Bencana Selaput Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Bencana Selaput Iblis
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

JURANG Lindu adalah sebuah tempat yang mempunyai tebing cukup tinggi. Di bawah tebing itu ada sungai dangkal berbatu-batu. Tebing itu juga mempunyai curahan air terjun yang cukup deras hingga suara gemuruhnya dapat terdengar dari jarak radius lima kilometer.

Di balik curahan air terjun yang bening itu, ternyata ada sebuah gua cukup besar yang menjadi tempat tinggal seorang tokoh tua kelas tinggi dan namanya cukup kondang di rimba persilatan. Tokoh itu tak lain adalah Ki Sabawana alias si Gila Tuak.

Gila Tuak mempunyai murid yang masih muda, tampan, gagah, berani, dan agak sinting. Bukan otaknya yang sinting, melainkan ilmunya itulah yang sinting. Karena dalam usia belum mencapai dua puluh delapan tahun, ia sudah mampu tumbangkan tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi. Anak muda berbaju coklat tak berlengan dengan celana putih kusam dan rambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Suto Sinting, yang kemudian dikenal dengan nama Pendekar Mabuk.

Pemuda itu ke mana-mana selalu membawa bumbung bambu berisi tuak. Tuaknya itu bukan tuak sembarangan. Mampu untuk sembuhkan penyakit dan melenyapkan luka dalam waktu singkat. Tuak itu dikatakan sebagai tuak sakti, tapi sebenarnya bukan tuaknya yang sakti, melainkan bumbung bambunya. Sebab bumbung bambunya itu adalah jelmaan dari tokoh kawakan yang berilmu tinggi, yang tanpa pusar seperti Suto sendiri, dan tokoh kawakan itu adalah Eyang Wijayasura.

"Kau boleh minum tuak sepuas-puasmu, kapan saja dan di mana saja, tetapi ingat... jangan sampai mabuk! Sekali lagi, jangan sampai mabuk!"

Itu wanti-wanti si Gila Tuak kepada sang murid tunggalnya.

"Kau boleh mabuk, tapi hanya dalam memainkan jurusmu saja. Dalam kenyataannya kau harus tetap sadar dan waspada."

"Minum tuak banyak-banyak kok tidak boleh mabuk. Guru? Mana bisa begitu?"

"Bisa saja! Minum tuak atau arak supaya tidak mabuk ada caranya sendiri."

"Caranya bagaimana, Guru?"

"Caranya, salurkan air tuak ke dalam sel-sel darah merahmu pada saat tuak sudah masuk ke tenggorokan. Jangan dinikmati dengan hatimu, tapi nikmatilah dengan darahmu. Jika kau menikmati tuak dengan darahmu, maka seluruh tubuhmu akan ikut menikmati. Sebab seluruh tubuhmu mempunyai darah."

"Ada yang tidak mempunyai darah, Guru."

"Bagian apa yang tidak mempunyai darah dalam tubuh kita?"

"Rambut! He, he, he, he...! Rambut kita kalau dipotong tidak berdarah, Guru. Jenggot Guru kalau dipotong juga tidak berdarah kan?"

"Tapi kalau kepalamu diketok pakai kayu kok berdarah?! Kalau tak percaya, mari kucoba."

"Eh, eh... jangan, Guru! Jangan! Ampun, Guru!"

"Murid kalau dikasih tahu kok pasti banyak ngototnya!" gerutu Gila Tuak sambilbersungut-sungut.

Itu percakapan beberapa tahun yang lalu, ketika Suto Sinting baru tumbuh sebagai remaja dan ilmunya belum seberapa tinggi. Sekarang, acara ngotot-ngotot sudah jarang dilakukan oleh Suto. Walau kadang-kadang memang ia masih suka ngotot, tapi tidak sebandel dulu.

Sekarang jika Gila Tuak memberi wejangan ini-itu, Suto Sinting hanya mengangguk dan menerima wejangan itu dengan penuh kesungguhan. Apalagi sejak sang Guru hampir mati karena penyakit aneh itu, Suto Sinting mulai jarang membandel di depan gurunya.

Beberapa waktu yang lalu, Gila Tuak sakit parah. Hampir saja nyawanya cabut dari raganya. Penyakit itu disebabkan karena hukuman atas kelalaian si Gila Tuak. Seperti apa kata Eyang Putri Batari, neneknya Dyah Sariningrum yang menjadi kekasih pujaan hati Suto itu, bahwa Gila Tuak punya ilmu yang lupa belum diturunkan atau dibuang dalam batas usia sampai sekarang. Karena, ilmu itu membuat Gila Tuak sakit dan hampir koit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gerbang Siluman).

"Aku sendiri memang lupa kalau aku punya ilmu yang bernama 'Sukma Lingga'. Sebab ilmu itu jarang kugunakan. Sudah puluhan tahun aku tidak pernah memakai ilmu tersebut, tapi juga lupa belum membuangnya," kata Gila Tuak sambil duduk berslia berhadapan dengan muridnya di atas sebongkah batu besar yang datar tak seberapa jauh dari curahan air terjun.

"Ilmu 'Sukma Lingga' itu ilmu apa, Guru?"

"Ilmu itu sejenis ilmu siluman, yaitu merupakan kesatuan dari kekuatan batin dan pikiran yang bekerjasama dengan napas serta roh sejati kita."

"Perlu latihan berapa lama, Guru?"

"Satu purnama sudah cukup, terutama bagi orang yang sudah memiliki ilmu dasar pernapasan dan pemusatan kekuatan batin."

"Apa yang kita dapatkan dari ilmu 'Sukma Lingga' itu, Guru?" tanya Suto yang selalu ingin tahu jika bicara soal ilmu.

"'Sukma Lingga' dapat mengubah diri kita menjadi raksasa, ular naga, burung hantu, atau apa saja yang bersifat aneh dan tidak masuk akal. Sebab ilmu 'Sukma Lingga' tercipta oleh Eyang Buyut Guru-mu itu dari suatu kekuatan inti khayal yang diubah menjadi inti nyata. Aku jarang memakainya, karena aku tak suka berkhayal."

"Apakah ilmu itu sama dengan ilmu 'Dewatakara' pemberian si Payung Serambi yang sekarang masih kumiliki ini, Guru?"

"Ya, sama persis, bahkan bisa lebih tinggi 'Sukmalingga' jika kau pandai mengolahnya dalam tiap denyut nadi dan tiap helaan napasmu. Tergantung seberapa tingginya daya khayalmu sebelum menggunakan ilmu 'Sukma Lingga' itu."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berdebar-debar karena merasa kagum dengan kehebatan ilmu itu dan merasa bangga jika ia bisa memiliki ilmu tersebut.

"Sekarang ilmu itu akan kuturunkan padamu."

"Benar, Guru. Sayang sekali kalau harus dibuang, kan?"

"Sebenarnya akan kubuang. Tapi mengingat kau telah selamatkan nyawaku saat aku dalam keadaan sekarat gara-gara hukuman ilmu itu, maka sebagai hadiahnya, 'Sukma Lingga' akan kuturunkan padamu. Tapi ingat, kalau ilmu itu sudah berada dalam dirimu selama dua ratus tahun, kau harus membuangnya atau mewariskan kepada muridmu kelak. Sebab jika tidak kau buang atau kau wariskan kepada seseorang, maka ilmu itu akan mengeringkan darahmu dan membusukkan jantung, paru-paru, limpa, hati, usus, babat, dan sebagainya. Kau akan menderita seperti penyakitku tempo hari itu."

"Saya akan selalu mengingat pesan Kakek Guru ini!" jawab Suto dengan tegas.

Sang Guru yang usianya sudah mencapai dua ratus lima belas tahun itu segera berkata lagi dengan penuh wibawa. "Ilmu 'Sukma Lingga' dapat meleburkan ilmu 'Dewatakara' yang kini berada dalam dirimu itu. Jika ilmu 'Dewatakara' telah lebur, maka darahmu bukan lagi darah siluman. Kau akan kembali sebagai pemuda berdarah manusia biasa, namun mempunyai kekuatan gaib setinggi para siluman, yaitu dengan cara mengendalikan ilmu 'Sukma Lingga' tersebut. Paham?"

"Paham sekali, Guru! Kapan saya mulai latihan? Sekarang?"

"Nanti dulu...!" sang Guru bersungut-sungut. "Aku perlu berunding dulu dengan Bibi Guru-mu; Bidadari Jalang. Sebab, dulu aku pernah janji padanya, kalau dia mau masuk aliran putih, aku akan menurunkan ilmu itu padanya."

Bidadari Jalang adalah tokoh cantik yang berilmu tinggi, satu tingkat di bawah Gila Tuak. Mereka dulu boleh dikatakan satu perguruan, hanya saja beda guru. Jika Gila Tuak gurunya Eyang Purbapati, maka Bidadari Jalang gurunya Eyang Nini Galih. Sedangkan Purbapati dan Nini Galih itu suami-istri, mempunyai satu guru dan satu aliran, guru mereka adalah Eyang Wijayasura.

Tetapi ketika Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih sudah wafat, Bidadari Jalang menyimpang dari ajaran agung sang Guru. Kehebatan ilmunya membuat Bidadari Jalang lupa daratan dan jadilah ia seorang tokoh sesat yang sukar ditumbangkan. Kejahatan Bidadari Jalang berkisar pada masalah gairah dan cinta.

Tak peduli lelaki itu sudah punya istri, kalau Bidadari Jalang bergairah kepada lelaki itu, maka ia akan berusaha dengan cara kasar untuk mendapat kemesraan tersebut. Kalau perlu, istri lelaki itu dibunuh. Dan kalau lelaki itu tidak mau melayani gairahnya, menolak ajakan bercumbu, maka hal itu sama saja si lelaki menghendaki umur pendek. Bidadari Jalang tak segan-segan membunuh lelaki yang menolak ajakan bercumbunya.

Akibat ulahnya yang tergolong sesaat itu, maka Bidadari Jalang banyak musuhnya. Terutama musuh perempuan, sebab yang banyak dikecewakan olehnya adalah kaum perempuan yang merasa suami atau kekasihnya direbut oleh Bidadari Jalang. Tetapi setelah Bidadari Jalang menemukan bocah tanpa pusar berusia sekitar tujuh tahun, ia menjadi tertarik untuk turunkan ilmunya, ia berebut dengan kakak perguruannya sendiri; Gila Tuak.

Akhirnya mereka sepakat untuk sama-sama menurunkan ilmu mereka kepada bocah tanpa pusar itu. Dan bocah tersebut tumbuh menjadi dewasa, hingga sekarang menjadi seorang pendekar perkasa berjuluk Pendekar Mabuk. Sejak itulah Bidadari Jalang bertobat, insaf, sadar, tak mau menjadi perempuan sesat lagi. Kini ia menjadi tokoh aliran putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai, ia ingin menebus segala dosanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Hyang Widi Wasa, banyak bersujud kepada Yang Maha Kuasa.

Tetapi hutang lama Bidadari Jalang masih banyak dan belum terlunasi. Tak heran jika banyak pula para penagih hutang yang mencarinya dan bikin perhitungan dengannya. Salah satu penagih hutang yang berhasil temukan tempat pengasingan Bidadari Jalang adalah Nyai Watu Wadon, yang merasa dirugikan seumur hidupnya karena ulah Bidadari Jalang tempo dulu.

"Sebelum nyawaku sirna dari raga, aku tetap mengejarmu, Bidadari Jalang! Tak peduli apakah sekarang kau sudah jadi orang baik atau orang buruk atau juga jadi orang hutan, tapi hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Tak pernah ada hutang nyawa dibayar dengan beras!" ujar Nyai Watu Wadon ketika berhasil temukan Bidadari Jalang di Lembah Badai.

Perempuan yang kehilangan suaminya karena dibawa lari oleh Bidadari Jalang, dan beberapa hari kemudian ditemukan sang suami sudah tak bernyawa di tepi hutan itu, sekarang usianya sudah delapan puluh tahun. Tetapi berkat kesaktian ilmu yang dimilikinya, Nyai Watu Wadon masih tampak tegar, kulitnya masih kencang untuk ukuran seorang nenek seperti dia. Rambutnya memang sudah putih rata dan digulung asal-asalan. Tetapi ia belum bungkuk dan jalannya tidak tertatih-tatih, ia bahkan masih tampak lincah dan gerakannya cukup gesit.

Nyai Watu Wadon mengenakan jubah abu-abu dengan pakaian penutup bagian pentingnya berwarna kuning kunyit. Dengan senjata tongkat hitam yang ujungnya diberi senjata mirip bulan sabit itu, Nyai Watu Wadon berdiri tegak menantang pertarungan dengan Bidadari Jalang.

"Barangkali ada baiknya kalau suamimu mati di tanganku, Watu Wadon!" ujar Bidadari Jalang. "Karena suamimu sendiri adalah Ketua Perampok Laut Wetan! Kalau sekarang ia masih hidup, ia tetap akan merugikan pihak lain yang tak berdosa padanya."

"Bicaramu seperti seorang biksu saja. Perempuan Liar! Jangan bicara tentang dosa, karena kau juga manusia yang tak pernah kenal dosa! Sekarang hadapi saja hukuman dariku sebagai penebus kematian suamiku!"

"Aku tidak mau membunuh lagi, Watu Wadon."

"O, kalau begitu kau lebih suka dibunuh?! Aha, itu sangat bagus. Kita pasangan yang cocok; kau suka dibunuh dan aku suka membunuh!"

"Tapi kalau kau memaksaku harus mempertahankan nyawa, dengan terpaksa kulayani tantanganmu, Watu Wadon!"

"Eh, plin-plan juga kau rupanya. Mulutmu harus dirobek dulu dengan tongkat 'Tanduk Keong' ini. Hiaaaat...!!"

Weeesss...! Nyai Watu Wadon berkelebat menerjang Bidadari Jalang. Gerakannya ternyata sangat cepat dan membuat Bidadari Jalang terlambat menghindarinya. Tongkat 'Tanduk Keong' hampir saja merobek wajah Bidadari Jalang jika perempuan yang masih cantik dan berdada montok itu tidak melompat ke kiri. Namun toh lompatannya itu tak luput dari kibasan ujung tongkat yang bawah, sehingga kening Bidadari Jalang terhantam kibasan tongkat tersebut.

Plaaak...!

Brrruk...! Bidadari Jalang jatuh terbanting. Rupanya tongkat itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sama besarnya dengan serudukan seekor banteng. Kepala Bidadari Jalang terasa mau pecah. Keningnya membekas merah kebiru-biruan. Pandangan matanya menjadi buram dan makin lama makin gelap.

Bidadari Jalang mencoba bangkit dengan tenaga yang masih ada. Tapi baru separo berdiri, tahu-tahu tengkuknya ditendang oleh Nyai Watu Wadon yang menggunakan tendangan belakang seperti kuda betina menyepak lawannya. Duuuhk...!

"Uuhk...!"

Bruuuk...! Bidadari Jalang tersungkur ke depan, darahnya keluar dari mulut. Menyembur deras sebelum jatuh tadi. Tendangan itu pun di aliri kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, hingga membuat seluruh tubuh Bidadari Jalang menjadi panas bagai dipanggang api.

Agaknya Nyai Watu Wadon sekarang jauh lebih tangkas dari waktu mudanya, ia telah memperdalam ilmunya yang sengaja dipersiapkan untuk melawan Bidadari Jalang. Pada dasarnya, Bidadari Jalang sebenarnya tak ingin melawan, apalagi membunuh Nyai Watu Wadon, ia tak mau lakukan hal itu. Ia hanya ingin menghindari keributan tersebut dengan sedikit memberi pertahanan agar tak sampai terbunuh.

Tetapi rupanya Nyai Watu Wadon memang tidak ingin memberi kesempatan kepada Bidadari Jalang untuk bernapas lebih lama lagi. Cita-citanya adalah membunuh Bidadari Jalang dalam dua-tiga jurus saja. Jadi dia tidak boros jurus. Karena itulah, begitu melihat Bidadari Jalang terpuruk dalam keadaan luka dalam cukup parah. Nyai Watu Wadon segera mengangkat tongkatnya 'Tanduk Keong' itu. Dengan satu lompatan, tongkat itu dihujamkan ke bawah untuk memenggal leher Bidadari Jalang.

"Habis riwayatmu sekarang, Jahanam! Hiaaaah...!"

Wuuuut...! Brruuus...!

Nyai Watu Wadon justru terpental agak jauh dan tubuhnya menabrak sebatang pohon besar. Tubuh yang terhempas kuat pada batang pohon itu akhirnya jatuh tersungkur dan membuat tulang-tulangnya terasa mau patah semua. Pandangan mata Nyai Watu Wadon pun menjadi berkunang-kunang, hingga ia perlu mengerjap-ngerjapkan mata sambil berusaha bangkit dengan bantuan tongkatnya.

"Maling kecut, kunyuk botak...!" umpat sang Nyai. "Siapa yang menerjangku tadi?!" sambil ia clingak-clinguk.

Lalu sebuah suara menjawab dari belakangnya. "Aku yang menerjangmu, Nona!"

"Baah...! Bocah keparat kau, berani menerjang orang tua! Apa matamu buta, aku sudah jadi nenek. Jangan panggil aku Nona lagi. Itu penghinaan namanya!"

Pemuda yang menerjangnya itu tersenyum kalem. Pemuda itu adalah Suto Sinting yang sudah siap dengan bumbung tuaknya di tangan kanan.

"Siapa kau, sehingga berani menggagalkan rencanaku membunuh Bidadari Jalang?!"

"Aku muridnya! Namaku Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"

"Bohong!" bentak Nyai Watu Wadon. "Kau tak pantas jadi muridnya, karena kau tampan dan gagah perkasa begitu. Kau pasti gundiknya si Jalang ini!"

"Aku muridnya!" tegas Suto. "Kalau kau mau membunuh Bibi Guru, kau harus membunuhku lebih dulu, Mbah!"

"Jangan panggil aku Mbah! Kuno itu!" sentak Nyai Watu Wadon. "Panggil aku Dik... eh, jangan... itu terlalu muda. Panggil aku Mbak... oh, jangan itu. Tapi... tapi persetan kau mau panggil aku apa, yang jelas kau telah ikut campur dalam urusan ini dan kau harus mati di tanganku. Ciaaaatt...!"

"Ssssttt...!!"

Nyai Watu Wadon hentikan langkahnya yang ingin menyerang Suto dengan ujung tongkat sudah siap disodokkan ke leher pemuda itu. Suto menempelkan telunjuknya di mulut yang berdesis tadi, sepertinya ingin membisikkan sesuatu yang amat rahasia. Nyai Watu Wadon kendurkan ketegangan dan melangkah biasa sambil menyodorkan telinganya.

"Ada apa?" tanyanya dalam nada bisik.

Suto pun bicara dengan suara rendah seperti orang berbisik. "Orang sudah tua tak baik melawan anak muda. Nanti kualat! Durhaka!"

"Setan kampret!" sentak Nyai Watu Wadon. Lalu ia hantamkan tangannya ke dagu Suto. Wuuut...!

Plak...! Tangan Suto berkelebat menangkis dengan badan miring ke kiri, lalu mengayun ke belakang seperti orang mabuk mau jatuh. Nyai Watu Wadon berputar dan kakinya menyepak ke belakang. Wuuut...!

Ploook...!

"Aduuuh...!" Suto Sinting terkena tendangan pada bagian pipinya, ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak segera berpegangan pada sebatang pohon.

"Bocah kupret mau coba-coba melawanku dengan tipu muslihat, hmmm...! Cekak umurmu, Nak!" seru Nyai Watu Wadon. "Kalau tak percaya bahwa umurmu akan cekak, inilah buktinya! Heeeeah...!"

Nyai Watu Wadon melompat dan mengibaskan tongkat 'Tanduk Keong' dengan cepat. Wuuut...! Tongkat itu tiba-tiba menghantam sesuatu. Trring...! Seperti menghantam logam besi, tapi sebenarnya yang dihantam adalah bambu bumbung tuak. Bambu itu tidak lecet atau remuk, justru tongkat sang Nyai yanghampir saja terlepas dari genggamannya.

Suto segera berkelebat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang punya kecepatan seperti cahaya pindah tempat itu. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping Bidadari Jalang. "Bibi Guru, minumlah tuak ini. Lekas...! Aku akan hadapi dia!"

"Jangan. Dia bukan lawanmu."

"Masa bodoh, yang jelas dia mau bunuh Bibi Guru, berarti dia harus berhadapan denganku dulu!"

Pendekar Mabuk tinggalkan bumbung tuaknya agar diminum Bidadari Jalang, ia terpaksa harus lakukan satu lompatan cepat, karena Nyai Watu Wadon sudah menyerang kembali dengan tongkatnya. Kali ini logam putih tajam yang mirip tanduk atau bulan sabit itu memancarkan sinar merah bara. Ketika disodokkan ke depan, dua berkas sinar merah berkelok-kelok meluncur ke arah Bidadari Jalang. Claaap...!

Pendekar Mabuk melompat dan berguling di tanah. Wuuut...! Kini ia berlutut satu kaki dan sentakkan kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan itu melesat dua larik sinar ungu sebesar lidi. Kedua sinar dari jurus 'Surya Dewata' itu bertabrakan dengan sinarnya Nyai Wato Wadon.

Cralaaap...! Blegaaarrr...!

Ledakan itu mengguncangkan tanah sekitar mereka. Pohon-pohon pun bergetar, daunnya berguguran. Gelombang ledakan itu menyentak kuat, membuat Nyai Watu Wadon terjungkal ke belakang dan Suto Sinting terlempar ke samping.

Brruus...! Gusraaak...!

"Maling tak sunat kau, Cah Pitak! Rupanya kau punya kekuatan untuk hadapi jurus 'Sepasang Paruh Kuda'-ku tadi. Kalau begitu, coba tahan jurus 'Bencana Gaib'-ku ini! Hiaaah...!"

Nyai Watu Wadon yang ganas itu segera lepaskan tongkatnya. Tongkat berdiri tegak di tanah tanpa ditancapkan. Lalu kedua pergelangan tangannya saling rapat. Dan kedua tangan itu menyodok ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuuut...! Dari sodokan tangan itu melesat sinar besar warna merah berasap. Wuuus...!

Pendekar Mabuk cepat-cepat pergunakan jurus 'Tangan Guntur'-nya. Kedua tangan menyentak ke depan lagi dan keluarlah sinar biru besar dari telapak tangannya itu. Claaap...! Sinar itu pun akhirnya menghantam sinar merahnya Nyai Watu Wadon di pertengahan jarak.

Jegaaaarrr...!! Brruuk...! Gusraak...! Sruuuk...! Bruuuss...!

Pohon-pohon tumbang karena ledakan kali ini sungguh dahsyat. Tubuh Suto dan Bidadari Jalang terlempar sepuluh langkah dari tempat semula. Tubuh Nyai Watu Wadon terpental pula dan membentur pohon. Pohon itu sendiri tumbang dan menindih tubuh Nyai Watu Wadon. Beberapa pohon lainnya pecah, batu-batu hancur, tanah terbelah menjadi beberapa bagian.

Cahaya ungu yang berkerilap bersama bunyi ledakan dahsyat tadi masih menyala dan membubung tinggi menyebar lebar, menutup cahaya matahari. Langit bagaikan diselaputi kain ungu yang membuat cahaya matahari sukar menembus ke bumi. Cahaya ungu yang bercampur kabut tipis itu makin lama semakin tinggi, lalu tampaklah matahari bersinar ungu dan menjadi temaram.

"Uuuhk...! Hiiiaaahk...!"

Nyai Watu Wadon menghantam pohon yang menimpanya itu dengan kedua tangan. Praak...! Blaaarr...! Pohon itu hancur, ia segera dapat meloloskan diri. Namun ketika ia berdiri menyambar tongkatnya, tiba-tiba ia memuntahkan darah dari mulut.

"Hoeek...!" Zrrrook...! Darah yang dimuntahkan berwarna hitam dan cukup banyak. Nyai Watu Wadon mengerang dan mulai terbatuk-batuk. "Keparat kau, Jahanam Busuk! Kau lukai aku separah ini dan... uuuhk...!" Nyai Watu Wadon pegangi dadanya dengan menyeringai menahan sakit. Wajahnya menjadi pucat pasi. "Celaka aku ini! Kalau tetap melawan bocah sontoloyo itu bisa mampus di sini!" gerutunya dalam hati.

Maka ia pun segera lakukan sentakan kaki yang membuatnya melambung ke atas dan hinggap pada sisa batang pohon yang patah di pertengahannya. Jleeeg...! "Bocah congor sapi!" serunya dengan suara tertahan. "Tunggu pembalasanku! Aku akan datang dengan murid-muridku pada saatnya nanti!"

Blaaasss...! Nyai Watu Wadon pergi dengan berkelebat cepat. Pendekar Mabuk yang mengucurkan darah dari hidung dan telinganya bergegas mengejar. Tapi Bidadari Jalang segera berseru,

"Tunggu, Suto...!"

Langkah pengejaran terhenti, Pendekar Mabuk berpaling memandang Bibi Guru-nya.

"Jangan kejar dia!" larang Bidadari Jalang.

"Kenapa, Bi?!"

"Dia Ketua Janda Liar!"

"Apa kehebatannya?!"

* * *

DUA

WAJAH Bidadari Jalang yang cantik dan awet muda itu kini tampak murung diliputi kecemasan. Walaupun luka dalamnya telah sembuh dan badannya cepat menjadi segar kembali karena minum tuaknya Suto, tapi kegelisahan itu masih belum bisa sirna dari raut wajah cantiknya.

Pendekar Mabuk tak habis pikir melihat Bibi Gurunya menyimpan kecemasan. Mulanya ia ajukan tanya, tapi sang Bibi Guru tak mau menjawab yang sebenarnya. Kecurigaan Suto membuat hatinya kian penasaran hingga mendesak terus dengan pertanyaan yang sama.

"Sebenarnya ada apa, Bi?! Mengapa Bibi Guru berpura-pura tenang padahal hati menyimpan kecemasan?!"

Bidadari Jalang agaknya masih belum mau menjawab secara apa adanya. Bahkan ia sengaja alihkan pembicaraan agar sang murid lupa dengan kegelisahannya. "Apakah kedatanganmu ke Lembah Badai ini diutus oleh Kakek Guru-mu?"

"Benar, Bibi. Aku diutus Kakek Guru untuk memanggilmu datang ke Jurang Lindu. Ada masalah yang ingin dibicarakan Kakek Guru kepada Bibi Guru."

"Masalah apa?"

"Tentang ilmu 'Sukma Lingga' yang bikin sakit Kakek Guru tempo hari itu, Bi!"

"Oooo...," Bidadari Jalang manggut-manggut. Sekarang ia baru ingat bahwa Gila Tuak memang punya ilmu 'Sukma Lingga' yang akan merusak jiwa raganya jika dalam dua ratus tahun tak dibuang atau dialihkan ke orang lain. Suto Sinting juga menceritakan tentang janji Gila Tuak kepada Bidadari Jalang, sesuai dengan cerita sang Kakek Guru itu.

"Memang, dulu Gila Tuak membujukku agar masuk ke aliran putih. Bahkan dia menjanjikan akan memberikan ilmu 'Sukma Lingga' kepadaku jika aku mau masuk aliran putih dan meninggalkan jalan sesatku. Tetapi pada waktu itu aku menolak."

"Apakah Bibi Guru tidak mempunyai ilmu itu?"

"Tidak, ilmu 'Sukma Lingga' adalah ilmu wasiat dari Eyang Purbapati. Aku mendapat warisan ilmu wasiat sendiri dari Eyang Nini Galih, yaitu ilmu 'Candra Geni'. Dan ilmu itu akan kuturunkan padamu sesuai janjiku, karena kau telah berhasil sembuhkan Kakek Guru-mu dengan 'Tuak Dewata' itu."

Pendekar Mabuk tarik napas lega bercampur gembira, karena ia juga akan mendapat ilmu tambahan dari Bibi Guru-nya. Karena sebelum itu, Bidadari Jalang memang pernah berjanji akan menurunkan ilmu 'Candra Geni' jika Suto berhasil selamatkan nyawa Gila Tuak dari penyakit aneh itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Tuak Dewata).

"Tetapi agaknya kau harus selesaikan dulu urusanmu dengan Kakek Guru-mu. Nanti setelah ilmu 'Sukma Lingga' kau kuasai, aku baru akan menurunkan ilmu 'Candra Geni' itu." "Apakah Bibi Guru tidak keberatan jika ilmu 'Sukma Lingga' diwariskan padaku?"

Bidadari Jalang menggeleng. "Aku bertobat dan masuk ke aliran putih bukan karena ingin memiliki ilmu 'Sukma Lingga'. Jadi bagiku tidak ada masalah ilmu itu mau diwariskan padamu atau mau dibuang oleh si Gila Tuak. Jika memang akhirnya kau yang akan menerima ilmu wasiat itu, pada dasarnya aku setuju saja. Tapi yang terpenting bagiku sekarang ini...," Bidadari Jalang hentikan kata. Wajah cantik itu tampak resah lagi dan jelas sekali keresahan itu sengaja ingin disembunyikan namun gagal.

Suto Sinting melihat keresahan itu mengganggu ketenangan Bibi Guru-nya, sehingga ia berusaha membujuk sang Bibi Guru mau jelaskan rahasia keresahannya itu. "Kesulitan Bibi Guru sama saja dengan kesulitanku. Kalau Bibi Guru tidak mau membagi masalah denganku, berarti aku sudah bukan lagi murid dari Bibi Guru! Aku akan pamit pergi dan tak akan kembali lagi ke sini!"

"Pergilah sana dan tak perlu ke sini lagi!"

"Yaaah... tadi kan cuma gertakan saja, Bi!" Suto Sinting merajuk seperti anak kecil, ia memang sering manja jika sedang berhadapan dengan Bibi Guru-nya. "Jangan suruh aku benar-benar pergi, Bi. Nanti aku sedih kalau kehilangan Bibi Guru."

"Ah, rayuanmu tak bisa menyentuh hatiku!" sambil Bidadari Jalang melengos.

"Kalau Bibi bukan guruku juga, pasti Bibi akan kurayu dengan asmara dan Bibi Guru akan kelabakan mencari kemesraanku. He, he, he, he"

"Kalau kau bukan muridku, aku juga tidak akan turunkan jurus 'Rayuan iblis' yang dapat melumpuhkan hati perempuan mana pun itu!"

"Jadi, sekarang aku masih muridmu, bukan?" sambil Suto sengaja berpindah tempat agar berhadapan dengan Bidadari Jalang.

Perempuan cantik berjubah ungu muda dan pinjung penutup dada serta celana beludrunya yang berwarna merah itu sengaja berbalik arah agar memunggungi murid tampannya. "Tinggalkan aku dan biarkan aku berpikir sendiri, Suto."

Sang murid cengar-cengir. "Bibi terlalu cantik kalau cemberut begitu."

"Tinggalkan aku sekarang juga, Suto!" sentaknya tanpa berpaling kepada Suto yang ada di belakangnya.

Suto memegangi jubah sang Bibi Guru. "Bibi jangan membentak begitu, nanti hatiku deg-degan. Sebab kalau Bibi sedang marah, wajah Bibi Guru jauh lebih cantik daripada rembulan dan..."

"Suto!!" bentak sang Bibi Guru semakin keras.

Suto Sinting terlonjak kaget dan segera undurkan diri. Ia menundukkan kepala ketika Bibi Guru-nya memandang dengan mata memancarkan kemarahan. Namun sesekali mata Suto melirik wajah sang Bibi Guru dengan senyum geli disembunyikan.

"Persoalan ini adalah persoalanku, dan kau tak boleh tahu!"

"Tapi, Bibi..., sebagai muridmu juga, aku harus bisa membantumu dalam melepaskah diri dari segala kesulitan."

"Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuan siapa pun. Yang penting, sekarang pergi dari sini dan kembalilah ke Jurang Lindu. Katakan kepada Kakek Guru-mu bahwa aku setuju jika ilmu 'Sukma Lingga' itu diwariskan padamu. Sudah, pergi sana!"

"Kenapa Bibi Guru menjadi begitu berang kepadaku?" Suto berlagak manja dan bersungut-sungut. "Dari dulu cuma Bibi Guru yang sering mengomelku!"

"Karena kau murid yang bandel, nakal, dan..."

"Dan tampan, bukan?" goda Suto sambil nyengir, pamer senyum ketampanan di depan Bibi Guru-nya.

Plaaak! Suto ditampar dan Suto Sinting kaget, lalu berkata dengan wajah memelas. "Terima kasih!"

Bidadari Jalang bergegas pergi tinggalkan Suto Sinting. Tapi sang murid bandel tetap memburunya, serta tiba-tiba menghadang langkah sang Bibi Guru. Jleeg!

"Pergi kau dari hadapanku!" gertak Bidadari Jalang.

"Aku tak ingin pergi sebelum Bibi Guru ceritakan apa sebabnya Bibi Guru gelisah dan resah sekali."

"Kau mau melawan Bibi Guru-mu ini?!"

"Boleh saja kalau memang Bibi Guru ingin adu ilmu denganku!" jawab Suto sambil berlagak cuek, garuk-garuk kepala dan memandangi daun-daun pohon.

"Kau benar-benar murid yang minta dibasmi!" geram Bidadari Jalang.

"Memangnya aku tikus sawah, kok mau dibasmi segala?!" Suto bersungut-sungut.

Bidadari Jalang melengos sembunyikan senyum. Kemudian perempuan itu bergegas pergi dengan satu lompatan cepat. Wuuut,..! Tapi Suto Sinting menyusulnya dengan jurus 'Gerak Siluman' yang lebih cepat dari gerakan Bibi Guru-nya. Zlaaap!

Bidadari Jalang hentikan langkah karena Suto sudah menghadang di depannya. Ia berani lakukan canda seperti itu, karena ia yakin Bibi Gurunya tidak benar-benar marah. Hanya merasa jengkel oleh ulahnya. Dan semakin sang Bibi Guru kelihatan jengkel, semakin berani Suto mempermainkan sang Bibi Guru. Kebetulan saat-saat bahagia dalam canda seperti itu sudah lama tidak terjalin di antara mereka berdua, karena Suto Sinting sibuk mengejar musuh utamanya; Siluman Tujuh Nyawa.

Kepala tokoh terkutuk bernama Siluman Tujuh Nyawa itulah yang akan menjadi maskawinnya nanti dalam melamar seorang ratu cantik dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Ratu itu bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli yang cantik: Dyah Sariningrum.

"Kau benar-benar membuatku marah, Suto!" geram Bidadari Jalang. "Kuhitung sampai tiga kali kalau kau masih berdiri menghadangku, akan kuhajar kau sampai gempor, Suto!"

"Kuadukan kepada Kakek Guru, kau akan kena marah, Bibi!"

"Adukan sana! Aku tidak takut berhadapan dengan si Gila Tuak!" sentak Bidadari Jalang dengan wajah cantik cemberut.

"Jangan, ah! Kalau kuadukan nanti Bibi Guru dimarahi oleh Kakek Guru. Kasihan, Bibi... sudah tak punya sanak keluarga masa' harus dimarahi terus?!"

"Minggir kau, Suto! Satuuu...!"

"Duaaaa...!" Suto ikut-ikutan menghitung.

"Diam kau! Biar aku yang menghitung!"

"Aku cuma tunjukkan bahwa aku ingin membantu setiap pekerjaan dan kesulitanmu. Sebagai contoh, aku ikut membantu menghitung ancamanmu itu, Bibi Guru."

"Duaaa...!"

Pendekar Mabuk sengaja cengar-cengir di depan Bibi Guru-nya. Wajah cantik itu makin tampak kesal, bahkan sempat menggeram dengan napas tertarik. Tiba-tiba mereka mendengar suara dentuman dari arah timur. Wajah mereka tampak terperanjat seketika. Dentuman itu terdengar tak begitu jauh dari mereka. Pendekar Mabuk mulai penasaran sebab ia yakin di sebelah timur pasti ada pertarungan. Wajah cengar-cengirnya sirna seketika. Bidadari Jalang sendiri juga kehilangan kejengkelannya.

Zlaaap...! Suto Sinting pergi ke arah timur tanpa pamit apa-apa pada Bibi Guru-nya, sebab ia yakin sang Bibi Guru pasti akan mengikutinya. Keyakinan Pendekar Mabuk memang terbukti. Bidadari Jalang segera melesat mengikuti muridnya menuju ke timur. Saat itu bumi terasa bergetar kembali dengan suara dentuman yang menggelegar seperti tadi.

Blegaarr...!

Dari ketinggian tanah cadas yang menyerupai bukit kecil itu, Suto dapat melihat dua sosok wanita saling berhadapan dan saling memainkan jurus lamban. Permainan jurus itulah yang diperhatikan Suto Sinting setiap ia mengintai pertarungan.

"Hmmm... jurus yang aneh. Lamban tapi mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar!" gumam Suto Sinting. "Rupanya Nyai Watu Wadon tak sempat melarikan diri jauh-jauh. Ia masih terluka, tapi mengapa berani lakukan pertarungan dengan perempuan berjubah bunga-bunga merah hitam itu?!"

Pertarungan itu memang dilakukan oleh Nyai Watu Wadon dan seorang perempuan berjubah kuning dengan pola bunga-bunga merah hitam. Agaknya perempuan berjubah bunga-bunga itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, karena serangan tongkat 'Tanduk Keong' Nyai Watu Wadon tak dapat melukai kulitnya yang halus, mulus, dan berwarna kuning langsat itu. Perempuan yang tampaknya berusia sekitar tiga puluh tahun kurang sedikit itu sengaja membiarkan dirinya diserang dengan senjata ujung tongkat itu berkali-kali.

Bet, bet, bet...!

Tak satu pun bagian tubuh yang tergores atau lecet karena tebasan tongkat Nyai Watu Wadon. Bahkan ketika Nyai Watu Wadon hujamkan tongkatnya ke dada perempuan cantik berpayudara montok itu, ternyata logam tajam di ujung tongkat itu justru patah dan tak berguna lagi.

Wuuut...! Traak...!

"Celeng sunat!" sentak Nyai Watu Wadon melihat senjatanya patah.

Perempuan berambut panjang diriap lepas dengan bagian tengahnya dikonde kecil itu masih tetap bergerak seperti orang menari malas-malasan, ia bagaikan tidak peduli dengan makian dan keberangan Nyai Watu Wadon. Bahkan ketika Nyai Watu Wadon mengangkat tongkatnya dan tongkat itu menyala merah seperti besi membara, perempuan berjubah bunga-bunga itu tetap bergerak lamban bagai menari-nari.

"Modar kau sekarang, Gayung Jamban! Heaaah...!"

Wuuuut, praaak...!

Tongkat itu dihantamkan di kepala si cantik. Tapi ternyata kepala itu tetap awet dan utuh, retak sedikit pun tidak. Justru tongkat sang Nyai yang menjadi patah dan cahaya merah baranya lenyap seketika. Tempat patahnya itu mengepulkan asap bagaikan bara habis tersiram air.

"Gila! Rupanya perempuan cantik itu tahan bacokan?!" gumam Suto Sinting lirih.

"Dia kuasai ilmu 'Kulit Baja'...!"

Pendekar Mabuk sempat terperanjat sekejap, karena tahu-tahu ada suara yang menimpali gumaman lirihnya tadi. Ternyata suara itu milik Bibi Guru-nya yang menyusul di balik pohon persembunyian itu.

"Bibi kenal dengan perempuan berjubah bunga-bunga itu?!"

"Ya. Dia dikenal dengan nama Selimut Senja."

"Orang mana dia, Bi?"

"Ssst...! Lihat saja pertarungan itu. Agaknya si Watu Wadon mulai terdesak!"

