Tapak Tangan Hantu Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“DIA bukan seorang wanita,” tosu ini mengurut dan memulihkan muridnya. “Dia. itulah banci yang kita cari, Cui Ling. Hati-hati dan jangan sembrono!” lalu mendorong muridnya meloncat bangun tosu ini menghadapi si banci itu, yang sudah berdiri dan tertawa mengejek.

“Kau. hm,kaugurugadisitu?KauBunTekTojin?Ha-ha, kau dan muridmu mencari penyakit, Bun Tek Tojin, sayang sekali aku harus melenyapkanmu, kecuali kau mau pergi dan tidak banyak bertanya lagi. Nah, mana yang kau pilih ingin mati ataukah selamat.”

Kakek ini terbelalak. Ia tak tahu dan tak mengenal lawannya ini tapi sikap dan kata-kata lawannya ini membuatnya merah padam. Baru kali ini ia bertemu lawan seperti itu, banci yang aneh namun memiliki sepasang mata mengerikan. Dari balik mata itu ia melihat nafsu membunuh yang amat jahat, juga mata yang gelap dari seorang laki-laki tidak normal. Mata itu membayangkan kecerdikan dan kekejaman. Tapi karena ia seorang tokoh Hoa-san dan tak perlu kiranya merasa takut, ia mengeluarkan tasbehnya tiba-tiba tosu itu membentak dan menggoyang lengan.

“Manusia busuk, kau rupanya membuat penderitaan bagi calon menantuku Sia Teng Seng. Kau telah menjadikan Teng Bu sebagai .seorang pemuda yang tidak waras juga. Siancai, pinto akan mencobamu dan lihat serangan!” tasbeh berketrik dan tiba-tiba menyambar ke depan. Tosu ini tidak melangkah maju namun lengan dan tasbehnya cukup panjang, menjangkau dan mampu menghantam lawan dari jarak tiga meter, angin dahsyat juga menderu. Namun ketika si banci itu menyambut dan menangkis, lengan bajunya balik menyambar maka tosu itu berteriak mencelat ke luar kamar, berdebuk.

“Aiihhhhhh.....!” Bun Tek Tojin kaget bukan main. Tosu ini merasa tenaga yang amat dahsyat menerima pukulannya tadi. menolak dan membuat dia terlempar. Dan ketika dia bergulingan namun selamat membuang sisa pukulan, hal itu benar-benar berbahaya sekali maka di luar pintu kamar tosu ini berseru tertahan dan pucat membelalakkan mata. Muridnya mengikuti dan Cui Ling menjerit melihat gurunya terlempar tadi.

“Tidak apa-apa aku tidak apa-apa. Ah, menjauh dan jangan dekat-dekat kesini, Cui Ling. Musuh benar-benar berbahaya dan pinto (aku) menghadapi lawan berat!”

Cui Ling melepaskan tangan gurunya. Ia tadi memang mengejar dan lega melihat gurunya meloncat bangun, bertanya dan memegang lengannya namun sang guru menyuruhnya minggir. Dan ketika si banci itu melangkah keluar dengan kaki perlahan, Teng Bu menyusul di belakangnya dan tampak gelisah maka banci itu tertawa mengebutkan lengan bajunya.

“Bagus, kau menentukan kematianmu sendiri. Hi-hik, maju dan coba lagi, Bun Tek Tojin. Aku akan menerima dan tak membalasmu selama tiga jurus'.“

Tosu ini pucat. Ia terkejut dan ngeri bukan main bahwa dalam gebrakan pertama itu saja ia mencelat dan terlempar. Pukulannya membalik. Namun karena ia seorang tokoh dan malu untuk mundur, tosu ini membentak maka ia pasang kuda-kuda dan berseru lantang, gemetar. “Orang muda, siapa namamu. Malu rasanya bertanding dengan seorang tak dikenal. Nah, katakan dan sebut namamu, anak muda. Pinto Bun Tek Tojin tak akan penasaran kalau mati membela kebenaran!”

“Hm, terlalu tinggi untuk menyebutkan namaku. Ketuamu Mo Mo Cinjin masih tak layak mendengarnya, Bun Tek Tojin. Tapi untuk membuang penasaranmu baiklah kuperlihatkan ini. Mengenal atau tidak terserah dirimu...cring!” sebuah cincin berbatu hitam meluncur dari jari laki-laki ini, menyambar atau menghantam tiang belandar untuk kemudian menggelinding di depan kakek itu, cepat dan kembali dí kaki si banci ini untuk kemudian disontek dan diterima tangannya lagi. Dan ketika tosu itu melihat dan berseru tertahan, muka yang sudah pucat menjadi seperti kertas medadak kakek ini menyambar muridnya dan memutar tubuh, lari terbang.

“Kau Siluman Akherat.'’

Teng Bu tertegun, Bun Tek Tojin, guru Cui Ling yang semula gagah dan siap mati itu mendadak kuncup semangatnya dan padam. Kakek itu melarikan diri. Dan ketika ia dan Cui Ling sama-sama terkejut, nama itu tak mereka kenal maka si banci ini tertawa, renyah.

“Bun Tek. kau sudah mengenal aku, bagus. Tapi kematianmu tak boleh ditunda. Biar Teng Bu menghadapimu dan aku menjadi juri.”

Teng Bu kaget. Tosu yang berkelebat dan sudah meloncat di luar tembok itu tiba-tiba menjerit. Kaki yang melayang di atas tembok dan siap turun ke bawah tiba-tiba tertekuk. menghadap ke dalam dan otomatis posisi kakek ini berputar arah. Dan ketika kakek itu meluncur ke bawah dan jatuh berdebuk, tak dapat keluar lagi maka Teng Bu didorong dan tahu-tahu melayang menabrak kakek ini.

“Heiii...!” Otomatis pemuda itu menggerakkan lengan. Teng Bu hendak menahan lajunya tubuh tapi dorongan itu terlampau kuat. Kedua lengannya menjadi mencengkeram si tosu, baik Teng Bu maupun kakek itu tentu saja menjadi kaget. Dan ketika kakek ini berseru keras dan menggerakkan tasbehnya, Teng Bu ditangkis maka pemuda itu terlempar namun si kakek juga terhuyung.

“Bresss!”

Bun Tek dan Cui Ling menjadi marah. Cui Ling mengira Teng Bu menyerang gurunya, sementara Bun Tek Tojin maklum bahwa pemuda itu diperalat si banci. Dan ketika gadis itu membentak dan melepaskan gurunya, ia sesungguhnya penasaran kenapa gurunya melarikan diri maka Teng Bu diserang dan Cui Ling sudah mencabut pedangnya.

“Teng Bu, kekurangajaranmu menjadi-jadi. Berani benar kau menyerang suhu. Mampuslah, dan jangan kira aku takut!”

Teng Bu terbelalak. Sesungguhnya ia terkejut bahwa tiba-tiba didorong dan dilontarkan ke arah Bun Tek Tojin. Kakek itu sejajar gurunya, menyerang berarti bahaya. Tapi ketika ia terlempar dan diserang gadis ini, Cui Ling tak perlu ditakuti maka ia membentak dan segera mengelak serangan itu, menangkis dan mementalkan lawan dan gadis itu marah. Hal ini menimbulkan kebenciannya. Tapi ketika beberapa jurus kemudian ia dipentalkan lagi dan terpelanting, gadis ini menjerit maka Bun Tek Tojin melihat bahwa muridnya memang bukan lawan pemuda itu, dan di sana si banci menunggu dengan tawa mengejek.

Kakek ini pucat. Sesungguhnya setelah dia tahu siapa si banci ini maka gentar dan ngeri menghantui dirinya. Tak disangka bahwa lawan adalah Siluman Akherat, iblis keji yang dapat berbuat apa saja dan bukan tandingannya. Maka ketika muridnya menyerang Teng Bu dan membentak memaki-maki, pedang akhirnya terlepas ditangkis si pemuda tiba-tiba kakek ini bergerak dan kembali menyambar muridnya, pedang di udara itu ditangkap dan dibawa lari.

“Cui Ling, tak guna kita di sini. Musuh terlalu kuat. Mari pergi dan jangan hiraukan Teng Bu!”

“Tidak, aku ingin bertemu Seng-ko. Biarkan dan jangan lari, suhu. Kau belum bertanding apa-apa dengan si banci itu. Lepaskan, biar kuhadapi Teng Bu!”

Kakek ini tak menghiraukan. Ia tetap membawa muridnya pergi dan Teng Bu di dorong mundur. Meloncat dan mencoba melewati penjagaan Bun Tek Tojin berjungkir balik di atas pagar tembok. Tapi ketika terdengar tawa dingin dan serangkum angin pukulan menghantam punggungnya, kakek ini terpekik maka ia roboh lagi dan jatuh di dalam pagar.

“Keledai gundul, sudah kukatakan tak boleh pergi kalau aku sudah bicara. Kau mencari kematianmu sendiri. Kembali dan hadapilah Teng Bu dan boleh pergi kalau kau dapat membunuh lawanmu.”

Kakek itu berseru terkejut. Ia menangkis dan terpaksa berjungkir balik turun kembali menerima pukulan jarak jauh itu. Teng Bu juga terkejut karena ia diharuskan melawan kakek itu. Dan ketika ia pucat memandang kekasihnya, si banci tertawa mengebutkan lengan maka ia didorong dan menyambar lagi ke depan.

“Teng Bu, tak usah takut. Ini ujian baik untukmu. Hadapi tua bangka itu dan bertandinglah keluarkan seluruh kepandaianmu.”

Pemuda ini berseru keras. Bun Tek Tojin baru saja menginjakkan kakinya di tanah ketika ia tiba-tiba kembali menyambar, bukan atas kemauan sendiri melainkan dorongan si banci itu. Dan ketika ia menahan namun kalah kuat, lagi-lagi kakek itu ditabrak maka Bun Tek Tojin marah memukul dirinya.

“Teng Bu, kau sudah berkawan dengan iblis. Menyesal sekali pinto melihat ini. Biarlah pinto membereskanmu dan kelak akan kupertanggungjawabkan di depan gurumu!”

Pemuda itu kaget. Kalau tadi si tosu menangkis dan hanya mempertahankan diri adalah sekarang kakek itu menyerangnya dan menghantamnya hebat. Pukulan panas menyambar dari telapak kakek itu, Hoa- san-ciang atau Pukulan Hoa-san. Dan ketika apa boleh buat dia menerima dan mengerahkan tenaga, tentu saja tak mau celaka maka Bun Tek Tojin terpental dan roboh terbanting, sama seperti Teng Bu yang juga terlempar dan menumbuk dinding.

“Bress!”

Marahlah pemuda itu. Teng Bu mengeluh namun menggulingkan diri meloncat bangun, pukulan lawan membuat dadanya sesak. Dan ketika si kakek tertegun karena pemuda itu tak apa-apa, Teng Bu sendiri tak menyadari kekuatannya maka tasbeh di tangan kakek itu dilolos lagi dan meledak. Bun Tek Tojin meloncat dan menyerang pemuda ini lagi.

“Bagus, kau sudah memiliki kemajuan lumayan. Heh, pinto tak segan-segan lagi menghadapimu, Teng Bu. Terimalah ini dan líhat seberapa jauh kepandaianmu setelah bergaul dengan iblis itu!”

Teng Bu membentak marah. Iapun mengelak dan menangkis ketika diserang tasbeh, membalas dan melihat bahwa tenaganya mampu mengimbangi kakek itu. Dan ketika ia menjadi berani dan tiga serangan dipentalkan semua, dia dan lawan sama-sama terdorong maka Bun Tek Tojin semakin kaget sementara pemuda itu hilang keraguannya. Tasbeh menyambar-nyambar tapi Teng Bu mengelak dan menangkis, ini membuat kepercayaannya tumbuh. Tapi ketika kakek itu berseru keras dan berkelebat mengelilingi dirinya maka pemuda ini terdesak dan sibuk sekali.

“Teng Bu, pergunakan Hek-be-kang. Cabut pedangmu dan layani kakek itu sama-sama bersenjata!”

Pemuda ini sadar. Segera dia mencabut pedang dan mainkan senjata itu dengan putaran kuat. Sekarang pemuda ini memiliki pedang di samping sepasang goloknya. Dan ketika ia berkelebatan mengimbangi kakek itu dan lawan terbelalak merah padam, kepandaian pemuda ini melesat luar biasa maka tasbehnya bertemu pedang dan bunga api berpijar. Tenaga mereka sama keras!

“Keparat, kau benar-benar lain dengan dulu, Teng Bu. Sekarang kau menjadi antek iblis ini. Biarlah pinto membunuhmu atau kau membunuh pinto!”

Lengking atau pekik kakek ini berubah. Suara putus asa dan marah menjadi satu, tak ada harapan lagi bagi kakek itu untuk merobohkan Teng Bu dalam waktu cepat. Pemuda yang dulu setingkat muridnya ini sudah berobah, Teng Bu sudah sejajar dirinya. Dan ketika ia memekik dan merobah gerakan, tasbeh berpindah ke tangan kiri dan tangan kanan mencabut pedang maka Hoa-san Kiam-sut (Silat Pedang Hoa-san) sudah bergabung dengan permainan tasbeh dan pukulan-pukulan Hoa-san-ciang.

Dan hebat sekali kemarahan kakek gemuk pendek ini. Gerakannya tak terpengaruh bentuk tubuhnya dan cepat menyambar- nyambar bagai walet beterbangan. Seluruh kekuatan dan kecepatan dikerahkan kakek ini, Bun Tek Tojin benar-benar marah. Dan ketika tasbeh dan pedang menjepit Teng Bu, pemuda itu pucat maka babatan miring mengenai bahu pemuda itu.

“Bret!”

Teng Bu luka. Ia terkejut dan mundur namun tasbeh menyambar. Kakek itu benar-benar marah. Dan ketika ia menangkis namun pedang kembali bergerak, merobek lengannya maka Teng Bu panik dan si banci berseru.

“Bodoh, keluarkan Hek-be-kang. Teng Bu. Kenapa tidak. Dan ganti pedangmu dengan siang-to!”

Pemuda ini sadar. Tiba-tiba ia ingat bahwa sejak tadi sebenarnya Hek-be-kang harus dikeluarkan, ia lupa. Maka ketika ia membentak dan berseru mundur, mengganti pedang dengan golok maka siang-to atau sepasang golok itu telah berkelebat di kedua tangannya.

“Cring-crangg!” dan pedangpun mental bersama tasbeh. Namun kakek itu bukan orang sembarangan. Bun tek Tojin adalah tokoh Hoa-san yang sudah banyak asam garam pertandingan. Ia cepat berseru keras dan berkelebat lagi. Dan ketika tasbeh menyambar sementara pedang siap bersembunyi, inilah tak diketahui si pemuda maka golok menangkis dan saat itulah seperti kilat menyambar ujung pedang tosu ini menusuk tenggorokan. Teng Bu terkejut dan mengelak dan pedangpun menusuk pundak. Hampir pemuda itu terbang semangatnya. Tapi ketika pedang meleset mengenai pundak yang licin, Hek-be-kang melindungi maka Teng Bu terbahak dan sadar lolos dari bahaya maut.

“Ha-ha, benar. Kau benar, Kiem-twako. Terima kasih!”

Bun Tek Tojin terkesiap. Tosu ini sudah menjadi girang karena pedangnya menusuk tenggorokan. Siang-to atau sepasang golok menangkis tasbehnya. Tapi ketika pemuda itu mengelak dan ia kagum, betapapun hal itu menunjukkan kepandaian lawan maka ia menjadi kaget setengah mati karena pedangnya menusuk pundak dan meleset seperti menusuk karet atau belut yang licin. Dan itulah Hek-be-kang yang sesungguhnya di awal perjumpaan mereka juga telah digunakan pemuda ini hingga membuatnya kaget.

“Bagus, kau benar-benar luar biasa. Hebat dan mengagumkan gurumu kalau Hak Cin Hosiang tahu, Teng Bu. Pinto juga bangga tapi sayang kau harus mampus trik-crangg!” tasbeh menyambar lagi namun bertemu golok, mental dan menyerang dari kiri namun siang-to menghadang. Dan ketika kakek itu berseru keras namun Teng Bu membentak mengimbangi, kata-kata kakek itu membuatnya merah maka Teng Bu membalas dan Hek-be-kang kembali menunjukkan kehebatannya ditusuk pedang.

Dua kali Teng Bu membiarkan dirinya ditusuk dan dua kali itu pula pedang si tosu mental. Tubuh pemuda ini benar-benar seperti belut yang licin. Dan ketika Teng Bu membalas dan satu dari sepasang goloknya membabat miring dari atas maka bahu kakek itu terkena dan Bun Tek Tojin mengeluh. Hal ini menambah semangat pemuda itu sementara si tosu terbelalak. Teng Bu di atas angin. Lalu ketika pemuda itu mendesak dan goloknya mendengung-dengung, perlahan tetapi pasti senjata di tangan Bun Tek Tojin terdorong maka sekali lagi pundak kakek ini terbabat golok.

“Bret!”

Kakek ini juga luka. Rasa panik dan gugup tak dapat disembunyikan lagi, Bun Tek kewalahan karena lawan tak dapat dilukai. Dan ketika ia mundur dan terhuyung-huyung, Teng Bu meluap semangatnya maka Cui Ling berseru nyaring dan tak dapat menahan diri lagi.

