Sang Penerus Bagian 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA cepat-cepat mengambil air dari persediaan di dapur, menuangkannya di tempayan secukupnya. Kemudian memasukkan ketela pohon yang telah dikupasnya ke dalamnya. Namun keduanya tidak lagi memperhatikan ketela pohonnya. Keduanya mulai memikirkan orang tua yang agaknya terpaksa meninggalkan gula kelapanya.

Dengan hati-hati Manggada dan Laksana melangkah memasuki rumah orang tua itu dari belakang. Namun mereka tertegun ketika mereka mendengar orang bercakap-cakap di-ruang dalam. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun tanpa berjanji, keduanya telah mendengarkan percakapan di ruang dalam itu.

Sekali-sekali mereka mendengar suara orang tua itu gemetar. Namun kemudian terdengar suara orang lain yang nampaknya memang sudah ditunggu oleh orang tua itu. Tidak hanya seorang. Tetapi dua orang. Manggada dan Laksana memang menjadi tegang. Orang-orang itu adalah orang-orang yang datang untuk mengambil benda-benda berharga yang dititipkan kepadanya.

Namun antara terdengar dan tidak seseorang berkata “Ki Gumrah. Patung kecil itu sudah hilang. Yakinlah. Aku bukan orang lain dari orang yang menitipkan benda-benda pertanda kebangsawanan itu. Aku adalah pamannya”

“Tetapi bagaimana aku tahu bahwa Ki Sanak adalah pamannya. Bagiku, siapapun orangnya, tetapi pertanda itu ada padanya, maka aku akan menyerahkannya. Bukankah hal itu sudah aku katakan ketika Ki Sanak datang kemari beberapa waktu yang lalu?” berkata orang tua yang disebut Ki Gumrah itu.

“Aku juga sudah menemuinya. Tetapi ia mengatakan bahwa patung kecil itu telah hilang sehingga ia tidak dapat memberikannya kepadaku” jawab orang itu.

“Maaf Ki Sanak” berkata orang tua itu ”aku masih tetap pada pendirianku, karena pemilik benda-benda yang dianggapnya berharga itu sendirilah yang berpesan”

“Ki Gumrah” terdengar suara yang lain ”kau sudah tua. Sebaiknya kau tidak usah berkeras untuk mempertahankan benda-benda yang memang bukan milikmu itu. Apakah keuntunganmu mempertahankan benda-benda itu?”

“Aku memang tidak mendapat keuntungan apa-apa Ki Sanak” jawab Ki Gumrah ”tetapi aku sudah berjanji untuk melakukannya. Bagiku janji mempunyai nilai yang tinggi”

“Kau mempersulit dirimu sendiri” berkata orang yang datang itu ”jika kau berkeras untuk mempertahankan benda-benda yang bukan milikmu itu, maka kami terpaksa berkeras untuk membawanya. Pemilik benda-benda berharga itu berpesan kepada kami, agar benda-benda itu dapat kami bawa. Kemudian sudah berjanji bahwa kami akan kembali dengan membawa benda-benda itu. Sedang menurutmu, janji itu mempunyai nilai yang tinggi”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata “Maaf Ki Sanak. Bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat memberikan, benda-benda itu. Aku terikat pada janjiku. Sebagai orang tua aku justru harus berpegang kepada janji itu”

“Jika demikian, kita masing-masing akan berpegang kepada janji yang telah kita ucapkan” berkata orang yang pertama.

“Karena itu Ki Sanak” berkata orang tua itu ”usahakan agar pertanda itu kalian dapatkan, sehingga tidak akan terjadi kesulitan apapun juga”

“Benda kecil itu sudah hilang. Bukankah aku sudah mengatakannya?” jawab orang itu.

"Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat memberikannya” berkata orang tua itu.

“Kami akan mengambil sendiri” terdengar suara orang yang datang itu menjadi semakin keras.

Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Ki Gumrah sudah terlalu tua untuk mempertahankan benda-benda berharga itu. Karena itu, sejenak keduanya saling berpandangan.

Sementara itu, suasana di ruang dalam menjadi semakin panas ketika terdengar seseorang berkata “Sudahlah Ki Gumrah, kau jangan berbuat bodoh. Kau tidak akan dirugikan seandainya benda-benda itu kami bawa. Kaupun tidak akan mendapat keuntungan apa-apa dengan mempertahankan benda-benda itu”

“Ada Ki Sanak. Jika aku mempertahankan benda-benda itu, aku mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu tidak berujud. Aku adalah orang tua yang berpegang pada janji” jawab orang tua itu.

“Sebenarnya aku tidak ingin berbuat kasar. Apalagi terhadap orang tua. Karena itu, ketika aku datang yang pertama, aku dengan senang hati menuruti permintaanmu, mengambil patung kecil itu. Tetapi sudah aku katakan, patung itu sudah hilang. Kau tidak dapat memaksaku menemukan patung itu kembali. Demikian pula pemilik benda-benda berharga itu tidak akan mendapatkan patungnya lagi” berkata orang yang datang itu.

“Jika demikian, biarlah pemiliknya datang sendiri untuk mengambilnya. Meskipun aku sudah pikun, tetapi aku tentu masih dapat mengenalnya dengan baik” berkata Ki Gumrah selanjutnya.

Tetapi orang-orang yang datang itu nampaknya sudah tidak sabar lagi. Yang terdengar adalah suara salah seorang dari mereka menjadi semakin keras ”Cukup. Aku sudah cukup menahan diri. Sekarang aku akan mengambil benda-benda itu. Aku akan membawanya. Boleh atau tidak boleh”

“Jangan, Ki Sanak. Jangan. Lalu dimana harga diriku, jika kata-kataku tidak dapat dipegang lagi. Jika aku sudah tidak memegang janji, aku akan menjadi semakin tidak berharga lagi” minta orang tua itu.

“Aku tidak peduli lagi” geram orang itu.

Yang kemudian terjadi, dapat dibayangkan. Orang tua yang memegangi lengan tamunya itu telah dikibaskan. Yang terdengar suara orang yang terjatuh diamben bambu serta orang tua itu mencoba mencegahnya. ”Jangan, jangan lakukan itu”

Tetapi suaranya sama sekail tidak dihiraukan. Manggada dan Laksana tidak menunggu lebih !ama lagi. Keduanya kemudian telah mendorong pintu butulan. Sesaat kemudian, keduanya telah berada di ruang dalam itu pula.

“Jangan lakukan itu Ki Sanak” desis Manggada.

”Siapa kau?” bertanya seorang yang ternyata bertubuh kecil namun agak tinggi.

“Aku cucu Ki Gumrah” jawab Manggada.

“O” yang satu lagi mengangguk-angguk. Orangnya bertubuh sedang. Namun wajahnya nampak keras dan kasar” Jadi Ki Gumrah sudah mempunyai cucu sebesar ini. Yang seorang lagi apakah juga cucunya?”

“Ya” jawab Laksana singkat.

“Bagus. Nampaknya kalian dipanggil oleh kakekmu khusus hari ini untuk melindungi benda-benda berharga itu?” desis orang yang berwajah keras itu.

“Aku tidak sengaja datang mengunjungi kakekku hari ini. Ternyata kakek sedang menghadapi satu masalah yang tidak dapat dipecahkannya sendiri” berkata Laksana.

“Baiklah” berkata orang yang bertubuh tinggi ”sekarang kami akan mengambil benda-benda berharga itu. Terserah kepada kalian berdua, cucu-cucu Ki Gumrah. Apakah kalian akan mencegah kami atau tidak”

“Sudah tentu” berkata Manggada ”kakek yang sudah terlanjur berjanji harus ditepati. Aku tidak peduli apakah kau akan mengaku sudah berjanji pula membawa benda-benda itu atau kau akan merampoknya. Jika kau mempergunakan kekerasan untuk mengambil benda-benda itu. maka itu akan sama saja artinya dengan kalian telah merampok kakekku”

“Sudahlah anak-anak muda” berkata orang yang bertubuh tinggi ”jangan terlalu banyak bicara sehingga membuat telingaku merah. Jika kau berniat untuk mempertahankan benda-benda itu. maka aku memang terpaksa mempergunakan kekerasan”

“Cobalah” berkata Manggada” kami akan mempertahankan dengan kekerasan pula”

Wajah orang bertubuh tinggi itu berkerut. Namun kemudian katanya “Aku akan memaksa kalian untuk minggir.

Tetapi Manggada dan Laksana masih tetap berdiri di tempatnya. Sementara itu, orang bertubuh kasar itupun berkata dengan nada geram ”Aku tidak telaten. Kita harus segera menyingkirkannya?”

Manggada dan Laksanapun segera bersiap menghadapinya kedua orang itu. Ruangan memang agak terlalu sempit. Tetapi kedua orang itu tidak boleh mengambil benda-benda yang memang bukan haknya.

Kedua orang itu benar-benar tidak menunggu lagi. Tetapi ketika keduanya melangkah maju, maka Manggada dan Laksanapun telah menyerangnya. Di tempat yang tidak begitu luas itupun kemudian telah terjadi perkelahian. Manggada menghadapi orang yang bertubuh tinggi tetapi kecil itu, sedangkan Laksana melawan orang-orang yang lain.

Namun agaknya kedua orang itu tidak ingin bertempur dalam ruang yang sempit itu. Karena itu, maka keduanyapun telah memancing lawan-lawan mereka untuk keluar dan turun ke halaman.

Manggada dan Laksanapun tidak berkeberatan pula. Merekapun lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas. Dengan demikian mereka akan lebih leluasa untuk bergerak dan mengambil ancang-ancang.

Demikianlah keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Manggada dan Laksana yang muda itu cepat menyesuaikan diri dengan lawannya yang garang dan berkelahi dengan keras.

Manggada yang bertempur melawan orang bertubuh tinggi itu telah bertempur dengan cepat. Orang bertubuh tinggi itu ternyata sangat giat, ia dapat berloncatan, berputar diudara dan bahkan seakan-akan terbang mengitari lawannya. Sementara Manggada yang telah menekuni olah kanuragan serta berlatih dengan keras berusaha untuk mengimbanginya. Peningkatan ilmunya disepanjang perjalanannya, telah membuatnya menjadi semakin tangkas.

Karena itu. maka Manggadapun dengan cepat pula telah bertempur melawan orang yang bertubuh tinggi itu. Beberapa saat mereka masih saling menjajagi kemampuan masing-masing. Namun kemudian orang bertubuh tinggi itu dengan cepat meningkatkan kemampuannya.

Manggadapun telah melakukan hal yang sama. Ketika lawannya mendesaknya, maka Manggadapun telah berusaha untuk bertahan. Bahkan dengan garangnya Manggada ielah menyerang lawannya semakin cepat.

Tetapi lawan Manggada agaknya seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Bahkan kekuatan dan kemampuannyapun telah menggetarkan pertahanan Manggada yang muda itu.

“Ternyata kau memiliki bekal yang cukup anak muda” berkata orang yang bertubuh tinggi itu ”sayang, kau belum mampu mengembangkan dasar ilmumu, sehingga gerakmu masih sangat terbatas pada umur-umur gerak murni. Namun ternyata kaupun telah pernah mendapatkan peningkatan landasan ilmu dan kemampuanmu oleh seorang yang berilmu tinggi, sehingga kau memiliki tataran ilmu yang pantas kau banggakan, apalagi pada umurmu yang masih sangat muda itu”

Manggada tidak menjawab. Namun iapun telah mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi lawannya benar-benar seorang yang memiliki pengalaman yang dapat menompang kemampuannya. Bukan saja kecepatannya bergerak serta unsur-unsur geraknya yang rumit.

Namun orang bertubuh tinggi itu seakan-akan dapat membaca, apa yang akan dilakukan oleh Manggada. sehingga karena itu, maka Manggada seakan-akan merasa telah dipotong serangan-serangannya oleh lawannya. Dengan demikian, maka Manggada mulai merasakan kesulitan untuk mengimbangi kemampuan lawannya yang ternyata cukup tinggi.

Dalam pada itu, Laksanapun telah mengalami kesulitan pula. Bahkan rasa-rasanya orang yang bertubuh sedang namun berwajah keras itu telah mendesaknya tanpa memberinya banyak kesempatan. Meskipun Laksanapun kemudian telah mengerahkan kemampuannya, tetapi lawannya itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Serangan-serangannya datang beruntun dengan landasan kekuatan yang sangat besar, kecepatan bergerak yang tinggi dan bahkan juga unsur-unsur yang sulit diperhitungkan.

Sementara itu orang tua yang disebut Ki Gumrah itu berdiri termangu-mangu didepan pintu rumahnya, ia menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut semakin dalam.

Manggada dan Laksana ternyata dalam waktu singkat telah terdesak oleh kemampuan lawannya yang tinggi. Kedua orang yang datang untuk mengambil pusaka itu adalah orang-orang yang memang berbekal ilmu sehingga mereka benar-benar akan dapat melakukan tugas mereka dengan baik.

Kedua anak muda yang merasa memiliki bekal dan juga pengalaman yang cukup itu, menjadi tiudak banyak berarti dihadapan kedua orang yang mendapat tugas untuk mengambil benda-benda berharga itu.

Namun Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda yang keras hati. Mereka tidak mudah menyerah menghadapi kesulitan itu. Karena itu, maka mereka masih tetap bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi beberapa saat kemudian, maka serangan lawan Laksana yang berwajah keras itu datang beruntun seperti banjir bandang yang sulit untuk dibendung. Sebuah serangan yang keras telah menghantam langsung mengenai lambung Laksana sehingga anak muda itu terdorong beberapa langkah surut. Sebelum Laksana mampu memperbaiki keadaannya, maka serangan berikutnyapun telah datang. Orang itu meloncat sambil menjulurkan tangannya tepat mengenai dadanya.

