MANGGADA dan Laksana memang membantu orang tua itu. Ketika legen itu menjadi kental, maka orang tua itu mulai menuangnya ke dalam tempurung yang memang dibuat untuk mencetak gula kelapa itu. Tetapi legen yang sudah mengental itu disisakan sedikit di dalam kuali, untuk merebus ketela pohon yang sudah dikukus dan dibersihkan.
Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu telah duduk di ruang dalam sambil menikmati ketela yang terasa sangat manis. Namun setiap kali Manggada dan Laksana menyinggung-nyinggung tentang kemungkinan datangnya orang-orang seperti yang dikatakan oleh Kundala, Ki Gumrah selalu saja menghindar.
"Nanti saja kita bicarakan. Jika kita berbicara sambil makan, maka ketela pohon ini rasanya jadi lain" desis orang tua itu.
Akhirnya Manggada dan Laksana tidak lagi berusaha untuk berbicara tentang kedatangan orang-orang yang dikatakan oleh Kundala itu. Bahkan beberapa saat kemudian, maka Ki Gumrah itu bangkit sambil berkata, "Aku harus menyerahkan gula itu kepada pedagang di sebelah. Jika ia sudah terlanjur membawa gulanya ke pasar, maka aku harus menunggu lagi sampai besok.”
"Tetapi bukankah hari telah siang? Pedagang gula itu tentu sudah berangkat ke pasar" desis Manggada.
"Ia tidak menjual sendiri gulanya dipasar. Ia tidak memasokkan gulanya kepada pedagang yang lebih besar, sehingga ia tidak harus berangkat pagi-pagi ke pasar” jawab Kiai Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Tetapi bagi mereka, orang tua itu memang orang tua yang aneh. Sikapnya sulit dimengerti.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu telah sibuk menghitung gulanya di belakang sambil berlagu. Dengan demikian, maka orang tua itu tidak kehilangan angka selama ia menghitung. Ketika Ki Gumrah kemudian membawa gulanya yang di tempatkannya dalam keranjang, maka ia pun berpesan "Tolong, tunggu rumah ini. Tidak akan terjadi apa-apa di siang hari”
Manggada dan Laksana pun kemudian duduk di serambi depan rumah itu sambil memandangi pepohonan di halaman yang mulai nampak bersih. Dari sela-sela pintu regol yang terbuka, mereka melihat beberapa orang berjalan di jalan yang tidak terlalu lebar di muka rumah itu.
Namun dinding halaman Ki Gumrah memang tidak terlalu tinggi. Seperti dinding rumah di sebelah menyebelahnya, yang pada umumnya bukan rumah-rumah yang baik dan besar, memang tidak terlalu tinggi dan sederhana. Tidak lebih dari pecahan batu kali yang dilekat pakai tanah liat.
Dalam pada itu kedua orang anak muda itu ternyata menunggu terlalu lama. Tidak seperti yang pernah dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya, yang hanya memerlukan waktu beberapa saat. Tetapi ketika itu rasa-rasanya Manggada dan Laksana sudah menunggu cukup lama di serambi. Namun Ki Gumrah tidak segera juga kembali.
"Apakah Ki Gumrah menyusul pergi ke pasar setelah pedagang gula itu tidak ditemuinya di rumah?" desis Laksana.
"Memang mungkin. Mungkin Ki Gumrah juga ingin melihat, siapa yang telah ditemui oleh Kundala" sahut Manggada.
"Tetapi jaraknya sudah terlalu lama. Kundala datang kemari sebelum Ki Gumrah mulai membuat gula" gumam Laksana kemudian.
Manggada memang mengangguk-angguk. Namun ia masih menjawab "Kundala masih harus mencari orang itu di antara orang sepasar. Tetapi agaknya jaraknya memang terlalu jauh”
Manggada dan Laksana yang masih saja duduk di serambi itu menjadi gelisah. Tetapi keduanya pun kemudian turun ke halaman. Beberapa saat mereka memperhatikan sebatang pohon sawo yang buahnya cukup lebat dan bahkan sudah cukup tua untuk dipetik.
"Aku akan memanjat pohon sawo ini saja” berkata Laksana.
Manggada termangu-mangu. Namun sebelum Laksana mulai naik, Ki Gumrah pun telah datang. Sambil tertawa ia berkata. "Kalian menunggu terlalu lama? Ternyata pedagang gula itu sudah pergi. Aku memang harus pergi ke pasar”
Tetapi Manggada segera menyambut "Apakah Kiai ingin melihat orang yang ditemui Kundala?"
Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab "Ternyata panggraita-mu tajam ngger. Aku memang ingin melihatnya”
"Dan Kiai berhasil melihat orang itu?" bertanya Manggada.
Kiai Gumrah menggeleng sambil menjawab "Tidak ngger. Aku terlambat. Agaknya mereka telah pergi. Aku hanya sempat melihat burung elang itu”
"Kiai melihat burung elang itu lagi?" bertanya Laksana.
"Ya. Aku melihat kemana arah burung itu terbang sambil berputaran. Tentu perjalanan Kundala dan orang yang telah ditemuinya di pasar itu” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana berpandangan sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada berkata "Kiai, seharusnya Kiai memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi malam nanti. Nampaknya apa yang dikatakan Kundala akan dapat menjadi ancaman yang sebenarnya bagi Kiai”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Dengan nada rendah ia berkata. "Sebenarnya aku justru memikirkan kalian berdua, tetapi agaknya aku tidak akan berhasil mengusir kalian”
"Apakah Kiai masih akan tetap bertahan? Nama Windu Kusuma dan orang yang sedang dijemput Kundala adalah orang-orang yang benar-benar harus Kiai pertimbangkan” berkata Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas panjang. Katanya "Kalian sudah mengetahui sikapku. Seharusnya kalian tidak mendesak lagi”
Manggada dan Laksana terdiam. Nampaknya hati orang tua itu telah mengeras. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Namun tiba-tiba orang tua itu berkata dengan nada tinggi. "Hari sudah cukup siang. Aku harus mulai bekerja di dapur. Menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya. Tolong kau petik sayuran di kebun”
Orang tua itu tidak menunggu jawaban Manggada dan Laksana. Ia pun segera masuk ke rumahnya dan langsung pergi ke dapur. Diambilnya beras dan dibawanya ke sumur untuk dicuci sebelum ditanak.
Sementara itu Manggada dan Laksana sudah berada di kebun. Sambil memetik kacang panjang Manggada berkata "Kita benar-benar telah melibatkan diri dalam satu persoalan yang tidak kita mengerti dengan jelas. Kau benar, mungkin kita tidak akan dapat keluar lagi dari rumah ini”
"Apa boleh buat. Kita agaknya telah terjebak dalam putaran keingin-tahuan kita terhadap persoalan yang terjadi di sini. Tetapi selain itu, rasa-rasanya tidak adil untuk membiarkan Kiai Gumrah mengalami nasib buruk bukan karena pokalnya sendiri. Ia menerima titipan itu agaknya dengan maksud baik. Tetapi titipan itu telah membuatnya mengalami kesulitan dihari tuanya. Sementara itu Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak bersedia melepaskan tanggung jawabnya atas barang-barang titipan yang menjadi tidak jelas itu” sahut Laksana.
Manggada tidak menjawab lagi. Mereka melihat orang tua, itu datang kepada mereka. Sambil tersenyum orang tua itu berkata "Apakah kalian telah mendapatkannya?"
"Ya Kiai. Segenggam kacang panjang”
"Itu sudah cukup. Dengan kulit melinjo dan sedikit daunnya yang masih muda, kita akan mendapatkan sekuali sayur lodeh” berkata orang tua itu.
Mereka pun kemudian telah meninggalkan kebun dan pergi ke dapur. Manggada dan Laksana telah mencoba membantu orang tua itu untuk masak di dapur. Hari itu, mereka bertiga tidak mengalami sesuatu di rumah itu. Tidak ada orang yang datang apalagi untuk, mengambil pusaka-pusaka yang dititipkan di rumah itu.
Namun sebelum senja Kiai Gumrah itu pun berkata "Angger berdua. Sebentar lagi aku akan mendapat dua orang tamu. Mereka adalah tetangga sebelah. Kawan-kawanku berjualan gula. Selain keduanya, juragan gula yang sering mengambil gulaku itu juga akan datang kemari. Kami sepakat untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Hari ini adalah hari lahirku. Umurku telah genap delapan windu. Jika aku seorang berada maka aku akan mengadakan peringatan tumbuk ageng!”
"Jadi Kiai sudah genap berumur delapan windu?" bertanya Manggada.
"Ya. Umurku genap delapan windu” jawab orang tua itu.
"Dan Kiai masih juga setiap hari pagi dan sore memanjat batang kelapa untuk menyadap legennya?” sambung Laksana.
Orang tua itu tersenyum. Sementara Manggada berkata pula "Bukan hanya menyadap legen. Tetapi Kiai masih dapat menundukkan Kundala dan kawannya itu”
"Sudahlah. Tetapi nanti malam aku akan makan bersama mereka meski pun seadanya. Sebenarnya aku tidak pernah mengingat-ingat peringatan delapan windu itu. Tetapi mereka justru ingat dan tanpa aku undang, mereka bertiga berniat untuk datang” berkata Kiai Gumrah kemudian.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu maka Ki Gumrah pun telah minta Manggada dan Laksana menangkap seekor ayam yang cukup besar tetapi belum terlalu tua untuk dipersiapkan menjadi hidangan makan bagi ketiga orang tamunya.
Ketika senja turun, maka bertiga seisi rumah itu menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu yang bakal ikut berjaga-jaga memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah. Selain menyiapkan nasi dan lauk pauknya. Kiai Gumrah juga telah merebus ketela pohon dengan legen. Bahkan bukan hanya ketela pohon, tetapi juga sukun yang dipetiknya dari pohonnya di kebun belakang.
Namun dalam pada itu, ketika Manggada dan Laksana berdua saja di dapur, maka Manggada itu pun berkata "Kau percaya bahwa mereka datang untuk memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah itu?"
