Pedang Medali Naga Jilid 35

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 35
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
KUN HOUW menahan air matanya. Dia lagi-lagi membisu oleh semua kata-kata itu, masih teringat kebencian Kui Hoa yang mebuat dia tertikam. Tapi melihat Pedang Medali Naga diatas tanah, tiba-tiba Kun Houw mencabut pedang ini, dihampiri ayahnya yang mengerutkan alis menepuk pundaknya.

"Apa lagi yang hendak kau lakukan, Houw-ji?"

Kun Houw menggigil. "Menyelesaikan musuh terakhir ayah. Aku... aku hendak memasuki Hwee-seng kok!"

"Kau gila?" Pendekar Gurun Neraka terkejut. "Kau tak boleh melaksanakan niatmu itu. How-ji. Hwee-seng kok amat berbahaya dan beracun bagi orang-orang."

"Tapi Hun Kiat telah memasuki tempat itu, ayah. Aku ingin membunuh pemuda itu untuk membalas kematian ibuku!"

"Hmm..." Pendekar Gurun Neraka sadar, teringat larinya pemuda itu memasuki Lembah Gema Suara. Tapi menggeleng, mencengkeram pundak puteranya pendekar ini menjawab, "Tapi pemuda itu memiliki obat penawar racun, Houw-ji. Aku teringat bahwa dia memiliki Mutiara Naga Sakti (Sin Liong cu). Kau tak boleh masuk kesana!"

Kun Houw tertegun. Dan Ceng Bi serta Pek Hong yang maju memegang lengannya juga tiba-tiba mendesis. "Benar, kau tak boleh masuk kesana. Kun houw. Apa yang dikata ayahmu benar sekali. Sebaiknya kau ikut kami kembali ke Ta-pie-san!"

Tapi Kun Houw menggeleng. Dia merasa tugasnya masih sedikit lagi, dan sementara mereka berkata untuk menarik atau menolak tiba-tiba seorang penunggang kuda muncul mengejutkan mereka.

"Siauhiap, Fan ciangkun menunggu-nunggumu hari ini juga. Kau diminta datang...!"

Kun Houw terkejut. Dia melihat Thio-ciangkun (Kapten Thio) muncul itu tangan kanan atau orang kepercayaan Fan ciangkun yang dulu membantunya diistana, datang berderap dengan kuda mencongklang pesat, berteriak dari jauh dan tampak girang bukan main bertemu Kun Houw ditempat itu. Langsung mendekat dan meloncat turun dari atas kudanya terguling-guling menghampiri Kun Houw. Dan begitu menjatuhkan diri berlutut dengan pakaian kotor dan muka penuh debu segera kapten ini berseru kembali.

"Siau-hiap, Fan-ciangkun minta kehadiranmu hari ini juga. Ada persoalan serius yang ingin dimintakan bantuannya kepadamu!"

Kun Houw terkejut. "Persoalan apa ciangbu?"

"Entahlah, yang jelas persoalan pribadi, siauhiap. Ciangkun minta agar secepatnya kau kekota raja menolong dirinya."

"Hmm!" Kun Houw tertegun, bingung memandang Hwee-seng-kok karena dia enggan meninggalkan tempat itu mengingat Hun Kiat ada disana. Tapi Liong Han yang maju menghampiri dan rupanya tahu apa yang dipikirkan sahabatnya ini tiba-tiba berkata,

"Kun Houw, urusan musuhmu serahkan saja padaku. Aku akan menangkapnya kalau dia keluar."

"Benar!" Han ki dan Han Bu tiba-tiba merasa mendapat kesempatan. "Kami juga dapat menolongmu. Kun Houw. Kami akan menemani saudara Liong Han menjaga mulut lembah ini. Fan Ciangkun rupanya memerlukan bantuanmu, amat mendesak. Kau pergilah!"

Kun Houw terbelalak. Dia melihat tiga pemuda itu telah besatu menyatakau bantuannya. dan Sin Hong serta Bi Lan yang tiba-tiba juga maju ke depan menawarkan diri akhirnya menyatakan sanggup akan menangkap dan menyerahkan Hun Kiat padanya apabila pemuda itu keluar dari dalam lembah, sama-sama bersemangat dan tampak bersatu.

Dan Pendekar Gurun Neraka yang tersenyum, tertawa pahit akhirnya berkata padanya, "Kau pergilah, Hun Kiat tak mungkin lolos dijaga saudara-saudaramu, Kun Houw. Aku percaya pemuda itu tak dapat melarikan diri biarpun kau telah kembali lagi ke mari!"

Kun Houw akhirnya mengangguk. Dia memberi hormat dan siap pergi bersama Thio-ciangbu. tapi Pek Liang Nikouw yang maju mengebutkan jubah tiba-tiba berkata padanya, "Kau masih ingin membawa Pedang Medali Naga, sicu? Kau tak menitipkan saja pedang itu kepada pin-ni?"

Kun Houw heran. "Aku mungkin memerlukannya. su-kouw. Ada apakah dan kenapa harus kutitipkan?"

"Hm, baiklah. Kalau begitu hati-hati, sicu. Pin-ni tak berani banyak bicara kalau kau masih ingin membawa pedang itu. Tapi pesan pin-ni, segera lepaskan pedang itu jika kau ingin selamat!"

Kun Houw tak mengerti. Dia mengangguk dan merasa aneh oleh jawaban Pek Liang Nikouw yang dirasa ganjil ini. Tapi begitu Thio-ciangbu mengajaknya pergi dan pembantu Fan-ciangkun itu tampaknya tergesa-gesa maka Kun Houw tak mengingat lagi kata-kata nikouw ini, memberi hormat dan tiba-tiba berkelebat mendahului kapten itu menuju ke kota raja. Dan begitu Thio-ciangbu terkejut dan mengejar dengan kudanya maka Kun Houw telah "terbang" meninggalkan Hwee-seng-kok menuju ke utara, meninggalkan ayah ibunya dan semua orang yang ada di situ.

Dan Pendekar Gurun Neraka sendiri yang melihat semuanya selesai tak ada yang dikerjakan lalu meninggakan pula tempat itu setelah Pek Liang Nikouw dan Pek-kut Hosiang berpamitan pada mereka pergi entah ke mana, membisikkan sesuatu pada Liong Han yang disambut anggukan serius pemuda yang lihai ini. Dan begitu semua orang pergi kecuali Bi Lan dan kawan-kawannya yang menjaga mulut Hwe-seng-kok, maka lembah itupun sunyi seperti sedia kala.

* * * * * * * *

"Ah, kau datang, Kun Houw?"

Kun Houw tertegun. Dia telah datang hari itu juga di tempat tinggal panglima ini, melihat Fan-ciangkun menyambutnya dengan langkah terseok-seok, tampak gembira tapi pucat. Kurus dan tidak merawat kumis jenggotnya yang tumbuh tidak teratur. Membuat panglima itu tampak tua seperti, kakek-kakek! Dan Kun Houw yang tertegun menjatuhkan diri berlutut lalu mendesah melihat keadaan panglima ini.

"Ya, dan kau benar mengutus Thio-ciangbu untuk memanggilku ke mari, ciangkun?"

"Benar, aku..." panglima ini tiba-tiba menangis. "Aku butuh bantuanmu secepat mungkin, Kun Houw. Aku mengharap bantuanmu membujuk Shi Shih!"

"Ah, ada apa dengan sri paduka selir itu, ciangkun? Apa yang terjadi?" Kun Houw terkejut.

Dan Fan-ciangkun yang menyuruhnya duduk di kursi berhadapan dengan panglima ini lalu melihat panglima itu deras bercucuran air mata. Sejenak tak dapat bicara apa-apa kecuali memejamkan mata menggigit bibir, tampak dilanda duka yang amat hebat. Tapi ketika beberapa saat kemudian Fan-ciangkun berhasil menguasai gejolak rasanya dan panglima ini menggigil membeberkan cerita maka Kun Houw terhenyak tak mampu mengeluarkan suara.

Ternyata Shi Shih menolak cinta panglima itu Artinya, selir itu tak mau diajak membangun rumah tangga bersama meskipun didalam hati ia mencintai panglima itu. Bahkan sebenarnya merupakan kekasih yang cukup banyak berkorban bagi panglima ini. Dan ketika Shi Shih tetap juga menolak sementara Fan-ciangkun menjadi jengkel dan marah tiba-tiba selir ini mengancam untuk bunuh diri kalau panglima itu tetap mengejar-ngejarnya!

"Demikianlah, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, Kun Houw. Tapi teringat diri mu yang dekat dengan kekasihku itu maka kumohon sukalah kau membantu aku. Bujuklah dia dan tanya apa sebabnya dia menolak keinginanku. Kenapa cintaku kandas di tengah jalan padahal dulu kau tahu sendiri betapa kami saling mencintai. Bukankah kau dapat menolongku, Kun Houw?"

Kun Houw tertegun, tak menjawab. Tak mengira bahwa persoalan serius yang dimaksudkan panglima itu adalah persoalan cinta. Persoalan yang bersifat pribadi dan tak seharusnya orang lain ikut bicara! Tapi karena Kun Houw saat itu juga sedang dilanda duka karena hubungannya dengan Kui Hoa berbalik sebagai musuh maka Kun Houw dapat memahami betapa pedih perasaan panglima itu. Betapa hancurnya. Betapa ingin menjerit dan melakukan apa saja demi terwujudnya harapan yang hampa.

Dan Kun Houw yang tertegun melihat panglima itu menyuruh dia untuk membantu persoalan ini tiba-tiba menjadi terharu atas kepercayaan yang diberikan. Betapa panglima itu menaruh harapan padanya karena dialah orang pernah dekat dengan selir itu. Hampir setiap hari bertemu dan bekerja sama ketika mereka masih berjuang di istana Wu. Hubungan yang membuat mereka akrab seperti kakak beradik. Atau mungkin lebih dari itu!

Dan Kun Houw yang mengangguk menggigit bibirnya akhirnya menyanggupkan diri menemui selir ini, mendengarkan keluhan Fan-ciangkun secara lengkap untuk dijadikan bekal membujuk selir itu. Tapi ketika Kun Houw tiba disana dan melihat selir itu menangis tersedu-sedu mendengar apa maksud kedatangannya tiba-tiba Kun Houw dibuat tertegun dan bengong oleh jawaban selir cantik yang tak disangka-sangka ini.

"Kun Houw, kau tahu siapa aku bukan? Kenapa membujukku untuk menikah dengan Fan-ciangkun? Aku baru berkabung untuk kematian suamiku, Kun Houw. Pergi dan katakan pada panglima mu itu bahwa aku tidak dapat menerima cintanya!"

Kun Houw terkejut, "Tapi dulu..."

"Tak perlu membicarakan dulu!" Shi Shih memotong, menangis tersedu-sedu. "Aku telah merobah jalan pikiranku, Kun Houw. Aku tak akan menikah dengan siapapun dan tidak akan menerima cinta siapapun!" dan Shi Shih yang membanting tubuh menangis di pembaringan lalu tak menghiraukan Kun Houw yang terbelalak memandangnya tak segera pergi karena selir itu tak mengusirnya.

Tapi ketika Kun Houw mendesak dan pemuda itu bertanya penasaran kenapa Shi Shih balik haluan, tiba-tiba selir itu bangkit berdiri dan memandang Kun Houw dengan kaki gemetar, menggigil seluruh tubuhnya.

"Kun Houw, tak tahukah kau hati seorang wanita? Tak tahukah kau budi kaisar yang demikian berlimpah kepadaku?"

Kun Houw mengangguk. "Hamba tahu, tapi hamba juga tahu bahwa paduka mencintai Fan ciangkun, paduka selir. Bahwa kalian sama-sama mencinta dan apa yang paduka lakukan terhadap kaisar lama adalah sandiwara belaka untuk berhasilnya perjuangan!"

"Benar, tapi tahukah kau apa hasil bagiku sendiri, Kun Houw? Tahukah kau betapa berdosanya rasa hatiku itu atas kematian kaisar? Aku adalah seorang isteri Kun Houw. Aku adalah seorang wanita yang punya rasa dan jiwa. Aku berdosa atas kematian suamiku itu!"

"Ah..., tapi kaisar adalah musuh kita, paduka selir. Kematiannya memang kita kehendaki karena dia adalah musuh...!"

"Benar, tapi kaisar tidak memusuhi aku. Kun Houw. Kaisar mencintai aku dan tetap mencintai aku meskipun tahu aku mangkianatinya. Dia tidak memusuhi aku dan memaafkan segala perbuatanku karena cintanya!"

"Tapi dia musuh, paduka selir. Dia..."

"Dia musuh bagimu dan bagi orang-orang lain. Kun Houw. Tapi bukan bagiku!" Shi Shih memotong sengit. "Kaisar adalah suami dan yang memberikan segala-galanya bagiku. Aku tak dapat melupakan budi baiknya ini dan ingin setia sebagai istri yang baik!"

Kun Houw tak mengerti. Tapi belum dia mendebat atau bicara apa-apa Shi Shih sudah melanjutkan dengan suara gemetar, "Kun Houw, sampaikan pada Fan-ciangkun bahwa aku terpaksa menolak segala keinginannya. Aku adalah manusia biasa. Aku tak dapat melupakan budi baik kaisar lama yang demikian mencintai aku. Aku menyesal, Kun Houw. Tapi sebagai istri dari suami yang demikian mencintai aku biarlah aku menunjukkan kesetiaanku meskipun terlambat. Aku... aku memang benar mencintai Fan-ciangkun. Tapi budi kaisar yang demikian berlimpah membuat aku berat pada mendiang suamiku, Kun Houw. Katakan, Shi Shih sebagai istri tak ingin mengkhianati suaminya!"

Kun Houw tertegun. "Apa yang hendak kau lakukan, paduka selir?"

Shi Shih merogoh sesuatu, mengeluarkan sepucuk surat. "Sampaikan ini pada panglimamu. Kun Houw. Sampaikan maaf dan penyesalanku yang sebesar-besarnya!"

Kun Houw menerima, membelalakkan mata. "Paduka mau ke mana?"

"Aku tak kemana-mana, Kun Houw. Tapi besok datanglah kau kemari. Antarkan aku ke Tebing Bidadari!"

Kun Houw terkejut. Dia mendapat firasat tak enak yang membuat dia mengerutkan alis, tapi Shi Shih yang melempar lengan menyuruh dia pergi akhirnya membuat Kun Houw menarik napas meninggalkan kamar selir itu, menemui Fan-ciangkun dan menyerahkan surat yang diterimanya itu.

Dan begitu Fan-ciangkun menerima dan membacanya tiba-tiba panglima ini menangis! "Kun Houw, apa saja yang dia katakan padamu?"

"Hm, dia menolak semua keinginanmu, ciangkun. Aku tak berhasil membujuk seperti apa yang kau inginkan."

"Dan dia meninggalkan pesan padamu!"

"Besok menyuruhku datang menghadap, ciangkun. Minta kuantar ke Tebing Bidadari!"

"Untuk apa?"

"Entahlah, aku tak tahu ciangkun. Tapi tempat itu memang biasa dipergunakannya untuk menghibur diri di kala duka."

Panglima ini kembali menangis. Dia melempar surat dan duduk terbanting di atas kursinya, dan Kun Houw yang tertegun memandang panglima ini akhirnya disuruh membaca surat itu.

"Ambillah, lihat betapa agung dan mulianya hati kekasihku itu, Kun Houw. Dia menolak karena ingin bersikap setia sebagai seorang isteri yang baik!"

Kun Houw memungut surat ini. Dia membaca satu-persatu, terharu dan tergetar membaca apa yang ditulis selir itu. Dan begitu selesai membaca isinya tiba-tiba Kun Houw memejamkan mata. Ternyata dengan panjang lebar selir itu menceritakan segalanya pada Fan-ciangkun. Bahwa sebagai warga Yueh dia telah selesai melaksanakan tugas menghancurkan Wu dan mempersembahkan pada negaranya apa yang seharusnya dilakukan seorang anak negara pada tanah air tercinta.

Tapi karena selir itu telah terikat pada kaisar lama yang menjadi suaminya dan dia adalah seorang isteri yang terikat norma-norma susila yang harus patuh dan tunduk pada mendiang suaminya maka saat inilah dia menunjukkan muka yang lain. Artinya, dia sekarang bukan lagi warga negara Yueh melainkan warga negara Wu, karena keterikatannya pada suaminya itu. Dan Shi Shih yang bicara tentang ini dengan panjang lebar diakhir suratnya berkata demikian:

"Kalau hamba adalah isteri dari seorang suami yang demikian baik melimpahkan segalanya termasuk jiwa dan hartanya pada hamba, apakah yang harus hamba lakukan untuk membalas budi ini. Ciangkun? Bukankah hamba adalah hewan bila membalasnya dengan "pengkhianatan" kedua? Tidak, hamba cukup sekali itu saja mengkhianatinya ciangkun, karena keterikatan hamba pada tanah air hamba tercinta Yueh. Tapi kini Yueh telah berhasil memperjuangkan cita-citanya, hamba gembira. Hamba telah menunjukkan bakti hamba pada tanah air tercinta. Urusan itu selesai, bagi paduka, bagi segenap rakyat Yueh dan kaisar baru. Tapi hamba sekarang dituntut bakti ke dua, ciangkun, bakti yang lain yakni bakti seorang isteri terhadap suaminya. Karena itulah hamba menolak cinta paduka meskipun paduka tahu isi hati hamba. Paduka paham sampai di sini? Nah, ampunkan hamba, ciangkun. Shi Shih tak akan melupakan semua budi baik paduka yang telah mengangkat hamba sebagai anak dusun biasa menjadi seorang selir yung begitu berkuasa. Itu adalah kebaikan paduka yang tak dapat hamba lupakan meskipun seribu turunan. Sumpah demi nenek moyang hamba! Tapi hamba terpaksa menolak keinginan paduka, ciangkun. karena alasan-alasan hamba seperti yang telah hamba sebutkan di atas. Paduka mengerti, bukan? Nah, sekali lagi ampunkan hamba, ciangkun. Paduka carilah wanita lain yang lebih pantas dibanding hamba. Hamba akan mengenang paduka di tempat sebagaimana mestinya. Maaf...!"