Laksana bukan saja sekedar terdorong surut, tetapi ia pun telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Namun dengan cepat pula Laksana berusaha untuk bangkit. Ketika ia sempat melihat lawannya meloncat menjulurkan kakinya lurus mengarah ke keningnya, maka Laksana teiah menjatuhkan dirinya sekali lagi. Tetapi ia sempat menyapu kaki lawannya, sehingga lawannya itupun telah kehilangan keseimbangannya pula.

Namun ketika Laksana bangkit berdiri, ternyata lawannya itupun telah berdiri tegak pula. Sedangkan yang terjadi kemudian adalah serangan-serangan yang datang beruntun. Susul-menyusul tidak henti-hentinya sehingga Laksana harus berloncatan surut beberapa langkah.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Manggadapun telah terdesak pula. Ketika tangan lawannya terayun mendatar, maka serangan itu masih membentur pertahanan Manggada sehingga tidak menyentuh tubuhnya. Tetapi sesaat kemudian, justru kaki lawannya yang bertubuh tinggi itulah yang menyerang kearah dadanya, justru lawannya sedang membelakanginya Manggada masih sempat mengelakkan serangan itu.

Namun sekejap kemudian lawannya itu bagaikan melenting sambil berputar. Satu kakinya terayun deras tepat mengenai kening anak muda itu. Manggada bagaikan terlempar jatuh. Dengan cepat ia berguling menjauhi lawannya. Ketika lawannya memburunya, Manggada sudah sempat melenting berdiri. Meskipun demikian, maka tangan lawannya yang terjulur lurus telah menggapai dadanya.

Manggada harus meloncat beberapa langkah surut sambil berusaha mengatasi rasa sakit. Sementara dadanya bagaikan menjadi sesak. Namun ia sempat mempersiapkan diri ketika lawannya yang bertubuh tinggi itu siap untuk menyerangnya lagi. Tetapi bagaimanapun juga, maka kemudian yang terjadi sudah dapat diduga. Manggada dan Laksana tidak mendapat banyak kesempatan lagi.

Karena itu, maka kedua anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Dengan keadaan yang terdesak, maka keduanya sampai ke puncak perlawanannya. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, baik Manggada maupun Laksana telah menarik pedangnya.

Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itupun termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh tinggi itupun kemudian berkata “Anak-anak muda. Senjata-senjata kalian itu akan sangat berbahaya bagi kalian sendiri. Jika kamipun kemudian menarik senjata kami, maka kalian berdua akan dapat terbunuh di sini”

“Aku tidak peduli” geram Manggada ”tetapi kalian tidak boleh mengambil apapun yang bukan hak kalian”

“Anak-anak muda. sebaiknya kalian tidak mncampuri persoalan orang lain” berkata orang bertubuh tinggi itu.

“Persoalan ini adalah persoalan kakekku” jawab Manggada.

“Baiklah” berkata orang itu ”jika demikian apaboleh buat. Kalian berdua memang harus disingkirkan lebih dahulu”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun kedua orang itupun kemudian telah menarik senjata mereka masing-masing. Orang yang bertubuh tinggi itu bersenjata sepasang tongkat baja yang tidak begitu panjang sedangkan orang yang berwajah kasar itu telah mengurai sehelai rantai yang tidak terlalu panjang.

Manggada dan Laksana memang menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bagaimana kedua orang itu begitu yakin akan jenis senjata mereka. Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi lagi di halaman rumah orang tua itu. Manggada dan Laksana telah mempermainkan pedangnya. Keduanya memiliki ilmu pedang yang tinggi.

Namun melawan senjata-senjata yang aneh itu, keduanya masih harus menyesuaikan diri. Meskipun mereka pernah berlatih melawan beberapa jenis senjata, tetapi ketika mereka benar-benar berhadapan dengan senjata yang tidak terlalu sering dipergunakan itu, masih juga harus sangat berhati-hati.

Tetapi Manggada dan Laksanapun telah terdesak pula. Ketika tongkat baja orang bertubuh tinggi itu membentur pedang Manggada maka rasa-rasanya pedangnya itu hampir meluncur dari tangannya. Namun Manggada cukup trampil sehingga ia masih mampu mempertahankan pedangnya itu.

Sementara itu Laksana telah berloncatan surut. Ujung rantai lawannya itu seperti seekor lalat yanag memburunya dan setiap kali hinggap dikulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu masih belum melukainya, tetapi perasaan pedih telah menyengatnya beberapa kali.

Bagaimanapun juga Manggada dan Laksana tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kedua orang itu. Ternyata keduanya bukan sekedar orang-orang yang berniat buruk, tetapi keduanya benar-benar berbekal ilmu melampaui orang-orang yang pernah dijumpai sebelumnya. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh kedua orang anak muda itu hanya bertahan. Namun beberapa kali mereka harus berlebatan mengambil jarak.

Tetapi kedua orang itu terus mendesaknya. Manggada yang mengerahkan segenap kemampuannya, ternyata tidak dapat mengimbangi lawannya. Tongkat baja itu mulai mengenai tubuhnya. Ketika ia mengayunkan pedangnya mendatar., tetapi tidak menggapai sasaran, maka lawannya telah mempergunakan saat itu untuk menyerang kembali.

Manggada memang meloncat surut, tetapi tongkat itu masih juga mengeni lengannya. Manggada mengeluh tertahan. Tulangnya seakan-akan. menjadi retak. Sehingga karena itu. maka ia pun telah berloncat beberapa kali menjauhi lawannya. Namun lawannya ternyata memburunya sambil menggeram.

“Salahmu sendiri” berkata orang itu ”senjatamu telah membuatmu semakin sulit. Jangan menyalahkan aku jika kunjunganmu ke kakekmu kali ini adalah kunjunganmu yang terakhir”

Tetapi Manggada tidak mudah menyerah. Apapun yang terjadi, harus dihadapinya. Ia sudah terlanjur mulai dengan satu pertempuran, karena ia tidak dapat melihat laku sewenang-wenang. Tetapi ternyata lawan anak-anak muda itu adalah orang yang berilmu tinggi, karena itu, Manggada dan juga Laksana telah mengalami kesulitan.

Akhirnya kedua anak muda itu telah terdesak sampai ke dinding halaman. Keduanya tidak mungkin lagi untuk bergeser mundur. Yang dapat mereka lakukan adalah bertahan sampai kemungkinan terakhir.

Ternyata kedua anak muda itu telah beberapa kali dikenai senjata-senjata lawannya. Selain tulang-tulang mereka serasa retak, kulit mereka pun mulai terluka. Darah pun mulai menitik dari luka-luka itu.

Dalam keadaan yang paling gawat itu. tiba-tiba saja mereka mendengar tepuk tangan. Bahkan terasa sangat mengejutkan, bahwa dalam keadaan yang demikian ada seseorang yang bertepuk tangan sambil berkata ”Bagus. Bagus sekali. Kalian utusan orang linuwih telah mampu mengalahkan anak-anak yang masih pantas bermain bengkat”

Orang-orang yang mendesak Manggada dan laksana itu terkejut pula. Mereka pun berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Gumrah masih bertepuk tangan.

”Apakah kau sudah menjadi gila?” bertanya orang yang bersenjata sepasang tongkat baja pendek itu.

Ki Gumrah tertawa. Katanya “Tentu tidak. Aku masih cukup sadar melihat apa yang telah terjadi. Kenapa kau menyangka aku sudah gila”

Apa yang membuatmu bertepuk tangan? Keputus-asaan melihat cucu-cucumu, atau justru karena kau sudah kehilangan akai?” bertanya lawan Laksana.

“Tidak Ki Sanak” jawab orangtua itu ”aku kagum akan anak-anak itu. Dalam usianya yang masih sangat muda, mereka telah mampu menunjukkan ilmu yang mapan meskipun masih harus dikembangkan. Tetapi mereka sudah menguasai unsur-unsur gerak yang rumit, serta memiliki kemungkinan yang jauh lebih baik dari ilmu kalian”

Wajah orang itu berkerut. Bahkan Manggada dan Laksana pun menjadi heran. Ternyata orang itu mampu menilai kemampuan mereka dan kemampuan lawan-lawan mereka.

Tetapi dengan geram lawan Manggada itu berkata “Tetapi kebanggaanmu atas cucu-cucumu tidak akan lama Ki Gumrah. Kami akan menyelesaikannya. Dengan bekal yang tipis itu, mereka menjadi terlalu sombong. Kelak mereka akan menjadi orang yang sangat berbahaya apabila mereka tumbuh semakin matang dalam olah kanuragan”

“Jangan Ki Sanak. Biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mekar. Meningkatkan ilmu dan mengamalkan ilmu mereka bagi kebaikan” jawab Ki Gumrah.

“Itu tidak akan terjadi. Mereka terlalu sombong dan tentu akan menjadi sewenang-wenang” geram lawan Manggada.

“Sudahlah” berkata Ki Gumrah ”aku minta maaf atas tingkah laku cucu-cucuku itu”

“Jadi kau berikan songsong dan tombak-tombak itu?” bertanya lawan Manggada.

Orangtua itu mengerutkan dahinya. Katanya “Sayang Ki Sanak, aku tidak dapat memberikan sebelum Ki Sanak membawa pertanda pemilikan seperti yang aku katakan”

“Jadi, kami bunuh cucu-cucumu?” desak lawan Laksana.

“Juga tidak” jawab Ki Gumrah.

“Aku tidak peduli” geram lawan Manggada ”aku justru akan melakukan kedua-duanya. Membunuh cucu-cucumu, kemudian membawa songsong dan tombak-tombak itu”

“Sebenarnya sudah tidak pantas bagiku untuk bermain-main dengan kalian. Tetapi apa boleh buat. Aku tidak mau kedua-duanya. Aku tidak mau cucu-cucuku mati dan juga tidak mau songsong dan tombak-tombak itu kau bawa” jawab Ki Gumrah.

“Jadi kau akan berbuat apa?” bertanya lawan Manggada itu ”kau akan melawan kami berdua?”

“Sudah aku katakan, sebenarnya aku sudah tidak pantas untuk melayani kalian, tetapi aku tidak dapat berdiam diri menghadapi sikap kalian” jawab orangtua itu.

Kedua orang yang akan mengambil songsong dan tombak-tombak itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata-kata. “Baiklah. Ternyata kami harus mempergunakan kekerasan. Tetapi dengan demikian kami dapat menduga, bahwa sebenarnya kau memiliki bekal kemampuan untuk mencoba bertahan. Siapa kau sebenarnya?”

“Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh. Kau tahu, namaku Ki Gumrah. Itu saja. Tetapi karena aku sudah berjanji, maka aku tidak dapat menyerahkan benda-benda itu kepada seseorang yang tidak berhak. Juga tidak kepada kalian” berkata orangtua itu.

“Jika demikian, maka aku tidak merubah rencanaku. Mengambil benda-benda itu dan membunuh orang-orang yang merintangi niat itu” geram lawan Manggada yang kemudian berkata kepada kawannya ”Selesaikan kedua anak itu. Aku akan menyelesaikan orangtua itu. Namun agaknya ia merasa mampu melawanku. Selama itu, ternyata ia hanya berpura-pura saja ketakutan dan seakan-akan tidak berdaya. Justru orang-orang seperti itu adalah orang yang sangat berbahaya”

Kawannya mengangguk. Namun ia tidak menunggu terlalu lama. Ia pun segera bersiap dan mulai menyerang Manggada dan Laksana yang sudah terluka dan kehilangan sebagian dari kekuatannya, setelah memeras tenaganya habis-habisan. Sementara darah semakin banyak mengalir dari luka-luka mereka. Sedangkan tulang-tulang mereka masih saja terasa bagaikan retak.

Sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah berhadapan dengan orangtua itu. Ternyata orangtua itu telah menyingsingkan kain panjangnya dan berkata “Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih tetap merasa bertanggung-jawab atas janji yang sudah aku ucapkan”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang. Sepasang tongkatnya terayun-ayun mengerikan. Hampir saja tongkat itu menyambar kepala Ki Gumrah yang untung saja sempat mengelak.

Sementara itu, Manggada dan Laksana benar-benar sudah terkurung. Meskipun lawan mereka tinggal seorang, tetapi mereka seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Namun kedua anak muda itu masih berusaha untuk melindungi dirinya.

Yang sama sekali tidak terduga adalah lawan Ki Gumrah. Mula-mula ia tampak demikian garangnya. Namun dalam waktu singkat, orang itu sudah terdesak dan seakan-akan tidak mempunyai kesempatan untuk melawan. Bahkan kemudian ia pun telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk membantunya.

Orang yang bersenjata rantai itupun telah melepaskan Manggada dan Laksana yang benar-benar dalam kesulitan. Namun orang itu masih menggeram ”Nyawamu masih akan tinggal beberapa saat di dalam tubuhmu. Tetapi setelah orangtua itu kami selesaikan, kalian pun akan mati. Kalian tidak akan dapat melarikan diri dalam keadaan kalian seperti itu”

Manggada dan Laksana memang tidak dapat menjawab. Mereka benar-benar dalam keadaan yang sulit. Mereka menyadari, jika mereka harus bertempur beberapa saat lagi, maka tubuh mereka akan menjadi semakin sakit. Darah akan semakin banyak mengalir dan tenaga mereka pun akan terkuras habis sama sekali.

Namun justru saat-saat kematian sudah membayang, lawannya telah meninggalkannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh lawannya itu, bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mampu melarikan diri.

Satu-satunya kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah mengganggu pemusatan perhatian kedua orang yang bertempur bersama-sama melawan orangtua yang semula disangkanya tidak berdaya sama sekali. Namun, dengan tekad apapun yang terjadi atas mereka, karena hanya dengan cara itulah mereka dapat membantu orangtua itu.

