Prahara Di Gurun Gobi Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"BENAR, akupun juga tak tahu. Bagaimana ciangbunjin tadi mengalahkan mereka dan bagaimana dua kakek siluman itu sampai roboh!”

"Yang jelas ciangbunjin kita hebat. Kepandaiannya seperti dewa. Ah, sekarang siapapun tak berani menggangu kita, kawan-kawan. Ada Beng Kong lo-suheng yang hebat dan ciangbunjin kita yang sakti!”

Anak-anak murid Go-bi memuji dan tak habis-habisnya mengagumi ketua mereka yang hebat. Munculnya Ji Leng Hwesio dan kepandaiannya yang seperti dewa memang membuat anak- anak murid berbangga hati. Mereka tadi begitu khawatir akan terdesaknya Beng Kong Hwesio tapi tiba-tiba girang dan kagum luar biasa begitu ciangbunjin mereka yang lama muncul, datang dan memperlihatkan diri dan kepandaian ketua mereka yang seperti dewa memang benar-benar membuat mulut semua murid mendecak.

Bayangkan, ciangbunjin mereka itu sudah bukan seperti manusia lagi. Kakinya tak menapak tanah dan melayang-layang seperti dewa. Dan ketika ciangbunjin mereka itu dapat mengalahkan dua lawannya begitu mudah, hanya sekali gebrak dan dua tokoh Heng-san itupun terpelanting berguling-guling, takluk dan menyatakan kalah maka murid-murid bersorak dan tentu saja bangga. Mereka mempunyai pimpinan yang demikian sakti.

Sekarang tak akan ada lagi musuh yang berani datang mengganggu. Dan ketika benar saja hari-hari berikutnya Go-bi tak pernah disatroni musuh, kejadian atau peristiwa di Go-bi itu didengar orang-orang kang-ouw maka perkumpulan silat yang terletak di tengah gurun ini tak lagi diganggu orang. Siang Kek maupun Siang Lam Cinjin membawa malu besar dan begitu mereka pulang begitu mereka langsung bertapa. Kekalahan yang diderita dari yang terhormat ketua Go-bi memberikan pengalaman pahit.

Dua kakek itu malu besar. Dan ketika mereka menyembunyikan dan langsung menutup diri, Tujuh Malaikat Hoa-san juga pulang ke tempat masing-masing, Kiam Ting juga kembali dan pulang ke Kun-lun maka peristiwa besar di Go-bi ini menjadi pembicaraan hangat di mulut orang-orang kang-ouw. Berita kekalahan dan munculnya Ji Leng Hwesio menjadikan topik cerita di mana-mana. Dedengkot Heng-san sampai roboh di tangan ketua Go-bi itu, yang terpaksa keluar dan membantu muridnya yang hendak dikalahkan Siang Kek Cinjin.

Dan karena hal itu tentu saja mengejutkan dan mengherankan orang-orang kang-ouw, karena Siang Kek maupun Siang Lam sebenarnya adalah tokoh- tokoh tua yang setingkat dengan pendahulu sebelum Ji Leng maka kontan saja pembicaraan mengenai Bu-tek-cin-keng otomatis disinggung-singgung lagi.

"Ciangbunjin dari Go-bi-pai itu memiliki Hok-tee Sin-kun. Dan Hok-tee Sin-kun adalah warisan kitab maha sakti Bu-tek-cin-keng. Ah, ini yang menyebabkan Ji Leng amat hebat, kawan-kawan. Go-bi telah mewarisi kitab maha-rahasia yang luar biasa!"

"Dan kita juga akan sehebat itu kalau sudah mempelajari Bu-tek-cin-keng. Ah, aku si tua bangka ingin mendapatkan kitab maha sakti itu!”

"Aku juga...”

"Aku juga!"

"Tapi Go-bi sekarang tak menyimpan kitab itu. Bu-tek-cin-keng telah dibawa kabur Coa-ong dan kawan-kawannya Tujuh Siluman Langit!"

"Benar, kalau begitu kita cari mereka itu, kawan-kawan. Hayo berlomba sebelum Go-bi merebut kembali barang miliknya!"

Begituah, kabar dan cerita dari mulut ke mulut ini tersebar dengan cepat. Kepandaian dan kesaktian Ji Leng Hwesio menjadi pembicaraan orang di mana-mana. Semua menyimpulkan bahwa itulah karena Bu-tek-cin-keng. Siang Kek dan Siang Lam yang menjadi dedengkot Heng-san sampai kalah. Dan karena Bu-tek-cin-keng juga dikabarkan sudah dibawa kabur Tujuh Siluman Langit, orang-orang tak tahu bahwa Coa-ong dan kawan-kawannya justeru hanya mendapatkan serpihan-serpihan kertas kosong dari bungkusan yang mereka bawa.

Maka diam-diam bergeraklah orang-orang kang-ouw ini mencari Tujuh Siluman Langit. Mereka masih tetap berambisi mencari kitab itu karena daya tarik dan ceritanya yang demikian besar. Apalagi setelah dibuktikan dengan kepandaian Ji Leng yang luar biasa, yang mampu mengalahkan dan membuat takluk dedengkot-dedengkot seperti Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin. Dan karena semuanya ini benar-benar menarik minat, merangsang gairah dan menutup kesadaran untuk hal-hal yang jernih maka celakalah Coa-ong dan kawan-kawannya itu yang "diserbu" orang-orang kang-ouw.

Mereka mencaci-maki dan menghindar dari serbuan ini, bukan karena takut melainkan karena jumlahnya yang begitu besar, mengganggu ketenteraman dan hidup mereka sejak terguncang oleh mengamuknya Ji Beng Hwesio dulu, yang tewas di tangan laki-laki berkedok yang misterius. Dan ketika Coa-ong maupun kawan-kawannya harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, diburu dan dicari orang-orang kang-ouw ini maka anehnya Go-bi yang merasa kehilangan kitab dan jelas-jelas direbut barang miliknya itu adem-adem saja.

Go-bi memang telah mengeluarkan semacam "pernyataan resmi" bahwa Bu-tek-cin-keng tak ada lagi di situ. Kitab telah dibawa dan dilarikan Tujuh Siluman Langit. Dan karena ketika kejadian itu memang Coa-ong dan kawan-kawannya melarikan bungkusan hitam, dari saku baju It Lun Tojin maka banyak orang percaya dan dapat menerima itu, melihat dan menyaksikan sendiri dan karena itu Coa-ong dan kawan-kawannya inilah yang ganti diburu.

Orang-orang kang-ouw memang sedang demam Bu- tek-cin-keng. Nyawapun mereka pertaruhkan asal mendapat kitab. Dan ketika mereka mulai mencari dan mengejar-ngejar Tujuh Siluman Langit, tak tahu atau melihat kejadian di hutan yang mengakibatkan Ji Beng Hwesio tewas maka Go-bi sendiri tenang-tenang dan tak ada gerakan untuk mencari atau membalas Tuiuh Siluman Langit. Hal ini sebenarnya luar biasa karena gara-gara Tujuh Siluman Langit itulah Ji Beng tewas. Bahkan, gara-gara Tujuh Siluman Langit ini pula rahasia Bu-tek-cin-keng terbuka.

Tapi begitu kitab dibawa lari orang dan semua sibuk mencari Coa-ong dan kawan-kawannya, Bu-tek-cin-keng benar-benar membuat orang menjadi "demam" maka adalah aneh bahwa Go-bi sendiri sebagai pihak yang kehilangan barang tak tampak tanda-tanda atau gerakan untuk merebut kembali. Beng Kong, kata murid-murid Go-bi, dilarang Ji Leng Hwesio mencari kitab. Yang hilang biarlah hilang karena betapapun juga toh isi kitab sudah dihapal sang tetua, bahkan sudah diwariskan kepada Beng Kong Hwesio segala hingga kepandaian hwesio itu meningkat pesat.

Siang Kek maupun Siang Lam tak mampu menandingi hwesio tinggi besar ini, kecuali dengan mengeroyok. Tapi karena Ji Leng ada di situ dan kemungkinan besar hwesio itu pasti masih mendapat ilmu-ilmu lagi, ini logis maka Siang Kek maupun Siang Lam putus asa memusuhi Go-bi karena toh mereka pasti kalah lagi. Beng Kong kelak akan sesakti gurunya dan ini membuat mereka ngeri. Dengan kepandaian yang seperti sekarang saja murid Ji Leng itu sudah mampu mempermainkan mereka, menghina dan mempermalukan.

Apalagi kalau kelak sudah setaraf gurunya dan mereka coba-coba membalas dendam. Tentu hinaan dan malu yang lebih hebat lagi yang bakal mereka terima. Dan karena semuanya itu dapat dipikir baik-baik, dua kakek ini benar-benar memendam sakit hati maka mereka bertapa dan tak perduli atau menghiraukan keadaan Heng-san lagi. Go-bi sudah diminta untuk tidak mengganggu, itu cukup. Dan karena Ji Leng dapat dipercaya dan tak mungkin Heng-san điganggu, atau mereka bangkit dan mempertaruhkan nyawa maka Go-bi dan Heng-san terlibat perang dingin di mana masing-masing pihak sudah tak mau bertegur sapa lagi.

Cacad dan celakanya To Hak Cinjin terpaksa diselesaikan di situ saja. Siang Kek maupun Siang Lam terpaksa menutup mata dan telinga terhadap murid keponakan ini, yang tentu saja terbelalak dan sakit hati namun tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika di Hoa-san maupun Kun-lun juga begitu, Tujuh Malaikat maupun Kiam Ting juga tak mampu berbuat jauh maka kematian It Lun Tojin maupun Kiam Leng Sianjin dipeti-es-kan alias tak diurus. Go-bi sudah mengalahkan mereka dan mereka harus tahu diri.

Dan ketika semua juga tutup mulut namun tentu saja Go-bi dan tiga partai persilatan ini bermusuhan, mereka tak bicara dan bertegur sapa satu sama lain maka Beng Kong memimpin lagi anak-anak murid Go-bi dengan lebih bebas dan keras. Tiga hari setelah itu hwesio ini dipanggil gurunya, entah apa yang dibicarakan namun hwesio itu berseri-seri ketika muncul kembali. Dia berkata kepada tujuh adiknya Pat-kwa-hwesio bahwa ia akan digembleng dalam bukit pertapaan, sementara ini adik-adiknya itulah yang diminta untuk mewakilinya memimpin partai.

Dan ketika tujuh hwesio itu mengerutkan kening namun mengangguk, tentu saja menerima perintah maka Beng Kong menghilang dan masuk ke pertapaan gurunya. Ji Leng rupanya ingin menggembleng sang murid setelah repot menghadapi desakan dua dedengkot Heng-san itu, menurunkan ilmu-ilmunya lagi agar sang murid bertambah sakti. Dan ketika sebulan dua bulan hwesio itu tak pernah menampakkan diri. Go-bi benar-benar aman dari gangguan musuh maka di tempat lain justeru kegaduhan atau keributan tentang Bu-tek-cin-keng beralih!

* * * * * * * *

Mari kita ikuti perjalanan Coa-ong dan enam Siluman Langit yang lain. Seperti diketahui, Coa-ong dan kawan-kawan dihajar babak-belur oleh Ji Beng Hwesio yang marah besar. Hwesio Go-bi itu benar-benar murka oleh tingkah atau perbuatan tujuh orang ini. Go-bi dibuat tak tenang lagi oleh kehadiran mereka. Dan ketika Bu-tek-cin-keng tak didapatkan lagi di saku dalam It Lun Tojin, yang tewas dan dilempar hwesio itu maka Ji Beng mengejar dan memburu ketujuh lawannya. Coa-ong dan kawan-kawan memang dikenal sebagai orang-orang licik. Mereka itu banyak akal dan terlebih curang.

Maka begitu didapat bahwa kitab tak ada di saku It Lun Tojin, sang hwesio mengejar dan keluar gurun maka dihadangnya lawan- lawannya di hutan sana. Coa-ong dan teman- teman kaget dan selanjutnya kita tahu pertarungan mati hidup di antara tujuh orang ini melawan Ji Beng. Semua kepandaian dan kesaktian hwesio itu dikeluarkan. Coa-ong dan kawan-kawan kewalahan. Dan ketika satu demi satu mereka terluka, untunglah seseorang menolong dan menghajar hwesio itu maka Coa-ong dan teman-teman selamat dari amukan si hwesio kosen.

Diam-diam mereka mencucurkan keringat dingin melihat kehebatan hwesio ini. Bukan main, baru beberapa tahun saja tak bertemu tiba-tiba si hwesio sudah selihai dan sesakti itu. Namun ketika bayangan hitam membunuh hwesio itu dan ular Tiga Warna menancap di dada sang hwesio, roboh dan tewas maka Coa-ong dan kawan-kawannya ngacir dengan mendekap dada atau tubuh yang terluka. Rata-rata luka dalam dihantam pukulan Ji Beng.

Coa-ong mengutuk dan tak habis-habisnya memaki-maki hwesio itu, meskipun akhirnya lawan tewas dan tak bergerak lagi di tanah. Dan ketika mereka menyingkir karena Si Naga Emas dan Pat-kwa-hwesio datang, melihat dan menolong Ji Beng Hwesio maka Coa-ong langsung kembali ke tempatnya di selatan untuk menyembuhkan luka. See-tok dan Jin-mo juga menghilang ke tempat masing-masing begitu pula suami isteri Kwi-bun dan Tong-si. Kwi-bo juga tak ketinggalan dan bersama Jin-touw diam-diam dua orang ini mendahului. Mereka pucat melihat kesaktian lawan.

Tapi ketika sebulan masing-masing bersembunyi dan hari itu sudah sehat kembali, Coa-ong menggeliat dan mengetuk-ngetukkan tongkat ularnya di tanah tiba-tiba terdengar tawa dan See-tok, si Racun Barat muncul, berderak dengan tawanya yang berat.

"Ha-ha, selamat pagi, Coa-ong. Selamat bertemu dan sehat-sehat kembali!"

“Ah,” si Raja Ular terkejut, tiba-tiba terkekeh. “Kau, See-tok. Ada apa ke sini dan kenapa pagi-pagi datang? Tumben!"

“Ha-ha, aku ingin sambang (menjenguk). Apakah kau masih hidup dan selamat!"

“Sambang? Ha-ha... jangan omong kosong, See-tok. Orang seperti kau ini tak punya solidaritas terhadap teman. Wehh, tak usah main-main. Kau tak perlu membohongi aku dan katakan saja apa maksud kedatanganmu. Aku bukan anak kecil!"

"Ha-ha, Raja Ular memang cerdik. Uwahh, aku ingin tanya soal sebulan yang lalu itu, Coa-ong. Bagaimana Bu-tek-cin-keng tiba-tiba hanya berisi serpihan kertas melulu. Di mana kitab itu sebenarnya? Di mana kau simpan?"

"Apa?”

"Tak usah bohong. Aku curiga kepadamu bahwa sebelumnya kau sudah menukar isi bungkusan itu dengan potongan kertas kecil-kecil. Aku datang untuk menanyakan ini. Kalau kau mengaku sahabat tentu tak pelit untuk kita belajar bersama. Tapi kalau kau bohong, hmm, bandul tengkorakku akan menghajar tubuhmu!"

“Heh-heh-heh-heh...!” Coa-ong terkekeh dan terpingkal-pingkal, geli. “Kau kerbau tak berotak, See-tok. Kalau aku menyimpan kitab itu tentu aku tak akan di sini. Kau tak mungkin menemukan tempat tinggalku yang baru!”

See-tok melengak. "Begitukah?" tanyanya.

"Tentu saja. Masa aku bohong? Hmm, aku tadinya juga berpikir begitu dan mengira kau yang menyimpan. Tapi sekarang lain. Barangkali Jin-mo atau Kwi-bo!"

"Tak mungkin!"

"Kenapa tak mungkin?" Coa-ong tertegun, lawan menjawab demikian cepat. Terangkan alasanmu, See-tok. Dan coba kudengar."

"Hm, Jin-mo selalu bersamaku selama ini, berdekatan. Ia baru saja sembuh dan juga menanyakan kitab...”

"Kalau begitu mungkin Kwi-bo!"

“Tidak, tidak... Kwi-bo justeru menyuruhku ke sini dan menanyaimu. Ia pun tak mungkin menyimpan kitab!”

"Kwi-bo? Menyuruhmu?" si Raja Ular terbelalak. "Weehh, kau ini kerbau dungu yang benar-benar tak berotak, See-tok. Mau saja diperalat wanita. Goblok!”

"Aku tidak goblok," si raksasa menyeringai, tertawa. "Aku mendapat imbalan, Coa-ong. Kalau tidak tentu saja tidak mau!”

"Imbalan? Imbalan apa?"

"Ha-ha, Kwi-bo melayaniku semalam penuh dengan cinta yang panas. Aku mendapat imbalan istimewa untuk datang dan menanyaimu ini!”

“Pantas!" si Raja Ular terkekeh, menancapkan tongkat sampai amblas separoh. "Kiranya itu, See-tok. Heh-heh, kau sungguh masih ganas dan liar dalam masalah cinta. Nafsumu masih besar, sebesar gunung!”

"Ha-ha, itu barang nikmat. Bodoh kalau tidak merasakannya. Eh, sekarang bagaimana jawabanmu, Coa-ong. Apakah benar kau tidak menyimpan kitab?”

"Kau boleh percaya boleh tidak,” si kakek ular tiba-tiba berseru, tongkat dicabut kembali. "Aku tak membawa-bawa Bu-tek-cin-keng, See-tok. Kalau kubawa tentu aku tak akan di sini. Aku tentu bersembunyi di tempat lain dan kau tak bakal menemukannya sampai aku selihai Ji Beng!"

“Hm, kalau begitu siapa yang membawa? Apakah siluman," si raksasa bersinar-sinar, mau percaya. "Siapa menurut pendapatmu yang paling pantas dicurigai, Coa-ong. Apakah Kwi-bun dan isterinya?"

"Kupikir juga begitu, atau.. hmm, siapa tahu justeru Jin-touw atau Kwi-bo sendiri!”

"Eh, kau lagi-lagi mencurigai Kwi-bo?"