Kun Houw berhenti. Sampai di sini habislah sudah surat itu di bacanya, terbelalak dan kagum serta mendelong akan isi surat yang hebat luar biasa itu. Merasa betapa gagah dan agungnya selir yang satu ini. Agung dan patriotik. Dan Kun Houw yang melihat Fan-ciangkun mencucurkan air mata penuh haru dan kecewa akhirnya mendengar panglima itu bertanya padanya.

"Bagaimana, adakah wanita yang lebih hebat daripada itu, Kun Houw? Adakah pilihan lain bagiku selain dia?"

Kun Houw tertegun. "Kekasihmu orang luar biasa, ciangkun. Aku tak menemukan wanita demikian hebat seperti paduka selir itu!"

"Ya..., Tapi aku harus menggigit jari, Kun Houw. Aku harus merana setelah sekian tahun menunggu!" Fan-ciangkun menangis, Kembali menutupi mukanya dan mengguguk tak dapat menahan kedukaannya.

Dan Kun Houw yang terharu serta bingung melihat kedukaan panglima ini akhirnya teringat keadaan diri sendiri yang juga tidak kalah jelek dengan panglima itu. Teringat dan terpukul melihat bayangan Kui Hoa. Melihat betapa kekasihnya itu amat beringas dan benci sekali kepadanya. Dan Kun Houw yang memejamkan mata menahan pukulan batin sendiri tiba-tiba tanpa terasa juga menangis seperti yang dilakukan panglima itu. Merasa betapa nyeri dan pedihnya kalau gagal dalam bercinta. Serasa merobek dan membuat jantung berdarah. Rasanya ingin lari dan terbang ke dunia lain. Mungkin mati! Dan Kun Houw yang terisak menggigit bibir tiba-tiba mengguguk dan sudah berangkulan dengan panglima itu.

"Kun Houw, apa yang harus kulakukan?"

"Ciangkun, apa pula yang harus kulakukan!"

Dua laki-laki itu berdekapan? Mereka tiba-tiba merasa demikian dekat satu sama lain, mendapat penghibur dan sejenak terangkat dari beban batin yang demikian berat menindih. Tapi ketika malam tiba dan keduanya sama-sama terpekur hingga keesokan harinya tiba-tiba Kun Houw teringat permintaan selir itu agar dia datang mengantar ke Tebing Bidadari. Kun Houw bergegas. Dia buru-buru menuju kamar Shi Shih dengan perasan tak nyaman, terkejut melihat pintu kamar selir itu terbuka dan tak melihat Shi Shih ditempat itu. Dan Kun houw tersirap oleh bayangan sesuatu tiba-tiba berkelebat keluar.

"Paduka selir...!"

Kun Houw terbang mengerahkan ginkangnya. Dia tersentak dan terkejut oleh bayangan sendiri yang menakutkan tentang selir itu, langsung ke Tebing Bidadari yang terletak diatas bukit, sebuah sungai yang berarus tenang, dalam tapi penuh batu-batu hitam ditengah dan kedua sisinya. Sebentar kemudian tiba disana dan terengah dengan napas memburu. Tapi melihat sosok tubuh wanita duduk dipinggir tebing dan tampak termenung memandang kebawah, tiba-tiba Kun Houw merasa "nyos" dan langsung berkelebat dengan seruan girang.

"Paduka selir..!"

Sosok tubuh wanita itu memutar tubuhnya. Dia benar Shi Shih adanya, selir jelita yang cantik dan anggun itu, tersenyum dan bangkit berdiri menyambut kedatangan Kun Houw. Dan ketika Kun Houw terengah dengan dada naik turun saking khawatirnya oleh bayangan yang tidak-tidak, akhirnya selir ini tertawa kecil, memandangnya dengan sinar mata ganjil.

"Kau terlambat. Kemana saja kau pergi Kun Houw? Kenapa demikian pucat dan tampak ketakutan seperti orang dikejar hantu?"

"Ah..." Kun Houw tergagap, "...hamba... hamba menemani Fan-ciangkun semalam, paduka selir. Hamba berusaha menghibur Fan-ciangkun, tapi tak berhasil!"

"Hmn, dan kalian sama-sama tidak tidur, Kun houw? Kau... menangis?"

Kun Houw tak dapat menahan hatinya lagi. "Hamba tak tahan melihat kedukaan Fan-ciangkun, paduka selir. Tapi hamba juga tak kuat melihat keagungan paduka!"

Shi Shih memejamkan mata. Selir ini tampak berusaha mengendalikan semua perasaannya yang bergolak, terisak dan meneteskan dua titik air mata yang membasahi pipinya, menggigil sejenak, tampak gemetar. Tapi menghapus mengluarkan sapu tangannya tiba-tiba selir ini berkata lirih. "Kun Houw, jangan sebut-sebut lagi nama itu didepanku. Aku mengajakmu bukan untuk bicara tentang ini...!"

Kun Houw sadar, "Lalu apa maksud paduka mengajak hamba kemari?"

"Berbincang-bincang, Kun Houw. Mencari arti tentang hidup!"

Kun Houw kaget. "Maksud paduka?"

Shi Shih tiba-tiba tersenyum. "Kun Houw, berapa usiamu sekarang?"

Kun Houw tertegun. "Kenapa paduka tanya tentang itu?"

"Hmm, jawablah dulu, Kun Houw. Nanti kau akan tahu."

Kun Houw menelan ludah, tersipu merah. "Hamba menginjak 22 tahun."

"Bagus. dan aku 27 tahun, Kun Houw. Berarti kau lebih muda dariku!" Bagaimana kalau sekarang kau panggil aku enci?"

Kun Houw kaget. "Paduka selir...!"

"Stt...!" Shi Shih merapatkan telunjuk di mulutnya. "Aku bukanlah selir lagi. Kun Houw. Kau tahu bahwa aku adalah orang biasa sekarang. Kenapa menyebutku paduka selir?"

"Tapi.... tapi..." Kun Houw mash geragapan.

"Tak ada tapi, Kun Houw. Kau mau kuanggap sebagai adikku, bukan?"

Kun Houw tertegun.

"Bagaimana, kau menolak?"

Kun Houw gugup.

"Hm, kalau begitu tak perlu kita bercakap-cakap lagi, Kun Houw. Kau pergilah dan biarkan aku sendiri!"

Kun Houw terkejut. Dia melihat selir itu menangis, menutupi mukanya. Dan Kun Houw yang bingung serta gugup tak keruan tiba-tiba maju selangkah berkata gemetar, "Paduka selir, Ah... enci, apa yang kau maui dari semuanya ini? Kenapa kau membuatku gugup dan bingung begini? Sudahlah, jangan menangis. Aku mau menjadi adikmu...!"

Shi Shih tiba-tiba tersenyum. Kun Houw tertegun melihat betapa luar biasa manisnya senyum itu, senyum dari bibir yang memerah basah, senyum yang lembut dan tulus. Senyum yang tampak penuh bahagia dan girang mendengar Kun Houw mau menyebutnya enci! Dan Shi Shih yang membuka matanya memandang Kun Houw tiba-tiba terisak berseru gembira,

"Kun Houw, kau memang pantas menjadi adikku. Kau gagah dan lihai. Kau adalah putera pendekar besar seperti ayahmu yang sakti itu. Aku kagum padanya!"

Kun Houw menelan ludah. "Enci, apa maksudmu sekarang? Kenapa kau menghendaki aku merubah panggilan ini?"

"Hm, tak sukakah kau?"

"Tidak!" Kun Houw terkejut. "Tentu saja tidak! Aku suka dan merasa mendapat kehormatan besar kalau kau menganggapku sebagai adik! Tapi, apa maksudmu, enci? Kenapa demikian ganjil dan aneh sikapmu?"

Shi Shih tertawa. "Aku menghendaki begini agar enak kita bicara, Kun Houw. Dan lagi kitapun sudah cukup akrab. Bukankah bahaya dan segala suka dukanya telah kita alami bersama?"

"Ya..." Kun Houw tertegun, "Tapi aku masih belum mengerti apa yang terkandung dalam hati mu, enci. Aku bingung dan terus terang bodoh jika disuruh mencari jawabnya apa yang hendak kau bicarakan ini!"

Shi Shih tersenyum. "Aku telah mengatakannya tadi, Kun Houw. Bahwa aku ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang arti hidup. Untuk apa kita hidup dan kenapa harus hidup!"

Kun Houw terbelalak. "Maksudmu?"

"Aku ingin mencari jawaban tentang pertanyaan tadi, Kun Houw. Aku penasaran dan ingin menemukan jawabannya yang tepat!"

Kun Houw tiba-tiba tersentak. Dia tiba-tiba teringat akan tujuh kalimat Bu-beng Sian-su yang diberikan kepadanya. Pertanyaan yang persis seperti yang diajukan selir.... eh, encinya ini. Dan Kun Houw yang tertegun bengong tiba-tiba mendesah. "Enci, bagimu apa arti hidup ini? Adakah artinya bagi kita dan adakah nilai yang berharga di sana?"

"Hm, aku justeru hendak bertanya padamu, Kun Houw. Kenapa kau mendahului bertanya padaku?"

"Karena aku menganggap kau lebih pintar, enci. Kau cerdik dan terkenal pandai!"

"Ih, pujian kosong, ya? Kau mengejek aku?"

"Ah, tidak. Aku bersungguh-sungguh, enci. Aku juga ingin tahu karena tiba-tiba aku teringat akan pertanyaan Bu-beng Sian-su!"

Shi Shih terkejut. "Bu-beng Sian-su? Kau bertemu manusia dewa itu?"

Kun Houw mengangguk. "Ya, sepuluh tahun yang lalu, enci. Dan aku mendapat syairnya yang katanya berisi jawaban tentang pertanyaan yang mirip kau ajukan itu. Untuk apa kita hidup!"

Shi Shih tiba-tiba bangkit berdiri, tampak gemetar tapi girang. "Kun Houw, di mana kau bertemu manusia dewa itu? Betulkah dia sakti dan hebat segala-galanya?"

"Benar," Kun Houw mengangguk kagum. "Manusia dewa itu memang hebat, enci. Dan aku telah mendapatkan warisannya berupa menghimpun sinkang ini. Dia memang luar biasa dan patut di juluki manusia dewa. Rupanya benar-benar dewa yang turun ke bumi untuk memberi berkah bagi manusia yang memerlukannya!"

Shi Shih tertegun, Selir ini tiba-tiba memandang Kun Houw dengan mata bercahaya, redup tapi berseri setelah menaruh harapan akan sesuatu. Tapi ketika Kun Houw menggeleng memberi isyarat bahwa manusia dewa itu tak dapat dijumpai kalau tidak atas kehendaknya sendiri seolah Kun Houw tahu apa yang dipikirkan oleh selir ini, tiba-tiba Shi Shih menarik napas dan murung dengan muka kecewa.

"Kun Honw, bagaimana jawab manusia dewa itu? Sudah kau temukankah inti syairnya?"

"Tidak." Kun Houw juga kecewa. "Tapi mungkin kau dapat menemukannya, enci. Boleh kutulis kalau kau suka."

"Kau ingat bunyinya?"

"Sudah kuhapal luar kepala!"

"Hm, cobalah. Aku ingin tahu."

Kun Houw mengangguk. Dia menggurat tujuh kalimat yang diberikan Bu-beng Sian-su kepadanya itu, menulisnya jelas dan terang di depan selir yang menjadi encinya ini. Dan ketika Shi Shih memandang dan membaca tujuh kalimat berupa syair itu tiba-tiba selir cantik ini tertegun,

Berikan canang
pukullah bende
lekatkan benang
di atas mega
jadilah orang
hidup berguna
rautlah itu sepanjang masa!


"Hm, kalimatnya bagus, Kun Houw. Tapi benarkah ini merupakan inti jawaban diri pertanyaan untuk apa manusia hidup?" Shi Shih heran, belum dapat menangkap arti dari sebait syair yang dinilainya indah itu. Indah namun aneh karena katanya menerangkan tentang arti hidup. Hal yang agaknya berlebihan. Namun karena syair itu katanya dari Bu-beng Sian-su dan tak mungkin manusia dewa itu mempermainkan mereka maka Shi Shih memandang Kun Houw.

"Bagaimana, benarkah demikian, Kun Houw?"

Kun Houw mengangguk. "Memang demikian, enci. Aku tak menambah atau menguranginya. Itu asli diri Bu-beng Sian-su sendiri!"

"Hm, dan katanya syair ini merupakan jawaban dari pertanyaan untuk apa manusia hidup?"

"Begitu menurut Sian-su, enci. Dan aku disuruh mencari jawabannya, Katanya jawaban itu sudah ada di dalam syair itu!"

Shi Shih memeras otak. "Aku tak melihat jawabnya, Kun Houw. Tak mungkin kita tahu kalau tak diberi kuncinya. Apakah manusia dewa itu tak memberi petunjuk agar kita dapat melacaknya?"

Kun Houw tiba-tiba teringat. "Benar, kakek itu ada memberi petunjuk! Aku teringat, enci. Ada jalan untuk memecahkan syair itu!"

Shi Shih girang. "Bagaimana?"

Dan Kun Houw lalu berseru, "Kita disuruh lari berbelok-belok (zig-zag) enci. Katanya itulah jalan untuk menemukan rahasia jawaban syair ini!"

Shi Shih tertegun "Berlari? Kau tidak waras, Kun Houw?"

Kun Houw tersenyum menyeringai, tersipu juga. "Tidak, aku bicara apa adanya, enci. Bu-beng Sian-su memang menyuruh kita berlari zig-zag kalau ingin melacak jawabannya. Maksudnya, kita disuruh berlari di atas tujuh kalimat itu!"

"Hm....!" Shi Shih bersinar matanya, tertarik dan ingin menguji coba, bangkit keinginan tahunya mendengar "resep" yang aneh itu. Ganjil dan agaknya belum pernah ada di dunia. Mulai mengotak-atik, mengamati penuh perhatian dan satu demi satu menelusuri tujuh kalimat di depan kakinya itu, membungkuk, tampak demikian penuh antusias untuk mengetahui jawabannya. Tapi bingung tak menemukan jawabannya tiba-tiba selir ini mengeluh.

"Aduh, berat, Kun Houw. Aku tak tahu apa maksudnya dengan kata-kata 'lari' itu. Kalau bukan Bu-beng Sian-su yang memberitahunya tentu kuanggap gila orang yang memberi syair ini."

Kun Houw tersenyum. "Aku juga merasa berat, enci! Kalau kau tak bisa apalagi aku!"

"Ih..!" Shi Shih tertawa kecil. "Kau terlalu memujiku, Kun Houw. Bukankah kau juga cerdas dan memiliki otak cemerlang?"

Kun Houw menggeleng. "Tapi kau lebih cemerlang, enci. Kau sesungguhnya lebih cerdas dan lebih pintar dibanding aku. Aku tidak berolok-olok!"

Shi Shih tersenyum. Ia tak memberi komentar, kembali mengamati tujuh kalimat itu dan membacanya berulang-ulang. Dan ketika ia berjingkrak mengejutkan Kun Houw tiba-tiba selir ini berseru, "Dapat!! Sekarang kudapat sebagian arti dari syair ini, Kun Houw. Aku berhasil menangkap intinya pada baris pertama dan kedua!"

Kun Houw terkejut, tegang hatinya. "Bagaimana, enci?"

"Hi-hik!" Shi Shih tertawa. "Aku menangkap belum semuanya. Kun Houw. Tapi baris pertama dan ke dua itu sudah kumengerti!"

"Ya, bagaimana?"

Shi Shih berseri-seri. "Manusia dewa itu hendak memaksudkan pada kita bahwa ada suatu 'pengumuman' yang harus diketahui, Kun Houw. Bahwa canang dan bende harus dipukul karena adanya 'pengumuman' ini!"

"Pengumuman?" Kun Houw bingung. "Pengumuman apa, enci? Apa yang akan diumumkan?"

"Itulah... Itu yang belum kuketahui, Kun Houw. Tapi aku yakin bahwa baris pertama dan kedua dari syair ini maksudnya adalah pengumuman. Tapi apa yawg hendak diumumkan sampai saat ini aku belum tahu!"