"Aku sedang memikirkannya" jawab Laksana.
"Nampaknya ini adalah satu cara Kiai Gumrah untuk membuat rumah ini tidak terlalu sepi. Jika keempat orang itu berjaga-jaga semalam suntuk, maka orang-orang yang akan datang memaksakan kehendaknya itu harus berpikir ulang. Orang-orang yang datang itu harus memperhitungkan kehadiran tetangga-tetangga Kiai Gumrah yang akan dapat mengganggu tugas mereka.” berkata Manggada meski pun agak ragu.
"Tetapi jika orang-orang yang datang itu orang-orang sebiadab Panembahan Lebgadadi, apakah tamu-tamu Kiai Gumrah itu tidak akan mengalami nasib buruk? Orang itu tidak akan menjadi segan karena kehadiran orang lain, tetapi mereka justru marah dan orang-orang itu akan diselesaikan menurut caranya”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang pintu dapur. Ketika ia yakin bahwa Kiai Gumrah masih belum nampak di pintu dapur, serta langkahnya masih belum terdengar, maka Manggada pun berbisik "Memang satu dari sepuluh kemungkinan. Tetapi tetap dapat terjadi. Orang-orang yang akan datang ikut memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah adalah bukan orang kebanyakan”
Laksana hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi kemungkian itu memang ada meski pun seperti dikatakan oleh Manggada, satu dari sepuluh.
Ketika kemudian Kiai Gumrah masuk lagi ke dapur, maka mereka tidak berbincang lagi. Mereka bertiga nampak sibuk menyiapkan hidangan, mangkuk-mangkuknya serta makanan yang sedang dijerang di atas api. Meski pun sekedar ketela pohon dan sukun yang direbus dengan legen.
Sementara Kiai Gumrah menyelesaikan pekerjaan di dapur, maka Manggada dan Laksana telah menyalakan lampu diseluruh sudut rumah. Oncor di regol pun telah dinyalakan pula, sementara langit menjadi semakin buram. Malam perlahan-lahan mulai turun menyelimuti belahan bumi.
Ketika lampu-lampu telah menyala, maka Kiai Gumrah pun mulai mempersiapkan mangkuk dan perlengkapannya. Sementara nasi masih tetap berada di atas api.
"Biar nasi itu tetap hangat" berkata Kiai Gumrah sambil sibuk hilir mudik di dapur.
Beberapa saat kemudian, maka pintu rumah itu pun telah diketuk orang. Terdengar suara renyah memanggil "Kiai, Kiai Gumrah. Aku sudah mencium bau masakanmu.”
"Mereka telah datang." berkata Kiai Gumrah.
Manggada pun kemudian telah bergegas pergi ke ruang depan. Ketika ia membukakan pintu, maka dilihatnya tiga orang berdiri di luar pintu.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu seorang di antara mereka bertanya "Siapa kau anak muda?"
Manggada menjadi bingung. Namun kemudian ia pun menjawab "Aku cucu Kiai Gumrah.”
"Oh, jadi cucu Kiai Gumrah sudah sebesar ini?"
"Ya" terdengar suara Kiai Gumrah "Dua orang cucuku ada di sini sekarang. Marilah, silahkan masuk”
Ketiga orang itu pun kemudian melangkah masuk. Pintu pun ditutup rapat kembali. Sementara Kiai Gumrah mempersilahkan ketiga orang tamunya untuk naik dan duduk di amben yang cukup besar di ruang dalam rumah itu.
Dengan nada dalam seorang di antara mereka bertanya "Sejak kapan mereka ada di sini?"
“Beberapa hari yang lalu. Aku senang mereka berada di sini. Mereka dapat membantu membersihkan halaman dan menimba air untuk mengisi jambangan di kamar mandi dan gentong di dapur”
"Apakah mereka sudah dapat menyadap legen?" bertanya yang lain.
"Belum" jawab Kiai Gumrah "Aku belum mengajarinya. Tetapi dalam beberapa minggu, mereka akan dapat melakukannya”
Kepada Manggada yang baru saja menutup pintu Kiai Gumrah berkata. "He, siapkan minuman dan makanan. Nasinya nanti saja. Jika nasi itu tergesa-gesa dihidangkan, mereka akan segera pulang sebelum wayah sepi bocah”
Ketiga orang tamu itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata "Kalau saja nasi itu boleh dibungkus, maka aku akan minta diri sekarang juga”
Kiai Gumrah pun tertawa berkepanjangan. Sementara itu Manggada telah pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman bagi ketiga orang tamunya dan bagi Kiai Gumrah itu sendiri.
Ketika kemudian Laksana menghidangkan minuman dan makanan, maka seorang tamunya bertanya "inikah cucumu yang seorang lagi?"
"Ya" jawab Kiai Gumrah "Sudah lama mereka tidak menengok aku. Aku sendiri hampir saja tidak mengenal mereka lagi”
"Beruntunglah kau!" berkata yang lain "Bahwa masih ada cucumu yang sempat menengokmu. He, dimana anakmu sekarang tinggal? Sudah lama ia tidak pula datang menengokmu”
"Ia berada di tempat yang jauh. Nah, sekarang, minuman dan makanan sudah dihidangkan. Minumlah dan makanlah.” Kiai Gumrah mempersilahkan.
Laksana yang telah berada di dapur pun berdesis "Orang-orang tua. Mereka sempat juga berkelakar”
"Apakah kau kira orang-orang tua sudah kehilangan selera leluconnya? Mereka masih berhak mentertawakan kelucuan, juga kelucuan yang dilihatnya dalam kehidupan ini” berkata Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata "Kegembiraan itu akan dapat membuat mereka menghambat laju ketuaan mereka”
Manggada pun tersenyum juga. Katanya "Ya. Nampaknya mereka masih akan berkelakar sepanjang malam. He, tidak seorang pun di antara mereka memberikan pernyataan atau ucapan selamat kepada Kiai Gumrah”
Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu di ruang dalam, keempat orang tua itu masih saja berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Kemudian tertawa lagi berkepanjangan.
"Apakah mereka betah berbicara sepanjang malam?" desis Manggada.
Tetapi sebelum Laksana menjawab, Kiai Gumrah telah memanggil Manggada. "Bawa mangkuk satu ngger.”
Manggada pun segera bangkit dan mengambil sebuah mangkuk. Tetapi ia bergumam "Untuk apa?"
Laksana tidak menjawab. Ia tidak tahu untuk apa sebuah mangkuk itu. Tentu tidak untuk minum atau makan makanan. Tetapi terdengar Kiai Gumrah itu berkata pula. "Bawa pula sebuah nampan kecil”
Manggada dan Laksana semakin tidak mengerti. Namun Manggada kemudian mengantarkan mangkuk dan nampan kecil itu. Tetapi kedua anak muda itu semakin tidak mengerti ketika Kiai Gumrah minta agar Manggada mengambil beberapa lembar daun ketela pohon di belakang rumah.
"Untuk apa, Kiai?" bertanya Manggada di luar sadarnya.
"Ah, anak-anak tidak usah tahu" jawab Kiai Gumrah.
Manggada termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian telah pergi ke halaman belakang untuk memetik beberapa helai daun ketela pohon. Baru kemudian Manggada dan Laksana tahu, bahwa orang-orang tua itu akan bermain dadu. Lembar-lembaran daun ketela pohon itu dipergunakan untuk menghitung kekalahan dan kemenangan di antara mereka. Yang mereka dengar pembicaraan orang-orang tua itu adalah, bahwa taruhan yang diperhitungkan dengan lembar-lembar daun ketela itu kemudian akan dibayar dengan gula kelapa.
"Ada-ada saja" gumam Manggada.
"Untuk mencegah kantuk” sahut Laksana.
"Kita menunggu di sini untuk menyiapkan makan malam mereka. Sayur dan lauk pauknya tentu sudah menjadi dingin” desis Manggada pula.
Tetapi Laksana berpaling ke perapian. Apinya memang kecil saja. Tetapi nasi yang masih saja belum disenduk di dalam kuali agaknya akan tetap hangat. Beberapa saat kemudian, terdengar orang-orang tua itu bermain dadu dengan riuhnya. Setiap kali terdengar suara tertawa berkepanjangan. Namun kemudian hening. Yang terdengan adalah suara dadu di dalam mangkuk yang sedang diguncang di atas nampan kecil sebelum kemudian dibuka.
Ternyata permainan itu nampaknya cukup mengasikkan bagi orang-orang tua itu. Mereka tenggelam dalam kegembiraan tersendiri. Mereka seakan-akan melupakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksanalah yang mulai terkantuk-kantuk di dapur. Bahkan Laksana telah berbaring di amben panjang.
"Sampai kapan kami menunggu" desis Laksana.
"Sudah lewat wayah sepi bocah. Sebentar lagi makan itu harus dihidangkan” jawab Manggada.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka Kiai Gumrah telah memanggil Laksana. Demikian Laksana sambil membenahi pakaiannya melangkah mendekati. Kiai Gumrah itu pun berkata. "Nah, kalian siapkan makan malam. Bukankah nasi masih hangat?"
"Ya kek. Nasi masih di atas perapian” jawab Laksana.
"Bagus. Asal tidak menjadi hangus” sahut Kiai Gumrah.
Demikianlah, maka Laksana dan Manggada pun menjadi sibuk menyenduk nasi dan menyiapkan lauk pauknya. Kemudian menghidangkannya dengan mangkuk-mangkuk dan peralatannya yang lain. Dengan terampil Manggada sudah dapat membuat sambal terasi untuk melengkapi lauk pauknya.
Sejenak kemudian, maka permainan dadu itu pun berhenti untuk sementara. Ketika orang-orang tua itu makan, maka terdengar lagi kelakar mereka. Manggada dan Laksana yang mendengarkan kelakar itu mengetahui, bahwa Kiai Gumrah ternyata menderita kekalahan dalam permainan dadu itu. Esok ia harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa kepada ketiga orang lawannya meski pun jumlahnya tidak sama.