Tetapi sebelum keduanya berbuat sesuatu, Manggada dan Laksana yang terluka itu melihat bagaimana orangtua itu mendesak kedua lawannya. Bahkan sambil tertawa orangtua itu berkata “Nah, bukankah kalian pun harus mengalami sebagaimana dialami oleh kedua cucuku”

Dengan geram seorang di antara lawannya bertanya “Setan kau. Siapakah kau sebenarnya?”

Orangtua itu masih saja tertawa. Katanya “Kalian sudah mengenal namaku. Itu sudah cukup”

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu benar-benar tidak mampu mengatasi ketangkasan dan kecepatan gerak lawannya. Meski pun kedua orang itu bersenjata, namun orangtua itu sekali-sekali mampu juga menembus pertahanan mereka. Namun tiba-tiba seorang di antara kedua orang itu berteriak ”Bunuh saja cucu-cucunya”

Orangtua itu terkejut. Katanya, “Jangan licik!”

Orang bersenjata rantai itulah yang kemudian meloncat untuk menyelesaikan Manggada dan Laksana yang memang sudah tidak mampu berbuat banyak. Meski pun demikian, aba-aba itu telah membangunkan mereka untuk mengangkat senjata mereka dengan sisa tenaga yang ada padanya.

Tetapi Manggada dan Laksana memang sudah menjadi semakin lemah. Perasaan sakit, pedih dan nyeri, serta darah yang masih saja mengalir, membuat kedua anak muda itu tidak akan mampu lagi bertahan. Sementara itu, rantai baja telah berdesing semakin keras.

Manggada dan Laksana dengan sisa tenaga terakhirnya justru mengambil jarak, sehingga yang seorang akan dapat berbuat sesuatu betapapun lemahnya untuk membantu yang lain.

Namun dalam keadaan yang paling gawat bagi Manggada dan laksana, tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka melihat orang yang bersenjata rantai itu terhenyak sejenak. Kemudian terhuyung-huyung, sebelum orang itu sempat menyerang Manggada dan Laksana. Akhirnya orang itu terjatuh menelungkup. Sementara itu, sebuah gelang-gelang besi baja jatuh di sisinya.

“Aku tidak mempunyai cara lain!” terdengar suara Ki Gumrah yang meloncat mengambil jarak dari lawannya.

Lawannya terkejut melihat keadaan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram ”Kau licik!”

“Tidak. Bukan aku yang licik. Tetapi kawanmu dan justru kau!” sahut Ki Gumrah.

“Kenapa kau sebut kawanku dan bahkan aku licik? Bukankah kita sudah terlihat dalam pertempuran? Apakah membunuh kedua anak tikus itu dapat disebut licik?” geram orang itu.

“Jika demikian, apakah membunuh kawanmu juga dapat disebut licik?” jawab Ki Gumrah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata “Kau akan menyesal bahwa kau telah membunuh kawanku. Dengar, aku akan menyampaikan persoalan ini kepada orang yang memerintahkan aku mengambil benda-benda pusaka itu”

“Bagaimana jika aku juga membunuhmu?” bertanya Ki Gumrah.

“Persetan!” jawab orang itu. Namun ia memang menjadi cemas, bahwa hal itu benar-benar akan dilakukan oleh Ki Gumrah. Sehingga karena itu, ia pun telah melangkah surut menuju ke halaman rumah orangtua itu. Orang itu tidak mau memutar tubuhnya membelekangi Ki Gumrah yang ternyata memiliki senjata khusus, yang dapat dilontarkan pada jarak tertentu.

Ki Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun ia memang tidak ingin membunuh orang itu. Bahkan ia sempat berkata “Apakah kau tidak ingin melihat kawanmu? Apakah kau yakin ia sudah mati?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Mati atau tidak mati, aku tidak dapat membawanya. Kaupun dapat berbuat licik saat aku melihat kawanku. Yang penting, salah seorang diantara kami dapat kembali dan memberitkan laporan tentang benda-benda berharga itu”

Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Kau kira aku tidak dapat membunuhmu?”

“Lakukan jika kau mulai menjadi ketakutan kepada orang yang memerintahkan aku kemari. Tetapi bahwa kami berdua tidak kembali, berarti bencana yang semakin besar bagimu” jawab orang itu.

Ki Gumrah tertawa. Katanya “Satu cara yang baik untuk menyelamatkan diri. Kau singgung harga diriku agar aku tidak membunuhmu. Tetapi jika aku tidak membunuhmu, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kata-kata itu. Aku memang tidak berniat membunuhmu. Aku kasihan kepadamu. Kau sudah menjadi pucat pasi. Meskipun kau memaksa diri untuk tampak tetap tegar dan tanpa mengenal ancaman maut. Namun sebenarnya jantungmu tentu sudah tidak berdarah lagi”

“Setan tua!” geram orang itu. Namun ia masih juga melangkah surut ke pintu gerbang.

Demikian orang itu sampai kepintu gerbang, Ki Gumrah telah menimbang sebuah lingkaran besi baja. Karena itu, orang itu dengan cepat meloncat ke belakang pintu gerbang halaman rumah Ki Gumrah.

Ki Gumrah tersenyum. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia menyimpan kembali gelang-gelang baja itu dibawah ikat pinggangnya. Kemudian Ki Gumrah pun telah mendekati Manggada dan Laksana.

“Marilah. Aku obati luka-lukamu,!" berkata Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana telah menyarungkan senjata mereka. Dengan dibantu oleh orangtua itu, keduanya berjalan perlahan-lahan ke serambi rumah tua itu, dan kemudian duduk di sebuah amben panjang.

“Duduklah sebentar. Jangan banyak bergerak” berkata orangtua itu.

Dengan tergesa-gesa pula Ki Gumrah mendekati tubuh yang terbaring itu. Nampaknya gelang-gelang besi baja Ki Gumrah telah mengenai tengkuknya. Tetapi orang itu tidak mati. Orang itu hanya pingsan saja.

“Biarlah ia tidur sebentar” berkata Ki Gumrah yang telah menelentangkan orang itu. Tetapi kemudian ia telah menyentuh beberapa bagian simpul syarafnya dan berkata “Ia tidak akan dapat lari”

Ki Gumrah kembali kepada Manggada dan Laksana. Diperintahkannya kedua anak muda itu berbaring. Katanya “Lepas baju kalian. Aku akan melihat luka-luka di tubuh kalian”

Manggada dan Laksana pun telah membuka baju mereka sambil menyeringai menahan pedih. Kemudian keduanya berbaring berjajar di amben bambu di serambi.

“Di sini udara lebih baik daripada di dalam rumah yang pengab itu” berkata Ki Gumrah.

Sejenak kemudian orangtua itu telah melihat luka-luka di tubuh Manggada dan Laksana. Kebanyakan hanya luka-luka memar. Tetapi ada pula kulitnya yang terkoyak, sehingga darah mengalir dari luka-luka itu.

Namun kemudian, dengan hati-hati Ki Gumrah telah menaburkan semacam serbuk di luka-luka kedua anak muda itu. Meskipun mula-mula luka itu bagaikan disentuh api, namun kemudian perlahan-lahan penjadi semakin sejuk. Darah yang mengalir dari luka-luka itupun telah menjadi pampat pula.

“Luka-luka kalian, baik yang terbuka maupun yang tampak memar pada kulit daging kalian, tidak berbahaya” berkata orangtua itu ”tetapi tentu terasa pedih. Apalagi jika keringat kalian mengenainya”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun obat Ki Gumrah telah dapat jauh mengurangi rasa sakit, meskipun mula-mula terasa panas. Bahkan sejenak kemudian Manggada telah mulai bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Laksana pun telah bangkit pula dan duduk disebelah Manggada.

“Daya tahan kalian luar biasa!” berkata Ki Gumrah ”Latihan-latihan yang berat telah membuat kalian mengatasi perasaan sakit yang mencekam tubuh kalian, serta kemampuan kalian mempertahankan kekuatan dan tenaga di dalam diri kalian, sehingga kalian masih mampu bangkit dan duduk sekarang ini, bahkan seolah-olah tidak terjadi sesuatu atas diri kalian. Sudah tentu bahwa sebenarnyalah kekuatan kalian belum pulih kembali, karena untuk itu diperlukan waktu. Namun sekilas, wajah kalian, tatapan mata kalian dan sikap duduk kalian, benar-benar menunjukkan ketahanan tubuh yang luar biasa”

“Obat Ki Gumrah tadi agaknya yang telah menumbuhkan kekuatan di dalam tubuh kami, meskipun belum pulih kembali” jawab Manggada.

“Tidak. Obatku hanya sekadar mengobati luka-luka di tubuh kalian dan memampatkan darah” jawab Ki Gumrah. Namun kemudian katanya “Tetapi aku juga ingin memberikan obat yang nanti dapat kalian minum, sehingga kekuatan kalian akan cepat pulih kembali”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada menjawab. ”Terima kasih Kiai”

“Akulah yang harus mengucapkan terima kasih” jawab Ki Gumrah.

“Tidak” jawab Manggada ”kami ternyata benar-benar terlalu sombong dan dungu. Kami tidak tahu siapa sebenarnya Kiai. Sehingga kami merasa mempunyai kemampuan untuk menolong Kiai yang kemudian justru merepotkan Kiai”

Ki Gumrah tertawa. Katanya. “Anak-anak muda. Meskipun kalian tidak berhasil menolong aku, seandainya aku tidak mampu mengatasi mereka berdua, tetapi niat kalian untuk menolong itu sudah menunjukkan sesuatu yang menarik pada kalian. Kalian tidak mengenal aku sebelumnya. Namun dalam keadaan yang gawat, kalian tiba-tiba saja telah mengaku sebagai cucu-cucuku. Bukankah sikap itu harus dihargai? Selebihnya, aku memang ingin melihat tingkat kemampuan kalian. Ternyata bahwa kalian selain telah berguru dan menyadap ilmu juga pernah mendapatkan petunjuk-petunjuk khusus untuk menjalani laku, sehingga kalian memiliki kelebihan dan orang lain. Dalam umur kalian yang masih muda itu, kalian telah memiliki sesuatu yang berharga. Namun masih juga tergantung penggunaannya, apakah yang kalian miliki itu berarti bagi orang banyak atau justru mengganggu orang banyak!”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Ketika mereka menarik nafas dalam-dalam, maka tulang-tulang mereka memang tidak lagi terasa terlalu sakit. Menurut Ki Gumrah, itu bukan karena obat yang ditaburkan pada luka-lukanya, tetapi justru karena daya tahan tubuh mereka sendiri.

Sementara itu. Ki Gumrah itu kemudian berkata, “Duduklah. Beristirahatlah agar darahmu tidak keluar lagi dari luka-lukamu yang mulai pampat. Aku akan melihat orang itu”

Ketika Ki Gumrah mendekati orang yang terbaring di halaman itu, maka ia melihat bahwa orang itu telah sadar dari pingsannya. Namun orang itu masih saja terbaring diam karena sentuhan jari-jari Ki Gumrah pada bagian tertentu pada jaringan dan simpul-simpul syarafnya. Demikian Ki Gumrah membuka bagian-bagian yang ditutupnya itu, maka orang itupun telah menarik nafas dalam-dalam.

“Bangkitlah dan duduklah” desis Ki Gumrah. Orang itu menggeliat. Namun ia merasa bahwa ia masih mampu untuk bangkit dan duduk ditanah meskipun tengkuknya terasa sakit sekali. Agaknya tengkuknya itulah yang telah dikenai senjata lawannya dan membuatnya menjadi pingsan.

“Kawanmu telah melarikan diri” desis Ki Gumrah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Ki Gumrah. Kemudian orang itu sempat memandang Manggada dan Laksana yang duduk di serambi. “Kenapa kau tidak membunuh aku saja?” bertanya orang itu.

Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Tidak. Aku juga tidak membunuh kawanmu. Aku biarkan kawanmu melarikan diri”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya “Kenapa kau tidak membunuh kami? Bukankah kau tahu bahwa kami adalah orang yang sangat berbahaya bagimu. Bahkan seandainya kami mampu, kami tentu sudah membunuhmu dan membawa benda-benda berharga itu keluar dari rumahmu ini.”

Orangtua itu tersenyum. Katanya “Sebenarnya untuk apa kami membunuh? Aku dan cucu-cucuku bukan pembunuh. Kami hanya sekadar mencegah usah kalian membawa benda-benda yang tidak berhak kalian bawa itu. Hanya itu”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia benar-benar tidak mengerti, kenapa orangtua itu tidak membunuhnya. Bahkan orangtua itu kemudian membantunya untuk berdiri sambil berkata “Marilah. Duduklah bersama cucu-cucuku itu”

Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih dibantu oleh Ki Gumrah ke serambi. Kemudian Ki Gumrah telah mempersilahkan orang itu untuk duduk di amben bambu, di sebelah Manggada dan Laksana. Namun orang itu ternyata masih merasa bahwa masih ada anggota badannya yang tidak dapat bergerak sewajarnya.

“Agaknya masih ada simpul syarafnya yang tertutup!” berkata orang itu di dalam hatinya. Namun orang itu tidak bertanya kepada Ki Gumrah. Karena ia tidak yakin, apakah keadaanya itu terjadi karena ia memang mengalami luka-luka di dalam tubuhnya.

“Biarlah kau duduk bersama cucu-cucuku. Aku akan menengok gula kelapaku lebih dahulu," berkata orangtua itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Ki Gumrah begitu saja meninggalkan mereka bersama orang yang semula berniat buruk itu. Namun Manggada dan Laksana tidak bertanya pula kepadanya. Ia yakin, bahwa orangtua itu tidak berbuat begitu saja tanpa memikirkan akibatnya.