Pendekar Mabuk tak jadi ajukan tanya lagi, karena perhatiannya terpusat pada pertarungan yang cukup seru. Selimut Senja tampak berhasil menguras tenaga Nyai Watu Wadon dengan pancingan jurusnya.

Nyai Watu Wadon menyerang terus karena Selimut Senja kelihatan sering lengah. Padahal kelengahan Selimut Senja justru suatu bahaya bagi Nyai Watu Wadon. Setiap pukulan tangan atau tendangan kaki tanpa cahaya yang kenai tubuh Selimut Senja ternyata dapat menyerap tenaga orang yang memukulnya. Terbukti, setiap Nyai Watu Wadon berhasil menghantam punggung alau dada lawannya, ia selalu terengah-engah dan menggelosor sendiri bagai kekurangan tenaga. Sedangkan Selimut Senja hanya oleng ke kiri atau ke kanan, sesekali tampak terhuyung ke belakang, namun tegak kembali dan bergerak gemulai lagi bagai menari tanpa tenaga.

Tapi ketika Nyai Watu Wadon melepaskan pukulan bersinar merah yang dipakai menyerang Suto tadi, Selimut Senja melambung ke atas dan bersalto dengan cepatnya. Sambil lakukan gerakan bersalto, seberkas sinar putih kecil lurus terlepas dari tangannya dan kenai leher kiri Nyai Watu Wadon. Claap...!

Caaaasszz...!

"Aaahk...!" Nyai Watu Wadon mengejang dengan tubuh melengkung ke belakang. Sinar putih yang kenai lehernya itu membuat leher itu menjadi hitam seketika dan berasap.

Kejap berikutnya, Selimut Senja mendaratkan kakinya ke tanah. Jleeg...! Tanah di sekitarnya tampak bergetar, daun-daun berguguran karena getaran tersebut. Nyai Watu Wadon jatuh berlutut sambil masih mengerang dengan mata mendelik menyeramkan. Kedua tangannya memegangi leher yang hitam dan berasap itu.

"Kepp... kepaarraat... kauuu."

"Sekarang akulah yang menjadi Ketua Janda Liar!" ujar Selimut Senja dengan rentangkan kaki kanan ke belakang jauh-jauh, dan kaki kirinya merendah hingga lututnya tampak menonjol maju, satu tangan terangkat di atas kepala dengan jari lentik bagai ingin mencari, tapi tangan yang satunya lagi menggenggam kuat di depan dada.

"Celaka! Mengapa aku diam saja?!" gumam Bidadari Jalang tepat ketika Nyai Watu Wadon akhirnya roboh ke belakang dan kepalanya menggelinding satu langkah darinya. "Terlambat! Sudah terlambat!" ucap Bidadari Jalang dalam geram membisik.

Ucapan itu memancing keheranan Suto, sehingga murid tampan yang nakal itu pun akhirnya ajukan tanya dengan dahi berkerut. "Ada apa sebenarnya, Bi?! Wajah Bibi Guru kelihatan semakin resah dan seperti ketakutan?!"

Weees...! Pendekar Mabuk kaget, karena saat ia berpaling memandangi Selimut Senja, ternyata perempuan cantik berdada montok itu sudah melesat lebih dulu, lenyap dari pandangan Suto. Ia pergi ke arah barat dan Suto ragu-ragu untuk mengejarnya, ia lebih tertarik dengan kecemasan yang tampak makin mencekam jiwa Bibi Guru-nya itu.

"Seharusnya kita tidak membiarkan Nyai Watu Wadon terbunuh!" ujar Bidadari Jalang sambil memandang ke arah kepergian Selimut Senja.

"Bukankah Nyai Watu Wadon adalah musuh Bibi Guru? Dia tadi ingin membunuh Bibi Guru. Mengapa sekarang Bibi Guru tampak menyesal melihat Nyai Watu Wadon dibunuh Selimut Senja?!"

"Pandanglah langit!" hanya itu jawaban Bidadari Jalang, kemudian berkelebat pergi tinggalkan tempat itu.

Pendekar Mabuk tak mengerti maksud Bidadari Jalang. Ia memandang langit sebentar. Langit masih dilapisi kabut ungu. Sinar matahari hanya membayang tipis membuat alam menjadi temaram berkesan redup. "Bibi, tunggu...!"

Zlaaap...! Suto Sinting menyusul Bibi Guru-nya dengan menggunakan kecepatan 'Gerak Siluman'. Dalam waktu singkat ia sudah berhasil menghadang langkah Bibi Guru-nya lagi. "Bibi Guru, apa maksudmu menyuruhku memandang langit?!"

"Bodoh!" sentak Bidadari Jalang dengan jengkel karena langkahnya terhadang lagi itu.

"Kalau aku bukan murid bodoh aku tidak akan bertanya kepada Bibi Guru. Kalau aku pintar, Bibi Guru yang akan menjadi muridku!"

"Bocah lancang!" geram Bidadari Jalang sambil mengangkat tangan untuk menampar wajah Suto. Tetapi sang murid segera menampar pipinya sendiri dengan tangan kirinya. Plaak...!

"Sudah, Bibi. Tak perlu repot-repot menamparku, aku sudah menampar wajahku sendiri untuk meringankan beban Bibi Guru, biar irit tenaga! Tapi jelaskan apa maksud Bibi Guru menyuruhku memandang ke langit?!"

"Apakah kau tidak melihat matahari diselimuti cahaya ungu berkabut?!"

"Ya, memang, itu karena jurusnya Nyai Watu Wadon yang hampir merenggut nyawaku tadi. Ternyata cahaya ungu berkabut itu belum sirna juga."

"Watu Wadon menggunakan jurus 'Bencana Gaib'!"

"O, ya... kudengar tadi dia menyebutkan nama jurus itu," sahut Suto Sinting.

"Seharusnya sinar merahnya tadi jangan kau tangkis dengan jurus 'Tangan Guntur' yang memancarkan sinar biru. Mestinya kau tangkis dengan jurus lain atau kau hindari. Sinar merah itu hanya akan membuat benda yang dikenainya menjadi lenyap, namun bayangannya masih membekas di tanah, tergantung dari mana arah matahari datangnya."

"Jadi jika aku tadi terkena jurus 'Bencana Gaib', maka tubuhku akan lenyap tapi bayanganku masih ada, begitu?"

"Ya. Dan bayanganmu masih bisa berjalan ke sana-sini atau berbuat apa saja, tapi tak bisa disentuh atau menyentuh orang lain."

"Hmmm," Suto Sinting manggut-manggut. "Lantas, apa salahnya jika kutangkis dengan jurus 'Tangan Guntur' tadi? Toh membuatku selamat dan benda apa pun tidak menjadi lenyap."

"Benar! Tapi jurus 'Bencana Gaib', jika bertemu sinar biru, dia akan berubah ungu dan membentuk cahaya abadi berkabut. Cahaya ungu yang abadi dan menutup sinar matahari dinamakan 'Selaput iblis'. Sinar matahari tetap memancar, tapi timbulkan hawa lain yang mempengaruhi kehidupan di bumi. Matahari tak akan bergerak ke barat atau ke timur, karena ia terpaku 'oleh 'Selaput iblis' itu."

Bidadari Jalang mengusap wajahnya dan selalu berusaha bicara tanpa memandang Suto Sinting. Bahkan ia tampak sekali tak mau diperhatikan oleh murid-nya, sehingga sebentar-sebentar Suto terpaksa bergeser mencari tempat yang bisa beradu muka dengan Bibi Guru-nya.

"Apakah selamanya matahari tidak akan bergerak ke barat atau ke timur, Bibi?!"

"Ya. Selamanya matahari akan diam di sana, sebelum 'Selaput Iblis' itu hancur. Dan...," Bidadari Jalang tampak ragu, namun desah napasnya menandakan kecemasannya kian bertambah.

Pendekar Mabuk menjadi tambah penasaran lagi. "Lanjutkan penjelasanmu, Bibi Guru! Tolong, jangan bikin hatiku penasaran dan ingin menggodamu terus, Bibi!"

"Kuperintahkan padamu, cari kekuatan yang bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu!"

"Mengapa harus dihancurkan? Apa yang terjadi jika 'Selaput iblis' itu tidak dihancurkan, Bibi Guru?!" Suto mendesak lebih detil lagi.

"Ketahuilah, Anak Brengsek...! Cahaya matahari yang menembus 'Selaput Iblis' akan memudarkan semua kekuatan ilmu pengawet ayu. Siapa pun orangnya yang menggunakan ilmu atau mantra awet ayu dan awet muda, dalam waktu dekat kekuatan itu akan sirna termakan bias cahaya matahari yang menembus lapisan ungu itu. Aku dan yang lainnya, akan menjadi tua, wajahku akan buruk, keriput, rambutku akan berubah, kecantikanku akan hancur dan... oooh...!"

Bidadari Jalang berbalik wajah, dan menghantamkan tangannya pada sebatang pohon yang dipakai untuk sembunyikan wajah dari pandangan sang murid. Duuur...! Pohon itu bergetar keras, ranting dan daunnya berguguran akibat pukulan tangan Bidadari Jalang tadi. Suto Sinting tak peduli tentang daun gugur itu. Ia segera dekati Bibi Guru-nya dengan mengitari pohon tersebut. Kini ia berada di depan Bibi Guru-nya yang tertunduk.

"Bibi Guru...," sapanya pelan, bernada serius. Sang Bibi Guru angkat wajah dan pandangi Suto Sinting. "Bibi masih kelihatan cantik, menarik, dan... dan sangat mengagumkan," ujar Suto Sinting bagai merayu seorang kekasih.

"Sebentar lagi aku akan berubah menjadi buruk dan menjijikkan! Semua perempuan yang menggunakan ilmu atau mantra awet muda, akan menjadi tua dan menyeramkan setelah setiap bayangan benda berubah menjadi ungu muda."

Pendekar Mabuk segera memandang bayangannya sendiri. Ada bayangan samar-samar di tanah akibat bias sinar matahari yang redup itu. Bayangan tersebut masih berwarna hitam seperti biasanya. Tapi warna-warna ungu mulai tampak tipis pada tepian bayangan itu. Bayangan pohon dan batu pun demikian.

Pendekar Mabuk menjadi tegang dan bertanya dalam hati, "Benarkah jika setiap bayangan sudah berubah menjadi ungu, maka seluruh ilmu pengawet kecantikan akan pudar dan membuat wajah-wajah mereka menjadi menyeramkan?! Oh, kalau begitu, aku harus segera menghancurkan 'Selaput Iblis' itu agar Bibi Guru tak menjadi buruk rupa! Tapi dengan apa aku menghancurkannya?!"

Pendekar Mabuk menanyakan hal itu, tapi Bidadari Jalang mengaku tidak tahu persis tentang kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu.

"Kekuatan itu ada pada Nyai Watu Wadon! Hanya dia yang bisa menghancurkan 'Selaput iblis'," kata Bidadari Jalang.

"Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Bibi Guru, sebab Nyai Watu Wadon sudah mati dan kepalanya tadi dibawa lari oleh Selimut Senja!"

"Itulah masalah yang harus kau hadapi. Bagaimanapun juga, kau ikut andil dalam membentuk 'Selaput Iblis' yang kini menutupi matahari itu. Jika kau tidak gunakan jurus 'Tangan Guntur' yang bercahaya biru, tak mungkin cahaya merahnya si Watu Wadon akan berubah menjadi cahaya ungu!" "Ja... jadi aku termasuk bersalah dalam hal ini. Bibi Guru?"

"Aku... aku tak bisa bicara lagi. Lihat, bayangan kita sudah mulai berwarna ungu pada tepiannya."

Pendekar Mabuk memandang dengan mata tak berkedip dan mulut terbengong melompong.

* * *

TIGA

BIDADARI Jalang sempat berdebat dengan Gila Tuak setelah Pendekar Mabuk dilaporkan pergi mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput iblis' itu. Agaknya si Gila Tuak tidak setuju jika Suto Sinting dikatakan sebagai orang yang ikut andil dalam menciptakan 'Selaput iblis' dilangit.

"Warna merah apa pun, kalau bercampur dengan warna biru, jelas akan hasilkan warna ungu," kata Gila Tuak. "Jurus apa pun yang memancarkan sinar biru, jika bertemu dengan sinar merahnya si Watu Wadon, tentu saja akan membiaskan warna ungu. Tetapi bukan berarti Suto Sengaja menciptakan 'Selaput Iblis' di langit untuk memudarkan kecantikanmu, Nawang Tresni!"

"Aku tidak menuduhnya begitu, Sabawana! Aku hanya mengatakan bahwa ia ikut bertanggung jawab atas terciptanya kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu! Jadi dia harus ikut berusaha mencari kekuatan yang dapat menghancurkan 'Selaput iblis'itu!"

"Seandainya Suto tidak mencari kekuatan tersebut, dia tidak bersalah! Justru si Watu Wadon yang bersalah, karena ia menggunakan jurus maut yang dapat membahayakan kaum wanita di seluruh bumi ini! Dan justru Suto bertindak benar, karena melindungimu sebagai perilaku yang baik bagi seorang murid!"

Bidadari Jalang tak mau berdebat lagi. Pikirnya, perdebatan itu hanya akan membuat mereka berdua saling bersitegang yang salah-salah bisa mengakibatkan permusuhan dalam sekejap. Bidadari Jalang sudah merasa sungkan jika harus bertarung dengan saudara seperguruannya lagi. Ia mempunyai rasa hormat kepada Gila Tuak, sebagai tokoh tertinggi di deretan nama para tokoh dunia persilatan. Akhirnya Bidadari Jalang memohon dengan suaranya yang datar dan dingin.

"Lalu, bagaimana nasibku sekarang? Tak dapatkah kau menghancurkan kabut sinar ungu di langit itu?!"

Gila Tuak menarik napas. Kumisnya terbang beberapa lembar karena napas yang segera dihembuskan itu cukup kuat. "'Selaput Iblis' dulu memang pernah tercipta, ketika Nyai Rumpun Sari, gurunya si Watu Wadon melepaskan jurus 'Bencana Gaib' kepada Tunggul Ketawang, dan Tunggul Ketawang mengadunya dengan sinar jurus bersinar biru. Tetapi pada waktu itu, Raja Maut masih hidup. Dia yang mempunyai jurus penghancur 'Selaput iblis', sehingga bencana buruk muka tidak sempat melanda para wanita. Sebab kala itu Tunggul Ketawang dibela oleh si Raja Maut."

"Ya. Aku ingat juga peristiwa itu. Tapi sekarang Raja Maut sudah tiada. Apakah kita harus memaksa mayatnya agar menghancurkan 'Selaput Iblis' itu?!"

"Jelas mayat Raja Maut tak mungkin mau biar diancam pakai seribu pedang pun!" kata Gila Tuak dengan nada datar. "Sebaiknya kita bicarakan kepada para sahabat kita. Mungkin si Tua Bangka atau Batuk Maragam mengetahui cara melumpuhkan 'Selaput iblis' itu."

Kebetulan sekali pada waktu itu Pendekar Mabuk bertemu dengan Batuk Maragam dalam perjalanannya mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Ia menemukan Batuk Maragam dalam sebuah arak-arakan manusia yang menuju ke sebuah lembah.

Iring-iringan itu kebanyakan terdiri dari kaum wanita. Hanya beberapa orang lelaki saja yang tampak ikut dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya adalah lelaki tua berusia sembilan puluh tahun dengan rambut abu- abu potongannya mirip rambut Suto Sinting. Pak Tua yang mengenakan jubah kuning dan celana biru itu selalu terbatuk-batuk dan suara batuknya bisa beraneka ragam.

Sebab itulah ia dijuluki Batuk Maragam di kalangan para tokoh persilatan. Nama aslinya: Brajamusti. Tapi ia enggan menggunakan nama itu karena kurang populer dan lebih kondang serta terasa lebih angker baginya dengan nama Batuk Maragam.

Sebongkah tanah cadas sebesar kepalan tangan orang dewasa melesat ke arah tengkuk Batuk Maragam. Wees...! Gumpalan tanah cadas yang keras itu tiba-tiba berhenti sendiri dalam jarak satu jengkal sebelum kenai tengkuk Batuk Maragam. Seet...! Gumpalan tanah itu diam di udara bagai ada kekuatan yang menyangganya.

Pada saat itulah Batuk Maragam segera berpaling ke belakang, lalu gumpalan tanah cadas itu jatuh dengan sendirinya. Pluk...! Batuk Maragam geleng-geleng kepala sambil memandang Suto Sinting yang cengar-cengir didepannya.

"Tak mungkin kau bisa menyerangku dari belakang, Suto. Sebab aku telah kuasai aji 'Lembu Sekilan'. Belajarlah kepada si Gila Tuak bagaimana cara mengalahkan aji 'Lembu Sekilan' itu, Bocah Konyol!"

Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil lebih mendekat lagi. "Maaf, aku hanya ingin mengganggu ketenanganmu, Ki Brajamusti!"

Batuk Maragam segera tersenyum kecil, kemudian menepuk-nepuk punggung Suto Sinting. "Kau pasti akan tampil lebih baik dari peserta lainnya."

"Maksudnya tampil apa, Ki?"

"Bukankah kau ingin mengikuti sayembara itu?"

"Sayembara apa?!" Pendekar Mabuk semakin heran, matanya memandang kepada iring-iringan yang menuju lembah.

"Jadi kau kemari bukan untuk mengikuti sayembara tanding laga?"

"Aku tidak sengaja lewat sini, Ki Brajamusti. Aku tidak tahu kalau ada sayembara tanding laga. Siapa yang mengadakan sayembara itu?"

"Partai Janda Liar mengadakan sayembara tanding laga melawan Selimut Senja. Siapa bisa tumbangkan Selimut Senja, dia akan diangkat oleh anggota Partai Janda Liar sebagai ketuanya. Tetapi jika dua puluh peserta yang tampil tak bisa tumbangkan Selimut Senja, maka mereka akan menetapkan Selimut Senja sebagai Ketua Partai Janda Liar."

"Dan kau ingin mengikuti sayembara itu, Ki Brajamusti?!"

"Mana mungkin aku mau jadi Ketua Partai Janda Liar, bisa-bisa aku nanti, uhuk, uhuk, uhuk, ehek, huueeek...!Cuih!"

Batuk Maragam ambil napas dan lanjutkan bicaranya, "Bisa-bisa aku nanti mati lemas jika harus berada di antara para janda itu. Heh, heh, heh, heh, uhuk, uhuk, eheeek, huueeek...! Cuih...!"

"Lalu, apa maksudmu datang ke sini, Ki Brajamusti?"

"Hanya ingin tahu apakah muridku si Camar Sembilu ikut-ikutan dalam sayembara itu atau tidak. Kalau sampai ikut-ikutan, aku tidak setuju dan akan kupecat, tidak kuakui sebagai muridku lagi."

"Ooh, begitu...?" Pendekar Mabuk manggut-manggut. Terbayang pula seraut wajah cantik yang sederhana milik Camar Sembilu yang dulunya bekas murid Peri Sendang Keramat, wajah cantik berhidung bangir itu sudah lama tidak dijumpai Suto, hingga menimbulkan rasa kangen di hatinya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Peri Sendang Keramat).

Pendekar Mabuk terpaksa ikuti langkah Batuk Maragam ke arena pertarungan yang tak jauh dari bangunan bekas sebuah candi. Bangunan itu dipakai sebagai pesanggrahan Partai Janda Liar.

"Kurasa," kata Batuk Maragam,"... tidak akan ada orang yang bisa menggulingkan Selimut Senja, karena dia menguasai ilmu 'Kulit Baja'. Tubuhnya yang mulus itu tak akan bisa dilukai oleh benda apa pun. Tapi kalau di... uhuk, uhuk, dan di... uhuk, ehek, ehek, huueek. Cuih! Kurasa bisa!"

"Kau ini ngomong apa sebenarnya, Ki Batuk Maragam?!" sambil Suto Sinting tertawa pelan.

"Yah, beginilah kalau orang sudah tua tapi masih keluyuran ke mana-mana; ngomong sedikit batuk, tertawa sedikit batuk, nguap sedikit saja batuk!" sambil Batuk Maragam mendongak ke atas. Tiba-tiba ia terperanjat dan kerutkan dahi.

"Lho... jadi sejak tadi matahari dilapisi... oh, bukankah itu lapisan bencana yang dinamakan 'Selaput Iblis'?!" Batuk Maragam menuding bayangan matahari di balik kabut sinar ungu.

"Apakah Paman baru tahu?!" "Kusangka tadi cuaca mendung."

"Justru itulah kesulitanku, Paman."

"Kau ini memanggilku Paman, tadi Ki, tempo hari Eyang, mana yang kau suka sebenarnya?! Uhuk, uhuk, huuuaakr... cuih!"

"Aku hanya menirukan panggilan keponakanku; Dewi Angora, yang memanggilmu Paman. Sedangkan untuk menghormatimu sebenarnya aku pantas memanggilmu Eyang. Tapi sebagai tanda keakrabanku, rasanya aku pantas pula memanggilmu Ki Brajamusti."

"Ya, sudah...! Tak usah dibahas hal itu. Menghabiskan waktu. Yang penting aku ingin tahu, mengapa tadi kau bilang 'itulah kesulitanku', maksudnya bagaimana?"

"Bibi Guru; Bidadari Jalang, mengutusku mencari kekuatan yang dapat untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman. Sebab katanya 'Selaput Iblis' itu dapat melunturkan seluruh ilmu pengawet muda yang digunakan beberapa perempuan, termasuk Bibi Guru Bidadari Jalang sendiri."

"Iya. Memang benar! Tapi yang kuherankan mengapa 'Selaput Iblis' itu sampai terjadi dan menutupi matahari? Kalau begini caranya, jemuranku tak akan kering-kering karena tak mendapat panas matahari. Dan hal ini akan berlangsung lama. Tak akan ada siang tak ada malam. Kerupuk yang kujemur di loteng juga akan bantat, tak akan bisa mekar jika digoreng."

"Ceritanya begini, Paman...," kemudian Suto Sinting menceritakan pertarungannya dengan Nyai Watu Wadon, sampai akhirnya ia melihat Nyai Watu Wadon dibunuh oleh Selimut Senja dan penggalan kepalanya dibawa lari sebagai bukti bahwa Selimut Senja berhasil membunuh Ketua Partai Janda Liar itu.

"Oo... pantas para anggota Partai Janda Liar menguji Selimut Senja dalam suatu sayembara tanding laga ini?!" Batuk Maragam manggut-manggut.

"Apakah Paman tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu?" tanya Suto Sinting.

Batuk Maragam diam sebentar. Matanya memandang ke arah panggung rendah yang lebar dan dipakai sebagai arena pertarungan. Kala itu, Selimut Senja sedang menghadapi seorang perempuan kurus yang berambut jambul. Tapi perhatian Batuk Maragam jelas tidak ke arah pertarungan, melainkan kepada pertanyaan Suto Sinting tadi. Kejap berikut suara Batuk Maragam terdengar lagi.

"Kalau kau bermaksud menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, berarti kau harus menemui seorang sahabatku yang bernama Begawan Parang Giri. Beliau tinggal di Bukit Canting bersama cucu-cucunya."

"Kau yakin bahwa dia punya kekuatan untuk menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"

"Uhuk, uhuk, ehek, ihik, ihiiiik, ahhh...!" Ki Brajamusti terbatuk sesaat, kemudian menjawab kesangsian Suto Sinting tadi. "Begawan Parang Giri itu kakak sepupunya mendiang Raja Maut. Dulu Raja Maut dapat menghancurkan 'Selaput Iblis' karena mendapat petunjuk dari Begawan Parang Giri."

"Dengan apa mendiang Raja Maut menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"

"Aku hanya mendengar ceritanya saja. Aku tak melihat sendiri, karena pada waktu itu aku masih memperdalam ilmu di Pegunungan Sojiyama. Tapi... sebaiknya temui saja Begawan Parang Giri dan mintalah bantuan kepadanya, setidaknya mintalah petunjuk bagaimana caranya menghancurkan 'Selaput Iblis itu."

"Kalau begitu, agaknya aku harus ke Bukit Canting sekarang juga, Paman."

"Maaf, aku tak bisa mendampingimu. Aku masih harus mencari muridku di antara para wanita itu!"

"Aku akan berangkat ke sana sendiri. Hanya saja, kira-kira ke arah mana aku harus melangkah agar sampai di Bukit Canting, Paman?"

"Ke selatan. Jika kau menemukan kuil kembar, maka di situlah Begawan Parang Giri berada. Karena...," ucap Batuk Maragam terhenti. "Oh, itu dia murid-ku, si Camar Sembilu?!"

Seorang gadis cantik berjubah hijau dengan pinjung penutup dada warna coklat berbulu halus sedang mendekati Batuk Maragam dan Suto Sinting. Gadis bersanggul kecil dengan sisa rambut meriap itu telah sunggingkan senyum lebih dulu begitu matanya menatap ke arah Suto Sinting. Suto menyambutnya dengan lambaian tangan kecil dan senyum yang menawan hati setiap wanita.

"Tak kusangka kau ada di sini, Suto."

"Kebetulan saja kulihat Paman Batuk Maragam menyaksikan pertarungan tanding laga itu, jadi kusempatkan menyapa beliau," ujar Suto Sinting penuh keramahan.

"Aku mencarimu, Camar Sembilu! Apakah kau ikut dalam sayembara itu?"

"Tidak, Guru! Saya hanya ingin tahu siapa akhirnya yang menjadi Ketua Partai Janda Liar setelah kematian Nyai Watu Wadon."

"Syukurlah jika kau tidak ikut. Sebab kalau kau ikut sayembara tanding laga dan kau menang, aku tidak setuju kau menjadi Ketua Partai Janda Liar. Apalagi kalau kau kalah dan mati, aku sangat tidak setuju kau mati mendahuluiku. Itu namanya murid yang ngelunjak! Gurunya belum mati kok muridnya sudah mati lebih dulu. Uhuk, uhuk, uhuk, uhuuuiiik, ahh...!"

Sambil tertawa kecil, Camar Sembilu berkata, "Guru tak perlu khawatir. Aku tak punya minat menjadi Ketua Partai Janda Liar, sebab aku belum pernah kawin, mana mungkin bisa menyandang gelar sebagai janda? Bukankah begitu, Suto?"

"Bukan. Eh... iya!"

Setelah Batuk Maragam bertemu dengan Camar Sembilu, maka Suto Sinting pun segera pamit untuk pergi ke Bukit Canting menemui Begawan Parang Giri. Sementara itu, matahari masih tetap tidak bergerak dan kabut sinar ungu itu semakin membuat bayangan benda mulai berwarna ungu. Tapi warna hitamnya masih lebih besar khususnya pada bagian tengah bayangan.

Tiba-tiba langkah Suto Sinting berhenti sejenak karena mendengar suara denting pedang beradu. Suara itu berasal dari hutan seberang kirinya, dan diyakini sebagai suara pertarungan berpedang. Pendekar Mabuk tak bisa cuek dengan suara pertarungan. Hasrat ingin mengintip Jurus-jurus yang digunakan dalam pertarungan sangat besar, sehingga ia sempatkan berkelebat ke arah hutan seberang. Zlaaap...!

Wuuut, wuuut...!

Pendekar Mabuk melompat ke atas dalam gerakan bersalto naik. Dalam sekejap ia sudah berada di sebuah dahan besar dari sebatang pohon berdaun kecil namun rimbun. Dari pohon itu ia dapat melihat pertarungan yang terjadi dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari pohon itu.

"Ooh...?! Kalau tak salah perempuan berjubah ungu muda itu adalah si Pelangi Sutera alias Sumbaruni?!" gumam Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. Tapi dahinya berkerut sebagai tanda keraguan atas apa yang telah dilihatnya. "Benarkah dia Sumbaruni?!"

Sumbaruni adalah salah satu dari sekian wanita cantik yang ngebet sekali cintanya kepada Suto Sinting. Hanya saja, Suto Sinting selalu menjaga jarak sehingga Sumbaruni tidak terlalu kecewa atas penolakan Suto. Perempuan cantik dan bertubuh sexy sekali itu seperti berusia dua puluh lima tahun. Padahal usianya sudah cukup banyak, ia mantan istri jin Kazmat yang mendapat warisan ilmu dari seorang pertapa sakti. Karenanya, sampai sekarang ia masih kelihatan cantik dan dadanya montok menawan setiap pria, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Tapi dalam keremangan cahaya matahari yang redup, wajah Sumbaruni tampak sedikit berbeda dari biasanya. Dan hal itulah yang membuat Suto Sinting berkerut dahi, merasa heran serta ragu-ragu dengan penglihatannya.

"Mengapa wajahnya tampak berbeda dari biasanya? Apakah karena aku sudah lama tidak melihatnya? Hmmm... wajah itu sedikit berkeriput dan hidungnya tak begitu mancung. Tepian bibirnya juga kelihatan agak berkerut, rambutnya... oh, rambutnya itu ada ubannya walau tak rata. Bukankah Sumbaruni mempunyai rambut yang hitam mengkilat dan lembut?!"

Sementara itu, perhatian Suto berpindah kepada lawan Sumbaruni yang tampaknya juga cukup mahir dalam bermain pedang. Perempuan yang satu itu hanya mengenakan kutang hijau muda, pinggulnya dibungkus kain warna merah. Rambutnya pendek diponi depan, ia gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun, bermata bundar nakal, berhidung bangir dan mempunyai bibir yang sensual. Selain montok juga berpinggul sexy. Pendekar Mabuk mengenal gadis itu sebagai Awan Setangkai, mantan prajurit ulung dari Selat Bantai. Tetapi sekarang ia menjadi penguasa Selat Bantai setelah Ratu Cendana Sutera dikalahkan oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Darah Satria).

Awan Setangkai mempunyai ilmu cukup tinggi, ia mempunyai ilmu yang dapat mengubah-ubah wajah menjadi orang lain. Tetapi Sumbaruni juga berilmu tinggi, ia dapat mengukur seberapa tingginya ilmu seseorang dengan menggunakan ilmu 'Gerat Sukma'-nya. Ia juga bekas panglima negeri Ringgit Kencana yang mempunyai ratu cantik bernama Ratu Asmaradani.

Pertarungan dengan pedang itu membuat keduanya sama-sama kerahkan tenaga dan keluarkan jurus-jurus pedang mautnya. Percikan bunga api selalu menyebar ke mana-mana setiap pedang mereka saling beradu. Tapi dalam kesempatan tertentu, Awan Setangkai berhasil lukai punggung Sumbaruni dengan gerakan memutari tubuh lawannya begitu cepatnya. Breet...! Punggung Sumbaruni berdarah dari samping kiri ke kanan. Tetapi kala itu, Sumbaruni hanya diam dan membiarkan dipandangi oleh Awan Setangkai. Senyum Awan Setangkai tersunggingkan sebagai senyum kemenangan. Tetapi Sumbaruni juga sunggingkan senyum sinis punya makna tersendiri.

"Sebentar lagi kau akan mati kering termakan oleh racun pedangku, Sumbaruni! Dengan begitu, maka urusan lama kita tentang dendamku kepadamu telah selesai. Dulu kau melukaiku sampai aku hampir mati, sekarang aku pun melukaimu dengan luka yang sangat berbahaya."

Awan Setangkai masih sunggingkan senyum sinis, ia berkata lagi dengan nada bangga. "Tapi agaknya kau perlu mengetahuinya, Sumbaruni... sekarang aku bukan anak buahnya Ratu Cendana Sutera lagi. Aku bukan dari golongan hitam, melainkan sudah mengikuti jejak Pendekar Mabuk, membawa orang-orang Selat Bantai masuk dalam aliran putih. Sayang sekali kau terluka oleh pedangku, dan itu berarti..."

Ocehan Awan Setangkai berhenti seketika, ia merasakan hawa panas membakar perutnya. Hawa panas itu semula justru terasa seperti hawa dingin. Makin lama semakin panas dan merayap ke seluruh permukaan perutnya. Maka, kecurigaan hati Awan Setangkai membuatnya terpaksa melirik ke arah perut.

"Setan...!" geramnya dengan gigi menggeletuk. Ternyata perutnya juga tergores pedang Sumbaruni. Dan pedang itu pun beracun, karena luka yang melintang dari kiri ke kanan itu berwarna hitam dan darah yang keluar pun berwarna merah kehitam-hitaman.

"Apakah hanya kau sendiri yang mampu melukai dengan pedang beracun?!" ujar Sumbaruni sambil menahan rasa sakit hingga keringat dinginnya keluar semua.

"Biadab kau, Sumbaruni!"

"Kau lebih biadab karena kuanggap menyerangku dari belakang!"

"Kalau begitu, tentukan saja siapa yang harus minggat ke neraka di antara kita berdua! Hiaaat...!"

Awan Setangkai sentakkan pedangnya ke depan, maka melesatlah sinar merah lurus dari ujung pedang itu. Claaap...!

Rupanya Sumbaruni juga sudah siap hadapi serangan lawan, ia pun segera tebaskan pedangnya dari kiri bawah ke kanan atas, Wuuut...! Claaap...! Angin tebasan pedang itu keluarkan cahaya hijau panjang yang berkelebat hampiri Awan Setangkai.

Pendekar Mabuk segera lakukan sesuatu dengan melemparkan bumbung tuaknya ke pertengahan jarak di antara kedua perempuan itu. Wuuut...! Weeees...! Bumbung tuak melesat sangat cepat dan tiba di pertengahan jarak dihantam oleh dua sinar tadi.

Jlegaaaarrr...!! Ledakan dahsyat terjadi mengguncang bumi, membuat kedua perempuan itu sama-sama terpental ke belakang. Beberapa pohon di dekat, mereka menjadi retak, nyaris terbelah menjadi dua dari atas kebawah.

Tapi Suto merasa lebih beruntung keadaan begitu daripada kedua sinar itu saling beradu, maka gelombang ledakan yang akan ditimbulkan oleh kedua sinar yang bertabrakan itu akan membuat keadaan lebih parah lagi. Bisa-bisa dada kedua perempuan itu sama-sama pecah, sebab tiba-tiba saja firasat Suto mengatakan bahwa kedua perempuan itu sama-sama keluarkan jurus unggulan yang sukar dilawan.

Oleh sebab itulah, Suto melemparkan bumbung tuaknya sebagai penangkis kedua sinar itu. Toh bumbung tuak itu tetap utuh dan tak mengalami luka goresan sedikit pun, karena bumbung itu memang terbuat dari bambu sakti jelmaan Eyang Wijayasura.

Zlaaap...! Suto Sinting segera tiba di pertengahan jarak dan memungut bumbung tuaknya yang jatuh di tanah dalam keadaan berdiri bagai tonggak kekar. Kedua perempuan yang sama-sama memuntahkan darah dari mulutnya itu segera bangkit, lalu mereka terkejut memandang kehadiran pemuda tampan yang sudah sama-sama merekakenal. "Pendekar Mabuk...?!"

"Sutooo...?!"

Sumbaruni dan Awan Setangkai sama-sama dekati Pendekar Mabuk dalam keadaan sempoyongan. Pemuda berambut sepundak tanpa ikat kepala yang memiliki wajah tampan dan hidung bangir itu hanya sunggingkan senyum bernada canda.

"Maaf, aku mengganggu pertarungan kalian, karena bumbung tuakku tiba-tiba lari sendiri dan tak sempat kukejar."

"Kau berada di pihak mana, hah?!" gertak Sumbaruni.

Awan Setangkai juga menggertak, "Kau akan membela dia, Suto?!"

"Sabar, sabar...," Suto Sinting semakin melebarkan senyum dan tampak tenang sekali. "Sebaiknya kalian sama-sama meminum tuakku dulu biar luka kalian tak mengakibatkan kematian!"

"Biar aku saja yang meminum tuakmu! Dia tak perlu!" sentak Awan Setangkai.

"Harus adil," kata Suto. "Kau sahabatku, dan Sumbaruni juga sahabatku!"

"Sahabat istimewa!" sahut Sumbaruni.

"Istimewa apa? Cuih...!" Awan Setangkai meludah, Sumbaruni juga meludah.

"Cuih...!"

Suto ikut-ikutan meludah. "Cuih...!" Tapi kemudian ia berkata dengan geli. "Kok kita malah main ludah-ludahan, ya?!"

Kedua perempuan itu akhirnya sama-sama tertolong oleh tuak Suto. Luka mereka lenyap setelah meneguk tuak dari bumbung sakti tersebut. Tubuh mereka pun menjadi lebih segar dari sebelumnya. Tetapi Awan Setangkai tampak tak suka melihat Suto bersikap ramah kepada Sumbaruni.

"Sekiranya kau ingin lampiaskan rindumu kepada perempuan keparat itu, pergilah dari sini dan jangan bermesraan di depanku, Suto!"

"Siapa yang rindu...?" Suto Sinting bersungut-sungut. "Aku hanya ingin bicara kepada Sumbaruni tentang..."

"Tidak, Suto!" potong Sumbaruni setelah melirik bayangan dirinya di tanah telah menjadi semakin ungu. Sumbaruni cepat palingkan wajah tak berani memandang Suto Sinting.

Tetapi Pendekar Mabuk yang merasa penasaran itu segera berusaha berdiri di depan Sumbaruni, hanya saja perempuan itu selalu menghindari pertemuan wajah dengan Suto.

"Pergilah kalian! Kau tak perlu temui aku lagi, Suto!"

"Sumbaruni, mengapa kau begitu?! Hei pandanglah aku, Sumbaruni!"

"Tidak! Tidak...!" Sumbaruni menjauh dengan rasa takut. Kedua tangannya berusaha menutupi wajah.

"Apa yang terjadi, Sumbaruni?! Aku akan membantumu!"

"Aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Selamat tinggal, Suto!" Blaas!

"Sumbaruni...!" Suto ingin mengejar, namun Sumbaruni sudah jauh dan menghilang di balik kerimbunan hutan. Awan Setangkai tertawa kecil bernada sinis, membuat Suto Sinting yang terbengong segera sadar dan segera menarik napas dalam-dalam.

"Tentu saja dia tak berani kau pandang, karena wajahnya semakin tampak tua dan buruk!" ucap Awan Setangkai. "Matahari yang menembus kabut sinar ungu itu akan membuat wajah tuanya yang asli menjadi kelihatan. Ilmu awet ayunya akan sirna dan ia akan malu jika kau pandang!"

"Rupanya kau tahu tentang 'Selaput Iblis' itu, Awan Setangkai."

"Tentu saja, sebab dulu mendiang Ratu Cendana Sutera sangat takut dengan warna ungu di langit. Kalau saja Ratu Cendana Sutera sekarang masih hidup, ia juga akan bersembunyi di bawah kolong ranjang, karena takut ketahuan wajah tuanya yang asli!"

Awan Setangkai mencibir angkuh dibuat-buat. "Hmmm...! Mendingan wajahku, biar tak seberapa cantik, tapi asli! Tanpa mantra kecantikan, tanpa ilmu pengawet ayu!" sambil ia melenggok dan melengos seakan jual mahal.

"Kau tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput iblis' itu?"

"Mengapa kau bertanya begitu? Apakah ketampananmu juga akan luntur jika terkena sinar matahari yang menembus kabut sinar ungu itu?!"

Pendekar Mabuk mulai sunggingkan senyum. "Ketampananku asli, bukan kekuatan mantra atau minum obat awet ganteng!"

"Kalau begitu kita sama-sama punya wajah rupawan yang asli, Suto," sambil mata Awan Setangkai memandang nakal, senyumnya mulai tampak bermaksud jahil.

Pendekar Mabuk menatapnya tak berkedip ketika lidah Awan Setangkai menyapu bibirnya sendiri pelan-pelan. "Apakah aku kalah cantik dengan Sumbaruni?"