"Dengar," si kakek menggoyang tongkatnya. "Jin-touw maupun Kwi-bo ini manusia-manusia cerdik, See-tok, beda dengan kau yang berangasan dan berotak kambing. Mereka bisa saja pura-pura menuduh orang lain tapi sebenarnya diri sendiri yang membawa!"

“Kau tak usah memaki aku," si raksasa berseru, marah. "Kaupun berotak lempung, Coa-ong. Kalau tidak percaya mari kulihat isi batok kepalamu... wutt!” bandul tengkorak menyambar, langsung menghantam.

Namun Coa-ong terkekeh, menangkis. Dan ketika dua orang itu sama terhuyung dan terpental ke belakang, si Raja Ular berseru mengibaskan tongkat maka si raksasa diminta berhenti. "Eiitt, jangan mengamuk. Kita sudah biasa saling memaki!" “Tapi kau tak pernah mengataiku berotak kambing...”

"Dan kau tak pernah memakiku berotak lempung. Ha-ha, tahan dan sabar, See-tok. Pembicaraan kita belum selesai!" dan ketika raksasa itu menggeram namun menyeringai, memang ia tak pernah memaki seperti itu maka Coa-ong buru-buru bicara lagi melihat temannya sudah mau bersabar. "Lihat, dan dengar kata-kataku. Sebaiknya kita selidiki satu per satu dan kalau nanti ada yang tidak di tempat maka itulah yang patut kita curigai. Bagaimana kalau sekarang kita menyelidiki Kwi-bo. Di mana rekan kita itu?"

"Ia di luar hutan, tak jauh dari sini. Tapi kenapa mesti dia yang diperiksa lebih dulu. Aku yakin ia tak membawa Bu-tek-cin-keng!"

"Hm, kalau begitu siapa yang paling dekat dulu, See-tok. Kau ini selangit betul cintamu kepada Kwi-bo!"

“Tentu, ia wanita hebat. Ia pandai bermain cinta dan memabokkan aku sampai ke langit tujuh. Dan kwi-bo pun cinta kepadaku. Kami sudah berjanji untuk menjadi suami isteri. Ia milikku, hartaku!"

“Ha-ha, tua bangka gila. Kau dikecoh dan ditipu saja oleh siluman itu, See-tok. Kwi-bo tak pernah puas dengan satu laki-laki dan ia tak mungkin sungguh-sungguh. Kau dikempongi!"

“Sudahlah, tak perlu bicara ini. Ini urusanku pribadi, tak perlu membuat aku marah atau nanti kita bertanding!"

“Baik... baik, sorry, See-tok. Kau memang berangasan dan rupanya lagi tergila-gila kepada kekasihmu itu. Baik, katakan kepadaku siapa kira-kira yang sekarang ini paling dekat dengan kita. Itulah yang kita cari!"

See-tok tertegun. “Kebetulan Kwi-bo, ia di luar hutan sana...”

"Nah, kalau begitu berangkat. Ayo kau tunjukkan dan duluan!"

Coa-ong bergerak. Ia minta temannya jalan duluan dan See-tokpun berkelebat, mengangguk. Dan ketika raksasa itu berseri-seri bahwa ia akan menjumpai kekasih, semalam baru saja mereka bercinta maka Racun Dari Barat ini gemas menunjukkan di mana Kwi-bo berada. Raksasa itu gemas kepada temannya kenapa Kwi-bo yang baik- baik dan dapat dipercaya itu harus diselidiki. Tapi karena tak ada jeleknya dan biarlah Coa-ong tahu, kakek ini bergerak dan meluncur ke hutan maka terdengarlah kekeh dan tawa yang membangkitkan rangsang birahi.

“Hi-hik, kau kuat sekali, Jin-touw. Aihhh... kalah See-tok kalau begini. Hi-hik, geli... ah, serbuanmu terlalu menggebu!”

See-tok terbelalak. Ia yang baru saja memasuki hutan dan mendengar tawa atau kekeh itu tentu saja segera mengenal dan pucat bergerak ke depan. Di balik gerumbul atau semak-semak itu terdengar suara dan kekeh itu, di samping desah atau dengus seorang laki-laki yang tertawa dan bernapas memburu. Dan ketika si raksasa menguak dan menyibak gerumbul itu, kaget dan marah maka dilihatnya kekasihnya tercinta, Kwi-bo, bermain cinta dan telanjang bulat bersama seorang laki-laki tampan yang memegang kayu pikulan.

“Jin-touw!”

Bentakan atau seruan keras ini membuat yang sedang bereinta terkejut. Kwi-bo, yang sedang bergulingan dan mendesah serta mendengus dan terkekeh-kekeh bersama pasangannya tiba-tiba berteriak ketika See-tok melompat. Raksasa itu mengayun bandul tengkoraknya dan terdengar suara menderu yang dahsyat sekali. Dan ketika dua orang itu dihantam dan menerima serangan maut, Kwi-bo maupun Jin-touw dihantam bandul tengkorak maka keduanya secepat kilat mengelak dan Kwi-bo menjerit ketika senjata itu menghantam tanah, dahsyat sekali.

"Dess!”

See-tok menggeram dan seketika membalik. Ia marah sekali dan pucat serta merah berganti-ganti melihat kejadian di depan matanya ini. Sang kekasih, yang semalam berjanji sehidup semati tiba-tiba saja sudah bergumul dan bercinta dengan orang lain. Siapa tidak panas! Maka begitu serangan luput dan raksasa ini menggeram, giginya berkeratak maka ia sudah menyerang dua orang itu dan Jin-touw kedodoran mengenakan pakaiannya yang disambar buru-buru, mengelak dan berlompatan tapi bandul tengkorak sudah mengejar dan menderu-deru.

Selanjutnya See-tok memaki-maki dan kemarahan atau api kebencian meletup di kepala raksasa ini. Jin-touw, saingannya, tahu-tahu sudah bergulingan dan bergumul dengan Kwi-bo. Padahal Kwi-bo adalah miliknya! Tapi ketika laki-laki itu mengelak dan menghindar sana- sini dan sudah menguasai keterkejutannya, kedatangan See-tok memang di luar dugaan maka laki-laki itu membalas dan Kwi-bopun melengking-lengking, memaki dan membalas raksasa ini, orang yang semalam juga dilayaninya.

"Keparat, mengganggu orang senang-senang. Ihh, kuhancurkan dadamu, See-tok. Kuremuk nanti isi kepalamu...plak-plak!" rambut si Kwi-bo meledak dan menangkis bandul, terpental namun menyerang lagi dan Jin-touw juga memaki-maki lawannya itu. Dia membalas dan mengayun kayu pikulannya. Dan ketika tiga orang itu bertanding dan sama-sama marah, masing-masing merasa sama-sama terganggu.

Maka Coa-ong terkekeh-kekeh dan duduk menonton, mengipas-ngipasi mukanya yang sedikit berkeringat. “Heh-heh, lumayan... gratis. Ayo, sikat dan sikut lawanmu, See-tok. Bunuh mereka itu. Awas, hati-hati terhadap pikulan Jin-touw dan elak sambaran rambut Kwi-bo... ah, ha-ha... heh-heh!"

Coa-ong tertawa-tawa dan geli menepuk-nepuk paha. Sikapnya demikian santai sekali dan See-tok dibakar dengan kata-kata menusuk. Sambaran atau lecutan Kwi-bo selalu dikatakannya sebagai sambaran atau lecutan rambut siluman. Raja Ular ini bahkan mengendus-ngenduskan hidungnya dan berkata bahwa rambut Kwi-bo memiliki keharuman yang aneh, barangkali hasil "minyak wangi" Jin-touw yang baru saja diberikan kepada wanita itu. Dan ketika See-tok meluap karena semua kata-kata ini benar- benar memanaskan hatinya, terbakar, maka See-tok memperhebat serangannya dan pohon-pohonpun segera tumbang dihajar bandul tengkoraknya yang mengerikan itu.

"He!" Jin-touw membentak, ditujukan kepada si Raja Ular itu. "Tutup mulutmu, Coa-ong. Atau nanti kusumpal kentut!"

"Ha-ha, kentutmu tak bau," si Raja Ular terkekeh, menggoda. "Kentut yang tak bau tak dapat dipakai menyumpal, Jin-touw. Lain kalau umpamanya kentut See-tok. Lihat tubuhnya yang tinggi besar itu, tentu kentutnya juga besar. Wehh, kau pertanggungjawabkan dulu perbuatanmu merebut Kwi-bo dan jangan berteriak-teriak ke sini. Nanti kepalamu pecah dihantam bandul..... dess!"

Benar saja, bandul menyambar dan nyaris kepala si tukang kayu ini kena, meloncat dan senjata di tangan raksasa itu menghajar tanah sampai berlubang. Dan ketika Jin-touw memaki-maki karena kelengahannya sekejap tadi hampir saja membuatnya celaka sendiri, Coa-ong terkekeh dan geli di sana maka kakek itu menonton lagi dan berkejap-kejap, berseru dan berteriak memberi semangat kalau yang lain hampir berhasil, memaki atau mengutuk kalau See-tok ataupun lawannya sama-sama luput menghantam. Dan ketika semuanya ini membuat See-tok maupun lawannya marah, mereka risi oleh mulut usil kakek ini maka ketiganya tiba-tiba membentak dan menyerang Raja Ular itu.

“Diam, atau nanti kupukul mampus!"

Coa-ong mencelat. Ia kaget dan berseru keras ketika tiba-tiba rambut dan kayu pikulan ataupun tengkorak menyambar tubuhnya, meledak dan menghajar tempat duduknya tadi sampai si Raja Ular ini meleletkan lidah. Dan ketika ia maklum bahwa mulut usilnya membuat marah, apa boleh buat ia berjungkir balik dan menyingkir dulu maka kakek ini lari bersembunyi dan cerdik berada di tempat lain.

"Ha-ha, tak usah sewot, kawan-kawan. Kalau tak tahan aku bicara biarlah aku berhenti dulu dan kalian lanjutkan lagi pertempuran itu!"

Coa-ong lenyap. Ia menyadari bahaya dan kini bersembunyi di balik gerumbul, menonton dan terkekeh-kekeh di situ dan See-tok sudah kembali menyerang Jin-touw. Laki-laki ini di dekatnya dan kontan ia menghajar. Namun ketika Jin-touw menangkis dan membentak keras, marah, maka Kwi-bo sudah membantu dan menyerang si raksasa ini karena Coa-ong sudah menghilang dan menyembunyikan diri.

"Des-dess!”

Selanjutnya tiga orang itu sudah bertanding lagi. See-tok dikeroyok dan mula-mula raksasa tinggi besar ini dapat bertahan, bandul tengkoraknya ganas menyambar-nyambar namun akhirnya ia berbalik terdesak setelah dua orang itu menguasai diri. Tadi mereka kedodoran dan sibuk memasang pakaian, Jin-touw bahkan terbalik celananya. Lucu! Namun ketika laki-laki bermata coklat ini tak perduli dan ia berkelebat membalas serangan-serangan lawan, See-tok kewalahan maka berikutnya raksasa inilah yang menjadi korban sasaran kemarahan dua orang itu, yang merasa terganggu dan dipenggal kesenangannya.

"Rasakan, hih! Kau mengganggu kesenangan orang, See-tok. Kalau tidak dihajar kau nanti kurang ajar lagi.... des-dess! rambut Kwi-bo meledak dan menghantam si raksasa, membuat lawan terhuyung dan saat itu Jin-touw juga membentak dan menghantamkan kayu pikulannya, kena dan raksasa itu terpelanting. Dan ketika See-tok berteriak-teriak karena lawan mulai ganas, ia terbelalak memandang Kwi-bo maka ia bertanya bagaimana dengan janji siluman betina itu.

"Janji apa?” Kwi-bo-melotot. "Jangan macam-macam, See-tok. Aku tak pernah berjanji apa-apa kepadamu!"

“Eh-eh, kau berjanji mau sehidup semati denganku. Kau mau menjadi isteriku. Semalam kita telah berjanji! Eh mana janjimu itu, Kwi-bo. Bukankah kau mencintai aku?"

“Hi-hik, si kerbau dungu," Kwi-bo terkekeh, tak dapat menahan geli. "Orang bercinta selalu begitu, See-tok. Tapi kalau selesai ya sudah. Semua itu hanya untuk penikmat suasana. Kau bodoh dan seperti anak ingusan. Masa tidak tahu dan menuntut janji segala!"

"Jadi kau tak mencintai aku?"

"Kalau kau menyenangkan hatiku tentu saja cinta, tapi kalau kau membuatku marah begini tentu saja tidak. Aku benci!”

"Ah!" dan si raksasa yang membentak dan berteriak tinggi tiba-tiba melepas pukulan dahsyat ke arah wanita itu. Kwi-bo menangkis dan mereka sama-sama terpental. Tapi ketika Jin-touw melengking dan mencabut kapaknya, senjata utamanya maka senjata itu menyambar dan mengenai bahu See-tok.

“Crat!" See-tok berteriak. Dagingnya terkuak sedikit dan untung raksasa itu cukup kebal. Ia telah mengerahkan sinkangnya namun bacokan kapak cukup membuatnya kesakitan juga. Dan ketika Kwi-bo terkekeh dan wanita itu menyerangnya lagi, tak ada cinta atau kasih sayang maka raksasa ini mengeluh dan ia mundur mengelak sana-sini, menangkis tapi dipagut senjata yang lain dan pucatlah raksasa itu menghadapi dua lawannya. Sekarang ia terdesak, mundur-mundur dan jatuh terpelanting ketika rambut meledak di bahunya yang lain. Dan ketika Kwi-bo terkekeh-kekeh dan senang melihat See-tok jatuh bangun, marah, maka See-tok tiba-tiba membalik dan melarikan diri.

"Kwi-bo, kau jahanam keparat. Pengingkar janji. Ah, terkutuk kau dan mampuslah di neraka!"

"Hi-hik, cinta ditolak kok marah-marah. Eh, kau masih kalah perkasa dengan si Jin-touw ini See-tok. Aku sekarang jatuh cinta kepadanya dan tidak kepadamu!”

“Benar,” si Jin-touw tertawa, wajah berseri-seri. “Perebutan ini dimenangkan aku, See-tok. Kau cepat loyo dan katanya tidak tahan lama!"

“Bedebah!" si raksasa menyumpah. “Kwi-bo memang wanita siluman, Jin-touw. Terhadap siapapun pasti dia bilang begitu. Nanti kalau dia mendapat penggantimu maka kau akan dikatakannya loyo dan tidak tahan lama!"

"Ha-ha!” si pendek kekar tertawa bergelak. “Nanti tinggal nanti, See-tok. Yang penting sekarang ini Kwi-bo mencintaiku. Aihh, tubuhnya demikian mulus dan menggairahkan. Kalau kau berani mengganggu kami lagi tentu kubunuh!" laki-laki ini melempar kapak-kapak kecil, ditangkis dan See-tok mengumpat di kejauhan sana.

Raksasa ini terpelanting karena Kwi-bo juga melempar beberapa senjata rahasianya. Dan ketika dua orang itu terkekeh dan berhenti mengejar, Jin-touw menubruk dan memeluk si bahenol ini maka Kwi-bo menyambut dan langsung keduanya berciuman. Jin-touw sudah melepas celananya.

"Ha-ha, terbalik. Biar tak usah kupakai saja!”

Kwi-bo terpingkal-pingkal. Secepat kilat teman laki-lakinya ini sudah berbugil ria, membuang pakaiannya dan ia pun sudah dicopoti. Dan ketika mereka kembali bergulingan dan melanjutkan permainan tadi, dua orang ini memang iblis-iblis yang tak tahu malu maka Coa-ong terbahak dan menonton "pertandingan" lain ini, juga tak malu-malu. Bejat!

“Heh-heh, ini baru luar biasa. Bagus, ayo sergap, Jin-touw. Piting dan ringkus sekuat tenaga. Cekik.... cekik dia!”

Dua orang itu tertawa-tawa. Jin-touw memang bersikap kasar dan mencekik atau memeluk tubuh Kwi-bo dengan brutal. Sikapnya seperti kerbau jantan namun justeru inilah yang disukai Kwi-bo. Wanita itu tak senang dengan permainan cinta yang lembut. Ia minta yang kasar dan beringas. Kalau perlu, sadis! Dan ketika Jin-touw juga melakukan itu karena segera gigit sana gigit sini, menggaruk atau mencubit segala maka Coa-ong terkekeh-kekeh dan terpingkal di sana, tak terasa nafsu berahi pun bangkit dan ingin ikut-ikutan.

Orang-orang seperti mereka ini memang ada gangguan jiwa, tak menyukai cara-cara yang sehat dalam bermain cinta karena maunya kasar dan buas seperti binatang. Tapi ketika kakek itu meloncat dan hendak ikut "mengeroyok", Kwi-bo jijik melihat tubuhnya yang kurus kerempeng maka kakek itu ditendang dan si Raja Ular mencelat.

"Pergi, tubuhmu sudah terlalu tua dan kurus!”

Coa-ong memekik. Kontan ia menjadi marah dan dicabutnya serulingnya untuk memanggil ular. Dan ketika dua orang itu bergulingan lagi dan puluhan ular tiba-tiba merayap datang, menggeleser dan diperintahkan menyerbu yang bermain cinta maka Kwi-bo maupun Jin-touw mengutuk meloncat berteriak-teriak. Mereka jadi bingung dan marah oleh gangguan ini dan Coa-ong terpingkal-pingkal. Kakek itu mendapatkan kesenangannya dalam hal yang lain.

Tapi ketika dua orang itu menginjak-injak dan membunuhi ularnya, marah dan memaki-maki maka kakek ini memperhebat suara sulingnya namun dua orang itu berkelebat pergi, mencari tempat lain dan kakek ini mendongkol tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia gigit jari dan muncullah See-tok yang tadi menghilang. Raksasa ini merah mukanya karena Kwi-bo sudah tak memperhatikannya lagi. See-tok sakit hati. Dan ketika ia berseru kenapa si Raja Ular tak membantu sekarang ganti kakek itu yang penasaran maka Coa-ong tertegun tapi terkekeh.

