Tapak Tangan Hantu Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 21
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“WUT-WUT!”

Alangkah heran dan terkejutnya nenek. ini. Bubuk Pembuyar Sukmanya, Siau-hun-san terkibas ke delapan penjuru ketika lawan mengebut dan menghilang. Bubuk Pembuyar Sukmanya itu terdorong dan terpental untuk kemudian tiba-tiba membalik. Dan ketika ia kaget dan berseru keras maka ketiga temannya juga berteriak karena bubuk-bubuk yang halus harum itu menyambar muka dan tahu-tahu sudah siap tersedot!

“Haiyaaa...!” Eng-seng-thiong memaki dan melempar tubuh bergulingan.

Kakek itu mengumpat Siau-hun Mo-li sementara nenek itu sendiri juga membentak dan membanting tubuh menyelamatkan muka. Bubuk Siau-hun-san amat berbahaya kalau tersedot. Dan ketika Siang-buang Thai-swe juga membentak dan melempar tubuh bergulingan, deru gada tak mungkin menghalau bubuk-bubuk halus itu maka lawan berkelebat muncul dan terkekeh nyaring.

''Hi-hik, lima belas jurus. Eh, ingat dan hitung baik-baik, Siau-hun Mo-li. Pertandingan sudah berjalan lima belas jurus, kurang lima lagi!”

Empat orang itu bergulingan meloncat bangun dengan muka pucat. Mereka telah menghitung jalannya pertandingan dan memang benar lima belas jurus. Dan selama itu mereka belum mampu merobohkan lawan. Jangankan merobohkan, mendesak mundur saja tak dapat, bahkan mereka yang terdesak dan berkali-kali harus menyelamatkan diri. Dan ketika semua merah padam sementara pemuda itu muncul di depan lagi, gerakannya tadi benar-benar luar biasa cepat maka keempatnya terutama Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe memberi isyarat untuk mengadu jiwa!

“Mo-li, rupanya kita harus mengeluarkan semua kepandaian kita. Bunuh si banci ini atau kita roboh!”

“Benar, lawan telah menghina kita, Ji-thai, mempermalukan kita. Mari kita bunuh dan mengadu jiwa!”

Nenek itu melengking dan sudah menerjang lagi. Kini rambut menjeletar hingga tampak kilatan api. Suaranya saja cukup membuat keder lawan yang nyalinya lemah. Dan ketika nenek itu meraup lagi bubuk-bubuk berbahayanya, siap di kedua tangan untuk sewaktu-waktu dihamburkan ke depan, maka Ji-thai, Datuk Nomor Dua menggedruk bumi dan gada menyambar serta kepala tiba-tiba menumbuk dan menerjang bagai gajah menabrak gunung.

“Ji-te!”

Teriakan itu percuma. Sang kakak yang amat berhati-hati dan kaget melihat saudaranya mengeluarkan Hek-thau-kang (Tenaga Gajah Murka) sudah tak dapat mencegah kemarahan adiknya ini. Ji-thai telah melompat dan siap dengan kepala di depan. Batok kepala itu tiba-tiba tampak berkilat dan mengepulkan asap, bukan main, itulah tanda kemarahan sangat yang tak dapat ditahan lagi oleh Datuk Nomor Dua ini.

Dan ketika sang kakak terpaksa mengikuti karena si banci tiba-tiba mengeluarkan kipasnya, harum cendana menyambar disusul gerakan tangan kiri yang mendorong dengan jari-jari terbuka maka serudukan atau tumbukan Ji-thai itu diterima dan lima kuku berkilat yang mengeluarkan cahaya merah menyambut serangan dahsyat ini, juga rambut dan bubuk Siau-hun-san yang tiba-tiba dikebutkan Siau-hunMo-li.

“Wherrr-dessss!”

Dahsyat sekali pertemuan kepala dengan telapak kiri pemuda baju biru itu. Gada di tangan kanan Ji-thai menghantam pundak lawan namun meleset. Ada semacam lendir licin melindungi pundak itu, Hek-be-kang (Tenaga Belut Hitam). Lalu ketika Ji-thai terbelalak dan tampak tertegun, kepalanya ditahan tak dapat maju tiba-tiba ia merasa sengatan kecil yang amat panas di kulit kepalanya. itu. Demikian panas hingga tokoh ini menjerit. Itulah Ang-su-giat atau Racun Semut Api yang ada di kuku si banci, dijentikkan dan cepat sekali kepala si botak terbakar.

Dan ketika Ji-thai terbanting dan seketika bergulingan, meraung dan menggaruk-garuk kepalanya sendiri maka Siau-hun Mo-li memekik dan rambut kepalanya diterima kipas, dibelit dan ditarik dan terbawalah nenek ini kedepan. Ia kaget dan pucat namun semua itu berjalan amat cepat. Siau-hun-sannya ditiup dan balik menyambar wajahnya sendiri.

Dan ketika nenek itu batuk-batuk dan tercekik bubuk beracunnya, sesaat ia mendelik tak dapat melakukan apa-apa maka kaki lawan bergerak dan tepat sekali mengenai lutut nenek ini, terlempar dan terbanting sementara rambutnya berodol. Nenek itu mengeluh dan menabrak meja arak, berhenti di sana. Lalu sementara dua yang lain terkejut dan membelalakkan mata maka gada It-thai menghantam kepala lawannya ini tapi seperti adiknya tadi gada itu mental bertemu kulit licin seperti belut.

“Dukk!”

Gada meleset dan bertemu jepitan kutu si Peniru Suara. Kakek tinggi kurus Eng-seng-thiong ini sebenarnya sudah lebih dulu gentar dan ragu-ragu menyerang lawan, kalaupun menyerang tenaganya separoh-separoh. Maka ketika ia dihantam gada dan otomatis terpelanting, berteriak adalah temannya itu disambar totokan ujung kipas dan Datuk Nomor Satu inipun terbanting dan mengeluh pucat.

“Bluk!”

Selesailah pertandingan cepat itu. It-thai terbelalak disana sementara adiknya masih menjerit dan berteriak-teriak tak keruan. Kepala yang digaruk dan ditampar. Tapi ketika si banci tertawa mengejek dan berkelebat menotok punggung Ji-thai maka Datuk Nomor Dua itu mengeluh perlahan dan roboh tenang, matanya berkejap-kejap dan gatal serta panas yang menyiksa lenyap. Hanya Siau-hun Mo-li yang merintih dan kesakitan di bawah meja karena rambutnya yang berodol menusuk permukaan kulit kepala seperti ratusan jarum menusuk-nusuk, pengaruh Siau-hun-san cepat ditangkal dengan sebutir obat penawar.

“Nah, bagaimana sekarang.” pemuda itu tertawa. “Masihkah kalian tak menghargai diriku, Siau-hun Mo-li. Apakah perlu semuanya kusiksa dan kubuat seperti Ji-thai tadi. Katakan bahwa kalian minta ampun atau boleh terus berkeras kepala dan rasakan akibatnya!”

“Ampun, aku sudah mengaku kalah,” Eng-seng-thiong buru-buru maju dan dia inilah yang paling selamat. Hajaran gada tak seberapa dibanding hajaran si banci itu, yang mengakibatkan teman-temannya menderita. “Aku hanya memenuhi undanganmu, anak muda, memenuhi permintaanmu. Ampunkan aku dan kawan-kawanku ini!”

Sekilas tersirat mata benci Siau-hun Mo-li. Nenek ini marah memandang temannya namun ketika dipandang lawannya mendadak ia menunduk. Mata si banci itu tiba-tlba lebih berkilat lagi, mencorong dan seperti api, menjilat hangus tubuhnya. Dan ketika nenek itu mengeluh dan menunduk, rasa gentar merayap datang akhirnya ia berlutut dan menggigil.

“Aku mengaku kalah,” katanya lirih. “Kau benar, anak muda. Kami benar-benar bukan tandinganmu dan ampunkan keberanianku tadi.”

“Bagus, dan kau,” telunjuk itu menuding Ji-thai. “Kau masih ingin merasakan kelihaianku lagi atau tidak, Ji-thai. Tak perlu menaruh dendam karena kalian tak tahu siapa adanya aku!”

“Ampun, maafkan aku!” kakek gundul itu merangkak dan gentar serta pucat, berlutut, mengangguk-angguk. “Aku sekarang tahu diri, anak muda. Kau benar-benar bukan tandingan kami dan ampunilah aku!”

“Dan kami siap menjadi bawahanmu,” It-thai tahu diri dan mengikuti adiknya itu, gentar. Betapapun sebelumnya dia sudah berhati-hati dan untung tidak seberangasan adiknya. “Kau hebat dan amat lihai, anak muda. Bolehkah kami tahu siapa diri atau julukanmu. Biarlah mata kami terbuka hingga hilang penasaran ini!”

“Benar,” Eng-seng-thiong berseru dan menyambung girang. “Perkenalkanlah dirimu kepada kami, siauw-ongya (Pangeran Muda). Kau tentu bukan manusia biasa karena kepandaianmu seperti malaikat!”

Si banci tertawa dan terkekeh-kekeh. Sebutan siauw-ongya yang menunjukkan dirinya begitu tinggi membuat pemuda aneh ini senang sekali. Ia tertawa dan menepuk-nepuk bahu si Kutu Peniru Suara itu. Tapi ketika tawanya lenyap terganti sikap bengis dan dingin, ia memandang empat orang itu satu persatu akhirnya ia melepaskan cincin di jari manisnya dan melempar itu kepada Eng-seng-thiong dan kawan-kawan.

“Barangkali kalian kenal ini, lihatlah!”

Hampir berbareng empat orang itu menyambar. Mereka melihat sebuah cincin hitam berbatu mengkilat. Tertimpa sinar lampu, cincin itu malah seperti mata seekor naga, atau mungkin siluman. Dan ketika semuanya memandang tajam dan penuh perhatian mendadak keempatnya berubah dan serentak membungkuk dan mencium tanah.

''Kami kiranya berhadapan dengan Siluman Akherat Te-gak Mo-ki yang mulia!”

“Hm, kalian tahu?” si banci menyambar dan menyimpan kembali cincinnya. “Bagus, benar aku, Siang-buang Thai-swe. Agaknya sekarang kalian tak perlu penasaran lagi dan tunduklah baik-baik!”

Empat orang itu mengangguk dan pucat. Tentu saja mereka tak menduga bahwa laki-laki di depan mereka ini ternyata Te-gak Mo-ki yang luar biasa. Sepak terjang pemuda ini telah membuat gempar dunia kang-ouw dengan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san itu, mereka telah dengar itu. Maka ketika semuanya menjadi berdebar dan gentar, baru sekaranglah mereka bertemu dan merasakan kelihaian pemuda ini maka tunduklah keempat orang itu tanpa banyak peradatan lagi.

Sikap galak Siau-hun Mo-li berubah total. Sikap berangasan Ji-thai juga lenyap terganti rasa takut dan gentar. Dan ketika malam itu empat tokoh ini menyatakan tunduk di bawah Te-gak Mo-ki, Siluman Akherat berada di istana maka Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan diberi tahu bahwa urusan dihadapi mereka itu.

“Karena kalian tunduk kepadaku maka urusanku urusan kalian pula. Kepemimpinan di sini kuambil alih, kalau ada yang mencari aku harap kalian yang memberesi dulu. Baru kalau tidak terselesaikan kalian memanggil aku. Mengerti?”

“Kami mengerti,” empat orang itu mengangguk. Lalu ketika malam itu semua kembali ke tempat masing-masing maka Te-gak Mo-ki alias si banci ini menjadi orang paling ditakuti di istana, bukan lagi karena di belakangnya ada Hui-ongya melainkan karena ia benar-benar seorang yang amat lihai. Tokoh Bayangan saja dibuatnya bertekuk lutut. Dan ketika malam itu ia telah menundukkan semuanya maka Siau-hun dan kawan-kawannya ini seperti seekor anjing jinak yang penurut di kaki tuannya yang kadang-kadang dapat bersikap manis namun tak jarang berubah menjadi bengis dan kejam, seperti sikapnya kepada Jing-ji-mi-to yang akhirnya tak ada di istana lagi melarikan diri entah ke mana.

* * * * * * * *

Te-gak Mo-ki benar-benar bergelimang kesenangan. Betapa tidak, sejak kemenangannya terhadap Siau-hun Mo-li dan ketiga kawannya yang merupakan tokoh-tokoh andalan, maka praktis kekuasaan di tangan laki-laki aneh ini. Segala yang bersangkut-paut masalah keamanan ada ditangan pemuda ini. Istana bukan lagi dilindungi Lima Pengawal Bayangan melainkan di tangan si banci ini.

Kabar kekalahan Siau-hun Mo-li menyebar cepat, meskipun hanya lewat bisik-bisik dari mulut ke mulut. Dan karena pemuda itu juga menjadi sahabat dekat Hui-ongya, juga saudara sekaligus kekasihnya maka bukan rahasia lagi kalau ke manapun pangeran itu pergi di situ pula Te-gak Mo-ki ini berada.

Dua orang ini sudah seperti suami isteri saja. Hui-ongya sudah tidak lagi menghiraukan para selirnya karena yang penting adalah si banci. Tanpa si banci seolah ia tak dapat hidup. Demikian hebat cengkeraman ilmu hitam yang digunanakan si banci ini mempengaruhi Hui-ongya. Segala-gala pun akan diberikan pangeran itu kepada pemuda ini. Tapi ketika suatu malam si banci minta menyingkirkan kaisar, ingin merebut. kekuasaan dan menjadi yang dipertuan di situ maka pangeran ini tersentak dan ilmu hitam yang dipergunakan rupanya tak mampu menembus. Terlalu hebat permintaan itu, tak mungkin!

“Apa..... apa, Kiem-te (adik Kiem)? Kau.... kau hendak membunuh sri baginda? Kau hendak menyingkirkannya?”

“Hm, aku hanya ingin menaikkan derajatku. Sekarang aku memang telah menjadi Pangeran Muda, kakak Hui, tapi rasanya masih di bawah kedudukanmu. Aku ingin merasakan yang lebih tinggi, dan kau tak mampu menjadikan aku pangeran penuh!”

“Itu kekuasaan sri baginda, derajat dan pangkat hanya wewenang kaisar!”

“Itulah, aku sebal. Kalau si tua itu tak ada di sini tentu mudah aku menaikkan diriku, kanda Hui, dan kaulah satu-satunya orang yang sebenarnya paling kuharap. Tapi kau terbentur si tua bangka itu, mana janjimu yang katanya siap memberikan segala-galanya padaku!”

Hui-ongya pucat. Dari pembicaraan ini saja dapat ditarik kesimpulan betapa akrab dan dekatnya mereka itu. Sejak Eng-seng-thiong menyebutnya Pangeran Muda maka lelaki ini minta pada Hui-ongya agar dia benar-benar dapat menjadi itu, pangeran. Kemudian atas bujukan dan usaha Hui-ongya akhirnya si banci mendapat gelar Siauw-ong. Kaisar juga terheran-heran dan terkejut ketika diperkenalkan pada pemuda aneh ini.

Namun ketika Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan tampak berlutut di belakang si banci itu, mengangguk dan mengiyakan bahwa kedudukan mereka di bawah si banci itu maka kaisar terbelalak dan minta bukti bahwa empat tokoh andalan itu bukan tandingan. Dan mudah bagi si banci ini mendapatkan kepercayaan kaisar. Dia menyuruh maju empat orang itu, mengalahkannya dan kaisar mengangguk-angguk kagum.

Lalu ketika dia menjadi girang bahwa di istana ada pemuda sehebat ini maka Te-gak Mo-ki menjadi tokoh andalan dan segala urusan, yang menyangkut keamanan diserahkan pemuda itu. Si banci yang aneh ini mendapat gelar baru, Pangeran Muda. Dan ketika semua pejabat dan kerabat istana jerih kepadanya, bahkan Hui-ongya membiarkan si banci itu mencari pasangan lain maka Te-gak Mo-ki yang lihai ini terang-terangan mencumbu pemuda-pemuda lain di istana untuk menjadi pasangannya pula, dengan Hui-ongya yang paling utama.

“Tak usah kanda khawatir. Kekasihku adalah kau seorang, kanda, lainnya itu hanya selingan. Aku mencari kesenangan baru saja sebagai pencegah kejenuhan. Kaupun boleh bermain cinta dengan mereka kalau kau suka.”

Begitu si banci ini berkata ketika mula-mula Hui-ongya tentu saja mengerutkan alis. Bagi pangeran ini Te-gak Mo-ki adalah pasangannya. Tapi ketika dengan kepandaiannya si banci itu menekan jiwa Hui-ongya, sihir atau pengaruh guna-guna itu diperkuat hingga sang pangeran tak dapat berbuat apa-apa asal jangan ditinggal maka Hui-ongya justeru mendapat “mainan” baru ketika disodorkan kepadanya pasangan lain, pemuda atau pangeran-pangeran tampan istana.

“Kaupun boleh membuang kejenuhan seperti caraku. Kita boleh bermain dengan siapa saja asal ingat bahwa kita berdua adalah yang resmi. Nah, aku tak melarangmu seperti kau juga tak boleh melarangku, kanda. Masing-masing boleh berganti pasangan asal kita tetap satu. Cobalah!”