“Suhu, jahanam ini mendesakmu. Biar kubantu dan kita robohkan dia!”

Teng Bu terkejut. Ia mengelak namun pedang mengejar, dikelit namun saat itu sang tosu membalasnya. Dan karena serangan tosu ini lebih berbahaya dibanding muridnya maka satu tikaman pedang dibiarkan Teng Bu menusuk punggungnya.

“Cret!” dan gadis itupun terpekik pedangnya menusuk gumpalan daging licin. Pedangnya meleset dan Teng Bu menggerakkan kaki, tepat mengenai siku gadis itu. Dan ketika Cui Ling berteriak dan terpelanting, gadis ini kaget sekali maka si banci tertawa aneh dan berseru datar, tanpa perasaan,

"Teng Bu, bunuh saja kedua-duanya. Habisi dan kita kembali ke kamar.”

“Tidak,” Teng Bu berubah. “Mereka sahabat guruku, Kiem-twako, dan Cui Ling adalah kekasih kakakku. Biar kurobohkan mereka saja dan tak usah menumpahkan darah!”

“Hm, bodoh. Itu bakal membuatmu tak tenang, Teng Bu. Mereka akan datang dan mengacaumu lagi. Bunuh atau nanti aku yang berbuat.”

'Tidak, jangan. Biar kunasehati mereka dan aku tak ingin menumpahkan darah!” dan berseru pada Bun Tek Tojin agar melarikan diri, pemuda ini mendesak dan mementalkan senjata lawan pemuda itu sudah membujuk agar si tosu pergi. Akan tetapi apa jawaban kakek ini? Tosu itu malah terhina.

“Pinto tak ada muka lagi untuk pulang ke Hoa-san, Teng Bu. Bocah yang dulu pantas menjadi murid pinto sekarang sudah sombong dan besar kepala. Aku atau kau mampus!” dan tasbeh yang meluncur dan tiba-tiba menyambar mata Teng Bu membuat si pemuda terkejut dan berteriak keras.

Ini serangan nekat yang tak boleh dibuat main-main. Tak mungkin Hen-bek-kang mampu melindungi mata, sehebat-hebatnya ilmu itu. Maka ketika Teng Bu menggerakkan siang-tonya dan tasbeh tertangkis pecah, manik-maniknya berhamburan di depan wajah maka saat itulah si tosu meloncat maju dan pedangnya menyambar lubang hidung Teng Bu.

Bukan main kagetnya pemuda ini. Segera Teng Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung tanduk. Ia benar-benar menghadapi bahaya maut karena mata maupun lubang hidung adalah daerah yang tak dapat dilindungi Hek-be-kang. Ilmu itu hanya mampu melindungi daerah luar badan bukan bagian dalam. Maka ketika ia terkejut dan satu manik tasbeh menghantam kelopaknya, pemuda ini berteriak maka dalam kemarahannya ia menggerakkan satu dari goloknya menyambar kakek itu, golok yang lain secepat kilat diturunkan ke bawah menghajar pedang yang menuju lubang hidung.

“Crat-cringgg!”

Benturan dua senjata memuncratkan bunga api ke udara. Suaranya memekakkan telinga dan terdengar keluhan Bun Tek Tojin. Tosu itu tak mungkin mangelak lontaran golok yang dilakukan dalam jarak dekat, juga dia sendiri rupanya sengaja melakukan adu jiwa. Maka ketika pedangnya terlepas oleh hajaran golok, sementara golok yang satu dilepas menyambar tenggorokannya maka tosu itu mengeluh tersentak ke belakang. Suara aneh seperti tikus terjepit keluar dari kerongkongan kakek ini. Bun Tek Tojin memegangi gagang golok yang menembus tenggorokannya, darah memuncrat. Lalu ketika kakek itu mendelik dan Cui Ling menjerit, meloncat dan menubruk gurunya maka tosu Hoa-san itu roboh dan nyawapun melayang bersamaan dengan robohnya tubuh tua itu.

“Suhu.... bluk!”

Teng Bu terpaku. Wajah pemuda ini juga pucat melihat tewasnya kakek itu. Dia telah membunuh, bukan sembarang orang melainkan tokoh Hoa-san. Dan ketika pemuda itu termangu dan nampak tergetar, peristiwa ini memang hebat maka Cui Ling meloncat bangun dan membalik.

“Teng Bu, kau berhutang satu jiwa!”

Terdengar tawa senang dari mulut si banci. Kekeh yang aneh, terdengar di situ, disusul seruan agar gadis itupun dibinasakan. Tapi ketika Teng Bu mengelak dan menangkis pergelangan gadis itu, Cui Ling bukan apa-apa maka gadis ini terpelanting dan menjerit. Cui Ling meloncat dan menyerang lagi namun lawannya berkelit sana-sini, bingung dan juga gelisah telah membunuh seorang tokoh. Dan ketika akhirnya si banci berkelebat menotok gadis itu maka Teng Bu kaget berseru keras.

“Jangan bunuh!”

Pemuda inipun terbanting. Si banci terlampau lihai namun Cui Ling selamat. Gadis itu menjerit diserempet hawa totokan yang amat panas. Dan ketika ia bergulingan di sana dan Teng Bu meloncat bangun, menghadang dan gagah di depan si banci maka pemuda itu berkata agar gadis ini jangan dibunuh.

“Tidak, cukup! Ia kekasih kakakku. Kiem-twako. Cui Ling calon isteri Seng-ko. Biarkan ia hidup dan membawa mayat gurunya!”

“Heh-heh, kau tak takut akibat belakangan? Jangan bodoh, membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya, Teng Bu. Gadis ini hanya pengganggu saja. Ia kerikil tajam. Enyahkan dan bunuh!”

“Tidak, aku mohon dengan sangat. Ia kekasih kakakku, Kiem-twako. Kalau kau hendak membunuhnya biar kau bunuh aku dulu. Aku cukup bersalah, gurunya telah tewas. Biarkan Cui Ling pergi atau kau bunuh aku saja!”

Si banci terbelalak. Sikap dan suara lawan yang sungguh-sungguh membuat ia terkejut juga, marah. Namun melihat betapa keberanian terpancar di situ, Teng Bu memang pemuda gagah akhirnya si banci ini tertawa mengangguk-angguk. “Baik, baik, kau yang minta, biarlah kululuskan. Heh-heh, penggantinya adalah dirimu, Teng Bu. Malam ini hangati aku dan kita bersenang-senang. Setuju?”

Teng Bu tak banyak bicara lagi, mengangguk. Lalu ketika di sana gadis Hoa-san itu tersipu jengah dan menjadi jijik, meludah maka Cui Ling menyambar mayat gurunya tersedu-sedu. “Teng Bu, kau pemuda jahanam, manusia tidak wajar. Kulaporkan gurumu dan lihat pembalasanku nanti!”

Pemuda ini termangu diam. Wajahnya pucat dan menahan gemetar. Ancaman itu membuatnya tak enak namun apa boleh buat. Si banci tertawa dingin. Dan ketika gadis itu berkelebat meninggalkan mereka berdua, Teng Bu tiba-tiba disentuh maka si banci sudah menggandeng lengannya membawa masuk.

“Hm, kau mencari penyakit sendiri. Gadis itu tak seharusnya dilepas. Ah, itu tanggung jawabmu, Teng Bu, namun aku tak akan membiarkanmu celaka. Marilah, kita ke dalam dan berikan janjimu!”

Kecupan ringan mendarat di pipi pemuda ini. Cui Ling kebetulan menoleh dan gadis itu membuang muka. Pertunjukkan itu semakin memuakkannya. Dan ketika ia terbang dan lenyap di luar, si banci tak menghalang-halangi maka Teng Bu diminta janjinya dan malam itu pemuda ini bercinta dengan perasaan tak karuan. Hal ini membuat si banci berkerut, tak senang. Dan ketika keesokannya pemuda ini ingin meninggalkan gedung, meninggalkan tempat itu maka banci ini tertawa mengejek berkata,

“Untuk apa, tak usah menyembunyikan diri. Selama aku di sampingmu tak akan ada yang mencelakakanmu, Teng Bu, tenang dan tetap saja di sini karena aku mulai kerasan.”

“Tapi aku takut guruku. Cui Ling bisa melapor dan semuanya bisa berbahaya!”

“Eh, bukankah sudah resikomu? Kemarin kuberi tahu agar gadis itu dibunuh pula, Teng Bu, akan tetapi kau menolak. Ini tanggung jawabmu!”

“Benar, karena aku berpikir untuk meninggalkan tempat ini, twako, menghindar dari orang-orang itu. Aku tak nyaman dan ingin pergi!”

“Dan mampus kalau kau sendirian. Hm, aku tak setuju, Teng Bu. Ada aku di sini. Aku masih ingin tinggal di sini dan bersenang-senang. Nanti kalau aku bosan boleh kita pergi!”

Teng Bu pucat. Harus diakui bahwa sendirian saja ia gentar. Gurunya tentu datang dan ia tak mungkin mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya pergi dari tempat itu dan bersembunyi, menunggu waktu tenang dan kelak muncul lagi. Tapi karena kekasihnya ini menolak dan ia menjadi bimbang, antara pergi dan tidak akhirnya ia teringat kakaknya itu. Ini hari ketiga di mana kakaknya dinyatakan sembuh.

“Baiklah, nanti kupikir lagi. Sekarang bagaimana dengan Seng-ko, Kiem-twako Apakah ia pulih.”

“Tentu, namun sepuluh jam lagi. Menjelang malam ia akan sadar tapi sebulan ini tak mungkin berjalan sendirian.”

“Maksudmu?”

“Hi-hik, kakakmu banyak kehilangan tenaga, Teng Bu, harus beristirahat tiga sampai empat minggu. Itupun tak boleh mendengar berita berat atau ia tak bakal sembuh. Nah, tergantung dirimu apakah kakakmu itu sebaiknya tak disembunyikan saja!”

“Jadi ia belum sembuh total?”

“Benar, tapi inti penyakitnya sudah lenyap. Kau masih harus menjaganya dan jangan biarkan ia sendiri.”

Teng Bu terbelalak. Ia mengeluh karena ini di luar dugaannya lagi. Ia menganggap kakaknya sembuh dan dapat ditinggal kalau ia pergi. Maka mendengar bahwa kakaknya masih harus menjadi beban, Teng Bu menggigit bibir maka pemuda ini maklum bahwa ia benar-benar masih terikat dengan si banci ini. Dan Teng Bu tiba-tiba mulai benci!

“Hm, baiklah. Aku rupanya masih harus di sini, twako, menjaga kakakku. Baiklah kubawa dia ke kamar belakang dan mohon bantuanmu kalau guruku datang!”

“Hi-hik, tak usah khawatir. Gurumu pun dapat kau hadapi, Teng Bu. Kau tak perlu takut dengannya. Asal kau mainkan siang-to mu dengan baik dan tak lupa Hek-be-kang maka gurumu pun dapat kau robohkan!”

Ada cemas dan gembira di hati pemuda ini. Kalau dia dapat menghadapi gurunya benar-benar ia tak perlu takut lagi, paling-paling ia hanya merasa segan, berhutang budi dan tak enak atas semua jasa baik orang tua itu. Dan ketika benar saja kakaknya mulai sadar, dapat mangenali dirinya dan mengerutkan kening maka malam itu Teng Bu membawa kakaknya ke kamar lain, jauh dibelakang.

“Apa yang terjadi, bagaimana tiba-tiba aku di sini. Eh, bukankah ini kamar Kiem-twako, Bu-te. Mana jahanam keparat itu. Aku merasa dipermainkannya!”

“Sst, tak usah berisik. Orang itu tak ada di sini, Seng-ko, ia telah pergi. Kau baru saja menderita sakit dan aku menjagamu sampai sembuh. Mari kupindahkan kebelakang dan kubawa ke tempat aman!”

Teng Bu tak banyak cakap memondong kakaknya ini. Ia khawatir kakaknya bicara macam-macam dan didengar si banci. Sudah ia minta agar si banci tak usah di situ, kakaknya mulai sembuh dan segala ingatan tentu bekerja, termasuk ketika dipermainkan kekasihnya itu. Dan ketika benar saja Teng Seng bertanya tentang ini dan tampak beringas, mata yang sadar itu berapi-api maka Teng Bu membawanya ke belakang dan cepat menutup pintu kamar. Di sini ia membujuk kakaknya agar tidak berpikir yang lain-lain, ia baru sembuh dari sakit dan kakaknya diminta tenang. Dan ketika kakaknya mengepal tinju menahan marah maka kakaknya berkata bahwa kelak akan dicari dan dibunuhnya si banci itu.

“Aku merasa seperti mimpi buruk, ia memperkosaku. Kalau jahanam itu tak ada di sini biar lain kali kita cari, Bu-te. Dan tentunya kau sekarang sudah terlepas dari tangannya dan tak bergaul dengan si gila itu!”

“Hm, aku sudah lepas. Aku juga benci kepadanya, Seng-ko, ia membuatku terikat dan banyak menimbulkan susah. Kelak kita cari dan bunuh dia!”

Sang kakak mengangguk-angguk. Teng Bu bicara sungguh-sungguh meskipun tentu saja dengan berbisik. Pemuda ini tak tahu betapa sikap dan kata-katanya tadi dilihat seseorang, yang mengangguk dan tersenyum dingin mendengar itu. Si banci! Dan ketika Teng Bu berkelebat dan menutup kamar, ia harus menjaga kakaknya di situ maka selama ini hatinya berdebar menunggu datangnya bahaya. Dan benar saja delapan hari kemudian berkelebat sesosok hwesio tua di kamarnya, tepat di saat ia baru merebahkan tubuh di pembaringan.

“Omitohud, berita jelek pinceng dengar, Teng Bu. Benarkah kau membunuh Bun Tek Tojin dan di manakah temanmu Siluman Akherat itu!”

Teng Bu mencelat dari tidurnya. Meskipun sudah diduga namun kedatangan gurunya ini bagai petir di siang bolong, ia terkesiap. Dan ketika pemuda itu membelalakkan mata dan masih melihat bayangan-bayangan lain, tosu dan para hwesio Bu-tong tiba-tiba ia mencelos karena tujuh belas orang ada di situ, mengepung, bersama Cui Ling yang menuding dan berseru marah,

“Susiok, supek, inilah Teng Bu yang kubicarakan itu. Ia sekarang lihai, sombong. Dialah yang membunuh suhu dan menyembunyikan kakaknya sendiri. Entah apa maksudnya dan hutang satu jiwa harus dibayarnya lunas!”

“Siancai, pemuda yang sudah mulai kemasukan iblis jahat. Ah, inikah muridmu Teng Bu, Hak Cin lo- suhu. Kau tentu dapat menghukumnya tak usah kami turun tangan.”

“Benar, dan ini kiranya pemuda itu. Hm, masih muda tapi telah membunuh suheng Bun Tek Tojin. Bu-tong tentunya tak perlu membela dan melindungi pemuda macam ini!” Tongkat dan ketukan jari di dinding menggetarkan kamar itu. Teng Bu pucat melihat begitu banyaknya orang di luar, tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong. Dan ketika ia melompat dan berlutut di depan gurunya, betapapun hormat dan aturan masih dipunyai maka pemuda ini menggigil di depan suhunya.

“Suhu, ampunkan teecu. Waktu itu teecu dipaksa, teecu tak berdaya. Bun Tek locianpwe melontarkan senjatanya mengadu jiwa!”

”Hm, bangkitlah. Mana kakakmu Teng Seng dan mana temanmu itu. Omitohud, perbuatanmu membahayakan Bu-tong, Teng Bu, dan mengancam hubungan baik antara kami dengan Hoa-san. Kau harus mempertanggungjawabkan ini dan pinceng datang untuk mencari kebenaran. Ceritakan benarkah semua itu dan kau sombong menerima kepandaian dari orang lain!”

Teng Bu tak mungkin mengelak lagi. Ia menggigil di depan gurunya dan Cui Ling tiba-tiba melengking. Gadis yang penuh benci dan marah kepada pemuda ini tiba-tiba menerjang, pedang dicabut dan sudah menusuk tenggorokan pemuda itu. Dan ketika semua terkejut namun tak ada yang menghalang, Hak Cin Hosiang juga menyingkir dan rupanya memberi kesempatan maka Teng Bu mengelak dan seketika menangkis.

“Plak!”

Pedang itu terpental dan Cui Ling seketika terpelanting. Gadis itu menjerit dan para tokoh berseru terkejut. Gerak dan kecepatan Teng Bu setingkat dengan gerak dan kecepatan seorang di antara mereka. Pemuda ini benar-benar lihai. Dan ketika Teng Bu sadar bahwa semuanya itu rupanya disengaja, mereka ingin melihat kepandaiannya maka Hak Cin Hosiang mengangguk-angguk namun wajah kakek itu merah padam, mata mencorong berkilat.

“Omitohud, benar yang pinto dengar. Hm, kepandaianmu meningkat hebat, Teng Bu, dan ini jelas bukan karena pinceng. Kau telah bersahabat dengan seorang siluman, dan katakan di mana kawanmu itu atau Teng Seng!”

