Mas Rara Bagian 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEMUA orang berpaling kearah suara itu. Seorang yang berjalan memauki halaman itulah yang mengatakannya, sementara seorang yang lain menuntun kudanya mendekat.

“Aku sengaja tidak ingin mengejutkan kalian. Karena itu, aku turun dari kudaku pada jarak yang masih agak jauh. Aku terpaksa berlari-lari kecil kemari agar aku tidak terlambat mendengar pembicaraan ini meskipun aku tidak mengira bahwa di sini ada pihak lain yang telah datang lebih dahulu dari aku”

Manggada, Laksana dan Wirantana terkejut ketika melihat wajah orang itu setelah tersentuh cahaya obor di halaman. Orang itu adalah orang yang pernah duduk di sebelah mereka di pendapa rumah persinggahan Mas Rara. Mereka pulalah yang telah memberikan beberapa ekor kuda. Namun agaknya mereka telah menyusul pula perjalanan para prajurit berkuda yang dipimpin oleh Raden Panji sendiri.

“Aku datang berempat. Dua orang kawanku masih berada di luar regol untuk mengatasi kesulitan jika hal itu terjadi“ berkata orang itu selanjutnya “namun agaknya dengan kehadiran beberapa orang prajurit Pajang dari kesatuan yang lain, keadaan akan berubah”

“Siapa kau?“ bertanya Raden Panji.

“Aku adalah tetangga Raden Panji“ jawab orang itu “tetapi mudah-mudahan Ki Tumenggung Purbarana masih mengenal aku”

Ki Tumenggung Purbarana termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang mengenakan pakaian sebagaimana orang kebanyakan dalam keremangan cahaya obor.

Orang itu tersenyum sambil berkata “Aku juga prajurit Pajang. Aku Panji Wiratama”

“O“ Ki Tumenggung Purbarana mengangguk-angguk “Maaf adhi, aku memang agak lupa. Sudah agak lama kita tidak bertemu”

“Sejak aku mendapat tugas dalam lingkungan prajurit sandi“ jawab Panji Wiratama. Lalu katanya ”Nah, dalam rangka tugas sandiku, aku diperintahkan mengawasi tugas Raden Panji Prangpranata. Beberapa laporan telah sampai ke Pajang tentang tingkah lakunya. Sebenarnya aku tidak perlu terlibat langsung dalam tindakan kewadagan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat nasib gadis yang bernama Mas Rara itu. Ia mempunyai kelainan dengan isteri Raden Panji sebelumnya. Agaknya gadis itu tidak pantas mengalami nasib yang buruk karena tingkah laku Raden Panji”

“Cukup“ teriak Raden Panji Prangpranata “aku tahu. Kalian semua ternyata telah sepakat untuk menjatuhkan namaku. Agaknya kalian merasa iri hati akan keberhasilanku serta kepercayaan yang aku terima dari Kangjeng Sultan di Pajang. Nah, sekarang sekali lagi aku perintahkan kalian untuk pergi atau kalian akan aku hancurkan disini atas nama Kangjeng Sultan Pajang”

“Raden Panji“ berkata Panji Wiratama “sudahlah. Aku mohon Raden Panji bersedia meninjau kembali segala tingkah laku Raden Panji. Sementara itu Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari juga membawa pertanda kuasa Sultan Pajang. Akupun memiliki pertanda tugas sandiku. Karena itu bukankah tidak baik terjadi benturan kekerasan antara kekuatan Pajang sendiri, sementara Pajang baru berusaha untuk menyusun diri menjadi negara yang besar”

“Aku tidak memperdulikan sesorahmu” bentak RadenPanji Prangpranata.

“Aku sudah cukup lama tinggal menjadi tetangga Raden Panji. Aku adalah saksi yang akan dapat mengatakan segala tingkah laku Raden Panji yang tidak terpuji bersama orang-orang yang bertugas bersamaku. Tetapi jika Raden Panji bersedia mengerti, maka sudah tentu aku tidak akan sampai hati menjerumuskan Raden Panji ke dalam kubangan yang dalam dan kotor. Apalagi aku tahu bahwa Raden Panji adalah orang yang pernah berjasa disini meskipun dengan cara yang agak kasar menghadapi para penjahat“ berkata Panji Wiratama kemudian.

Tetapi agaknya Raden Panji Prangpranata tidak mau mendengarkan kata-kata Panji Wiratama maupun Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari yang berusaha untuk mencari penyelesaian dengan cara yang lebih baik dari kekerasan.

Bahkan kemudian Raden Panji itu berkata kepada para prajuritnya “He anak-anak. Bersiaplah. Kalian harus bermain-main lagi. Tidak dengan para prajurit yang sering merampok dan menyamun. Tetapi dengan prajurit-prajurit Pajang sendiri yang ternyata tidak tahu paugeran dan dengan sengaja melanggar hak dan wewenangku. Tunjukkan kepada mereka bahwa kalian adalah prajurit-prajurit Pajang terpilih yang sudah berbilang tahun mengarungi medan demi medan menghancurkan kelompok-kelompok penjahat didaerah ini. Ingat siapa aku. Aku adalah orang yang paling banyak memberikan hadiah kepada prajurit-prajuritku. Tetapi aku juga orang yang tidak segan-segan menghukum prajurit-prajurit yang tidak berbuat sebaik-baiknya dalam pertempuran, apalagi dihadapanku”

Para prajurit Raden Panji memang menjadi berdebar-debar. Mereka sadar, bahwa Raden Panji berkata sesungguhnya. Jika mereka tidak baik menurut penilaian Raden Panji, maka mereka tentu benar-benar akan dihukum. Hukuman yang pernah diberikan oleh Raden Panji kepada prajurit-prajuritnya memang tidak tanggung-tanggung. Karena itu, apapun yang terjadi, maka para prajurit Raden Panji itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Tiga dari tujuh prajurit yang melepaskan Mas Rara ketika mereka mengejar sesaat setelah Mas Rara meninggalkan pedukuhan Raden Panji, ada diantara para prajurit yang mengiringi Raden Panji itu. Agaknya yang lain mendapat perintah untuk menjaga para tawanan yang belum sempat mendapat perlakuan khusus dari Raden Panji karena kesibukannya mengurus Mas Rara.

Ki Tumenggung Purbarana memang menjadi sedikit cemas menghadapi perkembangan keadaan Raden Panji memang sulit diajak berbicara seperti telah dikatakan oleh anak-anak muda yang menyelamatkan Mas Rara dari tangan Raden Panji. Karena itu, maka Ki Tumenggung Purbaranapun telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya.

Bahkan Panji Wiratama pun berkata kepada kawannya “Panggil kedua kawanmu”

Orang itupun mengangguk. Kemudian iapun telah bergeser menuju ke regol halaman. Berapa saat kemudian, maka dua orang menuntun kudanya memasuki halaman itu, langsung mengikat kuda mereka ditepi didekat kedua ekor kuda yang lain. Halaman rumah Ki Partija Wirasentana itu telah dicengkam ketegangan. Setiap orang telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sementara tangan para prajurit itupun telah berada di hulu senjata mereka masing-masing. Mereka ternyata akan berhadapan dengan semua prajurit Pajang sendiri, sehingga dengan demikian maka pertempuranpun akan menjadi pertempuran yang paling mendebarkan diri berbagai macam pertempuran yang pernah mereka alami melawan para penjahat dan perampok.

Dalam pada itu dengan suara yang bergetar Raden Panji berkata lantang. “Anak-anak, tugas kalian adalah mengambil perempuan liar yang telah berkhianat itu. Siapa yang mencoba menghalangi, singkirkan dengan cara sebagaimana kalian lakukan terhadap para penjahat, karena sebenarnyalah setiap orang yang menghalangi tugasku disini, aku perlakukan sebagai para, penjahat”

Wajah Ki Tumenggung Purbarana menjadi tegang. Dengan lantang iapun berkata “Aku masih memperingatkan kau sekali lagi Panji Prangpranata” Suara Ki Tumenggung memang berubah. Ia tidak lagi tersenyum dan berbicara dengan suara yang lembut.

Tetapi jawab Raden Panji “Kesempatan terakhir bagimu Tumenggung Purbarana. Tinggalkan tempat ini”

Namun suara Panji Wiratama tidak lebih garangnya “Aku berhak menangkapmu berdasarkan tugas dan wewenangku”

“Setan kau“ teriak Raden Panji “singkirkan orang itu. Dengar perintahku. Ambil prempuan pengkhianat itu. Siapa menghalangi, patahkan lehernya”

Pertempuran memang tidak dapat dicegah. Beberapa orang prajurit mulai bergerak. Sementara Raden Panji masih berteriak. ”Masuk ke dalam rumah itu. Cari sampai ketemu. Ia menjadi penyebab peristiwa ini. Jika ada seorang saja diantara prajuritku yang kulitnya tergores senjata, maka hukuman bagi perempuan itu akan berlipat ganda. Ia akan mengalami hukuman picis. Hukuman picis yang pertama yang aku berikan kepada seorang perempuan.

Pertempuran memang tidak dapat dicegah. Beberapa orang prajurit Pajang di bawah perintah Raden Panji Prangpranata telah berusaha naik ke pendapa, menuju ke pintu pringgitan. Tetapi para prajurit yang datang bersama-sama Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari telah mencegah mereka.

Sementra itu, Ki Partija Wirasentana sendiri menjadi bingung. Wirantana yang gelisah menjadi termangu-mangu. Manggada ternyata masih sempat berpikir dan berkata kepada Wirantana. “Bawa ayahmu masuk. Lindungi adikmu yang ada di dalam. Jika ada orang yang sempat menyusup”

“Baik. Aku dan ayah akan melindungi Mas Rara“ berkata Wirantana. Ia pun segera berlari mendekati ayahnya sambil berkata “Marilah. Lindungi Mas Rara”

Ki Partija seperti orang yang terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Sementara itu Wirantana telah menariknya naik ke pendapa dan masuk keruang dalam. Di ruang dalam Mas Rara dan ibunya duduk gemetar saling berpelukan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di luar. Mereka hanya mendengar orang-orang saling membentak. Tetapi Mas Rara tidak tatu pasti, apakah yang mereka katakan selain teriakan Raden Panji untuk menghukumnya. Ia tidak mendengar jelas penjelasan Raden Puspasari tentang dirinya.

Keduanya terkejut sekali ketika pintu tiba-tiba terbuka. Tetapi jantung mereka bagaikan disiram setitik embun ketika mereka melihat Wirantana dan Ki Partija Wirasentana yang masuk ke ruang dalam.

“Aku akan menemani kalian“ berkata Ki Partija.

Wirantana pun kemudian berdiri selangkah di sebelah adiknya. Sekilas ia sempat memandang wajah yang basah itu. Baru ia menyadari, bahwa wajah gadis itu memang lain dari wajahnya sendiri. Lain dari wajah ibunya dan lain dan wajah ayahnya.

“Ternyata ia seorang gadis asing“ desisnya.

Ki Partija Wirasentana pun kemudian telah memungut senjatanya dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, di luar telah terjadi pertempuran yang sengit. Kedua belah pihak memiliki ketangkasan yang seimbang. Prajurit Raden Panji adalah prajurit yang untuk beberapa lamanya menjelajahi arena pertempuran melawan para penjahat, sementara para prajurit yang datang bersama Ki Tumenggung Purbarana adalah prajurit pilihan.

Manggada dan Laksana tidak dapat tinggal diam. Keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran melawan prajurit Raden Panji yang garang. Prajurit yang terbiasa bertempur dengan keras dan kasar menghadapi para perampok dan penjahat di daerah yang lain, yang harus mereka amankan.

Tetapi Manggada dan Laksana pun memiliki bekal yang cukup. Mereka memiliki landasan ilmu yang mereka sadap dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Meskipun belum begitu banyak, tetapi keduanya memiliki pengalaman yang keras pula.

Raden Panji Prangpranata sendiri adalah seorang Senapati perang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia telah berhasil menguasai satu daerah yang luas selama ia bertugas. Kekuasaannya seakan-akan tidak terbatas, karena kecuali Raden Panji sendiri seorang yang berilmu tinggi, iapun memiliki kekuatan. Sepasukan prajurit Pajang yang tangguh. Sehingga untuk beberapa lama Raden Panji merasa bahwa ia adalah orang yang dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya. Siapa yang mencoba untuk menentangnya dengan tanpa kesulitan telah disingkirkan. Bahkan jika dianggap perlu disingkirkan untuk selama-lamanya.

Raden Panji Prangpranata memang tidak saja berkuasa untuk menentukan satu kebijaksanaan. Tetapi iapun merasa mempunyai wewenang untuk menghukum orang yang dianggapnya bersalah tanpa dapat dibatalkan oleh orang lain. Bahkan iapun merasa tidak perlu untuk mendengar pendapat orang lain apabilaia sendiri sudah menganggap perlu untuk mengambil keputusan.

Namun dalam pada itu, di halaman rumah Ki Partija itu, ia telah bertemu dengan seorang Senapati yang juga seorang pilihan. Ki Tumenggung Purbarana yang dengan sengaja telah menempatkan diri menghadapi langsung Raden Panji Prangpranata.

Beberapa orang prajurit Raden Panji dengan cepat telah bergerak ke segala celah-celah halaman. Mereka yang sudah untuk waktu yang lama mengikuti segala perintah Raden Panji itupun menjadi sangat garang pula. Satu dua orang prajurit memang berusaha untuk menembus pertahanan dan memasuki rumah lewat seketheng. Namun para prajurit Pajang yang datang bersama Ki Tumenggung Purbarana telah menyebar. Sementara Manggada dan Laksana telah ikut pula menghadapi para prajurit yang berusaha memasuki seketheng sebelah kiri.

Sementara itu Panji Wiratama telah melibatkan diri pula dalam pertempuran itu. Sebagai seorang petugas sandi, Panji Wiratama telah ditempa dengan ilmu kanuragan, sehingga ia sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi prajurit-prajurit Raden Panji Prangpranata yang berpengalaman luas.

Raden Puspasari yang mendapat tugas untuk menjemput Mas Rara itu memang termangu-mangu sejenak. Bukannya karena ia menjadi cemas menghadapi pertempuran itu, tetapi pertempuran itu sama sekali tidak dikehendakinya. Namun ia tidak banyak dapat berbuat sesuatu menghadapi seseorang yang keras seperti Raden Panji Prangpranata, yang merasa dirinya orang yang paling berkuasa.

Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka Raden Puspasari telah naik kependapa. Dengan jantung yang berdebaran ia melihat seluruh arena di halaman itu. Bahkan satu dua orang prajurit telah bertempur di pendapa itu pula.

Mereka adalah prajurit-prajurit Raden Panji yang ingin menerobos memasuki pintu pringgitan untuk mengambil Mas Rara, namun telah dihentikan dan dihadapi oleh para prajurit Pajang yang datang bersama-sama dengan Raden Puspasari itu.

Dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Raden Puspasari sempat melihat Manggada dan Laksana yang sedang bertempur. Dengan kening yang berkerut, Raden Puspasari melihat, bahwa kedua anak muda itu ternyata mampu mengimbangi kemampuan para prajurit Pajang. Mereka sama sekali tidak mengalami banyak kesulitan untuk mempertahankan dirinya. Tangannyapun dengan tangkas mempermainkan pedang.

“Anak-anak muda yang berani“ berkata Raden Puspasari di dalam hatinya “agaknya tidak banyak dari antara anak-anak muda yang berani mengambil sikap seperti mereka. Di saat Raden Panji berada dalam puncak kekuasaannya, mereka berani mengambil langkah yang dapat membahayakan hidup mereka untuk melindungi Mas Rara yang diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Raden Panji”

Sementara itu Manggada dan Laksana memang sedang bertempur dengan sengitnya. Masing-masing menghadapi seorang prajurit yang terlatih dengan baik dan berpengalaman luas. Namun kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Apalagi mereka sadar, bahwa langkah-langkah yang diambilnya ternyata mendapat sandaran yang mapan. Justru seorang Tumenggung dari Pajang bersama pasukan kecilnya.

Manggada dan Laksana memang telah mengambil jarak. Mereka menahan dua orang prajurit yang akan menyelinap lewat seketheng untuk masuk ke dalam rumah melalui pintu-pintu butulan atau pintu samping. Jika kedua orang prajurit itu berhasil masuk dan menguasai Mas Rara, maka segala bentuk perlawanan memang harus dihentikan, karena jiwa Mas Rara tentu akan terancam.

Namun Manggada dan Laksana memang berhasil menahan kedua orang prajurit itu. Dengan ketangkasannya, kedua anak muda itu telah membuat kedua orang prajurit yang bertempur melawannya menjadi heran Kedua orang prajurit yang bertempur melawan Manggada dan Laksana itu pernah melihat keduanya ketika Raden Panji mengunjungi bakal isterinya di rumah yang telah disediakan baginya.

Tetapi berbeda dengan para prajurit yang menjemput Mas Rara dari rumahnya dan harus bertempur melawan orang-orang yang telah diupah oleh paman Mas Rara sendiri untuk mencegahnya, mereka belum pernah melihat kemampuan kedua anak muda itu.

Meskipun mereka mendengar bahwa kedua anak muda itu pernah menolong Mas Rara ketika gadis itu hampir diterkam seekor harimau, serta ceritera beberapa orang kawannya bahwa kedua anak muda itu telah mempertaruhkah nyawanya di saat Mas Rara dijemput dari rumahnya, namun mereka tidak mengira bahwa kedua anak muda itu mampu mengimbangi mereka, prajurit yang berpengalaman.

Karena itu, maka kedua orang prajurit itupun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya. Seorang diantara mereka berkata. “Anak-anak muda. Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau bukan sanak bukan kadangnya. Jika perlawanan ini dilakukan oleh kakaknya, maka hal itu masih dapat dimengerti. Tetapi kau bukan. Karena itu, kami memberi kesempatan kepada kalian berdua untuk melarikan diri jika kalian ingin selamat”

“Terima kasih” jawab Manggada “tetapi sebagaimana kau dengar, ternyata gadis itu bukan sekedar anak Ki Partija Wirasentana. Tetapi ia adalah seorang gadis yang seharusnya tidak berada di padukuhan. Ia seorang gadis bangsawan”

“Siapapun gadis itu, tetapi segala sesuatunya harus dikembalikan kepada kekuasaan yang ada di daerah ini. Yang berkuasa adalah Raden Panji Prangpranata“ berkata prajurit itu.

“Bukan berarti Raden Panji dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan tatanan yang berlaku di Pajang. Raden Panji bukan Sultan Pajang yang berlaku di Pajang yang berhak dan berwenang membuat paugeran sekehendak hatinya“ jawab Manggada.

“Kau anak yang sombong“ geram prajurit itu. “Jika kau sia-siakan kesempatan ini, maka kau akan menyesal. Jika kau tidak terbunuh dalam pertempuran ini, maka kau akan mendapat hukuman pula dari Raden Panji. Jika kau tahu, Raden Panji tidak pernah ragu-ragu menghukum orang yang dianggapnya bersalah."

“Tetapi Kangjeng Sultan Pajang pun tidak akan ragu-ragu menghukum Raden Panji dengan kesewenang-wenangannya meskipun ia pernah berjasa dalam tugasnya yang besar dan berat”

“Persetan kalian“ geram prajurit yang seorang lagi. Kalian memang ingin mati. Jangan kau kira, bahwa keberhasilanmu membunuh seekor harimau akan dapat menolongmu menghadapi senjata kami. Dengan membunuh seekor harimau kalian telah menjadi kehilangan akal. Kepalamu menjadi besar dan tidak tahu diri”

Namun Laksana yang menjawab ”Kita buktikan saja. Kepala siapa yang besar sekarang ini”

Prajurit itu menjadi merah. Dengan serta merta ia telah meloncat dengan menjulurkan senjatanya kearah dada. Tetapi dengan tangkas Laksana telah menangkisnya, sehingga ujung senjata itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan Laksana sempat memutar pedangnya dan seolah-olah menggeliat dengan cepat, sehingga sabetan mendatar justru telah memaksa prajurit itu meloncat surut.

Pertempuran itupun kemudian telah menjadi semakin sengit. Para prajurit itu memperlakukan kedua anak muda itu seperti para perampok dan penjahat lainnya. Merekalah yang mulai bertempur dengan kasar, keras dan tidak terkendali.

Namun Manggada dan Laksana tidak menjadi kehilangan akal. Mereka telah pernah bertempur melawan orang-orang yang lebih keras dan lebih kasar dari para prajaurit itu.

Raden Puspasari menarik nafas dalam-dalam. Namun ia harus bergeser ke samping ketika seorang prajurit menyerangnya dengan tiba-tiba. Namun seorang prajurit Pajang yang datang bersamanya telah menempatkan diri melawan prajurit itu.

Sementara itu, Raden Panji Prangpranata yang bertempur melawan Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin keras pula. Ternyata Raden Panji memang seorang yang berilmu tinggi. Dengan tangkas ia berloncatan di seputar lawannya. Meskipun Raden Panji itu nampaknya sudah mendekati usia lanjutanya.

Namun ia masih seorang Senapati yang pilih landing. Tubuhnya yang tua itu masih mampu melenting dengan ringannya, seakan-akan tidak digantungi bobot sama sekali. Senjatanya berputaran dengan cepatnya. Sekali mematuk, dan dikesempatan lain terayun dengan derasnya.

Tetapi lawan yang dihadapi adalah Ki Tumenggung Purbarana. Seorang Tumenggung yang pilih tanding. Selain tubuhnya yang meyakinkan, Ki Tumenggung pun memiliki bekal ilmu yang tinggi. Sebagai seorang Senapati perang, maka Ki Tumenggung memiliki pengalaman yang tidak kalah luasnya dari Raden Panji Prangpranata. Meskipun Raden Panji memiliki kecepatan gerak yang tinggi, tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak menjadi bingung.

Sementara itu, di ruang dalam, Ki Partija Wirasentana dan Wirantana menunggui Mas Rara dengan jantung yang berdebar-debar. Namun tidak ada niat mereka untuk meninggalkan ruangan itu dan untuk selanjutnya mengungsi ke tempat lain. Di halaman sudah terlanjur terjadi pertempuran. Karena itu, keduanya justru tidak lagi merasa takut kepada Raden Panji Prangpranata. Apalagi ada beberapa orang saksi yang juga datang dari Pajang.

Yang menjadi sangat gelisah adalah Raden Puspasari. Ia sama sekali tidak menghendaki pertempuran seperti itu terjadi. Namun iapun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Raden Panji Prangpranata sama sekali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Ia menganggap bahwa kebenaran itu hanya ada pada dirinya.

Dengan jantung yang berdebaran, Raden Puspasari menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Bahkan korban telah mulai jatuh. Beberapa orang prajurit telah terluka.

Namun Raden Panji sendiri tampaknya tidak begitu menghiraukannya. Ia bertempur dengan garangnya. Namun lawannyapun seakan-akan telah kehabisan pola. Raden Panji yang selalu berhasil menghancurkan lawannya dalam tugasnya di daerah itu, kini telah membentur kekuatan yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Gegedug yang paling garang sekalipun tidak membuatnya mengalami kesulitan. Namun Ki Tumenggung Purbarana justru mulai membuatnya gelisah. Apalagi ketika terasa bahwa Ki Tumenggung Purbarana mulai menekannya.

Dalam pada itu, para prajurit Raden Panji pun mulai mengalami kesulitan. Lawan-lawan mereka ternyata memiliki kelebihan yang sulit mereka atasi. Para prajurit yang berada di bawah perintah Ki Tumenggung Purbarana memang tidak lebih baik dari para prajurit Raden Panji Prangpranata, sehingga diantara mereka terdapat keseimbangan. Tetapi para prajurit yang harus bertempur melawan Panji Wiratama dan kawan-kawannya dari prajurit sandi Pajang, harus memeras tenaganya untuk dapat mengimbangi mereka.

Bahkan prajurit-prajurit yang harus bertempur dengan anak-anak muda yang pernah menolong Mas Rara dari cengkeraman kuku-kuku seekor harimau itupun telah mengalami kesulitan pula. Manggada dan Laksana ternyata memiliki bekal yang cukup tinggi untuk melawan para prajurit Pajang, meskipun para prajurit Pajang itu memiliki pengalaman yang sangat luas. Dengan demikian, semakin lama semakin terasa bahwa Raden Panji Prangapranata dan para prajuritnya menjadi semakin terdesak.

Tetapi karena hal seperti itu belum pernah terjadi selama ia bertugas di daerah yang luas itu, maka Raden Panji masih saja tidak mau mengakui kekalahan yang perlahan-lahan mencengkamnya. Bahkan dengan lantang Raden Panji itu masih meneriakkan aba-aba untuk menghancurkan lawannya.

“Bunuh semua orang yang tidak mau menyerah“ teriak Raden Panji Prangpranata “jangan takut. Aku mempunyai pertanda kuasa dari Sultan Pajang”

Namun para prajuritnya yang tidak pernah gagal melaksanakan perintah Raden Panji itu mulai menjadi gelisah. Yang mereka hadapi bukan para perampok dan para penjahat, yang harus mereka bunuh jika tidak mau menyerah. Tetapi yang mereka hadapi adalah prajurit-prajurit Pajang. Orang-orang yang memiliki kemampuan setidak-tidaknya setingkat dengan mereka. Bahkan beberapa orang diantara mereka memiliki kelebihan yang sulit diimbangi.

Ki Panji Wiratama ternyata dengan cepat menekan lawannya. Tidak ada niat sama sekali untuk membunuh sesama prajurit Pajang. Namun Panji Wiratama tidak dapat berbuat lain untuk menghentikan perlawanan prajurit Pajang itu tanpa melukainya.

Sebenarnyalah, prajurit yang melawan Panji Wiratama itu sulit untuk dapat melindungi dirinya sendiri dari serangan-serangan yang membingungkan. Karena itu, maka prajurit itu meloncat surut ketika senjata Panji Wiratama menyentuh pundak.

Tetapi Panji Wiratama tidak melepaskannya. Demikian prajurit itu berdiri tegak, maka ujung senjata Panji Wiratama telah memburunya. Seleret lukapun kemudian tergores di dada prajurit itu. Prajurit itu mengaduh terlahan Namun terasa betapa pedihnya luka di pundak dan di dadanya.

Ternyata Panji Wiratama tidak melepaskannya. Selagi orang itu berusaha memperbaiki keadaannya, maka kaki Panji Wiratama-lah yang menghantam lambungnya, sehingga perutnya terasa mual. Selagi orang itu terbongkok-bongkok menahan sakit di lambungnya, maka Panji Wiratama telah mengetuk tengkuk orang itu dengan sisi telapak tangannya. Orang itupun jatuh menelungkup. Bahkan langsung menjadi pingsan.

Prajurit yang lain sempat melihat apa yang terjadi atas kawannya itu. Ternyata Panji Wiratama tidak mengetuk leher kawannya itu, maka leher prajurit itu akan dapat terpenggal karenanya.

Semakin lama keadaan para prajurit Raden Panji menjadi semakin sulit. Tetapi Raden Panji tidak mau mengakui kenyataan itu. Ia masih menuntut kemenangan sebagaimana setiap terjadi benturan antara para prajuritnya dengan para perampok dan penjahat. Bahkan setiap kali Raden Panji masih mengulangi perintahnya.

“Bunuh yang tidak mau menyerah...”

Tetapi tidak seperti yang selalu terjadi, maka para prajuritnya tidak dapat melakukan perintah itu. Bahkan Raden Panji sendiri telah mengalami kesulitan menghadapi lawannya, Ki Tumenggung Purbarana.

Raden Puspasari sendiri memang tidak terlibat dalam pertempuran itu. Hanya sekali-sekali ia harus menghindar jika datang serangan tiba-tiba. Namun para prajuritnya selalu berusaha untuk melindunginya. Dalam kecemasan Raden Puspasari ternyata tertarik sekali kepada Manggada dan Laksana yang dengan tangkas mengimbangi para prajurit yang menjadi lawan mereka.

Meskipun keduanya bukan prajurit dan umurnya masih terhitung sangat muda, namun keduanya nampak tangkas dan cekatan. Keduanya sama sekali tidak mencemaskan, meskipun keduanya harus melawan prajurit-prajurit yang berpengalaman. Bahkan sekali-sekali kedua anak muda itu berloncatan dengan cepatnya, sehingga lawannya menjadi kebingungan. "Seperti anak kijang yang bermain-main di rerumputan“ desis Raden Puspasari.