"Heh-heh, sudahlah. Kwi-bo masih ingin melanjutkan hajatnya. Kita mencarinya bukan untuk mengganggu melainkan bertanya tentang Bu-tek-cin-keng itu. Bagaimana kalau kita bersabar sebentar dan menunggunya selesai bermain cinta.”

"Menunggu? Dan mereka bersenang-senang? Keparat, aku tak suka ini, Coa-ong. Hati bisa panas terbakar melihat mereka bermain cinta!"

"Kalau begitu kau labrak sendiri saja ke sana. Aku si tua bangka ingin main-main dulu dengan anak-anakku ini!” dan Coa-ong yang tertawa dan meniup sulingnya lagi, menyuruh ular-ularnya berlenggang-lenggok lalu membuat See-tok mendelik namun tak dapat berbuat apa-apa. Raksasa inipun tak mungkin berani mengganggu Kwi-bo, kalau dua orang itu bercinta sementara dia sendirian. Dan ketika ia melotot namun tersenyum melihat ular menari-nari, mengikuti irama suling maka raksasa ini terbahak dan menyambar seekor ular betina yang paling besar.

“Ha-ha, suruh ia melayaniku, Coa-ong. Coba kau tiup sulingmu agar mau menjadi isteriku!”

“Heh-heh, ularku tak dapat melayanimu. Tapi kalau kau ingin belaian dan jilatan sayang tentu bisa. Lihat, aku akan mengobati kekecewaanmu, See-tok. Tapi jangan cengkeram ekornya agar tak kesakitan!"

See-tok tertawa bergelak. Ia tadi mengelus- elus bawah ekor ular betina dan memijat serta meneengkeramnya. See-tok agaknya ingin ular itu bangkit berahinya. Tapi ketika sang Raja Ular berseru bahwa tak mungkin ia main-main dengan ular, binatang itu hanya dapat berpasangan dengan jenisnya saja maka See-tok melempar ular ini dan minta agar Coa-ong menyajikan adegan yang lebih menarik.

“Kalau begitu suruh ularmu bermain cinta. Biar aku menonton!”

"Ha-ha, boleh, lihat!” dan ketika kakek itu meniup sulingnya dengan nada tinggi rendah maka tiba-tiba ular mendesis-desis dan mereka saling belit menjadi satu, berdiri dan akhirnya tegak dan lima puluh pasang ular sudah melaksanakan keinginan See-tok. Raksasa itu tertawa bergelak-gelak dan lupalah dia akan nasibnya sendiri, yang dibuang dan dilempar Kwi-bo. Tapi ketika Coa-ong tiba-tiba menghentikan tiupan sulingnya dan berseru cukup, raksasa itu tertegun maka See-tok bertanya kenapa dihentikan.

"Heh-heh, cukup. Satu jam sudah lewat. Di sana tentu Kwi-bo dan Jin-touw juga selesai bermain cinta. Ayo, kita tanya mereka, See-tok. Nanti main-main lagi kalau belum puas!”

Coa-ong berkelebat. See-tok akhirnya sadar dan mengangguk, berkelebat dan mengikuti si Raja Ular itu. Dan ketika mereka tiba di luar hutan dan benar saja Kwi-bo tampak memberesi pakaiannya, berdiri dan mengibas- ngibaskan rambutnya yang panjang hitam maka See-tok memandang penuh cemburu tapi tak berani main-main karena Jin-touw juga ada di situ, mengenakan pakaiannya dan nakal mencubit buah dada Kwi-bo. Perbuatan yang memanaskan!

“Ha-ha, kau hebat dan masih menggairahkan, Kwi-bo. Tubuhmu demikian aduhai dan lekuk-lengkung ini sungguh membuat aku ngilar. Sayang, tenagaku sudah habis!”

“Hi-hik, nanti saja lagi. Lihat, See-tok ke sini dan melotot!”

"Ia cemburu!"

"Tapi Coa-ong mau mengganggu kita. Hm, apa maksudnya dan hati-hati!"

Dua orang itu membalik. Mereke telah selesai bermain cinta dan betapa terbakarnya hati See-tok melihat kepuasan yang terbayang di wajah Jin-touw. Laki-laki itu tampak mendecak dan menjilat-jilat bibir. Ia tak habis-habisnya mengagumi tubuh Kwi-bo karena memang wanita ini montok dan menggairahkan. Lekuk- lengkungnya hebat dan tak ada laki-laki yang tak bakalan kagum. Tapi ketika See-tok menggeram dan Coa-ong meloncat terkekeh, mengetuk-ngetukkan tongkat maka si Raja Ular ini bertanya, nyaring namun tak ada cemburu atau marah seperti temannya,

"Kwi-bo, terus terang saja. Apakah kau menyimpan Bu-tek-cin-keng dan di mana kitab itu?"

“Heh?” si cantik terbelalak, kaget. "Bu-tek-cin-keng? Memangnya aku membawa kitab itu? Jangan kurang ajar, aku tak tahu-menahu tentang ini, Coa-ong. Justeru aku hendak bertanya kepadamu, di mana kau membawa kitab itu. Tentu kau menukarnya dulu sebelum menjadi serpihan-serpihan kertas. Nah, mana kitab itu dan di mana kau sembunyikan?"

“Heh-heh-ha-ha!" si kakek tertawa, geli dan menancapkan tongkat. "Kau jangan balik bertanya sebelum menjawab, Kwi-bo. Aku sungguh-sungguh dan tak usah main-main kepadaku. Dulu kau membawa dan tentu menukarnya!"

"Keparat, kaupun membawa dan tentu menukarnya!"

“Eh, eh,” Jin-touw melompat dan menyela. "Apa-apaan ini, Coa-ong. Kau tak usah menuduh sembarangan karena Kwi-bo sama sekali tak tahu-menahu tentang kitab. Kalau Bu-tek-cin-keng ada di tangannya tentu ia sudah bersembunyi dan tak mungkin kita temukan. Sama seperti kau atau See-tok ini yang juga berprasangka!"

“Heh, aku juga sekedar bertanya. Tapi bagaimana kitab bisa menghilang begitu saja dan berubah menjadi kertas biasa? Siapa kira-kira yang bermain gila?”

“Hm, aku tadinya malah menyangka kau," Kwi-bo menjawab, bersinar-sinar. “Tapi setelah kau datang dan memperlihatkan diri maka kecurigaanku tak berdasar, Coa-ong. Tak perlu ribut-ribut karena jelas kita masing-masing sama-sama tak membawa kitab!”

"Kalau begitu siapa...”

“Mungkin Kwi-bun dan isteriny, atau Jin-mo!”

“Hm, aku juga berpikir begitu. Kalau begitu bagaimana jika kita datangi mereka?”

“Kau takut sendirian?”

"Heh-heh, berempat tentu lebih menyenangkan, Kwi-bo, daripada sendirian atau berdua. Bagaimana jika kita sama-sama datangi mereka dan bertanya. Siapa tahu Jin-mo juga ada di sana!"

"Hm, si tukang kayu ini sebaiknya tak usah ikut campur. Aku mula-mula dengan Kwi-bo dan sudah sebagai pasangan!" See-tok, yang panas dan masih cemburu tiba-tiba berseru. Ia sejak tadi geram melihat saingannya ini menjilat-jilat bibir dan memandangi tubuh Kwi-bo dari atas sampai ke bawah. Raksasa ini sengit, jelus!

Tapi ketika Jin-touw tertawa dan tahu perasaan raksasa ini, bergerak dan tiba- tiba merangkul Kwi-bo dia malah memperhebat kemarahan. “Ha-ha, Kwi-bo milikku, See-tok. Kalau hari ini ia memilihku maka sebaiknya kau tak usah cemburu atau gusar. Lihat, ia diam saja kucium .. ngok!" si tukang kayu mencium pipi Kwi-bo, tertawa dan benar saja Kwi-bo diam dan tak mengelak, bahkan terkekeh. Dan ketika si raksasa menggeram dan menggerak-gerakkan bandul tengkoraknya, Coa-ong maju dan terkekeh maka kakek itu melerai.

“Sudahlah, tak perlu saling membakar. Kita sesama rekan dan masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Bagaimana kalau sekarang kita bergabung dan mencari suami isteri Kwi-bun. Ingat, mereka itu lihai dan tak akan mudah digertak kalau kita juga berdua atau bahkan hanya sendirian. Bagaimana pendapat kalian?"

"Aku setuju, tapi Jin-touw tak boleh memeluk-meluk atau mencintai Kwi-bo di depan mataku!" See-tok, yang tak tahan dan berseru mendahului melepas berangnya. Ia membuat Kwi-bo terkekeh dan Jin-touw juga tertawa. Iblis wanita itu geli. Namun karena Coa-ong benar dan tak mungkin menghadapi Kwi-bun dan isterinya hanya berdua karena mereka setingkat maka wanita ini melepaskan dirinya dan mendorong Jin-touw. Tenaga See-tok juga diperlukan di situ.

"Kau mundur, jangan membuat aku gerah. Cukup kau merayu dan mengajakku bercinta, Jin-touw. See-tok benar dan jangan merangsang kemarahannya dengan memeluk-meluk aku. Aku juga risih!"

"Wah, tak boleh mencium lagi?"

"Siapa sudi? Tubuh dan keringatmu apek, Jin-touw. Jujur saja kau dan See-tok sama-sama lelaki kasar!"

Ketika Jin-touw maupun Coa-ong tertawa, See-tok menyeringai puas maka Kwi-bo sudah tak mau didekati kawannya lagi, mengibas dan mengeringkan rambut dan Jin-touw hanya menjulurkan lidah. Kalau Kwi-bo tak mau diganggu maka jangan coba-coba diganggu, si betina akan marah dan di situ ada See-tok, yang tentu berbalik menyerang dan akan menjadi sahabat Kwi-bo. Orang-orang sesat memang selalu aneh. Dan ketika semua dapat menahan diri dan Coa-ong tersenyum geli maka Raja Ular itu bertanya apakah mereka sekarang siap mencari Kwi-bun.

"Tentu saja, mari berangkat!"

"Baik, kau di depan, Kwi-bo. Aku di tengah dan biar See-tok atau Jin-touw ini di kiri kananku!"

Si betina terkekeh. Adalah kebanggaan bila bisa membuat laki-laki saling berebut dan bermusuhan untuk memiliki dirinya. Kwi-bo memang amat senang kalau sudah dikagumi lawan jenis. Dan ketika ia mengangkat dan menggerakkan kakinya, berkelebat sembari menggoyang bahunya maka wanita ini mendahului tiga laki-laki di belakangnya yang mendecak kagum. Bahu dan pinggang Kwi-bo meliuk indah, bergerak dan sudah meluncur di depan sana. Dan ketika mereka mengejar dan berkelebat menyusul, Coa-ong di tengah agar dua kawannya tidak bersentuhan maka empat orang ini meluncur dan terbang meninggalkan hutan.

Mereka menuju ke selatan di mana Kwi-bun biasanya menyembunyikan diri, saling berlomba dan mempercepat lari namum ternyata masing-masing berimbang. Baik Kwi- bo maupun Coa-ong tak mampu memperlebar jarak, mereka tetap sama dan hampir berendeng dengan Kwi-bo di depan. Dan ketika empat jam kemudian mereka tiba di daerah berbatu karang dan di sini mereka berhenti, sebuah guha terlihat di depan mata maka Coa- ong mengetukkan tongkat seraya berkata.

“Sudah sampai. Bagaimana cara kita menemul Kwi-bun. Berbareng ataukah satu per satu dahulu."

"Hi-hik, kalian di sini saja dulu. Biar aku yang memeriksa!" Kwi-bo melesat mendahului, entah kenapa lebih senang memilih sendiri padahal tadinya ingin berempat. Begitu berkelebat ia pun sudah meninggalkan teman-temannya. Dan ketika Coa-ong tersenyum dan terkekeh mengangguk, tak curiga, maka See-tok justeru berseru dan berkelebat menyusul.

"Heh, gerak-geriknya mencurigakan. Biar aku membuntuti!”

“Lho?" Jin-touw terbelalak. "Kau mau apa, See- tok? Mengintil si cantik? Ugh, akupun juga. Biar kita bersama dan lihat apa yang đilakukan Kwi-bo!"

Coa-ong menghentikan kekehnya. Tiba-tiba ia terkejut karena See-tok dan Jin-touw sudah susul-menyusul mengikuti Kwi-bo. Apa-apaan mereka itu. Dan karena tak mau ditinggal sendirian dan apa boleh buat menyumpah teman-temannya si Raja Ular inipun bergerak dan mengejar teman-temannya.

"Busyet, melanggar janji. Kalian ini tak dapat diajak bicara baik-baik, See-tok. Sungguh- sungguh aku membawa kalian eh.... Sekarang tiba-tiba saja kalian meninggalkan aku!"

Orang akan tersenyum. Coa-ong berkelebat dan ganti menyusul teman-temannya itu, tiga laki-laki mengintil wanita. Lucu, persis anak kecil saja! Tapi karena mereka adalah orang-orang lihai dan jelas yang mereka lakukan bukan sekedar takut ditinggal Kwi-bo, seperti rasa takut anak ditinggal ibunya maka See-tok dan lain-lain itu mengikuti Kwi-bo karena satu dan lain sebab. See-tok misalnya, melihat gerak-gerik mencurigakan pada kekasihnya itu, pandang mata Kwi-bo yang aneh dan memancarkan keganjilan. Dan karena sedikit banyak ia tahu watak teman wanitanya itu, curiga.

.aka See-tok mengejar dan segera membuntuti, lain dengan Jin-touw yang curiga dan justeru menaruh prasangka buruk kepada See-tok. Si tukang kayu ini mengira See-tok ada main atau hendak main gila dengan Kwi-bo, membujuk atau merayu wanita itu setelah ia bersenang-senang di hutan. Jadi, mungkin untuk membalas cemburu! Dan karena inilah perkiraan Jin-touw sementara Coa-ong lain lagi, mendongkol ditinggal teman-temannya.

Maka Kwi-bo sendiri yang berkelebat dan ada di depan segera tahu kalau dirinya diikuti. Wanita ini melirik dan dilihatnya See-tok mengejar, tertawa kecil dan berkelebat ke samping batu karang di mana ia akhirnya lenyap, mengitari atau mendekati guha dari arah belakang. Dan ketika See-tok celingukan karena kehilangan jejak, buruannya lenyap maka Kwi-bo terkekeh dan sudah berada di belakang guha hitam itu.

Apa yang hendak dilakukan wanita ini? Kenapa ia tak mau diikuti teman-temannya? Bukan lain karena pamrih pribadinya. Ingin bertemu dan menggoda Kwi-bun dulu dalam usahanya mendapatkan Bu-tek-cin-keng. Dulu Kwi-bun pernah memandangi tubuhnya secara lahap dari atas ke bawah, pandangan laki-laki yang rakus akan birahi meskipun sudah punya bini. Dan karena Kwi-bo adalah wanita matang dan gerak-gerik atau pandangan lelaki tentu saja sudah dikenalnya, ia ingin menjebak dan menipu Kwi-bun maka di situlah wanita ini meninggalkan kawan-kawannya untuk bertemu secara pribadi dengan si Pintu Setan dalam usaha membujuk dan merayu.

Tapi sial. Baru saja ia melongok dan bersuit perlahan, tanda panggilannya kepada Kwi-bun mendadak lima sinar hitam bercuit menyambar mukanya. Kwi- bo baru saja mengintai dan bersuit perlahan ketika tiba-tiba mendapat sambutan lima sinar hitam itu. Dan ketika ia mengelak dan tentu saja menyampok, lima tusuk konde kecil runtuh ditamparnya maka tahu-tahu berdiri bayangan Tong-si yang hitam gelap, penuh amarah.

"Hm, pantas. Ini kiranya tanda siulanmu untuk berkencan dengan suami orang. Keparat, mau apa kau ke sini, Kwi-bo. Dan kenapa selalu mencari-cari suamiku. Wanita jalang!"

"Eh, hi-hik!" Kwi-bo terkejut tapi segera dapat menguasai diri, cepat turun dan berkacak pinggang. "Mau apa kau menyerang aku, Tong-si. Apakah kau kira suamimu yang pucat itu sudah sedemikian ganteng hingga perlu kurayu dan kuajak kencan. Cih, kau wanita tak tahu malu. Buruk dan sombong. Masih sejagad laki-laki tampan di dunia ini hingga tak perlu aku mencari-cari suamimu!"

"Keparat, sundal betina. Kalau begitu apa maumu dan bersiul-siul segala? Bukankah kau hendak menemui suamiku dan mengajaknya berbuat cabul? Eh, kau bukan wanita baik-baik, Kwi-bo. Kau betina jalang yang rakus akan laki-laki. Tak usah banyak cingcong dan pergilah sebelum kuhajar!"

Kwi-bo marah. Akhirnya ia balas memaki dan mengatakan lawannya lebih buruk daripada kuda. Kalau bukan Kwi-bun yang sepucat mayat tak mungkin ada laki-laki yang mau dengan wanita itu. Dan karena Tong-si memang berwajah mengkilap seperti perunggu, kuning kehitam-hitaman maka Kwi-bo yang gagal dan kini berhadapan dengan Tong-si malah melampiaskan kemarahannya di situ.

"Kau buruk melebihi kuda, tahu? Kau mengkilap seperti pantat wajan. Eh, kalau suamimu masih suka kepadamu tentu ia tak perlu melirik-lirik aku, Tong-si. Tapi karena wajahmu buruk dan mengkilap seperti wajan maka ia menaksir diriku. Aku datang memang atas kehendaknya. Kwi-bun ingin berganti pasangan untuk penyegar. Nah, kau mau apa dan mana suamimu itu?"

Tak ada lagi kata jawab. Tong-si langsung melengking dan begitu habis lawannya bicara ia pun sudah berkelebat dan mencabut tusuk kondenya. Senjata andalan ini menyambar dan tiba-tiba sebelas serangan sudah susul-menyusul menusuk Kwi-bo. Mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Dan ketika kwi-bo mengelak namun lawan mengejar, kata-kata itu benar membakar maka apa boleh buat iblis betina ini menangkis dan rambutnya menjeletar bertemu sebelas serangan maut.