“Seng-ko... Seng-ko tak ada disini,” Teng Bu terpojok tapi coba berbohong .“Teecu tak mengerti apa yang kau maksudkan, suhu. Dan masalah gadis ini, dia... dia terlampau mendesak!”

“Jahanam bermulut bohong!” Cui Ling berteriak setengah melengking. “Dulu kau bilang tiga empat hari lagi kakakmu dapat kutemui, Teng Bu, sekarang bicara lain dan mulut serta pandang matamu tidak sama. Kau bohong dan sombong!”

“Diamlah,” Hak Cin Hosiang tiba-tiba berseru dan mengangkat tangannya. “Sekarang pinceng di sini. Cui Ling, urusan dapat dilimpahkan pinceng. Pinceng akan menuntut tanggung jawab dan biarkan Teng Bu berhadapan dengan pinceng!”

Tokoh yang lain mengangguk dan membenarkan. Dua tosu Hoa-san menyambar lengan gadis itu dan Cui Ling menangis memandang Teng Bu, pandang matanya penuh kemarahan. Namun ketika Teng Bu melihat ruangan menjadi penuh, ia gelisah dan merasa gentar maka tiba-tiba pemuda ini meloncat menendang jendela berseru pada suhunya,

“Suhu, sebaiknya kita bicara di luar saja. Teecu tak takut mempertanggungjawabkan perbuatan teecu namun teecu minta hak membela diri!”

“Bagus,” hwesio itu berkelebat menyusul muridnya, disusul yang lain-lain. “Kalau kau masih memiliki kegagahan dan tak bermaksud melarikan diri mungkin hukumanmu lebih ringan, Teng Bu. Kau bebas membela diri namun harus sesuai kenyataan!”

Pemuda itu berhenti di taman belakang. Teng Bu tak bermaksud melarikan diri karena tujuh belas bayangan menyambar dari kanan kiri, mencegat dan sengaja memotong jalannya kalau dia lari. Tapi ketika pemuda ini membalik dan semua lega, Teng Bu menahan marah maka pemuda itu menuding Cui Ling.

“Setan betina inilah yang menjadi gara-gara!” bentaknya. “Kalau dia menurut nasihatku dan tidak sombong memaksakan kehendak tak mungkin semuanya ini terjadi, suhu. Teecu tak mau disalahkan karena semuanya ini bersumber dari gadis ini. Cui Ling sombong dan memaksakan kehendak!”

“Hm, apa kehendaknya, sombong bagaimana.”

“Gadis itu ingin menemui Seng-ko, suhu, kucegah karena kakakku sakit!”

“Betul,” Cui Ling tiba-tiba melengking. “Tapi salahkah aku kalau ingin menemui kakaknya, locianpwe. Bukankah kami sudah terikat pertunangan dan kenapa tak boleh menengok. Teng Bu menunjukkan gejala-gejala mencurigakan dengan menyembunyikan kakaknya. Aku berhak tahu karena sebulan sudah tak bertemu kekasihku!”

“Hm, benar,” sang suhu mengangguk dan membela gadis itu. “Apa yang dikatakan Cui Ling jauh lebih masuk akal daripada kata-katamu, Teng Bu. Jawablah kenapa gadis ini tak boleh menengok calon suaminya sendiri.”

“Seng-ko sakit.”

“Justeru itu memperkuat keinginannya!”

“Dia... dia...“

“Hm, pinceng dengar kakakmu sakit karena sesuatu yang tidak wajar, Teng Bu, dan Cui Ling sebagai orang yang dekat kakakmu tak seharusnya ditolak. Ia bukan orang lain, justeru sikapmu mencurigakan dan ketahuilah bahwa gadis ini telah tahu hubunganmu yang tidak beres dengan Siluman Akherat itu. Sekarang di mana sahabatmu itu dan kakakmu, ataukah pinceng juga tak boleh tahu dan hanya kau yang berhak!”

Teng Bu pucat. Dalam posisi seperti ini kedudukannya benar-benar runyam, ia pucat dan merah berganti-ganti oleh berondongan pertanyaan itu. Dan ketika in menggigil dan gemetar tak dapat menjawab, dengus dan kemarahan orang lain mulai mengancam tiba-tiba terdengar suara lirih dan semua orang menoleh ke belakang ketika seorang pemuda terhuyung mendekap dada.

“Cui Ling.... suhu!”

Kagetlah Teng Bu melihat Teng Seng. Sang kakak muncul dan tiba-tiba disambut pekik haru Cui Ling. Gadis Hoa-san itu meloncat dan menyambar pemuda ini. Lalu ketika Teng Seng terbatuk-batuk dan memeluk Cui Ling, sejenak gadis itu tersedu dan girang bahwa kekasihnya memanggil maka Teng Seng mendorong gadis ini tersuruk menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu, teecu di sini. Apa yang terjadi dengan Bu-te dan kenapa kalian tampaknya marah-rnarah.”

“Dia membunuh guruku, Seng-ko. Adikmu berhutang sebuah jiwa!”

“Apa?” Teng Seng terkejut, terbelalak dan pucat. “Gurumu? Maksudmu Bun Tek Tojin locianpwe?”

“Benar, dan ia sekarang sombong dengan kepandaian yang diperoleh. Ah, adikmu ini bukan manusia lagi, Seng-ko, dia iblis seperti si banci yang mempermainkanmu itu. Omonganmu betul, banci itu bukan manusia baik-baik!”

Teng Seng mengeluh dan roboh. Pemuda ini mendengar ribut-ribut di kamarnya dan keluar, memang belum sembuh betul dan sering mencari dinding untuk pegangan. Maka ketika tiba-tiba dilihatnya adiknya dikepung banyak orang, satu di antaranya adalah gurunya sendiri maka pemuda itu bingung dan kaget lalu muncul, melihat pula Cui Ling di situ namun belum tahu semua persoalan.

Dan begitu Cui Ling berteriak memberi tahu, apa yang didengar bagai petir di siang bolong, mendadak pemuda itu batuk-batuk dan roboh. Cepat sekali guncangan batin pemuda ini terpukul, Teng Seng terguling dan menekan dadanya yang sakit. Lalu ketika dia tersedak dan melontakkan darah, pantangan baginya untuk menerima berita berat maka pemuda itu roboh dan Cui Ling serta Teng Bu berteriak berbareng.

“Seng-ko!”

Teng Bu lebih dulu menyambar. Gerak pemuda ini yang luar biasa cepatnya kembali membuat orang-orang tua terkejut. Teng Bu sudah menangkap dan menahan tubuh kakanya itu. Tapi ketika Cui Ling berkelebat dan merebut tubuh itu maka gadis ini memekik agar Teng seng jangan disentuh Teng Bu.

“Lepaskan, tanganmu hina memegang orang yang kucintai!”

Teng Bu tertegun. Ia tak mungkin mempertahankan kakaknya karena gadis itu melakukan tendangan. Pinggangnya di sambar. Dan ketika ia mengelak dan membiarkan direbut, bangkit berdiri maka Cui Ling tersedu-sedu menuding gusar.

“Lihat, apa katanya tadi, locianpwe. Bukankah Teng Bu mengatakan kakaknya tak di sini. Tapi apa buktinya, dia bohong. Pemuda ini tak dapat dipercaya dan busuk serta jahat. Aku ingin membunuhnya!”

Namun dua tokoh Hoa-san menyambar lengan gadis itu. Cui Ling yang menjerit dan hendak menerjang kalap ditahan, semua orang terbelalak dan merah padam. Teng Bu telah menipu.dan ketika Hak Cin Hoasiang juga marah dan maju mengerotokkan jari maka kakek itu lantang berseru agar Teng Bu menyerahkan diri.

”Omitohud, pembohong dan pendusta. Oh, pinceng tak dapat mengampunimu lagi, Teng Bu. Kau telah menipu semua orang di sini. Menyerahlah, terima hukuman baik-baik!”

Sepasang tangan kakek itu menyambar dan cepat bagai kilat tahu-tahu mencengkeram pundak muridnya. Teng Bu tertegun dan membelalakkan mata dan sejenak dia gugup. Apa yang dikata Cui Ling menelanjangi mukanya. Tapi ketika sepasang tangan gurunya mencengkeram pundak dan jari-jari bagaikan baja itu siap menghancurkan tulang, Teng Bu kaget dan sadar mendadak pemuda ini melawan dan mengeluarkan Hek-be-kang.

“Suhu, tunggu dulu. Teecu tidak bohong!”

Luar biasa sekali, pundak Teng Bu tahu-tahu lolos. Licin bagai belut dan keras menandingi jari-jarinya sekonyong-konyong pemuda itu berhasil membebaskan diri. Bentakan Teng Bu mengejutkan gurunya. Dan ketika pemuda itu meloncat jauh namun semua bergerak dan membentak, lagi-lagi pemuda ini terkepung maka pemuda itu mengangkat tangan berseru kuat-kuat.

“Suhu, cuwi-locianpwe, tahan! Teecu tidak bohong hanya kalianlah yang kurang cerdas. Aku tidak menipu karena yang kukatakan adalah kakakku tak ada di kamar, ia di tempat lain. Dan kalian lihat bahwa ia benar-benar muncul bukan dari kamarku!”

Semua tertegun. Hak Cin Hosiang melengak dan kakek ini terbelalak, kata-kata muridnya memang benar. Tapi ketika seorang tosu Hoa-san melompat dan membentak nyaring maka tosu itu berseru,

“Bocah, kalau begitu kau menganggap orang-orang tua ini adalah anak-anak atau sebaya denganmu. Kami bukan orang kemarin sore. Kalau kami tidak berpikir sejauh itu adalah karena kami menganggap kau murid baik-baik dari Hak Cin lo-suhu. Tapi kau ternyata bocah jahat, pandai bermain lidah dan mengecoh kami orang-orang tua. Cobalah kau kelit dan mampukah pinto menangkapmu untuk kulempar kepada gurumu!”

Tubuh tosu itu menyambar. Ia menjadi marah dan orang-orang lainpun mengangguk. Kata-kata Teng Bu memang benar namun anak muda itu termasuk kurang ajar karena telah mempermainkan mereka. Sebagai murid Hak Cin Hosiang yang dianggap baik-baik sungguh tak mereka sangka kalau pemuda itu memiliki akal licik bagai belut. Hal ini membuat Hak Cin Hosiang malu, orang bisa salah paham mengira dia mendidik murid seperti itu, Suka bermain lidah!

Maka ketika Teng Bu diserang dan tokoh Hoa-san itu berkelebat ke depan, tangan kiri menampar sementara tangan kanan siap dengan totokan berbahaya maka kakek ini mundur dan membiarkan muridnya dalam bahaya. Akan tetapi Teng Bu sekarang benar-benar bukan Teng Bu beberapa waktu yang lalu. Pemuda ini telah memiliki kelincahan gerak dan Hek-be-kang.

Teng Bu telah mendapat kepercayaan diri yang besar pula setelah mampu merobohkan Bun Tek Tojin, meskipun bukan maksud anak muda ini untuk membunuh. Maka ketika gurunya bergerak mundur dan Teng Bu tentu saja tahu akan serangan susulan itu, matanya awas dan tajam mengikuti semua gerak maka pemuda ini tidak mengelak melainkan menggerakkan tangan kirinya menangkis.

“Dukk!”

Tosu itu tergetar. Ia kaget menerima tangkisan namun tangan yang lain bergerak secepat kilat, menotok dan menyambar leher kiri pemuda itu. Dan ketika untuk ini Teng Bu tak mengelak dan membiarkan totokan, mental dan meleset mengenai lehernya yang licin maka Teng Bu menggerakkan tangan yang lain dan tahu-tahu telah balas menampar pundak tosu itu.

“Plak!” dan si tosu pun terpelanting. Tosu ini kaget bukan main dan bergulingan meloncat bangun. Ia adalah Tai Tee Cinjin tokoh nomor empat, sedikit di bawah Bun Tek Tojin dan tosu itu tampak pucat memandang Teng Bu. Anak muda itu tertawa mengejek. Dan ketika Teng Bu semakin berani namun dibentak gurunya maka Hak Cin Hosiang melangkah maju dan berseru, mukanya serasa ditampar.

“Teng Bu, kau membuat malu pinceng. Orang bisa menyangka bahwa didikan pinceng seperti ini, mempunyai murid yang kurang ajar. Berlututlah dan menyerah baik-baik atau pinceng merobohkanmu!”

“Hm, teecu tak merasa salah. Kau jangan dipengaruhi orang-orang ini, suhu. Semua berawal dari gadis siluman itu. Gadis itulah biang keladinya. Suhu jangan berat sebelah dan menghukum murid tanpa banyak pertimbangan!”

“Omitohud, kau tak merasa salah? Kau menyalahkan gadis itu kalau ingin menengok kakakmu? Dan kau bersilat lidah, bohong dan dusta dengan mengatakan kakakmu tak ada, padahal ia di tempat ini, di gedung ini. Keparat, pinceng tak dapat mengampunimu lagi, Teng Bu, menyerahlah atau kau roboh!”

Kakek ini menyergap dan kedua tangan tahu-tahu mencengkeram ke depan. Tidak seperti Tai Tee Cinjin yang menyembunyikan serangan adalah kakek ini bersikap terang-terangan. Kedua tangan langsung melesat ke depan, angin pukulanpun sampai menderu. Dan ketika Teng Bu terbelalak dan terkejut, terhadap gurunya ini tentu saja dia mengelak maka cengkeraman luput dan pemuda itu melompat mundur.

“Suhu, teecu tak ingin bertempur denganmu. Teecu tak ingin melawan. Jangan serang dan maafkanlah teecu...wut!”

Luputnya pukulan ini membuat si kakek marah dan berang. Di hadapan sekian banyak mata ternyata sang murid lolos begitu mudah, guru mana yang tidak panas. Maka ketika kakek itu membentak dan bergerak lebih cepat lagi, kaki menjejak dan menyambar Teng Bu maka si pemuda tak mungkin berkelit dan pundaknya dicengkeram jari-jari sekeras baja.

“Brett!”

Cengkeraman itu luput. Sama seperti tadi kakek ini merasakan gumpalan kulit daging yang licin, bukan sekedar licin melainkan juga liat, atos. Dan ketika kakek itu berseru keras dan bergerak menyerang lagi maka dua jarinya menusuk mata dan untuk ini terpaksa Teng Bu menangkis.

“Plak-dukk!”

Lengan gurupun terpental. Bukan main kaget dan marahnya kakek itu dan melengkinglah Hak Cin Hosiang menerjang muridnya. Kakek yang semula bergerak biasa dan masih ragu-ragu itu tiba-tiba beringas dan gusar. Peristiwa yang dilihat banyak mata itu membuatnya berang. Teng Bu dianggap mencari penyakit. Maka ketika kakek itu melengking dan berkelebatan cepat, tangan dan kaki bergerak silih berganti maka muridnya mengeluh namun Teng Bu melindungi diri dengan Hek-be-kang, ilmu Belut Hitam. Dan tiga kali pukulan kakek itu melenceng atau mental bertemu tubuh muridnya. Teng Bu belum membalas dan masih segan, betapapun sifat baiknya masih ada.

Namun ketika gurunya membentak dan melengking berulang-ulang, jari berubah seperti pisau-pisau kuat dan tajam maka yang diarah adalah sepasang mata pemuda itu dan Teng Bu kembali menangkis. Dan setiap tangkisan tentu membuat kakek itu terpental. Hal ini hampir tak dipercaya si kakek namun kenyataan bicara seperti itu. Teng Bu muridnya memang benar-benar luar biasa, bahkan lama-lama ia terhuyung dan selalu terdorong. Dan ketika kakek itu membentak berseru keras, tak ada jalan lain kecuali mengeluarkan senjata maka siang-to atau sepasang golok putih berkilat ditimpa sinar lampu. Dan tepat saat itu muncullah si banci di antara bayang-bayang kegelapan.

“Heh-heh, bagus dan tepat, Teng Bu. Gurupun kalau berbahaya harus dilawan. Awas, ia kebakaran jenggot dan cabut sepasang golokmu pula. Kerahkan Hek-be-kang!”

Semua menoleh. Di balik bayang-bayang pohon itu muncul seorang pria berbedak dan bergincu tipis. Telinganya memakai anting-anting, hidungnya mancung dengan cuping yang manis. Sepintas ia seperti wanita apalagi ketika berkipas-kipas, gayanya santai dan tenang. Tapi ketika Cui Ling berteriak bahwa itulah si banci, Siluman Akherat yang amat berbahaya maka kelompok tokoh-tokoh itu pecah menjadi dua, sebagian memperhatikan Teng Bu sementara yang lain memandang pria aneh itu.

“Dia si banci. Itu orangnya!”

Serentak semua orang mencabut senjata. Mereka telah mendengar dari Cui Ling bahwa banci itu amat hebat. Bukti bahwa Teng Bu sudah sedemikian pesat membuat orang terbelalak. Di bawah gemblengan Hak Cin Hosiang sendiri barangkali tingkat yang sudah dicapai pemuda ini harus dilalui enam atau tujuh tahun. Baru beberapa bulan saja dengan si banci sudah seperti itu, Teng Bu mengejutkan semua orang. Maka ketika si banci muncul dan Teng Bu menjadi girang, berseru dan mundur menghadapi kilatan golok pemuda ini meminta bantuannya.

