X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Menjenguk Cakrawala Bagian 05

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Menjenguk Cakrawala Bagian 05 Karya SH Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI DEMANGPUN mengangguk-angguk. Akhirnya atas persetujuan para petugas sandi dari Pajang, orang-orang yang tertawan itu telah dihadapkannya, termasuk pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat mereka meskipun orang itu terluka.

“Aku tidak mempunyai banyak waktu,” berkata Ki Demang. “Jawab pertanyaanku atau kalian akan aku lempar ke tangan orang-orangku yang marah. Jika kalian masih mempunyai arti bagi kami maka kami akan mempertahankan hidup kalian. Bahkan jika kalian memberikan jalan yang terang bagi kami, maka kami akan tetap berbuat baik atas kalian. Tetapi jika kalian memang tidak mau bekerja bersama kami, maka kalian memang tidak berarti lagi. Sepantasnya kalian dilemparkan kepada orang-orang padukuhan yang marah itu. Apalagi mereka yang telah kehilangan anak gadisnya.”

“Ki Demang,” berkata pemimpin dari sekelompok orang yang berusaha membebaskan kedua kawannya namun yang justru telah tertangkap pula, “kami hanya bertugas mengambil gadis-gadis yang sudah ditunjuk oleh pimpinan kami.”

“Siapakah pimpinan kalian?” bertanya Ki Demang.

“Kami memang tidak banyak mengenal. Yang kami kenali hanyalah namanya saja. Itupun mungkin bukan namanya yang sebenarnya,” berkata orang itu.

“Katakan, siapakah nama itu?” bertanya Ki Demang.

“Apakah ada artinya bagi Ki Demang?” bertanya orang itu.

“Sebut,” desak Ki Demang.

“Singa Ireng,” jawab orang itu.

Ki Demang memandang ketiga orang petugas sandi itu berganti-ganti. Tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah mendengar nama itu. Benar kata orang itu, bahwa nama memang tidak penting bagi mereka, karena seseorang akan dapat bertukar nama sepuluh kali dalam sehari.

“Baiklah,” berkata salah seorang di antara para petugas sandi dari Pajang itu. “Nama itu akan dapat menyesatkan. Tetapi kemana gadis-gadis itu kalian bawa?”

“Kami mempunyai satu tempat sebagaimana mereka tentukan untuk menyerahkan gadis-gadis itu. Selebihnya kami tidak tahu, mereka akan dibawa kemana,” jawab orang itu.

Tetapi petugas sandi dari Pajang itu tertawa. Katanya, “Kau aneh. Kau anggap kami anak-anak kecil yang dengan mudah dapat kau kelabuhi. Ki Sanak, sebaiknya kau berkata terus terang daripada kami harus menyerahkan kalian kepada orang-orang di halaman itu. Mereka memang sangat marah terhadap kalian.”

“Aku berkata sebenarnya,” berkata orang itu.

“Baiklah. Katakan, kami percaya kepada kalian. Dengan demikian maka kami akan membawa kalian ke tempat yang kau katakan itu,” berkata salah seorang di antara para petugas sandi itu.

“Tempat itu tidak tentu,” jawab orang itu.

Hampir berbareng ketiga orang petugas sandi itu tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Tepat. Jawaban seperti itulah yang harus kau ucapkan. Jika kau menjawab lain, maka kau akan membuat kejutan.”

Wajah orang itu menjadi pucat. Sementara itu, salah seorang petugas sandi itu berkata kepada Ki Demang, “Nampaknya orang ini tidak berarti apa-apa bagi kita, Ki Demang. Yang dikatakan adalah apa yang telah kami duga sebelumnya, sehingga orang ini tidak akan dapat memberi petunjuk apapun juga. Karena itu, mumpung ia masih terluka cukup parah, agar kita tidak bersusah payah mengobatinya, maka serahkan saja orang ini kepada orang-orang padukuhan di luar. Apa saja yang akan mereka lakukan terhadap orang ini, kita tidak usah ikut campur.”

Manggada menjadi berdebar-debar mendengar ancaman itu. Namun ia masih belum yakin bahwa ancaman itu benar-benar akan dilakukan.

Dalam pada itu, maka orang yang sedang terluka itupun memohon, “Jangan. Jangan serahkan aku kepada mereka. Jika kalian ingin membunuhku, bunuh sajalah. Aku tidak akan menyesali nasibku. Tetapi jangan serahkan aku kepada mereka.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kau tidak mau membantu kami? Coba bayangkan, jika anak gadismulah yang hilang, apakah kau tidak akan menjadi bingung dan barangkali dapat kehilangan akal?”

Orang itu termangu-mangu.

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Ki Demang. Lalu, “Seorang demi seorang akan kami dengar keterangannya. Mereka yang tidak dapat memberikan keterangan apapun juga akan kami serahkan kepada orang-orang yang marah itu.”

Wajah orang yang terluka itu menjadi pucat. Katanya, “Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki?”

“Kau jangan berpura-pura dungu seperti itu. Kesabaran seseorang akan dapat sampai ke batas,” jawab Ki Demang.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lukanya memang masih terasa sakit. Namun kemudian dipandanginya wajah kawan-kawannya. Lalu katanya, “Kita tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak mau mati di tangan orang-orang gila di halaman itu.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka mengerti, bahwa mereka tidak akan dapat ingkar. Namun orang itu masih juga berkata, “Baiklah. Aku akan membantu kalian. Tetapi menurut perhitunganku, mereka tentu sudah memindahkan sarang mereka karena mereka tentu sudah mendengar bahwa kami tertangkap. Mereka tentu akan mengalihkan sarang mereka, karena mereka tentu sudah memperhitungkan kemungkinan bahwa sekelompok orang akan.mencari mereka. Mereka tentu sudah memperhitungkan bahwa kami tidak akan mampu mempertahankan kerahasiaan sarang kami.”

“Mencari jejak bukan semata-mata menemukan sarang mereka. Tetapi kau tentu tahu sayap-sayap gerakan mereka. Siapa saja yang pernah mereka hubungi dan untuk apakah gadis-gadis yang telah mereka culik dari keluarga mereka itu,” berkata salah seorang petugas sandi itu.

Menghadapi para petugas sandi itu, maka orang-orang yang tertawan itu tidak dapat terlalu banyak mengelakkan pertanyaan-pertanyaan yang mereka berikan. Ketiga orang petugas sandi itu adalah orang-orang yang sangat berpengalaman.

Dalam keadaan seperti itulah, maka orang-orang itu akhirnya harus mengatakan, bahwa jalur perdagangan gadis-gadis itu sudah demikian luasnya. Beberapa orang kaya yang tidak berpijak pada kehidupan wajar dengan landasan nilai-nilai kemanusiaan.

Ketika hal itu dikatakan oleh orang-orang tertawan, maka ketiga orang petugas sandi itu sama sekali tidak terkejut. Mereka memang sudah menduga, bahwa akhirnya mereka akan berhadapan dengan sekelompok orang yang menganggap kekayaan mereka adalah segala-galanya.

Tetapi di luar dugaannya, tawanan yang tertua di antara mereka berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Nampaknya aku memang sudah tidak mendapat kesempatan lain untuk mengurangi beban kesalahanku. Bukan terhadap kalian, bukan terhadap Ki Demang dan bukan terhadap Sultan di Pajang sekalipun, tetapi kepada Yang Maha Kuasa. Saat-saat maut mulai mengintip, maka aku mulai menyadari, bahwa aku harus mempergunakan sisa-sisa hidup ini untuk mengurangi panasnya api neraka.”

“Apa yang akan kau katakan?” bertanya salah seorang petugas sandi itu.

Jawabnya memang sangat mengejutkan, “Ki Sanak, di samping orang-orang kaya yang memiliki kesenangan mengumpulkan gadis-gadis untuk melepaskan nafsu mereka, ternyata ada orang-orang yang lebih terkutuk lagi. Orang-orang dari aliran sesat yang mempergunakan gadis-gadis untuk korban pemujaan mereka.”

Tiba-tiba salah seorang petugas sandi telah mencengkam pundaknya sambil membentak keras, “Kau berkata sebenarnya?”

“Ya,” jawab orang itu yang justru telah menjadi tenang. “Rasa-rasanya beban di dalam jantung ini telah aku letakkan. Aku sudah mengatakannya.”

“Dimana mereka bersarang?” bertanya petugas sandi itu.

“Mereka tentu sudah menyingkir dari sarang mereka seperti yang telah kami katakan,” jawab orang itu.

“Tetapi kenapa mereka harus berhubungan dengan kalian? Bukankah mereka dapat melakukannya sendiri, mengambil gadis-gadis dimana saja?” berkata petugas sandi itu.

“Mungkin demikian. Tetapi mereka memerlukan gadis-gadis yang khusus. Gadis-gadis dengan syarat tertentu, sehingga mereka kadang-kadang mendapat kesukaran untuk mencarinya karena jumlah mereka memang tidak begitu banyak,” jawab orang itu.

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Agaknya hal itulah yang lebih menarik perhatian mereka daripada alasan yang pertama, yang memang sudah diduga sebelumnya. Dalam pada itu, nampaknya para petugas sandi itu telah memusatkan perhatian mereka terutama pada kemungkinan yang kedua.

