Putri Es Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Putri Es Jilid 01 Karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Karya Batara
DINGIN dan beku, itulah kesan pertama memandang gugusan pulau-pulau jauh di selatan Semenanjung Hitam. Dari timur ke barat maupun selatan ke utara hanya hamparan putih bersalju yang tampak. Sekelilingnya, tepian langit menyatu dengan karang-karang es yang menonjol di permukaan laut.

Selebihnya burung-burung pinguin bertebaran memanggang tubuh, menerima kehangatan matahari yang menyembul lemah di antara awan-awan tebal, matahari yang sebentar saja menampakkan diri di tempat itu karena tak lama kemudian sang dewa surya ini akan bergeser cepat ke barat.

Melihat keadaannya, tempat itu benar-benar tiada ubahnya kutub, dingin membeku dan tak mungkin hewan-hewan berkulit tipis mampu hidup di sini, apalagi manusia. Dan karena tempat itu juga sunyi dan sepi, tak ada gerakan kecuali burung-burung pinguin yang berkecipak dan mencicit satu sama lain maka Semenanjung Hitam yang beku dan tak bersahabat rupanya juga tak ingin didatangi manusia atau mahluk-mahluk lain.

Dan hal itu barangkali benar. Dengan kedinginan di bawah titik beku, dingin yang sanggup merobah air menjadi es dalam waktu sekejap mata maka agaknya tak ada mahluk hidup atau manusia yang ingin tinggal di sini. Siapa ingin terbujur kaku di permukaan tanah yang dinginnya bukan alang-kepalang? Baru menyentuh dengan ujung-ujung jari saja seseorang langsung dapat menjadi es. Apalagi tinggal dan tenggelam dalam kedinginan itu, seperti pinguin-pinguin itu misalnya.

Dan karena tak ada manusia berani mempertaruhkan nyawanya untuk hidup di sini, tinggal dan mencari makan maka lembah di Semenanjung Hitam ini berabad-abad tak pernah dijamah manusia luar. Hampir seribu tahun ini tak pernah ada gerakan. Kalaupun ada, maka itu adalah gerakan burung-burung pinguin yang berpindah tempat. Hewan berbulu tebal ini selalu mencari daerah-daerah es untuk lahan hidupnya, bertelur dan mencari makan dengan ikan-ikan es yang segar, sejenis ikan kecil yang bersirip hitam dengan mata merah.

Ikan ini sering meloncat keluar masuk dari bongkahan-bongkahan es yang tebal, di-incar dan menjadi sasaran burung-burung pinguin itu untuk pengisi perutnya. Maka ketika ribuan burung berjejer di Semenanjung Hitam berkuik-kuik, kedinginan dan mengelepakan sayap di udara yang super dingin maka matahari yang baru saja menampakkan sinarnya mendadak surut dan padam. Kejadian begini memang bukan hal aneh di semenanjung itu. Burung-burung pinguin akan berteriak kecewa.

Tapi begitu mereka mengelepakkan sayap dan bersuara riuh satu sama lain, udara kembali dingin membeku maka ikan loncat-loncat, ikan bersirip hitam dengan matanya yang merah itu justeru bersorak dan melompat keluar dari bongkah-bongkah es beku. Mereka seakan berpesta atau bergembira dengan lenyapnya sang surya. Udara akan menjadi super dingin dan itulah saat mereka keluar, melejit atau mengibas-ngibaskan ekor mereka yang gatal di dalam.

Sengatan matahari, meskipun lemah, ternyata membuat ikan-ikan kecil ini kegelisahan. Mereka seakan kepanasan oleh munculnya dewa surya tadi, tak tahan oleh hawa hangat di luar. Maka begitu mentari menghilang dan mereka akan meloncat untuk menggosok-gosok tubuh atau ekor yang gatal, mereka tak tahan oleh sedikit saja hawa panas maka bergeraklah ribuan burung-burung pinguin menyergap ikan loncat-loncat.

"Ngiikk... ngiiiikkkk !" Suara ribuan burung-burung pinguin mendadak merobah segalanya. Lembah Es yang semula dingin dan beku sekonyong-konyong berubah, hangat dan beringas karena ikan loncat-loncat segera diserbu atau dipatuk burung-burung berdada putih ini. Dan ketika serbuan besar-besaran ini menjadi semacam adu cepat, burung-burung itu berlomba dengan ikan loncat-loncat yang masuk dan menyelinap ke bongkah-bongkah es beku, kaget disergap maka pinguin yang lambat tak akan mendapat makanannya.

Namun burung-burung ini tak kehilangan akalnya. Dengan cepat mereka menguncupkan bulu, paruh menghunjarn ke dalam dan menyelamlah mereka mencari sasarannya. Dan ketika ribuan pinguin juga menukik dan lenyap di balik permukaan es, berenang di dasar laut maka ikan loncat-loncat tak dapat melarikan diri disambar burung berdada putih ini, dikepung dan dari mana-mana muncul burung-burung pemangsa itu. Mereka lahap menelan dan kocar-kacirlah ribuan ikan loncat-loncat di bawah es beku.

Namun ketika sosok-sosok bulat bergerak memecah bongkah-bongkah es, sebuah kepala dan misai panjang tersembul di situ maka singa-singa laut, hewan gemuk berbadan lebar menyergap dan berenang rnenangkap pinguin-pinguin ini. Keadaan berbalik. Ribuan pinguin terkesiap. Mereka meluncur dan berenang dengan arnat cepatnya menuju tepian. Bahaya datang!

Dan ketika singa-singa laut mengejar dan menjadi pemangsa, ribuan pinguin kalut maka binatang besar menjadi korban dari yang lebih besar lagi. Sekali caplok singa-singa laut itu mampu menelan sepuluh ekor pinguin sekaligus, tak heran kalau tubuh mereka demikian gempal dan gemuk-gemuk. Tapi ketika pinguin lari berserabutan dan mereka berkuik-kuik, singa laut rnengejar sampai ke darat maka bergeraklah beberapa bayangan dan kekeh atau tawa wanita terdengar.

"Hi-hik, tangkap yang gemuk itu, Kau-moi. Kejar dia. Awas, jangan sampai kembali ke laut!"

"Benar, dan kau yang di sebelah kanan itu. Heii, jaga, Liok-cici. Mereka membalik!"

Enam wanita berkelebatan dari balik guha-guha es. Mereka itu tiba-tiba saja muncul tanpa diketahui, bergerak dan tahu-tahu enam belati lancip menyambar dari tangan-tangan mungil. Dan ketika enam singa laut roboh dan menguak, suaranya dahsyat maka Lembah Es menjadi padang perburuan karena yang lebih besar dan pandai lagi membunuh yang tolol.

"Hi-hik, aku mendapatkannya, Liok-ci-ci. Lihat, betapa gemuknya!"

"Dan aku mendapat si betina ini. Lihat, ia menggelepar!"

"Dan aku sepasang anaknya. Hi-hik, lemparan pisauku tepat menancap di otak, Liok-cici. Aku sekarang pandai!"

Enam wanita itu tertawa-tawa. Mereka telah memperoleh enam singa laut yang besar-besar, hanya dua saja yang kecil karena itu anaknya. Rupanya yang didapat adalah sebuah keluarga. Dan ketika enam wanita itu berkelebat dan sudah menginjak korbannya, masing-masing gembira maka burung-burung pinguin seolah tertegun dan berhenti berlari.

Mereka menoleh dan bergerombol rnelihat enam wanita ini, tertegun karena di Lembah Es tiba-tiba muncul enam wanita cantik yang demikian hebatnya. Sekali lempar mampu membunuh seekor singa laut yang ganas. Tapi ketika satu di antara wanita-wanita itu kembali menggerakkan tangannya, tujuh pisau kecil menyarnbar gerombolan si dada putih maka tujuh pinguin berkuik dan roboh, yang tiba-tiba berserabutan. Lari!

"Jit-moi, jangan. Kita tak boleh mem-bunuh burung-burung itu!"

"Hi-hik, aku hanya mencoba kepandaianku, cici. Lihat, lemparan tujuh pisau tepat kena semua!"

"Tapi kau bakal dihukum. Tocu (pemilik pulau) akan marah kepadamu!"