"Hm. " Kun Houw menjadi kecewa. "Kalau begitu percuma, enci. Hal itu menunjukkan kita belum tahu inti sarinya. Dan lagi apa alasanmu bahwa baris pertama dan ke dua berarti pengumuman?"

"Ah," Shi Shih tertawa gembira. "Kau lihat saja bunyi kalimat pertama dan kedua, Kun Houw. Bukankah canang dan bende baru dipukul kalau seseorang ingin memberitahukan sesuatu pada orang lainnya? Dan itu berarti pengumuman. Kun Houw. Bahwa ada sesuatu yang penting yang hendak diberitahukan melalui bende atau canang ini sebagai pembuka kata. Aku yakin, itu tak mungkin salah!"

Kun Houw kagum. Dia mulai menangkap apa yang dikata encinya ini, selir yang cantik dan berotak cemerlang hingga baru beberapa detik saja sudah mulai dapat "mengupas" jawaban dari syair itu. Meskipun baru sekelumit. Dan Kun Houw yang merasa tegang serta gembira, tiba-tiba bertanya memandang syair diatas tanah itu. "Dan yang lain, dapatkah kau menarik kesimpulannya dari lima baris itu enci? Apa kira-kira artinya?"

"Hm..." Shi Shih memeras otaknya, "Aku buntu menghadapi kalimat-kalimat berikutnya Kun Houw. Tapi aku yakin bahwa Bu beng Siansu hendak mencanangkan sesuatu yang penting bagi umat manusia. Dan itu hendak diumumkan lewat "canang" dan "Bende" dibalik syairnya yang gaib ini. Dia sungguh manusia luar biasa. Syairnya mengandung pesan yang berbobot sekali!"

Kun Houw tertegun. Dia sekerang tegang tapi juga kecewa, melihat encinya menyerah dan rupanya tak mampu "menembus" lebih jauh. Terhenti di situ saja. Dan Kun Houw yang melihat encinya juga kecewa tiba-tiba terkejut ketika encinya itu menangis!

"Kun Houw, aku rupanya masih bodoh. Aku tak berhasil menemukan jawab dari inti sajak ini!"

Kun Houw memegang lengannya. "Tapi kau telah berbasil mengupas baris pertama dan kedua itu. enci. Padahal baru beberapa detik saja kau lihat. Ini sudah menunjukkan kecemerlanganmu yang luar biasa!"

"Tidak," Shi Shih menggeleng. "Tak perlu kau menghiburku, Kun Houw. Betapapun aku tak dapat memecahkan syair itu. Aku merasa bodoh, aku bingung..."

Dan Shi Shih yang menangis dilanda kekecewaannya tiba-tiba teringat dan semakin kecewa akan keadaan dirinya yang tidak menyenangkan, tertegun sejenak melihat bayangan Fan-ciangkun yang berkelebat sepintas di seberang tebing, bersembunyi di balik batu karang. Dan Shi Shih yang terkejut melihat bayangan panglima ini tiba-tiba mengguguk dan menangis tersedu-sedu menubruk Kun Houw, teringat semua kisahnya dengan panglima itu.

Betapa dia mencintanya tapi terpaksa menjauh karena dia tak dapat melupakan budi kaisar lama. Pedih dan serasa diremas-remas karena dia tahu betapa hancurnya pula hati panglima itu. Kekasih yang sesungguhnya dia cintai. Dia Shi Shih yang mengguguk di pundak Kun Houw akhirnya menjerit dan merintih teringat nasibnya yang merobek-robek jantung.

"Kun Houw, tak tahukah kau untuk apa kita hidup? Tak tahukah kau untuk apa aku dan kau harus hidup? Jawablah, Kun Houw. Jawablah pertanyaan yang membuat aku penasaran ini. Aku ingin tahu jawabannya...!"

Dan Shi Shih yang memukul-mukul pundak Kun Houw dengan tangis yang tersedu sedu itu akhirnya membuat Kun Houw menggigit bibir dan terenyuh melihat keadaan encinya ini, mencucurkan air mata pula dan iba serta terharu melihat kedukaan encinya. Dan Kun Houw yang gemetar berusaha menghibur akhirnya berkata,

"Sebaiknya kita jawab menurut pendapat kita masing-masing saja, enci. Bukankah kita dapat juga menjawab sesuai pendapat dan jalan pikiran kita masing masing? Barangkali menurut pendapatku kita hidup adalah untuk..."

"Untuk apa, Kun Houw?" Shi Shih menggigil, melepaskan dirinya dari pelukan Kun Houw karena melihat pemuda itu menghentikan kata-katanya.

Dan Kun Houw yang menyeringai menggigit bibir tiba-tiba menjawab, teringat kedukaannya yang juga tidak kalah besar dengan encinya ini! "Untuk menderita!"

Shi Shih tiba-tiba tertegun. Selir ini tampaknya terhenyak, kaget dan pucat melihat jawaban Kun Houw. Tapi karena saat itu jawaban ini tampaknya cocok dengan keadaan dirinya sendiri tiba-tiba selir cantik ini tersenyum dan terkekeh lebar.

"Bagus. Cocok sekali, Kun Houw. Aku sependapat dengan dirimu bahwa kita hidup memang agaknya untuk menderita. Hi-hi...!" dan Shi Shih yang tertawa dengan sikap aneh tiba-tiba meliar matanya ke sana sini, tersanyum memandang Kun Houw dan tiba-tiba mencium kening pemuda itu.

Dan sementara Kun Houw tertegun melihat perobahan encinya yang ganjil tiba tiba Shi Shih terjun melempar dirinya ke bawah tebing, langsung ke sungai yang jauh di dalam dan banyak batu-batunya itu, tak kurang dari seratus meter? Dan Kun Houw yang tentu saja kaget bukan main seperti disambar petir tiba-tiba berteriak keras, menggema di puncak tebing. "Enci...!"

Namun tubuh wanita itu telah meluncur terus ke bawah. Kun Houw melihat kakaknya itu tercebur di permukaan sungai, dahsyat dan keras sekali membuat bulu tengkuknya meremang, mengenai batu dan seketika remuk di sana. Dan sementara Kun Houw terbelalak mematung bagai arca tak bernyawa tiba-tiba teriakan tinggi terdengar pula di seberang tebing,

"Shi Shih...!"

Kun Houw kaget. Dia melihat Fan-ciangkun muncul di sana, melongok dan tiba-tiba meloncat dari bibir tebing meluncur ke bawah, terjun bebas menyusul selir jelita itu. Tapi Kun Houw yang tersirap dan sudah mengeluarkan ikat pinggangnya tiba-tiba membentak dan berjungkir balik menyambar panglima ini.

"Ciangkun, jangan...!"

Kun Houw bergerak luar biasa cepat. Entah kenapa tenaga yang luar biasa mentakjubkan timbul dalam diri pemuda ini, membuat Kun Houw mencelat dan melempar tubuhnya ke seberang tebing di sebelah sana, terbang seolah di sentak tangan raksasa. Timbul dan rasa kaget yang besar serta tiba-tiba, lima kali berjungkir balik di antara dua tebing yang jaraknya tidak kurang dari dua puluh meter, sungguh mengerikan. Dan ikat pinggang yang meledak mengenai pinggang panglima itu tiba-tiba secara tepat membelit dan menggubat tubuh panglima ini, langsung disendal dan dilontarkan kembali ke atas, ke tebing di mana panglima itu tadi berada.

Dan Kun Houw yang membentak mengikuti panglima ini tiba-tiba berseru keras menjejak dinding tebing, sedikit turun tapi kini telah berjungkir balik dua kali lagi sebelum hinggap dengan selamat di tebing di dekat panglima itu, melepas ikat pinggangnya membanting Fan-ciangkun yang bergulingan di tanah berbatu. Dan Fan-ciangkun yang mengeluh menjerit tertahan tahu-tahu pingsan ketika kepalanya terantuk benda keras.

"Dukk!"

Kun Houw menggigil dengan muka pucat. Sekarang dia berdiri terbelalak, ngeri dan kaget sekali melihat semuanya yang terjadi dengan demikian cepat. Melihat panglima itu terjun bebas menyusul kekasihnya yang tewas di kejauhan sana, di bawah tebing, disungai yang berbatu. Hancur dan remuk tulangnya tak mungkin tertolong lagi. Dan Kun Houw yang menangis menggigit bibir tiba-tiba mendengar derap kaki kuda mendatangi tebing itu, menoleh dan melihat Thio-ciangbu muncul di situ. Dan Kun Houw yang terbelalak memandang kapten ini tiba-tiba mendengar laki-laki muda itu berteriak padanya.

"Siauw-hiap..!"

Kun Houw terkesima. Dia masih tercekam oleh semua kejadian itu, masih tertegun. Melihat mayat encinya terbawa arus, perlahan tapi pasti menuju ke hilir, tenang tapi berlumuran darah. Dan Thio-ciangbu yang kini sudah tiba di tempat itu dan meloncat turun dari atas kudanya tiba-tiba juga tertegun dan berseru tertahan melihat apa yang terjadi. Melihat Fan-ciangkun menggeletak pingsan sementara Shi Shih telah menjadi mayat di kejauhan sana, di bawah tebing. Tapi Thio ciangbu yang kembali berteriak memanggil Kun Houw akhirnya menyadarkan pemuda itu, membuat Kun Houw seakan disentak dari alam mimpi yang buruk. Dan Kun Houw yang menggigil dengan air mata bercucuran akhirnya berseru pada kapten muda itu,

"Thio ciangbu, bawa Fan ciangkun ke kota raja. Aku akan mengambil mayat paduka selir...!"

Thio ciangbu mengangguk. Dia masih tertegun tanpa tahu apa yang telah terjadi. Kenapa Fan-ciangkun pingsan dan selir cantik itu tewas di bawah sana. Tapi melihat Kun Houw menuruni tebing dan berkelebat seperti setan memutari tempat itu akhirnya kapten ini membawa Fan-ciangkun keatas kudanya, turun dan membedal kudanya ke kota raja. Dan begitu dua orang itu sama-sama meninggalkan tebing pembawa maut itu maka tempat inipun sunyi seperti sedia kala. Seolah tak ada kejadian apa-apa!

* * * * * * * *

Seminggu kemudian....

"Kun Houw. kau jadi meninggalkan aku?"

Kun Houw terisak. "Terpaksa, ciangkun. Aku ingin kembali ke lembah Hwee-seng-kok untuk melaksanakan tugasku yang terakhir."

"Membunuh bocah she Pouw itu?"

"Ya."

"Kalau begitu aku ikut. Aku ingin mendampingimu!"

Kun Houw terkejut. Saat itu dia telah berada di luar pintu gerbang kota raja, diantar Fan-ciangkun yang masih terhuyung dan pucat mukanya oleh kejadian seminggu yang lalu. Teringat kematian kekasihnya yang bunuh diri di Tebing Bidadari. Seminggu ini tak banyak bicara dan selalu menangis, bengkak matanya. Dan Kun Houw yang terkejut oleh permintaan panglima ini yang berketruk bibirnya tiba-tiba tertegun membelalakkan matanya, tak menjawab.

"Kau keberatan, Kun Houw? Kau tak suka kuikuti?"

"Tidak!" Kun Houw sadar dari rasa terkejutnya, heran memandang panglima ini. "Tapi apa gunanya kau ikut. ciangkun? Bukankah pekerjaan di istana masih menunggumu dan kaisar tak mungkin membiarkanmu pergi?"

"Ah," panglima ini menggigit bibirnya. "Mengurusi pekerjaan tak ada habisnya, Kun Houw. Siapa tak tahu itu? Aku mendapat cuti dari sri baginda. Aku ingin mengikuti dirimu kalau kau suka."

"Untuk apa?"

Panglima ini menggigil. "Untuk melepas dukaku, Kun Houw. Kau tahu bahwa aku...."

Kun Houw cepat memeluk. Dia melihat panglima itu sudah menangis deras dengan air mata bercucuran, menghentikan kata-katanya dan tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya itu. Maklum apa yang hendak dikatakan. Dan Kun Houw yang terharu serta menggigit bibirnya pula menahan air mata yang hendak runtuh, tiba-tiba mendesis mencengkeram pundak panglima itu.

"Sudahlah, aku tahu ciangkun. Aku juga amat berduka oleh kematian kekasihmu, Ingat, ia juga enci angkatku!" dan Kun Houw yang meramkan mata menahan pilu yang menggigit perasaannya tiba-tiba tak kuasa dan ambrol mencucurkan air matanya pula, terisak dan hampir mengguguk berguncang di pundak panglima ini.

Tapi Kun Houw yang ingat bahwa percuma mereka menangis di tempat itu karena Shi Shih tak mungkin hidup kembali akhirnya membawa panglima itu pergi, mengajaknya ke Hwee-seng kok dan sepanjang perjalanan saling membisu. Hampir tak bicara karena masing-masing menekan himpitan duka yang cukup berat, tak mengeluarkan suara kalau tak perlu. Tapi Kun Houw yang teringat sesuatu menahan langkahnya tiba-tiba memandang panglima itu.

"Ciangkun, bolehkah kutanya sesuatu padamu?"

Panglima ini mengangkat mukanya. "Apa yang hendak kau tanyakan, Kun Houw?"

"Sesuatu, hm... sesuatu yang agaknya kau sembunyikan!"

Panglima itu terkejut. "Tentang apa?"

Kun Houw akhirnya berterus terang. "Maaf, aku merasa ada sesuatu yang sedang kau sembunyikan, ciangkun. Yakni tentang perjalanan kita ini. Bahwa kau bukan sekedar untuk melepas dukamu melainkan ada sesuatu yang lain yang tampaknya ingin kau ketahui."

Panglima ini tertegun, menarik napas dan akhirnya mengangguk. "Hm, perasaanmu tajam, Kun Houw. Memang agaknya tak perlu lagi ku sembunyikan itu. Kau telah dapat menangkapnya!"

Kun Houw terbelalak. "Tentang apa, ciangkun?"

"Tentang syair yang kau tulis di Tebing Bidadari itu, Kun Houw. Aku ingin menemui dan mencari Bu-beng Sian-su untuk mendapat jawabanya!"

"Ah!" Kun Houw tertegun. "Kau melihatnya, ciangkun?"

"Ya, beberapa hari yang lalu, Kun Houw, Ketika aku termenung dan melihat tulisanmu itu di sana!"

Kun Houw terkejut. Dia mendelong memandang panglima ini, mengerutkan alis. Tapi menarik napas tersenyum pahit dan membawa panglima ini melanjutkan perjalanan, sudah menceritakan sedikit apa yang diperbincangkan dengan mendiang selir cantik itu. Tak menyangka bahwa, jawabannya justeru membuat Shi Shih bunuh diri, mungkin menganggap tak ada gunanya hidup kalau hidup memang untuk menderita. Dan Kun Houw yang tak bicara lagi membawa panglima itu akhirnya beberapa hari kemudian sudah tiba di lembah Hwee-seng-kok yang tampak menjulang angker itu.

Tapi Kun Houw terkejut. Dia melihat dua gadis cantik berdiri menghadang, gagah sekali. Gagah namun beringas! Dan Kun Houw yang menghentikan langkah memandang tertegun tiba-tiba melihat dua gadis itu, yang bukan lain Kui Lin dan Kui Hoa, berkelebat membentak dengan seruan nyaring,

"Kun Houw, berhenti...!"

Kun Houw sudah berhenti. Dia memang menghentikan langkah begitu melihat dua gadis itu berdiri menghadang, melihat kekasihnya melompat maju dengan mata berapi-api, berkilat penuh kebencian. Dan Kun Houw yang mengeluh melihat kebencian yang terpancar di mata kekasihnya ini tiba-tiba tersentak melihat ujung jari sudah menempel di depan hidungnya!

"Kun Houw, beranikah kau mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu?"

Kun Houw terkejut, melangkah mundur. Dan Fan-ciangkun yang terbelalak memandang ke depan tiba-tiba maju menegur Kui Hoa, "Nona, Kun Houw tak memiliki kesalahan pribadi pada kalian. Pertanggungjawaban apa yang kalian tuntut dari pemuda ini?"

Kui Hoa beringas, membalikkan tubuhnya. "Tak perlu kau banyak cakap. Fan-ciangkun. Kalau kau ingin membantu temanmu cabut saja pedangmu. Aku tak bicara padamu!"

Dan Kui Lin juga berendeng di sebelah kanan encinya, membentak panglima itu, "Tak perlu kau cerewet mencampuri urusan ini, ciangkun. Kalau kau maju tentu kubunuh pula dirimu!"

"Hm," Fan-ciangkun tertawa hambar. "Kun Houw dan aku tak berniat memusuhi kalian nona, apa yang menimpa ayah kalian bukanlah urusan pribadi melainkan urusan kerajaan. Kalian tak berhak menuntut kejadian itu karena semuanya sudah lunas membayar hutang-piutangnya!"

"Keparat!!" Kui Hoa marah. "Kau masih juga membuka mulutmu, panglima tengik? Kau-pun berhutang jiwa kalau begitu. Mampuslah...sing!"

Dan pedang Kui Hoa yang sudah dicabut dan tahu-tahu menusuk tenggorokan panglima itu mendadak menyambar mengejutkan panglima ini, mengelak tapi keserempet juga hingga bajunya robek. Tapi ketika Kui Hoa melengking dan berkelebat menyusuli serangannya tiba-tiba Kun Houw membentak, menangkis serangan ini.