Jika gadis-gadis itu jatuh ke tangan orang-orang kaya, betapapun menderita batin mereka, namun masih ada kemungkinan untuk menyelamatkan mereka. Tetapi jika gadis-gadis itu jatuh ke tangan orang-orang yang menganut aliran sesat, maka umurnya akan segera berakhir.

Dengan suara yang berat salah seorang petugas sandi itu bertanya, “Kau tahu, apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat itu terhadap gadis-gadis yang dikehendakinya?”

“Mereka akan dijadikan korban. Agaknya umur mereka akan diakhiri di atas batu persembahan,” jawab orang tua itu.

“Apakah syarat yang mereka kehendaki atas gadis-gadis itu?” bertanya petugas sandi itu.

“Gadis itu harus anak sulung. Ia tidak boleh mempunyai saudara perempuan di dalam keluarganya dan gadis itu harus gadis yang lengkap, tidak cacat lahiriah dan rohaniah, sedangkan umurnya tidak boleh kurang dari limabelas tahun dan tidak boleh lebih dari duapuluh tahun. Syarat itulah agaknya yang telah mendorong orang-orang sesat itu berhubungan dengan kami yang mempunyai jaringan lebih luas untuk mendapatkan gadis-gadis sebagaimana mereka kehendaki,” berkata orang itu.

“Tetapi bukankah kau dapat menipunya? Kau dapat menyerahkan perempuan yang manapun asal ujudnya masih pantas disebut berumur antara limabelas dan duapuluh tahun. Apakah gadis itu anak sulung atau bukan, atau mempunyai saudara perempuan atau tidak dan syarat-syarat yang lain,” berkata petugas sandi itu.

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Kami tidak dapat menipu mereka. Ketika pada suatu kali kami serahkan seorang gadis yang ternyata bukan anak sulung, orang-orang itu dapat mengetahuinya. Dan gadis itulah yang justru mendapat nasib lebih buruk lagi. Selain itu, maka kutukpun telah menimpa kawan kami yang mencoba menipu mereka itu. Dua orang kawan kami tiba-tiba saja mati tanpa sebab. Tubuhnya berbintik-bintik biru. Matanya merah dan lidahnya tergigit oleh gigi mereka sendiri.”

“Sangat mengerikan,” desis petugas sandi itu.

Namun seorang kawannya berkata, “Kita harus menemukan mereka dengan cepat. Di samping itu maka kita akan menelusuri jalur dari orang-orang kaya yang kehilangan pijakan kemanusiaannya itu.”

“Tetapi Ki Sanak,” berkata orang itu, “berhati-hatilah. Mereka memiliki kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Bahkan mungkin sebelum Ki Sanak bertindak, merekalah yang lebih dahulu justru datang kemari. Mereka tentu akan mengambil kami sebagaimana kami akan mengambil kedua orang kawan kami yang tertawan itu. Tetapi jika gagal, maka mereka tentu akan membunuh kami.”

“Tetapi menurut kalian, bukankah jumlah mereka tidak banyak, terutama orang yang mengikuti aliran sesat itu?” bertanya salah seorang di antara petugas sandi itu.

“Kadang-kadang dalam kepentingan yang khusus, mereka dapat bergabung. Orang-orang berilmu sesat tetapi berilmu sangat tinggi itu, dengan kawan-kawan kami, penjual gadis-gadis yang kami culik dari orang-orang padukuhan,” jawab orang itu.

Para petugas sandi dari Pajang itu termangu-mangu. Namun agaknya mereka dapat mempercayai keterangan orang itu, sehingga karena itu, maka salah seorang di antara mereka berkata, “Kita akan berbicara di antara kita.”

Ki Demang nampaknya tanggap akan niat petugas sandi itu. Karena itu, maka para tawanan itupun segera disingkirkannya.

Namun salah seorang petugas sandipun berkata, “Jaga mereka baik-baik. Bukan saja mereka mungkin melarikan diri. Tetapi justru orang lain datang kepada mereka dan membunuh mereka. Kita masih memerlukan mereka.”

Demikianlah, maka orang-orang itupun telah dibawa justru masuk ke dalam bilik di dalam banjar agar tidak ada seorangpun yang akan dapat berbuat sesuatu atas mereka. Bahkan para petugas sandipun telah memperingatkan, agar atap pun diawasi dengan baik.

“Tidak mustahil mereka membunuh kawan-kawannya dengan menyibak atap,” berkata salah seorang petugas sandi itu.

Dengan demikian maka pengawasan di sekitar banjar itupun dilakukan dengan cermat sekali. Hampir di setiap langkah di seputar banjar itu berdiri seorang dengan senjata di tangan.

Dalam pada itu, para petugas sandi itupun telah berbicara dengan Ki Demang dan Ki Bekel. Namun Ki Bekel telah minta agar Ki Wiradadi dan dua orang anak muda yang telah membantu mereka ikut pula berbicara bersama mereka.

“Siapakah kedua orang anak muda itu?” bertanya salah seorang petugas sandi.

“Kami belum mengenal mereka lebih banyak selain nama mereka. Yang seorang Manggada sedang yang lain Laksana. Mereka bersaudara meskipun sepupu,” jawab Ki Bekel.

“Apa yang dapat mereka lakukan?” bertanya petugas sandi itu.

Ki Bekelpun kemudian telah memanggil Ki Wiradadi dan mempersilahkannya untuk berceritera tentang kedua anak muda itu.

“Nampaknya keduanya akan dapat membantu kita,” berkata Ki Wiradadi.

“Tetapi apakah keduanya benar-benar dapat dipercaya?” bertanya petugas sandi itu.

“Aku percaya kepada mereka,” sahut Ki Wiradadi.

“Apakah mereka tidak mempunyai pamrih yang tersembunyi?” bertanya petugas sandi itu pula.

Ki Wiradadi menggeleng. Katanya, “Aku tidak melihat itu. Entahlah jika aku tidak mampu menangkap gejolak perasaan mereka. Namun selama ini menurut pengamatanku, mereka cukup meyakinkan.”

Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Mungkin mereka memang dapat dipercaya. Tetapi mereka masih terlalu muda untuk ikut berbicara bersama kita. Biarlah mereka tidak usah berada di antara kita. Kita akan memberitahukan apa yang akan kita lakukan, dan membawa mereka bersama kita kelak.”

Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun katanya, “Mereka memang masih muda. Tetapi mereka mempunyai gagasan yang mapan dan bahkan kadang-kadang tidak terpikirkan oleh yang tua-tua ini.”

Para petugas sandi itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka, yang nampaknya yang memimpin kelompok kecil itu berkata, “Biarlah mereka menunggu. Kita akan berbicara disini.”

Ki Wiradadi tidak memaksakan keinginannya. Demikian pula Ki Bekel. Sehingga karena itu, maka Manggada dan Laksana tetap berada di luar.

Ternyata para petugas sandi dan para pemimpin kademangan itu tidak akan mengambil sikap dengan tergesa-gesa. Berdasarkan keterangan dari orang-orang yang tertawan, maka mereka harus meyakinkan dahulu sasaran yang akan mereka tuju. Dengan keterangan yang masih akan mereka minta untuk dilengkapi, maka para petugas sandi itu lebih dahulu akan menyelidiki sekelompok orang yang beraliran sesat itu.

“Satu tugas yang berbahaya,” berkata Ki Demang.

“Karena itu, biarlah hal ini kami lakukan sendiri. Apalagi anak-anak muda itu tidak boleh terlibat ke dalam tugas ini,” berkata para petugas sandi. Lalu katanya kemudian, “Yang aku maksud dengan kami itupun akan berkembang. Kami akan minta bantuan dari pimpinan petugas sandi di Pajang untuk melakukan tugas ini.”

“Jadi kami harus menunggu?” bertanya Ki Wiradadi.

“Ya,” jawab petugas sandi itu.

“Tetapi sampai kapan?” bertanya Ki Wiradadi. “Aku juga harus menyelamatkan anakku.”

“Aku mengerti. Tetapi kerja ini harus berhasil baik. Bukan justru menambah korban,” berkata petugas sandi itu.

Tetapi rasa-rasanya Ki Wiradadi tidak terlalu sabar untuk menunggu. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak, kami akan sangat berterima kasih atas kesediaan para petugas dari Pajang langsung menangani persoalan ini. Tetapi aku harus menyelamatkan anakku secepat-cepatnya.”

“Aku mengerti, Ki Wiradadi,” berkata pemimpin dari petugas sandi itu. “Tetapi Ki Wiradadi juga harus dapat menahan diri. Persoalannya bukan sekedar anak gadis Ki Wiradadi. Tetapi beberapa orang gadis yang bagi orang tua masing-masing akan bernilai sama dengan anak gadis Ki Wiradadi itu.”

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat mengerti dengan nalarnya. Tetapi rasa-rasanya jantungnya tidak lagi dapat diredakan.

Dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang tidak ikut dalam pembicaraan itupun telah duduk di tangga pendapa banjar itu. Mereka masih melihat anak-anak muda. yang berjalan hilir-mudik. Bukan saja mereka yang bertugas, tetapi beberapa kelompok anak muda yang ingin mengetahui perkembangan dari persoalan yang sedang mereka hadapi bersama-sama. Bahkan satu dua orang anak muda yang adiknya juga hilang dari keluarga mereka, merasa berhak ikut serta melakukan sesuatu untuk membebaskan adik-adiknya itu.

Tetapi tiba-tiba saja Laksana itupun berkata, “Buat apa sebenarnya kita masih saja disini? Mereka sama sekali tidak menganggap perlu atas kehadiran kita disini. Mereka telah berbicara tentang gadis-gadis yang hilang itu. Mereka merasa akan dapat menyelesaikan persoalan mereka.”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah kita menunggu.”

“Buat apa?” bertanya Laksana. “Biar mereka mengurusi persoalan mereka. Kita sudah berusaha menolong mereka. Tetapi mereka tidak memerlukan kita sama sekali.”

“Mungkin kita akan dapat berbuat sesuatu,” desis Manggada.

“Apa peduli kita atas mereka? Kita sudah berbuat baik menurut pengertian kita. Tetapi kita sama sekali tidak dipedulikan sama sekali dalam pembicaraan-pembicaraan selanjutnya. Aku tidak bermaksud untuk mendapatkan pujian atau dianggap sebagai seorang pahlawan dalam hal itu. Tetapi aku ingin berbuat lebih baik dari yang pernah kita lakukan. Barangkali sekedar membantu mereka. Tetapi nampaknya mereka tidak memerlukan kita lagi. Bukankah telah ada orang lain yang lebih berarti dari kita?” berkata Laksana.

Tetapi Manggada berkata, “Jangan. Kita tidak memerlukan perhatian mereka. Kita akan menunggu. Jika pada suatu saat kita yakin bahwa kita memang tidak diperlukan, kita akan pergi. Tetapi pembicaraan itu masih berlangsung sehingga kita belum tahu apakah kesimpulan dari pembicaraan itu.”

“Seharusnya mereka mengajak kita dalam pembicaraan itu,” geram Laksana.

“Itu tidak perlu. Bagi kita, cukup menunggu kesimpulannya saja,” berkata Manggada.

“Menunggu kesimpulannya saja? Kemudian mereka memerintahkan kepada kita untuk melakukan sesuatu?” bertanya Laksana.

“Bukan maksudku bahwa kita berada di bawah perintah mereka. Jika kesimpulan itu sudah diambil, barangkali ada yang sesuai bagi kita,” berkata Manggada.

“Sesuai atau tidak, kita tidak bertanggung jawab,” berkata Laksana sambil melemparkan pandangan matanya ke kejauhan.

“Memang tidak. Tetapi bukankah yang penting bagi kita, dengan melibatkan diri kita akan mendapatkan pengalaman? Suatu kesempatan yang baik sekali. Kita mendapat kesempatan untuk menjajagi kemampuan kita di antara mereka yang bergerak di dunia olah kanuragan dalam ruang gerak yang agak luas, tetapi kita tidak bertanggung jawab. Kita hanya ikut-ikutan saja, sehingga kita tidak akan mendapat beban jiwani jika kita gagal,” berkata Manggada.

Laksana termangu-mangu. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau benar. Kita akan mendapatkan pengalaman.”

“Nah, bukankah pengalaman itu penting bagi kita?” bertanya Manggada.

“Ya. Kita sudah merasakan. Dengan pengalaman yang sedikit ini, maka kita dapat melihat kembali ke dalam ilmu kita. Unsur-unsur yang pernah kita pelajari merupakan landasan dasar. Namun dalam benturan ilmu yang sebenarnya, maka unsur-unsur itu akan segera berkembang,” berkata Laksana.

Manggada tersenyum. Sambil menepuk bahu Laksana ia berkata, “Nah, bukankah kita harus tinggal disini?”

Laksana mengangguk-angguk. Beberapa saat lamanya keduanya masih harus menunggu. Rasa-rasanya memang sudah lama sekali sehingga Laksana hampir menjadi jemu karenanya. Bahkan demikian pula anak-anak muda yang menunggu di halaman dan di luar regol halaman banjar itu.

Dua orang anak muda telah mendekati Manggada dan Laksana. Seorang di antara mereka bertanya, “Apa saja yang dibicarakan di dalam?”

Manggadalah yang menjawab, “Mereka sedang menentukan langkah-langkah. Mungkin mereka masih mendengarkan keterangan para tawanan. Atau mereka sedang mengurai keadaan.”

“Kenapa mereka tidak dengan cepat mengambil kesimpulan, sehingga segera dapat berbuat sesuatu?” berkata anak muda itu. “Bahwa beberapa orang di antara mereka tertangkap, tentu akan membuat mereka melakukan langkah-langkah pengamanan.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ternyata anak-anak muda padukuhan itupun mampu berpikir tajam menanggapi keadaan. Namun bagaimanapun juga mereka memang harus menunggu.

Beberapa saat kemudian, maka beberapa orang yang ada di ruang dalam banjar itupun telah selesai berbicara. Para petugas sandi dari Pajang telah menentukan sikap. Dua di antara mereka akan langsung turun ke medan, sementara yang seorang akan membuat laporan-laporan dan menyiapkan tenaga yang cukup apabila diperlukan. Akan dibentuk satu pasukan kecil yang khusus menangani persoalan hilangnya gadis-gadis dari beberapa padukuhan.

Ketika kemudian anak-anak muda yang berada di halaman itu bergeser mendekati pendapa, maka Ki Demang telah maju pula dan berbicara kepada mereka.

“Segala sesuatunya telah ditentukan,” berkata Ki Demang. “Sekarang kita dapat pulang ke rumah kita masing-masing. Tetapi kita semuanya harus selalu bersiap. Setiap saat kita akan bertindak.”

Namun tiba-tiba seorang separo baya bertanya, “Setiap saat bagaimana, Ki Demang? Persoalan yang gawat ini telah berlangsung beberapa saat. Jika kita masih menunggu, apakah kita akan dapat menolong anak-anak kita itu? Atau kita memang menunggu mereka menjadi debu? Anak gadisku telah hilang lebih dari sepuluh hari yang lalu. Sebelum gadis yang terakhir, anak Ki Wiradadi juga hilang beberapa lama kemudian.”

“Kau benar,” sahut Ki Demang. “Tetapi kita menghadapi kekuatan yang harus kita perhitungkan. Kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Kita harus menghitung langkah. Seandainya kita akan bertindak sekarang, apa yang harus kita lakukan? Jika kita menyerang sarang mereka sebagaimana dikatakan para tawanan, maka sarang mereka itu tentu sudah kosong. Lalu kita harus berbuat apa?”

Laki-laki separo baya itu termangu-mangu. Yang dikatakan oleh Ki Demang itu memang benar. Tetapi rasa-rasanya menunggu dan menunggu itu terlalu menyiksanya. Sementara itu, seorang laki-laki yang lain bertanya,

“Lalu tindakan apa yang segera dapat diambil?”

“Percayakan itu kepada kami,” berkata Ki Demang. “Sejak saat ini kita sudah berbuat sesuatu. Kami memang tidak menunggu sampai nanti atau apalagi besok. Tetapi langkah-langkah kami memakai perhitungan seutuhnya. Kita tidak ingin korban semakin banyak. Apalagi korban yang seharusnya tidak perlu terjadi.”

Tidak ada seorangpun yang bertanya lagi. Ketika Ki Demang kemudian memerintahkan mereka pulang, maka seorang demi seorang telah meninggalkan halaman banjar itu, sehingga yang tinggal hanyalah mereka yang bertugas. Orang-orang padukuhan itu dan beberapa padukuhan yang lain yang pernah kehilangan anak gadisnya berusaha untuk percaya kepada keterangan Ki Demang yang selama memerintah memang mereka akui, telah berusaha berbuat apa saja bagi rakyatnya.

Namun seorang di antara orang-orang yang gelisah itu berkata, “Tetapi para pemimpin itu tidak mengatakan, langkah-langkah apakah yang akan mereka ambil?”

Kawannya yang lebih tua dan berpengalaman menjawab, “Tentu telah dirahasiakan. Jika Ki Demang itu mengatakan kepada kita langkah-langkah yang akan diambilnya, maka banyak orang yang akan mendengar sehingga akhirnya orang yang akan dicari itupun mendengarnya pula.”

Orang yang pertama itu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti alasan yang diberikan oleh kawannya. Apalagi ketika kawannya itu berkata, “Yang harus kita lakukan adalah, bahwa kita harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin tidak kita duga sebelumnya.”

“Ya,” berkata orang yang pertama, “apapun dapat terjadi. Tetapi kita tidak akan dapat tinggal diam jika anak-anak kita itu diambil seorang demi seorang.”

Merekapun kemudian terdiam. Yang nampak hanyalah ketegangan di wajah kedua orang itu. Di banjar, Manggada dan Laksana masih duduk di tempatnya. Di pendapa beberapa orang masih berbicara sambil berdiri. Namun akhirnya Ki Demang dan beberapa orang itupun telah minta diri.