Sementara itu, keadaan Raden Panji Prangpranata bersama para prajuritnya menjadi semakin sulit. Semakin lama semakin banyak orang-orangnya yang terluka, sehingga tidak mampu lagi memberikan perlawanan yang berarti. Meskipun pada kedua belah pihak nampaknya tidak dibakar oleh nafsu untuk saling membunuh, namun bagaimanapun juga di dalam pertempuran yang sengit, kemungkinan itu akan dapat terjadi.

Raden Panji sendirilah yang selalu berteriak-teriak untuk membunuh lawan yang tidak mau menyerah. Namun Raden Panji beberapa kali harus berloncatan surut untuk memperbaiki keadaannya yang semakin sulit.

Pada saatnya, maka Ki Tumenggung Purbarana yang berteriak-teriak “Raden Panji. Sebagai seorang Senopati kau harus mampu menilai keadaan medan. Menyerahlah. Selagi kita masih dikendalikan oleh penalaran kita. Jika perasaan mulai menguasai otak kita, maka keadaan tentu akan lain”

“Setan kau Purbarana“ geram Raden Panji yang benar-benar tidak man melihat kenyataan itu ”siapapun yang menentang kuasaku di sini, akan aku hancurkan sampai lumat.”

“Kau jangan kehilangan akal Raden Panji“ sahut Ki Tumenggung Purbarana “Aku akan memberimu kesempatan untuk menilai pertempuran ini dalam keseluruhan”

Tetapi Raden Panji justru meloncat menyerang dengan garangnya. Ki Tumenggung Purbarana bergeser mengelak. Namun senjatanya telah berputar mematuk tubuh Raden Panji. Tetapi ternyata Raden Panji yang tangkas itu masih sempat menggeliat. Bahkan dengan cepat senjatanya terayun menyambar kearah kening Ki Tumenggung.

Ki Tumenggung dengan cepat mengangkat senjata menangkis serangan Raden Panji itu. Dengan demikian, kedua senjata itupun telah berbenturan. Masing-masing dengan mengerahkan segenap kekuatannya. Raden Panji mengumpat sejadi-jadinya. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Namun ia masih sempat mempertahankannya meskipun tangannya terasa menjadi pedih.

Sambil meloncat mundur tiba-tiba saja ia berteriak “Jangan hiraukan yang lain. Ambil perempuan pengkhianat itu. Aku hanya memerlukan perempuan itu. Siapa yang menghalangi, bunuh saja di tempat”

Tetapi tidak seorangpun yang dapat melakukannya. Selain mereka masih harus bertempur, merekapun tidak akan mampu melakukannya. Di ruang dalam, Mas Rara mendengar teriakan Raden Panji itu. Dengan gemetar ia telah memeluk ibunya, sementara Wirantana berkata.

“Jangan takut, ayah dan aku ada di sini...”

Tetapi Mas Rara memang menjadi ketakutan. Apalagi ia tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di pendapa dan di halaman depan rumahnya. Dalam pada itu, seakan-akan seluruh padukuhan menjadi ketakutan. Satu dua orang yang mendengar keributan itu dan keluar dari rumahnya, menjadi berdebar-debar.

Satu dua orang itu mencoba untuk melihat apa yang terjadi di halaman rumah Ki Partija. Tetapi demikian mereka melihat sebuah pertempuran yang sengit, maka merekapun telah pergi menjauh. Beberapa orang yang lain yang ingin melihat keadaan, telah diberitahu tentang apa yang telah terjadi.

“Apa, yang sebenarnya terjadi di rumah itu?“ desis seseorang.

“Kita tidak tahu. Ada dua pasukan yang datang ke rumah itu. Namun ternyata kedua pasukan itu telah bertempur”

Dengan demikian, meskipun seakan-akan seisi padukuhan itu telah terbangun, namun mereka tidak berani mendekat rumah Ki Partija Wirasentana. Meskipun ada niat diantara mereka untuk membantu jika ada kesulitan yang terjadi. Tetapi mereka tidak akan dapat melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit. Merekapun tidak tahu kepada siapa mereka harus berpijak.

Karena itu, mereka hanya dapat mengikuti pertempuran itu dari jarak yang agak jauh, dengan jantung yang berdebar-debar. Namun demikian, pintu setiap rumah telah ditutup rapat-rapat. Nyala lampu diperkecil dan perempuan-perempuan memeluk anak-anak mereka semakin erat. Seorang anak laki-laki merengek mencari ayahnya. Dengan susah payah ibunya membujuknya agar anak itu diam.

“Ayah sedang meronda ngger. Tidurlah. Masih malam“ bisik ibunya dengan suara yang gemetar.

Sebenarnyalah hampir setiap laki-laki memang keluar dari rumahnya dan berpesan agar isterinya menyelarak pintu rapat-rapat. Yang tidak mendengar keributan telah diketuk pintunya oleh tetangga-tetangganya dan dimintainya keluar rumah, meskipun di luar rumah mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Pertempuran di halaman rumah Ki Partija masih saja berlangsung. Tidak ada tanda-tanda bahwa Raden Panji akan menyerah, meskipun orang-orangnya semakin terdesak. Beberapa orang justru telah terluka. Dan beberapa saat kemudian Raden Panji sendiri telah tergores ujung senjata pula. Meskipun lukanya tidak dalam dan tidak mempengaruhi kemampuannya, tetapi pakaiannya telah terkoyak lebar.

Dalam pada itu, Raden Puspasari akhirnya menjadi tidak sabar lagi. Ia pun mulai menyingsingkan kain panjangnya. Sikap Raden Panji menurut Raden Puspasari telah melampaui batas wewenangnya, sementara ia tidak mau mendengarkan pendapat orang lain sama sekali.

“Orang yang semula dianggap berjasa itu ternyata telah menjadi mabuk kekuasaan!“ berkata Raden Puspasari di dalam hatinya. Namun katanya kemudian kepada dirinya sendiri. “Apa boleh buat. Aku akan mengambil alih orang itu. Aku harus benar-benar sampai hati untuk melumpuhkannya. Biarlah Ki Tumenggung Purbarana menyelesaikan para prajuritnya”

Tetapi ketika Raden Puspasari melangkah ke tangga pendapa, ia terkejut karenanya. Raden Puspasari telah mendengar derap kaki kuda mendekati halaman rumah Ki Partija Wirasentana. Karena itu, ia urung turun ke halaman. Dengan berdebar-debar Raden Puspasari menunggu siapa yang telah datang itu. Mungkin prajurit-prajurit Raden Panji yang menyusul. Mungkin orang lain. Atau siapapun.

Ternyata tidak hanya derap beberapa ekor kuda mendekati pintu gerbang halaman. Namun mereka masih saja terikat dalam pertempuran, sehingga mereka tidak dapat memperhatikannya dengan seksama. Tetapi derap kaki kuda itu telah menyentuh setiap jantung yang ada di halaman rumah Ki Partija dan sedang bertempur itu.

Beberapa saat kemudiam, beberapa ekor kuda muncul dari luar regol. Dua orang dalam pakaian perwira tinggi Pajang, diikuti oleh lima orang prajurit pengawal. Bahkan menilik pakaiannya, mereka adalah prajurit khusus bagian dari Wiratamtama.

Demikian mereka berada di halaman, maka pertempuran itupun seakan-akan telah berhenti. Beberapa orang yang sedang bertempur itu telah berloncatan surut mengambil jarak. Bahkan Raden Panji pun telah meloncat menjauhi Ki Tumenggung Purbarana sambil berteriak,

“Siapa lagi yang datang ke halaman rumah pengkhianat ini? Jika kalian prajurit Pajang, maka kewajiban kalian adalah melaporkan kehadiran kalian kepada kami. Pasukan yang telah mendapat wewenang untuk memelihara keamanan di daerah ini”

Dua orang perwira yang masih duduk dipunggung kudanya itu tidak segera menjawab. Mereka memandang berkeliling halaman. Sekali-sekali mereka mengusap keringat di kening. Ketujuh orang itu nampak letih. Demikian pula kuda-kuda mereka. Namun ketika mereka bergerak lebih dekat dan mulai disentuh oleh cahaya lampu minyak di pendapa, maka orang-orang yang ada di halaman itupun terkejut.

Raden Puspasarilah yang pertama-tama menyebut namanya. “Paman Wilamarta!”

Orang yang disebut namanya itu memandang ke pendapa. Dengan nada rendah ia berdesis. “Raden sudah berada di sini,”

“Ya. Aku mendapat tugas bersama Ki Tumenggung Purbarana“ jawab Raden Puspasari.

“Tetapi apa yang telah terjadi di sini?“ bertanya Ki Wilamarta.

Raden Puspasari pun kemudian turun dari pendapa. Sementara Ki Wilamarta dan para pengiringnyapun meloncat turun dari kudanya. Sambil mendekati Ki Wilamarta Raden Puspasaripun berkata. “Silahkan Ki Wilamarta bertanya kepada Raden Panji Prangpranata.”

Ki Wilamarta mengerutkan keningnya. Dipandanginya Raden Panji Prangpranata, Beberapa langkah Ki Wilamarta maju mendekat.

Sebelum Ki Wilamarta bertanya, Raden Panji telah berkata. ”Selamat datang di daerah tugasku Ki Wilamarta”

Ki Wilamarta tersenyum. Katanya. “Aku menjadi kelelahan. Aku datang ke barak induk pengendalian pasukanmu. Tetapi kau tidak ada. Aku mendapat keterangan bahwa belum terlalu lama kau pergi ke Nguter untuk memburu para pengkhianat.”

“Ya. Ya, Ki Wilamarta“ sahut Raden Panji dengan serta merta. “Aku memang sedang berusaha menangkap pengkhianat yang ternyata mendapat perlindungan dari beberapa orang prajurit Pajang. Mereka datang ke daerah kuasaku tanpa melaporkan kehadirannya kepadaku.”

“Siapa“ bertanya Ki Wilamarta.

“Tumenggung Purbarana.“ jawab Raden Panji Prangpranata.

“Tetapi aku melihat Panji Wiratama ada di sini pula“ berkata Ki Wilamarta.

“Ya Ki Wilamarta“ jawab Panji Wiratama yang ada dikejauhan, yang telah mengambil jarak pula dari lawannya ”Aku telah datang pula kemari. Aku telah mencoba mencegah tindakan yang diambil Raden Panji Prangpranata meskipun aku datang agak terlambat. Tetapi Raden Panji sama sekali tidak menghiraukannya”

“Aku sedang menjalankan tugasku Ki Wilamarta sahut Raden Panji.

“Tugas apa?“ bertanya Ki Wilamarta.

“Aku sedang memburu pengkhianat dan para perampok. Selama ini aku telah berhasil menjalankan tugasku dengan baik. Menguasai daerah yang luas dan membersihkannya dari kejahatan. Tetapi ternyata kemudian justru aku sendirilah yang dirampok dan dikhianati...“ jawab Raden Panji.

“Apa saja milik Raden Panji yang dirampok?” bertnya Ki Wilamarta.

Raden Panji termangu-mangu sejenuk. Namun kemudian iapun menjawab. “Justru lebih berharga dari harta benda. Calon isterikulah yang telah dirampok orang.”

“Dan siapakah pengkhianat itu?“ bertanya Ki Wilamarta pula.

Raden Panji memang menjadi bingung. Tetapi ia pun kemudian menjawab “Bakal isteriku itu!”

“Jika demikian, kenapa Raden Panji harus menyusul demikian jauhnya untuk mengambil pengkhianat itu? Biar sajalah pengkhianat itu dibawa oleh para perampok. Raden Panji tidak perlu berusaha menolongnya!”

“Aku tidak akan menolongnya. Tetapi aku akan menangkap mereka semuanya!” jawab Raden Panji tersendat-sendat.

Ki Wilamarta tersenyum. Dipandanginya orang-orang yang ada di halaman itu. Raden Puspasari, Ki Tumenggung Purbarana yang termangu-mangu, Panji Wiratama dan para prajurit Pajang yang sedang saling bertempur itu. Mereka pada umumnya telah mengenal Ki Wilamarta seorang Senapati dari prajurit Wiratamtama Pajang. Seorang yang dekat sekali hubungannya dengan Sultan di Pajang.

Halaman itupun kemudian telah dicengkam oleh suasana yang tegang namun hening. Tidak seorangpun yang berbicara diantara mereka. Sementara Ki Wilamarta melangkah ke pendapa dan kemudian naik serta berdiri tegak menghadap kehalaman.

“Raden Panji.“ berkata Ki Wilamarta “Kami, di Pajang telah menerima laporan tentang tugas-tugas yang kau lakukan. Di samping keberhasilanmu menenangkan daerah ini dari kerusuhan yang ditimbulkan oleh para perampok, maka Raden Panji pun telah menimbulkan kegelisahan tersendiri. Tugas yang kau pikul telah kau laksanakan dalam batas-batas wajar. Tetapi semakin lama menjadi semakin sulit dimengerti, sehingga pada suatu saat, tingkah laku Raden Panji sudah terlepas dari kendali”

“Itu fitnah...“ potong Raden Panji.

Tetapi Ki Wilamarta seakan-akan tidak mendengarkannya. Ia berkata selanjutnya. “Aku mendapat tugas untuk mengikuti perkembangan tugas Raden Panji. Karena itu, aku telah menugaskan Panji Wiratama yang belum kau kenal untuk mengamatimu dari dekat. Ia tinggal beberapa rumah saja dari rumah yang kau pergunakan sebagai barak induk pasukanmu. Ia tahu benar apa yang kau lakukan. Ia tahu, berapa orang perempuan yang telah menjadi korbanmu. Selain itu, Raden Panji juga telah merasa berwenang untuk menjatuhkan hukuman apa saja kepada orang yang dianggap bersalah. Bahkan hukuman mati sekalipun. Puncak dari kegelisahan tugas Raden Panji adalah keinginan Raden Panji mengambil calon isteri dari Nguter ini. Kami telah mendapat laporan lengkap. Laporan itu kami hubungkan dengan tugas Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari. Kedua-duanya juga menyebutkan padukuhan Nguter. Apalagi ketika laporan yang terperinci itu menyebut tentang Mas Rara!“ dia berhenti sejenak.