Canggung juga rasanya bagi pangeran ini untuk ketika mula-mula mendapat pasangan baru. Yang mereka dapatkan adalah putera Ta-ciangkun, putera seorang perwira yang lebih dulu dipakai si banci ini. Tapi ketika ia merasakan kegembiraan baru dan semangat yang lain, Te-gak Mo-ki terkekeh membantunya maka Hui-ongya tiba-tiba tenggelam dan mabok bersama Ta-kongcu ini, bahkan mereka bertiga sama-sama bermain cinta!

“Hi-hik, bagaimana, kanda? Puas?”

“Ah, heh-heh ah, aku puas, Kiem-te. Pengalaman baru ini membuatku benar-benar gembira. Kau pandai menyuguhkan yang baru. Ta-kongcu itu kuat sekali!”

“Hi-hik, tak aneh. Ia masih baru dan segar. Tapi seminggu kemudian harus kita campakkan cari yang baru lagi. Aku masih mempunyai beberapa yang lain lagi dari pemuda-pemuda istana ini. Kanda tentu puas!”

Hui-ongya tertawa dan gembira tenggelam dalam kesenangan barunya ini. Betul seperti kata kekasihnya, maka seminggu kemudian ia pun mulai bosan kepada putera Ta-ciangkun itu, mendapat yang lain dan berturut-turut tiga pangeran muda datang ke kamarnya. Mereka itupun yang sudah dikuasai si banci satu di antaranya bahkan putera Cia-taijin, penasihat kaisar yang cukup berpengaruh dan Hui-ongya pun menaruh segan.

Maka ketika semua berjalan diam-diam dan masing-masing tentu saja menyembunyikan itu, gedung Hui-ongya penuh dengan pemuda-pemuda cakap maka di antara pemuda-pemuda itupun terjadi permainan cinta tiada ubahnya para selir dengan junjungannya! Te-gak Mo-ki itulah rajanya. Dialah pemimpin, penguasa. Tapi ketika Cia-taijin mendengar kelakuan puteranya, serapat-rapatnya kebusukan itu disimpan tetap juga terdengar akhirnya pembesar ini marah sekali dan puteranya ditarik serta tidak diperbolehkan lagi ke gedung Hui-ongya.

“Memalukan, gila, tidak waras! Ah, apa yang kau lakukan ini, Cia Sun. Betapa bobroknya hubunganmu dengan sesama laki-laki itu. Apa kata orang kalau kau menjadi pemuda seperti ini, bencong! Bagaimana nama baik orang tuamu. Ah, banci gila itu rupanya menyeretmu sehingga seperti ini!”

Lelaki tua itu marah-marah dan membentak puteranya. Kabar itu akhirnya masuk juga dan Cia Sun puteranya tampak pucat, lemah. Tak aneh karena sebulan ini diperas habis-habisan. Dia pemuda yang paling tampan dan halus pula, penurut tapi celakanya malah dipermainkan orang. Dan ketika sejak itu puteranya tak boleh bermain-main di gedung Hui-ongya lagi, dia tahu Te-gak Mo-ki adalah biang keladinya maka pembesar ini mulai menaruh kebencian kepada si banci itu.

Bukan tidak didengarnya hubungan tidak wajar antara Hui-ongya dan si banci itu. Bukan tidak didengarnya pula betapa Hui-ongya kini mempunyai kebiasaan aneh mengumpulkan pemuda-pemuda tampan. Tapi ketika puteranya malah terseret dan itu gara-gara si banci baju biru, orang yang telah mendapat gelar dari kaisar maka lelaki ini merah mukanya namun memendam marah karena ia tahu lihainya si banci itu.

Dan kemarahan Cia-taijin ini akhirnya dilepaskan divhadapan kaisar secara hati-hati. Dia memberi tahu kebobrokan di tempat Hui-ongya itu dengan biang keladi si banci. Dan ketika kaisar terkejut dan membelalakkan mata, heran namun mengangguk-angguk maka tiba-tiba berkatalah Kwa-taijin (Menteri Kwa) bahwa persoalan seperti itu tak perlu diperpanjang lebar.

“Ini adalah kesenangan anak-anak muda, tak mengganggu ketenangan rakyat. Kupikir Cia-taijin tak perlu mengusik kegembiraan baginda yang sedang menikmati minum teh!”

Pembesar itu terbelalak. Ia terkejut oleh kata-kata Kwa-taijin ini dan kaisar terpengaruh, mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan Menteri Kwa itu. Dan ketika ia tak jadi menceritakan lebih jauh karena Kwa-taijin tampak mengerdip dengan tanda-tanda rahasia maka sri baginda berkata bahwa urusan seperti itu memang tidak membahayakan negara, tak perlu lapor.

“Benar, Kwa-taijin benar. Urusan seperti ini adalah urusan anak-anak muda, paman Cia, kesenangan mereka. Asal tidak mengganggu orang lain dan istana kupikir tak perlu dipersoalkan. Hal ini urusan kecil yang hanya mengganggu kenikmatanku minum teh!”

Lelaki tua itu surut. Di belakang Menteri Kwa terdapat beberapa perwira dan pembantu yang mengangguk-angguk. Mereka rupanya setuju dengan kata-kata Kwa-taijin itu dan membuat ia terpaksa bungkam. Cia-taijin tak tahu betapa Te-gak Mo-ki melalui Hui-ongya telah menanamkan orang-orangnya di sekitar sri baginda, bukan apa-apa melainkan berjaga jangan-jangan persoalan itu dilaporkan kaisar, menghasut dan mempengaruhi sri baginda yang akibatnya hanya merepotkan mereka nanti, mengganggu kesenangan.

Dan ketika benar saja lelaki tua itu bicara di saat kaisar menikmati teh harum, dikelilingi Kwa-taijin dan pembantu-pembantu lain maka cepat saja menteri yang mendapatkan jabatannya atas bantuan Hui-ongya itu bertindak dan menangkal laporan Cia-taijin ini. Mengatakan bahwa itu urusan kecil yang hanya mengganggu kegembiraan kaisar!

Lelaki ini tertegun. Dia tahu siapa Kwa-taijin itu, menteri yang menjadi pembantu Hui-ongya. Maka sadar bahwa di tempat itu tak baik dia melanjutkan laporannya maka pembesar ini diam saja sampai akhirnya dia mengundurkan diri, ketika kaisar dijemput tujuh selir cantik untuk masuk ke dalam.

“Hm, awas kau. Kiranya kau membela pangeranmu itu. Baik, di saat yang lain aku pasti datang melapor lagi, Kwa-taijin. Tunggulah saat aku berdua saja dengan sri baginda!”

Lelaki itu tak menyerah dan melihat bahwa kaisar harus dibangkitkan perhatiannya. Kemarahannya ditunda lagi tapi hari-hari berikut merupakan hari yang penuh kesukaran baginya, kaisar tak pernah sendiri, selalu ada Kwa-taijin atau para pembantunya. Dan ketika lelaki ini menjadi marah dan berang, suatu hari dibuatnya surat agar dirinya diperkenankan berdua dengan sri baginda, tak ada orang di situ maka dalam surat ini penasihat kaisar itu berkata bahwa ada sesuatu yang amat penting untuk disampaikan.

”Hamba melihat bahwa paduka tak pernah sendiri, selalu dikelilingi Kwa-taijin atau orang-orang lain. Mohon paduka memberi waktu untuk hamba, sri baginda. Ada sesuatu yang amat penting yang ingin hamba sampaikan. Hamba ingin hanya paduka yang mendengar ini. Maaf!”

Kaisar tertegun. Ia memandang penasihatnya itu dan berdebar tak senang. Kalau saja lelaki ini bukan penasihatnya tentu ia marah dan menolak. Ada bisikan dari Kwa-taijin bahwa lelaki itu hanya akan melapor ini-itu yang sifatnya mengganggu sri baginda saja, padahal istana dan rakyat tenang-tenang saja. Tapi karena pembesar itu tampak serius dan ia menarik napas dalam akhirnya kaisar berkata bahwa sore nanti Cia-taijin boleh menemuinya berdua, di ruang dalam.

“Nanti kusediakan waktu untukmu, apa yang hendak kau katakan. Nah, pergilah atau tinggal di sini bersama yang lain, paman. Kuharap kau tidak menggangguku dengan laporan-laporan yang tidak penting. Aku tak mau diberatkan persoalan-persoalan sepele!”

“Terima kasih,” pembesar itu beringsut mundur, girang bahwa maksudnya akan kesampaian, tak sudi di situ dengan Kwa-taijin dan lain-lain. “Hamba nanti datang lagi, sri baginda. Tentu saja hamba ingin bicara yang betul-betul penting. Terima kasih atas kesediaan paduka!”

Namun bersamaan dengan mundurnya lelaki itu mundur pula dua orang pembantu Kwa-taijin. Mereka ini telah mendapat kedipan rahasia dan mendengar semua itu pula, tentu saja tahu bahwa Cia-taijin lagi-lagi akan melapor masalah Hui-ongya, rupanya tak puas dan masih penasaran akan gagalnya yang lalu. Maka ketika mereka mundur dan gerak-gerik pembesar ini tentu saja diikuti Hui-ongya, juga Te-gak Mo-ki maka si banci itu tertawa mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya.

“Tak usah khawatir, menyebalkan juga. Hm, kalau aku membunuhnya tentu kau tak setuju, kanda. Baiklah suruh orang memasukkan ini ke minuman Cia-taijin dan ia akan tersiksa selama sebulan, tak dapat menemui kaisar!”

Hui-ongya berseri. Memang ia tak setuju kalau penasihat itu dibunuh, terlalu kentara. Maklum betapapun Cia-taijin juga mernpunyai orang-orangnya yang setia. Maka ketika Te-gak Mo-ki mengeluarkan sebotol cairan tak berwarna dan juga tak berbau, menyerahkan itu kepada pembantu mereka, maka lewat pelayan yang mereka susupkan di tempat pembesar itu maka sore harinya pembesar ini menderita sakit!

Pertemuannya dengan kaisar tentu saja batal dan sri baginda menggeleng-geleng kepala, menyuruh tabib istana menemui penasihatnya itu tapi di tengah jalan tabib ini dihadang orang-orangnya Kwa-taijin. Tapi ketika Te-gak Mo-ki tiba-tiba muncul dan menyuruh orang-orang itu mundur, tertawa dan membiarkan tabib menuju gedung Cia-taijin maka si tabib tertegun dan jerih melihat si banci yang baru kali itu dijumpai.

“Tak usah dicegah, biar saja. Jangan menimbulkan kecurigaan seolah-olah kita menghalangi kesembuhan orang. Pergi dan kalian semua kembali!”

Tabib itupun dipersilakan jalan lagi. Mula-mula ia merasa heran dan kaget oleh semua ini, tak mengerti. Tapi ketika ia memeriksa Cia-taijin dan melihat lelaki itu merintih dan mengaduh-aduh memegangi perutnya, racun aneh membuat perut pembesar itu seolah diaduk-aduk maka sang tabib pucat karena seketika tahu bahwa obat apapun tak dapat menyembuhkan lelaki itu kecuali penawar dari si pemilik racun.

“Aku... aku hanya dapat meringankan penderitaanmu. Ah, kau menelan racun penyiksa, taijin. Kau terkena Bo-heng-jit-gu (Perut Sakit Tak Dapat Bersuara). Aku tak dapat berbuat jauh kecuali meringankan rasa sakit!”

Benar saja, lelaki tua ini tak dapat bersuara. Ia hanya ah-uh-ah-uh dengan kesakitan sementara kedua tangan memegangi perut yang serasa terbakar dan melilit. Minuman beracun yang tak diketahuinya membuat lelaki itu menangis. Ia tak dapat bicara! Dan ketika tabib hanya dapat meringankan sakitnya, bukan menyembuhkan atau menghilangkan biang keladinya maka untuk hari-hari berikut lelaki ini ah-uh-ah-uh tak dapat bicara apa-apa. Anak isterinya tentu saja menangis.

“Ha-ha, tahu rasa. Sekarang kita aman dan Cia-taijin tak dapat mengganggu kita. Ha, lanjutkan kesenanganmu, kanda, tak usah takut karena tanpa obat dariku lelaki itu tak akan sembuh!”

Hui-ongya gembira dan kagum bukan main. Kwa-taijin dan lain-lain meleletkan lidah dan mereka gentar. Kalau mereka yang disiksa alangkah ngerinya! Maka ketika si banci ini semakin ditakuti dan orang-orang jerih, Siau-hun Mo-li dan teman-teman hanya tersenyum kecut saja mendengar semua itu maka untuk sementara Kwa-taijin itulah yang menggantikan pekerjaan Cia-taijin, jadi penasihat!

“Kedudukanmu naik lagi. Nah, ingat dan setia kepada kami baik-baik, orang she Kwa. Jangan main- main atau kau seperti Cia-taijin nanti!”

Ancaman Te-gak Mo-ki membuat Kwa-taijin. mengangguk-angguk dan tentu saja diikuti gumam gemetar, gumam mengiyakan. Tak usah diancam ini saja menteri itu sudah takut. Kepandaian dan wajah si banci cukup membuat semangatnya kuncup dan mengkerut. Maka ketika kaisar sudah dikelilingi orang-orang seperti Kwa-taijin ini, juga pembantu-pembantunya yang lain yang rata-rata merupakan antek Hui-ongya maka Te-gak Mo-ki akhirnya menghendaki membunuh kaisar dan merebut kekuasaan.

“Jangan, kau tak dapat melakukan itu. Menjadi kaisar harus orang-orang berdarah bangsawan, Kiem-te. Orang biasa tak mungkin menjadi kaisar. Rakyat tak akan menerima dan kau sia-sia!”

“Hm, aku tahu. Tapi yang menjadi kaisar adalah kau, kanda. Aku cukup penasihat atau Koksu (Guru Negara). Di sini belum ada Koksu dan kau dapat menaikkan derajatku. Aku tak puas hanya dengan Pangeran Muda!”

Hui-ongya tertegun dan terkejut. Usul untuk membunuh kaisar sesungguhnya membuat terguncang juga. Sebenarnya mudah bagi mereka namun ekor dari semua ini bakal panjang, apalagi kalau Te-gak Mo-ki ingin berkuasa! Tiba-tiba dia merasa tak enak dan ada semacam ganjalan mengganggunya. Apakah yang diingini kekasihnya ini? Kekuasaan menguasai negara? Ia tak nyaman.

Harus diketahui bahwa pada saat-saat tertentu pangeran ini terlepas dari pengaruh hitam Te-gak Mo-ki, yakni ketika kekuatan hitam itu mengendor dan belum diisi lagi. Biasanya sekitar empat puluh hari. Pada saat-saat seperti itu semua kesadaran pangeran ini datang. Ia terheran-heran dan juga kaget oleh sepak terjangnya. Siapakah Te-gak Mo-ki itu? Bukankah orang luar dan hanya bertemu ketika di telaga? Dan ia pucat melihat perobahan pada dirinya sekarang, betapa tak ada lagi selir di situ melainkan pemuda-pemuda tampan melulu.

Bahkan ada pangeran yang masih keponakannya pula dijadikan kekasih, seorang pangeran belia yang usianya baru empat belas tahun! Ngeri dia membayangkan ini karena ibu dari pangeran itu masih kakak perempuannya sendiri. Bagaimana dia melakukan itu! Dan ketika kesadaran serta pikiran waras itu muncul, mengusir semua sisa-sisa gelap dari pikirannya yang lain maka Hui-ongya ini tiba-tiba merasa betapa keji dan sesat sebenarnya Te-gak Mo-ki itu.

Ia harus bertindak! Begitu ia mengepalkan tinju. Tapi ketika keesokannya matanya menjadi bengong melihat mata Te-gak Mo-ki yang mencorong penuh daya aneh, masuk dan menembus sukmanya secara kuat maka tanpa disadari lagi ia pun tertegun dan masuk dalam pengaruh ilmu hitam si banci.

Agaknya Te-gak Mo-ki lupa bahwa ilmunya harus diperkuat. Ada tanda-tanda Hui-ongya mau sadar. Maka ketika ia menusukkan ilmunya lewat pandang mata, lunglailah pangeran itu oleh segala daya hisap dan pengaruh guna-guna maka pangeran ini kembali seperti dulu-dulu lagi untuk tetap dalam cengkeraman Te-gak Mo-ki. Dan merekapun bicara tanpa rahasia-rahasia lagi untuk rencana pembunuhan kaisar. Namun sampai di sini kekuatan sihir itu rupanya terbentur, karena kesadaran yang paling dalam dan jauh di batin Hui-ongya itu masih belum terjangkau. Hui-ongya menggeleng dan menyatakan keberatannya.

“Hm, aku tak ingin menjadi kaisar, kau saja. Aku hanya ingin menaikkan derajatku dari Pangeran Muda menjadi pangeran penuh, kanda, juga jabatan Koksu untuk memperkuat kedudukanku. Kaisar dapat kulenyapkan!”

“Tidak, negara bisa gempar. Rakyat bakal terguncang dan kita semua repot, Kiem-te, tidak baik itu. Biarkan sri baginda di tempatnya dan nanti perlahan-lahan kubujuk agar menaikkan derajatmu!”

“Tapi tak mungkin kudapat. Gelar pangeran muda adalah gelar paling tinggi bagi orang biasa, kanda, kau tak mungkin berhasil. Kecuali kalau kau menduduki tahta dan peraturan istana ini kau robah!”

“Aku tak berani.”

“Kau harus berani, aku di belakangmu. Aku dapat membunuh baginda perlahan-lahan seperti yang kulakukan terhadap Cia-taijin!”

