak bersanggul tinggi, orang akan mengira mereka sebagai lelaki.

Yang lebih istimewa lagi adalah pinggang masing-masing terselip dua bilah golok, yang satu panjang dan yang lain pendek. Yang pendek cuma dua kaki, gagang golok itu malah mencapai tujuh-delapan inci, sedangkan golok panjang berukuran empat-lima kaki, gagangnya sendiri juga mencapai satu kaki lebih.

Lebar mata golok hanya sebesar tiga jari, bentuknya ramping tapi panjang, sedikit mirip pedang. Cuma ujungnya melengkung ke atas dan jelas hanya mata golok sebelah saja yang tajam. Jelek-jelek begitu, Ho Leng-hong terhitung seorang ahli golok, tapi selama hidup belum pernah ia lihat golok panjang (samurai) seaneh ini.

Nona berbaju merah itu tak bersenjata tapi gayanya lembut dan terpelajar, sekalipun dalam kegelapan tak dapat melihat wajahnya, api umurnya mungkin belum melampaui dua puluhan, dan mungkin sangat cantik. Baru saja rombongan itu tiba di luar pintu, Pang Wan-kun serta Liu A-ih dengan langkah cepat menyambut kedatangan mereka.

“Menyambut kedatangan Samkongcu!” seru mereka sambil memberi hormat.

“Tak usah banyak adat,” nona berbaju merah itu mengulapkan tangannya, “mari kita bicara di dalam saja.”

Pang Wan-kun dan Liu A-ih segera memberi jalan, didahului keempat orang perempuan berbaju hitam tadi mereka lantas masuk ke dalam.

Ho Leng-hong diam-diam merasa heran, pikirnya, “Hebat benar perempuan ini, bukan saja bergelar Tuan Puteri, punya pengawal pribadi pula, tampaknya kehebatan mereka jauh melebihi Thian-po-hu. wah, jika ditilik dari sikap Pang Wan-kun berdua, rupanya perempuan yang menyaru Pang Wan-kun ini hanya seorang keroco, sedang Liu A-ih tak lebih cuma seorang pelayan...”

Berpikir sampai di sini, dengan cepat ia ubah rencananya semula, diputuskan penyampaian berita kepada Pang Goan sementara waktu ditunda, dia akan mengikuti dulu pembicaraan apa yang sedang berlangsung di bawah loteng. Tapi penjagaan di sekitar ruangan itu sangat ketat, bagaimana caranya mengikuti pembicaraan mereka?

Ah, ada akal! Pelahan Leng-hong melintasi wuwungan rumah, ia manjat ke atas rak bunga, dengan tangkai bunga sebagai aling-aling pelahan ia melayang turun ke bawah, kemudian dengan sikut menggantikan kaki ia merangkak, dari rak bunga merangkak sampai ke bawah dinding kamar, dari mana ditemukan sebuah lubang hawa yang ditutupi dengan terali besi.

Di dalam lubang hawa adalah ruangan bawah tanah. Leng-hong masih ingat, dalam ruangan itu terdapat sebuah perapian yang terbuat dari batu, perapian itu dipersiapkan sebagai penghangat udara di musim dingin, cerobong perapian tadi justru menembus ke dinding rangkap di ruang tengah.

Seandainya ia merangkak masuk ke dalam cerobong asap, tempat itu sungguh tempat persembunyian yang paing bagus untuk mencuri dengar pembicaraan yang sedang berlangsung. Dengan sangat hati-hati ia melepaskan terali besi lubang hawa itu, kemudian tanpa mempedulikan kotornya debu dan hangus, bagaikan seekor ular pelahan ia merayap ke dalam cerobong.

Ternyata segala sesuatunya persis seperti apa yang diharapkan, letak perapian itupun sangat menguntungkan, ditambah lagi cerobong asap tersebut cukup lebar, sehingga seorang yang berdiri di dalamnya masih terasa longgar.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah baik pada cerobong asap maupun dinding rangkap terdapat pintu kecil guna keperluan pembersihan, dengan dibukanya pintu kecil tersebut, bukan saja pembicaraan dalam ruangan dapat terdengar, bahkan pemandangan dalam ruangan juga dapat terlihat jelas.

Satu-satunya hal yang patut disesalkan adalah ketika Ho Leng-hong tiba di cerobong tersebut, Samkongcu itu sudah berduduk, kebetulan ia duduk membelakangi pintu kecil sehingga raut wajah sama sekali tak terlihat olehnya.