"Ah, kau jangan melapor. Kita semua pernah mernbunuh. burung-burung itu untuk berlatih. Sudahlah, aku hanya coba-coba saja dan jangan kau marah. Kita telah mendapatkan enam singa laut!" dan terkekeh menolong cicinya, mencabut pisau di dada singa laut itu sang Jit-moi merayu agar tidak dilaporkan, mengembalikan pisau cicinya.

Dan sang cici menekuk muka. Kalau bukan karena persaudaraan tentu dia melapor. Tapi karena semua harus saling tolong dan mereka tak boleh saling mencelakakan maka sang cici hanya menegur. "Baik, lain kali tak boleh lagi. Kalau semua burung dibunuh tentu singa-singa laut tak akan mendapat makanannya lagi. Dan kitapun tak dapat berburu di sini. Sudahlah, kau panggul buruanku dan bawa pulang!"

"Eh, aku membawa dua?"

"Sekedar hukuman ringan, Jit-moi. Bagaimana kalau tocu yang menghukummu sendiri!"

"Hi-hik, bolehlah. Tak apa dan terima kasih!" dan bergerak menendang singa laut jantan itu, yang ditangkap dan diterima dengan lengan kirinya maka sang Jit-moi sudah memanggul dan membawa bebannya di atas pundak, masih disusul dengan bawaannya sendiri berupa singa laut betina, ditumpuk dan dijadikan satu di atas pundaknya itu. Dan ketika dia melenggang sementara yang lain-lain tertawa dan memanggul bawaannya, masing-masing satu maka orang pasti akan terbelalak dan terheran-heran oleh gerak atau kehebatan si Jit-moi ini.

Singa laut jantan dan betina itu tak kurang dari seribu kati masing-masing ekor, jadi kalau dua ekor adalah dua ribu kati. Hampir tujuh ratus kilo! Dan ketika dengan lenggang lemah gemulai gadis atau wanita ini membawa buruannya, langkahnya tegap dan pasti maka orang pasti melongo dan takjub. Manusiakah itu? Atau sebangsa dedemit!? Dan ketika enam wanita ini berjalan dan tertawa-tawa, masing-masing gembira oleh hasil lemparan pisaunya maka Liok-cici, kakak keenam berada paling depan memimpin adik-adiknya.

“Kita hampir terlambat, tapi syukur tidak. Nah, untuk mempercepat perjalanan sebaiknya kita lari!"

"Lari?"

"Ya, tocu tentu menunggu kita, Kau-moi. Ayo lari dan latih ginkangmu!" Sang cici bergerak. la tiba-tiba berke-lebat dan lima adiknya terbelalak. Tapi ketika mereka terkekeh dan berseru menyusul, yang membawa dua beban tak mengeluh maka sang cici menoleh dan berseru agar adik-adiknya lari lebih cepati lagi.

"Ayo... ayo. Jangan lamban dan seperti babi. Cepatan, kita pulang ke istana!"

Enam wanita itu bergerak. Yang memimpin sudah memacu dan yang lain-lain mengikuti. Hebat sekali, mereka tiba-tiba meluncur dan terbang di permukaan keras. Dan ketika sang cici berseru agar cepat dan lebih cepat lagi, mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh mendadak sernuanya sudah bergerak-gerak dengan amat cepatnya hingga telapak kaki seolah tidak menyentuh bumi lagi.

"Ser-srrr...!" Angin di bawah sepatu mendesis berirama. Mereka enam wanita cantik ini sudah tidak seperti manusia lagi, terbang dan meluncur seperti enam dewa-dewi kahyangan. Dan ketika mereka bergerak dan lenyap di balik sekelompok guha-guha es, bagai bayang-bayang siluman yang cepat dan lewat melebihi kecepatan anak panah maka enam wanita ini tiba di sebuah gunung es di mana mereka mendaki lalu menurun lagi dengan amat cepatnya, muncul dan tampak di gunung yang lain dan di balik Semenanjung Hitam ini terdapat karang-karang atau gunung es yang tinggi. Ada sembilan buah jumlahnya. Dan ketika delapan gunung sudah dilewati dan mereka tiba pada gunung kesembilan, di sini mereka mulai memperlambat lari tiba-tiba belasan wanita lain muncul dan menahan rombongan ini.

"Liok-moi, berhenti. Apa yang dilakukan Jit-moi dan berapa ekor pinguin yang dibunuh!"

Rombongan itu terkejut. Liok-moi, sang pemimpin, tertegun dan tiba-tiba pucat. la menoleh kepada adiknya dan tahulah dia bahwa perbuatan adiknya tadi tak lepas dari pandangan Tocu. Betapa ngerinya! Dan ketika ia menggigil dan tak dapat bicara, ia telah melindungi adiknya itu maka wanita yang membentak melangkah maju, sikapnya bengis.

"Liok-moi, Tocu memerintahkan aku untuk menghentikan kalian di sini. Apa yang Jit-moi lakukan dan benarkah kau melindunginya!"

"Tidak... tidak!" sang Liok-moi berlutut, wanita di depannya mengeluarkan bendera kecil segi tiga, mengangkatnya di atas kepala. "Aku tak melindungi siapa-siapa, Sam-cici (kakak ketiga). Jit-moi telah membunuh tujuh pinguin tapi itu sudah kutegur!"

"Tapi kau tak akan melaporkannya kepada Tocu!"

"Ampun, aku telah menghukumnnya dengan membawa dua singa laut itu cici. Kalau ini masih dianggap salah aku siap menerima dosa."

"Tocu memang akan menghukum dirimu. Tapi karena kau telah mengaku dan ini benar maka kau dan Jit-moi diharuskan berendam di salju, sehari semalam. KaIian berdua harap menjalani hukuman di It-san dan Ji-san!"

"Baik, kami menerima, cici. Terima kasih!" dan girang bahwa hukumannya hanya itu saja, sehari semalam berendam di salju maka Liok-moi berdiri dan memutar tubuhnya. la hendak bergerak ketika tiba-tiba ujung bendera dikebut, menengok dan Sam-cici berseru bahwa hukuman harus dilakukan tanpa baju alias tanpa pakaian. Dan ketika wanita ini tertegun namun mengangguk, itupun dapat dilakukan maka ia berkelebat dan adiknya, Jit-moi, juga memutar tubuh dan pergi, kembali turun gunung.

"Kami menerima perintah, Sam-cici. ini memang kesalahan kami. Biarlah kami berendam tanpa pakaian!"

Dua orang itu meluncur ke bawah lagi. Sam-cici, yang memegang bendera, menarik dan menyimpan benderanya lagi. Semua mengawasi kepergian dua orang itu dengan mata bersinar-sinar, kecuali Sam-cici, yang dingin dan beku. Dan ketika dua orang itu lenyap dan Sam-cici berkelebat ke atas maka wanita dingin yang berwatak keras ini menyuruh yang lain-lain kembali. Singa-singa laut itu kembali dipanggul wanita-wanita adik dari Liok-moi.

"Perintah selesai. Kalian kembali ke tempat masing-masing dan buruan harap dibawa yang bersangkutan!"

Empat wanita bergerak. Mereka inilah yang dimaksud dan singa laut kembali disambar. Dan ketika mereka berkelebat dan naik ke puncak gunung, halimun menebal dan udara semakin dingin maka Liok-moi dan Jit-moi sudah tiba di bawah di tempat hukuman. It-san (Gunung Pertama) adalah bagian Jit-moi, sementara Ji-san (Gunung Kedua) adalah bagian Liok-moi. Dan ketika mereka itu berpisah dan masing-masing melepas baju, lubang atau sumur salju telah dibuat maka mengejutkan dan mengherankan sekali dua wanita ini telah mengubur diri hidup-hidup di tempat sedingin itu.

Udara yang membeku tampaknya tak dirasa dan butir-butir salju yang berat dan dingin juga tampaknya tak dihiraukan. Mereka masuk dan tidak ragu-ragu berendam diri. Dan ketika dua wanita itu sama memejam kan mata dan menjalani hukuman, aneh dan luar biasa maka Jit-moi maupun Liok-moi sudah membeku seperti patung batu! Tewaskah mereka? Tidak. Berhentikah jalan pernapasan mereka? Juga tidak. Karena begitu mereka masuk dan mengubur diri maka ubun-ubun merekalah yang bergerak naik turun dan dari situlah mereka bernapas!

"Luar biasa...!" sebuah seruan terdengar, tak dapat ditahan. "Hebat sekali mereka itu, Gan-twako. Dapat berendam dan mengubur diri hidup-hidup!"