Hui-ongya pucat. Mata mencorong itu memaksanya tunduk dengan jiwa terguncang. Mata itu seperti mata seekor harimau haus darah, ia tergetar. Tapi karena pengaruh ilmu hitam tak menerobosnya sampai di relungnya yang paling dalam, betapapun pangeran ini tak mempunyai niatan memberontak akhirnya ia tetap menggeleng dan Te-gak Mo-ki mulai marah.

“Kiem-te, akalmu memang bagus, kematian sri baginda memang dapat dibuat secara tak kentara. Tapi di istana masih terdapat orang-orang yang setia kepadanya, Kiem-te, dan kalau aku naik tahta tanpa persetujuan mereka akibatnya bisa tak enak. Ada peraturan bahwa pengganti kaisar harus ditunjuk oleh kaisar yang terdahulu, atau kalau kaisar tiba-tiba meninggal dunia maka ada surat wasiat yang sudah terisi nama penggantinya, dan ini merepotkan kita!”

“Hm, begitu? Jadi sri baginda sudah membuat surat wasiat itu?”

“Benar, dan kalau surat itu bukan berisi namaku maka keinginanku ditolak, bisa terjadi perang saudara!”

“Baik, kalau begitu kapan sri baginda membuatnya. Di mana surat itu dan siapa yang memegang!”

“Tentu saja Cia-taijin.”

“Apa?”

“Benar, dia orang yang paling dekat dengan kaisar, Kiem-te, dan di tangannyalah surat itu ada. Kalaupun dia meninggal mendahului kaisar maka surat itu diberikannya kepada orang kepercayaannya yang ditunjuk.”

“Bagus, siapa orang itu!”

“Aku tak tahu, yang tahu hanya Cia-taijin.”

Te-gak Mo-ki tertegun. Ternyata dia tak tahu lika-liku istana ini, tak diduganya bahwa hal itu memang tak gampang. Maka ketika dia terkejut dan mengerutkan kening, percuma membunuh kaisar kalau tak dapat menduduki singgasananya akhirya si banci ini memukul permukaan meja dan melesaklah keempat kaki meja sampai setengah lebih.

“Hm, tak kusangka, repot juga. Kalau begitu rupanya harus dimulai dari Cia-taijin itu, kanda. Biar kusembuhkan dia dan kutanya tentang surat wasiat!”

Hui-ongya berdebar. “Kalau kau yang menyembuhkan maka segera diketahui pula bahwa kau yang mencelakainya. Lagi pula tak mungkin Cia-taijin mau bicara, Kiem-te. Kau akan gagal!”

“Dia dapat kupengaruhi, kutekan jiwanya!”

“Hm, kalau begitu terserah. Tapi ini dapat membahayakan rencanamu, orang lain akan mencium!”

Si banci menjadi marah. Ia merasa Hui-ongya ini selalu menakut-nakutinya, membuatnya bingung. Maka ketika bergerak dan tiba-tiba menangkap pangeran itu, hampir saja membantingnya mendadak ia teringat bahwa tanpa pangeran ia tak dapat maju ke depan.

“Kanda, kau selalu mengecilkan hatiku saja, menyebalkan. Kalau bukan kau tentu kuhancurkan kepalamu. Jangan selalu menakut-nakuti dan justeru bantulah aku mencari jalan keluar..... brakk!” Te-gak Mo-ki hanya melempar temannya ke meja itu dan Hui-ongya mengaduh. Ia kesakitan tapi si banci lenyap, Te-gak Mo-ki mendongkol. Dan ketika hari itu si banci merasa ragu namun meneruskan niatnya, ia mendatangi gedung Cia-taijin untuk menyembuhkan tiba-tiba ia terkejut karena lelaki tua itu tak ada lagi di sana, pergi entah ke mana, bersama Cia-hujin (nyonya Cia) dan puteranya, Cia Sun.

“Hm, kapan ia pergi, ke mana dan naik apa. Kenapa tak memberi tahu aku!”

“Ampun...!” pelayan merintih dan ketakutan, wajah Te-gak Mo-ki tampak bengis, menghitam. “Hamba... hamba tak tahu ke mana, kongcu. Keberangkatannya sudah tiga hari yang lalu!”

“Hm, kau memanggilku apa? Kongcu? Aku Siauw-ong (Pangeran Muda), dengar dan buka matamu baik-baik. Bersama siapa Cia-taijin pergi dan naik apa!”

“Mereka..... mereka naik kuda.... kereta.... Cia-hujin dan Cia-kongcu, mereka mereka ikut semua!”

Si banci mengerutkan alisnya semakin dalam. Ia telah mencari-cari pembesar itu tapi pantas tak ketemu, begitu juga Cia Sun bekas kekasihnya. Untuk pemuda ini ia tak mempengaruhi dengan ilmu hitam lagi karena putera Cia-taijin itu bukan orang penting. Itulah sebabnya Cia Sun lalu sadar lagi dan ngeri oleh sepak terjangnya, menurut dan tunduk kepada ayahnya dan pemuda ini tak lagi teringat si banci. Hui-ongya maupun yang lain malah dilupakan.

Dan ketika ayahnya malah mengikat perjodohannya dengan puteri Swi- goanswe, Swi Pang yang cantik manis akhirnya pemuda ini normal kembali namun sayang ayahnya tiba-tiba sakit seperti itu. Tabib istana telah memberi tahu dirinya tentang pertemuannya dengan si banci yang lihai itu, ketika mencegah orang-orangnya Kwa-taijin menghadang si tabib. Maka ketika Cia Sun mengerti bahwa sakit ayahnya kiranya dilakukan si banci itu, karena ayahnya didengar akan melapor pada sri baginda maka pemuda ini menjadi keder namun juga marah.

Akan tetapi Cia Sun tahu benar siapa Te-gak Mo-ki itu. Dalam cumbu rayu ketika dulu bermain cinta si banci itu telah menunjukkan ilmu-ilmunya yang aneh, seperti misalnya menghilang dan muncul lagi seperti iblis. Juga mengunyah sepotong besi untuk akhirnya dilumat habis. Dan karena semua itu dilakukan tokoh ini untuk menakut-nakuti korbannya, Cia Sun dan para pangeran lain gentar, maka pemuda ini tahu benar betapa si banci yang kadang dapat bersikap kasar dan bengis di pembaringan itu adalah seorang berbahaya yang berilmu tinggi!

Kini melihat ayahnya sakit dan ah-uh-ah-uh tak dapat bicara sebenarnya timbul jiwa pemberontakan. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Pemuda ini tak dapat berbuat apa-apa sampai ketika suatu hari datanglah Swi-goanswe (Jenderal Swi) itu berkunjung, maklum mereka adalah calon besan yang tak lama lagi terikat hubungan keluarga.

Swi-goanswe terkejut dan mengerutkan kening. Segera dia mendengar cerita Cia Sun yang membuatnya merah itu. Dia jarang di kota raja karena jenderal ini lebih sering di tapal batas menghalau bangsa liar yang ingin memasuki tembok besar. Tapi karena berita-berita kota raja juga selalu diikutinya dan dia mendengar tentang Te-gak Mo-ki ini, si banci yang lihai akhirnya jenderal tinggi besar bertubuh tegap dan gagah ini berkata,

“Agaknya ada seseorang yang mampu menyelamatkan ayahmu, seorang sahabatku. Marilah bawa dia ke sana dan kalian semua ikut ke tapal batas. Suruh ibumu berkemas.”

“Paman mau membawa kami ke tempat paman di utara?” Cia Sun masih memanggil paman kepada calon mertuanya ini, bukan gak-hu (mertua laki-laki), karena belum terikat resmi. ”Apakah paman yakin bahwa ayah betul-betul dapat disembuhkan?”

“Hm, semuanya perlu dicoba, Cia Sun, tapi mudah-mudahan sahabatku itu sanggup. Ia telah banyak membantu anak buahku dari bermacam-macam penyakit, baik luka senjata atau racun. Mari bawa ke sana dan secepatnya saja, berangkat malam hari!”

Tak ayal lagi pemuda itu tergesa memanggil ibunya. Cia-hujin berurai air mata namun wanita tua ini mengangguk-angguk. Kalau ada orang yang kepandaiannya melebihi tabib istana dan dapat menyembuhkan suaminya tentu saja ia girang. Isteri mana tak senang suaminya sembuh.

Maka ketika malam itu juga keluarga Cia-taijin ini meninggalkan istana, Swi-goanswe diam-diam titip pesan untuk disampaikan ke sri baginda, maka tak ada yang tahu bahwa sebuah kereta dengan empat ekor kuda itu berisi Cia-taijin dan keluarganya, apalagi karena Swi-goanswe juga jarang tinggal di kota raja karena puteri dan isterinya ikut di tempat tugas.

“Hm, jadi majikanmu keluar semua?” Te-gak Mo-ki akhirnya mengetahui ini namun terlambat, matanya berkilat pada pelayan yang ditangkap itu. “Beb.... benar.... ampunkan aku, ongya aku tak tahu apa-apa lagi. Aku...aku hanya disuruh jaga rumah!”

“Bagus, kalau begitu kau juga patut menjaga neraka, pergilah!” Te-gak Mo-ki mencekik dan tiba-tiba melempar pelayan itu. Terdengar jerit tertahan namun diam, tubuh si pelayan terlempar dan terbanting di sudut, tenggorokannya patah! Lalu ketika si banci itu berkelebat dan kembali ke gedung Hui-ongya maka di sini pangeran itu juga terkejut dan heran.

“Keluar? Ke mana?”

“Aku tak tahu, kalau tahu tentu kubekuk, kanda. Sekarang suruh orangmu mencari Cia-taijin itu dan cepat lapor kepadaku!”

Hui-ongya berdebar namun mengangguk. Diam-diam ada perasaan lega dan girang Cia-taijin tak ada di rumah. Sesungguhnya diam-diam ia khawatir kalau surat wasiat itu terampas, Cia-tajin terbunuh. Maka ketika ia menyuruh orang-orangnya namun tentu saja setengah hati, tak begitu bersungguh-sungguh maka berdatanganlah orang-orang mencari Te-gak Mo-ki itu, para tokoh dari Bu-tong dan Hoa-san. Dan karena selama ini si banci selalu marah-marah, Cia-taijin belum ditemukan maka pemuda aneh itu membiarkan rambutnya memanjang untuk akhirnya diikat seperti ekor kuda!

Mula-mula yang berhadapan dengan para tokoh ini tentu saja Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan. Merekalah yang bertugas kalau ada yang mencari si banci. Dan ketika hari itu Mo Mo Cinjin muncul bersama ketua Bu-tong Beng Cit Ho-siang, menggantikan ketua lama yang sakit dan mengasingkan diri maka Siau-hun Mo-li yang mula-mula bertemu dengan orang-orang ini dibuat gentar dan terkejut. Tak kurang dari delapan tokoh berkelebat di situ, sementara di luar tembok tampak bayangan-bayangan lain yang rupanya murid-murid dua tokoh ini.

“Siancai, selamat malam. Kami ingin bertemu Te-gak Mo-ki pimpinanmu, Siau-hun Mo-li. Pinto ada perlu dan suruh dia keluar.”

“Omitohud, pinceng juga. Kiranya kau di sini, Siau-hun Mo-li, sudah lama bekerja di istana. Pertemukan kami dengan majikanmu atau pinceng minta kau ikut di rombongan kami sampai dia keluar.”

Itulah seruan atau kata-kata ketua Bu-tong dan Hoa-san yang lembut namun menggetarkan jantung. Siau-hun Mo-li tentu saja mengenal tokoh-tokoh ini karena dulu dia pernah bertemu, menjajal ilmu-ilmu orang pandai dan pergi setelah tak ada yang kalah atau menang. Nenek ini memang aneh semasa mudanya karena suka mengajak tanding orang-orang persilatan, kalau menang malah membunuh!

Maka ketika ia melihat tokoh-tokoh itu dan Mo Mo Cinjin yang berjenggot panjang tampak bersinar-sinar memandangnya, mata kakek itu semakin berkilat sementara Beng Cit Hosiang di sebelahnya juga memandang tenang namun sorot hwesio itu penuh tekanan dan paksaan maka nenek ini terkejut karena waktu itu ia sendirian saja berjaga di timur istana. Delapan orang di depannya ini jelas lawan-lawan berat!

“Hm-heh!” nenek itu mendengus, membuang kaget dan gentarnya. ”Kalian kiranya, Mo Mo Cinjin, dan kau Beng Cit Ho-siang. Ada apa kalian menemui aku dan menyebut-nyebut orang yang tak kukenal namanya. Siapa itu orang yang kalian cari dan aku tak tahu-menahu. Pergi dan jangan mencari ribut di sini atau nanti aku menghajar kalian!”

Mo Mo Cinjin mengetukkan tongkat, sementara Beng Cit tertawa dan tentu saja tahu kepura-puraan wanita ini, galak di luar tapi sebenarnya gentar di dalam! “Mo-li, pinceng telah bersusah payah memasuki istana, melacak dan mencari di mana orang yang pinceng (aku) cari-cari itu. Tak usah berdusta, kudengar kau dikalahkannya dan kini menjadi pembantu manusia iblis itu. Mana kawan-kawanmu Siang-buang Thai-swe dan Kutu Peniru Suara, atau kami memaksamu berada di rombongan ini dan sama-sama menemukan manusia jahat itu.”

Nenek ini melengking nyaring. Dua kali ketua Bu-tong itu berkata bahwa dia akan dijadikan satu dengan rombongan itu, berarti menangkap dan akan menawannya. Maka membentak dan mengibaskan rambutnya tiba-tiba nenek ini menyerang hwesio itu dari jarak dua meter, sambil uji coba. “Beng Cit keledai gundul, siapa berani memaksaku atau kau yang roboh dan tunduk kepadaku!”

Hwesio itu mengelak. Ia tahu kemarahan orang namun tentu saja tak takut, dikejar dan akhirnya mengangkat tangan menampar atau memukul balik rambut lawan. Lalu ketika nenek itu tergetar dan masing-masing terdorong mundur, Beng Cit terkejut dan merangkapkan tangan maka nenek itu berseru,

“Beng Cit, tenagamu semakin kuat, tapi aku juga bukan wanita lemah!”

“Omitohud, benar. Dan pinceng kagum kepadamu, Mo-li, namun kali ini kekaguman itu terpaksa dipendam. Pinceng datang untuk urusan yang lebih penting dan tak ada maksud untuk main-main denganmu!”

“Aku tak tahu siapa itu yang kau cari, boleh percaya boleh tidak. Tapi kawan-kawanku memang ada di sini dan kalian boleh bertemu!” nenek itu bersuit dan inilah isyarat untuk Siang-buang Thai-swe dan Kutu Peniru Suara.

Tiga bayangan berkelebat dan muncullah mereka itu. Dan ketika ketiganya juga terkejut karena di tempat itu muncul tokoh-tokoh partai, berdebarlah si Kutu Peniru Suara maka kakek ini diam-diam mencabut jepitan kutunya sementara Mo Mo Cinjin dan lain-lain tak kelihatan kaget melihat mereka itu.

“Hm, benar berita di luar, tinggal empat orang di sini. Siancai, agaknya Jing-ji-mi-to tak lagi bersama kalian, Siau-hun Mo-li, dan ini kiranya Siang-buang Thai-swe si Datuk Kembar. Ah, kami semakin yakin dan beritahukan di mana majikan kalian Te-gak Mo-ki!”

“Heh-heh, tidak percaya lagi. Eh, kau lihat di tempat ini hanya ada kami berempat, tosu bau. Kami tak tahu siapa orang yang kalian cari itu. Tanya teman-temanku ini!”

Siau-hun Mo-li terkekeh dan besar hati. Cepat ia memberi kedipan kepada teman-temannya itu dan Siang-buang Thai-swe mengangguk. Kutu Peniru Suara juga tiba-tiba terkekeh dan membangkitkan keberanian. Lalu ketika nenek itu menuding mereka dan bertanya apakah ada yang bernama Te-gak Mo-ki di situ maka Kutu Peniru Suara ini berseru,

“Kalian orang-orang kesasar, tak ada yang bernama seperti itu di sini. Pergi atau bicaralah secara baik- baik agar kami tidak memanggil pengawal!”

“Hm, Eng-seng-thiong sudah berubah banyak. Pinto melihat kau sekarang penakut, Kutu Peniru Suara, heran sekali bahwa sebelumnya kau adalah orang yang cerdik dan berani. Belum apa-apa kau sudah mengancam memanggil pengawal seperti takut menghadapi kami. Jangan khawatir, kami hanya berurusan dengan orang bernama Te-gak Mo-ki itu, majikan kalian. Suruh dia keluar atau kami terpaksa memaksa kalian untuk tidak berbohong!”

Merah wajah laki-laki ini. Tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya diam-diam ia merasa kecut melihat tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san itu. Tentu saja dia tahu dan sudah mendengar akan tewasnya orang-orang Bu-tong dan Hoa-san di tangan Te-gak Mo-ki. Dan karena khawatir si banci marah, dia dan kawan-kawannya tak mampu menghadapi delapan orang ini maka secara terang-terangan ia mengancam untuk memanggil pengawal tapi ancamannya itu malah dijadikan ejekan untuk memukul dirinya.

“Heh!” kakek itu membentak. “Mulutmu lancang, Mo Mo Cinjin, siapa mengancam kalian. Aku hanya bermaksud baik agar kalian tak dianggap perusuh atau pemberontak-pemberontak di istana. Kalian tak usah mencari ribut-ribut di sini atau nanti tahu rasa. Jangan lancang mulut!”

