Wanita Keramat - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Wanita Keramat
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

AWAN kelabu bergulung-gulung bagai ingin menelan matahari. Sang matahari tetap tenang dan acuh tak acuh, seakan yakin kalau dirinya tak akan dikalahkan oleh awan kelabu itu. Hanya saja, sang matahari mulai waswas begitu melihat kabut hitam berarak-arak dari selatan, bagai iring-iringan jenazah di atas langit.

"Firasat buruk," gumam seorang lelaki tua yang berdiri di atas bukit sambil pandangi arak-arakan burung gagak itu. Wajah tuanya mulai memancarkan kecemasan walau tampaknya tenang-tenang saja.

Langkah si tua berjubah ungu itu sengaja dihentikan. Tongkatnya yang tinggi sepundak digenggam kuat-kuat, bahkan sedikit ditekan ke tanah. Si tua berjubah ungu dengan pakaian dalamnya warna putih itu sengaja membiarkan iring-iringan burung gagak melintas di langit atas kepalanya.

"Firasat buruk apa itu, Kek?" tanya seorang gadis bermata bundar bening.

"Akan terjadi musibah besar yang menewaskan orang banyak," jawab si kakek berikat kepala ungu, sama dengan warna jubahnya.

"Ih, ngeri!" ujar gadis berpakaian serba Jingga, jubahnya tanpa lengan warna Jingga, kain penutup bagian dada dan pinggulnya juga warna Jingga, bahkan pedangnya dari sarung pedang sampai gagang dililit kain warna Jingga. la mengenakan kalung dan gelang berbatu jingga. Entah batu apa namanya, yang jelas batu yang menghias sabuknya juga berwarna jingga. Batu di sabuk itu cukup besar, bening, dan berbentuk bulat telur pipih bagian belakangnya.

"Kira-kira musibah apa yang bakal terjadi, Kek?"

"Sebentuk kematian yang mengerikan. Daerah ini tak lama lagi akan dipenuhi oleh puluhan mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Karenanya, lebih baik kita harus cepat tinggalkan tempat ini sebelum musibah melibatkan kita sebagai korbannya."

"Tapi kita harus menemukan Puting Selaksa dulu, Kek. Sebelum menemukan Puting Selaksa aku tak mau tinggalkan tempat ini," ujar si gadis cantik berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu.

"Kita cari di tempat lain saja. Mungkin kakakmu si Puting Selaksa sudah tinggalkan tempat ini, Manggar Jingga."

"Firasatku mengatakan, Puting Selaksa masih ada di sekitar wilayah tanah Mentawai ini, Kek. Barangkali ia disekap oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi. Kita harus menyerang perguruan itu, Kek."

"Sebelum jelas dan pasti, jangan lakukan tindakan gegabah, Manggar Jingga. Salah-salah kita jadi punya banyak musuh hanya karena tindakan gegabah kita."

Sang kakek jubah ungu itu bicara dengan nada bijaksana. Agaknya ia selalu memperhitungkan tiap langkah dan tindakan yang akan diambil agar tidak menimbulkan petaka balik bagi dirinya sendiri. Sikap seperti itu secara tak langsung diajarkan kepada muridnya yang sudah dianggap cucu sendiri itu.

Tetapi si gadis yang ternyata bernama Manggar Jingga itu kurang setuju dengan perhitungan sang Guru. Bahkan menduga sang Guru kali ini bertindak ragu-ragu. Manggar Jingga agak kesal dengan peringatan sang Guru tadi, sementara hati kecilnya telah yakin betul bahwa kakak seperguruannya yang bernama Puting Selaksa itu hilang diculik oleh orang Perguruan Tangan Besi. Tiba-tiba si gadis berhidung bangir dan berbibir mungil itu berbisik kepada gurunya.

"Kek, di belakangku seperti ada orang yang sedang mengawasi kita."

"Sejak tadi aku sudah tahu."

"Bagaimana kalau kugebrak biar dia tahu kalau kita tak suka diintai begini?!"

"Gebrak saja, tapi pelan-pelan."

"Itu namanya bukan digebrak!" ujar sang murid sambil bersungut-sungut.

"Terserah kau sajalah, asal jangan timbulkan permusuhan kepada orang yang belum tentu memusuhi kita!"

Gadis itu berlagak tenang, melangkah ke samping sambil bicara keras kepada sang Guru. "Kek, pemandangan di sini indah sekali. Aku senang berada di sini. Cuma sayang ada yang usil kepada kita, Kek! Mungkin dia maling kurang kerjaan. Maling yang kurang kerjaan harus diberi pelajaran begini...."

Wuuuut...! Tiba-tiba tangan kanan gadis itu menyentak ke belakang dengan tubuh berputar separo lingkaran. Dari tangan yang megar itu keluar angin kencang yang membuat semak-semak tercabut dari tanah.

Wuuus...! Bruuus...!

"Uuhhk...!" suara pekikan terdengar dari orang yang berada di balik semak. Orang itu terlempar ke atas bagai diterbangkan oleh kekuatan besar. Namun begitu merasa dirinya terbang ke udara, orang itu segera bersalto dua kali dan daratkan kakinya ke tanah tanpa bunyi, menandakan ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi.

"Gila! Tenaga dalamnya begitu besar, membuatku terlempar begitu saja. Sial!" gerutu orang yang menjadi tersipu malu mirip maling tertangkap basah.

Sedangkan si jubah ungu dan muridnya sempat terkesip pandangi orang yang tertangkap basah itu. Terutama si gadis, menjadi berdebar dan resah setelah tahu pengintainya adalah seorang pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala dan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih kusam. Pemuda itu membawa bumbung bambu tempat tuak yang kala itu digantungkan di pundaknya.

"Lho, kok malingnya ganteng, Kek?" ujar si gadis dengan nada pelan tapi terdengar di telinga si pemuda tampan bertubuh kekar itu. Pemuda tersebut hanya sunggingkan senyum salah tingkahnya.

"Maling modal tampang memang begitu, Manggar Jingga," ujar si jubah ungu.

"Aku bukan maling!" bantah pemuda tersebut.

"Ah, maling!" sentak si gadis berlagak ketus.

"Bukan! Aku bukang maling."

"Maling!" si gadis makin keras. "Kalau bukan maling kenapa kau mengintai kami di balik semak-semak? Itu namanya maling banci! Kalau bukan banci, mestinya kau berani maling secara terang-terangan!"

Jubah ungu tertawa pelan karena geli mendengar omelan sang murid yang sudah dianggap cucu sendiri itu.

"Maling itu macam-macam!" sambung Manggar Jingga. "Ada maling harta benda, ada maling pusaka, ada maling ilmu, ada maling hati, maling penglihatan, maling suara, dan...."

"Kok justru kau tahu jenis-jenis maling?! Jangan-jangan kau sendiri pakar maling?!" ujar pemuda berkulit sawo matang itu.

"Eh, sembarangan kau bicara. Ya?! Rupanya mulutmu perlu kurobek biar tak bicara sembarangan lagi!"

Sreet...! Si gadis mencabut pedang yang dari tadi ditentengnya dengan tangan kiri. Baru saja ia akan melangkah maju, kakek berjubah ungu itu menahan gerakannya dengan menyilangkan tongkat ke depan.

"Tahan kemarahanmu, Manggar Jingga!"

"Dia kurang ajar, Kek!"

"Yah, nanti kalau kurang ajar, biar aku yang menghajarnya," ujar si jubah ungu.

"Cucumu itu yang kurang ajar mengatakan aku maling, Pak Tua!" sambil pemuda berdada bidang itu menuding si gadis.

"Maklumilah ucapan muridku itu, Kisanak. Dia memang paling tak suka diperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Setiap orang yang mencuri pandang kepadanya selalu dianggap pencuri atau maling."

"Aku tidak bermaksud mencuri pandang kepadanya," si pemuda agak cemberut. "Kebetulan saja aku lewat sini dan mendengar percakapanmu tentang musibah besar yang akan terjadi di daerah ini. Aku tertarik dan ingin mengenalmu, tapi aku harus selidiki dulu siapa kau sebenarnya. Dari golongan hitam atau putih? Tentu saja hal itu tak bisa kutanyakan begitu saja, takut menyinggung perasaanmu, Pak Tua!"

"Jangan terbujuk oleh kelembutan katanya, Kek!" cetus Manggar Jingga dengan wajah cemberut.

Si kakek guru hanya tersenyum tipis sambil melirik si murid. Tapi kejap berikutnya ia menatap pemuda tampan tersebut dan bicara dengan nada kalem. "Kau tak perlu curiga pada kami, Kisanak. Kami bukan orang jahat. Kami datang kemari untuk mencari seseorang. Kami dari Teluk Sendu. Ini muridku yang sudah kuanggap cucuku sendiri, bernama Manggar Jingga. Sedangkan aku dikenal dengan nama Resi Parangkara."

"Apakah kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?"

"Itu sahabat lamaku," jawab Resi Parangkara. "Tapi ia tak pernah menceritakan tentang dirimu, sehingga kami tak tahu siapa dirimu sebenarnya, Anak Muda?"

"Aku bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan...."

"Astaga! Jadi kau yang bergelar Pendekar Mabuk itu, Nak?"

"Betul, Eyang Resi...," sambil Suto membungkuk sebagai tanda hormat.

"Oooo...," Resi Parangkara manggut-manggut. "Pantas kau bisa hindari pukulan 'Badai Lanang' dari muridku. Kalau bukan Pendekar Mabuk, dia akan terlempar dan mengalami luka berdarah di dalam dadanya!" tambah Resi Parangkara sambil melirik muridnya.

Sang murid ternyata tertegun bengong bagaikan patung tanpa berkedip. Rupanya gadis itu mengalami sedikit shock begitu tahu pemuda tampan yang dianggapnya maling itu adalah si Pendekar Mabuk. Nama kondang itu sering didengarnya dan bahkan sering membuat Manggar Jingga penasaran ingin bertemu dan melihat seperti apa wujud si Pendekar Mabuk itu. Ternyata baru sekarang rasa penasarannya itu terlampiaskan sehingga tak heran jika Manggar Jingga menjadi terbengong-bengong tanpa bisa berucap kata sedikit pun. Sepertinya ia tak sadar bahwa matanya membelalak tak berkedip pandangi Suto Sinting dengan bibir merekah bolong.

"Hiisy...!" Resi Parangkara menepiskan tangan di depan wajah Manggar Jingga, dan gadis itu segera terkejut lalu menggeragap salah tingkah.

"Bunuh saja!"

"Apanya yang bunuh saja?!"

"Hmm... eh... apa yang kukatakan tadi, Kek? Bungkus saja?!"

"Hidungmu itu yang dibungkus?!" gumam sang Resi sambil tertawa pelan. Gadis itu jadi tersipu malu. "Orang yang kau anggap maling itu adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak, Sahabatku yang sudah lama tak pernah jumpa. Pemuda inilah yang namanya sering kau bicarakan dan kau tanyakan kehebatan ilmunya padaku, Manggar Jingga!"

"Hmmm, eeh... jadi bukan... bukan maling, Kek?!"

"Ya, bukan! Masa pendekar kondang kok jadi maling?! Kalau toh jadi maling, pasti yang dicuri hatimu!"

"Hmmm...!" gadis itu mencibir seakan tak sudi dicuri hatinya oleh si tampan Suto itu. Tapi raut wajahnya tampak menjadi merah semu begitu membayangkan seandainya hatinya benar-benar dicuri oleh si Pendekar Mabuk.

Sang Pendekar Mabuk sendiri menertawakan kelucuan Manggar Jingga. Tapi tak berani terlalu lama, takut gadis itu semakin berang karena rasa malunya. la segera mengalihkan suasana agar menjadi serius lagi.

"Siapa orang yang kau cari itu, Eyang Resi?!"

"Puting Selaksa, muridku juga. Kakak seperguruan Manggar Jingga yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri."

"Dia pasti tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi yang berada di sekitar tanah Mentawai ini!" timpal Manggar Jingga dengan masih bernada ketus.

"Apakah kau melihat orang Perguruan Tangan Besi membawa si Puting Selaksa?!" tanya Pendekar Mabuk.

"Memang tidak kulihat sendiri. Tapi terakhir kudengar Puting Selaksa bentrok dengan orang Perguruan Tangan Besi di Pantai Karangawu. Dia terluka, lalu pulang ke Teluk Sendu dan diobati oleh Kakek Guru. Hari berikutnya ia pergi tanpa pamit. Dugaanku membalas dendam kepada orang Tangan Besi. Tapi sejak itu ia tak kembali sampai sekarang."

"Sudah dua puluh hari lebih ia tak kembali," timpal Resi Parangkara.

Pendekar Mabuk diam sebentar, matanya memandang keadaan sekeliling dari atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Kejap kemudian ia ingat ucapan Resi Parangkara tadi, maka sambil memandang langit yang masih diselimuti awan kelabu itu, Suto pun segera ajukan tanya kepada sang Resi. "Apakah menurutmu hilangnya Puting Selaksa ada hubungannya dengan musibah yang tadi kau singgung-singgung itu, Eyang Resi?"

"Aku tak berani memastikan. Namun firasatku mengatakan: Perguruan Tangan Besi akan menjadi sumber musibah yang bakal terjadi itu. Setidaknya mayat yang akan bergelimpangan di tanah Mentawai ini kebanyakan berasal dari orang Perguruan Tangan Besi."

"Kakek, ada baiknya kalau kita segera bergerak ke pusat Perguruan Tangan Besi dan menyelidiki tempat itu!" sela Manggar Jingga.

"Menyelidiki tempat itu, memang hal yang baik daripada harus menyerang tanpa alasan dan bukti yang kuat, Cucuku!"

"Kita harus berangkat sekarang, Kek!"

"Aku setuju. Tapi bagaimana dengan Pendekar Mabuk?"

Manggar Jingga melirik ketus, "Persetan dengannya. Aku tak mau tahu apa yang akan dilakukan oleh si maling nakal itu, Kek!"

Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Aku pun tak akan ikut campur urusanmu, Manggar Jingga. Kurasa kita memang harus berpisah sekarang juga, sebab aku pun punya perjalanan sendiri."

"Maafkan sikap muridku yang mungkin kurang berkenan di hatimu, Maling Nakal, eeh.... Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara sempat salah ucap.

"Tak ada masalah bagiku, Eyang Resi. Kuharap, kau dan Manggar Jingga bukan penyebar musibah itu walau ternyata nantinya si Puting Selaksa memang ada di sana."

"Kau jangan menggurui guruku, Maling Nakal!"

"O, tidak! Aku hanya berharap saja. Tapi kalau kau merasa pantas menjadi penyebab musibah di sana, silakan saja. Itu bukan urusanku."

"Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara dengan kalem dan bijaksana. "Percayalah, musibah itu akan datang bukan dari pihakku, tapi dari pihak lain."

"Syukurlah! Sebaiknya, aku mohon pamit lebih dulu sebelum kalian pergi ke sana!"

"Jaga dirimu baik-baik, Nak! Sampaikan salamku kepada Kangmas Gila Tuak jika kau bertemu beliau!"

"Akan kusampaikan salammu, Eyang Resi!" seraya Suto sedikit membungkuk dan menyatukan telapak tangan di dada sebagai sikap berpamit. Setelah itu, sang Pendekar Mabuk langkahkan kakinya menuruti bukit tersebut.

Resi Parangkara memandanginya dengan senyum penuh kharisma. Sedangkan Manggar Jingga memandang dengan wajah keruh dan tampak menyesali kepergian Pendekar Mabuk.

"Mestinya tadi Kakek menahannya dan membujuknya agar ikut ke Perguruan Tangan Besi! Jangan malah titip pesan segala!" Manggar Jingga menggerutu dan bersungut-sungut.

"Lhooo... kau tadi tidak ngomong begitu. Coba kalau kau ngomong, maka akan kubujuk dia agar ikut membantu kita mencari si Puting Selaksa!"

"Ya malu kalau aku bicara begitu. Hmmm...! Nanti dia meremehkan diriku dan menganggapku gadis murahan!" ucap Manggar Jingga masih dengan bibir cemberut.

Sang Guru hanya tertawa pelan sambil mendekatinya, lalu menepuk punggung gadis itu. "Kau menyesali kepergiannya?"

"Hmmm...!" Manggar Jingga melengos. Sang Guru semakin geli melihatnya.

* * *

DUA

ESOK harinya, wilayah tanah Mentawai benar-benar dilanda musibah menyedihkan. Perguruan Tangan Besi diserang oleh orang-orang Pulau Boneng. Korban berjatuhan, para murid Perguruan Tangan Besi banyak yang tewas baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Mayat bergelimpangan di mana-mana, dan burung-burung gagak menghampirinya menjalankan tugasnya sebagai burung pemakan bangkai.

Perguruan Tangan Besi dibumihanguskan oleh orang-orang Pulau Boneng. Sebagian murid yang tersisa melarikan diri dan bersembunyi, sementara Ketua Perguruan Tangan Besi ditemukan tewas dalam keadaan tanpa nyawa sedikit pun.

Pada saat terjadi penyerangan besar-besaran itu, Pendekar Mabuk sedang berada di sebuah desa di kaki Bukit Walet. la singgah di situ untuk bermalam dan beristirahat.

Ketika pagi menjelang siang tadi, sang Pendekar Mabuk ingin lanjutkan perjalanannya menuju Lembah Birawa, tiba-tiba ia dikejutkan dengan munculnya orang-orang bergigi tonggos.

Delapan orang bergigi tonggos itu memasuki desa tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang meresahkan penduduk. Merusak beberapa pagar, mengganggu para gadis, menyambar jemuran, meludah di sembarang tempat (termasuk meludah di wajah orang), dan beberapa tindakan kasar lainnya yang membuat para penduduk desa ketakutan.

Pendekar Mabuk masih duduk di dalam kedai tempatnya bermalam, menikmati sarapan pagi yang sudah kesiangan sambil menunggu bumbung bambunya dipenuhi tuak. Saat itu, di dalam kedai ada beberapa pembeli, termasuk seorang wanita berparas cantik dengan bentuk wajah oval dan bertahi lalat kecil di pinggir kiri bibir atasnya. Perempuan itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengenakan pakaian silat lengan panjang warna hijau tua. Rambutnya yang panjang disanggul sederhana dengan sisa rambut terjuntai seperti ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah berbintik-bintik putih.

Badannya sedikit gemuk tapi tinggi, sehingga tidak kentara kegemukannya. Bahkan cenderung kelihatan sekal, kencang, berisi, dan kekar. Perempuan itu dari tadi duduk di sudut ruangan sendirian. Sebilah pedang bersarung kayu hitam digeletakkan di atas meja samping kirinya. Caranya memandang cukup tajam, karena matanya agak besar namun berbentuk indah. Tepian matanya berwarna hitam, seperti pakai maskara. la memang berkesan galak dan angker, tapi Suto Sinting suka melihat wajah seperti itu. Wajah penuh keberanian dan ketegasan itu membuat Suto sering mencuri pandang.

"Mantap sekali perempuan itu! Aku yakin ia adalah perempuan yang tak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup apa pun. Jiwanya keras, keberaniannya tinggi, pendiriannya kokoh, dan... sepertinya ia tak mau diremehkan oleh siapa pun," pikir Suto Sinting sambil berlagak memandangi anak perawan si pemilik kedai yang sedang melayani tamu lain, namun ekor mata Suto tertuju pada si perempuan berpakaian hijau tua itu.

"Aku yakin dia bukan gadis desa ini, atau perempuan dari sini. Bukan. Dia pasti dari tempat jauh. Kulihat caranya melangkah waktu masuk ke kedai ini agak terburu-buru. Tahu-tahu mendekam tenang di pojokan sana. Hmmm... pasti ada sesuatu yang membuatnya harus berada di pojokan itu. Bagaimana kalau kudekati? Nyakar atau tidak, ya?" sambil mulut Suto menikmati ketan bakar sedikit demi sedikit.

Ketika mata Suto sengaja melirik ke arah perempuan itu, bertepatan dengan tatapan mata tajam si perempuan yang mengarah kepada Suto. Pandangan mata mereka bertemu terang-terangan, lalu Suto sunggingkan senyum keramahan, tapi tak mendapat balasan seramah itu. Perempuan tersebut justru buang pandangan ke arah lain dengan wajah cantiknya yang kaku tanpa senyum. Matanya tampak menatap arah luar kedai dengan nanar.

Ki Pulasoma, pemilik kedai tersebut, menyerahkan bumbung tuak yang sudah terisi penuh kepada Suto. Saat itulah Suto sempatkan diri bertanya dalam bisikan kepada Ki Pulasoma. "Siapa perempuan itu, Ki?"

"Entahlah, Nak. Aku baru sekarang melihat perempuan itu. Sangar juga kelihatannya," kata Ki Pulasoma dalam bisikan juga.

"Berarti dia memang bukan perempuan desa ini," gumam Suto dalam hati.

Ki Pulasoma ajukan tanya, "Kalau yang lebih cantik dari dia, di sini banyak, Nak. Anaknya Demang Kawi juga cantik, malah tidak seangker dia. Kalau kau mau cari kekasih, aku bisa mengenalkanmu kepada anak gadisnya Demang Kawi."

Pendekar Mabuk tersenyum. "Aku sudah punya calon istri sendiri. Dyah Sariningrum, namanya. Lebih cantik dari orang yang paling cantik di dunia."

"Lalu, apa maksudmu menanyakan perempuan berbaju hijau itu?"

"Aku yakin dia punya persoalan yang meresahkan jiwanya. Agaknya ia butuh orang untuk bertimbang rasa. Katakan kepadanya, jika ia berkenan, aku akan datang membantunya."

"Baik, akan kusampaikan kepadanya," Ki Pulasoma tersenyum, lalu melangkah mendekati perempuan itu dengan berlagak membersihkan meja yang ada di samping si perempuan. Ki Pulasoma sudah tua, usianya sudah mencapai sekitar enam puluh tahun. Tapi dia paling hobi jika disuruh menjadi comblang.

Suto Sinting geli melihat semangat si pemilik kedai yang kuat diajak ngobrol semalaman. Orang tua itu dulu juga berkecimpung di rimba persilatan. Namun segera tarik diri dan alih profesi menjadi pemilik kedai setelah seluruh teman seperguruannya mati di tangan satu musuh. Hanya dia yang selamat. Keselamatan itu diartikan sebagai teguran dari Sang Pencipta agar dia harus tinggalkan rimba persilatan dan berwiraswasta dengan modal pas-pasan. Ki Pulasoma kembali dekati Suto Sinting dan berkata dalam nada pelan.

"Pesanmu sudah kusampaikan, Nak. Tapi perempuan itu bilang, dia tidak butuh pembantu."

Suto tersenyum sambil manggut-manggut. Matanya sengaja melirik ke arah si perempuan, dan si perempuan menatapnya terang-terangan lagi.

"Kurasa dia butuh teman, Nak. Bukan pembantu."

"Apakah dia bilang begitu?"

"Tidak. Dia perempuan yang tidak suka banyak omong. Tiga kali kutanya baru menjawab satu kali. Tapi menurutku, cobalah kau dekati sendiri dia. Siapa tahu jika sudah berhadapan denganmu, keangkuhannya sebagai perempuan tak banyak omong menjadi luluh."

"Maksudmu luluh?"

"Dia akan berteriak atau menjerit sambil melayangkan pukulan ke wajahmu!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara, sementara Ki Pulasoma juga tertawa dengan suara terkekeh samar-samar. Waktu itu, orang-orang bergigi tonggos belum datang, jadi suasananya masih tenang-tenang saja. Karenanya, pada saat perempuan itu menghembuskan napas cepat satu sentakan dari hidungnya, suara hembusannya terdengar jelas di telinga Suto.

Fuiih...! Wuuus...!

Tiba-tiba ikat kepala Ki Pulasoma terbang bagai dihempas badai kecil. Cangkir-cangkir di meja jatuh dengan isi tumpah berantakan. Baju lengan panjang Ki Pulasoma pun terhempas menyambar wajah Suto Sinting. Mangkuk sambal tumpah tepat di piring Suto yang masih terisi dua potong ketan bakar.

"Angin apa itu tadi, Nak?" bisik Ki Pulasoma.

"Biasa. Dia mulai unjuk gigi," Suto pun berbisik kalem.

"Kurasa tak perlu melayani ulahnya, Nak," bisik Ki Pulasoma.

"Bagaimana kalau aku juga unjuk gigi sebentar?" ujar Suto dengan tersenyum dan memandang Ki Pulasoma, tapi jari tangannya menyentil cepat. Tees...!

Beet, praang...! Gubrrak...!

Sentilan Pendekar Mabuk adalah sentilan yang dapat keluarkan tenaga dalam berkekuatan seperti tendangan seekor kuda jantan. Jurus 'Jari Guntur' itu diarahkan kepada si perempuan berbaju hijau, sehingga apa saja yang ada di atas meja perempuan itu menjadi berantakan. Bahkan perempuan tersebut tersentak ke belakang, bagaikan mendapat tendangan kuat di atas dadanya, ia jatuh menabrak meja belakang dan meja itu menjadi tumbang bersama bangkunya. Bahkan kaki meja patah satu dan bangku panjangnya patah menjadi dua bagian. Perempuan itu menggeram sambil bersusah payah bangkit sambil menyentakkan meja-bangku di sekitarnya.

Braaak...! Wuuut...! Jleeg...!

Pedang di mejanya disambar, wuuut...! Gagangnya digenggam dengan tangan kanan, siap dicabut kapan saja. Ki Pulasoma pejamkan mata saat terjadi kegaduhan itu. Setelah si perempuan bangkit dan memandang Suto dengan sangar, Ki Pulasoma membuka mata pelan-pelan seraya berkata kepada Suto.

"Unjuk gigi boleh saja tapi tak perlu merusakkan kedai ini, Nak."

"Maaf, Ki. Aku akan mengganti kerusakannya," ujar Suto tetap kalem. la memungut poci yang tadi jatuh ke pangkuannya dalam keadaan tuak di dalam poci membasahi celana. la tahu perempuan itu segera menghampirinya dengan wajah berang, sementara orang-orang pandangi mereka dalam ketegangan, tapi Suto Sinting tetap kalem dan memunguti barang-barang yang berantakan karena sentakan napas si perempuan tadi. Ki Pulasoma segera ditarik oleh anak gadisnya yang ketakutan.

"Kenapa masih di situ saja, Pak! Ayo, menyingkir...! Salah-salah perutmu dedel kena pedangnya!" ujar anak gadis Ki Pulasoma.

"Apa maksudmu menyerangku seperti itu, hah?! Mau bikin perkara denganku?!" hardik perempuan itu dengan suara sedikit serak dan agak besar, hampir seperti suara lelaki.

Pendekar Mabuk memandang dengan senyum kalem. "Siapa yang mendahului bikin ulah seperti ini menurutmu?"

Sreet...! Pedang dicabut dari sarungnya, diangkat tinggi-tinggi dan siap ditebaskan untuk membelah kepala Suto Sinting.

"Maaf, Nona. Kepalaku bukan semangka," kata Suto tetap kalem, menjengkelkan perempuan itu, bahkan menjengkelkan orang-orang di sekitarnya.

"Edan itu anak! Sudah tahu mau dibelah kepalanya masih diam di tempat? Apa tak punya kaki buat lari?!" gerutu salah seorang tamu kedai.

"Kau menggangguku lebih dulu, Kunyuk! Jangan salahkan diriku jika kepalamu terbelah menjadi dua bagian! Hiaaat...!"

Teees, beet...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan kembali oleh Pendekar Mabuk. Tenaga dalam yang keluar dari sentilan jari tangannya menghantam pergelangan tangan hingga sebatas siku si pemegang pedang. Tangan itu terpental ke belakang dengan kuat, pedangnya terlempar lepas dari genggaman, perempuan itu terpelanting dan jatuh terduduk di atas bangku panjang. Brruk...!

Klontaang...!

Gigi perempuan itu menggeletuk pertanda menahan sakit. Matanya memancarkan permusuhan yang lebih tajam lagi. Tapi Pendekar Mabuk masih tetap sunggingkan senyum dengan tenang dan sekarang ia bangkit berdiri sambil menenteng bumbung tuaknya.

"Kalau kau tak mau disalahkan, sebaiknya kita bermain di luar kedai saja. Kalau kedai ini rusak, kasihan Ki Pulasoma!"

Suto Sinting melangkah keluar dari kedai lebih dulu. Setiap mata memperhatikan ke arahnya, termasuk perempuan berbaju hijau itu. Suto Sinting tetap melangkah cuek sambil tetap sunggingkan senyum keramahan. Sesekali ia menepuk punggung seorang tamu yang dilewatinya sambil berkata pelan.

"Tenang, bisa kuatasi!"

Suto Sinting sengaja berdiri di bawah pohon depan kedai. la menunggu perempuan itu di sana. Si perempuan segera keluar dengan beberapa lompatan dari meja ke meja dan terakhir mendaratkan kakinya di depan Suto Sinting dengan pedang tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang ada di tangan kiri. Jleeg...!

"Apa maumu sebenarnya, hah?!" bentak perempuan itu dengan suara geram.

"Kulihat kau sedang resah. Kutahu kau punya masalah. Lalu kucoba ingin mendekatimu untuk membantu memecahkan masalahmu. Kurundingkan hal itu kepada Ki Pulasoma. Tapi kau justru pamer kekuatan napasmu yang membuat makananku berantakan. Maka kucoba untuk menegurmu dengan pamer kekuatan juga. Sekarang kedudukan kita satu sama. Terserah kau, mau dilanjutkan dalam bentuk apa pun aku siap!"

"Kau telah mempermalukan diriku di depan orang-orang kedai! Kau harus menerima hukumannya."

"Baik! Aku siap. Tapi tunggu sebentar, aku harus bayar dulu biaya makanku ditambah uang pengganti kerusakan barang-barang itu," kata Suto dengan santai sekali. Lalu ia melambaikan tangan kepada Ki Pulasoma yang memperhatikan dari ambang pintu kedainya.

Ki Pulasoma mendekat, Suto bicara pelan dengan pemilik kedai itu, lalu mengeluarkan uang dari sela-sela ikat pinggangnya. Sesaat kemudian ia berkata kepada perempuan itu. "Kurang dua sikal. Apakah kau punya dua sikal untuk melunasi biaya makanku, biaya makanmu dan mengganti kerusakan itu?"

"Hmmm...!" dengus perempuan itu dengan dongkol. Tapi ia segera mengambil sekeping uang dari sela ikat pinggangnya yang terbuat dari kain merah, lalu uang itu disentilkan ke depan dan ditangkap oleh Suto. Teeb...!

"Oh, lima sikal?! Kalau begitu, tolong kembalinya kau berikan kepada nona cantik itu, Ki!"

"Baaik... baik...! Sebentar, akan kuambilkan kembaliannya," lalu Ki Pulasoma berlari masuk kedai.

Perempuan itu berkata sambil menuding Suto. "Kalau kau bisa menahan tiga jurusku, kau baru boleh membantuku! Hiaaat...!"

"Tunggu dulu!" sergah Suto yang membuat perempuan itu hentikan gerakannya. Lalu, Suto melanjutkan ucapannya dengan kalem. "Uang kembalianmu belum diberikan Ki Pulasoma! Nanti kau lupa kalau sudah asyik bertarung denganku!" Setelah bicara begitu, Suto tersenyum lebar. Tenang sekali.

"Aku tak butuh uang kembalian! Hieaaat...!"

Bet, bet, bet...! Weess...!

Perempuan itu menyerang Suto dengan tebasan pedang yang sulit dilihat gerakannya oleh mata orang biasa. Tapi Pendekar Mabuk hanya bergerak meliuk-liuk bagai orang mabuk sempoyongan. Tapi gerakan itu patah-patah dan mampu hindari tebasan pedang beberapa kali. Sampai akhirnya Pendekar Mabuk sengaja berlutut satu kaki, telapak tangan kirinya menyodok perut perempuan itu dengan telak.

Wuut, buuhk...!

"Heeehk...!" Perempuan itu terlempar mundur bagaikan kapas terbang, lalu jatuh membentur dinding kedai. Braak...! Dinding kedai itu jebol. la menyeringai menahan sakit dengan menggigit bibirnya. Tapi ia segera bangkit dan menarik napas panjang. Saat itu Ki Pulasoma datang menyerahkan uang kembalian sebanyak tiga sikal.

"Ini kembaliannya, Non!"

"Tak perlu, Ki!" seru Suto. "Anggap saja kembalian itu uang pengganti dinding kedaimu yang baru saja jebol itu!"

"Tap... tapi...."

"Simpan saja untuk pengganti dinding ini!" gertak perempuan itu.

"Iya, tapi... kurang kalau cuma segini, Nona?"

Perempuan itu penasaran dan tak pedulikan ucapan Ki Pulasoma lagi. la segera lakukan lompatan cepat menerjang Pendekar Mabuk dengan pedang ditebaskan sebagai pemenggal leher. Wees...!

Traang...! Suto Sinting berhasil menangkis tebasan pedang menggunakan bumbung tuaknya. Bumbung bambu itu tidak mengalami luka atau lecet sedikit pun. Bahkan benturannya dengan pedang menimbulkan bunyi bagaikan pedang menebang besi, karena bumbung tuak itu adalah bumbung sakti yang terbuat bukan dari sembarang bambu. Sayangnya Suto Sinting sedikit lengah. Siku kirinya naik saat menangkis pedang tadi. Dan kaki perempuan itu berhasil menendang ke samping, tepat kenai tulang rusuk Suto.

Beet...! Buuhk...!

"Aaow...!" Suto memekik sambil terlempar jatuh berguling-guling. Tulang rusuknya terasa patah, karena tendangan itu bertenaga dalam cukup besar. la bangkit dengan terhuyung-huyung. Si perempuan tak mau membuang kesempatan. Melihat lawannya mulai lemah, perempuan itu segera lepaskan tendangan putar tiga kali.

Wut, wut, wut...!

Sayang tendangannya tidak kenai sasaran karena Suto Sinting telah berpindah tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mempunyai kecepatan gerak seperti kecepatan cahaya itu. Zlaaap...! Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada di bawah pohon lagi, menenggak tuaknya dari bumbung itu dengan santai, tindakan tersebut membuat beberapa mata yang menyaksikan menjadi tercengang kagum dan terheran-heran terhadap kecepatan gerak si Pendekar Mabuk.

"Edan! Orang kok gerakannya seperti setan lewat!" gumam salah seorang penonton yang ada di samping kedai.

Pada saat itulah, perhatian mereka segera beralih ke arah selatan. Karena di arah selatan terdengar suara ribut-ribut, jerit para perempuan bersahutan dan ayam-ayam berkeok sambil beterbangan.

"Ada apa di sana itu...?!" seru seseorang dari dalam kedai.

Pendekar Mabuk dan perempuan itu juga memandang ke arah selatan. Mereka melihat orang-orang berpakaian hitam sedang bikin keonaran sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba perempuan itu segera melompat masuk kedai melewati dinding kedai yang hanya separo badan itu. Wuuut...! Pendekar Mabuk berkerut dahi dan mulai membatin.

"Mengapa dia kelihatannya takut dengan orang-orang itu?!" Suto penasaran, kemudian ikut-ikutan melompat masuk kedai lagi. Wees...! la memandang perempuan berbaju hijau yang tampak terburu-buru menuju dapur.

"Hei, tunggu...!" seru Suto Sinting yang segera mengejarnya dengan beberapa lompatan.

Teeb...! Tangan Suto berhasil mencekal pundak perempuan itu. Si perempuan mengibaskannya dalam satu sentakan putar. Wuuut...! Plaaak...!

Suto Sinting terpelanting dan membentur dinding. Pada saat itulah ujung pedang perempuan tersebut sudah berada di depan leher Suto dalam jarak kurang dari setengah jengkal. Keadaan itu membuat Suto tak berani bergerak, terlebih setelah melihat mata perempuan itu memancarkan kemurkaan yang serius dan suaranya menggeram saat keluarkan ancaman maut.

"Berani menggangguku lagi, kurobek batang lehermu sekarang juga!"

"Oh, hmmm, anu, eehh...," Suto agak gugup walau tersenyum malu dan salah tingkah.

"Kuharap hentikan ulahmu yang memuakkan itu! Biarkan aku pergi hindari orang-orang Pulau Boneng itu!"

"Oh, ya... tentu saja akan kubiarkan kau pergi. Tapi... mengapa kau harus pergi?! Kulihat jurus-jurusmu tadi cukup hebat. Kurasa mereka bisa kau tumbangkan dalam waktu singkat."

"Aku tak mau terlibat urusan dengan mereka, karena mereka terlalu lemah bagiku!"

"Lalu... lalu mengapa kau takut kepada mereka dan harus menghindar? Apakah mereka mencarimu?" Suto bicara dengan senyum kaku patah-patah, karena ia masih dalam ancaman pedang runcing perempuan tersebut.

"Mereka menyangka aku orang Perguruan Tangan Besi! Mereka akan membunuhku, karena mereka sedang bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Tangan Besi!"

"Oh, kurasa... kurasa kau memang takut kepada mereka dan mengaku bukan orang Perguruan Tangan Besi. Hmmm... hanya segitukah nyalimu?!"

Pedang lebih ditekan lagi hingga ujungnya menempel dingin di kulit leher Suto. "Aku bukan orang Perguruan Tangan Besi, Kunyuk!" geram perempuan itu. "Aku orang Teluk Sendu!"

Pendekar Mabuk terperanjat dalam hati mendengar nama Teluk Sendu disebutkan. la segera ingat Resi Parangkara dan si Manggar Jingga yang kemarin bertemu dengannya. Namun sebelum Suto mengatakan sesuatu, perempuan itu segera turunkan pedangnya sambil menghempaskan napas panjang-panjang.

"Sekali lagi kuingatkan, jangan menahanku di sini kalau kau ingin panjang umur!"

Perempuan itu berbalik dan ingin melangkah keluar melalui pintu dapur kedai. Tapi Pendekar Mabuk yang masih tetap berdiri merapat dinding itu segera berseru kepada perempuan tersebut.

"Apakah kau kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga?!"

Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti bagaikan patung. la tak segera berpaling, namun seperti terkesiap kaget mendengar ucapan Suto tadi.

"Kalau kau memang orang Teluk Sendu, kau pasti kenal dengan Resi Parangkara!"

Kini perempuan itu berbalik pelan-pelan dan memandang Suto dengan dingin. la melangkah lamban sampai akhirnya beradu pandang dalam jarak satu langkah di depan Suto. "Sejak kapan kau mengenal guruku?"