"Kui Hoa, jangan kau bersikap kurang ajar. Lepaskan pedangmu, plak!"

Dan pedang Kui Hoa yang terlempar terlepas dari tangan gadis itu akhirnya disambut keluhan pendek ketika Kui Hoa melompat mundur, terbelalak memandang Kun Houw dengan kemarahan yang membuat dadanya berombak. Tapi ketika Kun Houw berdiri gagah dengan muka pucat dan bibir gemetar akhirnya dua gadis itu tertegun ketika Kun Houw bicara menggigil dengan suara satu demi satu,

"Kui Hoa, saat ini aku masih ingin menyelesaikan urusanku yang terakhir dengan Hun Kiat. Kau minggirlah, biarlah aku menunaikan tugas itu dan kita bicara belakangan setelah pemuda itu kubunuh!"

Kui Hoa saling pandang dengan adiknya. "Kau mau melarikan diri, Kun Houw? Kau mencari alasan agar saudara-saudaramu itu membantumu di sana?"

"Tidak!" Kun Houw merah mukanya. "Aku tak akan meminta bantuan siapapun, Kui Hoa. Aku akan menyelesaikan urusan ini sendiri!"

"Kalau begitu tak perlu kau pergi. Kami telah datang di sini dan ingin menyelesaikan urusan ini sekarang juga. Kau yang membunuh kami atau kami yang akan membunuhmu!" Kui Hoa membentak tampaknya khawatir kalau Kun Houw pergi dan berkumpul dengan saudara saudaranya itu, lima orang pemuda yang sudah dia lihat menjaga Hwee-seng-kok. Dan Kui Lin yang juga mencabut pedang membentak maju berkata pula.

"Benar, tak perlu kau pergi kalau kita sudah berhadapan, Kun Houw. Kami tak ingin melepaskan kesempatan ini dan ingin membatas dendam kematian ayah. Majulah, tak perlu banyak mulut!"

Kun Houw terbelalak. Dia melihat dua gadis itu tak mau mendengar kata-katanya, mencabut pedang dan kini mengurung dengan mata berapi-api. Dan Fan-ciangkun yang marah melihat sikap dua gadis itu tiba-tiba membentak melindungi Kun Houw, "Nona, kalian benar-benar kelewatan. Kun Houw tak mungkin bohong kalau sudah melepas janjinya. Kalian terlalu!"

"Hm," Kui Hoa lagi-lagi menjengek. "Kau mau membantu pemuda itu, ciangkun? Kalau begitu Kun Houw tak menepati kata-katanya sendiri. Dia ternyata masih juga membutuhkan seorang teman!"

Kun Houw marah. "Aku tak membutuhkan teman dalam urusan ini, Kui Hoa. Fan-ciangkun maju sendiri karena melihat kalian memang kelewatan!"

"Kalau begitu suruh panglima itu mundur. Kami ingin melihat kegagahanmu!"

Kun Houw menggigil, Fan-ciangkun tampaknya semakin marah, tapi melihat panglima itu menggeram dan siap menyerang dua orang gadis ini tiba-tiba Kun Houw menahan pundak panglima itu. "Ciangkun, mundurlah. Kui Hoa rupanya sudah dimabok dendam!"

"Tapi mereka tak berhak menuntutmu, Kun Houw. Kematian ayah mereka adalah setimpal dengan dosa-dosa yang diperbuatnya!"

"Sudahlah," Kun Houw mendorong panglima ini. "Aku tak takut menghadapi mereka, ciangkun. Kalau Kui Hoa ingin main-main denganku biarlah dia coba-coba," dan Kun Houw yang maju ke depan memasang kuda-kuda akhirnya berkata pada dua gadis itu, "Kui Hoa, aku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatanku. Kalau kalian ingin menuntut balas majulah!"

Kui Hoa terbelalak. "Cabut pedangmu, Kun Houw. Kami tak mau dikata curang menghadapi lawan yang tidak bersenjata!"

"Tidak," Kun Houw menggeleng. "Aku tak bermaksud membunuh kalian, Kui Hoa. Kalau kalian ingin menyerang aku sebaiknya cepat lakukan hal itu. Aku hanya akan mempertahankan diri, tak balas menyerang."

"Keparat!" Kui Hoa membentak. "Kau sombong, Kun Houw. Kalau itu sudah menjadi keinginanmu jangan menyesal kalau kami berhasil menuntut balas Awas...sing!"

Dan Kui Hoa yang sudah mendahului menyerang menubruk ke depan tiba-tiba melengking menggerakkan pedangnya, pedang yang sudah ia pungut kembali dan kini menyambar dada kiri Kun Houw, cepat dan langsung menusuk dalam jurus Jing-ging toat-beng kiam-sut.

Tapi Kun Houw yang menangkis dan mementalkan pedang itu akhirnya mendapat terjangan Kui Lin yang membentak di belakang encinya, menyusul dengan gerakan cepat membabat leher. Dan ketika Kun Houw menolak dan dua serangan itu luput mengenai angin tiba-tiba Kui Lin dan kakaknya membalik, memutar pedang dan berkelebatan cepat membentak tinggi, bertubi-tubi menyerang dalam bacokan atau tikaman ganas, sebentar kemudian mengelilingi Kun Houw dan ganti-berganti menggerakkan pedangnya, kadang-kadang malah bersamaan. Dan ketika Kun Houw terkejut dan melakukan tamparan tamparan untuk menolak semua serangan itu tiba-tiba Kui Lin dan kakaknya lenyap ketika mereka mengerahkan ginkang menyerbu ke depan.

"Kun Houw, kami akan membunuhmu....!"

Kun Houw terkejut. Dia melihat dua gadis itu bersungguh-sungguh, menambah kecepatan dan keganasan mereka. Tapi Kun Houw yang mengerahkan sinkang melindungi diri akhirnya membuat dua gadis itu terkejut ketika pedang tak mampu melukai Kun Houw, mental bertemu kekebalan yang membuat pemuda itu memiliki tubuh seperti karet, atos tapi kenyal!

Dan ketika Kui Hoa dan adiknya memekik penasaran karena Kun Houw berani menangkis atau mencengkeram pedang mereka dengan jari jari terbuka akhirnya gadis itu berseru pada adiknya, "Lin-moi. serang bagian depan Biar aku yang menyerang bagian belakangnya...!"

Kui Lin mengangguk. Dia tak mengerti maksud encinya itu, menganggapnya biasa saja. Mungkin karena ingin sekedar membingungkan Kun Houw saja. Atau mungkin ada maksud lain yang tak dia mengerti. Tapi karena tujuan mereka adalah membunuh Kun Houw dan menuntut balas kematian ayah mereka maka Kui Lin tak menghiraukan maksud encinya itu. Tak tahu bahwa diam-diam Kui Hoa ingin merampas Pedang Medali Naga, merenggut pedang yang ada di belakang punggung itu. Mempergunakan pedang yang ampuh itu untuk membunuh Kun Houw karena pedang sendiri tak mempan melukai pemuda itu!

Dan Kun Houw yang tentu saja tak mengira jalan pikiran ini tak menyangka seujung rambutpun bahwa Kui Hoa akan melakukan perbuatan itu. Merampas pedangnya. Tapi karena perbuatan itu juga tak gampang dilakukan dan Kui Hoa tak ingin gagal dalam sekali renggut maka pertandingan berjalan seru dan tampak seimbang.

Sebenarnya, dalam pertandingan sesungguhnya Kui Hoa dan adiknya bukanlah lawan Kun Houw. Pemuda ini memiliki kesaktian tinggi setingkat ayahnya. Apalagi medali naga yang telah berhasil dirampasnya dari Mayat Hidup diam-diam telah dipelajari kuncinya untuk menemukan jurus Sin liong-hoan-kiu, jurus terakhir yang selalu membuat kakinya "kecekluk" (keselio) kalau mempergunakan jurus itu. Terbukti dia kalah ketika dulu bertanding melawan ayahnya itu, Pendekar Gurun Neraka.

Dan Kun Houw yang diam-diam ingin menebus penasarannya untuk mengetahui kelihaian jurus itu diam-diam sudah merencanakan untuk membuktikan kehebatan jurus ini dengan seseorang. Tapi semuanya itu belum kesampaian. Kun Houw masih disibukkan dengan urusan macam-macam. Bahkan kini diganggu kemarahan Kui Hoa dan adiknya itu.

Dan Kun Houw yang menepati janji untuk tidak balas menyerang kecuali bertahan memang konsekuen dengan janjinya itu, melindungi diri dan selama ini membiarkan saja lawannya itu menyerang, berharap Kui Hoa dan adiknya sadar bahwa permusuhan tak dikehendaki olehnya. Mengharap Kui Lin dan kakaknya ini mengerti bahwa kematian ayah mereka memang sudah layak dan sepantasnya.

Tapi ketika dua orang gadis itu bahkan menyerangnya semakin sengit dan mereka rupanya tetap "tak tahu diri", akhirnya Kun Houw mengeluh dan terdesak juga. Betapapun, Kun Houw setengah hati saja melayani dua orang gadis ini. Apalagi terhadap Kui Hoa, kekasihnya itu, gadis yang dicintainya karena sesungguhnya tak mungkin dia mau membalas serangan gadis itu karena dia tahu kedukaan Kui Hoa.

Tapi Kun Houw yang tak tahu bahwa semua sikapnya ini bakal mencelakakan diri sendiri tiba-tiba terkejut ketika saat itu Kui Hoa memberi aba-aba pada adiknya untuk menyerang mata Kun Houw, bagian yang tentu saja tak mungkin dilindungi kekebalan. Dan ketika Kun Houw menunduk dan Kui Hoa membentaknya di belakang tiba-tiba Pedang Medali Naga direnggut kekasihnya itu dalam satu sentakan yang kuat!

"Sratt...!"

Kun Houw kaget bukan main. Saat itu dia sedang membungkuk, jadi mudah bagi Kui Hoa mengambil pedangnya. Dan ketika dia berteriak dan Kui Hoa melengking penuh kegembiraan tiba-tiba gadis ini telah menghunjamkan pedang yang ampuh itu ke punggung Kun Houw.

"Kun Houw. Tebuslah kematian ayahku!"

Kun Houw terkejut. Dia tak menyangka perbuatan kekasihnya ini, perbuatan curang, menyerobot pedang yang bukan miliknya. Dan karena Kun Houw tertegun dan Kui Hoa bergerak luar biasa cepat tahu-tahu pedang telah menusuk panggungnya dan amblas sampai ke dada, menancap tinggal gagangnya saja karena tak mungkin Kun Houw memasang kekebalannya menghadapi pedang yang ampuh ini.

"Bless!"

Kun Houw terbelalak. Dia seakan tak percaya pada kekasihnya itu, mengeluh dan tiba-tiba terhuyung. Pertempuran seketika berhenti dan Kun Houw memandang ujung pedang yang muncul di depannya itu, meraba dan baru percaya betul-betul setelah warna merah membasahi ujung pedang. Darah dari tubuhnya sendiri! Dan Kun Houw yang terkejut serta marah tiba-tiba memandang Kui Hoa berseru gemetar, "Kui Hoa, kau kekasih keji...!"

Kui Hoa juga terbelalak. Ia sekarang sadar akan apa yang dilakukannya, mendekap dada melihat ujung pedang yang muncul di dada Kun Houw itu. Teringat kecurangannya. Teringat hubungannya yang lalu dengan Kun Houw. Bahkan sampai detik terakhirpun dalam pertempuran itu sesungguhnya Kun Houw banyak mengalah. Demi dia. Dan Kui Hoa yang menggigil dengan mata terbelalak tiba-tiba menjerit menubruk Kun houw dari depan, memapak ujung pedang yang mencuat itu. Dan belum semua orang tahu apa yang terjadi tahu-tahu Kui Hoa menubruk pemuda ini menghunjamkan dada ke ujung pedang yang berlumuran darah Kun Houw itu.

"Houw-ko, maafkan aku...bless!" pedang menancap menyatukan dua orang ini, lekat dan hilang ujungnya karena telah memasuki dada Kui Hoa. Jadi gadis itu sengaja membunuh diri untuk mati bareng bersama kekasihnya!

Dan Kui Lin serta Fan ciangkun yang kaget serta sadar akan apa yang terjadi tahu-tahu meloncat berbareng meneriakkan kekagetan mereka.

"Enci...!"

"Kun Houw...!"

Namun dua orang itu telah sama-sama roboh ke tanah. Baik Kun Houw maupun Kui Hoa telah terguling jatuh dalam keadaan saling tindih, masing-masing berpelukan, disatukan oleh pedang yang menancap di tubuh keduanya mulai dari belakang sampai ke depan. Tak ingat siapa-siapa lagi.

Dan Kui Lin yang tentu saja menjerit dan melengking histeris tiba-tiba menubruk encinya yang mandi darah. "Enci...!"

Namun Kui Hoa tak dapat menjawab. Gadis ini memasang dirinya sedemikian rupa hingga pedang menembus jantungnya, tewas setelah berseru agar Kun Houw memaafkan dirinya. Dan Kui Lin yang mengguguk menangis tersedu-sedu menubruk mayat encinya tiba-tiba terguling dan pingsan di samping dua tubuh yang masih melekat oleh pedang yang menghujam dalam itu. Dan saat itu lima bayangan berkelebatan datang.

"Fan-ciangkun...!"

"Kun Houw....!"

Ternyata mereka itu adalah Sin Hong dan kawan-kawannya. Mereka datang tepat setelah pertempuran selesai, berseru kaget melihat Kun Houw mandi darah di situ. Tumpang-tindih dengan Kui Hoa dan Kui Lin. Dan Sin Hong yang berkelebat paling depan berseru memanggil Fan-ciangkun akhirnya membungkuk memeriksa tubuh rubuh yang bergelimpangan ini.

"Fan-ciangkun, apa yang terjadi? Kenapa Pedang Medali Naga menancap di sini. Dan....ih Kun Honw masih hidup!" dan Sin Hong yang cepat mencabut pedang itu dan memisah kakaknya dari tubuh Kui Hoa lalu buru-buru menotok dan mengeluarkan obat luarnya.

"Lan-moi, tolong. Carikan air dan pembalut!"

Bi Lan mengangguk. Ia juga terkejut dan terbelalak melihat semuanya itu, tergesa-gesa mencari air dan pembalut. Tapi Liong Han yang melompat maju membuka pakaian luarnya sudah menawarkan diri dengan muka khawatir.

"Pakai ini sebagai pembalut, saudara Sin Hong. Aku dapat merobek bajuku untuk penahan luka.... bret-rret!"

Dan Liong Han yang sudah merobek baju sendiri memberikannya pada Sin Hong lalu membantu dan menolong pemuda itu menyelamatkan Kun Houw. Melihat Kun Honw masih hidup. Melihat jantungnya masih berdenyut biarpun terlupa parah. Hal yang cukup luar biasa dan menggetarkan jiwa. Dan ketika satu jam kemudian semua orang yang ada di situ bekerja keras dan Fan-ciangkun menceritakan apa yang terjadi sambil menolong Kun Houw maka beberapa saat kemudian Kun Houw sadar, membuka mata dan mengeluh teringat apa yang terjadi. Tapi begitu membuka matanya pertama kali maka yang ditanyakan pemuda ini adalah Kui Hoa!

"Mana Kui Hoa, Fan-ciangkun? Mana kekasihku itu...?"

"Maaf," Fan-ciangkun menghela napas. "Ia tewas, Kun Houw. Kami tak dapat menolongnya karena pedang telah mengenai jantungnya."

"Kami?"

"Ya," Sin Hong tiba-tiba maju, memperlihatkan dirinya. "Kami datang pada saat kejadian itu telah berakhir, Houw-ko. Maafkan kami yang tak dapat berbuat apa-apa tentang kekasihmu itu."

"Ah....!" Kun Houw menggigit bibir, menahan sakit, melihat Bi Lan dan yang lain-lain ada di situ, satu persatu memandangnya haru dan Bi Lan bahkan menangis. Tapi Kun Houw yang bangkit duduk dengan muka merah tiba-tiba membentak. "Sin Hong, kau meninggalkan Hwee-seng-kok. Kau membiarkan keparat satu-satunya itu lolos tak terjaga?"

Sin Hong terkejut. "Maksudmu Hun Kiat, Houw-ko?"

"Ya, iblis jahanam itu! Kenapa kalian tak menjaganya?"

Bi Lan tiba-tiba berseru, mendahului kakaknya yang masih menangis, "Dia telah tewas, Houw-ko. Orang she Pouw itu telah terbunuh dan membunuh Hok Lian. Mayat mereka berdua masih ada di mulut Hwee-seng-kok, belum sempat kami urus!"

Kun Houw terkejut. "Hok Lian?"

"Ya, gadis yang dulu diperkosa Hun Kiat itu, Houw-ko. Dia datang ketika Hun Kiat minta ampun kepada kami. Kurus dan kelaparan di lembah Hwee-seng-kok!"