“Siancai, galak di luar, gentar di dalam. Kalau kami takut menghadapi ancamanmu tadi tak perlu kami datang ke sini, Seng-thiong. Kami sudah siap mengambil resiko dan menegaskan lagi bahwa urusan kami hanya dengan Te-gak Mo-ki, bukan kalian atau istana. Panggil orang itu dan tak usah berpura-pura tak tahu!”

Eng-seng-thiong melotot. Dia sudah siap menggerakkan jepitan kutunya ketika tiba-tiba Ji-thai, temannya yang berangasan maju mendahului. Datuk nomor dua itu membentak dan tak dapat menahan kemarahan, kata-kata dan ejekan ketua Hoa-san itu membuatnya gusar. Maka ketika ia berkelebat dan tangan kanan mendorong, pukulan Hek-thau-ciang menyambar tosu ini maka Mo Mo Cinjin berseru perlahan dan menggerakkan tangan kiri menangkis.

“Dess!”

Pukulan dua orang itu mengeluarkan getaran kuat di mana keduanya bergoyang-goyang hampir doyong. Mo Mo Cinjin berseru memuji sementara kakek hitam gundul itu melotot, matanya yang lebar semakin besar saja seperti ikan emas. Tapi ketika ia maju lagi dan penasaran oleh kekuatan lawan, ketua Hoa-San itu tangguh dan ingin dijajal maka bergeraklah Ce Han Tojin mendahului ketuanya.

“Pangcu, tak usah diladeni, biar kami yang maju... dukk!” Ce Han Tojin terpental namun kakek pendek hitam itu juga terdorong.

Selanjutnya orang nomor dua dari Siang-buang Thai-swe ini membentak lagi, berkelebat dan mendorongkan kedua tangannya dan sang tosu cepat mengelak, dikejar dan menangkis lagi dan Ce Han Tojin terlempar! Tapi ketika tosu itu berjungkir balik dan membuang tenaga lawan, indah melayang turun maka wakil Hoa-san ini tak mau main-main lagi dan cepat membalas dan menahan lawannya.

“Duk-plakk!”

Ce Han menambah tenaga dan lawanpun terdorong. Tosu ini membentak dan berkelebatlah dia dengan cepat mengelilingi lawannya itu, pukulan dan tamparan silih berganti menerpa Ji-thai. Namun ketika si kakek hitam mampu bertahan dan Hek-thau-ciangnya menolak balik semua pukulan-pukulan Ce Han Tojin maka tosu itu tak mau membuang waktu dan mencabut pedangnya.

“Singg-wuuttt!”

Gerakan pedang mendesing dan mengejutkan lawan. Ji-thai berteriak namun kalah cepat, terbabat ujung bajunya dan segera ia terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Dan ketika ia menjadi marah tak ada lain jalan kecuali mengeluarkan senjatanya pula maka gada bulat panjang yang hampir setinggi tubuhnya itu melesat dan membentur pedang di tangan Ce Han Tojin.

“Crangggg!”

Bunga api berpijar dan memercik indah di udara. Ce Han terpental dan tampak betapa tosu Hoa-san itu kalah tenaga, hebat memang Hek-thau-ciang milik lawannya. Tapi karena ia menang gesit dan lincah beterbangan lagi, menyambar bagai walet mengelilingi lawan akhirnya bertandinglah dua orang itu dengan masing-masing pihak memiliki kelebihan dan kekurangannya.

“Hm, suteku sudah bertempur, agaknya saudara It-thai mau coba-coba. Marilah, kita main-main sejenak, Siang-buang Thai-swe. Pinto ingin berkenalan denganmu kalau tak mau menunjukkan majikan kalian!”

Apa boleh buat, kakek yang satu ini maju pula. Dia lebih sabar dibanding adiknya akan tetapi kepandaiannya tentu saja lebih tinggi. Sekilas melihat pertempuran itu ia maklum bahwa adiknya dan Ce Han Tojin berimbang, yang satu menang tenaga tapi yang lain menang lincah. Maka ketika ia tak perlu khawatir dan lawan sudah menantang pula ia pun tak segan-segan lagi membungkuk dan menyiapkan Tenaga Gajahnya, Hek-thau-ciang.

“Hoa-san-paicu (saudara ketua Hoa-san), majulah. Kau tamu dan aku tuan rumah!”

Mo Mo Cinjin tersenyum dan mendorong dua sutenya yang lain yang mau maju. Mereka itu hendak mendahului ketua akan tetapi kakek ini maklum benar kelihaian Siang-buang Thai-swe. Dalam benturan dengan Ji-thai tadi ia merasakan kekuatan lawan. Maka ketika ia berseru dan balik menyuruh lawan menyerang lebih dulu, ia tamu tak diundang maka It-thai kakek itu mendorong dan melepas pukulan dahsyat.

“Mo Mo Cinjin, tahan!”

Tubuh pendek gempal itu mencelat ke depan. Bagai katak atau kerbau melompat Siang-buang Thai-swe ini menyerang lawan. Ia tak perlu sungkan-sungkan lagi karena lawan adalah ketua Hoa-san terkenal. Dan ketika Mo Mo juga bergerak dan mendorongkan lengan kedepan, menyambut dua lengan itu maka terdengar suara “bumm” yang dahsyat sekali. Persis gajah menumbuk bukit! Mo Mo terhuyung dan membelalakkan matanya sementara It-thai terpental namun maju lagi. Lalu ketika Mo Mo mengelak dan membalas lawan tak ampun lagi dua orang inipun sudah bertanding dan yang lain mundur.

“Des-desss!”

Getaran suara ini kuat mengguncang jiwa. Yang tak tahan tentu roboh dan pucat. Namun ketika Mo Mo Cinjin tak mau banyak beradu pukulan, berkelebat dan mainkan ginkangnya untuk menampar dan memukul maka lawan mengelak dan tiga kali pukulan Mo Mo tertolak bertemu kulit pundak It-thai yang atos. Selanjutnya Mo Mo Cinjin juga membiarkan dirinya terpukul dan Hek-thau-ciang itupun dapat ditahannya. Dengan sinkangnya ketua Hoa-san ini mampu menahan pukulan gajah itu, meskipun agak terdorong dan terhuyung mundur.

Dan ketika masing-masing terbelalak kagum namun si tosu lebih cepat bergerak, It-thai berpenampilan berat dan kalah ringan maka di sini ketua Hoa-san itu lebih banyak mengambil inisiatip serangan sementara lawan bertahan dan mempergunakan tubuhnya yang liat dan kebal.

“Omitohud, teman-teman sudah mencari keringat. Ayo, kita main-main pula, Siau-hun Mo-li. Pinceng gatal tangan kalau hanya menonton saja. Marilah maju dan mudah-mudahan tak perlu memanggil pengawal!”

Eng-seng-thiong merah dan melotot memandang ketua Bu-tong itu. Beng Cit Hosiang bicara pada Siau-hun Mo-li namun ejekannya ditujukan kepada dirinya. Akan tetapi ketika nenek itu menjeletarkan rambut dan siap memenuhi tantangan mendadak hwesio di belakang Beng Cit meloncat dan menyambar nenek itu.

“Suheng, tak perlu menggebuk anjing memaki tangan sendiri. Biarkan aku yang maju dan lihat seberapa galak nenek iblis ini!”

Tentu saja si nenek gusar. Ia diterjang dan Kong Tek, hwesio itu menyerangnya tak main-main. Sebelum tubuhnya tiba toya di tangan kanan itu menyodok mata, tentu saja ia melengking. Dan ketika ia mengelak dan meledakkan rambutnya, senjata ini tiba-tiba lurus kaku bagai kawat baja maka terdengar suara “trangg” ketika bertemu toya. Sang hwesio berseru memuji namun tidak berhenti di situ saja, lengannya kesemutan namun nenek itupun terhuyung. Dan ketika ia melanjutkan serangannya sementara Siau-hun Mo-li membentak dan membalas, maka dua orang ini sudah bertempur dan Eng-seng-thiong terbelalak memandang Beng Cit Hosiang yang tersenyum padanya, senyum mengejek!

“Marilah, atau kau menonton saja. Pinceng percaya kepada keberanianmu dan tentu tak perlu memanggil pengawal.”

Marahlah kakek tinggi kurus ini. Kalau ia terus-terusan diejek dan tidak membalas, harganya tentu semakin rendah maka tak ayal lagi Kutu Peniru Suara ini membentak. Ia berkelebat tapi seekor kutu betinanya dijentik, menyambar dan mendahului hinggap di jubah ketua Bu-tong itu. Lalu ketika ia menyerang dan lawan mengelak, tak melihat kutunya itu maka Eng-seng-thiong terbahak-bahak tertawa girang.

“Beng Cit, jangan sombong. Siapa takut padamu dan marilah kita main-main!”

Sang hwesio tersenyum dan tidak tahu kecurangan lawan. Ia menangkis dan mendorong tapi saat itulah kutu di jubahnya merayap. Kutu Eng-seng-thiong ini adalah kutu betina yang cepat beranak-pinak, sedetik dua detik saja sudah mampu menciptakan ratusan anak-anak kutu yang bakal membuat gatal sekujur tubuh. Maka ketika kutu-kutu itu berlarian dan menyelinap ke saku baju, juga celana dan ketiak hwesio ini tiba-tiba saja Beng Cit Hosiang berteriak kaget dan berubah mukanya.

“Curang!”

Sute dan tosu-tosu Hoa-san tercengang. Mereka tak melihat kutu-kutu itu dan saat itupun Eng-seng- thiong bertempur dengan cara biasa, mengelak dan membalas dan berlompatan sebagaimana layaknya musuh. Tapi ketika Beng Cit Hosiang melepas jubahnya dan mengebut sana-sini, kutu-kutu kecil beterbangan menyambar ke mana-mana maka sadarlah orang-orang itu apa yang kiranya telah terjadi. Dan merekapun tentu saja marah di samping geli.

“Ha-ha, apa yang curang. Aku tak melakukan apa-apa yang patut disebut curang, Beng Cit Hosiang. Adalah kutu-kutuku itu beterbangan sendiri dan rupanya kerasan di tempatmu. Aih, jangan memaki dan menggaruk-garuk!”

Ketua Bu-tong membentak dan gusar. Ia terpaksa membuang jubahnya dan menggaruk serta mencakar sana-sini. Yang repot adalah kutu-kutu yang masuk celana, merayap di celah pahanya dan menggigit di situ. Dan ketika lawan terbahak-bahak sementara yang lain tersenyum geli, ketua Bu-tong tampak lucu maka toya menggebuk pinggang kakek itu tapi bersamaan dengan itu Beng Cit Hosiang melepas celananya.

“Maaf, pinceng mundur dulu nanti maju lagi!”

Tertawalah semua orang melihat Beng Cit Hosiang kedodoran. Hwesio itu meloncat pergi dengan pantat telanjang di belakang, bersembunyi dan memencet dulu semua kutu-kutu penyakit. Dan ketika sutenya yang lain maju dan membentak menghentikan tawa-tawa rekannya dari Hoa-san, kejadian itu memang menggelikan maka si Kutu Peniru Suara ini diserang dan melepas lagi seekor kutu betinanya.

“Wherr!” Benda kerlip kecil yang memantul oleh sinar lampu itu kebetulan dilihat Ta Peh Hwesio, sute dari Kong Tek Hwesio yang maju ini. Tentu saja ia mengebut dan kutu itu hancur. Lalu ketika ia membentak dan Eng-seng-thiong marah, anaknya mati seorang maka iapun mengelak dan membalas hwesio Bu-tong itu.

Akan tetapi Beng Cit Hosiang telah muncul kembali. Hwesio yang marah oleh perbuatan lawannya ini menghantam dari belakang, sudah mengenakan jubahnya lagi dan menyuruh mundur sang sute. Lalu ketika Ta Peh Hwesio didorong ke belakang dan mundur melihat ketuanya akhirnya pertandingan dua orang ini dilanjutkan lagi. Ketua Bu-tong tentu saja tak mau tertipu oleh segala bentuk ke curangan lawan, menekan dengan toyanya.

“Seng-thiong, kau benar-benar lelaki curang tak tahu malu. Sekarang pinceng tak akan mengampunimu dan lihat senjata!”

Eng-seng-thiong mengelak dan dikejar. Ia telah menangkis namun lengannya tergetar, mundur dan melotot namun kepalapun dikibas. Bagai anjing membersihkan bulu melesatlah ratusan kutu dari kepalanya. Namun karena lawan sudah waspada dan tak mungkin tertipu, mengebut dan menampar maka semua kutu membalik dan terlempar ke kiri kanan. Eng-seng-thiong marah.

“Baik, kau juga tak tahu malu, Bu-tong-paicu. Dengan toya mu yang panjang kau menghadapi aku yang bersenjata pendek!”

“Tak usah banyak mulut, kutumu itupun senjata lain yang kau punyai. Robohlah, tak usah banyak cakap, Eng-seng-thiong. Pinceng akan menangkapmu dan memaksa majikanmu keluar... trang-trangg!”

Toya ditangkis jepitan kutu dan Eng-seng-thiong terpental. Dari tenaga toya itu Eng-seng-thiong terkejut, telapaknya pedas dan panas. Dan ketika ia menghindar dan tak berani banyak adu tenaga, berkelit dan berlompatan sambil mengibas kutu-kutunya lagi maka pertandingan berjalan seru sementara di sana tiga orang yang lain juga sengit dan masih bertempur dengan penuh semangat.

Akan tetapi tampak bahwa perlahan-lahan Siang-buang Thai-swe dan kawan-kawannya ini keteter. Hoa-san-paicu dan sutenya mengadu kecepatan dan menusuk atau mengancam tubuh lawan dengan serangan-serangan mereka yang berbahaya. Siau-hun Mo-li menghadapi Kong Tek Hwesio yang tangguh dan sanggup menghadapi rambutnya. Dan karena disitu masih ada empat musuh lain sementara diluar sana beberapa pengawal dirobohkan bayangan-bayangan yang bersembunyi menjaga delapan orang ini, jelas kedudukan mereka kalah maka empat orang ini gugup dan gelisah yang membuat permainan mereka jadi kacau. Eng-seng-thiong malah terbanting oleh empat gebukan toya yang membuat ia menjerit!

“Hm, sekarang tak dapat lari. Ayo menyerah atau panggil manusia iblis itu ke mari, Seng-thiong, atau pinceng membuatmu jatuh bangun tak dapat berdiri!”

Kutu Peniru Suara ini pucat. Memang ia tak mungkin melarikan diri karena empat yang lain mengepung. Setiap ia bergerak keluar maka empat orang itu menghalau, secara moral tentu saja membuat kecut Eng-seng-thiong dan kawan-kawan ini. Dan ketika tak ada kemungkinan lagi kecuali memanggil bantuan, Eng-seng-thiong memekik dan bersuit panjang maka pengawal berdatangan dari delapan penjuru dipimpin Wang-busu, pasukan atau Pengawal Rompi Merah.

“Wang-busu, tangkap orang-orang ini. Bunuh mereka!”

Istana terkejut. Bentakan dan suara pertempuran itu sebenarnya sudah didengar oleh penjaga. Namun karena bayangan-bayangan di luar delapan orang itu melindungi yang di dalam, menyerang dan merobohkan mereka itu maka pengawal terkejut dan jerih. Yang lolos lalu melapor ke dalam dan kebetulan Wang-busu itulah yang menerima. Suitan atau tanda bahaya dari si Kutu Peniru Suara ini membuat komandan itu berlari-lari. Jarang kejadian ini mereka alami. Dan ketika ia tiba di situ dan melihat itulah orang-orang kang-ouw yang bertempur seru, kaget karena segera mengenal Mo Mo Cinjin dan kawan-kawan maka komandan itu terhenyak namun ketua Hoa-san ini cepat berseru bahwa yang dicari adalah Te-gak Mo-ki.

“Kami bukan memusuhi istana, harap mundur. Yang kami cari adalah Te-gak Mo-ki yang membunuh orang-orang kami. Harap tidak menyerang karena kami dihalangi empat orang ini!”

Sang komandan bingung. Ia tahu siapa Mo Mo Cinjin dan hwesio-hwesio ini, kaum pendekar atau orang-orang yang selama ini tak pernah memusuhi istana. Tapi Eng-seng-thiong yang marah melihat bingungnya perwira itu, yang bengong dan diam di tempat akhirnya membentak dan memaki.

“Wang-busu, siapapun yang datang secara liar adalah musuh. Mereka ini datang mengacau, apakah kau tetap diam mematung di situ? Lihat nanti kalau Hui-ongya mendengar sikapmu ini, tahu rasa kau!”

Sang komandan terkejut. Hui-ongya adalah orang yang berpengaruh dan dirinya bisa terancam, salah-salah kedudukannya dicopot! Maka tak ada lain jalan kecuali membentak dan memberi aba-aba akhirnya ia pun maju menyerang menghadapi puluhan orang-orang Hoa-san dan Bu-tong yang kiranya sudah disiapkan secara besar-besaran oleh Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang, tanda betapa seriusnya tokoh-tokoh ini menghadapi Te-gak Mo-ki!

“Mereka benar, kalian datang secara liar. Maaf kami menganggapmu perusuh, Hoa-san-paicu. Menyerah atau pergi cepat-cepat dari sini...!”