Suto hanya bisa menggeleng dengan tetap terbengong. Awan Setangkai mendekat dengan langkah lenggak-lenggok penuh irama penggoda gairah. Ketika tiba di depan Suto dalam jarak kurang dari satu langkah, Awan Setangkai berucap kata dengan suara bisik.

"Sengaja aku keluar dari Istana Selat Bantai untuk mencarimu, Suto."

"Untuk apa kau mencariku?"

"Aku sakit," jawabnya lirih sekali.

"Sakit kok keluyuran?"

"Sakit rindu," jawabnya lagi dengan suara mendesah dan tangannya mulai berani merayap di dada Suto. Jari-jarinya berlagak mempermainkan tepian baju Suto, sesekali menyentuh kulit dada kekar itu. "Aku rindu dan ingin sekali jumpa denganmu. Sudah beberapa malam aku tak bisa tidur, Suto."

"Karena memikirkan diriku?"

"Karena banyak nyamuk dikamarku."

"Mengapa tak memakai selimut?"

"Selimutku pergi dan sudah lama tak kembali padaku. Kini selimutku ada di depan mataku, namun masih tak mau menyelimuti diriku."

Awan Setangkai mendekatkan wajah, makin lama semakin dekat, dan bibirnya muali menyentuh bibir Suto Sinting. Bibir itu mengecup bibir Suto Sinting dengan pelan-pelan. Sesekali di sela lumatan bibir itu Awan Setangkai menggigit pelan bibir Suto. Tetapi Suto Sinting diam saja bagaikan patung.

Namun ketika Awan setangkai meraihnya dalam pelukan, dan lumatan bibirnya mulai mengganas, Suto Sinting tak dapat diam lagi. Ia membalas kecupan yang hangat dan membakar gairah cintanya. Bahkan ketika Awan Setangkai mengerang dengan kepala mendongak seakan memberi kesempatan pada mulut Suto untuk menyapu habis lehernya, tangan pemuda itu dituntun untuk menelususp ke tempat yang lebih hangat lagi.

Ternyata tangan Suto cukup tanggap dengan kemauan Awan Setangkai. Tangan itu segera meraba, mengusap, merayap, dan akhirnya meremas sesuatu yang padat namun kenyal di permukaan dada Awan Setangkai.

"Ooh, Suto... aku ingin sekali mendapatkan yang lebih dari ini. Ingin sekali, Sutooo...!"

Maka tangan Suto pun ditarik ke bawah. Tangan itu menurut saja. Suto tak bisa bicara karena mulutnya disumbat oleh gumpalan dada yang membusung padat itu. Tapi tangan Suto pun mulai bekerja menjamah pusat keindahan Awan Setangkai.

"Oouh...!" Awan Setangkai memekik, lalau mengerang, "Sutoo... aku suka itu, Suto! Teruskan, Sayang.... teruskan...!"

Awan Setangkai bersandar di pohon, kedua kakinya berjauhan, kedua tangannya meremas-remas rambut Suto Sinting sambil memberi tekanan, seakan kepala Suto tak boleh jauh dari dadanya. Bahkan sesekali ia berhasil menggigit kecil telinga Suto, lalu menyapu telinga itu bagaikan seekor induk kucing memandikan anaknya. Sapuan hangat itu semakin membakar gairah Suto Sinting membuat Suto tak ingin melarang tangan Awan Setangkai menjamah dan meremas sesuatu yang telah terpegang oleh perempuan itu.

"Oh, Suto... berikan itu lebih dari ini, maka akan kuberikan pula rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu!" bisik Awan Setangkai, membuat Suto terperanjat dan segera menarik diri, menatap Awan Setangkai yang telah bermata sayu itu.

"Benarkah kau akan memberikan rahasia kekuatan penghancur 'Selaput Iblis' itu?!"

"Ooh, tentu saja, Sayang.... Apa pun yang kau inginkan akan kukabulkan, asal kau mau memberiku secawan anggur kenikmatan."

"Kau tidak mendustaiku nantinya?!"

"Tidak mungkin, Sayang... sebab... sebab aku tahu di mana 'Jemparing Malaikat' itu berada."

"Ap... apa itu 'Jemparing Malaikat'?!"

"Panah pusaka milik Begawan Parang Giri. Oh, lekaslah beri aku secawan kenikmatan, jangan bicara soal itu dulu, Suto!"

"Tidak bisa, Awan Setangkai! Aku harus bisa menghancurkan 'Selaput Iblis' itu lebih dulu sebelum menghancurkan Selaput kesucianmu!"

"Suto, aku sudah tidak berselaput lagi. Tapi aku punya kesucian hati kepadamu, Suto! Sumpah mati, aku punya kesucian hati padamu, Sayang.... Oh, lekaslah peluk aku dan berikan apa yang kudambakan sejak kita berpisah dulu, Suto...," bujuk Awan Setangkai dalam rengekan manjanya. Napasnya sudah terengah-engah dan tangannya meremas serta merayap kemana-mana.

"Awan Setangkai," bisik Suto. "Bagaimana kalau hal itu kita bicarakan di kamar tidurmu saja?!"

"Ooh.... itu pasti lebih indah, Suto! Kalau begitu, sekarang juga kau harus segera kubawa ke Istana Selat Bantai, Sayang...! Aku punya ranjang hangat untuk kita berdua. Ayo, lekaslah, Suto!" Awan Setangkai menarik-narik Suto, tampak tak sabar lagi.

Sementara itu, Suto Sinting sempat berpikir dalam benaknya, "Haruskah kulayani gairahnya untuk dapatkan rahasia itu? Oh, celaka! Gairahku sendiri telah menggebu-gebu dan menuntut kemesraan yang lebih dalam lagi. Oh, sebaiknya apa yang harus kulakukan kalau sudah begini?"

* * *

EMPAT

TIBA-TIBA sekelebat bayangan menyambar mereka dari arah depan. Bayangan itu berupa senar putih yang menyilaukan yang muncul dari balik semak yang akan dilalui mereka.

Claap, blaaab...!

Untuk sesaat Suto dan Awan Setangkai tak bisa bernapas. Mereka sama-sama tumbang dan pingsan. Sinar putih yang tiba-tiba menyerang mereka itu ternyata datang dari tangan seorang perempuan berambut jabrik, acak-acakan. Perempuan itu mengenakan pakaian serba hitam, ketat dengan tubuh, bagaikan terbuat dari karet atau bahan lainnya yang elastis. Perempuan yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu sebenarnya berwajah cantik, walau berkesan liar dan galak. Sayang sekali rambutnya yang jabrik itu tidak pernah disisir rapi, sehingga kecantikannya sangat tersembunyi.

Perempuan berdada sekal dan berbibir sensual itu tak lain adalah Angin Betina, yang berstatus masih gadis walau belum tentu masih perawan, dan sangat mencintai Suto Sinting. Ia banyak membantu Suto dalam berbagai masalah, dan sering menjadi penyelamat jiwa Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir).

Agaknya Angin Betina cemburu mengintip Suto Sinting bermesraan dengan Awan Setangkai, sehingga sebelum mereka berdua bergerak ke Istana Selat Bantai, Angin Betina lebih dulu melumpuhkan mereka. Padahal sebenarnya Angin Betina masih sakit hati kepada Suto yang seolah-olah memusuhinya ketika Angin Betina berhadapan dengan Payung Serambi, utusan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger Selat Bantai).

"Seharusnya aku berkerjasama denganmu mencari kekuatan pemunah Selaput Iblis itu, agar kecantikan kakakku; si Merpati Liar, tetap terjaga dan tidak menjadi luntur karena Selaput Iblis itu. Tapi sayang, aku masih sakit hati dengan sikapmu kala itu, Suto. Terpaksa aku menggagalkan rencanamu bercumbu dengan gadis rakus itu!" kata Angin Betina bagai bicara sendiri, karena pada waktu itu Suto Sinting masih dalam keadaan pingsan.

Angin Betina segera membawa pergi Suto Sinting jauh-jauh. Ia hanya tak ingin Suto dan Awan Setangkai terlibat percumbuan asmara yang akan menyenangkan hati Awan Setangkai. Ia membawa Suto ke dalam sebuah gua, lalu meninggalkannya disana.

"Maaf, aku terpaksa memisahkan kau dengan perempuan rakus itu agar perempuan itu sama denganku; yaitu sama-sama tak mendapatkan kemesraan darimu! Kau harus kutinggalkan di gua ini, sementara aku akan menuju Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri, sesuai petunjuk kakakku; Merpati Liar. Nanti kau akan buta oleh seranganku tadi. Tapi jika kau minum tuakmu, maka kebutaan itu akan cepat sirna dan penglihatanmu pulih seperti sediakala. Selamat tinggal, Suto!"

Wees...! Angin Betina bergerak cepat nyaris tak bisa diikuti oleh pandangan mata siapa saja. Gadis yang memiliki kitab 'Lorong Zaman' itu ternyata juga menuju ke Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri. Rupanya ia diutus oleh kakaknya; si Merpati Liar, yang juga menggunakan aji awet ayu hingga tetap kelihatan muda dan cantik.

Seperti apa kata Angin Betina, ketika Suto sadar ia segera menggeragap karena matanya menjadi buta. Ia sempat tegang sesaat, lalu tangannya yang meraba-raba segera temukan bumbung tuak di sampingnya. Tuak pun diteguknya beberapa kali, dan ternyata tak sampai sepuluh helaan napas, kedua mata Pendekar Mabuk sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya saja ia sempat termenung dan membatin dalam hatinya.

"Samar-samar tadi sepertinya kudengar suara si Angin Betina. Hmmm... benarkah yang membawaku kemari Angin Betina? Benarkah dia sedang menuju ke Bukit Canting? Ah, mungkin itu hanya bayanganku saja di alam pingsan! Tapi... tapi di mana si Awan Setangkai tadi?! Oh, aku kehilangan jejak orang yang bisa jelaskan tentang rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Aduh, celaka! Ke mana aku harus mencari Awan Setangkai, ya?"

Suto keluar dari gua dan garuk-garuk kepala menandakan sedang bingung menentukan arah langkahnya. Instingnya mulai digunakan. Melalui instingnya ia tentukan langkah penuh keyakinan bahwa ia harus menuju ke timur jika ingin bertemu Awan Setangkai.

"Kau harus pergi ke arah timur jika ingin bertemu Awan Setangkai," kata hatinya. Namun sebenarnya yang berkata demikian bukan hati Suto, melainkan Suto Sejati alias Guru Sejati yang pernah ditemuinya di alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gerbang Siluman).

Sementara itu, Awan Setangkai segera sadar dari pingsannya. Tapi ia terpekik kaget setelah mengetahui matanya menjadi buta. "Suto...?! Sutooo...?!" panggilnya dengan kedua tangan meraba-raba. Ia memeriksa pedangnya, ternyata masih di punggung, ia memeriksa kanan-kirinya, ternyata yang ditemukan hanya pohon dan gundukan batu.

"Suto, ke mana kau...?!'' serunya dengan harapan mendapat jawaban dari Pendekar Mabuk. Tetapi ternyata harapannya sia-sia. Tak ada jawaban apa pun dari Suto Sinting, dan ia tak tahu di mana Suto berada saat itu. "Gawat! Mataku menjadi buta begini?! Sinar apa tadi yang menerpaku?! Oh, di mana Suto berada? Mengapa ia tak menjawab seruanku?" batin Awan Setangkai berkecamuk sendiri sambil mencoba melangkah dengan meraba-raba. Namun langkahnya segera terhenti ketika tangannya menyentuh sesosok tubuh kekar.

"Oh, Suto... kenapa kau tak menjawab seruanku! Kukira kau jauh dariku, Pendekar Mabuk!" ujarnya sambil tersenyum lega. Tangannya masih meraba-raba tubuh kekar itu, dan ia yakin tubuh itu adalah milik Suto, sebab Suto memang berbadan kekar serta dadanya keras berotot, sama dengan lengannya. Bahkan ketika ia menyentuh wajah, meraba bibir dan hidung bangir, ia semakin yakin bahwa pemuda yang di depannya adalah Suto Sinting.

Padahal pemuda itu bukan Suto Sinting. Pemuda kekar berperawakan tinggi tegap itu adalah Taring Naga, yaitu kakak dari Naga Langit. Taring Naga memang mengejar-ngejar Suto Sinting karena Suto telah melenyapkan seluruh ilmu Naga Langit. Taring Naga bermaksud menuntut balas, ia belum tahu kalau adiknya sudah mati di tangan Nyai Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

Melihat gadis cantik berdada montok terkapar, Taring Naga mulai berpikiran kotor. Sayang waktu itu Awan Setangkai segera siuman dan memanggil-manggil Suto. Namun Taring Naga masih ingin mencoba keberuntungannya dengan mendekati gadis itu, lalu ia disangka sebagai Suto Sinting oleh sang gadis.

"Dia menyangkaku Suto Sinting dan berani merabaku segala. Ah, sebaiknya kumanfaatkan kebutaan-nya itu untuk berlagak sebagai si Pendekar Mabuk keparat itu!" kata Taring Naga dalam hatinya.

"Suto, apakah keadaanmu baik-baik saja?"

"Iya...," jawab Taring Naga sambil memberanikan diri mencium pipi Awan Setangkai.

"Ah, kau sudah mulai nakal lagi," ucap Awan Setangkai sambil tertawa kecil. "Apakah kau juga buta karena sinar putih tadi?"

"Iya...," jawab Taring Naga lagi dalam suara mendedah supaya suara aslinya tidak diketahui.

"Oh, Suto... rupanya kau sudah tak sabar lagi, ya?" bisik Awan Setangkai sambil membiarkan wajah pemuda itu mendusal di dadanya, ia justru tertawa cekikikan disiram kebahagiaan.

Taring Naga menjadi semakin bergairah ketika Awan Setangkai berbisik kembali, "Dapatkah kau mencari semak-semak yang aman, Suto?"

"Ooh, yaah... kurasa di sini pun sudah cukup aman," suara Taring Naga mendesah diburu gairah.

Awan Setangkai memaklumi, karena ia menyangka Suto Sinting sudah diburu oleh kebutuhan batinnya. Bahkan gerakan tangan pemuda yang merayapinya itu lebih liar dari Suto Sinting. Tapi Awan Setangkai menyangka bahwa keganasan gairah Suto Sinting yang asli telah keluar. Awan Setangkai justru menyukainya, ia semakin dibuat mabuk gairah oleh sapuan bibir Taring Naga yang sampai ke tempat-tempat tersembunyi itu.

Tawa yang cekikikan membuat Taring Naga kian tak sabar, akhirnya ia hanya melepaskan baju dan pedang ditaruh di samping kanan. Awan Setangkai sendiri yang sudah terengah-engah tampak tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan perempuan itu telah berbaring di bawah pohon berumput tebal.

"Suto, cepatlah...," desah Awan Setangkai sambil menarik tangan Taring Naga. Lalu ketika Taring Naga memberikan apa yang diinginkan Awan Setangkai, gadis itu memekik dengan suara tertahan. "Oouh.... Sutooo...!!" sambil tangannya meremas pundak tak berbaju itu.

Awan Setangkai menjadi ganas walau dalam keadaan buta. Ia tak sempat memikirkan beberapa kejanggalan karena otaknya sudah dipenuhi harapan indah dan hanyut oleh kenikmatan bercumbu yang tak tertahankan lagi itu. Bahkan gadis itu menjerit kecil lepas kontrol ketika mencapai puncak keindahannya. Tak lama kemudian jeritan itu terulang kembali, kali ini disertai dengan remasan tangan di punggung pasangannya, karena sang pasangan menyemburkan sejuta keindahan yang tertinggi.

"Ooooh... nikmat sekali, Suto. Tapi kenapa hanya sebentar saja. Ooh, aku ingin mengulangi lagi, Suto! Aku masih ingin mengarungi samudera cinta bersamamu di sini. Ooh... ayolah, Sutooo...!" rengek Awan Setangkai, tapi Taring Naga sudah tidak mempunyai kemampuan, ia hanya terengah-engah sambil terbaring di samping Awan Setangkai.

Gadis itu akhirnya tertawa sambil tangannya meraba, sesuatu yang sudah tak berdaya lagi. "Hik, hik, hik, hik...! Rupanya kau terlalu mengumbar gairah hingga tak bisa mengendalikan lagi, ya? Oh, tak apalah! Nanti di tempatku kau mau mengulanginya lagi, bukan?"

"Ya, Sayang...," jawab Taring Naga masih dengan suara desah. "Aku sudah cukup lega dan bahagia menerimanya. Tapi nanti kalau kau sudah meminum jamu seduhanku, ooh... kau akan menjadi seperti kuda jantan yang sanggup berperang menembus ratusan musuh di depanmu. Hik, hik, hik, hik...!"

Tiba-tiba dari arah semak-semak seberang muncul seorang pemuda yang berlari sambil mencari sesuatu. Pemuda itu segera terkejut ketika memergoki Taring Naga sedang dibelai oleh seorang gadis dalam keadaan tanpa baju. "Ooh...?!" pekik pemuda itu dengan mata terbelalak.

Taring Naga juga kaget dan menggeragap menyambar baju dan pedangnya.

"Suto, apakah menurutmu ada orang lain di sekitar kita?!" Awan Setangkai mulai curiga ketika Taring Naga menarik diri dan segera membetulkan pakaiannya.

"Sialan! Bocah itu lagi!" gerutunya dalam hati.

Orang yang membuat Taring Naga menjadi tegang itu adalah Panji Klobot, seorang pemuda usia dua puluh tahun yang menjadi pelayan sang adipati dan kemudian menjadi sahabat Suto Sinting. Dua kali Taring Naga selalu dibuat mules perutnya oleh tendangan Panji Klobot yang dinamakan jurus 'Tendangan Cuci Perut' itu. Taring Naga menyangka Panji Klobot berilmu tinggi, padahal Panji Klobot hanya mempunyai satu jurus konyol pemberian pamannya itu.

"Celaka! Kalau dia menyerangku, padahal di sini jauh dari sungai, waah... bisa habis semua daun kupakai untuk membersihkan diri! Lebih baik kabur saja sebelum bocah sakti itu membuat perutku mules lagi!"

Wuuut...! Taring Naga lari tanpa pamit kepada Awan Setangkai. Panji Klobot sendiri segera lari berlainan arah, karena ia takut bertemu Taring Naga tanpa Suto Sinting.

Padahal Panji Klobot hanya kebetulan lewat di tempat itu. Ia sedang mencari Tenda Biru, gadis yang belakangan ini mengajarkan ilmu kanuragan padanya, walau belum membuat Panji Klobot bisa menangkis serangan lawan. Tetapi hubungannya dengan Tenda Biru semakin akrab, sudah seperti kakak sendiri, sehingga Panji Klobot merasa kehilangan ketika Tenda Biru menyaksikan sayembara tanding laga di Pesanggrahan Janda Liar, (Tentang Panji Klobot dan Tenda Biru, silakan baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

"Sutooo...?! Ke mana kau?!" Awan Setangkai tak berani bersuara terlalu keras, ia curiga ada orang yang mengintai perbuatannya tadi. Tapi setelah dirasakan suasana menjadi sepi, ia pun mulai bangkit dan membenahi pakaiannya.

"Suto...?! Suto, kau di mana?!" panggilnya sambil mulai melangkah meraba-raba.

Panji Klobot sudah jauh, meneruskan usahanya mencari gadis berjuluk Tenda Biru itu. Sedangkan Taring Naga juga sudah berlari sejauh mungkin, karena tak ingin isi perutnya terkuras lagi oleh tendangan Panji Klobot. Akibatnya, Awan Setangkai menjadi kebingungan sendiri.

"Tadi sepertinya ada orang datang, tapi kenapa sekarang orang itu pergi? Kudengar suara larinya ke arah depanku. Dan Suto Sinting sendiri...? Oh, mengapa dia harus lari juga? Apakah dia mengejar orang yang muncul dari semak-semak sana? Ah, sepertinya Suto Sinting lari lebih dulu. Kalau begitu, orang yang tadi muncul itu mengejar Suto Sinting? Atau... aduh, bagaimana ini sebenarnya? Mengapa pandangan mataku tetap buta begini?"

Awan Setangkai sengaja diam bersandar di bawah pohon sambil berkecamuk dalam hatinya, ia memikirkan langkah selanjutnya yang harus dilakukan.

Beberapa kejap kemudian, Suto Sinting menemukan tempat itu. "Awan Setangkai...!" serunya dari kejauhan.

Gadis itu tergugah dari lamunan dan menjadi ceria. Walau matanya masih buta, tapi hatinya sudah lega karena ia mendengar suara langkah Suto Sinting yang tadi menyapanya di kejauhan.

"Awan, kau... kau masih buta?!"

"Masih! Tapi... tapi aku bahagia sekali karena kau telah kembali lagi."

"Minumlah tuakku ini, biar matamu bisa melihat lagi."

Ternyata setelah Awan Setangkai meminum tuak beberapa teguk, kegelapan di matanya menjadi buram, lalu ia dapat melihat bayangan pohon dan benda lain secara samar-samar. Beberapa kejap berikutnya kebutaan itu telah hilang, kini kedua mata Awan Setangkai itu dapat dipakai untuk melihat lagi dengan jelas.

"Ooh, sayang sekali tadi kita sama-sama buta, ya?" ujarnya kepada Suto sambil memeluk dan menjatuhkan kepala di dada Suto Sinting.

Pendekar Mabuk tak jelas yang dimaksud ucapan Awan Setangkai, ia hanya berkata dalam gumam lirih.

"Iya, sayang kita tadi sama-sama buta. Kalau tidak... pasti kita bisa mengetahui dengan jelas siapa orang yang menyerang kita tadi."

"Mungkin itu orang iseng yang tidak suka melihat kemesraan kita, Suto. Biarkan saja dia, tapi waspadalah mulai sekarang. Sekali ia muncul lagi, kuhabisi dia saat itu juga!"

"Kau jadi mengajakku ke Istana Selat Bantai?"

"O, ya... tentu jadi! Aku ingin mengulang kemesraan yang tadi."

Suto Sinting tersenyum, karena ia menduga maksud Awan Setangkai adalah kemesraan saat mereka saling beradu ciuman tadi. Sedangkan maksud Awan Setangkai adalah kencan yang lebih dalam di balik semak-semak itu.

"Agaknya kau harus minum jamu agar mampu berpacu lebih lama lagi."

"Ah, kau pikir aku seorang penunggang kuda yang payah?!"

"Buktinya kau tadi cepat menyelesaikan tugas, padahal aku masih ingin melanjutkannya ke puncak yang lebih tinggi," ujar Awan Setangkai tanpa malu-malu lagi, karena merasa sudah menyatu dalam satu pribadi, ia hanya tertawa cekikikan sambil tetap melangkah dan merangkul pinggang Suto dari samping. Suto Sinting masih belum paham maksud kata-kata Awan Setangkai sebenarnya.

"Tak kusangka kalau kau ternyata juga ganas dan sangat panas!" ujar Awan Setangkai lagi. Suto menyangka permainan tangan dan ciumannya tadi dianggap ganas.

"Ah, baru segitu masa' sudah kau anggap ganas?"

"Eh, tadi... menurutmu siapa tadi yang mengintip kita, Suto?"

"Yang... yang mana?"

"Tadi, saat kau sedang terkulai ngos-ngosan di sampingku dan aku sedang membelaimu. Bukankah tadi ada orang yang mengintip pergumulan kita?"

"Pergumulan?! Maksudmu, pergumulan yang bagaimana?"

"Ah, jangan berlagak pikun kau," sambil Awan Setangkai mencubit hidung Suto dan tertawa riang, ia sengaja hentikan langkah untuk menatap Suto Sinting.

"Terus terang saja, biar hanya sebentar, tapi aku sudah lega. Aku sudah puas menerima kemesraanmu. Maaf kalau sampai aku tadi menggigit pundakmu dan mencakar punggungmu, aku sering lupa daratan kalau sedang begitu!"

"Mencakar...?! Rasa-rasanya punggungku tidak ada yang mencakarnya?!" kata Suto Sinting dengan heran.

"Kau pasti tak ingat, karena kita tadi sama-sama terbang tinggi. Tapi... ternyata indah juga bercumbu dalam keadaan sama-sama buta, ya?"

"Hahh...?!" Pendekar Mabuk mulai memahami maksud kata-kata Awan Setangkai. "Kapan kita bercumbu dalam keadaan buta?"

"Aaah... kau suka berlagak pikun, nanti pikun betul lho!" goda Awan Setangkai.

Suto pun membatin, "Wah, agaknya tadi ada orang yang memanfaatkan kebutaan Awan Setangkai dan memberinya kepuasan. Buktinya gadis ini tidak segalak tadi? Celaka! Kalau begitu, ini namanya tidak makan nangka tapi kena getahnya!"

"Awan Setangkai, jujur saja kukatakan padamu, saat aku siuman dari pingsanku, kudapatkan mataku telah buta. Lalu, aku minum tuak ini, dan kebutaanku hilang. Tapi kutemukan diriku sudah berada di dalam gua. Lalu aku keluar dan mencarimu kemari!"

Awan Setangkai justru tertawa berkepanjangan. "Kau pandai mengarang cerita yang menggoda hatiku, Suto. Ooh... aku senang sekali punya pendamping sepertimu. Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi. Sebaiknya kita segera ke Istana Selat Bantai. Aku akan bicara tentang pusaka 'Jemparing Malaikat' milik Begawan Parang Giri itu. Kuanggap, kau sudah memberiku secawan anggur kenikmatan, aku telah lega. Tidak penasaran seperti tadi. Terserah kau mau berlagak bodoh atau berlagak pikun, yang jelas aku sudah mendapatkannya darimu. Kini aku akan memenuhi janjiku untuk bicara tentang rahasia 'Selaput Iblis' yang ada di langit itu!"

"Wah, kacau kalau begini...!" gumam Suto dalam hati. "Dia tetap merasa bergumul denganku! Tapi... ah, masa bodoh soal itu! Yang penting aku harus bisa cepat-cepat hancurkan 'Selaput Iblis' agar Bibi Guru Bidadari Jalang tidak mengalami perubahan pada wajahnya."

Namun tiba-tiba muncul ketegangan kecil dari pikiran Suto. "Bagaimana kalau sampai Awan Setangkai nanti hamil? Pasti dia akan menyangka akulah yang menghamilinya, dan dia akan menuntut tanggung jawabku, lalu kami harus kawin, oooh... kiamat! Aku tak mau menikah dengan siapa pun kecuali Dyah Sariningrum, calon istriku itu!"

Pikiran Suto pun menjadi bercabang lagi antara 'Selaput Iblis' dan bekas 'Selaput Dara'-nya Awan Setangkai itu. Suto menjadi jengkel sendiri dan menggerutu dalam hati. "Persoalan selaput bikin kacau pikiranku! Sial! Kenapa aku dihadapkan persoalan seperti ini?!"

Tanpa sadar Pendekar Mabuk bersungut-sungut sendiri, sehingga Awan Setangkai menertawakan, karena dianggapnya Suto tetap bersandiwara untuk menggoda hatinya. Gadis itu justru semakin tertarik kepada Suto Sinting. Malahan ia bertekad untuk membantu kesulitan Suto dengan harapan akan mendapatkan kemesraan yang lebih indah dari kemesraan yang dinikmati dalam kebutaan tadi.

* * *

LIMA

ENTAH sudah berapa hari sebenarnya Suto dibuat sibuk oleh kasus 'Selaput Iblis' itu. Mungkin sudah dua hari, mungkin juga baru sehari semalam. Semuanya tak jelas, karena matahari tak mau bergerak. Seakan sang matahari lakukan mogok terbenam dan mogok terbit. Bayangan manusia sudah berubah menjadi ungu. Orang-orang Selat Bantai, sisa anak buah Ratu Cendana Sutera banyak yang menjadi korban ketuaan, karena ternyata mereka banyak yang menggunakan aji pengawet ayu mengikuti mantan sang Ratu Selat Bantai itu.

Mereka yang wajahnya menjadi keriput, peot, kempot, dan beruban, kebanyakan mulai mengenakan cadar penutup wajah. Akibat banyaknya perempuan di Selat Bantai yang mengenakan cadar, maka suasana Selat Bantai seperti suasana di Mesir.

Pendekar Mabuk sempat terperanjat ketika baru saja tiba di Istana Selat Bantai, karena melihat banyaknya perempuan bercadar, ia sempat berkata pelan kepada Awan Setangkai yang disambut oleh mereka dengan penghormatan, karena Awan Setangkai sebenarnya sekarang seorang ratu di Selat Bantai. Hanya saja karena Awan Setangkai masih berjiwa muda, maka ia masih gemar keluyuran sendiri, bahkan keluar dari istana tanpa diketahui para pengawalnya.

"Apakah prajuritmu sekarang banyak yang bergigi tonggos, sehingga menutup wajah dengan kain cadar?"

"Kurasa persoalannya bukan terletak pada gigi mereka, tapi pada perubahan kecantikan mereka yang menjadi keriput dan menua," jawab Awan Setangkai. "Kau masih kenal gadis berbaju tak berlengan warna biru itu?"

"Hmmm... maksudmu yang memakai ikat kepala rantai emas berbandul merah itu?"

"Benar. Apakah kau masih ingat dia?"

Suto memandang perempuan yang berbadan sekal dengan rambut sepunggung dikepang dan bersenjata pisau kembar serta membawa busur yang melintang di punggung. Ingatan Suto melayang sejenak pada peristiwa penyergapan terhadap dirinya beberapa waktu yang lalu.

"Kalau tak salah, dia adalah si Bunga Ranjang!" sambil benak Suto membayangkan pertarungannya dengan Bunga Ranjang, mantan pengawalnya Ratu Cendana Sutera itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Cendana Sutera).

"Benar. Akan kupanggil dia biar kau jelas semuanya."

Bunga Ranjang yang kini tunduk di bawah perintah Awan Setangkai segera berlari menghadap Awan Setangkai begitu dipanggil dengan suitan. Perempuan itu mengenakan kerudung hitam di kepalanya dengan wajah tertutup kain tersebut. Bagian wajah yang kelihatan hanya bagian sepasang matanya yang mulai tampak buram itu.

"Bunga Ranjang, bukalah kain cadarmu itu. Kau tidak menghormati tamu agung kita ini jika tetap mengenakan kain cadar."

"Tapi..."

"Bukalah kain cadarmu!" Awan Setangkai mempertegas dengan nada wibawanya sebagai Ratu atau Ketua orang-orang Selat Bantai.

Mau tidak mau Bunga Ranjang membuka kain cadarnya, lalu cepat-cepat menundukkan kepala, karena ia kenal siapa tamu agung yang dimaksud itu. Ia malu kepada Pendekar Mabuk yang dulu pernah dipameri kecantikannya bersama Mawar Rimba.

"Selamat berjumpa lagi denganku, Bunga Ranjang. Bagaimana keadaanmu sekarang? Betah punya ratu ganjen macam si Awan Setangkai ini?"

Pluk! Awan Setangkai menepuk lengan Suto sambil tertawa malu, sedangkan Bunga Ranjang hanya tersenyum-senyum sambil kian menundukkan kepala. Rupanya ia tak ingin Pendekar Mabuk melihat wajahnya lebih jelas lagi. Tapi keadaan itu sudah cukup membuat Suto Sinting menjadi prihatin dan merasa iba terhadap Bunga Ranjang, sehingga ia perlu membuat suasana menjadi ceria dengan kelakarnya tadi.

Siapa orangnya yang tak merasa terharu jika melihat mata yang dulu sayu indah berbulu lentik, sekarang menjadi mata yang keruh tanpa bulu selengkap dulu. Kulit yang dulu kencang dan bersih, sekarang berkeriput bagai kain tak disetrika. Bibir yang dulu mungil sensual menggemaskan, sekarang berkerut tepiannya dan tenggelam ke dalam karena keompongan gigi depannya. Hidung yang dulu mancung, sekarang melebar ke samping bagai sisa permadani digelar di wajah.

Awan Setangkai segera menyuruh Bunga Ranjang pergi mempersiapkan tempat untuk menjamu sang tamu agung itu. Lalu, dengan hati sedih pula Awan Setangkai berkata kepada Suto Sinting.

"Dia korban kabut sinar ungu itu! Dulu ia tampak cantik, bukan?"

"Memang cantik dan menggairahkan. Matanya yang sayu jika memandang seakan sebuah ajakan untuk berkencan di balik semak-semak."

"Dia seperti itu karena menggunakan mantra kecantikan pemberian mendiang Ratu Cendana Sutera. Sekarang mantra itu tidak berguna lagi, dan akibatnya seperti kau lihat sendiri tadi."

"Kasihan sekali," gumam Suto Sinting sambil membayangkan wajah Bidadari Jalang yang usianya hanya terpaut setahun dua tahun dari si Gila Tuak. Semangat Suto untuk menghancurkan kabut sinar ungu itu semakin membara, sehingga ia segera mengarahkan pembicaraannya tentang pusaka milik Begawan Parang Giri itu.

"Seperti kukatakan padamu sebelum kau memberikan kehangatan yang indah itu padaku," Awan Setangkai mengawali dengan senyum dan kerlingan mata nakalnya. "Pusaka itu adalah sebuah panah emas yang dapat memudarkan segala macam kekuatan gaib atau ilmu siluman. Ratu Cendana Sutera dan orang-orang Selat Bantai ini, termasuk diriku, paling takut kalau melihat lawan membawa panah emas, walau sebenarnya belum tentu panah emas itu pusaka 'Jemparing Malaikat'-nya sang Begawan."

"Apakah dulu ketika gurunya Nyai Watu Wadon melapisi matahari dengan 'Selaput Iblis' juga dihancurkan oleh panah emas itu?"

"Menurut cerita mendiang Ratu Cendana Sutera memang begitu, tetapi yang memanahkannya bukan Begawan Parang Giri, melainkan seorang tokoh angkatan lama bernama Raja Maut."

"Oh, aku kenal dengan Raja Maut yang kini sudah almarhum itu."

"Hanya orang berilmu tinggi yang bisa menarik busur untuk melepaskan panah 'Jemparing Malaikat' itu. Sang Begawan sendiri sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menarik tali busur dan melepaskan panah itu, karena ia sudah sangat tua dan ilmunya sudah dibuang semua. Kini sang Begawan hanya ingin menyepi, menyucikan diri, mendekatkan hidupnya dengan Yang Maha Kuasa sambil menunggu saat kematiannya tiba."

"Dan panah itu masih ada padanya?"

Awan Setangkai menggelengkan kepala. Langkah mereka berhenti di taman indah yang dulu sering dipakai kencan oleh mendiang Ratu Cendana Sutera dengan lawan jenisnya. Di taman itu ada bangku dari batu marmer hitam mengkilat. Awan Setangkai mengajak Suto duduk di batu itu sambil memandangi kolam berikan warna-warni dan bunga-bunga aneka ragam.

"Panah itu semula ada padaku. Tapi sekarang hilang dicuri oleh salah seorang anggota Partai Janda Liar."

"Oh, ya...?!" Suto terperanjat. Matanya memandang Awan Setangkai dengan dahi berkerut tajam.

"Ketika aku datang menemui Begawan Parang Giri di Bukit Canting, aku mengeluh pada beliau karena menurut silsilah, beliau masih ada hubungan darah dengan leluhurku. Aku mengeluh tentang hak kekuasaanku di Selat Bantai ini yang direbut oleh Ratu Cendana Sutera. Pusaka itu kupersiapkan untuk saat-saat penggulingan kekuasaan nanti, terutama jika aku sudah punya pendukung cukup banyak. Tetapi sebelum makar itu kulakukan, ternyata sudah ada peristiwa 'Bulan Kesuburan' yang melibatkan dirimu dan akhirnya sang Ratu mati ditanganmu."

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, Awan Setangkai terpaksa hentikan ceritanya sesaat, karena ia ingin ceritanya didengar Suto dengan serius. Setelah Pendekar Mabuk selesai menenggak tuaknya, Awan Setangkai lanjutkan pula ceritanya.

"Beberapa waktu yang lalu, orang Partai Janda Liar datang kemari, ia meminta panah itu dengan paksa. Aku mencoba mempertahankannya dengan perlawanan sengit. Tetapi dia punya keberuntungan dapat melihat sisi kelemahanku. Aku dibuatnya tak berdaya dan nyaris mati. Satu langkah lagi, jika aku tidak serahkan panah itu, nyawaku akan melayang dan sekarang tak bisa menjumpaimu, tak bisa merasakan kenikmatan cumbuanmu."

"Jadi panah itu kau serahkan padanya?" sahut Suto Sinting yang tak mau bicara tentang cumbuan, karena merasa kesal hati; tidak mencumbu dikatakan mencumbu dengan mesra.

"Ya, panah itu kuserahkan padanya. Lalu, aku segera pergi ke Bukit Canting dan melaporkan hal itu kepada Begawan Parang Giri."

"Apa tindakan sang Begawan?!"

"Dia menyuruhku membiarkan panah itu ada di tangan orang tersebut, karena orang itu adalah cucunya sendiri yang memang berhak memiliki panah pusaka itu."

"Ooo... jadi cucunya Begawan Parang Giri ada yang menjadi anggota Partai Janda Liar?"

"Benar. Dia seorang perempuan yang patah hati karena dua kali menikah dua kali pula dikhianati oleh suaminya. Lalu ia menggabungkan diri dengan Partai Janda Liar agar mendapat bantuan dari Nyai Watu Wadon dalam melepaskan dendamnya kepada kedua mantan suami itu. Ternyata usahanya berhasil, kedua mantan suami dibunuhnya dengan bantuan kekuatan Nyai Watu Wadon."

"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Siapa nama perempuan yang menjadi cucunya Begawan Parang Giri itu?"

"Perempuan itu dikenal dengan nama Selimut Senja."

"Ooh...?!" Suto Sinting kaget. "Bukankah Selimut Senja yang membunuh Nyai Watu Wadon? Saat itu aku melihatnya sendiri!"

"Memang benar. Rupanya Selimut Senja ingin merebut kekuasaan di dalam Partai Janda Liar. Mungkin ia punya maksud menyusun kekuatan bersama para pengikut Partai Janda Liar yang terdiri dari janda-janda sakit hati itu untuk memerangi kaum pria yang pernah menyakiti hati mereka."

"Padahal kulihat Selimut Senja punya ilmu cukup tinggi. Bahkan kudengar ia menguasai ilmu "Kulit Baja' yang anti bacok anti tonjok itu."

"Menurut berita dari mata-mata yang kususupkan ke sana, ilmu 'Kulit Baja' itu dikuasai olehnya baru-baru ini saja. Sebelumnya ia tidak mempunyai ilmu 'Kulit Baja' dan ilmunya masih di bawah Nyai Watu Wadon. Jika ia sudah mempunyai ilmu 'Kulit Baja' tentunya ia tidak perlu bergabung dengan Nyai Watu Wadon untuk membunuh kedua mantan suaminya yang berilmu tinggi itu."

"Hmmm, ya... benar juga," Suto manggut-manggut lagi. "Lalu, apa hubungannya perebutan kekuasaan si Partai Janda Liar itu dengan panah pusaka 'Jemparing Malaikat' itu?!"

"Aku tak tahu secara pasti. Tapi menurut dugaan ku, panah itu juga dipersiapkan untuk melawan Nyai Watu Wadon, sebab Nyai Watu Wadon mempunyai jurus 'Bencana Gaib' yang berbahaya."

Setelah merenung sesaat, Suto Sinting pun berkata seperti bicara pada diri sendiri. "Kalau begitu, saat aku bertarung dengan Nyai Watu Wadon, ada sepasang mata yang melihatnya dari persembunyian. Mungkin kepergian Nyai Watu Wadon diikuti oleh sepasang mata yang tak lain milik Selimut Senja itu. Dan ketika ia mengetahui keadaan Nyai Watu Wadon terluka cukup berbahaya, ia menyerangnya sebelum luka itu tersembuhkan. Karena kulihat Selimut Senja tidak menggunakan panah emas itu dalam pertarungannya melawan Nyai Watu Wadon."