“Karena itu, aku datang langsung ingin bertemu dengan Raden Panji. Tetapi saat kami datang, Raden Panji sedang memburu pengkhianat dan perampok kemari. Ke Nguter. Betapapun kami letih, kami berusaha menyusul kemari, meskipun harus beristirahat beberapa kali di perjalanan”

Wajah Raden Panji menjadi merah. Dipandanginya orang di sekelilingnya. Nampak beberapa orang perwira yang memiliki kekuasaan di dalam tataran keprajuritan Pajang. Bahkan beberapa orang yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukannya. Apalagi Ki Wilamarta sendiri telah datang ke tempat itu.

Sementara itu Ki Wilamarta telah berkata selanjutnya. “Kau masih sempat mengingat apa yang kau lakukan selama ini Raden Panji. Sekarang aku datang tidak untuk melupakan keberhasilanmu. Tetapi aku sekadar membawa perintah baru bagimu. Kembali ke Pajang.”

Raden Panji yang tua itupun kemudian menundukkan kepalanya. Ia masih mendengar Ki Wilamarta bertanya.

”Bukankah aku tidak perlu menunjukkan pertanda tugasku kepadamu? Bukankah wajahku yang telah kau kenal ini sudah merupakan pertanda itu?”

“Ya Ki Wilamarta“ desis Raden Panji. “Aku tidak akan berani menanyakan pertanda tugas Ki Wilamarta, justru aku mengenal Ki Wilamarta”

“Nah, jika demikian, marilah. Kita akan kembali ke Pajang“ berkata Ki Wilamarta.

“Aku tidak akan melawan perintah itu” jawab Raden Panji “Tetapi aku akan berbicara dengan para prajuritku. Aku akan kembali ke barak induk pengendalian pasukanku. Aku akan mengumumkan mereka dan berbicara kepada mereka”

“Tidak Raden Panji“ jawab Ki Wilamarta “kita akan langsung pergi ke Pajang. Kita akan mengambil jalan lain dan tidak akan singgah di barak pengendalian pasukanmu itu”

“Tetapi aku masih mempunyai barang-barang di sana” desis Raden Panji.

“Biarlah orang lain mengurusnya!“ jawab ki Wilamarta.

Raden Panji tidak menjawab lagi. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Namun Raden Puspasarilah yang berkata.

“Tentu paman Wilamarta tidak kembali ke Pajang sekarang. Paman telah menjadi sangat letih. Kuda-kuda pamanpun letih. Paman akan berada di sini sampai besok siang, sehingga cukup untuk beristirahat. Besok kita bersama-sama menempuh perjalanan ke Pajang“

Ki Wilamarta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Baiklah. Aku akan beristirahat di sini sampai besok siang.”

Dengan demikian, maka pertempuran di halaman itupun telah selesai. Beberapa orang yang terluka sempat mendapat perawatan. Sementara Ki Wilamarta telah memanggil beberapa orang untuk berbicara di pendapa. Raden Puspasari, Ki Tumenggung Purbarana, Panji Wiratama, Raden Panji Prangpranata serta Ki Partija Wirasentana.

Sedangkan di halaman para prajurit berada dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing. Namun mereka yang terluka telah dibaringkan di pringgitan untuk mendapat perawatan. Apalagi mereka yang terluka cukup parah. Bahkan ada dua diantara mereka yang nyawanya tidak dapat tertolong lagi.

Malam itu Ki Wilamarta telah memberikan beberapa perintah kepada para perwira yang telah dikumpulkannya itu. Ki Wilamarta yang membawa wewenang penuh dari Kangjeng Sultan itu telah memerintahkan Panji Wiratama untuk menggantikan kedudukan Raden Panji Prangpranata.

“Tugasmu tidak seberat tugas Raden Panji Prangpranata“ berkata Ki Wilamarta ”Apalagi satu atau dua tahun yang lalu”

“Ya Ki Wilamarta“ jawab Panji Wiratama “Aku siap menjalankan perintah!”

Para prajurit yang datang ke Nguter bersama-sama dengan Raden Panji Prangpranata akan menjadi saksi perintahku. Tetapi untuk sandaran Ki Panji Wiratama dalam menjalankan tugasnya, maka aku perintahkan Raden Panji menyerahkan pertanda tugasnya kepada Ki Panji Wiratama!”

Raden Panji Prangpranata tidak dapat mengingkarinya melakukan segala perintah Ki Wilamarta.

Sementara itu, di ruang dalam Mas Rara masih saja ketakutan. Namun Wirantana yang menemaninya berkata “Jangan takut. Segala sesuatunya telah berlalu...”

Mas Rara tidak menjawab. Tetapi tubuhnya masih gemetar.

Demikianlah, maka segala sesuatunya telah diselesaikan oleh Ki Wilamarta. Para perwira yang ada di pendapa itu sudah tahu pasti apa yang akan mereka lakukan besok. Namun masih ada satu hal yang mereka bicarakan, bagaimana mereka akan membawa Mas Rara ke Pajang.

“Mas Rara tidak mau duduk di punggung kuda!” berkata Ki Partija Wirasentana “Namun atas kebaikan hati Ki Jagabaya, aku telah meminjam pedati kuda itu. Pedati kuda yang beberapa hari yang lalu telah dibawa mengantarkan Mas Rara menghadap Raden Panji Prangpranata.”

“Apakah pedati itu masih dapat dipinjam?“ bertanya Ki Wilamarta.

“Besok aku akan berbicara dengan Ki Jagabaya“ jawab Ki Partija Wirasentana.

Tetapi Ki Wilamarta itupun kemudian telah bertanya kepada Raden Puspasari. ”Apakah Mas Rara sudah siap berangkat besok?”

Raden Puspasari itupun termangu-mangu sejenak. Sambil memandangi Ki Partija Wirasentana, Raden Puspasari itu berkata. “Aku belum mengatakan apa-apa kepada gadis itu”

Ki Wilamarta mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya “Kenapa Raden belum berbicara dengan gadis itu?“

“Gadis itu baru datang. Ketika aku datang ke rumah ini, Mas Rara telah berada di tempat Raden Panji Prangpranata. Namun kemudian telah melarikan diri.“ jawab Raden Puspasari.

Ki Wilamarta pun mengangguk-angguk. Katanya. “Ya. Ya. Aku dapat mengerti dan membayangkan peristiwanya. Tetapi bukankah sebaiknya Raden berbicara sekarang dengan Mas Rara jika ia belum tidur?“

“Belum Ki Wilamarta“ jawab Ki Partija Wirasentana “Gadis itu masih ketakutan di dalam, ditunggui kakaknya, maksudku anakku, Wirantana”

Raden Puspasari mengangguk-angguk. Katanya kepada Ki Partija. “Aku dan Ki Tumenggung Purbarana akan berbicara dengan gadis itu”

“Tetapi Mas Rara tentu tidak akan berani keluar “desis Ki Partija Wirasentana.

“Jadi?“ desis Raden Puspasari.

“Biarlah Raden dan Ki Tumenggung masuk ke pringgitan” berkata Ki Partija Wirasentana.

Demikianlah. Diantar oleh Ki Partija, kedua utusan dari Pajang itu telah memasuki pringgitan. Ketika pintu terbuka, Mas Rara telah memeluk ibunya erat-erat.

“Jangan takut.” berkata ayahnya ”keduanya adalah utusan dari Pajang yang justru telah menolongmu.”

Namun bagaimanapun juga, bayangan ketakutan itu masih nampak di wajah Mas Rara. Raden Puspasari dan Ki Tumenggung Purbarana itupun kemudian telah duduk di ruang dalam. Dengan sangat berhati-hati Raden Puspasari mulai berbicara dengan Wiranti yang kemudian disebut Mas Rara.

Mas Rara sendiri menjadi sangat terkejut mendengar keterangan itu. Bahkan ketika ia menyadari, bahwa para utusan dari Pajang itu berniat menjemputnya dan membawanya ke Pajang. Mas Rara telah memeluk ibunya erat-erat. Hampir berteriak Mas Rara menangis. “Aku tidak mau. Aku tidak mau.”

Bagi Mas Rara memang tidak ada orang lain yang dianggapnya sebagai ayah dan ibunya kecuali Ki Partija Wirasentana suami isteri. Meskipun keduanya tidak lebih dari orang-orang padesan, tetapi Mas Rara merasakan kesejukan kasih sayangnya sejak ia masih belum menyadari kehadiran dirinya.

Namun Raden Puspasari, Ki Tumenggung Purbarana dan bahkan Ki Partija Wirasentana suami isteri, dengan sabar berusaha, meyakinkan bahwa Mas Rara sudah sepantasnya berada di Pajang.

Sampai dini hari mereka membujuk Mas Rara untuk bersedia pergi ke Pajang. Namun mereka masih saja mengalami kesulitan. Apalagi di Pajang, sebenarnya Mas Rara sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu kandung lagi.

Meskipun demikian, dengan segala macam kesediaan dan janji, maka Mas Rara akan pergi ke Pajang namun bersama dengan orang yang dianggap orang tuanya itu. Ki Partija Wirasentana suami isteri, dan kakaknya Wirantana.

Raden Puspasari dan Ki Tumenggung Purbarana memang tidak berkeberatan. Merekapun membayangkan bahwa akhirnya Wiranti itu tentu akan kembali lagi kepada Ki Partija Wirasentana suami isteri, karena selain kedua orang tuanya sendiri sudah tidak ada, hubungan antara Wiranti dengan kedua orang tua angkatnya itu sudah terlanjur demikian eratnya.

Ketika fajar mulai membayang di langit, maka di pendapa rumah Ki Partija Wirasentana itu Ki Wiratama telah mendapat laporan tentang kesediaan Mas Rara pergi ke Pajang, namun bersama dengan seluruh keluarganya.

“Tentu tidak berkeberatan” berkata Ki Wilamarta” bagaimanapun juga, nama Pangeran Kuda Kertanata masih juga dihormati. Demikian pula dengan Raden Kuda Respada, ayah Wiranti itu”

Ketika kemudian matahari terbit, maka para perwira prajurit Pajang itu justru baru mulai beristirahat. Namun demikian, Raden Panji Prangpranata merasa bahwa dirinya selalu berada di dalam pengawasan.

Menjelang siang, mereka akan meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda, meskipun perjalanan mereka akan mereka lakukan sampai jauh malam. Ki Wilamarta akan membawa Raden Panji Prangpranata ke Pajang, bersama-sama dengan Raden Puspasari dan Ki Tumenggung Purbarana yang akan membawa Mas Rara dengan seluruh keluarganya ke Pajang.

Sedangkan Ki Panji Wiratama bersama para prajurit yang datang bersama Raden Panji serta para pembantunya, akan kembali ke padukuhan induk pengendalian pasukan Pajang yang semula dipimpin oleh Raden Panji Prangpranata.

Namun dalam pada itu, sebelum semuanya berangkat meninggalkan rumah Ki Partija Wirasentana, setelah Ki Jagabaya meminjamkan pedati kudanya. maka dua orang anak muda telah menemui Ki Partija Wirasentana untuk minta diri.

“Tidak...“ jawab Ki Partija Wirasentana “Kalian berdua akan pergi bersama kami ke Pajang”

“Terima kasih Ki Partija“ jawab Manggada “kami sudah terlalu lama tersangkut di padukuhan Nguter ini. Karena itu, maka kami mohon diri untuk menentukan perjalanan kami. Sebenarnyalah kami sedang menempuh perjalanan pulang untuk menjumpai orang tua kami setelah beberapa lama mengembara”

“Siapakah mereka Ki Partija?“ bertanya Ki Wiratama.

Dengan singkat Ki Partija telah menceriterakan tentang kedua orang anak muda itu, yang bersama-sama dengan anaknya telah membebaskan Wiranti dari tangan Raden Panji. Namun Wirantana sempat menceriterakan apa yang pernah dilakukan oleh keduanya. Manggada dan Laksana adalah orang yang telah menyelamatkan Mas Rara dari kuku-kuku dan taring harimau lapar. Namun keduanya pula yang telah melepaskan Mas Rara dari nafsu hitam Ki Resa, pamannya.

“Tanpa kedua orang anak muda itu, maka para prajurit yang dikirim oleh Raden Panji untuk menjemput Mas Rara tentu akan dihancurkan di perjalanan“ berkata Wirantana kemudian.

Ki Wilamarta menganagguk-angguk. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka iapun dapat melihat kemampuan yang terpancar pada kedua orang anak muda itu. Maka katanya kemudian. “Anak-anak muda. Jika berkenan di hati kalian, aku ingin menawarkan, agar kalian bersedia menjadi prajurit di Pajang...”

Namun Manggada menjawab “Kami mengucapkan terima kasih. Memang sangat menarik bagi kami untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi kami mohon untuk minta ijin dahulu kepada orang tua kami...”

Ki Wilamarta tersenyum. Katanya “Baiklah. Sebenarnya kalian memang minta ijin lebih dahulu...”

Dengan demikian maka Ki Partija Wirasentana suami isteri, Wirantana dan bahkan Mas Rara sendiri tidak dapat lagi mencegahnya. Manggada dan Laksana benar-benar meninggalkan padukuhan Nguter dengan seribu macam kesan dan kenangan. Kedua anak muda itu sempat melihat sepasang mata Raden Panji Prangpranata yang menyala. Namun iapun melihat senyum ramah Raden Puspasari dan pandangan lembut Ki Tumenggung Purbarana. Kepada Ki Panji Wiratama, Manggada dan Laksana mengingatkan akan kuda-kuda yang disediakan bagi mereka.

“Kuda itu masih ada disini...“ desis Manggada.

Ketika mereka berdua meninggalkan halaman rumah itu, Mas Rara dan keluarganya telah melepaskan mereka sampai ke regol. Dengan nada yang lemah Mas Rara berbisik ”Terima kasih. Aku tidak akan pernah melupakan kalian berdua...”

Manggada dan Laksana hanya dapat menarik nafas. Namun merekapun kemudian telah melangkah meninggalkan regol halaman semakin lama semakin jauh...