Untuk beberapa saat mereka yang duduk di serambi itu saling berdiam diri. Memang ada niat orang yang telah sadar dari pingsannya itu untuk melarikan diri. Tetapi setiap kali niatnya diurungkan karena ada sesuatu yang belum wajar pada dirinya, yang mungkin akan dapat mengganggunya sepanjang umurnya.

Tetapi karena orangtua itu cukup lama tidak muncul dari dalam rumahnya, maka orang itupun kemudian bertanya. “Anak-anak muda. Apakah kalian juga berguru kepada kakekmu, sehingga dalam umurmu yang masih muda itu kalian memiliki bekal ilmu yang cukup baik?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada menjawab singkat ”Ya...!”

Tetapi orang itu masih bertanya “Menilik penglihatanku, unsur-unsur gerak yang terdapat dalam ilmumu berbeda dengan unsur-unsur yang tampak pada kakekmu. Kenapa?”

Sekali lagi Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi Manggada pun kemudian menjawab. ”Kami terlalu dungu untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntunan ilmu kakek”

“Apakah kalian telah mengembangkannya sendiri?” bertanya orang itu.

“Tentu tidak. Tetapi kakek yang memiliki ilmu yang tinggi itulah yang mampu berbuat apa saja dengan ilmunya. Ia mampu merubah sifat dan watak ilmunya dalam sekejap, sehingga seolah-olah ada dua atau tiga jalur kemampuan ilmu pada kakek” jawab Manggada.

Orang itu mengangguk-angguk kecil. Namun katanya “Ternyata orangtua itu berilmu sangat tinggi. Aku tidak mengira. Bahkan aku tetap tidak mengerti kenapa kakekmu tidak membunuh aku!”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba Laksana bertanya, “Siapa namamu?”

Orang itulah yang kemudian termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian menjawab ”Namaku Kundala. Lengkapnya Kundala Geni”

Laksana mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya lagi ”Apakah namamu memang Kundala Geni atau kau tambahi sendiri agar namamu menjadi lebih berwibawa?”

Manggada menggamit Laksana. Tetapi pertanyaan itu sudah terloncat. Sambil menarik nafas panjang orang itu menjawab ”Memang aku bernama Kundala Geni mulai lahir. Waktu itu rumahku terbakar, sehingga ibuku yang baru saja melahirkan aku, telah terkepung api. Untunglah, ayahku sempat menyelamatkan aku”

“O” Laksana mengangguk-angguk.

Sementara orang itu berkata selanjutnya ”Namun ternyata peristiwa itu telah ikut menentukan garis hidupku.”

Laksana justru menjadi tertarik lagi untuk bertanya. Namun sekali lagi Manggada menggamitnya, sehingga Laksana pun terdiam karenanya.

Untuk beberapa saat orang-orang yang duduk di serambi itu saling berdiam diri. Namun kemudian Ki Gumrah telah muncul dari balik pintu sambil membawa mangkuk berisi ketela rebus legen yang masih panas.

Sebelum Manggada dan Laksana bertanya, Ki Gumrah berkata, “Ketela ini sudah ada di kuali dengan sisa adonan gula yang belum sempat aku tuang kedalam tempurung. Namun apinya tinggal kecil sekali, sehingga tidak dapat membuat air yang kau tuangkan itu mendidih. Baru kemudian, aku nyalakan lagi sehingga ketela pohon ini telah masak. Karena itu, aku agak terlalu lama meninggalkan kalian”

Ki Gumrah pun kemudian ikut duduk pula di serambi, sehingga mereka berempat sempat makan ketela pohon yang direbus dengan legen sehingga menjadi manis sekali. Orang yang menyebut namanya Kundala Geni itu menjadi semakn heran. Ki Gumrah sama sekali tidak menyinggung-nyinggung lagi tentang kedatangannya berdua dengan kawannya yang melarikan diri. Ki Gumrah tampaknya menganggap Kundala itu sebagai tamunya saja.

Bahkan kemudian orangtua itu berkata “Duduklah. Wedang sereku tentu sudah jadi pula!”

Sejenak kemudian Ki Gumrah itupun telah masuk lagi untuk mengambil wedang serenya. Ternyata Kundala Geni tidak dapat menahan keheranannya itu di dalam dadanya. Hampir diluar sadarnya orang itu berkata.

”Orangtua yang aneh. Kenapa ia memperlakukan aku seperti ini? Aku justru menjadi bingung atas sikapnya. Seharusnya ia membunuhku. Apalagi kawanku telah melarikan diri”

“Kakek sengaja tidak membunuhmu dan tidak pula membunuh kawanmu. Jika kakek mau, kawanmu tentu sudah menjadi mayat di sini” berkata Laksana.

“Itulah yang tidak aku mengerti...” desis Kundala.

Namun Manggada pun menyahut. ”Kakek bukan seorang pembunuh. Bahwa ia harus berkelahi, ia tentu akan menjadi amat sedih. Semalam-malaman nanti kakek tentu akan merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Kenapa ia masih harus berkelahi dalam usianya setua itu”

Kundala mengangguk-angguk. Sementara Manggada berkata selanjutnya. ”Apalagi jika karena kecelakaan misalnya, kakek membunuh salah seorang dari kalian. Maka kakek tentu akan sangat menyesali dirinya. Sepekan kakek akan tidak mau makan”

Kundala menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Bukan maksudku untuk memusuhi kakekmu. Tetapi aku memang berada dibawah perintah seseorang, sehingga aku harus melaksanakannya”

"Siapa orang itu?"

Kundala menggeleng. Katanya “Aku tidak akan mengatakannya. Bagaimanapun juga aku mempunyai kewajiban untuk menyembunyikan nama itu”

”Tetapi kau dapat dipaksa oleh kakek untuk menyebutnya” berkata Laksana.

Orang itu terdiam. Ia memang tidak menjawab apa-apa. Tetapi terasa betapa ia wajib bertahan untuk tidak berkhianat.kepada orang yang telah memerintahkannya mengambil pusaka-pusaka itu.

Pembicaraan mereka terputus ketika Ki Gumrah telah keluar lagi membawa wedang sere dan beberapa mangkuk kecil. Manggada yang bangkit untuk membantu Ki Gumrah membawa minuman dan mangkuk-mangkuk kecil itu, masih menyeringai menahan sakit di punggungnya. Namun ketika ia mulai melangkah, maka perasaan sakit itu justru berkurang.

Manggadalah yang kemudian meletakkan minuman itu di amben, sementara Ki Gumrah masih masuk lagi untuk mengambil gula kelapa.

“Ini bukan gula yang aku buat hari ini” berkata Ki Gumrah ”tetapi gula yang aku buat kemarin. Aku belum sempat membawanya ke pasar”

Demikianlah, keempat orang itu justru duduk-duduk di serambi sambil minum-minuman hangat dan makan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa.

Namun beberapa saat kemudian Kundala itu tidak dapat duduk dalam perlakuan yang tidak dimengerti itu. Karena itu maka iapun bertanya “Ki Gumrah. Lalu apa maksud Ki Gumrah dengan aku. Apakah Ki Gumrah memperlakukan aku seperti ini sekadar mempermainkan aku untuk kemudian dibunuh dengan cara Ki Gumrah sendiri, atau apa?”

“Jangan berprasangka buruk terhadap orang lain Ki Sanak. Sudah aku katakan, aku bukan pembunuh” jawab Ki Gumrah ”Tugasku hanya menjaga benda benda berharga itu. Jika benda-benda itu sudah aman dan dapat aku selamatkan, maka apakah perlu aku membunuh orang?”

“Tetapi orang-orang itu tentu orang-orang yang sangat berbahaya bagi Ki Gumrah. Aku dan kawanku dapat kembali lagi, bahkan bersama dengan sepuluh atau duapuluh orang!” berkata Kundala.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku telah menyatakan kesedianku untuk menjaga benda-benda yang berharga itu. Apapun yang terjadi, aku harus mempertahankannya. Tetapi untuk itu aku tidak harus menjadi seorang pembunuh.”

“Apakah Kiai pada suatu saat akan membiarkan diri Kiai dibunuh?”bertanya Kundala.

“Setiap orang tentu akan berusaha mempertahankan hidupnya dalam keadaan yang wajar. Kecuali mereka yang telah kehilangan nalar dan sengaja membunuh dirinya sendiri” desis Ki Gumrah.

Kundala termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata “Ki Gumrah. Tampaknya Ki Gumrah belum tahu watak orang yang telah memerintahkan kami datang untuk mengambil benda-benda berharga itu. Orang itu sama sekali tidak berperasaan. Ia tidak akan mengerti meskipun Ki Gumrah tidak membunuh kami berdua. Yang ia tahu, niatnya harus dapat dilaksanakan dengan cara apapun juga. Bahkan dengan membunuh sekalipun”

Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Mudah-mudahan pada suatu saat ia akan berubah”

“Itu tidak mungkin” sahut Kundala ”ia tidak akan berubah sampai tanah akan menelannya”

“Tentu kita tidak tahu apa yang akan terjadi” jawab Ki Gumrah.

Kundala tidak berbicara lagi. Namun kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam. Sementara itu Ki Gumrah telah mempersilahkan mereka mengulangi lagi makan ketela rebus legen yang masih tersisa sambil minum minuman yang sudah menjadi semakin dingin.

“Silahkan. Aku akan melihat dapur sebentar” berkata orangtua itu sambil melangkah masuk kedalam rumahnya.

Kundala menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ketika ia kemudian berdesis. “Aku benar-benar tersiksa. Mungkin orangtua itu sengaja menyiksa aku dengan cara ini. Jika ia membunuhku, ia akan menganggap bahwa hukuman bagiku itu masih terlalu ringan”

“Tidak” sahut Manggada ”Kakek benar-benar bukan seorang pembunuh. Jika ia ingin menyiksa, maka ia tidak akan membiarkan kawanmu terlepas dari tangannya. Sebenarnya ia dapat menangkap kawanmu sebagaimana dilakukan atasmu. Jika kakek melempar kawanmu dengan gelang-gelang bajanya, maka ia tentu tidak akan sempat melarikan diri”

“Aku benar-benar tidak mengerti” desis orang itu ”namun aku akan menjadi semakin tersiksa jika pada suatu saat orangtua itu terbunuh oleh kawan-kawanku”

“Kau dan kawan-kawanmu tidak akan datang lagi” desis Laksana.

“Jika hal itu dapat aku lakukan, aku akan merasa berbahagia sekali. Tetapi jika perintah itu datang, maka siapa yang menentang akan dibinasakan. Dan tentu saja aku tidak ingin mengalaminya, karena seperti yang dikatakan oleh Ki Gumrah tentu setiap orang berusaha mempertahankan hidupnya, kecuali jika terjadi sesuatu yang mengacaukan penalarannya” jawab Kundala.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya mengerti perasaan orang yang menamakan dirinya Kundala itu. Namun keduanyapun agak sulit untuk mengerti sikap Ki Gumrah. Ia sama sekali tidak berusaha untuk mengenali siapa yang telah memerintahkan Kundala datang kepadanya untuk mengambil benda-benda berharga itu.

“Hanya belum!” gumam mereka di dalam hatinya. Namun Manggada dan Laksana memperhitungkan, bahwa Ki Gumrah pada suatu saat tentu bertanya tentang orang yang memerintahkan Kundala Geni datang ke rumahnya.

Untuk beberapa lama Kundala masih berbicara dengan Manggada dan Laksana. Namun Kundala tidak juga menyebut-nyebut nama orang yang telah memberikan perintah kepadanya untuk datang ke rumah itu.

Ternyata Ki Gumrah tidak segera keluar dari rumahnya. Ketiga orang yang berada di serambi itu menunggunya. Namun ternyata kemudian mereka mendengar suara orangtua sedang sibuk menghitung, Agaknya orangtua itu sedang menghitung gula kelapa yang ada di dapur. Agar tidak mudah lupa atau keliru, maka hitungan yang diucapkan beralun dalam nada-nada tembang yang menyentuh.

Ternyata suara orangtua itu cukup bagus. Meskipun hanya lamat-lamat, namun terdengar suara itu kadang-kadang melengking tinggi. Tetapi kemudian menukik sampai ke dasar jantung mereka yang mendengarkan, meskipun yang disebut tidak lebih dari angka-angka hitungan gula kelapanya.

Beberapa saat kemudian, suara tembang itupun berhenti. Manggada, Laksana dan Kundala Geni pun tidak berbincang lagi. Mereka bertiga merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Kundala masih saja tersiksa oleh sikap orangtua itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa masih ada simpul syarafnya yang belum terbuka sepenuhnya.

Ketiganya berpaling ketika Ki Gumrah muncul dari pintu rumahnya sambil membawa sekeranjang gula kelapa yang diletakkannya ditlundak pintu rumahnya. Kemudian iapun telah mendekati ketiga orang yang duduk di serambi sambil berkata,

“Nah, tolong, jaga rumahku sebentar. Aku akan menyerahkan gula kepala yang sudah aku simpan sejak kemarin, ditambah dengan gula yang akan aku buat hari ini.”

“Tetapi...” Manggada memang menjadi bimbang.

Namun orangtua itu berkata. “Aku hanya sebentar. Gula ini akan aku bawa ke rumah sebelah, yang memang berdagang gula kelapa. Jika sudah terkumpul sepedati, maka gula itu akan dibawa ke pasar.”

Bahkan sebelum pergi orangtua itu mendekati Kundala sambil berkata “Ada yang masih tertinggal. Berdirilah.”

Kundala mengerti yang dimaksud oleh orangtua itu. Simpul syarafnya yang masih tertutup agaknya akan dibuka. Karena itu maka iapun telah bangkit berdiri dan melangkah mendekat.

Ki Gumrah telah memutar tubuh Kundala sehingga membelakanginya. Kemudian beberapa ketukan jari telah membuka simpul-simpul syarafnya yang masih tertutup...