Tapi bila ditinjau dari bayangan punggungnya terbuktilah apa yang dibayangkan Ho Leng-hong memang tepat. Dia adalah seorang gadis muda yang lemah lembut dan berperawakan menarik.

Liu A-ih duduk di sebuah bangku di sampingnya, sementara keempat orang perempuan bersamurai itu berdiri di kiri kanan, Pang Wan-kun tampak berdiri dan sedang menuturkan kepada Samkongcu semua kejadian yang berlangsung belakangan ini.

Waktu itu laporan baru berlangsung satu bagian, rupanya Samkongcu merasa kurang puas atas laporan tersebut, pelahan katanya,

“Selama ini, penampilanmu memang tak jelek, tapi kalau dibilang dengan begitu lantas Thian-po-hu dan Cian-sui-hu telah berhasil kau kendalikan, hal ini terlalu berlebihan. Kau tahu, tujuan kita bukan menguasai Thian-po-hu dan Cian-sui-hu, yang kita butuhkan adalah golok mestika Yan-ci-po-to serta intisari ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut, kemudian dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang kita hajar mereka sampai kalah, agar setiap pria di dunia tunduk di bawah kekuasaan Ci-moay-hwe kita.”

“Hamba mengerti!” kata Pang Wan-kun.

“Kalau sudah tahu, tidak seharusnya kau gunakan kekerasan, terutama terhadap Pang Goan, tidak seharusnya kau bocorkan rahasiamu, dengan demikian intisari To-kiam-hap-ping-tin baru akan diuraikan kepada kalian.”

“Tapi ia sudah mulai menaruh curiga kepada hamba.”

“Hal ini membuktikan pekerjaanmu masih kurang sempurna, dalam menghadapi pelbagai persoalan pun kurang sabar, daripada rahasiamu ketahuan kan lebih baik berusaha menghilangkan kecurigaan itu dengan cara yang lain.”

Pang Wan-kun menunduk kepala dan bungkam.

Samkongcu berkata lebih lanjut, “Yang paling tak bisa dimaafkan adalah tindakanmu yang tergesa-gesa untuk mencuri golok mestika tersebut, semua persiapan kurang sempurna sehingga akhirnya kita berkorban nyawa dua orang anggota kita, lalu apakah tindakan ini bisa menutupi titik kelemahanmu? Toh akhirnya jejakmu ketahuan juga, bayangkan sendiri, berhargakah tindakanmu itu?”

“Hamba mengaku salah,” Pang Wan-kun menundukkan kepalanya lebih rendah.”

Samkongcu menghela napas panjang, katanya lagi, “Ketika Kongcu mengetahui kejadian ini, ia marah sekali. Tapi mengingat golok mestika Yan-ci-po-to berhasil kau dapatkan, maka dosamu tak sampai dituntut, sebab itulah aku dan Liu A-ih sengaja dikirim kemari untuk membereskan langkah yang berantakan ini.”

“Terima kasih atas kebijaksanaan Hwe-cu, terima kasih pula kepada Samkongcu yang telah membantu diriku,” kata Pang Wan-kun sambil memberi hormat.

“Sekarang serahkan Yan-ci-po-to itu kepadaku dan serahkan Pang Goan kepada Liu A-ih untuk digusur pergi, dan kau sudah tak ada urusan lagi. Cuma kau harus tetap tinggal di Thian-po-hu untuk melanjutkan kedudukanmu sebagai nyonya Nyo Cu-wi, berusahalah menyelidiki asal-usul Thian Pek-tat, yang penting ia menjalankan perintah siapa? Apa pula tujuannya? Bila berhasil mendapatkan keterangan, laporkan kepada kantor cabang, jangan mengambil tindakan secara gegabah.”

Pang Wan-kun mengiakan pula.

“Selain itu, tak perlu kau beri pasir pembuyar tenaga kepada orang she Ho itu, dia adalah hasil karya kita yang telah banyak makan tenaga dan pikirkan, ilmu silatnya tidak tinggi, asal diawasi secara ketat sudah lebih dari cukup. Harus kau beri obat penawar kepadanya, rayu dia dengan segala kelembutan dan kemesraan agar ia mau kita gunakan secara sukarela.”

Pang Wan-kun hanya mengiakan berulang kali.