"Barangkali saja memang begitu. Tapi yang jelas sekarang Selimut Senja di pihak yang menang. Sebab dengan membiarkan matahari dilapisi kabut sinar ungu, maka ia dapat membuat lawan-lawan perempuannya yang punya ilmu pengawet ayu itu mengalami penderitaan. Selimut Senja sendiri mempunyai kecantikan yang asli dan tidak menggunakan mantra atau ilmu pengawal ayu, seperti keayuanku ini," sambil Awan Setangkai tersenyum angkuh menggoda Suto Sinting.

Tangan Suto berkelebat mencubit pipi Awan Setangkai dengan gemas. Yang dicubit diam saja, bahkan menarik tangan itu lalu memeluknya. Gadis itu memang tampak lebih ceria ketimbang semasa menjadi anak buahnya Ratu Cendana Sutera. Kebebasannya menjadi penguasa Selat Bantai agaknya telah membuat Awan Setangkai tak sungkan-sungkan bertindak apa saja.

Buktinya ia langsung menciumi Suto Sinting begitu pemuda tampan itu jatuh dalam pelukannya. Ciumannya menggelora bagaikan ingin menyapu bersih wajah itu. Bahkan kali ini bibir Suto Sinting dilumatnya habis-habisan, seakan bibir itu ingin ditelannya bulat-bulat, hingga Suto Sinting sempat gelagapan sebentar.

"Gusti Ratu...," sapa seorang prajurit muda yang punya kecantikan asli pula itu. Sapaan tersebut membuat Awan Setangkai menggeragap kaget dan buru-buru melepaskan ciumannya, memisahkan diri dan Suto Sinting, ia sempat salah tingkah sebentar, sementara Suto Sinting menertawakan dengan senyum dipalingkan ke arah lain.

"Kau benar-benar tak tahu sopan, Kundarini! Mengapa kau berani mengganggu kemesraanku dengan Pendekar Mabuk, hah?!" Awan Setangkai memarahi prajurit yang menghadap dengan napas terengah-engah dan wajah tegang itu.

"Maaf, Gusti Ratu... saya hanya ingin memberitahukan bahwa kita telah kedatangan seorang tamu yang membuat keributan di depan bangsal pertemuan, ia telah berhasil mendobrak gerbang dan ingin masuk ke bangsal keratuan."

"Keparat! Siapa orang itu?"

Prajurit muda itu menjawab, "Saya tidak tahu, Gusti Ratu. Tetapi beberapa rekan prajurit atasan saya mengatakan bahwa perempuan itu bernama Sedap Malam, mantan orang kita juga."

"Nyai Sedap Malam...?!" gumam Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang, karena ia kenal betul dengan perempuan yang menjadi istrinya Ki Palang Renggo, sahabat gurunya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Darah Satria).

"Akan kuhadapi sendiri dia! Tahan para prajurit agar jangan lakukan penyerangan. Nanti banyak korban yang sia-sia. Biar kuhadapi sendiri si Sedap Malam yang masih ingin ikut campur urusan Selat Bantai itu!" kata Awan Setangkai dengan berang.

"Biar aku yang bicara dengannya," kata Suto setelah Kundarini pergi melaksanakan perintah sang Ratu nyentrik itu.

"Tidak. Kurasa ia datang karena ada urusan lama denganku, sebab ia memang bekas orangnya Ratu Cendana Sutera yang diusir karena berhubungan cinta dengan Ki Palang Renggo!"

"Aku pernah mendengar hal itu, tapi aku kenal dengannya dan..."

"Kau tetap di sini. Tunggu aku beberapa saat. Akan kulumpuhkan dia dalam dua-tiga jurus saja!"

Awan Setangkai bergegas pergi tinggalkan taman itu. Namun Suto Sinting tak mungkin tinggal diam begitu saja, sebab hubungannya dengan Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo cukup baik. Bahkan Nyai Sedap Malam pernah selamatkan nyawanya ketika ia terkena racun 'Bayu Panggang'-nya si Awan Setangkai, ketika Awan Setangkai berusaha membunuh Suto agar tidak menjadi penabur keturunan bagi Ratu Cendana Sutera.

Nyai Sedap Malam mengenakan jubah kuning garis- garis merah, ia menggenggam senjata sebuah tongkat berkepala bunga. Tongkat itu yang digunakan untuk menghantam punggung seorang pengawal dalam gerakan bersalto di udara dengan cepat. Buuhk...!

"Aaahk...!" Suuur...! Pengawal itu menyemburkan darah dari mulutnya, menandakan pukulan tongkat tersebut dialiri dengan tenaga dalam cukup besar.

Melihat pengawal itu tersungkur dan tak berkutik lagi, walau masih menggeliat pelan dengan menyeringai kesakitan, temannya merasa semakin penasaran dan segera menyerang Nyai Sedap Malam dengan pukulan bercahaya kuning. Claaap...! Sang Nyai rupanya cukup tangkas dalam menghadapi serangan lawan, ia berkelebat dalam gerakan memutar balik ke belakang, kemudian sinar kuning lurus yang semula mengarah kepadanya itu dihantam dengan kepala tongkat yang segera membara biru terang. Wuuut...!

Blegaaarr...! Ledakan cukup seru terjadi dan sempat menggetarkan tanah sekitar mereka. Nyai Sedap Malam berhasil lompat ke atas atap ruang pertemuan itu.

Wuuut...! Jleeg...!

Tongkatnya segera dimainkan berputar cepat di atas kepala. Gerakan tongkat yang memutar cepat itu menimbulkan angin panas yang mengeringkan dedaunan. Tetapi tiba-tiba sebuah suara berseru dengan lantang dari bawah.

"Hentikan tingkahmu. Sedap Malam!"

Nyai Sedap Malam memandang orang yang berseru dengan lantang itu. Ternyata si Awan Setangkai yang bertolak pinggang bagai menantang pertarungan di bawah. Nyai Sedap Malam benar-benar hentikan permainan tongkatnya.

"Turun kau kalau memang mau cari mati di sini!" seru Awan Setangkai menunjukkan sikap tegasnya sebagai pengganti penguasa Selat Bantai.

Wuuut...! Jleeg...!

Nyai Sedap Malam turun dari atap dalam satu lompatan lurus hingga jubahnya berkelebat bagai sayap seekor burung merak betina.

Pada saat itu pula Suto Sinting tiba di tempat itu, agak jauh di belakang Awan Setangkai. Pandangan mata Suto sedikit mengecil karena ia menemukan kejanggalan di wajah Nyai Sedap Malam.

"Oh, kasihan sekali Nyai Sedap Malam... rupanya ia telah menjadi korban 'Selaput Iblis' itu, sehingga sekarang wajahnya tampak tua, berkerut-kerut dan kecantikannya hilang sama sekali. Rambutnya pun telah beruban dan bola matanya menjadi keruh, tak sebening waktu itu," kata Suto dalam batinnya.

Awan Setangkai berseru dengan wajah berang, "Apa maksudmu bikin keonaran di sini, Sedap Malam?!"

"Orang-orangmu menghinaku, menganggapku orang jahat dan tak diizinkan bertemu denganmu. Maka kutunjukkan pada mereka bahwa aku bukan orang murahan yang pantas disepelekan oleh mereka!" kata Nyai Sedap Malam dengan suara sedikit serak karena ketuaannya.

"Tentu saja mereka tak izinkan kau menggangguku, karena aku sedang kedatangan seorang tamu agung. Kami sedang asyik bermesraan, lalu kau datang mau mengganggu kemesraanku. Hmmm...! Perempuan tak tahu diri itu namanya!"

"Persetan dengan kemesraanmu, tapi aku membutuhkan dirimu untuk meminta panah emas milik Begawan Parang Giri yang ada padamu sebelum kau melakukan makar terhadap Ratu Cendana Sutera! Bukankah waktu itu aku yang menyarankan agar kau meminta bantuan Begawan Parang Giri dan meminjam pusakanya untuk melawan sang Ratu kala itu?! Tapi mana balas budimu padaku? Bahkan ketika aku diusir dari Selat Bantai, kau tidak ada pembelaan terhadap diriku!"

"Karena aku tak mau campuri urusan pribadimu, Tolol!"

"Sekarang aku datang untuk meminjam pusaka 'Jemparing Malaikat' itu! Tentunya kau tahu keadaanku yang sekarang dan mengerti apa yang harus dilakukan untuk menghentikan bencana ini, Awan Setangkai!"

"Pusaka itu sudah tidak ada di tanganku!" ujar Awan Setangkai dengan tegas.

"Jangan mengecewakan diriku, Awan Setangkai! Aku tidak bermaksud bermusuhan dengan pihakmu. Aku hanya ingin meminjam panah itu untuk hancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu!"

"Sudah kubilang, panah itu tidak ada padaku!" seru Awan Setangkai dengan lebih galak lagi.

"Hmmm...," Nyai Sedap Malam mencibir sinis, wajahnya semakin tampak tua dan buruk. "Kau khawatir pusaka itu tak kukembalikan? Oh, aku bukan perempuan yang keji seperti dugaanmu. Bahkan aku punya pilihan lain; kau sendiri yang melepaskan panah itu ke langit, atau aku meminjamnya dan melepaskannya ke langit?!"

"Persetan dengan pilihanmu! Aku benar-benar tidak memegang panah itu lagi!"

"Kalau begitu kau ingin agar aku melumpuhkanmu lebih dulu, Awan Setangkai!"

"Kulayani apa maumu, Sedap Malam! Kau sangka aku takut padamu, hah?!"

"Baik, bersiaplah menghadapi jurus mautku, Awan Setangkai!"

Nyai Sedap Malam segera bergerak ke kiri dan memutar tongkatnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju ke arah Awan Setangkai dengan tajam dan penuh nafsu bermusuhan. Awan Setangkai sendiri segera mengambil posisi untuk lepaskan pukulannya ke arah Nyai Sedap Malam.

"Tahan...!" tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang Awan Setangkai. Suara itu adalah suara Pendekar Mabuk yang segera hadir di samping Awan Setangkai.

"Ooh...?!" Nyai Sedap Malam terkejut melihat Suto ada di sisi Awan Setangkai. "Rupanya kau sudah berpihak kepadanya, Suto!"

"Nyai, dengarkan dulu penjelasanku!" ujar Suto Sinting dengan sabar. "Kebetulan aku berkunjung ke Selat Bantai karena persoalan yang sama dengan persoalanmu. Aku diutus oleh guruku; Bidadari Jalang, untuk mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Dan kebetulan Awan Setangkai mengetahui senjata pusaka yang pernah dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis' beberapa tahun yang silam."

"Kalau begitu, paksa si Awan Setangkai agar keluarkan panah 'Jemparing Malaikat', dan hantamlah kabut sinar ungu itu, Suto!"

"Tunggu dulu, Nyai.... Kita sama-sama menghadapi persoalan yang sama. Artinya, kita sama-sama kehilangan panah pusaka itu."

"Bicara yang benar kau, Pendekar Mabuk!" ucap Nyai Sedap Malam dengan tegas sambil menuding Suto memakai tongkatnya.

"Minggirlah, akan kuhajar dia biar percaya bahwa panah itu tidak ada padaku!" sambil Awan Setangkai mendorong tubuh Suto agar menyingkir, tapi Suto bertahan dan mencoba meredakan kemarahan Awan Setangkai dengan bujukan penuh kesabaran.

"Ini perkara yang sia-sia jika harus menggunakan pertarungan! ini hanya kesalahpahaman saja, dan kesalahpahaman ini membutuhkan penjelasan sejelas mungkin!"

Awan Setangkai mendengus, namun ia tidak melarang Suto untuk maju mendekati Nyai Sedap Malam.

"Nyai... baru saja tadi kubicarakan dengan Awan Setangkai bahwa kami sepakat untuk menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Tetapi panah pusaka itu sekarang berada di tangan Selimut Senja, ketua Partai Janda Liar yang baru."

Nyai Sedap Malam terperanjat dan memandang Suto lebih tajam lagi. Ia sama sekali tak pedulikan kecantikannya yang luntur itu, karena yang ada dalam benaknya hanya panah pusaka untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu.

"Nyai, aku tidak mendustaimu. Aku tahu kau sangat menderita, sama seperti Bibi Guru-ku; si Bidadari Jalang. Karenanya, redakanlah amarahmu, Nyai. Singkirkan anggapan burukmu terhadap Awan Setangkai. Percayalah, aku tidak akan tinggal diam dalam perkara ini!"

"Dapatkah mulut seorang lelaki yang sedang dimabuk kemesuman kupercayai?!"

Suto tersenyum geli. "Nyai, aku tidak sedang mabuk. Walau ke mana-mana aku menenteng bumbung tuak, tapi aku toh tidak pernah mabuk. Begitu pula dengan sekarang, walau aku menenteng Awan Setangkai, tapi aku tidak pernah merasa mabuk oleh kecupan bibirnya yang... hangat sekali, Nyai. Uuh, tadi aku hampir saja tak bisa bernapas karena ia..."

"Cukup!" sentak Nyai Sedap Malam, membuat suara Suto yang berbisik itu lenyap seketika.

"Kalau begitu, aku harus merebut panah itu dari tangan si Selimut Senja?" geram Nyai Sedap Malam.

"Kau akan tumbang dan mati sia-sia jika melawannya!" ujar Awan Setangkai. "Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Selimut Senja sudah menguasai ilmu 'Kulit Baja' dari kitab pusaka kakeknya yang dicuri nya itu?!"

Suto Sinting segera berkata, "Nyai, serahkan persoalan ini padaku. Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin. Jangan korbankan nyawamu untuk mendapatkan panah tersebut. Jalan yang terbaik bagimu masih ada. Tunggulah saatnya, tak lama lagi kabut sinar ungu itu akan hancur dan kecantikanmu akan kembali seperti sediakala!"

"Apa sangsinya jika kau gagal? Kepalamu kupenggal?"

"Jangan berat-berat sangsinya, Nyai! Biar gagal aku kan masih butuh kepala juga," kata Suto Sinting dengan bersungut-sungut.

Lalu, Awan Setangkai menimpali dengan ketus. "Sebelum kau memenggal kepala Suto, lebih dulu kepalamu kupancung, Sedap Malam!"

"Kalau begitu kita buktikan siapa yang lebih cepat memenggal kepala!" sentak Nyai Sedap Malam. Suto segera menengahi.

"Hei.. hei... ini bukan soal kepala, ini soal 'Selaput Iblis'. Jangan melantur ke mana-mana!"

Akhirnya Nyai Sedap Malam pasrah kepada usaha Suto Sinting, ia sempat diyakinkan oleh Awan Setangkai, bahwa Suto pasti berhasil dapatkan panah itu. Maka, Pendekar Mabuk pun segera pergi untuk temui Ketua Partai Janda Liar yang baru itu.

* * *

ENAM

PENDEKAR Mabuk bertekad untuk tidak pergunakan kekerasan dulu terhadap Selimut Senja. Sekalipun ia merasa mampu tumbangkan Selimut Senja, tapi jika perempuan itu mati, maka belum tentu ada yang mengetahui di mana panah pusaka itu disembunyikan oleh Selimut Senja.

"Aku harus menggunakan cara halus, agar Selimut Senja menyerahkan panah itu secara suka rela. Hmmm... agaknya aku harus gunakan jurus 'Senyuman Iblis' untuk membuat hati perempuan itu terpikat padaku. Jika ia sudah kubuai dengan kemesraan, maka dengan mudah panah pusaka itu akan kuperoleh," pikir Suto dalam perjalanan ke Pesanggrahan Janda Liar itu.

Perjalanan itu sempat terhenti oleh kemunculan Panji Klobot dari arah lereng perbukitan. Suara Panji Klobot itulah yang menghentikan langkah kaki Suto Sinting, sehingga pemuda polos, lugu, dan tanpa ilmu apa pun kecuali jurus 'Tendangan Cuci Perut' itu segera mendekati Suto dengan wajah tegangnya. Pendekar Mabuk menjadi heran melihat Panji Klobot ada di situ.

"Aku mencari-cari Tenda Biru, Suto! Dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku ketika mendengar kabar bahwa di suatu tempat ada sayembara tanding laga dan hadiahnya adalah menjadi Ketua Partai Janda Liar. Kabar itu datang dari Kelambu Petang. Tapi Kelambu Petang tidak ikut pergi!" tutur Panji Klobot yang mengenakan baju tanpa lengan warna biru, sama dengan warna celananya.

Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu juga menceritakan telah memergoki Taring Naga yang sedang bercumbu dengan seorang gadis dengan ciri-ciri si gadis disebutkan pula. Dan Suto Sinting terperanjat karena mengetahui bahwa gadis yang diceritakan Panji Klobot itu adalah Awan Setangkai.

"Aku sempat terpaku seperti patung melihat adegan itu. Dan sepertinya gadis itu adalah gadis buta. Tapi... tapi aku sendiri tak tahu kenapa Taring Naga melarikan diri begitu melihatku. Mungkin aku disangkanya seekor beruang yang sedang mencari madu, ya?"

Suto Sinting sunggingkan senyum tipis, kemudian berkata dalam hatinya. "Oooh... kalau begitu hal itu terjadi saat Awan Setangkai mengalami kebutaan! Kurang ajar betul si Taring Naga itu, memanfaatkan kebutaan seorang gadis untuk menikmati kehangatannya!"

Panji Klobot berkata, "Aku takut kehilangan Tenda Biru, Suto. Sebab gadis itu sudah seperti kakakku sendiri dan dia sedang mengajarku beberapa jurus, tapi belum sempat kukuasai sudah menghilang begini!"

Suto Sinting menggumam lirih sambil merenungi kata-kata Panji Klobot. Pemuda yang masih tampak ingusan itu berkata lagi.

"Pada saat ia belum pergi, kulihat wajahnya ada perubahan. Aku takut dia kena penyakit menular, Suto."

"Perubahan bagaimana?" Suto semakin tertarik. "Kulitnya agak keriput, dan hidungnya tidak semancung biasanya. Saat kukatakan hal itu, ia buru-buru pergi sampai sekarang. Apakah dia tersinggung, ya?"

Suto Sinting diam saja, tapi hatinya membatin, "Oh, kalau begitu Tenda Biru pun menggunakan aji pengawet kecantikan dan sekarang mengalami perubahan karena matahari tertutup kabut sinar ungu itu. Aji pengawet ayu itu mungkin diperoleh saat ia menjadi muridnya Nyai Garang Sayu."

Kemudian Suto berkata kepada Panji Klobot, "Kalau begitu, kita cari di Pesanggrahan Partai Janda Liar saja!"

"Kalau kutahu tempatnya, sudah pasti aku ke sana!" "Aku tahu tempatnya. Mau ikut aku atau mau pergi sendiri?" "O, tentu saja aku lebih baik mengikutimu!"

Tiba-tiba terpetik sebuah gagasan dalam benak Suto untuk memanfaatkan Panji Klobot. Gagasan itu tidak dibicarakan lebih dulu, karena akan mengacaukan rencana jika Panji Klobot sampai mendengarnya. Ketika mereka tiba di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Liar, Pendekar Mabuk berkata kepada Panji Klobot.

"Maukah kau menungguku di sini, di balik bebatuan itu?!"

"Kenapa aku harus menunggu di sini? Bukankah pesanggrahan itu sudah kelihatan dari sini dan aku masih kuat berjalan mengikutimu sampai ke sana!"

"Bukan soal kuat atau tidak kuat jalan, Panji. Aku ingin memeriksa dulu keadaan di dalam sana, apakah Tenda Biru ada atau tidak. Jika ada ia akan segera kubawa keluar. Jika tidak ada, mungkin dia belum datang. Dan kau berjaga-jaga di sini. Jika kau lihat Tenda Biru datang, cegatlah dia lalu bujuklah agar segera pulang."

"Oo, begitu?! Baiklah, aku menurut saja apa katamu, Suto!"

Jurus 'Senyuman Iblis' mulai dikenakan oleh Pendekar Mabuk. Senyuman itu dapat menundukkan perempuan manapun, meski perempuan itu berhati karang dan sukar terpikat oleh seorang pria. Dengan memasang 'Senyuman Iblis' penjerat hati, para penjaga pesanggrahan Partai Janda Liar yang terdiri dari para wanita frustrasi itu dibuat terbengong-bengong oleh kehadiran Suto Sinting.

"Aku ingin bertemu dengan Ketua Partai Janda Liar yang baru," kata Suto kepada salah seorang penjaga gerbang.

"Oh, hmmm... bisa saja. Tapi... tapi beliau sedang mengadakan pesta penobatannya sebagai ketua yang baru."

"Tak bisakah aku bertemu sebentar dengannya?"

Penjaga yang satunya buru-buru menjawab, "Oh, tentu saja bisa! Ketua kita yang baru ini baik hati dan tak mudah marah kok. Mari kuantar menemui beliau. Hmmm... boleh kutahu siapa namamu?"

"Namaku... Panji Klobot," jawab Suto sengaja menyamar sebagai Panji Klobot.

"Oh, itu nama yang bagus sekali, sesuai dengan orangnya. Bukankah begitu, Arumwani?!"

"Iya. Bagus sekali. Lebih bagus lagi kalau nama itu menjadi penghuni tetap di pesanggrahan kita, ya?"

Kedua penjaga itu cekikikan, dua penjaga lainnya juga ikut cekikikan, namun tidak ikut mendekati Suto. Mereka tetap menjaga kewaspadaan dari tempatnya berdiri.

Selimut Senja merasa heran mendengar kedatangan tamu seorang pemuda tampan, gagah perkasa, dan sangat menawan. Pesta segera dihentikan sesaat. Selimut Senja menyuruh pengawalnya membawa tamu itu menghadap.

Suto Sinting pun muncul di tengah pesta yang dihadiri oleh kaum wanita. Mereka menggumam kagum secara serempak begitu Suto Sinting muncul dengan langkah gagah dan senyum memancarkan daya pikat tinggi.

"Ooh, gila...! Ini namanya rezeki nomplok!" ujar salah seorang dari mereka.

Selimut Senja menatap Suto dengan dahi berkerut. Tetapi ketika Suto semakin dekat dan senyumannya semakin melebar, Selimut Senja tak bisa diam saja. Senyumannya pun mulai mekar karena hatinya berdebar-debar bagai dihinggapi ribuan bunga indah.

"Kalau tak salah penglihatanku, kau adalah pemuda gagah yang pernah kuintai sedang bertarung dengan mendiang Nyai Watu Wadon itu," ujar Selimut Senja dengan wajah berseri-seri.

"Aku tak tahu kapan kau mengintainya, tapi kuakui aku memang bertarung dengan Nyai Watu Wadon dan berhasil melukainya," kata Suto dengan suara lembut namun penuh kejantanan. Pandangan matanya yang teduh membuat Selimut Senja semakin berdebar-debar, demikian pula para anggota Partai Janda Liar yang saling berkasak-kusuk dan cekikikan membicarakan khayalannya masing-masing bersama Suto Sinting.

"Sayang sekali kala itu aku tak mendengar Nyai Watu Wadon menyebutkan namamu."

"Namaku sederhana sekali. Ibuku memberikan nama Panji Klobot untukku."

"Nama yang bagus sekali itu. Tidak sesederhana anggapanmu. Panji!"

Beberapa perempuan di sekitar situ saling menyebut nama Panji Klobot. "Oo, namanya Panji Klobot."

"Apa? Panci Borot?"

"Panji Klobot, Congek!" "Hik, hik, hik, hik...!"

Selimut Senja merasa tak enak menjadi bahan perhatian anak buahnya, karena biasanya ia bersikap tegas dan galak terhadap lelaki, tapi kali ini ia bersikap manis-manis terhadap pemuda itu. Untuk menjaga agar tetap tampak wibawa, Selimut Senja segera membawa Suto Sinting ke kamar pribadinya. Pendekar Mabuk sangat tidak keberatan karena ia sudah mengerti maksud hati Selimut Senja membawanya ke kamar pribadi itu.

"Apa maksudmu datang kemari menemuiku, Panji Klobot!"

"Ibuku mendengar Ketua Partai Janda Liar telah diganti. Nyai Watu Wadon telah disingkirkan. Aku diutus untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Ketua Partai Janda Liar yang baru. Karena ibuku merasa senang mendengar Nyai Watu Wadon telah terbunuh, dan kabarnya kau yang membunuhnya."

"Memang benar. Tapi aku belum mengenal siapa ibumu, Panji Klobot."

"Ibu juga merasa belum mengenalmu, Ketua. Tapi ibu mengakui kehebatanmu dan pengakuannya itu diungkapkan dalam bentuk ucapan selamat yang harus kusampaikan padamu."

Selimut Senja merasa bangga, hatinya kian berbunga-bunga. Apalagi Suto Sinting bicaranya sambil sunggingkan senyum menawan, Selimut Senja merasa sedang dibuai oleh sejuta keindahan yang amat membahagiakan hati.

"Apakah ibumu adalah perempuan berjubah ungu yang ketika itu terluka oleh pukulan Nyai Watu Wadon?"

"Benar! Itulah ibuku, tapi...." Suto Sinting diam seketika, wajahnya diubah menjadi murung bagai sedang menahan duka. Selimut Senja merasa kehilangan keindahan di wajah Suto. Ia segera mendekat dan mengangkat wajah Suto dengan menyangga dagu memakai ujung jarinya.

"Kenapa kau tampak sedih, Panji. Jangan sedih, biarkan aku bahagia menikmati ketampananmu yang menawan ini."

"Aku ingat ibuku yang menderita," ucap Suto Sinting lirih. "Ibuku saat ini sedang menderita karena ulahku sendiri."

"Oh, apa yang diderita oleh ibumu itu? Katakanlah, Panji... katakanlah."

Suto berlagak ragu-ragu untuk mengatakan. Selimut Senja segera membawanya duduk di tepian ranjang dengan hati-hati.

"Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantumu agar kau tampak ceria dan menawan seperti tadi, Panji," bujuk Selimut Senja.

Pendekar Mabuk memandang sayu kepada Selimut Senja yang sedang menatapnya. Tatapan mata itu tampak begitu lembut dan teduh, walau mengharukan hati Selimut Senja. "Kau mau membantuku, Ketua?"

"Akan kubantu apa pun kesulitanmu, tapi tapi maukah kau tinggal di sini bersamaku, Panji?"

"Tinggal di sini?" Suto berlagak girang seperti anak kemarin sore. "Oh, aku suka sekali kalau boleh tinggal di sini."

Senyum perempuan itu pun mekar kembali, karena ia senang melihat Suto Sinting berwajah ceria dengan senyuman yang menggetarkan hati itu. "Kau sudah punya kekasih?"

Suto Sinting menggeleng. Mirip pemuda yang polos. Jawaban itu membuat Selimut Senja kian berdebar-debar, seakan apa yang diharapkan dapat menjadi kenyataan. "Ibu selalu melarangku mendekati wanita, dan aku tak boleh jatuh cinta pada seorang wanita, karena ibu takut kalau aku lupa pada ibu karena mencintai wanita itu."

"Oh, kasihan sekali kau," sambil Selimut Senja mengusap-usap rambut Suto.

"Padahal aku sudah ingin sekali mempunyai istri. Aku ingin dipeluk oleh wanita, ingin dicium dan dicumbu oleh wanita," Suto berlagak bersungut-sungut.

"Kau benar-benar pemuda yang malang jika begitu. Tetapi... jika kau mau tinggal di sini, kau dapat merasakan pelukan dan ciumanku," bisik Selimut Senja.

"Benarkah itu?"

"Ya, benar. Sekarang pun kau boleh mencobanya, Panji," Selimut Senja semakin membisik, jantungnya berdetak-detak ketika Suto Sinting memandang dengan berseri-seri. Ia mendekatkan wajahnya dan mata terpejam sedikit.

"Ciumlah aku... ayo, ciumlah... jangan takut...," bujuk Selimut Senja. Maka, Suto Sinting pun mencium pipi perempuan itu pelan-pelan.

"Jangan di pipi saja, kecuplah bibirku. Hmmm...!" Selimut Senja menyodorkan bibirnya.

Pendekar Mabuk berlagak gemetar, namun segera menempelkan bibirnya ke bibir Selimut Senja. Bukan Suto yang melumat bibir, melainkan Selimut Senja yang melumat bibir Suto karena tak tahan digoda gairah yang telah meletup-letup sejak tadi. Lama-lama Suto Sinting memberi balasan, ganti melumat bibir Selimut Senja yang membuat gairah perempuan itu semakin terbakar.

"Oh, nikmat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan itu. Ooh... kecuplah lagi, Panji. Kecuplah seluruh tubuhku. Mana yang kau suka, ambillah, Sayang...!" sambil ia berbaring dengan menarik tangan Suto.

Maka, Suto Sinting pun segera menciumi wajah Selimut Senja dengan sentuhan lembut. Sesekali ciuman itu mengganas, namun sesekali lembut kembali. Hal itu membuat gairah Selimut Senja bagai dipermainkan lebih indah lagi. Bahkan kali ini ia membentangkan jubahnya, melebarkan dadanya yang telah tak berlapis kain lagi itu. Kepala Suto sedikit didorong agar menyentuh dadanya. Maka, Suto Sinting pun menyapu habis dada itu dengan kecupan dan pagutan hangatnya.

"Oouh. Panji, nikmat sekali! Sungguh nikmat sekali kecupanmu. Ooh. jangan berhenti, Sayang. Lebih ganas lagi, Panji. Lebih ganas lagi!"

Pada saat Selimut Senja memekik-mekik karena ditikam sejuta kenikmatan, Suto Sinting menghentikan aksinya secara mendadak, ia menarik diri dan duduk dengan wajah murung lagi.

"Panji, kenapa berhenti? Lakukanlah lagi, Panji...," rengek Selimut Senja.

Suto menggeleng murung. "Aku ingat penderitaan Ibu. Wajah ibuku menjadi buruk karena matahari tertutup kabut sinar ungu."

"Ooh... ibumu menggunakan ilmu pengawet ayu, ya?"

"Iya. Tapi gara-gara aku melawan Nyai Watu Wadon, matahari jadi tertutup kabut sinar ungu dan wajah ibuku menjadi tua. Aku harus menolong ibuku, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Padahal Ibu sudah bilang padaku, jika aku bisa menghancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu, maka aku akan diizinkan untuk menikah dengan seorang wanita pilihanku. Ibu tak keberatan aku jatuh cinta pada seorang wanita jika aku bisa menolong membebaskan Ibu dari bencana yang melanda kecantikannya itu."

"Lupakan dulu soal itu. Nanti aku akan membantumu jika kau benar-benar mau hidup bersamaku. Cumbulah aku lagi, Panji"

"Tidak. Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan dalam bercumbu sebelum bisa membantu meringankan penderitaan Ibu. Aku kehilangan gairah dan selera jika ingat Ibu."

Selimut Senja tarik napas dalam-dalam, kejap kemudian ia berkata sambil menciumi pipi Suto dan tangannya meremas sesuatu yang sudah berhasil digenggamnya. Suto diam saja menerima remasan itu. "Dengar kataku, Panji... layanilah aku dulu, nanti kuhancurkan 'Selaput Iblis' itu dengan pusaka milik kakekku. Jika kabut sinar ungu itu hilang, maka kecantikan Ibumu akan kembali seperti sediakala."

"Kau... kau bohong."

"Tidak. Aku tidak bohong. Aku benar-benar mempunyai pusaka panah 'Jemparing Malaikat' milik kakek-ku. Akan kuambil sebentar biar kau percaya "

Selimut Senja mendekati dinding yang terbuat dari susunan batu candi itu. Salah satu susunan batu yang letaknya sedikit miring ditekannya.

Soeerrrk...! Ternyata batu yang letaknya miring merupakan kunci bagi sebuah almari rahasia. Begitu batu itu ditekan, maka dinding di dekat pintu bergeser. Dinding yang bergeser itulah almari rahasia tempat menaruh kitab dan beberapa barang yang dirahasiakan, termasuk sebatang anak panah terbuat dari emas murni.

"Lihat, ini adalah panah emas yang dinamakan 'Jemparing Malaikat' milik kakekku; Begawan Parang Giri. Panah ini sebenarnya kusiapkan untuk melawan musuh besarku; Raja Tobe, dari Pantai Gangga. Tetapi..."

"Oh, tidak aku tidak mau! Aku takut dengan panah. Aku takuuut!" Suto Sinting berpura-pura seperti orang gila yang ketakutan melihat anak panah.

"Hei, dengar dulu, Panji"

"Tidak. Aku tidak mau! Aku takut melihat anak panah itu. Tidaaak...!" Suto Sinting sengaja lari keluar kamar.

"Panji, tunggu...!" Selimut Senja segera mengejar karena ia sudah telanjur berkhayal mendapat cumbuan dari pemuda itu dan ia tak mau gairahnya tertunda.

Suto Sinting berlari meninggalkan pesanggrahan itu. Selimut Senja mengejarnya terus. Anak buahnya dilarang ikut mengejar, karena masalah itu dianggapnya masalah pribadi yang tak boleh dicampuri siapapun.

Dalam sekejap Suto sudah sampai di tempat Panji Klobot bersembunyi, ia segera menggunakan ilmu 'Seberang Raga'. Ilmu itu ditujukan kepada Panji Klobot dengan cara memandang sebentar, lalu pejamkan mata, dan ketika mata terbuka lagi Panji Klobot sudah salin rupa menjadi sosok Suto Sinting, lengkap dengan bumbung tuak dan pakaiannya.

"Ada apa, Suto?!" Panji Klobot belum menyadari keadaannya yang sudah berubah menjadi Pendekar Mabuk. Bahkan ia tidak merasa kalau di punggungnya terdapat bumbung tuak yang melintang, ia hanya menjadi tegang dan berdebar-debar memandangi Suto Sinting yang berlari tinggalkan pesanggrahan itu.

"Panji Klobot, jika nanti ada perempuan memburumu, berlarilah ke arah selatan sana, lalu berhentilah di balik bukit cadas tempat kita bertemu tadi. Mengerti?"

"Lho, kenapa aku diburu oleh seorang perempuan?"

"Dia jatuh cinta padamu dan ingin mendapat cumbuan darimu. Hindarilah, nanti kalau kau turuti kau bisa ketagihan. Kau harus lari dan lari terus, jika terpaksa tertangkap, jangan bertindak kasar, tapi bujuklah agar dia membatalkan niatnya yang ingin bercumbu denganmu."

"Cantik apa buruk wajahnya, Suto?"

"Jangan pikirkan hal itu. Larilah sekarang juga, dia sudah tampak menuju kemari!"

"Bba... baik... baik!" Panji Klobot gugup, namun segera berlari. Sementara itu, Suto Sinting berkelebat ke balik pohon rindang dan bersembunyi di sana.

"Panji...! Panji Klobot, tunggu aku...!" seru Selimut Senja membuat Panji Klobot percaya dengan kata-kata Suto. Ia semakin berlari cepat, sedangkan Selimut Senja makin penasaran dan memburu Panji Klobot yang dalam penglihatannya berwujud Suto Sinting.

"Oh, sial! Panahnya tidak dibawa," gerutu Suto dalam hati ketika melihat Selimut Senja melintas di depannya. "Kalau begitu aku harus menyusup masuk ke kamarnya tadi dan menekan batu yang agak miring, lalu mengambil anak panah itu!"

Zlaaap...! Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya. Zlaaap... zlaaap... zlaaap...!

Para penjaga gerbang pesanggrahan hanya diam saja karena merasa tak melihat bayangan berkelebat. Tapi mereka menjadi heran melihat pintu gerbang terbuka sendiri dan tertutup dengan cepat. Mereka yang ada di dalam pesanggrahan juga tak sempat melihat gerakan Suto Sinting.

Ketika Suto masuk ke dalam kamar pribadi Selimut Senja, tak seorang pun mengetahuinya karena gerakannya yang menyamai kecepatan cahaya itu. Batu bersusunan miring ditekan, almari rahasia terbuka. Panah emas ada di sana. Suto segera menyambarnya. Wuut...! Kemudian ia bergerak tinggalkan tempat itu dengan kecepatan yang sama.

Zlaaap, zlaap, zlaap, zlaaaapp...!

"Panji Klobot...! Panjii...! Oh, jangan lari, Sayang. Aku tidak akan melukaimu...!" seru Selimut Senja yang penasaran ingin lampiaskan gairahnya saat itu juga.

Suara itu menjadi patokan bagi Suto Sinting, ia segera berkelebat melalui pohon demi pohon. Dalam sekejap ia sudah sampai di balik bukit. Di sana tampak Suto Sinting palsu bersembunyi. Pendekar Mabuk segera gunakan ilmu mengubah wujud yang membuat Panji Klobot menjadi wujud aslinya. Blaab...! Dan Panji Klobot masih belum merasa bahwa dirinya sudah berubah menjadi Panji Klobot sebenarnya, ia justru merasa tidak terjadi perubahan apa-apa sejak tadi.

Zlaaap...!

"Ooh, kau sudah di sini, Suto?!"

"Iya. Lekas ikut aku tinggalkan perempuan yang mengejarmu itu."

"Tunggu dulu, dia... dia tampaknya cantik dan..."

"Aaah... Mau macam-macam kau, hah?!"

Dees...! Suto Sinting menotok Panji Klobot. Bocah itu terkulai lemas, lalu dipanggul oleh Suto dan dibawa lari menuju ke Istana Selat Bantai.

Zlaap, zlaaaap, zlaaap...!

Ia tak peduli Selimut Senja kebingungan mencari 'Panji Klobot'-nya, yang penting anak panah emas sudah diperolehnya, ia segera menemui Awan Setangkai dan Nyai Sedap Malam. Panji Klobot dibebaskan dari totokannya, dan menjadi tambah bingung berada di Istana Selat Bantai.

"Bunga Ranjang, pinjam busur panahmu!" kata Suto. Dengan gunakan busur panah milik Bunga Ranjang, Suto Sinting mulai meletakkan panah emas itu di tali busur. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tali busur bisa ditarik dan anak panah pun dilepaskan ke arah matahari.

Slaaab...! Wuuut...! Panah emas berkilauan di langit, akhirnya menghantam kabut sinar ungu itu. Sluub...!

Jlegaaaarrrrrr...! Ledakan itu mengguncang seluruh bumi. Tapi kabut sinar ungu sirna seketika. Matahari bersinar terang kembali. Sedangkan panah emas itu melesat ke arah semula dan ditangkap oleh tangan Suto Sinting dengan gerakan cepat. Teeb...!

Bayangan manusia pun menjadi hitam kembali. Wajah-wajah yang dilanda bencana ketuaan itu berangsur-angsur cantik kembali. Beberapa perempuan Selat Bantai melepaskan cadarnya dan bersorak kegirangan. Di tempat lain, Bidadari Jalang juga berubah cantik kembali, demikian pula Sumbaruni, Tenda Biru, Merpati Liar, dan beberapa orang lainnya.

"Kau benar-benar hebat, Suto!" puji Awan Setangkai.

"Tapi panah emas ini tetap akanku kembalikan kepada Begawan Parang Giri!" kata Suto Sinting, dan Awan Setangkai tak berani membantah, demikian pula Nyai Sedap Malam.

Tapi Panji Klobot segera berkata, "Suto, aku akan kembali ke tempat tadi. Perempuan cantik itu pasti merindukan diriku, Suto. Dia memanggil-manggil namaku terus. Pasti dia tergila-gila padaku!"

Mereka segera menertawakan Panji Klobot, setelah Suto Sinting menceritakan bagaimana menyiasati Selimut Senja sehingga ia berhasil mencuri panah emas itu.