"Tetapi kita akan meneruskan permainan ini sesudah makan" berkata Kiai Gumrah "Mungkin akan terjadi sebaliknya. Akulah yang menang, sehingga kalian semualah yang harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa kepadaku”
Yang lain tertawa. Seorang di antara mereka berkata "Tetapi yang terjadi justru lain. Hutangmu bertambah banyak, sehingga hasil sedapanmu tiga hari akan habis kau pakai untuk membayar hutang”
Keempat orang tua itu tertawa semakin ramai. Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang tidak terlibat dalam permainan dadu itu sekali-sekali melepaskan perhatian mereka dari keempat orang yang sedang makan sambil berkelakar itu. Untuk mencegah kantuk, maka Manggada berniat untuk keluar dari dapur lewat pintu butulan. Karena itu, maka ia pun telah mengangkat selarak pintu butulan.
Tetapi Manggada itu pun mengurungkan niatnya. Demikian ia mengangkat selarak, maka ia pun mendengar langkah kaki menjauh dari pintu itu. Meski pun dengan sangat berhati-hati, namun karena tergesa-gesa karena pintu itu tiba-tiba saja akan dibuka, maka langkah kaki itu dapat didengar oleh Manggada.
Laksana yang melihat Manggada mengurungkan niatnya dan memasang kembali selarak pintu itu pun segera bangkit. Tetapi Manggada cepat memberi isyarat agar ia tidak berkata apa-apa. Manggadalah yang kemudian bergeser menjauhi pintu itu. Baru kemudian setelah ia berada agak jauh dari pintu dan dinding dapur, ia berkata sambil berbisik, "Aku mendengar langkah orang di luar!”
Laksana mengangguk-angguk. Hal seperti itu memang sudah dikira sebelumnya. Jika tidak malam itu, tentu malam berikutnya atau pada malam berikutnya lagi. Sebagaimana dikatakan oleh Kundala, maka niat untuk mengambil pusaka-pusaka itu akan diteruskan kapan pun itu dilaksanakan.
"Apakah kita akan memberitahukan kepada Kiai Gumrah?" desis Laksana.
"Ya, mumpung mereka sedang berhenti bermain dadu” jawab Manggada.
Laksana pun mengangguk-angguk. Katanya perlahan "Katakan kepada Kiai Gumrah. Aku akan memperhatikan pintu dan dinding dapur ini. Meski pun orang itu telah bergeser, tetapi ada kemungkinan kembali dan mengamati dapur ini lagi jika pintu tidak jadi kau buka.”
Manggada mengangguk kecil. Ia pun kemudian pergi menemui Kiai Gumrah yang masih sedang makan bersama ketiga orang tamunya. Demikian Manggada mendekat dengan ragu-ragu, seorang di antara tamunya itu berkata, "Mari ngger. Apa lagi yang akan kau hidangkan?"
"Jangan ragu-ragu." berkata tamu Kiai Gumrah yang lain "Apa pun yang kau bawa kemari, akan kami habiskan sampai tuntas. Orang-orang yang kerjanya menyadap legen biasanya makannya terlalu banyak. Bahkan apa saja dimakannya”
Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Manggada pun ikut tertawa pula. Namun kemudian ia pun berkata. "Bukan hidangan yang akan aku sampaikan kepada kakek. Tetapi aku memberitahukan bahwa di luar agaknya ada tamu.”
Kiai Gumrah mengerutkan keningnya. Namun salah seorang kawannya itu pun berkata. "Ah, masa malam-malam begini ada tamu.”
"Dari mana kau tahu? Apakah ia mengetuk pintu dapur?"
Manggada memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Kiai Gumrah itu berkata "Katakan. Kakek-kakek yang lain ini tidak akan tahu maksudnya.”
Manggada masih saja ragu-ragu. Bahkan ia menjadi gelisah. Jika ketiga orang kakek yang lain itu tidak tahu menahu persoalannya, maka mereka akan dapat mengalami kesulitan justru karena mereka ada di rumah Kiai Gumrah. Namun Manggada itu akhirnya berkata. "Kek. Aku hanya mendengar langkah kaki di luar dapur. Tetapi aku belum menengok, siapa yang ada di luar.”
"Ah, biarkan saja tamu itu jika ia tidak mengetuk pintu" berkata salah seorang tamunya "Barangkali ia ingin ikut menghormatimu yang sekarang ini memperingati umurmu genap sepuluh windu.”
"Tidak sepuluh windu. Tetapi delapan windu. Aku memperingati tumbuk agengku” sahut Kiai Gumrah.
Tetapi tamunya itu tertawa. Bahkan kemudian ia bertanya. "Berapa sebenarnya umurmu? Delapan windu, sepuluh windu atau berapa pun orang mengatakannya?"
Keempat orang itu tertawa meledak. Sementara Manggada masih berdiri termangu-mangu. Nampaknya mereka tidak begitu menghiraukan pemberitahuan Manggada yang menganggap bahwa bahaya telah mengintai di luar. Namun karena Manggada masih berdiri saja di tempatnya, Kiai Gumrah pun berkata.
"Baiklah ngger. Aku memang menunggu tamu itu mengetuk pintu. Menurut ingatanku, aku hanya mengundang ketiga orang tetanggaku ini yang umurnya sudah sebaya dengan umurku. Meski pun demikian jika ada orang lain yang mengetahuinya dan sudi untuk ikut beramai-ramai bermain-main di sini, aku akan menerimanya dengan senang hati”
"Jadi kita menunggu tamu itu mengetuk pintu kek?" bertanya Manggada.
"Ya. Hanya mereka yang mengetuk pintu sajalah yang aku anggap sebagai tamu” jawab Kiai Gumrah.
Seorang tamunya yang sedang makan tiba-tiba menyahut. "Seandainya tamu itu mengetuk pintu juga, biarlah nanti saja dipersilahkan setelah aku selesai makan. Kedatangan orang baru hanya akan mengurangi bagianku saja.”
Orang-orang tua itu tertawa lagi, sementara Manggada masih berdiri di tempatnya. Namun Kiai Gumrah yang melihat Manggada menjadi gelisah berkata "Baiklah. Kembalilah ke dapur. Jika tamu itu nanti mengetuk pintu, biarlah aku membukakannya”
"Jika tamu itu mengetuk dapur?" bertanya Manggada.
"Panggil aku. Biar aku sajalah yang membuka pintu” jawab Kiai Gumrah.
Manggada pun kemudian kembali ke dapur. Dilihatnya Laksana masih berada di tempatnya. Perhatiannya terutama tertuju ke pintu butulan itu. Meski pun demikian ia memperhatikan pula dinding dapur yang menghadap langsung ke halaman samping.
Sebenarnyalah ada beberapa orang di luar rumah itu. Orang-orang sebagaimana dikatakan oleh Kundala. Mereka telah datang untuk mengambil pusaka-pusaka sebagaimana pernah dilakukan oleh Kundala dan seorang kawannya. Orang-orang yang ada di luar itu mendengar pembicaraan antara Manggada dengan Kiai Gumrah dan tamu-tamunya. Sikap Kiai Gumrah yang seakan-akan tidak menghiraukan mereka membuat orang-orang itu merasa tersinggung. Namun mereka masih saja menganggap bahwa Kiai Gumrah tidak tahu siapakah yang telah datang itu.
"Orang dungu itu mengira bahwa kita adalah tetangga-tetangganya yang datang untuk mendapatkan hidangan” desis salah seorang dari mereka.
"Aku akan mengetuk pintu." berkata seorang yang lain.
Tetapi orang yang memimpin kelompok kecil itu mencegahnya. Katanya "Tidak. Kau tidak akan mengetuk pintu”
"Apakah kita akan masuk lewat pintu dapur?" bertanya orangitu. "Juga tidak" jawab pemimpin kelompok itu.
"Jadi bagaimana?"
"Aku akan membuka pintu itu” desis pemimpin kelompok itu.
Tetapi sebelum ia melangkah mendekat maka seorang yang lain telah mendahuluinya sambil berkata "Biar aku sajalah yang membuka pintu itu”
Namun orang-orang yang ada di luar itu terkejut. Mereka tidak menduga bahwa percakapan itu didengar oleh orang-orang yang sedang berkelakar di dalam. Ternyata orang yang ada di dalam rumah itu menyahut dengan suara lantang dan bahkan seakan-akan melingkar-lingkar di halaman.
"Jika kau memang tidak tahu diri bagaimana seorang tamu mengunjungi rumah orang lain, maka buka sajalah pintunya. Kalian tidak usah berebut merusak pintu itu meski pun dengan demikian kalian ingin menunjukkan kelebihan kalian. Pintu itu terbuat dari bambu dan gedeg yang akan koyak dilanggar seekor kucing. Tanpa Aji Rog-rog asem pun pintu akan patah. Karena itu buka sajalah. Pintu itu tidak diselarak”
Suasana pun menjadi hening sejenak. Namun tiba-tiba seorang tamu Kiai Gumrah yang sedang makan itu berkata "Marilah, kita selesaikan hidangan ini. Aku hampir selesai. Tinggal menghabiskan sepotong paha ini. Gigiku nampaknya sudah tidak setajam gigi kucing lagi”
"Jika mereka akan masuk, biarlah mereka masuk. Tetapi kita tidak akan dapat membagi hidangan ini dengan mereka” berkata tamu yang lain.
Manggada dan Laksana mendengar lontaran kata-kata itu. Mereka berdua menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah mendekati Laksana, Manggada berkata lirih. "Ternyata mereka bukan orang kebanyakan. Tanggapan mereka terhadap orang-orang yang berada di luar pintu sangat meyakinkan.”