"Gurumu yang mana? Aku hanya kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga."

"Itu nama guruku! Manggar Jingga adalah adik seperguruanku!"

"O, kalau begitu kau adalah..." Suto berpikir sejenak, lalu menyambung kata-katanya lagi. "Kau adalah si Puting Selaksa?!!"

Perempuan itu menghempaskan napas lagi, seperti membuang gumpalan murka yang menyesakkan dada. "Ya, aku memang Puting Selaksa!" ucapnya dengan tegas. "Siapa kau sebenarnya?!"

"Sahabat baru Resi Parangkara dan Manggar Jingga," jawab Suto dengan senyum dingin. Wajah perempuan itu tetap datar tanpa perubahan sedikit pun.

Anak gadis Ki Pulasoma menegur Suto dari belakang. "Kang, kalau tarung mbok jangan di dapur. Nasi liwetku bisa hangus kalau begini. Tarunglah di luar sana, mumpung sedang ada keributan!"

Pendekar Mabuk dan Puting Selaksa sama-sama pandangi anak gadis si pemilik kedai itu.

* * *

TIGA

KALAU saja Suto tidak berkata kepada Puting Selaksa, "Tetaplah di dalam kedai, aku akan mengusir orang-orang itu dulu. Kasihan penduduk desa ini dibuat bulan-bulanan mereka. Nanti kita teruskan percakapan kita," tentunya Pusing Selaksa sudah tinggalkan desa itu melalui pintu dapur.

Tapi karena Pendekar Mabuk berpesan begitu, maka Puting Selaksa tak jadi keluar dari kedai. la justru menonton cara Suto menghadapi orang-orang bergigi mancung yang ternyata adalah orang-orang dari Pulau Boneng itu. Puting Selaksa menyaksikan hal itu dari belakang dua pengunjung kedai yang tadi sedang makan saat Puting Selaksa cekcok dengan Pendekar Mabuk.

Tujuh orang berpakaian serba hitam dan berbadan besar-besar itu mengepung Suto setelah salah seorang temannya dilemparkan oleh Suto dengan satu tendangan kaki, hingga orang itu terbang ke atas tinggi-tinggi dan jatuh terbanting bagaikan nangka busuk jatuh dari pohon. Orang itu sempat mengalami patah tulang pada ujung pundak kanannya.

"Keparat busuk!" sentak seorang berikat kepala kuning dengan gigi seperti centong nasi.

"Apa kesalahan temanku ini hingga kau berani memperlakukan dia dengan seenak perutmu, hah?!"

"Apa kesalahan penduduk desa ini sehingga kalian bertindak seenak tengkuk kalian sendiri?!" Suto Sinting balas bertanya sambil melecehkan mereka.

"Sikat sajalah! Jangan banyak tanya lagi!" seru seorang yang berada di samping kiri Suto. Mata Pendekar Mabuk mulai pandangi mereka satu persatu dengan seulas senyum tipis tetap mekar di bibirnya.

"Hei, Bocah Edan...!" seru yang berikat kepala kuning. Agaknya dia adalah ketua dari delapan orang itu.

"Ketahuilah, Bocah Edan... kami datang ke sini karena mengejar buronan kami! Seorang perempuan berpakaian serba hijau telah melarikan diri masuk ke desa ini! Tapi orang-orang desa ini mengaku tidak melihat perempuan itu! Mereka harus dipaksa dengan cara sekasar apa pun supaya mau tunjukkan di mana perempuan berpakaian serba hijau itu."

"Kalau perlu, paksa juga dia!" celetuk orang yang ada di belakang si ikat kepala kuning Itu. Suto hanya melirik orang itu sekejap sambil menahan napas. Kemudian orang berikat kepala kuning itu berkata dengan suara lantang.

"Ya, kurasa kau pasti tahu perempuan itu ada di mana!"

"Mengapa kau mencarinya?" tanya Suto dengan kalem.

"Dia harus dibunuh! Karena dia adalah orang Perguruan Tangan Besi!"

"Dia bukan orang Tangan Besi. Kalian salah duga! Dia justru bermusuhan dengan orang Tangan Besi."

"Bohong!" bentak yang berikat kepala biru sambil maju dengan mencabut golok besarnya dari pinggang. Sraaang...!

"Kami pergoki dia melarikan diri dari padepokan perguruannya!"

"Itu karena dia pergunakan kesempatan untuk larikan diri dari padepokan itu!" bantah Suto setelah sebelumnya mendapat penjelasan dari Puting Selaksa tentang nasibnya yang tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, karena ia akan dinikahi oleh Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa itu. Puting Selaksa ditawan di kamar bawah tanah, sehingga tak seorang pun bisa menemukannya, termasuk Resi Parangkara dan Manggar Jingga yang gagal menemukan dirinya di padepokan perguruan tersebut.

"Bukoro, hajar anak ingusan ini!" perintah orang berikat kepala kuning.

Orang yang bernama Bukoro itu berbadan penuh tato di bagian dadanya. Baju hitamnya terbuka lebar, sehingga bagian dada dan perutnya tampak jelas dipenuhi oleh tato aneka gambar, termasuk gambar naga, kelabang, pedang, piring, sendok, serbet makan, dan sebagainya. Bukoro bertubuh tinggi besar dan bermata lebar. Kumisnya lebat, tapi kepalanya tandus alias gundul. Dengan menggeram sangar Bukoro menghantam wajah Suto kuat-kuat.

Ceprooot...! Suto Sinting terpental dan jatuh terpelanting. Tangan Bukoro mencengkeram punggung baju Suto, lalu mengangkatnya dan menghantamkan kembali kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi itu.

Ceprrot...! Buuhk...! Plaak...! Buhk, buhk, buhk...! Suto jatuh terkapar dan diinjak dadanya dengan hentakan kaki kuat. Baaahk...!

"Uuhk...!"

Wajah Suto diinjak oleh kaki besar itu. Prrokk...!

Lalu digilas-gilas kuat-kuat seperti mematikan puntung rokok.

"Hhmmrr...! Modaaarr... modaaar... modaaaaarr...!!" geram Bukoro dengan wajah bengis.

Orang-orang yang menyaksikan adegan itu saling terbengong melompong, termasuk Puting Selaksa sendiri. Mereka melihat jelas Suto Sinting dihancurkan oleh Bukoro, sementara Suto tidak memberi perlawanan atau tidak menghindar sedikit pun. Bahkan ketika Bukoro menginjak perut Suto, lalu kaki kanannya menghentak-hentak di dada Suto, anak muda yang tampan itu tetap tidak melakukan perlawanan.

Tetapi yang membuat para penonton terkesima dan terbengong melompong tanpa suara adalah tingkah orang-orang Pulau Boneng lainnya itu. Para pengepung Suto Sinting berjatuhan, mengerang kesakitan, berlumur darah, terkapar dengan menghentak-hentak. Bahkan ada beberapa orang yang menyemburkan darah segar dari mulutnya saat Bukoro menjejakkan kakinya ke dada Suto berkali-kali. Orang berikat kepala kuning juga mengalami nasib serupa; babak belur dan nyaris hancur.

"Aaahk, uuhk... heeehk... aaooh...."

Seruan kesakitan yang terlontar dari mulut para pengepung itu tidak dihiraukan oleh Bukoro. Orang berdada penuh tato itu justru semakin bernafsu ingin meremukkan kepala Suto dan jika bisa menghancurkan sekujur tubuh anak muda tersebut. la melonjak-lonjak di atas perut dan dada Suto bagai anak kecil kegirangan setelah mendapat permen dari ayahnya.

"Modar, modar, modar, darmo, darmo, darmo...!" geram Bukoro, lalu berhenti sendiri dan berkata, "Lho, Darmo itu kan nama mertuaku?!"

Saat itulah Bukoro terkejut melihat tujuh temannya terkapar dalam keadaan terluka parah. Wajah mereka bukan saja memar, namun menjadi bonyok seperti mangga busuk terinjak-injak. Bahkan si ikat kepala kuning giginya yang mancung itu sempat pecah dan berlumur darah.

Bukoro turun dari atas tubuh Suto Sinting. Matanya memandang tegang ke sana-sini, dan segera menyadari bahwa tinggal dirinya sendiri yang masih bisa berdiri tegak di antara ketujuh temannya. Sedangkan Pendekar Mabuk segera bangkit dan berdiri dengan kaki sedikit merenggang. la tampak sehat, segar, tak mengalami luka sedikit pun. Bahkan ia sempat sunggingkan senyum ketika melirik ke arah kedai, dan melihat Puting Selaksa memandang tegang dari balik pohon.

Puting Selaksa tadi nyaris maju menerjang Bukoro ketika melihat Suto diinjak-injak dan dihajar habis-habisan tanpa memberi perlawanan. Puting Selaksa sempat merasa jengkel kepada Suto yang tak mau membalas serangan lawan. Tapi begitu ia melihat tujuh orang Pulau Boneng itu mengalami luka parah, rata-rata pecah gigi, maka Puting Selaksa tunda niatnya dan membatin dalam hatinya.

"Gila! Ilmu apa yang dipakai oleh pemuda sinting itu?! Dia yang dihajar habis-habisan tapi justru teman lawannya yang menjadi hancur dan babak belur begitu?! Benar-benar sinting ilmu si kunyuk tampan itu!"

Tentu saja Puting Selaksa ataupun siapa saja terheran-heran, sebab mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk mempunyai ilmu 'Alih Raga' yang digunakan jika dalam keadaan terkepung lawan lebih dari lima orang. Ilmu 'Alih Raga' itu digunakan pada saat Suto memandangi para pengepungnya satu persatu. Pada saat itulah, seluruh rasa yang ada pada raga Suto dialihkan ke raga lawan-lawannya. Maka ketika Suto dipukul keras-keras, yang merasa sakit adalah para pengepungnya. Begitu pula ketika Suto Sinting diinjak-injak Bukoro, yang merasa terinjak-injak adalah para pengepungnya.

Ilmu langka pemberian dari si Gila Tuak itu kini telah dicabut kembali oleh Suto dengan cara memandangi lawannya satu persatu. Terakhir kalinya, Suto memandang Bukoro yang wajahnya menjadi merah padam karena tujuh temannya dalam keadaan bonyok dan luka parah. Bukoro mulai sadar bahwa ia telah diperdaya oleh ilmunya si pemuda tampan itu. Bukoro menjadi semakin berang. Maka ia pun berteriak melepaskan murkanya sambil menuding Suto.

"Kau telah menggunakan ilmu setan keparat itu, hah?! Sekarang saatnya kau dan aku beradu nyawa sampai mati! Heeaaaahh...!!" Bukoro berlari dua langkah lalu melompat menerjang Suto.

Tapi dengan gerakan jurus mabuknya yang menggeloyor seperti mau tumbang, terjangan Bukoro berhasil dihindari oleh Pendekar Mabuk. Tubuh orang tinggi besar itu nyelonong lewat atas pundak Suto. Ketika kakinya mendarat di tanah belakang Suto, tiba-tiba ia dikejutkan oleh datangnya sesuatu dari atas bagaikan turun dari langit. Sesuatu yang bergerak itu tak lain adalah tubuh Pendekar Mabuk yang bersalto ke belakang. Tubuh itu melambung dan kedua kakinya hinggap di pundak kanan-kirinya Bukoro. Jleeg...! Kemudian kepalan tangan Suto menghantam ubun-ubun Bukoro dengan keras.

Proook...!

"Huaaaaaa...!!" Bukoro menjerit keras-keras, telinganya semburkan darah dan mulutnya pun memuncratkan darah segar. la mendelik dalam keadaan berdiri kaku, sementara Pendekar Mabuk lakukan lompatan bersalto ke depan satu kali. Wuuuk...! Begitu tiba di tanah, kakinya menendang ke belakang dengan kuat. Wuuut, buuhk...!

"Huaaahk...!" pekik Bukoro sambil tersentak. Tubuh tinggi besar bertato banyak itu tumbang mencium tanah bagaikan pilar runtuh. Brrrruuk...!

"Oooooohhkk...!" Bukoro mengerang-ngerang seperti kerbau tak mampu telentang. Kedua tangan dan kakinya mengais-ngais tanah, seakan tak mampu menopang tubuhnya untuk bangkit kembali.

Zlaaap...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk bagaikan hilang dari tempatnya. Padahal ia bergerak cepat pindah tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Puting Selaksa dan membuka bumbung tuaknya, lalu menenggak tuak tiga tegukan.

Glek, glek, glek...!

Mendengar suara tegukan orang minum, Puting Selaksa cepat palingkan pandang ke belakang. la terkejut melihat Pendekar Mabuk sudah ada di belakangnya. Namun rasa kagetnya itu disembunyikan rapat-rapat, sehingga ia tetap kelihatan tenang, seakan tak mempunyai rasa kagum sedikit pun terhadap ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk itu.

"Kurasa sudah saatnya kita tinggalkan desa ini, Puting Selaksa."

Perempuan itu menarik napas mempertenang dirinya agar tampak lebih tegar dan lebih mantap dalam bersikap. "Bagaimana dengan orang-orang itu?"

"Apakah kau inginkan aku mengantar pulang mereka satu persatu?"

"Yang kumaksud, mereka akan menuntut balas padamu! Sekarang kau menjadi punya urusan dengan orang-orang Pulau Boneng itu."

"Lebih baik mereka berurusan denganku daripada harus mengganggu penduduk desa yang tak berdosa itu!" tegas Pendekar Mabuk yang membuat Puting Selaksa tarik napas lagi. Kemudian ia melemparkan pandangannya kepada orang-orang Pulau Boneng itu.

Mereka saling berdiri dengan mengerang kesakitan. Si pemakai ikat kepala kuning memerintahkan anak buahnya untuk segera pergi. Maka mereka pun segera pergi dengan sempoyongan bagai tak bertenaga lagi. Bahkan Bukoro sebentar-sebentar jatuh merangkak karena menahan luka parah yang nyaris melenyapkan nyawanya.

"Laforkan fada ketua!" ucap orang berikat kepala kuning itu dengan bahasa yang kacau karena kerusakan giginya membuat ia tak bisa menyebutkan huruf P.

Ketika Puting Selaksa berpaling ke belakang untuk bicara lagi dengan Pendekar Mabuk, ternyata pemuda itu sudah berada jauh dari langkahnya. Suto sedang menuju ke perbatasan desa. la ingin meninggalkan desa tersebut.

"Aku perlu bicara dengannya!" ucap Puting Selaksa yang segera mengejar Suto dengan langkah peringan tubuh yang cukup tinggi.

Wes, wes, wes...! Ketika menengok ke belakang, Suto melihat perempuan berpakaian hijau sedang mengejarnya. la pun segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menguji kecepatan gerak perempuan itu. "Dapatkah ia menyusulku?!"

Zlaaap, zlaaap...!

Wees, wees, wees..!

Zlap, zlap, zlap...!

"Tungguuu...!" teriaknya dari kejauhan.

Pendekar Mabuk tertawa sendiri, merasa unggul dalam gerakan. Tanpa terasa mereka sudah berada jauh dari desanya Ki Pulasoma. Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di balik gugusan batu sebesar rumah yang ada di kaki bukit cadas tak seberapa tinggi itu. Bayangan batu besar itu menciptakan keteduhan tersendiri. Hembusan angin dari pepohonan di sekitar tempat itu begitu semilir menyejukkan.

Beberapa saat setelah Suto duduk di bawah batu besar itu, Puting Selaksa baru sampai dan segera hentikan langkahnya begitu melihat Suto ada di tempat itu. la menghembuskan napas panjang, sepertinya merasa lega karena Suto ada di situ. la tadi sempat menyangka kehilangan jejak Pendekar Mabuk, sehingga ia sempat dibuat cemas oleh dugaannya sendiri.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum ketika perempuan itu menatapnya tanpa seulas senyum sedikit pun. Wajah si Puting Selaksa justru tampak dingin dan berkesan angkuh-angkuh galak. Tepian matanya yang berwarna hitam itu sempat merentangkan bulu kuduk Suto saat dipandang selama dua helaan napas.

"Mengapa kau memandangku demikian?" tanya Suto pada akhirnya.

"Kau belum menyebutkan namamu!" jawab Puting Selaksa dengan tegas.

Pendekar Mabuk tertawa pelan sambil lemparkan pandangan ke arah lain. "Panggil saja aku: Suto!"

"Suto siapa?!" desak Puting Selaksa sambil mendekat. la masih berdiri di depan Pendekar Mabuk, sehingga tubuhnya yang tinggi itu membuat Pendekar Mabuk terpaksa memandang dengan sedikit mendongak.

"Apakah aku perlu menyebutkan nama lengkapku?"

"Perlu!"

Suto tertawa pendek. "Baiklah. Nama lengkapku: Suto Sandi Irawan Nayaka Teja Indra Nuri Gana...."

"Itu nama penduduk kampung mana saja?"

"Itu nama lengkapku. Cuma, orang-orang sering menyingkat nama belakangku itu menjadi Suto Sinting."

"Hmmm...," Puting Selaksa manggut-manggut. "Jadi kata Sinting tadi adalah kependekan dari nama panjangmu itu?"

"Betul."

"Siapa tadi nama panjangmu?"

"Hmmm... ah, lupa!" ujar Suto sambil tertawa sendiri. Puting Selaksa hanya tersenyum tipis berkesan sinis.

* * *

EMPAT

SEBUAH batu setinggi betis dipakai duduk oleh Puting Selaksa. la duduk menghadap ke arah Suto dengan kaki merenggang tegak. la tidak seperti layaknya seorang perempuan jika duduk berhadapan dengan lelaki. la kelihatan mantap dan gagah, sedangkan Suto Sinting duduk di batu yang lebih rendah dari tempat duduk Puting Selaksa.

"Lahiriahnya saja perempuan. Jangan-jangan jiwanya lelaki tulen," pikir Suto Sinting dengan usil, lalu ia tertawa sendiri dalam hatinya.

"Aku kagum dengan ilmu yang kau pakai melawan delapan orang tadi," ujar Puting Selaksa terang-terangan. Agaknya ia seorang perempuan yang sportif, selalu mengakui keunggulan lawan dan tak malu mengakui kekurangannya. Sambungnya lagi dengan siku menopang di pahanya. "Berapa lama kau terjun ke rimba persilatan?"

"Baru saja," jawab Suto Sinting seenaknya. "Mengapa kau tanyakan hal itu?"

"Gerakanmu sudah bisa dianggap sempurna."

"Tidak ada yang sempurna bagi manusia," ujar Suto setelah tersenyum meremehkan pujian tak langsung itu. "Menang atau kalah, bagiku tak penting. Sekarang yang sedang kupikirkan bukan dendam orang-orang bergigi mancung itu, tapi justru keadaan dirimu."

"Keadaan yang bagaimana maksudmu?" tanya Puting Selaksa dengan suaranya yang agak besar dan sedikit serak itu.

"Mengapa kau sampai ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, sementara Manggar Jingga dan gurumu kebingungan mencarimu?"

"Di kedai itu sudah kujelaskan, Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa sangat bernafsu sekali untuk memperistriku. Tapi aku menolak dan menyatakan lebih baik mati di tangannya daripada menjadi istrinya yang keempat!"

"Yang keempat? Wow...?!" Suto mendelik sambil tertawa pendek.

"Tapi rupanya Jagalawa tetap bersikeras berusaha memperistriku. Dia sengaja menyiksaku dalam kamar tahanan di bawah tanah. Aku tak diberi makan selama tujuh belas hari, tak mendapat cahaya selama tujuh belas hari, dan selama itu pula aku tak diizinkan tidur. Setiap aku mau tertidur, pintu terali yang dilapisi tenaga dalam itu dipukul keras-keras oleh penjaganya, sehingga aku tersentak bangun."

"Sebesar itukah cinta si Jagalawa kepadamu?"

"Dia tidak mencintaiku!" ujar Puting Selaksa setelah tersenyum pendek dan sinis sekali itu.

"Kalau tak mencintaimu, mengapa ia bersikeras memperistrimu? Apakah ketiga istri Jagalawa tak ada yang secantik dirimu?"

Puting Selaksa melirik sebentar, kesannya seolah-olah ia tak suka dipuji kecantikannya secara tak langsung. Namun Suto yang sudah berpengalaman menelusuri seluk-beluk hati perempuan itu yakin betul, bahwa Puting Selaksa berdebar-debar saat dirinya dipuji sebagai perempuan yang cantik.

"Ketiga istri Jagalawa mempunyai kecantikan yang lebih tinggi dariku," kata Puting Selaksa sambil memainkan ranting kering sepanjang satu jengkal. "Tetapi anehnya, ketiga istri Jalagavva itu ikut membantu membujukku agar mau diperistri oleh Jagalawa."

"Aneh...?!" gumam 'Suto Sinting. "Mengapa mereka sampai begitu?"

"Jika aku mau menjadi istri Jagalawa, maka aku akan diberi hak dan kuasa lebih tinggi dari ketiga istrinya itu, dan aku akan diangkat menjadi ketua dua dalam perguruan tersebut. Bahkan Jagalawa bersedia turunkan seluruh ilmunya kepadaku."

Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil menggumam pelan. "Sepertinya ada sesuatu pada dirimu yang dipandang sangat istimewa oleh Jagalawa."

"Memang begitu," jawab Puting Selaksa. "Dan orang yang berniat memperistriku seperti Jagalawa sudah ada empat lelaki. Salah satu di antaranya adalah Adipati Wijanarka."

"Baru kudengar nama itu," gumam Suto.

"Adipati Wijsnarka bersedia menyerahkan separo bagian dari wilayah kadipatennya menjadi tanah milikku jika aku mau menjadi istrinya. Bahkan separo kekayaan sang Adipati akan menjadi hak milikku, ia bersedia menceraikan kedua istrinya dan hanya beristrikan satu perempuan saja, yaitu aku seorang. Tapi... lamaran itu pun kutolak."

"Hebat! Hebat sekali bualanmu," ucap Suto lirih.

"Aku tidak membual. Tapi kalau kau merasa sedang kubohongi, sebaiknya keteranganku cukup sampai di sini saja!" tegas Puting Selaksa yang tersinggung dengan gumam Pendekar Mabuk tadi.

"Aku hanya bercanda," kata Suto sambil nyengir. "Teruskan ceritamu itu. Aku suka mendengar cerita seperti itu."

Puting Selaksa melirik dingin, karena ia tahu ucapan Suto itu tidak tulus, dan hanya sebagai pujian pemancing semangat belaka. la membiarkan Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, bahkan sempat terbungkam sambil merasakah semilir angin di keteduhan itu.

"Aku menyimaknya dengan sungguh-sungguh, Puting Selaksa. Teruskan ceritamu itu," bujuk Pendekar Mabuk sambil pandangi wajah cantik yang mempunyai bibir agak tebal namun sensual itu.

"Seorang saudagar dari tanah seberang juga ingin melamarku dan memberi jaminan kekayaan yang tak habis dimakan tujuh turunan. Saudagar Itu sempat memaksaku dengan menyuruh orang kepercayaannya untuk melumpuhkan ilmuku. Orang kepercayaan saudagar ini sampai sekarang masih mengejar-ngejarku terus. Tapi tentunya ia kehilangan jejakku ketika aku tertawan oleh Jagalawa."

Sehelai daun melayang jatuh di pangkuan Suto Sinting. Pendekar Mabuk memungutnya dan daun itu dipermainkan secara iseng sambil mengomentari ucapan Puting Selaksa tadi. "Secara jujur saja dan jangan tersinggung, menurutku kau perempuan yang wajar-wajar saja. Tak kulihat ada sesuatu yang istimewa pada dirimu, kecuali bentuk tubuhnya yang tinggi, kekar dan mengagumkan. Kecantikanmu adalah kecantikan yang wajar. Secara sepintas aku tadi mengukur ilmumu, juga termasuk wajar-wajar saja. Artinya, ilmu yang kau miliki memang cukup tinggi, tapi tidak mempunyai keistimewaan. Misalnya saja, kau bisa menembus matahari atau bisa membuat rembulan runtuh ke bumi. Tidak begitu!"

"Aku suka dengan caramu menilai!" kata Puting Selaksa dengan tegas sambil matanya menatap dengan berani kepada Pendekar Mabuk.

"Tapi yang kuherankan, mengapa seorang adipati, seorang saudagar, seorang ketua perguruan, dan yang lainnya... begitu bernafsu sekali ingin memperistrimu?! Apakah mereka terkena 'aji pengasihan' darimu?"

Puting Selaksa tampakkan senyum sinisnya. "Tak ada dalilnya dalam hidupku untuk menggunakan 'aji pengasihan' seperti dugaanmu. Lelaki kalau diberi 'aji pengasihan' kelak akan menjadi kekasih yang ngelunjak!"

"Heh, heh, heh...! Kurasa tidak semua lelaki berani ngelunjak padamu. Kau perempuan yang keras, tegar, berani, dan keras kepala!"

"Itu kuakui, karena mereka yang bernafsu sekali untuk memperistriku juga menilaiku begitu. Hanya saja, menurut mereka, aku adalah Wanita Keramat yang harus bisa mereka nikahi."

"Wanita Keramat bagaimana?!" tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut.

Puting Selaksa memandang Pendekar Mabuk tak berkesip. Pandangan itu begitu tajam, sempat membuat hati Suto bergetar. Getaran tersebut sukar diartikan, sehingga Suto sendiri hanya bisa membatin dalam hatinya, "Baru sekarang aku menerima pandangan mata seperti ini. Apa arti getaran dalam hatiku ini?! Oh, aku jadi resah sendiri. Gila! Kenapa aku menjadi takut kepadanya setelah ditatap sedemikian rupa? Takut tapi suka. Aneh sekali perasaanku kali ini?!"

Bibir sensual itu bergerak-gerak mengucapkan kata pelan, namun berwibawa. "Saat bulan purnama yang lalu, ketika aku melintasi puncak sebuah bukit yang bernama Bukit Taman Langit, tiba-tiba cahaya rembulan bersinar merah seperti bara...."

* * *

Puting Selaksa terkejut ketika cahaya rembulan tampak merah membara. la sempat hentikan langkahnya dan memandangi rembulan yang berubah menjadi merah itu. Tapi cahaya di sekelilingnya masih terang selayaknya bulan purnama.

"Aneh. Mengapa rembulan menyorotkan cahaya merah? Cahaya itu seolah-olah hanya tertuju untuk diriku. Padahal... oh, di tempat lain cahayanya masih terang, kuning keperakan," pikir Puting Selaksa kala itu. la memandangi alam sekeliling, kemudian menatap tangannya sendiri. "Oh, tanganku menjadi merah. Kulitku merah seperti buah ranum? Apa yang terjadi pada diriku ini?"

Cahaya merah itu makin lama semakin terang. Cahaya tersebut berbentuk seperti lampu sorot yang khusus untuk menyinari tubuh Puting Selaksa. Ketika ia mencoba bergerak ke belakang, cahaya merah itu mengikutinya. Ke mana pun ia bergerak, cahaya merah tetap menyinarinya. Puting Selaksa memandang kepada rembulan.

"Nyata-nyata dari rembulan datangnya. Oh, cahaya apa ini? Dari sana berbentuk kecil makin lama semakin melebar dan menyinariku dalam bentuk sinar bulat. Tiga langkah maju ke depan, aku akan keluar dari cahaya merah ini. Akan kucoba lagi."

Puting Selaksa melangkah empat langkah, ia memang keluar dari lingkaran cahaya merah. Tetapi lingkaran cahaya itu segera bergerak dan Puting Selaksa berada di tengah lingkaran cahaya lagi.

Hati perempuan itu berdebar-debar. Jantungnya sempat berdetak cepat, ia diliputi rasa takut yang menegangkan. Tetapi rasa ingin tahu keanehan itu mendesak hatinya terus untuk tetap mengikuti perkembangan selanjutnya,

"Biarlah aku terlambat pulang, kurasa Guru tak akan marah jika kuceritakan pengalaman aneh ini. Bahkan mungkin Kakek Guru dapat menjelaskan makna sinar merah dari rembulan ini. Sebaiknya...."

Ucapan batin itu terhenti, karena tiba-tiba cahaya merah jambu itu berubah menjadi kehijau-hijauan. Tiga helaan napas kemudian, cahaya hijau itu semakin terang dan semakin nyata. Puting Selaksa semakin takut, sebab sekarang kulit tubuhnya menjadi hijau. Makin lama warna hijaunya semakin bening, dan tubuh Puting Selaksa seluruhnya pun menjadi hijau bening seperti kristal. Tentu saja menjadi sangat tegang dan panik.

"Ooh...?! Kakiku...? Kakiku tak bisa terangkat lagi? Celaka!"

Puting Selaksa mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk mengangkat kakinya, tetapi kaki itu bagai tertanam kuat ke dalam tanah, sukar diangkat atau digeser sedikit pun.

"Heii...?! Ke mana pakaianku? Mengapa aku jadi tidak berpakaian? Dan... dan... hei, di mana pedangku? Ooh... celaka! Jurusnya siapa ini yang menyerangku?!"

Makin berusaha mengangkat kaki, makin sesak pernapasan Puting Selaksa. Pandangan matanya pun mulai buram. Pada awalnya, apa yang dipandang menjadi serba hijau; tanah hijau, batu hijau, batang pohon hijau, daun... memang hijau dari dulu. Tapi rembulan juga ikut-ikutan berwarna hijau. Bahkan langit, awan dan bintang pun tampak berwarna hijau indah. Sekalipun segalanya tampak indah, namun Puting Selaksa tetap diliputi rasa takut terhadap keanehan tersebut. Beberapa saat, pandangan yang serba hijau itu memburam. Makin lama semakin buram, akhirnya gelap. Gelap sama sekali.

"Ooh..,?! Aku telah menjadi buta?! Tapi... tapi napasku... aduh, sesak sekali. Haaahk... hhaaahk...!"

Pada saat napas terasa semakin sesak, dada bagai dibakar api, darah bagaikan mendidih, Puting Selaksa mendengar suara bergema samar-samar.

"Malam keberuntunganmu tiba, Anakku. Kau telah melintasi jalur keramat pada tempat dan waktu sangat tepat. Bersiaplah menjadi wanita yang penuh keberuntungan, bertabur cinta dan takhta. Tetapi ingat, jangan kau cemari kesucianmu dengan darah kemesraan lelaki yang bukan suamimu. Jika kau cemari, maka Rona Dewaji akan pergi darimu. Darahmu hanya boleh bercampur dengan darah lelaki yang memperistri dirimu secara sah. Tapi kuberikan kebebasanmu untuk memilih seorang suami yang sesuai dengan hatimu. Jika sudah kau dapatkan, menikahlah dengannya maka seluruh keberuntungan akan menjadi milik keturunanmu. Ingat, jangan sampai Rona Dewaji hilang karena pencemaran itu. Ingat, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji...."

Seterusnya Puting Selaksa tak bisa mendengarnya lagi. Perempuan itu tak sadarkan diri, sukmanya bagai melayang-layang di sela-sela awan berwarna-warni. Awan-awan itu bergumpal membentuk keindahan tersendiri. Seakan ia terbang di atas taman langit. Rasa bahagia, rasa senang, rasa gembira, semua bercampur menjadi satu menyelimuti hatinya. Perasaan itu tak bisa diuraikan dengan kata-kata lagi.

Ketika ia siuman, ternyata ia sudah berada di tepi pantai. Pantai itu tak jauh dari Teluk Sendu, tempat kediaman gurunya; Resi Parangkara. Keadaan tubuhnya telah normal kembali. Pakaiannya tetap rapi, seakan tak pernah ada yang melepasnya. Badannya pun terasa segar, tanpa mengalami luka dan rasa sakit sedikit pun. Namun ingatan Puting Selaksa tentang bulan bersinar hijau itu masih jelas dan jelas sekali. Seakan peristiwa itu tak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.

Peristiwa tersebut segera diceritakan kepada sang Guru pada saat Manggar Jingga tidak ada di tempat. Resi Parangkara sempat terkejut saat mendengar turunnya cahaya hijau dari tengah rembulan itu. Sang Guru yang biasanya kalem, saat itu menjadi tegang dan sangat antusias mendengarkan cerita Puting Selaksa.

"Apakah aku bermimpi pada saat itu, Guru? Atau aku sedang diguna-guna oleh seseorang yang berilmu tinggi!"

"Tidak, Muridku!" jawab sang Guru dengan tegas. "Kau telah terpilih oleh Dewata untuk menerima Rona Dewaji."

"Apa itu Rona Dewaji, Guru?" Puting Selaksa memandang dengan dahi berkerut.

"Rona Dewaji adalah 'gaib kekuatan kasih' yang dimiliki para dewa di kayangan sana yang akan membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan kesehatan bagi siapa pun yang mendapatkannya."

Puting Selaksa manggut-manggut, tampak serius sekali mendengarkan penjelasan sang Guru, sampai-sampai ia tak sadar kalau bibirnya agak memble dan air liurnya hampir jatuh.

"Dalam perhitungan leluhur kita, turunnya Rona Dewaji itu dinamakan 'Malam Anggoro Asin'. Dan istilah malam itu dipakai untuk sepasang pengantin baru. Artinya, seluruh kebahagiaan, keberuntungan dan kesehatan menjadi milik kedua mempelai tersebut."

"Apakah ada bahayanya bagi hidupku, Guru?"

"Sama sekali tidak ada. Satu-satunya bahaya akan datang dari sesama manusia sendiri. Jika hal ini kau ceritakan kepada perempuan lain, maka kau bisa dibunuh olehnya, terutama bagi perempuan yang berjiwa sirik dan merasa iri dengan keberuntunganmu," jawab Resi Parangkara dengan jelas sekali. "Karenanya kuminta jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada adikmu: si Manggar Jingga. la akan merasa menjadi perempuan yang tidak beruntung dan minder kepadamu."

"Baik, akan kurahasiakan hal ini dari para perempuan mana pun juga."

"Bahaya itu juga bisa datang dari kaum lelaki yang bernafsu ingin memperistrimu, terutama jika lelaki itu tahu bahwa kau adalah perempuan yang memiliki Rona Dewaji."

"Tapi pada waktu itu tak ada siapa pun, Guru. Apakah mungkin ada lelaki yang bisa mengetahui keadaan diriku?"

"Menurut penglihatanmu memang begitu. Tapi ketahuilah, jika pada malam itu ada seorang lelaki yang melakukan semadi, sekalipun di seberang samudera atau di ujung dunia, maka kepekaan batinnya akan dapat melihat dan mendengar peristiwa itu. la akan melihat apa yang kau lihat, dan mendengar apa yang kau dengar. Bisa-bisa lelaki itu akan memburumu atau membujukmu untuk dijadikan istrinya. Dan jika ia kecewa atas penolakanmu, bisa-bisa jiwa sesatnya akan muncul, lalu ia akan berusaha membunuhmu, supaya lelaki lain pun tidak mendapatkan keuntungan darimu."

"Sepertinya tak masuk akal sama sekali, Guru."

"Jangan menerima kenyataan ini dengan akal dan pikiran, karena peristiwa yang kau alami hanya bisa diterima oleh kekuatan batin," ujar Resi Parangkara dengan penuh kesabaran. "Siapa pun lelaki yang mengetahui bahwa kau mempunyai kekuatan Rona Dewaji, maka ia akan berusaha keras untuk dapat memperistrimu. Sebab, seluruh keturunanmu kelak akan menjadi raja atau penguasa dan hidupnya akan berlimpah kebahagiaan, kekayaan, kedamaian, serta berderajat tinggi. Kau pun bersama suamimu akan begitu."

Puting Selaksa menarik napas dalam-dalam. Ada keceriaan membias di wajah cantiknya. Tapi batinnya masih diliputi keraguan dan menganggap hal itu suatu falsafah kuno peninggalan leluhur mereka.

Resi Parangkara tambahkan penjelasannya lagi. "Tapi kau harus benar-benar tetap suci. Ingat, kau harus benar-benar tetap suci."

"Jadi, aku tak boleh bermesraan dengan seorang kekasih?"

"Bermesraan boleh, tapi jangan sampai darah kemesraan lelaki itu tumpah dan membaur dalam tubuhmu. Itu yang dinamakan pencemaran. Seratus kali kau memeluk lelaki, seratus kali kau dicium oleh seratus jenis lelaki, itu tidak apa-apa. Tapi jika setetes darah kemesraan lelaki itu tumpah dan masuk dalam tubuhmu, maka kekuatan Rona Dewaji hilang seketika itu juga. Tapi jika lelaki itu sudah sah menjadi suamimu, mau tumpah seember pun bebas. Tak akan membuat Rona Dewaji hilang dari dirimu. Jelas?"

"Jelas, Guru!" sambil Puting Selaksa mengangguk tegas.

"Ingat, godaan cinta akan datang beruntun padamu. Kau harus pandai-pandai membawa diri, pandai-pandai mengendalikan nafsu batinmu...,"

Sejak itu, Puting Selaksa selalu berusaha menjauhi lelaki. la hanya ingin memilih lelaki calon suaminya dari jarak jauh saja. Sikap menjauhi lelaki adalah sikap berjaga-jaga agar tak terjebak dalam godaan cinta. Tetapi ternyata godaan itu timbul bukan dari orang lain, tapi juga dari dalam diri Puting Selaksa sendiri. Godaan dari dalam dirinya itu berupa membaranya sang gairah. Hasrat ingin bercumbu selalu meletup-letup dalam dada Puting Selaksa, sampai-sampai ia sering mimpi bercinta dengan seorang lelaki dan mencapai puncak keindahannya.

Untuk mengatasi berkobarnya gairah cinta, Puting Selaksa sering menyibukkan diri dengan kegiatan yang bersifat menguras tenaga. Bahkan setiap hari ia berlatih jurus-jurus yang pernah diajarkan oleh sang Guru agar pikiran dan khayalannya tidak tertuju pada kencan dengari lelaki.

"Ternyata melawan godaan dari dalam diri sendiri lebih berat dibandingkan bertarung melawan orang lain," pikir Puting Selaksa kala merenungkan hal itu. Walaupun sejauh ini, Puting Selaksa masih mampu bertahan untuk tidak bercumbu dengan seorang lelaki, tetapi setiap tidur mimpinya selalu tentang bercumbu dengan lawan jenisnya.