Yang didengar oleh Manggada dan Laksana adalah pernyataan salah seorang di antara mereka, “Kita jangan ketinggalan waktu. Banyak hal dapat terjadi. Kita harus berbuat hari ini juga.”

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya mengamati saja ketika para pemimpin yang kemudian melangkah meninggalkan pendapa diikuti oleh Ki Bekel dan Ki Wiradadi.

Sejenak kemudian, maka Ki Bekel yang mengantar tamu-tamunya sampai ke regol telah kembali melintasi halaman. Namun Ki Bekel dan Ki Wiradadi itu kemudian terhenti di tangga pendapa. Bahkan Ki Wiradadi itupun kemudian memanggil, “Marilah, anak-anak muda. Kita berbicara di dalam.”

“Apakah kami perlu ikut berbicara?” jawab Laksana.

Dengan sikunya Manggada telah menggamit Laksana. Bahkan Manggada itupun bangkit sambil menjawab, “Baiklah. Kami akan menyertai setiap pembicaraan sepanjang kami diijinkan.”

Ki Bekel itu memandang Ki Wiradadi sejenak. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, maka merekapun kemudian telah mengikuti Ki Bekel dan Ki Wiradadi ke ruang dalam. Sejenak kemudian, mereka berempat telah duduk di ruang tengah banjar padukuhan. Tampaknya Ki Wiradadi tidak dapat terlalu sabar menunggu.

Karena itu, maka katanya, “Ki Bekel, bukan berarti bahwa kita tidak percaya kepada para petugas sandi Pajang. Tetapi sebagai salah seorang dari orang tua anak-anak gadis yang hilang, apakah Ki Bekel membenarkan jika aku juga berbuat sesuatu untuk mencari anakku? Jika Ki Bekel membenarkannya, aku akan minta pertolongan kedua anak muda ini untuk dapat ikut bersamaku. Meskipun mereka masih muda, tetapi agaknya mereka memiliki kemampuan tinggi, sehingga keduanya dapat benar-benar membantuku dalam kesulitan. Barangkali aku juga masih memerlukan beberapa orang lagi yang pada satu saat akan bergerak bersamaku.”

Ki Bekel termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada kedua anak muda yang duduk di sebelah Ki Wiradadi, maka dilihatnya kedua anak muda itu menundukkan kepalanya. Namun dari ujudnya serta apa yang telah dilakukannya, maka keduanya memang memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Apalagi yang sebayanya.

“Ki Wiradadi,” berkata Ki Bekel, “aku adalah seorang bebahu yang berada di bawah perintah Ki Demang. Karena itu, maka aku tidak akan dapat mengambil kebijaksanaan sendiri dalam satu persoalan apabila Ki Demang sudah mengambil kebijaksanaan lebih dahulu. Yang harus kulakukan adalah melaksanakan kebijaksanaan yang telah diambil oleh Ki Demang itu.” Ki Bekel itupun berhenti sejenak, lalu, “Karena itu, maka aku sudah barang tentu tidak akan dapat menyetujui rencana Ki Wiradadi.”

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Bukankah aku tidak mengganggu apa yang telah diputuskan oleh Ki Demang? Jika aku melakukannya, adalah atas tanggung jawabku sendiri. Seandainya harus jatuh korban, maka aku tidak akan berkeberatan.”

Ki Wiradadi itupun kemudian berpaling kepada Manggada dan Laksana. “Bagaimana, anak-anak muda? Bersediakah kalian bersama kami mencari jejak hilangnya gadis-gadis itu tanpa mengganggu tugas para prajurit sandi dari Pajang? Biarlah mereka mengadakan penyelidikan. Sementara itu, kita juga melakukannya sendiri. Aku masih berharap bahwa anakku dan sukurlah seandainya beberapa orang gadis yang lain masih dapat kita selamatkan.”

Manggada mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika hal itu tidak dianggap melanggar paugeran Pajang, maka kami tidak akan berkeberatan.”

“Tentu tidak. Jika para prajurit sandi itu menghendaki agar kita mempercayakan saja kepada mereka, maka agaknya agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Atau, yang terselamatkan hanya satu dua orang gadis saja sehingga lainnya akan segera dilenyapkan oleh orang-orang yang menculik gadis-gadis itu untuk menghilangkan jejak,” jawab Ki Wiradadi. Lalu, “Jika hal ini kita sadari sungguh-sungguh, maka kita akan menjadi sangat hati-hati, agar tidak terjadi hal seperti itu. Terutama usaha untuk menghilangkan jejak, karena dengan demikian beberapa orang gadis memang akan dapat menjadi korban.”

“Tetapi jika hal itu terjadi,” berkata Ki Bekel, “kita harus menyadari bahwa orang-orang yang telah menculik gadis-gadis itu tentu orang-orang yang tidak lagi mengenal perikemanusiaan. Baik mereka yang mengumpulkan gadis-gadis muda untuk kesenangan dan pemanjaan nafsu rendahnya maupun mereka yang sampai saat ini masih saja menganut adat dan kepercayaan mengorbankan gadis yang dianggapnya masih bersih.”

“Kita akan berusaha, Ki Bekel. Taruhannya adalah jiwa kami,” jawab Ki Wiradadi.

“Tetapi sudah tentu bukan anak-anak muda ini. Mereka masih terlalu muda untuk mati, sebagaimana gadis-gadis yang hilang itu. Ki Wiradadi sebaiknya jangan mempertaruhkan jiwa anak-anak muda ini,” berkata Ki Bekel.

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti keberatan Ki Bekel. Karena itu, iapun tertunduk diam. Namun justru Manggada lah yang berkata,

“Ki Bekel, kami memang berkeberatan jika kami harus mengorbankan nyawa kami untuk satu kepentingan yang kurang kupahami. Tetapi bukan berarti bahwa kami akan membiarkan saja kejahatan seperti ini berlangsung. Karena itu, maka kami berdua tidak berkeberatan membantu Ki Wiradadi. Kami akan berusaha melindungi nyawa kami. Namun bukankah segala sesuatunya ada di tangan Yang Maha Agung?”

Ki Bekel mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Kalian masih muda. Tetapi cara berpikir dan bersikap kalian telah cukup dewasa. Seandainya aku tidak melihat ujud kalian, maka aku akan menyangka bahwa aku sedang berbicara dengan Ki Wiradadi.”

“Ah,” desis Manggada, “kami hanya sekedar mengikuti perasaan kami.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Ki Wiradadi, “Ki Wiradadi, seperti yang kukatakan, sudah tentu aku tidak dapat menyetujui rencana Ki Wiradadi. Tetapi akupun menyadari bahwa sebaiknya aku tidak mencegahnya. Karena itu, segala sesuatunya terserah saja kepada Ki Wiradadi. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan. Aku tidak akan terlibat apapun yang akan terjadi.”

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu sudah cukup, Ki Bekel. Aku mengucapkan terima kasih. Akupun berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya bagi segala pihak. Aku sadar, bahwa aku tidak boleh sekadar mementingkan diri sendiri.”

“Silakan, Ki Wiradadi,” berkata Ki Bekel. “Aku tidak tahu-menahu apa yang akan Ki Wiradadi lakukan.”

“Kami mohon restu meskipun itu sekadar di dalam hati, karena aku tahu bahwa Ki Bekel tidak akan memberikannya secara lesan, yang akan berarti bahwa Ki Bekel menyetujui rencana kami,” berkata Ki Wiradadi.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku akan kembali. Para pengawal sudah tahu akan kewajiban untuk menjaga para tawanan itu.”

Ki Wiradadi termangu-mangu. Hampir saja terucapkan untuk minta izin kepada Ki Bekel untuk menemui para tawanan. Tetapi Ki Wiradadi mengurungkannya. Ki Bekel tentu tidak akan mengizinkannya dengan resmi. Jika demikian, maka ia akan kehilangan kesempatan, karena ia tidak akan dapat melanggar keputusan Ki Bekel. Tetapi jika hal itu dilakukan diam-diam, maka Ki Bekel tidak akan pernah mengeluarkan pernyataan untuk melarangnya, sehingga ia masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan mereka bagaimanapun caranya.

Demikianlah, maka Ki Bekelpun kemudian meninggalkan banjar. Ia memang tidak memberikan pesan apapun kepada para pengawal. Juga tidak meninggalkan pesan yang melarang siapapun menemui para tawanan itu. Karena itu, sepeninggal Ki Bekel, Ki Wiradadipun berbincang dengan Manggada dan Laksana untuk mengambil langkah-langkah yang lebih nyata.

“Kita temui pemimpin kelompok yang mencegat perjalanan kita,” berkata Ki Wiradadi.

“Bukankah orang itu terluka?” bertanya Laksana.

“Kita tidak dapat mencari kesempatan lain jika mereka diambil oleh Ki Demang nanti atau besok,” sahut Ki Wiradadi

Kedua anak muda itu tidak menolak. Mereka bertiga kemudian pergi ke bilik tahanan yang dijaga ketat para pengawal.

“Aku akan menemui mereka,” berkata Ki Wiradadi.