“Kiem-twako, aku tak dapat menghadapi guruku. Tolonglah, hadapi dia!”

“Hi-hik, kalau begitu mampus. Baik, serahkan golok kepadaku, Teng Bu, dan lihat kupotong tubuhnya menjadi dua!”

Teng Bu kaget. Ada serangan dari samping ketika ia bicara tadi, mengelak namun dikejar sepasang golok. Gurunya benar-benar tak main-main. Dan ketika ia tak dapat mengelak namun untung Hek-bek-kang melindungi tubuhnya maka golok itu mental bertemu kulit tubuhnya yang licin. Dan saat itu bayangan si banci berkelebat amat cepatnya. Kepungan yang menjaga Teng Bu dilewati, seorang tosu dan seorang hwesio disambar, menjerit dan terbanting. Dan ketika bayangan ini terus bergerak dan menyambar golok Teng Bu maka terdengar teriakan ngeri ketika tubuh Hak Cin Hosiang terpotong dua.

“Crat-bluk!”

Begitu cepatnya kejadian ini. Darah menyembur dari potongan tubuh dan kakek itu langsung roboh. Golok menyambar bagian pinggang dan langsung terpotong. Semuanya terjadi dalam sekejap dan Teng Bu pucat pasi, yang lain berteriak dan mundur. Dan ketika pemuda itu mengeluh tertahan dan menutupi muka, tewasnya gurunya benar-benar luar biasa maka tiba-tiba tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong berteriak, sadar.

“Siluman Akherat, kau keji dan kejam!”

Teng Bu jatuh terduduk. Di saat semua orang menerjang dan membentak kawannya ini maka pemuda itu menutupi muka. Dia ngeri melihat kematian gurunya itu, juga kaget dan marah demikian ganasnya si banci ini. Selama ini belum pernah ditunjukkan kekejaman seperti itu, apalagi yang dibunuh adalah gurunya. Dan karena pemuda ini jelek-jelek masih memiliki watak baik, dia belumlah sehitam yang disangka orang maka Teng Bu tiba-tiba menggeram dan meloncat bangun.

“Kiem-twako, serahkan golokku!”

Si banci terkekeh. Dia menyambut dan menggerakkan senjata Teng Bu untuk menangkis hujan serangan. Tang-ting-tang-ting suara benturan disusul berteriaknya orang-orang itu. Baik tosu Hoa-san maupun hwesio Bu-tong terpental mundur. Dan ketika Teng Bu meloncat dan berteriak meminta senjatanya, si banci mengira pemuda itu akan membantunya maka dia terkekeh.

“Hi-hik, bagus. Sudah tiba saatnya untuk menghajar orang-orang ini, Teng Bu. Mari berpesta dan terima kembali golokmu!”

Teng Bu menangkap dan menerima. Akan tetapi begitu membentak sekonyong-konyong yang diserang adalah temannya itu. “Jahanam keparat, kau membunuh guruku!”

Bukan hanya si banci yang terkejut, orang-orang lain, baik dari Bu-tong maupun Hoa-san terbelalak. Sepasang golok di tangan pemuda itu menyambar si banci, langsung membabat leher dan menusuk perut. Dan karena jarak demikian dekat sementara si banci juga tak menduga, serangan ini amat cepat maka si banci tak sempat berkelit dan hanya mulutnya mengeluarkan seruan tertahan.

“Ehhh!”

Dan leher maupun perut itu tercoblos. Teng Bu merasa sepasang goloknya jelas mengenai sasaran, golok di tangan kanan bahkan terus membabat kencang, leher itu putus dan terpisah dari tubuhnya, terangkat naik. Tapi ketika leher itu turun lagi dan melekat di tempatnya seperti semula, utuh, maka pedang yang mencoblos perutpun rasanya ringan karena tembus dan tak membawa hasil apa-apa. Dan Teng Bu yang merasa langsung menjadi kaget bukan main, apalagi ketika kepala itu bergerak dan terkekeh.

“Hi-hik, kau mau membunuhku, Teng Bu? Kau tak ingat segala budi dan kebaikanku? Aih, sayang. Kau berkhianat. Baiklah terima ini dan lihat pembalasanku!” tangan bergerak dan kipas berkelebat terbuka. Kejadian itu membuat Teng Bu tertegun dan semua orangpun melotot. Mereka seakan melihat sulap atau sihir, tak percaya. Tapi begitu kipas digerakkan ke kiri dan menyambar lengan Teng Bu maka pemuda itu menjerit dan roboh dengan tangan putus.

“Crak!” Kipas bagaikan mata pedang saja. Potongan lengan terlempar dan pemuda itu terguling, darah memuncrat basah. Dan ketika pemuda ini bergulingan mengeluh sakit, si banci bergerak dan mengejar tertawa maka kipas bergerak lagi dan lutut Teng Bu sebelah kiri putus.

“Aduh!” Jeritan ini menyadarkan tokoh-tokoh tua. Mereka yang tadi membenci dan marah kepada Teng Bu mendadak berobah. Pemuda itu telah memperlihatkan sikap balik dan memusuhi si banci, hal ini menimbulkan simpati. Maka ketika mereka bergerak dan membentak maju maka dari kanan kiri tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong melindungi pemuda itu.

“Siluman Akherat, kau benar-benar tak berbelas kasihan. Berhenti dan kubunuh kau!”

Hujan senjata menyambar si banci ini. Enam belas orang bergerak amat cepat dan senjata maupun pukulan bertubi-tubi. Teng Bu mengeluh dan roboh di sana. Tapi ketika si banci terkekeh dan membalik, tak mengelak atau menangkis serangan itu maka tokoh Bu-tong maupun Hoa-san merasa seperti yang dirasakan Teng Bu, yakni senjata tepat mengenai tubuh namun bergerak ringan dan terus menyambar bagai membabat sepotong asap.

“Cring-crangg!”

Senjata bahkan berbenturan sendiri. Baik tongkat Hoa-san maupun toya Bu-tong memercikkan bunga api. Hal itu dikarenakan tenaga pemiliknya benar-benar dahsyat, menyambar dengan kekuatan penuh dan mereka yang memegang pedang atau golok juga sama. Senjata masing-masing bahkan terpental, ada bagian yang rusak. Dan ketika mereka terbelalak dan berseru keras maka saat itulah si banci membalas dan tubuh yang seperti asap ini mendadak berputar dan kipas serta kuku jari menyambar tokoh-tokoh tua ini.

“Robohlah!”

Enam orang menjerit. Kipas dan kuku jari tak dapat dikelit, empat orang tosu berteriak dan roboh dengan dada robek. Kuku jari itu ternyata menggurat demikian dalam hingga mirip pisau belati saja, merobek dan memotong tulang dada mereka bagai orang membelek dada ayam. Dan ketika empat tosu ini terbanting sementara dua yang lain dari Bu-tong, terjerembab tanpa suara karena kepala mereka pecah disambar kipas maka yang lain menjadi panik dan gentar.

“Iblis, siluman ini benar-benar iblls!”

Namun si banci menjawab dengan kekeh ringan. Ia bergerak dan menyambar lagi dan dua orang kembali roboh. Mereka menusuk dan menghantam tubuh itu namun si banci tak apa-apa, senjata atau pukulan selalu tembus mengenai tubuhnya, persis bagaikan orang menusuk asap. Dan karena delapan dari enam belas orang sudah tewas dengan begitu cepat, ditambah dengan Hak Cin Hosiang yang roboh lebih dulu maka sisa delapan yang lain menjadi pucat dan tiba-tiba mundur melarikan diri.

“Hi-hik, pengecut. Mana kegagahan kalian kalau begini. Eh, nanti dulu, kerbau-kerbau dungu. Kalian mencari aku dan sekarang bertemu. Tunggu dan terima ini sebagai oleh-oleh!”

Delapan jeritan terdengar. Benda-benda hitam seperti paku bernyawa menancap di tubuh tokoh-tokoh itu, semua terbanting dan roboh. Dan ketika si banci mebalik dan tertawa maka Teng Bu ditendangnya mencelat.

“Hm, kau. Sekarangpun tiada guna, Teng Bu. Berani kau berkhianat. Rasakan hukumanmu dan lihat kau menjerit kepada siapa!” tujuh goresan kuku menggurat tubuh pemuda ini, menggeliat dan sejenak Teng Bu mengeluarkan keluhan namun diam lagi. Pemuda itu sebenarnya pingsan setelah dikutungi sebelah tangan dan kakinya. Tapi begitu si banci lenyap dan berkelebat pergi maka pemuda ini sadar dan pertama kali yang dilakukan adalah menjerit. Tubuhnya seperti dibakar dan dipanggang dari dalam.

“Aduh, panas... tobat!” Pemuda itu bergulingan. Teng Bu meloncat akan tetapi mengaduh. Satu kakinya yang buntung baru disadari. Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak dan pengawal berdatangan, taman di gedung Gubernur itu segera ribut maka seseorang di sana juga mengeluh dan merangkak bangun.

“Cui Ling, kau di mana? Kau masih pingsan?”

Jawahan lain terdengar di kiri. Sesosok bayangan lagi merintih dan merangkak, itulah Cui Ling yang tadi dipukul pingsan seorang paman gurunya. Gadis ini dirobohkan agar tak ikut campur, lupa atau dilupakan si banci itu hingga selamat. Gadis inilah satu-satunya yang lolos dari kekejaman si banci. Maka ketika gadis itu terhuyung berdiri goyang, mata dan ingatannya belum begitu baik maka seruan atau panggilan di dekatnya itu didengar. Dan gadis inipun terkejut melihat paman gurunya itu, orang yang tadi memukulnya roboh.

“Tai Tee susiok!”

Ternyata tosu itu adalah Tai Tee Cinjin. Tosu ini mengangguk dan menahan nyeri serta sakit yang hebat. Paku beracun menancap di siku kanannya. Dan ketika Cui Ling berseru dan berlutut di dekatnya, tosu ini menggigit bibir maka Tai Tee Cinjin bangkit duduk menuding gemetar.

“Jahanam itu telah pergi, aku selamat. Tapi paku ini menancap di sikuku, Cui Ling. Ambilkan golok dan bacok lenganku!”

“Apa?” gadis itu terkejut. “Membacok lenganmu, susiok? Maksudmu dibikin cacad?”

“Benar, racun sudah mulai naik ke atas. Paku itu bakal menghentikan denyut jantungku. Cepat, ambil dan bacok lenganku, Cui Ling, dan lihat pengawal Gubernur mulai berdatangan!”

“Tidak tidak, aku tak bisa. Ah, aku tak dapat melakukannya, susiok. Itu perbuatan kejam. Aku tak dapat melakukannya!”

"Bodoh, kalau begitu biar aku yang melakukannya sendiri. Cepat, pengawal mulai tiba!”

Gadis ini mengguguk. Cui Ling ngeri bahwa harus membacok lengan susioknya itu. Ia tak tahu bahwa muka susioknya sudah berubah gelap. Racun mulai menjalar naik dan keadaan tosu ini berbahaya. Tak aneh kalau Tai Tee Cinjin ingin memotong lengannya sendiri, itulah satu-satunya cara untuk tetap hidup dan suara pengawal mulai berdatangan. Banjir darah dan pertempuran di situ akan segera diketahui. Dan ketika gadis ini masih mengguguk dan bingung memenuhi permintaan susioknya, sang paman guru menggeliat maka Tai Tee Cinjin membentak dengan suara berang.

“Cui Ling, kau mau menyelamatkan susiokmu atau tidak. Cepat lakukan atau ambil golok itu, pinto melakukannya sendiri!”

Gadis ini tak tahan. Tiba-tiba ia mendengar jerit lain dan itulah teriakan Teng Bu. Pemuda yang kutung sebelah kaki dan tangannya itu meraung. Tubuhnya tiba-tiba melepuh. Dan ketika Tai Tee Cinjin juga terbelalak dan pengawal ikut terkejut, Teng Bu bergulingan maka pemuda itu mencengkeram dan memukul-mukul dadanya sendiri.

“Aduh, keparat. Jahanam kau, orang she Mo. Jahanam kau. Oohh lebih baik mati daripada begini.... aduh!”

Cui Ling melotot. Teng Bu mencengkeram tubuhnya dan terdengar suara robek, bukan baju melainkan kulit tubuh pemuda itu. Panas yang hebat membakar dari dalam, kulit pemuda ini melepuh dan akhirnya menggelembung. Dan ketika bagian inilah yang pecah dan robek, Teng Bu menjerit dan masih mencabik-cabik maka pemuda itu bergulingan dan akhirnya melolong-lolong. Rasa panas disusul rasa gatal, begitu hebat hingga tak lega kalau tidak digaruk.

Tapi karena setiap garukan membuat kulit pecah, rasa gatal berada di dalam daging maka Teng Bu mencobloskan tangannya dan daging itu terkuak, disusul oleh jeritan dan pekik para pengawal. Mereka ngeri melihat ini. Teng Bu seakan gila. Dan ketika pemuda itu terus bergulingan sambil mencengkeram dan merobek, panas dan gatal benar-benar menyiksanya akhirnya orang menutup mata ketika pemuda itu mencobloskan jarinya keperut.

Kini bukan hanya lengan atau leher saja yang gatal, perut bagian dalampun juga demikian. Usus pemuda ini seakan-akan digigiti semut api. Itulah racun amat ganas dari dari kuku si banci, Ang-su-giat atau Racun Semut Api yang hanya terdapat di daerah utara. Semut ini besarnya seibu jari manusia biasa dan sekali menggigit rasa panas dan gatal tak akan lenyap sebulan. Orang tak mungkin tahan digigit semut ini, seekor saja sudah menyiksa berminggu-minggu. Dan karena racun yang terdapat di kuku di banci itu bukan hanya dari seekor dua ekor Ang-su-giat melainkan beribu-ribu ekor, diambil sarinya dan dahsyatnya bukan main maka pemuda sekuat Teng Bupun tak mungkin tahan.

Rasa panas mula-mula membakar dari dalam, lalu disusul rasa gatal yang membuatnya seperti gila. Dan ketika semua itu terus menjalar dan memenuhi seluruh tubuhnya, paling dahsyat ketika berada di dalam daging atau bagian dalam tubuh maka ketika terasa di usus pemuda ini berada dalam puncak kegilaannya. Teng Bu merobek dan mencoblos perutnya sendiri. Pemuda ini seakan hendak mengambil inti dari rasa gatal itu. Tapi ketika ia mencoblos dan merobek perutnya maka bersamaan dengan itu iapun roboh dan sebagian usus atau jerohannya terdapat di tangan, berlimpah kotoran.

Pemuda ini mandi darah dan keadaannya benar-benar mengerikan. Siapapun tak akan tahan melihat keadaan murid Bu-tong ini. Teng Bu akhirnya tewas dan roboh dengan tubuh rusak. Racun dari Semut Api itu masih menggigitinya. Biarpun tewas namun racun ini terus bekerja, kulit dan tubuh pemuda itu terus melepuh. Dan ketika bengkak dan akhirnya pecah, ledakan kecil terdengar di sana-sini maka tubuh pemuda itu mencair dan bau amat busuk membuat semua orang menutupi hidungnya.

Pengawal dan pembantu Gubernur telah datang. Tak kurang dari seratus orang menonton itu. Dan ketika tulang maupun bagian lain dari pemuda itu juga hancur dan leleh, masuk ke tanah maka Cui Ling muntah-muntah dan saat itulah semua orang menoleh dan baru sadar bahwa masih ada orang lain di situ.

“Heii, rupanya gadis ini yang membunuh. Tangkap!”

Namun saat itu bergerak seorang pemuda. Teng Seng, yang sadar dan telah berdiri tiba-tiba melihat Cui Ling. Kekasihnya pucat dan ngeri memandang seonggok mayat, tak tahu bahwa itulah adiknya, yang hancur dan rusak oleh kekejaman si banci. Dan ketika Teng Seng terhuyung dan berseru kepada semua orang maka pemuda itu mencegah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

“Tahan, jangan serang. Gadis itu orang sendiri. Mana adikku Teng Bu dan kalian mundurlah!”

Namun geraman terdengar di belakang Cui Ling. Tai Tee Cinjin, yang sadar dan pucat melihat tewasnya Teng Bu tiba-tiba meloncat mengerahkan seluruh tenaga. Kebetulan di dekatnya ada seorang pengawal, yang siap dan akan membacok dengan goloknya. Maka begitu ia menghantam dan menyerang orang ini, yang tentu saja berteriak dan menggerakkan goloknya maka tepat sekali golok itu membabat atas sikunya.

“Crakk!”

Tosu itu roboh dan Teng Seng berteriak marah. Lengan tosu itu putus dan pemuda ini berjalan terhuyung, merampas dan menendang pengawal itu, meskipun diri sendiri terjungkal. Dan ketika Cui Ling menjerit dan menubruk susioknya, semua telah terjadi maka gadis itu berseru kepada kekasihnya, mengguguk.

“Seng-ko, jangan salahkan pembantumu. Semua ini disengaja. Tai Tee susiok memang ingin memotong lengannya sendiri untuk menyelamatkan jiwa. Ia terkena paku beracun!”

