Istana Hantu Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

NAMUN Ituchi tertawa. Dia tentu saja tak menghiraukan seruan itu, hatinya terlampau girang dan sudah mengerahkan kepandaiannya. Pemuda ini girang karena ibunya dan raja Cucigawa menyambut, dia tak kenal raja itu tapi dapat dipastikan tentu seorang raja yang baik. Ibunya selama ini berada di situ dan selamat, berarti Cucigawa melindungi ibunya yang lemah dan pemuda ini memiliki gambaran yang baik tentang raja itu.

Dan ketika Ituchi berkelebat mengerahkan ginkang dan sebentar saja dia sudah memasuki perkampungan besar dari suku bangsanya ini maka dimana-mana ternyata menyambut orang-orang tua dan muda, laki-laki dan perempuan.

"Hidup pangeran Ituchi...!"

"Itu dia pangeran!"

"Aih, persis Raja Hu. Gagah dan tampan..!"

Ituchi melambaikan tangan ke sana-sini. Dia mengangguk dan berseri-seri membalas semua seruan itu. Ternyata rakyatnya menyambut dan dia segera dikenal sebagai Ituchi, putera Raja Hu. Wajahnya memang mirip dan tak ada orang yang meragukan hal ini. Memang pemuda itu mirip benar dengan ayahnya.

Dan ketika Ituchi gembira benar karena ternyata dia disambut rakyatnya dengan baik maka pemuda ini berkelebat dan sudah tiba di depan kemah paling besar, melihat seratus pasukan menyambut dan di depan sendiri berdiri seorang laki-laki gagah dengan seorang wanita cantik yang segera mengembangkan kedua lengannya.

"Ituchi! Anakku...!"

Ituchi bergerak. Wanita itu tahu-tahu melompat dan menubruk, Ituchi sendiri segera mengenal ibunya dan memeluk. Dan ketika dua orang itu saling cengkeram dan lupa keadaan sekitar tiba-tiba Ituchi sudah menangis sementara wanita itupun tersedu-sedu, tak dapat menahan gejolak hatinya.

"Aduh, kau, pangeran. Kau benar-benar mirip ayahmu dan pasti kusangka ayahmu kalau tidak mendengar laporan pengawal! Ituchi, ke mana saja kau selama ini? Kenapa tak pernah menengok ibumu? Kau sudah sedemikian besar dan gagah? Aih, aku rindu, anakku. Aku kangen dan selalu menangisi nasibmu!"

Cao Cun, wanita itu bercucuran air mata namun berseri-seri. Anaknya masih hidup dan mereka masih dapat bertemu. Bukan main girangnya wanita itu. Dan ketika Ituchi juga tersedak dan belum dapat bicara baik karena kerongkongan dan lidahnya serasa tercekat maka bisik-bisik dan suara di sana-sini akhirnya menyadarkan dua orang itu.

"Aih, ini Raja Cucigawa, Ituchi. Sri baginda yang memimpin di sini setelah ayahmu tiada!"

Ituchi sadar. Akhirnya diapun melepaskan diri dari pelukan ibunya dan melihat ibunya memberi isyarat. Semua orang memandang mereka dan ibunya tampak berseri-seri. Ituchi sendiri begitu gembira dan tadi melupakan keadaan sekitar. Maklumlah, sepuluh tahun mereka tak berjumpa dan diam-diam Ituchi terharu.

Ibunya tampak kurus meskipun cantik, masih cantik namun wajah itu membayangkan kedukaan besar. Bekas luka-luka batin tak dapat disembunyikan dan Ituchi terharu. Namun ketika ibunya menunjuk dan laki-laki gagah itu sudah memandangnya tersenyum-senyum maka Ituchi melangkah maju dan cepat memberi hormat.

"Sri baginda, maafkan hamba. Hamba lupa memberi hormat!"

"Ha-ha!" laki-laki gagah itu tertawa, keras dan nyaring. "Kau adalah saudaraku, Ituchi. Tak perlu berhamba karena kedudukanmu adalah pangeran. Aku saudara misan mendiang kakakku Cimochu, kita keluarga besar dan bangunlah!"

Ituchi gembira. Ternyata Cucigawa bukan seorang raja sombong dan dia berseri-seri. Inilah raja yang baik dan perlu dijadikan sahabat. Dan ketika raja mengangguk dan memegang pundaknya maka Cucigawa berkata bahwa dia benar-benar mirip ayahnya.

"Kau benar-benar mirip mendiang Raja Hu. Tak ada yang meragukan ini. Aih, selamat datang, pangeran. Mari masuk dan kita adakan pesta besar!"

Ituchi gembira bukan main. Dia tentu saja mengucap terima kasih, raja membawanya masuk dan segera ibunyapun mengikuti. Dan ketika semua orang bertepuk tangan dan riuh menyambut kedatangannya maka Ituchi benar-benar serasa di surga, begitu gembira hingga tak melihat beberapa pasang mata yang berkerut dan saling pandang, melempar senyum aneh dan satu dua di antaranya mengangguk, memberi isyarat rahasia. Dan ketika semua sudah ke dalam dan di situ ternyata sudah disiapkan makan dan minum maka raja menjamu bagai menjamu seorang kaisar, membuat Ituchi kikuk dan tersipu-sipu.

"Ah, tak apa. Ini memang untukmu, adik pangeran. Kami ingin merayakannya semeriah mungkin!"

"Tapi aku kikuk!"

"Ha-ha, pertama begitu, pangeran. Selanjutnya tentu biasa. Eh...!" raja menoleh. "Mana pemain musik dan para penari? Hayo, keluarkan mereka, panglimaku. Suruh ke sini menghibur Ituchi!"

Ituchi semakin tersipu-sipu. Sikap raja yang demikian ramah dan menyambutnya demikian gembira membuat pemuda ini lengah. Dia tak tahu adanya permainan mata di antara orang-ort tertentu. Rakyat di luar bersorak-sorai dan merekapun rupanya ikut-ikutan membuat pesta, di luar, tak kalah meriah dan ramai dengan yang di dalam. Dan ketika penabuh musik dan para penari muncul di panggung maka Cucigawa memerintahkan mereka untuk menyuguhkan kebolehan mereka.

"Hayo main sepenuh kemampuan. Tunjukkan kebolehan kalian!"

Para penari dan penyanyi mulai mendendangkan lagu-lagu. Mereka menyanjung dan menyalami Ituchi, dua penari berlenggang-lenggok dengan gaya memikat. Mereka tersenyum-senyum dan melempar kerling ke pemuda ini, Ituchi membalasnya dengan malu-malu, likat. Dan ketika musik serta tarian semakin panas maka Ituchi diminta untuk menemani seorang penari.

"Apa?" pemuda ini terkejut. "Menari di atas panggung? Ah, aku tak bisa, sri baginda. Aku malu!"

"Ha-ha, tarian dan nyanyian ini diadakan untuk menyambut kedatanganmu, Ituchi, jangan kecewakan mereka dan naiklah. Nanti tentu bisa!"

"Tapi aku malu!"

"Ah, semua begitu pertama kalinya, adik pangeran. Tapi tentu lenyap setelah di atas. Majulah, dan naiklah temani Umini itu!" raja mendorong Ituchi, minta agar si pemuda tak menolak dan lain-lain pun mendorong.

Akhirnya Ituchi naik juga dan menari atau menyanyi, sebisanya, serak-serak basah dan ternyata suara pemuda ini bagus. Dan ketika semua tertawa dan Ituchi hilang kikuknya ternyata enak juga bernyanyi atau menari bersama wanita-wanita cantik!

"Ha-ha, bagaimana, adik pangeran? Senang?"

"Hm," Ituchi mengusap keringatnya, setelah duduk lagi. "Senang, sri baginda, dan asyik!"

"Ha-ha, kau senang dengan si Umini itu?"

"Ah, dia memang menyenangkan. Aku senang padanya!"

Raja tertawa bergelak. Omongan Ituchi ini tak ada maksud lain, semata ungkapan senang karena gadis itu dapat membimbingnya di atas panggung, luwes menemani. Ituchi tak memaksudkan lebih dari itu. Dan ketika nyanyian serta tarian diteruskan lagi sementara pesta berlanjut terus maka raja mulai memperkenalkan pembantu-pembantunya, beberapa panglima dan perwira lain, satu per satu diperkenalkan dan tentu saja merupakan orang-orang yang dekat dengan raja ini.

Ituchi mengangguk-angguk dan gembira menyalam mereka, dua di antaranya menarik perhatiannya karena yang pertam adalah Horok panglima gagah yang wajahnya angker sedang yang lain adalah laki-laki muda yang sepantar dengannya, bernama Ramba, tinggi dan gagah dan pemuda itu katanya adalah panglima muda yang mengepalai pasukan Elang, yakin pasukan khusus yang merupakan pasukan terdepan bila ada musuh menyerang.

Jadi, pemuda ini jelas bukan pemuda sembarangan dan Ituchi melihat kilatan matanya yang tajam berpengaruh, getaran atau tanda dari lweekang (tenaga dalam) yang kuat dan tentu saja Ituchi tertarik. Dua orang itu adalah pembantu terdekat Cucigawa, yang mengatur dan menjalankan tugasnya sebagai pengaman, jadi orang-orang yang tentu bukan orang sembarangan dan berkepandaian. Dan ketika pesta selesai dan malam itu baru pemuda ini diperkenankan berdua dengan ibunya maka Cao Cun terisak-isak memeluk putranya ini, gembira namun juga menyembunyikan ketegangan.

"Ituchi, inilah dua adik perempuanmu! Lihatlah mereka, tahukah kau siapa kiranya?"

Ituchi tertegun. Dua orang gadis remaja tiba-tiba muncul bersama ibunya, dua gadis cantik yang masih belia. Masing-masing berumur tujuh belas dan lima belas tahun, cantik manis dengan kulit sedikit kehitaman. Dia tertegun karena tak mengenal, tak tahu bahwa itulah hasil perkawinan ibunya dengan mendiang Cimochu, saudara tirinya karena Cimochu adalah juga putera mendiang Raja Hu dengan seorang isterinya.

Jadi ibunya ini dikawini anak tirinya sendiri karena sudah menjadi peraturan bangsa itu bahwa peninggalan ayah akan diwarisi anak, putera sulung, termasuk isteri dan selir ayahnya sendiri, kalau sang ayah meninggal. Maka begitu ibunya memperkenalkan dua gadis remana ini dan Ituchi bengong maka dia menggeleng dan berkata,

"Aku tak tahu, seingatku tak punya adik! Bagaimana mereka ini bisa kau bilang sebagai adikku, ibu? Dari mana dan bagaimana?"

Cao Cun merah mukanya. "Mereka... mereka dari suamiku yang baru, Ituchi. Dan inilah adik-adikmu!" "Ooh...!" Ituchi tertegun. "Kau menikah lagi, ibu? Mana suamimu?" "Dia... dia meninggal..." wanita ini agak tersendat. "Jangan tanya dia lagi, anakku. Kau sambutlah dan terimalah dua adikmu ini!" Cao Cun segera memperkenalkan nama, yang tua adalah Salini sedang adiknya bernama Nangi, dua-duanya dipeluk Ituchi dan tentu saja pemuda ini girang.

Dia tiba-tiba mempunyai adik, perempuan lagi. Ah, betapa girangnya! Dan karena ayah tirinya sudah meninggal dan Ituchi tak menduga bahwa 'ayah tirinya' itu adalah mendiang Cimochu, saudara tirinya sendiri maka pemuda ini menyambut dan memeluk mereka. Ada rasa hangat dan haru di dalam hati. Sepuluh tahun yang lalu pemuda ini masih berupa kanak-kanak dan tentu saja urusan orang-orang tua tak diketahuinya, apalagi setelah itu dia menghilang dan tak ada di tengah-tengah suku bangsanya.

Maka begitu dia menerima dan menyambut dua adiknya itu tampak ibunya gembira dan sedikit lega, akhirnya menyuruh dua gadis remaja itu mundur. Sang ibu hendak bicara dengan Ituchi, Salini dan Nangi mengangguk. Dan ketika akhirnya mereka benar-benar berdua dan Salini serta Nangi mundur maka Cao Cun menarik napas bertanya tentang nasib puteranya itu, ke mana saja selama ini.

"Maaf, ibu. Sebelum kujawab barangkali kau dapat menceritakan tentang bibi Wan Hoa. Benarkah dia..."

"Benar!" ibunya tiba-tiba tersedu. "Bibimu wafat, Tuchi. Dan itu terjadi tak lama setelah kau pergi. Suaminya, Hek-eng Taihiap tewas, dibunuh orang. Dan kau katanya dibawa Kim-mou-eng! Kenapa Pendekar Rambut Emas itu tak pernah mau membawa dirimu menengok ibunya? Kenapa Kim-mou-eng demikian kejam dan tega memisahkan ibu dan anaknya sepuluh tahun lebih?"

"Apa?" Ituchi mengerutkan kening. "Kim-mou-eng? Aku dibawa Kim-mou-eng....?"

"Benar, begitu kata bibimu, anakku. Dan bibimu akhirnya meninggal setelah melihat kematian suaminya. Ah, terkutuk si pembunuh itu. Bibimu jatuh sakit dan akhirnya merana!"

"Tapi... tapi aku tak dibawa Kim-mou-eng," pemuda ini terbelalak. "Aku dibawa Cam-kong, ibu. Satu dari Enam Iblis Dunia. Dan aku tahu yang membunuh Hek-eng Taihiap adalah kakek iblis ini!"

"Apa? Cam-kong? Kakek iblis itu?"

"Benar, dan kau tahu tentang kakek ini, ibu? Apakah kau mendengar sepak terjangnya?"

"Tentu, dialah dan kawan-kawannya yang berebut Cermin Naga, Ituchi. Aku mendengar gegernya dunia kang-ouw dengan peristiwa Cermin Naga itu. Ah, kau barangkali tak tahu. Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, belasan tahun yang lalu!"

"Tidak, tentang Cermin Naga memang aku tak tahu, ibu. Tapi tentang Cam-kong ini, hm... dia iblis yang keji. Dia memaksaku untuk diambil murid!"

"Apa? Jadi kau diculik?"

"Eh, apakah bibi Wan Hoa tidak bercerita?‖ Ituchi malah tertegun. "Semuanya diketahui bibi Wan Hoa, ibu, paling tidak suaminya, Hek-eng Taihiap!"

"Mereka... mereka tak bercerita..." Cao Cun tiba-tiba pucat. "Mereka tak pernah memberi tahu apa-apa, Ituchi. Mereka bahkan berkata bahwa kau aman di tangan Pendekar Rambut Emas!"

"Tidak, aku tak pernah bertemu Pendekar Rambut Emas, kecuali beberapa hari yang lalu. Aku selama itu disiksa kakek iblis itu dan setiap hari diancam bahaya!"

"Ooh...!" dan Cao Cun yang tiba-tiba sadar dan memaklumi apa yang terjadi tiba-tiba menjerit dan memanggil nama Wan Hoa, tahulah dia apa yang sebenarnya terjadi dan tertusuklah perasaan wanita ini. Sebagai sahabat dan teman dekat Wan Hoa tentu saja Cao Cun tahu akan sikap dan segala gerak-gerik sahabatnya itu, pengorbanan dan cinta kasihnya yang besar hingga mereka melebihi saudara kandung. Cerita Ituchi tiba-tiba membuka mata wanita ini bahwa kiranya selama itu Wan Hoa berbohong, sengaja menyembunyikan keadaan sebenarnya untuk menutupi kecemasan.

Bahwa Wan Hoa telah menghiburnya dengan kata-kata sejuk bahwa puteranya kini aman di tempat Pendekar Rambut Emas, menjadi murid dan dididik pendekar itu, yang sayangnya tak pernah membawa Ituchi menengok dirinya. Hal yang sebenarnya menyakitkan hati wanita ini karena Ituchi adalah puteranya, yang dirindukan dan diharapnya setiap hari. Betapapun rindu seorang ibu tak dapat dicegah.

Ituchi adalah putera satu-satunya, miliknya yang berharga karena pemuda itu adalah putera tunggal, satu-satunya anak lelaki. Tapi begitu Ituchi menceritakan keadaan sebenarnya dan tahulah wanita ini bahwa selama ini kiranya dia 'ditipu' Wan Hoa tiba-tiba Cao Cun mengugguk dan tak dapat ditahan lagi dia menangis tersedu-sedu.

"Aduh, kau... kau bohong, Wan Hoa. Kalau begitu selama ini kau berdusta kepadaku. Ah, dan kau... kau... oh!" Cao Cun tak dapat menahan kepedihannya, mengguguk dan kini tahu penyebab kematian sahabatnya itu, bukan oleh karena kematian suaminya melainkan lebih terutama oleh diculiknya puteranya itu oleh Cam-kong, kakek iblis yang tentu saja tak dapat dihadapi Hek-eng Taihiap. Kakek itu terlampau lihai bagi suami sahabatnya itu, Cao Cun tahu benar akan ini. Maklumlah, jelek-jelek dia pernah berkumpul dengan Pendekar Rambut Emas dan tahu nama-nama besar di dunia kang-ouw, seperti Cam-kong dan kawan-kawannya itu.

Maka ketika dia menyadari ini dan tahu bahwa kematian sahabatnya terutama disebabkan oleh diculiknya Ituchi, yang tak berani dikatakannya dan tentu saja menghimpit batin maka Cao Cun tersedu-sedu dan menangis begitu sedihnya. Baru mengetahui sekarang setelah kejadian itu lewat sepuluh tahun, perasaannya seperti diremas dan tentu saja wanita itu pedih.