SELESAI

Selanjutnya, Arya Manggada Seri Ke 3
Sang Penerus

Mas Rara Bagian 12

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEMUA orang berpaling kearah suara itu. Seorang yang berjalan memauki halaman itulah yang mengatakannya, sementara seorang yang lain menuntun kudanya mendekat.

“Aku sengaja tidak ingin mengejutkan kalian. Karena itu, aku turun dari kudaku pada jarak yang masih agak jauh. Aku terpaksa berlari-lari kecil kemari agar aku tidak terlambat mendengar pembicaraan ini meskipun aku tidak mengira bahwa di sini ada pihak lain yang telah datang lebih dahulu dari aku”

Manggada, Laksana dan Wirantana terkejut ketika melihat wajah orang itu setelah tersentuh cahaya obor di halaman. Orang itu adalah orang yang pernah duduk di sebelah mereka di pendapa rumah persinggahan Mas Rara. Mereka pulalah yang telah memberikan beberapa ekor kuda. Namun agaknya mereka telah menyusul pula perjalanan para prajurit berkuda yang dipimpin oleh Raden Panji sendiri.

“Aku datang berempat. Dua orang kawanku masih berada di luar regol untuk mengatasi kesulitan jika hal itu terjadi“ berkata orang itu selanjutnya “namun agaknya dengan kehadiran beberapa orang prajurit Pajang dari kesatuan yang lain, keadaan akan berubah”

“Siapa kau?“ bertanya Raden Panji.

“Aku adalah tetangga Raden Panji“ jawab orang itu “tetapi mudah-mudahan Ki Tumenggung Purbarana masih mengenal aku”

Ki Tumenggung Purbarana termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang mengenakan pakaian sebagaimana orang kebanyakan dalam keremangan cahaya obor.

Orang itu tersenyum sambil berkata “Aku juga prajurit Pajang. Aku Panji Wiratama”

“O“ Ki Tumenggung Purbarana mengangguk-angguk “Maaf adhi, aku memang agak lupa. Sudah agak lama kita tidak bertemu”

“Sejak aku mendapat tugas dalam lingkungan prajurit sandi“ jawab Panji Wiratama. Lalu katanya ”Nah, dalam rangka tugas sandiku, aku diperintahkan mengawasi tugas Raden Panji Prangpranata. Beberapa laporan telah sampai ke Pajang tentang tingkah lakunya. Sebenarnya aku tidak perlu terlibat langsung dalam tindakan kewadagan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat nasib gadis yang bernama Mas Rara itu. Ia mempunyai kelainan dengan isteri Raden Panji sebelumnya. Agaknya gadis itu tidak pantas mengalami nasib yang buruk karena tingkah laku Raden Panji”

“Cukup“ teriak Raden Panji Prangpranata “aku tahu. Kalian semua ternyata telah sepakat untuk menjatuhkan namaku. Agaknya kalian merasa iri hati akan keberhasilanku serta kepercayaan yang aku terima dari Kangjeng Sultan di Pajang. Nah, sekarang sekali lagi aku perintahkan kalian untuk pergi atau kalian akan aku hancurkan disini atas nama Kangjeng Sultan Pajang”

“Raden Panji“ berkata Panji Wiratama “sudahlah. Aku mohon Raden Panji bersedia meninjau kembali segala tingkah laku Raden Panji. Sementara itu Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari juga membawa pertanda kuasa Sultan Pajang. Akupun memiliki pertanda tugas sandiku. Karena itu bukankah tidak baik terjadi benturan kekerasan antara kekuatan Pajang sendiri, sementara Pajang baru berusaha untuk menyusun diri menjadi negara yang besar”

“Aku tidak memperdulikan sesorahmu” bentak RadenPanji Prangpranata.

“Aku sudah cukup lama tinggal menjadi tetangga Raden Panji. Aku adalah saksi yang akan dapat mengatakan segala tingkah laku Raden Panji yang tidak terpuji bersama orang-orang yang bertugas bersamaku. Tetapi jika Raden Panji bersedia mengerti, maka sudah tentu aku tidak akan sampai hati menjerumuskan Raden Panji ke dalam kubangan yang dalam dan kotor. Apalagi aku tahu bahwa Raden Panji adalah orang yang pernah berjasa disini meskipun dengan cara yang agak kasar menghadapi para penjahat“ berkata Panji Wiratama kemudian.

Tetapi agaknya Raden Panji Prangpranata tidak mau mendengarkan kata-kata Panji Wiratama maupun Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari yang berusaha untuk mencari penyelesaian dengan cara yang lebih baik dari kekerasan.

Bahkan kemudian Raden Panji itu berkata kepada para prajuritnya “He anak-anak. Bersiaplah. Kalian harus bermain-main lagi. Tidak dengan para prajurit yang sering merampok dan menyamun. Tetapi dengan prajurit-prajurit Pajang sendiri yang ternyata tidak tahu paugeran dan dengan sengaja melanggar hak dan wewenangku. Tunjukkan kepada mereka bahwa kalian adalah prajurit-prajurit Pajang terpilih yang sudah berbilang tahun mengarungi medan demi medan menghancurkan kelompok-kelompok penjahat didaerah ini. Ingat siapa aku. Aku adalah orang yang paling banyak memberikan hadiah kepada prajurit-prajuritku. Tetapi aku juga orang yang tidak segan-segan menghukum prajurit-prajurit yang tidak berbuat sebaik-baiknya dalam pertempuran, apalagi dihadapanku”

Para prajurit Raden Panji memang menjadi berdebar-debar. Mereka sadar, bahwa Raden Panji berkata sesungguhnya. Jika mereka tidak baik menurut penilaian Raden Panji, maka mereka tentu benar-benar akan dihukum. Hukuman yang pernah diberikan oleh Raden Panji kepada prajurit-prajuritnya memang tidak tanggung-tanggung. Karena itu, apapun yang terjadi, maka para prajurit Raden Panji itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Tiga dari tujuh prajurit yang melepaskan Mas Rara ketika mereka mengejar sesaat setelah Mas Rara meninggalkan pedukuhan Raden Panji, ada diantara para prajurit yang mengiringi Raden Panji itu. Agaknya yang lain mendapat perintah untuk menjaga para tawanan yang belum sempat mendapat perlakuan khusus dari Raden Panji karena kesibukannya mengurus Mas Rara.

Ki Tumenggung Purbarana memang menjadi sedikit cemas menghadapi perkembangan keadaan Raden Panji memang sulit diajak berbicara seperti telah dikatakan oleh anak-anak muda yang menyelamatkan Mas Rara dari tangan Raden Panji. Karena itu, maka Ki Tumenggung Purbaranapun telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya.

Bahkan Panji Wiratama pun berkata kepada kawannya “Panggil kedua kawanmu”

Orang itupun mengangguk. Kemudian iapun telah bergeser menuju ke regol halaman. Berapa saat kemudian, maka dua orang menuntun kudanya memasuki halaman itu, langsung mengikat kuda mereka ditepi didekat kedua ekor kuda yang lain. Halaman rumah Ki Partija Wirasentana itu telah dicengkam ketegangan. Setiap orang telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sementara tangan para prajurit itupun telah berada di hulu senjata mereka masing-masing. Mereka ternyata akan berhadapan dengan semua prajurit Pajang sendiri, sehingga dengan demikian maka pertempuranpun akan menjadi pertempuran yang paling mendebarkan diri berbagai macam pertempuran yang pernah mereka alami melawan para penjahat dan perampok.

Dalam pada itu dengan suara yang bergetar Raden Panji berkata lantang. “Anak-anak, tugas kalian adalah mengambil perempuan liar yang telah berkhianat itu. Siapa yang mencoba menghalangi, singkirkan dengan cara sebagaimana kalian lakukan terhadap para penjahat, karena sebenarnyalah setiap orang yang menghalangi tugasku disini, aku perlakukan sebagai para, penjahat”

Wajah Ki Tumenggung Purbarana menjadi tegang. Dengan lantang iapun berkata “Aku masih memperingatkan kau sekali lagi Panji Prangpranata” Suara Ki Tumenggung memang berubah. Ia tidak lagi tersenyum dan berbicara dengan suara yang lembut.

Tetapi jawab Raden Panji “Kesempatan terakhir bagimu Tumenggung Purbarana. Tinggalkan tempat ini”

Namun suara Panji Wiratama tidak lebih garangnya “Aku berhak menangkapmu berdasarkan tugas dan wewenangku”

“Setan kau“ teriak Raden Panji “singkirkan orang itu. Dengar perintahku. Ambil prempuan pengkhianat itu. Siapa menghalangi, patahkan lehernya”

Pertempuran memang tidak dapat dicegah. Beberapa orang prajurit mulai bergerak. Sementara Raden Panji masih berteriak. ”Masuk ke dalam rumah itu. Cari sampai ketemu. Ia menjadi penyebab peristiwa ini. Jika ada seorang saja diantara prajuritku yang kulitnya tergores senjata, maka hukuman bagi perempuan itu akan berlipat ganda. Ia akan mengalami hukuman picis. Hukuman picis yang pertama yang aku berikan kepada seorang perempuan.

Pertempuran memang tidak dapat dicegah. Beberapa orang prajurit Pajang di bawah perintah Raden Panji Prangpranata telah berusaha naik ke pendapa, menuju ke pintu pringgitan. Tetapi para prajurit yang datang bersama-sama Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari telah mencegah mereka.

Sementra itu, Ki Partija Wirasentana sendiri menjadi bingung. Wirantana yang gelisah menjadi termangu-mangu. Manggada ternyata masih sempat berpikir dan berkata kepada Wirantana. “Bawa ayahmu masuk. Lindungi adikmu yang ada di dalam. Jika ada orang yang sempat menyusup”

“Baik. Aku dan ayah akan melindungi Mas Rara“ berkata Wirantana. Ia pun segera berlari mendekati ayahnya sambil berkata “Marilah. Lindungi Mas Rara”

Ki Partija seperti orang yang terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Sementara itu Wirantana telah menariknya naik ke pendapa dan masuk keruang dalam. Di ruang dalam Mas Rara dan ibunya duduk gemetar saling berpelukan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di luar. Mereka hanya mendengar orang-orang saling membentak. Tetapi Mas Rara tidak tatu pasti, apakah yang mereka katakan selain teriakan Raden Panji untuk menghukumnya. Ia tidak mendengar jelas penjelasan Raden Puspasari tentang dirinya.

Keduanya terkejut sekali ketika pintu tiba-tiba terbuka. Tetapi jantung mereka bagaikan disiram setitik embun ketika mereka melihat Wirantana dan Ki Partija Wirasentana yang masuk ke ruang dalam.

“Aku akan menemani kalian“ berkata Ki Partija.

Wirantana pun kemudian berdiri selangkah di sebelah adiknya. Sekilas ia sempat memandang wajah yang basah itu. Baru ia menyadari, bahwa wajah gadis itu memang lain dari wajahnya sendiri. Lain dari wajah ibunya dan lain dan wajah ayahnya.

“Ternyata ia seorang gadis asing“ desisnya.

Ki Partija Wirasentana pun kemudian telah memungut senjatanya dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, di luar telah terjadi pertempuran yang sengit. Kedua belah pihak memiliki ketangkasan yang seimbang. Prajurit Raden Panji adalah prajurit yang untuk beberapa lamanya menjelajahi arena pertempuran melawan para penjahat, sementara para prajurit yang datang bersama Ki Tumenggung Purbarana adalah prajurit pilihan.

Manggada dan Laksana tidak dapat tinggal diam. Keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran melawan prajurit Raden Panji yang garang. Prajurit yang terbiasa bertempur dengan keras dan kasar menghadapi para perampok dan penjahat di daerah yang lain, yang harus mereka amankan.

Tetapi Manggada dan Laksana pun memiliki bekal yang cukup. Mereka memiliki landasan ilmu yang mereka sadap dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Meskipun belum begitu banyak, tetapi keduanya memiliki pengalaman yang keras pula.

Raden Panji Prangpranata sendiri adalah seorang Senapati perang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia telah berhasil menguasai satu daerah yang luas selama ia bertugas. Kekuasaannya seakan-akan tidak terbatas, karena kecuali Raden Panji sendiri seorang yang berilmu tinggi, iapun memiliki kekuatan. Sepasukan prajurit Pajang yang tangguh. Sehingga untuk beberapa lama Raden Panji merasa bahwa ia adalah orang yang dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya. Siapa yang mencoba untuk menentangnya dengan tanpa kesulitan telah disingkirkan. Bahkan jika dianggap perlu disingkirkan untuk selama-lamanya.

Raden Panji Prangpranata memang tidak saja berkuasa untuk menentukan satu kebijaksanaan. Tetapi iapun merasa mempunyai wewenang untuk menghukum orang yang dianggapnya bersalah tanpa dapat dibatalkan oleh orang lain. Bahkan iapun merasa tidak perlu untuk mendengar pendapat orang lain apabilaia sendiri sudah menganggap perlu untuk mengambil keputusan.

Namun dalam pada itu, di halaman rumah Ki Partija itu, ia telah bertemu dengan seorang Senapati yang juga seorang pilihan. Ki Tumenggung Purbarana yang dengan sengaja telah menempatkan diri menghadapi langsung Raden Panji Prangpranata.

Beberapa orang prajurit Raden Panji dengan cepat telah bergerak ke segala celah-celah halaman. Mereka yang sudah untuk waktu yang lama mengikuti segala perintah Raden Panji itupun menjadi sangat garang pula. Satu dua orang prajurit memang berusaha untuk menembus pertahanan dan memasuki rumah lewat seketheng. Namun para prajurit Pajang yang datang bersama Ki Tumenggung Purbarana telah menyebar. Sementara Manggada dan Laksana telah ikut pula menghadapi para prajurit yang berusaha memasuki seketheng sebelah kiri.

Sementara itu Panji Wiratama telah melibatkan diri pula dalam pertempuran itu. Sebagai seorang petugas sandi, Panji Wiratama telah ditempa dengan ilmu kanuragan, sehingga ia sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi prajurit-prajurit Raden Panji Prangpranata yang berpengalaman luas.

Raden Puspasari yang mendapat tugas untuk menjemput Mas Rara itu memang termangu-mangu sejenak. Bukannya karena ia menjadi cemas menghadapi pertempuran itu, tetapi pertempuran itu sama sekali tidak dikehendakinya. Namun ia tidak banyak dapat berbuat sesuatu menghadapi seseorang yang keras seperti Raden Panji Prangpranata, yang merasa dirinya orang yang paling berkuasa.

Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka Raden Puspasari telah naik kependapa. Dengan jantung yang berdebaran ia melihat seluruh arena di halaman itu. Bahkan satu dua orang prajurit telah bertempur di pendapa itu pula.

Mereka adalah prajurit-prajurit Raden Panji yang ingin menerobos memasuki pintu pringgitan untuk mengambil Mas Rara, namun telah dihentikan dan dihadapi oleh para prajurit Pajang yang datang bersama-sama dengan Raden Puspasari itu.

Dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Raden Puspasari sempat melihat Manggada dan Laksana yang sedang bertempur. Dengan kening yang berkerut, Raden Puspasari melihat, bahwa kedua anak muda itu ternyata mampu mengimbangi kemampuan para prajurit Pajang. Mereka sama sekali tidak mengalami banyak kesulitan untuk mempertahankan dirinya. Tangannyapun dengan tangkas mempermainkan pedang.

“Anak-anak muda yang berani“ berkata Raden Puspasari di dalam hatinya “agaknya tidak banyak dari antara anak-anak muda yang berani mengambil sikap seperti mereka. Di saat Raden Panji berada dalam puncak kekuasaannya, mereka berani mengambil langkah yang dapat membahayakan hidup mereka untuk melindungi Mas Rara yang diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Raden Panji”

Sementara itu Manggada dan Laksana memang sedang bertempur dengan sengitnya. Masing-masing menghadapi seorang prajurit yang terlatih dengan baik dan berpengalaman luas. Namun kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Apalagi mereka sadar, bahwa langkah-langkah yang diambilnya ternyata mendapat sandaran yang mapan. Justru seorang Tumenggung dari Pajang bersama pasukan kecilnya.

Manggada dan Laksana memang telah mengambil jarak. Mereka menahan dua orang prajurit yang akan menyelinap lewat seketheng untuk masuk ke dalam rumah melalui pintu-pintu butulan atau pintu samping. Jika kedua orang prajurit itu berhasil masuk dan menguasai Mas Rara, maka segala bentuk perlawanan memang harus dihentikan, karena jiwa Mas Rara tentu akan terancam.

Namun Manggada dan Laksana memang berhasil menahan kedua orang prajurit itu. Dengan ketangkasannya, kedua anak muda itu telah membuat kedua orang prajurit yang bertempur melawannya menjadi heran Kedua orang prajurit yang bertempur melawan Manggada dan Laksana itu pernah melihat keduanya ketika Raden Panji mengunjungi bakal isterinya di rumah yang telah disediakan baginya.

Tetapi berbeda dengan para prajurit yang menjemput Mas Rara dari rumahnya dan harus bertempur melawan orang-orang yang telah diupah oleh paman Mas Rara sendiri untuk mencegahnya, mereka belum pernah melihat kemampuan kedua anak muda itu.

Meskipun mereka mendengar bahwa kedua anak muda itu pernah menolong Mas Rara ketika gadis itu hampir diterkam seekor harimau, serta ceritera beberapa orang kawannya bahwa kedua anak muda itu telah mempertaruhkah nyawanya di saat Mas Rara dijemput dari rumahnya, namun mereka tidak mengira bahwa kedua anak muda itu mampu mengimbangi mereka, prajurit yang berpengalaman.

Karena itu, maka kedua orang prajurit itupun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya. Seorang diantara mereka berkata. “Anak-anak muda. Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau bukan sanak bukan kadangnya. Jika perlawanan ini dilakukan oleh kakaknya, maka hal itu masih dapat dimengerti. Tetapi kau bukan. Karena itu, kami memberi kesempatan kepada kalian berdua untuk melarikan diri jika kalian ingin selamat”

“Terima kasih” jawab Manggada “tetapi sebagaimana kau dengar, ternyata gadis itu bukan sekedar anak Ki Partija Wirasentana. Tetapi ia adalah seorang gadis yang seharusnya tidak berada di padukuhan. Ia seorang gadis bangsawan”

“Siapapun gadis itu, tetapi segala sesuatunya harus dikembalikan kepada kekuasaan yang ada di daerah ini. Yang berkuasa adalah Raden Panji Prangpranata“ berkata prajurit itu.

“Bukan berarti Raden Panji dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan tatanan yang berlaku di Pajang. Raden Panji bukan Sultan Pajang yang berlaku di Pajang yang berhak dan berwenang membuat paugeran sekehendak hatinya“ jawab Manggada.

“Kau anak yang sombong“ geram prajurit itu. “Jika kau sia-siakan kesempatan ini, maka kau akan menyesal. Jika kau tidak terbunuh dalam pertempuran ini, maka kau akan mendapat hukuman pula dari Raden Panji. Jika kau tahu, Raden Panji tidak pernah ragu-ragu menghukum orang yang dianggapnya bersalah."

“Tetapi Kangjeng Sultan Pajang pun tidak akan ragu-ragu menghukum Raden Panji dengan kesewenang-wenangannya meskipun ia pernah berjasa dalam tugasnya yang besar dan berat”

“Persetan kalian“ geram prajurit yang seorang lagi. Kalian memang ingin mati. Jangan kau kira, bahwa keberhasilanmu membunuh seekor harimau akan dapat menolongmu menghadapi senjata kami. Dengan membunuh seekor harimau kalian telah menjadi kehilangan akal. Kepalamu menjadi besar dan tidak tahu diri”

Namun Laksana yang menjawab ”Kita buktikan saja. Kepala siapa yang besar sekarang ini”

Prajurit itu menjadi merah. Dengan serta merta ia telah meloncat dengan menjulurkan senjatanya kearah dada. Tetapi dengan tangkas Laksana telah menangkisnya, sehingga ujung senjata itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan Laksana sempat memutar pedangnya dan seolah-olah menggeliat dengan cepat, sehingga sabetan mendatar justru telah memaksa prajurit itu meloncat surut.

Pertempuran itupun kemudian telah menjadi semakin sengit. Para prajurit itu memperlakukan kedua anak muda itu seperti para perampok dan penjahat lainnya. Merekalah yang mulai bertempur dengan kasar, keras dan tidak terkendali.

Namun Manggada dan Laksana tidak menjadi kehilangan akal. Mereka telah pernah bertempur melawan orang-orang yang lebih keras dan lebih kasar dari para prajaurit itu.

Raden Puspasari menarik nafas dalam-dalam. Namun ia harus bergeser ke samping ketika seorang prajurit menyerangnya dengan tiba-tiba. Namun seorang prajurit Pajang yang datang bersamanya telah menempatkan diri melawan prajurit itu.

Sementara itu, Raden Panji Prangpranata yang bertempur melawan Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin keras pula. Ternyata Raden Panji memang seorang yang berilmu tinggi. Dengan tangkas ia berloncatan di seputar lawannya. Meskipun Raden Panji itu nampaknya sudah mendekati usia lanjutanya.

Namun ia masih seorang Senapati yang pilih landing. Tubuhnya yang tua itu masih mampu melenting dengan ringannya, seakan-akan tidak digantungi bobot sama sekali. Senjatanya berputaran dengan cepatnya. Sekali mematuk, dan dikesempatan lain terayun dengan derasnya.

Tetapi lawan yang dihadapi adalah Ki Tumenggung Purbarana. Seorang Tumenggung yang pilih tanding. Selain tubuhnya yang meyakinkan, Ki Tumenggung pun memiliki bekal ilmu yang tinggi. Sebagai seorang Senapati perang, maka Ki Tumenggung memiliki pengalaman yang tidak kalah luasnya dari Raden Panji Prangpranata. Meskipun Raden Panji memiliki kecepatan gerak yang tinggi, tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak menjadi bingung.

Sementara itu, di ruang dalam, Ki Partija Wirasentana dan Wirantana menunggui Mas Rara dengan jantung yang berdebar-debar. Namun tidak ada niat mereka untuk meninggalkan ruangan itu dan untuk selanjutnya mengungsi ke tempat lain. Di halaman sudah terlanjur terjadi pertempuran. Karena itu, keduanya justru tidak lagi merasa takut kepada Raden Panji Prangpranata. Apalagi ada beberapa orang saksi yang juga datang dari Pajang.

Yang menjadi sangat gelisah adalah Raden Puspasari. Ia sama sekali tidak menghendaki pertempuran seperti itu terjadi. Namun iapun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Raden Panji Prangpranata sama sekali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Ia menganggap bahwa kebenaran itu hanya ada pada dirinya.

Dengan jantung yang berdebaran, Raden Puspasari menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Bahkan korban telah mulai jatuh. Beberapa orang prajurit telah terluka.

Namun Raden Panji sendiri tampaknya tidak begitu menghiraukannya. Ia bertempur dengan garangnya. Namun lawannyapun seakan-akan telah kehabisan pola. Raden Panji yang selalu berhasil menghancurkan lawannya dalam tugasnya di daerah itu, kini telah membentur kekuatan yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Gegedug yang paling garang sekalipun tidak membuatnya mengalami kesulitan. Namun Ki Tumenggung Purbarana justru mulai membuatnya gelisah. Apalagi ketika terasa bahwa Ki Tumenggung Purbarana mulai menekannya.

Dalam pada itu, para prajurit Raden Panji pun mulai mengalami kesulitan. Lawan-lawan mereka ternyata memiliki kelebihan yang sulit mereka atasi. Para prajurit yang berada di bawah perintah Ki Tumenggung Purbarana memang tidak lebih baik dari para prajurit Raden Panji Prangpranata, sehingga diantara mereka terdapat keseimbangan. Tetapi para prajurit yang harus bertempur melawan Panji Wiratama dan kawan-kawannya dari prajurit sandi Pajang, harus memeras tenaganya untuk dapat mengimbangi mereka.

Bahkan prajurit-prajurit yang harus bertempur dengan anak-anak muda yang pernah menolong Mas Rara dari cengkeraman kuku-kuku seekor harimau itupun telah mengalami kesulitan pula. Manggada dan Laksana ternyata memiliki bekal yang cukup tinggi untuk melawan para prajurit Pajang, meskipun para prajurit Pajang itu memiliki pengalaman yang sangat luas. Dengan demikian, semakin lama semakin terasa bahwa Raden Panji Prangapranata dan para prajuritnya menjadi semakin terdesak.

Tetapi karena hal seperti itu belum pernah terjadi selama ia bertugas di daerah yang luas itu, maka Raden Panji masih saja tidak mau mengakui kekalahan yang perlahan-lahan mencengkamnya. Bahkan dengan lantang Raden Panji itu masih meneriakkan aba-aba untuk menghancurkan lawannya.

“Bunuh semua orang yang tidak mau menyerah“ teriak Raden Panji Prangpranata “jangan takut. Aku mempunyai pertanda kuasa dari Sultan Pajang”

Namun para prajuritnya yang tidak pernah gagal melaksanakan perintah Raden Panji itu mulai menjadi gelisah. Yang mereka hadapi bukan para perampok dan para penjahat, yang harus mereka bunuh jika tidak mau menyerah. Tetapi yang mereka hadapi adalah prajurit-prajurit Pajang. Orang-orang yang memiliki kemampuan setidak-tidaknya setingkat dengan mereka. Bahkan beberapa orang diantara mereka memiliki kelebihan yang sulit diimbangi.

Ki Panji Wiratama ternyata dengan cepat menekan lawannya. Tidak ada niat sama sekali untuk membunuh sesama prajurit Pajang. Namun Panji Wiratama tidak dapat berbuat lain untuk menghentikan perlawanan prajurit Pajang itu tanpa melukainya.

Sebenarnyalah, prajurit yang melawan Panji Wiratama itu sulit untuk dapat melindungi dirinya sendiri dari serangan-serangan yang membingungkan. Karena itu, maka prajurit itu meloncat surut ketika senjata Panji Wiratama menyentuh pundak.

Tetapi Panji Wiratama tidak melepaskannya. Demikian prajurit itu berdiri tegak, maka ujung senjata Panji Wiratama telah memburunya. Seleret lukapun kemudian tergores di dada prajurit itu. Prajurit itu mengaduh terlahan Namun terasa betapa pedihnya luka di pundak dan di dadanya.

Ternyata Panji Wiratama tidak melepaskannya. Selagi orang itu berusaha memperbaiki keadaannya, maka kaki Panji Wiratama-lah yang menghantam lambungnya, sehingga perutnya terasa mual. Selagi orang itu terbongkok-bongkok menahan sakit di lambungnya, maka Panji Wiratama telah mengetuk tengkuk orang itu dengan sisi telapak tangannya. Orang itupun jatuh menelungkup. Bahkan langsung menjadi pingsan.

Prajurit yang lain sempat melihat apa yang terjadi atas kawannya itu. Ternyata Panji Wiratama tidak mengetuk leher kawannya itu, maka leher prajurit itu akan dapat terpenggal karenanya.

Semakin lama keadaan para prajurit Raden Panji menjadi semakin sulit. Tetapi Raden Panji tidak mau mengakui kenyataan itu. Ia masih menuntut kemenangan sebagaimana setiap terjadi benturan antara para prajuritnya dengan para perampok dan penjahat. Bahkan setiap kali Raden Panji masih mengulangi perintahnya.

“Bunuh yang tidak mau menyerah...”

Tetapi tidak seperti yang selalu terjadi, maka para prajuritnya tidak dapat melakukan perintah itu. Bahkan Raden Panji sendiri telah mengalami kesulitan menghadapi lawannya, Ki Tumenggung Purbarana.

Raden Puspasari sendiri memang tidak terlibat dalam pertempuran itu. Hanya sekali-sekali ia harus menghindar jika datang serangan tiba-tiba. Namun para prajuritnya selalu berusaha untuk melindunginya. Dalam kecemasan Raden Puspasari ternyata tertarik sekali kepada Manggada dan Laksana yang dengan tangkas mengimbangi para prajurit yang menjadi lawan mereka.

Meskipun keduanya bukan prajurit dan umurnya masih terhitung sangat muda, namun keduanya nampak tangkas dan cekatan. Keduanya sama sekali tidak mencemaskan, meskipun keduanya harus melawan prajurit-prajurit yang berpengalaman. Bahkan sekali-sekali kedua anak muda itu berloncatan dengan cepatnya, sehingga lawannya menjadi kebingungan. "Seperti anak kijang yang bermain-main di rerumputan“ desis Raden Puspasari.