SELESAI


Bencana Selaput Iblis

Serial Pendekar Mabuk
Bencana Selaput Iblis
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

JURANG Lindu adalah sebuah tempat yang mempunyai tebing cukup tinggi. Di bawah tebing itu ada sungai dangkal berbatu-batu. Tebing itu juga mempunyai curahan air terjun yang cukup deras hingga suara gemuruhnya dapat terdengar dari jarak radius lima kilometer.

Di balik curahan air terjun yang bening itu, ternyata ada sebuah gua cukup besar yang menjadi tempat tinggal seorang tokoh tua kelas tinggi dan namanya cukup kondang di rimba persilatan. Tokoh itu tak lain adalah Ki Sabawana alias si Gila Tuak.

Gila Tuak mempunyai murid yang masih muda, tampan, gagah, berani, dan agak sinting. Bukan otaknya yang sinting, melainkan ilmunya itulah yang sinting. Karena dalam usia belum mencapai dua puluh delapan tahun, ia sudah mampu tumbangkan tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi. Anak muda berbaju coklat tak berlengan dengan celana putih kusam dan rambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Suto Sinting, yang kemudian dikenal dengan nama Pendekar Mabuk.

Pemuda itu ke mana-mana selalu membawa bumbung bambu berisi tuak. Tuaknya itu bukan tuak sembarangan. Mampu untuk sembuhkan penyakit dan melenyapkan luka dalam waktu singkat. Tuak itu dikatakan sebagai tuak sakti, tapi sebenarnya bukan tuaknya yang sakti, melainkan bumbung bambunya. Sebab bumbung bambunya itu adalah jelmaan dari tokoh kawakan yang berilmu tinggi, yang tanpa pusar seperti Suto sendiri, dan tokoh kawakan itu adalah Eyang Wijayasura.

"Kau boleh minum tuak sepuas-puasmu, kapan saja dan di mana saja, tetapi ingat... jangan sampai mabuk! Sekali lagi, jangan sampai mabuk!"

Itu wanti-wanti si Gila Tuak kepada sang murid tunggalnya.

"Kau boleh mabuk, tapi hanya dalam memainkan jurusmu saja. Dalam kenyataannya kau harus tetap sadar dan waspada."

"Minum tuak banyak-banyak kok tidak boleh mabuk. Guru? Mana bisa begitu?"

"Bisa saja! Minum tuak atau arak supaya tidak mabuk ada caranya sendiri."

"Caranya bagaimana, Guru?"

"Caranya, salurkan air tuak ke dalam sel-sel darah merahmu pada saat tuak sudah masuk ke tenggorokan. Jangan dinikmati dengan hatimu, tapi nikmatilah dengan darahmu. Jika kau menikmati tuak dengan darahmu, maka seluruh tubuhmu akan ikut menikmati. Sebab seluruh tubuhmu mempunyai darah."

"Ada yang tidak mempunyai darah, Guru."

"Bagian apa yang tidak mempunyai darah dalam tubuh kita?"

"Rambut! He, he, he, he...! Rambut kita kalau dipotong tidak berdarah, Guru. Jenggot Guru kalau dipotong juga tidak berdarah kan?"

"Tapi kalau kepalamu diketok pakai kayu kok berdarah?! Kalau tak percaya, mari kucoba."

"Eh, eh... jangan, Guru! Jangan! Ampun, Guru!"

"Murid kalau dikasih tahu kok pasti banyak ngototnya!" gerutu Gila Tuak sambilbersungut-sungut.

Itu percakapan beberapa tahun yang lalu, ketika Suto Sinting baru tumbuh sebagai remaja dan ilmunya belum seberapa tinggi. Sekarang, acara ngotot-ngotot sudah jarang dilakukan oleh Suto. Walau kadang-kadang memang ia masih suka ngotot, tapi tidak sebandel dulu.

Sekarang jika Gila Tuak memberi wejangan ini-itu, Suto Sinting hanya mengangguk dan menerima wejangan itu dengan penuh kesungguhan. Apalagi sejak sang Guru hampir mati karena penyakit aneh itu, Suto Sinting mulai jarang membandel di depan gurunya.

Beberapa waktu yang lalu, Gila Tuak sakit parah. Hampir saja nyawanya cabut dari raganya. Penyakit itu disebabkan karena hukuman atas kelalaian si Gila Tuak. Seperti apa kata Eyang Putri Batari, neneknya Dyah Sariningrum yang menjadi kekasih pujaan hati Suto itu, bahwa Gila Tuak punya ilmu yang lupa belum diturunkan atau dibuang dalam batas usia sampai sekarang. Karena, ilmu itu membuat Gila Tuak sakit dan hampir koit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gerbang Siluman).

"Aku sendiri memang lupa kalau aku punya ilmu yang bernama 'Sukma Lingga'. Sebab ilmu itu jarang kugunakan. Sudah puluhan tahun aku tidak pernah memakai ilmu tersebut, tapi juga lupa belum membuangnya," kata Gila Tuak sambil duduk berslia berhadapan dengan muridnya di atas sebongkah batu besar yang datar tak seberapa jauh dari curahan air terjun.

"Ilmu 'Sukma Lingga' itu ilmu apa, Guru?"

"Ilmu itu sejenis ilmu siluman, yaitu merupakan kesatuan dari kekuatan batin dan pikiran yang bekerjasama dengan napas serta roh sejati kita."

"Perlu latihan berapa lama, Guru?"

"Satu purnama sudah cukup, terutama bagi orang yang sudah memiliki ilmu dasar pernapasan dan pemusatan kekuatan batin."

"Apa yang kita dapatkan dari ilmu 'Sukma Lingga' itu, Guru?" tanya Suto yang selalu ingin tahu jika bicara soal ilmu.

"'Sukma Lingga' dapat mengubah diri kita menjadi raksasa, ular naga, burung hantu, atau apa saja yang bersifat aneh dan tidak masuk akal. Sebab ilmu 'Sukma Lingga' tercipta oleh Eyang Buyut Guru-mu itu dari suatu kekuatan inti khayal yang diubah menjadi inti nyata. Aku jarang memakainya, karena aku tak suka berkhayal."

"Apakah ilmu itu sama dengan ilmu 'Dewatakara' pemberian si Payung Serambi yang sekarang masih kumiliki ini, Guru?"

"Ya, sama persis, bahkan bisa lebih tinggi 'Sukmalingga' jika kau pandai mengolahnya dalam tiap denyut nadi dan tiap helaan napasmu. Tergantung seberapa tingginya daya khayalmu sebelum menggunakan ilmu 'Sukma Lingga' itu."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berdebar-debar karena merasa kagum dengan kehebatan ilmu itu dan merasa bangga jika ia bisa memiliki ilmu tersebut.

"Sekarang ilmu itu akan kuturunkan padamu."

"Benar, Guru. Sayang sekali kalau harus dibuang, kan?"

"Sebenarnya akan kubuang. Tapi mengingat kau telah selamatkan nyawaku saat aku dalam keadaan sekarat gara-gara hukuman ilmu itu, maka sebagai hadiahnya, 'Sukma Lingga' akan kuturunkan padamu. Tapi ingat, kalau ilmu itu sudah berada dalam dirimu selama dua ratus tahun, kau harus membuangnya atau mewariskan kepada muridmu kelak. Sebab jika tidak kau buang atau kau wariskan kepada seseorang, maka ilmu itu akan mengeringkan darahmu dan membusukkan jantung, paru-paru, limpa, hati, usus, babat, dan sebagainya. Kau akan menderita seperti penyakitku tempo hari itu."

"Saya akan selalu mengingat pesan Kakek Guru ini!" jawab Suto dengan tegas.

Sang Guru yang usianya sudah mencapai dua ratus lima belas tahun itu segera berkata lagi dengan penuh wibawa. "Ilmu 'Sukma Lingga' dapat meleburkan ilmu 'Dewatakara' yang kini berada dalam dirimu itu. Jika ilmu 'Dewatakara' telah lebur, maka darahmu bukan lagi darah siluman. Kau akan kembali sebagai pemuda berdarah manusia biasa, namun mempunyai kekuatan gaib setinggi para siluman, yaitu dengan cara mengendalikan ilmu 'Sukma Lingga' tersebut. Paham?"

"Paham sekali, Guru! Kapan saya mulai latihan? Sekarang?"

"Nanti dulu...!" sang Guru bersungut-sungut. "Aku perlu berunding dulu dengan Bibi Guru-mu; Bidadari Jalang. Sebab, dulu aku pernah janji padanya, kalau dia mau masuk aliran putih, aku akan menurunkan ilmu itu padanya."

Bidadari Jalang adalah tokoh cantik yang berilmu tinggi, satu tingkat di bawah Gila Tuak. Mereka dulu boleh dikatakan satu perguruan, hanya saja beda guru. Jika Gila Tuak gurunya Eyang Purbapati, maka Bidadari Jalang gurunya Eyang Nini Galih. Sedangkan Purbapati dan Nini Galih itu suami-istri, mempunyai satu guru dan satu aliran, guru mereka adalah Eyang Wijayasura.

Tetapi ketika Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih sudah wafat, Bidadari Jalang menyimpang dari ajaran agung sang Guru. Kehebatan ilmunya membuat Bidadari Jalang lupa daratan dan jadilah ia seorang tokoh sesat yang sukar ditumbangkan. Kejahatan Bidadari Jalang berkisar pada masalah gairah dan cinta.

Tak peduli lelaki itu sudah punya istri, kalau Bidadari Jalang bergairah kepada lelaki itu, maka ia akan berusaha dengan cara kasar untuk mendapat kemesraan tersebut. Kalau perlu, istri lelaki itu dibunuh. Dan kalau lelaki itu tidak mau melayani gairahnya, menolak ajakan bercumbu, maka hal itu sama saja si lelaki menghendaki umur pendek. Bidadari Jalang tak segan-segan membunuh lelaki yang menolak ajakan bercumbunya.

Akibat ulahnya yang tergolong sesaat itu, maka Bidadari Jalang banyak musuhnya. Terutama musuh perempuan, sebab yang banyak dikecewakan olehnya adalah kaum perempuan yang merasa suami atau kekasihnya direbut oleh Bidadari Jalang. Tetapi setelah Bidadari Jalang menemukan bocah tanpa pusar berusia sekitar tujuh tahun, ia menjadi tertarik untuk turunkan ilmunya, ia berebut dengan kakak perguruannya sendiri; Gila Tuak.

Akhirnya mereka sepakat untuk sama-sama menurunkan ilmu mereka kepada bocah tanpa pusar itu. Dan bocah tersebut tumbuh menjadi dewasa, hingga sekarang menjadi seorang pendekar perkasa berjuluk Pendekar Mabuk. Sejak itulah Bidadari Jalang bertobat, insaf, sadar, tak mau menjadi perempuan sesat lagi. Kini ia menjadi tokoh aliran putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai, ia ingin menebus segala dosanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Hyang Widi Wasa, banyak bersujud kepada Yang Maha Kuasa.

Tetapi hutang lama Bidadari Jalang masih banyak dan belum terlunasi. Tak heran jika banyak pula para penagih hutang yang mencarinya dan bikin perhitungan dengannya. Salah satu penagih hutang yang berhasil temukan tempat pengasingan Bidadari Jalang adalah Nyai Watu Wadon, yang merasa dirugikan seumur hidupnya karena ulah Bidadari Jalang tempo dulu.

"Sebelum nyawaku sirna dari raga, aku tetap mengejarmu, Bidadari Jalang! Tak peduli apakah sekarang kau sudah jadi orang baik atau orang buruk atau juga jadi orang hutan, tapi hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Tak pernah ada hutang nyawa dibayar dengan beras!" ujar Nyai Watu Wadon ketika berhasil temukan Bidadari Jalang di Lembah Badai.

Perempuan yang kehilangan suaminya karena dibawa lari oleh Bidadari Jalang, dan beberapa hari kemudian ditemukan sang suami sudah tak bernyawa di tepi hutan itu, sekarang usianya sudah delapan puluh tahun. Tetapi berkat kesaktian ilmu yang dimilikinya, Nyai Watu Wadon masih tampak tegar, kulitnya masih kencang untuk ukuran seorang nenek seperti dia. Rambutnya memang sudah putih rata dan digulung asal-asalan. Tetapi ia belum bungkuk dan jalannya tidak tertatih-tatih, ia bahkan masih tampak lincah dan gerakannya cukup gesit.

Nyai Watu Wadon mengenakan jubah abu-abu dengan pakaian penutup bagian pentingnya berwarna kuning kunyit. Dengan senjata tongkat hitam yang ujungnya diberi senjata mirip bulan sabit itu, Nyai Watu Wadon berdiri tegak menantang pertarungan dengan Bidadari Jalang.

"Barangkali ada baiknya kalau suamimu mati di tanganku, Watu Wadon!" ujar Bidadari Jalang. "Karena suamimu sendiri adalah Ketua Perampok Laut Wetan! Kalau sekarang ia masih hidup, ia tetap akan merugikan pihak lain yang tak berdosa padanya."

"Bicaramu seperti seorang biksu saja. Perempuan Liar! Jangan bicara tentang dosa, karena kau juga manusia yang tak pernah kenal dosa! Sekarang hadapi saja hukuman dariku sebagai penebus kematian suamiku!"

"Aku tidak mau membunuh lagi, Watu Wadon."

"O, kalau begitu kau lebih suka dibunuh?! Aha, itu sangat bagus. Kita pasangan yang cocok; kau suka dibunuh dan aku suka membunuh!"

"Tapi kalau kau memaksaku harus mempertahankan nyawa, dengan terpaksa kulayani tantanganmu, Watu Wadon!"

"Eh, plin-plan juga kau rupanya. Mulutmu harus dirobek dulu dengan tongkat 'Tanduk Keong' ini. Hiaaaat...!!"

Weeesss...! Nyai Watu Wadon berkelebat menerjang Bidadari Jalang. Gerakannya ternyata sangat cepat dan membuat Bidadari Jalang terlambat menghindarinya. Tongkat 'Tanduk Keong' hampir saja merobek wajah Bidadari Jalang jika perempuan yang masih cantik dan berdada montok itu tidak melompat ke kiri. Namun toh lompatannya itu tak luput dari kibasan ujung tongkat yang bawah, sehingga kening Bidadari Jalang terhantam kibasan tongkat tersebut.

Plaaak...!

Brrruk...! Bidadari Jalang jatuh terbanting. Rupanya tongkat itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sama besarnya dengan serudukan seekor banteng. Kepala Bidadari Jalang terasa mau pecah. Keningnya membekas merah kebiru-biruan. Pandangan matanya menjadi buram dan makin lama makin gelap.

Bidadari Jalang mencoba bangkit dengan tenaga yang masih ada. Tapi baru separo berdiri, tahu-tahu tengkuknya ditendang oleh Nyai Watu Wadon yang menggunakan tendangan belakang seperti kuda betina menyepak lawannya. Duuuhk...!

"Uuhk...!"

Bruuuk...! Bidadari Jalang tersungkur ke depan, darahnya keluar dari mulut. Menyembur deras sebelum jatuh tadi. Tendangan itu pun di aliri kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, hingga membuat seluruh tubuh Bidadari Jalang menjadi panas bagai dipanggang api.

Agaknya Nyai Watu Wadon sekarang jauh lebih tangkas dari waktu mudanya, ia telah memperdalam ilmunya yang sengaja dipersiapkan untuk melawan Bidadari Jalang. Pada dasarnya, Bidadari Jalang sebenarnya tak ingin melawan, apalagi membunuh Nyai Watu Wadon, ia tak mau lakukan hal itu. Ia hanya ingin menghindari keributan tersebut dengan sedikit memberi pertahanan agar tak sampai terbunuh.

Tetapi rupanya Nyai Watu Wadon memang tidak ingin memberi kesempatan kepada Bidadari Jalang untuk bernapas lebih lama lagi. Cita-citanya adalah membunuh Bidadari Jalang dalam dua-tiga jurus saja. Jadi dia tidak boros jurus. Karena itulah, begitu melihat Bidadari Jalang terpuruk dalam keadaan luka dalam cukup parah. Nyai Watu Wadon segera mengangkat tongkatnya 'Tanduk Keong' itu. Dengan satu lompatan, tongkat itu dihujamkan ke bawah untuk memenggal leher Bidadari Jalang.

"Habis riwayatmu sekarang, Jahanam! Hiaaaah...!"

Wuuuut...! Brruuus...!

Nyai Watu Wadon justru terpental agak jauh dan tubuhnya menabrak sebatang pohon besar. Tubuh yang terhempas kuat pada batang pohon itu akhirnya jatuh tersungkur dan membuat tulang-tulangnya terasa mau patah semua. Pandangan mata Nyai Watu Wadon pun menjadi berkunang-kunang, hingga ia perlu mengerjap-ngerjapkan mata sambil berusaha bangkit dengan bantuan tongkatnya.

"Maling kecut, kunyuk botak...!" umpat sang Nyai. "Siapa yang menerjangku tadi?!" sambil ia clingak-clinguk.

Lalu sebuah suara menjawab dari belakangnya. "Aku yang menerjangmu, Nona!"

"Baah...! Bocah keparat kau, berani menerjang orang tua! Apa matamu buta, aku sudah jadi nenek. Jangan panggil aku Nona lagi. Itu penghinaan namanya!"

Pemuda yang menerjangnya itu tersenyum kalem. Pemuda itu adalah Suto Sinting yang sudah siap dengan bumbung tuaknya di tangan kanan.

"Siapa kau, sehingga berani menggagalkan rencanaku membunuh Bidadari Jalang?!"

"Aku muridnya! Namaku Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"

"Bohong!" bentak Nyai Watu Wadon. "Kau tak pantas jadi muridnya, karena kau tampan dan gagah perkasa begitu. Kau pasti gundiknya si Jalang ini!"

"Aku muridnya!" tegas Suto. "Kalau kau mau membunuh Bibi Guru, kau harus membunuhku lebih dulu, Mbah!"

"Jangan panggil aku Mbah! Kuno itu!" sentak Nyai Watu Wadon. "Panggil aku Dik... eh, jangan... itu terlalu muda. Panggil aku Mbak... oh, jangan itu. Tapi... tapi persetan kau mau panggil aku apa, yang jelas kau telah ikut campur dalam urusan ini dan kau harus mati di tanganku. Ciaaaatt...!"

"Ssssttt...!!"

Nyai Watu Wadon hentikan langkahnya yang ingin menyerang Suto dengan ujung tongkat sudah siap disodokkan ke leher pemuda itu. Suto menempelkan telunjuknya di mulut yang berdesis tadi, sepertinya ingin membisikkan sesuatu yang amat rahasia. Nyai Watu Wadon kendurkan ketegangan dan melangkah biasa sambil menyodorkan telinganya.

"Ada apa?" tanyanya dalam nada bisik.

Suto pun bicara dengan suara rendah seperti orang berbisik. "Orang sudah tua tak baik melawan anak muda. Nanti kualat! Durhaka!"

"Setan kampret!" sentak Nyai Watu Wadon. Lalu ia hantamkan tangannya ke dagu Suto. Wuuut...!

Plak...! Tangan Suto berkelebat menangkis dengan badan miring ke kiri, lalu mengayun ke belakang seperti orang mabuk mau jatuh. Nyai Watu Wadon berputar dan kakinya menyepak ke belakang. Wuuut...!

Ploook...!

"Aduuuh...!" Suto Sinting terkena tendangan pada bagian pipinya, ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak segera berpegangan pada sebatang pohon.

"Bocah kupret mau coba-coba melawanku dengan tipu muslihat, hmmm...! Cekak umurmu, Nak!" seru Nyai Watu Wadon. "Kalau tak percaya bahwa umurmu akan cekak, inilah buktinya! Heeeeah...!"

Nyai Watu Wadon melompat dan mengibaskan tongkat 'Tanduk Keong' dengan cepat. Wuuut...! Tongkat itu tiba-tiba menghantam sesuatu. Trring...! Seperti menghantam logam besi, tapi sebenarnya yang dihantam adalah bambu bumbung tuak. Bambu itu tidak lecet atau remuk, justru tongkat sang Nyai yanghampir saja terlepas dari genggamannya.

Suto segera berkelebat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang punya kecepatan seperti cahaya pindah tempat itu. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping Bidadari Jalang. "Bibi Guru, minumlah tuak ini. Lekas...! Aku akan hadapi dia!"

"Jangan. Dia bukan lawanmu."

"Masa bodoh, yang jelas dia mau bunuh Bibi Guru, berarti dia harus berhadapan denganku dulu!"

Pendekar Mabuk tinggalkan bumbung tuaknya agar diminum Bidadari Jalang, ia terpaksa harus lakukan satu lompatan cepat, karena Nyai Watu Wadon sudah menyerang kembali dengan tongkatnya. Kali ini logam putih tajam yang mirip tanduk atau bulan sabit itu memancarkan sinar merah bara. Ketika disodokkan ke depan, dua berkas sinar merah berkelok-kelok meluncur ke arah Bidadari Jalang. Claaap...!

Pendekar Mabuk melompat dan berguling di tanah. Wuuut...! Kini ia berlutut satu kaki dan sentakkan kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan itu melesat dua larik sinar ungu sebesar lidi. Kedua sinar dari jurus 'Surya Dewata' itu bertabrakan dengan sinarnya Nyai Wato Wadon.

Cralaaap...! Blegaaarrr...!

Ledakan itu mengguncangkan tanah sekitar mereka. Pohon-pohon pun bergetar, daunnya berguguran. Gelombang ledakan itu menyentak kuat, membuat Nyai Watu Wadon terjungkal ke belakang dan Suto Sinting terlempar ke samping.

Brruus...! Gusraaak...!

"Maling tak sunat kau, Cah Pitak! Rupanya kau punya kekuatan untuk hadapi jurus 'Sepasang Paruh Kuda'-ku tadi. Kalau begitu, coba tahan jurus 'Bencana Gaib'-ku ini! Hiaaah...!"

Nyai Watu Wadon yang ganas itu segera lepaskan tongkatnya. Tongkat berdiri tegak di tanah tanpa ditancapkan. Lalu kedua pergelangan tangannya saling rapat. Dan kedua tangan itu menyodok ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuuut...! Dari sodokan tangan itu melesat sinar besar warna merah berasap. Wuuus...!

Pendekar Mabuk cepat-cepat pergunakan jurus 'Tangan Guntur'-nya. Kedua tangan menyentak ke depan lagi dan keluarlah sinar biru besar dari telapak tangannya itu. Claaap...! Sinar itu pun akhirnya menghantam sinar merahnya Nyai Watu Wadon di pertengahan jarak.

Jegaaaarrr...!! Brruuk...! Gusraak...! Sruuuk...! Bruuuss...!

Pohon-pohon tumbang karena ledakan kali ini sungguh dahsyat. Tubuh Suto dan Bidadari Jalang terlempar sepuluh langkah dari tempat semula. Tubuh Nyai Watu Wadon terpental pula dan membentur pohon. Pohon itu sendiri tumbang dan menindih tubuh Nyai Watu Wadon. Beberapa pohon lainnya pecah, batu-batu hancur, tanah terbelah menjadi beberapa bagian.

Cahaya ungu yang berkerilap bersama bunyi ledakan dahsyat tadi masih menyala dan membubung tinggi menyebar lebar, menutup cahaya matahari. Langit bagaikan diselaputi kain ungu yang membuat cahaya matahari sukar menembus ke bumi. Cahaya ungu yang bercampur kabut tipis itu makin lama semakin tinggi, lalu tampaklah matahari bersinar ungu dan menjadi temaram.

"Uuuhk...! Hiiiaaahk...!"

Nyai Watu Wadon menghantam pohon yang menimpanya itu dengan kedua tangan. Praak...! Blaaarr...! Pohon itu hancur, ia segera dapat meloloskan diri. Namun ketika ia berdiri menyambar tongkatnya, tiba-tiba ia memuntahkan darah dari mulut.

"Hoeek...!" Zrrrook...! Darah yang dimuntahkan berwarna hitam dan cukup banyak. Nyai Watu Wadon mengerang dan mulai terbatuk-batuk. "Keparat kau, Jahanam Busuk! Kau lukai aku separah ini dan... uuuhk...!" Nyai Watu Wadon pegangi dadanya dengan menyeringai menahan sakit. Wajahnya menjadi pucat pasi. "Celaka aku ini! Kalau tetap melawan bocah sontoloyo itu bisa mampus di sini!" gerutunya dalam hati.

Maka ia pun segera lakukan sentakan kaki yang membuatnya melambung ke atas dan hinggap pada sisa batang pohon yang patah di pertengahannya. Jleeeg...! "Bocah congor sapi!" serunya dengan suara tertahan. "Tunggu pembalasanku! Aku akan datang dengan murid-muridku pada saatnya nanti!"

Blaaasss...! Nyai Watu Wadon pergi dengan berkelebat cepat. Pendekar Mabuk yang mengucurkan darah dari hidung dan telinganya bergegas mengejar. Tapi Bidadari Jalang segera berseru,

"Tunggu, Suto...!"

Langkah pengejaran terhenti, Pendekar Mabuk berpaling memandang Bibi Guru-nya.

"Jangan kejar dia!" larang Bidadari Jalang.

"Kenapa, Bi?!"

"Dia Ketua Janda Liar!"

"Apa kehebatannya?!"

* * *

DUA

WAJAH Bidadari Jalang yang cantik dan awet muda itu kini tampak murung diliputi kecemasan. Walaupun luka dalamnya telah sembuh dan badannya cepat menjadi segar kembali karena minum tuaknya Suto, tapi kegelisahan itu masih belum bisa sirna dari raut wajah cantiknya.

Pendekar Mabuk tak habis pikir melihat Bibi Gurunya menyimpan kecemasan. Mulanya ia ajukan tanya, tapi sang Bibi Guru tak mau menjawab yang sebenarnya. Kecurigaan Suto membuat hatinya kian penasaran hingga mendesak terus dengan pertanyaan yang sama.

"Sebenarnya ada apa, Bi?! Mengapa Bibi Guru berpura-pura tenang padahal hati menyimpan kecemasan?!"

Bidadari Jalang agaknya masih belum mau menjawab secara apa adanya. Bahkan ia sengaja alihkan pembicaraan agar sang murid lupa dengan kegelisahannya. "Apakah kedatanganmu ke Lembah Badai ini diutus oleh Kakek Guru-mu?"

"Benar, Bibi. Aku diutus Kakek Guru untuk memanggilmu datang ke Jurang Lindu. Ada masalah yang ingin dibicarakan Kakek Guru kepada Bibi Guru."

"Masalah apa?"

"Tentang ilmu 'Sukma Lingga' yang bikin sakit Kakek Guru tempo hari itu, Bi!"

"Oooo...," Bidadari Jalang manggut-manggut. Sekarang ia baru ingat bahwa Gila Tuak memang punya ilmu 'Sukma Lingga' yang akan merusak jiwa raganya jika dalam dua ratus tahun tak dibuang atau dialihkan ke orang lain. Suto Sinting juga menceritakan tentang janji Gila Tuak kepada Bidadari Jalang, sesuai dengan cerita sang Kakek Guru itu.

"Memang, dulu Gila Tuak membujukku agar masuk ke aliran putih. Bahkan dia menjanjikan akan memberikan ilmu 'Sukma Lingga' kepadaku jika aku mau masuk aliran putih dan meninggalkan jalan sesatku. Tetapi pada waktu itu aku menolak."

"Apakah Bibi Guru tidak mempunyai ilmu itu?"

"Tidak, ilmu 'Sukma Lingga' adalah ilmu wasiat dari Eyang Purbapati. Aku mendapat warisan ilmu wasiat sendiri dari Eyang Nini Galih, yaitu ilmu 'Candra Geni'. Dan ilmu itu akan kuturunkan padamu sesuai janjiku, karena kau telah berhasil sembuhkan Kakek Guru-mu dengan 'Tuak Dewata' itu."

Pendekar Mabuk tarik napas lega bercampur gembira, karena ia juga akan mendapat ilmu tambahan dari Bibi Guru-nya. Karena sebelum itu, Bidadari Jalang memang pernah berjanji akan menurunkan ilmu 'Candra Geni' jika Suto berhasil selamatkan nyawa Gila Tuak dari penyakit aneh itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Tuak Dewata).

"Tetapi agaknya kau harus selesaikan dulu urusanmu dengan Kakek Guru-mu. Nanti setelah ilmu 'Sukma Lingga' kau kuasai, aku baru akan menurunkan ilmu 'Candra Geni' itu." "Apakah Bibi Guru tidak keberatan jika ilmu 'Sukma Lingga' diwariskan padaku?"

Bidadari Jalang menggeleng. "Aku bertobat dan masuk ke aliran putih bukan karena ingin memiliki ilmu 'Sukma Lingga'. Jadi bagiku tidak ada masalah ilmu itu mau diwariskan padamu atau mau dibuang oleh si Gila Tuak. Jika memang akhirnya kau yang akan menerima ilmu wasiat itu, pada dasarnya aku setuju saja. Tapi yang terpenting bagiku sekarang ini...," Bidadari Jalang hentikan kata. Wajah cantik itu tampak resah lagi dan jelas sekali keresahan itu sengaja ingin disembunyikan namun gagal.

Suto Sinting melihat keresahan itu mengganggu ketenangan Bibi Guru-nya, sehingga ia berusaha membujuk sang Bibi Guru mau jelaskan rahasia keresahannya itu. "Kesulitan Bibi Guru sama saja dengan kesulitanku. Kalau Bibi Guru tidak mau membagi masalah denganku, berarti aku sudah bukan lagi murid dari Bibi Guru! Aku akan pamit pergi dan tak akan kembali lagi ke sini!"

"Pergilah sana dan tak perlu ke sini lagi!"

"Yaaah... tadi kan cuma gertakan saja, Bi!" Suto Sinting merajuk seperti anak kecil, ia memang sering manja jika sedang berhadapan dengan Bibi Guru-nya. "Jangan suruh aku benar-benar pergi, Bi. Nanti aku sedih kalau kehilangan Bibi Guru."

"Ah, rayuanmu tak bisa menyentuh hatiku!" sambil Bidadari Jalang melengos.

"Kalau Bibi bukan guruku juga, pasti Bibi akan kurayu dengan asmara dan Bibi Guru akan kelabakan mencari kemesraanku. He, he, he, he"

"Kalau kau bukan muridku, aku juga tidak akan turunkan jurus 'Rayuan iblis' yang dapat melumpuhkan hati perempuan mana pun itu!"

"Jadi, sekarang aku masih muridmu, bukan?" sambil Suto sengaja berpindah tempat agar berhadapan dengan Bidadari Jalang.

Perempuan cantik berjubah ungu muda dan pinjung penutup dada serta celana beludrunya yang berwarna merah itu sengaja berbalik arah agar memunggungi murid tampannya. "Tinggalkan aku dan biarkan aku berpikir sendiri, Suto."

Sang murid cengar-cengir. "Bibi terlalu cantik kalau cemberut begitu."

"Tinggalkan aku sekarang juga, Suto!" sentaknya tanpa berpaling kepada Suto yang ada di belakangnya.

Suto memegangi jubah sang Bibi Guru. "Bibi jangan membentak begitu, nanti hatiku deg-degan. Sebab kalau Bibi sedang marah, wajah Bibi Guru jauh lebih cantik daripada rembulan dan..."

"Suto!!" bentak sang Bibi Guru semakin keras.

Suto Sinting terlonjak kaget dan segera undurkan diri. Ia menundukkan kepala ketika Bibi Guru-nya memandang dengan mata memancarkan kemarahan. Namun sesekali mata Suto melirik wajah sang Bibi Guru dengan senyum geli disembunyikan.

"Persoalan ini adalah persoalanku, dan kau tak boleh tahu!"

"Tapi, Bibi..., sebagai muridmu juga, aku harus bisa membantumu dalam melepaskah diri dari segala kesulitan."

"Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuan siapa pun. Yang penting, sekarang pergi dari sini dan kembalilah ke Jurang Lindu. Katakan kepada Kakek Guru-mu bahwa aku setuju jika ilmu 'Sukma Lingga' itu diwariskan padamu. Sudah, pergi sana!"

"Kenapa Bibi Guru menjadi begitu berang kepadaku?" Suto berlagak manja dan bersungut-sungut. "Dari dulu cuma Bibi Guru yang sering mengomelku!"

"Karena kau murid yang bandel, nakal, dan..."

"Dan tampan, bukan?" goda Suto sambil nyengir, pamer senyum ketampanan di depan Bibi Guru-nya.

Plaaak! Suto ditampar dan Suto Sinting kaget, lalu berkata dengan wajah memelas. "Terima kasih!"

Bidadari Jalang bergegas pergi tinggalkan Suto Sinting. Tapi sang murid bandel tetap memburunya, serta tiba-tiba menghadang langkah sang Bibi Guru. Jleeg!

"Pergi kau dari hadapanku!" gertak Bidadari Jalang.

"Aku tak ingin pergi sebelum Bibi Guru ceritakan apa sebabnya Bibi Guru gelisah dan resah sekali."

"Kau mau melawan Bibi Guru-mu ini?!"

"Boleh saja kalau memang Bibi Guru ingin adu ilmu denganku!" jawab Suto sambil berlagak cuek, garuk-garuk kepala dan memandangi daun-daun pohon.

"Kau benar-benar murid yang minta dibasmi!" geram Bidadari Jalang.

"Memangnya aku tikus sawah, kok mau dibasmi segala?!" Suto bersungut-sungut.

Bidadari Jalang melengos sembunyikan senyum. Kemudian perempuan itu bergegas pergi dengan satu lompatan cepat. Wuuut,..! Tapi Suto Sinting menyusulnya dengan jurus 'Gerak Siluman' yang lebih cepat dari gerakan Bibi Guru-nya. Zlaaap!

Bidadari Jalang hentikan langkah karena Suto sudah menghadang di depannya. Ia berani lakukan canda seperti itu, karena ia yakin Bibi Gurunya tidak benar-benar marah. Hanya merasa jengkel oleh ulahnya. Dan semakin sang Bibi Guru kelihatan jengkel, semakin berani Suto mempermainkan sang Bibi Guru. Kebetulan saat-saat bahagia dalam canda seperti itu sudah lama tidak terjalin di antara mereka berdua, karena Suto Sinting sibuk mengejar musuh utamanya; Siluman Tujuh Nyawa.

Kepala tokoh terkutuk bernama Siluman Tujuh Nyawa itulah yang akan menjadi maskawinnya nanti dalam melamar seorang ratu cantik dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Ratu itu bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli yang cantik: Dyah Sariningrum.

"Kau benar-benar membuatku marah, Suto!" geram Bidadari Jalang. "Kuhitung sampai tiga kali kalau kau masih berdiri menghadangku, akan kuhajar kau sampai gempor, Suto!"

"Kuadukan kepada Kakek Guru, kau akan kena marah, Bibi!"

"Adukan sana! Aku tidak takut berhadapan dengan si Gila Tuak!" sentak Bidadari Jalang dengan wajah cantik cemberut.

"Jangan, ah! Kalau kuadukan nanti Bibi Guru dimarahi oleh Kakek Guru. Kasihan, Bibi... sudah tak punya sanak keluarga masa' harus dimarahi terus?!"

"Minggir kau, Suto! Satuuu...!"

"Duaaaa...!" Suto ikut-ikutan menghitung.

"Diam kau! Biar aku yang menghitung!"

"Aku cuma tunjukkan bahwa aku ingin membantu setiap pekerjaan dan kesulitanmu. Sebagai contoh, aku ikut membantu menghitung ancamanmu itu, Bibi Guru."

"Duaaa...!"

Pendekar Mabuk sengaja cengar-cengir di depan Bibi Guru-nya. Wajah cantik itu makin tampak kesal, bahkan sempat menggeram dengan napas tertarik. Tiba-tiba mereka mendengar suara dentuman dari arah timur. Wajah mereka tampak terperanjat seketika. Dentuman itu terdengar tak begitu jauh dari mereka. Pendekar Mabuk mulai penasaran sebab ia yakin di sebelah timur pasti ada pertarungan. Wajah cengar-cengirnya sirna seketika. Bidadari Jalang sendiri juga kehilangan kejengkelannya.

Zlaaap...! Suto Sinting pergi ke arah timur tanpa pamit apa-apa pada Bibi Guru-nya, sebab ia yakin sang Bibi Guru pasti akan mengikutinya. Keyakinan Pendekar Mabuk memang terbukti. Bidadari Jalang segera melesat mengikuti muridnya menuju ke timur. Saat itu bumi terasa bergetar kembali dengan suara dentuman yang menggelegar seperti tadi.

Blegaarr...!

Dari ketinggian tanah cadas yang menyerupai bukit kecil itu, Suto dapat melihat dua sosok wanita saling berhadapan dan saling memainkan jurus lamban. Permainan jurus itulah yang diperhatikan Suto Sinting setiap ia mengintai pertarungan.

"Hmmm... jurus yang aneh. Lamban tapi mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar!" gumam Suto Sinting. "Rupanya Nyai Watu Wadon tak sempat melarikan diri jauh-jauh. Ia masih terluka, tapi mengapa berani lakukan pertarungan dengan perempuan berjubah bunga-bunga merah hitam itu?!"

Pertarungan itu memang dilakukan oleh Nyai Watu Wadon dan seorang perempuan berjubah kuning dengan pola bunga-bunga merah hitam. Agaknya perempuan berjubah bunga-bunga itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, karena serangan tongkat 'Tanduk Keong' Nyai Watu Wadon tak dapat melukai kulitnya yang halus, mulus, dan berwarna kuning langsat itu. Perempuan yang tampaknya berusia sekitar tiga puluh tahun kurang sedikit itu sengaja membiarkan dirinya diserang dengan senjata ujung tongkat itu berkali-kali.

Bet, bet, bet...!

Tak satu pun bagian tubuh yang tergores atau lecet karena tebasan tongkat Nyai Watu Wadon. Bahkan ketika Nyai Watu Wadon hujamkan tongkatnya ke dada perempuan cantik berpayudara montok itu, ternyata logam tajam di ujung tongkat itu justru patah dan tak berguna lagi.

Wuuut...! Traak...!

"Celeng sunat!" sentak Nyai Watu Wadon melihat senjatanya patah.

Perempuan berambut panjang diriap lepas dengan bagian tengahnya dikonde kecil itu masih tetap bergerak seperti orang menari malas-malasan, ia bagaikan tidak peduli dengan makian dan keberangan Nyai Watu Wadon. Bahkan ketika Nyai Watu Wadon mengangkat tongkatnya dan tongkat itu menyala merah seperti besi membara, perempuan berjubah bunga-bunga itu tetap bergerak lamban bagai menari-nari.

"Modar kau sekarang, Gayung Jamban! Heaaah...!"

Wuuuut, praaak...!

Tongkat itu dihantamkan di kepala si cantik. Tapi ternyata kepala itu tetap awet dan utuh, retak sedikit pun tidak. Justru tongkat sang Nyai yang menjadi patah dan cahaya merah baranya lenyap seketika. Tempat patahnya itu mengepulkan asap bagaikan bara habis tersiram air.

"Gila! Rupanya perempuan cantik itu tahan bacokan?!" gumam Suto Sinting lirih.

"Dia kuasai ilmu 'Kulit Baja'...!"

Pendekar Mabuk sempat terperanjat sekejap, karena tahu-tahu ada suara yang menimpali gumaman lirihnya tadi. Ternyata suara itu milik Bibi Guru-nya yang menyusul di balik pohon persembunyian itu.

"Bibi kenal dengan perempuan berjubah bunga-bunga itu?!"

"Ya. Dia dikenal dengan nama Selimut Senja."

"Orang mana dia, Bi?"

"Ssst...! Lihat saja pertarungan itu. Agaknya si Watu Wadon mulai terdesak!"