Wan Hoa tetap sahabatnya yang baik dan terbaik. Ah, tak ada sahabat yang begitu baik dan mulianya seperti sahabatnya itu, Cao Cun terpukul dan sekaligus terharu bukan main. Tapi ketika puteranya mengerutkan kening dan bertanya kenapa ia seperti itu maka wanita ini menghentikan tangis dan berkata, menahan isak dan sedu-sedan,

"Kau tak tahu, puteraku? Kau tak dapat membaca sepak terjang bibimu itu?"

"Tidak, aku tak paham, ibu. Coba kau jelaskan padaku. Aku tak mengerti."

"Dia mati karena dirimu. Bibimu Wan Hoa digerus perasaan dukanya karena tak dapat menjalankan tugas!"

"Tugas?"

Cao Cun tiba-tiba sadar. Ia terkejut karena keterlepasan bicara itu, memandang kiri kanan dan akhirnya wanita ini terisak. Sekarang ia harus bicara terus terang, tak ada gunanya lagi sembunyi-sembunyi. Puteranya itu sudah besar dan cukup dewasa. Maka ketika puteranya terbelalak dan mengerutkan kening maka wanita ini menghela napas berat, teringat kejadian sepuluh tahun berselang.

"Ya, tugas, Ituchi. Tugas menyelamatkanmu. Waktu itu pengganti ayahmu hendak membunuhmu. Kau dicari dan mau dibunuh. Bibimu mendengar. Dan karena tak ingin kejadian itu menimpa dirimu maka kau dibawanya keluar dari sini dan dibawa ke tempat Kim-mou-eng, begitu rencananya. Tapi Wan Hoa rupanya gagal, tak menceritakan ini dan entah apa yang dialaminya. Rupanya bibimu itu mengalami banyak kesulitan tapi tidak menceritakannya kepadaku!"

"Ah, begitu?" Ituchi teringat. "Bibi Wan Hoa memang ke tempat Kim-mou-eng, ibu, tapi tidak ketemu!"

"Lalu?"

"Lalu kami mencarinya. Bibi berkali-kali diganggu orang jahat dan hampir saja diperkosa!"

"Ah!" ibunya terkejut. "Begitu, Ituchi? Lalu bagaimana?"

"Kami tak dapat menemukan Pendekar Rambut Emas, ibu. Dan ketika suatu hari bibi hendak diperkosa orang jahat tiba-tiba Hek-eng Taihiap muncul!"

"Ah, ceritakan itu. Coba ceritakan!" Cao Cun terbelalak. Tentu saja wanita ini tak mengetahui kesedihan dan penderitaan Wan Hoa, ketika wanita itu mengantar Ituchi dan keluar dari bangsa liar ini, karena Ituchi mau dibunuh (baca: Sepasang Cermin Naga). Dan ketika Ituchi menceritakan itu dan betapa pemuda ini teringat suka-duka perjalanannya bersama sang bibi maka Cao Cun menangis dan berlinang-linang air mata, akhirnya tersedu.

"Benar dugaanku. Benar sekarang. Kiranya bibimu berbohong untuk menenangkan aku. Ah, bibimu Wan Hoa seorang mulia, puteraku. Aku jadi tersayat-sayat mendengar ini. Kematiannya disebabkan oleh itu tapi dia tak mau menceritakannya, sampai napasnya yang terakhir!" wanita ini tak dapat menahan perihnya hati, mengugguk dan akhirnya menubruk puteranya itu. Dan ketika Ituchi tertegun dan mengerti ini tiba-tiba pemuda itupun tak dapat menahan haru dan menangis.

"Ah, bibi Wan Hoa benar-benar mulia, ibu. Kita berhutang budi!" "Bukan hanya budi, nyawapun kita berhutang, Ituchi. Ah, diapun berkali-kali menyelamatkan nyawaku!" Cao Cun mengguguk, tentu saja terpukul dan baru sekarang dia tahu. Kesetiaan dan kemuliaan sahabatnya itu ternyata tak tanggung-tanggung, demikian besar dan bertumpuk! Dan ketika mereka bertangisan dan Ituchi mengiggil dengan air mata bercucuran akhirnya tengah malam itu mereka tak henti-hentinya menyebut nama Wan Hoa.

"Dia sungguh wanita besar, sahabat yang agung!"

"Benar, dan besok kita ke makamnya, ibu. Aku ingin sembahyang!"

"Benar, besok kita sembahyang, Ituchi. Kita siapkan sajian khusus untuk arwah bibimu!"

Pemuda ini termangu-mangu. Setelah kejadian sepuluh tahun lewat diketahui dan dikumpulkan maka terharu dan kagumlah pemuda ini akan kesetiaan dan keluhuran budi bibinya itu. Wan Hoa sahabat sejati dan jarang ada wanita seperti itu. Nyawa pun dikorbankan dan kehormatanpun hampir-hampir saja ikut lepas. Semuanya itu demi dirinya, karena ibunya dan persahabatan yang sudah luar biasa baiknya.

Ituchi tertegun dan kagum bukan main. Wan Hoa memang hebat, wanita yang hebat. Namun ketika percakapan beralih dan ibunya bertanya ke mana dia kalau begitu dan bagaimana dengan Cam-kong kakek iblis si pembunuh maka Ituchi menghela napas.

"Seseorang menolongku, ibu, dan orang inilah yang menyambung hidupku!"

"Siapa dia?"

"Guruku."

"Gurumu?"

"Ya, guruku, ibu, tapi juga guru semua orang!"

"Heh, bagaimana ini?"

"Hm, betul, ibu. Tapi sayang aku tak dapat menikmati semua pelajarannya. Guruku itu aneh, dia sering bepergian dan meninggalkan aku sendiri!"

"Bagaimana itu? Coba ceritakan, Ituchi, dan siapa gurumu itu. Tentu dia manusia hebat karena dapat mengambilmu dari kakek iblis Cam-kong!"

"Memang, dia hebat, ibu. Tapi, ah... perlukah kuberitahu? Dia tak ingin disebut, ibu. Aku agak tak enak!"

"Hm, aku ibumu, Ituchi. Aku bukan orang lain. Tapi kalau kau tidak percaya kepada ibumu dan menaruh curiga baiklah tak usah diberitahukan. Aku tak memaksa!"

Ituchi jadi tak enak. "Dia kakek dewa Bu-beng Sian-su," katanya perlahan. "Dan untuk ini aku telah melanggar larangannya..."

"Apa? Bu-beng Sian-su?" ibunya terkejut. "Kakek maha sakti itu?"

"Sst, jangan keras-keras, ibu. Memang benar, dialah...!"

"Ah, kalau begitu kau beruntung, anakku. Pendekar Rambut Emas juga murid kakek dewa itu!"

"Hm, ini lain. Aku tak diangkatnya sebagai murid penuh, ibu. Sian-su hanya memberiku sebuah ilmu yang baru kukuasai setelah sepuluh tahun! Kepandaian kakek itu hebat, terlampau banyak dan sukar semuanya. Otakku bebal dan sayang sekali aku hanya mendapat sebuah ilmunya itu saja, apalagi guruku itu juga sering bepergian!"

Cao Cun terbelalak. Wanita ini tampak tertegun tapi berseri-seri. Kiranya puteranya diselamatkan Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu. Pantas saja, Cam-kong tak dapat mempertahankan. Dan ketika puteranya tampak menunduk karena menyesal hanya mendapat sebuah ilmu saja maka ibu yang bijaksana ini memeluk bahu puteranya, menghibur,

"Anakku, tak perlu menyesal. Meskipun hanya sebuah ilmu saja tapi kalau dari Bu-beng Sian-su tetaplah hebat! Kau beruntung, tentu sudah dapat menjaga dirimu dan ibumu!"

"Hm, tak sepenuhnya begitu," Ituchi teringat kekalahannya dengan Soat Eng. "Meskipun hebat tapi aku tetap bodoh juga, ibu. Baru saja aku kalah oleh seseorang dan menjadi tawanan."

"He?"

"Benar, ibu. Aku baru saja dikalahkan seseorang, seorang gadis lagi, gagah dan cantik!"

"Siapa dia?"

"Soat Eng, Kim Soat Eng!"

"She Kim? Kalau begitu..."

"Benar, ibu, dia puteri Pendekar Rambut Emas."

"Ah, kalau begitu tak usah penasaran. Pendekar Rambut Emas dan keluarganya memang hebat!" sang ibu tiba-tiba berseri-seri. "Bagaimana terjadinya hal itu, Ituchi? Dan kenapa berkelahi?"

"Aku menghajar rombongan perampok, datang gadis itu dan kami lalu bertanding," Ituchi lalu menceritakan asal-mulanya, didengarkan sang ibu dan Cao Cun berkerut-kerut. Tapi ketika sang putera selesai bercerita dan dia bertanya kenapa datang-datang puteri Pendekar Rambut Emas itu menyerang puteranya maka Ituchi menghela napas. "Aku dikira pencuri, Cermin Naga hilang."

"Apa?"

"Benar, ibu. Aku dikira pencuri Cermin Naga. Dua kakak beradik itu mencari pencurinya dan kebetulan ciri-ciri pencuri itu persis diriku."

"Maksudmu?"

"Katanya tinggi besar dan gagah, berkulit kehitaman!"

"Hm!" sang ibu membelalakkan mata. "Kalau begitu bukan orang Han, anakku. Itu ciri-ciri suku bangsa kita!"

"Adakah yang mampu melakukan itu?"

"Kukira tidak, tapi... hm, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah itu milik Hu-taihiap?"

"Maaf, aku lupa memberitahumu, ibu. Hu-taihiap telah meninggal."

"Apa?"

"Benar, ibu, tewas. Hu-taihiap dibunuh See-ong. Aku juga baru mengetahui itu setelah mereka bertemu ayah ibunya!"

"Maksudmu...."

"Ya, aku bertemu Kim-mou-eng, ibu, dan isterinya. Ah, mereka merupakan suami isteri yang hebat sekali!"

"Bagaimana keadaan Kim-mou-eng? Masih gagah dan tampan?"

"Hm, masih tampan, ibu, tapi sudah mulai berumur. Betapapun aku kagum kepadanya. Pendekar Rambut Emas itu berwatak jujur dan ksatria. Puterinya sendiri dihajar!"

Ituchi lalu menceritakan pertemuannya dengan Pendekar Rambut Emas itu, betapa Soat Eng mendapat hukuman dari ayahnya karena menangkapnya, menyiksa dan menyuruh dia mengaku padahal bukan dia pencurinya. Dan ketika satu demi satu diceritakan semua dan sang ibu tampak terbelalak tapi berlinang-linang maka Ituchi mengakhiri,

"Kim-mou-eng titip salam untukmu, begitu juga dari isterinya. Aku mengucap terima kasih dan sayang aku tak dapat bersama mereka lebih lama."

"Ah," wanita ini terisak. "Kau benar, Ituchi. Terima kasih. Hm, omong-omong bagaimana dengan gadis bernama Soat Eng itu? Cantikkah dia?"

"Cantik, ibu, dan gagah!"

"Dan kau sudah punya pacar?"

"Belum! Eh.., apa maksudmu dengan pertanyaan ini, ibu? Kau mau apa?"

"Hm, aku punya gagasan, anakku. Aku tiba-tiba ingin menjodohkan dirimu dengan gadis itu, menjadi mantu Pendekar Rambut Emas! Maukah kau?"

Ituchi tertegun. Pertanyaan ibunya yang sudah beralih ke masalah perjodohan mendadak membuat muka pemuda tinggi besar ini panas. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah terbayanglah wajah cantik itu, gagah tapi juga galak. Dia tertegun tapi juga 'ngeri'. Dan ketika ibunya bertanya kembali dan maukah dia dijodohkan tiba-tiba pemuda ini malu-malu dan jengah, tersipu.

"Ibu, urusan itu sebaiknya dibicarakan belakangan saja. Aku belum dapat menjawab."

"Tapi kau suka tidak?"

"Hm, suka bagaimana? Cinta?"

"Ya, apa saja namanya, anakku. Suka atau cinta!"

"Aku belum tahu..."

"Eh, masa?" sang ibu tak percaya. "Kau sudah cukup dewasa, anakku. Kau tak perlu pura-pura di depan ibumu. Nanti ibumu yang melamar!"

"Hm," Ituchi semburat. "Masalah suka tentu saja aku suka, ibu. Mana ada pemuda tak suka gadis cantik? Tapi dia galak, aku takut...!"

"Hi-hik!" ibunya ketawa. "Kalau begitu niatku dapat diteruskan, Ituchi. Besok kukirim orang untuk ke tempat Pendekar Rambut Emas!"

"Jangan! Tidak..!" Ituchi terkejut. "Aku belum mau, ibu. Hal ini tak boleh tergesa-gesa dilakukan. Kita tak tahu apakah gadis itu sudah mempunyai kekasih atau belum. Kalau sudah tentu hilang mukaku nanti! Tidak, jangan, ibu. Biarlah hal ini kulakukan sendiri secara diam-diam!" dan ketika sang ibu tampak tertegun dan dapat menerima itu maka ibunya mengangguk dan menghela napas.

"Hm, baiklah. Kau benar-benar sudah cukup dewasa, puteraku. Kalau begitu masalah itu biarlah kuserahkan padamu sendiri." Sang ibu lalu mengajak bercakap-cakap yang lain, hampir semalam suntuk namun akhirnya menjelang pagi mereka beristirahat juga.

Dan ketika sehari dua pemuda ini berkumpul dengan ibunya dan mendapat kenyataan betapa rakyat menyambutnya dengan gembira maka Ituchi merasa kerasan dan seolah tinggal di rumah sendiri, tak menganggap itu tempat asing baginya dan raja Cucigawa serta yang lain-lain juga tampak ramah dan baik. Tapi ketika seminggu kemudian pemuda ini tinggal lebih lama dan rakyatnya hampir semua mengenal tiba-tiba saja sebuah gangguan muncul.

Malam itu, setelah delapan hari tenang-tenang saja tiba-tiba Ituchi mendengar jerit di kamar adiknya. Kebetulan pemuda ini tinggal tak berjauhan dan jerit itu menggugahnya dari tidur. Hampir lelap dia ketika jerit itu melengking. Dan ketika suara gedobrakan dan gaduh mengiringi semuanya itu tiba-tiba adiknya berteriak-teriak minta tolong.

"Aduh, jahanam keparat. Lepaskan aku. Tolongg..!"

Ituchi berkelebat. Mendengar teriakan adiknya yang dikenal sebagai Salini tiba-tiba pemuda ini bergerak cepat. Pintu jendela dibuka lebar dan langsung berjungkir balik, melompat keluar dan Ituchi sudah menuju ke asal suara. Dan ketika ia melihat sebuah bayangan berkelebat dari kamar adiknya maka benar saja Salini meronta-ronta di pelukan seorang laki-laki, yang memondongnya dan membawanya keluar.

"Berhenti! Lepaskan adikku...!"

Bayangan itu terkejut. Ituchi telah berjungkir balik di depannya dan langsung mengadang, dia dicegat dan tentu saja tak dapat lari. Pemuda itu telah meminta adiknya dan dia disuruh menyerahkan. Tapi ketika Ituchi membentak dan anehnya tak ada pengawal atau pasukan yang berjaga, padahal itu termasuk kompleks raja maka laki-laki ini mendengus dan tiba-tiba dia menyerang Ituchi dengan satu hantaman ke wajah.

"Plak!" Ituchi menangkis, tentu saja marah dan pemuda ini mengerahkan tenaganya. Dan ketika laki-laki itu terpental dan berseru kaget maka Ituchi berkelebat merampas adiknya, menotok dengan dua jarinya dan lawan terkejut, menendang namun Ituchi menggertak saja. Pemuda ini menarik totokannya dan tangan yang lain bergerak. Dan ketika lawan menjerit karena tengkuk terkena sebuah tamparan maka Salini terlempar dan sudah disambar pemuda ini.

"Kau kembalilah, panggil penjaga!"

Salini tersedu-sedu. Dia berkata bahwa adiknya di dalam kamar juga diganggu, seorang laki-laki lain mendekap dan mau membawa lari adiknya. Nangi disumpal dan hanya dialah yang dapat berteriak-teriak. Dan ketika benar saja dari jendela kamar berkelebat sesosok bayangan lain dan Nangi, gadis remaja itu meronta-ronta ah-uh-ah-uh maka Ituchi kaget dan membentak.

"Terkutuk! Kalian rupanya berkomplot...!" pemuda itu berkelebat, menarik Salini dan pemuda ini membentak bayangan itu. Sekali bergerak tahu-tahu dia telah melayang di depan bayangan kedua ini, menampar tapi bayangan itu terkejut.

Dan ketika ia menangkis namun terjungkal oleh tamparan Ituchi maka barulah ribut-ribut itu didengar penjaga dan Ituchi sudah berkelebatan menghajar bayangan ini, menjerit dan terlempar oleh pukulan atau tendangannya dan si bayangan pertama membentak maju, mencabut senjata dan dikeroyoklah Ituchi oleh dua orang lawannya.

Tapi ketika Ituchi berani menangkis dengan tangan telanjang dan golok di tangan bayangan pertama terpental bertemu tangan pemuda ini maka dua orang itu terkejut sementara pengawal atau penjaga berdatangan dengan tombak atau pedang.