"Hm, aku tidak mengagumi kejadian ini. Aku justeru mengagumi tubuh mereka itu, Song Kwi. Betapa mulus dan indahnya. Kencang dan singsat-singsat!"

"Benar," suara ketiga menyambung gemetar, menggigil. "Aku juga begitu, Gan-twako. Aihh... masih terbayang di ingatanku ketika satu per satu mereka itu melepas pakaian. Dan bukan main menggairahkannya!"

"Aku juga," suara keempat tak kalah cepat. "Aku serasa dibakar, Lai-heng. Darahku tiba-tiba mendidih. Aku tiba-tiba tidak merasa dingin!"

"Hush, kita berpakaian rangkap. Aku juga tidak merasa dingin apalagi kalau berhimpitan begini. Eh, apa yang harus Kita lakukan dan apakah sekarang kita bergerak!"

"Ya, sekarang kita bergerak. Hadapi dulu yang pertama itu dan nanti yang kedua. Ah, aku juga tak dapat menahan diri. Kalau begini hebatnya wanita-wanita Lembah Es aku ingin punya anak banyak dengan mereka!"

"Ha-ha...!" suara tawa memecah. "Bukan hanya kau seorang, Gan-twako. Kami pun juga begitu. Mari, kita sergap mereka dan bawa tubuh-tubuh menggairahkan itu ke sini. Ah, aku jadi ingin menghangati tubuhnya yang berendam itu. Tentu kedinginan!"

Belasan laki-laki bergerak. Heran dan mengejutkan mendadak Lembah Es yang amat dingin ini disatroni orang. Mula-mula adanya wanita-wanita cantik itu, lalu laki-laki yang jumlahnya tujuh belas orang ini. Dan ketika mereka bergerak dan turun dari sebuah bukit, masing-masing bermantel tebal menahan dingin maka tempat sunyi yang seribu tahun lebih tak pernah dikunjungi orang ini tiba-tiba ramai. Dan yang meramaikan adalah manusia, mahluk yang biasanya suka ribut!

"Gan-twako, hati-hati. Tempat ini licin dan berbahaya!"

"Tak usah khawatir," laki-laki bermuka merah menjawab, dialah yang paling depan. "Aku sudah menyelidiki tempat ini berbulan-bulan. Lai-te. Kalau sampai terperosok sungguh sial!"

"Tapi jangan jauh-jauh dari kami. Sepatu kami lengket dan berat melengket salju!"

"Hah, kalian anak-anak muda seharusnya lebih lincah. Ayo meluncur dan kalau perlu bermain ski!"

Teman-temannya terkejut. Gan-twako, laki-laki itu, mendadak memukulkan tongkatnya dan terjun dari atas. Semua memang membawa tongkat untuk menjaga tubuh, mencocok atau menusuk tanah-tanah keras di bawah salju. Tempat itu tertutup hamparan salju putih yang beku dan dingin. Kalau tergelincir atau terpeleset tentu bahaya. Maka ketika pemimpin rombongan tak ragu meluncur di bawah, terjun dan bergerak di permukaan salju tebal maka bagai seorang akrobat laki-laki bermuka merah ini meliuk naik turun menuruni bukit.

Tak ada yang lebih cepat dari itu. Berjalan biasa saja tentu lama. Dan ketika yang lain bergerak dan ikut terjun ke bawah, tongkat menyangga atau menahan tubuh maka jadilah tujuh belas orang ini menuruni bukit bagai bayang-bayang siluman menuju ke bawah. Tujuh belas orang bermain ski dengan cara yang indah dan rata-rata memiliki kepandaian mengagumkan. Kalau mereka mau jatuh atau oleng ke kiri kanan maka tongkat menyodok untuk mencari keseimbangan, meluncur dan turun ke bawah dengan sesekali tangan melepas ke bawah, menghantam pukulan hingga salju memuncrat dan dengan begitu keseimbangan tubuh tetap terjaga.

Inilah tanda bahwa orang-orang itu bukan orang-orang biasa. Dan ketika kecepatan serta ketepatan mereka juga selalu menga-gurnkan, kalau ada yang mau terpelanting maka teman di belakang selalu menjaga maka tak lama kemudian tujuhbelas laki-laki ini sudah tiba di Gunung Kedua, Ji-san. "Lai-te, kita sampai!" . Seruan Gan-twako menyatakan kegembiraannya. Jit-moi, yang baru saja rnengubur diri tiba-tiba terkejut dan berseru tertahan ketika tujuh belas laki-laki telah berada di depannya. Wanita ini terbeliak dan jeritan kecil terdengar dari mulutnya. Maklumlah, ia tak mengenakan apa-apa di balik tumpukan salju itu. la telanjang bulat!

Dan ketika laki-laki bermuka merah itu terbahak dan jelalatan menyambar-nyambar, matanya bagai srigala rnenemukan mangsa gemuk maka ia berseru, "Nona, kami ingin bertemu Tocu Lembah Es. Dapatkah kau mengantar dan kenapa mengubur diri!"

"Ha-ha, dan pakaiannya di sini!" satu di antara rombongan itu menyungkit setumpuk pakaian, melayang dan disambar. "Baunya harum sekali, Gan-twako. Ha-ha, harum yang memabokkan!"

Jit-moi semakin kaget. Pakaiannya, yang ditaruh atau ditumpuk di sudut tiba-tiba sudah disambar dan dicium berulang-ulang oleh laki-laki itu, terkekeh dan tertawa-tawa dnn tentu saja wanita ini menjerit rnarah. la terganggu tapi lebih-lebih terhina. Tujuh belas laki-laki rnengelilinginya bak srigala mengurung kelinci. Kontan ia mendelik! Dan ketika ia berseru keras namun tidak tampak rasa takut atau gentar, kecuall rasa jengah maka wanita in membentak, suaranya melengking tinggi.

"Tikus-tikus busuk, siapa kalian. Berani benar datang ke tempat ini. Enyahlah sebelum kubunuh!"

"Ha-ha, sudah terkurung tapi masih mengancam. Eh, bagaimana pendapatmu Gan-twako. Apakah wanita secantik ini dapat membunuh kita!"

"Hm, tak usah takut. Gertak sambalnya biasa begitu. Wanita suka menakuti. Eh, nona, bagaimana dengan pertanyaanku tadi. Dapatkah kau mengantar kami kepada Tocu dan memperkenalkan diri."

"Keparat!" wanita ini kembali melengking. "Pergilah kalian, tikus busuk. Jangan coba-coba memasuki tempat ini. Aku tak sudi mengantar dan tak dapat mengantar!"

"Karena pakaianmu ini? Ha-ha, kami membalikkan tubuh, nona. Silahkan melompat dan kami tak akan melihat!"

Gan-twako tertawa bergelak, menyambar pakaian di tangan temannya itu tapi tidak memberikannya kepada si pemilik. Teman-temannya tertawa dan jelas mereka menggoda. Rasa kurang ajar terpancar di pandangan masing-masing. Semua laki-laki itu ingin wanita ini meloncat, melihat tubuh telanjang!.Dan ketika Gan-twako berderai melihat wanita itu mendelik, gusar dan semakin rnarah maka yang termuda, yang tadi katanya "mendidih" melompat maju dan merampas pakaian di tangan laki-laki muka merah ini, tertawa, mengurainya satu demi satu.

"Ha-ha, jangan dulu, twako. Aku ingin melihat dulu apa isi pakaian ini. Huwaduh, ini selampe merah. Dan ini, wah... harum amat. Celana dan pakaian dalamnya. Ha-ha.., aku ingin yang ini dan jangan berikan kepadanya... ngok!" laki-laki itu mencium pakaian dalam si cantik, tidak malu-malu dan kurang ajar dan merah padamlah wanita itu. Tujuh belas lelaki terbahak-bahak. Namun ketika ia membentak dan meludah, air liur kental menyambar muka laki-laki itu maka bagai pelor baja muka laki-laki pecah.

"Tikus hina, kembalikan pakaianku....crot! ludah kental itu menghantam wajah, bagai pelor baja dan si korban pipinya tembus dan bolong! Dan ketika ia terpelanting sementara teman-temannya terkejut, pakaian itu terlepas maka secepat walet hitam mendadak wanita ini menjejakkan kaki dan meloncatlah ia menyambar pakaiannya itu, telanjang bulat.