Dari nada pembicaraan mereka, Ho Leng-hong dapat merasakan bahwa ilmu silatnya dianggap rendah bahkan bernada menghina, hal ini amat menggusarkan hatinya. Diam-diam ia tertawa dingin, pikirnya, “Budak sialan, kau anggap orang she Ho ini laki-laki bangor yang bernyali tikus? Hmm, kau telah salah melihat orang! Walaupun ilmu silatku rendah, tapi bukan laki-laki yang gampang dikendalikan...”

Sementara itu Liu A-ih berbangkit sambil bertanya, “Kongcu bermaksud akan berangkat kapan?”

“Berangkatlah dulu bersama tawananmu, setelah mendapatkan golok mestika itu aku segera menyusul,” kata Samkongcu.

“Sekarang juga hamba akan ke taman untuk mengambil golok,” kata Pang Wan-kun cepat, “biar Peng-ji yang mengantar Liu A-ih ke ruang depan.”

“Kau sembunyikan golok mestika itu di taman?” tegur Samkongcu dengan kening berkerut.

“Benar, sebetulnya hamba akan mengambilnya dari sana, tapi perbuatanku diketahui Ho Leng-hong sehingga terpaksa harus kulukai dia, waktu itu hamba tak sempat membawanya pergi, maka golok itu kusembunyikan kembali dalam liang semula, untung Pang Goan tidak menyangka golok mestika itu masih berada di tempat semula.”

“Perbuatanmu itu terlalu berbahaya,” kata Samkongcu sambil menggeleng, “cepat ambil, semoga tidak terjadi hal-hal di luar dugaan lagi.”

Pang Wan-kun mengiakan dan keluar dari ruangan, Ho Leng-hong buru-buru menerobos keluar dari lubang hawa itu. Ia tidak kuatir Pang Goan akan digusur pergi Liu A-ih, maka diputuskan untuk mendahului Pang Wan-kun dan merebut kembali Yan-ci-po-to itu. Atau paling sedikit dia akan mengacau agar Yan-ci-po-to tidak sampai dibawa kabur oleh Samkongcu.

Ho Leng-hong sadar di sekitar loteng pasti dijaga ketat oleh anggota “Ci-moay-hwe” (perkumpulan kaum perempuan), tapi ia tidak mempedulikan soal itu, ia menelusuri rak bunga yang gelap dan menerobos ke belakang loteng menuju ke hutan.

Suatu keanehan kembali terjadi, sekalipun ia kabur dengan cara sekasar itu, namun jejaknya ternyata tidak diketahui oleh para penjaga. Dalam waktu singkat pemuda itu sudah berada di tepi hutan, menurut perhitungannya Pang Wan-kun tentu masuk ke hutan lewat arah lain. Ia tak berani ayal, dengan langkah cepat ia masuk ke tengah hutan.

Ketika dia tiba di tempat penyimpanan golok tersebut, tiba-tiba dari depan terdengar suara langkah kaki orang. Diam-diam Leng-hong gelisah, sebab menurut keadaan tersebut tak mungkin baginya untuk mengambil golok mestika itu mendahului Pang Wan-kun, sekalipun mereka tiba berbareng, dengan kepandaian silatnya jelas ia bukan tandingan perempuan itu.

Terpaksa ia berhenti dan menutup mulutnya dengan tangan, maksudnya mengurangi napasnya yang tersengal, kemudian ia pasang telinga dan memperhatikan gerak-gerik lawan. Tapi, sungguh aneh, ketika ia berhenti, suara langkah kaki itupun ikut berhenti. Ia coba maju dua langkah, ternyata di depan tidak ada reaksi apapun. Sesungguhnya apa yang terjadi? Mungkinkah lantaran terlalu tegang maka ia salah dengar?

Keadaan sudah mendesak, Ho Leng-hong tak sempat berpikir panjang lagi, dengan langkah cepat ia memburu ke depan. Tapi setibanya di tanah lapang dalam hutan, ia tertegun.

Di sekitar liang telah bertumpuk tanah baru, jelas liang tersebut baru digali orang. Tapi bukan Pang Wan-kun yang menggali liang tersebut, sebab perempuan itu masih berdiri di tepi liang, tangannya kosong dan tubuhnya kaku, jelas jalan darahnya ditutuk orang.