* * *

Pendekar Mabuk menarik napas begitu Puting Selaksa hentikan penuturan kisah tersebut. Bahkan pemuda tampan itu sempat menenggak tuaknya lagi sambil merenungkan seluruh cerita tersebut,

"Karenanya, ketika aku berada dalam penjara bawah tanah dan mengalami siksaan kasar dari Jagalawa, aku merasa punya keuntungan sendiri dalam menerimanya. Aku tak pernah tidur, dan dengan begitu tak pernah bermimpi tentang cumbuan. Aku merasa sakit hati, sehingga hasrat ingin bercumbu hilang,"

Suto tersenyum mendengarnya, tapi Puting Selaksa tak pedulikan senyum yang bernada mengejeknya itu. la tetap bicara walau tanpa memandang Pendekar Mabuk.

"Begitu aku berhasil lolos dari penjaranya si Jagalawa, aku dikejar-kejar orang Pulau Boneng. Tapi aku sempat bersembunyi dan tertidur cukup lama. Mimpi itu hadir lagi dan membuat hasratku menyala-nyala kembali. Oleh sebab itulah, ketika di kedai aku tak ingin ditemani oleh pria mana pun juga, karena aku takut tergoda oleh hasratku sendiri."

"Tapi...," potong Pendekar Mabuk. "Apakah Jagalawa, Adipati Wijanarka dan orang-orang yang bernafsu ingin memperistrimu itu juga tahu bahwa kau adalah perempuan yang mendapatkan Rona Dewaji?"

"Tentunya mereka tahu, sebab mereka menyebutkan Wanita Keramat. Mungkin pada waktu itu Jagalawa sedang lakukan semadi, sehingga ia melihat dan mendengar dengan batinnya tentang peristiwa yang kualami itu. Atau seorang petapa yang menjadi kenalan mereka memberi tahukan keadaanku, sehingga mereka berusaha ingin memperistri diriku."

Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-manggut. Puting Selaksa membuang pandangan jauh-jauh sambil berdiri. la melangkah jauhi Suto. Seolah-olah ia tak berani memandang Suto terlalu lama, karena takut gairahnya tergoda.

"Puting Selaksa," panggil Suto sambil berdiri juga. "Kalau boleh kutahu, apakah sampai sekarang kau belum punya pilihan tentang lelaki yang akan menjadi suamimu?"

"Belum!" sahut perempuan itu dengan cepat dan tegas, wajahnya dipalingkan memandang Suto Sinting.

Suto mendekatinya. "Kau... kau benar-benar belum punya kekasih?"

Puting Selaksa gelengkan kepala sambil tetap menatap lekat-lekat pada Suto. "Dulu aku pernah punya kekasih. Tapi aku dikhianati. Setelah dia merenggut kesucianku, setelah dia puas menikmati tubuhku, dia pergi dan menikah dengan putri seorang raja. Hatiku sakit sekali, dan sejak itu hatiku sulit menerima kehadiran seorang lelaki?"

Sekali lagi kepala Suto manggut-manggut sambil perdengarkan gumamnya yang lirih. Tapi batin pemuda itu mulai berkecamuk antara percaya dan tidak. "Jika aku kawin dengan perempuan ini, tentunya hidupku akan berlimpah kebahagiaan sampai pada keturunan-keturunanku. Tapi bagaimana dengan Dyah Sariningrum? Oh, kasihan dia. Hatinya pasti akan hancur selama-lamanya. Dan lagi... benarkah apa yang diceritakannya itu? Jangan-jangan cerita itu hanya untuk mempengaruhi pendirianku dan membuatku terpikat padanya? Hmmm... aku harus hati-hati berhadapan dengan perempuan yang satu ini!"

Puting Selaksa tersenyum sinis ketika mata Suto kepergok sedang menatapnya. Suto sempat salah tingkah dan tak enak hati. Lebih tak enak lagi setelah Puting Selaksa berkata dengan nada dingin.

"Aku tahu kau meragukan kebenaran ceritaku tadi. Tapi kuharap jangan punya prasangka bahwa aku mengincarmu sebagai calon suamiku. Aku tidak berselera, dengan lelaki yang punya wajah tampan dan gagah sepertimu."

"O ya...?! Mengapa kau tidak berselera?"

"Karena lelaki sepertimu pasti lelaki buaya, doyan selingkuh dan mata keranjang!" jawab Puting Selaksa dengan nada ketus yang membuat wajah Suto menjadi semburat merah menahan rasa malu.

"Aku memburumu kemari karena ada yang ingin kutanyakan padamu!" sambung Puting Selaksa.

"Tentang apa?" Suto masih bisa pertahankan sikap kalemnya, walau dirinya penuh gairah dan mengecam kata-kata Puting Selaksa tadi.

"Di mana guruku dan Manggar Jingga sekarang?!"

"Aku tak tahu. Tapi sebelum kami berpisah, kudengar mereka merencanakan untuk mencarimu ke Perguruan Tangan Besi. Mereka akan menyelidiki keadaan di sana. Jika benar kau ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, maka mereka akan menyerang perguruan itu!"

"Tapi aku tidak melihat mereka ada di antara kobaran api pertempuran antara orang-orang Pulau Boneng dengan orang-orang Perguruan Tangan Besi!"

Suto angkat bahu. "Kalau begitu mereka tidak ke sana, atau mungkin sudah menjadi mayat di antara tumpukan para korban itu?!"

Mata bertepian hitam itu sempat melebar sekejap. Wajah cantik angkuh itu menjadi tegang. "Kalau begitu aku harus kembali ke tanah Mentawai dan memeriksa para mayat yang bergelimpangan di sana!"

"Silakan saja. Jangan berharap aku akan mendampingimu untuk pergi ke sana!" ucap Suto Sinting bernada ketus, setajam ucapan Puting Selaksa tadi. Wajah perempuan itu menjadi merah menahan malu dan marah.

"Satu sama!" ucap Suto sambil tersenyum nyengir.

Puting Selaksa tampak menggeletukkan giginya dengan pandangan mata setajam ujung tombak. Pendekar Mabuk sempat merinding dipandang demikian, walau wajahnya tetap cengar-cengir konyol.

* * *

LIMA

TERNYATA bukan hanya mereka berdua yang ada di tempat teduh itu. Sepasang mata dan telinga telah menyadap pembicaraan mereka dan memperhatikan gerak-gerik Pendekar Mabuk serta Puting Selaksa. Orang ketiga itu sengaja tak mau tampakkan diri sebelum mengetahui akhir dari percakapan tersebut.

Agaknya pengintaian si orang ketiga itu dilakukan tanpa disengaja. Perjalanannya terhenti ketika melihat Suto Sinting berteduh di balik batu. Rasa penasarannya semakin bertambah setelah kemunculan Puting Selaksa yang juga telah dikenalnya sebagai murid Resi Parangkara. Maka si orang ketiga itu mengambil tempat yang sama dan sangat tersembunyi, namun bisa mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh dua orang tersebut.

Pohon berdaun rindang yang tumbuh di belakang batu besar adalah tempat aman yang dipilihnya sebagai tempat persembunyian. Lompatan geraknya dari dahan ke dahan yang tidak menimbulkan suara itu dapat dikenali sebagai lompatan tokoh berilmu tinggi. Cara berdirinya di dalam kerimbunan daun yang hanya berpijak pada satu ranting kecil menandakan tokoh tersebut menguasai ilmu peringan tubuh dengan baik.

Pada saat ia mendengar Suto berkata kepada Puting Selaksa, "Namun sebagai sahabat baru Resi Parangkara, aku berkewajiban mencari tahu juga nasib beliau di antara mayat-mayat orang Perguruan Tangan Besi. Jadi tak ada jeleknya jika kita berangkat bersama ke puing-puing reruntuhan perguruan tersebut."

Puting Selaksa hanya sunggingkan senyum dingin yang tipis, lalu ia melangkah lebih dulu dan Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya. Pada saat itulah, si orang ketiga segera melompat turun dari atas pohon bagaikan seekor elang ingin menyambar mangsanya.

Wuuus...!

Seandainya Puting Selaksa kurang peka terhadap hembusan angin di sekitarnya dan ia tidak segera tundukkan kepala, maka kepala itu akan tersambar tendangan kuat dari orang ketiga itu. Sambil bergerak tundukkan kepala dan rendahkan badan, Puting Selaksa segera mencabut pedangnya karena gerakan refleksnya terhadap datangnya bahaya sewaktu-waktu.

Sreet...! Jleeeg...!

"Tahan...!" seru Suto sambil rintangkan tangan di depan Puting Selaksa begitu si orang ketiga daratkan kakinya di tanah depan mereka. Terkesip mata si Pendekar Mabuk pandangi orang itu, terbelalak nanar mata si Puting Selaksa begitu tahu siapa yang tadi ingin menyambarnya dari arah belakang.

"Bara Perindu...?!" sapa Pendekar Mabuk bernada heran.

Gadis itu tidak menyapa namun memandang Puting Selaksa penuh permusuhan. Suto sempat salah tingkah sendiri melihat cara kedua perempuan itu dalam beradu pandang.

"Agaknya kalian sudah saling kenal," ujar Suto mengisi kebungkaman di antara mereka.

Puting Selaksa bicara kepada Suto dengan mata tetap memandang tajam kepada Bara Perindu. "Rupanya kau sudah mengenal gadis tolol itu, Suto!"

"Hmmm... iiy... iya, aku sudah mengenalnya. Bara Perindu adalah prajurit kehormatan dari istana Kadipaten Mancanagari. Hmmm... kami pernah bertemu dan saling membantu pada saat geger ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' yang dimiliki putri angkat Kanjeng Adipati Purwatahta itu," jawab Suto sambil mengenang peristiwa munculnya tokoh jalang bernama Nyai Mata Binal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perempuan Jahanam).

Bara Perindu yang mengenakan baju ketat berbelahan dada lebar warna merah itu masih bungkam dengan sikapnya yang penuh keberanian itu. Gadis cantik berambut sepundak dengan poni bagian depan itu juga kelihatan sama judes dengan Puting Selaksa. Tangan kanannya sudah pegangi gagang pedang yang sewaktu-waktu siap cabut bila lawan menyerang. Suto Sinting mencoba meredakan ketegangan itu dengan senyum kaku yang lebih terlihat sebagai cengar-cengir salah tingkah.

"Kalian berdua sahabatku, sebaiknya tak perlu saling bersitegang begini."

Tapi rupanya kedua perempuan itu bagai tak mendengar ucapan Suto Sinting. Bahkan gadis pemberani berusia dua puluh dua tahun itu mulai lontarkan kata ketusnya kepada Puting Selaksa dengan keras.

"Muslihat apa lagi yang akan kau lakukan di depan Pendekar Mabuk, Perempuan Licik!"

"Aku tak punya urusan lagi denganmu!" ucap Puting Selaksa dengan datar dan berkesan dingin. "Tapi jika kau masih ingin teruskan perkara lama, aku siap mencabut nyawamu sekarang juga!"

"Hei, hei... tunggu dulu!" sergah Suto Sinting. "Jangan buru-buru main cabut nyawa, sebab nyawa berbeda dengan singkong, yang sekali cabut, batangnya ditanam lagi bisa tumbuh kembali. Tapi nyawa manusia sekali cabut, bangkainya ditanam, tidak pernah akan tumbuh lagi, bukan?!"

"Suto...!" seru Bara Perindu. "Jangan mau termakan oleh tipu muslihat perempuan jalang itu! Cerita yang dibuatkan panjang lebar tadi hanya siasat untuk menjebak gairahmu belaka! Tak ada Rona Dewaji. Apa itu Rona Dewaji? Tahi kucing!" sentak Bara Perindu.

"Suto, menyingkirlah dan biarkan gadis pongah itu mencium ujung pedangku dulu agar tak bicara sembarangan di depan siapa saja!" ujar Puting Selaksa dengan nada ketus menyeramkan. Bola matanya tak pernah bergerak, kelopaknya tak mau berkedip, seakan seluruh perhatian dipusatkan kepada Bara Perindu. "Cabut pedangmu, Bara Perindu! Buktikan bahwa ketajaman mulutmu lebih tajam dari pedangmu sendiri!" tantang Puting Selaksa.

Pendekar Mabuk bagai orang terhipnotis saat memperhatikan sorot pandangan mata tajamnya Puting Selaksa. la menjadi berdebar-debar dan undurkan langkah beberapa kali. "See... sebaiknya... sebaiknya ini tak perlu terjadi, Puting Selaksa... Bara Perindu...."

Sreet...! Bara Perindu mulai mencabut pedangnya. Suto Sinting bertambah cemas dan bingung. Kedua perempuan itu sama-sama pemberani dan sukar dibujuk jika sudah naik pitam begitu.

"Puting Selaksa, jangan harap kau bisa mengelabui sahabatku; Suto Sinting itu, jika Bara Perindu masih dapat mencabut pedangnya! Tak akan kubiarkan Pendekar Mabuk itu jatuh dalam pelukanmu hanya sekadar pemuas nafsumu semata!"

"Gadis beracun tikus! Rupanya kau merasa iri melihat pemuda itu bersimpati kepadaku. Apakah kau tak sadar bahwa kau mempunyai kecantikan yang memuakkan bagi setiap lelaki, sehingga tak ada lelaki yang mau jatuh dalam pelukanmu?!"

"Mulut busukmu akan hancur sekarang juga, Puting Selaksa. Hiaaah...!"

Wees, wees...!

Kedua perempuan itu saling lompat, saling menerjang, dan saling beradu kecepatan pedang di udara. Pendekar Mabuk terpaksa makin mundur karena takut menjadi salah sasaran dari sabetan pedang yang sama-sama berkecepatan tinggi itu.

Trring, tring, trrang, trring...!

Sampai keduanya turun ke darat, pedang mereka masih saling beradu dengan cepat. Gerakan mereka pun sama-sama lincah dan penuh nafsu untuk membunuh. Rupanya persoalan lama mereka melatarbelakangi kebencian Bara Perindu kepada Puting Selaksa. Sebab ia dulu pernah hampir dibuat mati oleh Puting Selaksa ketika berebut sebuah kitab milik Eyang Sagawira, kakak dari Resi Parangkara. Sedangkan Eyang Sagawira adalah gurunya Bara Perindu. Sementara itu, pikiran Pendekar Mabuk mulai terpengaruh oleh ucapan Bara Perindu tadi. Batin pun akhirnya berkecamuk sambil pandangi permainan jurus pedangnya Puting Selaksa.

"Puting Selaksa tampak marah sekali kepada Bara Perindu. Mungkinkah karena Puting Selaksa takut jika muslihatnya terbongkar di depanku? Oh, apa benar ucapan Bara Perindu tadi bahwa Rona Dewaji itu tidak ada dan hanya sekadar tahi kucing belaka? Gawat kalau begini. Mana yang benar? Masuk akal juga dakwaan Bara Perindu tadi yang mengatakan bahwa Puting Selaksa hanya ingin memikatku dengan cara membual panjang lebar. Tapi... tampaknya Puting Selaksa bersungguh-sungguh dalam menuturkan kisah Rona Dewaji tadi?!"

Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala. Saat itu ia segera melompat ke samping karena sabetan pedang kedua perempuan itu semakin mendekati tempatnya berdiri. Agaknya jurus pedang mereka sama-sama kuat, sehingga sejak tadi tak ada yang tergores luka sedikit pun.

"Pada saat aku bertemu dengan Resi Parangkara, sang Resi tidak menceritakan tentang keistimewaan yang ada pada diri Puting Selaksa. Apakah karena takut didengar Manggar Jingga?! Atau karena keistimewaan itu memang tidak ada?" pikir Suto Sinting lagi sambil tetap memperhatikan jurus-jurus yang dipakai Puting Selaksa. Sebab ia merasa perlu mencari kelemahan jurus-jurus tersebut, sehingga sewaktu-waktu berhadapan dengan Puting Selaksa ia dapat melumpuhkan perempuan itu dengan cepat.

Rupanya semakin lama Puting Selaksa semakin penasaran karena tak bisa melukai Bara Perindu. Perempuan itu pun segera berkelebat melambung ke udara dan bersalto ke belakang dua kali. Wuk, wuk...! Jleeg...! Begitu kakinya mendarat ke tanah, pedangnya segera disentakkan ke depan pada saat Bara Perindu ingin mengejarnya. Suuut...! Maka dari ujung pedang itu keluar selarik sinar biru sebesar lidi yang menghantam dada Bara Perindu. Claaap...!

Bara Perindu segera hentikan pedangnya di depan dada, sehingga sinar biru tersebut akhirnya menghantam pedang putih berkilauan milik Bara Perindu. Zaaaang...! Sinar ungu membias dari benturan sinar biru dengan pedang Bara Perindu. Sinar ungu itu sangat menyilaukan bagi Puting Selaksa, sehingga perempuan itu merunduk dan menghadangkan tangannya untuk melindungi mata.

Pada saat Puting Selaksa merunduk dan kebingungan hindari sinar yang amat menyilaukan dan bisa membutakan mata itu, Bara Perindu segera melompat lakukan satu terjangan dengan pedang berkelebat. Wees...!

Trang, craaas...!

Satu tangkisan pedang berhasil dilakukan oleh Puting Selaksa. Tapi tangkisan kedua melesat dan pundak Puting Selaksa pun terluka oleh tebasan pedang Bara Perindu.

"Aah...!" Puting Selaksa terhuyung-huyung. Pedang beracun telah membuat tubuhnya menjadi panas dan lemas. Tapi sebelum serangan Bara Perindu datang lagi, Puting Selaksa berhasil menyentakkan tangan kirinya dan dari tangan kiri itu melesat sinar jingga sebesar ibu jari. Wuuus...!

Bara Perindu tak menyangka lawannya akan menyerang dengan sinar jingga. Maka ia segera menghadang sinar itu dengan pedangnya lagi. Blaaab, blegaaar...! Ledakan dahsyat terjadi menggetarkan pepohonan sekeliling mereka. Bara Perindu terlempar keras oleh gelombang ledakan tersebut, ia jatuh membentur batu besar yang tadi dipakai berteduh Suto Sinting itu. Brruk...!

"Aaahk..." Bara Perindu memekik kesakitan sambil mulutnya semburkan darah kental. la segera jatuh terbanting yang membuat pedangnya terlepas dari genggaman. "Hoooek...!" Bara Perindu muntahkan darah lebih banyak lagi. Wajahnya menjadi pucat kebiru-biruan.

Pendekar Mabuk cemas melihat keadaan Bara Perindu. Namun ketika itu juga Puting Selaksa jatuh berlutut karena luka di pundaknya semakin melumpuhkan urat-urat di sekujur tubuh. la terengah-engah sambil pegangi luka di pundak. Pendekar Mabuk bingung, mana dulu yang harus ditolongnya, la hanya bisa menggerutu bernada keras,

"Kalian perempuan memang payah! Diingatkan agar jangan bertarung masih tetap ngotot. Dasar dua-duanya keras kepala! Kalau sudah begini, siapa dulu yang harus kuselamatkan dengan tuakku ini?! Uuuh...! Dasar perempuan!"

Bara Perindu bangkit dengan limbung dan pegangi dadanya, sementara tangan kanannya sudah menggenggam pedang lagi. Tapi wajahnya pucat semakin menyerupai mayat yang terlambat dikubur.

"Bara Perindu... jangan bergerak dulu!" seru Suto Sinting segera menghampirinya.

Tapi Bara Perindu telanjur jengkel kepada Pendekar Mabuk yang hanya diam saja dan tidak memihaknya dalam pertarungan tersebut. Wuuut...! Bara Perindu sempat sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya meluncur ke atas, lalu hinggap di pucuk batu besar itu.

"Sekali lagi kuingatkan padarnu, Suto... kalau kau mau selamat, hindari perempuah pendusta itu! Jangan percaya dengan bualannya tadi!"

"Bara Perindu, kau terluka parah!"

Tapi gadis itu justru berseru dengan suara berat dan sambil menyeringai menahan sakitnya. "Puting Selaksa...! Pertarungan ini belum berakhir! Kelak akan kita lanjutkan lagi sampai ada yang harus dikubur! Tapi percayalah, racun dalam pedangku ini cukup mampu membuatmu kehilangan nyawa dalam beberapa waktu lagi." Wees...! Bara Perindu segera pergi tinggalkan tempat tersebut melalui pohon demi pohon. Agaknya ia tak mau bicara lagi dengan Pendekar Mabuk yang menurutnya cenderung berpihak kepada Puting Selaksa.

Sementara itu, luka di pundak Puting Selaksa membuat leher dan wajah perempuan itu menjadi memar; merah kebiru-biruan, pertanda racun yang terdapat pada luka tersebut mulai mengganas. Puting Selaksa pun jatuh terduduk, lalu bergeser ke samping untuk dapat bersandar pada sebatang pohon. Melihat hal itu, kecemasan Suto semakin bertambah dan ia segera hampiri Puting Selaksa.

"Minumlah tuakku sekarang juga, Puting Selaksa! Minumlah, biar racun dalam lukamu itu tidak menjalar ke mana-mana!"

"Per... percuma! Aku tahu pedang itu menggunakan racun 'Darah Peri' yang hanya dimiliki oleh Eyang Sagawira, gurunya Bara Perindu. Racun ini... tidak bisa disembuhkan oleh...."

"Minumlah dulu tuak ini, dan jangan banyak bicara!" sentak Suto Sinting sambil sodorkan bumbung tuak. la tinggal menuang bumbung itu jika mulut Puting Selaksa terbuka. Tapi perempuan itu justru rapatkan gigi dan menyeringai karena rasa sakitnya semakin bertambah.

"Puting Selaksa!" bentak Suto dengan dongkol. "Kalau kau masih ingin hidup dan menikmati kejayaan Rona Dewaji, minum tuak ini! Lekas, buka mulutmu!"

Puting Selaksa akhirnya mau membuka mulut dengan bibir gemetar. Suto Sinting menuang tuak pelan-pelan sehingga Puting Selaksa meneguknya beberapa kali.

"Sudah kuingatkan agar jangan lakukan pertarungan, tapi kalian masih tetap ngotot. Akhirnya ya begini ini!" omel Suto Sinting sambil bersungut-sungut, tapi akhirnya ia menenggak tuaknya sendiri. "Aku tak berani memihak siapa pun, karena aku belum tahu siapa yang benar!" gumam Suto dalam hatinya.

Puting Selaksa terengah-engah. Pedangnya dimasukkan ke dalam sarung pedang dengan tangan gemetar. Tapi hati perempuan itu mulai membatin dalam kekaguman yang tersembunyi. "Aneh sekali. Rasa sakit ini menjadi berkurang. Sekarang tinggal perih saja. Tapi urat-uratku terasa mulai mengencang kembali. Hmmm... tuak apa yang kuminum tadi? Apakah benar dia bernama Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk yang sering dibicarakan Manggar Jingga itu? Oh, alangkah beruntungnya aku jika dia benar-benar Pendekar Mabuk yang terkenal berilmu edan-edanan itu?!"

Mata bertepian hitam dengan kesan galak itu melirik Suto yang sedang berdiri sambil mengencangkan tali bumbung tuaknya. Pemuda itu menggerutu, tapi tak jelas apa yang digerutukan. Hanya saja, Puting Selaksa mulai merasa berdebar-debar lagi jika terlalu lama memandangi Suto Sinting dari arah mana pun, terlebih dari bawah.

"Benar. Kurasa dia memang benar Pendekar Mabuk yang juga disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak. Buktinya sekarang rasa perih ini hilang sama sekali dan, ooh... kurasakan ada sesuatu yang merayap di pundakku. Sepertinya... sepertinya lukaku mulai bergerak merapat sendiri. Oh, sungguh ajaib. Ternyata apa yang sering diceritakan orang-orang tentang kesaktian tuak si Pendekar Mabuk itu bukan sekadar dongeng belaka. Aku merasakan buktinya. Padahal dulu kusangka mereka terlalu membesar-besarkan kesaktian si Pendekar Mabuk," ujar Puting Selaksa dalam hati.

Beberapa saat kemudian, luka itu benar-benar mengering dan merapat. Bahkan sekarang sudah tidak terlihat lagi. Kulit pundak menjadi halus seperti tak pernah terluka sedikit pun.

"Bagaimana? Sudah bisa dipakai untuk melanjutkan perjalanan?!" tanya Pendekar Mabuk begitu melihat Puting Selaksa berdiri dan menarik napas panjang-panjang. Perempuan itu anggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun. la segera merapikan pakaiannya dan membersihkannya dari tanah dan daun kering yang menempel di celana.

"Aku tetap akan memeriksa mayat-mayat di padepokan Perguruan Tangan Besi itu," kata Puting Selaksa. "Aku harus meyakinkan diri bahwa guruku dan Manggar Jingga tidak termasuk korban keganasan orang-orang Pulau Boneng."

Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Baik. Kurasa kita harus segera sampai ke sana sebelum petang tiba. Matahari mulai condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam. Kita harus bergerak cepat!"

Setelah memutuskan begitu, Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya lagi. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba seberkas sinar merah kecil seukuran lidi melesat dari belakangnya dan menghantam bahu kanan dengan telak.

Slaaap...! Jraaasss...!

"Aaaahk...!" pekik Suto Sinting sambil tubuhnya tersentak dan bumbung tuaknya terlempar ke depan.

"Sutooo...?!!" pekik Puting Selaksa dengan sangat terkejut. Lalu ia segera menyambar tubuh Suto yang limbung dan mau jatuh itu. Sementara bumbung tuaknya sudah telanjur jatuh ke tanah, tuaknya tumpah karena bumbung itu tidak dalam keadaan tertutup.

* * *

ENAM

SINAR merah itu melubangi bahu Suto hingga tembus ke dada kanan. Lubang kecil itu kepulkan asap, selain berwarna hitam juga melelehkan cairan hitam pula. Pendekar Mabuk menjadi terkulai lemas bagai tanpa tulang dan tenaga sedikit pun. Sekujur tubuhnya terasa sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Namun ia tak mampu mengerang atau merintih karena tak punya tenaga lagi. Wajah pun segera berubah sepucat mayat, mencemaskan hati Puting Selaksa.

Perempuan yang telah memperoleh kekuatannya kembali itu menjadi berang melihat Suto dilukai dengan cara licik. la segera memandang ke arah datangnya sinar merah tadi. Matanya yang nanar berkesan liar itu segera temukan seraut wajah milik seorang lelaki berkumis lebar dan berbadan gemuk.

"Rupanya kau yang berbuat licik itu, Gobang Garu?!" geram Puting Selaksa sambil meletakkan Suto pelan-pelan dalam keadaan sedikit bersandar akar pohon.

Sutb Sinting sebenarnya masih sempat pandangi wajah penyerangnya itu. Bahkan hatinya sempat berkecamuk dengan detak jantung melemah. "Siapa lelaki itu? Oouh... sepertinya riwayat hidupku hanya sampai di sini. Tubuhku terasa dingin sekali. Pandangan mataku menjadi buram. Napas pun terasa tipis, tak bisa menghirup udara banyak-banyak. Oooh... jurus apa tadi yang mengenaiku hingga aku kehilangan tenaga dan kekuatan separah ini?!"

Dengan mata sulit dipakai untuk berkedip, telinga Suto masih sempat mendengar ucapan-ucapan lelaki berkepala botak tengah namun mempunyai rambut ikal di bagian sekitar telinga ke belakang. Dengan suara berat, lelaki berpakaian merah tua itu lepaskan tawa terlebih dulu. Badannya yang gemuk terguncang-guncang oleh tawanya.

"Rupanya kau masih belum lupa dengan diriku, Puting Selaksa! Aku memang si Gobang Garu, utusan Adipati Wijanarka yang sudah berapa hari ini kebingungan mencarimu! Ternyata kau ada bersama cecunguk ingusan itu, Puting Selaksa. Hah, hah, hah, hah...!"

"Jahanam kau, Gobang Garu!" geram Puting Selaksa. "Rupanya saat ini adalah hari terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi. Bersiaplah untuk mati demi menebus kelancanganmu yang berani melukai pemuda ini, Gobang Garu!"

"Hoh, ha, ho, ho... jangan mengancamku, Nona Manis! Bagiku ancaman adalah angin yang berhembus di senja hari. Ada baiknya jika kau menurut saja padaku, supaya aku tidak melukaimu. Aku tak enak hati kalau sampai menyerahkan dirimu di depan Kanjeng Adipati Wijanarka dalam keadaan terluka. Tapi kalau memang terpaksa, yaah... apa boleh buat. Hah, hah, hah, hah...!"

Fuih...! Puting Selaksa lepaskan jurus napasnya yang mampu hadirkan angin kencang dari hidung. Tetapi, angin kencang Itu hanya membuat Gobang Garu mundur selangkah dan rendahkan kaki dengan pakaian dan kalung manik-manik hitam terhembus ke belakang.

"Huah, hah, hah, hah..! Untuk apa kau bermain napas denganku, Wanita Keramat?! Gobang Garu sudah sering masuk angin, jadi tak akan goyah walau kau hadirkan sejuta badai di depanku!" ujar Gobang Garu sambil memanggul senjatanya berupa gobang besar yang salah satu sisinya bergerigi seperti garu pembajak sawah.

Puting Selaksa maju dua langkah. Tapi Gobang Garu berkata lebih dulu kepadanya.

"Wanita Keramat, kumohon dengan segala hormat. Ikutlah aku dan jangan melawanku. Aku takut kau akan mati di tanganku, Wanita Keramat!"

"Persetan dengan hormatmu!" geram Puting Selaksa, lalu ia melepaskan pukulan jarak jauh dari tangan kirinya yang menggenggam dan menyentak ke depan.

Wuuut...! Bruuuuss...!

Pukulan tanpa sinar itu menerjang tubuh Gobang Garu yang berperut buncit. Tapi orang itu tak bergeming bagaikan prasasti tanpa sejarah. Hanya saja, pohon-pohon yang ada di belakangnya, di samping kanan-kirinya, mengalami keretakan begitu terkena pukulan tenaga dalam Puting Selaksa. Bahkan dua pohon langsung tumbang dalam keadaan akarnya terdongkel ke atas dan tanah pun berhamburan.

"Semakin ganas, Kanjeng Adipati semakin suka padamu, Puting Selaksa! Apa pun yang kau inginkan pasti akan dituruti oleh sang Adipati! Karena itu, ikutlah aku menghadap Adipati Wijanarka sekarang juga, Cah Ayu!"

Sreet....! Puting Selaksa segera mencabut pedangnya tanpa mau bicara lagi. Dalam sekejap tubuhnya telah melesat bagaikan terbang dengan cepat dan menyabetkan pedang ke leher Gobang Garu. Wees...!

Traang...! Gobang Garu menangkis dengan mengibaskan gobang besarnya ke arah depan. Tubuh gemuknya bergeser ke kanan, lalu tangan kirinya menyentak dengan dua jari mengeras. Wuuut...! Claaap...! Sinar biru bagaikan bintang pecah menghantam paha Puting Selaksa.

Namun perempuan itu cepat gerakkan pedangnya yang gagal kenai sasaran itu. Pedang tersebut menutup pahanya sehingga terhantam oleh sinar biru tersebut.

Blaaarr...!

Tubuh Puting Setaksa terlempar dan jatuh berguling-guling. Gobang Garu masih tetap diam di tempat sambil menertawakan jatuhnya Puting Selaksa.

"Hah, hah, hah, hah...! Sudah kubilang, kau tak akan mampu melumpuhkan diriku, Wanita Keramat! Percuma saja kau lakukan unjuk rasa bela pati di depan pemuda itu, rohnya nanti justru akan mencibir kebodohanmu!" Gobang Garu melangkah dekati Suto, sementara Puting Selaksa berhasil bangkit kembali dengan pedang siap menyerang.

"Apakah pemuda ini kekasihmu?! Oh, kalau begitu tak perlu terlalu lama ia menderita luka itu. Sebaiknya biar gobangku yang mencabut nyawanya sekarang juga. Heaaah...!!"

Wuuut, brrus...! Traaang...!

Puting Selaksa menerjang Gobang Garu sewaktu senjata besar itu diangkat dan ingin dihantamkan ke kepala Suto. Senjata tersebut sempat tertahan oleh pedangnya Puting Selaksa, jika tidak pasti akan membuat kepala Suto terbelah menjadi dua bagian. Ketika pedang berhasil menahan gobang besar itu, kaki Puting Selaksa menjejak mulut si Gobang Garu. Prrook...!

"Oouhf...!" Gobang Garu hanya terayun ke belakang, tapi kedua kakinya tetap menapak di tempat, ia bagaikan pilar yang sukar ditumbangkan. Bahkan kini senjatanya yang tersentak ke belakang karena tangkisan pedang tadi segera berkelebat dalam satu putaran dan langsung menyambar dalam gerakan memotong dada Puting Selaksa.

Wuuung...! Senjata besar yang menyeramkan itu tak sempat kenai dada Puting Selaksa, karena saat di udara, kaki Puting Selaksa berhasil menjejak batang pohon yang menaungi Suto itu. Jejakan kaki tersebut membuat tubuh Puting Selaksa melejit balik dalam gerakan bersalto. Jika tidak lakukan salto balik, maka senjata besar itu akan memotong tubuh Puting Selaksa secara menyedihkan.

Pendekar Mabuk masih bisa melihat adegan itu. Dalam hatinya ia hanya bisa berucap, "Selamat, selamat, selamat.... Moga-moga aku dan Puting Selaksa selamat dari ancaman maut orang mirip celengan Semar ini!"

Jleeg...! Puting Selaksa tiba di samping Gobang Garu. Tapi kaki orang gemuk itu segera diangkat dan menendang ke samping. Beet...! Dees...! Puting Selaksa menahan tendangan kaki itu dengan lengan kiri diangkat ke atas. Pada saat itulah pedangnya berkelebat cepat sekali.

Wees, craas...!

"Aahhrrrk...!" Gobang Garu mendelik, kini tubuhnya oleng ke belakang. Lehernya koyak lebar karena terkena sabetan pedang Puting Selaksa. Seketika itu pula tubuh Gobang Garu menjadi merah seperti kepiting rebus, karena pedang Puting Selaksa dilapisi racun yang mampu membakar kulit tubuh manusia secara cepat.

Cras, cras...!

Puting Selaksa kembali tebaskan pedangnya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dua tebasan itu membuat dada Gobang Garu robek dan perutnya pun jebol. Akhirnya orang gemuk itu tumbang tanpa ampun lagi. Tubuhnya semakin merah bagai habis direbus sampai matang, dan luka tebasan pedang itu mengeluarkan busa-busa kuning. Gobang Garu akhirnya diam, cuek terhadap apa saja yang dilakukan lawannya, karena ia sudah tidak bernyawa lagi.

Darah berlumuran di pedang Puting Selaksa. Tapi dalam beberapa kejap darah itu menguap dan hilang tanpa bekas. Pedang itu menjadi putih bersih berkilauan seperti tak pernah dipakai untuk melukai lawan mana pun. Pendekar Mabuk sempat memperhatikan hal itu dan berkata dalam hatinya,

"Pedang yang bagus! Tak kusangka pedang itu mempunyai keajaiban seperti itu! Hanya saja... ouh, tubuhku sendiri bagai semakin dibakar dengan bara api yang membuat bagian dalam tubuhku sepertinya telah menjadi arang. Tuakku, oh... tuakku tumpah semua, Mudah-mudahan masih ada sisa sedikit saja dan Puting Selaksa menuangkannya ke mulutku..."

Puting Selaksa masih berwajah ganas, menyeramkan. Mayat lawannya dipandangi bagai tiada habis kebenciannya. Napasnya tampak memburu seakan ingin lampiaskan sisa murkanya kepada mayat itu. Namun ketika ia melirik ke arah Suto, ketegangan di wajahnya segera berkurang, la buru-buru hampiri Pendekar Mabuk dan memeriksa luka di dada kanannya.

"Celaka! Luka ini akan semakin parah kalau tidak segera terobati!" ujarnya dalam suara menggeram. "Bertahanlah, Suto! Bertahanlah...!"

Suto Sinting sempat rasakan jengkel dalam hatinya, karena ia tak bisa berkata apa-apa. Padahal ia ingin mengatakan bahwa luka itu bisa diatasi dengan meneguk sisa tuak dari dalam bumbungnya. Namun harapan itu sangat sia-sia. Puting Selaksa memang mengambil bumbung tuak dan tutupnya, tapi bumbung itu justru ditenteng agak miring ke bawah sehingga sisa tuak mengucur habis membasahi tanah.

"Oooh... perempuan bodoh yang malang. Untung aku dalam keadaan tak berdaya begini, kalau aku masih bisa bergerak sedikit saja kulempar kepalamu pakai batu yang mengganjal pantatku ini! Tuak tinggal sedikit malah dibiarkan tumpah semua. Dasar perempuan goblok!" omel Suto Sinting dalam hati dengan pandangan mata makin lama semakin buram.

"Aduh, mataku sudah mulai tak bisa melihat. Aku akan buta, karena sekarang pun apa yang kulihat serba remang-remang," keluh Suto Sinting, tanpa menyadari bahwa saat itu memang matahari sudah mulai tenggelam dan petang akan tiba. Walau tak terluka pun alam sekitarnya memang menjadi remang-remang.

"Aku harus segera menyelamatkannya! Ooh, tubuhnya terasa sedingin es. Celaka! Kelihatannya jika terlambat sedikit saja dia akan kehilangan nyawanya," ujar Puting Selaksa dalam hati, "Harus kubawa ke mana dia? Hmmm... sebaiknya kubawa ke desa itu lagi. Kelihatannya dia akrab dengan si.. pemilik kedai. Mudah-mudahan si pemilik kedai bisa carikan obat untuk menyelamatkan nyawanya!"

Dengan menggunakan tenaga dalam tersendiri, Puting Selaksa akhirnya memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk itu. Bumbung tuak ditenteng di tangan kiri, pedang diselipkan di pinggang, pundak kanan memanggul tubuh Suto, perempuan itu pun segera melesat menuju ke desa tempat Ki Pulasoma buka kedai itu. Dengan pergunakan tenaga peringan tubuh, Puting Selaksa berlari cepat bagai berpacu dengan datangnya malam.

Ki Pulasoma terkejut melihat Puting Selaksa memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk. Bahkan si pemilik kedai itu sempat gugup melihat Suto dalam keadaan sepucat mayat. Para tamu yang sedang makan di kedai itu ikut menjadi tegang dan segera memberi bantuan sebisanya, sebab mereka telah merasa ditolong oleh Pendekar Mabuk dari keonaran orang-orang Pulau Bonang tadi siang.

"Genduk!" panggil Ki Pulasoma kepada anak gadisnya. "Cepat bantu Nona ini mempersiapkan kamar untuk merawat Suto!"

Ki Pulasoma telah mengenal nama Suto Sinting dan tahu persis bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk, karena malam sebelumnya mereka ngobrol panjang-lebar sampai menjelang fajar. Rupanya Ki Pulasoma dan orang-orang desa tersebut adalah penggemar berat Pendekar Mabuk, sehingga keadaan yang genting itu segera menjadi bahan pemikiran oleh mereka.