"Ya. Sekarang kita tahu, bahwa Kiai Gumrah bukan satu-satunya orang yang menunggui pusaka-pusaka itu. Mungkin juga ceriteranya tentang pusaka-pusaka itu tidak benar.” desis Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Katanya. "Kita memang tidak dapat segera mengambil kesimpulan. Tetapi niat orang-orang itu mengambil pusaka yang ada di rumah ini benar. Apa pun alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi dibalik ceritera Kiai Gumrah tentang pusaka-pusaka itu, namun agaknya memang hak Kiai Gumrah untuk mempertahankannya”
Laksana mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis "Ya. Bagi kita, persoalannya menjadi semakin rumit”
"Justru semakin menarik" sahut Manggada "Aku menjadi semakin ingin mengetahui persoalan yang berkembang selanjutnya. Apalagi setelah kita tahu bahwa persoalannya berhubungan dengan Panembahan Lebdadadi dan elang-elangnya”
Keduanya terdiam ketika mereka mendengar pintu berderit keras seperti dihempaskan. Keduanya segera mengetahui bahwa orang-orang yang ada di luar itu telah membuka pintu rumah itu. Bahkan dengan kasar. Hampir di luar sadarnya Manggada dan Laksana pun telah bergeser ke ruang dalam untuk melihat, apa yang bakal terjadi.
Keduanya menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang tua yang sedang makan itu adalah bukan orang kebanyakan. Mereka sama sekali tidak terkejut atau menjadi ketakutan melihat beberapa orang berdiri di pintu rumah itu. Mereka bahkan seakan-akan tidak menghiraukan mereka sama sekali. Seorang di antara tamu Kiai Gumrah itu masih sempat meraih sepotong daging ayam dan menyumbatkan ke dalam mulutnya.
Sementara yang lain sambil memandang orang yang berdiri di pintu itu berkata "Kalian terlambat datang. Tinggal nasi, sayur dan sambal. Ayam yang dihidangkan terlalu kecil untuk kami berempat. Apalagi untuk kalian. He, kalian datang bersama berapa orang?"
"Kiai Gumrah...!" berkata orang yang berdiri di depan pintu. "Ternyata kau sempat mengumpulkan kawan-kawanmu. Tetapi mereka akan menyesal setelah mereka tahu dengan siapa mereka berhadapan sekarang”
"Oh" sahut yang sedang mengunyah daging ayam "Jika demikian apakah kau bersedia memberitahukan, dengan siapa kami berhadapan sekarang?"
"Aku adalah Kiai Windu Kusuma. Yang berdiri di sampingku ini adalah Putut Sempada. Kami datang bersama beberapa orang berilmu tinggi yang sudah lama kami persiapkan”
"Kiai Windu Kusuma. Jadi kaukah yang bernama Windu Kusuma?"
"Ya" jawab orang yang berdiri di pintu.
"Kau kenal orang itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Tidak" jawab orang yang masih saja mengunyah daging ayam itu.
"Gila kau!" sahut tamu Kiai Gumrah yang lain "Aku kira kau sudah mengenalnya”
"Aku hanya ingin membuat Kiai Windu Kusuma itu berbangga, seolah-olah namanya membuat kami terkejut”
Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Tanpa diduga maka mangkuk-mangkuk serta minuman dan makanan yang ada di amben bambu itu seakan-akan telah disentakkan. Beberapa di antara mangkuk-mangkuk itu terlempar keudara, kemudian terbanting jatuh saling berbenturan. Beberapa di antara mangkuk-mangkuk itu telah pecah.
Manggada dan Laksana menjadi sangat tegang. Jantung mereka terasa berdegup semakin cepat. Namun, seorang di antara tamu Kiai Gumrah itu justru berkata sambil mengais pecahan mangkuk di depannya “Kau gila. Sepotong sayap ayam masih utuh”
Tanpa menghiraukan orang yang menyebut dirinya Kiai Windu Kusuma itu, tamu Kiai Gumrah itu memungut sepotong sayap ayam yang memang masih utuh. Katanya "Sebenarnya aku ingin menyisakan sayap-sayap ayam ini bagi kedua orang cucu Kiai Gumrah agar mereka dapat terbang seperti ayam”
"Kau kira ayam dapat terbang?" kawannya masih juga sempat bertanya.
"Cukup!" bentak Kiai Windu Kusuma "Kalian menyembunyikan perasaan takut kalian pada kegilaan kalian. Jangan dikira bahwa kami tidak dapat membaca isi hati kalian. Orang-orang tua semacam kalian memang tidak berharga. Dengan kepura-puraan itu, kalian mencoba untuk nampak tenang dan meyakinkan”
Kiai Gumrahlah yang kemudian turun dari amben bambu itu. Dengan nada dalam ia bertanya "Ki Sanak. Untuk apa sebenarnya Ki Sanak datang tanpa aku undang malam ini? Sebenarnya aku sedang merayakan peringatan tumbuk ageng. Aku hari ini berumur delapan windu”
Namun kawannya ternyata sulit menjaga mulutnya. Katanya "Ia bohong. Umurnya lebih tua dari delapan windu. Tetapi ia tetap dianggap paling muda di antara kami berempat. Juga oleh kedua cucunya itu. He, jika umurmu baru enampuluh empat dan kedua cucumu sudah perjaka, berapa tahun kau mempunyai anak dan anakmu pada umur berapa tahun mempunyai anak pula”
"Kau masih sempat menghitung pada saat kita menghadapi ingkung ayam itu?" bertanya kawannya pula.
"Cukup...!" teriak Kiai Windu Kusuma "Sekarang sadari keadaan kalian. Kalian akan mati malam ini jika kalian tidak merubah sikap kalian. Atau kalian sudah mulai mabuk?"
"Tidak Kiai Windu Kusuma. Kami tidak mabuk. Tidak ada setitik tuak pun di sini meski pun pekerjaan kami menyadap legen dan dapat membuat tuak sendiri. Karena itu, kami tidak sedang mabuk. Mungkin ada satu di antara kami yang kekenyangan. Tetapi itu bukan berarti mabuk” jawab Kiai Gumrah.
“Hentikan sikap gila kalian. Sekarang, aku akan berbicara tanpa melingkar-lingkar lagi. Serahkan pusaka-pusaka itu. Kau tidak usah bertanya apakah aku pemiliknya atau bukan, atau apakah aku sudah minta ijin atau bukan. Yang penting pusaka-pusaka itu jatuh ditanganku dan aku bawa pergi. Apa yang akan kau katakan terhadap pemiliknya aku tidak peduli. Apakah kau sudah terlanjur berjanji untuk menjaga pusaka-pusaka itu atau belum aku juga tidak perduli” berkata Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai nampak bersungguh-sungguh. Katanya "Kiai Windu Kusuma. Aku yakin bahwa kau bukan kanak-kanak lagi. Kau tentu tahu makna dari sikapku dan sikap kawan-kawanku malam ini. Seharusnya kau tidak usah mengatakan maksudmu itu seperti kanak-kanak yang berebut manggis yang jatuh dari dahannya. Sekarang kau mau apa?"
"Bagus!" berkata Kiai Windu Kusuma “Tetapi aku masih ingin memperingatkanmu, bahwa kegilaanmu dan kawan-kawanmu tidak berarti apa-apa bagi kami. Aku datang dengan beberapa orang kawan yang benar-benar akan dapat mengantar kalian ke neraka malam ini juga.”
“Kami sudah siap Kiai. Elangmu siang tadi telah memberitahukan kepada kami, bahwa kalian akan datang bersama beberapa orang yang berilmu tinggi. Tetapi kau pun harus sudah mengetahui sikap apa yang akan kami ambil menghadapi kedatangan kalian” jawab Kiai Gumrah.
"Aku menunggumu di halaman Kiai Gumrah!" berkata Kiai Windu Kusuma "Kami tidak dapat bertempur dengan baik di ruang yang sempit ini”
"Baiklah. Tunggulah kami di luar. Sebentar lagi kami berempat akan keluar.” jawab Kiai Gumrah.
Kiai Windu Kusuma kemudian telah melangkah mundur. Bersama dengan beberapa orang yang datang bersamanya, maka mereka menunggu di halaman rumah itu. Nampaknya mereka telah benar-benar bersiap menghadapi keempat orang yang ada di ruang dalam. Meskipun demikian seorang di antara mereka berdesis, "Aku tidak mengira bahwa di sini ada empat orang yang harus kita hadapi malam ini”
"Apa artinya empat orang tua itu? Sedangkan Kiai Gumrah sendiri hanya mampu menakut-nakuti Kundala dan kawannya yang tidak lebih dari cecurut-cecurut yang pengecut. Karena itu, aku tidak mau lagi membawanya malam ini karena mereka tidak akan berarti apa-apa.”
“Selain mereka masih ada anak-anak muda yang tadi ada di dapur" berkata yang lain.
"Mereka tidak usah dihitung" jawab Kiai Windu Kusuma "Dengan mengibaskan tangan saja mereka tentu akan terbunuh”
Sementara itu, para tamu Kiai Gumrah sudah melangkah keluar. Sementara itu Kiai Gumrah yang masih ada di dalam berbicara sejenak dengan Manggada dan Laksana "Kalian mau menolong aku lagi bukan, ngger?”
"Tentu Kiai..." jawab Manggada.
"Kau tentu menganggap aku sebagai pembohong" desis orang tua itu.
"Kenapa Kiai?" bertanya Manggada.
"Nanti, jika aku masih sempat hidup aku beritahukan." jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya kemudian "Tolong ngger. Jaga pusaka-pusaka itu. Mungkin ada satu dua orang yang melepaskan diri dari pertempuran dan berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka itu langsung dari plonconnya.”
"Baik Kiai" jawab Manggada.
“Tetapi jika kalian jumpai orang yang berilmu sangat tinggi dan di luar jangkauan kemampuanmu, maka tinggalkan saja orang itu. Jangan kau korbankan nyawamu untuk sesuatu yang bagimu tidak berarti apa-apa.”
Manggada dan Laksana hampir bersamaan menjawab "Baiklah Kiai. Kami akan menjaga pusaka-pusaka itu.”
"Terima kasih ngger...!" Kiai Gumrah pun mengangguk-angguk "Aku akan menemui orang-orang itu. Orang-orang itu memang orang-orang berilmu tinggi. Tetapi aku percaya kepada kawan-kawanku bahwa mereka akan dapat mengimbangi orang-orang yang datang itu. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang melindungi kami dan kalian berdua..." berkata Kiai Gumrah sambil melangkah keluar...
Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu telah duduk di ruang dalam sambil menikmati ketela yang terasa sangat manis. Namun setiap kali Manggada dan Laksana menyinggung-nyinggung tentang kemungkinan datangnya orang-orang seperti yang dikatakan oleh Kundala, Ki Gumrah selalu saja menghindar.
"Nanti saja kita bicarakan. Jika kita berbicara sambil makan, maka ketela pohon ini rasanya jadi lain" desis orang tua itu.
Akhirnya Manggada dan Laksana tidak lagi berusaha untuk berbicara tentang kedatangan orang-orang yang dikatakan oleh Kundala itu. Bahkan beberapa saat kemudian, maka Ki Gumrah itu bangkit sambil berkata, "Aku harus menyerahkan gula itu kepada pedagang di sebelah. Jika ia sudah terlanjur membawa gulanya ke pasar, maka aku harus menunggu lagi sampai besok.”
"Tetapi bukankah hari telah siang? Pedagang gula itu tentu sudah berangkat ke pasar" desis Manggada.
"Ia tidak menjual sendiri gulanya dipasar. Ia tidak memasokkan gulanya kepada pedagang yang lebih besar, sehingga ia tidak harus berangkat pagi-pagi ke pasar” jawab Kiai Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Tetapi bagi mereka, orang tua itu memang orang tua yang aneh. Sikapnya sulit dimengerti.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu telah sibuk menghitung gulanya di belakang sambil berlagu. Dengan demikian, maka orang tua itu tidak kehilangan angka selama ia menghitung. Ketika Ki Gumrah kemudian membawa gulanya yang di tempatkannya dalam keranjang, maka ia pun berpesan "Tolong, tunggu rumah ini. Tidak akan terjadi apa-apa di siang hari”
Manggada dan Laksana pun kemudian duduk di serambi depan rumah itu sambil memandangi pepohonan di halaman yang mulai nampak bersih. Dari sela-sela pintu regol yang terbuka, mereka melihat beberapa orang berjalan di jalan yang tidak terlalu lebar di muka rumah itu.
Namun dinding halaman Ki Gumrah memang tidak terlalu tinggi. Seperti dinding rumah di sebelah menyebelahnya, yang pada umumnya bukan rumah-rumah yang baik dan besar, memang tidak terlalu tinggi dan sederhana. Tidak lebih dari pecahan batu kali yang dilekat pakai tanah liat.
Dalam pada itu kedua orang anak muda itu ternyata menunggu terlalu lama. Tidak seperti yang pernah dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya, yang hanya memerlukan waktu beberapa saat. Tetapi ketika itu rasa-rasanya Manggada dan Laksana sudah menunggu cukup lama di serambi. Namun Ki Gumrah tidak segera juga kembali.
"Apakah Ki Gumrah menyusul pergi ke pasar setelah pedagang gula itu tidak ditemuinya di rumah?" desis Laksana.
"Memang mungkin. Mungkin Ki Gumrah juga ingin melihat, siapa yang telah ditemui oleh Kundala" sahut Manggada.
"Tetapi jaraknya sudah terlalu lama. Kundala datang kemari sebelum Ki Gumrah mulai membuat gula" gumam Laksana kemudian.
Manggada memang mengangguk-angguk. Namun ia masih menjawab "Kundala masih harus mencari orang itu di antara orang sepasar. Tetapi agaknya jaraknya memang terlalu jauh”
Manggada dan Laksana yang masih saja duduk di serambi itu menjadi gelisah. Tetapi keduanya pun kemudian turun ke halaman. Beberapa saat mereka memperhatikan sebatang pohon sawo yang buahnya cukup lebat dan bahkan sudah cukup tua untuk dipetik.
"Aku akan memanjat pohon sawo ini saja” berkata Laksana.
Manggada termangu-mangu. Namun sebelum Laksana mulai naik, Ki Gumrah pun telah datang. Sambil tertawa ia berkata. "Kalian menunggu terlalu lama? Ternyata pedagang gula itu sudah pergi. Aku memang harus pergi ke pasar”
Tetapi Manggada segera menyambut "Apakah Kiai ingin melihat orang yang ditemui Kundala?"
Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab "Ternyata panggraita-mu tajam ngger. Aku memang ingin melihatnya”
"Dan Kiai berhasil melihat orang itu?" bertanya Manggada.
Kiai Gumrah menggeleng sambil menjawab "Tidak ngger. Aku terlambat. Agaknya mereka telah pergi. Aku hanya sempat melihat burung elang itu”
"Kiai melihat burung elang itu lagi?" bertanya Laksana.
"Ya. Aku melihat kemana arah burung itu terbang sambil berputaran. Tentu perjalanan Kundala dan orang yang telah ditemuinya di pasar itu” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana berpandangan sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada berkata "Kiai, seharusnya Kiai memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi malam nanti. Nampaknya apa yang dikatakan Kundala akan dapat menjadi ancaman yang sebenarnya bagi Kiai”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Dengan nada rendah ia berkata. "Sebenarnya aku justru memikirkan kalian berdua, tetapi agaknya aku tidak akan berhasil mengusir kalian”
"Apakah Kiai masih akan tetap bertahan? Nama Windu Kusuma dan orang yang sedang dijemput Kundala adalah orang-orang yang benar-benar harus Kiai pertimbangkan” berkata Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas panjang. Katanya "Kalian sudah mengetahui sikapku. Seharusnya kalian tidak mendesak lagi”
Manggada dan Laksana terdiam. Nampaknya hati orang tua itu telah mengeras. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Namun tiba-tiba orang tua itu berkata dengan nada tinggi. "Hari sudah cukup siang. Aku harus mulai bekerja di dapur. Menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya. Tolong kau petik sayuran di kebun”
Orang tua itu tidak menunggu jawaban Manggada dan Laksana. Ia pun segera masuk ke rumahnya dan langsung pergi ke dapur. Diambilnya beras dan dibawanya ke sumur untuk dicuci sebelum ditanak.
Sementara itu Manggada dan Laksana sudah berada di kebun. Sambil memetik kacang panjang Manggada berkata "Kita benar-benar telah melibatkan diri dalam satu persoalan yang tidak kita mengerti dengan jelas. Kau benar, mungkin kita tidak akan dapat keluar lagi dari rumah ini”
"Apa boleh buat. Kita agaknya telah terjebak dalam putaran keingin-tahuan kita terhadap persoalan yang terjadi di sini. Tetapi selain itu, rasa-rasanya tidak adil untuk membiarkan Kiai Gumrah mengalami nasib buruk bukan karena pokalnya sendiri. Ia menerima titipan itu agaknya dengan maksud baik. Tetapi titipan itu telah membuatnya mengalami kesulitan dihari tuanya. Sementara itu Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak bersedia melepaskan tanggung jawabnya atas barang-barang titipan yang menjadi tidak jelas itu” sahut Laksana.
Manggada tidak menjawab lagi. Mereka melihat orang tua, itu datang kepada mereka. Sambil tersenyum orang tua itu berkata "Apakah kalian telah mendapatkannya?"
"Ya Kiai. Segenggam kacang panjang”
"Itu sudah cukup. Dengan kulit melinjo dan sedikit daunnya yang masih muda, kita akan mendapatkan sekuali sayur lodeh” berkata orang tua itu.
Mereka pun kemudian telah meninggalkan kebun dan pergi ke dapur. Manggada dan Laksana telah mencoba membantu orang tua itu untuk masak di dapur. Hari itu, mereka bertiga tidak mengalami sesuatu di rumah itu. Tidak ada orang yang datang apalagi untuk, mengambil pusaka-pusaka yang dititipkan di rumah itu.
Namun sebelum senja Kiai Gumrah itu pun berkata "Angger berdua. Sebentar lagi aku akan mendapat dua orang tamu. Mereka adalah tetangga sebelah. Kawan-kawanku berjualan gula. Selain keduanya, juragan gula yang sering mengambil gulaku itu juga akan datang kemari. Kami sepakat untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Hari ini adalah hari lahirku. Umurku telah genap delapan windu. Jika aku seorang berada maka aku akan mengadakan peringatan tumbuk ageng!”
"Jadi Kiai sudah genap berumur delapan windu?" bertanya Manggada.
"Ya. Umurku genap delapan windu” jawab orang tua itu.
"Dan Kiai masih juga setiap hari pagi dan sore memanjat batang kelapa untuk menyadap legennya?” sambung Laksana.
Orang tua itu tersenyum. Sementara Manggada berkata pula "Bukan hanya menyadap legen. Tetapi Kiai masih dapat menundukkan Kundala dan kawannya itu”
"Sudahlah. Tetapi nanti malam aku akan makan bersama mereka meski pun seadanya. Sebenarnya aku tidak pernah mengingat-ingat peringatan delapan windu itu. Tetapi mereka justru ingat dan tanpa aku undang, mereka bertiga berniat untuk datang” berkata Kiai Gumrah kemudian.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu maka Ki Gumrah pun telah minta Manggada dan Laksana menangkap seekor ayam yang cukup besar tetapi belum terlalu tua untuk dipersiapkan menjadi hidangan makan bagi ketiga orang tamunya.
Ketika senja turun, maka bertiga seisi rumah itu menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu yang bakal ikut berjaga-jaga memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah. Selain menyiapkan nasi dan lauk pauknya. Kiai Gumrah juga telah merebus ketela pohon dengan legen. Bahkan bukan hanya ketela pohon, tetapi juga sukun yang dipetiknya dari pohonnya di kebun belakang.
Namun dalam pada itu, ketika Manggada dan Laksana berdua saja di dapur, maka Manggada itu pun berkata "Kau percaya bahwa mereka datang untuk memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah itu?"
"Aku sedang memikirkannya" jawab Laksana.