"Hei...!" Semua lelaki melotot. Pemandangan ini luar biasa dan untuk sejenak mereka kehilangan rasa kaget itu, kaget bahwa teman mereka terjungkal oleh sambaran ludah, ludah yang sudah diisi sinkang. Dan ketika wanita itu bergerak dan meloncat keluar, tubuhnya berjungkir balik menyambar pakaiannya maka belasan lelaki tergetar oleh tubuh polos yang lewat di depan mata ini. Seumur hidup tentu saja tak mungkin mereka melewatkan pemandangan selangka ini. Terlalu indah, terlalu mentakjubkan.

Tapi ketika wanita itu melayang turun dan di udara sudah mengenakan pakaian sebisanya, tentu saja sungsang sumbal maka belasan lelaki ini tertawa dan mereka justeru semakin bergairah melihat tubuh yang dibungkus morat-marit itu.

"Ha-ha, terbalik, nona. Kancingnya di belakang!"

"Benar, dan be-ha-nya juga miring. Ha..ha... mari kubetulkan dan biar kurangkapi dengan mantelku ini!" seorang di antaranya menubruk, melepas mantel dan bergairah sekali oleh compang-campingnya gadis ini. Mereka bukannya kasihan melainkan justeru bernafsu, birahi menjadi kencang.

Tapi tiba-tiba gadis itu membalik. la memang sekenanya mengenakan pakaian, tapi itu bukan berarti laki-laki boleh kurang ajar. Kemarahannya sebenarnya sudah menggelegak. Maka begitu ditubruk dan laki-laki itu menakupkan mantelnya, maksudnya ingin menutupi kepala gadis ini lalu didekap dan diciumi maka saat itulah maut datang menyambar. Gadis ini membalik dan secepat kilat kakinya menendang, bukan di tempat sembarangan melainkan justeru di alat kelamin laki-laki itu, daerah berbahaya di bawah pusar. Dan begitu mantel dikelit sementara kakinya terus melayang, cepat dan tak diduga maka laki-laki itu menjerit dan alat rahasianya hancur.

"Aduhhh..!" Jeritan ngeri ini bergema di sepanjang lembah. Gadis berwajah cantik ini telah membunuh satu jiwa, mata dan wajahnya terbakar seperti api merah menyala-nyala. Dan ketika lawan terkejut dan yang lain-lain menjadi gempar, Gan-twako membentak dan mencabut goloknya maka bagai biruang luka laki-laki ini menerjang.

"Kawan-kawan, bunuh dia. Awas, jangan main-main lagi!"

Belasan laki-laki terkejut membelalakkan mata. Mereka tak mengira bahwa gadis secantik ini punya naluri membunuh begitu besar. Ganas dan telengas dan tak kenal ampun. Sungguh berbahaya. Dan ketika mereka membentak dan maju menerjang, Gan-twako sudah mendahului dengan putaran goloknya maka lima belas orang telah mengeroyok penghuni Lembah Es ini.

Gadis itu mengelak dan membalas sana-sini namun pakaiannya yang terlepas membuat Be-ha yang miring sungsang membuat ia bingung..sungguh mengganggu gerakan, juga baju yang terbalik kancingnya itu. Dan ketika ia harus melindungi bagian-bagian yang terbuka ini menyibukkannya, hujan serangan menghambur dari mana-mana maka bacokan golok Gan-twako mengenai pundaknya. Gadis itu menjerit dan darahpun mengucur. la beringas dan tiba-tiba mencabut ikat pinggangnya, tali hitam yang apa boleh buat membuat celananya sedikit melorot dan perhatian lelaki tertuju ke sini.

Kaum hidung belang memang mudah terpikat kepada hal-hal begini, pemandangan yang membangkitkan nafsu kotor. Dan ketika dua di antaranya tertegun dan mengawasi perutnya, karena kulit gadis itu segera tampak sedikit maka kesempatan seperti itu tak disia-siakan penghuni Lembah Es ini. la meliuk dan memutar pinggang dengan kencang, mirip gasing yang berputaran begitu cepat. Dan ketika semua senjata lewat mendesing di atas kepala, gadis ini menunduk dan menjeletarkan tali pinggangnya maka meledaklah otak dua laki-laki itu dihantam kolor celananya.

"Prak-prak!"

Gan-twako dan kawan-kawan tersentak. Mereka sadar namun dua jiwa kembali melayang. Nafsu yang semula bangkit mendadak padam. Gan-twako berteriak agar tak satupun memandang perut gadis itu. Biarlah pemandangan indah lewat asal mereka selamat. Dan ketika belasan yang lain mengangguk dan pucat, tak mau menjadi korban maka tiga belas orang akhirnya menjadi marah dan menyerang dengan buas.

Gadis itu berkelebatan ke sana-sini tapi celaka sekali pakaiannya yang kedodoran amat mengganggu. Be-ha nya akhirnya lepas dan belasan lelaki itu bersorak bagai srigala mendapat daging segar. Lelaki memang sungguh memalukan! Dan ketika gadis itu terkejut sementara lawan terus menubruk dan menyerang, ia mengelak dan menendang sana-sini maka tali kolor-nya terbabat dan gadis itu menjerit karena golok Gan-twako memberebet mengenai selangkangannya.

"Ha-ha, lihat. la seperti tadi!"

Tiga belas lelaki terbahak-bahak. Gadis ini dipaksa berteriak sambil menutupi bawah perutnya. la merah padam. Dan karena gerakannya semakin terganggu dan justeru ini membuat lawan-lawan memperoleh kemenangan, gadis itu tertekan maka golok Gan-twako kembali menyambar dan kali ini tali be-ha putus.

"Bret!"

Gadis itu menjerit. la kebingungan dan gugup menutupi yang mana. Lawan bersorak dan sungguh membuat ia kelabakan. Bayangkan, mana yang harus lebih dulu ditutupi, bawah ataukah atas! Dan ketika ia menangis sementara lawan terbahak dan berderai-derai, para lelaki itu sungguh kurang ajar maka gadis ini nyaris mendapat malu lagi ketika baju depannya robek dan buah dadanya terkatung-katung.

"Keji, tak berperikernanusiaan!" sebuah bentakan tiba-tiba terdengar. "Mundur, Jit-moi. Biarkan aku yang menghadapi.... wher-sing-singg!" dan sebatang pedang yang menyambar menyilaukan mata tiba-tiba membentur dan menghalau semua serangan laki-laki. Wanita berbaju kuning muncul di situ, atau Liok-cici. Dan ketika Jit-moi terhuyung mundur sementara Gan-twako dan teman-temannya terbelalak, kedudukan wanita itu telah diganti, inilah Llok-moi atau, Liok-cici ini sudah berkelebat dan pedangpun mendesing lagi menyambar belasan lelaki itu.

"Babi-babi pecomberan, kalian mencari mati. Baiklah, nonamu mengantar kalian ke akherat dan cepatlah menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)!"

Gan-twako dan kawan-kawan terkejut Sinar putih menyambar dan gundukan sebatang pedang telah menyilaukan mereka dibalik bayang-bayang kuning. Tusukan atau tikaman pedang nyaris menyatu dengan pakaian wanita itu, yang juga tak kalah cantik dengan adiknya. Dan ketika mereka mengelak sana-sini namun gerakan pedang sungguh luar biasa, tiga di antara mereka tergores maka Gan-twako berubah dan berseru agar kawan-kawannya menjaga jarak.

"Jangan terlalu dekat, awas!"

Semua berhati-hati. Mereka mengangguk dan tanpa diberi tahu lagi tentu saja mereka waspada. Pedang menyambar naik turun lagi namun Gan-twako memapak, sinar putih dibentur sinar golok. Dan ketika dua senjata berdentang dan si laki-laki bermuka merah terkejut karena ia terpental, tenaga wanita itu hebat bukan main maka pedang masih terus menyambar dan tahu-tahu menukik menusuk ulu hati Gan-twako ini.

"Celaka... bret!" Gan-twako masih terlambat. la melempar tubuh bergulingan namun ujung pedang mengenai kulit dadanya juga, menggores dan luka mengucur namun darah segera beku menetes di salju. Udara begitu dingin hingga darah pun menjadi es. Luar biasa! Dan ketika orang-orang itu terkejut sementara Jit-moi sudah menyambar dan membetulkan pakaiannya, menyerbu dan memekik nyaring maka Gan-twako dan teman-temannya pucat ketika tiba-tiba saja dua penghuni Lembah Es ini mendesak mereka. Liok-moi sudah melemparkan pedang cadangannya kepada sang adik.