Kamar sewaan khusus untuk tamu terhormat diberikan oleh Ki Pulasoma sebagai tempat merawat Pendekar Mabuk. Malam sebelumnya, Suto tidak tidur di kamar tersebut, karena kamar itu memang disediakan untuk disewa oleh para bangsawan atau saudagar kaya. Kamar itu lebih besar, lebih bersih dan lebih rapi dari kamar-kamar sewaan lainnya.

"Adakah seorang tabib di desa ini, Ki?" tanya Puting Selaksa.

"Hmmm,.. eeh... tidak ada, tapi kalau dukun bayi, ada."

"Dukun bayi?! Untuk apa? Kau pikir Suto mau melahirkan?!" sentak Puting Selaksa seakan tak suka jika luka-luka Suto diremehkan, padahal Ki Pulasoma tidak bermaksud meremehkan keadaan Suto Sinting.

Beberapa saran dari penduduk desa dicoba untuk obati luka Pendekar Mabuk. Namun tubuh pemuda itu semakin dingin, wajahnya semakin pucat, helaan napasnya kian pelan, nyaris tidak bernapas lagi. Hal ini sangat menegangkan Puting Setaksa.

"Dia tak boleh mati! Aku tak mau kalau dia sampai mati! Ooh... apa yang harus kulakukan jika begini?!" gusar Puting Selaksa di dalam kamar itu. "Sudah kucoba salurkan hawa murniku, tapi tak membawa hasil sedikit pun. Atau... haruskah kucurahkan semua kekuatan hawa murniku ke dalam tubuhnya?!"

Pendekar Mabuk dibaringkan agak miring ke kiri dengan menggunakan bantal sebagai pengganjal, ia berada di atas ranjang berkasur yang biasa dipakai tidur para bangsawan atau saudagar kaya. Baju coklatnya sudah dilepaskan oleh Puting Selaksa, beberapa ramuan tumbuk telah diborehkan di sekitar luka. Tapi ramuan itu tak membuat luka mengalami pengeringan. Bahkan lubang luka itu makin lama tampak semakin membesar.

Puting Selaksa sangat cemas dan baru kali ini dia merasa tegang menghadapi luka seseorang. Sampai larut malam, ia tak bisa tidur dan sebentar-sebentar memeriksa denyut nadi Suto. Denyut itu dirasakan kian pelan. Puting Selaksa benar-benar tersiksa batinnya; cemas, tegang, jengkel, geram, semuanya bercampur menjadi satu dalam kebingungan yang menyesakkan pernapasannya sendiri.

Ki Pulasoma juga ikut gelisah dan sangat prihatin melihat keadaan Suto. "Seorang tetangga kami sedang pergi ke Lembah Tirta untuk memanggil seorang tabib ahli racun," kata Ki Pulasoma.

"Bagus! Kapan tabib itu bisa dibawa kemari?"

"Hmmm... perjalanan ke Lembah Tirta pulang pergi memakan waktu dua hari."

"Celaka! Dua hari bukan waktu yang tepat untuk menyelamatkannya, Ki!"

"Tapi setidaknya kita sudah berusaha sekuat tenaga, Nona!"

Anak gadis Ki Pulasoma muncul, "Pak, bumbung tuaknya Kang Suto sudah kuisi penuh tuak. Sebaiknya simpan saja di kamar ini kalau sewaktu-waktu Kang Suto kepingin minum tinggal nyedot!"

"Nyedot bagaimana? Bernapas saja susah kok memikirkan minumnya segala!" gerutu Ki Pulasoma. "Sana taruh di dekat rak piring saja!"

"Tunggu!" sergah Puting Selaksa, ia segera meraih bumbung tuak dari tangan anak gadis Ki Pulasoma. Ingatannya kembali pada saat ia terluka dan meminum tuak dari bumbung tersebut. "Lukaku cepat sembuh dan lenyap tanpa bekas secara ajaib begitu menelan tuaknya." Puting Selaksa bicara kepada Ki Pulasoma.

"Tapi... bukankah menurut cerita Nona tadi tuak mujarab itu telah tumpah semua?"

"Ya, memang begitu. Dan itulah yang kusesali."

"Mungkin., mungkin sekarang dia memang butuh minum untuk membasahi tenggorokannya. Sebaiknya dulangkan saja tuak itu pelan-pelan ke mulutnya, Nona,"

"Hmmm...," Puting Selaksa manggut-manggut tipis sambil termenung sesaat. Setelah itu ia meminjam sendok kepada Ki Pulasoma. "Coba pinjam sendoknya!"

Malam dibiarkan merayap terus. Kedai pun tutup. Puting Selaksa menyendok tuak dari dalam bumbung bambu itu. Untung keadaan tuak telah penuh sehingga mudah diambil dengan sendok kayu. Tuak tersebut didulangkan ke mulut Suto pelan-pelan. Mulut itu sedikit menganga karena ikut digunakan untuk bernapas. Sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke tenggorokan dan tertelan. Hanya empat sendok yang dituangkan ke mulut Suto, itu pun memakan waktu cukup lama, karena tuak tersebut masuk ke tenggorokan bagaikan setetes demi setetes.

"Mengapa aku mau melakukan begini segala?!" pikir Puting Selaksa, merasa heran atas apa yang dilakukan terhadap Suto, sebab selama ini ia tak pernah bersikap seperti itu terhadap pria mana pun, bahkan terhadap kekasihnya yang dulu menggores di hati.

"Aku gelisah sekali memikirkannya. Seharusnya tak perlu kupikirkan nasibnya ini! Aah... sebaiknya kutinggal mandi dulu, biar badanku segar dan kegelisahanku berkurang. Aku penat sekali!" keluh batin Puting Selaksa.

Tak peduli malam berudara dingin, perempuan itu tetap mengguyur tubuhnya sebagai cara mengusir kelelahan yang sering dilakukannya selama ini. Beberapa saat selesai mandi, badan memang terasa segar dan kelelahan pun berkurang. Puting Selaksa segera masuk ke kamar.

"Ooh...?!" mata perempuan itu mendelik, karena Suto Sinting tidak ada di pembaringan. Wajah pun menegang dan jantung berdetak-detak membuat darah bagai mulai mendidih. "Ke mana dia?!" geram hati Puting Selaksa diburu kepanikan.

la bergegas turun dari lantai atas, menggedor-gedor kamar Ki Pulasoma. Tapi sebelum pintu digedor, telinga perempuan itu menangkap suara langkah di loteng. la bergegas ke loteng kembali. Jalanan depan kamar-kamar tampak sepi, karena memang malam itu yang bermalam di situ hanya mereka berdua. Tak ada tamu lain.

Dengan mata melirik penuh waspada, Puting Selaksa dekati kamarnya kembali. Samar-samar ia mendengar suara hembusan napas memanjang. Hati Puting Selaksa menjadi semakin tegang. Maka pintu kamar pun segera dibukanya dengan tangan kanan siap lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi.

* * *

TUJUH

PUTING Selaksa tertegun di depan pintu melihat sosok kekar tanpa baju sedang meletakkan bumbung tuak pertanda habis menenggak isi bumbung itu. Mata tajam perempuan itu tak berkedip pandangi wajah tampan yang kini menatapnya dalam senyum.

"Aku ke kamar mandi di sebelah kamar mandi yang kau pakai tadi," ujar Suto Sinting dengan suara jelas. Rupanya luka pendekar tampan itu telah lenyap tanpa bekas sejak ia menelan tuak dari bumbungnya.

Puting Selaksa tak tahu bahwa tuak dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung tuak tersebut maka akan mempunyai khasiat penyembuhan yang sangat ajaib, sehingga tak heran walau hanya setetes dua tetes, seseorang yang terluka parah akan segera sembuh jika meneguk tuak tersebut.

Ketika Puting Selaksa mandi, proses penyembuhan luka di tubuh Pendekar Mabuk itu berjalan dengan cepat. Tubuh Suto Sinting menjadi segar dan seperti tak pernah terluka apa pun beberapa saat setelah ia didulang tuak oleh Puting Selaksa.

Melihat keadaan Pendekar Mabuk telah sehat kembali, Puting Selaksa tampak gembira sekali. Wajahnya tak setegang tadi. Bahkan di bibirnya ada seulas senyum yang memancarkan rasa damai dari dalam hati perempuan itu. Sayangnya senyum dan keramahan itu hanya sebentar, karena beberapa kejap kemudian Puting Selaksa mulai menjaga sikapnya agar tak diremehkan oleh seorang lelaki, sehingga keketusan dan keangkuhannya terpampang kembali.

"Tuakmu memang dahsyat!" ujarnya bernada datar. "Kusangka kau tadi diculik orang atau...."

"Memangnya kalau diculik orang kenapa?" pancing Suto Sinting dengan senyum tipis menawan.

Puting Selaksa tak membalas senyuman itu. "Lain kali jangan membuatku menjadi tegang seperti tadi."

"Aku hanya ikut-ikutan mandi karena badanku lengket sekali."

Puting Selaksa percaya dengan pengakuan itu, karena di tubuh Suto masih tampak butiran air yang belum terhapus oleh baju coklatnya sebagai ganti handuk. Pendekar Mabuk mengguyur tubuhnya agar memperoleh kesegaran lebih nyaman lagi, namun rambutnya dibiarkan kering, karena malam hari terasa tak enak jika harus mencuci rambut segala.

"Terima kasih atas bantuanmu yang membawaku sampai ke sini. Kalau tidak, dalam waktu beberapa saat lagi nyawaku akan melayang."

"Ya, aku tahu persis hal itu," jawab Puting Selaksa datar-datar saja. la duduk di tepian ranjang sambil melepaskan gulungan rambutnya. Kini rambut itu meriap kering sepanjang punggung.

"Ooh...?!" gumam Suto Sinting dengan mata berbinar-binar memandangi Puting Selaksa.

"Ada apa?" tanya Puting Selaksa heran.

"Kau tampak semakin cantik dalam keadaan rambut diriap begitu."

"Hati-hati bicaramu!" ucapnya bernada mengancam. Tapi Suto justru melebarkan senyum dan tak ragu-ragu dalam memandangnya. Puting Selaksa menggerai-geraikan rambutnya dengan tangan seakan tak peduli dengan tatapan mata Pendekar Mabuk.

"Gobang Garu telah kuhabisi. Aku terpaksa menghabisi nyawanya karena aku tak ingin dikejar-kejar oleh orangnya Adipati Wijanarka lagi."

"Ya, aku masih sempat melihat bagaimana kau bertarung melawannya. Jurus-jurusmu hebat dan mengagumkan. Hanya saja, apakah setelah Gobang Garu binasa, berarti kau bebas dari kejaran Adipati Wijanarka?"

"Kurasa masih ada satu orang lagi yang harus dibinasakan. Dia dikenal dengan nama: Dewa Tumbal. Ilmunya tinggi dan kejam sekali."

"Siapa itu Dewa Tumbal?"

"Penjaga manusia peliharaan Adipati Wijanarka. Biasanya Dewa Tumbal dikeluarkan jika keadaan sangat terpaksa. Dengan matinya Gobang Garu, aku yakin Adipati Wijarnaka akan mengutus Dewa Tumbal untuk membunuhku."

"Membunuhmu? Mengapa kau yakin dia akan membunuhmu?"

"Karena dia tak ingin aku diperistri lelaki lain. Rasa iri dan sirik ada pada jiwa Adipati Wijanarka."

"Tapi apakah dia akan tahu bahwa kaulah orang yang membunuh Gobang Garu?"

"Pasti tahu, karena mayat Gobang Garu menjadi merah. Itulah ciri orang yang menjadi korban pedangku."

"O, ya. Aku ingat kehebatan pedangmu juga. Sayang waktu itu aku tak bisa memujimu."

"Aku tak butuh pujian!" ucapnya datar dan tawar sekali.

"Apakah ada pihak lain yang menurutmu berbahaya bagi keselamatan jiwamu?"

"Tak ada. Jagalawa telah tewas di tangan orang-orang Pulau Boneng. Dua lelaki lainnya yang juga ingin memperistriku bukan orang berilmu tinggi. Aku bisa atasi mereka sambil tidur nyenyak. Tapi Adipati Wijanarka harus kuhadapi dengan sungguh-sungguh. Orang simpanannya itu yang berbahaya sekali. Jika aku bisa membunuh Dewa Tumbal, maka kekuatan sang Adipati akan lenyap. Dia tak akan berani menggangguku lagi. Dewa Tumbal sudah dianggap manusia paling sakti yang tak mungkin ada yang bisa mengalahkan, menurut sang Adipati."

"Hmmm... kalau begitu," Suto berdiri di depan Puting Selaksa yang masih duduk di tepian ranjang. "...jika Dewa Tumbal memburumu, biarlah aku yang menghadapinya."

"Tak perlu," jawab Puting Selaksa seperti orang menggumam. "Aku tak ingin melibatkan dirimu terlalu jauh dalam perkara ini."

Pendekar Mabuk segera duduk di samping kiri Puting Selaksa, "Kau sudah melibatkan diriku. Tak mungkin aku berhenti di tengah jalan. Sekalipun kau melarang, aku akan memaksa!"

Puting Selaksa berpaling pandangi Suto Sinting. Tatapan matanya yang selalu tajam dan berkesan angker namun punya nilai kecantikan tersendiri itu membuat hati Suto bergetar kembali. "Mengapa kau bertekad begitu?" tanya Puting Selaksa. "Kalau kau mati, apa untungmu? Kalau kau menang, apa pula untungmu?"

Pendekar Mabuk angkat bahu. "Aku tak mencari keuntungan, karena aku bukan pembunuh sewaan. Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tentang Rona Dewaji itu."

"Sebaiknya tak perlu dipercaya lagi. Anggap saja aku tak pernah bercerita tentang Rona Dewaji. Aku wanita biasa, bukan Wanita Keramat."

"Tapi kau punya keistimewaan."

"Tidak. Aku tidak punya keistimewaan."

"Punya...," jawab Suto tetap ngotot tapi dengan nada lembut, membuat Puting Selaksa semakin enggan membuang pandangan matanya ke arah lain.

"Apa keistimewaanku menurutmu?"

Suto tersenyum tipis. "Cantik, berani, galak, dan..."

"Jinak," sahutnya seraya mulai ada senyum yang membayang di sudut bibirnya.

"Apanya yang jinak? Galakmu seperti singa lapar habis ditipu sang kancil!"

"Siapa pun bisa menyentuh hatiku, dia akan bisa menjinakkan keangkuhanku."

"O, begitukah?" Suto melebarkan senyum. "Bagaimana cara menjinakkanmu?"

"Mengerti pribadiku, mengerti tabiatku, dan mengerti seleraku."

Makin lama beradu pandang, semakin berdebar-debar hati Pendekar Mabuk. Debaran itu mengandung sejuta bunga indah yang sukar dilukiskan dengan kata. Tak ada rasa bosan walau memandang wajah cantik berkesan galak itu selama sepuluh helaan napas. Malam yang bisu akhirnya diusik oleh suara lirih Suto yang terlontar bagai di luar kesadaran.

"Cantik sekali....."

Mata perempuan itu tak berubah, ekspresi wajahnya pun tetap dingin.

"Kau marah jika kupandang begini?"

"Tidak!" jawabnya pelan sekali, bahkan suara paraunya terdengar jelas.

"Kau... kau percaya kalau aku mengagumi kecantikanmu?"

"Tidak...."

"Aku... benar-benar mengagumimu. Sayang sekali kau... galak," Pendekar Mabuk tersenyum, tapi perempuan itu tidak sama sekali. Lalu mereka saling bungkam lagi dengan tetap saling beradu pandang.

"Kau suka padaku?"

"Tidak," jawab Puting Selaksa semakin lirih.

"Kau tahu aku bergairah sekali melihat bibirmu?"

"Tidak," suara itu lebih pelan dari yang tadi.

"Tapi... kau tidak keberatan jika aku mengecup bibirmu?"

Malam hening, kamar menjadi sepi, Puting Selaksa tak menjawab. Suto menunggu penuh harap. "Jawablah...," bisik Suto.

"Ti... dak...."

Siiir...! Hati Suto berdesir begitu indah mendengar jawaban yang nyaris tak terdengar itu. Maka ia pun segera menempelkan bibirnya ke bibir Puting Selaksa. Seeerr...! Sekujur tubuh bagai disiram air hangat ketika bibir itu saling sentuh. Pendekar Mabuk merenggangkan bibirnya, lalu bibir Puting Selaksa dipagutnya pelan-pelan. Cuuuup...! Semakin hangat rasa di sekujur tubuh Suto pada saat itu.

Sayang sekali perempuan tersebut masih diam tanpa reaksi apa pun. la hanya memejamkan mata ketika bibirnya dipagut-pagut buat mainan bibir Suto. la juga tetap diam tanpa gerakan sedikit pun ketika lidah Suto menyapu permukaan bibir itu. Namun ketika lidah Suto mendesak lebih dalam dan bibir itu pun dipagut agak kuat, perempuan itu mulai bereaksi kecil, menyodorkan lidahnya agar bertemu dengan lidah Pendekar Mabuk.

Ketika lidah itu dipagut Suto, bendungan keangkuhan itu tak tertahankan lagi. Puting Selaksa segera membalas kecupan lembut itu. Bahkan kini ia melumat bibir Suto dengan ganas. Tangannya meremas rambut kepala bagian belakang pemuda itu, seakan ia ingin agar bibir itu lebih lekat lagi dalam lumatannya.

Sesaat kemudian, tiba-tiba Puting Selaksa lepaskan kecupan dan menarik kepala ke belakang. Wuuut...! la terengah-engah sambil pandangi Suto Sinting yang bibirnya masih merekah menandakan masih ingin dilumat lagi itu.

"Kenapa berhenti?!"

"Kau terlalu berani membakar gairahku," jawab Puting Selaksa.

"Tak bolehkah aku sedikit berani padamu?"

"Kau akan kewalahan nantinya."

"Mengapa harus kewalahan?"

"Tuntutan gairahku akan lebih besar dari gairahmu."

"Kalau aku merasa sanggup menuruti keinginanmu, bagaimana?"

Kali ini bola mata yang tepian kelopaknya berwarna hitam itu bergerak-gerak karena gelisah. Pendekar Mabuk sengaja tetap memandang dan mendekatkan wajah pada jarak tetap. Terlalu lama memandang Suto, Puting Selaksa terlalu rapuh mempertahankan keinginannya. Maka dengan cepat ia segera menyambar bibir Pendekar Mabuk dan melumatnya dengan lebih ganas dari yang tadi.

Tangan meremas dan gerakan menjalar ke mana-mana. Pelukannya diperkuat, seakan ia ingin membuat tubuh Suto agar terbenam dalam tubuhnya. Punggung Suto yang tidak berbaju itu menjadi sasaran remasan tangan menahan gejolak keindahan.

Pendekar Mabuk sempat gelagapan ketika ciuman itu makin memburu, menyapu ke pipi, ke telinga, dan mengelilingi leher dengan pagutan-pagutan hangat. Pendekar Mabuk tak mau tinggal diam. Tangannya mulai bergerilya, menelusup ke dalam belahan baju perempuan itu. Belahan diperlebar, sehingga tangan semakin bebas. Maka tertangkaplah apa yang dicari tangan Suto di permukaan dada Puting Selaksa itu. Dada berbukit sekat dan membengkak bagai ingin meledak itu mulai menjadi pusat kenakalan tangan Suto.

"Aaah...!" Puting Selaksa mendesah pendek, lalu mendesis dengan gemas. la bahkan menyentakkan bajunya sendiri hingga belahannya terlepas dari ikat pinggang...."

"Ambil..! Ambill...!" sentaknya dalam bisik sambil menekan kepala Suto hingga terbenam di dadanya. Maka pemuda tampan itu pun menyambar ujung-ujung bukit dengan kehangatan mulutnya.

"Oouh...! Terus! Terus!" geram Puting Selaksa. la meronta digelitik keindahan. la mengamuk meremasi tubuh dan rambut Suto. Amukannya tak sadar telah membuat pembungkus tubuhnya terlepas, dan ia tak marah ketika tangan Suto membantu melepaskan seluruhnya.

"Terus! Semuanya, Suto! Semuanya...!" perintahnya dengan suara menggeram, lalu napas pun tersentak-sentak.

Pendekar Mabuk sempat hentikan seluruh gerakannya sambil matanya memandang lebar ke bentangan hangat di depannya itu. Puting Selaksa memandang sayu, bahkan sengaja membuka segalanya agar menjadi lebih jelas bagi Pendekar Mabuk.

"Gila...? Kau punya... kau punya bukit tujuh buah?!" ujar Suto membisik penuh keheranan.

"Sembilan," jawab Puting Selaksa.

Pendekar Mabuk berdebar-debar memperhatikan bukit-bukit yang berujung menantang itu. Dua bukit paling besar dan montok ada di dada seperti lazimnya seorang perempuan. Tapi di samping dua bukit di dada, ternyata ada lagi dua bukit di pinggang kanan-kiri, hanya saja tak sebesar yang di dada. Tapi ujungnya tampak jelas sebagai ujung perbukitan seorang wanita.

Selain di pinggang, ada juga sepasang bukit di samping perut, tepat pangkal paha kanan-kiri. Namun hanya tampak sedikit menggunduk dan berpuncuk kecil. Sedangkan tepat di bawah pusar, hampir berhimpit dengan pusar, juga ada bukit kecil yang mempunyai ujung seukuran dengan di dada.

"Luar biasa...?!" gumam Suto Sinting penuh keheranan.

Puting Selaksa segera tengkurap sambil berkata, "Dua lagi di sini...."

"Oh, gila...!!" Suto Sinting hampir terpekik melihat dua bukit di bahu kanan-kiri, hanya saja tidak semenonjol yang di dada. Namun mempunyai ujung-ujung yang sama besarnya dengan yang di dada. Pendekar Mabuk mencoba mendekati salah satu bukit yang di bahu kiri, ia menyapunya dengan kecupan lembut.

"Ooh, teruskan...! Teruskan, Suto!"

"Kau... kau suka?"

"Indah sekali! Teruskan...!" perintahnya setengah membentak. Maka Suto pun segera menyambar kedua bukit di bahu kanan-juri itu secara bergantian. Ternyata Puting Selaksa merasakan keindahan seperti saat dadanya dipagut Suto. Kini Suto diperintahkan menjelajahi kesembilan bukit itu. Ternyata kesembilan bukit itu mempunyai keindahan yang sama jika berada dalam pagutan.

"Pantas dia bernama Puting Selaksa. Ternyata memang mempunyai jumlah bukit yang lebih banyak dari para wanita lainnya," pikir Suto sambil memberikan pagutan dan kecupan lembut di sekujur tubuh Puting Selaksa. Perempuan itu mengerang dan mendesah-desah, karena setiap jengkal tubuhnya bagaikan menghadirkan; sejuta keindahan dan kebahagiaan jika disentuh dengan apa pun.

"Terus, Suto...! Terus ke bawah! Ooh... aku suka sekali, Suto! Aoow...!" pekiknya dengan ganas ketika Suto mencapai tempat yang dimaksud Puting Selaksa. Perempuan itu pun tak kuasa menahan diri hingga meliuk dengan ganasnya. Setelah memekik beberapa kali karena mencapai puncak keindahan, walau perahu belum berlayar, perempuan itu pun menarik Suto agar wajah mereka saling berpadu lagi.

"Aku ingin sekarang, Suto! Oh, sekarang! Harus sekarang! Ayo, Suto! Ayooo...!" '

Tapi tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh Ki Pulasoma. Suara Pak Tua itu pun terdengar jelas hingga menghentikan semua gerakan di atas ranjang.

"Nona Puting Selaksa... ada tamu yang mencari namamu, Nona!"

"Oh...?!" Puting Selaksa memandang Suto dengan tegang. "Cepat berkemas!" sentak Puting Selaksa membuat Suto menggeragap dan saling merapikan diri kembali.

"Setan alas!" gerutu Puting Selaksa dengan hati kesal. Rasa heran Puting Selaksa membuatnya lebih cepat bergerak daripada Pendekar Mabuk. la segera menemui Ki Pulasoma di ujung tangga bawah. "Siapa yang mencariku?"

"Aku belum tanyakah namanya. Tapi dia datang ke desa ini langsung menemui kepala desa kami, dan ia datang diantar oleh pesuruh lurah kami."

Semakin penasaran sekali Puting Selaksa, sehingga langkahnya dipercepat tanpa menggubris seruan Pendekar Mabuk yang sedang mengencangkan ikat pinggang kain merahnya itu. Tak lupa Suto pun menyambar bumbung tuaknya karena ia memang kehausan. Sambil berjalan menuju ke ruang kedai, ia menenggak tuak beberapa teguk, sehingga badannya terasa segar kembali. Pada daat itu ia melihat Puting Selaksa keluar dari kedai dan bicara di balik pintu kedai. Pendekar Mabuk mempercepat langkahnya. Rupanya Puting Selaksa menemui pelayan kepala desa yang berbadan kurus itu.

"Seorang tamu datang kepada Ki Lurah dan menanyakan nama Puting Selaksa. Kami tidak tahu dan tidak merasa punya warga bernama Puting Selaksa. Setelah dia memberitahukan ciri-cirinya, kami baru ingat bahwa ciri-ciri itu adalah ciri-cirimu, Nona. Beberapa tetangga memberitahukan bahwa kau bermalam di sini bersama Pendekar Mabuk. Maka kucoba untuk membawanya kemari."

"Di mana orang itu sekarang?"

"Itu... di bawah pohon sana. Beliau menunggu Nona di sana. Entah mengapa beliau malu untuk hampiri Nona kemari."

Dalam keremangan cahaya rembulan separo bagian. Puting Selaksa tak bisa melihat jelas siapa orang yang ada di bawah pohon seberang kedai itu. Pendekar Mabuk segera mengusulkan agar mereka menghampiri orang tersebut. Puting Selaksa pun akhirnya melangkah ke seberang kedai didampingi Suto.

"Mencurigakan sekali!" gumam Suto lirih. Puting Selaksa mendengar tapi tak pedulikan gumaman tersebut. Perhatiannya terpusat ke arah bawah pohon. Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti setelah orang yang ada di bawah pohon itu melangkah maju beberapa kali. Cahaya rembulan yang samar-samar itu segera menerangi wajah orang tersebut. Puting Selaksa tampak terkejut.

"Celaka!" gumamnya menegang.

"Kenapa?" tanya Suto. "Kau kenal dengannya?"

"Dia yang bernama Dewa Tumbal!"

"Ooh, dia...?!" Suto tampak tenang.

Tapi Puting Selaksa sempat cemas dan kebingungan. "Pedangku kutinggal di kamar!"

"Tenang saja. Biar kuhadapi dia!"

Orang berpakaian serba hitam dengan tepian putih itu semakin dekat dengan mereka. Penampilannya sangat tenang. Wajahnya tak berkesan angker. Usianya sekitar empat puluh tahun. la bertubuh tinggi, tegap, sebaya dengan Pendekar Mabuk. Di pinggangnya terselip sebilah pedang perak yang memantulkan cahaya matahari.

"Maaf mengganggumu, Puting Selaksa," ujar si Dewa Tumbal dengan nada dingin. "Kuikuti kepergian Gobang Garu setelah kudengar gurumu sedang mencarimu. Tapi aku terlambat. Kutemukan ia telah menjadi mayat dalam keadaan tubuhnya merah matang. Kukenali kematian seperti itu adalah kematian di ujung pedangmu. Maka kucari tempat terdekat di sekitar sini. Kutemukan desa ini dan kutanyakan kepada lurah di sini, ooh... ternyata dugaanku tak meleset. Kau ada di desa ini bersama oh, siapa dia, Puting Selaksa?"

Tutur kata yang lembut itu seolah-olah tidak menampakkan sikap permusuhan. Tetapi Puting Selaksa dan Pendekar Mabuk sudah dapat menduga apa akhir dari tutur kata yang lembut itu. Karenanya, Puting Selaksa segera ajukan tanya bernada ketus.

"Singkatnya saja, apa maksudmu mencariku, Dewa Tumbal?"

"Adipati Wijanarka sudah tak sabar dengan cara kerja di Gobang Garu. Sang Adipati segera mengutusku untuk mencarimu dan membawanya pulang ke kadipaten. Tapi sang Adipati juga memberi wewenang padaku, jika kau menolak aku boleh membunuhmu! Maka sekarang terserah pilihanmu; ikut ke kadipaten, atau pergi ke neraka bersama pemuda itu?!"

Hati Suto Sinting bagai dibakar sembilan obor saat dirinya dituding oleh Dewa Tumbal. Tanpa basa-basi lagi akhirnya Suto pun berkata kepada Dewa Tumbal. "Kau dan seluruh prajurit kadipaten, termasuk sang Adipati sendiri, sebaiknya maju bersama untuk merebut Puting Selaksa ini! Karena jika aku belum menjadi bangkai, kalian tak akan sanggup memaksa Puting Selaksa untuk menjadi istri sang Adipati itu!"

"Oh, kau telah membuka arena pertarungan denganku, Anak Muda! Jika begitu, kuperkenalkan lebih dulu jurus pembukaanku ini!" Dewa Tumbal hentakkan kakinya ke tanah dengan pelan. Duuuhk!

Weees...! Pendekar Mabuk terlempar ke atas, meluncur dengan cepat bagai ingin menembus langit. Puting Selaksa terperanjat dan segera lepaskan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Dewa Tumbal.

Wuuut...! Baaaahk...!

Dewa Tumbal mengadu pukulan tenaga dalamnya yang tanpa sinar. Gelombang padat yang dikirimkan Puting Selaksa justru membalik arah dan menerjang tubuh perempuan itu sendiri. Buuhk...! Weeers...! Brrruk...! Puting Selaksa terjungkal lima langkah ke belakang. "Huuahk...!" Puting Selaksa memuntahkan darah segar.

Pada saat itu Suto dalam keadaan turun dari ketinggian terbangnya. Tapi ia telah mampu menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendaratkan kakinya ke tanah dengan baik, bahkan tanpa suara. Seet...!

"Cukup lumayan juga jurus perkenalanmu," ujar Suto Sinting dengan tenang.

Tapi Dewa Tumbal terkesip memandang Suto mampu daratkan kakinya tanpa suara. la tahu hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah kuasai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.

"Bagaimana dengan jurus perkenalanku ini?" kata Suto, lalu ia menghentakkan kakinya ke tanah dengan pelan juga. Duuuhk...!

Brruuuusss...! Dewa Tumbal amblas ke bumi akibat kekuatan jurus 'Telan Bumi'-nya Pendekar Mabuk. Orang berjubah hitam itu sempat menggeragap karena tubuhnya terbenam di tanah sampai batas dada. Sebelum ia lakukan sesuatu, Pendekar Mabuk sentakkan kakinya lagi ke tanah. Duuuhk...!

Brrruuusss...!

"Oohk...!" Dewa Tumbal terbenam seluruh tubuhnya bagai ada yang menarik dari dasar bumi. Permukaan tanah pun menjadi rata kembali, walau tak serata semula.

Puting Selaksa memandang kagum walau ia harus menahan rasa sakit di dadanya. Pendekar Mabuk tersenyum kepada Puting Selaksa. Tapi senyum itu hilang setelah tiba-tiba Dewa Tumbal melesat dari dalam tanah, menjebol permukaan tanah yang menjadi rata itu.

Bruuulll...! Brrrus...!

Tubuh itu melayang cepat di udara bersama tanah yang berhamburan. Kemudian ketika ia bersalto satu kali, sebuah pukulan bercahaya merah dilepaskan dari tangannya. Claaap...! Cahaya itu berbentuk bintang berekor yang segera menerjang Suto. Dengan cepat bumbung tuak dihantamkan ke arah cahaya merah tersebut.

Blegaaaarrr..! Ledakan dahsyat membangunkan penduduk desa, karena rumah-rumah bergetar, genteng merosot, dan beberapa tanaman pun terguncang karena bumi menjadi bergetar menerima gelombang ledakan tadi.

Sreet...! Dewa Tumbal mencabut pedangnya. Wees...! la melesat bagaikan kilat menerjang Pendekar Mabuk. Trang, trang...! Pedang pun beradu dengan bumbung tuak. Percikan bunga api menyebar ke mana-mana. Pada mulanya Pendekar Mabuk mampu hindari tebasan pedang Dewa Tumbal dengan jurus mabuknya yang menggeloyor ke sana-sini bagai mau tumbang. Tapi kejap berikut, Dewa Tumbal pergunakan jurus pedang andalannya yang kecepatannya seperti pusaran arus angin.

Wut, wut, wut, wut, wut...!

Pendekar Mabuk sempat kewalahan hindari pedang yang kecepatannya tak bisa dilihat mata itu. Bahkan Dewa Tumbal bagaikan hilang dari pandangan mata siapa saja. Akibatnya, Pendekar Mabuk terpaksa keluar dari lingkaran gerak si Dewa Tumbal itu dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!

Cras, cras...!

"Aaahk....!" Pendekar Mabuk terpekik, tahu-tahu tubuhnya muncul dalam keadaan dada terbelah dan lengannya luka. Darah mengucur dari kedua luka itu. Pendekar Mabuk benar-benar sempoyongan menahan luka yang amat berbahaya itu. Sedangkan Dewa Tumbal masih mengitari tempat tadi, karena ia tak melihat Pendekar Mabuk sudi pergi dari tempat tersebut.

"Suto...! Tuak! Lekas minum tuak!" seru Puting Selaksa sambil berlari menghampiri Suto Sinting. la tampak cemas sekali.

Keadaan Dewa Tumbal yang masih memutari tempat tersebut sambil menebaskan pedangnya itu dipergunakan Suto untuk meneguk tuaknya beberapa kali. Dengan begitu, luka tersebut cepat menjadi rapat dan rasa sakitnya pun lenyap.

"Bangsat!" teriak Dewa Tumbal setelah menyadari dirinya kecele dan memandang Suto sudah berada di tempat jauh. Maka Dewa Tumbal pun menjadi berang dan melesat bagaikan terbang ke arah Pendekar Mabuk. "Heaaaat...!"

"Keparat kudis orang ini!" geram Suto Sinting, akhirnya ia melepaskan jurus yang tak bisa ditangkis dan dihindari oleh lawan mana pun. Jurus 'Yuda' pemberian calon ibu mertuanya: Ratu Kartika Wangi itu dilepaskan untuk mengakhiri pertarungannya dengan Dewa Tumbal.

Clap, clap, clap, clap...! Dari tangan Suto keluarkan sinar cahaya perak dalam bentuk bintang segi lima. Sinar itu melesat cepat dan jumlahnya lebih dari sepuluh bintang perak. Sinar tersebut menerjang Dewa Tumbal dan gerakan Dewa Tumbal terhenti seketika.

Juuurrrb...! Jreeeg....!

la diam mematung dalam keadaan mengangkat pedangnya. Sampai lama sekali Dewa Tumbal tak bergerak. Puting Selaksa melihat jelas sinar perak berbentuk bintang segi lima itu menghantam kuat dada Dewa Tumbal.

Pada saat itu, seluruh luka Pendekar Mabuk telah lenyap dan keadaannya pulih seperti sediakala. la segera menenggak tuak lagi. Setelah itu hampiri Puting Selaksa yang tertegun bengong pandangi Dewa Tumbal yang tak bergerak lagi.

"Sudah selesai sekarang...," ujar Suto dalam bisikan.

"Tapi... tapi Dewa Tumbal belum tumbang dan agaknya ia sedang menahan rasa sakitnya akibat sinar perakmu tadi."

"Sebentar lagi tumbang!" kata Suto Sinting dengan kalem.

Sebelum Puting Selaksa ajukan tanya lagi, tiba-tiba matanya menjadi terbelalak karena melihat Dewa Tumbal mengalami keanehan. Satu persatu anggota tubuhnya berjatuhan. Setiap ruas tulang, setiap persendian, terlepas, dan saling berjatuhan ke tanah, sampai akhirnya lengannya jatuh sendiri ke tanah. Disusul kemudian kepala si Dewa Tumbal menggelinding bagai bola, dan paling akhir adalah sendi lututnya terlepas dan robohlah si Dewa Tumbal dalam keadaan terpotong-potong setiap persendiannya.

"Luar biasa...!" gumam Puting Selaksa dengan nada mendesah penuh kekaguman.

Dengan demikian, maka lega sudah hati Puting Selaksa, karena tak ada lagi yang ditakuti yang akan mengejar-ngejarnya dalam urusan perkawinan. Puting Selaksa kini sunggingkan senyum kepada Suto Sinting dengan disinari cahaya rembulan pucat. Namun senyum itu tetap tampak indah dan mendebarkan hati Pendekar Mabuk.

"Apa lagi yang harus kulakukan untukmu?" tanya Suto.

"Melanjutkan pelayaran cinta kita yang tertunda tadi?"

"Oh, jangan! Sebaiknya jangan lakukan demi Rona Dewaji yang ada padamu agar tak hilang. Itu keberuntunganmu selama tujuh turunan lebih! Jangan sia-siakan dengan pencemaran cinta seperti tadi."

Puting Selaksa akhirnya hanya bisa tarik napas panjang-panjang.

"Sebaiknya malam ini kita istirahat saja. Esok kita cari gurumu dan si Manggar Jingga!"

"Terima kasih atas ketulusanmu!" ucap Puting Selaksa sambil memeluk Suto dalam siraman cahaya rembulan.

Dua hari kemudian, mereka bertemu dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga dalam sebuah perjalanan menuju Teluk Sendu. Ketika Suto menanyakan tentang Rona Dewaji kepada Resi Parangkara, sang Resi pun menganggukkan kepala dan menjawab dalam bisikan.

"Memang benar. Karena itulah aku mencari-carinya, karena aku tahu ada beberapa orang yang mengincar Puting Selaksa. Perlu kau ketahui, Nak.... Rona Dewaji hanya akan turun pada orang-orang yang mempunyai kelainan dalam tubuhnya. Misalnya, berjari sebelas, berpusar dua, atau..."

"Termasuk berpayudara sembilan...?!"

Resi Parangkara terkejut dan matanya terbelalak. "Kalau begitu kau telah...."

"Hanya sebatas mandi saja, Eyang Resi. Percayalah, Rona Dewaji masih ada dalam diri Puting Selaksa alias si Wanita Keramat itu!"

Resi Parangkara menghempaskan napas lega. Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil lemparkan pandangan ke arah lain.