Tapak Tangan Hantu Jilid 21

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 21
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“WUT-WUT!”

Alangkah heran dan terkejutnya nenek. ini. Bubuk Pembuyar Sukmanya, Siau-hun-san terkibas ke delapan penjuru ketika lawan mengebut dan menghilang. Bubuk Pembuyar Sukmanya itu terdorong dan terpental untuk kemudian tiba-tiba membalik. Dan ketika ia kaget dan berseru keras maka ketiga temannya juga berteriak karena bubuk-bubuk yang halus harum itu menyambar muka dan tahu-tahu sudah siap tersedot!

“Haiyaaa...!” Eng-seng-thiong memaki dan melempar tubuh bergulingan.

Kakek itu mengumpat Siau-hun Mo-li sementara nenek itu sendiri juga membentak dan membanting tubuh menyelamatkan muka. Bubuk Siau-hun-san amat berbahaya kalau tersedot. Dan ketika Siang-buang Thai-swe juga membentak dan melempar tubuh bergulingan, deru gada tak mungkin menghalau bubuk-bubuk halus itu maka lawan berkelebat muncul dan terkekeh nyaring.

''Hi-hik, lima belas jurus. Eh, ingat dan hitung baik-baik, Siau-hun Mo-li. Pertandingan sudah berjalan lima belas jurus, kurang lima lagi!”

Empat orang itu bergulingan meloncat bangun dengan muka pucat. Mereka telah menghitung jalannya pertandingan dan memang benar lima belas jurus. Dan selama itu mereka belum mampu merobohkan lawan. Jangankan merobohkan, mendesak mundur saja tak dapat, bahkan mereka yang terdesak dan berkali-kali harus menyelamatkan diri. Dan ketika semua merah padam sementara pemuda itu muncul di depan lagi, gerakannya tadi benar-benar luar biasa cepat maka keempatnya terutama Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe memberi isyarat untuk mengadu jiwa!

“Mo-li, rupanya kita harus mengeluarkan semua kepandaian kita. Bunuh si banci ini atau kita roboh!”

“Benar, lawan telah menghina kita, Ji-thai, mempermalukan kita. Mari kita bunuh dan mengadu jiwa!”

Nenek itu melengking dan sudah menerjang lagi. Kini rambut menjeletar hingga tampak kilatan api. Suaranya saja cukup membuat keder lawan yang nyalinya lemah. Dan ketika nenek itu meraup lagi bubuk-bubuk berbahayanya, siap di kedua tangan untuk sewaktu-waktu dihamburkan ke depan, maka Ji-thai, Datuk Nomor Dua menggedruk bumi dan gada menyambar serta kepala tiba-tiba menumbuk dan menerjang bagai gajah menabrak gunung.

“Ji-te!”

Teriakan itu percuma. Sang kakak yang amat berhati-hati dan kaget melihat saudaranya mengeluarkan Hek-thau-kang (Tenaga Gajah Murka) sudah tak dapat mencegah kemarahan adiknya ini. Ji-thai telah melompat dan siap dengan kepala di depan. Batok kepala itu tiba-tiba tampak berkilat dan mengepulkan asap, bukan main, itulah tanda kemarahan sangat yang tak dapat ditahan lagi oleh Datuk Nomor Dua ini.

Dan ketika sang kakak terpaksa mengikuti karena si banci tiba-tiba mengeluarkan kipasnya, harum cendana menyambar disusul gerakan tangan kiri yang mendorong dengan jari-jari terbuka maka serudukan atau tumbukan Ji-thai itu diterima dan lima kuku berkilat yang mengeluarkan cahaya merah menyambut serangan dahsyat ini, juga rambut dan bubuk Siau-hun-san yang tiba-tiba dikebutkan Siau-hunMo-li.

“Wherrr-dessss!”

Dahsyat sekali pertemuan kepala dengan telapak kiri pemuda baju biru itu. Gada di tangan kanan Ji-thai menghantam pundak lawan namun meleset. Ada semacam lendir licin melindungi pundak itu, Hek-be-kang (Tenaga Belut Hitam). Lalu ketika Ji-thai terbelalak dan tampak tertegun, kepalanya ditahan tak dapat maju tiba-tiba ia merasa sengatan kecil yang amat panas di kulit kepalanya. itu. Demikian panas hingga tokoh ini menjerit. Itulah Ang-su-giat atau Racun Semut Api yang ada di kuku si banci, dijentikkan dan cepat sekali kepala si botak terbakar.

Dan ketika Ji-thai terbanting dan seketika bergulingan, meraung dan menggaruk-garuk kepalanya sendiri maka Siau-hun Mo-li memekik dan rambut kepalanya diterima kipas, dibelit dan ditarik dan terbawalah nenek ini kedepan. Ia kaget dan pucat namun semua itu berjalan amat cepat. Siau-hun-sannya ditiup dan balik menyambar wajahnya sendiri.

Dan ketika nenek itu batuk-batuk dan tercekik bubuk beracunnya, sesaat ia mendelik tak dapat melakukan apa-apa maka kaki lawan bergerak dan tepat sekali mengenai lutut nenek ini, terlempar dan terbanting sementara rambutnya berodol. Nenek itu mengeluh dan menabrak meja arak, berhenti di sana. Lalu sementara dua yang lain terkejut dan membelalakkan mata maka gada It-thai menghantam kepala lawannya ini tapi seperti adiknya tadi gada itu mental bertemu kulit licin seperti belut.

“Dukk!”

Gada meleset dan bertemu jepitan kutu si Peniru Suara. Kakek tinggi kurus Eng-seng-thiong ini sebenarnya sudah lebih dulu gentar dan ragu-ragu menyerang lawan, kalaupun menyerang tenaganya separoh-separoh. Maka ketika ia dihantam gada dan otomatis terpelanting, berteriak adalah temannya itu disambar totokan ujung kipas dan Datuk Nomor Satu inipun terbanting dan mengeluh pucat.

“Bluk!”

Selesailah pertandingan cepat itu. It-thai terbelalak disana sementara adiknya masih menjerit dan berteriak-teriak tak keruan. Kepala yang digaruk dan ditampar. Tapi ketika si banci tertawa mengejek dan berkelebat menotok punggung Ji-thai maka Datuk Nomor Dua itu mengeluh perlahan dan roboh tenang, matanya berkejap-kejap dan gatal serta panas yang menyiksa lenyap. Hanya Siau-hun Mo-li yang merintih dan kesakitan di bawah meja karena rambutnya yang berodol menusuk permukaan kulit kepala seperti ratusan jarum menusuk-nusuk, pengaruh Siau-hun-san cepat ditangkal dengan sebutir obat penawar.

“Nah, bagaimana sekarang.” pemuda itu tertawa. “Masihkah kalian tak menghargai diriku, Siau-hun Mo-li. Apakah perlu semuanya kusiksa dan kubuat seperti Ji-thai tadi. Katakan bahwa kalian minta ampun atau boleh terus berkeras kepala dan rasakan akibatnya!”

“Ampun, aku sudah mengaku kalah,” Eng-seng-thiong buru-buru maju dan dia inilah yang paling selamat. Hajaran gada tak seberapa dibanding hajaran si banci itu, yang mengakibatkan teman-temannya menderita. “Aku hanya memenuhi undanganmu, anak muda, memenuhi permintaanmu. Ampunkan aku dan kawan-kawanku ini!”

Sekilas tersirat mata benci Siau-hun Mo-li. Nenek ini marah memandang temannya namun ketika dipandang lawannya mendadak ia menunduk. Mata si banci itu tiba-tlba lebih berkilat lagi, mencorong dan seperti api, menjilat hangus tubuhnya. Dan ketika nenek itu mengeluh dan menunduk, rasa gentar merayap datang akhirnya ia berlutut dan menggigil.

“Aku mengaku kalah,” katanya lirih. “Kau benar, anak muda. Kami benar-benar bukan tandinganmu dan ampunkan keberanianku tadi.”

“Bagus, dan kau,” telunjuk itu menuding Ji-thai. “Kau masih ingin merasakan kelihaianku lagi atau tidak, Ji-thai. Tak perlu menaruh dendam karena kalian tak tahu siapa adanya aku!”

“Ampun, maafkan aku!” kakek gundul itu merangkak dan gentar serta pucat, berlutut, mengangguk-angguk. “Aku sekarang tahu diri, anak muda. Kau benar-benar bukan tandingan kami dan ampunilah aku!”

“Dan kami siap menjadi bawahanmu,” It-thai tahu diri dan mengikuti adiknya itu, gentar. Betapapun sebelumnya dia sudah berhati-hati dan untung tidak seberangasan adiknya. “Kau hebat dan amat lihai, anak muda. Bolehkah kami tahu siapa diri atau julukanmu. Biarlah mata kami terbuka hingga hilang penasaran ini!”

“Benar,” Eng-seng-thiong berseru dan menyambung girang. “Perkenalkanlah dirimu kepada kami, siauw-ongya (Pangeran Muda). Kau tentu bukan manusia biasa karena kepandaianmu seperti malaikat!”

Si banci tertawa dan terkekeh-kekeh. Sebutan siauw-ongya yang menunjukkan dirinya begitu tinggi membuat pemuda aneh ini senang sekali. Ia tertawa dan menepuk-nepuk bahu si Kutu Peniru Suara itu. Tapi ketika tawanya lenyap terganti sikap bengis dan dingin, ia memandang empat orang itu satu persatu akhirnya ia melepaskan cincin di jari manisnya dan melempar itu kepada Eng-seng-thiong dan kawan-kawan.

“Barangkali kalian kenal ini, lihatlah!”

Hampir berbareng empat orang itu menyambar. Mereka melihat sebuah cincin hitam berbatu mengkilat. Tertimpa sinar lampu, cincin itu malah seperti mata seekor naga, atau mungkin siluman. Dan ketika semuanya memandang tajam dan penuh perhatian mendadak keempatnya berubah dan serentak membungkuk dan mencium tanah.

''Kami kiranya berhadapan dengan Siluman Akherat Te-gak Mo-ki yang mulia!”

“Hm, kalian tahu?” si banci menyambar dan menyimpan kembali cincinnya. “Bagus, benar aku, Siang-buang Thai-swe. Agaknya sekarang kalian tak perlu penasaran lagi dan tunduklah baik-baik!”

Empat orang itu mengangguk dan pucat. Tentu saja mereka tak menduga bahwa laki-laki di depan mereka ini ternyata Te-gak Mo-ki yang luar biasa. Sepak terjang pemuda ini telah membuat gempar dunia kang-ouw dengan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san itu, mereka telah dengar itu. Maka ketika semuanya menjadi berdebar dan gentar, baru sekaranglah mereka bertemu dan merasakan kelihaian pemuda ini maka tunduklah keempat orang itu tanpa banyak peradatan lagi.

Sikap galak Siau-hun Mo-li berubah total. Sikap berangasan Ji-thai juga lenyap terganti rasa takut dan gentar. Dan ketika malam itu empat tokoh ini menyatakan tunduk di bawah Te-gak Mo-ki, Siluman Akherat berada di istana maka Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan diberi tahu bahwa urusan dihadapi mereka itu.

“Karena kalian tunduk kepadaku maka urusanku urusan kalian pula. Kepemimpinan di sini kuambil alih, kalau ada yang mencari aku harap kalian yang memberesi dulu. Baru kalau tidak terselesaikan kalian memanggil aku. Mengerti?”

“Kami mengerti,” empat orang itu mengangguk. Lalu ketika malam itu semua kembali ke tempat masing-masing maka Te-gak Mo-ki alias si banci ini menjadi orang paling ditakuti di istana, bukan lagi karena di belakangnya ada Hui-ongya melainkan karena ia benar-benar seorang yang amat lihai. Tokoh Bayangan saja dibuatnya bertekuk lutut. Dan ketika malam itu ia telah menundukkan semuanya maka Siau-hun dan kawan-kawannya ini seperti seekor anjing jinak yang penurut di kaki tuannya yang kadang-kadang dapat bersikap manis namun tak jarang berubah menjadi bengis dan kejam, seperti sikapnya kepada Jing-ji-mi-to yang akhirnya tak ada di istana lagi melarikan diri entah ke mana.

* * * * * * * *

Te-gak Mo-ki benar-benar bergelimang kesenangan. Betapa tidak, sejak kemenangannya terhadap Siau-hun Mo-li dan ketiga kawannya yang merupakan tokoh-tokoh andalan, maka praktis kekuasaan di tangan laki-laki aneh ini. Segala yang bersangkut-paut masalah keamanan ada ditangan pemuda ini. Istana bukan lagi dilindungi Lima Pengawal Bayangan melainkan di tangan si banci ini.

Kabar kekalahan Siau-hun Mo-li menyebar cepat, meskipun hanya lewat bisik-bisik dari mulut ke mulut. Dan karena pemuda itu juga menjadi sahabat dekat Hui-ongya, juga saudara sekaligus kekasihnya maka bukan rahasia lagi kalau ke manapun pangeran itu pergi di situ pula Te-gak Mo-ki ini berada.

Dua orang ini sudah seperti suami isteri saja. Hui-ongya sudah tidak lagi menghiraukan para selirnya karena yang penting adalah si banci. Tanpa si banci seolah ia tak dapat hidup. Demikian hebat cengkeraman ilmu hitam yang digunanakan si banci ini mempengaruhi Hui-ongya. Segala-gala pun akan diberikan pangeran itu kepada pemuda ini. Tapi ketika suatu malam si banci minta menyingkirkan kaisar, ingin merebut. kekuasaan dan menjadi yang dipertuan di situ maka pangeran ini tersentak dan ilmu hitam yang dipergunakan rupanya tak mampu menembus. Terlalu hebat permintaan itu, tak mungkin!

“Apa..... apa, Kiem-te (adik Kiem)? Kau.... kau hendak membunuh sri baginda? Kau hendak menyingkirkannya?”

“Hm, aku hanya ingin menaikkan derajatku. Sekarang aku memang telah menjadi Pangeran Muda, kakak Hui, tapi rasanya masih di bawah kedudukanmu. Aku ingin merasakan yang lebih tinggi, dan kau tak mampu menjadikan aku pangeran penuh!”

“Itu kekuasaan sri baginda, derajat dan pangkat hanya wewenang kaisar!”

“Itulah, aku sebal. Kalau si tua itu tak ada di sini tentu mudah aku menaikkan diriku, kanda Hui, dan kaulah satu-satunya orang yang sebenarnya paling kuharap. Tapi kau terbentur si tua bangka itu, mana janjimu yang katanya siap memberikan segala-galanya padaku!”

Hui-ongya pucat. Dari pembicaraan ini saja dapat ditarik kesimpulan betapa akrab dan dekatnya mereka itu. Sejak Eng-seng-thiong menyebutnya Pangeran Muda maka lelaki ini minta pada Hui-ongya agar dia benar-benar dapat menjadi itu, pangeran. Kemudian atas bujukan dan usaha Hui-ongya akhirnya si banci mendapat gelar Siauw-ong. Kaisar juga terheran-heran dan terkejut ketika diperkenalkan pada pemuda aneh ini.

Namun ketika Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan tampak berlutut di belakang si banci itu, mengangguk dan mengiyakan bahwa kedudukan mereka di bawah si banci itu maka kaisar terbelalak dan minta bukti bahwa empat tokoh andalan itu bukan tandingan. Dan mudah bagi si banci ini mendapatkan kepercayaan kaisar. Dia menyuruh maju empat orang itu, mengalahkannya dan kaisar mengangguk-angguk kagum.

Lalu ketika dia menjadi girang bahwa di istana ada pemuda sehebat ini maka Te-gak Mo-ki menjadi tokoh andalan dan segala urusan, yang menyangkut keamanan diserahkan pemuda itu. Si banci yang aneh ini mendapat gelar baru, Pangeran Muda. Dan ketika semua pejabat dan kerabat istana jerih kepadanya, bahkan Hui-ongya membiarkan si banci itu mencari pasangan lain maka Te-gak Mo-ki yang lihai ini terang-terangan mencumbu pemuda-pemuda lain di istana untuk menjadi pasangannya pula, dengan Hui-ongya yang paling utama.

“Tak usah kanda khawatir. Kekasihku adalah kau seorang, kanda, lainnya itu hanya selingan. Aku mencari kesenangan baru saja sebagai pencegah kejenuhan. Kaupun boleh bermain cinta dengan mereka kalau kau suka.”

Begitu si banci ini berkata ketika mula-mula Hui-ongya tentu saja mengerutkan alis. Bagi pangeran ini Te-gak Mo-ki adalah pasangannya. Tapi ketika dengan kepandaiannya si banci itu menekan jiwa Hui-ongya, sihir atau pengaruh guna-guna itu diperkuat hingga sang pangeran tak dapat berbuat apa-apa asal jangan ditinggal maka Hui-ongya justeru mendapat “mainan” baru ketika disodorkan kepadanya pasangan lain, pemuda atau pangeran-pangeran tampan istana.

“Kaupun boleh membuang kejenuhan seperti caraku. Kita boleh bermain dengan siapa saja asal ingat bahwa kita berdua adalah yang resmi. Nah, aku tak melarangmu seperti kau juga tak boleh melarangku, kanda. Masing-masing boleh berganti pasangan asal kita tetap satu. Cobalah!”