"Tangkap! Tangkap mereka ini. Mereka mau menculik kami berdua!"

Salini berteriak, menuding-nuding namun penjaga sudah melihat pertandingan Ituchi. Pemuda itu menghajar dan membuat dua lawannya jatuh bangun, nyata Ituchi lebih kuat. Dan ketika bayangan satunya mengeluh dan bersuit nyaring tiba-tiba dia meloncat dan melarikan diri dalam gelap.

"Kejar...! Kejar mereka itu. Tangkap!"

Namun penjaga malah bengong. Mereka mendengar bentakan dan geraman si bayangan, yang kedua sudah menyusul yang pertama dan mereka melarikan diri. Salini berteriak-teriak sementara Ituchi membuka sumbatan Nangi, adiknya termuda, mengharap penjaga meneruskan pekerjaannya tapi mereka malah menjublak. Bentakan atau geraman bayangan itu rupanya membuat penjaga terkejut. Dan ketika mereka menghilang dan Salini membanting-banting kaki maka gadis itu menubruk kakaknya dengan penuh kecewa.

"Kanda Ituchi, para penjahat itu lari. Mereka tak dapat dibekuk!"

"Hm, sudahlah," Ituchi mengusap keringatnya. "Biar kukejar, Salini. Kau di sini dan akan kutangkap mereka!"

Namun sebuah suara tiba-tiba mencegah. Horok, panglima berwajah angker itu muncul. Panglima ini melompat dan mengibaskan lengannya, suaranya berat memerintahkan penjaga pergi, mencari bayangan itu. Dan ketika semua berlompatan dan tinggallah panglima itu dengan Salini dan kakaknya maka mereka ditanya apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Kami mau diperkosa, diculik. Dua laki-laki tak dikenal mau menggagahi kami...!" Salini menangis, menceritakan pada panglima itu dan Horok mengerutkan kening. Salini dipandang lalu beralih pada Nangi, gadis yang lebih muda. Dan ketika gadis itu juga mengangguk dan menceritakan bahwa cerita kakaknya benar maka panglima ini mengangguk-angguk dan berkata,

"Baiklah, kalian kembali ke kamar masing-masing, Salini. Biar aku dan Ituchi mengejar keluar. Pergilah!"

Salini takut. Ternyata gadis ini tak mau, meminta agar kakaknya mengantar dan kebetulan sekali ibu mereka keluar. Cao Cun mendengar ribut-ribut itu dan tentu saja wanita ini terperanjat, anak-anaknya mau diculik. Dan ketika dengan bergegas wanita itu berlari mendapatkan anak-anaknya dan lega melihat dua puterinya tak apa-apa maka Salini dan adiknya sudah menangis menubruk ibu mereka.

"Kami mau diculik, diperkosa! Ah, kami takut, ibu. Kami takut. Untung ada kanda Ituchi!"

"Benar, dua penjahat memasuki kamar kami, ibu. Hampir saja kami digagahi!"

Sang ibu pucat. "Siapa mereka?"

"Tak kami ketahuui, kabur!"

"Apakah tak dapat dilihat wajahnya?"

"Mereka mengenakan saputangan hitam, ibu. Mereka menyembunyikan muka!"

"Sudahlah," Ituchi memotong. "Sekarang ada ibu di sini, Salini. Biar aku dan panglima mengejar!" Ituchi berkata, agak terburu karena dia khawatir dua penjahat itu lari jauh. Kalau terlalu banyak bercakap-cakap dan mereka membuang-buang waktu tentu penjahat tak dapat ditangkap. Maka begitu ibunya muncul dan Ituchi girang pemuda ini sudah menyerahkan dua adiknya, minta agar ibunya menjaga dan Horok mengangguk.

Panglima itu juga berkata demikian dan Ituchi berkelebat menyusul. Dan ketika pemuda itu mengejar dan sudah mendahului panglima Horok maka panglima itu terkejut dan menyusulnya. "Hei, tunggu, pangeran. Kita ke sini!"

Ituchi memutar. Horok ternyata membawanya ke timur, panglima itu mengajaknya ke situ karena katanya akan memotong jalan. Dan ketika Ituchi bergerak dan mengerahkan kepandaiannya maka laki-laki ini terkejut mengimbangi, coba mendahului tapi selalu gagal. Ituchi diminta perlahan sedikit karena panglima itulah yang hendak menjadi petunjuk jalan. Ituchi sebenarnya tak sabar namun menurut juga. Dan ketika mereka berbelok-belok dan akhirnya menuju ke sebuah hutan lebat maka panglima itu tiba-tiba lenyap dan Ituchi kebingungan, tak mendapatkan buruannya.

"Hei, di mana kau, paman? Di mana kau?"

Beberapa bayangan tiba-tiba berkelebat. Sebagai gantinya muncul belasan orang yang membentak pemuda ini. Ituchi terkejut karena suaranya justeru menjadi petunjuk bagi lawan di mana dia berada. Dan ketika kilauan golok berkelebatan di bawah sinar bulan maka belasan orang yang tanpa banyak cakap telah menyerangnya ini membuat pemuda itu gusar.

"Hei, siapa kalian. Berhenti!"

Namun orang-orang itu mendengus. Mereka terus menyerang dan apa boleh buat Ituchi menangkis, dia mau menjatuhkan tangan keras namun masih tak tega. Akibatnya golok dan pedang ditangkisnya patah-patah, seperti dulu dia mematahkan golok atau pedang para perampok, ketika mau bertemu Soat Eng. Dan ketika orang-orang itu terpekik karena senjata mereka mencelat dari tangan maka pemimpinnya yang bersenjatakan trisula kecil berseru lagi agar mereka menyerang, mencabut senjata baru.

Akibatnya Ituchi geram dan mementalkan lagi senjata-senjata lawan, sang pemimpin mulai diincar dan pemuda ini tentu saja penasaran. Dan ketika trisula itu menyambar dan Ituchi merasakan tenaga yang kuat maka dia membentak dan menangis senjata itu.

"Plak!"

Senjata itu terlepas. Laki-laki itu berseru tertahan dan jelas dia kaget, matanya membelalak namun anak buahnya sudah maju membantu. Saat itu Ituchi mau menangkap lawannya ini dan menyambar, tak jadi karena belasan senjata lagi-lagi menyerangnya dari segala penjuru. Dan ketika pemuda itu mengelak dan menangkis dengan marah maka semua senjata dibuatnya patah-patah.

"Plak-cirng-cringg!"

Belasan orang itu terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi mereka berteriak, Ituchi ternyata hebat namun pemuda itu masih bersikap lunak juga, menendang dan menampar mereka dan berpelantinganlah orang-orang itu. Tapi ketika Ituchi membalik dan mau menangkap si pemimpin ternyata orang itu sudah menghilang dan memberi isyarat untuk mundur, dengan suitan panjang.

"Wut-wut-wut!"

Ituchi mendapat serangan gelap. Ketika dia mau mengejar dan menangkap siapa saja ternyata belasan pisau terbang menyambarnya, semua dari belakang dan dapat diduga sebagai serangan si pemimpin, yang entah bersembunyi dan menghilang ke mana. Dan ketika Ituchi memaki dan membentak marah maka pisau-pisau itu dipukulnya runtuh dan tiba-tiba panglima Horok muncul.

"Pangeran, apa yang terjadi? Kau diserang musuh?"

"Eh!" Ituchi mendongkol. "Ke mana saja kau, paman? Kenapa tak menjawab ketika kupanggil-panggil?"

"Maaf, aku di luar hutan, pangeran, melihat bayangan dua orang itu dan tak berani menjawab karena mereka tentu akan terkejut. Sayang karena aku mendengar suara pertempuran di sini maka aku kembali. Apakah pangeran diserang orang-orang jahat? Siapa mereka?"

"Entahlah, pemimpinnya bersenjatakan trisula, paman. Mereka menghilang ketika senjatanya kupatah-patahkan!"

"Aih, kalau begitu tempat ini tidak aman. Sebaiknya kita kembali dan mari bergabung dengan pengawal!"

Ituchi mendongkol. Dua kali dia dibuat penasaran oleh dua kejadian. Pertama orang-orang yang akan menculik dua adiknya itu sedang yang terakhir adalah serangan orang-orang tak dikenal ini, yang semua berkerudung dan sialnya melarikan diri, tak dapat ditangkap. Lawan rupanya lebih mengenal keadaan dibanding dirinya, yang belum mengenal semua medan. Maklumlah, dia belum begitu lama di wilayah ini. Namun ketika Horok mengajaknya pergi dan kembali ke tempat mereka ternyata pengawal juga melapor bahwa orang yang dicari tak berhasil ditemukan.

"Mereka menghilang, entah ke mana. Cepat sekali." "Sudahlah," Ituchi berkata. "Kalian kembali ke tempat masing-masing, pengawal. Aku juga kembali dan penjagaan harap diperketat!"

Malam itu Ituchi muram. Panglima Horok kelihatan menyesal pula namun Ituchi berkata tak apa, biarlah dia lebih berhati-hati untuk hari-hari berikut. Dan ketika pemuda itu kembali ke dalam dan menemui ibu serta dua adiknya maka dua adiknya itu berlarian menyambut.

"Bagaimana, kanda? Tertangkap?"

"Tidak," pemuda ini masygul. "Bahkan aku diserang belasan orang-orang tak dikenal, Salini. Agaknya di luar ada musuh-musuh berbahaya yang tidak menyukai aku."

Dua adiknya terkejut. "Kau diserang? Oleh siapa?"

"Aku tak tahu, Salini. Tapi aku tak takut. Yang kutakuti hanya kalau kalian diganggunya!"

"Hm," sang ibu mengerutkan kening. "Mulai sekarang kalian tidur saja bersamaku, Salini. Dan kakakmu sebaiknya pindah ke kamar yang lebih dekat!"

"Baiklah, ibu. Aku memang masih takut!" dan dua kakak beradik yang terisak itu lalu mundur dan masuk ke kamar ibu mereka.

Cao Cun sendiri keluar dan minta agar puteranya mengikuti. Dan ketika Ituchi mengerutkan kening namun mengikuti ibunya maka Cao Cun menggapai anaknya duduk di sebelahnya. "Aku khawatir jangan-jangan ini perbuatan orang dalam. Kau sebaiknya berhati-hati, Ituchi. Dan bawa saja dua adikmu keluar dari sini!"

"Apa?"

"Benar, aku khawatir, anakku. Jangan-jangan peristiwa seperti dulu akan terulang lagi!"

"Maksud ibu?"

Wanita ini terisak. "Pangeran, bagaimanakah kesan-kesanmu selama di sini? Bagaimana rakyat menyambutmu?"

"Ah, baik, ibu. Aku senang!" Ituchi bersinar matanya, teringat penyambutan rakyatnya dan betapa dia mendapat sambutan hangat. Teringat itu dia berseri-seri karena rakyatnya menyambut baik. Dia benar-benar tidak merasa asing tinggal di situ dan semuanya seperti di rumah sendiri.

Tapi ketika sang ibu mengerutkan kening dan justeru menjadi tak tenang maka ibunya itu berkata, "Nah, itulah. Ini yang ku khawatirkan, pangeran. Jangan-jangan kedatanganmu malah membuat raja Cucigawa curiga. Ia mungkin khawatir, khawatir kalau-kalau..."

"Kalau-kalau apa?" pemuda ini mengerutkan kening. "Aku datang bukan untuk merampas kedudukan, ibu, melainkan semata ingin menengok dan menemuimu!"

Sang ibu tertegun, melihat anaknya ternyata cerdas, dapat menangkap dalam sekali pembicaraan saja. Tapi menggeleng dan menghela napas ibu yang awas pandangan ini memberi tahu, "Hm, itu kau, anakku, pendapatmu. Tapi bagi raja Cucigawa atau orang lain mungkin tidak begitu. Rakyat telah menyambutmu baik, mereka begitu hangat dan penuh simpati kepadaku. Raja jangan-jangan khawatir bahwa kau kelak akan merampas kedudukannya!"

"Ah, tak mungkin! Sri baginda begitu baik kepadaku, ibu, ramah dan suka tertawa-tawa. Aku tak percaya dia mencurigaiku lalu bermaksud membunuh aku!"

"Kau masih kurang pengalaman," sang ibu mengerutkan kening. "Orang yang suka tertawa-tawa belum tentu begitu dalamnya, anakku. Justeru dengan orang yang begini ini kita harus berhati-hati! Ibu sudah cukup pengalaman, cukup merasakan pahit getir hidup. Justeru ibu curiga dengan sikap raja yang begitu baik dan ramah, padahal raja adalah seorang yang keras dan kejam!"

"Ah, kejam?"

"Benar. Kau belum tahu banyak tentang kehidupan di sini, Ituchi. Kau belum mengenal penderitaan rakyatmu. Cucigawa adalah raja yang bertangan besi, tindakannya sewenang-wenang dan suka menangnya sendiri. Rakyat yang begitu gembira menyambutmu kukira karena mengharap kaulah yang akan menggantikan raja itu, seperti mendiang ayahmu dulu!"

Ituchi terkejut.

"Kau tidak percaya, bukan?"

Pemuda ini masih tertegun.

"Lihatlah besok, anakku. Selidiki dan menyelinaplah di tengah-tengah rakyatmu. Raja baru-baru ini membuat kegemparan besar dengan mengenakan tarip pajak yang mencekik!"

"Masa?"

"Hm, aku tak mau banyak bicara, anakku. Sebaiknya kau lihat dan amati semuanya itu. Sebulan yang lalu raja mengharuskan setiap kepala keluarga menyerahkan separoh dari hasil ternaknya untuk upeti!"

"Upeti?"

"Ya, begitu katanya, anakku. Tapi kenyataannya dusta karena harta ternak itu untuk raja sendiri, maksudku sebagian besar untuk sendiri karena sebagian kecil saja yang diberikan kepada kaisar di kota raja!"

Ituchi terkejut. Dia memang belum tahu hubungan antara bangsa liar ini dengan istana, raja Tiongkok. Tak tahu bahwa setiap tahun raja Cucigawa harus memberikan semacam tanda persahabatan kepada kaisar, sebagai imbalannya melindungi dan sewaktu-waktu membantu raja itu bila mendapat serangan dari luar. Maklumlah, kaum nomad (suku pengembara) biasanya suka menyerang suku-suku bangsa lain bila jumlah kelompok mereka besar, mengganggu dan mengancam keamanan bangsa-bangsa lain karena suku nomad itu butuh tanah atau ternak yang lebih banyak, lebih luas.

Mereka bisa merupakan ancaman serius bila suku-suku bangsa tidak memperkuat diri, satu di antaranya adalah raja Cucigawa ini, yang menjalin hubungan dan mendekatkan diri pada pemerintahan di istana, yakni bangsa Tiongkok, di mana sebagai imbalannya tentu saja Cucigawa harus memberikan 'tanda persahabatan', semacam upeti itu. Dan ketika sang ibu menceritakan dan memberi tahu ini maka Ituchi terbelalak dan mengangguk-angguk, baru 'mendusin'.

"Ah, begitu kiranya, ibu? Jadi kaisar di kota raja meminta itu setiap tahun?"

"Ya, sebagai gantinya perlindungan dan bantuan kaisar kepada suku bangsa ini, anakku. Dan Cucigawa lalu membebankan itu pada rakyatnya. Mula-mula memang wajar, masih di batas kemampuan. Tapi setelah raja menyisihkan dan hanya memberi sebagian kecil saja kepada kaisar sementara yang banyak dipakai untuk memperkaya diri sendiri maka ada dua bahaya yang mengancam suku bangsa ini!"

Ituchi tertegun.

"Kau tahu bahaya apa itu?"

"Tidak." "Yang pertama adalah ketidakpuasan kaisar, Ituchi. Dan kedua adalah ketidakpuasan rakyat. Pajak yang 'disunat‘ untuk kepentingan pribadi raja Cucigawa bakal menimbulkan pemberontakan. Perbuatan raja itu tak benar!"

"Begitukah?" Ituchi mulai marah. "Kalau begitu raja perlu ditegur, ibu, disadarkan!"

"Sudah, aku menegurnya secara halus, Ituchi, tapi tak mempan. Raja bahkan marah mendengar omonganku."

"Kalau begitu besok coba kulihat. Kalau benar rakyat menderita tentu aku tak akan tinggal diam!"

"Tapi hati-hati," sang ibu mengerutkan kening, was-was. "Cucigawa memiliki pembantu di mana-mana, Ituchi. Kau harus hati-hati dan jangan gegabah!"

"Aku tahu. Dan aku dapat menjaga diriku, ibu. Tak usah kau khawatir." Dan pembicaraan yang lalu dibuktikan keesokannya oleh pemuda ini. Secara diam-diam dan hati-hati Ituchi pergi menyelidik, masuk ke tengah-tengah suku bangsanya dan bertanya-tanya. Dan ketika benar saja semuanya menjawab seperti kata-kata ibunya maka seorang kakek malah menangis.

"Celaka, kami merasa tertekan, pangeran. Raja terlalu kejam dengan meminta separoh dari hasil ternak kami. Dan celakanya semua itu ternyata sebagian besar dimiliki sendiri. Kami tak puas, tapi juga takut!"

"Takut apa? Bukankah kalian dapat memprotes?"

"Ah, raja memiliki kaki tangan, pangeran, dan mereka orang-orang kuat. Panglima Horok dan Ramba itu orang-orang yang kepandaiannya tinggi, apalagi trisula di tangan Ramba!"