SELESAI


Wanita Keramat

Serial Pendekar Mabuk
Wanita Keramat
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

AWAN kelabu bergulung-gulung bagai ingin menelan matahari. Sang matahari tetap tenang dan acuh tak acuh, seakan yakin kalau dirinya tak akan dikalahkan oleh awan kelabu itu. Hanya saja, sang matahari mulai waswas begitu melihat kabut hitam berarak-arak dari selatan, bagai iring-iringan jenazah di atas langit.

"Firasat buruk," gumam seorang lelaki tua yang berdiri di atas bukit sambil pandangi arak-arakan burung gagak itu. Wajah tuanya mulai memancarkan kecemasan walau tampaknya tenang-tenang saja.

Langkah si tua berjubah ungu itu sengaja dihentikan. Tongkatnya yang tinggi sepundak digenggam kuat-kuat, bahkan sedikit ditekan ke tanah. Si tua berjubah ungu dengan pakaian dalamnya warna putih itu sengaja membiarkan iring-iringan burung gagak melintas di langit atas kepalanya.

"Firasat buruk apa itu, Kek?" tanya seorang gadis bermata bundar bening.

"Akan terjadi musibah besar yang menewaskan orang banyak," jawab si kakek berikat kepala ungu, sama dengan warna jubahnya.

"Ih, ngeri!" ujar gadis berpakaian serba Jingga, jubahnya tanpa lengan warna Jingga, kain penutup bagian dada dan pinggulnya juga warna Jingga, bahkan pedangnya dari sarung pedang sampai gagang dililit kain warna Jingga. la mengenakan kalung dan gelang berbatu jingga. Entah batu apa namanya, yang jelas batu yang menghias sabuknya juga berwarna jingga. Batu di sabuk itu cukup besar, bening, dan berbentuk bulat telur pipih bagian belakangnya.

"Kira-kira musibah apa yang bakal terjadi, Kek?"

"Sebentuk kematian yang mengerikan. Daerah ini tak lama lagi akan dipenuhi oleh puluhan mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Karenanya, lebih baik kita harus cepat tinggalkan tempat ini sebelum musibah melibatkan kita sebagai korbannya."

"Tapi kita harus menemukan Puting Selaksa dulu, Kek. Sebelum menemukan Puting Selaksa aku tak mau tinggalkan tempat ini," ujar si gadis cantik berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu.

"Kita cari di tempat lain saja. Mungkin kakakmu si Puting Selaksa sudah tinggalkan tempat ini, Manggar Jingga."

"Firasatku mengatakan, Puting Selaksa masih ada di sekitar wilayah tanah Mentawai ini, Kek. Barangkali ia disekap oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi. Kita harus menyerang perguruan itu, Kek."

"Sebelum jelas dan pasti, jangan lakukan tindakan gegabah, Manggar Jingga. Salah-salah kita jadi punya banyak musuh hanya karena tindakan gegabah kita."

Sang kakek jubah ungu itu bicara dengan nada bijaksana. Agaknya ia selalu memperhitungkan tiap langkah dan tindakan yang akan diambil agar tidak menimbulkan petaka balik bagi dirinya sendiri. Sikap seperti itu secara tak langsung diajarkan kepada muridnya yang sudah dianggap cucu sendiri itu.

Tetapi si gadis yang ternyata bernama Manggar Jingga itu kurang setuju dengan perhitungan sang Guru. Bahkan menduga sang Guru kali ini bertindak ragu-ragu. Manggar Jingga agak kesal dengan peringatan sang Guru tadi, sementara hati kecilnya telah yakin betul bahwa kakak seperguruannya yang bernama Puting Selaksa itu hilang diculik oleh orang Perguruan Tangan Besi. Tiba-tiba si gadis berhidung bangir dan berbibir mungil itu berbisik kepada gurunya.

"Kek, di belakangku seperti ada orang yang sedang mengawasi kita."

"Sejak tadi aku sudah tahu."

"Bagaimana kalau kugebrak biar dia tahu kalau kita tak suka diintai begini?!"

"Gebrak saja, tapi pelan-pelan."

"Itu namanya bukan digebrak!" ujar sang murid sambil bersungut-sungut.

"Terserah kau sajalah, asal jangan timbulkan permusuhan kepada orang yang belum tentu memusuhi kita!"

Gadis itu berlagak tenang, melangkah ke samping sambil bicara keras kepada sang Guru. "Kek, pemandangan di sini indah sekali. Aku senang berada di sini. Cuma sayang ada yang usil kepada kita, Kek! Mungkin dia maling kurang kerjaan. Maling yang kurang kerjaan harus diberi pelajaran begini...."

Wuuuut...! Tiba-tiba tangan kanan gadis itu menyentak ke belakang dengan tubuh berputar separo lingkaran. Dari tangan yang megar itu keluar angin kencang yang membuat semak-semak tercabut dari tanah.

Wuuus...! Bruuus...!

"Uuhhk...!" suara pekikan terdengar dari orang yang berada di balik semak. Orang itu terlempar ke atas bagai diterbangkan oleh kekuatan besar. Namun begitu merasa dirinya terbang ke udara, orang itu segera bersalto dua kali dan daratkan kakinya ke tanah tanpa bunyi, menandakan ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi.

"Gila! Tenaga dalamnya begitu besar, membuatku terlempar begitu saja. Sial!" gerutu orang yang menjadi tersipu malu mirip maling tertangkap basah.

Sedangkan si jubah ungu dan muridnya sempat terkesip pandangi orang yang tertangkap basah itu. Terutama si gadis, menjadi berdebar dan resah setelah tahu pengintainya adalah seorang pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala dan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih kusam. Pemuda itu membawa bumbung bambu tempat tuak yang kala itu digantungkan di pundaknya.

"Lho, kok malingnya ganteng, Kek?" ujar si gadis dengan nada pelan tapi terdengar di telinga si pemuda tampan bertubuh kekar itu. Pemuda tersebut hanya sunggingkan senyum salah tingkahnya.

"Maling modal tampang memang begitu, Manggar Jingga," ujar si jubah ungu.

"Aku bukan maling!" bantah pemuda tersebut.

"Ah, maling!" sentak si gadis berlagak ketus.

"Bukan! Aku bukang maling."

"Maling!" si gadis makin keras. "Kalau bukan maling kenapa kau mengintai kami di balik semak-semak? Itu namanya maling banci! Kalau bukan banci, mestinya kau berani maling secara terang-terangan!"

Jubah ungu tertawa pelan karena geli mendengar omelan sang murid yang sudah dianggap cucu sendiri itu.

"Maling itu macam-macam!" sambung Manggar Jingga. "Ada maling harta benda, ada maling pusaka, ada maling ilmu, ada maling hati, maling penglihatan, maling suara, dan...."

"Kok justru kau tahu jenis-jenis maling?! Jangan-jangan kau sendiri pakar maling?!" ujar pemuda berkulit sawo matang itu.

"Eh, sembarangan kau bicara. Ya?! Rupanya mulutmu perlu kurobek biar tak bicara sembarangan lagi!"

Sreet...! Si gadis mencabut pedang yang dari tadi ditentengnya dengan tangan kiri. Baru saja ia akan melangkah maju, kakek berjubah ungu itu menahan gerakannya dengan menyilangkan tongkat ke depan.

"Tahan kemarahanmu, Manggar Jingga!"

"Dia kurang ajar, Kek!"

"Yah, nanti kalau kurang ajar, biar aku yang menghajarnya," ujar si jubah ungu.

"Cucumu itu yang kurang ajar mengatakan aku maling, Pak Tua!" sambil pemuda berdada bidang itu menuding si gadis.

"Maklumilah ucapan muridku itu, Kisanak. Dia memang paling tak suka diperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Setiap orang yang mencuri pandang kepadanya selalu dianggap pencuri atau maling."

"Aku tidak bermaksud mencuri pandang kepadanya," si pemuda agak cemberut. "Kebetulan saja aku lewat sini dan mendengar percakapanmu tentang musibah besar yang akan terjadi di daerah ini. Aku tertarik dan ingin mengenalmu, tapi aku harus selidiki dulu siapa kau sebenarnya. Dari golongan hitam atau putih? Tentu saja hal itu tak bisa kutanyakan begitu saja, takut menyinggung perasaanmu, Pak Tua!"

"Jangan terbujuk oleh kelembutan katanya, Kek!" cetus Manggar Jingga dengan wajah cemberut.

Si kakek guru hanya tersenyum tipis sambil melirik si murid. Tapi kejap berikutnya ia menatap pemuda tampan tersebut dan bicara dengan nada kalem. "Kau tak perlu curiga pada kami, Kisanak. Kami bukan orang jahat. Kami datang kemari untuk mencari seseorang. Kami dari Teluk Sendu. Ini muridku yang sudah kuanggap cucuku sendiri, bernama Manggar Jingga. Sedangkan aku dikenal dengan nama Resi Parangkara."

"Apakah kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?"

"Itu sahabat lamaku," jawab Resi Parangkara. "Tapi ia tak pernah menceritakan tentang dirimu, sehingga kami tak tahu siapa dirimu sebenarnya, Anak Muda?"

"Aku bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan...."

"Astaga! Jadi kau yang bergelar Pendekar Mabuk itu, Nak?"

"Betul, Eyang Resi...," sambil Suto membungkuk sebagai tanda hormat.

"Oooo...," Resi Parangkara manggut-manggut. "Pantas kau bisa hindari pukulan 'Badai Lanang' dari muridku. Kalau bukan Pendekar Mabuk, dia akan terlempar dan mengalami luka berdarah di dalam dadanya!" tambah Resi Parangkara sambil melirik muridnya.

Sang murid ternyata tertegun bengong bagaikan patung tanpa berkedip. Rupanya gadis itu mengalami sedikit shock begitu tahu pemuda tampan yang dianggapnya maling itu adalah si Pendekar Mabuk. Nama kondang itu sering didengarnya dan bahkan sering membuat Manggar Jingga penasaran ingin bertemu dan melihat seperti apa wujud si Pendekar Mabuk itu. Ternyata baru sekarang rasa penasarannya itu terlampiaskan sehingga tak heran jika Manggar Jingga menjadi terbengong-bengong tanpa bisa berucap kata sedikit pun. Sepertinya ia tak sadar bahwa matanya membelalak tak berkedip pandangi Suto Sinting dengan bibir merekah bolong.

"Hiisy...!" Resi Parangkara menepiskan tangan di depan wajah Manggar Jingga, dan gadis itu segera terkejut lalu menggeragap salah tingkah.

"Bunuh saja!"

"Apanya yang bunuh saja?!"

"Hmm... eh... apa yang kukatakan tadi, Kek? Bungkus saja?!"

"Hidungmu itu yang dibungkus?!" gumam sang Resi sambil tertawa pelan. Gadis itu jadi tersipu malu. "Orang yang kau anggap maling itu adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak, Sahabatku yang sudah lama tak pernah jumpa. Pemuda inilah yang namanya sering kau bicarakan dan kau tanyakan kehebatan ilmunya padaku, Manggar Jingga!"

"Hmmm, eeh... jadi bukan... bukan maling, Kek?!"

"Ya, bukan! Masa pendekar kondang kok jadi maling?! Kalau toh jadi maling, pasti yang dicuri hatimu!"

"Hmmm...!" gadis itu mencibir seakan tak sudi dicuri hatinya oleh si tampan Suto itu. Tapi raut wajahnya tampak menjadi merah semu begitu membayangkan seandainya hatinya benar-benar dicuri oleh si Pendekar Mabuk.

Sang Pendekar Mabuk sendiri menertawakan kelucuan Manggar Jingga. Tapi tak berani terlalu lama, takut gadis itu semakin berang karena rasa malunya. la segera mengalihkan suasana agar menjadi serius lagi.

"Siapa orang yang kau cari itu, Eyang Resi?!"

"Puting Selaksa, muridku juga. Kakak seperguruan Manggar Jingga yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri."

"Dia pasti tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi yang berada di sekitar tanah Mentawai ini!" timpal Manggar Jingga dengan masih bernada ketus.

"Apakah kau melihat orang Perguruan Tangan Besi membawa si Puting Selaksa?!" tanya Pendekar Mabuk.

"Memang tidak kulihat sendiri. Tapi terakhir kudengar Puting Selaksa bentrok dengan orang Perguruan Tangan Besi di Pantai Karangawu. Dia terluka, lalu pulang ke Teluk Sendu dan diobati oleh Kakek Guru. Hari berikutnya ia pergi tanpa pamit. Dugaanku membalas dendam kepada orang Tangan Besi. Tapi sejak itu ia tak kembali sampai sekarang."

"Sudah dua puluh hari lebih ia tak kembali," timpal Resi Parangkara.

Pendekar Mabuk diam sebentar, matanya memandang keadaan sekeliling dari atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Kejap kemudian ia ingat ucapan Resi Parangkara tadi, maka sambil memandang langit yang masih diselimuti awan kelabu itu, Suto pun segera ajukan tanya kepada sang Resi. "Apakah menurutmu hilangnya Puting Selaksa ada hubungannya dengan musibah yang tadi kau singgung-singgung itu, Eyang Resi?"

"Aku tak berani memastikan. Namun firasatku mengatakan: Perguruan Tangan Besi akan menjadi sumber musibah yang bakal terjadi itu. Setidaknya mayat yang akan bergelimpangan di tanah Mentawai ini kebanyakan berasal dari orang Perguruan Tangan Besi."

"Kakek, ada baiknya kalau kita segera bergerak ke pusat Perguruan Tangan Besi dan menyelidiki tempat itu!" sela Manggar Jingga.

"Menyelidiki tempat itu, memang hal yang baik daripada harus menyerang tanpa alasan dan bukti yang kuat, Cucuku!"

"Kita harus berangkat sekarang, Kek!"

"Aku setuju. Tapi bagaimana dengan Pendekar Mabuk?"

Manggar Jingga melirik ketus, "Persetan dengannya. Aku tak mau tahu apa yang akan dilakukan oleh si maling nakal itu, Kek!"

Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Aku pun tak akan ikut campur urusanmu, Manggar Jingga. Kurasa kita memang harus berpisah sekarang juga, sebab aku pun punya perjalanan sendiri."

"Maafkan sikap muridku yang mungkin kurang berkenan di hatimu, Maling Nakal, eeh.... Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara sempat salah ucap.

"Tak ada masalah bagiku, Eyang Resi. Kuharap, kau dan Manggar Jingga bukan penyebar musibah itu walau ternyata nantinya si Puting Selaksa memang ada di sana."

"Kau jangan menggurui guruku, Maling Nakal!"

"O, tidak! Aku hanya berharap saja. Tapi kalau kau merasa pantas menjadi penyebab musibah di sana, silakan saja. Itu bukan urusanku."

"Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara dengan kalem dan bijaksana. "Percayalah, musibah itu akan datang bukan dari pihakku, tapi dari pihak lain."

"Syukurlah! Sebaiknya, aku mohon pamit lebih dulu sebelum kalian pergi ke sana!"

"Jaga dirimu baik-baik, Nak! Sampaikan salamku kepada Kangmas Gila Tuak jika kau bertemu beliau!"

"Akan kusampaikan salammu, Eyang Resi!" seraya Suto sedikit membungkuk dan menyatukan telapak tangan di dada sebagai sikap berpamit. Setelah itu, sang Pendekar Mabuk langkahkan kakinya menuruti bukit tersebut.

Resi Parangkara memandanginya dengan senyum penuh kharisma. Sedangkan Manggar Jingga memandang dengan wajah keruh dan tampak menyesali kepergian Pendekar Mabuk.

"Mestinya tadi Kakek menahannya dan membujuknya agar ikut ke Perguruan Tangan Besi! Jangan malah titip pesan segala!" Manggar Jingga menggerutu dan bersungut-sungut.

"Lhooo... kau tadi tidak ngomong begitu. Coba kalau kau ngomong, maka akan kubujuk dia agar ikut membantu kita mencari si Puting Selaksa!"

"Ya malu kalau aku bicara begitu. Hmmm...! Nanti dia meremehkan diriku dan menganggapku gadis murahan!" ucap Manggar Jingga masih dengan bibir cemberut.

Sang Guru hanya tertawa pelan sambil mendekatinya, lalu menepuk punggung gadis itu. "Kau menyesali kepergiannya?"

"Hmmm...!" Manggar Jingga melengos. Sang Guru semakin geli melihatnya.

* * *

DUA

ESOK harinya, wilayah tanah Mentawai benar-benar dilanda musibah menyedihkan. Perguruan Tangan Besi diserang oleh orang-orang Pulau Boneng. Korban berjatuhan, para murid Perguruan Tangan Besi banyak yang tewas baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Mayat bergelimpangan di mana-mana, dan burung-burung gagak menghampirinya menjalankan tugasnya sebagai burung pemakan bangkai.

Perguruan Tangan Besi dibumihanguskan oleh orang-orang Pulau Boneng. Sebagian murid yang tersisa melarikan diri dan bersembunyi, sementara Ketua Perguruan Tangan Besi ditemukan tewas dalam keadaan tanpa nyawa sedikit pun.

Pada saat terjadi penyerangan besar-besaran itu, Pendekar Mabuk sedang berada di sebuah desa di kaki Bukit Walet. la singgah di situ untuk bermalam dan beristirahat.

Ketika pagi menjelang siang tadi, sang Pendekar Mabuk ingin lanjutkan perjalanannya menuju Lembah Birawa, tiba-tiba ia dikejutkan dengan munculnya orang-orang bergigi tonggos.

Delapan orang bergigi tonggos itu memasuki desa tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang meresahkan penduduk. Merusak beberapa pagar, mengganggu para gadis, menyambar jemuran, meludah di sembarang tempat (termasuk meludah di wajah orang), dan beberapa tindakan kasar lainnya yang membuat para penduduk desa ketakutan.

Pendekar Mabuk masih duduk di dalam kedai tempatnya bermalam, menikmati sarapan pagi yang sudah kesiangan sambil menunggu bumbung bambunya dipenuhi tuak. Saat itu, di dalam kedai ada beberapa pembeli, termasuk seorang wanita berparas cantik dengan bentuk wajah oval dan bertahi lalat kecil di pinggir kiri bibir atasnya. Perempuan itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengenakan pakaian silat lengan panjang warna hijau tua. Rambutnya yang panjang disanggul sederhana dengan sisa rambut terjuntai seperti ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah berbintik-bintik putih.

Badannya sedikit gemuk tapi tinggi, sehingga tidak kentara kegemukannya. Bahkan cenderung kelihatan sekal, kencang, berisi, dan kekar. Perempuan itu dari tadi duduk di sudut ruangan sendirian. Sebilah pedang bersarung kayu hitam digeletakkan di atas meja samping kirinya. Caranya memandang cukup tajam, karena matanya agak besar namun berbentuk indah. Tepian matanya berwarna hitam, seperti pakai maskara. la memang berkesan galak dan angker, tapi Suto Sinting suka melihat wajah seperti itu. Wajah penuh keberanian dan ketegasan itu membuat Suto sering mencuri pandang.

"Mantap sekali perempuan itu! Aku yakin ia adalah perempuan yang tak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup apa pun. Jiwanya keras, keberaniannya tinggi, pendiriannya kokoh, dan... sepertinya ia tak mau diremehkan oleh siapa pun," pikir Suto Sinting sambil berlagak memandangi anak perawan si pemilik kedai yang sedang melayani tamu lain, namun ekor mata Suto tertuju pada si perempuan berpakaian hijau tua itu.

"Aku yakin dia bukan gadis desa ini, atau perempuan dari sini. Bukan. Dia pasti dari tempat jauh. Kulihat caranya melangkah waktu masuk ke kedai ini agak terburu-buru. Tahu-tahu mendekam tenang di pojokan sana. Hmmm... pasti ada sesuatu yang membuatnya harus berada di pojokan itu. Bagaimana kalau kudekati? Nyakar atau tidak, ya?" sambil mulut Suto menikmati ketan bakar sedikit demi sedikit.

Ketika mata Suto sengaja melirik ke arah perempuan itu, bertepatan dengan tatapan mata tajam si perempuan yang mengarah kepada Suto. Pandangan mata mereka bertemu terang-terangan, lalu Suto sunggingkan senyum keramahan, tapi tak mendapat balasan seramah itu. Perempuan tersebut justru buang pandangan ke arah lain dengan wajah cantiknya yang kaku tanpa senyum. Matanya tampak menatap arah luar kedai dengan nanar.

Ki Pulasoma, pemilik kedai tersebut, menyerahkan bumbung tuak yang sudah terisi penuh kepada Suto. Saat itulah Suto sempatkan diri bertanya dalam bisikan kepada Ki Pulasoma. "Siapa perempuan itu, Ki?"

"Entahlah, Nak. Aku baru sekarang melihat perempuan itu. Sangar juga kelihatannya," kata Ki Pulasoma dalam bisikan juga.

"Berarti dia memang bukan perempuan desa ini," gumam Suto dalam hati.

Ki Pulasoma ajukan tanya, "Kalau yang lebih cantik dari dia, di sini banyak, Nak. Anaknya Demang Kawi juga cantik, malah tidak seangker dia. Kalau kau mau cari kekasih, aku bisa mengenalkanmu kepada anak gadisnya Demang Kawi."

Pendekar Mabuk tersenyum. "Aku sudah punya calon istri sendiri. Dyah Sariningrum, namanya. Lebih cantik dari orang yang paling cantik di dunia."

"Lalu, apa maksudmu menanyakan perempuan berbaju hijau itu?"

"Aku yakin dia punya persoalan yang meresahkan jiwanya. Agaknya ia butuh orang untuk bertimbang rasa. Katakan kepadanya, jika ia berkenan, aku akan datang membantunya."

"Baik, akan kusampaikan kepadanya," Ki Pulasoma tersenyum, lalu melangkah mendekati perempuan itu dengan berlagak membersihkan meja yang ada di samping si perempuan. Ki Pulasoma sudah tua, usianya sudah mencapai sekitar enam puluh tahun. Tapi dia paling hobi jika disuruh menjadi comblang.

Suto Sinting geli melihat semangat si pemilik kedai yang kuat diajak ngobrol semalaman. Orang tua itu dulu juga berkecimpung di rimba persilatan. Namun segera tarik diri dan alih profesi menjadi pemilik kedai setelah seluruh teman seperguruannya mati di tangan satu musuh. Hanya dia yang selamat. Keselamatan itu diartikan sebagai teguran dari Sang Pencipta agar dia harus tinggalkan rimba persilatan dan berwiraswasta dengan modal pas-pasan. Ki Pulasoma kembali dekati Suto Sinting dan berkata dalam nada pelan.

"Pesanmu sudah kusampaikan, Nak. Tapi perempuan itu bilang, dia tidak butuh pembantu."

Suto tersenyum sambil manggut-manggut. Matanya sengaja melirik ke arah si perempuan, dan si perempuan menatapnya terang-terangan lagi.

"Kurasa dia butuh teman, Nak. Bukan pembantu."

"Apakah dia bilang begitu?"

"Tidak. Dia perempuan yang tidak suka banyak omong. Tiga kali kutanya baru menjawab satu kali. Tapi menurutku, cobalah kau dekati sendiri dia. Siapa tahu jika sudah berhadapan denganmu, keangkuhannya sebagai perempuan tak banyak omong menjadi luluh."

"Maksudmu luluh?"

"Dia akan berteriak atau menjerit sambil melayangkan pukulan ke wajahmu!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara, sementara Ki Pulasoma juga tertawa dengan suara terkekeh samar-samar. Waktu itu, orang-orang bergigi tonggos belum datang, jadi suasananya masih tenang-tenang saja. Karenanya, pada saat perempuan itu menghembuskan napas cepat satu sentakan dari hidungnya, suara hembusannya terdengar jelas di telinga Suto.

Fuiih...! Wuuus...!

Tiba-tiba ikat kepala Ki Pulasoma terbang bagai dihempas badai kecil. Cangkir-cangkir di meja jatuh dengan isi tumpah berantakan. Baju lengan panjang Ki Pulasoma pun terhempas menyambar wajah Suto Sinting. Mangkuk sambal tumpah tepat di piring Suto yang masih terisi dua potong ketan bakar.

"Angin apa itu tadi, Nak?" bisik Ki Pulasoma.

"Biasa. Dia mulai unjuk gigi," Suto pun berbisik kalem.

"Kurasa tak perlu melayani ulahnya, Nak," bisik Ki Pulasoma.

"Bagaimana kalau aku juga unjuk gigi sebentar?" ujar Suto dengan tersenyum dan memandang Ki Pulasoma, tapi jari tangannya menyentil cepat. Tees...!

Beet, praang...! Gubrrak...!

Sentilan Pendekar Mabuk adalah sentilan yang dapat keluarkan tenaga dalam berkekuatan seperti tendangan seekor kuda jantan. Jurus 'Jari Guntur' itu diarahkan kepada si perempuan berbaju hijau, sehingga apa saja yang ada di atas meja perempuan itu menjadi berantakan. Bahkan perempuan tersebut tersentak ke belakang, bagaikan mendapat tendangan kuat di atas dadanya, ia jatuh menabrak meja belakang dan meja itu menjadi tumbang bersama bangkunya. Bahkan kaki meja patah satu dan bangku panjangnya patah menjadi dua bagian. Perempuan itu menggeram sambil bersusah payah bangkit sambil menyentakkan meja-bangku di sekitarnya.

Braaak...! Wuuut...! Jleeg...!

Pedang di mejanya disambar, wuuut...! Gagangnya digenggam dengan tangan kanan, siap dicabut kapan saja. Ki Pulasoma pejamkan mata saat terjadi kegaduhan itu. Setelah si perempuan bangkit dan memandang Suto dengan sangar, Ki Pulasoma membuka mata pelan-pelan seraya berkata kepada Suto.

"Unjuk gigi boleh saja tapi tak perlu merusakkan kedai ini, Nak."

"Maaf, Ki. Aku akan mengganti kerusakannya," ujar Suto tetap kalem. la memungut poci yang tadi jatuh ke pangkuannya dalam keadaan tuak di dalam poci membasahi celana. la tahu perempuan itu segera menghampirinya dengan wajah berang, sementara orang-orang pandangi mereka dalam ketegangan, tapi Suto Sinting tetap kalem dan memunguti barang-barang yang berantakan karena sentakan napas si perempuan tadi. Ki Pulasoma segera ditarik oleh anak gadisnya yang ketakutan.

"Kenapa masih di situ saja, Pak! Ayo, menyingkir...! Salah-salah perutmu dedel kena pedangnya!" ujar anak gadis Ki Pulasoma.

"Apa maksudmu menyerangku seperti itu, hah?! Mau bikin perkara denganku?!" hardik perempuan itu dengan suara sedikit serak dan agak besar, hampir seperti suara lelaki.

Pendekar Mabuk memandang dengan senyum kalem. "Siapa yang mendahului bikin ulah seperti ini menurutmu?"

Sreet...! Pedang dicabut dari sarungnya, diangkat tinggi-tinggi dan siap ditebaskan untuk membelah kepala Suto Sinting.

"Maaf, Nona. Kepalaku bukan semangka," kata Suto tetap kalem, menjengkelkan perempuan itu, bahkan menjengkelkan orang-orang di sekitarnya.

"Edan itu anak! Sudah tahu mau dibelah kepalanya masih diam di tempat? Apa tak punya kaki buat lari?!" gerutu salah seorang tamu kedai.

"Kau menggangguku lebih dulu, Kunyuk! Jangan salahkan diriku jika kepalamu terbelah menjadi dua bagian! Hiaaat...!"

Teees, beet...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan kembali oleh Pendekar Mabuk. Tenaga dalam yang keluar dari sentilan jari tangannya menghantam pergelangan tangan hingga sebatas siku si pemegang pedang. Tangan itu terpental ke belakang dengan kuat, pedangnya terlempar lepas dari genggaman, perempuan itu terpelanting dan jatuh terduduk di atas bangku panjang. Brruk...!

Klontaang...!

Gigi perempuan itu menggeletuk pertanda menahan sakit. Matanya memancarkan permusuhan yang lebih tajam lagi. Tapi Pendekar Mabuk masih tetap sunggingkan senyum dengan tenang dan sekarang ia bangkit berdiri sambil menenteng bumbung tuaknya.

"Kalau kau tak mau disalahkan, sebaiknya kita bermain di luar kedai saja. Kalau kedai ini rusak, kasihan Ki Pulasoma!"

Suto Sinting melangkah keluar dari kedai lebih dulu. Setiap mata memperhatikan ke arahnya, termasuk perempuan berbaju hijau itu. Suto Sinting tetap melangkah cuek sambil tetap sunggingkan senyum keramahan. Sesekali ia menepuk punggung seorang tamu yang dilewatinya sambil berkata pelan.

"Tenang, bisa kuatasi!"

Suto Sinting sengaja berdiri di bawah pohon depan kedai. la menunggu perempuan itu di sana. Si perempuan segera keluar dengan beberapa lompatan dari meja ke meja dan terakhir mendaratkan kakinya di depan Suto Sinting dengan pedang tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang ada di tangan kiri. Jleeg...!

"Apa maumu sebenarnya, hah?!" bentak perempuan itu dengan suara geram.

"Kulihat kau sedang resah. Kutahu kau punya masalah. Lalu kucoba ingin mendekatimu untuk membantu memecahkan masalahmu. Kurundingkan hal itu kepada Ki Pulasoma. Tapi kau justru pamer kekuatan napasmu yang membuat makananku berantakan. Maka kucoba untuk menegurmu dengan pamer kekuatan juga. Sekarang kedudukan kita satu sama. Terserah kau, mau dilanjutkan dalam bentuk apa pun aku siap!"

"Kau telah mempermalukan diriku di depan orang-orang kedai! Kau harus menerima hukumannya."

"Baik! Aku siap. Tapi tunggu sebentar, aku harus bayar dulu biaya makanku ditambah uang pengganti kerusakan barang-barang itu," kata Suto dengan santai sekali. Lalu ia melambaikan tangan kepada Ki Pulasoma yang memperhatikan dari ambang pintu kedainya.

Ki Pulasoma mendekat, Suto bicara pelan dengan pemilik kedai itu, lalu mengeluarkan uang dari sela-sela ikat pinggangnya. Sesaat kemudian ia berkata kepada perempuan itu. "Kurang dua sikal. Apakah kau punya dua sikal untuk melunasi biaya makanku, biaya makanmu dan mengganti kerusakan itu?"

"Hmmm...!" dengus perempuan itu dengan dongkol. Tapi ia segera mengambil sekeping uang dari sela ikat pinggangnya yang terbuat dari kain merah, lalu uang itu disentilkan ke depan dan ditangkap oleh Suto. Teeb...!

"Oh, lima sikal?! Kalau begitu, tolong kembalinya kau berikan kepada nona cantik itu, Ki!"

"Baaik... baik...! Sebentar, akan kuambilkan kembaliannya," lalu Ki Pulasoma berlari masuk kedai.

Perempuan itu berkata sambil menuding Suto. "Kalau kau bisa menahan tiga jurusku, kau baru boleh membantuku! Hiaaat...!"

"Tunggu dulu!" sergah Suto yang membuat perempuan itu hentikan gerakannya. Lalu, Suto melanjutkan ucapannya dengan kalem. "Uang kembalianmu belum diberikan Ki Pulasoma! Nanti kau lupa kalau sudah asyik bertarung denganku!" Setelah bicara begitu, Suto tersenyum lebar. Tenang sekali.

"Aku tak butuh uang kembalian! Hieaaat...!"

Bet, bet, bet...! Weess...!

Perempuan itu menyerang Suto dengan tebasan pedang yang sulit dilihat gerakannya oleh mata orang biasa. Tapi Pendekar Mabuk hanya bergerak meliuk-liuk bagai orang mabuk sempoyongan. Tapi gerakan itu patah-patah dan mampu hindari tebasan pedang beberapa kali. Sampai akhirnya Pendekar Mabuk sengaja berlutut satu kaki, telapak tangan kirinya menyodok perut perempuan itu dengan telak.

Wuut, buuhk...!

"Heeehk...!" Perempuan itu terlempar mundur bagaikan kapas terbang, lalu jatuh membentur dinding kedai. Braak...! Dinding kedai itu jebol. la menyeringai menahan sakit dengan menggigit bibirnya. Tapi ia segera bangkit dan menarik napas panjang. Saat itu Ki Pulasoma datang menyerahkan uang kembalian sebanyak tiga sikal.

"Ini kembaliannya, Non!"

"Tak perlu, Ki!" seru Suto. "Anggap saja kembalian itu uang pengganti dinding kedaimu yang baru saja jebol itu!"

"Tap... tapi...."

"Simpan saja untuk pengganti dinding ini!" gertak perempuan itu.

"Iya, tapi... kurang kalau cuma segini, Nona?"

Perempuan itu penasaran dan tak pedulikan ucapan Ki Pulasoma lagi. la segera lakukan lompatan cepat menerjang Pendekar Mabuk dengan pedang ditebaskan sebagai pemenggal leher. Wees...!

Traang...! Suto Sinting berhasil menangkis tebasan pedang menggunakan bumbung tuaknya. Bumbung bambu itu tidak mengalami luka atau lecet sedikit pun. Bahkan benturannya dengan pedang menimbulkan bunyi bagaikan pedang menebang besi, karena bumbung tuak itu adalah bumbung sakti yang terbuat bukan dari sembarang bambu. Sayangnya Suto Sinting sedikit lengah. Siku kirinya naik saat menangkis pedang tadi. Dan kaki perempuan itu berhasil menendang ke samping, tepat kenai tulang rusuk Suto.

Beet...! Buuhk...!

"Aaow...!" Suto memekik sambil terlempar jatuh berguling-guling. Tulang rusuknya terasa patah, karena tendangan itu bertenaga dalam cukup besar. la bangkit dengan terhuyung-huyung. Si perempuan tak mau membuang kesempatan. Melihat lawannya mulai lemah, perempuan itu segera lepaskan tendangan putar tiga kali.

Wut, wut, wut...!

Sayang tendangannya tidak kenai sasaran karena Suto Sinting telah berpindah tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mempunyai kecepatan gerak seperti kecepatan cahaya itu. Zlaaap...! Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada di bawah pohon lagi, menenggak tuaknya dari bumbung itu dengan santai, tindakan tersebut membuat beberapa mata yang menyaksikan menjadi tercengang kagum dan terheran-heran terhadap kecepatan gerak si Pendekar Mabuk.

"Edan! Orang kok gerakannya seperti setan lewat!" gumam salah seorang penonton yang ada di samping kedai.

Pada saat itulah, perhatian mereka segera beralih ke arah selatan. Karena di arah selatan terdengar suara ribut-ribut, jerit para perempuan bersahutan dan ayam-ayam berkeok sambil beterbangan.

"Ada apa di sana itu...?!" seru seseorang dari dalam kedai.

Pendekar Mabuk dan perempuan itu juga memandang ke arah selatan. Mereka melihat orang-orang berpakaian hitam sedang bikin keonaran sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba perempuan itu segera melompat masuk kedai melewati dinding kedai yang hanya separo badan itu. Wuuut...! Pendekar Mabuk berkerut dahi dan mulai membatin.

"Mengapa dia kelihatannya takut dengan orang-orang itu?!" Suto penasaran, kemudian ikut-ikutan melompat masuk kedai lagi. Wees...! la memandang perempuan berbaju hijau yang tampak terburu-buru menuju dapur.

"Hei, tunggu...!" seru Suto Sinting yang segera mengejarnya dengan beberapa lompatan.

Teeb...! Tangan Suto berhasil mencekal pundak perempuan itu. Si perempuan mengibaskannya dalam satu sentakan putar. Wuuut...! Plaaak...!

Suto Sinting terpelanting dan membentur dinding. Pada saat itulah ujung pedang perempuan tersebut sudah berada di depan leher Suto dalam jarak kurang dari setengah jengkal. Keadaan itu membuat Suto tak berani bergerak, terlebih setelah melihat mata perempuan itu memancarkan kemurkaan yang serius dan suaranya menggeram saat keluarkan ancaman maut.

"Berani menggangguku lagi, kurobek batang lehermu sekarang juga!"

"Oh, hmmm, anu, eehh...," Suto agak gugup walau tersenyum malu dan salah tingkah.

"Kuharap hentikan ulahmu yang memuakkan itu! Biarkan aku pergi hindari orang-orang Pulau Boneng itu!"

"Oh, ya... tentu saja akan kubiarkan kau pergi. Tapi... mengapa kau harus pergi?! Kulihat jurus-jurusmu tadi cukup hebat. Kurasa mereka bisa kau tumbangkan dalam waktu singkat."

"Aku tak mau terlibat urusan dengan mereka, karena mereka terlalu lemah bagiku!"

"Lalu... lalu mengapa kau takut kepada mereka dan harus menghindar? Apakah mereka mencarimu?" Suto bicara dengan senyum kaku patah-patah, karena ia masih dalam ancaman pedang runcing perempuan tersebut.

"Mereka menyangka aku orang Perguruan Tangan Besi! Mereka akan membunuhku, karena mereka sedang bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Tangan Besi!"

"Oh, kurasa... kurasa kau memang takut kepada mereka dan mengaku bukan orang Perguruan Tangan Besi. Hmmm... hanya segitukah nyalimu?!"

Pedang lebih ditekan lagi hingga ujungnya menempel dingin di kulit leher Suto. "Aku bukan orang Perguruan Tangan Besi, Kunyuk!" geram perempuan itu. "Aku orang Teluk Sendu!"

Pendekar Mabuk terperanjat dalam hati mendengar nama Teluk Sendu disebutkan. la segera ingat Resi Parangkara dan si Manggar Jingga yang kemarin bertemu dengannya. Namun sebelum Suto mengatakan sesuatu, perempuan itu segera turunkan pedangnya sambil menghempaskan napas panjang-panjang.

"Sekali lagi kuingatkan, jangan menahanku di sini kalau kau ingin panjang umur!"

Perempuan itu berbalik dan ingin melangkah keluar melalui pintu dapur kedai. Tapi Pendekar Mabuk yang masih tetap berdiri merapat dinding itu segera berseru kepada perempuan tersebut.

"Apakah kau kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga?!"

Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti bagaikan patung. la tak segera berpaling, namun seperti terkesiap kaget mendengar ucapan Suto tadi.

"Kalau kau memang orang Teluk Sendu, kau pasti kenal dengan Resi Parangkara!"

Kini perempuan itu berbalik pelan-pelan dan memandang Suto dengan dingin. la melangkah lamban sampai akhirnya beradu pandang dalam jarak satu langkah di depan Suto. "Sejak kapan kau mengenal guruku?"