"Plak-plak-plak...!”

Tong-si membentak dan menyerang lagi. Kemarahannya benar-benar sampai di ubun-ubun mendengar kata-kata lawannya tadi. Selain dicap buruk ia pun dianggap mengkilap seperti pantat wajan. Siapa tidak mendidih! Dan begitu ia ditangkis dan masing-masing terpental, Kwi-bo lupa kepada maksud tujuannya semula maka muncullah See-tok yang terbelalak den tertegun melihat pertandingan ini.

“Eh-eh!” si raksasa berseru. "Apa ini, Kwi-bo. Kenapa kau bertanding dengan Tong-si?"

"Ia mau mengajak suamiku main gila!" Tong-si melengking, tusuk konde tetap berkelebatan menusuk-nusuk, cepat. "Aku tak mau ia kurang ajar, See-tok. Hayo bantu aku dan bunuh siluman ini!”

"Ha-ha!" See-tok tiba-tiba tertawa bergelak. "Membantu? Ah, kalian dua wanita sama-sama cemburu, Tong-si. Daripada membantu kalian lebih baik menonton!" benar saja, See-tok lalu duduk dan menonton, asyik dan tertawa-tawa dan Tong-si tentu saja gusar. Kawan diminta bantuannya malah menonton, ia tentu saja sengit. Dan ketika ia menerjang dan memaki See-tok, si raksasa hanya ganda ketawa maka berturut-turut muncullah Jin-touw dan Coa-ong, yang juga tertegun dan terbelalak.

“Heii, ada apa ini. Kenapa bertempur. Mana Kwi-bun!"

"Ha-ha, Kwi-bo katanya mau mencari Kwi-bun, diajak kencan. Tapi karena Tong-si yang ada maka Tong-si mengamuk!”

"Ah, begitukah? Ha-ha, kalau begitu biar kita menonton!" Jin-touw, yang baru saja bercinta dan bersayang-sayang dengan Kwi-bo ternyata sama saja dengan See-tok, tidak membantu dan membiarkan saja dua wanita itu bertempur, duduk dan menonton. Dan ketika Coa-ong juga terkekeh-kekeh dan menancapkan tongkatnya, menonton dan bersila di situ maka Kwi-bo maupun Tong-si sama-sama marah karena mereka jadi barang tontonan!

"Jin-touw, mana kesetiaanmu sebagai kekasih. Hei, bantu aku dan jangan melotot di sana. Cepat, atau nanti tak kuberi lagi!”

“Ha-ha, untuk urusan begini mestinya See-tok lebih tepat, Kwi-bo. Bukankah ia yang lebih dulu menikmati tubuhmu daripada aku. Ayo, minta saja See-tok dan aku belakangan, sesuai urusan!”

"Wah, mana bisa? Kwi-bo tak setia kepada janjinya, Jin-touw. Kaulah yang merebut dan kau pula yang harus maju. Ayo, bantu Kwi-bo atau nanti Kwi-bun muncul!”

"Ha-ha, aku tak ingin bermusuhan dengan Kwi-bun. Ia orang baik dan sahabat yang dapat dipercaya!"

"Begini saja," Coa-ong tiba-tiba menimpali. "Kita membantu kalau salah satu berada di dalam bahaya. Sebelum itu biarkan mereka memanaskan tubuh dan kita tetap menonton!"

"Ha-ha, benar. Biarkan salah satu berkeringat dan lihat siapa yang bentuk tubuhnya lebih indah. Kwi-bo ataukah Tong-si!”

Kwi-bo maupun Tong-si menjadi marah. Mereka melengking dan memaki tiga laki-laki itu karena mereka ternyata disuruh terus bertanding sampai mengeluarkan keringat, basah kuyup dan di situlah nanti tubuh mereka tercetak. Dan karena Tong-si bukan wanita cabul seperti Kwi-bo, yang tentu saja marah dan melotot mendengar itu maka wanita ini melepas tiga senjata rahasianya di mana masing-masing menyambar Coa-ong dan See-tok serta Jin-touw.

“Laki-laki bermulut busuk. Tak tahu malu!”

Coa-ong dan See-tok serta Jin-touw tertawa. Mereka dengan mudah tentu saja menyampok tiga senjata gelap itu, runtuh dan Tong-si bertanding lagi dengan seru disana. Tapi ketika wanita itu mencak-mencak dan Kwi-bo juga marah melihat tiga orang rekannya ini mendadak terdengar jerit dan teriakan wanita.

"Tidak... tidak. Lepaskan aku... lepaskan.... aiiihhhh!"

Semua terkejut. Tong-si yang semula bertempur penuh kemarahan mendadak menoleh dan berubah. Wajahnya seperti menyiratkan sesuatu dan serangannya terhadap Kwi-bo tiba-tiba mengendor. Dan ketika teriakan itu terdengar lagi namun sekonyong-konyong berhenti, seolah mulut yang berteriak ditutup kencang mendadak wanita perunggu ini berjungkir balik dan terbang keluar wilayah, meninggalkan lawannya.

"Kwi-bo, tunggu sebentar. Biar aku lihat suamiku!"

Kwi-bo tertegun. Ia tak mendengar apa-apa kecuali jerit atau tangis wanita itu. Tapi begitu lawan berkelebat dan ia pun ingin tahu, meloncat dan mengejar wanita itu maka Coa-ong dan kawan-kawan ikut-ikutan, bergerak pula.

“Heh-heh, ini tontonan menarik lagi, See-tok. Ada apa di sana dan siapa yang berteriak- teriak itu?”

"Benar, akupun juga ingin tahu. Ah, siapa yang menangis itu dan ada apa?"

"Tentu betina," Jin-touw tertawa." Kwi-bun tampaknya mengganggu seorang gadis, See-tok. Dan isterinya kini datang. Ha-ha, lihat rekan kita itu dilabrak!”

Semuanya terbang keluar daerah berbatu karang. Mereka susul-menyusul mengejar Kwi- bo maupun Tong-si, yang masing-masing sudah ada di depan dan sebentar kemudian sudah di tempat suara. Dan ketika Kwi-bo terbelalak karena di tepi hutan seorang wanita muda diseret dan akhirnya disambar seorang laki-laki pucat, kurus dan bermata cekung maka Tong-si yang melihat dan juga ada di situ melengking.

“Kwi-bun, siapa yang kau bawa itu?"

Si pucat, yang ternyata Kwi-bun terkejut. Ia memang membawa dan baru saja menutup mulut wanita itu setelah dengan paksa menciuminya. Iblis laki-laki ini menculik dan membawa wanita itu agar mau melayani hasrat birahinya yang bosan dan jenuh dengan Tong-si karena isterinya itu acap kali dingin, tak mau melayani. Tapi ketika wanita itu menjerit-jerit dan tak mau diam, ia marah dan menampar maka wanita itu ditotoknya setelah tadi dicium paksa.

Tak tahunya sang isteri muncul dan di belakang isterinya itu tampak Kwi-bo yang berdiri tertegun, terkekeh dan tiba-tiba tak dapat menahan geli hatiya karena benar si setan pucat ini lelaki jalang seperti See-tok maupun Jin-touw, juga laki-laki lain yang banyak ditemui di perjalanan hidupnya. Dan karena Kwi-bun juga haus dan lapar akan kebutuhan yang satu ini, Kwi-bo terpingkal maka wanita itu berseru pada Tong-si agar membuktikan omongannya.

“Nah, lihat,” Kwi-bo membakar. "Apa kubilang, Tong-si. Suamimu itu suka mengajak kencan wanita lain. Tidak mendapatkan aku ia pun tentu mencari yang lain. Lihat sekarang ia merobek-robek pakaian wanita ini. Suamimu tak sabar menunggu kedatanganku!”

“Tutup mulutmut!" Tong-si membentak, marah kepada Kwi-bo namun menyambar wanita ini, "Siapa jalang yang kau bawa ini, Kwi-bun. Dari mana dan mau kau apakan dia... bret!” Tong-si telah merebut wanita ini, melengking dan sang suami tampak ketakutan dan gelisah. Kwi-bun meloncat dan melepaskan korbannya. Dan ketika Tong-si melempar dan membanting wanita ini, yang mengaduh, maka Tong-si sudah menginjak dada wanita itu yang tentu saja menjerit. Bengis!

"Kau pelacur dari mana berani bersama-sama suamiku. Heh, siapa namamu dan minta hidup atau mati!"

"Am... ampun!" wanita itu ngeri, bantingan atau lemparan Tong-si masih membuatnya kesakitan. "A... aku bukan pelacur, hujin. A... aku wanita baik-baik dari dusun di luar hutan. A... aku dibawa suamimu un... untuk melayani hasratnya. A... aku jangan dibunuh!"

"Kau bukan pelacur?"

"Bukan..”

"Kalau begitu kenapa mau dibawa-bawa?”

“A.... aku dipaksa, hujin. Suamimu yang membawa-bawa...!”

“Bohong! Suamiku orang baik-baik. Hayo mengaku bahwa kau bohong!”

“A... augh!" wanita itu menjerit, Tong-si menginjak keras dadanya. "Ampun, hujin... ampun. Aku... aku benar-benar dipaksa. Aku... aku diminta melayani. Aku....ngekk!”

Wanita itu terkulai, Tong-si menambah tenaganya hingga injakannya sebesar bukit. Wanita itu mengaduh dan tiba-tiba terkulai. Dan ketika Tong-si mengangkat kakinya dan dada wanita itu gepeng, rata dengan punggungnya maka Tong-si telah membunuh wanita ini, yang disambut kekeh dan tawa Jin-touw, juga See-tok dan Coa-ong.

"Heh-heh, bagus. Luar biasa sekali. Suami menyeleweng namun wanitanya yang dibunuh!"

Tong-si menghadapi suaminya. Ia tak memperdulikan ejekan Coa-ong karena dengan mata berapi-api dan dada berombak wanita ini menghadapi Kwi-bun. Si Pintu Setan ngeri dan berputar-putar namun dihadang pandang mata isterinya itu, mengkeret dan menyeringai serba salah namun sang isteri sudah bertanya berapa kali ia membawa wanita luar, sudah atau belum dalam melampiaskan hajatnya. Dan ketika si Pintu Setan tentu saja menjawab belum, baru sekali itu juga membawa perempuan maka Kwi-bo terkekeh geli melihat laki-laki yang ketakutan ini.

"Heh-heh, aku... aku baru sekali ini. Lagi pula belum berbuat apa-apa karena keburu kau datang. Aku hanya ingin menakut-nakuti dan bermain-main saja, Tong-si. Tidak sungguh-sungguh karena tentu saja kaulah yang dapat memuaskan diriku. Aku hanya mempermainkan, menggoda....”

"Keparat, dan tentu akan menelanjanginya kalau aku tidak ke sini? Kau bilang main-main tapi tentu berubah sungguhan kalau isterimu tidak tahu?”

“Wah, tentu tidak, Tong-si. Kaulah isteriku. Kaulah satu-satunya milikku. Wanita itu tak nempil denganmu. Bukan apa-apa...”

"Bagus, kalau begitu coba kulihat celanamu. Kenapa kedodoran dan kolornya putus?"

Kwi-bun terkejut. Sang isteri sudah meloncat dan menerkam kemaluannya karena celananya menganga tak terasa, membuat geli yang lain-lain karena sejak tadi iblis itu tak tahu keadaannya. Sejak tadi sang isteri merah padam melihat celananya itu, dan inilah yang membuat sang isteri berang. Dan ketíka Tong-si meloncat dan seketika itu juga kelima jarinya mencengkeram ganas, menuju ke bawah perut suaminya maka Kwi-bun berteriak dan menghindar, dikejar namun mengelak lagi dan sang isteri melengking menggetarkan hutan.

Tiga kali cengkeramannya luput namun yang keempat kalinya wanita ini mencabut tusuk konde dan langsung menusuk. Dan ketika Kwi-bun terkejut dan berseru keras, menangkis dan melempar tubuh bergulingan maka celananya robek lebar dan tampaklah pemandangan memalukan yang membuat Kwi-bo dan teman-temannya terkekeh, apalagi See-tok, yang berderai-derai sampai terguncang-guncang.

"Ha-ha, senjatamu, Kwi-bun. Senjatamu. Awas dipagut ular!”

Si Pintu Setan terkesiap. Ia sudah diserang isterinya dan bergulingan menyelamatkan diri, maju mundur ke sana-sini dan gugup menutup kancing celananya. Ia kaget karena baru sekarang sadar. Ah, nafsu membuatnya lupa. Dan ketika ia meloncat bangun namun sang isteri tak mau sudah, Coa-ong dan lain-lain terkekeh-kekeh maka keempat orang itu bersorak dan menonton sambil bertepuk-tepuk tangan. Kwi-bo malah menjeletar-jeletarkan rambutnya memberi irama.

"Bagus, kelit ke kiri, Kwi-bun... ah, elak ke kanan. Cepat... tar-tar!”

Coa-ong dan lain-lain terpingkal. Mereka itu malah merasa mendapat tontonan menarik dan celakanya Tong-si semakin terbakar. Tepukan atau ledakan rambut si Kwi-bo seakan bunyi-bunyian genderang perang, membuatnya beringas dan kalang-kabutlah sang suami menerima serangan-serangan isterinya ini. Dan ketika tujuh tikaman mengenai perut dan dada Kwi-bun, yang kurus dan keras maka Kwi-bun mengerahkan sinkangnya dan tusuk konde terpental. Hal yang membuat isterinya malah semakin marah saja.

“Tak-tak-tak...!"

Kwi-bo dan lain-lain tertawa. Mereka geli melihat itu dan tahu bahwa kwi-bun pasti melawan tusukan sang isteri, tak mungkin mandah ditikam karena Tong-si benar-benar ingin membunuh. Dan ketika Tong si melengking dan berkelebatan menyerang lagi, semakin cepat dan buas maka Kwi-bun mengeluh dan melarikan diri.

“Hayaa... tobat, Tong-si.... Tobaat!”

“Tak ada tobat!" sang isteri membentak dan mengejar, merah kehitaman. "Kau sudah main sembunyi-sembunyi mencari perempuan lain, Kwi-bun. Kau harus mampus dan kubunuh!”

“Ampun... aku tak akan mencari perempuan lagi...!”

“Tidak, ini bukan yang pertama, Kwi-bun. Sudah berkali-kali kau menyakiti hatiku. Dan Kwi-bo juga datang, katanya sudah kencan denganmu!"

“Hah?”

“Benar kau tanya sendiri siluman betina itu.... dan tusuk konde yang menyelinap dan menyambar bawah lengan Kwi-bun tiba-tiba menancap dan tak dapat dicabut.

See-tok terkejut karena mengira Kwi-bun terluka, maklum, dia berada di samping kanan si Pintu Setan itu. Tapi ketika Kwi-bun membalik dan menampar isterinya, yang juga terkejut dan mengira senjatanya masuk ke tubuh ternyata tusuk konde hanya dikempit dan kini tamparan atau balasan si suami itu menyambar mukanya.

"Tong-si, jangan percaya kata orang. Aku tak ada urusan dengan Kwi-bo dan biar kutanya dia!" dan ketika sang isteri menangkis namun terpental, Tong-si tertegun oleh tusukan semu tadi maka Kwi-bun sudah meloncat dan berkelebat ke arah Kwi-bo.

"Ini kiranya setan yang suka memanas-manasi hati orang. Heii, mulutmu busuk sekali Kwi-bo. Kapan aku mengajak kencan dan katakan kepada isteriku bahwa kau bohong!”

"Hi-hik,” Kwi-bo mengelak, setelah terkejut sejenak. "Aku memang bohong, Kwi-bun. Tapi tak ada salahnya berkata begitu karena berkali-kali pandang matamu juga menaksir padaku...plak-plak!"

Dua-duanya terpental, Kwi-bun melotot marah namun goyangan dada lawan membuat darahnya berdesir. Kwi-bo terkekeh dan menggerakkan bolanya sehingga si Pintu Setan terbeliak. Buah dada si cantik ini memang luar biasa, lembut namun menantang dan sekali digerakkan ke atas tiba-tiba Coa-ong maupun See-tok mendecak kagum. Bola itu seakan dapat meloncat dan minta diterkam! Dan ketika Kwi-bun terbeliak namun sang isteri melengking, tahu bahwa Kwi-bo mempermainkan maka wanita ini melejit dan menerjang si binal.

"Bagus, kalau begitu kau bersih, Kwi-bun. Hayo bunuh dan habisi jalang betina ini!”

Kwi-bun menarik napas panjang. Dia harus menenangkan guncangan hatinya dulu setelah dibuat "meloncat" oleh gerakan buah dada Kwi-bo. Bola kembar itu meloncat nakal dan mengganggu konsentrasi. Sungguh kurang ajar! Tapi karena di situ ada isterinya dan tentu saja dia harus bersikap alim, apa boleh buat menyerang dan menekan debar berahinya. 

Maka Kwi-bun membentak dan pura-pura marah menampar lawannya ini, berkelebatan dan sudah sambar-menyambar bersama sang isteri namun tampak bahwa laki-laki ini kurang serius. Beberapa pukulannya terlampau perlahan atau bahkan dibuat melenceng agar tidak mengenai lawan. Dan ketika sang isteri lama-lama tahu dan curiga, Kwi-bun memang masih berdebar-debar oleh sikap dan gerak Kwi-bo yang genit maka Tong-si menampar suaminya hingga terpelanting.

"Keparat, matamu jangan ke mana-mana. Lihat depan dan pukul sungguh-sungguh... plak!"

"Baik, siapa bilang aku tergila-gila kepada wanita ini, Tong-si. Lihat aku akan menghajarnya dan lihat bukti cintaku kepadamu.... des-dess!" dua pukulan mengenai Kwi-bo, melempar dan membuat wanita itu berjungkir balik dan selanjutnya Kwi-bo benar-benar tertekan. Kemarahan Kwi-bun berarti bahaya. Namun karena di situ ada See-tok dan juga Jin-touw, Kwi-bo berteriak kepada dua temannya ini maka Tong-si maupun Kwi-bun terkejut....