Dan Bi Lan yang menceritakan lengkap kejadian itu lalu membuat Kun Houw tertegun dan berkali-kali mengepal tinju mendengar cerita ini. Betapa Hun Kiat tak tahan lagi tinggal di lembah yang beracun itu. Tak mendapat makanan di sana. Dan ketika Hun Kiat keluar dan pucat meminta ampun dalam keadaan kurus menyedihkan, maka secara tak terduga sekali Hok Lian muncul menyerang dan membunuh pemuda yang memperkosanya itu. Pemuda yang amat jahat. Tapi Hun Kiat yang kiranya tetap berkepandaian tinggi akhirnya membalas, membunuh pula gadis itu hingga mereka tewas bersama. Dan begitu cerita ini selesai dan Kun Houw termenung dengan muka redup tiba-tiba Kun Houw berdiri dengan tubuh terhuyung, memanggul mayat Kui Hoa.

"Aku ingin ke sana..!"

Sin Hong dan yang lain-lain terkejut. "Untuk apa, Houw-ko?"

"Untuk membuktikannya!"

"Ah, kau tak percaya?"

Namun Kun Houw tak menjawab. Pemuda ini telah melangkah pergi dengan air mata bercucuran, memanggul mayat Kui Hoa menuju Hwee-seng-kok. Tempat yang memang tidak jauh lagi dan tinggal beberapa minuman teh lagi. Dan ketika dia tiba di sana dan benar saja melihat dua mayat membujur di mulut lembah akhirnya Kun Houw mengeluh memejamkan matanya. Memang betul. Hun kiat dan Hok Lian telah tewas di situ. Dan Kui Lin yang juga mengikuti rombongan ini dan sejak tadi diam di belakang Sin Hong akhirnya menangis menghampiri pemuda yang memanggul mayat encinya ini.

"Kun Houw, berikan mayat enciku. Aku ingin menguburnya."

Kun Houw membuka mata, menusuk Kui Lin dengan pandangannya yang tajam mengiris, penuh kedukaan tapi juga kekecewaan. Dan Kun Houw yang mengigit bibir menahan kepedihan hati yang menusuk jantungnya tiba-tiba berkata, "Kau tak membunuhku dulu, Kui Lin? Bukankah ayahmu tewas terbunuh olehku?"

Kui Lin menjerit, "Tidak... tidak, Kun Houw. Aku sadar bahwa ayahku memang bersalah. Dia telah menebus dosanya dengan kematian setimpal!"

"Dan kau tak mendendam atas kematian enci-mu ini? Tak menganggap bahwa akulah yang menjadi gara-garanya?"

Kui Lin mengguguk." Jangan lukai aku dengan kata-katamu itu, Kun Houw. Aku sekarang tahu siapa salah siapa benar. Berikan mayat enciku itu!"

Kun Houw tak menjawab, tak memberikan mayat Kui Hoa. Dan Sin Hong yang maju menyentuh pundak Kui Lin, akhirnya membantu. "Houw-ko, Kui Lin telah mendengar semua kata-kata kami untuk melihat persoalan ini dengan kacamata yang benar. Tolong kau penuhi permintaannya untuk menyerahkan mayat encinya."

Kun Houw mendengus, membalikkan tubuh dan tiba-tiba meminta Pedang Medali Naga yang disimpan Sin Hong. Dan kelika Sin Hong menyerahkan dan ragu memandang waspada tiba-tiba Kun Houw telah menggali lobang dengan pedang keramat itu, tak banyak bicara dan telah membuat kuburan untuk kekasihnya. Dan begitu yang lain tahu dan melihat Kun Houw sering menyeringai menahan sakit akhirnya Kui Lin menangis dan membantu pemuda itu, diikuti yang lain hingga sebentar kemudian sebuah lubang telah siap didepan mereka, di mulut Hwee-seng kok.

Dan ketika mayat Kui Hoa siap dimasukkan dan upacara penguburan itu berlangsung sederhana dan amat bersahaja saja tiba-tiba Kui Lin mengguguk dan minta agar mayat encinya itu jangan tergesa-gesa dulu diturunkan, menciumi sepuasnya dan mengeluh panjang pendek memanggil manggil nama encinya. Tapi karena kedukaan itu terlampau berat dan Kui Lin tak tahan oleh kematian encinya ini akhirnya gadis itu roboh pingsan sebelum mayat Kui Hoa dimasukkan ke dalam lobang!

Begitulah... Keadaan kembali menjadi mengharukan. Semua orang rata-rata mengeluarkan air mata. Tapi Sin Hong yang lagi-lagi menunjukkan cinta kasihnya kepada Kui Lin tak malu-malu lagi memperlihatkan perasaannya di situ. Menolong dan segera menyadarkan gadis ini. Dan ketika Kui Hoa selesai dimakamkan dan mereka juga mengurus mayat Hok Lian dan Hun Kiat yang ada di situ tiba-tiba Pendekar Gurun Neraka dan dua istrinya muncul di situ, bersama Pek Liang Nikouw!

"Omitobud, kau terluka oleh Pedang Medali Naga, sicu?"

Kun Houw tertegun. Dia melihat ayah ibunya muncul disitu, mendengar seruan Pek Liang Nikouw yang penuh kekhawatiran kepadanya. Dan Kun Houw yang mengangguk menghela napas tiba-tiba terhuyung merangkapkan tangannya. "Benar, aku agaknya memang perlu menuruti nasehatmu dulu, locianpwe. Aku terluka oleh kecerobohanku sendiri."

"Hm, dan kau banyak kehilangan darah, Houw-ji? Mukamu demikian pucat?" Pendekar Gurun Neraka melangkah maju, menegur putranya ini dengan muka khawatir, langsung memeluk dan memandang muka Kun Houw. Dan Kun Houw yang terisak menggigit bibir, tiba-tiba dihampiri pula dua orang ibu tirinya.

"Kun Houw, kau sebaiknya pulang ke Taa-pie-san. Kami akan merawatmu!"

Kun Houw tak tahan lagi meruntuhkan air matanya. "Tidak, aku... aku..."

"Kau mau ke mana. Houw-ji? Apa lagi yang ingin kau kerjakan?"

Kun Houw menangis. Dia tiba-tiba mengguguk di pelukan ayahnya ini, menggigit bibir kuat-kuat. Dan ketika semua orang terkejut oleh sikapnya tiba-tiba Kun Houw roboh pingsan! "Ayah aku ingin mencari Bu-beng Sian-su...!"'

Pendekar Gurun Neraka dan yang lain-lain kaget. Mereka melihat luka di punggung itu mengucurkan darah kembali. Agaknya jebol setelah Kun Houw mengeluarkan banyak tenaganya, menggali lubang untuk kekasihnya tadi. Dan Pendekar Gurun Neraka yang tentu saja menolong dan menotok sana sini akhirnya menyadarkan Kun Houw yang semakin pucat mukanya.

"Hm, putramu mengalami luka yang berat, Pendekar Gurun Neraka. Pin-ni khawatir nyawanya terancam."

"Tidak!!" Ceng Bi tiba-tiba berseru nyaring. "Kami akan menolongnya, Pek Liang Nikouw. Kun Houw tak boleh mati hanya untuk luka begini!"

"Tapi lukanya berat, hujin. Pin-ni merasa heran bahwa dia masih dapat hidup setelah menerima tusukan pedang sampai tembus begini!"

"Maksudmu?"

Pek Liang Nikouw menghela napas, tak menjawab. Dan Pendekar Gurun Neraka yang ganti memandang nikouw itu tiba-tiba bertanya, "Suthai, bagaimana pendapatmu tentang putraku ini? Apa yang harus saya lakukan?"

"Tak ada. Pin-ni tak melihat obat yang dapat menyembuhkan luka bekas tusukan Pedang Medali Naga, Pendekar Gurun Neraka. Jantung dan paru-paru putramu telah tersobek. Kau dapat melihat itu!"

Pendekar Gurun Neraka berobah mukanya. Dia juga melihat itu, bahwa jantung dan paru-paru Kun Houw telah terluka oleh Pedang Medali Naga. Teriris. Luka yang seharusnya membuat orang lain tewas pada saat itu juga. Jadi tak aneh kalau Pek Liang Nikouw menyatakan herannya bagaimana Kun Houw dapat bertahan. Hal yang memang luar biasa. Hebat dan mengagumkan juga!

Tapi Kun Houw yang sudah sadar membuka matanya tiba-tiba mengeluh. "Ayah, aku haus... aku ingin mencari Bu-beng Sian-su...!"

Pendekar Gurun Neraka tersedak. Dia sekarang melihat puteranya ini tak dapat berdiri, lemah dan menggigil di sandaran lututnya. Dan Pendekar Gurun Neraka yang cepat memberi minum tiba-tiba tak kuasa menahan air matanya yang menetes turun membasahi pipi puteranya "Houw-ji, kau tak perlu banyak bicara lagi. Kau tak boleh mengeluarkan banyak tenaga!"

Kun Houw tersenyum. "Aku tahu, ayah. Tapi aku ingin bertemu dengan kakek dewa itu..."

"Untuk apa?"

Kun Houw tak menjawab, memandang Fan-ciangkun. Dan Fan ciangkun yang berlutut mencucurkan air matanya tiba-tiba menyambar pemuda ini dari pelukan Pendekar Gurun Neraka, memondongnya di kedua pundak. "Pendekar Gurun Neraka, aku tahu apa yang dikehendaki puteramu. Aku juga kebetulan mempunyai maksud yang sama!"

"Maksudmu apa?"

Panglima itu juga tak menjawab. Dia sudah menangis dan gemetar membawa Kun Houw, bangkit berdiri dan terhuyung siap meninggalkan lembah, terseok-seok. Maklum apa yang dikehendaki Kun Houw. Bukan lain jawaban syair itu: Untuk apa kita hidup. Hal yang agaknya membuat Kun Houw penasaran dan sama seperti dirinya sendiri. Ingin tahu sebelum ajal.

Tapi Kun Houw yang kebetulan bentrok dengan pandangan Pek Liang Nikouw tiba-tiba menahan dan berseru pendek, "Ciangkun, berhenti sebentar. Aku ingin bicara dengan Pek Liang Suthai....!"

Pek Liang Nikouw menghampiri. "Ada apa,sicu?"

"Aku ingin menyerahkan Pedang Medali Naga, suthai. Sekalian bertanya tentang medali itu!"

"Hm...," Pek Liang Nikouw terkejut. "Pedang baiknya diserahkan pada Fan-ciangkun saja sicu. Karena dari sanalah sebenarnya pedang itu barasal. Dari pangeran Kou Cien yang kini menjadi kaisar baru. Sedang untuk medali itu. Ini ada hubungannya dengan murid pinni yang tewas dua puluh tahun yang lalu. Ibu dari Kui Lin atau isteri mendiang Ok-ciangkun yang jadi So-beng itu!"

Kun Houw terkejut. Kui Lin juga terbelalak. "Ibu... ibuku, suthai?"

"Ya, ibumu, nona. Hwa Lin Nikouw yang gagal menjadi nikouw karena jatuh cinta kepada ayahmu. Dulu pin-ni telah memberi nasihat, tapi ibumu tak mau mendengarkan...!"

Dan Pek Liang Nikouw yang menceritakan peristiwa dua puluh tahun yang lalu pada Kun Houw dan Kui Lin, akhirnya didengar pula oleh semua orang yang ada di situ tentang jalinan asmara yang cukup mengharukan dari ibu Kui Lin ini. Betapa Hwa Lin Nikouw yang menjadi murid Pek Liang Ni-kouw bertemu dan jatuh cinta pada panglima Ok, menjadi suami isteri tapi tak mengalami kecocokan, beberapa tahun kemudian. Sering cekcok karena ayah Kui Lin sering melanggar kehidupan yang baik. Tak sejalan dengan Hwa Lin Nikouw yang telah mendapat didikan agama. Melihat suaminya bergaul dengan orang orang sesat dan akhirnya semakin sesat.

Dan ketika percekcokan memuncak di saat Kui Lin dan kakaknya berusia dua tahun tiba-tiba secara mengejutkan suami yang marah itu membunuh isterinya. Menampar Hwa Lin Nikouw yang retak kepalanya. Dan Hwa Lin Nikouw yang terkejut dan juga marah lalu melepas kutukan pada suaminya bahwa kelak suaminya ini akan tewas di tangan orang yang memegang medali naga, benda yang entah didapatnya dari mana dan berada di tangan wanita ini, diserahkan pada Pek Liang Nikouw dan yang oleh nikouw ini lalu dibuang di Bukit Tengkorak Hitam, ditemukan Kun Houw dan diambil pemuda itu ketika Kun Houw masih bocah. Dan Kun Houw serta Kui Lin yang tertegun mendengar cerita ini akhirnya terbelalak dan membuka mata lebar lebar.

"Jadi kau yang membuang medali itu di sana, suthai?"

"Ya, dan pin-ni yang melihat kau yang menemukannya, Kun Houw. Pin-ni mengawasi dari jauh ketika kau mengambil benda itu."

"Jadi tak ada hubungannya dengan Bu-beng Sian-su? Dan dari mana ibu Kui Lin mendapatkan benda itu?"

"Pin-ni tak tahu, Kun Houw. Pedang Medali Naga dan medali naga sebenarnya adalah dua benda yang bersatu di gudang pusaka di istana Kou Cien-ong, kaisar yang sekarang. Kabarnya benda itu melesat dari gudang istana dan berpencar. Pedangnya ditemukan gurumu, sedang medali naga itu ditemukan murid pin-ni. Begitu kira-kira. Dan karena Bu-beng Sian-su pernah bertemu pangeran Kou Cien dan berbicara yang tak diketahui orang maka medali ini lalu dihubung-hubungkan dengan nama kakek dewa ini. Sebuah kabar burung!"

Kuo Houw tertegun. Sekarang dia mulai jelas, meskipun masih ada yang terselubung dan Kun Houw yang memandang Fan-ciangkun akhirnya dimengerti panglima itu bahwa Kun Houw minta sebuah penegasan.

"Memang benar." panglima ini mengangguk. Pedang Medali Naga pernah menghilang dari istana, Kun Houw. Bersama medali yang sebenarnya tak pernah berpisah dari tubuh pedang itu. Gara-gara Kou Cien-ong hendak menghadiahkan pedang keramat itu kepadaku!"

Dan Fan-ciangkun yang menceritakan peristiwa pribadi, tentang "kemarahan" Pedang Medali Naga yang hendak diserahkan pada orang yang bukan keturunan raja muda Yueh lalu membuat semua orang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa pedang itu "marah" karena Kou Cien-ong hendak memberikan pedang itu pada Fan Li, panglima yang tidak memiliki garis keturunan raja raja dari Yueh.

Dan karena pedang itu bersama medalinya ternyata berpencar dan rupanya masing-masing sama mencari "jodoh" sendiri akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pedang jatuh di tangan Bu-tiong-kiam Kun Seng sedang medali jatuh di tangan murid Pek Liang Nikouw. Dan karena pedang itu sendiri pernah menjatuhkan "kutukan" bahwa pewaris pedang akan binasa setelah menyelamatkan Yueh maka semua orang tertegun dan pucat mukanya.

"Begitulah, itu yang kuketahui tentang Pedang Medali Naga, Kun Houw. Tapi karena aku menganggap bahwa kutukannya adalah tahayul yang berlebih-lebihan, maka aku tak begitu mempercayainya. Tak menyangka bahwa semuanya terjadi seperti yang dikatakan roh di dalam pedang itu. Agaknya pedang itu memang harus segera dikembalikan ke istana!"

Kun Houw menggigil. "Jadi aku harus mati?"

Semua orang terkejut.

"Ah..." Kun Houw melanjutkan sendiri. "Agaknya dosa yang di perbuat ibuku memang harus kutanggung, ciangkun. Tapi kalaupun hidup sementara Kui Hoa telah meninggalkan aku biarlah kematian itu ku songsong dengan mata terbuka Ciangkun....!" Kun Houw tiba-tiba berseru. "Bawa aku ke Gua Malaikat. Aku ingin menemui Sian-su!"

Tapi baru Kun Houw berkata begitu mendadak pemuda ini mengeluh dan pingsan untuk Kedua kalinya, kejang-kejang dan menggeliat untuk akhirnya tak bergerak lagi. Dan Fan-ciangkun yang tentu saja terkejut dan berteriak kaget tahu-tahu mendengar senandung lembut yang mengguncang hati semua orang.

"Thian Yang Maha Agung, letakkan pemuda itu di atas tanah, ciangkun. Dia tak akan pulang kalau belum bertemu dengan aku!"

Semua orang tersentak. Mereka melihat seorang kakek telah berdiri di situ, tak diketahui kedatangannya. Muncul begitu saja seperti asap. Mukanya tertutup halimun. Dan Fan Li yang terkejut melihat kedatangan kakek ini tiba-tiba berseru, langsung menjatuhkan diri berlutut,

"Bu-beng Sian-su...!"

Pendekar Gurun Neraka dan yang lain-lain juga terkejut. Mereka merasa mendapat kehormatan besar dengan kehadiran kakek dewa ini, langsung menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat pula. Dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum menghampiri Kun Houw lalu mengusapkan lengannya beberapa kali di tubuh pemuda itu. Dan sungguh luar biasa. Kun Houw tiba-tiba sadar. seakan "hidup" kembali, bangkit dan membuka matanya dan langsung berdiri. Padahal tadi lumpuh! Dan Kun Houw yang terkejut melihat siapa kakek yang tertutup halimun itu mendadak tertegun, berseru lirih,

"Sian-su...!"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Ya, aku, Kun Houw. Kau mencari dan ingin menemuiku, bukan?"