"Nampaknya ini adalah satu cara Kiai Gumrah untuk membuat rumah ini tidak terlalu sepi. Jika keempat orang itu berjaga-jaga semalam suntuk, maka orang-orang yang akan datang memaksakan kehendaknya itu harus berpikir ulang. Orang-orang yang datang itu harus memperhitungkan kehadiran tetangga-tetangga Kiai Gumrah yang akan dapat mengganggu tugas mereka.” berkata Manggada meski pun agak ragu.
"Tetapi jika orang-orang yang datang itu orang-orang sebiadab Panembahan Lebgadadi, apakah tamu-tamu Kiai Gumrah itu tidak akan mengalami nasib buruk? Orang itu tidak akan menjadi segan karena kehadiran orang lain, tetapi mereka justru marah dan orang-orang itu akan diselesaikan menurut caranya”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang pintu dapur. Ketika ia yakin bahwa Kiai Gumrah masih belum nampak di pintu dapur, serta langkahnya masih belum terdengar, maka Manggada pun berbisik "Memang satu dari sepuluh kemungkinan. Tetapi tetap dapat terjadi. Orang-orang yang akan datang ikut memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah adalah bukan orang kebanyakan”
Laksana hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi kemungkian itu memang ada meski pun seperti dikatakan oleh Manggada, satu dari sepuluh.
Ketika kemudian Kiai Gumrah masuk lagi ke dapur, maka mereka tidak berbincang lagi. Mereka bertiga nampak sibuk menyiapkan hidangan, mangkuk-mangkuknya serta makanan yang sedang dijerang di atas api. Meski pun sekedar ketela pohon dan sukun yang direbus dengan legen.
Sementara Kiai Gumrah menyelesaikan pekerjaan di dapur, maka Manggada dan Laksana telah menyalakan lampu diseluruh sudut rumah. Oncor di regol pun telah dinyalakan pula, sementara langit menjadi semakin buram. Malam perlahan-lahan mulai turun menyelimuti belahan bumi.
Ketika lampu-lampu telah menyala, maka Kiai Gumrah pun mulai mempersiapkan mangkuk dan perlengkapannya. Sementara nasi masih tetap berada di atas api.
"Biar nasi itu tetap hangat" berkata Kiai Gumrah sambil sibuk hilir mudik di dapur.
Beberapa saat kemudian, maka pintu rumah itu pun telah diketuk orang. Terdengar suara renyah memanggil "Kiai, Kiai Gumrah. Aku sudah mencium bau masakanmu.”
"Mereka telah datang." berkata Kiai Gumrah.
Manggada pun kemudian telah bergegas pergi ke ruang depan. Ketika ia membukakan pintu, maka dilihatnya tiga orang berdiri di luar pintu.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu seorang di antara mereka bertanya "Siapa kau anak muda?"
Manggada menjadi bingung. Namun kemudian ia pun menjawab "Aku cucu Kiai Gumrah.”
"Oh, jadi cucu Kiai Gumrah sudah sebesar ini?"
"Ya" terdengar suara Kiai Gumrah "Dua orang cucuku ada di sini sekarang. Marilah, silahkan masuk”
Ketiga orang itu pun kemudian melangkah masuk. Pintu pun ditutup rapat kembali. Sementara Kiai Gumrah mempersilahkan ketiga orang tamunya untuk naik dan duduk di amben yang cukup besar di ruang dalam rumah itu.
Dengan nada dalam seorang di antara mereka bertanya "Sejak kapan mereka ada di sini?"
“Beberapa hari yang lalu. Aku senang mereka berada di sini. Mereka dapat membantu membersihkan halaman dan menimba air untuk mengisi jambangan di kamar mandi dan gentong di dapur”
"Apakah mereka sudah dapat menyadap legen?" bertanya yang lain.
"Belum" jawab Kiai Gumrah "Aku belum mengajarinya. Tetapi dalam beberapa minggu, mereka akan dapat melakukannya”
Kepada Manggada yang baru saja menutup pintu Kiai Gumrah berkata. "He, siapkan minuman dan makanan. Nasinya nanti saja. Jika nasi itu tergesa-gesa dihidangkan, mereka akan segera pulang sebelum wayah sepi bocah”
Ketiga orang tamu itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata "Kalau saja nasi itu boleh dibungkus, maka aku akan minta diri sekarang juga”
Kiai Gumrah pun tertawa berkepanjangan. Sementara itu Manggada telah pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman bagi ketiga orang tamunya dan bagi Kiai Gumrah itu sendiri.
Ketika kemudian Laksana menghidangkan minuman dan makanan, maka seorang tamunya bertanya "inikah cucumu yang seorang lagi?"
"Ya" jawab Kiai Gumrah "Sudah lama mereka tidak menengok aku. Aku sendiri hampir saja tidak mengenal mereka lagi”
"Beruntunglah kau!" berkata yang lain "Bahwa masih ada cucumu yang sempat menengokmu. He, dimana anakmu sekarang tinggal? Sudah lama ia tidak pula datang menengokmu”
"Ia berada di tempat yang jauh. Nah, sekarang, minuman dan makanan sudah dihidangkan. Minumlah dan makanlah.” Kiai Gumrah mempersilahkan.
Laksana yang telah berada di dapur pun berdesis "Orang-orang tua. Mereka sempat juga berkelakar”
"Apakah kau kira orang-orang tua sudah kehilangan selera leluconnya? Mereka masih berhak mentertawakan kelucuan, juga kelucuan yang dilihatnya dalam kehidupan ini” berkata Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata "Kegembiraan itu akan dapat membuat mereka menghambat laju ketuaan mereka”
Manggada pun tersenyum juga. Katanya "Ya. Nampaknya mereka masih akan berkelakar sepanjang malam. He, tidak seorang pun di antara mereka memberikan pernyataan atau ucapan selamat kepada Kiai Gumrah”
Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu di ruang dalam, keempat orang tua itu masih saja berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Kemudian tertawa lagi berkepanjangan.
"Apakah mereka betah berbicara sepanjang malam?" desis Manggada.
Tetapi sebelum Laksana menjawab, Kiai Gumrah telah memanggil Manggada. "Bawa mangkuk satu ngger.”
Manggada pun segera bangkit dan mengambil sebuah mangkuk. Tetapi ia bergumam "Untuk apa?"
Laksana tidak menjawab. Ia tidak tahu untuk apa sebuah mangkuk itu. Tentu tidak untuk minum atau makan makanan. Tetapi terdengar Kiai Gumrah itu berkata pula. "Bawa pula sebuah nampan kecil”
Manggada dan Laksana semakin tidak mengerti. Namun Manggada kemudian mengantarkan mangkuk dan nampan kecil itu. Tetapi kedua anak muda itu semakin tidak mengerti ketika Kiai Gumrah minta agar Manggada mengambil beberapa lembar daun ketela pohon di belakang rumah.
"Untuk apa, Kiai?" bertanya Manggada di luar sadarnya.
"Ah, anak-anak tidak usah tahu" jawab Kiai Gumrah.
Manggada termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian telah pergi ke halaman belakang untuk memetik beberapa helai daun ketela pohon. Baru kemudian Manggada dan Laksana tahu, bahwa orang-orang tua itu akan bermain dadu. Lembar-lembaran daun ketela pohon itu dipergunakan untuk menghitung kekalahan dan kemenangan di antara mereka. Yang mereka dengar pembicaraan orang-orang tua itu adalah, bahwa taruhan yang diperhitungkan dengan lembar-lembar daun ketela itu kemudian akan dibayar dengan gula kelapa.
"Ada-ada saja" gumam Manggada.
"Untuk mencegah kantuk” sahut Laksana.
"Kita menunggu di sini untuk menyiapkan makan malam mereka. Sayur dan lauk pauknya tentu sudah menjadi dingin” desis Manggada pula.
Tetapi Laksana berpaling ke perapian. Apinya memang kecil saja. Tetapi nasi yang masih saja belum disenduk di dalam kuali agaknya akan tetap hangat. Beberapa saat kemudian, terdengar orang-orang tua itu bermain dadu dengan riuhnya. Setiap kali terdengar suara tertawa berkepanjangan. Namun kemudian hening. Yang terdengan adalah suara dadu di dalam mangkuk yang sedang diguncang di atas nampan kecil sebelum kemudian dibuka.
Ternyata permainan itu nampaknya cukup mengasikkan bagi orang-orang tua itu. Mereka tenggelam dalam kegembiraan tersendiri. Mereka seakan-akan melupakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksanalah yang mulai terkantuk-kantuk di dapur. Bahkan Laksana telah berbaring di amben panjang.
"Sampai kapan kami menunggu" desis Laksana.
"Sudah lewat wayah sepi bocah. Sebentar lagi makan itu harus dihidangkan” jawab Manggada.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka Kiai Gumrah telah memanggil Laksana. Demikian Laksana sambil membenahi pakaiannya melangkah mendekati. Kiai Gumrah itu pun berkata. "Nah, kalian siapkan makan malam. Bukankah nasi masih hangat?"
"Ya kek. Nasi masih di atas perapian” jawab Laksana.
"Bagus. Asal tidak menjadi hangus” sahut Kiai Gumrah.
Demikianlah, maka Laksana dan Manggada pun menjadi sibuk menyenduk nasi dan menyiapkan lauk pauknya. Kemudian menghidangkannya dengan mangkuk-mangkuk dan peralatannya yang lain. Dengan terampil Manggada sudah dapat membuat sambal terasi untuk melengkapi lauk pauknya.
Sejenak kemudian, maka permainan dadu itu pun berhenti untuk sementara. Ketika orang-orang tua itu makan, maka terdengar lagi kelakar mereka. Manggada dan Laksana yang mendengarkan kelakar itu mengetahui, bahwa Kiai Gumrah ternyata menderita kekalahan dalam permainan dadu itu. Esok ia harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa kepada ketiga orang lawannya meski pun jumlahnya tidak sama.