Ituchi tersentak. "Trisula? Ramba bersenjata trisula?" dia teringat kejadian malam lalu, yakni ketika dikeroyok orang-orang bertopeng dan seorang di antaranya bersenjatakan trisula, sang pemimpin yang juga melepas pisau-pisau terbang ke arahnya.

Dan ketika kakek itu mengangguk dan berkata benar maka kakek ini menambahi, "Ya, dan panglima Horok juga lihai, pangeran. Telapak Besi yang dipunyainya sanggup memukul hancur kepala seekor gajah!"

Ituchi tertegun. Pembicaraan singkat dari satu orang ke orang lain akhirnya menambah informasi. Kakek ini membuatnya terbelalak karena Ituchi teringat laki-laki itu, penyerangnya, orang yang bersenjata trisula dan pemuda ini tertegun. Dan ketika segala yang diperlukan dirasa cukup dan keterangan orang-orang itu ternyata benar seperti kata ibunya maka Ituchi marah dan juga heran.

Bagaimana raja yang sudah berkedudukan dan serba cukup masih juga begitu tamak? Kenapa mengambil dan memiliki untuk diri sendiri sebagian besar pajak rakyatnya? Bukankah itu seharusnya untuk kaisar. Dan ketika dia pulang dan kembali menemui ibunya mendadak ibunya menggigil dan mencengkeram lengannya.

"Puteraku, ke mana saja kau ini? Kenapa lama amat? Ibu menunggu-nunggumu, ada sesuatu yang penting!"

Ituchi terkejut. "Soal apa?"

"Soal adikmu, anakku. Cucigawa baru saja mengutus utusan untuk meminta adikmu!"

"Apa? Meminta bagaimana?"

"Ah, tolol kau. Maksudnya melamar, anakku. Minta agar dua adikmu itu menjadi isterinya!"

"Hah?"

"Benar, mereka... ah..." dan dua gadis itu yang tiba-tiba melompat masuk dan menangis tersedu tiba-tiba menubruk ibu mereka dan Nangi mengguguk mencengkeram Ituchi.

"Kanda pangeran, tolong. Kami... ah, kami mau dinikah raja Cucigawa!" gadis cantik ini tersedu-sedu, kakaknya memeluk sang ibu sementara dia sendiri memeluk Ituchi.

Pemuda ini terkejut dan merah mukanya. Maklumlah, itu berita baru baginya. Dia belum melapor hasil penyelidikannya ketika tiba-tiba sang ibu sudah mendahului, kini dua adiknya datang dan mereka sudah tahu itu, muncul dan minta tolong dirinya, menangis. Dan ketika ibunya pucat sementara dua adiknya itu mengguguk dengan air mata bercucuran maka Ituchi tak tahu apa yang harus dikatakan, menganggap itu janggal karena Cucigawa meskipun jauh namun masih ada hubungan keluarga.

"Ibu, bagaimana ini? Masa sri baginda meminta Nangi yang masih belia begini? Apakah dia waras?"

"Itulah, aku khawatir, anakku. Sebaiknya mereka kau bawa dan pergi dari sini!"

"Tidak, sebaiknya kutanya dulu dua adikku ini, ibu. Kalau mereka mau tentu saja tak perlu pergi. Tapi kalau mereka tak mau maka kita harus menolak dan raja akan kuhadapi!"

"Ah, kau tak tahu!" ibunya berseru. "Keinginan raja tak boleh dibantah, anakku. Apa yang diinginkan harus diberikan, atau mereka akan dibunuh karena dianggap menghina raja!"

"Begitu gampang?" Ituchi berseru marah. "Tidak, ada aku di sini, ibu. Kalau raja mau bertingkah dia akan berhadapan dengan aku. Sebaiknya kutanya dulu Salini dan Nangi!"

Dan Ituchi yang sudah membalik menghadapi adiknya lalu bertanya apakah dua adiknya itu mau menerima lamaran Cucigawa, dijawab tidak dan tentu saja dua gadis itu menggeleng kuat-kuat. Mereka menyatakan menolak dan bahkan marah-marah. Cucigawa sudah mempunyai banyak isteri dan raja hanya ingin menikmati daun muda saja. Baik Salini maupun adiknya menolak tegas. Dan ketika itu dirasa cukup dan Ituchi marah maka pemuda ini berkata,

"Baik, kalau ibu tak berani menolak pinangan biarlah aku yang maju. Aku akan menghadap sri baginda dan secara baik-baik menyatakan tolakan ini!"

"Ituchi...!"

Namun pemuda itu sudah berkelebat. Ituchi marah mendengar raja biasa bersikap sewenang-wenang, apa yang diingini harus dituruti, begitu kata ibunya. Maka begitu dia berkelebat dan meninggalkan ibunya pemuda ini sudah memasuki kemah besar di mana raja sedang duduk menikmati arak, masuk dan pengawal tiba-tiba bersiap karena melihat wajah yang keras dari pemuda ini. Betapapun Ituchi datang membawa marah.

Dan ketika raja terkejut melihat pemuda itu berkelebat dan berdiri di depannya maka Cucigawa meletakkan araknya dan bersinar-sinar memandang pemuda ini, masih tak lupa dengan tawanya yang lantang. "Ha-ha, ada apa, adik pangeran? Kau datang ingin menemui aku?"

"Benar," pemuda ini tak menyembunyikan maksudnya. "Aku datang untuk urusan adikku, sri baginda. Mau bicara tentang lamaran paduka!"

"Eih, sudah secepat ini jawabannya? Ha-ha, silakan duduk, adik pangeran. Aku gembira kau datang membawa berita menyenangkan. Mana Salini dan Nangi? Kenapa mereka tak ikut?"

"Hm, terus terang saja kedua adikku tak dapat menerima lamaran ini, sri baginda. Mereka masih terlalu muda dan merasa bodoh! Maaf aku datang tidak membawa berita menyenangkan!"

Raja tiba-tiba tertegun. Muka yang tadi gembira kena pengaruh arak mendadak merah dan melotot. Pengawal rata-rata juga terkejut mendengar tolakan ini. Baru kali ini raja Cucigawa ditolak! Tapi ketika raja dapat menahan dirinya dan tertawa bergelak tiba-tiba raja menyuruh pemuda itu duduk, karena masih juga berdiri.

"Ha-ha, mengejutkan. Kedatanganmu sungguh mengejutkan, adik pangeran. Tapi marilah duduk dan kita minum arak dulu. Bicara tanpa arak selamanya menjemukan. Marilah, mari duduk dan kita nikmati arak!"

Ituchi tertegun. Raja sudah tenang kembali, tidak marah dan mata yang tadi melotot itu kini tampak ramah. Ituchi lega dan dia agak tenang, kemarahannya berangsur lenyap dan diapun duduk, Cucigawa sudah menuangkan arak dan minta agar mereka minum bersama, pemuda ini tak menolak dan meneguk araknya. Dan ketika raja bertanya kenapa lamarannya ditolak maka Ituchi agak berdebar.

"Mereka masih terlampau kecil, juga muda. Lagi pula kita masih sekeluarga baginda. Hal-hal begini membuat mereka tak enak dan takut!"

"Ha-ha, bagaimana pendapatmu, panglimaku?"

"Maaf," Horok, yang sejak tadi waspada mendampingi Cucigawa membungkuk. "Alasan begitu terlampau dibuat-buat, sri baginda. Selir paduka sendiri yang termuda ada yang berusia empat belas tahun!"

"Ha-ha, dan Nangi lima belas. Eh, bagaimana ini, Ituchi? Bukankah alasannya tak masuk akal?"

"Hm!" pemuda itu tak enak. "Urusan ini tak berani aku menanggapinya, sri baginda. Tapi dua adikku benar-benar masih terlalu muda dan hijau. Lagi pula hubungan kekeluargaan itu dapat mengganggu!"

"Eh, jangan begitu. Justeru aku ingin mempererat hubungan ini, Ituchi. Kalau mereka menjadi selirku maka kau semakin dekat denganku!"

"Maaf, mereka belum bersedia, sri baginda. Barangkali paduka dapat mencari lainnya saja. Salini dan Nangi masih terlampau kanak-kanak!"

"Hm," raja tertawa aneh, menenggak araknya. "Kau tak tahu kebiasaan di sini, adik pangeran. Baiklah kumaafkan sikapmu ini karena kau orang baru. Tak apa. Kalau begitu aku merubah niatku. Bagaimana kalau dua adikmu itu kupersembahkan pada kaisar? Apakah ditolak juga?"

Ituchi terkejut. "Apa?"

"Ha-ha, jangan terkejut. Minggu depan kebetulan kami harus memberi upeti kepada raja Tiongkok, Ituchi, demi persahabatan yang selama ini terjalin. Kau tentu tak keberatan bila dua adikmu menjadi persembahan yang paling terhormat!"

"Sri baginda...!"

"Eh, nanti dulu. Jangan berteriak!" raja menggoyang lengan, tertawa. "Tak ada alasan kiranya bagimu setelah ini, Ituchi. Atau kau memang mengada-ada dan sengaja hendak menghina aku! Bangsa di sini adalah bangsa yang patuh, mereka tak pernah membantah apalagi kepada rajanya. Kalau kau menolak dan kembali memberi alasan macam-macam maka kuanggap kau menghina diriku dan hendak mempermainkan!"

Ituchi gemetar. "Sri baginda," katanya tertahan-tahan. "Omongan paduka sungguh tak kumengerti. Hinaan bagaimana yang dapat kulakukan di sini? Bukankah semuanya kukatakan secara jujur dan benar?"

"Hm, kalau jujur dan benar tak ada kata-kata seperti itu, adik pangeran. Masalah keluarga sesungguhnya tak perlu kau sebut-sebut. Ibumu itu juga pernah diambil Cimochu sebagai isteri, padahal Cimochu adalah anak tirinya! Bukankah ini lebih hebat lagi dibanding aku mengambil dua adikmu? Bukankah apa yang kulakukan jauh lebih terhormat daripada apa yang telah dilakukan ibumu itu? Ha-ha, jangan marah, Ituchi. Aku bicara benar dan jujur pula. Kau boleh tanya semua orang!"

"Bohong!" bentakan itu menggeledek, membuat semua orang terkejut. "Kau memfitnah, sri baginda. Kau melepas omongan busuk. Kau... ah!" dan Ituchi yang gemetar tak dapat menahan diri tiba-tiba bangkit dari duduknya dan membanting hancur cawan arak yang diterima dari raja, tentu saja mengejutkan semua orang dan panglima Horok tiba-tiba melompat maju.

Para pengawal juga bergerak cepat dan tahu-tahu mengurung pemuda itu, tombak atau senjata lain tiba-tiba bergerak siap menusuk. Ituchi telah melakukan sesuatu yang berani di hadapan raja, membentak dan mengatakan raja bohong, hal yang belum pernah dilakukan siapapun! Maka begitu Ituchi membanting cawan dan marah besar memandang raja maka raja pun merah mukanya dan melotot memandang pemuda itu.

"Sri Baginda, kau bohong. Kau... kau memfitnah. Tak mungkin hal itu dilakukan ibuku!"

"Hm," raja tertawa mengejek, mata bersinar-sinar. "Kau kurang ajar dan kembali menghinaku, Ituchi. Kau sombong dan tak tahu aturan. Kau kira aku bohong dan memfitnah? Kau kira aku menjual omongan busuk? Bagaimana kalau kita buktikan bersama?"

"Tak mungkin. Aku tak percaya, sri baginda. Aku tetap menganggapmu bohong. Sebaiknya kau tarik omonganmu itu dan minta maaf!"

"Ha-ha, bocah yang sombong!" raja bertepuk tangan. "Panggil wanita itu, pengawal. Dan suruh ibunda permaisuri datang ke sini!"

Ituchi pucat. Tanpa menunggu pengawal tiba-tiba dia bergerak mendahului, berkata bahwa dialah yang akan mengambil ibunya. Raja harus bertanggung jawab dengan kata-katanya itu, pemuda ini marah bukan main, tak dapat menahan diri. Dan ketika pengawal tertegun tapi tak berapa lama kemudian pemuda itu sudah membawa ibunya maka Cao Cun meronta dan menangis menampar puteranya itu.

"Lepaskan, kau mau apa?"

Ituchi menggigil, menghadap raja, tak menghiraukan kepungan dan bergeraknya pengawal yang bertambah banyak, juga Ramba yang tiba-tiba muncul di belakang. "Sri Baginda," pemuda itu marah sekali. "Sekarang ibuku ada di sini. Kau katakanlah sekali lagi kata-katamu yang menusuk itu. Aku ingin bukti dan jawaban ibuku!"

"Ha-ha, kenapa tidak bertanya langsung? Baiklah, kukatakan sekali lagi bahwa ibumu ini pernah dikawin Cimochu, Ituchi. Dan sebagai bukti marilah tunggu jawaban ibumu, meskipun semua orang di sini juga menjadi saksi!"

Cao Cun tiba-tiba menjerit. Dia tadi tidak diberi tahu apa yang menjadi sebab puteranya itu menyambarnya, Ituchi berkata bahwa raja ingin bertemu dengannya, untuk soal yang amat penting. Sikap yang tentu saja membuat wanita itu ngeri dan takut. Dia ngeri melihat wajah puteranya yang begitu gelap, maklum bahwa sebuah persoalan besar menghantam puteranya itu, tak menduga bahwa yang dipersoalkan adalah hubungannya dengan Cimochu, suami sekaligus bekas anak tirinya, hal yang merupakan aib bagi bangsa Tiongkok tapi bukan untuk bangsa liar itu. Lain lubuk memang lain ikannya.

Maka begitu raja bicara tentang ini dan kiranya persoalan itu adalah persoalan ibu dan anak tiba-tiba Cao Cun hampir pingsan dan menjerit keras, berteriak dan tiba-tiba wanita ini terhuyung. Dada didekap dan jantung pun rasanya seakan ditarik.

Hal yang disembunyi-sembunyikannya dari anaknya tiba-tiba saja dibuka tanpa tedeng aling-aling oleh Cucigawa, raja yang keji ini, yang tahu akan adat istiadat Tiongkok dan kiranya kini mempergunakan itu sebagai panah beracun untuk melukai anaknya, tentu saja wanita itu pucat dan Cao Cun tiba-tiba roboh terguling. Dan ketika wanita itu menangis dan roboh tersedu-sedu maka Ituchi terkejut dan tersentak melihat ini.

"Ibu, kau... kau ada apa?"

"Ha-ha, anak yang bodoh!" Cucigawa tertawa bergelak. "Kau menelanjangi ibumu dengan borok yang memalukan, Ituchi. Kau harus tahu bahwa ibumu terpukul. Hal itu tak dapat dibantahnya, dia malu dan terhina!"

"Hm, betulkan, ibu? Bukankah kata-kata itu bohong?"

Sang ibu tersedu-sedu, tak menjawab.

"Bagaimana, ibu? Bukankah itu tak benar adanya dan raja memfitnah?"

Sang ibu tetap tak menjawab, bahkan mengguguk. Dan ketika Ituchi menggeram dan Cucigawa tertawa aneh maka raja berkata lagi mengejutkan pemuda ini,

"Heh, kau berotak udang, Ituchi. Rupanya tak kau ketahui juga bahwa dua adikmu itu adalah hasil perkawinan ibumu ini dengan mendiang Cimochu. Kenapa kau masih hendak menyakiti hati ibumu dengan jawaban yang sudah jelas? Seluruh rakyat mengetahui itu, Ituchi, tak perlu ditanyakan karena hanya akan menyinggung ibumu...!"

"Dess!" raja tiba-tiba mencelat, kaget berteriak keras karena Ituchi tiba-tiba berkelebat, menghantam dan menampar raja. Omongan yang tajam menusuk-nusuk dan selalu menghunjam dada Ituchi bagai pedang berkarat membuat pemuda itu tak kuat lagi, kemarahan Ituchi menggelegak dan ditamparlah lawannya. Dan ketika Cucigawa terlempar dan raja bergulingan berteriak kaget maka semua orang terkejut dan berseru menyerang Ituchi, melihat pemuda itu mau mengejar dan membunuh raja.

Panglima Horok tiba-tiba membentak dan mau menghantam pemuda itu, memaki. Ramba yang ada di belakang juga tiba-tiba berseru marah melihat rajanya dibanting. Dan ketika semua orang mengeroyok dan bergerak dari mana-mana tiba-tiba Ituchi mengeluarkan pekik menggetarkan dan bergeraklah kedua tangannya menghantam ke sana-sini.

"Berhenti semua! Diam di tempat... des-des-des!" Ituchi membuat kejutan, melempar semua orang dan Panglima Horan sendiri terbanting. Ramba yang ada di belakang juga terpelanting dan berseru kaget. Dan ketika yang lain-lain juga terlempar dan Ituchi berdiri dengan muka merah padam maka pemuda ini tegak bagai singa muda yang haus darah, kelaparan!

"Semua, jangan bergerak, atau aku akan melancarkan pukulan maut!"

Semua gentar. Apa yang telah diperlihatkan pemuda ini dalam segebrakan saja memang mengejutkan. Hanya dengan kedua tangan mendorong ke kiri-kanan tiba-tiba mereka terlempar, roboh tak keruan. Dan ketika pemuda itu membalik dan menghadapi ibunya maka Cao Cun bagai menerima pedang berkarat ditodong puteranya, pertanyaan yang menusuk dan membuat wanita itu hampir histeris....