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 03

Sang Penerus Bagian 02

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA cepat-cepat mengambil air dari persediaan di dapur, menuangkannya di tempayan secukupnya. Kemudian memasukkan ketela pohon yang telah dikupasnya ke dalamnya. Namun keduanya tidak lagi memperhatikan ketela pohonnya. Keduanya mulai memikirkan orang tua yang agaknya terpaksa meninggalkan gula kelapanya.

Dengan hati-hati Manggada dan Laksana melangkah memasuki rumah orang tua itu dari belakang. Namun mereka tertegun ketika mereka mendengar orang bercakap-cakap di-ruang dalam. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun tanpa berjanji, keduanya telah mendengarkan percakapan di ruang dalam itu.

Sekali-sekali mereka mendengar suara orang tua itu gemetar. Namun kemudian terdengar suara orang lain yang nampaknya memang sudah ditunggu oleh orang tua itu. Tidak hanya seorang. Tetapi dua orang. Manggada dan Laksana memang menjadi tegang. Orang-orang itu adalah orang-orang yang datang untuk mengambil benda-benda berharga yang dititipkan kepadanya.

Namun antara terdengar dan tidak seseorang berkata “Ki Gumrah. Patung kecil itu sudah hilang. Yakinlah. Aku bukan orang lain dari orang yang menitipkan benda-benda pertanda kebangsawanan itu. Aku adalah pamannya”

“Tetapi bagaimana aku tahu bahwa Ki Sanak adalah pamannya. Bagiku, siapapun orangnya, tetapi pertanda itu ada padanya, maka aku akan menyerahkannya. Bukankah hal itu sudah aku katakan ketika Ki Sanak datang kemari beberapa waktu yang lalu?” berkata orang tua yang disebut Ki Gumrah itu.

“Aku juga sudah menemuinya. Tetapi ia mengatakan bahwa patung kecil itu telah hilang sehingga ia tidak dapat memberikannya kepadaku” jawab orang itu.

“Maaf Ki Sanak” berkata orang tua itu ”aku masih tetap pada pendirianku, karena pemilik benda-benda yang dianggapnya berharga itu sendirilah yang berpesan”

“Ki Gumrah” terdengar suara yang lain ”kau sudah tua. Sebaiknya kau tidak usah berkeras untuk mempertahankan benda-benda yang memang bukan milikmu itu. Apakah keuntunganmu mempertahankan benda-benda itu?”

“Aku memang tidak mendapat keuntungan apa-apa Ki Sanak” jawab Ki Gumrah ”tetapi aku sudah berjanji untuk melakukannya. Bagiku janji mempunyai nilai yang tinggi”

“Kau mempersulit dirimu sendiri” berkata orang yang datang itu ”jika kau berkeras untuk mempertahankan benda-benda yang bukan milikmu itu, maka kami terpaksa berkeras untuk membawanya. Pemilik benda-benda berharga itu berpesan kepada kami, agar benda-benda itu dapat kami bawa. Kemudian sudah berjanji bahwa kami akan kembali dengan membawa benda-benda itu. Sedang menurutmu, janji itu mempunyai nilai yang tinggi”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata “Maaf Ki Sanak. Bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat memberikan, benda-benda itu. Aku terikat pada janjiku. Sebagai orang tua aku justru harus berpegang kepada janji itu”

“Jika demikian, kita masing-masing akan berpegang kepada janji yang telah kita ucapkan” berkata orang yang pertama.

“Karena itu Ki Sanak” berkata orang tua itu ”usahakan agar pertanda itu kalian dapatkan, sehingga tidak akan terjadi kesulitan apapun juga”

“Benda kecil itu sudah hilang. Bukankah aku sudah mengatakannya?” jawab orang itu.

"Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat memberikannya” berkata orang tua itu.

“Kami akan mengambil sendiri” terdengar suara orang yang datang itu menjadi semakin keras.

Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Ki Gumrah sudah terlalu tua untuk mempertahankan benda-benda berharga itu. Karena itu, sejenak keduanya saling berpandangan.

Sementara itu, suasana di ruang dalam menjadi semakin panas ketika terdengar seseorang berkata “Sudahlah Ki Gumrah, kau jangan berbuat bodoh. Kau tidak akan dirugikan seandainya benda-benda itu kami bawa. Kaupun tidak akan mendapat keuntungan apa-apa dengan mempertahankan benda-benda itu”

“Ada Ki Sanak. Jika aku mempertahankan benda-benda itu, aku mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu tidak berujud. Aku adalah orang tua yang berpegang pada janji” jawab orang tua itu.

“Sebenarnya aku tidak ingin berbuat kasar. Apalagi terhadap orang tua. Karena itu, ketika aku datang yang pertama, aku dengan senang hati menuruti permintaanmu, mengambil patung kecil itu. Tetapi sudah aku katakan, patung itu sudah hilang. Kau tidak dapat memaksaku menemukan patung itu kembali. Demikian pula pemilik benda-benda berharga itu tidak akan mendapatkan patungnya lagi” berkata orang yang datang itu.

“Jika demikian, biarlah pemiliknya datang sendiri untuk mengambilnya. Meskipun aku sudah pikun, tetapi aku tentu masih dapat mengenalnya dengan baik” berkata Ki Gumrah selanjutnya.

Tetapi orang-orang yang datang itu nampaknya sudah tidak sabar lagi. Yang terdengar adalah suara salah seorang dari mereka menjadi semakin keras ”Cukup. Aku sudah cukup menahan diri. Sekarang aku akan mengambil benda-benda itu. Aku akan membawanya. Boleh atau tidak boleh”

“Jangan, Ki Sanak. Jangan. Lalu dimana harga diriku, jika kata-kataku tidak dapat dipegang lagi. Jika aku sudah tidak memegang janji, aku akan menjadi semakin tidak berharga lagi” minta orang tua itu.

“Aku tidak peduli lagi” geram orang itu.

Yang kemudian terjadi, dapat dibayangkan. Orang tua yang memegangi lengan tamunya itu telah dikibaskan. Yang terdengar suara orang yang terjatuh diamben bambu serta orang tua itu mencoba mencegahnya. ”Jangan, jangan lakukan itu”

Tetapi suaranya sama sekail tidak dihiraukan. Manggada dan Laksana tidak menunggu lebih !ama lagi. Keduanya kemudian telah mendorong pintu butulan. Sesaat kemudian, keduanya telah berada di ruang dalam itu pula.

“Jangan lakukan itu Ki Sanak” desis Manggada.

”Siapa kau?” bertanya seorang yang ternyata bertubuh kecil namun agak tinggi.

“Aku cucu Ki Gumrah” jawab Manggada.

“O” yang satu lagi mengangguk-angguk. Orangnya bertubuh sedang. Namun wajahnya nampak keras dan kasar” Jadi Ki Gumrah sudah mempunyai cucu sebesar ini. Yang seorang lagi apakah juga cucunya?”

“Ya” jawab Laksana singkat.

“Bagus. Nampaknya kalian dipanggil oleh kakekmu khusus hari ini untuk melindungi benda-benda berharga itu?” desis orang yang berwajah keras itu.

“Aku tidak sengaja datang mengunjungi kakekku hari ini. Ternyata kakek sedang menghadapi satu masalah yang tidak dapat dipecahkannya sendiri” berkata Laksana.

“Baiklah” berkata orang yang bertubuh tinggi ”sekarang kami akan mengambil benda-benda berharga itu. Terserah kepada kalian berdua, cucu-cucu Ki Gumrah. Apakah kalian akan mencegah kami atau tidak”

“Sudah tentu” berkata Manggada ”kakek yang sudah terlanjur berjanji harus ditepati. Aku tidak peduli apakah kau akan mengaku sudah berjanji pula membawa benda-benda itu atau kau akan merampoknya. Jika kau mempergunakan kekerasan untuk mengambil benda-benda itu. maka itu akan sama saja artinya dengan kalian telah merampok kakekku”

“Sudahlah anak-anak muda” berkata orang yang bertubuh tinggi ”jangan terlalu banyak bicara sehingga membuat telingaku merah. Jika kau berniat untuk mempertahankan benda-benda itu. maka aku memang terpaksa mempergunakan kekerasan”

“Cobalah” berkata Manggada” kami akan mempertahankan dengan kekerasan pula”

Wajah orang bertubuh tinggi itu berkerut. Namun kemudian katanya “Aku akan memaksa kalian untuk minggir.

Tetapi Manggada dan Laksana masih tetap berdiri di tempatnya. Sementara itu, orang bertubuh kasar itupun berkata dengan nada geram ”Aku tidak telaten. Kita harus segera menyingkirkannya?”

Manggada dan Laksanapun segera bersiap menghadapinya kedua orang itu. Ruangan memang agak terlalu sempit. Tetapi kedua orang itu tidak boleh mengambil benda-benda yang memang bukan haknya.

Kedua orang itu benar-benar tidak menunggu lagi. Tetapi ketika keduanya melangkah maju, maka Manggada dan Laksanapun telah menyerangnya. Di tempat yang tidak begitu luas itupun kemudian telah terjadi perkelahian. Manggada menghadapi orang yang bertubuh tinggi tetapi kecil itu, sedangkan Laksana melawan orang-orang yang lain.

Namun agaknya kedua orang itu tidak ingin bertempur dalam ruang yang sempit itu. Karena itu, maka keduanyapun telah memancing lawan-lawan mereka untuk keluar dan turun ke halaman.

Manggada dan Laksanapun tidak berkeberatan pula. Merekapun lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas. Dengan demikian mereka akan lebih leluasa untuk bergerak dan mengambil ancang-ancang.

Demikianlah keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Manggada dan Laksana yang muda itu cepat menyesuaikan diri dengan lawannya yang garang dan berkelahi dengan keras.

Manggada yang bertempur melawan orang bertubuh tinggi itu telah bertempur dengan cepat. Orang bertubuh tinggi itu ternyata sangat giat, ia dapat berloncatan, berputar diudara dan bahkan seakan-akan terbang mengitari lawannya. Sementara Manggada yang telah menekuni olah kanuragan serta berlatih dengan keras berusaha untuk mengimbanginya. Peningkatan ilmunya disepanjang perjalanannya, telah membuatnya menjadi semakin tangkas.

Karena itu. maka Manggadapun dengan cepat pula telah bertempur melawan orang yang bertubuh tinggi itu. Beberapa saat mereka masih saling menjajagi kemampuan masing-masing. Namun kemudian orang bertubuh tinggi itu dengan cepat meningkatkan kemampuannya.

Manggadapun telah melakukan hal yang sama. Ketika lawannya mendesaknya, maka Manggadapun telah berusaha untuk bertahan. Bahkan dengan garangnya Manggada ielah menyerang lawannya semakin cepat.

Tetapi lawan Manggada agaknya seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Bahkan kekuatan dan kemampuannyapun telah menggetarkan pertahanan Manggada yang muda itu.

“Ternyata kau memiliki bekal yang cukup anak muda” berkata orang yang bertubuh tinggi itu ”sayang, kau belum mampu mengembangkan dasar ilmumu, sehingga gerakmu masih sangat terbatas pada umur-umur gerak murni. Namun ternyata kaupun telah pernah mendapatkan peningkatan landasan ilmu dan kemampuanmu oleh seorang yang berilmu tinggi, sehingga kau memiliki tataran ilmu yang pantas kau banggakan, apalagi pada umurmu yang masih sangat muda itu”

Manggada tidak menjawab. Namun iapun telah mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi lawannya benar-benar seorang yang memiliki pengalaman yang dapat menompang kemampuannya. Bukan saja kecepatannya bergerak serta unsur-unsur geraknya yang rumit.

Namun orang bertubuh tinggi itu seakan-akan dapat membaca, apa yang akan dilakukan oleh Manggada. sehingga karena itu, maka Manggada seakan-akan merasa telah dipotong serangan-serangannya oleh lawannya. Dengan demikian, maka Manggada mulai merasakan kesulitan untuk mengimbangi kemampuan lawannya yang ternyata cukup tinggi.

Dalam pada itu, Laksanapun telah mengalami kesulitan pula. Bahkan rasa-rasanya orang yang bertubuh sedang namun berwajah keras itu telah mendesaknya tanpa memberinya banyak kesempatan. Meskipun Laksanapun kemudian telah mengerahkan kemampuannya, tetapi lawannya itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Serangan-serangannya datang beruntun dengan landasan kekuatan yang sangat besar, kecepatan bergerak yang tinggi dan bahkan juga unsur-unsur yang sulit diperhitungkan.

Sementara itu orang tua yang disebut Ki Gumrah itu berdiri termangu-mangu didepan pintu rumahnya, ia menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut semakin dalam.

Manggada dan Laksana ternyata dalam waktu singkat telah terdesak oleh kemampuan lawannya yang tinggi. Kedua orang yang datang untuk mengambil pusaka itu adalah orang-orang yang memang berbekal ilmu sehingga mereka benar-benar akan dapat melakukan tugas mereka dengan baik.

Kedua anak muda yang merasa memiliki bekal dan juga pengalaman yang cukup itu, menjadi tiudak banyak berarti dihadapan kedua orang yang mendapat tugas untuk mengambil benda-benda berharga itu.

Namun Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda yang keras hati. Mereka tidak mudah menyerah menghadapi kesulitan itu. Karena itu, maka mereka masih tetap bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi beberapa saat kemudian, maka serangan lawan Laksana yang berwajah keras itu datang beruntun seperti banjir bandang yang sulit untuk dibendung. Sebuah serangan yang keras telah menghantam langsung mengenai lambung Laksana sehingga anak muda itu terdorong beberapa langkah surut. Sebelum Laksana mampu memperbaiki keadaannya, maka serangan berikutnyapun telah datang. Orang itu meloncat sambil menjulurkan tangannya tepat mengenai dadanya.