"Jit-moi, kita bunuh mereka. Terima pedangku!"

Jit-moi tak banyak bicara. tapi mengangguk dan bersama saudaranya sudah rnenerjang kaum hidung belang ini. Sekarang ia tak kikuk lagi dengan pakaiannya yang kedodoran. Semua baju dan ikat pinggang sudah dikencangkan. la siap mengamuk! Dan ketika benar saja ia berkelebatan bagai walet betina haus darah, pedang menyambar-nyambar dengan amat cepatnya maka Gan-twako, orang yang paling dibenci menerima tusukan kilatnya.

"Crat-aduh!" Laki-laki itu menjerit. Lehernya tertusuk dan kontan terjungkal seperti ayam kena penyakit ayan, berputar namun roboh lagi tak dapat berdiri. Dan ketika lawan mengejar dan tak puas dengan satu tikaman, pedang membacok dari atas ke bawah maka orang she Gan terbelalak tak mampu menghindar. la menggerakkan goloknya namun golok terlepas dari tangan, tak kuat beradu tenaga dengan Jit-moi yang sedang marah besar itu. Matanya berkilat-kilat, mulut dan hidung ditekuk 'membesi' hingga terasa menyeramkan sekali. Dan ketika laki-laki ini mengeluh karena pedang terus menyambar juga, tak kenal ampun maka sebatang kepala mencelat dari tubuhnya.

"Crat!" Gan-twako tewas dengan mengerikan. Jit-moi telah membunuhnya dan laki-laki yang amat kurang ajar itu telah dipenggal putus. Kepalanya menggelinding dan matanya mendelik, ditusuk dan muncratlah darah segar dari lubang mata yang sudah tak berdaya itu. Jit-moi tak puas dengan ini saja karena kakinya segera bergerak menendang kepala tanpa tubuh itu, jatuh dan amblas di balik tumpukan salju. Dan ketika ia berkelebat dan kembali membantu encinya, menerjang yang lain maka sisa lelaki hidung belang ini pucat dan minta ampun.

"Tobaat.... kami menyerah!"

Namun dua wanita itu rnendengus. Mereka terus bergerak dan dua laki-laki kembali roboh binasa. Yang satu putus kakinya. Namun ketika mereka hendak membunuh lagi dan keberingasan mereka jelas tak dapat diredakan, sisa sembilan orang menjadi ngeri dan gentar mendadak dari puncak gunung kesembilan terdengar seruan panjang,

"Jit-bi, Liok-ui.. jangan bunuh mereka. Tangkap dan robohkan saja!"

Dua wanita itu tertegun. Suara merdu namun amat jelas itu membuat keduanya merubah sikap, tidak membunuh melainkan menangkap atau merobohkan lawan. Dan ketika sembilan sinar putih memencar ke sembilan penjuru, bergerak dan menotol tahu-tahu sembilan orang ini roboh dan terbanting.

"Bluk-bluk-bluk!

Sembilan tubuh itu tumpang tindih menjadi satu. Mereka merintih dan mengerang dan terbelalak memandang puncak bukit. Dari situlah suara itu terdengar. Namun ketika tak ada apa-apa dan Jit-bi maupun Liok-ui menghentikan gerakan, pedang bergetar dan masih penuh kemarahan di tangan maka dua wanita itu membalik dan berlutut, berseru nyaring, menghadap gunung kesembilan.

"Tocu, kami telah melaksanakan perintahmu. Mohon bertanya apa yang harus kami lakukan selanjutnya!"

"Mereka adalah bagianmu, terserah kalian berdua. Tapi bagaimana kalau dikubur hidup-hidup seperti tadi kalian mengubur diri!"

"Tocu menghendaki hukuman begitu?"

"Hanya saran saja, Liok-ui. Tapi terserah kepadamu. Yang jelas jangan mengotori tempat ini dengan darah. Aku tak mau ada bau busuk!"

"Baik, kalau begitu kami turut perintah, Tocu. Terima kasih!" dan berdiri memutar tubuhnya, menghadapi kembali sembilan laki-laki itu maka Liok-ui bertanya kepada adiknya, Jit-bi.

"Jit-moi, Tocu menyerahkan orang-orang ini kepada kita. Apa yang hendak kau lakukan."

"Aku akan melakukan seperti apa yang aku terima. Mereka ini akan kukubur hidup-hidup, Liok-cici, telanjang bulat. Biar mereka beku dan mati tanpa mengalirkan darah!"

"Kau akan menghukumnya seperti itu?"

" Ya..."

"Kalau begitu silahkan. Aku jijik menelanjangi laki-laki"

Dan ketika Liok-ui membalik dan menyerahkan tawanan maka Jit-bi sudah bergerak dan cepat luar biasa ia merobek semua pakaian laki-laki itu. Satu demi satu ditelanjangi dan sembilan laki-laki itu pucat. Mereka kedinginan, merintih. Antara malu dan juga takut. Baru sekarang mereka menyesal. Tapi ketika Jit-bi tak memberi ampun dan berturut-turut menendang mereka, sembilan laki-laki ini memasuki lubang yang telah dibuat, maka bagai direndam es beku mereka kontan menjerit.

"Aduh... ampun!"

Jit-bi tertawa mengejek. la paling benci kalau ada laki-laki demikian kurang ajar. Belasan tahun tak bersua laki-laki dan betul kata Tocu bahwa laki-laki adalah mahluk jahat. Mereka itu tak layak menginjak Lernbah Es dan baru kali ini setelah ratusan tahun ada laki-laki berani datang. Hukuman paling tepat adalah itu, rnenjebloskannya ke lubang salju. Dan ketika sembilan laki-laki menggigil dan berketruk di dalam lubang, mereka merintih dan kedinginan dikubur hidup-hidup maka lima belas menit kemudian mereka membeku.

Angin bertiup dan salju tiba-tiba turun deras. Sembilan laki-laki tak dapat berkata-kata kecuali menutup mata kedinginan, mencoba melawan hawa dingin namun suhu udara menurun dengan cepat. Titik beku dilampaui dan akhirnya sepuluh bawah nol derajat. Celakalah mereka itu. Dan ketika bibir sudah membiru dan rambut di atas kepala pun kaku seperti kawat, salju menirnpa dan mengubur mereka akhirnya sembilan laki-laki ini tewas kedinginan. Mereka mengalami siksaan hebat dan menyedihkan sekali keadaan mereka itu. Inilah ganjaran bagi mereka yang memasuki Lembah Es.

Dan ketika sembilan tubuh membujur kaku dan tak bernyawa lagi, Jit-moi dan encinya tertawa dingin maka sisa mayat di situ ditendang dan amblas ke dalam tumpukan salju pula. Tujuh belas laki-laki akhirnya mengalami nasib mengenaskan di sini. Mereka berani coba-coba memasuki daerah terlarang. Dan ketika padang salju itu kembali sunyi dan dua wanita ini bergerak maka Liok-ui sudah kembali ke gunung Ji-san sementara Jit-moi mencari tempat lain di gunung It-san untuk melanjutkan hukumannya.

Tadi mereka terganggu dan terpaksa keluar dari lubang hukuman, tak menyangka bahwa ditempat itu mengintai belasan pasang mata melihat gerak-gerik mereka. Maklumlah, padang es ini sudah lama tak dijamah lelaki. Dan begitu masing-masing mendapati tempat yang enak maka Jit-moi maupun encinya sudah terjun lagi dengan tubuh telanjang bulat di kuburan salju. Mengubur diri hidup-hidup, melanjutkan lagi hukuman yang tadi tertunda.

Dan ketika mereka memejamkan mata dan bersamadhi, sehari semalam berendam salju maka orang tentu akan merasa takjub karena penghuni-penghuni Lembah Es ini sungguh tahan dingin, tidak seperti sembilan lelaki itu misalnya, yang tewas hanya beberapa menit saja setelah ditelanjangi, dikubur hidup-hidup. Dan ketika semua kembali sunyi dan sepi maka Lembah Es, beserta datarannya yang luas telah memasuki lagi keheningan-nya yang abadi. Tak bergerak!