"Gurumu yang mana? Aku hanya kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga."

"Itu nama guruku! Manggar Jingga adalah adik seperguruanku!"

"O, kalau begitu kau adalah..." Suto berpikir sejenak, lalu menyambung kata-katanya lagi. "Kau adalah si Puting Selaksa?!!"

Perempuan itu menghempaskan napas lagi, seperti membuang gumpalan murka yang menyesakkan dada. "Ya, aku memang Puting Selaksa!" ucapnya dengan tegas. "Siapa kau sebenarnya?!"

"Sahabat baru Resi Parangkara dan Manggar Jingga," jawab Suto dengan senyum dingin. Wajah perempuan itu tetap datar tanpa perubahan sedikit pun.

Anak gadis Ki Pulasoma menegur Suto dari belakang. "Kang, kalau tarung mbok jangan di dapur. Nasi liwetku bisa hangus kalau begini. Tarunglah di luar sana, mumpung sedang ada keributan!"

Pendekar Mabuk dan Puting Selaksa sama-sama pandangi anak gadis si pemilik kedai itu.

* * *

TIGA

KALAU saja Suto tidak berkata kepada Puting Selaksa, "Tetaplah di dalam kedai, aku akan mengusir orang-orang itu dulu. Kasihan penduduk desa ini dibuat bulan-bulanan mereka. Nanti kita teruskan percakapan kita," tentunya Pusing Selaksa sudah tinggalkan desa itu melalui pintu dapur.

Tapi karena Pendekar Mabuk berpesan begitu, maka Puting Selaksa tak jadi keluar dari kedai. la justru menonton cara Suto menghadapi orang-orang bergigi mancung yang ternyata adalah orang-orang dari Pulau Boneng itu. Puting Selaksa menyaksikan hal itu dari belakang dua pengunjung kedai yang tadi sedang makan saat Puting Selaksa cekcok dengan Pendekar Mabuk.

Tujuh orang berpakaian serba hitam dan berbadan besar-besar itu mengepung Suto setelah salah seorang temannya dilemparkan oleh Suto dengan satu tendangan kaki, hingga orang itu terbang ke atas tinggi-tinggi dan jatuh terbanting bagaikan nangka busuk jatuh dari pohon. Orang itu sempat mengalami patah tulang pada ujung pundak kanannya.

"Keparat busuk!" sentak seorang berikat kepala kuning dengan gigi seperti centong nasi.

"Apa kesalahan temanku ini hingga kau berani memperlakukan dia dengan seenak perutmu, hah?!"

"Apa kesalahan penduduk desa ini sehingga kalian bertindak seenak tengkuk kalian sendiri?!" Suto Sinting balas bertanya sambil melecehkan mereka.

"Sikat sajalah! Jangan banyak tanya lagi!" seru seorang yang berada di samping kiri Suto. Mata Pendekar Mabuk mulai pandangi mereka satu persatu dengan seulas senyum tipis tetap mekar di bibirnya.

"Hei, Bocah Edan...!" seru yang berikat kepala kuning. Agaknya dia adalah ketua dari delapan orang itu.

"Ketahuilah, Bocah Edan... kami datang ke sini karena mengejar buronan kami! Seorang perempuan berpakaian serba hijau telah melarikan diri masuk ke desa ini! Tapi orang-orang desa ini mengaku tidak melihat perempuan itu! Mereka harus dipaksa dengan cara sekasar apa pun supaya mau tunjukkan di mana perempuan berpakaian serba hijau itu."

"Kalau perlu, paksa juga dia!" celetuk orang yang ada di belakang si ikat kepala kuning Itu. Suto hanya melirik orang itu sekejap sambil menahan napas. Kemudian orang berikat kepala kuning itu berkata dengan suara lantang.

"Ya, kurasa kau pasti tahu perempuan itu ada di mana!"

"Mengapa kau mencarinya?" tanya Suto dengan kalem.

"Dia harus dibunuh! Karena dia adalah orang Perguruan Tangan Besi!"

"Dia bukan orang Tangan Besi. Kalian salah duga! Dia justru bermusuhan dengan orang Tangan Besi."

"Bohong!" bentak yang berikat kepala biru sambil maju dengan mencabut golok besarnya dari pinggang. Sraaang...!

"Kami pergoki dia melarikan diri dari padepokan perguruannya!"

"Itu karena dia pergunakan kesempatan untuk larikan diri dari padepokan itu!" bantah Suto setelah sebelumnya mendapat penjelasan dari Puting Selaksa tentang nasibnya yang tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, karena ia akan dinikahi oleh Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa itu. Puting Selaksa ditawan di kamar bawah tanah, sehingga tak seorang pun bisa menemukannya, termasuk Resi Parangkara dan Manggar Jingga yang gagal menemukan dirinya di padepokan perguruan tersebut.

"Bukoro, hajar anak ingusan ini!" perintah orang berikat kepala kuning.

Orang yang bernama Bukoro itu berbadan penuh tato di bagian dadanya. Baju hitamnya terbuka lebar, sehingga bagian dada dan perutnya tampak jelas dipenuhi oleh tato aneka gambar, termasuk gambar naga, kelabang, pedang, piring, sendok, serbet makan, dan sebagainya. Bukoro bertubuh tinggi besar dan bermata lebar. Kumisnya lebat, tapi kepalanya tandus alias gundul. Dengan menggeram sangar Bukoro menghantam wajah Suto kuat-kuat.

Ceprooot...! Suto Sinting terpental dan jatuh terpelanting. Tangan Bukoro mencengkeram punggung baju Suto, lalu mengangkatnya dan menghantamkan kembali kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi itu.

Ceprrot...! Buuhk...! Plaak...! Buhk, buhk, buhk...! Suto jatuh terkapar dan diinjak dadanya dengan hentakan kaki kuat. Baaahk...!

"Uuhk...!"

Wajah Suto diinjak oleh kaki besar itu. Prrokk...!

Lalu digilas-gilas kuat-kuat seperti mematikan puntung rokok.

"Hhmmrr...! Modaaarr... modaaar... modaaaaarr...!!" geram Bukoro dengan wajah bengis.

Orang-orang yang menyaksikan adegan itu saling terbengong melompong, termasuk Puting Selaksa sendiri. Mereka melihat jelas Suto Sinting dihancurkan oleh Bukoro, sementara Suto tidak memberi perlawanan atau tidak menghindar sedikit pun. Bahkan ketika Bukoro menginjak perut Suto, lalu kaki kanannya menghentak-hentak di dada Suto, anak muda yang tampan itu tetap tidak melakukan perlawanan.

Tetapi yang membuat para penonton terkesima dan terbengong melompong tanpa suara adalah tingkah orang-orang Pulau Boneng lainnya itu. Para pengepung Suto Sinting berjatuhan, mengerang kesakitan, berlumur darah, terkapar dengan menghentak-hentak. Bahkan ada beberapa orang yang menyemburkan darah segar dari mulutnya saat Bukoro menjejakkan kakinya ke dada Suto berkali-kali. Orang berikat kepala kuning juga mengalami nasib serupa; babak belur dan nyaris hancur.

"Aaahk, uuhk... heeehk... aaooh...."

Seruan kesakitan yang terlontar dari mulut para pengepung itu tidak dihiraukan oleh Bukoro. Orang berdada penuh tato itu justru semakin bernafsu ingin meremukkan kepala Suto dan jika bisa menghancurkan sekujur tubuh anak muda tersebut. la melonjak-lonjak di atas perut dan dada Suto bagai anak kecil kegirangan setelah mendapat permen dari ayahnya.

"Modar, modar, modar, darmo, darmo, darmo...!" geram Bukoro, lalu berhenti sendiri dan berkata, "Lho, Darmo itu kan nama mertuaku?!"

Saat itulah Bukoro terkejut melihat tujuh temannya terkapar dalam keadaan terluka parah. Wajah mereka bukan saja memar, namun menjadi bonyok seperti mangga busuk terinjak-injak. Bahkan si ikat kepala kuning giginya yang mancung itu sempat pecah dan berlumur darah.

Bukoro turun dari atas tubuh Suto Sinting. Matanya memandang tegang ke sana-sini, dan segera menyadari bahwa tinggal dirinya sendiri yang masih bisa berdiri tegak di antara ketujuh temannya. Sedangkan Pendekar Mabuk segera bangkit dan berdiri dengan kaki sedikit merenggang. la tampak sehat, segar, tak mengalami luka sedikit pun. Bahkan ia sempat sunggingkan senyum ketika melirik ke arah kedai, dan melihat Puting Selaksa memandang tegang dari balik pohon.

Puting Selaksa tadi nyaris maju menerjang Bukoro ketika melihat Suto diinjak-injak dan dihajar habis-habisan tanpa memberi perlawanan. Puting Selaksa sempat merasa jengkel kepada Suto yang tak mau membalas serangan lawan. Tapi begitu ia melihat tujuh orang Pulau Boneng itu mengalami luka parah, rata-rata pecah gigi, maka Puting Selaksa tunda niatnya dan membatin dalam hatinya.

"Gila! Ilmu apa yang dipakai oleh pemuda sinting itu?! Dia yang dihajar habis-habisan tapi justru teman lawannya yang menjadi hancur dan babak belur begitu?! Benar-benar sinting ilmu si kunyuk tampan itu!"

Tentu saja Puting Selaksa ataupun siapa saja terheran-heran, sebab mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk mempunyai ilmu 'Alih Raga' yang digunakan jika dalam keadaan terkepung lawan lebih dari lima orang. Ilmu 'Alih Raga' itu digunakan pada saat Suto memandangi para pengepungnya satu persatu. Pada saat itulah, seluruh rasa yang ada pada raga Suto dialihkan ke raga lawan-lawannya. Maka ketika Suto dipukul keras-keras, yang merasa sakit adalah para pengepungnya. Begitu pula ketika Suto Sinting diinjak-injak Bukoro, yang merasa terinjak-injak adalah para pengepungnya.

Ilmu langka pemberian dari si Gila Tuak itu kini telah dicabut kembali oleh Suto dengan cara memandangi lawannya satu persatu. Terakhir kalinya, Suto memandang Bukoro yang wajahnya menjadi merah padam karena tujuh temannya dalam keadaan bonyok dan luka parah. Bukoro mulai sadar bahwa ia telah diperdaya oleh ilmunya si pemuda tampan itu. Bukoro menjadi semakin berang. Maka ia pun berteriak melepaskan murkanya sambil menuding Suto.

"Kau telah menggunakan ilmu setan keparat itu, hah?! Sekarang saatnya kau dan aku beradu nyawa sampai mati! Heeaaaahh...!!" Bukoro berlari dua langkah lalu melompat menerjang Suto.

Tapi dengan gerakan jurus mabuknya yang menggeloyor seperti mau tumbang, terjangan Bukoro berhasil dihindari oleh Pendekar Mabuk. Tubuh orang tinggi besar itu nyelonong lewat atas pundak Suto. Ketika kakinya mendarat di tanah belakang Suto, tiba-tiba ia dikejutkan oleh datangnya sesuatu dari atas bagaikan turun dari langit. Sesuatu yang bergerak itu tak lain adalah tubuh Pendekar Mabuk yang bersalto ke belakang. Tubuh itu melambung dan kedua kakinya hinggap di pundak kanan-kirinya Bukoro. Jleeg...! Kemudian kepalan tangan Suto menghantam ubun-ubun Bukoro dengan keras.

Proook...!

"Huaaaaaa...!!" Bukoro menjerit keras-keras, telinganya semburkan darah dan mulutnya pun memuncratkan darah segar. la mendelik dalam keadaan berdiri kaku, sementara Pendekar Mabuk lakukan lompatan bersalto ke depan satu kali. Wuuuk...! Begitu tiba di tanah, kakinya menendang ke belakang dengan kuat. Wuuut, buuhk...!

"Huaaahk...!" pekik Bukoro sambil tersentak. Tubuh tinggi besar bertato banyak itu tumbang mencium tanah bagaikan pilar runtuh. Brrrruuk...!

"Oooooohhkk...!" Bukoro mengerang-ngerang seperti kerbau tak mampu telentang. Kedua tangan dan kakinya mengais-ngais tanah, seakan tak mampu menopang tubuhnya untuk bangkit kembali.

Zlaaap...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk bagaikan hilang dari tempatnya. Padahal ia bergerak cepat pindah tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Puting Selaksa dan membuka bumbung tuaknya, lalu menenggak tuak tiga tegukan.

Glek, glek, glek...!

Mendengar suara tegukan orang minum, Puting Selaksa cepat palingkan pandang ke belakang. la terkejut melihat Pendekar Mabuk sudah ada di belakangnya. Namun rasa kagetnya itu disembunyikan rapat-rapat, sehingga ia tetap kelihatan tenang, seakan tak mempunyai rasa kagum sedikit pun terhadap ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk itu.

"Kurasa sudah saatnya kita tinggalkan desa ini, Puting Selaksa."

Perempuan itu menarik napas mempertenang dirinya agar tampak lebih tegar dan lebih mantap dalam bersikap. "Bagaimana dengan orang-orang itu?"

"Apakah kau inginkan aku mengantar pulang mereka satu persatu?"

"Yang kumaksud, mereka akan menuntut balas padamu! Sekarang kau menjadi punya urusan dengan orang-orang Pulau Boneng itu."

"Lebih baik mereka berurusan denganku daripada harus mengganggu penduduk desa yang tak berdosa itu!" tegas Pendekar Mabuk yang membuat Puting Selaksa tarik napas lagi. Kemudian ia melemparkan pandangannya kepada orang-orang Pulau Boneng itu.

Mereka saling berdiri dengan mengerang kesakitan. Si pemakai ikat kepala kuning memerintahkan anak buahnya untuk segera pergi. Maka mereka pun segera pergi dengan sempoyongan bagai tak bertenaga lagi. Bahkan Bukoro sebentar-sebentar jatuh merangkak karena menahan luka parah yang nyaris melenyapkan nyawanya.

"Laforkan fada ketua!" ucap orang berikat kepala kuning itu dengan bahasa yang kacau karena kerusakan giginya membuat ia tak bisa menyebutkan huruf P.

Ketika Puting Selaksa berpaling ke belakang untuk bicara lagi dengan Pendekar Mabuk, ternyata pemuda itu sudah berada jauh dari langkahnya. Suto sedang menuju ke perbatasan desa. la ingin meninggalkan desa tersebut.

"Aku perlu bicara dengannya!" ucap Puting Selaksa yang segera mengejar Suto dengan langkah peringan tubuh yang cukup tinggi.

Wes, wes, wes...! Ketika menengok ke belakang, Suto melihat perempuan berpakaian hijau sedang mengejarnya. la pun segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menguji kecepatan gerak perempuan itu. "Dapatkah ia menyusulku?!"

Zlaaap, zlaaap...!

Wees, wees, wees..!

Zlap, zlap, zlap...!

"Tungguuu...!" teriaknya dari kejauhan.

Pendekar Mabuk tertawa sendiri, merasa unggul dalam gerakan. Tanpa terasa mereka sudah berada jauh dari desanya Ki Pulasoma. Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di balik gugusan batu sebesar rumah yang ada di kaki bukit cadas tak seberapa tinggi itu. Bayangan batu besar itu menciptakan keteduhan tersendiri. Hembusan angin dari pepohonan di sekitar tempat itu begitu semilir menyejukkan.

Beberapa saat setelah Suto duduk di bawah batu besar itu, Puting Selaksa baru sampai dan segera hentikan langkahnya begitu melihat Suto ada di tempat itu. la menghembuskan napas panjang, sepertinya merasa lega karena Suto ada di situ. la tadi sempat menyangka kehilangan jejak Pendekar Mabuk, sehingga ia sempat dibuat cemas oleh dugaannya sendiri.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum ketika perempuan itu menatapnya tanpa seulas senyum sedikit pun. Wajah si Puting Selaksa justru tampak dingin dan berkesan angkuh-angkuh galak. Tepian matanya yang berwarna hitam itu sempat merentangkan bulu kuduk Suto saat dipandang selama dua helaan napas.

"Mengapa kau memandangku demikian?" tanya Suto pada akhirnya.

"Kau belum menyebutkan namamu!" jawab Puting Selaksa dengan tegas.

Pendekar Mabuk tertawa pelan sambil lemparkan pandangan ke arah lain. "Panggil saja aku: Suto!"

"Suto siapa?!" desak Puting Selaksa sambil mendekat. la masih berdiri di depan Pendekar Mabuk, sehingga tubuhnya yang tinggi itu membuat Pendekar Mabuk terpaksa memandang dengan sedikit mendongak.

"Apakah aku perlu menyebutkan nama lengkapku?"

"Perlu!"

Suto tertawa pendek. "Baiklah. Nama lengkapku: Suto Sandi Irawan Nayaka Teja Indra Nuri Gana...."

"Itu nama penduduk kampung mana saja?"

"Itu nama lengkapku. Cuma, orang-orang sering menyingkat nama belakangku itu menjadi Suto Sinting."

"Hmmm...," Puting Selaksa manggut-manggut. "Jadi kata Sinting tadi adalah kependekan dari nama panjangmu itu?"

"Betul."

"Siapa tadi nama panjangmu?"

"Hmmm... ah, lupa!" ujar Suto sambil tertawa sendiri. Puting Selaksa hanya tersenyum tipis berkesan sinis.

* * *

EMPAT

SEBUAH batu setinggi betis dipakai duduk oleh Puting Selaksa. la duduk menghadap ke arah Suto dengan kaki merenggang tegak. la tidak seperti layaknya seorang perempuan jika duduk berhadapan dengan lelaki. la kelihatan mantap dan gagah, sedangkan Suto Sinting duduk di batu yang lebih rendah dari tempat duduk Puting Selaksa.

"Lahiriahnya saja perempuan. Jangan-jangan jiwanya lelaki tulen," pikir Suto Sinting dengan usil, lalu ia tertawa sendiri dalam hatinya.

"Aku kagum dengan ilmu yang kau pakai melawan delapan orang tadi," ujar Puting Selaksa terang-terangan. Agaknya ia seorang perempuan yang sportif, selalu mengakui keunggulan lawan dan tak malu mengakui kekurangannya. Sambungnya lagi dengan siku menopang di pahanya. "Berapa lama kau terjun ke rimba persilatan?"

"Baru saja," jawab Suto Sinting seenaknya. "Mengapa kau tanyakan hal itu?"

"Gerakanmu sudah bisa dianggap sempurna."

"Tidak ada yang sempurna bagi manusia," ujar Suto setelah tersenyum meremehkan pujian tak langsung itu. "Menang atau kalah, bagiku tak penting. Sekarang yang sedang kupikirkan bukan dendam orang-orang bergigi mancung itu, tapi justru keadaan dirimu."

"Keadaan yang bagaimana maksudmu?" tanya Puting Selaksa dengan suaranya yang agak besar dan sedikit serak itu.

"Mengapa kau sampai ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, sementara Manggar Jingga dan gurumu kebingungan mencarimu?"

"Di kedai itu sudah kujelaskan, Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa sangat bernafsu sekali untuk memperistriku. Tapi aku menolak dan menyatakan lebih baik mati di tangannya daripada menjadi istrinya yang keempat!"

"Yang keempat? Wow...?!" Suto mendelik sambil tertawa pendek.

"Tapi rupanya Jagalawa tetap bersikeras berusaha memperistriku. Dia sengaja menyiksaku dalam kamar tahanan di bawah tanah. Aku tak diberi makan selama tujuh belas hari, tak mendapat cahaya selama tujuh belas hari, dan selama itu pula aku tak diizinkan tidur. Setiap aku mau tertidur, pintu terali yang dilapisi tenaga dalam itu dipukul keras-keras oleh penjaganya, sehingga aku tersentak bangun."

"Sebesar itukah cinta si Jagalawa kepadamu?"

"Dia tidak mencintaiku!" ujar Puting Selaksa setelah tersenyum pendek dan sinis sekali itu.

"Kalau tak mencintaimu, mengapa ia bersikeras memperistrimu? Apakah ketiga istri Jagalawa tak ada yang secantik dirimu?"

Puting Selaksa melirik sebentar, kesannya seolah-olah ia tak suka dipuji kecantikannya secara tak langsung. Namun Suto yang sudah berpengalaman menelusuri seluk-beluk hati perempuan itu yakin betul, bahwa Puting Selaksa berdebar-debar saat dirinya dipuji sebagai perempuan yang cantik.

"Ketiga istri Jagalawa mempunyai kecantikan yang lebih tinggi dariku," kata Puting Selaksa sambil memainkan ranting kering sepanjang satu jengkal. "Tetapi anehnya, ketiga istri Jalagavva itu ikut membantu membujukku agar mau diperistri oleh Jagalawa."

"Aneh...?!" gumam 'Suto Sinting. "Mengapa mereka sampai begitu?"

"Jika aku mau menjadi istri Jagalawa, maka aku akan diberi hak dan kuasa lebih tinggi dari ketiga istrinya itu, dan aku akan diangkat menjadi ketua dua dalam perguruan tersebut. Bahkan Jagalawa bersedia turunkan seluruh ilmunya kepadaku."

Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil menggumam pelan. "Sepertinya ada sesuatu pada dirimu yang dipandang sangat istimewa oleh Jagalawa."

"Memang begitu," jawab Puting Selaksa. "Dan orang yang berniat memperistriku seperti Jagalawa sudah ada empat lelaki. Salah satu di antaranya adalah Adipati Wijanarka."

"Baru kudengar nama itu," gumam Suto.

"Adipati Wijsnarka bersedia menyerahkan separo bagian dari wilayah kadipatennya menjadi tanah milikku jika aku mau menjadi istrinya. Bahkan separo kekayaan sang Adipati akan menjadi hak milikku, ia bersedia menceraikan kedua istrinya dan hanya beristrikan satu perempuan saja, yaitu aku seorang. Tapi... lamaran itu pun kutolak."

"Hebat! Hebat sekali bualanmu," ucap Suto lirih.

"Aku tidak membual. Tapi kalau kau merasa sedang kubohongi, sebaiknya keteranganku cukup sampai di sini saja!" tegas Puting Selaksa yang tersinggung dengan gumam Pendekar Mabuk tadi.

"Aku hanya bercanda," kata Suto sambil nyengir. "Teruskan ceritamu itu. Aku suka mendengar cerita seperti itu."

Puting Selaksa melirik dingin, karena ia tahu ucapan Suto itu tidak tulus, dan hanya sebagai pujian pemancing semangat belaka. la membiarkan Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, bahkan sempat terbungkam sambil merasakah semilir angin di keteduhan itu.

"Aku menyimaknya dengan sungguh-sungguh, Puting Selaksa. Teruskan ceritamu itu," bujuk Pendekar Mabuk sambil pandangi wajah cantik yang mempunyai bibir agak tebal namun sensual itu.

"Seorang saudagar dari tanah seberang juga ingin melamarku dan memberi jaminan kekayaan yang tak habis dimakan tujuh turunan. Saudagar Itu sempat memaksaku dengan menyuruh orang kepercayaannya untuk melumpuhkan ilmuku. Orang kepercayaan saudagar ini sampai sekarang masih mengejar-ngejarku terus. Tapi tentunya ia kehilangan jejakku ketika aku tertawan oleh Jagalawa."

Sehelai daun melayang jatuh di pangkuan Suto Sinting. Pendekar Mabuk memungutnya dan daun itu dipermainkan secara iseng sambil mengomentari ucapan Puting Selaksa tadi. "Secara jujur saja dan jangan tersinggung, menurutku kau perempuan yang wajar-wajar saja. Tak kulihat ada sesuatu yang istimewa pada dirimu, kecuali bentuk tubuhnya yang tinggi, kekar dan mengagumkan. Kecantikanmu adalah kecantikan yang wajar. Secara sepintas aku tadi mengukur ilmumu, juga termasuk wajar-wajar saja. Artinya, ilmu yang kau miliki memang cukup tinggi, tapi tidak mempunyai keistimewaan. Misalnya saja, kau bisa menembus matahari atau bisa membuat rembulan runtuh ke bumi. Tidak begitu!"

"Aku suka dengan caramu menilai!" kata Puting Selaksa dengan tegas sambil matanya menatap dengan berani kepada Pendekar Mabuk.

"Tapi yang kuherankan, mengapa seorang adipati, seorang saudagar, seorang ketua perguruan, dan yang lainnya... begitu bernafsu sekali ingin memperistrimu?! Apakah mereka terkena 'aji pengasihan' darimu?"

Puting Selaksa tampakkan senyum sinisnya. "Tak ada dalilnya dalam hidupku untuk menggunakan 'aji pengasihan' seperti dugaanmu. Lelaki kalau diberi 'aji pengasihan' kelak akan menjadi kekasih yang ngelunjak!"

"Heh, heh, heh...! Kurasa tidak semua lelaki berani ngelunjak padamu. Kau perempuan yang keras, tegar, berani, dan keras kepala!"

"Itu kuakui, karena mereka yang bernafsu sekali untuk memperistriku juga menilaiku begitu. Hanya saja, menurut mereka, aku adalah Wanita Keramat yang harus bisa mereka nikahi."

"Wanita Keramat bagaimana?!" tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut.

Puting Selaksa memandang Pendekar Mabuk tak berkesip. Pandangan itu begitu tajam, sempat membuat hati Suto bergetar. Getaran tersebut sukar diartikan, sehingga Suto sendiri hanya bisa membatin dalam hatinya, "Baru sekarang aku menerima pandangan mata seperti ini. Apa arti getaran dalam hatiku ini?! Oh, aku jadi resah sendiri. Gila! Kenapa aku menjadi takut kepadanya setelah ditatap sedemikian rupa? Takut tapi suka. Aneh sekali perasaanku kali ini?!"

Bibir sensual itu bergerak-gerak mengucapkan kata pelan, namun berwibawa. "Saat bulan purnama yang lalu, ketika aku melintasi puncak sebuah bukit yang bernama Bukit Taman Langit, tiba-tiba cahaya rembulan bersinar merah seperti bara...."

* * *

Puting Selaksa terkejut ketika cahaya rembulan tampak merah membara. la sempat hentikan langkahnya dan memandangi rembulan yang berubah menjadi merah itu. Tapi cahaya di sekelilingnya masih terang selayaknya bulan purnama.

"Aneh. Mengapa rembulan menyorotkan cahaya merah? Cahaya itu seolah-olah hanya tertuju untuk diriku. Padahal... oh, di tempat lain cahayanya masih terang, kuning keperakan," pikir Puting Selaksa kala itu. la memandangi alam sekeliling, kemudian menatap tangannya sendiri. "Oh, tanganku menjadi merah. Kulitku merah seperti buah ranum? Apa yang terjadi pada diriku ini?"

Cahaya merah itu makin lama semakin terang. Cahaya tersebut berbentuk seperti lampu sorot yang khusus untuk menyinari tubuh Puting Selaksa. Ketika ia mencoba bergerak ke belakang, cahaya merah itu mengikutinya. Ke mana pun ia bergerak, cahaya merah tetap menyinarinya. Puting Selaksa memandang kepada rembulan.

"Nyata-nyata dari rembulan datangnya. Oh, cahaya apa ini? Dari sana berbentuk kecil makin lama semakin melebar dan menyinariku dalam bentuk sinar bulat. Tiga langkah maju ke depan, aku akan keluar dari cahaya merah ini. Akan kucoba lagi."

Puting Selaksa melangkah empat langkah, ia memang keluar dari lingkaran cahaya merah. Tetapi lingkaran cahaya itu segera bergerak dan Puting Selaksa berada di tengah lingkaran cahaya lagi.

Hati perempuan itu berdebar-debar. Jantungnya sempat berdetak cepat, ia diliputi rasa takut yang menegangkan. Tetapi rasa ingin tahu keanehan itu mendesak hatinya terus untuk tetap mengikuti perkembangan selanjutnya,

"Biarlah aku terlambat pulang, kurasa Guru tak akan marah jika kuceritakan pengalaman aneh ini. Bahkan mungkin Kakek Guru dapat menjelaskan makna sinar merah dari rembulan ini. Sebaiknya...."

Ucapan batin itu terhenti, karena tiba-tiba cahaya merah jambu itu berubah menjadi kehijau-hijauan. Tiga helaan napas kemudian, cahaya hijau itu semakin terang dan semakin nyata. Puting Selaksa semakin takut, sebab sekarang kulit tubuhnya menjadi hijau. Makin lama warna hijaunya semakin bening, dan tubuh Puting Selaksa seluruhnya pun menjadi hijau bening seperti kristal. Tentu saja menjadi sangat tegang dan panik.

"Ooh...?! Kakiku...? Kakiku tak bisa terangkat lagi? Celaka!"

Puting Selaksa mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk mengangkat kakinya, tetapi kaki itu bagai tertanam kuat ke dalam tanah, sukar diangkat atau digeser sedikit pun.

"Heii...?! Ke mana pakaianku? Mengapa aku jadi tidak berpakaian? Dan... dan... hei, di mana pedangku? Ooh... celaka! Jurusnya siapa ini yang menyerangku?!"

Makin berusaha mengangkat kaki, makin sesak pernapasan Puting Selaksa. Pandangan matanya pun mulai buram. Pada awalnya, apa yang dipandang menjadi serba hijau; tanah hijau, batu hijau, batang pohon hijau, daun... memang hijau dari dulu. Tapi rembulan juga ikut-ikutan berwarna hijau. Bahkan langit, awan dan bintang pun tampak berwarna hijau indah. Sekalipun segalanya tampak indah, namun Puting Selaksa tetap diliputi rasa takut terhadap keanehan tersebut. Beberapa saat, pandangan yang serba hijau itu memburam. Makin lama semakin buram, akhirnya gelap. Gelap sama sekali.

"Ooh..,?! Aku telah menjadi buta?! Tapi... tapi napasku... aduh, sesak sekali. Haaahk... hhaaahk...!"

Pada saat napas terasa semakin sesak, dada bagai dibakar api, darah bagaikan mendidih, Puting Selaksa mendengar suara bergema samar-samar.

"Malam keberuntunganmu tiba, Anakku. Kau telah melintasi jalur keramat pada tempat dan waktu sangat tepat. Bersiaplah menjadi wanita yang penuh keberuntungan, bertabur cinta dan takhta. Tetapi ingat, jangan kau cemari kesucianmu dengan darah kemesraan lelaki yang bukan suamimu. Jika kau cemari, maka Rona Dewaji akan pergi darimu. Darahmu hanya boleh bercampur dengan darah lelaki yang memperistri dirimu secara sah. Tapi kuberikan kebebasanmu untuk memilih seorang suami yang sesuai dengan hatimu. Jika sudah kau dapatkan, menikahlah dengannya maka seluruh keberuntungan akan menjadi milik keturunanmu. Ingat, jangan sampai Rona Dewaji hilang karena pencemaran itu. Ingat, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji...."

Seterusnya Puting Selaksa tak bisa mendengarnya lagi. Perempuan itu tak sadarkan diri, sukmanya bagai melayang-layang di sela-sela awan berwarna-warni. Awan-awan itu bergumpal membentuk keindahan tersendiri. Seakan ia terbang di atas taman langit. Rasa bahagia, rasa senang, rasa gembira, semua bercampur menjadi satu menyelimuti hatinya. Perasaan itu tak bisa diuraikan dengan kata-kata lagi.

Ketika ia siuman, ternyata ia sudah berada di tepi pantai. Pantai itu tak jauh dari Teluk Sendu, tempat kediaman gurunya; Resi Parangkara. Keadaan tubuhnya telah normal kembali. Pakaiannya tetap rapi, seakan tak pernah ada yang melepasnya. Badannya pun terasa segar, tanpa mengalami luka dan rasa sakit sedikit pun. Namun ingatan Puting Selaksa tentang bulan bersinar hijau itu masih jelas dan jelas sekali. Seakan peristiwa itu tak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.

Peristiwa tersebut segera diceritakan kepada sang Guru pada saat Manggar Jingga tidak ada di tempat. Resi Parangkara sempat terkejut saat mendengar turunnya cahaya hijau dari tengah rembulan itu. Sang Guru yang biasanya kalem, saat itu menjadi tegang dan sangat antusias mendengarkan cerita Puting Selaksa.

"Apakah aku bermimpi pada saat itu, Guru? Atau aku sedang diguna-guna oleh seseorang yang berilmu tinggi!"

"Tidak, Muridku!" jawab sang Guru dengan tegas. "Kau telah terpilih oleh Dewata untuk menerima Rona Dewaji."

"Apa itu Rona Dewaji, Guru?" Puting Selaksa memandang dengan dahi berkerut.

"Rona Dewaji adalah 'gaib kekuatan kasih' yang dimiliki para dewa di kayangan sana yang akan membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan kesehatan bagi siapa pun yang mendapatkannya."

Puting Selaksa manggut-manggut, tampak serius sekali mendengarkan penjelasan sang Guru, sampai-sampai ia tak sadar kalau bibirnya agak memble dan air liurnya hampir jatuh.

"Dalam perhitungan leluhur kita, turunnya Rona Dewaji itu dinamakan 'Malam Anggoro Asin'. Dan istilah malam itu dipakai untuk sepasang pengantin baru. Artinya, seluruh kebahagiaan, keberuntungan dan kesehatan menjadi milik kedua mempelai tersebut."

"Apakah ada bahayanya bagi hidupku, Guru?"

"Sama sekali tidak ada. Satu-satunya bahaya akan datang dari sesama manusia sendiri. Jika hal ini kau ceritakan kepada perempuan lain, maka kau bisa dibunuh olehnya, terutama bagi perempuan yang berjiwa sirik dan merasa iri dengan keberuntunganmu," jawab Resi Parangkara dengan jelas sekali. "Karenanya kuminta jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada adikmu: si Manggar Jingga. la akan merasa menjadi perempuan yang tidak beruntung dan minder kepadamu."

"Baik, akan kurahasiakan hal ini dari para perempuan mana pun juga."

"Bahaya itu juga bisa datang dari kaum lelaki yang bernafsu ingin memperistrimu, terutama jika lelaki itu tahu bahwa kau adalah perempuan yang memiliki Rona Dewaji."

"Tapi pada waktu itu tak ada siapa pun, Guru. Apakah mungkin ada lelaki yang bisa mengetahui keadaan diriku?"

"Menurut penglihatanmu memang begitu. Tapi ketahuilah, jika pada malam itu ada seorang lelaki yang melakukan semadi, sekalipun di seberang samudera atau di ujung dunia, maka kepekaan batinnya akan dapat melihat dan mendengar peristiwa itu. la akan melihat apa yang kau lihat, dan mendengar apa yang kau dengar. Bisa-bisa lelaki itu akan memburumu atau membujukmu untuk dijadikan istrinya. Dan jika ia kecewa atas penolakanmu, bisa-bisa jiwa sesatnya akan muncul, lalu ia akan berusaha membunuhmu, supaya lelaki lain pun tidak mendapatkan keuntungan darimu."

"Sepertinya tak masuk akal sama sekali, Guru."

"Jangan menerima kenyataan ini dengan akal dan pikiran, karena peristiwa yang kau alami hanya bisa diterima oleh kekuatan batin," ujar Resi Parangkara dengan penuh kesabaran. "Siapa pun lelaki yang mengetahui bahwa kau mempunyai kekuatan Rona Dewaji, maka ia akan berusaha keras untuk dapat memperistrimu. Sebab, seluruh keturunanmu kelak akan menjadi raja atau penguasa dan hidupnya akan berlimpah kebahagiaan, kekayaan, kedamaian, serta berderajat tinggi. Kau pun bersama suamimu akan begitu."

Puting Selaksa menarik napas dalam-dalam. Ada keceriaan membias di wajah cantiknya. Tapi batinnya masih diliputi keraguan dan menganggap hal itu suatu falsafah kuno peninggalan leluhur mereka.

Resi Parangkara tambahkan penjelasannya lagi. "Tapi kau harus benar-benar tetap suci. Ingat, kau harus benar-benar tetap suci."

"Jadi, aku tak boleh bermesraan dengan seorang kekasih?"

"Bermesraan boleh, tapi jangan sampai darah kemesraan lelaki itu tumpah dan membaur dalam tubuhmu. Itu yang dinamakan pencemaran. Seratus kali kau memeluk lelaki, seratus kali kau dicium oleh seratus jenis lelaki, itu tidak apa-apa. Tapi jika setetes darah kemesraan lelaki itu tumpah dan masuk dalam tubuhmu, maka kekuatan Rona Dewaji hilang seketika itu juga. Tapi jika lelaki itu sudah sah menjadi suamimu, mau tumpah seember pun bebas. Tak akan membuat Rona Dewaji hilang dari dirimu. Jelas?"

"Jelas, Guru!" sambil Puting Selaksa mengangguk tegas.

"Ingat, godaan cinta akan datang beruntun padamu. Kau harus pandai-pandai membawa diri, pandai-pandai mengendalikan nafsu batinmu...,"

Sejak itu, Puting Selaksa selalu berusaha menjauhi lelaki. la hanya ingin memilih lelaki calon suaminya dari jarak jauh saja. Sikap menjauhi lelaki adalah sikap berjaga-jaga agar tak terjebak dalam godaan cinta. Tetapi ternyata godaan itu timbul bukan dari orang lain, tapi juga dari dalam diri Puting Selaksa sendiri. Godaan dari dalam dirinya itu berupa membaranya sang gairah. Hasrat ingin bercumbu selalu meletup-letup dalam dada Puting Selaksa, sampai-sampai ia sering mimpi bercinta dengan seorang lelaki dan mencapai puncak keindahannya.

Untuk mengatasi berkobarnya gairah cinta, Puting Selaksa sering menyibukkan diri dengan kegiatan yang bersifat menguras tenaga. Bahkan setiap hari ia berlatih jurus-jurus yang pernah diajarkan oleh sang Guru agar pikiran dan khayalannya tidak tertuju pada kencan dengari lelaki.

"Ternyata melawan godaan dari dalam diri sendiri lebih berat dibandingkan bertarung melawan orang lain," pikir Puting Selaksa kala merenungkan hal itu. Walaupun sejauh ini, Puting Selaksa masih mampu bertahan untuk tidak bercumbu dengan seorang lelaki, tetapi setiap tidur mimpinya selalu tentang bercumbu dengan lawan jenisnya.