Pemimpin pengawal memang menjadi ragu-ragu. Bahkan iapun bertanya, “Apakah kalian sudah mendapat izin dari Ki Bekel?”

Ki Wiradadi mengerutkan kening. Ia bertanya, “Apakah Ki Bekel pernah berpesan kepadamu bahwa aku tidak boleh menemuinya?”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, “Tidak.”

“Nah, jika demikian aku akan menemui mereka. Kaupun tahu, siapakah yang telah berhasil menangkap mereka dan membawanya kemari?” berkata Ki Wiradadi.

Pemimpin pengawal yang bertugas itu termangu-mangu. Namun ternyata bahwa ia tidak mencegah ketika Ki Wiradadi dan kedua anak muda itu masuk ke dalam bilik tahanan. Orang-orang yang tertawan itu memandangi mereka penuh curiga. Orang-orang itu adalah orang-orang yang telah bertempur dan menangkap mereka. Karena itu, sikapnya dapat berbeda dengan sikap Ki Demang dan para bebahu yang lain.

Sebenarnyalah Ki Wiradadi memang memberi kesan kepada orang-orang itu, bahwa ia dapat bertindak kasar. Ketika seorang di antara para tawanan itu tidak bergeser dari tempatnya duduk ketika Ki Wiradadi lewat, maka dengan kakinya Ki Wiradadi mendorong orang itu sehingga jatuh terlentang.

“Minggir,” bentak Ki Wiradadi. “Aku tidak akan berbicara dengan kau. Aku akan berbicara dengan pemimpinmu.”

Orang itu sama sekali tidak berani memandang wajah Ki Wiradadi. Namun kawannyalah yang menyahut, “Pemimpinku baru sakit.”

“Persetan,” geram Ki Wiradadi. “Aku sudah tahu. Tetapi aku harus berbicara sebelum aku kehilangan kesempatan.”

Orang-orang di bilik itu sama sekali tidak berani mencegahnya. Mereka tahu kemampuan ketiga orang itu, sehingga karena itu, maka orang-orang itu hanyalah saling berdiam diri dan saling berpandangan.

Ki Wiradadipun kemudian mendekati pemimpin kelompok yang terluka itu. Dengan geram ia berkata, “Kau tidak boleh cengeng dan merajuk. Lukamu tidak seberapa. Karena itu kau harus menjawab pertanyaanku.”

Pemimpin kelompok yang terluka agak parah itu memang menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu akan dapat berbuat apa saja atas dirinya, sementara lukanya masih saja terasa sakit. Apalagi jika orang-orang itu mulai menyentuhnya. Karena itu, maka agaknya orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus menjawab setiap pertanyaan jika ia dapat melakukannya.

Ternyata Ki Wiradadi itu bertanya, “Ki Sanak, yang lebih menarik perhatian adalah gadis-gadis yang dikorbankan oleh orang-orang sesat itu. Mungkin anakku akan dapat digolongkan di antara gadis-gadis yang barangkali memenuhi atau hampir memenuhi syarat itu. Atau seandainya tidak, kalian dapat berbohong meskipun kalian pernah menyanggahnya. Apakah Ki Sanak tahu, di mana gadis-gadis itu harus diserahkan? Jangan membuat darahku mendidih dengan jawaban-jawaban cengengmu.”

Pemimpin kelompok yang terluka itu berdesah. Rasa-rasanya tangan Ki Wiradadi telah meraba tubuhnya. Dengan suara bergetar orang itu menjawab, “Tidak ada gunanya aku mengatakannya. Mereka tentu sudah menyingkir.”

Suara Ki Wiradadi menjadi lebih keras, “Aku tidak peduli apakah mereka menyingkir atau tidak menyingkir. Tetapi dimana kau sering menyerahkan gadis-gadis itu? Baik kepada pedagang gadis-gadis yang dijual kepada orang-orang yang tidak beradab karena nafsunya yang mencekik kesadaran kemanusiaannya, maupun mereka yang tidak beradab karena mengorbankan gadis-gadis untuk persembahan ilmu sesat.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun Ki Wiradadi benar-benar telah menepuk bahunya. Perlahan-lahan saja. Namun rasa-rasanya jari-jari Ki Wiradadi itu sudah siap menusuk luka-luka di tubuhnya.

Akhirnya pemimpin kelompok itu tidak merasa perlu lagi untuk berbohong. Agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka iapun telah menceriterakan, kemana gadis-gadis itu telah dibawa.

“Sekelompok orang telah menunggu di padukuhan terpencil di pinggir Kali Pepe. Mereka dibawa dengan pedati ke tempat yang tidak kami ketahui. Kami hanya tahu arahnya meskipun kami tidak tahu kemana.”

“Mereka dibawa ke arah mana?” bertanya Ki Wiradadi.

“Menelusuri Kali Pepe,” jawab orang itu.

“Bukankah Kali Pepe bermata air di kaki Gunung Merbabu?” bertanya Ki Wiradadi dengan kening berkerut.

“Ya, meskipun masih agak jauh,” jawab orang itu.

“Mereka tentu gadis-gadis yang diperjual-belikan di antara orang-orang kaya yang tidak beradab. Tetapi apakah kau tahu tentang gadis-gadis yang akan dikorbankan itu?” bertanya Ki Wiradadi pula.

“Kami menyerahkan mereka di tempat yang agak jauh,” jawab orang itu.

“Dimana, cepat katakan,” Ki Wiradadi mulai membentak. Tangannya mulai mencekam kulit pemimpin kelompok yang menjadi semakin cemas itu. “Kau tentu tahu, anakku telah dibawa kemana.”

Pemimpin kelompok itu mulai mengerang. Tulang-tulangnya mulai merasa sakit karena cengkeraman Ki Wiradadi, meskipun tidak pada lukanya. Jika Ki Wiradadi itu ingat bahwa tubuhnya terluka, maka luka itu akan dapat dimanfaatkannya.

Karena itu, pemimpin kelompok itu tidak menunggu tubuhnya menjadi sangat kesakitan. Apalagi ia sadar, bahwa akhirnya ia akan berbicara juga karena orang-orang padukuhan itu akan dapat berbuat apa saja atas mereka.

“Cepat, katakan,” bentak Ki Wiradadi.

“Yang aku tahu, gadis terakhir itu memang dibawa ke Hutan Jatimalang,” jawab orang itu.

“Apakah di Hutan Jatimalang ada tempat untuk mengorbankan gadis-gadis, alas persembahan atau apa?” bertanya Ki Wiradadi.

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku kira, korban itu tidak diserahkan di Hutan Jatimalang.”

“Dimana?” desak Ki Wiradadi yang jantungnya menjadi bergejolak.

Tetapi adalah tidak diduganya sama sekali bahwa Manggada, anak muda itu berkata kepada pemimpin kelompok yang tertawan itu, “Kesempatanmu tinggal sedikit. Selagi kau masih hidup, kau akan dapat mengurangi kesalahanmu. Tetapi jika kau sudah mati, hal itu tidak akan dapat kau lakukan lagi.”

Pemimpin kelompok itu memandang Manggada dengan wajah yang tegang. Namun Manggada tidak menghiraukannya. Ia masih berkata selanjutnya, “Ki Sanak, kau batasi pengertian hidupmu dengan hidup kewadagan. Kau sama sekali tidak mau serba sedikit memikirkan hidup yang lain. Kehidupan yang kekal tanpa batas.”

Orang itu termangu-mangu. Sementara Manggada berkata pula, “Jika kau mau, kau dapat mengurangi kesulitan di hari-hari yang abadi. Agaknya waktumu memang tinggal sedikit.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu cara yang sangat baik untuk memaksa seseorang berbicara. Anak muda, bagiku pengertian seperti itu sudah lama terkubur bersama pengertianku tentang baik dan buruk.”

“Setiap orang telah mengerti, bahwa orang-orang seperti kalian ini telah melemparkan nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya, karena kalian telah diperbudak oleh nilai-nilai yang sebenarnya tidak berarti. Nilai-nilai duniawi yang diwarnai oleh dentang keping-keping uang, karena kau mengira dengan uang segala-galanya dapat dicapai. Tetapi kau tahu, bahwa uang itu tidak dapat membebaskanmu sekarang. Juga kawan-kawanmu. Uang itu tidak akan membangunkan kawan-kawanmu yang telah mati, yang telah mulai menjalani hidup langgengnya. Kau dapat membayangkan, kehidupan yang bagaimanakah yang akan mereka jalani itu. Padahal kehidupan itu tidak akan dibatasi oleh waktu. Kau tidak akan dapat membeli suatu bentuk kehidupan langgeng dengan uang yang dengan susah payah kau kumpulkan. Bahkan dengan mengorbankan martabat kemanusiaanmu,” berkata Manggada.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Bahkan Ki Wiradadipun menarik nafas dalam-dalam. Mula-mula ia akan mempergunakan kekerasan untuk memaksa orang itu berbicara. Namun akhirnya ia menunggu, apa yang akan dikatakannya kemudian.