* * * * * * * *

"Berhenti di sini," seorang Iaki-laki berseru kepada empat temannya di atas sebuah perahu, meluncur dan menabrak tepian es yang tebal, meloncat turun. "Kita menemukan jejak mereka, Ma-enghiong. Ada tapak-tapak kaki di sini. Lihat, ada tigapuluh empat kaki membekas di salju!"

Rombongan itu, terdiri dari lima laki-laki yang gagah dan tegap berlompatan. Mereka mengangguk dan melihat tapak-tapak kaki itu, menghitung dan jumlahnya benar tiga puluh empat buah. Berarti tujuh belas pasang dan semua menjadi girang menemukan ini. Dan ketika mereka bicara satu sama lain dan semua rupanya membicarakan orang hilang, kerabat atau sanak saudara mereka maka laki-laki pertama, yang tadi meloncat lebih dulu mendadak menuding ke satu arah. di sebuah teluk.

"Heii, itu perahu mereka. Lihat, itu milik Gan-twako!"

Semua menoleh. Sebuah perahu, terdampar atau terjepit celah-celah es terlihat dari situ. Perahu di sana itu besar dan tiga kali dari perahu yang mereka tumpangi. Diam tak bergerak sementara penghuninya tak ada. Mirip perahu para siluman! Tapi ketika yang berseru ini bergerak dan berkelebat menuju teluk itu, empat temannya mengikuti dan susul-menyusul maka rombongan baru yang datang di tempat dingin ini tak perduli terpaan salju yang bertiup mengganggu pandangan.

Mereka rupanya mencari-cari sahabat dan jejak sahabat ditemukan di situ. Pertama dengan melihat tapak-tapak kaki di situ dan kedua dengan adanya perahu tak bertuan itu. lni menguatkan dugaan bahwa yang dicari ada di situ. Dan ketika semua mendekat dan tertegun tak melihat siapa-siapa, perahu itu sendirian tak bergerak maka kelimanya saling pandang dan laki-laki di tengah, yang beralis tebal mendesis.

"Thian-kongcu, rupanya terjadi apa-apa dengan mereka. Tek Gan dan kawan-kawannya mengalami bencana!"

"Bagaimana Ma-enghiong bisa menyimpulkan begitu?"

"Hm, mudah, kongcu. Pertama adalah sebulan ini dia tak kembali. Dan kedua adalah karena keangkeran Lembah Es sendiri. Sudah kutahu sejak ratusan tahun yang lalu bahwa daerah ini berbahaya. Adikku sudah kuberi tahu namun dia membandel. Dan melihat betapa perahu sudah berminggu-minggu di sini maka kuyakin bahwa adikku itu mengalami celaka!"

"Nanti dulu. Bagaimana Ma-enghiong tahu bahwa perahu ini sudah berminggu-minggu di sini!"

"Gampang saja. Lapisan esnya sudah demikian tebal, kongcu. Lihat dan bandingkan dengan lapisan es di pinggir perahu kita sendiri!"

Thian-kongcu, pemuda pertama itu tertegun. Dia memuji ketelitian temannya itu dan benar saja lapisan es di perahu ini amatlah tebal, tak kurang dari delapan inci dan itu mengejutkan. Dan ketika yang lain juga mengangguk dan memuji Ma-enghiong (orang gagah Ma) ini maka wajah laki-laki beralis tebal itu muram.

"Habislah harapan kita," suara ini penuh putus asa. "Kita tak perlu melakukan pencarian lagi, Thian-kongcu. Cukup dan biarlah kita kembali."

"Eh, kembali? Tidak rnencari atau menemukan mayat mereka umpamanya?"

"Hm, percuma, kongcu. Kalaupun ada maka tentu terkubur salju. Tempat ini putih melulu, dan kita harus mengerahkan sinkang kalau tetap ingin bertahan. Lihat, udara semakin membeku!"

Dua yang lain berketrukan. Baru saja bicara tiba-tiba orang keempat dan kelima menggigil. Mereka sudah memakai baju tebal namun rasanya masih kurang. Dan ketika salju turun dengan lebih kencang, muka serasa ditusuki jarum maka dua orang itu berseru agar mereka mencari tempat perlindungan.

"Ma-enghiong, mukaku sakit-sakit. Salju meniup bersama angin kencang. Bagaimana kalau kita mencari guha dan berteduh dulu!"

"Hm, boleh," laki-laki itu berkata. "Aku juga tak ingin membuat susah kalian, Hao Tong. Mari mencari perlindungan dan berteduh dulu!"

Kelimanya bergerak. Akhirnya mereka harus menutupi muka ketika salju turun dengan kencang, angin menderu dan bukan hanya muka saja yang serasa ditusuki jarum melainkan seluruh tubuh. Pori-pori serasa dicoblos ratusan jarum dan mereka mengeluh, terutama orang keempat dan kelima itu. Namun ketika sebuah guha dapat dan mereka masuk ke sini, melompat dan berteduh maka hujan salju tertangkis namun hawa dingin semakin bertambah.

"Aduh, dngin, Ma-enghiong. Celaka, kami bisa mati beku!"

"Hm, kita buat api unggun...."

"Tak ada kayu kering!"

"Kalau begitu biar kuambil obor dan minyak ikan!" dan begitu laki-laki ini bergerak dan keluar guha mendadak ia sudah menerobos hujan salju dan melindungi mukanya dari serangan butir-butir es.

"Ma-enghiong...!"

Laki-laki itu tak menoleh. la terus berlari dan kawan-kawannya terbelalak melihat ia kembali ke perahu kecil. Di situlah obor dan minyak ikan disimpan. Dan ketika sebuah bungkusan disambar dan laki-laki ini kembali ke guha, lari menerobos hujan salju maka empat temannya menyambut dan tampaklah bibir Ma-enghiong itu sudah kebiruan!

"Cepat, nyalakan api. Aku tak tahan!"

Thian-kongcu menyambar pria gagah ini. Di bawah hujan salju lebat dan angin kencang begitu keluar guha sungguh amatlah berbahaya. Demi teman, laki-laki ini telah berkorban. Dan ketika ia roboh dan giginya berketrukan, sudah mengerahkan sinkang namun tetap juga tak tahan maka obor dinyalakan dan guha seketika menjadi hangat.

"Ma-enghiong, mari dekat api. Kita berkumpul dan berdiang di sini!" Thian-kongcu menyeret laki-laki ini. Udara yang merasuk sumsum sungguh terasa menggigit. Tulang terasa ngilu dan berkerotok. Bukan main! Namun ketika obor menghangati guha dan hawa dingin terlawan maka Ma-enghiong maupun teman-temannya tak menggigil lagi.

"Luar biasa, tempat ini sungguh amat dingin. Baju rangkap empat pun masih juga ditembus!"

"Benar, padahal ini masih di sini, Hao Tong. Belum lagi di Lembah Es sana, apalagi puncaknya yang super dingin!"

"Apakah enghiong pernah ke sini?"

"Belum, baru kali ini, sama seperti kalian. Dan aku takut kalau harus masuk terlalu jauh. Aku ingat akan dongeng Puteri Es yang beku dan berhati baja!"

"Dongeng itu? Ah, tadi kau menghentikannya, Ma-enghiong. Coba ceritakan barang sedikit sekali lagi. Hitung-hitung pembuang sepi di waktu berdiang!"

"Dan adikmu itu..." Thian-kongcu tiba-tiba menyambung. "Apakah juga tak tahu, enghiong? Adalah aneh bahwa ia menempuh bahaya hanya untuk membuktikan apakah Puteri Es itu benar ada atau dongeng!"

"Hm, ini semua karena kesombongannya. Adatnya yang tak baik itu. Berapa kali Membuat aku susah dan menempuh bahaya.. Saudaraku sungguh terlalu!"

"Ceritakan tentang Puteri Es itu," orang kelima memotong. "Apa dan bagaimana dia itu, Ma-enghiong. Apakah benar cantik jelita dan tiada tandingannya!"

"Hm, menurut dongeng begitu. Ada sembilan gunung di sini, dan sebuah lembah. Tapi karena puteri itu dikabarkan tinggal di lembah tersebut, Lembah Es, maka para dayang atau pengikutnya juga begitu dan tinggal bersama puteri. Konon katanya adalah pelarian dari dinasti Han pada seribu tahun lebih yang lalu. Aku kurang tahu tapi dikabarkan bahwa keluarga puteri ini adalah orang-orang yang amat berkepandatin tinggi. Nenek moyangnya sesakti dewa!"