Tapak Tangan Hantu Jilid 18

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“DIA bukan seorang wanita,” tosu ini mengurut dan memulihkan muridnya. “Dia. itulah banci yang kita cari, Cui Ling. Hati-hati dan jangan sembrono!” lalu mendorong muridnya meloncat bangun tosu ini menghadapi si banci itu, yang sudah berdiri dan tertawa mengejek.

“Kau. hm,kaugurugadisitu?KauBunTekTojin?Ha-ha, kau dan muridmu mencari penyakit, Bun Tek Tojin, sayang sekali aku harus melenyapkanmu, kecuali kau mau pergi dan tidak banyak bertanya lagi. Nah, mana yang kau pilih ingin mati ataukah selamat.”

Kakek ini terbelalak. Ia tak tahu dan tak mengenal lawannya ini tapi sikap dan kata-kata lawannya ini membuatnya merah padam. Baru kali ini ia bertemu lawan seperti itu, banci yang aneh namun memiliki sepasang mata mengerikan. Dari balik mata itu ia melihat nafsu membunuh yang amat jahat, juga mata yang gelap dari seorang laki-laki tidak normal. Mata itu membayangkan kecerdikan dan kekejaman. Tapi karena ia seorang tokoh Hoa-san dan tak perlu kiranya merasa takut, ia mengeluarkan tasbehnya tiba-tiba tosu itu membentak dan menggoyang lengan.

“Manusia busuk, kau rupanya membuat penderitaan bagi calon menantuku Sia Teng Seng. Kau telah menjadikan Teng Bu sebagai .seorang pemuda yang tidak waras juga. Siancai, pinto akan mencobamu dan lihat serangan!” tasbeh berketrik dan tiba-tiba menyambar ke depan. Tosu ini tidak melangkah maju namun lengan dan tasbehnya cukup panjang, menjangkau dan mampu menghantam lawan dari jarak tiga meter, angin dahsyat juga menderu. Namun ketika si banci itu menyambut dan menangkis, lengan bajunya balik menyambar maka tosu itu berteriak mencelat ke luar kamar, berdebuk.

“Aiihhhhhh.....!” Bun Tek Tojin kaget bukan main. Tosu ini merasa tenaga yang amat dahsyat menerima pukulannya tadi. menolak dan membuat dia terlempar. Dan ketika dia bergulingan namun selamat membuang sisa pukulan, hal itu benar-benar berbahaya sekali maka di luar pintu kamar tosu ini berseru tertahan dan pucat membelalakkan mata. Muridnya mengikuti dan Cui Ling menjerit melihat gurunya terlempar tadi.

“Tidak apa-apa aku tidak apa-apa. Ah, menjauh dan jangan dekat-dekat kesini, Cui Ling. Musuh benar-benar berbahaya dan pinto (aku) menghadapi lawan berat!”

Cui Ling melepaskan tangan gurunya. Ia tadi memang mengejar dan lega melihat gurunya meloncat bangun, bertanya dan memegang lengannya namun sang guru menyuruhnya minggir. Dan ketika si banci itu melangkah keluar dengan kaki perlahan, Teng Bu menyusul di belakangnya dan tampak gelisah maka banci itu tertawa mengebutkan lengan bajunya.

“Bagus, kau menentukan kematianmu sendiri. Hi-hik, maju dan coba lagi, Bun Tek Tojin. Aku akan menerima dan tak membalasmu selama tiga jurus'.“

Tosu ini pucat. Ia terkejut dan ngeri bukan main bahwa dalam gebrakan pertama itu saja ia mencelat dan terlempar. Pukulannya membalik. Namun karena ia seorang tokoh dan malu untuk mundur, tosu ini membentak maka ia pasang kuda-kuda dan berseru lantang, gemetar. “Orang muda, siapa namamu. Malu rasanya bertanding dengan seorang tak dikenal. Nah, katakan dan sebut namamu, anak muda. Pinto Bun Tek Tojin tak akan penasaran kalau mati membela kebenaran!”

“Hm, terlalu tinggi untuk menyebutkan namaku. Ketuamu Mo Mo Cinjin masih tak layak mendengarnya, Bun Tek Tojin. Tapi untuk membuang penasaranmu baiklah kuperlihatkan ini. Mengenal atau tidak terserah dirimu...cring!” sebuah cincin berbatu hitam meluncur dari jari laki-laki ini, menyambar atau menghantam tiang belandar untuk kemudian menggelinding di depan kakek itu, cepat dan kembali dí kaki si banci ini untuk kemudian disontek dan diterima tangannya lagi. Dan ketika tosu itu melihat dan berseru tertahan, muka yang sudah pucat menjadi seperti kertas medadak kakek ini menyambar muridnya dan memutar tubuh, lari terbang.

“Kau Siluman Akherat.'’

Teng Bu tertegun, Bun Tek Tojin, guru Cui Ling yang semula gagah dan siap mati itu mendadak kuncup semangatnya dan padam. Kakek itu melarikan diri. Dan ketika ia dan Cui Ling sama-sama terkejut, nama itu tak mereka kenal maka si banci ini tertawa, renyah.

“Bun Tek. kau sudah mengenal aku, bagus. Tapi kematianmu tak boleh ditunda. Biar Teng Bu menghadapimu dan aku menjadi juri.”

Teng Bu kaget. Tosu yang berkelebat dan sudah meloncat di luar tembok itu tiba-tiba menjerit. Kaki yang melayang di atas tembok dan siap turun ke bawah tiba-tiba tertekuk. menghadap ke dalam dan otomatis posisi kakek ini berputar arah. Dan ketika kakek itu meluncur ke bawah dan jatuh berdebuk, tak dapat keluar lagi maka Teng Bu didorong dan tahu-tahu melayang menabrak kakek ini.

“Heiii...!” Otomatis pemuda itu menggerakkan lengan. Teng Bu hendak menahan lajunya tubuh tapi dorongan itu terlampau kuat. Kedua lengannya menjadi mencengkeram si tosu, baik Teng Bu maupun kakek itu tentu saja menjadi kaget. Dan ketika kakek ini berseru keras dan menggerakkan tasbehnya, Teng Bu ditangkis maka pemuda itu terlempar namun si kakek juga terhuyung.

“Bresss!”

Bun Tek dan Cui Ling menjadi marah. Cui Ling mengira Teng Bu menyerang gurunya, sementara Bun Tek Tojin maklum bahwa pemuda itu diperalat si banci. Dan ketika gadis itu membentak dan melepaskan gurunya, ia sesungguhnya penasaran kenapa gurunya melarikan diri maka Teng Bu diserang dan Cui Ling sudah mencabut pedangnya.

“Teng Bu, kekurangajaranmu menjadi-jadi. Berani benar kau menyerang suhu. Mampuslah, dan jangan kira aku takut!”

Teng Bu terbelalak. Sesungguhnya ia terkejut bahwa tiba-tiba didorong dan dilontarkan ke arah Bun Tek Tojin. Kakek itu sejajar gurunya, menyerang berarti bahaya. Tapi ketika ia terlempar dan diserang gadis ini, Cui Ling tak perlu ditakuti maka ia membentak dan segera mengelak serangan itu, menangkis dan mementalkan lawan dan gadis itu marah. Hal ini menimbulkan kebenciannya. Tapi ketika beberapa jurus kemudian ia dipentalkan lagi dan terpelanting, gadis ini menjerit maka Bun Tek Tojin melihat bahwa muridnya memang bukan lawan pemuda itu, dan di sana si banci menunggu dengan tawa mengejek.

Kakek ini pucat. Sesungguhnya setelah dia tahu siapa si banci ini maka gentar dan ngeri menghantui dirinya. Tak disangka bahwa lawan adalah Siluman Akherat, iblis keji yang dapat berbuat apa saja dan bukan tandingannya. Maka ketika muridnya menyerang Teng Bu dan membentak memaki-maki, pedang akhirnya terlepas ditangkis si pemuda tiba-tiba kakek ini bergerak dan kembali menyambar muridnya, pedang di udara itu ditangkap dan dibawa lari.

“Cui Ling, tak guna kita di sini. Musuh terlalu kuat. Mari pergi dan jangan hiraukan Teng Bu!”

“Tidak, aku ingin bertemu Seng-ko. Biarkan dan jangan lari, suhu. Kau belum bertanding apa-apa dengan si banci itu. Lepaskan, biar kuhadapi Teng Bu!”

Kakek ini tak menghiraukan. Ia tetap membawa muridnya pergi dan Teng Bu di dorong mundur. Meloncat dan mencoba melewati penjagaan Bun Tek Tojin berjungkir balik di atas pagar tembok. Tapi ketika terdengar tawa dingin dan serangkum angin pukulan menghantam punggungnya, kakek ini terpekik maka ia roboh lagi dan jatuh di dalam pagar.

“Keledai gundul, sudah kukatakan tak boleh pergi kalau aku sudah bicara. Kau mencari kematianmu sendiri. Kembali dan hadapilah Teng Bu dan boleh pergi kalau kau dapat membunuh lawanmu.”

Kakek itu berseru terkejut. Ia menangkis dan terpaksa berjungkir balik turun kembali menerima pukulan jarak jauh itu. Teng Bu juga terkejut karena ia diharuskan melawan kakek itu. Dan ketika ia pucat memandang kekasihnya, si banci tertawa mengebutkan lengan maka ia didorong dan menyambar lagi ke depan.

“Teng Bu, tak usah takut. Ini ujian baik untukmu. Hadapi tua bangka itu dan bertandinglah keluarkan seluruh kepandaianmu.”

Pemuda ini berseru keras. Bun Tek Tojin baru saja menginjakkan kakinya di tanah ketika ia tiba-tiba kembali menyambar, bukan atas kemauan sendiri melainkan dorongan si banci itu. Dan ketika ia menahan namun kalah kuat, lagi-lagi kakek itu ditabrak maka Bun Tek Tojin marah memukul dirinya.

“Teng Bu, kau sudah berkawan dengan iblis. Menyesal sekali pinto melihat ini. Biarlah pinto membereskanmu dan kelak akan kupertanggungjawabkan di depan gurumu!”

Pemuda itu kaget. Kalau tadi si tosu menangkis dan hanya mempertahankan diri adalah sekarang kakek itu menyerangnya dan menghantamnya hebat. Pukulan panas menyambar dari telapak kakek itu, Hoa- san-ciang atau Pukulan Hoa-san. Dan ketika apa boleh buat dia menerima dan mengerahkan tenaga, tentu saja tak mau celaka maka Bun Tek Tojin terpental dan roboh terbanting, sama seperti Teng Bu yang juga terlempar dan menumbuk dinding.

“Bress!”

Marahlah pemuda itu. Teng Bu mengeluh namun menggulingkan diri meloncat bangun, pukulan lawan membuat dadanya sesak. Dan ketika si kakek tertegun karena pemuda itu tak apa-apa, Teng Bu sendiri tak menyadari kekuatannya maka tasbeh di tangan kakek itu dilolos lagi dan meledak. Bun Tek Tojin meloncat dan menyerang pemuda ini lagi.

“Bagus, kau sudah memiliki kemajuan lumayan. Heh, pinto tak segan-segan lagi menghadapimu, Teng Bu. Terimalah ini dan líhat seberapa jauh kepandaianmu setelah bergaul dengan iblis itu!”

Teng Bu membentak marah. Iapun mengelak dan menangkis ketika diserang tasbeh, membalas dan melihat bahwa tenaganya mampu mengimbangi kakek itu. Dan ketika ia menjadi berani dan tiga serangan dipentalkan semua, dia dan lawan sama-sama terdorong maka Bun Tek Tojin semakin kaget sementara pemuda itu hilang keraguannya. Tasbeh menyambar-nyambar tapi Teng Bu mengelak dan menangkis, ini membuat kepercayaannya tumbuh. Tapi ketika kakek itu berseru keras dan berkelebat mengelilingi dirinya maka pemuda ini terdesak dan sibuk sekali.

“Teng Bu, pergunakan Hek-be-kang. Cabut pedangmu dan layani kakek itu sama-sama bersenjata!”

Pemuda ini sadar. Segera dia mencabut pedang dan mainkan senjata itu dengan putaran kuat. Sekarang pemuda ini memiliki pedang di samping sepasang goloknya. Dan ketika ia berkelebatan mengimbangi kakek itu dan lawan terbelalak merah padam, kepandaian pemuda ini melesat luar biasa maka tasbehnya bertemu pedang dan bunga api berpijar. Tenaga mereka sama keras!

“Keparat, kau benar-benar lain dengan dulu, Teng Bu. Sekarang kau menjadi antek iblis ini. Biarlah pinto membunuhmu atau kau membunuh pinto!”

Lengking atau pekik kakek ini berubah. Suara putus asa dan marah menjadi satu, tak ada harapan lagi bagi kakek itu untuk merobohkan Teng Bu dalam waktu cepat. Pemuda yang dulu setingkat muridnya ini sudah berobah, Teng Bu sudah sejajar dirinya. Dan ketika ia memekik dan merobah gerakan, tasbeh berpindah ke tangan kiri dan tangan kanan mencabut pedang maka Hoa-san Kiam-sut (Silat Pedang Hoa-san) sudah bergabung dengan permainan tasbeh dan pukulan-pukulan Hoa-san-ciang.

Dan hebat sekali kemarahan kakek gemuk pendek ini. Gerakannya tak terpengaruh bentuk tubuhnya dan cepat menyambar- nyambar bagai walet beterbangan. Seluruh kekuatan dan kecepatan dikerahkan kakek ini, Bun Tek Tojin benar-benar marah. Dan ketika tasbeh dan pedang menjepit Teng Bu, pemuda itu pucat maka babatan miring mengenai bahu pemuda itu.

“Bret!”

Teng Bu luka. Ia terkejut dan mundur namun tasbeh menyambar. Kakek itu benar-benar marah. Dan ketika ia menangkis namun pedang kembali bergerak, merobek lengannya maka Teng Bu panik dan si banci berseru.

“Bodoh, keluarkan Hek-be-kang. Teng Bu. Kenapa tidak. Dan ganti pedangmu dengan siang-to!”

Pemuda ini sadar. Tiba-tiba ia ingat bahwa sejak tadi sebenarnya Hek-be-kang harus dikeluarkan, ia lupa. Maka ketika ia membentak dan berseru mundur, mengganti pedang dengan golok maka siang-to atau sepasang golok itu telah berkelebat di kedua tangannya.

“Cring-crangg!” dan pedangpun mental bersama tasbeh. Namun kakek itu bukan orang sembarangan. Bun tek Tojin adalah tokoh Hoa-san yang sudah banyak asam garam pertandingan. Ia cepat berseru keras dan berkelebat lagi. Dan ketika tasbeh menyambar sementara pedang siap bersembunyi, inilah tak diketahui si pemuda maka golok menangkis dan saat itulah seperti kilat menyambar ujung pedang tosu ini menusuk tenggorokan. Teng Bu terkejut dan mengelak dan pedangpun menusuk pundak. Hampir pemuda itu terbang semangatnya. Tapi ketika pedang meleset mengenai pundak yang licin, Hek-be-kang melindungi maka Teng Bu terbahak dan sadar lolos dari bahaya maut.

“Ha-ha, benar. Kau benar, Kiem-twako. Terima kasih!”

Bun Tek Tojin terkesiap. Tosu ini sudah menjadi girang karena pedangnya menusuk tenggorokan. Siang-to atau sepasang golok menangkis tasbehnya. Tapi ketika pemuda itu mengelak dan ia kagum, betapapun hal itu menunjukkan kepandaian lawan maka ia menjadi kaget setengah mati karena pedangnya menusuk pundak dan meleset seperti menusuk karet atau belut yang licin. Dan itulah Hek-be-kang yang sesungguhnya di awal perjumpaan mereka juga telah digunakan pemuda ini hingga membuatnya kaget.

“Bagus, kau benar-benar luar biasa. Hebat dan mengagumkan gurumu kalau Hak Cin Hosiang tahu, Teng Bu. Pinto juga bangga tapi sayang kau harus mampus trik-crangg!” tasbeh menyambar lagi namun bertemu golok, mental dan menyerang dari kiri namun siang-to menghadang. Dan ketika kakek itu berseru keras namun Teng Bu membentak mengimbangi, kata-kata kakek itu membuatnya merah maka Teng Bu membalas dan Hek-be-kang kembali menunjukkan kehebatannya ditusuk pedang.

Dua kali Teng Bu membiarkan dirinya ditusuk dan dua kali itu pula pedang si tosu mental. Tubuh pemuda ini benar-benar seperti belut yang licin. Dan ketika Teng Bu membalas dan satu dari sepasang goloknya membabat miring dari atas maka bahu kakek itu terkena dan Bun Tek Tojin mengeluh. Hal ini menambah semangat pemuda itu sementara si tosu terbelalak. Teng Bu di atas angin. Lalu ketika pemuda itu mendesak dan goloknya mendengung-dengung, perlahan tetapi pasti senjata di tangan Bun Tek Tojin terdorong maka sekali lagi pundak kakek ini terbabat golok.

“Bret!”

Kakek ini juga luka. Rasa panik dan gugup tak dapat disembunyikan lagi, Bun Tek kewalahan karena lawan tak dapat dilukai. Dan ketika ia mundur dan terhuyung-huyung, Teng Bu meluap semangatnya maka Cui Ling berseru nyaring dan tak dapat menahan diri lagi.