"Tetapi kita akan meneruskan permainan ini sesudah makan" berkata Kiai Gumrah "Mungkin akan terjadi sebaliknya. Akulah yang menang, sehingga kalian semualah yang harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa kepadaku”
Yang lain tertawa. Seorang di antara mereka berkata "Tetapi yang terjadi justru lain. Hutangmu bertambah banyak, sehingga hasil sedapanmu tiga hari akan habis kau pakai untuk membayar hutang”
Keempat orang tua itu tertawa semakin ramai. Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang tidak terlibat dalam permainan dadu itu sekali-sekali melepaskan perhatian mereka dari keempat orang yang sedang makan sambil berkelakar itu. Untuk mencegah kantuk, maka Manggada berniat untuk keluar dari dapur lewat pintu butulan. Karena itu, maka ia pun telah mengangkat selarak pintu butulan.
Tetapi Manggada itu pun mengurungkan niatnya. Demikian ia mengangkat selarak, maka ia pun mendengar langkah kaki menjauh dari pintu itu. Meski pun dengan sangat berhati-hati, namun karena tergesa-gesa karena pintu itu tiba-tiba saja akan dibuka, maka langkah kaki itu dapat didengar oleh Manggada.
Laksana yang melihat Manggada mengurungkan niatnya dan memasang kembali selarak pintu itu pun segera bangkit. Tetapi Manggada cepat memberi isyarat agar ia tidak berkata apa-apa. Manggadalah yang kemudian bergeser menjauhi pintu itu. Baru kemudian setelah ia berada agak jauh dari pintu dan dinding dapur, ia berkata sambil berbisik, "Aku mendengar langkah orang di luar!”
Laksana mengangguk-angguk. Hal seperti itu memang sudah dikira sebelumnya. Jika tidak malam itu, tentu malam berikutnya atau pada malam berikutnya lagi. Sebagaimana dikatakan oleh Kundala, maka niat untuk mengambil pusaka-pusaka itu akan diteruskan kapan pun itu dilaksanakan.
"Apakah kita akan memberitahukan kepada Kiai Gumrah?" desis Laksana.
"Ya, mumpung mereka sedang berhenti bermain dadu” jawab Manggada.
Laksana pun mengangguk-angguk. Katanya perlahan "Katakan kepada Kiai Gumrah. Aku akan memperhatikan pintu dan dinding dapur ini. Meski pun orang itu telah bergeser, tetapi ada kemungkinan kembali dan mengamati dapur ini lagi jika pintu tidak jadi kau buka.”
Manggada mengangguk kecil. Ia pun kemudian pergi menemui Kiai Gumrah yang masih sedang makan bersama ketiga orang tamunya. Demikian Manggada mendekat dengan ragu-ragu, seorang di antara tamunya itu berkata, "Mari ngger. Apa lagi yang akan kau hidangkan?"
"Jangan ragu-ragu." berkata tamu Kiai Gumrah yang lain "Apa pun yang kau bawa kemari, akan kami habiskan sampai tuntas. Orang-orang yang kerjanya menyadap legen biasanya makannya terlalu banyak. Bahkan apa saja dimakannya”
Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Manggada pun ikut tertawa pula. Namun kemudian ia pun berkata. "Bukan hidangan yang akan aku sampaikan kepada kakek. Tetapi aku memberitahukan bahwa di luar agaknya ada tamu.”
Kiai Gumrah mengerutkan keningnya. Namun salah seorang kawannya itu pun berkata. "Ah, masa malam-malam begini ada tamu.”
"Dari mana kau tahu? Apakah ia mengetuk pintu dapur?"
Manggada memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Kiai Gumrah itu berkata "Katakan. Kakek-kakek yang lain ini tidak akan tahu maksudnya.”
Manggada masih saja ragu-ragu. Bahkan ia menjadi gelisah. Jika ketiga orang kakek yang lain itu tidak tahu menahu persoalannya, maka mereka akan dapat mengalami kesulitan justru karena mereka ada di rumah Kiai Gumrah. Namun Manggada itu akhirnya berkata. "Kek. Aku hanya mendengar langkah kaki di luar dapur. Tetapi aku belum menengok, siapa yang ada di luar.”
"Ah, biarkan saja tamu itu jika ia tidak mengetuk pintu" berkata salah seorang tamunya "Barangkali ia ingin ikut menghormatimu yang sekarang ini memperingati umurmu genap sepuluh windu.”
"Tidak sepuluh windu. Tetapi delapan windu. Aku memperingati tumbuk agengku” sahut Kiai Gumrah.
Tetapi tamunya itu tertawa. Bahkan kemudian ia bertanya. "Berapa sebenarnya umurmu? Delapan windu, sepuluh windu atau berapa pun orang mengatakannya?"
Keempat orang itu tertawa meledak. Sementara Manggada masih berdiri termangu-mangu. Nampaknya mereka tidak begitu menghiraukan pemberitahuan Manggada yang menganggap bahwa bahaya telah mengintai di luar. Namun karena Manggada masih berdiri saja di tempatnya, Kiai Gumrah pun berkata.
"Baiklah ngger. Aku memang menunggu tamu itu mengetuk pintu. Menurut ingatanku, aku hanya mengundang ketiga orang tetanggaku ini yang umurnya sudah sebaya dengan umurku. Meski pun demikian jika ada orang lain yang mengetahuinya dan sudi untuk ikut beramai-ramai bermain-main di sini, aku akan menerimanya dengan senang hati”
"Jadi kita menunggu tamu itu mengetuk pintu kek?" bertanya Manggada.
"Ya. Hanya mereka yang mengetuk pintu sajalah yang aku anggap sebagai tamu” jawab Kiai Gumrah.
Seorang tamunya yang sedang makan tiba-tiba menyahut. "Seandainya tamu itu mengetuk pintu juga, biarlah nanti saja dipersilahkan setelah aku selesai makan. Kedatangan orang baru hanya akan mengurangi bagianku saja.”
Orang-orang tua itu tertawa lagi, sementara Manggada masih berdiri di tempatnya. Namun Kiai Gumrah yang melihat Manggada menjadi gelisah berkata "Baiklah. Kembalilah ke dapur. Jika tamu itu nanti mengetuk pintu, biarlah aku membukakannya”
"Jika tamu itu mengetuk dapur?" bertanya Manggada.
"Panggil aku. Biar aku sajalah yang membuka pintu” jawab Kiai Gumrah.
Manggada pun kemudian kembali ke dapur. Dilihatnya Laksana masih berada di tempatnya. Perhatiannya terutama tertuju ke pintu butulan itu. Meski pun demikian ia memperhatikan pula dinding dapur yang menghadap langsung ke halaman samping.
Sebenarnyalah ada beberapa orang di luar rumah itu. Orang-orang sebagaimana dikatakan oleh Kundala. Mereka telah datang untuk mengambil pusaka-pusaka sebagaimana pernah dilakukan oleh Kundala dan seorang kawannya. Orang-orang yang ada di luar itu mendengar pembicaraan antara Manggada dengan Kiai Gumrah dan tamu-tamunya. Sikap Kiai Gumrah yang seakan-akan tidak menghiraukan mereka membuat orang-orang itu merasa tersinggung. Namun mereka masih saja menganggap bahwa Kiai Gumrah tidak tahu siapakah yang telah datang itu.
"Orang dungu itu mengira bahwa kita adalah tetangga-tetangganya yang datang untuk mendapatkan hidangan” desis salah seorang dari mereka.
"Aku akan mengetuk pintu." berkata seorang yang lain.
Tetapi orang yang memimpin kelompok kecil itu mencegahnya. Katanya "Tidak. Kau tidak akan mengetuk pintu”
"Apakah kita akan masuk lewat pintu dapur?" bertanya orangitu. "Juga tidak" jawab pemimpin kelompok itu.
"Jadi bagaimana?"
"Aku akan membuka pintu itu” desis pemimpin kelompok itu.
Tetapi sebelum ia melangkah mendekat maka seorang yang lain telah mendahuluinya sambil berkata "Biar aku sajalah yang membuka pintu itu”
Namun orang-orang yang ada di luar itu terkejut. Mereka tidak menduga bahwa percakapan itu didengar oleh orang-orang yang sedang berkelakar di dalam. Ternyata orang yang ada di dalam rumah itu menyahut dengan suara lantang dan bahkan seakan-akan melingkar-lingkar di halaman.
"Jika kau memang tidak tahu diri bagaimana seorang tamu mengunjungi rumah orang lain, maka buka sajalah pintunya. Kalian tidak usah berebut merusak pintu itu meski pun dengan demikian kalian ingin menunjukkan kelebihan kalian. Pintu itu terbuat dari bambu dan gedeg yang akan koyak dilanggar seekor kucing. Tanpa Aji Rog-rog asem pun pintu akan patah. Karena itu buka sajalah. Pintu itu tidak diselarak”
Suasana pun menjadi hening sejenak. Namun tiba-tiba seorang tamu Kiai Gumrah yang sedang makan itu berkata "Marilah, kita selesaikan hidangan ini. Aku hampir selesai. Tinggal menghabiskan sepotong paha ini. Gigiku nampaknya sudah tidak setajam gigi kucing lagi”
"Jika mereka akan masuk, biarlah mereka masuk. Tetapi kita tidak akan dapat membagi hidangan ini dengan mereka” berkata tamu yang lain.
Manggada dan Laksana mendengar lontaran kata-kata itu. Mereka berdua menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah mendekati Laksana, Manggada berkata lirih. "Ternyata mereka bukan orang kebanyakan. Tanggapan mereka terhadap orang-orang yang berada di luar pintu sangat meyakinkan.”