"Tapi kenapa kalah?"

"Seorang menteri raja membujuknya untuk pergi, Hao Tong. Bukan kalah. Waktu itu raja dan nenek moyang Puteri Es lni dikacau seorang saudaranya, yang ingin menduduki tahta. Dan karena tak ingin ada pertumpahan darah di antara sesama rakyat maka raja dan pangiringnya mengundurkan dIri dan tinggal di tempat ini."

"Kalau begitu bukan melarikan diri, tetapi mengasingkan diri. Aneh benar mau saja dibujuk untuk menInggalkan semua kemewahan dan kebesaran!"

"Itulah yang membuatku heran juga," orang she Ma mengangguk. "Tapi kalau kuingat sebab-sebabnya mungkin tidak aneh juga, Hao Tong. Sri baginda nenek moyang Puteri Es ingin memberi pelajaran kepada saudaranya lewat cara lain."

"Cara lain bagaimana?"

"Bahwa memegang tampuk kekuasaan bukanlah hal mudah, apalagi kalau hati dipenuhi iri dan dengki, mabok kekuasaan. Nah, saudara raja itu juga begitu dan sri baginda sengaja membiarkannya sampai dua tahun kemudian pecah perang di antara istana. Gontok-gontokan antara para pangeran dan keturunan raja baru Itu, yang akhirnya binasa di tangan puteranya dari selir!"

"Wah, anak membunuh bapaknya?"

"Karena ingin merebut kekuasaan, hasutan menteri dorna."

"Hebat, kau banyak tahu, Ma-enghiong. Rupanya sejarah penghuni Lembah Es melekat di ingatanmu!"

"Ah, aku hanya mendengarnya dari orang-orang lain saja, benar tidaknya aku kurang tahu. Sudahlah, aku tak berani bicara banyak tentang Puteri Es, Hao Tong. Katanya dapat didengar dan diketahui olehnya. Lebih baik bicara lain saja, lihat hujan salju sudah mereda!"

Empat temannya menoleh. Salju di luar tiba-tiba berhenti, benar saja. Namun karena hawa dingin masih menyusup tulang dan Hao Tong menggigil dihembus angin guha maka orang she Ma bangkit berdiri dan mengerahkan sinkangnya, melawan hawa dingin.

"Kupikir kita sebaiknya kembali. Pencarian tak perlu dilanjutkan. Kita bawa saja perahu itu dan kita ikat bersama perahu kita."

"Eh, begitu saja? Tidak.., jangan, Ma-enghiong. Cerita tentang Puteri Es itu ingin kuketahui dan kubuktikan!"

"Apa?"

"Benar. Kita sudah tiba di sini, Ma-enghiong. Terlalu sayang kalau dilewatkan begitu saja. Aku ingin membuktikan kata-katamu tadi!"

"Kata-kata yang mana?"

"Bahwa pembicaraan kita dapat didengar Puteri Es itu. Aku ingin membuktikannya!"

Ma-enghiong tertegun. Thian-kongcu, temannya ini, bangkit dan berseru. Yang lain tiba-tiba mengangguk dan laki-laki gagah itu mendadak mendesah. la terkejut dan berubah namun yang lain mendukung. Hao Tong yang tadi kelihatan gentar sekarang berubah dan berseri-seri. Bayangan puteri cantik mengganggu laki-laki ini. la ingin bertemu puteri itu, keturunan dinasti Han dari raja yang hebat. Dan ketika Ma-enghiong terkejut dan mengerutkan kening, mau menolak tapi semua ternannya menghendaki lain maka sambil menarik napas dalam akhirnya ia mengangguk.

"Hm, baiklah. Tapi sehari ini saja. Besok, kalau kita tidak menemukannya harap kembali. Betapapun padang es ini adalah tempat berbahaya yang pernah kudengar!"

"Jangan khawatir, dan kita tambatkan perahu di sana, Ma-enghiong. Biarkan di situ sampai besok pagi!"

"Baiklah, mari berangkat. Rangkapkan baju dan hati-hati berjalan di salju. Jalanan licin!"

Lima orang itu bergerak. Thian-kongcu dan kawannya tampak gembira dan orang she Ma itulah yang menjadi petunjuk jalan. la di depan dan yang lain-lain mengikuti. Tapi karena hawa masih juga dingin dan Hao Tong berketrukan giginya, Ma-enghiong berhenti dan minta agar semua bergandengan tangan, menyalurkan sinkang maka laki-laki itu berseru agar semua saling menghangati yang lain.

"Kita tak dapat berjalan kalau ada yang tak kuat. Mari bergandengan tangan dan masing-rnasing kerahkan sinkang rnenghangati yang lain!"

Lima orang itu bergandengan. Ma-enghiong sudah mencengkerarn si Hao Tong ini dan Hao Tong menyambar Thian-kong-cu, yang juga disambar atau menyambar dua temannya yang lain. Dan ketika mereka saling menyalurkan sinkang dan hawa hangat melawan hawa dingin maka lima orang itu bergerak kembali melanjutkan perjalanan. Padang es dilalui dan jalan naik turun juga mulai dilewati.

Sebentar-sebentar mereka masih harus berhenti juga untuk mengibas-ngibaskan tangan atau kaki yang terasa membeku. Sudah dilawan sinkang masih juga mereka kedinginan. Bukan main hebatnya hawa di situ. Dan ketika mereka mengikuti jejak tapak kaki tujuh belas pasang itu, yang diduga sebagai kaki Gan-twako dan kawan-kawannya maka sebuah gunung terlihat dan Ma-enghiong mendadak berhenti di sebuah jembatan bambu.

"Ada orang, tempat ini dihuni manusia!"

Empat yang lain tertegun. Sebuah sungai kecil, yang tentu saja beku airnya, menjadi bongkah-bongkah es, terlihat di depan mereka. Sungai kecil itu dipasangi jembatan bambu untuk penyeberangan. Entah slapa yang menbuat. Yang jelas tak mungkin rombongan Gan-twako karena bambu-bambu itu sudah tua, juga bukan barang baru terlihat dari pinggir-pinggirnya yang sudah berlumut. Dan ketika semua tertegun berhenti di sini, tak melanjutkan perjalanan maka berkesiur angin dingin dan tahu-tahu tiga wanita cantik telah berdiri di depan mereka, tepat di ujung jembatan sana.

"Astaga, bidadari dari kahyangan!" Thian-kongcu, yang melihat dan terpekik lebih dulu tiba-tiba berteriak dan berseru kaget. la membuat empat temannya mendongak dan lima laki-laki terkejut.

Disitu, di depan mereka, jarak hanya dua meter saja tahu-tahu telah berdiri tiga wanita cantik yang wajahnya gilang-gemilang. Mereka jelas cantik namun raut atau roman mereka dingin, sedingin es! Dan ketika semua terkejut dan mundur satu tindak, Ma-enghiong dan teman-temannya terguncang maka Thian-kongcu rupanya dapat menguasai diri dan sadar lebih dulu, menjura dan berseri-seri. tak perduli sikap atau wajah yang dingin.

"Tiga bidadari, siapakah kalian dan dari mana? Aku Thian Bok ingin belajar kenal. Maaf kalau kedatanganku tak dikehendaki"

Wanita di depan mendengus. la memakai sutera biru dan pakaiannya yang tipis membuat heran lima laki-laki itu. Thian-kongcu sampai terbelalak. Udara begitu dingin dan wanita ini mengenakan pakaian tipis apakah tidak kedinginan. Namun karena orang nyatanya tenang dan biasa-biasa saja, wajah yang dingin itu memandang mereka maka Thian-kongcu bagai terlonjak ketika mendengar bentakan yang membuat jembatan bambu tergetar, rasanya mau patah.

"Orang asing, aku tak butuh kenal dengan kalian. Kalian telah berani sampai ke sini, tanda bahwa kalian bernyall juga. Apakah tidak tahu bahwa tempat ini larangan dan tak boleh dimasuki? Apalagi laki-laki. Harus dibunuh dan pilih mati sendiri atau mati di tangan kami"

"Wah!" Thian-kongeu kaget. "Kami datang bukan sebagai pencuri, nona. Dan apakah kalian ini manusia atau sejenis peri. Kalian cantik-cantik bagai bidadari. Aku tak mau kernbali kalau sudah begini!"