Orang yang terluka itu menunduk dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku juga mempunyai seorang anak laki-laki sebaya dengan kau, anak muda. Tetapi seperti aku, mata batinnya telah tertutup rapat-rapat, sehingga ia tidak dapat melihat apapun selain kepentingan diri sendiri. Tetapi itu bukan salahnya. Ia memang hidup dalam dunia seperti itu.”

“Mungkin masih ada kesempatan lain buat anakmu. Sekarang, apakah kau akan mengurangi beban penderitaanmu di masa langgeng, atau justru kau ingin menambahinya dengan penderitaan di saat menjelang hari terakhirmu? Jika selama hidupmu kau mendambakan kesenangan dengan berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun juga, maka di saat kematianmu sama sekali tidak tercermin akan hasil usahamu itu. Bahkan mayatmu akan dilemparkan begitu saja ke lubang kubur tanpa upacara besar-besaran sebagaimana seorang yang kaya raya,” berkata Manggada. “Namun demikian, betapa nistanya kematianmu, kau masih mempunyai harapan untuk satu kehidupan yang baik di masa kekal.”

“Sudahlah, anak muda,” berkata orang itu. “Kau telah menimbulkan persoalan tersendiri di dalam dadaku.”

“Sekarang terserah kepadamu. Tetapi jika kau dapat membantu menemukan anak gadis Ki Wiradadi, maka kau sudah berusaha mengurangi kepahitan langgeng itu,” berkata Manggada.

Orang itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba kawannya yang lemah berkata tersendat, “Ki Sanak, biarlah aku dibunuh oleh kawan-kawanku. Tetapi kata-katamu mempengaruhi perasaanku. Dengarlah, gadis-gadis itu dari Hutan Jatimalang telah dibawa ke kaki Gunung Kelut.”

“Kaki Gunung Kelut?” wajah Ki Wiradadi menjadi tegang.

“Ya. Tetapi kami tidak tahu, di manakah penyerahan korban itu dilakukan. Tetapi menurut pendengaran kami, mereka memerlukan seorang gadis di setiap bulan purnama. Mereka harus mengorbankan sampai batas tertentu sebelum mereka berhasil mencapai sesuatu,” berkata orang itu.

Ki Wiradadi menggeram. Namun orang itu justru nampak ragu-ragu.

“Katakan. Atau kau takut kepada pemimpin kelompokmu ini? Jika ia menghukummu karena ia menganggap kau berkhianat, maka hukuman yang akan diterimanya adalah sepuluh kali lipat,” berkata Ki Wiradadi.

Tetapi pemimpin kelompok itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan menyalahkannya. Seandainya ia tidak mengatakannya, maka aku sudah berniat untuk mengatakan. Ternyata bahwa pendapat anak muda itu telah mempengaruhi perasaanku. Agaknya orang itu juga terpengaruh oleh pendapat anak muda itu sehingga ia merasa bahwa bebannya akan menjadi lebih ringan.”

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia menjadi semakin kasar. Manggada lah yang kemudian berkata, “Katakan, apa yang kau ketahui kemudian.”

“Tidak ada lagi yang aku ketahui. Tidak seorangpun yang mengetahui selain orang-orang mereka, di manakah letak korban itu mereka serahkan. Kami pun tidak tahu cara apakah yang mereka pergunakan untuk menyerahkan korban itu. Apakah mereka dibunuh atau diserahkan kepada seseorang atau diumpankan kepada seekor binatang,” berkata orang itu.

Ki Wiradadi menggeram. Hampir tanpa dapat menguasai dirinya ia bertanya, “Sejak anakku hilang, apakah bulan pernah purnama?”

Orang yang telah menceritakan apa yang diketahuinya itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba Ki Wiradadi yang menjadi sangat cemas itu meloncat menerkam orang itu. Sambil mengguncang tubuhnya yang lemah Ki Wiradadi membentak, “Katakan, apakah sejak anakku hilang, bulan pernah purnama?”

Orang itu menjadi bingung. Karena itu, maka ia tidak segera dapat menjawab.

Manggadalah yang kemudian berkata, “Kita harus segera berbuat sesuatu. Ternyata gadis-gadis itu dibawa ke dua arah yang berbeda. Juga kepentingannya yang berbeda.”

Ki Wiradadi tiba-tiba saja tubuhnya merasa bergetar. Bahkan ia hampir tidak dapat menguasainya dirinya oleh kegelisahan dan kecemasan.

Sementara itu Laksanapun berkata, “Kita harus berusaha menelusuri jalan yang pernah mereka tempuh, setidak-tidaknya sampai ke Hutan Jatimalang. Kemudian kita harus berusaha menemukan arah perjalanan yang cukup panjang sampai ke kaki Gunung Kelut. Satu perjalanan panjang. Kita harus benar-benar siap lahir dan batin.”

Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Perjalanan kita pulang memang tertunda. Tetapi aku kira perjalanan ini akan berarti bagi kita. Meskipun kita harus menyadari, bahwa kemungkinan paling buruk dapat terjadi.”

Laksana mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian mendekati orang yang lemah itu sambil berkata, “Tunjukkan kepadaku, ancar-ancar untuk sampai ke tempat itu.”

Bahkan bukan saja orang itulah yang telah memberikan ancar-ancar, tetapi pemimpin kelompok yang terluka itupun telah ikut pula memberi tahu, sadar atau tidak sadar.

“Terima kasih,” berkata Laksana kemudian. “Kita akan melacak orang-orang berilmu sesat itu. Tetapi kalian tidak boleh mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan kepada Ki Demang atau siapapun yang memeriksa kalian, tentang rencana kami. Jika rencana kami menyelamatkan gadis itu gagal, akan sia-sialah usaha kalian, mengurangi panasnya api yang akan membakar hidup kalian yang kekal mendatang.”

Para tawanan itu mengangguk-angguk. Justru pemimpin kelompok yang tertawan itulah yang menyahut, “Kami berjanji. Mudah-mudahan kalian dapat berhasil.”

Demikianlah, maka kedua anak muda itu bersama Ki Wiradadi telah meninggalkan para tawanan itu. Mereka kembali memasuki ruang dalam banjar. Untuk beberapa saat mereka berbincang.

“Sebaiknya kita tidak membawa orang lain,” berkata Manggada.

Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun katanya, “Apakah kita akan mampu mengatasi kesulitan yang dapat timbul dalam perjalanan kita? Jika kita mempunyai kawan lebih banyak, maka kita akan menjadi semakin kuat.”

“Tetapi perjalanan kita tentu akan lebih mudah dikenali. Semakin banyak orang yang terlibat, maka akan semakin cepat kehadiran kita diketahui oleh orang-orang yang beraliran sesat itu,” berkata Manggada.

“Bukankah kita belum mengenal kekuatan mereka?” bertanya Ki Wiradadi. “Jika jumlah mereka tidak terlawan, maka itu akan berarti bahwa kita akan terperosok ke dalam kesulitan yang lebih dalam.”

“Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimana jika perjalanan kita merupakan usaha penyelidikan lebih dahulu sebelum kita mengambil langkah-langkah. Justru karena kita belum tahu, seberapa besar kekuatan yang akan kita hadapi. Jika sekiranya kita memang tidak akan mampu mengatasinya, maka kita akan membuat perhitungan lain,” berkata Manggada.

“Apakah kita tidak akan terlambat?” bertanya Ki Wiradadi.

“Memang banyak kemungkinan dapat terjadi, Ki Wiradadi,” sahut Laksana. “Tetapi kita memang harus berhati-hati. Seandainya kita membawa terlalu banyak kawan, maka selain akan mempermudah pengenalan mereka terhadap kita, juga belum tentu bahwa kita akan dapat mengimbangi kekuatan mereka, karena kita memang belum mengetahuinya.”

Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Jika demikian kita harus dengan segera berangkat ke Hutan Jatimalang sesuai dengan petunjuk orang-orang yang tertawan itu. Kemudian kita harus segera membuat rencana yang lebih terperinci.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya Laksana berkata, “Kita berangkat besok. Hari ini kita akan mempersiapkan senjata-senjata yang kita perlukan.”

“Senjata apa?” bertanya Ki Wiradadi.

“Dalam tugas seperti ini, akan lebih berarti bagi kita jika kita mempergunakan senjata-senjata lontar yang kecil,” jawab Laksana. “Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Wiradadi sering mempergunakannya atau tidak.”

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengenal senjata sejenis itu. Tetapi aku tidak memilikinya meskipun ada beberapa buah paser di rumah.”

“Pisau-pisau kecil?” bertanya Laksana.

“Juga tidak ada,” jawab Ki Wiradadi. “Aku hanya mempunyai satu dua.”

Laksana mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Apakah Ki Wiradadi tidak tahu, di manakah kita dapat mencari senjata semacam itu? Apakah Ki Wiradadi tidak mempunyai satu atau dua orang kenalan yang mampu membuat senjata-senjata kecil seperti itu?”

Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Sambil merenung ia berkata, “Mungkin ada. Aku mengenal seorang yang dapat membuat pisau-pisau terbang sebagaimana kau maksud. Juga jenis senjata-senjata kecil yang lain.”