Canggung juga rasanya bagi pangeran ini untuk ketika mula-mula mendapat pasangan baru. Yang mereka dapatkan adalah putera Ta-ciangkun, putera seorang perwira yang lebih dulu dipakai si banci ini. Tapi ketika ia merasakan kegembiraan baru dan semangat yang lain, Te-gak Mo-ki terkekeh membantunya maka Hui-ongya tiba-tiba tenggelam dan mabok bersama Ta-kongcu ini, bahkan mereka bertiga sama-sama bermain cinta!

“Hi-hik, bagaimana, kanda? Puas?”

“Ah, heh-heh ah, aku puas, Kiem-te. Pengalaman baru ini membuatku benar-benar gembira. Kau pandai menyuguhkan yang baru. Ta-kongcu itu kuat sekali!”

“Hi-hik, tak aneh. Ia masih baru dan segar. Tapi seminggu kemudian harus kita campakkan cari yang baru lagi. Aku masih mempunyai beberapa yang lain lagi dari pemuda-pemuda istana ini. Kanda tentu puas!”

Hui-ongya tertawa dan gembira tenggelam dalam kesenangan barunya ini. Betul seperti kata kekasihnya, maka seminggu kemudian ia pun mulai bosan kepada putera Ta-ciangkun itu, mendapat yang lain dan berturut-turut tiga pangeran muda datang ke kamarnya. Mereka itupun yang sudah dikuasai si banci satu di antaranya bahkan putera Cia-taijin, penasihat kaisar yang cukup berpengaruh dan Hui-ongya pun menaruh segan.

Maka ketika semua berjalan diam-diam dan masing-masing tentu saja menyembunyikan itu, gedung Hui-ongya penuh dengan pemuda-pemuda cakap maka di antara pemuda-pemuda itupun terjadi permainan cinta tiada ubahnya para selir dengan junjungannya! Te-gak Mo-ki itulah rajanya. Dialah pemimpin, penguasa. Tapi ketika Cia-taijin mendengar kelakuan puteranya, serapat-rapatnya kebusukan itu disimpan tetap juga terdengar akhirnya pembesar ini marah sekali dan puteranya ditarik serta tidak diperbolehkan lagi ke gedung Hui-ongya.

“Memalukan, gila, tidak waras! Ah, apa yang kau lakukan ini, Cia Sun. Betapa bobroknya hubunganmu dengan sesama laki-laki itu. Apa kata orang kalau kau menjadi pemuda seperti ini, bencong! Bagaimana nama baik orang tuamu. Ah, banci gila itu rupanya menyeretmu sehingga seperti ini!”

Lelaki tua itu marah-marah dan membentak puteranya. Kabar itu akhirnya masuk juga dan Cia Sun puteranya tampak pucat, lemah. Tak aneh karena sebulan ini diperas habis-habisan. Dia pemuda yang paling tampan dan halus pula, penurut tapi celakanya malah dipermainkan orang. Dan ketika sejak itu puteranya tak boleh bermain-main di gedung Hui-ongya lagi, dia tahu Te-gak Mo-ki adalah biang keladinya maka pembesar ini mulai menaruh kebencian kepada si banci itu.

Bukan tidak didengarnya hubungan tidak wajar antara Hui-ongya dan si banci itu. Bukan tidak didengarnya pula betapa Hui-ongya kini mempunyai kebiasaan aneh mengumpulkan pemuda-pemuda tampan. Tapi ketika puteranya malah terseret dan itu gara-gara si banci baju biru, orang yang telah mendapat gelar dari kaisar maka lelaki ini merah mukanya namun memendam marah karena ia tahu lihainya si banci itu.

Dan kemarahan Cia-taijin ini akhirnya dilepaskan divhadapan kaisar secara hati-hati. Dia memberi tahu kebobrokan di tempat Hui-ongya itu dengan biang keladi si banci. Dan ketika kaisar terkejut dan membelalakkan mata, heran namun mengangguk-angguk maka tiba-tiba berkatalah Kwa-taijin (Menteri Kwa) bahwa persoalan seperti itu tak perlu diperpanjang lebar.

“Ini adalah kesenangan anak-anak muda, tak mengganggu ketenangan rakyat. Kupikir Cia-taijin tak perlu mengusik kegembiraan baginda yang sedang menikmati minum teh!”

Pembesar itu terbelalak. Ia terkejut oleh kata-kata Kwa-taijin ini dan kaisar terpengaruh, mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan Menteri Kwa itu. Dan ketika ia tak jadi menceritakan lebih jauh karena Kwa-taijin tampak mengerdip dengan tanda-tanda rahasia maka sri baginda berkata bahwa urusan seperti itu memang tidak membahayakan negara, tak perlu lapor.

“Benar, Kwa-taijin benar. Urusan seperti ini adalah urusan anak-anak muda, paman Cia, kesenangan mereka. Asal tidak mengganggu orang lain dan istana kupikir tak perlu dipersoalkan. Hal ini urusan kecil yang hanya mengganggu kenikmatanku minum teh!”

Lelaki tua itu surut. Di belakang Menteri Kwa terdapat beberapa perwira dan pembantu yang mengangguk-angguk. Mereka rupanya setuju dengan kata-kata Kwa-taijin itu dan membuat ia terpaksa bungkam. Cia-taijin tak tahu betapa Te-gak Mo-ki melalui Hui-ongya telah menanamkan orang-orangnya di sekitar sri baginda, bukan apa-apa melainkan berjaga jangan-jangan persoalan itu dilaporkan kaisar, menghasut dan mempengaruhi sri baginda yang akibatnya hanya merepotkan mereka nanti, mengganggu kesenangan.

Dan ketika benar saja lelaki tua itu bicara di saat kaisar menikmati teh harum, dikelilingi Kwa-taijin dan pembantu-pembantu lain maka cepat saja menteri yang mendapatkan jabatannya atas bantuan Hui-ongya itu bertindak dan menangkal laporan Cia-taijin ini. Mengatakan bahwa itu urusan kecil yang hanya mengganggu kegembiraan kaisar!

Lelaki ini tertegun. Dia tahu siapa Kwa-taijin itu, menteri yang menjadi pembantu Hui-ongya. Maka sadar bahwa di tempat itu tak baik dia melanjutkan laporannya maka pembesar ini diam saja sampai akhirnya dia mengundurkan diri, ketika kaisar dijemput tujuh selir cantik untuk masuk ke dalam.

“Hm, awas kau. Kiranya kau membela pangeranmu itu. Baik, di saat yang lain aku pasti datang melapor lagi, Kwa-taijin. Tunggulah saat aku berdua saja dengan sri baginda!”

Lelaki itu tak menyerah dan melihat bahwa kaisar harus dibangkitkan perhatiannya. Kemarahannya ditunda lagi tapi hari-hari berikut merupakan hari yang penuh kesukaran baginya, kaisar tak pernah sendiri, selalu ada Kwa-taijin atau para pembantunya. Dan ketika lelaki ini menjadi marah dan berang, suatu hari dibuatnya surat agar dirinya diperkenankan berdua dengan sri baginda, tak ada orang di situ maka dalam surat ini penasihat kaisar itu berkata bahwa ada sesuatu yang amat penting untuk disampaikan.

”Hamba melihat bahwa paduka tak pernah sendiri, selalu dikelilingi Kwa-taijin atau orang-orang lain. Mohon paduka memberi waktu untuk hamba, sri baginda. Ada sesuatu yang amat penting yang ingin hamba sampaikan. Hamba ingin hanya paduka yang mendengar ini. Maaf!”

Kaisar tertegun. Ia memandang penasihatnya itu dan berdebar tak senang. Kalau saja lelaki ini bukan penasihatnya tentu ia marah dan menolak. Ada bisikan dari Kwa-taijin bahwa lelaki itu hanya akan melapor ini-itu yang sifatnya mengganggu sri baginda saja, padahal istana dan rakyat tenang-tenang saja. Tapi karena pembesar itu tampak serius dan ia menarik napas dalam akhirnya kaisar berkata bahwa sore nanti Cia-taijin boleh menemuinya berdua, di ruang dalam.

“Nanti kusediakan waktu untukmu, apa yang hendak kau katakan. Nah, pergilah atau tinggal di sini bersama yang lain, paman. Kuharap kau tidak menggangguku dengan laporan-laporan yang tidak penting. Aku tak mau diberatkan persoalan-persoalan sepele!”

“Terima kasih,” pembesar itu beringsut mundur, girang bahwa maksudnya akan kesampaian, tak sudi di situ dengan Kwa-taijin dan lain-lain. “Hamba nanti datang lagi, sri baginda. Tentu saja hamba ingin bicara yang betul-betul penting. Terima kasih atas kesediaan paduka!”

Namun bersamaan dengan mundurnya lelaki itu mundur pula dua orang pembantu Kwa-taijin. Mereka ini telah mendapat kedipan rahasia dan mendengar semua itu pula, tentu saja tahu bahwa Cia-taijin lagi-lagi akan melapor masalah Hui-ongya, rupanya tak puas dan masih penasaran akan gagalnya yang lalu. Maka ketika mereka mundur dan gerak-gerik pembesar ini tentu saja diikuti Hui-ongya, juga Te-gak Mo-ki maka si banci itu tertawa mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya.

“Tak usah khawatir, menyebalkan juga. Hm, kalau aku membunuhnya tentu kau tak setuju, kanda. Baiklah suruh orang memasukkan ini ke minuman Cia-taijin dan ia akan tersiksa selama sebulan, tak dapat menemui kaisar!”

Hui-ongya berseri. Memang ia tak setuju kalau penasihat itu dibunuh, terlalu kentara. Maklum betapapun Cia-taijin juga mernpunyai orang-orangnya yang setia. Maka ketika Te-gak Mo-ki mengeluarkan sebotol cairan tak berwarna dan juga tak berbau, menyerahkan itu kepada pembantu mereka, maka lewat pelayan yang mereka susupkan di tempat pembesar itu maka sore harinya pembesar ini menderita sakit!

Pertemuannya dengan kaisar tentu saja batal dan sri baginda menggeleng-geleng kepala, menyuruh tabib istana menemui penasihatnya itu tapi di tengah jalan tabib ini dihadang orang-orangnya Kwa-taijin. Tapi ketika Te-gak Mo-ki tiba-tiba muncul dan menyuruh orang-orang itu mundur, tertawa dan membiarkan tabib menuju gedung Cia-taijin maka si tabib tertegun dan jerih melihat si banci yang baru kali itu dijumpai.

“Tak usah dicegah, biar saja. Jangan menimbulkan kecurigaan seolah-olah kita menghalangi kesembuhan orang. Pergi dan kalian semua kembali!”

Tabib itupun dipersilakan jalan lagi. Mula-mula ia merasa heran dan kaget oleh semua ini, tak mengerti. Tapi ketika ia memeriksa Cia-taijin dan melihat lelaki itu merintih dan mengaduh-aduh memegangi perutnya, racun aneh membuat perut pembesar itu seolah diaduk-aduk maka sang tabib pucat karena seketika tahu bahwa obat apapun tak dapat menyembuhkan lelaki itu kecuali penawar dari si pemilik racun.

“Aku... aku hanya dapat meringankan penderitaanmu. Ah, kau menelan racun penyiksa, taijin. Kau terkena Bo-heng-jit-gu (Perut Sakit Tak Dapat Bersuara). Aku tak dapat berbuat jauh kecuali meringankan rasa sakit!”

Benar saja, lelaki tua ini tak dapat bersuara. Ia hanya ah-uh-ah-uh dengan kesakitan sementara kedua tangan memegangi perut yang serasa terbakar dan melilit. Minuman beracun yang tak diketahuinya membuat lelaki itu menangis. Ia tak dapat bicara! Dan ketika tabib hanya dapat meringankan sakitnya, bukan menyembuhkan atau menghilangkan biang keladinya maka untuk hari-hari berikut lelaki ini ah-uh-ah-uh tak dapat bicara apa-apa. Anak isterinya tentu saja menangis.

“Ha-ha, tahu rasa. Sekarang kita aman dan Cia-taijin tak dapat mengganggu kita. Ha, lanjutkan kesenanganmu, kanda, tak usah takut karena tanpa obat dariku lelaki itu tak akan sembuh!”

Hui-ongya gembira dan kagum bukan main. Kwa-taijin dan lain-lain meleletkan lidah dan mereka gentar. Kalau mereka yang disiksa alangkah ngerinya! Maka ketika si banci ini semakin ditakuti dan orang-orang jerih, Siau-hun Mo-li dan teman-teman hanya tersenyum kecut saja mendengar semua itu maka untuk sementara Kwa-taijin itulah yang menggantikan pekerjaan Cia-taijin, jadi penasihat!

“Kedudukanmu naik lagi. Nah, ingat dan setia kepada kami baik-baik, orang she Kwa. Jangan main- main atau kau seperti Cia-taijin nanti!”

Ancaman Te-gak Mo-ki membuat Kwa-taijin. mengangguk-angguk dan tentu saja diikuti gumam gemetar, gumam mengiyakan. Tak usah diancam ini saja menteri itu sudah takut. Kepandaian dan wajah si banci cukup membuat semangatnya kuncup dan mengkerut. Maka ketika kaisar sudah dikelilingi orang-orang seperti Kwa-taijin ini, juga pembantu-pembantunya yang lain yang rata-rata merupakan antek Hui-ongya maka Te-gak Mo-ki akhirnya menghendaki membunuh kaisar dan merebut kekuasaan.

“Jangan, kau tak dapat melakukan itu. Menjadi kaisar harus orang-orang berdarah bangsawan, Kiem-te. Orang biasa tak mungkin menjadi kaisar. Rakyat tak akan menerima dan kau sia-sia!”

“Hm, aku tahu. Tapi yang menjadi kaisar adalah kau, kanda. Aku cukup penasihat atau Koksu (Guru Negara). Di sini belum ada Koksu dan kau dapat menaikkan derajatku. Aku tak puas hanya dengan Pangeran Muda!”

Hui-ongya tertegun dan terkejut. Usul untuk membunuh kaisar sesungguhnya membuat terguncang juga. Sebenarnya mudah bagi mereka namun ekor dari semua ini bakal panjang, apalagi kalau Te-gak Mo-ki ingin berkuasa! Tiba-tiba dia merasa tak enak dan ada semacam ganjalan mengganggunya. Apakah yang diingini kekasihnya ini? Kekuasaan menguasai negara? Ia tak nyaman.

Harus diketahui bahwa pada saat-saat tertentu pangeran ini terlepas dari pengaruh hitam Te-gak Mo-ki, yakni ketika kekuatan hitam itu mengendor dan belum diisi lagi. Biasanya sekitar empat puluh hari. Pada saat-saat seperti itu semua kesadaran pangeran ini datang. Ia terheran-heran dan juga kaget oleh sepak terjangnya. Siapakah Te-gak Mo-ki itu? Bukankah orang luar dan hanya bertemu ketika di telaga? Dan ia pucat melihat perobahan pada dirinya sekarang, betapa tak ada lagi selir di situ melainkan pemuda-pemuda tampan melulu.

Bahkan ada pangeran yang masih keponakannya pula dijadikan kekasih, seorang pangeran belia yang usianya baru empat belas tahun! Ngeri dia membayangkan ini karena ibu dari pangeran itu masih kakak perempuannya sendiri. Bagaimana dia melakukan itu! Dan ketika kesadaran serta pikiran waras itu muncul, mengusir semua sisa-sisa gelap dari pikirannya yang lain maka Hui-ongya ini tiba-tiba merasa betapa keji dan sesat sebenarnya Te-gak Mo-ki itu.

Ia harus bertindak! Begitu ia mengepalkan tinju. Tapi ketika keesokannya matanya menjadi bengong melihat mata Te-gak Mo-ki yang mencorong penuh daya aneh, masuk dan menembus sukmanya secara kuat maka tanpa disadari lagi ia pun tertegun dan masuk dalam pengaruh ilmu hitam si banci.

Agaknya Te-gak Mo-ki lupa bahwa ilmunya harus diperkuat. Ada tanda-tanda Hui-ongya mau sadar. Maka ketika ia menusukkan ilmunya lewat pandang mata, lunglailah pangeran itu oleh segala daya hisap dan pengaruh guna-guna maka pangeran ini kembali seperti dulu-dulu lagi untuk tetap dalam cengkeraman Te-gak Mo-ki. Dan merekapun bicara tanpa rahasia-rahasia lagi untuk rencana pembunuhan kaisar. Namun sampai di sini kekuatan sihir itu rupanya terbentur, karena kesadaran yang paling dalam dan jauh di batin Hui-ongya itu masih belum terjangkau. Hui-ongya menggeleng dan menyatakan keberatannya.

“Hm, aku tak ingin menjadi kaisar, kau saja. Aku hanya ingin menaikkan derajatku dari Pangeran Muda menjadi pangeran penuh, kanda, juga jabatan Koksu untuk memperkuat kedudukanku. Kaisar dapat kulenyapkan!”

“Tidak, negara bisa gempar. Rakyat bakal terguncang dan kita semua repot, Kiem-te, tidak baik itu. Biarkan sri baginda di tempatnya dan nanti perlahan-lahan kubujuk agar menaikkan derajatmu!”

“Tapi tak mungkin kudapat. Gelar pangeran muda adalah gelar paling tinggi bagi orang biasa, kanda, kau tak mungkin berhasil. Kecuali kalau kau menduduki tahta dan peraturan istana ini kau robah!”

“Aku tak berani.”

“Kau harus berani, aku di belakangmu. Aku dapat membunuh baginda perlahan-lahan seperti yang kulakukan terhadap Cia-taijin!”