"Hmm, lelaki rnulutnya beracun, seperti merayu namun sesungguhnya penuh bau. Enyahlah, orang she Thian. Kami tak butuh kedatanganmu atau teman-temanmu ini....wutt!"

Thian-kongcu terpekik, tubuhnya tahu-tahu terangkat naik dan terbanting ke dalam sungai kecil itu ketika si wanita baju biru mengangkat tangannya. Entah apa yang dilakukannya namun tahu-tahu angin besar menyambar, menghantam dan membuat orang she Thian itu terlempar. Dan ketika Thian-kongcu terbanting dan terguling-guling di sana, baju penuh gumpalan salju maka ia terhuyung dan hampir jatuh ketika berdiri.

"ini...ini...!" pemuda itu melotot, marah. Apa yang kau lakukan, diajak bicara baik-baik malah mencelakai orang lain. Keparat, jangan kira aku takut!"

"Hm, kau mau coba-coba?" wanita itu menjengek. "Kuperingatkan sekali lagi, tikus-tikus busuk. Kalian mati dengan tangan sendiri atau mati kami bunuh!"

"Maaf," Ma-enghiong, yang terkejut tapi sadar tiba-tiba bergerak mendahului, cepat-cepat maju ke depan. "Kami barang kali salah, nona. Tapi mohon tanya apakah kalian. Apakah... apakah Puteri Es!"

"Hmm, nama itu tak boleh disebut sembarangan. ltu adalah nama ratu kami!'

"Kalau begitu kalian dayang-dayangnya...?"

"Kami tak mau memperkenalkan diri. Enyahlah ke akherat dan pilih mati membunuh diri atau mati dibunuh kami.”

Ma-enghiong terbelalak. Sebagai laki-laki gagah tentu saja ia marah dan tersInggung oleh sikap ini. Betapa sombongnya, betapa congkaknya. Namun karena gebrakan pertama tadi jelas rnenunjukkan wanita baju biru ini sebagai wanita berkepandaian tinggi, padahal hanya pelayan atau dayang dari Puteri Es maka orang she Ma ini hati-hati dan menahan marah, sekali lagi menjura.

"Nona, kami mungkin telah memasuki daerah terlarang.. Namun ketahuilah, kami tidak bermaksud buruk karena kami sedang mencari teman-teman kami yang hilang. Jejaknya menunjukkan ke mari, karena itulah kami datang. Kalau kami diusir pergi bolehkah kami bertanya tentang tujuh belas teman kami yang pernah datang..."

"Hm, kau mencari orang she Gan!"

"itulah saudaraku!"

" Bagus, kau akan dapat menemukannya situ!"

Ma-enghiong terbelalak. Wanita ini menunjuk ke samping kanan dan semua menoleh mengikuti gerakannya. Tapi ketika yang dillhat hanya padang es melulu dan laki-laki ini tertegun maka dia rnemandang lagi wanita ini, dayang Puteri Es. "Nona menunjuk apa? Di mana yang kau maksud?"

"Eh, kau mencari saudaramu, bukan? Seorang laki-laki bermuka merah yang wajahnya segi empat?"

"Benar itu, nona. Tapi di mana?"

"Jalanlah seratus langkah di sini, disebelah kanan itu. Dan kau akan menemukan saudaramu yang kau cari-cari itu, juga enam belas yang lain!"

"Tapi kami tak melihat apa-apa!"

"Berjalanlah!" bentakan itu ketus. "Lihat dan cari saudaramu di sana, tikus busuk. Dan kau akan mendapatkannya!"

Ma-enghiong semburat. Saking heran dan anehnya mendapat jawaban ini, mendadak ia melangkah seratus langkah. Kawan-kawannya, yang gentar dan pucat oleh sikap wanita ini juga mengiringi tanpa terasa. Mereka merasa seram! Dan ketika semua sampai di sini namun tak terlihat sesuatu, tempat itu masih kosong dan hanya hamparan es melulu yang mereka lihat maka Ma-enghiong ini berseru, terbelalak.

"Nona, kami tak melihat apa-apa. Kau jangan mempermainkan!"

"Hm, untuk apa mempermainkan orang yang akan berangkat ke akherat. Cungkil salju di depan mu dan kau akan melihat!"

Ma-enghiong berdetak. Tanpa disuruh lagi iapun mencungkil sebongkah salju, memandang dan tiba-tiba berseru kaget. Dan ketika kawan-kawannya yang lain juga melakukan hal yang sama dan beberapa kepala muncul di situ, dari balik gumpalan salju maka berturut-turut Gan-twako dan teman-temannya itu terlihat. Sudah menjadi mayat!

"Aiihhhh ?" Lima laki-laki ini berseru keras. Mereka kontan berjengit dan sesabar-sabarnya Ma-enghiong itu ia naik darah juga. Ternyata tujuh belas temannya itu sudah terbunuh di situ dan berturut-turut ia memandang tujuh belas mayat malang-melintang di situ, di balik timbunan salju tebal! Dan ketika laki-laki ini membalik dan melengking marah, seketika mencabut senjatanya berupa golok gergaji maka ia melornpat dan membentak wanita baju biru itu, lupa akan kengeriannya terhadap penghuni Lembah Es.

"Nona, kau yang membunuh mereka ? Kalian pelayan-pelayan Puteri Es demikian keji dan tak berperikemanusiaan?"

"Hm, sudah kubilang kalian pilih mati di tanganku atau mati sendiri, tak usah banyak cakap. Mereka laki-laki kurang ajar yang patut dibunuh. Gerakkan golok itu untuk menusuk dadamu atau aku yang akan menancapkannya di situ!"

Orang she Ma ini marah bukan main. Tiba-tiba ia membentak dan golok di tangan bergerak menyambar. Ia tak kuat lagi menahan diri. Dayang Puteri Es ini demikian jumawa dan congkak, harus diberi pelajaran! Tapi ketika lawan mengelak dan berkelit begitu mudah, kaki tak bergeser seinci pun maka Ma-enghiong kaget namun Ia sudah meneruskan gerakannya dengan menarik dan membabat pinggang lawan dengan gemas.

"Singgg...!" Golok mengenai angin kosong. Dua kali luput menyambar sudah membuat laki-laki she Ma ini terkejut. Ia benar-benar keternu lawan lihai. Namun karena ia maju kembali dan bentakan serta gerakan goloknya diputar cepat, membalik dan bertubi-tubi mengejar lawan maka wanita baju biru mendengus dan dengan langkah maju mundur seperti main petak umpet ia meloloskan diri dari delapan hujan serangan yang cepat. Hal yang membuat Ma-enghiong terbelalak!

"Hei, balas aku, nona. Jangan main elak saja!"

"Hm, kau bukan tandinganku. Sekali aku bergerak tentu kau mencelat. Baik, jagalah tubuhmu!"

Baru saja seruan ini diucapkan tiba-tiba lelaki itu berteriak. Lawan, yang gencar dihujani serangan mendadak lenyap. Ia hanya melihat bayangan biru berkelebat tapi tak tahu ke mana, membalik namun sekonyong-konyong mendapat sebuah tendangan. Dan ketika ia terlempar dan jatuh terguling-guling, di sungai kecil itu maka seluruh muka lelaki ini putih dingin dibalut salju.

"Ahhh... ahh!" orang she Ma bangun berdiri, terkejut dan berdetak karena kecepatan serta balasan lawan amatlah cepatnya. la tahu-tahu sudah terlempar, golokpun terlepas. Dan ketika ia berdiri dan empat kawannya tertawa tak dapat ditahan, wajah lelaki ini penuh salju maka laki-laki itu marah sekali dan meraup salju di mukanya, membentak.

"Hao Tong, Thian-kongcu... tak perlu mentertawai teman sendiri. Lihat, kallan-pun akan dilemparnya seperti aku!"

Empat lelaki bungkam. Mereka tiba-tiba sadar dan marah, sebenarnya mentertawakan lelaki itu karena rupanya tiba-tiba seperti badut, itu saja. Tapi sadar dan begitu dibentak mendadak semua mencsbut senjata dan wanita berbaju biru tertawa dingin, sama sekali tidak merasa lucu oleh lepotan salju di muka orang she Ma ini.

"Tikus-tikus busuk, majulah. Beruntung kalian dapat mati di padang es ini. Setidak-tidaknya mayat kalian akan tahan ribuan tahun...!"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.