Kun Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menangis "Sian-su, aku... aku..."

"Aku tahu, Kun Houw. Sekarang mari kita bicara," Bu-beng Sian-su memotong, berkata lembut dan menyentuh pundak pemuda itu menggetarkan hati semua orang, mengajak Kun Houw duduk yang enak di bawah pohon yang rindang, diikuti Fan Li dan yang lain-lain yang segera melingkar mengerumuni kakek dewa ini. Dan ketika Bu-beng Sian-su menarik napas dan memandang mereka dengan wajah begitu sareh akhirnya kakek ini berkata, "Nah, bicaralah apa yang ingin kau bicarakan, Kun Houw. Aku siap mendengar dan memberi jawaban."

Kun Houw memejamkan mata. Dia tiba-tiba merasa sejuk berjumpa dengan kakek ini. Merasa kedamaian besar menyelubungi hatinya. Nikmat dan hening. Seolah tak ada persoalan apa-apa hingga membuatnya begitu bahagia. Seolah menyatu dan melekat bersama kakek ini. Sakitnya tiba-tiba hilang dan dia merasa segar. Seolah sembuh pada saat itu juga! Dan Kun Houw yang melelehken air mata penuh kegembiraan berjumpa kakek dewa itu pada saat itu juga tiba-tiba menyentuh dan mencium kaki Bu-beng Sian-su, yang dingin menyejukkan.

"Sian-su, aku ingin bicara tentang syair yang kau berikan dulu...!"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Kau merasa gagal, Kun Houw? Kau tak menemukan jawabannya?"

"Ya," Kun Houw tak malu-malu lagi. "Aku penasaran untuk memperoleh jawabannya, Sian-su. Mohon kau memberi petunjuk dan penjelasan padaku yang bodoh ini!"

Kakek itu tertawa, memandang Fan-ciangkun. "Dan kau juga, ciangkun?"

Panglima itu terkejut. "Dari mana Sian-su tahu?"

"Aku mendengar percakapan kalian di gerbang kota raja, ciangkun. Dan juga percakapan Kun Houw dengan mendiang selir yang cerdik itu!"

Kun Houw terbelalak. "Kau tahu, Sian-su?"

"Ya, dan aku kagum pada jawaban enci angkatmu itu, Kun Houw. Bahwa apa yang di katakan tentang baris pertama dan kedua itu memang benar!"

"Ah....!" Kun Houw melenggong, kaget dan kagum, bagaimana kakek dewa ini bisa mendengar percakapan mereka. Padahal dia tak mendengar atau melihat bayangan kakek dewa itu.

Dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum lembut pada mereka lalu menarik perhatian dengan mengangkat sebelah lengannya. Dan begitu dia mulai bicara dan mengajak semua orang memperhatikan apa yang di bicarakan, maka syair itupun terbukalah jawabannya!

"Kun Houw, pertama-tama agar yang lain tahu cobalah kau tulis tujuh kalimat yung kuberikan dulu. Tentunya kau ingat, bukan?"

Kun Houw mengangguk. "Ya, aku ingat. Sian-su."

"Nah, cobalah kau tulis."

Kun Houw menggurat. Dia mulai mengulang syair yang diberikan kakek ini. menulisnya jelas dan kuat di atas tanah, terang sehingga dapat dibaca semua orang. dan ketika pemuda itu selesai dan tujuh kalimat terpampang jelas di depan menka akhirnya Bu-beng Sian-su bertanya.

"Siapa dapat memecahkan syair ini?"

Tak ada yang menjawab. Dan Ceng Bi yang tampil ke depan justeru bertanya, "Sian-su. apa maksud syair ini?"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Syair ini menerangkan tentang hidup, hujin. Maksudnya untuk apa kita hidup."

"Ah, kalau begitu..." Pendekar Gurun Neraka tiba-tiba menyela, ingat jawaban untuk apa kita hidup ketika Bu-beng Sian-su "berceramah" di puncak Beng-san. "Kalau begitu ini adalah jawaban yang pernah kau berikan di puncak Beng San dulu. Sian-su? Tujuh huruf yang..."

"Ssttt...!" Bu-beng Sian-su memotong, menahan sambil tertawa. "Jangan buru-buru kau berikan jawaban itu. Pendekar Gurun Neraka. Aku ingin mengupasnya dengan jelas dan gamblang. Yang dulu itu adalah inti sarinya. Kau tak boleh mengeluarkan suara dan diam saja sebagai penonton!"

Pendekar Gurun Neraka terkejut, tersipu dan sedikit merah mukanya. Tapi Bu-beng Sian-su yang mengedip memberi tanda akhirnya membuat dia tersenyum juga, berdebar bahwa kakek dewa ini akan mengupas inti jawaban agar mereka semua tahu. Dan Bu-beng Sian-su yang kembali mengulang pertanyaannya akhirnya memandang semua orang.

"Siapa dapat menjawab?"

Semua diam.

"Kau juga tak tahu, Sin Hong?"

Sin Hong terkejut, menggelengkan kepalanya. Diam-diam merah mukanya karena sesungguhnya syair itu diberikan kepadanya juga, di samping Kun Houw. Dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum memandang semua orang akhirnya berhenti pada Kun Houw.

"Kun Houw, bagaimana dulu petunjukku untuk memecahkan syair ini? Bukankah aku pernah memberitahunya?"

Kun Houw gugup. "Kau menyuruhnya lari berbelok-belok di atas tujuh kalimat itu, Sian-su. Tapi otakku bebal tak dapat memecahkannya!"

"Nah. itulah," Bu-beng Sian-su memandang semua orang. "Kunci pertama untuk memecahkan syair ini adalah 'berlari' di atasnya secara berbelok-belok (zig-zag), cuwi enghiong (orang orang gagah sekalian). Dapatkah cuwi menangkap apa yang tersirat di sini?"

Semua orang mulai berpikir, memeras otak. Tapi ketika tak ada juga yang mampu menjawab, akhirnya Bu-beng Sian-su tertawa mengebutkan lengan bajunya. "Ji hujin (nyonya ke dua), dapatkah kau menjawab pertanyaan ini?"

Ceng Bi mengeleng. "Tak dapat Sian-su. Otakku tumpul dan rupanya bebal seperti Kun Houw!"

"Ha-ha, dan kau, hujin?" Bu-beng Sian-su menantang Pek Hong, bertanya karena melihat wanita ini juga serius memperhatikan syair itu.

Tapi Pek Hong yang menggeleng tersenyum lemah menjawab seperti madunya, "Aku juga tak dapat, Sian-su. Kebebalanku juga sama dengan Ceng Bi-moi!"

Bu-beng Sian-su akhirnya berdiri, tersenyum lebar. Memandang semua orang yang duduk di situ satu persatu. Lalu menghela napas bersungguh-sungguh kakek ini berkata, "Kalau begitu coba jawab menurut pendapat kalian sendiri-sendiri. cuwi enghiong. Marilah kita mulai melacaknya dengan hati hati dan serius."

Kemudian, berhenti pada Kun Houw, kakek itu mulai bertanya, "Kun Houw. Apa jawabanmu kalau kau ditanya untuk apa kita hidup?"

Kuo Houw ragu-ragu, mau menjawab seperti apa yang dulu dijawabnya di depan Shi Shih tapi malu dan berdebar, menelan ludah dan tidak jadi.

Dan Bu-beng Sian-su yang rupanya tahu jalan pikiran pemuda ini lalu mendorong, "Ayolah, kita bicarakan ini dengan dialog terbuka, Kun Houw. Jangan ragu-ragu dan jawab seperti apa yang kau pikirkan!"

Kun Houw akhirnya mengeraskan dagu, "Maaf, menurut pendapatku kita hidup adalah untuk menderita, Sian-su. Mungkin salah tapi itulah jawabanku!"

"Bagus, tak ada jawaban lain? Tak ada tambahan?"

"Tidak...!"

"Dan kau ciangkun. Bagaimana menurut pendapatmu?"

Panglima ini terkejut, teringat kisahnya, teringat kegagalannya dengan Shi Shih. Dan menganggap jawaban itu sesuai dengan keadaannya saat itu maka diapun mengangguk, sependapat dengan Kun Houw. "Aku menyokong jawaban Kun Houw, Sian-su. Agaknya kita hidup memang untuk menderita!"

"Ha-ha, dan sekarang yang lain. Bagaimana denganmu, hujin? Bagaimana denganmu, Sin Hong? Ayo jawab, kita diskusikan hal ini bersama!" Bu-beng Sian-su tertawa, gembira sekali, merangsang yang lain agar berani menjawab.

Dan Ceng Bi yang melirik suaminya dan merasa bahagia dengan suaminya itu justru menjawab sebaliknya, "Menurutku kita hidup untuk meraih kebahagiaan, Sian-su. Mungkin salah tapi itulah jawabanku!"

Sin Hong sependapat, melirik Kui Lin, mesra memandang sang kekasih yang duduk di sampingnya, menggenggam jari jari gadis itu. Dan Sin Hong yang mengangguk sependapat dengan ibunya. Sudah berkata lirih, "Aku sependapat dengan ibu, Sian-su. Kukira kita hidup adalah untuk meraih kebahagiaan!"

Bu-beng Sian-su tertawa bergelak. Pendekar Gurun Neraka terkejut dan mengerutkan alisnya melihat kakek dewa ini terbahak demikian kerasnya, meledak lepas begitu saja tampak penuh kegembiraan. Tapi ketika tawa yang berderai itu berhenti dan semua orang terbelalak memandang kakek dewa ini tiba-tiba Pek Liang Nikouw mendapat gilirannya.

"Suthai, bagaimana menurut pendapatmu? benarkah jawaban dua orang itu?"

Pek Liang Nikouw tersenyum, mengebutkan ujung bajunya. "Pin-ni tak melihat kebenaran yang hakiki dalam jawaban mereka. Sian-su. Tapi kalau pin-ni salah, mohon kau berikan jawabannya yang tepat."

"Bagus, kau memang tidak salah, suthai. Tapi apa alasanmu hingga jawaban mereka tak memiliki kebenaran yang hakiki!"

"Sebab mereka terlalu subyektif, Sian-su. Pin-ni melihat jawaban mereka didorong oleh rasa ke-aku-an yang besar!"

"Ha-ha. Kau benar, suthai. Kalau begitu bagaimana sebaiknya?"

"Menurut pin-ni seharusnya obyektif. Sian su. Pin-ni rasa..." Pek Liang Nikouw ragu-ragu. menghentikan kata-katanya dan gugup sejenak melihat semua orang memandangnya, menjadi pusat perhatian.

Tapi Bu-beng Sian-su yang tertawa lebar, mendorong nikouw ini sudah mengangkat lengannya "Suthai, ayo teruskan. Ini persoalan menarik...!"

Pek Liang Nikouw menahan napas, "Pin-ni rasa penderitaan ataupun kebahagiaan adalah hasil dari sesuatu saja, Sian-su. Dan karena hasil itu bisa berubah-ubah menurut hukum sebab dan akibat maka jawaban dua orang itu salah!"

"Bagus, jadi bagaimana sebenarnya? Bagaimana menurut jawabanmu?"

"Pin-ni rasa hidup adalah untuk menikmati anugerah Tuhan, Sian-su. Dan karena pin-ni sendiri mendalami kitab-kitab agama maka hidup adalah untuk menyembah Tuhan. Itu jawaban pin-ni!"

Bu-beng Sian-su tertawa lebar. "Hanya itu sajakah? Tak ada jawaban lain untuk menyokong jawaban ini?"

Pek Liang Nikouw menggeleng, sedikit pucat mukanya. "Tak ada lagi. Sian-su. Apakah itu salah?"

"Nanti dulu. jangan tergesa-gesa!" Bu-beng Sian-su tertawa, lembut dan renyah sekali meresap sejuk di hati semua orang. Dan ketika Pek Liang Nikouw mundur dan Bu-beng Sian-su memandang Bi Lan dan Liong Han tiba-tiba kakek dewa itu bertanya pada dua muda-mudi ini, "Bi Lan, dan kau Liong Han, kalian mempunyai jawaban sendiri jang dapat dibicarakan di sini?"

Bi Lan terkejut. Dia bersikap cerdik mendengar pertanyaan itu. Bahwa tiga jawaban telah dilontarkan tapi agaknya "tak mengena" pada sasaran yang tepat. Dan melihat Liong Han juga terkejut mendengar pertanyaan itu akhirnya Bi Lan menahan napas memeras otaknya dengan cepat, berdegup memandang Bu-beng Sian-su yang tersenyum padanya. Dan ketika dia merasa mendapat jawaban itu dan Bi Lan melihat bahwa hidup penuh dengan perjuangan akhirnya gadis ini menegakkan kepala menjawab dengan muka berseri, "Menurutku hidup adalah untuk berjuang. Sian-su. Dan karena setiap tindak-tanduk kita memang tak terlepas dari perjuangan ini baik rohani maupun jasmani maka hidup bagiku adalah untuk berjuang!"

Bu-heng Sian-su tertawa, memuji gadis ini. "Dan kau, Liong Han. Bagaimana jawabanmu untuk pertanyaan ini?"

Liong Han kebat-kebit. Dia tiba-tiba setuju dengan pernyataan Bi Lan itu, gadis yang diam-diam telah menjalin cinta dengannya. Dan karena dilihatnya bahwa hidup memang penuh dengan perjuangan maka Liong Han gugup menyokong pendapat kekasihnya itu, tersipu merah, "Aku sependapat dengan Bi Lan, Sian-su. Bahwa rupanya hidup memang untuk berjuang!"

"Ha ha, dan kalian, Han Ki? Bagaimana pendapat kalian kakak beradik?"

Han Ki dan Han Bu terkejut. Mereka telah mendengarkan semua percakapan itu. Melihat empat jawaban telah diberikan tapi agaknya tak satupun yang di beri angka "100" oleh Bu-beng Sian-su. Dan dua kakak beradik yang saling menoleh dan sama memandang itu tiba-tiba tertegun memutar otaknya, "menyaring" empat jawaban yang masuk untuk di cocokkan dengan pendapat sendiri. Dan ketika Bu beng Sian-su menunggu dan mereka merasa jawaban itu telah didapat dengan yakin akhirnya Han Ki mewakili adiknya.

"Maaf, kukira hidup untuk melaksanakan semuanya itu Sian-su. Ya penderitaan ya kebahagiaan, Ya perjuangan, ya penyembahan. Apa yang dikata mereka sebaiknya digabung saja, tak perlu dipecah-pecah!"

"Ah, jadi bagaimana maksud kalian?"

"Maksud kami hidup adalah untuk bekerja, Sian-su," Han Bu sekarang menjawab. "Bahwa kita melakukan pekerjaan apa saja untuk merasakan pahit getir hidup. Tentu saja mengerjakan yang baik-baik saja untuk diri sendiri dan orang lain!"

"Sudah? Hanya itu saja?"

Han Bu kecut. "Kukira itu saja Sian-su. Kalau tidak cocok harap kau yang memberi penjelasan kepada kami!"

Bu-beng Sian-su tertawa. Kakek ini lagi-lagi mengeluarkan suaranya yang berderai, membuat orang kecut dan kecil hati karena agaknya jawaban mereka tak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelemahannya sendiri. Dan ketika semua orang berdebar menunggu dan rata-rata mereka penasaran untuk menanti jawaban kakek ini maka mulailah Bu-beng Sian su berkata, menuntun mereka secara mengejutkan.

"Cuwi enghiong, telah ada lima jawaban yang masuk dari pendapat kalian masing-masing. Aku tak menyalahkan. Tapi jawaban kalian tak membawa kita pada inti jawaban yang hakiki. Padahal jawaban dari pertanyaan untuk apa kita hidup harus dijawab dengan jawaban akurat yang tidak memiliki bantahan! Kalian belum dapat menangkap?"

Semua orang menggeleng.

"Baik, dengarkan jawabanku, cuwi enghiong. Aku akan membawa kalian pada inti dasar jawaban dari semua jawaban. Dengarlah ini....!" Dan ketika semua orang tegang menanti jawaban kakek dewa itu tiba tiba Bu-beng Sian-su memandang Kun Houw, bertanya mengulang pertanyaannya, "Kun Houw, bisakah kau sebutkan sekali lagi apa jawabanmu untuk apa kita hidup?"

Kun Houw terkejut, ragu menjawab, tak mengerti apa yang ingin dimaui kakek dewa ini. Tapi ketika Bu beng Sian su menyuruh dan mengulang pertanyaannya membesarkan hati Kun Houw akhirnya Kun Houw mengulang jawabannya tadi, "Untuk menderita!"

"Bagus, dan kau, hujin?" Bu-beng Sian-su kini menoleh pada Ceng Bi, minta agar nyonya itu mengulang jawabannya.