Pendekar Mabuk tak jadi ajukan tanya lagi, karena perhatiannya terpusat pada pertarungan yang cukup seru. Selimut Senja tampak berhasil menguras tenaga Nyai Watu Wadon dengan pancingan jurusnya.

Nyai Watu Wadon menyerang terus karena Selimut Senja kelihatan sering lengah. Padahal kelengahan Selimut Senja justru suatu bahaya bagi Nyai Watu Wadon. Setiap pukulan tangan atau tendangan kaki tanpa cahaya yang kenai tubuh Selimut Senja ternyata dapat menyerap tenaga orang yang memukulnya. Terbukti, setiap Nyai Watu Wadon berhasil menghantam punggung alau dada lawannya, ia selalu terengah-engah dan menggelosor sendiri bagai kekurangan tenaga. Sedangkan Selimut Senja hanya oleng ke kiri atau ke kanan, sesekali tampak terhuyung ke belakang, namun tegak kembali dan bergerak gemulai lagi bagai menari tanpa tenaga.

Tapi ketika Nyai Watu Wadon melepaskan pukulan bersinar merah yang dipakai menyerang Suto tadi, Selimut Senja melambung ke atas dan bersalto dengan cepatnya. Sambil lakukan gerakan bersalto, seberkas sinar putih kecil lurus terlepas dari tangannya dan kenai leher kiri Nyai Watu Wadon. Claap...!

Caaaasszz...!

"Aaahk...!" Nyai Watu Wadon mengejang dengan tubuh melengkung ke belakang. Sinar putih yang kenai lehernya itu membuat leher itu menjadi hitam seketika dan berasap.

Kejap berikutnya, Selimut Senja mendaratkan kakinya ke tanah. Jleeg...! Tanah di sekitarnya tampak bergetar, daun-daun berguguran karena getaran tersebut. Nyai Watu Wadon jatuh berlutut sambil masih mengerang dengan mata mendelik menyeramkan. Kedua tangannya memegangi leher yang hitam dan berasap itu.

"Kepp... kepaarraat... kauuu."

"Sekarang akulah yang menjadi Ketua Janda Liar!" ujar Selimut Senja dengan rentangkan kaki kanan ke belakang jauh-jauh, dan kaki kirinya merendah hingga lututnya tampak menonjol maju, satu tangan terangkat di atas kepala dengan jari lentik bagai ingin mencari, tapi tangan yang satunya lagi menggenggam kuat di depan dada.

"Celaka! Mengapa aku diam saja?!" gumam Bidadari Jalang tepat ketika Nyai Watu Wadon akhirnya roboh ke belakang dan kepalanya menggelinding satu langkah darinya. "Terlambat! Sudah terlambat!" ucap Bidadari Jalang dalam geram membisik.

Ucapan itu memancing keheranan Suto, sehingga murid tampan yang nakal itu pun akhirnya ajukan tanya dengan dahi berkerut. "Ada apa sebenarnya, Bi?! Wajah Bibi Guru kelihatan semakin resah dan seperti ketakutan?!"

Weees...! Pendekar Mabuk kaget, karena saat ia berpaling memandangi Selimut Senja, ternyata perempuan cantik berdada montok itu sudah melesat lebih dulu, lenyap dari pandangan Suto. Ia pergi ke arah barat dan Suto ragu-ragu untuk mengejarnya, ia lebih tertarik dengan kecemasan yang tampak makin mencekam jiwa Bibi Guru-nya itu.

"Seharusnya kita tidak membiarkan Nyai Watu Wadon terbunuh!" ujar Bidadari Jalang sambil memandang ke arah kepergian Selimut Senja.

"Bukankah Nyai Watu Wadon adalah musuh Bibi Guru? Dia tadi ingin membunuh Bibi Guru. Mengapa sekarang Bibi Guru tampak menyesal melihat Nyai Watu Wadon dibunuh Selimut Senja?!"

"Pandanglah langit!" hanya itu jawaban Bidadari Jalang, kemudian berkelebat pergi tinggalkan tempat itu.

Pendekar Mabuk tak mengerti maksud Bidadari Jalang. Ia memandang langit sebentar. Langit masih dilapisi kabut ungu. Sinar matahari hanya membayang tipis membuat alam menjadi temaram berkesan redup. "Bibi, tunggu...!"

Zlaaap...! Suto Sinting menyusul Bibi Guru-nya dengan menggunakan kecepatan 'Gerak Siluman'. Dalam waktu singkat ia sudah berhasil menghadang langkah Bibi Guru-nya lagi. "Bibi Guru, apa maksudmu menyuruhku memandang langit?!"

"Bodoh!" sentak Bidadari Jalang dengan jengkel karena langkahnya terhadang lagi itu.

"Kalau aku bukan murid bodoh aku tidak akan bertanya kepada Bibi Guru. Kalau aku pintar, Bibi Guru yang akan menjadi muridku!"

"Bocah lancang!" geram Bidadari Jalang sambil mengangkat tangan untuk menampar wajah Suto. Tetapi sang murid segera menampar pipinya sendiri dengan tangan kirinya. Plaak...!

"Sudah, Bibi. Tak perlu repot-repot menamparku, aku sudah menampar wajahku sendiri untuk meringankan beban Bibi Guru, biar irit tenaga! Tapi jelaskan apa maksud Bibi Guru menyuruhku memandang ke langit?!"

"Apakah kau tidak melihat matahari diselimuti cahaya ungu berkabut?!"

"Ya, memang, itu karena jurusnya Nyai Watu Wadon yang hampir merenggut nyawaku tadi. Ternyata cahaya ungu berkabut itu belum sirna juga."

"Watu Wadon menggunakan jurus 'Bencana Gaib'!"

"O, ya... kudengar tadi dia menyebutkan nama jurus itu," sahut Suto Sinting.

"Seharusnya sinar merahnya tadi jangan kau tangkis dengan jurus 'Tangan Guntur' yang memancarkan sinar biru. Mestinya kau tangkis dengan jurus lain atau kau hindari. Sinar merah itu hanya akan membuat benda yang dikenainya menjadi lenyap, namun bayangannya masih membekas di tanah, tergantung dari mana arah matahari datangnya."

"Jadi jika aku tadi terkena jurus 'Bencana Gaib', maka tubuhku akan lenyap tapi bayanganku masih ada, begitu?"

"Ya. Dan bayanganmu masih bisa berjalan ke sana-sini atau berbuat apa saja, tapi tak bisa disentuh atau menyentuh orang lain."

"Hmmm," Suto Sinting manggut-manggut. "Lantas, apa salahnya jika kutangkis dengan jurus 'Tangan Guntur' tadi? Toh membuatku selamat dan benda apa pun tidak menjadi lenyap."

"Benar! Tapi jurus 'Bencana Gaib', jika bertemu sinar biru, dia akan berubah ungu dan membentuk cahaya abadi berkabut. Cahaya ungu yang abadi dan menutup sinar matahari dinamakan 'Selaput iblis'. Sinar matahari tetap memancar, tapi timbulkan hawa lain yang mempengaruhi kehidupan di bumi. Matahari tak akan bergerak ke barat atau ke timur, karena ia terpaku 'oleh 'Selaput iblis' itu."

Bidadari Jalang mengusap wajahnya dan selalu berusaha bicara tanpa memandang Suto Sinting. Bahkan ia tampak sekali tak mau diperhatikan oleh murid-nya, sehingga sebentar-sebentar Suto terpaksa bergeser mencari tempat yang bisa beradu muka dengan Bibi Guru-nya.

"Apakah selamanya matahari tidak akan bergerak ke barat atau ke timur, Bibi?!"

"Ya. Selamanya matahari akan diam di sana, sebelum 'Selaput Iblis' itu hancur. Dan...," Bidadari Jalang tampak ragu, namun desah napasnya menandakan kecemasannya kian bertambah.

Pendekar Mabuk menjadi tambah penasaran lagi. "Lanjutkan penjelasanmu, Bibi Guru! Tolong, jangan bikin hatiku penasaran dan ingin menggodamu terus, Bibi!"

"Kuperintahkan padamu, cari kekuatan yang bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu!"

"Mengapa harus dihancurkan? Apa yang terjadi jika 'Selaput iblis' itu tidak dihancurkan, Bibi Guru?!" Suto mendesak lebih detil lagi.

"Ketahuilah, Anak Brengsek...! Cahaya matahari yang menembus 'Selaput Iblis' akan memudarkan semua kekuatan ilmu pengawet ayu. Siapa pun orangnya yang menggunakan ilmu atau mantra awet ayu dan awet muda, dalam waktu dekat kekuatan itu akan sirna termakan bias cahaya matahari yang menembus lapisan ungu itu. Aku dan yang lainnya, akan menjadi tua, wajahku akan buruk, keriput, rambutku akan berubah, kecantikanku akan hancur dan... oooh...!"

Bidadari Jalang berbalik wajah, dan menghantamkan tangannya pada sebatang pohon yang dipakai untuk sembunyikan wajah dari pandangan sang murid. Duuur...! Pohon itu bergetar keras, ranting dan daunnya berguguran akibat pukulan tangan Bidadari Jalang tadi. Suto Sinting tak peduli tentang daun gugur itu. Ia segera dekati Bibi Guru-nya dengan mengitari pohon tersebut. Kini ia berada di depan Bibi Guru-nya yang tertunduk.

"Bibi Guru...," sapanya pelan, bernada serius. Sang Bibi Guru angkat wajah dan pandangi Suto Sinting. "Bibi masih kelihatan cantik, menarik, dan... dan sangat mengagumkan," ujar Suto Sinting bagai merayu seorang kekasih.

"Sebentar lagi aku akan berubah menjadi buruk dan menjijikkan! Semua perempuan yang menggunakan ilmu atau mantra awet muda, akan menjadi tua dan menyeramkan setelah setiap bayangan benda berubah menjadi ungu muda."

Pendekar Mabuk segera memandang bayangannya sendiri. Ada bayangan samar-samar di tanah akibat bias sinar matahari yang redup itu. Bayangan tersebut masih berwarna hitam seperti biasanya. Tapi warna-warna ungu mulai tampak tipis pada tepian bayangan itu. Bayangan pohon dan batu pun demikian.

Pendekar Mabuk menjadi tegang dan bertanya dalam hati, "Benarkah jika setiap bayangan sudah berubah menjadi ungu, maka seluruh ilmu pengawet kecantikan akan pudar dan membuat wajah-wajah mereka menjadi menyeramkan?! Oh, kalau begitu, aku harus segera menghancurkan 'Selaput Iblis' itu agar Bibi Guru tak menjadi buruk rupa! Tapi dengan apa aku menghancurkannya?!"

Pendekar Mabuk menanyakan hal itu, tapi Bidadari Jalang mengaku tidak tahu persis tentang kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu.

"Kekuatan itu ada pada Nyai Watu Wadon! Hanya dia yang bisa menghancurkan 'Selaput iblis'," kata Bidadari Jalang.

"Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Bibi Guru, sebab Nyai Watu Wadon sudah mati dan kepalanya tadi dibawa lari oleh Selimut Senja!"

"Itulah masalah yang harus kau hadapi. Bagaimanapun juga, kau ikut andil dalam membentuk 'Selaput Iblis' yang kini menutupi matahari itu. Jika kau tidak gunakan jurus 'Tangan Guntur' yang bercahaya biru, tak mungkin cahaya merahnya si Watu Wadon akan berubah menjadi cahaya ungu!" "Ja... jadi aku termasuk bersalah dalam hal ini. Bibi Guru?"

"Aku... aku tak bisa bicara lagi. Lihat, bayangan kita sudah mulai berwarna ungu pada tepiannya."

Pendekar Mabuk memandang dengan mata tak berkedip dan mulut terbengong melompong.

* * *

TIGA

BIDADARI Jalang sempat berdebat dengan Gila Tuak setelah Pendekar Mabuk dilaporkan pergi mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput iblis' itu. Agaknya si Gila Tuak tidak setuju jika Suto Sinting dikatakan sebagai orang yang ikut andil dalam menciptakan 'Selaput iblis' dilangit.

"Warna merah apa pun, kalau bercampur dengan warna biru, jelas akan hasilkan warna ungu," kata Gila Tuak. "Jurus apa pun yang memancarkan sinar biru, jika bertemu dengan sinar merahnya si Watu Wadon, tentu saja akan membiaskan warna ungu. Tetapi bukan berarti Suto Sengaja menciptakan 'Selaput Iblis' di langit untuk memudarkan kecantikanmu, Nawang Tresni!"

"Aku tidak menuduhnya begitu, Sabawana! Aku hanya mengatakan bahwa ia ikut bertanggung jawab atas terciptanya kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu! Jadi dia harus ikut berusaha mencari kekuatan yang dapat menghancurkan 'Selaput iblis'itu!"

"Seandainya Suto tidak mencari kekuatan tersebut, dia tidak bersalah! Justru si Watu Wadon yang bersalah, karena ia menggunakan jurus maut yang dapat membahayakan kaum wanita di seluruh bumi ini! Dan justru Suto bertindak benar, karena melindungimu sebagai perilaku yang baik bagi seorang murid!"

Bidadari Jalang tak mau berdebat lagi. Pikirnya, perdebatan itu hanya akan membuat mereka berdua saling bersitegang yang salah-salah bisa mengakibatkan permusuhan dalam sekejap. Bidadari Jalang sudah merasa sungkan jika harus bertarung dengan saudara seperguruannya lagi. Ia mempunyai rasa hormat kepada Gila Tuak, sebagai tokoh tertinggi di deretan nama para tokoh dunia persilatan. Akhirnya Bidadari Jalang memohon dengan suaranya yang datar dan dingin.

"Lalu, bagaimana nasibku sekarang? Tak dapatkah kau menghancurkan kabut sinar ungu di langit itu?!"

Gila Tuak menarik napas. Kumisnya terbang beberapa lembar karena napas yang segera dihembuskan itu cukup kuat. "'Selaput Iblis' dulu memang pernah tercipta, ketika Nyai Rumpun Sari, gurunya si Watu Wadon melepaskan jurus 'Bencana Gaib' kepada Tunggul Ketawang, dan Tunggul Ketawang mengadunya dengan sinar jurus bersinar biru. Tetapi pada waktu itu, Raja Maut masih hidup. Dia yang mempunyai jurus penghancur 'Selaput iblis', sehingga bencana buruk muka tidak sempat melanda para wanita. Sebab kala itu Tunggul Ketawang dibela oleh si Raja Maut."

"Ya. Aku ingat juga peristiwa itu. Tapi sekarang Raja Maut sudah tiada. Apakah kita harus memaksa mayatnya agar menghancurkan 'Selaput Iblis' itu?!"

"Jelas mayat Raja Maut tak mungkin mau biar diancam pakai seribu pedang pun!" kata Gila Tuak dengan nada datar. "Sebaiknya kita bicarakan kepada para sahabat kita. Mungkin si Tua Bangka atau Batuk Maragam mengetahui cara melumpuhkan 'Selaput iblis' itu."

Kebetulan sekali pada waktu itu Pendekar Mabuk bertemu dengan Batuk Maragam dalam perjalanannya mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Ia menemukan Batuk Maragam dalam sebuah arak-arakan manusia yang menuju ke sebuah lembah.

Iring-iringan itu kebanyakan terdiri dari kaum wanita. Hanya beberapa orang lelaki saja yang tampak ikut dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya adalah lelaki tua berusia sembilan puluh tahun dengan rambut abu- abu potongannya mirip rambut Suto Sinting. Pak Tua yang mengenakan jubah kuning dan celana biru itu selalu terbatuk-batuk dan suara batuknya bisa beraneka ragam.

Sebab itulah ia dijuluki Batuk Maragam di kalangan para tokoh persilatan. Nama aslinya: Brajamusti. Tapi ia enggan menggunakan nama itu karena kurang populer dan lebih kondang serta terasa lebih angker baginya dengan nama Batuk Maragam.

Sebongkah tanah cadas sebesar kepalan tangan orang dewasa melesat ke arah tengkuk Batuk Maragam. Wees...! Gumpalan tanah cadas yang keras itu tiba-tiba berhenti sendiri dalam jarak satu jengkal sebelum kenai tengkuk Batuk Maragam. Seet...! Gumpalan tanah itu diam di udara bagai ada kekuatan yang menyangganya.

Pada saat itulah Batuk Maragam segera berpaling ke belakang, lalu gumpalan tanah cadas itu jatuh dengan sendirinya. Pluk...! Batuk Maragam geleng-geleng kepala sambil memandang Suto Sinting yang cengar-cengir didepannya.

"Tak mungkin kau bisa menyerangku dari belakang, Suto. Sebab aku telah kuasai aji 'Lembu Sekilan'. Belajarlah kepada si Gila Tuak bagaimana cara mengalahkan aji 'Lembu Sekilan' itu, Bocah Konyol!"

Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil lebih mendekat lagi. "Maaf, aku hanya ingin mengganggu ketenanganmu, Ki Brajamusti!"

Batuk Maragam segera tersenyum kecil, kemudian menepuk-nepuk punggung Suto Sinting. "Kau pasti akan tampil lebih baik dari peserta lainnya."

"Maksudnya tampil apa, Ki?"

"Bukankah kau ingin mengikuti sayembara itu?"

"Sayembara apa?!" Pendekar Mabuk semakin heran, matanya memandang kepada iring-iringan yang menuju lembah.

"Jadi kau kemari bukan untuk mengikuti sayembara tanding laga?"

"Aku tidak sengaja lewat sini, Ki Brajamusti. Aku tidak tahu kalau ada sayembara tanding laga. Siapa yang mengadakan sayembara itu?"

"Partai Janda Liar mengadakan sayembara tanding laga melawan Selimut Senja. Siapa bisa tumbangkan Selimut Senja, dia akan diangkat oleh anggota Partai Janda Liar sebagai ketuanya. Tetapi jika dua puluh peserta yang tampil tak bisa tumbangkan Selimut Senja, maka mereka akan menetapkan Selimut Senja sebagai Ketua Partai Janda Liar."

"Dan kau ingin mengikuti sayembara itu, Ki Brajamusti?!"

"Mana mungkin aku mau jadi Ketua Partai Janda Liar, bisa-bisa aku nanti, uhuk, uhuk, uhuk, ehek, huueeek...!Cuih!"

Batuk Maragam ambil napas dan lanjutkan bicaranya, "Bisa-bisa aku nanti mati lemas jika harus berada di antara para janda itu. Heh, heh, heh, heh, uhuk, uhuk, eheeek, huueeek...! Cuih...!"

"Lalu, apa maksudmu datang ke sini, Ki Brajamusti?"

"Hanya ingin tahu apakah muridku si Camar Sembilu ikut-ikutan dalam sayembara itu atau tidak. Kalau sampai ikut-ikutan, aku tidak setuju dan akan kupecat, tidak kuakui sebagai muridku lagi."

"Ooh, begitu...?" Pendekar Mabuk manggut-manggut. Terbayang pula seraut wajah cantik yang sederhana milik Camar Sembilu yang dulunya bekas murid Peri Sendang Keramat, wajah cantik berhidung bangir itu sudah lama tidak dijumpai Suto, hingga menimbulkan rasa kangen di hatinya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Peri Sendang Keramat).

Pendekar Mabuk terpaksa ikuti langkah Batuk Maragam ke arena pertarungan yang tak jauh dari bangunan bekas sebuah candi. Bangunan itu dipakai sebagai pesanggrahan Partai Janda Liar.

"Kurasa," kata Batuk Maragam,"... tidak akan ada orang yang bisa menggulingkan Selimut Senja, karena dia menguasai ilmu 'Kulit Baja'. Tubuhnya yang mulus itu tak akan bisa dilukai oleh benda apa pun. Tapi kalau di... uhuk, uhuk, dan di... uhuk, ehek, ehek, huueek. Cuih! Kurasa bisa!"

"Kau ini ngomong apa sebenarnya, Ki Batuk Maragam?!" sambil Suto Sinting tertawa pelan.

"Yah, beginilah kalau orang sudah tua tapi masih keluyuran ke mana-mana; ngomong sedikit batuk, tertawa sedikit batuk, nguap sedikit saja batuk!" sambil Batuk Maragam mendongak ke atas. Tiba-tiba ia terperanjat dan kerutkan dahi.

"Lho... jadi sejak tadi matahari dilapisi... oh, bukankah itu lapisan bencana yang dinamakan 'Selaput Iblis'?!" Batuk Maragam menuding bayangan matahari di balik kabut sinar ungu.

"Apakah Paman baru tahu?!" "Kusangka tadi cuaca mendung."

"Justru itulah kesulitanku, Paman."

"Kau ini memanggilku Paman, tadi Ki, tempo hari Eyang, mana yang kau suka sebenarnya?! Uhuk, uhuk, huuuaakr... cuih!"

"Aku hanya menirukan panggilan keponakanku; Dewi Angora, yang memanggilmu Paman. Sedangkan untuk menghormatimu sebenarnya aku pantas memanggilmu Eyang. Tapi sebagai tanda keakrabanku, rasanya aku pantas pula memanggilmu Ki Brajamusti."

"Ya, sudah...! Tak usah dibahas hal itu. Menghabiskan waktu. Yang penting aku ingin tahu, mengapa tadi kau bilang 'itulah kesulitanku', maksudnya bagaimana?"

"Bibi Guru; Bidadari Jalang, mengutusku mencari kekuatan yang dapat untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman. Sebab katanya 'Selaput Iblis' itu dapat melunturkan seluruh ilmu pengawet muda yang digunakan beberapa perempuan, termasuk Bibi Guru Bidadari Jalang sendiri."

"Iya. Memang benar! Tapi yang kuherankan mengapa 'Selaput Iblis' itu sampai terjadi dan menutupi matahari? Kalau begini caranya, jemuranku tak akan kering-kering karena tak mendapat panas matahari. Dan hal ini akan berlangsung lama. Tak akan ada siang tak ada malam. Kerupuk yang kujemur di loteng juga akan bantat, tak akan bisa mekar jika digoreng."

"Ceritanya begini, Paman...," kemudian Suto Sinting menceritakan pertarungannya dengan Nyai Watu Wadon, sampai akhirnya ia melihat Nyai Watu Wadon dibunuh oleh Selimut Senja dan penggalan kepalanya dibawa lari sebagai bukti bahwa Selimut Senja berhasil membunuh Ketua Partai Janda Liar itu.

"Oo... pantas para anggota Partai Janda Liar menguji Selimut Senja dalam suatu sayembara tanding laga ini?!" Batuk Maragam manggut-manggut.

"Apakah Paman tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu?" tanya Suto Sinting.

Batuk Maragam diam sebentar. Matanya memandang ke arah panggung rendah yang lebar dan dipakai sebagai arena pertarungan. Kala itu, Selimut Senja sedang menghadapi seorang perempuan kurus yang berambut jambul. Tapi perhatian Batuk Maragam jelas tidak ke arah pertarungan, melainkan kepada pertanyaan Suto Sinting tadi. Kejap berikut suara Batuk Maragam terdengar lagi.

"Kalau kau bermaksud menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, berarti kau harus menemui seorang sahabatku yang bernama Begawan Parang Giri. Beliau tinggal di Bukit Canting bersama cucu-cucunya."

"Kau yakin bahwa dia punya kekuatan untuk menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"

"Uhuk, uhuk, ehek, ihik, ihiiiik, ahhh...!" Ki Brajamusti terbatuk sesaat, kemudian menjawab kesangsian Suto Sinting tadi. "Begawan Parang Giri itu kakak sepupunya mendiang Raja Maut. Dulu Raja Maut dapat menghancurkan 'Selaput Iblis' karena mendapat petunjuk dari Begawan Parang Giri."

"Dengan apa mendiang Raja Maut menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"

"Aku hanya mendengar ceritanya saja. Aku tak melihat sendiri, karena pada waktu itu aku masih memperdalam ilmu di Pegunungan Sojiyama. Tapi... sebaiknya temui saja Begawan Parang Giri dan mintalah bantuan kepadanya, setidaknya mintalah petunjuk bagaimana caranya menghancurkan 'Selaput Iblis itu."

"Kalau begitu, agaknya aku harus ke Bukit Canting sekarang juga, Paman."

"Maaf, aku tak bisa mendampingimu. Aku masih harus mencari muridku di antara para wanita itu!"

"Aku akan berangkat ke sana sendiri. Hanya saja, kira-kira ke arah mana aku harus melangkah agar sampai di Bukit Canting, Paman?"

"Ke selatan. Jika kau menemukan kuil kembar, maka di situlah Begawan Parang Giri berada. Karena...," ucap Batuk Maragam terhenti. "Oh, itu dia murid-ku, si Camar Sembilu?!"

Seorang gadis cantik berjubah hijau dengan pinjung penutup dada warna coklat berbulu halus sedang mendekati Batuk Maragam dan Suto Sinting. Gadis bersanggul kecil dengan sisa rambut meriap itu telah sunggingkan senyum lebih dulu begitu matanya menatap ke arah Suto Sinting. Suto menyambutnya dengan lambaian tangan kecil dan senyum yang menawan hati setiap wanita.

"Tak kusangka kau ada di sini, Suto."

"Kebetulan saja kulihat Paman Batuk Maragam menyaksikan pertarungan tanding laga itu, jadi kusempatkan menyapa beliau," ujar Suto Sinting penuh keramahan.

"Aku mencarimu, Camar Sembilu! Apakah kau ikut dalam sayembara itu?"

"Tidak, Guru! Saya hanya ingin tahu siapa akhirnya yang menjadi Ketua Partai Janda Liar setelah kematian Nyai Watu Wadon."

"Syukurlah jika kau tidak ikut. Sebab kalau kau ikut sayembara tanding laga dan kau menang, aku tidak setuju kau menjadi Ketua Partai Janda Liar. Apalagi kalau kau kalah dan mati, aku sangat tidak setuju kau mati mendahuluiku. Itu namanya murid yang ngelunjak! Gurunya belum mati kok muridnya sudah mati lebih dulu. Uhuk, uhuk, uhuk, uhuuuiiik, ahh...!"

Sambil tertawa kecil, Camar Sembilu berkata, "Guru tak perlu khawatir. Aku tak punya minat menjadi Ketua Partai Janda Liar, sebab aku belum pernah kawin, mana mungkin bisa menyandang gelar sebagai janda? Bukankah begitu, Suto?"

"Bukan. Eh... iya!"

Setelah Batuk Maragam bertemu dengan Camar Sembilu, maka Suto Sinting pun segera pamit untuk pergi ke Bukit Canting menemui Begawan Parang Giri. Sementara itu, matahari masih tetap tidak bergerak dan kabut sinar ungu itu semakin membuat bayangan benda mulai berwarna ungu. Tapi warna hitamnya masih lebih besar khususnya pada bagian tengah bayangan.

Tiba-tiba langkah Suto Sinting berhenti sejenak karena mendengar suara denting pedang beradu. Suara itu berasal dari hutan seberang kirinya, dan diyakini sebagai suara pertarungan berpedang. Pendekar Mabuk tak bisa cuek dengan suara pertarungan. Hasrat ingin mengintip Jurus-jurus yang digunakan dalam pertarungan sangat besar, sehingga ia sempatkan berkelebat ke arah hutan seberang. Zlaaap...!

Wuuut, wuuut...!

Pendekar Mabuk melompat ke atas dalam gerakan bersalto naik. Dalam sekejap ia sudah berada di sebuah dahan besar dari sebatang pohon berdaun kecil namun rimbun. Dari pohon itu ia dapat melihat pertarungan yang terjadi dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari pohon itu.

"Ooh...?! Kalau tak salah perempuan berjubah ungu muda itu adalah si Pelangi Sutera alias Sumbaruni?!" gumam Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. Tapi dahinya berkerut sebagai tanda keraguan atas apa yang telah dilihatnya. "Benarkah dia Sumbaruni?!"

Sumbaruni adalah salah satu dari sekian wanita cantik yang ngebet sekali cintanya kepada Suto Sinting. Hanya saja, Suto Sinting selalu menjaga jarak sehingga Sumbaruni tidak terlalu kecewa atas penolakan Suto. Perempuan cantik dan bertubuh sexy sekali itu seperti berusia dua puluh lima tahun. Padahal usianya sudah cukup banyak, ia mantan istri jin Kazmat yang mendapat warisan ilmu dari seorang pertapa sakti. Karenanya, sampai sekarang ia masih kelihatan cantik dan dadanya montok menawan setiap pria, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Tapi dalam keremangan cahaya matahari yang redup, wajah Sumbaruni tampak sedikit berbeda dari biasanya. Dan hal itulah yang membuat Suto Sinting berkerut dahi, merasa heran serta ragu-ragu dengan penglihatannya.

"Mengapa wajahnya tampak berbeda dari biasanya? Apakah karena aku sudah lama tidak melihatnya? Hmmm... wajah itu sedikit berkeriput dan hidungnya tak begitu mancung. Tepian bibirnya juga kelihatan agak berkerut, rambutnya... oh, rambutnya itu ada ubannya walau tak rata. Bukankah Sumbaruni mempunyai rambut yang hitam mengkilat dan lembut?!"

Sementara itu, perhatian Suto berpindah kepada lawan Sumbaruni yang tampaknya juga cukup mahir dalam bermain pedang. Perempuan yang satu itu hanya mengenakan kutang hijau muda, pinggulnya dibungkus kain warna merah. Rambutnya pendek diponi depan, ia gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun, bermata bundar nakal, berhidung bangir dan mempunyai bibir yang sensual. Selain montok juga berpinggul sexy. Pendekar Mabuk mengenal gadis itu sebagai Awan Setangkai, mantan prajurit ulung dari Selat Bantai. Tetapi sekarang ia menjadi penguasa Selat Bantai setelah Ratu Cendana Sutera dikalahkan oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Darah Satria).

Awan Setangkai mempunyai ilmu cukup tinggi, ia mempunyai ilmu yang dapat mengubah-ubah wajah menjadi orang lain. Tetapi Sumbaruni juga berilmu tinggi, ia dapat mengukur seberapa tingginya ilmu seseorang dengan menggunakan ilmu 'Gerat Sukma'-nya. Ia juga bekas panglima negeri Ringgit Kencana yang mempunyai ratu cantik bernama Ratu Asmaradani.

Pertarungan dengan pedang itu membuat keduanya sama-sama kerahkan tenaga dan keluarkan jurus-jurus pedang mautnya. Percikan bunga api selalu menyebar ke mana-mana setiap pedang mereka saling beradu. Tapi dalam kesempatan tertentu, Awan Setangkai berhasil lukai punggung Sumbaruni dengan gerakan memutari tubuh lawannya begitu cepatnya. Breet...! Punggung Sumbaruni berdarah dari samping kiri ke kanan. Tetapi kala itu, Sumbaruni hanya diam dan membiarkan dipandangi oleh Awan Setangkai. Senyum Awan Setangkai tersunggingkan sebagai senyum kemenangan. Tetapi Sumbaruni juga sunggingkan senyum sinis punya makna tersendiri.

"Sebentar lagi kau akan mati kering termakan oleh racun pedangku, Sumbaruni! Dengan begitu, maka urusan lama kita tentang dendamku kepadamu telah selesai. Dulu kau melukaiku sampai aku hampir mati, sekarang aku pun melukaimu dengan luka yang sangat berbahaya."

Awan Setangkai masih sunggingkan senyum sinis, ia berkata lagi dengan nada bangga. "Tapi agaknya kau perlu mengetahuinya, Sumbaruni... sekarang aku bukan anak buahnya Ratu Cendana Sutera lagi. Aku bukan dari golongan hitam, melainkan sudah mengikuti jejak Pendekar Mabuk, membawa orang-orang Selat Bantai masuk dalam aliran putih. Sayang sekali kau terluka oleh pedangku, dan itu berarti..."

Ocehan Awan Setangkai berhenti seketika, ia merasakan hawa panas membakar perutnya. Hawa panas itu semula justru terasa seperti hawa dingin. Makin lama semakin panas dan merayap ke seluruh permukaan perutnya. Maka, kecurigaan hati Awan Setangkai membuatnya terpaksa melirik ke arah perut.

"Setan...!" geramnya dengan gigi menggeletuk. Ternyata perutnya juga tergores pedang Sumbaruni. Dan pedang itu pun beracun, karena luka yang melintang dari kiri ke kanan itu berwarna hitam dan darah yang keluar pun berwarna merah kehitam-hitaman.

"Apakah hanya kau sendiri yang mampu melukai dengan pedang beracun?!" ujar Sumbaruni sambil menahan rasa sakit hingga keringat dinginnya keluar semua.

"Biadab kau, Sumbaruni!"

"Kau lebih biadab karena kuanggap menyerangku dari belakang!"

"Kalau begitu, tentukan saja siapa yang harus minggat ke neraka di antara kita berdua! Hiaaat...!"

Awan Setangkai sentakkan pedangnya ke depan, maka melesatlah sinar merah lurus dari ujung pedang itu. Claaap...!

Rupanya Sumbaruni juga sudah siap hadapi serangan lawan, ia pun segera tebaskan pedangnya dari kiri bawah ke kanan atas, Wuuut...! Claaap...! Angin tebasan pedang itu keluarkan cahaya hijau panjang yang berkelebat hampiri Awan Setangkai.

Pendekar Mabuk segera lakukan sesuatu dengan melemparkan bumbung tuaknya ke pertengahan jarak di antara kedua perempuan itu. Wuuut...! Weeees...! Bumbung tuak melesat sangat cepat dan tiba di pertengahan jarak dihantam oleh dua sinar tadi.

Jlegaaaarrr...!! Ledakan dahsyat terjadi mengguncang bumi, membuat kedua perempuan itu sama-sama terpental ke belakang. Beberapa pohon di dekat, mereka menjadi retak, nyaris terbelah menjadi dua dari atas kebawah.

Tapi Suto merasa lebih beruntung keadaan begitu daripada kedua sinar itu saling beradu, maka gelombang ledakan yang akan ditimbulkan oleh kedua sinar yang bertabrakan itu akan membuat keadaan lebih parah lagi. Bisa-bisa dada kedua perempuan itu sama-sama pecah, sebab tiba-tiba saja firasat Suto mengatakan bahwa kedua perempuan itu sama-sama keluarkan jurus unggulan yang sukar dilawan.

Oleh sebab itulah, Suto melemparkan bumbung tuaknya sebagai penangkis kedua sinar itu. Toh bumbung tuak itu tetap utuh dan tak mengalami luka goresan sedikit pun, karena bumbung itu memang terbuat dari bambu sakti jelmaan Eyang Wijayasura.

Zlaaap...! Suto Sinting segera tiba di pertengahan jarak dan memungut bumbung tuaknya yang jatuh di tanah dalam keadaan berdiri bagai tonggak kekar. Kedua perempuan yang sama-sama memuntahkan darah dari mulutnya itu segera bangkit, lalu mereka terkejut memandang kehadiran pemuda tampan yang sudah sama-sama merekakenal. "Pendekar Mabuk...?!"

"Sutooo...?!"

Sumbaruni dan Awan Setangkai sama-sama dekati Pendekar Mabuk dalam keadaan sempoyongan. Pemuda berambut sepundak tanpa ikat kepala yang memiliki wajah tampan dan hidung bangir itu hanya sunggingkan senyum bernada canda.

"Maaf, aku mengganggu pertarungan kalian, karena bumbung tuakku tiba-tiba lari sendiri dan tak sempat kukejar."

"Kau berada di pihak mana, hah?!" gertak Sumbaruni.

Awan Setangkai juga menggertak, "Kau akan membela dia, Suto?!"

"Sabar, sabar...," Suto Sinting semakin melebarkan senyum dan tampak tenang sekali. "Sebaiknya kalian sama-sama meminum tuakku dulu biar luka kalian tak mengakibatkan kematian!"

"Biar aku saja yang meminum tuakmu! Dia tak perlu!" sentak Awan Setangkai.

"Harus adil," kata Suto. "Kau sahabatku, dan Sumbaruni juga sahabatku!"

"Sahabat istimewa!" sahut Sumbaruni.

"Istimewa apa? Cuih...!" Awan Setangkai meludah, Sumbaruni juga meludah.

"Cuih...!"

Suto ikut-ikutan meludah. "Cuih...!" Tapi kemudian ia berkata dengan geli. "Kok kita malah main ludah-ludahan, ya?!"

Kedua perempuan itu akhirnya sama-sama tertolong oleh tuak Suto. Luka mereka lenyap setelah meneguk tuak dari bumbung sakti tersebut. Tubuh mereka pun menjadi lebih segar dari sebelumnya. Tetapi Awan Setangkai tampak tak suka melihat Suto bersikap ramah kepada Sumbaruni.

"Sekiranya kau ingin lampiaskan rindumu kepada perempuan keparat itu, pergilah dari sini dan jangan bermesraan di depanku, Suto!"

"Siapa yang rindu...?" Suto Sinting bersungut-sungut. "Aku hanya ingin bicara kepada Sumbaruni tentang..."

"Tidak, Suto!" potong Sumbaruni setelah melirik bayangan dirinya di tanah telah menjadi semakin ungu. Sumbaruni cepat palingkan wajah tak berani memandang Suto Sinting.

Tetapi Pendekar Mabuk yang merasa penasaran itu segera berusaha berdiri di depan Sumbaruni, hanya saja perempuan itu selalu menghindari pertemuan wajah dengan Suto.

"Pergilah kalian! Kau tak perlu temui aku lagi, Suto!"

"Sumbaruni, mengapa kau begitu?! Hei pandanglah aku, Sumbaruni!"

"Tidak! Tidak...!" Sumbaruni menjauh dengan rasa takut. Kedua tangannya berusaha menutupi wajah.

"Apa yang terjadi, Sumbaruni?! Aku akan membantumu!"

"Aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Selamat tinggal, Suto!" Blaas!

"Sumbaruni...!" Suto ingin mengejar, namun Sumbaruni sudah jauh dan menghilang di balik kerimbunan hutan. Awan Setangkai tertawa kecil bernada sinis, membuat Suto Sinting yang terbengong segera sadar dan segera menarik napas dalam-dalam.

"Tentu saja dia tak berani kau pandang, karena wajahnya semakin tampak tua dan buruk!" ucap Awan Setangkai. "Matahari yang menembus kabut sinar ungu itu akan membuat wajah tuanya yang asli menjadi kelihatan. Ilmu awet ayunya akan sirna dan ia akan malu jika kau pandang!"

"Rupanya kau tahu tentang 'Selaput Iblis' itu, Awan Setangkai."

"Tentu saja, sebab dulu mendiang Ratu Cendana Sutera sangat takut dengan warna ungu di langit. Kalau saja Ratu Cendana Sutera sekarang masih hidup, ia juga akan bersembunyi di bawah kolong ranjang, karena takut ketahuan wajah tuanya yang asli!"

Awan Setangkai mencibir angkuh dibuat-buat. "Hmmm...! Mendingan wajahku, biar tak seberapa cantik, tapi asli! Tanpa mantra kecantikan, tanpa ilmu pengawet ayu!" sambil ia melenggok dan melengos seakan jual mahal.

"Kau tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput iblis' itu?"

"Mengapa kau bertanya begitu? Apakah ketampananmu juga akan luntur jika terkena sinar matahari yang menembus kabut sinar ungu itu?!"

Pendekar Mabuk mulai sunggingkan senyum. "Ketampananku asli, bukan kekuatan mantra atau minum obat awet ganteng!"

"Kalau begitu kita sama-sama punya wajah rupawan yang asli, Suto," sambil mata Awan Setangkai memandang nakal, senyumnya mulai tampak bermaksud jahil.

Pendekar Mabuk menatapnya tak berkedip ketika lidah Awan Setangkai menyapu bibirnya sendiri pelan-pelan. "Apakah aku kalah cantik dengan Sumbaruni?"