“Suhu, jahanam ini mendesakmu. Biar kubantu dan kita robohkan dia!”

Teng Bu terkejut. Ia mengelak namun pedang mengejar, dikelit namun saat itu sang tosu membalasnya. Dan karena serangan tosu ini lebih berbahaya dibanding muridnya maka satu tikaman pedang dibiarkan Teng Bu menusuk punggungnya.

“Cret!” dan gadis itupun terpekik pedangnya menusuk gumpalan daging licin. Pedangnya meleset dan Teng Bu menggerakkan kaki, tepat mengenai siku gadis itu. Dan ketika Cui Ling berteriak dan terpelanting, gadis ini kaget sekali maka si banci tertawa aneh dan berseru datar, tanpa perasaan,

"Teng Bu, bunuh saja kedua-duanya. Habisi dan kita kembali ke kamar.”

“Tidak,” Teng Bu berubah. “Mereka sahabat guruku, Kiem-twako, dan Cui Ling adalah kekasih kakakku. Biar kurobohkan mereka saja dan tak usah menumpahkan darah!”

“Hm, bodoh. Itu bakal membuatmu tak tenang, Teng Bu. Mereka akan datang dan mengacaumu lagi. Bunuh atau nanti aku yang berbuat.”

'Tidak, jangan. Biar kunasehati mereka dan aku tak ingin menumpahkan darah!” dan berseru pada Bun Tek Tojin agar melarikan diri, pemuda ini mendesak dan mementalkan senjata lawan pemuda itu sudah membujuk agar si tosu pergi. Akan tetapi apa jawaban kakek ini? Tosu itu malah terhina.

“Pinto tak ada muka lagi untuk pulang ke Hoa-san, Teng Bu. Bocah yang dulu pantas menjadi murid pinto sekarang sudah sombong dan besar kepala. Aku atau kau mampus!” dan tasbeh yang meluncur dan tiba-tiba menyambar mata Teng Bu membuat si pemuda terkejut dan berteriak keras.

Ini serangan nekat yang tak boleh dibuat main-main. Tak mungkin Hen-bek-kang mampu melindungi mata, sehebat-hebatnya ilmu itu. Maka ketika Teng Bu menggerakkan siang-tonya dan tasbeh tertangkis pecah, manik-maniknya berhamburan di depan wajah maka saat itulah si tosu meloncat maju dan pedangnya menyambar lubang hidung Teng Bu.

Bukan main kagetnya pemuda ini. Segera Teng Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung tanduk. Ia benar-benar menghadapi bahaya maut karena mata maupun lubang hidung adalah daerah yang tak dapat dilindungi Hek-be-kang. Ilmu itu hanya mampu melindungi daerah luar badan bukan bagian dalam. Maka ketika ia terkejut dan satu manik tasbeh menghantam kelopaknya, pemuda ini berteriak maka dalam kemarahannya ia menggerakkan satu dari goloknya menyambar kakek itu, golok yang lain secepat kilat diturunkan ke bawah menghajar pedang yang menuju lubang hidung.

“Crat-cringgg!”

Benturan dua senjata memuncratkan bunga api ke udara. Suaranya memekakkan telinga dan terdengar keluhan Bun Tek Tojin. Tosu itu tak mungkin mangelak lontaran golok yang dilakukan dalam jarak dekat, juga dia sendiri rupanya sengaja melakukan adu jiwa. Maka ketika pedangnya terlepas oleh hajaran golok, sementara golok yang satu dilepas menyambar tenggorokannya maka tosu itu mengeluh tersentak ke belakang. Suara aneh seperti tikus terjepit keluar dari kerongkongan kakek ini. Bun Tek Tojin memegangi gagang golok yang menembus tenggorokannya, darah memuncrat. Lalu ketika kakek itu mendelik dan Cui Ling menjerit, meloncat dan menubruk gurunya maka tosu Hoa-san itu roboh dan nyawapun melayang bersamaan dengan robohnya tubuh tua itu.

“Suhu.... bluk!”

Teng Bu terpaku. Wajah pemuda ini juga pucat melihat tewasnya kakek itu. Dia telah membunuh, bukan sembarang orang melainkan tokoh Hoa-san. Dan ketika pemuda itu termangu dan nampak tergetar, peristiwa ini memang hebat maka Cui Ling meloncat bangun dan membalik.

“Teng Bu, kau berhutang satu jiwa!”

Terdengar tawa senang dari mulut si banci. Kekeh yang aneh, terdengar di situ, disusul seruan agar gadis itupun dibinasakan. Tapi ketika Teng Bu mengelak dan menangkis pergelangan gadis itu, Cui Ling bukan apa-apa maka gadis ini terpelanting dan menjerit. Cui Ling meloncat dan menyerang lagi namun lawannya berkelit sana-sini, bingung dan juga gelisah telah membunuh seorang tokoh. Dan ketika akhirnya si banci berkelebat menotok gadis itu maka Teng Bu kaget berseru keras.

“Jangan bunuh!”

Pemuda inipun terbanting. Si banci terlampau lihai namun Cui Ling selamat. Gadis itu menjerit diserempet hawa totokan yang amat panas. Dan ketika ia bergulingan di sana dan Teng Bu meloncat bangun, menghadang dan gagah di depan si banci maka pemuda itu berkata agar gadis ini jangan dibunuh.

“Tidak, cukup! Ia kekasih kakakku. Kiem-twako. Cui Ling calon isteri Seng-ko. Biarkan ia hidup dan membawa mayat gurunya!”

“Heh-heh, kau tak takut akibat belakangan? Jangan bodoh, membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya, Teng Bu. Gadis ini hanya pengganggu saja. Ia kerikil tajam. Enyahkan dan bunuh!”

“Tidak, aku mohon dengan sangat. Ia kekasih kakakku, Kiem-twako. Kalau kau hendak membunuhnya biar kau bunuh aku dulu. Aku cukup bersalah, gurunya telah tewas. Biarkan Cui Ling pergi atau kau bunuh aku saja!”

Si banci terbelalak. Sikap dan suara lawan yang sungguh-sungguh membuat ia terkejut juga, marah. Namun melihat betapa keberanian terpancar di situ, Teng Bu memang pemuda gagah akhirnya si banci ini tertawa mengangguk-angguk. “Baik, baik, kau yang minta, biarlah kululuskan. Heh-heh, penggantinya adalah dirimu, Teng Bu. Malam ini hangati aku dan kita bersenang-senang. Setuju?”

Teng Bu tak banyak bicara lagi, mengangguk. Lalu ketika di sana gadis Hoa-san itu tersipu jengah dan menjadi jijik, meludah maka Cui Ling menyambar mayat gurunya tersedu-sedu. “Teng Bu, kau pemuda jahanam, manusia tidak wajar. Kulaporkan gurumu dan lihat pembalasanku nanti!”

Pemuda ini termangu diam. Wajahnya pucat dan menahan gemetar. Ancaman itu membuatnya tak enak namun apa boleh buat. Si banci tertawa dingin. Dan ketika gadis itu berkelebat meninggalkan mereka berdua, Teng Bu tiba-tiba disentuh maka si banci sudah menggandeng lengannya membawa masuk.

“Hm, kau mencari penyakit sendiri. Gadis itu tak seharusnya dilepas. Ah, itu tanggung jawabmu, Teng Bu, namun aku tak akan membiarkanmu celaka. Marilah, kita ke dalam dan berikan janjimu!”

Kecupan ringan mendarat di pipi pemuda ini. Cui Ling kebetulan menoleh dan gadis itu membuang muka. Pertunjukkan itu semakin memuakkannya. Dan ketika ia terbang dan lenyap di luar, si banci tak menghalang-halangi maka Teng Bu diminta janjinya dan malam itu pemuda ini bercinta dengan perasaan tak karuan. Hal ini membuat si banci berkerut, tak senang. Dan ketika keesokannya pemuda ini ingin meninggalkan gedung, meninggalkan tempat itu maka banci ini tertawa mengejek berkata,

“Untuk apa, tak usah menyembunyikan diri. Selama aku di sampingmu tak akan ada yang mencelakakanmu, Teng Bu, tenang dan tetap saja di sini karena aku mulai kerasan.”

“Tapi aku takut guruku. Cui Ling bisa melapor dan semuanya bisa berbahaya!”

“Eh, bukankah sudah resikomu? Kemarin kuberi tahu agar gadis itu dibunuh pula, Teng Bu, akan tetapi kau menolak. Ini tanggung jawabmu!”

“Benar, karena aku berpikir untuk meninggalkan tempat ini, twako, menghindar dari orang-orang itu. Aku tak nyaman dan ingin pergi!”

“Dan mampus kalau kau sendirian. Hm, aku tak setuju, Teng Bu. Ada aku di sini. Aku masih ingin tinggal di sini dan bersenang-senang. Nanti kalau aku bosan boleh kita pergi!”

Teng Bu pucat. Harus diakui bahwa sendirian saja ia gentar. Gurunya tentu datang dan ia tak mungkin mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya pergi dari tempat itu dan bersembunyi, menunggu waktu tenang dan kelak muncul lagi. Tapi karena kekasihnya ini menolak dan ia menjadi bimbang, antara pergi dan tidak akhirnya ia teringat kakaknya itu. Ini hari ketiga di mana kakaknya dinyatakan sembuh.

“Baiklah, nanti kupikir lagi. Sekarang bagaimana dengan Seng-ko, Kiem-twako Apakah ia pulih.”

“Tentu, namun sepuluh jam lagi. Menjelang malam ia akan sadar tapi sebulan ini tak mungkin berjalan sendirian.”

“Maksudmu?”

“Hi-hik, kakakmu banyak kehilangan tenaga, Teng Bu, harus beristirahat tiga sampai empat minggu. Itupun tak boleh mendengar berita berat atau ia tak bakal sembuh. Nah, tergantung dirimu apakah kakakmu itu sebaiknya tak disembunyikan saja!”

“Jadi ia belum sembuh total?”

“Benar, tapi inti penyakitnya sudah lenyap. Kau masih harus menjaganya dan jangan biarkan ia sendiri.”

Teng Bu terbelalak. Ia mengeluh karena ini di luar dugaannya lagi. Ia menganggap kakaknya sembuh dan dapat ditinggal kalau ia pergi. Maka mendengar bahwa kakaknya masih harus menjadi beban, Teng Bu menggigit bibir maka pemuda ini maklum bahwa ia benar-benar masih terikat dengan si banci ini. Dan Teng Bu tiba-tiba mulai benci!

“Hm, baiklah. Aku rupanya masih harus di sini, twako, menjaga kakakku. Baiklah kubawa dia ke kamar belakang dan mohon bantuanmu kalau guruku datang!”

“Hi-hik, tak usah khawatir. Gurumu pun dapat kau hadapi, Teng Bu. Kau tak perlu takut dengannya. Asal kau mainkan siang-to mu dengan baik dan tak lupa Hek-be-kang maka gurumu pun dapat kau robohkan!”

Ada cemas dan gembira di hati pemuda ini. Kalau dia dapat menghadapi gurunya benar-benar ia tak perlu takut lagi, paling-paling ia hanya merasa segan, berhutang budi dan tak enak atas semua jasa baik orang tua itu. Dan ketika benar saja kakaknya mulai sadar, dapat mangenali dirinya dan mengerutkan kening maka malam itu Teng Bu membawa kakaknya ke kamar lain, jauh dibelakang.

“Apa yang terjadi, bagaimana tiba-tiba aku di sini. Eh, bukankah ini kamar Kiem-twako, Bu-te. Mana jahanam keparat itu. Aku merasa dipermainkannya!”

“Sst, tak usah berisik. Orang itu tak ada di sini, Seng-ko, ia telah pergi. Kau baru saja menderita sakit dan aku menjagamu sampai sembuh. Mari kupindahkan kebelakang dan kubawa ke tempat aman!”

Teng Bu tak banyak cakap memondong kakaknya ini. Ia khawatir kakaknya bicara macam-macam dan didengar si banci. Sudah ia minta agar si banci tak usah di situ, kakaknya mulai sembuh dan segala ingatan tentu bekerja, termasuk ketika dipermainkan kekasihnya itu. Dan ketika benar saja Teng Seng bertanya tentang ini dan tampak beringas, mata yang sadar itu berapi-api maka Teng Bu membawanya ke belakang dan cepat menutup pintu kamar. Di sini ia membujuk kakaknya agar tidak berpikir yang lain-lain, ia baru sembuh dari sakit dan kakaknya diminta tenang. Dan ketika kakaknya mengepal tinju menahan marah maka kakaknya berkata bahwa kelak akan dicari dan dibunuhnya si banci itu.

“Aku merasa seperti mimpi buruk, ia memperkosaku. Kalau jahanam itu tak ada di sini biar lain kali kita cari, Bu-te. Dan tentunya kau sekarang sudah terlepas dari tangannya dan tak bergaul dengan si gila itu!”

“Hm, aku sudah lepas. Aku juga benci kepadanya, Seng-ko, ia membuatku terikat dan banyak menimbulkan susah. Kelak kita cari dan bunuh dia!”

Sang kakak mengangguk-angguk. Teng Bu bicara sungguh-sungguh meskipun tentu saja dengan berbisik. Pemuda ini tak tahu betapa sikap dan kata-katanya tadi dilihat seseorang, yang mengangguk dan tersenyum dingin mendengar itu. Si banci! Dan ketika Teng Bu berkelebat dan menutup kamar, ia harus menjaga kakaknya di situ maka selama ini hatinya berdebar menunggu datangnya bahaya. Dan benar saja delapan hari kemudian berkelebat sesosok hwesio tua di kamarnya, tepat di saat ia baru merebahkan tubuh di pembaringan.

“Omitohud, berita jelek pinceng dengar, Teng Bu. Benarkah kau membunuh Bun Tek Tojin dan di manakah temanmu Siluman Akherat itu!”

Teng Bu mencelat dari tidurnya. Meskipun sudah diduga namun kedatangan gurunya ini bagai petir di siang bolong, ia terkesiap. Dan ketika pemuda itu membelalakkan mata dan masih melihat bayangan-bayangan lain, tosu dan para hwesio Bu-tong tiba-tiba ia mencelos karena tujuh belas orang ada di situ, mengepung, bersama Cui Ling yang menuding dan berseru marah,

“Susiok, supek, inilah Teng Bu yang kubicarakan itu. Ia sekarang lihai, sombong. Dialah yang membunuh suhu dan menyembunyikan kakaknya sendiri. Entah apa maksudnya dan hutang satu jiwa harus dibayarnya lunas!”

“Siancai, pemuda yang sudah mulai kemasukan iblis jahat. Ah, inikah muridmu Teng Bu, Hak Cin lo- suhu. Kau tentu dapat menghukumnya tak usah kami turun tangan.”

“Benar, dan ini kiranya pemuda itu. Hm, masih muda tapi telah membunuh suheng Bun Tek Tojin. Bu-tong tentunya tak perlu membela dan melindungi pemuda macam ini!” Tongkat dan ketukan jari di dinding menggetarkan kamar itu. Teng Bu pucat melihat begitu banyaknya orang di luar, tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong. Dan ketika ia melompat dan berlutut di depan gurunya, betapapun hormat dan aturan masih dipunyai maka pemuda ini menggigil di depan suhunya.

“Suhu, ampunkan teecu. Waktu itu teecu dipaksa, teecu tak berdaya. Bun Tek locianpwe melontarkan senjatanya mengadu jiwa!”

”Hm, bangkitlah. Mana kakakmu Teng Seng dan mana temanmu itu. Omitohud, perbuatanmu membahayakan Bu-tong, Teng Bu, dan mengancam hubungan baik antara kami dengan Hoa-san. Kau harus mempertanggungjawabkan ini dan pinceng datang untuk mencari kebenaran. Ceritakan benarkah semua itu dan kau sombong menerima kepandaian dari orang lain!”

Teng Bu tak mungkin mengelak lagi. Ia menggigil di depan gurunya dan Cui Ling tiba-tiba melengking. Gadis yang penuh benci dan marah kepada pemuda ini tiba-tiba menerjang, pedang dicabut dan sudah menusuk tenggorokan pemuda itu. Dan ketika semua terkejut namun tak ada yang menghalang, Hak Cin Hosiang juga menyingkir dan rupanya memberi kesempatan maka Teng Bu mengelak dan seketika menangkis.

“Plak!”

Pedang itu terpental dan Cui Ling seketika terpelanting. Gadis itu menjerit dan para tokoh berseru terkejut. Gerak dan kecepatan Teng Bu setingkat dengan gerak dan kecepatan seorang di antara mereka. Pemuda ini benar-benar lihai. Dan ketika Teng Bu sadar bahwa semuanya itu rupanya disengaja, mereka ingin melihat kepandaiannya maka Hak Cin Hosiang mengangguk-angguk namun wajah kakek itu merah padam, mata mencorong berkilat.

“Omitohud, benar yang pinto dengar. Hm, kepandaianmu meningkat hebat, Teng Bu, dan ini jelas bukan karena pinceng. Kau telah bersahabat dengan seorang siluman, dan katakan di mana kawanmu itu atau Teng Seng!”