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"BENAR, akupun juga tak tahu. Bagaimana ciangbunjin tadi mengalahkan mereka dan bagaimana dua kakek siluman itu sampai roboh!”

"Yang jelas ciangbunjin kita hebat. Kepandaiannya seperti dewa. Ah, sekarang siapapun tak berani menggangu kita, kawan-kawan. Ada Beng Kong lo-suheng yang hebat dan ciangbunjin kita yang sakti!”

Anak-anak murid Go-bi memuji dan tak habis-habisnya mengagumi ketua mereka yang hebat. Munculnya Ji Leng Hwesio dan kepandaiannya yang seperti dewa memang membuat anak- anak murid berbangga hati. Mereka tadi begitu khawatir akan terdesaknya Beng Kong Hwesio tapi tiba-tiba girang dan kagum luar biasa begitu ciangbunjin mereka yang lama muncul, datang dan memperlihatkan diri dan kepandaian ketua mereka yang seperti dewa memang benar-benar membuat mulut semua murid mendecak.

Bayangkan, ciangbunjin mereka itu sudah bukan seperti manusia lagi. Kakinya tak menapak tanah dan melayang-layang seperti dewa. Dan ketika ciangbunjin mereka itu dapat mengalahkan dua lawannya begitu mudah, hanya sekali gebrak dan dua tokoh Heng-san itupun terpelanting berguling-guling, takluk dan menyatakan kalah maka murid-murid bersorak dan tentu saja bangga. Mereka mempunyai pimpinan yang demikian sakti.

Sekarang tak akan ada lagi musuh yang berani datang mengganggu. Dan ketika benar saja hari-hari berikutnya Go-bi tak pernah disatroni musuh, kejadian atau peristiwa di Go-bi itu didengar orang-orang kang-ouw maka perkumpulan silat yang terletak di tengah gurun ini tak lagi diganggu orang. Siang Kek maupun Siang Lam Cinjin membawa malu besar dan begitu mereka pulang begitu mereka langsung bertapa. Kekalahan yang diderita dari yang terhormat ketua Go-bi memberikan pengalaman pahit.

Dua kakek itu malu besar. Dan ketika mereka menyembunyikan dan langsung menutup diri, Tujuh Malaikat Hoa-san juga pulang ke tempat masing-masing, Kiam Ting juga kembali dan pulang ke Kun-lun maka peristiwa besar di Go-bi ini menjadi pembicaraan hangat di mulut orang-orang kang-ouw. Berita kekalahan dan munculnya Ji Leng Hwesio menjadikan topik cerita di mana-mana. Dedengkot Heng-san sampai roboh di tangan ketua Go-bi itu, yang terpaksa keluar dan membantu muridnya yang hendak dikalahkan Siang Kek Cinjin.

Dan karena hal itu tentu saja mengejutkan dan mengherankan orang-orang kang-ouw, karena Siang Kek maupun Siang Lam sebenarnya adalah tokoh- tokoh tua yang setingkat dengan pendahulu sebelum Ji Leng maka kontan saja pembicaraan mengenai Bu-tek-cin-keng otomatis disinggung-singgung lagi.

"Ciangbunjin dari Go-bi-pai itu memiliki Hok-tee Sin-kun. Dan Hok-tee Sin-kun adalah warisan kitab maha sakti Bu-tek-cin-keng. Ah, ini yang menyebabkan Ji Leng amat hebat, kawan-kawan. Go-bi telah mewarisi kitab maha-rahasia yang luar biasa!"

"Dan kita juga akan sehebat itu kalau sudah mempelajari Bu-tek-cin-keng. Ah, aku si tua bangka ingin mendapatkan kitab maha sakti itu!”

"Aku juga...”

"Aku juga!"

"Tapi Go-bi sekarang tak menyimpan kitab itu. Bu-tek-cin-keng telah dibawa kabur Coa-ong dan kawan-kawannya Tujuh Siluman Langit!"

"Benar, kalau begitu kita cari mereka itu, kawan-kawan. Hayo berlomba sebelum Go-bi merebut kembali barang miliknya!"

Begituah, kabar dan cerita dari mulut ke mulut ini tersebar dengan cepat. Kepandaian dan kesaktian Ji Leng Hwesio menjadi pembicaraan orang di mana-mana. Semua menyimpulkan bahwa itulah karena Bu-tek-cin-keng. Siang Kek dan Siang Lam yang menjadi dedengkot Heng-san sampai kalah. Dan karena Bu-tek-cin-keng juga dikabarkan sudah dibawa kabur Tujuh Siluman Langit, orang-orang tak tahu bahwa Coa-ong dan kawan-kawannya justeru hanya mendapatkan serpihan-serpihan kertas kosong dari bungkusan yang mereka bawa.

Maka diam-diam bergeraklah orang-orang kang-ouw ini mencari Tujuh Siluman Langit. Mereka masih tetap berambisi mencari kitab itu karena daya tarik dan ceritanya yang demikian besar. Apalagi setelah dibuktikan dengan kepandaian Ji Leng yang luar biasa, yang mampu mengalahkan dan membuat takluk dedengkot-dedengkot seperti Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin. Dan karena semuanya ini benar-benar menarik minat, merangsang gairah dan menutup kesadaran untuk hal-hal yang jernih maka celakalah Coa-ong dan kawan-kawannya itu yang "diserbu" orang-orang kang-ouw.

Mereka mencaci-maki dan menghindar dari serbuan ini, bukan karena takut melainkan karena jumlahnya yang begitu besar, mengganggu ketenteraman dan hidup mereka sejak terguncang oleh mengamuknya Ji Beng Hwesio dulu, yang tewas di tangan laki-laki berkedok yang misterius. Dan ketika Coa-ong maupun kawan-kawannya harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, diburu dan dicari orang-orang kang-ouw ini maka anehnya Go-bi yang merasa kehilangan kitab dan jelas-jelas direbut barang miliknya itu adem-adem saja.

Go-bi memang telah mengeluarkan semacam "pernyataan resmi" bahwa Bu-tek-cin-keng tak ada lagi di situ. Kitab telah dibawa dan dilarikan Tujuh Siluman Langit. Dan karena ketika kejadian itu memang Coa-ong dan kawan-kawannya melarikan bungkusan hitam, dari saku baju It Lun Tojin maka banyak orang percaya dan dapat menerima itu, melihat dan menyaksikan sendiri dan karena itu Coa-ong dan kawan-kawannya inilah yang ganti diburu.

Orang-orang kang-ouw memang sedang demam Bu- tek-cin-keng. Nyawapun mereka pertaruhkan asal mendapat kitab. Dan ketika mereka mulai mencari dan mengejar-ngejar Tujuh Siluman Langit, tak tahu atau melihat kejadian di hutan yang mengakibatkan Ji Beng Hwesio tewas maka Go-bi sendiri tenang-tenang dan tak ada gerakan untuk mencari atau membalas Tuiuh Siluman Langit. Hal ini sebenarnya luar biasa karena gara-gara Tujuh Siluman Langit itulah Ji Beng tewas. Bahkan, gara-gara Tujuh Siluman Langit ini pula rahasia Bu-tek-cin-keng terbuka.

Tapi begitu kitab dibawa lari orang dan semua sibuk mencari Coa-ong dan kawan-kawannya, Bu-tek-cin-keng benar-benar membuat orang menjadi "demam" maka adalah aneh bahwa Go-bi sendiri sebagai pihak yang kehilangan barang tak tampak tanda-tanda atau gerakan untuk merebut kembali. Beng Kong, kata murid-murid Go-bi, dilarang Ji Leng Hwesio mencari kitab. Yang hilang biarlah hilang karena betapapun juga toh isi kitab sudah dihapal sang tetua, bahkan sudah diwariskan kepada Beng Kong Hwesio segala hingga kepandaian hwesio itu meningkat pesat.

Siang Kek maupun Siang Lam tak mampu menandingi hwesio tinggi besar ini, kecuali dengan mengeroyok. Tapi karena Ji Leng ada di situ dan kemungkinan besar hwesio itu pasti masih mendapat ilmu-ilmu lagi, ini logis maka Siang Kek maupun Siang Lam putus asa memusuhi Go-bi karena toh mereka pasti kalah lagi. Beng Kong kelak akan sesakti gurunya dan ini membuat mereka ngeri. Dengan kepandaian yang seperti sekarang saja murid Ji Leng itu sudah mampu mempermainkan mereka, menghina dan mempermalukan.

Apalagi kalau kelak sudah setaraf gurunya dan mereka coba-coba membalas dendam. Tentu hinaan dan malu yang lebih hebat lagi yang bakal mereka terima. Dan karena semuanya itu dapat dipikir baik-baik, dua kakek ini benar-benar memendam sakit hati maka mereka bertapa dan tak perduli atau menghiraukan keadaan Heng-san lagi. Go-bi sudah diminta untuk tidak mengganggu, itu cukup. Dan karena Ji Leng dapat dipercaya dan tak mungkin Heng-san điganggu, atau mereka bangkit dan mempertaruhkan nyawa maka Go-bi dan Heng-san terlibat perang dingin di mana masing-masing pihak sudah tak mau bertegur sapa lagi.

Cacad dan celakanya To Hak Cinjin terpaksa diselesaikan di situ saja. Siang Kek maupun Siang Lam terpaksa menutup mata dan telinga terhadap murid keponakan ini, yang tentu saja terbelalak dan sakit hati namun tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika di Hoa-san maupun Kun-lun juga begitu, Tujuh Malaikat maupun Kiam Ting juga tak mampu berbuat jauh maka kematian It Lun Tojin maupun Kiam Leng Sianjin dipeti-es-kan alias tak diurus. Go-bi sudah mengalahkan mereka dan mereka harus tahu diri.

Dan ketika semua juga tutup mulut namun tentu saja Go-bi dan tiga partai persilatan ini bermusuhan, mereka tak bicara dan bertegur sapa satu sama lain maka Beng Kong memimpin lagi anak-anak murid Go-bi dengan lebih bebas dan keras. Tiga hari setelah itu hwesio ini dipanggil gurunya, entah apa yang dibicarakan namun hwesio itu berseri-seri ketika muncul kembali. Dia berkata kepada tujuh adiknya Pat-kwa-hwesio bahwa ia akan digembleng dalam bukit pertapaan, sementara ini adik-adiknya itulah yang diminta untuk mewakilinya memimpin partai.

Dan ketika tujuh hwesio itu mengerutkan kening namun mengangguk, tentu saja menerima perintah maka Beng Kong menghilang dan masuk ke pertapaan gurunya. Ji Leng rupanya ingin menggembleng sang murid setelah repot menghadapi desakan dua dedengkot Heng-san itu, menurunkan ilmu-ilmunya lagi agar sang murid bertambah sakti. Dan ketika sebulan dua bulan hwesio itu tak pernah menampakkan diri. Go-bi benar-benar aman dari gangguan musuh maka di tempat lain justeru kegaduhan atau keributan tentang Bu-tek-cin-keng beralih!

* * * * * * * *

Mari kita ikuti perjalanan Coa-ong dan enam Siluman Langit yang lain. Seperti diketahui, Coa-ong dan kawan-kawan dihajar babak-belur oleh Ji Beng Hwesio yang marah besar. Hwesio Go-bi itu benar-benar murka oleh tingkah atau perbuatan tujuh orang ini. Go-bi dibuat tak tenang lagi oleh kehadiran mereka. Dan ketika Bu-tek-cin-keng tak didapatkan lagi di saku dalam It Lun Tojin, yang tewas dan dilempar hwesio itu maka Ji Beng mengejar dan memburu ketujuh lawannya. Coa-ong dan kawan-kawan memang dikenal sebagai orang-orang licik. Mereka itu banyak akal dan terlebih curang.

Maka begitu didapat bahwa kitab tak ada di saku It Lun Tojin, sang hwesio mengejar dan keluar gurun maka dihadangnya lawan- lawannya di hutan sana. Coa-ong dan teman- teman kaget dan selanjutnya kita tahu pertarungan mati hidup di antara tujuh orang ini melawan Ji Beng. Semua kepandaian dan kesaktian hwesio itu dikeluarkan. Coa-ong dan kawan-kawan kewalahan. Dan ketika satu demi satu mereka terluka, untunglah seseorang menolong dan menghajar hwesio itu maka Coa-ong dan teman-teman selamat dari amukan si hwesio kosen.

Diam-diam mereka mencucurkan keringat dingin melihat kehebatan hwesio ini. Bukan main, baru beberapa tahun saja tak bertemu tiba-tiba si hwesio sudah selihai dan sesakti itu. Namun ketika bayangan hitam membunuh hwesio itu dan ular Tiga Warna menancap di dada sang hwesio, roboh dan tewas maka Coa-ong dan kawan-kawannya ngacir dengan mendekap dada atau tubuh yang terluka. Rata-rata luka dalam dihantam pukulan Ji Beng.

Coa-ong mengutuk dan tak habis-habisnya memaki-maki hwesio itu, meskipun akhirnya lawan tewas dan tak bergerak lagi di tanah. Dan ketika mereka menyingkir karena Si Naga Emas dan Pat-kwa-hwesio datang, melihat dan menolong Ji Beng Hwesio maka Coa-ong langsung kembali ke tempatnya di selatan untuk menyembuhkan luka. See-tok dan Jin-mo juga menghilang ke tempat masing-masing begitu pula suami isteri Kwi-bun dan Tong-si. Kwi-bo juga tak ketinggalan dan bersama Jin-touw diam-diam dua orang ini mendahului. Mereka pucat melihat kesaktian lawan.

Tapi ketika sebulan masing-masing bersembunyi dan hari itu sudah sehat kembali, Coa-ong menggeliat dan mengetuk-ngetukkan tongkat ularnya di tanah tiba-tiba terdengar tawa dan See-tok, si Racun Barat muncul, berderak dengan tawanya yang berat.

"Ha-ha, selamat pagi, Coa-ong. Selamat bertemu dan sehat-sehat kembali!"

“Ah,” si Raja Ular terkejut, tiba-tiba terkekeh. “Kau, See-tok. Ada apa ke sini dan kenapa pagi-pagi datang? Tumben!"

“Ha-ha, aku ingin sambang (menjenguk). Apakah kau masih hidup dan selamat!"

“Sambang? Ha-ha... jangan omong kosong, See-tok. Orang seperti kau ini tak punya solidaritas terhadap teman. Wehh, tak usah main-main. Kau tak perlu membohongi aku dan katakan saja apa maksud kedatanganmu. Aku bukan anak kecil!"

"Ha-ha, Raja Ular memang cerdik. Uwahh, aku ingin tanya soal sebulan yang lalu itu, Coa-ong. Bagaimana Bu-tek-cin-keng tiba-tiba hanya berisi serpihan kertas melulu. Di mana kitab itu sebenarnya? Di mana kau simpan?"

"Apa?”

"Tak usah bohong. Aku curiga kepadamu bahwa sebelumnya kau sudah menukar isi bungkusan itu dengan potongan kertas kecil-kecil. Aku datang untuk menanyakan ini. Kalau kau mengaku sahabat tentu tak pelit untuk kita belajar bersama. Tapi kalau kau bohong, hmm, bandul tengkorakku akan menghajar tubuhmu!"

“Heh-heh-heh-heh...!” Coa-ong terkekeh dan terpingkal-pingkal, geli. “Kau kerbau tak berotak, See-tok. Kalau aku menyimpan kitab itu tentu aku tak akan di sini. Kau tak mungkin menemukan tempat tinggalku yang baru!”

See-tok melengak. "Begitukah?" tanyanya.

"Tentu saja. Masa aku bohong? Hmm, aku tadinya juga berpikir begitu dan mengira kau yang menyimpan. Tapi sekarang lain. Barangkali Jin-mo atau Kwi-bo!"

"Tak mungkin!"

"Kenapa tak mungkin?" Coa-ong tertegun, lawan menjawab demikian cepat. Terangkan alasanmu, See-tok. Dan coba kudengar."

"Hm, Jin-mo selalu bersamaku selama ini, berdekatan. Ia baru saja sembuh dan juga menanyakan kitab...”

"Kalau begitu mungkin Kwi-bo!"

“Tidak, tidak... Kwi-bo justeru menyuruhku ke sini dan menanyaimu. Ia pun tak mungkin menyimpan kitab!”

"Kwi-bo? Menyuruhmu?" si Raja Ular terbelalak. "Weehh, kau ini kerbau dungu yang benar-benar tak berotak, See-tok. Mau saja diperalat wanita. Goblok!”

"Aku tidak goblok," si raksasa menyeringai, tertawa. "Aku mendapat imbalan, Coa-ong. Kalau tidak tentu saja tidak mau!”

"Imbalan? Imbalan apa?"

"Ha-ha, Kwi-bo melayaniku semalam penuh dengan cinta yang panas. Aku mendapat imbalan istimewa untuk datang dan menanyaimu ini!”

“Pantas!" si Raja Ular terkekeh, menancapkan tongkat sampai amblas separoh. "Kiranya itu, See-tok. Heh-heh, kau sungguh masih ganas dan liar dalam masalah cinta. Nafsumu masih besar, sebesar gunung!”

"Ha-ha, itu barang nikmat. Bodoh kalau tidak merasakannya. Eh, sekarang bagaimana jawabanmu, Coa-ong. Apakah benar kau tidak menyimpan kitab?”

"Kau boleh percaya boleh tidak,” si kakek ular tiba-tiba berseru, tongkat dicabut kembali. "Aku tak membawa-bawa Bu-tek-cin-keng, See-tok. Kalau kubawa tentu aku tak akan di sini. Aku tentu bersembunyi di tempat lain dan kau tak bakal menemukannya sampai aku selihai Ji Beng!"

“Hm, kalau begitu siapa yang membawa? Apakah siluman," si raksasa bersinar-sinar, mau percaya. "Siapa menurut pendapatmu yang paling pantas dicurigai, Coa-ong. Apakah Kwi-bun dan isterinya?"

"Kupikir juga begitu, atau.. hmm, siapa tahu justeru Jin-touw atau Kwi-bo sendiri!”

"Eh, kau lagi-lagi mencurigai Kwi-bo?"