Suto hanya bisa menggeleng dengan tetap terbengong. Awan Setangkai mendekat dengan langkah lenggak-lenggok penuh irama penggoda gairah. Ketika tiba di depan Suto dalam jarak kurang dari satu langkah, Awan Setangkai berucap kata dengan suara bisik.

"Sengaja aku keluar dari Istana Selat Bantai untuk mencarimu, Suto."

"Untuk apa kau mencariku?"

"Aku sakit," jawabnya lirih sekali.

"Sakit kok keluyuran?"

"Sakit rindu," jawabnya lagi dengan suara mendesah dan tangannya mulai berani merayap di dada Suto. Jari-jarinya berlagak mempermainkan tepian baju Suto, sesekali menyentuh kulit dada kekar itu. "Aku rindu dan ingin sekali jumpa denganmu. Sudah beberapa malam aku tak bisa tidur, Suto."

"Karena memikirkan diriku?"

"Karena banyak nyamuk dikamarku."

"Mengapa tak memakai selimut?"

"Selimutku pergi dan sudah lama tak kembali padaku. Kini selimutku ada di depan mataku, namun masih tak mau menyelimuti diriku."

Awan Setangkai mendekatkan wajah, makin lama semakin dekat, dan bibirnya muali menyentuh bibir Suto Sinting. Bibir itu mengecup bibir Suto Sinting dengan pelan-pelan. Sesekali di sela lumatan bibir itu Awan Setangkai menggigit pelan bibir Suto. Tetapi Suto Sinting diam saja bagaikan patung.

Namun ketika Awan setangkai meraihnya dalam pelukan, dan lumatan bibirnya mulai mengganas, Suto Sinting tak dapat diam lagi. Ia membalas kecupan yang hangat dan membakar gairah cintanya. Bahkan ketika Awan Setangkai mengerang dengan kepala mendongak seakan memberi kesempatan pada mulut Suto untuk menyapu habis lehernya, tangan pemuda itu dituntun untuk menelususp ke tempat yang lebih hangat lagi.

Ternyata tangan Suto cukup tanggap dengan kemauan Awan Setangkai. Tangan itu segera meraba, mengusap, merayap, dan akhirnya meremas sesuatu yang padat namun kenyal di permukaan dada Awan Setangkai.

"Ooh, Suto... aku ingin sekali mendapatkan yang lebih dari ini. Ingin sekali, Sutooo...!"

Maka tangan Suto pun ditarik ke bawah. Tangan itu menurut saja. Suto tak bisa bicara karena mulutnya disumbat oleh gumpalan dada yang membusung padat itu. Tapi tangan Suto pun mulai bekerja menjamah pusat keindahan Awan Setangkai.

"Oouh...!" Awan Setangkai memekik, lalau mengerang, "Sutoo... aku suka itu, Suto! Teruskan, Sayang.... teruskan...!"

Awan Setangkai bersandar di pohon, kedua kakinya berjauhan, kedua tangannya meremas-remas rambut Suto Sinting sambil memberi tekanan, seakan kepala Suto tak boleh jauh dari dadanya. Bahkan sesekali ia berhasil menggigit kecil telinga Suto, lalu menyapu telinga itu bagaikan seekor induk kucing memandikan anaknya. Sapuan hangat itu semakin membakar gairah Suto Sinting membuat Suto tak ingin melarang tangan Awan Setangkai menjamah dan meremas sesuatu yang telah terpegang oleh perempuan itu.

"Oh, Suto... berikan itu lebih dari ini, maka akan kuberikan pula rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu!" bisik Awan Setangkai, membuat Suto terperanjat dan segera menarik diri, menatap Awan Setangkai yang telah bermata sayu itu.

"Benarkah kau akan memberikan rahasia kekuatan penghancur 'Selaput Iblis' itu?!"

"Ooh, tentu saja, Sayang.... Apa pun yang kau inginkan akan kukabulkan, asal kau mau memberiku secawan anggur kenikmatan."

"Kau tidak mendustaiku nantinya?!"

"Tidak mungkin, Sayang... sebab... sebab aku tahu di mana 'Jemparing Malaikat' itu berada."

"Ap... apa itu 'Jemparing Malaikat'?!"

"Panah pusaka milik Begawan Parang Giri. Oh, lekaslah beri aku secawan kenikmatan, jangan bicara soal itu dulu, Suto!"

"Tidak bisa, Awan Setangkai! Aku harus bisa menghancurkan 'Selaput Iblis' itu lebih dulu sebelum menghancurkan Selaput kesucianmu!"

"Suto, aku sudah tidak berselaput lagi. Tapi aku punya kesucian hati kepadamu, Suto! Sumpah mati, aku punya kesucian hati padamu, Sayang.... Oh, lekaslah peluk aku dan berikan apa yang kudambakan sejak kita berpisah dulu, Suto...," bujuk Awan Setangkai dalam rengekan manjanya. Napasnya sudah terengah-engah dan tangannya meremas serta merayap kemana-mana.

"Awan Setangkai," bisik Suto. "Bagaimana kalau hal itu kita bicarakan di kamar tidurmu saja?!"

"Ooh.... itu pasti lebih indah, Suto! Kalau begitu, sekarang juga kau harus segera kubawa ke Istana Selat Bantai, Sayang...! Aku punya ranjang hangat untuk kita berdua. Ayo, lekaslah, Suto!" Awan Setangkai menarik-narik Suto, tampak tak sabar lagi.

Sementara itu, Suto Sinting sempat berpikir dalam benaknya, "Haruskah kulayani gairahnya untuk dapatkan rahasia itu? Oh, celaka! Gairahku sendiri telah menggebu-gebu dan menuntut kemesraan yang lebih dalam lagi. Oh, sebaiknya apa yang harus kulakukan kalau sudah begini?"

* * *

EMPAT

TIBA-TIBA sekelebat bayangan menyambar mereka dari arah depan. Bayangan itu berupa senar putih yang menyilaukan yang muncul dari balik semak yang akan dilalui mereka.

Claap, blaaab...!

Untuk sesaat Suto dan Awan Setangkai tak bisa bernapas. Mereka sama-sama tumbang dan pingsan. Sinar putih yang tiba-tiba menyerang mereka itu ternyata datang dari tangan seorang perempuan berambut jabrik, acak-acakan. Perempuan itu mengenakan pakaian serba hitam, ketat dengan tubuh, bagaikan terbuat dari karet atau bahan lainnya yang elastis. Perempuan yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu sebenarnya berwajah cantik, walau berkesan liar dan galak. Sayang sekali rambutnya yang jabrik itu tidak pernah disisir rapi, sehingga kecantikannya sangat tersembunyi.

Perempuan berdada sekal dan berbibir sensual itu tak lain adalah Angin Betina, yang berstatus masih gadis walau belum tentu masih perawan, dan sangat mencintai Suto Sinting. Ia banyak membantu Suto dalam berbagai masalah, dan sering menjadi penyelamat jiwa Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir).

Agaknya Angin Betina cemburu mengintip Suto Sinting bermesraan dengan Awan Setangkai, sehingga sebelum mereka berdua bergerak ke Istana Selat Bantai, Angin Betina lebih dulu melumpuhkan mereka. Padahal sebenarnya Angin Betina masih sakit hati kepada Suto yang seolah-olah memusuhinya ketika Angin Betina berhadapan dengan Payung Serambi, utusan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger Selat Bantai).

"Seharusnya aku berkerjasama denganmu mencari kekuatan pemunah Selaput Iblis itu, agar kecantikan kakakku; si Merpati Liar, tetap terjaga dan tidak menjadi luntur karena Selaput Iblis itu. Tapi sayang, aku masih sakit hati dengan sikapmu kala itu, Suto. Terpaksa aku menggagalkan rencanamu bercumbu dengan gadis rakus itu!" kata Angin Betina bagai bicara sendiri, karena pada waktu itu Suto Sinting masih dalam keadaan pingsan.

Angin Betina segera membawa pergi Suto Sinting jauh-jauh. Ia hanya tak ingin Suto dan Awan Setangkai terlibat percumbuan asmara yang akan menyenangkan hati Awan Setangkai. Ia membawa Suto ke dalam sebuah gua, lalu meninggalkannya disana.

"Maaf, aku terpaksa memisahkan kau dengan perempuan rakus itu agar perempuan itu sama denganku; yaitu sama-sama tak mendapatkan kemesraan darimu! Kau harus kutinggalkan di gua ini, sementara aku akan menuju Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri, sesuai petunjuk kakakku; Merpati Liar. Nanti kau akan buta oleh seranganku tadi. Tapi jika kau minum tuakmu, maka kebutaan itu akan cepat sirna dan penglihatanmu pulih seperti sediakala. Selamat tinggal, Suto!"

Wees...! Angin Betina bergerak cepat nyaris tak bisa diikuti oleh pandangan mata siapa saja. Gadis yang memiliki kitab 'Lorong Zaman' itu ternyata juga menuju ke Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri. Rupanya ia diutus oleh kakaknya; si Merpati Liar, yang juga menggunakan aji awet ayu hingga tetap kelihatan muda dan cantik.

Seperti apa kata Angin Betina, ketika Suto sadar ia segera menggeragap karena matanya menjadi buta. Ia sempat tegang sesaat, lalu tangannya yang meraba-raba segera temukan bumbung tuak di sampingnya. Tuak pun diteguknya beberapa kali, dan ternyata tak sampai sepuluh helaan napas, kedua mata Pendekar Mabuk sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya saja ia sempat termenung dan membatin dalam hatinya.

"Samar-samar tadi sepertinya kudengar suara si Angin Betina. Hmmm... benarkah yang membawaku kemari Angin Betina? Benarkah dia sedang menuju ke Bukit Canting? Ah, mungkin itu hanya bayanganku saja di alam pingsan! Tapi... tapi di mana si Awan Setangkai tadi?! Oh, aku kehilangan jejak orang yang bisa jelaskan tentang rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Aduh, celaka! Ke mana aku harus mencari Awan Setangkai, ya?"

Suto keluar dari gua dan garuk-garuk kepala menandakan sedang bingung menentukan arah langkahnya. Instingnya mulai digunakan. Melalui instingnya ia tentukan langkah penuh keyakinan bahwa ia harus menuju ke timur jika ingin bertemu Awan Setangkai.

"Kau harus pergi ke arah timur jika ingin bertemu Awan Setangkai," kata hatinya. Namun sebenarnya yang berkata demikian bukan hati Suto, melainkan Suto Sejati alias Guru Sejati yang pernah ditemuinya di alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gerbang Siluman).

Sementara itu, Awan Setangkai segera sadar dari pingsannya. Tapi ia terpekik kaget setelah mengetahui matanya menjadi buta. "Suto...?! Sutooo...?!" panggilnya dengan kedua tangan meraba-raba. Ia memeriksa pedangnya, ternyata masih di punggung, ia memeriksa kanan-kirinya, ternyata yang ditemukan hanya pohon dan gundukan batu.

"Suto, ke mana kau...?!'' serunya dengan harapan mendapat jawaban dari Pendekar Mabuk. Tetapi ternyata harapannya sia-sia. Tak ada jawaban apa pun dari Suto Sinting, dan ia tak tahu di mana Suto berada saat itu. "Gawat! Mataku menjadi buta begini?! Sinar apa tadi yang menerpaku?! Oh, di mana Suto berada? Mengapa ia tak menjawab seruanku?" batin Awan Setangkai berkecamuk sendiri sambil mencoba melangkah dengan meraba-raba. Namun langkahnya segera terhenti ketika tangannya menyentuh sesosok tubuh kekar.

"Oh, Suto... kenapa kau tak menjawab seruanku! Kukira kau jauh dariku, Pendekar Mabuk!" ujarnya sambil tersenyum lega. Tangannya masih meraba-raba tubuh kekar itu, dan ia yakin tubuh itu adalah milik Suto, sebab Suto memang berbadan kekar serta dadanya keras berotot, sama dengan lengannya. Bahkan ketika ia menyentuh wajah, meraba bibir dan hidung bangir, ia semakin yakin bahwa pemuda yang di depannya adalah Suto Sinting.

Padahal pemuda itu bukan Suto Sinting. Pemuda kekar berperawakan tinggi tegap itu adalah Taring Naga, yaitu kakak dari Naga Langit. Taring Naga memang mengejar-ngejar Suto Sinting karena Suto telah melenyapkan seluruh ilmu Naga Langit. Taring Naga bermaksud menuntut balas, ia belum tahu kalau adiknya sudah mati di tangan Nyai Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

Melihat gadis cantik berdada montok terkapar, Taring Naga mulai berpikiran kotor. Sayang waktu itu Awan Setangkai segera siuman dan memanggil-manggil Suto. Namun Taring Naga masih ingin mencoba keberuntungannya dengan mendekati gadis itu, lalu ia disangka sebagai Suto Sinting oleh sang gadis.

"Dia menyangkaku Suto Sinting dan berani merabaku segala. Ah, sebaiknya kumanfaatkan kebutaan-nya itu untuk berlagak sebagai si Pendekar Mabuk keparat itu!" kata Taring Naga dalam hatinya.

"Suto, apakah keadaanmu baik-baik saja?"

"Iya...," jawab Taring Naga sambil memberanikan diri mencium pipi Awan Setangkai.

"Ah, kau sudah mulai nakal lagi," ucap Awan Setangkai sambil tertawa kecil. "Apakah kau juga buta karena sinar putih tadi?"

"Iya...," jawab Taring Naga lagi dalam suara mendedah supaya suara aslinya tidak diketahui.

"Oh, Suto... rupanya kau sudah tak sabar lagi, ya?" bisik Awan Setangkai sambil membiarkan wajah pemuda itu mendusal di dadanya, ia justru tertawa cekikikan disiram kebahagiaan.

Taring Naga menjadi semakin bergairah ketika Awan Setangkai berbisik kembali, "Dapatkah kau mencari semak-semak yang aman, Suto?"

"Ooh, yaah... kurasa di sini pun sudah cukup aman," suara Taring Naga mendesah diburu gairah.

Awan Setangkai memaklumi, karena ia menyangka Suto Sinting sudah diburu oleh kebutuhan batinnya. Bahkan gerakan tangan pemuda yang merayapinya itu lebih liar dari Suto Sinting. Tapi Awan Setangkai menyangka bahwa keganasan gairah Suto Sinting yang asli telah keluar. Awan Setangkai justru menyukainya, ia semakin dibuat mabuk gairah oleh sapuan bibir Taring Naga yang sampai ke tempat-tempat tersembunyi itu.

Tawa yang cekikikan membuat Taring Naga kian tak sabar, akhirnya ia hanya melepaskan baju dan pedang ditaruh di samping kanan. Awan Setangkai sendiri yang sudah terengah-engah tampak tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan perempuan itu telah berbaring di bawah pohon berumput tebal.

"Suto, cepatlah...," desah Awan Setangkai sambil menarik tangan Taring Naga. Lalu ketika Taring Naga memberikan apa yang diinginkan Awan Setangkai, gadis itu memekik dengan suara tertahan. "Oouh.... Sutooo...!!" sambil tangannya meremas pundak tak berbaju itu.

Awan Setangkai menjadi ganas walau dalam keadaan buta. Ia tak sempat memikirkan beberapa kejanggalan karena otaknya sudah dipenuhi harapan indah dan hanyut oleh kenikmatan bercumbu yang tak tertahankan lagi itu. Bahkan gadis itu menjerit kecil lepas kontrol ketika mencapai puncak keindahannya. Tak lama kemudian jeritan itu terulang kembali, kali ini disertai dengan remasan tangan di punggung pasangannya, karena sang pasangan menyemburkan sejuta keindahan yang tertinggi.

"Ooooh... nikmat sekali, Suto. Tapi kenapa hanya sebentar saja. Ooh, aku ingin mengulangi lagi, Suto! Aku masih ingin mengarungi samudera cinta bersamamu di sini. Ooh... ayolah, Sutooo...!" rengek Awan Setangkai, tapi Taring Naga sudah tidak mempunyai kemampuan, ia hanya terengah-engah sambil terbaring di samping Awan Setangkai.

Gadis itu akhirnya tertawa sambil tangannya meraba, sesuatu yang sudah tak berdaya lagi. "Hik, hik, hik, hik...! Rupanya kau terlalu mengumbar gairah hingga tak bisa mengendalikan lagi, ya? Oh, tak apalah! Nanti di tempatku kau mau mengulanginya lagi, bukan?"

"Ya, Sayang...," jawab Taring Naga masih dengan suara desah. "Aku sudah cukup lega dan bahagia menerimanya. Tapi nanti kalau kau sudah meminum jamu seduhanku, ooh... kau akan menjadi seperti kuda jantan yang sanggup berperang menembus ratusan musuh di depanmu. Hik, hik, hik, hik...!"

Tiba-tiba dari arah semak-semak seberang muncul seorang pemuda yang berlari sambil mencari sesuatu. Pemuda itu segera terkejut ketika memergoki Taring Naga sedang dibelai oleh seorang gadis dalam keadaan tanpa baju. "Ooh...?!" pekik pemuda itu dengan mata terbelalak.

Taring Naga juga kaget dan menggeragap menyambar baju dan pedangnya.

"Suto, apakah menurutmu ada orang lain di sekitar kita?!" Awan Setangkai mulai curiga ketika Taring Naga menarik diri dan segera membetulkan pakaiannya.

"Sialan! Bocah itu lagi!" gerutunya dalam hati.

Orang yang membuat Taring Naga menjadi tegang itu adalah Panji Klobot, seorang pemuda usia dua puluh tahun yang menjadi pelayan sang adipati dan kemudian menjadi sahabat Suto Sinting. Dua kali Taring Naga selalu dibuat mules perutnya oleh tendangan Panji Klobot yang dinamakan jurus 'Tendangan Cuci Perut' itu. Taring Naga menyangka Panji Klobot berilmu tinggi, padahal Panji Klobot hanya mempunyai satu jurus konyol pemberian pamannya itu.

"Celaka! Kalau dia menyerangku, padahal di sini jauh dari sungai, waah... bisa habis semua daun kupakai untuk membersihkan diri! Lebih baik kabur saja sebelum bocah sakti itu membuat perutku mules lagi!"

Wuuut...! Taring Naga lari tanpa pamit kepada Awan Setangkai. Panji Klobot sendiri segera lari berlainan arah, karena ia takut bertemu Taring Naga tanpa Suto Sinting.

Padahal Panji Klobot hanya kebetulan lewat di tempat itu. Ia sedang mencari Tenda Biru, gadis yang belakangan ini mengajarkan ilmu kanuragan padanya, walau belum membuat Panji Klobot bisa menangkis serangan lawan. Tetapi hubungannya dengan Tenda Biru semakin akrab, sudah seperti kakak sendiri, sehingga Panji Klobot merasa kehilangan ketika Tenda Biru menyaksikan sayembara tanding laga di Pesanggrahan Janda Liar, (Tentang Panji Klobot dan Tenda Biru, silakan baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

"Sutooo...?! Ke mana kau?!" Awan Setangkai tak berani bersuara terlalu keras, ia curiga ada orang yang mengintai perbuatannya tadi. Tapi setelah dirasakan suasana menjadi sepi, ia pun mulai bangkit dan membenahi pakaiannya.

"Suto...?! Suto, kau di mana?!" panggilnya sambil mulai melangkah meraba-raba.

Panji Klobot sudah jauh, meneruskan usahanya mencari gadis berjuluk Tenda Biru itu. Sedangkan Taring Naga juga sudah berlari sejauh mungkin, karena tak ingin isi perutnya terkuras lagi oleh tendangan Panji Klobot. Akibatnya, Awan Setangkai menjadi kebingungan sendiri.

"Tadi sepertinya ada orang datang, tapi kenapa sekarang orang itu pergi? Kudengar suara larinya ke arah depanku. Dan Suto Sinting sendiri...? Oh, mengapa dia harus lari juga? Apakah dia mengejar orang yang muncul dari semak-semak sana? Ah, sepertinya Suto Sinting lari lebih dulu. Kalau begitu, orang yang tadi muncul itu mengejar Suto Sinting? Atau... aduh, bagaimana ini sebenarnya? Mengapa pandangan mataku tetap buta begini?"

Awan Setangkai sengaja diam bersandar di bawah pohon sambil berkecamuk dalam hatinya, ia memikirkan langkah selanjutnya yang harus dilakukan.

Beberapa kejap kemudian, Suto Sinting menemukan tempat itu. "Awan Setangkai...!" serunya dari kejauhan.

Gadis itu tergugah dari lamunan dan menjadi ceria. Walau matanya masih buta, tapi hatinya sudah lega karena ia mendengar suara langkah Suto Sinting yang tadi menyapanya di kejauhan.

"Awan, kau... kau masih buta?!"

"Masih! Tapi... tapi aku bahagia sekali karena kau telah kembali lagi."

"Minumlah tuakku ini, biar matamu bisa melihat lagi."

Ternyata setelah Awan Setangkai meminum tuak beberapa teguk, kegelapan di matanya menjadi buram, lalu ia dapat melihat bayangan pohon dan benda lain secara samar-samar. Beberapa kejap berikutnya kebutaan itu telah hilang, kini kedua mata Awan Setangkai itu dapat dipakai untuk melihat lagi dengan jelas.

"Ooh, sayang sekali tadi kita sama-sama buta, ya?" ujarnya kepada Suto sambil memeluk dan menjatuhkan kepala di dada Suto Sinting.

Pendekar Mabuk tak jelas yang dimaksud ucapan Awan Setangkai, ia hanya berkata dalam gumam lirih.

"Iya, sayang kita tadi sama-sama buta. Kalau tidak... pasti kita bisa mengetahui dengan jelas siapa orang yang menyerang kita tadi."

"Mungkin itu orang iseng yang tidak suka melihat kemesraan kita, Suto. Biarkan saja dia, tapi waspadalah mulai sekarang. Sekali ia muncul lagi, kuhabisi dia saat itu juga!"

"Kau jadi mengajakku ke Istana Selat Bantai?"

"O, ya... tentu jadi! Aku ingin mengulang kemesraan yang tadi."

Suto Sinting tersenyum, karena ia menduga maksud Awan Setangkai adalah kemesraan saat mereka saling beradu ciuman tadi. Sedangkan maksud Awan Setangkai adalah kencan yang lebih dalam di balik semak-semak itu.

"Agaknya kau harus minum jamu agar mampu berpacu lebih lama lagi."

"Ah, kau pikir aku seorang penunggang kuda yang payah?!"

"Buktinya kau tadi cepat menyelesaikan tugas, padahal aku masih ingin melanjutkannya ke puncak yang lebih tinggi," ujar Awan Setangkai tanpa malu-malu lagi, karena merasa sudah menyatu dalam satu pribadi, ia hanya tertawa cekikikan sambil tetap melangkah dan merangkul pinggang Suto dari samping. Suto Sinting masih belum paham maksud kata-kata Awan Setangkai sebenarnya.

"Tak kusangka kalau kau ternyata juga ganas dan sangat panas!" ujar Awan Setangkai lagi. Suto menyangka permainan tangan dan ciumannya tadi dianggap ganas.

"Ah, baru segitu masa' sudah kau anggap ganas?"

"Eh, tadi... menurutmu siapa tadi yang mengintip kita, Suto?"

"Yang... yang mana?"

"Tadi, saat kau sedang terkulai ngos-ngosan di sampingku dan aku sedang membelaimu. Bukankah tadi ada orang yang mengintip pergumulan kita?"

"Pergumulan?! Maksudmu, pergumulan yang bagaimana?"

"Ah, jangan berlagak pikun kau," sambil Awan Setangkai mencubit hidung Suto dan tertawa riang, ia sengaja hentikan langkah untuk menatap Suto Sinting.

"Terus terang saja, biar hanya sebentar, tapi aku sudah lega. Aku sudah puas menerima kemesraanmu. Maaf kalau sampai aku tadi menggigit pundakmu dan mencakar punggungmu, aku sering lupa daratan kalau sedang begitu!"

"Mencakar...?! Rasa-rasanya punggungku tidak ada yang mencakarnya?!" kata Suto Sinting dengan heran.

"Kau pasti tak ingat, karena kita tadi sama-sama terbang tinggi. Tapi... ternyata indah juga bercumbu dalam keadaan sama-sama buta, ya?"

"Hahh...?!" Pendekar Mabuk mulai memahami maksud kata-kata Awan Setangkai. "Kapan kita bercumbu dalam keadaan buta?"

"Aaah... kau suka berlagak pikun, nanti pikun betul lho!" goda Awan Setangkai.

Suto pun membatin, "Wah, agaknya tadi ada orang yang memanfaatkan kebutaan Awan Setangkai dan memberinya kepuasan. Buktinya gadis ini tidak segalak tadi? Celaka! Kalau begitu, ini namanya tidak makan nangka tapi kena getahnya!"

"Awan Setangkai, jujur saja kukatakan padamu, saat aku siuman dari pingsanku, kudapatkan mataku telah buta. Lalu, aku minum tuak ini, dan kebutaanku hilang. Tapi kutemukan diriku sudah berada di dalam gua. Lalu aku keluar dan mencarimu kemari!"

Awan Setangkai justru tertawa berkepanjangan. "Kau pandai mengarang cerita yang menggoda hatiku, Suto. Ooh... aku senang sekali punya pendamping sepertimu. Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi. Sebaiknya kita segera ke Istana Selat Bantai. Aku akan bicara tentang pusaka 'Jemparing Malaikat' milik Begawan Parang Giri itu. Kuanggap, kau sudah memberiku secawan anggur kenikmatan, aku telah lega. Tidak penasaran seperti tadi. Terserah kau mau berlagak bodoh atau berlagak pikun, yang jelas aku sudah mendapatkannya darimu. Kini aku akan memenuhi janjiku untuk bicara tentang rahasia 'Selaput Iblis' yang ada di langit itu!"

"Wah, kacau kalau begini...!" gumam Suto dalam hati. "Dia tetap merasa bergumul denganku! Tapi... ah, masa bodoh soal itu! Yang penting aku harus bisa cepat-cepat hancurkan 'Selaput Iblis' agar Bibi Guru Bidadari Jalang tidak mengalami perubahan pada wajahnya."

Namun tiba-tiba muncul ketegangan kecil dari pikiran Suto. "Bagaimana kalau sampai Awan Setangkai nanti hamil? Pasti dia akan menyangka akulah yang menghamilinya, dan dia akan menuntut tanggung jawabku, lalu kami harus kawin, oooh... kiamat! Aku tak mau menikah dengan siapa pun kecuali Dyah Sariningrum, calon istriku itu!"

Pikiran Suto pun menjadi bercabang lagi antara 'Selaput Iblis' dan bekas 'Selaput Dara'-nya Awan Setangkai itu. Suto menjadi jengkel sendiri dan menggerutu dalam hati. "Persoalan selaput bikin kacau pikiranku! Sial! Kenapa aku dihadapkan persoalan seperti ini?!"

Tanpa sadar Pendekar Mabuk bersungut-sungut sendiri, sehingga Awan Setangkai menertawakan, karena dianggapnya Suto tetap bersandiwara untuk menggoda hatinya. Gadis itu justru semakin tertarik kepada Suto Sinting. Malahan ia bertekad untuk membantu kesulitan Suto dengan harapan akan mendapatkan kemesraan yang lebih indah dari kemesraan yang dinikmati dalam kebutaan tadi.

* * *

LIMA

ENTAH sudah berapa hari sebenarnya Suto dibuat sibuk oleh kasus 'Selaput Iblis' itu. Mungkin sudah dua hari, mungkin juga baru sehari semalam. Semuanya tak jelas, karena matahari tak mau bergerak. Seakan sang matahari lakukan mogok terbenam dan mogok terbit. Bayangan manusia sudah berubah menjadi ungu. Orang-orang Selat Bantai, sisa anak buah Ratu Cendana Sutera banyak yang menjadi korban ketuaan, karena ternyata mereka banyak yang menggunakan aji pengawet ayu mengikuti mantan sang Ratu Selat Bantai itu.

Mereka yang wajahnya menjadi keriput, peot, kempot, dan beruban, kebanyakan mulai mengenakan cadar penutup wajah. Akibat banyaknya perempuan di Selat Bantai yang mengenakan cadar, maka suasana Selat Bantai seperti suasana di Mesir.

Pendekar Mabuk sempat terperanjat ketika baru saja tiba di Istana Selat Bantai, karena melihat banyaknya perempuan bercadar, ia sempat berkata pelan kepada Awan Setangkai yang disambut oleh mereka dengan penghormatan, karena Awan Setangkai sebenarnya sekarang seorang ratu di Selat Bantai. Hanya saja karena Awan Setangkai masih berjiwa muda, maka ia masih gemar keluyuran sendiri, bahkan keluar dari istana tanpa diketahui para pengawalnya.

"Apakah prajuritmu sekarang banyak yang bergigi tonggos, sehingga menutup wajah dengan kain cadar?"

"Kurasa persoalannya bukan terletak pada gigi mereka, tapi pada perubahan kecantikan mereka yang menjadi keriput dan menua," jawab Awan Setangkai. "Kau masih kenal gadis berbaju tak berlengan warna biru itu?"

"Hmmm... maksudmu yang memakai ikat kepala rantai emas berbandul merah itu?"

"Benar. Apakah kau masih ingat dia?"

Suto memandang perempuan yang berbadan sekal dengan rambut sepunggung dikepang dan bersenjata pisau kembar serta membawa busur yang melintang di punggung. Ingatan Suto melayang sejenak pada peristiwa penyergapan terhadap dirinya beberapa waktu yang lalu.

"Kalau tak salah, dia adalah si Bunga Ranjang!" sambil benak Suto membayangkan pertarungannya dengan Bunga Ranjang, mantan pengawalnya Ratu Cendana Sutera itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Cendana Sutera).

"Benar. Akan kupanggil dia biar kau jelas semuanya."

Bunga Ranjang yang kini tunduk di bawah perintah Awan Setangkai segera berlari menghadap Awan Setangkai begitu dipanggil dengan suitan. Perempuan itu mengenakan kerudung hitam di kepalanya dengan wajah tertutup kain tersebut. Bagian wajah yang kelihatan hanya bagian sepasang matanya yang mulai tampak buram itu.

"Bunga Ranjang, bukalah kain cadarmu itu. Kau tidak menghormati tamu agung kita ini jika tetap mengenakan kain cadar."

"Tapi..."

"Bukalah kain cadarmu!" Awan Setangkai mempertegas dengan nada wibawanya sebagai Ratu atau Ketua orang-orang Selat Bantai.

Mau tidak mau Bunga Ranjang membuka kain cadarnya, lalu cepat-cepat menundukkan kepala, karena ia kenal siapa tamu agung yang dimaksud itu. Ia malu kepada Pendekar Mabuk yang dulu pernah dipameri kecantikannya bersama Mawar Rimba.

"Selamat berjumpa lagi denganku, Bunga Ranjang. Bagaimana keadaanmu sekarang? Betah punya ratu ganjen macam si Awan Setangkai ini?"

Pluk! Awan Setangkai menepuk lengan Suto sambil tertawa malu, sedangkan Bunga Ranjang hanya tersenyum-senyum sambil kian menundukkan kepala. Rupanya ia tak ingin Pendekar Mabuk melihat wajahnya lebih jelas lagi. Tapi keadaan itu sudah cukup membuat Suto Sinting menjadi prihatin dan merasa iba terhadap Bunga Ranjang, sehingga ia perlu membuat suasana menjadi ceria dengan kelakarnya tadi.

Siapa orangnya yang tak merasa terharu jika melihat mata yang dulu sayu indah berbulu lentik, sekarang menjadi mata yang keruh tanpa bulu selengkap dulu. Kulit yang dulu kencang dan bersih, sekarang berkeriput bagai kain tak disetrika. Bibir yang dulu mungil sensual menggemaskan, sekarang berkerut tepiannya dan tenggelam ke dalam karena keompongan gigi depannya. Hidung yang dulu mancung, sekarang melebar ke samping bagai sisa permadani digelar di wajah.

Awan Setangkai segera menyuruh Bunga Ranjang pergi mempersiapkan tempat untuk menjamu sang tamu agung itu. Lalu, dengan hati sedih pula Awan Setangkai berkata kepada Suto Sinting.

"Dia korban kabut sinar ungu itu! Dulu ia tampak cantik, bukan?"

"Memang cantik dan menggairahkan. Matanya yang sayu jika memandang seakan sebuah ajakan untuk berkencan di balik semak-semak."

"Dia seperti itu karena menggunakan mantra kecantikan pemberian mendiang Ratu Cendana Sutera. Sekarang mantra itu tidak berguna lagi, dan akibatnya seperti kau lihat sendiri tadi."

"Kasihan sekali," gumam Suto Sinting sambil membayangkan wajah Bidadari Jalang yang usianya hanya terpaut setahun dua tahun dari si Gila Tuak. Semangat Suto untuk menghancurkan kabut sinar ungu itu semakin membara, sehingga ia segera mengarahkan pembicaraannya tentang pusaka milik Begawan Parang Giri itu.

"Seperti kukatakan padamu sebelum kau memberikan kehangatan yang indah itu padaku," Awan Setangkai mengawali dengan senyum dan kerlingan mata nakalnya. "Pusaka itu adalah sebuah panah emas yang dapat memudarkan segala macam kekuatan gaib atau ilmu siluman. Ratu Cendana Sutera dan orang-orang Selat Bantai ini, termasuk diriku, paling takut kalau melihat lawan membawa panah emas, walau sebenarnya belum tentu panah emas itu pusaka 'Jemparing Malaikat'-nya sang Begawan."

"Apakah dulu ketika gurunya Nyai Watu Wadon melapisi matahari dengan 'Selaput Iblis' juga dihancurkan oleh panah emas itu?"

"Menurut cerita mendiang Ratu Cendana Sutera memang begitu, tetapi yang memanahkannya bukan Begawan Parang Giri, melainkan seorang tokoh angkatan lama bernama Raja Maut."

"Oh, aku kenal dengan Raja Maut yang kini sudah almarhum itu."

"Hanya orang berilmu tinggi yang bisa menarik busur untuk melepaskan panah 'Jemparing Malaikat' itu. Sang Begawan sendiri sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menarik tali busur dan melepaskan panah itu, karena ia sudah sangat tua dan ilmunya sudah dibuang semua. Kini sang Begawan hanya ingin menyepi, menyucikan diri, mendekatkan hidupnya dengan Yang Maha Kuasa sambil menunggu saat kematiannya tiba."

"Dan panah itu masih ada padanya?"

Awan Setangkai menggelengkan kepala. Langkah mereka berhenti di taman indah yang dulu sering dipakai kencan oleh mendiang Ratu Cendana Sutera dengan lawan jenisnya. Di taman itu ada bangku dari batu marmer hitam mengkilat. Awan Setangkai mengajak Suto duduk di batu itu sambil memandangi kolam berikan warna-warni dan bunga-bunga aneka ragam.

"Panah itu semula ada padaku. Tapi sekarang hilang dicuri oleh salah seorang anggota Partai Janda Liar."

"Oh, ya...?!" Suto terperanjat. Matanya memandang Awan Setangkai dengan dahi berkerut tajam.

"Ketika aku datang menemui Begawan Parang Giri di Bukit Canting, aku mengeluh pada beliau karena menurut silsilah, beliau masih ada hubungan darah dengan leluhurku. Aku mengeluh tentang hak kekuasaanku di Selat Bantai ini yang direbut oleh Ratu Cendana Sutera. Pusaka itu kupersiapkan untuk saat-saat penggulingan kekuasaan nanti, terutama jika aku sudah punya pendukung cukup banyak. Tetapi sebelum makar itu kulakukan, ternyata sudah ada peristiwa 'Bulan Kesuburan' yang melibatkan dirimu dan akhirnya sang Ratu mati ditanganmu."

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, Awan Setangkai terpaksa hentikan ceritanya sesaat, karena ia ingin ceritanya didengar Suto dengan serius. Setelah Pendekar Mabuk selesai menenggak tuaknya, Awan Setangkai lanjutkan pula ceritanya.

"Beberapa waktu yang lalu, orang Partai Janda Liar datang kemari, ia meminta panah itu dengan paksa. Aku mencoba mempertahankannya dengan perlawanan sengit. Tetapi dia punya keberuntungan dapat melihat sisi kelemahanku. Aku dibuatnya tak berdaya dan nyaris mati. Satu langkah lagi, jika aku tidak serahkan panah itu, nyawaku akan melayang dan sekarang tak bisa menjumpaimu, tak bisa merasakan kenikmatan cumbuanmu."

"Jadi panah itu kau serahkan padanya?" sahut Suto Sinting yang tak mau bicara tentang cumbuan, karena merasa kesal hati; tidak mencumbu dikatakan mencumbu dengan mesra.

"Ya, panah itu kuserahkan padanya. Lalu, aku segera pergi ke Bukit Canting dan melaporkan hal itu kepada Begawan Parang Giri."

"Apa tindakan sang Begawan?!"

"Dia menyuruhku membiarkan panah itu ada di tangan orang tersebut, karena orang itu adalah cucunya sendiri yang memang berhak memiliki panah pusaka itu."

"Ooo... jadi cucunya Begawan Parang Giri ada yang menjadi anggota Partai Janda Liar?"

"Benar. Dia seorang perempuan yang patah hati karena dua kali menikah dua kali pula dikhianati oleh suaminya. Lalu ia menggabungkan diri dengan Partai Janda Liar agar mendapat bantuan dari Nyai Watu Wadon dalam melepaskan dendamnya kepada kedua mantan suami itu. Ternyata usahanya berhasil, kedua mantan suami dibunuhnya dengan bantuan kekuatan Nyai Watu Wadon."

"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Siapa nama perempuan yang menjadi cucunya Begawan Parang Giri itu?"

"Perempuan itu dikenal dengan nama Selimut Senja."

"Ooh...?!" Suto Sinting kaget. "Bukankah Selimut Senja yang membunuh Nyai Watu Wadon? Saat itu aku melihatnya sendiri!"

"Memang benar. Rupanya Selimut Senja ingin merebut kekuasaan di dalam Partai Janda Liar. Mungkin ia punya maksud menyusun kekuatan bersama para pengikut Partai Janda Liar yang terdiri dari janda-janda sakit hati itu untuk memerangi kaum pria yang pernah menyakiti hati mereka."

"Padahal kulihat Selimut Senja punya ilmu cukup tinggi. Bahkan kudengar ia menguasai ilmu "Kulit Baja' yang anti bacok anti tonjok itu."

"Menurut berita dari mata-mata yang kususupkan ke sana, ilmu 'Kulit Baja' itu dikuasai olehnya baru-baru ini saja. Sebelumnya ia tidak mempunyai ilmu 'Kulit Baja' dan ilmunya masih di bawah Nyai Watu Wadon. Jika ia sudah mempunyai ilmu 'Kulit Baja' tentunya ia tidak perlu bergabung dengan Nyai Watu Wadon untuk membunuh kedua mantan suaminya yang berilmu tinggi itu."

"Hmmm, ya... benar juga," Suto manggut-manggut lagi. "Lalu, apa hubungannya perebutan kekuasaan si Partai Janda Liar itu dengan panah pusaka 'Jemparing Malaikat' itu?!"

"Aku tak tahu secara pasti. Tapi menurut dugaan ku, panah itu juga dipersiapkan untuk melawan Nyai Watu Wadon, sebab Nyai Watu Wadon mempunyai jurus 'Bencana Gaib' yang berbahaya."

Setelah merenung sesaat, Suto Sinting pun berkata seperti bicara pada diri sendiri. "Kalau begitu, saat aku bertarung dengan Nyai Watu Wadon, ada sepasang mata yang melihatnya dari persembunyian. Mungkin kepergian Nyai Watu Wadon diikuti oleh sepasang mata yang tak lain milik Selimut Senja itu. Dan ketika ia mengetahui keadaan Nyai Watu Wadon terluka cukup berbahaya, ia menyerangnya sebelum luka itu tersembuhkan. Karena kulihat Selimut Senja tidak menggunakan panah emas itu dalam pertarungannya melawan Nyai Watu Wadon."