Istana Hantu Jilid 08

ISTANA HANTU
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

NAMUN Ituchi tertawa. Dia tentu saja tak menghiraukan seruan itu, hatinya terlampau girang dan sudah mengerahkan kepandaiannya. Pemuda ini girang karena ibunya dan raja Cucigawa menyambut, dia tak kenal raja itu tapi dapat dipastikan tentu seorang raja yang baik. Ibunya selama ini berada di situ dan selamat, berarti Cucigawa melindungi ibunya yang lemah dan pemuda ini memiliki gambaran yang baik tentang raja itu.

Dan ketika Ituchi berkelebat mengerahkan ginkang dan sebentar saja dia sudah memasuki perkampungan besar dari suku bangsanya ini maka dimana-mana ternyata menyambut orang-orang tua dan muda, laki-laki dan perempuan.

"Hidup pangeran Ituchi...!"

"Itu dia pangeran!"

"Aih, persis Raja Hu. Gagah dan tampan..!"

Ituchi melambaikan tangan ke sana-sini. Dia mengangguk dan berseri-seri membalas semua seruan itu. Ternyata rakyatnya menyambut dan dia segera dikenal sebagai Ituchi, putera Raja Hu. Wajahnya memang mirip dan tak ada orang yang meragukan hal ini. Memang pemuda itu mirip benar dengan ayahnya.

Dan ketika Ituchi gembira benar karena ternyata dia disambut rakyatnya dengan baik maka pemuda ini berkelebat dan sudah tiba di depan kemah paling besar, melihat seratus pasukan menyambut dan di depan sendiri berdiri seorang laki-laki gagah dengan seorang wanita cantik yang segera mengembangkan kedua lengannya.

"Ituchi! Anakku...!"

Ituchi bergerak. Wanita itu tahu-tahu melompat dan menubruk, Ituchi sendiri segera mengenal ibunya dan memeluk. Dan ketika dua orang itu saling cengkeram dan lupa keadaan sekitar tiba-tiba Ituchi sudah menangis sementara wanita itupun tersedu-sedu, tak dapat menahan gejolak hatinya.

"Aduh, kau, pangeran. Kau benar-benar mirip ayahmu dan pasti kusangka ayahmu kalau tidak mendengar laporan pengawal! Ituchi, ke mana saja kau selama ini? Kenapa tak pernah menengok ibumu? Kau sudah sedemikian besar dan gagah? Aih, aku rindu, anakku. Aku kangen dan selalu menangisi nasibmu!"

Cao Cun, wanita itu bercucuran air mata namun berseri-seri. Anaknya masih hidup dan mereka masih dapat bertemu. Bukan main girangnya wanita itu. Dan ketika Ituchi juga tersedak dan belum dapat bicara baik karena kerongkongan dan lidahnya serasa tercekat maka bisik-bisik dan suara di sana-sini akhirnya menyadarkan dua orang itu.

"Aih, ini Raja Cucigawa, Ituchi. Sri baginda yang memimpin di sini setelah ayahmu tiada!"

Ituchi sadar. Akhirnya diapun melepaskan diri dari pelukan ibunya dan melihat ibunya memberi isyarat. Semua orang memandang mereka dan ibunya tampak berseri-seri. Ituchi sendiri begitu gembira dan tadi melupakan keadaan sekitar. Maklumlah, sepuluh tahun mereka tak berjumpa dan diam-diam Ituchi terharu.

Ibunya tampak kurus meskipun cantik, masih cantik namun wajah itu membayangkan kedukaan besar. Bekas luka-luka batin tak dapat disembunyikan dan Ituchi terharu. Namun ketika ibunya menunjuk dan laki-laki gagah itu sudah memandangnya tersenyum-senyum maka Ituchi melangkah maju dan cepat memberi hormat.

"Sri baginda, maafkan hamba. Hamba lupa memberi hormat!"

"Ha-ha!" laki-laki gagah itu tertawa, keras dan nyaring. "Kau adalah saudaraku, Ituchi. Tak perlu berhamba karena kedudukanmu adalah pangeran. Aku saudara misan mendiang kakakku Cimochu, kita keluarga besar dan bangunlah!"

Ituchi gembira. Ternyata Cucigawa bukan seorang raja sombong dan dia berseri-seri. Inilah raja yang baik dan perlu dijadikan sahabat. Dan ketika raja mengangguk dan memegang pundaknya maka Cucigawa berkata bahwa dia benar-benar mirip ayahnya.

"Kau benar-benar mirip mendiang Raja Hu. Tak ada yang meragukan ini. Aih, selamat datang, pangeran. Mari masuk dan kita adakan pesta besar!"

Ituchi gembira bukan main. Dia tentu saja mengucap terima kasih, raja membawanya masuk dan segera ibunyapun mengikuti. Dan ketika semua orang bertepuk tangan dan riuh menyambut kedatangannya maka Ituchi benar-benar serasa di surga, begitu gembira hingga tak melihat beberapa pasang mata yang berkerut dan saling pandang, melempar senyum aneh dan satu dua di antaranya mengangguk, memberi isyarat rahasia. Dan ketika semua sudah ke dalam dan di situ ternyata sudah disiapkan makan dan minum maka raja menjamu bagai menjamu seorang kaisar, membuat Ituchi kikuk dan tersipu-sipu.

"Ah, tak apa. Ini memang untukmu, adik pangeran. Kami ingin merayakannya semeriah mungkin!"

"Tapi aku kikuk!"

"Ha-ha, pertama begitu, pangeran. Selanjutnya tentu biasa. Eh...!" raja menoleh. "Mana pemain musik dan para penari? Hayo, keluarkan mereka, panglimaku. Suruh ke sini menghibur Ituchi!"

Ituchi semakin tersipu-sipu. Sikap raja yang demikian ramah dan menyambutnya demikian gembira membuat pemuda ini lengah. Dia tak tahu adanya permainan mata di antara orang-ort tertentu. Rakyat di luar bersorak-sorai dan merekapun rupanya ikut-ikutan membuat pesta, di luar, tak kalah meriah dan ramai dengan yang di dalam. Dan ketika penabuh musik dan para penari muncul di panggung maka Cucigawa memerintahkan mereka untuk menyuguhkan kebolehan mereka.

"Hayo main sepenuh kemampuan. Tunjukkan kebolehan kalian!"

Para penari dan penyanyi mulai mendendangkan lagu-lagu. Mereka menyanjung dan menyalami Ituchi, dua penari berlenggang-lenggok dengan gaya memikat. Mereka tersenyum-senyum dan melempar kerling ke pemuda ini, Ituchi membalasnya dengan malu-malu, likat. Dan ketika musik serta tarian semakin panas maka Ituchi diminta untuk menemani seorang penari.

"Apa?" pemuda ini terkejut. "Menari di atas panggung? Ah, aku tak bisa, sri baginda. Aku malu!"

"Ha-ha, tarian dan nyanyian ini diadakan untuk menyambut kedatanganmu, Ituchi, jangan kecewakan mereka dan naiklah. Nanti tentu bisa!"

"Tapi aku malu!"

"Ah, semua begitu pertama kalinya, adik pangeran. Tapi tentu lenyap setelah di atas. Majulah, dan naiklah temani Umini itu!" raja mendorong Ituchi, minta agar si pemuda tak menolak dan lain-lain pun mendorong.

Akhirnya Ituchi naik juga dan menari atau menyanyi, sebisanya, serak-serak basah dan ternyata suara pemuda ini bagus. Dan ketika semua tertawa dan Ituchi hilang kikuknya ternyata enak juga bernyanyi atau menari bersama wanita-wanita cantik!

"Ha-ha, bagaimana, adik pangeran? Senang?"

"Hm," Ituchi mengusap keringatnya, setelah duduk lagi. "Senang, sri baginda, dan asyik!"

"Ha-ha, kau senang dengan si Umini itu?"

"Ah, dia memang menyenangkan. Aku senang padanya!"

Raja tertawa bergelak. Omongan Ituchi ini tak ada maksud lain, semata ungkapan senang karena gadis itu dapat membimbingnya di atas panggung, luwes menemani. Ituchi tak memaksudkan lebih dari itu. Dan ketika nyanyian serta tarian diteruskan lagi sementara pesta berlanjut terus maka raja mulai memperkenalkan pembantu-pembantunya, beberapa panglima dan perwira lain, satu per satu diperkenalkan dan tentu saja merupakan orang-orang yang dekat dengan raja ini.

Ituchi mengangguk-angguk dan gembira menyalam mereka, dua di antaranya menarik perhatiannya karena yang pertam adalah Horok panglima gagah yang wajahnya angker sedang yang lain adalah laki-laki muda yang sepantar dengannya, bernama Ramba, tinggi dan gagah dan pemuda itu katanya adalah panglima muda yang mengepalai pasukan Elang, yakin pasukan khusus yang merupakan pasukan terdepan bila ada musuh menyerang.

Jadi, pemuda ini jelas bukan pemuda sembarangan dan Ituchi melihat kilatan matanya yang tajam berpengaruh, getaran atau tanda dari lweekang (tenaga dalam) yang kuat dan tentu saja Ituchi tertarik. Dua orang itu adalah pembantu terdekat Cucigawa, yang mengatur dan menjalankan tugasnya sebagai pengaman, jadi orang-orang yang tentu bukan orang sembarangan dan berkepandaian. Dan ketika pesta selesai dan malam itu baru pemuda ini diperkenankan berdua dengan ibunya maka Cao Cun terisak-isak memeluk putranya ini, gembira namun juga menyembunyikan ketegangan.

"Ituchi, inilah dua adik perempuanmu! Lihatlah mereka, tahukah kau siapa kiranya?"

Ituchi tertegun. Dua orang gadis remaja tiba-tiba muncul bersama ibunya, dua gadis cantik yang masih belia. Masing-masing berumur tujuh belas dan lima belas tahun, cantik manis dengan kulit sedikit kehitaman. Dia tertegun karena tak mengenal, tak tahu bahwa itulah hasil perkawinan ibunya dengan mendiang Cimochu, saudara tirinya karena Cimochu adalah juga putera mendiang Raja Hu dengan seorang isterinya.

Jadi ibunya ini dikawini anak tirinya sendiri karena sudah menjadi peraturan bangsa itu bahwa peninggalan ayah akan diwarisi anak, putera sulung, termasuk isteri dan selir ayahnya sendiri, kalau sang ayah meninggal. Maka begitu ibunya memperkenalkan dua gadis remana ini dan Ituchi bengong maka dia menggeleng dan berkata,

"Aku tak tahu, seingatku tak punya adik! Bagaimana mereka ini bisa kau bilang sebagai adikku, ibu? Dari mana dan bagaimana?"

Cao Cun merah mukanya. "Mereka... mereka dari suamiku yang baru, Ituchi. Dan inilah adik-adikmu!" "Ooh...!" Ituchi tertegun. "Kau menikah lagi, ibu? Mana suamimu?" "Dia... dia meninggal..." wanita ini agak tersendat. "Jangan tanya dia lagi, anakku. Kau sambutlah dan terimalah dua adikmu ini!" Cao Cun segera memperkenalkan nama, yang tua adalah Salini sedang adiknya bernama Nangi, dua-duanya dipeluk Ituchi dan tentu saja pemuda ini girang.

Dia tiba-tiba mempunyai adik, perempuan lagi. Ah, betapa girangnya! Dan karena ayah tirinya sudah meninggal dan Ituchi tak menduga bahwa 'ayah tirinya' itu adalah mendiang Cimochu, saudara tirinya sendiri maka pemuda ini menyambut dan memeluk mereka. Ada rasa hangat dan haru di dalam hati. Sepuluh tahun yang lalu pemuda ini masih berupa kanak-kanak dan tentu saja urusan orang-orang tua tak diketahuinya, apalagi setelah itu dia menghilang dan tak ada di tengah-tengah suku bangsanya.

Maka begitu dia menerima dan menyambut dua adiknya itu tampak ibunya gembira dan sedikit lega, akhirnya menyuruh dua gadis remaja itu mundur. Sang ibu hendak bicara dengan Ituchi, Salini dan Nangi mengangguk. Dan ketika akhirnya mereka benar-benar berdua dan Salini serta Nangi mundur maka Cao Cun menarik napas bertanya tentang nasib puteranya itu, ke mana saja selama ini.

"Maaf, ibu. Sebelum kujawab barangkali kau dapat menceritakan tentang bibi Wan Hoa. Benarkah dia..."

"Benar!" ibunya tiba-tiba tersedu. "Bibimu wafat, Tuchi. Dan itu terjadi tak lama setelah kau pergi. Suaminya, Hek-eng Taihiap tewas, dibunuh orang. Dan kau katanya dibawa Kim-mou-eng! Kenapa Pendekar Rambut Emas itu tak pernah mau membawa dirimu menengok ibunya? Kenapa Kim-mou-eng demikian kejam dan tega memisahkan ibu dan anaknya sepuluh tahun lebih?"

"Apa?" Ituchi mengerutkan kening. "Kim-mou-eng? Aku dibawa Kim-mou-eng....?"

"Benar, begitu kata bibimu, anakku. Dan bibimu akhirnya meninggal setelah melihat kematian suaminya. Ah, terkutuk si pembunuh itu. Bibimu jatuh sakit dan akhirnya merana!"

"Tapi... tapi aku tak dibawa Kim-mou-eng," pemuda ini terbelalak. "Aku dibawa Cam-kong, ibu. Satu dari Enam Iblis Dunia. Dan aku tahu yang membunuh Hek-eng Taihiap adalah kakek iblis ini!"

"Apa? Cam-kong? Kakek iblis itu?"

"Benar, dan kau tahu tentang kakek ini, ibu? Apakah kau mendengar sepak terjangnya?"

"Tentu, dialah dan kawan-kawannya yang berebut Cermin Naga, Ituchi. Aku mendengar gegernya dunia kang-ouw dengan peristiwa Cermin Naga itu. Ah, kau barangkali tak tahu. Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, belasan tahun yang lalu!"

"Tidak, tentang Cermin Naga memang aku tak tahu, ibu. Tapi tentang Cam-kong ini, hm... dia iblis yang keji. Dia memaksaku untuk diambil murid!"

"Apa? Jadi kau diculik?"

"Eh, apakah bibi Wan Hoa tidak bercerita?‖ Ituchi malah tertegun. "Semuanya diketahui bibi Wan Hoa, ibu, paling tidak suaminya, Hek-eng Taihiap!"

"Mereka... mereka tak bercerita..." Cao Cun tiba-tiba pucat. "Mereka tak pernah memberi tahu apa-apa, Ituchi. Mereka bahkan berkata bahwa kau aman di tangan Pendekar Rambut Emas!"

"Tidak, aku tak pernah bertemu Pendekar Rambut Emas, kecuali beberapa hari yang lalu. Aku selama itu disiksa kakek iblis itu dan setiap hari diancam bahaya!"

"Ooh...!" dan Cao Cun yang tiba-tiba sadar dan memaklumi apa yang terjadi tiba-tiba menjerit dan memanggil nama Wan Hoa, tahulah dia apa yang sebenarnya terjadi dan tertusuklah perasaan wanita ini. Sebagai sahabat dan teman dekat Wan Hoa tentu saja Cao Cun tahu akan sikap dan segala gerak-gerik sahabatnya itu, pengorbanan dan cinta kasihnya yang besar hingga mereka melebihi saudara kandung. Cerita Ituchi tiba-tiba membuka mata wanita ini bahwa kiranya selama itu Wan Hoa berbohong, sengaja menyembunyikan keadaan sebenarnya untuk menutupi kecemasan.

Bahwa Wan Hoa telah menghiburnya dengan kata-kata sejuk bahwa puteranya kini aman di tempat Pendekar Rambut Emas, menjadi murid dan dididik pendekar itu, yang sayangnya tak pernah membawa Ituchi menengok dirinya. Hal yang sebenarnya menyakitkan hati wanita ini karena Ituchi adalah puteranya, yang dirindukan dan diharapnya setiap hari. Betapapun rindu seorang ibu tak dapat dicegah.

Ituchi adalah putera satu-satunya, miliknya yang berharga karena pemuda itu adalah putera tunggal, satu-satunya anak lelaki. Tapi begitu Ituchi menceritakan keadaan sebenarnya dan tahulah wanita ini bahwa selama ini kiranya dia 'ditipu' Wan Hoa tiba-tiba Cao Cun mengugguk dan tak dapat ditahan lagi dia menangis tersedu-sedu.

"Aduh, kau... kau bohong, Wan Hoa. Kalau begitu selama ini kau berdusta kepadaku. Ah, dan kau... kau... oh!" Cao Cun tak dapat menahan kepedihannya, mengguguk dan kini tahu penyebab kematian sahabatnya itu, bukan oleh karena kematian suaminya melainkan lebih terutama oleh diculiknya puteranya itu oleh Cam-kong, kakek iblis yang tentu saja tak dapat dihadapi Hek-eng Taihiap. Kakek itu terlampau lihai bagi suami sahabatnya itu, Cao Cun tahu benar akan ini. Maklumlah, jelek-jelek dia pernah berkumpul dengan Pendekar Rambut Emas dan tahu nama-nama besar di dunia kang-ouw, seperti Cam-kong dan kawan-kawannya itu.

Maka ketika dia menyadari ini dan tahu bahwa kematian sahabatnya terutama disebabkan oleh diculiknya Ituchi, yang tak berani dikatakannya dan tentu saja menghimpit batin maka Cao Cun tersedu-sedu dan menangis begitu sedihnya. Baru mengetahui sekarang setelah kejadian itu lewat sepuluh tahun, perasaannya seperti diremas dan tentu saja wanita itu pedih.