Laksana bukan saja sekedar terdorong surut, tetapi ia pun telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Namun dengan cepat pula Laksana berusaha untuk bangkit. Ketika ia sempat melihat lawannya meloncat menjulurkan kakinya lurus mengarah ke keningnya, maka Laksana teiah menjatuhkan dirinya sekali lagi. Tetapi ia sempat menyapu kaki lawannya, sehingga lawannya itupun telah kehilangan keseimbangannya pula.

Namun ketika Laksana bangkit berdiri, ternyata lawannya itupun telah berdiri tegak pula. Sedangkan yang terjadi kemudian adalah serangan-serangan yang datang beruntun. Susul-menyusul tidak henti-hentinya sehingga Laksana harus berloncatan surut beberapa langkah.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Manggadapun telah terdesak pula. Ketika tangan lawannya terayun mendatar, maka serangan itu masih membentur pertahanan Manggada sehingga tidak menyentuh tubuhnya. Tetapi sesaat kemudian, justru kaki lawannya yang bertubuh tinggi itulah yang menyerang kearah dadanya, justru lawannya sedang membelakanginya Manggada masih sempat mengelakkan serangan itu.

Namun sekejap kemudian lawannya itu bagaikan melenting sambil berputar. Satu kakinya terayun deras tepat mengenai kening anak muda itu. Manggada bagaikan terlempar jatuh. Dengan cepat ia berguling menjauhi lawannya. Ketika lawannya memburunya, Manggada sudah sempat melenting berdiri. Meskipun demikian, maka tangan lawannya yang terjulur lurus telah menggapai dadanya.

Manggada harus meloncat beberapa langkah surut sambil berusaha mengatasi rasa sakit. Sementara dadanya bagaikan menjadi sesak. Namun ia sempat mempersiapkan diri ketika lawannya yang bertubuh tinggi itu siap untuk menyerangnya lagi. Tetapi bagaimanapun juga, maka kemudian yang terjadi sudah dapat diduga. Manggada dan Laksana tidak mendapat banyak kesempatan lagi.

Karena itu, maka kedua anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Dengan keadaan yang terdesak, maka keduanya sampai ke puncak perlawanannya. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, baik Manggada maupun Laksana telah menarik pedangnya.

Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itupun termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh tinggi itupun kemudian berkata “Anak-anak muda. Senjata-senjata kalian itu akan sangat berbahaya bagi kalian sendiri. Jika kamipun kemudian menarik senjata kami, maka kalian berdua akan dapat terbunuh di sini”

“Aku tidak peduli” geram Manggada ”tetapi kalian tidak boleh mengambil apapun yang bukan hak kalian”

“Anak-anak muda. sebaiknya kalian tidak mncampuri persoalan orang lain” berkata orang bertubuh tinggi itu.

“Persoalan ini adalah persoalan kakekku” jawab Manggada.

“Baiklah” berkata orang itu ”jika demikian apaboleh buat. Kalian berdua memang harus disingkirkan lebih dahulu”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun kedua orang itupun kemudian telah menarik senjata mereka masing-masing. Orang yang bertubuh tinggi itu bersenjata sepasang tongkat baja yang tidak begitu panjang sedangkan orang yang berwajah kasar itu telah mengurai sehelai rantai yang tidak terlalu panjang.

Manggada dan Laksana memang menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bagaimana kedua orang itu begitu yakin akan jenis senjata mereka. Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi lagi di halaman rumah orang tua itu. Manggada dan Laksana telah mempermainkan pedangnya. Keduanya memiliki ilmu pedang yang tinggi.

Namun melawan senjata-senjata yang aneh itu, keduanya masih harus menyesuaikan diri. Meskipun mereka pernah berlatih melawan beberapa jenis senjata, tetapi ketika mereka benar-benar berhadapan dengan senjata yang tidak terlalu sering dipergunakan itu, masih juga harus sangat berhati-hati.

Tetapi Manggada dan Laksanapun telah terdesak pula. Ketika tongkat baja orang bertubuh tinggi itu membentur pedang Manggada maka rasa-rasanya pedangnya itu hampir meluncur dari tangannya. Namun Manggada cukup trampil sehingga ia masih mampu mempertahankan pedangnya itu.

Sementara itu Laksana telah berloncatan surut. Ujung rantai lawannya itu seperti seekor lalat yanag memburunya dan setiap kali hinggap dikulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu masih belum melukainya, tetapi perasaan pedih telah menyengatnya beberapa kali.

Bagaimanapun juga Manggada dan Laksana tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kedua orang itu. Ternyata keduanya bukan sekedar orang-orang yang berniat buruk, tetapi keduanya benar-benar berbekal ilmu melampaui orang-orang yang pernah dijumpai sebelumnya. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh kedua orang anak muda itu hanya bertahan. Namun beberapa kali mereka harus berlebatan mengambil jarak.

Tetapi kedua orang itu terus mendesaknya. Manggada yang mengerahkan segenap kemampuannya, ternyata tidak dapat mengimbangi lawannya. Tongkat baja itu mulai mengenai tubuhnya. Ketika ia mengayunkan pedangnya mendatar., tetapi tidak menggapai sasaran, maka lawannya telah mempergunakan saat itu untuk menyerang kembali.

Manggada memang meloncat surut, tetapi tongkat itu masih juga mengeni lengannya. Manggada mengeluh tertahan. Tulangnya seakan-akan. menjadi retak. Sehingga karena itu. maka ia pun telah berloncat beberapa kali menjauhi lawannya. Namun lawannya ternyata memburunya sambil menggeram.

“Salahmu sendiri” berkata orang itu ”senjatamu telah membuatmu semakin sulit. Jangan menyalahkan aku jika kunjunganmu ke kakekmu kali ini adalah kunjunganmu yang terakhir”

Tetapi Manggada tidak mudah menyerah. Apapun yang terjadi, harus dihadapinya. Ia sudah terlanjur mulai dengan satu pertempuran, karena ia tidak dapat melihat laku sewenang-wenang. Tetapi ternyata lawan anak-anak muda itu adalah orang yang berilmu tinggi, karena itu, Manggada dan juga Laksana telah mengalami kesulitan.

Akhirnya kedua anak muda itu telah terdesak sampai ke dinding halaman. Keduanya tidak mungkin lagi untuk bergeser mundur. Yang dapat mereka lakukan adalah bertahan sampai kemungkinan terakhir.

Ternyata kedua anak muda itu telah beberapa kali dikenai senjata-senjata lawannya. Selain tulang-tulang mereka serasa retak, kulit mereka pun mulai terluka. Darah pun mulai menitik dari luka-luka itu.

Dalam keadaan yang paling gawat itu. tiba-tiba saja mereka mendengar tepuk tangan. Bahkan terasa sangat mengejutkan, bahwa dalam keadaan yang demikian ada seseorang yang bertepuk tangan sambil berkata ”Bagus. Bagus sekali. Kalian utusan orang linuwih telah mampu mengalahkan anak-anak yang masih pantas bermain bengkat”

Orang-orang yang mendesak Manggada dan laksana itu terkejut pula. Mereka pun berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Gumrah masih bertepuk tangan.

”Apakah kau sudah menjadi gila?” bertanya orang yang bersenjata sepasang tongkat baja pendek itu.

Ki Gumrah tertawa. Katanya “Tentu tidak. Aku masih cukup sadar melihat apa yang telah terjadi. Kenapa kau menyangka aku sudah gila”

Apa yang membuatmu bertepuk tangan? Keputus-asaan melihat cucu-cucumu, atau justru karena kau sudah kehilangan akai?” bertanya lawan Laksana.

“Tidak Ki Sanak” jawab orangtua itu ”aku kagum akan anak-anak itu. Dalam usianya yang masih sangat muda, mereka telah mampu menunjukkan ilmu yang mapan meskipun masih harus dikembangkan. Tetapi mereka sudah menguasai unsur-unsur gerak yang rumit, serta memiliki kemungkinan yang jauh lebih baik dari ilmu kalian”

Wajah orang itu berkerut. Bahkan Manggada dan Laksana pun menjadi heran. Ternyata orang itu mampu menilai kemampuan mereka dan kemampuan lawan-lawan mereka.

Tetapi dengan geram lawan Manggada itu berkata “Tetapi kebanggaanmu atas cucu-cucumu tidak akan lama Ki Gumrah. Kami akan menyelesaikannya. Dengan bekal yang tipis itu, mereka menjadi terlalu sombong. Kelak mereka akan menjadi orang yang sangat berbahaya apabila mereka tumbuh semakin matang dalam olah kanuragan”

“Jangan Ki Sanak. Biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mekar. Meningkatkan ilmu dan mengamalkan ilmu mereka bagi kebaikan” jawab Ki Gumrah.

“Itu tidak akan terjadi. Mereka terlalu sombong dan tentu akan menjadi sewenang-wenang” geram lawan Manggada.

“Sudahlah” berkata Ki Gumrah ”aku minta maaf atas tingkah laku cucu-cucuku itu”

“Jadi kau berikan songsong dan tombak-tombak itu?” bertanya lawan Manggada.

Orangtua itu mengerutkan dahinya. Katanya “Sayang Ki Sanak, aku tidak dapat memberikan sebelum Ki Sanak membawa pertanda pemilikan seperti yang aku katakan”

“Jadi, kami bunuh cucu-cucumu?” desak lawan Laksana.

“Juga tidak” jawab Ki Gumrah.

“Aku tidak peduli” geram lawan Manggada ”aku justru akan melakukan kedua-duanya. Membunuh cucu-cucumu, kemudian membawa songsong dan tombak-tombak itu”

“Sebenarnya sudah tidak pantas bagiku untuk bermain-main dengan kalian. Tetapi apa boleh buat. Aku tidak mau kedua-duanya. Aku tidak mau cucu-cucuku mati dan juga tidak mau songsong dan tombak-tombak itu kau bawa” jawab Ki Gumrah.

“Jadi kau akan berbuat apa?” bertanya lawan Manggada itu ”kau akan melawan kami berdua?”

“Sudah aku katakan, sebenarnya aku sudah tidak pantas untuk melayani kalian, tetapi aku tidak dapat berdiam diri menghadapi sikap kalian” jawab orangtua itu.

Kedua orang yang akan mengambil songsong dan tombak-tombak itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata-kata. “Baiklah. Ternyata kami harus mempergunakan kekerasan. Tetapi dengan demikian kami dapat menduga, bahwa sebenarnya kau memiliki bekal kemampuan untuk mencoba bertahan. Siapa kau sebenarnya?”

“Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh. Kau tahu, namaku Ki Gumrah. Itu saja. Tetapi karena aku sudah berjanji, maka aku tidak dapat menyerahkan benda-benda itu kepada seseorang yang tidak berhak. Juga tidak kepada kalian” berkata orangtua itu.

“Jika demikian, maka aku tidak merubah rencanaku. Mengambil benda-benda itu dan membunuh orang-orang yang merintangi niat itu” geram lawan Manggada yang kemudian berkata kepada kawannya ”Selesaikan kedua anak itu. Aku akan menyelesaikan orangtua itu. Namun agaknya ia merasa mampu melawanku. Selama itu, ternyata ia hanya berpura-pura saja ketakutan dan seakan-akan tidak berdaya. Justru orang-orang seperti itu adalah orang yang sangat berbahaya”

Kawannya mengangguk. Namun ia tidak menunggu terlalu lama. Ia pun segera bersiap dan mulai menyerang Manggada dan Laksana yang sudah terluka dan kehilangan sebagian dari kekuatannya, setelah memeras tenaganya habis-habisan. Sementara darah semakin banyak mengalir dari luka-luka mereka. Sedangkan tulang-tulang mereka masih saja terasa bagaikan retak.

Sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah berhadapan dengan orangtua itu. Ternyata orangtua itu telah menyingsingkan kain panjangnya dan berkata “Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih tetap merasa bertanggung-jawab atas janji yang sudah aku ucapkan”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang. Sepasang tongkatnya terayun-ayun mengerikan. Hampir saja tongkat itu menyambar kepala Ki Gumrah yang untung saja sempat mengelak.

Sementara itu, Manggada dan Laksana benar-benar sudah terkurung. Meskipun lawan mereka tinggal seorang, tetapi mereka seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Namun kedua anak muda itu masih berusaha untuk melindungi dirinya.

Yang sama sekali tidak terduga adalah lawan Ki Gumrah. Mula-mula ia tampak demikian garangnya. Namun dalam waktu singkat, orang itu sudah terdesak dan seakan-akan tidak mempunyai kesempatan untuk melawan. Bahkan kemudian ia pun telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk membantunya.

Orang yang bersenjata rantai itupun telah melepaskan Manggada dan Laksana yang benar-benar dalam kesulitan. Namun orang itu masih menggeram ”Nyawamu masih akan tinggal beberapa saat di dalam tubuhmu. Tetapi setelah orangtua itu kami selesaikan, kalian pun akan mati. Kalian tidak akan dapat melarikan diri dalam keadaan kalian seperti itu”

Manggada dan Laksana memang tidak dapat menjawab. Mereka benar-benar dalam keadaan yang sulit. Mereka menyadari, jika mereka harus bertempur beberapa saat lagi, maka tubuh mereka akan menjadi semakin sakit. Darah akan semakin banyak mengalir dan tenaga mereka pun akan terkuras habis sama sekali.

Namun justru saat-saat kematian sudah membayang, lawannya telah meninggalkannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh lawannya itu, bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mampu melarikan diri.

Satu-satunya kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah mengganggu pemusatan perhatian kedua orang yang bertempur bersama-sama melawan orangtua yang semula disangkanya tidak berdaya sama sekali. Namun, dengan tekad apapun yang terjadi atas mereka, karena hanya dengan cara itulah mereka dapat membantu orangtua itu.