“Seng-ko... Seng-ko tak ada disini,” Teng Bu terpojok tapi coba berbohong .“Teecu tak mengerti apa yang kau maksudkan, suhu. Dan masalah gadis ini, dia... dia terlampau mendesak!”

“Jahanam bermulut bohong!” Cui Ling berteriak setengah melengking. “Dulu kau bilang tiga empat hari lagi kakakmu dapat kutemui, Teng Bu, sekarang bicara lain dan mulut serta pandang matamu tidak sama. Kau bohong dan sombong!”

“Diamlah,” Hak Cin Hosiang tiba-tiba berseru dan mengangkat tangannya. “Sekarang pinceng di sini. Cui Ling, urusan dapat dilimpahkan pinceng. Pinceng akan menuntut tanggung jawab dan biarkan Teng Bu berhadapan dengan pinceng!”

Tokoh yang lain mengangguk dan membenarkan. Dua tosu Hoa-san menyambar lengan gadis itu dan Cui Ling menangis memandang Teng Bu, pandang matanya penuh kemarahan. Namun ketika Teng Bu melihat ruangan menjadi penuh, ia gelisah dan merasa gentar maka tiba-tiba pemuda ini meloncat menendang jendela berseru pada suhunya,

“Suhu, sebaiknya kita bicara di luar saja. Teecu tak takut mempertanggungjawabkan perbuatan teecu namun teecu minta hak membela diri!”

“Bagus,” hwesio itu berkelebat menyusul muridnya, disusul yang lain-lain. “Kalau kau masih memiliki kegagahan dan tak bermaksud melarikan diri mungkin hukumanmu lebih ringan, Teng Bu. Kau bebas membela diri namun harus sesuai kenyataan!”

Pemuda itu berhenti di taman belakang. Teng Bu tak bermaksud melarikan diri karena tujuh belas bayangan menyambar dari kanan kiri, mencegat dan sengaja memotong jalannya kalau dia lari. Tapi ketika pemuda ini membalik dan semua lega, Teng Bu menahan marah maka pemuda itu menuding Cui Ling.

“Setan betina inilah yang menjadi gara-gara!” bentaknya. “Kalau dia menurut nasihatku dan tidak sombong memaksakan kehendak tak mungkin semuanya ini terjadi, suhu. Teecu tak mau disalahkan karena semuanya ini bersumber dari gadis ini. Cui Ling sombong dan memaksakan kehendak!”

“Hm, apa kehendaknya, sombong bagaimana.”

“Gadis itu ingin menemui Seng-ko, suhu, kucegah karena kakakku sakit!”

“Betul,” Cui Ling tiba-tiba melengking. “Tapi salahkah aku kalau ingin menemui kakaknya, locianpwe. Bukankah kami sudah terikat pertunangan dan kenapa tak boleh menengok. Teng Bu menunjukkan gejala-gejala mencurigakan dengan menyembunyikan kakaknya. Aku berhak tahu karena sebulan sudah tak bertemu kekasihku!”

“Hm, benar,” sang suhu mengangguk dan membela gadis itu. “Apa yang dikatakan Cui Ling jauh lebih masuk akal daripada kata-katamu, Teng Bu. Jawablah kenapa gadis ini tak boleh menengok calon suaminya sendiri.”

“Seng-ko sakit.”

“Justeru itu memperkuat keinginannya!”

“Dia... dia...“

“Hm, pinceng dengar kakakmu sakit karena sesuatu yang tidak wajar, Teng Bu, dan Cui Ling sebagai orang yang dekat kakakmu tak seharusnya ditolak. Ia bukan orang lain, justeru sikapmu mencurigakan dan ketahuilah bahwa gadis ini telah tahu hubunganmu yang tidak beres dengan Siluman Akherat itu. Sekarang di mana sahabatmu itu dan kakakmu, ataukah pinceng juga tak boleh tahu dan hanya kau yang berhak!”

Teng Bu pucat. Dalam posisi seperti ini kedudukannya benar-benar runyam, ia pucat dan merah berganti-ganti oleh berondongan pertanyaan itu. Dan ketika in menggigil dan gemetar tak dapat menjawab, dengus dan kemarahan orang lain mulai mengancam tiba-tiba terdengar suara lirih dan semua orang menoleh ke belakang ketika seorang pemuda terhuyung mendekap dada.

“Cui Ling.... suhu!”

Kagetlah Teng Bu melihat Teng Seng. Sang kakak muncul dan tiba-tiba disambut pekik haru Cui Ling. Gadis Hoa-san itu meloncat dan menyambar pemuda ini. Lalu ketika Teng Seng terbatuk-batuk dan memeluk Cui Ling, sejenak gadis itu tersedu dan girang bahwa kekasihnya memanggil maka Teng Seng mendorong gadis ini tersuruk menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu, teecu di sini. Apa yang terjadi dengan Bu-te dan kenapa kalian tampaknya marah-rnarah.”

“Dia membunuh guruku, Seng-ko. Adikmu berhutang sebuah jiwa!”

“Apa?” Teng Seng terkejut, terbelalak dan pucat. “Gurumu? Maksudmu Bun Tek Tojin locianpwe?”

“Benar, dan ia sekarang sombong dengan kepandaian yang diperoleh. Ah, adikmu ini bukan manusia lagi, Seng-ko, dia iblis seperti si banci yang mempermainkanmu itu. Omonganmu betul, banci itu bukan manusia baik-baik!”

Teng Seng mengeluh dan roboh. Pemuda ini mendengar ribut-ribut di kamarnya dan keluar, memang belum sembuh betul dan sering mencari dinding untuk pegangan. Maka ketika tiba-tiba dilihatnya adiknya dikepung banyak orang, satu di antaranya adalah gurunya sendiri maka pemuda itu bingung dan kaget lalu muncul, melihat pula Cui Ling di situ namun belum tahu semua persoalan.

Dan begitu Cui Ling berteriak memberi tahu, apa yang didengar bagai petir di siang bolong, mendadak pemuda itu batuk-batuk dan roboh. Cepat sekali guncangan batin pemuda ini terpukul, Teng Seng terguling dan menekan dadanya yang sakit. Lalu ketika dia tersedak dan melontakkan darah, pantangan baginya untuk menerima berita berat maka pemuda itu roboh dan Cui Ling serta Teng Bu berteriak berbareng.

“Seng-ko!”

Teng Bu lebih dulu menyambar. Gerak pemuda ini yang luar biasa cepatnya kembali membuat orang-orang tua terkejut. Teng Bu sudah menangkap dan menahan tubuh kakanya itu. Tapi ketika Cui Ling berkelebat dan merebut tubuh itu maka gadis ini memekik agar Teng seng jangan disentuh Teng Bu.

“Lepaskan, tanganmu hina memegang orang yang kucintai!”

Teng Bu tertegun. Ia tak mungkin mempertahankan kakaknya karena gadis itu melakukan tendangan. Pinggangnya di sambar. Dan ketika ia mengelak dan membiarkan direbut, bangkit berdiri maka Cui Ling tersedu-sedu menuding gusar.

“Lihat, apa katanya tadi, locianpwe. Bukankah Teng Bu mengatakan kakaknya tak di sini. Tapi apa buktinya, dia bohong. Pemuda ini tak dapat dipercaya dan busuk serta jahat. Aku ingin membunuhnya!”

Namun dua tokoh Hoa-san menyambar lengan gadis itu. Cui Ling yang menjerit dan hendak menerjang kalap ditahan, semua orang terbelalak dan merah padam. Teng Bu telah menipu.dan ketika Hak Cin Hoasiang juga marah dan maju mengerotokkan jari maka kakek itu lantang berseru agar Teng Bu menyerahkan diri.

”Omitohud, pembohong dan pendusta. Oh, pinceng tak dapat mengampunimu lagi, Teng Bu. Kau telah menipu semua orang di sini. Menyerahlah, terima hukuman baik-baik!”

Sepasang tangan kakek itu menyambar dan cepat bagai kilat tahu-tahu mencengkeram pundak muridnya. Teng Bu tertegun dan membelalakkan mata dan sejenak dia gugup. Apa yang dikata Cui Ling menelanjangi mukanya. Tapi ketika sepasang tangan gurunya mencengkeram pundak dan jari-jari bagaikan baja itu siap menghancurkan tulang, Teng Bu kaget dan sadar mendadak pemuda ini melawan dan mengeluarkan Hek-be-kang.

“Suhu, tunggu dulu. Teecu tidak bohong!”

Luar biasa sekali, pundak Teng Bu tahu-tahu lolos. Licin bagai belut dan keras menandingi jari-jarinya sekonyong-konyong pemuda itu berhasil membebaskan diri. Bentakan Teng Bu mengejutkan gurunya. Dan ketika pemuda itu meloncat jauh namun semua bergerak dan membentak, lagi-lagi pemuda ini terkepung maka pemuda itu mengangkat tangan berseru kuat-kuat.

“Suhu, cuwi-locianpwe, tahan! Teecu tidak bohong hanya kalianlah yang kurang cerdas. Aku tidak menipu karena yang kukatakan adalah kakakku tak ada di kamar, ia di tempat lain. Dan kalian lihat bahwa ia benar-benar muncul bukan dari kamarku!”

Semua tertegun. Hak Cin Hosiang melengak dan kakek ini terbelalak, kata-kata muridnya memang benar. Tapi ketika seorang tosu Hoa-san melompat dan membentak nyaring maka tosu itu berseru,

“Bocah, kalau begitu kau menganggap orang-orang tua ini adalah anak-anak atau sebaya denganmu. Kami bukan orang kemarin sore. Kalau kami tidak berpikir sejauh itu adalah karena kami menganggap kau murid baik-baik dari Hak Cin lo-suhu. Tapi kau ternyata bocah jahat, pandai bermain lidah dan mengecoh kami orang-orang tua. Cobalah kau kelit dan mampukah pinto menangkapmu untuk kulempar kepada gurumu!”

Tubuh tosu itu menyambar. Ia menjadi marah dan orang-orang lainpun mengangguk. Kata-kata Teng Bu memang benar namun anak muda itu termasuk kurang ajar karena telah mempermainkan mereka. Sebagai murid Hak Cin Hosiang yang dianggap baik-baik sungguh tak mereka sangka kalau pemuda itu memiliki akal licik bagai belut. Hal ini membuat Hak Cin Hosiang malu, orang bisa salah paham mengira dia mendidik murid seperti itu, Suka bermain lidah!

Maka ketika Teng Bu diserang dan tokoh Hoa-san itu berkelebat ke depan, tangan kiri menampar sementara tangan kanan siap dengan totokan berbahaya maka kakek ini mundur dan membiarkan muridnya dalam bahaya. Akan tetapi Teng Bu sekarang benar-benar bukan Teng Bu beberapa waktu yang lalu. Pemuda ini telah memiliki kelincahan gerak dan Hek-be-kang.

Teng Bu telah mendapat kepercayaan diri yang besar pula setelah mampu merobohkan Bun Tek Tojin, meskipun bukan maksud anak muda ini untuk membunuh. Maka ketika gurunya bergerak mundur dan Teng Bu tentu saja tahu akan serangan susulan itu, matanya awas dan tajam mengikuti semua gerak maka pemuda ini tidak mengelak melainkan menggerakkan tangan kirinya menangkis.

“Dukk!”

Tosu itu tergetar. Ia kaget menerima tangkisan namun tangan yang lain bergerak secepat kilat, menotok dan menyambar leher kiri pemuda itu. Dan ketika untuk ini Teng Bu tak mengelak dan membiarkan totokan, mental dan meleset mengenai lehernya yang licin maka Teng Bu menggerakkan tangan yang lain dan tahu-tahu telah balas menampar pundak tosu itu.

“Plak!” dan si tosu pun terpelanting. Tosu ini kaget bukan main dan bergulingan meloncat bangun. Ia adalah Tai Tee Cinjin tokoh nomor empat, sedikit di bawah Bun Tek Tojin dan tosu itu tampak pucat memandang Teng Bu. Anak muda itu tertawa mengejek. Dan ketika Teng Bu semakin berani namun dibentak gurunya maka Hak Cin Hosiang melangkah maju dan berseru, mukanya serasa ditampar.

“Teng Bu, kau membuat malu pinceng. Orang bisa menyangka bahwa didikan pinceng seperti ini, mempunyai murid yang kurang ajar. Berlututlah dan menyerah baik-baik atau pinceng merobohkanmu!”

“Hm, teecu tak merasa salah. Kau jangan dipengaruhi orang-orang ini, suhu. Semua berawal dari gadis siluman itu. Gadis itulah biang keladinya. Suhu jangan berat sebelah dan menghukum murid tanpa banyak pertimbangan!”

“Omitohud, kau tak merasa salah? Kau menyalahkan gadis itu kalau ingin menengok kakakmu? Dan kau bersilat lidah, bohong dan dusta dengan mengatakan kakakmu tak ada, padahal ia di tempat ini, di gedung ini. Keparat, pinceng tak dapat mengampunimu lagi, Teng Bu, menyerahlah atau kau roboh!”

Kakek ini menyergap dan kedua tangan tahu-tahu mencengkeram ke depan. Tidak seperti Tai Tee Cinjin yang menyembunyikan serangan adalah kakek ini bersikap terang-terangan. Kedua tangan langsung melesat ke depan, angin pukulanpun sampai menderu. Dan ketika Teng Bu terbelalak dan terkejut, terhadap gurunya ini tentu saja dia mengelak maka cengkeraman luput dan pemuda itu melompat mundur.

“Suhu, teecu tak ingin bertempur denganmu. Teecu tak ingin melawan. Jangan serang dan maafkanlah teecu...wut!”

Luputnya pukulan ini membuat si kakek marah dan berang. Di hadapan sekian banyak mata ternyata sang murid lolos begitu mudah, guru mana yang tidak panas. Maka ketika kakek itu membentak dan bergerak lebih cepat lagi, kaki menjejak dan menyambar Teng Bu maka si pemuda tak mungkin berkelit dan pundaknya dicengkeram jari-jari sekeras baja.

“Brett!”

Cengkeraman itu luput. Sama seperti tadi kakek ini merasakan gumpalan kulit daging yang licin, bukan sekedar licin melainkan juga liat, atos. Dan ketika kakek itu berseru keras dan bergerak menyerang lagi maka dua jarinya menusuk mata dan untuk ini terpaksa Teng Bu menangkis.

“Plak-dukk!”

Lengan gurupun terpental. Bukan main kaget dan marahnya kakek itu dan melengkinglah Hak Cin Hosiang menerjang muridnya. Kakek yang semula bergerak biasa dan masih ragu-ragu itu tiba-tiba beringas dan gusar. Peristiwa yang dilihat banyak mata itu membuatnya berang. Teng Bu dianggap mencari penyakit. Maka ketika kakek itu melengking dan berkelebatan cepat, tangan dan kaki bergerak silih berganti maka muridnya mengeluh namun Teng Bu melindungi diri dengan Hek-be-kang, ilmu Belut Hitam. Dan tiga kali pukulan kakek itu melenceng atau mental bertemu tubuh muridnya. Teng Bu belum membalas dan masih segan, betapapun sifat baiknya masih ada.

Namun ketika gurunya membentak dan melengking berulang-ulang, jari berubah seperti pisau-pisau kuat dan tajam maka yang diarah adalah sepasang mata pemuda itu dan Teng Bu kembali menangkis. Dan setiap tangkisan tentu membuat kakek itu terpental. Hal ini hampir tak dipercaya si kakek namun kenyataan bicara seperti itu. Teng Bu muridnya memang benar-benar luar biasa, bahkan lama-lama ia terhuyung dan selalu terdorong. Dan ketika kakek itu membentak berseru keras, tak ada jalan lain kecuali mengeluarkan senjata maka siang-to atau sepasang golok putih berkilat ditimpa sinar lampu. Dan tepat saat itu muncullah si banci di antara bayang-bayang kegelapan.

“Heh-heh, bagus dan tepat, Teng Bu. Gurupun kalau berbahaya harus dilawan. Awas, ia kebakaran jenggot dan cabut sepasang golokmu pula. Kerahkan Hek-be-kang!”

Semua menoleh. Di balik bayang-bayang pohon itu muncul seorang pria berbedak dan bergincu tipis. Telinganya memakai anting-anting, hidungnya mancung dengan cuping yang manis. Sepintas ia seperti wanita apalagi ketika berkipas-kipas, gayanya santai dan tenang. Tapi ketika Cui Ling berteriak bahwa itulah si banci, Siluman Akherat yang amat berbahaya maka kelompok tokoh-tokoh itu pecah menjadi dua, sebagian memperhatikan Teng Bu sementara yang lain memandang pria aneh itu.

“Dia si banci. Itu orangnya!”

Serentak semua orang mencabut senjata. Mereka telah mendengar dari Cui Ling bahwa banci itu amat hebat. Bukti bahwa Teng Bu sudah sedemikian pesat membuat orang terbelalak. Di bawah gemblengan Hak Cin Hosiang sendiri barangkali tingkat yang sudah dicapai pemuda ini harus dilalui enam atau tujuh tahun. Baru beberapa bulan saja dengan si banci sudah seperti itu, Teng Bu mengejutkan semua orang. Maka ketika si banci muncul dan Teng Bu menjadi girang, berseru dan mundur menghadapi kilatan golok pemuda ini meminta bantuannya.