Wan Hoa tetap sahabatnya yang baik dan terbaik. Ah, tak ada sahabat yang begitu baik dan mulianya seperti sahabatnya itu, Cao Cun terpukul dan sekaligus terharu bukan main. Tapi ketika puteranya mengerutkan kening dan bertanya kenapa ia seperti itu maka wanita ini menghentikan tangis dan berkata, menahan isak dan sedu-sedan,

"Kau tak tahu, puteraku? Kau tak dapat membaca sepak terjang bibimu itu?"

"Tidak, aku tak paham, ibu. Coba kau jelaskan padaku. Aku tak mengerti."

"Dia mati karena dirimu. Bibimu Wan Hoa digerus perasaan dukanya karena tak dapat menjalankan tugas!"

"Tugas?"

Cao Cun tiba-tiba sadar. Ia terkejut karena keterlepasan bicara itu, memandang kiri kanan dan akhirnya wanita ini terisak. Sekarang ia harus bicara terus terang, tak ada gunanya lagi sembunyi-sembunyi. Puteranya itu sudah besar dan cukup dewasa. Maka ketika puteranya terbelalak dan mengerutkan kening maka wanita ini menghela napas berat, teringat kejadian sepuluh tahun berselang.

"Ya, tugas, Ituchi. Tugas menyelamatkanmu. Waktu itu pengganti ayahmu hendak membunuhmu. Kau dicari dan mau dibunuh. Bibimu mendengar. Dan karena tak ingin kejadian itu menimpa dirimu maka kau dibawanya keluar dari sini dan dibawa ke tempat Kim-mou-eng, begitu rencananya. Tapi Wan Hoa rupanya gagal, tak menceritakan ini dan entah apa yang dialaminya. Rupanya bibimu itu mengalami banyak kesulitan tapi tidak menceritakannya kepadaku!"

"Ah, begitu?" Ituchi teringat. "Bibi Wan Hoa memang ke tempat Kim-mou-eng, ibu, tapi tidak ketemu!"

"Lalu?"

"Lalu kami mencarinya. Bibi berkali-kali diganggu orang jahat dan hampir saja diperkosa!"

"Ah!" ibunya terkejut. "Begitu, Ituchi? Lalu bagaimana?"

"Kami tak dapat menemukan Pendekar Rambut Emas, ibu. Dan ketika suatu hari bibi hendak diperkosa orang jahat tiba-tiba Hek-eng Taihiap muncul!"

"Ah, ceritakan itu. Coba ceritakan!" Cao Cun terbelalak. Tentu saja wanita ini tak mengetahui kesedihan dan penderitaan Wan Hoa, ketika wanita itu mengantar Ituchi dan keluar dari bangsa liar ini, karena Ituchi mau dibunuh (baca: Sepasang Cermin Naga). Dan ketika Ituchi menceritakan itu dan betapa pemuda ini teringat suka-duka perjalanannya bersama sang bibi maka Cao Cun menangis dan berlinang-linang air mata, akhirnya tersedu.

"Benar dugaanku. Benar sekarang. Kiranya bibimu berbohong untuk menenangkan aku. Ah, bibimu Wan Hoa seorang mulia, puteraku. Aku jadi tersayat-sayat mendengar ini. Kematiannya disebabkan oleh itu tapi dia tak mau menceritakannya, sampai napasnya yang terakhir!" wanita ini tak dapat menahan perihnya hati, mengugguk dan akhirnya menubruk puteranya itu. Dan ketika Ituchi tertegun dan mengerti ini tiba-tiba pemuda itupun tak dapat menahan haru dan menangis.

"Ah, bibi Wan Hoa benar-benar mulia, ibu. Kita berhutang budi!" "Bukan hanya budi, nyawapun kita berhutang, Ituchi. Ah, diapun berkali-kali menyelamatkan nyawaku!" Cao Cun mengguguk, tentu saja terpukul dan baru sekarang dia tahu. Kesetiaan dan kemuliaan sahabatnya itu ternyata tak tanggung-tanggung, demikian besar dan bertumpuk! Dan ketika mereka bertangisan dan Ituchi mengiggil dengan air mata bercucuran akhirnya tengah malam itu mereka tak henti-hentinya menyebut nama Wan Hoa.

"Dia sungguh wanita besar, sahabat yang agung!"

"Benar, dan besok kita ke makamnya, ibu. Aku ingin sembahyang!"

"Benar, besok kita sembahyang, Ituchi. Kita siapkan sajian khusus untuk arwah bibimu!"

Pemuda ini termangu-mangu. Setelah kejadian sepuluh tahun lewat diketahui dan dikumpulkan maka terharu dan kagumlah pemuda ini akan kesetiaan dan keluhuran budi bibinya itu. Wan Hoa sahabat sejati dan jarang ada wanita seperti itu. Nyawa pun dikorbankan dan kehormatanpun hampir-hampir saja ikut lepas. Semuanya itu demi dirinya, karena ibunya dan persahabatan yang sudah luar biasa baiknya.

Ituchi tertegun dan kagum bukan main. Wan Hoa memang hebat, wanita yang hebat. Namun ketika percakapan beralih dan ibunya bertanya ke mana dia kalau begitu dan bagaimana dengan Cam-kong kakek iblis si pembunuh maka Ituchi menghela napas.

"Seseorang menolongku, ibu, dan orang inilah yang menyambung hidupku!"

"Siapa dia?"

"Guruku."

"Gurumu?"

"Ya, guruku, ibu, tapi juga guru semua orang!"

"Heh, bagaimana ini?"

"Hm, betul, ibu. Tapi sayang aku tak dapat menikmati semua pelajarannya. Guruku itu aneh, dia sering bepergian dan meninggalkan aku sendiri!"

"Bagaimana itu? Coba ceritakan, Ituchi, dan siapa gurumu itu. Tentu dia manusia hebat karena dapat mengambilmu dari kakek iblis Cam-kong!"

"Memang, dia hebat, ibu. Tapi, ah... perlukah kuberitahu? Dia tak ingin disebut, ibu. Aku agak tak enak!"

"Hm, aku ibumu, Ituchi. Aku bukan orang lain. Tapi kalau kau tidak percaya kepada ibumu dan menaruh curiga baiklah tak usah diberitahukan. Aku tak memaksa!"

Ituchi jadi tak enak. "Dia kakek dewa Bu-beng Sian-su," katanya perlahan. "Dan untuk ini aku telah melanggar larangannya..."

"Apa? Bu-beng Sian-su?" ibunya terkejut. "Kakek maha sakti itu?"

"Sst, jangan keras-keras, ibu. Memang benar, dialah...!"

"Ah, kalau begitu kau beruntung, anakku. Pendekar Rambut Emas juga murid kakek dewa itu!"

"Hm, ini lain. Aku tak diangkatnya sebagai murid penuh, ibu. Sian-su hanya memberiku sebuah ilmu yang baru kukuasai setelah sepuluh tahun! Kepandaian kakek itu hebat, terlampau banyak dan sukar semuanya. Otakku bebal dan sayang sekali aku hanya mendapat sebuah ilmunya itu saja, apalagi guruku itu juga sering bepergian!"

Cao Cun terbelalak. Wanita ini tampak tertegun tapi berseri-seri. Kiranya puteranya diselamatkan Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu. Pantas saja, Cam-kong tak dapat mempertahankan. Dan ketika puteranya tampak menunduk karena menyesal hanya mendapat sebuah ilmu saja maka ibu yang bijaksana ini memeluk bahu puteranya, menghibur,

"Anakku, tak perlu menyesal. Meskipun hanya sebuah ilmu saja tapi kalau dari Bu-beng Sian-su tetaplah hebat! Kau beruntung, tentu sudah dapat menjaga dirimu dan ibumu!"

"Hm, tak sepenuhnya begitu," Ituchi teringat kekalahannya dengan Soat Eng. "Meskipun hebat tapi aku tetap bodoh juga, ibu. Baru saja aku kalah oleh seseorang dan menjadi tawanan."

"He?"

"Benar, ibu. Aku baru saja dikalahkan seseorang, seorang gadis lagi, gagah dan cantik!"

"Siapa dia?"

"Soat Eng, Kim Soat Eng!"

"She Kim? Kalau begitu..."

"Benar, ibu, dia puteri Pendekar Rambut Emas."

"Ah, kalau begitu tak usah penasaran. Pendekar Rambut Emas dan keluarganya memang hebat!" sang ibu tiba-tiba berseri-seri. "Bagaimana terjadinya hal itu, Ituchi? Dan kenapa berkelahi?"

"Aku menghajar rombongan perampok, datang gadis itu dan kami lalu bertanding," Ituchi lalu menceritakan asal-mulanya, didengarkan sang ibu dan Cao Cun berkerut-kerut. Tapi ketika sang putera selesai bercerita dan dia bertanya kenapa datang-datang puteri Pendekar Rambut Emas itu menyerang puteranya maka Ituchi menghela napas. "Aku dikira pencuri, Cermin Naga hilang."

"Apa?"

"Benar, ibu. Aku dikira pencuri Cermin Naga. Dua kakak beradik itu mencari pencurinya dan kebetulan ciri-ciri pencuri itu persis diriku."

"Maksudmu?"

"Katanya tinggi besar dan gagah, berkulit kehitaman!"

"Hm!" sang ibu membelalakkan mata. "Kalau begitu bukan orang Han, anakku. Itu ciri-ciri suku bangsa kita!"

"Adakah yang mampu melakukan itu?"

"Kukira tidak, tapi... hm, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah itu milik Hu-taihiap?"

"Maaf, aku lupa memberitahumu, ibu. Hu-taihiap telah meninggal."

"Apa?"

"Benar, ibu, tewas. Hu-taihiap dibunuh See-ong. Aku juga baru mengetahui itu setelah mereka bertemu ayah ibunya!"

"Maksudmu...."

"Ya, aku bertemu Kim-mou-eng, ibu, dan isterinya. Ah, mereka merupakan suami isteri yang hebat sekali!"

"Bagaimana keadaan Kim-mou-eng? Masih gagah dan tampan?"

"Hm, masih tampan, ibu, tapi sudah mulai berumur. Betapapun aku kagum kepadanya. Pendekar Rambut Emas itu berwatak jujur dan ksatria. Puterinya sendiri dihajar!"

Ituchi lalu menceritakan pertemuannya dengan Pendekar Rambut Emas itu, betapa Soat Eng mendapat hukuman dari ayahnya karena menangkapnya, menyiksa dan menyuruh dia mengaku padahal bukan dia pencurinya. Dan ketika satu demi satu diceritakan semua dan sang ibu tampak terbelalak tapi berlinang-linang maka Ituchi mengakhiri,

"Kim-mou-eng titip salam untukmu, begitu juga dari isterinya. Aku mengucap terima kasih dan sayang aku tak dapat bersama mereka lebih lama."

"Ah," wanita ini terisak. "Kau benar, Ituchi. Terima kasih. Hm, omong-omong bagaimana dengan gadis bernama Soat Eng itu? Cantikkah dia?"

"Cantik, ibu, dan gagah!"

"Dan kau sudah punya pacar?"

"Belum! Eh.., apa maksudmu dengan pertanyaan ini, ibu? Kau mau apa?"

"Hm, aku punya gagasan, anakku. Aku tiba-tiba ingin menjodohkan dirimu dengan gadis itu, menjadi mantu Pendekar Rambut Emas! Maukah kau?"

Ituchi tertegun. Pertanyaan ibunya yang sudah beralih ke masalah perjodohan mendadak membuat muka pemuda tinggi besar ini panas. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah terbayanglah wajah cantik itu, gagah tapi juga galak. Dia tertegun tapi juga 'ngeri'. Dan ketika ibunya bertanya kembali dan maukah dia dijodohkan tiba-tiba pemuda ini malu-malu dan jengah, tersipu.

"Ibu, urusan itu sebaiknya dibicarakan belakangan saja. Aku belum dapat menjawab."

"Tapi kau suka tidak?"

"Hm, suka bagaimana? Cinta?"

"Ya, apa saja namanya, anakku. Suka atau cinta!"

"Aku belum tahu..."

"Eh, masa?" sang ibu tak percaya. "Kau sudah cukup dewasa, anakku. Kau tak perlu pura-pura di depan ibumu. Nanti ibumu yang melamar!"

"Hm," Ituchi semburat. "Masalah suka tentu saja aku suka, ibu. Mana ada pemuda tak suka gadis cantik? Tapi dia galak, aku takut...!"

"Hi-hik!" ibunya ketawa. "Kalau begitu niatku dapat diteruskan, Ituchi. Besok kukirim orang untuk ke tempat Pendekar Rambut Emas!"

"Jangan! Tidak..!" Ituchi terkejut. "Aku belum mau, ibu. Hal ini tak boleh tergesa-gesa dilakukan. Kita tak tahu apakah gadis itu sudah mempunyai kekasih atau belum. Kalau sudah tentu hilang mukaku nanti! Tidak, jangan, ibu. Biarlah hal ini kulakukan sendiri secara diam-diam!" dan ketika sang ibu tampak tertegun dan dapat menerima itu maka ibunya mengangguk dan menghela napas.

"Hm, baiklah. Kau benar-benar sudah cukup dewasa, puteraku. Kalau begitu masalah itu biarlah kuserahkan padamu sendiri." Sang ibu lalu mengajak bercakap-cakap yang lain, hampir semalam suntuk namun akhirnya menjelang pagi mereka beristirahat juga.

Dan ketika sehari dua pemuda ini berkumpul dengan ibunya dan mendapat kenyataan betapa rakyat menyambutnya dengan gembira maka Ituchi merasa kerasan dan seolah tinggal di rumah sendiri, tak menganggap itu tempat asing baginya dan raja Cucigawa serta yang lain-lain juga tampak ramah dan baik. Tapi ketika seminggu kemudian pemuda ini tinggal lebih lama dan rakyatnya hampir semua mengenal tiba-tiba saja sebuah gangguan muncul.

Malam itu, setelah delapan hari tenang-tenang saja tiba-tiba Ituchi mendengar jerit di kamar adiknya. Kebetulan pemuda ini tinggal tak berjauhan dan jerit itu menggugahnya dari tidur. Hampir lelap dia ketika jerit itu melengking. Dan ketika suara gedobrakan dan gaduh mengiringi semuanya itu tiba-tiba adiknya berteriak-teriak minta tolong.

"Aduh, jahanam keparat. Lepaskan aku. Tolongg..!"

Ituchi berkelebat. Mendengar teriakan adiknya yang dikenal sebagai Salini tiba-tiba pemuda ini bergerak cepat. Pintu jendela dibuka lebar dan langsung berjungkir balik, melompat keluar dan Ituchi sudah menuju ke asal suara. Dan ketika ia melihat sebuah bayangan berkelebat dari kamar adiknya maka benar saja Salini meronta-ronta di pelukan seorang laki-laki, yang memondongnya dan membawanya keluar.

"Berhenti! Lepaskan adikku...!"

Bayangan itu terkejut. Ituchi telah berjungkir balik di depannya dan langsung mengadang, dia dicegat dan tentu saja tak dapat lari. Pemuda itu telah meminta adiknya dan dia disuruh menyerahkan. Tapi ketika Ituchi membentak dan anehnya tak ada pengawal atau pasukan yang berjaga, padahal itu termasuk kompleks raja maka laki-laki ini mendengus dan tiba-tiba dia menyerang Ituchi dengan satu hantaman ke wajah.

"Plak!" Ituchi menangkis, tentu saja marah dan pemuda ini mengerahkan tenaganya. Dan ketika laki-laki itu terpental dan berseru kaget maka Ituchi berkelebat merampas adiknya, menotok dengan dua jarinya dan lawan terkejut, menendang namun Ituchi menggertak saja. Pemuda ini menarik totokannya dan tangan yang lain bergerak. Dan ketika lawan menjerit karena tengkuk terkena sebuah tamparan maka Salini terlempar dan sudah disambar pemuda ini.

"Kau kembalilah, panggil penjaga!"

Salini tersedu-sedu. Dia berkata bahwa adiknya di dalam kamar juga diganggu, seorang laki-laki lain mendekap dan mau membawa lari adiknya. Nangi disumpal dan hanya dialah yang dapat berteriak-teriak. Dan ketika benar saja dari jendela kamar berkelebat sesosok bayangan lain dan Nangi, gadis remaja itu meronta-ronta ah-uh-ah-uh maka Ituchi kaget dan membentak.

"Terkutuk! Kalian rupanya berkomplot...!" pemuda itu berkelebat, menarik Salini dan pemuda ini membentak bayangan itu. Sekali bergerak tahu-tahu dia telah melayang di depan bayangan kedua ini, menampar tapi bayangan itu terkejut.

Dan ketika ia menangkis namun terjungkal oleh tamparan Ituchi maka barulah ribut-ribut itu didengar penjaga dan Ituchi sudah berkelebatan menghajar bayangan ini, menjerit dan terlempar oleh pukulan atau tendangannya dan si bayangan pertama membentak maju, mencabut senjata dan dikeroyoklah Ituchi oleh dua orang lawannya.

Tapi ketika Ituchi berani menangkis dengan tangan telanjang dan golok di tangan bayangan pertama terpental bertemu tangan pemuda ini maka dua orang itu terkejut sementara pengawal atau penjaga berdatangan dengan tombak atau pedang.