Tetapi sebelum keduanya berbuat sesuatu, Manggada dan Laksana yang terluka itu melihat bagaimana orangtua itu mendesak kedua lawannya. Bahkan sambil tertawa orangtua itu berkata “Nah, bukankah kalian pun harus mengalami sebagaimana dialami oleh kedua cucuku”

Dengan geram seorang di antara lawannya bertanya “Setan kau. Siapakah kau sebenarnya?”

Orangtua itu masih saja tertawa. Katanya “Kalian sudah mengenal namaku. Itu sudah cukup”

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu benar-benar tidak mampu mengatasi ketangkasan dan kecepatan gerak lawannya. Meski pun kedua orang itu bersenjata, namun orangtua itu sekali-sekali mampu juga menembus pertahanan mereka. Namun tiba-tiba seorang di antara kedua orang itu berteriak ”Bunuh saja cucu-cucunya”

Orangtua itu terkejut. Katanya, “Jangan licik!”

Orang bersenjata rantai itulah yang kemudian meloncat untuk menyelesaikan Manggada dan Laksana yang memang sudah tidak mampu berbuat banyak. Meski pun demikian, aba-aba itu telah membangunkan mereka untuk mengangkat senjata mereka dengan sisa tenaga yang ada padanya.

Tetapi Manggada dan Laksana memang sudah menjadi semakin lemah. Perasaan sakit, pedih dan nyeri, serta darah yang masih saja mengalir, membuat kedua anak muda itu tidak akan mampu lagi bertahan. Sementara itu, rantai baja telah berdesing semakin keras.

Manggada dan Laksana dengan sisa tenaga terakhirnya justru mengambil jarak, sehingga yang seorang akan dapat berbuat sesuatu betapapun lemahnya untuk membantu yang lain.

Namun dalam keadaan yang paling gawat bagi Manggada dan laksana, tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka melihat orang yang bersenjata rantai itu terhenyak sejenak. Kemudian terhuyung-huyung, sebelum orang itu sempat menyerang Manggada dan Laksana. Akhirnya orang itu terjatuh menelungkup. Sementara itu, sebuah gelang-gelang besi baja jatuh di sisinya.

“Aku tidak mempunyai cara lain!” terdengar suara Ki Gumrah yang meloncat mengambil jarak dari lawannya.

Lawannya terkejut melihat keadaan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram ”Kau licik!”

“Tidak. Bukan aku yang licik. Tetapi kawanmu dan justru kau!” sahut Ki Gumrah.

“Kenapa kau sebut kawanku dan bahkan aku licik? Bukankah kita sudah terlihat dalam pertempuran? Apakah membunuh kedua anak tikus itu dapat disebut licik?” geram orang itu.

“Jika demikian, apakah membunuh kawanmu juga dapat disebut licik?” jawab Ki Gumrah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata “Kau akan menyesal bahwa kau telah membunuh kawanku. Dengar, aku akan menyampaikan persoalan ini kepada orang yang memerintahkan aku mengambil benda-benda pusaka itu”

“Bagaimana jika aku juga membunuhmu?” bertanya Ki Gumrah.

“Persetan!” jawab orang itu. Namun ia memang menjadi cemas, bahwa hal itu benar-benar akan dilakukan oleh Ki Gumrah. Sehingga karena itu, ia pun telah melangkah surut menuju ke halaman rumah orangtua itu. Orang itu tidak mau memutar tubuhnya membelekangi Ki Gumrah yang ternyata memiliki senjata khusus, yang dapat dilontarkan pada jarak tertentu.

Ki Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun ia memang tidak ingin membunuh orang itu. Bahkan ia sempat berkata “Apakah kau tidak ingin melihat kawanmu? Apakah kau yakin ia sudah mati?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Mati atau tidak mati, aku tidak dapat membawanya. Kaupun dapat berbuat licik saat aku melihat kawanku. Yang penting, salah seorang diantara kami dapat kembali dan memberitkan laporan tentang benda-benda berharga itu”

Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Kau kira aku tidak dapat membunuhmu?”

“Lakukan jika kau mulai menjadi ketakutan kepada orang yang memerintahkan aku kemari. Tetapi bahwa kami berdua tidak kembali, berarti bencana yang semakin besar bagimu” jawab orang itu.

Ki Gumrah tertawa. Katanya “Satu cara yang baik untuk menyelamatkan diri. Kau singgung harga diriku agar aku tidak membunuhmu. Tetapi jika aku tidak membunuhmu, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kata-kata itu. Aku memang tidak berniat membunuhmu. Aku kasihan kepadamu. Kau sudah menjadi pucat pasi. Meskipun kau memaksa diri untuk tampak tetap tegar dan tanpa mengenal ancaman maut. Namun sebenarnya jantungmu tentu sudah tidak berdarah lagi”

“Setan tua!” geram orang itu. Namun ia masih juga melangkah surut ke pintu gerbang.

Demikian orang itu sampai kepintu gerbang, Ki Gumrah telah menimbang sebuah lingkaran besi baja. Karena itu, orang itu dengan cepat meloncat ke belakang pintu gerbang halaman rumah Ki Gumrah.

Ki Gumrah tersenyum. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia menyimpan kembali gelang-gelang baja itu dibawah ikat pinggangnya. Kemudian Ki Gumrah pun telah mendekati Manggada dan Laksana.

“Marilah. Aku obati luka-lukamu,!" berkata Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana telah menyarungkan senjata mereka. Dengan dibantu oleh orangtua itu, keduanya berjalan perlahan-lahan ke serambi rumah tua itu, dan kemudian duduk di sebuah amben panjang.

“Duduklah sebentar. Jangan banyak bergerak” berkata orangtua itu.

Dengan tergesa-gesa pula Ki Gumrah mendekati tubuh yang terbaring itu. Nampaknya gelang-gelang besi baja Ki Gumrah telah mengenai tengkuknya. Tetapi orang itu tidak mati. Orang itu hanya pingsan saja.

“Biarlah ia tidur sebentar” berkata Ki Gumrah yang telah menelentangkan orang itu. Tetapi kemudian ia telah menyentuh beberapa bagian simpul syarafnya dan berkata “Ia tidak akan dapat lari”

Ki Gumrah kembali kepada Manggada dan Laksana. Diperintahkannya kedua anak muda itu berbaring. Katanya “Lepas baju kalian. Aku akan melihat luka-luka di tubuh kalian”

Manggada dan Laksana pun telah membuka baju mereka sambil menyeringai menahan pedih. Kemudian keduanya berbaring berjajar di amben bambu di serambi.

“Di sini udara lebih baik daripada di dalam rumah yang pengab itu” berkata Ki Gumrah.

Sejenak kemudian orangtua itu telah melihat luka-luka di tubuh Manggada dan Laksana. Kebanyakan hanya luka-luka memar. Tetapi ada pula kulitnya yang terkoyak, sehingga darah mengalir dari luka-luka itu.

Namun kemudian, dengan hati-hati Ki Gumrah telah menaburkan semacam serbuk di luka-luka kedua anak muda itu. Meskipun mula-mula luka itu bagaikan disentuh api, namun kemudian perlahan-lahan penjadi semakin sejuk. Darah yang mengalir dari luka-luka itupun telah menjadi pampat pula.

“Luka-luka kalian, baik yang terbuka maupun yang tampak memar pada kulit daging kalian, tidak berbahaya” berkata orangtua itu ”tetapi tentu terasa pedih. Apalagi jika keringat kalian mengenainya”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun obat Ki Gumrah telah dapat jauh mengurangi rasa sakit, meskipun mula-mula terasa panas. Bahkan sejenak kemudian Manggada telah mulai bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Laksana pun telah bangkit pula dan duduk disebelah Manggada.

“Daya tahan kalian luar biasa!” berkata Ki Gumrah ”Latihan-latihan yang berat telah membuat kalian mengatasi perasaan sakit yang mencekam tubuh kalian, serta kemampuan kalian mempertahankan kekuatan dan tenaga di dalam diri kalian, sehingga kalian masih mampu bangkit dan duduk sekarang ini, bahkan seolah-olah tidak terjadi sesuatu atas diri kalian. Sudah tentu bahwa sebenarnyalah kekuatan kalian belum pulih kembali, karena untuk itu diperlukan waktu. Namun sekilas, wajah kalian, tatapan mata kalian dan sikap duduk kalian, benar-benar menunjukkan ketahanan tubuh yang luar biasa”

“Obat Ki Gumrah tadi agaknya yang telah menumbuhkan kekuatan di dalam tubuh kami, meskipun belum pulih kembali” jawab Manggada.

“Tidak. Obatku hanya sekadar mengobati luka-luka di tubuh kalian dan memampatkan darah” jawab Ki Gumrah. Namun kemudian katanya “Tetapi aku juga ingin memberikan obat yang nanti dapat kalian minum, sehingga kekuatan kalian akan cepat pulih kembali”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada menjawab. ”Terima kasih Kiai”

“Akulah yang harus mengucapkan terima kasih” jawab Ki Gumrah.

“Tidak” jawab Manggada ”kami ternyata benar-benar terlalu sombong dan dungu. Kami tidak tahu siapa sebenarnya Kiai. Sehingga kami merasa mempunyai kemampuan untuk menolong Kiai yang kemudian justru merepotkan Kiai”

Ki Gumrah tertawa. Katanya. “Anak-anak muda. Meskipun kalian tidak berhasil menolong aku, seandainya aku tidak mampu mengatasi mereka berdua, tetapi niat kalian untuk menolong itu sudah menunjukkan sesuatu yang menarik pada kalian. Kalian tidak mengenal aku sebelumnya. Namun dalam keadaan yang gawat, kalian tiba-tiba saja telah mengaku sebagai cucu-cucuku. Bukankah sikap itu harus dihargai? Selebihnya, aku memang ingin melihat tingkat kemampuan kalian. Ternyata bahwa kalian selain telah berguru dan menyadap ilmu juga pernah mendapatkan petunjuk-petunjuk khusus untuk menjalani laku, sehingga kalian memiliki kelebihan dan orang lain. Dalam umur kalian yang masih muda itu, kalian telah memiliki sesuatu yang berharga. Namun masih juga tergantung penggunaannya, apakah yang kalian miliki itu berarti bagi orang banyak atau justru mengganggu orang banyak!”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Ketika mereka menarik nafas dalam-dalam, maka tulang-tulang mereka memang tidak lagi terasa terlalu sakit. Menurut Ki Gumrah, itu bukan karena obat yang ditaburkan pada luka-lukanya, tetapi justru karena daya tahan tubuh mereka sendiri.

Sementara itu. Ki Gumrah itu kemudian berkata, “Duduklah. Beristirahatlah agar darahmu tidak keluar lagi dari luka-lukamu yang mulai pampat. Aku akan melihat orang itu”

Ketika Ki Gumrah mendekati orang yang terbaring di halaman itu, maka ia melihat bahwa orang itu telah sadar dari pingsannya. Namun orang itu masih saja terbaring diam karena sentuhan jari-jari Ki Gumrah pada bagian tertentu pada jaringan dan simpul-simpul syarafnya. Demikian Ki Gumrah membuka bagian-bagian yang ditutupnya itu, maka orang itupun telah menarik nafas dalam-dalam.

“Bangkitlah dan duduklah” desis Ki Gumrah. Orang itu menggeliat. Namun ia merasa bahwa ia masih mampu untuk bangkit dan duduk ditanah meskipun tengkuknya terasa sakit sekali. Agaknya tengkuknya itulah yang telah dikenai senjata lawannya dan membuatnya menjadi pingsan.

“Kawanmu telah melarikan diri” desis Ki Gumrah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Ki Gumrah. Kemudian orang itu sempat memandang Manggada dan Laksana yang duduk di serambi. “Kenapa kau tidak membunuh aku saja?” bertanya orang itu.

Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Tidak. Aku juga tidak membunuh kawanmu. Aku biarkan kawanmu melarikan diri”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya “Kenapa kau tidak membunuh kami? Bukankah kau tahu bahwa kami adalah orang yang sangat berbahaya bagimu. Bahkan seandainya kami mampu, kami tentu sudah membunuhmu dan membawa benda-benda berharga itu keluar dari rumahmu ini.”

Orangtua itu tersenyum. Katanya “Sebenarnya untuk apa kami membunuh? Aku dan cucu-cucuku bukan pembunuh. Kami hanya sekadar mencegah usah kalian membawa benda-benda yang tidak berhak kalian bawa itu. Hanya itu”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia benar-benar tidak mengerti, kenapa orangtua itu tidak membunuhnya. Bahkan orangtua itu kemudian membantunya untuk berdiri sambil berkata “Marilah. Duduklah bersama cucu-cucuku itu”

Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih dibantu oleh Ki Gumrah ke serambi. Kemudian Ki Gumrah telah mempersilahkan orang itu untuk duduk di amben bambu, di sebelah Manggada dan Laksana. Namun orang itu ternyata masih merasa bahwa masih ada anggota badannya yang tidak dapat bergerak sewajarnya.

“Agaknya masih ada simpul syarafnya yang tertutup!” berkata orang itu di dalam hatinya. Namun orang itu tidak bertanya kepada Ki Gumrah. Karena ia tidak yakin, apakah keadaanya itu terjadi karena ia memang mengalami luka-luka di dalam tubuhnya.

“Biarlah kau duduk bersama cucu-cucuku. Aku akan menengok gula kelapaku lebih dahulu," berkata orangtua itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Ki Gumrah begitu saja meninggalkan mereka bersama orang yang semula berniat buruk itu. Namun Manggada dan Laksana tidak bertanya pula kepadanya. Ia yakin, bahwa orangtua itu tidak berbuat begitu saja tanpa memikirkan akibatnya.