Sementara itu, keadaan Raden Panji Prangpranata bersama para prajuritnya menjadi semakin sulit. Semakin lama semakin banyak orang-orangnya yang terluka, sehingga tidak mampu lagi memberikan perlawanan yang berarti. Meskipun pada kedua belah pihak nampaknya tidak dibakar oleh nafsu untuk saling membunuh, namun bagaimanapun juga di dalam pertempuran yang sengit, kemungkinan itu akan dapat terjadi.

Raden Panji sendirilah yang selalu berteriak-teriak untuk membunuh lawan yang tidak mau menyerah. Namun Raden Panji beberapa kali harus berloncatan surut untuk memperbaiki keadaannya yang semakin sulit.

Pada saatnya, maka Ki Tumenggung Purbarana yang berteriak-teriak “Raden Panji. Sebagai seorang Senopati kau harus mampu menilai keadaan medan. Menyerahlah. Selagi kita masih dikendalikan oleh penalaran kita. Jika perasaan mulai menguasai otak kita, maka keadaan tentu akan lain”

“Setan kau Purbarana“ geram Raden Panji yang benar-benar tidak man melihat kenyataan itu ”siapapun yang menentang kuasaku di sini, akan aku hancurkan sampai lumat.”

“Kau jangan kehilangan akal Raden Panji“ sahut Ki Tumenggung Purbarana “Aku akan memberimu kesempatan untuk menilai pertempuran ini dalam keseluruhan”

Tetapi Raden Panji justru meloncat menyerang dengan garangnya. Ki Tumenggung Purbarana bergeser mengelak. Namun senjatanya telah berputar mematuk tubuh Raden Panji. Tetapi ternyata Raden Panji yang tangkas itu masih sempat menggeliat. Bahkan dengan cepat senjatanya terayun menyambar kearah kening Ki Tumenggung.

Ki Tumenggung dengan cepat mengangkat senjata menangkis serangan Raden Panji itu. Dengan demikian, kedua senjata itupun telah berbenturan. Masing-masing dengan mengerahkan segenap kekuatannya. Raden Panji mengumpat sejadi-jadinya. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Namun ia masih sempat mempertahankannya meskipun tangannya terasa menjadi pedih.

Sambil meloncat mundur tiba-tiba saja ia berteriak “Jangan hiraukan yang lain. Ambil perempuan pengkhianat itu. Aku hanya memerlukan perempuan itu. Siapa yang menghalangi, bunuh saja di tempat”

Tetapi tidak seorangpun yang dapat melakukannya. Selain mereka masih harus bertempur, merekapun tidak akan mampu melakukannya. Di ruang dalam, Mas Rara mendengar teriakan Raden Panji itu. Dengan gemetar ia telah memeluk ibunya, sementara Wirantana berkata.

“Jangan takut, ayah dan aku ada di sini...”

Tetapi Mas Rara memang menjadi ketakutan. Apalagi ia tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di pendapa dan di halaman depan rumahnya. Dalam pada itu, seakan-akan seluruh padukuhan menjadi ketakutan. Satu dua orang yang mendengar keributan itu dan keluar dari rumahnya, menjadi berdebar-debar.

Satu dua orang itu mencoba untuk melihat apa yang terjadi di halaman rumah Ki Partija. Tetapi demikian mereka melihat sebuah pertempuran yang sengit, maka merekapun telah pergi menjauh. Beberapa orang yang lain yang ingin melihat keadaan, telah diberitahu tentang apa yang telah terjadi.

“Apa, yang sebenarnya terjadi di rumah itu?“ desis seseorang.

“Kita tidak tahu. Ada dua pasukan yang datang ke rumah itu. Namun ternyata kedua pasukan itu telah bertempur”

Dengan demikian, meskipun seakan-akan seisi padukuhan itu telah terbangun, namun mereka tidak berani mendekat rumah Ki Partija Wirasentana. Meskipun ada niat diantara mereka untuk membantu jika ada kesulitan yang terjadi. Tetapi mereka tidak akan dapat melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit. Merekapun tidak tahu kepada siapa mereka harus berpijak.

Karena itu, mereka hanya dapat mengikuti pertempuran itu dari jarak yang agak jauh, dengan jantung yang berdebar-debar. Namun demikian, pintu setiap rumah telah ditutup rapat-rapat. Nyala lampu diperkecil dan perempuan-perempuan memeluk anak-anak mereka semakin erat. Seorang anak laki-laki merengek mencari ayahnya. Dengan susah payah ibunya membujuknya agar anak itu diam.

“Ayah sedang meronda ngger. Tidurlah. Masih malam“ bisik ibunya dengan suara yang gemetar.

Sebenarnyalah hampir setiap laki-laki memang keluar dari rumahnya dan berpesan agar isterinya menyelarak pintu rapat-rapat. Yang tidak mendengar keributan telah diketuk pintunya oleh tetangga-tetangganya dan dimintainya keluar rumah, meskipun di luar rumah mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Pertempuran di halaman rumah Ki Partija masih saja berlangsung. Tidak ada tanda-tanda bahwa Raden Panji akan menyerah, meskipun orang-orangnya semakin terdesak. Beberapa orang justru telah terluka. Dan beberapa saat kemudian Raden Panji sendiri telah tergores ujung senjata pula. Meskipun lukanya tidak dalam dan tidak mempengaruhi kemampuannya, tetapi pakaiannya telah terkoyak lebar.

Dalam pada itu, Raden Puspasari akhirnya menjadi tidak sabar lagi. Ia pun mulai menyingsingkan kain panjangnya. Sikap Raden Panji menurut Raden Puspasari telah melampaui batas wewenangnya, sementara ia tidak mau mendengarkan pendapat orang lain sama sekali.

“Orang yang semula dianggap berjasa itu ternyata telah menjadi mabuk kekuasaan!“ berkata Raden Puspasari di dalam hatinya. Namun katanya kemudian kepada dirinya sendiri. “Apa boleh buat. Aku akan mengambil alih orang itu. Aku harus benar-benar sampai hati untuk melumpuhkannya. Biarlah Ki Tumenggung Purbarana menyelesaikan para prajuritnya”

Tetapi ketika Raden Puspasari melangkah ke tangga pendapa, ia terkejut karenanya. Raden Puspasari telah mendengar derap kaki kuda mendekati halaman rumah Ki Partija Wirasentana. Karena itu, ia urung turun ke halaman. Dengan berdebar-debar Raden Puspasari menunggu siapa yang telah datang itu. Mungkin prajurit-prajurit Raden Panji yang menyusul. Mungkin orang lain. Atau siapapun.

Ternyata tidak hanya derap beberapa ekor kuda mendekati pintu gerbang halaman. Namun mereka masih saja terikat dalam pertempuran, sehingga mereka tidak dapat memperhatikannya dengan seksama. Tetapi derap kaki kuda itu telah menyentuh setiap jantung yang ada di halaman rumah Ki Partija dan sedang bertempur itu.

Beberapa saat kemudiam, beberapa ekor kuda muncul dari luar regol. Dua orang dalam pakaian perwira tinggi Pajang, diikuti oleh lima orang prajurit pengawal. Bahkan menilik pakaiannya, mereka adalah prajurit khusus bagian dari Wiratamtama.

Demikian mereka berada di halaman, maka pertempuran itupun seakan-akan telah berhenti. Beberapa orang yang sedang bertempur itu telah berloncatan surut mengambil jarak. Bahkan Raden Panji pun telah meloncat menjauhi Ki Tumenggung Purbarana sambil berteriak,

“Siapa lagi yang datang ke halaman rumah pengkhianat ini? Jika kalian prajurit Pajang, maka kewajiban kalian adalah melaporkan kehadiran kalian kepada kami. Pasukan yang telah mendapat wewenang untuk memelihara keamanan di daerah ini”

Dua orang perwira yang masih duduk dipunggung kudanya itu tidak segera menjawab. Mereka memandang berkeliling halaman. Sekali-sekali mereka mengusap keringat di kening. Ketujuh orang itu nampak letih. Demikian pula kuda-kuda mereka. Namun ketika mereka bergerak lebih dekat dan mulai disentuh oleh cahaya lampu minyak di pendapa, maka orang-orang yang ada di halaman itupun terkejut.

Raden Puspasarilah yang pertama-tama menyebut namanya. “Paman Wilamarta!”

Orang yang disebut namanya itu memandang ke pendapa. Dengan nada rendah ia berdesis. “Raden sudah berada di sini,”

“Ya. Aku mendapat tugas bersama Ki Tumenggung Purbarana“ jawab Raden Puspasari.

“Tetapi apa yang telah terjadi di sini?“ bertanya Ki Wilamarta.

Raden Puspasari pun kemudian turun dari pendapa. Sementara Ki Wilamarta dan para pengiringnyapun meloncat turun dari kudanya. Sambil mendekati Ki Wilamarta Raden Puspasaripun berkata. “Silahkan Ki Wilamarta bertanya kepada Raden Panji Prangpranata.”

Ki Wilamarta mengerutkan keningnya. Dipandanginya Raden Panji Prangpranata, Beberapa langkah Ki Wilamarta maju mendekat.

Sebelum Ki Wilamarta bertanya, Raden Panji telah berkata. ”Selamat datang di daerah tugasku Ki Wilamarta”

Ki Wilamarta tersenyum. Katanya. “Aku menjadi kelelahan. Aku datang ke barak induk pengendalian pasukanmu. Tetapi kau tidak ada. Aku mendapat keterangan bahwa belum terlalu lama kau pergi ke Nguter untuk memburu para pengkhianat.”

“Ya. Ya, Ki Wilamarta“ sahut Raden Panji dengan serta merta. “Aku memang sedang berusaha menangkap pengkhianat yang ternyata mendapat perlindungan dari beberapa orang prajurit Pajang. Mereka datang ke daerah kuasaku tanpa melaporkan kehadirannya kepadaku.”

“Siapa“ bertanya Ki Wilamarta.

“Tumenggung Purbarana.“ jawab Raden Panji Prangpranata.

“Tetapi aku melihat Panji Wiratama ada di sini pula“ berkata Ki Wilamarta.

“Ya Ki Wilamarta“ jawab Panji Wiratama yang ada dikejauhan, yang telah mengambil jarak pula dari lawannya ”Aku telah datang pula kemari. Aku telah mencoba mencegah tindakan yang diambil Raden Panji Prangpranata meskipun aku datang agak terlambat. Tetapi Raden Panji sama sekali tidak menghiraukannya”

“Aku sedang menjalankan tugasku Ki Wilamarta sahut Raden Panji.

“Tugas apa?“ bertanya Ki Wilamarta.

“Aku sedang memburu pengkhianat dan para perampok. Selama ini aku telah berhasil menjalankan tugasku dengan baik. Menguasai daerah yang luas dan membersihkannya dari kejahatan. Tetapi ternyata kemudian justru aku sendirilah yang dirampok dan dikhianati...“ jawab Raden Panji.

“Apa saja milik Raden Panji yang dirampok?” bertnya Ki Wilamarta.

Raden Panji termangu-mangu sejenuk. Namun kemudian iapun menjawab. “Justru lebih berharga dari harta benda. Calon isterikulah yang telah dirampok orang.”

“Dan siapakah pengkhianat itu?“ bertanya Ki Wilamarta pula.

Raden Panji memang menjadi bingung. Tetapi ia pun kemudian menjawab “Bakal isteriku itu!”

“Jika demikian, kenapa Raden Panji harus menyusul demikian jauhnya untuk mengambil pengkhianat itu? Biar sajalah pengkhianat itu dibawa oleh para perampok. Raden Panji tidak perlu berusaha menolongnya!”

“Aku tidak akan menolongnya. Tetapi aku akan menangkap mereka semuanya!” jawab Raden Panji tersendat-sendat.

Ki Wilamarta tersenyum. Dipandanginya orang-orang yang ada di halaman itu. Raden Puspasari, Ki Tumenggung Purbarana yang termangu-mangu, Panji Wiratama dan para prajurit Pajang yang sedang saling bertempur itu. Mereka pada umumnya telah mengenal Ki Wilamarta seorang Senapati dari prajurit Wiratamtama Pajang. Seorang yang dekat sekali hubungannya dengan Sultan di Pajang.

Halaman itupun kemudian telah dicengkam oleh suasana yang tegang namun hening. Tidak seorangpun yang berbicara diantara mereka. Sementara Ki Wilamarta melangkah ke pendapa dan kemudian naik serta berdiri tegak menghadap kehalaman.

“Raden Panji.“ berkata Ki Wilamarta “Kami, di Pajang telah menerima laporan tentang tugas-tugas yang kau lakukan. Di samping keberhasilanmu menenangkan daerah ini dari kerusuhan yang ditimbulkan oleh para perampok, maka Raden Panji pun telah menimbulkan kegelisahan tersendiri. Tugas yang kau pikul telah kau laksanakan dalam batas-batas wajar. Tetapi semakin lama menjadi semakin sulit dimengerti, sehingga pada suatu saat, tingkah laku Raden Panji sudah terlepas dari kendali”

“Itu fitnah...“ potong Raden Panji.

Tetapi Ki Wilamarta seakan-akan tidak mendengarkannya. Ia berkata selanjutnya. “Aku mendapat tugas untuk mengikuti perkembangan tugas Raden Panji. Karena itu, aku telah menugaskan Panji Wiratama yang belum kau kenal untuk mengamatimu dari dekat. Ia tinggal beberapa rumah saja dari rumah yang kau pergunakan sebagai barak induk pasukanmu. Ia tahu benar apa yang kau lakukan. Ia tahu, berapa orang perempuan yang telah menjadi korbanmu. Selain itu, Raden Panji juga telah merasa berwenang untuk menjatuhkan hukuman apa saja kepada orang yang dianggap bersalah. Bahkan hukuman mati sekalipun. Puncak dari kegelisahan tugas Raden Panji adalah keinginan Raden Panji mengambil calon isteri dari Nguter ini. Kami telah mendapat laporan lengkap. Laporan itu kami hubungkan dengan tugas Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari. Kedua-duanya juga menyebutkan padukuhan Nguter. Apalagi ketika laporan yang terperinci itu menyebut tentang Mas Rara!“ dia berhenti sejenak.