* * *

Pendekar Mabuk menarik napas begitu Puting Selaksa hentikan penuturan kisah tersebut. Bahkan pemuda tampan itu sempat menenggak tuaknya lagi sambil merenungkan seluruh cerita tersebut,

"Karenanya, ketika aku berada dalam penjara bawah tanah dan mengalami siksaan kasar dari Jagalawa, aku merasa punya keuntungan sendiri dalam menerimanya. Aku tak pernah tidur, dan dengan begitu tak pernah bermimpi tentang cumbuan. Aku merasa sakit hati, sehingga hasrat ingin bercumbu hilang,"

Suto tersenyum mendengarnya, tapi Puting Selaksa tak pedulikan senyum yang bernada mengejeknya itu. la tetap bicara walau tanpa memandang Pendekar Mabuk.

"Begitu aku berhasil lolos dari penjaranya si Jagalawa, aku dikejar-kejar orang Pulau Boneng. Tapi aku sempat bersembunyi dan tertidur cukup lama. Mimpi itu hadir lagi dan membuat hasratku menyala-nyala kembali. Oleh sebab itulah, ketika di kedai aku tak ingin ditemani oleh pria mana pun juga, karena aku takut tergoda oleh hasratku sendiri."

"Tapi...," potong Pendekar Mabuk. "Apakah Jagalawa, Adipati Wijanarka dan orang-orang yang bernafsu ingin memperistrimu itu juga tahu bahwa kau adalah perempuan yang mendapatkan Rona Dewaji?"

"Tentunya mereka tahu, sebab mereka menyebutkan Wanita Keramat. Mungkin pada waktu itu Jagalawa sedang lakukan semadi, sehingga ia melihat dan mendengar dengan batinnya tentang peristiwa yang kualami itu. Atau seorang petapa yang menjadi kenalan mereka memberi tahukan keadaanku, sehingga mereka berusaha ingin memperistri diriku."

Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-manggut. Puting Selaksa membuang pandangan jauh-jauh sambil berdiri. la melangkah jauhi Suto. Seolah-olah ia tak berani memandang Suto terlalu lama, karena takut gairahnya tergoda.

"Puting Selaksa," panggil Suto sambil berdiri juga. "Kalau boleh kutahu, apakah sampai sekarang kau belum punya pilihan tentang lelaki yang akan menjadi suamimu?"

"Belum!" sahut perempuan itu dengan cepat dan tegas, wajahnya dipalingkan memandang Suto Sinting.

Suto mendekatinya. "Kau... kau benar-benar belum punya kekasih?"

Puting Selaksa gelengkan kepala sambil tetap menatap lekat-lekat pada Suto. "Dulu aku pernah punya kekasih. Tapi aku dikhianati. Setelah dia merenggut kesucianku, setelah dia puas menikmati tubuhku, dia pergi dan menikah dengan putri seorang raja. Hatiku sakit sekali, dan sejak itu hatiku sulit menerima kehadiran seorang lelaki?"

Sekali lagi kepala Suto manggut-manggut sambil perdengarkan gumamnya yang lirih. Tapi batin pemuda itu mulai berkecamuk antara percaya dan tidak. "Jika aku kawin dengan perempuan ini, tentunya hidupku akan berlimpah kebahagiaan sampai pada keturunan-keturunanku. Tapi bagaimana dengan Dyah Sariningrum? Oh, kasihan dia. Hatinya pasti akan hancur selama-lamanya. Dan lagi... benarkah apa yang diceritakannya itu? Jangan-jangan cerita itu hanya untuk mempengaruhi pendirianku dan membuatku terpikat padanya? Hmmm... aku harus hati-hati berhadapan dengan perempuan yang satu ini!"

Puting Selaksa tersenyum sinis ketika mata Suto kepergok sedang menatapnya. Suto sempat salah tingkah dan tak enak hati. Lebih tak enak lagi setelah Puting Selaksa berkata dengan nada dingin.

"Aku tahu kau meragukan kebenaran ceritaku tadi. Tapi kuharap jangan punya prasangka bahwa aku mengincarmu sebagai calon suamiku. Aku tidak berselera, dengan lelaki yang punya wajah tampan dan gagah sepertimu."

"O ya...?! Mengapa kau tidak berselera?"

"Karena lelaki sepertimu pasti lelaki buaya, doyan selingkuh dan mata keranjang!" jawab Puting Selaksa dengan nada ketus yang membuat wajah Suto menjadi semburat merah menahan rasa malu.

"Aku memburumu kemari karena ada yang ingin kutanyakan padamu!" sambung Puting Selaksa.

"Tentang apa?" Suto masih bisa pertahankan sikap kalemnya, walau dirinya penuh gairah dan mengecam kata-kata Puting Selaksa tadi.

"Di mana guruku dan Manggar Jingga sekarang?!"

"Aku tak tahu. Tapi sebelum kami berpisah, kudengar mereka merencanakan untuk mencarimu ke Perguruan Tangan Besi. Mereka akan menyelidiki keadaan di sana. Jika benar kau ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, maka mereka akan menyerang perguruan itu!"

"Tapi aku tidak melihat mereka ada di antara kobaran api pertempuran antara orang-orang Pulau Boneng dengan orang-orang Perguruan Tangan Besi!"

Suto angkat bahu. "Kalau begitu mereka tidak ke sana, atau mungkin sudah menjadi mayat di antara tumpukan para korban itu?!"

Mata bertepian hitam itu sempat melebar sekejap. Wajah cantik angkuh itu menjadi tegang. "Kalau begitu aku harus kembali ke tanah Mentawai dan memeriksa para mayat yang bergelimpangan di sana!"

"Silakan saja. Jangan berharap aku akan mendampingimu untuk pergi ke sana!" ucap Suto Sinting bernada ketus, setajam ucapan Puting Selaksa tadi. Wajah perempuan itu menjadi merah menahan malu dan marah.

"Satu sama!" ucap Suto sambil tersenyum nyengir.

Puting Selaksa tampak menggeletukkan giginya dengan pandangan mata setajam ujung tombak. Pendekar Mabuk sempat merinding dipandang demikian, walau wajahnya tetap cengar-cengir konyol.

* * *

LIMA

TERNYATA bukan hanya mereka berdua yang ada di tempat teduh itu. Sepasang mata dan telinga telah menyadap pembicaraan mereka dan memperhatikan gerak-gerik Pendekar Mabuk serta Puting Selaksa. Orang ketiga itu sengaja tak mau tampakkan diri sebelum mengetahui akhir dari percakapan tersebut.

Agaknya pengintaian si orang ketiga itu dilakukan tanpa disengaja. Perjalanannya terhenti ketika melihat Suto Sinting berteduh di balik batu. Rasa penasarannya semakin bertambah setelah kemunculan Puting Selaksa yang juga telah dikenalnya sebagai murid Resi Parangkara. Maka si orang ketiga itu mengambil tempat yang sama dan sangat tersembunyi, namun bisa mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh dua orang tersebut.

Pohon berdaun rindang yang tumbuh di belakang batu besar adalah tempat aman yang dipilihnya sebagai tempat persembunyian. Lompatan geraknya dari dahan ke dahan yang tidak menimbulkan suara itu dapat dikenali sebagai lompatan tokoh berilmu tinggi. Cara berdirinya di dalam kerimbunan daun yang hanya berpijak pada satu ranting kecil menandakan tokoh tersebut menguasai ilmu peringan tubuh dengan baik.

Pada saat ia mendengar Suto berkata kepada Puting Selaksa, "Namun sebagai sahabat baru Resi Parangkara, aku berkewajiban mencari tahu juga nasib beliau di antara mayat-mayat orang Perguruan Tangan Besi. Jadi tak ada jeleknya jika kita berangkat bersama ke puing-puing reruntuhan perguruan tersebut."

Puting Selaksa hanya sunggingkan senyum dingin yang tipis, lalu ia melangkah lebih dulu dan Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya. Pada saat itulah, si orang ketiga segera melompat turun dari atas pohon bagaikan seekor elang ingin menyambar mangsanya.

Wuuus...!

Seandainya Puting Selaksa kurang peka terhadap hembusan angin di sekitarnya dan ia tidak segera tundukkan kepala, maka kepala itu akan tersambar tendangan kuat dari orang ketiga itu. Sambil bergerak tundukkan kepala dan rendahkan badan, Puting Selaksa segera mencabut pedangnya karena gerakan refleksnya terhadap datangnya bahaya sewaktu-waktu.

Sreet...! Jleeeg...!

"Tahan...!" seru Suto sambil rintangkan tangan di depan Puting Selaksa begitu si orang ketiga daratkan kakinya di tanah depan mereka. Terkesip mata si Pendekar Mabuk pandangi orang itu, terbelalak nanar mata si Puting Selaksa begitu tahu siapa yang tadi ingin menyambarnya dari arah belakang.

"Bara Perindu...?!" sapa Pendekar Mabuk bernada heran.

Gadis itu tidak menyapa namun memandang Puting Selaksa penuh permusuhan. Suto sempat salah tingkah sendiri melihat cara kedua perempuan itu dalam beradu pandang.

"Agaknya kalian sudah saling kenal," ujar Suto mengisi kebungkaman di antara mereka.

Puting Selaksa bicara kepada Suto dengan mata tetap memandang tajam kepada Bara Perindu. "Rupanya kau sudah mengenal gadis tolol itu, Suto!"

"Hmmm... iiy... iya, aku sudah mengenalnya. Bara Perindu adalah prajurit kehormatan dari istana Kadipaten Mancanagari. Hmmm... kami pernah bertemu dan saling membantu pada saat geger ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' yang dimiliki putri angkat Kanjeng Adipati Purwatahta itu," jawab Suto sambil mengenang peristiwa munculnya tokoh jalang bernama Nyai Mata Binal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perempuan Jahanam).

Bara Perindu yang mengenakan baju ketat berbelahan dada lebar warna merah itu masih bungkam dengan sikapnya yang penuh keberanian itu. Gadis cantik berambut sepundak dengan poni bagian depan itu juga kelihatan sama judes dengan Puting Selaksa. Tangan kanannya sudah pegangi gagang pedang yang sewaktu-waktu siap cabut bila lawan menyerang. Suto Sinting mencoba meredakan ketegangan itu dengan senyum kaku yang lebih terlihat sebagai cengar-cengir salah tingkah.

"Kalian berdua sahabatku, sebaiknya tak perlu saling bersitegang begini."

Tapi rupanya kedua perempuan itu bagai tak mendengar ucapan Suto Sinting. Bahkan gadis pemberani berusia dua puluh dua tahun itu mulai lontarkan kata ketusnya kepada Puting Selaksa dengan keras.

"Muslihat apa lagi yang akan kau lakukan di depan Pendekar Mabuk, Perempuan Licik!"

"Aku tak punya urusan lagi denganmu!" ucap Puting Selaksa dengan datar dan berkesan dingin. "Tapi jika kau masih ingin teruskan perkara lama, aku siap mencabut nyawamu sekarang juga!"

"Hei, hei... tunggu dulu!" sergah Suto Sinting. "Jangan buru-buru main cabut nyawa, sebab nyawa berbeda dengan singkong, yang sekali cabut, batangnya ditanam lagi bisa tumbuh kembali. Tapi nyawa manusia sekali cabut, bangkainya ditanam, tidak pernah akan tumbuh lagi, bukan?!"

"Suto...!" seru Bara Perindu. "Jangan mau termakan oleh tipu muslihat perempuan jalang itu! Cerita yang dibuatkan panjang lebar tadi hanya siasat untuk menjebak gairahmu belaka! Tak ada Rona Dewaji. Apa itu Rona Dewaji? Tahi kucing!" sentak Bara Perindu.

"Suto, menyingkirlah dan biarkan gadis pongah itu mencium ujung pedangku dulu agar tak bicara sembarangan di depan siapa saja!" ujar Puting Selaksa dengan nada ketus menyeramkan. Bola matanya tak pernah bergerak, kelopaknya tak mau berkedip, seakan seluruh perhatian dipusatkan kepada Bara Perindu. "Cabut pedangmu, Bara Perindu! Buktikan bahwa ketajaman mulutmu lebih tajam dari pedangmu sendiri!" tantang Puting Selaksa.

Pendekar Mabuk bagai orang terhipnotis saat memperhatikan sorot pandangan mata tajamnya Puting Selaksa. la menjadi berdebar-debar dan undurkan langkah beberapa kali. "See... sebaiknya... sebaiknya ini tak perlu terjadi, Puting Selaksa... Bara Perindu...."

Sreet...! Bara Perindu mulai mencabut pedangnya. Suto Sinting bertambah cemas dan bingung. Kedua perempuan itu sama-sama pemberani dan sukar dibujuk jika sudah naik pitam begitu.

"Puting Selaksa, jangan harap kau bisa mengelabui sahabatku; Suto Sinting itu, jika Bara Perindu masih dapat mencabut pedangnya! Tak akan kubiarkan Pendekar Mabuk itu jatuh dalam pelukanmu hanya sekadar pemuas nafsumu semata!"

"Gadis beracun tikus! Rupanya kau merasa iri melihat pemuda itu bersimpati kepadaku. Apakah kau tak sadar bahwa kau mempunyai kecantikan yang memuakkan bagi setiap lelaki, sehingga tak ada lelaki yang mau jatuh dalam pelukanmu?!"

"Mulut busukmu akan hancur sekarang juga, Puting Selaksa. Hiaaah...!"

Wees, wees...!

Kedua perempuan itu saling lompat, saling menerjang, dan saling beradu kecepatan pedang di udara. Pendekar Mabuk terpaksa makin mundur karena takut menjadi salah sasaran dari sabetan pedang yang sama-sama berkecepatan tinggi itu.

Trring, tring, trrang, trring...!

Sampai keduanya turun ke darat, pedang mereka masih saling beradu dengan cepat. Gerakan mereka pun sama-sama lincah dan penuh nafsu untuk membunuh. Rupanya persoalan lama mereka melatarbelakangi kebencian Bara Perindu kepada Puting Selaksa. Sebab ia dulu pernah hampir dibuat mati oleh Puting Selaksa ketika berebut sebuah kitab milik Eyang Sagawira, kakak dari Resi Parangkara. Sedangkan Eyang Sagawira adalah gurunya Bara Perindu. Sementara itu, pikiran Pendekar Mabuk mulai terpengaruh oleh ucapan Bara Perindu tadi. Batin pun akhirnya berkecamuk sambil pandangi permainan jurus pedangnya Puting Selaksa.

"Puting Selaksa tampak marah sekali kepada Bara Perindu. Mungkinkah karena Puting Selaksa takut jika muslihatnya terbongkar di depanku? Oh, apa benar ucapan Bara Perindu tadi bahwa Rona Dewaji itu tidak ada dan hanya sekadar tahi kucing belaka? Gawat kalau begini. Mana yang benar? Masuk akal juga dakwaan Bara Perindu tadi yang mengatakan bahwa Puting Selaksa hanya ingin memikatku dengan cara membual panjang lebar. Tapi... tampaknya Puting Selaksa bersungguh-sungguh dalam menuturkan kisah Rona Dewaji tadi?!"

Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala. Saat itu ia segera melompat ke samping karena sabetan pedang kedua perempuan itu semakin mendekati tempatnya berdiri. Agaknya jurus pedang mereka sama-sama kuat, sehingga sejak tadi tak ada yang tergores luka sedikit pun.

"Pada saat aku bertemu dengan Resi Parangkara, sang Resi tidak menceritakan tentang keistimewaan yang ada pada diri Puting Selaksa. Apakah karena takut didengar Manggar Jingga?! Atau karena keistimewaan itu memang tidak ada?" pikir Suto Sinting lagi sambil tetap memperhatikan jurus-jurus yang dipakai Puting Selaksa. Sebab ia merasa perlu mencari kelemahan jurus-jurus tersebut, sehingga sewaktu-waktu berhadapan dengan Puting Selaksa ia dapat melumpuhkan perempuan itu dengan cepat.

Rupanya semakin lama Puting Selaksa semakin penasaran karena tak bisa melukai Bara Perindu. Perempuan itu pun segera berkelebat melambung ke udara dan bersalto ke belakang dua kali. Wuk, wuk...! Jleeg...! Begitu kakinya mendarat ke tanah, pedangnya segera disentakkan ke depan pada saat Bara Perindu ingin mengejarnya. Suuut...! Maka dari ujung pedang itu keluar selarik sinar biru sebesar lidi yang menghantam dada Bara Perindu. Claaap...!

Bara Perindu segera hentikan pedangnya di depan dada, sehingga sinar biru tersebut akhirnya menghantam pedang putih berkilauan milik Bara Perindu. Zaaaang...! Sinar ungu membias dari benturan sinar biru dengan pedang Bara Perindu. Sinar ungu itu sangat menyilaukan bagi Puting Selaksa, sehingga perempuan itu merunduk dan menghadangkan tangannya untuk melindungi mata.

Pada saat Puting Selaksa merunduk dan kebingungan hindari sinar yang amat menyilaukan dan bisa membutakan mata itu, Bara Perindu segera melompat lakukan satu terjangan dengan pedang berkelebat. Wees...!

Trang, craaas...!

Satu tangkisan pedang berhasil dilakukan oleh Puting Selaksa. Tapi tangkisan kedua melesat dan pundak Puting Selaksa pun terluka oleh tebasan pedang Bara Perindu.

"Aah...!" Puting Selaksa terhuyung-huyung. Pedang beracun telah membuat tubuhnya menjadi panas dan lemas. Tapi sebelum serangan Bara Perindu datang lagi, Puting Selaksa berhasil menyentakkan tangan kirinya dan dari tangan kiri itu melesat sinar jingga sebesar ibu jari. Wuuus...!

Bara Perindu tak menyangka lawannya akan menyerang dengan sinar jingga. Maka ia segera menghadang sinar itu dengan pedangnya lagi. Blaaab, blegaaar...! Ledakan dahsyat terjadi menggetarkan pepohonan sekeliling mereka. Bara Perindu terlempar keras oleh gelombang ledakan tersebut, ia jatuh membentur batu besar yang tadi dipakai berteduh Suto Sinting itu. Brruk...!

"Aaahk..." Bara Perindu memekik kesakitan sambil mulutnya semburkan darah kental. la segera jatuh terbanting yang membuat pedangnya terlepas dari genggaman. "Hoooek...!" Bara Perindu muntahkan darah lebih banyak lagi. Wajahnya menjadi pucat kebiru-biruan.

Pendekar Mabuk cemas melihat keadaan Bara Perindu. Namun ketika itu juga Puting Selaksa jatuh berlutut karena luka di pundaknya semakin melumpuhkan urat-urat di sekujur tubuh. la terengah-engah sambil pegangi luka di pundak. Pendekar Mabuk bingung, mana dulu yang harus ditolongnya, la hanya bisa menggerutu bernada keras,

"Kalian perempuan memang payah! Diingatkan agar jangan bertarung masih tetap ngotot. Dasar dua-duanya keras kepala! Kalau sudah begini, siapa dulu yang harus kuselamatkan dengan tuakku ini?! Uuuh...! Dasar perempuan!"

Bara Perindu bangkit dengan limbung dan pegangi dadanya, sementara tangan kanannya sudah menggenggam pedang lagi. Tapi wajahnya pucat semakin menyerupai mayat yang terlambat dikubur.

"Bara Perindu... jangan bergerak dulu!" seru Suto Sinting segera menghampirinya.

Tapi Bara Perindu telanjur jengkel kepada Pendekar Mabuk yang hanya diam saja dan tidak memihaknya dalam pertarungan tersebut. Wuuut...! Bara Perindu sempat sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya meluncur ke atas, lalu hinggap di pucuk batu besar itu.

"Sekali lagi kuingatkan padarnu, Suto... kalau kau mau selamat, hindari perempuah pendusta itu! Jangan percaya dengan bualannya tadi!"

"Bara Perindu, kau terluka parah!"

Tapi gadis itu justru berseru dengan suara berat dan sambil menyeringai menahan sakitnya. "Puting Selaksa...! Pertarungan ini belum berakhir! Kelak akan kita lanjutkan lagi sampai ada yang harus dikubur! Tapi percayalah, racun dalam pedangku ini cukup mampu membuatmu kehilangan nyawa dalam beberapa waktu lagi." Wees...! Bara Perindu segera pergi tinggalkan tempat tersebut melalui pohon demi pohon. Agaknya ia tak mau bicara lagi dengan Pendekar Mabuk yang menurutnya cenderung berpihak kepada Puting Selaksa.

Sementara itu, luka di pundak Puting Selaksa membuat leher dan wajah perempuan itu menjadi memar; merah kebiru-biruan, pertanda racun yang terdapat pada luka tersebut mulai mengganas. Puting Selaksa pun jatuh terduduk, lalu bergeser ke samping untuk dapat bersandar pada sebatang pohon. Melihat hal itu, kecemasan Suto semakin bertambah dan ia segera hampiri Puting Selaksa.

"Minumlah tuakku sekarang juga, Puting Selaksa! Minumlah, biar racun dalam lukamu itu tidak menjalar ke mana-mana!"

"Per... percuma! Aku tahu pedang itu menggunakan racun 'Darah Peri' yang hanya dimiliki oleh Eyang Sagawira, gurunya Bara Perindu. Racun ini... tidak bisa disembuhkan oleh...."

"Minumlah dulu tuak ini, dan jangan banyak bicara!" sentak Suto Sinting sambil sodorkan bumbung tuak. la tinggal menuang bumbung itu jika mulut Puting Selaksa terbuka. Tapi perempuan itu justru rapatkan gigi dan menyeringai karena rasa sakitnya semakin bertambah.

"Puting Selaksa!" bentak Suto dengan dongkol. "Kalau kau masih ingin hidup dan menikmati kejayaan Rona Dewaji, minum tuak ini! Lekas, buka mulutmu!"

Puting Selaksa akhirnya mau membuka mulut dengan bibir gemetar. Suto Sinting menuang tuak pelan-pelan sehingga Puting Selaksa meneguknya beberapa kali.

"Sudah kuingatkan agar jangan lakukan pertarungan, tapi kalian masih tetap ngotot. Akhirnya ya begini ini!" omel Suto Sinting sambil bersungut-sungut, tapi akhirnya ia menenggak tuaknya sendiri. "Aku tak berani memihak siapa pun, karena aku belum tahu siapa yang benar!" gumam Suto dalam hatinya.

Puting Selaksa terengah-engah. Pedangnya dimasukkan ke dalam sarung pedang dengan tangan gemetar. Tapi hati perempuan itu mulai membatin dalam kekaguman yang tersembunyi. "Aneh sekali. Rasa sakit ini menjadi berkurang. Sekarang tinggal perih saja. Tapi urat-uratku terasa mulai mengencang kembali. Hmmm... tuak apa yang kuminum tadi? Apakah benar dia bernama Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk yang sering dibicarakan Manggar Jingga itu? Oh, alangkah beruntungnya aku jika dia benar-benar Pendekar Mabuk yang terkenal berilmu edan-edanan itu?!"

Mata bertepian hitam dengan kesan galak itu melirik Suto yang sedang berdiri sambil mengencangkan tali bumbung tuaknya. Pemuda itu menggerutu, tapi tak jelas apa yang digerutukan. Hanya saja, Puting Selaksa mulai merasa berdebar-debar lagi jika terlalu lama memandangi Suto Sinting dari arah mana pun, terlebih dari bawah.

"Benar. Kurasa dia memang benar Pendekar Mabuk yang juga disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak. Buktinya sekarang rasa perih ini hilang sama sekali dan, ooh... kurasakan ada sesuatu yang merayap di pundakku. Sepertinya... sepertinya lukaku mulai bergerak merapat sendiri. Oh, sungguh ajaib. Ternyata apa yang sering diceritakan orang-orang tentang kesaktian tuak si Pendekar Mabuk itu bukan sekadar dongeng belaka. Aku merasakan buktinya. Padahal dulu kusangka mereka terlalu membesar-besarkan kesaktian si Pendekar Mabuk," ujar Puting Selaksa dalam hati.

Beberapa saat kemudian, luka itu benar-benar mengering dan merapat. Bahkan sekarang sudah tidak terlihat lagi. Kulit pundak menjadi halus seperti tak pernah terluka sedikit pun.

"Bagaimana? Sudah bisa dipakai untuk melanjutkan perjalanan?!" tanya Pendekar Mabuk begitu melihat Puting Selaksa berdiri dan menarik napas panjang-panjang. Perempuan itu anggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun. la segera merapikan pakaiannya dan membersihkannya dari tanah dan daun kering yang menempel di celana.

"Aku tetap akan memeriksa mayat-mayat di padepokan Perguruan Tangan Besi itu," kata Puting Selaksa. "Aku harus meyakinkan diri bahwa guruku dan Manggar Jingga tidak termasuk korban keganasan orang-orang Pulau Boneng."

Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Baik. Kurasa kita harus segera sampai ke sana sebelum petang tiba. Matahari mulai condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam. Kita harus bergerak cepat!"

Setelah memutuskan begitu, Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya lagi. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba seberkas sinar merah kecil seukuran lidi melesat dari belakangnya dan menghantam bahu kanan dengan telak.

Slaaap...! Jraaasss...!

"Aaaahk...!" pekik Suto Sinting sambil tubuhnya tersentak dan bumbung tuaknya terlempar ke depan.

"Sutooo...?!!" pekik Puting Selaksa dengan sangat terkejut. Lalu ia segera menyambar tubuh Suto yang limbung dan mau jatuh itu. Sementara bumbung tuaknya sudah telanjur jatuh ke tanah, tuaknya tumpah karena bumbung itu tidak dalam keadaan tertutup.

* * *

ENAM

SINAR merah itu melubangi bahu Suto hingga tembus ke dada kanan. Lubang kecil itu kepulkan asap, selain berwarna hitam juga melelehkan cairan hitam pula. Pendekar Mabuk menjadi terkulai lemas bagai tanpa tulang dan tenaga sedikit pun. Sekujur tubuhnya terasa sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Namun ia tak mampu mengerang atau merintih karena tak punya tenaga lagi. Wajah pun segera berubah sepucat mayat, mencemaskan hati Puting Selaksa.

Perempuan yang telah memperoleh kekuatannya kembali itu menjadi berang melihat Suto dilukai dengan cara licik. la segera memandang ke arah datangnya sinar merah tadi. Matanya yang nanar berkesan liar itu segera temukan seraut wajah milik seorang lelaki berkumis lebar dan berbadan gemuk.

"Rupanya kau yang berbuat licik itu, Gobang Garu?!" geram Puting Selaksa sambil meletakkan Suto pelan-pelan dalam keadaan sedikit bersandar akar pohon.

Sutb Sinting sebenarnya masih sempat pandangi wajah penyerangnya itu. Bahkan hatinya sempat berkecamuk dengan detak jantung melemah. "Siapa lelaki itu? Oouh... sepertinya riwayat hidupku hanya sampai di sini. Tubuhku terasa dingin sekali. Pandangan mataku menjadi buram. Napas pun terasa tipis, tak bisa menghirup udara banyak-banyak. Oooh... jurus apa tadi yang mengenaiku hingga aku kehilangan tenaga dan kekuatan separah ini?!"

Dengan mata sulit dipakai untuk berkedip, telinga Suto masih sempat mendengar ucapan-ucapan lelaki berkepala botak tengah namun mempunyai rambut ikal di bagian sekitar telinga ke belakang. Dengan suara berat, lelaki berpakaian merah tua itu lepaskan tawa terlebih dulu. Badannya yang gemuk terguncang-guncang oleh tawanya.

"Rupanya kau masih belum lupa dengan diriku, Puting Selaksa! Aku memang si Gobang Garu, utusan Adipati Wijanarka yang sudah berapa hari ini kebingungan mencarimu! Ternyata kau ada bersama cecunguk ingusan itu, Puting Selaksa. Hah, hah, hah, hah...!"

"Jahanam kau, Gobang Garu!" geram Puting Selaksa. "Rupanya saat ini adalah hari terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi. Bersiaplah untuk mati demi menebus kelancanganmu yang berani melukai pemuda ini, Gobang Garu!"

"Hoh, ha, ho, ho... jangan mengancamku, Nona Manis! Bagiku ancaman adalah angin yang berhembus di senja hari. Ada baiknya jika kau menurut saja padaku, supaya aku tidak melukaimu. Aku tak enak hati kalau sampai menyerahkan dirimu di depan Kanjeng Adipati Wijanarka dalam keadaan terluka. Tapi kalau memang terpaksa, yaah... apa boleh buat. Hah, hah, hah, hah...!"

Fuih...! Puting Selaksa lepaskan jurus napasnya yang mampu hadirkan angin kencang dari hidung. Tetapi, angin kencang Itu hanya membuat Gobang Garu mundur selangkah dan rendahkan kaki dengan pakaian dan kalung manik-manik hitam terhembus ke belakang.

"Huah, hah, hah, hah..! Untuk apa kau bermain napas denganku, Wanita Keramat?! Gobang Garu sudah sering masuk angin, jadi tak akan goyah walau kau hadirkan sejuta badai di depanku!" ujar Gobang Garu sambil memanggul senjatanya berupa gobang besar yang salah satu sisinya bergerigi seperti garu pembajak sawah.

Puting Selaksa maju dua langkah. Tapi Gobang Garu berkata lebih dulu kepadanya.

"Wanita Keramat, kumohon dengan segala hormat. Ikutlah aku dan jangan melawanku. Aku takut kau akan mati di tanganku, Wanita Keramat!"

"Persetan dengan hormatmu!" geram Puting Selaksa, lalu ia melepaskan pukulan jarak jauh dari tangan kirinya yang menggenggam dan menyentak ke depan.

Wuuut...! Bruuuuss...!

Pukulan tanpa sinar itu menerjang tubuh Gobang Garu yang berperut buncit. Tapi orang itu tak bergeming bagaikan prasasti tanpa sejarah. Hanya saja, pohon-pohon yang ada di belakangnya, di samping kanan-kirinya, mengalami keretakan begitu terkena pukulan tenaga dalam Puting Selaksa. Bahkan dua pohon langsung tumbang dalam keadaan akarnya terdongkel ke atas dan tanah pun berhamburan.

"Semakin ganas, Kanjeng Adipati semakin suka padamu, Puting Selaksa! Apa pun yang kau inginkan pasti akan dituruti oleh sang Adipati! Karena itu, ikutlah aku menghadap Adipati Wijanarka sekarang juga, Cah Ayu!"

Sreet....! Puting Selaksa segera mencabut pedangnya tanpa mau bicara lagi. Dalam sekejap tubuhnya telah melesat bagaikan terbang dengan cepat dan menyabetkan pedang ke leher Gobang Garu. Wees...!

Traang...! Gobang Garu menangkis dengan mengibaskan gobang besarnya ke arah depan. Tubuh gemuknya bergeser ke kanan, lalu tangan kirinya menyentak dengan dua jari mengeras. Wuuut...! Claaap...! Sinar biru bagaikan bintang pecah menghantam paha Puting Selaksa.

Namun perempuan itu cepat gerakkan pedangnya yang gagal kenai sasaran itu. Pedang tersebut menutup pahanya sehingga terhantam oleh sinar biru tersebut.

Blaaarr...!

Tubuh Puting Setaksa terlempar dan jatuh berguling-guling. Gobang Garu masih tetap diam di tempat sambil menertawakan jatuhnya Puting Selaksa.

"Hah, hah, hah, hah...! Sudah kubilang, kau tak akan mampu melumpuhkan diriku, Wanita Keramat! Percuma saja kau lakukan unjuk rasa bela pati di depan pemuda itu, rohnya nanti justru akan mencibir kebodohanmu!" Gobang Garu melangkah dekati Suto, sementara Puting Selaksa berhasil bangkit kembali dengan pedang siap menyerang.

"Apakah pemuda ini kekasihmu?! Oh, kalau begitu tak perlu terlalu lama ia menderita luka itu. Sebaiknya biar gobangku yang mencabut nyawanya sekarang juga. Heaaah...!!"

Wuuut, brrus...! Traaang...!

Puting Selaksa menerjang Gobang Garu sewaktu senjata besar itu diangkat dan ingin dihantamkan ke kepala Suto. Senjata tersebut sempat tertahan oleh pedangnya Puting Selaksa, jika tidak pasti akan membuat kepala Suto terbelah menjadi dua bagian. Ketika pedang berhasil menahan gobang besar itu, kaki Puting Selaksa menjejak mulut si Gobang Garu. Prrook...!

"Oouhf...!" Gobang Garu hanya terayun ke belakang, tapi kedua kakinya tetap menapak di tempat, ia bagaikan pilar yang sukar ditumbangkan. Bahkan kini senjatanya yang tersentak ke belakang karena tangkisan pedang tadi segera berkelebat dalam satu putaran dan langsung menyambar dalam gerakan memotong dada Puting Selaksa.

Wuuung...! Senjata besar yang menyeramkan itu tak sempat kenai dada Puting Selaksa, karena saat di udara, kaki Puting Selaksa berhasil menjejak batang pohon yang menaungi Suto itu. Jejakan kaki tersebut membuat tubuh Puting Selaksa melejit balik dalam gerakan bersalto. Jika tidak lakukan salto balik, maka senjata besar itu akan memotong tubuh Puting Selaksa secara menyedihkan.

Pendekar Mabuk masih bisa melihat adegan itu. Dalam hatinya ia hanya bisa berucap, "Selamat, selamat, selamat.... Moga-moga aku dan Puting Selaksa selamat dari ancaman maut orang mirip celengan Semar ini!"

Jleeg...! Puting Selaksa tiba di samping Gobang Garu. Tapi kaki orang gemuk itu segera diangkat dan menendang ke samping. Beet...! Dees...! Puting Selaksa menahan tendangan kaki itu dengan lengan kiri diangkat ke atas. Pada saat itulah pedangnya berkelebat cepat sekali.

Wees, craas...!

"Aahhrrrk...!" Gobang Garu mendelik, kini tubuhnya oleng ke belakang. Lehernya koyak lebar karena terkena sabetan pedang Puting Selaksa. Seketika itu pula tubuh Gobang Garu menjadi merah seperti kepiting rebus, karena pedang Puting Selaksa dilapisi racun yang mampu membakar kulit tubuh manusia secara cepat.

Cras, cras...!

Puting Selaksa kembali tebaskan pedangnya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dua tebasan itu membuat dada Gobang Garu robek dan perutnya pun jebol. Akhirnya orang gemuk itu tumbang tanpa ampun lagi. Tubuhnya semakin merah bagai habis direbus sampai matang, dan luka tebasan pedang itu mengeluarkan busa-busa kuning. Gobang Garu akhirnya diam, cuek terhadap apa saja yang dilakukan lawannya, karena ia sudah tidak bernyawa lagi.

Darah berlumuran di pedang Puting Selaksa. Tapi dalam beberapa kejap darah itu menguap dan hilang tanpa bekas. Pedang itu menjadi putih bersih berkilauan seperti tak pernah dipakai untuk melukai lawan mana pun. Pendekar Mabuk sempat memperhatikan hal itu dan berkata dalam hatinya,

"Pedang yang bagus! Tak kusangka pedang itu mempunyai keajaiban seperti itu! Hanya saja... ouh, tubuhku sendiri bagai semakin dibakar dengan bara api yang membuat bagian dalam tubuhku sepertinya telah menjadi arang. Tuakku, oh... tuakku tumpah semua, Mudah-mudahan masih ada sisa sedikit saja dan Puting Selaksa menuangkannya ke mulutku..."

Puting Selaksa masih berwajah ganas, menyeramkan. Mayat lawannya dipandangi bagai tiada habis kebenciannya. Napasnya tampak memburu seakan ingin lampiaskan sisa murkanya kepada mayat itu. Namun ketika ia melirik ke arah Suto, ketegangan di wajahnya segera berkurang, la buru-buru hampiri Pendekar Mabuk dan memeriksa luka di dada kanannya.

"Celaka! Luka ini akan semakin parah kalau tidak segera terobati!" ujarnya dalam suara menggeram. "Bertahanlah, Suto! Bertahanlah...!"

Suto Sinting sempat rasakan jengkel dalam hatinya, karena ia tak bisa berkata apa-apa. Padahal ia ingin mengatakan bahwa luka itu bisa diatasi dengan meneguk sisa tuak dari dalam bumbungnya. Namun harapan itu sangat sia-sia. Puting Selaksa memang mengambil bumbung tuak dan tutupnya, tapi bumbung itu justru ditenteng agak miring ke bawah sehingga sisa tuak mengucur habis membasahi tanah.

"Oooh... perempuan bodoh yang malang. Untung aku dalam keadaan tak berdaya begini, kalau aku masih bisa bergerak sedikit saja kulempar kepalamu pakai batu yang mengganjal pantatku ini! Tuak tinggal sedikit malah dibiarkan tumpah semua. Dasar perempuan goblok!" omel Suto Sinting dalam hati dengan pandangan mata makin lama semakin buram.

"Aduh, mataku sudah mulai tak bisa melihat. Aku akan buta, karena sekarang pun apa yang kulihat serba remang-remang," keluh Suto Sinting, tanpa menyadari bahwa saat itu memang matahari sudah mulai tenggelam dan petang akan tiba. Walau tak terluka pun alam sekitarnya memang menjadi remang-remang.

"Aku harus segera menyelamatkannya! Ooh, tubuhnya terasa sedingin es. Celaka! Kelihatannya jika terlambat sedikit saja dia akan kehilangan nyawanya," ujar Puting Selaksa dalam hati, "Harus kubawa ke mana dia? Hmmm... sebaiknya kubawa ke desa itu lagi. Kelihatannya dia akrab dengan si.. pemilik kedai. Mudah-mudahan si pemilik kedai bisa carikan obat untuk menyelamatkan nyawanya!"

Dengan menggunakan tenaga dalam tersendiri, Puting Selaksa akhirnya memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk itu. Bumbung tuak ditenteng di tangan kiri, pedang diselipkan di pinggang, pundak kanan memanggul tubuh Suto, perempuan itu pun segera melesat menuju ke desa tempat Ki Pulasoma buka kedai itu. Dengan pergunakan tenaga peringan tubuh, Puting Selaksa berlari cepat bagai berpacu dengan datangnya malam.

Ki Pulasoma terkejut melihat Puting Selaksa memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk. Bahkan si pemilik kedai itu sempat gugup melihat Suto dalam keadaan sepucat mayat. Para tamu yang sedang makan di kedai itu ikut menjadi tegang dan segera memberi bantuan sebisanya, sebab mereka telah merasa ditolong oleh Pendekar Mabuk dari keonaran orang-orang Pulau Bonang tadi siang.

"Genduk!" panggil Ki Pulasoma kepada anak gadisnya. "Cepat bantu Nona ini mempersiapkan kamar untuk merawat Suto!"

Ki Pulasoma telah mengenal nama Suto Sinting dan tahu persis bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk, karena malam sebelumnya mereka ngobrol panjang-lebar sampai menjelang fajar. Rupanya Ki Pulasoma dan orang-orang desa tersebut adalah penggemar berat Pendekar Mabuk, sehingga keadaan yang genting itu segera menjadi bahan pemikiran oleh mereka.