“Kiem-twako, aku tak dapat menghadapi guruku. Tolonglah, hadapi dia!”

“Hi-hik, kalau begitu mampus. Baik, serahkan golok kepadaku, Teng Bu, dan lihat kupotong tubuhnya menjadi dua!”

Teng Bu kaget. Ada serangan dari samping ketika ia bicara tadi, mengelak namun dikejar sepasang golok. Gurunya benar-benar tak main-main. Dan ketika ia tak dapat mengelak namun untung Hek-bek-kang melindungi tubuhnya maka golok itu mental bertemu kulit tubuhnya yang licin. Dan saat itu bayangan si banci berkelebat amat cepatnya. Kepungan yang menjaga Teng Bu dilewati, seorang tosu dan seorang hwesio disambar, menjerit dan terbanting. Dan ketika bayangan ini terus bergerak dan menyambar golok Teng Bu maka terdengar teriakan ngeri ketika tubuh Hak Cin Hosiang terpotong dua.

“Crat-bluk!”

Begitu cepatnya kejadian ini. Darah menyembur dari potongan tubuh dan kakek itu langsung roboh. Golok menyambar bagian pinggang dan langsung terpotong. Semuanya terjadi dalam sekejap dan Teng Bu pucat pasi, yang lain berteriak dan mundur. Dan ketika pemuda itu mengeluh tertahan dan menutupi muka, tewasnya gurunya benar-benar luar biasa maka tiba-tiba tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong berteriak, sadar.

“Siluman Akherat, kau keji dan kejam!”

Teng Bu jatuh terduduk. Di saat semua orang menerjang dan membentak kawannya ini maka pemuda itu menutupi muka. Dia ngeri melihat kematian gurunya itu, juga kaget dan marah demikian ganasnya si banci ini. Selama ini belum pernah ditunjukkan kekejaman seperti itu, apalagi yang dibunuh adalah gurunya. Dan karena pemuda ini jelek-jelek masih memiliki watak baik, dia belumlah sehitam yang disangka orang maka Teng Bu tiba-tiba menggeram dan meloncat bangun.

“Kiem-twako, serahkan golokku!”

Si banci terkekeh. Dia menyambut dan menggerakkan senjata Teng Bu untuk menangkis hujan serangan. Tang-ting-tang-ting suara benturan disusul berteriaknya orang-orang itu. Baik tosu Hoa-san maupun hwesio Bu-tong terpental mundur. Dan ketika Teng Bu meloncat dan berteriak meminta senjatanya, si banci mengira pemuda itu akan membantunya maka dia terkekeh.

“Hi-hik, bagus. Sudah tiba saatnya untuk menghajar orang-orang ini, Teng Bu. Mari berpesta dan terima kembali golokmu!”

Teng Bu menangkap dan menerima. Akan tetapi begitu membentak sekonyong-konyong yang diserang adalah temannya itu. “Jahanam keparat, kau membunuh guruku!”

Bukan hanya si banci yang terkejut, orang-orang lain, baik dari Bu-tong maupun Hoa-san terbelalak. Sepasang golok di tangan pemuda itu menyambar si banci, langsung membabat leher dan menusuk perut. Dan karena jarak demikian dekat sementara si banci juga tak menduga, serangan ini amat cepat maka si banci tak sempat berkelit dan hanya mulutnya mengeluarkan seruan tertahan.

“Ehhh!”

Dan leher maupun perut itu tercoblos. Teng Bu merasa sepasang goloknya jelas mengenai sasaran, golok di tangan kanan bahkan terus membabat kencang, leher itu putus dan terpisah dari tubuhnya, terangkat naik. Tapi ketika leher itu turun lagi dan melekat di tempatnya seperti semula, utuh, maka pedang yang mencoblos perutpun rasanya ringan karena tembus dan tak membawa hasil apa-apa. Dan Teng Bu yang merasa langsung menjadi kaget bukan main, apalagi ketika kepala itu bergerak dan terkekeh.

“Hi-hik, kau mau membunuhku, Teng Bu? Kau tak ingat segala budi dan kebaikanku? Aih, sayang. Kau berkhianat. Baiklah terima ini dan lihat pembalasanku!” tangan bergerak dan kipas berkelebat terbuka. Kejadian itu membuat Teng Bu tertegun dan semua orangpun melotot. Mereka seakan melihat sulap atau sihir, tak percaya. Tapi begitu kipas digerakkan ke kiri dan menyambar lengan Teng Bu maka pemuda itu menjerit dan roboh dengan tangan putus.

“Crak!” Kipas bagaikan mata pedang saja. Potongan lengan terlempar dan pemuda itu terguling, darah memuncrat basah. Dan ketika pemuda ini bergulingan mengeluh sakit, si banci bergerak dan mengejar tertawa maka kipas bergerak lagi dan lutut Teng Bu sebelah kiri putus.

“Aduh!” Jeritan ini menyadarkan tokoh-tokoh tua. Mereka yang tadi membenci dan marah kepada Teng Bu mendadak berobah. Pemuda itu telah memperlihatkan sikap balik dan memusuhi si banci, hal ini menimbulkan simpati. Maka ketika mereka bergerak dan membentak maju maka dari kanan kiri tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong melindungi pemuda itu.

“Siluman Akherat, kau benar-benar tak berbelas kasihan. Berhenti dan kubunuh kau!”

Hujan senjata menyambar si banci ini. Enam belas orang bergerak amat cepat dan senjata maupun pukulan bertubi-tubi. Teng Bu mengeluh dan roboh di sana. Tapi ketika si banci terkekeh dan membalik, tak mengelak atau menangkis serangan itu maka tokoh Bu-tong maupun Hoa-san merasa seperti yang dirasakan Teng Bu, yakni senjata tepat mengenai tubuh namun bergerak ringan dan terus menyambar bagai membabat sepotong asap.

“Cring-crangg!”

Senjata bahkan berbenturan sendiri. Baik tongkat Hoa-san maupun toya Bu-tong memercikkan bunga api. Hal itu dikarenakan tenaga pemiliknya benar-benar dahsyat, menyambar dengan kekuatan penuh dan mereka yang memegang pedang atau golok juga sama. Senjata masing-masing bahkan terpental, ada bagian yang rusak. Dan ketika mereka terbelalak dan berseru keras maka saat itulah si banci membalas dan tubuh yang seperti asap ini mendadak berputar dan kipas serta kuku jari menyambar tokoh-tokoh tua ini.

“Robohlah!”

Enam orang menjerit. Kipas dan kuku jari tak dapat dikelit, empat orang tosu berteriak dan roboh dengan dada robek. Kuku jari itu ternyata menggurat demikian dalam hingga mirip pisau belati saja, merobek dan memotong tulang dada mereka bagai orang membelek dada ayam. Dan ketika empat tosu ini terbanting sementara dua yang lain dari Bu-tong, terjerembab tanpa suara karena kepala mereka pecah disambar kipas maka yang lain menjadi panik dan gentar.

“Iblis, siluman ini benar-benar iblls!”

Namun si banci menjawab dengan kekeh ringan. Ia bergerak dan menyambar lagi dan dua orang kembali roboh. Mereka menusuk dan menghantam tubuh itu namun si banci tak apa-apa, senjata atau pukulan selalu tembus mengenai tubuhnya, persis bagaikan orang menusuk asap. Dan karena delapan dari enam belas orang sudah tewas dengan begitu cepat, ditambah dengan Hak Cin Hosiang yang roboh lebih dulu maka sisa delapan yang lain menjadi pucat dan tiba-tiba mundur melarikan diri.

“Hi-hik, pengecut. Mana kegagahan kalian kalau begini. Eh, nanti dulu, kerbau-kerbau dungu. Kalian mencari aku dan sekarang bertemu. Tunggu dan terima ini sebagai oleh-oleh!”

Delapan jeritan terdengar. Benda-benda hitam seperti paku bernyawa menancap di tubuh tokoh-tokoh itu, semua terbanting dan roboh. Dan ketika si banci mebalik dan tertawa maka Teng Bu ditendangnya mencelat.

“Hm, kau. Sekarangpun tiada guna, Teng Bu. Berani kau berkhianat. Rasakan hukumanmu dan lihat kau menjerit kepada siapa!” tujuh goresan kuku menggurat tubuh pemuda ini, menggeliat dan sejenak Teng Bu mengeluarkan keluhan namun diam lagi. Pemuda itu sebenarnya pingsan setelah dikutungi sebelah tangan dan kakinya. Tapi begitu si banci lenyap dan berkelebat pergi maka pemuda ini sadar dan pertama kali yang dilakukan adalah menjerit. Tubuhnya seperti dibakar dan dipanggang dari dalam.

“Aduh, panas... tobat!” Pemuda itu bergulingan. Teng Bu meloncat akan tetapi mengaduh. Satu kakinya yang buntung baru disadari. Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak dan pengawal berdatangan, taman di gedung Gubernur itu segera ribut maka seseorang di sana juga mengeluh dan merangkak bangun.

“Cui Ling, kau di mana? Kau masih pingsan?”

Jawahan lain terdengar di kiri. Sesosok bayangan lagi merintih dan merangkak, itulah Cui Ling yang tadi dipukul pingsan seorang paman gurunya. Gadis ini dirobohkan agar tak ikut campur, lupa atau dilupakan si banci itu hingga selamat. Gadis inilah satu-satunya yang lolos dari kekejaman si banci. Maka ketika gadis itu terhuyung berdiri goyang, mata dan ingatannya belum begitu baik maka seruan atau panggilan di dekatnya itu didengar. Dan gadis inipun terkejut melihat paman gurunya itu, orang yang tadi memukulnya roboh.

“Tai Tee susiok!”

Ternyata tosu itu adalah Tai Tee Cinjin. Tosu ini mengangguk dan menahan nyeri serta sakit yang hebat. Paku beracun menancap di siku kanannya. Dan ketika Cui Ling berseru dan berlutut di dekatnya, tosu ini menggigit bibir maka Tai Tee Cinjin bangkit duduk menuding gemetar.

“Jahanam itu telah pergi, aku selamat. Tapi paku ini menancap di sikuku, Cui Ling. Ambilkan golok dan bacok lenganku!”

“Apa?” gadis itu terkejut. “Membacok lenganmu, susiok? Maksudmu dibikin cacad?”

“Benar, racun sudah mulai naik ke atas. Paku itu bakal menghentikan denyut jantungku. Cepat, ambil dan bacok lenganku, Cui Ling, dan lihat pengawal Gubernur mulai berdatangan!”

“Tidak tidak, aku tak bisa. Ah, aku tak dapat melakukannya, susiok. Itu perbuatan kejam. Aku tak dapat melakukannya!”

"Bodoh, kalau begitu biar aku yang melakukannya sendiri. Cepat, pengawal mulai tiba!”

Gadis ini mengguguk. Cui Ling ngeri bahwa harus membacok lengan susioknya itu. Ia tak tahu bahwa muka susioknya sudah berubah gelap. Racun mulai menjalar naik dan keadaan tosu ini berbahaya. Tak aneh kalau Tai Tee Cinjin ingin memotong lengannya sendiri, itulah satu-satunya cara untuk tetap hidup dan suara pengawal mulai berdatangan. Banjir darah dan pertempuran di situ akan segera diketahui. Dan ketika gadis ini masih mengguguk dan bingung memenuhi permintaan susioknya, sang paman guru menggeliat maka Tai Tee Cinjin membentak dengan suara berang.

“Cui Ling, kau mau menyelamatkan susiokmu atau tidak. Cepat lakukan atau ambil golok itu, pinto melakukannya sendiri!”

Gadis ini tak tahan. Tiba-tiba ia mendengar jerit lain dan itulah teriakan Teng Bu. Pemuda yang kutung sebelah kaki dan tangannya itu meraung. Tubuhnya tiba-tiba melepuh. Dan ketika Tai Tee Cinjin juga terbelalak dan pengawal ikut terkejut, Teng Bu bergulingan maka pemuda itu mencengkeram dan memukul-mukul dadanya sendiri.

“Aduh, keparat. Jahanam kau, orang she Mo. Jahanam kau. Oohh lebih baik mati daripada begini.... aduh!”

Cui Ling melotot. Teng Bu mencengkeram tubuhnya dan terdengar suara robek, bukan baju melainkan kulit tubuh pemuda itu. Panas yang hebat membakar dari dalam, kulit pemuda ini melepuh dan akhirnya menggelembung. Dan ketika bagian inilah yang pecah dan robek, Teng Bu menjerit dan masih mencabik-cabik maka pemuda itu bergulingan dan akhirnya melolong-lolong. Rasa panas disusul rasa gatal, begitu hebat hingga tak lega kalau tidak digaruk.

Tapi karena setiap garukan membuat kulit pecah, rasa gatal berada di dalam daging maka Teng Bu mencobloskan tangannya dan daging itu terkuak, disusul oleh jeritan dan pekik para pengawal. Mereka ngeri melihat ini. Teng Bu seakan gila. Dan ketika pemuda itu terus bergulingan sambil mencengkeram dan merobek, panas dan gatal benar-benar menyiksanya akhirnya orang menutup mata ketika pemuda itu mencobloskan jarinya keperut.

Kini bukan hanya lengan atau leher saja yang gatal, perut bagian dalampun juga demikian. Usus pemuda ini seakan-akan digigiti semut api. Itulah racun amat ganas dari dari kuku si banci, Ang-su-giat atau Racun Semut Api yang hanya terdapat di daerah utara. Semut ini besarnya seibu jari manusia biasa dan sekali menggigit rasa panas dan gatal tak akan lenyap sebulan. Orang tak mungkin tahan digigit semut ini, seekor saja sudah menyiksa berminggu-minggu. Dan karena racun yang terdapat di kuku di banci itu bukan hanya dari seekor dua ekor Ang-su-giat melainkan beribu-ribu ekor, diambil sarinya dan dahsyatnya bukan main maka pemuda sekuat Teng Bupun tak mungkin tahan.

Rasa panas mula-mula membakar dari dalam, lalu disusul rasa gatal yang membuatnya seperti gila. Dan ketika semua itu terus menjalar dan memenuhi seluruh tubuhnya, paling dahsyat ketika berada di dalam daging atau bagian dalam tubuh maka ketika terasa di usus pemuda ini berada dalam puncak kegilaannya. Teng Bu merobek dan mencoblos perutnya sendiri. Pemuda ini seakan hendak mengambil inti dari rasa gatal itu. Tapi ketika ia mencoblos dan merobek perutnya maka bersamaan dengan itu iapun roboh dan sebagian usus atau jerohannya terdapat di tangan, berlimpah kotoran.

Pemuda ini mandi darah dan keadaannya benar-benar mengerikan. Siapapun tak akan tahan melihat keadaan murid Bu-tong ini. Teng Bu akhirnya tewas dan roboh dengan tubuh rusak. Racun dari Semut Api itu masih menggigitinya. Biarpun tewas namun racun ini terus bekerja, kulit dan tubuh pemuda itu terus melepuh. Dan ketika bengkak dan akhirnya pecah, ledakan kecil terdengar di sana-sini maka tubuh pemuda itu mencair dan bau amat busuk membuat semua orang menutupi hidungnya.

Pengawal dan pembantu Gubernur telah datang. Tak kurang dari seratus orang menonton itu. Dan ketika tulang maupun bagian lain dari pemuda itu juga hancur dan leleh, masuk ke tanah maka Cui Ling muntah-muntah dan saat itulah semua orang menoleh dan baru sadar bahwa masih ada orang lain di situ.

“Heii, rupanya gadis ini yang membunuh. Tangkap!”

Namun saat itu bergerak seorang pemuda. Teng Seng, yang sadar dan telah berdiri tiba-tiba melihat Cui Ling. Kekasihnya pucat dan ngeri memandang seonggok mayat, tak tahu bahwa itulah adiknya, yang hancur dan rusak oleh kekejaman si banci. Dan ketika Teng Seng terhuyung dan berseru kepada semua orang maka pemuda itu mencegah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

“Tahan, jangan serang. Gadis itu orang sendiri. Mana adikku Teng Bu dan kalian mundurlah!”

Namun geraman terdengar di belakang Cui Ling. Tai Tee Cinjin, yang sadar dan pucat melihat tewasnya Teng Bu tiba-tiba meloncat mengerahkan seluruh tenaga. Kebetulan di dekatnya ada seorang pengawal, yang siap dan akan membacok dengan goloknya. Maka begitu ia menghantam dan menyerang orang ini, yang tentu saja berteriak dan menggerakkan goloknya maka tepat sekali golok itu membabat atas sikunya.

“Crakk!”

Tosu itu roboh dan Teng Seng berteriak marah. Lengan tosu itu putus dan pemuda ini berjalan terhuyung, merampas dan menendang pengawal itu, meskipun diri sendiri terjungkal. Dan ketika Cui Ling menjerit dan menubruk susioknya, semua telah terjadi maka gadis itu berseru kepada kekasihnya, mengguguk.

“Seng-ko, jangan salahkan pembantumu. Semua ini disengaja. Tai Tee susiok memang ingin memotong lengannya sendiri untuk menyelamatkan jiwa. Ia terkena paku beracun!”