Hui-ongya pucat. Mata mencorong itu memaksanya tunduk dengan jiwa terguncang. Mata itu seperti mata seekor harimau haus darah, ia tergetar. Tapi karena pengaruh ilmu hitam tak menerobosnya sampai di relungnya yang paling dalam, betapapun pangeran ini tak mempunyai niatan memberontak akhirnya ia tetap menggeleng dan Te-gak Mo-ki mulai marah.

“Kiem-te, akalmu memang bagus, kematian sri baginda memang dapat dibuat secara tak kentara. Tapi di istana masih terdapat orang-orang yang setia kepadanya, Kiem-te, dan kalau aku naik tahta tanpa persetujuan mereka akibatnya bisa tak enak. Ada peraturan bahwa pengganti kaisar harus ditunjuk oleh kaisar yang terdahulu, atau kalau kaisar tiba-tiba meninggal dunia maka ada surat wasiat yang sudah terisi nama penggantinya, dan ini merepotkan kita!”

“Hm, begitu? Jadi sri baginda sudah membuat surat wasiat itu?”

“Benar, dan kalau surat itu bukan berisi namaku maka keinginanku ditolak, bisa terjadi perang saudara!”

“Baik, kalau begitu kapan sri baginda membuatnya. Di mana surat itu dan siapa yang memegang!”

“Tentu saja Cia-taijin.”

“Apa?”

“Benar, dia orang yang paling dekat dengan kaisar, Kiem-te, dan di tangannyalah surat itu ada. Kalaupun dia meninggal mendahului kaisar maka surat itu diberikannya kepada orang kepercayaannya yang ditunjuk.”

“Bagus, siapa orang itu!”

“Aku tak tahu, yang tahu hanya Cia-taijin.”

Te-gak Mo-ki tertegun. Ternyata dia tak tahu lika-liku istana ini, tak diduganya bahwa hal itu memang tak gampang. Maka ketika dia terkejut dan mengerutkan kening, percuma membunuh kaisar kalau tak dapat menduduki singgasananya akhirya si banci ini memukul permukaan meja dan melesaklah keempat kaki meja sampai setengah lebih.

“Hm, tak kusangka, repot juga. Kalau begitu rupanya harus dimulai dari Cia-taijin itu, kanda. Biar kusembuhkan dia dan kutanya tentang surat wasiat!”

Hui-ongya berdebar. “Kalau kau yang menyembuhkan maka segera diketahui pula bahwa kau yang mencelakainya. Lagi pula tak mungkin Cia-taijin mau bicara, Kiem-te. Kau akan gagal!”

“Dia dapat kupengaruhi, kutekan jiwanya!”

“Hm, kalau begitu terserah. Tapi ini dapat membahayakan rencanamu, orang lain akan mencium!”

Si banci menjadi marah. Ia merasa Hui-ongya ini selalu menakut-nakutinya, membuatnya bingung. Maka ketika bergerak dan tiba-tiba menangkap pangeran itu, hampir saja membantingnya mendadak ia teringat bahwa tanpa pangeran ia tak dapat maju ke depan.

“Kanda, kau selalu mengecilkan hatiku saja, menyebalkan. Kalau bukan kau tentu kuhancurkan kepalamu. Jangan selalu menakut-nakuti dan justeru bantulah aku mencari jalan keluar..... brakk!” Te-gak Mo-ki hanya melempar temannya ke meja itu dan Hui-ongya mengaduh. Ia kesakitan tapi si banci lenyap, Te-gak Mo-ki mendongkol. Dan ketika hari itu si banci merasa ragu namun meneruskan niatnya, ia mendatangi gedung Cia-taijin untuk menyembuhkan tiba-tiba ia terkejut karena lelaki tua itu tak ada lagi di sana, pergi entah ke mana, bersama Cia-hujin (nyonya Cia) dan puteranya, Cia Sun.

“Hm, kapan ia pergi, ke mana dan naik apa. Kenapa tak memberi tahu aku!”

“Ampun...!” pelayan merintih dan ketakutan, wajah Te-gak Mo-ki tampak bengis, menghitam. “Hamba... hamba tak tahu ke mana, kongcu. Keberangkatannya sudah tiga hari yang lalu!”

“Hm, kau memanggilku apa? Kongcu? Aku Siauw-ong (Pangeran Muda), dengar dan buka matamu baik-baik. Bersama siapa Cia-taijin pergi dan naik apa!”

“Mereka..... mereka naik kuda.... kereta.... Cia-hujin dan Cia-kongcu, mereka mereka ikut semua!”

Si banci mengerutkan alisnya semakin dalam. Ia telah mencari-cari pembesar itu tapi pantas tak ketemu, begitu juga Cia Sun bekas kekasihnya. Untuk pemuda ini ia tak mempengaruhi dengan ilmu hitam lagi karena putera Cia-taijin itu bukan orang penting. Itulah sebabnya Cia Sun lalu sadar lagi dan ngeri oleh sepak terjangnya, menurut dan tunduk kepada ayahnya dan pemuda ini tak lagi teringat si banci. Hui-ongya maupun yang lain malah dilupakan.

Dan ketika ayahnya malah mengikat perjodohannya dengan puteri Swi- goanswe, Swi Pang yang cantik manis akhirnya pemuda ini normal kembali namun sayang ayahnya tiba-tiba sakit seperti itu. Tabib istana telah memberi tahu dirinya tentang pertemuannya dengan si banci yang lihai itu, ketika mencegah orang-orangnya Kwa-taijin menghadang si tabib. Maka ketika Cia Sun mengerti bahwa sakit ayahnya kiranya dilakukan si banci itu, karena ayahnya didengar akan melapor pada sri baginda maka pemuda ini menjadi keder namun juga marah.

Akan tetapi Cia Sun tahu benar siapa Te-gak Mo-ki itu. Dalam cumbu rayu ketika dulu bermain cinta si banci itu telah menunjukkan ilmu-ilmunya yang aneh, seperti misalnya menghilang dan muncul lagi seperti iblis. Juga mengunyah sepotong besi untuk akhirnya dilumat habis. Dan karena semua itu dilakukan tokoh ini untuk menakut-nakuti korbannya, Cia Sun dan para pangeran lain gentar, maka pemuda ini tahu benar betapa si banci yang kadang dapat bersikap kasar dan bengis di pembaringan itu adalah seorang berbahaya yang berilmu tinggi!

Kini melihat ayahnya sakit dan ah-uh-ah-uh tak dapat bicara sebenarnya timbul jiwa pemberontakan. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Pemuda ini tak dapat berbuat apa-apa sampai ketika suatu hari datanglah Swi-goanswe (Jenderal Swi) itu berkunjung, maklum mereka adalah calon besan yang tak lama lagi terikat hubungan keluarga.

Swi-goanswe terkejut dan mengerutkan kening. Segera dia mendengar cerita Cia Sun yang membuatnya merah itu. Dia jarang di kota raja karena jenderal ini lebih sering di tapal batas menghalau bangsa liar yang ingin memasuki tembok besar. Tapi karena berita-berita kota raja juga selalu diikutinya dan dia mendengar tentang Te-gak Mo-ki ini, si banci yang lihai akhirnya jenderal tinggi besar bertubuh tegap dan gagah ini berkata,

“Agaknya ada seseorang yang mampu menyelamatkan ayahmu, seorang sahabatku. Marilah bawa dia ke sana dan kalian semua ikut ke tapal batas. Suruh ibumu berkemas.”

“Paman mau membawa kami ke tempat paman di utara?” Cia Sun masih memanggil paman kepada calon mertuanya ini, bukan gak-hu (mertua laki-laki), karena belum terikat resmi. ”Apakah paman yakin bahwa ayah betul-betul dapat disembuhkan?”

“Hm, semuanya perlu dicoba, Cia Sun, tapi mudah-mudahan sahabatku itu sanggup. Ia telah banyak membantu anak buahku dari bermacam-macam penyakit, baik luka senjata atau racun. Mari bawa ke sana dan secepatnya saja, berangkat malam hari!”

Tak ayal lagi pemuda itu tergesa memanggil ibunya. Cia-hujin berurai air mata namun wanita tua ini mengangguk-angguk. Kalau ada orang yang kepandaiannya melebihi tabib istana dan dapat menyembuhkan suaminya tentu saja ia girang. Isteri mana tak senang suaminya sembuh.

Maka ketika malam itu juga keluarga Cia-taijin ini meninggalkan istana, Swi-goanswe diam-diam titip pesan untuk disampaikan ke sri baginda, maka tak ada yang tahu bahwa sebuah kereta dengan empat ekor kuda itu berisi Cia-taijin dan keluarganya, apalagi karena Swi-goanswe juga jarang tinggal di kota raja karena puteri dan isterinya ikut di tempat tugas.

“Hm, jadi majikanmu keluar semua?” Te-gak Mo-ki akhirnya mengetahui ini namun terlambat, matanya berkilat pada pelayan yang ditangkap itu. “Beb.... benar.... ampunkan aku, ongya aku tak tahu apa-apa lagi. Aku...aku hanya disuruh jaga rumah!”

“Bagus, kalau begitu kau juga patut menjaga neraka, pergilah!” Te-gak Mo-ki mencekik dan tiba-tiba melempar pelayan itu. Terdengar jerit tertahan namun diam, tubuh si pelayan terlempar dan terbanting di sudut, tenggorokannya patah! Lalu ketika si banci itu berkelebat dan kembali ke gedung Hui-ongya maka di sini pangeran itu juga terkejut dan heran.

“Keluar? Ke mana?”

“Aku tak tahu, kalau tahu tentu kubekuk, kanda. Sekarang suruh orangmu mencari Cia-taijin itu dan cepat lapor kepadaku!”

Hui-ongya berdebar namun mengangguk. Diam-diam ada perasaan lega dan girang Cia-taijin tak ada di rumah. Sesungguhnya diam-diam ia khawatir kalau surat wasiat itu terampas, Cia-tajin terbunuh. Maka ketika ia menyuruh orang-orangnya namun tentu saja setengah hati, tak begitu bersungguh-sungguh maka berdatanganlah orang-orang mencari Te-gak Mo-ki itu, para tokoh dari Bu-tong dan Hoa-san. Dan karena selama ini si banci selalu marah-marah, Cia-taijin belum ditemukan maka pemuda aneh itu membiarkan rambutnya memanjang untuk akhirnya diikat seperti ekor kuda!

Mula-mula yang berhadapan dengan para tokoh ini tentu saja Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan. Merekalah yang bertugas kalau ada yang mencari si banci. Dan ketika hari itu Mo Mo Cinjin muncul bersama ketua Bu-tong Beng Cit Ho-siang, menggantikan ketua lama yang sakit dan mengasingkan diri maka Siau-hun Mo-li yang mula-mula bertemu dengan orang-orang ini dibuat gentar dan terkejut. Tak kurang dari delapan tokoh berkelebat di situ, sementara di luar tembok tampak bayangan-bayangan lain yang rupanya murid-murid dua tokoh ini.

“Siancai, selamat malam. Kami ingin bertemu Te-gak Mo-ki pimpinanmu, Siau-hun Mo-li. Pinto ada perlu dan suruh dia keluar.”

“Omitohud, pinceng juga. Kiranya kau di sini, Siau-hun Mo-li, sudah lama bekerja di istana. Pertemukan kami dengan majikanmu atau pinceng minta kau ikut di rombongan kami sampai dia keluar.”

Itulah seruan atau kata-kata ketua Bu-tong dan Hoa-san yang lembut namun menggetarkan jantung. Siau-hun Mo-li tentu saja mengenal tokoh-tokoh ini karena dulu dia pernah bertemu, menjajal ilmu-ilmu orang pandai dan pergi setelah tak ada yang kalah atau menang. Nenek ini memang aneh semasa mudanya karena suka mengajak tanding orang-orang persilatan, kalau menang malah membunuh!

Maka ketika ia melihat tokoh-tokoh itu dan Mo Mo Cinjin yang berjenggot panjang tampak bersinar-sinar memandangnya, mata kakek itu semakin berkilat sementara Beng Cit Hosiang di sebelahnya juga memandang tenang namun sorot hwesio itu penuh tekanan dan paksaan maka nenek ini terkejut karena waktu itu ia sendirian saja berjaga di timur istana. Delapan orang di depannya ini jelas lawan-lawan berat!

“Hm-heh!” nenek itu mendengus, membuang kaget dan gentarnya. ”Kalian kiranya, Mo Mo Cinjin, dan kau Beng Cit Ho-siang. Ada apa kalian menemui aku dan menyebut-nyebut orang yang tak kukenal namanya. Siapa itu orang yang kalian cari dan aku tak tahu-menahu. Pergi dan jangan mencari ribut di sini atau nanti aku menghajar kalian!”

Mo Mo Cinjin mengetukkan tongkat, sementara Beng Cit tertawa dan tentu saja tahu kepura-puraan wanita ini, galak di luar tapi sebenarnya gentar di dalam! “Mo-li, pinceng telah bersusah payah memasuki istana, melacak dan mencari di mana orang yang pinceng (aku) cari-cari itu. Tak usah berdusta, kudengar kau dikalahkannya dan kini menjadi pembantu manusia iblis itu. Mana kawan-kawanmu Siang-buang Thai-swe dan Kutu Peniru Suara, atau kami memaksamu berada di rombongan ini dan sama-sama menemukan manusia jahat itu.”

Nenek ini melengking nyaring. Dua kali ketua Bu-tong itu berkata bahwa dia akan dijadikan satu dengan rombongan itu, berarti menangkap dan akan menawannya. Maka membentak dan mengibaskan rambutnya tiba-tiba nenek ini menyerang hwesio itu dari jarak dua meter, sambil uji coba. “Beng Cit keledai gundul, siapa berani memaksaku atau kau yang roboh dan tunduk kepadaku!”

Hwesio itu mengelak. Ia tahu kemarahan orang namun tentu saja tak takut, dikejar dan akhirnya mengangkat tangan menampar atau memukul balik rambut lawan. Lalu ketika nenek itu tergetar dan masing-masing terdorong mundur, Beng Cit terkejut dan merangkapkan tangan maka nenek itu berseru,

“Beng Cit, tenagamu semakin kuat, tapi aku juga bukan wanita lemah!”

“Omitohud, benar. Dan pinceng kagum kepadamu, Mo-li, namun kali ini kekaguman itu terpaksa dipendam. Pinceng datang untuk urusan yang lebih penting dan tak ada maksud untuk main-main denganmu!”

“Aku tak tahu siapa itu yang kau cari, boleh percaya boleh tidak. Tapi kawan-kawanku memang ada di sini dan kalian boleh bertemu!” nenek itu bersuit dan inilah isyarat untuk Siang-buang Thai-swe dan Kutu Peniru Suara.

Tiga bayangan berkelebat dan muncullah mereka itu. Dan ketika ketiganya juga terkejut karena di tempat itu muncul tokoh-tokoh partai, berdebarlah si Kutu Peniru Suara maka kakek ini diam-diam mencabut jepitan kutunya sementara Mo Mo Cinjin dan lain-lain tak kelihatan kaget melihat mereka itu.

“Hm, benar berita di luar, tinggal empat orang di sini. Siancai, agaknya Jing-ji-mi-to tak lagi bersama kalian, Siau-hun Mo-li, dan ini kiranya Siang-buang Thai-swe si Datuk Kembar. Ah, kami semakin yakin dan beritahukan di mana majikan kalian Te-gak Mo-ki!”

“Heh-heh, tidak percaya lagi. Eh, kau lihat di tempat ini hanya ada kami berempat, tosu bau. Kami tak tahu siapa orang yang kalian cari itu. Tanya teman-temanku ini!”

Siau-hun Mo-li terkekeh dan besar hati. Cepat ia memberi kedipan kepada teman-temannya itu dan Siang-buang Thai-swe mengangguk. Kutu Peniru Suara juga tiba-tiba terkekeh dan membangkitkan keberanian. Lalu ketika nenek itu menuding mereka dan bertanya apakah ada yang bernama Te-gak Mo-ki di situ maka Kutu Peniru Suara ini berseru,

“Kalian orang-orang kesasar, tak ada yang bernama seperti itu di sini. Pergi atau bicaralah secara baik- baik agar kami tidak memanggil pengawal!”

“Hm, Eng-seng-thiong sudah berubah banyak. Pinto melihat kau sekarang penakut, Kutu Peniru Suara, heran sekali bahwa sebelumnya kau adalah orang yang cerdik dan berani. Belum apa-apa kau sudah mengancam memanggil pengawal seperti takut menghadapi kami. Jangan khawatir, kami hanya berurusan dengan orang bernama Te-gak Mo-ki itu, majikan kalian. Suruh dia keluar atau kami terpaksa memaksa kalian untuk tidak berbohong!”

Merah wajah laki-laki ini. Tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya diam-diam ia merasa kecut melihat tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san itu. Tentu saja dia tahu dan sudah mendengar akan tewasnya orang-orang Bu-tong dan Hoa-san di tangan Te-gak Mo-ki. Dan karena khawatir si banci marah, dia dan kawan-kawannya tak mampu menghadapi delapan orang ini maka secara terang-terangan ia mengancam untuk memanggil pengawal tapi ancamannya itu malah dijadikan ejekan untuk memukul dirinya.

“Heh!” kakek itu membentak. “Mulutmu lancang, Mo Mo Cinjin, siapa mengancam kalian. Aku hanya bermaksud baik agar kalian tak dianggap perusuh atau pemberontak-pemberontak di istana. Kalian tak usah mencari ribut-ribut di sini atau nanti tahu rasa. Jangan lancang mulut!”