"Dengar," si kakek menggoyang tongkatnya. "Jin-touw maupun Kwi-bo ini manusia-manusia cerdik, See-tok, beda dengan kau yang berangasan dan berotak kambing. Mereka bisa saja pura-pura menuduh orang lain tapi sebenarnya diri sendiri yang membawa!"

“Kau tak usah memaki aku," si raksasa berseru, marah. "Kaupun berotak lempung, Coa-ong. Kalau tidak percaya mari kulihat isi batok kepalamu... wutt!” bandul tengkorak menyambar, langsung menghantam.

Namun Coa-ong terkekeh, menangkis. Dan ketika dua orang itu sama terhuyung dan terpental ke belakang, si Raja Ular berseru mengibaskan tongkat maka si raksasa diminta berhenti. "Eiitt, jangan mengamuk. Kita sudah biasa saling memaki!" “Tapi kau tak pernah mengataiku berotak kambing...”

"Dan kau tak pernah memakiku berotak lempung. Ha-ha, tahan dan sabar, See-tok. Pembicaraan kita belum selesai!" dan ketika raksasa itu menggeram namun menyeringai, memang ia tak pernah memaki seperti itu maka Coa-ong buru-buru bicara lagi melihat temannya sudah mau bersabar. "Lihat, dan dengar kata-kataku. Sebaiknya kita selidiki satu per satu dan kalau nanti ada yang tidak di tempat maka itulah yang patut kita curigai. Bagaimana kalau sekarang kita menyelidiki Kwi-bo. Di mana rekan kita itu?"

"Ia di luar hutan, tak jauh dari sini. Tapi kenapa mesti dia yang diperiksa lebih dulu. Aku yakin ia tak membawa Bu-tek-cin-keng!"

"Hm, kalau begitu siapa yang paling dekat dulu, See-tok. Kau ini selangit betul cintamu kepada Kwi-bo!"

“Tentu, ia wanita hebat. Ia pandai bermain cinta dan memabokkan aku sampai ke langit tujuh. Dan kwi-bo pun cinta kepadaku. Kami sudah berjanji untuk menjadi suami isteri. Ia milikku, hartaku!"

“Ha-ha, tua bangka gila. Kau dikecoh dan ditipu saja oleh siluman itu, See-tok. Kwi-bo tak pernah puas dengan satu laki-laki dan ia tak mungkin sungguh-sungguh. Kau dikempongi!"

“Sudahlah, tak perlu bicara ini. Ini urusanku pribadi, tak perlu membuat aku marah atau nanti kita bertanding!"

“Baik... baik, sorry, See-tok. Kau memang berangasan dan rupanya lagi tergila-gila kepada kekasihmu itu. Baik, katakan kepadaku siapa kira-kira yang sekarang ini paling dekat dengan kita. Itulah yang kita cari!"

See-tok tertegun. “Kebetulan Kwi-bo, ia di luar hutan sana...”

"Nah, kalau begitu berangkat. Ayo kau tunjukkan dan duluan!"

Coa-ong bergerak. Ia minta temannya jalan duluan dan See-tokpun berkelebat, mengangguk. Dan ketika raksasa itu berseri-seri bahwa ia akan menjumpai kekasih, semalam baru saja mereka bercinta maka Racun Dari Barat ini gemas menunjukkan di mana Kwi-bo berada. Raksasa itu gemas kepada temannya kenapa Kwi-bo yang baik- baik dan dapat dipercaya itu harus diselidiki. Tapi karena tak ada jeleknya dan biarlah Coa-ong tahu, kakek ini bergerak dan meluncur ke hutan maka terdengarlah kekeh dan tawa yang membangkitkan rangsang birahi.

“Hi-hik, kau kuat sekali, Jin-touw. Aihhh... kalah See-tok kalau begini. Hi-hik, geli... ah, serbuanmu terlalu menggebu!”

See-tok terbelalak. Ia yang baru saja memasuki hutan dan mendengar tawa atau kekeh itu tentu saja segera mengenal dan pucat bergerak ke depan. Di balik gerumbul atau semak-semak itu terdengar suara dan kekeh itu, di samping desah atau dengus seorang laki-laki yang tertawa dan bernapas memburu. Dan ketika si raksasa menguak dan menyibak gerumbul itu, kaget dan marah maka dilihatnya kekasihnya tercinta, Kwi-bo, bermain cinta dan telanjang bulat bersama seorang laki-laki tampan yang memegang kayu pikulan.

“Jin-touw!”

Bentakan atau seruan keras ini membuat yang sedang bereinta terkejut. Kwi-bo, yang sedang bergulingan dan mendesah serta mendengus dan terkekeh-kekeh bersama pasangannya tiba-tiba berteriak ketika See-tok melompat. Raksasa itu mengayun bandul tengkoraknya dan terdengar suara menderu yang dahsyat sekali. Dan ketika dua orang itu dihantam dan menerima serangan maut, Kwi-bo maupun Jin-touw dihantam bandul tengkorak maka keduanya secepat kilat mengelak dan Kwi-bo menjerit ketika senjata itu menghantam tanah, dahsyat sekali.

"Dess!”

See-tok menggeram dan seketika membalik. Ia marah sekali dan pucat serta merah berganti-ganti melihat kejadian di depan matanya ini. Sang kekasih, yang semalam berjanji sehidup semati tiba-tiba saja sudah bergumul dan bercinta dengan orang lain. Siapa tidak panas! Maka begitu serangan luput dan raksasa ini menggeram, giginya berkeratak maka ia sudah menyerang dua orang itu dan Jin-touw kedodoran mengenakan pakaiannya yang disambar buru-buru, mengelak dan berlompatan tapi bandul tengkorak sudah mengejar dan menderu-deru.

Selanjutnya See-tok memaki-maki dan kemarahan atau api kebencian meletup di kepala raksasa ini. Jin-touw, saingannya, tahu-tahu sudah bergulingan dan bergumul dengan Kwi-bo. Padahal Kwi-bo adalah miliknya! Tapi ketika laki-laki itu mengelak dan menghindar sana- sini dan sudah menguasai keterkejutannya, kedatangan See-tok memang di luar dugaan maka laki-laki itu membalas dan Kwi-bopun melengking-lengking, memaki dan membalas raksasa ini, orang yang semalam juga dilayaninya.

"Keparat, mengganggu orang senang-senang. Ihh, kuhancurkan dadamu, See-tok. Kuremuk nanti isi kepalamu...plak-plak!" rambut si Kwi-bo meledak dan menangkis bandul, terpental namun menyerang lagi dan Jin-touw juga memaki-maki lawannya itu. Dia membalas dan mengayun kayu pikulannya. Dan ketika tiga orang itu bertanding dan sama-sama marah, masing-masing merasa sama-sama terganggu.

Maka Coa-ong terkekeh-kekeh dan duduk menonton, mengipas-ngipasi mukanya yang sedikit berkeringat. “Heh-heh, lumayan... gratis. Ayo, sikat dan sikut lawanmu, See-tok. Bunuh mereka itu. Awas, hati-hati terhadap pikulan Jin-touw dan elak sambaran rambut Kwi-bo... ah, ha-ha... heh-heh!"

Coa-ong tertawa-tawa dan geli menepuk-nepuk paha. Sikapnya demikian santai sekali dan See-tok dibakar dengan kata-kata menusuk. Sambaran atau lecutan Kwi-bo selalu dikatakannya sebagai sambaran atau lecutan rambut siluman. Raja Ular ini bahkan mengendus-ngenduskan hidungnya dan berkata bahwa rambut Kwi-bo memiliki keharuman yang aneh, barangkali hasil "minyak wangi" Jin-touw yang baru saja diberikan kepada wanita itu. Dan ketika See-tok meluap karena semua kata-kata ini benar- benar memanaskan hatinya, terbakar, maka See-tok memperhebat serangannya dan pohon-pohonpun segera tumbang dihajar bandul tengkoraknya yang mengerikan itu.

"He!" Jin-touw membentak, ditujukan kepada si Raja Ular itu. "Tutup mulutmu, Coa-ong. Atau nanti kusumpal kentut!"

"Ha-ha, kentutmu tak bau," si Raja Ular terkekeh, menggoda. "Kentut yang tak bau tak dapat dipakai menyumpal, Jin-touw. Lain kalau umpamanya kentut See-tok. Lihat tubuhnya yang tinggi besar itu, tentu kentutnya juga besar. Wehh, kau pertanggungjawabkan dulu perbuatanmu merebut Kwi-bo dan jangan berteriak-teriak ke sini. Nanti kepalamu pecah dihantam bandul..... dess!"

Benar saja, bandul menyambar dan nyaris kepala si tukang kayu ini kena, meloncat dan senjata di tangan raksasa itu menghajar tanah sampai berlubang. Dan ketika Jin-touw memaki-maki karena kelengahannya sekejap tadi hampir saja membuatnya celaka sendiri, Coa-ong terkekeh dan geli di sana maka kakek itu menonton lagi dan berkejap-kejap, berseru dan berteriak memberi semangat kalau yang lain hampir berhasil, memaki atau mengutuk kalau See-tok ataupun lawannya sama-sama luput menghantam. Dan ketika semuanya ini membuat See-tok maupun lawannya marah, mereka risi oleh mulut usil kakek ini maka ketiganya tiba-tiba membentak dan menyerang Raja Ular itu.

“Diam, atau nanti kupukul mampus!"

Coa-ong mencelat. Ia kaget dan berseru keras ketika tiba-tiba rambut dan kayu pikulan ataupun tengkorak menyambar tubuhnya, meledak dan menghajar tempat duduknya tadi sampai si Raja Ular ini meleletkan lidah. Dan ketika ia maklum bahwa mulut usilnya membuat marah, apa boleh buat ia berjungkir balik dan menyingkir dulu maka kakek ini lari bersembunyi dan cerdik berada di tempat lain.

"Ha-ha, tak usah sewot, kawan-kawan. Kalau tak tahan aku bicara biarlah aku berhenti dulu dan kalian lanjutkan lagi pertempuran itu!"

Coa-ong lenyap. Ia menyadari bahaya dan kini bersembunyi di balik gerumbul, menonton dan terkekeh-kekeh di situ dan See-tok sudah kembali menyerang Jin-touw. Laki-laki ini di dekatnya dan kontan ia menghajar. Namun ketika Jin-touw menangkis dan membentak keras, marah, maka Kwi-bo sudah membantu dan menyerang si raksasa ini karena Coa-ong sudah menghilang dan menyembunyikan diri.

"Des-dess!”

Selanjutnya tiga orang itu sudah bertanding lagi. See-tok dikeroyok dan mula-mula raksasa tinggi besar ini dapat bertahan, bandul tengkoraknya ganas menyambar-nyambar namun akhirnya ia berbalik terdesak setelah dua orang itu menguasai diri. Tadi mereka kedodoran dan sibuk memasang pakaian, Jin-touw bahkan terbalik celananya. Lucu! Namun ketika laki-laki bermata coklat ini tak perduli dan ia berkelebat membalas serangan-serangan lawan, See-tok kewalahan maka berikutnya raksasa inilah yang menjadi korban sasaran kemarahan dua orang itu, yang merasa terganggu dan dipenggal kesenangannya.

"Rasakan, hih! Kau mengganggu kesenangan orang, See-tok. Kalau tidak dihajar kau nanti kurang ajar lagi.... des-dess! rambut Kwi-bo meledak dan menghantam si raksasa, membuat lawan terhuyung dan saat itu Jin-touw juga membentak dan menghantamkan kayu pikulannya, kena dan raksasa itu terpelanting. Dan ketika See-tok berteriak-teriak karena lawan mulai ganas, ia terbelalak memandang Kwi-bo maka ia bertanya bagaimana dengan janji siluman betina itu.

"Janji apa?” Kwi-bo-melotot. "Jangan macam-macam, See-tok. Aku tak pernah berjanji apa-apa kepadamu!"

“Eh-eh, kau berjanji mau sehidup semati denganku. Kau mau menjadi isteriku. Semalam kita telah berjanji! Eh mana janjimu itu, Kwi-bo. Bukankah kau mencintai aku?"

“Hi-hik, si kerbau dungu," Kwi-bo terkekeh, tak dapat menahan geli. "Orang bercinta selalu begitu, See-tok. Tapi kalau selesai ya sudah. Semua itu hanya untuk penikmat suasana. Kau bodoh dan seperti anak ingusan. Masa tidak tahu dan menuntut janji segala!"

"Jadi kau tak mencintai aku?"

"Kalau kau menyenangkan hatiku tentu saja cinta, tapi kalau kau membuatku marah begini tentu saja tidak. Aku benci!”

"Ah!" dan si raksasa yang membentak dan berteriak tinggi tiba-tiba melepas pukulan dahsyat ke arah wanita itu. Kwi-bo menangkis dan mereka sama-sama terpental. Tapi ketika Jin-touw melengking dan mencabut kapaknya, senjata utamanya maka senjata itu menyambar dan mengenai bahu See-tok.

“Crat!" See-tok berteriak. Dagingnya terkuak sedikit dan untung raksasa itu cukup kebal. Ia telah mengerahkan sinkangnya namun bacokan kapak cukup membuatnya kesakitan juga. Dan ketika Kwi-bo terkekeh dan wanita itu menyerangnya lagi, tak ada cinta atau kasih sayang maka raksasa ini mengeluh dan ia mundur mengelak sana-sini, menangkis tapi dipagut senjata yang lain dan pucatlah raksasa itu menghadapi dua lawannya. Sekarang ia terdesak, mundur-mundur dan jatuh terpelanting ketika rambut meledak di bahunya yang lain. Dan ketika Kwi-bo terkekeh-kekeh dan senang melihat See-tok jatuh bangun, marah, maka See-tok tiba-tiba membalik dan melarikan diri.

"Kwi-bo, kau jahanam keparat. Pengingkar janji. Ah, terkutuk kau dan mampuslah di neraka!"

"Hi-hik, cinta ditolak kok marah-marah. Eh, kau masih kalah perkasa dengan si Jin-touw ini See-tok. Aku sekarang jatuh cinta kepadanya dan tidak kepadamu!”

“Benar,” si Jin-touw tertawa, wajah berseri-seri. “Perebutan ini dimenangkan aku, See-tok. Kau cepat loyo dan katanya tidak tahan lama!"

“Bedebah!" si raksasa menyumpah. “Kwi-bo memang wanita siluman, Jin-touw. Terhadap siapapun pasti dia bilang begitu. Nanti kalau dia mendapat penggantimu maka kau akan dikatakannya loyo dan tidak tahan lama!"

"Ha-ha!” si pendek kekar tertawa bergelak. “Nanti tinggal nanti, See-tok. Yang penting sekarang ini Kwi-bo mencintaiku. Aihh, tubuhnya demikian mulus dan menggairahkan. Kalau kau berani mengganggu kami lagi tentu kubunuh!" laki-laki ini melempar kapak-kapak kecil, ditangkis dan See-tok mengumpat di kejauhan sana.

Raksasa ini terpelanting karena Kwi-bo juga melempar beberapa senjata rahasianya. Dan ketika dua orang itu terkekeh dan berhenti mengejar, Jin-touw menubruk dan memeluk si bahenol ini maka Kwi-bo menyambut dan langsung keduanya berciuman. Jin-touw sudah melepas celananya.

"Ha-ha, terbalik. Biar tak usah kupakai saja!”

Kwi-bo terpingkal-pingkal. Secepat kilat teman laki-lakinya ini sudah berbugil ria, membuang pakaiannya dan ia pun sudah dicopoti. Dan ketika mereka kembali bergulingan dan melanjutkan permainan tadi, dua orang ini memang iblis-iblis yang tak tahu malu maka Coa-ong terbahak dan menonton "pertandingan" lain ini, juga tak malu-malu. Bejat!

“Heh-heh, ini baru luar biasa. Bagus, ayo sergap, Jin-touw. Piting dan ringkus sekuat tenaga. Cekik.... cekik dia!”

Dua orang itu tertawa-tawa. Jin-touw memang bersikap kasar dan mencekik atau memeluk tubuh Kwi-bo dengan brutal. Sikapnya seperti kerbau jantan namun justeru inilah yang disukai Kwi-bo. Wanita itu tak senang dengan permainan cinta yang lembut. Ia minta yang kasar dan beringas. Kalau perlu, sadis! Dan ketika Jin-touw juga melakukan itu karena segera gigit sana gigit sini, menggaruk atau mencubit segala maka Coa-ong terkekeh-kekeh dan terpingkal di sana, tak terasa nafsu berahi pun bangkit dan ingin ikut-ikutan.

Orang-orang seperti mereka ini memang ada gangguan jiwa, tak menyukai cara-cara yang sehat dalam bermain cinta karena maunya kasar dan buas seperti binatang. Tapi ketika kakek itu meloncat dan hendak ikut "mengeroyok", Kwi-bo jijik melihat tubuhnya yang kurus kerempeng maka kakek itu ditendang dan si Raja Ular mencelat.

"Pergi, tubuhmu sudah terlalu tua dan kurus!”

Coa-ong memekik. Kontan ia menjadi marah dan dicabutnya serulingnya untuk memanggil ular. Dan ketika dua orang itu bergulingan lagi dan puluhan ular tiba-tiba merayap datang, menggeleser dan diperintahkan menyerbu yang bermain cinta maka Kwi-bo maupun Jin-touw mengutuk meloncat berteriak-teriak. Mereka jadi bingung dan marah oleh gangguan ini dan Coa-ong terpingkal-pingkal. Kakek itu mendapatkan kesenangannya dalam hal yang lain.

Tapi ketika dua orang itu menginjak-injak dan membunuhi ularnya, marah dan memaki-maki maka kakek ini memperhebat suara sulingnya namun dua orang itu berkelebat pergi, mencari tempat lain dan kakek ini mendongkol tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia gigit jari dan muncullah See-tok yang tadi menghilang. Raksasa ini merah mukanya karena Kwi-bo sudah tak memperhatikannya lagi. See-tok sakit hati. Dan ketika ia berseru kenapa si Raja Ular tak membantu sekarang ganti kakek itu yang penasaran maka Coa-ong tertegun tapi terkekeh.