“Kita pergi ke rumah orang itu, Ki Wiradadi,” sahut Laksana. “Tetapi kita harus memberikan kesan, bahwa kita tidak akan segera mempergunakannya. Orang itu tidak boleh menjadi curiga bahwa kita membeli banyak senjata kecil untuk kita pergunakan di hari berikutnya.”

“Aku mengerti,” berkata Ki Wiradadi. Namun iapun kemudian berkata, “Tetapi aku tidak terbiasa mempergunakan senjata seperti itu.”

“Kalau kita bertempur dengan banyak lawan, senjata seperti itu akan sangat berguna,” jawab Laksana.

“Mungkin aku harus melatih diri. Tetapi waktu kita terlalu sempit untuk itu,” berkata Ki Wiradadi.

“Sebaiknya kita lihat dahulu senjata-senjata itu. Apakah kebetulan ada persediaan atau tidak. Jika ada, hari ini Ki Wiradadi akan berlatih. Mungkin juga malam nanti sampai menjelang pagi,” berkata Laksana.

Demikianlah, maka ketiga orang itupun kemudian telah meninggalkan banjar. Seperti dikatakan oleh Ki Wiradadi, maka mereka pergi ke rumah seorang kenalan Ki Wiradadi yang terbiasa membuat senjata-senjata jenis kecil seperti itu.

Orang itu memang bertanya kepada Ki Wiradadi, “Bukan kebiasaan Ki Wiradadi mengambil senjata-senjata kecil dari aku. Bahkan baru kali ini.”

“Aku pernah melakukannya,” jawab Ki Wiradadi.

“Tetapi sudah tentu bukan sesungguhnya,” jawab orang itu. “Beberapa contoh senjata itu tidak berarti apa-apa. Tetapi nampaknya Ki Wiradadi benar-benar akan mengambil seperangkat senjata jenis kecil itu.”

Ki Wiradadi tertawa. Katanya, “Bukan untuk aku. Tetapi Ki Sanak, bagaimana jika seperangkat senjata kecil ternyata mendapatkan pasaran di satu tempat. Apakah dengan demikian setiap pesanan aku akan mendapat bagian?”

“O,” orang itu tertawa pula. Katanya, “Tentu. Tentu. Aku tidak akan melupakan Ki Wiradadi. Jika yang dimaksudkan Ki Wiradadi senjata-senjata jenis kecil itu akan menjadi barang dagangan, maka aku akan mempersilahkan Ki Wiradadi membawa saja setiap jenis seperangkat.”

Ki Wiradadi tertawa. Katanya, “Kami akan membelinya. Kami sendiri akan memiliki sementara mungkin kami dapat menawarkan kepada orang lain.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya. Ki Wiradadi tentu mempunyai hubungan yang luas dengan orang-orang yang bergerak di bidang olah kanuragan.”

Demikianlah, maka Manggada, Laksana dan Ki Wiradadi sendiri memang membeli seperangkat senjata-senjata kecil itu dari jenis pisau belati yang kecil-kecil. Namun Manggada dan Laksana juga membeli sepasang pisau belati yang panjang.

Karena itu, ketika mereka meninggalkan tempat itu, maka Manggada, Laksana dan Ki Wiradadi telah mengenakan ikat pinggang yang penuh dengan pisau-pisau belati kecil mengelilingi lambung. Kemudian di sebelah-menyebelah tergantung dua buah pisau belati panjang yang dapat dipergunakannya sebagai pedang.

Dari tempat itu, ketiganya telah singgah di rumah seorang pembuat busur yang baik. Manggada dan Laksana ternyata memerlukan masing-masing sebuah busur, endong tempat anak panah yang khusus digantungkan di punggung, tidak di lambung.

“Apakah demikian banyak kita membawa senjata?” bertanya Ki Wiradadi.

“Kita akan menjadi pemburu di Hutan Jatimalang. Seandainya tiba-tiba saja kita bertemu dengan mereka, maka mereka akan menyangka bahwa kita sedang berburu,” jawab Manggada.

Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Ia sendiri sudah mempunyai sebuah busur yang baik dan sejumlah anak panah serta endongnya yang juga dibelinya di tempat itu beberapa waktu yang lalu. Tetapi ia benar-benar mempergunakannya untuk berburu.

Dalam pada itu, di sisa hari yang ada, Ki Wiradadi telah belajar mempergunakan senjata-senjata kecil. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kanuragan, maka ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan karena pada dasarnya ia telah mampu mempergunakan. Namun bukan menjadi kebiasaan. Tetapi sesuai dengan pertimbangan kedua anak muda itu, maka senjata-senjata kecil itu ternyata memang dirasa perlu. Apalagi jika mereka harus melawan sekelompok orang dalam jumlah yang besar.

Dari Manggada dan Laksanalah, Ki Wiradadi belajar bagaimana mereka harus mampu menghadapi lawan dalam jumlah yang besar. Bagaimana mereka harus menghindar dan menyerang dengan mempergunakan senjata-senjata kecil itu.

Ketika malam menjadi larut maka merekapun berhenti berlatih. Sambil tersenyum Ki Wiradadi berkata, “Ternyata Angger berdua memiliki sesuatu yang sangat berharga bagiku. Meskipun Angger berdua belum mempunyai pengalaman yang cukup luas, namun bekal yang kalian bawa dari perguruan kalian terlalu banyak dibandingkan dengan pengalamanku yang terhitung cukup panjang.”

“Bukan apa-apa, Ki Wiradadi. Dorongan untuk mendapatkan pengalaman telah melibatkan kami dalam beberapa hal yang sebenarnya memang tidak perlu kami campuri. Tetapi kini persoalannya sudah lain. Kami tidak sekedar ingin mendapatkan pengalaman, karena persoalan gadis-gadis yang hilang itu bukan sekedar persoalan-persoalan kecil yang dapat dimanfaatkan. Namun persoalan itu adalah persoalan yang bersungguh-sungguh karena telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, maka kami telah melibatkan diri dengan penuh rasa tanggung jawab,” jawab Manggada.

Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Setiap kali aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, karena aku tidak mempunyai cara lain untuk menyatakannya.”

“Sudahlah,” berkata Manggada. “Setiap orang mempunyai kewajiban serupa itu. Yang kami lakukan juga sekedar memenuhi kewajiban.”

Di sisa malam itu, maka ketiganya sempat beristirahat untuk beberapa saat. Pagi-pagi benar mereka sudah siap untuk berangkat ke Hutan Jatimalang dengan berjalan kaki. Mereka akan memasuki satu lingkungan yang belum pernah mereka datangi. Tetapi mereka sudah mempunyai bekal keterangan dari orang-orang yang telah mereka tahan.

Dalam perjalanan menuju ke Hutan Jatimalang, maka ketiga orang itu berusaha untuk menyesuaikan keterangan orang-orang yang mereka tahan dengan kenyataan yang mereka hadapi. Ternyata bahwa orang-orang itu tidak berbohong.

Namun demikian Ki Wiradadi berkata, “Tetapi siapa tahu, bahwa setelah memasuki Hutan Jatimalang, justru kita masuk ke dalam perangkap.”

“Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi kita harus berhati-hati,” desis Manggada.

“Mungkin kita perlu mengambil jalan lain untuk memasuki hutan itu,” berkata Laksana.

Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Ternyata pikiran anak-anak muda itu cukup cermat, sehingga bersama mereka, Ki Wiradadi merasa cukup mantap.

Demikianlah, maka perjalanan mereka menyelusuri bulak-bulak panjang kadang-kadang memang menarik perhatian. Yang paling nampak pada mereka adalah busur yang besar melintang di punggung, di atas endong yang juga tersangkut di punggung.

Tetapi para petani di sawah memang sudah menduga, bahwa mereka adalah sekelompok kecil pemburu yang akan berburu binatang buas. Namun demikian, arah perjalanan ketiga orang itulah yang menimbulkan persoalan kepada mereka. Arah perjalanan ketiga orang itu adalah menuju ke Hutan Jatimalang.

Orang-orang yang serba sedikit mengetahui tentang hutan itu, menganggap bahwa hutan itu adalah hutan yang sangat wingit. Jalma mara jalma mati, setiap orang yang berani memasuki hutan itu tidak akan dapat keluar lagi dengan selamat.

Seorang petani tua yang sedang beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, duduk di atas sebuah batu yang agak besar, di sebelah isterinya yang mengirim makanan baginya, berhenti meneguk air dingin dari gendinya. Dipandanginya ketiga orang yang lewat dengan panah menjalang di punggung itu. Bahkan orang tua itu tidak dapat menahan keinginannya untuk mengetahui kemana ketiga orang itu pergi, telah bertanya, “Ki Sanak, ke manakah kalian akan berburu?”

Ki Wiradadilah yang menjawab, “Ke Hutan Jatimalang, Kek. Aku dengar di hutan itu banyak terdapat binatang buas yang belum pernah atau jarang sekali diburu oleh pemburu yang manapun.”

“Benar,” jawab orang tua itu. “Tidak ada seorang pemburupun yang berani memasuki hutan itu, Ki Sanak. Nampaknya menjadi kewajiban kami untuk memberikan peringatan kepada siapapun juga yang ingin memasuki hutan itu.”