Ho Leng-hong coba memeriksa keadaan di sekitar situ, namun tiada sesosok bayangan pun, dengan cepat ia bertanya, “Mana golok mestika itu? Apakah golok mestika itu telah dibawa kabur orang?”

Pang Wan-kun tidak menjawab, kecuali biji matanya masih dapat bergerak-gerak, sekujur badanya kaku seperti patung. Bila jalan darah seorang tertutuk, mana bisa ia menjawab?

Leng-hong ingin cepat-cepat mengetahui Yan-ci-po-to, ia mengitari liang itu dan menepuk beberapa kali punggung perempuan itu. Tapi hawa murninya tak bisa dihimpun, otomatis pukulannya juga tak bertenaga, bagaimanapun juga ia menepuk, jalan darah Pang Wan-kun sukar dilancarkan.

Dengan gemas Leng-hong menggentak kaki ke tanah, bentaknya, “Obat penawar kau bawa tidak? Kalau ada, kerdipkan matamu dua kali!”

Pang Wan-kun segera mengerdipkan matanya dua kali. Cepat Leng-hong menggeledah sakunya, betul juga dekat belahan baju dalamnya ia temukan sebuah botol porselen bulat pipih.

“Apakah botol ini berisi obat penawar?” tanyanya pula.

Sekali lagi Wan-kun mengerdipkan matanya. Leng-hong membuka tutup botol dan mengeluarkan sebutir obat penawar terus dimasukkan ke dalam mulut. Setelah obat itu ditelan, tak lama kemudian muncul aliran panas dari bagian dada, bagaikan minum arak panas aliran itu terus turun ke perut. Segera Leng-hong menarik napas panjang, pelahan hawa murninya dihimpun kembali lalu disalurkan ke telapak tangan kanannya….

Tapi sebelum bertindak sesuatu, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya, “Tidak, perempuan ini tak boleh dibebaskan dulu jalan darahnya, ilmu silatnya mungkin lebih tinggi daripadaku, setelah dibebaskan, bisa jadi aku akan dijegal malah, kan bisa runyam?”

Berpikir demikian, maka tepukan tangannya dialihkan ke tempat lain, yakni pada jalan darah bisu di kuduk perempuan itu. Pang Wan-kun terbatuk-batuk, setelah tumpah segumpal riak kental, ia dapat bersuara kembali.

“Cepat katakan, Yan-ci-po-to itu digali siapa?” tanya Leng-hong.

Bukan menjawab, Wan-kun malah berkata, “Jit-long, bebaskan dulu jalan darahku, bagaimanapun juga kita pernah menjadi suami isteri, lagipula obat penawar pasir pembuyar tenaga telah kuberikan padamu, masa kau tak mau menolong aku yang sedang tertimpa kesusahan?”

“Katakan dulu padaku, siapa yang telah membawa kabur golok mestika itu, asal kau megaku terus terang, tentu saja akan kutolong dirimu.”

“Aku pasti akan memberitahukan kepadamu, tapi bebaskan dulu jalan darahku.”

“Hmm, sampai sekarang pun kau masih ingin bertukar syarat denganku?”

“Aku tidak minta tukar syarat, aku hanya mohon kepadamu, sebab bila golok mestika itu sampai hilang, aku bakal dihukum mati.”

“Huh, kau tak boleh kehilangan golok mestika, apakah aku boleh kehilangan? Jangan lupa, Yan-ci-po-to bukan milikmu.”

Wan-kun tertawa getir, “Jit-long, apa gunanya membicarakan persoalan itu dalam keadaan seperti ini? Baik golok itu milik siapa, kita sama-sama tak ingin kehilangan, bukan?”

Tentu saja Leng-hong tak dapat menyangkal, iapun tahu, seandainya Yan-ci-po-to sampai terjatuh ke tangan orang lain, hal ini tak ada manfaat baginya.

Wan-kun kembali berkata, “Lepaskan aku, Jit-long! Kita harus bekerja sama untuk mengejar kembali golok mestika itu, kita tak boleh saling mencurigai, bila golok itu berhasil kita dapatkan kembali, aku pasti akan menceritakan segala sesuatunya kepadamu.”

“Kalau begitu beritahu dulu kepadaku, siapa yang telah melarikan golok mestika tersebut?”

Pang Wan-kun menghela napas panjang, “Bila kuberitahukan dulu hal ini kepadamu, apakah kau dapat pegang janji dan melepaskan diriku?”