"Tangkap! Tangkap mereka ini. Mereka mau menculik kami berdua!"

Salini berteriak, menuding-nuding namun penjaga sudah melihat pertandingan Ituchi. Pemuda itu menghajar dan membuat dua lawannya jatuh bangun, nyata Ituchi lebih kuat. Dan ketika bayangan satunya mengeluh dan bersuit nyaring tiba-tiba dia meloncat dan melarikan diri dalam gelap.

"Kejar...! Kejar mereka itu. Tangkap!"

Namun penjaga malah bengong. Mereka mendengar bentakan dan geraman si bayangan, yang kedua sudah menyusul yang pertama dan mereka melarikan diri. Salini berteriak-teriak sementara Ituchi membuka sumbatan Nangi, adiknya termuda, mengharap penjaga meneruskan pekerjaannya tapi mereka malah menjublak. Bentakan atau geraman bayangan itu rupanya membuat penjaga terkejut. Dan ketika mereka menghilang dan Salini membanting-banting kaki maka gadis itu menubruk kakaknya dengan penuh kecewa.

"Kanda Ituchi, para penjahat itu lari. Mereka tak dapat dibekuk!"

"Hm, sudahlah," Ituchi mengusap keringatnya. "Biar kukejar, Salini. Kau di sini dan akan kutangkap mereka!"

Namun sebuah suara tiba-tiba mencegah. Horok, panglima berwajah angker itu muncul. Panglima ini melompat dan mengibaskan lengannya, suaranya berat memerintahkan penjaga pergi, mencari bayangan itu. Dan ketika semua berlompatan dan tinggallah panglima itu dengan Salini dan kakaknya maka mereka ditanya apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Kami mau diperkosa, diculik. Dua laki-laki tak dikenal mau menggagahi kami...!" Salini menangis, menceritakan pada panglima itu dan Horok mengerutkan kening. Salini dipandang lalu beralih pada Nangi, gadis yang lebih muda. Dan ketika gadis itu juga mengangguk dan menceritakan bahwa cerita kakaknya benar maka panglima ini mengangguk-angguk dan berkata,

"Baiklah, kalian kembali ke kamar masing-masing, Salini. Biar aku dan Ituchi mengejar keluar. Pergilah!"

Salini takut. Ternyata gadis ini tak mau, meminta agar kakaknya mengantar dan kebetulan sekali ibu mereka keluar. Cao Cun mendengar ribut-ribut itu dan tentu saja wanita ini terperanjat, anak-anaknya mau diculik. Dan ketika dengan bergegas wanita itu berlari mendapatkan anak-anaknya dan lega melihat dua puterinya tak apa-apa maka Salini dan adiknya sudah menangis menubruk ibu mereka.

"Kami mau diculik, diperkosa! Ah, kami takut, ibu. Kami takut. Untung ada kanda Ituchi!"

"Benar, dua penjahat memasuki kamar kami, ibu. Hampir saja kami digagahi!"

Sang ibu pucat. "Siapa mereka?"

"Tak kami ketahuui, kabur!"

"Apakah tak dapat dilihat wajahnya?"

"Mereka mengenakan saputangan hitam, ibu. Mereka menyembunyikan muka!"

"Sudahlah," Ituchi memotong. "Sekarang ada ibu di sini, Salini. Biar aku dan panglima mengejar!" Ituchi berkata, agak terburu karena dia khawatir dua penjahat itu lari jauh. Kalau terlalu banyak bercakap-cakap dan mereka membuang-buang waktu tentu penjahat tak dapat ditangkap. Maka begitu ibunya muncul dan Ituchi girang pemuda ini sudah menyerahkan dua adiknya, minta agar ibunya menjaga dan Horok mengangguk.

Panglima itu juga berkata demikian dan Ituchi berkelebat menyusul. Dan ketika pemuda itu mengejar dan sudah mendahului panglima Horok maka panglima itu terkejut dan menyusulnya. "Hei, tunggu, pangeran. Kita ke sini!"

Ituchi memutar. Horok ternyata membawanya ke timur, panglima itu mengajaknya ke situ karena katanya akan memotong jalan. Dan ketika Ituchi bergerak dan mengerahkan kepandaiannya maka laki-laki ini terkejut mengimbangi, coba mendahului tapi selalu gagal. Ituchi diminta perlahan sedikit karena panglima itulah yang hendak menjadi petunjuk jalan. Ituchi sebenarnya tak sabar namun menurut juga. Dan ketika mereka berbelok-belok dan akhirnya menuju ke sebuah hutan lebat maka panglima itu tiba-tiba lenyap dan Ituchi kebingungan, tak mendapatkan buruannya.

"Hei, di mana kau, paman? Di mana kau?"

Beberapa bayangan tiba-tiba berkelebat. Sebagai gantinya muncul belasan orang yang membentak pemuda ini. Ituchi terkejut karena suaranya justeru menjadi petunjuk bagi lawan di mana dia berada. Dan ketika kilauan golok berkelebatan di bawah sinar bulan maka belasan orang yang tanpa banyak cakap telah menyerangnya ini membuat pemuda itu gusar.

"Hei, siapa kalian. Berhenti!"

Namun orang-orang itu mendengus. Mereka terus menyerang dan apa boleh buat Ituchi menangkis, dia mau menjatuhkan tangan keras namun masih tak tega. Akibatnya golok dan pedang ditangkisnya patah-patah, seperti dulu dia mematahkan golok atau pedang para perampok, ketika mau bertemu Soat Eng. Dan ketika orang-orang itu terpekik karena senjata mereka mencelat dari tangan maka pemimpinnya yang bersenjatakan trisula kecil berseru lagi agar mereka menyerang, mencabut senjata baru.

Akibatnya Ituchi geram dan mementalkan lagi senjata-senjata lawan, sang pemimpin mulai diincar dan pemuda ini tentu saja penasaran. Dan ketika trisula itu menyambar dan Ituchi merasakan tenaga yang kuat maka dia membentak dan menangis senjata itu.

"Plak!"

Senjata itu terlepas. Laki-laki itu berseru tertahan dan jelas dia kaget, matanya membelalak namun anak buahnya sudah maju membantu. Saat itu Ituchi mau menangkap lawannya ini dan menyambar, tak jadi karena belasan senjata lagi-lagi menyerangnya dari segala penjuru. Dan ketika pemuda itu mengelak dan menangkis dengan marah maka semua senjata dibuatnya patah-patah.

"Plak-cirng-cringg!"

Belasan orang itu terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi mereka berteriak, Ituchi ternyata hebat namun pemuda itu masih bersikap lunak juga, menendang dan menampar mereka dan berpelantinganlah orang-orang itu. Tapi ketika Ituchi membalik dan mau menangkap si pemimpin ternyata orang itu sudah menghilang dan memberi isyarat untuk mundur, dengan suitan panjang.

"Wut-wut-wut!"

Ituchi mendapat serangan gelap. Ketika dia mau mengejar dan menangkap siapa saja ternyata belasan pisau terbang menyambarnya, semua dari belakang dan dapat diduga sebagai serangan si pemimpin, yang entah bersembunyi dan menghilang ke mana. Dan ketika Ituchi memaki dan membentak marah maka pisau-pisau itu dipukulnya runtuh dan tiba-tiba panglima Horok muncul.

"Pangeran, apa yang terjadi? Kau diserang musuh?"

"Eh!" Ituchi mendongkol. "Ke mana saja kau, paman? Kenapa tak menjawab ketika kupanggil-panggil?"

"Maaf, aku di luar hutan, pangeran, melihat bayangan dua orang itu dan tak berani menjawab karena mereka tentu akan terkejut. Sayang karena aku mendengar suara pertempuran di sini maka aku kembali. Apakah pangeran diserang orang-orang jahat? Siapa mereka?"

"Entahlah, pemimpinnya bersenjatakan trisula, paman. Mereka menghilang ketika senjatanya kupatah-patahkan!"

"Aih, kalau begitu tempat ini tidak aman. Sebaiknya kita kembali dan mari bergabung dengan pengawal!"

Ituchi mendongkol. Dua kali dia dibuat penasaran oleh dua kejadian. Pertama orang-orang yang akan menculik dua adiknya itu sedang yang terakhir adalah serangan orang-orang tak dikenal ini, yang semua berkerudung dan sialnya melarikan diri, tak dapat ditangkap. Lawan rupanya lebih mengenal keadaan dibanding dirinya, yang belum mengenal semua medan. Maklumlah, dia belum begitu lama di wilayah ini. Namun ketika Horok mengajaknya pergi dan kembali ke tempat mereka ternyata pengawal juga melapor bahwa orang yang dicari tak berhasil ditemukan.

"Mereka menghilang, entah ke mana. Cepat sekali." "Sudahlah," Ituchi berkata. "Kalian kembali ke tempat masing-masing, pengawal. Aku juga kembali dan penjagaan harap diperketat!"

Malam itu Ituchi muram. Panglima Horok kelihatan menyesal pula namun Ituchi berkata tak apa, biarlah dia lebih berhati-hati untuk hari-hari berikut. Dan ketika pemuda itu kembali ke dalam dan menemui ibu serta dua adiknya maka dua adiknya itu berlarian menyambut.

"Bagaimana, kanda? Tertangkap?"

"Tidak," pemuda ini masygul. "Bahkan aku diserang belasan orang-orang tak dikenal, Salini. Agaknya di luar ada musuh-musuh berbahaya yang tidak menyukai aku."

Dua adiknya terkejut. "Kau diserang? Oleh siapa?"

"Aku tak tahu, Salini. Tapi aku tak takut. Yang kutakuti hanya kalau kalian diganggunya!"

"Hm," sang ibu mengerutkan kening. "Mulai sekarang kalian tidur saja bersamaku, Salini. Dan kakakmu sebaiknya pindah ke kamar yang lebih dekat!"

"Baiklah, ibu. Aku memang masih takut!" dan dua kakak beradik yang terisak itu lalu mundur dan masuk ke kamar ibu mereka.

Cao Cun sendiri keluar dan minta agar puteranya mengikuti. Dan ketika Ituchi mengerutkan kening namun mengikuti ibunya maka Cao Cun menggapai anaknya duduk di sebelahnya. "Aku khawatir jangan-jangan ini perbuatan orang dalam. Kau sebaiknya berhati-hati, Ituchi. Dan bawa saja dua adikmu keluar dari sini!"

"Apa?"

"Benar, aku khawatir, anakku. Jangan-jangan peristiwa seperti dulu akan terulang lagi!"

"Maksud ibu?"

Wanita ini terisak. "Pangeran, bagaimanakah kesan-kesanmu selama di sini? Bagaimana rakyat menyambutmu?"

"Ah, baik, ibu. Aku senang!" Ituchi bersinar matanya, teringat penyambutan rakyatnya dan betapa dia mendapat sambutan hangat. Teringat itu dia berseri-seri karena rakyatnya menyambut baik. Dia benar-benar tidak merasa asing tinggal di situ dan semuanya seperti di rumah sendiri.

Tapi ketika sang ibu mengerutkan kening dan justeru menjadi tak tenang maka ibunya itu berkata, "Nah, itulah. Ini yang ku khawatirkan, pangeran. Jangan-jangan kedatanganmu malah membuat raja Cucigawa curiga. Ia mungkin khawatir, khawatir kalau-kalau..."

"Kalau-kalau apa?" pemuda ini mengerutkan kening. "Aku datang bukan untuk merampas kedudukan, ibu, melainkan semata ingin menengok dan menemuimu!"

Sang ibu tertegun, melihat anaknya ternyata cerdas, dapat menangkap dalam sekali pembicaraan saja. Tapi menggeleng dan menghela napas ibu yang awas pandangan ini memberi tahu, "Hm, itu kau, anakku, pendapatmu. Tapi bagi raja Cucigawa atau orang lain mungkin tidak begitu. Rakyat telah menyambutmu baik, mereka begitu hangat dan penuh simpati kepadaku. Raja jangan-jangan khawatir bahwa kau kelak akan merampas kedudukannya!"

"Ah, tak mungkin! Sri baginda begitu baik kepadaku, ibu, ramah dan suka tertawa-tawa. Aku tak percaya dia mencurigaiku lalu bermaksud membunuh aku!"

"Kau masih kurang pengalaman," sang ibu mengerutkan kening. "Orang yang suka tertawa-tawa belum tentu begitu dalamnya, anakku. Justeru dengan orang yang begini ini kita harus berhati-hati! Ibu sudah cukup pengalaman, cukup merasakan pahit getir hidup. Justeru ibu curiga dengan sikap raja yang begitu baik dan ramah, padahal raja adalah seorang yang keras dan kejam!"

"Ah, kejam?"

"Benar. Kau belum tahu banyak tentang kehidupan di sini, Ituchi. Kau belum mengenal penderitaan rakyatmu. Cucigawa adalah raja yang bertangan besi, tindakannya sewenang-wenang dan suka menangnya sendiri. Rakyat yang begitu gembira menyambutmu kukira karena mengharap kaulah yang akan menggantikan raja itu, seperti mendiang ayahmu dulu!"

Ituchi terkejut.

"Kau tidak percaya, bukan?"

Pemuda ini masih tertegun.

"Lihatlah besok, anakku. Selidiki dan menyelinaplah di tengah-tengah rakyatmu. Raja baru-baru ini membuat kegemparan besar dengan mengenakan tarip pajak yang mencekik!"

"Masa?"

"Hm, aku tak mau banyak bicara, anakku. Sebaiknya kau lihat dan amati semuanya itu. Sebulan yang lalu raja mengharuskan setiap kepala keluarga menyerahkan separoh dari hasil ternaknya untuk upeti!"

"Upeti?"

"Ya, begitu katanya, anakku. Tapi kenyataannya dusta karena harta ternak itu untuk raja sendiri, maksudku sebagian besar untuk sendiri karena sebagian kecil saja yang diberikan kepada kaisar di kota raja!"

Ituchi terkejut. Dia memang belum tahu hubungan antara bangsa liar ini dengan istana, raja Tiongkok. Tak tahu bahwa setiap tahun raja Cucigawa harus memberikan semacam tanda persahabatan kepada kaisar, sebagai imbalannya melindungi dan sewaktu-waktu membantu raja itu bila mendapat serangan dari luar. Maklumlah, kaum nomad (suku pengembara) biasanya suka menyerang suku-suku bangsa lain bila jumlah kelompok mereka besar, mengganggu dan mengancam keamanan bangsa-bangsa lain karena suku nomad itu butuh tanah atau ternak yang lebih banyak, lebih luas.

Mereka bisa merupakan ancaman serius bila suku-suku bangsa tidak memperkuat diri, satu di antaranya adalah raja Cucigawa ini, yang menjalin hubungan dan mendekatkan diri pada pemerintahan di istana, yakni bangsa Tiongkok, di mana sebagai imbalannya tentu saja Cucigawa harus memberikan 'tanda persahabatan', semacam upeti itu. Dan ketika sang ibu menceritakan dan memberi tahu ini maka Ituchi terbelalak dan mengangguk-angguk, baru 'mendusin'.

"Ah, begitu kiranya, ibu? Jadi kaisar di kota raja meminta itu setiap tahun?"

"Ya, sebagai gantinya perlindungan dan bantuan kaisar kepada suku bangsa ini, anakku. Dan Cucigawa lalu membebankan itu pada rakyatnya. Mula-mula memang wajar, masih di batas kemampuan. Tapi setelah raja menyisihkan dan hanya memberi sebagian kecil saja kepada kaisar sementara yang banyak dipakai untuk memperkaya diri sendiri maka ada dua bahaya yang mengancam suku bangsa ini!"

Ituchi tertegun.

"Kau tahu bahaya apa itu?"

"Tidak." "Yang pertama adalah ketidakpuasan kaisar, Ituchi. Dan kedua adalah ketidakpuasan rakyat. Pajak yang 'disunat‘ untuk kepentingan pribadi raja Cucigawa bakal menimbulkan pemberontakan. Perbuatan raja itu tak benar!"

"Begitukah?" Ituchi mulai marah. "Kalau begitu raja perlu ditegur, ibu, disadarkan!"

"Sudah, aku menegurnya secara halus, Ituchi, tapi tak mempan. Raja bahkan marah mendengar omonganku."

"Kalau begitu besok coba kulihat. Kalau benar rakyat menderita tentu aku tak akan tinggal diam!"

"Tapi hati-hati," sang ibu mengerutkan kening, was-was. "Cucigawa memiliki pembantu di mana-mana, Ituchi. Kau harus hati-hati dan jangan gegabah!"

"Aku tahu. Dan aku dapat menjaga diriku, ibu. Tak usah kau khawatir." Dan pembicaraan yang lalu dibuktikan keesokannya oleh pemuda ini. Secara diam-diam dan hati-hati Ituchi pergi menyelidik, masuk ke tengah-tengah suku bangsanya dan bertanya-tanya. Dan ketika benar saja semuanya menjawab seperti kata-kata ibunya maka seorang kakek malah menangis.

"Celaka, kami merasa tertekan, pangeran. Raja terlalu kejam dengan meminta separoh dari hasil ternak kami. Dan celakanya semua itu ternyata sebagian besar dimiliki sendiri. Kami tak puas, tapi juga takut!"

"Takut apa? Bukankah kalian dapat memprotes?"

"Ah, raja memiliki kaki tangan, pangeran, dan mereka orang-orang kuat. Panglima Horok dan Ramba itu orang-orang yang kepandaiannya tinggi, apalagi trisula di tangan Ramba!"