Dan ketika Ceng Bi menjawab bahwa hidup untuk meraih kebahagiaan karena itulah yang di rasanya dengan suami tercinta maka berturut-turut yang lain disuruh mengulang seperti Kun Houw dan Ceng Bi ini. Jawab Pek Liang Nikouw menyatakan hidup adalah untuk menyembah Tuhan. Bahwa Bi Lan dan Han Ki serta adiknya menyatakan hidup untuk berjuang atau bekerja. Dan ketika semuanya lengkap mengulangi jawabannya tiba-tiba kakek dewa ini menahan napas.

"Kun Houw, dan kau hujin, kalian melihat bedanya persamaan yang tersembunyi di dalam jawaban itu?"

Kun Houw mengerutkan alis. "Tidak."

Ceng Bi juga mengerutkan alisnya. "Tidak."

Dan Bu-beng Siin-su mendesah. "Kalian benar-benar tak melihat sesuatu di situ? Tak melihat persamaannya?"

Ceng Bi penasaran. "Kami tak melihat apa apa, Sian-su. Kami tak melihat persamaan seperti yang kau maksudkan itu. Bahkan jawaban kami ada yang bertolak belakang!"

"Hm, kalau begitu kalian belum menangkap getaran itu," Bu beng Sian-su bersikap serius. "Kalian belum mengerti apa yang terjadi disini. Baiklah, mari kutunjukkan...." dan Bu-beng Sian-su yang kembali memandang Kun Houw tiba-tiba mengulang pertanyaannya, "Kun Houw, untuk apa kita hidup menurut jawabanmu?"

"Untuk menderita!"

"Kok tahu?"

Kun Houw tertegun. "Apa maksudmu, Sian su?"

"Ayo. jawab saja, Kun Houw. Jangan memotong. Aku hendak membawa kalian pada sesuatu yang amat seru!"

Kun Houw tiba-tiba gugup. Dia mendadak macet, tak dapat menjawab. Bingung oleh pertanyaan itu: "Kok tahu!"

Dan Bu-beng Sian su yang tak sabar dan kini menoleh pada Ceng Bi mendadak bertanya pada nyonya yang masih cantik itu. "Hujin, jawab kembali pertanyaan yang kuajukan tadi. Ayo, untuk apa kita hidup!"

Ceng Bi langsung menjawab, "Untuk meraih kebahagiaan!"

Dan Bu-beng Sian-su lagi-lagi bertanya. "Kok tahu?"

Ceng Bi tertegun.

"Ayo, jawab, hujin. Kita sedang menuju ke sana. Ayo jawab pertanyaanku itu: Kok tahu!"

Ceng Bi mendadak bingung. Dia tiba-tiba gugup seperti Kun Houw, terkunci mulutnya sementara mata terbelalak ke depan. Dan ketika nyonya, itu belum juga menjawab dan Bu-beng Sian-su tak sabar kembali akhirnya Pek Liang Ni kouw mendapat gilirannya.

"Suthai, ulang kembali jawabanmu tadi untuk apa kita hidup. Ayo!"

Pek Liang Nikouw ragu-ragu.

"Ayo... ayo, suthai jawab saja pertanyaanku tadi. Tak perlu takut takut!"

Dan Pek Liang Nikouw akhirnya menjawab juga, dengan gemetar, "Untuk menyembah Tuhan...!"

"Kok tahu?"

Nikouw ini terkejut, mendelong membelalakkan matanya seperti Ceng Bi. Bingung mendengar pertanyaan yang hanya dua kata itu. Dan Bu-beng Sian-su yang kembali bertanya tapi tak juga dijawab tiba-tiba menoleh pada Bi Lan.

"Ayo, sekarang kau, nona. Ulang kembali jawabanmu untuk apa kita hidup!"

Bi Lan gugup, menjawab lirih, "Untuk berjuang...."

"Kok tahu?"

Dan ketika lagi-lagi gadis itu tak menjawab dan Han Ki mendapat giliran terakhir untuk mengulang jawabannya dan kembali tertegun ketika Bu beng Sian-su menyerang dengan pertanyaan "kok tahu" tiba-tiba. Bu-beng Sian-su terbahak dengan tawanya yang khas dan lembut, memandang lima orang itu dengan tawa yang berderai, berguncang guncang tapi tidak melukai perasaan orang-orang yang ada di situ. Dan ketika semuanya terbelalak dan Bu-beng Sian-su menghentikan tawanya akhirnya kakek dewa ini berkata,

"Nah. sekarang persamaan yang kumaksudkan itu akan muncul ke permukaan, hujin. Kalian lihatlah baik-baik apa yang akan terjadi di sini. Mari kita saksikan....'" dan Bu-beng Sian-su yang memandang Ceng Bi dengan muka berseri lalu bertanya pada nyonya yang masih cantik itu. "Hujin, bagaimana kau tahu bahwa hidup adalah untuk meraih kebahagiaan? Bagaimana teman-temanmu yang lain itu tahu bahwa hidup adalah untuk begini atau begitu? Bagaimana kalian tahu ini?"

Ceng Bi ragu-ragu, berdebar hatinya. "Karena kami melihatnya memang begitu. Sian-su. Melihat berdasar pola berpikir masing-masing."

"Bagus, hanya melihat saja?"

Ceng Bi terkejut.

"Ayo, kita teruskan, hujin. Jangan takut!"

Ceng Bi akhirnya dag-dig-dug. "Aku tak berani meneruskannya, Sian-su. Lebih baik kau saja yang memimpin kami!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Baik, kalian agaknya enggan, hujin. Kalau begitu mari kubimbing!" dan Bu beng Sian-su yang tersenyum memandang mereka semua lalu menuntun satu-persatu, "Cuwi enghiong, agaknya tidak salah apa yang dikatakan nyonya Pendekar Gurun Neraka ini. Bahwa jawaban kalian berasal dari melihat berdasar pola berpikir masing-masing. Dan karena cara berpikir masing-masing memang tidak sama satu dengan lainnya, maka jawaban kalianpun tentu saja berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Wajar bukan?"

Dan ketika semua orang mengangguk kakek inipun meneruskan. "Nah. kita lihat, cuwi enghiong. Bahwa meskipun jawaban kalian bisa berbeda-beda tapi 'sumber' yang kalian ambil sama. Yakni, kalian bersumber pada 'melihat' tadi. Melihat yang tentu saja mengandung pengertian mempelajari. Tapi karena sudut pengambilan dari kalian masing-masing berbeda maka hasil jawabannyapun tentu saja berbeda. Tapi kalian tak boleh terjebak pada yang diluar 'sumber' ini, cuwi enghiong. Maksudku, mari kita menuju pada pokok sasaran di mana semua dari kalian sama-sama berasal dari 'sumber' ini! Kalian mengerti?"

Ceng Bi dan teman-temannya menggeleng.

"Sekarang dengarkan," Bu-beng Sian-su melanjutkan, tersenyum dengan muka berseri. "Aku akan mengajak kalian pada 'sumber' yang kusebutkan itu, cuwi enghiong. Bahwa sekarang kalian tak membantah bahwa semua jawaban yang kalian berikan tadi adalah berdasar pada melihat seperti yang telah diberitahukan nyonya Pendekar Gurun Neraka ini. Begitu, bukan?"

dan ketika semuanya mengangguk kakek dewa inipun berkata lagi, "Nah, karena itu mari langsung saja ke kata 'melihat' ini, cuwi enghiong. Bahwa, melihat yang dimaksudkan di situ tentunya terkandung arti mempelajari. Jadi melihat bukan dengan pandangan kosong melainkan diisi pula dengan otak yang berpikir. Dan karena otak yang berpikir itu berarti mempelajari maka, itulah 'sumber' yang kumaksudkan tadi: belajar!"

Ceng Bi terkejut. "Belajar?"

"Ya untuk itulah kita hidup, hujin. Bahwa kita hidup untuk belajar. Sekarang mari kita uji!" dan Bu-beng Sian-su yang tertawa memandang Kun Houw lalu melanjutkan, "Lihat, kalian dengar baik-baik, cuwi enghiong. Apa jawaban Kun Houw tadi tentang hidup? Bahwa dia mengatakan hidup adalah untuk menderita, cuwi enghiong. Bahwa apa yang dikata pemuda ini berdasar penglihatannya pada sudut pandang tertentu! Aku tak memperdulikan salah benarnya jawaban itu. Yang kuperdulikan di sini adalah penglihatannya, 'sumbernya'. Bahwa Kun Houw 'melihat' berdasar pikirannya bahwa hidup adalah untuk begini atau begitu. Dan karena 'melihat' itu sesungguhnya mempelajari maka Kun Houw pada hakekatnya adalah belajar! Kalian paham?"

Semua orang terkejut, mulai menyentuh apa yang dimaksudkan kakek dewa ini.

"Dan jawaban yang lain-lain juga bersumber pada 'Belajar' ini, cuwi enghiong. Bahwa dari melihat lalu kalian menyimpulkannya. Dan karena kesimpulan berarti pendapat jalan pikiran maka itulah manifestasi dari wujud pelajaran! Kalian mengerti?"

Ceng Bi dan teman temannya semakin membelalakkan mata.

"Dan sekarang kita kembali pada tanya jawab tadi cuwi enghiong. Biarlah ji-hujin ini yang mewakili kalian," dan Bu-beng Sian-su yang kembali memandang Ceng Bi lalu mengajak nyonya cantik itu berdialog, "Hujin, bagaimana jawabanmu tadi tentang untuk apa kita hidup. Bagaimana pendapatmu tadi?"

Ceng Bi tersipu. "Aku menjawabnya untuk meraih kebahagiaan, Sian-su."

"Dari mana kau tahu?"

"Dari melihat."

"Melihat yang berarti mempelajari, bukan?"

"Ya."

"Nah, itulah. Jawaban yang lain-lain sesungguhnya juga bersumber pada 'melihat' ini, cuwi enghiong. Dan karena 'melihat' pada hakikatnya adalah mempelajari maka itulah 'sumber' yang kumaksudkan tadi. Persamaan tersembunyi yang tidak kalian lihat! Sekarang kalian jelas?"

Semua orang mulai mengangguk-angguk. Tapi Pek Liang Nikouw tiba tiba berseru. "Kalau begitu jawabanku tadi salah, Sian su?"

"Jawaban yang mana?"

"Bahwa kita hidup untuk menyembah Tuhan!"

Bu-beng Sian-su tertawa berderai. "Aku tak menyalahkan jawabanmu, suthai. Tapi jawaban itu terlalu abstraktif. Jawaban itu kan merupakan satu dari sekian banyak sudut pandang yang bisa berbeda-beda dari orang yang satu dengan orang yang lainnya. Kau tak menuju pada sumber pokok dan mana kau mendapatkan jawaban itu!"

"Dan jawabanku kalau begitu juga salah, Sian-su?" Ceng Bi ganti bertanya.

"Tidak," Bu-beng Sian-su bersungguh-sungguh. "Aku pada hakekatnya tidak menyalahkan jawaban kalian semua, hujin. Meskipun jawaban kalian bisa saja bersifat subyektif. Aku hanya hendak mengajak kalian pada titik pusat jawaban dari semua jawaban. Yakni bahwa kita hidup untuk belajar. Titik!"

Semua orang tertegun. Mereka melihat ketegasan yang meyakinkan dari manusia dewa ini. Ketegasan yang tak dapat dibantah! Dan karena membolak balik jawaban itu memang selalu saja mereka terbentur pada "belajar" akhirnya Ceng Bi dan kawan-kawannya takjub, mendelong dan kagum memandang kakek dewa itu.

Tapi Bu-beng Sian su yang serius memandang mereka tiba-tiba melanjutkan, "Ada pertanyaan?"

Pek Hong tiba-tiba tampil ke depen. "Maaf, ada sesuatu yang ingin kutanyakan, Sian-su. Apa yang kau maksud dengan belajar itu? Apa yang dipelajari?"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Aku hendak menjelaskannya, hujin. Tak menyangka kalau kau sudah mendahului. Mari kita lihat..." dan Bu-beng Sian-su yang balik memandang semua orang lalu bertanya, "Apa yang harus kita pelajari di dunia ini, cuwi enghiong? Ada di antara kalian yang mau menjawabnya?"

Ceng Bi dan yang lain-lain menggeleng, takut salah. "Sebaiknya kau saja yang menerangkannya, Sian-su. Aku jadi tertarik dan ingin mengetahuinya!"

"Baik." kakek ini tersenyum lebar. "Aku hendak menjelaskannya pada kalian, hujin. Dengar baik-baik apa yang hendak kukatakan ini. Pertama, tentunya kita belajar untuk hal-hal yang ada hubungannya dengan kita. Hal-hal yang bersifat langsung. Karena untuk hal-hal yang dekat dan langsung beginilah biasanya kita menaruh perhatian paling serius. Hal-hal yang kurang langsung biasanya kurang pula kita seriusi. Kalian setuju, bukan?"

Semua orang mengangguk.

"Nah, hal-hal apa saja yang ada hubungannya dengan kita?" Bu-beng Sian-su melanjutkan. "Ada tiga hal pokok yang amat dekat sekali hubungannya dengan kita, cuwi enghiong. Yakni kita selalu terikat dan berhubungan dengan tiga hal. Satu: hubungan kita dengan diri kita sendiri. Baik tubuh maupun jiwa. Dua: hubungan kita dengan yang 'diluar' diri kita sendiri dan ke tiga atau yang terakhir adalah hubungan kita dengan Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta!"

Ceng Bi dan teman-temannya tertegun.

"Kalian mengerti? Ada pertanyaan?"

"Tidak." Ceng Bi menjawab, mulai tergetar dan takjub bukan main memandang kakek dewa ini, melihat bahwa apa yang dikatakan kakek dewa itu memang cocok sekali. Tak terbantah. Demikian akurat! Dan Ceng Bi yang gemetar memandang kakek ini lalu berseru, "Teruskan, Kami ingin mendengar, Sian-su. Kami dapat menangkap apa yang kau katakan!"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Aku gembira kalau begitu, hujin. Jadi sekarang sudah kalian ketahui bahwa kita hidup adalah untuk belajar. Dan apa yang dipelajari? Tiga hal itu tadi. Yakni kita belajar tentang diri kita sendiri. Itu yang pertama. Dan kita mempelajari apa-apa yang ada "diluar" diri kita sendiri. Itu yang kedua. Dan yang ke tiga atau terakhir adalah kita belajar tentang hubungan kita dengan Tuhan kita. Sang Pencipta Alam Semesta. Sudah cocok atau harmoniskah! Kalian paham, bukan?"

Ceng Bi dan temannya mengangguk-angguk, kagum dan kaget. Tapi Kun Houw yang bangkit berdiri teringat syair yang diberikan Bu-beng Sian-su tiba-tiba berseru,

"Sian-su, aku dapat mengerti apa yang semua kau katakan ini. Tapi sekarang bagaimana dengan syair yang kau berikan itu? Apakah syair itu juga memberikan jawaban 'belajar' seperti yang kau berikan kepada kami ini?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Tentu, kalau begitu kita lihat, Kun Houw. Aku akan membuktikannya pada kalian!" dan Bu-beng Sian-su yang telah menarik perhatian semua orang pada syair itu tiba-tiba menghampiri sebatang pohon besar, menggurat tujuh kalimat dalam sebait syair itu. Dan ketika semua orang memandang dan kakek ini selesai menggurat jarinya di kulit pohon yang keras itu, akhirnya kagumlah semua orang melihat keindahan tulisan jari-jari kakek itu, membaca syair yang masih merupakan teka teki:

Berikan canang
pukullah bende
lekatkan benang
di atas mega
jadilah orang
hidup berguna
rautlah itu sepanjang masa


"Nah, kalian jelas, bukan?" Bu-beng Sian-su kini memandang semua orang, membalikkan tubuhnya. Dan ketika semua orang mengangguk dan Kun Houw tegang menanti jawabannya tiba-tiba kakek itu bertanya padanya, "Kun Houw, bagaimana dulu petunjukku untuk mencari jawaban syair ini?"

Kun Houw berdebar. "Kau menyuruhnya lari berbelok-belok, Sian-su."

"Bagus, dan kau masih belum mengetahuinya, bukan?"

"Belum."

"Nah, sekarang lihat! Aku akan menerangkannya pada kalian!" Bu-beng Sian-su tertawa. "Sebenarnya cukup mudah, Kun Houw. Tapi Karena kau tak mengerti, maka yang mudahpun terasa sukar. Lihat, aku akan memulainya dari sini," Bu-beng Sian-su menunjuk huruf pertama dari kata-kata "berikan" itu,

"Huruf apa ini?"

"B."

"Bagus, sekarang huruf terakhir dari kalimat ke dua," Bu-beng Sian-su menunjuk kata "bende", menyilangkan jarinya turun ke kanan.

"Huruf apa ini?"

"E."

"Nah, sekarang huruf pertama dari kalimat ketiga. Huruf apa ini, Kun Houw?" Bu-beng Sran-su menunjuk kata-kata "lekatkan", menyilang ke kiri turun ke bawah.

Dan ketika Kun Houw menjawab itu adalah huruf "L" dan Bu-beng Sian-su terus bergerak secara silang-menyilang (zig-zag) dari kalimat ke empat sampai kalimat ke tujuh maka berturut-turut terdapatlah huruf-huruf ini: A-J-A-R. Dan karena jawaban pertama sudah berbunyi B-E-L, maka ketika digabung dengan empat jawaban terakhir itu terdapatlah kata kata "B-E-L-A-J-A-R" yang membuat Kun Houw bengong!