Kamar sewaan khusus untuk tamu terhormat diberikan oleh Ki Pulasoma sebagai tempat merawat Pendekar Mabuk. Malam sebelumnya, Suto tidak tidur di kamar tersebut, karena kamar itu memang disediakan untuk disewa oleh para bangsawan atau saudagar kaya. Kamar itu lebih besar, lebih bersih dan lebih rapi dari kamar-kamar sewaan lainnya.

"Adakah seorang tabib di desa ini, Ki?" tanya Puting Selaksa.

"Hmmm,.. eeh... tidak ada, tapi kalau dukun bayi, ada."

"Dukun bayi?! Untuk apa? Kau pikir Suto mau melahirkan?!" sentak Puting Selaksa seakan tak suka jika luka-luka Suto diremehkan, padahal Ki Pulasoma tidak bermaksud meremehkan keadaan Suto Sinting.

Beberapa saran dari penduduk desa dicoba untuk obati luka Pendekar Mabuk. Namun tubuh pemuda itu semakin dingin, wajahnya semakin pucat, helaan napasnya kian pelan, nyaris tidak bernapas lagi. Hal ini sangat menegangkan Puting Setaksa.

"Dia tak boleh mati! Aku tak mau kalau dia sampai mati! Ooh... apa yang harus kulakukan jika begini?!" gusar Puting Selaksa di dalam kamar itu. "Sudah kucoba salurkan hawa murniku, tapi tak membawa hasil sedikit pun. Atau... haruskah kucurahkan semua kekuatan hawa murniku ke dalam tubuhnya?!"

Pendekar Mabuk dibaringkan agak miring ke kiri dengan menggunakan bantal sebagai pengganjal, ia berada di atas ranjang berkasur yang biasa dipakai tidur para bangsawan atau saudagar kaya. Baju coklatnya sudah dilepaskan oleh Puting Selaksa, beberapa ramuan tumbuk telah diborehkan di sekitar luka. Tapi ramuan itu tak membuat luka mengalami pengeringan. Bahkan lubang luka itu makin lama tampak semakin membesar.

Puting Selaksa sangat cemas dan baru kali ini dia merasa tegang menghadapi luka seseorang. Sampai larut malam, ia tak bisa tidur dan sebentar-sebentar memeriksa denyut nadi Suto. Denyut itu dirasakan kian pelan. Puting Selaksa benar-benar tersiksa batinnya; cemas, tegang, jengkel, geram, semuanya bercampur menjadi satu dalam kebingungan yang menyesakkan pernapasannya sendiri.

Ki Pulasoma juga ikut gelisah dan sangat prihatin melihat keadaan Suto. "Seorang tetangga kami sedang pergi ke Lembah Tirta untuk memanggil seorang tabib ahli racun," kata Ki Pulasoma.

"Bagus! Kapan tabib itu bisa dibawa kemari?"

"Hmmm... perjalanan ke Lembah Tirta pulang pergi memakan waktu dua hari."

"Celaka! Dua hari bukan waktu yang tepat untuk menyelamatkannya, Ki!"

"Tapi setidaknya kita sudah berusaha sekuat tenaga, Nona!"

Anak gadis Ki Pulasoma muncul, "Pak, bumbung tuaknya Kang Suto sudah kuisi penuh tuak. Sebaiknya simpan saja di kamar ini kalau sewaktu-waktu Kang Suto kepingin minum tinggal nyedot!"

"Nyedot bagaimana? Bernapas saja susah kok memikirkan minumnya segala!" gerutu Ki Pulasoma. "Sana taruh di dekat rak piring saja!"

"Tunggu!" sergah Puting Selaksa, ia segera meraih bumbung tuak dari tangan anak gadis Ki Pulasoma. Ingatannya kembali pada saat ia terluka dan meminum tuak dari bumbung tersebut. "Lukaku cepat sembuh dan lenyap tanpa bekas secara ajaib begitu menelan tuaknya." Puting Selaksa bicara kepada Ki Pulasoma.

"Tapi... bukankah menurut cerita Nona tadi tuak mujarab itu telah tumpah semua?"

"Ya, memang begitu. Dan itulah yang kusesali."

"Mungkin., mungkin sekarang dia memang butuh minum untuk membasahi tenggorokannya. Sebaiknya dulangkan saja tuak itu pelan-pelan ke mulutnya, Nona,"

"Hmmm...," Puting Selaksa manggut-manggut tipis sambil termenung sesaat. Setelah itu ia meminjam sendok kepada Ki Pulasoma. "Coba pinjam sendoknya!"

Malam dibiarkan merayap terus. Kedai pun tutup. Puting Selaksa menyendok tuak dari dalam bumbung bambu itu. Untung keadaan tuak telah penuh sehingga mudah diambil dengan sendok kayu. Tuak tersebut didulangkan ke mulut Suto pelan-pelan. Mulut itu sedikit menganga karena ikut digunakan untuk bernapas. Sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke tenggorokan dan tertelan. Hanya empat sendok yang dituangkan ke mulut Suto, itu pun memakan waktu cukup lama, karena tuak tersebut masuk ke tenggorokan bagaikan setetes demi setetes.

"Mengapa aku mau melakukan begini segala?!" pikir Puting Selaksa, merasa heran atas apa yang dilakukan terhadap Suto, sebab selama ini ia tak pernah bersikap seperti itu terhadap pria mana pun, bahkan terhadap kekasihnya yang dulu menggores di hati.

"Aku gelisah sekali memikirkannya. Seharusnya tak perlu kupikirkan nasibnya ini! Aah... sebaiknya kutinggal mandi dulu, biar badanku segar dan kegelisahanku berkurang. Aku penat sekali!" keluh batin Puting Selaksa.

Tak peduli malam berudara dingin, perempuan itu tetap mengguyur tubuhnya sebagai cara mengusir kelelahan yang sering dilakukannya selama ini. Beberapa saat selesai mandi, badan memang terasa segar dan kelelahan pun berkurang. Puting Selaksa segera masuk ke kamar.

"Ooh...?!" mata perempuan itu mendelik, karena Suto Sinting tidak ada di pembaringan. Wajah pun menegang dan jantung berdetak-detak membuat darah bagai mulai mendidih. "Ke mana dia?!" geram hati Puting Selaksa diburu kepanikan.

la bergegas turun dari lantai atas, menggedor-gedor kamar Ki Pulasoma. Tapi sebelum pintu digedor, telinga perempuan itu menangkap suara langkah di loteng. la bergegas ke loteng kembali. Jalanan depan kamar-kamar tampak sepi, karena memang malam itu yang bermalam di situ hanya mereka berdua. Tak ada tamu lain.

Dengan mata melirik penuh waspada, Puting Selaksa dekati kamarnya kembali. Samar-samar ia mendengar suara hembusan napas memanjang. Hati Puting Selaksa menjadi semakin tegang. Maka pintu kamar pun segera dibukanya dengan tangan kanan siap lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi.

* * *

TUJUH

PUTING Selaksa tertegun di depan pintu melihat sosok kekar tanpa baju sedang meletakkan bumbung tuak pertanda habis menenggak isi bumbung itu. Mata tajam perempuan itu tak berkedip pandangi wajah tampan yang kini menatapnya dalam senyum.

"Aku ke kamar mandi di sebelah kamar mandi yang kau pakai tadi," ujar Suto Sinting dengan suara jelas. Rupanya luka pendekar tampan itu telah lenyap tanpa bekas sejak ia menelan tuak dari bumbungnya.

Puting Selaksa tak tahu bahwa tuak dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung tuak tersebut maka akan mempunyai khasiat penyembuhan yang sangat ajaib, sehingga tak heran walau hanya setetes dua tetes, seseorang yang terluka parah akan segera sembuh jika meneguk tuak tersebut.

Ketika Puting Selaksa mandi, proses penyembuhan luka di tubuh Pendekar Mabuk itu berjalan dengan cepat. Tubuh Suto Sinting menjadi segar dan seperti tak pernah terluka apa pun beberapa saat setelah ia didulang tuak oleh Puting Selaksa.

Melihat keadaan Pendekar Mabuk telah sehat kembali, Puting Selaksa tampak gembira sekali. Wajahnya tak setegang tadi. Bahkan di bibirnya ada seulas senyum yang memancarkan rasa damai dari dalam hati perempuan itu. Sayangnya senyum dan keramahan itu hanya sebentar, karena beberapa kejap kemudian Puting Selaksa mulai menjaga sikapnya agar tak diremehkan oleh seorang lelaki, sehingga keketusan dan keangkuhannya terpampang kembali.

"Tuakmu memang dahsyat!" ujarnya bernada datar. "Kusangka kau tadi diculik orang atau...."

"Memangnya kalau diculik orang kenapa?" pancing Suto Sinting dengan senyum tipis menawan.

Puting Selaksa tak membalas senyuman itu. "Lain kali jangan membuatku menjadi tegang seperti tadi."

"Aku hanya ikut-ikutan mandi karena badanku lengket sekali."

Puting Selaksa percaya dengan pengakuan itu, karena di tubuh Suto masih tampak butiran air yang belum terhapus oleh baju coklatnya sebagai ganti handuk. Pendekar Mabuk mengguyur tubuhnya agar memperoleh kesegaran lebih nyaman lagi, namun rambutnya dibiarkan kering, karena malam hari terasa tak enak jika harus mencuci rambut segala.

"Terima kasih atas bantuanmu yang membawaku sampai ke sini. Kalau tidak, dalam waktu beberapa saat lagi nyawaku akan melayang."

"Ya, aku tahu persis hal itu," jawab Puting Selaksa datar-datar saja. la duduk di tepian ranjang sambil melepaskan gulungan rambutnya. Kini rambut itu meriap kering sepanjang punggung.

"Ooh...?!" gumam Suto Sinting dengan mata berbinar-binar memandangi Puting Selaksa.

"Ada apa?" tanya Puting Selaksa heran.

"Kau tampak semakin cantik dalam keadaan rambut diriap begitu."

"Hati-hati bicaramu!" ucapnya bernada mengancam. Tapi Suto justru melebarkan senyum dan tak ragu-ragu dalam memandangnya. Puting Selaksa menggerai-geraikan rambutnya dengan tangan seakan tak peduli dengan tatapan mata Pendekar Mabuk.

"Gobang Garu telah kuhabisi. Aku terpaksa menghabisi nyawanya karena aku tak ingin dikejar-kejar oleh orangnya Adipati Wijanarka lagi."

"Ya, aku masih sempat melihat bagaimana kau bertarung melawannya. Jurus-jurusmu hebat dan mengagumkan. Hanya saja, apakah setelah Gobang Garu binasa, berarti kau bebas dari kejaran Adipati Wijanarka?"

"Kurasa masih ada satu orang lagi yang harus dibinasakan. Dia dikenal dengan nama: Dewa Tumbal. Ilmunya tinggi dan kejam sekali."

"Siapa itu Dewa Tumbal?"

"Penjaga manusia peliharaan Adipati Wijanarka. Biasanya Dewa Tumbal dikeluarkan jika keadaan sangat terpaksa. Dengan matinya Gobang Garu, aku yakin Adipati Wijarnaka akan mengutus Dewa Tumbal untuk membunuhku."

"Membunuhmu? Mengapa kau yakin dia akan membunuhmu?"

"Karena dia tak ingin aku diperistri lelaki lain. Rasa iri dan sirik ada pada jiwa Adipati Wijanarka."

"Tapi apakah dia akan tahu bahwa kaulah orang yang membunuh Gobang Garu?"

"Pasti tahu, karena mayat Gobang Garu menjadi merah. Itulah ciri orang yang menjadi korban pedangku."

"O, ya. Aku ingat kehebatan pedangmu juga. Sayang waktu itu aku tak bisa memujimu."

"Aku tak butuh pujian!" ucapnya datar dan tawar sekali.

"Apakah ada pihak lain yang menurutmu berbahaya bagi keselamatan jiwamu?"

"Tak ada. Jagalawa telah tewas di tangan orang-orang Pulau Boneng. Dua lelaki lainnya yang juga ingin memperistriku bukan orang berilmu tinggi. Aku bisa atasi mereka sambil tidur nyenyak. Tapi Adipati Wijanarka harus kuhadapi dengan sungguh-sungguh. Orang simpanannya itu yang berbahaya sekali. Jika aku bisa membunuh Dewa Tumbal, maka kekuatan sang Adipati akan lenyap. Dia tak akan berani menggangguku lagi. Dewa Tumbal sudah dianggap manusia paling sakti yang tak mungkin ada yang bisa mengalahkan, menurut sang Adipati."

"Hmmm... kalau begitu," Suto berdiri di depan Puting Selaksa yang masih duduk di tepian ranjang. "...jika Dewa Tumbal memburumu, biarlah aku yang menghadapinya."

"Tak perlu," jawab Puting Selaksa seperti orang menggumam. "Aku tak ingin melibatkan dirimu terlalu jauh dalam perkara ini."

Pendekar Mabuk segera duduk di samping kiri Puting Selaksa, "Kau sudah melibatkan diriku. Tak mungkin aku berhenti di tengah jalan. Sekalipun kau melarang, aku akan memaksa!"

Puting Selaksa berpaling pandangi Suto Sinting. Tatapan matanya yang selalu tajam dan berkesan angker namun punya nilai kecantikan tersendiri itu membuat hati Suto bergetar kembali. "Mengapa kau bertekad begitu?" tanya Puting Selaksa. "Kalau kau mati, apa untungmu? Kalau kau menang, apa pula untungmu?"

Pendekar Mabuk angkat bahu. "Aku tak mencari keuntungan, karena aku bukan pembunuh sewaan. Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tentang Rona Dewaji itu."

"Sebaiknya tak perlu dipercaya lagi. Anggap saja aku tak pernah bercerita tentang Rona Dewaji. Aku wanita biasa, bukan Wanita Keramat."

"Tapi kau punya keistimewaan."

"Tidak. Aku tidak punya keistimewaan."

"Punya...," jawab Suto tetap ngotot tapi dengan nada lembut, membuat Puting Selaksa semakin enggan membuang pandangan matanya ke arah lain.

"Apa keistimewaanku menurutmu?"

Suto tersenyum tipis. "Cantik, berani, galak, dan..."

"Jinak," sahutnya seraya mulai ada senyum yang membayang di sudut bibirnya.

"Apanya yang jinak? Galakmu seperti singa lapar habis ditipu sang kancil!"

"Siapa pun bisa menyentuh hatiku, dia akan bisa menjinakkan keangkuhanku."

"O, begitukah?" Suto melebarkan senyum. "Bagaimana cara menjinakkanmu?"

"Mengerti pribadiku, mengerti tabiatku, dan mengerti seleraku."

Makin lama beradu pandang, semakin berdebar-debar hati Pendekar Mabuk. Debaran itu mengandung sejuta bunga indah yang sukar dilukiskan dengan kata. Tak ada rasa bosan walau memandang wajah cantik berkesan galak itu selama sepuluh helaan napas. Malam yang bisu akhirnya diusik oleh suara lirih Suto yang terlontar bagai di luar kesadaran.

"Cantik sekali....."

Mata perempuan itu tak berubah, ekspresi wajahnya pun tetap dingin.

"Kau marah jika kupandang begini?"

"Tidak!" jawabnya pelan sekali, bahkan suara paraunya terdengar jelas.

"Kau... kau percaya kalau aku mengagumi kecantikanmu?"

"Tidak...."

"Aku... benar-benar mengagumimu. Sayang sekali kau... galak," Pendekar Mabuk tersenyum, tapi perempuan itu tidak sama sekali. Lalu mereka saling bungkam lagi dengan tetap saling beradu pandang.

"Kau suka padaku?"

"Tidak," jawab Puting Selaksa semakin lirih.

"Kau tahu aku bergairah sekali melihat bibirmu?"

"Tidak," suara itu lebih pelan dari yang tadi.

"Tapi... kau tidak keberatan jika aku mengecup bibirmu?"

Malam hening, kamar menjadi sepi, Puting Selaksa tak menjawab. Suto menunggu penuh harap. "Jawablah...," bisik Suto.

"Ti... dak...."

Siiir...! Hati Suto berdesir begitu indah mendengar jawaban yang nyaris tak terdengar itu. Maka ia pun segera menempelkan bibirnya ke bibir Puting Selaksa. Seeerr...! Sekujur tubuh bagai disiram air hangat ketika bibir itu saling sentuh. Pendekar Mabuk merenggangkan bibirnya, lalu bibir Puting Selaksa dipagutnya pelan-pelan. Cuuuup...! Semakin hangat rasa di sekujur tubuh Suto pada saat itu.

Sayang sekali perempuan tersebut masih diam tanpa reaksi apa pun. la hanya memejamkan mata ketika bibirnya dipagut-pagut buat mainan bibir Suto. la juga tetap diam tanpa gerakan sedikit pun ketika lidah Suto menyapu permukaan bibir itu. Namun ketika lidah Suto mendesak lebih dalam dan bibir itu pun dipagut agak kuat, perempuan itu mulai bereaksi kecil, menyodorkan lidahnya agar bertemu dengan lidah Pendekar Mabuk.

Ketika lidah itu dipagut Suto, bendungan keangkuhan itu tak tertahankan lagi. Puting Selaksa segera membalas kecupan lembut itu. Bahkan kini ia melumat bibir Suto dengan ganas. Tangannya meremas rambut kepala bagian belakang pemuda itu, seakan ia ingin agar bibir itu lebih lekat lagi dalam lumatannya.

Sesaat kemudian, tiba-tiba Puting Selaksa lepaskan kecupan dan menarik kepala ke belakang. Wuuut...! la terengah-engah sambil pandangi Suto Sinting yang bibirnya masih merekah menandakan masih ingin dilumat lagi itu.

"Kenapa berhenti?!"

"Kau terlalu berani membakar gairahku," jawab Puting Selaksa.

"Tak bolehkah aku sedikit berani padamu?"

"Kau akan kewalahan nantinya."

"Mengapa harus kewalahan?"

"Tuntutan gairahku akan lebih besar dari gairahmu."

"Kalau aku merasa sanggup menuruti keinginanmu, bagaimana?"

Kali ini bola mata yang tepian kelopaknya berwarna hitam itu bergerak-gerak karena gelisah. Pendekar Mabuk sengaja tetap memandang dan mendekatkan wajah pada jarak tetap. Terlalu lama memandang Suto, Puting Selaksa terlalu rapuh mempertahankan keinginannya. Maka dengan cepat ia segera menyambar bibir Pendekar Mabuk dan melumatnya dengan lebih ganas dari yang tadi.

Tangan meremas dan gerakan menjalar ke mana-mana. Pelukannya diperkuat, seakan ia ingin membuat tubuh Suto agar terbenam dalam tubuhnya. Punggung Suto yang tidak berbaju itu menjadi sasaran remasan tangan menahan gejolak keindahan.

Pendekar Mabuk sempat gelagapan ketika ciuman itu makin memburu, menyapu ke pipi, ke telinga, dan mengelilingi leher dengan pagutan-pagutan hangat. Pendekar Mabuk tak mau tinggal diam. Tangannya mulai bergerilya, menelusup ke dalam belahan baju perempuan itu. Belahan diperlebar, sehingga tangan semakin bebas. Maka tertangkaplah apa yang dicari tangan Suto di permukaan dada Puting Selaksa itu. Dada berbukit sekat dan membengkak bagai ingin meledak itu mulai menjadi pusat kenakalan tangan Suto.

"Aaah...!" Puting Selaksa mendesah pendek, lalu mendesis dengan gemas. la bahkan menyentakkan bajunya sendiri hingga belahannya terlepas dari ikat pinggang...."

"Ambil..! Ambill...!" sentaknya dalam bisik sambil menekan kepala Suto hingga terbenam di dadanya. Maka pemuda tampan itu pun menyambar ujung-ujung bukit dengan kehangatan mulutnya.

"Oouh...! Terus! Terus!" geram Puting Selaksa. la meronta digelitik keindahan. la mengamuk meremasi tubuh dan rambut Suto. Amukannya tak sadar telah membuat pembungkus tubuhnya terlepas, dan ia tak marah ketika tangan Suto membantu melepaskan seluruhnya.

"Terus! Semuanya, Suto! Semuanya...!" perintahnya dengan suara menggeram, lalu napas pun tersentak-sentak.

Pendekar Mabuk sempat hentikan seluruh gerakannya sambil matanya memandang lebar ke bentangan hangat di depannya itu. Puting Selaksa memandang sayu, bahkan sengaja membuka segalanya agar menjadi lebih jelas bagi Pendekar Mabuk.

"Gila...? Kau punya... kau punya bukit tujuh buah?!" ujar Suto membisik penuh keheranan.

"Sembilan," jawab Puting Selaksa.

Pendekar Mabuk berdebar-debar memperhatikan bukit-bukit yang berujung menantang itu. Dua bukit paling besar dan montok ada di dada seperti lazimnya seorang perempuan. Tapi di samping dua bukit di dada, ternyata ada lagi dua bukit di pinggang kanan-kiri, hanya saja tak sebesar yang di dada. Tapi ujungnya tampak jelas sebagai ujung perbukitan seorang wanita.

Selain di pinggang, ada juga sepasang bukit di samping perut, tepat pangkal paha kanan-kiri. Namun hanya tampak sedikit menggunduk dan berpuncuk kecil. Sedangkan tepat di bawah pusar, hampir berhimpit dengan pusar, juga ada bukit kecil yang mempunyai ujung seukuran dengan di dada.

"Luar biasa...?!" gumam Suto Sinting penuh keheranan.

Puting Selaksa segera tengkurap sambil berkata, "Dua lagi di sini...."

"Oh, gila...!!" Suto Sinting hampir terpekik melihat dua bukit di bahu kanan-kiri, hanya saja tidak semenonjol yang di dada. Namun mempunyai ujung-ujung yang sama besarnya dengan yang di dada. Pendekar Mabuk mencoba mendekati salah satu bukit yang di bahu kiri, ia menyapunya dengan kecupan lembut.

"Ooh, teruskan...! Teruskan, Suto!"

"Kau... kau suka?"

"Indah sekali! Teruskan...!" perintahnya setengah membentak. Maka Suto pun segera menyambar kedua bukit di bahu kanan-juri itu secara bergantian. Ternyata Puting Selaksa merasakan keindahan seperti saat dadanya dipagut Suto. Kini Suto diperintahkan menjelajahi kesembilan bukit itu. Ternyata kesembilan bukit itu mempunyai keindahan yang sama jika berada dalam pagutan.

"Pantas dia bernama Puting Selaksa. Ternyata memang mempunyai jumlah bukit yang lebih banyak dari para wanita lainnya," pikir Suto sambil memberikan pagutan dan kecupan lembut di sekujur tubuh Puting Selaksa. Perempuan itu mengerang dan mendesah-desah, karena setiap jengkal tubuhnya bagaikan menghadirkan; sejuta keindahan dan kebahagiaan jika disentuh dengan apa pun.

"Terus, Suto...! Terus ke bawah! Ooh... aku suka sekali, Suto! Aoow...!" pekiknya dengan ganas ketika Suto mencapai tempat yang dimaksud Puting Selaksa. Perempuan itu pun tak kuasa menahan diri hingga meliuk dengan ganasnya. Setelah memekik beberapa kali karena mencapai puncak keindahan, walau perahu belum berlayar, perempuan itu pun menarik Suto agar wajah mereka saling berpadu lagi.

"Aku ingin sekarang, Suto! Oh, sekarang! Harus sekarang! Ayo, Suto! Ayooo...!" '

Tapi tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh Ki Pulasoma. Suara Pak Tua itu pun terdengar jelas hingga menghentikan semua gerakan di atas ranjang.

"Nona Puting Selaksa... ada tamu yang mencari namamu, Nona!"

"Oh...?!" Puting Selaksa memandang Suto dengan tegang. "Cepat berkemas!" sentak Puting Selaksa membuat Suto menggeragap dan saling merapikan diri kembali.

"Setan alas!" gerutu Puting Selaksa dengan hati kesal. Rasa heran Puting Selaksa membuatnya lebih cepat bergerak daripada Pendekar Mabuk. la segera menemui Ki Pulasoma di ujung tangga bawah. "Siapa yang mencariku?"

"Aku belum tanyakah namanya. Tapi dia datang ke desa ini langsung menemui kepala desa kami, dan ia datang diantar oleh pesuruh lurah kami."

Semakin penasaran sekali Puting Selaksa, sehingga langkahnya dipercepat tanpa menggubris seruan Pendekar Mabuk yang sedang mengencangkan ikat pinggang kain merahnya itu. Tak lupa Suto pun menyambar bumbung tuaknya karena ia memang kehausan. Sambil berjalan menuju ke ruang kedai, ia menenggak tuak beberapa teguk, sehingga badannya terasa segar kembali. Pada daat itu ia melihat Puting Selaksa keluar dari kedai dan bicara di balik pintu kedai. Pendekar Mabuk mempercepat langkahnya. Rupanya Puting Selaksa menemui pelayan kepala desa yang berbadan kurus itu.

"Seorang tamu datang kepada Ki Lurah dan menanyakan nama Puting Selaksa. Kami tidak tahu dan tidak merasa punya warga bernama Puting Selaksa. Setelah dia memberitahukan ciri-cirinya, kami baru ingat bahwa ciri-ciri itu adalah ciri-cirimu, Nona. Beberapa tetangga memberitahukan bahwa kau bermalam di sini bersama Pendekar Mabuk. Maka kucoba untuk membawanya kemari."

"Di mana orang itu sekarang?"

"Itu... di bawah pohon sana. Beliau menunggu Nona di sana. Entah mengapa beliau malu untuk hampiri Nona kemari."

Dalam keremangan cahaya rembulan separo bagian. Puting Selaksa tak bisa melihat jelas siapa orang yang ada di bawah pohon seberang kedai itu. Pendekar Mabuk segera mengusulkan agar mereka menghampiri orang tersebut. Puting Selaksa pun akhirnya melangkah ke seberang kedai didampingi Suto.

"Mencurigakan sekali!" gumam Suto lirih. Puting Selaksa mendengar tapi tak pedulikan gumaman tersebut. Perhatiannya terpusat ke arah bawah pohon. Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti setelah orang yang ada di bawah pohon itu melangkah maju beberapa kali. Cahaya rembulan yang samar-samar itu segera menerangi wajah orang tersebut. Puting Selaksa tampak terkejut.

"Celaka!" gumamnya menegang.

"Kenapa?" tanya Suto. "Kau kenal dengannya?"

"Dia yang bernama Dewa Tumbal!"

"Ooh, dia...?!" Suto tampak tenang.

Tapi Puting Selaksa sempat cemas dan kebingungan. "Pedangku kutinggal di kamar!"

"Tenang saja. Biar kuhadapi dia!"

Orang berpakaian serba hitam dengan tepian putih itu semakin dekat dengan mereka. Penampilannya sangat tenang. Wajahnya tak berkesan angker. Usianya sekitar empat puluh tahun. la bertubuh tinggi, tegap, sebaya dengan Pendekar Mabuk. Di pinggangnya terselip sebilah pedang perak yang memantulkan cahaya matahari.

"Maaf mengganggumu, Puting Selaksa," ujar si Dewa Tumbal dengan nada dingin. "Kuikuti kepergian Gobang Garu setelah kudengar gurumu sedang mencarimu. Tapi aku terlambat. Kutemukan ia telah menjadi mayat dalam keadaan tubuhnya merah matang. Kukenali kematian seperti itu adalah kematian di ujung pedangmu. Maka kucari tempat terdekat di sekitar sini. Kutemukan desa ini dan kutanyakan kepada lurah di sini, ooh... ternyata dugaanku tak meleset. Kau ada di desa ini bersama oh, siapa dia, Puting Selaksa?"

Tutur kata yang lembut itu seolah-olah tidak menampakkan sikap permusuhan. Tetapi Puting Selaksa dan Pendekar Mabuk sudah dapat menduga apa akhir dari tutur kata yang lembut itu. Karenanya, Puting Selaksa segera ajukan tanya bernada ketus.

"Singkatnya saja, apa maksudmu mencariku, Dewa Tumbal?"

"Adipati Wijanarka sudah tak sabar dengan cara kerja di Gobang Garu. Sang Adipati segera mengutusku untuk mencarimu dan membawanya pulang ke kadipaten. Tapi sang Adipati juga memberi wewenang padaku, jika kau menolak aku boleh membunuhmu! Maka sekarang terserah pilihanmu; ikut ke kadipaten, atau pergi ke neraka bersama pemuda itu?!"

Hati Suto Sinting bagai dibakar sembilan obor saat dirinya dituding oleh Dewa Tumbal. Tanpa basa-basi lagi akhirnya Suto pun berkata kepada Dewa Tumbal. "Kau dan seluruh prajurit kadipaten, termasuk sang Adipati sendiri, sebaiknya maju bersama untuk merebut Puting Selaksa ini! Karena jika aku belum menjadi bangkai, kalian tak akan sanggup memaksa Puting Selaksa untuk menjadi istri sang Adipati itu!"

"Oh, kau telah membuka arena pertarungan denganku, Anak Muda! Jika begitu, kuperkenalkan lebih dulu jurus pembukaanku ini!" Dewa Tumbal hentakkan kakinya ke tanah dengan pelan. Duuuhk!

Weees...! Pendekar Mabuk terlempar ke atas, meluncur dengan cepat bagai ingin menembus langit. Puting Selaksa terperanjat dan segera lepaskan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Dewa Tumbal.

Wuuut...! Baaaahk...!

Dewa Tumbal mengadu pukulan tenaga dalamnya yang tanpa sinar. Gelombang padat yang dikirimkan Puting Selaksa justru membalik arah dan menerjang tubuh perempuan itu sendiri. Buuhk...! Weeers...! Brrruk...! Puting Selaksa terjungkal lima langkah ke belakang. "Huuahk...!" Puting Selaksa memuntahkan darah segar.

Pada saat itu Suto dalam keadaan turun dari ketinggian terbangnya. Tapi ia telah mampu menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendaratkan kakinya ke tanah dengan baik, bahkan tanpa suara. Seet...!

"Cukup lumayan juga jurus perkenalanmu," ujar Suto Sinting dengan tenang.

Tapi Dewa Tumbal terkesip memandang Suto mampu daratkan kakinya tanpa suara. la tahu hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah kuasai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.

"Bagaimana dengan jurus perkenalanku ini?" kata Suto, lalu ia menghentakkan kakinya ke tanah dengan pelan juga. Duuuhk...!

Brruuuusss...! Dewa Tumbal amblas ke bumi akibat kekuatan jurus 'Telan Bumi'-nya Pendekar Mabuk. Orang berjubah hitam itu sempat menggeragap karena tubuhnya terbenam di tanah sampai batas dada. Sebelum ia lakukan sesuatu, Pendekar Mabuk sentakkan kakinya lagi ke tanah. Duuuhk...!

Brrruuusss...!

"Oohk...!" Dewa Tumbal terbenam seluruh tubuhnya bagai ada yang menarik dari dasar bumi. Permukaan tanah pun menjadi rata kembali, walau tak serata semula.

Puting Selaksa memandang kagum walau ia harus menahan rasa sakit di dadanya. Pendekar Mabuk tersenyum kepada Puting Selaksa. Tapi senyum itu hilang setelah tiba-tiba Dewa Tumbal melesat dari dalam tanah, menjebol permukaan tanah yang menjadi rata itu.

Bruuulll...! Brrrus...!

Tubuh itu melayang cepat di udara bersama tanah yang berhamburan. Kemudian ketika ia bersalto satu kali, sebuah pukulan bercahaya merah dilepaskan dari tangannya. Claaap...! Cahaya itu berbentuk bintang berekor yang segera menerjang Suto. Dengan cepat bumbung tuak dihantamkan ke arah cahaya merah tersebut.

Blegaaaarrr..! Ledakan dahsyat membangunkan penduduk desa, karena rumah-rumah bergetar, genteng merosot, dan beberapa tanaman pun terguncang karena bumi menjadi bergetar menerima gelombang ledakan tadi.

Sreet...! Dewa Tumbal mencabut pedangnya. Wees...! la melesat bagaikan kilat menerjang Pendekar Mabuk. Trang, trang...! Pedang pun beradu dengan bumbung tuak. Percikan bunga api menyebar ke mana-mana. Pada mulanya Pendekar Mabuk mampu hindari tebasan pedang Dewa Tumbal dengan jurus mabuknya yang menggeloyor ke sana-sini bagai mau tumbang. Tapi kejap berikut, Dewa Tumbal pergunakan jurus pedang andalannya yang kecepatannya seperti pusaran arus angin.

Wut, wut, wut, wut, wut...!

Pendekar Mabuk sempat kewalahan hindari pedang yang kecepatannya tak bisa dilihat mata itu. Bahkan Dewa Tumbal bagaikan hilang dari pandangan mata siapa saja. Akibatnya, Pendekar Mabuk terpaksa keluar dari lingkaran gerak si Dewa Tumbal itu dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!

Cras, cras...!

"Aaahk....!" Pendekar Mabuk terpekik, tahu-tahu tubuhnya muncul dalam keadaan dada terbelah dan lengannya luka. Darah mengucur dari kedua luka itu. Pendekar Mabuk benar-benar sempoyongan menahan luka yang amat berbahaya itu. Sedangkan Dewa Tumbal masih mengitari tempat tadi, karena ia tak melihat Pendekar Mabuk sudi pergi dari tempat tersebut.

"Suto...! Tuak! Lekas minum tuak!" seru Puting Selaksa sambil berlari menghampiri Suto Sinting. la tampak cemas sekali.

Keadaan Dewa Tumbal yang masih memutari tempat tersebut sambil menebaskan pedangnya itu dipergunakan Suto untuk meneguk tuaknya beberapa kali. Dengan begitu, luka tersebut cepat menjadi rapat dan rasa sakitnya pun lenyap.

"Bangsat!" teriak Dewa Tumbal setelah menyadari dirinya kecele dan memandang Suto sudah berada di tempat jauh. Maka Dewa Tumbal pun menjadi berang dan melesat bagaikan terbang ke arah Pendekar Mabuk. "Heaaaat...!"

"Keparat kudis orang ini!" geram Suto Sinting, akhirnya ia melepaskan jurus yang tak bisa ditangkis dan dihindari oleh lawan mana pun. Jurus 'Yuda' pemberian calon ibu mertuanya: Ratu Kartika Wangi itu dilepaskan untuk mengakhiri pertarungannya dengan Dewa Tumbal.

Clap, clap, clap, clap...! Dari tangan Suto keluarkan sinar cahaya perak dalam bentuk bintang segi lima. Sinar itu melesat cepat dan jumlahnya lebih dari sepuluh bintang perak. Sinar tersebut menerjang Dewa Tumbal dan gerakan Dewa Tumbal terhenti seketika.

Juuurrrb...! Jreeeg....!

la diam mematung dalam keadaan mengangkat pedangnya. Sampai lama sekali Dewa Tumbal tak bergerak. Puting Selaksa melihat jelas sinar perak berbentuk bintang segi lima itu menghantam kuat dada Dewa Tumbal.

Pada saat itu, seluruh luka Pendekar Mabuk telah lenyap dan keadaannya pulih seperti sediakala. la segera menenggak tuak lagi. Setelah itu hampiri Puting Selaksa yang tertegun bengong pandangi Dewa Tumbal yang tak bergerak lagi.

"Sudah selesai sekarang...," ujar Suto dalam bisikan.

"Tapi... tapi Dewa Tumbal belum tumbang dan agaknya ia sedang menahan rasa sakitnya akibat sinar perakmu tadi."

"Sebentar lagi tumbang!" kata Suto Sinting dengan kalem.

Sebelum Puting Selaksa ajukan tanya lagi, tiba-tiba matanya menjadi terbelalak karena melihat Dewa Tumbal mengalami keanehan. Satu persatu anggota tubuhnya berjatuhan. Setiap ruas tulang, setiap persendian, terlepas, dan saling berjatuhan ke tanah, sampai akhirnya lengannya jatuh sendiri ke tanah. Disusul kemudian kepala si Dewa Tumbal menggelinding bagai bola, dan paling akhir adalah sendi lututnya terlepas dan robohlah si Dewa Tumbal dalam keadaan terpotong-potong setiap persendiannya.

"Luar biasa...!" gumam Puting Selaksa dengan nada mendesah penuh kekaguman.

Dengan demikian, maka lega sudah hati Puting Selaksa, karena tak ada lagi yang ditakuti yang akan mengejar-ngejarnya dalam urusan perkawinan. Puting Selaksa kini sunggingkan senyum kepada Suto Sinting dengan disinari cahaya rembulan pucat. Namun senyum itu tetap tampak indah dan mendebarkan hati Pendekar Mabuk.

"Apa lagi yang harus kulakukan untukmu?" tanya Suto.

"Melanjutkan pelayaran cinta kita yang tertunda tadi?"

"Oh, jangan! Sebaiknya jangan lakukan demi Rona Dewaji yang ada padamu agar tak hilang. Itu keberuntunganmu selama tujuh turunan lebih! Jangan sia-siakan dengan pencemaran cinta seperti tadi."

Puting Selaksa akhirnya hanya bisa tarik napas panjang-panjang.

"Sebaiknya malam ini kita istirahat saja. Esok kita cari gurumu dan si Manggar Jingga!"

"Terima kasih atas ketulusanmu!" ucap Puting Selaksa sambil memeluk Suto dalam siraman cahaya rembulan.

Dua hari kemudian, mereka bertemu dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga dalam sebuah perjalanan menuju Teluk Sendu. Ketika Suto menanyakan tentang Rona Dewaji kepada Resi Parangkara, sang Resi pun menganggukkan kepala dan menjawab dalam bisikan.

"Memang benar. Karena itulah aku mencari-carinya, karena aku tahu ada beberapa orang yang mengincar Puting Selaksa. Perlu kau ketahui, Nak.... Rona Dewaji hanya akan turun pada orang-orang yang mempunyai kelainan dalam tubuhnya. Misalnya, berjari sebelas, berpusar dua, atau..."

"Termasuk berpayudara sembilan...?!"

Resi Parangkara terkejut dan matanya terbelalak. "Kalau begitu kau telah...."

"Hanya sebatas mandi saja, Eyang Resi. Percayalah, Rona Dewaji masih ada dalam diri Puting Selaksa alias si Wanita Keramat itu!"

Resi Parangkara menghempaskan napas lega. Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil lemparkan pandangan ke arah lain.

SELESAI