"Heh-heh, sudahlah. Kwi-bo masih ingin melanjutkan hajatnya. Kita mencarinya bukan untuk mengganggu melainkan bertanya tentang Bu-tek-cin-keng itu. Bagaimana kalau kita bersabar sebentar dan menunggunya selesai bermain cinta.”

"Menunggu? Dan mereka bersenang-senang? Keparat, aku tak suka ini, Coa-ong. Hati bisa panas terbakar melihat mereka bermain cinta!"

"Kalau begitu kau labrak sendiri saja ke sana. Aku si tua bangka ingin main-main dulu dengan anak-anakku ini!” dan Coa-ong yang tertawa dan meniup sulingnya lagi, menyuruh ular-ularnya berlenggang-lenggok lalu membuat See-tok mendelik namun tak dapat berbuat apa-apa. Raksasa inipun tak mungkin berani mengganggu Kwi-bo, kalau dua orang itu bercinta sementara dia sendirian. Dan ketika ia melotot namun tersenyum melihat ular menari-nari, mengikuti irama suling maka raksasa ini terbahak dan menyambar seekor ular betina yang paling besar.

“Ha-ha, suruh ia melayaniku, Coa-ong. Coba kau tiup sulingmu agar mau menjadi isteriku!”

“Heh-heh, ularku tak dapat melayanimu. Tapi kalau kau ingin belaian dan jilatan sayang tentu bisa. Lihat, aku akan mengobati kekecewaanmu, See-tok. Tapi jangan cengkeram ekornya agar tak kesakitan!"

See-tok tertawa bergelak. Ia tadi mengelus- elus bawah ekor ular betina dan memijat serta meneengkeramnya. See-tok agaknya ingin ular itu bangkit berahinya. Tapi ketika sang Raja Ular berseru bahwa tak mungkin ia main-main dengan ular, binatang itu hanya dapat berpasangan dengan jenisnya saja maka See-tok melempar ular ini dan minta agar Coa-ong menyajikan adegan yang lebih menarik.

“Kalau begitu suruh ularmu bermain cinta. Biar aku menonton!”

"Ha-ha, boleh, lihat!” dan ketika kakek itu meniup sulingnya dengan nada tinggi rendah maka tiba-tiba ular mendesis-desis dan mereka saling belit menjadi satu, berdiri dan akhirnya tegak dan lima puluh pasang ular sudah melaksanakan keinginan See-tok. Raksasa itu tertawa bergelak-gelak dan lupalah dia akan nasibnya sendiri, yang dibuang dan dilempar Kwi-bo. Tapi ketika Coa-ong tiba-tiba menghentikan tiupan sulingnya dan berseru cukup, raksasa itu tertegun maka See-tok bertanya kenapa dihentikan.

"Heh-heh, cukup. Satu jam sudah lewat. Di sana tentu Kwi-bo dan Jin-touw juga selesai bermain cinta. Ayo, kita tanya mereka, See-tok. Nanti main-main lagi kalau belum puas!”

Coa-ong berkelebat. See-tok akhirnya sadar dan mengangguk, berkelebat dan mengikuti si Raja Ular itu. Dan ketika mereka tiba di luar hutan dan benar saja Kwi-bo tampak memberesi pakaiannya, berdiri dan mengibas- ngibaskan rambutnya yang panjang hitam maka See-tok memandang penuh cemburu tapi tak berani main-main karena Jin-touw juga ada di situ, mengenakan pakaiannya dan nakal mencubit buah dada Kwi-bo. Perbuatan yang memanaskan!

“Ha-ha, kau hebat dan masih menggairahkan, Kwi-bo. Tubuhmu demikian aduhai dan lekuk-lengkung ini sungguh membuat aku ngilar. Sayang, tenagaku sudah habis!”

“Hi-hik, nanti saja lagi. Lihat, See-tok ke sini dan melotot!”

"Ia cemburu!"

"Tapi Coa-ong mau mengganggu kita. Hm, apa maksudnya dan hati-hati!"

Dua orang itu membalik. Mereke telah selesai bermain cinta dan betapa terbakarnya hati See-tok melihat kepuasan yang terbayang di wajah Jin-touw. Laki-laki itu tampak mendecak dan menjilat-jilat bibir. Ia tak habis-habisnya mengagumi tubuh Kwi-bo karena memang wanita ini montok dan menggairahkan. Lekuk- lengkungnya hebat dan tak ada laki-laki yang tak bakalan kagum. Tapi ketika See-tok menggeram dan Coa-ong meloncat terkekeh, mengetuk-ngetukkan tongkat maka si Raja Ular ini bertanya, nyaring namun tak ada cemburu atau marah seperti temannya,

"Kwi-bo, terus terang saja. Apakah kau menyimpan Bu-tek-cin-keng dan di mana kitab itu?"

“Heh?” si cantik terbelalak, kaget. "Bu-tek-cin-keng? Memangnya aku membawa kitab itu? Jangan kurang ajar, aku tak tahu-menahu tentang ini, Coa-ong. Justeru aku hendak bertanya kepadamu, di mana kau membawa kitab itu. Tentu kau menukarnya dulu sebelum menjadi serpihan-serpihan kertas. Nah, mana kitab itu dan di mana kau sembunyikan?"

“Heh-heh-ha-ha!" si kakek tertawa, geli dan menancapkan tongkat. "Kau jangan balik bertanya sebelum menjawab, Kwi-bo. Aku sungguh-sungguh dan tak usah main-main kepadaku. Dulu kau membawa dan tentu menukarnya!"

"Keparat, kaupun membawa dan tentu menukarnya!"

“Eh, eh,” Jin-touw melompat dan menyela. "Apa-apaan ini, Coa-ong. Kau tak usah menuduh sembarangan karena Kwi-bo sama sekali tak tahu-menahu tentang kitab. Kalau Bu-tek-cin-keng ada di tangannya tentu ia sudah bersembunyi dan tak mungkin kita temukan. Sama seperti kau atau See-tok ini yang juga berprasangka!"

“Heh, aku juga sekedar bertanya. Tapi bagaimana kitab bisa menghilang begitu saja dan berubah menjadi kertas biasa? Siapa kira-kira yang bermain gila?”

“Hm, aku tadinya malah menyangka kau," Kwi-bo menjawab, bersinar-sinar. “Tapi setelah kau datang dan memperlihatkan diri maka kecurigaanku tak berdasar, Coa-ong. Tak perlu ribut-ribut karena jelas kita masing-masing sama-sama tak membawa kitab!”

"Kalau begitu siapa...”

“Mungkin Kwi-bun dan isteriny, atau Jin-mo!”

“Hm, aku juga berpikir begitu. Kalau begitu bagaimana jika kita datangi mereka?”

“Kau takut sendirian?”

"Heh-heh, berempat tentu lebih menyenangkan, Kwi-bo, daripada sendirian atau berdua. Bagaimana jika kita sama-sama datangi mereka dan bertanya. Siapa tahu Jin-mo juga ada di sana!"

"Hm, si tukang kayu ini sebaiknya tak usah ikut campur. Aku mula-mula dengan Kwi-bo dan sudah sebagai pasangan!" See-tok, yang panas dan masih cemburu tiba-tiba berseru. Ia sejak tadi geram melihat saingannya ini menjilat-jilat bibir dan memandangi tubuh Kwi-bo dari atas sampai ke bawah. Raksasa ini sengit, jelus!

Tapi ketika Jin-touw tertawa dan tahu perasaan raksasa ini, bergerak dan tiba- tiba merangkul Kwi-bo dia malah memperhebat kemarahan. “Ha-ha, Kwi-bo milikku, See-tok. Kalau hari ini ia memilihku maka sebaiknya kau tak usah cemburu atau gusar. Lihat, ia diam saja kucium .. ngok!" si tukang kayu mencium pipi Kwi-bo, tertawa dan benar saja Kwi-bo diam dan tak mengelak, bahkan terkekeh. Dan ketika si raksasa menggeram dan menggerak-gerakkan bandul tengkoraknya, Coa-ong maju dan terkekeh maka kakek itu melerai.

“Sudahlah, tak perlu saling membakar. Kita sesama rekan dan masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Bagaimana kalau sekarang kita bergabung dan mencari suami isteri Kwi-bun. Ingat, mereka itu lihai dan tak akan mudah digertak kalau kita juga berdua atau bahkan hanya sendirian. Bagaimana pendapat kalian?"

"Aku setuju, tapi Jin-touw tak boleh memeluk-meluk atau mencintai Kwi-bo di depan mataku!" See-tok, yang tak tahan dan berseru mendahului melepas berangnya. Ia membuat Kwi-bo terkekeh dan Jin-touw juga tertawa. Iblis wanita itu geli. Namun karena Coa-ong benar dan tak mungkin menghadapi Kwi-bun dan isterinya hanya berdua karena mereka setingkat maka wanita ini melepaskan dirinya dan mendorong Jin-touw. Tenaga See-tok juga diperlukan di situ.

"Kau mundur, jangan membuat aku gerah. Cukup kau merayu dan mengajakku bercinta, Jin-touw. See-tok benar dan jangan merangsang kemarahannya dengan memeluk-meluk aku. Aku juga risih!"

"Wah, tak boleh mencium lagi?"

"Siapa sudi? Tubuh dan keringatmu apek, Jin-touw. Jujur saja kau dan See-tok sama-sama lelaki kasar!"

Ketika Jin-touw maupun Coa-ong tertawa, See-tok menyeringai puas maka Kwi-bo sudah tak mau didekati kawannya lagi, mengibas dan mengeringkan rambut dan Jin-touw hanya menjulurkan lidah. Kalau Kwi-bo tak mau diganggu maka jangan coba-coba diganggu, si betina akan marah dan di situ ada See-tok, yang tentu berbalik menyerang dan akan menjadi sahabat Kwi-bo. Orang-orang sesat memang selalu aneh. Dan ketika semua dapat menahan diri dan Coa-ong tersenyum geli maka Raja Ular itu bertanya apakah mereka sekarang siap mencari Kwi-bun.

"Tentu saja, mari berangkat!"

"Baik, kau di depan, Kwi-bo. Aku di tengah dan biar See-tok atau Jin-touw ini di kiri kananku!"

Si betina terkekeh. Adalah kebanggaan bila bisa membuat laki-laki saling berebut dan bermusuhan untuk memiliki dirinya. Kwi-bo memang amat senang kalau sudah dikagumi lawan jenis. Dan ketika ia mengangkat dan menggerakkan kakinya, berkelebat sembari menggoyang bahunya maka wanita ini mendahului tiga laki-laki di belakangnya yang mendecak kagum. Bahu dan pinggang Kwi-bo meliuk indah, bergerak dan sudah meluncur di depan sana. Dan ketika mereka mengejar dan berkelebat menyusul, Coa-ong di tengah agar dua kawannya tidak bersentuhan maka empat orang ini meluncur dan terbang meninggalkan hutan.

Mereka menuju ke selatan di mana Kwi-bun biasanya menyembunyikan diri, saling berlomba dan mempercepat lari namum ternyata masing-masing berimbang. Baik Kwi- bo maupun Coa-ong tak mampu memperlebar jarak, mereka tetap sama dan hampir berendeng dengan Kwi-bo di depan. Dan ketika empat jam kemudian mereka tiba di daerah berbatu karang dan di sini mereka berhenti, sebuah guha terlihat di depan mata maka Coa- ong mengetukkan tongkat seraya berkata.

“Sudah sampai. Bagaimana cara kita menemul Kwi-bun. Berbareng ataukah satu per satu dahulu."

"Hi-hik, kalian di sini saja dulu. Biar aku yang memeriksa!" Kwi-bo melesat mendahului, entah kenapa lebih senang memilih sendiri padahal tadinya ingin berempat. Begitu berkelebat ia pun sudah meninggalkan teman-temannya. Dan ketika Coa-ong tersenyum dan terkekeh mengangguk, tak curiga, maka See-tok justeru berseru dan berkelebat menyusul.

"Heh, gerak-geriknya mencurigakan. Biar aku membuntuti!”

“Lho?" Jin-touw terbelalak. "Kau mau apa, See- tok? Mengintil si cantik? Ugh, akupun juga. Biar kita bersama dan lihat apa yang đilakukan Kwi-bo!"

Coa-ong menghentikan kekehnya. Tiba-tiba ia terkejut karena See-tok dan Jin-touw sudah susul-menyusul mengikuti Kwi-bo. Apa-apaan mereka itu. Dan karena tak mau ditinggal sendirian dan apa boleh buat menyumpah teman-temannya si Raja Ular inipun bergerak dan mengejar teman-temannya.

"Busyet, melanggar janji. Kalian ini tak dapat diajak bicara baik-baik, See-tok. Sungguh- sungguh aku membawa kalian eh.... Sekarang tiba-tiba saja kalian meninggalkan aku!"

Orang akan tersenyum. Coa-ong berkelebat dan ganti menyusul teman-temannya itu, tiga laki-laki mengintil wanita. Lucu, persis anak kecil saja! Tapi karena mereka adalah orang-orang lihai dan jelas yang mereka lakukan bukan sekedar takut ditinggal Kwi-bo, seperti rasa takut anak ditinggal ibunya maka See-tok dan lain-lain itu mengikuti Kwi-bo karena satu dan lain sebab. See-tok misalnya, melihat gerak-gerik mencurigakan pada kekasihnya itu, pandang mata Kwi-bo yang aneh dan memancarkan keganjilan. Dan karena sedikit banyak ia tahu watak teman wanitanya itu, curiga.

.aka See-tok mengejar dan segera membuntuti, lain dengan Jin-touw yang curiga dan justeru menaruh prasangka buruk kepada See-tok. Si tukang kayu ini mengira See-tok ada main atau hendak main gila dengan Kwi-bo, membujuk atau merayu wanita itu setelah ia bersenang-senang di hutan. Jadi, mungkin untuk membalas cemburu! Dan karena inilah perkiraan Jin-touw sementara Coa-ong lain lagi, mendongkol ditinggal teman-temannya.

Maka Kwi-bo sendiri yang berkelebat dan ada di depan segera tahu kalau dirinya diikuti. Wanita ini melirik dan dilihatnya See-tok mengejar, tertawa kecil dan berkelebat ke samping batu karang di mana ia akhirnya lenyap, mengitari atau mendekati guha dari arah belakang. Dan ketika See-tok celingukan karena kehilangan jejak, buruannya lenyap maka Kwi-bo terkekeh dan sudah berada di belakang guha hitam itu.

Apa yang hendak dilakukan wanita ini? Kenapa ia tak mau diikuti teman-temannya? Bukan lain karena pamrih pribadinya. Ingin bertemu dan menggoda Kwi-bun dulu dalam usahanya mendapatkan Bu-tek-cin-keng. Dulu Kwi-bun pernah memandangi tubuhnya secara lahap dari atas ke bawah, pandangan laki-laki yang rakus akan birahi meskipun sudah punya bini. Dan karena Kwi-bo adalah wanita matang dan gerak-gerik atau pandangan lelaki tentu saja sudah dikenalnya, ia ingin menjebak dan menipu Kwi-bun maka di situlah wanita ini meninggalkan kawan-kawannya untuk bertemu secara pribadi dengan si Pintu Setan dalam usaha membujuk dan merayu.

Tapi sial. Baru saja ia melongok dan bersuit perlahan, tanda panggilannya kepada Kwi-bun mendadak lima sinar hitam bercuit menyambar mukanya. Kwi- bo baru saja mengintai dan bersuit perlahan ketika tiba-tiba mendapat sambutan lima sinar hitam itu. Dan ketika ia mengelak dan tentu saja menyampok, lima tusuk konde kecil runtuh ditamparnya maka tahu-tahu berdiri bayangan Tong-si yang hitam gelap, penuh amarah.

"Hm, pantas. Ini kiranya tanda siulanmu untuk berkencan dengan suami orang. Keparat, mau apa kau ke sini, Kwi-bo. Dan kenapa selalu mencari-cari suamiku. Wanita jalang!"

"Eh, hi-hik!" Kwi-bo terkejut tapi segera dapat menguasai diri, cepat turun dan berkacak pinggang. "Mau apa kau menyerang aku, Tong-si. Apakah kau kira suamimu yang pucat itu sudah sedemikian ganteng hingga perlu kurayu dan kuajak kencan. Cih, kau wanita tak tahu malu. Buruk dan sombong. Masih sejagad laki-laki tampan di dunia ini hingga tak perlu aku mencari-cari suamimu!"

"Keparat, sundal betina. Kalau begitu apa maumu dan bersiul-siul segala? Bukankah kau hendak menemui suamiku dan mengajaknya berbuat cabul? Eh, kau bukan wanita baik-baik, Kwi-bo. Kau betina jalang yang rakus akan laki-laki. Tak usah banyak cingcong dan pergilah sebelum kuhajar!"

Kwi-bo marah. Akhirnya ia balas memaki dan mengatakan lawannya lebih buruk daripada kuda. Kalau bukan Kwi-bun yang sepucat mayat tak mungkin ada laki-laki yang mau dengan wanita itu. Dan karena Tong-si memang berwajah mengkilap seperti perunggu, kuning kehitam-hitaman maka Kwi-bo yang gagal dan kini berhadapan dengan Tong-si malah melampiaskan kemarahannya di situ.

"Kau buruk melebihi kuda, tahu? Kau mengkilap seperti pantat wajan. Eh, kalau suamimu masih suka kepadamu tentu ia tak perlu melirik-lirik aku, Tong-si. Tapi karena wajahmu buruk dan mengkilap seperti wajan maka ia menaksir diriku. Aku datang memang atas kehendaknya. Kwi-bun ingin berganti pasangan untuk penyegar. Nah, kau mau apa dan mana suamimu itu?"

Tak ada lagi kata jawab. Tong-si langsung melengking dan begitu habis lawannya bicara ia pun sudah berkelebat dan mencabut tusuk kondenya. Senjata andalan ini menyambar dan tiba-tiba sebelas serangan sudah susul-menyusul menusuk Kwi-bo. Mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Dan ketika kwi-bo mengelak namun lawan mengejar, kata-kata itu benar membakar maka apa boleh buat iblis betina ini menangkis dan rambutnya menjeletar bertemu sebelas serangan maut.