"Ya. Sekarang kita tahu, bahwa Kiai Gumrah bukan satu-satunya orang yang menunggui pusaka-pusaka itu. Mungkin juga ceriteranya tentang pusaka-pusaka itu tidak benar.” desis Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Katanya. "Kita memang tidak dapat segera mengambil kesimpulan. Tetapi niat orang-orang itu mengambil pusaka yang ada di rumah ini benar. Apa pun alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi dibalik ceritera Kiai Gumrah tentang pusaka-pusaka itu, namun agaknya memang hak Kiai Gumrah untuk mempertahankannya”
Laksana mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis "Ya. Bagi kita, persoalannya menjadi semakin rumit”
"Justru semakin menarik" sahut Manggada "Aku menjadi semakin ingin mengetahui persoalan yang berkembang selanjutnya. Apalagi setelah kita tahu bahwa persoalannya berhubungan dengan Panembahan Lebdadadi dan elang-elangnya”
Keduanya terdiam ketika mereka mendengar pintu berderit keras seperti dihempaskan. Keduanya segera mengetahui bahwa orang-orang yang ada di luar itu telah membuka pintu rumah itu. Bahkan dengan kasar. Hampir di luar sadarnya Manggada dan Laksana pun telah bergeser ke ruang dalam untuk melihat, apa yang bakal terjadi.
Keduanya menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang tua yang sedang makan itu adalah bukan orang kebanyakan. Mereka sama sekali tidak terkejut atau menjadi ketakutan melihat beberapa orang berdiri di pintu rumah itu. Mereka bahkan seakan-akan tidak menghiraukan mereka sama sekali. Seorang di antara tamu Kiai Gumrah itu masih sempat meraih sepotong daging ayam dan menyumbatkan ke dalam mulutnya.
Sementara yang lain sambil memandang orang yang berdiri di pintu itu berkata "Kalian terlambat datang. Tinggal nasi, sayur dan sambal. Ayam yang dihidangkan terlalu kecil untuk kami berempat. Apalagi untuk kalian. He, kalian datang bersama berapa orang?"
"Kiai Gumrah...!" berkata orang yang berdiri di depan pintu. "Ternyata kau sempat mengumpulkan kawan-kawanmu. Tetapi mereka akan menyesal setelah mereka tahu dengan siapa mereka berhadapan sekarang”
"Oh" sahut yang sedang mengunyah daging ayam "Jika demikian apakah kau bersedia memberitahukan, dengan siapa kami berhadapan sekarang?"
"Aku adalah Kiai Windu Kusuma. Yang berdiri di sampingku ini adalah Putut Sempada. Kami datang bersama beberapa orang berilmu tinggi yang sudah lama kami persiapkan”
"Kiai Windu Kusuma. Jadi kaukah yang bernama Windu Kusuma?"
"Ya" jawab orang yang berdiri di pintu.
"Kau kenal orang itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Tidak" jawab orang yang masih saja mengunyah daging ayam itu.
"Gila kau!" sahut tamu Kiai Gumrah yang lain "Aku kira kau sudah mengenalnya”
"Aku hanya ingin membuat Kiai Windu Kusuma itu berbangga, seolah-olah namanya membuat kami terkejut”
Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Tanpa diduga maka mangkuk-mangkuk serta minuman dan makanan yang ada di amben bambu itu seakan-akan telah disentakkan. Beberapa di antara mangkuk-mangkuk itu terlempar keudara, kemudian terbanting jatuh saling berbenturan. Beberapa di antara mangkuk-mangkuk itu telah pecah.
Manggada dan Laksana menjadi sangat tegang. Jantung mereka terasa berdegup semakin cepat. Namun, seorang di antara tamu Kiai Gumrah itu justru berkata sambil mengais pecahan mangkuk di depannya “Kau gila. Sepotong sayap ayam masih utuh”
Tanpa menghiraukan orang yang menyebut dirinya Kiai Windu Kusuma itu, tamu Kiai Gumrah itu memungut sepotong sayap ayam yang memang masih utuh. Katanya "Sebenarnya aku ingin menyisakan sayap-sayap ayam ini bagi kedua orang cucu Kiai Gumrah agar mereka dapat terbang seperti ayam”
"Kau kira ayam dapat terbang?" kawannya masih juga sempat bertanya.
"Cukup!" bentak Kiai Windu Kusuma "Kalian menyembunyikan perasaan takut kalian pada kegilaan kalian. Jangan dikira bahwa kami tidak dapat membaca isi hati kalian. Orang-orang tua semacam kalian memang tidak berharga. Dengan kepura-puraan itu, kalian mencoba untuk nampak tenang dan meyakinkan”
Kiai Gumrahlah yang kemudian turun dari amben bambu itu. Dengan nada dalam ia bertanya "Ki Sanak. Untuk apa sebenarnya Ki Sanak datang tanpa aku undang malam ini? Sebenarnya aku sedang merayakan peringatan tumbuk ageng. Aku hari ini berumur delapan windu”
Namun kawannya ternyata sulit menjaga mulutnya. Katanya "Ia bohong. Umurnya lebih tua dari delapan windu. Tetapi ia tetap dianggap paling muda di antara kami berempat. Juga oleh kedua cucunya itu. He, jika umurmu baru enampuluh empat dan kedua cucumu sudah perjaka, berapa tahun kau mempunyai anak dan anakmu pada umur berapa tahun mempunyai anak pula”
"Kau masih sempat menghitung pada saat kita menghadapi ingkung ayam itu?" bertanya kawannya pula.
"Cukup...!" teriak Kiai Windu Kusuma "Sekarang sadari keadaan kalian. Kalian akan mati malam ini jika kalian tidak merubah sikap kalian. Atau kalian sudah mulai mabuk?"
"Tidak Kiai Windu Kusuma. Kami tidak mabuk. Tidak ada setitik tuak pun di sini meski pun pekerjaan kami menyadap legen dan dapat membuat tuak sendiri. Karena itu, kami tidak sedang mabuk. Mungkin ada satu di antara kami yang kekenyangan. Tetapi itu bukan berarti mabuk” jawab Kiai Gumrah.
“Hentikan sikap gila kalian. Sekarang, aku akan berbicara tanpa melingkar-lingkar lagi. Serahkan pusaka-pusaka itu. Kau tidak usah bertanya apakah aku pemiliknya atau bukan, atau apakah aku sudah minta ijin atau bukan. Yang penting pusaka-pusaka itu jatuh ditanganku dan aku bawa pergi. Apa yang akan kau katakan terhadap pemiliknya aku tidak peduli. Apakah kau sudah terlanjur berjanji untuk menjaga pusaka-pusaka itu atau belum aku juga tidak perduli” berkata Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai nampak bersungguh-sungguh. Katanya "Kiai Windu Kusuma. Aku yakin bahwa kau bukan kanak-kanak lagi. Kau tentu tahu makna dari sikapku dan sikap kawan-kawanku malam ini. Seharusnya kau tidak usah mengatakan maksudmu itu seperti kanak-kanak yang berebut manggis yang jatuh dari dahannya. Sekarang kau mau apa?"
"Bagus!" berkata Kiai Windu Kusuma “Tetapi aku masih ingin memperingatkanmu, bahwa kegilaanmu dan kawan-kawanmu tidak berarti apa-apa bagi kami. Aku datang dengan beberapa orang kawan yang benar-benar akan dapat mengantar kalian ke neraka malam ini juga.”
“Kami sudah siap Kiai. Elangmu siang tadi telah memberitahukan kepada kami, bahwa kalian akan datang bersama beberapa orang yang berilmu tinggi. Tetapi kau pun harus sudah mengetahui sikap apa yang akan kami ambil menghadapi kedatangan kalian” jawab Kiai Gumrah.
"Aku menunggumu di halaman Kiai Gumrah!" berkata Kiai Windu Kusuma "Kami tidak dapat bertempur dengan baik di ruang yang sempit ini”
"Baiklah. Tunggulah kami di luar. Sebentar lagi kami berempat akan keluar.” jawab Kiai Gumrah.
Kiai Windu Kusuma kemudian telah melangkah mundur. Bersama dengan beberapa orang yang datang bersamanya, maka mereka menunggu di halaman rumah itu. Nampaknya mereka telah benar-benar bersiap menghadapi keempat orang yang ada di ruang dalam. Meskipun demikian seorang di antara mereka berdesis, "Aku tidak mengira bahwa di sini ada empat orang yang harus kita hadapi malam ini”
"Apa artinya empat orang tua itu? Sedangkan Kiai Gumrah sendiri hanya mampu menakut-nakuti Kundala dan kawannya yang tidak lebih dari cecurut-cecurut yang pengecut. Karena itu, aku tidak mau lagi membawanya malam ini karena mereka tidak akan berarti apa-apa.”
“Selain mereka masih ada anak-anak muda yang tadi ada di dapur" berkata yang lain.
"Mereka tidak usah dihitung" jawab Kiai Windu Kusuma "Dengan mengibaskan tangan saja mereka tentu akan terbunuh”
Sementara itu, para tamu Kiai Gumrah sudah melangkah keluar. Sementara itu Kiai Gumrah yang masih ada di dalam berbicara sejenak dengan Manggada dan Laksana "Kalian mau menolong aku lagi bukan, ngger?”
"Tentu Kiai..." jawab Manggada.
"Kau tentu menganggap aku sebagai pembohong" desis orang tua itu.
"Kenapa Kiai?" bertanya Manggada.
"Nanti, jika aku masih sempat hidup aku beritahukan." jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya kemudian "Tolong ngger. Jaga pusaka-pusaka itu. Mungkin ada satu dua orang yang melepaskan diri dari pertempuran dan berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka itu langsung dari plonconnya.”
"Baik Kiai" jawab Manggada.
“Tetapi jika kalian jumpai orang yang berilmu sangat tinggi dan di luar jangkauan kemampuanmu, maka tinggalkan saja orang itu. Jangan kau korbankan nyawamu untuk sesuatu yang bagimu tidak berarti apa-apa.”
Manggada dan Laksana hampir bersamaan menjawab "Baiklah Kiai. Kami akan menjaga pusaka-pusaka itu.”
"Terima kasih ngger...!" Kiai Gumrah pun mengangguk-angguk "Aku akan menemui orang-orang itu. Orang-orang itu memang orang-orang berilmu tinggi. Tetapi aku percaya kepada kawan-kawanku bahwa mereka akan dapat mengimbangi orang-orang yang datang itu. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang melindungi kami dan kalian berdua..." berkata Kiai Gumrah sambil melangkah keluar...
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 05 |