“Tentu saja, orang she Ho bukan seorang laki-laki yang suka mengingkar janji.”

Wan-kun tertawa, katanya lagi, “Bersediakah kau bersikap seperti dulu, menganggapku sebagai isterimu?”

“Kau sesungguhnya mau bicara atau tidak?” seru Leng-hong dengan marah, “aku tak ada waktu untuk mengobrol dengan kau.”

“Ai, bagi kaum pria mungkin dianggap mengobrol, tapi bagi kaum wanita justru lebih penting daripada nyawa sendiri,” kata Pang Wan-kun dengan menyesal, “Jit-long, meskipun kita bukan suami isteri sungguhkan, tapi selama beberapa bulan kita telah menikmati penghidupan sebagai suami-isteri, peduli kau percaya atau tidak, yang pasti dalam hidupku ini hanya kau kuanggap sebagai suamiku, nama dan she boleh palsu, tapi perasaan kita tak mungkin palsu, Jit-long, kau...”

“Cukup,” tukas Leng-hong sambil menggoyang tangan, “sekalipun kau amat mencintaiku, sekarang bukan waktunya untuk membicarakan soal tersebut, kita harus menyelesaikan dulu masalah penting, soal cinta kasih ini boleh dibicarakan lain waktu saja, setuju bukan?”

Hampir meledak gelak tertawanya, perempuan ini memang lucu, baru saja Samkongcu menitahkan dia merayu dengan segala kemesraan, kontan ia laksanakan tugas, sayang waktunya tidak sesuai sehingga siapa yang bernafsu untuk meresapinya?

Agaknya Pang Wan-kun merasakan juga suasananya tidak cocok, dengan tersipu-sipu ia alihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, “Baiklah kalau kau ingin mengetahui dulu siapa yang melarikan golok mestika itu aku dapat memberitahukan padamu, besar kemungkinan orang itu adalah Thian Pek-tat!”

“Kenapa kau katakan besar kemungkinan?” tanya Leng-hong tercengang.

“Ia menggunakan kain kerudung pada wajahnya, pakaian yang dikenakan juga ringkas, tanpa melihat raut wajah yang sesungguhnya darimana aku bisa tahu pasti dia atau bukan, tapi menurut perkiraanku, kecuali Thian Pek-tat tak mungkin orang lain.”

Leng-hong memang mencurigai Thian Pek-tat, maka setelah termenung sejenak lalu katanya, “Ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, kenapa jalan darahmu bisa tertutuk olehnya?”

“Ia menyergap diriku secara mendadak dan di luar dugaan, lagipula dalam hutan tersembunyi pula beberapa orang komplotannya.”

“Semua beberapa orang? Setelah berhasil mereka kabur ke arah mana? Sudah berapa lama?”

“Jumlah yang pasti aku tidak tahu, mungkin dua-tiga orang, setelah mendapatkan golok mestika itu mereka kabur ke arah Kiok-hiang-sia.”

Kiok-hiang-sia terletak dekat kamar loteng, bila maju lagi akan tiba di ruang depan, ditinjau dari keadaan pada umumnya, Thian Pek-tat mestinya kabur lewat taman belakang, tapi mengapa ia malah lari ke ruang depan?”

Tercengang juga Ho Leng-hong menghadapi hal ini, tapi lantaran waktu amat mendesak, tak mungkin lagi baginya untuk bertanya lebih jauh, sesudah termenung sebentar iapun putar badan dan berlalu.

“He, Jit-long, bukankah kau telah menyanggupi akan membebaskan jalan darahku?” seru Wan-kun cemas.

“Sebenarnya hendak kubebaskan jalan darahmu, tapi setelah kau kehilangan Yan-ci-po-to, Samkongcu tak nanti akan percaya begitu saja, maka lebih baik kau diam beberapa saat lagi di sini, hal ini akan lebih menguntungkan kau.”

“Hei, Jit-long, kaut tak boleh ingkar janji!” teriak Wan-kun, “Jit-long…. Jit-long….”

Leng-hong menutuk lagi jalan darah bisunya, kemudian sambil menepuk pelahan pipinya ia berbisik, “Aku berbuat demikian demi kebaikanmu, kalau kita bukan suami isteri, tentu kulepaskan dirimu agar didamprat dan dihukum oleh Samkongcu itu, bila kau dalam keadaan begini, kan terlepaslah tanggung jawabmu...”

Selanjutnya,
Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 05