"Barangkali saja memang begitu. Tapi yang jelas sekarang Selimut Senja di pihak yang menang. Sebab dengan membiarkan matahari dilapisi kabut sinar ungu, maka ia dapat membuat lawan-lawan perempuannya yang punya ilmu pengawet ayu itu mengalami penderitaan. Selimut Senja sendiri mempunyai kecantikan yang asli dan tidak menggunakan mantra atau ilmu pengawal ayu, seperti keayuanku ini," sambil Awan Setangkai tersenyum angkuh menggoda Suto Sinting.

Tangan Suto berkelebat mencubit pipi Awan Setangkai dengan gemas. Yang dicubit diam saja, bahkan menarik tangan itu lalu memeluknya. Gadis itu memang tampak lebih ceria ketimbang semasa menjadi anak buahnya Ratu Cendana Sutera. Kebebasannya menjadi penguasa Selat Bantai agaknya telah membuat Awan Setangkai tak sungkan-sungkan bertindak apa saja.

Buktinya ia langsung menciumi Suto Sinting begitu pemuda tampan itu jatuh dalam pelukannya. Ciumannya menggelora bagaikan ingin menyapu bersih wajah itu. Bahkan kali ini bibir Suto Sinting dilumatnya habis-habisan, seakan bibir itu ingin ditelannya bulat-bulat, hingga Suto Sinting sempat gelagapan sebentar.

"Gusti Ratu...," sapa seorang prajurit muda yang punya kecantikan asli pula itu. Sapaan tersebut membuat Awan Setangkai menggeragap kaget dan buru-buru melepaskan ciumannya, memisahkan diri dan Suto Sinting, ia sempat salah tingkah sebentar, sementara Suto Sinting menertawakan dengan senyum dipalingkan ke arah lain.

"Kau benar-benar tak tahu sopan, Kundarini! Mengapa kau berani mengganggu kemesraanku dengan Pendekar Mabuk, hah?!" Awan Setangkai memarahi prajurit yang menghadap dengan napas terengah-engah dan wajah tegang itu.

"Maaf, Gusti Ratu... saya hanya ingin memberitahukan bahwa kita telah kedatangan seorang tamu yang membuat keributan di depan bangsal pertemuan, ia telah berhasil mendobrak gerbang dan ingin masuk ke bangsal keratuan."

"Keparat! Siapa orang itu?"

Prajurit muda itu menjawab, "Saya tidak tahu, Gusti Ratu. Tetapi beberapa rekan prajurit atasan saya mengatakan bahwa perempuan itu bernama Sedap Malam, mantan orang kita juga."

"Nyai Sedap Malam...?!" gumam Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang, karena ia kenal betul dengan perempuan yang menjadi istrinya Ki Palang Renggo, sahabat gurunya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Darah Satria).

"Akan kuhadapi sendiri dia! Tahan para prajurit agar jangan lakukan penyerangan. Nanti banyak korban yang sia-sia. Biar kuhadapi sendiri si Sedap Malam yang masih ingin ikut campur urusan Selat Bantai itu!" kata Awan Setangkai dengan berang.

"Biar aku yang bicara dengannya," kata Suto setelah Kundarini pergi melaksanakan perintah sang Ratu nyentrik itu.

"Tidak. Kurasa ia datang karena ada urusan lama denganku, sebab ia memang bekas orangnya Ratu Cendana Sutera yang diusir karena berhubungan cinta dengan Ki Palang Renggo!"

"Aku pernah mendengar hal itu, tapi aku kenal dengannya dan..."

"Kau tetap di sini. Tunggu aku beberapa saat. Akan kulumpuhkan dia dalam dua-tiga jurus saja!"

Awan Setangkai bergegas pergi tinggalkan taman itu. Namun Suto Sinting tak mungkin tinggal diam begitu saja, sebab hubungannya dengan Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo cukup baik. Bahkan Nyai Sedap Malam pernah selamatkan nyawanya ketika ia terkena racun 'Bayu Panggang'-nya si Awan Setangkai, ketika Awan Setangkai berusaha membunuh Suto agar tidak menjadi penabur keturunan bagi Ratu Cendana Sutera.

Nyai Sedap Malam mengenakan jubah kuning garis- garis merah, ia menggenggam senjata sebuah tongkat berkepala bunga. Tongkat itu yang digunakan untuk menghantam punggung seorang pengawal dalam gerakan bersalto di udara dengan cepat. Buuhk...!

"Aaahk...!" Suuur...! Pengawal itu menyemburkan darah dari mulutnya, menandakan pukulan tongkat tersebut dialiri dengan tenaga dalam cukup besar.

Melihat pengawal itu tersungkur dan tak berkutik lagi, walau masih menggeliat pelan dengan menyeringai kesakitan, temannya merasa semakin penasaran dan segera menyerang Nyai Sedap Malam dengan pukulan bercahaya kuning. Claaap...! Sang Nyai rupanya cukup tangkas dalam menghadapi serangan lawan, ia berkelebat dalam gerakan memutar balik ke belakang, kemudian sinar kuning lurus yang semula mengarah kepadanya itu dihantam dengan kepala tongkat yang segera membara biru terang. Wuuut...!

Blegaaarr...! Ledakan cukup seru terjadi dan sempat menggetarkan tanah sekitar mereka. Nyai Sedap Malam berhasil lompat ke atas atap ruang pertemuan itu.

Wuuut...! Jleeg...!

Tongkatnya segera dimainkan berputar cepat di atas kepala. Gerakan tongkat yang memutar cepat itu menimbulkan angin panas yang mengeringkan dedaunan. Tetapi tiba-tiba sebuah suara berseru dengan lantang dari bawah.

"Hentikan tingkahmu. Sedap Malam!"

Nyai Sedap Malam memandang orang yang berseru dengan lantang itu. Ternyata si Awan Setangkai yang bertolak pinggang bagai menantang pertarungan di bawah. Nyai Sedap Malam benar-benar hentikan permainan tongkatnya.

"Turun kau kalau memang mau cari mati di sini!" seru Awan Setangkai menunjukkan sikap tegasnya sebagai pengganti penguasa Selat Bantai.

Wuuut...! Jleeg...!

Nyai Sedap Malam turun dari atap dalam satu lompatan lurus hingga jubahnya berkelebat bagai sayap seekor burung merak betina.

Pada saat itu pula Suto Sinting tiba di tempat itu, agak jauh di belakang Awan Setangkai. Pandangan mata Suto sedikit mengecil karena ia menemukan kejanggalan di wajah Nyai Sedap Malam.

"Oh, kasihan sekali Nyai Sedap Malam... rupanya ia telah menjadi korban 'Selaput Iblis' itu, sehingga sekarang wajahnya tampak tua, berkerut-kerut dan kecantikannya hilang sama sekali. Rambutnya pun telah beruban dan bola matanya menjadi keruh, tak sebening waktu itu," kata Suto dalam batinnya.

Awan Setangkai berseru dengan wajah berang, "Apa maksudmu bikin keonaran di sini, Sedap Malam?!"

"Orang-orangmu menghinaku, menganggapku orang jahat dan tak diizinkan bertemu denganmu. Maka kutunjukkan pada mereka bahwa aku bukan orang murahan yang pantas disepelekan oleh mereka!" kata Nyai Sedap Malam dengan suara sedikit serak karena ketuaannya.

"Tentu saja mereka tak izinkan kau menggangguku, karena aku sedang kedatangan seorang tamu agung. Kami sedang asyik bermesraan, lalu kau datang mau mengganggu kemesraanku. Hmmm...! Perempuan tak tahu diri itu namanya!"

"Persetan dengan kemesraanmu, tapi aku membutuhkan dirimu untuk meminta panah emas milik Begawan Parang Giri yang ada padamu sebelum kau melakukan makar terhadap Ratu Cendana Sutera! Bukankah waktu itu aku yang menyarankan agar kau meminta bantuan Begawan Parang Giri dan meminjam pusakanya untuk melawan sang Ratu kala itu?! Tapi mana balas budimu padaku? Bahkan ketika aku diusir dari Selat Bantai, kau tidak ada pembelaan terhadap diriku!"

"Karena aku tak mau campuri urusan pribadimu, Tolol!"

"Sekarang aku datang untuk meminjam pusaka 'Jemparing Malaikat' itu! Tentunya kau tahu keadaanku yang sekarang dan mengerti apa yang harus dilakukan untuk menghentikan bencana ini, Awan Setangkai!"

"Pusaka itu sudah tidak ada di tanganku!" ujar Awan Setangkai dengan tegas.

"Jangan mengecewakan diriku, Awan Setangkai! Aku tidak bermaksud bermusuhan dengan pihakmu. Aku hanya ingin meminjam panah itu untuk hancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu!"

"Sudah kubilang, panah itu tidak ada padaku!" seru Awan Setangkai dengan lebih galak lagi.

"Hmmm...," Nyai Sedap Malam mencibir sinis, wajahnya semakin tampak tua dan buruk. "Kau khawatir pusaka itu tak kukembalikan? Oh, aku bukan perempuan yang keji seperti dugaanmu. Bahkan aku punya pilihan lain; kau sendiri yang melepaskan panah itu ke langit, atau aku meminjamnya dan melepaskannya ke langit?!"

"Persetan dengan pilihanmu! Aku benar-benar tidak memegang panah itu lagi!"

"Kalau begitu kau ingin agar aku melumpuhkanmu lebih dulu, Awan Setangkai!"

"Kulayani apa maumu, Sedap Malam! Kau sangka aku takut padamu, hah?!"

"Baik, bersiaplah menghadapi jurus mautku, Awan Setangkai!"

Nyai Sedap Malam segera bergerak ke kiri dan memutar tongkatnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju ke arah Awan Setangkai dengan tajam dan penuh nafsu bermusuhan. Awan Setangkai sendiri segera mengambil posisi untuk lepaskan pukulannya ke arah Nyai Sedap Malam.

"Tahan...!" tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang Awan Setangkai. Suara itu adalah suara Pendekar Mabuk yang segera hadir di samping Awan Setangkai.

"Ooh...?!" Nyai Sedap Malam terkejut melihat Suto ada di sisi Awan Setangkai. "Rupanya kau sudah berpihak kepadanya, Suto!"

"Nyai, dengarkan dulu penjelasanku!" ujar Suto Sinting dengan sabar. "Kebetulan aku berkunjung ke Selat Bantai karena persoalan yang sama dengan persoalanmu. Aku diutus oleh guruku; Bidadari Jalang, untuk mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Dan kebetulan Awan Setangkai mengetahui senjata pusaka yang pernah dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis' beberapa tahun yang silam."

"Kalau begitu, paksa si Awan Setangkai agar keluarkan panah 'Jemparing Malaikat', dan hantamlah kabut sinar ungu itu, Suto!"

"Tunggu dulu, Nyai.... Kita sama-sama menghadapi persoalan yang sama. Artinya, kita sama-sama kehilangan panah pusaka itu."

"Bicara yang benar kau, Pendekar Mabuk!" ucap Nyai Sedap Malam dengan tegas sambil menuding Suto memakai tongkatnya.

"Minggirlah, akan kuhajar dia biar percaya bahwa panah itu tidak ada padaku!" sambil Awan Setangkai mendorong tubuh Suto agar menyingkir, tapi Suto bertahan dan mencoba meredakan kemarahan Awan Setangkai dengan bujukan penuh kesabaran.

"Ini perkara yang sia-sia jika harus menggunakan pertarungan! ini hanya kesalahpahaman saja, dan kesalahpahaman ini membutuhkan penjelasan sejelas mungkin!"

Awan Setangkai mendengus, namun ia tidak melarang Suto untuk maju mendekati Nyai Sedap Malam.

"Nyai... baru saja tadi kubicarakan dengan Awan Setangkai bahwa kami sepakat untuk menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Tetapi panah pusaka itu sekarang berada di tangan Selimut Senja, ketua Partai Janda Liar yang baru."

Nyai Sedap Malam terperanjat dan memandang Suto lebih tajam lagi. Ia sama sekali tak pedulikan kecantikannya yang luntur itu, karena yang ada dalam benaknya hanya panah pusaka untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu.

"Nyai, aku tidak mendustaimu. Aku tahu kau sangat menderita, sama seperti Bibi Guru-ku; si Bidadari Jalang. Karenanya, redakanlah amarahmu, Nyai. Singkirkan anggapan burukmu terhadap Awan Setangkai. Percayalah, aku tidak akan tinggal diam dalam perkara ini!"

"Dapatkah mulut seorang lelaki yang sedang dimabuk kemesuman kupercayai?!"

Suto tersenyum geli. "Nyai, aku tidak sedang mabuk. Walau ke mana-mana aku menenteng bumbung tuak, tapi aku toh tidak pernah mabuk. Begitu pula dengan sekarang, walau aku menenteng Awan Setangkai, tapi aku tidak pernah merasa mabuk oleh kecupan bibirnya yang... hangat sekali, Nyai. Uuh, tadi aku hampir saja tak bisa bernapas karena ia..."

"Cukup!" sentak Nyai Sedap Malam, membuat suara Suto yang berbisik itu lenyap seketika.

"Kalau begitu, aku harus merebut panah itu dari tangan si Selimut Senja?" geram Nyai Sedap Malam.

"Kau akan tumbang dan mati sia-sia jika melawannya!" ujar Awan Setangkai. "Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Selimut Senja sudah menguasai ilmu 'Kulit Baja' dari kitab pusaka kakeknya yang dicuri nya itu?!"

Suto Sinting segera berkata, "Nyai, serahkan persoalan ini padaku. Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin. Jangan korbankan nyawamu untuk mendapatkan panah tersebut. Jalan yang terbaik bagimu masih ada. Tunggulah saatnya, tak lama lagi kabut sinar ungu itu akan hancur dan kecantikanmu akan kembali seperti sediakala!"

"Apa sangsinya jika kau gagal? Kepalamu kupenggal?"

"Jangan berat-berat sangsinya, Nyai! Biar gagal aku kan masih butuh kepala juga," kata Suto Sinting dengan bersungut-sungut.

Lalu, Awan Setangkai menimpali dengan ketus. "Sebelum kau memenggal kepala Suto, lebih dulu kepalamu kupancung, Sedap Malam!"

"Kalau begitu kita buktikan siapa yang lebih cepat memenggal kepala!" sentak Nyai Sedap Malam. Suto segera menengahi.

"Hei.. hei... ini bukan soal kepala, ini soal 'Selaput Iblis'. Jangan melantur ke mana-mana!"

Akhirnya Nyai Sedap Malam pasrah kepada usaha Suto Sinting, ia sempat diyakinkan oleh Awan Setangkai, bahwa Suto pasti berhasil dapatkan panah itu. Maka, Pendekar Mabuk pun segera pergi untuk temui Ketua Partai Janda Liar yang baru itu.

* * *

ENAM

PENDEKAR Mabuk bertekad untuk tidak pergunakan kekerasan dulu terhadap Selimut Senja. Sekalipun ia merasa mampu tumbangkan Selimut Senja, tapi jika perempuan itu mati, maka belum tentu ada yang mengetahui di mana panah pusaka itu disembunyikan oleh Selimut Senja.

"Aku harus menggunakan cara halus, agar Selimut Senja menyerahkan panah itu secara suka rela. Hmmm... agaknya aku harus gunakan jurus 'Senyuman Iblis' untuk membuat hati perempuan itu terpikat padaku. Jika ia sudah kubuai dengan kemesraan, maka dengan mudah panah pusaka itu akan kuperoleh," pikir Suto dalam perjalanan ke Pesanggrahan Janda Liar itu.

Perjalanan itu sempat terhenti oleh kemunculan Panji Klobot dari arah lereng perbukitan. Suara Panji Klobot itulah yang menghentikan langkah kaki Suto Sinting, sehingga pemuda polos, lugu, dan tanpa ilmu apa pun kecuali jurus 'Tendangan Cuci Perut' itu segera mendekati Suto dengan wajah tegangnya. Pendekar Mabuk menjadi heran melihat Panji Klobot ada di situ.

"Aku mencari-cari Tenda Biru, Suto! Dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku ketika mendengar kabar bahwa di suatu tempat ada sayembara tanding laga dan hadiahnya adalah menjadi Ketua Partai Janda Liar. Kabar itu datang dari Kelambu Petang. Tapi Kelambu Petang tidak ikut pergi!" tutur Panji Klobot yang mengenakan baju tanpa lengan warna biru, sama dengan warna celananya.

Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu juga menceritakan telah memergoki Taring Naga yang sedang bercumbu dengan seorang gadis dengan ciri-ciri si gadis disebutkan pula. Dan Suto Sinting terperanjat karena mengetahui bahwa gadis yang diceritakan Panji Klobot itu adalah Awan Setangkai.

"Aku sempat terpaku seperti patung melihat adegan itu. Dan sepertinya gadis itu adalah gadis buta. Tapi... tapi aku sendiri tak tahu kenapa Taring Naga melarikan diri begitu melihatku. Mungkin aku disangkanya seekor beruang yang sedang mencari madu, ya?"

Suto Sinting sunggingkan senyum tipis, kemudian berkata dalam hatinya. "Oooh... kalau begitu hal itu terjadi saat Awan Setangkai mengalami kebutaan! Kurang ajar betul si Taring Naga itu, memanfaatkan kebutaan seorang gadis untuk menikmati kehangatannya!"

Panji Klobot berkata, "Aku takut kehilangan Tenda Biru, Suto. Sebab gadis itu sudah seperti kakakku sendiri dan dia sedang mengajarku beberapa jurus, tapi belum sempat kukuasai sudah menghilang begini!"

Suto Sinting menggumam lirih sambil merenungi kata-kata Panji Klobot. Pemuda yang masih tampak ingusan itu berkata lagi.

"Pada saat ia belum pergi, kulihat wajahnya ada perubahan. Aku takut dia kena penyakit menular, Suto."

"Perubahan bagaimana?" Suto semakin tertarik. "Kulitnya agak keriput, dan hidungnya tidak semancung biasanya. Saat kukatakan hal itu, ia buru-buru pergi sampai sekarang. Apakah dia tersinggung, ya?"

Suto Sinting diam saja, tapi hatinya membatin, "Oh, kalau begitu Tenda Biru pun menggunakan aji pengawet kecantikan dan sekarang mengalami perubahan karena matahari tertutup kabut sinar ungu itu. Aji pengawet ayu itu mungkin diperoleh saat ia menjadi muridnya Nyai Garang Sayu."

Kemudian Suto berkata kepada Panji Klobot, "Kalau begitu, kita cari di Pesanggrahan Partai Janda Liar saja!"

"Kalau kutahu tempatnya, sudah pasti aku ke sana!" "Aku tahu tempatnya. Mau ikut aku atau mau pergi sendiri?" "O, tentu saja aku lebih baik mengikutimu!"

Tiba-tiba terpetik sebuah gagasan dalam benak Suto untuk memanfaatkan Panji Klobot. Gagasan itu tidak dibicarakan lebih dulu, karena akan mengacaukan rencana jika Panji Klobot sampai mendengarnya. Ketika mereka tiba di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Liar, Pendekar Mabuk berkata kepada Panji Klobot.

"Maukah kau menungguku di sini, di balik bebatuan itu?!"

"Kenapa aku harus menunggu di sini? Bukankah pesanggrahan itu sudah kelihatan dari sini dan aku masih kuat berjalan mengikutimu sampai ke sana!"

"Bukan soal kuat atau tidak kuat jalan, Panji. Aku ingin memeriksa dulu keadaan di dalam sana, apakah Tenda Biru ada atau tidak. Jika ada ia akan segera kubawa keluar. Jika tidak ada, mungkin dia belum datang. Dan kau berjaga-jaga di sini. Jika kau lihat Tenda Biru datang, cegatlah dia lalu bujuklah agar segera pulang."

"Oo, begitu?! Baiklah, aku menurut saja apa katamu, Suto!"

Jurus 'Senyuman Iblis' mulai dikenakan oleh Pendekar Mabuk. Senyuman itu dapat menundukkan perempuan manapun, meski perempuan itu berhati karang dan sukar terpikat oleh seorang pria. Dengan memasang 'Senyuman Iblis' penjerat hati, para penjaga pesanggrahan Partai Janda Liar yang terdiri dari para wanita frustrasi itu dibuat terbengong-bengong oleh kehadiran Suto Sinting.

"Aku ingin bertemu dengan Ketua Partai Janda Liar yang baru," kata Suto kepada salah seorang penjaga gerbang.

"Oh, hmmm... bisa saja. Tapi... tapi beliau sedang mengadakan pesta penobatannya sebagai ketua yang baru."

"Tak bisakah aku bertemu sebentar dengannya?"

Penjaga yang satunya buru-buru menjawab, "Oh, tentu saja bisa! Ketua kita yang baru ini baik hati dan tak mudah marah kok. Mari kuantar menemui beliau. Hmmm... boleh kutahu siapa namamu?"

"Namaku... Panji Klobot," jawab Suto sengaja menyamar sebagai Panji Klobot.

"Oh, itu nama yang bagus sekali, sesuai dengan orangnya. Bukankah begitu, Arumwani?!"

"Iya. Bagus sekali. Lebih bagus lagi kalau nama itu menjadi penghuni tetap di pesanggrahan kita, ya?"

Kedua penjaga itu cekikikan, dua penjaga lainnya juga ikut cekikikan, namun tidak ikut mendekati Suto. Mereka tetap menjaga kewaspadaan dari tempatnya berdiri.

Selimut Senja merasa heran mendengar kedatangan tamu seorang pemuda tampan, gagah perkasa, dan sangat menawan. Pesta segera dihentikan sesaat. Selimut Senja menyuruh pengawalnya membawa tamu itu menghadap.

Suto Sinting pun muncul di tengah pesta yang dihadiri oleh kaum wanita. Mereka menggumam kagum secara serempak begitu Suto Sinting muncul dengan langkah gagah dan senyum memancarkan daya pikat tinggi.

"Ooh, gila...! Ini namanya rezeki nomplok!" ujar salah seorang dari mereka.

Selimut Senja menatap Suto dengan dahi berkerut. Tetapi ketika Suto semakin dekat dan senyumannya semakin melebar, Selimut Senja tak bisa diam saja. Senyumannya pun mulai mekar karena hatinya berdebar-debar bagai dihinggapi ribuan bunga indah.

"Kalau tak salah penglihatanku, kau adalah pemuda gagah yang pernah kuintai sedang bertarung dengan mendiang Nyai Watu Wadon itu," ujar Selimut Senja dengan wajah berseri-seri.

"Aku tak tahu kapan kau mengintainya, tapi kuakui aku memang bertarung dengan Nyai Watu Wadon dan berhasil melukainya," kata Suto dengan suara lembut namun penuh kejantanan. Pandangan matanya yang teduh membuat Selimut Senja semakin berdebar-debar, demikian pula para anggota Partai Janda Liar yang saling berkasak-kusuk dan cekikikan membicarakan khayalannya masing-masing bersama Suto Sinting.

"Sayang sekali kala itu aku tak mendengar Nyai Watu Wadon menyebutkan namamu."

"Namaku sederhana sekali. Ibuku memberikan nama Panji Klobot untukku."

"Nama yang bagus sekali itu. Tidak sesederhana anggapanmu. Panji!"

Beberapa perempuan di sekitar situ saling menyebut nama Panji Klobot. "Oo, namanya Panji Klobot."

"Apa? Panci Borot?"

"Panji Klobot, Congek!" "Hik, hik, hik, hik...!"

Selimut Senja merasa tak enak menjadi bahan perhatian anak buahnya, karena biasanya ia bersikap tegas dan galak terhadap lelaki, tapi kali ini ia bersikap manis-manis terhadap pemuda itu. Untuk menjaga agar tetap tampak wibawa, Selimut Senja segera membawa Suto Sinting ke kamar pribadinya. Pendekar Mabuk sangat tidak keberatan karena ia sudah mengerti maksud hati Selimut Senja membawanya ke kamar pribadi itu.

"Apa maksudmu datang kemari menemuiku, Panji Klobot!"

"Ibuku mendengar Ketua Partai Janda Liar telah diganti. Nyai Watu Wadon telah disingkirkan. Aku diutus untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Ketua Partai Janda Liar yang baru. Karena ibuku merasa senang mendengar Nyai Watu Wadon telah terbunuh, dan kabarnya kau yang membunuhnya."

"Memang benar. Tapi aku belum mengenal siapa ibumu, Panji Klobot."

"Ibu juga merasa belum mengenalmu, Ketua. Tapi ibu mengakui kehebatanmu dan pengakuannya itu diungkapkan dalam bentuk ucapan selamat yang harus kusampaikan padamu."

Selimut Senja merasa bangga, hatinya kian berbunga-bunga. Apalagi Suto Sinting bicaranya sambil sunggingkan senyum menawan, Selimut Senja merasa sedang dibuai oleh sejuta keindahan yang amat membahagiakan hati.

"Apakah ibumu adalah perempuan berjubah ungu yang ketika itu terluka oleh pukulan Nyai Watu Wadon?"

"Benar! Itulah ibuku, tapi...." Suto Sinting diam seketika, wajahnya diubah menjadi murung bagai sedang menahan duka. Selimut Senja merasa kehilangan keindahan di wajah Suto. Ia segera mendekat dan mengangkat wajah Suto dengan menyangga dagu memakai ujung jarinya.

"Kenapa kau tampak sedih, Panji. Jangan sedih, biarkan aku bahagia menikmati ketampananmu yang menawan ini."

"Aku ingat ibuku yang menderita," ucap Suto Sinting lirih. "Ibuku saat ini sedang menderita karena ulahku sendiri."

"Oh, apa yang diderita oleh ibumu itu? Katakanlah, Panji... katakanlah."

Suto berlagak ragu-ragu untuk mengatakan. Selimut Senja segera membawanya duduk di tepian ranjang dengan hati-hati.

"Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantumu agar kau tampak ceria dan menawan seperti tadi, Panji," bujuk Selimut Senja.

Pendekar Mabuk memandang sayu kepada Selimut Senja yang sedang menatapnya. Tatapan mata itu tampak begitu lembut dan teduh, walau mengharukan hati Selimut Senja. "Kau mau membantuku, Ketua?"

"Akan kubantu apa pun kesulitanmu, tapi tapi maukah kau tinggal di sini bersamaku, Panji?"

"Tinggal di sini?" Suto berlagak girang seperti anak kemarin sore. "Oh, aku suka sekali kalau boleh tinggal di sini."

Senyum perempuan itu pun mekar kembali, karena ia senang melihat Suto Sinting berwajah ceria dengan senyuman yang menggetarkan hati itu. "Kau sudah punya kekasih?"

Suto Sinting menggeleng. Mirip pemuda yang polos. Jawaban itu membuat Selimut Senja kian berdebar-debar, seakan apa yang diharapkan dapat menjadi kenyataan. "Ibu selalu melarangku mendekati wanita, dan aku tak boleh jatuh cinta pada seorang wanita, karena ibu takut kalau aku lupa pada ibu karena mencintai wanita itu."

"Oh, kasihan sekali kau," sambil Selimut Senja mengusap-usap rambut Suto.

"Padahal aku sudah ingin sekali mempunyai istri. Aku ingin dipeluk oleh wanita, ingin dicium dan dicumbu oleh wanita," Suto berlagak bersungut-sungut.

"Kau benar-benar pemuda yang malang jika begitu. Tetapi... jika kau mau tinggal di sini, kau dapat merasakan pelukan dan ciumanku," bisik Selimut Senja.

"Benarkah itu?"

"Ya, benar. Sekarang pun kau boleh mencobanya, Panji," Selimut Senja semakin membisik, jantungnya berdetak-detak ketika Suto Sinting memandang dengan berseri-seri. Ia mendekatkan wajahnya dan mata terpejam sedikit.

"Ciumlah aku... ayo, ciumlah... jangan takut...," bujuk Selimut Senja. Maka, Suto Sinting pun mencium pipi perempuan itu pelan-pelan.

"Jangan di pipi saja, kecuplah bibirku. Hmmm...!" Selimut Senja menyodorkan bibirnya.

Pendekar Mabuk berlagak gemetar, namun segera menempelkan bibirnya ke bibir Selimut Senja. Bukan Suto yang melumat bibir, melainkan Selimut Senja yang melumat bibir Suto karena tak tahan digoda gairah yang telah meletup-letup sejak tadi. Lama-lama Suto Sinting memberi balasan, ganti melumat bibir Selimut Senja yang membuat gairah perempuan itu semakin terbakar.

"Oh, nikmat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan itu. Ooh... kecuplah lagi, Panji. Kecuplah seluruh tubuhku. Mana yang kau suka, ambillah, Sayang...!" sambil ia berbaring dengan menarik tangan Suto.

Maka, Suto Sinting pun segera menciumi wajah Selimut Senja dengan sentuhan lembut. Sesekali ciuman itu mengganas, namun sesekali lembut kembali. Hal itu membuat gairah Selimut Senja bagai dipermainkan lebih indah lagi. Bahkan kali ini ia membentangkan jubahnya, melebarkan dadanya yang telah tak berlapis kain lagi itu. Kepala Suto sedikit didorong agar menyentuh dadanya. Maka, Suto Sinting pun menyapu habis dada itu dengan kecupan dan pagutan hangatnya.

"Oouh. Panji, nikmat sekali! Sungguh nikmat sekali kecupanmu. Ooh. jangan berhenti, Sayang. Lebih ganas lagi, Panji. Lebih ganas lagi!"

Pada saat Selimut Senja memekik-mekik karena ditikam sejuta kenikmatan, Suto Sinting menghentikan aksinya secara mendadak, ia menarik diri dan duduk dengan wajah murung lagi.

"Panji, kenapa berhenti? Lakukanlah lagi, Panji...," rengek Selimut Senja.

Suto menggeleng murung. "Aku ingat penderitaan Ibu. Wajah ibuku menjadi buruk karena matahari tertutup kabut sinar ungu."

"Ooh... ibumu menggunakan ilmu pengawet ayu, ya?"

"Iya. Tapi gara-gara aku melawan Nyai Watu Wadon, matahari jadi tertutup kabut sinar ungu dan wajah ibuku menjadi tua. Aku harus menolong ibuku, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Padahal Ibu sudah bilang padaku, jika aku bisa menghancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu, maka aku akan diizinkan untuk menikah dengan seorang wanita pilihanku. Ibu tak keberatan aku jatuh cinta pada seorang wanita jika aku bisa menolong membebaskan Ibu dari bencana yang melanda kecantikannya itu."

"Lupakan dulu soal itu. Nanti aku akan membantumu jika kau benar-benar mau hidup bersamaku. Cumbulah aku lagi, Panji"

"Tidak. Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan dalam bercumbu sebelum bisa membantu meringankan penderitaan Ibu. Aku kehilangan gairah dan selera jika ingat Ibu."

Selimut Senja tarik napas dalam-dalam, kejap kemudian ia berkata sambil menciumi pipi Suto dan tangannya meremas sesuatu yang sudah berhasil digenggamnya. Suto diam saja menerima remasan itu. "Dengar kataku, Panji... layanilah aku dulu, nanti kuhancurkan 'Selaput Iblis' itu dengan pusaka milik kakekku. Jika kabut sinar ungu itu hilang, maka kecantikan Ibumu akan kembali seperti sediakala."

"Kau... kau bohong."

"Tidak. Aku tidak bohong. Aku benar-benar mempunyai pusaka panah 'Jemparing Malaikat' milik kakek-ku. Akan kuambil sebentar biar kau percaya "

Selimut Senja mendekati dinding yang terbuat dari susunan batu candi itu. Salah satu susunan batu yang letaknya sedikit miring ditekannya.

Soeerrrk...! Ternyata batu yang letaknya miring merupakan kunci bagi sebuah almari rahasia. Begitu batu itu ditekan, maka dinding di dekat pintu bergeser. Dinding yang bergeser itulah almari rahasia tempat menaruh kitab dan beberapa barang yang dirahasiakan, termasuk sebatang anak panah terbuat dari emas murni.

"Lihat, ini adalah panah emas yang dinamakan 'Jemparing Malaikat' milik kakekku; Begawan Parang Giri. Panah ini sebenarnya kusiapkan untuk melawan musuh besarku; Raja Tobe, dari Pantai Gangga. Tetapi..."

"Oh, tidak aku tidak mau! Aku takut dengan panah. Aku takuuut!" Suto Sinting berpura-pura seperti orang gila yang ketakutan melihat anak panah.

"Hei, dengar dulu, Panji"

"Tidak. Aku tidak mau! Aku takut melihat anak panah itu. Tidaaak...!" Suto Sinting sengaja lari keluar kamar.

"Panji, tunggu...!" Selimut Senja segera mengejar karena ia sudah telanjur berkhayal mendapat cumbuan dari pemuda itu dan ia tak mau gairahnya tertunda.

Suto Sinting berlari meninggalkan pesanggrahan itu. Selimut Senja mengejarnya terus. Anak buahnya dilarang ikut mengejar, karena masalah itu dianggapnya masalah pribadi yang tak boleh dicampuri siapapun.

Dalam sekejap Suto sudah sampai di tempat Panji Klobot bersembunyi, ia segera menggunakan ilmu 'Seberang Raga'. Ilmu itu ditujukan kepada Panji Klobot dengan cara memandang sebentar, lalu pejamkan mata, dan ketika mata terbuka lagi Panji Klobot sudah salin rupa menjadi sosok Suto Sinting, lengkap dengan bumbung tuak dan pakaiannya.

"Ada apa, Suto?!" Panji Klobot belum menyadari keadaannya yang sudah berubah menjadi Pendekar Mabuk. Bahkan ia tidak merasa kalau di punggungnya terdapat bumbung tuak yang melintang, ia hanya menjadi tegang dan berdebar-debar memandangi Suto Sinting yang berlari tinggalkan pesanggrahan itu.

"Panji Klobot, jika nanti ada perempuan memburumu, berlarilah ke arah selatan sana, lalu berhentilah di balik bukit cadas tempat kita bertemu tadi. Mengerti?"

"Lho, kenapa aku diburu oleh seorang perempuan?"

"Dia jatuh cinta padamu dan ingin mendapat cumbuan darimu. Hindarilah, nanti kalau kau turuti kau bisa ketagihan. Kau harus lari dan lari terus, jika terpaksa tertangkap, jangan bertindak kasar, tapi bujuklah agar dia membatalkan niatnya yang ingin bercumbu denganmu."

"Cantik apa buruk wajahnya, Suto?"

"Jangan pikirkan hal itu. Larilah sekarang juga, dia sudah tampak menuju kemari!"

"Bba... baik... baik!" Panji Klobot gugup, namun segera berlari. Sementara itu, Suto Sinting berkelebat ke balik pohon rindang dan bersembunyi di sana.

"Panji...! Panji Klobot, tunggu aku...!" seru Selimut Senja membuat Panji Klobot percaya dengan kata-kata Suto. Ia semakin berlari cepat, sedangkan Selimut Senja makin penasaran dan memburu Panji Klobot yang dalam penglihatannya berwujud Suto Sinting.

"Oh, sial! Panahnya tidak dibawa," gerutu Suto dalam hati ketika melihat Selimut Senja melintas di depannya. "Kalau begitu aku harus menyusup masuk ke kamarnya tadi dan menekan batu yang agak miring, lalu mengambil anak panah itu!"

Zlaaap...! Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya. Zlaaap... zlaaap... zlaaap...!

Para penjaga gerbang pesanggrahan hanya diam saja karena merasa tak melihat bayangan berkelebat. Tapi mereka menjadi heran melihat pintu gerbang terbuka sendiri dan tertutup dengan cepat. Mereka yang ada di dalam pesanggrahan juga tak sempat melihat gerakan Suto Sinting.

Ketika Suto masuk ke dalam kamar pribadi Selimut Senja, tak seorang pun mengetahuinya karena gerakannya yang menyamai kecepatan cahaya itu. Batu bersusunan miring ditekan, almari rahasia terbuka. Panah emas ada di sana. Suto segera menyambarnya. Wuut...! Kemudian ia bergerak tinggalkan tempat itu dengan kecepatan yang sama.

Zlaaap, zlaap, zlaap, zlaaaapp...!

"Panji Klobot...! Panjii...! Oh, jangan lari, Sayang. Aku tidak akan melukaimu...!" seru Selimut Senja yang penasaran ingin lampiaskan gairahnya saat itu juga.

Suara itu menjadi patokan bagi Suto Sinting, ia segera berkelebat melalui pohon demi pohon. Dalam sekejap ia sudah sampai di balik bukit. Di sana tampak Suto Sinting palsu bersembunyi. Pendekar Mabuk segera gunakan ilmu mengubah wujud yang membuat Panji Klobot menjadi wujud aslinya. Blaab...! Dan Panji Klobot masih belum merasa bahwa dirinya sudah berubah menjadi Panji Klobot sebenarnya, ia justru merasa tidak terjadi perubahan apa-apa sejak tadi.

Zlaaap...!

"Ooh, kau sudah di sini, Suto?!"

"Iya. Lekas ikut aku tinggalkan perempuan yang mengejarmu itu."

"Tunggu dulu, dia... dia tampaknya cantik dan..."

"Aaah... Mau macam-macam kau, hah?!"

Dees...! Suto Sinting menotok Panji Klobot. Bocah itu terkulai lemas, lalu dipanggul oleh Suto dan dibawa lari menuju ke Istana Selat Bantai.

Zlaap, zlaaaap, zlaaap...!

Ia tak peduli Selimut Senja kebingungan mencari 'Panji Klobot'-nya, yang penting anak panah emas sudah diperolehnya, ia segera menemui Awan Setangkai dan Nyai Sedap Malam. Panji Klobot dibebaskan dari totokannya, dan menjadi tambah bingung berada di Istana Selat Bantai.

"Bunga Ranjang, pinjam busur panahmu!" kata Suto. Dengan gunakan busur panah milik Bunga Ranjang, Suto Sinting mulai meletakkan panah emas itu di tali busur. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tali busur bisa ditarik dan anak panah pun dilepaskan ke arah matahari.

Slaaab...! Wuuut...! Panah emas berkilauan di langit, akhirnya menghantam kabut sinar ungu itu. Sluub...!

Jlegaaaarrrrrr...! Ledakan itu mengguncang seluruh bumi. Tapi kabut sinar ungu sirna seketika. Matahari bersinar terang kembali. Sedangkan panah emas itu melesat ke arah semula dan ditangkap oleh tangan Suto Sinting dengan gerakan cepat. Teeb...!

Bayangan manusia pun menjadi hitam kembali. Wajah-wajah yang dilanda bencana ketuaan itu berangsur-angsur cantik kembali. Beberapa perempuan Selat Bantai melepaskan cadarnya dan bersorak kegirangan. Di tempat lain, Bidadari Jalang juga berubah cantik kembali, demikian pula Sumbaruni, Tenda Biru, Merpati Liar, dan beberapa orang lainnya.

"Kau benar-benar hebat, Suto!" puji Awan Setangkai.

"Tapi panah emas ini tetap akanku kembalikan kepada Begawan Parang Giri!" kata Suto Sinting, dan Awan Setangkai tak berani membantah, demikian pula Nyai Sedap Malam.

Tapi Panji Klobot segera berkata, "Suto, aku akan kembali ke tempat tadi. Perempuan cantik itu pasti merindukan diriku, Suto. Dia memanggil-manggil namaku terus. Pasti dia tergila-gila padaku!"

Mereka segera menertawakan Panji Klobot, setelah Suto Sinting menceritakan bagaimana menyiasati Selimut Senja sehingga ia berhasil mencuri panah emas itu.

SELESAI