Ituchi tersentak. "Trisula? Ramba bersenjata trisula?" dia teringat kejadian malam lalu, yakni ketika dikeroyok orang-orang bertopeng dan seorang di antaranya bersenjatakan trisula, sang pemimpin yang juga melepas pisau-pisau terbang ke arahnya.

Dan ketika kakek itu mengangguk dan berkata benar maka kakek ini menambahi, "Ya, dan panglima Horok juga lihai, pangeran. Telapak Besi yang dipunyainya sanggup memukul hancur kepala seekor gajah!"

Ituchi tertegun. Pembicaraan singkat dari satu orang ke orang lain akhirnya menambah informasi. Kakek ini membuatnya terbelalak karena Ituchi teringat laki-laki itu, penyerangnya, orang yang bersenjata trisula dan pemuda ini tertegun. Dan ketika segala yang diperlukan dirasa cukup dan keterangan orang-orang itu ternyata benar seperti kata ibunya maka Ituchi marah dan juga heran.

Bagaimana raja yang sudah berkedudukan dan serba cukup masih juga begitu tamak? Kenapa mengambil dan memiliki untuk diri sendiri sebagian besar pajak rakyatnya? Bukankah itu seharusnya untuk kaisar. Dan ketika dia pulang dan kembali menemui ibunya mendadak ibunya menggigil dan mencengkeram lengannya.

"Puteraku, ke mana saja kau ini? Kenapa lama amat? Ibu menunggu-nunggumu, ada sesuatu yang penting!"

Ituchi terkejut. "Soal apa?"

"Soal adikmu, anakku. Cucigawa baru saja mengutus utusan untuk meminta adikmu!"

"Apa? Meminta bagaimana?"

"Ah, tolol kau. Maksudnya melamar, anakku. Minta agar dua adikmu itu menjadi isterinya!"

"Hah?"

"Benar, mereka... ah..." dan dua gadis itu yang tiba-tiba melompat masuk dan menangis tersedu tiba-tiba menubruk ibu mereka dan Nangi mengguguk mencengkeram Ituchi.

"Kanda pangeran, tolong. Kami... ah, kami mau dinikah raja Cucigawa!" gadis cantik ini tersedu-sedu, kakaknya memeluk sang ibu sementara dia sendiri memeluk Ituchi.

Pemuda ini terkejut dan merah mukanya. Maklumlah, itu berita baru baginya. Dia belum melapor hasil penyelidikannya ketika tiba-tiba sang ibu sudah mendahului, kini dua adiknya datang dan mereka sudah tahu itu, muncul dan minta tolong dirinya, menangis. Dan ketika ibunya pucat sementara dua adiknya itu mengguguk dengan air mata bercucuran maka Ituchi tak tahu apa yang harus dikatakan, menganggap itu janggal karena Cucigawa meskipun jauh namun masih ada hubungan keluarga.

"Ibu, bagaimana ini? Masa sri baginda meminta Nangi yang masih belia begini? Apakah dia waras?"

"Itulah, aku khawatir, anakku. Sebaiknya mereka kau bawa dan pergi dari sini!"

"Tidak, sebaiknya kutanya dulu dua adikku ini, ibu. Kalau mereka mau tentu saja tak perlu pergi. Tapi kalau mereka tak mau maka kita harus menolak dan raja akan kuhadapi!"

"Ah, kau tak tahu!" ibunya berseru. "Keinginan raja tak boleh dibantah, anakku. Apa yang diinginkan harus diberikan, atau mereka akan dibunuh karena dianggap menghina raja!"

"Begitu gampang?" Ituchi berseru marah. "Tidak, ada aku di sini, ibu. Kalau raja mau bertingkah dia akan berhadapan dengan aku. Sebaiknya kutanya dulu Salini dan Nangi!"

Dan Ituchi yang sudah membalik menghadapi adiknya lalu bertanya apakah dua adiknya itu mau menerima lamaran Cucigawa, dijawab tidak dan tentu saja dua gadis itu menggeleng kuat-kuat. Mereka menyatakan menolak dan bahkan marah-marah. Cucigawa sudah mempunyai banyak isteri dan raja hanya ingin menikmati daun muda saja. Baik Salini maupun adiknya menolak tegas. Dan ketika itu dirasa cukup dan Ituchi marah maka pemuda ini berkata,

"Baik, kalau ibu tak berani menolak pinangan biarlah aku yang maju. Aku akan menghadap sri baginda dan secara baik-baik menyatakan tolakan ini!"

"Ituchi...!"

Namun pemuda itu sudah berkelebat. Ituchi marah mendengar raja biasa bersikap sewenang-wenang, apa yang diingini harus dituruti, begitu kata ibunya. Maka begitu dia berkelebat dan meninggalkan ibunya pemuda ini sudah memasuki kemah besar di mana raja sedang duduk menikmati arak, masuk dan pengawal tiba-tiba bersiap karena melihat wajah yang keras dari pemuda ini. Betapapun Ituchi datang membawa marah.

Dan ketika raja terkejut melihat pemuda itu berkelebat dan berdiri di depannya maka Cucigawa meletakkan araknya dan bersinar-sinar memandang pemuda ini, masih tak lupa dengan tawanya yang lantang. "Ha-ha, ada apa, adik pangeran? Kau datang ingin menemui aku?"

"Benar," pemuda ini tak menyembunyikan maksudnya. "Aku datang untuk urusan adikku, sri baginda. Mau bicara tentang lamaran paduka!"

"Eih, sudah secepat ini jawabannya? Ha-ha, silakan duduk, adik pangeran. Aku gembira kau datang membawa berita menyenangkan. Mana Salini dan Nangi? Kenapa mereka tak ikut?"

"Hm, terus terang saja kedua adikku tak dapat menerima lamaran ini, sri baginda. Mereka masih terlalu muda dan merasa bodoh! Maaf aku datang tidak membawa berita menyenangkan!"

Raja tiba-tiba tertegun. Muka yang tadi gembira kena pengaruh arak mendadak merah dan melotot. Pengawal rata-rata juga terkejut mendengar tolakan ini. Baru kali ini raja Cucigawa ditolak! Tapi ketika raja dapat menahan dirinya dan tertawa bergelak tiba-tiba raja menyuruh pemuda itu duduk, karena masih juga berdiri.

"Ha-ha, mengejutkan. Kedatanganmu sungguh mengejutkan, adik pangeran. Tapi marilah duduk dan kita minum arak dulu. Bicara tanpa arak selamanya menjemukan. Marilah, mari duduk dan kita nikmati arak!"

Ituchi tertegun. Raja sudah tenang kembali, tidak marah dan mata yang tadi melotot itu kini tampak ramah. Ituchi lega dan dia agak tenang, kemarahannya berangsur lenyap dan diapun duduk, Cucigawa sudah menuangkan arak dan minta agar mereka minum bersama, pemuda ini tak menolak dan meneguk araknya. Dan ketika raja bertanya kenapa lamarannya ditolak maka Ituchi agak berdebar.

"Mereka masih terlampau kecil, juga muda. Lagi pula kita masih sekeluarga baginda. Hal-hal begini membuat mereka tak enak dan takut!"

"Ha-ha, bagaimana pendapatmu, panglimaku?"

"Maaf," Horok, yang sejak tadi waspada mendampingi Cucigawa membungkuk. "Alasan begitu terlampau dibuat-buat, sri baginda. Selir paduka sendiri yang termuda ada yang berusia empat belas tahun!"

"Ha-ha, dan Nangi lima belas. Eh, bagaimana ini, Ituchi? Bukankah alasannya tak masuk akal?"

"Hm!" pemuda itu tak enak. "Urusan ini tak berani aku menanggapinya, sri baginda. Tapi dua adikku benar-benar masih terlalu muda dan hijau. Lagi pula hubungan kekeluargaan itu dapat mengganggu!"

"Eh, jangan begitu. Justeru aku ingin mempererat hubungan ini, Ituchi. Kalau mereka menjadi selirku maka kau semakin dekat denganku!"

"Maaf, mereka belum bersedia, sri baginda. Barangkali paduka dapat mencari lainnya saja. Salini dan Nangi masih terlampau kanak-kanak!"

"Hm," raja tertawa aneh, menenggak araknya. "Kau tak tahu kebiasaan di sini, adik pangeran. Baiklah kumaafkan sikapmu ini karena kau orang baru. Tak apa. Kalau begitu aku merubah niatku. Bagaimana kalau dua adikmu itu kupersembahkan pada kaisar? Apakah ditolak juga?"

Ituchi terkejut. "Apa?"

"Ha-ha, jangan terkejut. Minggu depan kebetulan kami harus memberi upeti kepada raja Tiongkok, Ituchi, demi persahabatan yang selama ini terjalin. Kau tentu tak keberatan bila dua adikmu menjadi persembahan yang paling terhormat!"

"Sri baginda...!"

"Eh, nanti dulu. Jangan berteriak!" raja menggoyang lengan, tertawa. "Tak ada alasan kiranya bagimu setelah ini, Ituchi. Atau kau memang mengada-ada dan sengaja hendak menghina aku! Bangsa di sini adalah bangsa yang patuh, mereka tak pernah membantah apalagi kepada rajanya. Kalau kau menolak dan kembali memberi alasan macam-macam maka kuanggap kau menghina diriku dan hendak mempermainkan!"

Ituchi gemetar. "Sri baginda," katanya tertahan-tahan. "Omongan paduka sungguh tak kumengerti. Hinaan bagaimana yang dapat kulakukan di sini? Bukankah semuanya kukatakan secara jujur dan benar?"

"Hm, kalau jujur dan benar tak ada kata-kata seperti itu, adik pangeran. Masalah keluarga sesungguhnya tak perlu kau sebut-sebut. Ibumu itu juga pernah diambil Cimochu sebagai isteri, padahal Cimochu adalah anak tirinya! Bukankah ini lebih hebat lagi dibanding aku mengambil dua adikmu? Bukankah apa yang kulakukan jauh lebih terhormat daripada apa yang telah dilakukan ibumu itu? Ha-ha, jangan marah, Ituchi. Aku bicara benar dan jujur pula. Kau boleh tanya semua orang!"

"Bohong!" bentakan itu menggeledek, membuat semua orang terkejut. "Kau memfitnah, sri baginda. Kau melepas omongan busuk. Kau... ah!" dan Ituchi yang gemetar tak dapat menahan diri tiba-tiba bangkit dari duduknya dan membanting hancur cawan arak yang diterima dari raja, tentu saja mengejutkan semua orang dan panglima Horok tiba-tiba melompat maju.

Para pengawal juga bergerak cepat dan tahu-tahu mengurung pemuda itu, tombak atau senjata lain tiba-tiba bergerak siap menusuk. Ituchi telah melakukan sesuatu yang berani di hadapan raja, membentak dan mengatakan raja bohong, hal yang belum pernah dilakukan siapapun! Maka begitu Ituchi membanting cawan dan marah besar memandang raja maka raja pun merah mukanya dan melotot memandang pemuda itu.

"Sri Baginda, kau bohong. Kau... kau memfitnah. Tak mungkin hal itu dilakukan ibuku!"

"Hm," raja tertawa mengejek, mata bersinar-sinar. "Kau kurang ajar dan kembali menghinaku, Ituchi. Kau sombong dan tak tahu aturan. Kau kira aku bohong dan memfitnah? Kau kira aku menjual omongan busuk? Bagaimana kalau kita buktikan bersama?"

"Tak mungkin. Aku tak percaya, sri baginda. Aku tetap menganggapmu bohong. Sebaiknya kau tarik omonganmu itu dan minta maaf!"

"Ha-ha, bocah yang sombong!" raja bertepuk tangan. "Panggil wanita itu, pengawal. Dan suruh ibunda permaisuri datang ke sini!"

Ituchi pucat. Tanpa menunggu pengawal tiba-tiba dia bergerak mendahului, berkata bahwa dialah yang akan mengambil ibunya. Raja harus bertanggung jawab dengan kata-katanya itu, pemuda ini marah bukan main, tak dapat menahan diri. Dan ketika pengawal tertegun tapi tak berapa lama kemudian pemuda itu sudah membawa ibunya maka Cao Cun meronta dan menangis menampar puteranya itu.

"Lepaskan, kau mau apa?"

Ituchi menggigil, menghadap raja, tak menghiraukan kepungan dan bergeraknya pengawal yang bertambah banyak, juga Ramba yang tiba-tiba muncul di belakang. "Sri Baginda," pemuda itu marah sekali. "Sekarang ibuku ada di sini. Kau katakanlah sekali lagi kata-katamu yang menusuk itu. Aku ingin bukti dan jawaban ibuku!"

"Ha-ha, kenapa tidak bertanya langsung? Baiklah, kukatakan sekali lagi bahwa ibumu ini pernah dikawin Cimochu, Ituchi. Dan sebagai bukti marilah tunggu jawaban ibumu, meskipun semua orang di sini juga menjadi saksi!"

Cao Cun tiba-tiba menjerit. Dia tadi tidak diberi tahu apa yang menjadi sebab puteranya itu menyambarnya, Ituchi berkata bahwa raja ingin bertemu dengannya, untuk soal yang amat penting. Sikap yang tentu saja membuat wanita itu ngeri dan takut. Dia ngeri melihat wajah puteranya yang begitu gelap, maklum bahwa sebuah persoalan besar menghantam puteranya itu, tak menduga bahwa yang dipersoalkan adalah hubungannya dengan Cimochu, suami sekaligus bekas anak tirinya, hal yang merupakan aib bagi bangsa Tiongkok tapi bukan untuk bangsa liar itu. Lain lubuk memang lain ikannya.

Maka begitu raja bicara tentang ini dan kiranya persoalan itu adalah persoalan ibu dan anak tiba-tiba Cao Cun hampir pingsan dan menjerit keras, berteriak dan tiba-tiba wanita ini terhuyung. Dada didekap dan jantung pun rasanya seakan ditarik.

Hal yang disembunyi-sembunyikannya dari anaknya tiba-tiba saja dibuka tanpa tedeng aling-aling oleh Cucigawa, raja yang keji ini, yang tahu akan adat istiadat Tiongkok dan kiranya kini mempergunakan itu sebagai panah beracun untuk melukai anaknya, tentu saja wanita itu pucat dan Cao Cun tiba-tiba roboh terguling. Dan ketika wanita itu menangis dan roboh tersedu-sedu maka Ituchi terkejut dan tersentak melihat ini.

"Ibu, kau... kau ada apa?"

"Ha-ha, anak yang bodoh!" Cucigawa tertawa bergelak. "Kau menelanjangi ibumu dengan borok yang memalukan, Ituchi. Kau harus tahu bahwa ibumu terpukul. Hal itu tak dapat dibantahnya, dia malu dan terhina!"

"Hm, betulkan, ibu? Bukankah kata-kata itu bohong?"

Sang ibu tersedu-sedu, tak menjawab.

"Bagaimana, ibu? Bukankah itu tak benar adanya dan raja memfitnah?"

Sang ibu tetap tak menjawab, bahkan mengguguk. Dan ketika Ituchi menggeram dan Cucigawa tertawa aneh maka raja berkata lagi mengejutkan pemuda ini,

"Heh, kau berotak udang, Ituchi. Rupanya tak kau ketahui juga bahwa dua adikmu itu adalah hasil perkawinan ibumu ini dengan mendiang Cimochu. Kenapa kau masih hendak menyakiti hati ibumu dengan jawaban yang sudah jelas? Seluruh rakyat mengetahui itu, Ituchi, tak perlu ditanyakan karena hanya akan menyinggung ibumu...!"

"Dess!" raja tiba-tiba mencelat, kaget berteriak keras karena Ituchi tiba-tiba berkelebat, menghantam dan menampar raja. Omongan yang tajam menusuk-nusuk dan selalu menghunjam dada Ituchi bagai pedang berkarat membuat pemuda itu tak kuat lagi, kemarahan Ituchi menggelegak dan ditamparlah lawannya. Dan ketika Cucigawa terlempar dan raja bergulingan berteriak kaget maka semua orang terkejut dan berseru menyerang Ituchi, melihat pemuda itu mau mengejar dan membunuh raja.

Panglima Horok tiba-tiba membentak dan mau menghantam pemuda itu, memaki. Ramba yang ada di belakang juga tiba-tiba berseru marah melihat rajanya dibanting. Dan ketika semua orang mengeroyok dan bergerak dari mana-mana tiba-tiba Ituchi mengeluarkan pekik menggetarkan dan bergeraklah kedua tangannya menghantam ke sana-sini.

"Berhenti semua! Diam di tempat... des-des-des!" Ituchi membuat kejutan, melempar semua orang dan Panglima Horan sendiri terbanting. Ramba yang ada di belakang juga terpelanting dan berseru kaget. Dan ketika yang lain-lain juga terlempar dan Ituchi berdiri dengan muka merah padam maka pemuda ini tegak bagai singa muda yang haus darah, kelaparan!

"Semua, jangan bergerak, atau aku akan melancarkan pukulan maut!"

Semua gentar. Apa yang telah diperlihatkan pemuda ini dalam segebrakan saja memang mengejutkan. Hanya dengan kedua tangan mendorong ke kiri-kanan tiba-tiba mereka terlempar, roboh tak keruan. Dan ketika pemuda itu membalik dan menghadapi ibunya maka Cao Cun bagai menerima pedang berkarat ditodong puteranya, pertanyaan yang menusuk dan membuat wanita itu hampir histeris....