Untuk beberapa saat mereka yang duduk di serambi itu saling berdiam diri. Memang ada niat orang yang telah sadar dari pingsannya itu untuk melarikan diri. Tetapi setiap kali niatnya diurungkan karena ada sesuatu yang belum wajar pada dirinya, yang mungkin akan dapat mengganggunya sepanjang umurnya.

Tetapi karena orangtua itu cukup lama tidak muncul dari dalam rumahnya, maka orang itupun kemudian bertanya. “Anak-anak muda. Apakah kalian juga berguru kepada kakekmu, sehingga dalam umurmu yang masih muda itu kalian memiliki bekal ilmu yang cukup baik?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada menjawab singkat ”Ya...!”

Tetapi orang itu masih bertanya “Menilik penglihatanku, unsur-unsur gerak yang terdapat dalam ilmumu berbeda dengan unsur-unsur yang tampak pada kakekmu. Kenapa?”

Sekali lagi Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi Manggada pun kemudian menjawab. ”Kami terlalu dungu untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntunan ilmu kakek”

“Apakah kalian telah mengembangkannya sendiri?” bertanya orang itu.

“Tentu tidak. Tetapi kakek yang memiliki ilmu yang tinggi itulah yang mampu berbuat apa saja dengan ilmunya. Ia mampu merubah sifat dan watak ilmunya dalam sekejap, sehingga seolah-olah ada dua atau tiga jalur kemampuan ilmu pada kakek” jawab Manggada.

Orang itu mengangguk-angguk kecil. Namun katanya “Ternyata orangtua itu berilmu sangat tinggi. Aku tidak mengira. Bahkan aku tetap tidak mengerti kenapa kakekmu tidak membunuh aku!”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba Laksana bertanya, “Siapa namamu?”

Orang itulah yang kemudian termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian menjawab ”Namaku Kundala. Lengkapnya Kundala Geni”

Laksana mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya lagi ”Apakah namamu memang Kundala Geni atau kau tambahi sendiri agar namamu menjadi lebih berwibawa?”

Manggada menggamit Laksana. Tetapi pertanyaan itu sudah terloncat. Sambil menarik nafas panjang orang itu menjawab ”Memang aku bernama Kundala Geni mulai lahir. Waktu itu rumahku terbakar, sehingga ibuku yang baru saja melahirkan aku, telah terkepung api. Untunglah, ayahku sempat menyelamatkan aku”

“O” Laksana mengangguk-angguk.

Sementara orang itu berkata selanjutnya ”Namun ternyata peristiwa itu telah ikut menentukan garis hidupku.”

Laksana justru menjadi tertarik lagi untuk bertanya. Namun sekali lagi Manggada menggamitnya, sehingga Laksana pun terdiam karenanya.

Untuk beberapa saat orang-orang yang duduk di serambi itu saling berdiam diri. Namun kemudian Ki Gumrah telah muncul dari balik pintu sambil membawa mangkuk berisi ketela rebus legen yang masih panas.

Sebelum Manggada dan Laksana bertanya, Ki Gumrah berkata, “Ketela ini sudah ada di kuali dengan sisa adonan gula yang belum sempat aku tuang kedalam tempurung. Namun apinya tinggal kecil sekali, sehingga tidak dapat membuat air yang kau tuangkan itu mendidih. Baru kemudian, aku nyalakan lagi sehingga ketela pohon ini telah masak. Karena itu, aku agak terlalu lama meninggalkan kalian”

Ki Gumrah pun kemudian ikut duduk pula di serambi, sehingga mereka berempat sempat makan ketela pohon yang direbus dengan legen sehingga menjadi manis sekali. Orang yang menyebut namanya Kundala Geni itu menjadi semakn heran. Ki Gumrah sama sekali tidak menyinggung-nyinggung lagi tentang kedatangannya berdua dengan kawannya yang melarikan diri. Ki Gumrah tampaknya menganggap Kundala itu sebagai tamunya saja.

Bahkan kemudian orangtua itu berkata “Duduklah. Wedang sereku tentu sudah jadi pula!”

Sejenak kemudian Ki Gumrah itupun telah masuk lagi untuk mengambil wedang serenya. Ternyata Kundala Geni tidak dapat menahan keheranannya itu di dalam dadanya. Hampir diluar sadarnya orang itu berkata.

”Orangtua yang aneh. Kenapa ia memperlakukan aku seperti ini? Aku justru menjadi bingung atas sikapnya. Seharusnya ia membunuhku. Apalagi kawanku telah melarikan diri”

“Kakek sengaja tidak membunuhmu dan tidak pula membunuh kawanmu. Jika kakek mau, kawanmu tentu sudah menjadi mayat di sini” berkata Laksana.

“Itulah yang tidak aku mengerti...” desis Kundala.

Namun Manggada pun menyahut. ”Kakek bukan seorang pembunuh. Bahwa ia harus berkelahi, ia tentu akan menjadi amat sedih. Semalam-malaman nanti kakek tentu akan merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Kenapa ia masih harus berkelahi dalam usianya setua itu”

Kundala mengangguk-angguk. Sementara Manggada berkata selanjutnya. ”Apalagi jika karena kecelakaan misalnya, kakek membunuh salah seorang dari kalian. Maka kakek tentu akan sangat menyesali dirinya. Sepekan kakek akan tidak mau makan”

Kundala menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Bukan maksudku untuk memusuhi kakekmu. Tetapi aku memang berada dibawah perintah seseorang, sehingga aku harus melaksanakannya”

"Siapa orang itu?"

Kundala menggeleng. Katanya “Aku tidak akan mengatakannya. Bagaimanapun juga aku mempunyai kewajiban untuk menyembunyikan nama itu”

”Tetapi kau dapat dipaksa oleh kakek untuk menyebutnya” berkata Laksana.

Orang itu terdiam. Ia memang tidak menjawab apa-apa. Tetapi terasa betapa ia wajib bertahan untuk tidak berkhianat.kepada orang yang telah memerintahkannya mengambil pusaka-pusaka itu.

Pembicaraan mereka terputus ketika Ki Gumrah telah keluar lagi membawa wedang sere dan beberapa mangkuk kecil. Manggada yang bangkit untuk membantu Ki Gumrah membawa minuman dan mangkuk-mangkuk kecil itu, masih menyeringai menahan sakit di punggungnya. Namun ketika ia mulai melangkah, maka perasaan sakit itu justru berkurang.

Manggadalah yang kemudian meletakkan minuman itu di amben, sementara Ki Gumrah masih masuk lagi untuk mengambil gula kelapa.

“Ini bukan gula yang aku buat hari ini” berkata Ki Gumrah ”tetapi gula yang aku buat kemarin. Aku belum sempat membawanya ke pasar”

Demikianlah, keempat orang itu justru duduk-duduk di serambi sambil minum-minuman hangat dan makan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa.

Namun beberapa saat kemudian Kundala itu tidak dapat duduk dalam perlakuan yang tidak dimengerti itu. Karena itu maka iapun bertanya “Ki Gumrah. Lalu apa maksud Ki Gumrah dengan aku. Apakah Ki Gumrah memperlakukan aku seperti ini sekadar mempermainkan aku untuk kemudian dibunuh dengan cara Ki Gumrah sendiri, atau apa?”

“Jangan berprasangka buruk terhadap orang lain Ki Sanak. Sudah aku katakan, aku bukan pembunuh” jawab Ki Gumrah ”Tugasku hanya menjaga benda benda berharga itu. Jika benda-benda itu sudah aman dan dapat aku selamatkan, maka apakah perlu aku membunuh orang?”

“Tetapi orang-orang itu tentu orang-orang yang sangat berbahaya bagi Ki Gumrah. Aku dan kawanku dapat kembali lagi, bahkan bersama dengan sepuluh atau duapuluh orang!” berkata Kundala.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku telah menyatakan kesedianku untuk menjaga benda-benda yang berharga itu. Apapun yang terjadi, aku harus mempertahankannya. Tetapi untuk itu aku tidak harus menjadi seorang pembunuh.”

“Apakah Kiai pada suatu saat akan membiarkan diri Kiai dibunuh?”bertanya Kundala.

“Setiap orang tentu akan berusaha mempertahankan hidupnya dalam keadaan yang wajar. Kecuali mereka yang telah kehilangan nalar dan sengaja membunuh dirinya sendiri” desis Ki Gumrah.

Kundala termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata “Ki Gumrah. Tampaknya Ki Gumrah belum tahu watak orang yang telah memerintahkan kami datang untuk mengambil benda-benda berharga itu. Orang itu sama sekali tidak berperasaan. Ia tidak akan mengerti meskipun Ki Gumrah tidak membunuh kami berdua. Yang ia tahu, niatnya harus dapat dilaksanakan dengan cara apapun juga. Bahkan dengan membunuh sekalipun”

Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Mudah-mudahan pada suatu saat ia akan berubah”

“Itu tidak mungkin” sahut Kundala ”ia tidak akan berubah sampai tanah akan menelannya”

“Tentu kita tidak tahu apa yang akan terjadi” jawab Ki Gumrah.

Kundala tidak berbicara lagi. Namun kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam. Sementara itu Ki Gumrah telah mempersilahkan mereka mengulangi lagi makan ketela rebus legen yang masih tersisa sambil minum minuman yang sudah menjadi semakin dingin.

“Silahkan. Aku akan melihat dapur sebentar” berkata orangtua itu sambil melangkah masuk kedalam rumahnya.

Kundala menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ketika ia kemudian berdesis. “Aku benar-benar tersiksa. Mungkin orangtua itu sengaja menyiksa aku dengan cara ini. Jika ia membunuhku, ia akan menganggap bahwa hukuman bagiku itu masih terlalu ringan”

“Tidak” sahut Manggada ”Kakek benar-benar bukan seorang pembunuh. Jika ia ingin menyiksa, maka ia tidak akan membiarkan kawanmu terlepas dari tangannya. Sebenarnya ia dapat menangkap kawanmu sebagaimana dilakukan atasmu. Jika kakek melempar kawanmu dengan gelang-gelang bajanya, maka ia tentu tidak akan sempat melarikan diri”

“Aku benar-benar tidak mengerti” desis orang itu ”namun aku akan menjadi semakin tersiksa jika pada suatu saat orangtua itu terbunuh oleh kawan-kawanku”

“Kau dan kawan-kawanmu tidak akan datang lagi” desis Laksana.

“Jika hal itu dapat aku lakukan, aku akan merasa berbahagia sekali. Tetapi jika perintah itu datang, maka siapa yang menentang akan dibinasakan. Dan tentu saja aku tidak ingin mengalaminya, karena seperti yang dikatakan oleh Ki Gumrah tentu setiap orang berusaha mempertahankan hidupnya, kecuali jika terjadi sesuatu yang mengacaukan penalarannya” jawab Kundala.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya mengerti perasaan orang yang menamakan dirinya Kundala itu. Namun keduanyapun agak sulit untuk mengerti sikap Ki Gumrah. Ia sama sekali tidak berusaha untuk mengenali siapa yang telah memerintahkan Kundala datang kepadanya untuk mengambil benda-benda berharga itu.

“Hanya belum!” gumam mereka di dalam hatinya. Namun Manggada dan Laksana memperhitungkan, bahwa Ki Gumrah pada suatu saat tentu bertanya tentang orang yang memerintahkan Kundala Geni datang ke rumahnya.

Untuk beberapa lama Kundala masih berbicara dengan Manggada dan Laksana. Namun Kundala tidak juga menyebut-nyebut nama orang yang telah memberikan perintah kepadanya untuk datang ke rumah itu.

Ternyata Ki Gumrah tidak segera keluar dari rumahnya. Ketiga orang yang berada di serambi itu menunggunya. Namun ternyata kemudian mereka mendengar suara orangtua sedang sibuk menghitung, Agaknya orangtua itu sedang menghitung gula kelapa yang ada di dapur. Agar tidak mudah lupa atau keliru, maka hitungan yang diucapkan beralun dalam nada-nada tembang yang menyentuh.

Ternyata suara orangtua itu cukup bagus. Meskipun hanya lamat-lamat, namun terdengar suara itu kadang-kadang melengking tinggi. Tetapi kemudian menukik sampai ke dasar jantung mereka yang mendengarkan, meskipun yang disebut tidak lebih dari angka-angka hitungan gula kelapanya.

Beberapa saat kemudian, suara tembang itupun berhenti. Manggada, Laksana dan Kundala Geni pun tidak berbincang lagi. Mereka bertiga merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Kundala masih saja tersiksa oleh sikap orangtua itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa masih ada simpul syarafnya yang belum terbuka sepenuhnya.

Ketiganya berpaling ketika Ki Gumrah muncul dari pintu rumahnya sambil membawa sekeranjang gula kelapa yang diletakkannya ditlundak pintu rumahnya. Kemudian iapun telah mendekati ketiga orang yang duduk di serambi sambil berkata,

“Nah, tolong, jaga rumahku sebentar. Aku akan menyerahkan gula kepala yang sudah aku simpan sejak kemarin, ditambah dengan gula yang akan aku buat hari ini.”

“Tetapi...” Manggada memang menjadi bimbang.

Namun orangtua itu berkata. “Aku hanya sebentar. Gula ini akan aku bawa ke rumah sebelah, yang memang berdagang gula kelapa. Jika sudah terkumpul sepedati, maka gula itu akan dibawa ke pasar.”

Bahkan sebelum pergi orangtua itu mendekati Kundala sambil berkata “Ada yang masih tertinggal. Berdirilah.”

Kundala mengerti yang dimaksud oleh orangtua itu. Simpul syarafnya yang masih tertutup agaknya akan dibuka. Karena itu maka iapun telah bangkit berdiri dan melangkah mendekat.

Ki Gumrah telah memutar tubuh Kundala sehingga membelakanginya. Kemudian beberapa ketukan jari telah membuka simpul-simpul syarafnya yang masih tertutup...

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 03