"Plak-plak-plak...!”

Tong-si membentak dan menyerang lagi. Kemarahannya benar-benar sampai di ubun-ubun mendengar kata-kata lawannya tadi. Selain dicap buruk ia pun dianggap mengkilap seperti pantat wajan. Siapa tidak mendidih! Dan begitu ia ditangkis dan masing-masing terpental, Kwi-bo lupa kepada maksud tujuannya semula maka muncullah See-tok yang terbelalak den tertegun melihat pertandingan ini.

“Eh-eh!” si raksasa berseru. "Apa ini, Kwi-bo. Kenapa kau bertanding dengan Tong-si?"

"Ia mau mengajak suamiku main gila!" Tong-si melengking, tusuk konde tetap berkelebatan menusuk-nusuk, cepat. "Aku tak mau ia kurang ajar, See-tok. Hayo bantu aku dan bunuh siluman ini!”

"Ha-ha!" See-tok tiba-tiba tertawa bergelak. "Membantu? Ah, kalian dua wanita sama-sama cemburu, Tong-si. Daripada membantu kalian lebih baik menonton!" benar saja, See-tok lalu duduk dan menonton, asyik dan tertawa-tawa dan Tong-si tentu saja gusar. Kawan diminta bantuannya malah menonton, ia tentu saja sengit. Dan ketika ia menerjang dan memaki See-tok, si raksasa hanya ganda ketawa maka berturut-turut muncullah Jin-touw dan Coa-ong, yang juga tertegun dan terbelalak.

“Heii, ada apa ini. Kenapa bertempur. Mana Kwi-bun!"

"Ha-ha, Kwi-bo katanya mau mencari Kwi-bun, diajak kencan. Tapi karena Tong-si yang ada maka Tong-si mengamuk!”

"Ah, begitukah? Ha-ha, kalau begitu biar kita menonton!" Jin-touw, yang baru saja bercinta dan bersayang-sayang dengan Kwi-bo ternyata sama saja dengan See-tok, tidak membantu dan membiarkan saja dua wanita itu bertempur, duduk dan menonton. Dan ketika Coa-ong juga terkekeh-kekeh dan menancapkan tongkatnya, menonton dan bersila di situ maka Kwi-bo maupun Tong-si sama-sama marah karena mereka jadi barang tontonan!

"Jin-touw, mana kesetiaanmu sebagai kekasih. Hei, bantu aku dan jangan melotot di sana. Cepat, atau nanti tak kuberi lagi!”

“Ha-ha, untuk urusan begini mestinya See-tok lebih tepat, Kwi-bo. Bukankah ia yang lebih dulu menikmati tubuhmu daripada aku. Ayo, minta saja See-tok dan aku belakangan, sesuai urusan!”

"Wah, mana bisa? Kwi-bo tak setia kepada janjinya, Jin-touw. Kaulah yang merebut dan kau pula yang harus maju. Ayo, bantu Kwi-bo atau nanti Kwi-bun muncul!”

"Ha-ha, aku tak ingin bermusuhan dengan Kwi-bun. Ia orang baik dan sahabat yang dapat dipercaya!"

"Begini saja," Coa-ong tiba-tiba menimpali. "Kita membantu kalau salah satu berada di dalam bahaya. Sebelum itu biarkan mereka memanaskan tubuh dan kita tetap menonton!"

"Ha-ha, benar. Biarkan salah satu berkeringat dan lihat siapa yang bentuk tubuhnya lebih indah. Kwi-bo ataukah Tong-si!”

Kwi-bo maupun Tong-si menjadi marah. Mereka melengking dan memaki tiga laki-laki itu karena mereka ternyata disuruh terus bertanding sampai mengeluarkan keringat, basah kuyup dan di situlah nanti tubuh mereka tercetak. Dan karena Tong-si bukan wanita cabul seperti Kwi-bo, yang tentu saja marah dan melotot mendengar itu maka wanita ini melepas tiga senjata rahasianya di mana masing-masing menyambar Coa-ong dan See-tok serta Jin-touw.

“Laki-laki bermulut busuk. Tak tahu malu!”

Coa-ong dan See-tok serta Jin-touw tertawa. Mereka dengan mudah tentu saja menyampok tiga senjata gelap itu, runtuh dan Tong-si bertanding lagi dengan seru disana. Tapi ketika wanita itu mencak-mencak dan Kwi-bo juga marah melihat tiga orang rekannya ini mendadak terdengar jerit dan teriakan wanita.

"Tidak... tidak. Lepaskan aku... lepaskan.... aiiihhhh!"

Semua terkejut. Tong-si yang semula bertempur penuh kemarahan mendadak menoleh dan berubah. Wajahnya seperti menyiratkan sesuatu dan serangannya terhadap Kwi-bo tiba-tiba mengendor. Dan ketika teriakan itu terdengar lagi namun sekonyong-konyong berhenti, seolah mulut yang berteriak ditutup kencang mendadak wanita perunggu ini berjungkir balik dan terbang keluar wilayah, meninggalkan lawannya.

"Kwi-bo, tunggu sebentar. Biar aku lihat suamiku!"

Kwi-bo tertegun. Ia tak mendengar apa-apa kecuali jerit atau tangis wanita itu. Tapi begitu lawan berkelebat dan ia pun ingin tahu, meloncat dan mengejar wanita itu maka Coa-ong dan kawan-kawan ikut-ikutan, bergerak pula.

“Heh-heh, ini tontonan menarik lagi, See-tok. Ada apa di sana dan siapa yang berteriak- teriak itu?”

"Benar, akupun juga ingin tahu. Ah, siapa yang menangis itu dan ada apa?"

"Tentu betina," Jin-touw tertawa." Kwi-bun tampaknya mengganggu seorang gadis, See-tok. Dan isterinya kini datang. Ha-ha, lihat rekan kita itu dilabrak!”

Semuanya terbang keluar daerah berbatu karang. Mereka susul-menyusul mengejar Kwi- bo maupun Tong-si, yang masing-masing sudah ada di depan dan sebentar kemudian sudah di tempat suara. Dan ketika Kwi-bo terbelalak karena di tepi hutan seorang wanita muda diseret dan akhirnya disambar seorang laki-laki pucat, kurus dan bermata cekung maka Tong-si yang melihat dan juga ada di situ melengking.

“Kwi-bun, siapa yang kau bawa itu?"

Si pucat, yang ternyata Kwi-bun terkejut. Ia memang membawa dan baru saja menutup mulut wanita itu setelah dengan paksa menciuminya. Iblis laki-laki ini menculik dan membawa wanita itu agar mau melayani hasrat birahinya yang bosan dan jenuh dengan Tong-si karena isterinya itu acap kali dingin, tak mau melayani. Tapi ketika wanita itu menjerit-jerit dan tak mau diam, ia marah dan menampar maka wanita itu ditotoknya setelah tadi dicium paksa.

Tak tahunya sang isteri muncul dan di belakang isterinya itu tampak Kwi-bo yang berdiri tertegun, terkekeh dan tiba-tiba tak dapat menahan geli hatiya karena benar si setan pucat ini lelaki jalang seperti See-tok maupun Jin-touw, juga laki-laki lain yang banyak ditemui di perjalanan hidupnya. Dan karena Kwi-bun juga haus dan lapar akan kebutuhan yang satu ini, Kwi-bo terpingkal maka wanita itu berseru pada Tong-si agar membuktikan omongannya.

“Nah, lihat,” Kwi-bo membakar. "Apa kubilang, Tong-si. Suamimu itu suka mengajak kencan wanita lain. Tidak mendapatkan aku ia pun tentu mencari yang lain. Lihat sekarang ia merobek-robek pakaian wanita ini. Suamimu tak sabar menunggu kedatanganku!”

“Tutup mulutmut!" Tong-si membentak, marah kepada Kwi-bo namun menyambar wanita ini, "Siapa jalang yang kau bawa ini, Kwi-bun. Dari mana dan mau kau apakan dia... bret!” Tong-si telah merebut wanita ini, melengking dan sang suami tampak ketakutan dan gelisah. Kwi-bun meloncat dan melepaskan korbannya. Dan ketika Tong-si melempar dan membanting wanita ini, yang mengaduh, maka Tong-si sudah menginjak dada wanita itu yang tentu saja menjerit. Bengis!

"Kau pelacur dari mana berani bersama-sama suamiku. Heh, siapa namamu dan minta hidup atau mati!"

"Am... ampun!" wanita itu ngeri, bantingan atau lemparan Tong-si masih membuatnya kesakitan. "A... aku bukan pelacur, hujin. A... aku wanita baik-baik dari dusun di luar hutan. A... aku dibawa suamimu un... untuk melayani hasratnya. A... aku jangan dibunuh!"

"Kau bukan pelacur?"

"Bukan..”

"Kalau begitu kenapa mau dibawa-bawa?”

“A.... aku dipaksa, hujin. Suamimu yang membawa-bawa...!”

“Bohong! Suamiku orang baik-baik. Hayo mengaku bahwa kau bohong!”

“A... augh!" wanita itu menjerit, Tong-si menginjak keras dadanya. "Ampun, hujin... ampun. Aku... aku benar-benar dipaksa. Aku... aku diminta melayani. Aku....ngekk!”

Wanita itu terkulai, Tong-si menambah tenaganya hingga injakannya sebesar bukit. Wanita itu mengaduh dan tiba-tiba terkulai. Dan ketika Tong-si mengangkat kakinya dan dada wanita itu gepeng, rata dengan punggungnya maka Tong-si telah membunuh wanita ini, yang disambut kekeh dan tawa Jin-touw, juga See-tok dan Coa-ong.

"Heh-heh, bagus. Luar biasa sekali. Suami menyeleweng namun wanitanya yang dibunuh!"

Tong-si menghadapi suaminya. Ia tak memperdulikan ejekan Coa-ong karena dengan mata berapi-api dan dada berombak wanita ini menghadapi Kwi-bun. Si Pintu Setan ngeri dan berputar-putar namun dihadang pandang mata isterinya itu, mengkeret dan menyeringai serba salah namun sang isteri sudah bertanya berapa kali ia membawa wanita luar, sudah atau belum dalam melampiaskan hajatnya. Dan ketika si Pintu Setan tentu saja menjawab belum, baru sekali itu juga membawa perempuan maka Kwi-bo terkekeh geli melihat laki-laki yang ketakutan ini.

"Heh-heh, aku... aku baru sekali ini. Lagi pula belum berbuat apa-apa karena keburu kau datang. Aku hanya ingin menakut-nakuti dan bermain-main saja, Tong-si. Tidak sungguh-sungguh karena tentu saja kaulah yang dapat memuaskan diriku. Aku hanya mempermainkan, menggoda....”

"Keparat, dan tentu akan menelanjanginya kalau aku tidak ke sini? Kau bilang main-main tapi tentu berubah sungguhan kalau isterimu tidak tahu?”

“Wah, tentu tidak, Tong-si. Kaulah isteriku. Kaulah satu-satunya milikku. Wanita itu tak nempil denganmu. Bukan apa-apa...”

"Bagus, kalau begitu coba kulihat celanamu. Kenapa kedodoran dan kolornya putus?"

Kwi-bun terkejut. Sang isteri sudah meloncat dan menerkam kemaluannya karena celananya menganga tak terasa, membuat geli yang lain-lain karena sejak tadi iblis itu tak tahu keadaannya. Sejak tadi sang isteri merah padam melihat celananya itu, dan inilah yang membuat sang isteri berang. Dan ketíka Tong-si meloncat dan seketika itu juga kelima jarinya mencengkeram ganas, menuju ke bawah perut suaminya maka Kwi-bun berteriak dan menghindar, dikejar namun mengelak lagi dan sang isteri melengking menggetarkan hutan.

Tiga kali cengkeramannya luput namun yang keempat kalinya wanita ini mencabut tusuk konde dan langsung menusuk. Dan ketika Kwi-bun terkejut dan berseru keras, menangkis dan melempar tubuh bergulingan maka celananya robek lebar dan tampaklah pemandangan memalukan yang membuat Kwi-bo dan teman-temannya terkekeh, apalagi See-tok, yang berderai-derai sampai terguncang-guncang.

"Ha-ha, senjatamu, Kwi-bun. Senjatamu. Awas dipagut ular!”

Si Pintu Setan terkesiap. Ia sudah diserang isterinya dan bergulingan menyelamatkan diri, maju mundur ke sana-sini dan gugup menutup kancing celananya. Ia kaget karena baru sekarang sadar. Ah, nafsu membuatnya lupa. Dan ketika ia meloncat bangun namun sang isteri tak mau sudah, Coa-ong dan lain-lain terkekeh-kekeh maka keempat orang itu bersorak dan menonton sambil bertepuk-tepuk tangan. Kwi-bo malah menjeletar-jeletarkan rambutnya memberi irama.

"Bagus, kelit ke kiri, Kwi-bun... ah, elak ke kanan. Cepat... tar-tar!”

Coa-ong dan lain-lain terpingkal. Mereka itu malah merasa mendapat tontonan menarik dan celakanya Tong-si semakin terbakar. Tepukan atau ledakan rambut si Kwi-bo seakan bunyi-bunyian genderang perang, membuatnya beringas dan kalang-kabutlah sang suami menerima serangan-serangan isterinya ini. Dan ketika tujuh tikaman mengenai perut dan dada Kwi-bun, yang kurus dan keras maka Kwi-bun mengerahkan sinkangnya dan tusuk konde terpental. Hal yang membuat isterinya malah semakin marah saja.

“Tak-tak-tak...!"

Kwi-bo dan lain-lain tertawa. Mereka geli melihat itu dan tahu bahwa kwi-bun pasti melawan tusukan sang isteri, tak mungkin mandah ditikam karena Tong-si benar-benar ingin membunuh. Dan ketika Tong si melengking dan berkelebatan menyerang lagi, semakin cepat dan buas maka Kwi-bun mengeluh dan melarikan diri.

“Hayaa... tobat, Tong-si.... Tobaat!”

“Tak ada tobat!" sang isteri membentak dan mengejar, merah kehitaman. "Kau sudah main sembunyi-sembunyi mencari perempuan lain, Kwi-bun. Kau harus mampus dan kubunuh!”

“Ampun... aku tak akan mencari perempuan lagi...!”

“Tidak, ini bukan yang pertama, Kwi-bun. Sudah berkali-kali kau menyakiti hatiku. Dan Kwi-bo juga datang, katanya sudah kencan denganmu!"

“Hah?”

“Benar kau tanya sendiri siluman betina itu.... dan tusuk konde yang menyelinap dan menyambar bawah lengan Kwi-bun tiba-tiba menancap dan tak dapat dicabut.

See-tok terkejut karena mengira Kwi-bun terluka, maklum, dia berada di samping kanan si Pintu Setan itu. Tapi ketika Kwi-bun membalik dan menampar isterinya, yang juga terkejut dan mengira senjatanya masuk ke tubuh ternyata tusuk konde hanya dikempit dan kini tamparan atau balasan si suami itu menyambar mukanya.

"Tong-si, jangan percaya kata orang. Aku tak ada urusan dengan Kwi-bo dan biar kutanya dia!" dan ketika sang isteri menangkis namun terpental, Tong-si tertegun oleh tusukan semu tadi maka Kwi-bun sudah meloncat dan berkelebat ke arah Kwi-bo.

"Ini kiranya setan yang suka memanas-manasi hati orang. Heii, mulutmu busuk sekali Kwi-bo. Kapan aku mengajak kencan dan katakan kepada isteriku bahwa kau bohong!”

"Hi-hik,” Kwi-bo mengelak, setelah terkejut sejenak. "Aku memang bohong, Kwi-bun. Tapi tak ada salahnya berkata begitu karena berkali-kali pandang matamu juga menaksir padaku...plak-plak!"

Dua-duanya terpental, Kwi-bun melotot marah namun goyangan dada lawan membuat darahnya berdesir. Kwi-bo terkekeh dan menggerakkan bolanya sehingga si Pintu Setan terbeliak. Buah dada si cantik ini memang luar biasa, lembut namun menantang dan sekali digerakkan ke atas tiba-tiba Coa-ong maupun See-tok mendecak kagum. Bola itu seakan dapat meloncat dan minta diterkam! Dan ketika Kwi-bun terbeliak namun sang isteri melengking, tahu bahwa Kwi-bo mempermainkan maka wanita ini melejit dan menerjang si binal.

"Bagus, kalau begitu kau bersih, Kwi-bun. Hayo bunuh dan habisi jalang betina ini!”

Kwi-bun menarik napas panjang. Dia harus menenangkan guncangan hatinya dulu setelah dibuat "meloncat" oleh gerakan buah dada Kwi-bo. Bola kembar itu meloncat nakal dan mengganggu konsentrasi. Sungguh kurang ajar! Tapi karena di situ ada isterinya dan tentu saja dia harus bersikap alim, apa boleh buat menyerang dan menekan debar berahinya. 

Maka Kwi-bun membentak dan pura-pura marah menampar lawannya ini, berkelebatan dan sudah sambar-menyambar bersama sang isteri namun tampak bahwa laki-laki ini kurang serius. Beberapa pukulannya terlampau perlahan atau bahkan dibuat melenceng agar tidak mengenai lawan. Dan ketika sang isteri lama-lama tahu dan curiga, Kwi-bun memang masih berdebar-debar oleh sikap dan gerak Kwi-bo yang genit maka Tong-si menampar suaminya hingga terpelanting.

"Keparat, matamu jangan ke mana-mana. Lihat depan dan pukul sungguh-sungguh... plak!"

"Baik, siapa bilang aku tergila-gila kepada wanita ini, Tong-si. Lihat aku akan menghajarnya dan lihat bukti cintaku kepadamu.... des-dess!" dua pukulan mengenai Kwi-bo, melempar dan membuat wanita itu berjungkir balik dan selanjutnya Kwi-bo benar-benar tertekan. Kemarahan Kwi-bun berarti bahaya. Namun karena di situ ada See-tok dan juga Jin-touw, Kwi-bo berteriak kepada dua temannya ini maka Tong-si maupun Kwi-bun terkejut....