“Karena itu, aku datang langsung ingin bertemu dengan Raden Panji. Tetapi saat kami datang, Raden Panji sedang memburu pengkhianat dan perampok kemari. Ke Nguter. Betapapun kami letih, kami berusaha menyusul kemari, meskipun harus beristirahat beberapa kali di perjalanan”

Wajah Raden Panji menjadi merah. Dipandanginya orang di sekelilingnya. Nampak beberapa orang perwira yang memiliki kekuasaan di dalam tataran keprajuritan Pajang. Bahkan beberapa orang yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukannya. Apalagi Ki Wilamarta sendiri telah datang ke tempat itu.

Sementara itu Ki Wilamarta telah berkata selanjutnya. “Kau masih sempat mengingat apa yang kau lakukan selama ini Raden Panji. Sekarang aku datang tidak untuk melupakan keberhasilanmu. Tetapi aku sekadar membawa perintah baru bagimu. Kembali ke Pajang.”

Raden Panji yang tua itupun kemudian menundukkan kepalanya. Ia masih mendengar Ki Wilamarta bertanya.

”Bukankah aku tidak perlu menunjukkan pertanda tugasku kepadamu? Bukankah wajahku yang telah kau kenal ini sudah merupakan pertanda itu?”

“Ya Ki Wilamarta“ desis Raden Panji. “Aku tidak akan berani menanyakan pertanda tugas Ki Wilamarta, justru aku mengenal Ki Wilamarta”

“Nah, jika demikian, marilah. Kita akan kembali ke Pajang“ berkata Ki Wilamarta.

“Aku tidak akan melawan perintah itu” jawab Raden Panji “Tetapi aku akan berbicara dengan para prajuritku. Aku akan kembali ke barak induk pengendalian pasukanku. Aku akan mengumumkan mereka dan berbicara kepada mereka”

“Tidak Raden Panji“ jawab Ki Wilamarta “kita akan langsung pergi ke Pajang. Kita akan mengambil jalan lain dan tidak akan singgah di barak pengendalian pasukanmu itu”

“Tetapi aku masih mempunyai barang-barang di sana” desis Raden Panji.

“Biarlah orang lain mengurusnya!“ jawab ki Wilamarta.

Raden Panji tidak menjawab lagi. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Namun Raden Puspasarilah yang berkata.

“Tentu paman Wilamarta tidak kembali ke Pajang sekarang. Paman telah menjadi sangat letih. Kuda-kuda pamanpun letih. Paman akan berada di sini sampai besok siang, sehingga cukup untuk beristirahat. Besok kita bersama-sama menempuh perjalanan ke Pajang“

Ki Wilamarta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Baiklah. Aku akan beristirahat di sini sampai besok siang.”

Dengan demikian, maka pertempuran di halaman itupun telah selesai. Beberapa orang yang terluka sempat mendapat perawatan. Sementara Ki Wilamarta telah memanggil beberapa orang untuk berbicara di pendapa. Raden Puspasari, Ki Tumenggung Purbarana, Panji Wiratama, Raden Panji Prangpranata serta Ki Partija Wirasentana.

Sedangkan di halaman para prajurit berada dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing. Namun mereka yang terluka telah dibaringkan di pringgitan untuk mendapat perawatan. Apalagi mereka yang terluka cukup parah. Bahkan ada dua diantara mereka yang nyawanya tidak dapat tertolong lagi.

Malam itu Ki Wilamarta telah memberikan beberapa perintah kepada para perwira yang telah dikumpulkannya itu. Ki Wilamarta yang membawa wewenang penuh dari Kangjeng Sultan itu telah memerintahkan Panji Wiratama untuk menggantikan kedudukan Raden Panji Prangpranata.

“Tugasmu tidak seberat tugas Raden Panji Prangpranata“ berkata Ki Wilamarta ”Apalagi satu atau dua tahun yang lalu”

“Ya Ki Wilamarta“ jawab Panji Wiratama “Aku siap menjalankan perintah!”

Para prajurit yang datang ke Nguter bersama-sama dengan Raden Panji Prangpranata akan menjadi saksi perintahku. Tetapi untuk sandaran Ki Panji Wiratama dalam menjalankan tugasnya, maka aku perintahkan Raden Panji menyerahkan pertanda tugasnya kepada Ki Panji Wiratama!”

Raden Panji Prangpranata tidak dapat mengingkarinya melakukan segala perintah Ki Wilamarta.

Sementara itu, di ruang dalam Mas Rara masih saja ketakutan. Namun Wirantana yang menemaninya berkata “Jangan takut. Segala sesuatunya telah berlalu...”

Mas Rara tidak menjawab. Tetapi tubuhnya masih gemetar.

Demikianlah, maka segala sesuatunya telah diselesaikan oleh Ki Wilamarta. Para perwira yang ada di pendapa itu sudah tahu pasti apa yang akan mereka lakukan besok. Namun masih ada satu hal yang mereka bicarakan, bagaimana mereka akan membawa Mas Rara ke Pajang.

“Mas Rara tidak mau duduk di punggung kuda!” berkata Ki Partija Wirasentana “Namun atas kebaikan hati Ki Jagabaya, aku telah meminjam pedati kuda itu. Pedati kuda yang beberapa hari yang lalu telah dibawa mengantarkan Mas Rara menghadap Raden Panji Prangpranata.”

“Apakah pedati itu masih dapat dipinjam?“ bertanya Ki Wilamarta.

“Besok aku akan berbicara dengan Ki Jagabaya“ jawab Ki Partija Wirasentana.

Tetapi Ki Wilamarta itupun kemudian telah bertanya kepada Raden Puspasari. ”Apakah Mas Rara sudah siap berangkat besok?”

Raden Puspasari itupun termangu-mangu sejenak. Sambil memandangi Ki Partija Wirasentana, Raden Puspasari itu berkata. “Aku belum mengatakan apa-apa kepada gadis itu”

Ki Wilamarta mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya “Kenapa Raden belum berbicara dengan gadis itu?“

“Gadis itu baru datang. Ketika aku datang ke rumah ini, Mas Rara telah berada di tempat Raden Panji Prangpranata. Namun kemudian telah melarikan diri.“ jawab Raden Puspasari.

Ki Wilamarta pun mengangguk-angguk. Katanya. “Ya. Ya. Aku dapat mengerti dan membayangkan peristiwanya. Tetapi bukankah sebaiknya Raden berbicara sekarang dengan Mas Rara jika ia belum tidur?“

“Belum Ki Wilamarta“ jawab Ki Partija Wirasentana “Gadis itu masih ketakutan di dalam, ditunggui kakaknya, maksudku anakku, Wirantana”

Raden Puspasari mengangguk-angguk. Katanya kepada Ki Partija. “Aku dan Ki Tumenggung Purbarana akan berbicara dengan gadis itu”

“Tetapi Mas Rara tentu tidak akan berani keluar “desis Ki Partija Wirasentana.

“Jadi?“ desis Raden Puspasari.

“Biarlah Raden dan Ki Tumenggung masuk ke pringgitan” berkata Ki Partija Wirasentana.

Demikianlah. Diantar oleh Ki Partija, kedua utusan dari Pajang itu telah memasuki pringgitan. Ketika pintu terbuka, Mas Rara telah memeluk ibunya erat-erat.

“Jangan takut.” berkata ayahnya ”keduanya adalah utusan dari Pajang yang justru telah menolongmu.”

Namun bagaimanapun juga, bayangan ketakutan itu masih nampak di wajah Mas Rara. Raden Puspasari dan Ki Tumenggung Purbarana itupun kemudian telah duduk di ruang dalam. Dengan sangat berhati-hati Raden Puspasari mulai berbicara dengan Wiranti yang kemudian disebut Mas Rara.

Mas Rara sendiri menjadi sangat terkejut mendengar keterangan itu. Bahkan ketika ia menyadari, bahwa para utusan dari Pajang itu berniat menjemputnya dan membawanya ke Pajang. Mas Rara telah memeluk ibunya erat-erat. Hampir berteriak Mas Rara menangis. “Aku tidak mau. Aku tidak mau.”

Bagi Mas Rara memang tidak ada orang lain yang dianggapnya sebagai ayah dan ibunya kecuali Ki Partija Wirasentana suami isteri. Meskipun keduanya tidak lebih dari orang-orang padesan, tetapi Mas Rara merasakan kesejukan kasih sayangnya sejak ia masih belum menyadari kehadiran dirinya.

Namun Raden Puspasari, Ki Tumenggung Purbarana dan bahkan Ki Partija Wirasentana suami isteri, dengan sabar berusaha, meyakinkan bahwa Mas Rara sudah sepantasnya berada di Pajang.

Sampai dini hari mereka membujuk Mas Rara untuk bersedia pergi ke Pajang. Namun mereka masih saja mengalami kesulitan. Apalagi di Pajang, sebenarnya Mas Rara sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu kandung lagi.

Meskipun demikian, dengan segala macam kesediaan dan janji, maka Mas Rara akan pergi ke Pajang namun bersama dengan orang yang dianggap orang tuanya itu. Ki Partija Wirasentana suami isteri, dan kakaknya Wirantana.

Raden Puspasari dan Ki Tumenggung Purbarana memang tidak berkeberatan. Merekapun membayangkan bahwa akhirnya Wiranti itu tentu akan kembali lagi kepada Ki Partija Wirasentana suami isteri, karena selain kedua orang tuanya sendiri sudah tidak ada, hubungan antara Wiranti dengan kedua orang tua angkatnya itu sudah terlanjur demikian eratnya.

Ketika fajar mulai membayang di langit, maka di pendapa rumah Ki Partija Wirasentana itu Ki Wiratama telah mendapat laporan tentang kesediaan Mas Rara pergi ke Pajang, namun bersama dengan seluruh keluarganya.

“Tentu tidak berkeberatan” berkata Ki Wilamarta” bagaimanapun juga, nama Pangeran Kuda Kertanata masih juga dihormati. Demikian pula dengan Raden Kuda Respada, ayah Wiranti itu”

Ketika kemudian matahari terbit, maka para perwira prajurit Pajang itu justru baru mulai beristirahat. Namun demikian, Raden Panji Prangpranata merasa bahwa dirinya selalu berada di dalam pengawasan.

Menjelang siang, mereka akan meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda, meskipun perjalanan mereka akan mereka lakukan sampai jauh malam. Ki Wilamarta akan membawa Raden Panji Prangpranata ke Pajang, bersama-sama dengan Raden Puspasari dan Ki Tumenggung Purbarana yang akan membawa Mas Rara dengan seluruh keluarganya ke Pajang.

Sedangkan Ki Panji Wiratama bersama para prajurit yang datang bersama Raden Panji serta para pembantunya, akan kembali ke padukuhan induk pengendalian pasukan Pajang yang semula dipimpin oleh Raden Panji Prangpranata.

Namun dalam pada itu, sebelum semuanya berangkat meninggalkan rumah Ki Partija Wirasentana, setelah Ki Jagabaya meminjamkan pedati kudanya. maka dua orang anak muda telah menemui Ki Partija Wirasentana untuk minta diri.

“Tidak...“ jawab Ki Partija Wirasentana “Kalian berdua akan pergi bersama kami ke Pajang”

“Terima kasih Ki Partija“ jawab Manggada “kami sudah terlalu lama tersangkut di padukuhan Nguter ini. Karena itu, maka kami mohon diri untuk menentukan perjalanan kami. Sebenarnyalah kami sedang menempuh perjalanan pulang untuk menjumpai orang tua kami setelah beberapa lama mengembara”

“Siapakah mereka Ki Partija?“ bertanya Ki Wiratama.

Dengan singkat Ki Partija telah menceriterakan tentang kedua orang anak muda itu, yang bersama-sama dengan anaknya telah membebaskan Wiranti dari tangan Raden Panji. Namun Wirantana sempat menceriterakan apa yang pernah dilakukan oleh keduanya. Manggada dan Laksana adalah orang yang telah menyelamatkan Mas Rara dari kuku-kuku dan taring harimau lapar. Namun keduanya pula yang telah melepaskan Mas Rara dari nafsu hitam Ki Resa, pamannya.

“Tanpa kedua orang anak muda itu, maka para prajurit yang dikirim oleh Raden Panji untuk menjemput Mas Rara tentu akan dihancurkan di perjalanan“ berkata Wirantana kemudian.

Ki Wilamarta menganagguk-angguk. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka iapun dapat melihat kemampuan yang terpancar pada kedua orang anak muda itu. Maka katanya kemudian. “Anak-anak muda. Jika berkenan di hati kalian, aku ingin menawarkan, agar kalian bersedia menjadi prajurit di Pajang...”

Namun Manggada menjawab “Kami mengucapkan terima kasih. Memang sangat menarik bagi kami untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi kami mohon untuk minta ijin dahulu kepada orang tua kami...”

Ki Wilamarta tersenyum. Katanya “Baiklah. Sebenarnya kalian memang minta ijin lebih dahulu...”

Dengan demikian maka Ki Partija Wirasentana suami isteri, Wirantana dan bahkan Mas Rara sendiri tidak dapat lagi mencegahnya. Manggada dan Laksana benar-benar meninggalkan padukuhan Nguter dengan seribu macam kesan dan kenangan. Kedua anak muda itu sempat melihat sepasang mata Raden Panji Prangpranata yang menyala. Namun iapun melihat senyum ramah Raden Puspasari dan pandangan lembut Ki Tumenggung Purbarana. Kepada Ki Panji Wiratama, Manggada dan Laksana mengingatkan akan kuda-kuda yang disediakan bagi mereka.

“Kuda itu masih ada disini...“ desis Manggada.

Ketika mereka berdua meninggalkan halaman rumah itu, Mas Rara dan keluarganya telah melepaskan mereka sampai ke regol. Dengan nada yang lemah Mas Rara berbisik ”Terima kasih. Aku tidak akan pernah melupakan kalian berdua...”

Manggada dan Laksana hanya dapat menarik nafas. Namun merekapun kemudian telah melangkah meninggalkan regol halaman semakin lama semakin jauh...

SELESAI

Selanjutnya, Arya Manggada Seri Ke 3
Sang Penerus