“Kenapa, Kek?” bertanya Ki Wiradadi.

“Justru terlalu banyak binatang buasnya,” jawab orang tua itu. “Apalagi jika kalian menyeberangi rawa-rawa yang terdapat di hutan itu. Rawa-rawa itu penuh dengan buaya yang tidak kalah buasnya dengan seekor harimau kumbang. Ular-ular raksasa yang bergayutan di pepohonan. Bukankah Ki Sanak tahu, bahwa ular-ular raksasa sering bergayutan?”

“Tahu, Kek. Kami adalah pemburu-pemburu berpengalaman. Ular-ular raksasa biasanya berpegangan pada sebatang dahan dengan ekor dan tajinya. Kemudian kepalanyalah yang terayun-ayun siap menangkap mangsanya,” jawab Ki Wiradadi. “Tetapi di sekitar tempat itu tentu telah terdapat isyarat sehingga kami akan cepat mengenali lingkungan, apakah ada ular raksasa yang sedang lapar atau tidak. Selain isyarat itu, kelengangan hutan, apabila angin membantu, bau ular yang tajam itu akan cepat kita ketahui pula. Karena itu, maka angin ikut pula menentukan keberhasilan dari seorang pemburu.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Rupanya kalian adalah pemburu yang, berpengalaman. Tetapi kami tetap menganjurkan agar kalian membatalkan niat kalian untuk berburu ke Hutan Jatimalang. Bukankah begitu, Nek?”

Isterinya mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia kurang mengerti apa yang dikatakan oleh suaminya. Ki Wiradadi lah yang kemudian berkata, “Terima kasih atas peringatan kakek dan nenek. Tetapi kami ingin mencoba melihat kenapa hutan itu dianggap hutan yang sangat berbahaya bagi para pemburu.”

“Berhati-hatilah, Ki Sanak,” berkata orang tua itu. “Kami sudah mencoba untuk memperingatkan kalian.”

“Doakan saja kami selamat, Kek,” sahut Ki Wiradadi.

Kakek itu termangu-mangu. Namun akhirnya justru ia berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin dikatakannya kepada ketiga orang yang akan pergi ke Hutan Jatimalang itu. Namun nampak kebimbangan di sorot matanya.

Ki Wiradadi melihat kesan itu, sehingga iapun berkata, “Kakek, apakah masih ada yang ingin Kakek katakan?”

Orang tua itu masih saja termangu-mangu. Sekali-sekali ia berpaling kepada isterinya yang juga sudah tua. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak, bukan saja Hutan Jatimalang itu gawat bukan buatan. Tetapi Ki Sanak juga akan melewati satu lingkungan yang mulai terasa gawat sebelum memasuki Hutan Jatimalang itu. Dua padukuhan lagi Ki Sanak akan sampai pada perbatasan antara kademangan ini dengan kademangan sebelah. Di kademangan sebelah Ki Sanak masih akan melihat suasana yang tidak jauh berbeda dengan kademangan ini dan kademangan-kademangan yang lain. Tetapi karena kademangan itu berbatasan dengan sebuah lingkungan yang agak berbeda dengan lingkungan yang lain, maka kademangan itupun telah menunjukkan gejala-gejala yang barangkali tidak terdapat di kademangan yang lain, termasuk kademangan ini.”

Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas semua keterangan Kakek. Kami memang belum pernah memasuki lingkungan Hutan Jatimalang. Tetapi kami adalah pemburu-pemburu yang pernah menjelajahi hutan-hutan yang paling gawat di tanah ini. Mudah-mudahan Jatimalang bukan hutan yang terakhir kami masuki.”

“Mudah-mudahan kalian selamat, Ki Sanak,” berkata kakek tua itu.

“Terima kasih, Kek. Kamipun berharap bahwa kademangan ini lambat laun tidak dijalari gejala-gejala aneh seperti kademangan sebelah yang berbatasan dengan lingkungan yang tidak sewajarnya itu,” berkata Ki Wiradadi yang kemudian katanya pula, “Baiklah, kami minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Pesan Kakek kami perhatikan dengan sungguh-sungguh.”

“Jalan ini adalah jalan yang terbaik kalian tempuh,” berkata kakek tua itu. “Meskipun jalan ini akan melalui beberapa padukuhan yang aku sebutkan memiliki kebiasaan aneh di kademangan seberang dari kademangan berikut.”

Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun iapun bertanya, “Apakah ada jalan lain?”

“Ada beberapa jalan lain. Tetapi tidak lebih jalan setapak yang kadang-kadang sulit dilalui. Licin, berbatu-batu dan ada yang harus melalui daerah rawa-rawa. Meskipun di rawa-rawa yang dangkal itu tidak terdapat buaya, tetapi di rawa-rawa itu terdapat berjenis-jenis ular yang lebih berbahaya dari ular-ular raksasa yang seakan-akan telah memberikan isyarat sebelumnya. Di rawa-rawa itu terdapat ular-ular air yang kecil tetapi bisanya dapat membunuh seseorang dalam waktu yang pendek,” jawab kakek itu.

“Terima kasih, Kek,” jawab Ki Wiradadi sambil melangkah. Katanya pula, “Mudah-mudahan kita bertemu pula. Jika aku mendapat banyak binatang buruan, aku akan memberimu seekor.”

Kakek tua itu tertawa. Katanya, “Berapa ekor kalian ingin mendapatkan binatang buruan? Berapa hari kalian ingin berburu? Jika kau mendapatkan seekor binatang buruan, tetapi kalian masih berusaha mendapatkan yang lain di hari berikutnya, maka binatang buruanmu yang pertama sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi.”

Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kek, jika kami berburu binatang buas dan binatang yang lain, bukan dagingnya yang ingin kami ambil. Tetapi kulitnya. Dan kami dapat mengambil kulitnya di medan perburuan.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dipandanginya saja ketiga orang yang menyandang busur di punggungnya itu berjalan semakin lama semakin jauh. Demikian pula isterinya yang berdiri pula di sampingnya.

“Mudah-mudahan orang itu selamat,” berkata kakek itu.

“Kau tidak mengatakan bahwa di hutan itu banyak berkeliaran hantu penghisap darah?” berkata isterinya.

“Mereka tentu tidak akan percaya. Bagi mereka, yang disebut hantu penghisap darah itu adalah binatang-binatang buas,” sahut kakek tua itu.

“Mudah-mudahan mereka selamat,” desis nenek itu.

Namun sejenak kemudian, keduanya telah kembali duduk di atas batu yang agak besar itu untuk makan dan minum setelah kakek tua itu bekerja di sawah mereka.

Sementara itu, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana berjalan semakin lama semakin jauh. Masih ada padukuhan yang harus mereka lewati. Kemudian sebuah kademangan sebelum mereka memasuki sebuah kademangan yang mempunyai kebiasaan yang agak lain.

Ternyata bahwa keterangan orang tua itu sesuai dengan keterangan tawanan yang telah mereka tangkap dan yang agaknya merasa menyesali atas semua perbuatan mereka.

“Kita memang harus berhati-hati,” berkata Ki Wiradadi

Manggada mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, hatinya mulai berdebar-debar. Sebagai seorang anak muda yang baru keluar dari sebuah penempaan diri, maka pengalamannya memang masih jauh dari cukup untuk menghadapi persoalan-persoalan yang agaknya cukup berat. Sementara Laksana menundukkan kepalanya. Iapun sedang memikirkan tugas yang sedang mereka bebankan di bahunya sendiri.

“Bagaimana menurut pendapat kalian, apakah kita akan memilih jalan ini atau mengambil jalan lain?” bertanya Ki Wiradadi.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berpaling kepada Laksana, “Bagaimana pendapatmu?”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada dalam ia berkata, “Aku tidak tahu, jalan yang manakah yang sebaiknya kita tempuh. Jika kita terperosok ke rawa-rawa, maka seperti dikatakan oleh kakek tua itu, mungkin kaki kita akan dipatuk ular. Dengan demikian, maka kita harus bersiap-siap dengan obat penawar bisa.”

“Jadi menurut pendapatku, kita akan menempuh jalan ini sampai pada suatu saat kita memutuskan untuk mengambil jalan lain. Sebelum memasuki Hutan Jatimalang, maka jalan akan menjadi sempit dan sulit. Aku kira, jalan-jalan yang lainpun akan seperti itu pula. Sehingga kita tidak akan dapat memilih. Pilihan kita tinggal arah dan pertimbangan-pertimbangan lain,” berkata Ki Wiradadi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga mereka harus mengakui, bahwa Ki Wiradadi adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas, sehingga perhitungannya pun tentu lebih masak dari mereka berdua, meskipun bekal mereka lebih banyak. Tetapi mereka memang harus berhati-hati jika mereka memasuki kademangan yang disebutkan sebagai satu lingkungan yang tidak wajar, di sebelah kademangan berikutnya.

“Menurut para tawanan, orang-orang di kademangan itu selalu mencurigai orang yang datang ke tempat mereka,” berkata Manggada.

“Bukankah sesuai dengan ceritera kakek tua itu?” desis Laksana....

Selanjutnya,
Menjenguk Cakrawala Bagian 06