"Ha-ha, bagaimana, Kun Houw? Jelas, bukan?"

Kun Houw terkejut. Dia seakan mimpi mengikuti petunjuk-petunjuk Bu-beng Sian-su itu, benar-benar diajak "lari" di atas tujuh kalimat yang luar biasa itu. Mendapat jawaban berupa inti kelimat ini memang sama dengan "khotbah" yang diberikan kakek dewa itu! Dan Kun Houw yang terbelalak memandang tujuh kalimat ini lalu mengulang kembali cara-cara yang dimaksudkan kakek dewa itu. Tapi tetap sama. Tak ada yang geser! Dan Kun Houw yang takjub dan terheran-heran memandangi jawaban ini akhirnya mendelong seperti juga teman temannya yang lain!

Apa yang terjadi? Kiranya begini. Bu-beng Sian-su menarik garis silang-menyilang dari atas ke bawah. Mulai "start" dari huruf pertama (B). Dan kerena kalimat-kalimat pada baris genap (2,4 dan 6) selalu diambil huruf terakhirnya saja maka kalimat-kalimat pada baris ganjil (1, 3, 5 dan 7) diambil huruf pertamanya. Jadi begini :

B........
........E
L........
........A
J........
........A
R........

Dan begitu Kun Houw mengerti apa yang di maksudkan kakek ini tentu saja Kun Houw mendelong dan terheran-heran. Melihat bahwa inti jawaban itu memang "belajar". Dan karena Bu-beng Sian-su telah menjelaskan pada mereka apa yang harus dipelajari akhirnya Kun Houw takjub bukan kepalang dan bengong memandang kakek ini. Merasa betapa hebatnya kakek itu. Arif dan bijak. Agaknya mengetahui rahasia kehidupan! Dan Kun Houw yang menggigil terbelalak ke depan akhirnya mendengar kakek itu tertawa.

"Benang di atas mega. Benang apa, cuwi enghiong? Mega apa? Bukan lain benang kesadaran. Sebab, kalau kita sudah mengetahui bahwa hidup adalah untuk belajar maka kita perlu kesadaran akan pengetahuan yang kita peroleh, cuwi enghiong. Karena itu kalian harus memiliki 'benang kesadaran' atas intisari hidup ini. Kita lekatkan "benang" itu keatas "mega kesadaran". Yakni pikiran luhur yang bersemayam di sanubari kita. Kalian jelas?"

Semua orang mengangguk.

"Sedang yang terakhir. Sian-su?"

Bu-beng Sian-su tersenyum, "Yang terakhir tak perlu disimpulkan lagi, Kun Houw. Disitu telah jelas disebut "jadilah orang hidup berguna" dan "rautlah itu sepanjang masa". Kalimat ini tak memiliki rahasia lagi. Semuanya gamblang. Disitu diartikan bahwa kalau kita telah memiliki kesadaran untuk apa kita hidup, yakni "belajar" itu, kita diminta untuk menjadi orang yang berguna. Baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Tapi karena kesadaran itu sendiri kadang-kadang bisa 'tumpul' maka kuminta kalian merautnya sepanjang masa! Kalian mengerti?"

Semua mengangguk, tapi Kun Houw heran, "Tumpul?"

"Ya, kau tak mengerti, Kun Houw? Kalau begitu pelajaran pembicaraan kita selesai..." dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum memandang mereka tiba-tiba mengebutkan lengan bajunya, tertawa. "Cuwi enghiong, selamat tinggal...!!" dan begitu kakek ini menggerakkan kakinya tahu-tahu kakek dewa itu lenyap bagaikan asap.

"Sian-su..!"

Namun Bu-beng Sian-su tak ada lagi di situ. Orang hanya mendengar tawanya yang lembut di kejauhan sana, dibalik-Hwee-seng-kok rupanya menyeberang atau menerobos lembah beracun itu. Dan Kun Houw yang kumat penyakitnya mendadak roboh dan terguling pingsan!

"Hei...!" Ceng Bi dan yang lain-lain terkejut.

Mereka baru saja termenung oleh semua wejangan kakek dewa itu. "lupa" bahwa Kun Houw sebenarnya menderita luka parah. Di ambang maut tapi yang secara aneh "sembuh" ketika Bu-beng Sian-su datang. Dan Pendekar Gurun Neraka yang tentu saja terkejut dan sadar akan apa yang terjadi tiba-tiba menyibak dan memeriksa puteranya itu.

"Minggir...!" tapi Pendekar Gurun Neraka tertegun. Dia melihat Kun Houw sudah hampir tak bernapas lagi. Jelas tak tertolong.

Tapi Pek Liang Nikouw yang teringat sesuatu tiba-tiba mengeluarkan sebutir obat dewa (Sian tan), "Taihiap, berikan ini pada puteramu!"

Pendekar Gurun Neraka terkejut, dia cepat memasukkan obat itu kemulut puteranya dan ketika Pek Liang Nikouw menotok dua kali dibelakang punggung Kun Houw tiba-tiba pemuda itu sadar, mengeluarkan kata-kata tak jelas.

Dan Pek Liang Nikouw menekan lehernya, "Yap Kun Houw, bisakah kau dengar pertanyaan pin-ni?"

Kun Houw tampaknya terkejut. "Yap Kun Houw...?"

"Ya, kau ber-she Yap, Kun Houw. Nama ayah angkatmu boleh saja kau pasang sebagai namamu sendiri. Tapi kau tetap adalah she Yap! Kau dengar?"

Kun Houw mengangguk-angguk, lemah sekali, matanya seakan tak bercahaya dan agaknya berada di antara sadar dan tidak.

Dan Pek Liang Nikouw yang rupanya cemas dan pucat memandang pemuda itu tiba-tiba bertanya, "Kun Houw, adakah warisan ilmumu yang dapat diberikan pada putera mendiang gurumu? Pin-ni mendapat titipan anak, Kun Houw. Dua bocah kembar dari mendiang gurumu dengan isteri mudanya di Kun-lun!"

Kun Houw tampaknya terkejut, tergagap, berusaha keras untuk bangun dengan kesadaran penuh. Dan ketika Pek Liang Nikouw memperkuat tekanannya pada bagian belakang lehernya mendadak Kun Houw mengeluh, "Suthai, mana dua bocah kembar itu...?"

"Ada di tempat kediaman pin-ni, Kun Houw. Ayahmu dapat mengambilnya kalau kau tidak percaya!"

"Tidak, tidak.., aku percaya, suthai. Kalau begitu, kalau begitu..." Kun Houw terengah. "Berikan warisan ilmu pedang yang kudapat dari mendiang guruku pada dua bocah kembar itu. Aku menyimpan sebuah kitab, cari di kamarku di dekat kamar Fan-ciangkun...!"

Pek Liang Nikouw girang. "Kau telah menulis semua kepandaianmu dalam kitab, Kun Houw?"

"Ya aku... aku, aduh...!" Kun Houw meregang. "Aku menyimpan kitab pelajaran Bu-tiong Kiam-sut itu, suthai. Tolong berikan pada keturunan guruku agar warisan ilmunya tak hilang. Aku, ah.., aku tak kuat, pandanganku gelap... ayah, maafkan dosa-dosaku., ibu, maafkan semua kesalahanku. Aku melihat bayangan Kui Hoa di sana..., aku, aduh...!" dan Kun Houw yang menyebut nama Kui Hoa dalam satu teriakan kecil tiba-tiba terguling dan dilepas jepitan lehernya oleh Pek Liang Nikouw, tewas dan seketika itu juga berhenti denyut jantungnya karena telah pindah ke alam baka.

Dan Pek Liang Nikouw yang menunduk mencucurkan air matanya tiba-tiba merangkapkan kedua tangan. "Omitohud...! Semoga kematianmu diterangi Buddha Kun Houw. Pin-ni berterima kasih sekali bahwa kau masih meninggalkan sesuatu untuk dua bocah kembar di tempat pin-ni...!"

Ceng Bi dan Pek Hong menangis terisak-isak. Mereka hampir menjerit, dicengkeram suami mereka yang menggigit bibir kuat-kuat. Terpukul oleh kematian puteranya ini. Tapi Pendekar Gurun Neraka yang telah maklum akan keadaan Kun Houw yang sulit tertolong lagi akhirnya merelakan puteranya itu pergi, sejenak mengheningkan cipta dan bersama yaag lain mendoakan kepergian pemuda itu. Tak ada yang tak menangis, semua mencucurkan air mata.

Dan ketika keadaan yang mencekam itu berakhir dan semua orang berhasil menguasai dirinya akhirnya Kun Houw dimakamkan di samping jenasah Kui Hoa, berendeng dengan kuburan kekasihnya itu dan kembali semua orang mengheningkan cipta. Berdoa sebelum meninggalkan tempat itu. Dan ketika semuanya selesai dan setiap orang berkemak-kemik mendoakan arwah Kun Houw agar mendapat ketenangan di alam lain akhirnya semua orang meninggalkan Hwee-seng-kok.

Betapapun, Lembah Gema Suara tak dapat mereka lupakan seumur hidup. Lembah itu memberi kenangan tersendiri bagi mereka. Kenangan yang amat berkesan. Baik oleh kematian Kun Houw maupun wejangan Bu-beng Sian-su tentang hidup. Betapa hidup adalah untuk belajar. Betapa hidup sosungguhnya tak dapat melepaskan diri dari belajar ini. Sebuah proses alam yang agaknya merupakan "cyclus" yang tak ada habis-habisnya bagi manusia. Belajar dan belajar. Tentang diri sendiri dan yang di luar diri sendiri. Tentang diri sendiri dan Tuhan! Adakah yang dapat melepaskan diri dari tiga "subyek" itu? Tampaknya non-sense!

* * * * * * * *

Pembaca yang budiman, sampai di sini berakhirlah sudah kisah ini. Pedang Medali Naga merupakan penutup dari serial "Pendekar Gurun Neraka". Berturut-turut anda telah menerima kehadiran Bu-beng Sian-su. Semoga ada manfaatnya. Saya pribadi juga telah menyelesaikan "janji" saya. Jawaban Bu-beng Sian-su boleh diuji dan dikaji. Saya tak banyak komentar.

Hanya, mungkin perlu diketahui sebagai tambahan bahwa "belajar" yang dimaksudkan kakek dewa itu adalah merupakan "belajar" dalam arti kata utuh. Bukan melulu teoritis tapi juga praktis. Bukan belajar dalam arti kata formal (di bangku sekolah,di bangku perguruan tinggi) tapi juga non formal (di luar bangku sekolah, di luar bangku perguruan tinggi). Dan di dalam masyarakat baik secara individu maupun kelompok! Anda, mengerti, bukan?

Nah. saya harap anda cukup jelas, pembaca yang budiman. Tujuh huruf yang merupakan teka-teki itu kita telah terjawab: belajar! Betapa sederhananya jawaban ini. Betapa bersabarnya. Tapi kalau anda mau "menggali" jawaban itu sampai ke dalam maka anda akan terkejut melihat betapa luas dan jauhnya jangkauan dari kata "belajar" itu. Betapa "tidak sesederhana" seperti jawabannya sendiri. Memiliki fleksibilitas dan komplektitas yang tinggi!

Dan kini, setelah anda tahu jawaban Bu-beng Sian-su tentang untuk apa kita hidup barangkali anda mulai lebih jelas lagi tentang uraiannya di jilid terakhir "Pendekar Kepala Batu". Betapa Bu-beng Sian-su menyinggung-nyinggung tentang "mengikuti"? Anda masih ingat, bukan? Nah, saya perjelas lagi kepada anda, pembaca yang budiman. Bahwa "mengikuti" itu seperti yang telah diterangkan dalam cerita Pendekar Kepala Batu. Pada hakekatnya adalah MEMPELAJARI!! Ya, itulah yang dimaksud. Mempelajari. Mengikuti arus sungai kehidupan kita. Tentu saja dengan mata dan telinga terbuka. Sadar. Awas dan selalu terjaga. Oke?

Pembaca yang budiman, saya kira tak mungkin untuk menguraikannya secara lebih terperinci lagi dari tiap-tiap subyek tadi. Penjabarannya terlalu luas. Kalau anda ingin contoh yang lebih kongkrit tentang bagaimana yang dimaksud dengan hubungan terhadap diri sendiri, hubungan terhadap yang "di luar" diri sendiri dan hubungan terhadap Tuhan dengan agama sebagai jembatannya biarlah di lain kisah saja saya akan memberi contohnya. Terlalu luas. Tak mungkin dimasukkan di sini. Salah salah bisa tak "tertelan" oleh anda. Biarlah satu persatu. Tahap demi tahap.

Dan bagaimana dengan kisah Pendekar Gurun Neraka dan keluarganya itu? Mudah diduga. Bi Lan mendapatkan Liong Han, pembaca yang budiman. Sedang Sin Hong akhirnya menikah dengan Kui Lin, beberapa bulan kemudian. Sedang Han Ki dan adiknya kelak mendapat jodoh sendiri-sendiri beberapa tahun kemudian. Dan dua puluh tahun setelah kejadian di Hwee-seng-kok, ketika Pendekar Gurun Neraka dan dua isterinya menjadi kakek dan nenek-nenek yang hidup tenang di Ta-pie-san, sementara Sin Hong dan yang lain-lain menjadi orang-orang setengah umur maka di dunia persilatan muncul dua pendekar pedang yang amat lihai dan gagah perkasa.

Dua pendekar kembar yang bukan lain adalah putera mendiang Bu-tiong-kiam Kun Seng si jago pedang, Kun Hap dan saudaranya, Kun Gi. Dua bocah yang dulu dirawat Pek Liang Nikouw, kini menjadi pemuda-pemuda yang tampan dan mahir mainkan ilmu pedang warisan ayah mereka yang ditulis Kun Houw. Dan karena Kun Houw saja sudah merupakan seorang pewaris pedang yang amat lihai maka gabungan dua kakak beradik Kun Hap dan Kun Gi itu menjadi orang-orang yang jauh lebih lihai lagi. Mereka tak terkalahkan, bahu-membahu dengan keluarga Pendekar Gurun Neraka menumpas kejahatan.

Dan karena Pendekar Gurun Neraka dan keturunannya saja sudah merupakan orang orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi maka gabungan dua kakak beradik yang jago pedang ini berhasil menenteramkan dunia selama lima puluh tahun lebih. Hal yang luar biasa!

Begitulah. Urusan kerajaan sudah tak ada lagi. Pertikaian antara Wu dan Yueh berakhir. Dan karena cerita ini juga sudah selesai maka penulis mohon diri untuk jumpa di kisah mendatang. Menampilkan Bu-beng Sian-su dalam lain cerita. Cerita baru cerita yang mengupas tentang sebuah kenyataan hidup yang lain. Tentang pengalaman yang konon kata orang merupakan guru paling baik bagi kita. Bahwa pengalaman adalah sesuatu yang paling berharga bagi kita. Amat utama. Benarkah?

Anda akan dibuat tercengang bila Bu-beng Sian-su menjawab bahwa pengalaman itu sendiri sesungguhnya bukan hal yang amat utama. Bahwa pengalaman itu sendiri sesungguhnya "nomor dua". Bahwa ada sesuatu yang lebih penting lagi dari sekedar pengalaman itu sendiri. Apakah itu? Anda nantikan saja kisah berikut: PENDEKAR RAMBUT EMAS, buktikan di situ!

Pembaca yang budiman, kiranya cukup saya berceloteh. Sebelum saya mengakhiri tulisan ini ingin rasanya saya mengulang kembali apa yang telah dikatakan Bu-beng Sian-su. Bahwa kita hidup adalah untuk belajar. Bahwa ada tiga hal pokok yang selalu mengikuti kita, yang perlu kita pelajari. Yakni hubungan kita dengan diri kita sendiri, hubungan kita dengan yang "di luar" diri kita sendiri dan yang terakhir adalah hubungan kita dengan Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta. Yang pertama tentunya mengandung maksud supaya kita mengenali sifat-sifat kita, pikiran-pikiran kita, sepak terjang atau tindak tanduk kita. Bila bengkok (mungkin banyak yang begitu) perlu diluruskan. Bila keliru (mungkin juga banyak yang begitu 'termasuk saya') perlu di benarkan. Hidup adalah memang untuk belajar.

Dan kalau sudah begini, kalau kita sudah dapat mempelajari diri sendiri tentunya kita meningkat untuk "mempelajari" orang lain (Awas!! bukan "mengerjai" orang lain!). Itu penting. Dan yang "di luar" bukan saja orang lainnya, manusia. Tapi bisa berarti juga alam sekitar. Flora, fauna entah apa lagi yang ditemukan manusia. Sebab dengan belajar dan belajar tentu kita akan diasah sepanjang waktu. Memiliki kecerdasan batin di samping kecerdasan otak. Dan kalau sudah begini. individu demi individu mau mulai belajar dalam arti kata seutuhnya tentu anda akan merupakan kelompok yang tangguh. Masyarakat yang tangguh. Lahir batin. Semoga kita menjadi bangsa yang kuat dan jaya...!

TAMAT

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.