“Siancai, galak di luar, gentar di dalam. Kalau kami takut menghadapi ancamanmu tadi tak perlu kami datang ke sini, Seng-thiong. Kami sudah siap mengambil resiko dan menegaskan lagi bahwa urusan kami hanya dengan Te-gak Mo-ki, bukan kalian atau istana. Panggil orang itu dan tak usah berpura-pura tak tahu!”

Eng-seng-thiong melotot. Dia sudah siap menggerakkan jepitan kutunya ketika tiba-tiba Ji-thai, temannya yang berangasan maju mendahului. Datuk nomor dua itu membentak dan tak dapat menahan kemarahan, kata-kata dan ejekan ketua Hoa-san itu membuatnya gusar. Maka ketika ia berkelebat dan tangan kanan mendorong, pukulan Hek-thau-ciang menyambar tosu ini maka Mo Mo Cinjin berseru perlahan dan menggerakkan tangan kiri menangkis.

“Dess!”

Pukulan dua orang itu mengeluarkan getaran kuat di mana keduanya bergoyang-goyang hampir doyong. Mo Mo Cinjin berseru memuji sementara kakek hitam gundul itu melotot, matanya yang lebar semakin besar saja seperti ikan emas. Tapi ketika ia maju lagi dan penasaran oleh kekuatan lawan, ketua Hoa-San itu tangguh dan ingin dijajal maka bergeraklah Ce Han Tojin mendahului ketuanya.

“Pangcu, tak usah diladeni, biar kami yang maju... dukk!” Ce Han Tojin terpental namun kakek pendek hitam itu juga terdorong.

Selanjutnya orang nomor dua dari Siang-buang Thai-swe ini membentak lagi, berkelebat dan mendorongkan kedua tangannya dan sang tosu cepat mengelak, dikejar dan menangkis lagi dan Ce Han Tojin terlempar! Tapi ketika tosu itu berjungkir balik dan membuang tenaga lawan, indah melayang turun maka wakil Hoa-san ini tak mau main-main lagi dan cepat membalas dan menahan lawannya.

“Duk-plakk!”

Ce Han menambah tenaga dan lawanpun terdorong. Tosu ini membentak dan berkelebatlah dia dengan cepat mengelilingi lawannya itu, pukulan dan tamparan silih berganti menerpa Ji-thai. Namun ketika si kakek hitam mampu bertahan dan Hek-thau-ciangnya menolak balik semua pukulan-pukulan Ce Han Tojin maka tosu itu tak mau membuang waktu dan mencabut pedangnya.

“Singg-wuuttt!”

Gerakan pedang mendesing dan mengejutkan lawan. Ji-thai berteriak namun kalah cepat, terbabat ujung bajunya dan segera ia terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Dan ketika ia menjadi marah tak ada lain jalan kecuali mengeluarkan senjatanya pula maka gada bulat panjang yang hampir setinggi tubuhnya itu melesat dan membentur pedang di tangan Ce Han Tojin.

“Crangggg!”

Bunga api berpijar dan memercik indah di udara. Ce Han terpental dan tampak betapa tosu Hoa-san itu kalah tenaga, hebat memang Hek-thau-ciang milik lawannya. Tapi karena ia menang gesit dan lincah beterbangan lagi, menyambar bagai walet mengelilingi lawan akhirnya bertandinglah dua orang itu dengan masing-masing pihak memiliki kelebihan dan kekurangannya.

“Hm, suteku sudah bertempur, agaknya saudara It-thai mau coba-coba. Marilah, kita main-main sejenak, Siang-buang Thai-swe. Pinto ingin berkenalan denganmu kalau tak mau menunjukkan majikan kalian!”

Apa boleh buat, kakek yang satu ini maju pula. Dia lebih sabar dibanding adiknya akan tetapi kepandaiannya tentu saja lebih tinggi. Sekilas melihat pertempuran itu ia maklum bahwa adiknya dan Ce Han Tojin berimbang, yang satu menang tenaga tapi yang lain menang lincah. Maka ketika ia tak perlu khawatir dan lawan sudah menantang pula ia pun tak segan-segan lagi membungkuk dan menyiapkan Tenaga Gajahnya, Hek-thau-ciang.

“Hoa-san-paicu (saudara ketua Hoa-san), majulah. Kau tamu dan aku tuan rumah!”

Mo Mo Cinjin tersenyum dan mendorong dua sutenya yang lain yang mau maju. Mereka itu hendak mendahului ketua akan tetapi kakek ini maklum benar kelihaian Siang-buang Thai-swe. Dalam benturan dengan Ji-thai tadi ia merasakan kekuatan lawan. Maka ketika ia berseru dan balik menyuruh lawan menyerang lebih dulu, ia tamu tak diundang maka It-thai kakek itu mendorong dan melepas pukulan dahsyat.

“Mo Mo Cinjin, tahan!”

Tubuh pendek gempal itu mencelat ke depan. Bagai katak atau kerbau melompat Siang-buang Thai-swe ini menyerang lawan. Ia tak perlu sungkan-sungkan lagi karena lawan adalah ketua Hoa-san terkenal. Dan ketika Mo Mo juga bergerak dan mendorongkan lengan kedepan, menyambut dua lengan itu maka terdengar suara “bumm” yang dahsyat sekali. Persis gajah menumbuk bukit! Mo Mo terhuyung dan membelalakkan matanya sementara It-thai terpental namun maju lagi. Lalu ketika Mo Mo mengelak dan membalas lawan tak ampun lagi dua orang inipun sudah bertanding dan yang lain mundur.

“Des-desss!”

Getaran suara ini kuat mengguncang jiwa. Yang tak tahan tentu roboh dan pucat. Namun ketika Mo Mo Cinjin tak mau banyak beradu pukulan, berkelebat dan mainkan ginkangnya untuk menampar dan memukul maka lawan mengelak dan tiga kali pukulan Mo Mo tertolak bertemu kulit pundak It-thai yang atos. Selanjutnya Mo Mo Cinjin juga membiarkan dirinya terpukul dan Hek-thau-ciang itupun dapat ditahannya. Dengan sinkangnya ketua Hoa-san ini mampu menahan pukulan gajah itu, meskipun agak terdorong dan terhuyung mundur.

Dan ketika masing-masing terbelalak kagum namun si tosu lebih cepat bergerak, It-thai berpenampilan berat dan kalah ringan maka di sini ketua Hoa-san itu lebih banyak mengambil inisiatip serangan sementara lawan bertahan dan mempergunakan tubuhnya yang liat dan kebal.

“Omitohud, teman-teman sudah mencari keringat. Ayo, kita main-main pula, Siau-hun Mo-li. Pinceng gatal tangan kalau hanya menonton saja. Marilah maju dan mudah-mudahan tak perlu memanggil pengawal!”

Eng-seng-thiong merah dan melotot memandang ketua Bu-tong itu. Beng Cit Hosiang bicara pada Siau-hun Mo-li namun ejekannya ditujukan kepada dirinya. Akan tetapi ketika nenek itu menjeletarkan rambut dan siap memenuhi tantangan mendadak hwesio di belakang Beng Cit meloncat dan menyambar nenek itu.

“Suheng, tak perlu menggebuk anjing memaki tangan sendiri. Biarkan aku yang maju dan lihat seberapa galak nenek iblis ini!”

Tentu saja si nenek gusar. Ia diterjang dan Kong Tek, hwesio itu menyerangnya tak main-main. Sebelum tubuhnya tiba toya di tangan kanan itu menyodok mata, tentu saja ia melengking. Dan ketika ia mengelak dan meledakkan rambutnya, senjata ini tiba-tiba lurus kaku bagai kawat baja maka terdengar suara “trangg” ketika bertemu toya. Sang hwesio berseru memuji namun tidak berhenti di situ saja, lengannya kesemutan namun nenek itupun terhuyung. Dan ketika ia melanjutkan serangannya sementara Siau-hun Mo-li membentak dan membalas, maka dua orang ini sudah bertempur dan Eng-seng-thiong terbelalak memandang Beng Cit Hosiang yang tersenyum padanya, senyum mengejek!

“Marilah, atau kau menonton saja. Pinceng percaya kepada keberanianmu dan tentu tak perlu memanggil pengawal.”

Marahlah kakek tinggi kurus ini. Kalau ia terus-terusan diejek dan tidak membalas, harganya tentu semakin rendah maka tak ayal lagi Kutu Peniru Suara ini membentak. Ia berkelebat tapi seekor kutu betinanya dijentik, menyambar dan mendahului hinggap di jubah ketua Bu-tong itu. Lalu ketika ia menyerang dan lawan mengelak, tak melihat kutunya itu maka Eng-seng-thiong terbahak-bahak tertawa girang.

“Beng Cit, jangan sombong. Siapa takut padamu dan marilah kita main-main!”

Sang hwesio tersenyum dan tidak tahu kecurangan lawan. Ia menangkis dan mendorong tapi saat itulah kutu di jubahnya merayap. Kutu Eng-seng-thiong ini adalah kutu betina yang cepat beranak-pinak, sedetik dua detik saja sudah mampu menciptakan ratusan anak-anak kutu yang bakal membuat gatal sekujur tubuh. Maka ketika kutu-kutu itu berlarian dan menyelinap ke saku baju, juga celana dan ketiak hwesio ini tiba-tiba saja Beng Cit Hosiang berteriak kaget dan berubah mukanya.

“Curang!”

Sute dan tosu-tosu Hoa-san tercengang. Mereka tak melihat kutu-kutu itu dan saat itupun Eng-seng- thiong bertempur dengan cara biasa, mengelak dan membalas dan berlompatan sebagaimana layaknya musuh. Tapi ketika Beng Cit Hosiang melepas jubahnya dan mengebut sana-sini, kutu-kutu kecil beterbangan menyambar ke mana-mana maka sadarlah orang-orang itu apa yang kiranya telah terjadi. Dan merekapun tentu saja marah di samping geli.

“Ha-ha, apa yang curang. Aku tak melakukan apa-apa yang patut disebut curang, Beng Cit Hosiang. Adalah kutu-kutuku itu beterbangan sendiri dan rupanya kerasan di tempatmu. Aih, jangan memaki dan menggaruk-garuk!”

Ketua Bu-tong membentak dan gusar. Ia terpaksa membuang jubahnya dan menggaruk serta mencakar sana-sini. Yang repot adalah kutu-kutu yang masuk celana, merayap di celah pahanya dan menggigit di situ. Dan ketika lawan terbahak-bahak sementara yang lain tersenyum geli, ketua Bu-tong tampak lucu maka toya menggebuk pinggang kakek itu tapi bersamaan dengan itu Beng Cit Hosiang melepas celananya.

“Maaf, pinceng mundur dulu nanti maju lagi!”

Tertawalah semua orang melihat Beng Cit Hosiang kedodoran. Hwesio itu meloncat pergi dengan pantat telanjang di belakang, bersembunyi dan memencet dulu semua kutu-kutu penyakit. Dan ketika sutenya yang lain maju dan membentak menghentikan tawa-tawa rekannya dari Hoa-san, kejadian itu memang menggelikan maka si Kutu Peniru Suara ini diserang dan melepas lagi seekor kutu betinanya.

“Wherr!” Benda kerlip kecil yang memantul oleh sinar lampu itu kebetulan dilihat Ta Peh Hwesio, sute dari Kong Tek Hwesio yang maju ini. Tentu saja ia mengebut dan kutu itu hancur. Lalu ketika ia membentak dan Eng-seng-thiong marah, anaknya mati seorang maka iapun mengelak dan membalas hwesio Bu-tong itu.

Akan tetapi Beng Cit Hosiang telah muncul kembali. Hwesio yang marah oleh perbuatan lawannya ini menghantam dari belakang, sudah mengenakan jubahnya lagi dan menyuruh mundur sang sute. Lalu ketika Ta Peh Hwesio didorong ke belakang dan mundur melihat ketuanya akhirnya pertandingan dua orang ini dilanjutkan lagi. Ketua Bu-tong tentu saja tak mau tertipu oleh segala bentuk ke curangan lawan, menekan dengan toyanya.

“Seng-thiong, kau benar-benar lelaki curang tak tahu malu. Sekarang pinceng tak akan mengampunimu dan lihat senjata!”

Eng-seng-thiong mengelak dan dikejar. Ia telah menangkis namun lengannya tergetar, mundur dan melotot namun kepalapun dikibas. Bagai anjing membersihkan bulu melesatlah ratusan kutu dari kepalanya. Namun karena lawan sudah waspada dan tak mungkin tertipu, mengebut dan menampar maka semua kutu membalik dan terlempar ke kiri kanan. Eng-seng-thiong marah.

“Baik, kau juga tak tahu malu, Bu-tong-paicu. Dengan toya mu yang panjang kau menghadapi aku yang bersenjata pendek!”

“Tak usah banyak mulut, kutumu itupun senjata lain yang kau punyai. Robohlah, tak usah banyak cakap, Eng-seng-thiong. Pinceng akan menangkapmu dan memaksa majikanmu keluar... trang-trangg!”

Toya ditangkis jepitan kutu dan Eng-seng-thiong terpental. Dari tenaga toya itu Eng-seng-thiong terkejut, telapaknya pedas dan panas. Dan ketika ia menghindar dan tak berani banyak adu tenaga, berkelit dan berlompatan sambil mengibas kutu-kutunya lagi maka pertandingan berjalan seru sementara di sana tiga orang yang lain juga sengit dan masih bertempur dengan penuh semangat.

Akan tetapi tampak bahwa perlahan-lahan Siang-buang Thai-swe dan kawan-kawannya ini keteter. Hoa-san-paicu dan sutenya mengadu kecepatan dan menusuk atau mengancam tubuh lawan dengan serangan-serangan mereka yang berbahaya. Siau-hun Mo-li menghadapi Kong Tek Hwesio yang tangguh dan sanggup menghadapi rambutnya. Dan karena disitu masih ada empat musuh lain sementara diluar sana beberapa pengawal dirobohkan bayangan-bayangan yang bersembunyi menjaga delapan orang ini, jelas kedudukan mereka kalah maka empat orang ini gugup dan gelisah yang membuat permainan mereka jadi kacau. Eng-seng-thiong malah terbanting oleh empat gebukan toya yang membuat ia menjerit!

“Hm, sekarang tak dapat lari. Ayo menyerah atau panggil manusia iblis itu ke mari, Seng-thiong, atau pinceng membuatmu jatuh bangun tak dapat berdiri!”

Kutu Peniru Suara ini pucat. Memang ia tak mungkin melarikan diri karena empat yang lain mengepung. Setiap ia bergerak keluar maka empat orang itu menghalau, secara moral tentu saja membuat kecut Eng-seng-thiong dan kawan-kawan ini. Dan ketika tak ada kemungkinan lagi kecuali memanggil bantuan, Eng-seng-thiong memekik dan bersuit panjang maka pengawal berdatangan dari delapan penjuru dipimpin Wang-busu, pasukan atau Pengawal Rompi Merah.

“Wang-busu, tangkap orang-orang ini. Bunuh mereka!”

Istana terkejut. Bentakan dan suara pertempuran itu sebenarnya sudah didengar oleh penjaga. Namun karena bayangan-bayangan di luar delapan orang itu melindungi yang di dalam, menyerang dan merobohkan mereka itu maka pengawal terkejut dan jerih. Yang lolos lalu melapor ke dalam dan kebetulan Wang-busu itulah yang menerima. Suitan atau tanda bahaya dari si Kutu Peniru Suara ini membuat komandan itu berlari-lari. Jarang kejadian ini mereka alami. Dan ketika ia tiba di situ dan melihat itulah orang-orang kang-ouw yang bertempur seru, kaget karena segera mengenal Mo Mo Cinjin dan kawan-kawan maka komandan itu terhenyak namun ketua Hoa-san ini cepat berseru bahwa yang dicari adalah Te-gak Mo-ki.

“Kami bukan memusuhi istana, harap mundur. Yang kami cari adalah Te-gak Mo-ki yang membunuh orang-orang kami. Harap tidak menyerang karena kami dihalangi empat orang ini!”

Sang komandan bingung. Ia tahu siapa Mo Mo Cinjin dan hwesio-hwesio ini, kaum pendekar atau orang-orang yang selama ini tak pernah memusuhi istana. Tapi Eng-seng-thiong yang marah melihat bingungnya perwira itu, yang bengong dan diam di tempat akhirnya membentak dan memaki.

“Wang-busu, siapapun yang datang secara liar adalah musuh. Mereka ini datang mengacau, apakah kau tetap diam mematung di situ? Lihat nanti kalau Hui-ongya mendengar sikapmu ini, tahu rasa kau!”

Sang komandan terkejut. Hui-ongya adalah orang yang berpengaruh dan dirinya bisa terancam, salah-salah kedudukannya dicopot! Maka tak ada lain jalan kecuali membentak dan memberi aba-aba akhirnya ia pun maju menyerang menghadapi puluhan orang-orang Hoa-san dan Bu-tong yang kiranya sudah disiapkan secara besar-besaran oleh Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang, tanda betapa seriusnya tokoh-tokoh ini menghadapi Te-gak Mo-ki!

“Mereka benar, kalian datang secara liar. Maaf kami menganggapmu perusuh, Hoa-san-paicu. Menyerah atau pergi cepat-cepat dari sini...!”